+ All Categories
Home > Documents > BAB I - Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pattimura

BAB I - Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Pattimura

Date post: 27-Nov-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia pada Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dan salah satu kekayaan alam yang dimiliki oleh Indonesia terletak pada sektor Kehutanan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya dan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Demikianlah bunyi dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Bab I Pasal I Angka 1 dan 2. Hutan merupakan sumber daya alam yang menempati posisi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekitar dua pertiga dari 191 juta hektare daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang beragam, mulai dari hutantropika dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut, hutan rawa air tawar dan hutan bakau (mangrove). 1 1 Abdul Hakim, 2005, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi Daerah. P.T. Cipta Bakti, Bandung. Hlm 16.
Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia

pada Pasal 33 ayat 3 menyatakan bahwa ”Bumi dan air dan kekayaan alam

yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk

sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Dan salah satu kekayaan alam yang

dimiliki oleh Indonesia terletak pada sektor Kehutanan.

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam komunitas alam

lingkungannya yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dan yang lainnya

dan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah

untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Demikianlah bunyi

dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan Bab I Pasal I Angka 1 dan 2.

Hutan merupakan sumber daya alam yang menempati posisi strategis

dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sekitar dua pertiga dari 191 juta

hektare daratan Indonesia adalah kawasan hutan dengan ekosistem yang

beragam, mulai dari hutantropika dataran tinggi, sampai hutan rawa gambut,

hutan rawa air tawar dan hutan bakau (mangrove).1

1 Abdul Hakim, 2005, Pengantar Hukum Kehutanan Indonesia dalam Era Otonomi

Daerah. P.T. Cipta Bakti, Bandung. Hlm 16.

2

Suriansyah Murhani mengatakan bahwa :”Hutan adalah sejumlah

pepohonan yang tumbuh pada lapangan yang cukup luas, sehingga suhu,

kelembapan, cahaya, angin, dan sebagainya tidak lagi menentukan

lingkunganya. Akan tetapi dipengaruhi oleh tumbuh-tumbuhan atau pohon

baru asalkan tumbuh pada tempat luas dan tumbuh cukup rapat.”

Kedudukannya hutan sebagai salah satu penentu sistem penyangga

kehidupan harus dijaga kelestariaannya. Hutan merupakan sumber daya alam

yang sangat penting tidak hanya sebagai sumber daya kayu, tetapi lebih

sebagai salah satu komponen lingkungan hidup.Fungsi- fungsi hutan tersebut

pada hakekatnya merupakan modal alam (natural capital) yang harus

ditransformasikan menjadi modal riil (real capital) bangsa Indonesia untuk

berbagai tujuan, antara lain yaitu:

1. Melestarikan lingkungan hidup untuk kepentingan lokal, daerah, nasional,

dan global;

2. Meningkatkan nilai tambah pendapatan nasional, pendapatan daerah, dan

pendapatan masyarakat;

3. Mendorong ekspor non migas dan gas bumi untuk menghimpun devisa

negara bagi penumpukan modal pembangunan;2

Nilai penting sumber daya semakin bertambah karena hutan

merupakan sumber hajat hidup orang banyak. Siapapun bagian dari

masyarakat bangsa ini tidak akan menyangkal bahwa sumber daya hutan

adalah anugerah yang sangat besar yang telah berperan penting dalam

2 Siswanto Sunarso, 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi

penyelesaian sengketa , Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 6.

3

mendukung pembangunan Nasional, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial

budaya maupun ekologi. Salah satu pendorong pembangunan nasional di

bidang ekonomi adalah pemanfaatan hutan dengan memproduksi kayu hasil

hutan untuk perumahan masyarakat, perajinan kayu hutan dan lain

sebagainya.

Kenyataannya pemanfaatan hutan alam yang telah berlangsung sejak

awal 1970-an ternyata memberikan gambaran yang kurang menggembirakan

untuk masa depan dunia kehutanan Indonesia. Terlepas dari keberhasilan

penghasil devisa, peningkatan pendapatan, menyerap tenaga kerja, serta

mendorong pembangunan wilayah, pembangunan kehutanan melalui

pemanfaatan hutan alam menyisakan sisi yang buram. Sisi negatif tersebut

antara lain tingginya laju deforestasi yang menimbulkan kekhawatiran akan

tidak tercapainya kelestarian hutan yang diperkuat oleh adanya perusakan

hutan.

