+ All Categories
Home > Documents > Ekstraksi asam asetat

Ekstraksi asam asetat

Date post: 23-Feb-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
31
I. TUJUAN PERCOBAAN 1. Memahami pemisahan berdasarkan ekstraksi asam asetat. 2. Menentukan harga koefisien distribusi senyawa dalam dua pelarut yang tidak saling campur (ekstraksi cair-cair). II. DASAR TEORI Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik pemisahan dalam suatu larutan (biasanya dalam air) dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua (biasanya organik), yang tidak tercampurkan dengan yang disebut pertama, dan menimbulkan perpindahan satu atau lebih zat terlarut ke dalam pelarut yang kedua (Basset, dkk, 1994). Ekstraksi cair-cair dilakukan untuk mendapatkan suatu senyawa dalam campuran berfase cair dengan pelarut lain yang juga berfase cair. Prinsip dasar dari pemisahan ini adalah suatu pemisahan senyawa yang memiliki perbedaan kelarutan pada dua pelarut yang berbeda. Alat yang digunakan untuk ekstraksi cair-cair adalah corong pisah (Sudjadi, 1986). Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai clean-up sampel untuk memisahkan analit-analit dan komponen matriks yang mungkin mengganggu pada saat mendeteksi analit. Selain itu ekstraksi pelarut juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada 1
Transcript

I. TUJUAN PERCOBAAN

1. Memahami pemisahan berdasarkan ekstraksi asam

asetat.

2. Menentukan harga koefisien distribusi senyawa

dalam dua pelarut yang tidak saling campur

(ekstraksi cair-cair).

II. DASAR TEORI

Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik

pemisahan dalam suatu larutan (biasanya dalam air)

dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua

(biasanya organik), yang tidak tercampurkan dengan

yang disebut pertama, dan menimbulkan perpindahan

satu atau lebih zat terlarut ke dalam pelarut yang

kedua (Basset, dkk, 1994).

Ekstraksi cair-cair dilakukan untuk mendapatkan

suatu senyawa dalam campuran berfase cair dengan

pelarut lain yang juga berfase cair. Prinsip dasar

dari pemisahan ini adalah suatu pemisahan senyawa

yang memiliki perbedaan kelarutan pada dua pelarut

yang berbeda. Alat yang digunakan untuk ekstraksi

cair-cair adalah corong pisah (Sudjadi, 1986).

Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai clean-up

sampel untuk memisahkan analit-analit dan komponen

matriks yang mungkin mengganggu pada saat

mendeteksi analit. Selain itu ekstraksi pelarut

juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada

1

dalam sampel dalam jumlah kecil sehingga

menyulitkan untuk deteksi (Gandjar dan Rohman,

2007).

Prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan

ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut

organik yang bersifat non polar atau agak polar

seperti heksana, metilbenzene atau diklorometan.

Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam

pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang

berikatan secara kovalen dengan substituen yang

bersifat nonpolar atau agak polar. Sementara itu,

senyawa-senyawa polar dan juga senyawa-senyawa

yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan pada

fase air (Gandjar dan Rohman, 2007).

Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi

Nerst yang menyatakan bahwa pada konsentrasi dan

tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi

dalam proporsi yang selalu sama diantara dua

pelarut yang tidak saling campur. Perbandingan

konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua

fase disebut koefisien distribusi (KD) atau juga

disebut koefisien partisi. Koefisien partisi dapat

dirumuskan sebagai berikut :

KD=[S ]org[S ]aq

(Gandjar dan Rohman, 2007)

2

dimana [Sorg] merupakan konsentrasi analit dalam

fase organik dan [Saq] merupakan konsentrasi analit

dalam dalam fase air. Dalam praktiknya, analit

seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda

karena adanya disosiasi, protonasi dan juga

kompleksasi. Dengan memperhitungkan konsentrasi

total zat di dalam 2 fase, maka rasio distribusi

(D) adalah :

D=

(Cs )org(Cs)aq     

(Gandjar dan Rohman,

2007)

dengan (Cs)org dan (Cs)aq masing-masing merupakan

konsentrasi ideal analit dalam fase organik dan

analit dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2007)

Jika koefisien distribusi sangat besar (lebih

dari 1000), ekstraksi sekali dengan corong pisah

telah memungkinkan hampir semua senyawa terlarut

telah tersari. Namun demikian ekstraksi akan lebih

efektif jika larutan penyari dibagi dalam beberapa

bagian kecil dari penyarian sekali dengan semua

penyari yang tersedia. Tujuan dari ekstraksi

berulang kali adalah untuk mendapatkan harga Wn

atau analit yang tertinggal pada lapisan air.

