Date post: | 05-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
v
KEKUATAN PASAR (MARKET POWER) PRODUK PERTANIAN
Cetakan Pertama Juli 2018
21 x 30 cm , viii + 115
ISBN: 978-602-52347-0-5 (1)
Penulis
Dr. Ir. I Ketut Arnawa, MP
Prof. Ir. Ratya Anindita, MS.,PHd
Editor
Dr. Ir. I Nyoman Utari Vipriyanti, M.Si
Cover
Agus
Sampul diambil oleh Agus di www.google.com
Diterbitkan Oleh
CV. Noah Aletheia
Dicetak Oleh:
CV. Noah Aletheia
Jl. Tegalsari Gg. Koyon. No. 25 D. Banjar Tegalgundul
Desa Tibubeneng, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung Bali Indonesia.
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian buku ini
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan
Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan Anugrah-Nya, Penyusanan Buku
Kekuatan Pasar (Market Power) Produk Pertanian, dapat diselesaikan tepat
dengan waktu yang telah ditetapkan. Buku ini menjelaskan tentang sistem
pemasaran, struktur pasar, kebijakan pemerintah, pendekatan SCP (market
structure, market conduct dan market performance) dalam pemasaran, beberapa
model kekuatan pasar, faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan pasar,
kekuatan pasar industri pertanian.
Tujuan Penulisan Buku ini adalah untuk membantu mahasiswa dalam
memahami teori kekuatan pasar , sehingga setelah membaca Buku ini, mahasiswa
dapat membuat konsep kebijakan yang berpihak kepada petani, dan bagi penentu
kebijakan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan agar
petani mendapatkan harga yang layak dan pada akhirnya mampu mendorong
peningkatan produksi pertanian oleh petani. Sehingga buku ini diharapkan dapat
menjadi salah satu bahan acuan bagi mahasiswa ekonomi pertanian untuk
memahami teori pemasaran produk pertanian dan bagi para pembuat kebijakan
sebagai bahan pertimbangan untuk merekayasa atau mengitervensi pasar agar
petani mendapatkan harga yang layak.
Segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan, guna
penyempurnaan Buku ini, Kepada semua pihak yang terlibat dan mendukung
penyelesaian Buku ini diucapkan terima kasih
Denpasar, 6 Juni 2017
Penulis,
vii
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Sampul ii
Kata Pengantar
Daftar isi
v
vi
Daftar Tabel viii
Daftar Gambar x
BAB 1 Pendahuluan 1
1.1 Sistem Pemasaran 1
1.2 Saluran Pemasaran dan Peranan Industri Dalam
Pemasaran
6
1.3 Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian 9
1.4 Pendekatan SCP Dalam Studi Pemasaran 10
1.7 Negara Berkembang Dan Faktor Pertumbuhannya 12
BAB 2 Beberapa Pendekatan dalam Analisis Struktur
Pasar
18
2.1 Pangsa Pasar (Market Share) 18
2.2 Perilaku Pasar (Market Conduct) 23
2.3 Penampilan Pasar (Market Performance) 24
BAB 3 Model Kekuatan Pasar (Market Power) 29
3.1 Model Prilaku Satu Sisi 29
3.2 Model Prilaku Dua- Sisi 31
3.3 Model Dinamis 34
3.4 Indeks Lerner 37
3.5 Model Pasar Persaingan Tidak Sempurna 40
BAB 4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekuatan
Pasar (Market Power)
65
4.1 Elastisitas Penawaran Produk Pertanian 65
4.2 Elastisitas Permintaan Produk Olahan Komoditas
Pertanian
69
4.3 Permintaan Atas Pakan Ternak 72
4.4 Biaya Pemrosesan Produk Olahan Komoditas
Pertanian
75
BAB 5 Kekuatan Pasar (Market Power) Industri Pertanian 77
5.1 Elastisitas Konjenktural Industri Pertanian 77
5.2 Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Produk
Pertanian
78
5.3 Dampak Peningktan Elastisitas Konjenktural
Terhadap Harga Di Pasar Input Dan Output
83
5.4 Dampak Perubahan Elastisitas Harga
PenawaranTerhadap Harga di Pasar Input dan
Output
86
5.5 Dampak Perubahan Elastisitas Harga Permintaan
Produk Olahan Terhadap Harga di Pasar Input dan
88
viii
Output
5.6 Dampak Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan
Pakan Ternak erhadap Harga Kedelai di Pasar
Input dan Output
90
5.7 Dampak Pengaruh Impor Terhadap Harga di Pasar
Input dan Output
93
5.8 Dampak Pengaruh Tarif Impor Terhadap Harga di
Pasar Input dan Output
95
5.9 Dampak Pengaruh Produksi Lokal Terhadap
Harga di Pasar Input dan Output
97
BAB 6 Keseimbangan Pasar Umum Industri Pertanian 100
6.1 Keseimbangan Pasar Input 101
6.2 Keseimbangan Pasar Output Produk Olahan 103
6.3 Keseimbangan Pasar Output Produk Pakan Ternak 105
DAFTAR PUSTAKA 109
ix
DAFTAR TABEL
Tabel
Teks Halaman
1.1 Keragaan Jumlah Kedelai Lokal dan Impor di Jawa Timur
selama (1999-2008)
7
1.2 Harga Kedelai di Kabupaten Sentra Produksi Kedelai di
Jawa TimurTahun 2008 (Satuan dalam Rp/Kg)
8
2.1 Omzet dan Market Share Empat Industri Kedelai Terbesar Di Jawa
Timur
20
3.1 Elastisitas Konjektural Industri Kedelai di Jawa Timur 36
4.1 Data Penawaran Kedelai di Jawa Timur Luas dan produksi 67
4.2 Data Permintaan produk olahan kedelai di Jawa Timur 71
4.3 Data Permintaan pakan Ternak dari Kedelai di Jawa Timur 74
5.1 Analisis Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Kedelai
di Pasar Input dan Output
82
5.2 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Kekuatan Pasar
(Elastisitas Konjenktural )Terhadap Harga Kedelai di Pasar
Input dan Output
85
5.3 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh
Elastisitas Harga Penawaran Terhadap Harga Kedelai di
Pasar Input dan Output
88
5.4 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh
Elastisitas Harga Permintaan Produk Olahan Kedelai
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
90
5.5 Hasil Simulasi Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan
Pakan Ternak dari Kedelai Terhadap Harga Kedelai di Pasar
Input dan Output
92
5.6 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh
Impor Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
94
5.7 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh
Tarif Impor Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan
Output
96
5.8 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh
Produksi Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan
Output
98
6.1 Data Keseimbangan Pasar Input Kedelai di Jawa Timur 102
6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar Input
Kedelai
103
6.3 Data Keseimbangan Pasar Ouput Produ Olahan Kedelai di
Jawa Timur
104
6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar
Ouput Olahan Kedelai
105
6.5 Tabel 6.5 Data Keseimbangan Pasar Ouput pakan Ternak
dari Kedelai
106
6.6 Hasil Uji Stationary (Unit Root Test) Data Keseimbangan
x
Pasar output Pakan Ternak dari Kedelai
107
6.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar
output Pakan dari Kedelai
108
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Teks Halaman
1.1 Sistem Pemasaran Hasil Pertanian 3
1.2 Rantai Tataniaga Kedelai di Indonesia 5
1.3 Perkembangan Harga Kedelai Per Bulan di Tingkat
Petani, Pedagang Pengumpul, dan Harga di Tingkat
Konsumen
9
1.4 Saluran Pemasaran Kedelai di Jawa Timur 10
1.5 Model Struktur-Tingkah laku dan Penampilan Pasar 13
1.6 Keuntungan dan kerugian ekonomis pada pasar
persaingan sempurna
15
1.7 Keuntungan dan Kerugian Ekonomi pada Pasar
Monopoli
16
1.8 Penentuan harga pada pasar persaingan sempurna 25
1.9 Penentuan Harga Pada Perusahaan Monopoli 26
1.10 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Monopolistik 27
1.11 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Oligopoli 28
3.1 Model Elastisitas konjektural dua industri 35
3.2 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar
Tidak Sempurna Ketika Hanya Harga Pasar Output
Yang Dipertimbangkan
49
3.3 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar
Tidak Sempurna Ketika Pasar Input Dan Output
Diperhitungkan Secara Bersamaan
51
3.4 Perbandingan Penentuan Harga Dalam Pasar Kompetitif
Dan Monopsoni
57
3.5 Perbandingan Kebijakan Harga Minimum Dalam Pasar
Kompetitif Dan Monopsoni
58
5.1 Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga
Kedelai di Pasar Input dan Output
83
5.2 Dampak Peningkatan Elastisitas Konjenktural Terhadap
Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
86
5.3 Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas
Harga Penawaran Terhadap Harga Kedelai di Pasar
Input dan Output
87
5.4 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Perubahan Elastisitas
Harga Permintaan Produk Olahan Kedelai Terhadap
Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
89
5.5 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Elastisitas
Harga Permintaan Pakan Ternak dari Kedelai Terhadap
Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
91
5.6 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Impor
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
93
5.7 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Tarif Impor
xii
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
97
5.8 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Produksi
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
99
1
Pendahuluan 1.1 Sistem Pemasaran
Pemasaran adalah suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk
memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen (Anindita,
2005) dan menurut Soekartawi, (1989) pemasaran atau marketing pada prinsipnya
adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi
karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran ini
sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karateristik aliran barang
yang dipasarkan, oleh karena itu dikenal dengan istilah marketing channel.
Fungsi saluran pemasaran ini sangat penting, khususnya dalam melihat tingkat
harga di masing-masing lembaga pemasaran.
Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pemasaran untuk hasil pertanian
adalah suatu sistem yang komplek dalam berbagai subsistem yang berinterkasi
satu sama lain. Elemen-elemen sistem pemasaran pertanian dapat diperhatikan,
pada Gambar 1.1. Sistem pemasaran mempunyai enam komponen atau subsistem:
produsen, aliran (flow), fungsional, saluran (channel), konsumen dan subsistem
lingkungan. Di bagian sisi akhir merupakan tujuan antara dan akhir.
Produsen subsistem terdiri dari berbagai produsen baik petani kecil atau
perkebunan besar. Barang yang dihasilkan dalam subsistem ini dibawa ke
konsumen akhir melalui channel subsistem. Subsistem ini terdiri dari pelaku pasar
atau perantara yang secara langsung bertanggung jawab agar produk yang
dihasilkan petani dapat tersedia bagi yang memerlukan sesuai dengan tempat,
waktu dan bentuk yang sesuai. Pelaku-pelaku tersebut merupakan aktor dalam
sistem yang menjalankan sistem melalui fungsi penting dalam tataniaga tersebut.
Tidak jarang pelaku tersebut melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan
kehendak produsen, konsumen dan pemerintahan sebagai necessary evil.
Flow subsystem memberikan fasilitas aliran barang, uang, dan informasi.
Informasi yang disampaikan terdiri dari trend dari produk, grading dan
standardisasi, serta harga. Fungsional subsistem terdiri dari fungsi tataniaga yang
BAB 1
2
berkatan dengan perubahan berdasarkan tempat, waktu, dan bentuk yang
melibatkan kegiatan, pengumpulan, penyaluran, pan distribusi. Subsistem terakhir
adalah subsistem konsumen yaitu tempat terakhir dari produk yang dihasilkan
petani.
Seluruh subsistem ini berinteiaksi dan saling tergantung satu dengan yang
lain dalam suatu lingkungan yang mereka jalankan. Subsistem lingkungan
memfasilitasi keberadaan pasar (marker performance), sesuai dengan empat
faktor atau daerah yang mempengaruhi kerja dari sistem tataniaga yaitu iklim,
sosial-budaya, ekonomi atau teknologi, dan legal (politic factor).
Dalam banyak kenyataan sering dijumpai adanya kelemahan dalam
mengembangkan produk-produk pertanian yang salah satunya disebabkan karena
kurang perhatiannya terhadap masalah-masalah pemasaran. Kurangnya perhatian
terhadap pemasaran mengakibatkan efisiensi pemasaran menjadi rendah, hal ini
dalam banyak disebabkan tingginya biaya pemasaran. Macam komoditi pertanian,
lokasi pemasaran, macam dan peranan lembaga pemasaran adalah variabel-
variabel yang diduga sebagai penyebab meningginya biaya pemasaran. Tidak
efisiennya suatu sistem pemasaran dapat dikurangi dengan cara : (a)
memperhatikan pendekatan S-C-P (Structure, Conduct, Performace) dan
melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dengan baik (Soekartawi, 1989 dan
Anindita, 2005)
3
Gambar 1. 1 Sistem Pemasaran Hasil Pertanian
(Sumber : Anindita, 2005)
Suatu sistem pemasaran dikatakan baik apabila sistem tersebut dapat
memberikan manfaat yang sama baiknya bagi setiap pelaku pasar, yaitu produsen
dan lembaga pemasaran, memperoleh berupa marjin keuntungan yang pantas
sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Salah satu syarat tercapainya sistem
pemasaran yang baik dan efisien adalah tersedianya informasi pasar yang
memadai. Informasi yang baik adalah informasi yang dapat mempengaruhi
perencanaan produksi yang lebih baik di tingkat produsen serta menjamin peluang
berusaha bagi pedagang.
Sebagai contoh rantai pemasaran kedelai, berdasarkan arus barang,
maka rantai tataniaga komoditas kedelai di Indonesia dapat dibedakan
dalam dua kategori; pertama, rantai tataniaga dari sentra produksi yaitu
luar Jawa, dan kedua, rantai tataniaga kedelai pada sentra konsumsi yaitu
Pulau Jawa. Rantai tataniaga dari kedua kategori tersebut dapat dilihat
dari Gambar 1.2
Aliran system informasi :
Trend produk Grading dan stadarisasi
Harga
Aliran Produk
Transport,
Handling,
Storage
Processing
SALURAN
PEMASARAN
Produk
Harga
/
Biaya
Produk
Harga/
Biaya
SEKTOR
PRODUKSI
SEKTOR
KONSUMSI
Iklim//Kondisi
Fisik
Sosio-kultural
Ekonomi/
Teknologi
Legal/Politik
Input
Biaya
Kepuasan
Konsumen
4
Berdasarkan Gambar 1.2 secara umum dapat dikatakan kedelai yang
dihasilkan oleh petani pada sentra produksi luar Jawa sebagian besar
dijual ke Pulau Jawa. Rantai pemasaran kedelai luar Jawa terdapat juga
KOPTI. Sementara itu di Pulau Jawa, peranan pedagang besar
propinsi/antar propinsi dan pedagang besar kabupaten serta pedagang
besar kecamatan sangat penting. Ketiga jenis pedagang tersebut
mempengaruhi mekanisme distribusi perdagangan kedelai lokal dari sentra
produksi luar Jawa kepada konsumen.
Pada rantai pemasaran kedelai di Pulau Jawa, pedagang besar tingkat
propinsi, kabupaten dan kecamatan tidak langsung membeli kedelai dari petani
tetapi melalui pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul antar desa.
Sedangkan pengecer pada setiap pasar menyalurkan kedelai dari masing-masing
pedagang besar tingkat propinsi dan kabupaten untuk dijual kepada konsumen.
5
Gambar 1. 2 : Rantai Tataniaga Kedelai di Indonesia
(Sumber : Djauhari, dkk. (1989); Nockman, dkk.(1992); Purwoto
dan Sayaka, (1992); Rusastra, dkk. (1992); Zulham, dkk.
(1993) dalam Zulham dan Yumm, (1996))
Petani
Ped.Pengumpul Desa
Pialang
Pedagang
Besar/Grosir
Pengecer di
Pasar
Ind.Pengolah
Kedelai KOPTI
Ped. Antar
Prop/antar pulau Pedagang
pengecer
Ind. Pengolah
Kedelai PUSKUD
Kelompok Pedagang
Kac. Kedelai (KPKD) BULOG/DOLO
G
PUSKUD
KOPTI
Pedagang Besar
Propinsi/antar propinsi
Pengecer Pasar
Propinsi Ind. Pengolah
Kedelai
Pedagang Besar
Kabupaten
Pengecer
Pasar Kab.
Ind. Pengolah
Kedelai
kedelai
KOPTI
Pedagang Besar Pengecer pasar
kec.
Ind. Pengolah
Kedelai
Ped.Pengumpul antar
desa
Pedagang
Pengumpul Desa Ind. Pengolah
Kedelai
Petani
D
e
sa
s
a K
E
c
K
a
b
P
r
o
p
P
r
o
p
K
a
b
K
E
c
D
e
s
a
L
U
A
R
J
A
W
A
J
A
W
A
6
1.2 Saluran Pemasaran dan Peranan Industri Dalam Pemasaran
Sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik
penduduk terus berubah. Perubahan-perubahan tersebut akan menyebabkan
perubahan pula dalam pola konsumsi, termasuk untuk konsumsi komoditi
pertanian contohnya kedelai. Rata-rata konsumsi kedelai meningkat 7,4 persen per
tahun, tingginya persentase kedelai untuk konsumsi terutama karena
berkembangnya industri makanan olahan tradisional. Diperkirakan 30 persen
jumlah kedelai yang tersedia digunanakan oleh industri tahu, proporsi yang
kurang lebih sama digunakan oleh industri tempe, jadi sekitar 60 persen kedelai
yang tersesdia digunakan untuk tahu dan tempe (Suharno dan Wisnu Mulyana,
1996). Di pihak lain, perkembangan industri peternakan belum cukup kuat untuk
mendorong permintaan bahan pakan termasuk bungkil kedelai. Namun demikian,
secara per lahan-lahan porsi kedelai yang digunakan sebagai bahan pakan
tersebut terus meningkat.
Akibat peningkatan permintaan kedelai terus meningkat dari tahun ke
tahun. Dan produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan kedelai, maka
pemerintah mendatangkan dalam bentuk impor. Selama jangka waktu lebih 20
tahun, yaitu dari tahun1985 sampai 2005 pemerintah sebenarnya sudah
mencanangkan program peningkatan produksi kedelai untuk mencapai
swasembada kedelai atau dalam arti lain sudah ada upaya-upaya pemerintah untuk
menekan ketergantungan pemenuhan kebutuhan kedelai dari impor. Namun
kenyataan menunjukkan bahwa kuantitas impor kedelai setiap tahun semakin
meningkat. Hal ini menunjukan indikasi bahwa penerapan program swasembada
kedelai masih perlu dibenahi agar kelak menjadi lebih baik, salah satunya adalah
perbaikan pemasarannya, karena selama ini harga kedelai di tingkat petani rendah
tidak memberi motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya.
Kebutuhan kedelai di Jawa Timur rata-rata 49,77 persen dipenuhi dari
impor. Impor kedelai selama sepuluh tahun (1999-2008) ada kecendrungan terus
meningkat, pada tahun 1999 impor kedelai sekitar 34,83 persen dari total
kebutuhan, dan pada tahun 2008 impor kedelai meningkat mencapai 61,70
persen. Jumlah impor kedelai akan meningkatkan penawaran yang tersedia bagi
industri pengolahan, industri pengolahan kedelai adalah penentu dalam
7
penawaran kedelai. Dengan demikian jumlah impor kedelai merupakan penentu
stabilitas harga kedelai di Jawa Timur. Oleh karena itu jumlah kedelai impor
perlu dipertimbangkan dalam upaya mendorong petani lokal untuk meningkatkan
produksinya dan berkesinambungannya industri pengolahan kedelai
Tabel 1.1 Keragaan Jumlah Kedelai Lokal dan Impor di Jawa Timur
selama (1999-2008)
Tahun Jumlah Kedelai
Lokal
(ton)
Jumlah Kedelai
Impor
(ton)
Persentase Kedelai
impor dari total
kebutuhan (%)
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
485.878,00
385.212,00
349.188,00
300.184,00
287.205,00
318.929,00
335.106,00
320.205,00
252.027,00
227.281,00
259.686,00
330.546,00
311.889,71
351.795,93
391.702,14
206.627,95
196.283,71
359.630,84
511.172,81
366.069,62
34.83
46.18
47.18
53.96
57.70
39.32
36.94
52.90
66.98
61.70
Rata-
rata
326.121,50 328.543,47 49.77
Sumber : Badan Pusat Statistik (1999-2009)
Ada dua saluran pemasaran kedelai impor di Jawa Timur. Pertama kedelai
impor dibeli oleh koperasi pengrajin tahu dan tempe (KOPTI) melalui broker,
untuk selanjutnya dipasarkan ke pengrajin tahu dan tempe. KOPTI mempunyai
peranan sangat penting terutama untuk menjamin suplai kedelai kepada industri
tahu-tempe. Kedua kedelai impor dibeli langsung oleh industri pengolahan skala
menengah dan besar melalui broker. Industri pengolahan mempunyai posisi tawar
dengan para broker sehingga harga di tingkat industri ditentukan berdasarkan
kesepakatan antara broker dan industri. Hal ini berarti KOPTI dan industri
pengolahan merupakan lembaga penting dalam ekonomi kedelai yang dapat
digunakan untuk mengatur stabilitas harga kedelai pada tingkat konsumen,
sehingga tujuan menjaga kesinambungan industri tahu-tempe dan industri
pengolahan kedelai lainnya dapat tercapai. Penetapan harga tebus kedelai pada
tingkat importir melalui boker dan harga tebus KOPTI, merupakan suatu langkah
8
untuk mengendalikan harga kedelai pada tingkat konsumen. Penetapan harga
tebus tersebut harus mempertimbangkan harga jual kedelai lokal pada tingkat
petani serta daya beli kedelai oleh industri tahu-tempe.
Rendahnya harga kedelai di tingkat petani disamping karena saluran
pemasaran yang panjang, posisi tawar petani rendah juga karena pemasaran
kedelai dikuasai oleh beberapa pedagang besar tingkat kecamatan, kabupaten dan
propinsi. Sehingga harga di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang.
Kualitas kedelai tidak menjadi pertimbangan pedagang dalam penentuan harga
tersebut, oleh sebab itu banyak petani mencampur kedelainya dengan tanah atau
pasir, tujuannya adalah untuk menambah berat kedelai, sehingga petani akan
memperoleh tambahan pendapatan.
Saluran pemasaran kedelai dimulai dari daerah sentra produksi ke industri
pengolahan melalui pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang besar
kecamatan, kabupaten dan propinsi serta bermuara ke konsumen akhir. Pedagang
besar tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan tidak langsung membeli kedelai
dari petani tetapi melalui pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul
antar kota. Sedangkan pengecer pada setiap pasar menyalurkan kedelai dari
masing-masing pedagang besar tingkat propinsi dan kabupaten untuk dijual
kepada konsumen.
Tabel 1. 2. Harga Kedelai di Kabupaten Sentra Produksi Kedelai di Jawa
TimurTahun 2008 (Satuan dalam Rp/Kg)
Nama Bulan
Harga
Tingkat
Petani
Harga
Tingkat
Pengumpul
Harga
Tingkat
Konsumen
Persentase
Selisih Harga
Petani Dan
Konsumen
(%)
Januari
Pebruari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus
September
Oktober
Nopember
Desember
4700
5250
5300
4950
5200
5000
5200
4250
5200
5400
4900
4900
5200
5750
5600
5500
5800
5500
6300
4500
5650
5700
5250
5500
5750
7600
6000
6300
6500
6100
7350
5000
5900
6000
7000
6500
22,34
44,76
13,21
27,27
25,00
22,00
41,35
17,65
13,46
11,11
42,86
32,65
Sumber: Departemen Pertanian
9
Perkembangan harga kedelai per bulan di tingkat petani relatif kecil, tidak
sebesar perkembangan harga kedelai di tingkat konsumen. Sehingga dapat
dikatakan petani tidak pernah memperoleh harga yang tinggi, dan bahkan ada
kecendrungan harga di tingkat petani semakin menurun, hal ini membuat petani
enggan untuk menanam kedelai. Gambar 1.3 menunjukkan bahwa selisih harga
kedelai di tingkat petani relatif cukup besar dibandingkan dengan harga kedelai di
tingkat konsumen. Bahkan pada bulan Pebruari mencapai 44,76 persen. Selisih
harga yang cukup besar antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat
konsumen, menunjukkan bahwa pemasaran kedelai belum efisien dan
mengindisikan ada kolusi diantara pedagang besar. Harga kedelai yang tetap
murah di tingkat petani dan harga kedelai yang tinggi di tingkat konsumen,
kurang mendukung usaha pemerintah untuk pencapaian swasembada kedelai, dan
tidak kondusif untuk pengembangan industri kedelai di Jawa Timur. Sehingga
diperlukan suatu kebijakan harga yang memihak kepada peningkatan pendapatan
petani kedelai dan perkembangan usaha industri kedelai khususnya di Jawa
Timur.
Gambar 1.3 Perkembangan Harga Kedelai Per Bulan di Tingkat Petani,
Pedagang Pengumpul, dan Harga di Tingkat Konsumen
Sumber : Departemen Pertanian (2009), diolah
Bulan
10
1.3 Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian
Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan
intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan
komoditas pertanian. Tujuan kebijakan perdagangan produk pertanian dapat
berbeda-beda tergantung pada jenis komoditasnya. Kebijakan tarif impor atau
hambatan-hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas
substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor
terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi
atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Untuk
komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan
pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, stabilisasi harga dalam
negeri dan perdagangan.
1) Kebijakan Harga Dasar
Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991
dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali
untuk tahun 1991yang ditetapkan sebulan lebih awal (Darsono dkk., 2005;
Siregar, 2010). Sebagai contoh harga dasar kedelai dimulai pada tingkat Rp 210
per kg dan berakhir pada tingkat Rp 500 per kg selama kurun waktu 12 tahun
Petani
Pedagang
Pengumpul Desa
Importir
Broker
Pedagang
Besar/
Grosir
Pengecer Industri
Pengolah
KOPTI
Konsumen
Akhir
Gambar 1.4 Saluran Pemasaran Kedelai di Jawa Timur (Diadaptasi
dari Sudaryanto Tahlim dan Dewa K,S. Swastika, 2007)
11
tersebut. Meskipun nilai nominal harga dasar kedelai meningkat, nisbah atau ratio
harga dasar kedelai terhadap harga dasar gabah kering giling (GKG) hanya
meningkat selama tiga tahun pertama saja, yaitu dari 2,47 sampai 2,57. Kemudian
nilai nisbah tersebut menurun sampai 1.43 pada tahun 1987, tapi setelah itu
menjadi tidak jelas sampai tahun 1991. Gambaran nisbah harga dasar kedelai
terhadap harga GKG tersebut di atas memperlihatkan bahwa pemerintah pada
mulanya lebih berpihak pada pengembangan kedelai jika dibandingkan dengan
padi, tapi kemudian lebih memihak kepada padi dan akhirnya kecenderungannya
tidak jelas.
