Date post: | 25-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | englishunesa |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap individu pastinya ingin terlahir secara
sempurna, baik fisik maupun jiwa. Namun, keinginan
manusia hanya sekedar keinginan dan hanya Tuhanlah
yang bisa menentukannya. Tuhan menciptakan manusia
dengan kesempurnaan yang maha sempurna. Meskipun
fisik tidak memadai namun akal mereka diberi hal
yang luar biasa. Banyak hal yang buat manusia itu
merasa rendah diri, hal tersebut dikarenakan fisik
mereka yang sangatlah terbatas. Salah satunya adalah
kelainan dalam pendengaran atau tunarungu.
Pendengaran sangatlah vital dalam kehidupan
manusia. Semua orang butuh mendengar supaya
informasi yang diberikan orang lain mampu mereka
terima dengan baik untuk menjalankan kehidupan
mereka. Anak dengan masalah tunarungu dapat
disebabkan oleh beberapa macam hal, baik ditinjau
dari faktor prenatal, natal, dan post natal. Dengan
keadaaan yang seperti ini kita sebagai calon guru
masa depan diharapkan mampu untuk memahami
karakteristik mereka yang berbeda dengan anak normal
pada kehidupan ini. Dengan kita mengetahui
karakteristiknya maka kita akan tau bagaimana cara
1
pembelajaran yang tepat bagi mereka. Pembelajarana
yang sebaiknya diterima oleh anak tunarungu
sangatlah diharapkan bagi mereka supaya mereka mapu
menempuh pendidikan yang sama dengan anak tunarungu.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil
rumusan masalah sebagai berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan anak tunarungu ?
2. Bagaimana klasifikasi anak tunarungu ?
3. Apakah penyebab terjadinya anak dengan tunarungu ?
4. Bagaimana karakteristik anak dengan tunarungu ?
5. Bagaimana pembelajaran yang tepat bagi anak
tunarungu ?
C. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah anak tunarungu
ini adalah sebagai berikut :
1. Memenuhi tugas Matakuliah Orthopedagogik
2. Menjelaskan definisi anak tunarungu
3. Menyebutkan klasifikasi anak tunarungu
4. Menjelaskan penyebab terjadinya anak tunarungu
5. Menjelaskan karakteristik anak dengan tunarungu
6. Menjelaskan pembelajaran yang tepat bagi anak
tunarungu
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Tunarungu
Banyak istilah yang dikenal untuk anak yang mengalami
kelainan pendengaran, misalnya tuli, bisu, tunawicara,
cacat dengar, kurang dengar, ataupun tunarungu. Istilah-
istilah dan pandangan tersebut tidak semuanya benar,
sebab pengertiannya tidak menggambarkan keadaan yang
sebenarnya. Istilah yang lazim digunakan dalam dunia
pendidikan khususnya pendidikan luar biasa adalah
tunarungu. Istilah tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan
“Rungu”. Tuna artinya kurang dan Rungu artinya
pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila
ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar
suara. Sedangkan orang tuli adalah seseorang yang
kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses
informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai
ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan
seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang
biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa
pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses
informasi bahasa melalui pendengaran.
Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di
Bandung (1988) mengemukakan ”Tunarungu dapat diartikan sebagai
suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang
4
tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera
pendengaran”. Menurut Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku
psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah
mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian
rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan
komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum
mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar
yang disebakan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya
sebagian atau seluruh organ pendengaran yang
mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga
memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1). Ahli
lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau
dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut :
“Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan
mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat
pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam
perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan
pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8)
Dari beberapa batasan yang dikemukakan oleh para ahli
tentang pengertian anak tunarungu, maka dapat disimpulkan
bahwa pengertian tunarungu adalah seseorang yang
mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar
baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena
5
tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat
pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat
pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa
dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.
Ketidakmampuan bicara pada anak tunarungu merupakan ciri
khas yang membuatnya berbeda dengan anak normal. anak
tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya mengalami
kesulitan untuk memahami bahasa yang diucapkan oleh orang
lain., dan karena mereka tidak dapat mengerti bahasa
secara lisan atau oral maka mereka tidak dapat bicara
jika mereka tidak dilatih bicara. Yang dapat memungkinkan
anak tunarungu dapat berbicara dan merupakan faktor
mendasar ialah pengenalan terhadap apa yang bisa
memungkinkan belajar berbicara dari orang
disekelilingnya. Mereka harus mengerti bahasa yang
diucapkan oleh orang lain. Mereka juga tahu jika
berbicara adalah hal yang sangat berguna dalam
kehidupannya walaupun hal tersebut memerlukan latihan
dalam waktu yang cukup lama. Untuk itu para pendidik
perlu memberikan pengertian kepada orangtua bahwa anak
tunarungu perlu mengerti dulu bahasa sebelum mereka
belajar berbicara.
