Bab I
A. Latar Belakang
Pencurian merupakan suatu tindak kejahatan yang sering
terjadi dilingkungan masyarakat khususnya lingkungan kost.
Marak terjadinya tindak kejahatan di lingkungan masyarakat
ataupun kost menimbulkan keresahan dalam masyarakat atau
penghuni kost. Kelancaran pembayaran kost adalah hal yang
hanya dipentingkan pemilik kamar tanpa adanya keamanan yang
kurang diperhatikan oleh pemilik kost karena kurangnya
koordinasi dengan struktur lingkungan kost setempat.
Keresahan yang timbul pada masyarakat ataupun penyewa
kamar kost adalah bukan tanpa alasan. Banyaknya keluhan
serta laporan penyewa kamar ataupun pengunjung penyewa
kamar kost yang mengaku kehilangan barang-barang miliknya
seperti ponsel, laptop, ataupun kendaraan pribadi. Kurang
efektifnya sistem keamanan ataupun kinerja siskamling
menjadi faktor utama atas terjadinya tindak kejahatan.
Durkheim menyatakan bahwa kejahatan adalah suatu hal
yang normal di dalam masyarakat. Dengan kata lain,
masyarakat tidak akan mungkin dapat terlepas dari tindak
kejahatan karena kejahatan itu sendiri terus berkembang
sesuai dengan kedinamisan masyarakat (Wolfgang, Savizt dan
Johnson, 1970)1. Hal ini dapat dipahami bahwa kecenderungan
1 Marvin E. Wolfgang, Leonard Savizt, Norman Johnson. The Sociology of Crime and Delinquency. Second Edition. New York/London/Sydney/Toronto:John Wiley & Sons In., 1962, 1970.
1
yang dimiliki oleh manusia untuk terus mencari sesuatu yang
baru untuk memecahkan masalah yang terjadi sebelumnya, atau
untuk mencegah suatu masalah itu dapat terjadi. Dalam
menghadapi kejahatan, manusia meningkatkan suatu sistem
pengamanan. Namun demikian, pelaku kejahatan juga akan
terus belajar dan mengembangkan teknik dan berbagai modus
yang dapat melumpuhkan sistem pengamanan yang ada.
Karstedt dan Bussmann menjelaskan bahwa perubahan
sosial mempengaruhi sistem kontrol sosial, bahkan
memberikan dampak yang lebih mendalam daripada penyimpangan
dan kejahatan. Perubahan sosial mempengaruhi hubungan
sosial dan struktur kelembagaan yang menanamkan mekanisme
kontrol sosial, Perubahan struktural dan kultural
menempatkan tekanan pada efisiensi sistem lembaga kontrol
sosial formal dan sistem peradilan pidana. “Masyarakat
pasar-jamak” (yang dimaksud dengan istilah “pasar-jamak”
ini adalah pasar modern atau pusat perbelanjaan) dan
individualisme yang muncul kemudian tampaknya menghancurkan
mekanisme kontrol sosial informal, atau setidaknya
membatasi efisiensi jaringan vital kontrol informal,
seperti keluarga, sekolah, lingkungan dan masyarakat2.
Berbagai cara atau strategi telah dirancang untuk
mencegah terjadinya tindakan kejahatan pencurian yang
2 Susanne Karstedt., Kai-D Bussmann. Social Dynamics of Crime and Control: New Theories for a World in Transition (Onati International Series in Law and Society).UK: Hart Publishing, 2000.
2
umumnya terjadi di lingkungan masyarakat. Strategi ini
merupakan suatu cara untuk mengondisikan waktu dan tempat
sedemikian rupa untuk mencegah atau menghilangkan
kesempatan bagi para pelaku untuk melakukan kejahatan. Dari
semua strategi itu, diantaranya adalah Neighbourhood Watch
Program, yang menekankan peran aktif masyarakat dalam upaya
pencegahan kejahatan; Community-Police Relation, yang
menekankan peran serta masyarakat dalam membantu tugas-
tugas kepolisian; Environmental Security, yang menekankan
rangan fisik lingkungan; dan Defensible Space, yang tidak
hanya menekankan rancangan atau setting lingukngan fisik,
tetapi juga rancangan dan setting sosial.
B. Rumusan Masalah
a. Apa itu kejahatan?
b. Apa sebab-sebab terjadinya tindak kejahatan?
c. Bagaimana cara melakukan pencegahan tindak
kejahatan?