Dengan kata lain n-kali penyarian (n) harus besar

3

dan jumlah cairan penyari (S) kecil (Sudjadi,

1986).

Wn=Wo[ KD.VKD.V+S ]

n

(Sudjadi, 1986)

Syarat pelarut organik yang digunakan dalam

ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai kelarutan

yang lebih rendah dalam air (<10%), dapat menguap

sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik

setelah dilakukan ekstraksi serta mempunyai

kemurnian tinggi untuk meminimalkan adanya

kontaminasi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).

Selain itu syarat pelarut ditentukan oleh

pertimbangan-pertimbangan antara lain angka

banding distribusi (rasio distribusi) yang tinggi

untuk zat terlarut, rasio distribusi yang rendah

untuk zat pengotor yang diinginkan, viskositas

yang cukup rendah, dan perbedaan kerapatan yang

cukup besar dari fase airnya untuk mencegah

terbentuknya emulsi, sifat toksisitas pelarut yang

rendah dan tidak mudah terbakar dan mudah

mengambil kembali zat terlarut dari pelarut untuk

proses analisis berikutnya (Basset, dkk, 1994).

Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika

melakukan ekstraksi pelarut diantaranya

terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada

4

partikulat, analit terserap oleh partikulat yang

mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang

mempunyai berat molekul tinggi serta adanya

kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua

fase. Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling

sering terjadi. Oleh karena itu, jika emulsi

antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery

yang diperoleh kurang bagus. Jika senyawa-senyawa

yang akan dilakukan ekstraksi pelarut berasal dari

plasma maka ada kemungkinan senyawa tersebut

terikat protein sehingga recovery yang dihasilkan

rendah (Gandjar dan Rohman, 2007).

Untuk mengatasi terjadinya emulsi, maka cara

untuk memecah emulsi antara lain dengan penambahan

garam ke dalam fase air, pemanasan atau

pendinginan corong pisah, penyaringan melalui glass

wool, penyaringan dengan menggunakan kertas

saring, penambahan sedikit pelarut organik yang

berbeda serta sentrifugasi atau pemusingan

(Gandjar dan Rohman, 2007).

5

III. ALAT DAN BAHAN

a. Alat

Corong Pisah 100 mL

Buret

Erlenmeyer

Gelas Ukur 25 mL

Pipet Ukur 10 mL, 25 mL

Labu Takar 50 mL

b. Bahan

Larutan Asam Asetat 0,1 M; 0,5 M; 1 M

Kloroform

Aquades

Larutan baku asam oksalat 0,1 M; 0,5 M dan 1

M

Larutan NaOH 0,1 N; 0,5 N dan 1 N

Indikator phenolphthalein

IV. CARA KERJAIV.1 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N

6

Dimasukkan ke dalam beaker glass

NaOH ditimbang sebanyak 1 gram

Dilarutkan dengan aquades sedikit demisedikit sampai larut sambil diaduk dengan

IV.2 Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 M

4.3 Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,1 M

7

Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 250mL, ditambahkan aquades sampai volume 50 mL

Dikocok perlahan sampai NaOH larut

Ditimbang Asam Oksalat sebanyak 1,26 gram

Larutan dikocok hingga homogen

Dilarutkan dengan aquades secukupnya

Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100mL, ditambahkan aquades sampai volume 100

Dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat

Dimasukkan ke dalam beaker glass

Diambil Asam Asetat dengan pipet ukursebanyak 0,572 mL

4.4 Pembakuan NaOH dengan Asam Oksalat

8

Larutan dikocok hingga homogen

Ditambahkan dengan aquades secukupnya,dikocok hingga homogen

Ditambahkan aquades sampai volume 100 mL

Dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat

Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL

10 mL larutan Asam okslat 0,1 M dimasukkanke dalam erlenmeyer

Titrasi diulang sebanyak 3 kali

Dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hinggaterjadi perubahan warna menjadi merah muda

Dicatat volume NaOH 0,1 N yang digunakan

Ditambahkan 3 tetes idikatorphenolphthalein

4.5 Ekstraksi Asam Asetat Tunggal

4.6 Ekstraksi Berulang dengan 3 x 10 mL Kloroform

9

Dihitung konsentrasi yang tepat dari NaOH

Dimasukkan 20 mL CH3COOH ke dalam corong

Diambil 10 mL lapisan air, dimasukkan dalam

Dikocok 30 kali secara manual, didiamkansampai terbentuk dua lapisan

Dipisahkan lapisan airnya, dicatat volumeair yang didapatkan dan volume kloroformnya

Ditambah beberapa tetes indikatorphenolphthalein dan dititrasi dengan NaOH

Ditambahkan 30 mL kloroform

Dicatat volume NaOH 0,1 N yang diperlukandan dihitung kadar asam asetatnya,

Tahap A

Tahap B

Tahap C

Tahap D

10

Ditambahkan 10 mL kloroform

Dikocok 30 kali dan didiamkan sampaiterbentuk dua lapisan

Dipisahkan lapisan airnya, dicatat volumeair dan kloroform

Dimasukkan 20 mL CH3COOH ke dalam corongpisah 100 mL

Lapisan yang telah diambil dimasukkan kecorong pisah 100 mL dan ditambahkan 10 mL

Dikocok 30 kali dan didiamkan sampaiterbentuk dua lapisan

Dipisahkan, diambil lapisan airnya dandicatat volume lapisan air serta

Diulangi ekstraksi tahap B sekali lagi

Dicatat volume masing-masing larutan yangdidapat

Lapisan air dititrasi dengan larutan NaOH0,1 N

V. HASIL

V.1 Percobaan dengan menggunakan NaOH 0,1 N; Asam

Oksalat 0,1 M; dan Asam Asetat 0,1 M

a. Pembuatan larutan asam asetat :

Volume asam asetat (0,1 M) = 0,572 mL

Volume akhir larutan = 100 mL

Normalitas asam asetat yang diperoleh = 0,1 N

b. Pembuatan larutan baku asam oksalat :

Jumlah asam oksalat yang ditimbang = 1,26 g

Dilarutkan ke dalam pelarut = aquades, sampai

volume = 100 mL

c. Pembuatan dan pembakuan larutan NaOH :

Jumlah NaOH yang ditimbang = 1 g

Dilarutkan ke dalam pelarut = aquades, volume =

250 mL

d. Pembakuan NaOH :

Volume larutan asam oksalat yang dititrasi ;

larutan 1 = 10 mL; larutan 2 = 10 mL; larutan 3

= 10 mL

Volume NaOH = 0,1 N yang terpakai untuk

pembakuan NaOH; Larutan 1 = 20,1 mL ; larutan 2

= 21,4mL ; larutan 3 = 20,5 mL; volume rata-

rata = 20,67 mL

11

Dicatat volume NaOH yang terpakai

Hasil pembakuan NaOH = 0,0967 N

e. Penentuan kadar asam asetat :

1) Penetapan asam asetat pada ekstraksi tunggal

dengan 30 mL kloroform

Volume lapisan air = 19,5 mL ; volume kloroform

= 28,5 mL

2) Penetapan berulang 3x10 mL kloroform

Volume lapisan air = 18,9 mL; volume kloroform

=7,4 mL

Volume lapisan air =18,2 mL; volume kloroform =

8,3 mL

Volume lapisan air = 18,1 mL; volume kloroform

= 8,4 mL

3) Titrasi asam asetat

Volume larutan NaOH baku yang terpakai : 1.