Anak yang normal pendengarannya memahami bahasa melalui
pendengarannya dalam waktu berbulan-bulan sebelum mereka
mulai berbicara. Orang yang mendengar pun memerlukan
6
waktu untuk mengerti bicara orang lain. Apalagi anak
tunarungu untuk memahami bahasa tidak selancar anak
mendengar, dan untuk memahami bicara harus melalui
tahapan-tahapan latihan tertentu. Akibat kurang
berfungsinya pendengaran, anak tunarugu mengalihkan
pengamatannya kepada mata, maka anak tunarungu disebut
sebagai “Insan Pemata”. Melalui mata anak tunarungu
memahami bahasa lisan atau oral, selain melihat gerakan
dan ekspresi wajah lawan bicaranya mata anak tunarungu
juga digunakan untuk membaca gerak bibir orang yang
berbicara. Pada anak mendengar hal tersebut tidak terlalu
penting, tetapi pada anak tunarungu untuk dapat memahami
bahasa sangatlah penting. Dengan alasan tersebut anak
tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu. Berapa banyak
waktu yang dibutuhkan oleh anak tunarungu untuk belajar
memahami bahasa orang lain dan untuk belajar berbicara.
Hal ini tergantug kepada kemampuan masing-masing individu
serta bantuan dari orang-orang disekelilingnya.
Kelainan pendengaran atau ketunarunguan secara fisik
tidak terlihat dengan jelas jika dibandingkan dengan
tunanetra dan tunadaksa. Hal ini kadang-kadang
menguntungkan tetapi kadang-kadang teka-teki bagi orang
yang tidak ada hubungannya dengan anak tunarungu,
sehingga sering kali menimbulkan sikap yang merugikan,
menyakiti atau bersikap kejam terhadap anak.
7
B.Klasifikasi Ketunarunguan
Menurut Hallahan dan Kauffman klasifikasi ketunarunguan
berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran di bagi
kedalam dua kelompok besar yaitu tuli (deaf) dan kurang
dengar (hard of hearing).
Klasifikasi lain dikemukakan oleh Streng yang dikutip
Somad dan Hernawati ( 1997 : 28-31 ) sebagai berikut:
a. Mild Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-
30 dB yang memiliki ciri- ciri :
Sukar mendengar percakapan yang lemah.
Menuntut sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah
tentang kesulitannya.
Perlu latihan membaca ujaran dan perlu diperhatikan
perkembangan penguasaan perbendaharaan kata.
b. Marginal Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-
30 dB yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter.
Mereka sulit menangkap percakapan dengan pendengaran
pada jarak normal dan kadang-kadang mereka mendapat
kesulitan dan menangkap percakapan kelompok.
Mereka akan sedikit mengalami kelainan bicara dan
perbendaharaan kata yang terbatas.
Kebutuhan dalam program pendidikan antara lain
belajar membaca, penggunaan alat bantu dengar,
8
latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian
dalam perkembangan perbendaharaan kata.
c. Moderat loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 40-60
dB yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
Mereka mengerti percakapan keras pada jarak satu
meter.
Perbendaharaan kata terbatas
d. Severa loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 60-
70 dB. Memiliki ciri-ciri :
Mereka masih biasa mendengar suara keras dari jarak
yang dekat misalnya klakson mobil dan lolongan anjing.
Mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak
tunarungu. Diperlukan latihan membaca ujaran dan
pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara
dari guru kelas khusus.
e. Profound loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 75
dB keatas. Memiliki ciri :
Mendengar suara yang keras pada jarak 1 inci (2,24
cm) atau sama sekali tidak mendengar walaupun
menggunakan alat bantu dengar.
Menurut buku pendidikan anak tuna rungu untuk sekolah
Guru Pendidikan Luar Biasa ( SGPLB ) menyebutkan, bahwa
ada klarifikasi ketuna runguan yang didasarkan
klasifikasi etiologis, klasifikasi anatomos fisiologis,
9
menurut nada yang tak dapat didengar dan menurut saat
terjadinya ketuna runguan, Depdikbud (1977:8).
1. Klasifikasi etilogis
Tuna rungu endogen adalah suatu ketunarunguan yang
diturunkan oleh orang tuanya
Tuna rungu eksogen adalah ketunarunguan yang
diakibatkan suatu penyakit atau kecelakaan.
2. Klasifikasi anatomis-fisikologis
Tuna rungu hantaran (konduksi) adalah ketunarunguan
yang disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya
alat penghantar getaran pada telinga bagian bawah.
