Date post: | 28-Apr-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Islam merupakan agama yang mengatur segala aspek kehidupan
baik mengenai kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Islam
bukan sekedar ajaran ritualitas melainkan juga memberi petunjuk yang
fundamental tentang bagaimana hubungan manusia dengan masyarakat
bahkan benegara. Dengan adanya hal tersebut, dikalangan umat Islam
sampai sekarang terdapat tiga Aliran tentang hubungan antara Islam dan
Ketatanegaraan. Aliran Pertama berpendirian bahwa Islam bukanlah
semata-mata agama dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut
hubungan antara manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah suatu agama
yang sempurna dan yang lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek
kehidupan manusia termasuk kehidupan bernegara.1
Aliran Kedua berpendirian bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan agama
dalam kenegaraan. Aliran Ketiga menolak pendapat bahwa Islam adalah
suatu agama yang serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem
ketatanegaran. Tetapi aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam
adalah agama dalam pengertian barat yang hanya mengatur hubungan
antara manusia dan Maha Penciptanya. Aliran ini berpendirian bahwa
1 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI
Press, 2013, hlm. 1
bahwa dalam Islam tidak terdapat sistem ketatanegaraan, tetapi terdapat
seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.2
Persoalan hubungan Islam dan Negara merupakan salah satu
pembahasan penting di masa modern seperti saat ini, Pembahasan tentang
ini telah banyak dibahas para ahli di dunia Islam seiring munculnya
konsep Nation State (negara bangsa) pada abad 19 yang dipopulerkan oleh
dunia Barat ke dunia internasional, termasuk wilayah Indonesia yang
berpenduduk mayoritas Islam. Meski konsep nation state telah
diperkenalkan sejak awal abad ke 19, pada umumnya persoalan Islam dan
negara baru serius menjadi isu internasional tak terkecuali di negara-
negara berpenduduk mayoritas Islam seperti Indonesia pada tahun 1940-an
di abad ke-20 lalu, tepatnya pasca perang dunia kedua.3 Sehingga,
berbagai gagasan dan pemikiran negara Islam yang telah dihasilkan oleh
banyak pemikir muslim baik dari sejak awal abad ke-20 sampai sekarang
akan ditemukan gagasan-gagasan Islam dan negara mulai dari yang
formalistik fundamentalis sampai ke gagasan sekularistik.4
Setidaknya ada beberapa paradigma pola hubungan negara dan
Islam yang dikemukakan beberapa tokoh Islam. Secara garis besar
paradigma tersebut dibedakan menjadi tiga paradigma pemikiran,
diantaranya Paradigma Integralistik (Unified Paradigm), Paradigma
2 Munawir Sjadzali, ”Islam dan Tata ...... hlm. 1-2
3 Hamzah Hasan,”Hubungan Islam dan Negara: Merespons Wacana Politik Islam
Kontemporer di Indonesia”, Al-Ahkam, vol. 25, no. 1 (2015), hlm. 20 4 Jaenudin, “Hubungan Antara Agama dan Negara dalam Pemikiran Kontemporer
Menurut Abul A’la Al Maududi”, Al-Mashlahah Jurnal Hukum dan Pranata Sosial”, (2017), hlm.
229
Simbiotik (Symbiotic Paradigm), dan Paradigma Sekularistik (Secularistic
Paradigm).
Paradigma Pertama yaitu paradigma Integralistik berpaham bahwa
Islam dalam kenyataannya tidak hanya sekedar doktrin agama yang
membimbing manusia dari aspek spiritual saja, melainkan juga berusaha
membangun sistem ketatanegaraan. Menurut paradigma ini, Islam sebagai
sebuah agama dapat diartikan pula sebagai lembaga politik dan
kenegaraan, tidak hanya mengatur hubugan manusia dengan Tuhan tetapi
mengatur hubungan antar sesama manusia, baik dalam aspek sosial
maupun politik kenegaraan dengan doktrin Inna al-Islām Dīn wa Daulah.
Dengan doktrin ini Islam dipahami sebagai teologi politik. Pada akhirnya
Islam menjadi keniscayaan terutama dalam upaya memposisikan Islam
sebagai dasar negara sehingga agama dan politik tidak dapat dipisahkan
harus terbentuk secara formalistik-legalistik dalam suatu wadah yang
bernama Negara Islam.5 Tokohnya: Syekh Hasan al-Bana, Rasyid Ridha
dan Sayyid Quthb, Abu al-A'la al Mawdudi dan 'Ali al-Nadwy.
Paradigma Kedua yaitu Paradigma Simbiotik, teori ini
menjelaskna bahwa hubungan antara agama dan negara harus berbeda
dalam hubungan yang bersifat simbiotik, yaitu suatu hubungan timbal
balik yang saling memerlukan antara keduanya. Negara menurut
paradigma ini memerlukan panduan etika dan moral sebagaimana
diajarkan agama. Sementara agama sendiri memerlukan kawalan negara
5 Kamsi, “Paradigma Politik Islam Tentang Relasi Agama Dan Negara”, In Right: Jurnal
Agama dan Hak Asasi Manusia”, vol. 2, no. 1, (2012) hlm. 43
untuk kelestarian dan eksistensinya atau agama (Islam) memerlukan
‘pedang penolong’ yaitu negara. Tanpa ‘pedang penolong’ yang
mendukungnya, maka Islam dengan semua ajarannya yang sempurna dan
komprehensif tidak akan mungkin ditancapkan dalam realitas sosial.
Dengan hubungan seperti inilah keduanya berada dalam dimensi
simbiosis-mutualistis dan tidak mereduksi agama atau tidak menyamakan
antara alat dengan risalah.6 Tokohnya: Husayn Haykal, Fazlur Rahman,
Qamaruddin Khan, Al-Mawardy.
Paradigma Ketiga yaitu Paradigma Sekularistik yang cenderung
menekankan pemisahan antara agama dan negara. Kelompok ini
mempunyai cita-cita politik menjadikan negara sekuler. Mereka berpegang
pada paradigma teori yang menyatakan bahwa agama sama sekali tidak
menekankan kewajiban mendirikan negara. Agama, menurut mereka
hanya memberikan nilai etik-moral dalam membangun tatanan masyarakat
dan negara. Kerangka teologis dari kelompok ini, bahwa pembentukan
pemerintahan dan negara Islam tidak termasuk dalam tugas sebagaimana
diwahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad SAW.7 Tokoh aliran ini yang
paling terkenal dan bersuara lantang adalah ‘Ali ‘Abd ar-Raziq
Berdasarkan pemaparan paradigma diatas, Nurcholis Madjid
berpendapat bahwa pada dasarnya dalam masalah sosial politik, Islam
memberi ilham bagi para pemeluknya untuk membuka wawasan dalam
berbagai aspek sosial-politik. Sejarah menunjukkan pula bahwa agama
6 Kamsi,”Paradigma Politik Islam......, hlm. 49
7 Kamsi,” Paradigma Politik Islam......, hlm. 46
Islam memberi kelonggaran besar dalam hal bentuk dan pengaturan serta
teknis masalah sosial politik itu. Juga suatu bentuk formal kenegaraan
tidak ada sangkut pautnya dengan masalah legitimasi para penguasanya.
Yang utama adalah visi negara dipandang dari sudut pertimbangan
prinsipil tentang etika sosial.
Jika demikian, membahas hubungan negara dan agama, apapun
bentuk dan sistemnya bila dipandang dari sudut ibadah, sesungguhnya
tergolong muamalah. Oleh karena itu, ketika bentuk dan sistem negara
yang diperbincangkan, dalam waktu yang bersamaan juga telah dilakukan
kebaikan bersama sesuai dengan perkembangan dan perubahan yang
terjadi. Ini berarti bahwa umat Islam dapat melakukan ijtihad dan berhak
memilih sekaligus menentukan hal-hal mana yang lebih sesuai dengan
prinsip dan nilai-nilai universal Islam.8
Maka daripada itu, Para ulama yang menjadi pendiri negara (KH
Abdul Wahid Hasyim, Abdul Kahar Muzakkir, H Agus Salim dan
Abikusno Tjokrosurojo) menyadari bahwa pendirian negara bukanlah
tujuan bagi dirinya sendiri, tetapi sebagai sarana untuk mencapai
kemaslahatan hidup manusia. Demikian juga tujuan norma agama Islam
(maqasyid asy-syari’ah) adalah untuk mewujudkan kemaslahatan hidup
manusia secara keseluruhan tanpa membedakan ras, agama ataupun
golongan. Pluralitas beragama ini disadari oleh para ulama yang menjadi
pendiri negara, sehingga mereka mengambil kebijakan dengan
8 Nasaruddin, “Pemikiran Islam Tentang Hubungan Negara dan Agama”, Jurnal Hunafa,
vol. 6 no. 2, (2009), hlm. 212
merumuskan ideologi Pancasila dan UUD-NRI 1945 yang mengakomodir
aspirasi seluruh golongan dan agama. Dengan demikian, jika NKRI
dengan ideologi Pancasila sudah dianggap final, maka hal itu wajar karena
gagasan tersebut lahir dari tradisi dan spirit keagamaan warganya.
Eksistensi NKRI dengan Ideologi Pancasila semakin kokoh secara
kultural, setelah Nahdlatul Ulama melalui Muktamarnya Tahun 1984 di
Situbondo Jawa Timur meneguhkan Pancasila sebagai asas tunggal
negara.9
Setelah bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan, partai-partai
yang sebelumnya mati suri/dibekukan oleh pemerintahan Jepang
dibangkitkan kembali melalui Maklumat Pemerintah 3 November 1945.
Maklumat tersebut disambut dengan antusias oleh tokoh-tokoh politik.
Kegairahan ini tidak hanya pada kalangan tokoh yang memiliki
pengalaman mengelolah Partai Politik pada masa sebelum merdeka.
Terdapat sekitar 40 Partai Politik berdiri dan masing masing turut
berpartisipasi dalam percaturan politik nasional.10
Diantara yang menyambut maklumat ini adalah organisasi PERTI
(Persatuan Tarbiyah Islamiyah) yang berada di Sumatera Barat, dengan
mengadakan rapat pleno Pengurus Besarnya pada tanggal 22 November
1945. Dalam rapat itu diambil kesepakatan untuk meningkatkan
perjuangan PERTI dengan cara menjadikannya Partai Politik Islam Perti.
9 , “Hubungan Agama dan Negara di Indonesia”, Analisis:Jurnal Studi Keislaman, vol.
14 no. 1, (2014), hlm. 16 10
Rifandy Ritonga, “Pembubaran Partai Politik Terhadap Sistem Demokrasi di
Indonesia”, Pranata Hukum, vol. 10 no. 2, (2016), hlm. 102
Keputusan itu kembali dalam Muktamar IV yang diadakan di Bukittinggi
tanggal 24-26 Desember 1945. Saat itu diangkat H. Sirajuddin Abbas yang
semula sebagai Ketua Pengurus Besar menjadi ketua Dewan Partai
Tertinggi (DPT) dan Rusli A. Wahid menggantikan Sirajuddin sebagai
ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP), sedangkan Syeikh Sulaiman Arrasuli
duduk sebagai Ketua Majelis Penasehat Pusat (MPP).11
Anggaran Dasar Partai telah disusun sejak PERTI menjadi partai
politik, bahkan disempurnakan lagi pada Muktamar IX tahun 1962 tahun
1962 di Jakarta menunjukkan bahwa kepribadian organisasi ini tetap
seperti halnya sebelum menjadi partai politik. Dalam Pasal 3 Anggaran
Dasar memuat kepribadian PERTI seperti;
1. Tujuan Partai ialah;
a. Meninggikan agama Islam dalam arti yang seluas-luasnya.
b. Menjiwai masyarakat Indonesia dalam semangat keislaman.
c. Membangun masyarakat yang adil dan makmur yang sesuai dengan
kepribadian Indonesia dan agama Islam.
2. Partai ini menerima dan mempertahankan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang memuat dasar-dasar negara:
Ketuhanan Yang Maha Esa, Prikemanusiaan, Kebangsaan, Kedaulatan
Rakyat, dan Keadilan Sosial.
11
Alaiddin Koto, Pemikiran Politik PERTI 45-70, (Jakarta, PT. Nimas Multima, 1997),
hlm. 47
3. Dalam memperjuangkan tujuannya, partai ini akan menggunakan jalan-
jalan damai dan demokrasi.12
Selanjutnya, program partai dimuat dalam pasal 4, yang
menyebutkan bahwa untuk mencapai tujuannya, Partai ini berusaha;
1. Mempertahankan kemerdekaan bangsa dan negara Republik Indonesia
yang menjadi jembatan emas untuk kemakmuran rohaniah dan
jasmaniyah rakyat.