10,1 mL; 2. 9,1 mL

Kadar perhitugan asam asetat dalam larutan air

o Ekstraksi tunggal = 0,097667 N

o Ekstraksi berulang = 0,0888 N

Kadar perhitugan asam asetat yang tinggal dalam

kloroform

o Ekstraksi tunggal = 0,035 N

o Ekstraksi berulang = 0,0338 N

4) Koefisien distribusi asam asetat

o Ekstraksi tunggal = 0,358

o Ekstraksi berulang = 0,381

12

5.2 Tabel Pengamatan Percobaan Ekstraksi Asam

Asetat

Tabel 5.2.1 Penimbangan Bahan Ekstraksi Asam

Asetat

13

NO NAMA BAHAN PENIMBANGAN

1.Pembuatan

Larutan

NaOH 1 gram

Asam

Oksalat1,26 gram

Asam

asetat0,572 mL

2.Ekstraksi

Tunggal

Asam

asetat20 mL

Kloroform 30 mL

3.Ekstraksi

Berulang

Asam

asetat20 mL

Kloroform 3 x 10 mL

Tabel 5.2.2 Pembakuan NaOH 0,1 N dengan asam

oksalat 0,1 M

No

Volume

Asam

Oksalat

Titrasi

Ke-

Volume NaOH yang

Diperlukan

1. 10 mL 1 20,1 mL

2. 10 mL 2 21,4 mL

3. 10 mL 3 20,5 mL

Tabel 5.2.3 Ekstraksi Tunggal Asam Asetat 0,1 M

Volume

Fase Air

Volume

Fase

Kloroform

Volume Fase

Air yang

Diambil

Volume NaOH

yang

Digunakan

19,5 mL 28,5 mL 10 mL 10,1 mL

Tabel 5.2.4 Ekstraksi Berulang Asam Asetat 0,5 M

Ekstra

ksi

ke-

Volume

Fase Air

Volume Fase

Kloroform

1 18,9 mL 7,4 mL

14

2 18,2 mL 8,3 mL

3 18,1 mL 8,4 mL

Fase Air yang

Diambil

NaOH yang

Digunakan

10 mL 9,1 mL

VI. PERHITUNGAN

VI.1 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N

BM = 40 gram/mol (FI IV, hal.589)

Perhitungan Larutan NaOH 0,1 N :

N = M x ek

M = Nek =

0,1gr.ek /L1gr.ek /mol

= 0,1 M

M = massaMRx 1000

V

0,1 M = massa40x 1000250

Massa = 1 gram

VI.2 Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 M

BM = 126 gram/mol (FI IV, hal. 1133)

Perhitungan Larutan Asam Oksalat 0,1 M

M = massaMRx 1000

V

15

0,1 M = massa126x 1000100

Massa = 1,26 gram

6.3 Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,1 M

Larutan asam asetat glasial dengan kadar 100%vvBM = 60,05 gram/mol , BJ (ρ¿ = 1,05 (FI IV,

hal. 46)

V = mρ = 3,0025gram1,05gram /mL = 2,68 mL

Perhitungan Larutan Asam Asetat 0,1 M

M = massaMRx 1000

V

0,1 M = massa60,05x 1000100

Massa = 0,6005 gram

V = mρ = 0,6005gram1,05gram /mL = 0,572 mL

6.4 Pembakuan NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat 0,1

M

Titrasi NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat 0,1 M

dilakukan sebanyak 3 kali dengan volume masing-

masing Asam Oksalat yang digunakan adalah 10 mL,

sehingga dihasilkan data sebagai berikut :

16

Volume NaOH pada titrasi I = 20,1 mL

Volume NaOH pada titrasi II = 21,4 mL

Volume NaOH pada titrasi III = 20,5 mL

Reaksi : H2C2O4 (aq) + 2 NaOH (aq) Na2C2O4 (aq) + 2

H2O(l)

a.Titrasi I (20,1 mL)

M[NaOH] x V[NaOH] x valensi [NaOH] = M[H2C2O4] x V[H2C2O4] x

valensi[H2C2O4]

M[NaOH] x 20,1 mL x 1 = 0,1 M x 10 mL x 2

M[NaOH] ¿2

20,1

¿ 1010

113,3 M[NaOH] = 0,0995 M

b.Titrasi II (21,4 mL)

