+ All Categories
Home > Documents > kekuatan pasar (market power) produk pertanian

kekuatan pasar (market power) produk pertanian

Date post: 05-Mar-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
125
i
Transcript

i

ii

iii

KEKUATAN PASAR (MARKET POWER)

PRODUK PERTANIAN

iv

KEKUATAN PASAR (MARKET POWER)

PRODUK PERTANIAN

v

KEKUATAN PASAR (MARKET POWER) PRODUK PERTANIAN

Cetakan Pertama Juli 2018

21 x 30 cm , viii + 115

ISBN: 978-602-52347-0-5 (1)

Penulis

Dr. Ir. I Ketut Arnawa, MP

Prof. Ir. Ratya Anindita, MS.,PHd

Editor

Dr. Ir. I Nyoman Utari Vipriyanti, M.Si

Cover

Agus

Sampul diambil oleh Agus di www.google.com

Diterbitkan Oleh

CV. Noah Aletheia

Dicetak Oleh:

CV. Noah Aletheia

Jl. Tegalsari Gg. Koyon. No. 25 D. Banjar Tegalgundul

Desa Tibubeneng, Kec. Kuta Utara, Kab. Badung Bali Indonesia.

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang memperbanyak seluruh atau sebagian buku ini

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widi Wasa, Tuhan

Yang Maha Esa, karena berkat Rahmat dan Anugrah-Nya, Penyusanan Buku

Kekuatan Pasar (Market Power) Produk Pertanian, dapat diselesaikan tepat

dengan waktu yang telah ditetapkan. Buku ini menjelaskan tentang sistem

pemasaran, struktur pasar, kebijakan pemerintah, pendekatan SCP (market

structure, market conduct dan market performance) dalam pemasaran, beberapa

model kekuatan pasar, faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan pasar,

kekuatan pasar industri pertanian.

Tujuan Penulisan Buku ini adalah untuk membantu mahasiswa dalam

memahami teori kekuatan pasar , sehingga setelah membaca Buku ini, mahasiswa

dapat membuat konsep kebijakan yang berpihak kepada petani, dan bagi penentu

kebijakan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam merumuskan kebijakan agar

petani mendapatkan harga yang layak dan pada akhirnya mampu mendorong

peningkatan produksi pertanian oleh petani. Sehingga buku ini diharapkan dapat

menjadi salah satu bahan acuan bagi mahasiswa ekonomi pertanian untuk

memahami teori pemasaran produk pertanian dan bagi para pembuat kebijakan

sebagai bahan pertimbangan untuk merekayasa atau mengitervensi pasar agar

petani mendapatkan harga yang layak.

Segala kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat diharapkan, guna

penyempurnaan Buku ini, Kepada semua pihak yang terlibat dan mendukung

penyelesaian Buku ini diucapkan terima kasih

Denpasar, 6 Juni 2017

Penulis,

vii

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Sampul ii

Kata Pengantar

Daftar isi

v

vi

Daftar Tabel viii

Daftar Gambar x

BAB 1 Pendahuluan 1

1.1 Sistem Pemasaran 1

1.2 Saluran Pemasaran dan Peranan Industri Dalam

Pemasaran

6

1.3 Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian 9

1.4 Pendekatan SCP Dalam Studi Pemasaran 10

1.7 Negara Berkembang Dan Faktor Pertumbuhannya 12

BAB 2 Beberapa Pendekatan dalam Analisis Struktur

Pasar

18

2.1 Pangsa Pasar (Market Share) 18

2.2 Perilaku Pasar (Market Conduct) 23

2.3 Penampilan Pasar (Market Performance) 24

BAB 3 Model Kekuatan Pasar (Market Power) 29

3.1 Model Prilaku Satu Sisi 29

3.2 Model Prilaku Dua- Sisi 31

3.3 Model Dinamis 34

3.4 Indeks Lerner 37

3.5 Model Pasar Persaingan Tidak Sempurna 40

BAB 4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kekuatan

Pasar (Market Power)

65

4.1 Elastisitas Penawaran Produk Pertanian 65

4.2 Elastisitas Permintaan Produk Olahan Komoditas

Pertanian

69

4.3 Permintaan Atas Pakan Ternak 72

4.4 Biaya Pemrosesan Produk Olahan Komoditas

Pertanian

75

BAB 5 Kekuatan Pasar (Market Power) Industri Pertanian 77

5.1 Elastisitas Konjenktural Industri Pertanian 77

5.2 Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Produk

Pertanian

78

5.3 Dampak Peningktan Elastisitas Konjenktural

Terhadap Harga Di Pasar Input Dan Output

83

5.4 Dampak Perubahan Elastisitas Harga

PenawaranTerhadap Harga di Pasar Input dan

Output

86

5.5 Dampak Perubahan Elastisitas Harga Permintaan

Produk Olahan Terhadap Harga di Pasar Input dan

88

viii

Output

5.6 Dampak Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan

Pakan Ternak erhadap Harga Kedelai di Pasar

Input dan Output

90

5.7 Dampak Pengaruh Impor Terhadap Harga di Pasar

Input dan Output

93

5.8 Dampak Pengaruh Tarif Impor Terhadap Harga di

Pasar Input dan Output

95

5.9 Dampak Pengaruh Produksi Lokal Terhadap

Harga di Pasar Input dan Output

97

BAB 6 Keseimbangan Pasar Umum Industri Pertanian 100

6.1 Keseimbangan Pasar Input 101

6.2 Keseimbangan Pasar Output Produk Olahan 103

6.3 Keseimbangan Pasar Output Produk Pakan Ternak 105

DAFTAR PUSTAKA 109

ix

DAFTAR TABEL

Tabel

Teks Halaman

1.1 Keragaan Jumlah Kedelai Lokal dan Impor di Jawa Timur

selama (1999-2008)

7

1.2 Harga Kedelai di Kabupaten Sentra Produksi Kedelai di

Jawa TimurTahun 2008 (Satuan dalam Rp/Kg)

8

2.1 Omzet dan Market Share Empat Industri Kedelai Terbesar Di Jawa

Timur

20

3.1 Elastisitas Konjektural Industri Kedelai di Jawa Timur 36

4.1 Data Penawaran Kedelai di Jawa Timur Luas dan produksi 67

4.2 Data Permintaan produk olahan kedelai di Jawa Timur 71

4.3 Data Permintaan pakan Ternak dari Kedelai di Jawa Timur 74

5.1 Analisis Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Kedelai

di Pasar Input dan Output

82

5.2 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Kekuatan Pasar

(Elastisitas Konjenktural )Terhadap Harga Kedelai di Pasar

Input dan Output

85

5.3 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh

Elastisitas Harga Penawaran Terhadap Harga Kedelai di

Pasar Input dan Output

88

5.4 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh

Elastisitas Harga Permintaan Produk Olahan Kedelai

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

90

5.5 Hasil Simulasi Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan

Pakan Ternak dari Kedelai Terhadap Harga Kedelai di Pasar

Input dan Output

92

5.6 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh

Impor Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

94

5.7 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh

Tarif Impor Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan

Output

96

5.8 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh

Produksi Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan

Output

98

6.1 Data Keseimbangan Pasar Input Kedelai di Jawa Timur 102

6.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar Input

Kedelai

103

6.3 Data Keseimbangan Pasar Ouput Produ Olahan Kedelai di

Jawa Timur

104

6.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar

Ouput Olahan Kedelai

105

6.5 Tabel 6.5 Data Keseimbangan Pasar Ouput pakan Ternak

dari Kedelai

106

6.6 Hasil Uji Stationary (Unit Root Test) Data Keseimbangan

x

Pasar output Pakan Ternak dari Kedelai

107

6.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar

output Pakan dari Kedelai

108

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar

Teks Halaman

1.1 Sistem Pemasaran Hasil Pertanian 3

1.2 Rantai Tataniaga Kedelai di Indonesia 5

1.3 Perkembangan Harga Kedelai Per Bulan di Tingkat

Petani, Pedagang Pengumpul, dan Harga di Tingkat

Konsumen

9

1.4 Saluran Pemasaran Kedelai di Jawa Timur 10

1.5 Model Struktur-Tingkah laku dan Penampilan Pasar 13

1.6 Keuntungan dan kerugian ekonomis pada pasar

persaingan sempurna

15

1.7 Keuntungan dan Kerugian Ekonomi pada Pasar

Monopoli

16

1.8 Penentuan harga pada pasar persaingan sempurna 25

1.9 Penentuan Harga Pada Perusahaan Monopoli 26

1.10 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Monopolistik 27

1.11 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Oligopoli 28

3.1 Model Elastisitas konjektural dua industri 35

3.2 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar

Tidak Sempurna Ketika Hanya Harga Pasar Output

Yang Dipertimbangkan

49

3.3 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar

Tidak Sempurna Ketika Pasar Input Dan Output

Diperhitungkan Secara Bersamaan

51

3.4 Perbandingan Penentuan Harga Dalam Pasar Kompetitif

Dan Monopsoni

57

3.5 Perbandingan Kebijakan Harga Minimum Dalam Pasar

Kompetitif Dan Monopsoni

58

5.1 Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga

Kedelai di Pasar Input dan Output

83

5.2 Dampak Peningkatan Elastisitas Konjenktural Terhadap

Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

86

5.3 Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas

Harga Penawaran Terhadap Harga Kedelai di Pasar

Input dan Output

87

5.4 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Perubahan Elastisitas

Harga Permintaan Produk Olahan Kedelai Terhadap

Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

89

5.5 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Elastisitas

Harga Permintaan Pakan Ternak dari Kedelai Terhadap

Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

91

5.6 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Impor

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

93

5.7 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Tarif Impor

xii

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

97

5.8 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Produksi

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

99

1

Pendahuluan 1.1 Sistem Pemasaran

Pemasaran adalah suatu runtutan kegiatan atau jasa yang dilakukan untuk

memindahkan suatu produk dari titik produsen ke titik konsumen (Anindita,

2005) dan menurut Soekartawi, (1989) pemasaran atau marketing pada prinsipnya

adalah aliran barang dari produsen ke konsumen. Aliran barang ini dapat terjadi

karena adanya peranan lembaga pemasaran. Peranan lembaga pemasaran ini

sangat tergantung dari sistem pasar yang berlaku dan karateristik aliran barang

yang dipasarkan, oleh karena itu dikenal dengan istilah marketing channel.

Fungsi saluran pemasaran ini sangat penting, khususnya dalam melihat tingkat

harga di masing-masing lembaga pemasaran.

Sedangkan yang dimaksud dengan sistem pemasaran untuk hasil pertanian

adalah suatu sistem yang komplek dalam berbagai subsistem yang berinterkasi

satu sama lain. Elemen-elemen sistem pemasaran pertanian dapat diperhatikan,

pada Gambar 1.1. Sistem pemasaran mempunyai enam komponen atau subsistem:

produsen, aliran (flow), fungsional, saluran (channel), konsumen dan subsistem

lingkungan. Di bagian sisi akhir merupakan tujuan antara dan akhir.

Produsen subsistem terdiri dari berbagai produsen baik petani kecil atau

perkebunan besar. Barang yang dihasilkan dalam subsistem ini dibawa ke

konsumen akhir melalui channel subsistem. Subsistem ini terdiri dari pelaku pasar

atau perantara yang secara langsung bertanggung jawab agar produk yang

dihasilkan petani dapat tersedia bagi yang memerlukan sesuai dengan tempat,

waktu dan bentuk yang sesuai. Pelaku-pelaku tersebut merupakan aktor dalam

sistem yang menjalankan sistem melalui fungsi penting dalam tataniaga tersebut.

Tidak jarang pelaku tersebut melakukan hal-hal yang tidak sesuai dengan

kehendak produsen, konsumen dan pemerintahan sebagai necessary evil.

Flow subsystem memberikan fasilitas aliran barang, uang, dan informasi.

Informasi yang disampaikan terdiri dari trend dari produk, grading dan

standardisasi, serta harga. Fungsional subsistem terdiri dari fungsi tataniaga yang

BAB 1

2

berkatan dengan perubahan berdasarkan tempat, waktu, dan bentuk yang

melibatkan kegiatan, pengumpulan, penyaluran, pan distribusi. Subsistem terakhir

adalah subsistem konsumen yaitu tempat terakhir dari produk yang dihasilkan

petani.

Seluruh subsistem ini berinteiaksi dan saling tergantung satu dengan yang

lain dalam suatu lingkungan yang mereka jalankan. Subsistem lingkungan

memfasilitasi keberadaan pasar (marker performance), sesuai dengan empat

faktor atau daerah yang mempengaruhi kerja dari sistem tataniaga yaitu iklim,

sosial-budaya, ekonomi atau teknologi, dan legal (politic factor).

Dalam banyak kenyataan sering dijumpai adanya kelemahan dalam

mengembangkan produk-produk pertanian yang salah satunya disebabkan karena

kurang perhatiannya terhadap masalah-masalah pemasaran. Kurangnya perhatian

terhadap pemasaran mengakibatkan efisiensi pemasaran menjadi rendah, hal ini

dalam banyak disebabkan tingginya biaya pemasaran. Macam komoditi pertanian,

lokasi pemasaran, macam dan peranan lembaga pemasaran adalah variabel-

variabel yang diduga sebagai penyebab meningginya biaya pemasaran. Tidak

efisiennya suatu sistem pemasaran dapat dikurangi dengan cara : (a)

memperhatikan pendekatan S-C-P (Structure, Conduct, Performace) dan

melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dengan baik (Soekartawi, 1989 dan

Anindita, 2005)

3

Gambar 1. 1 Sistem Pemasaran Hasil Pertanian

(Sumber : Anindita, 2005)

Suatu sistem pemasaran dikatakan baik apabila sistem tersebut dapat

memberikan manfaat yang sama baiknya bagi setiap pelaku pasar, yaitu produsen

dan lembaga pemasaran, memperoleh berupa marjin keuntungan yang pantas

sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Salah satu syarat tercapainya sistem

pemasaran yang baik dan efisien adalah tersedianya informasi pasar yang

memadai. Informasi yang baik adalah informasi yang dapat mempengaruhi

perencanaan produksi yang lebih baik di tingkat produsen serta menjamin peluang

berusaha bagi pedagang.

Sebagai contoh rantai pemasaran kedelai, berdasarkan arus barang,

maka rantai tataniaga komoditas kedelai di Indonesia dapat dibedakan

dalam dua kategori; pertama, rantai tataniaga dari sentra produksi yaitu

luar Jawa, dan kedua, rantai tataniaga kedelai pada sentra konsumsi yaitu

Pulau Jawa. Rantai tataniaga dari kedua kategori tersebut dapat dilihat

dari Gambar 1.2

Aliran system informasi :

Trend produk Grading dan stadarisasi

Harga

Aliran Produk

Transport,

Handling,

Storage

Processing

SALURAN

PEMASARAN

Produk

Harga

/

Biaya

Produk

Harga/

Biaya

SEKTOR

PRODUKSI

SEKTOR

KONSUMSI

Iklim//Kondisi

Fisik

Sosio-kultural

Ekonomi/

Teknologi

Legal/Politik

Input

Biaya

Kepuasan

Konsumen

4

Berdasarkan Gambar 1.2 secara umum dapat dikatakan kedelai yang

dihasilkan oleh petani pada sentra produksi luar Jawa sebagian besar

dijual ke Pulau Jawa. Rantai pemasaran kedelai luar Jawa terdapat juga

KOPTI. Sementara itu di Pulau Jawa, peranan pedagang besar

propinsi/antar propinsi dan pedagang besar kabupaten serta pedagang

besar kecamatan sangat penting. Ketiga jenis pedagang tersebut

mempengaruhi mekanisme distribusi perdagangan kedelai lokal dari sentra

produksi luar Jawa kepada konsumen.

Pada rantai pemasaran kedelai di Pulau Jawa, pedagang besar tingkat

propinsi, kabupaten dan kecamatan tidak langsung membeli kedelai dari petani

tetapi melalui pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul antar desa.

Sedangkan pengecer pada setiap pasar menyalurkan kedelai dari masing-masing

pedagang besar tingkat propinsi dan kabupaten untuk dijual kepada konsumen.

5

Gambar 1. 2 : Rantai Tataniaga Kedelai di Indonesia

(Sumber : Djauhari, dkk. (1989); Nockman, dkk.(1992); Purwoto

dan Sayaka, (1992); Rusastra, dkk. (1992); Zulham, dkk.

(1993) dalam Zulham dan Yumm, (1996))

Petani

Ped.Pengumpul Desa

Pialang

Pedagang

Besar/Grosir

Pengecer di

Pasar

Ind.Pengolah

Kedelai KOPTI

Ped. Antar

Prop/antar pulau Pedagang

pengecer

Ind. Pengolah

Kedelai PUSKUD

Kelompok Pedagang

Kac. Kedelai (KPKD) BULOG/DOLO

G

PUSKUD

KOPTI

Pedagang Besar

Propinsi/antar propinsi

Pengecer Pasar

Propinsi Ind. Pengolah

Kedelai

Pedagang Besar

Kabupaten

Pengecer

Pasar Kab.

Ind. Pengolah

Kedelai

kedelai

KOPTI

Pedagang Besar Pengecer pasar

kec.

Ind. Pengolah

Kedelai

Ped.Pengumpul antar

desa

Pedagang

Pengumpul Desa Ind. Pengolah

Kedelai

Petani

D

e

sa

s

a K

E

c

K

a

b

P

r

o

p

P

r

o

p

K

a

b

K

E

c

D

e

s

a

L

U

A

R

J

A

W

A

J

A

W

A

6

1.2 Saluran Pemasaran dan Peranan Industri Dalam Pemasaran

Sejalan dengan proses pembangunan, tingkat pendapatan dan karakteristik

penduduk terus berubah. Perubahan-perubahan tersebut akan menyebabkan

perubahan pula dalam pola konsumsi, termasuk untuk konsumsi komoditi

pertanian contohnya kedelai. Rata-rata konsumsi kedelai meningkat 7,4 persen per

tahun, tingginya persentase kedelai untuk konsumsi terutama karena

berkembangnya industri makanan olahan tradisional. Diperkirakan 30 persen

jumlah kedelai yang tersedia digunanakan oleh industri tahu, proporsi yang

kurang lebih sama digunakan oleh industri tempe, jadi sekitar 60 persen kedelai

yang tersesdia digunakan untuk tahu dan tempe (Suharno dan Wisnu Mulyana,

1996). Di pihak lain, perkembangan industri peternakan belum cukup kuat untuk

mendorong permintaan bahan pakan termasuk bungkil kedelai. Namun demikian,

secara per lahan-lahan porsi kedelai yang digunakan sebagai bahan pakan

tersebut terus meningkat.

Akibat peningkatan permintaan kedelai terus meningkat dari tahun ke

tahun. Dan produksi dalam negeri tidak dapat memenuhi kebutuhan kedelai, maka

pemerintah mendatangkan dalam bentuk impor. Selama jangka waktu lebih 20

tahun, yaitu dari tahun1985 sampai 2005 pemerintah sebenarnya sudah

mencanangkan program peningkatan produksi kedelai untuk mencapai

swasembada kedelai atau dalam arti lain sudah ada upaya-upaya pemerintah untuk

menekan ketergantungan pemenuhan kebutuhan kedelai dari impor. Namun

kenyataan menunjukkan bahwa kuantitas impor kedelai setiap tahun semakin

meningkat. Hal ini menunjukan indikasi bahwa penerapan program swasembada

kedelai masih perlu dibenahi agar kelak menjadi lebih baik, salah satunya adalah

perbaikan pemasarannya, karena selama ini harga kedelai di tingkat petani rendah

tidak memberi motivasi kepada petani untuk meningkatkan produksinya.

Kebutuhan kedelai di Jawa Timur rata-rata 49,77 persen dipenuhi dari

impor. Impor kedelai selama sepuluh tahun (1999-2008) ada kecendrungan terus

meningkat, pada tahun 1999 impor kedelai sekitar 34,83 persen dari total

kebutuhan, dan pada tahun 2008 impor kedelai meningkat mencapai 61,70

persen. Jumlah impor kedelai akan meningkatkan penawaran yang tersedia bagi

industri pengolahan, industri pengolahan kedelai adalah penentu dalam

7

penawaran kedelai. Dengan demikian jumlah impor kedelai merupakan penentu

stabilitas harga kedelai di Jawa Timur. Oleh karena itu jumlah kedelai impor

perlu dipertimbangkan dalam upaya mendorong petani lokal untuk meningkatkan

produksinya dan berkesinambungannya industri pengolahan kedelai

Tabel 1.1 Keragaan Jumlah Kedelai Lokal dan Impor di Jawa Timur

selama (1999-2008)

Tahun Jumlah Kedelai

Lokal

(ton)

Jumlah Kedelai

Impor

(ton)

Persentase Kedelai

impor dari total

kebutuhan (%)

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

485.878,00

385.212,00

349.188,00

300.184,00

287.205,00

318.929,00

335.106,00

320.205,00

252.027,00

227.281,00

259.686,00

330.546,00

311.889,71

351.795,93

391.702,14

206.627,95

196.283,71

359.630,84

511.172,81

366.069,62

34.83

46.18

47.18

53.96

57.70

39.32

36.94

52.90

66.98

61.70

Rata-

rata

326.121,50 328.543,47 49.77

Sumber : Badan Pusat Statistik (1999-2009)

Ada dua saluran pemasaran kedelai impor di Jawa Timur. Pertama kedelai

impor dibeli oleh koperasi pengrajin tahu dan tempe (KOPTI) melalui broker,

untuk selanjutnya dipasarkan ke pengrajin tahu dan tempe. KOPTI mempunyai

peranan sangat penting terutama untuk menjamin suplai kedelai kepada industri

tahu-tempe. Kedua kedelai impor dibeli langsung oleh industri pengolahan skala

menengah dan besar melalui broker. Industri pengolahan mempunyai posisi tawar

dengan para broker sehingga harga di tingkat industri ditentukan berdasarkan

kesepakatan antara broker dan industri. Hal ini berarti KOPTI dan industri

pengolahan merupakan lembaga penting dalam ekonomi kedelai yang dapat

digunakan untuk mengatur stabilitas harga kedelai pada tingkat konsumen,

sehingga tujuan menjaga kesinambungan industri tahu-tempe dan industri

pengolahan kedelai lainnya dapat tercapai. Penetapan harga tebus kedelai pada

tingkat importir melalui boker dan harga tebus KOPTI, merupakan suatu langkah

8

untuk mengendalikan harga kedelai pada tingkat konsumen. Penetapan harga

tebus tersebut harus mempertimbangkan harga jual kedelai lokal pada tingkat

petani serta daya beli kedelai oleh industri tahu-tempe.

Rendahnya harga kedelai di tingkat petani disamping karena saluran

pemasaran yang panjang, posisi tawar petani rendah juga karena pemasaran

kedelai dikuasai oleh beberapa pedagang besar tingkat kecamatan, kabupaten dan

propinsi. Sehingga harga di tingkat petani lebih banyak ditentukan oleh pedagang.

Kualitas kedelai tidak menjadi pertimbangan pedagang dalam penentuan harga

tersebut, oleh sebab itu banyak petani mencampur kedelainya dengan tanah atau

pasir, tujuannya adalah untuk menambah berat kedelai, sehingga petani akan

memperoleh tambahan pendapatan.

Saluran pemasaran kedelai dimulai dari daerah sentra produksi ke industri

pengolahan melalui pedagang pengumpul tingkat desa, pedagang besar

kecamatan, kabupaten dan propinsi serta bermuara ke konsumen akhir. Pedagang

besar tingkat propinsi, kabupaten dan kecamatan tidak langsung membeli kedelai

dari petani tetapi melalui pedagang pengumpul desa dan pedagang pengumpul

antar kota. Sedangkan pengecer pada setiap pasar menyalurkan kedelai dari

masing-masing pedagang besar tingkat propinsi dan kabupaten untuk dijual

kepada konsumen.

Tabel 1. 2. Harga Kedelai di Kabupaten Sentra Produksi Kedelai di Jawa

TimurTahun 2008 (Satuan dalam Rp/Kg)

Nama Bulan

Harga

Tingkat

Petani

Harga

Tingkat

Pengumpul

Harga

Tingkat

Konsumen

Persentase

Selisih Harga

Petani Dan

Konsumen

(%)

Januari

Pebruari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

Nopember

Desember

4700

5250

5300

4950

5200

5000

5200

4250

5200

5400

4900

4900

5200

5750

5600

5500

5800

5500

6300

4500

5650

5700

5250

5500

5750

7600

6000

6300

6500

6100

7350

5000

5900

6000

7000

6500

22,34

44,76

13,21

27,27

25,00

22,00

41,35

17,65

13,46

11,11

42,86

32,65

Sumber: Departemen Pertanian

9

Perkembangan harga kedelai per bulan di tingkat petani relatif kecil, tidak

sebesar perkembangan harga kedelai di tingkat konsumen. Sehingga dapat

dikatakan petani tidak pernah memperoleh harga yang tinggi, dan bahkan ada

kecendrungan harga di tingkat petani semakin menurun, hal ini membuat petani

enggan untuk menanam kedelai. Gambar 1.3 menunjukkan bahwa selisih harga

kedelai di tingkat petani relatif cukup besar dibandingkan dengan harga kedelai di

tingkat konsumen. Bahkan pada bulan Pebruari mencapai 44,76 persen. Selisih

harga yang cukup besar antara harga di tingkat petani dengan harga di tingkat

konsumen, menunjukkan bahwa pemasaran kedelai belum efisien dan

mengindisikan ada kolusi diantara pedagang besar. Harga kedelai yang tetap

murah di tingkat petani dan harga kedelai yang tinggi di tingkat konsumen,

kurang mendukung usaha pemerintah untuk pencapaian swasembada kedelai, dan

tidak kondusif untuk pengembangan industri kedelai di Jawa Timur. Sehingga

diperlukan suatu kebijakan harga yang memihak kepada peningkatan pendapatan

petani kedelai dan perkembangan usaha industri kedelai khususnya di Jawa

Timur.

Gambar 1.3 Perkembangan Harga Kedelai Per Bulan di Tingkat Petani,

Pedagang Pengumpul, dan Harga di Tingkat Konsumen

Sumber : Departemen Pertanian (2009), diolah

Bulan

10

1.3 Kebijakan Perdagangan Produk Pertanian

Untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan, pemerintah sering melakukan

intervensi dalam bentuk kebijakan produksi, pemasaran dan perdagangan

komoditas pertanian. Tujuan kebijakan perdagangan produk pertanian dapat

berbeda-beda tergantung pada jenis komoditasnya. Kebijakan tarif impor atau

hambatan-hambatan non-tarif misalnya bertujuan untuk melindungi komoditas

substitusi impor. Kebijakan pajak ekspor atau kebijakan pembatasan ekspor

terhadap barang ekspor bertujuan agar kebutuhan dalam negeri dapat tercukupi

atau mencegah kenaikan harga komoditas tersebut di dalam negeri. Untuk

komoditas pangan seperti padi, jagung dan kedelai, instrumen kebijakan

pemerintah yang menonjol adalah kebijakan harga dasar, stabilisasi harga dalam

negeri dan perdagangan.

