Date post: | 07-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
Kilau Merah MataAntologi 12 Penyair Gorontalo
Alwin Bobihu dkk.
PERPUSTAKAAN
BADAN BAHASADEPARTEMEN PENDIDIKAN NA810NAL
00053721
^r,. > 1 ■!
KANTOR BAHASA GORONTALO2016
Antologi 12 Penyair GorontaloKilau Merah Mate
PenyuntingTim Bahasa dan Sastra Kantor Bahasa Gorontalo
Tata letak
Muhammad Asyrafi
Desain sampulMuhammad Asyrafi
Penerbit
Kantor Bahasa Gorontalo
Alamat RedaksiKANTOR BAHASA GORONTALO
Jalan Arif Rahman Hakim No. 18, Kota GorontaloTelepon/Faksimile (0435);831336 .Pos-el: [email protected]
Oetakan pertamaNovember 2016
Hak cipta diltndungi undang-undangDilarang memperbanyak karya tulis ini dengan cara dan bentuk apa puntanpa izin tertulis dari Penerbit
xvi + 128 him.; 14 cm x 21 cm
ISBN: 978-602-1-1488-8-1
PERPUSTAKAAN 13ADAM 6Ah/ .
Klaslfikasl
W
A-MT(K
No.induk; QQwQTgl. :
Ttd. : Akl
KATA PENGANTAR
Kegiatan Kelas Menulis Tahun 2016 yang dilaksanakan
oleh Kantor Bahasa Gorontalo menipakan tindak lanjut dari
Program Pembinaan Penggunaan Bahasa dan Sastra Masyarakat,
serta wujud dukimgan terhadap Gerakan Literasi Bangsa. Kami
sebagai pelaksana tugas teknis di Provinsi Gorontalo mencobamemfasilitasi kreativitas dan kepedulian masyarakat terhadap
penguatan identitas kultural serta sikap positif masyarakatterhadap penggunaan Bahasa Indonesia dalam berkomunikasi.
Untuk mewujudkannya, salah satu cara adalah mengumpulkan
dan menerbitkan hasil karya dari para peserta Kelas Menulis
Tahun 2016 sehingga didapatkan 90 naskah puisi dari 12 peserta
Kelas Menulis Tahun 2016.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak
Muzzamil Massa, S.Sos. dan Bapak Cecep Syamsul Hari yang
sudah meluangkan waktu dan pikiran imtuk menyelami karya-
karya puisi ini. Besar harapan kami, buku ini dapat memberikaninspirasi bagi masyarakat khususnya masyarakat di Gorontalodalam mengenali sastra.
Gorontalo, September 2016
Kepala
Kantor Bahasa Gorontalo
Dr. Sukardi Gau, M.Hum.
in
Kepekaan dalam Arus Sejarah
Oleh: Jamil Massa
Dalam keija-keija kreatif, tahap yang memakan cukup
banyak waktu dan memberi cukup beban pada pikiran adalah
tahap ketika segalanya bam akan dimulai. Bagaimana memulai
menulis puisi misalnya. Bagi para penulis, kertas kosong adalah
sebuahpencetus fobia. Di satu sisi kertas kosong dapatmemancing
inspirasi dan memacu gairah kreatif, dan sering juga sebaliknya,
kertas kosong dapat menjadi sebuah pembunuh keyakinan.
Sebelum mulai menulis puisi, benak seorang penyair
berkutat dengan apa-apa yang belum, separuh, dan telah ada.
Maka bermunculanlah pertanyaan-pertanyaan semacam ini:
Apakah puisi saya menawarkan kebaman? Apakah puisi saya
semata peniman atau tafsir subversif dari apa yang telah ada
di alam semesta? Apakah puisi saya mempakan epigon dari
teknik-teknik persajakan yang telah ada sebelumnya? Dengan
mengajukan tiga pertanyaan kritis tersebut, seorang penyair
menakar kemampuannya, membanding-bandingkan dirinya
dengan penulis lain, dan membiarkan kertas kosong tetap dalam
keadaan kosong sepanjang pertanyaan-pertanyaan di atas belum
mendapatkan jawaban yang memadai; dan itu bisa berarti
selamanya.
Di sisi yang lain, publik pembaca adalah kalangan yang
banyak diisi orang-orang keras kepala, yang selalu menuntut
iv
tiga hal dalam sebuah karya: kebaman, kebanian dan kebaman.
