SKRIPSI
KONTRADIKSI KONSEP RAMAH LINGKUNGAN DALAM
UPAYA PENYELAMATAN ALAM : STUDI KASUS
PENGGUNAAN GREEN CARS
Oleh :
Fahmi
0801509044
Disusun untuk melengkapi syarat-syarat
Guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA
JAKARTA
2013
Nan:a l."{aliasi*ria,a
NIM
rr-^ -*.,.,, c+,,J:r t uBrdrrr Jrurtl
Judul Skripsi
r t&ttta
11 ^+,,^ D-.^--^,- a+,,.{it\L1Ud I t\,5r(rrrr .rru\lt
r:* n.-..-*.-:: crr-:*^:,I rlll r ErrBuJr irltlP:tl,
Ketua- Siclang
n^---1-:...1-:.- -t gtttLrillru!!18
l] -.. .-. .: :t r rlBlrj !
Yusy' Widarahesty, S.S, M.Si
n.,. n. .- .{. -.- [{ c:L/l :. !\srt:P(1l-vullt.'. :Yt-.)l
It:-t.;^ \/-^;, t)-l:,,,,,,,,-., c'16 14 t':I iilnin r ii5r\ | \t!ritil'l,rtE .j,rl), rYl. )l
Skripsi ir:i tclalt clil:,.:ffiaha;ikair daii diL;jikan ;,lih l'irn Pcnguji
di Sidang Skripsi, paela tanggal 22 Oktoher 2Al3
h^_- l:_--.^-^1.^-^ I IIt rlct rail r_ttilvdraKdll LLr LL, J
T TR'D' N DFilI/\FC' AIIAI\Ti-Llvitlrlit\ -l lil \ \J-t-JnJ l1{.t\
Iraliiiii
0801 s08044
t l.,l-,.-.,^.. !..+,----i -*- lr rlra ttillYdrl llllLllla>lL,tldr
"nnu*i tlamah Lingkungan l)alam tlpaya
Penyelanratan Akirn Strrdi Kastts: Penggunaan
Green Cars
.r5,,-,t,-'r..,-^,,-! attrtla I dllx4ll
trr^L^.^^.--J tt:-- 11 i,J. .,*-^ lr A ^ 4 ! ;,ri\rlldirilli.rU r\i/.d rl r(rJdr.\(1. rrn.-'Yl. ll
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T yang mana atas
segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi
yang tengah penulis lakukan. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, serta segenap keluarga dan para sahabat beliau yang
menjadi pengikutnya. Skripsi yang berjudul “Kontradiksi Konsep Ramah
Lingkungan Dalam Upaya Penyelamatan Alam: Studi Kasus Penggunaan
Green Cars”, ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam
menyelesaikan program Sarjana Strata satu (S1) pada program studi Ilmu
Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al
Azhar Indonesia, Jakarta.
Alasan penulis mengambil tema ini adalah karena keterkaritan penulis
terhadap permasalahan-permasalahan pada isu lingkungan, tema ini juga berkaitan
dengan program studi Ilmu Hubungan Internasional. Penulis berharap semoga
skripsi ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi teman-
teman mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universital Al Azhar Indonesia,
juga masyarakat umum.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada Drs. Reuspatyono M.Si selaku dosen pembimbing yang
telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bantuan,
dorongan dan pengetahuannya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
Selain itu penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus
kepada:
1. Kedua Orang Tua tercinta, Mohammad Said Alamri dan Aliyah Saleh
A Bajri, yang selalu memberikan bantuan yang tak pernah henti-
hentinya, baik itu berupa bantuan materi, moral, maupun doa, sehingga
pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian skripsi
viii
ini. mah, bih, tanpa kalian aku gk akan bisa sampai pada titik ini, aku
cuma mau bikin kalian berdua selalu bangga sama aku, makasih atas
semuanya.
2. Hizkia Yosie Polimpung S.Ip, M.Si., selaku dosen penguji, yang juga
telah membantu dalam memberikan arahan, saran, serta ide-ide dalam
penyempurnaan penulisan peneletian ini.
3. Yusi Widarahesty S.Ss, M.Si selaku ketua sidang, yang memberikan
saran dan kritik yang membangun bagi skripsi ini.
4. Mohammad Riza Widyarsa, BA., M.Si., selaku Ketua Program Studi
Ilmu Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia.
5. Staff Sekretariat FISIP, “Khususnya kepada Mas Nova, terima kasih
sudah memberikan informasi-informasi terkait persyaratan penulisan
serta sidang Skripsi”.
6. Staff Pengajar FISIP HI yang telah memberikan bimbingan, arahan,
serta masukan-masukan dalam pengerjaan penelitian ini.
7. Nafisah Mohammad Alamri dan Said Mohammad Alamri, selaku
Kakak dan Adik Penulis, yang juga telah memberikan bantuan berupa
dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. “Heh liat tuh,
akhirnya selesai juga kan skripsi gw, makasiih loh udah nantang gw
buat gak sanggup ngelarin nih skripsi, akhirnya jadi semangat buat
gw hahahah, tp overall makasih udah jadi temen curhat pas gw lagi
butuh dukungan hehe”.
8. Teman-teman terdekatku di kampus, yang selalu memberikan
masukan-masukan dan dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini,
Dendi Heriawan, Irna Gantini Kusumah, Fajar Sidiq, Dwi Nur Arry,
dan Irvan Camily, “mas brooooo, pertama mau bilang makasih banget
loh buat dukungan moral nya selama ini, makasih juga buat waktu-
waktu diskusi ganteng kita, sangat bermanfaat banget loh itu aseli
buat gw. Irvan sama dwi, ayoooo buruan, jangan lama-lama lah, biar
kita bisa sama-sama ngebentuk genk S.Ip hahaha. Buat dendi, ayo den
ix
kita bertempur bareng. Riri sama japra, lancaar terus ya menitih
karirnya hahaha”.
9. Keluarga Besar Hubungan Internasional, Universitas Al Azhar
Indonesia, Khususnya angkatan 2009, “aselii yaa gk kerasa, kemaren
baru duduk-duduk di tendu bareng, nonton bareng, masuk kelas
bareng, eh sekarang udah pada di tingkat akhir aja. Ayooo lah,kita
lulusnya bareng-bareng juga, masa masuk kuliah bisa bareng, tapi
keluarnya gk bisa ? pokonya kita semua mah bisa lah ya,
amiiiiinnnnnn.
10. Untuk Rengga Dina Permana, S.Ip., dan Rachma Lutfini Putri.
“makasiiihhhhh yang amat sangat banyak loh buat kalian berdua.
Makasih udah bantu ngasih masukan yang banyak buat gw, udah
sering jadi tempat curhat juga, terus sering gw repotin juga lagi.
Entah tanpa kalian akan kemana skripsi ini hahahaha”.
11. Dan untuk Jamaah Barakatak Purwakarta. “akhirnaaaaa khalaaas oge
bro, hayuh gum ndek kamana oge siaaap ayena mah, pkonya kosongin
waktu deh sekarang mah, urang majlas dimana wae. Syukon yeh broh,
ges ngarahat bareng jeng hagi, saking ku farhan na, mun bisa mah
ana rek nyien samar bari sukuran hahhaha. Pkonya siap-siap ya kita
acak-acak lagi kota-kota berikutnya”.
Jakarta, 3 Oktober 2013
Penulis
iii
ABSTRAK
Ilmu Hubungan Internasional
Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik
Universitas Al Azhar Indonesia
Nama Mahasiswa :Fahmi
NIM : 0801509044
Judul Skripsi : Kontradiksi Konsep Ramah Lingkungan Dalam Upaya
Penyelamatan Alam, Studi Kasus Penggunaan Green Cars.
Halaman : 120 Halaman + xi halaman
Kata Kunci : Alam, Green Cars, Keseimbangan dan keberlanjutan,
Lingkungan, Manusia, Antroposentris, Teknologi
Daftar Pustaka :32 Buku, 20 Jurnal, 48 Website
Penelitian ini mempertanyakan mengenai implikasi teoritik dari penggunan green
cars dalam upaya penyelamatan lingkungan. Dimana upaya penyelamatan yang
dilakukan dewasa ini ditempuh melalui jalan penggunaan teknologi semata, dan
salah satunya dalam hal ini adalah pada penggunaan green cars, padahal hal
tersebut akan memberikan dampak lain terhadap lingkungan, yang pada akhirnya
berujung pada “gangguan” terhadap keseimbangan dan keberlanjutan akan alam ,
bahkan akan mengancam esensi dari alam itu sendiri. Pertama-tama, penulis
menunjukan bagaimana green cars disinyalir dapat menjadi jawaban terkait
permasalahan lingkungan. Kemudian penulis menguak narasi antroposentris yang
berada di dalam upaya penyelamatan lingkungan, yang mana dalam hal ini
berdampak pada penyelamatan alam itu sendiri, karena pada akhirnya hanya
kepentingan manusia yang menjadi tujuan utamanya. Dan pada akhirnya,
menunjukan dampak dari dikedepankannya pandangan antroposentris dan
teknosentris terhadap keseluruhan keseimbangan dan keberlanjutan pada alam.
iv
ABSTRACT
International Relations
Faculty of Social and Political Sciences
University of Al Azhar Indonesia
Name of Student : Fahmi
Student ID : 0801509044
Thesis Title : Contradiction of Environmentally Friendly Concept on an
Effort of Saving Nature, Case Study The Use of Green Cars
Number of Pages : 120 pages + xi pages
Keywords : Nature, Green Cars, Balance and Sustainable,
Environment, Human, Anthropocentrism, Technology
Bibliography : 32 Books, 20 Journals, 48 Websites
This study questioned the theoretical implication from using green cars as an
effort of saving nature. Which those effort today is done through the use of
technology alone, and one of them is the use of green cars. Yet, using technology
alone will give another impact to the environment, which in the end will “disturb”
the balance and sustainable on the nature, in fact it will threaten the essence of
nature itself. First of all, the author show how green cars is said to be the answers
of saving the environment. Then, the author reveals the anthropocentric narrative
inside the efforts of saving nature, because in the end, the primary goal is only
based on human interest and human need. And in the end, shows the impact of the
priority view of anthropocentrism and technocentrism to the overall balance and
sustainability in nature.
x
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ii
ABSTRAK........................................................................................................... ........... iii
ABSTRACT .................................................................................................................... iv
MOTTO .......................................................................................................................... v
PERNYATAAN ........................................................................................................... vi
KATA PENGANTAR .................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. x
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. .... 1
1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
1.1.1 Pembangunan Berkelanjutan………………. ........................ 5
1.1.2 Kemunculan Green- Living …………………………... ....... 14
1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... ..... 25
1.3. Pembatasan Masalah ........................................................................ 25
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 25
1.4.1. Tujuan Penelitian.................................................... .............. 25
1.4.2. Manfaat Penelitian............................................................ .... 26
1.5. Kerangka Pemikiran........................................................... ............... 26
1.5.1. Diskursus................................................................ ............... 26
1.5.2. Deep Ecology.................................... .................................... 31
1.5.3. Politic of Nature.......................................................... .......... 34
1.5.4. Hipotesis.......................................................................... ...... 40
1.6. Metode Penelitian......................................................................... ..... 40
1.7.1 Jenis Penelitian ..................................................................... 41
1.7.2 Sifat Penelitian ..................................................................... 41
1.7.3 Bentuk Penelitian ................................................................. 42
1.7.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................... 42
1.7.5 Metode Analisis ............................................................... .... 43
1.7. Sistematika Penulisan........................................................................ 44
xi
BAB II GREEN CARS DAN UPAYA PENYELAMATAN ALAM……... .......... 46
2.1. Sekilas Mengenai Green Cars.............................. ............................. 48
2.2. Jenis-Jenis Green Cars .................................................................... 53
2.3. Keterkaitan Dengan Upaya Penyelamatan Lingkungan........ ........... 58
2.4. Wacana Penggunaan Green Cars................................................ ...... 62
BAB III NARASI ANTROPOSENTRIS DALAM WACANA
PENYELAMATAN ALAM................................ ..... ................................ 68
3.1 Solusi Yang Bermunculan................................................................. 70
3.2. Penggunaan Teknologi Dalam Upaya Penyelamatan Linkungan ..... 73
3.3 Wacana Penyelamatan Lingkungan............................................ ...... 81
BAB IV KESEIMBANGAN DAN KEBERLANJUTAN ALAM.. ........................ 93
4.1. Pandangan Antroposentris, Ekosentris dan Teknosentris Dalam
Melihat Alam .................................................................................... 94
4.1.1. Antroposentrisme................................................. ..... 94
4.1.2. Ekosentrisme........................................................ ..... 100
4.1.3. Teknosentrisme.................................................... ..... 105
4.2. Politic of Nature ................................................................................ 112
4.3. Keseimbangan dan Keberlanjutan Alam..................................... ...... 115
BAB V PENUTUP............................. ..................................................................... 128
5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 128
DAFTAR PUSTAKA
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan mengenai isu-isu yang terkait dengan lingkungan saat ini
telah mengalami peningkatan, hal ini didasari dengan semakin meningkatnya
kepedulian masyarakat dunia internasional terhadap dampak-dampak yang terjadi
akibat dari perubahan iklim serta degradasi lingkungan. Kampanye-kampanye
mengenai isu perubahan iklim juga terus dilakukan oleh berbagai kelompok
masyarakat, dengan tujuan agar isu lingkungan tetap menjadi agenda penting
dalam pembahasan internasional, serta semakin meningkatkan kepedulian
masyarakat terhadap isu lingkungan yang nantinya diharapkan akan membuahkan
sebuah tindakan perubahan guna menyelamtkan lingkungan dari kerusakan yang
terjadi saat ini.
Pada dasarnya, isu lingkungan mulai masuk kedalam agenda pembahasan
internasional ditandai oleh dua peristiwa penting, yakni Stockholm Conference
dan Earth Summit. Dimana pada dasarnya Stockholm Conference di tahun 1972
menjadi gerbang awal terciptanya kerjasama mengenai pembahasan isu
lingkungan serta mulai terjadinya perdebatan-perdebatan di dunia internasional
terkait dengan isu-isu lingkungan.1 Dari pertemuan tersebut kemudian dibuatlah
1 Moestafa Toelba, et.al. 1992. The World Environment 1972-1992: Two Decades of Challenges.
(London: Chapman & Hall), hlm: 742.
2
sebuah badan institusi internasional dibawah PBB yang bernama United Nations
Environment Programme (UNEP), yang menjadi sebuah wadah dalam menangani
isu lingkungan terkait diplomasi serta pengembangan terhadap hukum dalam isu
lingkungan. Namun Stockholm Conference tidaklah berjalan dengan mulus, tetapi
terdapat banyak perdabatan keras didalamnya, tertuma perdebatan mengenai
kepentingan negara-negara terkait upaya penggunaan serta pemanfaatan
lingkungan. Meski banyak terjadi perdebatan didalamnya, pertemuan tersebut
dianggap membawa hasil yang cukup besar, karena telah membawa isu
lingkungan untuk dibahas didalam agenda internasional, dan sekaligus menjadi
basis dalam setiap pembahasan isu lingkungan berikutnya.2
Pasca Stockholm Conference, pembahasan isu lingkungan terus dilakukan
oleh berbagai aktor, baik oleh negara, maupun kelompok-kelompok masyarakat,
dengan fokus utama untuk mencari upaya dalam pencarian solusi terkait
permasalahan degradasi lingkungan. Upaya pencarian solusi tersebut dapat terlihat
ketika dilangsungkannya United Nations on Environment and Development
(UNCED) di tahun 1992. Pertemuan ini juga lebih dikenal dengan sebutan Earth
Summit, dimana konferensi tersebut dibutuhkan untuk menyusun langkah-langkah
dalam menghentikan degradasi lingkungan, dengan konteks meningkatkan upaya,
baik nasional maupun internasional, dalam mempromosikan pembangunan
berkelanjutan di semua negara.3 Pertemuan yang dilakukan di Rio de Janeiro,
2 Lorraine Elliot. 2004. The Global Politics of the Environment, 2
nd Edition. (New York: Palgrave
Macmillan), hlm: 12. 3 UNGA (United Nations General Assembly).1989. “United Nations Conference on Environment
and Development”, Resolution 44/228. 85th
Plenary Meeting, 22 December. Part I, para.3.
3
Brazil, ini menghasilkan beberapa keluaran, diantaranya Rio Declaration, Agenda
21, serta UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Dari keluaran yang dihasilkan tersebut, dapat terlihat bahwa adanya
ketakutan umat manusia dalam menghadapi degradasi lingkungan. Manusia
berusaha sebisa mungkin untuk bisa bertahan terhadap dampak dari perubahan
yang terjadi pada alam ini dan tetap berupaya menjadi satu-satunya aktor dalam
ekosistem yang ada di bumi ini, padahal manusia juga merupakan salah satu
spesies yang ada di alam ini. Apa yang terus dilakukan oleh umat manusia
cenderung tidak melihat dampak akan aktifitas mereka terhadap mahluk lain yang
juga membutuhkan bumi ini. Langkah-langkah terus diupayakan agar manusia
tetap menjadi aktor utama dalam ekosistem. Salah satunya melalui pembangunan
berkelanjutan, yang dianggap dapat menjadi jalan tengah antara manusia dengan
alam. Hal tersebut tertuang didalam salah satu isi dari Rio Declaration yang
menjadi landasan dalam pembangunan berkelanjutan, bahwa; “Human beings are
at the centre of concerns for sustainable development. They are entitled to a
healthy and productive life in harmony with nature.”4.
Dengan ditempatkannya manusia sebagai konsentrasi utama dalam
pembangunan berkelanjutan, ini menunjukkan bahwasanya apa yang ingin dicapai
dari pembangunan berkelanjutan hanyalah sebuah bentuk cara agar manusia bisa
tetap bertahan, bukan berdasarkan pada upaya untuk melakukan penyelamatan
terhadap alam. Seharusnya, jika memang pembangunan berkelanjutan dapat
4 UNCED (United Nations Conference on Environment and Development).1992. “Report of the UN
Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August.
4
dijadikan sebagai sebuah cara dalam upaya penyelamatan alam, maka manusia
tidak ditempatkan sebagai konsentrasi utama, tetapi manusia diletakkan didalam
alam itu sendiri. Karena manusia merupakan salah satu spesies yang ada di alam
ini, bukan satu-satunya. Selain tertuang melalui isi dari deklarasi Rio tersebut,
pendekatan melalui sudut pandang dari manusia juga tertuang dari tujuan akhir
dibentuknya UNFCCC:5
“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments
that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with
the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas
concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous
anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be
achieved within a time-frame sufficient to allow ecosystems to adopt naturally to
climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable
economic development to proceed in sustainable manner.”
Bila melihat pada dua hal diatas, maka ini secara tidak langsung
memberikan pembenaran bahwasanya manusia takut bila nantinya tidak bisa
bertahan dalam ekosistem ini. Segala upaya terus dilakukan oleh manusia agar
dapat memenuhi setiap kebutuhannya, meskipun nantinya harus berhadapan
dengan alam, asalkan kebutuhan manusia bisa terpenuhi maka setiap resiko akan
terus dilakukan. Hal ini mengarah kepada apa yang disebut sebagai
antropocentris, dimana menurut Eckersley antropocentrism adalah pandangan
dimana terdapat pembedaan yang sangat jelas antara manusia dengan seisi alam
lainnya, bahwasanya manusia adalah satu-satunya sumber atau mahluk yang
berharga dan memiliki nilai di dunia.6 Pandangan inilah yang terus digunakan
5 UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).“Article 2”, diakses dari
http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1353.php pada 25 December 2012, pukul 19.29 WIB. 6 Eckersley. R. 1992. Environmentalism and Political Theory. (Alabany: State University of New
York Press), hlm: 51. Dikutip dari Ronald E. Purser. 1995. “Limits To Anthropocentrism: Toward an
5
oleh manusia dalam melihat alam, sehingga apa yang ada di alam hanyalah
sebagai sebuah komoditas guna memenuhui setiap aspek kebutuhan manusia, hal
ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dally dan Cobb, dimana manusia
memperlakukan alam layaknya sebuah bisnis7, alam selalu dijadikan sebagai
pemuas kebutuhan manusia.
Dengan dikedepankannya pandangan antropocentris, maka selamanya
manusia akan menjadi superior dalam ekosistem ini. Artinya, meskipun tanda-
tanda akan telah terjadinya degradasi lingkungan semakin jelas, manusia tetap
akan mencari cara untuk mencari solusi agar dapat terus mengeksploitasi alam,
terutama dalam hal pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan
akan terus diupayakan agar manusia dapat tetap melanjutkan kehidupannya di
alam ini, dan secara tidak langsung akan terus menempatkan manusia sebagai
spesies tunggal didalam alam ini.
1.1.1 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan dianggap menjadi jawaban dalam
permasalahan hubungan antara pembangunan dengan lingkungan. Ketika
negara memutuskan untuk melakukan pembangunan, terutama dengan
menggunakan industri, maka alam kerap kali menjadi korban dari proses
tersebut. Baik dalam hal digunakanannya sumberdaya alam sebagai
Ecocentric Organization Paradigm”, Academy of Management Review, vol.20, no.4, Oktober. Hlm: 1054 7 Dally.H & Cobb. J. 1994. For the Common Good. (Boston: Beacon Press). Dikutip dari Max H.
Bazerman & Andrew J. Hoffman. 1999. Sources of Environmentally Destructive Behavior: Individual, Organizational and Institusional Perspectives. Research in Organizational Behavior, vol.21. hlm: 46.
6
komoditas, maupun hasil dari proses tersebut. Manusia sadar bahwa jika
hal tersebut terus dilakukan, tentu akan mencedrai generasi umat manusia
yang akan datang. Atas dasar hal tersebutlah manusia mencari solusi, dan
pembangunan berkelanjutan dianggap dapat menjadi jawaban dalam
permasalahan tersebut. World Commision on Environment and
Development (WCED) menjelaskan mengenai hal-hal yang diperlukan
dalam pembangunan berkelanjutan:8
“a political system that secures effective citizen participation...an
economic system that is able to generate surpluses and technical
knowledge on a self-reliant and sustained basis, a social system that
provides solutions for the tensions arising from disharmonious
development, a production system that respect the obligation to
preserve the ecological base for development, a technological system
that can search continuously for new solutions, an international system
that fosters sustainable patterns of trade and finance and an
administrative system that is flexible and has the capacity for self-
correction.”
Selain itu, WCED juga memberikan definisi mengenai
pembangunan berkelanjutan, yaitu: “Development that meets the needs of
the present without compromising the ability of future generations to meet
their own needs.”9
Bila mengacu pada hal di atas, maka fokus dari pada pembangunan
berkelanjutan adalah agar manusia dapat tetap memenuhi kebutuhannya
saat ini dan tidak “mengganggu” generasi yang akan datang dalam
pemenuhan kebutuhannya, terutama dalah hal-hal yang mencakup
pembangunan. Gaya pembangunan yang berkembang pasca perang dunia
2, dengan fokus pembangunan melalui jalan industrialisasi dianggap tidak
8 WCED.1987. ibid.
9 Ibid.
7
memenuhi persyaratan dalam pembangunan berkelanjutan, dan perlu
dilakukan perubahan, karena jika model pembangunan tersebut terus
digunakan maka dampak dari degradasi lingkungan akan semakin dapat
dirasakan. Dengan terus digulirkannya wacana pembangunan
berkelanjutan, maka perlu dilakukan perubahan-perubahan agar
pembangunan berkelanjutan dapat dijadikan basis dalam upaya
pembangunan diseluruh dunia. Dalam hal peningkatan pertumbuhan
melalui industripun perlu diubah agar lebih berkelanjutan, dengan cara
“less energy- and material intensive and more material and energy-
efficient”10
.
Setelah berakhirnya Perang Dunia II, mulai banyak bermunculan
negara-negara merdeka baru. Negara-negara yang sebelumnya berada pada
kekuasaan negara kolonial mulai mendapatkan kemerdekaan mereka.
Dengan berdiri sebagai sebuah negara baru, negara-negara merdeka
tersebut mulai mencoba untuk bangkit dan berupaya untuk melakukan
pembangunan dalam setiap aspek, baik itu politik, ekonomi, bahkan sosial.
Dalam melakukan pembangunan tersebut, negara-negara yang sedang
melakukan perkembangan ini mengikuti cara-cara pembangunan yang
telah dilakukan oleh negara-negara maju, dengan harapan agar kemudian
negara berkembang dapat menjadi negara maju. Rostow menjelaskan hal
tersebut kedalam tahapan-tahapan linear dalam pembangunan, dimana
terdapat lima tahapan, yaitu; masyarakat tradisional, pra kondisi lepas
10
Ibid.
8
landas, lepas landas, pendewasaan dan zaman konsumsi masa besar-
besaran.11
Teori tersebut menyarankan bahwa negara-negara sedang
berkembang untuk tinggal mengikuti tahapan-tahapan yang telah ada agar
kemudian dapat menjadi negara maju. Prasayarat penting untuk dapat
tinggal landas adalah suatu negara harus mampu membangun pertanian,
industri dan perdagannya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan
ekonomi yang bersinambungan. Konsep pembangunan ini kemudian
digunakan oleh negara-negara berkembang agar dapat meningkatkan
pertumbuhan ekonomi mereka. Industrialisasi kian digunakan oleh negara-
negara berkembang untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi mereka.
Industri juga kemudian seakan menjadi hal yang harus dilakukan oleh
setiap negara dalam upaya melakukan pembangunan. Namun, sayangnya
cara pembangunan tersebut mengeluarkan dampak yang sangat buruk bagi
lingkungan, karena dalam prosesnya pembangunan melalui industri
menempatkan lingkungan sebagai komoditas utama mereka. Dengan sifat
pembangunan yang eksploitatif tersebut maka degradasi terhadap
lingkungan pun mulai bermunculan dan tak terhindarkan. Maka kemudian
pembangunan berkelanjutan muncul sebagai sebuah konsep yang dianggap
dapat merubah konsep pembangunan yang telah berkembang yang bersifat
eksploitatif terhadap alam agar kemudian berubah menjadi lebih harmonis
kepada alam.
11
W.W. Rostow.1960. “The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”. Diakses dari https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm pada 15 January 2013, pukul 21.12 WIB.
9
Pembangunan berkelanjutan sendiri merupakan konsep yang hadir
sejak tahun 1970an, sebagai anti-thesis atas konsep pembangunan yang
eksploitatif. Dimana pada pembangunan yang eksploitatif, alam hanya
berupa komoditas yang digunakan oleh umat manusia dalam upaya untuk
pemenuhan kebutuhan, dalam hal ini direpresentasikan melalui upaya
negara dalam melakukan pencapaian terhadap pertumbuhan ekonominya.
Berbeda dari pembangunan yang eksploitatif, prinsip utama pembangunan
berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang dapat mencakuipi
kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi
mendatang untuk mencakupi kebutuhan mereka sendiri. Elemen-elemen
pokok pembangunan berkelanjutan adalah; tercukupinya kebutuhan dasar,
pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efisien, teknologi ramah
lingkungan, demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber
daya, dan pembatasan jumlah penduduk.12
Dari kelima elemen pembangunan berkelanjutan diatas, yang dapat
dirasakan dan dapat terlihat adalah teknologi ramah lingkungan. Seiring
dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi diupayakan agar dapat
membantu dalam menanggulangi dampak dari degradasi lingkungan,
meskipun tidak dapat menghentikan laju degradasi, paling tidak dengan
kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan maka kerusakan
lingkungan dapat diminimalkan. Hal inilah yang disebut oleh William
12
Bernadius Steni.2010. Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai Copenhagen, (Jakarta: Perkumpulan Huma), hal: 15.
10
Rees sebagai techno-optimism13
, yang meyakini bahwa dengan teknologi
dan ilmu pengetahuan akan membantu dalam menjawab permasalahan
degradasi lingkungan.
Namun, dengan dijadikannya teknologi sebagai salah satu cara
dalam menanggulangi degradasi lingkungan, hal ini menimbulkan polemik
tersendiri dalam dunia internasional, karena tidak semua negara di dunia
ini memiliki kemampuan dalam pengembangan teknologi. Teknologi
mungkin bukan menjadi sebuah masalah bagi negara-negara yang memilki
kapital yang besar, karena mereka dapat membeli teknologi tersebut untuk
diri mereka sendiri. Tetapi hal tersebut tidak dapat dirasakan oleh negara-
negara miskin, jangankan untuk membeli teknologi dari negara lain, untuk
mendapatkan kapital saja terkadang hal tersebut sulit untuk didapatkan.
Perbedaan ini yang kemudian turut mewarnai pembahasan dalam isu
lingkungan, mengenai perbedaan kemampuan antara satu negara dengan
negara lainnya. Permasalahan ini kemudian ditengahi oleh PBB dengan
hasil keputusan mengenai kerjasama dalam upaya transfer-technology14
dari negara-negara maju kepada negara berkembang, agar negara
berkembang dapat melakukan mitigasi terkait degradasi lingkungan
melalui perkembangan teknologi.
13
William E. Rees.2002. The Ecology of Sustainable Development, The Ecologist, vol. 20, no. 4, Winter. Hlm: 17. 14
UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).2001. “Transfer Technology”. (Geneva: United Nations). Hlm: 6.
11
Tetapi sayangnya keputusan PBB tersebut tidaklah bersifat
mengikat, dalam artian tidak ada sangsi yang diterima baik negara maju
maupun berkembang terkait transfer technology tersebut. Selain itu negara
maju lebih melihat konsep dari transfer technology ini tidak semata-mata
hanya mentransfer saja tanpa mendapatkan keuntungan, mereka lebih
menganggap hal tersebut sebagai sebuah bentuk kerjasama dimana
terdapat simbiosis mutualisme didalamnya. Terlebih teknologi tidaklah
dimiliki oleh negara, melainkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang
mana harus segera dibayarkan untuk investasi mereka.15
Dengan dilangsungkannya World Summit on Sustainable
Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002,16
secara tidak langsung hal tersebut mengubah gaya pembangunan yang
telah ada sebelumnya menjadi pembangunan berkelanjutan, dengan
menempatkan aspek kebutuhan generasi mendatang dalam pemenuhan
kebutuhan melalui pembangunan yang ada saat ini. Terlebih dengan fokus
pada penggunaan teknologi, maka diharapkan perubahan yang terjadi dari
degradasi lingkungan dapat diminimalkan sehingga dampak-dampak yang
dirasakanpun akan dapat semakin berkurang.
Teknologi ramah lingkungan saat ini terus dikembangkan oleh
berbagai perusahaan teknologi dunia. Dengan terus bermunculannya
15
Lorraine Elliot.2004. Hlm: 180. 16
WSSD (World Summit on Sustainable Development).2002. “Johannesburg Declaration on Sustainable Development”, A/CONF.199/20, 4 September. Diakses dari http://www.un-documents.net/jburgdec.htm pada 28 December 2012, pukul 21.15 WIB.
