+ All Categories
Home > Documents > Bahan Skripsi

Bahan Skripsi

Date post: 08-Mar-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
32
Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KEWENANGAN PENUNTUTAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA1 Oleh: Rangga Trianggara Paonganan2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana kedudukan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia dan bagaimanakah kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dikaitkan dengan kewenangan penuntutan yang dimiliki Kejaksaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia. Berdasarkan metode penelitisan yuridis normatif disimpulkan bahwa: 1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaganegarayangsifatnya konstitusional walaupun tidak disebutkan secara jelas dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945. KPK dibentuk dengan melihat sifat dari korupsi itu sendiri yaitu merupakan kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan suatu lembaga yang independen untuk memberantas korupsi di Indonesia. Latar belakang terbentuknya KPK bukanlah karena desain konstitusional yang diartikan secara kaku, tetapi lebih kepada isu insidentil dalam negara dan kehendak bersama dari bangsa Indonesia untuk memerangitindakpidanakorupsi. Kedudukan KPK sebagai salah satu lembaga negara bantu adalah independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun, hal ini dimaksudkan agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari pihak manapun. Terbentuknya KPK juga merupakan jawaban atas tidak efektifnya kinerja lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang terkesan berlarut-larut dalam penanganannya bahkan terindikasi ada 1 2 unsur korupsi dalam penanganan kasusnya. 2. Kewenangan penuntutan yang diberikan oleh UU kepada KPK merupakan kewenangan yang sah. UU tentang Kejaksaan RI merupakan UU yang mengatur secara umum keberadaan dan kewenangan Jaksa dan UU Kejaksaan tersebut dapat dikesampingkan dengan UU KPK yang merupakan aturan khusus. Kewenangan penuntutanpadaKPKadalah konstitusional, hal ini dipertegas dengan sejumlahputusandariMahkamah Kontitusi. Kewenangan penuntutan tidak
Transcript

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 KEWENANGAN PENUNTUTAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANANTINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA1 Oleh: Rangga Trianggara Paonganan2 ABSTRAKTujuan dilakukannya penelitian ini adalahuntuk mengetahui bagaimana kedudukanKomisi Pemberantasan Korupsi dalamsistem ketatanegaraan Indonesia danbagaimanakah kewenangan penuntutanKomisi Pemberantasan Korupsi dikaitkandengan kewenangan penuntutan yangdimiliki Kejaksaan dalam penangananperkara tindak pidana korupsi di Indonesia.Berdasarkan metode penelitisan yuridisnormatif disimpulkan bahwa: 1. KomisiPemberantasan Korupsi (KPK) adalahlembaganegarayangsifatnyakonstitusional walaupun tidak disebutkansecara jelas dalam konstitusi negara yaituUUD 1945. KPK dibentuk dengan melihatsifat dari korupsi itu sendiri yaitumerupakan kejahatan luar biasa, sehinggadiperlukan suatu lembaga yang independenuntuk memberantas korupsi di Indonesia.Latar belakang terbentuknya KPK bukanlahkarena desain konstitusional yang diartikansecara kaku, tetapi lebih kepada isuinsidentil dalam negara dan kehendakbersama dari bangsa Indonesia untukmemerangitindakpidanakorupsi.Kedudukan KPK sebagai salah satu lembaganegara bantu adalah independen dan bebasdari pengaruh kekuasaan manapun, hal inidimaksudkan agar dalam memberantaskorupsi KPK tidak mendapatkan intervensidari pihak manapun. Terbentuknya KPKjuga merupakan jawaban atas tidakefektifnya kinerja lembaga penegak hukumselama ini dalam memberantas korupsi,yang terkesan berlarut-larut dalampenanganannya bahkan terindikasi ada12

unsur korupsi dalam penanganan kasusnya.2. Kewenangan penuntutan yang diberikanoleh UU kepada KPK merupakankewenangan yang sah. UU tentangKejaksaan RI merupakan UU yang mengatursecara umum keberadaan dan kewenanganJaksa dan UU Kejaksaan tersebut dapatdikesampingkan dengan UU KPK yangmerupakan aturan khusus. KewenanganpenuntutanpadaKPKadalahkonstitusional, hal ini dipertegas dengansejumlahputusandariMahkamahKontitusi. Kewenangan penuntutan tidak

dapat dimonopoli oleh Kejaksaan, denganmelihat bahwa Kejaksaan masih beradadalamlingkupeksekutif/pemerintahsehinggaindependensinyamasihdipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dariJaksaAgungyangdiangkatdandiberhentikan oleh Presiden, sehinggadapat memungkinkan adanya intervensipolitik.Sehingga kewenangan penuntutanyang ada pada KPK sudah tepat karenalembaga ini bergerak secara independentanpa intervensi kekuasaan manapun.Kata kunci: komisi pemberantasan korupsiPENDAHULUANA. LATAR BELAKANG PENULISAN Persoalan yang timbul dan menjadipertanyaan yang sangat mendasar padasaat proses penyusunan Draft RancanganUndang-Undang KPK adalah apakah masihrelevan untuk membentuk KPK karenalembaga penegakan hukum untuk tujuanyang sama sudah ada sejak lama, yaituKepolisiandanKejaksaan.Apalagipengambilalihan wewenang oleh KPKterhadap kewenangan yang dimiliki olehKepolisian dan Kejaksaan merupakan halbaru dalam sistem peradilan di Indonesia.Mekanisme kewenangan KPK yang dianutoleh Indonesia sangat berbeda apabiladibandingkandengannegara-negaratetangga seperti Hongkong, Malaysia,Singapura, dan Australia. Perbedaantersebut adalah bahwa KPK berwenang21Artikel skripsi.NIM: 070711360.

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013untuk melakukan penyelidikan, penyidikandan penuntutan. Sedangkan di negara-negara tetangga hal tersebut hanyadilakukan sebatas kewenangan untukmelakukan penyelidikan dan penyidikan,karena tugas dan wewenang penuntutantetap dimiliki oleh pihak Kejaksaan.3B. PERUMUSAN MASALAHa. BagaimanakahkedudukanKomisi Pemberantasan Korupsi dalam sistem ketatanegaraan Indonesia?b. Bagaimanakah kewenangan penuntutan Komisi Pemberantasan Korupsi dikaitkan dengan kewenangan penuntutan yang dimiliki Kejaksaan dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia?C. METODE PENILITIAN Untuk menghimpun bahan yangdipergunakan guna penyusunan danpembahasan permasalahan dalam skripsiini,penulismenggunakanmetodepenelitian yuridis normatif.TINJAUAN PUSTAKAA. PENGERTIAN KORUPSI Kata korupsi berasal dari bahasa latinyaitu corruptio atau corruptus, yangselanjutnya disebutkan bahwa corruptio ituberasal pula dari kata asal corrumpere,suatu kata dalam bahasa latin yang lebihtua. Dari bahasa latin itulah turun kebanyak bahasa Eropa seperti Inggris, yaitucorruption,corrupt;Prancis,yaitucorruption; dan Belanda, yaitu corruptie(korruptie), dapat atau patut diduga istilahkorupsi berasal dari bahasa Belanda danmenjadi bahasa Indonesia yaitu korupsi.4B. SISTEM PERADILAN PIDANA Istilah Criminal Justice System atauSistem Peradilan Pidana (SPP) menunjukkanmekanisme kerja dalam penanggulangankejahatan dengan menggunakan dasarpendekatan sistem. Remington dan Ohlin mengemukakanbahwa Criminal Justice System dapatdiartikan sebagai pemakaian pendekatansistem terhadap mekanisme administrasiperadilan pidana. Sebagai suatu sistem,peradilan pidana merupakan hasil interaksiantara peraturan perundang-undangan,praktik administrasi dan sikap atau tingkahlaku sosial. Pengertian sistem itu sendirimengandung implikasi suatu prosesinteraksi yang dipersiapkan secara rasionaldan dengan cara efisien untuk memberikanhasiltertentudengansegala

