+ All Categories

BAB I

Date post: 25-Jan-2023
Category:
Upload: englishunesa
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
39
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Setiap individu pastinya ingin terlahir secara sempurna, baik fisik maupun jiwa. Namun, keinginan manusia hanya sekedar keinginan dan hanya Tuhanlah yang bisa menentukannya. Tuhan menciptakan manusia dengan kesempurnaan yang maha sempurna. Meskipun fisik tidak memadai namun akal mereka diberi hal yang luar biasa. Banyak hal yang buat manusia itu merasa rendah diri, hal tersebut dikarenakan fisik mereka yang sangatlah terbatas. Salah satunya adalah kelainan dalam pendengaran atau tunarungu. Pendengaran sangatlah vital dalam kehidupan manusia. Semua orang butuh mendengar supaya informasi yang diberikan orang lain mampu mereka terima dengan baik untuk menjalankan kehidupan mereka. Anak dengan masalah tunarungu dapat disebabkan oleh beberapa macam hal, baik ditinjau dari faktor prenatal, natal, dan post natal. Dengan keadaaan yang seperti ini kita sebagai calon guru masa depan diharapkan mampu untuk memahami karakteristik mereka yang berbeda dengan anak normal pada kehidupan ini. Dengan kita mengetahui karakteristiknya maka kita akan tau bagaimana cara 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap individu pastinya ingin terlahir secara

sempurna, baik fisik maupun jiwa. Namun, keinginan

manusia hanya sekedar keinginan dan hanya Tuhanlah

yang bisa menentukannya. Tuhan menciptakan manusia

dengan kesempurnaan yang maha sempurna. Meskipun

fisik tidak memadai namun akal mereka diberi hal

yang luar biasa. Banyak hal yang buat manusia itu

merasa rendah diri, hal tersebut dikarenakan fisik

mereka yang sangatlah terbatas. Salah satunya adalah

kelainan dalam pendengaran atau tunarungu.

Pendengaran sangatlah vital dalam kehidupan

manusia. Semua orang butuh mendengar supaya

informasi yang diberikan orang lain mampu mereka

terima dengan baik untuk menjalankan kehidupan

mereka. Anak dengan masalah tunarungu dapat

disebabkan oleh beberapa macam hal, baik ditinjau

dari faktor prenatal, natal, dan post natal. Dengan

keadaaan yang seperti ini kita sebagai calon guru

masa depan diharapkan mampu untuk memahami

karakteristik mereka yang berbeda dengan anak normal

pada kehidupan ini. Dengan kita mengetahui

karakteristiknya maka kita akan tau bagaimana cara

1

pembelajaran yang tepat bagi mereka. Pembelajarana

yang sebaiknya diterima oleh anak tunarungu

sangatlah diharapkan bagi mereka supaya mereka mapu

menempuh pendidikan yang sama dengan anak tunarungu.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil

rumusan masalah sebagai berikut :

1. Apakah yang dimaksud dengan anak tunarungu ?

2. Bagaimana klasifikasi anak tunarungu ?

3. Apakah penyebab terjadinya anak dengan tunarungu ?

4. Bagaimana karakteristik anak dengan tunarungu ?

5. Bagaimana pembelajaran yang tepat bagi anak

tunarungu ?

C. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah anak tunarungu

ini adalah sebagai berikut :

1. Memenuhi tugas Matakuliah Orthopedagogik

2. Menjelaskan definisi anak tunarungu

3. Menyebutkan klasifikasi anak tunarungu

4. Menjelaskan penyebab terjadinya anak tunarungu

5. Menjelaskan karakteristik anak dengan tunarungu

6. Menjelaskan pembelajaran yang tepat bagi anak

tunarungu

2

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Tunarungu

Banyak istilah yang dikenal untuk anak yang mengalami

kelainan pendengaran, misalnya tuli, bisu, tunawicara,

cacat dengar, kurang dengar, ataupun tunarungu. Istilah-

istilah dan pandangan tersebut tidak semuanya benar,

sebab pengertiannya tidak menggambarkan keadaan yang

sebenarnya. Istilah yang lazim digunakan dalam dunia

pendidikan khususnya pendidikan luar biasa adalah

tunarungu. Istilah tunarungu diambil dari kata “Tuna” dan

“Rungu”. Tuna artinya kurang dan Rungu artinya

pendengaran. Orang atau anak dikatakan tunarungu apabila

ia tidak mampu mendengar atau kurang mampu mendengar

suara. Sedangkan orang tuli adalah seseorang yang

kehilangan kemampuan mendengar sehingga menghambat proses

informasi bahasa melalui pendengaran, baik memakai

ataupun tidak memakai alat bantu mendengar. Sedangkan

seseorang yang kurang dengar adalah seseorang yang

biasanya dengan menggunakan alat bantu mendengar, sisa

pendengarannya cukup memungkinkan keberhasilan proses

informasi bahasa melalui pendengaran.

Andreas Dwidjosumarto dalam seminar ketunarunguan di

Bandung (1988) mengemukakan ”Tunarungu dapat diartikan sebagai

suatu keadaan kehilangan pendengaran yang mengakibatkan seseorang

4

tidak dapat menangkap berbagai perangsang terutama melalui indera

pendengaran”. Menurut Sri Moerdiani (1987: 27) dalam buku

psikologi anak luar biasa bahwa anak tuna rungu adalah

mereka yang menaglami gangguan pendengaran sedemikian

rupa sehingga tidak mempunyai fungsi praktis dan tujuan

komunikasi dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya.

