Date post: | 27-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia
pada Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dan salah satu kekayaan alam yang
dimiliki oleh Indonesia terletak pada sektor Kehutanan.
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam
lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya
dan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah
untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Demikianlah bunyi
dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan Bab I Pasal I Angka 1 dan 2.
Hutan merupakan sumber daya alam yang menempati posisi strategis
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekitar dua pertiga dari 191 juta
hektare daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang
beragam, mulai dari hutantropika dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut,
hutan rawa air tawar dan hutan bakau (mangrove).1
1 Abdul Hakim, 2005, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi
Daerah. P.T. Cipta Bakti, Bandung. Hlm 16.
2
Suriansyah Murhani mengatakan bahwa :”Hutan adalah sejumlah
pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu,
kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan
lingkunganya. Akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pohon
baru asalkan tumbuh pada tempat luas dan tumbuh cukup rapat.”
Kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga
kehidupan harus dijaga kelestariaannya. Hutan merupakan sumber daya alam
yang sangat penting tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih
sebagai salah satu komponen lingkungan hidup.Fungsi- fungsi hutan tersebut
pada hakekatnya merupakan modal alam (natural capital) yang harus
ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa Indonesia untuk
berbagai tujuan, antara lain yaitu:
1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional,
dan global;
2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah, dan
pendapatan masyarakat;
3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa
negara bagi penumpukan modal pembangunan;2
Nilai penting sumber daya semakin bertambah karena hutan
merupakan sumber hajat hidup orang banyak. Siapapun bagian dari
masyarakat bangsa ini tidak akan menyangkal bahwa sumber daya hutan
adalah anugerah yang sangat besar yang telah berperan penting dalam
2 Siswanto Sunarso, 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi
penyelesaian sengketa , Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 6.
3
mendukung pembangunan Nasional, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial
budaya maupun ekologi. Salah satu pendorong pembangunan nasional di
bidang ekonomi adalah pemanfaatan hutan dengan memproduksi kayu hasil
hutan untuk perumahan masyarakat, perajinan kayu hutan dan lain
sebagainya.
Kenyataannya pemanfaatan hutan alam yang telah berlangsung sejak
awal 1970-an ternyata memberikan gambaran yang kurang menggembirakan
untuk masa depan dunia kehutanan Indonesia. Terlepas dari keberhasilan
penghasil devisa, peningkatan pendapatan, menyerap tenaga kerja, serta
mendorong pembangunan wilayah, pembangunan kehutanan melalui
pemanfaatan hutan alam menyisakan sisi yang buram. Sisi negatif tersebut
antara lain tingginya laju deforestasi yang menimbulkan kekhawatiran akan
tidak tercapainya kelestarian hutan yang diperkuat oleh adanya perusakan
hutan.
Perusakan hutan adalah salah satu bentuk perusakan lingkungan, oleh
karena itu maka perusakan hutan merupakan suatu kejahatan. Salah satu
bentuk perusakan hutan itu adalah penebangan liar (illegal logging).
UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan
Perusakan Hutan pasal 1 angka (3) menyatakan bahwa perusakan hutan adalah
proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar,
penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan
dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah
ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya
4
oleh pemerintah. Pasal 1 angka 4 pada UU tersebut juga menyatakan bahwa
pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara
tidak sah dan terorganisasi.
Haryadi Kartodiharjo berpendapat bahwa Illegal logging merupakan
penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-
undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau
hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari
jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. 3
Departemen Kehutanan menegaskan yang disebut illegal logging
adalah tindak pidana penebangan pohon dengan aktifitasnya dengan mengacu
pada UU Nomor 41 Tahun 1999 dan PP Nomor 34 Tahun 1999 yang meliputi
kegiatan menebang atau memanen hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa
memiliki hak atau izin yang berwenang, serta menerima, memberi atau
menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, mengangkut,
menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan surat
sahnya hasil hutan. Termasuk juga didalamnya kegiatan pemegang izin
pemanfaatan yang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan yang
ditetapkan, seperti melakukan penebangan melampaui target volume dan
sebagainya.
Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang
Pokok Pokok Kehutanan, menebang, memotong, mengambil dan membawa
kayu hasil hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal
3 Nurdjana, DKK, 2008, Korupsi dan illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi.
Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 34.