Perusakan hutan adalah salah satu bentuk perusakan lingkungan, oleh

karena itu maka perusakan hutan merupakan suatu kejahatan. Salah satu

bentuk perusakan hutan itu adalah penebangan liar (illegal logging).

UU No 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan

Perusakan Hutan pasal 1 angka (3) menyatakan bahwa perusakan hutan adalah

proses, cara, atau perbuatan merusak hutan melalui kegiatan pembalakan liar,

penggunaan kawasan hutan tanpa izin atau penggunaan izin yang bertentangan

dengan maksud dan tujuan pemberian izin di dalam kawasan hutan yang telah

ditetapkan, yang telah ditunjuk, ataupun yang sedang diproses penetapannya

4

oleh pemerintah. Pasal 1 angka 4 pada UU tersebut juga menyatakan bahwa

pembalakan liar adalah semua kegiatan pemanfaatan hasil hutan kayu secara

tidak sah dan terorganisasi.

Haryadi Kartodiharjo berpendapat bahwa Illegal logging merupakan

penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan perundang-

undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan hutan Negara atau

hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan penebangan lebih dari

jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan. 3

Departemen Kehutanan menegaskan yang disebut illegal logging

adalah tindak pidana penebangan pohon dengan aktifitasnya dengan mengacu

pada UU Nomor 41 Tahun 1999 dan PP Nomor 34 Tahun 1999 yang meliputi

kegiatan menebang atau memanen hasil hutan di dalam kawasan hutan tanpa

memiliki hak atau izin yang berwenang, serta menerima, memberi atau

menjual, menerima tukar, menerima titipan, menyimpan, mengangkut,

menguasai atau memiliki hasil hutan yang tidak dilengkapi dengan surat

sahnya hasil hutan. Termasuk juga didalamnya kegiatan pemegang izin

pemanfaatan yang melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan aturan yang

ditetapkan, seperti melakukan penebangan melampaui target volume dan

sebagainya.

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tentang

Pokok Pokok Kehutanan, menebang, memotong, mengambil dan membawa

kayu hasil hutan tanpa ijin dari pejabat yang berwenang dikenakan pasal-pasal

3 Nurdjana, DKK, 2008, Korupsi dan illegal Logging Dalam Sistem Desentralisasi.

Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm 34.

5

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), namun setelah

berlakunya UndangUndang Nomor 41 tahun 1999 tentang Pokok-Pokok

Kehutanan terhadap perbuatan memanfaatkan kayu hasil hutan tanpa ijin dari

pihak yang berwenang tersebut dapat dikenakan pidana sebagaimana

tercantum dalam Pasal 50 jo Pasal 78 Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999

yang ancaman pidananya lebih berat dibandingkan dengan apabila dikenai

pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).4

Berlakunya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 merupakan salah

satu contoh produk hukum berupa undang- undang yang memuat unsur pidana

yang dapat dikuallifikasikan sebagai produk undang- undang pidana khusus.

Hal tersebut dikatakan oleh Sudarto sebagai berikut bahwa produk undang-

undang pidana khusus adalah suatu undang- undang pidana selain kitaab

undang- undang hukum pidana (KUHP) yang saat ini merupakan induk dari

peraturan pidana di Indonesia.5

Tidak dapat dipungkiri bahwa penebangan kayu secara liar (illegal

logging) merupakan suatu perbuatan menyimpang yang sedang berkembang

pesat di Indonesia saat ini. Dalam perkembangannya penebangan kayu secara

liar menjadi kejahatan yang berskala besar, terorganisir, dan mempunyai

jaringan yang sangat besar.

Departemen Kehutanan menyatakan bahwa kerugian akibat pencurian

kayu dan peredaran hasil hutan illegal senilai 30,42 triliun rupiah pertahun,

4 http://ojs.uho.ac.id/index.php/selami/article/download/8514/6215 5 Sudarto, 2006. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, hlm 59.