Adapun Moh Amin dalam buku Ortopedagogik umum

mengemukakan bahwa anak tuna rungu adalah mereka yang

mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar

yang disebakan oleh kerusakan atau tidak berfungsinya

sebagian atau seluruh organ pendengaran yang

mengakibatkan hambatan dalam perkembanganya sehingga

memerlukan bimbingan pendidikan khusus. (1991: 1). Ahli

lainnya memberikan batasan mengenai tunarungu ditinjau

dari segi medis dan pedagogis sebagai berikut :

“Tunarungu berarti kekurangan atau kehilangan kemampuan

mendengar yang disebabkan oleh kerusakan seluruh alat

pendengaran yang mengakibatkan hambatan dalam

perkembangan bahasa sehingga memerlukan bimbingan dan

pelayanan khusus”. ( Salim,1984 : 8)

Dari beberapa batasan yang dikemukakan oleh para ahli

tentang pengertian anak tunarungu, maka dapat disimpulkan

bahwa pengertian tunarungu adalah seseorang yang

mengalami kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar

baik sebagian atau seluruhnya yang diakibatkan karena

5

tidak berfungsinya sebagian atau seluruh alat

pendengaran, sehingga ia tidak dapat menggunakan alat

pendengarannya dalam kehidupan sehari-hari yang membawa

dampak terhadap kehidupannya secara kompleks.

Ketidakmampuan bicara pada anak tunarungu merupakan ciri

khas yang membuatnya berbeda dengan anak normal. anak

tunarungu tidak dapat mendengar membuatnya mengalami

kesulitan untuk memahami bahasa yang diucapkan oleh orang

lain., dan karena mereka tidak dapat mengerti bahasa

secara lisan atau oral maka mereka tidak dapat bicara

jika mereka tidak dilatih bicara. Yang dapat memungkinkan

anak tunarungu dapat berbicara dan merupakan faktor

mendasar ialah pengenalan terhadap apa yang bisa

memungkinkan belajar berbicara dari orang

disekelilingnya. Mereka harus mengerti bahasa yang

diucapkan oleh orang lain. Mereka juga tahu jika

berbicara adalah hal yang sangat berguna dalam

kehidupannya walaupun hal tersebut memerlukan latihan

dalam waktu yang cukup lama. Untuk itu para pendidik

perlu memberikan pengertian kepada orangtua bahwa anak

tunarungu perlu mengerti dulu bahasa sebelum mereka

belajar berbicara.

Anak yang normal pendengarannya memahami bahasa melalui

pendengarannya dalam waktu berbulan-bulan sebelum mereka

mulai berbicara. Orang yang mendengar pun memerlukan

6

waktu untuk mengerti bicara orang lain. Apalagi anak

tunarungu untuk memahami bahasa tidak selancar anak

mendengar, dan untuk memahami bicara harus melalui

tahapan-tahapan latihan tertentu. Akibat kurang

berfungsinya pendengaran, anak tunarugu mengalihkan

pengamatannya kepada mata, maka anak tunarungu disebut

sebagai “Insan Pemata”. Melalui mata anak tunarungu

memahami bahasa lisan atau oral, selain melihat gerakan

dan ekspresi wajah lawan bicaranya mata anak tunarungu

juga digunakan untuk membaca gerak bibir orang yang

berbicara. Pada anak mendengar hal tersebut tidak terlalu

penting, tetapi pada anak tunarungu untuk dapat memahami

bahasa sangatlah penting. Dengan alasan tersebut anak

tunarungu lebih banyak membutuhkan waktu. Berapa banyak

waktu yang dibutuhkan oleh anak tunarungu untuk belajar

memahami bahasa orang lain dan untuk belajar berbicara.

Hal ini tergantug kepada kemampuan masing-masing individu

serta bantuan dari orang-orang disekelilingnya.

Kelainan pendengaran atau ketunarunguan secara fisik

tidak terlihat dengan jelas jika dibandingkan dengan

tunanetra dan tunadaksa. Hal ini kadang-kadang

menguntungkan tetapi kadang-kadang teka-teki bagi orang

yang tidak ada hubungannya dengan anak tunarungu,

sehingga sering kali menimbulkan sikap yang merugikan,

menyakiti atau bersikap kejam terhadap anak.

7

B.Klasifikasi Ketunarunguan

Menurut Hallahan dan Kauffman klasifikasi ketunarunguan

berdasarkan tingkat kehilangan pendengaran di bagi

kedalam dua kelompok besar yaitu tuli (deaf)  dan kurang

dengar (hard of hearing).

Klasifikasi lain dikemukakan oleh Streng yang dikutip

Somad dan Hernawati ( 1997 : 28-31 ) sebagai berikut:

a.       Mild Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-

30 dB yang  memiliki ciri- ciri :

Sukar mendengar percakapan yang lemah.

Menuntut sedikit perhatian khusus dari sistem sekolah

tentang kesulitannya.

Perlu latihan membaca ujaran dan perlu diperhatikan

perkembangan penguasaan perbendaharaan kata.

b.   Marginal Loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 20-

30 dB yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Mengerti percakapan biasa pada jarak satu meter.

Mereka sulit menangkap percakapan dengan pendengaran

pada jarak normal dan  kadang-kadang mereka mendapat

kesulitan dan menangkap percakapan kelompok.

Mereka akan sedikit mengalami kelainan bicara dan

perbendaharaan kata yang terbatas.

Kebutuhan dalam program pendidikan antara lain

belajar membaca, penggunaan alat bantu dengar,

8

latihan bicara, latihan artikulasi dan perhatian

dalam perkembangan perbendaharaan kata.

c. Moderat loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 40-60

dB yang   memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

Mereka mengerti percakapan keras pada jarak satu

meter.

Perbendaharaan kata terbatas

d.      Severa loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 60-

70 dB. Memiliki ciri-ciri :

Mereka masih biasa mendengar suara keras dari jarak

yang dekat misalnya klakson mobil dan lolongan anjing.

Mereka diajar dalam suatu kelas khusus untuk anak-anak

tunarungu. Diperlukan latihan membaca ujaran dan

pelajaran yang dapat mengembangkan bahasa dan bicara

dari guru kelas khusus.

e.   Profound loses, yaitu kehilangan kemampuan mendengar 75

dB keatas. Memiliki ciri :

Mendengar suara yang keras pada jarak 1 inci (2,24

cm) atau sama sekali tidak mendengar walaupun

menggunakan alat bantu dengar.

Menurut buku pendidikan anak tuna rungu untuk sekolah

Guru Pendidikan Luar Biasa ( SGPLB ) menyebutkan, bahwa

ada klarifikasi ketuna runguan yang didasarkan

klasifikasi etiologis, klasifikasi anatomos fisiologis,

9

menurut nada yang tak dapat didengar dan menurut saat

terjadinya ketuna runguan, Depdikbud (1977:8).

