+ All Categories
Home > Documents > Contradiction of Environmentally Friendly Concept on an Effort of Saving Nature, Case Study The Use...

Contradiction of Environmentally Friendly Concept on an Effort of Saving Nature, Case Study The Use...

Date post: 21-Jan-2023
Category:
Upload: uai-id
View: 1 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
147
SKRIPSI KONTRADIKSI KONSEP RAMAH LINGKUNGAN DALAM UPAYA PENYELAMATAN ALAM : STUDI KASUS PENGGUNAAN GREEN CARS Oleh : Fahmi 0801509044 Disusun untuk melengkapi syarat-syarat Guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA JAKARTA 2013
Transcript

SKRIPSI

KONTRADIKSI KONSEP RAMAH LINGKUNGAN DALAM

UPAYA PENYELAMATAN ALAM : STUDI KASUS

PENGGUNAAN GREEN CARS

Oleh :

Fahmi

0801509044

Disusun untuk melengkapi syarat-syarat

Guna memperoleh gelar Sarjana Ilmu Politik

PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AL AZHAR INDONESIA

JAKARTA

2013

Nan:a l."{aliasi*ria,a

NIM

rr-^ -*.,.,, c+,,J:r t uBrdrrr Jrurtl

Judul Skripsi

r t&ttta

11 ^+,,^ D-.^--^,- a+,,.{it\L1Ud I t\,5r(rrrr .rru\lt

r:* n.-..-*.-:: crr-:*^:,I rlll r ErrBuJr irltlP:tl,

Ketua- Siclang

n^---1-:...1-:.- -t gtttLrillru!!18

l] -.. .-. .: :t r rlBlrj !

Yusy' Widarahesty, S.S, M.Si

n.,. n. .- .{. -.- [{ c:L/l :. !\srt:P(1l-vullt.'. :Yt-.)l

It:-t.;^ \/-^;, t)-l:,,,,,,,,-., c'16 14 t':I iilnin r ii5r\ | \t!ritil'l,rtE .j,rl), rYl. )l

Skripsi ir:i tclalt clil:,.:ffiaha;ikair daii diL;jikan ;,lih l'irn Pcnguji

di Sidang Skripsi, paela tanggal 22 Oktoher 2Al3

h^_- l:_--.^-^1.^-^ I IIt rlct rail r_ttilvdraKdll LLr LL, J

T TR'D' N DFilI/\FC' AIIAI\Ti-Llvitlrlit\ -l lil \ \J-t-JnJ l1{.t\

Iraliiiii

0801 s08044

t l.,l-,.-.,^.. !..+,----i -*- lr rlra ttillYdrl llllLllla>lL,tldr

"nnu*i tlamah Lingkungan l)alam tlpaya

Penyelanratan Akirn Strrdi Kastts: Penggunaan

Green Cars

.r5,,-,t,-'r..,-^,,-! attrtla I dllx4ll

trr^L^.^^.--J tt:-- 11 i,J. .,*-^ lr A ^ 4 ! ;,ri\rlldirilli.rU r\i/.d rl r(rJdr.\(1. rrn.-'Yl. ll

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah S.W.T yang mana atas

segala rahmat dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian skripsi

yang tengah penulis lakukan. Shalawat dan salam senantiasa dilimpahkan kepada

Nabi Muhammad SAW, serta segenap keluarga dan para sahabat beliau yang

menjadi pengikutnya. Skripsi yang berjudul “Kontradiksi Konsep Ramah

Lingkungan Dalam Upaya Penyelamatan Alam: Studi Kasus Penggunaan

Green Cars”, ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam

menyelesaikan program Sarjana Strata satu (S1) pada program studi Ilmu

Hubungan Internasional dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Al

Azhar Indonesia, Jakarta.

Alasan penulis mengambil tema ini adalah karena keterkaritan penulis

terhadap permasalahan-permasalahan pada isu lingkungan, tema ini juga berkaitan

dengan program studi Ilmu Hubungan Internasional. Penulis berharap semoga

skripsi ini dapat memberikan manfaat dan tambahan pengetahuan bagi teman-

teman mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional, Universital Al Azhar Indonesia,

juga masyarakat umum.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang

sebesar-besarnya kepada Drs. Reuspatyono M.Si selaku dosen pembimbing yang

telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan arahan, bantuan,

dorongan dan pengetahuannya kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

Selain itu penulis juga ingin menyampaikan rasa terima kasih yang tulus

kepada:

1. Kedua Orang Tua tercinta, Mohammad Said Alamri dan Aliyah Saleh

A Bajri, yang selalu memberikan bantuan yang tak pernah henti-

hentinya, baik itu berupa bantuan materi, moral, maupun doa, sehingga

pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan penelitian skripsi

viii

ini. mah, bih, tanpa kalian aku gk akan bisa sampai pada titik ini, aku

cuma mau bikin kalian berdua selalu bangga sama aku, makasih atas

semuanya.

2. Hizkia Yosie Polimpung S.Ip, M.Si., selaku dosen penguji, yang juga

telah membantu dalam memberikan arahan, saran, serta ide-ide dalam

penyempurnaan penulisan peneletian ini.

3. Yusi Widarahesty S.Ss, M.Si selaku ketua sidang, yang memberikan

saran dan kritik yang membangun bagi skripsi ini.

4. Mohammad Riza Widyarsa, BA., M.Si., selaku Ketua Program Studi

Ilmu Hubungan Internasional Universitas Al Azhar Indonesia.

5. Staff Sekretariat FISIP, “Khususnya kepada Mas Nova, terima kasih

sudah memberikan informasi-informasi terkait persyaratan penulisan

serta sidang Skripsi”.

6. Staff Pengajar FISIP HI yang telah memberikan bimbingan, arahan,

serta masukan-masukan dalam pengerjaan penelitian ini.

7. Nafisah Mohammad Alamri dan Said Mohammad Alamri, selaku

Kakak dan Adik Penulis, yang juga telah memberikan bantuan berupa

dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini. “Heh liat tuh,

akhirnya selesai juga kan skripsi gw, makasiih loh udah nantang gw

buat gak sanggup ngelarin nih skripsi, akhirnya jadi semangat buat

gw hahahah, tp overall makasih udah jadi temen curhat pas gw lagi

butuh dukungan hehe”.

8. Teman-teman terdekatku di kampus, yang selalu memberikan

masukan-masukan dan dukungan untuk menyelesaikan penelitian ini,

Dendi Heriawan, Irna Gantini Kusumah, Fajar Sidiq, Dwi Nur Arry,

dan Irvan Camily, “mas brooooo, pertama mau bilang makasih banget

loh buat dukungan moral nya selama ini, makasih juga buat waktu-

waktu diskusi ganteng kita, sangat bermanfaat banget loh itu aseli

buat gw. Irvan sama dwi, ayoooo buruan, jangan lama-lama lah, biar

kita bisa sama-sama ngebentuk genk S.Ip hahaha. Buat dendi, ayo den

ix

kita bertempur bareng. Riri sama japra, lancaar terus ya menitih

karirnya hahaha”.

9. Keluarga Besar Hubungan Internasional, Universitas Al Azhar

Indonesia, Khususnya angkatan 2009, “aselii yaa gk kerasa, kemaren

baru duduk-duduk di tendu bareng, nonton bareng, masuk kelas

bareng, eh sekarang udah pada di tingkat akhir aja. Ayooo lah,kita

lulusnya bareng-bareng juga, masa masuk kuliah bisa bareng, tapi

keluarnya gk bisa ? pokonya kita semua mah bisa lah ya,

amiiiiinnnnnn.

10. Untuk Rengga Dina Permana, S.Ip., dan Rachma Lutfini Putri.

“makasiiihhhhh yang amat sangat banyak loh buat kalian berdua.

Makasih udah bantu ngasih masukan yang banyak buat gw, udah

sering jadi tempat curhat juga, terus sering gw repotin juga lagi.

Entah tanpa kalian akan kemana skripsi ini hahahaha”.

11. Dan untuk Jamaah Barakatak Purwakarta. “akhirnaaaaa khalaaas oge

bro, hayuh gum ndek kamana oge siaaap ayena mah, pkonya kosongin

waktu deh sekarang mah, urang majlas dimana wae. Syukon yeh broh,

ges ngarahat bareng jeng hagi, saking ku farhan na, mun bisa mah

ana rek nyien samar bari sukuran hahhaha. Pkonya siap-siap ya kita

acak-acak lagi kota-kota berikutnya”.

Jakarta, 3 Oktober 2013

Penulis

iii

ABSTRAK

Ilmu Hubungan Internasional

Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik

Universitas Al Azhar Indonesia

Nama Mahasiswa :Fahmi

NIM : 0801509044

Judul Skripsi : Kontradiksi Konsep Ramah Lingkungan Dalam Upaya

Penyelamatan Alam, Studi Kasus Penggunaan Green Cars.

Halaman : 120 Halaman + xi halaman

Kata Kunci : Alam, Green Cars, Keseimbangan dan keberlanjutan,

Lingkungan, Manusia, Antroposentris, Teknologi

Daftar Pustaka :32 Buku, 20 Jurnal, 48 Website

Penelitian ini mempertanyakan mengenai implikasi teoritik dari penggunan green

cars dalam upaya penyelamatan lingkungan. Dimana upaya penyelamatan yang

dilakukan dewasa ini ditempuh melalui jalan penggunaan teknologi semata, dan

salah satunya dalam hal ini adalah pada penggunaan green cars, padahal hal

tersebut akan memberikan dampak lain terhadap lingkungan, yang pada akhirnya

berujung pada “gangguan” terhadap keseimbangan dan keberlanjutan akan alam ,

bahkan akan mengancam esensi dari alam itu sendiri. Pertama-tama, penulis

menunjukan bagaimana green cars disinyalir dapat menjadi jawaban terkait

permasalahan lingkungan. Kemudian penulis menguak narasi antroposentris yang

berada di dalam upaya penyelamatan lingkungan, yang mana dalam hal ini

berdampak pada penyelamatan alam itu sendiri, karena pada akhirnya hanya

kepentingan manusia yang menjadi tujuan utamanya. Dan pada akhirnya,

menunjukan dampak dari dikedepankannya pandangan antroposentris dan

teknosentris terhadap keseluruhan keseimbangan dan keberlanjutan pada alam.

iv

ABSTRACT

International Relations

Faculty of Social and Political Sciences

University of Al Azhar Indonesia

Name of Student : Fahmi

Student ID : 0801509044

Thesis Title : Contradiction of Environmentally Friendly Concept on an

Effort of Saving Nature, Case Study The Use of Green Cars

Number of Pages : 120 pages + xi pages

Keywords : Nature, Green Cars, Balance and Sustainable,

Environment, Human, Anthropocentrism, Technology

Bibliography : 32 Books, 20 Journals, 48 Websites

This study questioned the theoretical implication from using green cars as an

effort of saving nature. Which those effort today is done through the use of

technology alone, and one of them is the use of green cars. Yet, using technology

alone will give another impact to the environment, which in the end will “disturb”

the balance and sustainable on the nature, in fact it will threaten the essence of

nature itself. First of all, the author show how green cars is said to be the answers

of saving the environment. Then, the author reveals the anthropocentric narrative

inside the efforts of saving nature, because in the end, the primary goal is only

based on human interest and human need. And in the end, shows the impact of the

priority view of anthropocentrism and technocentrism to the overall balance and

sustainability in nature.

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................ ii

ABSTRAK........................................................................................................... ........... iii

ABSTRACT .................................................................................................................... iv

MOTTO .......................................................................................................................... v

PERNYATAAN ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................................... vii

DAFTAR ISI .................................................................................................................. x

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. .... 1

1.1. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

1.1.1 Pembangunan Berkelanjutan………………. ........................ 5

1.1.2 Kemunculan Green- Living …………………………... ....... 14

1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... ..... 25

1.3. Pembatasan Masalah ........................................................................ 25

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 25

1.4.1. Tujuan Penelitian.................................................... .............. 25

1.4.2. Manfaat Penelitian............................................................ .... 26

1.5. Kerangka Pemikiran........................................................... ............... 26

1.5.1. Diskursus................................................................ ............... 26

1.5.2. Deep Ecology.................................... .................................... 31

1.5.3. Politic of Nature.......................................................... .......... 34

1.5.4. Hipotesis.......................................................................... ...... 40

1.6. Metode Penelitian......................................................................... ..... 40

1.7.1 Jenis Penelitian ..................................................................... 41

1.7.2 Sifat Penelitian ..................................................................... 41

1.7.3 Bentuk Penelitian ................................................................. 42

1.7.4 Teknik Pengumpulan Data ................................................... 42

1.7.5 Metode Analisis ............................................................... .... 43

1.7. Sistematika Penulisan........................................................................ 44

xi

BAB II GREEN CARS DAN UPAYA PENYELAMATAN ALAM……... .......... 46

2.1. Sekilas Mengenai Green Cars.............................. ............................. 48

2.2. Jenis-Jenis Green Cars .................................................................... 53

2.3. Keterkaitan Dengan Upaya Penyelamatan Lingkungan........ ........... 58

2.4. Wacana Penggunaan Green Cars................................................ ...... 62

BAB III NARASI ANTROPOSENTRIS DALAM WACANA

PENYELAMATAN ALAM................................ ..... ................................ 68

3.1 Solusi Yang Bermunculan................................................................. 70

3.2. Penggunaan Teknologi Dalam Upaya Penyelamatan Linkungan ..... 73

3.3 Wacana Penyelamatan Lingkungan............................................ ...... 81

BAB IV KESEIMBANGAN DAN KEBERLANJUTAN ALAM.. ........................ 93

4.1. Pandangan Antroposentris, Ekosentris dan Teknosentris Dalam

Melihat Alam .................................................................................... 94

4.1.1. Antroposentrisme................................................. ..... 94

4.1.2. Ekosentrisme........................................................ ..... 100

4.1.3. Teknosentrisme.................................................... ..... 105

4.2. Politic of Nature ................................................................................ 112

4.3. Keseimbangan dan Keberlanjutan Alam..................................... ...... 115

BAB V PENUTUP............................. ..................................................................... 128

5.1. Kesimpulan ....................................................................................... 128

DAFTAR PUSTAKA

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembahasan mengenai isu-isu yang terkait dengan lingkungan saat ini

telah mengalami peningkatan, hal ini didasari dengan semakin meningkatnya

kepedulian masyarakat dunia internasional terhadap dampak-dampak yang terjadi

akibat dari perubahan iklim serta degradasi lingkungan. Kampanye-kampanye

mengenai isu perubahan iklim juga terus dilakukan oleh berbagai kelompok

masyarakat, dengan tujuan agar isu lingkungan tetap menjadi agenda penting

dalam pembahasan internasional, serta semakin meningkatkan kepedulian

masyarakat terhadap isu lingkungan yang nantinya diharapkan akan membuahkan

sebuah tindakan perubahan guna menyelamtkan lingkungan dari kerusakan yang

terjadi saat ini.

Pada dasarnya, isu lingkungan mulai masuk kedalam agenda pembahasan

internasional ditandai oleh dua peristiwa penting, yakni Stockholm Conference

dan Earth Summit. Dimana pada dasarnya Stockholm Conference di tahun 1972

menjadi gerbang awal terciptanya kerjasama mengenai pembahasan isu

lingkungan serta mulai terjadinya perdebatan-perdebatan di dunia internasional

terkait dengan isu-isu lingkungan.1 Dari pertemuan tersebut kemudian dibuatlah

1 Moestafa Toelba, et.al. 1992. The World Environment 1972-1992: Two Decades of Challenges.

(London: Chapman & Hall), hlm: 742.

2

sebuah badan institusi internasional dibawah PBB yang bernama United Nations

Environment Programme (UNEP), yang menjadi sebuah wadah dalam menangani

isu lingkungan terkait diplomasi serta pengembangan terhadap hukum dalam isu

lingkungan. Namun Stockholm Conference tidaklah berjalan dengan mulus, tetapi

terdapat banyak perdabatan keras didalamnya, tertuma perdebatan mengenai

kepentingan negara-negara terkait upaya penggunaan serta pemanfaatan

lingkungan. Meski banyak terjadi perdebatan didalamnya, pertemuan tersebut

dianggap membawa hasil yang cukup besar, karena telah membawa isu

lingkungan untuk dibahas didalam agenda internasional, dan sekaligus menjadi

basis dalam setiap pembahasan isu lingkungan berikutnya.2

Pasca Stockholm Conference, pembahasan isu lingkungan terus dilakukan

oleh berbagai aktor, baik oleh negara, maupun kelompok-kelompok masyarakat,

dengan fokus utama untuk mencari upaya dalam pencarian solusi terkait

permasalahan degradasi lingkungan. Upaya pencarian solusi tersebut dapat terlihat

ketika dilangsungkannya United Nations on Environment and Development

(UNCED) di tahun 1992. Pertemuan ini juga lebih dikenal dengan sebutan Earth

Summit, dimana konferensi tersebut dibutuhkan untuk menyusun langkah-langkah

dalam menghentikan degradasi lingkungan, dengan konteks meningkatkan upaya,

baik nasional maupun internasional, dalam mempromosikan pembangunan

berkelanjutan di semua negara.3 Pertemuan yang dilakukan di Rio de Janeiro,

2 Lorraine Elliot. 2004. The Global Politics of the Environment, 2

nd Edition. (New York: Palgrave

Macmillan), hlm: 12. 3 UNGA (United Nations General Assembly).1989. “United Nations Conference on Environment

and Development”, Resolution 44/228. 85th

Plenary Meeting, 22 December. Part I, para.3.

3

Brazil, ini menghasilkan beberapa keluaran, diantaranya Rio Declaration, Agenda

21, serta UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).

Dari keluaran yang dihasilkan tersebut, dapat terlihat bahwa adanya

ketakutan umat manusia dalam menghadapi degradasi lingkungan. Manusia

berusaha sebisa mungkin untuk bisa bertahan terhadap dampak dari perubahan

yang terjadi pada alam ini dan tetap berupaya menjadi satu-satunya aktor dalam

ekosistem yang ada di bumi ini, padahal manusia juga merupakan salah satu

spesies yang ada di alam ini. Apa yang terus dilakukan oleh umat manusia

cenderung tidak melihat dampak akan aktifitas mereka terhadap mahluk lain yang

juga membutuhkan bumi ini. Langkah-langkah terus diupayakan agar manusia

tetap menjadi aktor utama dalam ekosistem. Salah satunya melalui pembangunan

berkelanjutan, yang dianggap dapat menjadi jalan tengah antara manusia dengan

alam. Hal tersebut tertuang didalam salah satu isi dari Rio Declaration yang

menjadi landasan dalam pembangunan berkelanjutan, bahwa; “Human beings are

at the centre of concerns for sustainable development. They are entitled to a

healthy and productive life in harmony with nature.”4.

Dengan ditempatkannya manusia sebagai konsentrasi utama dalam

pembangunan berkelanjutan, ini menunjukkan bahwasanya apa yang ingin dicapai

dari pembangunan berkelanjutan hanyalah sebuah bentuk cara agar manusia bisa

tetap bertahan, bukan berdasarkan pada upaya untuk melakukan penyelamatan

terhadap alam. Seharusnya, jika memang pembangunan berkelanjutan dapat

4 UNCED (United Nations Conference on Environment and Development).1992. “Report of the UN

Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August.

4

dijadikan sebagai sebuah cara dalam upaya penyelamatan alam, maka manusia

tidak ditempatkan sebagai konsentrasi utama, tetapi manusia diletakkan didalam

alam itu sendiri. Karena manusia merupakan salah satu spesies yang ada di alam

ini, bukan satu-satunya. Selain tertuang melalui isi dari deklarasi Rio tersebut,

pendekatan melalui sudut pandang dari manusia juga tertuang dari tujuan akhir

dibentuknya UNFCCC:5

“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments

that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with

the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas

concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous

anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be

achieved within a time-frame sufficient to allow ecosystems to adopt naturally to

climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable

economic development to proceed in sustainable manner.”

Bila melihat pada dua hal diatas, maka ini secara tidak langsung

memberikan pembenaran bahwasanya manusia takut bila nantinya tidak bisa

bertahan dalam ekosistem ini. Segala upaya terus dilakukan oleh manusia agar

dapat memenuhi setiap kebutuhannya, meskipun nantinya harus berhadapan

dengan alam, asalkan kebutuhan manusia bisa terpenuhi maka setiap resiko akan

terus dilakukan. Hal ini mengarah kepada apa yang disebut sebagai

antropocentris, dimana menurut Eckersley antropocentrism adalah pandangan

dimana terdapat pembedaan yang sangat jelas antara manusia dengan seisi alam

lainnya, bahwasanya manusia adalah satu-satunya sumber atau mahluk yang

berharga dan memiliki nilai di dunia.6 Pandangan inilah yang terus digunakan

5 UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).“Article 2”, diakses dari

http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1353.php pada 25 December 2012, pukul 19.29 WIB. 6 Eckersley. R. 1992. Environmentalism and Political Theory. (Alabany: State University of New

York Press), hlm: 51. Dikutip dari Ronald E. Purser. 1995. “Limits To Anthropocentrism: Toward an

5

oleh manusia dalam melihat alam, sehingga apa yang ada di alam hanyalah

sebagai sebuah komoditas guna memenuhui setiap aspek kebutuhan manusia, hal

ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Dally dan Cobb, dimana manusia

memperlakukan alam layaknya sebuah bisnis7, alam selalu dijadikan sebagai

pemuas kebutuhan manusia.

Dengan dikedepankannya pandangan antropocentris, maka selamanya

manusia akan menjadi superior dalam ekosistem ini. Artinya, meskipun tanda-

tanda akan telah terjadinya degradasi lingkungan semakin jelas, manusia tetap

akan mencari cara untuk mencari solusi agar dapat terus mengeksploitasi alam,

terutama dalam hal pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan berkelanjutan

akan terus diupayakan agar manusia dapat tetap melanjutkan kehidupannya di

alam ini, dan secara tidak langsung akan terus menempatkan manusia sebagai

spesies tunggal didalam alam ini.

1.1.1 Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan dianggap menjadi jawaban dalam

permasalahan hubungan antara pembangunan dengan lingkungan. Ketika

negara memutuskan untuk melakukan pembangunan, terutama dengan

menggunakan industri, maka alam kerap kali menjadi korban dari proses

tersebut. Baik dalam hal digunakanannya sumberdaya alam sebagai

Ecocentric Organization Paradigm”, Academy of Management Review, vol.20, no.4, Oktober. Hlm: 1054 7 Dally.H & Cobb. J. 1994. For the Common Good. (Boston: Beacon Press). Dikutip dari Max H.

Bazerman & Andrew J. Hoffman. 1999. Sources of Environmentally Destructive Behavior: Individual, Organizational and Institusional Perspectives. Research in Organizational Behavior, vol.21. hlm: 46.

6

komoditas, maupun hasil dari proses tersebut. Manusia sadar bahwa jika

hal tersebut terus dilakukan, tentu akan mencedrai generasi umat manusia

yang akan datang. Atas dasar hal tersebutlah manusia mencari solusi, dan

pembangunan berkelanjutan dianggap dapat menjadi jawaban dalam

permasalahan tersebut. World Commision on Environment and

Development (WCED) menjelaskan mengenai hal-hal yang diperlukan

dalam pembangunan berkelanjutan:8

“a political system that secures effective citizen participation...an

economic system that is able to generate surpluses and technical

knowledge on a self-reliant and sustained basis, a social system that

provides solutions for the tensions arising from disharmonious

development, a production system that respect the obligation to

preserve the ecological base for development, a technological system

that can search continuously for new solutions, an international system

that fosters sustainable patterns of trade and finance and an

administrative system that is flexible and has the capacity for self-

correction.”

Selain itu, WCED juga memberikan definisi mengenai

pembangunan berkelanjutan, yaitu: “Development that meets the needs of

the present without compromising the ability of future generations to meet

their own needs.”9

Bila mengacu pada hal di atas, maka fokus dari pada pembangunan

berkelanjutan adalah agar manusia dapat tetap memenuhi kebutuhannya

saat ini dan tidak “mengganggu” generasi yang akan datang dalam

pemenuhan kebutuhannya, terutama dalah hal-hal yang mencakup

pembangunan. Gaya pembangunan yang berkembang pasca perang dunia

2, dengan fokus pembangunan melalui jalan industrialisasi dianggap tidak

8 WCED.1987. ibid.

9 Ibid.

7

memenuhi persyaratan dalam pembangunan berkelanjutan, dan perlu

dilakukan perubahan, karena jika model pembangunan tersebut terus

digunakan maka dampak dari degradasi lingkungan akan semakin dapat

dirasakan. Dengan terus digulirkannya wacana pembangunan

berkelanjutan, maka perlu dilakukan perubahan-perubahan agar

pembangunan berkelanjutan dapat dijadikan basis dalam upaya

pembangunan diseluruh dunia. Dalam hal peningkatan pertumbuhan

melalui industripun perlu diubah agar lebih berkelanjutan, dengan cara

“less energy- and material intensive and more material and energy-

efficient”10

.

Setelah berakhirnya Perang Dunia II, mulai banyak bermunculan

negara-negara merdeka baru. Negara-negara yang sebelumnya berada pada

kekuasaan negara kolonial mulai mendapatkan kemerdekaan mereka.

Dengan berdiri sebagai sebuah negara baru, negara-negara merdeka

tersebut mulai mencoba untuk bangkit dan berupaya untuk melakukan

pembangunan dalam setiap aspek, baik itu politik, ekonomi, bahkan sosial.

Dalam melakukan pembangunan tersebut, negara-negara yang sedang

melakukan perkembangan ini mengikuti cara-cara pembangunan yang

telah dilakukan oleh negara-negara maju, dengan harapan agar kemudian

negara berkembang dapat menjadi negara maju. Rostow menjelaskan hal

tersebut kedalam tahapan-tahapan linear dalam pembangunan, dimana

terdapat lima tahapan, yaitu; masyarakat tradisional, pra kondisi lepas

10

Ibid.

8

landas, lepas landas, pendewasaan dan zaman konsumsi masa besar-

besaran.11

Teori tersebut menyarankan bahwa negara-negara sedang

berkembang untuk tinggal mengikuti tahapan-tahapan yang telah ada agar

kemudian dapat menjadi negara maju. Prasayarat penting untuk dapat

tinggal landas adalah suatu negara harus mampu membangun pertanian,

industri dan perdagannya sehingga mampu menghasilkan pertumbuhan

ekonomi yang bersinambungan. Konsep pembangunan ini kemudian

digunakan oleh negara-negara berkembang agar dapat meningkatkan

pertumbuhan ekonomi mereka. Industrialisasi kian digunakan oleh negara-

negara berkembang untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi mereka.

Industri juga kemudian seakan menjadi hal yang harus dilakukan oleh

setiap negara dalam upaya melakukan pembangunan. Namun, sayangnya

cara pembangunan tersebut mengeluarkan dampak yang sangat buruk bagi

lingkungan, karena dalam prosesnya pembangunan melalui industri

menempatkan lingkungan sebagai komoditas utama mereka. Dengan sifat

pembangunan yang eksploitatif tersebut maka degradasi terhadap

lingkungan pun mulai bermunculan dan tak terhindarkan. Maka kemudian

pembangunan berkelanjutan muncul sebagai sebuah konsep yang dianggap

dapat merubah konsep pembangunan yang telah berkembang yang bersifat

eksploitatif terhadap alam agar kemudian berubah menjadi lebih harmonis

kepada alam.

11

W.W. Rostow.1960. “The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”. Diakses dari https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm pada 15 January 2013, pukul 21.12 WIB.

9

Pembangunan berkelanjutan sendiri merupakan konsep yang hadir

sejak tahun 1970an, sebagai anti-thesis atas konsep pembangunan yang

eksploitatif. Dimana pada pembangunan yang eksploitatif, alam hanya

berupa komoditas yang digunakan oleh umat manusia dalam upaya untuk

pemenuhan kebutuhan, dalam hal ini direpresentasikan melalui upaya

negara dalam melakukan pencapaian terhadap pertumbuhan ekonominya.

Berbeda dari pembangunan yang eksploitatif, prinsip utama pembangunan

berkelanjutan adalah sebuah pembangunan yang dapat mencakuipi

kebutuhan sekarang tanpa mengkompromikan kemampuan generasi

mendatang untuk mencakupi kebutuhan mereka sendiri. Elemen-elemen

pokok pembangunan berkelanjutan adalah; tercukupinya kebutuhan dasar,

pemanfaatan sumber daya yang hemat dan efisien, teknologi ramah

lingkungan, demokratisasi dalam pengambilan keputusan atas sumber

daya, dan pembatasan jumlah penduduk.12

Dari kelima elemen pembangunan berkelanjutan diatas, yang dapat

dirasakan dan dapat terlihat adalah teknologi ramah lingkungan. Seiring

dengan kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi diupayakan agar dapat

membantu dalam menanggulangi dampak dari degradasi lingkungan,

meskipun tidak dapat menghentikan laju degradasi, paling tidak dengan

kemajuan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan maka kerusakan

lingkungan dapat diminimalkan. Hal inilah yang disebut oleh William

12

Bernadius Steni.2010. Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai Copenhagen, (Jakarta: Perkumpulan Huma), hal: 15.

10

Rees sebagai techno-optimism13

, yang meyakini bahwa dengan teknologi

dan ilmu pengetahuan akan membantu dalam menjawab permasalahan

degradasi lingkungan.

Namun, dengan dijadikannya teknologi sebagai salah satu cara

dalam menanggulangi degradasi lingkungan, hal ini menimbulkan polemik

tersendiri dalam dunia internasional, karena tidak semua negara di dunia

ini memiliki kemampuan dalam pengembangan teknologi. Teknologi

mungkin bukan menjadi sebuah masalah bagi negara-negara yang memilki

kapital yang besar, karena mereka dapat membeli teknologi tersebut untuk

diri mereka sendiri. Tetapi hal tersebut tidak dapat dirasakan oleh negara-

negara miskin, jangankan untuk membeli teknologi dari negara lain, untuk

mendapatkan kapital saja terkadang hal tersebut sulit untuk didapatkan.

Perbedaan ini yang kemudian turut mewarnai pembahasan dalam isu

lingkungan, mengenai perbedaan kemampuan antara satu negara dengan

negara lainnya. Permasalahan ini kemudian ditengahi oleh PBB dengan

hasil keputusan mengenai kerjasama dalam upaya transfer-technology14

dari negara-negara maju kepada negara berkembang, agar negara

berkembang dapat melakukan mitigasi terkait degradasi lingkungan

melalui perkembangan teknologi.

13

William E. Rees.2002. The Ecology of Sustainable Development, The Ecologist, vol. 20, no. 4, Winter. Hlm: 17. 14

UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).2001. “Transfer Technology”. (Geneva: United Nations). Hlm: 6.

11

Tetapi sayangnya keputusan PBB tersebut tidaklah bersifat

mengikat, dalam artian tidak ada sangsi yang diterima baik negara maju

maupun berkembang terkait transfer technology tersebut. Selain itu negara

maju lebih melihat konsep dari transfer technology ini tidak semata-mata

hanya mentransfer saja tanpa mendapatkan keuntungan, mereka lebih

menganggap hal tersebut sebagai sebuah bentuk kerjasama dimana

terdapat simbiosis mutualisme didalamnya. Terlebih teknologi tidaklah

dimiliki oleh negara, melainkan oleh perusahaan-perusahaan swasta, yang

mana harus segera dibayarkan untuk investasi mereka.15

Dengan dilangsungkannya World Summit on Sustainable

Development (WSSD) di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun 2002,16

secara tidak langsung hal tersebut mengubah gaya pembangunan yang

telah ada sebelumnya menjadi pembangunan berkelanjutan, dengan

menempatkan aspek kebutuhan generasi mendatang dalam pemenuhan

kebutuhan melalui pembangunan yang ada saat ini. Terlebih dengan fokus

pada penggunaan teknologi, maka diharapkan perubahan yang terjadi dari

degradasi lingkungan dapat diminimalkan sehingga dampak-dampak yang

dirasakanpun akan dapat semakin berkurang.

