+ All Categories
Home > Documents > BAB 2 DASAR TEORI - Repository IT Telkom Purwokerto

BAB 2 DASAR TEORI - Repository IT Telkom Purwokerto

Date post: 26-Jan-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
22
5 BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Kajian Pustaka Jurnal penelitian oleh Jouko Vankka pada tahun 2013 [1] yang berjudul Sun Outage Calculator For Satellite Communications” membahas tentang aplikasi sun outage kalkulator atau prediksi waktu sun outage menggunakan JAVA. Pada jurnal penelitian tersebut dijelaskan bahwa sun outage terjadi saat posisi matahari berada di belakang satelit, jika dilihat dari posisi bumi. Energi dari matahari ber-interferensi dengan satelit sehingga mempengaruhi hasil penerimaan pada stasiun bumi. Hal tersebut disebabkan meningkatnya noise temperature pada arah downlink transmisi. Akibat dari sun outage akan terjadi degradasi , semakin besar diameter antena, semakin besar pula degradasi . Pada jurnal tersebut terdapat beberapa faktor yang dilihat dalam memprediksi waktu sun outage, yaitu satelit yang digunakan, diameter antena, frekuensi downlink, solar flux density, outage angle dll. Jurnal ilmiah dari Sindi dan Rianto Nugroho pada tahun 2013 [2] yang berjudul “Perancangan Sistem Transmisi Sinyal DVB-S dan Terestrial UHF” membahas tentang penggunaan Digital Video Broadcasting (DVB) untuk mentransmisikan siaran TV/Video digital hingga ke pelanggan. Penelitian ini melakukan perancangan sistem DVB-S dengan menggunakan satelit C-band serta menggunakan band UHF pada transmisi terrestrial. Hasilnya dengan menggunakan sistem transmisi DVB-S didapatkan C/N sebesar 20,86 dB, sistem transmisi DVB-S sangat baik digunakan di Indonesia sebab negara Indonesia memiliki banyak pulau pulau dengan area yang cukup luas sehingga dengan menggunakan transmisi sinyal DVB-S menjadi lebih hemat bandwidth. Penelitian Tinno Daya Prawira pada tahun 2010 [3] yang berjudul “Analisis Cross Polarization Pada Layanan VSAT Satelit Telkom-1” membahas tentang pengaruh perbedaan arah rambatan yang akan mengakibatkan adanya Cross Polarization Interference (CPI) yang menyebabkan penurunan kualitas transmisi. Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak yang ditimbulkan oleh crosspol tersebut dengan melakukan perhitungan parameter link
Transcript

5

BAB 2

DASAR TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Jurnal penelitian oleh Jouko Vankka pada tahun 2013 [1] yang berjudul

“Sun Outage Calculator For Satellite Communications” membahas tentang

aplikasi sun outage kalkulator atau prediksi waktu sun outage menggunakan

JAVA. Pada jurnal penelitian tersebut dijelaskan bahwa sun outage terjadi saat

posisi matahari berada di belakang satelit, jika dilihat dari posisi bumi. Energi dari

matahari ber-interferensi dengan satelit sehingga mempengaruhi hasil penerimaan

pada stasiun bumi. Hal tersebut disebabkan meningkatnya noise temperature pada

arah downlink transmisi. Akibat dari sun outage akan terjadi degradasi ,

semakin besar diameter antena, semakin besar pula degradasi . Pada

jurnal tersebut terdapat beberapa faktor yang dilihat dalam memprediksi waktu

sun outage, yaitu satelit yang digunakan, diameter antena, frekuensi downlink,

solar flux density, outage angle dll.

Jurnal ilmiah dari Sindi dan Rianto Nugroho pada tahun 2013 [2] yang

berjudul “Perancangan Sistem Transmisi Sinyal DVB-S dan Terestrial UHF”

membahas tentang penggunaan Digital Video Broadcasting (DVB) untuk

mentransmisikan siaran TV/Video digital hingga ke pelanggan. Penelitian ini

melakukan perancangan sistem DVB-S dengan menggunakan satelit C-band serta

menggunakan band UHF pada transmisi terrestrial. Hasilnya dengan

menggunakan sistem transmisi DVB-S didapatkan C/N sebesar 20,86 dB, sistem

transmisi DVB-S sangat baik digunakan di Indonesia sebab negara Indonesia

memiliki banyak pulau – pulau dengan area yang cukup luas sehingga dengan

menggunakan transmisi sinyal DVB-S menjadi lebih hemat bandwidth.

Penelitian Tinno Daya Prawira pada tahun 2010 [3] yang berjudul “Analisis

Cross Polarization Pada Layanan VSAT Satelit Telkom-1” membahas tentang

pengaruh perbedaan arah rambatan yang akan mengakibatkan adanya Cross

Polarization Interference (CPI) yang menyebabkan penurunan kualitas transmisi.

Penelitian tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa besar dampak yang

ditimbulkan oleh crosspol tersebut dengan melakukan perhitungan parameter link

6

budget. Crosspol dapat diartikan sebagai gangguan carrier yang diakibatkan

ketidaktepatan polarisasi antena terhadap polarisasi satelit. Dari hasil perhitungan

link budget akan diperolah nilai C/N, yang mana nilai C/N ini menunjukan

bagaimana kualitas transmisi. Berdasarkan hasil pengukuran crosspol dan

perhitungan C/N pada penelitian tersebut, didapati kondisi link yang pergerakan

satelitnya dibatasi sebesar 0,05 dalam keadaan baik, karena nilai C/N total yang

fluktuatif tidak terlalu besar perubahannya.