M[NaOH] x V[NaOH] x valensi [NaOH] = M[H2C2O4] x V[H2C2O4] x

valensi[H2C2O4]

M[NaOH] x 21,4 mL x 1 = 0,1 M x 10 mL x 2

M[NaOH] ¿ 221,4

M[NaOH] = 0,093 M

c.Titrasi III (20,5 mL)

17

M[NaOH] x V[NaOH] x valensi [NaOH] = M[H2C2O4] x V[H2C2O4] x

valensi[H2C2O4]

M[NaOH] x 20,5 mL x 1 = 0,1 M x 10 mL x 2

M[NaOH] ¿2

20,519,6

M[NaOH] = 0,0975 M

d. Molaritas Rata-Rata NaOH

M¿ 0,0995+0,0,093+0,09753

=0,29013

0,075 M +0,096 M+0,104 M 3

0,275 M 3

¿ 3,13 = 0,0967 M

e. Normalitas NaOH

N = M x ek

= 0,0967 x 1

= 0,0967 N

6.5 Ekstraksi Tunggal Asam Asetat 0,1 M

Penetapan kadar sebenarnya asam asetat 0,1 M

dalam air

V CH3COOH = 20 mL diambil 10 mL

M NaOH = 0,0967 M

V NaOH = 10,1 mL

Pembakuan :

18

M[CH3COOH] x V[CH3COOH] x valensi [CH3COOH]= M[NaOH] x V[NaOH] x

valensi [NaOH]

M[CH3COOH] x 10 mL x 1 = 0,0967 M x 10,1 mL x 1

M[CH3COOH] ¿0,97667

101,5415

M[CH3COOH] = 0,097667 M

Normalitas (N) = M x ek

= 0,097667 x 1

= 0,097667 N

Penetapan kadar sebenarnya asam asetat dalam

kloroform 0,1 M

Massa total

m total = M x V x BM

= 0,1 M x 0,02 L x 60,05grammol

= 0,12 gram

Massa asam asetat dalam air

m. air = M x V x BM

= 0,097667 M x 0,01 L x 60,05grammol= 0,0586 gram

Massa asam asetat dalam kloroform

massa = m total – m.air

= 0,12 gram – 0,0586 gram

= 0,0614 gram

Molaritas Asam Asetat

19

M = mBMx 1000

V

¿0,061460,05

x 100028,5

= 0,035 M

Koefisien Distribusi (KD) Asam Asetat 0,1 M

KD = konsentrasizatpadafaseorganikkonsentrasizatpadafaseair

¿ 0,0350,097667

= 0,358

6.6 Ekstraksi Berulang Asam Asetat 0,1 M

Penetapan kadar sebenarnya asam asetat 0,1 M

dalam air

V CH3COOH = 20 mL diambil 10 mL

M NaOH = 0,097667 M,

V NaOH = 9,1 mL

Pembakuan :

M[CH3COOH] x V[CH3COOH] x valensi [CH3COOH]= M[NaOH] x V[NaOH] x

valensi [NaOH]

M[CH3COOH] x 10 mL x 1 = 0,097667 M x 9,1 mL x

1

M[CH3COOH] ¿0,8887

10

M[CH3COOH] = 0,0888 M

20

Normalitas (N) = M x ek

= 0,0888 x 1

= 0,0888 N

Penetapan kadar sebenarnya asam asetat dalam

kloroform 0,1 M

Massa total

m total = M x V x BM

= 0,1 M x 0,02 L x 60,05 grammol

= 0,12 gram

Massa asam asetat dalam air

m. air = M x V x BM

= 0,0888 M x 0,01 L x 60,05grammol= 0,0533 gram

Massa asam asetat dalam kloroform

massa = m total – m.air

= 0,12 gram – 0,0533 gram

= 0,0667 gram

Molaritas

M = mBMx 1000

V

¿ 0,066760,05X 1000

30

= 0,0338 M

Koefisien Distribusi (KD) Asam Asetat 0,5 M

KD = konsentrasizatpadafaseorganikkonsentrasizatpadafaseair

21

¿0,03380,0888

= 0,381

VII. PEMBAHASAN

Pada praktikum ini dilakukan ekstraksi asam

asetat dengan konsentrasi 0,1 M. Metode yang

digunakan dalam praktikum ini adalah metode

ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair merupakan

suatu metode pemisahan senyawa dari campurannya

diantara dua fase cairan yang tidak saling campur

(Pawlizyn, 2002).