2) Kebijakan Stabilisasi Harga dan Impor
Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri contohnya, pada awal
tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan
penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi
pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri
hanya berlangsung selam 3 tahun (1979/80-1982/83) dan jumlahnya sangat kecil
atau kurang dari 1% dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui
impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Pengadaan
melalui impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi
kemudian menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi sampai
mancapai 490,9 ton padatahun 1991. Sementara itu stok kedelai meningkat terus
dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal
sekitar 20% dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan Purwoto,
1989 dalam Siregar, 2010) tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan
baik. Alasannya adalah karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal.
Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem
untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30% yang
dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif
impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada
tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi
2,5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulaitahun 1998 sampai
sekarang.
12
1.4 Pendekatan SCP Dalam Studi Pemasaran
Dalam studi mengenai pemasaran, terdapat berbagai pendekatan yang
digunakan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pada pendekatan
studi pemasaran secara kuantitatif, Tomek dan Robinson (1977)
menyarankan pendekatan marjin pemasaran, Kristanto, et. al. (1986)
menekankan pendekatan rasio biaya dan nilai produk, Downey dan
Erickson (1989) menggunakan pendekatan share biaya dan keuntungan,
sedangkan Arshad (1980) menekankan pendekatan integrasi pasar dan
memandang pentingnya pendekatan elastisitas transmisi harga. Beberapa
pendekatan tersebut bersifat parsial, yakni hanya melihat sistem pemasaran
dari salah satu aspek saja
Disamping pendekatan secara parsial, terdapat beberapa pendekatan yang
bersifat komprehensif. Cramer dan Jensen (1994) misalnya menyebutkan
paling tidak terdapat tiga pendekatan dalam studi efisiensi pemasaran yakni
functional approach, institutional approach dan market structur approach.
Dalam literatur lain, studi pemasaran dilakukan dengan pendekatan komoditas
(commodity approach) sebagai sintesa pendekatan fungsional dan insfrtusional,
pendekatan formasi harga (price formation) dan alokasi sumberdaya
(resource alocation) antara petani produsen dan konsumen akhir.
Salah satu pendekatan studi pemasaran yang sampai saat ini
dipandang paling komprehensive dalam mengamati sistem pemasaran
adalah pendekatan SCP (market structure, market conduct dan market
performance). SCP merupakan pendekatan pemasaran yang mengkaji sistem
pemasaran dari berbagai sisi dengan beberapa indikator sehingga
memungkinkan pengukuran efisiensi pasar dilakukan dengan lebih baik.
Pendekatan ini pertamakali diperkenalkan oleh JS. Bain dalam bukunya Industrial
Organization (Anindita, 2005). Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga hal yang
saling berkaitan. Struktur pasar (market structure) mempengaruhi bagaimana
perusahaan bertingkah laku di pasar (market conduct). Tingkah laku dari
perusahaan (market conduct) akan mempengaruhi penampilan pasar (market
performance) dari suatu industri. Situasi tersebut dapat diperhatikan pada Gambar
13
Pendekatan SCP ini dilakukan untuk mengawasi persaingan diantara
perusahaan di berbagai pasar. Bagaimana perusahaan melakukan tindakan akibat
struktur pasar yang ada dan lebih lanjut terhadap penampilan pasar. Apabila
pasar berjalan tidak sesuai dengan harapan maka akan berdampak terhadap
fairness dan efisiensi dari sistem pemasaran.
Gambar 1.5. Model Struktur-Tingkah laku dan Penampilan Pasar.
Struktur Pasar ( Market Structure)
Struktur pasar umumnya dibedakan menjadi; pasar persaingan sempurna,
pasar monopoli, kompetisi monopolistik, dan pasar oligopoli (Miller dan
Melners,1993; Sukirno,1994). Selanjutnya Henderson dan Quandt (1980),
menambahkan struktur pasar menjadi; struktur pasar monopsoni dan oligopsoni.
Pada struktur pasar persaingan yang tidak sempurna seperti yang telah disebutkan
di atas, struktur pasar monopoli, kompetisi monopolistik, dan oligopoli melihat
struktur pasar dari segi penjual, sedangkan struktur pasar monopsoni dan
oligopsoni dari sisi pembeli. Pada struktur pasar yang berbeda akan memiliki
sifat-sifat atau ciri-ciri pasar yang berbeda. Pada struktur pasar persaingan
sempurna ciri-ciri yang dimiliki adalah sebagai berikut; a). ada banyak penjual
dan pembeli dalam pasar, b). perusahan yang ada dalam pasar tidak dapat
merubah ataupun menentukan harga (price taker), c). setiap perusahan mudah
untuk keluar dan masuk pasar, d). barang atau produk yang dihasilkan adalah
sama (identical), dan e). pembeli memiliki pengetahuan yang sempurna tentang
pasar.
Market Structure
Ma Conduct Market Performance
- Aliran produk
- Kelembagaan
- Exchange function
- Physical function
- standarization
- Pricing efficiency
- Marketing cost, margins
net profit
- Progresiveness
- dll.
- Tingkat konsentrasi pembeli dan penjual
- Tingkat defferensiasi product
- Barriers to entry
- Tingkat pengetahuan pasar
- Tingkat integrasi dan diversifikasi
Market Conduct
14
Sedangkan pada struktur pasar monopoli memiliki ciri-ciri sebaliknya,
yaitu; a). hanya ada satu perusahan dalam pasar, b). produk yang dihasilkan tidak
memiliki pengganti yang mirip (close substitute), c). tidak ada kemungkinan pe-
rusahan lain untuk masuk kedalam pasar, d). perusahan menguasai dan
menentukan harga (price setter), dan e). usaha promosi dengan menggunakan
iklan kurang diperlukan. Kedua pasar yang telah disebutkan ciri-cirinya di atas,
yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli murni (pure monopoly) tidak
mungkin dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam pasar persaingan sempurna dikatakan bahwa pedagang ataupun
produsen tidak dapat mempengaruhi pembentukan harga di pasar, karena harga
barang di pasar sepenuhnya terjadi karena interaksi antara keseluruhan produsen
dan keseluruhan pembeli. Dapat pula dikatakan bahwa pembentukan harga suatu
barang sepenuhnya ditentukan oleh pasar melalui mekanisme permintaan dan
penawaran. Keuntungan maksimum yang dapat dicapai oleh perusahan yang
bergerak pada pasar persaingan murni terjadi pada saat biaya marjinal (MC) sama
dengan harga produknya (seperti yang disajikan pada Gambar 1.4). Pada panel (a)
terlihat situasi dimana kurva biaya marjinal (BM) sama dengan harga produknya
(Pe), sama dengan pendapatan marjinal (PM), dan sama dengan kurva permintaan
DD yang berbentuk horizontal ( BM=Pe=PM=DD ) yang bertemu atau
bersilangan pada titik E. Pada tingkat keluaran sebesar Q I akan diperoleh laba
maksimum. Biaya total rata-rata. (BTR) sama dengan A, sehingga keuntungan
ekonomis yang diperoleh digambarkan oleh segi empat PAEPe. Pada panel (b)
terlihat situasi dimana perusahan dalam persaingan sempurna yang mengalami
kerugian. Selisih antara harga produk (Pe) dengan biaya total rata-rata (BTR)
sama dengan jarak vertikal antara A' dan E'. Jika dikalikan dengan kuantitas
keluaran maka diperoleh bidang segi empat PeE'A'P yang menunjukkan kerugian
perusahaan.
15
(a) (b)
Gambar 1. 6 Keuntungan dan kerugian ekonomis pada pasar persaingan
sempurna (Sumber : Miller dan Melners,1993)
Sedangkan pada pasar monopoli produsen atau pedagang bertindak
sebagai “price setter”, yang artinya produsen dapat secara leluasa untuk
menentukan (menaikkan atau menurunkan) harga barang di pasar. Pada pasar
monopoli maksimalisasi laba terjadi pada saat pendapatan marjinal. (PM) sama
dengan biaya marjinalnya (BM), seperti yang disajikan oleh Gambar 1.6 Pada
panel (a) menunjukkan cara untuk menentukan tingkat produksi dimana
keuntungan maksimum dicapai pada saat BM = PM. Kurva BM dan kurva PM
berpotongan pada tingkat keluaran sebesar Ql. Hasil penjualan total ditunjukkan
oleh segi empat OQ1CE, Sedangkan ongkos total ditunjukkan oleh segi empat
OQ1BA. Dengan demikian keuntungan monopolis ditunjukkan oleh segi empat
ABCE. Sedangkan pada panel (b) menunjukkan situasi bila perusahan monopoli
mengalami kerugian. Kerugian yang diderita oleh perusahan monopolis
digambarkan dengan segi empat A’B’C’E'.
Sukirmo (1994) menyebutkan bahwa penggunaan sumberdaya pada
struktur pasar monopoli lebih tidak efisien bila dibandingkan dengan
menggunakan sumberdaya pada struktur pasar persaingan sempurna. Perusahaan
yang ada pada pasar persaingan sempurna akan terus menambah produksinya
sehingga tercapai keadaan dimana harga = biaya marjinal, dan pada kondisi
seperti ini perusahaan akan memperoleh keuntungan normal. Sebaliknya,
Laba Pe
P
O
E
Q1
A
BM BTR
DD = PM
Harga, Biaya
Rugi
BM BTR
P’
Pe
E’
A’ DD=PM
0 Q2
2
Kuantitas/
Unit waktu
16
perusahaan monopoli akan menghentikan kegiatan produksinya sebelum hal
tersebut tercapal karena berusaha untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar
dari keuntungan normal., dan ini dicapai pada harga yang lebih besar dari biaya
marjinal. Penggunaan sumberdaya yang tidak optimum pada perusahaan monopoli
mengakibatkan : i). produksi dan penawaran barang relatif lebih sedikit dengan
harga lebih tinggi; dan ii). biaya produksi lebih tinggi dari biaya rata-rata
optimum.
Ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya perusahaan monopoli, yaitu
i). Perusahaan monopoli memiliki sumberdaya yang unik dan tidak dimiliki oleh
perusahaan lain, ii). Perusahaan monopoli dapat menikmati skala ekonomis dalam
kegiatan yang dilakukannya, dan iii). Pemerintah melalui undang-undang
memberikan hak monopoli terhadap perusahaan tertentu.
Pada pasar oligopoli terdapat beberapa perusahan atau penjual saja di
pasar. Adakalanya pada struktur pasar oligopoli hanya terdapat dua perusahaan
saja di dalam pasar, dan kondisi seperti ini disebut doupoli. Menjelaskan sikap
perusahan dalam pasar oligopoli ternyata lebih sulit dibandingkan menjelaskan
perusahan di pasar-pasar lainnya
(a) (b)
Gambar 1.7 Keuntungan dan Kerugian Ekonomi pada Pasar Monopoli
(Sumber : Miller dan Melners,1993)
Kelakuannya akan berbeda bila dalam pasar hanya terdapat tiga
perusahaan dibandingkan dengan bila ada lima belas perusahan dalam pasar.
Demikian pula, kekuatan perusahan dalam menentukan harga di pasar oligopoli
Laba
Harga, biaya
C E
B
B
0 Q1
PM DD
BT
R
B
M
Rugi
E
’ A
’
C
’
B
’
BM BT
R
DD
0 Q2 Kuantitas/
Unit waktu
17
akan sangat berbeda bila diantara mereka melakukan tindakan kolusi,
dibandingkan dengan tidak melakukan kolusi tentang kesepakatan harga
Selanjutnya, Sukirno (1994), menyebutkan ciri-ciri pasar oligopoli sebagai
berikut : a). hanya ada beberapa perusahan (minimal dua) di dalam pasar, b).
barang-barang yang diproduksi bisa barang standar atau berbeda corak, c).
kekuatan menentukan harga adakalanya lemah dan adakalanya sangat kuat, hal ini
tergantung dari ada tidaknya kolusi diantara mereka, dan d). pada umumnya
perusahan yang bergerak pada pasar oligopoli perlu melakukan promosi iklan.
18
Bab 2 Beberapa Pendekatan dalam
Analisis Struktur Pasar
2.1 Pangsa Pasar (Market Share)
Pangsa pasar (market share) adalah persentase dari total penjualan pada
suatu target pasar yang diperoleh dari suatu perusahaan (potensi pasar dibagi
jumlah penjualan).Untuk mengetahui market share dari lembaga pemasaran pada
suatu wilayah pasar, dapat dilihat pada tabel berikut.
Lembaga
Pemasaran
Kapasitas Produksi yang Dapat
Diserap pada Suatu Wilayah pasar
Market Share
1 A a/x
2 B b/x
3 C c/x
4 D d/x
… … …
n M m/x
Total a+b+c+d+…+m=x 1
Kriteria Pangsa Pasar:
1. Monopoli murni, bila suatu perusahaan memiliki 100% dari pangsa pasar.
2. Perusahaan dominan, bila memiliki 50-100 peren dari pangsa pasar dan tanpa
pesaing yang kuat.
3. Oligopoli ketat, bila penggabungan 4 perusahaan terkemuka memiliki 60-100
persen dari pangsa pasar.
4. Oligopoli longgar, bila penggabungan 4 perusahaan terkemuka memiliki 40
persen atau kurang dari 60 persen pangsa pasar.
5. Persaingan monopolistik, bila banyak pesaing yang efektif tidak satupun yang
memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar.
6. Persaingan murni, lebih dari 50 pesaing, tapi tidak satupun yang memiliki
pangsa pasar berarti.
2.1.1 Hirschman Herfindahl Index (HHI)
19
Alat analisis ini bertujuan untuk mengetahui derajat konsentrasi pembeli
dari suatu wilayah pasar, sehingga bisa diketahui secara umum gambaran
imbangan kekuatan posisi tawar-menawar petani (penjual) terhadap pedagang
(pembeli). Rumus dari Hircshman Herfindahl Index adalah sebagai berikut:
HHI = (S1)2
+ (S2)2 + …. + (Sn)
2
Dimana :
HHI : Hircshman Herfindahl Index
N : Jumlah pedagang yang ada pada suatu wilayah pasar produk
Si : Pangsa pembelian komoditi dari pedagang ke-i (i = 1,2,3,…,n)
Kriterianya :
HHI = 1, maka pasar mengarah pada monopsonistik
HHI = 0, maka pasar mengarah pada persaingan sempurna
0 < HHI < 1, maka pasar mengarah pada oligopsonistik
2.1.2 CR4 (Concentration Ratio for Biggest Four)
CR4 (Concentration Ratio for Biggest Four) adalah alat analisis untuk
mengetahui derajat konsentrasi empat pembeli terbesar dari suatu wilayah pasar,
sehingga bisa diketahui secara umum gambaran imbangan kekuatan posisi tawar-
menawar petani (penjual) terhadap pedagang (pembeli), dengan rumus:
CR4 = pasarseluruhdisharemarketJumlah
besarpalingyangpedagangpembelisharemarketJumlah )(4x 100%
Kriterianya :
1. CR4 < 20% maka struktur pasar bersifat persaingan sempurna (kompetitif)
2. 20% < CR4 < 40% maka struktur pasar bersifat monopolistik
3. 40% < CR4 < 80% maka struktur pasar bersifat oligopsoni
4. CR4 > 80% maka struktur pasar cenderung monopsoni.
Catatan: jika CR4 < 40% maka struktur pasar bisa bersifat persaingan sempurna
juga bisa termasuk monopolistik, yang menentukan adalah tingkat
diferensiasi produk.
20
Sebagai contoh perhitungan CR4 digunakan untuk mengetahui derajat
konsentrasi empat industri kedelai terbesar di Jawa Timur, sehingga bisa diketahui
secara umum gambaran imbangan kekuatan posisi tawar-menawar industri
(penjual) terhadap konsumen produk olahan kedelai (pembeli) di pasar output dan
industri (pembeli) terhadap pedagang kedelai (penjual) di pasar input.
Tabel 2.1 Omzet dan Market Share Empat Industri Kedelai Terbesar Di Jawa
Timur
Nama Industri Omzet
(Dalam Juta)
CR4 Market Share
(%)
A
B
C
D
1.750.565,0
1.418.841,0
1.218.745,0
812.612,0
0,1482
0,1201
0,1032
0,0688
14,82
12,01
10,32
6,88
Total 11.814.856,0* 0,4403 44,03
Sumber : BPS diolah
Keterangan : *) Total omzet industri kedelai di Jawa Timur
Struktur pasar industri kedelai di Jawa Timur bersifat oligopsoni/oligopoli,
hal ini ditunjukan pada Tabel 2.1 nilai CR4 sebesar 0,4403 (44,03 %) atau 40 % ≤
44,03 % ≤ 80 %. Ini berarti empat besar Industri kedelai mempunyai kekuatan
yang lemah dalam mempengaruhi harga kedelai di pasar input dan harga produk
olahan kedelai di pasar output.
Adanya kekuatan pasar oligopoli/oligopsoni pada pemasaran kedelai di
Jawa Timur, menyebabkan harga kedelai di tingkat petani cendrung stagnan dan
murah, tetapi di tingkat pedagang akan cendrung naik atau mahal, kondisi ini akan
diperparah lagi oleh adanya kebijakan impor yang menciptakan harga kedelai
murah. Di negara berkembang termasuk Jawa Timur sektor pertanian seperti
komoditas kedelai membutuhkan well-functioning market atau memfungsikan
pasar secara baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan
kerja baru dan pendapatan (Timmer, 1977). Tuntutan revolusi pasar dari pasar
tradisional ke pasar yang terorganisi (misalnya pasar induk agribisnis) dan atau
pasar modern (supermarket/hypermarket) akan mendorong lebih terciptanya
lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya sektor usaha di bidang pertanian
seperti industri kedelai (Anindita, 2010).
21
Kekuatan industri kedelai dalam mempengaruhi harga akan sangat
berbeda bila di antara industri kedelai melakukan tindakan kolusi dengan tidak
melakukan kolusi kesepakatan harga. Kekuatan industri kedelai dalam
mempengaruhi harga sangat kuat bila ada kolusi, dan lemah bila tidak ada kolusi.
Untuk mengetahui lebih lanjut kekuatan industri kedelai dalam mempengaruhi
harga dapat diketahui dari elastisitas harga penawaran input kedelai, elastisitas
harga permintaan produk olahan kedelai dan elastisitas konjekturalnya.
2.1.3 Indeks Rosenbluth (R)
Indeks Rosenbluth adalah alat analisis untuk mengetahui tingkat konsentrasi
lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran suatu komoditi pada suatu
wilayah pasar. Penghitungan Indeks Rosenbluth didasarkan pada peringkat
perusahaan dari segi pangsa pasar (market share)–nya, dengan rumus sebagai
berikut:
R =
Dimana: R = Indeks Rosenbluth
Si = Pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i (1 = 1,2,...n)
Nilai indeks Rosenbluth berkisar antara 1/n < R < 1. Jika nilai yang
diperoleh mendekati batas minimum maka struktur pasar yang terbentuk
cenderung pasar persaingan sempurna, sedangkan apabila mendekati batas
maksimum maka struktur pasar yang terbentuk cenderung pasar persaingan
oligopoli.
2.1.4 Koefisien Gini (Gini Coefficient)
Koefisien gini yang digambarkan dalam kurva Lorenz, biasanya digunakan
untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan nasional di kalangan
lapisan penduduk. Namun dalam penelitian ini, koefisien Gini merupakan suatu
ukuran untuk mengetahui tingkat ketimpangan dalam distribusi pangsa pasar
(market share) antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran suatu
komoditi. Nilai koefisien gini pada dasarnya berkisar dari angka 0 hingga 1.
Semakin kecil (mendekati nol) koefisiennya, maka semakin merata distribusi
market share-nya, yang berarti pasar semakin mengarah pada kondisi persaingan
=
−n
i
Sii1
1).2(
1
22
sempurna (kompetitif). Koefisien Gini diukur dengan menggunakan rumus
berikut ini:
R = 000.10/1*)( 1
2
1 −
=
− − kk
i
k
kk qPqP
dimana:
R = koefisien gini
Pk = persentase kumulatif jumlah pedagang dalam kelas ke - i.
Pk-1 = persentase kumulatif jumlah pedagang sebelum kelas ke - i.
qk = persentase kumulatif jumlah volume pembelian dalam kelas ke – i.
qk-1 = persentase kumulatif jumlah vol. pembelian sebelum kelas ke – i.
k = jumlah kelas pedagang.
Kaidah pengujian koefisien gini menurut H.Tstsumi Oshima dalam Yuliarmi
(1997), serta Scheid (1979) dan Parker (1979) dalam Nambiro (2001) seperti yang
ditunjukkan dalam tabel berikut ini:
Indeks Gini Kriteria Ketimpangan Struktur Pasar
IG = 0,0
0,0 < IG < 0,4
0,4 < IG < 0,8
0,8 < IG < 1
Merata sempurna
Timpang ringan
Timpang sedang
Timpang berat
Persaingan sempurna
Monopolistik
Oligopsoni
Monopsoni
2.1.5 Tingkat Diferensiasi Produk
Diferensiasi produk dapat menjadi halangan bagi pengusaha lain untuk
memasuki pasar. Persaingan akan berjalan sempurna apabila pembeli dapat
membandingkan barang yang satu dengan barang yang lain.
2.1.6 Hambatan Masuk Pasar
Segala sesuatu yang merintangi pesaing-pesaing baru untuk masuk pasar
akan memperbesar kekuatan perusahaan-perusahaan yang telah ada. Jika
rintangan itu tidak ada, maka pesaing baru akan bebas masuk pasar, sehingga
monopsoni murni hanya memiliki kekuatan yang kecil.
Bentuk persaingan berdasarkan hambatan untuk masuk pasar dibagi dalam
beberapa kategori, antara lain:
23
1. Persaingan sempurna, terjadi jika pesaing mudah untuk masuk pasar atau
bebas untuk masuk pasar.
2. Monopsoni, terjadi jika pesaing/pendatang baru tertutup untuk masuk pasar.
3. Oligopsoni, terjadi jika pesaing/pendatang baru sulit untuk masuk pasar.
2.1.6 Tingkat Pengetahuan Pasar
Sistem pemasaran yang efisien mengharuskan para pelaku pasar, baik
petani produsen maupun lembaga pemasaran, mampu menguasai informasi pasar,
sehingga mereka tahu kapan dan dimana memasuki pasar yang tepat, terutama
untuk pasar yang bersaing sempurna.
2.2 Perilaku Pasar (Market Conduct)
Perilaku pasar adalah memahami bagaiamana proses mengalirnya barang
tersebut sampai di tangan konsumen. Ada empat aspek yang perlu dilihat
(Soekartawi, 1989); (a) bagaimana barang tersebut membentuk harga. Misalnya
apakah diperlukan perlakuan-perlakuan tambahan sehingga barang tersebut
mempunyai nilai yang lebih tinggi; (b) apakah barang tersebut dikenakan pajak
yang sama atau berbeda menurut kualitas dan kuantitas barang yang dipasarkan;
(c) apakah berdagang pada barang yang sama terjadi secara sehat di pasar, apakah
tidak terjadi pasar gelap, sehingga sistem tersebut merusak terjadinya
pembentukan harga; dan (d) apakah dalam menganalisanya barang dari produsen
ke konsumen tersebut diperlukan perlakuan-perlakuan khusus, agar kualitas
produk memenuhi selera konsumen.
Perilaku pasar dapat berupa praktek-praktek penentuan harga komoditi,
praktek persaingan bukan harga., advertensi, dan perubahan harga pasar.
Sedangkan Martin (1989), melihat prilaku pemasaran dari i). Ada atau tidaknya
praklek—pratek kolusi diantara produsen dalam hal menentukan harga; ii).
Prilaku strategis (strategic behavior) yang dilakukan oleh produsen dalam
menghadapi kompetitor yang ada ataupun kompetitor yang baru muncul di pasar,
dan iii). ada tidaknya peranan advertensi dan lembaga-lembaga riset dan
pengembangan.
Perilaku pasar dapat juga dilihat dengan melakukan analisis integrasi
pasar. Analisis integrasi pasar dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu
integrasi pasar secara horizontal dan integrasi pasar secara vertikal. Analisis
24
integrasi pasar secara horizontal digunakan untuk melihat apakah mekanisme
harga pada tingkatan pasar yang sama (horizontal) berjalan secara serentak atau
tidak. Alat analisis yang digunakan adalah korelasi harga, antar harga pasar yang
satu dengan harga pasar lainnya. Sedangkan pada analisis integrasi pasar secara
vertikal digunakan untuk melihat keadaan secara kasar antara pasar dalam
tingkatan lokal, kecamatan, kabupaten, dan bahkan propinsi, atau antara pasar
produsen dengan pasar konsumen. Disamping itu analisis ini mampu juga
menjelaskan kekuatan tawar-menawar antara petani dengan lembaga-lembaga
perantara, atau antara lembaga perantara dengan lembaga perantara yang ada di
atasnya.
Beberapa hal penting dalam perilaku pasar yang terkait dengan
penampilan pasar adalah: a) Cara penentuan harga produk; b) Promosi penjualan
dan kebijakan produk dan lembaga pemasaran; c) Penanganan produk setelah
dan petani dan hal praktis iainnya. Perilaku pasar dapat dilihat ada tidaknya
praktek kolusi diantara produsen dalam menghadapi kompetitor, peranan
advertensi dan lembaga riset dan pengembangan (R&D).
2.3 Penampilan Pasar (Market Performance)
Pelaku pasar harus pula memahami penampilan pasar agar mampu
membaca secara jelas bagaimana mekanisme pemasaran itu sendiri (Soekartawi.