1) Kebijakan Harga Dasar

Kebijakan harga dasar dimulai sejak tahun 1979/80 sampai akhir tahun 1991

dan setiap tahun ditetapkan melalui Inpres pada tanggal 1 Nopember kecuali

untuk tahun 1991yang ditetapkan sebulan lebih awal (Darsono dkk., 2005;

Siregar, 2010). Sebagai contoh harga dasar kedelai dimulai pada tingkat Rp 210

per kg dan berakhir pada tingkat Rp 500 per kg selama kurun waktu 12 tahun

Petani

Pedagang

Pengumpul Desa

Importir

Broker

Pedagang

Besar/

Grosir

Pengecer Industri

Pengolah

KOPTI

Konsumen

Akhir

Gambar 1.4 Saluran Pemasaran Kedelai di Jawa Timur (Diadaptasi

dari Sudaryanto Tahlim dan Dewa K,S. Swastika, 2007)

11

tersebut. Meskipun nilai nominal harga dasar kedelai meningkat, nisbah atau ratio

harga dasar kedelai terhadap harga dasar gabah kering giling (GKG) hanya

meningkat selama tiga tahun pertama saja, yaitu dari 2,47 sampai 2,57. Kemudian

nilai nisbah tersebut menurun sampai 1.43 pada tahun 1987, tapi setelah itu

menjadi tidak jelas sampai tahun 1991. Gambaran nisbah harga dasar kedelai

terhadap harga GKG tersebut di atas memperlihatkan bahwa pemerintah pada

mulanya lebih berpihak pada pengembangan kedelai jika dibandingkan dengan

padi, tapi kemudian lebih memihak kepada padi dan akhirnya kecenderungannya

tidak jelas.

2) Kebijakan Stabilisasi Harga dan Impor

Untuk menstabilkan harga kedelai di dalam negeri contohnya, pada awal

tahun delapan puluhan BULOG melaksanakan pengadaan, penyimpanan dan

penyaluran kedelai. Tujuannya adalah untuk menjamin ketersediaan kedelai bagi

pengrajin tahu/tempe terutama bagi anggota KOPTI. Pengadaan dalam negeri

hanya berlangsung selam 3 tahun (1979/80-1982/83) dan jumlahnya sangat kecil

atau kurang dari 1% dari produksi dalam negeri. Sebaliknya pengadaan melalui

impor berlangsung tiap tahun dengan jumlah yang cukup besar. Pengadaan

melalui impor meningkat hingga mencapai 1,1 juta ton pada tahun 1984, tetapi

kemudian menurun drastis pada tahun berikutnya dan meningkat lagi sampai

mancapai 490,9 ton padatahun 1991. Sementara itu stok kedelai meningkat terus

dari tahun ketahun. Sebenarnya KOPTI diwajibkan untuk membeli kedelai lokal

sekitar 20% dari kedelai yang didistribusikan oleh BULOG (Irawan dan Purwoto,

1989 dalam Siregar, 2010) tapi pada kenyataannya hal itu tidak berjalan dengan

baik. Alasannya adalah karena harga kedelai impor lebih murah dari kedelai lokal.

Kebijakan perdagangan internasional yang lain adalah pengenaan tarif ad-valorem

untuk impor kedelai. Tarif tersebut dimulai sejak 1974 sebesar 30% yang

dipertahankan sampai tahun 1980. Sejak tahun 1981 sampai tahun 1993 tarif

impor kedelai diturunkan menjadi 10 persen dan kemudian menjadi 5 persen pada

tahun 1994 sampai 1996. Pada tahun 1997 tarif tersebut diturunkan lagi menjadi

2,5 persen dan akhirnya tarif impor kedelai ditiadakan mulaitahun 1998 sampai

sekarang.

12

1.4 Pendekatan SCP Dalam Studi Pemasaran

Dalam studi mengenai pemasaran, terdapat berbagai pendekatan yang

digunakan, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitatif. Pada pendekatan

studi pemasaran secara kuantitatif, Tomek dan Robinson (1977)

menyarankan pendekatan marjin pemasaran, Kristanto, et. al. (1986)

menekankan pendekatan rasio biaya dan nilai produk, Downey dan

Erickson (1989) menggunakan pendekatan share biaya dan keuntungan,

sedangkan Arshad (1980) menekankan pendekatan integrasi pasar dan

memandang pentingnya pendekatan elastisitas transmisi harga. Beberapa

pendekatan tersebut bersifat parsial, yakni hanya melihat sistem pemasaran

dari salah satu aspek saja

Disamping pendekatan secara parsial, terdapat beberapa pendekatan yang

bersifat komprehensif. Cramer dan Jensen (1994) misalnya menyebutkan

paling tidak terdapat tiga pendekatan dalam studi efisiensi pemasaran yakni

functional approach, institutional approach dan market structur approach.

Dalam literatur lain, studi pemasaran dilakukan dengan pendekatan komoditas

(commodity approach) sebagai sintesa pendekatan fungsional dan insfrtusional,

pendekatan formasi harga (price formation) dan alokasi sumberdaya

(resource alocation) antara petani produsen dan konsumen akhir.

Salah satu pendekatan studi pemasaran yang sampai saat ini

dipandang paling komprehensive dalam mengamati sistem pemasaran

adalah pendekatan SCP (market structure, market conduct dan market

performance). SCP merupakan pendekatan pemasaran yang mengkaji sistem

pemasaran dari berbagai sisi dengan beberapa indikator sehingga

memungkinkan pengukuran efisiensi pasar dilakukan dengan lebih baik.

Pendekatan ini pertamakali diperkenalkan oleh JS. Bain dalam bukunya Industrial

Organization (Anindita, 2005). Pendekatan tersebut didasarkan atas tiga hal yang

saling berkaitan. Struktur pasar (market structure) mempengaruhi bagaimana

perusahaan bertingkah laku di pasar (market conduct). Tingkah laku dari

perusahaan (market conduct) akan mempengaruhi penampilan pasar (market

performance) dari suatu industri. Situasi tersebut dapat diperhatikan pada Gambar

13

Pendekatan SCP ini dilakukan untuk mengawasi persaingan diantara

perusahaan di berbagai pasar. Bagaimana perusahaan melakukan tindakan akibat

struktur pasar yang ada dan lebih lanjut terhadap penampilan pasar. Apabila

pasar berjalan tidak sesuai dengan harapan maka akan berdampak terhadap

fairness dan efisiensi dari sistem pemasaran.

Gambar 1.5. Model Struktur-Tingkah laku dan Penampilan Pasar.

Struktur Pasar ( Market Structure)

Struktur pasar umumnya dibedakan menjadi; pasar persaingan sempurna,

pasar monopoli, kompetisi monopolistik, dan pasar oligopoli (Miller dan

Melners,1993; Sukirno,1994). Selanjutnya Henderson dan Quandt (1980),

menambahkan struktur pasar menjadi; struktur pasar monopsoni dan oligopsoni.

Pada struktur pasar persaingan yang tidak sempurna seperti yang telah disebutkan

di atas, struktur pasar monopoli, kompetisi monopolistik, dan oligopoli melihat

struktur pasar dari segi penjual, sedangkan struktur pasar monopsoni dan

oligopsoni dari sisi pembeli. Pada struktur pasar yang berbeda akan memiliki

sifat-sifat atau ciri-ciri pasar yang berbeda. Pada struktur pasar persaingan

sempurna ciri-ciri yang dimiliki adalah sebagai berikut; a). ada banyak penjual

dan pembeli dalam pasar, b). perusahan yang ada dalam pasar tidak dapat

merubah ataupun menentukan harga (price taker), c). setiap perusahan mudah

untuk keluar dan masuk pasar, d). barang atau produk yang dihasilkan adalah

sama (identical), dan e). pembeli memiliki pengetahuan yang sempurna tentang

pasar.

Market Structure

Ma Conduct Market Performance

- Aliran produk

- Kelembagaan

- Exchange function

- Physical function

- standarization

- Pricing efficiency

- Marketing cost, margins

net profit

- Progresiveness

- dll.

- Tingkat konsentrasi pembeli dan penjual

- Tingkat defferensiasi product

- Barriers to entry

- Tingkat pengetahuan pasar

- Tingkat integrasi dan diversifikasi

Market Conduct

14

Sedangkan pada struktur pasar monopoli memiliki ciri-ciri sebaliknya,

yaitu; a). hanya ada satu perusahan dalam pasar, b). produk yang dihasilkan tidak

memiliki pengganti yang mirip (close substitute), c). tidak ada kemungkinan pe-

rusahan lain untuk masuk kedalam pasar, d). perusahan menguasai dan

menentukan harga (price setter), dan e). usaha promosi dengan menggunakan

iklan kurang diperlukan. Kedua pasar yang telah disebutkan ciri-cirinya di atas,

yaitu pasar persaingan sempurna dan pasar monopoli murni (pure monopoly) tidak

mungkin dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pasar persaingan sempurna dikatakan bahwa pedagang ataupun

produsen tidak dapat mempengaruhi pembentukan harga di pasar, karena harga

barang di pasar sepenuhnya terjadi karena interaksi antara keseluruhan produsen

dan keseluruhan pembeli. Dapat pula dikatakan bahwa pembentukan harga suatu

barang sepenuhnya ditentukan oleh pasar melalui mekanisme permintaan dan

penawaran. Keuntungan maksimum yang dapat dicapai oleh perusahan yang

bergerak pada pasar persaingan murni terjadi pada saat biaya marjinal (MC) sama

dengan harga produknya (seperti yang disajikan pada Gambar 1.4). Pada panel (a)

terlihat situasi dimana kurva biaya marjinal (BM) sama dengan harga produknya

(Pe), sama dengan pendapatan marjinal (PM), dan sama dengan kurva permintaan

DD yang berbentuk horizontal ( BM=Pe=PM=DD ) yang bertemu atau

bersilangan pada titik E. Pada tingkat keluaran sebesar Q I akan diperoleh laba

maksimum. Biaya total rata-rata. (BTR) sama dengan A, sehingga keuntungan

ekonomis yang diperoleh digambarkan oleh segi empat PAEPe. Pada panel (b)

terlihat situasi dimana perusahan dalam persaingan sempurna yang mengalami

kerugian. Selisih antara harga produk (Pe) dengan biaya total rata-rata (BTR)

sama dengan jarak vertikal antara A' dan E'. Jika dikalikan dengan kuantitas

keluaran maka diperoleh bidang segi empat PeE'A'P yang menunjukkan kerugian

perusahaan.

15

(a) (b)

Gambar 1. 6 Keuntungan dan kerugian ekonomis pada pasar persaingan

sempurna (Sumber : Miller dan Melners,1993)

Sedangkan pada pasar monopoli produsen atau pedagang bertindak

sebagai “price setter”, yang artinya produsen dapat secara leluasa untuk

menentukan (menaikkan atau menurunkan) harga barang di pasar. Pada pasar

monopoli maksimalisasi laba terjadi pada saat pendapatan marjinal. (PM) sama

dengan biaya marjinalnya (BM), seperti yang disajikan oleh Gambar 1.6 Pada

panel (a) menunjukkan cara untuk menentukan tingkat produksi dimana

keuntungan maksimum dicapai pada saat BM = PM. Kurva BM dan kurva PM

berpotongan pada tingkat keluaran sebesar Ql. Hasil penjualan total ditunjukkan

oleh segi empat OQ1CE, Sedangkan ongkos total ditunjukkan oleh segi empat

OQ1BA. Dengan demikian keuntungan monopolis ditunjukkan oleh segi empat

ABCE. Sedangkan pada panel (b) menunjukkan situasi bila perusahan monopoli

mengalami kerugian. Kerugian yang diderita oleh perusahan monopolis

digambarkan dengan segi empat A’B’C’E'.

Sukirmo (1994) menyebutkan bahwa penggunaan sumberdaya pada

struktur pasar monopoli lebih tidak efisien bila dibandingkan dengan

menggunakan sumberdaya pada struktur pasar persaingan sempurna. Perusahaan

yang ada pada pasar persaingan sempurna akan terus menambah produksinya

sehingga tercapai keadaan dimana harga = biaya marjinal, dan pada kondisi

seperti ini perusahaan akan memperoleh keuntungan normal. Sebaliknya,

Laba Pe

P

O

E

Q1

A

BM BTR

DD = PM

Harga, Biaya

Rugi

BM BTR

P’

Pe

E’

A’ DD=PM

0 Q2

2

Kuantitas/

Unit waktu

16

perusahaan monopoli akan menghentikan kegiatan produksinya sebelum hal

tersebut tercapal karena berusaha untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar

dari keuntungan normal., dan ini dicapai pada harga yang lebih besar dari biaya

marjinal. Penggunaan sumberdaya yang tidak optimum pada perusahaan monopoli

mengakibatkan : i). produksi dan penawaran barang relatif lebih sedikit dengan

harga lebih tinggi; dan ii). biaya produksi lebih tinggi dari biaya rata-rata

optimum.

Ada tiga faktor yang menyebabkan munculnya perusahaan monopoli, yaitu

i). Perusahaan monopoli memiliki sumberdaya yang unik dan tidak dimiliki oleh

perusahaan lain, ii). Perusahaan monopoli dapat menikmati skala ekonomis dalam

kegiatan yang dilakukannya, dan iii). Pemerintah melalui undang-undang

memberikan hak monopoli terhadap perusahaan tertentu.

Pada pasar oligopoli terdapat beberapa perusahan atau penjual saja di

pasar. Adakalanya pada struktur pasar oligopoli hanya terdapat dua perusahaan

saja di dalam pasar, dan kondisi seperti ini disebut doupoli. Menjelaskan sikap

perusahan dalam pasar oligopoli ternyata lebih sulit dibandingkan menjelaskan

perusahan di pasar-pasar lainnya

(a) (b)

Gambar 1.7 Keuntungan dan Kerugian Ekonomi pada Pasar Monopoli

(Sumber : Miller dan Melners,1993)

Kelakuannya akan berbeda bila dalam pasar hanya terdapat tiga

perusahaan dibandingkan dengan bila ada lima belas perusahan dalam pasar.

Demikian pula, kekuatan perusahan dalam menentukan harga di pasar oligopoli

Laba

Harga, biaya

C E

B

B

0 Q1

PM DD

BT

R

B

M

Rugi

E

’ A

C

B

BM BT

R

DD

0 Q2 Kuantitas/

Unit waktu

17

akan sangat berbeda bila diantara mereka melakukan tindakan kolusi,

dibandingkan dengan tidak melakukan kolusi tentang kesepakatan harga

Selanjutnya, Sukirno (1994), menyebutkan ciri-ciri pasar oligopoli sebagai

berikut : a). hanya ada beberapa perusahan (minimal dua) di dalam pasar, b).

barang-barang yang diproduksi bisa barang standar atau berbeda corak, c).

kekuatan menentukan harga adakalanya lemah dan adakalanya sangat kuat, hal ini

tergantung dari ada tidaknya kolusi diantara mereka, dan d). pada umumnya

perusahan yang bergerak pada pasar oligopoli perlu melakukan promosi iklan.

18

Bab 2 Beberapa Pendekatan dalam

Analisis Struktur Pasar

2.1 Pangsa Pasar (Market Share)

Pangsa pasar (market share) adalah persentase dari total penjualan pada

suatu target pasar yang diperoleh dari suatu perusahaan (potensi pasar dibagi

jumlah penjualan).Untuk mengetahui market share dari lembaga pemasaran pada

suatu wilayah pasar, dapat dilihat pada tabel berikut.

Lembaga

Pemasaran

Kapasitas Produksi yang Dapat

Diserap pada Suatu Wilayah pasar

Market Share

1 A a/x

2 B b/x

3 C c/x

4 D d/x

… … …

n M m/x

Total a+b+c+d+…+m=x 1

Kriteria Pangsa Pasar:

1. Monopoli murni, bila suatu perusahaan memiliki 100% dari pangsa pasar.

2. Perusahaan dominan, bila memiliki 50-100 peren dari pangsa pasar dan tanpa

pesaing yang kuat.

3. Oligopoli ketat, bila penggabungan 4 perusahaan terkemuka memiliki 60-100

persen dari pangsa pasar.

4. Oligopoli longgar, bila penggabungan 4 perusahaan terkemuka memiliki 40

persen atau kurang dari 60 persen pangsa pasar.

5. Persaingan monopolistik, bila banyak pesaing yang efektif tidak satupun yang

memiliki lebih dari 10 persen pangsa pasar.

6. Persaingan murni, lebih dari 50 pesaing, tapi tidak satupun yang memiliki

pangsa pasar berarti.

2.1.1 Hirschman Herfindahl Index (HHI)

19

Alat analisis ini bertujuan untuk mengetahui derajat konsentrasi pembeli

dari suatu wilayah pasar, sehingga bisa diketahui secara umum gambaran

imbangan kekuatan posisi tawar-menawar petani (penjual) terhadap pedagang

(pembeli). Rumus dari Hircshman Herfindahl Index adalah sebagai berikut:

HHI = (S1)2

+ (S2)2 + …. + (Sn)

2

Dimana :

HHI : Hircshman Herfindahl Index

N : Jumlah pedagang yang ada pada suatu wilayah pasar produk

Si : Pangsa pembelian komoditi dari pedagang ke-i (i = 1,2,3,…,n)

Kriterianya :

HHI = 1, maka pasar mengarah pada monopsonistik

HHI = 0, maka pasar mengarah pada persaingan sempurna

0 < HHI < 1, maka pasar mengarah pada oligopsonistik

2.1.2 CR4 (Concentration Ratio for Biggest Four)

CR4 (Concentration Ratio for Biggest Four) adalah alat analisis untuk

mengetahui derajat konsentrasi empat pembeli terbesar dari suatu wilayah pasar,

sehingga bisa diketahui secara umum gambaran imbangan kekuatan posisi tawar-

menawar petani (penjual) terhadap pedagang (pembeli), dengan rumus:

CR4 = pasarseluruhdisharemarketJumlah

besarpalingyangpedagangpembelisharemarketJumlah )(4x 100%

Kriterianya :

1. CR4 < 20% maka struktur pasar bersifat persaingan sempurna (kompetitif)

2. 20% < CR4 < 40% maka struktur pasar bersifat monopolistik

3. 40% < CR4 < 80% maka struktur pasar bersifat oligopsoni

4. CR4 > 80% maka struktur pasar cenderung monopsoni.

Catatan: jika CR4 < 40% maka struktur pasar bisa bersifat persaingan sempurna

juga bisa termasuk monopolistik, yang menentukan adalah tingkat

diferensiasi produk.

20

Sebagai contoh perhitungan CR4 digunakan untuk mengetahui derajat

konsentrasi empat industri kedelai terbesar di Jawa Timur, sehingga bisa diketahui

secara umum gambaran imbangan kekuatan posisi tawar-menawar industri

(penjual) terhadap konsumen produk olahan kedelai (pembeli) di pasar output dan

industri (pembeli) terhadap pedagang kedelai (penjual) di pasar input.

Tabel 2.1 Omzet dan Market Share Empat Industri Kedelai Terbesar Di Jawa

Timur

Nama Industri Omzet

(Dalam Juta)

CR4 Market Share

(%)

A

B

C

D

1.750.565,0

1.418.841,0

1.218.745,0

812.612,0

0,1482

0,1201

0,1032

0,0688

14,82

12,01

10,32

6,88

Total 11.814.856,0* 0,4403 44,03

Sumber : BPS diolah

Keterangan : *) Total omzet industri kedelai di Jawa Timur

Struktur pasar industri kedelai di Jawa Timur bersifat oligopsoni/oligopoli,

hal ini ditunjukan pada Tabel 2.1 nilai CR4 sebesar 0,4403 (44,03 %) atau 40 % ≤

44,03 % ≤ 80 %. Ini berarti empat besar Industri kedelai mempunyai kekuatan

yang lemah dalam mempengaruhi harga kedelai di pasar input dan harga produk

olahan kedelai di pasar output.

Adanya kekuatan pasar oligopoli/oligopsoni pada pemasaran kedelai di

Jawa Timur, menyebabkan harga kedelai di tingkat petani cendrung stagnan dan

murah, tetapi di tingkat pedagang akan cendrung naik atau mahal, kondisi ini akan

diperparah lagi oleh adanya kebijakan impor yang menciptakan harga kedelai

murah. Di negara berkembang termasuk Jawa Timur sektor pertanian seperti

komoditas kedelai membutuhkan well-functioning market atau memfungsikan

pasar secara baik untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, membuka kesempatan

kerja baru dan pendapatan (Timmer, 1977). Tuntutan revolusi pasar dari pasar

tradisional ke pasar yang terorganisi (misalnya pasar induk agribisnis) dan atau

pasar modern (supermarket/hypermarket) akan mendorong lebih terciptanya

lingkungan yang kondusif bagi berkembangnya sektor usaha di bidang pertanian

seperti industri kedelai (Anindita, 2010).

21

Kekuatan industri kedelai dalam mempengaruhi harga akan sangat

berbeda bila di antara industri kedelai melakukan tindakan kolusi dengan tidak

melakukan kolusi kesepakatan harga. Kekuatan industri kedelai dalam

mempengaruhi harga sangat kuat bila ada kolusi, dan lemah bila tidak ada kolusi.

Untuk mengetahui lebih lanjut kekuatan industri kedelai dalam mempengaruhi

harga dapat diketahui dari elastisitas harga penawaran input kedelai, elastisitas

harga permintaan produk olahan kedelai dan elastisitas konjekturalnya.

2.1.3 Indeks Rosenbluth (R)

Indeks Rosenbluth adalah alat analisis untuk mengetahui tingkat konsentrasi

lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran suatu komoditi pada suatu

wilayah pasar. Penghitungan Indeks Rosenbluth didasarkan pada peringkat

perusahaan dari segi pangsa pasar (market share)–nya, dengan rumus sebagai

berikut:

R =

Dimana: R = Indeks Rosenbluth

Si = Pangsa pasar (market share) perusahaan ke-i (1 = 1,2,...n)

Nilai indeks Rosenbluth berkisar antara 1/n < R < 1. Jika nilai yang

diperoleh mendekati batas minimum maka struktur pasar yang terbentuk

cenderung pasar persaingan sempurna, sedangkan apabila mendekati batas

maksimum maka struktur pasar yang terbentuk cenderung pasar persaingan

oligopoli.

2.1.4 Koefisien Gini (Gini Coefficient)

Koefisien gini yang digambarkan dalam kurva Lorenz, biasanya digunakan

untuk mengukur tingkat ketimpangan distribusi pendapatan nasional di kalangan

lapisan penduduk. Namun dalam penelitian ini, koefisien Gini merupakan suatu

ukuran untuk mengetahui tingkat ketimpangan dalam distribusi pangsa pasar

(market share) antar lembaga pemasaran yang terlibat dalam pemasaran suatu

komoditi. Nilai koefisien gini pada dasarnya berkisar dari angka 0 hingga 1.

Semakin kecil (mendekati nol) koefisiennya, maka semakin merata distribusi

market share-nya, yang berarti pasar semakin mengarah pada kondisi persaingan

=

−n

i

Sii1

1).2(

1

22

sempurna (kompetitif). Koefisien Gini diukur dengan menggunakan rumus

berikut ini:

R = 000.10/1*)( 1

2

1 −

=

− − kk

i

k

kk qPqP

dimana:

R = koefisien gini

Pk = persentase kumulatif jumlah pedagang dalam kelas ke - i.

Pk-1 = persentase kumulatif jumlah pedagang sebelum kelas ke - i.

qk = persentase kumulatif jumlah volume pembelian dalam kelas ke – i.

qk-1 = persentase kumulatif jumlah vol. pembelian sebelum kelas ke – i.

k = jumlah kelas pedagang.

Kaidah pengujian koefisien gini menurut H.Tstsumi Oshima dalam Yuliarmi

(1997), serta Scheid (1979) dan Parker (1979) dalam Nambiro (2001) seperti yang

ditunjukkan dalam tabel berikut ini:

Indeks Gini Kriteria Ketimpangan Struktur Pasar

IG = 0,0

0,0 < IG < 0,4

0,4 < IG < 0,8

0,8 < IG < 1

Merata sempurna

Timpang ringan

Timpang sedang

Timpang berat

Persaingan sempurna

Monopolistik

Oligopsoni

Monopsoni

2.1.5 Tingkat Diferensiasi Produk

Diferensiasi produk dapat menjadi halangan bagi pengusaha lain untuk

memasuki pasar. Persaingan akan berjalan sempurna apabila pembeli dapat

membandingkan barang yang satu dengan barang yang lain.

2.1.6 Hambatan Masuk Pasar

Segala sesuatu yang merintangi pesaing-pesaing baru untuk masuk pasar

akan memperbesar kekuatan perusahaan-perusahaan yang telah ada. Jika

rintangan itu tidak ada, maka pesaing baru akan bebas masuk pasar, sehingga

monopsoni murni hanya memiliki kekuatan yang kecil.

Bentuk persaingan berdasarkan hambatan untuk masuk pasar dibagi dalam

beberapa kategori, antara lain:

23

1. Persaingan sempurna, terjadi jika pesaing mudah untuk masuk pasar atau

bebas untuk masuk pasar.

2. Monopsoni, terjadi jika pesaing/pendatang baru tertutup untuk masuk pasar.

3. Oligopsoni, terjadi jika pesaing/pendatang baru sulit untuk masuk pasar.

2.1.6 Tingkat Pengetahuan Pasar

Sistem pemasaran yang efisien mengharuskan para pelaku pasar, baik

petani produsen maupun lembaga pemasaran, mampu menguasai informasi pasar,

sehingga mereka tahu kapan dan dimana memasuki pasar yang tepat, terutama

untuk pasar yang bersaing sempurna.

2.2 Perilaku Pasar (Market Conduct)

Perilaku pasar adalah memahami bagaiamana proses mengalirnya barang

tersebut sampai di tangan konsumen. Ada empat aspek yang perlu dilihat

(Soekartawi, 1989); (a) bagaimana barang tersebut membentuk harga. Misalnya

apakah diperlukan perlakuan-perlakuan tambahan sehingga barang tersebut

mempunyai nilai yang lebih tinggi; (b) apakah barang tersebut dikenakan pajak

yang sama atau berbeda menurut kualitas dan kuantitas barang yang dipasarkan;

(c) apakah berdagang pada barang yang sama terjadi secara sehat di pasar, apakah

tidak terjadi pasar gelap, sehingga sistem tersebut merusak terjadinya

pembentukan harga; dan (d) apakah dalam menganalisanya barang dari produsen

ke konsumen tersebut diperlukan perlakuan-perlakuan khusus, agar kualitas

produk memenuhi selera konsumen.

Perilaku pasar dapat berupa praktek-praktek penentuan harga komoditi,

praktek persaingan bukan harga., advertensi, dan perubahan harga pasar.

Sedangkan Martin (1989), melihat prilaku pemasaran dari i). Ada atau tidaknya

praklek—pratek kolusi diantara produsen dalam hal menentukan harga; ii).

Prilaku strategis (strategic behavior) yang dilakukan oleh produsen dalam

menghadapi kompetitor yang ada ataupun kompetitor yang baru muncul di pasar,

dan iii). ada tidaknya peranan advertensi dan lembaga-lembaga riset dan

pengembangan.

Perilaku pasar dapat juga dilihat dengan melakukan analisis integrasi

pasar. Analisis integrasi pasar dapat dilakukan dengan dua cara pendekatan, yaitu

integrasi pasar secara horizontal dan integrasi pasar secara vertikal. Analisis

24

integrasi pasar secara horizontal digunakan untuk melihat apakah mekanisme

harga pada tingkatan pasar yang sama (horizontal) berjalan secara serentak atau

tidak. Alat analisis yang digunakan adalah korelasi harga, antar harga pasar yang

satu dengan harga pasar lainnya. Sedangkan pada analisis integrasi pasar secara

vertikal digunakan untuk melihat keadaan secara kasar antara pasar dalam

tingkatan lokal, kecamatan, kabupaten, dan bahkan propinsi, atau antara pasar

produsen dengan pasar konsumen. Disamping itu analisis ini mampu juga

menjelaskan kekuatan tawar-menawar antara petani dengan lembaga-lembaga

perantara, atau antara lembaga perantara dengan lembaga perantara yang ada di

atasnya.

Beberapa hal penting dalam perilaku pasar yang terkait dengan

penampilan pasar adalah: a) Cara penentuan harga produk; b) Promosi penjualan

dan kebijakan produk dan lembaga pemasaran; c) Penanganan produk setelah

dan petani dan hal praktis iainnya. Perilaku pasar dapat dilihat ada tidaknya

praktek kolusi diantara produsen dalam menghadapi kompetitor, peranan

advertensi dan lembaga riset dan pengembangan (R&D).