2. Menentang kolonialisme dan imperialisme dalam segala bentuknya.
3. Memajukan pengajaran, pendidikan, dan kecerdasan rakyat.
4. Memperdalam rasa cinta terhadap agama, bangsa, dan tanah airnya.
5. Memperhebat penyiaran dan pertahanan agama Islam.
6. Memajukan perekonomian dan kemakmuran rakyat.13
Sebenarnya, ada banyak lagi gerakan PERTI dikancah politik ini
yang menarik untuk dilihat.14
Namun pada perkembangannya, organisasi
ini sempat mengalami konflik internal sehingga organisasi ini terpecah
dua, yang satu menyebut dirinya sebagai PERTI dibawah kepemimpinan
Rusli A. Wahid dan yang lainnya menyebutnya sebagai “Tarbiyah”,
dibawah kepemimpinan H. Sirajuddin Abbas, akan tetapi keduaduanya
sama-sama mengakui nama lengkap organisasinya sebagai “Persatuan
Tarbiyah Islamiyah”. Sekitar setahun menjelang wafat, Syeikh Sulaiman
Arrasuli tetap beupaya mendamaikan keduanya dengan mengirim surat
12
Alaiddin Koto, Pemikiran Politik .... hlm. 52 13
Alaiddin Koto, Pemikiran Politik .... hlm. 53 14
Alaiddin Koto, Pemikiran Politik .... hlm. 55
kepada Rusli A. Wahid pada tanggal 1 Maret 1969 yang menghimbau
PERTI menanggalkan statusnya sebagai partai politik dan kembali ke
khittah semula sebagai organisasi sosial dan keagamaan yang tugas
utamanya adalah meninggikan syiar agama dan membina pendidikan
Islam. Pihak Tarbiyah menyebut surat tersebut sebagai “Dekrit Inyiak
Canduang”.15
Inyiak Canduang atau Syeikh Sulaiman Arrasuli adalah salah satu
dari Pendiri Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Syeikh Sulaiman Arrasuli
adalah tokoh sentral dari PERTI, selain pengaruhnya yang begitu kuat di
kalangan ulama kaum Tua di Minangkabau, juga karena perubahan sistem
pendidikan tersebut sekaligus tempat terbentuknya Tarbiyah Islamiyah
bertempat di lembaga yang Ia pimpin, yaitu di Canduang.16
Melihat kiprah Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dalam bidang politik,
bermula ketika beliau ditetapkan sebagai Penasehat Tertinggi partai
PERTI, setelah Persatuan Tarbiyah Islamiyah mengembangkan fungsinya
sebagai Partai Politik dalam menanggapi Maklumat Wakil Presiden RI,
Dr. Muhammad Hatta Nomor X/3 November 1945 tentang pendirian
partai-partai politk sebagai penyalur aspirasi rakyat.17
Kemudian pada tahun 1948, beliau diangkat sebagai penasehat
Gubernur Militer Sumatera Tengah. Kepercayaan ini tentu tidak terlepas
15
Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Ber I’tiqad
Ahlussunnah Wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i, (Padang, Jasa Surya, 2015), hlm. 21 16
Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri.... hlm. 24 17
Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri.... hlm. 44
dari peran beliau dalam memberikan dukungan terhadap perjuangan TNI
dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan.18
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli juga terpilih menjadi anggota
Konstituante berdasarkan hasil Pemilihan Umum (PEMILU) pertama pda
tahun 1955. Sebagai anggota tertua, baik dari segi usia maupun ilmu dan
pengalaman, beliau terpilih menjadi ketua sidang pertama konstituante
pada tanggal 10 November 195 di Kota Bandung.19
Pada tahun 1956, beliau menghadiri Muktamar Ulama Seluruh
Indonesia (MUSI) di Palembang Sumatera Selatan. Dalam Muktamar
tersebut, beliau dipercaya sebagai ketua salah satu komisi. Komisi ini
sendiri bertujuan untuk menentang komunis yang telah mulai
memperlihatkan kukunya dalam berbagai kehidupan bangsa.20
Berdasarkan pada keterangan di atas, peneliti mengangkat tema
penelitian ini dengan judul "Studi Tokoh: Konsep Hubungan Islam dan
Negara Menurut Syeikh Sulaiman Arrasuli "
B. Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang dapat dirumuskan satu pokok
permasalahan skripsi ini yaitu "Analisis Pendapat Syeikh Sulaiman
Arrasuli terhadap Hubungan Islam dan Negara" yang dibagi menjadi
dua sub masalah yaitu :
18
Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri .... hlm. 45 19
Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri .... hlm. 48 20
Hasan Zaini, dkk, Prinsip Dan Jati Diri .... hlm. 48
1. Bagaimana pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap Hubungan
Islam dan Negara?
2. Bagaimana pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli tentang kriteria
seorang pemimpin suatu Negara?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mendeskripsikan pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap
Hubungan Islam dan Negara.
2. Untuk mengetahui pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap
kriteria seorang pemimpin negara yang ideal dan bagaimana posisi
seorang pemimpin negara dalam agamanya.
D. Kegunaan Penelitian
Pada dasarnya setiap penelitian tentunya mempunyai manfaat,
baik dalam rangka pengembangan pengetahuan ataupun berkaitan
dengan asas guna yang lebih luas seperti halnya kepentingan sosial
praksis. Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan informasi
empirik dan pengetahuan seputar Pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli
terhadap Hubungan Islam dan Negara serta dapat dijadikan sarana
untuk memperluas khasanah keilmuan.
2. Secara praktis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan kontribusi informasi serta pengetahuan dalam memahami konsep
Negara dan Islam untuk masyarakat dan juga mahasiswa.
3. Bagi penulis Sebagai salah satu syarat mendapatkan gelar sarjana pada
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Bukittinggi, dan juga
menambah pengetahuan dan pengalaman penulis agar
mengembangkan ilmu yang telah diperoleh.
E. Studi Terdahulu
Berkaitan dengan permasalahan Islam dan Negara, beberapa
tulisan dan penelitian terdahulu diantaranya antara lain:
1. Skripsi dengan judul “Islam dan Negara (Negara Pancasila Menurut
Pemikiran Munawir Sjadzali) oleh Dedy Faisal (2007) Fakultas
Ushuluddin Universitas Islam Sunan Kalijaga Jogjakarta. Dalam Skripsi
ini, penulis berupaya untuk mengkaji dan menganalisa pemikiran Munawir
Sjadzali tentang Islam dan Negara dan melakukan deskripsi pemikiran
Munawir Sjadzali dengan melakukan sintesa dan interprestasi terhadap
negara serta pandangan Munawir Sjadzali tentnag Negara: Agama (Islam)
dan Pancasila.
2. Skripsi dengan judul “Hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran
Politik Islam di Indonesia (Analisis Pemikiran Politik Bahtiar Effendy)”
oleh Muhammad Fauzan Naufal (2017) Fakultas Syari’ah Universitas
Islam Negeri Raden Intan Lampung. Dalam skripsi ini. Penulis berupaya
mencari tahu bagaimana mengetahui gambaran serta pendapat Bahtiar
Effendy mengenai hubungan Agama dan Negara dalam Pemikiran Politik
di Indonesia.
3. Skripsi dengan judul “Pemikiran Ahmad Syafii Tentang Hubungan Agama
dan Negara” oleh Siti Nurlaela (2016) Fakultas Syari’ah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam skripsi ini,
penulis berupaya untuk mengetahui bentuk ideal, posisi, dan
pengaplikasian Agama dan Negara menurut Pandangan Ahmad Syafii
Ma’arif.
Yang menjadi dasar perbedaan dengan skripsi ini adalah lebih
menjurus kepada bagaimana Pendapat Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadap
Hubungan Islam dan Negara.
F. Metode Penelitian
Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu
yang mempunyai langah-langkah sistematis. Metode penelitian adalah
mengemukakan secara teknis tentang metode-metode yang digunakan
dalam suatu kegiatan penelitian.
1. Jenis penelitian
Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)
dengan pendekatan kualitatif. Yaitu penelitian yang menggunakan metode
dengan pengamatan langsung ke lapangan untuk mengumpulkan data-data
yang berkaitan dengan masalah ini dengan pendekatan kualitatif.
Pendekatan kualitatif adalah karena penelitian ini tidak bermaksud mencari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara dua variabel atau lebih, akan
tetapi penelitian ini bermaksud mendeskripsikan relevansi pendapat
Syeikh Sulaiman Arrasuli terhadab hubungan Islam dan negara.
2. Sumber Data
Untuk memudahkan mengidentifikasi sumber data, maka penulis
mengklasifikasikan sumber data menjadi dua sumber data, yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah yaitu sumber-sumber yang membahas Syeikh
Sulaiman Arrasuli dan PERTI diantaranya: 1) Pemikiran Politik PERTI
45-70, 2) Prinsip dan Jati Diri Persatuan Tarbiyah Islamiyah: Ber I’tiqad
Ahlussunah Wal Jama’ah dan Mazhab Syafi’i, 3) Pertalian Adat dan
Syara’
b. Data sekunder
Data sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang ada relevansinya
dengan judul baik langsung ataupun tidak langsung. Pengambilan
kepustakaan didasarkan pada otoritas keunggulan pengarang dibidang
Politik Islam, dan Negara.
c. Teknik Analisa Data
Adapun metode analisa data yang penyusun gunakan dalam
penelitian ini adalah analisa data kualitatif, yaitu analisa dengan
mengklasifikasikan data-data berdasarkan kategori-kategori atas
persamaan jenis dari data-data tersebut kemudian data tersebut diuraikan
sehigga diperoleh gambaran yang utuh tentang permasalahan yang diteliti.
G. Sistematika Pembahasan
Bab Pertama, bagian ini tentang pendahuluan, yang di dalamnya
menjelaskan secara garis besar tentang permasalahan, latar belakang,
idenifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, studi terdahulu,
manfaat penelitian kegunaan, metode penelitian dan sistematika
pembahasan.
Bab Kedua, Pada bagian ini penulis menguraikan Biografi atau
Riwayat Hidup Syeikh Sulaiman Arrasuli.
Bab Ketiga, di bab ini penulis akan mengurakan landasan teori
mengenai Islam dan Negara.
Bab Keempat, Pemaparan tentang analisis pemikiran Syeikh
Sulaiman Arrasuli mengenai Islam dan Negara.
Bab Lima, merupakan bagian penutup sebagai akhir dari
pembahasan penelitian ini, dalam bab ini mencangkup kesimpulan
serta saran untuk pembaca dan perbaikan ke depan dari skripsi yang
ditulis.
BAB II
BIOGRAFI SYEIKH SULAIMAN AR-RASULI
H. Riwayat Hidup Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
Beliau dilahirkan petang Ahad malam Senin bulan Muharam 1297
Hijriyah (1879 M) ditempat ayah beliau mengajar di Suaru Pakan Kamis
Usang, Candung, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Beliau
adalah keturunan Ulama, ayahnya adalah seorang ulama besar di alam
Minangkabau, ayahnya disebut degan gelar Tuanku Mudo Pakan Kamis.
Kakeknya biasa dipanggil masyarakat dengan Tuanku Nan Pahit, beliau
juga terkenal sebagai seorang Ulama yang alim pada masanya.21
Sedangkan ibunya bernama Siti Buliah, suku Caniago, seorang
perempuan yang taat beragma. Karena sistem kekerabatan masyarakat
Minangkabau bersifat matriakat, maka Syeikh Sulaiman ar-Rasuli bersuku
Caniago. Maka daripada itu, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli lahir dari
keluarga yang taat beragama dan pendidik ditengah-tengah
masyarakatnya.22
Nama lengkap Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah Sulaiman bin
Muhammad Rasul. Murid-muridnya memanggil beliau dengan sebutan
Maulana Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli.23
Ada juga yang menyebut namanya
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli al-Minangkabawi, meniru gurunya Syeikh
21
Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan Syara’ oleh Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, (Jakarta:
Ciputat Press, 2003), hlm. 48 22
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 26 23
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 25
Ahmad Khatib al-Minangkabawi,24
Ia juga dijuluki dengan sebutan
“Inyiak Canduang”. Panggilan terakhir ini menunjukkan beliau adalah
ulama yang merupakan “penisbahan” kepada ayahnya yang bernama
Angku Mudo Muhammad Rasul.25
Adapun sifat-sifat Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah sebagai
berikut:
1) Beliau adalah seorang yang suka bergaul dengan siapa saja dan
dari golongan apa saja.
2) Beliau sangat pengasih dan pemurah dalam hal apapun serta
suka menolong orang yang dalam kesusahan. Bahkan banyak
murid-muridnya yang meminjam uang kepadanya disaat murid-
muridnya menunggu kiriman dari kampung.
3) Beliau suka bergotong royong walaupun beliau akan
mengeluarkan seluruh hartanya ataupun berhutang.
4) Beliau sangat menghargai jasa-jasa orang, terlebih kepada jasa
guru-gurunya hingga sampai anak dan istri guru-gurunya yang
telah meninggal. Beliau pernah memberi hadiah walaupun
sediikit.
5) Beliau seorang ulama yang beritikad dengan itikad Ahlu
Sunnah wal Jama’ah dan bermahzab Imam Syafi’i
24
Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (1871M-1970M)
Sebagai Pendakwah”, Al-Munir, vol. 3, no. 5 (2012), hlm 134 25
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 25
6) Beliau adalah seorang ulama yang kuat pendiriannya dalam
agama, tidak mau berubah-ubah dan sangat kuat
mempertahankan fatwa yang.
7) Beliau menerima perkembangan zaman, begitupun dalam
menjalankan agama seperti mendirikan sekolah jurnalistik dan
lain sebagainya. Akan tetapi dalam hal amalan atau ibadah
beliau tetap berpegang teguh.
8) Beliau seorang ulama yang mengerti tentag seluk beluk adat
istiadat Minangkabau, sehingga dimana-mana beliau bertabligh
dan berpidato sesekali menjelaskan perkara adat istiadat yang
mencerahkan masyarakat. Apalagi banyak keterangan bahwa
beliau banyak sekali mendamaikan antara adat dan syara’
(agama).
9) Beliau suka mendengar Pembaca Al-Qur’an dan Qasidah-
qasidah berbahasa Arab dan Mesir.26
I. Riwayat Pendidikan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
Karena latar belakang keluarganya yang taat beragama, membuat
orang tuanya menginginkan Sulaiman kelak menjadi seorang ulama.27
Guru pertama Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli adalah ayahnya sendiri,
Muhammad Rasul. Sebagai seorang ulama, Muhammad Rasul
menjalankan kewajibannya untuk memberikan pendidikan agama kepada
putranya, dan secara sosial ia juga telah melakukan regenerasi ulama.
26
Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan.... hlm. 61-62 27
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 26
Transformasi ilmu pengetahuan dan nilai-nilai agama dari seorang ayah
kepada anaknya, telah belangsung secara formal maupun non formal.28
Pendidikan selanjutnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli belajar Al-
Qur’an di perguruan agama di Batu Hampar, Payakumbuh Kab. 50 Kota.