keterbatasannya.PEMBAHASANA. KEDUDUKANKOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK) DALAM SISTEM KETATANEGARAAN INDONESIA Konsep klasik di banyak negaramengenai pemisahan kekuasaan tersebutdianggap tidak lagi relevan karena tigafungsi kekuasaan yaitu eksekutif, legislatifdan yudikatif tidak mampu menanggungbeban negara dalam menyelenggarakanpemerintahan. Untuk menjawab tuntutantersebut, negara membentuk berbagai jenislembaga negara baru yang diharapkandapat lebih responsif dalam mengatasipersoalan aktual negara. Maka, berdirilahberbagai lembaga negara yang membantutugas lembaga-lembaga negara tersebutyang menurut Jimly Asshidiqie disebutsebagai ”Lembaga Negara Bantu” dalambentuk dewan, komisi, komite, badan,ataupun otorita, dengan masing-masingtugas dan wewenangnya. Beberapa ahlitetap mengelompokkan lembaga negarabantu dalam lingkup eksekutif, namun adapula sarjana yang menempatkannyatersendiri sebagai cabang keempat3 RomliAtmasasmita, Korupsi, Good Governance danKomisi Anti Korupsi di Indonesia, Percetakan NegaraRI, Jakarta, 2002, hlm. 18-19.4 Ibid.,hlm. 23.22

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013kekuasaanpemerintahan.Kehadiranlembaga negara bantu di Indonesiamenjamur pasca perubahan UUD 1945.Berbagai lembaga negara bantu tersebuttidak dibentuk dengan dasar hukum yangseragam. Beberapa di antaranya berdiriatas amanat konstitusi, namun ada pulayang memperoleh legitimasi berdasarkanundang-undangataupunkeputusanpresiden. Salah satu lembaga negara bantuyang dibentuk dengan undang-undangadalah Komisi Pemberantasan Korupsi(KPK). Walaupun bersifat independen danbebas dari kekuasaan manapun, KPK tetapbergantung kepada kekuasaan eksekutifdalamkaitandenganmasalahkeorganisasian, dan memiliki hubungankhusus dengan kekuasaan yudikatif dalamhal penuntutan dan persidangan perkaratindak pidana korupsi.5 Munculnya lembaga negara bantu diIndonesia dimulai dari runtuhnya erapresiden Soeharto. Kemunculan lembagabaru seperti ini pun bukan merupakansatunya-satunya di dunia. Di negara yangsedang menjalani proses transisi menujudemokrasi juga lahir lembaga tambahannegara yang baru. Berdirinya lembaganegara bantu merupakan perkembanganbaru dalam sistem pemerintahan. Teoriklasik triaspolitica sudah tidak dapat lagidigunakan untuk menganalisis relasikekuasaan antar lembaga negara.6 Untuk menentukan institusi mana sajayang disebut sebagai lembaga negara bantudalam struktur ketatanegaraan RI terlebihdahulu harus dilakukan pemilahan terhadaplembaga-lembaga negara berdasarkandasar pembentukannya. Pasca perubahankonstitusi, Indonesia membagi lembaga-56 Arif Wicaksono, Loc.Cit. FarizPradipta, Kedudukan Lembaga NegaraBantudalamSistemHukumKetatanegaraanIndonesia,http://farizpradiptalaw.blogspot.com/2009/12/kedudukan-lembaga-negara-bantu-didalam.html, diaksespada tanggal 26 Februari 2012.lembaga negara ke dalam tiga kelompok.Pertama, lembaga negara yang dibentukberdasar atas perintah UUD Negara RITahun 1945 (constitutionally entrustedpower). Kedua, lembaga negara yangdibentuk berdasarkan perintah undang-undang (legislatively entrusted power). Danketiga, lembaga negara yang dibentuk atasdasar perintah keputusan presiden.

Lembaga negara pada kelompokpertama adalah lembaga-lembaga negarayang kewenangannya diberikan secaralangsung oleh UUD 1945, yaitu Presidendan Wakil Presiden, MPR, DPR, DPD, BPK,MA, MK, dan KY. Selain delapan lembagatersebut, masih terdapat beberapalembaga yang juga disebut dalam UUDNegaraRITahun1945namunkewenangannya tidak disebutkan secaraeksplisit oleh konstitusi. Lembaga-lembagayang dimaksud adalah Kementerian Negara,Pemerintah Daerah, Komisi PemilihanUmum, Bank Sentral, Tentara NasionalIndonesia (TNI), Kepolisian Negara RepublikIndonesia (Polri), dan Dewan PertimbanganPresiden. Satu hal yang perlu ditegaskanadalah kedelapan lembaga negara yangsumber kewenangannya berasal langsungdari konstitusi tersebut merupakanpelaksana kedaulatan rakyat dan beradadalam suasana yang setara, seimbang, sertaindependen satu sama lain. Berikutnya,berdasarkancatatanlembaga swadaya masyarakat KonsorsiumReformasi Hukum Nasional (KRHN), palingtidak terdapat sepuluh lembaga negarayang dibentuk atas dasar perintah undang-undang. Lembaga-lembaga tersebut adalahKomisi Nasional Hak Asasi Manusia(Komnas HAM), Komisi PemberantasanKorupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia(KPI), Komisi Pengawas Persaingan Usaha(KPPU), Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi(KKR), Komisi Nasional Perlindungan AnakIndonesia (Komnas Perlindungan Anak),KomisiKepolisianNasional,KomisiKejaksaan, Dewan Pers, dan Dewan23

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013Pendidikan. Jumlah ini kemungkinan dapatbertambah atau berkurang mengingatlembaga negara dalam kelompok ini tidakbersifat permanen melainkan bergantungpada kebutuhan negara. Misalnya, KPKdibentuk karena dorongan kenyataanbahwa fungsi lembaga-lembaga yang sudahada sebelumnya, seperti Kepolisian danKejaksaan, dianggap tidak maksimal atautidakefektifdalammelakukanpemberantasan korupsi. Apabila kelak,korupsi dapat diberantas dengan efektifoleh Kepolisian dan Kejaksaan, makakeberadaan KPK dapat ditinjau kembali. Sementara itu, lembaga negara padakelompok terakhir atau yang dibentukberdasarkan perintah dan kewenangannyadiberikan oleh Keputusan Presiden antaralain adalah Komisi Ombudsman Nasional(KON), Komisi Hukum Nasional (KHN),Komisi Nasional Antikekerasan terhadapPerempuan (Komnas Perempuan), DewanMaritim Nasional (DMN), Dewan EkonomiNasional (DEN), Dewan PengembanganUsaha Nasional (DPUN), Dewan RisetNasional (DRN), Dewan Pembina IndustriStrategis (DPIS), Dewan Buku Nasional(DBN), serta lembaga-lembaga non-departemen. Sejalan dengan lembaga-lembaga negara pada kelompok kedua,lembaga-lembaga negara dalam kelompokyang terakhir ini pun bersifat sementarabergantung pada kebutuhan negara.7 Lembaga-lembaganegaradalamkelompok kedua dan ketigainilah yangdisebut sebagai lembaga negara bantu.Pembentukan lembaga-lembaga negarayang bersifat mandiri ini secara umumdisebabkan oleh adanya ketidakpercayaanpublik terhadap lembaga-lembaga negarayang ada dalam menyelesaikan persoalanketatanegaraan.Selainitupadakenyataannya, lembaga-lembaga negarayang telah ada belum berhasil memberikanjalan keluar dan menyelesaikan persoalan7

yang ada ketika tuntutan perubahan danperbaikan semakin mengemuka seiringdengan berkembangnya paham demokrasidi Indonesia.8 Beberapa orang sebagai pemohonmengajukan judicial review kepada MKdengan mempersoalkan eksistensi KPKdengan menghadapkan pasal 2, pasal 3,dan pasal 20 UU KPK dengan pasal 1 ayat(3) UUD 1945 tentang negara hukum.Mereka berpendapat bahwa ketiga pasal