C. Tujuan Penelitian
a. Mengetahui mengenai kejahatan.
b. Memberikan sedikit pengetahuan mengenai sebab-
sebab terjadinya kejahatan.
c. Mengetahui cara melakukan pencegahan tindak
kejahatan.
3
D. Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian dari karya tulis ilmiah
ini adalah sebagai berikut:
a. Dapat mengenal dan mengetahui kejahatan.
b. Dapat mengetahui sebab-sebab terjadinya tindak
kejahatan.
c. Mengetahui bagaimana melakukan pencegahan tindak
kejahatan berdasarkan teori dari para ahli.
4
Bab II
Tinjauan Pustaka
A. Kerangka Teori
Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teori
tentang bermain yang dikemukakan oleh para ahli dari
berbagai disiplin ilmu. Cohen dan Felson, yaitu Routine
Activities Theory. Teori ini menjelaskan adanya tiga
faktor, yaitu pelanggar yang termotivasi, target yang
sesuai, dan kurangnya penjagaan yang memadai sebagai hal
yang menyebabkan terjadinya kejahatan yang dihubungkan
dengan pertemuan secara waktu dan tempat3. Teori aktivitas
rutin mengatakan bahwa kriminalitas adalah normal dan
tergantung pada kesempatan-kesempatan yang tersedia. Bila
sebuah target tidak cukup dilindungi, dan bila ganjarannya
3 Lawrence Cohen and Marcus Felson, Social Change and Crime Rate Trends : A Routine Activity Approach »,American Sociological Review, 44 (4), 1979, hal. 588-608.
5
cukup berharga, maka kejahatan akan terjadi. Kejahatan
tidak membutuhkan pelangar-pelanggar kelas berat, pemangsa-
pemangsa super, para residivis atau orang-orang jahat.
Kejahatan hanya membutuhkan kesempatan.
Premis dasar dari teori aktivitas rutin ialah bahwa
kebanyakan kejahatan adalah pencurian kecil dan tidak
dilaporkan kepada polisi. Kejahatan bukanlah sesuatu yang
spektakular ataupun dramatis. Semuanya itu kejadian yang
umum dan terjadi setiap saat. Premis lainnya ialah bahwa
kejahatan itu relatif tidak dipengaruhi oleh penyebab-
penyebab sosial, seperti kemiskinan, ketidaksejajaran,
pengangguran. Menurut Felson dan Cohen, ini disebabkan
karena kemakmuran dari masyarakat kontemporer menawarkan
begitu banyak kesempatan untuk kejahatan: ada lebih banyak
barang yang dapat dicuri.
B. Hipotesis
Dari teori yang penulis paparkan maka dapat
disimpulkan hipotesis yaitu “Kejahatan tidak hanya terjadi
karena telah direncanakan oleh sang pelaku kejahatan,
tetapi karena adanya kesempatan untuk melakukan suatu
tindak kejahatan. Kesenjangan sosial dan tuntutan ekonomi
pun juga menjadi faktor pendorong terjadinya suatu tindak
kejahatan.”
6
A. Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan cara
sekunder yang berupa buku referensi.
B. Waktu
Dalam penelitian ini penulis menggunaka waktu selama 1
bulan (terhitung dari tanggal 1 Desember 2014)
No
.
KegiatanLama Penelitian
Mingg
u ke-
1
Mingg
u ke-
2
Mingg
u ke-
3
Mingg
u ke-
4
Mingg
u ke-
5
1 Persiapan
2 Pengumpulan Data
3 Pengolahan /
Analisis
4 Penyusunan Laporan
Akhir
8
a. Kajian Definisi Kejahatan Berdasarkan Para
Ahli
Kejahatan merupakan perbuatan anti-sosial yang secara
sadar mendapat reaksi dari negara berupa pemberian derita,
dan kemudian sebagai reaksi terhadap rumusan-rumusan hukum
(legal definitions) mengenai kejahatan4.