Disini ia belajar dengan Syeikh Muhammad Arsyad (1899-1924 M), anak
dari Syeikh Abdurrahman al-Khalidi, pendiri surau tersebut. Di samping
itu ia juga belajar menulis dan membaca huruf latin dengan seorang
keluarga Tuanku Laras Canduang dengan gelar Intan Nagari, yang juga
sedang belajar di perguruan yang sama pada tahun 1307 H.29
Selanjutnya, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli belajar bahasa Arab
kepada Syeikh Abdusshamad al-Samiak, di Biaro Kabupten Agam di
antara tahun 1883-1884 M dan tahun 1886-1889M. Beliau belajar dengan
guru in dua periode, disebabkan karena gurunya pergi ke Mekkah. Waktu
melaksanakan haji pada waktu itu tidak sama dengan zama sekarang,
apalagi jika perg haji disertai dengan belajar agama, akan menghabiskan
waktu yang lama. Waktu menunggu guunya pulang dari haji, Syeikh
Sulaiman Ar-Rasuli menggunakan waktunya untuk belajar ilmu waris
kepada30
Syeikh Muhammad Tuanku Kolok yang merupakan seorang
Ulama yang ahli di bidang fiqh dan fara’id. Syeikh ini merupakan kakek
(dari pihak ibu) Mahmud Yunus.31
Bertempat di Sungayang, Batusangkar,
Tanah Datar, diantara tahun 1885-1886 M dan waktu yang dihabiskan oleh
28
Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman..... hlm. 137 29
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 26-27 30
Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman ..... hlm. 138 31
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ..... hlm. 27
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli untuk belajar Bahasa Arab tergolong lama,
yaitu sekitar 5 tahun, kemungkinan ia tidak belajar full time, tetapi yang
pasti belajar bahasa Arab ‘cara lama’ memakan waktu yang cukup lama
dibandingkan cara praktis sekarang, apalagi pada waktu itu, belajar bahasa
Arab sekaligus belajar tafsir al-Qur’an.32
Syeikh Sulaiman pun kembali ke Canduang lalu melanjutkan
pendidikannya ke Lokok Banuhampu berguru pada Syeikh Abdussalam.
Tidak lama di Banuhampu, ia pindah belajar ke Sungai Dareh Situjuh
Payakumbuh dan berguru kepada Syeikh Muhammad Salim al-Khalidi.
Kemudian, atas permintaan ayah dan gurunya Tuanku Samiak, ia pindah
belajar ke Halaban. Agaknya permintaan ini dilakukan agar beliau lebih
konsentrasi belajar disana. Apalagi di Halaban tersebut terdapat beberapa
orang yang belajar khusus dibawah asuhan Syeikh Abdullah Abdullah
Halaban yang pernah belajar di Makkah dan mendalami ilmu-ilmu
taffaquh fi al-din seperti Fiqh, Tafsir, Tashawuf, dan sebagainya. Syeikh
Sulaiman belajar disini selama tujuh tahun (1890 s.d. 1896 M). Selama di
Halaban ini, ia mendapat kepercayaan sebagai ‘guru tuo’, atau menjadi
naib (wakil) dari Syeikh Abdullah Halaban.33
Pada bulan Sya’ban 1321 H, beliau pulang ke Canduang, dan
membawa beberapa murid yang ingin tinggal di Canduang. Setelah
Ramadhan ia mulai mengajar orang-orang di sekitar Canduang yang
berkeinginan untuk belajar. Sekitar enam bulan kemudian (1322 H), beliau
32
Sarwan dan Aris Kurniawan, Profil Syeikh Sulaiman..... hlm. 138 33
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 28
menunaikan Ibadah Haji dengan kepala Jama’ah Haji yang amat
menyayanginya, yaitu Haji Abdurrahman Padang Gantiang, melalui jalan
Penang.34
Selama di Makkah, ia memanfaatkan untuk menuntut ilmu seperti
Fiqh, Tafsir, Hadis, Tashawuf dan sebagainya. Di antara guru-guru beliau
di Makkah seperti Syeikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Syeikh
Mukhtar Atharad as-Shufi, Syeikh Usman al-Sirwaqi, Syeikh Muhammad
Sa’id Mufty al-Syafe’i, Syeikh Nawawi Banten, Syeikh Ali Kutan al-
Kelantani, Syeikh Ahmad Muhammad Zain al-Fathani, Said Ahmad
Syatha al-Maki, Said Umar Bajaned, dan Said Babasil Yaman.35
Selama belajar di Makkah, ia seangkatan dengan beberapa ulama di
tanah air, diantaranya Syeikh Abdul Karim Amrullah (Ayah Buya Hamka
sekaligus ulama dari Kaum Muda), Syeikh Muhammad Jamil Jambek,
Syeikh Muhammad Jamil Jaho, Syeikh Abdullah Padang Japang, Syeikh
Abbas Ladang Lawas, Syeikh Zain Simabur, Kiyai Hasyim Asy’ari
(Pendiri NU), KH. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah), dan Syeikh
Hasan Maksum Sumatera Utara (Tokoh terkemuka pada organisasi al-
Washliyah). Di kota suci ini ia belajar selama 3,5 tahun (1903 sampai
1903M).36
J. Peran dan Perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli di Minangkabau
1. Sebagai Da’i dan Pendidik
34
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 28 35
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 28 36
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 28-29
Oleh karena permintaan ibu beliau yang menyuruh kembali ke
Candung, maka bermusyawarahlah beliau dengan guru-gurunya dan guru-
gurunya menyuruh beliau kembali ke Tanah Air untuk menuruti perintah
Ibunya. Pada bulan Syafar 1324 H beliau kembali ke Indonesia yaitu ke
Candung.37
Kepulangannya ke kampung halaman disambut oleh
masyarakat dengan sukka cita. Apalagi saat itu, kedudukan ‘ulama’ sangat
bergengsi dan dihormati banyak orang.38
Masyarakat pun membangun surau yang dikenal dengan “Surau
Baru”. Disinilah beliau mendidik murid-muridnya yang datang untuk
menuntut ilmu.39
Maka sesudah Surau Baru itu dikerjakan maka beliau
tetap memberikan ilmu menurut cara belajar di masjid Al Harram
(Makkah Al Mukarrammah) yaitu memakai banyak kitab.40
Sedangkan
masa itu masyarakat Minangkabau pada umumnya masih menggunakan
sistem halaqah. Murid-murid duduk mengelilingi guru yang sedang
mengajar, kepada mereka diajarkan satu atau dua macam ilmu agama saja.
Namun Sulaiman, melakukan perubahan dengan tidak hanya mengajarkan
satu atau dua ilmu agama, akan tetapi ia mengajarkan banyak macam ilmu
agama seperti: ilmu Fiqh, Tasauf, Tauhid, Tajwid, Tafsir, Hadis dan yang
lainya. Ia juga melengkapi cara belajar dengan membuatkan daftar
37
Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan ..... hlm. 35 38
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 29 39
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 29 40
Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan..... hlm. 53
pelejaran perharinya, hingga makin hari suraunya semakin banyak
dikunjungi masyarakat untuk menuntut ilmu.41
Setelah beberapa tahun mengajar di Candung, datanglah
permintaan dari Tuanku Laras Anam Koto penghulu kepala Pandai Sikat
Kota Padang Panjang dan penghulu-penghulu imam khatib dalam nagari
tersebut agar beliau kesana untuk mengembangkan ilmunya dalam
mendidik yang nyaris terjerumus kemusyrikan. Ketika itu, berkembang
pelajaran menguatkan badan atau tidak mempan dengan senjata tajam,
yang mereka sebut dengan tarekat keras (bercampur dengan syirik) atau
dalam istilah Muhammad Rusli Kapau sebagai “pengajian keras”.42
Maka pada bulan Sya’ban 1329 H pindahlah beliau untuk
menggantikan alm. Tuan Syeikh Yunus di Pandai Sikat. Selama beliau di
Pandai Sikat berangsur-angsurlah hilang pengajian keras tersebut. Selain
itu, beliau juga mengajar dua kali seminggu setiap petang Kamis dan
petang Jum’at di masjid Bukit Surungan Padang Panjang.43
Setahun kemudian, datang permintaan dari Tuanku Dt. Majolelo
Damang Darwis, wakil Laras di Baso saat itu meminta agar beliau kembali
pulang ke kampungnya. Alasannya, tingkat kejahatan di Baso semakin
tinggi. Menurut Tuanku Dt. Majolelo, kejahatan tersebut tidak akan
dihilangkan kecuali melalui pendidikan agama. Karena kondisi masyarakat
di Pandai Sikat sudah lebih baik, maka ia pun memenuhi permintaan
41
Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli: Ulama Multi Talenta, Khazanah: Jurnal Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Vol. 3, No. 16 (2018), hlm. 61 42
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 29-30 43
Hamdan Izmy , Pertalian Adat dan ..... hlm. 55
tersebut. Sejak itu penduduk di sekitar Baso pun belajar kepada beliau.
Hari kian berganti, jama’ah beliau pun semakin bertambah, Pengajaran
agama Islam sangat berpengaruh terhadap kehidupan beragama
masyarakat Baso yang sebelumnya tingkat kejahatan tinggi, maka ditahun
1938 tersebut pasar Baso jauh lebih aman. Inilah peran dan perjuangan
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dalam mendidik umat yang tampak pada masa
itu.44
2. Sebagai Politisi dan Organisatoris
Selain perannya sebagai ulama dalam kegiatan dakwah dan
pendidikan, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli juga bertindak sebagai seorang
politisi yang handal dan seorang organisatoris yang mumpuni. Beliau aktif
dalam berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan. Karena itu pula, sejumlah
jabatan pernah diamanahkan kepada beliau, baik dalam persoalan sosial
politk maupun sosial kemasyarakatan.45
Adapun amanah dan pengalaman
beliau sebagai berikut:
1) Pada tahun 1917 M dengan kesepakatan penghulu-penghulu
ninik mamak di Candung, beliau diangkat menjadi Qadhi
nikah Imam Jum’at dan Pengurus Sidang46
dalam Sidang
Sabuah Balai. Jabatan ini tidak terlepas dari peran Tuanku
Laras Candung yang tertarik dengan keilmuan Syekh
Sulaiman Ar-Rasuli.47
44
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 30-31 45
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 36 46
Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan.... hlm. 56 47
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 36
2) Pada tahun 1918 M, beliau terpilih menjadi Ketua Umum
Syarikat Islam (SI) untuk daerah Canduang – Baso.48
3) Pada tahun 1920 M, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli bersama-
sama Syeikh H. Abbas al-Qadhi Ladang Lawas dan Syeikh
H. Muhammad Jamil Jaho serta ulama yang sepemahaman
dengannya mendirikan organisasi “Vereeniging Ittihadul
Oelama Soematra” (VIOS) sebagai wadah berkumpulnya
para ulama Sunniyah Syafi’iyah dalam mengkaji dan
mengeluarkan fatwa-fatwa.49
4) Pada 5 Mei 1928 beliau juga disebut sebagai pendiri utama
sekaligus pemimpin pertama Persatuan Madrasah Tarbiyah
Islamiyah (PMTI).
5) Pada tahun 1943, pemerintah Jepang menganjurkan
membentuk sebuah majelis Islam yang mencakup seluruh
kaum Muslimin di Minangkabau. Maka dibentuklah Majelis
Islam Tinggi Minangkabau (MITM), yang diketuai Syeikh
Sulaiman Ar-Rasuli.50
6) Pada tahun 1948, beliau diangkat menjadi penasehat
Gubernur Militer Sumatera Tengah.51
7) Pada tahun 1954 diadakanlah kongres segitiga se-
Minangkabau yang di inisiasi oleh Syeikh Sulaiman Ar-
48
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 37 49
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 37 50
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 42 51
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 45
Rasuli. Inisiatif ini menunjukkan bahwa beliau peduli
dengan adat dan kebudayaan Minangkabau. Kongres itu
sendiri di ketuai oleh beliau.52
8) Pada Pemilu 1955 beliau juga terpilih menjadi anggota
Konstituante dan beliau tepilh sebagai ketua sidang pertama
konstituante tersebut pada 10 November 1956.53
9) Pada 1956 ada tiga Muktamar yang diadakan, dari ketiga
muktamar itu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli diberi amanah.
Muktamar Ulama Sumatera beliau diamanahkan sebagai
Ketua, Muktamar Adat Sumatera beliau sebagai inisiator,
dan dalam Muktamar Ulama seluruh Indonesia di
Palembang beliau di amanahkan sebagai salah satu Ketua
Komisi. Semua Muktamar tersebut diadakan untuk
menentang Komunisme yang sudah mulai mendominasi
dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.54
3. Sebagai Tokoh Adat
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli juga dikenal ahli dibidang adat
Minangkabau. Keahlian ini ia miliki karena beliau dekat dengan penghulu-
penghulu adat dan para Laras yang tergabung dalam organisasi adat yang
telah berdiri pada masa itu, Majelis Tinggi Kerapatan Adat Alam
Minangkabau (MTKAAM), termasuk juga persahabatannya dengan
Demang Dt. Batuah yang ahli di bidang adat. Karena keahlian itu, ia selalu
52 Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 47
53 Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 48
54 Hamdan Izmy, Pertalian Adat dan...... hlm. 74
diundang sebagai narasumber dalam acara-acara resmi adat
Minangkabau.55
K. Karya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
Syeikh Sulaiman dikenal dengan seorang yang produktif. Karya-
karyanya banyak memberi inspirasi dan pengajaran berharga bagi
masyarakat Minangkabau. Melalui tim penelusuran pengajuan Syeikh
Sulaiman menjadi jadi Pahlawan Nasional, ditemukan sekitar 19 judul
yang dirulis Syeikh Sulaiman tersebut. 56
Jika ditelusuri hasil karya tulis
beliau, terdapat beberapa pemikiran bernas, baik dibidang tauhid,
tasaswuf, fiqh, pendidikan, termasuk bidang adat istiadat.57
Buku-buku
tersebut adalah:
1. Pedoman Hidup di Alam Minangkabau Menurut Garisan Adat
dan Syarak, buku ini ditulis tahun 1938, dengan jumlah
halaman 70 halaman. Buku ini berisikan tentang nasehat Adat
dan Syarak.
2. Pertalian Adat dan Syarak di Minangkabau, ditulis tahun 1927,
terdiri dari 58 halaman. Buku ini berisikan tentang hubungan
adat dan syara’.
3. Asal Pangkat Penghulu dan Pendiriannya, ditulis tahun 1927,
terdiri 35 halaman. Buku ini tentang sejarah pangkat penghulu
serta perihal tentang penghulu atau pemimpin.