Tuna rungu syaraf (perseptif) adalah ketunarunguan
sebagai akibat dari kerusakan atau tidak
berfungsinya alat pendengarn telinga bagian dalam.
3. Menurut nada yang tak dapat di dengar
Tuna rungu nada rendah
Tuna rungu nada tinggi
Tuna rungu total
Menurut terjadinya ketunarunguan
4. Tuna rungu yang terjadi saat dalam kandungan
(prenatal)
Ketunarunguan terjadi akibat keracunan makanan,
kekurangan gizi, pengaruh obat obatan dan infeksi
virus yang dialami pada masa triwulan pertama
menimbulkan kerusakan syaraf, dan jaringan otak.
10
5. Tuna rungu yang terjadi saat kelahiran (natal)
Segala bentuk ganguan pada saat bayi lahir seperti
Prematuresasi, pinggul sempit, lahir dengan porceps
dan berbagai kesulitan saat kelahiran dapat
menimbulkan kerusakan syaraf dan jaringan otak.
6. Tuna rungu yang terjadi saat kelahiran (post
natal)
Dapat terjadi akibat peradangan selaput otak infeknsi
telinga tengah, peradangan gendang telinga dan
sebagainya.
Kemudian di dalam buku petunjuk praktis penyelenggaraan
Sekolah Luar Biasa bagian B atau tunarungu, Depdikbud
( 1985 : 20-21 ) dibuat klasifikasi anak tuna rungu
sebagai berikut
1. Ditinjau dari tingkat kehilanagn pendengaran dalam
satuan ukuran bunyi ( deciblell/Db ) tuna rungu
dibedakan atas Mereka yang kehilangan pendengaran
90 dB atau lebih (golongan tuli). Batas 90 dB
diambil sebagi patokan karena pada tingkat
kehilanagn yang demikian si penderita tak akan mampu
lagi untuk mendengar suara sendiri. Mereka yang
kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB (golongan
kurang dengar).
2. Ditinjau dari waktu kehilangan pendengaran dibedakan
atas:
11
Tuli prabahasa yaitu kehilangan pendengaran, waktu
anak berumur kurang dari 2 tahun sebelum menguasai
bahasa.
Tuli purna bahasa yaitu kehilangan pendengaran
waktu anak berumur lebih dari 4 tahun, setelah
menguasai berbagi bahasa.
C. Penyebab Tunarungu
Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi
sebelum lahir (prenatal) ketika lahir (natal) dan sesudah
lahir (post natal). Banyak para ahli mengungkap tentang
penyebab ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan
pandang yang berbeda dalam penjabarannya.
Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan faktor-
faktor penyebab ketunarunguan anak, yaitu sebagai
berikut:
1) Faktor-Faktor Sebelum Anak Dilahirkan (Pre Natal)
a. Faktor keturunan
b. Cacat air, campak (Rubella, Gueman measles)
c. Terjadi toxaemia (keracunan darah)
d. Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
e. Kekurangan oksigen (anoxia)
f. Kelainan organ pendenganran sejak lahir
2) Faktor-Faktor Saat Anak Dilahirkan (Natal)
a. Faktor Rheus (Rh) ibu dan anak yang sejenis
12
b. Anak lahir pre mature
c. Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)
d. Proses kelahiran yang terlalu lama
3) Faktor-Faktor Sesudah Anak Dilahirkan (Past Natal)
a. Infeksi
b. Meningitis (peradangan selaput otak)
c. Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan
d. Otitis media yang kronis
Trybus (1985) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan
pada anak di Amerika Serikat yaitu :
a. Keturunan
b. Campak Jerman dari pihak ibu
c. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran
d. Radang selaput otak (meningitis)
e. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)
f. Penyakit anak-anak, radang dan luka-luka
Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya
60% penyebab dari kasus-kasus ketunarunguan pada masa
anak-anak. Meskipun sudah banyak alat-alat diagnose yang
canggih, namun masih belum dapat menentukan penyebab
ketunarunguan yang 40% lagi. Dan ternyata campak Jerman
dari pihak ibu, keturunan, komplikasi selama kehamilan
dan kelahiran adalah penyebab yang lebih banyak. Untuk
lebih jelasnya factor-faktor penyebab ketunarunguan dapat
dikelompokkan sebagai berikut :
13
1. Faktor dalam diri anak
a) Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau
kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan,
b) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Cacat
air
c) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak
Jerman (Rubella),
d) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah
atau Toxaminia.\
e) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar
f) Kekurangan oksigen (anoxia)
g) Kelainan organ pendenganran sejak lahir
2. Faktor luar diri anak
a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau
kelahiran. Misal, anak terserang Herpes Implex,
b) Meningitis atau radang selaput otak,
c) Otitis media (radang telinga bagian tengah),
d) Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan
kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.
