Date post: | 28-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | ubrawijaya |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
MOTIVE PELAKU FRAUD dan CARA MENGATASI FRAUD MELALUI
FRAUD PREVENTION, FRAUD DETECTION dan FRAUD DETERRENCE
UJIAN AKHIR SEMESTER
Diajukan sebagai Tugas Individu Matakuliah FraudExamination yang dibimbing oleh Gugus Irianto, SE., MSA.,PhD., AK dan M. Achsin, Dr., SE., SH., MM., M.kn.,
M.Ec.Dev., Ak., CA., CPA
Oleh :
I PUTU HENDRA SETIAWAN
146020310111010
PROGRAM STUDI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSEITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015
Motive Pelaku Fraud dan Cara Mengatasi
Fraud Melalui
Fraud Prevention, Detection, And DeterrenceOleh: I Putu Hendra Setiawan
Abstraksi
Fraud merupakan tindakan yang melanggar hukum danillegal, yang bertujuan tuntuk mendapatkan keuntungansecara pribadi. Kasus Enron dan Arthur Andersonmerupakan salah satu contoh fraud. Fraud yang dilakukanoleh Enron dan Arthur Anderson adalah memanipulasilaporan keuangan Enron sehingga terlihat begitu sexydan mampu menarik banyak minat investor untuk melakukaninvestasi. Namun tiba-tiba Enron dinyatakan bangkrutakibat masalah keuangan. Kebangkrutan Enron pada saatitu memberikan dampak besar terhadap perekonomianAmerika Serikat. Biasanya dampak yang timbul olehtindakan fraud pada umumnya bersifat sangat merusak baikdari segi ekonomi mikro hingga makro dan hingga merusaktatanan moral secara umum terhadap masyarakat. Motivepelaku fraud pada umumnya dapat dibagi menjadi tiga yaitupressrure, received opportunity dan rationalization atau yang biasadikenal fraud triangle. Siapapun bisa melakukan tindakanfraud, dimulai dari karyawan tingkat bawah hinggapimpinan puncak, fraud tidak memandang bulu meskipunyang melakukannya adalah orang kepercayaan. Fraud bisabenar-benar terealisasi ketika ketiga emelem ini sudahteridikasi. Maka untuk menanggulangi fraud dapat diabagimenjadi tiga kondisi dan strategi. Pertama kondisisebelum terjadi fraud, strategi yang digunakan adalahfraud prevention. Kedua kondisi fraud terjadi, strategi
1
yang digunakan adalah fraud detection. ketiga kondisisesudah fraud terjadi, strategi yang digunakan adalahfraud deterrence. Kata Kunci: Fraud Prevention, Fraud Detection, Fraud Deterrence
1. Pendahuluan Fraud adalah kata yang mungkin asing didengar oleh
sebagian kalangan di Indonesia. Berbeda dengan seorang
akuntan terutama dibidang akuntansi forensik. Mereka
pasti akrab dengan kata fraud. Fraud dalam bahasa
Indonesia bisa diartikan sebagai penipuan. Penipuan
adalah sebuah kebohongan yang dibuat untuk keuntungan
pribadi tetapi merugikan orang lain. Sedangkan definisi
fraud secara umum adalah “is a deception deliberately practiced in
order to secure unfair or unlawful gain” atau sebuah kecurangan
yang dilakukan dalam rangka untuk memperoleh keuntungan
yang tidak wajar atau melanggar hukum (Wikipedia.com).
Bagi mereka seorang akuntan, fraud merupakan
sebuah kejahatan yang bisa dikatakan menakutkan. Pada
akhir tahun 1990 dan awal 2000, terdapat tindakan
penipuan yang di lakukan oleh akuntansi seperti yang
dilakukan oleh Enron, WorldCom, Xerox, Tyco, Global
Grossing, Adelphia dan perusahaan lainnya. Saat itu
Enron merupakan perusahaan yang terlihat sangat sexy,
yang memilki aset $62 miliar tetapi secara tiba-tiba
dinyatakan bangkrut pada Desember 2001. Disaat yang
hampir bersamaan pada Juni 2002, Arthur Andersen, salah
satu kantor CPA terbesar dinyatakan kolaps, karena
bekerja sama dengan perusahan Enron. CPA Arthur
2
Andersen melakukan manipulasi telahadap laporan
keuangan Enron, sehingga laporan keuangan Enron
terlihat begitu elok dan mampu menarik investor. Hal
ini merupakan kebangtrukatan terbesar sepanjang sejarah
Amerika Serikat, sehingga memberikan imbas pada
perekonomian Amerika pada saat itu.
Oleh sebab itu pemerintah Amerika Serikat
merespons hal itu dengan mengeluarkan Sarbanes-Oxley
Act (SOX). SOX adalah undang-undang yang dimaksudkan
untuk mencegah kejahatan laporan keuangan, membuat
laporan keuangan lebih transparan, memberikan
perlindungan pada investor, memperkuat pengendalian
internal pada perusahaan publik, dan menghukum
eksekutif yang melakukan kejahatan. Hal ini tidak
menjadi jaminan untuk seseorang atau sebuah perusahaan
tidak melakukan tindakan fraud. Maka untuk itu perlu
dilakukan tindakan yang mampu untuk mencegah dan
mengurangi tindakan fraud. Dalam beberapa litertur
seperti buku dan jurnal Akuntansi Forensik atau Fraud
Examination, memaparkan bahwa terdapat tiga hal penting
yang dapat digunakan untuk mencegah dan mengurangi
tindakan fraud yaitu prevention, detection dan deterrence.