Kenyataannya, menurut penyair Inggris T.S. Elliot, repetisi
adalah sesuatu yang sulit dihindari, terutama pada generasi
yang lebih muda. Dalam risalahnya yang beijudul Tradition and
Individual Talent (1921), Elliot menulis, yang paling utama dalam
sebuah karya bukanlah kebaruan semata, melainkan kepekaan
akan sejarah (the sense of history) yang hams dimiliki penyair
setidaknya setelah ia berumur dua puluh lima. "Kepekaan akan
sejarah,*' tulis Elliot lagi "melibatkan suatu persepsi, bukan hanya
tentang kemasalaluan dari masa lain {pastness of the past), tapi
juga kekiniannya (presence).''*
Lain bagaimanakah kesadaran akan masa lain dan
kepekaan atas masa kini tersebut bisa ditanamkan ke dalam batin
calon-calon penyair sebelum mereka bemsia 25 tahim? Itulah
pertanyaan yang menjadi poros utama dalam menggerakkan roda
Kelas Menulis Kantor Bahasa Gorontalo (KM-KBG). Berawal
dari kegelisahan akan minimnya penulis di Gorontalo yang benar-
benar berkarya secara intens, berkelanjutan, dan dalam kerangka
konsep yang matang dan jelas, atau setidaknya terpublikasikan
dan dapat memberi dampak luas bagi kesusastraan di Gorontalo—
syukur-syukur nasional—^Kantor Bahasa Gorontalo kemudian
membuka kelas menulis ini.
Kantor Bahasa Gorontalo sesungguhnya menyambut
dengan tangan terbuka siapa pun yang berminat mempelajari
penulisan kreatif, yang dalam kelas pertama ini memfokuskan
diri pada puisi, meskipun dalam praktiknya, kelas ini lebih
V
mengutamakan orang-orang muda, dalam kisaran usia di bawah25 tahun. Usia yang disyaratkan Elliot untuk membentuk seorang
calon penulis yang unggul.
Sepanjang kelas berlangsung, yakni selama hampir
tiga bulan (Juni - September 2016), para peserta dan fasilitatorbertemu nntuk saling mensintesiskan pengalaman dan pemaknaan
masing-masing atas apa sesungguhnya puisi itu. Setiap pertemuan
diawali sebuah diskusi singkat, yang kemudian dilanjutkan
dengan simulasi, dari yang sederhana sampai yang paling nimit,mengenai berbagai strategi dan jurus dalam mengolah bahasa
sebagai instrumen ekspresi puitik. Pertemuan yang beijumlah
12 kali dibagi menjadi tiga bagian. Pertemuan 1-4 mempelajarimusikalitas puisi; pertemuan 5-8 membahas imaji dan metafora;
pertemuan 9-10 diisi tentang metode memecah tema dan mengolahinsprasi dari lukisan, foto, film, dan suasana sekitar.
Dalam menyusun kurikulum dan materi kelas menulis,
saya berhutang kepada penyair Hasta Indriyana, Ahmad Yulden
Erwin, dan Hasan Aspahani yang, secara langsung maupun tidak
langsung, meminjamkan kepada saya pengetahuan mereka yang
luas akan perpuisian Indonesia dan Dunia. Berbagai teknik, teori
dan simulasi yang dipraktikkan para peserta dalam kelas menulis
ini saya sarikan dari berbagai catatan facebook, blog dan buku
yang ditulis oleh para penyair di atas.
Sebagai sebuah usaha, tentu ada saja rintangan.
Kesempatan bertemu muka yang terbatas dan gairah belajar yang
kurang konsisten membuat kelas yang semula diisi 40 orang
m
menyusut hingga tak lebih dari selusin. Melihat kenyataan ini
saya teringat seloroh penyair Ahmad Yulden Erwin: "Kalau tak
mau repot jangan menulis puisi, jualan tahu isi saja." Mimgkin,
28 orang yang mundur teratur dalam pertemuan demi pertemuan
itu pada awalnya mengira, menulis puisi adalah pekeqaan santai
yang bisa dilakukan sembari tidur-tidur ayam.
Namun, sebagai fasilitator kelas ini, saya menganggap
penyusutan tersebut adalah konsekuensi logis dari suatu seleksialamiah yang wajar, bukti bahwa sebuah metode benar-benar
bekeija dan suatu proses yang sehat sungguh-sungguh telah
beqalan.