12
teknologi ramah lingkungan, maka masyarakat luas dapat ikut berperan
aktif terhadap “penyelamatan” lingkungan. Bila ingin menghentikan laju
dari degradasi lingkungan, maka perubahan juga harus dilakukan dalam
pola kehidupan manusia, karena aktifitas manusia cendrung berdampak
langsung kepada kerusakan alam. Teknologi ramah lingkungan
diupayakan agar dapat membantu proses perubahan tersebut, karena
manusia saat ini dapat dikatakan telah mengalami kecanduan terhadap
teknologi, dan dengan adanya teknologi ramah lingkungan tersebut maka
manusia dapat ikut “menyelamatkan” lingkungan sekaligus memenuhi
kebutuhan mereka.
Dengan adanya kemajuan dibidang teknologi, manusia berusaha
mencoba “mengalahkan” dampak dari degradasi lingkungan dengan
menggunakan inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh perkembangan
teknologi. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi dalam
upaya mitigasi penurunan emisi karbon. Aktifitas yang dilakukan oleh
manusia, cendrung berdampak pada peningkatan pelepasan emisi karbon
ke atmosfir. Pelesapan tersebutlah yang berujung hingga terjadinya
perubahan iklim, karena emisi karbon yang terlepas ke atmosfir akan
mengakibatkan meningkatnya selimut alami bumi yang berujung kepada
terjadinya peningkatan suhu bumi, sehingga kemudia terjadilah pemanasan
global.17
Menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa peningkatan emisi
karbon akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan di bumi ini,
17
Perubahan iklim, diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-iklim-global/ pada 16 April 2013, pukul 01.32 WIB.
13
bahkan jika hal ini tidak ditanggulangi maka akan dapat berujung kepada
kematian.18
Hal itulah yang kemudian membawa kekhawatiran bagi
manusia, khawatir akan tidak dapat bertahan dari perubahan yang terjadi di
alam ini, hingga kekhawatiran akan punahnya spesies manusia. Didasari
akan hal tersebutlah maka upaya-upaya mitigasi terhadap perubahan iklim
terus dilakukan, agar kehawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan.
Namun upaya mitigasi tersebut akan menjadi usaha yang sia-sia
jika perubahan tidak dilakukan pada aspek kehidupan manusia itu sendiri,
terutama dalam perubahan cara pandang manusia dalam melihat alam.
Perubahan juga harus dilakukan hingga menyentuh gaya hidup manusia,
karena gaya hidup manusia yang cendrung konsumtif inilah yang pada
akhirnya berujung pada terus dilakukannya eksploitasi alam, dengan
tujuan pemenuhan kebutuhan manusia. Melihat hal tersebut, maka para
aktifis lingkungan mencoba mengkampanyekan gaya hidup baru, yang
mana mengubah cara pandang manusia dalam melihat alam, serta
berupaya untuk menekan sifat konsumtif dari manusia itu sendiri, sehingga
pada akhirnya diharapkan agar manusia tidak lagi melihat dirinya sebagai
spesies tunggal di alam, namun melihat dirinya sebagai salah satu spesies
di dalam alam ini.
18
Lousi Bergeron, Study Links Carbon Dioxide Emissions to Increased Deaths. Diakses dari http://news.stanford.edu/news/2008/january9/co-010908.html pada 16 April 2013, pukul. 01.36 WIB.
14
1.1.2 Kemunculan Green-Living
Green-living atau Sustainable Living adalah sebuah gaya hidup
yang mencoba untuk mengurangi penggunaan terhadap sumberdaya alam
oleh individu maupun masyarakat.19
Istilah ini mulai menyebar bersamaan
dengan digaungkannya pembangunan berkelanjutan diseluruh dunia.
Green-living banyak digunakan oleh aktifis-aktifis lingkungan dalam
melakukan kampanye, dengan tujuan agar manusia dapat hidup bersama
dengan alam dalam pola hubungan yang harmonis, dan pola tersebut akan
terus dikampanyekan hingga pada akhirnya pola hidup tersebut menjadi
basis dalam setiap aspek pemikiran manusia. Pada dasarnya pola tersebut
sangat diperlukan bila ingin merubah cara pandang manusia terhadap
alam, agar alam tidak terus dirusak oleh manusia akibat aktifitas umat
manusia dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Seperti yang telah
diketahui bersama bahwa aktifitas manusia cendrung bertolak belakang
dengan alam, dalam artian kerap kali terjadi kerusakan pada alam akibat
aktifitas manusia. Jika penyelamatan terhadap alam ingin dilakukan, maka
cara pandang manusia dalam melihat alam harus benar-benar diubah.
Dengan banyaknya publikasi serta kampanye-kampanye yang
dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat terkait dengan degradasi
lingkungan, hal ini semakin memunculkan rasa kesadaran manusia terkait
dampak dari degradasi lingkungan tersebut. Sejalan dengan hal tersebut,
19
Juha Ainoa, et.al.2009. “Future of Living”, dalam Yrjo Neuvo & Sami Ylonen (eds), Bit Bang: Rays to the Future. (Helsinki: Helsinki University Print), Hlm: 174.
15
penerapan dari teknologi ramah lingkunganpun telah sampai pada produk-
produk yang sering bersentuhan dengan aktifitas manusia. Produk-produk
ramah lingkungan tersebut diupayakan dapat menjadi “pembantu”
masyarakat dalam upaya penyelamatan lingkungan, dan diharapkan dapat
merubah semua produk-produk yang sifatnya cendrung memiliki dampak
besar terhadap degradasi lingkungan, menjadi produk-produk yang lebih
ramah terhadap lingkungan. Dengan dikedepankannya teknologi ramah
lingkungan, maka diharapkan segala bentuk kerusakan yang ada di alam
dapat terselesaikan, karena seakan telah diciptakan jembatan
penghumbung antara aktifitas manusia dengan alam, yakni produk-produk
yang bersifat ramah lingkungan. Penciptaan dari produk-produk berlabel
ramah lingkungan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan
kerusakan alam, artinya hal ini akan diupayakan untuk menjadi jawaban
dari upaya penyelamatan alam, dengan mengedepankan inovasi-inovasi
yang berkonsepkan ramah lingkungan.
Seiring dengan mulai muncul kesadaran manusia akan hal ini,
maka permintaan pasar terhadap produk-produk ramah lingkungan mulai
mengalami peningkatan yang cukup pesat. Telah banyak Perusahan-
perusahan yang mengubah produk mereka menjadi lebih ramah
lingkungan, terutama pada produk-produk elektronik dan otomotif, karena
keduanya merupakan hal yang paling sering bersentuhan dengan aktifitas
manusia. Dengan meningkatnya trend green-living maka greenwashing
muncul untuk mendapatkan profit. Greenwashing dapat dikatakan sebagai
16
sebuah pola dimana diberikan label “green” dalam sebuah produk, yang
tujuan akhirnya untuk mendapatkan profit.20 21
Memang pada dasarnya
pola greenwashing tidaklah buruk, ini merupakan sebuah langkah maju,
dibanding tidak melangkah sama sekali. Sangat penting kemudian untuk
ditelaah lebih lanjut, mana yang merupakan pola berkelanjutan dan mana
pola yang hanya “lebih baik melakukan sesuatu”. Yang kemudian harus
diperhatikan oleh manusia sebagai konsumen adalah melihat kembali
mana produk yang dikatakan ramah lingkungan yang tentunya telah teruji
melalui riset yang panjang, dan mana produk yang hanya diberikan label
ramah lingkungan saja.
Saat ini telah banyak produk-produk ramah lingkungan membanjiri
pasar dunia, hal ini sejalan dengan meningkatnya pola hidup green-living.
Sangat mudah untuk menemukan produk-produk yang memiliki label eco-
friendly atau ramah lingkungan di pasaran. Salah satunya dapat dilihat
pada pasar otomotif, terutama pada kendaraan berjeniskan city car. Hal
tersebut berkaitan dengan pengunaan transportasi oleh umat manusia.
Manusia dan transportasi mungkin tidak dapat dipisahkan, bahkan untuk
melakukan aktifitasnya sehari-hari, manusia tidak terlepas dari alat-alat
transportasi.22
Sayangnya alat transportasi yang digunakan hingga detik
20
Mohammad Solaiman.2011. “Responding to Climate Change: A Study on Eco-Labeling Practices in Consumer Goods of Bangladesh”, European Journal of Business and Management. Hlm: 46. 21
“The Definition of Green Living (and Greenwashing). Diakses dari http://www.sustainablebabysteps.com/definition-of-green-living.html pada 30 December 2012, pukul 00.24 WIB. 22
Lee Chapman.2006. “Transport and Climate Change: a review”, Journal of Transport Geography. Hlm: 355.
17
ini, cendrung melepaskan emisi karbon yang cukup tinggi, yang mana bila
hal tersebut terus dibiarkan maka pemanasan global akan terus mengalami
peningkatan. Bahkan, bila dilihat berdasarkan prosesnya, maka sektor
transportasi merupakan sektor yang sedari awal proses produksinya,
hingga menjadi sebuah produk dan produk tersebut digunakan, adalah
sektor yang selalu berbenturan dengan “penyelamatan lingkungan”. Pada
proses produksinya, alat-alat transportasi menggunakan bahan-bahan yang
diambil dari alam, kemudian setalah menjadi sebuah alat transportasi,
masih diperlukan bahan bakar untuk dapat menggerakan alat tersebut, dan
bahan bakar yang digunakan hingga detik ini adalah bahan bakar fosil,
kemudian setelah produk tersebut digunakan, hasil dari pembakaran bahan
bakar tersebut menghasilkan emisi yang cukup tinggi. Dengan pola
produksi yang demikian, ini menunjukan bahwa sektor transportasi
merupakan salah satu aktor dalam meningkatnya emisi karbon yang
terlepas di atmosfir. International Energy Agency (IEA) pada tahun 2012
mengeluarkan laporan statistik terkait emisi karbon.23
23
International Energy Agency (IEA).2012. “CO2 Emissions From Fuel Combustion: Highlight. 2012 Edition”. Hlm: 9.
18
Figure 1 CO2 Emission by Sector in 2010. Source: IEA 2012
Data diatas menunjukan tingkat emisi karbon dengan pembagian sektoral.
Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tenaga listrik merupakan sektor
dengan emisi karbon yang tinggi, hal tersebut dikarenakan sumber utama
dari tenaga tersebut merupakan bahan bakar fosil, dan penggunaan bahan
bakar fosil dapat meningkatkan emisi kabron. Sektor transportasi berada
pada tingkatan kedua, ini dapat dilihat dengan maraknya penggunaan alat
transportasi di dunia. Bahkan, dari data tersebut dapat terlihat bahwa
sektor transportasi menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi
dibandingkan dengan sektor industri pada umumnya. Selanjutnya emisi
karbon juga cukup tinggi dari sektor perumahan dan other.24
Dengan aktifitas manusia yang kerap kali bersentuhan dengan alat
transportasi, dan jumlah emisi yang cukup besar dari sektor ini, serta
adanya pola green-living dan kemajuan teknologi, maka nampaknya mobil
ramah lingkungan/green cars akan menjadi pilihan atau dibuat menjadi
24
Other disini termasuk public services, agrikultur/kehutanan, perikanan, serta industri energi selain listrik.
19
pilihan bagi manusia dalam penggunaan transportasi. Ini dapat terlihat
melaui upaya yang dilakukan oleh perusahaan otomotif dalam
memasarkan produk-produk mereka yang tertuang dalam setiap spesfikasi
mobil-mobil ramah lingkungan mereka yang mengatakan bahwa mobil-
mobil tersebut (green cars) di desaign untuk membantu dalam upaya
pengurangan emisi karbon. Hal inilah yang nampaknya kemudian dilihat
oleh perusahaan-perusahaan otomotif sebagai sebuah peluang untuk
mendapatkan profit yang besar. Karena produk-produk ramah lingkungan
nampaknya sedang mengalami peningkatan permintaan yang cukup besar.
Persaingan untuk mendapatkan profit tersebut nampaknya telah terlihat,
karena mulai banyak produsen mobil yang menghasilkan mobil-green
cars, diantaranya adalah Toyota25
, Ford26
dan BMW27
.
Green cars merupakan salah satu hasil dari penciptaan green
technology, dimana green technology merupakan sebuah inovasi dibidang
teknologi yang didalamnya mencoba untuk mengurangi dampak kerusakan
dari produk yang digunakan oleh manusia terhadap alam. Namun, dalam
penelitian ini, permasalahan yang akan lebih disoroti adalah pada green
cars, karena dalam prosesnya jenis ini cendrung lebih bersentuhan dengan
alam, mulai dari tahap proses produksinya, hingga ketika telah menjadi
25
Toyota Prius Plug-in Hybird, diakses dari http://www.carmagazine.co.uk/Drives/Search-Results/First-drives/Toyota-Prius-Plug-in-Hybrid-2011-CAR-Review/ pada 30 December 2012, pukul 01.25 WIB. 26
Ford Focus Electric, diakses dari http://www.ford.com/cars/focus/trim/electric/ pada 30 December 2012, pukul 01.26 WIB. 27
BMW Electric Car, diakses dari http://www.bmw-i.co.uk/en_gb/ pada 30 December 2012, pukul 01.27 WIB.
20
barang jadi, dampaknya terhadap lingkungan cendrung lebih besar.
Katakanlah pada proses produksinya, dimana untuk menghasilkan ban nya
saja diperlukan karet yang tentunya diambil dari alam, dan tentu karet
yang digunakan tidaklah sedikit, mengingat produksi mobil terus
mengalami peningkatan permintaan. Hal tersebut baru terlihat dari satu
komponennya saja, dan masih baru pada tahap proses produksi. Ketika
menjadi barang jadi dan digunakan pun masih cendrung bersentuhan
dengan alam, yakni pada sumber energi yang digunakan. Dimana untuk
mobil konvensional menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber
energi utamanya, yang mana penggunaan hal tersebut diyakini dapat
meningkatkan pelepasan emisi karbon ke atmosfir dan dapat mempercepat
terjadinya perubahan iklim. Dengan berlandaskan pada hal tersebut, maka
kemudian muncul sebuah inovasi baru, yakni green cars, yang diupayakan
untuk dapat menjawab permasalahan tersebut. Tetapi green cars sendiri
masih terdapat perdebatan dalam penggunaannya, terdapat publikasi-
publikasi yang mengatakan bahwa green cars tidak jauh berbeda dengan
jenis kendaraan konvensional, karena dinilai tetap memiliki dampak yang
buruk bagi lingkungan. Mengacu pada hal tersebut maka green cars
dipilih oleh penulis sebagai objek yang ingin diangkat dalam kemunculan
inovasi-inovasi teknologi yang dikatakan ramah lingkungan.
Dengan adanya “ketergantungan” manusia terhadap alat-alat
transportasi, maka ini memunculkan kekhawatiran lain, yakni tidak
bisanya manusia menggunakan alat transportasi seperti biasa, karena telah
21
ditunjukan data-data yang mengatakan bahwa alat transportasi yang ada
saat ini menjadi penyumbang besar bagi meningkatnya emisi karbon dan
perubahan iklim. Maka dengan munculnya green cars, hal tersebut seakan
menjadi penghilang rasa kekawatiran manusia dalam penggunaan
transportasi. Terlebih dengan iklan-iklan dari produk mobil ramah
lingkungan tersebut yang selalu mengatakan bahwa mobil tersebut
merupakan kendaraan yang tidak menghasilkan emisi, ini akan semakin
dilihat oleh manusia sebagai sebuah jalan keluar dari permasalahan sektor
transportasi dan kerusakan lingkungan.
Kemunculan green cars tentunya juga akan mempengaruhi
penggunan bahan bakar fossil, karena bahan bakar tersebut adalah sumber
energi utama bagi sebuah kendaraan. Namun dengan adanya green cars,
maka ketergantungan tersebut akan hilang, karena bahan bakar utama dari
mobil tersebut adalah tenaga listrik, bukan lagi bahan bakar fossil. Tetapi
sayangnya transformasi bahan bakar tersebut memunculkan permasalahan
baru. Di satu sisi hal ini akan membantu mengurangi penggunaan bahan
bakar fossil bagi alat-alat transportasi, namun di sisi lain hal ini akan
meningkatkan penggunaan energi listrik. Kembali merujuk pada data
statistik IEA diatas, bahwa tenaga listrik menjadi penyumbang emisi
terbesar, dan jika mobil ramah lingkungan tersebut menggunakan tenaga
listrik maka hal ini akan melipatgandakan penggunaan tenaga listrik, dan
tentunya juga akan melipatgandakan emisi yang dihasilkan dari tenaga
listrik tersebut.
22
The Norwegian University of Science and Technology study
menemukan bahwa emisi karbon akan meningkat dengan pesat jika batu
bara digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik, bahkan pembuatan
mobil bertenaga listrik lebih menghasilkan limbah yang cukup berbahaya
dibandingkan pembuatan mobil konvensional.28
Dengan temuan tersebut
maka ini akan semakin memberikan sebuah kekhawatiran mengenai cara
apa yang harus ditempuh agar emisi karbon dapat ditekan, dan tidak
berbahaya bagi alam ini. Adanya mobil ramah lingkungan mungkin dapat
memberikan sebuah pesan kepada manusia bahwa penciptaan green cars
tersebut dikarenakan adanya kemunculan fenomena perubahan iklim yang
terjadi saat ini, dan perlu dilakukan sebuah upaya agar ditemukan sebuah
jawaban terkait permasalahan tersebut.
Tetapi sayangnya hal ini masih menimbulkan pertanyaan, akankah
dengan munculnya green cars, maka manusia akan berfikir bahwa
memang terdapat permasalahan didalam alam dan perlu dicari sebuah
jawabannya? Ataukah kemudian hal ini akan menjadi sebuah fenomena
sesaat, dimana nantinya akan hilang begitu saja, dan manusia akan lupa
bahwa telah terjadi permasalahan didalam alam ini dan terus melakukan
eksploitasi terhadap alam? Bahkan pertanyaan besarnya lebih kepada
mengapa harus green cars yang menjadi solusi terkait permasalahan
lingkungan ? karena pada dasarnya sasaran utama dari penggunaan green
cars masih berkutat pada kepentingan manusianya saja, dan hal ini tentu
28
Electric Cars ‘Pose Environmental Threat’, diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/business-19830232 pada 17 April 2013, pukul 19.06 WIB.
23
tidak akan memberikan dampak besar terhadap upaya penyelamatan
lingkungan. Mengapa sasaran utama dari pencarian solusi terkait
penyelamatan lingkungan tidak diarahkan kepada cara pandang manusia
dalam melihat alam ? jika perubahan cara pandang dilakukan maka hal ini
telah menyelesaikan permasalahan hingga ke akar permasalahan tersebut,
dimana manusia lah yang harus dirubah agar tidak lagi eksploitatif
terhadap alam, dan tidak lagi menganggap bahwa dirinya merupakan
spesies tunggal didalam ekosistem ini.
Penggunaan green cars dikatakan merupakan suatu cara yang bisa
ditempuh dalam mengatasi permasalahan dari pelepesan emisi karbon
terhadap alam, dengan “wajah” yang dikatakan ramah lingkungan semakin
menegaskan bahwa penggunaan hal tersebut memang baik dan dibutuhkan
untuk dapat menyelamtkan alam dari kerusakan. Namun, hal tersebut perlu
kembali ditelaah, apakah memang ramah lingkungan disini sesuai dengan
prinsip-prinsip yang memang memusatkan pandangannya terhadap
keberlanjutan alam, ataukah green cars hanya menjadi sebuah bentuk
penegas bahwa hingga detik ini manusia masih tetap menempatkan
kepentingannya pada urutan teratas, meskipun dalam hal penyelamatan
alam dari kerusakan.
Salah satu cara pandang yang memusatkan perhatiannya terhadap
alam adalah cara pandang ekosentris, yang mana dalam hal ini pandangan
tersebut berupaya menolak cara pandang antroposentris yang hanya
memusatkan perhatiannya pada kepentingan manusia. Dalam ekosentris,
24
terkait permasalahan kerusakan yang terjadi di dalam alam, upaya untuk
mengatasinya adalah dengan tidak lagi menempatkan kepentingan manusia
diatas segalanya, melainkan lebih berpusat kepada kepentingan seluruh
mahluk hidup yang ada di dalam alam. Maka kemudian yang dibutuhkan
adalah sebuah perubahan fundamental dan revolusioner yang menyangkut
transformasi cara pandang dan nilai, baik secara pribadi maupun budaya
yang mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik.29
Apa yang coba dilakukan oleh manusia dalam mengatasi
permasalahan di alam ini nampaknya lebih mengedepankan aspek-aspek
penggunaan teknologi untuk kemudian dapat membantu dalam
mewujudkan penyelamatan alam tersebut, dan green cars terbukti menjadi
salah satunya. Namun, dari penggunaan green cars itu sendiri, yang
dikatakan sebagai teknologi ramah lingkungan dan dapat menjadi jawaban
dari penyelamatan alam juga perlu ditelaah kembali, apakah memang ini
sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan yang dipandang oleh ekosentris,
jika hal tersebut tidak demikian, atau nyatanya kepentingan manusia tetap
menjadi prioritas, maka kerusakan terhadap alam akan terus dapat terjadi,
seperti yang dikemukakan oleh pandangan ekosentris, dimana terjadinya
kerusakan lingkungan saat ini dikarenakan aktifitas manusia yang
berlebihan dalam memanfaatkan alam, dan perubahan terhadap cara
pandang tersebut dibutuhkan untuk dapat menyelamatkan alam dari
ancaman kerusakan.
29
A. Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. (Jakarta: Kompas), hlm: 93-100
25
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penilitian ini adalah: Bagaimana implikasi
pemahaman konsep ramah lingkungan dari penggungaan green cars
terhadap upaya penyelamatan alam?
1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah dalam penilitian ini lebih kepada fenomena
kemunculan green cars yang dinilai dapat menjadi salah satu jawaban bagi
permasalahan emisi karbon dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan.
Selain itu fenomena-fenomena yang terjadi dalam perubahan iklim dibatasi hanya
pada permasalahaan energi serta peningkatan emisi, dan pengerusakan alam yang
terjadi akibat eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.4.1 Tujuan Penelitian
Tujuan Penelitian ini adalah untuk:
a. Menunjukan bagaimana sebuah kebijakan terkait penyelamatan
lingkungan yang ada saat ini hanya didasari pada pandangan
antroposentris.
b. Menunjukkan bahwa penggunaan green cars merupakan sebuah
penegasan dikedepankannya pandangan antroposentris di dalam upaya
penyelamatan alam.
26
c. Menunjukkan narasi antroposentris yang berada dibalik upaya
penyelamatan alam.
d. Menunjukan bagaimana dampak dari aktifitas manusia terhadap
keseimbangan yang ada pada keseluruhan sistem alam ini.
1.4.2 Manfaat Penelitian
a. Memberikan pandangan baru bahwasanya upaya penyelamatan
lingkungan yang ada saat ini hanya berpusatkan pada pandangan
antoposentrisme.
b. Memberikan gambaran mengenai fenomena-fenomena yang terjadi
dalam isu perubahan iklim, yang perlu dikaji lebih dalam agar dapat
memberikan sebuah perubahan terkait upaya penyelamatan alam.
c. Menambah kajian ilmu HI, terutama dalam isu lingkungan yang
dibahas melalui kacamata HI.
1.5 Kerangka Pemikiran
1.5.1 Diskursus
Dalam penelitian ini, diskursus yang akan digunakan adalah
diskursus menurut Michael Foucault. Mengapa diskursus Foucault yang
digunakan, dikarenakan penulis melihat bahwa apa yang dipaparkan oleh
Foucault terkait dengan diskursus sangat tepat untuk menggambarkan serta
membongkar wacana-wacana yang bermunculan disekitar kemunculan
green cars yang menjadi objek dalam penelitian ini. Selain itu penulis juga
melihat terdapat pola-pola formasi diskursif yang nantinya dapat
27
membantu penulis dalam menganalisa penggunaan green cars ditengah
upaya penyelamatan alam. Formasi diskursif yang digunakan adalah
formasi objek dan formasi modalitas enunsiatif. Dimana pada formasi
objek nantinya akan membantu penulis dalam melihat siapa otoritas
dibalik dikeluarkannya sebuah wacana yang ada. Dan pada formasi
modalitas enunsiatif akan membantu juga dalam menulusuri siapa yang
yang berbicara mengenai wacana tersebut, karena nantinya hal tersebut
akan memberikan pengaruh pada terbentuknya pola pikir di lapisan
masyarakat.
Diskursus dapat dikatakan sebagai sebuah “pernyataan” yang
terperinci, rasional, dan terorganisasi yang dibuat oleh para ahli. Dalam
bukunya The Archaeology of Knowledge, Foucault menjelaskan mengenai
diskursus, bahwa; “Discourse refer to the general domain of all statement,
sometimes as an individualizable group of statements, and sometimes as a
regulated practice that accounts for a number of statements.”30
Diskursus sebagai „domain umum dari seleruh pernyataan‟,
bermakna bahwa diskursus dapat digunakan mengacu kepada seluruh
ucapan dan pernyataan yang dibuat, yang memiliki makna dan pengaruh.31
Dalam bentuk sebagai „kelompok pertanyaan yang dapat
diindividualisasikan‟, bermakna ucapan yang tampak membentuk sebuah
30
Michael Foucault. 1972. The Archaeology of Knowledge”,Trans. A. M. Sheridan Smith. (London: Routledge), hlm: 80. 31
Dodi Mantra. 2011. Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme. (Bekasi: Mantra Press), hlm:172-173.
28
pengelompokan.32
Pada dasarnya, diskursus merupakan sebuah sistem
pernyataan yang rasional, dan terorganisasi, ditopang oleh prosedur
validasi dan diikat kedalam formasi oleh komunitas para ahli.
Didalam sebuah diskursus, peran para “ahli” sangat diperlukan,
tujuannya adalah untuk menjadi “alat” pelegitimasi atau dapat dikatakan
sebagai penopang pembenaran akan bentuk diskursus tersebut, sehingga
bentuk tersebut dapat “diterima” sebagai sesuatu yang benar. Diskursus
harus dipahami sebagai sebuah sistem yang menstrukturkan cara kita
mempersepsikan atau melihat realita. Dengan kata lain, diskursus
merupakan sebuah bentuk konstruksi pemikiran.
Pada dasarnya kita hidup didalam “lingkup” diskursus, semua yang
ada disekitar kita adalah hasil dari diskursus. Sebagai contoh, semua
benda-benda yang ada disekeliling kita, benda tersebut adalah bentuk
diskursus. Seperti bentuk penamaan pada kursi misalnya, benda tersebut
dinamakan „kursi‟ karena telah disepakati sebagai untuk disebut sebagai
„kursi‟, dan penyebutan tersebut secara berulang-ulang, menjadikannya
“normal” didalam masyarakat.
Diskursus hampir mencakup semua hal, Foucault mengatakan
bahwa tidak ada bentuk yang tidak diskursus, semuanya terkonsrtuksikan
melalui diskursus. Sebagai contoh, tubuh, dimana tubuh adalah objek
materil, tubuh dapat dipahami melalui perantara diskursus, pemahaman
32
Ibid. hlm: 173.
29
akan tubuh kita hanya muncul melalui diskursus --- kita mengukur ukuran
tubuh kita melalui diskursus, yang menggambarkan bentuk sempurna, kita
menggambarkan rasa lelah sebagai penanda akan stres, karena diskursus
mengaitkan antara mental dan kesejahteraan fisik.33
Apa yang
digambarkan oleh Foucault menjadi penegasan bahwa semua yang ada
adalah bentuk diskursus dan relasi antar diskursus. Selain itu Foucault juga
menjelaskan mengenai prosedur-prosedur agar dapat menghasilkan sebuah
bentuk diskursus, prosedur tersebut menurutnya terdiri dari tiga eksklusi
eksternal, diantaranya;34
a. Taboo; adalah bentuk larangan dimana membuat kita sulit untuk
membicarakan subjek-subjek tertentu, seperti seksualitas dan
kematian, dan membatasi bagaimana kita membicarakan subjek-
subjek tersebut.
b. Pembedaan antara apa yang waras dan apa yang tidak waras;
dalam hal ini hanya pernyataan yang dianggap “waras” atau yang
dapat diterima dengan logika akal sehat saja yang bisa diterima.
Artinya pernyataan yang tidak waras tidak dapat diterima, dan ini
pada akhirnya akan membuat eksklusi akan sebuah subjek.
c. Pembedaan antara benar dan salah; dalam hal ini hanya
kelompok-kelompok yang dianggap “ahlli” sajalah yang dapat
menyatakan sebuah kebenaran. Tentunya para “ahli” tersebut juga
disupport oleh lembaga-lembaga, seperti universitas, lembaga
33
Sara Mills, 2003. Michel Foucault, (London & New York: Routledge), Hlm: 55-56 34
Ibid. Hlm: 57-58.
30
pemerintah, badan ilmiah, dsb, untuk mendukung kebenaran
tersebut. mereka yang berada diluar itu dapat diasumsikan bahwa
mereka tidak berbicara mengenai sebuah kebenaran.
Diskursus sendiri dapat dikatakan sebagai sebuah struktur
mengenai pernyataan apa yang mungkin dapat dikatakan, serta dalam
kondisi apa pernyataan dapat dianggap benar dan sesuai.35
Teori diskursus
yang dijelaskan oleh Foucault dapat membantu kita dalam
mempertimbangkan cara mengetahui apa yang kita ketahui, darimana
informasi yang kita dapat, bagaimana dan dalam keadaan seperti apa hal
tersebut dihasilkan.
Nantinya dengan menggunakan diskursus ini penulis akan
mencoba menguak sisi antroposentris yang “bersarang” didalam upaya-
upaya terkait penyelamatan lingkungan, terutama dengan melihat pada
fenomena kemunculan green cars. Kemudian diskursus ini juga akan
digunakan dalam upaya menunjukan kondisi-kondisi dimana
antroposentris tetap menjadi pusat “perhatian” dalam upaya penyelamatan
lingkungan. Dengan berkembangnya wacana penyelamatan lingkungan
yang ada saat ini, maka perlu dilakukan “penguakan” mengenai hal-hal
yang ada dibalik munculnya wacana penyelamatan lingkungan, agar dapat
diketahui “motif” sebenarnya dalam wacana penyelamatan lingkungan.
35
Ibid. Hlm: 66
31
1.5.2 Deep Ecology
Deep Ecology (DE) merupakan sebuah cabang dari teori-teori
ekosentris, dimana ekosentris sendiri merupakan kelanjutan dari teori
biosentris, yang pada dasarnya sama-sama menolak pandangan
antroposentris. Dalam pandangan antroposentris dikatakan bahwa manusia
merupakan pusat dari alam semesta, dan oleh karenanya alam pun hanya
dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan
kepentingan manusia. Bahkan dalam pandangan ini digambarkan bahwa
pada dasarnya alam hanyalah sebuah alat untuk pencapaian tujuan
manusia, dan alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri, manusialah
yang memberikan nilai kepada alam, dan nilai tersebut tentunya diberikan
manusia untuk kepentingan dirinya.