Berkaitan dengan hal itu maka dalam artikel ini
akan membahas tentang mengetahui motiv pelaku fraud dan
mengatasi tindakan fraud yang terjadi, melalui fraud
prevention, detection and deterrence.
3
1.1.Rumusan Masalah1. Mengetahui fraud Prevention
a. Pencegahan fraud
2. Mengetahui fraud detection
a. Indikasi (Symtoms / red flags) fraud
b. Deteksi fraud
3. Fraud deterrence
a. Makna dan lingkup fraud deterrence
2. Kajian Pustaka Dalam kajian pustaka ini penulis akan memberikan
gambaran tentang apa yang dimaksud dengan fraud, Types of
fraud, fraud prevention, fraud detection, dan fraud deterrence.
Kajian ini didasarkan dari buku dan junal ilmiah yang
berkaitan dengan fraud.
2.1. Fraud
Setiap orang dapat memerangi fraud. Tetapi
apakah setiap orang tahu apa definisi fraud
tersebut. Di dunia ini banyak kata yang dapat
mendefinisaikan fraud. Beberapa definisi fraud dari
berbagai lembaga dan beberapa ahli dalam bukunya.
Fraud pada umumnya diartikan sebagai “is a
deception deliberately practiced in order to secure unfair or
unlawful gain” bisa diterjemahkan sebagai sebuah
kecurangan yang dilakukan dalam rangka untuk
memperoleh keuntungan yang tidak wajar atau
melanggar hukum (Wikipedia.com).
4
ISA 240 memberikan pengertian fraud adalah
kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh
seseorang atau lebih dari seorang yang berada di
dalam managemen, pihak yang bertanggung jawab atas
tata kelola, pegawai, atau bisa ketiganya,
melibatkan penggunaan penipuan untuk mendapatkan
keadilan dan keuntungan secara illegal.
Albrecht (2012; 6) dalam Fraud Examination
memberikan pengertian bahwa “fraud is a generic term, and
embraces all the multifarious means which human ingenuity can
devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage
over another by false representations. No definite and invariable
rule can be laid down as a general proposition in defining fraud, as
it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which
another is cheated. The only boundaries defining it are those which
limit human knavery”.
“fraud adalah istilah generik, dan mencakup
seluruh kecerdasan yang dapat dirancang manusia,
yang digunakan oleh seorang individu, untuk
mendapatkan keuntungan lebih lainnya dengan
keterangan palsu. Tidak ada definisi dan peraturan
tetap yang dapat menjelaskan secara umum proporsi
dalam definisi fraud, karena yang termasuk
didalamnya kejutan, tipuan, kecerdasan dan cara
lain yang tidak adil adalah penipuan. Satu-satunya
batas untuk mendefinisikan adalah batas ketidak
jujuran manusai.
5
The Assosciation of Certified Fraud Examiners (ACFE)
dalam Silverstone (2012: 17) mendefisikan “the use of
one’s occupation for personal enrichment through the deliberate
misuse or misapplication of the employing organization’s resources
or assets”.
Definisi fraud menurut Black’s Law Dictionary dalam
Silverstone dan kawan-kawan (2012: 18)
mendefiniskan “fraud is a knowing misrepresentation of the
truth or concealment of a material fact to induce another to act to
hir or her detriment. It could be a tort (civil matter) or it could be
criminal.
Definisi fraud menurut Securities and
Exchange Commision (SEC) dalam Silverstone dan
kawan-kawan (2012: 21) mendefinisikan “fraud is it shall
be unlawful for any person, directly or indirectly, by the use of any
means or instrumentality of interstate commerce, or the mails, or
of any facility of any national securities exchange,
a. To employ any device, scheme, or artifice to defraud
b. To make any untrue statement of a material fact or to omit
to state a material fact necessary in order to make the
statement made in light of the circumstances under which
they were made, not misleading or
c. To engage in any act, practice, or course of business which
operates or would operate as a fraud or deceit upon any
person, in connection with the purchase or sale of any
security.
6
Lain halnya dengan Tuanakotta (2010: 194-
195) dalam Akuntansi Forensik & Audit Investigasi
memaparkan bahwa fraud dalam KUHP Indonesia yang
menyangkut beberapa pasal bisa dinyatakan sebagai
berikut:
a. Pasal 362 tentang Pencurian
b. Pasal 368 tentang Pemerasan
c. Pasal 372 tentang Penggelapan
d. Pasal 378 tentang Perbuatan Curang
e. Pasal 396 tentang Merugikan Pemberi Piutang
dalam Keadaan Pailit
f. Pasal 406 Menghancurkan atau Merusakkan
Barang
g. Pasal 209, 210, 387, 388, 415, 417, 418,
419, 420, 423, 425 dan 435 yang secara
khusus diatur dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999).
Dalam Tuanakotta (2010: 195) menyebutkan juga
bahwa pengertian fraud meliputi berbagai tindakan
melawan hukum. Definisi yang dijelaskan hanya
terbatas oleh beberapa literatur saja tetapi masih
banyak kata yang dapat mendefinisikan fraud.