Teknologi ramah lingkungan saat ini terus dikembangkan oleh

berbagai perusahaan teknologi dunia. Dengan terus bermunculannya

15

Lorraine Elliot.2004. Hlm: 180. 16

WSSD (World Summit on Sustainable Development).2002. “Johannesburg Declaration on Sustainable Development”, A/CONF.199/20, 4 September. Diakses dari http://www.un-documents.net/jburgdec.htm pada 28 December 2012, pukul 21.15 WIB.

12

teknologi ramah lingkungan, maka masyarakat luas dapat ikut berperan

aktif terhadap “penyelamatan” lingkungan. Bila ingin menghentikan laju

dari degradasi lingkungan, maka perubahan juga harus dilakukan dalam

pola kehidupan manusia, karena aktifitas manusia cendrung berdampak

langsung kepada kerusakan alam. Teknologi ramah lingkungan

diupayakan agar dapat membantu proses perubahan tersebut, karena

manusia saat ini dapat dikatakan telah mengalami kecanduan terhadap

teknologi, dan dengan adanya teknologi ramah lingkungan tersebut maka

manusia dapat ikut “menyelamatkan” lingkungan sekaligus memenuhi

kebutuhan mereka.

Dengan adanya kemajuan dibidang teknologi, manusia berusaha

mencoba “mengalahkan” dampak dari degradasi lingkungan dengan

menggunakan inovasi-inovasi yang dihasilkan oleh perkembangan

teknologi. Salah satunya adalah dengan menggunakan teknologi dalam

upaya mitigasi penurunan emisi karbon. Aktifitas yang dilakukan oleh

manusia, cendrung berdampak pada peningkatan pelepasan emisi karbon

ke atmosfir. Pelesapan tersebutlah yang berujung hingga terjadinya

perubahan iklim, karena emisi karbon yang terlepas ke atmosfir akan

mengakibatkan meningkatnya selimut alami bumi yang berujung kepada

terjadinya peningkatan suhu bumi, sehingga kemudia terjadilah pemanasan

global.17

Menurut sebuah penelitian dikatakan bahwa peningkatan emisi

karbon akan berpengaruh terhadap seluruh aspek kehidupan di bumi ini,

17

Perubahan iklim, diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-iklim-global/ pada 16 April 2013, pukul 01.32 WIB.

13

bahkan jika hal ini tidak ditanggulangi maka akan dapat berujung kepada

kematian.18

Hal itulah yang kemudian membawa kekhawatiran bagi

manusia, khawatir akan tidak dapat bertahan dari perubahan yang terjadi di

alam ini, hingga kekhawatiran akan punahnya spesies manusia. Didasari

akan hal tersebutlah maka upaya-upaya mitigasi terhadap perubahan iklim

terus dilakukan, agar kehawatiran tersebut tidak menjadi kenyataan.

Namun upaya mitigasi tersebut akan menjadi usaha yang sia-sia

jika perubahan tidak dilakukan pada aspek kehidupan manusia itu sendiri,

terutama dalam perubahan cara pandang manusia dalam melihat alam.

Perubahan juga harus dilakukan hingga menyentuh gaya hidup manusia,

karena gaya hidup manusia yang cendrung konsumtif inilah yang pada

akhirnya berujung pada terus dilakukannya eksploitasi alam, dengan

tujuan pemenuhan kebutuhan manusia. Melihat hal tersebut, maka para

aktifis lingkungan mencoba mengkampanyekan gaya hidup baru, yang

mana mengubah cara pandang manusia dalam melihat alam, serta

berupaya untuk menekan sifat konsumtif dari manusia itu sendiri, sehingga

pada akhirnya diharapkan agar manusia tidak lagi melihat dirinya sebagai

spesies tunggal di alam, namun melihat dirinya sebagai salah satu spesies

di dalam alam ini.

18

Lousi Bergeron, Study Links Carbon Dioxide Emissions to Increased Deaths. Diakses dari http://news.stanford.edu/news/2008/january9/co-010908.html pada 16 April 2013, pukul. 01.36 WIB.

14

1.1.2 Kemunculan Green-Living

Green-living atau Sustainable Living adalah sebuah gaya hidup

yang mencoba untuk mengurangi penggunaan terhadap sumberdaya alam

oleh individu maupun masyarakat.19

Istilah ini mulai menyebar bersamaan

dengan digaungkannya pembangunan berkelanjutan diseluruh dunia.

Green-living banyak digunakan oleh aktifis-aktifis lingkungan dalam

melakukan kampanye, dengan tujuan agar manusia dapat hidup bersama

dengan alam dalam pola hubungan yang harmonis, dan pola tersebut akan

terus dikampanyekan hingga pada akhirnya pola hidup tersebut menjadi

basis dalam setiap aspek pemikiran manusia. Pada dasarnya pola tersebut

sangat diperlukan bila ingin merubah cara pandang manusia terhadap

alam, agar alam tidak terus dirusak oleh manusia akibat aktifitas umat

manusia dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Seperti yang telah

diketahui bersama bahwa aktifitas manusia cendrung bertolak belakang

dengan alam, dalam artian kerap kali terjadi kerusakan pada alam akibat

aktifitas manusia. Jika penyelamatan terhadap alam ingin dilakukan, maka

cara pandang manusia dalam melihat alam harus benar-benar diubah.

Dengan banyaknya publikasi serta kampanye-kampanye yang

dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat terkait dengan degradasi

lingkungan, hal ini semakin memunculkan rasa kesadaran manusia terkait

dampak dari degradasi lingkungan tersebut. Sejalan dengan hal tersebut,

19

Juha Ainoa, et.al.2009. “Future of Living”, dalam Yrjo Neuvo & Sami Ylonen (eds), Bit Bang: Rays to the Future. (Helsinki: Helsinki University Print), Hlm: 174.

15

penerapan dari teknologi ramah lingkunganpun telah sampai pada produk-

produk yang sering bersentuhan dengan aktifitas manusia. Produk-produk

ramah lingkungan tersebut diupayakan dapat menjadi “pembantu”

masyarakat dalam upaya penyelamatan lingkungan, dan diharapkan dapat

merubah semua produk-produk yang sifatnya cendrung memiliki dampak

besar terhadap degradasi lingkungan, menjadi produk-produk yang lebih

ramah terhadap lingkungan. Dengan dikedepankannya teknologi ramah

lingkungan, maka diharapkan segala bentuk kerusakan yang ada di alam

dapat terselesaikan, karena seakan telah diciptakan jembatan

penghumbung antara aktifitas manusia dengan alam, yakni produk-produk

yang bersifat ramah lingkungan. Penciptaan dari produk-produk berlabel

ramah lingkungan diharapkan dapat menyelesaikan permasalahan

kerusakan alam, artinya hal ini akan diupayakan untuk menjadi jawaban

dari upaya penyelamatan alam, dengan mengedepankan inovasi-inovasi

yang berkonsepkan ramah lingkungan.

Seiring dengan mulai muncul kesadaran manusia akan hal ini,

maka permintaan pasar terhadap produk-produk ramah lingkungan mulai

mengalami peningkatan yang cukup pesat. Telah banyak Perusahan-

perusahan yang mengubah produk mereka menjadi lebih ramah

lingkungan, terutama pada produk-produk elektronik dan otomotif, karena

keduanya merupakan hal yang paling sering bersentuhan dengan aktifitas

manusia. Dengan meningkatnya trend green-living maka greenwashing

muncul untuk mendapatkan profit. Greenwashing dapat dikatakan sebagai

16

sebuah pola dimana diberikan label “green” dalam sebuah produk, yang

tujuan akhirnya untuk mendapatkan profit.20 21

Memang pada dasarnya

pola greenwashing tidaklah buruk, ini merupakan sebuah langkah maju,

dibanding tidak melangkah sama sekali. Sangat penting kemudian untuk

ditelaah lebih lanjut, mana yang merupakan pola berkelanjutan dan mana

pola yang hanya “lebih baik melakukan sesuatu”. Yang kemudian harus

diperhatikan oleh manusia sebagai konsumen adalah melihat kembali

mana produk yang dikatakan ramah lingkungan yang tentunya telah teruji

melalui riset yang panjang, dan mana produk yang hanya diberikan label

ramah lingkungan saja.

Saat ini telah banyak produk-produk ramah lingkungan membanjiri

pasar dunia, hal ini sejalan dengan meningkatnya pola hidup green-living.

Sangat mudah untuk menemukan produk-produk yang memiliki label eco-

friendly atau ramah lingkungan di pasaran. Salah satunya dapat dilihat

pada pasar otomotif, terutama pada kendaraan berjeniskan city car. Hal

tersebut berkaitan dengan pengunaan transportasi oleh umat manusia.

Manusia dan transportasi mungkin tidak dapat dipisahkan, bahkan untuk

melakukan aktifitasnya sehari-hari, manusia tidak terlepas dari alat-alat

transportasi.22

Sayangnya alat transportasi yang digunakan hingga detik

20

Mohammad Solaiman.2011. “Responding to Climate Change: A Study on Eco-Labeling Practices in Consumer Goods of Bangladesh”, European Journal of Business and Management. Hlm: 46. 21

“The Definition of Green Living (and Greenwashing). Diakses dari http://www.sustainablebabysteps.com/definition-of-green-living.html pada 30 December 2012, pukul 00.24 WIB. 22

Lee Chapman.2006. “Transport and Climate Change: a review”, Journal of Transport Geography. Hlm: 355.

17

ini, cendrung melepaskan emisi karbon yang cukup tinggi, yang mana bila

hal tersebut terus dibiarkan maka pemanasan global akan terus mengalami

peningkatan. Bahkan, bila dilihat berdasarkan prosesnya, maka sektor

transportasi merupakan sektor yang sedari awal proses produksinya,

hingga menjadi sebuah produk dan produk tersebut digunakan, adalah

sektor yang selalu berbenturan dengan “penyelamatan lingkungan”. Pada

proses produksinya, alat-alat transportasi menggunakan bahan-bahan yang

diambil dari alam, kemudian setalah menjadi sebuah alat transportasi,

masih diperlukan bahan bakar untuk dapat menggerakan alat tersebut, dan

bahan bakar yang digunakan hingga detik ini adalah bahan bakar fosil,

kemudian setelah produk tersebut digunakan, hasil dari pembakaran bahan

bakar tersebut menghasilkan emisi yang cukup tinggi. Dengan pola

produksi yang demikian, ini menunjukan bahwa sektor transportasi

merupakan salah satu aktor dalam meningkatnya emisi karbon yang

terlepas di atmosfir. International Energy Agency (IEA) pada tahun 2012

mengeluarkan laporan statistik terkait emisi karbon.23

23

International Energy Agency (IEA).2012. “CO2 Emissions From Fuel Combustion: Highlight. 2012 Edition”. Hlm: 9.

18

Figure 1 CO2 Emission by Sector in 2010. Source: IEA 2012

Data diatas menunjukan tingkat emisi karbon dengan pembagian sektoral.

Dari data tersebut dapat dilihat bahwa tenaga listrik merupakan sektor

dengan emisi karbon yang tinggi, hal tersebut dikarenakan sumber utama

dari tenaga tersebut merupakan bahan bakar fosil, dan penggunaan bahan

bakar fosil dapat meningkatkan emisi kabron. Sektor transportasi berada

pada tingkatan kedua, ini dapat dilihat dengan maraknya penggunaan alat

transportasi di dunia. Bahkan, dari data tersebut dapat terlihat bahwa

sektor transportasi menghasilkan emisi karbon yang lebih tinggi

dibandingkan dengan sektor industri pada umumnya. Selanjutnya emisi

karbon juga cukup tinggi dari sektor perumahan dan other.24

Dengan aktifitas manusia yang kerap kali bersentuhan dengan alat

transportasi, dan jumlah emisi yang cukup besar dari sektor ini, serta

adanya pola green-living dan kemajuan teknologi, maka nampaknya mobil

ramah lingkungan/green cars akan menjadi pilihan atau dibuat menjadi

24

Other disini termasuk public services, agrikultur/kehutanan, perikanan, serta industri energi selain listrik.

19

pilihan bagi manusia dalam penggunaan transportasi. Ini dapat terlihat

melaui upaya yang dilakukan oleh perusahaan otomotif dalam

memasarkan produk-produk mereka yang tertuang dalam setiap spesfikasi

mobil-mobil ramah lingkungan mereka yang mengatakan bahwa mobil-

mobil tersebut (green cars) di desaign untuk membantu dalam upaya

pengurangan emisi karbon. Hal inilah yang nampaknya kemudian dilihat

oleh perusahaan-perusahaan otomotif sebagai sebuah peluang untuk

mendapatkan profit yang besar. Karena produk-produk ramah lingkungan

nampaknya sedang mengalami peningkatan permintaan yang cukup besar.

Persaingan untuk mendapatkan profit tersebut nampaknya telah terlihat,

karena mulai banyak produsen mobil yang menghasilkan mobil-green

cars, diantaranya adalah Toyota25

, Ford26

dan BMW27

.

Green cars merupakan salah satu hasil dari penciptaan green

technology, dimana green technology merupakan sebuah inovasi dibidang

teknologi yang didalamnya mencoba untuk mengurangi dampak kerusakan

dari produk yang digunakan oleh manusia terhadap alam. Namun, dalam

penelitian ini, permasalahan yang akan lebih disoroti adalah pada green

cars, karena dalam prosesnya jenis ini cendrung lebih bersentuhan dengan

alam, mulai dari tahap proses produksinya, hingga ketika telah menjadi

25

Toyota Prius Plug-in Hybird, diakses dari http://www.carmagazine.co.uk/Drives/Search-Results/First-drives/Toyota-Prius-Plug-in-Hybrid-2011-CAR-Review/ pada 30 December 2012, pukul 01.25 WIB. 26

Ford Focus Electric, diakses dari http://www.ford.com/cars/focus/trim/electric/ pada 30 December 2012, pukul 01.26 WIB. 27

BMW Electric Car, diakses dari http://www.bmw-i.co.uk/en_gb/ pada 30 December 2012, pukul 01.27 WIB.

20

barang jadi, dampaknya terhadap lingkungan cendrung lebih besar.

Katakanlah pada proses produksinya, dimana untuk menghasilkan ban nya

saja diperlukan karet yang tentunya diambil dari alam, dan tentu karet

yang digunakan tidaklah sedikit, mengingat produksi mobil terus

mengalami peningkatan permintaan. Hal tersebut baru terlihat dari satu

komponennya saja, dan masih baru pada tahap proses produksi. Ketika

menjadi barang jadi dan digunakan pun masih cendrung bersentuhan

dengan alam, yakni pada sumber energi yang digunakan. Dimana untuk

mobil konvensional menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber

energi utamanya, yang mana penggunaan hal tersebut diyakini dapat

meningkatkan pelepasan emisi karbon ke atmosfir dan dapat mempercepat

terjadinya perubahan iklim. Dengan berlandaskan pada hal tersebut, maka

kemudian muncul sebuah inovasi baru, yakni green cars, yang diupayakan

untuk dapat menjawab permasalahan tersebut. Tetapi green cars sendiri

masih terdapat perdebatan dalam penggunaannya, terdapat publikasi-

publikasi yang mengatakan bahwa green cars tidak jauh berbeda dengan

jenis kendaraan konvensional, karena dinilai tetap memiliki dampak yang

buruk bagi lingkungan. Mengacu pada hal tersebut maka green cars

dipilih oleh penulis sebagai objek yang ingin diangkat dalam kemunculan

inovasi-inovasi teknologi yang dikatakan ramah lingkungan.

Dengan adanya “ketergantungan” manusia terhadap alat-alat

transportasi, maka ini memunculkan kekhawatiran lain, yakni tidak

bisanya manusia menggunakan alat transportasi seperti biasa, karena telah

21

ditunjukan data-data yang mengatakan bahwa alat transportasi yang ada

saat ini menjadi penyumbang besar bagi meningkatnya emisi karbon dan

perubahan iklim. Maka dengan munculnya green cars, hal tersebut seakan

menjadi penghilang rasa kekawatiran manusia dalam penggunaan

transportasi. Terlebih dengan iklan-iklan dari produk mobil ramah

lingkungan tersebut yang selalu mengatakan bahwa mobil tersebut

merupakan kendaraan yang tidak menghasilkan emisi, ini akan semakin

dilihat oleh manusia sebagai sebuah jalan keluar dari permasalahan sektor

transportasi dan kerusakan lingkungan.

Kemunculan green cars tentunya juga akan mempengaruhi

penggunan bahan bakar fossil, karena bahan bakar tersebut adalah sumber

energi utama bagi sebuah kendaraan. Namun dengan adanya green cars,

maka ketergantungan tersebut akan hilang, karena bahan bakar utama dari

mobil tersebut adalah tenaga listrik, bukan lagi bahan bakar fossil. Tetapi

sayangnya transformasi bahan bakar tersebut memunculkan permasalahan

baru. Di satu sisi hal ini akan membantu mengurangi penggunaan bahan

bakar fossil bagi alat-alat transportasi, namun di sisi lain hal ini akan

meningkatkan penggunaan energi listrik. Kembali merujuk pada data

statistik IEA diatas, bahwa tenaga listrik menjadi penyumbang emisi

terbesar, dan jika mobil ramah lingkungan tersebut menggunakan tenaga

listrik maka hal ini akan melipatgandakan penggunaan tenaga listrik, dan

tentunya juga akan melipatgandakan emisi yang dihasilkan dari tenaga

listrik tersebut.

22

The Norwegian University of Science and Technology study

menemukan bahwa emisi karbon akan meningkat dengan pesat jika batu

bara digunakan untuk menghasilkan tenaga listrik, bahkan pembuatan

mobil bertenaga listrik lebih menghasilkan limbah yang cukup berbahaya

dibandingkan pembuatan mobil konvensional.28

Dengan temuan tersebut

maka ini akan semakin memberikan sebuah kekhawatiran mengenai cara

apa yang harus ditempuh agar emisi karbon dapat ditekan, dan tidak

berbahaya bagi alam ini. Adanya mobil ramah lingkungan mungkin dapat

memberikan sebuah pesan kepada manusia bahwa penciptaan green cars

tersebut dikarenakan adanya kemunculan fenomena perubahan iklim yang

terjadi saat ini, dan perlu dilakukan sebuah upaya agar ditemukan sebuah

jawaban terkait permasalahan tersebut.

Tetapi sayangnya hal ini masih menimbulkan pertanyaan, akankah

dengan munculnya green cars, maka manusia akan berfikir bahwa

memang terdapat permasalahan didalam alam dan perlu dicari sebuah

jawabannya? Ataukah kemudian hal ini akan menjadi sebuah fenomena

sesaat, dimana nantinya akan hilang begitu saja, dan manusia akan lupa

bahwa telah terjadi permasalahan didalam alam ini dan terus melakukan

eksploitasi terhadap alam? Bahkan pertanyaan besarnya lebih kepada

mengapa harus green cars yang menjadi solusi terkait permasalahan

lingkungan ? karena pada dasarnya sasaran utama dari penggunaan green

cars masih berkutat pada kepentingan manusianya saja, dan hal ini tentu

28

Electric Cars ‘Pose Environmental Threat’, diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/business-19830232 pada 17 April 2013, pukul 19.06 WIB.

23

tidak akan memberikan dampak besar terhadap upaya penyelamatan

lingkungan. Mengapa sasaran utama dari pencarian solusi terkait

penyelamatan lingkungan tidak diarahkan kepada cara pandang manusia

dalam melihat alam ? jika perubahan cara pandang dilakukan maka hal ini

telah menyelesaikan permasalahan hingga ke akar permasalahan tersebut,

dimana manusia lah yang harus dirubah agar tidak lagi eksploitatif

terhadap alam, dan tidak lagi menganggap bahwa dirinya merupakan

spesies tunggal didalam ekosistem ini.

Penggunaan green cars dikatakan merupakan suatu cara yang bisa

ditempuh dalam mengatasi permasalahan dari pelepesan emisi karbon

terhadap alam, dengan “wajah” yang dikatakan ramah lingkungan semakin

menegaskan bahwa penggunaan hal tersebut memang baik dan dibutuhkan

untuk dapat menyelamtkan alam dari kerusakan. Namun, hal tersebut perlu

kembali ditelaah, apakah memang ramah lingkungan disini sesuai dengan

prinsip-prinsip yang memang memusatkan pandangannya terhadap

keberlanjutan alam, ataukah green cars hanya menjadi sebuah bentuk

penegas bahwa hingga detik ini manusia masih tetap menempatkan

kepentingannya pada urutan teratas, meskipun dalam hal penyelamatan

alam dari kerusakan.

Salah satu cara pandang yang memusatkan perhatiannya terhadap

alam adalah cara pandang ekosentris, yang mana dalam hal ini pandangan

tersebut berupaya menolak cara pandang antroposentris yang hanya

memusatkan perhatiannya pada kepentingan manusia. Dalam ekosentris,

24

terkait permasalahan kerusakan yang terjadi di dalam alam, upaya untuk

mengatasinya adalah dengan tidak lagi menempatkan kepentingan manusia

diatas segalanya, melainkan lebih berpusat kepada kepentingan seluruh

mahluk hidup yang ada di dalam alam. Maka kemudian yang dibutuhkan

adalah sebuah perubahan fundamental dan revolusioner yang menyangkut

transformasi cara pandang dan nilai, baik secara pribadi maupun budaya

yang mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik.29

Apa yang coba dilakukan oleh manusia dalam mengatasi

permasalahan di alam ini nampaknya lebih mengedepankan aspek-aspek

penggunaan teknologi untuk kemudian dapat membantu dalam

mewujudkan penyelamatan alam tersebut, dan green cars terbukti menjadi

salah satunya. Namun, dari penggunaan green cars itu sendiri, yang

dikatakan sebagai teknologi ramah lingkungan dan dapat menjadi jawaban

dari penyelamatan alam juga perlu ditelaah kembali, apakah memang ini

sesuai dengan prinsip-prinsip lingkungan yang dipandang oleh ekosentris,

jika hal tersebut tidak demikian, atau nyatanya kepentingan manusia tetap

menjadi prioritas, maka kerusakan terhadap alam akan terus dapat terjadi,

seperti yang dikemukakan oleh pandangan ekosentris, dimana terjadinya

kerusakan lingkungan saat ini dikarenakan aktifitas manusia yang

berlebihan dalam memanfaatkan alam, dan perubahan terhadap cara

pandang tersebut dibutuhkan untuk dapat menyelamatkan alam dari

ancaman kerusakan.

29

A. Sonny Keraf. 2010. Etika Lingkungan Hidup. (Jakarta: Kompas), hlm: 93-100

25

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam penilitian ini adalah: Bagaimana implikasi

pemahaman konsep ramah lingkungan dari penggungaan green cars

terhadap upaya penyelamatan alam?

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah dalam penilitian ini lebih kepada fenomena

kemunculan green cars yang dinilai dapat menjadi salah satu jawaban bagi

permasalahan emisi karbon dan dampaknya terhadap kerusakan lingkungan.

Selain itu fenomena-fenomena yang terjadi dalam perubahan iklim dibatasi hanya

pada permasalahaan energi serta peningkatan emisi, dan pengerusakan alam yang

terjadi akibat eksploitasi secara besar-besaran terhadap alam.

1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.4.1 Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah untuk:

a. Menunjukan bagaimana sebuah kebijakan terkait penyelamatan

lingkungan yang ada saat ini hanya didasari pada pandangan

antroposentris.

b. Menunjukkan bahwa penggunaan green cars merupakan sebuah

penegasan dikedepankannya pandangan antroposentris di dalam upaya

penyelamatan alam.

26

c. Menunjukkan narasi antroposentris yang berada dibalik upaya

penyelamatan alam.

d. Menunjukan bagaimana dampak dari aktifitas manusia terhadap

keseimbangan yang ada pada keseluruhan sistem alam ini.

1.4.2 Manfaat Penelitian

a. Memberikan pandangan baru bahwasanya upaya penyelamatan

lingkungan yang ada saat ini hanya berpusatkan pada pandangan

antoposentrisme.

b. Memberikan gambaran mengenai fenomena-fenomena yang terjadi

dalam isu perubahan iklim, yang perlu dikaji lebih dalam agar dapat

memberikan sebuah perubahan terkait upaya penyelamatan alam.

c. Menambah kajian ilmu HI, terutama dalam isu lingkungan yang

dibahas melalui kacamata HI.

1.5 Kerangka Pemikiran

1.5.1 Diskursus

Dalam penelitian ini, diskursus yang akan digunakan adalah

diskursus menurut Michael Foucault. Mengapa diskursus Foucault yang

digunakan, dikarenakan penulis melihat bahwa apa yang dipaparkan oleh

Foucault terkait dengan diskursus sangat tepat untuk menggambarkan serta

membongkar wacana-wacana yang bermunculan disekitar kemunculan

green cars yang menjadi objek dalam penelitian ini. Selain itu penulis juga

melihat terdapat pola-pola formasi diskursif yang nantinya dapat

27

membantu penulis dalam menganalisa penggunaan green cars ditengah

upaya penyelamatan alam. Formasi diskursif yang digunakan adalah

formasi objek dan formasi modalitas enunsiatif. Dimana pada formasi

objek nantinya akan membantu penulis dalam melihat siapa otoritas

dibalik dikeluarkannya sebuah wacana yang ada. Dan pada formasi

modalitas enunsiatif akan membantu juga dalam menulusuri siapa yang

yang berbicara mengenai wacana tersebut, karena nantinya hal tersebut

akan memberikan pengaruh pada terbentuknya pola pikir di lapisan

masyarakat.

Diskursus dapat dikatakan sebagai sebuah “pernyataan” yang

terperinci, rasional, dan terorganisasi yang dibuat oleh para ahli. Dalam

bukunya The Archaeology of Knowledge, Foucault menjelaskan mengenai

diskursus, bahwa; “Discourse refer to the general domain of all statement,

sometimes as an individualizable group of statements, and sometimes as a

regulated practice that accounts for a number of statements.”30

Diskursus sebagai „domain umum dari seleruh pernyataan‟,

bermakna bahwa diskursus dapat digunakan mengacu kepada seluruh

ucapan dan pernyataan yang dibuat, yang memiliki makna dan pengaruh.31

Dalam bentuk sebagai „kelompok pertanyaan yang dapat

diindividualisasikan‟, bermakna ucapan yang tampak membentuk sebuah

30

Michael Foucault. 1972. The Archaeology of Knowledge”,Trans. A. M. Sheridan Smith. (London: Routledge), hlm: 80. 31

Dodi Mantra. 2011. Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme. (Bekasi: Mantra Press), hlm:172-173.

28

pengelompokan.32

Pada dasarnya, diskursus merupakan sebuah sistem

pernyataan yang rasional, dan terorganisasi, ditopang oleh prosedur

validasi dan diikat kedalam formasi oleh komunitas para ahli.

Didalam sebuah diskursus, peran para “ahli” sangat diperlukan,

tujuannya adalah untuk menjadi “alat” pelegitimasi atau dapat dikatakan

sebagai penopang pembenaran akan bentuk diskursus tersebut, sehingga

bentuk tersebut dapat “diterima” sebagai sesuatu yang benar. Diskursus

harus dipahami sebagai sebuah sistem yang menstrukturkan cara kita

mempersepsikan atau melihat realita. Dengan kata lain, diskursus

merupakan sebuah bentuk konstruksi pemikiran.

Pada dasarnya kita hidup didalam “lingkup” diskursus, semua yang

ada disekitar kita adalah hasil dari diskursus. Sebagai contoh, semua

benda-benda yang ada disekeliling kita, benda tersebut adalah bentuk

diskursus. Seperti bentuk penamaan pada kursi misalnya, benda tersebut

dinamakan „kursi‟ karena telah disepakati sebagai untuk disebut sebagai

„kursi‟, dan penyebutan tersebut secara berulang-ulang, menjadikannya

“normal” didalam masyarakat.

Diskursus hampir mencakup semua hal, Foucault mengatakan

bahwa tidak ada bentuk yang tidak diskursus, semuanya terkonsrtuksikan

melalui diskursus. Sebagai contoh, tubuh, dimana tubuh adalah objek

materil, tubuh dapat dipahami melalui perantara diskursus, pemahaman

32

Ibid. hlm: 173.

29

akan tubuh kita hanya muncul melalui diskursus --- kita mengukur ukuran

tubuh kita melalui diskursus, yang menggambarkan bentuk sempurna, kita

menggambarkan rasa lelah sebagai penanda akan stres, karena diskursus

mengaitkan antara mental dan kesejahteraan fisik.33

Apa yang

digambarkan oleh Foucault menjadi penegasan bahwa semua yang ada

adalah bentuk diskursus dan relasi antar diskursus. Selain itu Foucault juga

menjelaskan mengenai prosedur-prosedur agar dapat menghasilkan sebuah

bentuk diskursus, prosedur tersebut menurutnya terdiri dari tiga eksklusi

eksternal, diantaranya;34

a. Taboo; adalah bentuk larangan dimana membuat kita sulit untuk

membicarakan subjek-subjek tertentu, seperti seksualitas dan

kematian, dan membatasi bagaimana kita membicarakan subjek-

subjek tersebut.

b. Pembedaan antara apa yang waras dan apa yang tidak waras;

dalam hal ini hanya pernyataan yang dianggap “waras” atau yang

dapat diterima dengan logika akal sehat saja yang bisa diterima.

Artinya pernyataan yang tidak waras tidak dapat diterima, dan ini

pada akhirnya akan membuat eksklusi akan sebuah subjek.

c. Pembedaan antara benar dan salah; dalam hal ini hanya

kelompok-kelompok yang dianggap “ahlli” sajalah yang dapat

menyatakan sebuah kebenaran. Tentunya para “ahli” tersebut juga

disupport oleh lembaga-lembaga, seperti universitas, lembaga

33

Sara Mills, 2003. Michel Foucault, (London & New York: Routledge), Hlm: 55-56 34

Ibid. Hlm: 57-58.

30

pemerintah, badan ilmiah, dsb, untuk mendukung kebenaran

tersebut. mereka yang berada diluar itu dapat diasumsikan bahwa

mereka tidak berbicara mengenai sebuah kebenaran.

Diskursus sendiri dapat dikatakan sebagai sebuah struktur

mengenai pernyataan apa yang mungkin dapat dikatakan, serta dalam

kondisi apa pernyataan dapat dianggap benar dan sesuai.35

Teori diskursus

yang dijelaskan oleh Foucault dapat membantu kita dalam

mempertimbangkan cara mengetahui apa yang kita ketahui, darimana

informasi yang kita dapat, bagaimana dan dalam keadaan seperti apa hal

tersebut dihasilkan.

Nantinya dengan menggunakan diskursus ini penulis akan

mencoba menguak sisi antroposentris yang “bersarang” didalam upaya-

upaya terkait penyelamatan lingkungan, terutama dengan melihat pada

fenomena kemunculan green cars. Kemudian diskursus ini juga akan

digunakan dalam upaya menunjukan kondisi-kondisi dimana

antroposentris tetap menjadi pusat “perhatian” dalam upaya penyelamatan

lingkungan. Dengan berkembangnya wacana penyelamatan lingkungan

yang ada saat ini, maka perlu dilakukan “penguakan” mengenai hal-hal

yang ada dibalik munculnya wacana penyelamatan lingkungan, agar dapat

diketahui “motif” sebenarnya dalam wacana penyelamatan lingkungan.

35

Ibid. Hlm: 66

31

1.5.2 Deep Ecology

Deep Ecology (DE) merupakan sebuah cabang dari teori-teori

ekosentris, dimana ekosentris sendiri merupakan kelanjutan dari teori

biosentris, yang pada dasarnya sama-sama menolak pandangan

antroposentris. Dalam pandangan antroposentris dikatakan bahwa manusia

merupakan pusat dari alam semesta, dan oleh karenanya alam pun hanya

dilihat sebagai obyek, alat dan sarana bagi pemenuhan kebutuhan dan

kepentingan manusia. Bahkan dalam pandangan ini digambarkan bahwa

pada dasarnya alam hanyalah sebuah alat untuk pencapaian tujuan

manusia, dan alam tidak mempunyai nilai pada dirinya sendiri, manusialah

yang memberikan nilai kepada alam, dan nilai tersebut tentunya diberikan

manusia untuk kepentingan dirinya.