UU KPK tersebut bertentangan dengankonsep negara di dalam UUD 1945 yangtelah menetapkan delapan organ negarayang mempunyai kedudukan yang samaatau sederajat yang secara langsungmendapat fungsi konstitusional dari UUD1945 yaitu MPR, Presiden, DPR, DPD, BPK,MA, MK, dan KY. Pembentukan lembaga-lembaga negarabantu tersebut juga harus memilikilandasan pijak yang kuat dan paradigmayangjelas.Dengandemikian,keberadaannya dapat membawa manfaatbagi kepentingan publik pada umumnyaserta bagi penataan sistem ketatanegaraanpada khususnya.9 Ni’matul Huda, mengutip FirmansyahArifin,dkk. dalam bukunya Lembaga Negaradan Sengketa Kewenangan Antar lembagaNegara,mengatakanbahwaaspekkuantitas lembaga-lembaga tersebut tidakmenjadi masalah asalkan keberadaan danpembentukannya mencerminkan prinsip-prinsip sebagai berikut: 1. Prinsipkonstitusionalisme. Konstitusionalisme adalah gagasan yang menghendaki agar kekuasaan para pemimpin dan badan-badan pemerintahan yang ada dapat dibatasi.Pembatasantersebut dapat diperkuat sehingga menjadi suatu mekanisme yang tetap.8Ibid.9Ibid.FahrizPradipta, Loc.Cit.24

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/20132. Prinsip checks and balances. Ketiadaan mekanisme checks and balances dalam sistem bernegara merupakan salah satu penyebab banyaknya penyimpangan di masa lalu. Supremasi MPR dan dominasi kekuatan eksekutif dalam praktik pemerintahanpadamasa prareformasi telah menghambat proses demokrasi secara sehat. Ketiadaan mekanisme saling kontrol antar cabang kekuasaan tersebut mengakibatkan pemerintahan yang totaliter serta munculnya praktik penyalahgunaan kekuasaan atau abuse of power.3. Prinsip integrasi. Selain harus mempunyai fungsi dan kewenangan yang jelas, konsep kelembagaan negara juga harus membentuk suatu kesatuan yang berproses dalam melaksanakanfungsinya. Pembentukan suatu lembaga negara tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkanharusdikaitkan keberadaannya dengan lembaga- lembaga lain yang telah eksis.4. Prinsipkemanfaatanbagi masyarakat.Padadasarnya, pembentukan lembaga negara ditujukanuntukmemenuhi kesejahteraanwarganyaserta menjamin hak-hak dasar warga negara yang diatur dalam konstitusi. Oleh karena itu, penyelenggaraan pemerintahan serta pembentukan lembaga-lembaga politik dan hukum harus mengacu kepada prinsip pemerintahan,yaituharus dijalankan untuk kepentingan umum dan kebaikan masyarakat secara keseluruhan serta tetap memelihara hak-hak individu warga negara.10 Pendapat yang menyatakan bahwakeberadaanKPKdalamsistemketatanegaraanIndonesiaadalahekstrakonstitusional karena lembaga initidak disebutkan dan diatur dalam UUD1945 sebagai konstitusi Indonesia, adalahkeliru. Keberadaan atau terbentuknnya KPKwalaupun tidak disebutkan dalam UUD1945, namun keberadaan KPK secara tegasdiatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun2002 tentang KPK. Pendapattersebutseharusnyamemperhatikan bahwa Indonesia sebagai

negara hukum mengakui keberadaan KPKsebagai salah satu lembaga negara yangsifatnya konstitusional. Penjelasan di atasmemberi arti bahwa KPK sebagai salah satulembaganegaradalamsistemketatanegaraan adalah konstitusional dandibentuk karena adanya realita yang terjadibahwa saat ini masalah korupsi di Indonesiamerupakan masalah yang sangat pentinguntuk diberantas dan diprioritaskanpenanganannya sehingga diperlukan suatulembaga negara bantu seperti KPK untukmenangani dan memberantas masalahkorupsi. KPK dalam melaksanakan tugasnyamempunyai kejelasan yaitu jaksanya adalahjaksa fungsional dari Kejaksaan Agung,hakimnya diangkat oleh Mahkamah Agung,bahkan kasasinya juga ke MahkamahAgung. KPK dan lembaga lain dalam prosesperadilan itu terajut dalam hubunganumum dan khusus.11 Adatigaprinsipyangdapatdipergunakan untuk menjelaskan soaleksistensi KPK. Pertama, dalil yang berbunyisalus populi supreme lex, yang berartikeselamatan rakyat (bangsa dan negara)adalah hukum yang tertinggi. Jikakeselamatan rakyat, bangsa, dan negarasudah terancam karena keadaan yang luarbiasa maka tindakan apapun yang sifatnyadarurat atau khusus dapat dilakukan untuk1110Ibid.Moh. Mahfud MD, Op.Cit., hlm. 197.25

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013menyelamatkannya.Dalamhalini,kehadiran KPK dipandang sebagai keadaandarurat untuk menyelesaikan korupsi yangsudah luar biasa.12 Kedua, di dalam hukum dikenal adanyahukum yang bersifat umum (lex generalis)dan yang bersifat khusus (lex spescialis).13Dalam hukum dikenal asas lex specialisderogate legi generali, yang artinyaundang-undangistimewa/khususdidahulukan berlakunya daripada undang-undang yang umum. 14 Keumuman dankekhususan itu dapat ditentukan olehpembuat UU sesuai dengan kebutuhan,kecuali UUD jelas-jelas menentukan sendirimana yang umum dan mana yang khusus.Dalam konteks ini, KPK merupakan hukumkhusus yang kewenangannya diberikan olehUU selain kewenangan-kewenangan umumyang diberikan kepada Kejaksaan danKepolisian. Ketiga, pembuat UU (badan legislatif)dapat mengatur lagi lanjutan sistemketatanegaraan yang tidak atau belumdimuat di dalam UUD sejauh tidakmelanggar asas-asas dan restriksi yangjelas-jelas dimuat di dalam UUD itu sendiri.Dalam kaitan ini, dipandang bahwakehadiran KPK merupakan perwujudan darihak legislasi DPR dan pemerintah setelahmelihat kenyataan yang menuntut perlunyaitu. Sulit menerima argumen bahwakeberadaan KPK yang di luar kekuasaankehakiman dianggap mengacaukan sistemketatanegaraan, mengingat selama iniKejaksaan dan Kepolisian pun berada di luarkekuasaan kehakiman. Oleh karena UUtelah mengatur hal yang tak dilarang ataudisuruh tersebut maka keberadaan KPKsama sekali tak menimbulkan persoalandalam sistem ketatanegaraan. Tentangpersoalan menimbulkan abuse of power,1213 Ibid. Ibid.14 Adiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, PTIntermesa, Jakarta, Cetakan Pertama, 1977, hlm. 63.justru hal itu tidak relevan jika dikaitkandengan keberadaan KPK, sebab abuse ofpower itu bisa terjadi di mana saja. KPKjustru dihadirkan untuk melawan abuse ofpower yang sudah terlanjur kronis. MengenaifungsiKejaksaandanKepolisian di bidang peradilan, adalah UUyang memberikan fungsi kepada lembaga-