D. Karakteristik Tunarungu
Secara sepintas ketunarunguan yang dialami oleh
seseorang tidak tampak, tidak sama dengan jenis ketunaan
yang lainnya dan merentang dari yang ringan hingga berat.
Kekurangan itu baru ketahuan ketika mereka berbicara.
14
Keterbatasan dalam berkomunikasi akan memberi dampak pada
pembentukan pribadi, sehingga bila dibandingkan dengan
anak lain mereka memiliki karakteristik tersendiri.
Diantara mereka ada yang mempergunakan bahasa isyarat,
terutama ketika berkomunikasi dalam komunitasnya, ada
juga yang mempergunakan sekaligus bahasa isyarat dan
bahasa lisan ketika berkomunikasi, biasanya mereka
mempunyai teman baik yang tuli, kurang dengar, atau yang
bisa mendengar.Menurut Somad dan Hernawati (1996:)
Karakteristik tunarungu dapat dilihat dari segi
intelegensi, bahasa dan bicara, emosi dan sosial. Namun
pada umumnya prestasi akademik juga dapat mempengaruhi.
a. Karakteristik dari segi intelegensi
Pada dasarnya kemampuan intelektual murid tunarungu
sama dengan murid normal. Murid tunarungu ada yang
memiliki intelegensi tinggi, rata-rata dan rendah,
akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat
dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka murid
tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah
disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Berbagai
hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan
intelektual tunarungu lebih kearah fungsi perkembangan
bahasa daripada kemampuan kognitif. Kesulitan lainnya
yang muncul sebagai akibat dari ketunarunguan adalah
15
berhubungan dengan bicara, membaca, dan menulis,
tetapi tidak berhubungan dengan tingkat intelegensi
(Paul & Quigley,1990). Perkembangan intelegensi murid
tunarungu tidak sama cepatnya dengan mereka yang
mendengar. Murid yang mendengar belajar banyak dari
apa yang didengarnya, sedangkan murid tunarungu tidak
terjadi hal yang demikian. Rendahnya tingkat prestasi
murid tunarungu bukan berasal dari kemampuan
intelektualnya yang rendah, tetapi pada umumnya
disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat
kesempatan untuk berkembang secara optimal. Namun
tidak semua aspek intelegensi murid tunarungu
terhambat, hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam
merumuskan pengertian, menarik kesimpulan, dan
meramalkan kejadian. Aspek intelegensi yang bersumber
pada penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak
mengalami hambatan, bahkan dapat berkembangan dengan
cepat.
b. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara
Kemampuan berbicara dan bahasa murid tunarungu berbeda
dengan murid yang mendengar. Perkembangan bahasa erat
kaitannya dengan mendengar khususnya anak-anak yang
ketunarunguannya sejak lahir. Perkembangan bahasa dan
bicara murid tunarungu terhenti. Pada fase meniru
16
murid tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya
visual yaitu gerak dan isyarat. Perkembangan bicara
murid tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus
yang intensif, sesuai dengantaraf ketunarunguan dan
kemampuan yang lain. McLean Wolery, & Bailey (2004)
mengemukakan bahwa kebanyakan anak-anak dengan
ketulian memerlukan banyak waktu untuk belajar
berbicara. Bagi individu yang kehilangan
pendengarannya ringan atau sedang, pengaruhnya mungkin
akan minimal. Bagi individu yang ketuliannya
congenital dan berat, suara yang keras tidak dapat
didengarnya meskipun dengan mempergunakan alat bantu
dengar. Individu seperti ini tidak dapat menerima
informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya
belajar membaca bibir. Murid tunarungu tidak dapat
mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan
berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara
khusus, walaupun demikian di antara mereka masih
banyak yang tidak dapat berbicara seperti murid
normal, baik dari segi suara, irama maupun tekanan
suara. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan
ketunarunguan biasanya sering sulit untuk
dimengerti.Hal ini terjadi karena murid tunarungu
tidak mendapat umpan balik yaitu mengontrol suara dan
ucapannya sendiri melalui pendengarannya. Umpan balik
17
yang mereka peroleh untuk mengontrol bicaranya hanya
diperoleh secara visual, perbedaan dan gerak.
c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial
Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari
pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing
dari pergaulan sosial yang berlaku dalam masyarakat
dimana ia hidup. Hal ini terjadi karena anak dengan
ketunarunguan memodifikasi kapasitas menerima dan
memproses rangsangan auditorinya, sehingga dia
menerima informasi audiotori yang tidak utuh dan
berakibat pada kurangnya pengetahuan dan interaksi
bahasa ketika bersosialisasi dengan orang normal.