1989). Oleh karena itu perlu diidentifikasikan kegiatan-kegiatan yang
menyangkut antara lain penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan
pasar, efisiensi penggunaan sumberdaya, penghematan pembiayaan dan
peningkatan jumlah barang yang dipasarkan sehingga dapat mendatangkan
keuntungan yang maksimum.
Penampilan pasar adalah rangkaian terakhir dan analisis S - C - P
(structure-conduct- performance). Munculnya penampilan pasar tidak dapat
berdiri sendiri, tetapi pemunculannya merupakan interaksi antara struktur dan
penampilan pasar. Jadi dapat dikatakan bahwa penampilan pasar sangat
dipengaruhi oleh struktur dan prilaku pasar yang ada. Penampilan pasar dapat
dilihat dari tingkat harga, marjin, keuntungan, investasi, dan pengembangan
produk. Dalam menganalisis keragaan pemasaran dalam kaitannya dengan
25
efisiensi, harus juga dilihat bagaimana distribusi keuntungan dan biaya- biaya
pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat..
2.3.1 Model Penentuan Harga Persaingan Sempurna
Model pasar persaingan sempurna, harga ditentukan oleh kekuatan
penawaran dan permintaan, dimana harga merupakan perpotongan antara kurva
penawaran dan permintaan, sehingga dapat ditulis: D = S dan P= konstan
(2.1)
Dimana : D = permintaan S = penawaran
P = harga keseimbangan
Berdasarkan persamaan keseimbangan ( D = S dan P merupakan nilai
konstan) dan Gambar 1.6, keseimbangan harga konstan pada Po untuk semua
perusahaan (produsen).
a) Perusahaan b) Pasar
Gambar 1.8. Penentuan harga pada pasar persaingan sempurna
(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)
Dalam jangka pendek, produsen akan mendapat keuntungan normal
(Gambar 1.8 a) tetapi keuntungan ini akan hilang dalam jangka panjang karena
kekuatan persaingan. Produsen/perusahaan akan beroperasi pada tingkat biaya
marjinal sama dengan harga. Bagaimanapun juga, pembeli dan penjual tidak
mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar
2.3.2 Model Penentuan Harga Persaingan Tidak Sempurna
Pasar persaingan tidak sempurna yang paling ekstrem adalah monopoli,
dimana hanya ada satu penjual yang ada di pasar. Monopoli akan menentukan
D
S
D
P0
Ps
tunga
MC AVC
0 qs q0 0 Qs=nqs Q0 = nqo
26
harga pada saat MC (biaya marjinal) = MR (penerimaan marjinal). Kondisi ini
menghasilkan persamaan sebagai berikut:
P = MC/ ( 1 + e) (2.2)
Dimana : p = harga monopoli
e = elastisitas permintaan
Persamaan 2.2 menunjukkan bahwa harga monopoli terjadi apabila lebih
besar daripada MC dan elastisitas harga adalah negatif. Secara grafis penentuan
harga pada pasar monopoli dapat dilihat pada Gambar 1.9 untuk
memaksimumkan keuntungan jumlah komoditas yang dijual ditentukan saat
biaya marjinal sama dengan penerimaan marjinal (saat harga P1). Jika peraturan
monopoli diberlakukan sehingga harga monopoli dipaksa turun, maka harga
monopoli berada di titik P2 yakni harga hanya mampu menutupi biaya input dan
memperoleh keuntungan secara wajar
Gambar 1.9 Penentuan Harga Pada Perusahaan Monopoli
(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)
Pasar persaingan monopolistik adalah persaingan yang hampir sama
dengan struktur pasar bersaing sempurna, perbedaannya terletak pada diferensiasi
produk. Pada pasar monopolistik, produk hampir sama tetapi bersifat pengganti
yang tidak sempurna, sehingga produk yang dijual di pasar monopolistik
mempunyai banyak ubstitusi. Pada pasar persaingan monopolistik, industri
menghadapi kurva permintaan yang sangat elastik dengan struktur biaya yang
sama karena agroindustri yang berusaha dengan biaya yang tinggi dibandingkan
Harga
P1
P2
MC
AC
0 Q1 MR D Jumlah
27
dengan biaya pada umumnya tidak bertahan lama. Industri yang beroperasi di
bawah persaingan monopolistik cnderung menghindari persaingan harga sebab
mereka berada dalam ancaman pembalasan oleh industri yang lain.
Gambar 1.10 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Monopolistik
(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)
Iindustri menerima keuntungan jika melakukan pengurangan harga secara
individual (karena kurva permintaan yang dihadapi agroindustri individual sangat
elastik). Tetapi jika pengurangan harga diikuti oleh agroindustri yang lain justru
terjadi kondisi sebaliknya. Sementara itu, pada pasar persaingan tidak sempurna
dimana lebih dari satu penjual atau pembeli disebut sebagai oligopoli atau
oligopsoni. Oligopoli dapat melakukan deferensiasi produk atau hanya melakukan
pada produk yang homogen. Apabila oligopolist bertindak secara independen,
maka keuntungan maksimum dicapai apabila MC = MR, yaitu sama dengan
kondisi monopoli hanya saja kurva permintaan oligopolist akan lebih condong ke
dalam dibandingkan monopolist.
Harga
P1
P2
MC
A
C
MR
D
0 Q1 Jumlah
28
Gambar 1.11 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Oligopoli
(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)
Pada pasar oligopolistik, pasar hanya terdiri dari beberapa agroindustri
yang menghasilkan produk yang homogen. Dalam penentuan harga, setiap
agroindustri memperhitungkan kemungkinan reaksi kompetitor. Persaingan
penjualan terjadi melalui promosi, potongan harga secara rahasia (secret
discount) atau penjualan kredit, bahkan bersifat predatori atau meningkatkan
barriers to entry bagi pendantang baru.
Jika semua agroindustri meningkatkan market share, harga yang
ditentukan berada pada harga keseimbangan pada pasar persaingan sempurna.
Tetapi jika market share kecil dan mengindari persaingan harga. Harga
keseimbangan ditentukan hampir sama dengan harga keseimbangan monopoli .
Pembentukan harga agroindustri individual pada pasar persaingan monopolistik
dan oligopolistik hampir sama dengan pasar monopoli , namun permintaan
individu pada pasar monopolistik lebih elastik (lebih datar) dari kurva permintaan
individu pada pasar oligopoly atau monopoli. Pada pasar olipoli kurva permintaan
menyerupai kurva monopolistik dan monopoli, diantaranya tergantung pada
tingkah laku pasar (market conduct)
Harga
P
Pe
MC
D
MR Qe Jumlah
0
29
Bab 3 Model kekuatan pasar
(market power)
Ada banyak pendekatan kekuatan pasar. Dalam hal ini hanya dibagi
menjadi model perilaku satu-sisi dan dua-sisi. Model pertama mengukur
kekuatan pasar hanya di satu sisi pasar, dan mengasumsikan adanya
perilaku kompetitif sempurna di sisi lain, sedangkan model kedua tidak
memiliki asumsi apapun dalam sisi pasar. Model perilaku satu sisi bisa
dipecah menjadi tiga kelompok, yaitu model yang hanya mengukur
kekuatan monopoli/oligopoli, atau hanya mengukur kekuatan
monopsoni/oligopsoni, atau mengukur keduanya
3.1 Model Prilaku Satu Sisi
Pada kelompok pertama, parameter kekuatan monopoli berasal dari
kondisi first-order dari fungsi profit penjual (perusahaan upstream) (Iwata,
1974; Bresnahan, 1989; DeMello, 1999; Fischer dan Kamerschen, 2003
dalam Chalil, at al, 2006; Appelbaum, 1982).
Dimana Yu dan Pu adalah jumlah output dan harga yang ditetapkan
perusahaan upstream, Cu(Yu,w) fungsi biaya monopolist/perusahaan
upstream, w vektor harga input, Yd* output optimal perusahaan
downstream, dan λm adalah indeks parameter dari pasar monopolistik,
yang dibatasi antara 0 dan 1. Jika indeks parameter tersebut adalah λm = 0,
pasar adalah kompetitif, bila sama dengan λm =1, pasar adalah monopoli
penuh. Jika nilai λm antara 0 dan 1, maka ini menunjukkan oligopoli.
Parameter kekuatan penjual juga disebut sebagai elastisitas
konjektural, yang merupakan elastisitas variasi konjektural. Variasi
konjektural ini adalah parameter yang mengestimasi reaksi pesaing lain
jika sebuah perusahaan merubah jumlah output atau harganya. Parameter
(3.1
)
30
ini pertama kali diperkenalkan oleh Bowley di tahun 1924. Idenya adalah
mempertimbangkan aksi dan reaksi pasar lain di pasar, khususnya di pasar
oligopolistik. Pengukuran ini juga diperoleh dari kondisi first-order dari
fungsi profit penjual (perusahaan upstream).
Dimana ε adalah invers elastisitas permintaan pasar,
dan , elastisitas konjektural dari total
output industri yang disesuaikan dengan output jth perusahaan. Nilai
elastisitas konjektural dibatasi antara 0 dan 1. Jika elastikitas konjektural
adalah, θju,=0 maka pasar adalah kompetitif, jika sama dengan θj
u,=1 pasar
adalah murni monopolistik, dan jika di antara 0 , < θju,< 1, maka pasar
adalah oligopolistik.
Pada kelompok kedua (Muth dkk, 1999; Koontz dan Philip, 1997
dalam Chalil, at al, 2006 ), parameter kekuatan monopsoni diperoleh dari
kondisi first-order dari fungsi profit pembeli (perusahaan downstream).
Dimana Cd(Y*d,v,Yu) adalah fungsi biaya monopsoni/perusahaan
downstream, v vektor harga input, dan λs adalah indeks parameter pasar
monopsonistik, yang mana indeks ini dibatasi antara 0 dan 1. Jika indeks
tersebut adalah λs =0, maka pasar adalah kompetitif. Bila sama dengan λ s
=1, kondisinya adalah monopsoni penuh. Bila λ s nilainya berada di antara 0
dan 1, maka pasar menunjukkan kekuatan oligopsoni
Sama seperti di atas, parameter kekutan pembeli juga
direpresentasikan sebagai elastisitas konjektural. Pengukurannya diperoleh
dari kondisi first-order fungsi profit pembeli (perusahaan downstream).
(3.2)
(3.3
)
(3.4
)
31
Dimana η adalah: invers elastisitas suplai pasar, η
dan θ j , adalah
elastisitas konjektural total output industri yang disesuaikan dengan output
perusahaan. Nilai elastisitas konjektural dibatasi antara 0 dan 1. Jika =
0, maka pasar adalah kompetitif, jika =1, maka pasar adalah monopsoni
murni, dan jika 0 < < 1, pasar adalah oligopsoni.
Terakhir, dalam kelompok ketiga (Azzam dan Pagoulatous, 1990
dalam Chalil at al, 2006; Sexton dan Zang, 2001), kekuatan pasar bisa
diukur dari kondisi first-order dari fungsi profit perusahaan downstream,
atau dari bentuk elastisitas konjektural
Interpretasi parameter kekuatan dalam model ini bisa dikatakan sama
seperti skenario monopoli dan monopsoni. Jika elastikitas downstream dan
elastisitas konjektural adalah , pasar dikatakan kompetitif
atau perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar; jika elastisitas downstream
adalah , dan elastisitas konjektural adalah , maka
perusahaan memiliki kekuatan monopoli; jika elastisitas downstream
adalah dan elastisitas konjektural adalah maka
perusahaan memiliki kekuatan oligopoli; jika dan
perusahaan memiliki kekuatan monopsoni, jika , perusahaan
memiliki kekuatan oligopsoni, dan jika dan
maka perusahaan memiliki kekuatan monopoli dan monopsoni.
3.2 Model Prilaku Dua- Sisi
Model perilaku dua-sisi dipecah menjadi dua kelompok, yaitu model
komposit dan model dominan. Dalam model pertama (Schroeter dkk,
2000;), baik pembeli dan penjual dianggap sebagai perusahaan integrasi
tunggal yang memilih level input dan output optimal untuk memaksimalkan
profitnya, sedangkan di model kedua (Buschena dan Perloff, 1991; Azzam,
1996; dan Murniningtyas, 2000 dalam Chalil at al, 2006), setiap agen
(3.5
)
(3.6)
32
(penjual atau pembeli) memilih level input dan output optimal untuk
memaksimalkan profit.
Schroeter dkk (2000) membuat model komposit dengan tiga kondisi
ekuilibrium, yaitu bilateral price-taking (BPT), manufacturer price-taking
(MPT) dan retailer price-taking (RPT). Persamaan komposit bilateral
oligopoli adalah sebagai berikut :
Dimana di bagian sebelah kanan (η,μ ) random error, Pr adalah harga
nominal retail, S adalah aproksi indeks harga, Pr/S adalah harga riil dari
produk retail, Q adalah kuantitas, Z3 adalah variabel exogenous slope
(elastisitas) dari kurva permintaan, barangkali harga dari substitusi produk;
W2 dan V2 faktor exogenus harga pada retail dan manufaktur, fungsi
marginal cost: V3 adalah factor exegenus lainnya dari manufaktur, marginal
cost, barangkali faktor harga yang lainnya; a1,a3 adalah parameter kurva
permintaan retail; b0,b1,b2 adalah parameter fungsi marginal cost retail;
c0,c1,c3 adalah parameter fungsi marginal cost manufaktur; λ, γ, δ, adalah
parameter kekuatan penjual (seller’s) pada pasar retail, kekuatan penjual
pada pasar pedagangan besar (wholesale) dan kekuatan pembeli (buyers’)
pada pasar pedagangan besar, berturut-tutut, λ = 0, γ = 0 dan δ = 0
berhubungan dengan perilaku sebagai penerima harga (price-taking), oleh
manufaktur/penjual (seller), retail/pembeli dan keduanya penjual dan
pembeli dalam pasar pedagangan besar (wholesale)
Raper at.al (2000) dalam Chalil at al (2006), membuat model
komposit dengan menggunakan two-stage game. Dalam tahap pertama,
perusahaan upstream dan downstream (atau kelompok organisasi) bersama-
sama memilih level output dan input optimal, ibarat keduanya adalah
sebuah perusahaan integrasi. Dalam tahap kedua, perusahaan
menegosiasikan harga transfer untuk barang intermediate yang menentukan
profit split. Rumus komposit bisa dibuat dengan menggabungkan kondisi
first order perusahaan upstream
3.7
y
33
dengan kondisi first order perusahaan downstream.
Parameter kekuatan diestimasikan dengan mensimulasikan delapan
struktur pasar, yaitu kompetitif sempurna (λm = λs =0) , monopolistik (λm
=1; λs =0), duopolistik Cournot (λm =0,5; λs =0), duopolisitk Stackelberg
(λm =0,4; λs =0), monopsonistik (λm =0; λs =1), duopsonistik Cournot (λm =
0; λs =0,5), duopsonistik Stackelberg (λm =0; λs =0,4), dan monopolistik
bilateral kooperatif. Di luar itu delapan struktur tersebut, ada ukuran yang
jarang digunakan, yaitu profit split, yang ditentukan dengan dominasi
pembeli atau penjual (λm = λs =0) atau (λm >0; λs >0)
Untuk tahap kedua (Buschena dan Perloff, 1991; Azzam, 1996 dan
Murniningtyas, 2000, Chalil, at al, 2006), setiap agen (penjual atau
pembeli) memilih sendiri level input dan output optimalnya untuk
memaksimalkan profit. Kondisi first order dari fungsi profit penjual
menghasilkan harga tinggi untuk barang intermediate; ini bisa digambarkan
sebagai harga yang ingin ditetapkan perusahaan/penjual upstream jika
mereka ingin menggunakan kekuatan pasar
Dimana θj variasi konjektural, εj elastisitas permintaan, η j elastisitas
penawaran, dan cj marjinal cost. Kondisi fisrt-order fungsi profit dari
perusahaan/pembeli downstream memberikan harga rendah dari barang
intermediate; pembeli akan menerima harga, dengan kekuatan pasar
Bila memperhatikan penggunaan kekuatan oleh dua pihak tersebut, maka di
satu waktu, harga bisa sengaja diturunkan di dalam satu rumus agar mudah
menentukan kekuatan mana yang dominan
(3.8)
(3.9)
3.10
3.11
3.12
34
Jika α < 0,5, maka perusahaan upstream mendominasi perusahaan
downstream. Jika α > 0,5 , perusahaan downstream mendominasi
perusahaan upstream. Jika diurut, yaitu α = 0, α < 0,5, α= 0,5, α > 0,5 dan
α= 1, berarti pasar mengarah pada monopoli, oligopoli, kompeti tif,
oligopsoni, dan monopsoni.
3.3 Model Dinamis
Meski model ini mempertimbangkan kekuatan pasar dari penjual
dan pembeli, beberapa penulis mengatakan bahwa model ini masih belum
bisa memberikan estimasi yang benar tentang kekuatan pasar. Estimasi
tidak benar bisa berasal dari kerangka model statis. Studi sebelumnya
menunjukkan bahwa estimasi kekuatan pasar di dalam model statis tidak
selalu benar (Friedman, 1993; Deodhar dan Sheldon, 1995 dan 1996 dalam
Chalil, at al, 2006). Pendekatan permintaan-linear dan biaya kuadratik
sering dipilih di dalam model dinamis) berikut adalah model fungsi profit :
Dimana β, faktor diskonto ( menandakan diskonto rate) p
adalah harga riil dan biaya penyesuaian kudratik,
nilai sekarang diskonto dari perusahaan j, dengan
variasi konjektural dinamik, dapat kembali ditulis fungsi profitnya :
Dua hal pertama dan istilah terakhir mengacu pada profit dari periode yang
sekarang, dan menyajikan nilai sekarang diskonto dari profit masa depan suatu
periode. Kondisi fisrt-order persamaan (2.16) menjadi :
Jika = 1, perusahaan dalam pasar akan collude, jika = -1, perusahaan sebagai
penerima harga, jika -1 < < 1, struktur pasar oligopolistik. Dari penggunaan
pendekatan ini di dalam studi, ditunjukkan bahwa model strategi feedback
ternyata memiliki struktur pasar lebih kompetitif dibanding model open-
(3.13)
(3.14)
(3.15)
35
loop. Dengan kata lain, model variasi konjektural statis bisa menghasilkan
estimasi kekuatan pasar yang tidak tepat. Dalam penelitian ini kekuatan
pasar akan diukur dengan model variasi konjektural dinamis. Secara grafis
elastisitas konjektural adalah sebagai berikut :
Gambar 3.1. Model Elastisitas konjektural dua industri
(diadaptasi dari Kevin Hinde )
Gambar 3.1 menunjukan elastisitas konjektural 2 industri, reaksi
perubahan volume industri q1 terhadap perubahan volume industri q2
dalam upaya memperoleh keuntungan maksimum. Secarama matematis
menurut Appelbaum (1984), Schroter (1988), serta Wann dan Sexton (1992)
menunjukkan bahwa elastisitas konjektural ditentukan oleh variable eksogen,
yaitu yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan selama pembuatan
keputusan. Ini merupakan harga input non-material yang digunakan oleh
perusahaan atau faktor ekonomi lainnya. Indeks harga produsen untuk input
industri dipilih sebagai petunjuk harga-harga input non-material. Pada saat
bersamaan, menambahkan laju suku bunga sebagai penentu lain elastisitas
konjektural. Ini merupakan biaya modal yang tidak dapat dikendalikan. Sehingga,
elastisitas konjektural ditetapkan sebagai (3.16).
θs = θo + θ1.PPI + θ2.r
Dimana :
q1
0
q2
Reaksi industri 2
Kurva q2 = f (q1)
Reaksi industri 1
Kurva q1 = f (q2)
Keseimbangan
3.16
36
θs = (∂M/ ∂Mj), (Mj/M), elastisitas konjektural perusahaan
θ1 = parameter yang terkait dengan penentu elastisitas konjektural
PPI = indeks harga produsen untuk input industri.
r = laju suku bunga.
Sebagai ilustrasi elastisitas konjektural digunakan untuk mengukur
kekuatan pasar industri kedelai dalam menetapkan harga input dan ouput.
Elastisitas konjektural adalah parameter yang mengestimasi reaksi pesaing lain
jika sebuah perusahaan merubah jumlah output dan harganya.
Tabel 3.1 Elastisitas Konjektural Industri Kedelai di Jawa Timur
Tahun Perusahaan Produk Olahan
Kedelai
(θs1)
Perusahaan Pakan Ternak
dari Kedelai
(θs2)
1989
1990
1991
1992
1993
1994
1995
1996
1997
1998
1999
2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
0,0209
0,0263
0,0273
0,0151
0,0287
0,0268
0,0237
0,0182
0,0155
0,0090
0,0275
0,0197
0,0201
0,0157
0,0265
0,0167
0,0221
0,0210
0,0174
0,0194
0,9791
0,9737
0,9727
0,9849
0,9713
0,9732
0,9763
0,9818
0,9845
0,9910
0,9725
0,9803
0,9799
0,9843
0,9735
0,9833
0,9779
0,9790
0,9826
0,9806
Rata-
rata
0,0209 0,9791
Sumber : BPS diolah
Nilai elastisitas konjektural perusahaan industri produk olahan kedelai dan
industri pakan ternak dari kedelai adalah 0 < 0,0209 < 1 dan 0 < 0,9791 < 1, maka
37
pasar industri kedelai di Jawa Timur adalah oligopolistik, perusahaan sebagai
pembuat harga. Berdasarkan pendekatan model Alppelbaum – Schroter, elastisitas
konjektural yang tinggi dapat memberi perusahaan derajat kekuatan pasar yang
tinggi baik di pasar input maupun di pasar output dan sebaliknya elastisitas
konjektural yang kecil memberi perusahaan derajat kekuatan pasar yang kecil pula
di pasar input dan output
3.4 Indeks Lerner
Pada tahun 1934, A.P. Lerner menyajikan konsep monopoli dan
pengukuran monopoli. Ia menentukan tingkat monopoli sebagai proporsi harga
yang ditandai pada pembiayaan marginal. Lebih lanjut, hal ini dikenal dengan
julukan indeks Lerner. Secara lebih khusus ditulis (Sheperd W.G., 1997 : Scherer
F.M at al., 1990) :
p
mc) -(p=L
(3.17)
Dimana L = tingkatan monopoli atau indeks Lerner.
mc= pembiayaan marginal, dan p = harga output
Lerner (1934) mendefinisikan tingkatan kekuatan monopoli sebagai
persentase penerimaan (revenue) monopoli per unit output. Ini bisa
dikatakan sebagai sebuah persentase markup di atas biaya marjinal. Dalam
sebuah pasar yang kompetitif sempurna, tidak ada markup dan indeks
Lerner (L) adalah nol, sedangkan dalam monopolistik murni, indeks
Lerner adalah satu.
Dalam maksimisasi profit, dimana biaya marjinal sama dengan
penerimaan marjinal, indeks Lerner bisa jadi adalah inverse dari elastisitas
permintaan
Berdasarkan persamaan ini, elastisitas permintaan yang rendah dapat
memberi perusahaan derajat kekuatan pasar yang tinggi. Pada elastisitas
permintaan yang tinggi, suatu peningkatan harga dapat menimbulkan konsumen
untuk mengurangi permintaan mereka. Karena itu, penjual tidak mampu
menahan harga yang tinggi. Elastisitas permintaan perusahaan masih
(3.18)
38
ditentukan oleh elastisitas permintaan pasar dan elastisitas penawaran
perusahaan lainnya; dan indeks Lerner dapat juga
ditulis sebagai berikut:
Dimana mi adalah perusahaan mj market share, elastisitas penawaran
perusahaan lainnya, dan εD elastisitas permintaan pasar. Elastisitas
permintaan pasar dan elastisitas penawaran bisa menentukan kekuatan
monopoli. Semakin besar dua elastisitas tersebut, semakin besar elastisitas
perusahaan, dan semakin kecil kekuatan monopoli. Versi indeks Lerner ini
sering digunakan dalam mempelajari kekuatan pasar perusahaan dominan
(Chalil, at al, 2006)
Untuk mengatasi reaksi perusahaan lain di pasar dalam sebuah pasar
oligopoli, Appelbaum (1982) mendefinisikan kadar kekuatan oligopoli
sebagai berikut :
Dimana adalah elastisitas konjektural jth perusahaan,
variasi konjektural jth perusahaan, dan market share jth
perusahaan. Selain elastisitas permintaan (seperti dalam situasi monopoli),
market share dan harapan perusahaan atas reaksi rivalnya (θj) juga bisa
menentukan kekuatan pasar dalam pasar oligopolistik.
Indeks Lerner juga bisa dimodifikasi sebagai ukuran kekuatan
monopsoni (kekuatan pembeli). Ini berbeda dari kekuatan
monopoli/oligopoly :
atau
(3.19)
(3.20)
(3.21)
(3.22)
39
Dalam kerangka dinamis, didasarkan pada kondisi first order model
penyesuaian biaya (Karp dan Perloff, 1989, 1993) Indeks Lerner dapat
ditulis kembali sebagai berikut :
Dimana Δ menunjukan
perbedaan indeks dengan satu statis, μ it = qit –qi,t-1 perbedaan diantara
output pada waktu t dan t-1. Dalam indeks dinamika, kekuatan pasar bukan
hanya ditentukan oleh efek reaksi perusahaan ke pilihan jumlah yang
dihasilkan perusahaan i
dan elastisitas permintaan pasar (ε t), tapi juga oleh penyesuaian biaya dan
direct dynamic externality (DDE), yang menjadi efek pilihan masa depan
terhadap pilihan sendiri, , dan juga indirect dynamic
externality (IDE), yaitu efek pilihan masa depan perusahaan terhadap
pilihan sekarang
Dengan penafsiran dan langkah-langkah serupa, ukuran power oligopsoni dapat
ditulis seperti berikut :
Dimana , mvt adalah nilai
marginal pada waktu t dan p, adalah harga input pada waktu t.
Versi lain dari Indeks Lerner dinamis ditemukan dalam studi
Hunnicutt dan Aadland (2003) dalam Chalil, at al,(2006) . Mereka
menggunakan batasan inventaris untuk memperoleh kondisi dinamis dan
menentukan profit diskonto
(3.24)
(3.25)
(3.23)
40
Dimana y, w dan S, agregat input atau penawaran ouput pada periode tertentu.
