+ All Categories
Home > Documents > Coal Bed Methane

Coal Bed Methane

Date post: 23-Feb-2023
Category:
Upload: upnjatim
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
13
Coal Bed Methane (atau disingkat CBM) adalah suatu bentuk gas alam yang berasal dari batu bara (coal). Pada dasawarsa belakangan ini, CBM telah menjadi suatu sumber energi yang penting di Amerika Serikat, Kanada dan beberapa negara lain. Australia memiliki endapan CBM yang kaya yang dikenal sebagai coal seam gas (disingkat CSG). Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar. Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy (peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas. Produksi CBMDi dalam lapisan batubara banyak terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada
Transcript

Coal Bed Methane (atau disingkat CBM) adalah suatu

bentuk gas alam yang berasal dari batu bara (coal). Pada

dasawarsa belakangan ini, CBM telah menjadi suatu sumber

energi yang penting di Amerika Serikat, Kanada dan

beberapa negara lain. Australia memiliki endapan CBM yang

kaya yang dikenal sebagai coal seam gas (disingkat CSG).

Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam

jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai

kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa

benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di

dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran

lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat

sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan

batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap

gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin

tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas

juga semakin besar.

Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar

terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini

disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam

klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy

(peringkat 3), bersama-sama dengan tight sand gas, devonian

shale gas, dan gas hydrate. High quality gas (peringkat 1) dan

low quality gas (peringkat 2) dianggap sebagai conventional gas.

Produksi CBMDi dalam lapisan batubara banyak

terdapat rekahan (cleat), yang terbentuk ketika berlangsung

proses pembatubaraan. Melalui rekahan itulah air dan gas

mengalir di dalam lapisan batubara. Adapun bagian pada

batubara yang dikelilingi oleh rekahan itu disebut dengan

matriks (coal matrix), tempat dimana kebanyakan CBM menempel

pada pori-pori yang terdapat di dalamnya. Dengan

demikian, lapisan batubara pada target eksplorasi CBM

selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai

source rock.

CBM bisa keluar (desorption) dari matriks melalui

rekahan, dengan merendahkan tekanan air pada target

lapisan. Hubungan antara kuantitas CBM yang tersimpan

dalam matriks terhadap tekanan dinamakan kurva Langmuir

Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan

terhadap perubahan tekanan). Untuk memperoleh CBM, sumur

produksi dibuat melalui pengeboran dari permukaan tanah

sampai ke lapisan batubara target. Karena di dalam tanah

sendiri lapisan batubara mengalami tekanan yang tinggi,

maka efek penurunan tekanan akan timbul bila air tanah di

sekitar lapisan batubara dipompa (dewatering) ke atas. Hal

ini akan menyebabkan gas metana terlepas dari lapisan

batubara yang memerangkapnya, dan selanjutnya akan

mengalir ke permukaan tanah melalui sumur produksi tadi.

Selain gas, air dalam jumlah yang banyak juga akan keluar

pada proses produksi ini.

Potensi CBMMengenai pembentukan CBM, maka berdasarkan

riset geosains organik dengan menggunakan isotop stabil

karbon bernomor masa 13, dapat diketahui bahwa terdapat 2

jenis pola pembentukan.

Sebagian besar CBM adalah gas yang terbentuk ketika

terjadi perubahan kimia pada batubara akibat pengaruh

panas, yang berlangsung di kedalaman tanah. Ini disebut

dengan proses thermogenesis. Sedangkan untuk CBM pada

lapisan brown coal (lignit) yang terdapat di kedalaman

kurang dari 200m, gas metana terbentuk oleh aktivitas

mikroorganisme yang berada di lingkungan anaerob. Ini

disebut dengan proses biogenesis. Baik yang terbentuk

secara thermogenesis maupun biogenesis, gas yang

terperangkap dalam lapisan batubara disebut dengan CBM.

Kuantitas CBM berkaitan erat dengan peringkat batubara,

yang makin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga

medium volatile bituminous, lalu berkurang hingga antrasit.

Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan

batubaranya semakin tebal.

Dari penelitian Steven dan Hadiyanto, 2005, (IAGI

special publication) ada 11 cekungan batubara (coal basin)

di Indonesia yang memiliki CBM, dengan 4 besar urutan

cadangan sebagai berikut: 1. Sumsel (183 Tcf), 2. Barito

(101.6 Tcf), 3. Kutai (80.4 Tcf), 4. Sum-Tengah (52.5

Tcf). Dengan kata lain sumber daya CBM di Sumsel sama

dengan total (conventional) gas reserves di seluruh

Indonesia.