Dari Kesementaraan Sampai Sugesti
Tulisan ini, selain hendak menyajikan cerita soal
bagaimana dan untuk apa KM-KBG dibentuk, juga untukmemperlihatkan sejumlah komentar yang dibuat oleh saya sebagaikurator merangkap editor antologi Kilau Merah Mata (KMM).
Antologi yang berada di tangan pembaca ini dapat dianggapsebagai rapor, sebuah bukti fisik atas apa yang telah dipelajaripeserta selama kelas berlangsung.
Sesungguhnya komentar dari kurator terlalu dibutuhkan
dalam membaca sebuah buku kumpulan puisi. Mengapa kurator
memilih puisi A dan bukan puisi B merupakan hal-hal di luar karya
yang seharusnya tidak mempengaruhi kenikmatan membaca. JadiAnda saya perkenankan menghentikan pembacaan sampai di siniHan mulai menikmati puisi-puisi dalam buku ini jika Anda mau.
Namun, jika Anda berkeras ingin mengetahui apa saja
Vil
pendapat saya sendiri mengenai hasil kelas ini, mari kita lanjutkan
tur kita kembali.
Satu-satunya ganjaran menjadi penulis, kata Roald Dahl,
adalah kebebasan tak tepermanai; penulis tak punya majikan selain
j iwanya sendiri. Pemyataan yang romantik itu seolah mendapatkan
tubuhnya dalam puisi-puisi Alwin Bobihu. Puisi-puisi Alwin
sarat akan percakapan dengan dirinya sendiri. Kerap ia bicara
mengenai kesementaraan. Betapa fana kehidupan ini, dan begitu
misteri kehidupan setelah mati. Dalam beberapa kesempatan ia
tampak sepakat dengan apa yang ditawarkan kitab suci, semisal
yang diungkapkannya melalui puisi Subuh yang Kelam (Mimpi-
mimpi datang bagai malaikat/Mempertanyakan perkara amal dan
sekarat). Namun, sesekali ia tak ragu mengajukan anggapannya
sendiri tentang apa yang menanti manusia di alam sana, seperti
yang dapat disimak dari puisi beijudul Di Langit Megah (seperti
angin yang kembali/ atau badai kembar di bulan Juli/ kita akan
dekat pada pembakaran/ lebih dekat dengan semua kenangan.)
Agak berbeda halnya dengan Arief Rahmat Nento.
Penyair ini tampak begitu lincah memainkan alusi, terutama dari
kilasan ingatannya akan sejumlah serial televisi. Arief seolah
merupakan bukti paling dekat mengenai apa yang ditekankan
Elliot soal bagaimana penyair harus mengembangkan atau
mendapatkan kesadaran masa lalu, seraya terus melanjutkan
kesadaran tersebut di sepanjang karimya. Mari simak potongan
puisi berikut
mil
Aku yang sekarang di hadapanmu
Bukanlah orangyang terperangkap
di bawah gunung itu 500 tahunyang lalu
Seseorang yang berbeda telah keluar darinya
Menjadikan sesuatu yang lain dari yang kau tahu
(Gunung Lima Jari)
Bagi siapa pun yang akrab dengan Journey to The West,
serial silat asal Hong Kong yang beberapa kali disiarkan sejumlah
stasiun televisi Indonesia, tentu pula tidak asing dengan karakter
Sun Go Kong yang menjadi tokoh utama dalam program tersebut.
Serial yang diangkat dari novel beijudul sama dengan yang
ditulis Wu Cheng'en di abad XIV, atau pada masa Dinasti Ming
itu, mengetengahkan kisah bhiksu Tong Sam Cong bersama tiga
pengikutnya: Sun Go Kong, Cu Pat Kay, dan Sha Wu Jing yang
beqalan ke Barat (India) untuk menjemput kitab suci.
Sun Go Kong adalah makluk fantastis berbentukkerayang
memiliki kesaktian tinggi serta keangkuhan tiada dua. Kombinasi
kedua hal itu membuat ia berani mengacau di surga. Oleh Sang
Budha ia dihukum dengan cara tubuhnya digencet di bawah
telapak tangan sang Budha sendiri, sementara kepalanya dibiarkanmenyembul keluar. Telapak tangan sang Buddha berubah menjadi
gummg batu lengkap dengan segel mantra: Om manipadme hum.Sementara, dengan kepala yang dibiarkan menyembul. Go Kong
masih bisa hidup, bemapas, memakan dedaunan dan serangga
yang lewat; serta merasakan berbagai siksaan alamiah seperti
IX
dingin, panas, kejenuhan, dan rasa terasing.