2.2. Types of fraud
Types of fraud atau jenis tindakan fraud dalam secara
skematis, Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) dalam
7
Tuanakotta (2010: 195) menggambarkan occupational fraud
dalam bentuk fraud tree. Fraud tree memiliki tiga cabang
utama, yakni corruption, asset misappropriation, dan fraudulent
statement.
a. Corruption
Corruption atau korupsi dalam Tuanakotta (2010: 226)
karupsi pada umumnya didefinisikan adalah
penyalahgunaan jabatan di sektor pemerintahan (misuse
of public office) untuk keuntungan pribadi. Istilah
korupsi dalam ranting koruption serupa tapi tidak
sama. Ranting-ranting korupsi yang dimaksud ada
empat bentuk yakni: Conflicts of interest, bribery, illegal
gratuities, economic extortion. Namun dalam Tuanakotta (2010:
198) tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan
economic extortion.
Conflicts of interest
Merupakan benturan kepentingan dalam berbagai
bentuk, di antaranya binis pelat merah atau bisnis
pejabat (penguasa) dan keluarga serta kroni mereka
yang menjadi pemasok atau rekanan di lembaga-lembaga
pemerintahan dan di dunia bisnis sekalipun.
Bribery
Bribery atau penyuapan merupakan bagian yang akrab
dalam kehidupan bisnis dan politik di Indonesia.
8
Dalam ranting ini ada beberapa jenis penyuapan lagi
salah satunya adalah kickback. Kickback ( secara harfiah
berarti “tendangan balik”) merupakan salah satu
bentuk penyuapan di mana si penjual mengikhlaskan
sebagian dari hasil penjualannya. Presentase yang
diikhlaskannya itu bisa diatur di muka, atau
diserahkan sepenuhnya kepada keikhlasan penjual.
Illegal gratuities
Ilegal gratuities adalah pemberian atau hadiah yang
merupakan bentuk terselubung dari penyuapan. Dalam
kasus korupsi di Indonesia kita melihat hal ini
dalam bentuk hadiah perkawinan, hadiah ulang tahun,
hadiah perpisahan, hadiah kenaikan pangkat dan
jabatan, dan lain-lain yang diberikan kepada
pejabat.
b. Asset Misappropriation
Asset Misappropriation atau pengambilan aset secara
illegal dalam bahasa sehari-hari disebut mencuri.
Namun dalam istilah hukum mengambil aeset secara
illegal (tidak sah, atau melawan hukum) yang
dilakukan oleh seseorang yang diberi wewenang untuk
mengelola atau mengawasi aset tersebut, disebut
menggelapkan. Penggelapan aset bisa dikategegorikan
menjadi dua yaitu aset lancar atau aset tidak
lancar. Contoh aset alancar yang dapat digelapkan
adalah kas, piutang, utang dan lain sebagainya yang
9
berbentuk aset lancar. Sedangkan contoh aset tidak
lancar yang dapat digelapkan adalah inventori,
peralatan kantor dan lain sebagainya.
c. Fraudulent statement
Fraudulent statement dalam ranting fraud tree ini sangat
dikenal oleh auditor yang melakukan general audit
(opinion audit). Fraudulent statement merupakan bentuk
manipulasi laporan keuangan maupun non keuangan.
Pada laporan keuangan ini berupa salah saji
(misstatement baik overstatement maupun understatements).
Biasanya para pelaku fraud bisa mememanupulasi laporan
kuangannya dari akun aset atau pendapatan yang
terlalu tinggi dan sebaliknya bisa menyampaikan
jumlah aset atau pendapatan lebih rendah dari yang
sebenarnya. Pada laporan non-keuangan biasanya
pelaku akan memberikan penyampaian menyesatkan,
lebih bagus dari pada yang sebenarnya dan sering
kali merupakan pemalsuan atau pemutarbalikan
keadaan.
Dalam Albrecht (2012: 10) mengklasifikasikan fraud
menurut jenis korban. Yang pertama perusahaan atau
organisasi yang menjadi korban (company or organization as
victim), yang ke dua pemegang saham yang menjadi korban
(shareholder as victim), yang ke tiga individu yang tidak
waspada sebagai korban (unwary individuals as victim), dan
yang ke empat siapapun menjadi korban (anyone as victim).
10
Berikut contoh dari masing-masing fraud berdasarkan
jenis korban.
a. perusahaan atau organisasi yang menjadi korban
(company or organization as victim)
penggelapan yang dilakukan karyawan (employee
emblezzlement), dimana penggelapan dibedakan
menjadi dua macam yaitu pertama secara
langsung, dimana karyawan secara langsung
mencuri aset perusahaan. Ke dua secara tidak
langsung, dimana karyawan menerima suap dari
vendor atau pelanggan, menjual barang inferior,
non delivery items.
Penipuan yang dilakukan vendor (vendor fraud),
diaman biasanya pertama dilakukan oleh vendor
itu sendiri atau kedua melalui kolusi atau
kerjasama antar vendor dengan pembeli. Contoh
vendor fraud adalah menjual barang dengan harga
terlalu tinggi, menjual barang inferior
(berkualitas rendah), dan tidak mengirimkan
barang yang dipesan konsumen.