Menurut Sue Titus Reid, bagi suatu perumusan hukum
tentang kejahatan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan
yaitu:5
1. Kejahatan adalah suatu tindakan sengaja. Dalam
pengertian ini seseorang
tidak dapat dihukum hanya karena pikirannya,
melainkan harus ada suatu tindakan atau kealpaan
dalam bertindak. Kegagalan untuk bertindak dapat
juga merupakan kejahatan, jika terdapat suatu
kewajiban hukum untuk bertindak dalam kasus
tertentu. Disamping itu pula, harus ada niat jahat;
2. Merupakan pelanggaran hukum pidana;
3. Yang dilakukan tanpa adanya suatu pembelaan atau
pembenaran yang diakui secara hukum;
4. Yang diberi sanksi oleh negara sebagai suatu
kejahatan atau pelanggaran.4 W.A. Bonger, Pengantar tentang Kriminologi, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982), hal. 25.5 Sue Titus Reid dalam Soerjono Soekanto, Kriminologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 22.
9
Secara sosiologis, maka kejahatan merupakan suatu
perikelakuan manusia yang diciptakan oleh sebagian warga-
warga masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan wewenang6.
Gejala yang dinamakan kejahatan pada dasarnya terjadi di
dalam proses dimana ada interaksi sosial antara bagian-
bagian dalam masyarakat yang mempunyai kewenangan untuk
melakukan perumusan tentang kejahatan denganpihak-pihak
mana yang memang melakukan kejahatan. Ciri pokok dari
kejahatan adalah perilaku yang dilarang oleh negara karena
merupakan perbuatan yang merugikan negara dan terhadap
perbuatan itu negara bereaksi dengan hukuman sebagai upaya
pamungkas.
Pendapat tentang kejahatan di atas tertampung dalam
suatu ilmu pengetahuan yang disebut kriminologi.
Kriminologi merupakan cabang ilmu pengetahuan yang muncul
abad ke-19 yang pada intinya merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari sebab musabab dari kejahatan.
Kriminologi sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang
kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan dan
pengertian tentang gejala kejahatan dengan jalan
mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-
keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor
faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku
6 Ibid, hal. 27.
10
kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya7.
Sebab-sebab terjadinya kejahatan dalam kriminologi
dikarenakan faktor-faktor biologis (kejahatan karena bakat
yang diperoleh sejak lahir) dan faktor sosiologis
(kejahatan karena pengaruh lingkungan masyarakat).
b. Sebab-sebab Terjadinya Kejahatan
1. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif
Biologis
Cesare Lambroso (1835-1909) dengan bukunya yang
berjudul L’huomo Delinquente (The Criminal Man) menyatakan
bahwa penjahat mewakili suatu tipe keanehan/keganjilan
fisik, yang berbeda dengan non-kriminal. Lambroso mengklaim
bahwa para penjahat mewakili suatu bentuk kemerosotan yang
termanifestasi dalam karakter fisik yang merefleksikan
suatu bentuk awal dari evolusi. Teori Lambroso tentang born
criminal menyatakan bahwa para penjahat adalah suatu bentuk
yang lebih rendah dalam kehidupan, lebih mendekati nenek
moyang mereka yang mirip kera dalam hal sifat bawaan dan
watak dibanding mereka yang bukan penjahat8. Berdasarkan
7 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), hal. 10.8 Ibid., hal. 37.
11
penelitiannya, Lombrosso mengklasifikasikan penjahat dalam
4 (empat) golongan, yaitu:9
a. Born criminal yaitu orang yang memang sejak lahir
berbakat menjadi
penjahat;
b. Insane criminal yaitu orang-orang yang tergolong ke
dalam kelompok idiot
dan paranoid;
c. Occasional criminal atau criminaloid yaitu pelaku
kejahatan berdasarkan
pengalaman yang terus menerus sehingga mempengaruhi
pribadinya;
d. Criminals of passion yaitu pelaku kejahatan yang
melakukan tindakan karena
marah, cinta atau karena kehormatan.
Disamping teori biologi dari Lombrosso, terdapat
beberapa teori lain yang menitikberatkan pada kondisi
individu penjahat, antara lain:10
1. Teori Psikis, dimana sebab-sebab kejahatan
dihubungkan dengan kondisi
2. kejiwaan seseorang. Sarana yang digunakan
adalah tes-tes mental seperti tes IQ.
9 Ibid., hal. 24.10 Ibid., hal. 25.
12
3. Teori yang menyatakan bahwa penjahat memiliki
bakat yang diwariskan oleh orang tuanya. Pada
mulanya amat mudah mendapati anak yang memiliki
karakter seperti orang tuanya, namun ternyata
hasil yang sama pun tidak jarang ditemui pada
anak-anak yang diadopsi atau anak-anak angkat.