6

belum termasuk nilai kehilangan keanekaragaman hayati dan fungsi

hidrologis, serta nilai social dari rencana dan kehilangan sumber kehidupan

akibat pengrusakan hutan.6

Maraknya kasus pembalakan liar (Illegal loging) yang terjadi di

lapangan membuktikan betapa lemahnya penegakan hukum di Indonesia. Oleh

karena itu upaya untuk menanggulangi setiap kasus pembalakan liar (Illegal

loging) semakin sulit dan sudah seharusnya hal itu menjadi prioritas bagi para

penegak hukum.

Kepolisian Negara Republik Indonesia selaku alat negara penegak

hukum sesuai dengan Pasal 39 ayat (2) Undang- Undang Nomor 2 Tahun

2002 Tentang kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melaksanakan

penyidikan perkara berdasarkan ketentuan perundang- undangan yang berlaku.

Hukum dan perundangan-undangan yang menjadi tugas Polisi Negara

Republik Indonesia untuk ditegakkan adalah semua hukum pidana baik yang

tercantum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) maupun

diluar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia serta Pasal 1 angka 2 KUHAP memberikan pengertian

yang sama tentang tindakan penyidikan, dinyatakan bahwa: “Penyidikan

adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur

dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan

6 Siswanto Sunarso, 2005, Hukum Pidana Lingkungan Hidup dan Strategi

penyelesaian sengketa , Rineka Cipta, Jakarta, hlm 6.

7

bukti tersebut membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna

menemukan tersangkanya.

Proses penyidikan tersebut selain dilakukan oleh Penyidik Kepolisian

Republik Indonesia juga dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil

(PPNS) bidang Kehutanan berdasarkan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Kerusakan Hutan.

Bab I Pasal I Angka 17 dalam UU tersebut mengatur bahwa “Pejabat

Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang selanjutnya disingkat PPNS adalah

pejabat pegawai negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat

dan daerah yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus dalam

penyidikan di bidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan

ekosistemnya.”

UU No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan Pasal 77 ayat 1 mengatur

bahwa selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat

pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup tugas dari tanggung jawabnya

meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik

sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana.

Dan pada ayat 3 yang berbunyi “pejabat penyidik pegawai negeri sipil

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan

dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum, sesuai Kitab

Undang Undang Hukum Acara Pidana”.

Sebagai penyidik telah diberi wewenang oleh undang-undang untuk

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana penebangan kayu secara liar di

8

hutan, namun fakta yang terjadi di lapangan adalah banyak sekali terjadi

penyimpangan dalam bidang hukum, khususnya dalam proses penyidikan

tindak pidana illegal logging. Dimana penyidik sering mengalami hambatan

yang menimbulkan kekacauan dalam proses berlangsungnya penyidikan.

Terkait dengan apa yang dijelaskan diatas, maka salah satu contoh

yaitu kasus pembalakan liar (illegal logging) yang terjadi di Kabupaten

Maluku Tengah. Berdasarkan putusan pengadilan negeri masohi Nomor.

17/Pid.B/LH/2020/PN. Msh yang didakwakan kepada Hasanudin alias Uding,

tepatnya di kawasan hutan Negeri Solea, Kecamatan Seram Utara. Pekerjaan

penebangan pohon yang dilakukan oleh terdakwa dihentikan dan tidak

dilanjutkan setelah adanya temuan pelanggaran oleh Tim Patroli pengamanan

kawasan balai Taman Nasional Manusela karena diduga pekerjaan

penebangan pohon tersebut telah masuk ke kawasan Taman Nasional

Manusela dan ternyata mekanisme penebangan dan pengolalahannya tidak

sesuai dengan ketentuan atau aturan yang berlaku. kasus tersebut kemudian

ditindaklanjuti hingga akhirnya sampai pada proses penyidikan yang

dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Balai Pengamanan dan

Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BPPHLHK) wilayah

Maluku Papua yang bekerja sama dengan pihak Kepolisian Resort Maluku

Tengah. Selama proses penyidikan berlangsung dalam batas waktu yang telah

ditentukan, hasil penyidikan tersebut dinyatakan tidak lengkap oleh pihak

Kejaksaan Maluku Tengah sehingga keseluruhan proses penyidikan

9

selanjutnya diambil alih oleh pihak Kejaksaan Negeri Maluku Tengah untuk

ditindaklanjuti.