Namun kemudian pandangan tersebut dikritis oleh pandangan

biosentris, yang mengatakan bahwa tidak benar jika alam tidak memiliki

nilai, alam memiliki nilai tersendiri dan nilai tersebut terlepas dari

kepentingan manusia. Biosentris melihat bahwa manusia bukanlah pusat

dari alam, namun merupakan salah satu anggota komunitas biotis yang

saling tergantung dan terkait satu sama lain. Cakupan dari pandangan

biosentris adalah pada mahluk-mahluk biotis, artinya semua mahluk yang

hidup merupakan bagian dari alam, dan memiliki keterkaitan satu sama

lain. Pada dasarnya menurut biosentris, apa yang dilakukan oleh salah satu

anggota “komunitas” akan memiliki dampak pada anggota yang lainnya.

32

Berbeda dengan biosentris yang hanya mencakup mahluk-mahluk

biotis, dalam pandangan ekosentris, cakupannya menjadi lebih besar,

hingga pada mahluk-mahluk abiotis. Karena bagi ekosentris, mahluk-

mahluk biotis dengan benda-benda abiotis juga memiliki sebuah ikatan,

artinya setiap hal akan memiliki dampak kepada seluruh ekosistem. Salah

satu versi teori ekosentris yang berkembang saat ini adalah DE. Teori ini

pertama kali digunakan oleh Arne Naess, seorang filsuf Norwegia, tahun

1973.

DE menuntut suatu etika baru yang tidak berpusat pada manusia,

tetapi berpusat pada mahluk hidup seluruhnya dalam kaitan dengan upaya

mengatasi persoalan lingkungan hidup.36

Dalam pandangan ini

digambarkan bahwa apa yang dikatakan sebagai alam adalah sebuah

tempat dimana didalamnya terdapat manusia, hewan, tumbuhan dan

benda-benda abiotis yang kesemuanya memiliki ikatan yang saling terkait.

Bila terdapat “dominasi” oleh salah satu anggota dalam ikatan tersebut

maka akan berdampak pada keseluruhan komunitas. Adanya kerusakan

lingkungan yang ada saat ini, DE melihat hal tersebut dikarenakan

kesalahan yang dilakukan oleh aktifitas manusia yang berpengaruh

terhadap alam. Hal ini bisa dilihat bahwa manusia telah melakukan

dominasi terhadap alam ini, sehingga hal tersebut pada akhirnya merusak

keseluruhan ekosistem. Manusia selalu melihat bahwa dirinya merupakan

“spesies tunggal” didalam alam ini, sehingga mengenyampingkan segala

36

A. Sonny Keraf. 2010. Teori-Teori Etika Lingkungan Hidup. (Kompas: Jakarta), hlm: 93

33

hal yang bukan “manusia”. Pandangan demikianlah yang menurut DE

pada akhirnya membawa alam pada kerusakan.

Terkait dengan adanya kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini,

DE lebih berusaha untuk melihat akar permasalahan dan kerusakan dan

pencemaran lingkungan hidup secara lebih komprehensif dan holistik,

untuk kemudian mengatasinya secara lebih mendalam.37

Dalam hal ini

aspek sosial dan manusia juga menjadi perhatian utama dari DE. Manusia

menjadi perhatian utama karena bagi DE agar kerusakan lingkungan dapat

ditanggulangi, maka perubahan harus dilakukan juga pada diri manusia,

terutama pandangan manusia dalam melihat alam. Pandangan yang

berkembang hingga saat ini adalah bahwa manusia berada terpisah dari

alam, sehingga segala hal di dalam alam hanya dilihat untuk kepentingan

manusia saja, tanpa melihat bahwa aktifitas tersebut akan berdampak pada

ekosistem secara keseluruhan. Yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah

perubahan fundamental dan revolusioner yang menyangkut transformasi

cara pandang dan nilai, baik secara pribadi maupun budaya, yang

mempengaruhi struktur dan kebijakan ekonomi dan politik.38

Jika

perubahan tersebut tidak dilakukan, maka manusia tetap akan memandang

alam sebagai sebuah objek bagi pemenuhan kebutuhan dirinya saja. Cara

pandang manusia harus dirubah, meskipun untuk melakukan hal tersebut

membutuhkan waktu yang sangat lama, karena pandangan antroposentris

telah “berakar” didalam setiap kehidupan manusia itu sendiri, namun

37

Ibid. hlm: 99 38

Ibid. hlm: 100

34

paling tidak hal ini harus tetap dilakukan, karena manusia harus

“disadarkan” bahwa terdapat komunitas di alam ini yang terkena dampak

negatif dari aktifitas manusia, yang tidak dapat “beradaptasi” lagi dari

ulah-ulah manusia terkait pemenuhan kebutuhannya.

Dengan menggunakan pandangan DE mengenai konsep alam itu

sendiri, nantinya akan penulis jadikan acuan ketika berbicara mengenai

alam dan hal-hal yang terkait dengan ekosiste. DE juga akan menjadi

bentuk kritik penulis dalam melihat kemunculan upaya penyelamatan

lingkungan, khususnya pada penggunaan green cars. Bahwa ketika

dikatakan ramah lingkungan, penulis akan berpacu pada lingkungan

menurut pandangan DE, dimana lingkungan merupakan tempat yang

didalamnya terdapat mahluk-mahluk biotis dan benda-benda abiotis. Perlu

ditelaah kembali, ketika berbicara mengenai lingkungan, perlu terdapat

penekanan mengenai bentuk lingkungan apa yang dimaksud ? dan

lingkungan bagi siapa ?, hal ini akan menjadi “penunjuk” dalam

membedah isu penyelamatan lingkungan yang berkembang saat ini.

Karena jika masih berpusat pada kepentingan manusianya saja, artinya

tidak ada upaya penyelamatan lingkungan, karena lingkungan merupakan

sebuah bentuk “rangkaian” yang terikat antara anggota komunitas.

1.5.3 Politics of Nature

Dalam melakukan pembedahan permasalahan yang diangkat dalam

penelitian ini, penulis juga menggunakan tulisan Andrew Dobson yang

35

berjudul Do We Need (to protect) Nature? Untuk digunakan sebagai acuan

dalam melakukan pembedahan terhadap pandangan-pandangan

antroposentris yang ada dibalik berbagai upaya penyelamatan lingkungan.

Dalam tulisannya tersebut Dobson berusaha untuk menjelaskan mengenai

„nature question‟ menimbulkan permasalahan mengenai agency, security

and protection dalam bentuk yang berbeda.39

Dobson mengatakan bahwa

permasalahan mengenai alam terutama ketika berbicara mengenai

“kerusakan” yang terjadi saat ini, akan membawa kepada permasalahan

mengenai security, dalam hal ini terdapat dua bentuk security menurut

Dobson, yaitu; life support dan existensial.

Life support, dimana alam merupakan sumber kehidupan, dan juga

menjadi sumber dari barang dan jasa. Alam perlu dijaga kelestariannya

karena alam menjadi penyokong segala jenis kehidupan, dan alam juga

perlu dijaga karena tanpa alam segala jenis kehidupan tidak akan dapat

melakukan apapun untuk dapat bertahan hidup. Dengan melihat alam

sebagai sebuah sumber kehidupan, maka alam perlu dilestarikan karena

hal ini merupakan suatu hal yang yang penting, karena tanpa alam, berarti

tidak ada kehidupan. Selain itu alam juga terkait dengan existensial

security. Dalam hal ini, Dobson menjelaskan hal tersebut dengan

menjadikan perkembangan teknologi mutasi genetik sebagai sebuah studi

kasus. Dengan berkembangnya teknologi, terutama dengan penerapannya

pada alam (mutasi genetik), hal ini akan memunculkan pandangan bahwa

39

Jef Husymans, et.al (eds). 2006. The Politics of Protection. (New York: Routledge), hlm: 175

36

mutasi genetik tersebut bersifat “melawan” alam dan akan berdampak

pada kehancuran tatanan yang ada di alam ini. Pada konteks

penggunaan/perkembangan teknologi genetik, ini menimbulkan

pertanyaan lain, bahwa untuk apa kita menjaga alam, jika pada akhirnya

alam dapat “dibuat” kembali. Bahkan hal ini juga akan menghancurkan

tatanan yang ada di alam, bahkan mungkin pada akhirnya manusia akan

lebih bertindak “semena-mena” terhadap alam, karena segalanya dapat

dibangun kembali. Dobson mengatakan, bahwa modifikasi genetik

terhadap non-human nature akan berdampak pada konsep diri kita sebagai

manusia.40

Kita (manusia) mendefenisikan kemanusian dalam berbagai

bentuk, namun terdapat dua pandangan yang paling umum. Pertama, apa

yang disebut oleh Fukuyama sebagai Human Essence, dimana terdapat

sebuah karakteristik-karakteristik spesifik untuk mengidentifikasi manusia,

dan hal tersebut menmberikan daftar yang digunakan untuk menilai

organisme yang seperti apa yang dapat disebut sebagai manusia. Kedua,

mengacu kepada apa yang dikemukakan oleh Felipe Fernandez-Armesto,

bahwa untuk dapat mengklaim sebagai manusia maka diperlukan non-

human nature untuk dapat menunjukan “bentuk” manusia itu sendiri.41

Bila melihat bagaiman manusia melakukan aktifitasnya dengan

alam, terdapat banyak teori dan bukti nyata yang mengatakan bahwa

40

Ibid. hlm: 175-178. 41

Ibid. hlm: 178-179

37

aktifitas yang dilakukan oleh manusia ini pada dasarnya natural, artinya ini

merupakan sifat alami manusia untuk bertahan hidup dan menjadikan alam

sebagai sumber kehidupannya. Fenomena-fenemona yang bermunculan

mengenai bencana alam dikatakan sebagai dampak yang diberikan oleh

alam kepada manusia karena telah “menggunakan” alam, hal ini disebut

oleh Sarte sebagai practico-inert. Dobson dalam hal ini mengutip

pemikiran Sarte untuk menjelaskan mengenai fenomena alam yang terjadi

saat ini. Apa yang disebut practico-inert adalah sebuah timbal balik yang

“diberikan” oleh alam kepada manusia terkait penggunaan alam untuk

kepentingan manusia. Disini Sarte memberikan contoh mengenai

deforestasi yang dilakukan oleh China untuk membuka lahan perkebunan,

dan hal tersebut menimbulkan timbal balik dari alam kepada manusia

dengan terjadinya banjir:42

“Deforestation as the elimination of obstacles becomes negatively a

lack of protection: since the loess of the mountains and peneplains is no

longer retrained by trees, it congrets the rivers, raising them higher

than the plains and bottling them up in their low reaches, and forcing

them to overflow their banks”.

Ketika manusia melakukan aktifitasnya, yakni memanfaatkan

alam, ini kemudian yang pada akhirnya menimbulkan batasan-batasan

antara manusia dengan non-manusia. Karena manusia melihat bahwa non-

manusia merupakan bagian dari alam, dan dapat dimanfaatkan untuk

menunjang kehidupan manusia sendiri. Sikap seperti ini yang pada

akhirnya menjadikan manusia sebagai spesies tunggal di dalam alam, dan

42

Sarte, J.-P. (1960/1976). Critique of Dialectical Reason. Vol.1. (London: New Left Books), dikutip dari Jef Husymans, et.al (eds). 2006. “The Politics of Protection”. (New York: Routledge), hlm: 179.

38

hal ini pula yang menjadi pemisah antara manusia dengan keseluruhan

alam.

Terkait dengan kerusakan alam, pada dasarnya manusia tidak akan

melakukan upaya pelestarian alam jika keamanan manusia sendiri tidak

terancam. Bahwa manusia tidak akan benar-benar tergerak jika hal

tersebut tidak menyangkut dirinya sendiri. Dalam hal ini alam seakan

menjadi sebuah “kerajaan” bagi manusia, dimana manusia membutuhkan

alam untuk memberikan penjelasan mengenai bentuk-bentuk, yang dalam

bahasa Dobson; politik dan agennya.43

Melakukan proteksi terhadap alam, artinya memproteksi bentuk

politik itu sendiri, maka ketika alam kemudian rusak, maka keseluruhan

sistem politik yang ada pun akan ikut rusak. Sistem politik ini yang

menunjang manusia didalam alam, terkait bagaimana relasi manusia

dengan alam, dan bagaimana posisi manusia di dalam alam. Maka

kemudian penyelamatan terhadap alam perlu dilakukan, karena pada

dasarnya alam sendiri merupakan fondasi dasar mengenai sistem politik

tersebut.

Dengan adanya kemajuan teknologi, seperti kemunculan mutasi

genetik, Dobson mengatakan hal tersebut akan berpengaruh terhadap

keseluruhan sistem politik yang ada di alam ini, terutama terkait identitas

manusia itu sendiri. Hal tersebut akan memberikan sebuah keadaan yang

43

Jef Husymans, et.al (eds). Ibid. hlm: 183.

39

tidak stabil, karena bagaimana manusia memandang alam pun akan

berubah dengan adanya mutasi genetik tersebut. Dobson juga mengatakan

bahwa keadaan di alam ini harus distbailkan, karena dengan kondisi yang

stabil artinya akan memberikan sebuah keamanan, dan keamanan tersebut

akan tetap menjaga sistem ini.44

Apa yang dikemukakan oleh Dobson menunjukan bahwa

pelestarian alam perlu dilakukan agar sistem politik tersebut bisa berjalan.

Dengan menggunakan tulisan Dobson ini, penulis akan mencoba

menunjukan narasi antroposentris dalam kasus penggunaan green cars,

serta menunjukan kondisi-kondisi yang menyebabkan persistensi narasi

antroposentris dalam penyelamatan lingkungan.

Ketiga teori diatas nantinya akan digunakan oleh penulis dalam

menjawab serta menganalisa permasalahan yang diangkat dalam penelitian

ini. Dimana penggunaan diskursus akan lebih digunakan untuk dapat

membongkar bentuk wacana-wacana yang bermunculan disekitar upaya

penyelamatan alam, khususnya pada penggunaan green cars. Dengan

pembongkaran tersebut maka kemudian akan dilihat tujuan dari pada

penyelamatan alam yang tengah dilakukan saat ini. Kemudian adanya

Deep Ecology juga akan membantu dalam membentuk frame terkait

dengan alam itu sendiri, dimana upaya penyelamatan alam yang coba

dijelaskan disini adalah penyelamatan alam yang dipandang oleh

pandangan deep ecology. Dan yang terakhir adalah politc of nature,

44

Ibid. hlm: 185.

40

dimana hal tersebut akan digunakan penulis untuk menunjukan bagaimana

hubungan manusia di dalam alam, dan bagaimana dampak dari tindakan

manusia terhadap konsep alam itu sendiri.

1.5.4 Hipotesis

Dalam melakukan upaya penyelamatan terhadap alam, kepentingan

manusia tidaklah ditempatkan sebagai tujuan utama, karena jika hal

tersebut masih dilakukan artinya alam masih akan dinilai sebagai objek

pemuas bagi kebutuhan manusia yang tidak ada habisnya. Untuk itu

kemudian perubahan cara pandang manusia terhadap alam lebih

dikedepankan, karena dengan terciptanya sebuah pandangan baru antara

manusia dan alam, dimana alam dan manusia berada dalam satu kesatuan,

maka eksploitasi berlebih yang dilakukan manusia tidak akan terus terjadi,

karena dari hal tersebut akan memunculkan sikap saling membutuhkan,

ketika hal tersebut terjadi maka penyelamatan alam pun akan dapat

terealisasikan. Selain itu penggunaan label ramah lingkungan pada green

cars juga nampaknya hanyalah sebuah bentuk penegas bahwa kepentingan

manusia menjadi prioritas di dalam upaya penyelamatan alam.

1.6 Metode Penelitian

Untuk membuat suatu penelitian, diperlukan sebuah metode yang

membantu peneliti mengenai urutan-urutan terkait penelitian itu dilakukan.

Metode penelitian secara umum dimengerti sebagai suatu kegiatan ilmiah yang

dilakukan secara bertahap, dimulai dengan penentuan topik, pengumpulan data,

41

dan menganalisis data, sehingga nantinya diperoleh suatu pemahaman dan

pengertian atas topik, gejala atau isu tertentu.45

Dikatakan bertahap karena

terdapat sebuah proses yang perlu ditempuh, yang mana hal tersebut akan

membantu serta memudahkan penulis untuk melakukan sebuah penelitian. Penulis

membagi metode penelitian kedalam beberapa bagian, yaitu; jenis penelitian,

sifat penelitian, bentuk penelitian, teknik pengumpulan data, dan metode analisis.

1.6.1 Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan model

kajian fenomena atau peristiwa. Skripsi ini bersifat analitis dan

eksplanatif, yakni bentuk penelitian yang berupaya untuk

menjelaskan mengapa suatu fenomena atau gejala sosial dapat

terjadi.46

Penelitian ini sering menghubungkan suatu fenomena

dengan fenomena yang lain. Karena sifatnya yang analitis dan

eksplanatif, topik skripsi ini adalah peristiwa atau fenomena-

fenomena yang sudah terjadi atau setidaknya sedang berlangsung.47

1.6.2 Sifat Penelitian

Sifat dalam penelitian ini adalah menggunakan metode

kualitatif yang berdasarkan pada penafsiran terhadap dunia

berdasar pada konsep-konsep yang umumnya tidak memberikan

45

Dr. J.R. Marco, M.E., M.Sc., 2010. Metode Penelitian Kualitatif. (Jakarta: Grasindo), hlm: 2. 46

”Jenis-jenis Metodelogi Penelitian” diakses dari http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/presenting/2231652-jenis-penelitian/ 27 Februari 2013, pukul 20.55 WIB. 47

Endi Haryono dan Saptopo B. Ilkodar. 2005. Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa Hubungan Internasional. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hlm: 9.

42

angka-angka numerik, seperti etnometodelogi atau jenis-jenis

wawancara tertentu.48

Metode kualitatif menunjukan kualitas atau

mutu dari fenomena (keadaan, proses, kejadian/peristiwa, dan lain-

lain) yang dinyatakan dalam bentuk pernyataan.49

Dengan

menggunakan metode ini, penulis berharap dapat menghasilkan

penelitian yang jelas, tegas dan terperinci.

1.6.3 Bentuk Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah library research atau studi

kepustakaan. Penelitian ini dilakukan dengan mengadakan

penelaahan terhadap buku-buku, literatur, teks book, hasil

perjanjian, serta hasil penelitian yang telah ada. Penulis

menggunakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data-data

yang berhubungan dengan fenomena yang diteliti sekaligus untuk

memperkuat fakta-fakta yang ditemukan.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan adalah

melalui dokumentasi data. Dalam hal ini penulis akan

mengumpulkan data serta dokumen yang akan digunakan dalam

menjawab serta memahami permasalahan yang telah diajukan.

Data-data tersebut bersifat skunder, yang berasal dari buku-buku,

48

Jane Stokes. 2006. Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan Budaya, (Yogyakarta: Bentang), hlm: 15. 49

Endi Haryono. Hlm: 44.

43

jurnal, artikel, laporan organisasi, maupun surat kabar, yang

memiliki relevansi dengan topik yang penulis ajukan.

1.6.5 Metode Analisis

Dalam melakukan analisa terhadap penelitian ini, maka

metode analisis yang akan penulis gunakan adalah discourse

analysis. Discourse analysis mempelajari cara berkomunikasi yang

dilakukan oleh seseorang dengan orang lain melalui bahasa

didalam lingkungan sosial.50

Namun bahasa disini bukan menjadi

media netral dalam penyampaian informasi, melainkan terdapat

dalam situasi sosial dan membantu untuk membuat hal tersebut.

Bahasa membentuk cara pandang kita terhadap dunia, terhadap

sikap serta identias kita. Di dalam discourse analysis terdapat

sebuah formasi diskursif (discursive formations), yang dapat

membantu dalam upaya pemetaan terhadap struktur diskursus itu

sendiri. Formasi diskursif adalah sekelompok pernyataan yang

berhubungan dengan topik yang sama dan menghasilkan sebuah

hasil yang sama.51

Formasi diskursif juga mengarah kepada

pengelompokan tipe-tipe pernyataan, dimana kelompok pernyataan

tersebut berhubungan dengan institusi atau bentuk-bentuk

kekuasaan dan mempunyai efek kepada individu dan cara berfikir

mereka. Maka demikian, diskurs haruslah dilihat sebagai

50

Nicholas Walliman. 2006. Social Research Methods. (London: Sage Publications), hlm: 143 51

Sara Mills. Ibid. hlm: 64.

44

sekelompok pernyataan yang berhubungan dengan institusi,

berwenang dalam arti tertentu dan memiliki kesatuan fungsi pada

tatanan fundamental.52

Dalam penelitian ini, maka discourse analysis akan

digunakan untuk menganalisis pernyataan mengenai upaya

penyelamatan lingkungan yang dapat dilakukan dengan

menggunakan green cars. Serta akan dianalisa hingga sejauh mana

pernyataan tersebut dapat berpengaruh terhadap pembentukan

kondisi pemikiran serta cara berfikir seseorang terhadap fenomena

dan upaya penurunan emisi terkait penyelamatan lingkungan.

1.7 Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan

Bab ini akan menjelaskan tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah,

Pembatasan Masalah, Tujuan Penelitian, Kerangka Pemikiran, Metodelogi

Penilitian, serta Sistematika Penulisan.

BAB II Green cars dan Upaya Penyelamatan Alam

Bab ini akan menjelaskan mengenai bagaimana dampak dari penggunaan

green cars terkait upaya-upaya penyelamatan lingkungan. Bab ini juga

akan membahas mengenai sasaran dari kemunculan mobil tersebut. Serta

52

Ibid. hlm: 65

45

akan dilihat sejauh mana perubahan yang terjadi dengan digunakannya

green cars tersebut.

BAB III Narasi Antroposentris Dalam Upaya Penyelamatan

Alam

Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai narasi antroposentris yang berada

dibalik upaya penyelamatan alam. Yang pada akhirnya akan menunjukan

sasaran serta alasan terkait dengan mengapa dilakukan penyelamatan

terhadap alam.

BAB IV Keseimbangan dan Keberlanjutan Alam

Pada bab ini akan lebih dijelaskan secara mendalam mengenai sistem di

dalam alam, yang dimana sistem tersebut memiliki sebuah bentuk

keseimbangan yang dibutuhkan untuk menjaga kestabilan dari alam.

Kemudian akan dipaparkan pula mengenai dampak dari tindakan-tindakan

yang dilakukan oleh manusia terhadap keseimbangan alam ini, akibat dari

tindakan yang diambil oleh manusia dalam hal penyelamatan alam.

BAB V Penutup

Bab ini merupakan bagian penutup dari penelitian.

46

BAB II

GREEN CARS DAN UPAYA PENYELAMATAN ALAM

Bumi saat ini tengah mengalami peningkatan suhu, yang mengarah pada

pemanasan global, dan hal tersebut berdampak pada terjadinya perubahan iklim

yang semakin dapat dirasakan. Pemanasan global ini juga dapat dilihat dengan

semakin mencairnya es di kutub utara, dan dari mencairnya es tersebut juga

berdampak pada terjadinya peningkatan air laut yang bila tidak dihentikan akan

menenggelamkan pulau-pulau kecil di bumi ini. Peningkatan air laut tersebut

barulah sebagian kecil dari dampak yang dapat terjadi dari terjadinya perubahan

iklim di bumi ini, bila tidak ditanggulangi maka lingkungan yang saat ini

ditinggali oleh berbagai mahluk hidup akan mengalami kerusakan dan mungkin

tidak dapat dijadikan tempat hunian lagi, mungkin manusia harus mencari planet

lain untuk disinggahi, karena bumi ini semakin mengalami “kerusakan”.

Terjadinya pemanasan global yang semakin terasa ini, salah satunya

dikarenakan oleh aktifitas manusia yang terlalu mengeksploitasi alam, sehingga

“keseimbangan” yang ada di alam ini terganggu. Berbagai aktifitas manusia

cendrung membawa dampak kerusakan kepada alam, namun dampak kerusakan

terbesar adalah adanya ketergantungan manusia akan bahan bakar fosil, yang

mana penggunaan bahan bakar tersebut akan mencemari lingkungan. Energi fosil

sering kali disebut sebagai energi kotor, dikarenakan dampak dari penggunaan

tersebut yang sangat mencemari lingkungan. Namun manusia memiliki

47

ketergantungan terhadap energi kotor tersebut, dikarenakan energi tersebut lebih

efisien dan memilki nilai ekonomi yang cukup tinggi, bahkan negara rela

berperang untuk mendapatkan energi tersebut.

Bahan bakar fosil ini banyak sekali digunakan oleh manusia dalam setiap

aktifitasnya, diantaranya adalah untuk menghasilkan energi listrik, menjadi bahan

bakar bagi alat transportasi, bahkan menjadi energi untuk melakukan

industrialisasi. Namun sayangnya penggunaan tersebut memiliki dampak buruk

bagi lingkungan, yaitu terjadinya pelepasan jumlah emisi karbon yang cukup

tinggi dari pembakaran fosil tersebut, dan emisi karbon yang tinggi akan semakin

berdampak pada peningkatan suhu bumi. Tetapi sayangnya semua kegunaan dari

energi fosil tersebut mengarahkan manusia kepada ketergantungan akan

penggunaan bahan bakar fosil, yang tentu menjadi sebuah masalah karena

ketergantungan ini mengakibatkan meningkatnya tingkat pemanasan global. Salah

satu ketergantungan tersebut dapat dilihat dari pengguaan energi fosil dari sektor

transportasi.

Sektor transportasi merupakan salah satu sektor penyumbang emisi

karbon, sebesar 20% dari total emisi karbon dunia dihasilkan dari sektor ini.1

Mengingat cukup besarnya tingkat emisi yang dihasilkan, maka serangkaian

upaya dilakukan untuk menekan jumlah emisi karbon tersebut, salah satunya

adalah dengan mengembangkan mobil-mobil yang bersifat ramah lingkungan.

Tujuannya adalah agar manusia tetap dapat menggunakan alat transportasi tanpa

1 Makin Mendesak Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi Dunia. Diakses dari

http://www.merdeka.com/tekno/makin-mendesak-pengurangan-emisi-di-sektor-transportasi-dunia.html pada 9 June 2013, pukul: 15.49 WIB.

48

“takut” bayang-bayang peningkatan dari emisi karbon yang dikeluarkan oleh

penggunaan alat transportasi tersebut. Manusia dan transportasi mungkin tidak

dapat dipisahkan, melihat bahwa untuk melakukan aktifitasnya sehari-hari saja

manusia selalu bersentuhan dengan alat transportasi. Maka dengan munculnya

transportasi yang bersifat ramah terhadap lingkungan ini seakan membawa angin

segar bagi penggunaan transportasi dan kaitannya terhadap lingkungan, karena

dengan dikembangkannya teknologi green cars/mobil ramah lingkungan maka

ketakutan akan emisi karbon dari sektor transportasi sedikit mulai hilang.

2.1 Sekilas Mengenai Green cars

Green cars adalah mobil yang memiliki dampak lebih sedikit jika

dibandingkan dengan mobil konvensional yang menggunakan bensin.2 Green

cars juga mengarah kepada kendaraan yang menggunakan bahan bakar alternatif

untuk beroprasi.3 Dengan kata lain maka green cars merupakan sebuah kendaraan

yang tidak lagi menggunakan bahan bakar fosil sebagai sumber tenaga utamanya,

dan memiliki dampak yang lebih sedikit terhadap lingkungan. Dampak yang

dimaksud disini bisa berati pencemaran polusi, hingga pada tingkat pelepasan

emisi ke atmosfir. Para pembuat kendaraan ini membuat mobil tersebut hingga

pada titik dimana emisi tidak lagi dihasilkan dari penggunaan kendaraan tersebut,

sehingga upaya untuk menekan jumlah pelepasan emisi karbon dari sektor

transportasi dapat terealisasikan.

2 R.I.C Publication. 2005. Rainforest. Hlm: 67.

3 Green Vehicle Guide, diakses dari

http://www.greenstudentu.com/encyclopedia/green_vehicle_guide pada 9 June 2013, pukul: 18.46 WIB.

49

Dengan munculnya mobil-mobil yang bersifat ramah terhadap lingkungan,

maka mulai timbul anggapan-anggapan bahwa dengan penggunaan mobil tersebut

akan dapat membantu manusia untuk mulai menghentikan ketergantungannya

terhadap energi fosil, bahkan lebih jauh penggunaan green cars tersebut akan

membantu dalam upaya menghentinkan konskuensi dari pemanasan global.4

Ketergantungan manusia akan bahan bakar fosil juga turut menjadi salah satu

penyebab terjadinya pemanasan global, maka dengan dikembangkannya sebuah

“alat” yang tidak lagi menggunakan energi fosil, diharapkan ini dapat menjadi

sebuah cure atas “penyakit” yang dialami oleh manusia. Karena benda yang

mereka gunakan tidak menggunakan energi fosil, melainkan menggunakan energi

alternatif, maka manusia “dipaksa” untuk mencari, mengembangkan, dan

menggunakan energi alternatif tersebut untuk menggerakan benda yang mereka

gunakan, dalam hal ini adalah mobil-green cars yang mereka gunakan. Anggapan

ini dibenarkan oleh International Energy Agency (IEA), yang mengatakan bahwa

penggunaan green cars merupakan sebuah opsi yang baik untuk melakukan

pengurangan terhadap tingkat emisi karbon, bahkan IEA juga mengatakan bahwa

pemerintah dan pembuat mobil tersebut harus berkerjasama agar penggunaan

green cars dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.5

4 Mark Halper. Wreck The Environment – drive an electric car. Diakses dari

http://www.smartplanet.com/blog/bulletin/wreck-the-environment-drive-an-electric-car/2498 pada 10 June 2013, pukul: 16.11 WIB. 5 International Energy Agency (IEA). Auto Manufactures and Policy Makers Discuss Next Phase of

Electric Vehicle Deployment. Diakses dari http://www.iea.org/newsroomandevents/news/2012/october/name,32775,en.html pada 10 June 2013, pukul: 16.37 WIB.

50

Lantas kemudian apa yang membedakan antara green cars dengan mobil-

mobil konvensional pada umumnya? Sebenarnya yang membedakan antara

keduanya terletak pada mesin dan sumber tenaganya saja. Dalam proses

produksinya, baik green cars maupun mobil konvensional tidak memiliki

perbedaan. Namun, perbedaan yang paling dapat dirasakan adalah ketika mobil

tersebut dijalankan. Pada mobil konvensional, dengan bensin sebagai kekuatan

penggerak utamanya, akan menghasilkan emisi karbon yang cukup tinggi, dan

pelepasan emisi tersebut tentu berbahaya bagi atmosfir. Namun, pada green cars,

dengan digunakannya energi alternatif seperti listrik, hydrogen, dan sinar

matahari, maka ini cendrung lebih sedikit/bahkan tidak menghasilkan emisi

karbon sama sekali, dan tentunya ini berdampak baik bagi lingkungan.

Sektor transportasi merupakan salah satu sektor penting dalam

“pergerakan” manusia, karena sektor ini menjadi “pentransfer” hasil produksi dari

pabrik menuju tangan masyarakat. Selain itu sektor ini juga penting bagi mobilitas

manusia, saking pentingnya produksi kendaraan terus dilakukan. Pada tahun 2012

lalu saja, total produksi kendaraan konvensional diseluruh negara mencapai angka

lebih dari 60 juta unit.6 Angka tersebut baru hanya didapat dari tahun 2012 saja,

bayangkan berapa banyak jumlah keseluruhan kendaraan yang saat ini berada

dijalanan dunia. Tidak heran jika sektor transportasi menyumbang sebesar 20%

emisi karbon dari aktifitas manusia. Dengan banyaknya jumlah kendaraan

konvensional tersebut, maka harus dicari solusi agar emisi dari sektor transportasi

tidak mengalami peningkatan yang signifikan, karena sektor ini juga merupakan

6 Cars Produced in the World. Diakses dari http://www.worldometers.info/cars/ pada 10 June

2013, pukul: 18.34 WIB.