lembaga itu yang bisa dipangkas atauditambah oleh pembuat UU itu sendiri. Jadi,ketentuan ini tak dapat dipersoalkanmelalui judicial review, sebab pembuat UUitu sudah mengaturnyamenjadi seperti itumelalui pengkhususan. Kalau hendakmempersoalkannya, hal itu seharusnyadilakukan melalui legislative review, bukanmelalui judicial review. KPK sebagai lembaga pemberantaskorupsi yang diberikan kewenangan yangkuat bukan berada di luar sistemketatanegaraan, tetapi justru ditempatkansecarayuridisdidalamsistemketatanegaraan yang rangka dasarnyasudah ada di dalam UUD 1945. KPK jugatidak mengambil alih kewenangan lembagalain, melainkan diberi atau mendapatkewenangan dari pembuat UU sebagaibagian dari upaya melaksanakan perintahUUD 1945 di bidang penegakan hukum,peradilan, dan kekuasaan kehakiman. BahwakeberadaanKPKitukonstitusional, hal itu dapat didasarkan jugapada cakupan konstitusi tertulis yangmenurut teori mencakup UUD (sebagaidokumenkhusus)danperaturanperundang-undangan (sebagai dokumentersebar)mengenaipengorganisasiannegara. Dari cakupan pengertian ini, makakehadiran KPK adalah konstitusional karenabersumber dari salah satu dokumentersebar sebagai bagian dari konstitusi yangsama sekali tidak bertentangan dengandokumen khususnya.15 KPK dibentuk sebagai lembaga negarabantu karena adanya isu insidentil15Moh. Mahfud MD, Op.Cit., hlm. 197-198.26

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013menyangkut korupsi di Indonesia pasca eraOrde Baru. KPK merupakan aplikasi bentukpolitik hukum yang diberikan kewenanganoleh UUD 1945 kepada badan legislatifsebagai pembuat UU.B. KEWENANGAN PENUNTUTAN KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DIKAITKAN DENGAN KEWENANGAN PENUNTUTAN KEJAKSAAN DALAM PENANGANAN TINDAKPIDANAKORUPSIDI INDONESIA Eksistensi kewenangan Kejaksaan untukmelakukan penuntutan dalam sistemhukum nasional dapat dilihat dari berbagaiaturan sebagai berikut : 1. Undang-undang Dasar 1945 yang mengatursecaraimplisit keberadaan Kejaksaan RI dalam sistem ketatanegaraan, sebagai badanyangterkaitdengan kekuasaan kehakiman (vide Pasal 24 ayat 3 UUD 1945 jo. Pasal 41 UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman), dengan fungsi yang sangatdominansebagai penyandangasasdominuslitis, pengendali proses perkara yang menentukandapattidaknya seseorangdinyatakansebagai terdakwadandiajukanke Pengadilan berdasarkan alat bukti yang sah menurut Undang-undang, dan sebagai executive ambtenaar pelaksana penetapan dan keputusan pengadilan dalam perkara pidana. 2. Pasal 13 KUHAP yang menegaskan bahwa Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk melakukan penuntutan. 3. Pasal 2 UU No. 16 Tahun 2004 tentangKejaksaanRIyang menempatkan posisi dan fungsi kejaksaan dengan karakter spesifik dalam sistem ketatanegaraan yaitu sebagai lembaga pemerintah yangmelaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan secara bebasdari pengaruh kekuasaan pihakmanapun.16 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RepublikIndonesia dengan tegas menyebutkanbahwaKejaksaanadalahlembagapemerintahanyangmelaksanakankekuasaan negara di bidang penuntutan

serta kewenangan lain berdasarkanundang-undang. Selain ituPasal 30 ayat (1)huruf a memberikan tugas dan wewenangkepada Kejaksaan untuk melakukanpenuntutan di bidang pidana, termasuktentunyakewenanganpenuntutanterhadap tindak pidana korupsi. Tumpang tindih kewenangan dalam halsiapa yang berwenang untuk melakukanpenuntutan terhadap tindak pidana korupsimuncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Pasal 26 undang-undang inimenyebutkanbahwa penyidikan, penuntutan, danpemeriksaan di sidang Pengadilan terhadaptindakpidanakorupsi,dilakukanberdasarkan hukum acara pidana yangberlaku, kecuali ditentukan lain olehundang-undang ini. Hal ini juga samadengan rumusan Pasal 39 Undang-UndangNomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi yangmenyebutkanbahwapenyelidikan,penyidikan, dan penuntutan tindak pidanakorupsi dilakukan berdasarkan hukum acarapidana yang berlaku dan berdasarkanUndang-Undang Nomor 31 Tahun 1999yang telah diubah menjadi Undang-UndangNomor20Tahun2001tentangPemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Secaragramatikalartikalimatberdasarkan hukum acara pidana yangberlaku merujuk kepada Undang-Undang16Pusat LitbangKejaksaan Agung R.I, Loc.Cit.27

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP,karena selain KUHAP tidak ada lagi hukumacara pidana lain yang berlaku di Indonesiasecara umum. Hal tersebut berarti bahwaterhadap tindak pidana korupsi, harusdilakukan penuntutan menurut pasal 137sampai 144 KUHAP oleh penuntut umumyaitu jaksa. Adapun pengertian jaksa menurut Pasal1 angka1 Undang-Undang Nomor 16 Tahun2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkanbahwa jaksa adalah pejabat fungsional yangdiberi wewenang oleh undang-undanguntuk bertindak sebagai penuntut umumdan pelaksana putusan pengadilan yangtelah memperoleh kekuatan hukum tetapserta wewenang lain berdasarkan undang-undang. Lebih lanjut dijelaskan mengenaijabatan fungsional jaksa dalam angka 4adalah jabatan yang bersifat keahlian teknisdalam organisasi Kejaksaan yang karenafungsinyamemungkinkankelancaranpelaksanaan tugas Kejaksaan. KUHAP tidakmemberikan pengertian tentang jaksa, jadidapat disimpulkan bahwa yang dimaksuddengan jaksa dalam KUHAP adalah apayang disebutkan dalam Undang-UndangKejaksaan RI, di mana jaksa yang dimaksudberada dalam lingkup organisasi Kejaksaan. Bahwa selanjutnya terjadi tumpangtindih konsepsi yang berhubungan dengantugasdankewenanganKejaksaandisebabkan karena beberapa faktor yaitu:1. Sistem peradilan pidana terpadu yang dianut dalam KUHAP menimbulkan permasalahan sehubungan dengan kewenangan penuntutan Kejaksaan dan sub-sistem penegakan hukum lainnya yaitu Kepolisian dalam hal penyidikan dan Pengadilan dalam proses peradilan.2. Kedudukan Kejaksaan dalam konteks hukum nasional berdasarkan Undang- Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menempatkan lembaga ini berada di lingkungan eksekutif yang menyebabkan Kejaksaan tidak mandiri dan independen.283. Pengurangandanpembatasan kewenangan oleh Undang-Undang, baik di bidang penyidikan maupun dalam bidang penuntutan. Hal ini dapat dilihat denganterbentuknyaKomisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berdasarkan Keppres No 266/M/2003 sebagai tindak lanjut Undang-Undang