Berdasarkan latar belakang masalah yang dipaparkan di atas tersebut,

maka penulis melakukan penelitian dengan judul Hambatan Penyidikan

Dalam Tindak Pidana Pembalakan Liar Oleh Penyidik Pegawai Negeri

Sipil (PPNS) Kehutanan (Studi Kasus pada Balai Pengamanan dan

Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Maluku Papua).

B. Rumusan Masalah

1. Apa saja hambatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan

dalam melakukan penyidikan terkait kasus illegal logging ?

2. Bagaimana Upaya dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut ?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan dari penulisan ini adalah :

1. Untuk mengetahui hambatan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

dalam melakukan penyidikan terkait kasus ilegal loging dan upaya

dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

2. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada Fakultas

Hukum Universitas Pattimura.

D. Kegunaan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang telah diuraikan, maka manfaat yang

akan dicapai yaitu :

10

1. Dapat menjelaskan hambatan-hambatan yang ditemui oleh PPNS

Kehutanan terkait penyidikan dalam kasus ilegal loging dan upaya

dalam mengatasi hambatan-hambatan tersebut.

2. Sebagai suatu bentuk pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum

khususnya pada hukum pidana terkait Kewenangan Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan berdasarkan UU Nomor 18 Tahun

2013.

E. Kerangka Konseptual

Penegakan hukum adalah keseluruhan dari para pelaksana penegak

hukum ke arah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap

harkat dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman dan kepastian

hukum sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Penegakan hukum

pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan

(politik kriminal). Kebijakan untuk melakukan penanggulangan kejahatan

termasuk dalam “kebijakan kriminal”, yang mana kebijakan kriminal tidak

lepas dari kebijakan social yang terdiri dari upaya-upaya untuk

mensejahterakan social dan kebijakan bagi perlindungan masyarakat.7

Sudarto berpendapat bahwa “Penegakan hukum bidangnya luas

sekali, tidak hanya bersangkut- paut dengan tindakan-tindakan apabila

sudah ada atau ada persangkaan telah terjadi kejahatan, akan tetapi juga

menjaga kemungkinan akan terjadinya kejahatan. Yang terakhir ini adalah

masalah prevensi dari kejahatan. Kalau prevensi diartikan secara luas

7 Nawawi Arief, Barda, 2008, Masalah Penegakan Hukum Pidana dalam

Penanggulangan kejahatan, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hlm 77.

11

maka banyak badan atau fihak yang terlibat di dalamnya, ialah pembentuk

Undang-Undang, polisi, kejaksaan, pengadilan, pamong- praja dan

aparatur eksekusi pidana serta orang-orang biasa. Proses pemberian pidana

di mana badan-badan ini masing-masig mempunyai perananya dapat

dipandang sebagai upaya untuk menjaga agar orang yang bersangkutan

serta masyarakat pada umumnya tidak melakukan tindak pidana.8

Penegakan hukum juga merupakan suatu upaya untuk

menanggulangi kejahatan secara rasional, memenuhi rasa kemanusiaan

dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia mengingat hukum merupakan

panglima tertinggi di Indonesia maka dari itu setiap tindak kejahatan yang

terjadi harus mampu diselesaikan secara tepat dan baik.

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa ada beberapa faktor yang

mempengaruhi penegakan hukum, yaitu:

a. Faktor hukum.

b. Faktor penegak hukum.

c. Faktor sarana atau fasilitas.

d. Faktor masyarakat.

e. Faktor kebudayaan.

Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, karena

merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolok ukur

daripada Efektifitas hukum. Teori penegakan hukum yang dikemukakan

8 Sudarto, 2010, Kapita Selekta Hukum Pidana,Penerbit P.T. ALUMNI,

Bandung, hlm 113.

