Date post: | 23-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
I. TUJUAN PERCOBAAN
1. Memahami pemisahan berdasarkan ekstraksi asam
asetat.
2. Menentukan harga koefisien distribusi senyawa
dalam dua pelarut yang tidak saling campur
(ekstraksi cair-cair).
II. DASAR TEORI
Ekstraksi cair-cair merupakan suatu teknik
pemisahan dalam suatu larutan (biasanya dalam air)
dibuat bersentuhan dengan suatu pelarut kedua
(biasanya organik), yang tidak tercampurkan dengan
yang disebut pertama, dan menimbulkan perpindahan
satu atau lebih zat terlarut ke dalam pelarut yang
kedua (Basset, dkk, 1994).
Ekstraksi cair-cair dilakukan untuk mendapatkan
suatu senyawa dalam campuran berfase cair dengan
pelarut lain yang juga berfase cair. Prinsip dasar
dari pemisahan ini adalah suatu pemisahan senyawa
yang memiliki perbedaan kelarutan pada dua pelarut
yang berbeda. Alat yang digunakan untuk ekstraksi
cair-cair adalah corong pisah (Sudjadi, 1986).
Ekstraksi cair-cair digunakan sebagai clean-up
sampel untuk memisahkan analit-analit dan komponen
matriks yang mungkin mengganggu pada saat
mendeteksi analit. Selain itu ekstraksi pelarut
juga digunakan untuk memekatkan analit yang ada
1
dalam sampel dalam jumlah kecil sehingga
menyulitkan untuk deteksi (Gandjar dan Rohman,
2007).
Prosedur ekstraksi cair-cair melibatkan
ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut
organik yang bersifat non polar atau agak polar
seperti heksana, metilbenzene atau diklorometan.
Analit-analit yang mudah terekstraksi dalam
pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang
berikatan secara kovalen dengan substituen yang
bersifat nonpolar atau agak polar. Sementara itu,
senyawa-senyawa polar dan juga senyawa-senyawa
yang mudah mengalami ionisasi akan tertahan pada
fase air (Gandjar dan Rohman, 2007).
Ekstraksi cair-cair ditentukan oleh distribusi
Nerst yang menyatakan bahwa pada konsentrasi dan
tekanan yang konstan, analit akan terdistribusi
dalam proporsi yang selalu sama diantara dua
pelarut yang tidak saling campur. Perbandingan
konsentrasi pada keadaan setimbang di dalam dua
fase disebut koefisien distribusi (KD) atau juga
disebut koefisien partisi. Koefisien partisi dapat
dirumuskan sebagai berikut :
KD=[S ]org[S ]aq
(Gandjar dan Rohman, 2007)
2
dimana [Sorg] merupakan konsentrasi analit dalam
fase organik dan [Saq] merupakan konsentrasi analit
dalam dalam fase air. Dalam praktiknya, analit
seringkali berada dalam bentuk kimia yang berbeda
karena adanya disosiasi, protonasi dan juga
kompleksasi. Dengan memperhitungkan konsentrasi
total zat di dalam 2 fase, maka rasio distribusi
(D) adalah :
D=
(Cs )org(Cs)aq
(Gandjar dan Rohman,
2007)
dengan (Cs)org dan (Cs)aq masing-masing merupakan
konsentrasi ideal analit dalam fase organik dan
analit dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2007)
Jika koefisien distribusi sangat besar (lebih
dari 1000), ekstraksi sekali dengan corong pisah
telah memungkinkan hampir semua senyawa terlarut
telah tersari. Namun demikian ekstraksi akan lebih
efektif jika larutan penyari dibagi dalam beberapa
bagian kecil dari penyarian sekali dengan semua
penyari yang tersedia. Tujuan dari ekstraksi
berulang kali adalah untuk mendapatkan harga Wn
atau analit yang tertinggal pada lapisan air.
Dengan kata lain n-kali penyarian (n) harus besar
3
dan jumlah cairan penyari (S) kecil (Sudjadi,
1986).