51

sektor terpenting bagi manusia. Dalam konfrensi internasional mengenai

lingkungan global dan energi dalam tranpsortasi, Dave McCurdy selaku Presiden

dari International Organization of Motor Vehicle Manufactures (OICA)

mengatakan bahwa sektor transportasi sangat berkaitan dengan sektor ekonomi,

dan dalam kaitannya dengan tingkat emisi yang dihasilkan, McCurdy mengatakan

perusahaan automotif tengah mengembangkan teknologi untuk menekan tingkat

emisi yang dikeluarkan dari kendaraan-kendaraan tersebut.7 Hal ini seakan

menjadi pembenaran bahwa terdapat upaya yang dilakukan untuk menghentikan

tingkat emisi, dan pemanfaatan teknologi menjadi salah satu caranya, dan yang

menjadi salah satu hasilnya adalah penciptaan/penggunaan green cars.

Namun untuk mewujudkan hal diatas tidaklah mudah, paling tidak

produksi green cars harus dapat menggeser jumlah produksi mobil-mobil

konvensional, sehingga secara “tertata” manusia dapat “teralihkan” dari

penggunaan mobil konvensional menuju penggunaan green cars. Disamping itu

pemerintah juga harus meningkatkan infrastruktur yang berkaitan dengan green

cars, agar masyarakat tidak mengalami kesulitan ketika menggunakan kendaraan

tersebut. Saat ini permintaan akan green cars tengah mengalami peningkatan8, hal

ini mungkin dikarenakan mulai banyaknya iklan-iklan serta kampanye-kampanye

yang ditujukuan untuk meningkatkan pemasaran produk ramah lingkungan

tersebut. Dengan adanya “trik” pemasaran tersebut maka hal ini berdampak pada

7 Dave McCurdy, President of OICA, dalam Ministerial Conference on Global Environment and

Energy in Transport, Rome, Italy – June 22, 2010. “Our Global Road Transport Priority: Reducing CO2 Emissions through an Integrated Approach”. 8 Paul A. Eisenstein. ‘Green Car’ Sales Are Up, but Eco-Driving Proponents Still Blue. Diakses dari

http://www.cnbc.com/id/100661995 pada 10 June 2013, pukul: 20:11 WIB.

52

peningkatan awareness dari manusia itu sendiri terkait akan terjadinya kerusakan

lingkungan.

Namun sayangnya penggunaan green cars ini tidak selamanya “ramah”

terhadap lingkungan, karena jika tidak berada pada kondisi yang tepat maka

kendaraan ini cendrung menjadi “perusak” bagi lingkungan. Terdapat sebuah hasil

riset studi yang dikeluarkan oleh Norwegian University of Science and

Technology, yang menemukan bahwa kendaraan yang dikatakan ramah

lingkungan dapat menjadi bumerang bagi upaya penyelamatan lingkungan jika

tidak dilihat kondisi-kondisi yang mendukungnya. Apa yang dimaksud dengan

kondisi disini adalah bahwasanya green cars tidak dapat digunakan secara

universal diseluruh daerah, karena perlu dilihat kembali pada daerah tersebut,

bagaimana energi yang didapat oleh daerah tertentu, apakah energinya tengah

didapat dari energi fosil, jika demikian maka mobil berjeniskan ramah

lingkungan ini tidak dapat digunakan, karena ini tidak mengubah apapun, masih

tetap bersentuhan dengan energi fosil. Bahkan hasil temuan mengatakan jika

memang demekian seperti yang tertera diatas, maka dampak kerusakan terhadap

lingkungan yang dapat dihasilkan dari mobil ramah lingkugan ini akan menjadi

dua kali lebih besar dibandingkan dengan penggunaan kendaraan konvensional.9

Dengan adanya kemungkinan memperburuk kerusakan lingkungan, maka tidak

semua green cars dapat digunakan di tiap-tiap daerah yang berbeda, perlu ditinjau

lebih dahulu kondisi sumber energi di daerah tersebut kemudian “ditentukan”

jenis green cars mana yang tepat untuk daerah tersebut.

9 Troy R. Hawkins, Bhawna Singh,. 2013. “Comparative Environmental Life Cycle Assessment of

Conventional and Electric Vehicles”, Journal of Industrial Ecology, vol. 17, Issue 1. Hlm: 56-58.

53

2.2 Jenis-Jenis Green cars

Berdasarkan pada sumber tenaga yang digunakannya, maka green cars terbagi

dalam 4 jenis, diantaranya adalah:10

- Electric Cars

Electric cars/electric vehicle merupakan jenis green cars yang

menggunakan listrik sebagi kekuatan penggerak utamanya. Pada

penggunaanya, mobil ini menyimpan tenaganya dalam sebuah batrai yang

dapat dicharge untuk kembali “kembali” memulihkan tenaganya, jenis ini

dinilai lebih efisien bila dibandingkan dengan mobil konvensional yang

harus kembali mengisi bahan bakarnya dan bahkan mobil elektrik ini lebih

ekonomis, karena tidak perlu membeli bensin.

- Hybrid Cars

Hybrid cars merupakan sebuah kendaraan yang menggabungkan tenaga

listrik dan bensin sebagai sumber energinya. Jenis ini dapat lebih fleksibel,

karena dapat disesuaikan apakah akan menggunakan tenaga listrik atau

akan menggunakan mesin bertenaga bensin. Ketika menggunakan energi

listrik, maka mesin yang beroprasi adalah mesin listriknya, namun ketika

digunakan mesin bertenaga bensinnya, maka yang beroprasi adalah mesin

tersebut. meskipun mobil ini tetap menggunakan bensin sebagai

pembakarnya, tetapi polusi dan emisi yang dihasilkan jauh berbeda dengan

mobil-mobil konvensional yang menggunakan bensin. Sayangnya green

10

What is a Green Car ?, diakses dari http://www.petrolprices.com/green-guide.html#j-4-1 pada 10 June 2013, pukul: 20.56 WIB.

54

cars jenis ini lebih mahal bila dibandingkan dengan mobil konvensional,

karena terdapat tingkat kesulitan yang tinggi dan teknologi yang “mutahir”

untuk memproduksi mobil tersebut.

- Hydrogen Cars

Kendaraan jenis ini menggunakan tenaga hidrogen sebagi sumber utama

nya. Namun sayangnya mobil ini tidak “sukses” dalam proses

produksinya, karena biaya untuk memproduksi hydrogen cars ini sangat

tinggi, dan belum ada infrastruktur yang mendukung sehingga dinilai akan

mengalami kegagalan ketika produk ini sudah diproduksi.

- Solar Cars

Solar cars merupakan kendaraan yang menggunakan tenaga matahari

untuk menggerakan mesinnya. Dalam prosesnya mendapatkan energi,

terdapat sebuah panel surya pada bagian permukaan mobil yang nantinya

akan menyerap tenaga matahari, kemudian diubah menjadi listrik untuk

menggerakan mobil tersebut. Jenis kendaraan ini sangat efisien bila

dihitung secara ekonomi, karena tidak lagi mengeluarkan biaya untuk

mendapatkan/mengisi bahan bakarnya. Tetapi sayangnya terdapat

kelemahan pada kendaraan ini, karena ketergantungannya terhadap cahaya

matahari, maka ketika tidak terdapat matahari, mobil ini hanya mampu

berjalan beberapa mil saja dan selebihnya tidak akan bisa bergerak lagi.

Adanya hambatan yang demikian membuat jenis kendaraan ramah

lingkungan ini belum bisa diproduksi secara massal, karena perlu

pengembangan yang lebih mendalam.

55

Dari ke empat jenis green cars diatas, yang tengah dikembangkan secara lebih

mendalam adalah pada jenis electric dan hybrid saja. Mungkin karena pada jenis

tersebut lebih diminati oleh masyarakat, selain itu produksi mobil tersebut jauh

lebih “mudah” dan efisien dalam penggunaan dibandingkan dua jenis mobil

lainnya. Untuk jenis mobil electric sendiri sebenarnya bukanlah sebuah jenis

kendaraan yang benar-benar baru, karena pada dasarnya kendaraan dengan bahan

bakar listrik tersebut telah digunakan sejak awal tahun 1900-an.

Bila dirunut kembali berdasarkan sejarahnya, pembuatan mobil jenis

electric ini sudah mulai ada sejak tahun 1800an, dimana dapat dilihat sejak

diperkenalkannya electric carriage oleh pembuat mobil Eropa di tahun 1983.11

Bahkan di tahun 1890 electric car mulai diproduksi di Amerika, dan telah

digunakan sebagai taxi di New York. Pada awal abad 20, kendaraan yang

cendrung digunakan adalah kendaraan dengan jenis electric, ini dapat dilihat

dengan cukup banyaknya automaker yang memproduksi jenis kendaraan

tersebut.12

Dengan digunakannya kendaraan jenis ini oleh masyarakat, maka

pengembangan mulai terus dilakukan sehingga jarak tempuh serta kecepatan yang

dapat ditempuh oleh kendaraan ini bisa terus meningkat. Namun sayangnya

pengembangan tersebut terpaksa harus dihentikan, bersamaan dengan di

produksinya secara masal sebuah kendaraan berbahan bakar bensin oleh Henry

11

Noel Shankel. “The History of Green Cars”. Diakses dari http://www.ehow.co.uk/facts_7166510_history-green-cars.html pada 12 June 2013, pukul: 21.50 WIB. 12

Bryan Walsh. “The History of the Electric Cars”. Diakses dari http://www.time.com/time/specials/2007/article/0,28804,1669723_1669725_1670578,00.html pada 12 June 2013, pukul: 22.02 WIB.

56

Ford di tahun 1907,13

dan hal tersebut membuat kendaraan jenis electric tergeser

bahkan menghilang dari pasaran.

Kemunculan mobil berbahan bakar bensin, berikut dengan fitur-fitur

“kemudahan” yang ditawarkannya, membuat masyarakat beralih kepada jenis

kendaraan tersebut. Peralihan tersebut dikarenakan electric car dinilai tidak lagi

efisien, karena minimnya jarak tempuh, sulit pengoprasian dan “kecacatan”

lainnya. Dengan hilangnya kendaraan jenis tersebut maka mobil bertenaga bensin

kini menjadi “raja” dijalanan, bahkan hingga saat ini. Dapat dilihat dengan jelas

bahwa hampir secara menyuluruh kendaraan yang turun kejalan adalah kendaraan

dengan bensin sebagai bahan bakarnya, manusia kini “tergantung” akannya.

Selain itu, saat ini dengan kemajuan teknologi, mobil jenis tersebut kini semakin

dilengkapi fitur-fitur yang canggih, yang membuat semua orang yang

memandangnya ingin memilikinya. Bahkan nyatanya kini mobil-mobil

konvensional yang diproduksi mengedepankan fitur kenyamanan, sehingga para

pengendaranya dibuat senyaman mungkin meskipun berada ditengah kemacetan

jalan.

Meskipun electric cars pernah menghilang akibat dorongan yang kuat dari

mobil konvensional saat ini, namun dengan meningkatnya isu perubahan iklim

dan upaya penyelamatan lingkungan maka ini seakan menjadi moment bagi

kebangkitan electric cars. Pada tahun 1990an misalkan, kendaraan jenis ini mulai

muncul kembali ke permukaan, dengan menggunakan payung penyelamatan

lingkungan yang mengatakan bahwa kendaraan jenis ini lebih aman bagi

13

Noel Shankel. Op.cit

57

lingkungan karena lebih sedikit menghasilkan polusi dan emisi, sehingga

penggunaan kendaraan ini layak digunakan dalam kaitannya terhadap upaya

penyelamatan lingkungan. Meskipun “dinilai” lebih ramah lingkungan, kendaraan

ini tetap saja harus berhadapan dengan kendaraan konvensional yang merupakan

“raja” bagi kendaraan. Keadaan tersebut dapat dilihat pada film dokumenter yang

menggambarkan bagaimana electric cars muncul dan kemudian tenggelam

kembali, dan kembali muncul lagi saat ini pada film Who’s Killed the Electric

Car.14

Kendati green cars mengalami pasang surut, namun nampaknya saat ini

kendaraan jenis tersebut tengah dikembangkan kembali, bahkan komisi Eropa

menggelontorkan dana yang cukup besar terkait green Public-Private

Partnerships (PPPs), dan salah satunya untuk bidang transportasi, dan jenis green

cars masuk didalamnya.15

Mulai bangkitnya green cars juga dapat dilihat dari

maraknya para automaker company menurunkan produk green cars mereka di

ajang Geneva Motor Show pada Maret lalu.16

Pengembangan saat ini yang

dilakukan pada green cars ini lebih ditujukan kepada ketahanan serta

penampilannya, sehingga kemudian dapat menarik minat masyarakat untuk

menggunakan jenis kendaraan tersebut. Dan nampaknya untuk jenis kendaraan

14

Who’s Killed the Electric Cars merupakan sebuah film dokumenter yang menceritakan bagaimana mobil listrik “lenyap” dari pasaran. Film dokumenter ini merupakan hasil garapan Chris Paine. Untuk lebih dalam mengenai dokumenter tersebut dapat disaksikan melalui link berikut: http://www.youtube.com/watch?v=IENnSK8Q6nE 15

Commission Announces Smart Investment in Green PPPs. Diakses dari http://ec.europa.eu/research/transport/news/items/commission_announces_smart_investment_in_green_ppps_en.htm pada 12 June 2013, pukul: 22.53 WIB. 16

Davey Jhonson. “Green Cars on the Geneva Motor Show”. Diakses dari http://www.autoweek.com/article/20130307/GENEVA/130309884 pada 12 June 2013, pukul: 22.58 WIB.

58

hybrid lebih diminati, karena terdapat alternatif bahan bakar, dan sangat fleksibel,

meskipun masih terlampau mahal bila dibandingkan dengan mobil-mobil

konvensional pada umumnya. Dengan semakin berfariatifnya green cars maka

terdapat harapan bahwa kendaraan ini mampu berkontribusi dalam upaya

penyelamatan lingkungan, dan ketergantungan manusia akan transportasi dapat

teratasi.

2.3 Keterkaitan Dengan Upaya Penyelamatan Lingkungan

Kemunculan green cars selalu mengarah kepada upaya penyelamatan

lingkungan, teruatama terkait penurunan tingkat emisi yang terlepas ke atmosfir.

Hal ini tidak terlepas dari isi Kyoto Protocol, dimana negara berupaya untuk

menurunkan jumlah emisi karbon yang terlepas di atmosfir bumi, dikarenakan

penelitian menunjukan adanya keterkaitan antara emisi karbon dengan terjadinya

perubahan iklim, sehingga dengan upaya yang dilakukan untuk menurunkan

tingakatan emisi tersebut maka akan berdampak pada “penghentian” laju

perubahan iklim. Dengan adanya Kyoto Protocol maka setiap negara mulai

mengarahkan kebijakan mereka terkait isi dari protokol tersebut. Hal seperti

demikian tidak hanya dilakukan oleh negara, namun setelah meningkatnya

kepedulian masyarakat terhadap isu lingkungan, maka mereka seakan ingin andil

dalam upaya tersbut, dan hal ini nampaknya dilihat oleh para pelaku bisnis

sebagai peluang, hingga pada akhirnya tercipta produk ramah lingkungan yang

menjadi sarana agar masyarakat dapat ikut andil dalam upaya penyelamatan

lingkungan.

59

Green cars menjadi salah satu dari hal diatas, dimana penggunaannya

dapat berpengaruh terhadap upaya penyelamatan lingkungan. Bahkan wacana

yang bermunculan adalah dengan cara menerapkan green living ini merupakan

cara pandang dan hidup yang meminimalkan dampak dari aktifitas manusia

terhadap lingkungan, dan ini dapat dimulai dengan penggunaan green product

(green cars).17

Hal tersebut juga dibenarkan oleh kalangan pemerintahan yang

melihat bahwa penggunaan green cars merupakan sebuah upaya yang penting

dalam hal penurunan emisi.18

Adanya justifikasi tersebut mengarahkan

masyarakat pada pemikiran dimana green cars memang menjadi sebuah jawaban

dalam permalasahan lingkungan, inilah yang kemudian menjadi keterkaitan antara

mobil ramah lingkungan disatu sisi dan penyelamatan lingkungan di sisi yang

lain.

Dengan digunakannya green cars ini seakan memberi label pada setiap

individu bahwa dirinya tengah ikut andil dalam upaya penyelamatan lingkungan.

Bahkan ini akan mengarah kepada keadaan dimana penggunaan terhadap

kendaraan konvensional dianggap sebagai sebuah “kejahatan” terhadap alam, dan

penggunaan kendaraan ramah lingkungan sebagai “penolong” bagi lingkungan di

alam ini. Selain itu, di Amerika Serikat sendiri, untuk mendukung penggunaan

green cars pemerintah Amerika Serikat memberikan potongan pajak bagi

17

Steven Bryan. “Eco-friendly Checklist: what makes a car a ‘green’ car ?”. diakses dari http://voices.yahoo.com/eco-friendly-checklist-makes-car-green-car-3372986.html pada 13 June 2013, pukul: 00.54 WIB. 18

Andrew Bomford. “How Environmentaly Friendly are Electric Cars?”. Diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/magazine-22001356 pada 13 June 2013, pukul: 00.58 WIB.

60

rakyatnya yang membeli kendaraan berjeniskan green cars.19

Dengan tujuan agar

green cars dapat banyak bermunculan di jalanan, dan dapat secara perlahan

menggantikan mobil-mobil konvensional. Sehingga pada akhirnya emisi karbon

yang dihasilkan dari sektor transportasi dapat berkurang.

Apa yang menjadikan green cars dianggap sebagai “pembantu” dalam

penyelamatan lingkungan adalah kendaraan tersebut lebih sedikit, bahkan tidak

menghasilkan pelepasan emisi ke atmosfir ketika kendaraan tersebut beroprasi.

Namun apakah memang produk tersebut memang “aman” bagi lingkungan atau

cendrung memperburuk? pertanyaan tersebut hingga detik ini masih menimbulkan

pro dan kontra, karena pada satu sisi dianggap aman bagi lingkungan, namun

disisi lain terbukti memperburuk alam. Sebagi contoh pada hybird cars,

penggunaan kendaraan ini dianggap ramah lingkungan, namun ramah ketika

pengoprasian dijalankan melalui tenaga listrik, ketika tenaga dihasilkan melalui

bensin, maka emisi yang dikeluarkan akan sama dengan mobil konvensional pada

umumnya.20

Selain hybrid cars, terdapat hasil studi yang menunjukan bahwa electric

cars juga dapat berbahaya bagi lingkungan. Hasil studi tersebut menunjukan

bahwa untuk memproduksi kendaraan tersebut akan menghasilkan potensi

kerusakan dua kali lipat dibandingkan dengan pembuatan mobil konvensional,

terutama pada pembuatan batrai kendaraan tersebut. Batrai yang digunakan untuk

menyimpan tenaga mobil tersebut dinilai cukup beracun bagi kesehatan manusia,

19

Ibid. 20

“Hybrid Cars – pros and cons”. Diakses dari http://phys.org/news10031.html pada 13 June 2013, pukul: 01.46 WIB.

61

selain itu ketahanan batrai tersebut juga belum dikembangkan, dalam artian tidak

dapat bertahan lama dan harus segara diganti untuk dapat tetap mengoprasikan

kendaraan tersebut. Dan sayangnya untuk memproduksi batrai tersebut akan

menghasilkan zat-zat yang cukup merusak lingkungan.21

Selain itu, pada green cars berjeniskan electric juga tidak bisa digunakan

secara universal diseluruh daerah, karena hal tersebut berkaitan dengan sumber

energi yang digunakan pada daerah tersebut untuk mendapatkan daya listriknya.

Penggunaan electric cars akan dikatakan ”green” ketika sumber tenaga listrik

yang mereka dapatkan bukan merupakan hasil dari “energi kotor”, artinya sumber

tenaganya haruslah merupakan pure clean energy. Tidak bisa diterapkan secara

universal dikarenakan belum semua wilayah dan daerah yang memiliki sumber

energi listrik dari “energi bersih”. Karena jika sumber energi yang didapat oleh

electric cars ini bersumber dari energi kotor, maka ini sama saja dengan

meneruskan dan menambah kadar emisi yang dihasilkan dari pembakaran energi

kotor untuk mendapatkan tenaga listrik. Dengan demikian untuk dapat

menjadikan electric cars sebagai green maka perlu dilihat kembali bagaimana

tenaga yang didapat oleh daerah tersebut untuk mendapatkan sumber energi

mereka.

Penggunaan green cars sendiri selalu mengarah pada upaya untuk

menahan laju perubahan iklim. Karena emisi yang tinggi akan berdampak pada

“percepatan” dari laju perubahan iklim. Untuk itu kemudian maka green cars

dianggap dapat menjadi “penahan” untuk perubahan iklim dari sektor transportasi.

21

Mark Halper. Wreck the Environment. Op.cit

62

Karena dengan digunakannya green cars maka hal ini akan membantu dalam

upaya penurunan emisi, dan dengan turunnya emisi maka laju perubahan iklim

pun akan mulai dapat “ditahan”.

Namun, masih cukup banyak pro dan kontra dalam kemunculan green

cars, dan saat ini tengah dilakukan pengembangan serta studi-studi terkait

penciptaan dan penggunaan green cars. Termasuk pengembangan mesin yang

lebih hemat bahan bakar bagi mobil-mobil konvensional, karena terdapat

anggapan bahwa dengan “hematnya” mesin tersebut maka akan lebih sedikit

menggunakan bahan bakar fosil, sehingga ketergantungan akan hal tersebut dapat

berkurang secara berangsur. Namun, adanya kemunculan green cars ini tentu

akan mengubah cara pandang manusia terhadap alam, karena penggunaan produk

tersebut secara luas akan selalu berkaitan dengan alam dan aktifitas manusia

dalam memandang dan “berinteraksi” didalamnya.

2.4 Wacana Penggunaan Green Cars

Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan nampaknya membawa

green cars sebagai salah satu pemain dari upaya untuk menurunkan emisi dari

sektor transportasi. Beberapa penelitian telah membenarkan hal tersebut, dimana

penggunaan green cars atau kendaraan dengan emisi rendah, akan dapat

membantu dalam menurunkan emisi karbon yang terlepas ke atmosfir, khususnya

pada sektor transportasi. Selain itu saat ini dapat dengan mudah dijumpai

beberapa produsen mobil yang memproduksi mobil-mobil berjeniskan ramah

lingkungan, yang mana hal ini dapat dilihat melalui ajang-ajang pameran

63

automotif dunia, dimana mulai banyak dipamerkan konsep-konsep kendaraan

berjenis ramah lingkungan. Bahkan pada International Geneve Motor Show bulan

maret lalu, terdapat sebuah area khusus dimana yang dipamerkan adalah

kendaraan-kendaraan berbahan bakar elektrik, dan tenaga alternatif.22

Artinya

kemudian, pengembangan terhadap jenis kendaraan tersebut memang tengah

diupayakan agar kemudian dapat perlahan menggantikan kendaraan-kendaraan

konvensional yang ada.

Pengembangan terhadap model green cars juga tengah dilakukan oleh

salah satu produsen mobil asal Jepang, yakni Nissan. Namun, ini bukan kali

pertama Nissan tengah mengembangkan kendaraan berjeniskan tenaga listrik,

tetapi pengembangan dan produksi akan kendaraan tersebut sudah dilakukannya

sejak tahun 1940an, dengan model yang bernama Tama electric Vehicle.

Pembuatan Tama dikala itu bukan dimaksudkan untuk mengatasi perubahan

iklim, atau untuk melakukan penurunan terhadap emisi karbon, tetapi dikarenakan

adanya kelangkaan minyak mentah yang menyebabkan kelangkaan terhadap

bahan bakar kendaraan. Untuk mengatasi hal tersebut, maka pemerintah Jepang

dikala itu mengambil tindakan yakni mempromiskan kendaraan bertenaga listrik,

untuk dapat mengatasi ketergantungan terhadap bahan bakar yang mengalami

22

Laure Fillon, “Electric Cars Back Into the Shadows at Geneva Motor Show”. Diakses dari http://phys.org/news/2013-03-electric-cars-shadows-geneva-car.html pada 30 October 2013, pukul 14:27 WIB.

64

kelangkaan,23

bentuk kebijakan tersebutlah yang pada akhirnya membawa

produsen mobil kemudian menciptakan kendaraan bertenaga listrik.

Berbeda dengan Tama, yang diciptakan untuk mengatasi permasalahan

kelangkaan bahan bakar, di tahun 2009 Nissan kembali meluncurkan produknya

yang berbahan bakar listrik yaitu Nissan Leaf, namun kali ini tujuan dari

penciptaannya lebih difokuskan kepada upaya penurunan emisi, dimana Leaf

dibuat lebih sedikit bahkan dikatakan tidak menghasilkan keluaran emisi karbon,

sehingga kendaraan ini dinilai cocok untuk dapat membantu dalam upaya

penurunan emisi dari sektor transportasi.24

Selain itu untuk nama dari Leaf sendiri

juga merupakan sebuah penyingkatan dari tujuan diciptakannya mobil ini, Leaf

adalah Leading, Environmentally friendly, Affordable, Family car, yang bila

dipendekan menjadi LEAF.25

Nampaknya tujuan dari hal tersebut tengah

terealisasikan, terlihat dari banyaknya penghargaan yang diterima oleh Leaf,

diantaranya adalah Green Car Vision Award di tahun 2010, European Car of the

Year di tahun 2011, dan dinobatkan oleh majalah Times sebagai 50 Best Invention

in 2009.26

Untuk melakukan pemasaran produknya, Nissan Leaf mencoba

mengangkat tema penyelamatan alam di dalam iklan dari Nissan Leaf, dimana

23

“History of Tama Electric Vehicle”, diakses dari http://www.nissan-zeroemission.com/EN/HISTORY/TAMA.html pada 30 October 2013, pukul 14:39 WIB. 24

“Nissan Leaf Zero-emission Concept”, diakses dari http://www.nissan-zeroemission.com/EN/LEAF/concept.html pada 30 October 2013, pukul: 14: 53 WIB. 25

“Nissan Delivers First Leaf in San Francisco”, diakses dari http://www.independent.co.uk/life-style/motoring/nissan-delivers-first-leaf-in-san-francisco-2160208.html pada 30 October 2013, pukul 14:57 WIB. 26

“Nissan Leaf Awards”, diakses dari http://www.campbellnelsonnissan.com/nissan-leaf-awards pada 30 October 2013, pukul 15.11 WIB.

65

dalam iklan tersebut digambarkan bahwa seekor beruang kutub telah berpindah

dari tempat asalnya dikarenakan pencairan es, kemudian beruang tersebut sampai

pada daerah perkotaan, dan melihat seorang manusia yang hendak pergi,

kemudian beruang tersebut memeluk manusia tersebut, pelukan tersebut

dikarenakan manusia yang hendak berpergian tersebut menggunakan mobil

Nissan Leaf yang merupakan jenis dari green cars.27

Mengacu pada iklan dari Nissan Leaf tersebut, hal ini menandakan bahwa

dengan green cars maka penyelamatan terhadap alam dapat dilakukan, dimana

beruang kutub tersebut seakan menjadi suara dari alam, dan pelukan tersebut

menandakan ucapan terimakasih dari alam kepada manusia karena telah berupaya

untuk menyelamatkan alam yang digambarkan melalui penggunaan dari Nissan

Leaf. Selain itu, gambaran dari iklan ini juga menegaskan bentuk wacana dari

penggunaan green cars itu sendiri, dimana penggunaannya akan berdampak baik

pada alam, dan akan menjadi jawaban dari penyelamatan alam. Dengan adanya

bentuk wacana tersebut, ini akan menjadi sebuah pembentukan opini publik akan

kegunaan dari green cars, bahwa green cars merupakan opsi terbaik yang bisa

diambil oleh manusia dalam upaya menurunkan emisi karbon. Bahkan hal tersebut

nampaknya telah berbuahkan hasil, dimana green cars tengah mengalami

peningkatan permintaan. Untuk produk Nissan Leaf sendiri, hingga bulan

September 2013, angka penjualan telah mencapai 83.000 unit, dengan penjualan

27

Nissan Leaf Polar Bear Commercial. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=GyX7HuaP7cc pada 14 July 2013, pukul: 22.49 WIB.

66

terbesar berada pada Amerika Serikat dengan total penjualan mencapai 35.588

unit.28

Dengan meningkatnya angka penjualan serta permintaan terhadap jenis

kendaraan green cars, ini menggambarkan bahwa dengan penggunaannya, green

cars memang dapat menjawab permasalahan emisi dari sektor transportasi. Selain

itu dengan konsep ramah lingkungannya, hal ini juga seakan menjadi penunjuk

bahwa manusia tengah memasukan aspek lingkungan di dalam kehidupannya.

Namun, konsep ramah lingkungan disinipun perlu ditelaah kembali mengenai

tujuan akhirnya, apakah lingkungan yang dimaksud adalah alam secara

menyeluruh, ataukah lingkungan bagi kehidupan manusia saja.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, disini akan digunakan pemahaman

mengenai lingkungan yang dipandang oleh Deep Ecology (DE) untuk melihat

wacana-wacana yang digunakan dibalik penggunaan green cars, karena dalam

pandangannya DE melihat bahwa alam tidaklah hanya manusia saja, dan ketika

berbicara mengenai penyelamatan terhadap alam, maka keseluruhan alam lah

yang menjadi target utamanya, bukan hanya kepentingan manusianya saja.

Berbicara mengenai konsep ramah lingkungan yang diusung dalam penggunaan

green cars, nampaknya lingkungannya hanya sebatas pada lingkungan bagi

manusia saja, karena terlihat dari fondasi pencipataanya hanya berasaskan pada

kepentingan bagi manusianya saja, ditambah terdapat nilai-nilai ekonomi dibalik

produksi dari green cars tersebut. Artinya masih terdapat cara pandang

28

“Nissan Leaf Cumulative Sales in Japan pass 30.000 mark”, diakses dari http://www.greencarcongress.com/2013/10/20131008-leaf.html pada 30 Oktober 2013, pukul 15.45 WIB.

67

antroposentris dibalik upaya penyelamatan alam, dimana kepentingan manusia

masih dinilai penting dan harus dilakukan pemenuhan terhadap kepentingan

tersebut. Pandangan yang demikian yang kemudian coba dikritik oleh DE, bahwa

ketika kepentingan manusia, dan pencapaian ekonomi masih dijadikan tujuan

utama, maka selamanya alam ini akan mengalami kerusakan, dan untuk itu hal ini

perlu diubah. Bila demikian, maka konsep ramah lingkungan dapat dilihat sebagai

sebuah trik terkait upaya penyelamatan alam, dimana hanya alam bagi

kepentingan manusia sajalah yang menjadi tujuan utamanya.

Penggunaan dari green cars itu sendiri pun pada akhirnya menunjukan

bahwa target utamanya adalah pada kepentingan dari manusia, dimana penurunan

emisi pun hanya dilakukan agar alam tidak berbahaya bagi manusia, dan alam

tetap dapat menjadi tempat bagi manusia dalam memenuhi segala kebutuhannya.

Lebih jauh lagi, penggunaan green cars juga menegaskan bahwa dibalik upaya

penyelamatan alam yang tengah dibahas dan dilakukan saat ini, pada dasarnya

hanya manusia lah yang menjadi konsern utamanya, kata “penyelamatan alam”

sendiri seakan menjadi jembatan bagi manusia untuk dapat tetap mementingkan

segala kepentingan dan kebutuhannya ditengah terjadinya kerusakan alam yang

terjadi saat ini.