12

oleh Soejono Soekanto. Secara konseptual inti dan arti penting penegakan

hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang

terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap dan sikap tindakan

sebagai rangkaian penjabaran nilai untuk menciptakan, memelihara

Penegakan bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang

undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya

adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. 9

Salah satu sektor yang harus menjadi prioritas dan mendapat

perhatian lebih dalam penegakan hukum adalah sektor kehutanan. hutan

Indonesia merupakan hutan tropis terbesar ketiga di dunia. Dengan ukuran

yang besar, hutan Indonesia berfungsi sebagai paru-paru dunia yang bisa

menyerap pencemaran udara seperti emisi karbondioksida. Sayangnya,

hutan Indonesia sedang berada dalam ancaman besar terutama dalam

kegiatan manusia yang illegal.10

Undang-Undang No. 28 Tahun 1985 adalah Undang-Undang yang

mengatur tentang perlindungan hutan. Seperti halnya Undang-Undang

Nomor 41 Tahun 1999, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1985

mempunyai tujuan untuk menjaga kelestarian hutan agar dapat memenuhi

fungsinya. Namun pada realitanya yang terjadi saat ini sungguh tidak

sesuai dengan tujuan yang telah dicita-citakan dalam kedua Undang-

9 Soejono Soekanto, 1983, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan

Hukum. Raja Grafindo tersada, Jakarta, hlm 5.

10 Sukan Husin, 2009, Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Cetakan

Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 45.

13

Undang tersebut. menurut laporan terakhir saat ini Indonesia merupakan

salah satu negara dengan tingkat kerusakan hutan tertinggi di dunia. di

Indonesia berdasarkan penafsiran citra landsat Tahun 2000 terdapat 101,73

juta ha dan lahan rusak diantaranya seluas 59,62 juta ha berada dalam

kawasan hutan. berarti saat ini Indonesia telah kehilangan hutan aslinya

sebesar 72 persen. 11

Salah satu bentuk kerusakan hutan yang seringkali di Indonesia

adalah pembalakan liar (Illegall logging). Pembalakan liar adalah kegiatan

penebangan, pengangkutan dan penjualan kayu yang merupakan bentuk

ancaman faktual disekitar perbatasan yang tidak sah atau tidak memiliki

izin dari otoritas setempat.

Rumusan definisi Tindak Pidana Illegal logging secara eksplisit

tidak ditemukan dalam pasal-pasal UU No. 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan, dan selama ini Illegal logging di identikkan dengan tindakan

atau perbuatan yang berakibat merusak hutan, untuk itu mengenai

perusakan hutan hal ini ditegaskan dalam Pasal 50 ayat (2) Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Perusakan hutan

menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 tahun 1999 dalam

penjelasan Pasal 50 ayat (2), yaitu bahwa : “Yang dimaksud dengan

kerusakan adalah terjadinya perubahan fisik, sifat fisik atau hayatinya,

11 Ali Yafie, Merintis Fiqh, 2003, Lingkungan Hidup, Ufuk Press, Jakarta, hlm

150.

14

yang menyebabkan hutan tersebut terganggu atau tidak dapat berperan

sesuai dengan fungsinya.”

Haryadi Kartodiharjo berpendapat bahwa, illegal logging

merupakan penebangan kayu secara tidak sah dan melanggar peraturan

perundang- undangan, yaitu berupa pencurian kayu didalam kawasan

hutan Negara atau hutan hak (milik) dan atau pemegang ijin melakukan

penebangan lebih dari jatah yang telah ditetapkan dalam perizinan.

Menurut aspek simplikasi semantik diartikan sebagai praktek penebangan

liar, sedangkan dari aspek integratif diartikan sebagai praktek pemanenan

kayu beserta proses-prosesnya secara tidak sah atau tidak mengikuti

prosedur dan tata cara yang telah ditetapkan.12

FWI (Forest Watch Indonesia) dan GFW (Global Forest Watch)

berpendapat bahwa illegal logging dibagi menjadi dua yaitu, pertama:

yang dilakukan oleh operator sah yang melanggar ketentuan-ketentuan

dalam izin yang dimilikinya. Kedua: melibatkan pencuri kayu, pohon-

pohon ditebang oleh orang yang sama sekali tidak mempunyai hak legal

untuk menebang pohon. Dari pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa

kegiatan illegal logging akan berdampak sangat serius terhadap kerusakan

lingkungan.13

12 Haryadi Kartodiharjo, 2003. Modus Operandi, Scienttific Evidence dan Legal

Evidence dalam Kasus Illegal logging, Makalah yang disampaikan dalam Pelatihan

Hakim Penegakan Hukum Lingkungan yang diselenggarakan oleh ICEL bekerjasama

dengan Mahkamah Agung RI, Jakarta.