Namun kemudian pandangan tersebut dikritis oleh pandangan
biosentris, yang mengatakan bahwa tidak benar jika alam tidak memiliki
nilai, alam memiliki nilai tersendiri dan nilai tersebut terlepas dari
kepentingan manusia. Biosentris melihat bahwa manusia bukanlah pusat
dari alam, namun merupakan salah satu anggota komunitas biotis yang
saling tergantung dan terkait satu sama lain. Cakupan dari pandangan
biosentris adalah pada mahluk-mahluk biotis, artinya semua mahluk yang
hidup merupakan bagian dari alam, dan memiliki keterkaitan satu sama
lain. Pada dasarnya menurut biosentris, apa yang dilakukan oleh salah satu
anggota “komunitas” akan memiliki dampak pada anggota yang lainnya.
32
Berbeda dengan biosentris yang hanya mencakup mahluk-mahluk
biotis, dalam pandangan ekosentris, cakupannya menjadi lebih besar,
hingga pada mahluk-mahluk abiotis. Karena bagi ekosentris, mahluk-
mahluk biotis dengan benda-benda abiotis juga memiliki sebuah ikatan,
artinya setiap hal akan memiliki dampak kepada seluruh ekosistem. Salah
satu versi teori ekosentris yang berkembang saat ini adalah DE. Teori ini
pertama kali digunakan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, tahun
1973.
DE menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia,
tetapi berpusat pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya
mengatasi persoalan lingkungan hidup.36
Dalam pandangan ini
digambarkan bahwa apa yang dikatakan sebagai alam adalah sebuah
tempat dimana didalamnya terdapat manusia, hewan, tumbuhan dan
benda-benda abiotis yang kesemuanya memiliki ikatan yang saling terkait.
Bila terdapat “dominasi” oleh salah satu anggota dalam ikatan tersebut
maka akan berdampak pada keseluruhan komunitas. Adanya kerusakan
lingkungan yang ada saat ini, DE melihat hal tersebut dikarenakan
kesalahan yang dilakukan oleh aktifitas manusia yang berpengaruh
terhadap alam. Hal ini bisa dilihat bahwa manusia telah melakukan
dominasi terhadap alam ini, sehingga hal tersebut pada akhirnya merusak
keseluruhan ekosistem. Manusia selalu melihat bahwa dirinya merupakan
“spesies tunggal” didalam alam ini, sehingga mengenyampingkan segala
36
A. Sonny Keraf. 2010. Teori-Teori Etika Lingkungan Hidup. (Kompas: Jakarta), hlm: 93
33
hal yang bukan “manusia”. Pandangan demikianlah yang menurut DE
pada akhirnya membawa alam pada kerusakan.
Terkait dengan adanya kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini,
DE lebih berusaha untuk melihat akar permasalahan dan kerusakan dan
pencemaran lingkungan hidup secara lebih komprehensif dan holistik,
untuk kemudian mengatasinya secara lebih mendalam.37
Dalam hal ini
aspek sosial dan manusia juga menjadi perhatian utama dari DE. Manusia
menjadi perhatian utama karena bagi DE agar kerusakan lingkungan dapat
ditanggulangi, maka perubahan harus dilakukan juga pada diri manusia,
terutama pandangan manusia dalam melihat alam. Pandangan yang
berkembang hingga saat ini adalah bahwa manusia berada terpisah dari
alam, sehingga segala hal di dalam alam hanya dilihat untuk kepentingan
manusia saja, tanpa melihat bahwa aktifitas tersebut akan berdampak pada
ekosistem secara keseluruhan. Yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah
perubahan fundamental dan revolusioner yang menyangkut transformasi
cara pandang dan nilai, baik secara pribadi maupun budaya, yang
mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik.38
Jika
perubahan tersebut tidak dilakukan, maka manusia tetap akan memandang
alam sebagai sebuah objek bagi pemenuhan kebutuhan dirinya saja. Cara
pandang manusia harus dirubah, meskipun untuk melakukan hal tersebut
membutuhkan waktu yang sangat lama, karena pandangan antroposentris
telah “berakar” didalam setiap kehidupan manusia itu sendiri, namun
37
Ibid. hlm: 99 38
Ibid. hlm: 100
34
paling tidak hal ini harus tetap dilakukan, karena manusia harus
“disadarkan” bahwa terdapat komunitas di alam ini yang terkena dampak
negatif dari aktifitas manusia, yang tidak dapat “beradaptasi” lagi dari
ulah-ulah manusia terkait pemenuhan kebutuhannya.
Dengan menggunakan pandangan DE mengenai konsep alam itu
sendiri, nantinya akan penulis jadikan acuan ketika berbicara mengenai
alam dan hal-hal yang terkait dengan ekosiste. DE juga akan menjadi
bentuk kritik penulis dalam melihat kemunculan upaya penyelamatan
lingkungan, khususnya pada penggunaan green cars. Bahwa ketika
dikatakan ramah lingkungan, penulis akan berpacu pada lingkungan
menurut pandangan DE, dimana lingkungan merupakan tempat yang
didalamnya terdapat mahluk-mahluk biotis dan benda-benda abiotis. Perlu
ditelaah kembali, ketika berbicara mengenai lingkungan, perlu terdapat
penekanan mengenai bentuk lingkungan apa yang dimaksud ? dan
lingkungan bagi siapa ?, hal ini akan menjadi “penunjuk” dalam
membedah isu penyelamatan lingkungan yang berkembang saat ini.
Karena jika masih berpusat pada kepentingan manusianya saja, artinya
tidak ada upaya penyelamatan lingkungan, karena lingkungan merupakan
sebuah bentuk “rangkaian” yang terikat antara anggota komunitas.
1.5.3 Politics of Nature
Dalam melakukan pembedahan permasalahan yang diangkat dalam
penelitian ini, penulis juga menggunakan tulisan Andrew Dobson yang
35
berjudul Do We Need (to protect) Nature? Untuk digunakan sebagai acuan
dalam melakukan pembedahan terhadap pandangan-pandangan
antroposentris yang ada dibalik berbagai upaya penyelamatan lingkungan.
Dalam tulisannya tersebut Dobson berusaha untuk menjelaskan mengenai
„nature question‟ menimbulkan permasalahan mengenai agency, security
and protection dalam bentuk yang berbeda.39
Dobson mengatakan bahwa
permasalahan mengenai alam terutama ketika berbicara mengenai
“kerusakan” yang terjadi saat ini, akan membawa kepada permasalahan
mengenai security, dalam hal ini terdapat dua bentuk security menurut
Dobson, yaitu; life support dan existensial.
Life support, dimana alam merupakan sumber kehidupan, dan juga
menjadi sumber dari barang dan jasa. Alam perlu dijaga kelestariannya
karena alam menjadi penyokong segala jenis kehidupan, dan alam juga
perlu dijaga karena tanpa alam segala jenis kehidupan tidak akan dapat
melakukan apapun untuk dapat bertahan hidup. Dengan melihat alam
sebagai sebuah sumber kehidupan, maka alam perlu dilestarikan karena
hal ini merupakan suatu hal yang yang penting, karena tanpa alam, berarti
tidak ada kehidupan. Selain itu alam juga terkait dengan existensial
security. Dalam hal ini, Dobson menjelaskan hal tersebut dengan
menjadikan perkembangan teknologi mutasi genetik sebagai sebuah studi
kasus. Dengan berkembangnya teknologi, terutama dengan penerapannya
pada alam (mutasi genetik), hal ini akan memunculkan pandangan bahwa
39
Jef Husymans, et.al (eds). 2006. The Politics of Protection. (New York: Routledge), hlm: 175
36
mutasi genetik tersebut bersifat “melawan” alam dan akan berdampak
pada kehancuran tatanan yang ada di alam ini. Pada konteks
penggunaan/perkembangan teknologi genetik, ini menimbulkan
pertanyaan lain, bahwa untuk apa kita menjaga alam, jika pada akhirnya
alam dapat “dibuat” kembali. Bahkan hal ini juga akan menghancurkan
tatanan yang ada di alam, bahkan mungkin pada akhirnya manusia akan
lebih bertindak “semena-mena” terhadap alam, karena segalanya dapat
dibangun kembali. Dobson mengatakan, bahwa modifikasi genetik
terhadap non-human nature akan berdampak pada konsep diri kita sebagai
manusia.40
Kita (manusia) mendefenisikan kemanusian dalam berbagai
bentuk, namun terdapat dua pandangan yang paling umum. Pertama, apa
yang disebut oleh Fukuyama sebagai Human Essence, dimana terdapat
sebuah karakteristik-karakteristik spesifik untuk mengidentifikasi manusia,
dan hal tersebut menmberikan daftar yang digunakan untuk menilai
organisme yang seperti apa yang dapat disebut sebagai manusia. Kedua,
mengacu kepada apa yang dikemukakan oleh Felipe Fernandez-Armesto,
bahwa untuk dapat mengklaim sebagai manusia maka diperlukan non-
human nature untuk dapat menunjukan “bentuk” manusia itu sendiri.41
Bila melihat bagaiman manusia melakukan aktifitasnya dengan
alam, terdapat banyak teori dan bukti nyata yang mengatakan bahwa
40
Ibid. hlm: 175-178. 41
Ibid. hlm: 178-179
37
aktifitas yang dilakukan oleh manusia ini pada dasarnya natural, artinya ini
merupakan sifat alami manusia untuk bertahan hidup dan menjadikan alam
sebagai sumber kehidupannya. Fenomena-fenemona yang bermunculan
mengenai bencana alam dikatakan sebagai dampak yang diberikan oleh
alam kepada manusia karena telah “menggunakan” alam, hal ini disebut
oleh Sarte sebagai practico-inert. Dobson dalam hal ini mengutip
pemikiran Sarte untuk menjelaskan mengenai fenomena alam yang terjadi
saat ini. Apa yang disebut practico-inert adalah sebuah timbal balik yang
“diberikan” oleh alam kepada manusia terkait penggunaan alam untuk
kepentingan manusia. Disini Sarte memberikan contoh mengenai
deforestasi yang dilakukan oleh China untuk membuka lahan perkebunan,
dan hal tersebut menimbulkan timbal balik dari alam kepada manusia
dengan terjadinya banjir:42
“Deforestation as the elimination of obstacles becomes negatively a
lack of protection: since the loess of the mountains and peneplains is no
longer retrained by trees, it congrets the rivers, raising them higher
than the plains and bottling them up in their low reaches, and forcing
them to overflow their banks”.
Ketika manusia melakukan aktifitasnya, yakni memanfaatkan
alam, ini kemudian yang pada akhirnya menimbulkan batasan-batasan
antara manusia dengan non-manusia. Karena manusia melihat bahwa non-
manusia merupakan bagian dari alam, dan dapat dimanfaatkan untuk
menunjang kehidupan manusia sendiri. Sikap seperti ini yang pada
akhirnya menjadikan manusia sebagai spesies tunggal di dalam alam, dan
42
Sarte, J.-P. (1960/1976). Critique of Dialectical Reason. Vol.1. (London: New Left Books), dikutip dari Jef Husymans, et.al (eds). 2006. “The Politics of Protection”. (New York: Routledge), hlm: 179.
38
hal ini pula yang menjadi pemisah antara manusia dengan keseluruhan
alam.
Terkait dengan kerusakan alam, pada dasarnya manusia tidak akan
melakukan upaya pelestarian alam jika keamanan manusia sendiri tidak
terancam. Bahwa manusia tidak akan benar-benar tergerak jika hal
tersebut tidak menyangkut dirinya sendiri. Dalam hal ini alam seakan
menjadi sebuah “kerajaan” bagi manusia, dimana manusia membutuhkan
alam untuk memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk, yang dalam
bahasa Dobson; politik dan agennya.43
Melakukan proteksi terhadap alam, artinya memproteksi bentuk
politik itu sendiri, maka ketika alam kemudian rusak, maka keseluruhan
sistem politik yang ada pun akan ikut rusak. Sistem politik ini yang
menunjang manusia didalam alam, terkait bagaimana relasi manusia
dengan alam, dan bagaimana posisi manusia di dalam alam. Maka
kemudian penyelamatan terhadap alam perlu dilakukan, karena pada
dasarnya alam sendiri merupakan fondasi dasar mengenai sistem politik
tersebut.
Dengan adanya kemajuan teknologi, seperti kemunculan mutasi
genetik, Dobson mengatakan hal tersebut akan berpengaruh terhadap
keseluruhan sistem politik yang ada di alam ini, terutama terkait identitas
manusia itu sendiri. Hal tersebut akan memberikan sebuah keadaan yang
43
Jef Husymans, et.al (eds). Ibid. hlm: 183.
39
tidak stabil, karena bagaimana manusia memandang alam pun akan
berubah dengan adanya mutasi genetik tersebut. Dobson juga mengatakan
bahwa keadaan di alam ini harus distbailkan, karena dengan kondisi yang
stabil artinya akan memberikan sebuah keamanan, dan keamanan tersebut
akan tetap menjaga sistem ini.44
Apa yang dikemukakan oleh Dobson menunjukan bahwa
pelestarian alam perlu dilakukan agar sistem politik tersebut bisa berjalan.
Dengan menggunakan tulisan Dobson ini, penulis akan mencoba
menunjukan narasi antroposentris dalam kasus penggunaan green cars,
serta menunjukan kondisi-kondisi yang menyebabkan persistensi narasi
antroposentris dalam penyelamatan lingkungan.
Ketiga teori diatas nantinya akan digunakan oleh penulis dalam
menjawab serta menganalisa permasalahan yang diangkat dalam penelitian
ini. Dimana penggunaan diskursus akan lebih digunakan untuk dapat
membongkar bentuk wacana-wacana yang bermunculan disekitar upaya
penyelamatan alam, khususnya pada penggunaan green cars. Dengan
pembongkaran tersebut maka kemudian akan dilihat tujuan dari pada
penyelamatan alam yang tengah dilakukan saat ini. Kemudian adanya
Deep Ecology juga akan membantu dalam membentuk frame terkait
dengan alam itu sendiri, dimana upaya penyelamatan alam yang coba
dijelaskan disini adalah penyelamatan alam yang dipandang oleh
pandangan deep ecology. Dan yang terakhir adalah politc of nature,
44
Ibid. hlm: 185.
40
dimana hal tersebut akan digunakan penulis untuk menunjukan bagaimana
hubungan manusia di dalam alam, dan bagaimana dampak dari tindakan
manusia terhadap konsep alam itu sendiri.
1.5.4 Hipotesis
Dalam melakukan upaya penyelamatan terhadap alam, kepentingan
manusia tidaklah ditempatkan sebagai tujuan utama, karena jika hal
tersebut masih dilakukan artinya alam masih akan dinilai sebagai objek
pemuas bagi kebutuhan manusia yang tidak ada habisnya. Untuk itu
kemudian perubahan cara pandang manusia terhadap alam lebih
dikedepankan, karena dengan terciptanya sebuah pandangan baru antara
manusia dan alam, dimana alam dan manusia berada dalam satu kesatuan,
maka eksploitasi berlebih yang dilakukan manusia tidak akan terus terjadi,
karena dari hal tersebut akan memunculkan sikap saling membutuhkan,
ketika hal tersebut terjadi maka penyelamatan alam pun akan dapat
terealisasikan. Selain itu penggunaan label ramah lingkungan pada green
cars juga nampaknya hanyalah sebuah bentuk penegas bahwa kepentingan
manusia menjadi prioritas di dalam upaya penyelamatan alam.
1.6 Metode Penelitian
Untuk membuat suatu penelitian, diperlukan sebuah metode yang
membantu peneliti mengenai urutan-urutan terkait penelitian itu dilakukan.
Metode penelitian secara umum dimengerti sebagai suatu kegiatan ilmiah yang
dilakukan secara bertahap, dimulai dengan penentuan topik, pengumpulan data,
41
dan menganalisis data, sehingga nantinya diperoleh suatu pemahaman dan
pengertian atas topik, gejala atau isu tertentu.45
Dikatakan bertahap karena
terdapat sebuah proses yang perlu ditempuh, yang mana hal tersebut akan
membantu serta memudahkan penulis untuk melakukan sebuah penelitian. Penulis
membagi metode penelitian kedalam beberapa bagian, yaitu; jenis penelitian,
sifat penelitian, bentuk penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisis.
1.6.1 Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan model
kajian fenomena atau peristiwa. Skripsi ini bersifat analitis dan
eksplanatif, yakni bentuk penelitian yang berupaya untuk
menjelaskan mengapa suatu fenomena atau gejala sosial dapat
terjadi.46
Penelitian ini sering menghubungkan suatu fenomena
dengan fenomena yang lain. Karena sifatnya yang analitis dan
eksplanatif, topik skripsi ini adalah peristiwa atau fenomena-
fenomena yang sudah terjadi atau setidaknya sedang berlangsung.47
1.6.2 Sifat Penelitian
Sifat dalam penelitian ini adalah menggunakan metode
kualitatif yang berdasarkan pada penafsiran terhadap dunia
berdasar pada konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan
45
Dr. J.R. Marco, M.E., M.Sc., 2010. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Grasindo), hlm: 2. 46
”Jenis-jenis Metodelogi Penelitian” diakses dari http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2231652-jenis-penelitian/ 27 Februari 2013, pukul 20.55 WIB. 47
Endi Haryono dan Saptopo B. Ilkodar. 2005. Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa Hubungan Internasional. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm: 9.
42
angka-angka numerik, seperti etnometodelogi atau jenis-jenis
wawancara tertentu.48
Metode kualitatif menunjukan kualitas atau
mutu dari fenomena (keadaan, proses, kejadian/peristiwa, dan lain-
lain) yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan.49
Dengan
menggunakan metode ini, penulis berharap dapat menghasilkan
penelitian yang jelas, tegas dan terperinci.
1.6.3 Bentuk Penelitian
Bentuk penelitian ini adalah library research atau studi
kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan
penelaahan terhadap buku-buku, literatur, teks book, hasil
perjanjian, serta hasil penelitian yang telah ada. Penulis
menggunakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data-data
yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti sekaligus untuk
memperkuat fakta-fakta yang ditemukan.
1.6.4 Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah
melalui dokumentasi data. Dalam hal ini penulis akan
mengumpulkan data serta dokumen yang akan digunakan dalam
menjawab serta memahami permasalahan yang telah diajukan.
Data-data tersebut bersifat skunder, yang berasal dari buku-buku,
48
Jane Stokes. 2006. Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang), hlm: 15. 49
Endi Haryono. Hlm: 44.
43
jurnal, artikel, laporan organisasi, maupun surat kabar, yang
memiliki relevansi dengan topik yang penulis ajukan.
1.6.5 Metode Analisis
Dalam melakukan analisa terhadap penelitian ini, maka
metode analisis yang akan penulis gunakan adalah discourse
analysis. Discourse analysis mempelajari cara berkomunikasi yang
dilakukan oleh seseorang dengan orang lain melalui bahasa
didalam lingkungan sosial.50
Namun bahasa disini bukan menjadi
media netral dalam penyampaian informasi, melainkan terdapat
dalam situasi sosial dan membantu untuk membuat hal tersebut.
Bahasa membentuk cara pandang kita terhadap dunia, terhadap
sikap serta identias kita. Di dalam discourse analysis terdapat
sebuah formasi diskursif (discursive formations), yang dapat
membantu dalam upaya pemetaan terhadap struktur diskursus itu
sendiri. Formasi diskursif adalah sekelompok pernyataan yang
berhubungan dengan topik yang sama dan menghasilkan sebuah
hasil yang sama.51
Formasi diskursif juga mengarah kepada
pengelompokan tipe-tipe pernyataan, dimana kelompok pernyataan
tersebut berhubungan dengan institusi atau bentuk-bentuk
kekuasaan dan mempunyai efek kepada individu dan cara berfikir
mereka. Maka demikian, diskurs haruslah dilihat sebagai
50
Nicholas Walliman. 2006. Social Research Methods. (London: Sage Publications), hlm: 143 51
Sara Mills. Ibid. hlm: 64.
44
sekelompok pernyataan yang berhubungan dengan institusi,
berwenang dalam arti tertentu dan memiliki kesatuan fungsi pada
tatanan fundamental.52
Dalam penelitian ini, maka discourse analysis akan
digunakan untuk menganalisis pernyataan mengenai upaya
penyelamatan lingkungan yang dapat dilakukan dengan
menggunakan green cars. Serta akan dianalisa hingga sejauh mana
pernyataan tersebut dapat berpengaruh terhadap pembentukan
kondisi pemikiran serta cara berfikir seseorang terhadap fenomena
dan upaya penurunan emisi terkait penyelamatan lingkungan.
1.7 Sistematika Penulisan
BAB I Pendahuluan
Bab ini akan menjelaskan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah,
Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metodelogi
Penilitian, serta Sistematika Penulisan.
BAB II Green cars dan Upaya Penyelamatan Alam
Bab ini akan menjelaskan mengenai bagaimana dampak dari penggunaan
green cars terkait upaya-upaya penyelamatan lingkungan. Bab ini juga
akan membahas mengenai sasaran dari kemunculan mobil tersebut. Serta
52
Ibid. hlm: 65
45
akan dilihat sejauh mana perubahan yang terjadi dengan digunakannya
green cars tersebut.
BAB III Narasi Antroposentris Dalam Upaya Penyelamatan
Alam
Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai narasi antroposentris yang berada
dibalik upaya penyelamatan alam. Yang pada akhirnya akan menunjukan
sasaran serta alasan terkait dengan mengapa dilakukan penyelamatan
terhadap alam.
BAB IV Keseimbangan dan Keberlanjutan Alam
Pada bab ini akan lebih dijelaskan secara mendalam mengenai sistem di
dalam alam, yang dimana sistem tersebut memiliki sebuah bentuk
keseimbangan yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan dari alam.
Kemudian akan dipaparkan pula mengenai dampak dari tindakan-tindakan
yang dilakukan oleh manusia terhadap keseimbangan alam ini, akibat dari
tindakan yang diambil oleh manusia dalam hal penyelamatan alam.
BAB V Penutup
Bab ini merupakan bagian penutup dari penelitian.
46
BAB II
GREEN CARS DAN UPAYA PENYELAMATAN ALAM
Bumi saat ini tengah mengalami peningkatan suhu, yang mengarah pada
pemanasan global, dan hal tersebut berdampak pada terjadinya perubahan iklim
yang semakin dapat dirasakan. Pemanasan global ini juga dapat dilihat dengan
semakin mencairnya es di kutub utara, dan dari mencairnya es tersebut juga
berdampak pada terjadinya peningkatan air laut yang bila tidak dihentikan akan
menenggelamkan pulau-pulau kecil di bumi ini. Peningkatan air laut tersebut
barulah sebagian kecil dari dampak yang dapat terjadi dari terjadinya perubahan
iklim di bumi ini, bila tidak ditanggulangi maka lingkungan yang saat ini
ditinggali oleh berbagai mahluk hidup akan mengalami kerusakan dan mungkin
tidak dapat dijadikan tempat hunian lagi, mungkin manusia harus mencari planet
lain untuk disinggahi, karena bumi ini semakin mengalami “kerusakan”.
Terjadinya pemanasan global yang semakin terasa ini, salah satunya
dikarenakan oleh aktifitas manusia yang terlalu mengeksploitasi alam, sehingga
“keseimbangan” yang ada di alam ini terganggu. Berbagai aktifitas manusia
cendrung membawa dampak kerusakan kepada alam, namun dampak kerusakan
terbesar adalah adanya ketergantungan manusia akan bahan bakar fosil, yang
mana penggunaan bahan bakar tersebut akan mencemari lingkungan. Energi fosil
sering kali disebut sebagai energi kotor, dikarenakan dampak dari penggunaan
tersebut yang sangat mencemari lingkungan. Namun manusia memiliki
47
ketergantungan terhadap energi kotor tersebut, dikarenakan energi tersebut lebih
efisien dan memilki nilai ekonomi yang cukup tinggi, bahkan negara rela
berperang untuk mendapatkan energi tersebut.
Bahan bakar fosil ini banyak sekali digunakan oleh manusia dalam setiap
aktifitasnya, diantaranya adalah untuk menghasilkan energi listrik, menjadi bahan
bakar bagi alat transportasi, bahkan menjadi energi untuk melakukan
industrialisasi. Namun sayangnya penggunaan tersebut memiliki dampak buruk
bagi lingkungan, yaitu terjadinya pelepasan jumlah emisi karbon yang cukup
tinggi dari pembakaran fosil tersebut, dan emisi karbon yang tinggi akan semakin
berdampak pada peningkatan suhu bumi. Tetapi sayangnya semua kegunaan dari
energi fosil tersebut mengarahkan manusia kepada ketergantungan akan
penggunaan bahan bakar fosil, yang tentu menjadi sebuah masalah karena
ketergantungan ini mengakibatkan meningkatnya tingkat pemanasan global. Salah
satu ketergantungan tersebut dapat dilihat dari pengguaan energi fosil dari sektor
transportasi.
Sektor transportasi merupakan salah satu sektor penyumbang emisi
karbon, sebesar 20% dari total emisi karbon dunia dihasilkan dari sektor ini.1
Mengingat cukup besarnya tingkat emisi yang dihasilkan, maka serangkaian
upaya dilakukan untuk menekan jumlah emisi karbon tersebut, salah satunya
adalah dengan mengembangkan mobil-mobil yang bersifat ramah lingkungan.
Tujuannya adalah agar manusia tetap dapat menggunakan alat transportasi tanpa
1 Makin Mendesak Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi Dunia. Diakses dari
http://www.merdeka.com/tekno/makin-mendesak-pengurangan-emisi-di-sektor-transportasi-dunia.html pada 9 June 2013, pukul: 15.49 WIB.
48
“takut” bayang-bayang peningkatan dari emisi karbon yang dikeluarkan oleh
penggunaan alat transportasi tersebut. Manusia dan transportasi mungkin tidak
dapat dipisahkan, melihat bahwa untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari saja
manusia selalu bersentuhan dengan alat transportasi. Maka dengan munculnya
transportasi yang bersifat ramah terhadap lingkungan ini seakan membawa angin
segar bagi penggunaan transportasi dan kaitannya terhadap lingkungan, karena
dengan dikembangkannya teknologi green cars/mobil ramah lingkungan maka
ketakutan akan emisi karbon dari sektor transportasi sedikit mulai hilang.
2.1 Sekilas Mengenai Green cars
Green cars adalah mobil yang memiliki dampak lebih sedikit jika
dibandingkan dengan mobil konvensional yang menggunakan bensin.2 Green
cars juga mengarah kepada kendaraan yang menggunakan bahan bakar alternatif
untuk beroprasi.3 Dengan kata lain maka green cars merupakan sebuah kendaraan
yang tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber tenaga utamanya,
dan memiliki dampak yang lebih sedikit terhadap lingkungan. Dampak yang
dimaksud disini bisa berati pencemaran polusi, hingga pada tingkat pelepasan
emisi ke atmosfir. Para pembuat kendaraan ini membuat mobil tersebut hingga
pada titik dimana emisi tidak lagi dihasilkan dari penggunaan kendaraan tersebut,
sehingga upaya untuk menekan jumlah pelepasan emisi karbon dari sektor
transportasi dapat terealisasikan.
2 R.I.C Publication. 2005. Rainforest. Hlm: 67.
3 Green Vehicle Guide, diakses dari
http://www.greenstudentu.com/encyclopedia/green_vehicle_guide pada 9 June 2013, pukul: 18.46 WIB.
49
Dengan munculnya mobil-mobil yang bersifat ramah terhadap lingkungan,
maka mulai timbul anggapan-anggapan bahwa dengan penggunaan mobil tersebut
akan dapat membantu manusia untuk mulai menghentikan ketergantungannya
terhadap energi fosil, bahkan lebih jauh penggunaan green cars tersebut akan
membantu dalam upaya menghentinkan konskuensi dari pemanasan global.4
Ketergantungan manusia akan bahan bakar fosil juga turut menjadi salah satu
penyebab terjadinya pemanasan global, maka dengan dikembangkannya sebuah
“alat” yang tidak lagi menggunakan energi fosil, diharapkan ini dapat menjadi
sebuah cure atas “penyakit” yang dialami oleh manusia. Karena benda yang
mereka gunakan tidak menggunakan energi fosil, melainkan menggunakan energi
alternatif, maka manusia “dipaksa” untuk mencari, mengembangkan, dan
menggunakan energi alternatif tersebut untuk menggerakan benda yang mereka
gunakan, dalam hal ini adalah mobil-green cars yang mereka gunakan. Anggapan
ini dibenarkan oleh International Energy Agency (IEA), yang mengatakan bahwa
penggunaan green cars merupakan sebuah opsi yang baik untuk melakukan
pengurangan terhadap tingkat emisi karbon, bahkan IEA juga mengatakan bahwa
pemerintah dan pembuat mobil tersebut harus berkerjasama agar penggunaan
green cars dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.5
4 Mark Halper. Wreck The Environment – drive an electric car. Diakses dari
http://www.smartplanet.com/blog/bulletin/wreck-the-environment-drive-an-electric-car/2498 pada 10 June 2013, pukul: 16.11 WIB. 5 International Energy Agency (IEA). Auto Manufactures and Policy Makers Discuss Next Phase of
Electric Vehicle Deployment. Diakses dari http://www.iea.org/newsroomandevents/news/2012/october/name,32775,en.html pada 10 June 2013, pukul: 16.37 WIB.
50
Lantas kemudian apa yang membedakan antara green cars dengan mobil-
mobil konvensional pada umumnya? Sebenarnya yang membedakan antara
keduanya terletak pada mesin dan sumber tenaganya saja. Dalam proses
produksinya, baik green cars maupun mobil konvensional tidak memiliki
perbedaan. Namun, perbedaan yang paling dapat dirasakan adalah ketika mobil
tersebut dijalankan. Pada mobil konvensional, dengan bensin sebagai kekuatan
penggerak utamanya, akan menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi, dan
pelepasan emisi tersebut tentu berbahaya bagi atmosfir. Namun, pada green cars,
dengan digunakannya energi alternatif seperti listrik, hydrogen, dan sinar
matahari, maka ini cendrung lebih sedikit/bahkan tidak menghasilkan emisi
karbon sama sekali, dan tentunya ini berdampak baik bagi lingkungan.
Sektor transportasi merupakan salah satu sektor penting dalam
“pergerakan” manusia, karena sektor ini menjadi “pentransfer” hasil produksi dari
pabrik menuju tangan masyarakat. Selain itu sektor ini juga penting bagi mobilitas
manusia, saking pentingnya produksi kendaraan terus dilakukan. Pada tahun 2012
lalu saja, total produksi kendaraan konvensional diseluruh negara mencapai angka
lebih dari 60 juta unit.6 Angka tersebut baru hanya didapat dari tahun 2012 saja,
bayangkan berapa banyak jumlah keseluruhan kendaraan yang saat ini berada
dijalanan dunia. Tidak heran jika sektor transportasi menyumbang sebesar 20%
emisi karbon dari aktifitas manusia. Dengan banyaknya jumlah kendaraan
konvensional tersebut, maka harus dicari solusi agar emisi dari sektor transportasi
tidak mengalami peningkatan yang signifikan, karena sektor ini juga merupakan
6 Cars Produced in the World. Diakses dari http://www.worldometers.info/cars/ pada 10 June
2013, pukul: 18.34 WIB.