Inverse fungsi penawaran dan level stok, berturut-turut sebagai berikut,
dan St+1 = f(St, Yg,t) kondisi first order menjadi sebagai berikut :
Pengukuran kekuatan oligopoli sama dengan Indeks Lerner, dalam kasus ini
menjadi sebagai berikut :
Atau power oligopsoni
Dimana :
Model Lerner telah merangsang pengembangan model pasar tidak
sempurna yang baru yaitu New Empirical Industrial Organization (NEIO) yang
dikembangkan oleh Appelbaum (1981) dan Schroeter (1988).
3.5 Model Pasar Persaingan Tidak Sempurna
3.5.1 Model Kuantitas-Cournoti
Model Cournot memiliki tiga tahapan. Pada tahapan pertama,
terdapat dua perusahaan (duopoly) yang masing-masing memiliki biaya
produksi marjinal konstan dan menghadapi kurva permintaan industri yang
linier. Tahapan kedua membolehkan berapapun jumlah perusahaan.
(3.26)
(3.27
)
(3.28)
41
Tahapan ketiga berhubungan dengan permintaan umum dan kondisi biaya
(cost condition). Dalam ketiga kasus tersebut, produk dari masing-masing
perusahaan identik di mata konsumen (Sheperd W.G., 1997 dan Scherer F.M
at al., 1990).
(a) Duopoly. Masing-masing perusahaan memilih level produksinya.
Harga pasar adalah fungsi linier dari output industri
P(Q) = a – bQ, (3.29)
dimana (Q = q1 + q2). Profit perusahaan 1 adalah selisih antara total
revenue – P(Q)q1 – dan biaya total, yang sama dengan produk dari biaya
unit konstan c dan jumlah unit yang dihasilkan:
π1 = (a - bQ)q1 – cq1 (3.30)
Karena harga tergantung pada output perusahaan sama halnya
tergantung pada output perusahaan 1. Perusahaan 1 tidak dapat
menentukan level produksi maksimal-profit tanpa membuat asumsi
mengenai bagaimana respon dari perusahaan 2. Model Cournot berasumsi
bahwa masing-masing perusahaan yakin perusahaan lawan akan
mempertahankan produksinya tetap konstan. Dibawah asumsi ini,
Perusahaan memaksimalkan profit mereka dengan mendiferensiasi π1
berkaitan dengan q1, dan menentukan hasil yang sama dengan nol (kondisi
pertama untuk eksistensi maksimal terhadap fungsi profit)
dπ1/dq1 = P(Q) + (dP/dQ)q1 – c (3.31)
= a – 2bq1 – bq2 – c = 0
Persamaan (3.31) dapat dimanipulasi untuk memperoleh sebuah fungsi
berkaitan dengan level produksi maksimal-profit perusahaan 1 terhadap
output perusahaan 2:
q1 = ( )
22
1
2q
b
ca−
− (3.32)
Persamaan (3.32) adalah fungsi reaksi perusahaan 1 atau kurva reaksi,
karena hal ini mencatat respon atau reaksi maksimal-profit perusahaan 1
terhadap keputusan perusahaan 2. Perusahaan 2 memecahkan masalah
yang identik untuk memperoleh fungsi reaksinya
q2 = 12
1
2
)(q
b
ca−
− (3.33)
42
Solusi ekuilibrium, yakni, solusi bagi masalah maksimalisasi profit
masing-masing perusahaan yang tidak meninggalkan insentif bagi
perusahaan manapun untuk menurunkan produksinya, terletak pada
perpotongan dari dua kurva reaksi. Hal ini ditemukan dengan
mensubstitusikan persamaan (3.33) ke dalam persamaan (3.32) dan
mendapatkan pemecahan untuk q1:
q1 = b
ca
3
)( − (3.34)
(b) Oligopoli N-Perusahaan. Diandaikan, terdapat n-perusahaan. Fungsi
profit perusahaan 1 dideskripsikan oleh persamaan (3.31); tapi melakukan
diferensiasi mengarah pada first-order condition dengan output dari semua
rival n-1:
dπ1/dq1 = a – 2bq1 – b =
n
i
iq2
– c = 0 (3.35)
solusi ekuilibrium diperoleh dari fungsi reaksi untuk masing-masing
perusahaan dan kemudian secara simultan dipecahkan dari sistem
persamaan n ini. Masing-masing persuahaan menghadapi kondisi yang
identik dan karenanya akan memiliki level produksi yang sama ketika
masing-masing merupakan rival dalam ekuilibrium. Oleh karenanya,
dapat ditulis ulang (3.36) sebagai
a – 2bq – b(n-1)q – c = 0, atau q = bn
ca
)1(
)(
+
− (2.36)
Harga pasar dapat ditemukan dengan mensubstitusikan persamaan (3.36)
ke dalam persamaan (3.31) dan mendapatkan:
P = )1( +
+
n
nca (3.37)
ketika jumlah perusahaan menjadi semakin besar, P menjadi semakin
dekat dan semakin dekat ke biaya marjinal.
(c) Kasus Umum. Dalam kasus umum, dapat dibuat asumsi apapun
mengenai permintaan industri dan membolehkan perbedaan dalam biaya
perusahaan. Mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi oleh
berbagai perusahaan lain dalam industri ini, sebutlah sebagai perusahaan i.
Profit perusahaan i adalah
43
πi = P(Q)qi – ci(qi) (3.38)
Asumsi model Cournot bahwa produksi rival adalah tetap (fixed), maka
perusahaan i akan mendiferensiasikan q dalam persamaan (2.39) untuk
mendapatkan first-order condition
dπi/dqi = P + (dP/dQ)qi – MCi = 0 (3.39)
dimana MCi, biaya marjinal, adalah dC/dq i. P + (dP/dQ)qi adalah marjinal
revenue perusahaan i. Dengan prosedur yang analog untuk monopoli, hal
ini dapat dimanipulasikan ke dalam bentuk
P[1 + (dP/dQ)(Q/P)(q i/Q)] = P – (P/e)si
dimana e adalah elastisitas harga pasar dari permintaan dan s i adalah
market share perusahaan i. Mensubstitusikan pernyataan terakhir ini ke
dalam persamaan (2.39) dan diatur kembali semua istilahnya, diperoleh
persamaan (2.40) berkaitan dengan market share perusahaan dalam
ekuilibrium terhadap biaya marjinalnya:
si = e(P – MCi)/P (3.40)
Alternatifnya, persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai sebuah persamaan
yang berkaitan dengan marjin price-cost (harga-biaya) terhadap market
share-nya:
e
s
P
MCP ii =− )(
(3.41)
Untuk kasus dimana masing-masing perusahaan memiliki biaya marjinal
yang sama, si = 1/n, dan persamaan (3.41) dapat disederhanakan menjadi
persamaan (3.42):
neP
MCP i 1)(=
− (3.42)
Mengalikan masing-masing sisi dari persamaan (3.42) dengan market
share si, dan meringkas perusahaan n, diperoleh sebuah pernyataan yang
berkaitan dengan marjin price-cost industri rata-rata terhadap sebuah
pengukuran mengenai konsentrasi pasar, indeks konsentrasi Herfindahl -
Hirschman
e
s
P
sMCsP iiii =
− )(
e
H
P
MCP=
− )( (3.43)
44
3.5.2 Model Cournot dengan Variasi Dugaan
Di dalam bagian ini, dilonggarkan persyaratan bahwa perusahaan
berasumsi tidak ada perubahan dalam output rival sebagai respon terhadap
penyesuaian mereka sendiri.
(a) Duopoly. Fungsi profit perusahaan 1 tetap seperti yang ada di dalam
persamaan (2.31). Meskipun demikian, kini first-order condition untuk
eksistensi maksimum terhadap fungsi profit harus memasukkan dugaan
perusahaan 1 mengenai bagaimana perusahaan 2 akan bereaksi:
dπ1/dq1 = p(Q) + (dP/dQ)[1 + (dq2/dq1)]q1 – c (3.44)
= a – [2b + (dq2/dq1)]q1 – bq2 – c = 0
Sebelumnya, memecahkan q1 untuk mendapatkan fungsi reaksi perusahaan
1,
q1 = )]/(2[
)(
12
1
dqdqb
bqca
+
−− (3.45)
Ekuilibrium produksi telah didapatkan, seperti sebelumnya, dengan secara
simultan memecahkan sistem persamaan yang dibentuk oleh fungsi reaksi
untuk perusahaan 1 dan 2. Dengan asumsi dua perusahaan memiliki variasi
dugaan (conjectural) identik, maka ekuilibrium produksi untuk perusahaan
1 (dan juga perusahaan 2) adalah:
q1 = )]/(3[
)(
12 dqdqb
ca
+
− (3.46)
Output industri adalah 2q1. Mensubstitusikan ke dalam persamaan dan
disederhanakan, maka akan diperoleh
P = )]/(3[
2)]/(1[
12
12
dqdq
cdqdqa
+
++ (3.47)
Jika variasi dugaan (conjectural variation) dq2/dq1 adalah nol,
solusinya akan tetap sama dengan yang terdapat di dalam model Cournot.
Jika dq2/dq1 = -1, masing-masing perusahaan mengharapkan rival mereka
untuk mengimbangi perubahan produksi mereka; dan harga ekuilibrium
jatuh ke biaya marjinal c. Jika variasi dugaan adalah 1, maka masing-
masing perusahaan mengharapkan kesesuaian output paralel – sama seperti
jika dua perusahaan tersebut saling memahami secara eksplisit. Harga
45
mengalami kenaikan ke level maksimalisasi-profit gabungan, level yang
akan menjadi yang paling unggul jika perusahaan bergabung menjadi
sebuah monopoli: p = (a+c)/2b. ketika variasi dugaan mengalami kenaikan
antara -1 dan 1, yakni, ketika rival bergerak dari perilaku mengimbangi
menjadi perilaku yang mirip, output ekuilibrium akan turun dan harga
naik.
(b) Kasus Umum (Produk Homogen). Kembali ke kasus n-perusahaan
yang memasukkan first-order condition untuk maksimalisasi profit variasi
dugaan perusahaan i, dilambangkan dalam, dQ i/dqi:
dπ/dqi = P + (dP/dQ)[1 + (dQ i/dqi)]qi – MCi = 0 (3.48)
Seperti sebelumnya, dirubah marjinal revenue perusahaan i untuk
mendapatkan sebuah pernyataan dalam artian elastisitas harga permintaan
dan market share:
P +P(dP/dQ)(Q/P)(q i/Q)[1 + (dQi/dqi)] = P – (P/e)si(1 + dQi/dqi)
Dimasukan kembali ke dalam persamaan (2.32), diperolah marjin price-
cost :
)/1()(
ii
ii dqdQe
s
P
MCP+=
− (3.49)
Dalam kasus dQi/dqi = -1 yang ekstrim, rival mengimbangi
perubahan produksi dengan perusahaan i, sisi kanan dari persamaan (3.49)
adalah nol, dan perusahaan i beroperasi dimana harga setara dengan biaya
marjinal – kondisi yang mengkarakterisasikan ekuilibrium dibawah
kondisi kompetisi murni. Untuk nilai variasi dugaan yang lebih besar
daripada 0, perusahaan i mengharapkan rival untuk menyamai penyesuaian
output mereka. Kesesuaian yang sempurna akan meniru koordinasi atau
kolusi yang sempurna, membuat perusahaan i dapat mencapai kesetaraan
marjin price-cost yang bisa tercapai dalam ekuilibrium dibawah kondisi
monopoli, yakni, 1/e. Untuk menemukan variasi dugaan yang mengarah
pada hasil monopoli, ditentukan sisi kanan persamaan (3.49) sama dengan
1/e dan mendapatkan,
i
i
i
i
s
s
dq
dQ )1( −= (3.50)
46
Clarke dan Davies (dalam Shepherd W.G, 1997) telah mengembangkan
sebuah rumus yang terbukti berguna dalam penelitian empiris. Mereka
berasumsi bahwa keyakinan perusahaan mengeai reaksi rival individu
termasuk proporsional terhadap level produksi relatif mereka:
i
j
i
j
q
qA
dq
dq= (3.51)
Menyadari bahwa dQ j/dqi = Σj≠i dqj/dqi, dimasukan persamaan
(3.51) ke dalam persamaan (3.48) untuk mendapatkan persamaan (3.49)
dπi/dqi = P + (dP/dQ)[1 + AΣ j≠iqj/qi]qi – MCi = 0
Karena Σj≠iq2 = Q - qi, dapat dirubah marjinal revenue perusahaan i
untuk mendapatkan P + P(dP/dQ)(Q/P)(q i/Q)[1 + A(Q-qi)/qi] = P – (P/e)[si
+ A(1-si)]. Memasukkan pernyataan ini kedalam persamaan (3.48) dan
memanipulasikan lambang yang mewakilinya, didapatkan sebuah versi
alternatif dari pernyataan untuk marjin price-cost perusahaan 1:
])1([1)(
i
i sAAeP
MCP−+=
− (3.52)
Mengalikan masing-masing sisi persamaan (3.52) dengan market share si,
dan meringkas seluruh n-perusahaan, terhadap interaksi pengukur
ringkasan variasi dugaan perusahaan dan indeks konsentrasi Herfindahl –
Hirschman:
])1([1)( 2
ii
iii sAsAeP
sMCsP−+=
− ])1([
1)(HAA
eP
MCP−+=
− (3.53)
3.5.3 Model Leader-Follower von Stackelberg
Oligopoli von Stackelberg dengan n-Follower. Dengan perusahaan-
perusahaan yang identik, sulit untuk membenarkan apakah satu pihak
harus berperilaku sebagai pemimpin (leader) sementara yang lain
menerima peranan sebagai pengikut (follower) dan mengalami market
share dan profit yang menurun sebagai akibatnya. Perusahaan leader (L),
memiliki keunggulan biaya terhadap perusahaan follower(F) yang identik
satu sama lain, yakni, cL < cF. Dengan menggunakan kurva permintaan
industri linier (2.30). Mengikuti persamaan (2.36) diatas, first-order
condition yang diperlukan untuk memaksimalkan profit dari perusahaan
follower, perusahaan F, adalah dπF/dqF = [a - b(qL – n qF)] – bqF – cF = 0
47
Dari sini, didapatkan fungsi reaksi perusahaan F terhadap produksi
perusahaan L:
qF= )1(
)(
+
−−
nb
bqca LF (3.54)
Perusahaan L mengenali bahwa semua n-follower akan berperilaku
menurut fungsi reaksi ini, sehingga variasi dugaan dQL/dqL = ndqF/dqL = -
n/(n+1). First-order condition maksimalisasi profit perusahaan L adalah
dπL/qL = [a - b(qL -nqF)] – b(1 + dQL/dqL)qL – cL = 0
Memasukkan pernyataan dalam variasi dugaan perusahaan L dan fungsi
reaksi untuk perusahaan F, diperoleh :
a – bqL – [n/(n+1)](a – cF – bqL) – [b/(n+1)]qL – cL = 0,
Yang dapat dimanipulasikan untuk mendapatkan
qL = b
ccnca LFL
2
)()( −+− (3.55)
Memasukkan persamaan (2.55) ke dalam fungsi reaksi perusahaan F, pada:
qF = )1(2
)()1()(
+
−+−−
nb
ccnca LFF (3.56)
Jika leader tidak memiliki keunggulan biaya atas follower, maka
persamaan ini akan dapat disederhanakan dalam qL = (a – c)/2b dan qF = (a
– c)/2b (n+1). Market share leader adalah
sL = qL/(qL + nqF) = (n+1)/(n+2) (3.57)
Model teori pasar persaingan tidak sempurna Cournot dan
Stackelberg menjelaskan bagimana upaya perusahaan mempertahankan
keuntungan, karena adanya persaingan, yaitu dengan menyesuaikan
produksi dan harga ouputnya, dan tidak menjelaskan reaksi perusahaan
dalam penentuan harga inputnya, sedangkan dalam penelitian ini
disamping membahas tentang reaksi perusahan dalam penyesuaian
produksi dan penentuan harga ouputnya juga dibahas penentuan harga
inputnya.
3.5.4 Model Sederhana dari Appelbaum
Model sederhana dari Appelbaum, dikembangkan jika oligopolist
menghadapi fungsi biaya dan fungsi permintaan. Jika fungsi biaya perusahaan jth
48
ditunjukkan oleh Cj = Cj (yj , w) dimana yj merupakan output perusahaan jth dan
w adalah vektor harga input, maka y = j (p,z) sebagai fungsi permintaan dimana p
merupakan harga output dan z merupakan vector peubah permintaan (shifter
demand vectors). Maksimisasi keuntungan perusahaan jth ditunjukkan oleh (3.58).
max [pyj – Cj (yj , w): y = J (p,z)] (3.58)
dimana y = ∑j yj
Kondisi optimum yang sesuai dengan masalah maksimalisasi keuntungan
yang diberikan pada (3.58) ditunjukkan oleh (3.59).
Cj
Cjj
p
=
+
w),yj(
)1(
dimana θj = yy
j
y yj
.
y
p
p
.
=
y
Jika elastisitas permintaan untuk barang normal selalu negatif, maka dapat
dirumuskan, jika θj positif maka perusahaan dapat menarik harga yang lebih
tinggi saat dibandingkan dengan yang ada dalam pasar kompetitif. Ketika
elastisitas permintaan tetap, maka semakin tinggi elastisitas konjektural, semakin
tingi harga. Hal ini menunjukkan kekuatan pasar yang lebih tinggi.
Gambar 11 menggambarkan kondisi persamaan(3.59) dalam bentuk grafis
p(1+ θj/ η) adalah penerimaan marginal (MR). Sementara itu, δ Cj(yj, w)/ δ yj
adalah biaya marginal (MC). Ekuilibriumnya berada pada titik E. Harganya
ditentukan pada p dimana kuantitas Qj berpotongan dengan permintaan atas
produk perusahaan (Dj = rj.Dm) dimana Dj dan Dm adalah permintaan perusahaan
dan pasar atas produk dan rj adalah saham pasar perusahaan). Pasar ini berada
dalam ekuilibrium pada harga p dan kuantitas Qm.
P harga
MCj
(3.59)
49
p
Gambar 3.2 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar
Tidak Sempurna Ketika Hanya Harga Pasar Output
Yang Dipertimbangkan (Diadaptasi dari Saitone et.al.,
2007)
3.5.5 Model Biaya Input Terpisah dari Schroeter
Model yang lebih kompleks (Schroeter, 1988) mengindikasikan persoalan
dimana perusahaan jth menghadapi permintaan yang diberikan untuk output dan
suplai untuk input. Analisis ini membutuhkan pemisahan biaya bunga input bahan
baku dari biaya total. Oleh sebab itu, fungsi keuntungan perusahaan dapat
dinyatakan sebagai persamaan (3.60).
π = p.yj –Wr . Rj – Cj(yj, W) (2.60)
Dimana : Wr = harga input bahan baku
Rj = kuantitas input bahan baku yang digunakan oleh perusahaan
jth .
Kondisi maksimalisasi keuntungan memerlukan turunan pertama
persamaan (3.60) terhadap output menjadi nol. Sehingga dapat menghasilkan
persamaan (3.61).
CjM
e
jr
Wjp ')1()1( ++=
+
dimana η = elastisitas permintaan pasar
DM
DJ
MR = p(1 + θj/ η)
E
Qj
(3.61)
Qm
50
e = elastisitas suplai pasar
i = rasio konversi input-output semisal ∑ R = y atau z Rj = yj
MCj’ = biaya marjinal input non-bahan baku
Persamaan (3.61) menunjukkan bahwa perusahaan mencapai keuntungan
maksimum pada saat MR = MC. Sehingga p(1+ θ j/η) merupakan penerimaan
marginal perusahaan terhadap produk, sedangkan Wr (1 + θ j/e) adalah biaya
marginal bahan baku terhadap produk. Hal yang disebut terakhir ini harus
ditambahkan pada biaya marginal input non-bahan baku untuk membentuk biaya
marginal total.
Model ini menunjukkan bahwa perusahaan jth dapat menggunakan
keuntungannya dalam pasar produk dan input. Adalah menarik untuk diperhatikan
bahwa elastisitas konjektural perusahaan muncul pada kedua sisi persamaan. Hal
ini berarti bahwa perusahaan dapat menggunakan kekuatan pasar mereka pada
pasar input dan output.
Bagaimanapun juga, tingkatan keuntungan pasar di dalam masing-masing
pasar tergantung pada elastisitas tuntutan pasar untuk output dan suplai input,
secara berurutan. Seperti pada Gambar 3.2, Gambar 3.3 menunjukan kondisi
grafis persamaan (3.61) dimana pasar input dan output digabungkan. Dengan
mengaggap notasi yang sama sebagaimana Gambar 3.2, penerimaan marginal
perusahaan dan biaya marginalnya adalah p (1 + θ j/η) dan Wr (1 + θ j/e) + δj/δyδ
dan berpotongan pada titik E yang menghasilkan maksimalisasi keuntungan pada
perusahaan. Perusahaan akan menetapkan harga output pada p dan harga input
pada Wr. Perusahaan membeli input bahan baku dan menjual produk Qj unit.
Harga ekuilibrium dan kuantitas pasar adalah p,Wr dan QM.
Wr(1+ θj/η)
harga
P
MCj
Sj
E
51
Gambar 3.3 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar Tidak
Sempurna Ketika Pasar Input Dan Output Diperhitungkan
Secara Bersamaan (Diadaptasi dari Saitone et.al., 2007)
3.5.6 Model Produk Gabungan
Untuk memenuhi tujuan dalam analisis agroindustri kedelai dimana
minyak kacang kedelai dan makanan kedelai merupakan produk gabungan, maka
mengikuti prosedur yang diadobsi oleh Wann dan Sexton (1992). Dalam model
ini, dilakukan dengan asumsi bahwa penjual input bahan baku dan pembeli
produk-produk perusahaan jth berjumlah banyak dan bertindak secara kompetitif
dalam pasar. Hal ini untuk menganggap struktur pasar sempurna pada bagian
suplai pasar input dan bagian pasar output.
Misalkan jy1 menjadi output ιth perusahaan jth dan Rι menjadi input bahan
bakuyang digunakan dalam menghasilkan bentuk produk ιth . masing-masing
bentuk produk jth membutuhkan input material dalam proporsi yang pasti : yι = zι.
Rι, dimana zι merupakan koefisien mengubah jumlah material input Rι menjadi
level yι output. Maka fungsi keuntungan perusahaan jth dapat dinyatakan sebagai
(3.62).
πj = P1.y1 + ∑m pm (y1,y2,,,yk), ym – TCj(yj1,y
j2,,,w1,F) – Wr(R
j).Rj (3.62)
Dimana:
pι (y1,y2….yk) adalah fungsi permintaan pasar untuk bentuk output ιth
Yι = ∑ jjy1 (bentuk output total ιth industry)
TCj = fungsi pembiayaan non-bahan baku perusahaan jth
WM
SM
Qj Jumlah QM
MR=p(1+θj/η)
DM
Dj
52
Rj =∑ι jR1 (input total yang diperlukan oleh perusahaan jth)
Wι = vektor harga inputvariabel
Wιj = harga input bahan baku yang dibayarkan oleh perusahaan jth
F = vektor input tetap
Perusahaan memproses bahan baku r menjadi bentuk produk j. Jika rasio
konversi produk yang diproses secara gabungan ini konstan pada Zι, maka dapat
menghitung proporsi bentuk output m dengan adanya level bentuk output j.
Persamaan (3.63) menunjukkan hubungan antara bentuk output j dan bentuk m
tersebut.
Y1 = τ1.R; Ym = τm.R (3.63)
;
1
1
m
mYY = YYm
m 1
1
.
=
Dengan mensubtitusi hubungan ini ke dalam (3.62) fungsi keuntungan
perusahaan jth yang menghasilkan produk-produk gabungan sebagai (3.64).
πj = P1.jY1 + ∑m
1
m .Pm(Y1,,,,Yk), jY1 –TCj( jY1 , jY2 ,,W1.F) – Wr®.Rj (3.64)
Turunan pertama dari produk bentuk ke ι dan mengatur kembali istilah-
istilah/persyaratan untuk menghasilkan formulasi harga sebaran sebagai (3.65).
CjM
eR
jW r
j
mPmm
j
P
m
')1
1(
1
)1
1(
1
.)
1
11(1 ++=++
+
dimana:
eR = (δWr/δR) (R/W1) merupakan elastisitas harga petani dalam suplai
pasar input material.
θjτ = (dyι/dyj
1 )(Yj1/y
ι) merupakan elastisitas konjekturalperusahaan dari
output ke ι.
ηι = (δyι/ δPι) (yι/ Pι) merupakan elastisitas harga permintaan pasar untuk
bentuk output ke ι.
(3.65)
53
Menurut model, nilai j
determinan kunci persaingan di pasaran. Jika
j
=1, maka perusahaan pemrosesan dapat bertindak sebagai pelaku monopsoni
di dalam pasar. Nilai j
=0 berarti pasar kompetitif
Pernyataan (3.65) menunjukkan indikator lengkap untuk
ketidaksempurnaan pasar, baik dalam pasar input maupun output/produk. Sejauh
j
tidak nol dan elastisitas harga permintaan dan suplai tidak secara sempurna
elastis, perusahaan dapat menerapkan kekuatan pasarnya kedalam pasaran input
dan output.
3.5.7 Model Agregat dan Ekuilibrium Pasar
Keuntungan model ini ialah kemampuannya untuk diterapkan pada tingkat
gabungan ketika ekuilbrium pasar dipertimbangkan. Bagaimanapun juga,
beberapa asumsi tertentu harus dapat terpenuhi agar pernyataan ini konsisten.
Asumsi ini melibatkan perilaku perusahaan dan fungsi biaya.
Apabila kondisi dalam (3.65) dipertimbangkan menyangkut produk
homogen. Perusahaan tersebut mungkin memiliki fungsi biaya yang berbeda.
Namun, jika semua fungsi biaya adalah fungsi kuadratik. Dengan adanya produk
homogeni, maka perusahaan harus menjual pada harga yang sama. Perusahaan
menghadapi permintaan pasar yang sama. Kedua variabel tersebut, p dan η sama.
