+ All Categories
Home > Documents > KEDUDUKAN ARBITRASE DALAM MASYARAKAT

KEDUDUKAN ARBITRASE DALAM MASYARAKAT

Date post: 25-Feb-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
24
KEDUDUKAN ARBITRASE DALAM MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Lembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa di bidang bisnis sudah semakin berperan penting. Lembaga arbitrase lazim dipandang sebagai suatu badan peradilan para pengusaha atau Merchant’s Court. Bahkan Profesor terkemuka di bidang hukum perdagangan internasional, Profesor Alexander Goldstajn menyebut arbitrase sebagai salah satu prinsip dasar dalam hukum perdagangan internasional. 1 Andreas Respondek mengungkapkan bahwa dalam kontrak – kontrak dagang atau bisnis internasional, para pihak sudah sangat lazim menuangkan klausul arbitrase dalam kontrak mereka. Respondek (2003) mengungkapkan: 1 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawali pers, 2005), hlm. 16.
Transcript

KEDUDUKAN ARBITRASE DALAM MASYARAKAT EKONOMI

ASEAN

Lembaga arbitrase sebagai lembaga penyelesaian

sengketa di bidang bisnis sudah semakin berperan

penting. Lembaga arbitrase lazim dipandang sebagai

suatu badan peradilan para pengusaha atau Merchant’s

Court. Bahkan Profesor terkemuka di bidang hukum

perdagangan internasional, Profesor Alexander Goldstajn

menyebut arbitrase sebagai salah satu prinsip dasar

dalam hukum perdagangan internasional.1

Andreas Respondek mengungkapkan bahwa dalam

kontrak – kontrak dagang atau bisnis internasional,

para pihak sudah sangat lazim menuangkan klausul

arbitrase dalam kontrak mereka. Respondek (2003)

mengungkapkan:

1 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: Rajawalipers, 2005), hlm. 16.

“There is hardly any international contract like for instance a Joint Venture

Agreement, a Technology Transfer Agreement or a TurnKey Agreement in

the construction sector that would not contain an arbitration clause for

dispute resolution between the parties”.

Selanjutnya Respondek mengungkapkan pula bahwa:

“Approximately 80% of all international agreements contain arbitration

clauses.” Dengan telah diluncurkannya ASEAN FREE TRADE

AREA (AFTA) di lingkungan negara ASEAN, transaksi di

antara negara – negara ini menjadi semakin terbuka.

Para pengusaha di antara negara ASEAN diharapkan

semakin banyak melakukan transaksi dengan mitra

bisnisnya di region Asia Tenggara. Semakin meningkatnya

hubungan bisnis di kawasan ASEAN sedikit banyak akan

berpengaruh pula terhadap peningkatan sengketa di

antara para pengusaha ASEAN. Mengingat lembaga

arbitrase sudah semakin banyak dicantumkan dalam

kontrak dagang (tersebut di atas), maka sudah dipandang

penting untuk mengetahui sedikit banyak tentang

pengaturan hukum arbitrase di antara negara anggota

ASEAN. Diharapkan dengan diketahuinya aturan hukum

arbitrase di antara negara anggota ASEAN tersebut,

kemudian diupayakan, apabila terdapat perbedaan,

pengharmonisasian di bidang hukum di antara negara

anggota.

Sebagai perbandingan, di Indonesia misalnya

penyelenggaraan arbitrase diberi legalitas dalam

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan

Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pertimbangan dibuat

berdasarkan aturan Perundang – Undangan yang berlaku

penyelesaian sengketa perdata di samping dapat diajukan

ke peradilan umum juga terbukti kemungkinan

penyelenggara sengketa tersebut, diajukan melalui

Arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa.

Peraturan Perundang – Undangan yang kini berlaku untuk

menyelesaikan sengketa melalui Arbitrase sudah tidak

perlu lagi dengan perkembangan dunia usaha dan hukum

pada umumnya.2

2 Konsideran Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999tentang Arbitrase dan Alternative Penyelesaian Sengketa alinea a.b

Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang

Arbitrase berisi aturan antara lain:

Alternatif penyelesaian sengketa.

Syarat arbitrase pengangkatan arbiter dan hak

ingkar.

Acara yang berlaku dihadapan majelis arbitrase.

Pelaksanaan putusan arbitrase.

Berakhirnya tugas arbitrase.

Biaya arbitrase.