51
sektor terpenting bagi manusia. Dalam konfrensi internasional mengenai
lingkungan global dan energi dalam tranpsortasi, Dave McCurdy selaku Presiden
dari International Organization of Motor Vehicle Manufactures (OICA)
mengatakan bahwa sektor transportasi sangat berkaitan dengan sektor ekonomi,
dan dalam kaitannya dengan tingkat emisi yang dihasilkan, McCurdy mengatakan
perusahaan automotif tengah mengembangkan teknologi untuk menekan tingkat
emisi yang dikeluarkan dari kendaraan-kendaraan tersebut.7 Hal ini seakan
menjadi pembenaran bahwa terdapat upaya yang dilakukan untuk menghentikan
tingkat emisi, dan pemanfaatan teknologi menjadi salah satu caranya, dan yang
menjadi salah satu hasilnya adalah penciptaan/penggunaan green cars.
Namun untuk mewujudkan hal diatas tidaklah mudah, paling tidak
produksi green cars harus dapat menggeser jumlah produksi mobil-mobil
konvensional, sehingga secara “tertata” manusia dapat “teralihkan” dari
penggunaan mobil konvensional menuju penggunaan green cars. Disamping itu
pemerintah juga harus meningkatkan infrastruktur yang berkaitan dengan green
cars, agar masyarakat tidak mengalami kesulitan ketika menggunakan kendaraan
tersebut. Saat ini permintaan akan green cars tengah mengalami peningkatan8, hal
ini mungkin dikarenakan mulai banyaknya iklan-iklan serta kampanye-kampanye
yang ditujukuan untuk meningkatkan pemasaran produk ramah lingkungan
tersebut. Dengan adanya “trik” pemasaran tersebut maka hal ini berdampak pada
7 Dave McCurdy, President of OICA, dalam Ministerial Conference on Global Environment and
Energy in Transport, Rome, Italy – June 22, 2010. “Our Global Road Transport Priority: Reducing CO2 Emissions through an Integrated Approach”. 8 Paul A. Eisenstein. ‘Green Car’ Sales Are Up, but Eco-Driving Proponents Still Blue. Diakses dari
http://www.cnbc.com/id/100661995 pada 10 June 2013, pukul: 20:11 WIB.
52
peningkatan awareness dari manusia itu sendiri terkait akan terjadinya kerusakan
lingkungan.
Namun sayangnya penggunaan green cars ini tidak selamanya “ramah”
terhadap lingkungan, karena jika tidak berada pada kondisi yang tepat maka
kendaraan ini cendrung menjadi “perusak” bagi lingkungan. Terdapat sebuah hasil
riset studi yang dikeluarkan oleh Norwegian University of Science and
Technology, yang menemukan bahwa kendaraan yang dikatakan ramah
lingkungan dapat menjadi bumerang bagi upaya penyelamatan lingkungan jika
tidak dilihat kondisi-kondisi yang mendukungnya. Apa yang dimaksud dengan
kondisi disini adalah bahwasanya green cars tidak dapat digunakan secara
universal diseluruh daerah, karena perlu dilihat kembali pada daerah tersebut,
bagaimana energi yang didapat oleh daerah tertentu, apakah energinya tengah
didapat dari energi fosil, jika demikian maka mobil berjeniskan ramah
lingkungan ini tidak dapat digunakan, karena ini tidak mengubah apapun, masih
tetap bersentuhan dengan energi fosil. Bahkan hasil temuan mengatakan jika
memang demekian seperti yang tertera diatas, maka dampak kerusakan terhadap
lingkungan yang dapat dihasilkan dari mobil ramah lingkugan ini akan menjadi
dua kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kendaraan konvensional.9
Dengan adanya kemungkinan memperburuk kerusakan lingkungan, maka tidak
semua green cars dapat digunakan di tiap-tiap daerah yang berbeda, perlu ditinjau
lebih dahulu kondisi sumber energi di daerah tersebut kemudian “ditentukan”
jenis green cars mana yang tepat untuk daerah tersebut.
9 Troy R. Hawkins, Bhawna Singh,. 2013. “Comparative Environmental Life Cycle Assessment of
Conventional and Electric Vehicles”, Journal of Industrial Ecology, vol. 17, Issue 1. Hlm: 56-58.
53
2.2 Jenis-Jenis Green cars
Berdasarkan pada sumber tenaga yang digunakannya, maka green cars terbagi
dalam 4 jenis, diantaranya adalah:10
- Electric Cars
Electric cars/electric vehicle merupakan jenis green cars yang
menggunakan listrik sebagi kekuatan penggerak utamanya. Pada
penggunaanya, mobil ini menyimpan tenaganya dalam sebuah batrai yang
dapat dicharge untuk kembali “kembali” memulihkan tenaganya, jenis ini
dinilai lebih efisien bila dibandingkan dengan mobil konvensional yang
harus kembali mengisi bahan bakarnya dan bahkan mobil elektrik ini lebih
ekonomis, karena tidak perlu membeli bensin.
- Hybrid Cars
Hybrid cars merupakan sebuah kendaraan yang menggabungkan tenaga
listrik dan bensin sebagai sumber energinya. Jenis ini dapat lebih fleksibel,
karena dapat disesuaikan apakah akan menggunakan tenaga listrik atau
akan menggunakan mesin bertenaga bensin. Ketika menggunakan energi
listrik, maka mesin yang beroprasi adalah mesin listriknya, namun ketika
digunakan mesin bertenaga bensinnya, maka yang beroprasi adalah mesin
tersebut. meskipun mobil ini tetap menggunakan bensin sebagai
pembakarnya, tetapi polusi dan emisi yang dihasilkan jauh berbeda dengan
mobil-mobil konvensional yang menggunakan bensin. Sayangnya green
10
What is a Green Car ?, diakses dari http://www.petrolprices.com/green-guide.html#j-4-1 pada 10 June 2013, pukul: 20.56 WIB.
54
cars jenis ini lebih mahal bila dibandingkan dengan mobil konvensional,
karena terdapat tingkat kesulitan yang tinggi dan teknologi yang “mutahir”
untuk memproduksi mobil tersebut.
- Hydrogen Cars
Kendaraan jenis ini menggunakan tenaga hidrogen sebagi sumber utama
nya. Namun sayangnya mobil ini tidak “sukses” dalam proses
produksinya, karena biaya untuk memproduksi hydrogen cars ini sangat
tinggi, dan belum ada infrastruktur yang mendukung sehingga dinilai akan
mengalami kegagalan ketika produk ini sudah diproduksi.
- Solar Cars
Solar cars merupakan kendaraan yang menggunakan tenaga matahari
untuk menggerakan mesinnya. Dalam prosesnya mendapatkan energi,
terdapat sebuah panel surya pada bagian permukaan mobil yang nantinya
akan menyerap tenaga matahari, kemudian diubah menjadi listrik untuk
menggerakan mobil tersebut. Jenis kendaraan ini sangat efisien bila
dihitung secara ekonomi, karena tidak lagi mengeluarkan biaya untuk
mendapatkan/mengisi bahan bakarnya. Tetapi sayangnya terdapat
kelemahan pada kendaraan ini, karena ketergantungannya terhadap cahaya
matahari, maka ketika tidak terdapat matahari, mobil ini hanya mampu
berjalan beberapa mil saja dan selebihnya tidak akan bisa bergerak lagi.
Adanya hambatan yang demikian membuat jenis kendaraan ramah
lingkungan ini belum bisa diproduksi secara massal, karena perlu
pengembangan yang lebih mendalam.
55
Dari ke empat jenis green cars diatas, yang tengah dikembangkan secara lebih
mendalam adalah pada jenis electric dan hybrid saja. Mungkin karena pada jenis
tersebut lebih diminati oleh masyarakat, selain itu produksi mobil tersebut jauh
lebih “mudah” dan efisien dalam penggunaan dibandingkan dua jenis mobil
lainnya. Untuk jenis mobil electric sendiri sebenarnya bukanlah sebuah jenis
kendaraan yang benar-benar baru, karena pada dasarnya kendaraan dengan bahan
bakar listrik tersebut telah digunakan sejak awal tahun 1900-an.
Bila dirunut kembali berdasarkan sejarahnya, pembuatan mobil jenis
electric ini sudah mulai ada sejak tahun 1800an, dimana dapat dilihat sejak
diperkenalkannya electric carriage oleh pembuat mobil Eropa di tahun 1983.11
Bahkan di tahun 1890 electric car mulai diproduksi di Amerika, dan telah
digunakan sebagai taxi di New York. Pada awal abad 20, kendaraan yang
cendrung digunakan adalah kendaraan dengan jenis electric, ini dapat dilihat
dengan cukup banyaknya automaker yang memproduksi jenis kendaraan
tersebut.12
Dengan digunakannya kendaraan jenis ini oleh masyarakat, maka
pengembangan mulai terus dilakukan sehingga jarak tempuh serta kecepatan yang
dapat ditempuh oleh kendaraan ini bisa terus meningkat. Namun sayangnya
pengembangan tersebut terpaksa harus dihentikan, bersamaan dengan di
produksinya secara masal sebuah kendaraan berbahan bakar bensin oleh Henry
11
Noel Shankel. “The History of Green Cars”. Diakses dari http://www.ehow.co.uk/facts_7166510_history-green-cars.html pada 12 June 2013, pukul: 21.50 WIB. 12
Bryan Walsh. “The History of the Electric Cars”. Diakses dari http://www.time.com/time/specials/2007/article/0,28804,1669723_1669725_1670578,00.html pada 12 June 2013, pukul: 22.02 WIB.
56
Ford di tahun 1907,13
dan hal tersebut membuat kendaraan jenis electric tergeser
bahkan menghilang dari pasaran.
Kemunculan mobil berbahan bakar bensin, berikut dengan fitur-fitur
“kemudahan” yang ditawarkannya, membuat masyarakat beralih kepada jenis
kendaraan tersebut. Peralihan tersebut dikarenakan electric car dinilai tidak lagi
efisien, karena minimnya jarak tempuh, sulit pengoprasian dan “kecacatan”
lainnya. Dengan hilangnya kendaraan jenis tersebut maka mobil bertenaga bensin
kini menjadi “raja” dijalanan, bahkan hingga saat ini. Dapat dilihat dengan jelas
bahwa hampir secara menyuluruh kendaraan yang turun kejalan adalah kendaraan
dengan bensin sebagai bahan bakarnya, manusia kini “tergantung” akannya.
Selain itu, saat ini dengan kemajuan teknologi, mobil jenis tersebut kini semakin
dilengkapi fitur-fitur yang canggih, yang membuat semua orang yang
memandangnya ingin memilikinya. Bahkan nyatanya kini mobil-mobil
konvensional yang diproduksi mengedepankan fitur kenyamanan, sehingga para
pengendaranya dibuat senyaman mungkin meskipun berada ditengah kemacetan
jalan.
Meskipun electric cars pernah menghilang akibat dorongan yang kuat dari
mobil konvensional saat ini, namun dengan meningkatnya isu perubahan iklim
dan upaya penyelamatan lingkungan maka ini seakan menjadi moment bagi
kebangkitan electric cars. Pada tahun 1990an misalkan, kendaraan jenis ini mulai
muncul kembali ke permukaan, dengan menggunakan payung penyelamatan
lingkungan yang mengatakan bahwa kendaraan jenis ini lebih aman bagi
13
Noel Shankel. Op.cit
57
lingkungan karena lebih sedikit menghasilkan polusi dan emisi, sehingga
penggunaan kendaraan ini layak digunakan dalam kaitannya terhadap upaya
penyelamatan lingkungan. Meskipun “dinilai” lebih ramah lingkungan, kendaraan
ini tetap saja harus berhadapan dengan kendaraan konvensional yang merupakan
“raja” bagi kendaraan. Keadaan tersebut dapat dilihat pada film dokumenter yang
menggambarkan bagaimana electric cars muncul dan kemudian tenggelam
kembali, dan kembali muncul lagi saat ini pada film Who’s Killed the Electric
Car.14
Kendati green cars mengalami pasang surut, namun nampaknya saat ini
kendaraan jenis tersebut tengah dikembangkan kembali, bahkan komisi Eropa
menggelontorkan dana yang cukup besar terkait green Public-Private
Partnerships (PPPs), dan salah satunya untuk bidang transportasi, dan jenis green
cars masuk didalamnya.15
Mulai bangkitnya green cars juga dapat dilihat dari
maraknya para automaker company menurunkan produk green cars mereka di
ajang Geneva Motor Show pada Maret lalu.16
Pengembangan saat ini yang
dilakukan pada green cars ini lebih ditujukan kepada ketahanan serta
penampilannya, sehingga kemudian dapat menarik minat masyarakat untuk
menggunakan jenis kendaraan tersebut. Dan nampaknya untuk jenis kendaraan
14
Who’s Killed the Electric Cars merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan bagaimana mobil listrik “lenyap” dari pasaran. Film dokumenter ini merupakan hasil garapan Chris Paine. Untuk lebih dalam mengenai dokumenter tersebut dapat disaksikan melalui link berikut: http://www.youtube.com/watch?v=IENnSK8Q6nE 15
Commission Announces Smart Investment in Green PPPs. Diakses dari http://ec.europa.eu/research/transport/news/items/commission_announces_smart_investment_in_green_ppps_en.htm pada 12 June 2013, pukul: 22.53 WIB. 16
Davey Jhonson. “Green Cars on the Geneva Motor Show”. Diakses dari http://www.autoweek.com/article/20130307/GENEVA/130309884 pada 12 June 2013, pukul: 22.58 WIB.
58
hybrid lebih diminati, karena terdapat alternatif bahan bakar, dan sangat fleksibel,
meskipun masih terlampau mahal bila dibandingkan dengan mobil-mobil
konvensional pada umumnya. Dengan semakin berfariatifnya green cars maka
terdapat harapan bahwa kendaraan ini mampu berkontribusi dalam upaya
penyelamatan lingkungan, dan ketergantungan manusia akan transportasi dapat
teratasi.
2.3 Keterkaitan Dengan Upaya Penyelamatan Lingkungan
Kemunculan green cars selalu mengarah kepada upaya penyelamatan
lingkungan, teruatama terkait penurunan tingkat emisi yang terlepas ke atmosfir.
Hal ini tidak terlepas dari isi Kyoto Protocol, dimana negara berupaya untuk
menurunkan jumlah emisi karbon yang terlepas di atmosfir bumi, dikarenakan
penelitian menunjukan adanya keterkaitan antara emisi karbon dengan terjadinya
perubahan iklim, sehingga dengan upaya yang dilakukan untuk menurunkan
tingakatan emisi tersebut maka akan berdampak pada “penghentian” laju
perubahan iklim. Dengan adanya Kyoto Protocol maka setiap negara mulai
mengarahkan kebijakan mereka terkait isi dari protokol tersebut. Hal seperti
demikian tidak hanya dilakukan oleh negara, namun setelah meningkatnya
kepedulian masyarakat terhadap isu lingkungan, maka mereka seakan ingin andil
dalam upaya tersbut, dan hal ini nampaknya dilihat oleh para pelaku bisnis
sebagai peluang, hingga pada akhirnya tercipta produk ramah lingkungan yang
menjadi sarana agar masyarakat dapat ikut andil dalam upaya penyelamatan
lingkungan.
59
Green cars menjadi salah satu dari hal diatas, dimana penggunaannya
dapat berpengaruh terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Bahkan wacana
yang bermunculan adalah dengan cara menerapkan green living ini merupakan
cara pandang dan hidup yang meminimalkan dampak dari aktifitas manusia
terhadap lingkungan, dan ini dapat dimulai dengan penggunaan green product
(green cars).17
Hal tersebut juga dibenarkan oleh kalangan pemerintahan yang
melihat bahwa penggunaan green cars merupakan sebuah upaya yang penting
dalam hal penurunan emisi.18
Adanya justifikasi tersebut mengarahkan
masyarakat pada pemikiran dimana green cars memang menjadi sebuah jawaban
dalam permalasahan lingkungan, inilah yang kemudian menjadi keterkaitan antara
mobil ramah lingkungan disatu sisi dan penyelamatan lingkungan di sisi yang
lain.
Dengan digunakannya green cars ini seakan memberi label pada setiap
individu bahwa dirinya tengah ikut andil dalam upaya penyelamatan lingkungan.
Bahkan ini akan mengarah kepada keadaan dimana penggunaan terhadap
kendaraan konvensional dianggap sebagai sebuah “kejahatan” terhadap alam, dan
penggunaan kendaraan ramah lingkungan sebagai “penolong” bagi lingkungan di
alam ini. Selain itu, di Amerika Serikat sendiri, untuk mendukung penggunaan
green cars pemerintah Amerika Serikat memberikan potongan pajak bagi
17
Steven Bryan. “Eco-friendly Checklist: what makes a car a ‘green’ car ?”. diakses dari http://voices.yahoo.com/eco-friendly-checklist-makes-car-green-car-3372986.html pada 13 June 2013, pukul: 00.54 WIB. 18
Andrew Bomford. “How Environmentaly Friendly are Electric Cars?”. Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/magazine-22001356 pada 13 June 2013, pukul: 00.58 WIB.
60
rakyatnya yang membeli kendaraan berjeniskan green cars.19
Dengan tujuan agar
green cars dapat banyak bermunculan di jalanan, dan dapat secara perlahan
menggantikan mobil-mobil konvensional. Sehingga pada akhirnya emisi karbon
yang dihasilkan dari sektor transportasi dapat berkurang.
Apa yang menjadikan green cars dianggap sebagai “pembantu” dalam
penyelamatan lingkungan adalah kendaraan tersebut lebih sedikit, bahkan tidak
menghasilkan pelepasan emisi ke atmosfir ketika kendaraan tersebut beroprasi.
Namun apakah memang produk tersebut memang “aman” bagi lingkungan atau
cendrung memperburuk? pertanyaan tersebut hingga detik ini masih menimbulkan
pro dan kontra, karena pada satu sisi dianggap aman bagi lingkungan, namun
disisi lain terbukti memperburuk alam. Sebagi contoh pada hybird cars,
penggunaan kendaraan ini dianggap ramah lingkungan, namun ramah ketika
pengoprasian dijalankan melalui tenaga listrik, ketika tenaga dihasilkan melalui
bensin, maka emisi yang dikeluarkan akan sama dengan mobil konvensional pada
umumnya.20
Selain hybrid cars, terdapat hasil studi yang menunjukan bahwa electric
cars juga dapat berbahaya bagi lingkungan. Hasil studi tersebut menunjukan
bahwa untuk memproduksi kendaraan tersebut akan menghasilkan potensi
kerusakan dua kali lipat dibandingkan dengan pembuatan mobil konvensional,
terutama pada pembuatan batrai kendaraan tersebut. Batrai yang digunakan untuk
menyimpan tenaga mobil tersebut dinilai cukup beracun bagi kesehatan manusia,
19
Ibid. 20
“Hybrid Cars – pros and cons”. Diakses dari http://phys.org/news10031.html pada 13 June 2013, pukul: 01.46 WIB.
61
selain itu ketahanan batrai tersebut juga belum dikembangkan, dalam artian tidak
dapat bertahan lama dan harus segara diganti untuk dapat tetap mengoprasikan
kendaraan tersebut. Dan sayangnya untuk memproduksi batrai tersebut akan
menghasilkan zat-zat yang cukup merusak lingkungan.21
Selain itu, pada green cars berjeniskan electric juga tidak bisa digunakan
secara universal diseluruh daerah, karena hal tersebut berkaitan dengan sumber
energi yang digunakan pada daerah tersebut untuk mendapatkan daya listriknya.
Penggunaan electric cars akan dikatakan ”green” ketika sumber tenaga listrik
yang mereka dapatkan bukan merupakan hasil dari “energi kotor”, artinya sumber
tenaganya haruslah merupakan pure clean energy. Tidak bisa diterapkan secara
universal dikarenakan belum semua wilayah dan daerah yang memiliki sumber
energi listrik dari “energi bersih”. Karena jika sumber energi yang didapat oleh
electric cars ini bersumber dari energi kotor, maka ini sama saja dengan
meneruskan dan menambah kadar emisi yang dihasilkan dari pembakaran energi
kotor untuk mendapatkan tenaga listrik. Dengan demikian untuk dapat
menjadikan electric cars sebagai green maka perlu dilihat kembali bagaimana
tenaga yang didapat oleh daerah tersebut untuk mendapatkan sumber energi
mereka.
Penggunaan green cars sendiri selalu mengarah pada upaya untuk
menahan laju perubahan iklim. Karena emisi yang tinggi akan berdampak pada
“percepatan” dari laju perubahan iklim. Untuk itu kemudian maka green cars
dianggap dapat menjadi “penahan” untuk perubahan iklim dari sektor transportasi.
21
Mark Halper. Wreck the Environment. Op.cit
62
Karena dengan digunakannya green cars maka hal ini akan membantu dalam
upaya penurunan emisi, dan dengan turunnya emisi maka laju perubahan iklim
pun akan mulai dapat “ditahan”.
Namun, masih cukup banyak pro dan kontra dalam kemunculan green
cars, dan saat ini tengah dilakukan pengembangan serta studi-studi terkait
penciptaan dan penggunaan green cars. Termasuk pengembangan mesin yang
lebih hemat bahan bakar bagi mobil-mobil konvensional, karena terdapat
anggapan bahwa dengan “hematnya” mesin tersebut maka akan lebih sedikit
menggunakan bahan bakar fosil, sehingga ketergantungan akan hal tersebut dapat
berkurang secara berangsur. Namun, adanya kemunculan green cars ini tentu
akan mengubah cara pandang manusia terhadap alam, karena penggunaan produk
tersebut secara luas akan selalu berkaitan dengan alam dan aktifitas manusia
dalam memandang dan “berinteraksi” didalamnya.
2.4 Wacana Penggunaan Green Cars
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan nampaknya membawa
green cars sebagai salah satu pemain dari upaya untuk menurunkan emisi dari
sektor transportasi. Beberapa penelitian telah membenarkan hal tersebut, dimana
penggunaan green cars atau kendaraan dengan emisi rendah, akan dapat
membantu dalam menurunkan emisi karbon yang terlepas ke atmosfir, khususnya
pada sektor transportasi. Selain itu saat ini dapat dengan mudah dijumpai
beberapa produsen mobil yang memproduksi mobil-mobil berjeniskan ramah
lingkungan, yang mana hal ini dapat dilihat melalui ajang-ajang pameran
63
automotif dunia, dimana mulai banyak dipamerkan konsep-konsep kendaraan
berjenis ramah lingkungan. Bahkan pada International Geneve Motor Show bulan
maret lalu, terdapat sebuah area khusus dimana yang dipamerkan adalah
kendaraan-kendaraan berbahan bakar elektrik, dan tenaga alternatif.22
Artinya
kemudian, pengembangan terhadap jenis kendaraan tersebut memang tengah
diupayakan agar kemudian dapat perlahan menggantikan kendaraan-kendaraan
konvensional yang ada.
Pengembangan terhadap model green cars juga tengah dilakukan oleh
salah satu produsen mobil asal Jepang, yakni Nissan. Namun, ini bukan kali
pertama Nissan tengah mengembangkan kendaraan berjeniskan tenaga listrik,
tetapi pengembangan dan produksi akan kendaraan tersebut sudah dilakukannya
sejak tahun 1940an, dengan model yang bernama Tama electric Vehicle.
Pembuatan Tama dikala itu bukan dimaksudkan untuk mengatasi perubahan
iklim, atau untuk melakukan penurunan terhadap emisi karbon, tetapi dikarenakan
adanya kelangkaan minyak mentah yang menyebabkan kelangkaan terhadap
bahan bakar kendaraan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah Jepang
dikala itu mengambil tindakan yakni mempromiskan kendaraan bertenaga listrik,
untuk dapat mengatasi ketergantungan terhadap bahan bakar yang mengalami
22
Laure Fillon, “Electric Cars Back Into the Shadows at Geneva Motor Show”. Diakses dari http://phys.org/news/2013-03-electric-cars-shadows-geneva-car.html pada 30 October 2013, pukul 14:27 WIB.
64
kelangkaan,23
bentuk kebijakan tersebutlah yang pada akhirnya membawa
produsen mobil kemudian menciptakan kendaraan bertenaga listrik.
Berbeda dengan Tama, yang diciptakan untuk mengatasi permasalahan
kelangkaan bahan bakar, di tahun 2009 Nissan kembali meluncurkan produknya
yang berbahan bakar listrik yaitu Nissan Leaf, namun kali ini tujuan dari
penciptaannya lebih difokuskan kepada upaya penurunan emisi, dimana Leaf
dibuat lebih sedikit bahkan dikatakan tidak menghasilkan keluaran emisi karbon,
sehingga kendaraan ini dinilai cocok untuk dapat membantu dalam upaya
penurunan emisi dari sektor transportasi.24
Selain itu untuk nama dari Leaf sendiri
juga merupakan sebuah penyingkatan dari tujuan diciptakannya mobil ini, Leaf
adalah Leading, Environmentally friendly, Affordable, Family car, yang bila
dipendekan menjadi LEAF.25
Nampaknya tujuan dari hal tersebut tengah
terealisasikan, terlihat dari banyaknya penghargaan yang diterima oleh Leaf,
diantaranya adalah Green Car Vision Award di tahun 2010, European Car of the
Year di tahun 2011, dan dinobatkan oleh majalah Times sebagai 50 Best Invention
in 2009.26
Untuk melakukan pemasaran produknya, Nissan Leaf mencoba
mengangkat tema penyelamatan alam di dalam iklan dari Nissan Leaf, dimana
23
“History of Tama Electric Vehicle”, diakses dari http://www.nissan-zeroemission.com/EN/HISTORY/TAMA.html pada 30 October 2013, pukul 14:39 WIB. 24
“Nissan Leaf Zero-emission Concept”, diakses dari http://www.nissan-zeroemission.com/EN/LEAF/concept.html pada 30 October 2013, pukul: 14: 53 WIB. 25
“Nissan Delivers First Leaf in San Francisco”, diakses dari http://www.independent.co.uk/life-style/motoring/nissan-delivers-first-leaf-in-san-francisco-2160208.html pada 30 October 2013, pukul 14:57 WIB. 26
“Nissan Leaf Awards”, diakses dari http://www.campbellnelsonnissan.com/nissan-leaf-awards pada 30 October 2013, pukul 15.11 WIB.
65
dalam iklan tersebut digambarkan bahwa seekor beruang kutub telah berpindah
dari tempat asalnya dikarenakan pencairan es, kemudian beruang tersebut sampai
pada daerah perkotaan, dan melihat seorang manusia yang hendak pergi,
kemudian beruang tersebut memeluk manusia tersebut, pelukan tersebut
dikarenakan manusia yang hendak berpergian tersebut menggunakan mobil
Nissan Leaf yang merupakan jenis dari green cars.27
Mengacu pada iklan dari Nissan Leaf tersebut, hal ini menandakan bahwa
dengan green cars maka penyelamatan terhadap alam dapat dilakukan, dimana
beruang kutub tersebut seakan menjadi suara dari alam, dan pelukan tersebut
menandakan ucapan terimakasih dari alam kepada manusia karena telah berupaya
untuk menyelamatkan alam yang digambarkan melalui penggunaan dari Nissan
Leaf. Selain itu, gambaran dari iklan ini juga menegaskan bentuk wacana dari
penggunaan green cars itu sendiri, dimana penggunaannya akan berdampak baik
pada alam, dan akan menjadi jawaban dari penyelamatan alam. Dengan adanya
bentuk wacana tersebut, ini akan menjadi sebuah pembentukan opini publik akan
kegunaan dari green cars, bahwa green cars merupakan opsi terbaik yang bisa
diambil oleh manusia dalam upaya menurunkan emisi karbon. Bahkan hal tersebut
nampaknya telah berbuahkan hasil, dimana green cars tengah mengalami
peningkatan permintaan. Untuk produk Nissan Leaf sendiri, hingga bulan
September 2013, angka penjualan telah mencapai 83.000 unit, dengan penjualan
27
Nissan Leaf Polar Bear Commercial. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=GyX7HuaP7cc pada 14 July 2013, pukul: 22.49 WIB.
66
terbesar berada pada Amerika Serikat dengan total penjualan mencapai 35.588
unit.28
Dengan meningkatnya angka penjualan serta permintaan terhadap jenis
kendaraan green cars, ini menggambarkan bahwa dengan penggunaannya, green
cars memang dapat menjawab permasalahan emisi dari sektor transportasi. Selain
itu dengan konsep ramah lingkungannya, hal ini juga seakan menjadi penunjuk
bahwa manusia tengah memasukan aspek lingkungan di dalam kehidupannya.
Namun, konsep ramah lingkungan disinipun perlu ditelaah kembali mengenai
tujuan akhirnya, apakah lingkungan yang dimaksud adalah alam secara
menyeluruh, ataukah lingkungan bagi kehidupan manusia saja.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disini akan digunakan pemahaman
mengenai lingkungan yang dipandang oleh Deep Ecology (DE) untuk melihat
wacana-wacana yang digunakan dibalik penggunaan green cars, karena dalam
pandangannya DE melihat bahwa alam tidaklah hanya manusia saja, dan ketika
berbicara mengenai penyelamatan terhadap alam, maka keseluruhan alam lah
yang menjadi target utamanya, bukan hanya kepentingan manusianya saja.
Berbicara mengenai konsep ramah lingkungan yang diusung dalam penggunaan
green cars, nampaknya lingkungannya hanya sebatas pada lingkungan bagi
manusia saja, karena terlihat dari fondasi pencipataanya hanya berasaskan pada
kepentingan bagi manusianya saja, ditambah terdapat nilai-nilai ekonomi dibalik
produksi dari green cars tersebut. Artinya masih terdapat cara pandang
28
“Nissan Leaf Cumulative Sales in Japan pass 30.000 mark”, diakses dari http://www.greencarcongress.com/2013/10/20131008-leaf.html pada 30 Oktober 2013, pukul 15.45 WIB.
67
antroposentris dibalik upaya penyelamatan alam, dimana kepentingan manusia
masih dinilai penting dan harus dilakukan pemenuhan terhadap kepentingan
tersebut. Pandangan yang demikian yang kemudian coba dikritik oleh DE, bahwa
ketika kepentingan manusia, dan pencapaian ekonomi masih dijadikan tujuan
utama, maka selamanya alam ini akan mengalami kerusakan, dan untuk itu hal ini
perlu diubah. Bila demikian, maka konsep ramah lingkungan dapat dilihat sebagai
sebuah trik terkait upaya penyelamatan alam, dimana hanya alam bagi
kepentingan manusia sajalah yang menjadi tujuan utamanya.
Penggunaan dari green cars itu sendiri pun pada akhirnya menunjukan
bahwa target utamanya adalah pada kepentingan dari manusia, dimana penurunan
emisi pun hanya dilakukan agar alam tidak berbahaya bagi manusia, dan alam
tetap dapat menjadi tempat bagi manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya.