Wn=Wo[ KD.VKD.V+S ]
n
(Sudjadi, 1986)
Syarat pelarut organik yang digunakan dalam
ekstraksi adalah pelarut yang mempunyai kelarutan
yang lebih rendah dalam air (<10%), dapat menguap
sehingga memudahkan penghilangan pelarut organik
setelah dilakukan ekstraksi serta mempunyai
kemurnian tinggi untuk meminimalkan adanya
kontaminasi sampel (Gandjar dan Rohman, 2007).
Selain itu syarat pelarut ditentukan oleh
pertimbangan-pertimbangan antara lain angka
banding distribusi (rasio distribusi) yang tinggi
untuk zat terlarut, rasio distribusi yang rendah
untuk zat pengotor yang diinginkan, viskositas
yang cukup rendah, dan perbedaan kerapatan yang
cukup besar dari fase airnya untuk mencegah
terbentuknya emulsi, sifat toksisitas pelarut yang
rendah dan tidak mudah terbakar dan mudah
mengambil kembali zat terlarut dari pelarut untuk
proses analisis berikutnya (Basset, dkk, 1994).
Beberapa masalah yang sering dijumpai ketika
melakukan ekstraksi pelarut diantaranya
terbentuknya emulsi, analit terikat kuat pada
4
partikulat, analit terserap oleh partikulat yang
mungkin ada, analit terikat pada senyawa yang
mempunyai berat molekul tinggi serta adanya
kelarutan analit secara bersama-sama dalam kedua
fase. Terjadinya emulsi merupakan hal yang paling
sering terjadi. Oleh karena itu, jika emulsi
antara kedua fase ini tidak dirusak maka recovery
yang diperoleh kurang bagus. Jika senyawa-senyawa
yang akan dilakukan ekstraksi pelarut berasal dari
plasma maka ada kemungkinan senyawa tersebut
terikat protein sehingga recovery yang dihasilkan
rendah (Gandjar dan Rohman, 2007).
Untuk mengatasi terjadinya emulsi, maka cara
untuk memecah emulsi antara lain dengan penambahan
garam ke dalam fase air, pemanasan atau
pendinginan corong pisah, penyaringan melalui glass
wool, penyaringan dengan menggunakan kertas
saring, penambahan sedikit pelarut organik yang
berbeda serta sentrifugasi atau pemusingan
(Gandjar dan Rohman, 2007).
5
III. ALAT DAN BAHAN
a. Alat
Corong Pisah 100 mL
Buret
Erlenmeyer
Gelas Ukur 25 mL
Pipet Ukur 10 mL, 25 mL
Labu Takar 50 mL
b. Bahan
Larutan Asam Asetat 0,1 M; 0,5 M; 1 M
Kloroform
Aquades
Larutan baku asam oksalat 0,1 M; 0,5 M dan 1
M
Larutan NaOH 0,1 N; 0,5 N dan 1 N
Indikator phenolphthalein
IV. CARA KERJAIV.1 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N
6
Dimasukkan ke dalam beaker glass
NaOH ditimbang sebanyak 1 gram
Dilarutkan dengan aquades sedikit demisedikit sampai larut sambil diaduk dengan
IV.2 Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 M
4.3 Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,1 M
7
Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 250mL, ditambahkan aquades sampai volume 50 mL
Dikocok perlahan sampai NaOH larut
Ditimbang Asam Oksalat sebanyak 1,26 gram
Larutan dikocok hingga homogen
Dilarutkan dengan aquades secukupnya
Larutan dimasukkan ke dalam labu ukur 100mL, ditambahkan aquades sampai volume 100
Dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat
Dimasukkan ke dalam beaker glass