4. Teori Psikopati: berbeda dengan teori-teori
yang menekankan pada intelejensia ataupun
kekuatan mental pelaku, teori psikopati mencari
sebab-sebab kejahatan dari kondisi jiwanya yang
abnormal. Seorang penjahat di sini terkadang
tidak memiliki kesadaran atas kejahatan yang
telah diperbuatnya sebagai akibat gangguan
jiwanya.
5. Teori bahwa kejahatan sebagai gangguan
kepribadian sempat digunakan di Amerika untuk
menjelaskan beberapa perilaku yang
dikategorikan sebagai crime without victim
(kejahatan tanpa korban)
seperti pemabuk, gelandangan, perjudian,
prostitusi, penggunaan obat bius.
2. Teori yang Menjelaskan Kejahatan dari Perspektif
Sosiologis
13
Secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku
manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan
timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial politik-
ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan
dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun
besar. Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan
perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan
sosial. Teori-teori ini dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori umum yaitu: strain, cultural deviance
(penyimpangan budaya), social kontrol (kontrol sosial)11.
Teori strain dan penyimpangan budaya memusatkan
perhatian pada kekuatan kekuatan sosial (social forces)
yang menyebabkan orang melakukan aktivitas kriminal.
Sebaliknya, teori kontrol sosial mempunyai pendekatan
berbeda, teori ini berdasarkan satu asumsi bahwa motivasi
melakukan kejahatan merupakan bagian dari umat manusia.
Teori kontrol sosial mengkaji kemampuan kelompok-kelompok
dan lembaga-lembaga sosial membuat aturan-aturannya
efektif.
a. Teori Differential Association
Teori yang dikemukakan oleh Edwin Sutherland ini pada
dasarnya melandaskan diri pada proses belajar, ini tidak
berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan
11 Ibid., hal. 57.
14
menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting
adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Teori
Differential Association ini menekankan bahwa semua tingkah
laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan
pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak
diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang
akrab. Untuk itu, Edwin Sutherland kemudian menjelaskan
proses terjadinya perilaku kejahatan melalui 9 (sembilan)
proposisi sebagai berikut:12
1. Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari
secara negatif berarti
perilaku itu tidak diwarisi.
2. Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi
dengan orang lain dalam suatu
proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat
bersifat lisan ataupun
menggunakan bahasa isyarat.
3. Bagian yang terpenting dalam proses mempelajari
perilaku kejahatan ini
terjadi dalam kelompok yang intim/dekat. Secara
negatif ini berarti komunikasi yang bersifat tidak
12 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997), hal.20.
15
personal, seperti melalui film dan surat kabar secara
relatif tidak mempunyai peranan penting dalam hal
terjadinya kejahatan.
4. Ketika tingkah laku kejahatan dipelajari, maka yang
dipelajari meliputi:
(a) Teknik-teknik melakukan kejahatan, yang kadang
sangat sulit, kadang sangat mudah,
(b) Arah khusus dari motif-motif, dorongan-dorongan,
rasionalisasi-rasionalisasi dan sikap-sikap.
5. Arah dari motif dan dorongan itu dipelajari melalui
definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu
masyarakat kadang seseorang dikelilingi oleh orang-
orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur
dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu
diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi
oleh orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai
sesuatu yang memberi peluang dilakukannya kejahatan.
6. Seseorang menjadi delinkuen karena ekses dari pola-
pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai
pemberi peluang dilakukannya kejahatan daripada yang
melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan
dan dipatuhi.
16
7. Differensial association bervariasi dalam hal
frekuensi, jangka waktu, prioritas serta
intensitasnya.
8. Proses mempelajari perilaku kejahatan yang
diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan
dan anti kejahatan yang menyangkut seluruh mekanisme
yang lazimnya terjadi dalam setiap proses belajar pada
umumnya.
9. Sementara perilaku kejahatan merupakan pernyataan
kebutuhan dan nilai umum, akan tetapi hal tersebut
tidak dijelaskan oleh kebutuhan dan nilai-nilai umum
itu, sebab perilaku yang bukan kejahatan juga
merupakan pernyataan dari kebutuhan-kebutuhan dan
nilai-nilai yang sama.
Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin
menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat
menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan.
b. Teori Kontrol
Teori kontrol sosial merujuk pada pembahasan kejahatan
yang dikaitkan dengan variabel-variabel yang bersifat
17
sosiologis, antara lain struktur keluarga, pendidikan, dan
kelompok dominan. Pada dasarnya, teori kontrol berusaha
mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda
dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan
mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi
kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum
atau mengapa orang taat kepada hukum.
Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol
disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi.
Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan
konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal.
Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak)
kurang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology”
dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat
(criminal). Kedua, munculnya studi tentang “criminal
justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi
kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada
sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan
suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku
anak/remaja, yakni selfreport survey13.
Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol
harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-
abiding)14.
13 Romli Atmasasmita, Teori dan Kapita Selekta Kriminologi, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 41.14 Ibid., hal. 42.
18
Teori kontrol atau sering juga disebut dengan Teori
Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau anggapan
bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang
sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik
jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada
masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya
membuatnya demikian, pun ia menjadi jahat apabila
masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar yang
dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah
yang mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di
kalangan anggota masyarakat15.
Penyimpangan tingkah laku diakibatkan oleh tidak
adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan moral pelaku
terhadap masyarakat. Menurut Travis Hirschi, terdapat empat
elemen ikatan sosial (social bond) dalam setiap masyarakat.
Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia untuk
melibatkan dirinya terhadap orang lain. Attachment sering
diartikan secara bebas dengan keterikatan. Ikatan pertama
yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan
sekolah (guru) dan keterikatan dengan teman sebaya dapat
mencegah atau menghambat yang bersangkutan untuk melakukan
kejahatan.
15 Paulus Hadisuprapto, Op. Cit., hal. 31.
19
Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada
subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan,
organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek
rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang
dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan
dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang
tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda,
reputasi, masa depan, dan sebagainya.
Ketiga,Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam
subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi
maka kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan.
Dengan demikian, segala aktivitas yang dapat memberi
manfaat akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang
bertentangan dengan hukum.
Keempat, Belief merupakan aspek moral yang terdapat
dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda dengan ketiga
aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada
nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap
norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma
tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan
mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak
mematuhi norma-norma maka lebih besar kemungkinan melakukan
pelanggaran. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan
sosial antara seorang individu dengan lingkungan
masyarakatnya.
20
c. Pencegahan Tindak Kejahatan
Untuk memahami konsep dari pencegahan kejahatan, kita
tidak boleh terjebak pada makna kejahatannya, melainkan
pada kata pencegahan. Freeman (1992) mencoba membongkar
konsep dari pencegahan (prevention) itu dengan memecah
katanya menjadi dua bagian unsur, yaitu prediksi
(prediction) dan intervensi (intervention). Hal ini dapat
dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya sesuatu hal
(kejahatan), yang pertama sekali harus dilakukan adalah
memprediksi kemungkinan dari tempat dan waktu terjadinya,
dan kemudian menerapkan intervensi yang tepat pada titik
perkiraannya16.
Pada dasarnya, pencegahan kejahatan tidak memiliki
definisi baku antara pakar satu dengan yang lainnya. Namun,
inti dari pencegahan kejahatan adalah untuk menghilangkan
atau mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Seperti
Ekblom (2005:28) menyatakan bahwa pencegahan kejahatan
sebagai suatu intervensi dalam penyebab peristiwa pidana
dan secara teratur untuk mengurangi risiko terjadinya
dan/atau keseriusan potensi dari konsekuensi kejahatan itu.
Definisi ini dialamatkan pada kejahatan dan dampaknya
terhadap baik individu maupun masyarakat. Sedangkan Steven16 Daniel Gilling. Crime Prevention: Theory, Policies and Politics. London & New York: Routledge (Taylor & Francis Group), 2005.
21
P. Lab memiliki definisi yang sedikit berbeda, yaitu
pencegahan kejahatan sebagai suatu upaya yang memerlukan
tindakan apapun yang dirancang untuk mengurangi tingkat
sebenarnya dari kejahatan dan/atau hal-hal yang dapat
dianggap sebagai kejahatan17.
Menurut National Crime Prevention Institute (NCPI),
pencegahan kejahatan melalui pengurangan kesempatan
kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu antisipasi,
pengakuan, dan penilaian terhadap resiko kejahatan, dan
penginisiasian beberapa tindakan untuk menghilangkan atau
mengurangi kejahatan itu, yang dilakukan dengan pendekatan
praktis dan biaya efektif untuk pengurangan dan penahanan
kegiatan kriminal.