Lebih jauh lagi, penggunaan green cars juga menegaskan bahwa dibalik upaya
penyelamatan alam yang tengah dibahas dan dilakukan saat ini, pada dasarnya
hanya manusia lah yang menjadi konsern utamanya, kata “penyelamatan alam”
sendiri seakan menjadi jembatan bagi manusia untuk dapat tetap mementingkan
segala kepentingan dan kebutuhannya ditengah terjadinya kerusakan alam yang
terjadi saat ini.
68
BAB III
NARASI ANTROPOSENTRIS DALAM WACANA PENYELAMATAN
ALAM
Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin dapat dirasakan
dampaknya kini haruslah segera diatasi, agar dampak kerusakan tersebut tidak
terus melebar dan dapat diminimalisir. Dampak dari perubahan tersebut akan
mengenai baik langsung maupun tidak langsung setiap aspek kehidupan dimuka
bumi ini, baik kepada hewan, tumbuhan, dan manusia sekalipun. Maka kemudian
jalan keluar haruslah segara ditemukan agar nantinya semua spesies yang
bersentuhan dengan alam ini tetap dapat memiliki kehidupan, dan tidak
mengalami kepunahan akibat “kerasnya” dampak dari perubahan iklim dan
kerusakan lingkungan yang terjadi.
Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa perubahan
iklim serta kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini tidak terlepas dari aktifitas
manusia terhadap alam. Dimana alam yang terus dijadikan sebagai komoditas
utama untuk berbagai pemenuhan kebutuhan setiap aspek kehidupan umat
manusia, pada akhirnya membawa alam pada kerusakan. Kerusakan akibat
aktifitas manusia dapat dilihat pada berbagai bentuk, seperti penggundulan hutan
yang dilakukan untuk kemudian diambil kayunya dan lalu dijual untuk
mendapatkan profit yang hanya bisa dinikmati oleh manusia saja. Tidak hanya
69
hutan, bahkan air dan udara pun ikut tercemar akibat aktifitas industri yang
dilkukan oleh manusia.
Apa yang mendasari atas hal tersebut nampaknya dikarenakan
dikedepankannya pandangan antroposentrisme oleh manusia. Dimana
antroposentris adalah pandangan yang melihat bahwa posisi manusia berada diatas
dan terpisah dari alam, serta memiliki hak atasnya, dimana keberadaan bumi dan
isinya adalah untuk dimanfaatkan oleh umat manusia, seperti yang dinyatakan
oleh Richardson. “humankind is seen as something separate from the rest of life
on earth – and superior to it”.1 Dengan mengacu pada apa yang dikemukakan dan
diyakini oleh pandangan tersebut, maka kemudian manusia beranggapan bahwa
pemanfaatan alam adalah sah untuk dilakukan, meskipun bersifat eksploitatif,
namun jika hal tersebut demi pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia,
maka hal tersebut “boleh” dilakukan, karena pada dasarnya, alam merupakan
penunjang bagi kepentingan dan kebutuhan manusia. Hal tersebutlah yang pada
akhirnya menjadikan alam sebagai komoditas utama bagi industri yang dilakukan
manusia.
Proses industri yang dilakukan oleh manusia nyatanya membawa dampak
yang sangat merusak bagi alam, dimana proses tersebut menghasilkan pelepasan
emisi karbon ke atmosfir yang mengarah pada terjadinya perubahan iklim.
Dengan terjadinya perubahan iklim maka ini akan berdampak langsung pada
segala aspek kehdiupan di bumi, karena perubahan tersebut sangatlah terkait
dengan aktifitas kehidupan segala mahluk. Dampak dari hal tersebut sangatlah
1 Dick Richardson. 1997. “The Politic of Sustainable Development”. (London: Routledge), hlm: 47
70
besar dan tidak dapat ditunda-tunda, karena semakin tertunda, maka akan semakin
berbahaya bagi segala bentuk kehidupan. Besarnya dampak dari hal tersebut,
maka di dalam bab ini akan lebih membahas mengenai apa-apa saja yang coba
dilakukan oleh umat manusia untuk menanggulangi permasalahan tersebut, hingga
sejauh mana upaya penaggulangan tersebut dapat dilakukan, dan apa tujuan akhir
dari upaya penanggulangan tersebut.
3.1 Solusi Yang Bermunculan
Perubahan iklim dan dampak dari kerusakan lingkungan harus segera
ditanggulangi agar tidak menyabar dan mengancam setiap aspek kehidupan di
bumi, maka kemudian perlu dilakukan upaya untuk pencarian solusi yang dapat
menghentikan atau menanggulangi permasalahan tersebut. Atas dasar itulah mulai
banyak dilakukan kerjasama –kerjasama yang bersifat internasional dengan satu
fokus yang sama, yakni “menanggulangi” perubahan iklim. Karena permasalahan
perubahan iklim bukanlah hanya mengancam satu negara saja, tetapi
permasalahan tersebut melibatkan seluruh komunitas global, bahkan mengancam
kehidupan umat manusia secara keseluruhan.
United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)
merupakan badan internasional yang didirikan sebagai hasil dari kerjasama
internasional yang sekaligus wujud dari upaya pencegahan terkait permasalahan
lingkungan, khususnya terkait perubahan iklim. UNFCCC seakan menjadi
“pemantau” terkait permasalahan perubahan iklim. Badan ini selalu melakukan
pertemuan tahunan yang bertujuan untuk memperoleh data-data, dan memberikan
71
perkembangan terkait dampak dari perubahan iklim. Dalam upaya untuk
menanggulangi permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim, UNFCCC
menghasiklan dua cara terkait upaya “perlawanan” terhadap perubahan yang
terjadi di alam ini, yakni adaptasi dan mitigasi. Dimana adaptasi lebih kepada
upaya untuk mengurangi dampak yang diterima akibat perubahan iklim, dan
sedangkan mitigasi lebih kepada upaya untuk mengurangi atau membatasi
pelepasan dari emisi karbon ke atmosfir.2 Untuk mewujudkan penanggulangan
dari perubahan iklim tersebut, kedua cara tersebut haruslah dilakukan secara
bersama, karena keduanya sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan dalam
upaya penanggulangan terkait perubahan iklim.
Baik adaptasi maupun mitigasi, keduanya saat ini terus dilakukan
penelitian serta pembahasan lebih lanjut. Hal ini terus dilakukan untuk
“mempercepat” upaya dari penyelamatan lingkungan itu sendiri. Dalam mitigasi
misalnya, dapat dilihat melalui terbentuknya Kyoto Protocol, dimana merupakan
sebuah perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara industri untuk menurunkan
jumlah emisi mereka sebesar 5% dibandingkan dengan tahun 1990.3 Pada
praktiknya, upaya mitigasi sering kali dikedepankan, karena hal tersebut terkait
dengan penurunan emisi karbon, yang mana emisi karbon diyakini sebagai faktor
utama terjadinya perubahan iklim. Para ilmuan menyatakan bahwa penurunan
emisi karbon merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk dapat
2 United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). 2008. Climate Change:
Technology Development and Technology Transfer. “Beijing High-level Conference on Climate Change; Background Paper”. Hlm: 11. 3 Isi Kyoto Protocol. Diakses dari http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.html pada 13
July 2013, pukul: 22.13 WIB.
72
“menghentikan” laju dari perubahan iklim yang terjadi saat ini.4 Karena dampak
dari emisi karbon terhadap perubahan iklam bersifat langsung, untuk itu fokus
yang dilakukan dan dikembangkan saat ini adalah pada tahap mitigasi, dimana hal
tersebut merupakan hal yang dilakukan dalam jangka pendek terkait penyelamatan
alam. Sedangkan adaptasi merupakan upaya jangka panjang yang dilakukan
dalam menghadapi perubahan iklim. Meskipun adaptasi merupakan langkah
jangka panjang, namun saat ini perkembangan dan penelitian juga mulai terus
dikedepankan, sehingga ketika manusia berhadapan dengan dampak dari
perubahan iklim, umat manusia telah melakukan persiapan.
Dalam melakukan upaya mitigasi dan adaptasi, hal tersebut coba
dilakukan oleh umat manusia melalui penggunaan teknologi, yang mana hal
tersebut juga tertuang didalam isi dari Bali Action Plan; “Enhanced action on
technology development and transfer to support action on mitigation and
adaptation”.5 Teknologi kemudian menjadi sebuah kunci penting yang digunakan
untuk dapat melakukan adaptasi dan mitigasi dari perubahan iklim.
Pengembangan-pengembangan teknologi terus dilakukan agar nantinya tidak ada
lagi pelepasan emisi karbon ke atmosfir, dan dampak yang terjadi dari terjadinya
perubahan iklim pun dapat “ditanggulangi”.
4 Prof. Penny D. Sacket. Why We Must Act Now to Reduce Greenhouse Gas Emmissions. Diakses
dari http://www.abc.net.au/science/articles/2009/11/25/2753561.htm pada 13 July 2013, pukul: 22.17 WIB. 5 United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC).2007. “Report of the
Conference of the Parties on its thirteenth session, held in Bali: Decision Adopted by the Conference of the Parties.” FCCC/CP/2007/6/Add.1*, 14 March.
73
3.2 Penggunaan Teknologi Untuk Penyelamatan Lingkungan
Dewasa ini, teknologi semakin mengalami perkembangan yang luar biasa,
hampir semua produk yang kita gunakan merupakan hasil dari perkembangan
teknologi. Perkembangan tersebut nampaknya belum mengalami kemunduran
ataupun penurunan, justru sebaliknya, teknologi terus mengalami peningkatan.
Teknologi yang nyatanya merupakan hasil buatan tangan manusia ditujukan untuk
dapat membantu serta meringankan hal-hal yang dlakukan oleh manusia dalam
melakukan aktifitasnya, seperti untuk melakukan perjalanan, untuk menghasilkan
sebuah produk, dan bahkan untuk menghasilkan makanan dan minuman pun dapat
dilakukan oleh produk-produk teknologi. Meskipun teknologi adahal hasi ciptaan
manusia, namun nampaknya kini, kehidupan manusia dan teknologi tidak dapat
dipisahkan karena telah terdapat sebuah ikatan antara keduanya.
Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, maka
nampaknya kini perkembangan teknologi mulai diarahkan kepada isu perubahan
iklim. Dimana teknologi diupayakan agar dapat membantu dalam hal pencapaian
dari proses adaptasi dan mitigasi. Kini disetiap pembahasan terkait upaya adaptasi
dan mitigasi terkait perubahan iklim, maka teknologi seringkali dijadikan jalan
untuk dapat mewujudkan keberhasilan dari penyelamatan lingkungan. Bahkan
terdapat istilah technology transfer didalam pembahasan isu perubahan iklim,
yang menandakan bahwa memang perkembangan teknologi yang ada saat ini
mulai diarahkan pada isu-isu lingkungan tersebut. Copenhagen Conference di
tahun 2009 dilihat sebagai titik awal dimana revolusi teknologi diyakini dapat
74
berkontribusi secara besar terhadap “perlawanan” dari dampak terjadinya
perubahan iklim.6
Kemajuan serta perkembangan teknologi yang sangat pesat ini nampaknya
mulai menjadi sebuah harapan besar bagi umat manusia dalam menghadapi laju
kerusakan lingkungan serta perubahan iklim. Harapan terhadap penggunaan
teknologi tersebut membawa pada banyaknya kerjasama-kerjasama yang
dilakukan oleh negara dunia internasional untuk mewujudkan upaya pencegahan
dari perubahan iklim. Serangkaian program penelitian mulai dilakukan secara
bersama, yang menghasilkan pada inovasi-inovasi baru dalam upaya
penyelamatan lignkungan. Dari program penelitian teknologi tersebut pada
akhirnya mengarahkan pada fokus utama, yakni penciptaan teknologi rendah
emisi, sehingga upaya yang dilakukan untuk menurunkan tingkat emisi karbon
dapat tercipta.7
Melihat bahwa begitu dikedepankannya teknologi saat ini, mulai terdapat
pandangan yang meyakini bahwa perkembangan dan transfer teknologi akan
memainkan peran yang amat penting dalam strategi global maupun nasional untuk
menghadapi perubahan iklim.8 Namun, terlepas dari harapan terhadap penggunaan
teknologi, nyatanya perubahan iklim yang terjadi saat ini juga dikarenakan akibat
dari penggunaan teknologi itu sendiri. Bila ditarik jauh kebelakang, peningkatan
emisi karbon yang terjadi saat ini dikarenakan terjadinya revolusi industri pada
6 Stephen Axon.2010. Addressing Climate Change and the Role of Technological Solutions.
“Human Geographies, 4.1”. hlm: 50. 7 Michael Grubb.2004. Technology Innovation and Climate Change Policy: an overview of issues
and option. ”Keio Economic Studies 41 (2). Hlm: 109. 8 UNDESA. ibid. hlm: 2.
75
sekitar abad ke-18. Terjadinya revolusi industri berdampak pada seluruh aspek
kehidupan manusia saat ini, terutama pada proses industri itu sendiri, dimana
penggunaan mesin uap sangat “didewakan” dalam melakukan proses produksi,
yang pada akhirnya hal tersebut berujung kepada ketergantungan akan bahan
bakar fosil untuk menghasilkan energi. Mungkin jika revolusi indusrtri dilihat dari
kacamata lingkungan maka hal tersebut merupakan dampak buruk dari
penggunaan teknologi, karena revolusi tersebut seakan membuka pintu
dijadikannya alam sebagai komoditas bagi manusia, terutama dalam
keterkaitannya terhadap produksi masal. Kini, teknologi mulai diupayakan untuk
menyelesaikan “kesalahan” yang telah lalu, karena pada dasarnya teknologi dapat
menjadi permasalahan sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan kerusakan
lingkungan.9
Agar “kesalahan” serupa tidak kembali terulang, maka perkembangan
teknologi yang ada saat ini berfokus pada penciptaan teknologi beremisikan
rendah, agar jumlah emisi yang terlepas tidak lagi mengalami peningkatan,
bahkan hingga tidak terlepasnya emisi karbon ke atmosfir. Untuk mendukung hal
tersebut, maka penelitian dan pengembangan terus dilakukan. Peneletian dan
perkembangan tersebut dilakukan oleh gabungan dari para peneliti diseluruh dunia
agar dapat menghasilkan sebuah teknologi yang dapat bermanfaat bagi semua
orang. Global Environment Facility (GEF) merupakan badan dibawah UNFCCC
yang ditujukan untuk mengurusi masalah pendanaan, dan dalam mendukung
pengunaan teknologi sebagai jawaban dari permasalahan perubahan iklim, GEF
9 Jennifer A. Elliot. 2006. An Introduction to Sustainable Development 3
rd Edition. (New York:
Routledge), hlm: 16.
76
telah memberikan investasi sejumlah $250 juta terkait penelitian dan
pengembangan teknologi rendah emisi untuk berbagai sektor.10
Investasi tersebut
diharapkan dapat menemukan inovasi teknologi yang digunakan oleh umat
manusia dalam berhadapan dengan perubahan iklim serta kerusakan lingkungan.
Bila kembali melihat kepada isi dan tujuan dari Kyoto Protocol, serta telah
diratifikasinya protocol tersebut, hal ini menandakan bahwa penurunan emisi
merupakan langkah besar yang harus dicapai, guna dapat menstbailkan kondisi
bumi akibat dari terjadinya perubahan iklim. Dengan didukung oleh pernyataan
serta temuan-temuan ilmiah pada Kyoto Protocol, hal tersebut menjadi pembenar
bahwa kondisi bumi yang stabil memang akan dapat dilakukan jika masing-
masing negara mulai melakukan penurunan emisi karbon mereka hingga pada
level yang tidak membahayakan. Hal ini juga pada akhirnya menjadi dasar dalam
perkembangan teknologi dewasa ini, bahwa penemuan teknologi “harus”
diarahkan kepada tujuan dari protokol tersebut, yakni agar dapat menurunkan
jumlah emisi karbon yang terlepas ke atmosfir.
Isi dari apa yang menjadi tujuan dalam Kyoto Protocol juga tertuang
didalam hasil dari Bali Climate Change Conference pada tahun 2007, yakni Bali
Roadmap, dimana pertemuan tersebut merupakan pertemuan yang dilakukan oleh
negara-negara internasional dibawah naungan UNFCCC. Pertemuan tersebut
menghasilkan dasar aksi terkait dengan adaptasi, mitigasi dan teknologi terkait
lingkungan. Dimana salah satu inti dari pertemuan tersebut menegaskan terkait
10
Global Environment Facility (GEF). “Technology Transfer for Climate Change”. Diakses dari http://www.thegef.org/gef/Technology_Transfer pada 14 July 2013, pukul: 00.35 WIB.
77
dengan penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim,
pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung aksi adaptasi dan mitigasi,
serta pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global
merupakan sebuah keharusan, demi terciptanya konidisi bumi yang stabil.11
Dengan adanya hasil perjanjian tersebut, ini semakin menjadi legitimasi bahwa
upaya-upaya yang dapat dan “harus” dilakukan terkait dengan dampak dari
perubahan iklim saat ini adalah berkutat pada adaptasi dan mitigasi yang
dilakukan dengan cara penggunaan teknologi sebagai “jalan” utamanya.
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa pelepasan
emisi karbon yang terjadi saat ini dapat dilihat dari berbagai sektor. Dan seluruh
sektor tersebut tidak terlepas dari aktifitas manusia, sepeti energi, trasnportasi,
industri dan lain-lain. Keseluruhan sektor tersebut tidak dapat terlepas dari umat
manusia didalamnya, dan emisi karbon yang dihasilkan dari emisi tersebut
tidaklah sedikit, melainkan dalam jumlah yang cukup besar. Jika teknologi
dikembangkan untuk mengatasi permasalah tersebut, maka mitigasi harus
dilakukan terhadap seluruh sektor yang bersentuhan langsung dengan segala
aktifitas manusia. UNFCCC memberikan sebuah data berupa tabel mitigasi yang
dilakukan dalam melalui penggunaan teknologi untuk berbagai sektor;12
11
Freddy Numberi. 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. (Jakarta: Fortuna), hlm: 70. 12
UNDESA. Ibid. hlm: 12.
78
Table 1 Technologies for Mitigation
Near-term Mid-term Long-term
End Use and Infrastructure
Transportation Hybrid and plug-in hybrid
Electric vehicles
Clean diesel vehicles
Alternative and flex-fuel
vehicles
Improved energy storage,
including batteries
Power electronics
Fuel cell vehicles and
H2 fuels
Efficient and clean
heavy trucks
Cellulosic and ethanol
vehicles
Intelligent transport
system
Low-emissions
aircrafts
Zero-emission vehicle
systems
Optimized multi-
modal intercity and
freight transport
Engineered urban
designs and regional
planning
Building High-performance
integrated homes
High-efficiency
appliances
Insulation control window
“Smart” buildings.
Solid-state lighting.
Ultra efficient
HVACR
Neutral-net building
controls
Energy managed
communities
Low-powered sensors
with wireless
communications
Industry High-efficiency boilers
Greater waste heat
utilisation
Bio-based feedstocks
Superconducting
electric motors.
Efficient
thermoelectric
systems
High-efficiency all-
electric
manufacturing.
Widespread use of
bio-feedstocks
Electric grid and
infrastructure
Distributed generation.
Smart metering and
controls for peak shaving.
Long-distance direct
current (DC) transmission
Neural-net grid
system
Energy storage for
load leveling
Superconducting
transmission and
equipment
Wireless transmission
Data pada tabel diatas mengidentifikasi mitigasi teknologi dari berbagai
sektor berdasarkan kategori jangka pendek, menengah dan panjang. Teknologi
yang tertulis diatas mewakili sejumlah teknologi yang dibayangkan akan tercapai
dan dilakukan dalam jangka pendek (2030), jangka menengah (2030-2050), dan
jangka panjang (2050-2100). Data pada tabel diatas merupakan serangkaian clean
energy technologies dan potensi mitigasi sebagai hasil dari pencapaian inovasi
79
teknologi. Teknologi diatas diupayakan sebagai pemain terkuat dalam mitigasi
perubahan iklim dimasa depan.
Sektor transportasi yang sejatinya juga memilki jumlah pelepasan emisi
yang besar ke atmosfir perlu dilakukan upaya mitigasi agar dapat menekan jumlah
emisi dari sektor tersebut. Bila mengacu pada tabel diatas, maka terlihat bahwa
pembuatan serta penggunaan green cars adalah salah satu bentuk mitigasi yang
dapat dilakukan oleh sektor tersebut. Hal tersebut yang pada akhirnya mulai
membawa green cars sebagai “alat” dalam menekan tingkat emisi karbon dari
sektor transportasi. Perkembangan green cars saat ini terus mengalami kenaikan,
dan bahkan telah digunakan dalam jumlah yang cukup besar oleh beberapa
negara. Hal ini kemudian juga menunjukan bahwa mitigasi teknologi tengah
dilakukan dan akan terus dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap sektor yang
tersebut diatas dapat kemudian tercapai semua.
Untuk mendukung terciptanya inovasi-inovasi terkait dengan teknologi,
bukan hanya kerjasama serta investasi besar-besaran yang coba dilakukan, namun
pemberian hadiah juga menjadi “ajang” untuk memacu terciptanya inovasi-
inovasi teknologi ramah lingkungan dalam berbagai sektor.13
Dengan diberikan
imbalan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian yang telah dilakukan
dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan, maka hal tersebut seakan
menjadi pemacu bagi “masyarakat” yang memiliki pengetahuan dan kemampuan
akan penciptaan teknologi ramah lingkungan tersebut. Dengan adanya program
13
Richard G. Newell & Nathan E. Wilson.2005. Technology Prizes for Climate Change Mitigation. (Washington: Resource for Future), hlm: 14.
80
seperti ini, maka ini seakan menjadi pembenaran bahwa memang nyatanya
teknologi dijadikan sebagai jawaban untuk dapat menyelamatkan lingkungan.
Kembali pada upaya mitigasi terkait penurunan emisi, proses mitigasi juga
tidak dapat dipisahkan dari Kyoto Protocol . Dimana protokol tersebut menjadi
standarisasi terkait persentase jumlah emisi yang harus diturunkan oleh dunia
untuk dapat mencapai titik aman. Meskipun pada kenyataanya Kyoto Protocol
dianggap tidak memberikan dampak yang signifikan terkait penurunan emisi
karbon, karena memang pada dasarnya isi dari perjanjian tersebut tidaklah bersifat
mengikat dan tidak terdapat sangksi jika hal tersebut tidak tercapai. Namun,
dengan adanya standar persentase jumlah emisi karbon yang harus diturunkan,
maka setidaknya terdapat sebuah “patokan” untuk mengejar dan mencapai hal
tersebut.
Pada kenyataanya penggunaan serta pengembangan teknologi saja tidaklah
cukup untuk dapat menyelamatkan lingkungan dari perubahan iklim serta akibat
kerusakan lainnya. Trevor Davies, kepala dari program penurunan karbon di
University of East Anglia menyatakan bahwa untuk dapat melakukan upaya
penyelamatan lingkungan tidak hanya membutuhkan bantuan teknologi, namun
perubahan prilaku manusia terkait alam juga harus dikedapankan.14
Karena pada
dasarnya, manusia lah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim sekarang
ini, jika penyelasaian permasalahan ini hanya bergantung dengan menggunakan
teknologi sebagai alat pembantu saja, maka inti dari permasalahan ini tidaklah
14
Oli Usher. “Can Technology Stop Climate Change?”. Diakses dari http://www.guardian.co.uk/science/2005/jul/07/thisweekssciencequestions pada 14 July 2013, pukul: 01.56 WIB.
81
akan terselesaikan. Yang harusnya menjadi sasaran utama adalah pada cara
pandang manusia terhadap alam, cara pandang yang menjadikan manusia hanya
melihat alam hanya sebatas komoditas, tanpa mempertimbangkan dampak dari hal
tersebut terhadap keseluruhan alam.
3.3 Wacana Penyelamatan Lingkungan
Dalam upaya penyelamatan lingkungan yang dilakukan oleh manusia baik
menggunakan teknologi maupun perubahan gaya hidup, semua hal tersebut perlu
ditelaah kembali mengenai tujuan akhir dari mengapa hal tersebut dilakukan.
Karena jika tujuan akhir dari upaya tersebut hanyalah berdasarkan pada kebutuhan
manusianya saja, ini tidak dapat dikatakan sebagai upaya penyelamatan
lingkungan, karena nantinya manusia akan tetap melakukan dominasi terhadap
alam, dan lagi-lagi alam akan menjadi komoditas yang terus digunakan untuk
kepentingan manusia. Maka kemudian perlu ditelusuri, apakah manusia benar-
benar ingin menyelamatkan alam karena alam yang telah rusak, ataukah alam
diselamatkan oleh manusia dikarenakan manusia takut nantinya dengan perubahan
dan kerusakan yang terjadi di alam ini, maka kemudian manusia tidak dapat
bertahan dan mengalami kepunahan.
Emisi karbon yang terlepas ke atmosfir, bila tidak dihentikan atau
dikurangi maka akan dapat mengancam setiap bentuk kehidupan yang ada di
dalam alam ini. Bukan hanya manusia saja, namun binatang dan tumbuhan juga
akan terkena dampak dari perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktifitas
manusia ini. Dengan besarnya bahaya dari emisi karbon tersebut, maka penurunan
82
emisi seakan menjadi prioritas untuk dilakukan. Karena artinya jika emisi karbon
yang terlepas mengalami penurunan, maka laju perubahan iklim juga akan
mengalami penurunan. Untuk itu kerjasama dalam penurunan emisi terus
ditingkatkan, salah satunya seperti yang telah disinggung diatas adalah dengan
dibuatnya badan internasional seperti UNFCCC, IPCC, UNEP dan masih banyak
kerjasama dibidang isu lingkungan lainnya. Di dirikannya UNFCCC juga seakan
menjadi wadah bagi kerjasama internasional yang berupaya untuk menstabilkan
emisi gas rumah kaca sehingga berada pada titik yang tidak berbahaya, hal
tersebut tertuang didalam tujuan dibentukanya UNFCCC;15
“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments
that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with
the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas
concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous
anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be
achieved within a time frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to
climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable
economic development to proceed in a sustainable manner.”
Bila mengacu pada tujuan dari terbentuknya UNFCCC diatas, maka terlihat
bahwa upaya penurunan emisi dilakukan agar tercipta suatu kestabilan didalam
ekosistem, dimana terdapat pengamanan terhadap produksi pangan. Bahkan badan
tersebut juga dibuat untuk memastikan agar ekonomi juga dapat tetap berjalan
ditengah terjadinya perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, namun dengan
cara-cara yang lebih berkerlanjutan. Dari kedua hal tersebut dapat dilihat bahwa
tujuan dasarnya adalah agar terdapat kestabilan bagi kehidupan manusia, dan tetap
mengedepankan hal-hal berwawasan ekonomi agar terus dapat tercipta. Kesemua
hal tersebut hanya dapat dinikmati oleh umat manusia, artinya pencapaian yang
15
UNFCCC.1992. FCCC/INFORMAL/84. Article.2
83
paling utama adalah agar terciptanya sebuah keamanan bagi kehidupan manusia di
alam ini.
Penyelamatan terhadap alam ini harus segera dilakukan, karena jika
semakin dibiarkan maka akan semakin mengancam. Hal ini juga senada dengan
apa yang dikatakan Jim Yong Kim selaku President dari World Bank yang
menyatakan bahwa perubahan iklim adalah nyata, dan hal tersebut dikarenakan
aktifitas manusia, pencegahan serta upaya penyelamatan harus segera dilakukan
agar perubahan iklim tidak mengancam bagi kehidupan. Meskipun hingga detik
ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai nyata atau tidak kah sebenarnya
perubahan iklim itu, Kim menyatakan bahwa bukan saatnya lagi untuk melakukan
perdebatan semacam itu, namun yang harus dilakukan sekarang adalah mulai
bertindak untuk mencegah hal tersebut semakin terjadi.16
Mengacu pada temuan-temuan yang ditemukan oleh para ilmuan,
bahwasanya perubahan iklim global ini sangat mengancam sistem kehidupan
manusia, yang mana perlu ditanggulangi melalui mitgasi dan adaptasi.17
Dampak
yang diterima oleh manusia dan alam ini dari perubahan iklim cendrung akan
parah dan memiliki potensi untuk tidak dapat diperbaiki, namun hal tersebut dapat
dicegah dengan cara mitigasi untuk menstabilkan jumlah emisi karbon yang
terlepas di udara.18
Temuan-temuan ilmiah selalu mengarah pada upaya untuk
16
Anna Yukhnanov. “Refile-update1 – Time to Stop Arguing About Climate Change, World Bank Says”. Diakses dari http://www.reuters.com/article/2013/06/19/worldbank-climate-idUSL2N0EU1C20130619 pada 14 July 2013, pukul: 16.54 WIB. 17
Aviel Verbruggen. 2008. Renewable and Nuclear Power: A Common Future?. “Energy Policy”, vol.36. hlm: 4037 18
Irene Lorenzoni, et.al. 2007. Barriers Perceived to Engaging With Climate Change Among the UK Public and Their Policy Implications. “Global Environment Change”. Vol.17. hlm: 445
84
melakukan penurunan terhadap jumlah pelepasan emisi sebagai bentuk jawaban
dari penyelamatan lingkungan. Inilah yang kemudian menjadi fokus dilakukan
saat ini, karena upaya mitigasi seakan menjadi bentuk perlawanan dan pencegahan
terhadap perubahan yang terjadi di alam ini, sedangkan adaptasi cendrung terlihat
sebagai tindakan yang “pasrah”, dalam artian ketika perubahan iklim sudah tidak
dapat diatasi, maka pilihan terakhirnya adalah hanya bertahan dari perubahan-
perubahan tersebut untuk dapat tetap hidup dan tidak mengalami kepunahan.
Dengan fokus untuk mengurangi emisi karbon, maka segala aspek
kehidupan yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya peningkatan emisi
mulai coba ditanggulangi dengan berbagai cara dan pendekatan. Teknologi
menjadi pendekatan yang paling dikedapankan dalam menyasar keberhasilan dari
tujuan tersebut. Setiap aktifitas kehidupan manusia mulai “ditekan” agar tidak
mengakibatkan terjadinya peningkatan emisi, salah satunya adalah dengan
mengganti produk-produk yang paling sering digunakan dan paling menghasilkan
keluaran emisi yang besar, dengan produk-produk yang lebih bersifat rendah
emisi. Hal ini juga tertuang dalam laporan yang dikeluarkan oleh Organisation for
Economic Co-operation and Development (OECD), dimana didalam laporan
tersebut berisikan mengenai penawaran inovasi teknologi yang dapat dilakukan
dalam menangani perubahan iklim, berikut penawaran yang coba ditawarkan
untuk dapat mengurangi kadar emisi dari aktifitas manusia;19
19
Organisation for Economic Co-operation and Development. “Promoting Technological Inovation to Adress Climate Change”. (Paris: OECD), hlm: 3.
85
Figure 2. ways of impacting total emissions
1) Create new product for consumers that generate fewer emissions when
used.
2) Use less emission-intensive inputs (of the same type).
3) Use less emission-intensive inputs (of different type).