Diambil Asam Asetat dengan pipet ukursebanyak 0,572 mL
4.4 Pembakuan NaOH dengan Asam Oksalat
8
Larutan dikocok hingga homogen
Ditambahkan dengan aquades secukupnya,dikocok hingga homogen
Ditambahkan aquades sampai volume 100 mL
Dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat
Dimasukkan ke dalam labu ukur 100 mL
10 mL larutan Asam okslat 0,1 M dimasukkanke dalam erlenmeyer
Titrasi diulang sebanyak 3 kali
Dititrasi dengan titran NaOH 0,1 N hinggaterjadi perubahan warna menjadi merah muda
Dicatat volume NaOH 0,1 N yang digunakan
Ditambahkan 3 tetes idikatorphenolphthalein
4.5 Ekstraksi Asam Asetat Tunggal
4.6 Ekstraksi Berulang dengan 3 x 10 mL Kloroform
9
Dihitung konsentrasi yang tepat dari NaOH
Dimasukkan 20 mL CH3COOH ke dalam corong
Diambil 10 mL lapisan air, dimasukkan dalam
Dikocok 30 kali secara manual, didiamkansampai terbentuk dua lapisan
Dipisahkan lapisan airnya, dicatat volumeair yang didapatkan dan volume kloroformnya
Ditambah beberapa tetes indikatorphenolphthalein dan dititrasi dengan NaOH
Ditambahkan 30 mL kloroform
Dicatat volume NaOH 0,1 N yang diperlukandan dihitung kadar asam asetatnya,
Tahap A
Tahap B
Tahap C
Tahap D
10
Ditambahkan 10 mL kloroform
Dikocok 30 kali dan didiamkan sampaiterbentuk dua lapisan
Dipisahkan lapisan airnya, dicatat volumeair dan kloroform
Dimasukkan 20 mL CH3COOH ke dalam corongpisah 100 mL
Lapisan yang telah diambil dimasukkan kecorong pisah 100 mL dan ditambahkan 10 mL
Dikocok 30 kali dan didiamkan sampaiterbentuk dua lapisan
Dipisahkan, diambil lapisan airnya dandicatat volume lapisan air serta
Diulangi ekstraksi tahap B sekali lagi
Dicatat volume masing-masing larutan yangdidapat
Lapisan air dititrasi dengan larutan NaOH0,1 N
V. HASIL
V.1 Percobaan dengan menggunakan NaOH 0,1 N; Asam
Oksalat 0,1 M; dan Asam Asetat 0,1 M
a. Pembuatan larutan asam asetat :
Volume asam asetat (0,1 M) = 0,572 mL
Volume akhir larutan = 100 mL
Normalitas asam asetat yang diperoleh = 0,1 N
b. Pembuatan larutan baku asam oksalat :
Jumlah asam oksalat yang ditimbang = 1,26 g
Dilarutkan ke dalam pelarut = aquades, sampai
volume = 100 mL
c. Pembuatan dan pembakuan larutan NaOH :
Jumlah NaOH yang ditimbang = 1 g
Dilarutkan ke dalam pelarut = aquades, volume =
250 mL
d. Pembakuan NaOH :
Volume larutan asam oksalat yang dititrasi ;
larutan 1 = 10 mL; larutan 2 = 10 mL; larutan 3
= 10 mL
Volume NaOH = 0,1 N yang terpakai untuk
pembakuan NaOH; Larutan 1 = 20,1 mL ; larutan 2
= 21,4mL ; larutan 3 = 20,5 mL; volume rata-
rata = 20,67 mL
11
Dicatat volume NaOH yang terpakai
Hasil pembakuan NaOH = 0,0967 N
e. Penentuan kadar asam asetat :
1) Penetapan asam asetat pada ekstraksi tunggal
dengan 30 mL kloroform
Volume lapisan air = 19,5 mL ; volume kloroform
= 28,5 mL
2) Penetapan berulang 3x10 mL kloroform
Volume lapisan air = 18,9 mL; volume kloroform
=7,4 mL
Volume lapisan air =18,2 mL; volume kloroform =
8,3 mL
Volume lapisan air = 18,1 mL; volume kloroform
= 8,4 mL
3) Titrasi asam asetat
Volume larutan NaOH baku yang terpakai : 1.
