+ All Categories
Home > Documents > BAB I - e-Campus

BAB I - e-Campus

Date post: 28-Apr-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
71
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan baik mengenai kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Islam bukan sekedar ajaran ritualitas melainkan juga memberi petunjuk yang fundamental tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat bahkan benegara. Dengan adanya hal tersebut, dikalangan umat Islam sampai sekarang terdapat tiga Aliran tentang hubungan antara Islam dan Ketatanegaraan. Aliran Pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara. 1 Aliran Kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama dalam kenegaraan. Aliran Ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaran. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa 1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 2013, hlm. 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan

baik mengenai kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Islam

bukan sekedar ajaran ritualitas melainkan juga memberi petunjuk yang

fundamental tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat

bahkan benegara. Dengan adanya hal tersebut, dikalangan umat Islam

sampai sekarang terdapat tiga Aliran tentang hubungan antara Islam dan

Ketatanegaraan. Aliran Pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah

semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut

hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama

yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek

kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.1

Aliran Kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam

pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama

dalam kenegaraan. Aliran Ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah

suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem

ketatanegaran. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam

adalah agama dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan

antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa

1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI

Press, 2013, hlm. 1

bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat

seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.2

Persoalan hubungan Islam dan Negara merupakan salah satu

pembahasan penting di masa modern seperti saat ini, Pembahasan tentang

ini telah banyak dibahas para ahli di dunia Islam seiring munculnya

konsep Nation State (negara bangsa) pada abad 19 yang dipopulerkan oleh

dunia Barat ke dunia internasional, termasuk wilayah Indonesia yang

berpenduduk mayoritas Islam. Meski konsep nation state telah

diperkenalkan sejak awal abad ke 19, pada umumnya persoalan Islam dan

negara baru serius menjadi isu internasional tak terkecuali di negara-

negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia pada tahun 1940-an

di abad ke-20 lalu, tepatnya pasca perang dunia kedua.3 Sehingga,

berbagai gagasan dan pemikiran negara Islam yang telah dihasilkan oleh

banyak pemikir muslim baik dari sejak awal abad ke-20 sampai sekarang

akan ditemukan gagasan-gagasan Islam dan negara mulai dari yang

formalistik fundamentalis sampai ke gagasan sekularistik.4

Setidaknya ada beberapa paradigma pola hubungan negara dan

Islam yang dikemukakan beberapa tokoh Islam. Secara garis besar

paradigma tersebut dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran,

diantaranya Paradigma Integralistik (Unified Paradigm), Paradigma

2 Munawir Sjadzali, ”Islam dan Tata ...... hlm. 1-2

3 Hamzah Hasan,”Hubungan Islam dan Negara: Merespons Wacana Politik Islam

Kontemporer di Indonesia”, Al-Ahkam, vol. 25, no. 1 (2015), hlm. 20 4 Jaenudin, “Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Pemikiran Kontemporer

Menurut Abul A’la Al Maududi”, Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial”, (2017), hlm.

229

Simbiotik (Symbiotic Paradigm), dan Paradigma Sekularistik (Secularistic

Paradigm).

Paradigma Pertama yaitu paradigma Integralistik berpaham bahwa

Islam dalam kenyataannya tidak hanya sekedar doktrin agama yang

membimbing manusia dari aspek spiritual saja, melainkan juga berusaha

membangun sistem ketatanegaraan. Menurut paradigma ini, Islam sebagai

sebuah agama dapat diartikan pula sebagai lembaga politik dan

kenegaraan, tidak hanya mengatur hubugan manusia dengan Tuhan tetapi

mengatur hubungan antar sesama manusia, baik dalam aspek sosial

maupun politik kenegaraan dengan doktrin Inna al-Islām Dīn wa Daulah.

Dengan doktrin ini Islam dipahami sebagai teologi politik. Pada akhirnya

Islam menjadi keniscayaan terutama dalam upaya memposisikan Islam

sebagai dasar negara sehingga agama dan politik tidak dapat dipisahkan

harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam suatu wadah yang

bernama Negara Islam.5 Tokohnya: Syekh Hasan al-Bana, Rasyid Ridha

dan Sayyid Quthb, Abu al-A'la al Mawdudi dan 'Ali al-Nadwy.

Paradigma Kedua yaitu Paradigma Simbiotik, teori ini

menjelaskna bahwa hubungan antara agama dan negara harus berbeda

dalam hubungan yang bersifat simbiotik, yaitu suatu hubungan timbal

balik yang saling memerlukan antara keduanya. Negara menurut

paradigma ini memerlukan panduan etika dan moral sebagaimana

diajarkan agama. Sementara agama sendiri memerlukan kawalan negara

5 Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama Dan Negara”, In Right: Jurnal

Agama dan Hak Asasi Manusia”, vol. 2, no. 1, (2012) hlm. 43

untuk kelestarian dan eksistensinya atau agama (Islam) memerlukan

‘pedang penolong’ yaitu negara. Tanpa ‘pedang penolong’ yang

mendukungnya, maka Islam dengan semua ajarannya yang sempurna dan

komprehensif tidak akan mungkin ditancapkan dalam realitas sosial.

Dengan hubungan seperti inilah keduanya berada dalam dimensi

simbiosis-mutualistis dan tidak mereduksi agama atau tidak menyamakan

antara alat dengan risalah.6 Tokohnya: Husayn Haykal, Fazlur Rahman,

Qamaruddin Khan, Al-Mawardy.

Paradigma Ketiga yaitu Paradigma Sekularistik yang cenderung

menekankan pemisahan antara agama dan negara. Kelompok ini

mempunyai cita-cita politik menjadikan negara sekuler. Mereka berpegang

pada paradigma teori yang menyatakan bahwa agama sama sekali tidak

menekankan kewajiban mendirikan negara. Agama, menurut mereka

hanya memberikan nilai etik-moral dalam membangun tatanan masyarakat

dan negara. Kerangka teologis dari kelompok ini, bahwa pembentukan

pemerintahan dan negara Islam tidak termasuk dalam tugas sebagaimana

diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW.7 Tokoh aliran ini yang

paling terkenal dan bersuara lantang adalah ‘Ali ‘Abd ar-Raziq

Berdasarkan pemaparan paradigma diatas, Nurcholis Madjid

berpendapat bahwa pada dasarnya dalam masalah sosial politik, Islam

memberi ilham bagi para pemeluknya untuk membuka wawasan dalam

berbagai aspek sosial-politik. Sejarah menunjukkan pula bahwa agama

6 Kamsi,”Paradigma Politik Islam......, hlm. 49

7 Kamsi,” Paradigma Politik Islam......, hlm. 46

Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan serta

teknis masalah sosial politik itu. Juga suatu bentuk formal kenegaraan

tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi para penguasanya.

Yang utama adalah visi negara dipandang dari sudut pertimbangan

prinsipil tentang etika sosial.

Jika demikian, membahas hubungan negara dan agama, apapun

bentuk dan sistemnya bila dipandang dari sudut ibadah, sesungguhnya

tergolong muamalah. Oleh karena itu, ketika bentuk dan sistem negara

yang diperbincangkan, dalam waktu yang bersamaan juga telah dilakukan

kebaikan bersama sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang

terjadi. Ini berarti bahwa umat Islam dapat melakukan ijtihad dan berhak

memilih sekaligus menentukan hal-hal mana yang lebih sesuai dengan

prinsip dan nilai-nilai universal Islam.8

Maka daripada itu, Para ulama yang menjadi pendiri negara (KH

Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim dan

Abikusno Tjokrosurojo) menyadari bahwa pendirian negara bukanlah

tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi sebagai sarana untuk mencapai

kemaslahatan hidup manusia. Demikian juga tujuan norma agama Islam

(maqasyid asy-syari’ah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup

manusia secara keseluruhan tanpa membedakan ras, agama ataupun

golongan. Pluralitas beragama ini disadari oleh para ulama yang menjadi

pendiri negara, sehingga mereka mengambil kebijakan dengan

8 Nasaruddin, “Pemikiran Islam Tentang Hubungan Negara dan Agama”, Jurnal Hunafa,

vol. 6 no. 2, (2009), hlm. 212

merumuskan ideologi Pancasila dan UUD-NRI 1945 yang mengakomodir

aspirasi seluruh golongan dan agama. Dengan demikian, jika NKRI

dengan ideologi Pancasila sudah dianggap final, maka hal itu wajar karena

gagasan tersebut lahir dari tradisi dan spirit keagamaan warganya.

Eksistensi NKRI dengan Ideologi Pancasila semakin kokoh secara

kultural, setelah Nahdlatul Ulama melalui Muktamarnya Tahun 1984 di

Situbondo Jawa Timur meneguhkan Pancasila sebagai asas tunggal

negara.9

Setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan, partai-partai

yang sebelumnya mati suri/dibekukan oleh pemerintahan Jepang

dibangkitkan kembali melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945.

Maklumat tersebut disambut dengan antusias oleh tokoh-tokoh politik.

Kegairahan ini tidak hanya pada kalangan tokoh yang memiliki

pengalaman mengelolah Partai Politik pada masa sebelum merdeka.

Terdapat sekitar 40 Partai Politik berdiri dan masing masing turut

berpartisipasi dalam percaturan politik nasional.10

Diantara yang menyambut maklumat ini adalah organisasi PERTI

(Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berada di Sumatera Barat, dengan

mengadakan rapat pleno Pengurus Besarnya pada tanggal 22 November

1945. Dalam rapat itu diambil kesepakatan untuk meningkatkan

perjuangan PERTI dengan cara menjadikannya Partai Politik Islam Perti.

9 , “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”, Analisis:Jurnal Studi Keislaman, vol.

14 no. 1, (2014), hlm. 16 10

Rifandy Ritonga, “Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem Demokrasi di

Indonesia”, Pranata Hukum, vol. 10 no. 2, (2016), hlm. 102

Keputusan itu kembali dalam Muktamar IV yang diadakan di Bukittinggi

tanggal 24-26 Desember 1945. Saat itu diangkat H. Sirajuddin Abbas yang

semula sebagai Ketua Pengurus Besar menjadi ketua Dewan Partai

Tertinggi (DPT) dan Rusli A. Wahid menggantikan Sirajuddin sebagai

ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sedangkan Syeikh Sulaiman Arrasuli

duduk sebagai Ketua Majelis Penasehat Pusat (MPP).11

Anggaran Dasar Partai telah disusun sejak PERTI menjadi partai

politik, bahkan disempurnakan lagi pada Muktamar IX tahun 1962 tahun

1962 di Jakarta menunjukkan bahwa kepribadian organisasi ini tetap

seperti halnya sebelum menjadi partai politik. Dalam Pasal 3 Anggaran

Dasar memuat kepribadian PERTI seperti;

1. Tujuan Partai ialah;

a. Meninggikan agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya.

b. Menjiwai masyarakat Indonesia dalam semangat keislaman.

c. Membangun masyarakat yang adil dan makmur yang sesuai dengan

kepribadian Indonesia dan agama Islam.

2. Partai ini menerima dan mempertahankan Undang-undang Dasar

Negara Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar negara:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan

Rakyat, dan Keadilan Sosial.

11

Alaiddin Koto, Pemikiran Politik PERTI 45-70, (Jakarta, PT. Nimas Multima, 1997),

hlm. 47

3. Dalam memperjuangkan tujuannya, partai ini akan menggunakan jalan-

jalan damai dan demokrasi.12

Selanjutnya, program partai dimuat dalam pasal 4, yang

menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuannya, Partai ini berusaha;

1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia

yang menjadi jembatan emas untuk kemakmuran rohaniah dan

jasmaniyah rakyat.