4) Reduce pollution intensity per unit of input (without modifying inputs).
5) Reduce input use per unit of output.
6) Undertake remedial, “end of pipe” measures.
7) Of course, the firm (and the consumer) could simply produce ( and
consume) less.
Dari gambar diatas dapat dilihat “skema” yang dapat dilakukan untuk
melalukan penekanan secara total jumlah emisi yang terlepas di atmosfir. Pada
poin nomor satu dikatakan bahwa pembuatan produk yang bersifat ramah
terhadap lingkungan harus dilakukan, agar dapat mengurangi jumlah emisi karbon
dari aktifitas manusia. Kini semakin banyak produk dengan “label” ramah
lingkungan yang membanjiri pasar. Seperti yang telah disinggung pada bab dua,
86
yakni salah satunya adalah green cars. Dimana mobil tersebut ditujukan untuk
mengurangi kadar emisi dari sektor transportasi. Meskipun terdapat perbedaan
jumlah yang besar antara green cars dengan mobil-mobil konvensional, namun
nampaknya hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah bagi para produsen green
cars, karena produksi produk tersebut tengah terus ditingkatkan.
Ketika berbicara mengenai penurunan emisi dari sektor transportasi, maka
green cars kerap kali menjadi jawaban terkait permasalahan tersebut. Dimana
transportasi merupakan sektor yang cukup penting bagi manusia, dan manusia
sangat mengandalkan transportasi untuk melakukan “perpindahan tempat”.
Dengan bergantungnya manusia terhadap transportasi, maka transportasi selalu
digunanakan, dan ini kemudian berujung kepada pelepasan emisi dalam jumlah
yang tidak sedikit. Maka perubahan serta kampanye-kampanye untuk mengurangi
penggunaan alat-alat transportasi yang menghasilkan emisi besar mulai dilakukan,
seperti kampanye “bike to work”, dimana berpergian dilakukan melalui sepeda.
Kampanye seperti bike to work hampir diterapkan diseluruh penjuru dunia,
dengan dukungan dari pemerintah yakni membangun infrastruktur dan
menerapkan hari bebas kendaraan. Tujuannya adalah satu, yakni mengurangi
ketergantungan manusia dalam menggunakan mobil-mobil pribadi yang banyak
menghasilkan emisi. Namun belum banyak yang ikut berpartisipasi dalam
program tersebut, mungkin dikarenakan manusia telah terbiasa dimanja dengan
penggunaan mobil-mobil yang menawarkan fitur kenyamanan, sehingga timbul
rasa enggan untuk kembali “berpanas-panasan”, serta “bercapek-capek ria”
dengan menggunakan sepeda, kalau bisa “duduk manis”, kenapa harus bersusah
87
payah. Mungkin hal tersebut yang sering tersirat dalam benak manusia. Inilah
yang kemudian menjadikan green cars sebagai opsi lain dalam turut andil untuk
menekan tingkat emisi, karena dengan green cars artinya manusia tetap bisa
menggunakan kendaraan pribadinya tanpa memikirkan emisi yang dihasilkan dari
produk tersebut, paling tidak itu hal yang sering dikampanyekan oleh para
produsen green cars.
Penggunaan green cars dianggap tetap dapat memenuhi permintaan “gaya
hidup” manusia, meskipun bersaing dengan mobil konvensional yang telah lama
menjadi primadona, namun fitur-fitur pada green cars mulai terus dikedepankan.
Secara tidak langsung, manusia bisa tetap “bergaya” saat melakukan
penyelamatan lingkungan. Dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh
produsen green cars yang selalu dikedepankan adalah teknologi rendah emisi
pada mobil tersebut sehingga ini dapat sejalan dengan upaya mitigasi yang
dilakukan, terutama mitigasi pada sektor transportasi.20
Dalam setiap iklan yang
coba ditawarkan oleh para pencipta green cars mereka selalu memberikan kesan,
bahwa green cars adalah “teman” baik bagi alam. Hal tersebut terlihat dari
pemasaran melalui iklan yang dilakukan oleh Renault dan Chevrolet dalam
menunjukan bagaimana produk mereka merupakan jenis produk yang ramah
terhadap lingkungan. Pada iklan produknya, Renault menggambarkan bahwa
setiap aktifitas yang dilakukan oleh manusia sangat berperan aktif dalam
menghasilkan emisi karbon, dan satu-satunya yang tidak menghasilkan emisi
20
The Electrical Guide. Diakses dari http://green.tv/videos/the-electric-car-guide/ pada 14 July 2013, pukul: 22.35 WIB.
88
karbon adalah pada penggunaan electric cars dari Renault itu sendiri.21
Chevrolet
juga menunjukan hal serupa dalam pemasaran produk mereka, yang digambarkan
dengan penggunaan Chevrolet Volt akan membawa “keasrian” pada lingkungan,
yang digambarkan melalui bersihnya pemandangan di pegunungan.22
Dari ilustrasi yang ada pada iklan Renault dan Chevrolet Volt tersebut,
dapat dilihat bahwa penggunaan teknologi memang terus dikedepankan hingga
pada akhirnya perubahan iklim dapat “diatasi”. Namun, perkembangan yang ada
hingga detik ini, terlihat bahwa masih terdapat kalkulasi eknomis dibalik
penyelamatan lingkungan itu sendiri. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, aspek-
aspek yang berkaitan dengan eknomi tersebutlah yang mengarah pada terjadinya
kerusakan alam saat ini. Seharusnya ketika berupaya untuk menyelamatkan alam,
maka fokus utamanya memang untuk menyelamatkan alam serta segala aspek
kehidupan didalamnya, bukan hanya aspek dari kehidupan manusianya saja.
Segala upaya yang dilakukan oleh manusia saat ini terkait dengan
terjadinya perubahan iklim, menunjukan bahwa memang manusia khawatir,
bahkan takut jika perubahan iklim dapat mengancam kelangsungan hidup umat
manusia di alam ini. Bila kembali mengacu pada isi dari Rio Declaration, tertuang
sangat jelas bahwa “Human being are at the centre of concerns for sustainable
development”,23
yang mana sangat jelas bahwa memang manusia lah yang tetap
21
Renault’s New Electric Car Advertising Campaign. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=ZqN9VWb75D0 pada 14 July 2013, pukul: 23.10 WIB. 22
Chevrolet Volt Commercial. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=Xy_zsbuYl-M pada 14 July 2013, pukul: 23.13 WIB. 23
UNCED. “Report of the UN Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August
89
menjadi peran utama dari penyelamatan lingkungan. Meskipun sustainable living
serta sustainable development digunakan sebagai pedoman terhadap ancaman
perubahan iklim, namun tetap saja yang berkelanjutan adalah umat manusianya.
Lantas jika demikian bagaimana nasib spesies lain yang ada di alam ini?
sepertinya jika tidak menguntungkan bagi kehidupan manusia, nampaknya hal
tersebut tidak akan dipikirkan oleh manusia.
Berkaca terhadap kebijakan terkait penggunaan serta pemanfaatan
teknologi dalam menghadapi perubahan terhadap lingkungan ini, nampaknya
memang hanya berdasarkan pada kepentingan manusianya saja. Seolah bahwa
manusia memang hidup sendiri di alam, dan mahluk-mahluk lainnya hanya
sebatas pelengkap bagi kehidupan manusia saja. Hal ini terlihat jelas dari target
utama penyasaran penggunaan serta perkembangan teknologi dewasa ini. Dimana
memang jelas bahwa teknologi merupakan solusi untuk menyelamatkan
kerusakan yang terjadi di alam. Pernyataan tersebut juga didukung oleh riset yang
dilakukan Taiwan Environmental Protection Administration, yang mengatakan
bahwa teknologi merupakan kunci utama untuk menyelesaikan permasalahan
kerusakan iklim.24
Tetapi apakah kemudian dengan menggunakan teknologi,
maka permasalahan akan kerusakan yang terjadi di alam ini bisa teratasi? Jika
memang dapat teratasi, maka alam yang mana kah yang telah terselamatkan?
Alam manusia kah atau alam secara menyeluruh?
24
Environmental Protection Administration Executive Yuan, R.O.C (Taiwan). “Research and Development of Protection Technologies”. Diakses dari http://www.epa.gov.tw/en/epashow.aspx?list=122&path=150&guid=de085634-f689-4b73-9426-fb75e9c804b7&lang=en-us 15 July 2013, pukul: 20.29 WIB.
90
Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas, dapat dilihat melalui target-
target dari adaptasi dan mitigasi yang dikeluarkan oleh IPCC. IPCC dijadikan
dasar dalam melihat hal tersebut dikarenakan IPCC merupakan bentuk lembaga
kerjasama yang didalamnya terdapat gabungan para peneliti diseluruh dunia guna
mencari jawaban terkait permasalahan pada lingkungan. Maka kemudian, apa
yang menjadi temuan dan di publikasikan oleh IPCC menjadi dasar dalam
berbagai kebijakan terkait lingkungan. Dimana IPCC dalam hal ini berperan
sebagai institusi yang memiliki kekuatan sebagai otoritas yang diakui oleh opini
publik, sehingga pernyataan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut dinilai
sebagai bentuk kebenaran.
Bila melihat target dari upaya adaptasi dan mitigasi yang di keluarkan oleh
IPCC di dalam website mereka, terlihat bahwa target-target utama dari upaya
tersebut hanya mencakup pada sektor; air, agrikultur, infrastruktur, kesehatan
manusia, wisata, transportasi, dan energi.25
Dari semua sektor yang ada diatas,
semuanya hanya berdasarkan pada kepentingan dari manusianya saja, hal ini
sekaligus menjadi penegas bahwa upaya yang dilakukan terkait penyelamatan
alam hanya sebatas pada alam bagi kebutuhan manusia saja, bukan alam yang
mencakup segala aspek kehidupan mahluk-mahluk didalamnya. Bahkan lebih jauh
lagi, hal ini menunjukan narasi antroposentris, dimana manusia yang hanya
melihat dirinya saja di dalam keseluruhan alam, berupaya untuk bisa tetap survive
dari terjadinya perubahan dan kerusakan yang terjadi di dalam alam. Narasi-narasi
25
Untuk lebih jelas mengenai adaptasi dan mitigasi terkait sektor-sektor tersebut, dapat dilihat melalui, Climate Change 2007: Synthesis Report. “Adaptation and Mitigation Options”, yang diakses dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/spms4.html pada 15 July 2013, pukul: 20.49 WIB.
91
antroposentris kerap kali “muncul” didalam upaya penyelamatan lingkungan,
karena manusia tetap meletakan kepentingan mereka dalam penyelamatan alam,
meskipun telah jelas ditemukan bahwa akibat aktifitas manusialah yang berlebih
inilah justru alam mengalami kerusakan. Pandangan antroposentris dalam melihat
alam secara lebih mendalam akan dibahas pada bab berikutnya.
Saat ini manusia mulai mengalami ketakutan, ketakutan jika mereka tidak
bisa lagi hidup di dalam alam ini, takut jika spesies mereka akan menjadi produk
sejarah semata, layaknya yang terjadi pada hewan-hewan purba di masa lampau,
bahkan takut jika mereka tidak lagi dapat mendominasi keseluruhan alam ini.
Untuk itulah kemudian berbagai cara demi cara coba dilakukan agar manusia tetap
dapat mempertahankan eksistensi diri mereka di dalam alam ini.
Teknologi-teknologi yang dikembangkan saat ini juga berdasarkan pada
kepentingan dan manfaatnya bagi manusia saja. lihat saja pada penggunaan
energi, dimana dengan penggunaan teknologi mulai dicari energi alternatif baru
yang bisa tetap digunakan oleh manusia dalam memenuhi setiap kebutuhannya.
Selain itu, dalam sektor agrikultur, bahkan manusia telah menemukan cara untuk
“memodifikasi” tumbuhan, yang memang jelas bahwa hal tersebut demi
kepentingan manusia semata, tanpa mempertimbangkan bagaimana dampak dari
hal tersebut terhadap keseluruhan alam ini. Dan tentunya, dalam sektor
transportasi, mulai dilakukan “penyebaran” green cars, yang dikatakan oleh para
“penciptanya” sebagai pilihan terbaik bagi permasalahan emisi dan dampaknya
terhadap lingkungan. Namun, dalam semua hal yang disebutkan diatas, semuanya
hanya berdasarkan pada kepentingan manusia, dan memang hanya manusia yang
92
dapat menerima manfaat dari hal tersebut. Dan terdapat ketakutan yang timbul
dari hal tersebut, ketakutan bahwa manusia nantinya akan berupaya untuk
“merekayasa” alam demi kebutuhan bagi spesiesnya, jika hal tersebut sampai
terjadi, maka keseimbangan yang telah ada pada alam mungkin akan hancur, dan
justru dampak dari hal tersebut akan lebih besar dari dampak yang dihasilkan dari
perubahan iklim sekarang ini. Penciptaan green cars bisa jadi merupakan awal
dari tindakan rekayasa terhadap alam. Jika sampai terbukti benar bahwa
penciptaan green cars berdampak baik bagi alam, maka manusia seakan semakin
yakin dapat “mengelabui” dan “mengalahkan” alam. Dengan banyaknya
kerjasama dalam bidang penggunaan teknologi terhadap lingkungan, maka hal
rekayasa alam tersebut nampaknya akan menjadi kenyataan.
Adanya berbagai kerjasama dibidang “penyelamatan” lingkungan
nampaknya telah menyatukan secara menyeluruh umat manusia di bumi ini.
Dimana tidak ada lagi pemisahan antara negara, ras, ataupun kelompok
kepentingan, semua duduk bersama menjadi sebuah kesatuan yang bernama
“manusia”, untuk kemudian berjuang agar dapat tetap bertahan dari perubahan
yang terjadi di alam ini. Dengan terciptanya kerjasama-kerjasama tersebut, dan
menghasilkan inovasi-inovasi baru dibidang teknologi, secara tidak langsung
terlihat bahwa manusia telah bersatu dan bersiap untuk melawan perubahan iklim
tersebut. Alam kini menjadi musuh yang mengancam bagi umat manusia, dan
dengan bantuan dari teknologi, maka manusia akan mencoba “memukul mundur”
ancaman tersebut, agar nantinya tetap bisa mendominasi alam ini dan tetap dapat
bertahan tanpa harus mengalami kepunahan.
93
BAB IV
KESEIMBANGAN DAN KEBERLANJUTAN ALAM
Pada dasarnya alam merupakan sebuah “tempat” yang didalamnya
terdapat ikatan-ikatan kuat yang saling memiliki hubungan antara ikatan yang satu
dengan ikatan yang lainnya. Dimana di dalam ikatan tersebut terdapat manusia,
hewan, tumbuhan, dan bahkan termasuk juga benda-benda abiotis didalamnya.
Aktifitas yang dilakukan dalam ikatan tersebut tentu akan memiliki dampak
terhadap keseluruhan sistem alam ini, entah itu dampak baik ataupun dampak
buruk. Mengingat saat ini Bumi tengah mengalami peningkatan suhu yang
menyebabkan terjadinya perubahan iklim, tentu hal tersebut membawa dampak
perubahan terhadap keseluruhan sistem di alam ini, dan tentunya untuk dapat
mengembalikan Bumi pada keadaan “normalnya” maka serangkaian tindakan
perlu dibuat dan dilakukan agar segalanya kembali seperti sediakala. Dalam hal
ini terdapat tiga pandangan utama yang melihat bagaimana seharusnya upaya
yang dilakukan terkait dengan adanya perubahan iklim di alam ini, ketiga
pandangan tersebut adalah ; antroposentris, ekosentris dan teknosentris. Ketiga
pandangan ini memiliki perbedan-perbedaan dalam melihat alam itu sendiri, serta
bagaimana tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah, mengurangi dan
mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi belakangan ini.
Dalam bab ini secara lebih lugas akan dibahas mengenai bagaimana dampak dari
tindakan yang dilakukan dalam penyelamatan alam ini, apakah hal tersebut akan
94
membawa solusi atau justru malah membawa alam pada tingkat kerusakan yang
lebih parah dari hanya sekedar dampak perubahan iklim semata.
4.1 Pandangan Antroposentris, Ekosentris dan Teknosentris Dalam
Melihat Alam
4.1.1 Antroposentrisme
Pandangan antroposentris dapat dikatakan sebagai pandangan yang
dikedepankan ketika berbicara mengenai isu lingkungan dewasa ini. Hal
tersebut dapat tergambar dengan jelas dalam isi dari landasan awal
pembangunan berkelanjutan yang dikatakan bahwa model tersebut dapat
menjadi “alternatif” dalam permasalahan lingkungan, antara manusia
dengan pemenuhan kebutuhannya dan alam dengan segala isinya. Isi dari
landasan pembangunan berkelanjutan tersebut menegaskan bahwa “human
beings are at the centre of concern for sustainable development”.1 Ini
menjelaskan bahwa memang dalam upayanya untuk “menyelamatkan”
alam, manusia hanya tetap mementingkan dirinya sendiri saja didalam
alam ini.
Pandangan antroposentris memandang bahwa manusia merupakan
pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap
yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan
yang diambil terkait dengan alam, baik secara langsung maupun tidak
1 UNCED (United Nations Conference on Environment and Development).1992. “Report of the UN
Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August.
95
langsung. Alam pun dilihat hanya sebagai sebuah objek, alat dan sarana
bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kalaupun manusia
mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi
menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa
alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi.
Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan
manusia, alam akan dibiarkan begitu saja, mungkin bahkan manusia tidak
akan lagi mendiami alam ini dan berpindah “mencari” alam yang baru,
yang masih bisa untuk ditempati secara aman.2
Dalam kaitannya dengan keseluruhan sistem alam ini,
antroposentris melihat manusia sebagai mahluk atau komponen yang
terpisah dari sistem tersebut. Terpisah disini dikarenakan manusia
dianggap sebagai mahluk yang superior dan sangat berbeda dengan
mahluk-mahluk lainnya di alam ini. Alasan utama dari anggapan tersebut
adalah dikarenakan manusia dapat berbicara dan dapat berfikir untuk
menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, sedangkan mahluk
lainnya terutama hewan hanya dapat mengeluarkan suara. Berbicara dan
bersuara menrupakan dua hal yang berbeda, dimana bersuara hanya
sebatas pada ekspresi atas kesenangan dan kepedihan, sedangkan berbicara
memiliki sifat yang lebih dalam, yakni hingga pada komunikasi untuk
menjelaskan apa yang berguna dan tidak, dan juga apa yang pantas dan
2 A. Sonny Keraf.2010. Etika Lingkungan Hidup. (Jakarta: Kompas) Hlm: 47-48.
96
tidak pantas.3 Meskipun manusia berada diluar sistem tersebut, bukan
berarti bahwa keberadaan manusia tidak diperlukan didalam alam, dan
keberadaan alam tidak dibutuhkan oleh manusia, namun yang terjadi justru
sebaliknya, bahwa keberadaan manusia sangatlah penting bagi
keseluruhan alam, karena tanpanya tidak akan terjadi sebuah
keseimbangan didalam alam tersebut.
Terdapat alasan lain antroposentris yang menganggap manusia
sebagai mahluk yang superior dan paling penting didalam alam. Dikatakan
bahwa manusia berada pada posisi yang paling mendekati kesempurnaan
didalam rangkaian rantai kehidupan (the great chain of being).4 Menurut
argumen ini, semua kehidupan di bumi membentuk sebuah rantai
kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang sederhana hingga yang maha
sempurna, yakni tuhan itu sendiri.5 Dalam rangkaian tersebut, dengan
posisi manusia yang berada pada tingkatan mendekati kesempurnaan,
kemudian dianggap lebih superior dari semua ciptaan lainnya, termasuk
diantara semua mahluk hidup lainnya.
3 Jacques Ranciere. 1999. Disagreement: Politics and Philosophy. (Minneapolis: University of
Minnesota Press), hlm: 1. 4 Sonny Keraf. Ibid. hlm: 51.
5 Ibid. hlm: 52.
97
Figure 3: The Great Chain Of being.6
Dari gambar the great chain of being diatas dapat terlihat bahwa posisi
manusia berada pada tingkatan diatas mahluk-mahluk lain di alam ini,
seperti hewan dan tumbuhan. Dengan tingkatan yang demikian, maka
manusia mengganggap dirinya memiliki hak atas mahluk-mahluk tersebut,
dan mahluk tersebut dapat dijadikan objek untuk memenuhi kebutuhan
dari manusia. Anggapan ini juga dibenarkan oleh Aristoteles dalam
bukunya The Politics, dimana dikatakan bahwa; “plants exist to give
subsistence to animals, and animals to give it to men”.7 Dari pernyataan
tersebut terlihat bahwa memang terdapat sebuah ikatan yang
menghubungkan semuanya, dan ikatan tersebutlah yang pada akhirnya
6 The Great Chain of Being, dikutip dari http://www.stanford.edu/class/engl174b/chain.html
pada 23 September 2013, pukul: 14.12 WIB. 7 Ernest Barker. 1958. The Politics of Aristotle. (London: Oxford University Press), 1256b. hlm: 21
98
menunjang segala kehidupan yang ada saat ini. Seakan telah terdapat
tugasnya masing-masing, bahwa adanya tumbuhan berfungsi untuk
menunjang kehidupan bagi hewan, dan hewan menjadi penunjang bagi
kebutuhan hidup manusia. Ikatan ini tidak boleh sampai terputus, karena
jika terputus maka keseimbangan yang telah ada akan mengalami
kehancuran.
Dengan ditempatkannya manusia pada tingkatan yang hampir
sempurna tersebut, atau tingkatan superior maka ini membuat manusia
(seharusnya) memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap
keseluruhan rangkaian kehidupan didalam alam. Namun, pada praktiknya
hingga hari ini tanggungjawab tersebut seakan tidak dilihat, yang dilihat
hanya sebatas pada manusia merupakan mahluk yang superior diantara
yang lainnya, dan hal tersebut seakan menjadi legitimasi bagi manusia
untuk melakukan eksploitasi terhadap alam, dengan pengatasnamaan
pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu sendiri.
Meskipun pada dasarnya pandangan antroposentris melihat bahwa
manusia terpisah dari keseluruhan alam, pandangan ini tidak memungkiri
kenyataan-kenyataan ekologis bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat
diantara semua mahluk didalam alam, termasuk manusia.8 Dengan
demikian, manusia mempunyai kepentingan untuk melestarikan alam,
karena dengan melestarikan alam, artinya manusia juga berupaya untuk
mempertahankan hidupnya sendiri. Hubungan timbal balik yang demikian
8 Sonny Keraf. Ibid. hlm: 58-59.
99
yang pada akhirnya membuat manusia berupaya untuk “menghormati”
alam, namun hal ini didasarkan pada posisi dimana alam adalah alat bagi
pemenuhan kebutuhan manusia. Tidak ada alam, maka tidak ada manusia.
Manusia tetap membutuhkan alam untuk bisa dapat tetap bertahan.
Kepentingan inilah yang kemudian banyak tercermin dalam setiap
kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan lingkungan.
Dari setiap kebijakan yang berhubungan dengan isu lingkungan,
selalu manusia yang menjadi “bintang” utamanya, seakan manusia adalah
mahluk satu-satunya didalam alam ini. Katakanlah pembangunan
berkelanjutan, program adaptasi dan mitigasi, serta penggunaan teknologi,
semua hanya berdasarkan pada kepentingan manusia saja. Namun, jika
segalanya hanya berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan manusia
saja, maka akan sulit untuk dilakukan, karena pada dasarnya kepentingan
dan kebutuhan setiap individu manusia memiliki perbedaan dan cendrung
berubah-ubah kadarnya. Dan bahkan penyelamatan terhadap lingkungan
hanya akan dilakukan jika hal tersebut bersentuhan dengan diri manusia,
selama hal tersebut tidak memiliki dampak apapun terhadap dirinya, maka
lingkungan akan tetap dibiarkan seperti itu.
Namun kembali lagi pada pandangan antroposentris, dalam hal
upaya untuk menyelamatkan lingkungan, maka memang yang harus
menjadi pusat perhatiannya adalah pada diri manusia. Dikarenakan
manusia merupakan yang paling penting dalam alam ini, dan bahkan
merupakan yang paling berpengaruh maka setiap hal terkait dengan
100
keselamatan manusia harus dipertimbangkan untuk dilakukan. Bila
berbicara mengenai bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam
mengatasi terjadinya kerusakan pada lingkungan, seperti terjadinya
perubahan iklim, maka dalam pandangan ini yang difokuskan adalah pada
diri manusianya. Karena dalam pandangan ini, dengan diupayakannya
keselamatan manusia dari bahaya kerusakan lingkungan, maka alam pun
secara tidak langsung ikut terselamatkan, yang mana seakan terdapat pola
hubungan timbal balik antara manusia dengan alam. Menyelamatkan
kehidupan manusia, artinya menyelamatkan alam secara menyeluruh.
4.1.2 Ekosentrisme
Berbeda dengan antroposentrisme yang memusatkan segalanya
pada kepentingan manusia saja di dalam alam, ekosentris menentang cara
pandang tersebut, dan dapat dikatakan lebih radikal dari apa yang
dikemukakan oleh antroposentris. Bagi ekosentris, manusia tidak
seharusnya dilihat terpisah dari alam, melainkan manusia harus dilihat
berada didalam keseluruhan sistem di alam ini, karena manusia merupakan
bagian dari alam, bersama dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, bahkan
bersama dengan mahluk-mahluk abiotis. Tidak ada perlakukan khusus
bagi manusia dalam pandangan ini, tidak ada tingkatan-tingakatan,
melainkan semuanya setara, semuanya memilki ikatan yang kuat, memiliki
hubungan yang saling menguntungkan, dimana yang satu tidak dapat
hidup tanpa yang lainnya.
101
“Elements of living ecosystems do not exist as separable parts; they
also exist in relation to the Whole, which is non-reducible to any of its
parts, which plays a role in determining them, and cannot exist without
them. What is individual exist in relation to the Whole, therefore, and
this relationship must be included in any concrete account of things.”9
Kita (manusia) tidaklah hidup di dunia ini hanya sendiri, melainkan
kita hidup bersama dengan keseluruhan anggota yang ada di alam. Tanpa
mereka kita tidak akan dapat hidup, begitu juga dengan sebaliknya. Ketika
kita berbicara mengenai lingkungan, maka seluruh aspek yang ada
didalamnya ikut masuk kedalam bagian tersebut, karena memang pada
dasarnya kita adalah bagian dari alam ini, bukan terpisah dari alam.
Dengan pandangan yang melihat bahwa manusia dan alam harus
hidup secara berdampingan ini lah yang kemudian banyak dijadikan
sebagai platform bagi para aktifis lingkungan dalam melakukan
penyampaian aksi mereka. Selain menjadi landasan bagi aktifis lingkungan
hidup, pandangan ini juga menjadi cara pandang serta gaya hidup yang
digunakan oleh masyarakat adat. Dimana gaya hidup masyarakat adat
sangatlah dekat sekali dengan alam, dan bahkan hidup mereka bergantung
kepada alam, maka demikian mereka pada akhirnya memiliki sikap hormat
terhadap alam itu sendiri. Dengan alam yang rusak maka hidup mereka
pun akan mengalami hal yang sama dengan alam. Karena dalam
pandangan ini yang coba dilihat bukan hanya pada permasalahan yang
sifatnya jangka pendek saja, tapi lebih kepada permasalahan jangka
panjang. Selain itu pandangan ini juga melihat, bahwa untuk dapat sustain,
9 Joel Kovel. 2002. The Enemy of Nature: the end of capitalism or the end of the world?. (London:
Zed Books Ltd), hlm: 105.
102
maka manusia dan alam haruslah hidup berdampingan dalam sebuah
hubungan yang “harmonis”. Dengan kata lain tidak ada lagi dominasi
manusia terhadap keseluruhan alam, jika manusia ingin memanfaatkan
alam, maka manusia perlu melakukan pertimbangan akan dampak dari
tindakannya tersebut, ketika hal tersebut membawa dampak yang sangat
buruk bagi kehidupan mahluk-mahluk hidup lainnya yang berada dialam,
maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh manusia. Dengan
demikian, tujuan dan kepentingan manusia diperjuangkan dengan
mengintegrasikan secara arif tujuan dan kepentingan mahluk lainnya.
Sikap dominasi lalu digantikan dengan sikap “hormat” terhadap alam.10
Dalam melihat terjadinya kerusakan pada alam sekarang ini,
pandangan ini “membenarkan” bahwa memang hal ini dikarenakan
dominasi manusia yang terlalu berlebih, sehingga mengganggu dan
merusak keseluruhan sistem yang ada. Terkait dengan upaya penyelamatan
lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan, pandangan ini
menganggap bahwa dengan hal tersebut tetap tidak dapat menjadi
jembatan penghubung antara manusia dengan alam, karena yang menjadi
aktor utamanya masihlah manusia dengan segala bentuk kepentingan serta
kebutuhannya yang selalu berubah dan tidak pernah habis. Ekosentris
menganggap bahwa untuk mewujudkan hubungan yang lebih baik antara
manusia dengan alam, maka konsep pembangunan berkelanjutan haruslah
dirubah menjadi keberlanjutan ekologis (ecological sustainability).
10
Sonny Keraf. Ibid. hlm: 110.
103
Paradigma ini menuntut sikap hormat dan perlindungan atas kekayaan dan
keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan di planet ini. paradigma ini
menuntut dihentikannya kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang
bertujuan utama mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik yang
bertujuan utama mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta
gaya hidup yang konsumtif.11
Selama ini alam di dominasi oleh manusia, dimana manusia
menggunakan sikap dominasi tersebut untuk melakukan eksploitasi
terhadap keseluruhan alam, tanpa memikirkan bagaimana dampak dari
tindakannya tersebut terhadap keseluruhan mahluk yang ada didalamnya,
dan keseluruhan keseimbangan yang ada didalam alam. Menurut
pandangan ekosentris hal tersebut sangatlah salah, dan perlu dilakukan
perubahan untuk dapat menstabilkan semuanya. Pola-pola antroposentris
sangat kuat dalam prilaku setiap individu manusia, bahwa segalanya
hanyalah untuk diri manusia, dan segalanya haruslah dilihat hanya
berdasarkan kepentingan dan kebutuhan bagi diri manusia, termasuk alam.
Hal inilah yang membawa alam ini pada kehancuran, kerusakan dan
ketidakseimbangan.
Bagi ekosentris, yang harus dilakukan untuk “menormalkan”
kembali apa yang terjadi dialam ini bukanlah dengan melakukan inovasi-
inovasi yang bersifat adaptasi dan mitigasi saja, mungkin hal tersebut
dapat memperlambat terjadinya kerusakan pada lingkungan, namun tidak
11
Ibid. hlm: 115.
104
menyelesaikan akar dari permasalahan tersebut. karena dalam pandangan
ekosentris, yang menyebabkan terjadinya kerusakan ini adalah manusia,
dengan segala bentuk tindakan yang mereka lakukan. Maka kemudian
untuk dapat menyelamatkan lingkungan, yang harus dilakukan adalah
mengubah cara pandang manusia dalam melihat keseluruhan alam ini.
