Date post: | 25-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
KEDUDUKAN ARBITRASE DALAM MASYARAKAT EKONOMI
ASEAN
Lembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesaian
sengketa di bidang bisnis sudah semakin berperan
penting. Lembaga arbitrase lazim dipandang sebagai
suatu badan peradilan para pengusaha atau Merchant’s
Court. Bahkan Profesor terkemuka di bidang hukum
perdagangan internasional, Profesor Alexander Goldstajn
menyebut arbitrase sebagai salah satu prinsip dasar
dalam hukum perdagangan internasional.1
Andreas Respondek mengungkapkan bahwa dalam
kontrak – kontrak dagang atau bisnis internasional,
para pihak sudah sangat lazim menuangkan klausul
arbitrase dalam kontrak mereka. Respondek (2003)
mengungkapkan:
1 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawalipers, 2005), hlm. 16.
“There is hardly any international contract like for instance a Joint Venture
Agreement, a Technology Transfer Agreement or a TurnKey Agreement in
the construction sector that would not contain an arbitration clause for
dispute resolution between the parties”.
Selanjutnya Respondek mengungkapkan pula bahwa:
“Approximately 80% of all international agreements contain arbitration
clauses.” Dengan telah diluncurkannya ASEAN FREE TRADE
AREA (AFTA) di lingkungan negara ASEAN, transaksi di
antara negara – negara ini menjadi semakin terbuka.
Para pengusaha di antara negara ASEAN diharapkan
semakin banyak melakukan transaksi dengan mitra
bisnisnya di region Asia Tenggara. Semakin meningkatnya
hubungan bisnis di kawasan ASEAN sedikit banyak akan
berpengaruh pula terhadap peningkatan sengketa di
antara para pengusaha ASEAN. Mengingat lembaga
arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam
kontrak dagang (tersebut di atas), maka sudah dipandang
penting untuk mengetahui sedikit banyak tentang
pengaturan hukum arbitrase di antara negara anggota
ASEAN. Diharapkan dengan diketahuinya aturan hukum
arbitrase di antara negara anggota ASEAN tersebut,
kemudian diupayakan, apabila terdapat perbedaan,
pengharmonisasian di bidang hukum di antara negara
anggota.
Sebagai perbandingan, di Indonesia misalnya
penyelenggaraan arbitrase diberi legalitas dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pertimbangan dibuat
berdasarkan aturan Perundang – Undangan yang berlaku
penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan
ke peradilan umum juga terbukti kemungkinan
penyelenggara sengketa tersebut, diajukan melalui
Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.
Peraturan Perundang – Undangan yang kini berlaku untuk
menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase sudah tidak
perlu lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum
pada umumnya.2
2 Konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa alinea a.b
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase berisi aturan antara lain:
Alternatif penyelesaian sengketa.
Syarat arbitrase pengangkatan arbiter dan hak
ingkar.
Acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase.
Pelaksanaan putusan arbitrase.
Berakhirnya tugas arbitrase.
Biaya arbitrase.
Sebelum berlakunya Undang-Undang yang berlaku
selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan
Arbitrase di Indonesia adalah pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglernen Acara Perdata (Reglernent op de
Rechvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen
Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglemen
Staatsblad 1941: 44). Dan pasaI 705 Reglement Acara Untuk
Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechsretglement Buitengwesten,
Staatblad 1927:227). Tujuan pengaturannya atau hal yang
ingin dicapai untuk memberitahukan hak kepada para
pihak yang bersengketa menentukan mediator dalam
menyelesaikan permasalahannya. Di samping itu juga
untuk mempercepat proses melalui pemeriksa peradilan
yang berbelit-belit. Hal ini juga disebabkan. karena
lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan
dengan lembaga peradilan, kelebihan tersebut antara
lain:
a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.
b. Dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan
karena hal prosedural dan administratif.
c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut
keyakinannya mempunyai pengetahuan pengalaman
serta latar belakang yang cukup mengenai masalah
yang disengketakan, jujur dan adil.
d. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan
diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta
proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.
e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat
para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur
sederhana saja ataupun langsung dapat
dilaksanakan).
Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas
tidak semuanyabenar, sebab di negara negara tertentu
proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses
arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap
pengadilan adalah sifat konfidensialnya karena
keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian
penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih
diminati dari pada Litigasi terutama untuk kontrak
bisnis bersifat internasional.
Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan
lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun
internasional serta perkembangan hukum pada umumnya,
maka Peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara
Perdata (Reglement op de Rechvordering) yang dipakai sebagai
pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga
perlu disesuaikan karena pengaturan dagang bersifat
internasional sudah merupakan kebutuhan Condition Sine qua
non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen
Acara Perdata (Reglement op de Rechvordering). Bertolak dari
kondisi ini perubahan yang mendasar terhadap RV baik
secara filosofis maupun substantif sudah saatnya
dilaksanakan. Dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30
Tahun 1999 diatur tentang arbitrase internasional,
terutama aspek eksekusinya. Akan tetapi Undang-Undang
tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang apa
yang dimaksud dengan arbitrase internasional itu.