68

BAB III

NARASI ANTROPOSENTRIS DALAM WACANA PENYELAMATAN

ALAM

Perubahan iklim dan kerusakan lingkungan yang semakin dapat dirasakan

dampaknya kini haruslah segera diatasi, agar dampak kerusakan tersebut tidak

terus melebar dan dapat diminimalisir. Dampak dari perubahan tersebut akan

mengenai baik langsung maupun tidak langsung setiap aspek kehidupan dimuka

bumi ini, baik kepada hewan, tumbuhan, dan manusia sekalipun. Maka kemudian

jalan keluar haruslah segara ditemukan agar nantinya semua spesies yang

bersentuhan dengan alam ini tetap dapat memiliki kehidupan, dan tidak

mengalami kepunahan akibat “kerasnya” dampak dari perubahan iklim dan

kerusakan lingkungan yang terjadi.

Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, bahwa perubahan

iklim serta kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini tidak terlepas dari aktifitas

manusia terhadap alam. Dimana alam yang terus dijadikan sebagai komoditas

utama untuk berbagai pemenuhan kebutuhan setiap aspek kehidupan umat

manusia, pada akhirnya membawa alam pada kerusakan. Kerusakan akibat

aktifitas manusia dapat dilihat pada berbagai bentuk, seperti penggundulan hutan

yang dilakukan untuk kemudian diambil kayunya dan lalu dijual untuk

mendapatkan profit yang hanya bisa dinikmati oleh manusia saja. Tidak hanya

69

hutan, bahkan air dan udara pun ikut tercemar akibat aktifitas industri yang

dilkukan oleh manusia.

Apa yang mendasari atas hal tersebut nampaknya dikarenakan

dikedepankannya pandangan antroposentrisme oleh manusia. Dimana

antroposentris adalah pandangan yang melihat bahwa posisi manusia berada diatas

dan terpisah dari alam, serta memiliki hak atasnya, dimana keberadaan bumi dan

isinya adalah untuk dimanfaatkan oleh umat manusia, seperti yang dinyatakan

oleh Richardson. “humankind is seen as something separate from the rest of life

on earth – and superior to it”.1 Dengan mengacu pada apa yang dikemukakan dan

diyakini oleh pandangan tersebut, maka kemudian manusia beranggapan bahwa

pemanfaatan alam adalah sah untuk dilakukan, meskipun bersifat eksploitatif,

namun jika hal tersebut demi pemenuhan terhadap kebutuhan hidup manusia,

maka hal tersebut “boleh” dilakukan, karena pada dasarnya, alam merupakan

penunjang bagi kepentingan dan kebutuhan manusia. Hal tersebutlah yang pada

akhirnya menjadikan alam sebagai komoditas utama bagi industri yang dilakukan

manusia.

Proses industri yang dilakukan oleh manusia nyatanya membawa dampak

yang sangat merusak bagi alam, dimana proses tersebut menghasilkan pelepasan

emisi karbon ke atmosfir yang mengarah pada terjadinya perubahan iklim.

Dengan terjadinya perubahan iklim maka ini akan berdampak langsung pada

segala aspek kehdiupan di bumi, karena perubahan tersebut sangatlah terkait

dengan aktifitas kehidupan segala mahluk. Dampak dari hal tersebut sangatlah

1 Dick Richardson. 1997. “The Politic of Sustainable Development”. (London: Routledge), hlm: 47

70

besar dan tidak dapat ditunda-tunda, karena semakin tertunda, maka akan semakin

berbahaya bagi segala bentuk kehidupan. Besarnya dampak dari hal tersebut,

maka di dalam bab ini akan lebih membahas mengenai apa-apa saja yang coba

dilakukan oleh umat manusia untuk menanggulangi permasalahan tersebut, hingga

sejauh mana upaya penaggulangan tersebut dapat dilakukan, dan apa tujuan akhir

dari upaya penanggulangan tersebut.

3.1 Solusi Yang Bermunculan

Perubahan iklim dan dampak dari kerusakan lingkungan harus segera

ditanggulangi agar tidak menyabar dan mengancam setiap aspek kehidupan di

bumi, maka kemudian perlu dilakukan upaya untuk pencarian solusi yang dapat

menghentikan atau menanggulangi permasalahan tersebut. Atas dasar itulah mulai

banyak dilakukan kerjasama –kerjasama yang bersifat internasional dengan satu

fokus yang sama, yakni “menanggulangi” perubahan iklim. Karena permasalahan

perubahan iklim bukanlah hanya mengancam satu negara saja, tetapi

permasalahan tersebut melibatkan seluruh komunitas global, bahkan mengancam

kehidupan umat manusia secara keseluruhan.

United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)

merupakan badan internasional yang didirikan sebagai hasil dari kerjasama

internasional yang sekaligus wujud dari upaya pencegahan terkait permasalahan

lingkungan, khususnya terkait perubahan iklim. UNFCCC seakan menjadi

“pemantau” terkait permasalahan perubahan iklim. Badan ini selalu melakukan

pertemuan tahunan yang bertujuan untuk memperoleh data-data, dan memberikan

71

perkembangan terkait dampak dari perubahan iklim. Dalam upaya untuk

menanggulangi permasalahan yang timbul akibat perubahan iklim, UNFCCC

menghasiklan dua cara terkait upaya “perlawanan” terhadap perubahan yang

terjadi di alam ini, yakni adaptasi dan mitigasi. Dimana adaptasi lebih kepada

upaya untuk mengurangi dampak yang diterima akibat perubahan iklim, dan

sedangkan mitigasi lebih kepada upaya untuk mengurangi atau membatasi

pelepasan dari emisi karbon ke atmosfir.2 Untuk mewujudkan penanggulangan

dari perubahan iklim tersebut, kedua cara tersebut haruslah dilakukan secara

bersama, karena keduanya sangatlah penting dan tidak dapat dipisahkan dalam

upaya penanggulangan terkait perubahan iklim.

Baik adaptasi maupun mitigasi, keduanya saat ini terus dilakukan

penelitian serta pembahasan lebih lanjut. Hal ini terus dilakukan untuk

“mempercepat” upaya dari penyelamatan lingkungan itu sendiri. Dalam mitigasi

misalnya, dapat dilihat melalui terbentuknya Kyoto Protocol, dimana merupakan

sebuah perjanjian yang dilakukan oleh negara-negara industri untuk menurunkan

jumlah emisi mereka sebesar 5% dibandingkan dengan tahun 1990.3 Pada

praktiknya, upaya mitigasi sering kali dikedepankan, karena hal tersebut terkait

dengan penurunan emisi karbon, yang mana emisi karbon diyakini sebagai faktor

utama terjadinya perubahan iklim. Para ilmuan menyatakan bahwa penurunan

emisi karbon merupakan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk dapat

2 United Nations Department of Economic and Social Affairs (UNDESA). 2008. Climate Change:

Technology Development and Technology Transfer. “Beijing High-level Conference on Climate Change; Background Paper”. Hlm: 11. 3 Isi Kyoto Protocol. Diakses dari http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.html pada 13

July 2013, pukul: 22.13 WIB.

72

“menghentikan” laju dari perubahan iklim yang terjadi saat ini.4 Karena dampak

dari emisi karbon terhadap perubahan iklam bersifat langsung, untuk itu fokus

yang dilakukan dan dikembangkan saat ini adalah pada tahap mitigasi, dimana hal

tersebut merupakan hal yang dilakukan dalam jangka pendek terkait penyelamatan

alam. Sedangkan adaptasi merupakan upaya jangka panjang yang dilakukan

dalam menghadapi perubahan iklim. Meskipun adaptasi merupakan langkah

jangka panjang, namun saat ini perkembangan dan penelitian juga mulai terus

dikedepankan, sehingga ketika manusia berhadapan dengan dampak dari

perubahan iklim, umat manusia telah melakukan persiapan.

Dalam melakukan upaya mitigasi dan adaptasi, hal tersebut coba

dilakukan oleh umat manusia melalui penggunaan teknologi, yang mana hal

tersebut juga tertuang didalam isi dari Bali Action Plan; “Enhanced action on

technology development and transfer to support action on mitigation and

adaptation”.5 Teknologi kemudian menjadi sebuah kunci penting yang digunakan

untuk dapat melakukan adaptasi dan mitigasi dari perubahan iklim.

Pengembangan-pengembangan teknologi terus dilakukan agar nantinya tidak ada

lagi pelepasan emisi karbon ke atmosfir, dan dampak yang terjadi dari terjadinya

perubahan iklim pun dapat “ditanggulangi”.

4 Prof. Penny D. Sacket. Why We Must Act Now to Reduce Greenhouse Gas Emmissions. Diakses

dari http://www.abc.net.au/science/articles/2009/11/25/2753561.htm pada 13 July 2013, pukul: 22.17 WIB. 5 United Nations Framework Conventions on Climate Change (UNFCCC).2007. “Report of the

Conference of the Parties on its thirteenth session, held in Bali: Decision Adopted by the Conference of the Parties.” FCCC/CP/2007/6/Add.1*, 14 March.

73

3.2 Penggunaan Teknologi Untuk Penyelamatan Lingkungan

Dewasa ini, teknologi semakin mengalami perkembangan yang luar biasa,

hampir semua produk yang kita gunakan merupakan hasil dari perkembangan

teknologi. Perkembangan tersebut nampaknya belum mengalami kemunduran

ataupun penurunan, justru sebaliknya, teknologi terus mengalami peningkatan.

Teknologi yang nyatanya merupakan hasil buatan tangan manusia ditujukan untuk

dapat membantu serta meringankan hal-hal yang dlakukan oleh manusia dalam

melakukan aktifitasnya, seperti untuk melakukan perjalanan, untuk menghasilkan

sebuah produk, dan bahkan untuk menghasilkan makanan dan minuman pun dapat

dilakukan oleh produk-produk teknologi. Meskipun teknologi adahal hasi ciptaan

manusia, namun nampaknya kini, kehidupan manusia dan teknologi tidak dapat

dipisahkan karena telah terdapat sebuah ikatan antara keduanya.

Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang dimiliki manusia, maka

nampaknya kini perkembangan teknologi mulai diarahkan kepada isu perubahan

iklim. Dimana teknologi diupayakan agar dapat membantu dalam hal pencapaian

dari proses adaptasi dan mitigasi. Kini disetiap pembahasan terkait upaya adaptasi

dan mitigasi terkait perubahan iklim, maka teknologi seringkali dijadikan jalan

untuk dapat mewujudkan keberhasilan dari penyelamatan lingkungan. Bahkan

terdapat istilah technology transfer didalam pembahasan isu perubahan iklim,

yang menandakan bahwa memang perkembangan teknologi yang ada saat ini

mulai diarahkan pada isu-isu lingkungan tersebut. Copenhagen Conference di

tahun 2009 dilihat sebagai titik awal dimana revolusi teknologi diyakini dapat

74

berkontribusi secara besar terhadap “perlawanan” dari dampak terjadinya

perubahan iklim.6

Kemajuan serta perkembangan teknologi yang sangat pesat ini nampaknya

mulai menjadi sebuah harapan besar bagi umat manusia dalam menghadapi laju

kerusakan lingkungan serta perubahan iklim. Harapan terhadap penggunaan

teknologi tersebut membawa pada banyaknya kerjasama-kerjasama yang

dilakukan oleh negara dunia internasional untuk mewujudkan upaya pencegahan

dari perubahan iklim. Serangkaian program penelitian mulai dilakukan secara

bersama, yang menghasilkan pada inovasi-inovasi baru dalam upaya

penyelamatan lignkungan. Dari program penelitian teknologi tersebut pada

akhirnya mengarahkan pada fokus utama, yakni penciptaan teknologi rendah

emisi, sehingga upaya yang dilakukan untuk menurunkan tingkat emisi karbon

dapat tercipta.7

Melihat bahwa begitu dikedepankannya teknologi saat ini, mulai terdapat

pandangan yang meyakini bahwa perkembangan dan transfer teknologi akan

memainkan peran yang amat penting dalam strategi global maupun nasional untuk

menghadapi perubahan iklim.8 Namun, terlepas dari harapan terhadap penggunaan

teknologi, nyatanya perubahan iklim yang terjadi saat ini juga dikarenakan akibat

dari penggunaan teknologi itu sendiri. Bila ditarik jauh kebelakang, peningkatan

emisi karbon yang terjadi saat ini dikarenakan terjadinya revolusi industri pada

6 Stephen Axon.2010. Addressing Climate Change and the Role of Technological Solutions.

“Human Geographies, 4.1”. hlm: 50. 7 Michael Grubb.2004. Technology Innovation and Climate Change Policy: an overview of issues

and option. ”Keio Economic Studies 41 (2). Hlm: 109. 8 UNDESA. ibid. hlm: 2.

75

sekitar abad ke-18. Terjadinya revolusi industri berdampak pada seluruh aspek

kehidupan manusia saat ini, terutama pada proses industri itu sendiri, dimana

penggunaan mesin uap sangat “didewakan” dalam melakukan proses produksi,

yang pada akhirnya hal tersebut berujung kepada ketergantungan akan bahan

bakar fosil untuk menghasilkan energi. Mungkin jika revolusi indusrtri dilihat dari

kacamata lingkungan maka hal tersebut merupakan dampak buruk dari

penggunaan teknologi, karena revolusi tersebut seakan membuka pintu

dijadikannya alam sebagai komoditas bagi manusia, terutama dalam

keterkaitannya terhadap produksi masal. Kini, teknologi mulai diupayakan untuk

menyelesaikan “kesalahan” yang telah lalu, karena pada dasarnya teknologi dapat

menjadi permasalahan sekaligus menjadi solusi bagi permasalahan kerusakan

lingkungan.9

Agar “kesalahan” serupa tidak kembali terulang, maka perkembangan

teknologi yang ada saat ini berfokus pada penciptaan teknologi beremisikan

rendah, agar jumlah emisi yang terlepas tidak lagi mengalami peningkatan,

bahkan hingga tidak terlepasnya emisi karbon ke atmosfir. Untuk mendukung hal

tersebut, maka penelitian dan pengembangan terus dilakukan. Peneletian dan

perkembangan tersebut dilakukan oleh gabungan dari para peneliti diseluruh dunia

agar dapat menghasilkan sebuah teknologi yang dapat bermanfaat bagi semua

orang. Global Environment Facility (GEF) merupakan badan dibawah UNFCCC

yang ditujukan untuk mengurusi masalah pendanaan, dan dalam mendukung

pengunaan teknologi sebagai jawaban dari permasalahan perubahan iklim, GEF

9 Jennifer A. Elliot. 2006. An Introduction to Sustainable Development 3

rd Edition. (New York:

Routledge), hlm: 16.

76

telah memberikan investasi sejumlah $250 juta terkait penelitian dan

pengembangan teknologi rendah emisi untuk berbagai sektor.10

Investasi tersebut

diharapkan dapat menemukan inovasi teknologi yang digunakan oleh umat

manusia dalam berhadapan dengan perubahan iklim serta kerusakan lingkungan.

Bila kembali melihat kepada isi dan tujuan dari Kyoto Protocol, serta telah

diratifikasinya protocol tersebut, hal ini menandakan bahwa penurunan emisi

merupakan langkah besar yang harus dicapai, guna dapat menstbailkan kondisi

bumi akibat dari terjadinya perubahan iklim. Dengan didukung oleh pernyataan

serta temuan-temuan ilmiah pada Kyoto Protocol, hal tersebut menjadi pembenar

bahwa kondisi bumi yang stabil memang akan dapat dilakukan jika masing-

masing negara mulai melakukan penurunan emisi karbon mereka hingga pada

level yang tidak membahayakan. Hal ini juga pada akhirnya menjadi dasar dalam

perkembangan teknologi dewasa ini, bahwa penemuan teknologi “harus”

diarahkan kepada tujuan dari protokol tersebut, yakni agar dapat menurunkan

jumlah emisi karbon yang terlepas ke atmosfir.

Isi dari apa yang menjadi tujuan dalam Kyoto Protocol juga tertuang

didalam hasil dari Bali Climate Change Conference pada tahun 2007, yakni Bali

Roadmap, dimana pertemuan tersebut merupakan pertemuan yang dilakukan oleh

negara-negara internasional dibawah naungan UNFCCC. Pertemuan tersebut

menghasilkan dasar aksi terkait dengan adaptasi, mitigasi dan teknologi terkait

lingkungan. Dimana salah satu inti dari pertemuan tersebut menegaskan terkait

10

Global Environment Facility (GEF). “Technology Transfer for Climate Change”. Diakses dari http://www.thegef.org/gef/Technology_Transfer pada 14 July 2013, pukul: 00.35 WIB.

77

dengan penguatan kerjasama di bidang adaptasi atas perubahan iklim,

pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung aksi adaptasi dan mitigasi,

serta pengakuan bahwa pengurangan emisi yang lebih besar secara global

merupakan sebuah keharusan, demi terciptanya konidisi bumi yang stabil.11

Dengan adanya hasil perjanjian tersebut, ini semakin menjadi legitimasi bahwa

upaya-upaya yang dapat dan “harus” dilakukan terkait dengan dampak dari

perubahan iklim saat ini adalah berkutat pada adaptasi dan mitigasi yang

dilakukan dengan cara penggunaan teknologi sebagai “jalan” utamanya.

Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, bahwa pelepasan

emisi karbon yang terjadi saat ini dapat dilihat dari berbagai sektor. Dan seluruh

sektor tersebut tidak terlepas dari aktifitas manusia, sepeti energi, trasnportasi,

industri dan lain-lain. Keseluruhan sektor tersebut tidak dapat terlepas dari umat

manusia didalamnya, dan emisi karbon yang dihasilkan dari emisi tersebut

tidaklah sedikit, melainkan dalam jumlah yang cukup besar. Jika teknologi

dikembangkan untuk mengatasi permasalah tersebut, maka mitigasi harus

dilakukan terhadap seluruh sektor yang bersentuhan langsung dengan segala

aktifitas manusia. UNFCCC memberikan sebuah data berupa tabel mitigasi yang

dilakukan dalam melalui penggunaan teknologi untuk berbagai sektor;12

11

Freddy Numberi. 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut, Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. (Jakarta: Fortuna), hlm: 70. 12

UNDESA. Ibid. hlm: 12.

78

Table 1 Technologies for Mitigation

Near-term Mid-term Long-term

End Use and Infrastructure

Transportation Hybrid and plug-in hybrid

Electric vehicles

Clean diesel vehicles

Alternative and flex-fuel

vehicles

Improved energy storage,

including batteries

Power electronics

Fuel cell vehicles and

H2 fuels

Efficient and clean

heavy trucks

Cellulosic and ethanol

vehicles

Intelligent transport

system

Low-emissions

aircrafts

Zero-emission vehicle

systems

Optimized multi-

modal intercity and

freight transport

Engineered urban

designs and regional

planning

Building High-performance

integrated homes

High-efficiency

appliances

Insulation control window

“Smart” buildings.

Solid-state lighting.

Ultra efficient

HVACR

Neutral-net building

controls

Energy managed

communities

Low-powered sensors

with wireless

communications

Industry High-efficiency boilers

Greater waste heat

utilisation

Bio-based feedstocks

Superconducting

electric motors.

Efficient

thermoelectric

systems

High-efficiency all-

electric

manufacturing.

Widespread use of

bio-feedstocks

Electric grid and

infrastructure

Distributed generation.

Smart metering and

controls for peak shaving.

Long-distance direct

current (DC) transmission

Neural-net grid

system

Energy storage for

load leveling

Superconducting

transmission and

equipment

Wireless transmission

Data pada tabel diatas mengidentifikasi mitigasi teknologi dari berbagai

sektor berdasarkan kategori jangka pendek, menengah dan panjang. Teknologi

yang tertulis diatas mewakili sejumlah teknologi yang dibayangkan akan tercapai

dan dilakukan dalam jangka pendek (2030), jangka menengah (2030-2050), dan

jangka panjang (2050-2100). Data pada tabel diatas merupakan serangkaian clean

energy technologies dan potensi mitigasi sebagai hasil dari pencapaian inovasi

79

teknologi. Teknologi diatas diupayakan sebagai pemain terkuat dalam mitigasi

perubahan iklim dimasa depan.

Sektor transportasi yang sejatinya juga memilki jumlah pelepasan emisi

yang besar ke atmosfir perlu dilakukan upaya mitigasi agar dapat menekan jumlah

emisi dari sektor tersebut. Bila mengacu pada tabel diatas, maka terlihat bahwa

pembuatan serta penggunaan green cars adalah salah satu bentuk mitigasi yang

dapat dilakukan oleh sektor tersebut. Hal tersebut yang pada akhirnya mulai

membawa green cars sebagai “alat” dalam menekan tingkat emisi karbon dari

sektor transportasi. Perkembangan green cars saat ini terus mengalami kenaikan,

dan bahkan telah digunakan dalam jumlah yang cukup besar oleh beberapa

negara. Hal ini kemudian juga menunjukan bahwa mitigasi teknologi tengah

dilakukan dan akan terus dikembangkan lebih jauh, sehingga setiap sektor yang

tersebut diatas dapat kemudian tercapai semua.

Untuk mendukung terciptanya inovasi-inovasi terkait dengan teknologi,

bukan hanya kerjasama serta investasi besar-besaran yang coba dilakukan, namun

pemberian hadiah juga menjadi “ajang” untuk memacu terciptanya inovasi-

inovasi teknologi ramah lingkungan dalam berbagai sektor.13

Dengan diberikan

imbalan hadiah sebagai bentuk penghargaan atas pencapaian yang telah dilakukan

dalam pengembangan teknologi ramah lingkungan, maka hal tersebut seakan

menjadi pemacu bagi “masyarakat” yang memiliki pengetahuan dan kemampuan

akan penciptaan teknologi ramah lingkungan tersebut. Dengan adanya program

13

Richard G. Newell & Nathan E. Wilson.2005. Technology Prizes for Climate Change Mitigation. (Washington: Resource for Future), hlm: 14.

80

seperti ini, maka ini seakan menjadi pembenaran bahwa memang nyatanya

teknologi dijadikan sebagai jawaban untuk dapat menyelamatkan lingkungan.

Kembali pada upaya mitigasi terkait penurunan emisi, proses mitigasi juga

tidak dapat dipisahkan dari Kyoto Protocol . Dimana protokol tersebut menjadi

standarisasi terkait persentase jumlah emisi yang harus diturunkan oleh dunia

untuk dapat mencapai titik aman. Meskipun pada kenyataanya Kyoto Protocol

dianggap tidak memberikan dampak yang signifikan terkait penurunan emisi

karbon, karena memang pada dasarnya isi dari perjanjian tersebut tidaklah bersifat

mengikat dan tidak terdapat sangksi jika hal tersebut tidak tercapai. Namun,

dengan adanya standar persentase jumlah emisi karbon yang harus diturunkan,

maka setidaknya terdapat sebuah “patokan” untuk mengejar dan mencapai hal

tersebut.

Pada kenyataanya penggunaan serta pengembangan teknologi saja tidaklah

cukup untuk dapat menyelamatkan lingkungan dari perubahan iklim serta akibat

kerusakan lainnya. Trevor Davies, kepala dari program penurunan karbon di

University of East Anglia menyatakan bahwa untuk dapat melakukan upaya

penyelamatan lingkungan tidak hanya membutuhkan bantuan teknologi, namun

perubahan prilaku manusia terkait alam juga harus dikedapankan.14

Karena pada

dasarnya, manusia lah yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim sekarang

ini, jika penyelasaian permasalahan ini hanya bergantung dengan menggunakan

teknologi sebagai alat pembantu saja, maka inti dari permasalahan ini tidaklah

14

Oli Usher. “Can Technology Stop Climate Change?”. Diakses dari http://www.guardian.co.uk/science/2005/jul/07/thisweekssciencequestions pada 14 July 2013, pukul: 01.56 WIB.

81

akan terselesaikan. Yang harusnya menjadi sasaran utama adalah pada cara

pandang manusia terhadap alam, cara pandang yang menjadikan manusia hanya

melihat alam hanya sebatas komoditas, tanpa mempertimbangkan dampak dari hal

tersebut terhadap keseluruhan alam.

3.3 Wacana Penyelamatan Lingkungan

Dalam upaya penyelamatan lingkungan yang dilakukan oleh manusia baik

menggunakan teknologi maupun perubahan gaya hidup, semua hal tersebut perlu

ditelaah kembali mengenai tujuan akhir dari mengapa hal tersebut dilakukan.

Karena jika tujuan akhir dari upaya tersebut hanyalah berdasarkan pada kebutuhan

manusianya saja, ini tidak dapat dikatakan sebagai upaya penyelamatan

lingkungan, karena nantinya manusia akan tetap melakukan dominasi terhadap

alam, dan lagi-lagi alam akan menjadi komoditas yang terus digunakan untuk

kepentingan manusia. Maka kemudian perlu ditelusuri, apakah manusia benar-

benar ingin menyelamatkan alam karena alam yang telah rusak, ataukah alam

diselamatkan oleh manusia dikarenakan manusia takut nantinya dengan perubahan

dan kerusakan yang terjadi di alam ini, maka kemudian manusia tidak dapat

bertahan dan mengalami kepunahan.

Emisi karbon yang terlepas ke atmosfir, bila tidak dihentikan atau

dikurangi maka akan dapat mengancam setiap bentuk kehidupan yang ada di

dalam alam ini. Bukan hanya manusia saja, namun binatang dan tumbuhan juga

akan terkena dampak dari perubahan iklim yang diakibatkan oleh aktifitas

manusia ini. Dengan besarnya bahaya dari emisi karbon tersebut, maka penurunan

82

emisi seakan menjadi prioritas untuk dilakukan. Karena artinya jika emisi karbon

yang terlepas mengalami penurunan, maka laju perubahan iklim juga akan

mengalami penurunan. Untuk itu kerjasama dalam penurunan emisi terus

ditingkatkan, salah satunya seperti yang telah disinggung diatas adalah dengan

dibuatnya badan internasional seperti UNFCCC, IPCC, UNEP dan masih banyak

kerjasama dibidang isu lingkungan lainnya. Di dirikannya UNFCCC juga seakan

menjadi wadah bagi kerjasama internasional yang berupaya untuk menstabilkan

emisi gas rumah kaca sehingga berada pada titik yang tidak berbahaya, hal

tersebut tertuang didalam tujuan dibentukanya UNFCCC;15

“The ultimate objective of this Convention and any related legal instruments

that the Conference of the Parties may adopt is to achieve, in accordance with

the relevant provisions of the Convention, stabilization of greenhouse gas

concentrations in the atmosphere at a level that would prevent dangerous

anthropogenic interference with the climate system. Such a level should be

achieved within a time frame sufficient to allow ecosystems to adapt naturally to

climate change, to ensure that food production is not threatened and to enable

economic development to proceed in a sustainable manner.”

Bila mengacu pada tujuan dari terbentuknya UNFCCC diatas, maka terlihat

bahwa upaya penurunan emisi dilakukan agar tercipta suatu kestabilan didalam

ekosistem, dimana terdapat pengamanan terhadap produksi pangan. Bahkan badan

tersebut juga dibuat untuk memastikan agar ekonomi juga dapat tetap berjalan

ditengah terjadinya perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, namun dengan

cara-cara yang lebih berkerlanjutan. Dari kedua hal tersebut dapat dilihat bahwa

tujuan dasarnya adalah agar terdapat kestabilan bagi kehidupan manusia, dan tetap

mengedepankan hal-hal berwawasan ekonomi agar terus dapat tercipta. Kesemua

hal tersebut hanya dapat dinikmati oleh umat manusia, artinya pencapaian yang

15

UNFCCC.1992. FCCC/INFORMAL/84. Article.2

83

paling utama adalah agar terciptanya sebuah keamanan bagi kehidupan manusia di

alam ini.

Penyelamatan terhadap alam ini harus segera dilakukan, karena jika

semakin dibiarkan maka akan semakin mengancam. Hal ini juga senada dengan

apa yang dikatakan Jim Yong Kim selaku President dari World Bank yang

menyatakan bahwa perubahan iklim adalah nyata, dan hal tersebut dikarenakan

aktifitas manusia, pencegahan serta upaya penyelamatan harus segera dilakukan

agar perubahan iklim tidak mengancam bagi kehidupan. Meskipun hingga detik

ini masih terdapat perbedaan pendapat mengenai nyata atau tidak kah sebenarnya

perubahan iklim itu, Kim menyatakan bahwa bukan saatnya lagi untuk melakukan

perdebatan semacam itu, namun yang harus dilakukan sekarang adalah mulai

bertindak untuk mencegah hal tersebut semakin terjadi.16

Mengacu pada temuan-temuan yang ditemukan oleh para ilmuan,

bahwasanya perubahan iklim global ini sangat mengancam sistem kehidupan

manusia, yang mana perlu ditanggulangi melalui mitgasi dan adaptasi.17

Dampak

yang diterima oleh manusia dan alam ini dari perubahan iklim cendrung akan

parah dan memiliki potensi untuk tidak dapat diperbaiki, namun hal tersebut dapat

dicegah dengan cara mitigasi untuk menstabilkan jumlah emisi karbon yang

terlepas di udara.18

Temuan-temuan ilmiah selalu mengarah pada upaya untuk

16

Anna Yukhnanov. “Refile-update1 – Time to Stop Arguing About Climate Change, World Bank Says”. Diakses dari http://www.reuters.com/article/2013/06/19/worldbank-climate-idUSL2N0EU1C20130619 pada 14 July 2013, pukul: 16.54 WIB. 17

Aviel Verbruggen. 2008. Renewable and Nuclear Power: A Common Future?. “Energy Policy”, vol.36. hlm: 4037 18

Irene Lorenzoni, et.al. 2007. Barriers Perceived to Engaging With Climate Change Among the UK Public and Their Policy Implications. “Global Environment Change”. Vol.17. hlm: 445

84

melakukan penurunan terhadap jumlah pelepasan emisi sebagai bentuk jawaban

dari penyelamatan lingkungan. Inilah yang kemudian menjadi fokus dilakukan

saat ini, karena upaya mitigasi seakan menjadi bentuk perlawanan dan pencegahan

terhadap perubahan yang terjadi di alam ini, sedangkan adaptasi cendrung terlihat

sebagai tindakan yang “pasrah”, dalam artian ketika perubahan iklim sudah tidak

dapat diatasi, maka pilihan terakhirnya adalah hanya bertahan dari perubahan-

perubahan tersebut untuk dapat tetap hidup dan tidak mengalami kepunahan.

Dengan fokus untuk mengurangi emisi karbon, maka segala aspek

kehidupan yang berhubungan dengan kemungkinan terjadinya peningkatan emisi

mulai coba ditanggulangi dengan berbagai cara dan pendekatan. Teknologi

menjadi pendekatan yang paling dikedapankan dalam menyasar keberhasilan dari

tujuan tersebut. Setiap aktifitas kehidupan manusia mulai “ditekan” agar tidak

mengakibatkan terjadinya peningkatan emisi, salah satunya adalah dengan

mengganti produk-produk yang paling sering digunakan dan paling menghasilkan

keluaran emisi yang besar, dengan produk-produk yang lebih bersifat rendah

emisi. Hal ini juga tertuang dalam laporan yang dikeluarkan oleh Organisation for

Economic Co-operation and Development (OECD), dimana didalam laporan

tersebut berisikan mengenai penawaran inovasi teknologi yang dapat dilakukan

dalam menangani perubahan iklim, berikut penawaran yang coba ditawarkan

untuk dapat mengurangi kadar emisi dari aktifitas manusia;19

19

Organisation for Economic Co-operation and Development. “Promoting Technological Inovation to Adress Climate Change”. (Paris: OECD), hlm: 3.

85

Figure 2. ways of impacting total emissions

1) Create new product for consumers that generate fewer emissions when

used.

2) Use less emission-intensive inputs (of the same type).

3) Use less emission-intensive inputs (of different type).

4) Reduce pollution intensity per unit of input (without modifying inputs).

5) Reduce input use per unit of output.

6) Undertake remedial, “end of pipe” measures.

7) Of course, the firm (and the consumer) could simply produce ( and

consume) less.