.

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Sistem Komunikasi Satelit

Satelit merupakan suatu objek yang mengitari bumi. Beberapa objek yang

dapat dikatakan sebagai satelit antara lain bulan, meteor dan benda-benda angkasa

lainnya. Satelit dibagi menjadi dua, yaitu satelit alami dan satelit buatan. Salah

satu satelit alami adalah bulan yang telah ada dan mengitari bumi sejak

terciptanya alam semesta. Sedangkan satelit buatan yaitu satelit yang diciptakan

oleh manusia yang salah satu fungsinya untuk melakukan komunikasi antar pulau

maupun antar negara. Gagasan tentang komunikasi satelit pertama kali dicetuskan

oleh Arthur C Clarke pada Tahun 1945, beliau yang juga seorang pengarang fiksi

ilmiah berpendapat dengan menempatkan satelit pada orbit Geostationer pada

ketinggian 35.786 km di atas permukaan bumi akan mempunyai kecepatan sudut

yang sama dengan kecepatan putaran bumi. Dengan demikian posisi satelit akan

selalu tetap terhadap setiap titik di permukaan bumi. Satelit yang berada pada

orbit ini bergerak dari arah timur ke arah barat mengikuti arah rotasi bumi.

Sistem komunikasi satelit secara umum terdiri dari sebuah satelit yang

befungsi sebagai stasiun pengulang (repeater) yang berada di luar angkasa yang

berhubungan dengan stasiun bumi. Sinyal yang dikirimkan dari stasiun bumi akan

diterima dan dikuatkan kembali oleh satelit dan selanjutnya dikirimkan kembali

ke stasiun bumi tujuan. Sistem komunikasi satelit ini biasanya digunakan di

daerah yang sulit dijangkau oleh jaringan terrestrial. Hal inilah yang menjadi

kelebihan sistem komunikasi satelit dibandingkan dengan sistem komunikasi

lainnya, sistem komunikasi satelit mampu menjangkau daerah-daerah yang

terpencil dan jauh [4].

7

2.2.2 Arsitektur Sistem Komunikasi Satelit

Terdapat dua elemen dasar dalam sistem komunikasi satelit yaitu stasiun

bumi (ground segment) dan satelit (space segment). Stasiun bumi berfungsi

mengirimkan sinyal informasi kearah satelit dengan menggunakan frekuensi yang

dinamakan Frekuensi Uplink dan sebaliknya satelit sebagai repeater tunggal di

luar angkasa akan meneruskan sinyal informasi ke arah tujuan dengan

menggunakan Frekuensi Downlink ke stasiun bumi tujuan. Gambar 2.1

merupakan konfigurasi sistem komunikasi satelit [4].

Gambar 2.1 Arsitektur sistem komunikasi satelit [4].

Masing-masing besaran frekuensi uplink dan downlink mengikuti aturan

standarisasi ITU-T dengan mengkategorikan besarnya frekuensi sesuai dengan

band-nya seperti Tabel 2.1. Aturan band frekuensi ini berlaku secara seragam di

seluruh dunia.

Tabel 2.1 Kategori besaran frekuensi sesuai dengan band-nya [4]

Band Uplink (Ghz) Downlink (Ghz) Bandwidth (Mhz)

C 5.9 – 6.4 3.7 – 4.2 500

X 7.9 – 8.4 7.25 – 7.75 500

Ku 14 – 14.5 11.7 – 12.2 500

Ka 27 – 30 17 – 20 Not fixed

30 – 31 20 – 21 Not fixed

Indonesia menggunakan dua tipe alokasi frekuensi satelit yaitu C-band dan

Ku-band, Tabel 2.2 merupakan keunggulan dan kekurangan dari kedua

frekuensi tersebut

8

Tabel 2.2 Alokasi frekuensi satelit di Indonesia [4]

Frekuensi Keunggulan Kekurangan

C-Band World wide availability Antena berukuran lebih besar

Teknologi yang termurah Rentan terhadap interferensi dari satelit

tetangga dan terrestrial microwave Tahan dari redaman hujan

Ku-Band Kapasitas relative besar Rentan terhadap air hujan

Antena berukuran lebih kecil (0,6 –

1,8 m )

Availability terbatas (faktor regional)

2.2.3 Cara Kerja Satelit

Tahapan dalam cara kerja satelit dibagi menjadi tiga yaitu, pada tahap

pertama satelit menerima sebuah sinyal yang kemudian pada tahap kedua satelit

akan memperbesar sinyal tersebut. lalu pada tahap ketiga, sinyal tersebut

dikembalikan ke bumi dan diterima oleh beberapa stasiun yang ada di bumi.

Gambar 2.2 merupakan komponen link satelit [5].

Gambar 2.2 Komponen link satelit [5].

9

Berikut adalah komponen – komponen dalam blok cara kerja satelit.

a. Endocer merupakan alat yang berfungsi mengolah sinyal analog kedalam

bentuk sinyal digital dengan sistem Pulse Code Modulation (PCM).

b. Modulator adalah alat yang berfungsi untuk modulasi, dengan modulasi

berarti sinyal informasi ditumpangkan pada sinyal pembawa yang memiliki

frekuensi lebih tinggi sehingga dapat mencapat jarak yang lebih jauh.