10,1 mL; 2. 9,1 mL
Kadar perhitugan asam asetat dalam larutan air
o Ekstraksi tunggal = 0,097667 N
o Ekstraksi berulang = 0,0888 N
Kadar perhitugan asam asetat yang tinggal dalam
kloroform
o Ekstraksi tunggal = 0,035 N
o Ekstraksi berulang = 0,0338 N
4) Koefisien distribusi asam asetat
o Ekstraksi tunggal = 0,358
o Ekstraksi berulang = 0,381
12
5.2 Tabel Pengamatan Percobaan Ekstraksi Asam
Asetat
Tabel 5.2.1 Penimbangan Bahan Ekstraksi Asam
Asetat
13
NO NAMA BAHAN PENIMBANGAN
1.Pembuatan
Larutan
NaOH 1 gram
Asam
Oksalat1,26 gram
Asam
asetat0,572 mL
2.Ekstraksi
Tunggal
Asam
asetat20 mL
Kloroform 30 mL
3.Ekstraksi
Berulang
Asam
asetat20 mL
Kloroform 3 x 10 mL
Tabel 5.2.2 Pembakuan NaOH 0,1 N dengan asam
oksalat 0,1 M
No
Volume
Asam
Oksalat
Titrasi
Ke-
Volume NaOH yang
Diperlukan
1. 10 mL 1 20,1 mL
2. 10 mL 2 21,4 mL
3. 10 mL 3 20,5 mL
Tabel 5.2.3 Ekstraksi Tunggal Asam Asetat 0,1 M
Volume
Fase Air
Volume
Fase
Kloroform
Volume Fase
Air yang
Diambil
Volume NaOH
yang
Digunakan
19,5 mL 28,5 mL 10 mL 10,1 mL
Tabel 5.2.4 Ekstraksi Berulang Asam Asetat 0,5 M
Ekstra
ksi
ke-
Volume
Fase Air
Volume Fase
Kloroform
1 18,9 mL 7,4 mL
14
2 18,2 mL 8,3 mL
3 18,1 mL 8,4 mL
Fase Air yang
Diambil
NaOH yang
Digunakan
10 mL 9,1 mL
VI. PERHITUNGAN
VI.1 Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N
BM = 40 gram/mol (FI IV, hal.589)
Perhitungan Larutan NaOH 0,1 N :
N = M x ek
M = Nek =
0,1gr.ek /L1gr.ek /mol
= 0,1 M
M = massaMRx 1000
V
0,1 M = massa40x 1000250
Massa = 1 gram
VI.2 Pembuatan Larutan Asam Oksalat 0,1 M
BM = 126 gram/mol (FI IV, hal. 1133)
Perhitungan Larutan Asam Oksalat 0,1 M
M = massaMRx 1000
V
15
0,1 M = massa126x 1000100
Massa = 1,26 gram
6.3 Pembuatan Larutan Asam Asetat 0,1 M
Larutan asam asetat glasial dengan kadar 100%vvBM = 60,05 gram/mol , BJ (ρ¿ = 1,05 (FI IV,
hal. 46)
V = mρ = 3,0025gram1,05gram /mL = 2,68 mL
Perhitungan Larutan Asam Asetat 0,1 M
M = massaMRx 1000
V
0,1 M = massa60,05x 1000100
Massa = 0,6005 gram
V = mρ = 0,6005gram1,05gram /mL = 0,572 mL
6.4 Pembakuan NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat 0,1
M
Titrasi NaOH 0,1 N dengan Asam Oksalat 0,1 M
dilakukan sebanyak 3 kali dengan volume masing-
masing Asam Oksalat yang digunakan adalah 10 mL,
sehingga dihasilkan data sebagai berikut :
16
Volume NaOH pada titrasi I = 20,1 mL
Volume NaOH pada titrasi II = 21,4 mL
Volume NaOH pada titrasi III = 20,5 mL
Reaksi : H2C2O4 (aq) + 2 NaOH (aq) Na2C2O4 (aq) + 2
H2O(l)
a.Titrasi I (20,1 mL)
M[NaOH] x V[NaOH] x valensi [NaOH] = M[H2C2O4] x V[H2C2O4] x
valensi[H2C2O4]
M[NaOH] x 20,1 mL x 1 = 0,1 M x 10 mL x 2
M[NaOH] ¿2
20,1
¿ 1010
113,3 M[NaOH] = 0,0995 M
b.Titrasi II (21,4 mL)
M[NaOH] x V[NaOH] x valensi [NaOH] = M[H2C2O4] x V[H2C2O4] x