Perusahaan hanya bisa memvariasi biaya marginal dan elastisitas konjektural. Hal
ini berarti perusahaan menghasilkan pada biaya marginal yang berbeda dan
menjalankan kekuatan pasar yang berbeda. Dengan melakukan ini, perusahaan
dapat memperoleh tingkatan laju keuntungan yang berbeda yang diimplikasikan
oleh beragam level elastisitas konjektural.
Apabila perusahaan yang memiliki biaya marjinal lebih rendah, dalam
rangka mengejar keuntungan maksimum, maka perusahaan tersebut dapat
meningkatkan keuntungan total mereka dengan lebih banyak berproduksi.
Dikarenakan fungsi biaya adalah kuadratik, perusahaan dihadapkan dengan biaya
marjinal yang increasing.
Peningkatan produksi berarti suatu peningkatan dalam biaya marginal,
sehingga elastisitas konjektural perusahaan akan secara otomatis lebih rendah.
Proses ini dapat dilakukan selama perusahaan menghasilkan biaya marginal lebih
54
rendah sampai pada saat dimana semua perusahan menghasilkan pada level biaya
marginal yang sama dan konjektural mereka pastilah identik, ini adalah
ekuilibrium industri.
Pembahasan diatas membuat asumsi yang berbeda dari yang ditunjukkan
Appelbaum (1982). Appelbaum berpendapat bahwa perusahaan memiliki jalur
ekspansi yang linier dan pararel, sehingga pembiayaan marginalnya konstan dan
setara pada perusahaan. Disini kita dapat berpendapat bahwa perusahaan memiliki
fungsi biaya yang berbeda dengan bentuk non liniernya. Akhirnya, kita tiba pada
kesimpulan yang sama bahwa semua perusahaan beroperasi pada level biaya
marginal dan elastisitas kenjektural yang sama.
Berkaitan dengan model produk gabungan, dengan asumsi bahwa jika
terdapat fungsi biaya aggregate untuk industri maka fungsi biaya aggregate
diturunkan dari rata-rata fungsi biaya perusahaan. Fungsi biaya rata-raa ini akan
benar adanya jika industrinya selalu berada pada tingkat ekuilibrium.
7) Kasus Produk Tunggal
a). Kondisi Appelbaum-Schroeter
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat
ekuilibrium, perusahaan yang beroperasi mempunyai biaya marginal dan
elastisitas konjektural yang identik. Selain itu, perusahaan juga menarik biaya
pada tingkat harga yang sama. Sehingga analisis ini dapat diterapkan dengan
model perusahaan dengan mempertimbangkan pasar input dan output. Hal ini
mempunyai implikasi pada perusahaan dengan biaya marjinal non-bahan baku
yang lebih rendah sehingga perusahaan akan lebih terus berproduksi untuk dapat
menikmati keuntungan yang tinggi. Karena pertama kali model ini diperkenalkan
oleh Appelbaum (1982) dan Schroeter (1998), Maka kondisi ini dikatakan
kondisi Appelbaum-Schroeter. Kondisi ini dinyatakan sebagai (3.66).
CMe
W rP
')1()1( ++=+
Kondisi dalam (3.66) menunjukkan bahwa pada tingkat ekuilibrium,
semua perusahaan beroperasi pada tingkat biaya marjinal non-material dan
elastisitas konjektural yang sama. Mereka menyusun tingkat harga input dan
output sama. Hal ini merupakan kondisi yang diperlukan untuk penentuan harga
(3.66)
55
dalam oligopoly dengan produk yang homogeny. Bagaimanapun juga, kondisi ini
tidak dapat dijamin beada pada tingkat ekuilbrium. Hal tersebut membutuhkan
dua kondisi lainnya, yaitu kondisi ekuilibrium dalam pasaran input dan output.
b). Kondisi Ekuilibrium Pasar Umum
Kondisi ekuilbrium dalam pasar input diperlukan kondisi dimana total
suplai dari input sama dengan permintaan totalnya. Permintaan akan inpu material
perusahaan dapat ditentukan didalam model, sehingga permintaan total
merupakan penjumlahan dari semua permintaan imput. Hal ini ditunjukkan dalam
persamaan (3.67).
==
jj
r
YjjXX 1
Apabila fungsi suplai input dapat dinyatakan sebagai 3.67), maka
persamaan (3.68) menunjukan kondisi ekuilibrium dalam pasar ini.
Xr = g(Wr) (3.68)
( )W r
j
gY
j =
Didalam pasar output, keseimbangan antara permintaan dan suplai harus
dapat terpenuhi. Suplai output perusahaan ditentukan dalam modelnya (yaitu y=
z.R). jika kita mendefinisikan fungsi permintaan konsumen untuk bentuk output ι
sebagai (3.70), maka kondisi ekuilibrium didalam pasar input ini ditunjukkan
dalam (2.71)
Y= f(P) (3.70)
∑jYj = f(P) (3.71)
Sistem persamaan (3.66), (3.69) dan (3.71) memberikan kita kondisi
memadai dan diperlukan untuk ekuilbrium di pasar tidak sempurna. Karena
terdapat tiga variable yang tidak dikenal (yaitu p, w dan level output yang
didefinisikan oleh ∂c(w, yj/ ∂y) dan tiga persamaan, terdapat solusi yang unik.
c) Model Kompetitif Yang Tidak Sempurna Versus Sempurna
Sebagaimana disebutkan diatas, harga dan jumlah input serta output dalam
pasar kompetitif tidak sempurna secara bersamaan dapat ditentukan oleh
persamaan (3.66), (3.69) dan (3.71). Kondisi Appelbaum-Schroeter, suplai input
dan permintaan akan output saling terkait atas elastisitas suplai dan permintaan.
(3.69)
(3.67)
56
Dalam hal ini, maka fungsi permintaan dan fungsi suplai dapat ditentukan secara
bersamaan karena perusahaan dalam kondisi maksimisasi keuntungan atau kondisi
Appelbaum-Schroeter.
Dalam pasar kompetitif yang sempurna, elastisitas konjektural perusahaan
(θj) adalah nol. Kondisi dalam persamaan (3.66) berkurang menjadi (3.72) dimana
perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar untuk mempengaruhi harga.
'MCP W r +=
Berikutnya, persamaan (3.72),(3.69) dan (3.72) tidak saling terkait satu
dengan lainnya, ketika perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar untuk
mengendalikan harga pasar, kondisi (3.72) tidak lagi diperlukan dalam pasar
kompetitif/persaingan sempurna. Harga-harga disini ditentukan secara murni dari
kekuatan permintaan dan suplai. Hanya analisis fungsi-fungsi permintaan dan
suplai yang praktisnya dibutuhkan demi penentuan harga didalam jenis pasar ini.
Dalam model ini, analisis harga dalam dua struktur pasar ini benar-benar
berbeda sehingga analisis ini tidak dapat digunakan di dalam struktur pasar yang
berbeda. Analisis yang dilakukan dapat mengarah menuju kesimpulan yang salah
seperti dalam pembahasan model monopoli sederhana.
Gambar 3.4 menunjukkan analisis komparatif dalam dua struktur pasar.
Dalam pasar monopsoni, bukan monopoli terdapat asumsi yang memungkinkan
bahwa terdapat banyak penjual dan konsumen. Pembeli membentuk suatu institusi
untuk memonopoli pembelian komoditas. Dalam hal ini, institusi konsumen
diwujudkan dengan fungsi biaya sumber daya marjinal atau marginal resource
cost (MRC) dan menjadikannya suatu persamaan pada permintaan aggregate
(AD). Titik ekuilibrium pada titik E. jika monopsoni membeli sejumlah OQ* pada
harga OP.
Harga
A
B E
MR
C
S
E’
(3.72)
57
Gambar 3.4. Perbandingan Penentuan Harga Dalam Pasar Kompetitif Dan
Monopsoni.(Sumber: Jeevika W., 2003)
Pada Gambar 3.4, apabila menganalisis persoalan dengan menggunakan
model kompetitif, maka permintaan konsumen terletak pada BD’. Hal ini
umumnya dikenal sebagai “derived demand”. Titik ekuilibrium kompetitifnya
pada titik E’, sehinga harga ekuilibrium dan jumlah yang diperdagangkan sama di
titik E seperti kondisi monopsoni, tetapi efek kesejahteraannya berbeda.
Jelaslah bahwa surplus produsen identik di kedua model, tetapi tidak dapat
diterapkan untuk surplus konsumen. Dibawah model kompetitif, surplus
konsumen merupakan segitiga PE’B. Surplus tersebut dibawah model
monopsoni setara dengan area PE’EA. Terdapat surplus konsumen yang lebih
besar diperkirakan oleh model tidak sempurna.
Hal yang menarik adalah implikasi kebijakannya. Dalam Gambar 3.5 kita
anggap bahwa pemerintah menerapkan harga minimum OP’. kurva suplai yang
baru adalah P’FS. Akibatnya, kurva MRCyang dihadapi oleh lembag konsumen
adalah P’FGK. Mereka membentuk ekuilibrium baru pada G untuk model
monopsoni. Namun akan terdapat ekuilibrium pada F di bawah model kompetitif
jika pemerintah mampu menghilangkan suplai berlebih HF. Hal ini menunjukkan
bahwa suplai belebih hanya ada dalam model kompetitif namun tidak pada model
kompetitif tidak sempurna. Hal tersebut berlaku selama harga minimum yang
ditentukan oleh pemerintah kurang dari atau sama dengan harga pada perpotongan
kurva permintaan dan suplai.
Ketika pemerintah menangani suplai yang berlebih, harga dan jumlah yang
diperdagangkan sama untuk kedua model. Model kompetitif memperkirakan
pengurangan dalam surplus konsumen pada wilayah PE’HP’ dan peningkatan
surplus produsen menyangkut PE’FP’. Model monopsoni memperkirakan level
peningkatan yang sama dalam surplus produsen. Namun hal tersebut dapat
P
D’
D
Q*
Jumlah
58
menghasilkan surplus konsumen yang berbeda. Oleh sebab itu, perubahan dalam
surplus konsumen harus dievaluasi dengan membandingkan perbedaan antara
wilayah EIFG dan PE’IP’. Jika yang sebelumnya lebih besar, surplus konsumen
meningkat. Namun jika lebih kecil, surplus konsumen berkurang. Oleh sebab itu,
mungkin kiranya menyusun kebijakan harga minimum yang sesuai yang
menghasilkan keuntungan bagi kedua pihak. Hal-hal yang lebih menarik dapat
dibuat lewat penerapan analisis ini pada jenis-jenis lain struktur pasar tidak
sempurna.
Gambar 3.5 Perbandingan Kebijakan Harga Minimum Dalam Pasar
Kompetitif Dan Monopsoni (Diadaptasi dari Jeevika W.,
2003)
8) Model Produk Gabungan
a. Kondisi Appelbaum-Schroeter
Dalam masalah produk gabungan, kondisi Appelbaum-Schroeter berlaku
persamaan (3.65). karena semua perusahaan menghasilkan pada tingkat biaya
marjinal non-bahan baku marjinal dan elastisitas konjektural yang sama,
persamaan (3.73) menampilkan bentuk kondisi ini yang lebih umum.
CjM
eR
jW r
j
mPmm
j
P
m
')1
1(
1
)1
1(
1
.)
1
11(1 ++=++
+
Harga
A
B
MRC
S
E’
F H
D
D’
P
P’
K
E
Q* Q*
*
Jumlah
(3.73)
I
O
59
Perlu diperhatikan, kondisinya berbeda dari persamaan (3.66). disini
perusahaan memiliki ∑m(ι m/ιi)Pm(1+θj/ηm) yang merupakan penerimaan marjinal
pada perusahaan kasus produk gabungan. Sehingga perlu menambah harga output
gabungan ke-m dalam model ini. Hal tersebut mencerminan kondisi produk
gabungan dalam biaya produksi terpisah. Banyak bentuk produk dapat menjadi
dasar untuk analisis yang didasarkan pada kondisi di atas. Rasio konversi produk
akan menyesuaikan perbedaan-perbedaan ini.
Menurut kondisi (3.73) jelas kiranya bahwa perusahaan memiliki
elastisitas konjektural tunggal yang diterapkan pada semua pasar. Namun
kekuatan pasar yang ditentukan oleh θι/ηι atau θι/eδ akan berlainan dalam pasar
yang berbeda (lihat juga Schroeter (1988)). Di sini kekuatan pasar perusahaan
tergantung pada elastisitas permintaan dan suplai yang dihadapi oleh perusahaan.
Dengan secara hati-hati menyelidiki kondisi (3.73). akan mengarah menuju
kesimpulan bahwa semakin kecil elastisitas permintaan dan suplai, semakin tinggi
kekuatan pasar dan marjin harga.
b). kondisi ekuilibrium pasar umum
Kondisi ekuilibrium pasar umum mensyaratkan masing-masing pasar
bentuk produk ke-ι menjadi bebas, termasuk pasar input material. Persamaan
(3.69) telah menunjukkan bahwa pasar bersifat bebas di dalam pasar input
material. Untuk mencakup semua bentuk produk, kondisi dalam (3.71) dapat
dinyatakan sebagai (3.74).
)(
111 = PfjjY
(3.74)
Kondisi (3.74) memiliki persamaan m (misalnya ι = 1,2,…,m). Model ini
terdiri dari persamaan m+2 dan variable m+2 ( yaitu harga input material, harga
output m, dan level produksi). Hal ini menggambarkan keberadaan solusi yang
unik pada sistem persamaan (2.69), (2.73) dan (2.74). sistem persamaan ini dapat
diterapkan pada penelitian industri pertanian, khususnya kedelai di Jawa Timur.
9) Model dalam Ekonomi terbuka: Persoalan Negara Pengimpor
Model di atas secara implisit beranggapan tidak ada perdagangan
internasional yang terlibat. Bagaimanapun juga, Negara-negara saat ini terkait
melalui perdagangan internasional. Idenya, perdagangan menciptakan keuntungan
bersih bagi semua pihak yang terlibat. Negara-negara pengimpor membeli produk
60
pada harga yang lebih rendah sementara Negara-negara pengekspor menjualnya
dengan harga yang lebih tinggi. Negara-negara pengimpor dan pengekspor dapat
meningkatkan surplus konsumen dan produsen mereka, secara berurutan.
Kesejahteraan global total akan meningkat.
Dengan adanya keuntungan-keuntungan dari perdagangan, maka hambatan
impor perlu dilakukan untuk menghemat devisa. Pemikiran dasarnya adalah
bahwa dengan berproduksi secara domestik, negara dapat menghemat devisa.
Sebagai akibatnya, kebijakan proteksi merupakan alternatif terbaik.
Manipulasi kebijakan dalam perdagangan internasional merupakan hal
yang menarik. Ekspansi model dapat mencakup pasar eksternal. Hal ini membuat
model lebih dapat diterapkan. Pada saat bersamaan, evaluasi kebijakan kemudian
dapat dengan mudah dilaksanakan.
Pelaku ekonomi biasanya mempertimbangkan dua fenomena berbeda
ketika mereka memandang ekonomi pasar terbuka. Negara dapat diasumsikan
sebagai negara yang besar atau kecil tergantung apakah ia dapat mempengaruhi
harga dunia. Indonesia merupakan kasus kebanyakan sebagai negara kecil yang
dominan sehingga dalam kasus penelitian ini dikonsentrasikan pada masalah
negara kecil dimana baik negara maupun perusahaan domestik tidak
mempengaruhi harga dunia. Indonesia sebagai price taker harus menerima harga
yang ditentukan secara kompetitif di dalam pasar global. Bagaimanapun juga, jika
pemerintah memberikan batasan pada impor, perusahaan masih bisa
mempengaruhi harga-harga domestik. Perusahaan dapat secara sukses melakukan
melalui kekuatan pasarnya selama hambatan perdagangan ada. Kasus ini banyak
terdapat di Indonesia dimana pemerintah hanya memberikan lisensi pada
perusahaan tertentu untuk mengimpor.
Ketika pemerintah menerapkan pembatasan pada impor hanya sejumlah
komoditas tertentu yang akan dimpor. Normalnya, impor benar-benar ada ketika
haga dunia lebih mrah dibandingkan harga domestic. Perusahaan memiliki dua
sumber suplai bahan mentah. Fungsi keuntungan perusahaan dapat dinyatakan
sebagai (3.80).
πj = P1
jY1 + ∑mPm(Y1, Y2,,,Yk). jY1 – TCj( jY1 , jY1 , W1, F)– Wr (R).(Rj– j
impR )–Wwr.
j
impR
3.80
61
Dimana :
Rj = adalah input material mentah total yang digunakan oleh perusahaan
Rimpj = adalah jumlah input material mentah yang diimpor perusahaan
Wwr = adalah harga dunia input material mentah yang konstan.
Persamaan (3.80) menunjukkan bahwa pembiayaan total untuk input
material mentah terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah pengeluaran pada
pembelian domestik. Hal ini setara dengan Wr.( Rj– Rimp
j).
Bagian kedua ialah pengeluaran pada impor input bahan mentah yang
setara dengan Wwr. Rjimp. Ketika harga dunia lebih rendah dibandingkan harga
domestik, perusahaan dapat mengurangi pembiayaan dengan impor. Untuk
mendapatkan kondisi Appelbaum-Schroeter, kita membedakan persamaan (3.80)
dengan memperhatikan bentuk output perusahaan s. hasilnya pada persamaan
(3.81)
Cj
Mj
R
jimp
R
eR
jW r
j
mPmm
j
P
m
'11).(
11(
1
)1
1(
1
.)
1
11(1 +−+=+++
Persamaan (3.81) menunjukkan secara jelas bahwa anggaran untuk impor
yang banyak akan mengurangi kekuatan pasar perusahaan. Hal ini kelihatannya
bertentangan dengan persepsi umum bahwa impor cenderung menekan harga
domestik input, dalam hal ini, kekuatan pasar perusahaan. Pada umumnya, impor
dapat menyebabkan harga domestik input berkurang. Namun itu tidak
meningkatkan kekuatan pasar perusahaan. Ketika perusahaan dapat mengimpor
pada harga yang lebih rendah, biaya produksinya berkurang. Perusahaan akan
merasa lebih untung memperluas produksinya. Dalam persaingan dengan sedikit
perusahaan (oligopoly), kekuatan pasar perusahaan akan berkurang. Oleh sebab
itu, semakin tinggi pembatasan impor dalam hal mengizinkan impor yang lebih
kecil, cenderung meningkatkan kekuatan pasar di dalam pasar input. Dan ketika
perusahaan mampu membeli semua input material, perusahaan perlu mengindikasi
dengan 1/ =jj
imp RR , kekuatan pasar perusahaan adalah nol. Ini adalah persoalan
dimana pasar input dalam sistem perdagangan bebas.
Dalam kondisi seperti (3.81), persamaan ini pada tingkat industri
memerlukan pembahasan yang lebih lanjut. Pada tingkat industri, keberadaan
3.81
62
ekuilibrium memerlukan Rimpj/Rj yang sama untuk semua perusahaan disamping
persyaratan elastisitas konjektural (padahal elastisitas ini dihitung melalui
prediksi). Hal ini berarti bahwa kuota impor material R harus secara proporsional
terdistribusi diantara perusahaan-perusahaan tergantung pada level produksi
mereka. Jika tidak, maka tingkat ekuilibrium industri mungkin tidak akan pernah
ada. Sebenarnya, persyaratan tambahan ini perlu dipenuhi dalam persaingan
dengan sedikit perusahaan. Jika semua perusahaan memiliki kesempatan yang
sama untuk mengimpor, sehingga mereka akan bersaing demi impor tanpa
pesyaratan di atas terpenuhi karena semua perusahaan memiliki proporsi yang
sama. Bagaimanapun juga, analisisnya kelihatan tidak praktis. Prosedur yang
realistis masih mensyaratkan pemerintah untuk memproporsi kuota impor sesuai
dengan persyaratan tersebut.
Dengan beranggapan bahwa pemerintah benar-benar memproporsi kuota
impor input material mentah, kondisi Appelbaum-Schroeter pada level gabungan
dapat dinyatakan sebagai (3.82).
Cj
Mj
R
impR
eR
W rmPmmP
m
'11).(
11(
1
)1
1(
1
.)
1
11(1 +−+=+++
Sehingga untuk melihat efek kebijakan pembatasan impor. Begitu syarat
berlaku, pemerintah hanya memungkinkan menentukan sejumlah tertentu impor di
bawah skema kebijakan ini. Hal ini memungkinkan perusahaan pemrosesan
menerapkan kekuatan pasar ke dalam pasaran domestik. Tentu saja, perdagangan
internasional mengurangi kekuatan pasarnya dalam beberapa hal. Kita dapat
mengantisipasinya dengan menyelidiki pengaruh Rimp dalam (3.82).
Persamaan (3.82) menunjukkan dengan jelas dampak pembatasan impor
pada kekuatan pasar perusahaan. Kekuatan pasar perusahaan meningkat begitu
pemerintah mengizinkan lebih sedikit impor material input (Rimp) dan sebaliknya.
Berdasarkan analisis ini, pemerintah dapat membatasi kekuatan pasar perusahaan
dengan menyusun level yang tepat atas tunjangan impor dari input material
perusahaan.
Dampak impor output perusahaan tidak akan mengurangi kondisi di atas.
Sebagai gantinya, mereka mempengaruhi permintaan pasar akan produk.
Konsumen tidak akan membeli cuma produk domestik saja namun juga yang
3.82
63
impor. Persamaan (3.83) menampilkan permintaan pasar akan produk ketika
impor memungkinkan meskipun pada jumlah yang terbatas.
∑jYj1 + Yimp = f1(P1) (3.83)
dimana : Yimp adalah jumlah total impor bentuk produk ι
Adalah mudah untuk mengevaluasi dampak impor bentuk output ι dari
(3.83). jelasnya, pada harga konstan, peningkatan Y1imp mengurangi ∑yjι . Hal ini
berimplikasi bahwa perusahaan akan wajib mengurangi produksi mereka ketika
akan ada banyak impor produk.
Adalah mudah juga untuk memikirkan persoalan perdagangan bebas. Di
bawah impor yang tidak terbatas, perusahaan menghadapi permintaan elastik yang
sempurna dan juga suplainya. Meskipun mereka memiliki kekuatan pasar untuk
memiliki elastisitas konjektural non-zero (bukan nol), mereka tidak dapat
menerapkannya. Mereka harus menerima harga dunia. Dalam hal ini, harga-harga
domestik berbeda dari harga dunia dengan penghalang non-kuantitas (yaitu
pengumpulan impor). Kondisi Appelbaum-Schroeter dikurangi menjadi (3.84)
dimana semua harga ditentukan sebelumnya pada level dunia. Kuantitas yang
setara ditentukan dengan memecahkan fungsi permintaan dan suplai pada harga
yang ditentukan sebelumnya. Keseimbangan permintaaan dan suplai
mengindikasikan level impor.
'
1
11
1
.MC
WPmP rmm +=+
(3.84)
dimana P1 = Є1 = Є1.Pw1;Wr = Є r.W wr
Єk adalah kumpulan penarikan impor pada komoditas k
Berdasarkan analisis diatas, implikasi kebijakan pada impor untuk
pengendalian harga-harga domestik dapat lebih lanjut di selidiki, ini merupakan
tujuan utama penelitian ini.
10) Asumsi Model
Pembatasan sebelumnya secara implisit menyebutkan beragam asumsi
dalam model. Perusahaan dalam kondisi yang diperlukan bagi pasar untuk berada
ada ekuilibriumnya. Tanpa asumsi yang ada, maka model tidak akan bekerja
sesuai dengan kerangka penelitian ini. Oleh sebab itu, perlu memerinci secara
eksplisit masing-masing asumsi yaitu:
64
1. Tindakan Independen Perusahaan; Asumsi ini merupakan yang paling
penting. Model mnsyaratkan perusahaan bertindak secara kompetitif atau tidak
ada kolusi diantara perusahaan.
2. Maksimisasi keuntungan; Semua perusahaan dianggap dalam keadaan
memaksimumkan keuntungan.
3. Fungsi Biaya; Model ini mensyaratkan bentuk fungsi biaya yang sama untuk
perusahaan-perusahaan yang berbeda. Misalnya, fungsi biaya perusahaan
adalah linier maka semua perusahaan tengah menghadapi biaya marginal
konstan input non-material.
Bab 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi
kekutan pasar (maret power)
Untuk mengukur kekuatan pasar yang bersifat oligopoli pada pasar
komoditas pertanian, sebagai ilustrasi dipilih kedelai, dengan menggunakan
pendekatan model Appelbaum – Schroter, industri kedelai menghadapi fungsi
biaya, baik di pasar input maupun di pasar output. Kekuatan pasar oligopoli di
pasar kedelai mempengaruhi harga input dan output diukur dari elastisitas
konjenkturalnya, dan besarnya kekuatan pasar oligopoli mempengaruhi harga
sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor, elastisitas harga terhadap penawaran
65
kedelai, elastisitas harga permintaan produk olahan dari kedelai dan produk
pakan ternak yang menggunakan kedelai dan biaya marginal dari proses
pengolahan dari input menjadi output oleh industri kedelai. Sehingga untuk
menganalisis kekuatan pasar oligopoli di pasar kedelai, terlebih dahulu dilakukan
estimasi terhadap elastisitas harga suplai kedelai di pasar input dan elastisitas
harga permintaan produk olahan kedelai di pasar output, dan biaya marginal
proses pengolahan dari industri kedelai.
4.1 Elastisitas Penawaran Produk Pertanian
Ada dua tingkatan pemasaran produk pertanian yang diperdagangkan di
pasaran. Tingkatan pertama untuk konsumsi rumahan langsung, yang digunakan
dalam produk makanan dan juga untuk tujuan perbenihan. Tingkatan kedua
sepenuhnya untuk pembuatan industri besar. Harga dua tingkakan ini berbeda,
dimana harga kualitas kedua lebih rendah. Terdapat tempat-tempat khusus dengan
varietas-varietas tertentu yang memproduksi komoditi pertanian tertentu dengan
kualitas tertentu yang dapat dijual pada tingkatan pertama. Secara umum, petani
dengan kualitas komoditi yang baik harus menyortir menjadi kualias tinggi untuk
dijual sebagai komoditi tingkatan pertama/kelas satu. Sisanya dianggap tingkatan
dua/kelas kedua. Oleh sebab itu, sebenarnya terdapat dua pasar terpisah untuk
komoditi untuk kelas satu dan kelas dua.