Masukan pada modulator adalah sinyal pita dasar yang akan memodulasi

pembawa Intermediate Frequency (IF).

c. Up Converter merupakan perangkat yang berfungsi untuk mengubah sinyal

Intermediate Frequency (IF) menjadi sinyal Radio Frequency (RF).

d. High Power Amplifier (HPA) merupakan sub-sistem penguat daya, HPA /

Penguat daya tinggi adalah suatu perangkat yang berfungsi sebagai penguat

sinyal frekuensi tinggi (RF) yang dipancarkan agar dapat diterima satelit.

Posisi satelit berada pada -+36000 KM dari permukaan bumi, tegak lurus,

stasiun bumi ke satelit lebih jauh lagi, sehingga sinyal yang dipancarkan

dari bumi akan tiba pada satelit dengan arah yang rendah. Oleh karena itu

sebelum ditransmisikan ke satelit diperlukan perangkat penguat sinyal.

e. Decoder adalah alat yang memiliki fungsi berlawanan dengan encoder,

yaitu mengubah sinyal digital menjadi analog dengan Pulse Code

Modulation (PCM) [5].

2.2.4 Tipe Orbit

Orbit adalah sebuah tempat untuk meletakan satelit yang berlokasi pada titik

tertentu. Terdapat tiga macam orbit yang terdapat di luar angkasa yaitu :

a. Orbit polar

Satelit yang berada pada orbit polar ini memiliki coverege area yang luas

serta satelit pada orbit ini akan melintasi daerah kutub utara dan kutub

selatan beberapa kali dalam satu hari, oleh sebab itu satelit orbit polar

memiliki kemiringan 90 derajat ke khatulistiwa (jenis orbit ini memiliki

inklinasi atau penyimpangan sebesar 90 derajat dari orbit geostationer).

Orbit polar ada dua macam yaitu orbit polar sun-synchronous dan orbit

polar circular. Orbit polar sun-synchronous biasanya digunakan untuk

tujuan observasi bumi seperti pengamatan cuaca, sumber alam, dan sebagai

10

satelit mata-mata. Sedangkan orbit polar circular banyak digunakan untuk

tujuan komunikasi. Satelit – satelit yang berorbit polar berada pada

ketinggian ± 200 km – 2000 km (berorbit rendah) [6].

Gambar 2.3 Orbit Polar [6]

b. Orbit stationer

Orbit stationer merupakan sebuah orbit yang menempatkan satelit untuk

tetap berada pada posisinya mengacu pada sebuah titik atau lokasi. Satelit

yang berorbit pada stasioner memiliki kecepatan yang sama dengan

kecepatan bumi berputar, satelit orbit ini berada pada ketinggian 36.000 km.

Satelit komunikasi milik Negara Indonesia yang berorbit pada stasioner

adalah satelit seri palapa. Terdapat tiga jenis satelit berdasarkan

ketinggiannya yang termasuk kedalam orbit stationer, yaitu :

1. Low Earth Orbit (LEO)

Satelit ini mengorbit pada ketinggian ± 500 – 1500 km, satelit ini

digunakan untuk remote Sensing dan peramalan cuaca karena jarak

mereka dengan permukaan bumi yang tidak terlalu jauh. Selain itu

satelit yang mengorbit di LEO digunakan untuk komunikasi suara

karena memiliki delay propagasi yang kecil.

2. Medium Earth Orbit (MEO)

Satelit ini mengorbit pada ketinggian ± 9000 – 20.000 km. Satelit ini

memiliki delay propagasi lebih besar dibanding LEO namun untuk

coverage area, satelit MEO mempunyai wilayah coverage area lebih

besar dari LEO.

11

3. Geostasionery Earth Orbit (GEO)

Orbit geostationary adalah orbit sinkron yang paling banyak digunakan,

periode rotasinya sama seperti bumi yaitu 23 jam dan 56 menit. Satelit

yang berada di orbit geostationary periode rotasi dan revolusinya akan

sama seperti bumi sehingga bagi seorang pengamat di bumi satelit

tersebut akan tampak diam. Satelit ini mengorbit pada ketinggian ±

36.000 km, delay propagasi pada orbit ini lebih besar dibandingkan LEO

dan MEO karena letaknya yang sangat jauh dari bumi. Untuk mengikuti

jejak sebuah satelit geostationery relatif mudah karena satelit terus

menerus tampak dari dalam daerah pelayanan di bumi [6].

Gambar 2.4 Tipe orbit berdasarkan ketinggiannya [6]

c. Orbit eliptical

Orbit eliptical adalah garis edar satelit yang berbentuk elips terhadap bumi.

Dengan bentuk orbit elips tersebut maka menghasilkan suatu jarak yang

tidak sama pada setiap posisi dengan permukaan bumi, pada satelit yang

berorbit eliptical maka akan terjadi satu posisi terjauh dari permukaan bumi

dan satu posisi terdekat dengan permukaan bumi. Posisi terjauh dari

permukaan bumi disebut posisi apogee sedangkan posisi yang terdekat

dengan permukaan bumi dinamakan posisi perigee. Satelit yang berorbit di

eliptical berada pada ketinggian 50.000 km, dan jenis satelit yang berorbit

ditujukan untuk keperluan komunikasi intelejen dan peringatan dini (early

warning system) yang dapat melaporkan percobaan – percobaan senjata

nuklir [6].