55
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 48 56
Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli .... hlm. 60 57
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri...... hlm. 50
4. Tsamrat al-Ihsan fi Wiladah al-Ihsan ditulis ditahun 1923,
terdiri dari 100 halaman. Berisikan tentang sejarah Nabi.
5. Pedoman Puasa, ditulis tahun 1936, terdiri 26 halaman.
6. Al-Qaul al-Bayan fi Tafsiri Qur’an, ditulis tahun 1929, terdiri
dari 130 halaman.
7. Al-Aqwal al-Mardhiyah, ditulis tahun 19 . Buku ini membahas
masalah Tauhid.
8. Al-Jawahir al-Kalamiyyah, ditulis tahun 1927, terdiri dari 70
halaman. Berisikan tentang masalah Tauhid.
9. Tabligh al-Amanat filzalat al-Munkarat wa al-Syubhat , tahun
1954, terdiri dari 71 halaman. Berisikan tentang koreksi
terhadap amalan thariqat yang sesat.
10. Kisah Isra’ wa Mi’raj Muhammad SAW, ditulis tahun 1333 H,
terdiri dari 66 halaman.
11. Kisah Mu’az dan Wafatnya Muhammad SAW, ditulis tahun
1333 H, halaman yang ditemukan hanya halaman 66-110.
12. Qaul al-Kasyaf fi al-Rad ‘ala Takbir, ditulis tahun 1333 H.
Halaman yang ditemukan cuma dari 111–119 saja.
13. Ibthal Huzhuzh Ahl al-‘Ashibah Qur’an Qira’ bi al-
‘Ajamiyyah, tahun 1333 H, halaman yang ditemukan Cuma dari
120-126.
14. Izalat al-Dhalal fi Tahrim al Aza’wa Al-Sual, tahun 1333 H,
halaman yang ditemukan halaman 126-131.
15. Sabil al-Salamah, tahun 1934, terdiri dari 15 halaman.
16. Dawa’al Qulub, belum ditemukan
17. Aqwal al-Washitah fi Zikri wa al-Rabitah, belum ditemukan.
18. Aqwal al-‘Aliyah Naqsabandiyah, belum ditemukan
19. Pedoman Islam, buku ini juga belum ditemukan.58
Selain dari karya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli diatas, juga terdapat
karya beliau dalam bentuk artikel atau tulisan lepas yang
diterbitkan dalam majalah. Setidaknya ada dua karya beliau yang
ditemukan, yaitu: Keadaan Minangkabau Dahulu dan Sekarang,
dan Nasihat Maulana Sjech Soelaiman Ar-Rasoeli.59
L. Wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
Pada hari Sabtu tanggal 28 Rabi’ul Akhir 1390 H bertepatan pada 1
Agustus 1970, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli meninggal dunia. Lebih kurang
enam ribu orang pelayat yang hadir dan menghantarkan Syeikh Sulaiman
ke tempat peristirahatan terakhir di halaman Madrasah Induk (MTI
Candung). Yang bertindak sebagai Imam Sholat Jenazah adalah Buya H.
Mansur Dt. Nagari Basa, beliau merupakan ulama yang dulunya
merupakan murid dari Syeikh Sulaiman. Gubernur Sumatera Barat, Harun
Zen, Panglima Kodam II/17 Agustus, Bupati Agam dan unsur-unsur
pemerintahan lainnya,60
sipil dan militer, kaum muslimin dari berbagai
penjuru, hadir dipemakaman itu, karena radio telah menyiarkannya.
Bahkan Gubernur Sumatera Barat, Harun Zein, memerintahkan agar
58 Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli..... hlm. 61
59 Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 50
60 Asril, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli...... hlm. 59
pemerintah dan rakyat mengibarkan bendera setengah tiang selama
delapan hari penuh, sebagai tanda bela sungkawa yang dalam atas
meninggalnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli.61
Pada hari itu juga, sedang berlangsung seminar sejarah Islam di
Minangkabau yang dihadiri cendikiawan, termasuk Buya Hamka.
Mendengar wafatnya Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli, beliau langsung menuju
Candung dan shalat jenazah diatas pusara saja. Menurut salah seorang
murid Syeikh Sulaiman yang hadir ketika itu, Maruzi Kari Batuah
(alumnus MTI Candung, tamat 1962), dalam pidato Buya Hamka
menyebutkan “Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli seperti pohon pisang, sekali
dipancung, ia tidak akan mati tetapi akan tumbuh pohon pisang yang baru
ditambah dengan pisang-pisang yang lain di sekelilingnya”. Ungkapan ini
menggambarkan bahwa perjuangan dan ajaran Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli
tidak akan pernah mati, tetapi akan dilanjutkan oleh ribuan murid-
muridnya. Di pusaranya, terpahat : “Pesan Terakhir Pendiri: Teroeskan
Membina Tarbijah Islamijah Ini Sesoeai Dengan Peladjaran Jang Koe
Berikan.”62
Ungkapan ini merupakan pesan agar menjadi inspirasi dan
motivasi bagi generasi penerusnya, terutama murid-murid Syeikh
Sulaiman Ar-Rasuli.
61
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 58-59 62
Hasan Zaini dkk, Prinsip Dan Jati Diri ...... hlm. 59
BAB III
KONSEP HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
M. Pengertian Islam Dan Negara
Islam adalah Agama samawi (langit) yang diturunkan oleh Allah
SWT melalui utusan-Nya, Muhammad SAW, yang ajarannya terdapat
dalam kitab suci Al-Qur’an dan Sunnah dalam bentuk perintah-perintah,
larangan-larangan, dan petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia, baik di
dunia maupun akhirat.
Kata Islam berasal dari kata aslama, yuslmu, islam, mempunyai
beberapa arti, yaitu melepaskan diri dari segala penyakit lahir dan batin,
kedamaian dan keamanan, dan ketaatan dan kepatuhan. Islam diturunkan
sebagai pedoman agar manusia dapat menentukan mana yang baik dan
mana yang buruk serta yang hak dan yang bathil.63
Secara istilah, Islam berarti agama yang mengajarkan kepasrahan
kepada Allah, bertauhid dan tunduk kepada-Nya, dan kedamaian, sehingga
kata ad-din menurut Ibn Abbas mencakup akidah, hukum, etika dan ibadah
yang dijelaskan secara rinci, sedangkan masalah interaksi sosial
(mu’amalat) hanya dijelaskan secara global.64
Sedangkan negara dalam kamus Indonesia, diartikan sebagai suatu
organisasi dl suatu wilayah yg mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah
63
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta, Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1997) , hlm. 246-247 64
Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia, Analisis: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. 14 No. 1, Juni 2014, hlm. 7
dan ditaati oleh rakyat, kelompok sosial yang menduduki wilayah atau
daerah tertentu yg diorganisasi di bawah lembaga politik dan pemerintah
yang efektif, mempunyai kesatuan politik, berdaulat sehingga berhak
Miriam Budiarjo mendefinisikan negara yaitu suatu integrasi dari
kekuasaan politik, ia merupakan organisasi pokok dari kekuasaan politik.
Negara adalah agency atau alat dari masyarakat yang mempunyai
kekuasaan untuk mengatur hubunganhubungan manusia dalam masyarakat
dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat.65
Secara konkrit yang disebut dinegara menurut konvensi
Montevideo tahun 1933 adalah gabungan dari penduduk yang tetap,
wilayah tertentu, pemerintahan dan kemampuan mengadakan hubungan
dengan negera-negara lainnya. Namun selain keempat unsur di atas, unsur
substansi dalam suatu negara yang hakiki adalah Kedaulatan, sovereignty
(Inggris) atau siyadah (Arab).66
Secara teoritis, negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan
karena memiliki wewenang yang memaksa secara sah, lebih unggul
daripada kelompok atau individu yang merupakan bagian dari masyarakat
tersebut. Ada juga pendapat lain yang menyatakan bahwa negara adalah
daerah teritorial yang rakyatnya diperintah oleh sejumlah pejabat atau
yang berhasil mewajibkan warganya untuk taat melalui kontrol kekuasaan.
Sementara itu, bangsa adalah suatu kelompok yang memiliki kesamaan
kehendak, berada dalam satu wilayah, dan ada kehendak untuk
65
Jaenudin, ....., hlm. 228 66
Jaenudin, ....., hlm. 228
membentuk pemerintahan. Oleh sebab itu, negara bangsa dapat dipahami
sebagai suatu kelompok warga negara yang memiliki kesamaan cita-cita
untuk membangun suatu sistem pemerintahan dengan mentaati peraturan
perundang-undangan yang diberkalukan, termasuk di dalamnya
membangun hubungan antara negara dengan agama yang dianut oleh
warganya dalam suatu wilayah.67
N. Konsep Negara Dalam Islam
Berbicara mengenai apakah Islam mewajibkan umatnya
membentuk sebuah Negara, tentu rujukannya adalah al-Qur’an dan
alhadis, dua sumber utama ajaran Islam. Al-Qur’an mengandung sabda
Tuhan (kalam Allah) yang diturunkan melalui wahyu kepada Nabi
Muhammad SAW., untuk dijadikan pedoman hidup bagi manusia.
Sedangkan hadis adalah tafsir terhadap Al-Qur’an yang berasal dari Nabi
Muhammad SAW., baik berupa pernyataan, perbuatan maupun taqrir.68
Al-Qur’an diyakini sebagai kitab yang sempurna yang tidak ada
keraguan di dalamnya. Kesempurnaan Al-Qur’an disepakati seluruh umat
Islam. Namun, apakah kesempurnaan Al-Qur’an itu meliputi seluruh
aspek kehidupan dan memberi penjelasan yang detail ataukah hanya
mengandung ajaran-ajaran dasar yang bersifat global, umat Islam terbagi
menjadi dua kelompok. Pertama, sebagaimana ditulis Harun Nasution,
mengakui bahwa Al-Qur’an mencakup segala-galanya. Tidak satu hal pun
yang tidak disebut dan dijelaskan di dalamnya. Di dalamnya terdapat
67
Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan ...... hlm. 7 68
Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara (Sebuah Catatan Pengantar), Al-Daulah, Vol.
5, No. 1, Juni 2017, hlm. 157
penjelasan tentang system politik, system ekonomi, system keuangan,
system kemasyarakatan, system pertanian, perindustrian dan sebagainya.
Kedua, Mereka menyatakan bahwa Al-Qur’an tidaklah mengandung
segala-galanya. Yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam QS.
Al-Maidah ayat 3 (Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu dan telah Kuridhoi
Islam itu sebagai agamamu) tidaklah berarti penyempurnaan dengan
segala ilmu pengetahuan, tekhnologi dan sistem kemasyarakatan manusia
dalam segala aspek. Penyempurnaan mengandung arti lain, yaitu dalam
arti hukum, ajaran atau dasar agama atau halal serta haram. Rasyid Ridha
berpendapat bahwa yang dimaksud oleh ayat itu ialah penyempurnaan
iman, hukum, budi pekerti, ibadah dengan terperinci dan muamalat dalam
garis besar.69
Dalam Islam (al-Quran), padanan untuk kata dan konsep negara
tidak terdapat suatu kata dan konsep yang benar-benar tepat, tetapi
mungkin dalam arti kata atau konsep yang mendekati dapat dikatakan
banyak.70
Negeri yang juga dapat diartikan negara (al-bilâd), disebut
dalam Al-Qur’an dengan berbagai bentuknya sebanyak 19 kali dengan
perincian: kata balada disebut sebanyak 8 kali, kata baladan 1 kali, kata
bilâdi 5 kali, sedangkan kata baldatun disebut sebanyak 5 kali,14 yang
kesemuanya berarti negara/negeri.71
Selain itu, kata dan konsep negara di
69
Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara.... hlm. 157-158 70
Jaenudin, ....., hlm. 228 71
Mahmud Ishak, Hubungan Antara Agama Dan Negara Dalam Pemikiran Islam,
Tahkim, Vol. X No. 2 Desember 2014, hlm. 112
dalam Al-Qur’an ditemukan beberapa konsep yang sepadan seperti ;
Pertama, kata al-mulk (kerajaan). Dalam al-Quran kata mulk dengan
berbagai variannya disebut tidak kurang dari 60 kali, seperti dalam QS. Ali
Imran ayat 26, Kedua, kata balad (negeri). Dalam alQuran kata balad
disebut tidak kurang sebanyak 19 kali, seperti dalam QS. Ibrahim 35, atau
QS. Saba ayat 15, Ketiga, kata qaryah (negeri). Dalam al-Quran kata
qaryah disebut tidak kurang dari 56 kali, seperti dalam QS. al-Baqarah
ayat 58 atau QS. al-Nahl ayat 112, dan Keempat, kata dâr jamaknya diyar
(tempat tinggal). Dimana negeri-negri Islam sering disebut Darussalam
atau darul Islam. Dalam al-Quran kata dar atau diyar disebut tidak kurang
dari 48 kali, seperti dalam QS. Yunus ayat 25 atau QS. alBaqarah ayat
246. 72
Meskipun kata maupun konsep negara lahir dan tumbuh dari Eropa,
dalam Islam juga ditemukan kata maupun konsep negara modern,
meskipun pada aplikasinya konsep negara modern di negeri-negeri Islam
meruakan hasil adopsi dan copy dari model negara yang lahir di Eropa.