Keadaan ini dapat menghambat perkembangan kepribadian
murid menuju kedewasaan. Akibat dari ketunarunguan
tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif antara
lain :
1) Egonsentrisme yang melebihi murid normal
Dunia murid tunarungu diperkecil sampai batas
penglihatannya, murid tunarungu hanya dapat mereaksi
suara dengan getaran sehingga dunia terasa semakin
kecil. Bagi murid yang masih mempunyai sisa
pendengaran, dan jika alat bantu dengarnya dipakai
sejak kecil maka dapat menolong memfungsikan sisa
pendengarannya tersebut. Murid tunarungu mendapat
18
sebutan “pemata” karena pendengarannya tidak dapat
menolong mereka dalam belajar bahasa, maka murid
tunarungu mempelajari lingkungannya melalui mata.
Begitu perlunya peranan penglihatan dalam
pengamatan, maka murid tunarungu mempunyai sifat
“sangat ingin tahu“, seolah-olah mereka selalu haus
untuk melihat dan hal itu semakin menambah besar
egosentrisnya. Murid tunarungu sebagai pemata
sifatnya selalu ingin menarik ke dekatnya terhadap
apa saja yang mau dilihatnya bahkan kadang-kadang
mereka ingin memilikinya, dan bisa terjadi ia
menarik atau merebut dari tangan orang lain, sifat
ini terjadi pada murid normal, tetapi lebih menonjol
bagi murid tunarungu.
2) Mempunyai perasaan takut pada lingkungan yang lebih
luas
Pada orang mendengar dapat saja suatu saat
dihinggapi perasaan takut akan kehidupan ini, tetapi
murid tunarungu lebih sering mengalami hal yang
demikian. Hal ini disebabkan karena sering merasa
kurang menguasai keadaan yang diakibatkan oleh
pendengarannya yang terganggu, sehingga sering
merasa khawatir dan menimbulan ketakutan. Lebih lagi
dengan kemiskinan bahasa, mereka tidak mampu
19
menguasai dan menyatukan situasi yang baik, sehingga
situasi menjadi lebih tidak jelas.
3) Ketergantungan terhadap orang lain
Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau
terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik
merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan
selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang
lain.
4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan
Suatu hal yang bisa terjadi pada murid tunarungu
adalah menunjukkan keasyikan bila mengerjakan
sesuatu, apalagi jika ia menyukai benda atau pandai
mengerjakan sesuatu. Alam pikiran mereka berkisar
pada lingkaran pengertian-pengertian yang terlalu
kecil. Alam pikiran mereka selamanya terpaku pada
hal yang kongkrit perhatiannya tertuju pada sesuatu
dan sukar melepaskannya karena mereka tidak punya
kemampuan lain. Jadi jalan pikiran murid tunarungu
mudah beralih ke hal yang lain yang belum nyata.
Murid Tunarungu sukar diajak berpikir tentang hal-
hal yang belum terjadi artinya murid tunarungu lebih
miskin akan fantasi.
20
5) Mereka umumnya memiliki polos, sederhana, dan tanpa
banyak masalah
Mereka seakan-akan tidak mempunyai beban, bisa
dengan mudah perasaan dan apa yang dipikirkannya
pada orang lain tanpa memanang bermacam-macam segi
yang mungkin akan menghalanginya. Hal ini juga
disebabkan karena kemiskinan dalam mengekspresikan
perasaan dalam berbagai cara, hal tersebut dapat
disampaikan secara halus. Murid tunarungu hampir
menguasai suatu ungkapan yang baik sehingga ia akan
mengatakan langsung apa yang dimaksudkannya.
Perasaan murid tunarungu biasanya dalam keadaan
ekstrim tanpa banyak nuansa.
6) Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung
Murid tunarungu sering mengalami kekecewaan yang
timbul dari kesukaran menyampaikan perasaan dan
pikirannya kepada orang lain dan sulitnya mereka
mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain
kepadanya, maka hal ini bisa mereka ekspresikan
dengan kemarahan.
Masalah pada murid tunarungu sangat erat kaitannya
dengan kemampuan membaca ujaran. Murid-murid yang
sukar membaca ujaran lebih banyak yang berwatak
rewel dari pada murid-murid yang sukar bicara.