No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Selain Kejaksaan, ternyata KPK jugamemiliki kewenangan untuk melakukanpenuntutan terhadap tindak pidanakorupsi. Hal tersebut dapat dilihat dalamrumusan Pasal 6 huruf c Undang-UndangNomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak PidanaKorupsi, yaituKPK mempunyai tugas melakukan tindakanpenyelidikan, penyidikan, dan penuntutanterhadap tindak pidana korupsi. Rumusanpasal ini jelas bahwa KPK juga berwenangmelakukan tindakan penuntutan terhadaptindak pidana korupsi. Namun, UU KPK tersebut memberikankualifikasi terhadap tindak pidana korupsimana saja yang dapat ditangani oleh KPK.Sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal11 UU KPK bahwa dalam melaksanakantugasnya, KPK berwenang untuk melakukanpenuntutan terhadap tindak pidanakorupsi: Yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; Mendapatkanperhatianyang meresahkan masyarakat; Menyangkut kerugian negara paling sedikit satu miliar rupiah.17 Kualifikasi tersebut mengandung artibahwa apabila suatu tindak pidana korupsimasuk dalam rumusan dari pasal tersebut,maka KPK yang berwenang untuk17Lihat Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013melakukan tindakan penuntutan. Namun,dalam beberapa kasus korupsi di Indonesiayang nilai kerugian negara ditafsirkan diatas satu milyar rupiah serta melibatkanpenyelenggara negara dalam hal inipemerintah (sesuai dengan kualifikasi pasal11 KPK), penuntutan terhadap perkarakorupsi tersebut malah ditangani olehKejaksaan, bukan KPK. Contohnya, kasusyangmelibatkanEllyLasut,BupatiKepulauan Talaud Sulawesi Utara, dalamkasus Surat Perintah Perjalanan Dinas(SPPD) fiktif senilai 7,7 milyar rupiah sertakasus Gerakan Daerah Orang Tua Asuh(GDOTA) senilai 1,5 milyar rupiah. Perkarakorupsi yang melibatkan penyelenggaranegara tersebut tindakan penuntutannyadilakukan oleh Kejaksaan bukan oleh KPK.Hal seperti ini menimbulkan suatuketidakjelasan dan ketidakpastian hukumdalam hal siapa sebenarnya yangberwenang untuk melakukan penuntutanterhadap tindak pidana korupsi. Berdasarkan contoh kasus tersebutseharusnya ada pemisahan yang jelasantara tugas dan wewenang KPK danKejaksaan dalam menangani tindak pidanakorupsi, secara khusus dalam halpenuntutan. Jangan sampai terkesanbahwa lembaga satu mengambil alihkewenangan lembaga lainnya. Hal tersebutdimaksudkan agar adanya penjernihanfungsi yang bertujuan untuk menghilangkankekacauan dan tumpang tindih fungsi danwewenang penuntutan. Selain itu denganadanya spesifikasi yang jelas dalamwewenang untuk melakukan penuntutanakan lebih memberikan dan menjaminterwujudnya suatu kepastian hukum,sehingga hasil yang didapatkan akan lebihefektif dan maksimal. Kewenangan KPK untuk melakukanpenuntutan terhadap tindak pidana korupsilebih diperluas lagi dengan wewenanguntuk mengambil alih penuntutan terhadaptindak pidana korupsi. Hal ini didasarkanpada tugas KPK sebagaimana yang diaturdalam Pasal 6 huruf b UU KPK, yangberbunyi KPK mempunyai tugas supervisiterhadapinstansiyangberwenangmelakukan pemberantasan tindak pidanakorupsi.Selanjutnya, dalam melaksanakantugas supervisi tersebut, KPK berwenangmelakukan pengawasan, penelitian, ataupenelaahan terhadap instansi yangmenjalankan tugas dan wewenangnya yang

berkaitan dengan pemberantasan tindakpidana korupsi, dan instansi yang dalammelaksanakan pelayanan publik.18 KPK dalam melaksanakan wewenangnyaberwenanguntukmengambilalihpenuntutan terhadap pelaku tindak pidanakorupsi yang sedang dilakukan oleh pihakKejaksaan, dengan alasan bahwa prosespenanganan tindak pidana korupsi secaraberlarut-larut atau tertunda-tunda tanpaalasan yang dapat dipertanggungjawabkan,penanganantindakpidanakorupsimengandung unsur korupsi, hambatanpenanganan tindak pidana korupsi karenacampur tangan dari eksekutif, yudikatif danlegislatif, atau keadaan lain yang menurutpertimbanganKejaksaanpenanganantindak pidana korupsi sulit dilaksanakansecarabaikdandapat 19dipertanggungjawabkan. Undang-Undang KPK tidak memberikandefinisi tentang penuntutan, dengandemikian maka pengertian tentangpenuntutan mengacu pada KUHAP sebagaihukum acara pidana yang bersifat umum.Undang-Undang KPK tersebut hanyamengatur tentang kewenangan KPK untukmelakukan penuntutan, yang manadilakukan oleh Penuntut Umum pada KPKyang diangkat dan diberhentikan oleh KPK.Penuntut Umum yang dimaksud adalahJaksa Penuntut Umum yang melaksanakanfungsi penuntutan tindak pidana korupsi.201819 Lihat Pasal 8 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 Lihat Pasal 8 ayat (2) dan Pasal 9 UU No. 30 Tahun200220 Lihat Pasal 51 UU No. 30 Tahun 200229

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013 Apabila ditinjau kembali maka padakenyataannya berdasarkan rumusan dalamundang-undangtimbulpermasalahandalamhaldualismekewenanganpenuntutan antara Kejaksaan dan KPKterhadap penanganan perkara tindakpidana korupsi.Kewenangan Kejaksaan danKPK untuk melakukan penuntutan terhadaptindakpidanakorupsidiberikanberdasarkan perintah undang-undangsebagaimana yang diatur dalam KUHAP,Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004tentang Kejaksaan RI, dan Undang-UndangNomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yangtelah diubah menjadi Undang-UndangNomor20Tahun2001tentangPemberantasanTindakPidanaKorupsi.Bedanya kewenangan KPK untukmelakukan penuntutan terhadap tindakpidana korupsi diatur lagi dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentangKomisi Pemberantasan Tindak PidanaKorupsi. Apabila dilihat dalam rumusanKUHAP, maka yang berwenang untukmelakukan penuntutan adalah jaksa yangbertindak sebagai penuntut umum.Kejaksaan dan KPK sama-sama mempunyaijaksa yang bertindak sebagai penuntutumum sebagaimana yang terdapat dalamUU Kejaksaan dan UU KPK yang telahdijelaskan sebelumnya. Bahwa dalamKUHAP tidak menyebutkan secara eksplisittentang jaksa di institusi mana yangberwenang untuk melakukan penuntutan. Hal itu yang kemudian memunculkanpendapatlalumenginginkanagarkewenangan penuntutansepenuhnyadiberikankepadaKejaksaan,dankewenangan penuntutan yang ada di KPKdikembalikan kepada Kejaksaan. Haltersebutdikarenakankewenanganpenuntutan yang ada dalam diri KPK telahmenerobos dan mengesampingkan asasdominus litis, di mana Kejaksaan sebagaipengendali proses perkara, dan prinsip eenon deelbaar yaitu Kejaksaan satu dan tidakterpisah-pisah. 21 UU KPK dinilai didorongoleh semangat memberantas korupsi yangterlalu menggebu-gebu. Semangat ituberakibat ditabraknya beberapa asashukum dan sistem hukum. Salah satunyaPenuntut Umum tidak tunduk pada JaksaAgung.22 Jaksa Agung Basrief Arief berpendapatbahwa kewenangan penuntutan perkarakorupsi dikembalikan lagi ke lembaga