Arief agaknya menghayati betul falsafah penghukuman
yangganjil ini. lamemahami, intisaripembelengguanyang dialami
Sun Go Kong tak lain adalah sebentuk purifikasi, penyucian diri.
Om mani padme hum adalah mantra dalam tradisi Budhisme yang
dipercaya dapat menyucikan manusia dari enam sifat buruk—satu
di antaranya egoisme. Keangkuhan adalah kelemahan utama si
Kera Sakti, sehlngga untuk mencapai kekuatan yang paripuma ia
harus menyingkirkan sifat ilu.
Namun apa yang akan kudapat dari ini semua
Tentunya bukan cinta dan kasih sayang
Bukan, bukan itu
Barangkali hanya perlawanan yang sia-sia
(Gunung Lima Jari)
Baik itu teknis simbolisme dan topik mengenai
kesementaraan, sebagaimana yang disuguhkan Alwin; maupun
teknik alusi dan topik penyucian diri, seperti yang terlihat dalam
puisi Arief, adalah teknik-teknik dan topik-topik yang telah
pemah digunakan oleh banyak penyair dari era dan generasi
terdahulu. Begitu pula halnya sudut pandang dan diksi yang
digunakan, sesungguhnya tiada yang baru. Namun sensibilitas
dalam merasakan arus sejarah, antara yang lalu dan yang kini
tampak begitu menonjol dan unik, dan itu yang—sebagaimana\r*
saya pahami dari esai Elliot—^adalah hal yang lebih penting
dalam sebuah karya kreatif, jauh melampaui hal lain. Apresiasi
dalam melihat puisi-puisi dalam buku ini dapat dilakukan dengan
mengambil teropong yang sama.
Kita misalnya dapat menemukan topik ketuhanan
dikemas dengan teknik impresionisme dalam puisi-puisi Alivia
Nadatul Aisyi (Haruskah dingin yang berbisik?/ Ataukah sunyi
yang bergumam? - Malam Sendu). Atau kita dapat menemukanlimpahan metonimi yang menguraikan kearifan lokal dalam puisi-puisi ArifinT. Badu(£)/ Maratua/penyuyangmemikul bulansabit/
adalah zatua/ haram disambit/ dalam kitab hukum banua — Di
Maratua). Atau bolehlah kita nikmati permainan hipemim yang
membicarakan kerinduan yang ditingkahi kenikmatan memasakHan bersantap dalam puisi Dahlia T. Badu (Kita tidak sampai
lenyap/ hanya menunggu matang,/Memuaskan lahap pada tebaldaging ikan asap — Binthe Biluhuta). Atau resapilah kelihaianMartina D. Pago dalam mengolah alegori untuk mengomentari
rutinitas hidup manusia yang begitu mekanis lagi menjemukan{Yang abadi dalam arloji/Adalah putaran dan arah/ Sebagaimanamentari bersinar/ Dan terbenam — Yang Abadi dalam Arloji).
Sebagai komponen yang paling dekat dalam jangkauan
pembacaan puisi, musikalitas memiliki posisi yang cukupistimewa di tengah-tengah keduabelas penyair kita. Simakbagaimana Larasati Djafarmengeluhkan sebuah ketidakberdayaanlewat larik-lariknya yang merdu {Kau, keheningan dalamkemarau/ Selalu menusuk dengan tumpul mata pisau/ Yang
membuatku berteriak hingga parau — Kilau Merah Mata).
oa
Kesan ketidakberdayaan lagi-lagi dapat kita jumpai dalam puisi
Nur Awin Ity, yang dengan cermat memanfaatkan aliterasi yang
padat {Aku berlepas dari ampas yang kau hempas/ Bahkan bagai
hembusan napas yang repas/ Sempat kau melibas punggungku
dengan/ cambuk yang pedas hingga membekas tilas - Lepas).
Juga ada Sopyan Daulat yang mengeksplorasi repetisi terutama
pada kata-kata yang bersifat interogatif, seolah ingin menegaskan
minatnya pada pencarian jatidiri dan makna hidup (PangkalJalan
bak batu/ Terbawa, ke mana, di mana/ dan ada di mana-mana/
Teguh, keras, panas dan merana - Hitam untuk Warna).