Manusia tidak lagi hanya melihat dirinya seakan hanya dirinya sajalah
yang ada di alam ini, melainkan manusia haruslah melihat bahwa dirinya
merupakan bagian dari komunitas di alam ini, dan setiap tindakan yang
dilakukan oleh manusia akan berpengaruh pada seluruh komunitas lainnya.
Selain itu alam tidak lagi hanya dilihat sebagai sebuah objek untuk
kepentingan manusia yang bersifat ekonomis, tetap alam juga harus dilihat
sebagai penyokong utama dari terciptanya sebuah kehidupan, karena alam
adalah sumber bagi setiap kehidupan yang ada di planet ini.
Bila mengacu pada setiap kebijakan yang dikeluarkan terkait
dengan isu-isu kerusakan lingkungan, masih terlihat jelas berlandaskan
pada humancentric. Agar dapat terciptanya alam yang lebih baik maka
nilai-nilai ekologis harus dijadikan landasan utama dari setiap kebijakan
yang diambil oleh manusia. Setiap kebijakan tersebut haruslah melaui
tahap pemikiran yang matang, dimana melihat lebih dulu bagaimana
nantinya hal tersebut akan berpengaruh kepada keseluruhan komunitas dan
keseimbangan alam ini. Memang untuk menerapkan pandangan ini
sangatlah sulit, tidak heran dianggap radikal oleh sebagian besar kalangan,
karena memang pandangan ini berupaya mengubah cara berprilaku
105
manusia yang pada dasarnya telah berakar dan telah digunakan sekian
lama, namun jika hal ini berhasil dilakukan maka dominasi manusia
terhadap alam dapat diminimalkan, dan keberlanjutan alam dapat tercipta.
4.1.3 Teknosentrisme
Dalam cara pandang dari teknosentris, sekiranya tidaklah jauh
berbeda dengan apa yang dikemukakan dan digambarkan oleh
antroposentris dalam melihat posisi manusia dengan alam, teknosentris
seakan menjadi kepanjangan dari apa yang telah dikemukakan oleh
antroposentris. Karena pandangan ini juga tetap melihat dan memposisikan
bahwa manusia terpisah dari alam, dan alam sebagai sumber yang
digunakan demi kemanfaatannya terhadap manusia. Namun, yang
membedakannya adalah dalam melihat terjadinya kerusakan yang terjadi
didalam lingkungan, teknosentris melihat bahwa teknologi merupakan
jawaban bagi permasalahan lingkungan. Bahkan dalam pandangan ini juga
dilihat untuk dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan, dapat
ditanggulangi dengan percampuran antara teknologi, legislatif, dan
“kesadaran” publik, tanpa perlu adanya perubahan yang lebih mendalam.12
Hal tersebut nampaknya tergambar dari pernyataan yang dikeluarkan oleh
mantan menteri lingkungan Amerika Serikat, yang menyatakan; “we can
not change our lifestyles because of the possibility of climate change, we
12
David Hicks. “Notes: Sustainable Futures.” Diakses dari http://teaching4abetterworld.co.uk/downloads.html pada 14 September 2013, pukul: 13.55 WIB.
106
just need to fix the bioshpare”.13
Pernyataan serupa juga terlihat dari
pernyataan Kofi Annan, “Competing Futures”, dalam pertemuan
sustainable development di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun
2002;14
“Imagine a future of relentless storm and floods; island and heavily
inhabited coastal regions inundated by rising sea levels; fertile soils
rendered barren by drought and the deserts advance; mass migrations
of environmental refugess; and armed conflicts over water and
precious natural resources. then, think again - for one might just as
easily conjure a more hopeful picture; of green technologies; liveable
cities; energy -efficient homes, transport and industry; and rising
standards of living for all the people not just a fortune minority. the
choice between these competing visions is ours to make".
Dari kedua pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa memang untuk
dapat mengatasi permasalahan iklim, maka teknologi adalah jalan keluar
yang dapat digunakan. Sulit untuk mengubah cara berfikir bahkan gaya
hidup setiap individu manusia, maka dengan teknologi semuanya dapat
terlaksana. Bahkan dalam pernyataan yang dilampirkan oleh Kofi Annan,
terlihat bahwa terdapat penggambaran dua kemungkinan yang terjadi dari
tindakan yang kita (manusia) lakukan terhadap kerusakan lingkungan. Jika
kita hanya berdiam diri saja tanpa melakukan sesuatu, maka kemungkinan
yang akan terjadi adalah apa yang digambarkan oleh Annan dalam
kemungkinan pertama. Namun, dari pernyataanya yang kedua bahwa
terdapat peran teknologi didalamnya, dan terlihat bahwa upaya
penyelamatan lingkungan yang ditempuh dititikberatkan melalui
13
John Houghton. 2004. Global Warming: The Complete Briefing 3rd
Edition. (New York: Cambridge University Press), hlm: 200. 14
Kofi Annan. “Beyond the Horizon”. Dalam Time Magazine, tahun 2002. Diakses dari http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1003113,00.html pada 14 September 2013, pukul 14.41 WIB.
107
penggunaan teknologi. Saat ini bahkan dapat terlihat dengan jelas bahwa
pilihan tersebut lah yang digunakan oleh manusia, dimana teknologi
sangat dikedepankan. Dan hal ini pada akhirnya seakan menjadi pembenar
bahwa memang teknologi merupakan satu-satunya jalan yang dapat
dilakukan oleh manusia untuk dapat menyelamatkan alam ini dari
kehancuran.
Meskipun saat ini alam sedang mengalami perubahan, dan
perubahan tersebut mengarah pada tingkat kerusakan yang cukup serius,
bagi pandangan teknosentris, pertumbuhan eknomi haruslah tetap
dikedepankan, dan tetap terus diupayakan pencapaiannya.15
Namun, yang
harus dilakukan adalah perubahan gaya pertumbuhan ekonomi kedalam
tahap yang lebih berkelanjutan. Tentu saja hal ini dapat dilakukan melalui
jalan-jalan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu dari
hal tersebut adalah dengan pengembangan dan penggunaan teknologi hijau
yang saat ini dapat dengan mudah kita jumpai. Dengan pengembangan
teknologi yang ramah lingkungan, artinya manusia tetap dapat
memanfaatkan alam, namun dengan cara yang tidak terlalu eksploitatif.
Seperti pada contoh kasus penggunaan green cars yang menjadi
studi dalam penelitian ini. penggunaan dan produksi mobil terutama
mobil-mobil yang berbahan bakar fosil secara terus menerus pada akhirnya
membawa pada peningkatan emisi karbon pada sektor transportasi. Seperti
yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya bahwa hal tersebut
15
David Hicks. Op.Cit.
108
akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Melihat hal tersebut
maka perlu dilakukan dan dibuat sebuah jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan yang ada, maka kemudian dikembangkanlah green cars
yang dapat menengahi permasalahan yang timbul dari penggunaan
kendaraan oleh manusia. Dari contoh kasus tersebut dapat terlihat bahwa
apa yang menjadi tujuan utamanya tetaplah pada “kesejahteraan” manusia,
karena memang padangan ini berupaya agar manusia tetap bisa berada
pada kesejahteraan, bahkan aman dari kerusakan lingkungan. Selain itu,
nampaknya dalam pandangan ini, penyelesaian permasalahan hanya dilihat
sebatas jangka pendeknya saja, bukan menyasar pada inti yang
menyebabkan terjadinya permasalahan tersebut.
Untuk dapat menyelamatkan alam dari kerusakan yang terjadi saat
ini, pandangan ini cendrung melihat layaknya apa yang dilihat oleh
antroposentris, yakni pada “kenyamanan” manusianya. Ketika terjadi
kerusakan pada alam, maka teknologi akan diupayakan untuk melakukan
“perbaikan” terhadap kerusakan tersebut sehingga manusia bisa tetap
menggunakan alam demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Alam
tetap dijadikan sebuah objek pemuas hasrat manusia, dan manusia tetap
melakukan dominasi terhadap alam. Namun, dominasi yang dilakukan
oleh manusia kali ini dapat dikatakan lebih “modern” karena
menggunakan bantuan dari teknologi yang semakin canggih. Ketika
pandangan ini terus dikedepankan maka dominasi yang dilakukan oleh
manusia akan semakin menjadi-jadi. Artinya, dengan perkembangan
109
teknologi yang semakin canggih, maka manusia akan selalu mempunyai
cara untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam. Ketika cara yang
mereka lakukan telah merusak alam, maka dengan bantuan teknologi, alam
akan diperbaiki untuk kembali dirusak oleh manusia. Dan selama
teknologi semacam ini dikedepankan, maka selama itu pula lah alam akan
diperbaiki untuk dirusak.
ketiga pandangan diatas memiliki caranya sendiri dalam melihat alam,
terutama dalam mencari jawaban terkait terjadinya kerusakan pada keseluruhan
alam. Namun, apakah penggunaan pada cara pandang diatas dapat membawa
jawaban bagi permasalahan yang terjadi di alam ini. Apakah memang pada
dasarnya manusia adalah mahluk yang harus mendominasi di alam ? ataukah
justru sikap dominasi manusia tersebut kita sendiri yang membuatnya ? yang pada
artiannya memang kita harus berjalan secara harmonis dengan alam, ataukah
dengan penggunaan teknologi, kita dapat menemukan jawaban atas keseluruhan
dari masalah yang terjadi di alam ini. Ketiga cara pandang diatas merujuk pada
satu tujuan yang sama, yakni untuk tetap dapat menstabilkan keseimbangan yang
ada di alam, tentunya dengan model kestabilan yang berbeda-beda. Tetapi apakah
keseluruhannya dapat berdiri sendiri ? dalam artian hanya satu pandangan saja
yang digunakan terkait permasalahan ini. nampaknya tidak demikian. Karena pada
dasarnya kita (manusia) memang tidak hidup sendiri di alam ini, dan kita memang
saling membutuhkan. Salah satu contohnya, kita bernapas menggunakan oksigen,
sedangkan oksigen merupakan hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh
tumbuhan. Artinya kita memang membutuhkan mahluk lainnya. Tetapi kita juga
110
tidak dapat mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap alam seperti apa
yang dikemukan oleh ekosentris, karena yang kita bicarakan disini adalah cara
pandang yang sudah bersemayam didalam alam pikir kita sejak lama, dan untuk
mengubah hal tersebut tentunya dibutuhkan waktu yang sangat lama pula. Bahkan
untuk menyerap cara pandang ekosentris saja pun itu akan sangat sulit bagi kita
semua, terkecuali bagi masyarakat adat yang memang telah menggunakan
pandangan tersebut sejak lama. Dengan ditambah berkembangnya ilmu teknologi,
maka ini akan semakin sulit. Tentu kita akan berupaya untuk mencari jawaban
yang “simple” untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi ini. Bahkan kita
akan berfikir “jika hal ini bisa ditempuh melalui penggunaan teknologi, untuk apa
dilakukan perubahan gaya hidup, yang memang itu akan sangat sulit untuk
dilakukan”.
Dari ketiga pandangan tersebut, bila dilihat berdasarkan
perkembangannya, nampaknya cara-cara yang dikemukakan oleh pandangan
teknosentris sepertinya “dipilih” sebagai jalan yang digunakan terkait
permasalahan pada lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya
perkembangan-perkembangan teknologi yang mulai bersifat ramah lingkungan.
Target utama dari penggunaan teknologi tersebut adalah pada manusia, dimana
nantinya dampak buruk dari aktifitas manusia terhadap lingkungan dapat
diminimalkan. Namun apakah kemudian penggunaan dari teknologi tersebut dapat
menyelesaikan permasalahan ini hingga pada akarnya ? ataukah yang terjadi
justru malah akan timbul masalah lain akibat penggunaan teknologi tersebut yang
sifatnya “berlebihan”. Bahkan banyak kalangan yang menganggap bahwa
111
penggunaan dari teknologi tidak akan menyelesaikan inti dari permasalahan
lingkungan ini, karena yang menjadi fokusnya adalah pada penyelesaian jangka
pendek saja.16
Jika permasalahan lingkungan ini diupayakan untuk dapat
ditemukan jawabannya, maka yang harus ditekekankan adalah pada inti dari
penyebab terjadinya kerusakan lingkungan ini, sehingga alam dapat menjadi stabil
dan tidak lagi mengalami kerusakann.
Dengan kata lain, penggunaan ketiga pandangan tersebut dalam upaya
penyelamatan lingkungan pun nampkanya tidak akan membawa permasalahan ini
pada penyelesaian. Bahkan, yang harus ditekankan kembali adalah apakah
memang kerusakan yang terjadi pada lingkungan ini sudah seharusnya terjadi, dan
bukan menjadi salah siapapun, namun memang sudah menjadi “bagian” dari alam
itu sendiri. Dan bahkan dominasi manusia terhadap alam, yang dikatakan dan
dianggap sebagai satu-satunya faktor terjadinya kerusakan lingkungan justru
memang harus dilakukan demi mempertahankan keseimbangan pada keseluruhan
sistem yang ada di alam ini. Sebelum lebih jauh membahas mengenai
keseimbangan dialam, maka perlu dibahas lebih lanjut mengenai politik pada
alam, untuk nantinya menunjukan “apa yang terjadi” pada alam dan bahkan
memperjelas posisi dari alam dan manusia itu sendiri, apakah manusia memang
melakukan dominasi terhadap alam, ataukah hal tersebut hanyalah sifat atau
tindakan alami manusia, layaknya sifat alami pada hewan?
16
Alex Rau. “Can Technology Really Save Us From Climate Change?”. Diakses dari http://hbr.org/2010/01/can-technology-really-save-us-from-climate-change/ar/1 pada 23 September 2013, pukul: 14.29 WIB.
112
4.2 Politic of Nature
Manusia menganggap bahwa dirinya merupakan mahluk yang paling
berkuasa di dalam planet ini, bahwa semuanya harus dapat menjadi penunjang
bagi kebutuhan serta kepentingan mereka. Akibatnya, keseluruhan alam dijadikan
komoditas untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Dengan pengembangan
teknologi yang semakin terus meningkat, maka alam semakin “bernilai” bagi
manusia, dan semakin dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Namun, apa yang
mendasari manusia dalam melakukan hal tersebut? mungkin hal ini merujuk pada
apa yang di tulis oleh Jacques Ranciere dalam bukunya Disagreement, yang mana
banyak “diilhami” dari tulisan Aristotle, Politics;
“Nature, as we say, does nothing without some purpose; and she has endowed
man alone among the animals with the power of speech. Speech is something
different from voice, which is possessed by other animals also and used by them
to express pain or pleasure; for their nature does indeed enable them not only to
feel pleasure and pain but to communicate these feelings to each other. Speech,
on the other hand, serves to indicate what is useful and what is harmful, and so
also what is just and unjust. For the real difference between man other animals
is that humans alone have perception of good and evil, the just and the
unjust,etc. It is the sharing of common view in these matters that makes a
household and a state.”17
Maka berdasarkan apa yang dikemukakan diatas tersebut, terdapat sebuah
pembatas yang membedakan antara manusia dengan mahluk lainnya di alam ini,
terutama dengan hewan, yakni pada kemampuan untuk berbicara, yanag mana
berbicara berbeda dengan hanya mengeluarkan suara. Dengan adanya pembedaan
tersebut ini menjadi legitimasi bagi manusia, bahwa memang dirinya adalah
mahluk yang superior, dan memiliki “hak” untuk mendominasi alam. Manusia
dapat berbicara, sedangkan hewan hanya memiliki suara, dan manusia juga
17
Jacques Ranciere. Ibid.
113
mempunyai konsepsi akan baik dan buruk sedangkan hewan hanya merasakan
kesakitan dan kegembiraan.
Dalam hal ini kemudian politik adalah dimana manusia merupakan bagian
dari hal tersebut, sedangkan mahluk lainnya tidak. Hal ini mengacu kepada apa
yang dikemukakan oleh Ranciere yang sependapat dengan Aristotle, bahwa ;
“that political being must be speaking being”.18
Dengan demikian artinya
terdapat pengkotakan, bahwa mahluk politik hanyalah mahluk yang berbicara,
yakni manusia, dan suara tidak dihitung sebagai berbicara, dan kemudian hewan
tidak termasuk di dalam bagian tersebut. Lantas apakah dengan terdapatnya
pemisahan antara manusia dengan mahluk lainnya di alam ini kemudian membuat
manusia tidak lagi membutuhkan keberadaan mereka? dan bahkan tidak lagi
membutuhkan alam? serta pada akhirnya membiarkan alam pada kehancuran?
Nampaknya, manusia tetap membutuhkan alam beserta keseluruhan isinya,
karena manusia membutuhkan hal tersebut demi melindungi identitas akan dirinya
sebagai mahluk yang disebut manusia. Karena selama adanya mahluk-mahluk
tersebut, maka akan selama itu pula identitas manusia tetap bertahan. Untuk itulah
kemudian alam ini perlu dijaga, demi menjaga bentuk politik dialam ini. karena
dengan dijaganya kestabilan identitas akan membawa pada keamanan19
, yang
mana merupakan keamanan bagi manusia. Sehingga pada akhirnnya memberikan
gambaran terhadap alam, bahwa; “ „nature‟ appears to be a condition for the
possibility both of „humanitiy‟, and of that quintessentially human activity called
18
Andrew Dobson. “Do We Need (to protect) Nature”, hlm: 184. Dalam Jef Huysmans. Et.al. 2006. The Politics of Protection.(New York: Routledge) 19
Ibid. hlm: 185.
114
„politics‟”.20
Gambaran tersebutlah yang diterima secara langsung oleh manusia,
dimana alam adalah apa yang membentuk identitas bagi manusia.
Politik dalam hal ini, lebih kepada keadaan dimana alam merupakan
sebuah wilayah kekuasaan, dimana manusia adalah penguasanya, dan mahluk-
mahluk yang hidup di dalam alam adalah sumber daya bagi setiap kebutuhan
manusia. Iniliah bentuk politic of nature yang ada saat ini, dimana manusia adalah
penguasa bagi keseluruhan alam, dan segalanya akan berbalik untuk kepentingan
manusia. Jika dapat digambarkan, maka penggambaran yang cukup untuk
melukiskan bentuk politik ini adalah layaknya Raja pada sebuah kerajaan. Dimana
Raja tidak akan berarti tanpa adanya sebuah wilayah kekuasaan, dan seorang Raja
juga membutuhkan “warganya” untuk menjadi “penjelas” akan statusnya sebagai
seorang Raja, dan status tersebut yang sekaligus menjadi “penanda” antara
seorang Raja dan seorang rakyat biasa. Pada bentuk politic of nature juga
demikian, dimana manusia membutuhkan mahluk lainnya, sebagai legitimasi atas
dirinya sebagai seorang “manusia” dan perannya di alam ini. Maka seperti yang
telah dikemukakan diatas, bahwa penyelamatan terhadap alam, tidak hanya
berupaya untuk menyelamatkan eksistensi dari spesies manusia, namun juga
menyelamatkan akan identitas dari diri manusia itu sendiri.
Dengan dikedepankannya anggapan ini, maka kemudian alam akan tetap
menjadi pelengkap bagi manusia, dan pemanfaatannya akan terus dilakukan,
mungkin hingga terjadi “pengaruh” terhadap identitas dari menjadi manusia itu
sendiri. Dengan adanya perubahan iklim ini, dan pengaruhnya terhadap
20
Ibid.hlm: 186.
115
keseluruhan alam, maka dengan bantuan teknologi, manusia berusaha
mengembalikan semua yang telah atau akan “rusak” agar tidak kemudian
mempengaruhi posisi-posisi yang telah ada di alam ini. Namun, akankah justru
dengan penggunaan dan dikedepankannya teknologi justru yang terjadi adalah
sebaliknya, bahwa segala posisi yang ada akan mengalami perubahan, dan
keseimbangan yang telah ada di dalam alam akan kemudian berubah dan
menghancurkan keseluruhan yang ada didalam sistem ini.
4.3 Keseimbangan dan Keberlanjutan Alam
Segala tindakan yang dilakukan di dalam alam, tentunya akan memiliki
dampak terhadap keseluruhan alam. Karena terdapat sebuah keseimbangan
didalam alam ini, yang mana terdapat ikatan antara satu mahluk dengan mahluk
lainnya. Dan bahkan, ikatan tersebut sangatlah kuat, sehingga kehidupan dari
salah satu mahluk bergantung kepada mahluk lainnya. Jika ikatan tersebut
mengalami kerusakan, maka segala macam bentuk kehidupan akan terkena
dampak dari hal tersebut, dan pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan
yang telah ada di alam ini.
Keseimbangan serta ikatan yang disebut diatas, dapat di ilustrasikan
melalui kehidupan para lebah. Lebah merupakan jenis serangga penghasil madu,
yang mana keberadaanya sangat penting bagi kehidupan tumbuhan dan memiliki
manfaat juga bagi manusia. Madu yang dihasilkan oleh lebah didapat dengan cara
mengubah nektar yang didapat dari bunga lalu dikumpulkan disarangnya,
kemudian diproses oleh para lebah sehingga menjadi madu. Ketika lebah
116
mengambil nektar dari bunga, terdapat serbuk sari yang menempel pada lebah,
dan serbuk sari tersebut tersebar bersamaan dengan terbangnya para lebah, dan
penyebaran serbuk sari tersebut pada akhirnya membantu “perkembangbiakan”
bagi tumbuhan tersebut, karena serbuk sari yang berterbangan tersebut akan
membentuk bunga-bunga baru. Dan madu yang diproduksi oleh para lebah,
kemudian dikonsumsi oleh manusia yang mana membawa hasiat kesehatan bagi
manusia. Dari proses tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat ikatan yang kuat
antara lebah, bunga, dan bahkan manusia. Ketiganya mendapatkan manfaat dalam
proses tersebut, dimana lebah mendapatkan nektar dari bunga, bunga dibantu
perkembangbiakannya, dan manusia mendapatkan manfaat kesehatan dari madu
lebah.
Namun, sekarang bayangkan jika terdapat kerusakan dalam hubungan
keseimbangan tersebut. bayangkan jika manusia tidak mengambil madu yang
dihasilkan oleh lebah. Tentu lebah akan mengalami over production, dan ketika
hal itu terjadi, maka untuk apa lagi lebah mengambil nektar dari tumbuhan ketika
lebah memiliki cukup banyak madu didalam sarangnya. Dan ketika lebah tidak
lagi mengambil nektar tersebut, maka proses “perkembangbiakan” dari tanaman
pun akan mengalami gangguan, yang pada akhirnya akan membawa tanaman pada
kematian. Ketika hal itu sampai terjadi, maka semua jenis mahluk yang
bergantung pada hidup dari tanaman juga akan mengalami kepunahan yang sama
dengan tanaman. Hal ini tentu akan mengacaukan bentuk ikatan serta
keseimbangan dari alam itu sendiri, ketika keseimbangan hancur, maka semua
mahluk akan menjadi korbannya. Penggambaran ilustrasi diatas terjadi hanya dari
117
satu siklus keseimbangan saja, hanya dari siklus hidup lebah, bayangkan
bagaimana yang akan terjadi ketika siklus keseimbangan yang lebih luas dan
besar mengalami kerusakan ? nampaknya kepunahan seluruh spesies menjadi
taruhannya.
Saat ini, ketika alam semakin menunjukan perubahannya, manusia
mencoba untuk “mengungguli” alam dengan cara penggunaan serta
pengembangan teknologi-teknologi yang semakin canggih, hal ini berdasarkan
pada pandangan bahwa teknologi dapat menjadi penyelamat bagi setiap
permasalahan yang dihadapi. Pandangan akan penggunaan teknologi sebagai
jawaban dari permasalahan perubahan iklim dapat dibagi kedalam dua bentuk21
;
pertama, melihat bahwa teknologi dimasa depan bagaimanapun dapat
menyalamtkan kita dari bahaya perubahan iklim. tidak perlu ada tindakan yang
dilakukan, karena teknologi akan menjadi solusinya. karena kita selalu
mendapatkan jalan keluar bagi permasalahan kita melalui penggunaan teknologi,
mengapa hal ini tidak terjadi terhadap perubahan iklim?. kedua, melihat bahwa
teknologi yang telah kita miliki dapat menyelamatkan kita dari dampak perubahan
iklim, dengan penggunaan tersebut dampak yang akan dirasakan terhadap kita
tidak akan begitu besar.
Namun, penggunaan teknologi juga tidak dapat diterima dan dilakukan
secara langsung begitu saja terhadap alam, karena tentu hal tersebut akan
mengubah dan memiliki dampak lain terhadap alam, bahkan tanpa sadar mungkin
21
James Garvey. 2008. The Ethics of Climate Change: right and wrong in a warming world. (London: Continuum), hlm: 101.
118
hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Katakanlah pada penggunaan energi, kita hingga saat ini masih bergantung pada
energi fossil, dimana energi tersebut dapat habis, dan telah diketahui memiliki
dampak buruk terhadap lingkungan, yakni dapat mencemari. Namun meskipun
memiliki dampak tersebut terhadap lingkungan, kita lebih memilih menggunakan
energi fossil, karena lebih efisien dan bahkan menghasilkan kadar energi yang
lebih besar bila dibandingkan dengan jenis-jenis energi yang terbarukan.
Katakanlah kita mencoba mengganti sumber energi kita dari energi fossil menjadi
energi yang dihasilkan dari biomas. Apakah kemudian dengan penggantian
sumber energi tersebut maka telah ditemukan jawaban bagi permasalahan energi ?
nampaknya tidak, karena bila biomas direncanakan untuk digunakan sebagai
pengganti energi fossil, maka jumlah produksi dari biomas itu sendiripun harus
mengalami peningkatan, sehingga dapat setara dan dapat menutupi kebutuhan
energi yang kita perlukan. Artinya untuk dapat melakukan hal tersebut, maka
pembukaan lahan-lahan baru bagi produksi biomas juga dibutuhkan, demi
mencapai tingkat kebutuhan energi kita. Namun, hal ini akan menyebabkan
masalah lain, yakni masalah pangan, apakah kemudian kita akan menggunakan
seluruh sumber daya yang ada untuk di fokuskan kepada kebutuhan energi kita
saja, tanpa bahkan berfikir untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri ?
kita tidak bisa hanya duduk manis dan menunggu teknologi
menyalamatkan kita, apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi bahaya-
bahaya dari efek samping pengguanan teknologi adalah dengan cara mengubah
hidup kita. ketimbang mencari solusi melalui teknologi untuk kebutuhan kita,
119
lebih baik mencari cara untuk meminimalkan kebutuah energi kita.22
Teknologi
sendiri bukanlah sebuah jawaban utama, melainkan bagian dari jawaban yang kita
butuhkan. Teknologi bukanlah kumpulan akan teknik dan alat, tetapi merupakan
pola hubungan yang berpusat didalam tubuh sebagi bagian untuk mengubah alam
ini,23
untuk itulah kemudian teknologi tidak bisa dilihat sebagai jawaban, tetapi
dilihat sebagai pembantu untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya.
Saat ini, dengan berhasil diciptakannya green cars, maka manusia tidak
lagi perlu memikirkan (atau memang tidak pernah memikirkan) kerusakan
lingkungan, karena telah terdapat jawaban dari permasalahan pengurangan emisi
dari sektor transportasi. Apakah hal ini merupakan langkah baik ? mungkin untuk
sebagian kalangan ini merupakan langkah yang baik yang telah ditempuh. Namun,
bila kembali ditelaah, dengan digunakaanya green cars dan dipercayai bahwa
penggunaanya adalah jawaban bagi permasalahan emisi, maka ini akan menjadi
bentuk pembenaran bahwa pada dasarnya teknologi adalah dewa penolong dalam
permasalahan antara manusia dengan lingkungan. Akibat dari hal tersebut akan
lebih berbahaya pada keseimbangan lingkungan, karena manusia telah
beranggapan dapat “mengalahkan” lingkungan dengan bantuan teknologi. Saat ini
terlihat mulai banyak rancangan yang dilakukan manusia untuk dapat mengubah
“fenomena-fenomena” alam ini, dimana alam seakan menjadi “mainan” bagi
manusia dan teknologi yang mereka gunakan. Dan hal ini mengubah posisi yang
ada, dimana sebelumnya alam menaklukan manusia, namun saat ini manusia
mencoba untuk menaklukan alam.
22
Ibid. hlm: 102-107. 23
Joel Kovel. Ibid.hlm: 159.
120
Green cars adalah salah satu bukti dimana manusia mencoba
“mengelabui” alam dengan cara-cara yang menggunakan teknologi. Seharusnya
dengan menggunakan teknologi, manusia dan alam dapat “harmonis”, bukan
sebaliknya, yang terjadi justru manusia semakin asik dengan teknologi dan
berupaya untuk mengubah alam itu sendiri, agar semakin baik, mudah dan
menunjang kehidupan bagi manusia. Hal ini lebih dikenal dengan istilah
geoengineering, dimana yang saat ini sedang dilakukan adalah dengan
penggunaan teknologi untuk mengubah alam, sehingga alam yang tengah
mengalami perubahan iklim ini dapat segera terhentikan.24
Tetapi hal ini bagi
beberapa kalangan dianggap sebagai jalan ekstrim bagi permasalahan lingkungan,
karena ini akan berpengaruh besar terhadap alam, bahkan akan berpengaruh
terhadap cara hidup kita sebagai manusia. Dan ini akan mengubah pemahaman
kita akan alam itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Bill McKibben dalam
bukunya The End of Nature, dimana alam yang ada saat ini merupakan alam yang
dibentuk oleh manusia;
“By the end of nature i do not mean the end of the world. The rain still fall and
the sun shine, though differently than before. When I say „nature‟ I mean a
certain set of human ideas about the world and our place in it”25
Tentunya dengan cara yang ekstrim tersebut, bukan hanya keseimbangan alam
yang akan berubah, tetapi posisi-posisi mahluk yang ada di alam ini pun akan
mengalami perubahan. Karena seperti yang telah tergambar pada ilustrasi lebah
diatas, terlihat bahwa setiap mahluk memiliki tugas-tugas yang berbeda, namun
24
Adam Corner. “Messing With Nature? Geoengineering and green thought. Diakses dari www.theguardian.com/science/political-science/2013/jul/29/messing-nature-geoengineering-green-thought pada 17 September 2013, pukul: 16.46 WIB. 25
Ibid.
121
tugas-tugas tersebut berujung pada satu kesatuan yang menjadi penggerak akan
terciptanya keseimbangan di alam ini.