Penipuan yang dilakukan pelanggan (customer
fraud), yaitu ketika pertma pelanggan tidak
membayar barang yang dibelinya, kedua menipu
perusahaan agar memberi mereka sesuatu yang
bukan haknya.
b. pemegang saham yang menjadi korban (shareholder as
victim)
11
penipuan yang dilakukan manajemen (manajemen
fraud) atau yang biasa dikenal dengan manipulasi
atas laporan keuangan. Dalam hal ini, top
manajemen sengaja melakukan manipulasi atas
laporan keuangan dengan cara menyajikan laporan
keuangan tersebut tidak sesuai dengan kenyataan
(disajikan overstated atau understated). Contohnya
adalah kasus Enron atau Sunbeam.
c. individu yang tidak waspada sebagai korban (unwary
individuals as victim)
penipuan investasi dan konsumen lainnya
(investment and other customer fraud), dimana pihak
perusahaan menjual investasi yang buruk
(worthless) kepada investor. Contohnya adalah
ponzi schemes, penipuan telemarketing, Nigerian letter
atau money scams, pencurian identitas, penipuan
uang muka, penipuan letter credit, dan internet fraud.
d. siapapun menjadi korban (anyone as victim)
penipuan lain-lain (Miscellaneous fraud) yaitu
segala bentuk penipuan yang merugikan orang
lain. Contohnya adalah ketika seorang siswa
memanfaatkan computer sekolah untuk melakukan
manipulasi nilai akademis.
2.3. Fraud triangle
Fraud triangle atau segi tiga kecurangan. Fraud
examiners manual (edisi 2006) menyebut Donald R. Cressey
dalam Tuanakotta (2010: 205) menyebutkan bahwa Cressey
12
sebagai mahasiswa terpandai Edwin H. Sutherland. Dia
meneliti tentang kebalikan yang diteliti oleh Edwin.
Dimana Edwid memfokuskan penelitian pada kriminalitas
masyarakat atas, tetapi sebaliknya Cressey meneliti
para pegawai yang mencuri uang perusahaan. Crassey
tertarik pada pegawai yang disebut trust violators atau
pelanggar kepercayaan atau mereka yang melanggar
kepercayaan atau amanah yang dititipkan kepada mereka.
Ia secara khusus tertarik pada hal-hal yang menyebabkan
mereka menyerah kepada godaan.
Fraud triangle pada umumnya disetiap literature
terditri dari tiga bagian yaitu petama pressure, ke dua
opportunity, dan yang ke tiga rationalization. Dalam
Albrecht (2012: 34) memaparkan hal yang sama.
a. Pressure
13
Penggelapan uang perusahaan oleh pelaku fraud
bermula dari suatu tekanan (pressure) yang
menghimpitnya. Biasanya pelaku memiliki kebutuhan
keuangan yang mendesak, yang tidak dapat
diceritakannya kepada orang lain. Konsep yang
penting adalah, tekanan yang menghimpit hidupnya
(berupa kebutuhan keuangan) yang tidak dapat dibagi
dengan orang lain.
b. Perceived Opportunity
Opportunity atau peluang, jadi bukan hanya terkait
dengan pressure peluang yang ada membawa seseorang
untuk dapat melakukan tindak kecurangan. Menurut
Crassey dalam Tuanakotta (2010: 211) menyatakan
bukan pencuri atau embezzlement-nya yang mendorong
kebutuhan untuk diam-diam atau berahasia, melainkan
situasi yang mendahului pencurian itu.
c. Rationalization
Sudut ketiga dari fraud triangle adalah rationalization
atau mencari pembenaran sebelum melakukan kejahatan,
bukan sesudahnya. Memcari pembenaran sebenarnya
merupakan bagian yang harus ada dari kehajatan itu
sendiri, bahkan merupakan bagan dari motivasi untuk
melakukan kejahatan.
2.4. Fraud prevention
seperti menangani penyakit, lebih baik mencegah
daripada mengobati. Fraud Prevention atau pencegahan fraud
14
dalam Tuanakotta (2010: 272) menjelaskan bahwa pencehan
tindakan fraud dapat dimulai dari pengendalian internal.
Dalam hal ini Tuanakotta membagi pengendalian intern
menjadi dua bagian. Yang pertama adalah pengendalian
intern aktif dan yang kedua adalah pengendalian intern
pasif. Kata kunci untuk pengendalian intern aktif
adalah to prevent, mencegah. Kata kunci untuk
pengendalian intern pasif adalah to deter, mencegah
karena konsekuensinya terlalu besar, membuat jera.
Masing-masing pengendalian internal aktif maupun pasif
memiliki sarana.
a. Pengendalian intern aktif
Tanda tangan
Tanda tangan kaunter (countersigning)
Password dan PIN (personnel identification numbers)
Pemisahan tugas
Pengendalian aset secara fisik
Pengendalian persedian secara real time (real-
time inventory control)
Pagar, gembok , dan semua bangunan dan
penghalang fisik.
Pencocokan dokumen
Formulir yang sudah dicetak nomornya
b. Pengendalian intern pasif
Customized control
Audit trails
Focused audit
15
Surveillance of key activities
Rotation of key personnel
Selain menggunakan pengendalian intern sebagai
pencehan fraud, dalam Albrecht (2012: 103) menyatakan
hal yang pertama bagaimana seseorang bisa melakukan
tindakan yang tidak jujur. Dengan mencari apa penyebab
seseorang bisa berbuat tidak jujur diharapkan akan
mampu mengatasi tindakan itu. setelah itu menurut
Albrecht juga kita sebaiknya membentuk lingkungan yang
jujur, baik itu di lingkup perusahaan ataupun di mana
saja. Sehingga lingkungan yang jujur mampu membentuk
karakter seseorang menjadi jujur. Karakter yang jujur
dari setiap orang yang ada di lingkungan tersebut
diharapkan bisa mengurangi tindakan fraud.