21
Biasanya murid-murid yang sukar berbicara juga sukar
membaca ujaran. Semakin luas bahasa yang mereka
miliki semakin mudah pula mereka berbicara dan
semakin mudah memahami maksud orang lain. Selain itu
Nuraeni (1997:119) mengemukakan beberapa
karakteristik yang biasa ditampakkan anak tunarungu,
yakni: (1) Sering tampak bingung atau melamun (2)
sering bersikap acuh tak acuh (3) kadang bersikap
agresif (4) perkembangan sosialnya terbelakang (5)
keseimbangan kurang (6) kepalanya sering miring (7)
sering meminta agar orang mau mengulang kalimatnya
(8) jika berbicara sering membuat suara-suara
tertentu (9) jika bicara sering menggunakan tangan
(10) jika bicara sering keras, lemah, sangat
monoton, tidak tepat dan kadang-kadang menggunakan
suara hidung Kondisi seperti ini merekomendasikan
pentingnya mengembangkan keterampilan berkomunikasi
diantara teman-teman sebaya yang dapat mendengar
lainnya dan seluruh guru jika anak ditempatkan dalam
seting kelas inklusif untuk menghindari
keterisolasian. Internet dan telepon genggam
merupakan media yang bisa dipergunakan untuk
berkomunikasi diantara teman-teman sebayanya melalui
obrolan tertulis.
d. Karakteristik dari segi prestasi akademik
22
prestasi akademik siswa-siswa tunarungu kemungkinan
agak terlambat dibandingkan dengan teman-teman sebaya
yang dapat mendengar lainnya. Siswa-siswa tunarungu
menghadapi kesulitan untuk berhasil dengan baik ketika
mengikuti sistem pendidikan yang media utamanya lebih
menekankan pada bahasa lisan dan tulisan dalam
transfer pengetahuan. Membaca merupakan bidang
akademik yang paling jelek terpengaruh oleh
ketunarunguan. Hilangnya pendengaran, apakah ringan
atau berat, menimbulkan dampak yang jelek terhadap
kemampuan membaca (Lasso, 1987). Penelitian yang
dilakukan oleh Allen menemukan bahwa median tingkat
membaca siswa-siswa tunarungu usia 16 dan 18 taun
hampir sama dengan kelas tiga dan prestasi
matematiknya hampir sama dengan kelas tujuh. Analisis
subgrup yang dilakukan oleh Holt (1993) menunjukkan,
bahwa semua individu dengan ketunarunguan kemampuan
membaca sama dengan siswa kelas tiga dan empat.
E. Pembelajaran bagi Anak Tunarungu
Anak yang mengalami ketidakmampuan untuk medengar ini
sebenarnya memiliki perkembangan inteligensi yang sama
dengan anak yang normal. Perkembangan yang terganggu
adalah ketrampilan bicara dan bahasa, khususnya anak-anak
yang ketunarunguannya dibawa sejak lahir. McLean, Wolery,
& Bailey mengemukakan bahwa kebanyakan anak-anak dengan
23
ketulian memerlukan banyak waktu untuk belajar berbicara.
Perkembangan lainnya yang ikut terganggu adalah
perkembangan sosial. Perkembangan sosial dan emosional
sangat tergantung kepada ketrampilan berkomunikasi. Anak
dengan ketunarunguan memodifikasi kapasitas menerima dan
memproses rangsangan auditorinya, seingga dia menerima
dan memproses rangsangan auditori yang tidak utuh.
Dari perkembangan anak yang memiliki ketunarunguan
tersebut, diperlukannya latihan sedini mungkin agar anak
tersebut tidak mengalami keterlambatan belajar yang jauh.
Dan beberapa hal untuk memberi pendidikan anak tunarungu
antara lain:
a. Mengintegrasikan perbendaharaan kata dan pengembangan
konsep
Banyak siswa dengan ketunarunguan mempunyai
keterbatasan dan keterlambatan dalam perbendaaraan
kata, baik reseptif maupun ekspresif, dan ini
berpengaruh buruk terhadap pemahaman (Traxler, 2000),
terutama konsep dan perbendaharaan kata tersebut mulai
abstrak. Oleh karena itu, untuk membuat kemajuan
akademik isi kurikulum memerlukan dukungan tambahan
agar tugas-tugas pembelajaran dapat dicapai dengan
baik (Brackett, 1997). Dukungan tersebut dapat
dilakukan dalam berbagai bentuk. Salah satu pendekatan
yang menguntungkan bagi para siswa dikemukakan oleh
24
Luckner dan muir (2001) yaitu preteaching dan postteaching.
Preteaching yaitu mengajarkan perbedaan kata dan konsep
yang membantu siswa dalam membentuk pegetahuan
berdasarkan kebutuhan untuk memahami informasi baru.