1. Klasifikasi etilogis

Tuna rungu endogen adalah suatu ketunarunguan yang

diturunkan oleh orang tuanya

Tuna rungu eksogen adalah ketunarunguan yang

diakibatkan suatu penyakit atau kecelakaan.

2. Klasifikasi anatomis-fisikologis

Tuna rungu hantaran (konduksi) adalah ketunarunguan

yang disebabkan kerusakan atau tidak berfungsinya

alat penghantar getaran pada telinga bagian bawah.

Tuna rungu syaraf (perseptif) adalah ketunarunguan

sebagai akibat dari kerusakan atau tidak

berfungsinya alat pendengarn telinga bagian dalam.

3. Menurut nada yang tak dapat di dengar

Tuna rungu nada rendah

Tuna rungu nada tinggi

Tuna rungu total

Menurut terjadinya ketunarunguan

4. Tuna rungu yang terjadi saat dalam kandungan

(prenatal)

Ketunarunguan terjadi akibat keracunan makanan,

kekurangan gizi, pengaruh obat obatan dan infeksi

virus yang dialami pada masa triwulan pertama

menimbulkan kerusakan syaraf, dan jaringan otak.

10

5. Tuna rungu yang terjadi saat kelahiran (natal)

Segala bentuk ganguan pada saat bayi lahir seperti

Prematuresasi, pinggul sempit, lahir dengan porceps

dan berbagai kesulitan saat kelahiran dapat

menimbulkan kerusakan syaraf dan jaringan otak.

6. Tuna rungu yang terjadi saat kelahiran (post

natal)

Dapat terjadi akibat peradangan selaput otak infeknsi

telinga tengah, peradangan gendang telinga dan

sebagainya.

Kemudian di dalam buku petunjuk praktis penyelenggaraan

Sekolah Luar Biasa bagian B atau tunarungu, Depdikbud

( 1985 : 20-21 ) dibuat klasifikasi anak tuna rungu

sebagai berikut

1. Ditinjau dari tingkat kehilanagn pendengaran dalam

satuan ukuran bunyi ( deciblell/Db ) tuna rungu

dibedakan atas Mereka yang kehilangan pendengaran

90 dB atau lebih (golongan tuli). Batas 90 dB

diambil sebagi patokan karena pada tingkat

kehilanagn yang demikian si penderita tak akan mampu

lagi untuk mendengar suara sendiri. Mereka yang

kehilangan pendengaran kurang dari 90 dB (golongan

kurang dengar).

2. Ditinjau dari waktu kehilangan pendengaran dibedakan

atas:

11

Tuli prabahasa yaitu kehilangan pendengaran, waktu

anak berumur kurang dari 2 tahun sebelum menguasai

bahasa.

Tuli purna bahasa yaitu kehilangan pendengaran

waktu anak berumur lebih dari 4 tahun, setelah

menguasai berbagi bahasa.

C. Penyebab Tunarungu

Secara umum penyebab ketunarunguan dapat terjadi

sebelum lahir (prenatal) ketika lahir (natal) dan sesudah

lahir (post natal). Banyak para ahli mengungkap tentang

penyebab ketulian dan ketunarunguan, tentu saja dengan

pandang yang berbeda dalam penjabarannya.

Menurut Sardjono (1997, hal. 10-20) menjelaskan faktor-

faktor penyebab ketunarunguan anak, yaitu sebagai

berikut:

1) Faktor-Faktor Sebelum Anak Dilahirkan (Pre Natal)

a. Faktor keturunan

b. Cacat air, campak (Rubella, Gueman measles)

c. Terjadi toxaemia (keracunan darah)

d. Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar

e. Kekurangan oksigen (anoxia)

f. Kelainan organ pendenganran sejak lahir

2) Faktor-Faktor Saat Anak Dilahirkan (Natal)

a. Faktor Rheus (Rh) ibu dan anak yang sejenis

12

b. Anak lahir pre mature

c. Anak lahir menggunakan forcep (alat bantu tang)

d. Proses kelahiran yang terlalu lama

3) Faktor-Faktor Sesudah Anak Dilahirkan (Past Natal)

a. Infeksi

b. Meningitis (peradangan selaput otak)

c. Tunarungu perseptif yang bersifat keturunan

d. Otitis media yang kronis

Trybus (1985) mengemukakan enam penyebab ketunarunguan

pada anak di Amerika Serikat yaitu :

a. Keturunan

b. Campak Jerman dari pihak ibu

c. Komplikasi selama kehamilan dan kelahiran

d. Radang selaput otak (meningitis)

e. Otitis media (radang pada bagian telinga tengah)

f. Penyakit anak-anak, radang dan luka-luka

Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi tersebut hanya

60% penyebab dari kasus-kasus ketunarunguan pada masa

anak-anak. Meskipun sudah banyak alat-alat diagnose yang

canggih, namun masih belum dapat menentukan penyebab

ketunarunguan yang 40% lagi. Dan ternyata campak Jerman

dari pihak ibu, keturunan, komplikasi selama kehamilan

dan kelahiran adalah penyebab yang lebih banyak. Untuk

lebih jelasnya factor-faktor penyebab ketunarunguan dapat

dikelompokkan sebagai berikut :

13

1.        Faktor dalam diri anak

a) Disebabkan oleh faktor keturunan dari salah satu atau

kedua orangtuanya yang mengalami ketunarunguan,

b) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Cacat

air

c) Ibu yang sedang mengandung menderita penyakit Campak

Jerman (Rubella),

d) Ibu yang sedang mengandung menderita keracunan darah

atau Toxaminia.\

e) Penggunaan pilkina atau obat-obatan dalam jumlah besar

f) Kekurangan oksigen (anoxia)

g) Kelainan organ pendenganran sejak lahir

2.        Faktor luar diri anak

a) Anak mengalami infeksi pada saat dilahirkan atau

kelahiran. Misal, anak terserang Herpes Implex,

b) Meningitis atau radang selaput otak,

c) Otitis media (radang telinga bagian tengah),

d) Penyakit lain atau kecelakaan yang dapat mengakibatkan

kerusakan alat pendengaran bagian tengah dan dalam.