Penyair Vadly Mahmud mengangkat musikalitas ini pada
posisi yang lebih bermartabat lagi, yakni sebagai kamar peluru
kritiknya atas berbagai dekadensi yang teijadi di sekitar, terutama
menyangkut kelestarian lingkungan. Yang membuat ia terlihat
menonjol adalah kemampuan Vadly dalam menggabungkan lebih
dari satu teknik persajakan (asonansi, aliterasi, repetisi) dalam
bait-bait puisinya, tanpa ada kesan memaksakan.
Di Danau Limboto tak ada senja
la takut dijaring atau iertusuk kail pancingyang lapar
Di Danau Limboto ikan lupa cara menggunakan insang
sebab air tak lagi alir dan ruang gerak tak lagi lapang
Di Danau Limboto perahu tak berani menari,
langkahnya tersendat lika liku waktuyang luka
(Elegi Danau Limboto)xii
Apa yang ditawarkan dalam KM-KBG semata adalah
hal-hal yang sifatnya teknis. Macam ragam pendekatan dalam
membaca lain menuliskan puisi yang dapat dipilih, dapat pula
diabaikan. Dasar pijakan dari pilihan-pilihan tersebut adalah
ideologi dan visi kepengarangan si penyair itu sendiri. Sementara
balk ideologi maupim visi kepengarangan adalah hal yang
mustahil dipelajari dalam 12 kali pertemuan. Namun tak dapat
disangkal, masing-masing peserta kelas telah membawa ideologi
dan visi kepengarangan mereka masing-masing. Tinggal teknik
persajakan macam apa yang kemudian mereka pilih agar pas dan
memperlantang suara nurani dan nilai-nilai moral yang mereka
yakini.
Kita kadang menemukan tendensi untuk menasehati
secara terang-terangan seperti yang terselip dalam puisi Weni
Agustianingsih {Bangun semua mimpi/ Ciptakan impian yang
akan membawamu terbang/ Terbang laksana baton udara
melayang di angtcasa - Laksana Balon Udara). Dan tak jarang
pula kita bersua sugesti-sugesti halus semisal yang bersemayam
dalam puisi Yulin Kamumu {otaicku goyah dengan lidahmu/yang
membisitdcan getar-getar gairah / menyimpan rindu sedalam
samudera - Lonceng Hati).
Apa yang bisa dibaca dalam antologi yang memuat
puisi dari dua belas anak muda dengan masa depan kepenyairan
yang menjanjikan ini adalah betapa puisi dapat dipilih menjadi
inkubator yang baik dalam mematangkan pemikiran. Dan
xin
pemikiran, sebagaimana yang dinyatakan tokoh V dan film VFor
Vendetta, adalah sesuatu yang tak dapat dihentikan, bahkan oleh
peluru.
Maka berbahagialah Anda yang sedang memegang
buku ini. Berbagai khazanah pemikiran tentang Gorontalo dan
Indonesia, yang disajikan melalui persepsi kemasalaluan dan
kekinian, khas orang muda, telah tersaji dan slap dinikmati. Satu-
satunya yang bisa dipastikan adalah proses belajar belum akan
berhenti sampai di sini. Buku ini hanyalan pembuka jalan. Dan
kita tentu boleh berharap, mereka dapat memperlihatkan karya-
karya yang lebih gemilang di hari-hari yang akan datang.