Jika kembali pada apa yang mengacu diatas, maka peran manusia dalam
“mengeksploitasi” alam nampaknya memang dibutuhkan oleh alam itu sendiri,
karena hal tersebut seakan telah menjadi tugas bagi manusia, yakni untuk
memanfaatkan alam agar terciptanya sebuah keseimbangan. Jika manusia tidak
melakukan “eksploitasi” terhadap alam, justru yang terjadi adalah kehancuran
pada sistem alam ini. sudah menjadi sifat alami dalam diri manusia untuk
memanfaatkan alam ini. Bahkan hal ini juga tertuang dalam Kitab Genesis yang
mengatakan bahwa posisi manusia di Bumi ini di ibaratkan layaknya seorang
tukang kebun, dan Bumi beserta keseluruhan isinya adalah ladang mereka.26
Untuk dapat “memanfaatkan” ladang mereka, maka tukang kebun haruslah
menjaga apa yang ada didalam ladang mereka, karena jika tidak dijaga, maka
tidak akan ada yang tersisa untuk dirinya. Begitu juga dengan apa yang terjadi
dengan manusia dan alam saat ini, nampaknya manusia terlalu terlena dengan
posisi mereka sebagi eksploitator di alam ini, sehingga pada akhirnya mereka
terbawa suasana dan lupa bahwa mereka tidak sendiri dialam ini, dan mereka
membutuhkan mahluk lainnya untuk tetap dapat bertahan hidup.
Memang pada dasarnya manusia adalah mahluk yang diharuskan untuk
mendominasi alam, sehingga dapat terbentuk keseimbangan dari dominasi
manusia tersebut terhadap keseluruhan alam ini. Tetapi yang terjadi saat ini, kadar
dominasi manusia terhadap alam semakin mengalami peningkatan, dimana
26
Jhon Houghton. Ibid. hlm: 208-209.
122
manusia hanya memikirkan dirinya tanpa melihat dampak dari perbuatan yang
mereka lakukan terhadap alam ini. Akibat dari terjadinya hal tersebut, dapat
terlihat saat ini, dimana mulai terjadi kekacauan dalam keseluruhan alam. Maka
kemudian apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam menganggulangi
permasalahan ini, apakah harus mengubah gaya hidupnya seperti pandangan
ekostenris ? ataukah menggunakan teknologi seperti yang dikedepankan oleh
pandangan teknosentris?
Sepertinya yang harus dirubah adalah sistem yang membuat manusia
melakukan dominasi lebih tinggi dari dominasi yang seharusnya dilakukan.
Dimana dominasinya hanyalah sebatas kepada kebutuhan apa-apa yang dapat
membuat manusia dapat bertahan hidup, bukan pada pemenuhan kebutuhan
pelengkapnya. Karena jika tetap melakukan pemenuhan untuk memenuhi
kebutuhan pelengkapnya saja, maka akan selamanya dominasi berlebih di dalam
alam ini akan dilakukan oleh manusia, dan akan selama itu pula keseimbangan di
dalam alam akan terganggu.
Bila mengacu pada apa yang terjadi dewasa ini, hasil dari produksi yang
dilakukan oleh manusia telah mengalami perubahan, dimana sebelumnya hasil
dari proses produksi hanya diperuntukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup bagi
dirinya saja, kini hal tersebut telah berganti fungsi, dimana kini telah menjadi alat
tukar. Perubahan nilai guna dari proses produksi tersebutlah yang pada akhirnya
membuat alam dijadikan komoditas bagi segala pemenuhan kebutuhan manusia,
untuk itu kemudian jika penyelamatan terhadap alam ingin dapat terealisasikan
maka ini lah yang kemudian juga harus dirubah. Jika hal tersebut dilakukan maka
123
dominasi manusia yang berlebih ini dapat diminimalisirkan agar kemudian dapat
memberikan keseimbangan kembali terhadap sistem di alam ini.
Namun kembali lagi, jika kita harus mengubah cara pandang kita terhadap
alam, terutama terhadap penggunaannya untuk kebutuhan kita, tentu hal ini akan
sangat sulit untuk dilakukan, bukan berarti tidak dapat dilakukan, namun akan
membutuhkan waktu yang lebih lama, ditambah dengan kemajuan teknologi yang
terus membawa perubahan terhadap gaya hidup kita sendiri. Maka kemudian,
sepertinya diperlukan sebuah cara pandang baru yang mencakup ketiga pandangan
yang telah disebutkan diatas, karena dengan menggabungkan ketiga pandangan
tersebut akan memberikan sebuah pola fikir baru terhadap hubungan kita terhadap
keseluruhan sistem alam ini.
Kita tidak bisa begitu saja menggunakan cara pandang antroposentris
secara menyeluruh, karena memang benar bahwa kita hidup di alam ini tidak
secara menyendiri, namun membutuhkan spesies lainnya untuk tetap bertahan
hidup. Namun, kita tidak juga bisa menggunakan pandangan ekosentris secara
mutlak, karena memang perubahan gaya hidup tersebut akan sangat sulit untuk
dilakukan. Dan tentunya kita juga tidak dapat menggunakan jalan teknologi
semata untuk menyudahi permasalahan ini, karena akan timbul dampak lain dari
hal tersebut. Bahkan, setiap kemajuan dalam perkembangan teknologi yang ada,
akan memiliki dampak terhadap keberlanjutan serta peningkatan dominasi
124
manusia terhadap alam,27
dimana hal tersebut tidak kita inginkan jika mencoba
menstabilkan kerusakan yang terjadi di alam ini.
Perubahan memang harus dilakukan oleh manusia, karena memang
manusia memiliki “tanggungjawab” yang lebih besar terhadap alam ini dari pada
mahluk-mahluk lainnya. Maka yang kemudian perlu dilakukan adalah
meminimalisir dominasi manusia terhadap alam, namun bukan berarti
menghilangkan bentuk dominasi manusia terhadap alam, karena hal tersebut juga
diperlukan bagi keseimbangan alam. Bentuk dominasi yang diperlukan lebih
seperti “soft human domination”, artinya dominasi yang dilakukan oleh manusia
lebih sedikit jika dibandingkan dominasi yang dilakukan oleh manusia dewasa ini.
Dengan demikian, penggunaan teknologi yang digunakan dan dikembangkan oleh
manusia hanya sebatas jalan bagi upaya untuk tetap menstabilkan sistem di alam
ini, bukan malah merubah segalanya sepertinya pola-pola geoenginering yang
ingin coba diterapkan kedepannya. Dan tentu saja pemenuhan kebutuhan manusia
pun harus disesuaikan, mana yang memang dibutuhkan bagi penunjang
kehidupannya, itulah yang harusnya dipenuhi melalui pemanfaatan alam. Dengan
demikan terdapat sebuah jalan baru antara manusia dengan alam, dimana
keseimbangan alam merupakan target utama, karena dengan alam yang stabil
maka pola-pola keberlanjutan pun akan dapat terjalin.
Kembali pada penggunaan green cars terhadap penyelamatan alam,
nampaknya cara tersebut akan menegaskan bahwa untuk dapat menyelamatkan
27
Peter Huber. 1999. Hard Green: Saving the Environment from the Environmentalist. (New York: Basic Book), hlm: 103.
125
alam, maka perubahan yang dilakukan hanya sebatas pada level kebutuhan
manusianya saja, karena green cars sendiri hanya dapat dinikmati oleh manusia,
dah hanya dapat digunakan oleh manusia saja. Selain itu penggunaan dari hal
tersebut juga menunjukan bahwa penyelamatan pada alam hanya berdasarkan
pada jangka pendeknya saja, artinya bukan menyasar pada inti dari permasalahan
tersebut. Sektor transportasi menghasilkan keluaran emisi yang cukup besar, maka
kemudian green cars digunakan untuk menurunkan kadar pelepasan emisi karbon
tersebut. Ini menunjukan bahwa sasarannya hanya pada upaya penurunan
emisinya saja, kenapa tidak menyasar pada inti dari permasalahannya, yang mana
lebih melihat bagaimana emisi tersebut bisa dihasilkan, dan apa yang
menyebabkan alam saat ini mengalami perubahan, sehingga emisi karbon yang
terlepas saat ini cendrung lebih besar.
Dalam melihat upaya penyelamatan alam, Deep Ecology, yang merupakan
cabang dari teori ekosentris melihat bahwa untuk dapat melakukan penyelamatan
terhadap terjadinya kerusakan lingkungan saat ini, maka target yang harus dilihat
adalah pada permasalahan jangka panjangnya, dan inti permasalahan lah yang
harus diatasi, sehingga hal penyelamatan alam dapat terwujudkan. Dan bagi DE,
untuk mengatasi hal tersebut maka perubahan pada cara pandang manusia perlu
dilakukan, karena aktifitas manusia lah yang menyebabkan alam saat ini
mengalami kerusakan.
Seperti pada konsep pembangunan berkelanjutan yang dinilai telah
memasukan aspek lingkungan di dalam unsur pembangunan, sehingga
pembangunan yang dilkukan oleh manusia tidak lagi merusak alam, dan tidak
126
membahayakan generasi yang akan datang. Gaya pembangunan tersebut terus
diupayakan agar akhirnya dapat mengganti gaya pembangunan yang dinilai terlalu
eksploitatif. Namun, bagi DE pembangunan berkelanjutan yang ada saat ini
sebenarnya tidaklah cukup, bahkan belum dapat dikatakan berkelanjutan bagi
alam, karena fokus utama dari pembangunan berkelanjutan masih berkutat pada
kepentingan ekonomi saja, dimana pada akhirnya hal tersebut tetap akan
menjadikan alam sebagai sumber daya yang harus di eksploitasi oleh manusia.
Sebagai ganti bentuk penolakan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan, DE
memberikan sebuah bentuk konsep yang dinilai lebih tepat, dan sesuai dengan
upaya penyelamatan alam, yakni mengganti konsep pembangunan berkelanjutan
dengan “keberlanjutan ekologis”, dimana dalam konsep tersebut menuntut untuk
adanya sikap hormat dan perlindungan atas kekayaan dan keanekaragaman
bentuk-bentuk kehidupan di planet ini. Konsep ini menuntut di hentikannya
kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang bertujuan utama mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta gaya hidup yang konsumtif.28
Dengan
digunakannya konsep tersebut, maka hal ini akan menekan eksploitatif yang
dilakukan oleh manusia terhadap alam.
Bila mengacu pada alternatif pembangunan yang coba dikedepankan oleh
DE, maka penggunaan green cars dapat dikatakan tidak sesuai dengan konsep
“keberlanjutan ekologis” yang dibawa oleh DE, karena pada praktiknya, masih
terdapat kepentingan ekonomi serta peningkatan gaya hidup yang konsumtif di
dalamnya, dan hal tersebut akan terus membawa alam pada kehancuran. Hal ini
28
A.Sonny Keraf. Ibid. hlm: 105
127
dapat dilihat melalui pengembangan dari model-model dari green cars itu sendiri,
dimana penciptaanya mulai diupayakan agar lebih menarik, nyaman, terjangkau
dan efisien, sehingga pada akhirnya akan membawa masyarakat untuk
menggunakan produk tersebut. Meskipun terdapat pesan bahwa green cars
merupakan kendaraan yang bersifat ramah lingkungan, namun dibalik hal tersebut
terdapat wacana ekonomis yang membantu membentuk pola pikir masyarakat
bahwa memang produk tersebut baik dan harus digunakan, ketika hal itu terjadi
maka profit akan didapatkan oleh perusahaan-perusahaan, dan alam tidak
mendapatkan manfaatnya, hanya sebatas latarbelakang dari penciptaan green cars
itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, penggunaan green cars juga menunjukan
narasi antroposentris, bahwa untuk dapat menyelamatkan alam maka kepentingan
manusia harus dikedepankan, dan ketika kepentingan manusia dikedepankan
maka alam juga akan ikut terselamatkan. Hal tersebut tidak sesuai dengan upaya
penyelamatan alam menurut DE, karena bagi DE untuk menyelamatkan alam,
maka cara pandang manusia harus dirubah, sehingga alam tidak lagi hanya sebatas
alat pemuas bagi setiap kebutuhan manusia.
128
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Permasalahan yang terjadi pada bumi ini mulai membawa kekhawatiran
pada diri manusia, yakni khawatir bahwa mereka tidak dapat bertahan dari
dampak perubahan iklim yang akan terjadi, sehingga akan menyebabkan
kepunahan akan spesiesnya. Dengan kekhwatiran tersebut, maka serangkaian
pembahasan terkait isu lingkungan mulai terus dikepankankan dalam skala
internasional, karena permasalahan ini yang sifatnya lintas batas, bahkan lintas
generasi, maka peran semua negara diperlukan untuk dapat mengatasi
permasalahan tersebut.
Salah satu upaya dari hal tersebut adalah dengan cara menurunkan tingkat
pelepasan emisi karbon, karena terdapat penelitan yang menjelaskan bahwa
tingginya kadar emisi karbon yang terlepas, akan mempercepat terjadi perubahan
iklim, dan bila hal tersebut terjadi, maka kepunahan spesies akan terjadi. Mengacu
pada hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan terkait isu lingkungan mulai
diarahkan untuk dapat menurunkan tingkat emisi karbon, dan salah satunya adalah
dengan pengembangan teknologi ramah lingkungan, yang dinilai akan membantu
dalam pencapaian penurunan emisi tersebut.
129
Green cars merupakan satu dari sekian bentuk inovasi teknologi yang
bersifat ramah lingkungan, dimana penciptaanya diarahkan agar dapat
menurunkan tingkat emisi karbon dari sektor transportasi yang dinilai berperan
cukup besar dalam terjadinya perubahan iklim. Dengan penggunaanya, maka
diharapkan emisi yang terlepas akan mengalami penurunan, sehingga laju
perubahan iklim meskipun tidak dapat dihentikan, paling tidak dapat diperlambat.
Namun, nyatanya tujuan dari penyelamatan terhadap alam ini hanya
dilakukan sebatas pada kepentingan manusianya saja, dimana kebutuhan dan
kepentingan manusia diletakan sebagai tujuan utama dari upaya penyelamatan
alam. Bahkan dalam label ramah lingkungan yang ada dibalik inovasi-inovasi
yang bermunculan saat ini pun pada dasarnya berlandaskan pada kepentingan
manusianya saja, dan alam hanya dijadikan sebuah kemasan, agar terkesan bahwa
hal tersebut memang untuk kebaikan alam, sehingga pada akhirnya ini akan
membentuk pola pikir bahwa memang semua yang “ramah lingkungan” memang
baik dan perlu di dukung secara penuh.
Hal itulah yang kemudian terjadi dalam penggunaan green cars, dimana
green cars dikatakan sebagai kendaraan yang ramah lingkungan, dan
penggunaanya sangat baik bagi lingkungan. Namun, lingkungan disini bukan
berdasarkan lingkungan yang mencakup seluruh mahluk di dalam alam,
melainkan lebih kepada lingkungan bagi manusianya saja, karena dari
penggunaanya hal tersebut hanya bisa dinikmati oleh manusia, bahkan perusahaan
dimana kendaraaan tersebut dibuat. Sekalipun dampak dari penggunaan tersebut
dapat bermanfaat terhadap keseluruhan alam, itu pun dikarenakan manusia
130
membutuhkan alam untuk dapat mempertahankan diri mereka dari kepunahan,
bukan dikarenakan manusia memang menyelamatkan alam karena terdapat
mahluk-mahluk lainnya di dalam alam.
Dari penggunaan green cars juga dapat tergambarkan bahwa segala
inovasi yang dikatakan sebagai ramah lingkungan, pada dasarnya menyimpan
tujuan ekonomi dan berbagai kepentingan manusia lainnya. Artinya bila demikian,
untuk dapat menyelamatkan alam maka penggunaan inovasi-inovasi yang bersifat
ramah lingkungan tidaklah cukup, bahkan konsep ramah lingkungan yang
bermunculan saat ini pun perlu ditelaah kembali maksud dan tujuannya, karena
yang terlihat hanyalah demi pencapaian terhadap segala bentuk kepentingan bagi
diri manusianya.
Dengan mengacu pada apa yang telah dipaparkan, maka pada dasarnya apa
yang disebut ramah lingkungan dan penyelamatan alam pada dasarnya tidaklah
ada, yang ada hanyalah bentuk-bentuk baru akan peran aktif manusia dalam
berupaya untuk melakukan dominasi yang semakin tinggi terhadap alam ini. Dan
untuk dapat melalukan penyelamatan terhadap alam, maka yang perlu dilakukan
adalah dapat mengubah cara pandang manusia dalam melihat alam itu sendiri.
Pada penggunaan green cars sendiri juga terlihat bahwa hal tersebut
hanyalah sebuah bentunk manifestasi pemikiran antroposentris. Dimana hal
tersebut tentunya tidak akan menyelesaikan permasalahan kerusakan lingkungan
jika masih menempatkan kepentingan manusia sebagai kepentingan utamanya.
Seharusnya terdapat sebuah sistem dimana manusia “ditempatkan” bersama
131
dengan spesies lain di dalam alam ini, sehingga cara pandang manusia yang
mengganggap dirinya sebagai spesies tunggal dapat berubah, dan eksploitasi
terhadap alam juga dapat menurun, sehingga pada akhirnya upaya penyelamatan
alam tidak lagi menjadi suatu hal yang mustahil untuk dapat dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel:
Ainoa, Juha,. et.al.2009. “Future of Living”, dalam Yrjo Neuvo & Sami Ylonen (eds),
Bit Bang: Rays to the Future. Helsinki: Helsinki University Print.
Axon, Stephen. 2010. Addressing Climate Change and the Role of Technological Solutions.
“Human Geographies, 4.1”. p.43-52
Barker, Ernest. 1958. The Politics of Aristotle. London: Oxford University Press.
Chapman, Lee., 2006. “Transport and Climate Change: a review”, Journal of
Transport Geography. Hlm: 354-367.
E. Purser. Ronald 1995. “Limits To Anthropocentrism: Toward an Ecocentric Organization
Paradigm”, Academy of Management Review, vol.20, no.4, Oktober. Hlm: 1053-1089
Elliot, Jennifer A. 2006. An Introduction to Sustainable Development 3rd
Edition.
New York: Routledge.
Elliot, Lorraine. 2004. “The Global Politics of the Environment, 2nd
Edition”.
New York: Palgrave Macmillan.
Foucault, Michel,. 1972. “The Archaeology of Knowledge” ,Trans. A. M. Sheridan
Smith. London: Routledge.
___1978. “The History of Sexuality Vol.1: An Introduction”. Trans. By Robert Hurley
New York: Pantheon Books.
___2003. “Society Must Be Defended; Lectures at the College De France 1975-76”.
Ed.by Mauro Bertani and Alessandro Fontana. New York: Picador.
G. Hannah, Matthew,. 2003. Governmentality and the Mastery of Territory in
Nineteenth-Century America. New York: Cambridge University Press.
Garvey, James. 2008. The Ethics of Climate Change: right and wrong in a warming world.
London: Continuum.
Grubb, Michael. 2004. Technology Innovation and Climate Change Policy: an overview of
issues and option. ”Keio Economic Studies 41 (2) p.103-132
H. Bazerman, Max & Andrew J. Hoffman. 1999. Sources of Environmentally Destructive
Behavior: Individual, Organizational and Institusional Perspectives. Research in
Organizational Behavior, vol.21. Hlm: 39-79
Hardt, Michael and Atonio Negri. 2000. “Empire” .London: Harvard University Press.
Haryono, Endi dan Saptopo B. Ilkodar. 2005. “Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa
Hubungan Internasional”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Houghton, John. 2004. Global Warming: The Complete Briefing 3rd
Edition. New York:
Cambridge University Press.
Huber, Peter. 1999. Hard Green: Saving the Environment from the Environmentalist.
New York: Basic Book.
Husymans, Jef. et.al (eds). 2006. The Politics of Protection. New York: Routledge
International Energy Agency (IEA).2012. “CO2 Emissions From Fuel Combustion:
Highlight. 2012 Edition”.
Keraf, A. Sonny.2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.
Kovel, Joel. 2002. The Enemy of Nature: the end of capitalism or the end of the world?.
London: Zed Books Ltd.
Lorenzoni, Irene, et.al. 2007. Barriers Perceived to Engaging With Climate Change Among
the UK Public and Their Policy Implications. “Global Environment Change”. Vol.17.
p.445-459
Mantra, Dodi,. 2011. “Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme”.Bekasi: Mantra Press.
Marco, M.E., M.Sc., Dr. J.R. 2010. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta: Grasindo.
Mas‟oed, Mohtar. 1994. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodelogi”.
Jakarta: LP3ES.
McCurdy, Dave, President of OICA, dalam Ministerial Conference on Global Environment
and Energy in Transport, Rome, Italy – June 22, 2010. “Our Global Road Transport
Priority: Reducing CO2 Emissions through an Integrated Approach”.
Mills, Sara,. 2003. “Michel Foucault”. London & New York: Routledge.
Newell, Richard G. & Nathan E. Wilson.2005. Technology Prizes for Climate Change
Mitigation. Washington: Resource for Future.
Numberi, Freddy. 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut,
Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Fortuna.
OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). “Promoting
Technological Inovation to Adress Climate Change”. Paris: OECD.
R.I.C Publication. 2005. Rainforest.
Rabinow, Paul,. 2003. “The Essential Foucault”. New York: The New Press.
Ranciere, Jacques. 1999. Disagreement: Politics and Philosophy. Minneapolis: University of
Minnesota Press.
Rees, William E., 2002. “the Ecology of Sustainable Development”, The Ecologist, vol. 20,
no. 4, Winter. Hlm: 18-23
Richardson, Dick. 1997. “The Politic of Sustainable Development”. London: Routledge.
Sarte, J.-P. (1960/1976). Critique of Dialectical Reason. Vol.1. London: New Left Books.
Solaiman, Mohammad., 2011. “Responding to Climate Change: A Study on Eco-Labeling
Practices in Consumer Goods of Bangladesh”, European Journal of Business and
Management. Hlm: 45-52
Steni, Bernadius., 2010. “Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai
Copenhagen”, Jakarta: Perkumpulan Huma.
Stokes, Jane. 2006. “Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan
Budaya”. Yogyakarta: Bentang.
Toelba, Mostafa, et.al. 1992. “The World Environment 1972-1992: Two Decades of
Challanges”. London: Chapman & Hall.
Troy R. Hawkins, Bhawna Singh,. 2013. “Comparative Environmental Life Cycle
Assessment of Conventional and Electric Vehicles”, Journal of Industrial Ecology,
vol. 17, Issue 1. P.53-64
UNCED (United Nations Conference on Environment and Development).1992. “Report of
the UN Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on
Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August.
___“Report of the UN Conference on Environment and Development: Annex I, Rio
Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12
August
UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).2001.
“Transfer Technology”. Geneva: United Nations.
UNDESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs). 2008. Climate
Change: Technology Development and Technology Transfer. “Beijing High-level
Conference on Climate Change; Background Paper”.
UNFCCC (United Nations Framework Conventions on Climate Change). 1992.
FCCC/INFORMAL/84. Article.2
___2007. “Report of the Conference of the Parties on its thirteenth session, held in Bali:
Decision Adopted by the Conference of the Parties.” FCCC/CP/2007/6/Add.1*, 14
March.
UNGA (United Nations General Assembly).1989. “United Nations Conference on
Environment and Development”, Resolution 44/228. 85th
Plenary Meeting, 22
December. Part I, para.3.
Verbruggen, Aviel 2008. Renewable and Nuclear Power: A Common Future?. “Energy
Policy”, vol.36. p.4036-4047
W. Neal, Andrew,. 2009. “Michel Foucault”, dalam Critical Theorist and International
Relations, Ed. Jenny Edkins and Nick Vaughan-Wlliamns. London & New York:
Routledge.
Walliman, Nicholas. 2006. “Social Research Methods”. London: Sage Publications.
Website:
(World Commission on Environment and Development).1987. “Our Common Future”.
Diakses dari http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm pada 25 Desember 2012,
pukul 15.20 WIB.
Electric Cars „Pose Environmental Threat‟, diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/business-
19830232 pada 17 April 2013, pukul 19.06 WIB.
____, “The Definition of Green Living (and Greenwashing). Diakses dari
http://www.sustainablebabysteps.com/definition-of-green-living.html
pada 30 December 2012, pukul 00.24 WIB.
___”Jenis-jenis metodelogi Penelitian” diakses dari http://id.shvoong.com/writing-and-
speaking/presenting/2231652-jenis-penelitian/ 27 Februari 2013, pukul 20.55 WIB.
Electric Car, diakses dari http://www.bmw-i.co.uk/en_gb/ pada 30 December 2012, pukul
01.27 WIB.
Ford Focus Electric, diakses dari http://www.ford.com/cars/focus/trim/electric/
pada 30 December 2012.
Louis Bergeron, Study Links Carbon Dioxide Emissions to Increased Deaths. Diakses dari
http://news.stanford.edu/news/2008/january9/co-010908.html pada 16 April 2013.
Perubahan iklim, diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-
iklim-global/ pada 16 April 2013.
Toyota Prius Plug-in Hybird, diakses dari http://www.carmagazine.co.uk/Drives/Search-
Results/First-drives/Toyota-Prius-Plug-in-Hybrid-2011-CAR-Review/
pada 30 December 2012.
WSSD (World Summit on Sustainable Development).2002. “Johannesburg Declaration on
Sustainable Development”, A/CONF.199/20, 4 September. Diakses
dari http://www.un-documents.net/jburgdec.htm pada 28 December 2012.
W.W. Rostow.1960. “The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”.
Diakses dari https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm pada 15 January
2013.
UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).“Article 2”, diakses
dari http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1353.php
pada 25 December 2012.
Makin Mendesak Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi Dunia. Diakses dari
http://www.merdeka.com/tekno/makin-mendesak-pengurangan-emisi-di-sektor-
transportasi-dunia.html pada 9 June 2013.
Green Vehicle Guide, diakses dari
http://www.greenstudentu.com/encyclopedia/green_vehicle_guide pada 9 June 2013.
Mark Halper. Wreck The Environment – drive an electric car. Diakses dari
http://www.smartplanet.com/blog/bulletin/wreck-the-environment-drive-an-electric-
car/2498 pada 10 June 2013.
International Energy Agency (IEA). Auto Manufactures and Policy Makers Discuss Next
Phase of Electric Vehicle Deployment. Diakses
dari http://www.iea.org/newsroomandevents/news/2012/october/name,32775,en.html
pada 10 June 2013.
Cars Produced in the World. Diakses dari http://www.worldometers.info/cars/
pada 10 June 2013.
Paul A. Eisenstein. „Green Car‟ Sales Are Up, but Eco-Driving Proponents Still Blue.
Diakses dari http://www.cnbc.com/id/100661995 pada 10 June 2013.
What is a Green Car ?, diakses dari http://www.petrolprices.com/green-guide.html#j-4-1
pada 10 June 2013.
Noel Shankel. “The History of Green Cars”.
Diakses dari http://www.ehow.co.uk/facts_7166510_history-green-cars.html pada
12 June 2013.
Bryan Walsh. “The History of the Electric Cars”.
Diakses dari
http://www.time.com/time/specials/2007/article/0,28804,1669723_1669725_1670578
,00.html pada 12 June 2013.
Who‟s Killed the Electric Cars, diakses dari :
http://www.youtube.com/watch?v=IENnSK8Q6nE pada 12 June 2013.
Commission Announces Smart Investment in Green PPPs. Diakses dari
http://ec.europa.eu/research/transport/news/items/commission_announces_smart_inve
stment_in_green_ppps_en.htm pada 12 June 2013.
Davey Jhonson. “Green Cars on the Geneva Motor Show”. Diakses dari
http://www.autoweek.com/article/20130307/GENEVA/130309884 pada 12 June
2013.
Steven Bryan. “Eco-friendly Checklist: what makes a car a „green‟ car ?”. diakses dari
http://voices.yahoo.com/eco-friendly-checklist-makes-car-green-car-3372986.html
pada 13 June 2013.
Andrew Bomford. “How Environmentaly Friendly are Electric Cars?”. Diakses dari
http://www.bbc.co.uk/news/magazine-22001356 pada 13 June 2013.
“Hybrid Cars – pros and cons”. Diakses dari http://phys.org/news10031.html pada 13 June
2013.
Kyoto Protocol. Diakses dari http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.html pada 13 July
2013.
Prof. Penny D. Sacket. Why We Must Act Now to Reduce Greenhouse Gas Emmissions.
Diakses dari http://www.abc.net.au/science/articles/2009/11/25/2753561.htm pada 13
July 2013.
Global Environment Facility (GEF). “Technology Transfer for Climate Change”. Diakses
dari http://www.thegef.org/gef/Technology_Transfer pada 14 July 2013.
Oli Usher. “Can Technology Stop Climate Change?”. Diakses dari
http://www.guardian.co.uk/science/2005/jul/07/thisweekssciencequestions pada 14
July 2013.
Anna Yukhnanov. “Refile-update1 – Time to Stop Arguing About Climate Change, World
Bank Says”. Diakses dari http://www.reuters.com/article/2013/06/19/worldbank-
climate-idUSL2N0EU1C20130619 pada 14 July 2013.
The Electrical Guide. Diakses dari http://green.tv/videos/the-electric-car-guide/
pada 14 July 2013.
Nissan Leaf Polar Bear Commercial.
Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=GyX7HuaP7cc pada 14 July 2013.
Renault‟s New Electric Car Advertising Campaign.
Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=ZqN9VWb75D0 pada 14 July
2013.
Chevrolet Volt Commercial. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=Xy_zsbuYl-M
pada 14 July 2013.
Environmental Protection Administration Executive Yuan, R.O.C (Taiwan). “Research and
Development of Protection Technologies”. Diakses dari
http://www.epa.gov.tw/en/epashow.aspx?list=122&path=150&guid=de085634-f689-
4b73-9426-fb75e9c804b7&lang=en-us 15 July 2013.
Climate Change 2007: Synthesis Report. “Adaptation and Mitigation Options”, yang diakses
dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/spms4.html pada 15 July
2013.
The Great Chain of Being, dikutip dari http://www.stanford.edu/class/engl174b/chain.html
pada 23 September 2013.
David Hicks. “Notes: Sustainable Futures.” Diakses dari
http://teaching4abetterworld.co.uk/downloads.html pada 14 September 2013.
Kofi Annan. “Beyond the Horizon”. Dalam Time Magazine, tahun 2002. Diakses dari
http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1003113,00.html pada 14
September 2013.
Alex Rau. “Can Technology Really Save Us From Climate Change?”. Diakses dari
http://hbr.org/2010/01/can-technology-really-save-us-from-climate-change/ar/1 pada
23 September 2013.
Adam Corner. “Messing With Nature? Geoengineering and green thought. Diakses dari
www.theguardian.com/science/political-science/2013/jul/29/messing-nature-
geoengineering-green-thought pada 17 September 2013.
“History of Tama Electric Vehicle”, diakses dari http://www.nissan-
zeroemission.com/EN/HISTORY/TAMA.html pada 30 October 2013.
“Nissan Leaf Zero-emission Concept”, diakses dari http://www.nissan-
zeroemission.com/EN/LEAF/concept.html pada 30 October 2013.
“Nissan Delivers First Leaf in San Francisco”, diakses dari
http://www.independent.co.uk/life-style/motoring/nissan-delivers-first-leaf-in-san-
francisco-2160208.html pada 30 October 2013.
“Nissan Leaf Awards”, diakses dari http://www.campbellnelsonnissan.com/nissan-leaf-
awards pada 30 October 2013.
“Nissan Leaf Cumulative Sales in Japan pass 30.000 mark”, diakses dari
http://www.greencarcongress.com/2013/10/20131008-leaf.html pada 30 Oktober
2013.