2.5. Fraud detection
Prevention fraud merupakan teknik pencegahan fraud
yang belum terjadi. Lalu bagaimana dengan tindakan
fraud yang telah terjadi. mendeteksi fraud atau (fraud
detection) adalah cara bagaimana kita mengetahui fraud
itu telah terjadi. kejahatan fraud biasnya sulit
terlihat oleh mata. Tidak seperti penemuan mayat dari
korban pembunuhan, tidak ada pertanyaan bahwa kejahatan
telah terjadi. Mayat bisa dilihat dan disentuh. Seperti
jika disuatu bank telah dirampok, tidak ada pertanyaan
atau tidak bahwa kejahatan telah dilakukan. Semua orang
di bank, termasuk nasabah dan karyawan menyaksikan
16
perampokan tersebut. Sedangkan kejahatan Fraud sulit
sekali dapat dikatakan sebagai kejahatan yang telah
terjadi yang dapat disentuh atau dilihat dengan kasat
mata. Hanya gejala-gejala fraud, red flags, atau indikator
yang dapat dilihat.
Dalam Albrecht (2012: 137) salah satu cara
mendeteksi fraud adalah dengan mengenali gejala-gelala
fraud atau symptoms of fraud, red flags. Gejala-gejala
kecurangan (fraud) dapat dipisahkan menjadi 6 (enam)
kelompok: pertama Accounting anomalies ( keganjilan atau
keanehan akuntansi ), kedua Internal control weakness
(kelemahan sistem pengendalian internal), ketiga
Analytical anomalies (keanehan analitikal), keempat
Extravagant lifestyle (gaya hidup yang boros atau konsumtif),
kelima Unusual behavior (kebiasaan yang tidak biasa) dan
yang terakhir Tips and complaints. (tips dan keluhan atau
komplen).
a) Accounting anomalies ( keganjilan atau keanehan
akuntansi )
Keganjialan akuntansi adalah suatu gejala adanya
fraud yang mencakup masalah-masalah mengenai sumber
bukti dari catatan akuntansi, keslahan penjurnalan
dan ketidakwajaran pada buku besar. Perbedaan yang
sering terjadi antara seorang auditor yang melakukan
audit atas laporan keuangan (general audit) dengan
seorang pelaku kecurangan pada saat memeriksa
catatan akuntansi dan bukti-bukti pendukung adalah
17
tentang ketelitian dan kejelian dalam melihat data
akuntansi tersebut. Seorang auditor biasanya hanya
mencocokkan data audit dengan bukti-bukti audit,
untuk kecocokan dengan standar yang berlaku, dan
memenuhi asersi keberadaannya. Sedangkan seorang
yang melakukan kecurangan akan bertindak lebih jauh
dalam mengamati catatan akuntansi. Pelaku kecurangan
pasti akan melakukan analisis lebih autentik pada
catatan akuntansi dan peluang disalahgunakan untuk
mendukung kegiatan kecurangan tersebut. Contoh
tindakan Accounting anomalies adalah pertama ketidak
akuratan buku besar, kesalahan pencatatan jurnal,
dan penyimpangan pada sumber konsumen.
b) Internal control weakness (kelemahan sistem
pengendalian internal)
Dibahas sebelumnya, kecurangan yang terjadi ketika
adanya tekanan, adanya peluang dan rasionalisasi.
Secara rasional. Ketika internal control yang
diterapkan oleh perusahaan itu lemah, maka resiko
akan ada tindakan kecurangan akan semakin tinggi.
Indikasi adanya kelemahan pengendalian internal
adalah;
Ketiadaan pemisahan wewenang
Ketiadaan pengendalian atas keamanan aset
perusahaan
Ketiadaan alur pemeriksaan
Ketiadaan alur otorisasi
18
Ketiadaan sistem pendokumentasian yang baik
Overriding dari pengendalian yang sudah ada
Sistem akuntansi yang tidak lagi mencukupi
kebutuhan perusahaan
c) Analytical anomalies (keanehan analitikal)
Gejala-gejala kecurangan yang ada pada keganjilan
analisis merupakan prosedur atau hubungan dimana
kecurangan tersebut terlalu luar biasa atau tidak
realistis untuk dapat dipercayai. Kecurangan ini
berhubungan dengan transaksi atau kegiatan yang
sering terjadi yang dilakukan sendirian atau
melibatkan orang banyak yang tidak seharusnya
berpartisipasi. Kecurangan ini juga melibatkan
transaksi dan jumlah dimana angka yang diberikan
terlalu besar atau terlalu kecil (sering atau jarang
sekali terjadi).
Indikasi adanya keanehan analitis bisa ditemukan
melalui beberapa kasus dibawah ini, yaitu jika ada;
Penyesuaian persediaan yang tidak bisa dijelaskan
Penyimpangan dari spesifikasi persediaan
Peningkatan jumlah bahan baku sisa
Tertalu banyak ada retur dari konsumen atau retur
beli yang dikirim perusahaan ke supliernya.
Kenaikan atau penurunan yang signifikan terhadap
saldo suatu akun atau atas rasio laporan
keuangannya.
Abnormalisasi fisik
19
Kelebihan atau kekurangan kas
Beban atau pengembalian yang tidak rasional.
Meningkatnya scrap.
Hubuangan aneh dalam laporan keuangan seperti
meningkatnya pendapatan dengan menurunnya
persedian, meningkatnya persediaan dengan
menurunnya biaya penyimpangan, dan lain
sebagainya.
Terlalu banyak memo kredit atau debit.
d) Extravagant lifestyle (gaya hidup yang boros atau
konsumtif)
Kebanyakan pelaku tindak kecurangan adalah mereka
yang berada di bawah tekanan masalah keuangan.