Permintaan akan produk-produk pertanian berasal dari konsumen rumah
tangga dan perusahaan-perusahaan atau industri yang menggunakannya sebagai
input. Sedangkan sumber permintaan berasal dari perusahaan dan impor sehingga
permintaan totalnya merupakan penjumlahan semua yang diproduksi secara
domestik oleh perusahaan pengolahan dan dari impor.
Umumnya penawaran komoditi pertanian sangat reponsif terhadap harga,
seperti contoh penawaran kedelai petani di Jawa Timur responsif terhadap harga.
Harga pertanian lain juga mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani.
Pada level pedagang besar, penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga
pedagang besar.
Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia
bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh perusahaan
termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran
66
kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh perusahaan pengolahan
kedelai dapat dinyatakan pada(4.1) :
R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) (4.1)
dimana :
R = penawaran kedelai tingkat/kelas dua yang digunakan dalam
agroindustri kedelai.
Wr = harga kedelai grosiran di Jawa Timur
Rimp = jumlah kedelai yang diimpor
Pf = harga eceran pupuk Urea.
F = jumlah curah hujan tahunan
T = tren waktu
e = error item
Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan
adalah tipe Cobb-Douglas. Untuk menghitung Elastisitas penawaran kedelai
mengadopsi bentuk fungsional ini untuk kaitan suplai. Persamaan (4.2) secara
eksplisit menunjukkan suplai pasar biji kedelai.
65432
1
1 ...... eTFpRwaR fmprr
=
(4.2)
Dimana
ar = konstanta
αι = parameter yang terkait dengan penentu suplai
Tabel. 4.1 Data Penawaran Kedelai di Jawa Timur
Tahun R Wr Rimp Pf F T
1989 459268 64,509.00 68,895.00 175.95 1,939 1989
1990 471595 75,784.00 14,355.00 202.92 1,777 1990
1991 481001 75,928.00 50,962.00 229.93 1,794 1991
1992 543010 84,103.00 18,311.00 249.12 2,302 1992
1993 549713 104,770.00 47,476.00 278.84 1,906 1993
1994 493632 120,682.30 68,510.00 306.76 1,732 1994
1995 487190 112,717.00 13,097.00 351.47 2,211 1995
1996 509096 123,311.00 106,867.00 477.05 1,919 1996
1997 511531 136,454.00 68,013.00 555.67 1,305 1997
1998 457272 259,925.00 164,299.00 716.32 2,901 1998
1999 485878 275,175.00 259,686.00 1,125.03 2,239 1999
2000 385212 237,083.00 330,546.00 1,133.46 2,313 2000
67
2001 349188 246,688.00 311,889.71 1,224.65 2,461 2001
2002 300184 252,823.00 351,795.93 1,336.96 1,832 2002
2003 287205 263,232.00 391,702.14 1,342.82 2,014 2003
2004 318929 317,441.00 206,627.95 1,344.76 1,722 2004
2005 335106 339,645.00 196,283.71 1,360.99 1,126 2005
2006 320205 336,255.00 359,630.84 1,555.08 1,716 2006
2007 252027 393,625.00 511,172.81 1,641.04 2,080 2007
2008 227281 321,067.00 366,099.62 1,832.97 2,409 2008
Sumber BPS BPS BPS BPS BMG
Untuk memperoleh elastisitas harga terhadap penawaran kedelai pada Tabel
4.1, diestimasi dari fungsi penawaran kedelai. Penawaran kedelai dispesifikasikan
sebagai fungsi dari harga kedelai grosiran (Wr), jumlah impor kedelai (Rimp),
harga eceran pupuk urea (Pf), jumlah curah hujan tahunan (F) dan tren waktu (T).
Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata pada taraf nyata 1
persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85 persen penawaran
kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak ada dalam model.
Penawaran kedelai sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, jumlah impor
kedelai, dan tren waktu, sedangkan harga eceran pupuk urea dan jumlah curah
hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel harga kedelai berpengaruh
nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan bahwa petani kedelai
responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi atau elastisitas harga
terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,433 artinya bahwa peningkatan
harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total penawaran kedelai
0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga kedelai diharapkan
dapat memberikan dampak positif pada peningkatan penawaran kedelai di Jawa
Timur. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai mempunyai tanda
positif e1 = α1 = 0,433 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase perubahan jumlah
yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga. Struktur pasar
industri kedelai yang bersifat oligopsonistik di pasar input dengan elastistas harga
yang inelastik terhadap penawaran kedelai akan mempunyai kekuatan untuk
menentukan harga kedelai menjadi lebih murah, karena dampaknya terhadap
persentase penurunan penawaran kedelai lebih kecil dari persentase penurunan
68
harga. Dalam model yang dikembangkan Alppelbaum – Schroter, (1982)
dijelaskan elastisitas harga terhadap penawaran berbanding terbalik dengan
kekuatan pasar industri dalam menentukan harga di pasar input, semakin kecil
elastisitas harga semakin besar kekuatan industri dalam menentukan harga di
pasar input dan sebaliknya
Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap
penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada
kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada
hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan
pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan
produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan
harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan
produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai.
Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim
kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian
pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti
pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Mengel dkk., (1987),
meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur,
namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas.
Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap
penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada
kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga
penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada
lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi,
pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman
kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah
dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran
drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang
berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga
pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien.
69
Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran
kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan.
Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai di Jawa Timur
terus menurun lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai
yang dilakukan pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering
menimbulkan gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan
industri kedelai. Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan
produksi kedelai. Hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai
pilihan teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai pada
agroekosistem tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani
kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama,
penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan
air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi.
4.2 Elastisitas Permintaan Produk Olahan Komoditas Pertanian
Permintaan pasar total produk olahan kedelai adalah dari konsumen dan
industri yang menggunakannya sebagai input. Penentu/determinan fungsi
permintaan ini mencakup harga grosiran kedelai itu sendiri, harga produk
pengganti terdekat, pendapatan perkapita konsumen.
Industri yang menggunakan produk olahan dari kedelai sebagai input tidak
hanya membeli produk tersebut dari perusahaan pengolahan dalam negeri tetapi
juga membeli dari impor. Mengikuti penghitungan yang disebutkan sebelumnya,
permintaan pasar total untuk kedelai adalah jumlah yang dihasilkan secara
domestik ditambah perubahan lebih kecil impor pada stoknya. Persamaan (4.3)
menyatakan fungsi permintaan pasar total untuk produk olahan dari kedelai.
(O + Oimp – ∆S) = f(Pt, Ppo, I, e) (4.3)
dimana:
O = jumlah suplai produk olahan dari kedelai oleh perusahaan
Oimp = volume produk olahan kedelai yang diimpor
∆S = perubahan dalam stok olahan kedelai
Pt = harga produk olahan dari kedelai
Ppo = harga produk olahan dari bahan lain
I = pendapatan perkapita konsumen
70
εo = besaan error/kekeliruan
Dengan mengikuti fungsional yang sama seperti halnya suplai biji
kedelai, fungsi permintaan untuk produk olahan dari kedelai ini ditunjukkan pada
(4.4)
(O + Oimp – ∆S) = o
potteIppa ....... 321 (4.4)
Dimana :
at = konstanta
βI = parameter yang dikaitkan dengan penentu/determinan permintaan
Untuk memperoleh elastisitas harga terhadap permintaan produk olahan
kedelai diestimasi dari fungsi permintaan produk olahan kedelai. Permintaan
produk olahan kedelai pada Tabel 4.2, dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga
produk olahan kedelai grosiran (Pt), harga produk olahan dari bahan lain (Ppo)
dan pendapatan perkapita konsumen (I). Hasil estimasi diperoleh F-hitung 127,28
berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,9598,
berarti 95,98 persen permintaan produk olahan kedelai dapat dijelaskan oleh
model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada
dalam model.
Tabel 4.2 Data Permintaan produk olahan kedelai di Jawa Timur
Tahun (O+Oimp- S) Pt Ppo I
1989 5955.72 1058 992 483300.00
1990 7304.69 1307 1060 515700.00
1991 10610.86 1488 1115 548300.00
1992 7982.10 1682 1210 579100.00
1993 10590.76 1500 1241 1382320.69
1994 15038.06 1436 1612 1574000.00
1995 23700.21 1570 1328 1689406.00
1996 34890.35 1343 2350 1813759.00
1997 25489.62 1527 3296 1915896.00
1998 137858.82 2042 4519 1596984.00
1999 149862.98 2377 3835 1616012.00
71
2000 96275.91 3228 4206 1668182.00
2001 163807.87 4168 4458 1678770.00
2002 211074.47 4887 4572 1724759.00
2003 301018.31 4874 5863 1784165.00
2004 585947.39 5527 6578 6637984.00
2005 1525412.40 5230 7474 7063778.00
2006 1957209.40 4830 7880 7412716.00
2007 3661992.40 5527 8281 7800779.00
2008 5211976.87 7273 9855 8216800.00
Sumber BPS BPS BPS BPS
Permintaan produk olahan kedelai dipengaruhi oleh harga produk olahan
kedelai, harga produk olahan bahan lain dan pendapatan perkapita konsumen.
Variabel harga produk olahan kedelai berpengaruh nyata terhadap permintaan
produk olahan kedelai, koefisien bertanda negatif, artinya kalau harga produk
olahan kedelai naik, permintaan akan produk olahan kedelai akan turun.
Permintaan produk olahan kedelai seperti tahu dan tempe akhir-akhir ini semakin
populer dan meluas di masyarakat, sehingga apabila harganya naik permintaan
akan turun, kesan-kesan bahwa tempe adalah pangan inferior seperti yang terjadi
di masa lalu saat ini telah hilang. Elastisitas harga terhadap permintaan produk
olahan kedelai e = β1 = - 1,1040 adalah elastis, artinya persentase perubahan
permintaan produk olahan kedelai lebih besar dari persentase perubahan harga
produk olahan kedelai. Elastisitas harga terhadap permintaan produk kedelai yang
bersifat elastis menunjukkan kekuatan pasar oligopoli dalam menentukan harga
pada pasar ouputnya relatif rendah, Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan
elastisitas harga terhadap permintaan berbanding terbalik dengan kekuatan pasar
dalam mempengaruhi harga pada pasar outputnya, semakin tinggi elastisitas harga
terhadap permintaan, maka semakin kecil kekuatan pasar dalam mempengaruhi
harga pada pasar ouputnya dan sebaliknya.
Variabel harga produk olahan bahan lain berpengaruh nyata terhadap
permintaan produk olahan kedelai, koefisien regresi bertanda positif, menandakan
bahwa produk olahan dari bahan lain (saos tomat) perilaku konsumen dalam
mengkonsumsi saos tomat sebagai produk substitusi dengan produk olahan
kedelai, karena kenaikan harga saos tomat diikuti oleh peningkatan permintaan
produk olahan kedelai.
72
Variabel pendapatan per kapita konsumen berpengaruh nyata terhadap
produk olahan kedelai. Peningkatan pendapatan perkapita konsumen diikuti oleh
peningkatan permintaan produk olahan kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa
produk olahan kedelai termasuk katagori barang normal yang respon terhadap
perubahan tingkat pendapatan. Memperkuat pendapatnya Sudaryanto, (1996)
bahwa tingkat partisipasi konsumsi kedelai meningkat sejalan dengan kelas
pengeluaran. Tingkat konsumsi per kapita tertinggi dijumpai di Jawa Timur.
4.3 Permintaan Atas Pakan Ternak
Sektor ternak membutuhkan pakan dari komoditas pertanian dalam hal ini
kedelai untuk produksi pakan. Di samping harga pakan itu sendiri, faktor-faktor
lain dapat mempengaruhi permintaan akan pakan dari kedelai. Imput mentah
lainnya untuk produksi makanan binatang mencakup beras pecah, makanan dari
ikan, dan jagung. Beras pecah dan jagung merupakan sumber karbohidrat,
sementara bahan pakan dari kedelai dan dari ikan merupakan sumber protein.
Mereka diganti dalam kelompok-kelompok pada level tertentu, namun bersifat
melengkapi/komplementer di antara kelompok. Jagung merupakan komponen
utama dalam produksi pakan ayam, sementara beras pecah merupakan komponen
utama dalam pakan ternak lain. Karena produksi makanan ayam selalu lebih besar
dibandingkan pakan lain, harga jagung dan harga bahan dari ikan dipilih untuk
untuk dicakupkan didalam analisis permintaan ini. Sekali lagi, sebagaimana
disebutkan sebelumnya, permintaan total atas pakan dari kedelai sama dengan
produksi domestik ditambah impor. Persamaan (4.5) menyatakan fungsi
permintaan pasar atas pakan dari kedelai.
(M +Mimp) = f (ps, pmz,pfm,T, Ir,εm) (4.5)
Dimana :
M = permintaan total pakan dari kedelai yang dihadapi oleh perusahaan
produk olahan dari kedelai
Mimp = jumlah pakan dari kedelai yang di impor
ps = harga grosiran pakan dari kedelai
pmz = harga grosiran jagung
pfm = harga bahan dari ikan
T = trend waktu
73
Ir = persyaratan pembelian proporsional untuk impor makanan dari
kedelai
εm = besaran error
Fungsi permintaan ini dapat ditulis secara logaritma disajikan dalam (4.6).
(M +Mimp)= meY
r
YY
fm
Y
mz
Y
ssITPppa ...... 54321
(4.6)
Dimana :
as = besaran konstan
yι = parameter yang terkait dengan penentu/ determinan permintaan.
Untuk memperoleh elastisitas harga terhadap permintaan pakan dari
kedelai diestimasi dari fungsi permintaan pakan dari kedelai pada Tabel 4.3,
dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga grosiran pakan dari kedelai grosiran
(Ps), harga grosiran jagung (Pmz), harga bahan dari ikan (Pfm). Hasil estimasi
diperoleh F-hitung 67,3871 berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien
determinasi R-squared 0,9473, berarti 94,73 persen permintaan pakan ternak dari
kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak ada dalam model.
Tabel 4.3. Data Permintaan pakan Ternak dari Kedelai di Jawa Timur
Tahun M+Mimp Ps Pmz Pfm T
1989 7,404,193.14 486 19,592.12 1,157,847 1989
1990 7,824,468.14 534 22,230.50 1,320,549 1990
1991 8,871,229.46 648 25,596.24 1,405,436 1991
1992 15,056,386.38 361 23,760.79 1,369,209 1992
1993 19,008,552.12 645 26,589.91 1,345,969 1993
1994 42,274,583.10 500 34,674.85 1,328,162 1994
1995 115,480,300.27 567 40,321.08 1,378,845 1995
1996 159,190,363.91 488 55,340.34 1,375,992 1996
1997 46,868,704.77 481 62,768.62 2,828,037 1997
1998 118,035,191.99 380 122,059.88 6,065,054 1998
1999 177,554,730.49 458 155,252.98 3,750,007 1999
2000 197,413,615.68 517 92,500.52 4,339,051 2000
74
2001 208,430,297.73 659 108,336.18 5,208,008 2001
2002 208,527,297.89 738 110,866.06 5,559,160 2002
2003 193,497,132.63 833 113,500.85 5,431,567 2003
2004 224,594,766.40 1,007 116,880.98 6,614,387 2004
2005 171,282,801.13 1,027 122,854.81 6,883,261 2005
2006 187,031,672.52 1,165 145,591.21 8,211,177 2006
2007 215,708,074.50 1,650 201,640.00 11,855,978 2007
2008 223,111,752.65 1,762 177,389.10 12,203,666 2008
Sumber BPS BPS BPS IMF
Variabel harga pakan dari kedelai menunjukkan pengaruh nyata terhadap
penawaran pakan ternak dari kedelai, memiliki tanda koefisien yang negatif. Hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga pakan ternak akan menyebabkan
penurunan terhadap permintaan pakan ternak atau elastisitas harga terhadap
permintaan pakan ternak adalah elastis dengan koefisien negatif 0,9025 .
Elastisitas harga permintaan pakan dari kedelai yang elastis, menunjukkan
kekuatan pasar mempengaruhi harga pakan di pasar output relatif kecil.
Tingginya harga pakan ternak telah menyulitkan peternak, pengalaman
menunjukkan pada krisis moneter yang terjadi tahun 1998, sangat memukul sektor
peternakan terutama peternakan ayam ras, yang terutama disebabkan oleh harga
pakan yang melonjak tinggi, maka pemerintah melakukan beberapa kebijakan
diantaranya berupa penurunan tarif impor, subsidi nilai kurs rupiah dan
sebagainya.
Variabel harga grosiran jagung, menunjukkan pengaruh nyata terhadap
permintaan pakan ternak. Semakin tinggi harga jagung, maka semakin tinggi
permintaan terhadap pakan ternak dari kedelai, hal ini menunjukkan bahwa jagung
merupakan salah satu bahan baku atau bahan komplementer pakan ternak, selain
kedelai/bungkil kedelai dan tepung ikan. Variabel harga tepung ikan berpengaruh
nyata terhadap permintaan pakan ternak dari kedelai, namun koefisien negatif, hal
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga tepung ikan, permintaan pakan
peternak semakin menurun. Naiknya harga tepung ikan, sangat terkait dengan
naiknya kurs dollar terhadap rupiah, karena tepung ikan yang digunakan sebagai
bahan baku pakan tenak di Jawa timur diperoleh dari impor.
Variabel tren waktu menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap
permintaan pakan ternak, permintaan pakan ternak dari tahun ketahun semakin
75
naik, hal ini disebabkan perkembangan peternakan khususnya peternakan unggas
ayam yang semakin pesat. Peternakan unggas ayam merupakan program unggulan
pemerintah dalam mengembangkan usaha peningkatan konsumsi protein hewani.
Selain harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan sumber-sumber
protein hewani lainnya, lama waktu dan proses produksi yang relatif lebih pendek
dan sederhana merupakan kelebihan lain yang dianggap dapat membantu
meningkatkan pendapatan masyarakat.
4.5 Biaya Pemrosesan Produk Olahan Komoditas Pertanian
Model teoritis membedakan Biaya input material dari input-input lainnya.
Appelbaum (1984), Schroter (1988), serta Wann dan Sexton (1992) menyarankan
fungsi pembiayan Leontief tergeneralisasi yang diasumsikan sebagai fungsi linier
output. Hal tersebut menampilkan Biaya marginal konstan pada biaya non-
material industri. Bentuk fungsional Biaya non-material ini dinyatakan sebagai
(4.7)
TC’ = ω0 + ω1.M (4.7)
Dimana :
TC = biaya total pemrosesan produk olahan dari kedelai
ω0 = biaya tetap total
ω1 = biaya marginal input non-material
M = total output produk olahan dari kedelai
Dari persamaan (4.7), ω1 merupakan biaya marginal input non-material,
bukan dari kedelai, yang merupakan hasil diferensiasi persamaan (4.7) terhadap
output (yaitu,M) atau nilai MC
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, terdapat dua kondisi yang
disyaratkan pada ekuilibrium pasar. Keseimbangan ini merupakan kondisi
Appelbaum-Schroeter dan kondisi ekuilibrium pasar umum.
Penentuan harga pada industri kedelai dipengaruhi oleh biaya marginal
(MC). MC diperoleh dari estimasi fungsi biaya total (TC), TC dispesifikasikan
sebagai fungsi dari total output produk olahan kedelai (M). Hasil analisis
menunjukkan bahwa data TC industri kedelai dari setiap variabel bersifat
stasioner. Uji autokorelasi menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared
memiliki nilai > ,05 ( =5%), maka dapat disimpulkan tidak terdapat
76
autokorelasi. Uji heteroskedastisitas juga menunjukkan probabilitas dari Obs*R-
squared memiliki nilai > ,05 ( =5%), hasil ini memastikan bahwa TC industri
olahan produk kedelai tidak mengalami heteroskedastisitas
Hasil estimasi diperoleh F-hitung 64,7762 berbeda nyata. Koefisien
determinasi R-squared 0,7825, berarti 78,25 persen TC industri kedelai dapat
dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain
yang tidak ada dalam model. Variabel total output produk olahan (M)
berpengaruh nyata terhadap TC, dengan koefisien regresi atau MC = 776,2239, ini
berarti semakin besar M, maka TC juga semakin besar.
Bab 5 Kekuatan Pasar (Market Power)
Industri pertanian
5. 1 Elastisitas Konjenktural Industri Pertanian
Elastisitas konjenktural adalah parameter yang digunakan untuk mengukur
kekuatan pasar kedelai yang bersifat oligopoli pada pasar kedelai dalam
mempengaruhi harga input dan output. Elastisitas konjenktural adalah parameter
yang mengestimasi reaksi pesaing lain jika sebuah perusahaan merubah jumlah
output dan harganya.
77
Nilai elastisitas konjenktural industri produk olahan kedelai dan industri
pakan ternak dari kedelai ditunjukkan pada Tabel 3.1, adalah 0 < 0,0209 < 1 dan 0
< 0,9791 < 1, maka pasar industri kedelai di Jawa Timur adalah oligopsoni,
industri sebagai pembuat harga. Elastistas konjenktural yang digunakan untuk
mengukur kekuatan pasar oligopoli pada pasar kedelai adalah elastistas
konjenktural industri kedelai komposit dari industri tahu,tempe dan kecap yaitu,
0,0209. Hasil uji beda nyata dengan T-test elastisitas konjenktural adalah
signifikan tidak sama dengan nol, dengan nilai t-hitung 17,826 pada taraf nyata 1
persen. Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas
konjenktural yang tinggi dapat memberi industri derajat kekuatan pasar yang
tinggi baik di pasar input maupun di pasar output dan sebaliknya elastisitas
konjenktural yang kecil memberi industri derajat kekuatan pasar yang kecil pula
di pasar input dan output dan apabila nol industri tidak mempunyai kekuatan
pasar dalam menentukan harga.
Untuk mengetahui beberapa variabel eksogen yang mempengaruhi
elastisitas konjenktural. Elastisitas konjenktural dispesifikasikan sebagai fungsi
dari indeks harga produsen untuk input industri (PPI) dan laju suku bunga (r).
Hasil analisis menunjukkan bahwa data elastisitas konjenktural industri produk
olahan kedelai dari setiap variabel bersifat stasioner. Uji autokorelasi
menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared memiliki nilai > ,05 ( =5%),
maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi. Uji heteroskedastisitas juga
menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared memiliki nilai > ,05 ( =5%),
hasil ini memastikan bahwa model elastisitas konjenktural industri olahan produk
kedelai tidak mengalami heteroskedastisitas
Hasil estimasi diperoleh F-hitung 0,0535 tidak berbeda nyata. Koefisien
determinasi R-squared 0,0063, berarti hanya 0,63 persen elastisitas konjenktural
industri kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model. Secara parsial baik
variabel indeks harga produsen untuk input industri maupun laju suku bunga tidak
berpengaruh terhadap elastistas konjenktural industri produk olahan kedelai. Hal
ini disebabkan industri produk olahan kedelai adalah sebagian besar industri kecil,
78
reaksi perubahan output produksi tidak tergantung pada faktor PPI dan r, industri
akan bereaksi hanya pada saat harga kedelai sebagai bahan baku naik.
5.2 Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Produk Pertanian
Kondisi Appelbaum-Schroeter digunakan untuk menganalisis kekuatan
pasar. Kondisi ini sebenarnya merupakan kondisi dengan maksimalisai
keuntungan. Sebagaimana diimplikasikan, kondisi ini mensyaratkan harga dari
komoditas yang saling tergantung satu dengan lainnya disusun sehingga
perusahaan memaksimalkan keuntungan mereka. Ini merupakan kondisi yang
diperlukan bagi perusahaan untuk berjalan dipasar, kecuali prinsip maksimalisasi
keuntungan ditolak.
Setelah diperoleh elastisitas suplai pasar komoditas dan permintaan akan
komoditas, serta biaya marjinal input non-material perusahaan, kondisi
Appelbaum-Schroeter dapat dengan mudah ditentukan. Kondisi yang terbentuk
ditunjukkan pada (5.1)
'))1.(
1
11()1()
1
1(1.
1
MCR
impR
s
s
W rs
sPs
t
tp
y+−+=+++
Dimana :
τt =rasio konversi produk olahan dari kedelai.
τs = rasio konversi pakan ternak dari kedelai.
Untuk melengkapi kondisi ini, elastisitas konjektural haruslah
teridentifikasi. Appelbaum (1984), Schroter (1988), serta Wann dan Sexton
(1992) menunjukkan bahwa elastisitas konjektural ditentukan oleh variable
eksogen, yaitu yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan selama pembuatan
keputusan. Ini merupakan harga input non-material yang digunakan oleh
perusahaan atau faktor ekonomi lainnya. Dalam penelitian ini, indeks harga
produsen untuk input industri dipilih sebagai petunjuk harga-harga input non-
material. Pada saat bersamaan, menambahkan laju suku bunga sebagai penentu
lain elastisitas konjektural. Ini merupakan biaya modal yang tidak dapat
dikendalikan. Akibatnya, elastisitas konjektural ditetapkan sebagai (5.2).
(5.1)
79
θs = θo + θ1.PPI + θ2.r (5.2)
Dimana :
θs = (∂M/ ∂Mj), (Mj/M), elastisitas konjektural perusahaan
θ1 = parameter yang terkait dengan penentu elastisitas konjektural
PPI = indeks harga produsen untuk input industri.
r = laju suku bunga.
Kebijakan pajak tambahan impor efektif telah dilakukan pemerintah,
sehingga pabrik pengolahan pakan ternak dapat mengimpor bahan dari kedelai
sebanyak yang mereka butuhkan. Oleh sebab itu, permintaan pasar bersifat elastik
sempurna. Perusahaan tidak memiliki kekuatan menentukan harga pasar bahan
pakan dari kedelai. Mereka harus menerima harga pasar yang sama dengan batas
ditambah pajak tambahan. Di sini kita menambahkan variable D pada kondisi ini.
Nilai D adalah nol ketika pajak tambahan efektif dan bernilai 1 pada tahun-tahun
lainnya.