valensi[H2C2O4]
M[NaOH] x 21,4 mL x 1 = 0,1 M x 10 mL x 2
M[NaOH] ¿ 221,4
M[NaOH] = 0,093 M
c.Titrasi III (20,5 mL)
17
M[NaOH] x V[NaOH] x valensi [NaOH] = M[H2C2O4] x V[H2C2O4] x
valensi[H2C2O4]
M[NaOH] x 20,5 mL x 1 = 0,1 M x 10 mL x 2
M[NaOH] ¿2
20,519,6
M[NaOH] = 0,0975 M
d. Molaritas Rata-Rata NaOH
M¿ 0,0995+0,0,093+0,09753
=0,29013
0,075 M +0,096 M+0,104 M 3
0,275 M 3
¿ 3,13 = 0,0967 M
e. Normalitas NaOH
N = M x ek
= 0,0967 x 1
= 0,0967 N
6.5 Ekstraksi Tunggal Asam Asetat 0,1 M
Penetapan kadar sebenarnya asam asetat 0,1 M
dalam air
V CH3COOH = 20 mL diambil 10 mL
M NaOH = 0,0967 M
V NaOH = 10,1 mL
Pembakuan :
18
M[CH3COOH] x V[CH3COOH] x valensi [CH3COOH]= M[NaOH] x V[NaOH] x
valensi [NaOH]
M[CH3COOH] x 10 mL x 1 = 0,0967 M x 10,1 mL x 1
M[CH3COOH] ¿0,97667
101,5415
M[CH3COOH] = 0,097667 M
Normalitas (N) = M x ek
= 0,097667 x 1
= 0,097667 N
Penetapan kadar sebenarnya asam asetat dalam
kloroform 0,1 M
Massa total
m total = M x V x BM
= 0,1 M x 0,02 L x 60,05grammol
= 0,12 gram
Massa asam asetat dalam air
m. air = M x V x BM
= 0,097667 M x 0,01 L x 60,05grammol= 0,0586 gram
Massa asam asetat dalam kloroform
massa = m total – m.air
= 0,12 gram – 0,0586 gram
= 0,0614 gram
Molaritas Asam Asetat
19
M = mBMx 1000
V
¿0,061460,05
x 100028,5
= 0,035 M
Koefisien Distribusi (KD) Asam Asetat 0,1 M
KD = konsentrasizatpadafaseorganikkonsentrasizatpadafaseair
¿ 0,0350,097667
= 0,358
6.6 Ekstraksi Berulang Asam Asetat 0,1 M
Penetapan kadar sebenarnya asam asetat 0,1 M
dalam air
V CH3COOH = 20 mL diambil 10 mL
M NaOH = 0,097667 M,
V NaOH = 9,1 mL
Pembakuan :
M[CH3COOH] x V[CH3COOH] x valensi [CH3COOH]= M[NaOH] x V[NaOH] x
valensi [NaOH]
M[CH3COOH] x 10 mL x 1 = 0,097667 M x 9,1 mL x
1
M[CH3COOH] ¿0,8887
10
M[CH3COOH] = 0,0888 M
20
Normalitas (N) = M x ek
= 0,0888 x 1
= 0,0888 N
Penetapan kadar sebenarnya asam asetat dalam
kloroform 0,1 M
Massa total
m total = M x V x BM
= 0,1 M x 0,02 L x 60,05 grammol
= 0,12 gram
Massa asam asetat dalam air
m. air = M x V x BM
= 0,0888 M x 0,01 L x 60,05grammol= 0,0533 gram
Massa asam asetat dalam kloroform
massa = m total – m.air
= 0,12 gram – 0,0533 gram
= 0,0667 gram
Molaritas
M = mBMx 1000
V
¿ 0,066760,05X 1000
30
= 0,0338 M
Koefisien Distribusi (KD) Asam Asetat 0,5 M
KD = konsentrasizatpadafaseorganikkonsentrasizatpadafaseair
21
¿0,03380,0888
= 0,381
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum ini dilakukan ekstraksi asam
asetat dengan konsentrasi 0,1 M. Metode yang
digunakan dalam praktikum ini adalah metode
ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair merupakan
suatu metode pemisahan senyawa dari campurannya
diantara dua fase cairan yang tidak saling campur
(Pawlizyn, 2002).