Sebelum berlakunya Undang-Undang yang berlaku

selama ini yang dipakai sebagai dasar pemeriksaan

Arbitrase di Indonesia adalah pasal 615 sampai dengan

Pasal 651 Reglernen Acara Perdata (Reglernent op de

Rechvordering, Staatsblad 1847:52) dan Pasal 377 Reglemen

Indonesia yang diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglemen

Staatsblad 1941: 44). Dan pasaI 705 Reglement Acara Untuk

Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechsretglement Buitengwesten,

Staatblad 1927:227). Tujuan pengaturannya atau hal yang

ingin dicapai untuk memberitahukan hak kepada para

pihak yang bersengketa menentukan mediator dalam

menyelesaikan permasalahannya. Di samping itu juga

untuk mempercepat proses melalui pemeriksa peradilan

yang berbelit-belit. Hal ini juga disebabkan. karena

lembaga arbitrase mempunyai kelebihan dibandingkan

dengan lembaga peradilan, kelebihan tersebut antara

lain:

a. Dijamin kerahasiaan sengketa para pihak.

b. Dapat dihindari keterlambatan yang diakibatkan

karena hal prosedural dan administratif.

c. Para pihak dapat memilih arbiter yang menurut

keyakinannya mempunyai pengetahuan pengalaman

serta latar belakang yang cukup mengenai masalah

yang disengketakan, jujur dan adil.

d. Para pihak dapat memilih hukum apa yang akan

diterapkan untuk menyelesaikan masalahnya serta

proses dan tempat penyelenggaraan arbitrase.

e. Putusan arbiter merupakan putusan yang mengikat

para pihak dan dengan melalui tata cara (prosedur

sederhana saja ataupun langsung dapat

dilaksanakan).

Pada kenyataannya apa yang disebutkan di atas

tidak semuanyabenar, sebab di negara negara tertentu

proses peradilan dapat lebih cepat dari pada proses

arbitrase. Satu-satunya kelebihan arbitrase terhadap

pengadilan adalah sifat konfidensialnya karena

keputusannya tidak dipublikasikan. Namun demikian

penyelesaian sengketa melalui arbitrase masih lebih

diminati dari pada Litigasi terutama untuk kontrak

bisnis bersifat internasional.

Dengan perkembangan dunia usaha dan perkembangan

lalu lintas di bidang perdagangan baik nasional maupun

internasional serta perkembangan hukum pada umumnya,

maka Peraturan yang terdapat dalam Reglemen Acara

Perdata (Reglement op de Rechvordering) yang dipakai sebagai

pedoman arbitrase sudah tidak sesuai lagi sehingga

perlu disesuaikan karena pengaturan dagang bersifat

internasional sudah merupakan kebutuhan Condition Sine qua

non sedangkan hal tersebut tidak diatur dalam Reglemen

Acara Perdata (Reglement op de Rechvordering). Bertolak dari

kondisi ini perubahan yang mendasar terhadap RV baik

secara filosofis maupun substantif sudah saatnya

dilaksanakan. Dalam Undang-Undang Arbitrase Nomor 30

Tahun 1999 diatur tentang arbitrase internasional,

terutama aspek eksekusinya. Akan tetapi Undang-Undang

tersebut sama sekali tidak menyebut-nyebut tentang apa

yang dimaksud dengan arbitrase internasional itu.

Apakah misalnya setiap putusan arbitrase luar negeri

(Negara – Negara ASEAN) dapat dijalankan di Indonesia,

termasuk jika putusan tersebut merupakan

putusan arbitrase Nasional Negara lain.

Karena Undang-Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999

tidak menyebutkan apa apa, maka hal ini mengindikasikan

bahwa Undang – Undang Arbitrase Nomor 30 tersebut tidak

rnelakukan pembatasanpernbatasan terhadap jenis

Arbitrase. Asal syarat-syarat dalam Undang – Undang

tersebut telah dipenuhi, maka putusan arbitrase

tersebut sudah dapat dijalankan.