Kejaksaan sebagai Jaksa Penuntut Umumsesuai dengan ketentuan di KUHAP. Secarauniversal di dunia, yang berwenangmelakukan penuntutan adalah Kejaksaandan Jaksa Agung sebagai penuntut umumtertinggi. Oleh karena itu jika semuapenuntutan dari KPK nantinya diserahkankepada Kejaksaan tidak ada masalah. Namun,perludiketahuibahwasebenarnya jaksa yang bertugas di KPKadalah jaksa yang diambil dari lembagaKejaksaan yang dinonaktifkan untuksementara dari tugasnya di lembagaKejaksaan. Sehingga jaksa yang berada diKPK yang kemudian melakukan tugaspenuntutan sama sekali tidak menyalahiketentuan dalam KUHAP yang mengaturbahwa yang dapat bertindak sebagaipenuntut umum adalah jaksa, dengan tidakmenyebutkannamalembagayangberwenang. Sehingga jaksa yang bertindaksebagai penuntut umum yang ada dilembaga Kejaksaan dan KPK tetapberwenangmelakukanpenuntutan. Selanjutnya,pendapatyangmengatakan bahwa jaksa yang ada di KPKtelah melanggar prinsip een on deelbaarsebagaimana yang juga diatur dalam Pasal2 ayat (3) UU Kejaksaan yang mengatakanbahwa Kejaksaan adalah satu dan tidakterpisah itu adalah keliru. Karenasesungguhnya maksud dari pasal inisebagaimana yang ada dalam penjelasanpasal tersebut ialah apabila dalam2122Ibid.O.C.Kaligis, Op.Cit., hlm.85-86.30

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013melakukan penuntutan perkara korupsi dipengadilan oleh Kejaksaan tidak akanterhenti hanya karena jaksa yang semulabertugas berhalangan. Karena tugaspenuntutan oleh Kejaksaan akan tetapberlangsung dan dilakukan oleh jaksapengganti. 23 Jaksa yang berada di KPKmerupakan suatu bentuk kerja sama yangterjalin antara Kejaksaan dan KPK, hal itudapat dilihat dalam Pasal 33 UU Kejaksaanyangmengatakanbahwadalammelaksanakan tugas dan wewenangnya,Kejaksaan membina hubungan kerja samadengan badan penegak hukum dankeadilan serta badan negara atau instansilainnya, dalam hal ini adalah KPK. Sebagian pihak beranggapan bahwakewenangan yang dimiliki oleh KPK untukmelakukan penuntutan adalah tidak sahkarena menimbulkan ketidakpastian hukumsebagaimana yang tercantum dalam Pasal28D ayat (1) UUD 1945,24 yang kemudiandiusulkan untuk melakukan judicial reviewterhadap UU KPK khususnya pasal 6 hurufc.Kepastian hukum menuntut ketegasanberlakunya suatu aturan hukum (lex cetra)yang mengikat secara tegas dan tidakmeragukandalampemberlakuannya.Dikatakan bahwa pemberlakuan Pasal 6huruf c UU KPK menyebabkan munculnyapertentangan antara dua Undang-Undangatau lebih yang berlaku dan mengikat padasaat yang sama, yaitu UU Kejaksaan dan UUKPK. Ketika ternyata lembaga legislatifmemberi kewenangan kepada KPK untukdapat melakukan penuntutan, isi UU itu sahdan tidak bertentangan dengan UU lain,sebab hubungan yang terjadi (dengan UUlain) sebenarnya hanyalah pengkhususankarena situasi atau tujuan khususnya,bukan pertentangan karena hak itumemang harus diberikan oleh UU. Akanmenjadi tidak sah kalau hak itu diberikan23

oleh lembaga lain, 25 bukan kepada KPK.Kalaupun itu dianggap bertentangandengan UU Kejaksaan maka masalahnyaadalah legislative review bukan judicialreview.26 Pendapat yang beranggapan bahwaketentuan seperti itu dirasakan tidakmenjamin kepastian hukum, justrusebaliknya dapat dikatakan pula bahwa disana ada kepastian hukum, karena secarakhusus KPK diberi wewenang oleh UUuntuk melakukan itu. Harus diingat bahwa

kedaulatan rakyat yang harus dilakukanmenurut UUD di sini sudah dipenuhi, yaknimenurut UUD hal-hal yang seperti itu diaturoleh lembaga legislatif. Lembaga legislatifdapat menentukan mana yang umum danmana yang khusus. Harus diingat pulabahwa hak-hak asasi yang dituangkan didalam semua isi Pasal 28 UUD 1945 dapatdilangkahi hanya dengan ketentuan UUkalau ada alasan-alasan untuk menegakkanhukum dan melindungi hak asasi orang lain(lihat Pasal 28J ayat (2) UUD 1945), danketentuan ini telah dipenuhi oleh UU KPK.27 Menurut Jaksa Agung Basrief Arief,sekarang sudah dimulai satu kebijakanyakni segala kasus perkara korupsidiserahkan kepada Pengadilan TindakPidana Korupsi (Tipikor). Baik dari penuntutumum maupun KPK, itu semuanyabermuara kepada Pengadilan Tipikor. Jadisatu kebijakan sudah jelas yaitu semuaperkara korupsi diserahkan ke PengadilanTipikor. Lalu kenapa tidak di sisi lain yaitukebijakan seluruh penuntutan diserahkanke Kejaksaan. Hal tersebut benar bahwasetelah dibentuknya Pengadilan TindakPidana Korupsi di Indonesia, maka sudahseharusnya tidak ada dualisme hukumdalam sistem peradilan pidana. Haltersebut juga selaras dengan KeputusanMahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU-IV/ 2006 terhadap judicial review yang2526 Lihat Pasal 2 ayat (3) UU Kejaksaan danpenjelasannya.24 Moh. Mahfud MD, Op.Cit., hlm.198. Ibid., hlm. 199. Ibid.27 Ibid.31

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013diajukan oleh Mulyana W. Kusuma, dkk.Mahkamah Konstitusi dalam putusantersebut meminta pembuat UU harussegera mungkin melakukan penyelarasanUU KPK dengan UUD 1945 dan membentukUU tentang Pengadilan Tindak PidanaKorupsi sebagai satu-satunya sistemperadilan tindak pidana korupsi, sehinggadualisme sistem peradilan tindak pidanakorupsiyangtelahdinyatakanbertentangan dengan UUD 1945 dapatdihilangkan. 28 Namun, untuk lebihmengoptimalkan dan mengefektifitkanpenanganan kasus korupsi akan lebih baikapabila ditangani oleh satu lembaga mulaidari awal sampai akhir penanganan suatukasus tindak pidana korupsi, dalam hal iniditangani oleh KPK.Hal itu juga akan lebihmemperjelas maksud dari Pasal 53 UU KPKbahwa Pengadilan Tindak Pidana Korupsibertugas dan berwenang memeriksa danmemutus tindak pidana korupsi yangpenuntutannya diajukan oleh KomisiPemberantasan Korupsi (KPK). Jadi, ketikaPengadilanTindakPidanaKorupsidipandang sebagai satu-satunya sistemperadilan pidana korupsi, maka KPK sangattepat bertindak sebagai satu-satunyalembaga yang berwenang melakukanpenuntutan terhadap perkara tindak pidanakorupsi. Kewenangan KPK yang dinilai sangatluas, termasuk dalam hal kewenangan dibidang penuntutan tindak pidana korupsi,membuat DPR berencana merevisi UUNomor 30 Tahun 2002 tentang KomisiPemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Revisi UU tentang KPK yang menjadi inisiatifKomisi III tersebut berada di urutankeempat dalam prioritas Program LegislasiNasional (Prolegnas) 2011.Wakil Ketua DPRdari Partai Golkar, Priyo Budi Santosomenyebutkan kalau kewenangan KPK28 Tim Taskforce, Naskah Akademis & RancanganUndang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,Cetak Pertama, Konsorium Reformasi HukumNasional, Jakarta Pusat, 2008, hlm.1.sebagai lembaga superbody terlalu kuat.Oleh karena itu dia berharap melalui revisiterhadap UU KPK, maka nanti bisamemangkas kewenangan tersebut.Prokontra kemudianbermunculan ketika RapatPanitia Kerja (Panja) Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tindak PidanaKorupsi pada tahun 2009 telah sepakatmemangkas kewenangan penuntutan yang