22
Ekstraksi cair-air ditentukan oleh distribusi
Nerst atau hukum partisi yang menyatakan bahwa
“pada konsentrasi dan tekanan yang konstan, analit
akan terdistribusi dalam proporsi yang selalu sama
diantara dua pelarut yang saling tidak campur”.
Perbandingan konsentrasi pada keadaan setimbang di
dalam 2 fase disebut dengan koefisien distribusi
atau koefisien partisi (KD) (Gandjar dan Rohman,
2007).
Pada praktikum ini, hasil ekstraksi dilanjutkan
dengan metode titrasi. Titrasi merupakan suatu
metode untuk menetukan konsentrasi zat di dalam
larutan. Titrasi dilakukan dengan cara mereaksikan
larutan tersebut dengan larutan yang sudah
diketahui konsentrasinya. Reaksi dilakukan secara
bertahap (tetes demi tetes) hingga tepat mencapai
titik stoikiometri atau titik setara (Sunarya dan
Setiabudi, 2007). Titik stoikiometri atau titik
setara merupakan titik pada mana reaksi itu tepat
lengkap. Lengkapnya titrasi, lazimnya harus
terdeteksi oleh suatu perubahan, yang tidak dapat
disalah-lihat oleh mata, yang dihasilkan oleh
larutan standar itu sendiri, atau lebih lazim lagi
oleh penambahan suatu reagensia pembantu yang
dikenal sebagai indikator. Setelah reaksi antara
zat dan larutan standar praktis lengkap, indikator
23
harus memberi perubahan visual yang jelas dalam
cairan yang sedang dititrasi. Titik pada mana ini
terjadi, disebut titik akhir titrasi (Bassett, et
al., 1994).
Dalam praktikum ini, dilakukan titrasi basa kuat
(NaOH) dan asam lemah (C2H2O4) dimana indikator yang
digunakan dibatasi hanya indikator yang terletak
pada titik infleksi pada kurva titrasi (Gambar
7.2). Oleh karena itu, digunakan indikator
phenolphthalein (PP) (Gandjar dan Rohman, 2007).
Dalam farmakope pembuatan PP dilakukan dengan cara:
menimbang saksama lebih kurang 3,0 gram, dimasukkan
ke dalam labu tentukur 100-ml, dilarutkan dan
diencerkan dengan etanol P sampai tanda batas,
diukur serapan ultraviolet larutan ini pada panjang
gelombang serapan maksimum lebih kurang 405 nm
menggunakan etanol P sebagai blangko: serapan
kurang dari 0,150 (Depkes RI, 1995).
Pada metode titrasi dikenal adanya larutan baku
primer dan sekunder. Tujuan dilakukannya pembakuan
adalah untuk menentukan konsentrasi suatu larutan.
Baku primer adalah senyawa-senyawa kimia stabil
yang tersedia dalam kemurnian tinggi dan yang dapat
digunakan untul membakukan larutan baku yang
digunakan dalam titrasi. Dalam praktikum ini yang
merupakan larutan baku primer adalah larutan asam
24
oksalat (H2C2O4). Titran seperti natrium hidroksida
(NaOH) tidak dapat dianggap sebagai baku primer
karena kemurniannya cukup bervariasi (Watson,
2009). Larutan yang dibuat melalui standarisasi
terhadap standar primer disebut dengan standar
sekunder (Cairns, 2009). Baku sekunder dalam
praktikum ini adalah NaOH yang telah distandarisasi
dengan larutan asam oksalat. NaOH memiliki
kemurnian yang yang bervariasi, dapat menyerap CO2,
higroskopis dan mengandung air dengan perbandingan
yang tidak tetap sehingga NaOH perlu dibakukan
terlebih dahulu sebelum digunakan untuk ekstraksi
(Depkes RI, 1995).