Maka dari hal tersebut, muncullah ketegangan dalam menyelaraskan
agama dan negara. Pengalaman menyelaraskan agama dan negara di
negeri-negeri Islam menghasilkan model dan variasi yang beragam latar
belakangnya mulai dari model negara (Islam) Arab Saudi, Mesir, Iran,
Pakistan maupun Indonesia. Sehingga jika ditanya bagaimana model
72
Jaenudin, ....., hlm. 228
negara (Islam) yang sesungguhnya, maka tidak mudah untuk menjawab
dan memberikan hanya satu contoh saja.73
Meskipun tidak ada dalil yang memerintahkan umat Islam
membentuk sebuah Negara (Negara Islam), namun, perkembangan
kehidupan yang demikian kompleks, relasi antar manusia yang beragam,
sistem kehidupan bernegara yang juga tidak sederhana –yang sesekali
memunculkan ketegangan-ketegangan, baik antar anggota masyarakat
maupun antara masyarakat dan Negara mendorong sejumlah pemikir
dan aktivis politik Islam untuk menjadikan Islam sebagai landasan
atau dasar bagi sebuah Negara. Mereka mendorong berdirinya Negara
Islam. Mereka meyakini bahwa Negara yang berlandaskan Islam
akan mampu mengatasi berbagai permasalahan maupun ketegangan-
ketegangan dan hubungan-hubungan yang tidak harmonis dalam
kehidupan bermasyarakat.74
Di Indonesia sendiri, istilah negara Islam dimulai dari pemimpin-
pemimpin Sarekat Islam (SI) seperti Suryoprsnoto dan Dr. Sukiman
Wiryosandjojo telah berbicara tentang suatu kekuasaan atau pemerintahan
Islam pada 1920-an. Suryopranoto menggunakan tema een Islamitische
Regerring (suatu pemerintahan Islam) sementara Sukiman memakai istilah
een eigen Islamietisch bestuur onder een eigen (suatu kekuasaan Islam
dibawah benderanya sendiri). Menciptakan suatu kekuasaan Islam di
73
Jaenudin, ....., hlm. 229 74
Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara.... hlm. 159
Indonesia, menurut Sukiman, merupakan tujuan kemerdekaan.75
Bahtiar
Effendy menulis bahwa gagasan menjadikan Islam sebagai dasar Negara
juga muncul dalam sidang BPUPKI, ketika para pendiri republik tengah
menyaipakan “perangkat lunak” kenegaraan Indonesia. Wakil-wakil umat
Islam (Islam nasionalis) saat itu tidak saja memperjuangkan agar Islam
menjadi dasar Negara, tetapi juga memperjuangkan pemikiran Islam
sebagai agama Negara, presiden harus seorang Islam, Negara harus
memiliki aparat-aparat dan badan-badan yang relevan untuk menerapkan
hukum Islam, dan kemungkinan Jumat dijadikan sebagai hari libur
nasional.76
Dengan demikian banyak gagasan dan pemikiraan negara Islam
yang telah dihasilkan oleh banyak pemikir muslim sejak awal abad ke-20
sampai sekarang ditemukan gagasan-gagasan Islam dan negara.77
Dari
gagasan tersebut muncullah setidaknya empat gagasan atau aliran tentang
konsep Islam dan negara:
1. Aliran Integralistik
Aliran ini berpendirian bahwa Islam bukanlah semata-mata agama
dalam pengertian Barat, yakni hanya menyangkut hubungan antara
manusia dan Tuhan, sebaliknya Islam adalah satu agama yang sempurna
dan lengkap dengan pengaturan bagi segala aspek kehidupan manusia
75
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, (Bandung, PT.
Mizan Pustaka, 2017), hlm. 172 76
Hadi Daeng Mapuna, Islam Dan Negara.... hlm. 160 77
Jaenudin, ....., hlm. 229
termasuk dalam bernegara.78
Dalam jurnalnya, Din Syamsudin aliran ini
memaparkan bahwa hubungan agama dan negara berjalan secara integral.
Domain agama juga menjadi domain negara, demikian sebaliknya.79
Para
pengikut aliran ini pada umunya berpendapat bahwa:
1) Islam adalah suatu agama yang lengkap. Di dalamnya terdapat
pula sistem ketatanegaraan atau politik. Oleh karenanya dalam
bernegara umat Islam hendaknya kembali kepada sistem
ketatanegaraan Islam, dan tidak perlu atau bahkan jangan
meniru sistem ketatanegaraan Barat.
2) Sistem ketatanegaraan atau politik Islami yang harus diteladani
adalah sistem yang telah dilaksanakan oleh Nabi Besar
Muhammad dan keempat Khulafaurasyidin.
Tokoh-tokoh dari aliran ini antara lain Syeikh Hasan al-Banna,
Sayyid Quthb, Syeikh Muhammad Rasyid Ridha, dan Maulana Abul A’la
Al-Maududi.80
2. Aliran Sekularistik
Aliran ini berpendapat bahwa Islam adalah agama dalam
pengertian Barat, yang tidak ada hubungannya dengan urusan kenegaraan.
Menurut aliran ini Nabi Muhammad hanyalah seorang Rasul biasa seperti
halnya Rasul-rasul sebelumnya, dengan tugas tunggal untuk mengajak
manusia kembali kepada kehidupan mulia dengan menjunjung tinggi budi
pekerti luhur, dan Nabi tidak pernah dimaksudkan untuk mendirikan dan
78 Munawir Sjadzali, ......, hlm. 1
79 Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan ......, hlm. 11
80 Munawir Sjadzali, ......, hlm. 1
mengepalai satu negara.81
Tentunya, aliran ini memiliki pendapat bahwa
hubungan antara agama dan politik/negara harus dipisahkan. Oleh sebab
itu, golongan ini menolak pendasaran agama atau formalisasi norma-
norma agama ke dalam sistem hukum negara.82
Lebih jelasnya. Negara
dan agama masing-masing mempunyai fungsi sendiri dan wilayah sendiri.
Agama di wilayah privat (pribadi), sedangkan negara diwilayah publik
(sosial).83
Adapun tokoh-tokoh terkemuka dalam aliran ini adalah Ali
Abdul al-Raziq dan Dr. Thaha Husain.84
3. Aliran Reformis
Aliran ini menolak pendapat bahwa Islam adalah suatu agama yang
serba lengkap dan bahwa dalam Islam terdapat sistem ketatanegaraan.
Namun aliran ini juga menolak anggapan bahwa Islam adalah agama yang
dalam pengertian Barat yang hanya mengatur hubungan antara manusia
dan Penciptanya. Aliran ini berpendapat bahwa dalam Islam tidak terdapat
sistem ketatanegaran, tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi
kehidupan bernegara.85
Aliran reformis ini menolak aliran Sekularis dan
aliran Integralistik.86
Tokoh yang paling menonjol adalah Dr. Mohammad
Husein Haikal.
Menurut sebuah sumber berikut adalah pemikiran Haikal Hasan
terhadap Islam dan negara: Pertama, pemerintahan Islam menurutnya
81
Munawir Sjadzali, ......, hlm. 1 82
Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan......., hlm. 11 83
Abd. Mannan, Islam Dan Negara, Islamuna, Vol. 1 No. 2 Desember 2014, hlm. 190 84
Munawir Sjadzali, ......, hlm. 2 85
Munawir Sjadzali, ......, hlm. 2 86
http://www.alif.id/read/m-iqbal/negara-islam-menurut-husain--haikal-b208611p/
diakses pada 22:57 pada 13 September 2020
adalah negara yang dibangun di atas sendi keislaman yang mana dasar
uatamanya adalah tauhidah dan didukung oleh sendi-sendi yang bersifat
humanis. Menurut Haikal ada tiga prinsip humanis yang dipandang
sebagai dasar Negara Islam, yaitu; Prinsip persaudaraan sesama manusia,
prinsip persamaan antar manusia, dan kebebasan manusia.87
Kedua, terkait dengan bentuk negara Islam, Haikal memandang
bahwa tidak ada bentuk pasti dari negara Islam. Dalam arti, tidak ada
peraturan bahwa negara Islam harus berbentuk republik, parlemen,
monarki atau theokrasi. Dan Haikal sendiri lebih memilih bentuk negara
konstitusional sebagai bentuk negara Islam yang berdasar pada hukum.
Hukum disini bukan merupakan hukum karya manusia, namun hukum
yang berlaku disini adalah hukum Tuhan (syara’)88
4. Aliran Simbiotik
Agama dan negara, menurut aliran ini, berhubungan simbotik, yaitu
hubungan yang bersifat timbal balik dan saling memerlukan.89
Kedua
wilayah masih ada jarak dan kontrol masing-masing, sehingga agama dan
negara berjalan berdampingan. Agama memerlukan lembaga negara untuk
melakukan akselerasi pengembangannya, demikian juga negara
memerlukan agama untuk membangun negara yang adil dan sesuai dengan
spirit ketuhanan. Tokoh Muslim dunia dalam golongan ini diantaranya
87
Arsyad Sobby Kesuma, Islam Dan Politik Pemerintahan (Pemikiran Politk Muhammad
Husein Haikal), Analisis, Vol. 13 No. 2 Desember 2013, hlm. 478 88
Arsyad Sobby Kesuma, ......, hlm. 478 89
Nasaruddin, ...... hlm. 215
adalah Abdullahi Ahmed An-Na’im, Muhammad Syahrur, Nasr Hamid
Abu Zaid, Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid.90
O. Pemikiran Tokoh Islam Terhadap Konsep Hubungan Islam Dan
Negara
1. Mochammad Natsir
Menurut Natsir, Islam berbeda dari agama-agama lain, Islam
memiliki peaturan atau hukum-hukum kenegaraan, termasuk hukum
perdata dan hukum pidana. Untuk melaksanakan hukum-hukum tersebut
diperlukan lembaga yang dengan kekuasaannya dapat menjamin
berlakunya hukum tersebut. Oleh karena itu adanya penguasa atau
pemerintah merupakan suatu keharusan. Adapun bentuk atau sistem
pemerintahan, umat Islam bebas memilih mana yang paling sesuai asalkan
tidak bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan dalam
Islam.91
Natsir membenarkan bahwa Islam memang bersifat demokratis,
tetapi sama sekali dalam semua hal, termasuk hukum-hukum yang sudah
ditetapkan oleh Islam, masih perlu dikukuhkan atau ditetapkan oleh
Dewan Perwakilan Rakyat melalui pemungutan suara. Atau dengan kata
lain, permusyawaratan itu hanya terbatas pada hal-hal yang belum
ditetapkan hukumnya dan mencari cara yang terbaik untuk melakdanakan
hukum-hukum yang telah ditetapkan. Dapat dikatakan bahwa Natsir dapat
90
Moh Dahlan, Hubungan Agama Dan ...... , hlm. 11 91
Munawir Sjadzali, ......, hlm. 193
menerima sistem pemerintahan yang berdasarkan kerakyatan, tetapi
dengan menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum Islam atau Syariah.92
Natsir ingin menegaskan bahwa Islam dan negara itu berhubungan
secara integral, bahkan simbiosa, yaitu saling memerlukan. Dalam hal ini,
agama memerlukan negara, karena dengan negara agama dapat
berkembang. Sebaliknya negara memerlukan agama, karena dengan agama
negara dapat berkembang dalam bidang etika dan moral. Hal ini karena
dalam pemahaman Natsir bahwa Islam merupakan ajaran yang lengkap.93
Natsir bersikukuh mengajukan konsep Islam sebagai dasar negara
bukan semata-mata karena umat Islam di Indonesia adalah mayoritas,
tetapi menurut keyakinannya bahwa ajaran Islam mempunyai hukum
ketatanegaraan dalam masyarakat dan mempunyai sifat-sifat yang
sempurna bagi kehidupan negara dan masyarakat serta dapat menjamin
hidup keragaman atas saling harga-menghargai antara berbagai golongan
di dalam negara.94
Natsir mempertegas dan menjelaskan lebih lanjut tentang
pendiriannya tentang hubungan Islam dengan negara Indonesia, dalam
pidatonya berjudul Islam sebagai Dasar Negara, Natsir berdalil bahwa
untuk dasar negara, Indonesia hanya mempunyai dua pilihan, yaitu paham
sekularisme (laa-diiniyah) atau paham agama (diinii). Dan Pancasila
menurutnya bercorak laa-diiniyah, karena itu sekuler, tidak mau mengakui
92
Munawir Sjadzali, ......, hlm. 193 93
Armin Tedy, Pemikiran Politik Muhammad Natsir, El Afkar Vol. 5 No. 2 Juli-
Desember 2016, hlm. 39 94
Armin Tedy, ......, hlm. 40
wahyu sebagai sumbernya. Pancasila adalah hasil penggalian dari
masyarakat.95
Menurut M. Natsir, seorang Islam otomatis harus berpegang pada
ideologi Islam dalam politik, perintah Allah harus dijalankan, bukan hanya
dalam soal-soal ibadah, tapi juga mencakup soal-soal kemasyarakatan.
Dalam soal-soal sosial kemasyarakatan segalanya diizinkan, kecuali yang
nyata-nyata dilarang Allah Swt. Bahkan M. Natsir mengingatkan bahwa
sistem, yang berasal dari bukan muslim bisa saja diterapkan dalam negara
Islam apabila sistem itu baik.96
Natsir berpendapat bahwa Islam “tidak demokrasi 100%”. Karena
keputusan politik tidaklah semata-mata harus didasarkan kepada
kemauan mayoritas anggota-anggota parlemen. Keputusan itu, tidak dapat
melampaui hudud (batas-batas) yang telah ditetapkan oleh Tuhan. Natsir
menyebutnya dengan demokrasi di dalam Islam dengan istilah “Theistic
Democracy”, yaitu demokrasi yang dilandaskan kepada nilai-nilai
ketuhanan. Hudud yang disebutkan oleh Natsir bukanlah sistem
penghukuman dalam hukum pidana Islam seperti ditafsirkan oleh
golongan alim-ulama berpaham tradisional, melainkan “prinsip-prinsip
moral universal” yang akan menjamin tegaknya nilai-nilai luhur
kemanusiaan. Jadi, dia menafsirkan hudud itu hampir serupa dengan
konsep “natural law” seperti dipahami Thomas Aquinas, Natsir menjamin
tidak akan ada norma-norma hukum yang akan mempunyai kekuatan
95
Ahmad Syafii Maarif, Islam Dan Pancasila...., hlm. 174 96
Armin Tedy, ..... hlm. 44
untuk berlaku, jika ia berlawanan dengan “natural law” sebagai norma
moral yang universal.97
Selama ada demokrasi, menurut Natsir, selama itu pula partai-
partai akan tetap ada. Jika partai-partai itu sampai dikuburkan, maka yang
akan tegak berdiri di atas kuburan itu tidak lain adalah sebuah batu nisan
kediktatoran. Dalam pandangan Yusril Ihza Mahendra, profesor hukum
Tata Negara, Natsir menyadari sisi lemah dari demokrasi itu sendiri.