12

Gambar 2.5 Orbit Eliptical [6]

2.2.5 Sun Outage

Sun outage merupakan sebuah peristiwa saat satelit berada di tengah antara

bumi dan matahari. Dengan posisi ini, maka satelit menempati jarak terdekat

dengan matahari sehingga menyebabkan perangkat space segment mengalami

panas yang meningkat secara drastis dan menyebabkan berkurangnya kinerja dari

satelit itu sendiri [7].

Gambar 2.6 Ilustrasi gerhana satelit (sun outage) [7]

Sun Outage biasanya terjadi pada satelit buatan yang mengorbit bumi pada

orbit geostasionery yang tepat berada pada garis ekuator atau khatulistiwa

(ketinggian 36.000 kilometer). Peristiwa sun outage adalah saat bumi – satelit –

matahari berada dalam satu garis sejajar, dimana terpengaruh oleh outage angel.

Nilai outage angel dapat diketahui dengan persamaan berikut :

13

Outage angel =

+ 0,25° [7]

Sun outage adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari. Satelit geostasionary

secara tetap akan mengalami dua kali Sun Outage setiap tahunnya. Hal ini dapat

menggagu sistem komunikasi satelit karena energi thermal yang dipancarkan

matahari pada saat Sun Outage mengakibatkan interferensi sesaat pada semua

sinyal satelit, termasuk gelombang mikro frekuensi yang digunakan untuk

berkomunikasi dengan satelit (C-band, Ku band, dan Ka band), sehingga

satelit mengalami kehilangan komunikasi dengan stasiun bumi [7].

2.2.6 Penerapan Sistem Komunikasi Satelit pada TV

Salah satu penerapan sistem komunikasi satelit adalah sebagai media

transmisi siaran TV di Indonesia. Hal ini terjadi karena siskomsat dianggap cocok

sebagai media transmisi TV dengan kelebihannya yaitu area cakupan yang luas.

Satelit dalam hal ini berfungsi mengirimkan sinyal dari stasiun uplink ke

downlink. stasiun uplink mengirimkan sinyal informasi ke satelit yang kemudian

diteruskan ke stasiun transmisi daerah untuk kemudian dipancarkan ke pelanggan

secara terrestrial [8].

Gambar 2.7 Ilustrasi Sistem Komunikasi Televisi (TV) [8]

Agar stasiun bumi yang berada di daerah dapat menerima sinyal informasi dari

satelit maka dibutuhkan IRD ( Integrated receiver decoder ). Untuk kebutuhan

14

broadcasting di daerah dibutuhkan receiver profesional agar informasi yang

diterima memiliki kualitas yang baik sehingga saat diteruskan ke pelanggan

kualitas dari informasi tetap dalam kondisi baik [8].

2.2.7 Parameter receiver ericsson RX8200

Pada stasiun transmisi NET TV Banyumas menggunakan receiver Sony

Ericsson RX 8200.

Gambar 2.8 Receiver Sony Ericsson RX 8200 [9]

Gambar 2.8 adalah receiver Ericsson RX8200 memiliki fungsi untuk

mengubah sinyal satelit yang diterima oleh LNB (Low Noise Block) sehingga

bisa ditampilkan menjadi audio dan video melalui media televisi. Teknologi

satelit ini memiliki keunggulan utamanya yaitu siaran televisi dapat diterima

oleh seluruh pelosok Negeri yang menjadi cakupan area satelit, baik desa

maupun perbatasan yang jauh dari jangkauan sinyal UHF atau VHF. Downlink

dari satelit menggunakan teknologi transmisi digital, sehingga apabila

mendapatkan suatu sinyal televisi akan jernih tidak bersemut berbeda dengan

siaran televisi analog yang bersemut jika sinyal yang didapatkan lemah.

Receiver RX8200 ini memiliki parameter utamanya yaitu pada indikator LED

lamp di bagian depan. Masing – masing warna mendefinisikan kondisi dari

suatu downlink.

Terdapat tiga warna yang menyala pada receiver ini, masing masing warna

mendefinisikan kondisi dari downlink satelit untuk lebih jelasnya lihat Tabel

2.3 berikut [9]. Ketiga warna di bawah sangat berpengaruh terhadap kualitas

siaran televisi, warna merah menandakan tidak ada koneksi atau lost, maka

siaran pada televisi akan hilang total. Warna orange adalah status receiver

pada kondisi major, yaitu masih berada pada channel yang dituju namun

masih terdapat error maka berpengaruh terhadap siaran telvisi yaitu tidak

adanya audio dan video yang ditampilkan. Warna hijau atau no error adalah

status receiver dalam kondisi yang normal dan siaran televisi dalam kondisi

15

yang stabil, audio dan video yang dikeluarakan dari receiver ini dalam kondisi

yang normal [9].

Table 2.3 Indikator warna pada receiver Sony Ericsson RX 8200 [9]

Indikator Warna Keterangan

Hijau (no error) Kondisi ini mengidentifikasikan bahwa

receiver pada channel yang dituju dan

berfungsi sesuai pengaturan yang

dibuat.