Jadi arbitrase internasional yang dimaksudkan

dalam Undang – Undang Arbitrase Nomor 30 Tahun 1999

sebenarnya adalah “arbitrase asing”. Hal ini sejalan

dengan ketentuan dalam New York Convention (10 Juni

1958) yang memang mempersoalkan eksekusi putusan

arbitrase asing (foreign arbitral awards), bukan hanya

arbitrase Internasional. Bahkan dalam sejarah hukum

arbitrase di Indonesia, juga yang dikenal adalah

eksekusi putusan arbitrase asing. Hal lni terlihat

misalnya dengan adanya Keppres Nomor 34 Tahun 1981 yang

mengesahkan berlakunya New York Convention tersebut,

maupun dengan adanya Peraturan Mahkamah Agung (Perma)

Nomor 1 Tahun 1990, tentang Tata Cara Pelaksanaan

Putusan Arbitrase Asing.

Sementara itu, jika kita berbicara dengan

arbitrase internasional (dalam arti sempit), yakni yang

tidak termasuk arbitrase nasional Negeri lain, maka

seperti yang dimaksud dalam model hukum arbitrase

UNCITRAL baru termasuk arbitrase internasional jika

memenuhi syarat – syarat sebagai berikut:

1) Jika pada saat penandatanganan kontrak yang

menjadi sengketa, para pihak mempunyai tempat

bisnis di negara yang berbeda, atau

2) Jika tempat arbitrase sesuai dengan kontrak

arbitrase berada di luar tempat bisnis para pihak,

atau

3) Jika pelaksanaan sebagian besar kewajiban dalam

kontrak berada diluar bisnis para pihak, atau

pokok sengketa sangat terkait dengan tempat yang

berada diluar tempat bisnisnya para pihak, atau

4) Para pihak dengan tegas telah menyetujui bahwa

pokok persoalan dalam kontrak arbitrase

berhubungan dengan lebih dari satu negara.

Di samping arbitrase yang bersifat nasional

seperti BANI, di beberapa negara-negara ASEAN terdapat

juga arbitrase yang khusus dibentuk untuk kasus-kasus

internasional. Biasanya, arbitrase nasional seperti

BANI juga menyediakan diri untuk kasus-kasus yang

bersifat intemasional, khususnya jika salah satu pihak

dalam sengketa tersebut adalah berasal dari negara di

mana arbitrase nasionai tersebut berada.

Di Indonesia proses penyelesaian perkara diluar

peradilan melalui Arbitrase dapat mempunyai kekuatan

eksekutorial setelah memperoleh izin pemerintah untuk

di eksekusi/eksekutor di pengadilan.

Menurut Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang

Arbitrase dalam Pasal 1 angka 1 telah didefinisikan

bahwa Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa

perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada

Perjanjian Arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh

para pihak yang bersengketa. Menurut Black’s Law

Dictionary:

“Arbitration. an arrangement for taking an abiding by the judgement of

selected persons in some disputed matter, instead of carrying it to

establish tribunals of justice, and is intended to avoid the formalities, the

delay, the expense and vexation of ordinary litigation”. Sedangkan

menurut Subekti berpendapat bahwa Arbitrase itu adalah

penyelesaian suatu perselisihan (perkara) oleh seorang

atau beberapa orang wasit (arbiter) yang bersama-sama

ditunjuk oleh para pihak yang berperkara dengan tidak

diselesaikan lewat Pengadilan.3 Pada dasarnya arbitrase

dapat berwujud dalam 2 (dua) bentuk, yaitu:

Klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu

perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum

timbul sengketa (Factum de compromitendo); atau Suatu

perjanjian Arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak

setelah timbul sengketa (Akta Kompromis).

Sebelum Undang-Undang Arbitrase berlaku, ketentuan

mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s.d. 651

Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada

penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14

Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman

menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar

Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit

(arbitrase) tetap diperbolehkan.

Dasar hukum arbitrase sebagai salah satu cara

penyelesaian sengketa dapat ditemukan dalam pasal 33

3 Priyatna Abdurrasyid, Pengusaha Indonesia Perlu MeningkatkanMinatnya Terhadap Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,Suatu Tinjauan, Hukum Bisnis, Vol 21, Oktober – November 2002.hlm. 7

Piagam PBB. Pasal ini menyebutkan bahwa pihak-pihak

yang bersangkutan dalam suatu pertikaian yang jika

berlangsung terus menerus mungkin membahayakan

pemeliharaan perdamaian dan internasional; pertama-tama

harus mencari penyelesaian dengan cara perundingan,

penyelidikan dengan mediasi, konsiliasi, arbitrase,

penyelesaian menurut hukum melalui badan-badan atau

pengaturan-pengaturan regional, atau dengan cara damai

lainnya yang mereka pilih sendiri. Dari pasal tersebut

tampak bahwa arbitrase sebagai salah satu cara

penyelesaian sengketa baik nasional maupun

internasional telah diakui eksistensinya oleh

masyarakat internasional, sehingga dapat disimpulkan

bahwa badan ini bisa saja bersifat publik maupun

perdata. Yang bersifat publik misalnya Mahkamah Tetap

Arbitrase (Permanent Court Arbitration). Yang bersifat

perdata misalnya Dewan Arbitrase ICSID/Bank Dunia.