13 Supriadi, 2010, Hukum Hutan dan Hukum Perkebunan di Indonesia, Sinar

Grafika, Jakarta, hlm 34.

15

Nurkhin berpendapat bahwa akibat dari illegal loging tidak hanya

mengancam pelestarian hutan produksi tetapi yang lebih memprihatinkan

adalah terjadinya kerusakan pada hutan-hutan yang mempunyai fungsi

lindung.

Masalahnya lagi adalah deteksi pembalakan liar oleh pemerintah

tidak sempurna atau berjalan kurang baik ditambah dengan biaya

deteksinya yang mahal.14

Masalah seperti Kerusakan hutan memberikan konsekuensi yang luas

terhadap sumberdaya air, produktivitas pertanian, dan membawa ancaman

terhadap lingkungan hidup yang tidak terbatas pada wilayah administratif

dimana hutan tersebut berada.

Semakin banyaknya kasus illegal loging yang terjadi maka pihak

penegak hukum juga dituntut harus mampu dalam menyelesaikan setiap

kasus ilegal loging yang terjadi. Dalam hal ini merujuk pada penyidik

Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan.

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kehutanan menurut Pasal 1

angka 3 Peraturan Pemerintah No 45 Tahun 2004 adalah pejabat pegawai

negeri sipil tertentu dalam lingkup instansi kehutanan pusat dan daerah

yang oleh undang-undang diberi wewenang khusus penyidikan dibidang

kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

14 Suwarno, 2012, Dampak Larangan Illegal Logging dan Illegal Nining

terhadap pendapatan masyarakat Daerah pemekaran, Universitas Palangkaraya,

Indonesia, http://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/jejak.

16

Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil kehutanan diberi wewenang

khusus oleh Undang-undang yaitu pasal 77 ayat (1) Undang-undang No.

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang berbunyi: “Selain Pejabat

Penyidik Kepolisian Republik Indonesia, Pejabat Pegawai Negeri Sipil

tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan

hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud

dalam Kitab Undang- undang Hukum Acara Pidana.”

Proses Penyidikan merupakan satu bagian yang sangat penting

dalam proses penyelesaian suatu tindak pidana. Dasar Hukum mengenai

kewenangan yang dimiliki oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS)

Kehutanan dalam menangani tindak pidana illegal logging sudah sangat

jelas. meskipun demikian dalam implementasinya Penyidik Pegawai

Negeri Sipil (PPNS) Kehutanan seringkali terhambat dalam menuntaskan

proses penyidikan Sehingga membuat proses penyelesaian kasus illegal

loging juga ikut terhambat.

Salah satu faktor penghambat dalam proses penyidikan kasus

illegal logging yang sering dijumpai adalah faktor sarana dan fasilitas.

Hambatan yang dihadapi PPNS Kehutanan yang berkaitan dengan sarana

atau fasilitas adalah minimnya sarana dan fasilitas yang mendukung proses

penyidikan dan tidak teralokasinya anggaran yang memadai untuk

kepentingan penyidikan, mulai dari kegiatan operasional, upaya paksa,

17

pengangkutan sampai dengan pengamanan dan penghitungan barang bukti

yang membutuhkan biaya yang cukup tinggi.15

Faktor di atas merupakan suatu gambaran besar tentang hambatan

yang dialami oleh Penyidik Pegawai negeri sipil (PPNS) Kehutanan dalam

proses penyidikan kasus illegal loging. Dengan demikian, proses

penyidikan yang terhambat juga akan turut berdampak terhadap

penyelesaian kasus illegal loging tersebut sehingga mengakibatkan

lambannya proses penegakan hukum.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian, tipe

penelitian, sumber bahan hukum, Teknik Pengumpulan Bahan Hukum,

Analisa Bahan Hukum, dan Sistematika Penulisan sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan yaitu bersifat Deskriptif Analitis.