Dari gambar diatas dapat dilihat “skema” yang dapat dilakukan untuk

melalukan penekanan secara total jumlah emisi yang terlepas di atmosfir. Pada

poin nomor satu dikatakan bahwa pembuatan produk yang bersifat ramah

terhadap lingkungan harus dilakukan, agar dapat mengurangi jumlah emisi karbon

dari aktifitas manusia. Kini semakin banyak produk dengan “label” ramah

lingkungan yang membanjiri pasar. Seperti yang telah disinggung pada bab dua,

86

yakni salah satunya adalah green cars. Dimana mobil tersebut ditujukan untuk

mengurangi kadar emisi dari sektor transportasi. Meskipun terdapat perbedaan

jumlah yang besar antara green cars dengan mobil-mobil konvensional, namun

nampaknya hal tersebut tidak menjadi sebuah masalah bagi para produsen green

cars, karena produksi produk tersebut tengah terus ditingkatkan.

Ketika berbicara mengenai penurunan emisi dari sektor transportasi, maka

green cars kerap kali menjadi jawaban terkait permasalahan tersebut. Dimana

transportasi merupakan sektor yang cukup penting bagi manusia, dan manusia

sangat mengandalkan transportasi untuk melakukan “perpindahan tempat”.

Dengan bergantungnya manusia terhadap transportasi, maka transportasi selalu

digunanakan, dan ini kemudian berujung kepada pelepasan emisi dalam jumlah

yang tidak sedikit. Maka perubahan serta kampanye-kampanye untuk mengurangi

penggunaan alat-alat transportasi yang menghasilkan emisi besar mulai dilakukan,

seperti kampanye “bike to work”, dimana berpergian dilakukan melalui sepeda.

Kampanye seperti bike to work hampir diterapkan diseluruh penjuru dunia,

dengan dukungan dari pemerintah yakni membangun infrastruktur dan

menerapkan hari bebas kendaraan. Tujuannya adalah satu, yakni mengurangi

ketergantungan manusia dalam menggunakan mobil-mobil pribadi yang banyak

menghasilkan emisi. Namun belum banyak yang ikut berpartisipasi dalam

program tersebut, mungkin dikarenakan manusia telah terbiasa dimanja dengan

penggunaan mobil-mobil yang menawarkan fitur kenyamanan, sehingga timbul

rasa enggan untuk kembali “berpanas-panasan”, serta “bercapek-capek ria”

dengan menggunakan sepeda, kalau bisa “duduk manis”, kenapa harus bersusah

87

payah. Mungkin hal tersebut yang sering tersirat dalam benak manusia. Inilah

yang kemudian menjadikan green cars sebagai opsi lain dalam turut andil untuk

menekan tingkat emisi, karena dengan green cars artinya manusia tetap bisa

menggunakan kendaraan pribadinya tanpa memikirkan emisi yang dihasilkan dari

produk tersebut, paling tidak itu hal yang sering dikampanyekan oleh para

produsen green cars.

Penggunaan green cars dianggap tetap dapat memenuhi permintaan “gaya

hidup” manusia, meskipun bersaing dengan mobil konvensional yang telah lama

menjadi primadona, namun fitur-fitur pada green cars mulai terus dikedepankan.

Secara tidak langsung, manusia bisa tetap “bergaya” saat melakukan

penyelamatan lingkungan. Dari penawaran-penawaran yang dilakukan oleh

produsen green cars yang selalu dikedepankan adalah teknologi rendah emisi

pada mobil tersebut sehingga ini dapat sejalan dengan upaya mitigasi yang

dilakukan, terutama mitigasi pada sektor transportasi.20

Dalam setiap iklan yang

coba ditawarkan oleh para pencipta green cars mereka selalu memberikan kesan,

bahwa green cars adalah “teman” baik bagi alam. Hal tersebut terlihat dari

pemasaran melalui iklan yang dilakukan oleh Renault dan Chevrolet dalam

menunjukan bagaimana produk mereka merupakan jenis produk yang ramah

terhadap lingkungan. Pada iklan produknya, Renault menggambarkan bahwa

setiap aktifitas yang dilakukan oleh manusia sangat berperan aktif dalam

menghasilkan emisi karbon, dan satu-satunya yang tidak menghasilkan emisi

20

The Electrical Guide. Diakses dari http://green.tv/videos/the-electric-car-guide/ pada 14 July 2013, pukul: 22.35 WIB.

88

karbon adalah pada penggunaan electric cars dari Renault itu sendiri.21

Chevrolet

juga menunjukan hal serupa dalam pemasaran produk mereka, yang digambarkan

dengan penggunaan Chevrolet Volt akan membawa “keasrian” pada lingkungan,

yang digambarkan melalui bersihnya pemandangan di pegunungan.22

Dari ilustrasi yang ada pada iklan Renault dan Chevrolet Volt tersebut,

dapat dilihat bahwa penggunaan teknologi memang terus dikedepankan hingga

pada akhirnya perubahan iklim dapat “diatasi”. Namun, perkembangan yang ada

hingga detik ini, terlihat bahwa masih terdapat kalkulasi eknomis dibalik

penyelamatan lingkungan itu sendiri. Padahal jika ditelusuri lebih dalam, aspek-

aspek yang berkaitan dengan eknomi tersebutlah yang mengarah pada terjadinya

kerusakan alam saat ini. Seharusnya ketika berupaya untuk menyelamatkan alam,

maka fokus utamanya memang untuk menyelamatkan alam serta segala aspek

kehidupan didalamnya, bukan hanya aspek dari kehidupan manusianya saja.

Segala upaya yang dilakukan oleh manusia saat ini terkait dengan

terjadinya perubahan iklim, menunjukan bahwa memang manusia khawatir,

bahkan takut jika perubahan iklim dapat mengancam kelangsungan hidup umat

manusia di alam ini. Bila kembali mengacu pada isi dari Rio Declaration, tertuang

sangat jelas bahwa “Human being are at the centre of concerns for sustainable

development”,23

yang mana sangat jelas bahwa memang manusia lah yang tetap

21

Renault’s New Electric Car Advertising Campaign. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=ZqN9VWb75D0 pada 14 July 2013, pukul: 23.10 WIB. 22

Chevrolet Volt Commercial. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=Xy_zsbuYl-M pada 14 July 2013, pukul: 23.13 WIB. 23

UNCED. “Report of the UN Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August

89

menjadi peran utama dari penyelamatan lingkungan. Meskipun sustainable living

serta sustainable development digunakan sebagai pedoman terhadap ancaman

perubahan iklim, namun tetap saja yang berkelanjutan adalah umat manusianya.

Lantas jika demikian bagaimana nasib spesies lain yang ada di alam ini?

sepertinya jika tidak menguntungkan bagi kehidupan manusia, nampaknya hal

tersebut tidak akan dipikirkan oleh manusia.

Berkaca terhadap kebijakan terkait penggunaan serta pemanfaatan

teknologi dalam menghadapi perubahan terhadap lingkungan ini, nampaknya

memang hanya berdasarkan pada kepentingan manusianya saja. Seolah bahwa

manusia memang hidup sendiri di alam, dan mahluk-mahluk lainnya hanya

sebatas pelengkap bagi kehidupan manusia saja. Hal ini terlihat jelas dari target

utama penyasaran penggunaan serta perkembangan teknologi dewasa ini. Dimana

memang jelas bahwa teknologi merupakan solusi untuk menyelamatkan

kerusakan yang terjadi di alam. Pernyataan tersebut juga didukung oleh riset yang

dilakukan Taiwan Environmental Protection Administration, yang mengatakan

bahwa teknologi merupakan kunci utama untuk menyelesaikan permasalahan

kerusakan iklim.24

Tetapi apakah kemudian dengan menggunakan teknologi,

maka permasalahan akan kerusakan yang terjadi di alam ini bisa teratasi? Jika

memang dapat teratasi, maka alam yang mana kah yang telah terselamatkan?

Alam manusia kah atau alam secara menyeluruh?

24

Environmental Protection Administration Executive Yuan, R.O.C (Taiwan). “Research and Development of Protection Technologies”. Diakses dari http://www.epa.gov.tw/en/epashow.aspx?list=122&path=150&guid=de085634-f689-4b73-9426-fb75e9c804b7&lang=en-us 15 July 2013, pukul: 20.29 WIB.

90

Untuk dapat menjawab pertanyaan diatas, dapat dilihat melalui target-

target dari adaptasi dan mitigasi yang dikeluarkan oleh IPCC. IPCC dijadikan

dasar dalam melihat hal tersebut dikarenakan IPCC merupakan bentuk lembaga

kerjasama yang didalamnya terdapat gabungan para peneliti diseluruh dunia guna

mencari jawaban terkait permasalahan pada lingkungan. Maka kemudian, apa

yang menjadi temuan dan di publikasikan oleh IPCC menjadi dasar dalam

berbagai kebijakan terkait lingkungan. Dimana IPCC dalam hal ini berperan

sebagai institusi yang memiliki kekuatan sebagai otoritas yang diakui oleh opini

publik, sehingga pernyataan yang dikeluarkan oleh lembaga tersebut dinilai

sebagai bentuk kebenaran.

Bila melihat target dari upaya adaptasi dan mitigasi yang di keluarkan oleh

IPCC di dalam website mereka, terlihat bahwa target-target utama dari upaya

tersebut hanya mencakup pada sektor; air, agrikultur, infrastruktur, kesehatan

manusia, wisata, transportasi, dan energi.25

Dari semua sektor yang ada diatas,

semuanya hanya berdasarkan pada kepentingan dari manusianya saja, hal ini

sekaligus menjadi penegas bahwa upaya yang dilakukan terkait penyelamatan

alam hanya sebatas pada alam bagi kebutuhan manusia saja, bukan alam yang

mencakup segala aspek kehidupan mahluk-mahluk didalamnya. Bahkan lebih jauh

lagi, hal ini menunjukan narasi antroposentris, dimana manusia yang hanya

melihat dirinya saja di dalam keseluruhan alam, berupaya untuk bisa tetap survive

dari terjadinya perubahan dan kerusakan yang terjadi di dalam alam. Narasi-narasi

25

Untuk lebih jelas mengenai adaptasi dan mitigasi terkait sektor-sektor tersebut, dapat dilihat melalui, Climate Change 2007: Synthesis Report. “Adaptation and Mitigation Options”, yang diakses dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/spms4.html pada 15 July 2013, pukul: 20.49 WIB.

91

antroposentris kerap kali “muncul” didalam upaya penyelamatan lingkungan,

karena manusia tetap meletakan kepentingan mereka dalam penyelamatan alam,

meskipun telah jelas ditemukan bahwa akibat aktifitas manusialah yang berlebih

inilah justru alam mengalami kerusakan. Pandangan antroposentris dalam melihat

alam secara lebih mendalam akan dibahas pada bab berikutnya.

Saat ini manusia mulai mengalami ketakutan, ketakutan jika mereka tidak

bisa lagi hidup di dalam alam ini, takut jika spesies mereka akan menjadi produk

sejarah semata, layaknya yang terjadi pada hewan-hewan purba di masa lampau,

bahkan takut jika mereka tidak lagi dapat mendominasi keseluruhan alam ini.

Untuk itulah kemudian berbagai cara demi cara coba dilakukan agar manusia tetap

dapat mempertahankan eksistensi diri mereka di dalam alam ini.

Teknologi-teknologi yang dikembangkan saat ini juga berdasarkan pada

kepentingan dan manfaatnya bagi manusia saja. lihat saja pada penggunaan

energi, dimana dengan penggunaan teknologi mulai dicari energi alternatif baru

yang bisa tetap digunakan oleh manusia dalam memenuhi setiap kebutuhannya.

Selain itu, dalam sektor agrikultur, bahkan manusia telah menemukan cara untuk

“memodifikasi” tumbuhan, yang memang jelas bahwa hal tersebut demi

kepentingan manusia semata, tanpa mempertimbangkan bagaimana dampak dari

hal tersebut terhadap keseluruhan alam ini. Dan tentunya, dalam sektor

transportasi, mulai dilakukan “penyebaran” green cars, yang dikatakan oleh para

“penciptanya” sebagai pilihan terbaik bagi permasalahan emisi dan dampaknya

terhadap lingkungan. Namun, dalam semua hal yang disebutkan diatas, semuanya

hanya berdasarkan pada kepentingan manusia, dan memang hanya manusia yang

92

dapat menerima manfaat dari hal tersebut. Dan terdapat ketakutan yang timbul

dari hal tersebut, ketakutan bahwa manusia nantinya akan berupaya untuk

“merekayasa” alam demi kebutuhan bagi spesiesnya, jika hal tersebut sampai

terjadi, maka keseimbangan yang telah ada pada alam mungkin akan hancur, dan

justru dampak dari hal tersebut akan lebih besar dari dampak yang dihasilkan dari

perubahan iklim sekarang ini. Penciptaan green cars bisa jadi merupakan awal

dari tindakan rekayasa terhadap alam. Jika sampai terbukti benar bahwa

penciptaan green cars berdampak baik bagi alam, maka manusia seakan semakin

yakin dapat “mengelabui” dan “mengalahkan” alam. Dengan banyaknya

kerjasama dalam bidang penggunaan teknologi terhadap lingkungan, maka hal

rekayasa alam tersebut nampaknya akan menjadi kenyataan.

Adanya berbagai kerjasama dibidang “penyelamatan” lingkungan

nampaknya telah menyatukan secara menyeluruh umat manusia di bumi ini.

Dimana tidak ada lagi pemisahan antara negara, ras, ataupun kelompok

kepentingan, semua duduk bersama menjadi sebuah kesatuan yang bernama

“manusia”, untuk kemudian berjuang agar dapat tetap bertahan dari perubahan

yang terjadi di alam ini. Dengan terciptanya kerjasama-kerjasama tersebut, dan

menghasilkan inovasi-inovasi baru dibidang teknologi, secara tidak langsung

terlihat bahwa manusia telah bersatu dan bersiap untuk melawan perubahan iklim

tersebut. Alam kini menjadi musuh yang mengancam bagi umat manusia, dan

dengan bantuan dari teknologi, maka manusia akan mencoba “memukul mundur”

ancaman tersebut, agar nantinya tetap bisa mendominasi alam ini dan tetap dapat

bertahan tanpa harus mengalami kepunahan.

93

BAB IV

KESEIMBANGAN DAN KEBERLANJUTAN ALAM

Pada dasarnya alam merupakan sebuah “tempat” yang didalamnya

terdapat ikatan-ikatan kuat yang saling memiliki hubungan antara ikatan yang satu

dengan ikatan yang lainnya. Dimana di dalam ikatan tersebut terdapat manusia,

hewan, tumbuhan, dan bahkan termasuk juga benda-benda abiotis didalamnya.

Aktifitas yang dilakukan dalam ikatan tersebut tentu akan memiliki dampak

terhadap keseluruhan sistem alam ini, entah itu dampak baik ataupun dampak

buruk. Mengingat saat ini Bumi tengah mengalami peningkatan suhu yang

menyebabkan terjadinya perubahan iklim, tentu hal tersebut membawa dampak

perubahan terhadap keseluruhan sistem di alam ini, dan tentunya untuk dapat

mengembalikan Bumi pada keadaan “normalnya” maka serangkaian tindakan

perlu dibuat dan dilakukan agar segalanya kembali seperti sediakala. Dalam hal

ini terdapat tiga pandangan utama yang melihat bagaimana seharusnya upaya

yang dilakukan terkait dengan adanya perubahan iklim di alam ini, ketiga

pandangan tersebut adalah ; antroposentris, ekosentris dan teknosentris. Ketiga

pandangan ini memiliki perbedan-perbedaan dalam melihat alam itu sendiri, serta

bagaimana tindakan yang harus dilakukan untuk mencegah, mengurangi dan

mengatasi permasalahan kerusakan lingkungan yang terjadi belakangan ini.

Dalam bab ini secara lebih lugas akan dibahas mengenai bagaimana dampak dari

tindakan yang dilakukan dalam penyelamatan alam ini, apakah hal tersebut akan

94

membawa solusi atau justru malah membawa alam pada tingkat kerusakan yang

lebih parah dari hanya sekedar dampak perubahan iklim semata.

4.1 Pandangan Antroposentris, Ekosentris dan Teknosentris Dalam

Melihat Alam

4.1.1 Antroposentrisme

Pandangan antroposentris dapat dikatakan sebagai pandangan yang

dikedepankan ketika berbicara mengenai isu lingkungan dewasa ini. Hal

tersebut dapat tergambar dengan jelas dalam isi dari landasan awal

pembangunan berkelanjutan yang dikatakan bahwa model tersebut dapat

menjadi “alternatif” dalam permasalahan lingkungan, antara manusia

dengan pemenuhan kebutuhannya dan alam dengan segala isinya. Isi dari

landasan pembangunan berkelanjutan tersebut menegaskan bahwa “human

beings are at the centre of concern for sustainable development”.1 Ini

menjelaskan bahwa memang dalam upayanya untuk “menyelamatkan”

alam, manusia hanya tetap mementingkan dirinya sendiri saja didalam

alam ini.

Pandangan antroposentris memandang bahwa manusia merupakan

pusat dari sistem alam semesta. Manusia dan kepentingannya dianggap

yang paling menentukan dalam tatanan ekosistem dan dalam kebijakan

yang diambil terkait dengan alam, baik secara langsung maupun tidak

1 UNCED (United Nations Conference on Environment and Development).1992. “Report of the UN

Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August.

95

langsung. Alam pun dilihat hanya sebagai sebuah objek, alat dan sarana

bagi pemenuhan kebutuhan dan kepentingan manusia. Kalaupun manusia

mempunyai sikap peduli terhadap alam, itu semata-mata dilakukan demi

menjamin kebutuhan hidup manusia, bukan karena pertimbangan bahwa

alam mempunyai nilai pada diri sendiri sehingga pantas untuk dilindungi.

Sebaliknya, kalau alam itu sendiri tidak berguna bagi kepentingan

manusia, alam akan dibiarkan begitu saja, mungkin bahkan manusia tidak

akan lagi mendiami alam ini dan berpindah “mencari” alam yang baru,

yang masih bisa untuk ditempati secara aman.2

Dalam kaitannya dengan keseluruhan sistem alam ini,

antroposentris melihat manusia sebagai mahluk atau komponen yang

terpisah dari sistem tersebut. Terpisah disini dikarenakan manusia

dianggap sebagai mahluk yang superior dan sangat berbeda dengan

mahluk-mahluk lainnya di alam ini. Alasan utama dari anggapan tersebut

adalah dikarenakan manusia dapat berbicara dan dapat berfikir untuk

menentukan mana yang baik dan mana yang buruk, sedangkan mahluk

lainnya terutama hewan hanya dapat mengeluarkan suara. Berbicara dan

bersuara menrupakan dua hal yang berbeda, dimana bersuara hanya

sebatas pada ekspresi atas kesenangan dan kepedihan, sedangkan berbicara

memiliki sifat yang lebih dalam, yakni hingga pada komunikasi untuk

menjelaskan apa yang berguna dan tidak, dan juga apa yang pantas dan

2 A. Sonny Keraf.2010. Etika Lingkungan Hidup. (Jakarta: Kompas) Hlm: 47-48.

96

tidak pantas.3 Meskipun manusia berada diluar sistem tersebut, bukan

berarti bahwa keberadaan manusia tidak diperlukan didalam alam, dan

keberadaan alam tidak dibutuhkan oleh manusia, namun yang terjadi justru

sebaliknya, bahwa keberadaan manusia sangatlah penting bagi

keseluruhan alam, karena tanpanya tidak akan terjadi sebuah

keseimbangan didalam alam tersebut.

Terdapat alasan lain antroposentris yang menganggap manusia

sebagai mahluk yang superior dan paling penting didalam alam. Dikatakan

bahwa manusia berada pada posisi yang paling mendekati kesempurnaan

didalam rangkaian rantai kehidupan (the great chain of being).4 Menurut

argumen ini, semua kehidupan di bumi membentuk sebuah rantai

kesempurnaan kehidupan, mulai dari yang sederhana hingga yang maha

sempurna, yakni tuhan itu sendiri.5 Dalam rangkaian tersebut, dengan

posisi manusia yang berada pada tingkatan mendekati kesempurnaan,

kemudian dianggap lebih superior dari semua ciptaan lainnya, termasuk

diantara semua mahluk hidup lainnya.

3 Jacques Ranciere. 1999. Disagreement: Politics and Philosophy. (Minneapolis: University of

Minnesota Press), hlm: 1. 4 Sonny Keraf. Ibid. hlm: 51.

5 Ibid. hlm: 52.

97

Figure 3: The Great Chain Of being.6

Dari gambar the great chain of being diatas dapat terlihat bahwa posisi

manusia berada pada tingkatan diatas mahluk-mahluk lain di alam ini,

seperti hewan dan tumbuhan. Dengan tingkatan yang demikian, maka

manusia mengganggap dirinya memiliki hak atas mahluk-mahluk tersebut,

dan mahluk tersebut dapat dijadikan objek untuk memenuhi kebutuhan

dari manusia. Anggapan ini juga dibenarkan oleh Aristoteles dalam

bukunya The Politics, dimana dikatakan bahwa; “plants exist to give

subsistence to animals, and animals to give it to men”.7 Dari pernyataan

tersebut terlihat bahwa memang terdapat sebuah ikatan yang

menghubungkan semuanya, dan ikatan tersebutlah yang pada akhirnya

6 The Great Chain of Being, dikutip dari http://www.stanford.edu/class/engl174b/chain.html

pada 23 September 2013, pukul: 14.12 WIB. 7 Ernest Barker. 1958. The Politics of Aristotle. (London: Oxford University Press), 1256b. hlm: 21

98

menunjang segala kehidupan yang ada saat ini. Seakan telah terdapat

tugasnya masing-masing, bahwa adanya tumbuhan berfungsi untuk

menunjang kehidupan bagi hewan, dan hewan menjadi penunjang bagi

kebutuhan hidup manusia. Ikatan ini tidak boleh sampai terputus, karena

jika terputus maka keseimbangan yang telah ada akan mengalami

kehancuran.

Dengan ditempatkannya manusia pada tingkatan yang hampir

sempurna tersebut, atau tingkatan superior maka ini membuat manusia

(seharusnya) memiliki tanggungjawab yang lebih besar terhadap

keseluruhan rangkaian kehidupan didalam alam. Namun, pada praktiknya

hingga hari ini tanggungjawab tersebut seakan tidak dilihat, yang dilihat

hanya sebatas pada manusia merupakan mahluk yang superior diantara

yang lainnya, dan hal tersebut seakan menjadi legitimasi bagi manusia

untuk melakukan eksploitasi terhadap alam, dengan pengatasnamaan

pemenuhan kebutuhan hidup manusia itu sendiri.

Meskipun pada dasarnya pandangan antroposentris melihat bahwa

manusia terpisah dari keseluruhan alam, pandangan ini tidak memungkiri

kenyataan-kenyataan ekologis bahwa terdapat keterkaitan yang sangat erat

diantara semua mahluk didalam alam, termasuk manusia.8 Dengan

demikian, manusia mempunyai kepentingan untuk melestarikan alam,

karena dengan melestarikan alam, artinya manusia juga berupaya untuk

mempertahankan hidupnya sendiri. Hubungan timbal balik yang demikian

8 Sonny Keraf. Ibid. hlm: 58-59.

99

yang pada akhirnya membuat manusia berupaya untuk “menghormati”

alam, namun hal ini didasarkan pada posisi dimana alam adalah alat bagi

pemenuhan kebutuhan manusia. Tidak ada alam, maka tidak ada manusia.

Manusia tetap membutuhkan alam untuk bisa dapat tetap bertahan.

Kepentingan inilah yang kemudian banyak tercermin dalam setiap

kebijakan yang diambil dalam kaitannya dengan lingkungan.

Dari setiap kebijakan yang berhubungan dengan isu lingkungan,

selalu manusia yang menjadi “bintang” utamanya, seakan manusia adalah

mahluk satu-satunya didalam alam ini. Katakanlah pembangunan

berkelanjutan, program adaptasi dan mitigasi, serta penggunaan teknologi,

semua hanya berdasarkan pada kepentingan manusia saja. Namun, jika

segalanya hanya berdasarkan pada kepentingan dan kebutuhan manusia

saja, maka akan sulit untuk dilakukan, karena pada dasarnya kepentingan

dan kebutuhan setiap individu manusia memiliki perbedaan dan cendrung

berubah-ubah kadarnya. Dan bahkan penyelamatan terhadap lingkungan

hanya akan dilakukan jika hal tersebut bersentuhan dengan diri manusia,

selama hal tersebut tidak memiliki dampak apapun terhadap dirinya, maka

lingkungan akan tetap dibiarkan seperti itu.

Namun kembali lagi pada pandangan antroposentris, dalam hal

upaya untuk menyelamatkan lingkungan, maka memang yang harus

menjadi pusat perhatiannya adalah pada diri manusia. Dikarenakan

manusia merupakan yang paling penting dalam alam ini, dan bahkan

merupakan yang paling berpengaruh maka setiap hal terkait dengan

100

keselamatan manusia harus dipertimbangkan untuk dilakukan. Bila

berbicara mengenai bagaimana upaya yang harus dilakukan dalam

mengatasi terjadinya kerusakan pada lingkungan, seperti terjadinya

perubahan iklim, maka dalam pandangan ini yang difokuskan adalah pada

diri manusianya. Karena dalam pandangan ini, dengan diupayakannya

keselamatan manusia dari bahaya kerusakan lingkungan, maka alam pun

secara tidak langsung ikut terselamatkan, yang mana seakan terdapat pola

hubungan timbal balik antara manusia dengan alam. Menyelamatkan

kehidupan manusia, artinya menyelamatkan alam secara menyeluruh.

4.1.2 Ekosentrisme

Berbeda dengan antroposentrisme yang memusatkan segalanya

pada kepentingan manusia saja di dalam alam, ekosentris menentang cara

pandang tersebut, dan dapat dikatakan lebih radikal dari apa yang

dikemukakan oleh antroposentris. Bagi ekosentris, manusia tidak

seharusnya dilihat terpisah dari alam, melainkan manusia harus dilihat

berada didalam keseluruhan sistem di alam ini, karena manusia merupakan

bagian dari alam, bersama dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, bahkan

bersama dengan mahluk-mahluk abiotis. Tidak ada perlakukan khusus

bagi manusia dalam pandangan ini, tidak ada tingkatan-tingakatan,

melainkan semuanya setara, semuanya memilki ikatan yang kuat, memiliki

hubungan yang saling menguntungkan, dimana yang satu tidak dapat

hidup tanpa yang lainnya.

101

“Elements of living ecosystems do not exist as separable parts; they

also exist in relation to the Whole, which is non-reducible to any of its

parts, which plays a role in determining them, and cannot exist without

them. What is individual exist in relation to the Whole, therefore, and

this relationship must be included in any concrete account of things.”9

Kita (manusia) tidaklah hidup di dunia ini hanya sendiri, melainkan

kita hidup bersama dengan keseluruhan anggota yang ada di alam. Tanpa

mereka kita tidak akan dapat hidup, begitu juga dengan sebaliknya. Ketika

kita berbicara mengenai lingkungan, maka seluruh aspek yang ada

didalamnya ikut masuk kedalam bagian tersebut, karena memang pada

dasarnya kita adalah bagian dari alam ini, bukan terpisah dari alam.

Dengan pandangan yang melihat bahwa manusia dan alam harus

hidup secara berdampingan ini lah yang kemudian banyak dijadikan

sebagai platform bagi para aktifis lingkungan dalam melakukan

penyampaian aksi mereka. Selain menjadi landasan bagi aktifis lingkungan

hidup, pandangan ini juga menjadi cara pandang serta gaya hidup yang

digunakan oleh masyarakat adat. Dimana gaya hidup masyarakat adat

sangatlah dekat sekali dengan alam, dan bahkan hidup mereka bergantung

kepada alam, maka demikian mereka pada akhirnya memiliki sikap hormat

terhadap alam itu sendiri. Dengan alam yang rusak maka hidup mereka

pun akan mengalami hal yang sama dengan alam. Karena dalam

pandangan ini yang coba dilihat bukan hanya pada permasalahan yang

sifatnya jangka pendek saja, tapi lebih kepada permasalahan jangka

panjang. Selain itu pandangan ini juga melihat, bahwa untuk dapat sustain,

9 Joel Kovel. 2002. The Enemy of Nature: the end of capitalism or the end of the world?. (London:

Zed Books Ltd), hlm: 105.

102

maka manusia dan alam haruslah hidup berdampingan dalam sebuah

hubungan yang “harmonis”. Dengan kata lain tidak ada lagi dominasi

manusia terhadap keseluruhan alam, jika manusia ingin memanfaatkan

alam, maka manusia perlu melakukan pertimbangan akan dampak dari

tindakannya tersebut, ketika hal tersebut membawa dampak yang sangat

buruk bagi kehidupan mahluk-mahluk hidup lainnya yang berada dialam,

maka tindakan tersebut tidak dapat dilakukan oleh manusia. Dengan

demikian, tujuan dan kepentingan manusia diperjuangkan dengan

mengintegrasikan secara arif tujuan dan kepentingan mahluk lainnya.

Sikap dominasi lalu digantikan dengan sikap “hormat” terhadap alam.10

Dalam melihat terjadinya kerusakan pada alam sekarang ini,

pandangan ini “membenarkan” bahwa memang hal ini dikarenakan

dominasi manusia yang terlalu berlebih, sehingga mengganggu dan

merusak keseluruhan sistem yang ada. Terkait dengan upaya penyelamatan

lingkungan melalui pembangunan berkelanjutan, pandangan ini

menganggap bahwa dengan hal tersebut tetap tidak dapat menjadi

jembatan penghubung antara manusia dengan alam, karena yang menjadi

aktor utamanya masihlah manusia dengan segala bentuk kepentingan serta

kebutuhannya yang selalu berubah dan tidak pernah habis. Ekosentris

menganggap bahwa untuk mewujudkan hubungan yang lebih baik antara

manusia dengan alam, maka konsep pembangunan berkelanjutan haruslah

dirubah menjadi keberlanjutan ekologis (ecological sustainability).

10

Sonny Keraf. Ibid. hlm: 110.

103

Paradigma ini menuntut sikap hormat dan perlindungan atas kekayaan dan

keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan di planet ini. paradigma ini

menuntut dihentikannya kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang

bertujuan utama mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi dan politik yang

bertujuan utama mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta

gaya hidup yang konsumtif.11

Selama ini alam di dominasi oleh manusia, dimana manusia

menggunakan sikap dominasi tersebut untuk melakukan eksploitasi

terhadap keseluruhan alam, tanpa memikirkan bagaimana dampak dari

tindakannya tersebut terhadap keseluruhan mahluk yang ada didalamnya,

dan keseluruhan keseimbangan yang ada didalam alam. Menurut

pandangan ekosentris hal tersebut sangatlah salah, dan perlu dilakukan

perubahan untuk dapat menstabilkan semuanya. Pola-pola antroposentris

sangat kuat dalam prilaku setiap individu manusia, bahwa segalanya

hanyalah untuk diri manusia, dan segalanya haruslah dilihat hanya

berdasarkan kepentingan dan kebutuhan bagi diri manusia, termasuk alam.

Hal inilah yang membawa alam ini pada kehancuran, kerusakan dan

ketidakseimbangan.

Bagi ekosentris, yang harus dilakukan untuk “menormalkan”

kembali apa yang terjadi dialam ini bukanlah dengan melakukan inovasi-

inovasi yang bersifat adaptasi dan mitigasi saja, mungkin hal tersebut

dapat memperlambat terjadinya kerusakan pada lingkungan, namun tidak

11

Ibid. hlm: 115.

104

menyelesaikan akar dari permasalahan tersebut. karena dalam pandangan

ekosentris, yang menyebabkan terjadinya kerusakan ini adalah manusia,

dengan segala bentuk tindakan yang mereka lakukan. Maka kemudian

untuk dapat menyelamatkan lingkungan, yang harus dilakukan adalah

mengubah cara pandang manusia dalam melihat keseluruhan alam ini.

Manusia tidak lagi hanya melihat dirinya seakan hanya dirinya sajalah

yang ada di alam ini, melainkan manusia haruslah melihat bahwa dirinya

merupakan bagian dari komunitas di alam ini, dan setiap tindakan yang

dilakukan oleh manusia akan berpengaruh pada seluruh komunitas lainnya.