dimiliki oleh KPK. KhususpengkebiriankewenanganpenuntutanKPKadasejumlahpertimbangan dari aspek hukum, jelasusulan tersebut menyesatkan. Ada duapertimbangan hukum yang digunakanPanja. Pertama, kewenangan Penuntutan diKPK harus dialihkan hanya pada Kejaksaan,karena diatur di UU Nomor 16 tahun 2004tentang Kejaksaan RI, tepatnya Pasal 1 butir(2) yaitu Penuntut Umum adalah jaksa yangdiberi wewenang oleh UU ini untukmelakukan penuntutan dan melaksanakanputusan hakim. Dari pasal inilah kemudianPanjaberpendapat,bahwahanyaKejaksaanyangdapatmelakukanpenuntutan. Tentu saja analisis tersebutterlaludangkaldanmengada-ada.Perhatikan kata “yang diberi wewenangoleh UU ini”, secara a contrario,sesungguhnya dimungkinkan ada UU lainyang juga memberikan kewenanganpenuntutan pada lembaga/pihak lain. Jadi,tidak merupakan monopoli Kejaksaan.Disinilah UU Nomor 30 tahun 2002 tentangKPK menjadi dasar hukum penting, bahwaboleh saja, KPK diberikan kewenanganpenuntutan. Kedua, karena UU Kejaksaan RI disahkantahun 2004, maka UU KPK yang disahkantahun 2002 harus dikesampingkan.Kesesatan berpikir hukum semakin terlihatdisini. Karena asas “lex posterior derogatelegi priori” atau UU yang barumengesampingkan yang lama. Asas inihanya berlaku jika dua UU tersebutmengatur materi yang sama. Misalnya, ditahun1999telahdisahkanUU32

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,kemudian pada tahun 2001 dilakukan revisi,maka yang berlaku materi perbaikan UUNomor 20 tahun 2001. Sedangkan untuk UU KPK tentu sajaanalisis hukumnya berbeda yaitu, sepertiyang dikatakan Mahkamah Agung melaluiKMA/694/RHS/XII/2004 dan diatur tegas diUU KPK, bahwa UU Nomor 30 tahun 2002bersifat khusus. Maka berlakulah asas “lexspecialis derogate legi generalis”. Artinya,UU yang bersifat khusus mengesampingkanUU yang bersifat umum. Karena UU tentangKejaksaan RI merupakan UU yang mengatursecara umum keberadaan dan kewenanganJaksa, maka UU Kejaksaan tersebut dapatdikesampingkan dengan UU KPK. Dari dua poin itu saja, kita dapat menilai,bahwa pertimbangan hukum Panjasebenarnya terlalu lemah sehingga yangmenonjol justru kehendak mengebiri KPKatau konklusi/kesimpulan mendahuluianalisis. Selain itu, analisis hukum lain yangsangat penting untuk membantah sikapPanja yaitu: 1. Adanya upaya pensiasatan melanggar konstitusi. Karena sejauh ini MK pun bahkan sudah mengakui, kewenangan penuntutanKPKsahdan konstitusional. Bagaimana mungkin konstitusi tidak setuju dengan penguatanKPKdanupaya pemberantasan korupsi? Artinya, upaya Panja tersebut sesungguhnya bertentangandengansejumlah putusan MK dan rentan untuk dibatalkan kembali. 2. Memicu kekacauan hukum. Sejumlah pasal di UU KPK sesunguhnya menginginkankesatuanaktor penyidik (polisi/non-polisi), auditor, dan jaksa penuntut umum. Pasal 21 ayat (4) UU KPK menyebutkan pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum. Hal ini berarti selain Jaksa (seperti diatur di UU Kejaksaan RI), ada penuntut umum lain yang diberikan kewenangan oleh UU KPK, yaitu pimpinan KPK. Sehingga ia dapat mendelegasikankewenangan tersebut pada sejumlah jaksa yang bertugas di KPK. 3. Membuka Intervensi Politik. Kita ketahui,KPKdibentukdan dikehendaki agar menjadi lembaga independen, yang bebas dari

pengaruh kekuasaan manapun (Pasal 3).Padahaljikakewenangan penuntutanmenjadimonopoli Kejaksaan, maka sama artinya sifat independensi KPK sedang dirusak dan diserang. Kurang lebih, dapat dikatakan jantung lembaga KPK ditikam, tentu saja dapat membunuh KPK. Karena di UU Kejaksaan RI, jelas sekali tertulis, lembaga Kejaksaan berada di lingkup pemerintah/ eksekutif, bahkan Jaksa Agung sebagai pimpinan dan penanggung jawabtertinggidipilihdan diberhentikan oleh Presiden. Artinya, jika semua kewenangan penuntutan KPK ada di Kejaksaan, maka sama halnya Presiden atau kekuatan politik lain bisa melakukan intervensi terhadap KPK. Sehingga tugas-tugas pemberantasan korupsi KPK akan mati sebelum berkembang. 29 Anggota dewan dari FPKS, Nasir Djamilmenilai kondisi Indonesia saat ini masihberada di masa transisi, kejahatan korupsimasih tinggi. Dia berpendapat bahwapenuntut umum ada di kejaksaan dan KPKpun bisa melakukan penuntutan.Hal itu,kata Nasir, dibuktikan dengan indekspersepsi korupsi di Indonesia yang masihrendah. Artinya, tingkat korupsi diIndonesia masih tinggi, sehingga kita masihperlu tenaga lebih untuk memberantaskorupsi sehingga KPK harus dipertahankan.29 Indonesia Corruption Watch, Tolak MonopoliKewenangan Penuntutan di Kejaksaan Agung,http://www.antikorupsi.org, diakses pada tanggal 14September 2011.33

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013Dalam UU KPK juga dituliskan bahwa KPKbisa menuntut kasus korupsi karenakejahatan itu dianggap luar biasa.Memberantas korupsi tak cukup denganmenggunakanpenegakanhukumkonvensional, sehingga diperlukan lembagaseperti KPK. Kewenangan penuntutan yang ada padaKPK bukanlah mengambil alih kewenanganlembaga lain yaitu Kejaksaan, melainkandiberi atau mendapat kewenangan daripembuat UU 30 yaitu legislatif untukmemberantas tindak pidana korupsi yangsaat ini sudah meresahkan masyarakatIndonesia. KPK harus dianggap sebagaikompetitor yang dijadikan pemicu olehlembaga Kejaksaan, yang oleh sebagianbesar masyarakat Indonesia semenjakreformasi menganggap bahwa performanceKejaksaankurangmaksimaldalampenanganan kasus tindak pidana korupsi.Hal yang perlu diperhatikan juga adalahbahwa kewenangan Kejaksaan melakukanpenanganan terhadap tindak pidanabersifat secara umum, sehingga ketikaterjadi probabilitas perkara di Kejaksaan,ditakutkan penyelesaian masalah korupsilama untuk terselesaikan bahkan tidakterselesaikan, sedangkan kasus korupsisendiri di Indonesia harus mendapatkanprioritas penanganan dan penyelesaiannyasesuai dengan agenda reformasi bangsaIndonesia.PENUTUPA. KESIMPULAN1. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang sifatnya konstitusionalwalaupuntidak disebutkan secara jelas dalam konstitusi negara yaitu UUD 1945. KPK dibentuk dengan melihat sifat dari korupsi itu sendiri yaitu merupakan kejahatan luar biasa, sehingga diperlukan suatu lembaga yang independen untuk30Moh. Mahfud MD, Op.Cit.,hlm. 198. memberantas korupsi di Indonesia. Latar belakang terbentuknya KPK bukanlah karena desain konstitusional yang diartikan secara kaku, tetapi lebih kepada isu insidentil dalam negara dan kehendak bersama dari bangsa Indonesia untuk memerangi tindak pidana korupsi. Kedudukan KPK sebagai salah satu lembaga negara bantu adalah independen dan bebas dari pengaruh kekuasaanmanapun,halini