D. Karakteristik Tunarungu

Secara sepintas ketunarunguan yang dialami oleh

seseorang tidak tampak, tidak sama dengan jenis ketunaan

yang lainnya dan merentang dari yang ringan hingga berat.

Kekurangan itu baru ketahuan ketika mereka berbicara.

14

Keterbatasan dalam berkomunikasi akan memberi dampak pada

pembentukan pribadi, sehingga bila dibandingkan dengan

anak lain mereka memiliki karakteristik tersendiri.

Diantara mereka ada yang mempergunakan bahasa isyarat,

terutama ketika berkomunikasi dalam komunitasnya, ada

juga yang mempergunakan sekaligus bahasa isyarat dan

bahasa lisan ketika berkomunikasi, biasanya mereka

mempunyai teman baik yang tuli, kurang dengar, atau yang

bisa mendengar.Menurut Somad dan Hernawati (1996:)

Karakteristik tunarungu dapat dilihat dari segi

intelegensi, bahasa dan bicara, emosi dan sosial. Namun

pada umumnya prestasi akademik juga dapat mempengaruhi.

a. Karakteristik dari segi intelegensi

Pada dasarnya kemampuan intelektual murid tunarungu

sama dengan murid normal. Murid tunarungu ada yang

memiliki intelegensi tinggi, rata-rata dan rendah,

akan tetapi karena perkembangan intelegensi sangat

dipengaruhi oleh perkembangan bahasa maka murid

tunarungu akan menampakkan intelegensi yang rendah

disebabkan oleh kesulitan memahami bahasa. Berbagai

hasil penelitian menunjukkan bahwa perkembangan

intelektual tunarungu lebih kearah fungsi perkembangan

bahasa daripada kemampuan kognitif. Kesulitan lainnya

yang muncul sebagai akibat dari ketunarunguan adalah

15

berhubungan dengan bicara, membaca, dan menulis,

tetapi tidak berhubungan dengan tingkat intelegensi

(Paul & Quigley,1990). Perkembangan intelegensi murid

tunarungu tidak sama cepatnya dengan mereka yang

mendengar. Murid yang mendengar belajar banyak dari

apa yang didengarnya, sedangkan murid tunarungu tidak

terjadi hal yang demikian. Rendahnya tingkat prestasi

murid tunarungu bukan berasal dari kemampuan

intelektualnya yang rendah, tetapi pada umumnya

disebabkan karena intelegensinya tidak mendapat

kesempatan untuk berkembang secara optimal. Namun

tidak semua aspek intelegensi murid tunarungu

terhambat, hanya yang bersifat verbal, misalnya dalam

merumuskan pengertian, menarik kesimpulan, dan

meramalkan kejadian. Aspek intelegensi yang bersumber

pada penglihatan dan yang berupa motorik tidak banyak

mengalami hambatan, bahkan dapat berkembangan dengan

cepat.

b. Karakteristik dari segi bahasa dan bicara

Kemampuan berbicara dan bahasa murid tunarungu berbeda

dengan murid yang mendengar. Perkembangan bahasa erat

kaitannya dengan mendengar khususnya anak-anak yang

ketunarunguannya sejak lahir. Perkembangan bahasa dan

bicara murid tunarungu terhenti. Pada fase meniru

16

murid tunarungu terbatas pada peniruan yang sifatnya

visual yaitu gerak dan isyarat. Perkembangan bicara

murid tunarungu memerlukan pembinaan secara khusus

yang intensif, sesuai dengantaraf ketunarunguan dan

kemampuan yang lain. McLean Wolery, & Bailey (2004)

mengemukakan bahwa kebanyakan anak-anak dengan

ketulian memerlukan banyak waktu untuk belajar

berbicara. Bagi individu yang kehilangan

pendengarannya ringan atau sedang, pengaruhnya mungkin

akan minimal. Bagi individu yang ketuliannya

congenital dan berat, suara yang keras tidak dapat

didengarnya meskipun dengan mempergunakan alat bantu

dengar. Individu seperti ini tidak dapat menerima

informasi melalui suara, tetapi mereka sebaiknya

belajar membaca bibir. Murid tunarungu tidak dapat

mendengar bahasa, kemampuan bahasanya tidak akan

berkembang bila ia tidak dididik atau dilatih secara

khusus, walaupun demikian di antara mereka masih

banyak yang tidak dapat berbicara seperti murid

normal, baik dari segi suara, irama maupun tekanan

suara. Suara yang dikeluarkan oleh individu dengan

ketunarunguan biasanya sering sulit untuk

dimengerti.Hal ini terjadi karena murid tunarungu

tidak mendapat umpan balik yaitu mengontrol suara dan

ucapannya sendiri melalui pendengarannya. Umpan balik

17

yang mereka peroleh untuk mengontrol bicaranya hanya

diperoleh secara visual, perbedaan dan gerak.

c. Karakteristik dari segi emosi dan sosial

Ketunarunguan dapat mengakibatkan terasing dari

pergaulan sehari-hari, yang berarti mereka terasing

dari pergaulan sosial yang berlaku dalam masyarakat

dimana ia hidup. Hal ini terjadi karena anak dengan

ketunarunguan memodifikasi kapasitas menerima dan

memproses rangsangan auditorinya, sehingga dia

menerima informasi audiotori yang tidak utuh dan

berakibat pada kurangnya pengetahuan dan interaksi

bahasa ketika bersosialisasi dengan orang normal.

Keadaan ini dapat menghambat perkembangan kepribadian

murid menuju kedewasaan. Akibat dari ketunarunguan

tersebut dapat menimbulkan efek-efek negatif antara

lain :

1) Egonsentrisme yang melebihi murid normal

Dunia murid tunarungu diperkecil sampai batas

penglihatannya, murid tunarungu hanya dapat mereaksi

suara dengan getaran sehingga dunia terasa semakin

kecil. Bagi murid yang masih mempunyai sisa

pendengaran, dan jika alat bantu dengarnya dipakai

sejak kecil maka dapat menolong memfungsikan sisa

pendengarannya tersebut. Murid tunarungu mendapat

18

sebutan “pemata” karena pendengarannya tidak dapat

menolong mereka dalam belajar bahasa, maka murid

tunarungu mempelajari lingkungannya melalui mata.