Orange (major or minor error) Kondisi ini mengidentifikasi bahwa

receiver berada pada saluran channel

yang dituju namun terdapat kondisi

error yang terdeteksi pada settingan

receiver ini.

Merah (critical error) Kondisi ini mengidentifikasikan bahwa

receiver hilang dari channel yang

dituju.

2.2.7.1 Tampilan setting parameter receiver Sony ericsson RX 8200

Gambar 2.9 Menu Input Receiver Sony Ericsson Rx8200 [9]

16

Gambar 2.5 merupakan tampilan utama untuk setting parameter siaran

televisi yang dituju. Untuk mendapatkan dari frekuensi, polaritas dan symbol rate

dari suatu channel televisi maka dapat mendapatkannya melalui situs

www.lyngsat.com. Berikut adalah keterangan – keterangan dari menu input

receiver Sony Ericsson RX 8200.

a. LNB LO Frequency adalah menu yang digunakan untuk memasukan

frekuensi kerja channel televisi

b. Satellite Frequency merupakan menu yang digunakan untuk memasukan

frequency satelit

c. Symbol Rate merupakan menu yang digunakan untuk memasukan informasi

symbol rate dari suatu channel televisi.

d. Search Mode merupakan menu Search Mode yang digunakan yaitu bisa

auto dan manual

e. LNB Power merupakan menu LNB Power untuk memilih tegangan yang

dikeluarkan oleh receiver menuju LNB yaitu 13V dan 18 V. Tegangan 13V

digunakan untuk polatiras Vertical dan 18 V digunakan untuk polaritas

Horisontal [9].

Gambar 2.10 Parameter receiver ericsson RX8200 [9].

Gambar 2.10 adalah parameter receiver ericsson RX8200 yang digunakan,

hasil parameter ini akan keluar jika sudah menekan menu apply changes.

Parameternya adalah :

a. RF Selection adalah Pilihan dari menu RF yang dipilih dan di dalamnya

terdapat settingan menu yang sudah kita atur sebelumnya.

17

b. Lock Status adalah menu yang menunjukan sedang berada pada channel

saluran televisi.

c. Sinyal Level Estimates adalah menu yang menunjukan estimasi level sinyal

yang diterima.

d. BER (Bit Error Ratio) merupakan sejumlah bit digital bernilai tinggi pada

jaringan transmisi yang ditafsirkan sebagai keadaan rendah atau sebaliknya,

kemudian dibagi dengan sejumlah bit yang diterima atau dikirim atau

diproses selama beberapa periode yang telah ditetapkan. Jumlah bit error

(kesalahan bit) adalah jumlah bit yang diterima dari suatu aliran data

melalui jalur komunikasi yang telah berubah karena gangguan (noise),

interferensi, distorsi, atau kesalahan sinkronisasi bit.

e. C/N (Carrier to noise ratio) adalah perbandingan antara level power sinyal

pemodulasi dengan sinyal noise yang diterima pada perangkat penerimaan.

Pengukuran C/N ini biasanya dilakukan pada tingkat IF (Intermediate

Frequency) sebelum sinyal masuk ke demodulator untuk menunjukkan

kualitas sinyal pemodulasi yang sampai pada penerima.

f. C/N margin yakni semakin tinggi nilai margin yang dihasilkan oleh receiver

maka akan semakin baik kualitas audio video yang diterima.

g. Modulation Format yang digunakan pada receiver yaitu QPSK [9].

Gambar 2.11 Tampilan utama receiver Sony Ericsson RX8200

Gambar 2.11 menunjukan level C/N dan margin yang dihasilkan dengan

downlink satelit Telkom-1 Nilai margin dan C/N ini akan naik turun sesuai

dengan kondisi cuaca pada saat itu dan power RF yang diterima LNB dari satelit

Telkom-1 [9].

2.2.8 Jenis – Jenis Modulasi Digital

Modulasi merupakan sebuah proses perubahan suatu gelombang periodik

sehingga menjadikan sebuah sinyal mampu membawa suatu informasi. Dengan

proses modulasi suatu informasi bisa dimasukan kedalam sebuah gelombang

pembawa, biasanya berupa gelombang sinus berfrekuensi tinggi. Terdapat tiga

18

parameter kunci pada suatu gelombang sinusoidal yaitu amplitude, fasa, dan

frekuensi.

a. Amplitude Shift Keying (ASK) yaitu metode pengiriman sinyal berdasarkan

pergeseran amplitude dengan cara mengubah-ubah amplitudenya. Keuntungan

yang diperoleh dari metode ini adalah bit rate (kecepatan digital) lebih besar,

sedangkan kekurangannya adalah sulit dalam menentukan level acuan yang

dimiliki yakni setiap sinyal yang diteruskan melalui saluran transmisi jarak

jauh selalu dipengaruhi oleh redaman dan distorsi lainnya. Oleh karena itu

metode ASK hanya digunakan untuk komunikasi jarak dekat saja [10].

b. Frequency Shift Keying (FSK) yaitu metode pengiriman sinyal melalui

pergeseran frekuensi, metode ini merupakan suatu bentuk modulasi yang

memungkinkan gelombang modulasi menggeser frekuensi output gelombang

pembawa. FSK merupakan metode modulasi yang sering digunakan, dalam

prosesnya gelombang pembawa digeser keatas dan kebawah untuk

memperoleh bit 1 dan bit 0. Kondisi ini masing-masing disebut space dan

mark. Tipe modulasi ini biasanya digunakan untuk komunikasi data dengan bit

rate yang rendah [10].

c. Phasa Shift Keying (PSK) yaitu metode pengiriman sinyal melalui pergeseran

fase. Dalam proses modulasi ini fase dari frekuensi gelombang pembawa

berubah-ubah sesuai dengan perubahan status sinyal informasi digital. Sudut

fase harus mempunyai acuan kepada pemancar dan penerima, untuk

memperoleh stabilitas frekuensi perlu suatu teknik yang kohern dengan PSK

yang berbeda-beda. Tipe modulasi ini biasanya digunakan untuk transmisi data

dengan kecepatan tinggi. Ada dua jenis modulasi PSK yaitu BPSK dan QPSK.