dimaksudkan agar dalam memberantas korupsi KPK tidak mendapatkan intervensi dari pihak manapun. Terbentuknya KPK juga merupakan jawaban atas tidak efektifnya kinerja lembaga penegak hukum selama ini dalam memberantas korupsi, yang terkesanberlarut-larutdalam penanganannya bahkan terindikasi ada unsur korupsi dalam penanganan kasusnya.2. Kewenanganpenuntutanyang diberikan oleh UU kepada KPK merupakan kewenangan yang sah.UU tentang Kejaksaan RI merupakan UU yangmengatursecaraumum keberadaan dan kewenangan Jaksa dan UUKejaksaantersebutdapat dikesampingkan dengan UU KPK yang merupakan aturan khusus. Kewenangan penuntutanpadaKPKadalah konstitusional, hal ini dipertegas dengan sejumlah putusan dari Mahkamah Kontitusi. Kewenangan penuntutan tidak dapat dimonopoli oleh Kejaksaan, dengan melihat bahwa Kejaksaan masih beradadalamlingkup eksekutif/pemerintahsehingga independensinya masih dipertanyakan. Hal ini dapat dilihat dari Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden,sehinggadapat memungkinkanadanyaintervensi politik.Sehinggakewenangan penuntutan yang ada pada KPK sudah tepat karena lembaga ini bergerak34

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013secara independen tanpa intervensikekuasaan manapun.B. SARAN1. Yangmenjadilatarbelakang bertebarannyalembaga-lembaga negara bantu, seperti KPK dalam struktur ketatanegaraan RI bukanlah desain konstitusional yang dapat menjadipayunghukumuntuk mempertahankaneksistensinya melainkan isu-isu insidental yang diharapkan dapat menjawab persoalan yang dihadapi. Kenyataan ini sepertinya membawa akibat,legitimasi yuridis bagi keberadaan lembaga-lembaga negara bantu itu sangat lemah sehingga senantiasa menghadapi kendala dalam menjalankan kewenangannya. Sehingga nantinya apabila ada agenda perubahan atau amandemen UUD 1945 sebagai konstitusi negara, dapat dibahas dan diatur walaupun tidak secara terperinci dalam UUD 1945, ataupun paling tidak disebutkan atau mengakui adanya lembaga negara bantu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang akan dibentuk berdasarkan kebutuhan dari negara itu sendiri. Dengan demikian maka nantinya keberadaan dari lembaga negara bantu, seperti akan mempunyai payung hukum yang semakin kuat.2. Dualisme penanganan perkara korupsi ini dalam praktik menyebabkan munculnyadiskriminasidan ketidakpastianhukumdalam pemberantasan korupsi. Eksistensi KPK dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi bersifat transisi dan dapat difungsikan sebagai pemicu untuk perbaikan kinerja lembaga penegak hukum konvensional Kejaksaan dalam melakukan penuntutan perkara korupsi, dansekaligussebagaikontrol masyarakat terhadap kinerja lembaga Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilandalam pemberatasan tindak pidanakorupsi, sehingga penulis menyarankan:a. Kewenangan penuntutan tetap ada di lembaga KPK, dan dapat berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung, dengan syarat bahwa Kejaksaan tidak berada di bawah kekuasaan eksekutif seperti yang ada saat ini. Apabila Kejaksaan masih berada di bawah kekuasaan

eksekutif maka tepat bahwa KPK tidak berkordinasi dengan Kejaksaan Agung, agar dapat melakukan pengawasan terhadap lembaga tersebut.b. Kewenanganpenyelidikan, penyidikan, penuntutan terhadap tindak pidana korupsi berada di bawah satu atap yaitu berada dalam penangananKPK.Halitu dimaksudkan agar lebih efisien dan tidak terjadi keterlambatan dalam penanganan tindak pidana korupsi. Hal itu juga dilakukan agar bisa menjadi pemicu terhadap lembaga Kepolisian dan Kejaksaan yang saat ini mendapatkan reputasi atau kepercayaan yang buruk dari masyarakat dalam penanganan perkara korupsi. Namun, apabila indeks korupsi di Indonesia telah menurun atau rendah, maka kewenangan penuntutan dapat dikembalikan lagi kepada pihak Kejaksaan, dan kewenangan KPK hanya sebatas tindakan pencegahan atau bisa saja KPK dibubarkan.DAFTAR PUSTAKABukuAdiwinata, Istilah Hukum Latin-Indonesia, PT Intermesa, Cetakan Pertama, Jakarta, 1977.AtmasasmitaRomli,Korupsi,Good Governance dan Komisi Anti Korupsi di Indonesia, Percetakan Negara RI, Jakarta, 2002.35

Lex Crimen Vol.II/No.1/Jan-Mrt/2013Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta, 2010.Ermansjah Djaja, Tipologi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010.Farida Hamid, Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Apollo, Surabaya.Jimly Asshidiqqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-pilar Demokrasi, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.Kaligis O.C., Antologi Tulisan Ilmu Hukum, Jilid 6, PT Alumni, Bandung, 2011.Mahfud MD Moh., Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, 2011.Mahrus Ali, Hukum Korupsi di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2011.Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Ke XXI No. 243, Februari 2006.Majalah Hukum Varia Peradilan, Tahun Ke XXII No. 264, November 2007.SoesiloPrajogo,KamusHukum Internasional dan Indonesia, Wacana Intelektual, 2007.Tim Pengajar Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi, Bahan Ajar Hukum Acara Pidana, Manado, 2009.Tim Redaksi Pustaka Yustitia, Kompilasi Perundangan Anti Korupsi, Pustaka Yustitia, Jakarta, 2010.Tim Taskforce, Naskah Akademis & RancanganUndang-Undang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Konsorium Reformasi Hukum Nasional, Jakarta Pusat,2008.Wiyono R., Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Ctk. Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2005.Wiyono R., Pembahasan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2009.Undang-UndangUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang- Undang No. 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. InternetArifWicaksono,KedudukanKomisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam SistemKetatanegaraanRepublik Indonesia, http://fh.undip.ac.id/perpus, diakses pada tanggal 26 Februari 2012.FachriHamzah, http://www.hukumonline.com/revisi- uu-kpk, diakses pada tanggal 15 Maret 2012.Fariz Pradipta, Kedudukan Lembaga Negara BantudalamSistemHukum KetatanegaraanIndonesia, http://farizpradiptalaw.blogspot.com, diakses pada tanggal 26 Februari 2012.http://www.kejaksaan.go.id/tentang_kejak saan, diakses tanggal 26 Februari 2012.Indonesia Corruption Watch, Tolak Monopoli Kewenangan Penuntutan di KejaksaanAgung, http://www.antikorupsi.org,diakses pada tanggal 14 September 2011.Pusat Litbang Kejaksaan Agung RI, Studi tentang ImplementasiKekuasaan PenuntutanDiNegaraHukum Indonesia, http://www.kejaksaan.go.id, diakses pada tanggal 26 Februari 201236


Recommended