2. Menentang kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya.

3. Memajukan pengajaran, pendidikan, dan kecerdasan rakyat.

4. Memperdalam rasa cinta terhadap agama, bangsa, dan tanah airnya.

5. Memperhebat penyiaran dan pertahanan agama Islam.

6. Memajukan perekonomian dan kemakmuran rakyat.13

Sebenarnya, ada banyak lagi gerakan PERTI dikancah politik ini

yang menarik untuk dilihat.14

Namun pada perkembangannya, organisasi

ini sempat mengalami konflik internal sehingga organisasi ini terpecah

dua, yang satu menyebut dirinya sebagai PERTI dibawah kepemimpinan

Rusli A. Wahid dan yang lainnya menyebutnya sebagai “Tarbiyah”,

dibawah kepemimpinan H. Sirajuddin Abbas, akan tetapi keduaduanya

sama-sama mengakui nama lengkap organisasinya sebagai “Persatuan

Tarbiyah Islamiyah”. Sekitar setahun menjelang wafat, Syeikh Sulaiman

Arrasuli tetap beupaya mendamaikan keduanya dengan mengirim surat

12

Alaiddin Koto, Pemikiran Politik .... hlm. 52 13

Alaiddin Koto, Pemikiran Politik .... hlm. 53 14

Alaiddin Koto, Pemikiran Politik .... hlm. 55

kepada Rusli A. Wahid pada tanggal 1 Maret 1969 yang menghimbau

PERTI menanggalkan statusnya sebagai partai politik dan kembali ke

khittah semula sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang tugas

utamanya adalah meninggikan syiar agama dan membina pendidikan

Islam. Pihak Tarbiyah menyebut surat tersebut sebagai “Dekrit Inyiak

Canduang”.15

Inyiak Canduang atau Syeikh Sulaiman Arrasuli adalah salah satu

dari Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Syeikh Sulaiman Arrasuli

adalah tokoh sentral dari PERTI, selain pengaruhnya yang begitu kuat di

kalangan ulama kaum Tua di Minangkabau, juga karena perubahan sistem

pendidikan tersebut sekaligus tempat terbentuknya Tarbiyah Islamiyah

bertempat di lembaga yang Ia pimpin, yaitu di Canduang.16

Melihat kiprah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dalam bidang politik,

bermula ketika beliau ditetapkan sebagai Penasehat Tertinggi partai

PERTI, setelah Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengembangkan fungsinya

sebagai Partai Politik dalam menanggapi Maklumat Wakil Presiden RI,

Dr. Muhammad Hatta Nomor X/3 November 1945 tentang pendirian

partai-partai politk sebagai penyalur aspirasi rakyat.17

Kemudian pada tahun 1948, beliau diangkat sebagai penasehat

Gubernur Militer Sumatera Tengah. Kepercayaan ini tentu tidak terlepas

15

Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Ber I’tiqad

Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i, (Padang, Jasa Surya, 2015), hlm. 21 16

Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri.... hlm. 24 17

Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri.... hlm. 44

dari peran beliau dalam memberikan dukungan terhadap perjuangan TNI

dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.18

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli juga terpilih menjadi anggota

Konstituante berdasarkan hasil Pemilihan Umum (PEMILU) pertama pda

tahun 1955. Sebagai anggota tertua, baik dari segi usia maupun ilmu dan

pengalaman, beliau terpilih menjadi ketua sidang pertama konstituante

pada tanggal 10 November 195 di Kota Bandung.19

Pada tahun 1956, beliau menghadiri Muktamar Ulama Seluruh

Indonesia (MUSI) di Palembang Sumatera Selatan. Dalam Muktamar

tersebut, beliau dipercaya sebagai ketua salah satu komisi. Komisi ini

sendiri bertujuan untuk menentang komunis yang telah mulai

memperlihatkan kukunya dalam berbagai kehidupan bangsa.20

Berdasarkan pada keterangan di atas, peneliti mengangkat tema

penelitian ini dengan judul "Studi Tokoh: Konsep Hubungan Islam dan

Negara Menurut Syeikh Sulaiman Arrasuli "

B. Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang dapat dirumuskan satu pokok

permasalahan skripsi ini yaitu "Analisis Pendapat Syeikh Sulaiman

Arrasuli terhadap Hubungan Islam dan Negara" yang dibagi menjadi

dua sub masalah yaitu :

18

Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri .... hlm. 45 19

Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri .... hlm. 48 20

Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri .... hlm. 48

1. Bagaimana pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap Hubungan

Islam dan Negara?

2. Bagaimana pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli tentang kriteria

seorang pemimpin suatu Negara?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mendeskripsikan pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap

Hubungan Islam dan Negara.

2. Untuk mengetahui pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap

kriteria seorang pemimpin negara yang ideal dan bagaimana posisi

seorang pemimpin negara dalam agamanya.

D. Kegunaan Penelitian

Pada dasarnya setiap penelitian tentunya mempunyai manfaat,

baik dalam rangka pengembangan pengetahuan ataupun berkaitan

dengan asas guna yang lebih luas seperti halnya kepentingan sosial

praksis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi

empirik dan pengetahuan seputar Pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli

terhadap Hubungan Islam dan Negara serta dapat dijadikan sarana

untuk memperluas khasanah keilmuan.

2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran

dan kontribusi informasi serta pengetahuan dalam memahami konsep

Negara dan Islam untuk masyarakat dan juga mahasiswa.

3. Bagi penulis Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pada

Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi, dan juga

menambah pengetahuan dan pengalaman penulis agar

mengembangkan ilmu yang telah diperoleh.

E. Studi Terdahulu

Berkaitan dengan permasalahan Islam dan Negara, beberapa

tulisan dan penelitian terdahulu diantaranya antara lain:

1. Skripsi dengan judul “Islam dan Negara (Negara Pancasila Menurut

Pemikiran Munawir Sjadzali) oleh Dedy Faisal (2007) Fakultas

Ushuluddin Universitas Islam Sunan Kalijaga Jogjakarta. Dalam Skripsi

ini, penulis berupaya untuk mengkaji dan menganalisa pemikiran Munawir

Sjadzali tentang Islam dan Negara dan melakukan deskripsi pemikiran

Munawir Sjadzali dengan melakukan sintesa dan interprestasi terhadap

negara serta pandangan Munawir Sjadzali tentnag Negara: Agama (Islam)

dan Pancasila.

2. Skripsi dengan judul “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran

Politik Islam di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy)”

oleh Muhammad Fauzan Naufal (2017) Fakultas Syari’ah Universitas

Islam Negeri Raden Intan Lampung. Dalam skripsi ini. Penulis berupaya

mencari tahu bagaimana mengetahui gambaran serta pendapat Bahtiar

Effendy mengenai hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik

di Indonesia.

3. Skripsi dengan judul “Pemikiran Ahmad Syafii Tentang Hubungan Agama

dan Negara” oleh Siti Nurlaela (2016) Fakultas Syari’ah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini,

penulis berupaya untuk mengetahui bentuk ideal, posisi, dan

pengaplikasian Agama dan Negara menurut Pandangan Ahmad Syafii

Ma’arif.

Yang menjadi dasar perbedaan dengan skripsi ini adalah lebih

menjurus kepada bagaimana Pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap

Hubungan Islam dan Negara.

F. Metode Penelitian

Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu

yang mempunyai langah-langkah sistematis. Metode penelitian adalah

mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan

dalam suatu kegiatan penelitian.

1. Jenis penelitian

Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)

dengan pendekatan kualitatif. Yaitu penelitian yang menggunakan metode

dengan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data-data

yang berkaitan dengan masalah ini dengan pendekatan kualitatif.

Pendekatan kualitatif adalah karena penelitian ini tidak bermaksud mencari

hubungan dan pengaruh timbal balik antara dua variabel atau lebih, akan

tetapi penelitian ini bermaksud mendeskripsikan relevansi pendapat

Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadab hubungan Islam dan negara.

2. Sumber Data

Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka penulis

mengklasifikasikan sumber data menjadi dua sumber data, yaitu:

a. Data primer

Data primer adalah yaitu sumber-sumber yang membahas Syeikh

Sulaiman Arrasuli dan PERTI diantaranya: 1) Pemikiran Politik PERTI

45-70, 2) Prinsip dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Ber I’tiqad

Ahlussunah Wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i, 3) Pertalian Adat dan

Syara’

b. Data sekunder

Data sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya

dengan judul baik langsung ataupun tidak langsung. Pengambilan

kepustakaan didasarkan pada otoritas keunggulan pengarang dibidang

Politik Islam, dan Negara.

c. Teknik Analisa Data

Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam

penelitian ini adalah analisa data kualitatif, yaitu analisa dengan

mengklasifikasikan data-data berdasarkan kategori-kategori atas

persamaan jenis dari data-data tersebut kemudian data tersebut diuraikan

sehigga diperoleh gambaran yang utuh tentang permasalahan yang diteliti.

G. Sistematika Pembahasan

Bab Pertama, bagian ini tentang pendahuluan, yang di dalamnya

menjelaskan secara garis besar tentang permasalahan, latar belakang,

idenifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, studi terdahulu,

manfaat penelitian kegunaan, metode penelitian dan sistematika

pembahasan.

Bab Kedua, Pada bagian ini penulis menguraikan Biografi atau

Riwayat Hidup Syeikh Sulaiman Arrasuli.

Bab Ketiga, di bab ini penulis akan mengurakan landasan teori

mengenai Islam dan Negara.

Bab Keempat, Pemaparan tentang analisis pemikiran Syeikh

Sulaiman Arrasuli mengenai Islam dan Negara.

Bab Lima, merupakan bagian penutup sebagai akhir dari

pembahasan penelitian ini, dalam bab ini mencangkup kesimpulan

serta saran untuk pembaca dan perbaikan ke depan dari skripsi yang

ditulis.

BAB II

BIOGRAFI SYEIKH SULAIMAN AR-RASULI

H. Riwayat Hidup Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli

Beliau dilahirkan petang Ahad malam Senin bulan Muharam 1297

Hijriyah (1879 M) ditempat ayah beliau mengajar di Suaru Pakan Kamis

Usang, Candung, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Beliau

adalah keturunan Ulama, ayahnya adalah seorang ulama besar di alam

Minangkabau, ayahnya disebut degan gelar Tuanku Mudo Pakan Kamis.

Kakeknya biasa dipanggil masyarakat dengan Tuanku Nan Pahit, beliau

juga terkenal sebagai seorang Ulama yang alim pada masanya.21

Sedangkan ibunya bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang

perempuan yang taat beragma. Karena sistem kekerabatan masyarakat

Minangkabau bersifat matriakat, maka Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersuku

Caniago. Maka daripada itu, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli lahir dari

keluarga yang taat beragama dan pendidik ditengah-tengah

masyarakatnya.22

Nama lengkap Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah Sulaiman bin

Muhammad Rasul. Murid-muridnya memanggil beliau dengan sebutan

Maulana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli.23

Ada juga yang menyebut namanya

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli al-Minangkabawi, meniru gurunya Syeikh

21

Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan Syara’ oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, (Jakarta:

Ciputat Press, 2003), hlm. 48 22

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 26 23

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 25

Ahmad Khatib al-Minangkabawi,24

Ia juga dijuluki dengan sebutan

“Inyiak Canduang”. Panggilan terakhir ini menunjukkan beliau adalah

ulama yang merupakan “penisbahan” kepada ayahnya yang bernama

Angku Mudo Muhammad Rasul.25

Adapun sifat-sifat Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah sebagai

berikut:

1) Beliau adalah seorang yang suka bergaul dengan siapa saja dan

dari golongan apa saja.

2) Beliau sangat pengasih dan pemurah dalam hal apapun serta

suka menolong orang yang dalam kesusahan. Bahkan banyak

murid-muridnya yang meminjam uang kepadanya disaat murid-

muridnya menunggu kiriman dari kampung.

3) Beliau suka bergotong royong walaupun beliau akan

mengeluarkan seluruh hartanya ataupun berhutang.

4) Beliau sangat menghargai jasa-jasa orang, terlebih kepada jasa

guru-gurunya hingga sampai anak dan istri guru-gurunya yang

telah meninggal. Beliau pernah memberi hadiah walaupun

sediikit.

5) Beliau seorang ulama yang beritikad dengan itikad Ahlu

Sunnah wal Jama’ah dan bermahzab Imam Syafi’i

24

Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (1871M-1970M)

Sebagai Pendakwah”, Al-Munir, vol. 3, no. 5 (2012), hlm 134 25

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 25

6) Beliau adalah seorang ulama yang kuat pendiriannya dalam

agama, tidak mau berubah-ubah dan sangat kuat

mempertahankan fatwa yang.

7) Beliau menerima perkembangan zaman, begitupun dalam

menjalankan agama seperti mendirikan sekolah jurnalistik dan

lain sebagainya. Akan tetapi dalam hal amalan atau ibadah

beliau tetap berpegang teguh.

8) Beliau seorang ulama yang mengerti tentag seluk beluk adat

istiadat Minangkabau, sehingga dimana-mana beliau bertabligh

dan berpidato sesekali menjelaskan perkara adat istiadat yang

mencerahkan masyarakat. Apalagi banyak keterangan bahwa

beliau banyak sekali mendamaikan antara adat dan syara’

(agama).

9) Beliau suka mendengar Pembaca Al-Qur’an dan Qasidah-

qasidah berbahasa Arab dan Mesir.26

I. Riwayat Pendidikan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli

Karena latar belakang keluarganya yang taat beragama, membuat

orang tuanya menginginkan Sulaiman kelak menjadi seorang ulama.27

Guru pertama Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah ayahnya sendiri,

Muhammad Rasul. Sebagai seorang ulama, Muhammad Rasul

menjalankan kewajibannya untuk memberikan pendidikan agama kepada

putranya, dan secara sosial ia juga telah melakukan regenerasi ulama.

26

Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan.... hlm. 61-62 27

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 26

Transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama dari seorang ayah

kepada anaknya, telah belangsung secara formal maupun non formal.28

Pendidikan selanjutnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli belajar Al-

Qur’an di perguruan agama di Batu Hampar, Payakumbuh Kab. 50 Kota.