1. BPSK adalah bentuk sederhana dari PSK. BPSK menggunakan dua

tahap yang dipisahkan sebesar 180 derajat yang sering disebut 2-PSK.

Modulasi ini hanya mampu memodulasi 1bit/simbol dan dengan

demikian makan modulasi ini tidak cocok untuk aplikasi data-rate yang

tinggi bandwidthnya dibatasi.

2. QPSK atau biasa disebut quartennary atau quardriphase PSK atau 4-

PSK. QPSK menggunakan empat titik pada diagram konstilasi, terletak

pada sekitar suatu lingkaran. Dengan empat tahap QPSK dapat

mengdekode dua bit per simbol. Hal ini berarti dua kali dari BPSK.

Analisis menunjukan bahwa ini mungkin digunakan untuk

19

menggandakan data rate jika dibandingkan dengan sistem BPSK.

Walaupun QPSK dapat dipandang sebagai suatu modulasi quarternary,

lebih mudah untuk melihatnya sebagai dua quadrature carriers yang

termodulasi tersendiri [10].

2.2.9 Parameter Link Budget

Perhitungan link budget merupakan perhitungan level daya yang dilakukan

untuk memastikan bahwa level daya penerimaan lebih besar atau sama dengan

level daya yang dikirimkan. Tujuannya untuk menjaga keseimbangan gain dan

loss dari antena pemancar (Tx) ke antena penerima (Rx).

2.2.9.1 Link Intermediete Data Rate (IDR)

Link IDR ini merupakan perhitungan parameter-parameter data carrier (info rate).

Data rate ( R ) = info rate (IR) + over head…………………….(2.1)

Untuk mengetahui besarnya transmission rate dapat dihitung berdasarkan

persamaan 2.2

Transmission rate (Tr) =

……………………………..……(2.2)

Tr = laju transmisi (bps)

R = laju data (bps)

FEC = forward error correction dengan nilai = ½, 2/3, ¾, 5/6, 7/8

Untuk mengetahui besarnya symbol rate dapat dihitung dengan persamaan 2.3

berikut.

Symbol rate =

……………………………………………….(2.3)

Dengan :

n (indeks modulasi) = 1 (BPSK) ; 2 (QPSK); 3 (8PSK) ; 4 (16QAM)

Sedangkan untuk mengetahui besarnya bandwidth yang dipakai dapat dihitung

berdasarkan persamaan 2.4.

Bandwidth = (1+α)

…..……………………………………..(2.4)

B = bandwidth (Khz)

20

n = indeks modulasi

α = suatu ketetapan (roll faktor) dengan nilai α = 0,2 (BW occupied)

dan α = 0,4 (BW allocated)

2.2.9.2 Penguatan antena stasiun bumi (Gant)

Penguatan antena stasiun bumi dipengaruhi oleh 3 komponen utama yaitu besar

frekuensi uplink atau downlink (f), diameter antena (D), dan efisiensi antena (η).

Berdasarkan 3 komponen tersebut maka dapat dihitung nilai penguatan antena nya

(G) dengan menggunakan persamaan 2.5 berikut.

Gant = 20,4 + 20 log f (Ghz)+ 20 log D (m)+ 10 log η …………(2.5)

Gant = penguatan antena pemancar atau penerima (dB)

f = frekuensi uplink atau downlink (Ghz)

D = diameter antena pemancar atau penerima (m)

η = efisiensi antena pemancar atau penerima (%)

2.2.9.3 Effective Isotropic Radiated Power (EIRP)

Effective Isotropic Radiated Power (EIRP) merupakan besarnya daya suatu

carrier yang dipancarkan oleh suatu antena, satuannya dinyatakan dalam dB Watt.

Nilai EIRP merupakan total penguatan antena (G) dengan daya pancar (P). EIRP

dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.6 :

EIRPSB = P HPA (dBw) + Gant (dB) – feed Loss (dB)………(2.6)

EIRPSB = kekuatan daya pancar stasiun bumi (dBw)

P HPA = daya pancar HPA (dBw)

Gant = penguatan antena pemancar (dB)

Feed loss = rugi – rugi feeder (dB)

2.2.9.4 Redaman propagasi

Redaman propagasi terjadi akibat penggunaan media transmisi berupa udara

(atmosfer) dan melalui ruang hampa (diluar angkasa). Redaman ini menyebabkan

menurunnya kekuatan dan kualitas sinyal. Redaman propagasi terdiri atas:

a. Redaman ruang bebas (free space loss)

21

Redaman ruang bebas muncul akibat perambatan sinyal dari pemancar ke

penerima melalui ruang hampa pada komunikasi satelit. Free space loss

(FSL) dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.7 berikut.