Selain itu alam tidak lagi hanya dilihat sebagai sebuah objek untuk

kepentingan manusia yang bersifat ekonomis, tetap alam juga harus dilihat

sebagai penyokong utama dari terciptanya sebuah kehidupan, karena alam

adalah sumber bagi setiap kehidupan yang ada di planet ini.

Bila mengacu pada setiap kebijakan yang dikeluarkan terkait

dengan isu-isu kerusakan lingkungan, masih terlihat jelas berlandaskan

pada humancentric. Agar dapat terciptanya alam yang lebih baik maka

nilai-nilai ekologis harus dijadikan landasan utama dari setiap kebijakan

yang diambil oleh manusia. Setiap kebijakan tersebut haruslah melaui

tahap pemikiran yang matang, dimana melihat lebih dulu bagaimana

nantinya hal tersebut akan berpengaruh kepada keseluruhan komunitas dan

keseimbangan alam ini. Memang untuk menerapkan pandangan ini

sangatlah sulit, tidak heran dianggap radikal oleh sebagian besar kalangan,

karena memang pandangan ini berupaya mengubah cara berprilaku

105

manusia yang pada dasarnya telah berakar dan telah digunakan sekian

lama, namun jika hal ini berhasil dilakukan maka dominasi manusia

terhadap alam dapat diminimalkan, dan keberlanjutan alam dapat tercipta.

4.1.3 Teknosentrisme

Dalam cara pandang dari teknosentris, sekiranya tidaklah jauh

berbeda dengan apa yang dikemukakan dan digambarkan oleh

antroposentris dalam melihat posisi manusia dengan alam, teknosentris

seakan menjadi kepanjangan dari apa yang telah dikemukakan oleh

antroposentris. Karena pandangan ini juga tetap melihat dan memposisikan

bahwa manusia terpisah dari alam, dan alam sebagai sumber yang

digunakan demi kemanfaatannya terhadap manusia. Namun, yang

membedakannya adalah dalam melihat terjadinya kerusakan yang terjadi

didalam lingkungan, teknosentris melihat bahwa teknologi merupakan

jawaban bagi permasalahan lingkungan. Bahkan dalam pandangan ini juga

dilihat untuk dapat menyelesaikan permasalahan lingkungan, dapat

ditanggulangi dengan percampuran antara teknologi, legislatif, dan

“kesadaran” publik, tanpa perlu adanya perubahan yang lebih mendalam.12

Hal tersebut nampaknya tergambar dari pernyataan yang dikeluarkan oleh

mantan menteri lingkungan Amerika Serikat, yang menyatakan; “we can

not change our lifestyles because of the possibility of climate change, we

12

David Hicks. “Notes: Sustainable Futures.” Diakses dari http://teaching4abetterworld.co.uk/downloads.html pada 14 September 2013, pukul: 13.55 WIB.

106

just need to fix the bioshpare”.13

Pernyataan serupa juga terlihat dari

pernyataan Kofi Annan, “Competing Futures”, dalam pertemuan

sustainable development di Johannesburg, Afrika Selatan pada tahun

2002;14

“Imagine a future of relentless storm and floods; island and heavily

inhabited coastal regions inundated by rising sea levels; fertile soils

rendered barren by drought and the deserts advance; mass migrations

of environmental refugess; and armed conflicts over water and

precious natural resources. then, think again - for one might just as

easily conjure a more hopeful picture; of green technologies; liveable

cities; energy -efficient homes, transport and industry; and rising

standards of living for all the people not just a fortune minority. the

choice between these competing visions is ours to make".

Dari kedua pernyataan tersebut dapat terlihat bahwa memang untuk

dapat mengatasi permasalahan iklim, maka teknologi adalah jalan keluar

yang dapat digunakan. Sulit untuk mengubah cara berfikir bahkan gaya

hidup setiap individu manusia, maka dengan teknologi semuanya dapat

terlaksana. Bahkan dalam pernyataan yang dilampirkan oleh Kofi Annan,

terlihat bahwa terdapat penggambaran dua kemungkinan yang terjadi dari

tindakan yang kita (manusia) lakukan terhadap kerusakan lingkungan. Jika

kita hanya berdiam diri saja tanpa melakukan sesuatu, maka kemungkinan

yang akan terjadi adalah apa yang digambarkan oleh Annan dalam

kemungkinan pertama. Namun, dari pernyataanya yang kedua bahwa

terdapat peran teknologi didalamnya, dan terlihat bahwa upaya

penyelamatan lingkungan yang ditempuh dititikberatkan melalui

13

John Houghton. 2004. Global Warming: The Complete Briefing 3rd

Edition. (New York: Cambridge University Press), hlm: 200. 14

Kofi Annan. “Beyond the Horizon”. Dalam Time Magazine, tahun 2002. Diakses dari http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1003113,00.html pada 14 September 2013, pukul 14.41 WIB.

107

penggunaan teknologi. Saat ini bahkan dapat terlihat dengan jelas bahwa

pilihan tersebut lah yang digunakan oleh manusia, dimana teknologi

sangat dikedepankan. Dan hal ini pada akhirnya seakan menjadi pembenar

bahwa memang teknologi merupakan satu-satunya jalan yang dapat

dilakukan oleh manusia untuk dapat menyelamatkan alam ini dari

kehancuran.

Meskipun saat ini alam sedang mengalami perubahan, dan

perubahan tersebut mengarah pada tingkat kerusakan yang cukup serius,

bagi pandangan teknosentris, pertumbuhan eknomi haruslah tetap

dikedepankan, dan tetap terus diupayakan pencapaiannya.15

Namun, yang

harus dilakukan adalah perubahan gaya pertumbuhan ekonomi kedalam

tahap yang lebih berkelanjutan. Tentu saja hal ini dapat dilakukan melalui

jalan-jalan teknologi dan perkembangan ilmu pengetahuan. Salah satu dari

hal tersebut adalah dengan pengembangan dan penggunaan teknologi hijau

yang saat ini dapat dengan mudah kita jumpai. Dengan pengembangan

teknologi yang ramah lingkungan, artinya manusia tetap dapat

memanfaatkan alam, namun dengan cara yang tidak terlalu eksploitatif.

Seperti pada contoh kasus penggunaan green cars yang menjadi

studi dalam penelitian ini. penggunaan dan produksi mobil terutama

mobil-mobil yang berbahan bakar fosil secara terus menerus pada akhirnya

membawa pada peningkatan emisi karbon pada sektor transportasi. Seperti

yang telah dikemukakan pada bab-bab sebelumnya bahwa hal tersebut

15

David Hicks. Op.Cit.

108

akan membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Melihat hal tersebut

maka perlu dilakukan dan dibuat sebuah jalan keluar untuk mengatasi

permasalahan yang ada, maka kemudian dikembangkanlah green cars

yang dapat menengahi permasalahan yang timbul dari penggunaan

kendaraan oleh manusia. Dari contoh kasus tersebut dapat terlihat bahwa

apa yang menjadi tujuan utamanya tetaplah pada “kesejahteraan” manusia,

karena memang padangan ini berupaya agar manusia tetap bisa berada

pada kesejahteraan, bahkan aman dari kerusakan lingkungan. Selain itu,

nampaknya dalam pandangan ini, penyelesaian permasalahan hanya dilihat

sebatas jangka pendeknya saja, bukan menyasar pada inti yang

menyebabkan terjadinya permasalahan tersebut.

Untuk dapat menyelamatkan alam dari kerusakan yang terjadi saat

ini, pandangan ini cendrung melihat layaknya apa yang dilihat oleh

antroposentris, yakni pada “kenyamanan” manusianya. Ketika terjadi

kerusakan pada alam, maka teknologi akan diupayakan untuk melakukan

“perbaikan” terhadap kerusakan tersebut sehingga manusia bisa tetap

menggunakan alam demi memenuhi kebutuhan dan kepentingannya. Alam

tetap dijadikan sebuah objek pemuas hasrat manusia, dan manusia tetap

melakukan dominasi terhadap alam. Namun, dominasi yang dilakukan

oleh manusia kali ini dapat dikatakan lebih “modern” karena

menggunakan bantuan dari teknologi yang semakin canggih. Ketika

pandangan ini terus dikedepankan maka dominasi yang dilakukan oleh

manusia akan semakin menjadi-jadi. Artinya, dengan perkembangan

109

teknologi yang semakin canggih, maka manusia akan selalu mempunyai

cara untuk mendominasi dan mengeksploitasi alam. Ketika cara yang

mereka lakukan telah merusak alam, maka dengan bantuan teknologi, alam

akan diperbaiki untuk kembali dirusak oleh manusia. Dan selama

teknologi semacam ini dikedepankan, maka selama itu pula lah alam akan

diperbaiki untuk dirusak.

ketiga pandangan diatas memiliki caranya sendiri dalam melihat alam,

terutama dalam mencari jawaban terkait terjadinya kerusakan pada keseluruhan

alam. Namun, apakah penggunaan pada cara pandang diatas dapat membawa

jawaban bagi permasalahan yang terjadi di alam ini. Apakah memang pada

dasarnya manusia adalah mahluk yang harus mendominasi di alam ? ataukah

justru sikap dominasi manusia tersebut kita sendiri yang membuatnya ? yang pada

artiannya memang kita harus berjalan secara harmonis dengan alam, ataukah

dengan penggunaan teknologi, kita dapat menemukan jawaban atas keseluruhan

dari masalah yang terjadi di alam ini. Ketiga cara pandang diatas merujuk pada

satu tujuan yang sama, yakni untuk tetap dapat menstabilkan keseimbangan yang

ada di alam, tentunya dengan model kestabilan yang berbeda-beda. Tetapi apakah

keseluruhannya dapat berdiri sendiri ? dalam artian hanya satu pandangan saja

yang digunakan terkait permasalahan ini. nampaknya tidak demikian. Karena pada

dasarnya kita (manusia) memang tidak hidup sendiri di alam ini, dan kita memang

saling membutuhkan. Salah satu contohnya, kita bernapas menggunakan oksigen,

sedangkan oksigen merupakan hasil dari fotosintesis yang dilakukan oleh

tumbuhan. Artinya kita memang membutuhkan mahluk lainnya. Tetapi kita juga

110

tidak dapat mengubah secara radikal cara pandang kita terhadap alam seperti apa

yang dikemukan oleh ekosentris, karena yang kita bicarakan disini adalah cara

pandang yang sudah bersemayam didalam alam pikir kita sejak lama, dan untuk

mengubah hal tersebut tentunya dibutuhkan waktu yang sangat lama pula. Bahkan

untuk menyerap cara pandang ekosentris saja pun itu akan sangat sulit bagi kita

semua, terkecuali bagi masyarakat adat yang memang telah menggunakan

pandangan tersebut sejak lama. Dengan ditambah berkembangnya ilmu teknologi,

maka ini akan semakin sulit. Tentu kita akan berupaya untuk mencari jawaban

yang “simple” untuk mengatasi permasalahan yang kita hadapi ini. Bahkan kita

akan berfikir “jika hal ini bisa ditempuh melalui penggunaan teknologi, untuk apa

dilakukan perubahan gaya hidup, yang memang itu akan sangat sulit untuk

dilakukan”.

Dari ketiga pandangan tersebut, bila dilihat berdasarkan

perkembangannya, nampaknya cara-cara yang dikemukakan oleh pandangan

teknosentris sepertinya “dipilih” sebagai jalan yang digunakan terkait

permasalahan pada lingkungan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

perkembangan-perkembangan teknologi yang mulai bersifat ramah lingkungan.

Target utama dari penggunaan teknologi tersebut adalah pada manusia, dimana

nantinya dampak buruk dari aktifitas manusia terhadap lingkungan dapat

diminimalkan. Namun apakah kemudian penggunaan dari teknologi tersebut dapat

menyelesaikan permasalahan ini hingga pada akarnya ? ataukah yang terjadi

justru malah akan timbul masalah lain akibat penggunaan teknologi tersebut yang

sifatnya “berlebihan”. Bahkan banyak kalangan yang menganggap bahwa

111

penggunaan dari teknologi tidak akan menyelesaikan inti dari permasalahan

lingkungan ini, karena yang menjadi fokusnya adalah pada penyelesaian jangka

pendek saja.16

Jika permasalahan lingkungan ini diupayakan untuk dapat

ditemukan jawabannya, maka yang harus ditekekankan adalah pada inti dari

penyebab terjadinya kerusakan lingkungan ini, sehingga alam dapat menjadi stabil

dan tidak lagi mengalami kerusakann.

Dengan kata lain, penggunaan ketiga pandangan tersebut dalam upaya

penyelamatan lingkungan pun nampkanya tidak akan membawa permasalahan ini

pada penyelesaian. Bahkan, yang harus ditekankan kembali adalah apakah

memang kerusakan yang terjadi pada lingkungan ini sudah seharusnya terjadi, dan

bukan menjadi salah siapapun, namun memang sudah menjadi “bagian” dari alam

itu sendiri. Dan bahkan dominasi manusia terhadap alam, yang dikatakan dan

dianggap sebagai satu-satunya faktor terjadinya kerusakan lingkungan justru

memang harus dilakukan demi mempertahankan keseimbangan pada keseluruhan

sistem yang ada di alam ini. Sebelum lebih jauh membahas mengenai

keseimbangan dialam, maka perlu dibahas lebih lanjut mengenai politik pada

alam, untuk nantinya menunjukan “apa yang terjadi” pada alam dan bahkan

memperjelas posisi dari alam dan manusia itu sendiri, apakah manusia memang

melakukan dominasi terhadap alam, ataukah hal tersebut hanyalah sifat atau

tindakan alami manusia, layaknya sifat alami pada hewan?

16

Alex Rau. “Can Technology Really Save Us From Climate Change?”. Diakses dari http://hbr.org/2010/01/can-technology-really-save-us-from-climate-change/ar/1 pada 23 September 2013, pukul: 14.29 WIB.

112

4.2 Politic of Nature

Manusia menganggap bahwa dirinya merupakan mahluk yang paling

berkuasa di dalam planet ini, bahwa semuanya harus dapat menjadi penunjang

bagi kebutuhan serta kepentingan mereka. Akibatnya, keseluruhan alam dijadikan

komoditas untuk dapat mewujudkan hal tersebut. Dengan pengembangan

teknologi yang semakin terus meningkat, maka alam semakin “bernilai” bagi

manusia, dan semakin dapat dimanfaatkan sepenuhnya. Namun, apa yang

mendasari manusia dalam melakukan hal tersebut? mungkin hal ini merujuk pada

apa yang di tulis oleh Jacques Ranciere dalam bukunya Disagreement, yang mana

banyak “diilhami” dari tulisan Aristotle, Politics;

“Nature, as we say, does nothing without some purpose; and she has endowed

man alone among the animals with the power of speech. Speech is something

different from voice, which is possessed by other animals also and used by them

to express pain or pleasure; for their nature does indeed enable them not only to

feel pleasure and pain but to communicate these feelings to each other. Speech,

on the other hand, serves to indicate what is useful and what is harmful, and so

also what is just and unjust. For the real difference between man other animals

is that humans alone have perception of good and evil, the just and the

unjust,etc. It is the sharing of common view in these matters that makes a

household and a state.”17

Maka berdasarkan apa yang dikemukakan diatas tersebut, terdapat sebuah

pembatas yang membedakan antara manusia dengan mahluk lainnya di alam ini,

terutama dengan hewan, yakni pada kemampuan untuk berbicara, yanag mana

berbicara berbeda dengan hanya mengeluarkan suara. Dengan adanya pembedaan

tersebut ini menjadi legitimasi bagi manusia, bahwa memang dirinya adalah

mahluk yang superior, dan memiliki “hak” untuk mendominasi alam. Manusia

dapat berbicara, sedangkan hewan hanya memiliki suara, dan manusia juga

17

Jacques Ranciere. Ibid.

113

mempunyai konsepsi akan baik dan buruk sedangkan hewan hanya merasakan

kesakitan dan kegembiraan.

Dalam hal ini kemudian politik adalah dimana manusia merupakan bagian

dari hal tersebut, sedangkan mahluk lainnya tidak. Hal ini mengacu kepada apa

yang dikemukakan oleh Ranciere yang sependapat dengan Aristotle, bahwa ;

“that political being must be speaking being”.18

Dengan demikian artinya

terdapat pengkotakan, bahwa mahluk politik hanyalah mahluk yang berbicara,

yakni manusia, dan suara tidak dihitung sebagai berbicara, dan kemudian hewan

tidak termasuk di dalam bagian tersebut. Lantas apakah dengan terdapatnya

pemisahan antara manusia dengan mahluk lainnya di alam ini kemudian membuat

manusia tidak lagi membutuhkan keberadaan mereka? dan bahkan tidak lagi

membutuhkan alam? serta pada akhirnya membiarkan alam pada kehancuran?

Nampaknya, manusia tetap membutuhkan alam beserta keseluruhan isinya,

karena manusia membutuhkan hal tersebut demi melindungi identitas akan dirinya

sebagai mahluk yang disebut manusia. Karena selama adanya mahluk-mahluk

tersebut, maka akan selama itu pula identitas manusia tetap bertahan. Untuk itulah

kemudian alam ini perlu dijaga, demi menjaga bentuk politik dialam ini. karena

dengan dijaganya kestabilan identitas akan membawa pada keamanan19

, yang

mana merupakan keamanan bagi manusia. Sehingga pada akhirnnya memberikan

gambaran terhadap alam, bahwa; “ „nature‟ appears to be a condition for the

possibility both of „humanitiy‟, and of that quintessentially human activity called

18

Andrew Dobson. “Do We Need (to protect) Nature”, hlm: 184. Dalam Jef Huysmans. Et.al. 2006. The Politics of Protection.(New York: Routledge) 19

Ibid. hlm: 185.

114

„politics‟”.20

Gambaran tersebutlah yang diterima secara langsung oleh manusia,

dimana alam adalah apa yang membentuk identitas bagi manusia.

Politik dalam hal ini, lebih kepada keadaan dimana alam merupakan

sebuah wilayah kekuasaan, dimana manusia adalah penguasanya, dan mahluk-

mahluk yang hidup di dalam alam adalah sumber daya bagi setiap kebutuhan

manusia. Iniliah bentuk politic of nature yang ada saat ini, dimana manusia adalah

penguasa bagi keseluruhan alam, dan segalanya akan berbalik untuk kepentingan

manusia. Jika dapat digambarkan, maka penggambaran yang cukup untuk

melukiskan bentuk politik ini adalah layaknya Raja pada sebuah kerajaan. Dimana

Raja tidak akan berarti tanpa adanya sebuah wilayah kekuasaan, dan seorang Raja

juga membutuhkan “warganya” untuk menjadi “penjelas” akan statusnya sebagai

seorang Raja, dan status tersebut yang sekaligus menjadi “penanda” antara

seorang Raja dan seorang rakyat biasa. Pada bentuk politic of nature juga

demikian, dimana manusia membutuhkan mahluk lainnya, sebagai legitimasi atas

dirinya sebagai seorang “manusia” dan perannya di alam ini. Maka seperti yang

telah dikemukakan diatas, bahwa penyelamatan terhadap alam, tidak hanya

berupaya untuk menyelamatkan eksistensi dari spesies manusia, namun juga

menyelamatkan akan identitas dari diri manusia itu sendiri.

Dengan dikedepankannya anggapan ini, maka kemudian alam akan tetap

menjadi pelengkap bagi manusia, dan pemanfaatannya akan terus dilakukan,

mungkin hingga terjadi “pengaruh” terhadap identitas dari menjadi manusia itu

sendiri. Dengan adanya perubahan iklim ini, dan pengaruhnya terhadap

20

Ibid.hlm: 186.

115

keseluruhan alam, maka dengan bantuan teknologi, manusia berusaha

mengembalikan semua yang telah atau akan “rusak” agar tidak kemudian

mempengaruhi posisi-posisi yang telah ada di alam ini. Namun, akankah justru

dengan penggunaan dan dikedepankannya teknologi justru yang terjadi adalah

sebaliknya, bahwa segala posisi yang ada akan mengalami perubahan, dan

keseimbangan yang telah ada di dalam alam akan kemudian berubah dan

menghancurkan keseluruhan yang ada didalam sistem ini.

4.3 Keseimbangan dan Keberlanjutan Alam

Segala tindakan yang dilakukan di dalam alam, tentunya akan memiliki

dampak terhadap keseluruhan alam. Karena terdapat sebuah keseimbangan

didalam alam ini, yang mana terdapat ikatan antara satu mahluk dengan mahluk

lainnya. Dan bahkan, ikatan tersebut sangatlah kuat, sehingga kehidupan dari

salah satu mahluk bergantung kepada mahluk lainnya. Jika ikatan tersebut

mengalami kerusakan, maka segala macam bentuk kehidupan akan terkena

dampak dari hal tersebut, dan pada akhirnya akan mengganggu keseimbangan

yang telah ada di alam ini.

Keseimbangan serta ikatan yang disebut diatas, dapat di ilustrasikan

melalui kehidupan para lebah. Lebah merupakan jenis serangga penghasil madu,

yang mana keberadaanya sangat penting bagi kehidupan tumbuhan dan memiliki

manfaat juga bagi manusia. Madu yang dihasilkan oleh lebah didapat dengan cara

mengubah nektar yang didapat dari bunga lalu dikumpulkan disarangnya,

kemudian diproses oleh para lebah sehingga menjadi madu. Ketika lebah

116

mengambil nektar dari bunga, terdapat serbuk sari yang menempel pada lebah,

dan serbuk sari tersebut tersebar bersamaan dengan terbangnya para lebah, dan

penyebaran serbuk sari tersebut pada akhirnya membantu “perkembangbiakan”

bagi tumbuhan tersebut, karena serbuk sari yang berterbangan tersebut akan

membentuk bunga-bunga baru. Dan madu yang diproduksi oleh para lebah,

kemudian dikonsumsi oleh manusia yang mana membawa hasiat kesehatan bagi

manusia. Dari proses tersebut, dapat dilihat bahwa terdapat ikatan yang kuat

antara lebah, bunga, dan bahkan manusia. Ketiganya mendapatkan manfaat dalam

proses tersebut, dimana lebah mendapatkan nektar dari bunga, bunga dibantu

perkembangbiakannya, dan manusia mendapatkan manfaat kesehatan dari madu

lebah.

Namun, sekarang bayangkan jika terdapat kerusakan dalam hubungan

keseimbangan tersebut. bayangkan jika manusia tidak mengambil madu yang

dihasilkan oleh lebah. Tentu lebah akan mengalami over production, dan ketika

hal itu terjadi, maka untuk apa lagi lebah mengambil nektar dari tumbuhan ketika

lebah memiliki cukup banyak madu didalam sarangnya. Dan ketika lebah tidak

lagi mengambil nektar tersebut, maka proses “perkembangbiakan” dari tanaman

pun akan mengalami gangguan, yang pada akhirnya akan membawa tanaman pada

kematian. Ketika hal itu sampai terjadi, maka semua jenis mahluk yang

bergantung pada hidup dari tanaman juga akan mengalami kepunahan yang sama

dengan tanaman. Hal ini tentu akan mengacaukan bentuk ikatan serta

keseimbangan dari alam itu sendiri, ketika keseimbangan hancur, maka semua

mahluk akan menjadi korbannya. Penggambaran ilustrasi diatas terjadi hanya dari

117

satu siklus keseimbangan saja, hanya dari siklus hidup lebah, bayangkan

bagaimana yang akan terjadi ketika siklus keseimbangan yang lebih luas dan

besar mengalami kerusakan ? nampaknya kepunahan seluruh spesies menjadi

taruhannya.

Saat ini, ketika alam semakin menunjukan perubahannya, manusia

mencoba untuk “mengungguli” alam dengan cara penggunaan serta

pengembangan teknologi-teknologi yang semakin canggih, hal ini berdasarkan

pada pandangan bahwa teknologi dapat menjadi penyelamat bagi setiap

permasalahan yang dihadapi. Pandangan akan penggunaan teknologi sebagai

jawaban dari permasalahan perubahan iklim dapat dibagi kedalam dua bentuk21

;

pertama, melihat bahwa teknologi dimasa depan bagaimanapun dapat

menyalamtkan kita dari bahaya perubahan iklim. tidak perlu ada tindakan yang

dilakukan, karena teknologi akan menjadi solusinya. karena kita selalu

mendapatkan jalan keluar bagi permasalahan kita melalui penggunaan teknologi,

mengapa hal ini tidak terjadi terhadap perubahan iklim?. kedua, melihat bahwa

teknologi yang telah kita miliki dapat menyelamatkan kita dari dampak perubahan

iklim, dengan penggunaan tersebut dampak yang akan dirasakan terhadap kita

tidak akan begitu besar.

Namun, penggunaan teknologi juga tidak dapat diterima dan dilakukan

secara langsung begitu saja terhadap alam, karena tentu hal tersebut akan

mengubah dan memiliki dampak lain terhadap alam, bahkan tanpa sadar mungkin

21

James Garvey. 2008. The Ethics of Climate Change: right and wrong in a warming world. (London: Continuum), hlm: 101.

118

hal tersebut juga akan berpengaruh terhadap kehidupan manusia itu sendiri.

Katakanlah pada penggunaan energi, kita hingga saat ini masih bergantung pada

energi fossil, dimana energi tersebut dapat habis, dan telah diketahui memiliki

dampak buruk terhadap lingkungan, yakni dapat mencemari. Namun meskipun

memiliki dampak tersebut terhadap lingkungan, kita lebih memilih menggunakan

energi fossil, karena lebih efisien dan bahkan menghasilkan kadar energi yang

lebih besar bila dibandingkan dengan jenis-jenis energi yang terbarukan.

Katakanlah kita mencoba mengganti sumber energi kita dari energi fossil menjadi

energi yang dihasilkan dari biomas. Apakah kemudian dengan penggantian

sumber energi tersebut maka telah ditemukan jawaban bagi permasalahan energi ?

nampaknya tidak, karena bila biomas direncanakan untuk digunakan sebagai

pengganti energi fossil, maka jumlah produksi dari biomas itu sendiripun harus

mengalami peningkatan, sehingga dapat setara dan dapat menutupi kebutuhan

energi yang kita perlukan. Artinya untuk dapat melakukan hal tersebut, maka

pembukaan lahan-lahan baru bagi produksi biomas juga dibutuhkan, demi

mencapai tingkat kebutuhan energi kita. Namun, hal ini akan menyebabkan

masalah lain, yakni masalah pangan, apakah kemudian kita akan menggunakan

seluruh sumber daya yang ada untuk di fokuskan kepada kebutuhan energi kita

saja, tanpa bahkan berfikir untuk memenuhi kebutuhan pangan kita sendiri ?

kita tidak bisa hanya duduk manis dan menunggu teknologi

menyalamatkan kita, apa yang dapat kita lakukan untuk mengurangi bahaya-

bahaya dari efek samping pengguanan teknologi adalah dengan cara mengubah

hidup kita. ketimbang mencari solusi melalui teknologi untuk kebutuhan kita,

119

lebih baik mencari cara untuk meminimalkan kebutuah energi kita.22

Teknologi

sendiri bukanlah sebuah jawaban utama, melainkan bagian dari jawaban yang kita

butuhkan. Teknologi bukanlah kumpulan akan teknik dan alat, tetapi merupakan

pola hubungan yang berpusat didalam tubuh sebagi bagian untuk mengubah alam

ini,23

untuk itulah kemudian teknologi tidak bisa dilihat sebagai jawaban, tetapi

dilihat sebagai pembantu untuk mendapatkan jawaban yang sebenarnya.

Saat ini, dengan berhasil diciptakannya green cars, maka manusia tidak

lagi perlu memikirkan (atau memang tidak pernah memikirkan) kerusakan

lingkungan, karena telah terdapat jawaban dari permasalahan pengurangan emisi

dari sektor transportasi. Apakah hal ini merupakan langkah baik ? mungkin untuk

sebagian kalangan ini merupakan langkah yang baik yang telah ditempuh. Namun,

bila kembali ditelaah, dengan digunakaanya green cars dan dipercayai bahwa

penggunaanya adalah jawaban bagi permasalahan emisi, maka ini akan menjadi

bentuk pembenaran bahwa pada dasarnya teknologi adalah dewa penolong dalam

permasalahan antara manusia dengan lingkungan. Akibat dari hal tersebut akan

lebih berbahaya pada keseimbangan lingkungan, karena manusia telah

beranggapan dapat “mengalahkan” lingkungan dengan bantuan teknologi. Saat ini

terlihat mulai banyak rancangan yang dilakukan manusia untuk dapat mengubah

“fenomena-fenomena” alam ini, dimana alam seakan menjadi “mainan” bagi

manusia dan teknologi yang mereka gunakan. Dan hal ini mengubah posisi yang

ada, dimana sebelumnya alam menaklukan manusia, namun saat ini manusia

mencoba untuk menaklukan alam.

22

Ibid. hlm: 102-107. 23

Joel Kovel. Ibid.hlm: 159.

120

Green cars adalah salah satu bukti dimana manusia mencoba

“mengelabui” alam dengan cara-cara yang menggunakan teknologi. Seharusnya

dengan menggunakan teknologi, manusia dan alam dapat “harmonis”, bukan

sebaliknya, yang terjadi justru manusia semakin asik dengan teknologi dan

berupaya untuk mengubah alam itu sendiri, agar semakin baik, mudah dan

menunjang kehidupan bagi manusia. Hal ini lebih dikenal dengan istilah

geoengineering, dimana yang saat ini sedang dilakukan adalah dengan

penggunaan teknologi untuk mengubah alam, sehingga alam yang tengah

mengalami perubahan iklim ini dapat segera terhentikan.24

Tetapi hal ini bagi

beberapa kalangan dianggap sebagai jalan ekstrim bagi permasalahan lingkungan,

karena ini akan berpengaruh besar terhadap alam, bahkan akan berpengaruh

terhadap cara hidup kita sebagai manusia. Dan ini akan mengubah pemahaman

kita akan alam itu sendiri. Seperti yang dikemukakan oleh Bill McKibben dalam

bukunya The End of Nature, dimana alam yang ada saat ini merupakan alam yang

dibentuk oleh manusia;

“By the end of nature i do not mean the end of the world. The rain still fall and

the sun shine, though differently than before. When I say „nature‟ I mean a

certain set of human ideas about the world and our place in it”25

Tentunya dengan cara yang ekstrim tersebut, bukan hanya keseimbangan alam

yang akan berubah, tetapi posisi-posisi mahluk yang ada di alam ini pun akan

mengalami perubahan. Karena seperti yang telah tergambar pada ilustrasi lebah

diatas, terlihat bahwa setiap mahluk memiliki tugas-tugas yang berbeda, namun

24

Adam Corner. “Messing With Nature? Geoengineering and green thought. Diakses dari www.theguardian.com/science/political-science/2013/jul/29/messing-nature-geoengineering-green-thought pada 17 September 2013, pukul: 16.46 WIB. 25

Ibid.

121

tugas-tugas tersebut berujung pada satu kesatuan yang menjadi penggerak akan

terciptanya keseimbangan di alam ini.

Jika kembali pada apa yang mengacu diatas, maka peran manusia dalam

“mengeksploitasi” alam nampaknya memang dibutuhkan oleh alam itu sendiri,

karena hal tersebut seakan telah menjadi tugas bagi manusia, yakni untuk

memanfaatkan alam agar terciptanya sebuah keseimbangan. Jika manusia tidak

melakukan “eksploitasi” terhadap alam, justru yang terjadi adalah kehancuran

pada sistem alam ini. sudah menjadi sifat alami dalam diri manusia untuk

memanfaatkan alam ini. Bahkan hal ini juga tertuang dalam Kitab Genesis yang

mengatakan bahwa posisi manusia di Bumi ini di ibaratkan layaknya seorang

tukang kebun, dan Bumi beserta keseluruhan isinya adalah ladang mereka.26

Untuk dapat “memanfaatkan” ladang mereka, maka tukang kebun haruslah

menjaga apa yang ada didalam ladang mereka, karena jika tidak dijaga, maka

tidak akan ada yang tersisa untuk dirinya. Begitu juga dengan apa yang terjadi

dengan manusia dan alam saat ini, nampaknya manusia terlalu terlena dengan

posisi mereka sebagi eksploitator di alam ini, sehingga pada akhirnya mereka

terbawa suasana dan lupa bahwa mereka tidak sendiri dialam ini, dan mereka

membutuhkan mahluk lainnya untuk tetap dapat bertahan hidup.