Disini ia belajar dengan Syeikh Muhammad Arsyad (1899-1924 M), anak

dari Syeikh Abdurrahman al-Khalidi, pendiri surau tersebut. Di samping

itu ia juga belajar menulis dan membaca huruf latin dengan seorang

keluarga Tuanku Laras Canduang dengan gelar Intan Nagari, yang juga

sedang belajar di perguruan yang sama pada tahun 1307 H.29

Selanjutnya, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli belajar bahasa Arab

kepada Syeikh Abdusshamad al-Samiak, di Biaro Kabupten Agam di

antara tahun 1883-1884 M dan tahun 1886-1889M. Beliau belajar dengan

guru in dua periode, disebabkan karena gurunya pergi ke Mekkah. Waktu

melaksanakan haji pada waktu itu tidak sama dengan zama sekarang,

apalagi jika perg haji disertai dengan belajar agama, akan menghabiskan

waktu yang lama. Waktu menunggu guunya pulang dari haji, Syeikh

Sulaiman Ar-Rasuli menggunakan waktunya untuk belajar ilmu waris

kepada30

Syeikh Muhammad Tuanku Kolok yang merupakan seorang

Ulama yang ahli di bidang fiqh dan fara’id. Syeikh ini merupakan kakek

(dari pihak ibu) Mahmud Yunus.31

Bertempat di Sungayang, Batusangkar,

Tanah Datar, diantara tahun 1885-1886 M dan waktu yang dihabiskan oleh

28

Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman..... hlm. 137 29

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 26-27 30

Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman ..... hlm. 138 31

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 27

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli untuk belajar Bahasa Arab tergolong lama,

yaitu sekitar 5 tahun, kemungkinan ia tidak belajar full time, tetapi yang

pasti belajar bahasa Arab ‘cara lama’ memakan waktu yang cukup lama

dibandingkan cara praktis sekarang, apalagi pada waktu itu, belajar bahasa

Arab sekaligus belajar tafsir al-Qur’an.32

Syeikh Sulaiman pun kembali ke Canduang lalu melanjutkan

pendidikannya ke Lokok Banuhampu berguru pada Syeikh Abdussalam.

Tidak lama di Banuhampu, ia pindah belajar ke Sungai Dareh Situjuh

Payakumbuh dan berguru kepada Syeikh Muhammad Salim al-Khalidi.

Kemudian, atas permintaan ayah dan gurunya Tuanku Samiak, ia pindah

belajar ke Halaban. Agaknya permintaan ini dilakukan agar beliau lebih

konsentrasi belajar disana. Apalagi di Halaban tersebut terdapat beberapa

orang yang belajar khusus dibawah asuhan Syeikh Abdullah Abdullah

Halaban yang pernah belajar di Makkah dan mendalami ilmu-ilmu

taffaquh fi al-din seperti Fiqh, Tafsir, Tashawuf, dan sebagainya. Syeikh

Sulaiman belajar disini selama tujuh tahun (1890 s.d. 1896 M). Selama di

Halaban ini, ia mendapat kepercayaan sebagai ‘guru tuo’, atau menjadi

naib (wakil) dari Syeikh Abdullah Halaban.33

Pada bulan Sya’ban 1321 H, beliau pulang ke Canduang, dan

membawa beberapa murid yang ingin tinggal di Canduang. Setelah

Ramadhan ia mulai mengajar orang-orang di sekitar Canduang yang

berkeinginan untuk belajar. Sekitar enam bulan kemudian (1322 H), beliau

32

Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman..... hlm. 138 33

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 28

menunaikan Ibadah Haji dengan kepala Jama’ah Haji yang amat

menyayanginya, yaitu Haji Abdurrahman Padang Gantiang, melalui jalan

Penang.34

Selama di Makkah, ia memanfaatkan untuk menuntut ilmu seperti

Fiqh, Tafsir, Hadis, Tashawuf dan sebagainya. Di antara guru-guru beliau

di Makkah seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh

Mukhtar Atharad as-Shufi, Syeikh Usman al-Sirwaqi, Syeikh Muhammad

Sa’id Mufty al-Syafe’i, Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Ali Kutan al-

Kelantani, Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Said Ahmad

Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan Said Babasil Yaman.35

Selama belajar di Makkah, ia seangkatan dengan beberapa ulama di

tanah air, diantaranya Syeikh Abdul Karim Amrullah (Ayah Buya Hamka

sekaligus ulama dari Kaum Muda), Syeikh Muhammad Jamil Jambek,

Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Abdullah Padang Japang, Syeikh

Abbas Ladang Lawas, Syeikh Zain Simabur, Kiyai Hasyim Asy’ari

(Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan Syeikh

Hasan Maksum Sumatera Utara (Tokoh terkemuka pada organisasi al-

Washliyah). Di kota suci ini ia belajar selama 3,5 tahun (1903 sampai

1903M).36

J. Peran dan Perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli di Minangkabau

1. Sebagai Da’i dan Pendidik

34

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 28 35

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 28 36

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 28-29

Oleh karena permintaan ibu beliau yang menyuruh kembali ke

Candung, maka bermusyawarahlah beliau dengan guru-gurunya dan guru-

gurunya menyuruh beliau kembali ke Tanah Air untuk menuruti perintah

Ibunya. Pada bulan Syafar 1324 H beliau kembali ke Indonesia yaitu ke

Candung.37

Kepulangannya ke kampung halaman disambut oleh

masyarakat dengan sukka cita. Apalagi saat itu, kedudukan ‘ulama’ sangat

bergengsi dan dihormati banyak orang.38

Masyarakat pun membangun surau yang dikenal dengan “Surau

Baru”. Disinilah beliau mendidik murid-muridnya yang datang untuk

menuntut ilmu.39

Maka sesudah Surau Baru itu dikerjakan maka beliau

tetap memberikan ilmu menurut cara belajar di masjid Al Harram

(Makkah Al Mukarrammah) yaitu memakai banyak kitab.40

Sedangkan

masa itu masyarakat Minangkabau pada umumnya masih menggunakan

sistem halaqah. Murid-murid duduk mengelilingi guru yang sedang

mengajar, kepada mereka diajarkan satu atau dua macam ilmu agama saja.

Namun Sulaiman, melakukan perubahan dengan tidak hanya mengajarkan

satu atau dua ilmu agama, akan tetapi ia mengajarkan banyak macam ilmu

agama seperti: ilmu Fiqh, Tasauf, Tauhid, Tajwid, Tafsir, Hadis dan yang

lainya. Ia juga melengkapi cara belajar dengan membuatkan daftar

37

Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan ..... hlm. 35 38

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 29 39

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 29 40

Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan..... hlm. 53

pelejaran perharinya, hingga makin hari suraunya semakin banyak

dikunjungi masyarakat untuk menuntut ilmu.41

Setelah beberapa tahun mengajar di Candung, datanglah

permintaan dari Tuanku Laras Anam Koto penghulu kepala Pandai Sikat

Kota Padang Panjang dan penghulu-penghulu imam khatib dalam nagari

tersebut agar beliau kesana untuk mengembangkan ilmunya dalam

mendidik yang nyaris terjerumus kemusyrikan. Ketika itu, berkembang

pelajaran menguatkan badan atau tidak mempan dengan senjata tajam,

yang mereka sebut dengan tarekat keras (bercampur dengan syirik) atau

dalam istilah Muhammad Rusli Kapau sebagai “pengajian keras”.42

Maka pada bulan Sya’ban 1329 H pindahlah beliau untuk

menggantikan alm. Tuan Syeikh Yunus di Pandai Sikat. Selama beliau di

Pandai Sikat berangsur-angsurlah hilang pengajian keras tersebut. Selain

itu, beliau juga mengajar dua kali seminggu setiap petang Kamis dan

petang Jum’at di masjid Bukit Surungan Padang Panjang.43

Setahun kemudian, datang permintaan dari Tuanku Dt. Majolelo

Damang Darwis, wakil Laras di Baso saat itu meminta agar beliau kembali

pulang ke kampungnya. Alasannya, tingkat kejahatan di Baso semakin

tinggi. Menurut Tuanku Dt. Majolelo, kejahatan tersebut tidak akan

dihilangkan kecuali melalui pendidikan agama. Karena kondisi masyarakat

di Pandai Sikat sudah lebih baik, maka ia pun memenuhi permintaan

41

Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli: Ulama Multi Talenta, Khazanah: Jurnal Sejarah dan

Kebudayaan Islam, Vol. 3, No. 16 (2018), hlm. 61 42

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 29-30 43

Hamdan Izmy , Pertalian Adat dan ..... hlm. 55

tersebut. Sejak itu penduduk di sekitar Baso pun belajar kepada beliau.

Hari kian berganti, jama’ah beliau pun semakin bertambah, Pengajaran

agama Islam sangat berpengaruh terhadap kehidupan beragama

masyarakat Baso yang sebelumnya tingkat kejahatan tinggi, maka ditahun

1938 tersebut pasar Baso jauh lebih aman. Inilah peran dan perjuangan

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dalam mendidik umat yang tampak pada masa

itu.44

2. Sebagai Politisi dan Organisatoris

Selain perannya sebagai ulama dalam kegiatan dakwah dan

pendidikan, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli juga bertindak sebagai seorang

politisi yang handal dan seorang organisatoris yang mumpuni. Beliau aktif

dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Karena itu pula, sejumlah

jabatan pernah diamanahkan kepada beliau, baik dalam persoalan sosial

politk maupun sosial kemasyarakatan.45

Adapun amanah dan pengalaman

beliau sebagai berikut:

1) Pada tahun 1917 M dengan kesepakatan penghulu-penghulu

ninik mamak di Candung, beliau diangkat menjadi Qadhi

nikah Imam Jum’at dan Pengurus Sidang46

dalam Sidang

Sabuah Balai. Jabatan ini tidak terlepas dari peran Tuanku

Laras Candung yang tertarik dengan keilmuan Syekh

Sulaiman Ar-Rasuli.47

44

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 30-31 45

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 36 46

Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan.... hlm. 56 47

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 36

2) Pada tahun 1918 M, beliau terpilih menjadi Ketua Umum

Syarikat Islam (SI) untuk daerah Canduang – Baso.48

3) Pada tahun 1920 M, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli bersama-

sama Syeikh H. Abbas al-Qadhi Ladang Lawas dan Syeikh

H. Muhammad Jamil Jaho serta ulama yang sepemahaman

dengannya mendirikan organisasi “Vereeniging Ittihadul

Oelama Soematra” (VIOS) sebagai wadah berkumpulnya

para ulama Sunniyah Syafi’iyah dalam mengkaji dan

mengeluarkan fatwa-fatwa.49

4) Pada 5 Mei 1928 beliau juga disebut sebagai pendiri utama

sekaligus pemimpin pertama Persatuan Madrasah Tarbiyah

Islamiyah (PMTI).

5) Pada tahun 1943, pemerintah Jepang menganjurkan

membentuk sebuah majelis Islam yang mencakup seluruh

kaum Muslimin di Minangkabau. Maka dibentuklah Majelis

Islam Tinggi Minangkabau (MITM), yang diketuai Syeikh

Sulaiman Ar-Rasuli.50

6) Pada tahun 1948, beliau diangkat menjadi penasehat

Gubernur Militer Sumatera Tengah.51

7) Pada tahun 1954 diadakanlah kongres segitiga se-

Minangkabau yang di inisiasi oleh Syeikh Sulaiman Ar-

48

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 37 49

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 37 50

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 42 51

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 45

Rasuli. Inisiatif ini menunjukkan bahwa beliau peduli

dengan adat dan kebudayaan Minangkabau. Kongres itu

sendiri di ketuai oleh beliau.52

8) Pada Pemilu 1955 beliau juga terpilih menjadi anggota

Konstituante dan beliau tepilh sebagai ketua sidang pertama

konstituante tersebut pada 10 November 1956.53

9) Pada 1956 ada tiga Muktamar yang diadakan, dari ketiga

muktamar itu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli diberi amanah.

Muktamar Ulama Sumatera beliau diamanahkan sebagai

Ketua, Muktamar Adat Sumatera beliau sebagai inisiator,

dan dalam Muktamar Ulama seluruh Indonesia di

Palembang beliau di amanahkan sebagai salah satu Ketua

Komisi. Semua Muktamar tersebut diadakan untuk

menentang Komunisme yang sudah mulai mendominasi

dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.54

3. Sebagai Tokoh Adat

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli juga dikenal ahli dibidang adat

Minangkabau. Keahlian ini ia miliki karena beliau dekat dengan penghulu-

penghulu adat dan para Laras yang tergabung dalam organisasi adat yang

telah berdiri pada masa itu, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam

Minangkabau (MTKAAM), termasuk juga persahabatannya dengan

Demang Dt. Batuah yang ahli di bidang adat. Karena keahlian itu, ia selalu

52 Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 47

53 Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 48

54 Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan...... hlm. 74

diundang sebagai narasumber dalam acara-acara resmi adat

Minangkabau.55

K. Karya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli

Syeikh Sulaiman dikenal dengan seorang yang produktif. Karya-

karyanya banyak memberi inspirasi dan pengajaran berharga bagi

masyarakat Minangkabau. Melalui tim penelusuran pengajuan Syeikh

Sulaiman menjadi jadi Pahlawan Nasional, ditemukan sekitar 19 judul

yang dirulis Syeikh Sulaiman tersebut. 56

Jika ditelusuri hasil karya tulis

beliau, terdapat beberapa pemikiran bernas, baik dibidang tauhid,

tasaswuf, fiqh, pendidikan, termasuk bidang adat istiadat.57

Buku-buku

tersebut adalah:

1. Pedoman Hidup di Alam Minangkabau Menurut Garisan Adat

dan Syarak, buku ini ditulis tahun 1938, dengan jumlah

halaman 70 halaman. Buku ini berisikan tentang nasehat Adat

dan Syarak.

2. Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau, ditulis tahun 1927,

terdiri dari 58 halaman. Buku ini berisikan tentang hubungan

adat dan syara’.

3. Asal Pangkat Penghulu dan Pendiriannya, ditulis tahun 1927,

terdiri 35 halaman. Buku ini tentang sejarah pangkat penghulu

serta perihal tentang penghulu atau pemimpin.

55

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 48 56

Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli .... hlm. 60 57

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 50

4. Tsamrat al-Ihsan fi Wiladah al-Ihsan ditulis ditahun 1923,

terdiri dari 100 halaman. Berisikan tentang sejarah Nabi.

5. Pedoman Puasa, ditulis tahun 1936, terdiri 26 halaman.

6. Al-Qaul al-Bayan fi Tafsiri Qur’an, ditulis tahun 1929, terdiri

dari 130 halaman.

7. Al-Aqwal al-Mardhiyah, ditulis tahun 19 . Buku ini membahas

masalah Tauhid.

8. Al-Jawahir al-Kalamiyyah, ditulis tahun 1927, terdiri dari 70

halaman. Berisikan tentang masalah Tauhid.

9. Tabligh al-Amanat filzalat al-Munkarat wa al-Syubhat , tahun

1954, terdiri dari 71 halaman. Berisikan tentang koreksi

terhadap amalan thariqat yang sesat.

10. Kisah Isra’ wa Mi’raj Muhammad SAW, ditulis tahun 1333 H,

terdiri dari 66 halaman.

11. Kisah Mu’az dan Wafatnya Muhammad SAW, ditulis tahun

1333 H, halaman yang ditemukan hanya halaman 66-110.

12. Qaul al-Kasyaf fi al-Rad ‘ala Takbir, ditulis tahun 1333 H.

Halaman yang ditemukan cuma dari 111–119 saja.

13. Ibthal Huzhuzh Ahl al-‘Ashibah Qur’an Qira’ bi al-

‘Ajamiyyah, tahun 1333 H, halaman yang ditemukan Cuma dari

120-126.

14. Izalat al-Dhalal fi Tahrim al Aza’wa Al-Sual, tahun 1333 H,

halaman yang ditemukan halaman 126-131.

15. Sabil al-Salamah, tahun 1934, terdiri dari 15 halaman.

16. Dawa’al Qulub, belum ditemukan

17. Aqwal al-Washitah fi Zikri wa al-Rabitah, belum ditemukan.

18. Aqwal al-‘Aliyah Naqsabandiyah, belum ditemukan

19. Pedoman Islam, buku ini juga belum ditemukan.58

Selain dari karya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli diatas, juga terdapat

karya beliau dalam bentuk artikel atau tulisan lepas yang

diterbitkan dalam majalah. Setidaknya ada dua karya beliau yang

ditemukan, yaitu: Keadaan Minangkabau Dahulu dan Sekarang,

dan Nasihat Maulana Sjech Soelaiman Ar-Rasoeli.59

L. Wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli

Pada hari Sabtu tanggal 28 Rabi’ul Akhir 1390 H bertepatan pada 1

Agustus 1970, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli meninggal dunia. Lebih kurang

enam ribu orang pelayat yang hadir dan menghantarkan Syeikh Sulaiman

ke tempat peristirahatan terakhir di halaman Madrasah Induk (MTI

Candung). Yang bertindak sebagai Imam Sholat Jenazah adalah Buya H.

Mansur Dt. Nagari Basa, beliau merupakan ulama yang dulunya

merupakan murid dari Syeikh Sulaiman. Gubernur Sumatera Barat, Harun

Zen, Panglima Kodam II/17 Agustus, Bupati Agam dan unsur-unsur

pemerintahan lainnya,60

sipil dan militer, kaum muslimin dari berbagai

penjuru, hadir dipemakaman itu, karena radio telah menyiarkannya.

Bahkan Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein, memerintahkan agar

58 Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli..... hlm. 61

59 Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 50

60 Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli...... hlm. 59

pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera setengah tiang selama

delapan hari penuh, sebagai tanda bela sungkawa yang dalam atas

meninggalnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli.61

Pada hari itu juga, sedang berlangsung seminar sejarah Islam di

Minangkabau yang dihadiri cendikiawan, termasuk Buya Hamka.

Mendengar wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, beliau langsung menuju

Candung dan shalat jenazah diatas pusara saja. Menurut salah seorang

murid Syeikh Sulaiman yang hadir ketika itu, Maruzi Kari Batuah

(alumnus MTI Candung, tamat 1962), dalam pidato Buya Hamka

menyebutkan “Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli seperti pohon pisang, sekali

dipancung, ia tidak akan mati tetapi akan tumbuh pohon pisang yang baru

ditambah dengan pisang-pisang yang lain di sekelilingnya”. Ungkapan ini

menggambarkan bahwa perjuangan dan ajaran Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli

tidak akan pernah mati, tetapi akan dilanjutkan oleh ribuan murid-

muridnya. Di pusaranya, terpahat : “Pesan Terakhir Pendiri: Teroeskan

Membina Tarbijah Islamijah Ini Sesoeai Dengan Peladjaran Jang Koe

Berikan.”62

Ungkapan ini merupakan pesan agar menjadi inspirasi dan

motivasi bagi generasi penerusnya, terutama murid-murid Syeikh

Sulaiman Ar-Rasuli.

61

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 58-59 62

Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 59

BAB III

KONSEP HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

M. Pengertian Islam Dan Negara

Islam adalah Agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah

SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW, yang ajarannya terdapat

dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah,

larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di

dunia maupun akhirat.

Kata Islam berasal dari kata aslama, yuslmu, islam, mempunyai

beberapa arti, yaitu melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin,

kedamaian dan keamanan, dan ketaatan dan kepatuhan. Islam diturunkan

sebagai pedoman agar manusia dapat menentukan mana yang baik dan

mana yang buruk serta yang hak dan yang bathil.63

Secara istilah, Islam berarti agama yang mengajarkan kepasrahan

kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, dan kedamaian, sehingga

kata ad-din menurut Ibn Abbas mencakup akidah, hukum, etika dan ibadah

yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial

(mu’amalat) hanya dijelaskan secara global.64

Sedangkan negara dalam kamus Indonesia, diartikan sebagai suatu

organisasi dl suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah

63

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van

Hoeve, 1997) , hlm. 246-247 64

Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia, Analisis: Jurnal Studi

Keislaman, Vol. 14 No. 1, Juni 2014, hlm. 7

dan ditaati oleh rakyat, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau

daerah tertentu yg diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah

yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak

Miriam Budiarjo mendefinisikan negara yaitu suatu integrasi dari

kekuasaan politik, ia merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik.

Negara adalah agency atau alat dari masyarakat yang mempunyai

kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat

dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.65

Secara konkrit yang disebut dinegara menurut konvensi

Montevideo tahun 1933 adalah gabungan dari penduduk yang tetap,

wilayah tertentu, pemerintahan dan kemampuan mengadakan hubungan

dengan negera-negara lainnya. Namun selain keempat unsur di atas, unsur

substansi dalam suatu negara yang hakiki adalah Kedaulatan, sovereignty

(Inggris) atau siyadah (Arab).66

Secara teoritis, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan

karena memiliki wewenang yang memaksa secara sah, lebih unggul

daripada kelompok atau individu yang merupakan bagian dari masyarakat

tersebut. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa negara adalah

daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat atau

yang berhasil mewajibkan warganya untuk taat melalui kontrol kekuasaan.

Sementara itu, bangsa adalah suatu kelompok yang memiliki kesamaan

kehendak, berada dalam satu wilayah, dan ada kehendak untuk

65

Jaenudin, ....., hlm. 228 66

Jaenudin, ....., hlm. 228

membentuk pemerintahan. Oleh sebab itu, negara bangsa dapat dipahami

sebagai suatu kelompok warga negara yang memiliki kesamaan cita-cita

untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan mentaati peraturan

perundang-undangan yang diberkalukan, termasuk di dalamnya

membangun hubungan antara negara dengan agama yang dianut oleh

warganya dalam suatu wilayah.67

N. Konsep Negara Dalam Islam

Berbicara mengenai apakah Islam mewajibkan umatnya

membentuk sebuah Negara, tentu rujukannya adalah al-Qur’an dan

alhadis, dua sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an mengandung sabda

Tuhan (kalam Allah) yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi

Muhammad SAW., untuk dijadikan pedoman hidup bagi manusia.

Sedangkan hadis adalah tafsir terhadap Al-Qur’an yang berasal dari Nabi

Muhammad SAW., baik berupa pernyataan, perbuatan maupun taqrir.68

Al-Qur’an diyakini sebagai kitab yang sempurna yang tidak ada

keraguan di dalamnya. Kesempurnaan Al-Qur’an disepakati seluruh umat

Islam. Namun, apakah kesempurnaan Al-Qur’an itu meliputi seluruh

aspek kehidupan dan memberi penjelasan yang detail ataukah hanya

mengandung ajaran-ajaran dasar yang bersifat global, umat Islam terbagi

menjadi dua kelompok. Pertama, sebagaimana ditulis Harun Nasution,

mengakui bahwa Al-Qur’an mencakup segala-galanya. Tidak satu hal pun

yang tidak disebut dan dijelaskan di dalamnya. Di dalamnya terdapat

67

Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan ...... hlm. 7 68

Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara (Sebuah Catatan Pengantar), Al-Daulah, Vol.

5, No. 1, Juni 2017, hlm. 157

penjelasan tentang system politik, system ekonomi, system keuangan,

system kemasyarakatan, system pertanian, perindustrian dan sebagainya.

Kedua, Mereka menyatakan bahwa Al-Qur’an tidaklah mengandung

segala-galanya. Yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam QS.

Al-Maidah ayat 3 (Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu

agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhoi

Islam itu sebagai agamamu) tidaklah berarti penyempurnaan dengan

segala ilmu pengetahuan, tekhnologi dan sistem kemasyarakatan manusia

dalam segala aspek. Penyempurnaan mengandung arti lain, yaitu dalam

arti hukum, ajaran atau dasar agama atau halal serta haram. Rasyid Ridha

berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat itu ialah penyempurnaan

iman, hukum, budi pekerti, ibadah dengan terperinci dan muamalat dalam

garis besar.69

Dalam Islam (al-Quran), padanan untuk kata dan konsep negara

tidak terdapat suatu kata dan konsep yang benar-benar tepat, tetapi

mungkin dalam arti kata atau konsep yang mendekati dapat dikatakan

banyak.70

Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilâd), disebut

dalam Al-Qur’an dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan

perincian: kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata

bilâdi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali,14 yang

kesemuanya berarti negara/negeri.71

Selain itu, kata dan konsep negara di

69

Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara.... hlm. 157-158 70

Jaenudin, ....., hlm. 228 71

Mahmud Ishak, Hubungan Antara Agama Dan Negara Dalam Pemikiran Islam,

Tahkim, Vol. X No. 2 Desember 2014, hlm. 112

dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa konsep yang sepadan seperti ;

Pertama, kata al-mulk (kerajaan). Dalam al-Quran kata mulk dengan

berbagai variannya disebut tidak kurang dari 60 kali, seperti dalam QS. Ali

Imran ayat 26, Kedua, kata balad (negeri). Dalam alQuran kata balad

disebut tidak kurang sebanyak 19 kali, seperti dalam QS. Ibrahim 35, atau

QS. Saba ayat 15, Ketiga, kata qaryah (negeri). Dalam al-Quran kata

qaryah disebut tidak kurang dari 56 kali, seperti dalam QS. al-Baqarah

ayat 58 atau QS. al-Nahl ayat 112, dan Keempat, kata dâr jamaknya diyar

(tempat tinggal). Dimana negeri-negri Islam sering disebut Darussalam

atau darul Islam. Dalam al-Quran kata dar atau diyar disebut tidak kurang

dari 48 kali, seperti dalam QS. Yunus ayat 25 atau QS. alBaqarah ayat

246. 72

Meskipun kata maupun konsep negara lahir dan tumbuh dari Eropa,

dalam Islam juga ditemukan kata maupun konsep negara modern,

meskipun pada aplikasinya konsep negara modern di negeri-negeri Islam

meruakan hasil adopsi dan copy dari model negara yang lahir di Eropa.