2.3 Penampilan Pasar (Market Performance)

Pelaku pasar harus pula memahami penampilan pasar agar mampu

membaca secara jelas bagaimana mekanisme pemasaran itu sendiri (Soekartawi.

1989). Oleh karena itu perlu diidentifikasikan kegiatan-kegiatan yang

menyangkut antara lain penggunaan teknologi dalam pemasaran, pertumbuhan

pasar, efisiensi penggunaan sumberdaya, penghematan pembiayaan dan

peningkatan jumlah barang yang dipasarkan sehingga dapat mendatangkan

keuntungan yang maksimum.

Penampilan pasar adalah rangkaian terakhir dan analisis S - C - P

(structure-conduct- performance). Munculnya penampilan pasar tidak dapat

berdiri sendiri, tetapi pemunculannya merupakan interaksi antara struktur dan

penampilan pasar. Jadi dapat dikatakan bahwa penampilan pasar sangat

dipengaruhi oleh struktur dan prilaku pasar yang ada. Penampilan pasar dapat

dilihat dari tingkat harga, marjin, keuntungan, investasi, dan pengembangan

produk. Dalam menganalisis keragaan pemasaran dalam kaitannya dengan

25

efisiensi, harus juga dilihat bagaimana distribusi keuntungan dan biaya- biaya

pemasaran yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga pemasaran yang terlibat..

2.3.1 Model Penentuan Harga Persaingan Sempurna

Model pasar persaingan sempurna, harga ditentukan oleh kekuatan

penawaran dan permintaan, dimana harga merupakan perpotongan antara kurva

penawaran dan permintaan, sehingga dapat ditulis: D = S dan P= konstan

(2.1)

Dimana : D = permintaan S = penawaran

P = harga keseimbangan

Berdasarkan persamaan keseimbangan ( D = S dan P merupakan nilai

konstan) dan Gambar 1.6, keseimbangan harga konstan pada Po untuk semua

perusahaan (produsen).

a) Perusahaan b) Pasar

Gambar 1.8. Penentuan harga pada pasar persaingan sempurna

(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)

Dalam jangka pendek, produsen akan mendapat keuntungan normal

(Gambar 1.8 a) tetapi keuntungan ini akan hilang dalam jangka panjang karena

kekuatan persaingan. Produsen/perusahaan akan beroperasi pada tingkat biaya

marjinal sama dengan harga. Bagaimanapun juga, pembeli dan penjual tidak

mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi harga di pasar

2.3.2 Model Penentuan Harga Persaingan Tidak Sempurna

Pasar persaingan tidak sempurna yang paling ekstrem adalah monopoli,

dimana hanya ada satu penjual yang ada di pasar. Monopoli akan menentukan

D

S

D

P0

Ps

tunga

MC AVC

0 qs q0 0 Qs=nqs Q0 = nqo

26

harga pada saat MC (biaya marjinal) = MR (penerimaan marjinal). Kondisi ini

menghasilkan persamaan sebagai berikut:

P = MC/ ( 1 + e) (2.2)

Dimana : p = harga monopoli

e = elastisitas permintaan

Persamaan 2.2 menunjukkan bahwa harga monopoli terjadi apabila lebih

besar daripada MC dan elastisitas harga adalah negatif. Secara grafis penentuan

harga pada pasar monopoli dapat dilihat pada Gambar 1.9 untuk

memaksimumkan keuntungan jumlah komoditas yang dijual ditentukan saat

biaya marjinal sama dengan penerimaan marjinal (saat harga P1). Jika peraturan

monopoli diberlakukan sehingga harga monopoli dipaksa turun, maka harga

monopoli berada di titik P2 yakni harga hanya mampu menutupi biaya input dan

memperoleh keuntungan secara wajar

Gambar 1.9 Penentuan Harga Pada Perusahaan Monopoli

(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)

Pasar persaingan monopolistik adalah persaingan yang hampir sama

dengan struktur pasar bersaing sempurna, perbedaannya terletak pada diferensiasi

produk. Pada pasar monopolistik, produk hampir sama tetapi bersifat pengganti

yang tidak sempurna, sehingga produk yang dijual di pasar monopolistik

mempunyai banyak ubstitusi. Pada pasar persaingan monopolistik, industri

menghadapi kurva permintaan yang sangat elastik dengan struktur biaya yang

sama karena agroindustri yang berusaha dengan biaya yang tinggi dibandingkan

Harga

P1

P2

MC

AC

0 Q1 MR D Jumlah

27

dengan biaya pada umumnya tidak bertahan lama. Industri yang beroperasi di

bawah persaingan monopolistik cnderung menghindari persaingan harga sebab

mereka berada dalam ancaman pembalasan oleh industri yang lain.

Gambar 1.10 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Monopolistik

(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)

Iindustri menerima keuntungan jika melakukan pengurangan harga secara

individual (karena kurva permintaan yang dihadapi agroindustri individual sangat

elastik). Tetapi jika pengurangan harga diikuti oleh agroindustri yang lain justru

terjadi kondisi sebaliknya. Sementara itu, pada pasar persaingan tidak sempurna

dimana lebih dari satu penjual atau pembeli disebut sebagai oligopoli atau

oligopsoni. Oligopoli dapat melakukan deferensiasi produk atau hanya melakukan

pada produk yang homogen. Apabila oligopolist bertindak secara independen,

maka keuntungan maksimum dicapai apabila MC = MR, yaitu sama dengan

kondisi monopoli hanya saja kurva permintaan oligopolist akan lebih condong ke

dalam dibandingkan monopolist.

Harga

P1

P2

MC

A

C

MR

D

0 Q1 Jumlah

28

Gambar 1.11 Penentuan Harga di Pasar Persaingan Oligopoli

(Sumber : Carlton D.W ; Jeffry M.Perloff, 2000)

Pada pasar oligopolistik, pasar hanya terdiri dari beberapa agroindustri

yang menghasilkan produk yang homogen. Dalam penentuan harga, setiap

agroindustri memperhitungkan kemungkinan reaksi kompetitor. Persaingan

penjualan terjadi melalui promosi, potongan harga secara rahasia (secret

discount) atau penjualan kredit, bahkan bersifat predatori atau meningkatkan

barriers to entry bagi pendantang baru.

Jika semua agroindustri meningkatkan market share, harga yang

ditentukan berada pada harga keseimbangan pada pasar persaingan sempurna.

Tetapi jika market share kecil dan mengindari persaingan harga. Harga

keseimbangan ditentukan hampir sama dengan harga keseimbangan monopoli .

Pembentukan harga agroindustri individual pada pasar persaingan monopolistik

dan oligopolistik hampir sama dengan pasar monopoli , namun permintaan

individu pada pasar monopolistik lebih elastik (lebih datar) dari kurva permintaan

individu pada pasar oligopoly atau monopoli. Pada pasar olipoli kurva permintaan

menyerupai kurva monopolistik dan monopoli, diantaranya tergantung pada

tingkah laku pasar (market conduct)

Harga

P

Pe

MC

D

MR Qe Jumlah

0

29

Bab 3 Model kekuatan pasar

(market power)

Ada banyak pendekatan kekuatan pasar. Dalam hal ini hanya dibagi

menjadi model perilaku satu-sisi dan dua-sisi. Model pertama mengukur

kekuatan pasar hanya di satu sisi pasar, dan mengasumsikan adanya

perilaku kompetitif sempurna di sisi lain, sedangkan model kedua tidak

memiliki asumsi apapun dalam sisi pasar. Model perilaku satu sisi bisa

dipecah menjadi tiga kelompok, yaitu model yang hanya mengukur

kekuatan monopoli/oligopoli, atau hanya mengukur kekuatan

monopsoni/oligopsoni, atau mengukur keduanya

3.1 Model Prilaku Satu Sisi

Pada kelompok pertama, parameter kekuatan monopoli berasal dari

kondisi first-order dari fungsi profit penjual (perusahaan upstream) (Iwata,

1974; Bresnahan, 1989; DeMello, 1999; Fischer dan Kamerschen, 2003

dalam Chalil, at al, 2006; Appelbaum, 1982).

Dimana Yu dan Pu adalah jumlah output dan harga yang ditetapkan

perusahaan upstream, Cu(Yu,w) fungsi biaya monopolist/perusahaan

upstream, w vektor harga input, Yd* output optimal perusahaan

downstream, dan λm adalah indeks parameter dari pasar monopolistik,

yang dibatasi antara 0 dan 1. Jika indeks parameter tersebut adalah λm = 0,

pasar adalah kompetitif, bila sama dengan λm =1, pasar adalah monopoli

penuh. Jika nilai λm antara 0 dan 1, maka ini menunjukkan oligopoli.

Parameter kekuatan penjual juga disebut sebagai elastisitas

konjektural, yang merupakan elastisitas variasi konjektural. Variasi

konjektural ini adalah parameter yang mengestimasi reaksi pesaing lain

jika sebuah perusahaan merubah jumlah output atau harganya. Parameter

(3.1

)

30

ini pertama kali diperkenalkan oleh Bowley di tahun 1924. Idenya adalah

mempertimbangkan aksi dan reaksi pasar lain di pasar, khususnya di pasar

oligopolistik. Pengukuran ini juga diperoleh dari kondisi first-order dari

fungsi profit penjual (perusahaan upstream).

Dimana ε adalah invers elastisitas permintaan pasar,

dan , elastisitas konjektural dari total

output industri yang disesuaikan dengan output jth perusahaan. Nilai

elastisitas konjektural dibatasi antara 0 dan 1. Jika elastikitas konjektural

adalah, θju,=0 maka pasar adalah kompetitif, jika sama dengan θj

u,=1 pasar

adalah murni monopolistik, dan jika di antara 0 , < θju,< 1, maka pasar

adalah oligopolistik.

Pada kelompok kedua (Muth dkk, 1999; Koontz dan Philip, 1997

dalam Chalil, at al, 2006 ), parameter kekuatan monopsoni diperoleh dari

kondisi first-order dari fungsi profit pembeli (perusahaan downstream).

Dimana Cd(Y*d,v,Yu) adalah fungsi biaya monopsoni/perusahaan

downstream, v vektor harga input, dan λs adalah indeks parameter pasar

monopsonistik, yang mana indeks ini dibatasi antara 0 dan 1. Jika indeks

tersebut adalah λs =0, maka pasar adalah kompetitif. Bila sama dengan λ s

=1, kondisinya adalah monopsoni penuh. Bila λ s nilainya berada di antara 0

dan 1, maka pasar menunjukkan kekuatan oligopsoni

Sama seperti di atas, parameter kekutan pembeli juga

direpresentasikan sebagai elastisitas konjektural. Pengukurannya diperoleh

dari kondisi first-order fungsi profit pembeli (perusahaan downstream).

(3.2)

(3.3

)

(3.4

)

31

Dimana η adalah: invers elastisitas suplai pasar, η

dan θ j , adalah

elastisitas konjektural total output industri yang disesuaikan dengan output

perusahaan. Nilai elastisitas konjektural dibatasi antara 0 dan 1. Jika =

0, maka pasar adalah kompetitif, jika =1, maka pasar adalah monopsoni

murni, dan jika 0 < < 1, pasar adalah oligopsoni.

Terakhir, dalam kelompok ketiga (Azzam dan Pagoulatous, 1990

dalam Chalil at al, 2006; Sexton dan Zang, 2001), kekuatan pasar bisa

diukur dari kondisi first-order dari fungsi profit perusahaan downstream,

atau dari bentuk elastisitas konjektural

Interpretasi parameter kekuatan dalam model ini bisa dikatakan sama

seperti skenario monopoli dan monopsoni. Jika elastikitas downstream dan

elastisitas konjektural adalah , pasar dikatakan kompetitif

atau perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar; jika elastisitas downstream

adalah , dan elastisitas konjektural adalah , maka

perusahaan memiliki kekuatan monopoli; jika elastisitas downstream

adalah dan elastisitas konjektural adalah maka

perusahaan memiliki kekuatan oligopoli; jika dan

perusahaan memiliki kekuatan monopsoni, jika , perusahaan

memiliki kekuatan oligopsoni, dan jika dan

maka perusahaan memiliki kekuatan monopoli dan monopsoni.

3.2 Model Prilaku Dua- Sisi

Model perilaku dua-sisi dipecah menjadi dua kelompok, yaitu model

komposit dan model dominan. Dalam model pertama (Schroeter dkk,

2000;), baik pembeli dan penjual dianggap sebagai perusahaan integrasi

tunggal yang memilih level input dan output optimal untuk memaksimalkan

profitnya, sedangkan di model kedua (Buschena dan Perloff, 1991; Azzam,

1996; dan Murniningtyas, 2000 dalam Chalil at al, 2006), setiap agen

(3.5

)

(3.6)

32

(penjual atau pembeli) memilih level input dan output optimal untuk

memaksimalkan profit.

Schroeter dkk (2000) membuat model komposit dengan tiga kondisi

ekuilibrium, yaitu bilateral price-taking (BPT), manufacturer price-taking

(MPT) dan retailer price-taking (RPT). Persamaan komposit bilateral

oligopoli adalah sebagai berikut :

Dimana di bagian sebelah kanan (η,μ ) random error, Pr adalah harga

nominal retail, S adalah aproksi indeks harga, Pr/S adalah harga riil dari

produk retail, Q adalah kuantitas, Z3 adalah variabel exogenous slope

(elastisitas) dari kurva permintaan, barangkali harga dari substitusi produk;

W2 dan V2 faktor exogenus harga pada retail dan manufaktur, fungsi

marginal cost: V3 adalah factor exegenus lainnya dari manufaktur, marginal

cost, barangkali faktor harga yang lainnya; a1,a3 adalah parameter kurva

permintaan retail; b0,b1,b2 adalah parameter fungsi marginal cost retail;

c0,c1,c3 adalah parameter fungsi marginal cost manufaktur; λ, γ, δ, adalah

parameter kekuatan penjual (seller’s) pada pasar retail, kekuatan penjual

pada pasar pedagangan besar (wholesale) dan kekuatan pembeli (buyers’)

pada pasar pedagangan besar, berturut-tutut, λ = 0, γ = 0 dan δ = 0

berhubungan dengan perilaku sebagai penerima harga (price-taking), oleh

manufaktur/penjual (seller), retail/pembeli dan keduanya penjual dan

pembeli dalam pasar pedagangan besar (wholesale)

Raper at.al (2000) dalam Chalil at al (2006), membuat model

komposit dengan menggunakan two-stage game. Dalam tahap pertama,

perusahaan upstream dan downstream (atau kelompok organisasi) bersama-

sama memilih level output dan input optimal, ibarat keduanya adalah

sebuah perusahaan integrasi. Dalam tahap kedua, perusahaan

menegosiasikan harga transfer untuk barang intermediate yang menentukan

profit split. Rumus komposit bisa dibuat dengan menggabungkan kondisi

first order perusahaan upstream

3.7

y

33

dengan kondisi first order perusahaan downstream.

Parameter kekuatan diestimasikan dengan mensimulasikan delapan

struktur pasar, yaitu kompetitif sempurna (λm = λs =0) , monopolistik (λm

=1; λs =0), duopolistik Cournot (λm =0,5; λs =0), duopolisitk Stackelberg

(λm =0,4; λs =0), monopsonistik (λm =0; λs =1), duopsonistik Cournot (λm =

0; λs =0,5), duopsonistik Stackelberg (λm =0; λs =0,4), dan monopolistik

bilateral kooperatif. Di luar itu delapan struktur tersebut, ada ukuran yang

jarang digunakan, yaitu profit split, yang ditentukan dengan dominasi

pembeli atau penjual (λm = λs =0) atau (λm >0; λs >0)

Untuk tahap kedua (Buschena dan Perloff, 1991; Azzam, 1996 dan

Murniningtyas, 2000, Chalil, at al, 2006), setiap agen (penjual atau

pembeli) memilih sendiri level input dan output optimalnya untuk

memaksimalkan profit. Kondisi first order dari fungsi profit penjual

menghasilkan harga tinggi untuk barang intermediate; ini bisa digambarkan

sebagai harga yang ingin ditetapkan perusahaan/penjual upstream jika

mereka ingin menggunakan kekuatan pasar

Dimana θj variasi konjektural, εj elastisitas permintaan, η j elastisitas

penawaran, dan cj marjinal cost. Kondisi fisrt-order fungsi profit dari

perusahaan/pembeli downstream memberikan harga rendah dari barang

intermediate; pembeli akan menerima harga, dengan kekuatan pasar

Bila memperhatikan penggunaan kekuatan oleh dua pihak tersebut, maka di

satu waktu, harga bisa sengaja diturunkan di dalam satu rumus agar mudah

menentukan kekuatan mana yang dominan

(3.8)

(3.9)

3.10

3.11

3.12

34

Jika α < 0,5, maka perusahaan upstream mendominasi perusahaan

downstream. Jika α > 0,5 , perusahaan downstream mendominasi

perusahaan upstream. Jika diurut, yaitu α = 0, α < 0,5, α= 0,5, α > 0,5 dan

α= 1, berarti pasar mengarah pada monopoli, oligopoli, kompeti tif,

oligopsoni, dan monopsoni.

3.3 Model Dinamis

Meski model ini mempertimbangkan kekuatan pasar dari penjual

dan pembeli, beberapa penulis mengatakan bahwa model ini masih belum

bisa memberikan estimasi yang benar tentang kekuatan pasar. Estimasi

tidak benar bisa berasal dari kerangka model statis. Studi sebelumnya

menunjukkan bahwa estimasi kekuatan pasar di dalam model statis tidak

selalu benar (Friedman, 1993; Deodhar dan Sheldon, 1995 dan 1996 dalam

Chalil, at al, 2006). Pendekatan permintaan-linear dan biaya kuadratik

sering dipilih di dalam model dinamis) berikut adalah model fungsi profit :

Dimana β, faktor diskonto ( menandakan diskonto rate) p

adalah harga riil dan biaya penyesuaian kudratik,

nilai sekarang diskonto dari perusahaan j, dengan

variasi konjektural dinamik, dapat kembali ditulis fungsi profitnya :

Dua hal pertama dan istilah terakhir mengacu pada profit dari periode yang

sekarang, dan menyajikan nilai sekarang diskonto dari profit masa depan suatu

periode. Kondisi fisrt-order persamaan (2.16) menjadi :

Jika = 1, perusahaan dalam pasar akan collude, jika = -1, perusahaan sebagai

penerima harga, jika -1 < < 1, struktur pasar oligopolistik. Dari penggunaan

pendekatan ini di dalam studi, ditunjukkan bahwa model strategi feedback

ternyata memiliki struktur pasar lebih kompetitif dibanding model open-

(3.13)

(3.14)

(3.15)

35

loop. Dengan kata lain, model variasi konjektural statis bisa menghasilkan

estimasi kekuatan pasar yang tidak tepat. Dalam penelitian ini kekuatan

pasar akan diukur dengan model variasi konjektural dinamis. Secara grafis

elastisitas konjektural adalah sebagai berikut :

Gambar 3.1. Model Elastisitas konjektural dua industri

(diadaptasi dari Kevin Hinde )

Gambar 3.1 menunjukan elastisitas konjektural 2 industri, reaksi

perubahan volume industri q1 terhadap perubahan volume industri q2

dalam upaya memperoleh keuntungan maksimum. Secarama matematis

menurut Appelbaum (1984), Schroter (1988), serta Wann dan Sexton (1992)

menunjukkan bahwa elastisitas konjektural ditentukan oleh variable eksogen,

yaitu yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan selama pembuatan

keputusan. Ini merupakan harga input non-material yang digunakan oleh

perusahaan atau faktor ekonomi lainnya. Indeks harga produsen untuk input

industri dipilih sebagai petunjuk harga-harga input non-material. Pada saat

bersamaan, menambahkan laju suku bunga sebagai penentu lain elastisitas

konjektural. Ini merupakan biaya modal yang tidak dapat dikendalikan. Sehingga,

elastisitas konjektural ditetapkan sebagai (3.16).

θs = θo + θ1.PPI + θ2.r

Dimana :

q1

0

q2

Reaksi industri 2

Kurva q2 = f (q1)

Reaksi industri 1

Kurva q1 = f (q2)

Keseimbangan

3.16

36

θs = (∂M/ ∂Mj), (Mj/M), elastisitas konjektural perusahaan

θ1 = parameter yang terkait dengan penentu elastisitas konjektural

PPI = indeks harga produsen untuk input industri.

r = laju suku bunga.

Sebagai ilustrasi elastisitas konjektural digunakan untuk mengukur

kekuatan pasar industri kedelai dalam menetapkan harga input dan ouput.

Elastisitas konjektural adalah parameter yang mengestimasi reaksi pesaing lain

jika sebuah perusahaan merubah jumlah output dan harganya.

Tabel 3.1 Elastisitas Konjektural Industri Kedelai di Jawa Timur

Tahun Perusahaan Produk Olahan

Kedelai

(θs1)

Perusahaan Pakan Ternak

dari Kedelai

(θs2)

1989

1990

1991

1992

1993

1994

1995

1996

1997

1998

1999

2000

2001

2002

2003

2004

2005

2006

2007

2008

0,0209

0,0263

0,0273

0,0151

0,0287

0,0268

0,0237

0,0182

0,0155

0,0090

0,0275

0,0197

0,0201

0,0157

0,0265

0,0167

0,0221

0,0210

0,0174

0,0194

0,9791

0,9737

0,9727

0,9849

0,9713

0,9732

0,9763

0,9818

0,9845

0,9910

0,9725

0,9803

0,9799

0,9843

0,9735

0,9833

0,9779

0,9790

0,9826

0,9806

Rata-

rata

0,0209 0,9791

Sumber : BPS diolah

Nilai elastisitas konjektural perusahaan industri produk olahan kedelai dan

industri pakan ternak dari kedelai adalah 0 < 0,0209 < 1 dan 0 < 0,9791 < 1, maka

37

pasar industri kedelai di Jawa Timur adalah oligopolistik, perusahaan sebagai

pembuat harga. Berdasarkan pendekatan model Alppelbaum – Schroter, elastisitas

konjektural yang tinggi dapat memberi perusahaan derajat kekuatan pasar yang

tinggi baik di pasar input maupun di pasar output dan sebaliknya elastisitas

konjektural yang kecil memberi perusahaan derajat kekuatan pasar yang kecil pula

di pasar input dan output

3.4 Indeks Lerner

Pada tahun 1934, A.P. Lerner menyajikan konsep monopoli dan

pengukuran monopoli. Ia menentukan tingkat monopoli sebagai proporsi harga

yang ditandai pada pembiayaan marginal. Lebih lanjut, hal ini dikenal dengan

julukan indeks Lerner. Secara lebih khusus ditulis (Sheperd W.G., 1997 : Scherer

F.M at al., 1990) :

p

mc) -(p=L

(3.17)

Dimana L = tingkatan monopoli atau indeks Lerner.

mc= pembiayaan marginal, dan p = harga output

Lerner (1934) mendefinisikan tingkatan kekuatan monopoli sebagai

persentase penerimaan (revenue) monopoli per unit output. Ini bisa

dikatakan sebagai sebuah persentase markup di atas biaya marjinal. Dalam

sebuah pasar yang kompetitif sempurna, tidak ada markup dan indeks

Lerner (L) adalah nol, sedangkan dalam monopolistik murni, indeks

Lerner adalah satu.

Dalam maksimisasi profit, dimana biaya marjinal sama dengan

penerimaan marjinal, indeks Lerner bisa jadi adalah inverse dari elastisitas

permintaan

Berdasarkan persamaan ini, elastisitas permintaan yang rendah dapat

memberi perusahaan derajat kekuatan pasar yang tinggi. Pada elastisitas

permintaan yang tinggi, suatu peningkatan harga dapat menimbulkan konsumen

untuk mengurangi permintaan mereka. Karena itu, penjual tidak mampu

menahan harga yang tinggi. Elastisitas permintaan perusahaan masih

(3.18)

38

ditentukan oleh elastisitas permintaan pasar dan elastisitas penawaran

perusahaan lainnya; dan indeks Lerner dapat juga

ditulis sebagai berikut:

Dimana mi adalah perusahaan mj market share, elastisitas penawaran

perusahaan lainnya, dan εD elastisitas permintaan pasar. Elastisitas

permintaan pasar dan elastisitas penawaran bisa menentukan kekuatan

monopoli. Semakin besar dua elastisitas tersebut, semakin besar elastisitas

perusahaan, dan semakin kecil kekuatan monopoli. Versi indeks Lerner ini

sering digunakan dalam mempelajari kekuatan pasar perusahaan dominan

(Chalil, at al, 2006)

Untuk mengatasi reaksi perusahaan lain di pasar dalam sebuah pasar

oligopoli, Appelbaum (1982) mendefinisikan kadar kekuatan oligopoli

sebagai berikut :

Dimana adalah elastisitas konjektural jth perusahaan,

variasi konjektural jth perusahaan, dan market share jth

perusahaan. Selain elastisitas permintaan (seperti dalam situasi monopoli),

market share dan harapan perusahaan atas reaksi rivalnya (θj) juga bisa

menentukan kekuatan pasar dalam pasar oligopolistik.

Indeks Lerner juga bisa dimodifikasi sebagai ukuran kekuatan

monopsoni (kekuatan pembeli). Ini berbeda dari kekuatan

monopoli/oligopoly :

atau

(3.19)

(3.20)

(3.21)

(3.22)

39

Dalam kerangka dinamis, didasarkan pada kondisi first order model

penyesuaian biaya (Karp dan Perloff, 1989, 1993) Indeks Lerner dapat

ditulis kembali sebagai berikut :

Dimana Δ menunjukan

perbedaan indeks dengan satu statis, μ it = qit –qi,t-1 perbedaan diantara

output pada waktu t dan t-1. Dalam indeks dinamika, kekuatan pasar bukan

hanya ditentukan oleh efek reaksi perusahaan ke pilihan jumlah yang

dihasilkan perusahaan i

dan elastisitas permintaan pasar (ε t), tapi juga oleh penyesuaian biaya dan

direct dynamic externality (DDE), yang menjadi efek pilihan masa depan

terhadap pilihan sendiri, , dan juga indirect dynamic

externality (IDE), yaitu efek pilihan masa depan perusahaan terhadap

pilihan sekarang

Dengan penafsiran dan langkah-langkah serupa, ukuran power oligopsoni dapat

ditulis seperti berikut :

Dimana , mvt adalah nilai

marginal pada waktu t dan p, adalah harga input pada waktu t.

Versi lain dari Indeks Lerner dinamis ditemukan dalam studi

Hunnicutt dan Aadland (2003) dalam Chalil, at al,(2006) . Mereka

menggunakan batasan inventaris untuk memperoleh kondisi dinamis dan

menentukan profit diskonto

(3.24)

(3.25)

(3.23)

40

Dimana y, w dan S, agregat input atau penawaran ouput pada periode tertentu.

Inverse fungsi penawaran dan level stok, berturut-turut sebagai berikut,

dan St+1 = f(St, Yg,t) kondisi first order menjadi sebagai berikut :

Pengukuran kekuatan oligopoli sama dengan Indeks Lerner, dalam kasus ini

menjadi sebagai berikut :

Atau power oligopsoni

Dimana :

Model Lerner telah merangsang pengembangan model pasar tidak

sempurna yang baru yaitu New Empirical Industrial Organization (NEIO) yang

dikembangkan oleh Appelbaum (1981) dan Schroeter (1988).

3.5 Model Pasar Persaingan Tidak Sempurna

3.5.1 Model Kuantitas-Cournoti

Model Cournot memiliki tiga tahapan. Pada tahapan pertama,

terdapat dua perusahaan (duopoly) yang masing-masing memiliki biaya

produksi marjinal konstan dan menghadapi kurva permintaan industri yang

linier. Tahapan kedua membolehkan berapapun jumlah perusahaan.