Dengan mensubtitusi (5.2) ke dalam (5.1), kita dapatkan kondisi lengkap
Appelbaum-Schroeter dalam (5.3).
).
2.
10
.1().
2.
101(
1.
sy
rPPID
sP
s
rPPI
t
tp
++++
+++
= '))1).(
1
.2
.10
1( MCR
impRrPPI
s
rw
+−++
+
Elastisitas konjektural adalah perilaku oligopoli terhadap reaksi
perusahaan lainnya dalam menentukan level outputnya, atau ratio perubahan
ouput perusahaan oligopoli lainnya dengan perubahan output perusahaan oligopoli
dalam upaya mempertahankan keuntungan maksimumnya.
Menurut model Appelbaum-Schroeter, nilai elastisitas konjektural
merupakan determinasi/indikator kunci persaingan di dalam pasar. Jika nilai
elastisitas konjektural = 1, maka perusahaan pemrosesan dalam hal ini
agroindustri kedelai dapat bertindak sebagai pelaku oligopsoni atau oligopoli di
dalam pasar, dan jika nilai elastisitas kojektural = 0 berarti pasar adalah
kompetitif. Berdasarkan persamaan (5.3), dapat diketahui bahwa semakin tinggi
nilai elastisitas konjektural agroindustri di pasar input dan output berarti semakin
(5.3)
80
tinggi kekuatan pasar agroindustri dalam menentukan harga di pasar input dan
output.
Indikator lainya yang menunjukkan ketidak sempurnaan pasar adalah
nilai elastisitas harga permintaan dan suplai. Jika elastisitas harga permintaan dan
suplai adalah elastis sempurna, yaitu perubahan permintaan dan suplai tidak
berpengaruh terhadap harga, berarti pasar adalah kompetitif. Jika nilai elastisitas
harga permintaan dan suplai = < 1 berarti bersifat inelastis, mempunyai makna
bahwa perubahan harga kecil pengaruhnya terhadap perubahan permintaan dan
suplai, atau dapat dikatakan semakin inelastis harga permintaan dan suplai
berarti semakin kecil pengaruh perubahan harga terhadap perubahan permintaan
dan suplai. Berdasarkan persamaan (5.3) dapat diketahui bahwa semakin kecil
nilai elastisitas harga permintaan dan suplay berarti semakin tinggi kekuatan
pasar agroindustri dalam menentukan harga di pasar input dan output. Sehingga
dari dua indikator tersebut untuk ketidaksempurnaan pasar, baik dalam pasar input
maupun output/produk, sejauh nilai konjektural tidak sama dengan nol dan
elastisitas harga permintaan dan suplai tidak elastis sempurna, maka agroindustri
dapat menerapkan kekuatan pasarnya pada pasar input dan output. Pada model
lengkap Appelbaum-Schroeter (5.3) dapat juga diselidiki bagaimana dampak
kebijakan harga, pembatasan impor yang ditetapkan pemerintah terhadap perilaku
agroindustri dalam menentukan harga input dan outputnya.
Model oligopoli Appelbaum-Schroter digunakan untuk menganalisis
pengaruh kekuatan pasar (market power) kedelai terhadap harga di pasar input
dan output, Kekuatan pasar kedelai dan faktor-faktor yang mempengaruhi
kekuatan pasar yaitu, elastisitas harga terhadap penawaran kedelai, elastisitas
harga terhadap permintaan produk olahan kedelai dan pakan ternak dari kedelai,
marginal cost (MC), rasio konversi produk olahan dan pakan ternak, dimasukan
ke dalam model. Harga kedelai tahun 2008 diperhitungkan sebagai tahun dasar.
Hasil analisis ditampilkan pada Tabel 5.1
Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan pasar komoditas kedelai
adalah; elastisitas harga penawaran kedelai, elastisitas harga permintaan produk
81
olahan kedelai dan elastisitas harga permintaan pakan ternak yang menggunakan
kedelai.
Pada Tabel 5.1 ditunjukkan bahwa, tanpa perhitungan kekuatan pasar
harga kedelai grosiran di pasar input dapat turun 26,92 persen yaitu, dari Rp
3.210,17/kg menjadi 2.346,34/kg dan harga kedelai di tingkat petani dapat turun
dari Rp 2.371,40/kg menjadi Rp 1.733,01/kg, harga produk olahan kedelai dan
pakan ternak dari kedelai di pasar output adalah tetap. Sedangkan apabila
kekuatan pasar diperhitungkan, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar
input terhadap kedelai grosiran 57,79 persen yaitu, dari Rp 3.210,17/kg menjadi
Rp 5.066,13/kg, dan jika diasumsikan marjin harga di tingkat petani dengan harga
kedelai grosiran di tingkat pedagang besar 26,14 persen, maka harga kedelai di
tingkat petani seharusnya naik dari Rp 2.371,40 menjadi Rp 3.741,01/kg, tetapi
sulit dan bahkan tidak pernah naik karena adanya pengaruh kekuatan pasar yang
mendorong harga kedelai di tingkat petani tetap murah.
Tingginya harga kedelai grosiran mengindikasikan bahwa kedelai dikuasai
oleh beberapa pedagang besar, dan kekuatan pasar dapat menaikan harga di
pasar output terhadap produk olahan kedelai 1,82 persen yaitu, dari Rp
7.273,00/kg menjadi Rp 7.405,00/kg ini menunjukan persaingan yang ketat
diantara industri produk olahan, dan harga pakan ternak dari kedelai naik 0,02
persen yaitu, dari Rp 1.1762,00/kg menjadi Rp 1.801,00/kg menunjukkan
persaingan yang lebih ketat dar industri produk olahan yang menggunakan bahan
baku kedelai
Tabel 5.1 Analisis Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Kedelai di
Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Tanpa Elastisitas
Konjenktural 0 (nol)
Harga Kedelai
Grosiran (Wr) 3.210,67 -864,33 -26,92 2.346,34
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 1.733,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 0,00 0,00 7.273,00
Harga Pakan Terna 1.762,00 0,00 0,00 1.762,00
82
dari Kedelai (Ps)
Dengan Elastisitas
Konjenktural
Harga Kedelai
Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
Secara grafis pengaruh kekuatan pasar oligopoli pada harga di pasar
kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.1, nampak pada pasar input tanpa perhitungan
kekuatan pasar harga kedelai di pasar input turun, sedangkan harga kedelai pasar
output tetap, dan apabila kekuatan pasar diperhitungkan harga kedelai di pasar
input naik lebih besar, jika dibandingkan dengan kenaikan harga kedelai di pasar
output
Gambar 5.1. Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga
Kedelai di Pasar Input dan Output
Kekuatan pasar kedelai mempunyai dampak terhadap harga kedelai di
pasar input dan output, hal ini disebabkan struktur pasar industri kedelai di Jawa
Timur bersifat oligopsoni. Untuk mengetahui besarnya dampak perubahan
kekuatan pasar terhadap harga kedelai di pasar input dan output dilakukan
83
simulasi terhadap perubahan kekuatan pasar, yaitu perubahan elastisitas
konjenktural, perubahan kekuatan pasar karena pengaruh perubahan elastisitas
harga penawaran kedelai, perubahan kekuatan pasar karena pengaruh perubahan
elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai, kekuatan pasar karena
pengaruh perubahan elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai,
kekuatan pasar karena pengaruh perubahan impor, kekuatan pasar karena
pengaruh perubahan tarif impor dan kekuatan pasar karena pengaruh perubahan
produksi kedelai petani/local
5.3 Dampak Peningktan Elastisitas Konjenktural Terhadap Harga Di
Pasar Input Dan Output
Peningkatan elastisitas kenjektural dapat meningkatkan kekuatan pasar
agroindustri dalam menentukan harga input dan outputnya. Sehingga kebijakan
penetapan harga minimum oleh pemerintah tidak akan efektif pada saat elastisitas
konjektural agroindustri relatif tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan simulasi
bagaimana dampak kekuatan pasar agroindustri dalam menentukan harga input
dan outputnya. Simulasi pertama dilakukan dengan menghilangkan pengaruh
elastisitas konjektural (θs = 0.*θs), kedua meningkatkan elastisitas konjektural 15
persen dan 20 persen (θs = 1.15*θs dan 1.20*θs) dari kedua simulasi tersebut akan
dapat diketahui bagaimana dampak kekuatan pasar industri kedelai dalam
menentukan harga input dan outputnya
Hasil simulasi menunjukan pada Tabel 5.2, bahwa pada saat elastisitas
konjenktural nol, harga kedelai grosiran menurun, sedangkan harga produk olahan
dari kedelai dan harga pakan ternak dari kedelai tetap. Tetapi sebaliknya apabila
elastisitas konjenktural semakin meningkat, maka pengaruh kekuatan pasar
terhadap harga di pasar input dan output juga semakin meningkat. Oleh karena itu
upaya pemerintah menaikan harga kedelai untuk mendorong petani meningkatkan
produksi kedelai sulit dilakukan pada saat elastisitas konjenktural relatif tinggi,
karena industri akan merespon dengan berproduksi lebih sedikit dengan
mengurangi pembelian input kedelai guna memperoleh harga yang lebih murah.
Pada saat kekuatan pasar tidak diperhitungkan atau elastisitas konjenktural
nol harga kedelai grosiran dapat turun sebesar 26,92 persen, simulasi kenaikan
kekuatan pasar ditampilkan pada Tabel 5.2, apabila elastisitas konjenktural
84
disimulasikan naik 15,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar
input terhadap harga kedelai grosiran 0,89 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg
menjadi Rp 5.094,73/kg, harga kedelai di tingkat petani seharusnya naik dari Rp
3.741,01/kg menjadi Rp 3.762,97/kg, tetapi karena adanya pengaruh kekuatan
pasar harga di tingkat petani tidak akan pernah naik atau stagnan,dan kekuatan
pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap harga produk olahan kedelai
0,27 persen yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi 7.425,00/kg, dan harga pakan
ternak dari kedelai 0,01 persen yaitu dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp 1.807,00/kg.
Dan selanjutnya apabila elastisitas konjenktural disimulasikan naik 20,00 persen,
kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar input terhadap harga kedelai 1,19
persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 5.104,26/kg, harga kedelai di
tingkat petani seharusnya naik dari Rp 3.741,01/kg menjadi Rp 3.770,01/kg, dan
kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap harga produk
olahan kedelai 0,36 persen yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi 7.432,00/kg, harga
pakan ternak dari kedelai 0,02 persen yaitu dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp
1.809,00/kg. Oleh karena itu kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah pada
pasar kedelai perlu memperhitungkan kekuatan pasar.
Tabel 5.2 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Kekuatan Pasar (Elastisitas
Konjenktural )Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Tanpa Elastisitas
Konjenktural 0 (nol)
Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 -864,33 -26,92 2.346,34
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)* 2.371,40* 1.733,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 0,00 0,00 7.273,00
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 0,00 0,00 1.762,00
Elastisitas Konjenktural naik
0 %
Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
85
Elastisitas Konjenktural naik
15 %
Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 1.884,06 58,68 5.094,73
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)* 2.371,40* 3.762,97*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 152,00 2,09 7.425,00
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 45,00 0,03 1.807,00
Elastisitas Konjenktural naik
20 %
Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 1,893.59 58,98 5.104,26
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)* 2.371,40* 3.770,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 159,00 2,18 7.432,00
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 47,00 0,04 1.809,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
Secara grafis dampak peningkatan elastisitas konjenktural pada pasar
kedelai ditampilkan pada Gambar 5.2, apabila elastisitas konjenktural tidak
diperhitungkan harga kedelai grosiran akan turun, dan selanjutnya harga kedelai
grosiran dan produk olahan akan naik sejalan dengan kenaikan elastisitas
konjenktural.
Gambar 5.2 Dampak Peningkatan Elastisitas Konjenktural Terhadap
Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
86
5.4 Dampak Perubahan Elastisitas Harga Penawaran Terhadap Harga di
Pasar Input dan Output
Dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar input, sangat tergantung
pada elastisitas harga penawaran kedelai (Es), sehingga apabila elastisitas harga
turun, maka dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar input akan naik.
Pada Tabel 5.3 nampak, apabila elastisitas harga disimulasikan turun 15,00
persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar input terhadap harga
kedelai grosiran 1,05 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 6.955,24/kg,
sedangkan kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila elastisitas
harga disimulasikan turun 20,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di
pasar input terhadap harga kedelai grosiran 1,49 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg
menjadi Rp 6.969,26/kg, dan kekuatan pasar di pasar output tetap. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin kecil elastisitas harga penawaran, maka dampaknya
semakin besar terhadap kekuatan pasar di pasar input. Oleh karena itu kebijakan
harga yang ditetapkan pemerintah, untuk mendorong peningkatan produksi
kedelai lokal oleh petani tidak akan efektif ditetapkan pada saat elastisitas harga
penawaran kedelai yang sangat inelastis, karena struktur pasar industri kedelai
oligopsoni, mempunyai kekuatan pasar untuk mendorong harga kedelai yang
diterima petani semakin murah. Oleh karena itu dibutuhkan rekayasa dan
intervensi pemerintah agar petani memperoleh harga yang layak dan akhirnya
mampu mendorong peningkatan produksi kedelai. Secara grafis dampak
perubahan kekuatan pasar oligopoli, karena penurunan elastisitas harga penawaran
pada pasar kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.3, kekuatan pasar nampak
semakin besar pengaruhnya terhadap harga di pasar input, sejalan dengan
penurunan elastisitas harga penawaran kedelai, dan tidak mempunyai dampak
terhadap kekuatan pasar di pasar output.
87
Gambar 5.3 Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas Harga
Penawaran Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Tabel 5.3. Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas
Harga Penawaran Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubaha
n
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Elastisitas Harga
Penawaran turun 0 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Elastisitas Harga
Penawaran turun 15 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.889,11 58,84 6.955,24
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 5.137,14*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Elastisitas Harga
Penawaran turun 20 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.903,13 59,28 6.969,26
88
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 5.147,50*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
5.5 Dampak Perubahan Elastisitas Harga Permintaan Produk Olahan
Terhadap Harga di Pasar Input dan Output
Dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar output, sangat tergantung
pada elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai (Edt), sehingga apabila
elastisitas harga turun, maka dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar
output akan naik. Pada Tabel 5.4 nampak, apabila elastisitas harga disimulasikan
turun 15,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap
harga produk olahan kedelai 0,32 persen yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi Rp
7.429,00/kg, sedangkan kekuatan pasar di pasar input tetap. Selanjutnya apabila
elastisitas harga disimulasikan turun 20,00 persen, maka kekuatan pasar dapat
menaikan harga di pasar output terhadap harga produk olahan kedelai 0,45 persen
yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi Rp 7.438,00/kg, dan kekuatan pasar di pasar
input tetap. Ini menunjukkan bahwa dampak kekuatan pasar oligopoli terhadap
harga produk olahan kedelai di pasar output adalah relatif kecil, hal ini disebabkan
elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai yang elastis dan adanya
persaingan yang ketat diantara industri. Namun demikian semakin kecil elastisitas
harga permintaan, maka dampaknya semakin besar terhadap kekuatan pasar
mempengaruhi harga kedelai di pasar output.
Secara grafis dampak perubahan kekuatan pasar, karena penurunan
elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai pada pasar kedelai
ditunjukkan pada Gambar 5.4, kekuatan pasar nampak semakin besar
pengaruhnya hanya pada pasar output, sejalan dengan penurunan elastisitas harga
permintaan produk olahan kedelai, dan tidak mempunyai dampak terhadap
kekuatan pasar di pasar input.
89
Gambar 5.4 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Perubahan Elastisitas Harga
Permintaan Produk Olahan Kedelai Terhadap Harga Kedelai
di Pasar Input dan Output
Tabel 5.4. Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas
Harga Permintaan Produk Olahan Kedelai Terhadap Harga Kedelai di
Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Elastisitas Harga
Permintaan turun 0 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Elastisitas Harga
Permintaan turun 15 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 156,00 2,14 7.429,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Elastisitas Harga
Permintaan turun 20 %
90
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 165,00 2,27 7.438,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
5.6 Dampak Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan Pakan Ternak
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar output, sangat tergantung
pada elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai (Eds). Pada Tabel 5.5
nampak, apabila elastisitas harga disimulasikan turun 15,00 persen, maka
kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap harga produk pakan
ternak dari kedelai 0,01 persen yaitu, dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp
1.847,00/kg, sedangkan kekuatan pasar di pasar input tetap. Selanjutnya apabila
elastisitas harga disimulasikan turun 20,00 persen, maka kekuatan pasar dapat
menaikan harga di pasar output terhadap harga pakan ternak dari kedelai 0,02
persen yaitu, dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp 1.897,00/kg, dan kekuatan pasar di
pasar input tetap. Ini menunjukkan bahwa dampak kekuatan pasar oligopoli
terhadap harga pakan ternak dari kedelai di pasar output adalah sangat kecil, hal
ini disebabkan elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai yang elastis
dan adanya persaingan yang ketat diantara industri. Namun demikian semakin
kecil elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai, maka dampaknya
semakin besar terhadap kekuatan pasar mempengaruhi harga kedelai di pasar
output. Secara grafis dampak perubahan kekuatan pasar oligopoli, karena
penurunan elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai pada pasar
kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.5 , kekuatan pasar nampak semakin besar
pengaruhnya terhadap harga di pasar output, sejalan dengan penurunan elastisitas
harga permintaan pakan ternak dari kedelai, dan tidak mempunyai dampak
terhadap kekuatan pasar di pasar input.
91
Gambar 5.5 . Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Elastisitas Harga
Permintaan Pakan Ternak dari Kedelai Terhadap Harga
Kedelai di Pasar Input dan Output
Tabel 5.5 Hasil Simulasi Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan Pakan Ternak
dari Kedelai Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Elastisitas Harga
Permintaan turun 0
%
Harga Kedelai
Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk
Olahan Kedelai
(Pt)
7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan
Ternak dari
Kedelai (Ps)
1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Elastisitas Harga
Permintaan turun
15 %
Harga Kedelai
Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk
Olahan Kedelai
(Pt)
7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan 1.762,00 46,00 0,03 1.847,00
92
Ternak dari
Kedelai (Ps)
Elastisitas Harga
Permintaan turun
20 %
Harga Kedelai
Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk
Olahan Kedelai
(Pt)
7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan
Ternak dari
Kedelai (Ps)
1.762,00 49,00 0,04 1.896,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
5. 7 Dampak Pengaruh Impor Terhadap Harga di Pasar Input dan Output
Kekuatan pasar pada pasar kedelai, diduga akan semakin menurun seiring
dengan semakin meningkatnya impor kedelai, dan demikian juga halnya dengan
harga kedelai grosiran di pasar input. Pada Tabel 5.6 nampak, apabila impor
kedelai disimulasikan naik 15,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input
dapat turun 32,18 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 4.029,00/kg,
harga kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 2.976,28/kg
sedangkan kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila impor
disimulasikan naik 20,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input dapat turun
sebesar 43,04 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 3.684,11/kg, harga
kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 2.721,08/kg. Hal ini
menunjukkan dampak kekuatan pasar oligopoli terhadap harga kedelai di pasar
input semakin menurun, sejalan dengan meningkatnya impor, dan pengaruh
kenaikan impor terhadap penurunan harga kedelai di pasar input cukup besar, oleh
karena itu kebijakan pembatasan impor sangat diperlukan guna mendorong
peningkatan produksi kedelai oleh petani. Secara grafis dampak kekuatan pasar
oligopoli, karena peningkatan impor pada pasar kedelai ditunjukkan pada Gambar
5.6 dampak kekuatan pasar semakin menurun terhadap harga pada pasar input,
sejalan dengan peningkatan impor kedelai, dan tidak mempunyai dampak
terhadap harga kedelai di pasar output.
93
Gambar 5.6 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Impor
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Tabel 5.6 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Impor
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Impor Kedelai naik 0 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)*
2.371,40
* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Impor Kedelai naik 15 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 818,95 25,51 4.029,62
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)*
2.371,40
* 2.976,28*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Impor Kedelai naik 20 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 473,44 14,75 3.684,11
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)*
2.371,40
* 2.721,08*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
94
Harga Pakan Ternak dari
Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
5.8 Dampak Pengaruh Tarif Impor Terhadap Harga di Pasar Input dan
Output
Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan harga kedelai dan
melindungi produksi kedelai di dalam negeri adalah dengan pengenaan tarif dari
kedelai impor. Kekuatan pasar pada pasar kedelai, akan semakin meningkat
seiring dengan semakin meningkatnya tarif impor kedelai. Pada Tabel 5.7
nampak, apabila tarif impor kedelai disimulasikan naik 15,00 persen, kekuatan
pasar dapat menaikan harga di pasar input terhadap harga kedelai grosiran 20,04
persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 7565,00/kg, harga kedelai di
tingkat seharusnya naik dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 5.587,00/kg sedangkan
kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila tarif impor
disimulasikan naik 20,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar
input terhadap harga kedelai grosiran 26,72 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg
menjadi Rp 7.779,57/kg, harga kedelai di tingkat petani seharusnya naik dari Rp
3.741,01/kg, menjadi Rp 5.745,00/kg. Hal ini menunjukkan dampak kekuatan
pasar oligipoli cukup besar, terhadap kenaikan harga kedelai di pasar input,
sejalan dengan meningkatnya tarif impor.
Hal ini juga mencerminkan bahwa, semakin tinggi kenaikan tarif yang
dikenakan pemerintah pada kedelai impor, maka semakin tinggi harga kedelai di
dalam negeri, dan hal ini telah memicu terjadinya gejolak dikalangan industri
kedelai dan mengancam kelangsungan usahanya. Oleh karena itu kebijakan tarif,
95
perlu memperhitungkan dampak kekuatan pasar sehingga kebijakan harga yang
ditetapkan pemerintah sesuai dengan yang diharapkan.
Secara grafis dampak kekuatan pasar oligopoli, karena peningkatan tarif
impor pada pasar kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.7 , dampak kekuatan pasar
semakin besar terhadap harga pada pasar input, sejalan dengan peningkatan tarif
impor kedelai, dan tidak mempunyai dampak terhadap harga kedelai di pasar
output.
Tabel 5.7. Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Tarif
Impor Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Impor Kedelai naik 0
%
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Impor Kedelai naik 15
%
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 2.498,95 77,83 7565,08
Harga Kedelai di
tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 5.587,57*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Impor Kedelai naik 20
%
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 2.713,44 84,51 7.779,57
Harga Kedelai di 2.371,40* 5.745,99*
96
tingkat Petani (Pf)*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
Gambar 5.7 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Tarif Impor
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
5.9 Dampak Pengaruh Produksi Lokal Terhadap Harga di Pasar Input dan
Output
Produksi kedelai lokal oleh petani saat ini ada kecendrungan semakin
menurun, salah satu penyebabnya adalah petani tidak pernah menerima harga
yang layak walaupun harga kedelai di tingkat konsumen tinggi. Rendahnya harga
kedelai di tingkat petani diduga karena pengaruh kekuatan pasar mendorong harga
kedelai menjadi tetap murah. Pada Tabel 5.8 nampak, apabila produksi kedelai
disimulasikan turun 15,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input dapat
turun sebesar 13,12 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 4.644,92/kg,
harga kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 3.430,14/kg,
sedangkan kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila produksi
disimulasikan turun 20,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input dapat
turun sebesar 17,85 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 4.492,86/kg,
97
harga kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 2.450,19/kg. Hal
ini menunjukkan bahwa, semakin rendah produksi kedelai petani, maka ada
kecendrungan harga kedelai di tingkat petani semakin murah, karena terus
dilakukan impor untuk memenuhi permintaan kedelai di dalam negeri. Oleh
karena itu kebijakan pemerintah untuk memenuhi permintaan kedelai di dalam
negeri tidak hanya dilakukan impor, tetapi harus diimbangi dengan peningkatkan
produksi kedelai petani. Secara grafis dampak perubahan kekuatan pasar
oligopoli, karena penurunan produksi pada pasar kedelai ditunjukkan pada
Gambar 5.8, dampak kekuatan pasar semakin menurun terhadap harga kedelai di
pasar input, sejalan dengan menurunnya produksi kedelai, dan tidak mempunyai
dampak terhadap harga kedelai di pasar output.
Tabel 5.8 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Produksi
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
Variabel
Simulasi
Dasar
(Rp/kg)
Perubahan
Harga
(Rp/kg)
Pesentase
Perubahan
(%)
Harga
Kedelai
(Rp/kg)
Produksi Kedelai Turun
0 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Produksi Kedelai Turun
15 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.434,25 44,67 4.644,92
Harga Kedelai di tingkat
Petani (Pf)* 2.371,40* 3.430,14*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Produksi Kedelai Turun
20 %
Harga Kedelai Grosiran
(Wr) 3.210,67 1.282,19 39,94 4.492,86
Harga Kedelai di tingkat 2.371,40* 2.450,19*
98
Petani (Pf)*
Harga Produk Olahan
Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00
Harga Pakan Ternak
dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00
Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan
pedagang besar (grosiran) 26,14 %
Gambar 5.8 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Produksi
Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output
99
Bab 6
Keseimbangan Pasar Umum Industri Pertanian
Secara umum, ekuilibrium pasar memerlukan keseimbangan suplai pasar
dan permintaannya. Hal ini berarti bahwa suplai dan permintaan pasar di dalam
masing-masing pasar kedelai, produk olahan dari kedelai, dan pakan ternak
haruslah identik. Oleh sebab itu, dengan mudah membentuk kondisi di dalam
model pasar tunggal dimana suplai pasar dan kasus khusus produk gabungan
sebagaimana diterapkan di dalam penelitian ini, fungsi-fungsi tersebut secara
implisit ditampilkan. Sehingga, penelitian ini tidak dapat secara langsung
mendapatkan kondisi keseimbangan tanpa penelitian yang cermat.
Fungsi suplai pasar tersedia dalam pasar kedelai dan fungsi permintaan
terdapat di dalam produk olahan dari kedelai dan pasar ternak. Perusahaan produk
lahan dari kedelai mengkaitkan suplai dan fungsi permintaan ini di dalam pasar.