Begitu perlunya peranan penglihatan dalam

pengamatan, maka murid tunarungu mempunyai sifat

“sangat ingin tahu“, seolah-olah mereka selalu haus

untuk melihat dan hal itu semakin menambah besar

egosentrisnya. Murid tunarungu sebagai pemata

sifatnya selalu ingin menarik ke dekatnya terhadap

apa saja yang mau dilihatnya bahkan kadang-kadang

mereka ingin memilikinya, dan bisa terjadi ia

menarik atau merebut dari tangan orang lain, sifat

ini terjadi pada murid normal, tetapi lebih menonjol

bagi murid tunarungu.

2) Mempunyai perasaan takut pada lingkungan yang lebih

luas

Pada orang mendengar dapat saja suatu saat

dihinggapi perasaan takut akan kehidupan ini, tetapi

murid tunarungu lebih sering mengalami hal yang

demikian. Hal ini disebabkan karena sering merasa

kurang menguasai keadaan yang diakibatkan oleh

pendengarannya yang terganggu, sehingga sering

merasa khawatir dan menimbulan ketakutan. Lebih lagi

dengan kemiskinan bahasa, mereka tidak mampu

19

menguasai dan menyatukan situasi yang baik, sehingga

situasi menjadi lebih tidak jelas.

3) Ketergantungan terhadap orang lain

Sikap ketergantungan terhadap orang lain atau

terhadap apa yang sudah dikenalnya dengan baik

merupakan gambaran bahwa mereka sudah putus asa dan

selalu mencari bantuan serta bersandar pada orang

lain.

4) Perhatian mereka lebih sukar dialihkan

Suatu hal yang bisa terjadi pada murid tunarungu

adalah menunjukkan keasyikan bila mengerjakan

sesuatu, apalagi jika ia menyukai benda atau pandai

mengerjakan sesuatu. Alam pikiran mereka berkisar

pada lingkaran pengertian-pengertian yang terlalu

kecil. Alam pikiran mereka selamanya terpaku pada

hal yang kongkrit perhatiannya tertuju pada sesuatu

dan sukar melepaskannya karena mereka tidak punya

kemampuan lain. Jadi jalan pikiran murid tunarungu

mudah beralih ke hal yang lain yang belum nyata.

Murid Tunarungu sukar diajak berpikir tentang hal-

hal yang belum terjadi artinya murid tunarungu lebih

miskin akan fantasi.

20

5) Mereka umumnya memiliki polos, sederhana, dan tanpa

banyak masalah

Mereka seakan-akan tidak mempunyai beban, bisa

dengan mudah perasaan dan apa yang dipikirkannya

pada orang lain tanpa memanang bermacam-macam segi

yang mungkin akan menghalanginya. Hal ini juga

disebabkan karena kemiskinan dalam mengekspresikan

perasaan dalam berbagai cara, hal tersebut dapat

disampaikan secara halus. Murid tunarungu hampir

menguasai suatu ungkapan yang baik sehingga ia akan

mengatakan langsung apa yang dimaksudkannya.

Perasaan murid tunarungu biasanya dalam keadaan

ekstrim tanpa banyak nuansa.

6) Mereka lebih mudah marah dan cepat tersinggung

Murid tunarungu sering mengalami kekecewaan yang

timbul dari kesukaran menyampaikan perasaan dan

pikirannya kepada orang lain dan sulitnya mereka

mengerti apa yang disampaikan oleh orang lain

kepadanya, maka hal ini bisa mereka ekspresikan

dengan kemarahan.

Masalah pada murid tunarungu sangat erat kaitannya

dengan kemampuan membaca ujaran. Murid-murid yang

sukar membaca ujaran lebih banyak yang berwatak

rewel dari pada murid-murid yang sukar bicara.

21

Biasanya murid-murid yang sukar berbicara juga sukar

membaca ujaran. Semakin luas bahasa yang mereka

miliki semakin mudah pula mereka berbicara dan

semakin mudah memahami maksud orang lain. Selain itu

Nuraeni (1997:119) mengemukakan beberapa

karakteristik yang biasa ditampakkan anak tunarungu,

yakni: (1) Sering tampak bingung atau melamun (2)

sering bersikap acuh tak acuh (3) kadang bersikap

agresif (4) perkembangan sosialnya terbelakang (5)

keseimbangan kurang (6) kepalanya sering miring (7)

sering meminta agar orang mau mengulang kalimatnya

(8) jika berbicara sering membuat suara-suara

tertentu (9) jika bicara sering menggunakan tangan

(10) jika bicara sering keras, lemah, sangat

monoton, tidak tepat dan kadang-kadang menggunakan

suara hidung Kondisi seperti ini merekomendasikan

pentingnya mengembangkan keterampilan berkomunikasi

diantara teman-teman sebaya yang dapat mendengar

lainnya dan seluruh guru jika anak ditempatkan dalam

seting kelas inklusif untuk menghindari

keterisolasian. Internet dan telepon genggam

merupakan media yang bisa dipergunakan untuk

berkomunikasi diantara teman-teman sebayanya melalui

obrolan tertulis.

d. Karakteristik dari segi prestasi akademik

22

prestasi akademik siswa-siswa tunarungu kemungkinan

agak terlambat dibandingkan dengan teman-teman sebaya

yang dapat mendengar lainnya. Siswa-siswa tunarungu

menghadapi kesulitan untuk berhasil dengan baik ketika

mengikuti sistem pendidikan yang media utamanya lebih

menekankan pada bahasa lisan dan tulisan dalam

transfer pengetahuan. Membaca merupakan bidang

akademik yang paling jelek terpengaruh oleh

ketunarunguan. Hilangnya pendengaran, apakah ringan

atau berat, menimbulkan dampak yang jelek terhadap

kemampuan membaca (Lasso, 1987). Penelitian yang

dilakukan oleh Allen menemukan bahwa median tingkat

membaca siswa-siswa tunarungu usia 16 dan 18 taun

hampir sama dengan kelas tiga dan prestasi

matematiknya hampir sama dengan kelas tujuh. Analisis

subgrup yang dilakukan oleh Holt (1993) menunjukkan,

bahwa semua individu dengan ketunarunguan kemampuan

membaca sama dengan siswa kelas tiga dan empat.