(3.26)

(3.27

)

(3.28)

41

Tahapan ketiga berhubungan dengan permintaan umum dan kondisi biaya

(cost condition). Dalam ketiga kasus tersebut, produk dari masing-masing

perusahaan identik di mata konsumen (Sheperd W.G., 1997 dan Scherer F.M

at al., 1990).

(a) Duopoly. Masing-masing perusahaan memilih level produksinya.

Harga pasar adalah fungsi linier dari output industri

P(Q) = a – bQ, (3.29)

dimana (Q = q1 + q2). Profit perusahaan 1 adalah selisih antara total

revenue – P(Q)q1 – dan biaya total, yang sama dengan produk dari biaya

unit konstan c dan jumlah unit yang dihasilkan:

π1 = (a - bQ)q1 – cq1 (3.30)

Karena harga tergantung pada output perusahaan sama halnya

tergantung pada output perusahaan 1. Perusahaan 1 tidak dapat

menentukan level produksi maksimal-profit tanpa membuat asumsi

mengenai bagaimana respon dari perusahaan 2. Model Cournot berasumsi

bahwa masing-masing perusahaan yakin perusahaan lawan akan

mempertahankan produksinya tetap konstan. Dibawah asumsi ini,

Perusahaan memaksimalkan profit mereka dengan mendiferensiasi π1

berkaitan dengan q1, dan menentukan hasil yang sama dengan nol (kondisi

pertama untuk eksistensi maksimal terhadap fungsi profit)

dπ1/dq1 = P(Q) + (dP/dQ)q1 – c (3.31)

= a – 2bq1 – bq2 – c = 0

Persamaan (3.31) dapat dimanipulasi untuk memperoleh sebuah fungsi

berkaitan dengan level produksi maksimal-profit perusahaan 1 terhadap

output perusahaan 2:

q1 = ( )

22

1

2q

b

ca−

− (3.32)

Persamaan (3.32) adalah fungsi reaksi perusahaan 1 atau kurva reaksi,

karena hal ini mencatat respon atau reaksi maksimal-profit perusahaan 1

terhadap keputusan perusahaan 2. Perusahaan 2 memecahkan masalah

yang identik untuk memperoleh fungsi reaksinya

q2 = 12

1

2

)(q

b

ca−

− (3.33)

42

Solusi ekuilibrium, yakni, solusi bagi masalah maksimalisasi profit

masing-masing perusahaan yang tidak meninggalkan insentif bagi

perusahaan manapun untuk menurunkan produksinya, terletak pada

perpotongan dari dua kurva reaksi. Hal ini ditemukan dengan

mensubstitusikan persamaan (3.33) ke dalam persamaan (3.32) dan

mendapatkan pemecahan untuk q1:

q1 = b

ca

3

)( − (3.34)

(b) Oligopoli N-Perusahaan. Diandaikan, terdapat n-perusahaan. Fungsi

profit perusahaan 1 dideskripsikan oleh persamaan (3.31); tapi melakukan

diferensiasi mengarah pada first-order condition dengan output dari semua

rival n-1:

dπ1/dq1 = a – 2bq1 – b =

n

i

iq2

– c = 0 (3.35)

solusi ekuilibrium diperoleh dari fungsi reaksi untuk masing-masing

perusahaan dan kemudian secara simultan dipecahkan dari sistem

persamaan n ini. Masing-masing persuahaan menghadapi kondisi yang

identik dan karenanya akan memiliki level produksi yang sama ketika

masing-masing merupakan rival dalam ekuilibrium. Oleh karenanya,

dapat ditulis ulang (3.36) sebagai

a – 2bq – b(n-1)q – c = 0, atau q = bn

ca

)1(

)(

+

− (2.36)

Harga pasar dapat ditemukan dengan mensubstitusikan persamaan (3.36)

ke dalam persamaan (3.31) dan mendapatkan:

P = )1( +

+

n

nca (3.37)

ketika jumlah perusahaan menjadi semakin besar, P menjadi semakin

dekat dan semakin dekat ke biaya marjinal.

(c) Kasus Umum. Dalam kasus umum, dapat dibuat asumsi apapun

mengenai permintaan industri dan membolehkan perbedaan dalam biaya

perusahaan. Mempertimbangkan permasalahan yang dihadapi oleh

berbagai perusahaan lain dalam industri ini, sebutlah sebagai perusahaan i.

Profit perusahaan i adalah

43

πi = P(Q)qi – ci(qi) (3.38)

Asumsi model Cournot bahwa produksi rival adalah tetap (fixed), maka

perusahaan i akan mendiferensiasikan q dalam persamaan (2.39) untuk

mendapatkan first-order condition

dπi/dqi = P + (dP/dQ)qi – MCi = 0 (3.39)

dimana MCi, biaya marjinal, adalah dC/dq i. P + (dP/dQ)qi adalah marjinal

revenue perusahaan i. Dengan prosedur yang analog untuk monopoli, hal

ini dapat dimanipulasikan ke dalam bentuk

P[1 + (dP/dQ)(Q/P)(q i/Q)] = P – (P/e)si

dimana e adalah elastisitas harga pasar dari permintaan dan s i adalah

market share perusahaan i. Mensubstitusikan pernyataan terakhir ini ke

dalam persamaan (2.39) dan diatur kembali semua istilahnya, diperoleh

persamaan (2.40) berkaitan dengan market share perusahaan dalam

ekuilibrium terhadap biaya marjinalnya:

si = e(P – MCi)/P (3.40)

Alternatifnya, persamaan (2.40) dapat ditulis sebagai sebuah persamaan

yang berkaitan dengan marjin price-cost (harga-biaya) terhadap market

share-nya:

e

s

P

MCP ii =− )(

(3.41)

Untuk kasus dimana masing-masing perusahaan memiliki biaya marjinal

yang sama, si = 1/n, dan persamaan (3.41) dapat disederhanakan menjadi

persamaan (3.42):

neP

MCP i 1)(=

− (3.42)

Mengalikan masing-masing sisi dari persamaan (3.42) dengan market

share si, dan meringkas perusahaan n, diperoleh sebuah pernyataan yang

berkaitan dengan marjin price-cost industri rata-rata terhadap sebuah

pengukuran mengenai konsentrasi pasar, indeks konsentrasi Herfindahl -

Hirschman

e

s

P

sMCsP iiii =

− )(

e

H

P

MCP=

− )( (3.43)

44

3.5.2 Model Cournot dengan Variasi Dugaan

Di dalam bagian ini, dilonggarkan persyaratan bahwa perusahaan

berasumsi tidak ada perubahan dalam output rival sebagai respon terhadap

penyesuaian mereka sendiri.

(a) Duopoly. Fungsi profit perusahaan 1 tetap seperti yang ada di dalam

persamaan (2.31). Meskipun demikian, kini first-order condition untuk

eksistensi maksimum terhadap fungsi profit harus memasukkan dugaan

perusahaan 1 mengenai bagaimana perusahaan 2 akan bereaksi:

dπ1/dq1 = p(Q) + (dP/dQ)[1 + (dq2/dq1)]q1 – c (3.44)

= a – [2b + (dq2/dq1)]q1 – bq2 – c = 0

Sebelumnya, memecahkan q1 untuk mendapatkan fungsi reaksi perusahaan

1,

q1 = )]/(2[

)(

12

1

dqdqb

bqca

+

−− (3.45)

Ekuilibrium produksi telah didapatkan, seperti sebelumnya, dengan secara

simultan memecahkan sistem persamaan yang dibentuk oleh fungsi reaksi

untuk perusahaan 1 dan 2. Dengan asumsi dua perusahaan memiliki variasi

dugaan (conjectural) identik, maka ekuilibrium produksi untuk perusahaan

1 (dan juga perusahaan 2) adalah:

q1 = )]/(3[

)(

12 dqdqb

ca

+

− (3.46)

Output industri adalah 2q1. Mensubstitusikan ke dalam persamaan dan

disederhanakan, maka akan diperoleh

P = )]/(3[

2)]/(1[

12

12

dqdq

cdqdqa

+

++ (3.47)

Jika variasi dugaan (conjectural variation) dq2/dq1 adalah nol,

solusinya akan tetap sama dengan yang terdapat di dalam model Cournot.

Jika dq2/dq1 = -1, masing-masing perusahaan mengharapkan rival mereka

untuk mengimbangi perubahan produksi mereka; dan harga ekuilibrium

jatuh ke biaya marjinal c. Jika variasi dugaan adalah 1, maka masing-

masing perusahaan mengharapkan kesesuaian output paralel – sama seperti

jika dua perusahaan tersebut saling memahami secara eksplisit. Harga

45

mengalami kenaikan ke level maksimalisasi-profit gabungan, level yang

akan menjadi yang paling unggul jika perusahaan bergabung menjadi

sebuah monopoli: p = (a+c)/2b. ketika variasi dugaan mengalami kenaikan

antara -1 dan 1, yakni, ketika rival bergerak dari perilaku mengimbangi

menjadi perilaku yang mirip, output ekuilibrium akan turun dan harga

naik.

(b) Kasus Umum (Produk Homogen). Kembali ke kasus n-perusahaan

yang memasukkan first-order condition untuk maksimalisasi profit variasi

dugaan perusahaan i, dilambangkan dalam, dQ i/dqi:

dπ/dqi = P + (dP/dQ)[1 + (dQ i/dqi)]qi – MCi = 0 (3.48)

Seperti sebelumnya, dirubah marjinal revenue perusahaan i untuk

mendapatkan sebuah pernyataan dalam artian elastisitas harga permintaan

dan market share:

P +P(dP/dQ)(Q/P)(q i/Q)[1 + (dQi/dqi)] = P – (P/e)si(1 + dQi/dqi)

Dimasukan kembali ke dalam persamaan (2.32), diperolah marjin price-

cost :

)/1()(

ii

ii dqdQe

s

P

MCP+=

− (3.49)

Dalam kasus dQi/dqi = -1 yang ekstrim, rival mengimbangi

perubahan produksi dengan perusahaan i, sisi kanan dari persamaan (3.49)

adalah nol, dan perusahaan i beroperasi dimana harga setara dengan biaya

marjinal – kondisi yang mengkarakterisasikan ekuilibrium dibawah

kondisi kompetisi murni. Untuk nilai variasi dugaan yang lebih besar

daripada 0, perusahaan i mengharapkan rival untuk menyamai penyesuaian

output mereka. Kesesuaian yang sempurna akan meniru koordinasi atau

kolusi yang sempurna, membuat perusahaan i dapat mencapai kesetaraan

marjin price-cost yang bisa tercapai dalam ekuilibrium dibawah kondisi

monopoli, yakni, 1/e. Untuk menemukan variasi dugaan yang mengarah

pada hasil monopoli, ditentukan sisi kanan persamaan (3.49) sama dengan

1/e dan mendapatkan,

i

i

i

i

s

s

dq

dQ )1( −= (3.50)

46

Clarke dan Davies (dalam Shepherd W.G, 1997) telah mengembangkan

sebuah rumus yang terbukti berguna dalam penelitian empiris. Mereka

berasumsi bahwa keyakinan perusahaan mengeai reaksi rival individu

termasuk proporsional terhadap level produksi relatif mereka:

i

j

i

j

q

qA

dq

dq= (3.51)

Menyadari bahwa dQ j/dqi = Σj≠i dqj/dqi, dimasukan persamaan

(3.51) ke dalam persamaan (3.48) untuk mendapatkan persamaan (3.49)

dπi/dqi = P + (dP/dQ)[1 + AΣ j≠iqj/qi]qi – MCi = 0

Karena Σj≠iq2 = Q - qi, dapat dirubah marjinal revenue perusahaan i

untuk mendapatkan P + P(dP/dQ)(Q/P)(q i/Q)[1 + A(Q-qi)/qi] = P – (P/e)[si

+ A(1-si)]. Memasukkan pernyataan ini kedalam persamaan (3.48) dan

memanipulasikan lambang yang mewakilinya, didapatkan sebuah versi

alternatif dari pernyataan untuk marjin price-cost perusahaan 1:

])1([1)(

i

i sAAeP

MCP−+=

− (3.52)

Mengalikan masing-masing sisi persamaan (3.52) dengan market share si,

dan meringkas seluruh n-perusahaan, terhadap interaksi pengukur

ringkasan variasi dugaan perusahaan dan indeks konsentrasi Herfindahl –

Hirschman:

])1([1)( 2

ii

iii sAsAeP

sMCsP−+=

− ])1([

1)(HAA

eP

MCP−+=

− (3.53)

3.5.3 Model Leader-Follower von Stackelberg

Oligopoli von Stackelberg dengan n-Follower. Dengan perusahaan-

perusahaan yang identik, sulit untuk membenarkan apakah satu pihak

harus berperilaku sebagai pemimpin (leader) sementara yang lain

menerima peranan sebagai pengikut (follower) dan mengalami market

share dan profit yang menurun sebagai akibatnya. Perusahaan leader (L),

memiliki keunggulan biaya terhadap perusahaan follower(F) yang identik

satu sama lain, yakni, cL < cF. Dengan menggunakan kurva permintaan

industri linier (2.30). Mengikuti persamaan (2.36) diatas, first-order

condition yang diperlukan untuk memaksimalkan profit dari perusahaan

follower, perusahaan F, adalah dπF/dqF = [a - b(qL – n qF)] – bqF – cF = 0

47

Dari sini, didapatkan fungsi reaksi perusahaan F terhadap produksi

perusahaan L:

qF= )1(

)(

+

−−

nb

bqca LF (3.54)

Perusahaan L mengenali bahwa semua n-follower akan berperilaku

menurut fungsi reaksi ini, sehingga variasi dugaan dQL/dqL = ndqF/dqL = -

n/(n+1). First-order condition maksimalisasi profit perusahaan L adalah

dπL/qL = [a - b(qL -nqF)] – b(1 + dQL/dqL)qL – cL = 0

Memasukkan pernyataan dalam variasi dugaan perusahaan L dan fungsi

reaksi untuk perusahaan F, diperoleh :

a – bqL – [n/(n+1)](a – cF – bqL) – [b/(n+1)]qL – cL = 0,

Yang dapat dimanipulasikan untuk mendapatkan

qL = b

ccnca LFL

2

)()( −+− (3.55)

Memasukkan persamaan (2.55) ke dalam fungsi reaksi perusahaan F, pada:

qF = )1(2

)()1()(

+

−+−−

nb

ccnca LFF (3.56)

Jika leader tidak memiliki keunggulan biaya atas follower, maka

persamaan ini akan dapat disederhanakan dalam qL = (a – c)/2b dan qF = (a

– c)/2b (n+1). Market share leader adalah

sL = qL/(qL + nqF) = (n+1)/(n+2) (3.57)

Model teori pasar persaingan tidak sempurna Cournot dan

Stackelberg menjelaskan bagimana upaya perusahaan mempertahankan

keuntungan, karena adanya persaingan, yaitu dengan menyesuaikan

produksi dan harga ouputnya, dan tidak menjelaskan reaksi perusahaan

dalam penentuan harga inputnya, sedangkan dalam penelitian ini

disamping membahas tentang reaksi perusahan dalam penyesuaian

produksi dan penentuan harga ouputnya juga dibahas penentuan harga

inputnya.

3.5.4 Model Sederhana dari Appelbaum

Model sederhana dari Appelbaum, dikembangkan jika oligopolist

menghadapi fungsi biaya dan fungsi permintaan. Jika fungsi biaya perusahaan jth

48

ditunjukkan oleh Cj = Cj (yj , w) dimana yj merupakan output perusahaan jth dan

w adalah vektor harga input, maka y = j (p,z) sebagai fungsi permintaan dimana p

merupakan harga output dan z merupakan vector peubah permintaan (shifter

demand vectors). Maksimisasi keuntungan perusahaan jth ditunjukkan oleh (3.58).

max [pyj – Cj (yj , w): y = J (p,z)] (3.58)

dimana y = ∑j yj

Kondisi optimum yang sesuai dengan masalah maksimalisasi keuntungan

yang diberikan pada (3.58) ditunjukkan oleh (3.59).

Cj

Cjj

p

=

+

w),yj(

)1(

dimana θj = yy

j

y yj

.

y

p

p

.

=

y

Jika elastisitas permintaan untuk barang normal selalu negatif, maka dapat

dirumuskan, jika θj positif maka perusahaan dapat menarik harga yang lebih

tinggi saat dibandingkan dengan yang ada dalam pasar kompetitif. Ketika

elastisitas permintaan tetap, maka semakin tinggi elastisitas konjektural, semakin

tingi harga. Hal ini menunjukkan kekuatan pasar yang lebih tinggi.

Gambar 11 menggambarkan kondisi persamaan(3.59) dalam bentuk grafis

p(1+ θj/ η) adalah penerimaan marginal (MR). Sementara itu, δ Cj(yj, w)/ δ yj

adalah biaya marginal (MC). Ekuilibriumnya berada pada titik E. Harganya

ditentukan pada p dimana kuantitas Qj berpotongan dengan permintaan atas

produk perusahaan (Dj = rj.Dm) dimana Dj dan Dm adalah permintaan perusahaan

dan pasar atas produk dan rj adalah saham pasar perusahaan). Pasar ini berada

dalam ekuilibrium pada harga p dan kuantitas Qm.

P harga

MCj

(3.59)

49

p

Gambar 3.2 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar

Tidak Sempurna Ketika Hanya Harga Pasar Output

Yang Dipertimbangkan (Diadaptasi dari Saitone et.al.,

2007)

3.5.5 Model Biaya Input Terpisah dari Schroeter

Model yang lebih kompleks (Schroeter, 1988) mengindikasikan persoalan

dimana perusahaan jth menghadapi permintaan yang diberikan untuk output dan

suplai untuk input. Analisis ini membutuhkan pemisahan biaya bunga input bahan

baku dari biaya total. Oleh sebab itu, fungsi keuntungan perusahaan dapat

dinyatakan sebagai persamaan (3.60).

π = p.yj –Wr . Rj – Cj(yj, W) (2.60)

Dimana : Wr = harga input bahan baku

Rj = kuantitas input bahan baku yang digunakan oleh perusahaan

jth .

Kondisi maksimalisasi keuntungan memerlukan turunan pertama

persamaan (3.60) terhadap output menjadi nol. Sehingga dapat menghasilkan

persamaan (3.61).

CjM

e

jr

Wjp ')1()1( ++=

+

dimana η = elastisitas permintaan pasar

DM

DJ

MR = p(1 + θj/ η)

E

Qj

(3.61)

Qm

50

e = elastisitas suplai pasar

i = rasio konversi input-output semisal ∑ R = y atau z Rj = yj

MCj’ = biaya marjinal input non-bahan baku

Persamaan (3.61) menunjukkan bahwa perusahaan mencapai keuntungan

maksimum pada saat MR = MC. Sehingga p(1+ θ j/η) merupakan penerimaan

marginal perusahaan terhadap produk, sedangkan Wr (1 + θ j/e) adalah biaya

marginal bahan baku terhadap produk. Hal yang disebut terakhir ini harus

ditambahkan pada biaya marginal input non-bahan baku untuk membentuk biaya

marginal total.

Model ini menunjukkan bahwa perusahaan jth dapat menggunakan

keuntungannya dalam pasar produk dan input. Adalah menarik untuk diperhatikan

bahwa elastisitas konjektural perusahaan muncul pada kedua sisi persamaan. Hal

ini berarti bahwa perusahaan dapat menggunakan kekuatan pasar mereka pada

pasar input dan output.

Bagaimanapun juga, tingkatan keuntungan pasar di dalam masing-masing

pasar tergantung pada elastisitas tuntutan pasar untuk output dan suplai input,

secara berurutan. Seperti pada Gambar 3.2, Gambar 3.3 menunjukan kondisi

grafis persamaan (3.61) dimana pasar input dan output digabungkan. Dengan

mengaggap notasi yang sama sebagaimana Gambar 3.2, penerimaan marginal

perusahaan dan biaya marginalnya adalah p (1 + θ j/η) dan Wr (1 + θ j/e) + δj/δyδ

dan berpotongan pada titik E yang menghasilkan maksimalisasi keuntungan pada

perusahaan. Perusahaan akan menetapkan harga output pada p dan harga input

pada Wr. Perusahaan membeli input bahan baku dan menjual produk Qj unit.

Harga ekuilibrium dan kuantitas pasar adalah p,Wr dan QM.

Wr(1+ θj/η)

harga

P

MCj

Sj

E

51

Gambar 3.3 Penentuan Harga Perusahaan Jth Dalam Struktur Pasar Tidak

Sempurna Ketika Pasar Input Dan Output Diperhitungkan

Secara Bersamaan (Diadaptasi dari Saitone et.al., 2007)

3.5.6 Model Produk Gabungan

Untuk memenuhi tujuan dalam analisis agroindustri kedelai dimana

minyak kacang kedelai dan makanan kedelai merupakan produk gabungan, maka

mengikuti prosedur yang diadobsi oleh Wann dan Sexton (1992). Dalam model

ini, dilakukan dengan asumsi bahwa penjual input bahan baku dan pembeli

produk-produk perusahaan jth berjumlah banyak dan bertindak secara kompetitif

dalam pasar. Hal ini untuk menganggap struktur pasar sempurna pada bagian

suplai pasar input dan bagian pasar output.

Misalkan jy1 menjadi output ιth perusahaan jth dan Rι menjadi input bahan

bakuyang digunakan dalam menghasilkan bentuk produk ιth . masing-masing

bentuk produk jth membutuhkan input material dalam proporsi yang pasti : yι = zι.

Rι, dimana zι merupakan koefisien mengubah jumlah material input Rι menjadi

level yι output. Maka fungsi keuntungan perusahaan jth dapat dinyatakan sebagai

(3.62).

πj = P1.y1 + ∑m pm (y1,y2,,,yk), ym – TCj(yj1,y

j2,,,w1,F) – Wr(R

j).Rj (3.62)

Dimana:

pι (y1,y2….yk) adalah fungsi permintaan pasar untuk bentuk output ιth

Yι = ∑ jjy1 (bentuk output total ιth industry)

TCj = fungsi pembiayaan non-bahan baku perusahaan jth

WM

SM

Qj Jumlah QM

MR=p(1+θj/η)

DM

Dj

52

Rj =∑ι jR1 (input total yang diperlukan oleh perusahaan jth)

Wι = vektor harga inputvariabel

Wιj = harga input bahan baku yang dibayarkan oleh perusahaan jth

F = vektor input tetap

Perusahaan memproses bahan baku r menjadi bentuk produk j. Jika rasio

konversi produk yang diproses secara gabungan ini konstan pada Zι, maka dapat

menghitung proporsi bentuk output m dengan adanya level bentuk output j.

Persamaan (3.63) menunjukkan hubungan antara bentuk output j dan bentuk m

tersebut.

Y1 = τ1.R; Ym = τm.R (3.63)

;

1

1

m

mYY = YYm

m 1

1

.

=

Dengan mensubtitusi hubungan ini ke dalam (3.62) fungsi keuntungan

perusahaan jth yang menghasilkan produk-produk gabungan sebagai (3.64).

πj = P1.jY1 + ∑m

1

m .Pm(Y1,,,,Yk), jY1 –TCj( jY1 , jY2 ,,W1.F) – Wr®.Rj (3.64)

Turunan pertama dari produk bentuk ke ι dan mengatur kembali istilah-

istilah/persyaratan untuk menghasilkan formulasi harga sebaran sebagai (3.65).

CjM

eR

jW r

j

mPmm

j

P

m

')1

1(

1

)1

1(

1

.)

1

11(1 ++=++

+

dimana:

eR = (δWr/δR) (R/W1) merupakan elastisitas harga petani dalam suplai

pasar input material.

θjτ = (dyι/dyj

1 )(Yj1/y

ι) merupakan elastisitas konjekturalperusahaan dari

output ke ι.

ηι = (δyι/ δPι) (yι/ Pι) merupakan elastisitas harga permintaan pasar untuk

bentuk output ke ι.

(3.65)

53

Menurut model, nilai j

determinan kunci persaingan di pasaran. Jika

j

=1, maka perusahaan pemrosesan dapat bertindak sebagai pelaku monopsoni

di dalam pasar. Nilai j

=0 berarti pasar kompetitif

Pernyataan (3.65) menunjukkan indikator lengkap untuk

ketidaksempurnaan pasar, baik dalam pasar input maupun output/produk. Sejauh

j

tidak nol dan elastisitas harga permintaan dan suplai tidak secara sempurna

elastis, perusahaan dapat menerapkan kekuatan pasarnya kedalam pasaran input

dan output.

3.5.7 Model Agregat dan Ekuilibrium Pasar

Keuntungan model ini ialah kemampuannya untuk diterapkan pada tingkat

gabungan ketika ekuilbrium pasar dipertimbangkan. Bagaimanapun juga,

beberapa asumsi tertentu harus dapat terpenuhi agar pernyataan ini konsisten.

Asumsi ini melibatkan perilaku perusahaan dan fungsi biaya.

Apabila kondisi dalam (3.65) dipertimbangkan menyangkut produk

homogen. Perusahaan tersebut mungkin memiliki fungsi biaya yang berbeda.

Namun, jika semua fungsi biaya adalah fungsi kuadratik. Dengan adanya produk

homogeni, maka perusahaan harus menjual pada harga yang sama. Perusahaan

menghadapi permintaan pasar yang sama. Kedua variabel tersebut, p dan η sama.

Perusahaan hanya bisa memvariasi biaya marginal dan elastisitas konjektural. Hal

ini berarti perusahaan menghasilkan pada biaya marginal yang berbeda dan

menjalankan kekuatan pasar yang berbeda. Dengan melakukan ini, perusahaan

dapat memperoleh tingkatan laju keuntungan yang berbeda yang diimplikasikan

oleh beragam level elastisitas konjektural.

Apabila perusahaan yang memiliki biaya marjinal lebih rendah, dalam

rangka mengejar keuntungan maksimum, maka perusahaan tersebut dapat

meningkatkan keuntungan total mereka dengan lebih banyak berproduksi.

Dikarenakan fungsi biaya adalah kuadratik, perusahaan dihadapkan dengan biaya

marjinal yang increasing.

Peningkatan produksi berarti suatu peningkatan dalam biaya marginal,

sehingga elastisitas konjektural perusahaan akan secara otomatis lebih rendah.

Proses ini dapat dilakukan selama perusahaan menghasilkan biaya marginal lebih

54

rendah sampai pada saat dimana semua perusahan menghasilkan pada level biaya

marginal yang sama dan konjektural mereka pastilah identik, ini adalah

ekuilibrium industri.

Pembahasan diatas membuat asumsi yang berbeda dari yang ditunjukkan

Appelbaum (1982). Appelbaum berpendapat bahwa perusahaan memiliki jalur

ekspansi yang linier dan pararel, sehingga pembiayaan marginalnya konstan dan

setara pada perusahaan. Disini kita dapat berpendapat bahwa perusahaan memiliki

fungsi biaya yang berbeda dengan bentuk non liniernya. Akhirnya, kita tiba pada

kesimpulan yang sama bahwa semua perusahaan beroperasi pada level biaya

marginal dan elastisitas kenjektural yang sama.

Berkaitan dengan model produk gabungan, dengan asumsi bahwa jika

terdapat fungsi biaya aggregate untuk industri maka fungsi biaya aggregate

diturunkan dari rata-rata fungsi biaya perusahaan. Fungsi biaya rata-raa ini akan

benar adanya jika industrinya selalu berada pada tingkat ekuilibrium.