Terkait potensi CBM ini, ada 2 hal yang menarik untuk

diperhatikan:

Pertama, jika ada reservoir conventional gas (sandstone)

dan reservoir CBM (coal) pada kedalaman, tekanan, dan

volume batuan yang sama, maka volume CBM bisa mencapai 3

– 6 kali lebih banyak dari conventional gas. Dengan kata

lain, CBM menarik secara kuantitas.

Kedua, prinsip terkandungnya CBM adalah adsorption

pada coal matrix, sehingga dari segi eksplorasi faktor

keberhasilannya tinggi, karena CBM bisa terdapat pada

antiklin maupun sinklin. Secara mudahnya dapat dikatakan

bahwa ada batubara ada CBM.

Produksi CBM & Teknologi PengeboranPada metode produksi

CBM secara konvensional, produksi yang ekonomis hanya

dapat dilakukan pada lapisan batubara dengan

permeabilitas yang baik.

Tapi dengan kemajuan teknik pengontrolan

arah pada pengeboran, arah lubang bor dari permukaan

dapat ditentukan dengan bebas, sehingga pengeboran

memanjang dalam suatu lapisan batubara dapat dilakukan.

Seperti ditunjukkan oleh gambar di bawah, produksi gas

dapat ditingkatkan volumenya melalui satu lubang bor

dengan menggunakan teknik ini.

Teknik ini juga memungkinkan produksi gas secara

ekonomis pada suatu lokasi yang selama ini tidak dapat

diusahakan, terkait permeabilitas lapisan batubaranya

yang jelek. Sebagai contoh adalah apa yang dilakukan di

Australia dan beberapa negara lain, dimana produksi gas

yang efisien dilakukan dengan sistem produksi yang

mengkombinasikan sumur vertikal dan horizontal, seperti

terlihat pada gambar di bawah.

Lebih jauh lagi, telah muncul pula ide berupa sistem

produksi multilateral, yakni sistem produksi yang

mengoptimalkan teknik pengontrolan arah bor. Lateral yang

dimaksud disini adalah sumur (lubang bor) yang digali

arah horizontal, sedangkan multilateral adalah sumur

horizontal yang terbagi-bagi menjadi banyak cabang.

Pada produksi yang lokasi permukaannya terkendala

oleh keterbatasan instalasi fasilitas akibat berada di

pegunungan misalnya, maka biaya produksi memungkinkan

untuk ditekan bila menggunakan metode ini. Secara

praktikal, misalnya dengan melakukan integrasi fasilitas

permukaan.

Catatan: Teknik pengontrolan arah borTeknik pengeboran

yang menggunakan down hole motor (pada mekanisme ini, hanya

bit yang terpasang di ujung down hole motor saja yang

berputar, melalui kerja fluida bertekanan yang dikirim

dari permukaan) dan bukan mesin bor rotary (pada mekanisme

ini, perputaran bit disebabkan oleh perputaran batang bor

atau rod) yang selama ini lazim digunakan, untuk

melakukan pengeboran sumur horizontal dll dari permukaan.

Pada teknik ini, alat yang disebut MWD (Measurement While

Drilling) terpasang di bagian belakang down hole motor,

berfungsi untuk memonitor arah lubang bor dan melakukan

koreksi arah sambil terus mengebor.

Perkembangan CBM Di Indonesia

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), riset

tentang potensi gas metana yang terkandung dalam batubara

mulai dilakukan pada 2003 dalam bentuk proyek percontohan

di 5 sumur uji CBM di Lapangan Rambutan, Kabupaten Muara

Enim, Provinsi Sumatera Selatan yang merupakan wilayah

kerja PT. Medco E&P Indonesia. Lapisan-lapisan batubara

target berada pada kisaran kedalaman 600-1000 meter.

Berbeda dengan proses pengembangan sumur reservoir migas,

produksi gas dari reservoir CBM diawali dengan produksi

air atau disebut sebagai dewatering.

Pada pelaksanaan dewatering di kelima sumur CBM, gas

telah mulai keluar dari dua lapisan batubara dengan laju

produksi yang masih sangat kecil. Hasil simulasi

menunjukkan, reservoir Lapangan CBM Rambutan memiliki

potensi kandungan gas metana lebih kurang sebesar 30.600

MSCF per sumur, 185.000 MSCF untuk daerah pilot dan 5,5 X

106 MSCF untuk seluruh daerah luasan simulasi, yang dapat

diproduksikan selama 20 tahun.