Maka dari hal tersebut, muncullah ketegangan dalam menyelaraskan

agama dan negara. Pengalaman menyelaraskan agama dan negara di

negeri-negeri Islam menghasilkan model dan variasi yang beragam latar

belakangnya mulai dari model negara (Islam) Arab Saudi, Mesir, Iran,

Pakistan maupun Indonesia. Sehingga jika ditanya bagaimana model

72

Jaenudin, ....., hlm. 228

negara (Islam) yang sesungguhnya, maka tidak mudah untuk menjawab

dan memberikan hanya satu contoh saja.73

Meskipun tidak ada dalil yang memerintahkan umat Islam

membentuk sebuah Negara (Negara Islam), namun, perkembangan

kehidupan yang demikian kompleks, relasi antar manusia yang beragam,

sistem kehidupan bernegara yang juga tidak sederhana –yang sesekali

memunculkan ketegangan-ketegangan, baik antar anggota masyarakat

maupun antara masyarakat dan Negara mendorong sejumlah pemikir

dan aktivis politik Islam untuk menjadikan Islam sebagai landasan

atau dasar bagi sebuah Negara. Mereka mendorong berdirinya Negara

Islam. Mereka meyakini bahwa Negara yang berlandaskan Islam

akan mampu mengatasi berbagai permasalahan maupun ketegangan-

ketegangan dan hubungan-hubungan yang tidak harmonis dalam

kehidupan bermasyarakat.74

Di Indonesia sendiri, istilah negara Islam dimulai dari pemimpin-

pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Suryoprsnoto dan Dr. Sukiman

Wiryosandjojo telah berbicara tentang suatu kekuasaan atau pemerintahan

Islam pada 1920-an. Suryopranoto menggunakan tema een Islamitische

Regerring (suatu pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah

een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen (suatu kekuasaan Islam

dibawah benderanya sendiri). Menciptakan suatu kekuasaan Islam di

73

Jaenudin, ....., hlm. 229 74

Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara.... hlm. 159

Indonesia, menurut Sukiman, merupakan tujuan kemerdekaan.75

Bahtiar

Effendy menulis bahwa gagasan menjadikan Islam sebagai dasar Negara

juga muncul dalam sidang BPUPKI, ketika para pendiri republik tengah

menyaipakan “perangkat lunak” kenegaraan Indonesia. Wakil-wakil umat

Islam (Islam nasionalis) saat itu tidak saja memperjuangkan agar Islam

menjadi dasar Negara, tetapi juga memperjuangkan pemikiran Islam

sebagai agama Negara, presiden harus seorang Islam, Negara harus

memiliki aparat-aparat dan badan-badan yang relevan untuk menerapkan

hukum Islam, dan kemungkinan Jumat dijadikan sebagai hari libur

nasional.76

Dengan demikian banyak gagasan dan pemikiraan negara Islam

yang telah dihasilkan oleh banyak pemikir muslim sejak awal abad ke-20

sampai sekarang ditemukan gagasan-gagasan Islam dan negara.77

Dari

gagasan tersebut muncullah setidaknya empat gagasan atau aliran tentang

konsep Islam dan negara:

1. Aliran Integralistik

Aliran ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama

dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara

manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna

dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia

75

Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung, PT.

Mizan Pustaka, 2017), hlm. 172 76

Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara.... hlm. 160 77

Jaenudin, ....., hlm. 229

termasuk dalam bernegara.78

Dalam jurnalnya, Din Syamsudin aliran ini

memaparkan bahwa hubungan agama dan negara berjalan secara integral.

Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya.79

Para

pengikut aliran ini pada umunya berpendapat bahwa:

1) Islam adalah suatu agama yang lengkap. Di dalamnya terdapat

pula sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam

bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem

ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan

meniru sistem ketatanegaraan Barat.

2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani

adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar

Muhammad dan keempat Khulafaurasyidin.

Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain Syeikh Hasan al-Banna,

Sayyid Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abul A’la

Al-Maududi.80

2. Aliran Sekularistik

Aliran ini berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam

pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.

Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti

halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal untuk mengajak

manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi

pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan

78 Munawir Sjadzali, ......, hlm. 1

79 Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan ......, hlm. 11

80 Munawir Sjadzali, ......, hlm. 1

mengepalai satu negara.81

Tentunya, aliran ini memiliki pendapat bahwa

hubungan antara agama dan politik/negara harus dipisahkan. Oleh sebab

itu, golongan ini menolak pendasaran agama atau formalisasi norma-

norma agama ke dalam sistem hukum negara.82

Lebih jelasnya. Negara

dan agama masing-masing mempunyai fungsi sendiri dan wilayah sendiri.

Agama di wilayah privat (pribadi), sedangkan negara diwilayah publik

(sosial).83

Adapun tokoh-tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah Ali

Abdul al-Raziq dan Dr. Thaha Husain.84

3. Aliran Reformis

Aliran ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang

serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan.

Namun aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang

dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia

dan Penciptanya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat

sistem ketatanegaran, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi

kehidupan bernegara.85

Aliran reformis ini menolak aliran Sekularis dan

aliran Integralistik.86

Tokoh yang paling menonjol adalah Dr. Mohammad

Husein Haikal.

Menurut sebuah sumber berikut adalah pemikiran Haikal Hasan

terhadap Islam dan negara: Pertama, pemerintahan Islam menurutnya

81

Munawir Sjadzali, ......, hlm. 1 82

Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan......., hlm. 11 83

Abd. Mannan, Islam Dan Negara, Islamuna, Vol. 1 No. 2 Desember 2014, hlm. 190 84

Munawir Sjadzali, ......, hlm. 2 85

Munawir Sjadzali, ......, hlm. 2 86

http://www.alif.id/read/m-iqbal/negara-islam-menurut-husain--haikal-b208611p/

diakses pada 22:57 pada 13 September 2020

adalah negara yang dibangun di atas sendi keislaman yang mana dasar

uatamanya adalah tauhidah dan didukung oleh sendi-sendi yang bersifat

humanis. Menurut Haikal ada tiga prinsip humanis yang dipandang

sebagai dasar Negara Islam, yaitu; Prinsip persaudaraan sesama manusia,

prinsip persamaan antar manusia, dan kebebasan manusia.87

Kedua, terkait dengan bentuk negara Islam, Haikal memandang

bahwa tidak ada bentuk pasti dari negara Islam. Dalam arti, tidak ada

peraturan bahwa negara Islam harus berbentuk republik, parlemen,

monarki atau theokrasi. Dan Haikal sendiri lebih memilih bentuk negara

konstitusional sebagai bentuk negara Islam yang berdasar pada hukum.

Hukum disini bukan merupakan hukum karya manusia, namun hukum

yang berlaku disini adalah hukum Tuhan (syara’)88

4. Aliran Simbiotik

Agama dan negara, menurut aliran ini, berhubungan simbotik, yaitu

hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.89

Kedua

wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan

negara berjalan berdampingan. Agama memerlukan lembaga negara untuk

melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga negara

memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan

spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini diantaranya

87

Arsyad Sobby Kesuma, Islam Dan Politik Pemerintahan (Pemikiran Politk Muhammad

Husein Haikal), Analisis, Vol. 13 No. 2 Desember 2013, hlm. 478 88

Arsyad Sobby Kesuma, ......, hlm. 478 89

Nasaruddin, ...... hlm. 215

adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid

Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.90

O. Pemikiran Tokoh Islam Terhadap Konsep Hubungan Islam Dan

Negara

1. Mochammad Natsir

Menurut Natsir, Islam berbeda dari agama-agama lain, Islam

memiliki peaturan atau hukum-hukum kenegaraan, termasuk hukum

perdata dan hukum pidana. Untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut

diperlukan lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin

berlakunya hukum tersebut. Oleh karena itu adanya penguasa atau

pemerintah merupakan suatu keharusan. Adapun bentuk atau sistem

pemerintahan, umat Islam bebas memilih mana yang paling sesuai asalkan

tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam

Islam.91

Natsir membenarkan bahwa Islam memang bersifat demokratis,

tetapi sama sekali dalam semua hal, termasuk hukum-hukum yang sudah

ditetapkan oleh Islam, masih perlu dikukuhkan atau ditetapkan oleh

Dewan Perwakilan Rakyat melalui pemungutan suara. Atau dengan kata

lain, permusyawaratan itu hanya terbatas pada hal-hal yang belum

ditetapkan hukumnya dan mencari cara yang terbaik untuk melakdanakan

hukum-hukum yang telah ditetapkan. Dapat dikatakan bahwa Natsir dapat

90

Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan ...... , hlm. 11 91

Munawir Sjadzali, ......, hlm. 193

menerima sistem pemerintahan yang berdasarkan kerakyatan, tetapi

dengan menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum Islam atau Syariah.92

Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan

secara integral, bahkan simbiosa, yaitu saling memerlukan. Dalam hal ini,

agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat

berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama

negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral. Hal ini karena

dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap.93

Natsir bersikukuh mengajukan konsep Islam sebagai dasar negara

bukan semata-mata karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,

tetapi menurut keyakinannya bahwa ajaran Islam mempunyai hukum

ketatanegaraan dalam masyarakat dan mempunyai sifat-sifat yang

sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat serta dapat menjamin

hidup keragaman atas saling harga-menghargai antara berbagai golongan

di dalam negara.94

Natsir mempertegas dan menjelaskan lebih lanjut tentang

pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara Indonesia, dalam

pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar Negara, Natsir berdalil bahwa

untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu paham

sekularisme (laa-diiniyah) atau paham agama (diinii). Dan Pancasila

menurutnya bercorak laa-diiniyah, karena itu sekuler, tidak mau mengakui

92

Munawir Sjadzali, ......, hlm. 193 93

Armin Tedy, Pemikiran Politik Muhammad Natsir, El Afkar Vol. 5 No. 2 Juli-

Desember 2016, hlm. 39 94

Armin Tedy, ......, hlm. 40

wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil penggalian dari

masyarakat.95

Menurut M. Natsir, seorang Islam otomatis harus berpegang pada

ideologi Islam dalam politik, perintah Allah harus dijalankan, bukan hanya

dalam soal-soal ibadah, tapi juga mencakup soal-soal kemasyarakatan.

Dalam soal-soal sosial kemasyarakatan segalanya diizinkan, kecuali yang

nyata-nyata dilarang Allah Swt. Bahkan M. Natsir mengingatkan bahwa

sistem, yang berasal dari bukan muslim bisa saja diterapkan dalam negara

Islam apabila sistem itu baik.96

Natsir berpendapat bahwa Islam “tidak demokrasi 100%”. Karena

keputusan politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada

kemauan mayoritas anggota-anggota parlemen. Keputusan itu, tidak dapat

melampaui hudud (batas-batas) yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Natsir

menyebutnya dengan demokrasi di dalam Islam dengan istilah “Theistic

Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai

ketuhanan. Hudud yang disebutkan oleh Natsir bukanlah sistem

penghukuman dalam hukum pidana Islam seperti ditafsirkan oleh

golongan alim-ulama berpaham tradisional, melainkan “prinsip-prinsip

moral universal” yang akan menjamin tegaknya nilai-nilai luhur

kemanusiaan. Jadi, dia menafsirkan hudud itu hampir serupa dengan

konsep “natural law” seperti dipahami Thomas Aquinas, Natsir menjamin

tidak akan ada norma-norma hukum yang akan mempunyai kekuatan

95

Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila...., hlm. 174 96

Armin Tedy, ..... hlm. 44

untuk berlaku, jika ia berlawanan dengan “natural law” sebagai norma

moral yang universal.97

Selama ada demokrasi, menurut Natsir, selama itu pula partai-

partai akan tetap ada. Jika partai-partai itu sampai dikuburkan, maka yang

akan tegak berdiri di atas kuburan itu tidak lain adalah sebuah batu nisan

kediktatoran. Dalam pandangan Yusril Ihza Mahendra, profesor hukum

Tata Negara, Natsir menyadari sisi lemah dari demokrasi itu sendiri.