7) Kasus Produk Tunggal

a). Kondisi Appelbaum-Schroeter

Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat

ekuilibrium, perusahaan yang beroperasi mempunyai biaya marginal dan

elastisitas konjektural yang identik. Selain itu, perusahaan juga menarik biaya

pada tingkat harga yang sama. Sehingga analisis ini dapat diterapkan dengan

model perusahaan dengan mempertimbangkan pasar input dan output. Hal ini

mempunyai implikasi pada perusahaan dengan biaya marjinal non-bahan baku

yang lebih rendah sehingga perusahaan akan lebih terus berproduksi untuk dapat

menikmati keuntungan yang tinggi. Karena pertama kali model ini diperkenalkan

oleh Appelbaum (1982) dan Schroeter (1998), Maka kondisi ini dikatakan

kondisi Appelbaum-Schroeter. Kondisi ini dinyatakan sebagai (3.66).

CMe

W rP

')1()1( ++=+

Kondisi dalam (3.66) menunjukkan bahwa pada tingkat ekuilibrium,

semua perusahaan beroperasi pada tingkat biaya marjinal non-material dan

elastisitas konjektural yang sama. Mereka menyusun tingkat harga input dan

output sama. Hal ini merupakan kondisi yang diperlukan untuk penentuan harga

(3.66)

55

dalam oligopoly dengan produk yang homogeny. Bagaimanapun juga, kondisi ini

tidak dapat dijamin beada pada tingkat ekuilbrium. Hal tersebut membutuhkan

dua kondisi lainnya, yaitu kondisi ekuilibrium dalam pasaran input dan output.

b). Kondisi Ekuilibrium Pasar Umum

Kondisi ekuilbrium dalam pasar input diperlukan kondisi dimana total

suplai dari input sama dengan permintaan totalnya. Permintaan akan inpu material

perusahaan dapat ditentukan didalam model, sehingga permintaan total

merupakan penjumlahan dari semua permintaan imput. Hal ini ditunjukkan dalam

persamaan (3.67).

==

jj

r

YjjXX 1

Apabila fungsi suplai input dapat dinyatakan sebagai 3.67), maka

persamaan (3.68) menunjukan kondisi ekuilibrium dalam pasar ini.

Xr = g(Wr) (3.68)

( )W r

j

gY

j =

Didalam pasar output, keseimbangan antara permintaan dan suplai harus

dapat terpenuhi. Suplai output perusahaan ditentukan dalam modelnya (yaitu y=

z.R). jika kita mendefinisikan fungsi permintaan konsumen untuk bentuk output ι

sebagai (3.70), maka kondisi ekuilibrium didalam pasar input ini ditunjukkan

dalam (2.71)

Y= f(P) (3.70)

∑jYj = f(P) (3.71)

Sistem persamaan (3.66), (3.69) dan (3.71) memberikan kita kondisi

memadai dan diperlukan untuk ekuilbrium di pasar tidak sempurna. Karena

terdapat tiga variable yang tidak dikenal (yaitu p, w dan level output yang

didefinisikan oleh ∂c(w, yj/ ∂y) dan tiga persamaan, terdapat solusi yang unik.

c) Model Kompetitif Yang Tidak Sempurna Versus Sempurna

Sebagaimana disebutkan diatas, harga dan jumlah input serta output dalam

pasar kompetitif tidak sempurna secara bersamaan dapat ditentukan oleh

persamaan (3.66), (3.69) dan (3.71). Kondisi Appelbaum-Schroeter, suplai input

dan permintaan akan output saling terkait atas elastisitas suplai dan permintaan.

(3.69)

(3.67)

56

Dalam hal ini, maka fungsi permintaan dan fungsi suplai dapat ditentukan secara

bersamaan karena perusahaan dalam kondisi maksimisasi keuntungan atau kondisi

Appelbaum-Schroeter.

Dalam pasar kompetitif yang sempurna, elastisitas konjektural perusahaan

(θj) adalah nol. Kondisi dalam persamaan (3.66) berkurang menjadi (3.72) dimana

perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar untuk mempengaruhi harga.

'MCP W r +=

Berikutnya, persamaan (3.72),(3.69) dan (3.72) tidak saling terkait satu

dengan lainnya, ketika perusahaan tidak memiliki kekuatan pasar untuk

mengendalikan harga pasar, kondisi (3.72) tidak lagi diperlukan dalam pasar

kompetitif/persaingan sempurna. Harga-harga disini ditentukan secara murni dari

kekuatan permintaan dan suplai. Hanya analisis fungsi-fungsi permintaan dan

suplai yang praktisnya dibutuhkan demi penentuan harga didalam jenis pasar ini.

Dalam model ini, analisis harga dalam dua struktur pasar ini benar-benar

berbeda sehingga analisis ini tidak dapat digunakan di dalam struktur pasar yang

berbeda. Analisis yang dilakukan dapat mengarah menuju kesimpulan yang salah

seperti dalam pembahasan model monopoli sederhana.

Gambar 3.4 menunjukkan analisis komparatif dalam dua struktur pasar.

Dalam pasar monopsoni, bukan monopoli terdapat asumsi yang memungkinkan

bahwa terdapat banyak penjual dan konsumen. Pembeli membentuk suatu institusi

untuk memonopoli pembelian komoditas. Dalam hal ini, institusi konsumen

diwujudkan dengan fungsi biaya sumber daya marjinal atau marginal resource

cost (MRC) dan menjadikannya suatu persamaan pada permintaan aggregate

(AD). Titik ekuilibrium pada titik E. jika monopsoni membeli sejumlah OQ* pada

harga OP.

Harga

A

B E

MR

C

S

E’

(3.72)

57

Gambar 3.4. Perbandingan Penentuan Harga Dalam Pasar Kompetitif Dan

Monopsoni.(Sumber: Jeevika W., 2003)

Pada Gambar 3.4, apabila menganalisis persoalan dengan menggunakan

model kompetitif, maka permintaan konsumen terletak pada BD’. Hal ini

umumnya dikenal sebagai “derived demand”. Titik ekuilibrium kompetitifnya

pada titik E’, sehinga harga ekuilibrium dan jumlah yang diperdagangkan sama di

titik E seperti kondisi monopsoni, tetapi efek kesejahteraannya berbeda.

Jelaslah bahwa surplus produsen identik di kedua model, tetapi tidak dapat

diterapkan untuk surplus konsumen. Dibawah model kompetitif, surplus

konsumen merupakan segitiga PE’B. Surplus tersebut dibawah model

monopsoni setara dengan area PE’EA. Terdapat surplus konsumen yang lebih

besar diperkirakan oleh model tidak sempurna.

Hal yang menarik adalah implikasi kebijakannya. Dalam Gambar 3.5 kita

anggap bahwa pemerintah menerapkan harga minimum OP’. kurva suplai yang

baru adalah P’FS. Akibatnya, kurva MRCyang dihadapi oleh lembag konsumen

adalah P’FGK. Mereka membentuk ekuilibrium baru pada G untuk model

monopsoni. Namun akan terdapat ekuilibrium pada F di bawah model kompetitif

jika pemerintah mampu menghilangkan suplai berlebih HF. Hal ini menunjukkan

bahwa suplai belebih hanya ada dalam model kompetitif namun tidak pada model

kompetitif tidak sempurna. Hal tersebut berlaku selama harga minimum yang

ditentukan oleh pemerintah kurang dari atau sama dengan harga pada perpotongan

kurva permintaan dan suplai.

Ketika pemerintah menangani suplai yang berlebih, harga dan jumlah yang

diperdagangkan sama untuk kedua model. Model kompetitif memperkirakan

pengurangan dalam surplus konsumen pada wilayah PE’HP’ dan peningkatan

surplus produsen menyangkut PE’FP’. Model monopsoni memperkirakan level

peningkatan yang sama dalam surplus produsen. Namun hal tersebut dapat

P

D’

D

Q*

Jumlah

58

menghasilkan surplus konsumen yang berbeda. Oleh sebab itu, perubahan dalam

surplus konsumen harus dievaluasi dengan membandingkan perbedaan antara

wilayah EIFG dan PE’IP’. Jika yang sebelumnya lebih besar, surplus konsumen

meningkat. Namun jika lebih kecil, surplus konsumen berkurang. Oleh sebab itu,

mungkin kiranya menyusun kebijakan harga minimum yang sesuai yang

menghasilkan keuntungan bagi kedua pihak. Hal-hal yang lebih menarik dapat

dibuat lewat penerapan analisis ini pada jenis-jenis lain struktur pasar tidak

sempurna.

Gambar 3.5 Perbandingan Kebijakan Harga Minimum Dalam Pasar

Kompetitif Dan Monopsoni (Diadaptasi dari Jeevika W.,

2003)

8) Model Produk Gabungan

a. Kondisi Appelbaum-Schroeter

Dalam masalah produk gabungan, kondisi Appelbaum-Schroeter berlaku

persamaan (3.65). karena semua perusahaan menghasilkan pada tingkat biaya

marjinal non-bahan baku marjinal dan elastisitas konjektural yang sama,

persamaan (3.73) menampilkan bentuk kondisi ini yang lebih umum.

CjM

eR

jW r

j

mPmm

j

P

m

')1

1(

1

)1

1(

1

.)

1

11(1 ++=++

+

Harga

A

B

MRC

S

E’

F H

D

D’

P

P’

K

E

Q* Q*

*

Jumlah

(3.73)

I

O

59

Perlu diperhatikan, kondisinya berbeda dari persamaan (3.66). disini

perusahaan memiliki ∑m(ι m/ιi)Pm(1+θj/ηm) yang merupakan penerimaan marjinal

pada perusahaan kasus produk gabungan. Sehingga perlu menambah harga output

gabungan ke-m dalam model ini. Hal tersebut mencerminan kondisi produk

gabungan dalam biaya produksi terpisah. Banyak bentuk produk dapat menjadi

dasar untuk analisis yang didasarkan pada kondisi di atas. Rasio konversi produk

akan menyesuaikan perbedaan-perbedaan ini.

Menurut kondisi (3.73) jelas kiranya bahwa perusahaan memiliki

elastisitas konjektural tunggal yang diterapkan pada semua pasar. Namun

kekuatan pasar yang ditentukan oleh θι/ηι atau θι/eδ akan berlainan dalam pasar

yang berbeda (lihat juga Schroeter (1988)). Di sini kekuatan pasar perusahaan

tergantung pada elastisitas permintaan dan suplai yang dihadapi oleh perusahaan.

Dengan secara hati-hati menyelidiki kondisi (3.73). akan mengarah menuju

kesimpulan bahwa semakin kecil elastisitas permintaan dan suplai, semakin tinggi

kekuatan pasar dan marjin harga.

b). kondisi ekuilibrium pasar umum

Kondisi ekuilibrium pasar umum mensyaratkan masing-masing pasar

bentuk produk ke-ι menjadi bebas, termasuk pasar input material. Persamaan

(3.69) telah menunjukkan bahwa pasar bersifat bebas di dalam pasar input

material. Untuk mencakup semua bentuk produk, kondisi dalam (3.71) dapat

dinyatakan sebagai (3.74).

)(

111 = PfjjY

(3.74)

Kondisi (3.74) memiliki persamaan m (misalnya ι = 1,2,…,m). Model ini

terdiri dari persamaan m+2 dan variable m+2 ( yaitu harga input material, harga

output m, dan level produksi). Hal ini menggambarkan keberadaan solusi yang

unik pada sistem persamaan (2.69), (2.73) dan (2.74). sistem persamaan ini dapat

diterapkan pada penelitian industri pertanian, khususnya kedelai di Jawa Timur.

9) Model dalam Ekonomi terbuka: Persoalan Negara Pengimpor

Model di atas secara implisit beranggapan tidak ada perdagangan

internasional yang terlibat. Bagaimanapun juga, Negara-negara saat ini terkait

melalui perdagangan internasional. Idenya, perdagangan menciptakan keuntungan

bersih bagi semua pihak yang terlibat. Negara-negara pengimpor membeli produk

60

pada harga yang lebih rendah sementara Negara-negara pengekspor menjualnya

dengan harga yang lebih tinggi. Negara-negara pengimpor dan pengekspor dapat

meningkatkan surplus konsumen dan produsen mereka, secara berurutan.

Kesejahteraan global total akan meningkat.

Dengan adanya keuntungan-keuntungan dari perdagangan, maka hambatan

impor perlu dilakukan untuk menghemat devisa. Pemikiran dasarnya adalah

bahwa dengan berproduksi secara domestik, negara dapat menghemat devisa.

Sebagai akibatnya, kebijakan proteksi merupakan alternatif terbaik.

Manipulasi kebijakan dalam perdagangan internasional merupakan hal

yang menarik. Ekspansi model dapat mencakup pasar eksternal. Hal ini membuat

model lebih dapat diterapkan. Pada saat bersamaan, evaluasi kebijakan kemudian

dapat dengan mudah dilaksanakan.

Pelaku ekonomi biasanya mempertimbangkan dua fenomena berbeda

ketika mereka memandang ekonomi pasar terbuka. Negara dapat diasumsikan

sebagai negara yang besar atau kecil tergantung apakah ia dapat mempengaruhi

harga dunia. Indonesia merupakan kasus kebanyakan sebagai negara kecil yang

dominan sehingga dalam kasus penelitian ini dikonsentrasikan pada masalah

negara kecil dimana baik negara maupun perusahaan domestik tidak

mempengaruhi harga dunia. Indonesia sebagai price taker harus menerima harga

yang ditentukan secara kompetitif di dalam pasar global. Bagaimanapun juga, jika

pemerintah memberikan batasan pada impor, perusahaan masih bisa

mempengaruhi harga-harga domestik. Perusahaan dapat secara sukses melakukan

melalui kekuatan pasarnya selama hambatan perdagangan ada. Kasus ini banyak

terdapat di Indonesia dimana pemerintah hanya memberikan lisensi pada

perusahaan tertentu untuk mengimpor.

Ketika pemerintah menerapkan pembatasan pada impor hanya sejumlah

komoditas tertentu yang akan dimpor. Normalnya, impor benar-benar ada ketika

haga dunia lebih mrah dibandingkan harga domestic. Perusahaan memiliki dua

sumber suplai bahan mentah. Fungsi keuntungan perusahaan dapat dinyatakan

sebagai (3.80).

πj = P1

jY1 + ∑mPm(Y1, Y2,,,Yk). jY1 – TCj( jY1 , jY1 , W1, F)– Wr (R).(Rj– j

impR )–Wwr.

j

impR

3.80

61

Dimana :

Rj = adalah input material mentah total yang digunakan oleh perusahaan

Rimpj = adalah jumlah input material mentah yang diimpor perusahaan

Wwr = adalah harga dunia input material mentah yang konstan.

Persamaan (3.80) menunjukkan bahwa pembiayaan total untuk input

material mentah terdiri dari dua bagian. Bagian pertama adalah pengeluaran pada

pembelian domestik. Hal ini setara dengan Wr.( Rj– Rimp

j).

Bagian kedua ialah pengeluaran pada impor input bahan mentah yang

setara dengan Wwr. Rjimp. Ketika harga dunia lebih rendah dibandingkan harga

domestik, perusahaan dapat mengurangi pembiayaan dengan impor. Untuk

mendapatkan kondisi Appelbaum-Schroeter, kita membedakan persamaan (3.80)

dengan memperhatikan bentuk output perusahaan s. hasilnya pada persamaan

(3.81)

Cj

Mj

R

jimp

R

eR

jW r

j

mPmm

j

P

m

'11).(

11(

1

)1

1(

1

.)

1

11(1 +−+=+++

Persamaan (3.81) menunjukkan secara jelas bahwa anggaran untuk impor

yang banyak akan mengurangi kekuatan pasar perusahaan. Hal ini kelihatannya

bertentangan dengan persepsi umum bahwa impor cenderung menekan harga

domestik input, dalam hal ini, kekuatan pasar perusahaan. Pada umumnya, impor

dapat menyebabkan harga domestik input berkurang. Namun itu tidak

meningkatkan kekuatan pasar perusahaan. Ketika perusahaan dapat mengimpor

pada harga yang lebih rendah, biaya produksinya berkurang. Perusahaan akan

merasa lebih untung memperluas produksinya. Dalam persaingan dengan sedikit

perusahaan (oligopoly), kekuatan pasar perusahaan akan berkurang. Oleh sebab

itu, semakin tinggi pembatasan impor dalam hal mengizinkan impor yang lebih

kecil, cenderung meningkatkan kekuatan pasar di dalam pasar input. Dan ketika

perusahaan mampu membeli semua input material, perusahaan perlu mengindikasi

dengan 1/ =jj

imp RR , kekuatan pasar perusahaan adalah nol. Ini adalah persoalan

dimana pasar input dalam sistem perdagangan bebas.

Dalam kondisi seperti (3.81), persamaan ini pada tingkat industri

memerlukan pembahasan yang lebih lanjut. Pada tingkat industri, keberadaan

3.81

62

ekuilibrium memerlukan Rimpj/Rj yang sama untuk semua perusahaan disamping

persyaratan elastisitas konjektural (padahal elastisitas ini dihitung melalui

prediksi). Hal ini berarti bahwa kuota impor material R harus secara proporsional

terdistribusi diantara perusahaan-perusahaan tergantung pada level produksi

mereka. Jika tidak, maka tingkat ekuilibrium industri mungkin tidak akan pernah

ada. Sebenarnya, persyaratan tambahan ini perlu dipenuhi dalam persaingan

dengan sedikit perusahaan. Jika semua perusahaan memiliki kesempatan yang

sama untuk mengimpor, sehingga mereka akan bersaing demi impor tanpa

pesyaratan di atas terpenuhi karena semua perusahaan memiliki proporsi yang

sama. Bagaimanapun juga, analisisnya kelihatan tidak praktis. Prosedur yang

realistis masih mensyaratkan pemerintah untuk memproporsi kuota impor sesuai

dengan persyaratan tersebut.

Dengan beranggapan bahwa pemerintah benar-benar memproporsi kuota

impor input material mentah, kondisi Appelbaum-Schroeter pada level gabungan

dapat dinyatakan sebagai (3.82).

Cj

Mj

R

impR

eR

W rmPmmP

m

'11).(

11(

1

)1

1(

1

.)

1

11(1 +−+=+++

Sehingga untuk melihat efek kebijakan pembatasan impor. Begitu syarat

berlaku, pemerintah hanya memungkinkan menentukan sejumlah tertentu impor di

bawah skema kebijakan ini. Hal ini memungkinkan perusahaan pemrosesan

menerapkan kekuatan pasar ke dalam pasaran domestik. Tentu saja, perdagangan

internasional mengurangi kekuatan pasarnya dalam beberapa hal. Kita dapat

mengantisipasinya dengan menyelidiki pengaruh Rimp dalam (3.82).

Persamaan (3.82) menunjukkan dengan jelas dampak pembatasan impor

pada kekuatan pasar perusahaan. Kekuatan pasar perusahaan meningkat begitu

pemerintah mengizinkan lebih sedikit impor material input (Rimp) dan sebaliknya.

Berdasarkan analisis ini, pemerintah dapat membatasi kekuatan pasar perusahaan

dengan menyusun level yang tepat atas tunjangan impor dari input material

perusahaan.

Dampak impor output perusahaan tidak akan mengurangi kondisi di atas.

Sebagai gantinya, mereka mempengaruhi permintaan pasar akan produk.

Konsumen tidak akan membeli cuma produk domestik saja namun juga yang

3.82

63

impor. Persamaan (3.83) menampilkan permintaan pasar akan produk ketika

impor memungkinkan meskipun pada jumlah yang terbatas.

∑jYj1 + Yimp = f1(P1) (3.83)

dimana : Yimp adalah jumlah total impor bentuk produk ι

Adalah mudah untuk mengevaluasi dampak impor bentuk output ι dari

(3.83). jelasnya, pada harga konstan, peningkatan Y1imp mengurangi ∑yjι . Hal ini

berimplikasi bahwa perusahaan akan wajib mengurangi produksi mereka ketika

akan ada banyak impor produk.

Adalah mudah juga untuk memikirkan persoalan perdagangan bebas. Di

bawah impor yang tidak terbatas, perusahaan menghadapi permintaan elastik yang

sempurna dan juga suplainya. Meskipun mereka memiliki kekuatan pasar untuk

memiliki elastisitas konjektural non-zero (bukan nol), mereka tidak dapat

menerapkannya. Mereka harus menerima harga dunia. Dalam hal ini, harga-harga

domestik berbeda dari harga dunia dengan penghalang non-kuantitas (yaitu

pengumpulan impor). Kondisi Appelbaum-Schroeter dikurangi menjadi (3.84)

dimana semua harga ditentukan sebelumnya pada level dunia. Kuantitas yang

setara ditentukan dengan memecahkan fungsi permintaan dan suplai pada harga

yang ditentukan sebelumnya. Keseimbangan permintaaan dan suplai

mengindikasikan level impor.

'

1

11

1

.MC

WPmP rmm +=+

(3.84)

dimana P1 = Є1 = Є1.Pw1;Wr = Є r.W wr

Єk adalah kumpulan penarikan impor pada komoditas k

Berdasarkan analisis diatas, implikasi kebijakan pada impor untuk

pengendalian harga-harga domestik dapat lebih lanjut di selidiki, ini merupakan

tujuan utama penelitian ini.

10) Asumsi Model

Pembatasan sebelumnya secara implisit menyebutkan beragam asumsi

dalam model. Perusahaan dalam kondisi yang diperlukan bagi pasar untuk berada

ada ekuilibriumnya. Tanpa asumsi yang ada, maka model tidak akan bekerja

sesuai dengan kerangka penelitian ini. Oleh sebab itu, perlu memerinci secara

eksplisit masing-masing asumsi yaitu:

64

1. Tindakan Independen Perusahaan; Asumsi ini merupakan yang paling

penting. Model mnsyaratkan perusahaan bertindak secara kompetitif atau tidak

ada kolusi diantara perusahaan.

2. Maksimisasi keuntungan; Semua perusahaan dianggap dalam keadaan

memaksimumkan keuntungan.

3. Fungsi Biaya; Model ini mensyaratkan bentuk fungsi biaya yang sama untuk

perusahaan-perusahaan yang berbeda. Misalnya, fungsi biaya perusahaan

adalah linier maka semua perusahaan tengah menghadapi biaya marginal

konstan input non-material.

Bab 4 Faktor-faktor yang mempengaruhi

kekutan pasar (maret power)

Untuk mengukur kekuatan pasar yang bersifat oligopoli pada pasar

komoditas pertanian, sebagai ilustrasi dipilih kedelai, dengan menggunakan

pendekatan model Appelbaum – Schroter, industri kedelai menghadapi fungsi

biaya, baik di pasar input maupun di pasar output. Kekuatan pasar oligopoli di

pasar kedelai mempengaruhi harga input dan output diukur dari elastisitas

konjenkturalnya, dan besarnya kekuatan pasar oligopoli mempengaruhi harga

sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor, elastisitas harga terhadap penawaran

65

kedelai, elastisitas harga permintaan produk olahan dari kedelai dan produk

pakan ternak yang menggunakan kedelai dan biaya marginal dari proses

pengolahan dari input menjadi output oleh industri kedelai. Sehingga untuk

menganalisis kekuatan pasar oligopoli di pasar kedelai, terlebih dahulu dilakukan

estimasi terhadap elastisitas harga suplai kedelai di pasar input dan elastisitas

harga permintaan produk olahan kedelai di pasar output, dan biaya marginal

proses pengolahan dari industri kedelai.

4.1 Elastisitas Penawaran Produk Pertanian

Ada dua tingkatan pemasaran produk pertanian yang diperdagangkan di

pasaran. Tingkatan pertama untuk konsumsi rumahan langsung, yang digunakan

dalam produk makanan dan juga untuk tujuan perbenihan. Tingkatan kedua

sepenuhnya untuk pembuatan industri besar. Harga dua tingkakan ini berbeda,

dimana harga kualitas kedua lebih rendah. Terdapat tempat-tempat khusus dengan

varietas-varietas tertentu yang memproduksi komoditi pertanian tertentu dengan

kualitas tertentu yang dapat dijual pada tingkatan pertama. Secara umum, petani

dengan kualitas komoditi yang baik harus menyortir menjadi kualias tinggi untuk

dijual sebagai komoditi tingkatan pertama/kelas satu. Sisanya dianggap tingkatan

dua/kelas kedua. Oleh sebab itu, sebenarnya terdapat dua pasar terpisah untuk

komoditi untuk kelas satu dan kelas dua.

Permintaan akan produk-produk pertanian berasal dari konsumen rumah

tangga dan perusahaan-perusahaan atau industri yang menggunakannya sebagai

input. Sedangkan sumber permintaan berasal dari perusahaan dan impor sehingga

permintaan totalnya merupakan penjumlahan semua yang diproduksi secara

domestik oleh perusahaan pengolahan dan dari impor.

Umumnya penawaran komoditi pertanian sangat reponsif terhadap harga,

seperti contoh penawaran kedelai petani di Jawa Timur responsif terhadap harga.

Harga pertanian lain juga mempengaruhi penawaran kedelai pada level petani.

Pada level pedagang besar, penawaran pasar ini merespon pada tingkat harga

pedagang besar.

Logikanya, jumlah impor kedelai meningkatkan penawaran yang tersedia

bagi perusahaan. Karena data untuk kedelai yang digunakan oleh perusahaan

termasuk kedelai impor, maka perusahaan adalah penentu juga dalam penawaran

66

kedelai. Fungsi penawaran kedelai yang dihadapi oleh perusahaan pengolahan

kedelai dapat dinyatakan pada(4.1) :

R = f(Wr, Rimp, Pf .F,T.e) (4.1)

dimana :

R = penawaran kedelai tingkat/kelas dua yang digunakan dalam

agroindustri kedelai.

Wr = harga kedelai grosiran di Jawa Timur

Rimp = jumlah kedelai yang diimpor

Pf = harga eceran pupuk Urea.

F = jumlah curah hujan tahunan

T = tren waktu

e = error item

Bentuk suplai fungsional yang terkenal dengan elastisitas harga konstan

adalah tipe Cobb-Douglas. Untuk menghitung Elastisitas penawaran kedelai

mengadopsi bentuk fungsional ini untuk kaitan suplai. Persamaan (4.2) secara

eksplisit menunjukkan suplai pasar biji kedelai.

65432

1

1 ...... eTFpRwaR fmprr

=

(4.2)

Dimana

ar = konstanta

αι = parameter yang terkait dengan penentu suplai

Tabel. 4.1 Data Penawaran Kedelai di Jawa Timur

Tahun R Wr Rimp Pf F T

1989 459268 64,509.00 68,895.00 175.95 1,939 1989

1990 471595 75,784.00 14,355.00 202.92 1,777 1990

1991 481001 75,928.00 50,962.00 229.93 1,794 1991

1992 543010 84,103.00 18,311.00 249.12 2,302 1992

1993 549713 104,770.00 47,476.00 278.84 1,906 1993

1994 493632 120,682.30 68,510.00 306.76 1,732 1994

1995 487190 112,717.00 13,097.00 351.47 2,211 1995

1996 509096 123,311.00 106,867.00 477.05 1,919 1996

1997 511531 136,454.00 68,013.00 555.67 1,305 1997

1998 457272 259,925.00 164,299.00 716.32 2,901 1998

1999 485878 275,175.00 259,686.00 1,125.03 2,239 1999

2000 385212 237,083.00 330,546.00 1,133.46 2,313 2000

67

2001 349188 246,688.00 311,889.71 1,224.65 2,461 2001

2002 300184 252,823.00 351,795.93 1,336.96 1,832 2002

2003 287205 263,232.00 391,702.14 1,342.82 2,014 2003

2004 318929 317,441.00 206,627.95 1,344.76 1,722 2004

2005 335106 339,645.00 196,283.71 1,360.99 1,126 2005

2006 320205 336,255.00 359,630.84 1,555.08 1,716 2006

2007 252027 393,625.00 511,172.81 1,641.04 2,080 2007

2008 227281 321,067.00 366,099.62 1,832.97 2,409 2008

Sumber BPS BPS BPS BPS BMG

Untuk memperoleh elastisitas harga terhadap penawaran kedelai pada Tabel

4.1, diestimasi dari fungsi penawaran kedelai. Penawaran kedelai dispesifikasikan

sebagai fungsi dari harga kedelai grosiran (Wr), jumlah impor kedelai (Rimp),

harga eceran pupuk urea (Pf), jumlah curah hujan tahunan (F) dan tren waktu (T).