Deskriptis Analitis yang dimaksud adalah dengan menggunakan

pendekatan yuridis normatif dirumuskan dengan hasil penelitian

kepustakaan, sehingga dengan hasil diskriptif tersebut akan ditarik

kesimpulan dan dilengkapi dengan saran-saran.16

2. Pendekatan Masalah

a. Pendekatan Undang-undang

15 https://media.neliti.com/media/publications/210011-penegakan-hukum-terhadap-

tindak-pidana-i.pdf

16 Johnny Ibrahim, 2005, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Bayumedia, Malang, hlm 57.

18

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua peraturan

prundang-undangan yang bersangkut paut dengan permasalahan (isu

hukum) yang sedang dihadapi. Pendekatan perundang-undangan ini

misalnya dilakukan dengan mempelajari konsistensi/kesesuaian antara

Undang-Undang Dasar dengan Undang-Undang, atau antara Undang-

Undang yang satu dengan Undang-Undang yang lain.

3.. Sumber Bahan Hukum

Bahan hukum yang dipakai yaitu bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, dan bahan hukum tersier:

a) Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif

berupa peraturan perundang-undangan17:

1. Undang-Undang Dasar 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan.

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang

tidak terlepas dengan ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara

Republik Indonesia. Perkap Nomor 6 Tahun 2019 tentang

penyidikan tindak pidana.

b) Bahan hukum sekunder yaitu:

17 Peter Mahmud marzuki, 2006, Penelitian Hukum, Yuridika, Jakarta,, hlm 42.

19

Merupakan bahan hukum yang bersifat membantu atau menunjang

bahan hukum primer dalam penelitian yang akan memperkuat

penjelasan didalamnya, bahan-bahan hukum sekunder yaitu:

1) Buku-buku ilmiah yang terkait

2) Hasil penelitian.

3) Dokumen-dokumen.

4) Pendapat para ahli.

4. Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

Adapun prosedur pengumpulan bahan hukum dalam penelitian ini adalah

Studi pusataka, yaitu mempelajari dan menganalisis, secara sistematis

buku-buku, makalah ilmiah, dan melakukan penelusuran di internet.

Teknik pengumpulan bahan hukum ini lakukan untuk menghimpun bahan

sekunder yang dijadikan bahan penunjang dalam penelitian.18

5. Pengolahan Analisa Bahan Hukum

Dalam penelitian bersifat yuridis normatif ini, pengolahan data dilakukan

dengan cara mensistematika terhadap bahan-bahan hukum tertulis.19

Sistematis yang berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum

tersebut untuk memudahkan pekerjaan analisis konstruksi. Kegiatan yang

dilakukan dalam analisis data penelitian hukum normatif dengan cara data

yang diperoleh di analisa secara deskriptif kualitatif atau analisa data yang

tidak dapat dihitung. Dengan penarikan kesimpulan secara deduktif atau

18 Zainudin Ali, 2009, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, hlm

42. 19 Ashshfa Burhan, 2001, Metode Penelitian Hukum, Rineka Cipta, Jakarta , hlm

13.

20

penarikan kesimpulan yang proporsinya telah diketahui dan berakhir pada

suatu kesimpulan atau pengetahuan baru yang bersifat lebih khusus.

Sehingga akan dapat menjelaskan jawaban terhadap permasalahan yang

telah diteliti.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan hukum ini terdiri dari empat (4) bab, yaitu

pendahuluan, pembahasan rumusan masalah pertama, pembahasan

rumusan masalah kedua dan penutup, ditambah dengan daftar pustaka

yang disusun dengan sistematika sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN Dalam Bab ini secara terperinci menguraikan

mengenai latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan,

manfaat penulisan, metode penelitian yang digunakan, dan yang terakhir

adalah sistematika penulisan skripsi yang memberikan pemahaman

terhadap isi dari penelitian secara garis besar.

BAB II : TINJAUAN PUSTAKA yang terdiri dari sub pokok bahasan

yaitu ruang lingkup tindakan pidana pembalakan liar, penyidikan tindak

pidana pembalakan liar, dan mekanisme penyidikan pada perkara

pembalakan liar.

BAB III : HASIL DAN PEMBAHASAN yang terdiri dari sub pokok

bahasan antara lain, Krronologis Kasus, hambatan dalam tindak pidana

pembalakan liar oleh PPNS Kehutanan, dan upaya penegakan hukum

terhadap tindak pidana illegal logging

21

BAB IV : PENUTUP Dalam Bab ini akan dikemukakan mengenai

kesimpulan yang diperoleh dari penelitian yang telah dilakukan, serta

dikemukakan saran yang relevan dari peneliti.

DAFTAR PUSTAKA


Recommended