Namun dengan mengutip pendapat Radakhrisnan, ia mengatakan bahwa

sampai dengan perkembangan peradaban yang mutakhir, manusia belum

menemukan adanya sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Walaupun

mempunyai sisi-sisi kelemahan, demokrasi menurut Natsir, adalah jauh

lebih baik dari sistem dikatator, walaupun proses demokratis sering

terkesan lamban dan tampak kurang heroik. Demokrasi, tambah Natsir,

memungkinkan dicapainya perubahan-perubahan revolusioner melalui

sebuah proses yang damai.98

Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam

mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem

peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu

adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu

kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna. Yang dituju oleh

Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga

meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan

97

Susilo Surahman, Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid,

Jurnal Dakwah, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember 2010, hlm. 133 98

Susilo Surahman, Islam Dan ..... hlm. 134

perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-

soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian

dan suaranya dalam musyawarah bersama. 99

2. Buya Hamka

Dalam Pandangannya, Buya Hamka, salah satu anggota Dewan

dari Masyumi, menguraikan pentingnya Islam sebagai dasar negara. Beliau

memulai pembicaraan dengan mengajak kepada seluruh anggota Dewan

untuk mampu bermusyawarah dengan bebas, mengadu argumentasi

argumentasi, lapang dada mendengar pendapat orang lain yang berbeda,

untuk kemudian menghasilkan titik pertemuan demi kebaikan bangsa dan

negara.100

Buya Hamka melihat memang dalam persidanganpersidangan

tentang dasar negara dalam Dewan Konsituate itu terjadi tarik menarik

yang begitu kuat. Pihak yang memperjuangkan Pancasila sebagai dasar

negara tetap bersikukuh memperjuangkannya, sebagaimana pihak yang

memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Namun Buya Hamka hendak

mengingatkan kembali sejarah bangsa ini. Dulu, masyarakat Indonesia

seluruhnya adalah masyarakat Islam. Belanda selama 350 tahun berupaya

menjauhkan bangsa ini dari tradisi Islam, dengan membentuk pendidikan

dan aturan-aturan yang anti Islam.101

99

Armin Tedy, ..... hlm. 44 100

H. Shobahussurur, “Relasi Islam dan Kekuasaan dalam Perspektif Hamka”, Jurnal

Asy-Syir’ah Vol. 43 No. 1 2009 101

H. Shobahussurur, ......, hlm. 237

Dengan jiwa besar Buya Hamka menyatakan akan mengikuti

keputusan yang diambil dalam sidang Dewan Konstituante. Bahkan

andaikata dengan rasa pahit, sidang tidak menghasilkan apa-apa, Pancasila

akan dipertahankan dengan paksa, dan Islam ditolak mentah-mentah,

beliau tetap tegar dengan mengatakan: “Walaupun bagaimana kerasnya

tolakan atas perjuangan kami yang benar, adil dan logis ini, semua yang

menolak itu adalah saudara kami. Semuanya adalah bangsa kami, kawan

setanah air, yang telah pernah menghadapi suka-duka sejarah selama 12

tahun, sama bergelimang darah, sama berkuah air mata”. Buya Hamka

telah menunjukkan jiwa besarnya sebagai politisi. Beliau berjuang keras

mewujudkan cita-cita politiknya dengan segala caranya, tetapi tetap

berpegang teguh pada aturanaturan yang disepakati dalam musyawarah itu.

Beliau tunduk kepada hasil keputusan yang diambil secara sah.102

Buya Hamka memberikan uraian tentang bagaimana seharusnya

umat Islam memahami Pancasila. Uraian itu disampaikan dalam bentuk

buku kecil, berjudul Urat Tunggang Pancasila, terbit tahun 1951, dengan

kata pengantar Mohammad Natsir. Buya Hamka berkesimpulan bahwa

Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan urat tunggangnya Pancasila.

Karena Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan maknanya yang penuh,

maka sila-sila lainnya akan terpelihara. Ketuhanan Yang Maha Esa saja

yang menjadi urat tunggang dari segenap sila, entah tumbuh pula sila-sila

102

H. Shobahussurur, ......, hlm. 237

yang lain lagi, panca sila, sapta sila, atau seribu sila. Karena buatan

manusia tidaklah tetap, dan buatan Tuhan sajalah yang tetap.103

3. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Hubungan Islam dan Negara dalam penjelasan Gusdur dikatakan

bahwa Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Dalam soal bentuk

negara, menurutnya tidak mempunyai aturan baku. Hal ini bergantung

negara bersangkutan apakah mau menggunakan model demokrasi, teokrasi

atau monarchi. Hal yang terpenting bagi Gusdur adalah terpenuhinya tiga

kriteria, yaitu: pertama, mengedepankan prinsip-prinsip permusyawaratan.

Kedua, ditegakkan keadilan. Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-

huriyyah).104

Negara dalam perspektif Gusdur adalah al-Hukum (hukum atau

aturan). Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif

sehingga etik kemasyarakatanlah yang diperlukan. Dalam persoalan

mendasar misalnya Islam tidak konsisten, terkadan memakai Istikhlaf,

Bay'ah, ataupun Ahlu al-Halli wa al-Aqdi, padahal suksesi adalah soal

yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Apa yang menjadi

keinginan Gusdur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan

acuan dalam negara sejalan dengan keinginan sebahagian besar warga

negara yang mayoritas Islam. Hal ini terbukti dalam pemilu 1999 yang

103

H. Shobahussurur, ......, hlm. 237-240 104

Indo Santalia, “K.H Abdurrahman Wahid: Agama dan Negara, Pluralisme,

Demokratisasi dan Pribumisasi”, Jurnal Al-Adyaan Vol. 1 No. 2, Desember 2015

dimenangkan oleh partai nasionalis termasuk PAN dan PKB yang sedikit

religius.105

Penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara yang dimotori oleh

Gusdur dan KH. Amad Siddiq, paling tidak karena dua hal yaitu; Pertama,

Islam adalah agama Fitriah. Sepanjang suatu nilai tidak bertentangan

dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan agar selaras dengan tujuan-

tujuan dalam Islam. ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak harus

menganti nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tetapi bersikap

menyempurnakan. Kedua, Islam dan Pancasila dinilai mencerminkan

tauhid menurut pengertian keimanan Islam dan wawasan ke agamaan

negara Indonesia sudah dijamin.106

Gusdur dengan penuh keyakinan menjelaskan pemerintah yang

berideologi pancasila harus dipertahankan, karena syari'ah dalam bentuk

hukum agama, fikih atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum

muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi

dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik kemasyarakatan Islam

diljalankan, tak ada alasan selain mempertahankannya sebagai kewajiban

agama. Dari sanalah munculnya keharusan untuk taat kepada

pemerintah.107

Gusdur berusaha memberikan sinergi untuk memparalelkan

hubungan negara dan agama. Dalam pemikirannya, ia melihat besarnya

hanbatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh

105 Indo Santalia, ...... hlm. 140

106 Indo Santalia, ...... hlm. 140

107 Indo Santalia, ...... hlm. 141

kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab

ideologi negara-negara yang sedang berkembang. Upaya Gusdur ini tidak

lepas dari perang bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan dan ia

berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.

Islam bisa berkembang secara spritual dalam sebuah negara nasional yang

tidak secara formal berdasarkan pada Islam.108

Dia berkeyakinan bahwa

keduanya harus saling memberi legitimasi, walaupun dia yakin pada

sekulerisasi dalam pengertian adanya pemisahan managemen urusan

agama dan agama. Dia tidak setuju penerapan nilai-nilai agama yang

partikular dalam negara, dan karenanya dia bukan pendukung formalitas

agama.109

4. Nurcholis Madjid

Relasi agama dan negara, khusus negara Islam di Indonesia,

menurut Nurcholish Madjid tidak dikenal dalam sejarah. Buktinya Nabi,

baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, akibat keributan umat soal

suksesi. Pola suksesi tidak jelas, sehingga terjadilah permasalahan yang

sulit diselesaikan. Oleh karena itu, masalah kenegaraan bukanlah suatu

kewajiban, bahkan tidak menjadi integral dari Islam.110

Secara prinsipil, konsep negara Islam, menurut keyakinan

Nurcholish Madjid, adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara

negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang

108

Indo Santalia, ...... hlm. 141 109

Saefur Rochmat, “Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Relasi Islam dan Negara:

Pendekatan Sosio-Kultural”, Millah Vol. 10 No.2 Februari 2011, hlm. 350 110

M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia Dalam Pandangan Nurcholish

Madjid”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan, Vol 15, No. 1, Juni 2012, hlm. 41

dimensinya rasional dan kolektif. Sedangkan agama, menurutnya adalah

aspek kehidupan lain, yang dimensinya spiritual dan pribadi. Karena itu

tak heran kalau Nurcholish tidak setuju Islam dipandang sebagai ideologi.

Baginya Islam bukanlah sebuah ideologi. Sebab pandangan langsung

kepada Islam sebagai ideologi, dapat berarti merendahkan agama itu

menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada di dunia. Baginya

Islam lebih tinggi dari sekedar ideologi.111

Islam tidak perlu menuntut negara atau pemerintah Indonesia

menjadi negara atau pemerintah Islam. Baginya adalah substansi atau

esensi-esensinya, bukan bentuk formalnya yang sangat simbolis.

Pembentukan negara adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam

bentuk demokratis, meskipun tidak ada keharusan dari Islam dalam bentuk

negara Islam, karena membentuk negara itu dapat memberikan beberapa

pirnsip yang dipakai dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yaitu:

Pertama, pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah), kedua,

organisasi pemerintah yang dinamis, ketiga, kedaulatan.112

Nurcholish Madjid melihat pentingnya kehadiran gerakan

pembaruan Islam. Dan menurut Nurcholish Madjid pembaruan harus

dimulai dengan dua tindakan yang saling erat kaitannya, yaitu

melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai

yang berorientasi ke masa depan. Lantas ia mengajukan ide-ide seperti

“sekularisasi, liberalisasi, rasionalisasi dan modernisasi.” Konsep-konsep

111

Susilo Surahman, “Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid”,

Jurnal Dakwah, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember 2010, hlm. 132 112

M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 43

yang digelindingkan tersebut, telah menimbulkan kontroversi, sehingga

sempat memancing kehebohan di kalangan internal umat.113

Meski banyak yang tidak sepakat, namun Nurcholish Madjid tetap

konsisten mempertahankan berbagai gagasan pembaruannya. Untuk itu,

seingkali Nurcholish Madjid harus menjelaskan konsep-konsep yang

dipakainya, dengan tujuan, agar umat mengerti dan memahami apa-apa

yang dimaksudkannya. Tentang “liberalisasi”, maksudnya adalah sebagai

proses pembebasan ajaran-ajaran dan pandangan Islam dari nilai-nilai

tradisional, dan mencari nilai-nilai yang beroritentasi ke masa depan.114

Selanjutnya, bahwa proses liberalisasi berhubungan dengan

sekularisasi. Maksud sekularisasi menurut Nurcholis Madjid adalah usaha

untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi,

dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-

kannya.115

Ia juga berharap agar para pemikir dan politisi, demi

kejernihan dan kecermatan, menerangkan bahwa sekularisasi itu sendiri,

menurut definisinya yang benar tidaklah berarti permusuhan kepada

agama.116

Uraian tersebut menjelaskan, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid

tentang hubungan agama dan negara termasuk pemikiran Islam substantif.

Untuk lebih terasanya pemikiran politik Islam substantif dari Nurcholish

Madjid ini, nampaknya perlu dilakukan suatu perbandingan dalam kasus

113

M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 45 114

M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 45 115

M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 45 116

Susilo Surahman, “Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid”,

hlm. 135

per kasus pemikiran dengan kaum formalis. Di sini diambil contoh tentang

agama kemanusiaan, desakralisasi Pancasila, dan budaya Islam pesisir.

Kesemuanya merupakan pandangan yang relatif luput dari perhatian kaum

formalis. Sehingga, pemikiran Nurcholish Madjid ini menjadi alternatif

pemikiran Islam, termasuk pemikiran politik Islam.117

117

M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 46

BAB IV

ANALISIS PEMIKIRAN SYEIKH SULAIMAN ARRASULI

TERHADAP HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA

A. Pemikiran Syeikh Sulaiman Arrasuli tentang Islam dan Negara

Tokoh dan ketokohan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (1871-1970)

dapat ditelusuri dari perbuatan historis yang dilakukannya. Ia hadir lewat

sejarah sebagai “orang besar” Minangkabau lainnya yang sezaman. Syeikh

Sulaiman Ar-Rasuli dikenal sebagai seorang ulama, pendidik, politisi, dan

pendiri Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).118

Kiprah dan peran tokoh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli sebenarnya

sudah diakui oleh pemerintah. Buktinya adalah pengakuan kepada Syekh

Sulaiman Ar-Rasuli sebagai salah seorang perintis kemerdekaan (1969).

Pemerintah Belanda dan Jepang pernah pula memberikan penghargaan

“Bintang Perak” dan “Bintang Sakura” kepada tokoh ini.119

Pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, semenjak dikeluarkannya

maklumat Wakil Presiden RI, Muhammad Hatta pada 5 November 1945

tentang pemberian kesempatan untuk mendirikan partai politik pada

masyarakat. Maka pada tanggal 22 Nopember 1945, Persatuan Tarbiyah

Islamiyah mengembangkan fungsinya menjadi partai politik dengan nama

Partai Islam PERTI. Syeikh Sulaiman ditetapkan sebagai Penasehat

Tertinggi di partai ini.120

Pada Pemilu 1955 beliau terpilih sebagai anggota

118

Nopriyasman, “Membangun Bangsa dan Agama...., hlm. 1 119

Nopriyasman, “Membangun Bangsa dan Agama...., hlm. 2 120

Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.44

Konstituante, dan menjadi ketua sidang pertama Konstituante di Bandung

tahun 1956.