Namun dengan mengutip pendapat Radakhrisnan, ia mengatakan bahwa
sampai dengan perkembangan peradaban yang mutakhir, manusia belum
menemukan adanya sistem lain yang lebih baik dari demokrasi. Walaupun
mempunyai sisi-sisi kelemahan, demokrasi menurut Natsir, adalah jauh
lebih baik dari sistem dikatator, walaupun proses demokratis sering
terkesan lamban dan tampak kurang heroik. Demokrasi, tambah Natsir,
memungkinkan dicapainya perubahan-perubahan revolusioner melalui
sebuah proses yang damai.98
Agama, menurut menurut Natsir harus dijadikan pondasi dalam
mendirikan suatu negara. Agama, bukanlah semata-mata suatu sistem
peribadatan antara makhluk dengan Tuhan Yang Maha Esa. Islam itu
adalah lebih dari sebuah sistem peribadatan. Ia adalah satu
kebudayaan/peradaban yang lengkap dan sempurna. Yang dituju oleh
Islam ialah agar agama hidup dalam kehidupan tiap-tiap orang, hingga
meresap dalam kehidupan masyarakat, ketatanegaraan, pemerintah dan
97
Susilo Surahman, Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid,
Jurnal Dakwah, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember 2010, hlm. 133 98
Susilo Surahman, Islam Dan ..... hlm. 134
perundang-undangan. Tapi adalah ajaran Islam juga, bahwa dalam soal-
soal keduniawian, orang diberi kemerdekaan mengemukakan pendirian
dan suaranya dalam musyawarah bersama. 99
2. Buya Hamka
Dalam Pandangannya, Buya Hamka, salah satu anggota Dewan
dari Masyumi, menguraikan pentingnya Islam sebagai dasar negara. Beliau
memulai pembicaraan dengan mengajak kepada seluruh anggota Dewan
untuk mampu bermusyawarah dengan bebas, mengadu argumentasi
argumentasi, lapang dada mendengar pendapat orang lain yang berbeda,
untuk kemudian menghasilkan titik pertemuan demi kebaikan bangsa dan
negara.100
Buya Hamka melihat memang dalam persidanganpersidangan
tentang dasar negara dalam Dewan Konsituate itu terjadi tarik menarik
yang begitu kuat. Pihak yang memperjuangkan Pancasila sebagai dasar
negara tetap bersikukuh memperjuangkannya, sebagaimana pihak yang
memperjuangkan Islam sebagai dasar negara. Namun Buya Hamka hendak
mengingatkan kembali sejarah bangsa ini. Dulu, masyarakat Indonesia
seluruhnya adalah masyarakat Islam. Belanda selama 350 tahun berupaya
menjauhkan bangsa ini dari tradisi Islam, dengan membentuk pendidikan
dan aturan-aturan yang anti Islam.101
99
Armin Tedy, ..... hlm. 44 100
H. Shobahussurur, “Relasi Islam dan Kekuasaan dalam Perspektif Hamka”, Jurnal
Asy-Syir’ah Vol. 43 No. 1 2009 101
H. Shobahussurur, ......, hlm. 237
Dengan jiwa besar Buya Hamka menyatakan akan mengikuti
keputusan yang diambil dalam sidang Dewan Konstituante. Bahkan
andaikata dengan rasa pahit, sidang tidak menghasilkan apa-apa, Pancasila
akan dipertahankan dengan paksa, dan Islam ditolak mentah-mentah,
beliau tetap tegar dengan mengatakan: “Walaupun bagaimana kerasnya
tolakan atas perjuangan kami yang benar, adil dan logis ini, semua yang
menolak itu adalah saudara kami. Semuanya adalah bangsa kami, kawan
setanah air, yang telah pernah menghadapi suka-duka sejarah selama 12
tahun, sama bergelimang darah, sama berkuah air mata”. Buya Hamka
telah menunjukkan jiwa besarnya sebagai politisi. Beliau berjuang keras
mewujudkan cita-cita politiknya dengan segala caranya, tetapi tetap
berpegang teguh pada aturanaturan yang disepakati dalam musyawarah itu.
Beliau tunduk kepada hasil keputusan yang diambil secara sah.102
Buya Hamka memberikan uraian tentang bagaimana seharusnya
umat Islam memahami Pancasila. Uraian itu disampaikan dalam bentuk
buku kecil, berjudul Urat Tunggang Pancasila, terbit tahun 1951, dengan
kata pengantar Mohammad Natsir. Buya Hamka berkesimpulan bahwa
Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan urat tunggangnya Pancasila.
Karena Sila Ketuhanan Yang Maha Esa, dengan maknanya yang penuh,
maka sila-sila lainnya akan terpelihara. Ketuhanan Yang Maha Esa saja
yang menjadi urat tunggang dari segenap sila, entah tumbuh pula sila-sila
102
H. Shobahussurur, ......, hlm. 237
yang lain lagi, panca sila, sapta sila, atau seribu sila. Karena buatan
manusia tidaklah tetap, dan buatan Tuhan sajalah yang tetap.103
3. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
Hubungan Islam dan Negara dalam penjelasan Gusdur dikatakan
bahwa Islam tidak mengenal doktrin tentang negara. Dalam soal bentuk
negara, menurutnya tidak mempunyai aturan baku. Hal ini bergantung
negara bersangkutan apakah mau menggunakan model demokrasi, teokrasi
atau monarchi. Hal yang terpenting bagi Gusdur adalah terpenuhinya tiga
kriteria, yaitu: pertama, mengedepankan prinsip-prinsip permusyawaratan.
Kedua, ditegakkan keadilan. Ketiga, adanya jaminan kebebasan (al-
huriyyah).104
Negara dalam perspektif Gusdur adalah al-Hukum (hukum atau
aturan). Islam tidak mengenal konsep pemerintahan yang defenitif
sehingga etik kemasyarakatanlah yang diperlukan. Dalam persoalan
mendasar misalnya Islam tidak konsisten, terkadan memakai Istikhlaf,
Bay'ah, ataupun Ahlu al-Halli wa al-Aqdi, padahal suksesi adalah soal
yang cukup urgen dalam masalah kenegaraan. Apa yang menjadi
keinginan Gusdur untuk tidak memformalkan Islam sebagai ideologi dan
acuan dalam negara sejalan dengan keinginan sebahagian besar warga
negara yang mayoritas Islam. Hal ini terbukti dalam pemilu 1999 yang
103
H. Shobahussurur, ......, hlm. 237-240 104
Indo Santalia, “K.H Abdurrahman Wahid: Agama dan Negara, Pluralisme,
Demokratisasi dan Pribumisasi”, Jurnal Al-Adyaan Vol. 1 No. 2, Desember 2015
dimenangkan oleh partai nasionalis termasuk PAN dan PKB yang sedikit
religius.105
Penerimaan Pancasila sebagai ideologi negara yang dimotori oleh
Gusdur dan KH. Amad Siddiq, paling tidak karena dua hal yaitu; Pertama,
Islam adalah agama Fitriah. Sepanjang suatu nilai tidak bertentangan
dengan keyakinan Islam, ia dapat diarahkan agar selaras dengan tujuan-
tujuan dalam Islam. ketika Islam diterima oleh masyarakat, ia tidak harus
menganti nilai-nilai yang terdapat di dalamnya tetapi bersikap
menyempurnakan. Kedua, Islam dan Pancasila dinilai mencerminkan
tauhid menurut pengertian keimanan Islam dan wawasan ke agamaan
negara Indonesia sudah dijamin.106
Gusdur dengan penuh keyakinan menjelaskan pemerintah yang
berideologi pancasila harus dipertahankan, karena syari'ah dalam bentuk
hukum agama, fikih atau etika masyarakat masih dilaksanakan oleh kaum
muslimin di dalamnya sekalipun hal itu tidak diikuti dengan legislasi
dalam bentuk undang-undang negara. Bila etik kemasyarakatan Islam
diljalankan, tak ada alasan selain mempertahankannya sebagai kewajiban
agama. Dari sanalah munculnya keharusan untuk taat kepada
pemerintah.107
Gusdur berusaha memberikan sinergi untuk memparalelkan
hubungan negara dan agama. Dalam pemikirannya, ia melihat besarnya
hanbatan dalam proses pembangunan yang diakibatkan oleh
105 Indo Santalia, ...... hlm. 140
106 Indo Santalia, ...... hlm. 140
107 Indo Santalia, ...... hlm. 141
kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab
ideologi negara-negara yang sedang berkembang. Upaya Gusdur ini tidak
lepas dari perang bapaknya sebagai perumus konsep kenegaraan dan ia
berpendapat bahwa tidak ada pertentangan antara Islam dan nasionalisme.
Islam bisa berkembang secara spritual dalam sebuah negara nasional yang
tidak secara formal berdasarkan pada Islam.108
Dia berkeyakinan bahwa
keduanya harus saling memberi legitimasi, walaupun dia yakin pada
sekulerisasi dalam pengertian adanya pemisahan managemen urusan
agama dan agama. Dia tidak setuju penerapan nilai-nilai agama yang
partikular dalam negara, dan karenanya dia bukan pendukung formalitas
agama.109
4. Nurcholis Madjid
Relasi agama dan negara, khusus negara Islam di Indonesia,
menurut Nurcholish Madjid tidak dikenal dalam sejarah. Buktinya Nabi,
baru dimakamkan tiga hari setelah wafatnya, akibat keributan umat soal
suksesi. Pola suksesi tidak jelas, sehingga terjadilah permasalahan yang
sulit diselesaikan. Oleh karena itu, masalah kenegaraan bukanlah suatu
kewajiban, bahkan tidak menjadi integral dari Islam.110
Secara prinsipil, konsep negara Islam, menurut keyakinan
Nurcholish Madjid, adalah suatu distorsi hubungan proporsional antara
negara dan agama. Negara adalah salah satu segi kehidupan duniawi, yang
108
Indo Santalia, ...... hlm. 141 109
Saefur Rochmat, “Pandangan Abdurrahman Wahid Tentang Relasi Islam dan Negara:
Pendekatan Sosio-Kultural”, Millah Vol. 10 No.2 Februari 2011, hlm. 350 110
M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara Di Indonesia Dalam Pandangan Nurcholish
Madjid”, Jurnal Komunikasi dan Sosial Keagamaan, Vol 15, No. 1, Juni 2012, hlm. 41
dimensinya rasional dan kolektif. Sedangkan agama, menurutnya adalah
aspek kehidupan lain, yang dimensinya spiritual dan pribadi. Karena itu
tak heran kalau Nurcholish tidak setuju Islam dipandang sebagai ideologi.
Baginya Islam bukanlah sebuah ideologi. Sebab pandangan langsung
kepada Islam sebagai ideologi, dapat berarti merendahkan agama itu
menjadi setaraf dengan berbagai ideologi yang ada di dunia. Baginya
Islam lebih tinggi dari sekedar ideologi.111
Islam tidak perlu menuntut negara atau pemerintah Indonesia
menjadi negara atau pemerintah Islam. Baginya adalah substansi atau
esensi-esensinya, bukan bentuk formalnya yang sangat simbolis.
Pembentukan negara adalah suatu kewajiban bagi umat manusia dalam
bentuk demokratis, meskipun tidak ada keharusan dari Islam dalam bentuk
negara Islam, karena membentuk negara itu dapat memberikan beberapa
pirnsip yang dipakai dalam mewujudkan masyarakat dimaksud, yaitu:
Pertama, pemerintahan yang adil dan demokratis (musyawarah), kedua,
organisasi pemerintah yang dinamis, ketiga, kedaulatan.112
Nurcholish Madjid melihat pentingnya kehadiran gerakan
pembaruan Islam. Dan menurut Nurcholish Madjid pembaruan harus
dimulai dengan dua tindakan yang saling erat kaitannya, yaitu
melepaskan diri dari nilai-nilai tradisional dan mencari nilai-nilai
yang berorientasi ke masa depan. Lantas ia mengajukan ide-ide seperti
“sekularisasi, liberalisasi, rasionalisasi dan modernisasi.” Konsep-konsep
111
Susilo Surahman, “Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid”,
Jurnal Dakwah, Vol. 11, No. 2, Juli-Desember 2010, hlm. 132 112
M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 43
yang digelindingkan tersebut, telah menimbulkan kontroversi, sehingga
sempat memancing kehebohan di kalangan internal umat.113
Meski banyak yang tidak sepakat, namun Nurcholish Madjid tetap
konsisten mempertahankan berbagai gagasan pembaruannya. Untuk itu,
seingkali Nurcholish Madjid harus menjelaskan konsep-konsep yang
dipakainya, dengan tujuan, agar umat mengerti dan memahami apa-apa
yang dimaksudkannya. Tentang “liberalisasi”, maksudnya adalah sebagai
proses pembebasan ajaran-ajaran dan pandangan Islam dari nilai-nilai
tradisional, dan mencari nilai-nilai yang beroritentasi ke masa depan.114
Selanjutnya, bahwa proses liberalisasi berhubungan dengan
sekularisasi. Maksud sekularisasi menurut Nurcholis Madjid adalah usaha
untuk menduniawikan nilai-nilai yang sudah semestinya bersifat duniawi,
dan melepaskan umat Islam dari kecenderungan untuk meng-ukhrawi-
kannya.115
Ia juga berharap agar para pemikir dan politisi, demi
kejernihan dan kecermatan, menerangkan bahwa sekularisasi itu sendiri,
menurut definisinya yang benar tidaklah berarti permusuhan kepada
agama.116
Uraian tersebut menjelaskan, bahwa pemikiran Nurcholish Madjid
tentang hubungan agama dan negara termasuk pemikiran Islam substantif.
Untuk lebih terasanya pemikiran politik Islam substantif dari Nurcholish
Madjid ini, nampaknya perlu dilakukan suatu perbandingan dalam kasus
113
M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 45 114
M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 45 115
M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 45 116
Susilo Surahman, “Islam Dan Negara Menurut M. Natsir Dan Nurcholish Madjid”,
hlm. 135
per kasus pemikiran dengan kaum formalis. Di sini diambil contoh tentang
agama kemanusiaan, desakralisasi Pancasila, dan budaya Islam pesisir.