5
dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun setelah
berlakunya UndangUndang Nomor 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok
Kehutanan terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin dari
pihak yang berwenang tersebut dapat dikenakan pidana sebagaimana
tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
yang ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan apabila dikenai
pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).4
Berlakunya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 merupakan salah
satu contoh produk hukum berupa undang- undang yang memuat unsur pidana
yang dapat dikuallifikasikan sebagai produk undang- undang pidana khusus.
Hal tersebut dikatakan oleh Sudarto sebagai berikut bahwa produk undang-
undang pidana khusus adalah suatu undang- undang pidana selain kitaab
undang- undang hukum pidana (KUHP) yang saat ini merupakan induk dari
peraturan pidana di Indonesia.5
Tidak dapat dipungkiri bahwa penebangan kayu secara liar (illegal
logging) merupakan suatu perbuatan menyimpang yang sedang berkembang
pesat di Indonesia saat ini. Dalam perkembangannya penebangan kayu secara
liar menjadi kejahatan yang berskala besar, terorganisir, dan mempunyai
jaringan yang sangat besar.
Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian
kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah pertahun,
4 http://ojs.uho.ac.id/index.php/selami/article/download/8514/6215 5 Sudarto, 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm 59.
6
belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi
hidrologis, serta nilai social dari rencana dan kehilangan sumber kehidupan
akibat pengrusakan hutan.6
Maraknya kasus pembalakan liar (Illegal loging) yang terjadi di
lapangan membuktikan betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Oleh
karena itu upaya untuk menanggulangi setiap kasus pembalakan liar (Illegal
loging) semakin sulit dan sudah seharusnya hal itu menjadi prioritas bagi para
penegak hukum.
Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara penegak
hukum sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) Undang- Undang Nomor 2 Tahun
2002 Tentang kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melaksanakan
penyidikan perkara berdasarkan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.
Hukum dan perundangan-undangan yang menjadi tugas Polisi Negara
Republik Indonesia untuk ditegakkan adalah semua hukum pidana baik yang
tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun
diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia serta Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian
yang sama tentang tindakan penyidikan, dinyatakan bahwa: “Penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan
6 Siswanto Sunarso, 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi
penyelesaian sengketa , Rineka Cipta, Jakarta, hlm 6.
7
bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.
Proses penyidikan tersebut selain dilakukan oleh Penyidik Kepolisian
Republik Indonesia juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil
(PPNS) bidang Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun
2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.
Bab I Pasal I Angka 17 dalam UU tersebut mengatur bahwa “Pejabat
Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah
pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat
dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam
penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan
ekosistemnya.”
UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 77 ayat 1 mengatur
bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dari tanggung jawabnya
meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.
Dan pada ayat 3 yang berbunyi “pejabat penyidik pegawai negeri sipil
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab
Undang Undang Hukum Acara Pidana”.
Sebagai penyidik telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penebangan kayu secara liar di
8
hutan, namun fakta yang terjadi di lapangan adalah banyak sekali terjadi
penyimpangan dalam bidang hukum, khususnya dalam proses penyidikan
tindak pidana illegal logging. Dimana penyidik sering mengalami hambatan
yang menimbulkan kekacauan dalam proses berlangsungnya penyidikan.
Terkait dengan apa yang dijelaskan diatas, maka salah satu contoh
yaitu kasus pembalakan liar (illegal logging) yang terjadi di Kabupaten
Maluku Tengah. Berdasarkan putusan pengadilan negeri masohi Nomor.
17/Pid.B/LH/2020/PN. Msh yang didakwakan kepada Hasanudin alias Uding,
tepatnya di kawasan hutan Negeri Solea, Kecamatan Seram Utara. Pekerjaan
penebangan pohon yang dilakukan oleh terdakwa dihentikan dan tidak
dilanjutkan setelah adanya temuan pelanggaran oleh Tim Patroli pengamanan
kawasan balai Taman Nasional Manusela karena diduga pekerjaan
penebangan pohon tersebut telah masuk ke kawasan Taman Nasional
Manusela dan ternyata mekanisme penebangan dan pengolalahannya tidak
sesuai dengan ketentuan atau aturan yang berlaku. kasus tersebut kemudian
ditindaklanjuti hingga akhirnya sampai pada proses penyidikan yang
dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Pengamanan dan
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) wilayah
Maluku Papua yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Resort Maluku
Tengah. Selama proses penyidikan berlangsung dalam batas waktu yang telah
ditentukan, hasil penyidikan tersebut dinyatakan tidak lengkap oleh pihak
Kejaksaan Maluku Tengah sehingga keseluruhan proses penyidikan
9
selanjutnya diambil alih oleh pihak Kejaksaan Negeri Maluku Tengah untuk
ditindaklanjuti.
Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas tersebut,
maka penulis melakukan penelitian dengan judul Hambatan Penyidikan
Dalam Tindak Pidana Pembalakan Liar Oleh Penyidik Pegawai Negeri
Sipil (PPNS) Kehutanan (Studi Kasus pada Balai Pengamanan dan
Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Maluku Papua).
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hambatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan
dalam melakukan penyidikan terkait kasus illegal logging ?
2. Bagaimana Upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut ?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :
1. Untuk mengetahui hambatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
dalam melakukan penyidikan terkait kasus ilegal loging dan upaya
dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
2. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas
Hukum Universitas Pattimura.
D. Kegunaan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka manfaat yang
akan dicapai yaitu :
10
1. Dapat menjelaskan hambatan-hambatan yang ditemui oleh PPNS
Kehutanan terkait penyidikan dalam kasus ilegal loging dan upaya
dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.
2. Sebagai suatu bentuk pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum
khususnya pada hukum pidana terkait Kewenangan Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun
2013.
E. Kerangka Konseptual
Penegakan hukum adalah keseluruhan dari para pelaksana penegak
hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap
harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian
hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Penegakan hukum
pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan
(politik kriminal). Kebijakan untuk melakukan penanggulangan kejahatan
termasuk dalam “kebijakan kriminal”, yang mana kebijakan kriminal tidak
lepas dari kebijakan social yang terdiri dari upaya-upaya untuk
mensejahterakan social dan kebijakan bagi perlindungan masyarakat.7
Sudarto berpendapat bahwa “Penegakan hukum bidangnya luas
sekali, tidak hanya bersangkut- paut dengan tindakan-tindakan apabila
sudah ada atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga
menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Yang terakhir ini adalah
masalah prevensi dari kejahatan. Kalau prevensi diartikan secara luas
7 Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 77.
11
maka banyak badan atau fihak yang terlibat di dalamnya, ialah pembentuk
Undang-Undang, polisi, kejaksaan, pengadilan, pamong- praja dan
aparatur eksekusi pidana serta orang-orang biasa. Proses pemberian pidana
di mana badan-badan ini masing-masig mempunyai perananya dapat
dipandang sebagai upaya untuk menjaga agar orang yang bersangkutan
serta masyarakat pada umumnya tidak melakukan tindak pidana.8
Penegakan hukum juga merupakan suatu upaya untuk
menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa kemanusiaan
dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia mengingat hukum merupakan
panglima tertinggi di Indonesia maka dari itu setiap tindak kejahatan yang
terjadi harus mampu diselesaikan secara tepat dan baik.
Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:
a. Faktor hukum.
b. Faktor penegak hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas.
d. Faktor masyarakat.
e. Faktor kebudayaan.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur
daripada Efektifitas hukum. Teori penegakan hukum yang dikemukakan
8 Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana,Penerbit P.T. ALUMNI,
Bandung, hlm 113.
12
oleh Soejono Soekanto. Secara konseptual inti dan arti penting penegakan
hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindakan
sebagai rangkaian penjabaran nilai untuk menciptakan, memelihara
Penegakan bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang
undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya
adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. 9
Salah satu sektor yang harus menjadi prioritas dan mendapat
perhatian lebih dalam penegakan hukum adalah sektor kehutanan. hutan
Indonesia merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Dengan ukuran
yang besar, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia yang bisa
menyerap pencemaran udara seperti emisi karbondioksida. Sayangnya,
hutan Indonesia sedang berada dalam ancaman besar terutama dalam
kegiatan manusia yang illegal.10
Undang-Undang No. 28 Tahun 1985 adalah Undang-Undang yang
mengatur tentang perlindungan hutan. Seperti halnya Undang-Undang
Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1985
mempunyai tujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi
fungsinya. Namun pada realitanya yang terjadi saat ini sungguh tidak
sesuai dengan tujuan yang telah dicita-citakan dalam kedua Undang-
9 Soejono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan
Hukum. Raja Grafindo tersada, Jakarta, hlm 5.