Memang pada dasarnya manusia adalah mahluk yang diharuskan untuk

mendominasi alam, sehingga dapat terbentuk keseimbangan dari dominasi

manusia tersebut terhadap keseluruhan alam ini. Tetapi yang terjadi saat ini, kadar

dominasi manusia terhadap alam semakin mengalami peningkatan, dimana

26

Jhon Houghton. Ibid. hlm: 208-209.

122

manusia hanya memikirkan dirinya tanpa melihat dampak dari perbuatan yang

mereka lakukan terhadap alam ini. Akibat dari terjadinya hal tersebut, dapat

terlihat saat ini, dimana mulai terjadi kekacauan dalam keseluruhan alam. Maka

kemudian apa yang harus dilakukan oleh manusia dalam menganggulangi

permasalahan ini, apakah harus mengubah gaya hidupnya seperti pandangan

ekostenris ? ataukah menggunakan teknologi seperti yang dikedepankan oleh

pandangan teknosentris?

Sepertinya yang harus dirubah adalah sistem yang membuat manusia

melakukan dominasi lebih tinggi dari dominasi yang seharusnya dilakukan.

Dimana dominasinya hanyalah sebatas kepada kebutuhan apa-apa yang dapat

membuat manusia dapat bertahan hidup, bukan pada pemenuhan kebutuhan

pelengkapnya. Karena jika tetap melakukan pemenuhan untuk memenuhi

kebutuhan pelengkapnya saja, maka akan selamanya dominasi berlebih di dalam

alam ini akan dilakukan oleh manusia, dan akan selama itu pula keseimbangan di

dalam alam akan terganggu.

Bila mengacu pada apa yang terjadi dewasa ini, hasil dari produksi yang

dilakukan oleh manusia telah mengalami perubahan, dimana sebelumnya hasil

dari proses produksi hanya diperuntukan untuk pemenuhan kebutuhan hidup bagi

dirinya saja, kini hal tersebut telah berganti fungsi, dimana kini telah menjadi alat

tukar. Perubahan nilai guna dari proses produksi tersebutlah yang pada akhirnya

membuat alam dijadikan komoditas bagi segala pemenuhan kebutuhan manusia,

untuk itu kemudian jika penyelamatan terhadap alam ingin dapat terealisasikan

maka ini lah yang kemudian juga harus dirubah. Jika hal tersebut dilakukan maka

123

dominasi manusia yang berlebih ini dapat diminimalisirkan agar kemudian dapat

memberikan keseimbangan kembali terhadap sistem di alam ini.

Namun kembali lagi, jika kita harus mengubah cara pandang kita terhadap

alam, terutama terhadap penggunaannya untuk kebutuhan kita, tentu hal ini akan

sangat sulit untuk dilakukan, bukan berarti tidak dapat dilakukan, namun akan

membutuhkan waktu yang lebih lama, ditambah dengan kemajuan teknologi yang

terus membawa perubahan terhadap gaya hidup kita sendiri. Maka kemudian,

sepertinya diperlukan sebuah cara pandang baru yang mencakup ketiga pandangan

yang telah disebutkan diatas, karena dengan menggabungkan ketiga pandangan

tersebut akan memberikan sebuah pola fikir baru terhadap hubungan kita terhadap

keseluruhan sistem alam ini.

Kita tidak bisa begitu saja menggunakan cara pandang antroposentris

secara menyeluruh, karena memang benar bahwa kita hidup di alam ini tidak

secara menyendiri, namun membutuhkan spesies lainnya untuk tetap bertahan

hidup. Namun, kita tidak juga bisa menggunakan pandangan ekosentris secara

mutlak, karena memang perubahan gaya hidup tersebut akan sangat sulit untuk

dilakukan. Dan tentunya kita juga tidak dapat menggunakan jalan teknologi

semata untuk menyudahi permasalahan ini, karena akan timbul dampak lain dari

hal tersebut. Bahkan, setiap kemajuan dalam perkembangan teknologi yang ada,

akan memiliki dampak terhadap keberlanjutan serta peningkatan dominasi

124

manusia terhadap alam,27

dimana hal tersebut tidak kita inginkan jika mencoba

menstabilkan kerusakan yang terjadi di alam ini.

Perubahan memang harus dilakukan oleh manusia, karena memang

manusia memiliki “tanggungjawab” yang lebih besar terhadap alam ini dari pada

mahluk-mahluk lainnya. Maka yang kemudian perlu dilakukan adalah

meminimalisir dominasi manusia terhadap alam, namun bukan berarti

menghilangkan bentuk dominasi manusia terhadap alam, karena hal tersebut juga

diperlukan bagi keseimbangan alam. Bentuk dominasi yang diperlukan lebih

seperti “soft human domination”, artinya dominasi yang dilakukan oleh manusia

lebih sedikit jika dibandingkan dominasi yang dilakukan oleh manusia dewasa ini.

Dengan demikian, penggunaan teknologi yang digunakan dan dikembangkan oleh

manusia hanya sebatas jalan bagi upaya untuk tetap menstabilkan sistem di alam

ini, bukan malah merubah segalanya sepertinya pola-pola geoenginering yang

ingin coba diterapkan kedepannya. Dan tentu saja pemenuhan kebutuhan manusia

pun harus disesuaikan, mana yang memang dibutuhkan bagi penunjang

kehidupannya, itulah yang harusnya dipenuhi melalui pemanfaatan alam. Dengan

demikan terdapat sebuah jalan baru antara manusia dengan alam, dimana

keseimbangan alam merupakan target utama, karena dengan alam yang stabil

maka pola-pola keberlanjutan pun akan dapat terjalin.

Kembali pada penggunaan green cars terhadap penyelamatan alam,

nampaknya cara tersebut akan menegaskan bahwa untuk dapat menyelamatkan

27

Peter Huber. 1999. Hard Green: Saving the Environment from the Environmentalist. (New York: Basic Book), hlm: 103.

125

alam, maka perubahan yang dilakukan hanya sebatas pada level kebutuhan

manusianya saja, karena green cars sendiri hanya dapat dinikmati oleh manusia,

dah hanya dapat digunakan oleh manusia saja. Selain itu penggunaan dari hal

tersebut juga menunjukan bahwa penyelamatan pada alam hanya berdasarkan

pada jangka pendeknya saja, artinya bukan menyasar pada inti dari permasalahan

tersebut. Sektor transportasi menghasilkan keluaran emisi yang cukup besar, maka

kemudian green cars digunakan untuk menurunkan kadar pelepasan emisi karbon

tersebut. Ini menunjukan bahwa sasarannya hanya pada upaya penurunan

emisinya saja, kenapa tidak menyasar pada inti dari permasalahannya, yang mana

lebih melihat bagaimana emisi tersebut bisa dihasilkan, dan apa yang

menyebabkan alam saat ini mengalami perubahan, sehingga emisi karbon yang

terlepas saat ini cendrung lebih besar.

Dalam melihat upaya penyelamatan alam, Deep Ecology, yang merupakan

cabang dari teori ekosentris melihat bahwa untuk dapat melakukan penyelamatan

terhadap terjadinya kerusakan lingkungan saat ini, maka target yang harus dilihat

adalah pada permasalahan jangka panjangnya, dan inti permasalahan lah yang

harus diatasi, sehingga hal penyelamatan alam dapat terwujudkan. Dan bagi DE,

untuk mengatasi hal tersebut maka perubahan pada cara pandang manusia perlu

dilakukan, karena aktifitas manusia lah yang menyebabkan alam saat ini

mengalami kerusakan.

Seperti pada konsep pembangunan berkelanjutan yang dinilai telah

memasukan aspek lingkungan di dalam unsur pembangunan, sehingga

pembangunan yang dilkukan oleh manusia tidak lagi merusak alam, dan tidak

126

membahayakan generasi yang akan datang. Gaya pembangunan tersebut terus

diupayakan agar akhirnya dapat mengganti gaya pembangunan yang dinilai terlalu

eksploitatif. Namun, bagi DE pembangunan berkelanjutan yang ada saat ini

sebenarnya tidaklah cukup, bahkan belum dapat dikatakan berkelanjutan bagi

alam, karena fokus utama dari pembangunan berkelanjutan masih berkutat pada

kepentingan ekonomi saja, dimana pada akhirnya hal tersebut tetap akan

menjadikan alam sebagai sumber daya yang harus di eksploitasi oleh manusia.

Sebagai ganti bentuk penolakan terhadap konsep pembangunan berkelanjutan, DE

memberikan sebuah bentuk konsep yang dinilai lebih tepat, dan sesuai dengan

upaya penyelamatan alam, yakni mengganti konsep pembangunan berkelanjutan

dengan “keberlanjutan ekologis”, dimana dalam konsep tersebut menuntut untuk

adanya sikap hormat dan perlindungan atas kekayaan dan keanekaragaman

bentuk-bentuk kehidupan di planet ini. Konsep ini menuntut di hentikannya

kebijakan-kebijakan ekonomi dan politik yang bertujuan utama mencapai tingkat

pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta gaya hidup yang konsumtif.28

Dengan

digunakannya konsep tersebut, maka hal ini akan menekan eksploitatif yang

dilakukan oleh manusia terhadap alam.

Bila mengacu pada alternatif pembangunan yang coba dikedepankan oleh

DE, maka penggunaan green cars dapat dikatakan tidak sesuai dengan konsep

“keberlanjutan ekologis” yang dibawa oleh DE, karena pada praktiknya, masih

terdapat kepentingan ekonomi serta peningkatan gaya hidup yang konsumtif di

dalamnya, dan hal tersebut akan terus membawa alam pada kehancuran. Hal ini

28

A.Sonny Keraf. Ibid. hlm: 105

127

dapat dilihat melalui pengembangan dari model-model dari green cars itu sendiri,

dimana penciptaanya mulai diupayakan agar lebih menarik, nyaman, terjangkau

dan efisien, sehingga pada akhirnya akan membawa masyarakat untuk

menggunakan produk tersebut. Meskipun terdapat pesan bahwa green cars

merupakan kendaraan yang bersifat ramah lingkungan, namun dibalik hal tersebut

terdapat wacana ekonomis yang membantu membentuk pola pikir masyarakat

bahwa memang produk tersebut baik dan harus digunakan, ketika hal itu terjadi

maka profit akan didapatkan oleh perusahaan-perusahaan, dan alam tidak

mendapatkan manfaatnya, hanya sebatas latarbelakang dari penciptaan green cars

itu sendiri. Bahkan lebih jauh lagi, penggunaan green cars juga menunjukan

narasi antroposentris, bahwa untuk dapat menyelamatkan alam maka kepentingan

manusia harus dikedepankan, dan ketika kepentingan manusia dikedepankan

maka alam juga akan ikut terselamatkan. Hal tersebut tidak sesuai dengan upaya

penyelamatan alam menurut DE, karena bagi DE untuk menyelamatkan alam,

maka cara pandang manusia harus dirubah, sehingga alam tidak lagi hanya sebatas

alat pemuas bagi setiap kebutuhan manusia.

128

BAB V

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Permasalahan yang terjadi pada bumi ini mulai membawa kekhawatiran

pada diri manusia, yakni khawatir bahwa mereka tidak dapat bertahan dari

dampak perubahan iklim yang akan terjadi, sehingga akan menyebabkan

kepunahan akan spesiesnya. Dengan kekhwatiran tersebut, maka serangkaian

pembahasan terkait isu lingkungan mulai terus dikepankankan dalam skala

internasional, karena permasalahan ini yang sifatnya lintas batas, bahkan lintas

generasi, maka peran semua negara diperlukan untuk dapat mengatasi

permasalahan tersebut.

Salah satu upaya dari hal tersebut adalah dengan cara menurunkan tingkat

pelepasan emisi karbon, karena terdapat penelitan yang menjelaskan bahwa

tingginya kadar emisi karbon yang terlepas, akan mempercepat terjadi perubahan

iklim, dan bila hal tersebut terjadi, maka kepunahan spesies akan terjadi. Mengacu

pada hal tersebut, maka kebijakan-kebijakan terkait isu lingkungan mulai

diarahkan untuk dapat menurunkan tingkat emisi karbon, dan salah satunya adalah

dengan pengembangan teknologi ramah lingkungan, yang dinilai akan membantu

dalam pencapaian penurunan emisi tersebut.

129

Green cars merupakan satu dari sekian bentuk inovasi teknologi yang

bersifat ramah lingkungan, dimana penciptaanya diarahkan agar dapat

menurunkan tingkat emisi karbon dari sektor transportasi yang dinilai berperan

cukup besar dalam terjadinya perubahan iklim. Dengan penggunaanya, maka

diharapkan emisi yang terlepas akan mengalami penurunan, sehingga laju

perubahan iklim meskipun tidak dapat dihentikan, paling tidak dapat diperlambat.

Namun, nyatanya tujuan dari penyelamatan terhadap alam ini hanya

dilakukan sebatas pada kepentingan manusianya saja, dimana kebutuhan dan

kepentingan manusia diletakan sebagai tujuan utama dari upaya penyelamatan

alam. Bahkan dalam label ramah lingkungan yang ada dibalik inovasi-inovasi

yang bermunculan saat ini pun pada dasarnya berlandaskan pada kepentingan

manusianya saja, dan alam hanya dijadikan sebuah kemasan, agar terkesan bahwa

hal tersebut memang untuk kebaikan alam, sehingga pada akhirnya ini akan

membentuk pola pikir bahwa memang semua yang “ramah lingkungan” memang

baik dan perlu di dukung secara penuh.

Hal itulah yang kemudian terjadi dalam penggunaan green cars, dimana

green cars dikatakan sebagai kendaraan yang ramah lingkungan, dan

penggunaanya sangat baik bagi lingkungan. Namun, lingkungan disini bukan

berdasarkan lingkungan yang mencakup seluruh mahluk di dalam alam,

melainkan lebih kepada lingkungan bagi manusianya saja, karena dari

penggunaanya hal tersebut hanya bisa dinikmati oleh manusia, bahkan perusahaan

dimana kendaraaan tersebut dibuat. Sekalipun dampak dari penggunaan tersebut

dapat bermanfaat terhadap keseluruhan alam, itu pun dikarenakan manusia

130

membutuhkan alam untuk dapat mempertahankan diri mereka dari kepunahan,

bukan dikarenakan manusia memang menyelamatkan alam karena terdapat

mahluk-mahluk lainnya di dalam alam.

Dari penggunaan green cars juga dapat tergambarkan bahwa segala

inovasi yang dikatakan sebagai ramah lingkungan, pada dasarnya menyimpan

tujuan ekonomi dan berbagai kepentingan manusia lainnya. Artinya bila demikian,

untuk dapat menyelamatkan alam maka penggunaan inovasi-inovasi yang bersifat

ramah lingkungan tidaklah cukup, bahkan konsep ramah lingkungan yang

bermunculan saat ini pun perlu ditelaah kembali maksud dan tujuannya, karena

yang terlihat hanyalah demi pencapaian terhadap segala bentuk kepentingan bagi

diri manusianya.

Dengan mengacu pada apa yang telah dipaparkan, maka pada dasarnya apa

yang disebut ramah lingkungan dan penyelamatan alam pada dasarnya tidaklah

ada, yang ada hanyalah bentuk-bentuk baru akan peran aktif manusia dalam

berupaya untuk melakukan dominasi yang semakin tinggi terhadap alam ini. Dan

untuk dapat melalukan penyelamatan terhadap alam, maka yang perlu dilakukan

adalah dapat mengubah cara pandang manusia dalam melihat alam itu sendiri.

Pada penggunaan green cars sendiri juga terlihat bahwa hal tersebut

hanyalah sebuah bentunk manifestasi pemikiran antroposentris. Dimana hal

tersebut tentunya tidak akan menyelesaikan permasalahan kerusakan lingkungan

jika masih menempatkan kepentingan manusia sebagai kepentingan utamanya.

Seharusnya terdapat sebuah sistem dimana manusia “ditempatkan” bersama

131

dengan spesies lain di dalam alam ini, sehingga cara pandang manusia yang

mengganggap dirinya sebagai spesies tunggal dapat berubah, dan eksploitasi

terhadap alam juga dapat menurun, sehingga pada akhirnya upaya penyelamatan

alam tidak lagi menjadi suatu hal yang mustahil untuk dapat dilakukan.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel:

Ainoa, Juha,. et.al.2009. “Future of Living”, dalam Yrjo Neuvo & Sami Ylonen (eds),

Bit Bang: Rays to the Future. Helsinki: Helsinki University Print.

Axon, Stephen. 2010. Addressing Climate Change and the Role of Technological Solutions.

“Human Geographies, 4.1”. p.43-52

Barker, Ernest. 1958. The Politics of Aristotle. London: Oxford University Press.

Chapman, Lee., 2006. “Transport and Climate Change: a review”, Journal of

Transport Geography. Hlm: 354-367.

E. Purser. Ronald 1995. “Limits To Anthropocentrism: Toward an Ecocentric Organization

Paradigm”, Academy of Management Review, vol.20, no.4, Oktober. Hlm: 1053-1089

Elliot, Jennifer A. 2006. An Introduction to Sustainable Development 3rd

Edition.

New York: Routledge.

Elliot, Lorraine. 2004. “The Global Politics of the Environment, 2nd

Edition”.

New York: Palgrave Macmillan.

Foucault, Michel,. 1972. “The Archaeology of Knowledge” ,Trans. A. M. Sheridan

Smith. London: Routledge.

___1978. “The History of Sexuality Vol.1: An Introduction”. Trans. By Robert Hurley

New York: Pantheon Books.

___2003. “Society Must Be Defended; Lectures at the College De France 1975-76”.

Ed.by Mauro Bertani and Alessandro Fontana. New York: Picador.

G. Hannah, Matthew,. 2003. Governmentality and the Mastery of Territory in

Nineteenth-Century America. New York: Cambridge University Press.

Garvey, James. 2008. The Ethics of Climate Change: right and wrong in a warming world.

London: Continuum.

Grubb, Michael. 2004. Technology Innovation and Climate Change Policy: an overview of

issues and option. ”Keio Economic Studies 41 (2) p.103-132

H. Bazerman, Max & Andrew J. Hoffman. 1999. Sources of Environmentally Destructive

Behavior: Individual, Organizational and Institusional Perspectives. Research in

Organizational Behavior, vol.21. Hlm: 39-79

Hardt, Michael and Atonio Negri. 2000. “Empire” .London: Harvard University Press.

Haryono, Endi dan Saptopo B. Ilkodar. 2005. “Menulis Skripsi: Panduan untuk Mahasiswa

Hubungan Internasional”. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Houghton, John. 2004. Global Warming: The Complete Briefing 3rd

Edition. New York:

Cambridge University Press.

Huber, Peter. 1999. Hard Green: Saving the Environment from the Environmentalist.

New York: Basic Book.

Husymans, Jef. et.al (eds). 2006. The Politics of Protection. New York: Routledge

International Energy Agency (IEA).2012. “CO2 Emissions From Fuel Combustion:

Highlight. 2012 Edition”.

Keraf, A. Sonny.2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Kompas.

Kovel, Joel. 2002. The Enemy of Nature: the end of capitalism or the end of the world?.

London: Zed Books Ltd.

Lorenzoni, Irene, et.al. 2007. Barriers Perceived to Engaging With Climate Change Among

the UK Public and Their Policy Implications. “Global Environment Change”. Vol.17.

p.445-459

Mantra, Dodi,. 2011. “Hegemoni dan Diskursus Neoliberalisme”.Bekasi: Mantra Press.

Marco, M.E., M.Sc., Dr. J.R. 2010. “Metode Penelitian Kualitatif”. Jakarta: Grasindo.

Mas‟oed, Mohtar. 1994. “Ilmu Hubungan Internasional: Disiplin dan Metodelogi”.

Jakarta: LP3ES.

McCurdy, Dave, President of OICA, dalam Ministerial Conference on Global Environment

and Energy in Transport, Rome, Italy – June 22, 2010. “Our Global Road Transport

Priority: Reducing CO2 Emissions through an Integrated Approach”.

Mills, Sara,. 2003. “Michel Foucault”. London & New York: Routledge.

Newell, Richard G. & Nathan E. Wilson.2005. Technology Prizes for Climate Change

Mitigation. Washington: Resource for Future.

Numberi, Freddy. 2009. Perubahan Iklim: Implikasinya Terhadap Kehidupan di Laut,

Pesisir, dan Pulau-pulau Kecil. Jakarta: Fortuna.

OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development). “Promoting

Technological Inovation to Adress Climate Change”. Paris: OECD.

R.I.C Publication. 2005. Rainforest.

Rabinow, Paul,. 2003. “The Essential Foucault”. New York: The New Press.

Ranciere, Jacques. 1999. Disagreement: Politics and Philosophy. Minneapolis: University of

Minnesota Press.

Rees, William E., 2002. “the Ecology of Sustainable Development”, The Ecologist, vol. 20,

no. 4, Winter. Hlm: 18-23

Richardson, Dick. 1997. “The Politic of Sustainable Development”. London: Routledge.

Sarte, J.-P. (1960/1976). Critique of Dialectical Reason. Vol.1. London: New Left Books.

Solaiman, Mohammad., 2011. “Responding to Climate Change: A Study on Eco-Labeling

Practices in Consumer Goods of Bangladesh”, European Journal of Business and

Management. Hlm: 45-52

Steni, Bernadius., 2010. “Perubahan Iklim, REDD dan Perdebatan Hak: Dari Bali sampai

Copenhagen”, Jakarta: Perkumpulan Huma.

Stokes, Jane. 2006. “Panduan Untuk Melaksanakan Penelitian dalam Kajian Media dan

Budaya”. Yogyakarta: Bentang.

Toelba, Mostafa, et.al. 1992. “The World Environment 1972-1992: Two Decades of

Challanges”. London: Chapman & Hall.

Troy R. Hawkins, Bhawna Singh,. 2013. “Comparative Environmental Life Cycle

Assessment of Conventional and Electric Vehicles”, Journal of Industrial Ecology,

vol. 17, Issue 1. P.53-64

UNCED (United Nations Conference on Environment and Development).1992. “Report of

the UN Conference on Environment and Development: Annex I, Rio Declaration on

Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12 August.

___“Report of the UN Conference on Environment and Development: Annex I, Rio

Declaration on Environment and Development”, A/CONF. 151/26 (vol. I), 12

August

UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development).2001.

“Transfer Technology”. Geneva: United Nations.

UNDESA (United Nations Department of Economic and Social Affairs). 2008. Climate

Change: Technology Development and Technology Transfer. “Beijing High-level

Conference on Climate Change; Background Paper”.

UNFCCC (United Nations Framework Conventions on Climate Change). 1992.

FCCC/INFORMAL/84. Article.2

___2007. “Report of the Conference of the Parties on its thirteenth session, held in Bali:

Decision Adopted by the Conference of the Parties.” FCCC/CP/2007/6/Add.1*, 14

March.

UNGA (United Nations General Assembly).1989. “United Nations Conference on

Environment and Development”, Resolution 44/228. 85th

Plenary Meeting, 22

December. Part I, para.3.

Verbruggen, Aviel 2008. Renewable and Nuclear Power: A Common Future?. “Energy

Policy”, vol.36. p.4036-4047

W. Neal, Andrew,. 2009. “Michel Foucault”, dalam Critical Theorist and International

Relations, Ed. Jenny Edkins and Nick Vaughan-Wlliamns. London & New York:

Routledge.

Walliman, Nicholas. 2006. “Social Research Methods”. London: Sage Publications.

Website:

(World Commission on Environment and Development).1987. “Our Common Future”.

Diakses dari http://www.un-documents.net/wced-ocf.htm pada 25 Desember 2012,

pukul 15.20 WIB.

Electric Cars „Pose Environmental Threat‟, diakses dari http://www.bbc.co.uk/news/business-

19830232 pada 17 April 2013, pukul 19.06 WIB.

____, “The Definition of Green Living (and Greenwashing). Diakses dari

http://www.sustainablebabysteps.com/definition-of-green-living.html

pada 30 December 2012, pukul 00.24 WIB.

___”Jenis-jenis metodelogi Penelitian” diakses dari http://id.shvoong.com/writing-and-

speaking/presenting/2231652-jenis-penelitian/ 27 Februari 2013, pukul 20.55 WIB.

Electric Car, diakses dari http://www.bmw-i.co.uk/en_gb/ pada 30 December 2012, pukul

01.27 WIB.

Ford Focus Electric, diakses dari http://www.ford.com/cars/focus/trim/electric/

pada 30 December 2012.

Louis Bergeron, Study Links Carbon Dioxide Emissions to Increased Deaths. Diakses dari

http://news.stanford.edu/news/2008/january9/co-010908.html pada 16 April 2013.

Perubahan iklim, diakses dari http://www.greenpeace.org/seasia/id/campaigns/perubahan-

iklim-global/ pada 16 April 2013.

Toyota Prius Plug-in Hybird, diakses dari http://www.carmagazine.co.uk/Drives/Search-

Results/First-drives/Toyota-Prius-Plug-in-Hybrid-2011-CAR-Review/

pada 30 December 2012.

WSSD (World Summit on Sustainable Development).2002. “Johannesburg Declaration on

Sustainable Development”, A/CONF.199/20, 4 September. Diakses

dari http://www.un-documents.net/jburgdec.htm pada 28 December 2012.

W.W. Rostow.1960. “The Stage of Economic Growth: A Non-Communist Manifesto”.

Diakses dari https://www.mtholyoke.edu/acad/intrel/ipe/rostow.htm pada 15 January

2013.

UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change).“Article 2”, diakses

dari http://unfccc.int/essential_background/convention/background/items/1353.php

pada 25 December 2012.

Makin Mendesak Pengurangan Emisi di Sektor Transportasi Dunia. Diakses dari

http://www.merdeka.com/tekno/makin-mendesak-pengurangan-emisi-di-sektor-

transportasi-dunia.html pada 9 June 2013.

Green Vehicle Guide, diakses dari

http://www.greenstudentu.com/encyclopedia/green_vehicle_guide pada 9 June 2013.

Mark Halper. Wreck The Environment – drive an electric car. Diakses dari

http://www.smartplanet.com/blog/bulletin/wreck-the-environment-drive-an-electric-

car/2498 pada 10 June 2013.

International Energy Agency (IEA). Auto Manufactures and Policy Makers Discuss Next

Phase of Electric Vehicle Deployment. Diakses

dari http://www.iea.org/newsroomandevents/news/2012/october/name,32775,en.html

pada 10 June 2013.

Cars Produced in the World. Diakses dari http://www.worldometers.info/cars/

pada 10 June 2013.

Paul A. Eisenstein. „Green Car‟ Sales Are Up, but Eco-Driving Proponents Still Blue.

Diakses dari http://www.cnbc.com/id/100661995 pada 10 June 2013.

What is a Green Car ?, diakses dari http://www.petrolprices.com/green-guide.html#j-4-1

pada 10 June 2013.

Noel Shankel. “The History of Green Cars”.

Diakses dari http://www.ehow.co.uk/facts_7166510_history-green-cars.html pada

12 June 2013.

Bryan Walsh. “The History of the Electric Cars”.

Diakses dari

http://www.time.com/time/specials/2007/article/0,28804,1669723_1669725_1670578

,00.html pada 12 June 2013.

Who‟s Killed the Electric Cars, diakses dari :

http://www.youtube.com/watch?v=IENnSK8Q6nE pada 12 June 2013.

Commission Announces Smart Investment in Green PPPs. Diakses dari

http://ec.europa.eu/research/transport/news/items/commission_announces_smart_inve

stment_in_green_ppps_en.htm pada 12 June 2013.

Davey Jhonson. “Green Cars on the Geneva Motor Show”. Diakses dari

http://www.autoweek.com/article/20130307/GENEVA/130309884 pada 12 June

2013.

Steven Bryan. “Eco-friendly Checklist: what makes a car a „green‟ car ?”. diakses dari

http://voices.yahoo.com/eco-friendly-checklist-makes-car-green-car-3372986.html

pada 13 June 2013.

Andrew Bomford. “How Environmentaly Friendly are Electric Cars?”. Diakses dari

http://www.bbc.co.uk/news/magazine-22001356 pada 13 June 2013.

“Hybrid Cars – pros and cons”. Diakses dari http://phys.org/news10031.html pada 13 June

2013.

Kyoto Protocol. Diakses dari http://unfccc.int/resource/docs/convkp/kpeng.html pada 13 July

2013.

Prof. Penny D. Sacket. Why We Must Act Now to Reduce Greenhouse Gas Emmissions.

Diakses dari http://www.abc.net.au/science/articles/2009/11/25/2753561.htm pada 13

July 2013.

Global Environment Facility (GEF). “Technology Transfer for Climate Change”. Diakses

dari http://www.thegef.org/gef/Technology_Transfer pada 14 July 2013.

Oli Usher. “Can Technology Stop Climate Change?”. Diakses dari

http://www.guardian.co.uk/science/2005/jul/07/thisweekssciencequestions pada 14

July 2013.

Anna Yukhnanov. “Refile-update1 – Time to Stop Arguing About Climate Change, World

Bank Says”. Diakses dari http://www.reuters.com/article/2013/06/19/worldbank-

climate-idUSL2N0EU1C20130619 pada 14 July 2013.

The Electrical Guide. Diakses dari http://green.tv/videos/the-electric-car-guide/

pada 14 July 2013.

Nissan Leaf Polar Bear Commercial.

Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=GyX7HuaP7cc pada 14 July 2013.

Renault‟s New Electric Car Advertising Campaign.

Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=ZqN9VWb75D0 pada 14 July

2013.

Chevrolet Volt Commercial. Diakses dari http://www.youtube.com/watch?v=Xy_zsbuYl-M

pada 14 July 2013.

Environmental Protection Administration Executive Yuan, R.O.C (Taiwan). “Research and

Development of Protection Technologies”. Diakses dari

http://www.epa.gov.tw/en/epashow.aspx?list=122&path=150&guid=de085634-f689-

4b73-9426-fb75e9c804b7&lang=en-us 15 July 2013.

Climate Change 2007: Synthesis Report. “Adaptation and Mitigation Options”, yang diakses

dari http://www.ipcc.ch/publications_and_data/ar4/syr/en/spms4.html pada 15 July

2013.

The Great Chain of Being, dikutip dari http://www.stanford.edu/class/engl174b/chain.html

pada 23 September 2013.

David Hicks. “Notes: Sustainable Futures.” Diakses dari

http://teaching4abetterworld.co.uk/downloads.html pada 14 September 2013.

Kofi Annan. “Beyond the Horizon”. Dalam Time Magazine, tahun 2002. Diakses dari

http://content.time.com/time/magazine/article/0,9171,1003113,00.html pada 14

September 2013.

Alex Rau. “Can Technology Really Save Us From Climate Change?”. Diakses dari

http://hbr.org/2010/01/can-technology-really-save-us-from-climate-change/ar/1 pada

23 September 2013.

Adam Corner. “Messing With Nature? Geoengineering and green thought. Diakses dari

www.theguardian.com/science/political-science/2013/jul/29/messing-nature-

geoengineering-green-thought pada 17 September 2013.

“History of Tama Electric Vehicle”, diakses dari http://www.nissan-

zeroemission.com/EN/HISTORY/TAMA.html pada 30 October 2013.

“Nissan Leaf Zero-emission Concept”, diakses dari http://www.nissan-

zeroemission.com/EN/LEAF/concept.html pada 30 October 2013.

“Nissan Delivers First Leaf in San Francisco”, diakses dari

http://www.independent.co.uk/life-style/motoring/nissan-delivers-first-leaf-in-san-

francisco-2160208.html pada 30 October 2013.

“Nissan Leaf Awards”, diakses dari http://www.campbellnelsonnissan.com/nissan-leaf-

awards pada 30 October 2013.

“Nissan Leaf Cumulative Sales in Japan pass 30.000 mark”, diakses dari

http://www.greencarcongress.com/2013/10/20131008-leaf.html pada 30 Oktober

2013.


Recommended