E. Pembelajaran bagi Anak Tunarungu

Anak yang mengalami ketidakmampuan untuk medengar ini

sebenarnya memiliki perkembangan inteligensi yang sama

dengan anak yang normal. Perkembangan yang terganggu

adalah ketrampilan bicara dan bahasa, khususnya anak-anak

yang ketunarunguannya dibawa sejak lahir. McLean, Wolery,

& Bailey mengemukakan bahwa kebanyakan anak-anak dengan

23

ketulian memerlukan banyak waktu untuk belajar berbicara.

Perkembangan lainnya yang ikut terganggu adalah

perkembangan sosial. Perkembangan sosial dan emosional

sangat tergantung kepada ketrampilan berkomunikasi. Anak

dengan ketunarunguan memodifikasi kapasitas menerima dan

memproses rangsangan auditorinya, seingga dia menerima

dan memproses rangsangan auditori yang tidak utuh.

Dari perkembangan anak yang memiliki ketunarunguan

tersebut, diperlukannya latihan sedini mungkin agar anak

tersebut tidak mengalami keterlambatan belajar yang jauh.

Dan beberapa hal untuk memberi pendidikan anak tunarungu

antara lain:

a. Mengintegrasikan perbendaharaan kata dan pengembangan

konsep

Banyak siswa dengan ketunarunguan mempunyai

keterbatasan dan keterlambatan dalam perbendaaraan

kata, baik reseptif maupun ekspresif, dan ini

berpengaruh buruk terhadap pemahaman (Traxler, 2000),

terutama konsep dan perbendaharaan kata tersebut mulai

abstrak. Oleh karena itu, untuk membuat kemajuan

akademik isi kurikulum memerlukan dukungan tambahan

agar tugas-tugas pembelajaran dapat dicapai dengan

baik (Brackett, 1997). Dukungan tersebut dapat

dilakukan dalam berbagai bentuk. Salah satu pendekatan

yang menguntungkan bagi para siswa dikemukakan oleh

24

Luckner dan muir (2001) yaitu preteaching dan postteaching.

Preteaching yaitu mengajarkan perbedaan kata dan konsep

yang membantu siswa dalam membentuk pegetahuan

berdasarkan kebutuhan untuk memahami informasi baru.

Postteaching dilakukan untuk mereview konsep-konsep

kunci, mengklarifikasi konsep-konsep yang salah,

mengorganisasi informasi, dan memperluas pengetahuan

baik isi maupun ketrampilan yang ditekankan selama

pebelajaran berlangsung.

b. Tangga pengalaman belajar

Pusat pembelajaran adalah kuantitas dan kualitas

pengalaman yang kita peroleh dari sejak kecil sampai

sekarang. Aneka pengalaman tersebut yang membantu kita

membentuk intelegensi, karakter, dan minat. Kebanyakan

siswa dengan ketunarunguan tumbuh dirumah karena

adanya perlindungan yang berlebihan dari keluarganya,

dan oleh karena itu mereka kehilangan pengalaman

sebagai media (Stewart & Kluwin, 2001). Melihat

keterbatasan yang diakibatkan oleh ketunarunguan serta

dampaknya terhadap belajar, maka penting dibangun

pembelajaran dengan pengalaman nyata bagi anak-anak

tunarungu.

Bruner (1966) mengemukakan bahwa manusia memperoleh

pengalaman kehidupan dunia melalui tiga bentuk, yaitu:

1) Symbolic (huruf dan bahasa),

25

Perkuliahan, diskusi

Simulasi

Tabel, grafik, peta

foto

Model, benda

Bahan-bahan nyataPengalaman

langsung

abstrak

kongkrit

2) Iconic (gambar, tabel, grafik), dan

3) Enactive (pengalaman).

Kedalaman dan keluasan pengetahuan tentang prosedur

dan konsep individu diperoleh dari belajar yang

melibatkan tiga bentuk di atas (Luckner & Nadler,

1977). Pola yang bisa dipergunakan ketika merencanakan

kegiatan belajar disarankan oleh Luckner (2002) dan

hal itu berhubungan dengan tangga pengalaman belajar.

Tangga tersebut bisa dipergunakan untuk membantu

mengidentifikasi beberapa alternatif yang bisa

dipergunakan dalam perkuliahan, diskusi, atau tugas

membaca untuk menilai siswa dalam memahami konsep dan

isi.

Tangga penggalaman belajar

26

c. Strategi mengajar visual

Adanya keterbatasan auditori yang menyertai hilangnya

pendengaran, banyak peneliti dan pendidik yang

menyarankan agar para guru membuat lingkungan belajar

yang kaya akan visual bagi anak-anak tunarungu. Para

ahli dalam lingkungan tersebut menggunakan:

1) isyarat, ejaan jari, dan membaca bibir yaitu

memandang wajah orang lain dan mulutnya ketika dia

membuat huruf

2) peralatan seperti OHP, papan bulletin, serta

televise

3) bahan-bahan termasuk di dalamnya gambar, ilustrasi,

slide, dan film dengan tulisan

Meskipun banyak dipergunakan penterjemah dan bahasa

isyarat dalam seting pendidikan, tanda-tanda tersebut,

seperti halnya bicara, hanya memberikan signal atau

tanda yang bersifat sementara. Tnda tersebut bergerak,

kemudian terlihat sebentar dan akhirnya hilang.

Strategi pengajaran visual dapat lebih permanen dan

dapat lebih dipergunakan membantu siswa lebih fokus

terhadap informasi penting, melihat bagaimana

keterkaitan antar konsep, dan mengintegrasikan antara

pengetahuan sebelumnya dengan pengetahuan yang baru.