Sebagai seorang yang meyakini paham Ahlussunah wal Jama’ah,

tentu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli sebagai tokoh dari kalangan kaum Tua

yang merupakan kelompok kaum Muslimin Minangkabau yang

menjadikan paham ini menjadi latar belakang Persatuan Tarbiyah

Islamiyah ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Muslim al-Maturidi

dalam bidang akidah dan memilih Mazhab Syafi’i dalam persoalan

fiqh/ibadah.121

Maka dalam melaksanakan kegiatan politik sebagai pengikut Sunni

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dan PERTI, melihat bahwa sikap kompromi

terhadap penguasa sebagai salah satu langkah yang diperlukan untuk

terciptanya stabilitas. Stabilitas menurut mereka adalah suasana mendasar

untuk dapat menjalankan dan mengembangkan agama secara baik.

Kemudian Kaum Tua dalam halnya terhadap penjajah, memiliki pemikiran

tentang apa yang disebut dengan dar al-Islam dan dar al-harb. Dar al-

Islam adalah pemerintahan yang sepenuhnya terikat kepada ajaran Islam,

sementara dar al-harb adalah sebaliknya. Maksudnya, walaupun bukan

pemerintahan yang sesuai ajaran Islam, namun tidak pula ditempatkan

pada posisi dar al-harb yang sebenarnya. Contohnya ketika Belanda

menjajah di waktu itu, pihak Belanda sangat toleran dengan hal-hal yang

bercorak agama. Kaum muslimin dibiarkan menjalankan ibadah secara

121

Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.10

bebas, dan ulama yang tidak menentang mereka secara politik dihargai dan

dihormati. Namun setiap tindakan Belanda yang mengarah kepada

persoalan-persoalan agama akan ditentang oleh PERTI.122

Jadi, untuk

konsep dar al-harb menurut Kaum Tua selama pemerintahan bukan Islam

jika masih dipersilahakan untuk beribadah dengan bebas tidak apa-apa,

namun mereka akan reaktif jika apabila pemerintah sudah mengatur dan

mencampuri urusan-urusan agama.

Dalam syari’ah dan ibadah Persatuan Tarbiyah Islamiyah

berpegang dan berpedoman kepada madzhab Imam Syafi’i. Karena dinilai

lebih ilmiah, moderat, sistematis dan logis dan mudah diterapkan setiap

tempat dan sepanjang masa dalam situasi dan kondisi apa saja.123

Saat

menuntut ilmu di Mekah, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli disana belajar

kepada ulama-ulama penganut madzhab Syafi’iyah. Maka sekembalinya

dari Mekah Inyiak Candung dan ulama-ulama Tarbiyah lainnya

mengembangkan dan mengajarkan ajaran Syafi’iyah.124

Dengan demikian, dalam berpolitik Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dan

PERTI cenderung mengikuti pemikiran dan pendapat ulama Sunni

bermadzhab Syafi’iyah seperti Al-Ghazali dan Al-Mawardi. Ini dapat

dilihat dari konsep-konsep Islam dan negara yang dipaparkan PERTI pada

masa itu. Hal ini juga dikuatkan dalam Anggaran Dasar Partai Islam

PERTI pasal 2 yang menyatakan bahwa azas partai ini ialah agama Islam

dalam syari’at dan ibadat menurut mazhab Imam Syafi’i R.A dan dalam

122 Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 163-164

123 Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.117

124 Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.130

I’tikad menurut mazhab Ahlussunah wal Jama’ah.125

Pemikir-pemikir

politik Sunni seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali berpendapat bahwa

antara agama dan politik terdapat hubungan yang begitu erat, agama

sebagai dasar dan pemimpin sebagai penjaganya. Dalam artian, untuk

mewujudkan kemashlahatan masyarakat, negara membutuhkan agama

sebagai dasar negara. Disisi lain, agama pun membutuhkan pemimpin

untuk menjaganya. Maka dalam hal ini, H. Mansur sebagai Pengurus

Besar PERTI menyatakan bahwa Nabi melakukan hal seperti pendapat Al-

Mawardi dan Al-Ghazali tersebut di Madinah. Beliau berkata bahwa

sebagai Rasul, Nabi Muhammad tidak saja sebagai penjaga syari’at beliau

pun diberi otoritas sebagai syari’, pembuat hukum. Walaupun kita tidak

bisa seperti Nabi, tetapi apa yang telah diterapkannya di negara Madinah

adalah sunnah yang perlu diikuti.126

Pada tahun 1941, Sirajaddin Abbas selaku ketua umum PERTI

diminta memberikan masukan tentang konsep Negara Indonesia kepada

Komisi Visman. Konsep yang diajukan PERTI adalah, Pertama, Indonesia

harus merdeka seratus persen sekarang juga, tanpa harus menunggu

pemerintah Belanda ke Den Haag. Kedua, bentuk negara yang diinginkan

PERTI adalah Jumhuriyah atau Republik, dengan kepala negara seorang

muslim. Ketiga, Islam Sunni menjadi agama negara dengan perlindungan

125

Kementerian Penerangan, ”Kepartaian di Indonesia”, Jakarta: Kementerian

Penerangan RI, 1951, hlm. 73 126

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 167

penuh kepada minoritas Kristen, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah

ketika membentuk negara pertama, Madinah.127

Kemudian, ketika rapat menjadkan PERTI sebagai partai politik

pada bulan November 1945, mulai dipertanyakan apa konsep PERTI

tentang negara Indonesia. Pertanyaan itu kembali dijawab oleh Sirajuddin

Abbas, Keua PERTI, bahwa PERTI menginginkan negara al-Daulah al-

Jumhuriyah al-Islamiyah al-Indonesia, Selanjutnya, sebagai pengikut

pemikiran al-Mawardi, sepertinya kalangan PERTI mengikuti alur

pendapat pemikir politik Islam tersebut tentang politik dan agama. Dalam

karyanya Adab al-Dunya wa al-Din, mengatakan bahwa kemantapan

masalah keduniaan sesungguhnya dapat dilihat dari sisi pengaturan sesuatu

urusan secara baik dan sisi pengaturan yang membawa kemashlahatan

kepada setiap warga negara, yang antaranya keduanya saling terkait erat.

Bila salah satunya rusak, maka yang lainnya juga akan rusak. Secara rinci

al-Mawardi mengemukakan enam dasar yang mengantarkan sesuatu

masyarakat kepada kehidupan yang baik, yaitu agama yang mereka patuhi,

penguasa yang berwibawa, keadilan yang merata, keamanan yang

menyeluruh, kemakmuran yang langgeng, dan sikap optimisme yang

tumbuh subur.128

Menurut al-Mawardi bahwa dalam hidupnya, manusia harus

memilki dua adab, yaitu adab al-syari’ah dan adab al-siyash. Yang

pertama menuntut perlunya manusia memelihara urusan-urusan fardhu

127

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 160 128

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 177-179

yang telah ada ketentuannya dalam syari’at, sedangkan yang kedua

bertujuan untuk memakmurkan bumi Allah. Bidang pertama bisa disebut

agama yang harus dipelihara oleh pemerintah, sedangkan bidang kedua

atau dunia disebut sebagai tanah garapan untuk disiyasahkan. Atas dasar

inilah Syafi’i Ma’arif menilai al-Mawardi pada dasarnya sependirian

dengan al-Ghazali yang berpendapat bahwa antara agama dan kekuatan

politik terdapat hubungan yang begitu dekat, yakni agama sebagai dasar

dan sulthan atau pemerintah sebagai penjaganya.129

Bagi al-Mawardi, adab al-syari’ah dan adab al-siyasah samasama

bermuara untuk merealisasikan keadilan, demi keselamatan pemerintah

dan kemakmuran negara. Pandangan ini, agama jelas-jelas punya pengaruh

terhadap persoalan politik keduniaan sebagaimana al-siyasah juga

berpengaruh terhadap kehidupan beragama. Bentuk pengamalan dan

penghayatan agama akan menentukan corak politik pemerintah

sebagaimana politik dan keduniaan yang dijalankan suatu pemerintah ikut

pula mewarnai bentuk penghayatan dan pengamalan agama.130

Dengan pendapatnya tersebut, al-Mawardi tidak mengatakan

bahwa perlunya ulama berpolitik. Namun melihat sejarah dan perjalaan

agama dan kekuasaan di Indonesia selama penjajahan, beberapa pimpinan

PERTI berpendapat demikian. Mengikuti alur pemikiran al-Mawardi,

mereka berpendapat bahwa perlunya agama dalam sistem kepolitikan

Indonesia. mereka yakin bahwa tanpa agama, bangsa Indonesia tidak akan

129

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 180 130

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 181

mendapatkan kemashlahatan yang sesungguhnya baik didunia maupun

diakhirat. Namun sebaliknya, tanpa adanya ulama di panggung politik,

mereka khawatir kalau agama itu dikesampingkan oleh para pemegang

kekuasaan yang hanya berpijak pada pemikiran-pemikiran politik semata.

Agar hal seperti itu tidak terjadi, maka ulama harus pandai berpolitik,

bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan, melainkan demi

kemaslahatan yang dituju oleh agama dan pemerintahan yang

sesungguhnya.131

Dalam pasal 3 Anggaran Dasar Partai Islam PERTI dinyatakan

bahwa tujuan partai ialah Kalimatullahi hiyal ulayaa yang artinya

keagungan agama Islam dengan arti seluas-luasnya.132

Maka dalam

perjuangan dalam penjajah, PERTI menggunakan semboyan yang sama

dengan beberapa pergerakan Islam lainnya, yaitu “isy kariman mut

syahidan,” yang artinya hidup mulia atau mati Syahid untuk

menggelorakan semangat anggotanya dalam berjuang mempertahankan

kemerdekaan Indonesia.133

Seperti yang diungkap oleh Deliar Noer, masalah yang menjadi isu

sentral selepas masa perjuangan fisik adalah masalah dasar negara. Karena

masalah bentuk negara bagi kalangan Islam tidak terlalu dipersoalkan.

Sejak awal, kata H. Mansur, PERTI tidak mempermasalahkan apakah

negara Indonesia berbentuk federal atau kesatuan. Apapun bentuknya,

131

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 181 132

Kementerian Penerangan, “Kepartaian......, hlm. 73 133

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 183

syari’at Islam harus dijalankan. Karena yang terpenting adalah dasar

negara, karena hal itulah yang menjiwai jalannya negara itu sendiri.134

Sebagai salah satu partai politik, PERTI pun melakukan

konsolidasi partai dengan mengadakan berbagai pertemuan nasional.

Ketika itulah pemikiran kalangan politik kenegaraan yang juga akan

diperjuangkan dikonstituante. Seperti Kongres VI yang diadakan pada 20-

25 Mei 1950 di Bukittinggi. Beberapa keputusan diantarannya:

a. Berjuang menentang kolonialisme yang menindas rakyat

Indonesia.

b. Memperjuangkan cita-cita nasional untuk menciptakan Negara

Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.

c. Memperjuangkan agar supaya Pancasila menjadi buah dan

kenyataan di tengah-tengah masyarakat.

d. Mengadakan perhubungan dengan seluruh partai-partai di

Indonesia untuk menciptakan satu persatuan nasional yang kuat

terutama untuk melaksanakan program bersama.

e. Berusaha agar supaya umat Islam benar-benar memegang teguh

peraturan agamanya.

f. Memperjuangkan agar supaya agama Islam menjadi dasar

penghidupan dan kehidupan rakyat Indonesia.

134

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 186

g. Mendirikan lembaga-lembaga Islam untuk memperhebat seruan

agama Islam (da’watul Islamy) menyuruh perbaikan dan

memberantas kemungkaran.135

Hasil-hasil kongres tersebut dapat dicatat sebagai upaya PERTI

untuk memulai pemikiran politik yang lebih intensif lagi. Secara

keseluruhan, poin-poin yang terdapat dalam hasil konges tersebut

menggambarkan beberapa hal. Pertama, tekad untuk mempertahankan

kedaulatan negara kesatuan dari segala bentuk penindasan kolonialisme.

Kedua, kesediaan menerima realta bahwa negara Indonesia berdasarkan

Pancasila. Ketiga, menggambarkan i’tikad baik untuk menjalin kerjasama

dengan golongan lain dalam mewujudkan kesatuan dan keutuhan negara.

Kemudian cita-cita utama adalah menjadikan Al-Qur’an dan Hadits

sebagai sumber hukum.136

Dalam kongres VII yang diadakan pada 22-29 Agustus 1953, di

Jakarta. Secara eksplisit PERTI menuangkan cita politiknya tentang seperti

apa yang diinginkan Indonesia. PERTI tetap konsisten dengan

keinginannya bahwa negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan

Islam. Maka dalam kongres tersebut beberapa konsep negara yang

dihasilkan, yaitu sebagai berikut:

a. Kepala negara adalah orang Islam yang dipiilih oleh rakyat dan

bertanggung jawab kepada rakyat (wakil-wakilnya).