Masalah keuangan itu bisa muncul karena memang
sedang dalam kondisi kesulitan keuangan dalam artian
sesungguhnya (bangkrut, sedang dalam musibah, dan
lain sebagainya) atau juga bisa muncul sebagai
akibat dari gaya hidup yang boros.
Gaya hidup yang boros juga bisa dipilah-pilah
penyebabnya. Kemungkinan pertama adalah, seorang
individu memang sudah terbiasa untuk hidup mewah dan
boros, lalu pada suatu waktu dia bangkrut tetapi
tidak dapat menerima kenyataan akan kebangkrutannya
sehingga berupaya apapun agar bisa kembali hidup
mewah, yang salah satu caranya adalah melakukan
tindakan kecurangan. Kemungkinan kedua adalah,
individu mengalami perubahan gaya hidup yang
20
Insomnia Peningkatan meminum minuman kerasMemakai narkobaKetidak mampuan untuk santai Takut ketahuan Defensive Berkeringat Peningkatan dalam merokok
Merasa Bersalah
Ketakutan
Stress
Tingkah laku beberubah
mencolok, yang awalnya sederhana lalu dengan
seketika merasakan gaya hidup serba mewah. Akhirnya
individu yang seperti ini akan memiliki
kecenderungan untuk senantiasa mempertahankan
kekayaannya dengan cara apapun termasuk berbuat
kecurangan.
e) Unusual behavior (kebiasaan yang tidak biasa)
Riset Psikologi mengindikasikan bahwa orang yang
melakukan tindakan criminal diliputi oleh perasaan
takut dan bersalah yang besar. Emosi ini
mengekpresikan diri mereka sendiri dalam respon
fisik tidak senang yang berlebihan yang disebut
dengan stress. Seorang yang biasanya baik menjadi
merasa takut dan sering emosi. Orang yang biasanya
suka emosi berubah menjadi orang baik. Individu
tersebut kemudian menampakkan tingkah laku yang
berbeda untuk menanggulangi stressnya, hal ini dapat
digambarkan dengan :
21
f) Tips and complaints. (tips dan keluhan atau komplen)
Tips dan keluhan termasuk kategori gejala-gejala
kecurangan dari pada fakta kecurangan yang
sebenarnya, hal ini disebabkan karena kebanyakan
tips dan keluhan seringkali berubah menjadi suatu
yang tidak tepat. Sesuatu yang sulit dalam menilai
motivasi seseorang yang melakukan complain dan
memberikan tips. Contohnya nasabah mereka complain
karena mereka merasa diambil keuntungannya. Karyawan
memeberikan tips karena termotivasi atas kebencian,
masalah pribadim atau cemburu.
Dalam Tuanakotta (2010: 285) memaparakan bahwa
mendeteksi fraud bisa dilakukan dengan mengunakan fraud
audit. Fraud audit atau audit investigasi Suatu
pengujian mengenai bukti atas suatu pernyataan atau
pengungkapan informasi keuangan nuntuk menentukan
keterkaitannya dengan ukuran-ukuran standar yang
memadai untuk kebutuhan pembuktian di pengadilan. Audit
forensik lebih menekankan proses pencarian buki serta
penilaian keseuaian bukti atau temuan audit tersebut
dengan ukuran pembuktian yang dibutuhkan untuk proses
persidangan. Audit forensik merupakan perluasan dari
penerapan prosedur audit standar ke arah pengumpulan
bukti untuk kebutuhan persidangan di pengadilan. Audit
investigatif juga memilki beberapa pendekatan yang
digunakan untuk melakukan audit. Pertma audit
22
investigatif dengan tenik audit general, kedua audit
investigatif dengan teknik perpajakan, ketiga audit
investigatif dengan menganalisis perbuatan yang melawan
hukum dan masih ada beberapa yang lainnya.
2.6. Fraud deterrence
Berdasarkan Cendrowski (2007) dalam bukunya the
Handbook of Fraud Deterrence, Fraud Deterrence (Pencegahan
Penipuan) adalah proses perbaikan dan alat pemantauan.
Pencegahan penipuan adalah deteksi penipuan tidak lebih
awal, dimana penipuan disinyalir sedang dilaksanakan.
Deteksi penipuan melibatkan review transaksi historis
untuk mengidentifikasi indikator transaksi yang tidak
sesuai. Pencegahan melibatkan analisis kondisi dan
prosedur yang mempengaruhi enabler penipuan, pada
dasarnya, melihat apa yang bisa terjadi di masa depan
mengingat definisi proses di tempat, dan orang-orang
yang beroperasi proses. Pencegahan menekankan pada
tindakan preventif dalam mengurangi faktor terjadinya.
Pencegahan penipuan adalah identifikasi proaktif
dan penghapusan kausal dan faktor yang memungkinkan
penipuan. Pencegahan penipuan didasarkan pada premis
bahwa penipuan bukan kejadian acak; penipuan terjadi di
mana kondisi benar untuk itu terjadi. Penipuan
pencegahan menyerang akar penyebab dan enabler
penipuan; Analisis ini dapat mengungkapkan peluang
penipuan potensial dalam proses, namun dilakukan pada
premis bahwa meningkatkan prosedur organisasi untuk
23
mengurangi atau menghilangkan faktor-faktor penyebab
penipuan adalah pertahanan terbaik tunggal terhadap
penipuan. Penipuan pencegahan melibatkan kedua jangka
pendek (prosedural) dan jangka panjang inisiatif
(budaya).