Hasil estimasi memperoleh F-hitung 15,6871 berbeda nyata pada taraf nyata 1

persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8485, berarti 84,85 persen penawaran

kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh

variabel lain yang tidak ada dalam model.

Penawaran kedelai sangat dipengaruhi oleh harga kedelai, jumlah impor

kedelai, dan tren waktu, sedangkan harga eceran pupuk urea dan jumlah curah

hujan tidak menunjukan pengaruh yang nyata. Variabel harga kedelai berpengaruh

nyata terhadap penawaran kedelai, hal ini menunjukan bahwa petani kedelai

responsif terhadap kenaikan harga kedelai. Koefisien regresi atau elastisitas harga

terhadap penawaran kedelai bertanda positif 0,433 artinya bahwa peningkatan

harga kedelai sebesar Rp 100 akan meningkatkan rataan total penawaran kedelai

0,43 ton. Dengan demikian kebijakan peningkatan harga kedelai diharapkan

dapat memberikan dampak positif pada peningkatan penawaran kedelai di Jawa

Timur. Koefisien elastisitas harga terhadap penawaran kedelai mempunyai tanda

positif e1 = α1 = 0,433 < 1 bersifat inelastis, artinya persentase perubahan jumlah

yang ditawarkan lebih kecil dari persentase perubahan harga. Struktur pasar

industri kedelai yang bersifat oligopsonistik di pasar input dengan elastistas harga

yang inelastik terhadap penawaran kedelai akan mempunyai kekuatan untuk

menentukan harga kedelai menjadi lebih murah, karena dampaknya terhadap

persentase penurunan penawaran kedelai lebih kecil dari persentase penurunan

68

harga. Dalam model yang dikembangkan Alppelbaum – Schroter, (1982)

dijelaskan elastisitas harga terhadap penawaran berbanding terbalik dengan

kekuatan pasar industri dalam menentukan harga di pasar input, semakin kecil

elastisitas harga semakin besar kekuatan industri dalam menentukan harga di

pasar input dan sebaliknya

Variabel jumlah impor kedelai tidak berpengaruh nyata terhadap

penawaran kedelai, tetapi koefisien bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada

kecendrungan impor berdampak terhadap penurunan penawaran kedelai, ini ada

hubungannya dengan produksi kedelai lokal, kalau pemerintah tidak melakukan

pembatasan impor, petani kedelai di dalam negeri tidak termotivasi meningkatkan

produksinya, harga kedelai impor lebih murah sehingga cendrung menurunkan

harga kedelai di dalam negeri, dampaknya usaha pemerintah untuk meningkatkan

produksi kedelai di dalam negeri akan sulit dicapai.

Harga eceran pupuk urea tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

penawaran kedelai. Sebagai tanaman alternatif yang dipilih petani pada musim

kemarau dan pada daerah-daerah tegalan dengan pengairan terbatas, pemberian

pupuk diduga bukan merupakan prioritas bagi petani kedelai, tidak seperti

pemupukan pada tanaman padi. Memperkuat pendapatnya Mengel dkk., (1987),

meskipun kedelai menunjukkan respon terhadap pemupukan dan tanah subur,

namum pemupukan pada kedelai belum diterima secara luas.

Jumlah curah hujan tahunan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap

penawaran kedelai, koefisien regresi bertanda negatif, hal ini menunjukkan ada

kecendrungan semakin tinggi curah hujan produksi kedelai menurun sehingga

penawaran kedelai juga menurun. Tanaman kedelai sering dihadapkan pada

lingkungan yang berdrainase buruk, sehingga pada curah hujan yang tinggi,

pertanaman kedelai tergenang dengan air, berdampak pada pertumbuhan tanaman

kerdil dan produktivitas rendah. Pembuatan saluran drainase pada lahan sawah

dianjurkan sebagai komponen teknologi (Manwan dkk.,1996). Pembuatan saluran

drainase juga penting pada kedelai dalam musim kemarau (Juli-Oktober) yang

berfungsi untuk merembeskan air irigasi ke petakan tanaman sehingga

pemanfaatan air irigasi menjadi lebih efisien.

69

Variabel tren waktu memberikan pengaruh nyata terhadap penawaran

kedelai, koefisien regresi bertanda negatif tidak sesuai dengan parameter dugaan.

Penawaran kedelai dari tahun ketahun menurun, produksi kedelai di Jawa Timur

terus menurun lebih besar dibandingkan dengan jumlah kenaikan impor kedelai

yang dilakukan pemerintah. Permintaan kedelai terus meningkat, sehingga sering

menimbulkan gejolak kelangkaan kedelai, harga kedelai mahal merugikan

industri kedelai. Pemerintah sudah selayaknya berupaya untuk meningkatkan

produksi kedelai. Hasil penelitian tentang kedelai telah menghasilkan berbagai

pilihan teknologi produksi yang dapat meningkatkan produksi kedelai pada

agroekosistem tertentu. Berbagai komponen teknologi dan sistem usahatani

kedelai yang dimaksud meliputi varietas unggul, budidaya, pengendalian hama,

penyakit dan gulma, pemupukan dan pengelolaan hara, pengairan dan pengelolaan

air, pasca panen dan penyedian benih serta distribusi.

4.2 Elastisitas Permintaan Produk Olahan Komoditas Pertanian

Permintaan pasar total produk olahan kedelai adalah dari konsumen dan

industri yang menggunakannya sebagai input. Penentu/determinan fungsi

permintaan ini mencakup harga grosiran kedelai itu sendiri, harga produk

pengganti terdekat, pendapatan perkapita konsumen.

Industri yang menggunakan produk olahan dari kedelai sebagai input tidak

hanya membeli produk tersebut dari perusahaan pengolahan dalam negeri tetapi

juga membeli dari impor. Mengikuti penghitungan yang disebutkan sebelumnya,

permintaan pasar total untuk kedelai adalah jumlah yang dihasilkan secara

domestik ditambah perubahan lebih kecil impor pada stoknya. Persamaan (4.3)

menyatakan fungsi permintaan pasar total untuk produk olahan dari kedelai.

(O + Oimp – ∆S) = f(Pt, Ppo, I, e) (4.3)

dimana:

O = jumlah suplai produk olahan dari kedelai oleh perusahaan

Oimp = volume produk olahan kedelai yang diimpor

∆S = perubahan dalam stok olahan kedelai

Pt = harga produk olahan dari kedelai

Ppo = harga produk olahan dari bahan lain

I = pendapatan perkapita konsumen

70

εo = besaan error/kekeliruan

Dengan mengikuti fungsional yang sama seperti halnya suplai biji

kedelai, fungsi permintaan untuk produk olahan dari kedelai ini ditunjukkan pada

(4.4)

(O + Oimp – ∆S) = o

potteIppa ....... 321 (4.4)

Dimana :

at = konstanta

βI = parameter yang dikaitkan dengan penentu/determinan permintaan

Untuk memperoleh elastisitas harga terhadap permintaan produk olahan

kedelai diestimasi dari fungsi permintaan produk olahan kedelai. Permintaan

produk olahan kedelai pada Tabel 4.2, dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga

produk olahan kedelai grosiran (Pt), harga produk olahan dari bahan lain (Ppo)

dan pendapatan perkapita konsumen (I). Hasil estimasi diperoleh F-hitung 127,28

berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,9598,

berarti 95,98 persen permintaan produk olahan kedelai dapat dijelaskan oleh

model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada

dalam model.

Tabel 4.2 Data Permintaan produk olahan kedelai di Jawa Timur

Tahun (O+Oimp- S) Pt Ppo I

1989 5955.72 1058 992 483300.00

1990 7304.69 1307 1060 515700.00

1991 10610.86 1488 1115 548300.00

1992 7982.10 1682 1210 579100.00

1993 10590.76 1500 1241 1382320.69

1994 15038.06 1436 1612 1574000.00

1995 23700.21 1570 1328 1689406.00

1996 34890.35 1343 2350 1813759.00

1997 25489.62 1527 3296 1915896.00

1998 137858.82 2042 4519 1596984.00

1999 149862.98 2377 3835 1616012.00

71

2000 96275.91 3228 4206 1668182.00

2001 163807.87 4168 4458 1678770.00

2002 211074.47 4887 4572 1724759.00

2003 301018.31 4874 5863 1784165.00

2004 585947.39 5527 6578 6637984.00

2005 1525412.40 5230 7474 7063778.00

2006 1957209.40 4830 7880 7412716.00

2007 3661992.40 5527 8281 7800779.00

2008 5211976.87 7273 9855 8216800.00

Sumber BPS BPS BPS BPS

Permintaan produk olahan kedelai dipengaruhi oleh harga produk olahan

kedelai, harga produk olahan bahan lain dan pendapatan perkapita konsumen.

Variabel harga produk olahan kedelai berpengaruh nyata terhadap permintaan

produk olahan kedelai, koefisien bertanda negatif, artinya kalau harga produk

olahan kedelai naik, permintaan akan produk olahan kedelai akan turun.

Permintaan produk olahan kedelai seperti tahu dan tempe akhir-akhir ini semakin

populer dan meluas di masyarakat, sehingga apabila harganya naik permintaan

akan turun, kesan-kesan bahwa tempe adalah pangan inferior seperti yang terjadi

di masa lalu saat ini telah hilang. Elastisitas harga terhadap permintaan produk

olahan kedelai e = β1 = - 1,1040 adalah elastis, artinya persentase perubahan

permintaan produk olahan kedelai lebih besar dari persentase perubahan harga

produk olahan kedelai. Elastisitas harga terhadap permintaan produk kedelai yang

bersifat elastis menunjukkan kekuatan pasar oligopoli dalam menentukan harga

pada pasar ouputnya relatif rendah, Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan

elastisitas harga terhadap permintaan berbanding terbalik dengan kekuatan pasar

dalam mempengaruhi harga pada pasar outputnya, semakin tinggi elastisitas harga

terhadap permintaan, maka semakin kecil kekuatan pasar dalam mempengaruhi

harga pada pasar ouputnya dan sebaliknya.

Variabel harga produk olahan bahan lain berpengaruh nyata terhadap

permintaan produk olahan kedelai, koefisien regresi bertanda positif, menandakan

bahwa produk olahan dari bahan lain (saos tomat) perilaku konsumen dalam

mengkonsumsi saos tomat sebagai produk substitusi dengan produk olahan

kedelai, karena kenaikan harga saos tomat diikuti oleh peningkatan permintaan

produk olahan kedelai.

72

Variabel pendapatan per kapita konsumen berpengaruh nyata terhadap

produk olahan kedelai. Peningkatan pendapatan perkapita konsumen diikuti oleh

peningkatan permintaan produk olahan kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa

produk olahan kedelai termasuk katagori barang normal yang respon terhadap

perubahan tingkat pendapatan. Memperkuat pendapatnya Sudaryanto, (1996)

bahwa tingkat partisipasi konsumsi kedelai meningkat sejalan dengan kelas

pengeluaran. Tingkat konsumsi per kapita tertinggi dijumpai di Jawa Timur.

4.3 Permintaan Atas Pakan Ternak

Sektor ternak membutuhkan pakan dari komoditas pertanian dalam hal ini

kedelai untuk produksi pakan. Di samping harga pakan itu sendiri, faktor-faktor

lain dapat mempengaruhi permintaan akan pakan dari kedelai. Imput mentah

lainnya untuk produksi makanan binatang mencakup beras pecah, makanan dari

ikan, dan jagung. Beras pecah dan jagung merupakan sumber karbohidrat,

sementara bahan pakan dari kedelai dan dari ikan merupakan sumber protein.

Mereka diganti dalam kelompok-kelompok pada level tertentu, namun bersifat

melengkapi/komplementer di antara kelompok. Jagung merupakan komponen

utama dalam produksi pakan ayam, sementara beras pecah merupakan komponen

utama dalam pakan ternak lain. Karena produksi makanan ayam selalu lebih besar

dibandingkan pakan lain, harga jagung dan harga bahan dari ikan dipilih untuk

untuk dicakupkan didalam analisis permintaan ini. Sekali lagi, sebagaimana

disebutkan sebelumnya, permintaan total atas pakan dari kedelai sama dengan

produksi domestik ditambah impor. Persamaan (4.5) menyatakan fungsi

permintaan pasar atas pakan dari kedelai.

(M +Mimp) = f (ps, pmz,pfm,T, Ir,εm) (4.5)

Dimana :

M = permintaan total pakan dari kedelai yang dihadapi oleh perusahaan

produk olahan dari kedelai

Mimp = jumlah pakan dari kedelai yang di impor

ps = harga grosiran pakan dari kedelai

pmz = harga grosiran jagung

pfm = harga bahan dari ikan

T = trend waktu

73

Ir = persyaratan pembelian proporsional untuk impor makanan dari

kedelai

εm = besaran error

Fungsi permintaan ini dapat ditulis secara logaritma disajikan dalam (4.6).

(M +Mimp)= meY

r

YY

fm

Y

mz

Y

ssITPppa ...... 54321

(4.6)

Dimana :

as = besaran konstan

yι = parameter yang terkait dengan penentu/ determinan permintaan.

Untuk memperoleh elastisitas harga terhadap permintaan pakan dari

kedelai diestimasi dari fungsi permintaan pakan dari kedelai pada Tabel 4.3,

dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga grosiran pakan dari kedelai grosiran

(Ps), harga grosiran jagung (Pmz), harga bahan dari ikan (Pfm). Hasil estimasi

diperoleh F-hitung 67,3871 berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen. Koefisien

determinasi R-squared 0,9473, berarti 94,73 persen permintaan pakan ternak dari

kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh

variabel lain yang tidak ada dalam model.

Tabel 4.3. Data Permintaan pakan Ternak dari Kedelai di Jawa Timur

Tahun M+Mimp Ps Pmz Pfm T

1989 7,404,193.14 486 19,592.12 1,157,847 1989

1990 7,824,468.14 534 22,230.50 1,320,549 1990

1991 8,871,229.46 648 25,596.24 1,405,436 1991

1992 15,056,386.38 361 23,760.79 1,369,209 1992

1993 19,008,552.12 645 26,589.91 1,345,969 1993

1994 42,274,583.10 500 34,674.85 1,328,162 1994

1995 115,480,300.27 567 40,321.08 1,378,845 1995

1996 159,190,363.91 488 55,340.34 1,375,992 1996

1997 46,868,704.77 481 62,768.62 2,828,037 1997

1998 118,035,191.99 380 122,059.88 6,065,054 1998

1999 177,554,730.49 458 155,252.98 3,750,007 1999

2000 197,413,615.68 517 92,500.52 4,339,051 2000

74

2001 208,430,297.73 659 108,336.18 5,208,008 2001

2002 208,527,297.89 738 110,866.06 5,559,160 2002

2003 193,497,132.63 833 113,500.85 5,431,567 2003

2004 224,594,766.40 1,007 116,880.98 6,614,387 2004

2005 171,282,801.13 1,027 122,854.81 6,883,261 2005

2006 187,031,672.52 1,165 145,591.21 8,211,177 2006

2007 215,708,074.50 1,650 201,640.00 11,855,978 2007

2008 223,111,752.65 1,762 177,389.10 12,203,666 2008

Sumber BPS BPS BPS IMF

Variabel harga pakan dari kedelai menunjukkan pengaruh nyata terhadap

penawaran pakan ternak dari kedelai, memiliki tanda koefisien yang negatif. Hal

ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga pakan ternak akan menyebabkan

penurunan terhadap permintaan pakan ternak atau elastisitas harga terhadap

permintaan pakan ternak adalah elastis dengan koefisien negatif 0,9025 .

Elastisitas harga permintaan pakan dari kedelai yang elastis, menunjukkan

kekuatan pasar mempengaruhi harga pakan di pasar output relatif kecil.

Tingginya harga pakan ternak telah menyulitkan peternak, pengalaman

menunjukkan pada krisis moneter yang terjadi tahun 1998, sangat memukul sektor

peternakan terutama peternakan ayam ras, yang terutama disebabkan oleh harga

pakan yang melonjak tinggi, maka pemerintah melakukan beberapa kebijakan

diantaranya berupa penurunan tarif impor, subsidi nilai kurs rupiah dan

sebagainya.

Variabel harga grosiran jagung, menunjukkan pengaruh nyata terhadap

permintaan pakan ternak. Semakin tinggi harga jagung, maka semakin tinggi

permintaan terhadap pakan ternak dari kedelai, hal ini menunjukkan bahwa jagung

merupakan salah satu bahan baku atau bahan komplementer pakan ternak, selain

kedelai/bungkil kedelai dan tepung ikan. Variabel harga tepung ikan berpengaruh

nyata terhadap permintaan pakan ternak dari kedelai, namun koefisien negatif, hal

ini menunjukkan bahwa semakin tinggi harga tepung ikan, permintaan pakan

peternak semakin menurun. Naiknya harga tepung ikan, sangat terkait dengan

naiknya kurs dollar terhadap rupiah, karena tepung ikan yang digunakan sebagai

bahan baku pakan tenak di Jawa timur diperoleh dari impor.

Variabel tren waktu menunjukkan pengaruh sangat nyata terhadap

permintaan pakan ternak, permintaan pakan ternak dari tahun ketahun semakin

75

naik, hal ini disebabkan perkembangan peternakan khususnya peternakan unggas

ayam yang semakin pesat. Peternakan unggas ayam merupakan program unggulan

pemerintah dalam mengembangkan usaha peningkatan konsumsi protein hewani.

Selain harganya yang relatif lebih murah dibandingkan dengan sumber-sumber

protein hewani lainnya, lama waktu dan proses produksi yang relatif lebih pendek

dan sederhana merupakan kelebihan lain yang dianggap dapat membantu

meningkatkan pendapatan masyarakat.

4.5 Biaya Pemrosesan Produk Olahan Komoditas Pertanian

Model teoritis membedakan Biaya input material dari input-input lainnya.

Appelbaum (1984), Schroter (1988), serta Wann dan Sexton (1992) menyarankan

fungsi pembiayan Leontief tergeneralisasi yang diasumsikan sebagai fungsi linier

output. Hal tersebut menampilkan Biaya marginal konstan pada biaya non-

material industri. Bentuk fungsional Biaya non-material ini dinyatakan sebagai

(4.7)

TC’ = ω0 + ω1.M (4.7)

Dimana :

TC = biaya total pemrosesan produk olahan dari kedelai

ω0 = biaya tetap total

ω1 = biaya marginal input non-material

M = total output produk olahan dari kedelai

Dari persamaan (4.7), ω1 merupakan biaya marginal input non-material,

bukan dari kedelai, yang merupakan hasil diferensiasi persamaan (4.7) terhadap

output (yaitu,M) atau nilai MC

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, terdapat dua kondisi yang

disyaratkan pada ekuilibrium pasar. Keseimbangan ini merupakan kondisi

Appelbaum-Schroeter dan kondisi ekuilibrium pasar umum.

Penentuan harga pada industri kedelai dipengaruhi oleh biaya marginal

(MC). MC diperoleh dari estimasi fungsi biaya total (TC), TC dispesifikasikan

sebagai fungsi dari total output produk olahan kedelai (M). Hasil analisis

menunjukkan bahwa data TC industri kedelai dari setiap variabel bersifat

stasioner. Uji autokorelasi menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared

memiliki nilai > ,05 ( =5%), maka dapat disimpulkan tidak terdapat

76

autokorelasi. Uji heteroskedastisitas juga menunjukkan probabilitas dari Obs*R-

squared memiliki nilai > ,05 ( =5%), hasil ini memastikan bahwa TC industri

olahan produk kedelai tidak mengalami heteroskedastisitas

Hasil estimasi diperoleh F-hitung 64,7762 berbeda nyata. Koefisien

determinasi R-squared 0,7825, berarti 78,25 persen TC industri kedelai dapat

dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain

yang tidak ada dalam model. Variabel total output produk olahan (M)

berpengaruh nyata terhadap TC, dengan koefisien regresi atau MC = 776,2239, ini

berarti semakin besar M, maka TC juga semakin besar.

Bab 5 Kekuatan Pasar (Market Power)

Industri pertanian

5. 1 Elastisitas Konjenktural Industri Pertanian

Elastisitas konjenktural adalah parameter yang digunakan untuk mengukur

kekuatan pasar kedelai yang bersifat oligopoli pada pasar kedelai dalam

mempengaruhi harga input dan output. Elastisitas konjenktural adalah parameter

yang mengestimasi reaksi pesaing lain jika sebuah perusahaan merubah jumlah

output dan harganya.

77

Nilai elastisitas konjenktural industri produk olahan kedelai dan industri

pakan ternak dari kedelai ditunjukkan pada Tabel 3.1, adalah 0 < 0,0209 < 1 dan 0

< 0,9791 < 1, maka pasar industri kedelai di Jawa Timur adalah oligopsoni,

industri sebagai pembuat harga. Elastistas konjenktural yang digunakan untuk

mengukur kekuatan pasar oligopoli pada pasar kedelai adalah elastistas

konjenktural industri kedelai komposit dari industri tahu,tempe dan kecap yaitu,

0,0209. Hasil uji beda nyata dengan T-test elastisitas konjenktural adalah

signifikan tidak sama dengan nol, dengan nilai t-hitung 17,826 pada taraf nyata 1

persen. Appelbaum – Schroter, (1982) menjelaskan bahwa, elastisitas

konjenktural yang tinggi dapat memberi industri derajat kekuatan pasar yang

tinggi baik di pasar input maupun di pasar output dan sebaliknya elastisitas

konjenktural yang kecil memberi industri derajat kekuatan pasar yang kecil pula

di pasar input dan output dan apabila nol industri tidak mempunyai kekuatan

pasar dalam menentukan harga.

Untuk mengetahui beberapa variabel eksogen yang mempengaruhi

elastisitas konjenktural. Elastisitas konjenktural dispesifikasikan sebagai fungsi

dari indeks harga produsen untuk input industri (PPI) dan laju suku bunga (r).

Hasil analisis menunjukkan bahwa data elastisitas konjenktural industri produk

olahan kedelai dari setiap variabel bersifat stasioner. Uji autokorelasi

menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared memiliki nilai > ,05 ( =5%),

maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi. Uji heteroskedastisitas juga

menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared memiliki nilai > ,05 ( =5%),

hasil ini memastikan bahwa model elastisitas konjenktural industri olahan produk

kedelai tidak mengalami heteroskedastisitas

Hasil estimasi diperoleh F-hitung 0,0535 tidak berbeda nyata. Koefisien

determinasi R-squared 0,0063, berarti hanya 0,63 persen elastisitas konjenktural

industri kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model. Secara parsial baik

variabel indeks harga produsen untuk input industri maupun laju suku bunga tidak

berpengaruh terhadap elastistas konjenktural industri produk olahan kedelai. Hal

ini disebabkan industri produk olahan kedelai adalah sebagian besar industri kecil,

78

reaksi perubahan output produksi tidak tergantung pada faktor PPI dan r, industri

akan bereaksi hanya pada saat harga kedelai sebagai bahan baku naik.

5.2 Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Produk Pertanian

Kondisi Appelbaum-Schroeter digunakan untuk menganalisis kekuatan

pasar. Kondisi ini sebenarnya merupakan kondisi dengan maksimalisai

keuntungan. Sebagaimana diimplikasikan, kondisi ini mensyaratkan harga dari

komoditas yang saling tergantung satu dengan lainnya disusun sehingga

perusahaan memaksimalkan keuntungan mereka. Ini merupakan kondisi yang

diperlukan bagi perusahaan untuk berjalan dipasar, kecuali prinsip maksimalisasi

keuntungan ditolak.

Setelah diperoleh elastisitas suplai pasar komoditas dan permintaan akan

komoditas, serta biaya marjinal input non-material perusahaan, kondisi

Appelbaum-Schroeter dapat dengan mudah ditentukan. Kondisi yang terbentuk

ditunjukkan pada (5.1)

'))1.(

1

11()1()

1

1(1.

1

MCR

impR

s

s

W rs

sPs

t

tp

y+−+=+++

Dimana :

τt =rasio konversi produk olahan dari kedelai.

τs = rasio konversi pakan ternak dari kedelai.

Untuk melengkapi kondisi ini, elastisitas konjektural haruslah

teridentifikasi. Appelbaum (1984), Schroter (1988), serta Wann dan Sexton

(1992) menunjukkan bahwa elastisitas konjektural ditentukan oleh variable

eksogen, yaitu yang tidak dapat dikendalikan oleh perusahaan selama pembuatan

keputusan. Ini merupakan harga input non-material yang digunakan oleh

perusahaan atau faktor ekonomi lainnya. Dalam penelitian ini, indeks harga

produsen untuk input industri dipilih sebagai petunjuk harga-harga input non-

material. Pada saat bersamaan, menambahkan laju suku bunga sebagai penentu

lain elastisitas konjektural. Ini merupakan biaya modal yang tidak dapat

dikendalikan. Akibatnya, elastisitas konjektural ditetapkan sebagai (5.2).

(5.1)

79

θs = θo + θ1.PPI + θ2.r (5.2)

Dimana :

θs = (∂M/ ∂Mj), (Mj/M), elastisitas konjektural perusahaan

θ1 = parameter yang terkait dengan penentu elastisitas konjektural

PPI = indeks harga produsen untuk input industri.

r = laju suku bunga.

Kebijakan pajak tambahan impor efektif telah dilakukan pemerintah,

sehingga pabrik pengolahan pakan ternak dapat mengimpor bahan dari kedelai

sebanyak yang mereka butuhkan. Oleh sebab itu, permintaan pasar bersifat elastik

sempurna. Perusahaan tidak memiliki kekuatan menentukan harga pasar bahan

pakan dari kedelai. Mereka harus menerima harga pasar yang sama dengan batas

ditambah pajak tambahan. Di sini kita menambahkan variable D pada kondisi ini.

Nilai D adalah nol ketika pajak tambahan efektif dan bernilai 1 pada tahun-tahun

lainnya.

Dengan mensubtitusi (5.2) ke dalam (5.1), kita dapatkan kondisi lengkap

Appelbaum-Schroeter dalam (5.3).

).

2.

10

.1().

2.

101(

1.

sy

rPPID

sP

s

rPPI

t

tp

++++

+++

= '))1).(

1

.2

.10

1( MCR

impRrPPI

s

rw

+−++

+

Elastisitas konjektural adalah perilaku oligopoli terhadap reaksi

perusahaan lainnya dalam menentukan level outputnya, atau ratio perubahan

ouput perusahaan oligopoli lainnya dengan perubahan output perusahaan oligopoli

dalam upaya mempertahankan keuntungan maksimumnya.

Menurut model Appelbaum-Schroeter, nilai elastisitas konjektural

merupakan determinasi/indikator kunci persaingan di dalam pasar. Jika nilai

elastisitas konjektural = 1, maka perusahaan pemrosesan dalam hal ini

agroindustri kedelai dapat bertindak sebagai pelaku oligopsoni atau oligopoli di

dalam pasar, dan jika nilai elastisitas kojektural = 0 berarti pasar adalah

kompetitif. Berdasarkan persamaan (5.3), dapat diketahui bahwa semakin tinggi

nilai elastisitas konjektural agroindustri di pasar input dan output berarti semakin

(5.3)

80

tinggi kekuatan pasar agroindustri dalam menentukan harga di pasar input dan

output.