Penyelesaian dengan arbitrase dipilih untuk sengketa

kontraktual (baik yang bersifat sederhana maupun yang

kompleks), yang dapat digolongkan menjadi4 :

1) Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan

faktual (question of fact) yang dengan sendirinya

memerlukan para arbiter dengan kualifikasi teknis

yang tinggi;

2) Technical Arbitration, yang tidak menyangkut

permasalahan factual, sebagaimana halnya dengan

masalah yang timbul dalam penyusunan dokumen

(construction of document) atau aplikasi ketentuan-

ketentuan kontrak;

3) Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan

faktual maupun hukum (Question of Law).

Peranan badan arbitrase komersial di dalam

menyelesaian sengketasengketa bisnis di bidang

perdagangan nasional maupun internasional dewasa ini

menjadi semakin penting. Banyak kontrak nasional dan

internasional memasukkan klausul arbitrase. Bagi

4 Ibid.

kalangan bisnis, cara penyelesaian sengketa melalui

badan ini memberikan keuntungan tersendiri dari pada

melalui badan peradilan nasional.

Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-

hoc) maupun arbitrase melalui badan permanen

(institusi).

1) Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan berdasarkan aturan-

aturan yang sengaja dibentuk untuk tujuan

arbitrase, misalnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian

Sengketa atau UNCITRAL Arbitarion Rules. Pada

umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan

perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis

arbitrase serta prosedur pelaksanaan yang

disepakati oleh para pihak. Penggunaan arbitrase

Ad-hoc perlu disebutkan dalam sebuah klausul

arbitrase.5

2) Arbitrase institusi adalah suatu lembaga permanen

yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase5 Gatot Soemartono. Arbitrase dan Mediasi di Indonesia. (Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 27

berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan

sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan

arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan

arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional

Indonesia (BANI), atau yang internasional seperti

The Rules of Arbitration dari The International Chamber of

Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The

International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID)

di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai

peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri6

BANI (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) memberi

standar klausul arbitrase sebagai berikut:7

“Semua sengketa yang timbul dari perjanjian ini, akan diselesaikan dan

diputus oleh Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) menurut

peraturan-peraturan prosedur arbitrase BANI, yang keputusannya

6 Ibid.7 Indonesian Banking Restructuring Agency (IBRA). Arbitrase,Pilihan Tanpa Kepastian, http://www.gontha.com/view.php?nid=104,diakses pada tanggal 1 Desember 2014

mengikat kedua belah pihak yang bersengketa, sebagai keputusan dalam

tingkat pertama dan terakhir”.

Standar klausul arbitrase UNCITRAL (United Nation

Comission of International Trade Law) adalah sebagai berikut8:

“Setiap sengketa, pertentangan atau tuntutan yang terjadi atau

sehubungan dengan perjanjian ini, atau wanprestasi, pengakhiran atau

sah tidaknya perjanjian akan diselesaikan melalui arbitrase sesuai

dengan aturan-aturan UNCITRAL”.

Keunggulan arbitrase dapat disimpulkan melalui

Penjelasan Umum Undang Undang Nomor 30 tahun 1999 dapat

terbaca beberapa keunggulan penyelesaian sengketa

melalui arbitrase dibandingkan dengan pranata

peradilan. Keunggulan itu adalah:

kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;

keterlambatan yang diakibatkan karena hal

prosedural dan administratif dapat dihindari;

8 Ibid.

para pihak dapat memilih arbiter yang

berpengalaman, memiliki latar belakang yang cukup

mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur

dan adil;

para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk

penyelesaian masalahnya;

para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan

arbitrase;

putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat

para pihak melalui prosedur sederhana ataupun

dapat langsung dilaksanakan.