Tujuan utama dalam melakukan penilaian pencegahan
penipuan adalah untuk mempelajari sistem pengendalian
intern secara keseluruhan organisasi untuk
mengidentifikasi peluang untuk perbaikan. sementara
beberapa kontrol mungkin secara khusus menangani
keamanan aset, berusaha untuk memastikan bahwa tidak
terjadi penyalahgunaan, kontrol lain harus membahas
aspek operasional perusahaan dan perusahaan lingkungan.
Dengan cara ini, keterlibatan pencegahan penipuan
adalah perbaikan terus-menerus inisiatif yang
berkembang untuk tetap berjalan dengan perubahan
lingkungan bisnis. Budaya, salah satu tujuan dari
inisiatif ini adalah untuk menanamkan rasa bahwa
pengendalian internal yang memadai sangat penting, dan
perilaku yang sesuai pada bagian dari semua karyawan
sangat penting untuk keberhasilan organisasi.
3. Pembahasan Analisis atas motivasi pelaku tindak fraud dan
cara pencegahan melalui fraud prevention, detection dan
deterrence didasarkan pada tinjauan pustaka yang
dipaparkan diatas. Pada awalnya mengetahui motive atau
yang memotivasi seseorang untuk melakukan tindakan
24
fraud pada umumnya ada tiga yaitu pressure, received
opportunity dan rationalization atau yang sering kita kenal
dengan fraud triangle. Fraud triangle atau Segi tiga
kecuranya yang pertanya sebagai motivasi pelaku fraud
adalah pressure. Pressure seperti yang telah
diterangkan di atas, hal ini diakibatkan oleh tekanan
atau himpitan yang didapatkan seseorang karena sesuatu
masalah yang dihadapinya. Menurut hasil dari penelitian
yang dilakukan oleh Crassey dalam Tuanakotta (2010)
menyatakan bahwa seseorang pada umumnya melakukan
tindakan fraud karena tekanan ekonomi. Tekanan ekonomi
yang didapatkan oleh seseorang biasanya tidak akan
dibagi dengan orang lain. Hal ini yang menyebabkan
seseorang mendapatkan tekanan batin yang kuat, sehingga
menghalalkan segala cara untuk mencari jalan keluar
untuk masalah ekonomi yang didapatkan. Pressure yang
didapat seseorang belum tentu bisa direalisasikan
menjadi tindakan fraud ketika ia belum memiliki peluang
(received opportunity). Crassey dalam Tuanakotta (2010)
menjelaskan bahwa pressure yang didapatkan tidak cukup
untuk membantu seseorang melakukan tindakan fraud. Bukan
masalah yang akan menuntun seseorang melakukan sebuah
tindakan fraud teteapi situasi dan kondisilah yang
memberikan celah bagi pelaku untuk melakukan tindakan
kecurangan. Crassey dalam Tuanakotta (2010) juga
mengingatkan bahwa tindakan fraud dapat terjadi karena
ada tiga emlemen fraud triangle.
25
Setelah dua elemen itu terpenuhi, pelaku fraud
kemudian akan melakukan pembenaran (rationalitation) atas
tindakannya. Pembenaran pelaku atas tindakan fraud,
dipikirkan sebelum pelaku melakukan tindakan fraud
bukan setelah melakukan tindakan fraud. Pembenaran yang
biasanya dibuat seperti, seorang pelaku yang sudah lama
bekerja disuatu suatu perusahaan merasa dirinya telah
memberikan segalanya keperusahaan tersebut, sehingga
ketika ia ingin melakukan tindakan fraud ia rasa
tindakannya itu adalah hal yang wajar ia lakukan. Tiga
elemen ini memang cocok untuk menggambarkan bagaiamana
pelaku fraud termotivasi untuk melakukan tindakannya.
Tekanan yang dihadapi, situasi, peluang atau
keadaan yang mendukung dan ditambah dengan pembenaran
atas perbuatannya, menyebabkan seseorang dapat
melakukan tindakan fraud sekalipun ia adalah orang
kepercayaan didalam organisasinya. Oleh sebab itu
sebuah organisasi harus memiliki strategi khusus untuk
mengasi tindak kecurangan yang dilakukan oleh pelaku
fraud. Pada posisi dimana tindak fraud belum terjadi
upaya yang sebaiknya dilakukan adalah berbentuk
prevention. Upaya prevention yang dilakukan berupa
penguatan pada sistem pengendalian intern. Seperti yang
telah dipaparkan oleh Tuanakotta (2010) bahwa salah
satu penyebab terjadinya tindak kecurangan/atau fraud,
disebabkan oleh sistem pengendalian intern yang lemah.
Untuk membuat sistem pengendalian intern yang kuat
26
sebuah lembaga sebaiknya menerapkan sistem, pemisahan
tugas, pengendalian aset secara fisik, otorisasi,
pencocokan dokemen dan lain sebagainya. Tindakan
prevention tidak hanya berupa pembentukan sistem
pengendalian intern yang kuat. Tetapi menurut Albrecht
(2012) ada cara lain yaitu dengan membangun lingkungan
yang bersifat jujur. Diharapkan dengan membangun
lingkungan yang bersifat jujur dapat berpengaruh pada
individu yang berada di dalamnya. Sehingga dapat
mengurangi tindakan Fraud.