Pencegahan kejahatan merupakan sebuah metode kontrol
yang langsung, berbeda dari metode-metode pengurangan
kejahatan yang lainnya, seperti pelatihan kerja, pendidikan
remedial, pengawasan polisi, penangkapan polisi, proses
pengadilan, penjara, masa percobaan dan pembebasan
bersyarat, yang masuk ke dalam metode kontrol kejahatan
secara tidak langsung (indirect control). Pencegahan kejahatan,
secara operasional, juga dapat dijelaskan sebagai sebuah
praktek manajemen risiko kejahatan. Manajemen risiko
kejahatan melibatkan pengembangan pendekatan sistematis
untuk pengurangan risiko kejahatan yang hemat biaya dan17 Steven P. Lab., Crime Prevention: Approaches, Practices and Evaluations. Seventh Edition. USA: Anderson Pub Co., 2010. Hal. 27.
22
yang mempromosikan baik keamanan dan kesejahteraan sosial
dan ekonomi bagi korban potensial (NCPI, 2001: 2).
Pengelolaan dari resiko kejahatan tersebut dapat
dilakukan dengan berbagai langkah, diantara meliputi:
1. Menghapus beberapa risiko kejahatan dengan
sepenuhnya;
2. Mengurangi beberapa resiko dengan menurunkan sejauh
mana cedera atau kerugian dapat terjadi;
3. Penyebaran (pemecahbelahan) beberapa resiko
kejahatan melalui langkah-langkah keamanan fisik,
elektronik, dan prosedural yang menolak, mencegah,
menunda, atau mendeteksi serangan pidana;
4. Memindahkan beberapa resiko melalui pembelian
asuransi atau keterlibatan korban potensial
lainnya; dan
5. Menerima beberapa risiko.
Sesuai dengan perkembangannya, terdapat tiga
pendekatan yang dikenal dalam strategi pencegahan
kejahatan. Tiga pendekatan itu ialah pendekatan secara
sosial (social crime prevention), pendekatan situasional
(situtational crime prevention), dan pencegahan kejahatan
berdasarkan komunitas/masyarakat (community based crime
prevention)18.18 National Crime Prevention Institute (NCPI). Understanding Crime Prevention. Second Edition.
23
Social crime prevention merupakan pendekatan yang berusaha
mencegah kejahatan dengan jalan mengubah pola kehidupan
sosial daripada bentuk fisik dari lingkungan. Pencegahan
kejahatan dengan pendekatan ini menuntut intervensi dari
pemerintah yang menyusun kebijakan dan penyedia fasilitas
(alat-alat) bagi masyarakat dalam upaya mengurangi perilaku
kriminal, dengan mengubah kondisi sosial masyarakat, pola
perilaku, serta nilai-nilai atau disiplin-disiplin yang ada
di masyarakat. Pendekatan ini lebih menekankan bagaimana
agar akar dari penyebab kejahatan dapat ditumpas. Sasaran
penyuluhan yang dilakukan oleh pembuat kebijakan adalah
masyarakat umum dan pelaku-pelaku yang berpotensi melakukan
kejahatan. Pendekatan ini memiliki hasil jangka panjang,
tetapi sulit untuk mendapatkan hasil secara instan karena
dibutuhkan pengubahan pola sosial masyarakat yang
menyeluruh19.
Pendekatan yang kedua adalah situational crime prevention.
Pencegahan secara situasional berusaha mengurangi
kesempatan untuk kategori kejahatan tertentu dengan
meningkatkan resiko (bagi pelaku) yang terkait,
meningkatkan kesulitan dan mengurangi penghargaan.
Pendekatan ini memiliki tiga indikasi untuk menentukan
definisinya, yaitu:
Boston/Oxford/Auckland/Johannesburg/Melbourne/New Delhi: Butterworth-Heinemann, 2001.19 http://www.agd.sa.gov.au/ diakses pada bulan Desember, 2014.
24
1. Diarahkan pada bentuk-bentuk kejahatan yang
spesifik.
2. Melibatkan manajemen, desain atau manipulasi
keadaan leingkungan sekitar dengan cara yang
sistematis.