FSL = 32,5 + 20 log f(Mhz) + 20 log R(Km)………………….(2.7)

FSL = rugi –rugi ruang bebas (dB)

f = frekuensi uplink atau downlink (Ghz)

R = jarak antara stasiun bumi ke satelit (km)

Besar nilai FSL berkisar antara 196 sampai 200 dB.

b. Redaman hujan (rain attenuation)

Redaman hujan mengakibatkan menurunnya daya terima serta

meningkatnya noise dari sistem penerima. Perhitungan redaman hujan

dipengaruhi oleh frekuensi yang digunakan, curah hujan, dan jarak

lintasan propagasi yang dilalui hujan. Prosedur untuk menghitung redaman

hujan adalah sebagai berikut:

1. Menentukan ketinggian hujan efektif (hg) dapat diketahui berdasarkan

posisi derajat lintang selatan (LS), dan parameternya dibagi menjadi

dua bagian. Nilai hg dapat dihitung dengan menggunakan persamaan

2.8 berikut.

4 0o < θ < 36

o

hg = θ ≥ 36o …..…………………….(2.8)

4 – 0,075 (θ-36o)

hs = posisi SB terhadap ketinggian permukaan laut (km)

hg = ketinggian hujan (km)

θ = posisi lintang SB (oLS)

2. Menghitung panjang slant path yang terpengaruh hujan (Ls) dapat

menggunakan persamaan 2.9 dan 2.10.

Ls =

[

]

untuk El ≤ 5o ……………….(2.9)

Ls =

untuk El ≥ 5

o ……………….(2.10)

Ls = panjang slant path (km)

Rb = jari – jari bumi = 42.164 km

El = elevasi SB

3. Menghitung proyeksi horizontal panjang slant path yang terpengaruh

hujan (LG) dengan menggunakan persamaan 2.11.

22

LG = Ls cos El …………………………………………………(2.11)

LG = panjang slant path yang terpengaruh hujan (km)

4. Menentukan intensitas laju curah hujan (rain intensity) untuk

presentase 0,01% (r0,01) sesuai lokasi stasiun bumi.

5. Menghitung faktor reduksi (r0,01) redaman hujan dengan persamaan

2.12.

r0,01 =

……………………………………………….(2.12)

r0,01 = faktor reduksi

6. Menghitung koefisien regresi redaman hujan spesifik A dan B

berdasarkan tabel 2.3 dengan menggunakan persamaan 2.13 dan 2.14.

A=

……………………………….(2.13)

B= ( )

……….……..(2.14)

A dan B = koefisien regresi redaman hujan spesifik

Ʈ untuk polarisasi vertical = 90o

Ʈ untuk polarisasi horizontal = 0o

Ʈ untuk polarisasi circular = 45o

Berikut adalah tabel 2.3 untuk koefisien rain rate

Tabel 2.4 Koefisien Rain rate

KOEFISIEN RAIN RATE

Frek

(Ghz)

Ah Av Bh Bv

2 0,000154 0,000138 0,963 0,923

4 0,00065 0,000591 1,121 1,075

6 0,00175 0,00155 1,308 1,265

7 0,00301 0,00265 1,332 1,312

8 0,00454 0,00395 1,327 1,31

9 0,0101 0,00887 1,276 1,264

12 0,0188 0,0168 1,217 1,2

15 0,0367 0,0355 1,154 1,128

20 0,0751 0,691 1,099 1,065

23

Setelah faktor – faktor yang mempengaaruhi nilai redaman hujan

diketahui maka nilai redaman hujan bisa diketahui dengan

menggunakan persamaan 2.15.

LRA = A x x Ls x f0,01 …………………………………(2.15)

Dengan :

LRA = redaman hujan (dB)

c. Redaman atmosfer (atmosfer attenuation)

Gelombang elektromagnetik akan mengalami redaman dan degradasi daya

pada saat melewati atmosfer bumi yang disebabkan oleh penyerapan dan

penghamburan oleh partikel-partikel atmosfer bumi. Redaman akan

semakin besar apabila frekuensi pembawa diperbesar hingga panjangnya

mendekati ukuran partikel. Besarnya atmosfer attenuation berkisar antara

0,02 dB.

d. Pointing loss

Pointing loss pada stasiun bumi merupakan sudut antara sumbu sorotan

utama (main beam) antena dengan arah satelit sebenarnya. Pointing loss

ini dapat menyebabkan adanya penurunan gain antena kearah satelit.

Semakin besar pointing loss maka gain antena semakin berkurang.

Pointing loss dipengaruhi oleh diameter antena dan besarnya frekuensi

yang digunakan. Untuk menghitung pointing loss dapat menggunakan

persamaan 2.16.

Lpointing = 12 [

………………………………………(2.16)

Lpointing = rugi – rugi pointing

D = diameter antena transmite atau receive (m)

F = frekuensi transmite atau receive (Ghz)

Setelah faktor – fakor yang mempengaruhi nilai redaman propagasi

diketahui, maka nilai redaman propaasi bisa diketahui dengan

menggunakan persamaan 2.17 berikut.