Postteaching dilakukan untuk mereview konsep-konsep
kunci, mengklarifikasi konsep-konsep yang salah,
mengorganisasi informasi, dan memperluas pengetahuan
baik isi maupun ketrampilan yang ditekankan selama
pebelajaran berlangsung.
b. Tangga pengalaman belajar
Pusat pembelajaran adalah kuantitas dan kualitas
pengalaman yang kita peroleh dari sejak kecil sampai
sekarang. Aneka pengalaman tersebut yang membantu kita
membentuk intelegensi, karakter, dan minat. Kebanyakan
siswa dengan ketunarunguan tumbuh dirumah karena
adanya perlindungan yang berlebihan dari keluarganya,
dan oleh karena itu mereka kehilangan pengalaman
sebagai media (Stewart & Kluwin, 2001). Melihat
keterbatasan yang diakibatkan oleh ketunarunguan serta
dampaknya terhadap belajar, maka penting dibangun
pembelajaran dengan pengalaman nyata bagi anak-anak
tunarungu.
Bruner (1966) mengemukakan bahwa manusia memperoleh
pengalaman kehidupan dunia melalui tiga bentuk, yaitu:
1) Symbolic (huruf dan bahasa),
25
Perkuliahan, diskusi
Simulasi
Tabel, grafik, peta
foto
Model, benda
Bahan-bahan nyataPengalaman
langsung
abstrak
kongkrit
2) Iconic (gambar, tabel, grafik), dan
3) Enactive (pengalaman).
Kedalaman dan keluasan pengetahuan tentang prosedur
dan konsep individu diperoleh dari belajar yang
melibatkan tiga bentuk di atas (Luckner & Nadler,
1977). Pola yang bisa dipergunakan ketika merencanakan
kegiatan belajar disarankan oleh Luckner (2002) dan
hal itu berhubungan dengan tangga pengalaman belajar.
Tangga tersebut bisa dipergunakan untuk membantu
mengidentifikasi beberapa alternatif yang bisa
dipergunakan dalam perkuliahan, diskusi, atau tugas
membaca untuk menilai siswa dalam memahami konsep dan
isi.
Tangga penggalaman belajar
26
c. Strategi mengajar visual
Adanya keterbatasan auditori yang menyertai hilangnya
pendengaran, banyak peneliti dan pendidik yang
menyarankan agar para guru membuat lingkungan belajar
yang kaya akan visual bagi anak-anak tunarungu. Para
ahli dalam lingkungan tersebut menggunakan:
1) isyarat, ejaan jari, dan membaca bibir yaitu
memandang wajah orang lain dan mulutnya ketika dia
membuat huruf
2) peralatan seperti OHP, papan bulletin, serta
televise
3) bahan-bahan termasuk di dalamnya gambar, ilustrasi,
slide, dan film dengan tulisan
Meskipun banyak dipergunakan penterjemah dan bahasa
isyarat dalam seting pendidikan, tanda-tanda tersebut,
seperti halnya bicara, hanya memberikan signal atau
tanda yang bersifat sementara. Tnda tersebut bergerak,
kemudian terlihat sebentar dan akhirnya hilang.
Strategi pengajaran visual dapat lebih permanen dan
dapat lebih dipergunakan membantu siswa lebih fokus
terhadap informasi penting, melihat bagaimana
keterkaitan antar konsep, dan mengintegrasikan antara
pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.
Sebagai contoh, alat-alat bantu visual dapat
dipergunakan di kelas untuk meningkatkan komunikasi
27
dan proses belajar termasuk peraturan kelas, daftar
tugas, jadwal harian, dan sebagainya.
d. Mengakomodasi siswa yang tunarungu dan kurang dengar
Karena banyak guru-guru umum yang mempunyai
keterbatasan dalam memperoleh latihan atau pengalaman
bekerja dengan siswa tunarungu, mereka biasanya
tergantung kepada guru khusus untuk membantu
mengidentifikasi dan melaksanakan agar kurikulum dan
interaksi sosial dapat terlaksana di kelasnya.
Keutusan tentang bantuan khusus apa yang akan
dipergunakan tergantung pada tujuan.
Sistem Layanan Bagi Anak Tunarungu
Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak
tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan
potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan
dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya.
Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan
pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa
landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan
pedagogis.
Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap
anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan
umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak
28
mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan
layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak
kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina
persepsi bunyi dan irama.
Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan
pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi 2,
yaitu:
1) Sistem segregasi, merupakan sistem pendidikan yang
terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak
mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu
melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B),
SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung.
2) Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan
sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada
anak tunarungu untuk belajar bersama anak
mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem
ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk
keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya.
Metode Pengajaran Bagi Anak Tunarungu
Berikut metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh
guru kepada anak tuna rungu, yaitu :
1) Belajar Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)
Belajar melalui membaca ujaran adalah belajar dimana
anak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan
29
“membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan
tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat
terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50%
lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang
tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga
tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada
bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat
memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat
menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi
pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca
ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang
baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat
dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang
“tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang
bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran
yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan
bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa
latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang
tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini
(Ashman & Elkins, 1994).
Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila
digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran).
Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk
melengkapi membaca ujaran (speechreading). Delapan
bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok
30
konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah
yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.
Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat
berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan
menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). nak tunarungu
yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu
membaca dan menulis setara dengan teman-teman
sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam
Caldwell, 1997).
2) Belajar Melalui Pendengaran
Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa belajar
melalui pendengaran dimana individu tunarungu dari
semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat
dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar
yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan
sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah
cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis
alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu
komponen eksternal (mikropon dan speech processor)
yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal
(rangkaian elektroda yang melalui pembedahan
dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran)
di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan
internal tersebut dihubungkan secara elektrik.
Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan
31
rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan
stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton,
1997).
3) Belajar secara Manual
Secara alami, individu tunarungu cenderung
mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa
isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara
telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan
secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan
bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang
baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada
tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan
baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah
bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat
yang eksklusif.
32
Manual Alphabet
Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan
dengan metode pembelajaran yang sama dengan sekolah
umum, contohnya metode tanya jawab, demonstrasi, dan
sebagainya.
Pendekatan Dalam Pengajaran Bahasa Bagi Anak
Tunarungu
Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu
harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan
tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua
pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu
secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan
auditori-oral.
1. Pendekatan Auditori verbal
Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak
tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar
yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri,
partisipatif dan kontributif dalam masyarakat
inklusif. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas
prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi
memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses
33
bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal
merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-
prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di
kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-
prinsip auditori verbal kepada orang tua yang
mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).
2. Pendekatan auditori oral
Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis
mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa
lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif,
merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu.
Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya
dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan
secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup
lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997). Mengajari
anak mengunakan sisa pendengaran yang masih
dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan
merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori
oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah,
intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari
keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat
tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi,
dan pemahaman bunyi. Keuntungan utama pendekatan
auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu
berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam
34
individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak
berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan
kehidupan sosial.
35
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Tunarungu pada hakekatnya dapat diartikan sebagai
kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang
disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang
mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga
memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus. Yang dimana
tunarungu ini dapat diklasifikasikan berdasarkan taraf
pendengarannya, yakni tuli (deaf) dan kurang dengar (hard
of hearing).
Dasar penyeabab ketunarunguan ini dapat diakibatkan
oleh beerapa faktor, baik dari segi prenatal, natal, dan
post natal. Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi
tersebut hanya 60% penyebab dari kasus-kasus
ketunarunguan pada masa anak-anak. Meskipun sudah banyak
alat-alat diagnose yang canggih, namun masih belum dapat
menentukan penyebab ketunarunguan yang 40% lagi. Dan
ternyata campak Jerman dari pihak ibu, keturunan,
komplikasi selama kehamilan dan kelahiran adalah penyebab
yang lebih banyak.
Secara sepintas ketunarunguan yang dialami oleh
seseorang tidak tampak, tidak sama dengan jenis ketunaan
yang lainnya dan merentang dari yang ringan hingga berat.
36
Karakteristik tunarungu dapat dilihat dari segi
intelegensi, bahasa dan bicara, emosi dan sosial.
Anak yang mengalami ketidakmampuan untuk medengar ini
sebenarnya memiliki perkembangan inteligensi yang sama
dengan anak yang normal. Perkembangan yang terganggu
adalah ketrampilan bicara dan bahasa, khususnya anak-anak
yang ketunarunguannya dibawa sejak lahir. Dari
perkembangan anak yang memiliki ketunarunguan tersebut,
diperlukannya latihan sedini mungkin agar anak tersebut
tidak mengalami keterlambatan belajar yang jauh.
B. Saran
Anak dengan gangguan ketunarunguan sebaiknya kita jaga
sebaik mungkin. Hal ini karena mereka pastinya ingin
diperlakukan sama dengan anak normal. Karena adanya
gangguan pendengaran ini jangan sampai membuat mereka
ketinggalan informasi bahkan mengalami keterlamatan
belajar. Sehingga kita dituntut untuk mampu memahami
kondisi mereka agar cita-cita mereka juga bisa tercapai
layaknya anak normal. Dan sebagai orang normal jangan
sampai kita membeda-bedakan mereka hanya karena mereka
aanak yang mengalami gangguan pendengaran.
37
DAFTAR PUSTAKA
http://ikhwalrizky.blogspot.com/2012/11/pengertian-tuna-rungu.html
http://dtarsidi.blogspot.com/2007/08/studikasustunarungu.html,oleh Kurnaeni
39