3. Menjadikan kejahatan sebagai suatu hal yang sulit
untuk terjadi, mengkondisikan bahwa kejahatan yang
dilakukan akan kurang menguntungkan bagi pelaku20.
Situational crime prevention pada dasarnya lebih menekankan
bagaimana caranya mengurangi kesempatan bagi pelaku untuk
melakukan kejahatan, terutama pada situasi, tempat, dan
waktu tertentu. Dengan demikian, seorang pencegah kejahatan
harus memahami pikiran rasional dari para pelaku. Hasil
dari pendekatan ini adalah untuk jangka pendek.
Pendekatan yang ketiga, community-based crime revention,
adalah pencegahan berupa operasi dalam masyarakan dengan
melibatkan masyarakat secara aktif bekerja sama dengan
lembaga loal pemerintah untuk menangani masalah-masalah
yang berkontribusi untuk terjadinya kejahatan, kenakalan,
dan gangguan kepada masyarakat. anggota masyarakat didorong
untuk memainkan peran kunci dalam mencari solusi kejahatan.
Hal ini dapat dicapai dengan memperbaiki kapasitas dari
20 Ronald V. Clarke. (ed.) Situational Crime Prevention: Successful Case Studies. Second Edition. New York: Harrow and Heston Publisher, 1997.
25
anggota masyarakat, melakukan pencegahan secara kolektif,
dan memberlakukan kontrol sosial informal21.
Pencegahan kejahatan berbasis masyarakat dapat
meliputi Community policing, yaitu pendekatan kebijakan yang
mempromosikan dan mendukung strategi untuk mengatasi
masalah kejahatan melalui kemitraan polisi dengan
masyarakat; dan Neighborhood Watch, yaitu sebuah strategi
pengrehan masyarakat, di mana kelompk-kelompok dalam
masyarakat mengatur, mencegah, dan melaporkan kejahatan
yang terjadi dilingkungan mereka. Selain itu dapat juga
dilakukan dengan pemberlakuan program-program
seperti Comperhensive Communities, yang menggabungkan beberapa
pendekatan untuk menanggapi masalah dalam masyarakat; dan
dengan aktivitas penegakan hukum khusus yang berhubungan
dengan kejahatan22.
21 http://www.ojp.usdoj.gov/BJA/evaluation/program-crime-prevention/, diakses pada Bulan Desember 2014.22 http://www.ojp.usdoj.gov/ diakses Desember, 2014.
26
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindak kejahatan tidak hanya terjadi karena pelaku
dari tindak kejahatan itu sendiri telah merencanakan
aksinya sebelumnya namun, tindak kejahatan bisa juga
terjadi karena adanya kesempatan, kurangnya penjagaan, dan
juga adanya tuntutan ekonomi. Kejahatan adalah suatu tindak
pelanggaran hukum yang merupakan tindak pidana yang akan
27
mendapatkan akibat dari tindakannya itu berupa sebuah
hukuman.
Ilmu yang mempelajari tentang tindak kejahatan adalah
kriminologi. Kriminologi adalah kumpulan ilmu pengetahuan
tentang kejahatan yang bertujuan untuk memperoleh
pengetahuan dan pengertian tentang gejala kejahatan dengan
jalan mempelajari dan menganalisa secara ilmiah keterangan-
keterangan, keseragaman-keseragaman, pola-pola dan faktor
faktor kausal yang berhubungan dengan kejahatan, pelaku
kejahatan serta reaksi masyarakat terhadap keduanya.
Ada dua perspektif teori yang menjelaskan tentang
sebab terjadinya tindak kejahatan yaitu, teori sebab
terjadinya tindak kejahatan dari perspektif biologis, dan
teori sebab terjadinya tindak kejahatan dari perspektif
sosiologis.
Teori sebab terjadinya tindak kejahatan dari
perspektif biologis dipelopori oleh Cesare Lambroso (1835-
1909) dengan bukunya yang berjudul L’huomo Delinquente (The
Criminal Man) menyatakan bahwa penjahat mewakili suatu tipe
keanehan/keganjilan fisik, yang berbeda dengan non-
kriminal. Lambroso mengklaim bahwa para penjahat mewakili
suatu bentuk kemerosotan yang termanifestasi dalam karakter
fisik yang merefleksikan suatu bentuk awal dari evolusi.