Jelasnya, bahwa seberapa besar perusahaan membeli kedelai di pasar, mereka
akan jual di dalam pasar produk (hasil olahan). Besarnya yang dijual perusahaan
di dalam pasar produk harus sama dengan jumlah yang mereka produksi dari
kedelai yang mereka beli. Dalam hal produk gabungan dengan proporsi yang
tetap, rasio konversinya merupakan faktor kunci di dalam pembentukan kondisi
ini.
Bayangkan perusahaan membeli sejumlah R unit kedelai. Ia dapat
memproduksi Tt dan Ts unit produk olahan dari kedelai dan pakan dari kedelai per
unit biji kedelai, secara berurutan. Oleh sebab itu, ia dapat menjual total R.Ts unit
minyak dan makanan kedelai, secara berurutan. Jika terjadi bahwa perusahaan
100
menjadi 0 = R.Tt dan M = R.Ts. oleh sebab itu, kondisi ekuilibrium pasar umum
dinyatakan di dalam tiga pasar ini dapat dinyatakan sebagai (6.1)-(6.2).
In(R) = In(ar) + α1.In(wr) + α2.In(Rimp) + α3.In(Ppad) + α4.In(pf) +α5.In(F) +
α6.In(T+e) + ε (6.1)
0321 )(.)(.)(.)()(
++++=
−+ IInpInpInIn
SRIn pot
t
t
tt
imp
(6.2)
mr
fmmzs
t
s
s
imp
eIIny
TInyPInypInypInya
InM
RIn
+++
+++++=+
)(.
)(.)(.)(.)(.)()(
5
4321
Perhatikan bahwa e (yaitu, bernilai 2,71828…) ditambahkan pada variable T dan
I dalam persamaan (6.1) dan (6.3) agar membuatnya pada nilai satu ketika T dan It
bernilai nol. Deretan persamaan (6.1) - (6.3) merupakan model lengkap penetuan
harga kedelai di Jawa Timur.
Keseimbangan pasar umum industri adalah keseimbangan suplai pasar dan
permintaannya. Seberapa besar industri membeli kedelai di pasar, industri akan
menjual di dalam pasar produk hasil olahan, atau tepatnya besarnya yang dijual
oleh industri di dalam pasar produk harus sama dengan jumlah yang diproduksi
dari kedelai yang dibeli. Sehingga keseimbangan pasar umum terdiri dari,
keseimbangan pasar input kedelai, keseimbangan pasar output produk olahan
kedelai, dan keseimbangan pasar output produk pakan ternak dari kedelai.
6. 1 Keseimbangan Pasar Input
Untuk mengetahui faktor-faktor yang memempengaruhi keseimbangan
pasar input kedelai diestimasi dari fungsi penawaran kedelai dengan
menggunakan data Tabel 6.1. Penawaran kedelai dispesifikasikan sebagai fungsi
dari harga kedelai grosiran (Wr), jumlah impor kedelai (Rimp), harga padi (Pd)
harga eceran pupuk urea (Pf), jumlah curah hujan tahunan (F) dan tren waktu (T).
Hasil estimasi memperoleh F-hitung 12,2335 berbeda nyata pada taraf nyata 1
persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8495, berarti 84,95 persen penawaran
input kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan
oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.
(6.3)
101
Tabel 6.1 Data Keseimbangan Pasar Input Kedelai di Jawa Timur
Tahun R Wr Rimp Ppad Pf F T
1989 459268 64,509.00 68,895.00
27,897 175.95 1,939 1989
990 471595 75,784.00 14,355.00
30,469 202.92 1,777 1990
1991 481001 75,928.00 50,962.00
33,660 229.93 1,794 1991
1992 543010 84,103.00 18,311.00
35,928 249.12 2,302 1992
1993 549713 104,770.00 47,476.00
36,232 278.84 1,906 1993
1994 493632 120,682.30 68,510.00
46,912 306.76 1,732 1994
1995 487190 112,717.00 13,097.00
50,930 351.47 2,211 1995
1996 509096 123,311.00 106,867.00
52,711 477.05 1,919 1996
1997 511531 136,454.00 68,013.00
56,728 555.67 1,305 1997
1998 457272 259,925.00 164,299.00
125,708 716.32 2,901 1998
1999 485878 275,175.00 259,686.00
132,125 1,125.03 2,239 1999
2000 385212 237,083.00 330,546.00
140,050 1,133.46 2,313 2000
2001 349188 246,688.00 311,889.71
113,825 1,224.65 2,461 2001
2002 300184 252,823.00 351,795.93
130,833 1,336.96 1,832 2002
2003 287205 263,232.00 391,702.14
121,083 1,342.82 2,014 2003
2004 318929 317,441.00 206,627.95
124,684 1,344.76 1,722 2004
2005 335106 339,645.00 196,283.71
132,643 1,360.99 1,126 2005
2006 320205 336,255.00 359,630.84
195,919 1,555.08 1,716 2006
2007 252027 393,625.00 511,172.81
229,392 1,641.04 2,080 2007
2008 227281 321,067.00 366,099.62
271,703 1,832.97 2,409 2008
Sumber BPS BPS BPS BPS BPS BMG
Keterangan :
R = Penawaran Kedelai dalam ton/tahun
Wr= harga kedelai grosiran di Jawa Timur dalam Rp/ratusan kg
Rimp = Jumlah impor kedelai dalam ton /tahun Ppd = Harga padi di Jawa Timur Rp/ratusan
kg
Pf= Harga eceran pupuk urea dalam Rp/kg
Keseimbangan pasar input kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai, dam tren
waktu, sedangkan jumlah impor, harga padi, harga pupuk urea dan jumlah curah
hujan tahunan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar
102
input kedelai. Varibel harga kedelai berpengaruh terhadap keseimbangan pasar
input kedelai, kalau harga kedelai naik, maka jumlah kedelai yang ditawarkan di
pasar akan meningkat dan sebaliknya apabila harga kedelai turun maka jumlah
kedelai yang ditawarkan di pasar akan menurun. Variabel tren waktu menunjukan
pengaruh yang nyata dengan koefisien regresi negatif artinya kedelai yang
ditawarkan di pasar dari waktu ke waktu semakin menurun, oleh karena itu
pemerintah sudah selayaknya meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri
untuk mengantisipasi kelangkaan kedelai di pasar.
Tabel 6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar Input Kedelai
Variabel Koefisien Prob (t-statistik)
Konstanta 1223,0060 0,0113
Harga kedelai grosiran (LnWr) 0,4699 0,0995
Jumlah impor kedelai (LnRimp) -0,0864 0,1595
Harga padi (LnPd) -0,0800 0,7738
Harga eceran pupuk urea (LnPf) 0,1321 0,5778
Jumlah curah hujan tahunan (LnF) -0,1192 0,5593
Tren waktu (T) -159,7113 0,0120
R-squared 0,8495
Adjusted R-squared 0,7800
S.E. of regression 0,1277
Sum squared resid 0,2119
Log likelihood 17,0925
F-statistic 12,2335
Prob(F-statistic) 0,0001
Variabel impor tidak berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar
kedelai, tetapi koefisien regresi negatif, hal ini menunjukkan ada kecendrungan
kenaikan impor kedelai yang dilakukan pemerintah lebih rendah dibandingkan
dengan penurunan produksi kedelai lokal. Harga padi tidak berpengaruh nyata
terhadap keseimbangan penawaran kedelai, koefisien regresi positif, menunjukkan
ada kecendrungan kalau harga padi naik penawaran kedelai di pasar akan
menurun, hal ini disebabkan kedelai adalah tanaman alternatif kalau harga padi
naik petani akan mengurangi menanam kedelai dan meningkatkan menanam padi.
6 2. Keseimbangan Pasar Output Produk Olahan
Untuk mengetahui faktor-faktor yang memempengaruhi keseimbangan
pasar ouput olahan kedelai diestimasi dari fungsi penawaran produk olahan
kedelai dengan menggunakan data pada Tabel 6.3. Penawaran olahan kedelai
103
merupakan penjumlahan suplai perusahaan ditambah impor dikurangi stok
dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga produk olahan kedelai (Pt), harga
produk olahan bahan lain (Ppo) dan pendapatan per kapita konsumen (I). Hasil
estimasi memperoleh F-hitung 16,8892 berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen.
Koefisien determinasi R-squared 0,7589, berarti 75,89 persen keseimbangan pasar
ouput olahan kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.
Tabel 6.3 Data Keseimbangan Pasar Ouput Produ Olahan Kedelai di
Jawa Timur
Tahun R+(Qimp/tt)-(DS/tt) Pt Ppo I
1989 463,330.80 1058 992 483,300.00
1990 476,942.10 1307 1060 515,700.00
1991 489,394.00 1488 1115 548,300.00
1992 550,404.60 1682 1210 579,100.00
1993 554,188.10 1500 1241 1,382,320.69
1994 502,650.53 1436 1612 1,574,000.00
1995 519,220.17 1570 1328 1,689,406.00
1996 548,612.50 1343 2350 1,813,759.00
1997 519,357.67 1527 3296 1,915,896.00
1998 862,687.43 2042 4519 1,596,984.00
1999 726,620.53 2377 3835 1,616,012.00
2000 450,930.00 3228 4206 1,668,182.00
2001 547,304.53 4168 4458 1,678,770.00
2002 743,807.47 4887 4572 1,724,759.00
2003 990,393.13 4874 5863 1,784,165.00
2004 2,022,186.97 5527 6578 6,637,984.00
2005 5,187,363.57 5230 7474 7,063,778.00
2006 6,638,725.87 4830 7880 7,412,716.00
2007 12,249,230.67 5527 8281 7,800,779.00
2008 17,268,027.17 7273 9855 8,216,800.00
Sumber BPS BPS BPS BPS
R= Penawaran produk olahan kedelai dalam ton/tahun
Qimp = Jumlah impor olahank dalam ton/tahun
Pt = Harga produk olahan kedelai dalam Rp/tahun
Ppo = Harga produk olahan dari bahan lain (saos tomat) dalam Rp/kg
I = pendapatan per kapita konsumen Rp/tahun
104
Tabel 6.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar Ouput
Olahan Kedelai
Variabel Koefisien Prob (t-statistik)
Konstanta -3,1252 0,2664
Harga produk olahan kedelai (LnPt) 0,6994 0,2245
Harga produk olahan bahan lain
(LnPpo) -0,4294 0,4374
Pendapatan perkapita konsumen (LnI) 1,0341 0,0053
R-squared 0,7589
Adjusted R-squared 0,7137
S.E. of regression 0,6299
Sum squared resid 6,3500
Log likelihood -16,9060
F-statistic 16,8892
Prob(F-statistic) 0,0000
Keseimbangan pasar ouput olahan kedelai dipengaruhi oleh pendapatan
per kapita konsumen, sedangkan harga produk olahan kedelai dan harga produk
olahan bahan tidak berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar. Variabel
pendapatan per kapita ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita
konsumen akan membutuhkan peningkatan ouput produk olahan kedelai di pasar.
Variabel harga tidak berpengaruh terhadap keseimbangan pasar, koefisien positif
menunjukkan bahwa ada kecendrungan kalau harga naik industri akan
meningkatkan penawaran produk olahan kedelai di pasar.
6. 3 Keseimbangan Pasar Output Produk Pakan Ternak
Model ekonomitrika yang menggambarkan keseimbangan pasar output
pakan ternak dari kedelai diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least
Square) dengan menggunakan data Tabel 6.5. Sebelum dilakukan estimasi, setiap
variabel diuji kondisi stationary-nya dengan menggunakan Uji ADF (Augmented
Dickey-Fuller Test). Selanjutnya dilakukan uji autokorelasi dan uji
heteroskedastisitas
105
Hasil analisis menunjukkan bahwa data keseimbangan pasar output pakan
ternak dari kedelai dari setiap variabel bersifat stasioner. Uji autokorelasi
menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared memiliki nilai > ,05 ( =5%),
maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi. Uji heteroskedastisitas juga
menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared emiliki nilai > ,05 ( =5%), hasil
ini memastikan bahwa model estimasi keseimbangan pasar output pakan dari
kedelai tidak mengalami heteroskedastisitas.
Tabel 6.5 Data Keseimbangan Pasar Ouput pakan Ternak dari Kedelai
Tahun R+(Mimp/s) Ps Pmz Pfm T
1989 2,296,076.33 486 19,592.12 1,157,847 1989
1990 2,451,251.94 534 22,230.50 1,320,549 1990
1991 2,680,629.89 648 25,596.24 1,405,436 1991
1992 4,220,587.22 361 23,760.79 1,369,209 1992
1993 5,513,677.17 645 26,589.91 1,345,969 1993
1994 11,685,762.56 500 34,674.85 1,328,162 1994
1995 31,999,255.83 567 40,321.08 1,378,845 1995
1996 43,922,555.44 488 55,340.34 1,375,992 1996
1997 12,631,606.56 481 62,768.62 2,828,037 1997
1998 32,169,631.17 380 122,059.88 6,065,054 1998
1999 48,859,311.33 458 155,252.98 3,750,007 1999
2000 53,845,048.39 517 92,500.52 4,339,051 2000
2001 56,540,269.67 659 108,336.18 5,208,008 2001
2002 56,456,723.44 738 110,866.06 5,559,160 2002
2003 52,941,744.72 833 113,500.85 5,431,567 2003
2004 61,203,327.89 1,007 116,880.98 6,614,387 2004
2005 46,858,300.72 1,027 122,854.81 6,883,261 2005
2006 51,046,150.00 1,165 145,591.21 8,211,177 2006
2007 58,513,705.33 1,650 201,640.00 11,855,978 2007
2008 60,190,472.11 1,762 177,389.10 12,203,666 2008
Sumbe
r BPS BPS BPS IMF
Keterangan :
R = penawaran produk pakan ternak dari kedelai dalam ton
Ps =Harga Pakan ternak dari kedelai dalam
Rp/kg
Pmz = Harga jagung dalam Rp/ratusan kg
Pfm = Harga tepung ikan dalam Rp/kg
106
Tabel 6.6 . Hasil Uji Stationary (Unit Root Test) Data Keseimbangan Pasar
output Pakan Ternak dari Kedelai
No Variabel t-Stat Nilai Uji
Kritis
(Tingkat 1 %)
Hasil
Uji
1 Permintaan pakan dari kedelai
yang dihadapi perusahaan
M
-3,5628
-2,7549
S
2 Jumlah pakan dari kedelai yang
diimpor
Mimp
-4,2831
-2,7282
S
3 Harga grosiran pakan dari
kedelai
Ps
-10,5280
-2,7080
S
4 Harga grosiran jagung Pmz -5,3129 -2,7175 S
5 Harga bahan dari ikan Pfm -5,3129 -2,7175 S
Keterangan :
S = data stationary
NS = data tidak stationary
Hasil estimasi diperoleh F-hitung 63,5054 berbeda nyata pada taraf nyata
1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,9442, berarti 94,42 persen
keseimbangan pasar output pakan ternak dari kedelai dapat dijelaskan oleh
model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada
dalam model.
Keseimbangan pasar ouput pakan ternak dari kedelai dipengaruhi oleh
harga pakan dari kedelai, harga jagung, harga bahan dari tepung ikan dan tren
waktu. Harga pakan berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar, koefisien
yang negatif menunjukkan kalau harga pakan naik, permintaan pakan akan
menurun sehingga ketersedian ouput pakan dari kedelai di pasar juga akan
menurun. Harga jagung berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar,
koefisien positif menunjukkan bahwa kalau harga jagung naik pasokan pakan di
pasar juga meningkat, karena peternak lebih memilih membeli pakan daripada
jagung. Harga bahan dari ikan berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar,
bahan dari ikan (tepung ikan) merupakan komponen penting dalam pembuatan
107
pakan dan lebih banyak diperoleh dari impor, kalau harga tepung ikan naik,
kemampuan industi untuk memasok pakan di pasar akan menurun. Tren waktu
berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar, karena seiring dengan pesatnya
perkembangan sub sektor peternakan di Jawa Timur maka dibutuhkan
peningkatan pasokan pakan ternak setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan
peternak.
Tabel 6.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar output Pakan
dari Kedelai
Variabel Koefisien Prob (t-statistik)
Konstanta 4043,9190 0,0010
Harga pakan dari kedelai (LnPs) -0,8111 0,0470
Harga grosiran jagung (LnPs) 1,2602 0,0115
Harga bahan dari ikan (LnPfm) -1,4667 0,0006
Tren waktu (T) 536,0505 0,0010
R-squared 0,9442
Adjusted R-squared 0,9293
S.E. of regression 0,3269
Sum squared resid 1,6028
Log likelihood -3,1392
F-statistic 63,5054
Prob(F-statistic) 0,0000
108
DAFTAR PUSTAKA
Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus Surabaya
Anindita, Ratya dan Reed, Michael R., 2008. Bisnis dan Perdagangan
Internasional. Penerbit Andi Yogyakarta.
Anindita, Ratya. 2010. Dampak Efisiensi Pemasaran Hasil Pertanian Terhadap
Perekonomian Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam
Bidang Ilmu Pemasaran Hasil Pertanian Pada Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya. Disampaikan pada rapat senat terbuka Universitas
Brawijaya, Malang, 3 Agustus 2010
Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi
Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas.
IPB Press
Appelbaum, E. 1979. Testing Price taking behavior. Journal of Eonometrics, 9:
283-294
Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of
Econometrics,19: 287-299
Adisarwanto, T. 2008. Budi Daya Kedelai Tropika, Penerbit Penebar Swadaya
Azzaino, Z. 1983. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian-IPB. Bogor
Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2nd Edition, John Wiley & Sons Inc.
New York
BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS. Jakarta
BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS. Jakarta
BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di
Indonesia (1992-2005), BPS. Jakarta
BPS. 2008. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka. Surabaya
Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third
Edition. Addison-Wesley Publishing Company
109
Chalil, Diana and Fredoun Ahmadi-Esfahani. 2006. Modelling Market Power in
The Indonesian Palm Oil Industry. Agricultural and Resources Economics
Faculty of Agriculture, Food and Natural Resources The University of
Sydney NSM
Darsono, Haryadi, Jan Horas V.Purba, Kusmayadi, Rony Dwi Susanto, Rustam
Abdul Rauf. 2005. Analisis Dampak Pengenaan Kembali Tarif Impor
Kedelai Bagi Kesejahteraan Masyarakat. Sekolah Pasca Sarjana IPB.
Bogor
Dinas Komunikasi dan Informatika. 2009. Jatim Tetap Menjadi Pensuplai
Kedelai Terbesar, Provinsi Jawa Timur. Surabaya
Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2009. Impor Jawa Timur Berdasarkan
Komoditi dan HS. Provinsi Jawa Timur, Surabaya
Frode Steen, Kjell G. Salvanes. 1997. Testing for Market Power Using a Dynamic
Oligopoly Model. Inernational Journal of Industrial Organization, Institute
of Economics, Norwegian of School of Economics and Business
Administration, Helleveien 30, N-5035 Bergen-Sandviken, Norway
Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition
Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A
Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company,
Singapore
Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore
Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil
A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting:
Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O.
Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat
Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor
Kohls, RL dan Uhl, JN. 2000. Marketing of Agricultural Products, Ninth Edition.
Prentice Hall
Kinoshita, Junko, Nobuhiro Suzuki, Harry M. Kaiser. 2002. Expalaining Pricing
Conduct in a Product-Diffrentiated Oligopolistic Market: An Empirical
Application of Price Conjectural Variations Model. Agribusiness, Vol. 18
(4) 427–436 .Published online in Wiley InterScience
(wwwinterscience.wiley.com).
Katchova Ani L; Ian M. Sheldon; Mario J. Miranda, 2005. A Dynamic Model of
Oligopoly and Oligopsonyin the U.S. Potato-Processing Industry.
Agribusiness, Vol. 21 (3) 409–428 .Published online in Wiley InterScience
(wwwinterscience.wiley.com).
156
110
Kim, Donghun. 2005. Measuring Market Power in a Dynamic Oligopoly Model:
An Empirical Analysis, International Development Program, International
University of Japan, Kokasai-cho, Minami Ounuma-shi, Nigata 949-7277.
Krisdiana, Ruly. 2007. Preferensi Industri Tahu dan Tempe Terhadap Permintaan
Komoditas Kedelai. Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-
umbian Mendukung Kemandirian Pangan, Penyunting Suharsono,
A.Karim Makarim, A.A. Rahmiana, M.Muchlish Adie, Abdulah Taufiq,
Fachrur Rosi, I K. Tastra, Didik Harnowo. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan. Bogor
Kementrian Pertanian. 2010. Laporan Harian Harga Kedelai di Kabupaten
Sentra Produksi. www.deptan.go.id
Masyhuri. 1993. Pengantar Pemasaran Hasil Pertanian. Bahan Penataran
Agribisnis di Mataram, Lombok.
Love and Murniningtyas. 1992. Measuring the Degree of Market Power Exerted
by Government Trade Agencies. American Agricultural Economics
Association
Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd
Mary K, Muth and Michael K. Wohlgenant. 1998. A Model of Imperfecct
Competition Using Marginal Input and Output Pices: Aplication to The
Beef Packing Industry, Research Triangle Institute Center For Economic
Reserch 3040 Cornwallis Road, Research Triangle Park, NC 27709-2194
(919) 541-7289 [email protected]
Margono, Suyud. 2009. Hukum Anti Monopoli. Penerbit Sinar Grafika.Jakarta
Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro
Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Nuhfil, H.2000. Analisa Mikro dan Makro Perekonomian Indonesia. Desertasi
Program Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Nurasa, Tjetjep. 2007. Revitalisasi Benih dalam Meningkatkan Pendapatan
Petani Kedelai di Jawa Timur, Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No.2
hlm 164 - 171
Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat
Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor
Premyothin. 2004. Structure Market of Processing Fruit anda Vegetables Industry
in Chiang May and Lumphun.
111
Pyndick, R.S and D.L. Rubinfeld. 1981. Economitric Models and Economic
Forecasts, 2nd Edition. McGraw-Hill Company. USA
Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)
Gramedia. Jakarta
Royer, JS. 1998. Market Structure. Vertical Integration, and Contract
Coordination. The Industrialization of Agriculture Edited by Royers and
Rogers. Ashgate-Publishing. USA.
Siregar, Masdjidin. 2010 . Tinjauan Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedelai.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.
Ejournal unud.ac.id
Saefuddin, A.M. 1983. Pengkajian Pemasaran Komoditi, IPB. Bogor
Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef
Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158-
162.
Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And
Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):
990-999
Schroter, Jhon R, Azzedddine M. Azzam, and Mingxia Zhang. 2000. Measuring
Market Power in Bilateral Oligopoly: The Wholesale Market for Beef.
Departemen of Economics, Iowa State University, 260 Heady Hall, Iowa
State University, Ames, IA 50011-1070, USA.
Schroter, Jhon R, Azzedddine M. Azzam. 2001. Measuring Market Power in
Muti-Product Oligopolies: The US Meat Industry. Departemen of
Economics, Iowa State University and Departement of Agricultural
Economics, University of Nebraska-Lincoln. USA
Sexton, RJ. 1990. Imperfect Competition in Agricultural Market and the role of
Cooperatives: A spatial Analysis. American journal of Agricultural
Economics. 72 (3): 779-720
Sexton, RJ and Sexton, TA. 1994. Cooperative market Power and Antitrust with
Aplication to California Information Sharing Cooperatives. Competitive
Strategy Analysis for Agricultural Cooperatives. Edited by Roald W
Cotteril. Westview Press
Shepperd, WG. 1990. The economic of Industrial Organization. Third Edition.
Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi. Penerbit PT. Raja
Grafindo Persada. Jakarta
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi, Penerbit
Rajawali Pers. Jakarta
112
Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian
Teori dan Aplikasinya, Penerbit Rajawali Pers. Jakarta
Tibayan dan Romero. 1983. Market Structure, Conduct and Performace of Copra
Marketing System in Selected Towns of Bicol Region. MS Thesis. UPLB,
Philipina
Tirole, Jean. 1994. The Theory of Industrial Organization. The MT Press
Cambridge, Massachusetts, London.England
Timmer, P,. 1997. Policy Arena; Building Efficiency In Agricultural Marketing:
The Long Run Role of BULOG In the Indonesian Food Economy. Journal
of International Development Vol.9. No 1., pp (133-145)
Wann, J.J, Sexton R.J. 1992. Imperfect Competition Multiproduct Food Industries
With Application to Pear Processing. American Journal of Agricultural
Economic 74 (4), 980 - 990
Weerahewa, Jeevika. 2003. Estimating Market Power of Tea Processing Sector.
Sri Lankan Journal of Agricultural Economics Vol. 5, No. 1, 2003
Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi
Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh
Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor
113
I Ketut Arnawa, dilahirkan di Bangli Bali, 6 Juni 1962,
pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas
diselesaikan di Bangli, Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas
Pertanian Unram tahun 1987, pendidikan S2 diselesaikan di
Program Pascasarjana UGM, tahun 1995 dan S3 diselesaikan di
Program Pascasarjana UB tahun 2011. Penulis adalah dosen tetap
Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar (Unmas).
Pada tahun 2013 Sebagai Dekan Fakultas Pertanian Unmas, pada
tahun 2014 – 2017 sebagai WR IV Unmas dan tahun 2018 sebagai
Ketua Prodi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan
(MP2WL). Mengajar mata kuliah Ekonomi Mikro, Pemasaran, Pembiayaan Agribisnis,
dan Evaluasi Proyek Pertanian di Program S1 dan mengajar Ekonomi Wilayah dan
Metode Penelitian di Prodi MP2WL. Penulis aktif sebagai peneliti yang terkait dengan
ekonomi pertanian dan perencanaan wilayah dan aktif menulis di jurnal nasional maupun
internasional.
Ratya Anindita, dilahirkan di Malang, 8 September 1961. Penulis
adalah Dosen Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian
Universitas Brawijaya, pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas
Pertanian Unibraw, S2 di Program Pascasarjana KPK UGM-
UNIBRAW dan S3 di College of Economics and Management-
University of the Philippines Los Banos. Penulis sangat aktif
sebagai penulis buku. Buku yang telah dipublikasikan antara lain:
(1) Mathematika Ekonomi I, (2) Pemasaran Hasil Pertanian, (3)
Ekonomi Pertanian, (4) Pendekatan Ekonomi untuk Analisis
Harga,dan (5) Perdagangan Internasional