22

Ekstraksi cair-air ditentukan oleh distribusi

Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa

“pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit

akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama

diantara dua pelarut yang saling tidak campur”.

Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di

dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi

atau koefisien partisi (KD) (Gandjar dan Rohman,

2007).

Pada praktikum ini, hasil ekstraksi dilanjutkan

dengan metode titrasi. Titrasi merupakan suatu

metode untuk menetukan konsentrasi zat di dalam

larutan. Titrasi dilakukan dengan cara mereaksikan

larutan tersebut dengan larutan yang sudah

diketahui konsentrasinya. Reaksi dilakukan secara

bertahap (tetes demi tetes) hingga tepat mencapai

titik stoikiometri atau titik setara (Sunarya dan

Setiabudi, 2007). Titik stoikiometri atau titik

setara merupakan titik pada mana reaksi itu tepat

lengkap. Lengkapnya titrasi, lazimnya harus

terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tidak dapat

disalah-lihat oleh mata, yang dihasilkan oleh

larutan standar itu sendiri, atau lebih lazim lagi

oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang

dikenal sebagai indikator. Setelah reaksi antara

zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator

23

harus memberi perubahan visual yang jelas dalam

cairan yang sedang dititrasi. Titik pada mana ini

terjadi, disebut titik akhir titrasi (Bassett, et

al., 1994).

Dalam praktikum ini, dilakukan titrasi basa kuat

(NaOH) dan asam lemah (C2H2O4) dimana indikator yang

digunakan dibatasi hanya indikator yang terletak

pada titik infleksi pada kurva titrasi (Gambar

7.2). Oleh karena itu, digunakan indikator

phenolphthalein (PP) (Gandjar dan Rohman, 2007).

Dalam farmakope pembuatan PP dilakukan dengan cara:

menimbang saksama lebih kurang 3,0 gram, dimasukkan

ke dalam labu tentukur 100-ml, dilarutkan dan

diencerkan dengan etanol P sampai tanda batas,

diukur serapan ultraviolet larutan ini pada panjang

gelombang serapan maksimum lebih kurang 405 nm

menggunakan etanol P sebagai blangko: serapan

kurang dari 0,150 (Depkes RI, 1995).

Pada metode titrasi dikenal adanya larutan baku

primer dan sekunder. Tujuan dilakukannya pembakuan

adalah untuk menentukan konsentrasi suatu larutan.

Baku primer adalah senyawa-senyawa kimia stabil

yang tersedia dalam kemurnian tinggi dan yang dapat

digunakan untul membakukan larutan baku yang

digunakan dalam titrasi. Dalam praktikum ini yang

merupakan larutan baku primer adalah larutan asam

24

oksalat (H2C2O4). Titran seperti natrium hidroksida

(NaOH) tidak dapat dianggap sebagai baku primer

karena kemurniannya cukup bervariasi (Watson,

2009). Larutan yang dibuat melalui standarisasi

terhadap standar primer disebut dengan standar

sekunder (Cairns, 2009). Baku sekunder dalam

praktikum ini adalah NaOH yang telah distandarisasi

dengan larutan asam oksalat. NaOH memiliki

kemurnian yang yang bervariasi, dapat menyerap CO2,

higroskopis dan mengandung air dengan perbandingan

yang tidak tetap sehingga NaOH perlu dibakukan

terlebih dahulu sebelum digunakan untuk ekstraksi

(Depkes RI, 1995).