Teori Lambroso tentang born criminal menyatakan bahwa para
penjahat adalah suatu bentuk yang lebih rendah dalam
28
kehidupan, lebih mendekati nenek moyang mereka yang mirip
kera dalam hal sifat bawaan dan watak dibanding mereka yang
bukan penjahat.
Sedangkan teori sebab terjadinya suatu tindak
kejahatan dari perspektif sosiologis menjelaskan bahwa
secara sosiologis kejahatan merupakan suatu perilaku
manusia yang diciptakan oleh masyarakat. Ada hubungan
timbal-balik antara faktor-faktor umum sosial politik-
ekonomi dan bangunan kebudayaan dengan jumlah kejahatan
dalam lingkungan itu baik dalam lingkungan kecil maupun
besar. Teori-teori sosiologis mencari alasan-alasan
perbedaan dalam hal angka kejahatan di dalam lingkungan
sosial.
Pencegahan kejahatan adalah upaya untuk menghilangkan
atau mengurangi kesempatan terjadinya kejahatan. Pencegahan
kejahatan sebagai suatu intervensi dalam penyebab peristiwa
pidana dan secara teratur untuk mengurangi risiko
terjadinya dan/atau keseriusan potensi dari konsekuensi
kejahatan itu. Definisi ini dialamatkan pada kejahatan dan
dampaknya terhadap baik individu maupun masyarakat.
Dalam upaya melakukan pencegahan tindak kejahatan
dapat dilakukan dengan cara tiga pendekatan yang dikenal
dalam strategi pencegahan kejahatan. Tiga pendekatan itu
ialah pendekatan secara sosial (social crime prevention),
pendekatan situasional (situtational crime prevention), dan
29
pencegahan kejahatan berdasarkan komunitas/masyarakat
(community based crime prevention).
B. Saran
Penulis menerima saran berupa kritikan dan masukan
agar pembuatan penulisan selanjutnya dapat lebih baik dan
mampu memberikan manfaat bagi pembaca.
30
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Wolfgang, Marvin E., Leonard Savizt, Norman Johnson. The
Sociology of Crime and Delinquency. Second Edition. (New
York/London/Sydney/Toronto: John Wiley & Sons In. 1962,
1970)
Karstedt, Susanne., Kai-D Bussmann. Social Dynamics of
Crime and Control: New Theories for a World in Transition
(Onati International Series in Law and Society).(UK: Hart
Publishing. 2000)
Cohen, Lawrence., and Marcus Felson. Social Change and
Crime Rate Trends : A Routine Activity Approach. American
Sociological Review. (University Illionis: 1979)
Bonger., W.A.. Pengantar tentang Kriminologi. (Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1982)
Soekanto, Soerjono. Kriminologi Suatu Pengantar. (Jakarta:
Ghalia Indonesia. 1981)
Santoso, Topo dan Eva Achjani Zulfa. Kriminologi. (Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada. 2007)
31
Hadisuprapto, Paulus. Juvenile Delinquency. (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti. 1997)
Atmasasmita, Romli. Teori dan Kapita Selekta Kriminologi.
(Bandung: PT. Refika Aditama. 2007)
Gilling. Daniel. Crime Prevention: Theory, Policies and
Politics. (London & New York; Routledge:Taylor & Francis
Group. 2005)
Lab, Steven P. Crime Prevention: Approaches, Practices and
Evaluations. Seventh Edition. (USA: Anderson Pub Co. 2010)
Clarke, Ronald V. (ed.) Situational Crime Prevention:
Successful Case Studies. Second Edition. (New York: Harrow
and Heston Publisher. 1997)
National Crime Prevention Institute (NCPI). Understanding
Crime Prevention. Second Edition.
(Boston/Oxford/Auckland/Johannesburg/Melbourne/New Delhi:
Butterworth-Heinemann, 2001)
Internet
32
Social Crime Prevention. Diakses dari
http://www.agd.sa.gov.au/services/crime_prevention/pdfs/
SocialCrimePreventionFactSheet.pdf, Desember 2014.
What Are Community-Based Crime Prevention Programs?. Bureau
of Justice Assistance. Center for Program Evaluation and
Performance Measurement. Diakses dari
http://www.ojp.usdoj.gov/BJA/evaluation/program-crime-
prevention/, Desember 2014.
Faktor-faktor Penyebab Tindak Pidana NARKOTIKA
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/29326/3/
Chapter%20II.pdf
33