Kemampuan produksi maksimum CBM Lapangan Rambutan lebih

kurang sebesar 7,4 MSCF per hari untuk satu sumur, 37,5

MSCF per hari untuk daerah pilot dan 1.120 MSCF per hari

untuk seluruh daerah luasan simulasi, yang dicapai dalam

jangka 13,7 tahun.

Pilot project pengembangan CBM ini dipicu oleh hasil

asesmen CBM pada 2003 yang memperkirakan bahwa sumber

daya ini di Indonesia sebesar 453 TCF, tersebar di 11

cekungan batubara dan migas. Salah satunya adalah

Cekungan Sumatera Selatan sebesar 180 TCF.

Perkembangan proyek percontohan CBM:

1. Kegiatan pilot project dimulai pada 2003 dengan

berbagai kegiatan antara lain studi  kelayakan, studi

lingkungan, dan kajian regulasi.

2. Pada 2004 dimulai pengeboran sumur CBM pertama hingga

kedalaman 600 meter dengan mengambil sejumlah core pada

seam batubara untuk diteliti potensinya. Pada tahun itu

pula dihasilkan draf Kepmen CBM yang disampaikan kepada

Direktorat Jenderal Migas.

3. Pada 2005-2006, kegiatan dilanjutkan dengan pengeboran

4 sumur CBM (Sumur CBM 2, 3, 4, dan 5) dengan kedalaman

rata-rata 1000 meter sampai menembus lapisan batubara

pada seam-5. Pada 2006 diterbitkan Peraturan Menteri ESDM

Nomor 33 Tahun 2006 tentang Pengusahaan CBM, yang

merupakan hasil kajian regulasi CBM sejak 2003.

4. Pada 2007 dilakukan penelitian dengan kegiatan ke

tahap penyelesaian sumur dan pelaksanaan operasi

dewatering, meliputi perforasi dan fracturing serta uji

lapisan di beberapa sumur pada seam yang telah terpilih.

Pada tahap dewatering ini, air terproduksi dari keempat

sumur CBM mempunyai konsentrasi chloride (Cl-) yang

terukur sebesar 400 ppm, kandungan gas metana berkisar

antara 93 – 97 persen, dan gas yang terproduksi di-flare.

Keberhasilan pembuktian gas dari pilot project CBM itu

mendorong kepercayaan industri untuk mengembangkan sumber

daya ini, dengan ditandatanganinya kontrak kerjasama

(KKS) CBM pertama pada  27 Mei 2008, dan 2008 dicanangkan

sebagai tahun CBM. Sampai dengan 2011, Direktorat

Jenderal Minyak dan Gas Bumi ESDM telah menghasilkan 42

KKS CBM.

Eksplorasi di Musi Banyuasin

Sementara itu, PT. Pertamina Hulu Energi Metana Suban I &

II (PT. PHE Metana Suban I & II) dalam waktu dekat ini

segera merealisasikan rencana eksplorasi CBM di Kabupaten

Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

GM PHE Metana Suban I & II Alfi Rusin mengatakan, tahun

ini PT. PHE Metana Suban I & II akan mengebor 4 titik

yang berada di Kecamatan Babat Toman, 2 di Desa Toman dan

2 lainnya di Desa Kasmaran.

Indonesia termasuk 10 negara di dunia yang mempunyai

cadangan terbesar batubara, dengan cadangan CBM  sebesar

453.30 Tcf, yang tersebar dalam 11 basin. Ke-3 wilayah

dengan potensi CBM terbesar di Indonensia adalah Sumatera

Selatan (183 Tcf), Barito (101.6 Tcf) dan Kutai (80,4

Tcf).

Sumber Daya CBM Dunia

Selama dasawarsa belakangan ini, CBM telah menjadi

suatu sumber energi yang penting di Amerika Serikat (AS),

Kanada dan beberapa negara lain. Sumber daya CBM terbesar

di dunia terletak di bekas negara Uni Soviet, Kanada,

China, Australia dan AS.

Di AS, sumber gas alam non-konvensional ini

merupakan sumber daya berharga yang menyumbang sekitar 10

persen dari produksi gas alam per tahunnya. Sementara

itu, proyek energi CBM di Rusia pertama kali dioperasikan

pada Februari 2011.