135

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 188-189 136

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 193

b. Hukum-hukum dalam negara berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah

Nabi, ijma’ dan qiyas.

c. Undang-undang dasar dan undang-undang lainnya dibuat oleh

rakyat (wakil-wakilnya) dengan jalan syura, dengan catatan

tidak boleh berlawanan dengan sumber hukum diatas.

d. Dalam undang-undang dasar dicantumkan secara tegas pasal

“agama negara adalah agama Islam”

e. Kedaulatan tertinggi atas negara dipegang oleh Allah dan

Rasul-Nya, sesudah itu Dewan Perwakilan Rakyat dan

pemerintah.

f. Kebijaksanaan pemerintah dipertanggungjawabkan kepada

rakyat dalam suatu persidangan rakyat (parlemen).

g. Hak-hak golongan kecil, baik dalam melakukan agamanya atau

dalam hal-hal memperkembangkan peradabannya diakui oleh

negara.137

Konsep tersebut dilengkapi lagi dalam hasil kongres VII pada

tanggal 9-16 Agustus 1955 di Jakarta. Keputusan kali ini lebih detail dari

apa yang diputuskan sebelumnya. Dalam kongres tersebut, diputuskan:

Pertama, PERTI tetap menginginkan nefara Indonesia yang berdasarkan

Islam, dengan nama al-Daulah al-Jumhuriyah al-Islamiyah al-Indonesia

(Negara Republik Islam Indonesia). Kedua, konstitusi negara tersebut

adalah:

137

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 194

1. Dasar Negara adalah berdasarkan Islam. Segala hukum dan

peraturan kenegaraan haruslah bersendikan dan berpedomankan

ketentuan-ketentuan atau garis pokok dari agama Islam.

2. Kedaulatan negara ada di tangan yang hakiki adalah di tangan

Tuhan Yang Maha Kuasa, dimana seluruh rakyat harus tunduk

dibawahnya. Adapun pemerintah itu adalah pelaksana semata

yang ditauliyahkan oleh rakyat.

3. Bentuk negara yaitu kesatuan dengan stelsel desentralisasi.

Maksudnya, Negara hanya mempunyai seorang kepala,

sedangkan daerah-daerah negara mempunyai otonom yang luas.

4. Pemerintahan berbentuk republik. Ini mengikuti contoh dari

pemerintahan Khulafaurrasyidin, pemerintah negara itu adalah

berbentuk republik, sebab kepala negaranya adalah plihan dan

angkatan perwakilan (Ahl al-hilli wa al-‘iqdi).

5. Pemerintahan bersifat demokrasi. Dalam pemerintahan Islam,

dasar syura itu menjadi salah satu pokok. Rasulullah Shalallahu

‘alaihi wa salam sendiri memegang pimpinan pemerintahan

dalam bimbingan wahyu pun harus melakukan musyawarah

dan begitu seterusnya pada pemerintahan Khulafaurrasyidin.

6. Dasar-dasar hukum dalam negara adalah Kitabullah (Al-

Qur’an), Hadits, Ijma’, dan Qiyas.138

138

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 196-198

Konsep-konsep yang terdapat dalam keputusan-keputusan kongres

tersebut pada prinsipnya dipersiapkan untuk menghadapi pemilihan umum

1955. Suatu hal yang menarik bahwa setelah kongres VIII tahun 1955 para

tokoh PERTI terlibat secara intens dalam pergerakan politik Indonesia.139

Maka setelah Pemilu 1955, terpilihlah Syeikh Sulaiman menjadi

anggota konstituante. Beliau diangkat menjadi ketua sidang konstituante

pertama di Bandung 10 November 1956, untuk memecahkan persoalan

bangsa untuk mengukuhkan negara berdasarkan UUD 1945 dan

Pancasila.140

Pengalaman Syeikh Sulaiman Arrasuli yang besar, membekali

sidang konstituante mengambil solusi bagi penguatan ketahanan identitas,

integritas, dan keberlangsungan kehidupan bangsa.141

Maka dari uraian

tersebut saya berkesimpulan bahwa konsep Islam dan negara menurut

Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli telah tersampaikan melalui hasil-hasil kongres

partai Islam PERTI, dikarenakan beliau merupakan penasehat partai, maka

setiap hasil dari keputusan, sudah ada pembahasan bersama beliau.

B. Pemikiran Syeikh Sulaiman Arrasuli tentang kriteria seorang

Pemimpin

Para juris Sunni mencita-citakan terwujudnya pelaksanaan syari’at

Islam, keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kekuasan politik dan

pemerintahan. Hal ini tercermin dalam syarat-syarat kepala negara yang

139

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 201 140

Yulizar Yunus dkk, “Biografi Sejarah Perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-

Rasuli”, Lubuk Basung: Dinas Sosial Pemdakab Agam, 2019, hlm. 2 141

Yulizar Yunus dkk, “Biografi Sejarah....., hlm. 2

mereka kemukakan. Seperti Al-Baqillani, harus berilmu pengetahuan yang

luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya

itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim atau tidak dan apakah

sesuai dengan asas keadilan. Kemudian kepala negara harus berlaku adil

dalam segala urusan, yang pada intinya dalam segala tindakannya

bertujuan untuk melaksanakan syari’at.142

Bagi Al-Mawardi kepala negara harus punya kualifikasi berlaku

adil dengan segala persyaratannya, berilmu pengetahuan agar ia mampu

berijtihad, sehat pendengaran dan penglihatan serta lisan, memiliki

anggota tubuh yang sempurna, berwawasan luas untuk mengatur rakyat

dan mengelola kemashlahatan umum, keberanian untuk melindungi rakyat

dan menghadapi musuh.143

Sedangkan Al-Ghazali mengajukan sepuluh

syarat yang harus dipenuhi kepala negara. Ia harus laki-laki yang dewasa,

berakal sehat, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka dan dari suku

Quraisy berdasarkan hadits Nabi: “Para pemimpin harus dari Quraisy,”

punya kekuasaan nyata (al-najdat), memiliki kemampuan (kifayat), wara’

dan berilmu. Yang dimaksud dengan al-najdat adalah kepala negara yang

memiliki perangkat pemerintahan termasuk militer dan polisi. Al-kifayat

diartikan sebagai kemampuan berpikir dan mengelola serta kesediaan

bermusyawarah, Syarat kemampuan berpikir dan mengelola adalah

kecerdasan dan mengelola adalah kecerdasan dan kemahiran dalam urusan

142

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah.........., hlm. 253 143

Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah.........., hlm. 255

pemerintahan. Wara’ diartikan sebagai menjalankan ajaran-ajaran dan

moral Islam sebaik-baiknya.144

Syeikh Sulaiman dalam kitabnya Pedoman hidup Alam

Minangkabau (Nasihat Siti Budiman) memberikan tujuh kategori

penghulu atau pemimpin, yaitu:

1. Penghulu kayu gadang, ialah pengayom seluruh anak

kemenakan maupun seluruh masyarakat nagari, dan menjadi

penyelesai masalah bagi setiap permasalahan.

2. Penghulu nan di tanjuang, ialah pemimpin yang tidak mampu

dan tak punya pendirian

3. Penghulu ayam gadang, ialah pemimpin yang selalu

mengutamakan gelar atau nama besar

4. Penghulu buluah bambu, ialah hanya mengutamakan

performace, sepintas dilihat seperti orang pintar, gagah dan

berilmu tetapi hanya lip service saja.

5. Penghulu katuak-katuak, ialah pemimpin penakut disebabkan

kurangnya ilmu,

6. Penghulu tupai tuo, ialah berani pemimpin yang tidak berani

menyampaikan pendapat, takut tampil ke depan.

7. Penghulu pisak sarawa, ialah pemimpin yang memeras dan

memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya.145

144

Suyuthi Pulungan, “Fiqh Siyasah.........., hlm. 256 145

Asril, “Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli......., hlm. 63

Sebagai pengikut Sunni, tentunya PERTI mengikuti beberapa

pendapat ulama Sunni dalam hal ini, seperti yang dibahas dalam kongres

yang telah dilaksanakan. Seperti:

1. Kepala negara diangkat dan dimakzulkan oleh majelis Ahl al

Hilli wa al ‘Aqdi.

2. Kepala negara berkuasa dan bertanggung jawab langsung

sepenuhnya sebagai kepala pemerintahan negara dalam semua

bahagian pemerintahan sipil dan militer. Untuk pelaksanaan

tugasnya, kepala negara boleh mengangkat wazir-wazir

(menteri) yang bertanggungjawab kepadanya.

Adapun syarat bagi kepala negara adalah:

1. Beragama Islam

2. Alim (mengetahui seluk beluk Hukum Islam, bahkan ada

pendapat ulama bahwa kepala negara itu haruslah berderajat

mujtahid).

3. Baligh

4. Laki-laki

5. Sempurna akal dan panca indranya.146

Namun demikian terdapat sedikit penekanan dari pihak PERTI

terhadap Sunni. Yaitu, orang PERTI menambah persyaratan bahwa kepala

negara Indonesia itu harus muslim Sunni. Karena mengingat umumnya

rakyat Indonesia adalah penganut paham Sunni. Kemudian, PERTI tidak

146

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 199

mensyaratkan seorang kepala negara memiliki ilmu pengetahuan sampai

ke tingkat mampu berijtihad. Pendapat ini sejalann dengan pendapat al-

Ghazali. Orang-orang PERTI menyamakan kebijakan pemerintahan Bani

Umayyah yang mengangkat hakim tersendiri, tidak dijabatkan langsung

kepada kepala negara sebagaimana halnya pada masa Khulafa Rasyidin.147

Kemudian, mengenai sumber kekuasaan tidak diperoleh keterangan

teori para pemikir Sunni yang secara tegas mengatakan hal tersebut.

Namun, jika diperhatikan secara seksama, Ibn Abi Rabi’, salah seorang

pemikir Sunni, kelihatannya mempunyai teori ketuhanan. Maksudnya

adalah, bahwa kekuasaam seorang kepala negara itu bersumber dari

Tuhan. Ia berpendapat bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi

masyarakat. Penguasa-penguasa itu mendapat pancaran dan Ilahi dan

menetapkan mereka dengan keramahan-Nya.148

147

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 208 148

Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 209

BAB V

PENUTUP

C. Kesimpulan

Berdasarkan analisa penulis terhadap pemikiran Syeikh Sulaiman

Ar-Rasuli terhadap Islam dan Negara, penulis dapat mengambil

kesimpulan bahwa,

1. Sebagai Penasehat Tertinggi partai Islam PERTI, Syeikh Sulaiman Ar-

Rasuli bersama seluruh jajaran anggota partai telah memberikan

konsep Islam dan Negara pada kongres VII yang menghasilkan

keputusan Pertama, PERTI tetap menginginkan negara Indonesia

berlandaskan Islam, dengan nama al-Daulah al-Jumhuriyah al-

Islamiyah al-Indonesia (Negara Republik Islam Indonesia). Kedua,

konstitusi negara adalah:

a. Dasar negara berlandaskan Islam

b. Kedaulatan negara berada di tangan yang hakiki yaitu di tangan

Tuhan yang Maha Kuasa

c. Bentuk negara yaitu kesatuan dengan stelsel desentralisasi.

d. Pemerintahan berbentuk republik

e. Pemerintahan bersifat demokrasi. Dalam pemerintahan Islam dasar

syura itu menjadi pokok.

f. Dasar-dasar hukum dalam negara adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’,

dan Qiyas

Konsep-konsep tersebut lah yang akan diperjuangkan Syeikh

Sulaiman Ar-Rasuli dan partai Islam PERTI di kancah Pemilu 1955, yang

pada akhirnya Syeikh Sulaiman terpilih sebagai konstituante dalam rangka

mengukukan negara Indonesia.

2. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli beserta PERTI telah menyepakati

bagaimana seorang pemimpin yang ideal untuk suatu negara. Seperti:

a. Kepala negara diangkat dan dimakzulkan oleh majelis ahl al halli

wa ‘aqdi.

b. Kepala negara yang berkuasa dan bertanggung jawab langsung

sepenuhnya sebagai kepala pemerintahan negara dalam semua

bahagian pemerintah sipil dan militer. Untuk pelaksanaan

tugasnya, kepala negara boleh mengangkat wazir-wazir (menteri).

Adapun syarat bagi kepala negara adalah:

a. Beragama Islam

b. Muslim Sunni

c. Alim

d. Baligh

e. Laki-laki

f. Sempurna akal dan panca indranya.

D. Saran

Dari uraian bahasan yang telah penulis susun ini, penulis berharap

semua pihak yang membaca skripsi ini dapat memahami bagaimana

pendapat Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli tentang konsep Hubungan Islam dan

Negara.


Recommended