Apakah misalnya setiap putusan arbitrase luar negeri
(Negara – Negara ASEAN) dapat dijalankan di Indonesia,
termasuk jika putusan tersebut merupakan
putusan arbitrase Nasional Negara lain.
Karena Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999
tidak menyebutkan apa apa, maka hal ini mengindikasikan
bahwa Undang – Undang Arbitrase Nomor 30 tersebut tidak
rnelakukan pembatasanpernbatasan terhadap jenis
Arbitrase. Asal syarat-syarat dalam Undang – Undang
tersebut telah dipenuhi, maka putusan arbitrase
tersebut sudah dapat dijalankan.
Jadi arbitrase internasional yang dimaksudkan
dalam Undang – Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999
sebenarnya adalah “arbitrase asing”. Hal ini sejalan
dengan ketentuan dalam New York Convention (10 Juni
1958) yang memang mempersoalkan eksekusi putusan
arbitrase asing (foreign arbitral awards), bukan hanya
arbitrase Internasional. Bahkan dalam sejarah hukum
arbitrase di Indonesia, juga yang dikenal adalah
eksekusi putusan arbitrase asing. Hal lni terlihat
misalnya dengan adanya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang
mengesahkan berlakunya New York Convention tersebut,
maupun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma)
Nomor 1 Tahun 1990, tentang Tata Cara Pelaksanaan
Putusan Arbitrase Asing.
Sementara itu, jika kita berbicara dengan
arbitrase internasional (dalam arti sempit), yakni yang
tidak termasuk arbitrase nasional Negeri lain, maka
seperti yang dimaksud dalam model hukum arbitrase
UNCITRAL baru termasuk arbitrase internasional jika
memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:
1) Jika pada saat penandatanganan kontrak yang
menjadi sengketa, para pihak mempunyai tempat
bisnis di negara yang berbeda, atau
2) Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak
arbitrase berada di luar tempat bisnis para pihak,
atau
3) Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam
kontrak berada diluar bisnis para pihak, atau
pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang
berada diluar tempat bisnisnya para pihak, atau
4) Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa
pokok persoalan dalam kontrak arbitrase
berhubungan dengan lebih dari satu negara.
Di samping arbitrase yang bersifat nasional
seperti BANI, di beberapa negara-negara ASEAN terdapat
juga arbitrase yang khusus dibentuk untuk kasus-kasus
internasional. Biasanya, arbitrase nasional seperti
BANI juga menyediakan diri untuk kasus-kasus yang
bersifat intemasional, khususnya jika salah satu pihak
dalam sengketa tersebut adalah berasal dari negara di
mana arbitrase nasionai tersebut berada.
Di Indonesia proses penyelesaian perkara diluar
peradilan melalui Arbitrase dapat mempunyai kekuatan
eksekutorial setelah memperoleh izin pemerintah untuk
di eksekusi/eksekutor di pengadilan.
Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang
Arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 telah didefinisikan
bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa
perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada
Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh
para pihak yang bersengketa. Menurut Black’s Law
Dictionary:
“Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of
selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to
establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the
delay, the expense and vexation of ordinary litigation”. Sedangkan
menurut Subekti berpendapat bahwa Arbitrase itu adalah
penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang
atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama
ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak
diselesaikan lewat Pengadilan.3 Pada dasarnya arbitrase
dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:
Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum
timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau Suatu
perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak
setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).
Sebelum Undang-Undang Arbitrase berlaku, ketentuan
mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s.d. 651
Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada
penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar
Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitrase) tetap diperbolehkan.
Dasar hukum arbitrase sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam pasal 33
3 Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu MeningkatkanMinatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Suatu Tinjauan, Hukum Bisnis, Vol 21, Oktober – November 2002.hlm. 7
Piagam PBB. Pasal ini menyebutkan bahwa pihak-pihak
yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika
berlangsung terus menerus mungkin membahayakan
pemeliharaan perdamaian dan internasional; pertama-tama
harus mencari penyelesaian dengan cara perundingan,
penyelidikan dengan mediasi, konsiliasi, arbitrase,
penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau
pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai
lainnya yang mereka pilih sendiri. Dari pasal tersebut
tampak bahwa arbitrase sebagai salah satu cara
penyelesaian sengketa baik nasional maupun
internasional telah diakui eksistensinya oleh
masyarakat internasional, sehingga dapat disimpulkan
bahwa badan ini bisa saja bersifat publik maupun
perdata. Yang bersifat publik misalnya Mahkamah Tetap
Arbitrase (Permanent Court Arbitration). Yang bersifat
perdata misalnya Dewan Arbitrase ICSID/Bank Dunia.