Kesemuanya merupakan pandangan yang relatif luput dari perhatian kaum
formalis. Sehingga, pemikiran Nurcholish Madjid ini menjadi alternatif
pemikiran Islam, termasuk pemikiran politik Islam.117
117
M. Tahrir, “Hubungan Agama Dan Negara.., hlm. 46
BAB IV
ANALISIS PEMIKIRAN SYEIKH SULAIMAN ARRASULI
TERHADAP HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
A. Pemikiran Syeikh Sulaiman Arrasuli tentang Islam dan Negara
Tokoh dan ketokohan Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli (1871-1970)
dapat ditelusuri dari perbuatan historis yang dilakukannya. Ia hadir lewat
sejarah sebagai “orang besar” Minangkabau lainnya yang sezaman. Syeikh
Sulaiman Ar-Rasuli dikenal sebagai seorang ulama, pendidik, politisi, dan
pendiri Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).118
Kiprah dan peran tokoh Syekh Sulaiman Ar-Rasuli sebenarnya
sudah diakui oleh pemerintah. Buktinya adalah pengakuan kepada Syekh
Sulaiman Ar-Rasuli sebagai salah seorang perintis kemerdekaan (1969).
Pemerintah Belanda dan Jepang pernah pula memberikan penghargaan
“Bintang Perak” dan “Bintang Sakura” kepada tokoh ini.119
Pasca-kemerdekaan Republik Indonesia, semenjak dikeluarkannya
maklumat Wakil Presiden RI, Muhammad Hatta pada 5 November 1945
tentang pemberian kesempatan untuk mendirikan partai politik pada
masyarakat. Maka pada tanggal 22 Nopember 1945, Persatuan Tarbiyah
Islamiyah mengembangkan fungsinya menjadi partai politik dengan nama
Partai Islam PERTI. Syeikh Sulaiman ditetapkan sebagai Penasehat
Tertinggi di partai ini.120
Pada Pemilu 1955 beliau terpilih sebagai anggota
118
Nopriyasman, “Membangun Bangsa dan Agama...., hlm. 1 119
Nopriyasman, “Membangun Bangsa dan Agama...., hlm. 2 120
Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.44
Konstituante, dan menjadi ketua sidang pertama Konstituante di Bandung
tahun 1956.
Sebagai seorang yang meyakini paham Ahlussunah wal Jama’ah,
tentu Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli sebagai tokoh dari kalangan kaum Tua
yang merupakan kelompok kaum Muslimin Minangkabau yang
menjadikan paham ini menjadi latar belakang Persatuan Tarbiyah
Islamiyah ajaran Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Muslim al-Maturidi
dalam bidang akidah dan memilih Mazhab Syafi’i dalam persoalan
fiqh/ibadah.121
Maka dalam melaksanakan kegiatan politik sebagai pengikut Sunni
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dan PERTI, melihat bahwa sikap kompromi
terhadap penguasa sebagai salah satu langkah yang diperlukan untuk
terciptanya stabilitas. Stabilitas menurut mereka adalah suasana mendasar
untuk dapat menjalankan dan mengembangkan agama secara baik.
Kemudian Kaum Tua dalam halnya terhadap penjajah, memiliki pemikiran
tentang apa yang disebut dengan dar al-Islam dan dar al-harb. Dar al-
Islam adalah pemerintahan yang sepenuhnya terikat kepada ajaran Islam,
sementara dar al-harb adalah sebaliknya. Maksudnya, walaupun bukan
pemerintahan yang sesuai ajaran Islam, namun tidak pula ditempatkan
pada posisi dar al-harb yang sebenarnya. Contohnya ketika Belanda
menjajah di waktu itu, pihak Belanda sangat toleran dengan hal-hal yang
bercorak agama. Kaum muslimin dibiarkan menjalankan ibadah secara
121
Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.10
bebas, dan ulama yang tidak menentang mereka secara politik dihargai dan
dihormati. Namun setiap tindakan Belanda yang mengarah kepada
persoalan-persoalan agama akan ditentang oleh PERTI.122
Jadi, untuk
konsep dar al-harb menurut Kaum Tua selama pemerintahan bukan Islam
jika masih dipersilahakan untuk beribadah dengan bebas tidak apa-apa,
namun mereka akan reaktif jika apabila pemerintah sudah mengatur dan
mencampuri urusan-urusan agama.
Dalam syari’ah dan ibadah Persatuan Tarbiyah Islamiyah
berpegang dan berpedoman kepada madzhab Imam Syafi’i. Karena dinilai
lebih ilmiah, moderat, sistematis dan logis dan mudah diterapkan setiap
tempat dan sepanjang masa dalam situasi dan kondisi apa saja.123
Saat
menuntut ilmu di Mekah, Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli disana belajar
kepada ulama-ulama penganut madzhab Syafi’iyah. Maka sekembalinya
dari Mekah Inyiak Candung dan ulama-ulama Tarbiyah lainnya
mengembangkan dan mengajarkan ajaran Syafi’iyah.124
Dengan demikian, dalam berpolitik Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli dan
PERTI cenderung mengikuti pemikiran dan pendapat ulama Sunni
bermadzhab Syafi’iyah seperti Al-Ghazali dan Al-Mawardi. Ini dapat
dilihat dari konsep-konsep Islam dan negara yang dipaparkan PERTI pada
masa itu. Hal ini juga dikuatkan dalam Anggaran Dasar Partai Islam
PERTI pasal 2 yang menyatakan bahwa azas partai ini ialah agama Islam
dalam syari’at dan ibadat menurut mazhab Imam Syafi’i R.A dan dalam
122 Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 163-164
123 Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.117
124 Hasan Zaini dkk., “Prinsip Dan Jati Diri........, hlm.130
I’tikad menurut mazhab Ahlussunah wal Jama’ah.125
Pemikir-pemikir
politik Sunni seperti Al-Mawardi dan Al-Ghazali berpendapat bahwa
antara agama dan politik terdapat hubungan yang begitu erat, agama
sebagai dasar dan pemimpin sebagai penjaganya. Dalam artian, untuk
mewujudkan kemashlahatan masyarakat, negara membutuhkan agama
sebagai dasar negara. Disisi lain, agama pun membutuhkan pemimpin
untuk menjaganya. Maka dalam hal ini, H. Mansur sebagai Pengurus
Besar PERTI menyatakan bahwa Nabi melakukan hal seperti pendapat Al-
Mawardi dan Al-Ghazali tersebut di Madinah. Beliau berkata bahwa
sebagai Rasul, Nabi Muhammad tidak saja sebagai penjaga syari’at beliau
pun diberi otoritas sebagai syari’, pembuat hukum. Walaupun kita tidak
bisa seperti Nabi, tetapi apa yang telah diterapkannya di negara Madinah
adalah sunnah yang perlu diikuti.126
Pada tahun 1941, Sirajaddin Abbas selaku ketua umum PERTI
diminta memberikan masukan tentang konsep Negara Indonesia kepada
Komisi Visman. Konsep yang diajukan PERTI adalah, Pertama, Indonesia
harus merdeka seratus persen sekarang juga, tanpa harus menunggu
pemerintah Belanda ke Den Haag. Kedua, bentuk negara yang diinginkan
PERTI adalah Jumhuriyah atau Republik, dengan kepala negara seorang
muslim. Ketiga, Islam Sunni menjadi agama negara dengan perlindungan
125
Kementerian Penerangan, ”Kepartaian di Indonesia”, Jakarta: Kementerian
Penerangan RI, 1951, hlm. 73 126
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 167
penuh kepada minoritas Kristen, seperti yang dilakukan oleh Rasulullah
ketika membentuk negara pertama, Madinah.127
Kemudian, ketika rapat menjadkan PERTI sebagai partai politik
pada bulan November 1945, mulai dipertanyakan apa konsep PERTI
tentang negara Indonesia. Pertanyaan itu kembali dijawab oleh Sirajuddin
Abbas, Keua PERTI, bahwa PERTI menginginkan negara al-Daulah al-
Jumhuriyah al-Islamiyah al-Indonesia, Selanjutnya, sebagai pengikut
pemikiran al-Mawardi, sepertinya kalangan PERTI mengikuti alur
pendapat pemikir politik Islam tersebut tentang politik dan agama. Dalam
karyanya Adab al-Dunya wa al-Din, mengatakan bahwa kemantapan
masalah keduniaan sesungguhnya dapat dilihat dari sisi pengaturan sesuatu
urusan secara baik dan sisi pengaturan yang membawa kemashlahatan
kepada setiap warga negara, yang antaranya keduanya saling terkait erat.
Bila salah satunya rusak, maka yang lainnya juga akan rusak. Secara rinci
al-Mawardi mengemukakan enam dasar yang mengantarkan sesuatu
masyarakat kepada kehidupan yang baik, yaitu agama yang mereka patuhi,
penguasa yang berwibawa, keadilan yang merata, keamanan yang
menyeluruh, kemakmuran yang langgeng, dan sikap optimisme yang
tumbuh subur.128
Menurut al-Mawardi bahwa dalam hidupnya, manusia harus
memilki dua adab, yaitu adab al-syari’ah dan adab al-siyash. Yang
pertama menuntut perlunya manusia memelihara urusan-urusan fardhu
127
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 160 128
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 177-179
yang telah ada ketentuannya dalam syari’at, sedangkan yang kedua
bertujuan untuk memakmurkan bumi Allah. Bidang pertama bisa disebut
agama yang harus dipelihara oleh pemerintah, sedangkan bidang kedua
atau dunia disebut sebagai tanah garapan untuk disiyasahkan. Atas dasar
inilah Syafi’i Ma’arif menilai al-Mawardi pada dasarnya sependirian
dengan al-Ghazali yang berpendapat bahwa antara agama dan kekuatan
politik terdapat hubungan yang begitu dekat, yakni agama sebagai dasar
dan sulthan atau pemerintah sebagai penjaganya.129
Bagi al-Mawardi, adab al-syari’ah dan adab al-siyasah samasama
bermuara untuk merealisasikan keadilan, demi keselamatan pemerintah
dan kemakmuran negara. Pandangan ini, agama jelas-jelas punya pengaruh
terhadap persoalan politik keduniaan sebagaimana al-siyasah juga
berpengaruh terhadap kehidupan beragama. Bentuk pengamalan dan
penghayatan agama akan menentukan corak politik pemerintah
sebagaimana politik dan keduniaan yang dijalankan suatu pemerintah ikut
pula mewarnai bentuk penghayatan dan pengamalan agama.130
Dengan pendapatnya tersebut, al-Mawardi tidak mengatakan
bahwa perlunya ulama berpolitik. Namun melihat sejarah dan perjalaan
agama dan kekuasaan di Indonesia selama penjajahan, beberapa pimpinan
PERTI berpendapat demikian. Mengikuti alur pemikiran al-Mawardi,
mereka berpendapat bahwa perlunya agama dalam sistem kepolitikan
Indonesia. mereka yakin bahwa tanpa agama, bangsa Indonesia tidak akan
129
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 180 130
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 181
mendapatkan kemashlahatan yang sesungguhnya baik didunia maupun
diakhirat. Namun sebaliknya, tanpa adanya ulama di panggung politik,
mereka khawatir kalau agama itu dikesampingkan oleh para pemegang
kekuasaan yang hanya berpijak pada pemikiran-pemikiran politik semata.
Agar hal seperti itu tidak terjadi, maka ulama harus pandai berpolitik,
bukan untuk kepentingan pribadi atau golongan, melainkan demi
kemaslahatan yang dituju oleh agama dan pemerintahan yang
sesungguhnya.131
Dalam pasal 3 Anggaran Dasar Partai Islam PERTI dinyatakan
bahwa tujuan partai ialah Kalimatullahi hiyal ulayaa yang artinya
keagungan agama Islam dengan arti seluas-luasnya.132
Maka dalam
perjuangan dalam penjajah, PERTI menggunakan semboyan yang sama
dengan beberapa pergerakan Islam lainnya, yaitu “isy kariman mut
syahidan,” yang artinya hidup mulia atau mati Syahid untuk
menggelorakan semangat anggotanya dalam berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia.133
Seperti yang diungkap oleh Deliar Noer, masalah yang menjadi isu
sentral selepas masa perjuangan fisik adalah masalah dasar negara. Karena
masalah bentuk negara bagi kalangan Islam tidak terlalu dipersoalkan.
Sejak awal, kata H. Mansur, PERTI tidak mempermasalahkan apakah
negara Indonesia berbentuk federal atau kesatuan. Apapun bentuknya,
131
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 181 132
Kementerian Penerangan, “Kepartaian......, hlm. 73 133
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 183
syari’at Islam harus dijalankan. Karena yang terpenting adalah dasar
negara, karena hal itulah yang menjiwai jalannya negara itu sendiri.134
Sebagai salah satu partai politik, PERTI pun melakukan
konsolidasi partai dengan mengadakan berbagai pertemuan nasional.
Ketika itulah pemikiran kalangan politik kenegaraan yang juga akan
diperjuangkan dikonstituante. Seperti Kongres VI yang diadakan pada 20-
25 Mei 1950 di Bukittinggi. Beberapa keputusan diantarannya:
a. Berjuang menentang kolonialisme yang menindas rakyat
Indonesia.
b. Memperjuangkan cita-cita nasional untuk menciptakan Negara
Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur.
c. Memperjuangkan agar supaya Pancasila menjadi buah dan
kenyataan di tengah-tengah masyarakat.
d. Mengadakan perhubungan dengan seluruh partai-partai di
Indonesia untuk menciptakan satu persatuan nasional yang kuat
terutama untuk melaksanakan program bersama.
e. Berusaha agar supaya umat Islam benar-benar memegang teguh
peraturan agamanya.
f. Memperjuangkan agar supaya agama Islam menjadi dasar
penghidupan dan kehidupan rakyat Indonesia.