Lpropagasi = FSL + LRA + LATM + Lpointing

Dengan :

FSL = rugi – rugi ruang bebas (dB)

LRA = redaman hujan (dB)

24

LATM = redaman atmosfer (dB)

Lpointing = rugi-rugi pointing (dB)

2.2.9.5 PFD, SFD, dan PAD

Power flux density (PFD) adalah daya yang menunjukan seberapa besar

daya yang dipancarkan oleh suatu terminal dari bumi dapat diterima

oleh satelit. PDF dapat dihitung dengan persamaan 2.18.

PFD = EIRP – 162,12 +LRA +LATM …………………………(2.18)

PFD = rapat fluks daya (dBw/m2)

Saturnated flux density (SFD) merupakan rapat daya sinyal dalam

dBw/m2 yang diterima suatu satelit agar cukup untuk mensaturnasi

penguatan daya besar pada EIRP maksimum. Untuk mengatur nilai

SFD maka pada tiap transponder terdapat programmable attenuation

device (PAD) yang berfungsi sebagai komponen peredam sinyal.

2.2.9.6 Input back-off (IBO) dan output back-off (OBO)

Input back off (IBO) merupakan penurunan daya masukan dibawah

daya masukan jenuh yang diperlukan untuk membuat transponder

menjadi jenuh. Output back off (OBO) merupakan penurunan daya

keluaran dibawah daya keluaran jenuh. IBO dan OBO bisa dijadikan

acuan yang menunjukan penempatan titik kerja dibawah titik saturnasi,

yang masih berada pada kelinieran daerah kerja dari penguat

transponder satelit.

IBOcxr atau OBOcxr merupakan IBO atau OBO dari setiap carrier

pada saat amplifier dibebani dalam kondisi multi carrier. IBOcxr atau

OBOcxr dapat dihitung dengan menggunakan persamaan 2.19 dan 2.20

berikut.

IBOcxr = SFD + PAD – PFD ……………………………….(2.19)

OBOcxr = IBOcxr – (IBOagg – OBO agg) …………………(2.20)

IBOcxr = input back off per carrier (dB)

OBOcxr = output back off per carrier (dB)

Setelah IBO dan OBO diketahui, maka nilai EIRP satelit dapat

diketahui dengan menggunakan persamaan 2.21.

25

EIRPsat = EIRPsaturnasi - OBOcxr……………………………….(2.21)

2.2.9.7 Figure of merit (G/T)

G/T merupakan perbandingan antara penguatan penerimaan antena

dengan noise temperature. G/T dapat dihitung dengan menggunakan

persamaan 2.22.

G/T = GR – 10.log Ts…………………………………………(2.22)

G/T = gain to temperature (dB)

GR = penguatan antena penerima maksimum (dB)

Ts = temperature system (K)

Untuk mengetahui nilai GR dapat menggunakan persamaan 2.23.

GR = Gant – feed loss …………………………………………..(2.23)

Untuk mengetahui nilai Ts, maka terlebih dahulu mengetahui nilai

Tin oleh karena itu dapat menggunakan persamaan 2.24 berikut.

Tin =

…………………………………….(2.24)

2.2.9.8 Carrier To Noise Ratio (C/N)

Carrier to noise ratio (C/N) uplink merupakan nilai perbandingan antara

carrier yang diterima dengan sinyal noise yang dihasilkan dalam suatu link.

Terdapat 2 buah jenis C/N yaitu C/N uplink dan C/N downlink yang

dituliskan dalam persamaan 2.25 dan persamaan 2.26.

C/Nuplink = EIRPSB - LpropagasiTx + G/Tsatelit – k – B ……………(2.25)

C/Ndownlink = EIRPSB - LpropagasiRx + G/TsatelitSB – k – B ……….(2.26)

C/N = carrier to noise (dB)

K = konstanta Boltzman (1,38 x 1023 J/K = -228,6 dBw Hz/K)

B = badwidth occupied (Hz)

Setelah mengetahui nilai C/N uplink dan downlink maka untuk mengetahui

sinyal secara keseluruhan harus menghitung C/N total. Untuk mencari C/N

total dapat menggunakan persamaan 2.27 berikut.

= ((

up + (

down + (

…………………(2.27)

26

Agar komunikasi dapat berlangsung maka yang ditransmisikan harus berada

di atas ambang. Perbedaan dalam dB anatara ambang (minimum) dengan

yang diharapkan disebut link margin. Untuk mencari link margin dapat

menggunakan persamaan 2.28.

Link margin = C/N total – C/N required ………………………(2.28)

Untuk mengetahui nilai C/N required dapat menggunakan persamaan 2.29

berikut.

C/N required = Eb/Norequired + 10 log

……………………..(2.29)

Link margin = batasan carrier minimal (dB)

C/N required = carrier to noise required (dB)

Eb/No = energi per bit to noise density ratio (dB)

2.2.10 European Standart (Telecommunication Series)

Untuk standart nilai Eb/Norequired pada sistem DVBS MPEG-2 ada beberapa

standart yang harus dipatuhi, Tabel 2.5 berikut merupakan standart Eropa untuk

seri telekomunikasi EN 300 421 V1.1.2 dalam menentukan nilai Eb/Norequired [12].

Tabel 2.5 Standart Eb/Norequired [12]

Inner Code Rate Required Eb/No for BER = 2x10-4

After

Viterbi WEF after Reed-Solomon

1/2 4,5

2/3 5,0

3/4 5,5

5/6 6,0

7/8 6,4


Recommended