Penyelesaian dengan arbitrase dipilih untuk sengketa
kontraktual (baik yang bersifat sederhana maupun yang
kompleks), yang dapat digolongkan menjadi4 :
1) Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan
faktual (question of fact) yang dengan sendirinya
memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis
yang tinggi;
2) Technical Arbitration, yang tidak menyangkut
permasalahan factual, sebagaimana halnya dengan
masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen
(construction of document) atau aplikasi ketentuan-
ketentuan kontrak;
3) Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan
faktual maupun hukum (Question of Law).
Peranan badan arbitrase komersial di dalam
menyelesaian sengketasengketa bisnis di bidang
perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini
menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional dan
internasional memasukkan klausul arbitrase. Bagi
4 Ibid.
kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui
badan ini memberikan keuntungan tersendiri dari pada
melalui badan peradilan nasional.
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-
hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen
(institusi).
1) Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-
aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan
arbitrase, misalnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada
umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan
perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis
arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang
disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase
Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul
arbitrase.5
2) Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen
yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase5 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 27
berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan
sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan
arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan
arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional
Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti
The Rules of Arbitration dari The International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The
International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)
di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai
peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri6
BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi
standar klausul arbitrase sebagai berikut:7
“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan
diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut
peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya
6 Ibid.7 Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase,Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com/view.php?nid=104,diakses pada tanggal 1 Desember 2014
mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam
tingkat pertama dan terakhir”.
Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation
Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut8:
“Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau
sehubungan dengan perjanjian ini, atau wanprestasi, pengakhiran atau
sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai
dengan aturan-aturan UNCITRAL”.
Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui
Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat
terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa
melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata
peradilan. Keunggulan itu adalah:
kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
keterlambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif dapat dihindari;
8 Ibid.
para pihak dapat memilih arbiter yang
berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup
mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur
dan adil;
para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk
penyelesaian masalahnya;
para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan
arbitrase;
putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat
para pihak melalui prosedur sederhana ataupun
dapat langsung dilaksanakan.
Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai
keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia
perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat
arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa
keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat,
oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN
Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan
wasit (arbitrase) adalah:
1) Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan
cepat.
2) Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam
bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan
mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3) Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan
para pihak.
4) Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga
umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan
perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada
putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh
para pengusaha.
Di samping keunggulan arbitrase seperti tersebut
di atas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase.
Dari praktik yang berjalan di Indonesia, kelemahan
arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari
suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk
eksekusi putusan arbitrase nasional maupun
internasional sudah cukup jelas.
Pelaksanaan putusan Arbitrase dapat dijelaskan dalam 2
hal:
1) Putusan Arbitrase Nasional
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur
dalam Pasal 59-64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan
putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase
dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut
harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan
pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik
putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau
kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam
waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan
arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional
bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap)
sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau
pertimbangandari putusan arbitrase nasional
tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua
Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan
secara formal terhadap putusan arbitrase nasional
yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis
arbitrase. Berdasar Pasal 62 UndangUndang Nomor 30
Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan,
Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan
arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus
untuk arbitrase internasional). Bila tidak
memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat
menolak permohonan arbitrase dan terhadap
penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
2) Putusan Arbitrase Internasional
Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing
di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi
Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan
negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa
Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani
UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign
Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi
New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor
34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di
Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret
1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan
mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata
Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing
sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York
1958. Dengan adanya PERMA tersebut hambatan bagi
pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia
seharusnya bisa diatasi. Tetapi dalam praktiknya
kesulitankesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.
Kesimpulan
Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa
peraturan perUndangUndangan mengenai arbitrase di
antara Negara ASEAN dibuat masih relatif baru. Di
antara kelima Negara anggota asli ASEAN, peraturan
tersebut terbit sekitar 7 – 8 tahun yang lalu,
Indonesia misalnya Undang-Undang arbitrase
nasional-nya baru terbit tahun 1999, atau Thailand
2002. Meskipun relatif baru, ketentuan hukum
arbitrase di Negara-negara ASEAN ini mencerminkan
ketentuan yang sedapat mungkin sesuai dengan
aturan-aturan dalam UNCITRAL Model Law 1985. Dari
instrument hukum yang diteliti dari kelima Negara
anggota ASEAN berkaitan dengan hukum arbitrase
yang dimilikinya, tampak bahwa kelima Undang-
Undang Negara ASEAN tersebut memberi porsi dan
perhatian yang cukup besar terhadap penghormatan
dan pelaksanaan putusan arbitrase asing
(internasional). Pemberian perhatian ini memberi
indikasi bahwa kelima negara berupaya secara
konsisten menghormati dan melaksanakan putusan
arbitrase asing.