Pada praktikum ini hal pertama yang dilakukan
adalah membuat larutan asam oksalat 0,1 M sebanyak
100 mL dan larutan asam asetat 0,1 M sebanyak 100
mL. Pembuatan larutan asam oksalat dibuat denga
cara melarutkan 1,26 gr asam oksalat dengan air
hingga 100 mL. Larutan asam asetat dibuat dengan
cara melarutkan 0,572 mL asam asetat dalam air
hingga 100 mL. Sifat asam asetat dapat bercampur
dengan air (Depkes RI, 1995). Selanjutnya dibuat
larutan NaOH 0,1 M sebanyak 250 mL. Larutan NaOH
dibuat dengan cara melarutkan 1 gr NaOH dalam air
hingga 250 mL. Kelarutan NaOH mudah larut dalam air
(Depkes RI, 1995). Tahap selanjutnya adalah
25
membakukan larutan NaOH dengan larutan baku primer
yaitu larutan asam oksalat 0,1 M. Pembakuan NaOH
dilakukan dengan cara memipet 10 mL asam oksalat
dan ditambahkan indikator PP (phenolphthalein)
sebanyak 3 tetes. Penambahan indikator PP bertujuan
agar dapat diketahui kapan reaksi itu telah
berjalan sempurna dengan ditandai adanya perubahan
warna pada larutan. Perubahan warna larutan menjadi
merah mudah dikarenakan indikator phenolphthalein
mengalami pengaturan ulang struktur karena satu
proton dihilangkan dari salah satu gugus fenolnya
seiring dengan meningkatnya pH dan hal ini
menyebabkan perubahan warna (Watson, 2007).
Gambar 7.1 Pengaturan ulang struktural yang menyebabkan perubahan warna dalam fenolftalein (Watson,
2007)
Selanjutnya dilakukan titrasi terhadap larutan
asam oksalat yang telah ditetesi dengan indikator
PP. Titik akhir titrasi pada praktikum ini ditandai
26
dengan berubahnya larutan menjadi berwarna merah
muda. Pembakuan NaOH dilakukan sebanyak 3 kali,
dengan tujuan untuk mendapatkan hasil yang akurat.
Setelah dilakukan pembakuan, diperoleh volume
larutan NaOH rata-rata sebanyak 20,67 mL dengan
konsentrasi NaOH 0,0968 M. Tujuan dari pembakuan
suatu larutan adalah untuk menetapkan konsentrasi
larutan tersebut, dimana konsentrasi awal yang
ingin ditetapkan adalah sebanyak 0,1 M akan tetapi
pada praktikum ini konsentrasi NaOH yang diperoleh
0,0968 M. Perbedaan konsentrasi tersebut dapat
terjadi karena sifat NaOH yang higroskopis dan
cepat menyerap CO2 dimana larutan NaOH yang
dimasukkan ke dalam buret tidak ditutup dengan
aluminium foil sebelum dilakukannya proses titrasi
sehingga adanya kemungkinan penyerapan CO2 dari
udara yang dapat mempengaruhi konsentrasi NaOH yang
dibuat.
Berikut ini adalah contoh kurva titrasi asam
lemah basa kuat CH3COOH 0,1 M dan NaOH 0,1 M :
27
Gambar 7.2 Profil pH dari titrasi asam lemah-basa
kuat. Larutan 0,1 M NaOH ditambahkan dari buret ke 25,0
mL larutan CH3COOH 0,1 M dalam labu erlenmeyer. Oleh
karena terjadi hidrolisis pada garam yang terbentuk, PH
pada titik ekivalen lebih besar daripada 7 (Chang,
2003).
Pada gambar menunjukkan kurva titrasi yang
dicapai dari titrasi asam lemah dengan basa kuat,
pH tersebut tetap rendah sampai tepat sebelum titik
ekuivalen, ketika pH meningkat dengan cepat ke
nilai yang tinggi. Pada banyak titrasi, suatu
indikator berwarna digunakan, meskipun metode
elektrokimia untuk mendeteksi titik akhir juga
digunakan (Watson, 2007).
Tahap selanjutnya adalah ekstraksi asam asetat.