Sebagai contoh, alat-alat bantu visual dapat

dipergunakan di kelas untuk meningkatkan komunikasi

27

dan proses belajar termasuk peraturan kelas, daftar

tugas, jadwal harian, dan sebagainya.

d. Mengakomodasi siswa yang tunarungu dan kurang dengar

Karena banyak guru-guru umum yang mempunyai

keterbatasan dalam memperoleh latihan atau pengalaman

bekerja dengan siswa tunarungu, mereka biasanya

tergantung kepada guru khusus untuk membantu

mengidentifikasi dan melaksanakan agar kurikulum dan

interaksi sosial dapat terlaksana di kelasnya.

Keutusan tentang bantuan khusus apa yang akan

dipergunakan tergantung pada tujuan.

Sistem Layanan Bagi Anak Tunarungu

Sebagaimana anak lainnya yang mendengar, anak

tunarungu membutuhkan pendidikan untuk mengembangkan

potensinya secara optimal. Untuk memenuhi kebutuhan

tersebut, diperlukan layanan pendidikan yang disesuaikan

dengan karakteristik, kemampuan, dan ketidakmampuannya.

Di samping sebagai kebutuhan, pemberian layanan

pendidikan kepada anak tunarungu, didasari oleh beberapa

landasan, yaitu landasan agama, kemanusiaan, hukum, dan

pedagogis.

Ditinjau dari jenisnya, layanan pendidikan terhadap

anak tunarungu, meliputi layanan umum dan khusus. Layanan

umum merupakam layanan yang biasa diberikan kepada anak

28

mendengar/normal, sedangkan layanan khusus merupakan

layanan yang diberikan untuk mengurangi dampak

kelainannya, yang meliputi layanan bina bicara serta bina

persepsi bunyi dan irama.

Ditinjau dari tempat sistem pendidikannya, layanan

pendidikan bagi anak tunarungu dikelompokkan menjadi 2,

yaitu:

1) Sistem segregasi, merupakan sistem pendidikan yang

terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak

mendengar/normal. Tempat pendidikan bagi anak tunarungu

melalui sistem ini meliputi: sekolah khusus (SLB-B),

SDLB, dan kelas jauh atau kelas kunjung.

2) Sistem Pendidikan intergrasi/terpadu, merupakan

sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada

anak tunarungu untuk belajar bersama anak

mendengar/normal di sekolah umum/biasa. Melalui sistem

ini anak tunarungu ditempatkan dalam berbagai bentuk

keterpaduan yang sesuai dengan kemampuannya.

Metode Pengajaran Bagi Anak Tunarungu

Berikut metode pengajaran yang umumnya digunakan oleh

guru kepada anak tuna rungu, yaitu :

1) Belajar Melalui Membaca Ujaran (Speechreading)

Belajar melalui membaca ujaran adalah belajar dimana

anak dapat memahami pembicaraan orang lain dengan

29

“membaca” ujarannya melalui gerakan bibirnya. Akan

tetapi, hanya sekitar 50% bunyi ujaran yang dapat

terlihat pada bibir (Berger, 1972). Di antara 50%

lainnya, sebagian dibuat di belakang bibir yang

tertutup atau jauh di bagian belakang mulut sehingga

tidak kelihatan, atau ada juga bunyi ujaran yang pada

bibir tampak sama sehingga pembaca bibir tidak dapat

memastikan bunyi apa yang dilihatnya. Hal ini sangat

menyulitkan bagi mereka yang ketunarunguannya terjadi

pada masa prabahasa. Seseorang dapat menjadi pembaca

ujaran yang baik bila ditopang oleh pengetahuan yang

baik tentang struktur bahasa sehingga dapat membuat

dugaan yang tepat mengenai bunyi-bunyi yang

“tersembunyi” itu. Jadi, orang tunarungu yang

bahasanya normal biasanya merupakan pembaca ujaran

yang lebih baik daripada tunarungu prabahasa, dan

bahkan terdapat bukti bahwa orang non-tunarungu tanpa

latihan dapat membaca bibir lebih baik daripada orang

tunarungu yang terpaksa harus bergantung pada cara ini

(Ashman & Elkins, 1994).

Kelemahan sistem baca ujaran ini dapat diatasi bila

digabung dengan sistem cued speech (isyarat ujaran).

Cued Speech adalah isyarat gerakan tangan untuk

melengkapi membaca ujaran (speechreading). Delapan

bentuk tangan yang menggambarkan kelompok-kelompok

30

konsonan diletakkan pada empat posisi di sekitar wajah

yang menunjukkan kelompok-kelompok bunyi vokal.

Digabungkan dengan gerakan alami bibir pada saat

berbicara, isyarat-isyarat ini membuat bahasa lisan

menjadi lebih tampak (Caldwell, 1997). nak tunarungu

yang tumbuh dengan menggunakan cued speech ini mampu

membaca dan menulis setara dengan teman-teman

sekelasnya yang non-tunarungu (Wandel, 1989 dalam

Caldwell, 1997).

2) Belajar Melalui Pendengaran

Ashman & Elkins (1994) mengemukakan bahwa belajar

melalui pendengaran dimana individu tunarungu dari

semua tingkat ketunarunguan dapat memperoleh manfaat

dari alat bantu dengar tertentu. Alat bantu dengar

yang telah terbukti efektif bagi jenis ketunarunguan

sensorineural dengan tingkat yang berat sekali adalah

cochlear implant. Cochlear implant adalah prostesis

alat pendengaran yang terdiri dari dua komponen, yaitu

komponen eksternal (mikropon dan speech processor)

yang dipakai oleh pengguna, dan komponen internal

(rangkaian elektroda yang melalui pembedahan

dimasukkan ke dalam cochlea (ujung organ pendengaran)

di telinga bagian dalam. Komponen eksternal dan

internal tersebut dihubungkan secara elektrik.

Prostesis cochlear implant dirancang untuk menciptakan

31

rangsangan pendengaran dengan langsung memberikan

stimulasi elektrik pada syaraf pendengaran (Laughton,

1997).