Indikator lainya yang menunjukkan ketidak sempurnaan pasar adalah

nilai elastisitas harga permintaan dan suplai. Jika elastisitas harga permintaan dan

suplai adalah elastis sempurna, yaitu perubahan permintaan dan suplai tidak

berpengaruh terhadap harga, berarti pasar adalah kompetitif. Jika nilai elastisitas

harga permintaan dan suplai = < 1 berarti bersifat inelastis, mempunyai makna

bahwa perubahan harga kecil pengaruhnya terhadap perubahan permintaan dan

suplai, atau dapat dikatakan semakin inelastis harga permintaan dan suplai

berarti semakin kecil pengaruh perubahan harga terhadap perubahan permintaan

dan suplai. Berdasarkan persamaan (5.3) dapat diketahui bahwa semakin kecil

nilai elastisitas harga permintaan dan suplay berarti semakin tinggi kekuatan

pasar agroindustri dalam menentukan harga di pasar input dan output. Sehingga

dari dua indikator tersebut untuk ketidaksempurnaan pasar, baik dalam pasar input

maupun output/produk, sejauh nilai konjektural tidak sama dengan nol dan

elastisitas harga permintaan dan suplai tidak elastis sempurna, maka agroindustri

dapat menerapkan kekuatan pasarnya pada pasar input dan output. Pada model

lengkap Appelbaum-Schroeter (5.3) dapat juga diselidiki bagaimana dampak

kebijakan harga, pembatasan impor yang ditetapkan pemerintah terhadap perilaku

agroindustri dalam menentukan harga input dan outputnya.

Model oligopoli Appelbaum-Schroter digunakan untuk menganalisis

pengaruh kekuatan pasar (market power) kedelai terhadap harga di pasar input

dan output, Kekuatan pasar kedelai dan faktor-faktor yang mempengaruhi

kekuatan pasar yaitu, elastisitas harga terhadap penawaran kedelai, elastisitas

harga terhadap permintaan produk olahan kedelai dan pakan ternak dari kedelai,

marginal cost (MC), rasio konversi produk olahan dan pakan ternak, dimasukan

ke dalam model. Harga kedelai tahun 2008 diperhitungkan sebagai tahun dasar.

Hasil analisis ditampilkan pada Tabel 5.1

Faktor-faktor yang mempengaruhi kekuatan pasar komoditas kedelai

adalah; elastisitas harga penawaran kedelai, elastisitas harga permintaan produk

81

olahan kedelai dan elastisitas harga permintaan pakan ternak yang menggunakan

kedelai.

Pada Tabel 5.1 ditunjukkan bahwa, tanpa perhitungan kekuatan pasar

harga kedelai grosiran di pasar input dapat turun 26,92 persen yaitu, dari Rp

3.210,17/kg menjadi 2.346,34/kg dan harga kedelai di tingkat petani dapat turun

dari Rp 2.371,40/kg menjadi Rp 1.733,01/kg, harga produk olahan kedelai dan

pakan ternak dari kedelai di pasar output adalah tetap. Sedangkan apabila

kekuatan pasar diperhitungkan, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar

input terhadap kedelai grosiran 57,79 persen yaitu, dari Rp 3.210,17/kg menjadi

Rp 5.066,13/kg, dan jika diasumsikan marjin harga di tingkat petani dengan harga

kedelai grosiran di tingkat pedagang besar 26,14 persen, maka harga kedelai di

tingkat petani seharusnya naik dari Rp 2.371,40 menjadi Rp 3.741,01/kg, tetapi

sulit dan bahkan tidak pernah naik karena adanya pengaruh kekuatan pasar yang

mendorong harga kedelai di tingkat petani tetap murah.

Tingginya harga kedelai grosiran mengindikasikan bahwa kedelai dikuasai

oleh beberapa pedagang besar, dan kekuatan pasar dapat menaikan harga di

pasar output terhadap produk olahan kedelai 1,82 persen yaitu, dari Rp

7.273,00/kg menjadi Rp 7.405,00/kg ini menunjukan persaingan yang ketat

diantara industri produk olahan, dan harga pakan ternak dari kedelai naik 0,02

persen yaitu, dari Rp 1.1762,00/kg menjadi Rp 1.801,00/kg menunjukkan

persaingan yang lebih ketat dar industri produk olahan yang menggunakan bahan

baku kedelai

Tabel 5.1 Analisis Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga Kedelai di

Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Tanpa Elastisitas

Konjenktural 0 (nol)

Harga Kedelai

Grosiran (Wr) 3.210,67 -864,33 -26,92 2.346,34

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 1.733,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 0,00 0,00 7.273,00

Harga Pakan Terna 1.762,00 0,00 0,00 1.762,00

82

dari Kedelai (Ps)

Dengan Elastisitas

Konjenktural

Harga Kedelai

Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

Secara grafis pengaruh kekuatan pasar oligopoli pada harga di pasar

kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.1, nampak pada pasar input tanpa perhitungan

kekuatan pasar harga kedelai di pasar input turun, sedangkan harga kedelai pasar

output tetap, dan apabila kekuatan pasar diperhitungkan harga kedelai di pasar

input naik lebih besar, jika dibandingkan dengan kenaikan harga kedelai di pasar

output

Gambar 5.1. Pengaruh Kekuatan Pasar Terhadap Harga

Kedelai di Pasar Input dan Output

Kekuatan pasar kedelai mempunyai dampak terhadap harga kedelai di

pasar input dan output, hal ini disebabkan struktur pasar industri kedelai di Jawa

Timur bersifat oligopsoni. Untuk mengetahui besarnya dampak perubahan

kekuatan pasar terhadap harga kedelai di pasar input dan output dilakukan

83

simulasi terhadap perubahan kekuatan pasar, yaitu perubahan elastisitas

konjenktural, perubahan kekuatan pasar karena pengaruh perubahan elastisitas

harga penawaran kedelai, perubahan kekuatan pasar karena pengaruh perubahan

elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai, kekuatan pasar karena

pengaruh perubahan elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai,

kekuatan pasar karena pengaruh perubahan impor, kekuatan pasar karena

pengaruh perubahan tarif impor dan kekuatan pasar karena pengaruh perubahan

produksi kedelai petani/local

5.3 Dampak Peningktan Elastisitas Konjenktural Terhadap Harga Di

Pasar Input Dan Output

Peningkatan elastisitas kenjektural dapat meningkatkan kekuatan pasar

agroindustri dalam menentukan harga input dan outputnya. Sehingga kebijakan

penetapan harga minimum oleh pemerintah tidak akan efektif pada saat elastisitas

konjektural agroindustri relatif tinggi. Oleh karena itu perlu dilakukan simulasi

bagaimana dampak kekuatan pasar agroindustri dalam menentukan harga input

dan outputnya. Simulasi pertama dilakukan dengan menghilangkan pengaruh

elastisitas konjektural (θs = 0.*θs), kedua meningkatkan elastisitas konjektural 15

persen dan 20 persen (θs = 1.15*θs dan 1.20*θs) dari kedua simulasi tersebut akan

dapat diketahui bagaimana dampak kekuatan pasar industri kedelai dalam

menentukan harga input dan outputnya

Hasil simulasi menunjukan pada Tabel 5.2, bahwa pada saat elastisitas

konjenktural nol, harga kedelai grosiran menurun, sedangkan harga produk olahan

dari kedelai dan harga pakan ternak dari kedelai tetap. Tetapi sebaliknya apabila

elastisitas konjenktural semakin meningkat, maka pengaruh kekuatan pasar

terhadap harga di pasar input dan output juga semakin meningkat. Oleh karena itu

upaya pemerintah menaikan harga kedelai untuk mendorong petani meningkatkan

produksi kedelai sulit dilakukan pada saat elastisitas konjenktural relatif tinggi,

karena industri akan merespon dengan berproduksi lebih sedikit dengan

mengurangi pembelian input kedelai guna memperoleh harga yang lebih murah.

Pada saat kekuatan pasar tidak diperhitungkan atau elastisitas konjenktural

nol harga kedelai grosiran dapat turun sebesar 26,92 persen, simulasi kenaikan

kekuatan pasar ditampilkan pada Tabel 5.2, apabila elastisitas konjenktural

84

disimulasikan naik 15,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar

input terhadap harga kedelai grosiran 0,89 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg

menjadi Rp 5.094,73/kg, harga kedelai di tingkat petani seharusnya naik dari Rp

3.741,01/kg menjadi Rp 3.762,97/kg, tetapi karena adanya pengaruh kekuatan

pasar harga di tingkat petani tidak akan pernah naik atau stagnan,dan kekuatan

pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap harga produk olahan kedelai

0,27 persen yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi 7.425,00/kg, dan harga pakan

ternak dari kedelai 0,01 persen yaitu dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp 1.807,00/kg.

Dan selanjutnya apabila elastisitas konjenktural disimulasikan naik 20,00 persen,

kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar input terhadap harga kedelai 1,19

persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 5.104,26/kg, harga kedelai di

tingkat petani seharusnya naik dari Rp 3.741,01/kg menjadi Rp 3.770,01/kg, dan

kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap harga produk

olahan kedelai 0,36 persen yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi 7.432,00/kg, harga

pakan ternak dari kedelai 0,02 persen yaitu dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp

1.809,00/kg. Oleh karena itu kebijakan harga yang ditetapkan pemerintah pada

pasar kedelai perlu memperhitungkan kekuatan pasar.

Tabel 5.2 Hasil Simulasi Dampak Perubahan Kekuatan Pasar (Elastisitas

Konjenktural )Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Tanpa Elastisitas

Konjenktural 0 (nol)

Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 -864,33 -26,92 2.346,34

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)* 2.371,40* 1.733,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 0,00 0,00 7.273,00

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 0,00 0,00 1.762,00

Elastisitas Konjenktural naik

0 %

Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

85

Elastisitas Konjenktural naik

15 %

Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 1.884,06 58,68 5.094,73

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)* 2.371,40* 3.762,97*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 152,00 2,09 7.425,00

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 45,00 0,03 1.807,00

Elastisitas Konjenktural naik

20 %

Harga Kedelai Grosiran (Wr) 3.210,67 1,893.59 58,98 5.104,26

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)* 2.371,40* 3.770,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 159,00 2,18 7.432,00

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 47,00 0,04 1.809,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

Secara grafis dampak peningkatan elastisitas konjenktural pada pasar

kedelai ditampilkan pada Gambar 5.2, apabila elastisitas konjenktural tidak

diperhitungkan harga kedelai grosiran akan turun, dan selanjutnya harga kedelai

grosiran dan produk olahan akan naik sejalan dengan kenaikan elastisitas

konjenktural.

Gambar 5.2 Dampak Peningkatan Elastisitas Konjenktural Terhadap

Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

86

5.4 Dampak Perubahan Elastisitas Harga Penawaran Terhadap Harga di

Pasar Input dan Output

Dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar input, sangat tergantung

pada elastisitas harga penawaran kedelai (Es), sehingga apabila elastisitas harga

turun, maka dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar input akan naik.

Pada Tabel 5.3 nampak, apabila elastisitas harga disimulasikan turun 15,00

persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar input terhadap harga

kedelai grosiran 1,05 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 6.955,24/kg,

sedangkan kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila elastisitas

harga disimulasikan turun 20,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di

pasar input terhadap harga kedelai grosiran 1,49 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg

menjadi Rp 6.969,26/kg, dan kekuatan pasar di pasar output tetap. Hal ini

menunjukkan bahwa semakin kecil elastisitas harga penawaran, maka dampaknya

semakin besar terhadap kekuatan pasar di pasar input. Oleh karena itu kebijakan

harga yang ditetapkan pemerintah, untuk mendorong peningkatan produksi

kedelai lokal oleh petani tidak akan efektif ditetapkan pada saat elastisitas harga

penawaran kedelai yang sangat inelastis, karena struktur pasar industri kedelai

oligopsoni, mempunyai kekuatan pasar untuk mendorong harga kedelai yang

diterima petani semakin murah. Oleh karena itu dibutuhkan rekayasa dan

intervensi pemerintah agar petani memperoleh harga yang layak dan akhirnya

mampu mendorong peningkatan produksi kedelai. Secara grafis dampak

perubahan kekuatan pasar oligopoli, karena penurunan elastisitas harga penawaran

pada pasar kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.3, kekuatan pasar nampak

semakin besar pengaruhnya terhadap harga di pasar input, sejalan dengan

penurunan elastisitas harga penawaran kedelai, dan tidak mempunyai dampak

terhadap kekuatan pasar di pasar output.

87

Gambar 5.3 Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas Harga

Penawaran Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Tabel 5.3. Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas

Harga Penawaran Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubaha

n

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Elastisitas Harga

Penawaran turun 0 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Elastisitas Harga

Penawaran turun 15 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.889,11 58,84 6.955,24

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 5.137,14*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Elastisitas Harga

Penawaran turun 20 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.903,13 59,28 6.969,26

88

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 5.147,50*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

5.5 Dampak Perubahan Elastisitas Harga Permintaan Produk Olahan

Terhadap Harga di Pasar Input dan Output

Dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar output, sangat tergantung

pada elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai (Edt), sehingga apabila

elastisitas harga turun, maka dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar

output akan naik. Pada Tabel 5.4 nampak, apabila elastisitas harga disimulasikan

turun 15,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap

harga produk olahan kedelai 0,32 persen yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi Rp

7.429,00/kg, sedangkan kekuatan pasar di pasar input tetap. Selanjutnya apabila

elastisitas harga disimulasikan turun 20,00 persen, maka kekuatan pasar dapat

menaikan harga di pasar output terhadap harga produk olahan kedelai 0,45 persen

yaitu, dari Rp 7.405,00/kg menjadi Rp 7.438,00/kg, dan kekuatan pasar di pasar

input tetap. Ini menunjukkan bahwa dampak kekuatan pasar oligopoli terhadap

harga produk olahan kedelai di pasar output adalah relatif kecil, hal ini disebabkan

elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai yang elastis dan adanya

persaingan yang ketat diantara industri. Namun demikian semakin kecil elastisitas

harga permintaan, maka dampaknya semakin besar terhadap kekuatan pasar

mempengaruhi harga kedelai di pasar output.

Secara grafis dampak perubahan kekuatan pasar, karena penurunan

elastisitas harga permintaan produk olahan kedelai pada pasar kedelai

ditunjukkan pada Gambar 5.4, kekuatan pasar nampak semakin besar

pengaruhnya hanya pada pasar output, sejalan dengan penurunan elastisitas harga

permintaan produk olahan kedelai, dan tidak mempunyai dampak terhadap

kekuatan pasar di pasar input.

89

Gambar 5.4 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Perubahan Elastisitas Harga

Permintaan Produk Olahan Kedelai Terhadap Harga Kedelai

di Pasar Input dan Output

Tabel 5.4. Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar,Karena Pengaruh Elastisitas

Harga Permintaan Produk Olahan Kedelai Terhadap Harga Kedelai di

Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Elastisitas Harga

Permintaan turun 0 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Elastisitas Harga

Permintaan turun 15 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 156,00 2,14 7.429,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Elastisitas Harga

Permintaan turun 20 %

90

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 165,00 2,27 7.438,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

5.6 Dampak Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan Pakan Ternak

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Dampak kekuatan pasar terhadap harga di pasar output, sangat tergantung

pada elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai (Eds). Pada Tabel 5.5

nampak, apabila elastisitas harga disimulasikan turun 15,00 persen, maka

kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar output terhadap harga produk pakan

ternak dari kedelai 0,01 persen yaitu, dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp

1.847,00/kg, sedangkan kekuatan pasar di pasar input tetap. Selanjutnya apabila

elastisitas harga disimulasikan turun 20,00 persen, maka kekuatan pasar dapat

menaikan harga di pasar output terhadap harga pakan ternak dari kedelai 0,02

persen yaitu, dari Rp 1.801,00/kg menjadi Rp 1.897,00/kg, dan kekuatan pasar di

pasar input tetap. Ini menunjukkan bahwa dampak kekuatan pasar oligopoli

terhadap harga pakan ternak dari kedelai di pasar output adalah sangat kecil, hal

ini disebabkan elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai yang elastis

dan adanya persaingan yang ketat diantara industri. Namun demikian semakin

kecil elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai, maka dampaknya

semakin besar terhadap kekuatan pasar mempengaruhi harga kedelai di pasar

output. Secara grafis dampak perubahan kekuatan pasar oligopoli, karena

penurunan elastisitas harga permintaan pakan ternak dari kedelai pada pasar

kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.5 , kekuatan pasar nampak semakin besar

pengaruhnya terhadap harga di pasar output, sejalan dengan penurunan elastisitas

harga permintaan pakan ternak dari kedelai, dan tidak mempunyai dampak

terhadap kekuatan pasar di pasar input.

91

Gambar 5.5 . Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Elastisitas Harga

Permintaan Pakan Ternak dari Kedelai Terhadap Harga

Kedelai di Pasar Input dan Output

Tabel 5.5 Hasil Simulasi Pengaruh Elastisitas Harga Permintaan Pakan Ternak

dari Kedelai Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Elastisitas Harga

Permintaan turun 0

%

Harga Kedelai

Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk

Olahan Kedelai

(Pt)

7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan

Ternak dari

Kedelai (Ps)

1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Elastisitas Harga

Permintaan turun

15 %

Harga Kedelai

Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk

Olahan Kedelai

(Pt)

7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan 1.762,00 46,00 0,03 1.847,00

92

Ternak dari

Kedelai (Ps)

Elastisitas Harga

Permintaan turun

20 %

Harga Kedelai

Grosiran (Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk

Olahan Kedelai

(Pt)

7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan

Ternak dari

Kedelai (Ps)

1.762,00 49,00 0,04 1.896,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

5. 7 Dampak Pengaruh Impor Terhadap Harga di Pasar Input dan Output

Kekuatan pasar pada pasar kedelai, diduga akan semakin menurun seiring

dengan semakin meningkatnya impor kedelai, dan demikian juga halnya dengan

harga kedelai grosiran di pasar input. Pada Tabel 5.6 nampak, apabila impor

kedelai disimulasikan naik 15,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input

dapat turun 32,18 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 4.029,00/kg,

harga kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 2.976,28/kg

sedangkan kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila impor

disimulasikan naik 20,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input dapat turun

sebesar 43,04 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 3.684,11/kg, harga

kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 2.721,08/kg. Hal ini

menunjukkan dampak kekuatan pasar oligopoli terhadap harga kedelai di pasar

input semakin menurun, sejalan dengan meningkatnya impor, dan pengaruh

kenaikan impor terhadap penurunan harga kedelai di pasar input cukup besar, oleh

karena itu kebijakan pembatasan impor sangat diperlukan guna mendorong

peningkatan produksi kedelai oleh petani. Secara grafis dampak kekuatan pasar

oligopoli, karena peningkatan impor pada pasar kedelai ditunjukkan pada Gambar

5.6 dampak kekuatan pasar semakin menurun terhadap harga pada pasar input,

sejalan dengan peningkatan impor kedelai, dan tidak mempunyai dampak

terhadap harga kedelai di pasar output.

93

Gambar 5.6 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Impor

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Tabel 5.6 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Impor

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Impor Kedelai naik 0 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)*

2.371,40

* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Impor Kedelai naik 15 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 818,95 25,51 4.029,62

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)*

2.371,40

* 2.976,28*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Impor Kedelai naik 20 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 473,44 14,75 3.684,11

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)*

2.371,40

* 2.721,08*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

94

Harga Pakan Ternak dari

Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

5.8 Dampak Pengaruh Tarif Impor Terhadap Harga di Pasar Input dan

Output

Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan harga kedelai dan

melindungi produksi kedelai di dalam negeri adalah dengan pengenaan tarif dari

kedelai impor. Kekuatan pasar pada pasar kedelai, akan semakin meningkat

seiring dengan semakin meningkatnya tarif impor kedelai. Pada Tabel 5.7

nampak, apabila tarif impor kedelai disimulasikan naik 15,00 persen, kekuatan

pasar dapat menaikan harga di pasar input terhadap harga kedelai grosiran 20,04

persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 7565,00/kg, harga kedelai di

tingkat seharusnya naik dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 5.587,00/kg sedangkan

kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila tarif impor

disimulasikan naik 20,00 persen, kekuatan pasar dapat menaikan harga di pasar

input terhadap harga kedelai grosiran 26,72 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg

menjadi Rp 7.779,57/kg, harga kedelai di tingkat petani seharusnya naik dari Rp

3.741,01/kg, menjadi Rp 5.745,00/kg. Hal ini menunjukkan dampak kekuatan

pasar oligipoli cukup besar, terhadap kenaikan harga kedelai di pasar input,

sejalan dengan meningkatnya tarif impor.

Hal ini juga mencerminkan bahwa, semakin tinggi kenaikan tarif yang

dikenakan pemerintah pada kedelai impor, maka semakin tinggi harga kedelai di

dalam negeri, dan hal ini telah memicu terjadinya gejolak dikalangan industri

kedelai dan mengancam kelangsungan usahanya. Oleh karena itu kebijakan tarif,

95

perlu memperhitungkan dampak kekuatan pasar sehingga kebijakan harga yang

ditetapkan pemerintah sesuai dengan yang diharapkan.

Secara grafis dampak kekuatan pasar oligopoli, karena peningkatan tarif

impor pada pasar kedelai ditunjukkan pada Gambar 5.7 , dampak kekuatan pasar

semakin besar terhadap harga pada pasar input, sejalan dengan peningkatan tarif

impor kedelai, dan tidak mempunyai dampak terhadap harga kedelai di pasar

output.

Tabel 5.7. Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Tarif

Impor Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Impor Kedelai naik 0

%

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Impor Kedelai naik 15

%

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 2.498,95 77,83 7565,08

Harga Kedelai di

tingkat Petani (Pf)* 2.371,40* 5.587,57*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Impor Kedelai naik 20

%

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 2.713,44 84,51 7.779,57

Harga Kedelai di 2.371,40* 5.745,99*

96

tingkat Petani (Pf)*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

Gambar 5.7 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Tarif Impor

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

5.9 Dampak Pengaruh Produksi Lokal Terhadap Harga di Pasar Input dan

Output

Produksi kedelai lokal oleh petani saat ini ada kecendrungan semakin

menurun, salah satu penyebabnya adalah petani tidak pernah menerima harga

yang layak walaupun harga kedelai di tingkat konsumen tinggi. Rendahnya harga

kedelai di tingkat petani diduga karena pengaruh kekuatan pasar mendorong harga

kedelai menjadi tetap murah. Pada Tabel 5.8 nampak, apabila produksi kedelai

disimulasikan turun 15,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input dapat

turun sebesar 13,12 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 4.644,92/kg,

harga kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 3.430,14/kg,

sedangkan kekuatan pasar di pasar output tetap. Selanjutnya apabila produksi

disimulasikan turun 20,00 persen, harga kedelai grosiran di pasar input dapat

turun sebesar 17,85 persen yaitu, dari Rp 5.066,13/kg menjadi Rp 4.492,86/kg,

97

harga kedelai di tingkat petani dari Rp 3.741,01/kg, menjadi Rp 2.450,19/kg. Hal

ini menunjukkan bahwa, semakin rendah produksi kedelai petani, maka ada

kecendrungan harga kedelai di tingkat petani semakin murah, karena terus

dilakukan impor untuk memenuhi permintaan kedelai di dalam negeri. Oleh

karena itu kebijakan pemerintah untuk memenuhi permintaan kedelai di dalam

negeri tidak hanya dilakukan impor, tetapi harus diimbangi dengan peningkatkan

produksi kedelai petani. Secara grafis dampak perubahan kekuatan pasar

oligopoli, karena penurunan produksi pada pasar kedelai ditunjukkan pada

Gambar 5.8, dampak kekuatan pasar semakin menurun terhadap harga kedelai di

pasar input, sejalan dengan menurunnya produksi kedelai, dan tidak mempunyai

dampak terhadap harga kedelai di pasar output.

Tabel 5.8 Hasil Simulasi Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Produksi

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

Variabel

Simulasi

Dasar

(Rp/kg)

Perubahan

Harga

(Rp/kg)

Pesentase

Perubahan

(%)

Harga

Kedelai

(Rp/kg)

Produksi Kedelai Turun

0 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.855,46 57,79 5.066,13

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)* 2.371,40* 3.741,01*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Produksi Kedelai Turun

15 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.434,25 44,67 4.644,92

Harga Kedelai di tingkat

Petani (Pf)* 2.371,40* 3.430,14*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Produksi Kedelai Turun

20 %

Harga Kedelai Grosiran

(Wr) 3.210,67 1.282,19 39,94 4.492,86

Harga Kedelai di tingkat 2.371,40* 2.450,19*

98

Petani (Pf)*

Harga Produk Olahan

Kedelai (Pt) 7.273,00 132,00 1,82 7.405,00

Harga Pakan Ternak

dari Kedelai (Ps) 1.762,00 39,00 0,02 1.801,00

Keterangan : )* diasumsikan marjin harga kedelai di tingkat petani dengan

pedagang besar (grosiran) 26,14 %

Gambar 5.8 Dampak Kekuatan Pasar, Karena Pengaruh Produksi

Terhadap Harga Kedelai di Pasar Input dan Output

99

Bab 6

Keseimbangan Pasar Umum Industri Pertanian

Secara umum, ekuilibrium pasar memerlukan keseimbangan suplai pasar

dan permintaannya. Hal ini berarti bahwa suplai dan permintaan pasar di dalam

masing-masing pasar kedelai, produk olahan dari kedelai, dan pakan ternak

haruslah identik. Oleh sebab itu, dengan mudah membentuk kondisi di dalam

model pasar tunggal dimana suplai pasar dan kasus khusus produk gabungan

sebagaimana diterapkan di dalam penelitian ini, fungsi-fungsi tersebut secara

implisit ditampilkan. Sehingga, penelitian ini tidak dapat secara langsung

mendapatkan kondisi keseimbangan tanpa penelitian yang cermat.

Fungsi suplai pasar tersedia dalam pasar kedelai dan fungsi permintaan

terdapat di dalam produk olahan dari kedelai dan pasar ternak. Perusahaan produk

lahan dari kedelai mengkaitkan suplai dan fungsi permintaan ini di dalam pasar.

Jelasnya, bahwa seberapa besar perusahaan membeli kedelai di pasar, mereka

akan jual di dalam pasar produk (hasil olahan). Besarnya yang dijual perusahaan

di dalam pasar produk harus sama dengan jumlah yang mereka produksi dari

kedelai yang mereka beli. Dalam hal produk gabungan dengan proporsi yang

tetap, rasio konversinya merupakan faktor kunci di dalam pembentukan kondisi

ini.

Bayangkan perusahaan membeli sejumlah R unit kedelai. Ia dapat

memproduksi Tt dan Ts unit produk olahan dari kedelai dan pakan dari kedelai per

unit biji kedelai, secara berurutan. Oleh sebab itu, ia dapat menjual total R.Ts unit

minyak dan makanan kedelai, secara berurutan. Jika terjadi bahwa perusahaan

100

menjadi 0 = R.Tt dan M = R.Ts. oleh sebab itu, kondisi ekuilibrium pasar umum

dinyatakan di dalam tiga pasar ini dapat dinyatakan sebagai (6.1)-(6.2).

In(R) = In(ar) + α1.In(wr) + α2.In(Rimp) + α3.In(Ppad) + α4.In(pf) +α5.In(F) +

α6.In(T+e) + ε (6.1)

0321 )(.)(.)(.)()(

++++=

−+ IInpInpInIn

SRIn pot

t

t

tt

imp

(6.2)

mr

fmmzs

t

s

s

imp

eIIny

TInyPInypInypInya

InM

RIn

+++

+++++=+

)(.

)(.)(.)(.)(.)()(

5

4321

Perhatikan bahwa e (yaitu, bernilai 2,71828…) ditambahkan pada variable T dan

I dalam persamaan (6.1) dan (6.3) agar membuatnya pada nilai satu ketika T dan It

bernilai nol. Deretan persamaan (6.1) - (6.3) merupakan model lengkap penetuan

harga kedelai di Jawa Timur.