Ekstraksi asam asetat dilakukan dengan 2 kali
percobaan yaitu ekstraksi tunggal dengan 30 mL
kloroform dan ekstraksi berulang sebanyak 3 kali
dengan 10 mL kloroform. Pertama dilakukan ekstraksi
tunggal dengan 30 mL kloroform. Ekstraksi tunggal
dilakukan dengan cara 20 mL asam asetat dimasukkan
ke dalam corong pisah 100 mL kemudian ditambahkan
30 mL kloroform dan dilakukan penggojogan sebanyak
30 kali putaran secara perlahan. Ekstraksi
dilakukan dalam 2 fase cairan yang tidak saling
campur, dimana dalam hal ini sifat kloroform adalah
28
non polar, sedangkan air bersifat polar. Dengan
struktur kimia asam asetat CH3COOH membuat asam
asetat larut dalam pelarut organik (kloroform) dan
pelarut air, namun kelarutan asam asetat dalam air
lebih besar dari kelarutannya dalam pelarut
organik. Sehingga ada sebagian dari asam asetat
larut dalam fase organik dan fase air. Tujuan
dilakukannya penggojogan secara perlahan sebanyak
30 kali adalah agar kedua pelarut dapat kontak
sehingga analit terdistribusi dalam kedua fase
pelarut atau agar kedua cairan tersebut mencapai
keadaan setimbang ( Day, dkk., 2001). Setelah
dilakukan penggojogan terbentuk 2 lapisan yaitu
lapisan air dan lapisan kloroform. Lapisan yang
berada di bawah merupakan lapisan kloroform dan
lapisan air berada di atasnya. Hal tersebut terjadi
karena berat jenis kloroform lebih besar daripada
air yaitu 1,476 gr/mL sedangkan air memiliki berat
jenis 1 gr/mL (Depkes RI, 1995) sehingga fase
kloroform berada pada lapisan bawah. Selanjutnya
kedua lapisan tersebut dipisahkan dan diukur
volumenya. Untuk mengetahui konsentrasi asam asetat
dalam lapisan air maka lapisan air kemudian
dititrasi dengan larutan NaOH yang telah dibakukan
dimana sebelumnya telah ditetesi dengan indikator
PP sebanyak 3 tetes. Pada ekstraksi tunggal ini
29
diperlukan NaOH sebanyak 10,1 mL untuk mencapai
titik akhir titrasi dan diperoleh KD sebesar 0,358
Ekstraksi berulang dilakukan dengan cara yang
sama, namun kloroform yang digunakan sebanyak 10 mL
dan dilakukan sebanyak 3 kali. Pada ekstraksi
berulang ini diperoleh KD sebesar 0,381. Reaksi yang
terjadi pada penetralan asama asetat dengan NaOH
adalah sebagai berikut:
CH3COOH + NaOH CH3COONa + H2O
Pada literatur disebutkan bahwa ekstraksi akan
lebih efisien jika dilakukan berulang kali dengan
jumlah pelarut yang sedikit dibandingkan dengan
ekstraksi tunggal dengan pelarut yang banyak
(Gandjar dan Rohman, 2007). Dari pernyataan
tersebut dapat dikatakan bahwa harga KD untuk
ekstraksi berulang lebih besar dibandingkan dengan
ekstraksi tunggal.
VIII. KESIMPULAN
VIII.1 Pemisahan ekstraksi asam
asetat dalam praktikum ini menggunakan metode
ekstraksi cair-cair. Ekstraksi cair-cair
merupakan teknik pemisahan diamana suatu larutan
dibuat bersentuhan dengan pelarut yang kedua,
yang pada hakikatnya kedua pelarut tersebut
30
tidak saling campur dan menimbulkan perpindahan
satu atau lebih zat terlarut ke dalam pelarut
kedua. Untuk mengetahui kadar asama asetat dalam
lapisan air maka dilakukan titrasi dengan
larutan NaOH yang telah dibakukan.
VIII.2 Koefisien distribusi
ditentukan dengan menghitung perbandingan antara
konsentrasi zat pada pelarut organik dengan
pelarut air. Pada ekstraksi tunggal diperoleh KD
0,358 dan ekstraksi berulang diperoleh KD 0,381.
Dari nilai KD tersebut harga KD untuk ekstraksi
berulang lebih besar dibandingkan dengan
ekstraksi tunggal. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyatakan nilai KD pada
ekstraksi berulang lebih besar daripada nilai KD
pada ekstraksi tunggal.
31