10 Sukan Husin, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cetakan
Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 45.
13
Undang tersebut. menurut laporan terakhir saat ini Indonesia merupakan
salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. di
Indonesia berdasarkan penafsiran citra landsat Tahun 2000 terdapat 101,73
juta ha dan lahan rusak diantaranya seluas 59,62 juta ha berada dalam
kawasan hutan. berarti saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya
sebesar 72 persen. 11
Salah satu bentuk kerusakan hutan yang seringkali di Indonesia
adalah pembalakan liar (Illegall logging). Pembalakan liar adalah kegiatan
penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang merupakan bentuk
ancaman faktual disekitar perbatasan yang tidak sah atau tidak memiliki
izin dari otoritas setempat.
Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal logging secara eksplisit
tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan, dan selama ini Illegal logging di identikkan dengan tindakan
atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai
perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Perusakan hutan
menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 dalam
penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan
kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya,
11 Ali Yafie, Merintis Fiqh, 2003, Lingkungan Hidup, Ufuk Press, Jakarta, hlm
150.
14
yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan
sesuai dengan fungsinya.”
Haryadi Kartodiharjo berpendapat bahwa, illegal logging
merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan
perundang- undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan
hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan
penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.
Menurut aspek simplikasi semantik diartikan sebagai praktek penebangan
liar, sedangkan dari aspek integratif diartikan sebagai praktek pemanenan
kayu beserta proses-prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti
prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan.12
FWI (Forest Watch Indonesia) dan GFW (Global Forest Watch)
berpendapat bahwa illegal logging dibagi menjadi dua yaitu, pertama:
yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan
dalam izin yang dimilikinya. Kedua: melibatkan pencuri kayu, pohon-
pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal
untuk menebang pohon. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa
kegiatan illegal logging akan berdampak sangat serius terhadap kerusakan
lingkungan.13
12 Haryadi Kartodiharjo, 2003. Modus Operandi, Scienttific Evidence dan Legal
Evidence dalam Kasus Illegal logging, Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan
Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama
dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta.
13 Supriadi, 2010, Hukum Hutan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar
Grafika, Jakarta, hlm 34.
15
Nurkhin berpendapat bahwa akibat dari illegal loging tidak hanya
mengancam pelestarian hutan produksi tetapi yang lebih memprihatinkan
adalah terjadinya kerusakan pada hutan-hutan yang mempunyai fungsi
lindung.
Masalahnya lagi adalah deteksi pembalakan liar oleh pemerintah
tidak sempurna atau berjalan kurang baik ditambah dengan biaya
deteksinya yang mahal.14
Masalah seperti Kerusakan hutan memberikan konsekuensi yang luas
terhadap sumberdaya air, produktivitas pertanian, dan membawa ancaman
terhadap lingkungan hidup yang tidak terbatas pada wilayah administratif
dimana hutan tersebut berada.
Semakin banyaknya kasus illegal loging yang terjadi maka pihak
penegak hukum juga dituntut harus mampu dalam menyelesaikan setiap
kasus ilegal loging yang terjadi. Dalam hal ini merujuk pada penyidik
Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menurut Pasal 1
angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 adalah pejabat pegawai
negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah
yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan dibidang
kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.
14 Suwarno, 2012, Dampak Larangan Illegal Logging dan Illegal Nining
terhadap pendapatan masyarakat Daerah pemekaran, Universitas Palangkaraya,
Indonesia, http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak.
16
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan diberi wewenang
khusus oleh Undang-undang yaitu pasal 77 ayat (1) Undang-undang No.
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: “Selain Pejabat
Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil
tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan
hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.”
Proses Penyidikan merupakan satu bagian yang sangat penting
dalam proses penyelesaian suatu tindak pidana. Dasar Hukum mengenai
kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)
Kehutanan dalam menangani tindak pidana illegal logging sudah sangat
jelas. meskipun demikian dalam implementasinya Penyidik Pegawai
Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan seringkali terhambat dalam menuntaskan
proses penyidikan Sehingga membuat proses penyelesaian kasus illegal
loging juga ikut terhambat.
Salah satu faktor penghambat dalam proses penyidikan kasus
illegal logging yang sering dijumpai adalah faktor sarana dan fasilitas.