Pada praktikum ini hal pertama yang dilakukan

adalah membuat larutan asam oksalat 0,1 M sebanyak

100 mL dan larutan asam asetat 0,1 M sebanyak 100

mL. Pembuatan larutan asam oksalat dibuat denga

cara melarutkan 1,26 gr asam oksalat dengan air

hingga 100 mL. Larutan asam asetat dibuat dengan

cara melarutkan 0,572 mL asam asetat dalam air

hingga 100 mL. Sifat asam asetat dapat bercampur

dengan air (Depkes RI, 1995). Selanjutnya dibuat

larutan NaOH 0,1 M sebanyak 250 mL. Larutan NaOH

dibuat dengan cara melarutkan 1 gr NaOH dalam air

hingga 250 mL. Kelarutan NaOH mudah larut dalam air

(Depkes RI, 1995). Tahap selanjutnya adalah

25

membakukan larutan NaOH dengan larutan baku primer

yaitu larutan asam oksalat 0,1 M. Pembakuan NaOH

dilakukan dengan cara memipet 10 mL asam oksalat

dan ditambahkan indikator PP (phenolphthalein)

sebanyak 3 tetes. Penambahan indikator PP bertujuan

agar dapat diketahui kapan reaksi itu telah

berjalan sempurna dengan ditandai adanya perubahan

warna pada larutan. Perubahan warna larutan menjadi

merah mudah dikarenakan indikator phenolphthalein

mengalami pengaturan ulang struktur karena satu

proton dihilangkan dari salah satu gugus fenolnya

seiring dengan meningkatnya pH dan hal ini

menyebabkan perubahan warna (Watson, 2007).

Gambar 7.1 Pengaturan ulang struktural yang menyebabkan perubahan warna dalam fenolftalein (Watson,

2007)

Selanjutnya dilakukan titrasi terhadap larutan

asam oksalat yang telah ditetesi dengan indikator

PP. Titik akhir titrasi pada praktikum ini ditandai

26

dengan berubahnya larutan menjadi berwarna merah

muda. Pembakuan NaOH dilakukan sebanyak 3 kali,

dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang akurat.

Setelah dilakukan pembakuan, diperoleh volume

larutan NaOH rata-rata sebanyak 20,67 mL dengan

konsentrasi NaOH 0,0968 M. Tujuan dari pembakuan

suatu larutan adalah untuk menetapkan konsentrasi

larutan tersebut, dimana konsentrasi awal yang

ingin ditetapkan adalah sebanyak 0,1 M akan tetapi

pada praktikum ini konsentrasi NaOH yang diperoleh

0,0968 M. Perbedaan konsentrasi tersebut dapat

terjadi karena sifat NaOH yang higroskopis dan

cepat menyerap CO2 dimana larutan NaOH yang

dimasukkan ke dalam buret tidak ditutup dengan

aluminium foil sebelum dilakukannya proses titrasi

sehingga adanya kemungkinan penyerapan CO2 dari

udara yang dapat mempengaruhi konsentrasi NaOH yang

dibuat.

Berikut ini adalah contoh kurva titrasi asam

lemah basa kuat CH3COOH 0,1 M dan NaOH 0,1 M :

27

Gambar 7.2 Profil pH dari titrasi asam lemah-basa

kuat. Larutan 0,1 M NaOH ditambahkan dari buret ke 25,0

mL larutan CH3COOH 0,1 M dalam labu erlenmeyer. Oleh

karena terjadi hidrolisis pada garam yang terbentuk, PH

pada titik ekivalen lebih besar daripada 7 (Chang,

2003).

Pada gambar menunjukkan kurva titrasi yang

dicapai dari titrasi asam lemah dengan basa kuat,

pH tersebut tetap rendah sampai tepat sebelum titik

ekuivalen, ketika pH meningkat dengan cepat ke

nilai yang tinggi. Pada banyak titrasi, suatu

indikator berwarna digunakan, meskipun metode

elektrokimia untuk mendeteksi titik akhir juga

digunakan (Watson, 2007).

Tahap selanjutnya adalah ekstraksi asam asetat.