Para ahli juga mengemukakan pendapatnya mengenai

keunggulan arbitrase. Menurut Prof. Subekti bagi dunia

perdagangan atau bisnis, penyelesaian sengketa lewat

arbitrase atau perwasitan, mempunyai beberapa

keuntungan yaitu bahwa dapat dilakukan dengan cepat,

oleh para ahli, dan secara rahasia. Sementara HMN

Purwosutjipto mengemukakan arti pentingnya peradilan

wasit (arbitrase) adalah:

1) Penyelesaian sengketa dapat dilakasanakan dengan

cepat.

2) Para wasit terdiri dari orang-orang ahli dalam

bidang yang dipersengketakan, yang diharapkan

mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.

3) Putusan akan lebih sesuai dengan perasaan keadilan

para pihak.

4) Putusan peradilan wasit dirahasiakan, sehingga

umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan

perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada

putusan perwasitan inilah yang dikehendaki oleh

para pengusaha.

Di samping keunggulan arbitrase seperti tersebut

di atas, arbitrase juga memiliki kelemahan arbitrase.

Dari praktik yang berjalan di Indonesia, kelemahan

arbitrase adalah masih sulitnya upaya eksekusi dari

suatu putusan arbitrase, padahal pengaturan untuk

eksekusi putusan arbitrase nasional maupun

internasional sudah cukup jelas.

Pelaksanaan putusan Arbitrase dapat dijelaskan dalam 2

hal:

1) Putusan Arbitrase Nasional

Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur

dalam Pasal 59-64 Undang-Undang Nomor 30 Tahun

1999. Pada dasarnya para pihak harus melaksanakan

putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase

dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut

harus diserahkan dan didaftarkan pada kepaniteraan

pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan

menyerahkan lembar asli atau salinan autentik

putusan arbitrase nasional oleh arbiter atau

kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam

waktu 30 (tiga puluh) hari setelah putusan

arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional

bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti

putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap)

sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak

diperkenankan memeriksa alasan atau

pertimbangandari putusan arbitrase nasional

tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua

Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan

secara formal terhadap putusan arbitrase nasional

yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis

arbitrase. Berdasar Pasal 62 UndangUndang Nomor 30

Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan,

Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan

arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus

untuk arbitrase internasional). Bila tidak

memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat

menolak permohonan arbitrase dan terhadap

penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.

2) Putusan Arbitrase Internasional

Semula pelaksanaan putusan-putusan arbitrase asing

di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi

Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan

negara peserta konvensi tersebut menyatakan bahwa

Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada

tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani

UN Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign

Arbitral Award. Indonesia telah mengaksesi Konvensi

New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor

34 Tahun 1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di

Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981. Pada 1 Maret

1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan

mahkamah Agung Nomor 1 tahun 1990 tentang Tata

Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing

sehubungan dengan disahkannya Konvensi New York

1958. Dengan adanya PERMA tersebut hambatan bagi

pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia

seharusnya bisa diatasi. Tetapi dalam praktiknya

kesulitankesulitan masih ditemui dalam eksekusi

putusan arbitrase asing.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas tampak bahwa

peraturan perUndangUndangan mengenai arbitrase di

antara Negara ASEAN dibuat masih relatif baru. Di

antara kelima Negara anggota asli ASEAN, peraturan

tersebut terbit sekitar 7 – 8 tahun yang lalu,

Indonesia misalnya Undang-Undang arbitrase

nasional-nya baru terbit tahun 1999, atau Thailand

2002. Meskipun relatif baru, ketentuan hukum

arbitrase di Negara-negara ASEAN ini mencerminkan

ketentuan yang sedapat mungkin sesuai dengan

aturan-aturan dalam UNCITRAL Model Law 1985. Dari

instrument hukum yang diteliti dari kelima Negara

anggota ASEAN berkaitan dengan hukum arbitrase

yang dimilikinya, tampak bahwa kelima Undang-

Undang Negara ASEAN tersebut memberi porsi dan

perhatian yang cukup besar terhadap penghormatan

dan pelaksanaan putusan arbitrase asing

(internasional). Pemberian perhatian ini memberi

indikasi bahwa kelima negara berupaya secara

konsisten menghormati dan melaksanakan putusan

arbitrase asing.

TUGAS METODE ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA

(ARBITRASE)

Khairiza Purnama Ramadhan

2010 200 235

Kelas B

UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG

2014


Recommended