Hambatan yang dihadapi PPNS Kehutanan yang berkaitan dengan sarana
atau fasilitas adalah minimnya sarana dan fasilitas yang mendukung proses
penyidikan dan tidak teralokasinya anggaran yang memadai untuk
kepentingan penyidikan, mulai dari kegiatan operasional, upaya paksa,
17
pengangkutan sampai dengan pengamanan dan penghitungan barang bukti
yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi.15
Faktor di atas merupakan suatu gambaran besar tentang hambatan
yang dialami oleh Penyidik Pegawai negeri sipil (PPNS) Kehutanan dalam
proses penyidikan kasus illegal loging. Dengan demikian, proses
penyidikan yang terhambat juga akan turut berdampak terhadap
penyelesaian kasus illegal loging tersebut sehingga mengakibatkan
lambannya proses penegakan hukum.
F. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian, tipe
penelitian, sumber bahan hukum, Teknik Pengumpulan Bahan Hukum,
Analisa Bahan Hukum, dan Sistematika Penulisan sebagai berikut:
1. Tipe Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan yaitu bersifat Deskriptif Analitis.
Deskriptis Analitis yang dimaksud adalah dengan menggunakan
pendekatan yuridis normatif dirumuskan dengan hasil penelitian
kepustakaan, sehingga dengan hasil diskriptif tersebut akan ditarik
kesimpulan dan dilengkapi dengan saran-saran.16
2. Pendekatan Masalah
a. Pendekatan Undang-undang
15 https://media.neliti.com/media/publications/210011-penegakan-hukum-terhadap-
tindak-pidana-i.pdf
16 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Bayumedia, Malang, hlm 57.
18
Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan
prundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu
hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini
misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara
Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-
Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain.
3.. Sumber Bahan Hukum
Bahan hukum yang dipakai yaitu bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier:
a) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif
berupa peraturan perundang-undangan17:
1. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan
Pemberantasan Perusakan Hutan.
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang
tidak terlepas dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang
penyidikan tindak pidana.
b) Bahan hukum sekunder yaitu:
17 Peter Mahmud marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Yuridika, Jakarta,, hlm 42.
19
Merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang
bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat
penjelasan didalamnya, bahan-bahan hukum sekunder yaitu:
1) Buku-buku ilmiah yang terkait
2) Hasil penelitian.
3) Dokumen-dokumen.
4) Pendapat para ahli.
4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum
Adapun prosedur pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah
Studi pusataka, yaitu mempelajari dan menganalisis, secara sistematis
buku-buku, makalah ilmiah, dan melakukan penelusuran di internet.
Teknik pengumpulan bahan hukum ini lakukan untuk menghimpun bahan
sekunder yang dijadikan bahan penunjang dalam penelitian.18
5. Pengolahan Analisa Bahan Hukum
Dalam penelitian bersifat yuridis normatif ini, pengolahan data dilakukan
dengan cara mensistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis.19
Sistematis yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum
tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi. Kegiatan yang
dilakukan dalam analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data
yang diperoleh di analisa secara deskriptif kualitatif atau analisa data yang
tidak dapat dihitung. Dengan penarikan kesimpulan secara deduktif atau
18 Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm
42. 19 Ashshfa Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , hlm
13.
20
penarikan kesimpulan yang proporsinya telah diketahui dan berakhir pada
suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.
Sehingga akan dapat menjelaskan jawaban terhadap permasalahan yang
telah diteliti.
G. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat (4) bab, yaitu
pendahuluan, pembahasan rumusan masalah pertama, pembahasan
rumusan masalah kedua dan penutup, ditambah dengan daftar pustaka
yang disusun dengan sistematika sebagai berikut:
BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab ini secara terperinci menguraikan
mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, metode penelitian yang digunakan, dan yang terakhir
adalah sistematika penulisan skripsi yang memberikan pemahaman
terhadap isi dari penelitian secara garis besar.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA yang terdiri dari sub pokok bahasan
yaitu ruang lingkup tindakan pidana pembalakan liar, penyidikan tindak
pidana pembalakan liar, dan mekanisme penyidikan pada perkara
pembalakan liar.
BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN yang terdiri dari sub pokok
bahasan antara lain, Krronologis Kasus, hambatan dalam tindak pidana
pembalakan liar oleh PPNS Kehutanan, dan upaya penegakan hukum
terhadap tindak pidana illegal logging