Ekstraksi asam asetat dilakukan dengan 2 kali

percobaan yaitu ekstraksi tunggal dengan 30 mL

kloroform dan ekstraksi berulang sebanyak 3 kali

dengan 10 mL kloroform. Pertama dilakukan ekstraksi

tunggal dengan 30 mL kloroform. Ekstraksi tunggal

dilakukan dengan cara 20 mL asam asetat dimasukkan

ke dalam corong pisah 100 mL kemudian ditambahkan

30 mL kloroform dan dilakukan penggojogan sebanyak

30 kali putaran secara perlahan. Ekstraksi

dilakukan dalam 2 fase cairan yang tidak saling

campur, dimana dalam hal ini sifat kloroform adalah

28

non polar, sedangkan air bersifat polar. Dengan

struktur kimia asam asetat CH3COOH membuat asam

asetat larut dalam pelarut organik (kloroform) dan

pelarut air, namun kelarutan asam asetat dalam air

lebih besar dari kelarutannya dalam pelarut

organik. Sehingga ada sebagian dari asam asetat

larut dalam fase organik dan fase air. Tujuan

dilakukannya penggojogan secara perlahan sebanyak

30 kali adalah agar kedua pelarut dapat kontak

sehingga analit terdistribusi dalam kedua fase

pelarut atau agar kedua cairan tersebut mencapai

keadaan setimbang ( Day, dkk., 2001). Setelah

dilakukan penggojogan terbentuk 2 lapisan yaitu

lapisan air dan lapisan kloroform. Lapisan yang

berada di bawah merupakan lapisan kloroform dan

lapisan air berada di atasnya. Hal tersebut terjadi

karena berat jenis kloroform lebih besar daripada

air yaitu 1,476 gr/mL sedangkan air memiliki berat

jenis 1 gr/mL (Depkes RI, 1995) sehingga fase

kloroform berada pada lapisan bawah. Selanjutnya

kedua lapisan tersebut dipisahkan dan diukur

volumenya. Untuk mengetahui konsentrasi asam asetat

dalam lapisan air maka lapisan air kemudian

dititrasi dengan larutan NaOH yang telah dibakukan

dimana sebelumnya telah ditetesi dengan indikator

PP sebanyak 3 tetes. Pada ekstraksi tunggal ini

29

diperlukan NaOH sebanyak 10,1 mL untuk mencapai

titik akhir titrasi dan diperoleh KD sebesar 0,358

Ekstraksi berulang dilakukan dengan cara yang

sama, namun kloroform yang digunakan sebanyak 10 mL

dan dilakukan sebanyak 3 kali. Pada ekstraksi

berulang ini diperoleh KD sebesar 0,381. Reaksi yang

terjadi pada penetralan asama asetat dengan NaOH

adalah sebagai berikut:

CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O

Pada literatur disebutkan bahwa ekstraksi akan

lebih efisien jika dilakukan berulang kali dengan

jumlah pelarut yang sedikit dibandingkan dengan

ekstraksi tunggal dengan pelarut yang banyak

(Gandjar dan Rohman, 2007). Dari pernyataan

tersebut dapat dikatakan bahwa harga KD untuk

ekstraksi berulang lebih besar dibandingkan dengan

ekstraksi tunggal.

VIII. KESIMPULAN

VIII.1 Pemisahan ekstraksi asam

asetat dalam praktikum ini menggunakan metode

ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair

merupakan teknik pemisahan diamana suatu larutan

dibuat bersentuhan dengan pelarut yang kedua,

yang pada hakikatnya kedua pelarut tersebut

30

tidak saling campur dan menimbulkan perpindahan

satu atau lebih zat terlarut ke dalam pelarut

kedua. Untuk mengetahui kadar asama asetat dalam

lapisan air maka dilakukan titrasi dengan

larutan NaOH yang telah dibakukan.

VIII.2 Koefisien distribusi

ditentukan dengan menghitung perbandingan antara

konsentrasi zat pada pelarut organik dengan

pelarut air. Pada ekstraksi tunggal diperoleh KD

0,358 dan ekstraksi berulang diperoleh KD 0,381.

Dari nilai KD tersebut harga KD untuk ekstraksi

berulang lebih besar dibandingkan dengan

ekstraksi tunggal. Hal ini sesuai dengan

literatur yang menyatakan nilai KD pada

ekstraksi berulang lebih besar daripada nilai KD

pada ekstraksi tunggal.

31


Recommended