3) Belajar secara Manual

Secara alami, individu tunarungu cenderung

mengembangkan cara komunikasi manual atau bahasa

isyarat. Untuk tujuan universalitas, berbagai negara

telah mengembangkan bahasa isyarat yang dibakukan

secara nasional. Ashman & Elkins (1994) mengemukakan

bahwa komunikasi manual dengan bahasa isyarat yang

baku memberikan gambaran lengkap tentang bahasa kepada

tunarungu, sehingga mereka perlu mempelajarinya dengan

baik. Kerugian penggunaan bahasa isyarat ini adalah

bahwa para penggunanya cenderung membentuk masyarakat

yang eksklusif.

32

Manual Alphabet

Ketiga metode pengajaran di atas dapat digabungkan

dengan metode pembelajaran yang sama dengan sekolah

umum, contohnya metode tanya jawab, demonstrasi, dan

sebagainya.

Pendekatan Dalam Pengajaran Bahasa Bagi Anak

Tunarungu

Pengajaran bahasa secara terprogram bagi anak tunarungu

harus dimulai sedini mungkin bila kita mengharapkan

tingkat keberhasilan yang optimal. Terdapat dua

pendekatan dalam pengajaran bahasa kepada anak tunarungu

secara dini, yaitu pendekatan auditori-verbal dan

auditori-oral.

1. Pendekatan Auditori verbal

Pendekatan auditori-verbal bertujuan agar anak

tunarungu tumbuh dalam lingkungan hidup dan belajar

yang memungkinkanya menjadi warga yang mandiri,

partisipatif dan kontributif dalam masyarakat

inklusif. Pendekatan auditori verbal didasarkan atas

prinsip mendasar bahwa penggunaan amplifikasi

memungkinkan anak belajar mendengarkan, memproses

33

bahasa verbal, dan berbicara. Opsi auditori verbal

merupakan strategi intervensi dini, bukan prinsip-

prinsip yang harus dijalankan dalam pengajaran di

kelas. Tujuannya adalah untuk mengajarkan prinsip-

prinsip auditori verbal kepada orang tua yang

mempunyai bayi tunarungu (Goldberg, 1997).

2. Pendekatan auditori oral

Pendekatan auditori oral didasarkan atas premis

mendasar bahwa memperoleh kompetensi dalam bahasa

lisan, baik secara reseptif maupun ekspresif,

merupakan tujuan yang realistis bagi anak tunarungu.

Kemampuan ini akan berkembang dengan sebaik-baiknya

dalam lingkungan di mana bahasa lisan dipergunakan

secara eksklusif. Lingkungan tersebut mencakup

lingkungan rumah dan sekolah (Stone, 1997). Mengajari

anak mengunakan sisa pendengaran yang masih

dimilikinya untuk mengembangkan perolehan bahasa lisan

merupakan hal yang mendasar bagi pendekatan auditori

oral. Meskipun dimulai sebelum anak masuk sekolah,

intervensi oral berlanjut di kelas. Anak diajari

keterampilan mendengarkan yang terdiri dari empat

tingkatan, yaitu deteksi, diskriminasi, identifikasi,

dan pemahaman bunyi. Keuntungan utama pendekatan

auditori-oral ini adalah bahwa anak mampu

berkomunikasi secara langsung dengan berbagai macam

34

individu, yang pada gilirannya dapat memberi anak

berbagai kemungkinan pendidikan, pekerjaan, dan

kehidupan sosial.

35

BAB III

PENUTUP

A. Simpulan

Tunarungu pada hakekatnya dapat diartikan sebagai

kekurangan atau kehilangan kemampuan mendengar yang

disebabkan oleh kerusakan seluruh alat pendengaran yang

mengakibatkan hambatan dalam perkembangan bahasa sehingga

memerlukan bimbingan dan pelayanan khusus. Yang dimana

tunarungu ini dapat diklasifikasikan berdasarkan taraf

pendengarannya, yakni tuli (deaf)  dan kurang dengar (hard

of hearing).

Dasar penyeabab ketunarunguan ini dapat diakibatkan

oleh beerapa faktor, baik dari segi prenatal, natal, dan

post natal. Dari hasil penelitian, kondisi-kondisi

tersebut hanya 60% penyebab dari kasus-kasus

ketunarunguan pada masa anak-anak. Meskipun sudah banyak

alat-alat diagnose yang canggih, namun masih belum dapat

menentukan penyebab ketunarunguan yang 40% lagi. Dan

ternyata campak Jerman dari pihak ibu, keturunan,

komplikasi selama kehamilan dan kelahiran adalah penyebab

yang lebih banyak.

Secara sepintas ketunarunguan yang dialami oleh

seseorang tidak tampak, tidak sama dengan jenis ketunaan

yang lainnya dan merentang dari yang ringan hingga berat.

36

Karakteristik tunarungu dapat dilihat dari segi

intelegensi, bahasa dan bicara, emosi dan sosial.

Anak yang mengalami ketidakmampuan untuk medengar ini

sebenarnya memiliki perkembangan inteligensi yang sama

dengan anak yang normal. Perkembangan yang terganggu

adalah ketrampilan bicara dan bahasa, khususnya anak-anak

yang ketunarunguannya dibawa sejak lahir. Dari

perkembangan anak yang memiliki ketunarunguan tersebut,

diperlukannya latihan sedini mungkin agar anak tersebut

tidak mengalami keterlambatan belajar yang jauh.

B. Saran

Anak dengan gangguan ketunarunguan sebaiknya kita jaga

sebaik mungkin. Hal ini karena mereka pastinya ingin

diperlakukan sama dengan anak normal. Karena adanya

gangguan pendengaran ini jangan sampai membuat mereka

ketinggalan informasi bahkan mengalami keterlamatan

belajar. Sehingga kita dituntut untuk mampu memahami

kondisi mereka agar cita-cita mereka juga bisa tercapai

layaknya anak normal. Dan sebagai orang normal jangan

sampai kita membeda-bedakan mereka hanya karena mereka

aanak yang mengalami gangguan pendengaran.

37

38


Recommended