134
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 186
g. Mendirikan lembaga-lembaga Islam untuk memperhebat seruan
agama Islam (da’watul Islamy) menyuruh perbaikan dan
memberantas kemungkaran.135
Hasil-hasil kongres tersebut dapat dicatat sebagai upaya PERTI
untuk memulai pemikiran politik yang lebih intensif lagi. Secara
keseluruhan, poin-poin yang terdapat dalam hasil konges tersebut
menggambarkan beberapa hal. Pertama, tekad untuk mempertahankan
kedaulatan negara kesatuan dari segala bentuk penindasan kolonialisme.
Kedua, kesediaan menerima realta bahwa negara Indonesia berdasarkan
Pancasila. Ketiga, menggambarkan i’tikad baik untuk menjalin kerjasama
dengan golongan lain dalam mewujudkan kesatuan dan keutuhan negara.
Kemudian cita-cita utama adalah menjadikan Al-Qur’an dan Hadits
sebagai sumber hukum.136
Dalam kongres VII yang diadakan pada 22-29 Agustus 1953, di
Jakarta. Secara eksplisit PERTI menuangkan cita politiknya tentang seperti
apa yang diinginkan Indonesia. PERTI tetap konsisten dengan
keinginannya bahwa negara Indonesia adalah negara yang berlandaskan
Islam. Maka dalam kongres tersebut beberapa konsep negara yang
dihasilkan, yaitu sebagai berikut:
a. Kepala negara adalah orang Islam yang dipiilih oleh rakyat dan
bertanggung jawab kepada rakyat (wakil-wakilnya).
135
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 188-189 136
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 193
b. Hukum-hukum dalam negara berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah
Nabi, ijma’ dan qiyas.
c. Undang-undang dasar dan undang-undang lainnya dibuat oleh
rakyat (wakil-wakilnya) dengan jalan syura, dengan catatan
tidak boleh berlawanan dengan sumber hukum diatas.
d. Dalam undang-undang dasar dicantumkan secara tegas pasal
“agama negara adalah agama Islam”
e. Kedaulatan tertinggi atas negara dipegang oleh Allah dan
Rasul-Nya, sesudah itu Dewan Perwakilan Rakyat dan
pemerintah.
f. Kebijaksanaan pemerintah dipertanggungjawabkan kepada
rakyat dalam suatu persidangan rakyat (parlemen).
g. Hak-hak golongan kecil, baik dalam melakukan agamanya atau
dalam hal-hal memperkembangkan peradabannya diakui oleh
negara.137
Konsep tersebut dilengkapi lagi dalam hasil kongres VII pada
tanggal 9-16 Agustus 1955 di Jakarta. Keputusan kali ini lebih detail dari
apa yang diputuskan sebelumnya. Dalam kongres tersebut, diputuskan:
Pertama, PERTI tetap menginginkan nefara Indonesia yang berdasarkan
Islam, dengan nama al-Daulah al-Jumhuriyah al-Islamiyah al-Indonesia
(Negara Republik Islam Indonesia). Kedua, konstitusi negara tersebut
adalah:
137
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 194
1. Dasar Negara adalah berdasarkan Islam. Segala hukum dan
peraturan kenegaraan haruslah bersendikan dan berpedomankan
ketentuan-ketentuan atau garis pokok dari agama Islam.
2. Kedaulatan negara ada di tangan yang hakiki adalah di tangan
Tuhan Yang Maha Kuasa, dimana seluruh rakyat harus tunduk
dibawahnya. Adapun pemerintah itu adalah pelaksana semata
yang ditauliyahkan oleh rakyat.
3. Bentuk negara yaitu kesatuan dengan stelsel desentralisasi.
Maksudnya, Negara hanya mempunyai seorang kepala,
sedangkan daerah-daerah negara mempunyai otonom yang luas.
4. Pemerintahan berbentuk republik. Ini mengikuti contoh dari
pemerintahan Khulafaurrasyidin, pemerintah negara itu adalah
berbentuk republik, sebab kepala negaranya adalah plihan dan
angkatan perwakilan (Ahl al-hilli wa al-‘iqdi).
5. Pemerintahan bersifat demokrasi. Dalam pemerintahan Islam,
dasar syura itu menjadi salah satu pokok. Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa salam sendiri memegang pimpinan pemerintahan
dalam bimbingan wahyu pun harus melakukan musyawarah
dan begitu seterusnya pada pemerintahan Khulafaurrasyidin.
6. Dasar-dasar hukum dalam negara adalah Kitabullah (Al-
Qur’an), Hadits, Ijma’, dan Qiyas.138
138
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 196-198
Konsep-konsep yang terdapat dalam keputusan-keputusan kongres
tersebut pada prinsipnya dipersiapkan untuk menghadapi pemilihan umum
1955. Suatu hal yang menarik bahwa setelah kongres VIII tahun 1955 para
tokoh PERTI terlibat secara intens dalam pergerakan politik Indonesia.139
Maka setelah Pemilu 1955, terpilihlah Syeikh Sulaiman menjadi
anggota konstituante. Beliau diangkat menjadi ketua sidang konstituante
pertama di Bandung 10 November 1956, untuk memecahkan persoalan
bangsa untuk mengukuhkan negara berdasarkan UUD 1945 dan
Pancasila.140
Pengalaman Syeikh Sulaiman Arrasuli yang besar, membekali
sidang konstituante mengambil solusi bagi penguatan ketahanan identitas,
integritas, dan keberlangsungan kehidupan bangsa.141
Maka dari uraian
tersebut saya berkesimpulan bahwa konsep Islam dan negara menurut
Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli telah tersampaikan melalui hasil-hasil kongres
partai Islam PERTI, dikarenakan beliau merupakan penasehat partai, maka
setiap hasil dari keputusan, sudah ada pembahasan bersama beliau.
B. Pemikiran Syeikh Sulaiman Arrasuli tentang kriteria seorang
Pemimpin
Para juris Sunni mencita-citakan terwujudnya pelaksanaan syari’at
Islam, keadilan dan kesejahteraan rakyat melalui kekuasan politik dan
pemerintahan. Hal ini tercermin dalam syarat-syarat kepala negara yang
139
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 201 140
Yulizar Yunus dkk, “Biografi Sejarah Perjuangan Syeikh Sulaiman Ar-
Rasuli”, Lubuk Basung: Dinas Sosial Pemdakab Agam, 2019, hlm. 2 141
Yulizar Yunus dkk, “Biografi Sejarah....., hlm. 2
mereka kemukakan. Seperti Al-Baqillani, harus berilmu pengetahuan yang
luas, karena ia memerlukan para hakim yang berlaku adil. Dengan ilmunya
itu ia dapat mengetahui apakah putusan hakim atau tidak dan apakah
sesuai dengan asas keadilan. Kemudian kepala negara harus berlaku adil
dalam segala urusan, yang pada intinya dalam segala tindakannya
bertujuan untuk melaksanakan syari’at.142
Bagi Al-Mawardi kepala negara harus punya kualifikasi berlaku
adil dengan segala persyaratannya, berilmu pengetahuan agar ia mampu
berijtihad, sehat pendengaran dan penglihatan serta lisan, memiliki
anggota tubuh yang sempurna, berwawasan luas untuk mengatur rakyat
dan mengelola kemashlahatan umum, keberanian untuk melindungi rakyat
dan menghadapi musuh.143
Sedangkan Al-Ghazali mengajukan sepuluh
syarat yang harus dipenuhi kepala negara. Ia harus laki-laki yang dewasa,
berakal sehat, sehat pendengaran dan penglihatan, merdeka dan dari suku
Quraisy berdasarkan hadits Nabi: “Para pemimpin harus dari Quraisy,”
punya kekuasaan nyata (al-najdat), memiliki kemampuan (kifayat), wara’
dan berilmu. Yang dimaksud dengan al-najdat adalah kepala negara yang
memiliki perangkat pemerintahan termasuk militer dan polisi. Al-kifayat
diartikan sebagai kemampuan berpikir dan mengelola serta kesediaan
bermusyawarah, Syarat kemampuan berpikir dan mengelola adalah
kecerdasan dan mengelola adalah kecerdasan dan kemahiran dalam urusan
142
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah.........., hlm. 253 143
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah.........., hlm. 255
pemerintahan. Wara’ diartikan sebagai menjalankan ajaran-ajaran dan
moral Islam sebaik-baiknya.144
Syeikh Sulaiman dalam kitabnya Pedoman hidup Alam
Minangkabau (Nasihat Siti Budiman) memberikan tujuh kategori
penghulu atau pemimpin, yaitu:
1. Penghulu kayu gadang, ialah pengayom seluruh anak
kemenakan maupun seluruh masyarakat nagari, dan menjadi
penyelesai masalah bagi setiap permasalahan.
2. Penghulu nan di tanjuang, ialah pemimpin yang tidak mampu
dan tak punya pendirian
3. Penghulu ayam gadang, ialah pemimpin yang selalu
mengutamakan gelar atau nama besar
4. Penghulu buluah bambu, ialah hanya mengutamakan
performace, sepintas dilihat seperti orang pintar, gagah dan
berilmu tetapi hanya lip service saja.
5. Penghulu katuak-katuak, ialah pemimpin penakut disebabkan
kurangnya ilmu,
6. Penghulu tupai tuo, ialah berani pemimpin yang tidak berani
menyampaikan pendapat, takut tampil ke depan.
7. Penghulu pisak sarawa, ialah pemimpin yang memeras dan
memanfaatkan rakyat untuk kepentingannya.145
144
Suyuthi Pulungan, “Fiqh Siyasah.........., hlm. 256 145
Asril, “Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli......., hlm. 63
Sebagai pengikut Sunni, tentunya PERTI mengikuti beberapa
pendapat ulama Sunni dalam hal ini, seperti yang dibahas dalam kongres
yang telah dilaksanakan. Seperti:
1. Kepala negara diangkat dan dimakzulkan oleh majelis Ahl al
Hilli wa al ‘Aqdi.
2. Kepala negara berkuasa dan bertanggung jawab langsung
sepenuhnya sebagai kepala pemerintahan negara dalam semua
bahagian pemerintahan sipil dan militer. Untuk pelaksanaan
tugasnya, kepala negara boleh mengangkat wazir-wazir
(menteri) yang bertanggungjawab kepadanya.
Adapun syarat bagi kepala negara adalah:
1. Beragama Islam
2. Alim (mengetahui seluk beluk Hukum Islam, bahkan ada
pendapat ulama bahwa kepala negara itu haruslah berderajat
mujtahid).
3. Baligh
4. Laki-laki
5. Sempurna akal dan panca indranya.146
Namun demikian terdapat sedikit penekanan dari pihak PERTI
terhadap Sunni. Yaitu, orang PERTI menambah persyaratan bahwa kepala
negara Indonesia itu harus muslim Sunni. Karena mengingat umumnya
rakyat Indonesia adalah penganut paham Sunni. Kemudian, PERTI tidak
146
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 199
mensyaratkan seorang kepala negara memiliki ilmu pengetahuan sampai
ke tingkat mampu berijtihad. Pendapat ini sejalann dengan pendapat al-
Ghazali. Orang-orang PERTI menyamakan kebijakan pemerintahan Bani
Umayyah yang mengangkat hakim tersendiri, tidak dijabatkan langsung
kepada kepala negara sebagaimana halnya pada masa Khulafa Rasyidin.147
Kemudian, mengenai sumber kekuasaan tidak diperoleh keterangan
teori para pemikir Sunni yang secara tegas mengatakan hal tersebut.
Namun, jika diperhatikan secara seksama, Ibn Abi Rabi’, salah seorang
pemikir Sunni, kelihatannya mempunyai teori ketuhanan. Maksudnya
adalah, bahwa kekuasaam seorang kepala negara itu bersumber dari
Tuhan. Ia berpendapat bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi
masyarakat. Penguasa-penguasa itu mendapat pancaran dan Ilahi dan
menetapkan mereka dengan keramahan-Nya.148
147
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 208 148
Alaiddin Koto, “Pemikiran Politik.......”, hlm. 209
BAB V
PENUTUP
C. Kesimpulan
Berdasarkan analisa penulis terhadap pemikiran Syeikh Sulaiman
Ar-Rasuli terhadap Islam dan Negara, penulis dapat mengambil
kesimpulan bahwa,
1. Sebagai Penasehat Tertinggi partai Islam PERTI, Syeikh Sulaiman Ar-
Rasuli bersama seluruh jajaran anggota partai telah memberikan
konsep Islam dan Negara pada kongres VII yang menghasilkan
keputusan Pertama, PERTI tetap menginginkan negara Indonesia
berlandaskan Islam, dengan nama al-Daulah al-Jumhuriyah al-
Islamiyah al-Indonesia (Negara Republik Islam Indonesia). Kedua,
konstitusi negara adalah:
a. Dasar negara berlandaskan Islam
b. Kedaulatan negara berada di tangan yang hakiki yaitu di tangan
Tuhan yang Maha Kuasa
c. Bentuk negara yaitu kesatuan dengan stelsel desentralisasi.
d. Pemerintahan berbentuk republik
e. Pemerintahan bersifat demokrasi. Dalam pemerintahan Islam dasar
syura itu menjadi pokok.
f. Dasar-dasar hukum dalam negara adalah Al-Qur’an, Hadits, Ijma’,
dan Qiyas
Konsep-konsep tersebut lah yang akan diperjuangkan Syeikh
Sulaiman Ar-Rasuli dan partai Islam PERTI di kancah Pemilu 1955, yang
pada akhirnya Syeikh Sulaiman terpilih sebagai konstituante dalam rangka
mengukukan negara Indonesia.
2. Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli beserta PERTI telah menyepakati
bagaimana seorang pemimpin yang ideal untuk suatu negara. Seperti:
a. Kepala negara diangkat dan dimakzulkan oleh majelis ahl al halli
wa ‘aqdi.
b. Kepala negara yang berkuasa dan bertanggung jawab langsung
sepenuhnya sebagai kepala pemerintahan negara dalam semua
bahagian pemerintah sipil dan militer. Untuk pelaksanaan
tugasnya, kepala negara boleh mengangkat wazir-wazir (menteri).
Adapun syarat bagi kepala negara adalah:
a. Beragama Islam
b. Muslim Sunni
c. Alim
d. Baligh
e. Laki-laki
f. Sempurna akal dan panca indranya.