Ketika tindakan fraud telah terjadi strategi yang
digunakan adalah detection. Detection dilakukan untuk
melihat seberapa parah dan besar kerugian atas tindakan
fraud yang telah terjadi. Karena tindak kejahatan fraud
berbeda dengan tindakan kejahatan pada umumnya, yang
tidak dapat dilihat menggunakan mata. Maka menurut
Albrecth (2012) menyatakan bahwa kita dapat mendeteksi
tindakan fraud melalui pemahaman atas gejala-gejala atau
symptoms of fraud dan red flag yang ada. Gejala fraud dapat
dibagi menjadi enam kategori yaitu pertama Accounting
anomalies ( keganjilan atau keanehan akuntansi ), kedua
Internal control weakness (kelemahan sistem pengendalian
internal), ketiga Analytical anomalies (keanehan
analitikal), keempat Extravagant lifestyle (gaya hidup yang
boros atau konsumtif), kelima Unusual behavior (kebiasaan
yang tidak biasa) dan yang terakhir Tips and complaints.
(tips dan keluhan atau komplen). Selain mendeteksi fraud
27
dengan pemahaman atas gejala-gejala fraud atau symptoms
fraud, menurut Tuanakotta (2010) stategi lain untuk
mendeteksi fraud adalah audit investigatif. Audit
investigatif dilakukan untuk menemukan bukti-bukti
tindakan fraud. Dalam audit investigatif ada bebrapa
pendekatan yang bisa digunakan untuk melakukan audit.
Seperti audit investigatif dengan menggunakan
pendekatan audit general, audit investigatif pendekatan
pajak dan audit investigatif dengan pendekatan melawan
hukum. Pendekatan ini dapat digunakan sesuai dengan
keinginan penyelidik. Diharapkan setalah melakukan
pendeteksian fraud, fraud yang terjadi dapat terungkap
siapa, motive, bagaimana, kapan, dimana, apa, mengapa
dan berapa jumlah kerugiannya.
Pada saat fraud telah terjadi stragtegi selanjutnya
yang harus dilakukan adalah deterrence. Deterrence juga
diartikan sebagai pencegahan, menurut Cendrowski
(2007) adalah adalah proses perbaikan dan alat
pemantauan. Pencegahan penipuan adalah deteksi penipuan
tidak lebih awal, dimana penipuan disinyalir sedang
dilaksanakan. Fraud yang telah terjadi diharapkan mampu
memberikan pelajaran bagi sebuah lembagai atau
organisasi terutama untuk memperbaiki sistem
pengendalian intern. Serta membangun dan mengembangkan
lingkungan yang bersifat jujur. Sehingga dapat
mengurangi fraud dan melakukan perbaikan secara terus-
menerus atas prosedur lembaga atau orgaisasi.
28
4. Kesimpulan
Dari hasil pemaparan yang dilakukan di atas dapat
ditarik kesimpulan bahwa siapapun dapat melakukan
tindakan fraud. Tidak membedakan orang kepercayaan, baik
karyawan, manager, CEO semuanya dapat melakukan
tindakan fraud. Motive pelaku fraud pada umumnya dapat
dibagi menjadi tiga yaitu pressure, received
opportunity dan rationalization yang dikenal dengan
fraud triangle. Sebuah tindakan fraud dapat terjadi apabila
telah memenuhi fraud triangle. Strategi yang digunakan
untuk menangulangi fraud dapat dibagi menjadi tiga tahap
dan kondisi. Pertama kondis fraud sebelum terjadi,
strategi yang digunakan adalah fraud prevention contohnya
meningkatkan sistem pengendalian intern dan membangun
lingkungan yang bersiat jujur. Kedua kondisi fraud
terjadi, strategi yang digunakan adalah fraud detection
contohnya memahami gejala-gejala fraud atau symptoms of
fraud sebagai alat pendeteksi dan melakukan audit
investigatif. Ketiga kondisi setelah terjadi fraud,
starategi yang digunakan adalah fraud deterrence contoh
fraud deterrence yang digunakan sama seperti pada kondisi
sebelum terjadi fraud tetapi terdapat perbedaan antara
maksud dilakukannya fraud deterrence setelah terjadinya
fraud. Perbedaan itu adalalah deterrence dipergunakan
sebagai alat evaluasi prosedur dan lingkungan lembaga
yang telah terkena fraud. Sehingga perbaikan dapat
dilakukan terus-menerus.
29
5. Referensi
Wikipedia. 2015. Fraud (Online), diakses pada 27 Januari
2015
Wikipedia. 2013. Penipuan (Online), diakses pada 27
Januari 2015
Steve, Albrecht. Albrecht. Albrecht & Zimbelman. 2012.
Fraud Examination 4e. Mason OH USA. South-western
Chargage Learning.
Singleton. Singleton. Bologna. Lindquist. 2006. Fraud
Auditing and Forensic Accounting Third edition. Canada. John
Wiley & Sons, Inc.
Zabihollah Rezaee. Richard Riley. 2010. Financial Statement
Fraud Prevention & Detection 2nd Edition. Canada. John Wiley
& Sons, Inc.
Howard Silverstone. Michael Sheetz. Stephen Pedneault.
Frank Reduwice. 2012. Forensic Investigation for Non Experts
Third Edition. Canada. John Wiley & Sons, Inc.
Tuanakotta M, Theodorus. 2010. Akuntansi & Audit Investigatif.
Jagakarsa, Jakarta. Salemba Empat.
Cendrowski Harry. James P, Martin. Louis W, Petro.
2007. The Handbook of Fraud Deterrence. Canada. John
Wiley & Sons, Inc.
30