Meski demikian, sebagian besar potensi CBM dunia

masih belum dikembangkan. Pada 2006, sumber daya global

diperkirakan mencapai total 143 triliun meter kubik, dan

baru 1 triliun meter kubik yang benar-benar telah

diambil. Hal ini terjadi akibat masih kurangnya insentif

di sejumlah negara untuk sepenuhnya mengeksploitasi

sumber daya alam tersebut, terutama di sejumlah bagian

bekas negara Uni Soviet, di mana gas alam konvensional

sangat berlimpah.

CountryEstimated CBM Resource Base

(trillion cubic metres)

Canada 17 to 92

Russia 17 to 80

China 30 to 35

Australia 8 to 14

USA 4 to 11

Sementara itu, meski eksploitasi di Kanada lebih lambat

daripada AS, namun jumlahnya diperkirakan meningkat

sejalan dengan perkembangan teknologi eksplorasi dan

ekstraksi baru. Potensi peningkatan proporsi pasokan CBM

yang signifikan juga terjadi di China. Permintaan akan

gas alam telah melampaui produksi domestik pada 2010 dan

CBM menawarkan pasokan akternatif. Pertengahan tahun

lalu, the International Energy Agency (IEA) merilis

perkiraannya bahwa permintaan global akan gas alam

kemungkinan tumbuh 17 persen dalam 5 tahun ke depan

akibat melonjaknya konsumsi di China. Permintaan di China

dan AS diperkirakan naik 13 persen per tahun hingga 2017

sementara permintaan di Eropa akan naik 7,9 persen.

Shale Gas dan CBM akan menjadi bahan bakar

alternatif di masa mendatang. Di Indonesia sendiri Shale

Gas dan CBM (coal bed methane) belum banyak dilirik oleh

konsumen, namun di Amerika Shale Gas ini sudah menjadi

bahan bakar pilihan dan menjadi primadona.

Saat ini di Indonesia proyek pengembangan Shale Gas

hanya ada di Sumatra dan Kalimantan. Namun dengan

pembubaran BP Migas oleh Mahkamah Konstitusi menyebabkan

proyek pengembangan Shale Gas di Sumatra Utara menjadi

tertunda untuk waktu yang belum ditentukan.

Total keseluruhan ada 54 WK yaitu Sumatra 22 WK dan

32 WK di Kalimantan. Sementara total perkiraan Sumber

daya Pertamina sekitar 41,67 TCF terhitung sejak tahun

2008-2015. Hal ini bisa naik bisa turun. Production

target 60-150 MMSCFD dalam tahun 2015. Pihak Pertamina

berencana akan mengirimkan 3 orang ke Amerika, untuk

belajar lebih dahulu di sana sekitar 2-3 bulan, karena

Shale Gas operasinya lebih berbahaya, dimana

pengeborannya lebih dalam dan memerlukan teknology yang

sangat tinggi.

Untuk operasi pengeboran, sistem yang akan kami

pakai adalah Sistem Clustering yaitu satu lokasi bisa 10-

15 sumur. Hal ini akan memakan waktu yang agak lama,

karena berkenaan dengan masalah administrasi yang harus

dilakukan seperti pembebasan lahan, perijinan, peralatan,

dan lain-lain, ungkap Direktur operasi PT. Pertamina Hulu

Energy, Eddy Purnomo pada (11/02/13) lalu.

Proses pengeboran Gas di Indonesia sangat baik,

karena dibandingkan Australia misalnya, untuk mengebor

gas diperlukan hingga 2 minggu untuk sampai gas tersebut

keluar. Sedangkan di Indonesia hanya dalam waktu 14 jam

setelah pengeboran, gas sudah dapat keluar.

Untuk CBM (Gas Metana Batubara) PT. Pertamina Hulu Energy

akan mengalokasikan dana sebesar US$ 1,5 Milliar, untuk

melakukan kegiatan eksplorasi di 200 sumur CBM. Dana

tersebut untuk jangka waktu 5 tahun mulai tahun 2013

hingga tahun 2017.

Mengingat sulit dan mahalnya biaya, untuk melakukan

pengembangan CBM dan Shale Gas ini, maka Pertamina akan

melakukan pola kerjasama kemitraan “ Partnership ” untuk

mengurangi resiko yang ada. Walau secara geologis wilayah

kerja migas Pertamina ini sangat menguntungkan secara

bisnis. Maka dengan semua perhitungan di atas, dalam 5

tahun ke depan Pertamina akan menjadi pemain utama dalam

bisnis GBM atau CMB dan Shale Gas, ujar Eddy Purnomo

menutup pernyataannya.


Recommended