Keseimbangan pasar umum industri adalah keseimbangan suplai pasar dan

permintaannya. Seberapa besar industri membeli kedelai di pasar, industri akan

menjual di dalam pasar produk hasil olahan, atau tepatnya besarnya yang dijual

oleh industri di dalam pasar produk harus sama dengan jumlah yang diproduksi

dari kedelai yang dibeli. Sehingga keseimbangan pasar umum terdiri dari,

keseimbangan pasar input kedelai, keseimbangan pasar output produk olahan

kedelai, dan keseimbangan pasar output produk pakan ternak dari kedelai.

6. 1 Keseimbangan Pasar Input

Untuk mengetahui faktor-faktor yang memempengaruhi keseimbangan

pasar input kedelai diestimasi dari fungsi penawaran kedelai dengan

menggunakan data Tabel 6.1. Penawaran kedelai dispesifikasikan sebagai fungsi

dari harga kedelai grosiran (Wr), jumlah impor kedelai (Rimp), harga padi (Pd)

harga eceran pupuk urea (Pf), jumlah curah hujan tahunan (F) dan tren waktu (T).

Hasil estimasi memperoleh F-hitung 12,2335 berbeda nyata pada taraf nyata 1

persen. Koefisien determinasi R-squared 0,8495, berarti 84,95 persen penawaran

input kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan

oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.

(6.3)

101

Tabel 6.1 Data Keseimbangan Pasar Input Kedelai di Jawa Timur

Tahun R Wr Rimp Ppad Pf F T

1989 459268 64,509.00 68,895.00

27,897 175.95 1,939 1989

990 471595 75,784.00 14,355.00

30,469 202.92 1,777 1990

1991 481001 75,928.00 50,962.00

33,660 229.93 1,794 1991

1992 543010 84,103.00 18,311.00

35,928 249.12 2,302 1992

1993 549713 104,770.00 47,476.00

36,232 278.84 1,906 1993

1994 493632 120,682.30 68,510.00

46,912 306.76 1,732 1994

1995 487190 112,717.00 13,097.00

50,930 351.47 2,211 1995

1996 509096 123,311.00 106,867.00

52,711 477.05 1,919 1996

1997 511531 136,454.00 68,013.00

56,728 555.67 1,305 1997

1998 457272 259,925.00 164,299.00

125,708 716.32 2,901 1998

1999 485878 275,175.00 259,686.00

132,125 1,125.03 2,239 1999

2000 385212 237,083.00 330,546.00

140,050 1,133.46 2,313 2000

2001 349188 246,688.00 311,889.71

113,825 1,224.65 2,461 2001

2002 300184 252,823.00 351,795.93

130,833 1,336.96 1,832 2002

2003 287205 263,232.00 391,702.14

121,083 1,342.82 2,014 2003

2004 318929 317,441.00 206,627.95

124,684 1,344.76 1,722 2004

2005 335106 339,645.00 196,283.71

132,643 1,360.99 1,126 2005

2006 320205 336,255.00 359,630.84

195,919 1,555.08 1,716 2006

2007 252027 393,625.00 511,172.81

229,392 1,641.04 2,080 2007

2008 227281 321,067.00 366,099.62

271,703 1,832.97 2,409 2008

Sumber BPS BPS BPS BPS BPS BMG

Keterangan :

R = Penawaran Kedelai dalam ton/tahun

Wr= harga kedelai grosiran di Jawa Timur dalam Rp/ratusan kg

Rimp = Jumlah impor kedelai dalam ton /tahun Ppd = Harga padi di Jawa Timur Rp/ratusan

kg

Pf= Harga eceran pupuk urea dalam Rp/kg

Keseimbangan pasar input kedelai dipengaruhi oleh harga kedelai, dam tren

waktu, sedangkan jumlah impor, harga padi, harga pupuk urea dan jumlah curah

hujan tahunan tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar

102

input kedelai. Varibel harga kedelai berpengaruh terhadap keseimbangan pasar

input kedelai, kalau harga kedelai naik, maka jumlah kedelai yang ditawarkan di

pasar akan meningkat dan sebaliknya apabila harga kedelai turun maka jumlah

kedelai yang ditawarkan di pasar akan menurun. Variabel tren waktu menunjukan

pengaruh yang nyata dengan koefisien regresi negatif artinya kedelai yang

ditawarkan di pasar dari waktu ke waktu semakin menurun, oleh karena itu

pemerintah sudah selayaknya meningkatkan produksi kedelai di dalam negeri

untuk mengantisipasi kelangkaan kedelai di pasar.

Tabel 6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar Input Kedelai

Variabel Koefisien Prob (t-statistik)

Konstanta 1223,0060 0,0113

Harga kedelai grosiran (LnWr) 0,4699 0,0995

Jumlah impor kedelai (LnRimp) -0,0864 0,1595

Harga padi (LnPd) -0,0800 0,7738

Harga eceran pupuk urea (LnPf) 0,1321 0,5778

Jumlah curah hujan tahunan (LnF) -0,1192 0,5593

Tren waktu (T) -159,7113 0,0120

R-squared 0,8495

Adjusted R-squared 0,7800

S.E. of regression 0,1277

Sum squared resid 0,2119

Log likelihood 17,0925

F-statistic 12,2335

Prob(F-statistic) 0,0001

Variabel impor tidak berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar

kedelai, tetapi koefisien regresi negatif, hal ini menunjukkan ada kecendrungan

kenaikan impor kedelai yang dilakukan pemerintah lebih rendah dibandingkan

dengan penurunan produksi kedelai lokal. Harga padi tidak berpengaruh nyata

terhadap keseimbangan penawaran kedelai, koefisien regresi positif, menunjukkan

ada kecendrungan kalau harga padi naik penawaran kedelai di pasar akan

menurun, hal ini disebabkan kedelai adalah tanaman alternatif kalau harga padi

naik petani akan mengurangi menanam kedelai dan meningkatkan menanam padi.

6 2. Keseimbangan Pasar Output Produk Olahan

Untuk mengetahui faktor-faktor yang memempengaruhi keseimbangan

pasar ouput olahan kedelai diestimasi dari fungsi penawaran produk olahan

kedelai dengan menggunakan data pada Tabel 6.3. Penawaran olahan kedelai

103

merupakan penjumlahan suplai perusahaan ditambah impor dikurangi stok

dispesifikasikan sebagai fungsi dari harga produk olahan kedelai (Pt), harga

produk olahan bahan lain (Ppo) dan pendapatan per kapita konsumen (I). Hasil

estimasi memperoleh F-hitung 16,8892 berbeda nyata pada taraf nyata 1 persen.

Koefisien determinasi R-squared 0,7589, berarti 75,89 persen keseimbangan pasar

ouput olahan kedelai dapat dijelaskan oleh model yang dibangun, dan sisanya

dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada dalam model.

Tabel 6.3 Data Keseimbangan Pasar Ouput Produ Olahan Kedelai di

Jawa Timur

Tahun R+(Qimp/tt)-(DS/tt) Pt Ppo I

1989 463,330.80 1058 992 483,300.00

1990 476,942.10 1307 1060 515,700.00

1991 489,394.00 1488 1115 548,300.00

1992 550,404.60 1682 1210 579,100.00

1993 554,188.10 1500 1241 1,382,320.69

1994 502,650.53 1436 1612 1,574,000.00

1995 519,220.17 1570 1328 1,689,406.00

1996 548,612.50 1343 2350 1,813,759.00

1997 519,357.67 1527 3296 1,915,896.00

1998 862,687.43 2042 4519 1,596,984.00

1999 726,620.53 2377 3835 1,616,012.00

2000 450,930.00 3228 4206 1,668,182.00

2001 547,304.53 4168 4458 1,678,770.00

2002 743,807.47 4887 4572 1,724,759.00

2003 990,393.13 4874 5863 1,784,165.00

2004 2,022,186.97 5527 6578 6,637,984.00

2005 5,187,363.57 5230 7474 7,063,778.00

2006 6,638,725.87 4830 7880 7,412,716.00

2007 12,249,230.67 5527 8281 7,800,779.00

2008 17,268,027.17 7273 9855 8,216,800.00

Sumber BPS BPS BPS BPS

R= Penawaran produk olahan kedelai dalam ton/tahun

Qimp = Jumlah impor olahank dalam ton/tahun

Pt = Harga produk olahan kedelai dalam Rp/tahun

Ppo = Harga produk olahan dari bahan lain (saos tomat) dalam Rp/kg

I = pendapatan per kapita konsumen Rp/tahun

104

Tabel 6.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar Ouput

Olahan Kedelai

Variabel Koefisien Prob (t-statistik)

Konstanta -3,1252 0,2664

Harga produk olahan kedelai (LnPt) 0,6994 0,2245

Harga produk olahan bahan lain

(LnPpo) -0,4294 0,4374

Pendapatan perkapita konsumen (LnI) 1,0341 0,0053

R-squared 0,7589

Adjusted R-squared 0,7137

S.E. of regression 0,6299

Sum squared resid 6,3500

Log likelihood -16,9060

F-statistic 16,8892

Prob(F-statistic) 0,0000

Keseimbangan pasar ouput olahan kedelai dipengaruhi oleh pendapatan

per kapita konsumen, sedangkan harga produk olahan kedelai dan harga produk

olahan bahan tidak berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar. Variabel

pendapatan per kapita ini menunjukkan bahwa peningkatan pendapatan per kapita

konsumen akan membutuhkan peningkatan ouput produk olahan kedelai di pasar.

Variabel harga tidak berpengaruh terhadap keseimbangan pasar, koefisien positif

menunjukkan bahwa ada kecendrungan kalau harga naik industri akan

meningkatkan penawaran produk olahan kedelai di pasar.

6. 3 Keseimbangan Pasar Output Produk Pakan Ternak

Model ekonomitrika yang menggambarkan keseimbangan pasar output

pakan ternak dari kedelai diestimasi dengan menggunakan OLS (Ordinary Least

Square) dengan menggunakan data Tabel 6.5. Sebelum dilakukan estimasi, setiap

variabel diuji kondisi stationary-nya dengan menggunakan Uji ADF (Augmented

Dickey-Fuller Test). Selanjutnya dilakukan uji autokorelasi dan uji

heteroskedastisitas

105

Hasil analisis menunjukkan bahwa data keseimbangan pasar output pakan

ternak dari kedelai dari setiap variabel bersifat stasioner. Uji autokorelasi

menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared memiliki nilai > ,05 ( =5%),

maka dapat disimpulkan tidak terdapat autokorelasi. Uji heteroskedastisitas juga

menunjukkan probabilitas dari Obs*R-squared emiliki nilai > ,05 ( =5%), hasil

ini memastikan bahwa model estimasi keseimbangan pasar output pakan dari

kedelai tidak mengalami heteroskedastisitas.

Tabel 6.5 Data Keseimbangan Pasar Ouput pakan Ternak dari Kedelai

Tahun R+(Mimp/s) Ps Pmz Pfm T

1989 2,296,076.33 486 19,592.12 1,157,847 1989

1990 2,451,251.94 534 22,230.50 1,320,549 1990

1991 2,680,629.89 648 25,596.24 1,405,436 1991

1992 4,220,587.22 361 23,760.79 1,369,209 1992

1993 5,513,677.17 645 26,589.91 1,345,969 1993

1994 11,685,762.56 500 34,674.85 1,328,162 1994

1995 31,999,255.83 567 40,321.08 1,378,845 1995

1996 43,922,555.44 488 55,340.34 1,375,992 1996

1997 12,631,606.56 481 62,768.62 2,828,037 1997

1998 32,169,631.17 380 122,059.88 6,065,054 1998

1999 48,859,311.33 458 155,252.98 3,750,007 1999

2000 53,845,048.39 517 92,500.52 4,339,051 2000

2001 56,540,269.67 659 108,336.18 5,208,008 2001

2002 56,456,723.44 738 110,866.06 5,559,160 2002

2003 52,941,744.72 833 113,500.85 5,431,567 2003

2004 61,203,327.89 1,007 116,880.98 6,614,387 2004

2005 46,858,300.72 1,027 122,854.81 6,883,261 2005

2006 51,046,150.00 1,165 145,591.21 8,211,177 2006

2007 58,513,705.33 1,650 201,640.00 11,855,978 2007

2008 60,190,472.11 1,762 177,389.10 12,203,666 2008

Sumbe

r BPS BPS BPS IMF

Keterangan :

R = penawaran produk pakan ternak dari kedelai dalam ton

Ps =Harga Pakan ternak dari kedelai dalam

Rp/kg

Pmz = Harga jagung dalam Rp/ratusan kg

Pfm = Harga tepung ikan dalam Rp/kg

106

Tabel 6.6 . Hasil Uji Stationary (Unit Root Test) Data Keseimbangan Pasar

output Pakan Ternak dari Kedelai

No Variabel t-Stat Nilai Uji

Kritis

(Tingkat 1 %)

Hasil

Uji

1 Permintaan pakan dari kedelai

yang dihadapi perusahaan

M

-3,5628

-2,7549

S

2 Jumlah pakan dari kedelai yang

diimpor

Mimp

-4,2831

-2,7282

S

3 Harga grosiran pakan dari

kedelai

Ps

-10,5280

-2,7080

S

4 Harga grosiran jagung Pmz -5,3129 -2,7175 S

5 Harga bahan dari ikan Pfm -5,3129 -2,7175 S

Keterangan :

S = data stationary

NS = data tidak stationary

Hasil estimasi diperoleh F-hitung 63,5054 berbeda nyata pada taraf nyata

1 persen. Koefisien determinasi R-squared 0,9442, berarti 94,42 persen

keseimbangan pasar output pakan ternak dari kedelai dapat dijelaskan oleh

model yang dibangun, dan sisanya dijelaskan oleh variabel lain yang tidak ada

dalam model.

Keseimbangan pasar ouput pakan ternak dari kedelai dipengaruhi oleh

harga pakan dari kedelai, harga jagung, harga bahan dari tepung ikan dan tren

waktu. Harga pakan berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar, koefisien

yang negatif menunjukkan kalau harga pakan naik, permintaan pakan akan

menurun sehingga ketersedian ouput pakan dari kedelai di pasar juga akan

menurun. Harga jagung berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar,

koefisien positif menunjukkan bahwa kalau harga jagung naik pasokan pakan di

pasar juga meningkat, karena peternak lebih memilih membeli pakan daripada

jagung. Harga bahan dari ikan berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar,

bahan dari ikan (tepung ikan) merupakan komponen penting dalam pembuatan

107

pakan dan lebih banyak diperoleh dari impor, kalau harga tepung ikan naik,

kemampuan industi untuk memasok pakan di pasar akan menurun. Tren waktu

berpengaruh nyata terhadap keseimbangan pasar, karena seiring dengan pesatnya

perkembangan sub sektor peternakan di Jawa Timur maka dibutuhkan

peningkatan pasokan pakan ternak setiap tahunnya untuk memenuhi kebutuhan

peternak.

Tabel 6.7 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keseimbangan Pasar output Pakan

dari Kedelai

Variabel Koefisien Prob (t-statistik)

Konstanta 4043,9190 0,0010

Harga pakan dari kedelai (LnPs) -0,8111 0,0470

Harga grosiran jagung (LnPs) 1,2602 0,0115

Harga bahan dari ikan (LnPfm) -1,4667 0,0006

Tren waktu (T) 536,0505 0,0010

R-squared 0,9442

Adjusted R-squared 0,9293

S.E. of regression 0,3269

Sum squared resid 1,6028

Log likelihood -3,1392

F-statistic 63,5054

Prob(F-statistic) 0,0000

108

DAFTAR PUSTAKA

Anindita, Ratya. 2005. Pemasaran Hasil Pertanian, Penerbit Papyrus Surabaya

Anindita, Ratya dan Reed, Michael R., 2008. Bisnis dan Perdagangan

Internasional. Penerbit Andi Yogyakarta.

Anindita, Ratya. 2010. Dampak Efisiensi Pemasaran Hasil Pertanian Terhadap

Perekonomian Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam

Bidang Ilmu Pemasaran Hasil Pertanian Pada Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya. Disampaikan pada rapat senat terbuka Universitas

Brawijaya, Malang, 3 Agustus 2010

Amang, B dan Sawit. H. 1996. Ekonomi Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi

Kedelai di Indonesia Disunting oleh Amang, B, Sawit. H dan M R. Anas.

IPB Press

Appelbaum, E. 1979. Testing Price taking behavior. Journal of Eonometrics, 9:

283-294

Appelbaum, E. 1982. The Estimate of the degree of oligopoly Power. Journal of

Econometrics,19: 287-299

Adisarwanto, T. 2008. Budi Daya Kedelai Tropika, Penerbit Penebar Swadaya

Azzaino, Z. 1983. Pengantar Tataniaga Pertanian. Jurusan Sosial Ekonomi

Pertanian-IPB. Bogor

Bain, J.S. 1968. Industrial Organization 2nd Edition, John Wiley & Sons Inc.

New York

BPS. 1996. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS. Jakarta

BPS. 2006. Keragaan Impor Biji Kedelai di Indonesia, BPS. Jakarta

BPS. 2006. Perkembangan Luas Penen, Produktivitas dan Produksi Kedelei di

Indonesia (1992-2005), BPS. Jakarta

BPS. 2008. Provinsi Jawa Timur Dalam Angka. Surabaya

Carlton, DW dan Perloff, JM. 2000. Modern Industrial Organization. Third

Edition. Addison-Wesley Publishing Company

109

Chalil, Diana and Fredoun Ahmadi-Esfahani. 2006. Modelling Market Power in

The Indonesian Palm Oil Industry. Agricultural and Resources Economics

Faculty of Agriculture, Food and Natural Resources The University of

Sydney NSM

Darsono, Haryadi, Jan Horas V.Purba, Kusmayadi, Rony Dwi Susanto, Rustam

Abdul Rauf. 2005. Analisis Dampak Pengenaan Kembali Tarif Impor

Kedelai Bagi Kesejahteraan Masyarakat. Sekolah Pasca Sarjana IPB.

Bogor

Dinas Komunikasi dan Informatika. 2009. Jatim Tetap Menjadi Pensuplai

Kedelai Terbesar, Provinsi Jawa Timur. Surabaya

Dinas Perindustrian dan Perdagangan. 2009. Impor Jawa Timur Berdasarkan

Komoditi dan HS. Provinsi Jawa Timur, Surabaya

Frode Steen, Kjell G. Salvanes. 1997. Testing for Market Power Using a Dynamic

Oligopoly Model. Inernational Journal of Industrial Organization, Institute

of Economics, Norwegian of School of Economics and Business

Administration, Helleveien 30, N-5035 Bergen-Sandviken, Norway

Gujarati, DN. 1998. Basic Economitrics. McGraw Hill Inc. Third Edition

Henderson, James M. and Richard E Quant. 1980. Microeconomic Theory, A

Mathematical Approach. McGraw Hil International Book Company,

Singapore

Koutsoyianis, A. 1982. Theory of Econometrics, McGraw-Hil, Singapore

Kasryno, Faisal, Delima H. Darmawan, I Wayan Rusastra, Erwidodo, dan Charil

A Rasahan. Pemasaran Kedelai di Indonesia. Kedelai, Penyunting:

Sadikin Somaatmadja, M. Ismunadji, Sumarno, Mahyuddin Syam, S.O.

Manurung Yuswadi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor

Kohls, RL dan Uhl, JN. 2000. Marketing of Agricultural Products, Ninth Edition.

Prentice Hall

Kinoshita, Junko, Nobuhiro Suzuki, Harry M. Kaiser. 2002. Expalaining Pricing

Conduct in a Product-Diffrentiated Oligopolistic Market: An Empirical

Application of Price Conjectural Variations Model. Agribusiness, Vol. 18

(4) 427–436 .Published online in Wiley InterScience

(wwwinterscience.wiley.com).

Katchova Ani L; Ian M. Sheldon; Mario J. Miranda, 2005. A Dynamic Model of

Oligopoly and Oligopsonyin the U.S. Potato-Processing Industry.

Agribusiness, Vol. 21 (3) 409–428 .Published online in Wiley InterScience

(wwwinterscience.wiley.com).

156

110

Kim, Donghun. 2005. Measuring Market Power in a Dynamic Oligopoly Model:

An Empirical Analysis, International Development Program, International

University of Japan, Kokasai-cho, Minami Ounuma-shi, Nigata 949-7277.

Krisdiana, Ruly. 2007. Preferensi Industri Tahu dan Tempe Terhadap Permintaan

Komoditas Kedelai. Peningkatan Produksi Kacang-kacangan dan Umbi-

umbian Mendukung Kemandirian Pangan, Penyunting Suharsono,

A.Karim Makarim, A.A. Rahmiana, M.Muchlish Adie, Abdulah Taufiq,

Fachrur Rosi, I K. Tastra, Didik Harnowo. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Bogor

Kementrian Pertanian. 2010. Laporan Harian Harga Kedelai di Kabupaten

Sentra Produksi. www.deptan.go.id

Masyhuri. 1993. Pengantar Pemasaran Hasil Pertanian. Bahan Penataran

Agribisnis di Mataram, Lombok.

Love and Murniningtyas. 1992. Measuring the Degree of Market Power Exerted

by Government Trade Agencies. American Agricultural Economics

Association

Maddala, GS. 2001. Introduction to Economitrics. Jhon Wiley & Sons. Ltd

Mary K, Muth and Michael K. Wohlgenant. 1998. A Model of Imperfecct

Competition Using Marginal Input and Output Pices: Aplication to The

Beef Packing Industry, Research Triangle Institute Center For Economic

Reserch 3040 Cornwallis Road, Research Triangle Park, NC 27709-2194

(919) 541-7289 [email protected]

Margono, Suyud. 2009. Hukum Anti Monopoli. Penerbit Sinar Grafika.Jakarta

Miller, Roger Le Roy dan Roger E Meiners. 1993. Teori Ekonomi Mikro

Intermediate. Penterjemah Haris Munandar, PT Raja Grafindo Persada.

Jakarta

Nuhfil, H.2000. Analisa Mikro dan Makro Perekonomian Indonesia. Desertasi

Program Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Nurasa, Tjetjep. 2007. Revitalisasi Benih dalam Meningkatkan Pendapatan

Petani Kedelai di Jawa Timur, Jurnal Akta Agrosia Edisi Khusus No.2

hlm 164 - 171

Purwoko, A dan Sayaka, B. 1992. Ekonomi Kedelai di Sulawesi Selatan. Pusat

Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bogor

Premyothin. 2004. Structure Market of Processing Fruit anda Vegetables Industry

in Chiang May and Lumphun.

111

Pyndick, R.S and D.L. Rubinfeld. 1981. Economitric Models and Economic

Forecasts, 2nd Edition. McGraw-Hill Company. USA

Rogers, G. 1986. Penetapan Harga Hasil Pertanian. (Penyunting Makaliwe)

Gramedia. Jakarta

Royer, JS. 1998. Market Structure. Vertical Integration, and Contract

Coordination. The Industrialization of Agriculture Edited by Royers and

Rogers. Ashgate-Publishing. USA.

Siregar, Masdjidin. 2010 . Tinjauan Kebijakan Perdagangan Komoditas Kedelai.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Ejournal unud.ac.id

Saefuddin, A.M. 1983. Pengkajian Pemasaran Komoditi, IPB. Bogor

Schroeter, Jhon R. 1988. Estimating the Degree of Market Power in the Beef

Packing Industry. The Review of Economics and Statistics. 70 (1): 158-

162.

Schroeter, Jhon R and Azzam, A. 1991.Marketing Margin, Market Power And

Price Uncertainty. American Journal of Agricultural Economics.73 (4):

990-999

Schroter, Jhon R, Azzedddine M. Azzam, and Mingxia Zhang. 2000. Measuring

Market Power in Bilateral Oligopoly: The Wholesale Market for Beef.

Departemen of Economics, Iowa State University, 260 Heady Hall, Iowa

State University, Ames, IA 50011-1070, USA.

Schroter, Jhon R, Azzedddine M. Azzam. 2001. Measuring Market Power in

Muti-Product Oligopolies: The US Meat Industry. Departemen of

Economics, Iowa State University and Departement of Agricultural

Economics, University of Nebraska-Lincoln. USA

Sexton, RJ. 1990. Imperfect Competition in Agricultural Market and the role of

Cooperatives: A spatial Analysis. American journal of Agricultural

Economics. 72 (3): 779-720

Sexton, RJ and Sexton, TA. 1994. Cooperative market Power and Antitrust with

Aplication to California Information Sharing Cooperatives. Competitive

Strategy Analysis for Agricultural Cooperatives. Edited by Roald W

Cotteril. Westview Press

Shepperd, WG. 1990. The economic of Industrial Organization. Third Edition.

Sukirno, Sadono. 1994. Pengantar Teori Mikroekonomi. Penerbit PT. Raja

Grafindo Persada. Jakarta

Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian Teori dan Aplikasi, Penerbit

Rajawali Pers. Jakarta

112

Soekartawi. 1989. Prinsip Dasar Manajemen Pemasaran Hasil-hasil Pertanian

Teori dan Aplikasinya, Penerbit Rajawali Pers. Jakarta

Tibayan dan Romero. 1983. Market Structure, Conduct and Performace of Copra

Marketing System in Selected Towns of Bicol Region. MS Thesis. UPLB,

Philipina

Tirole, Jean. 1994. The Theory of Industrial Organization. The MT Press

Cambridge, Massachusetts, London.England

Timmer, P,. 1997. Policy Arena; Building Efficiency In Agricultural Marketing:

The Long Run Role of BULOG In the Indonesian Food Economy. Journal

of International Development Vol.9. No 1., pp (133-145)

Wann, J.J, Sexton R.J. 1992. Imperfect Competition Multiproduct Food Industries

With Application to Pear Processing. American Journal of Agricultural

Economic 74 (4), 980 - 990

Weerahewa, Jeevika. 2003. Estimating Market Power of Tea Processing Sector.

Sri Lankan Journal of Agricultural Economics Vol. 5, No. 1, 2003

Zulham, A dan Yumm, M. 1996. Pemasaran dan Pembentukan Harga. Ekonomi

Kedelai di Indonesia. Dalam Ekonomi kedelai di Indonesia disunting oleh

Amang, B; Sawit. H dan MR. Anas. IPB Press. Bogor

113

I Ketut Arnawa, dilahirkan di Bangli Bali, 6 Juni 1962,

pendidikan Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah Atas

diselesaikan di Bangli, Pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas

Pertanian Unram tahun 1987, pendidikan S2 diselesaikan di

Program Pascasarjana UGM, tahun 1995 dan S3 diselesaikan di

Program Pascasarjana UB tahun 2011. Penulis adalah dosen tetap

Fakultas Pertanian Universitas Mahasaraswati Denpasar (Unmas).

Pada tahun 2013 Sebagai Dekan Fakultas Pertanian Unmas, pada

tahun 2014 – 2017 sebagai WR IV Unmas dan tahun 2018 sebagai

Ketua Prodi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Pengelolaan Lingkungan

(MP2WL). Mengajar mata kuliah Ekonomi Mikro, Pemasaran, Pembiayaan Agribisnis,

dan Evaluasi Proyek Pertanian di Program S1 dan mengajar Ekonomi Wilayah dan

Metode Penelitian di Prodi MP2WL. Penulis aktif sebagai peneliti yang terkait dengan

ekonomi pertanian dan perencanaan wilayah dan aktif menulis di jurnal nasional maupun

internasional.

Ratya Anindita, dilahirkan di Malang, 8 September 1961. Penulis

adalah Dosen Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian

Universitas Brawijaya, pendidikan S1 diselesaikan di Fakultas

Pertanian Unibraw, S2 di Program Pascasarjana KPK UGM-

UNIBRAW dan S3 di College of Economics and Management-

University of the Philippines Los Banos. Penulis sangat aktif

sebagai penulis buku. Buku yang telah dipublikasikan antara lain:

(1) Mathematika Ekonomi I, (2) Pemasaran Hasil Pertanian, (3)

Ekonomi Pertanian, (4) Pendekatan Ekonomi untuk Analisis

Harga,dan (5) Perdagangan Internasional


Recommended