Gorontalo, November 2016
Jamil Massa
XIV
DAFTARISI
KATA PENGANTAR
Kepekaan dalam Ams Sejarah ^ iv
DAFTAR ISI XV
Alwin Bobihu 6AliviaNadatul Aisyi : .....16Arief Rahmat Nento 24Arifin T. Badu
Dahlia Badam 48Larasati Djafar 58Martina D. Pago 69Nurawinlty 26Sopyan Daulat 84Vadly Mabmud 96Weni Agustianingsih 106Yulin Kamnmu 114
xo
Kilcm Merah Mata
Alwin Bobihu
1. Tidakkah Kau Lihat
2. Subuh yang Kelam3. Di BalikUban
4. Di Langit Megah5. Batu Nisan Pemabuk
6. Seragam yang Luka7. Di Depan Rumah Sakit Jiwa8. Tumbilotohe Sebelum Lebaran
9. Malam Kamis
Alivia Nadatul Aisyi
1. Malam Sendu
2. 'Ain
3. Lumat
4. Sepasang Pedang5. Teman(i)ku6. Inspirasi Kini dan Nanti
Arief Rahmat Nento
1. Gunung Lima Jari2. Manusia Terhebat di Muka Bumi
3. Danauku
4. Sebuah Prolog5. Purgatorio6. Kemelut Raga7.28 April 20168. Katana Gentar
Antologi 12 Penyair Gorontalo
9. Pinokio
10. Ditinggal Pergi Azrael
Arifin T. Badu
1. DiMaratua
2. Muara
3. Menjelma Belanga4. Ibu
5. Dermaga Kesepian6. Memanah Ikan
7. Maratua, Anakku
Dahlia Badaru
1. Ketika Danau Limboto
2. Binthe Biluhuta
3. Kembang Pukul 104. Pagi yang Tabah5. Rindu tak Bertuan
6. Kabar Kepada Angin7. Cerita tentang Hujan8. Pagi yang Tabah
Larasati Djafar
1.Masih
2. Aku Bagimu3. Rona dan Jingga4. Kilau Merah Mata
Kilau Merah Mata
5. Penyair Malas6. Menahan Jatuh
7. Tak Beijejak8. Yang tak Terbayang9. Dekap Luka10. Jarak
Martina D. Pago
1. Yang Abadi dalam Arloji2. Pedih Gerimis3. Eceng Gondok4. Panorama Danau
5. Lipstik
Nurawin Ity
1. Hilang Arab2. Senja Menyapa3. Menanti
4. Telapak Sepatumu5. Arloji Kehidupanku6. Lepas7. Bukan Lagi Kisah
Sopyan Daulat
1. Senyap
2. Hitam untuk Wama
3. Seraut yang Terindahkan4. Hidupnya Hati5. Pulang Kampung
Antologi 12 Penyair Gorontalo
6. Desahan Kecil, Sejarah Si Kaca Terbelah7. Beranda Resah
8. Untuk Senyum Tipis Kalis
Vadly Mahmud
1. Eiegi Danau Limboto2. Lupa Pulang3. KepadaMuazin4. Cuaca
5. Stoples Acar6. TakAdaKau
7. Segala Rindu8. Hingga Entah9. Potongan Puisi yang Hilang
Weni Agustianingsih
1. Malam Mencekam
2. Laksana Balon Udara
3. Jejak Sang Pengembara4. Istana Impian5. Di Balik Pesona Danau Limboto
6. Buat Ayah Dan Ibu
Yulin Kamumu
1. Puteri Pumama
2. Kelopak Matahari3. Kepingan Kenangan
Kilau Merah Mata
Tidakkah Kau Lihat
tidakkah kau lihat diriku. Mega?tinggal tulang berbalut rindu.juga beribu tikaman cintamasib belum mengupas kenanganmu.
air mataku mengalirjatub berbutir-butirdi beranda senja berpasir.
08 September 2016
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Subuh yang Kelam
; Me Ema (104 tahun)
Malam itu langit senyap dalam kataBulan sabit tenggelamMimpi-mimpi datang bagai malaikatMempertanyakan perkara amal dan sekarat.
Subuh itu angin malamMasih mendekap dingin yang kelamMasa silam yang begitu jauhSementara lebaran telah berlabuh
Sang kakek telah pergi menjauh.
Sang kakek beijalan melintasi masaMenanggalkan kalender ratusan kaliMenulis sejarah berulang kaliNamun di akhir engkau tak bicara.
Dahulu ada yang berkata"Aku mati jika tuhan mati."Orang-orang kehilangan kataYang berkata telah mati.
Orang-orang berkataTuhan kita telah mati
Namun tak raib dari hati.
Gorontalo 8 Juli 2016
Kilau Merah Mata
Di Balik Uban
Pada kekar nalar
yang menapaki sejuta ingatankulihat hanya retakanyang melukiskan teijalnya jalan.
Pada betis dan paha berdagingyang pemah berisi kekuatankulihat hanya keriputyang melukiskan beratnya muatan.
Pada bahu lebar dan berotot
yang menahan beban penderitaankulihat hanya garis tulang belakangyang lapuk bahkan retak.
Pada rambut belakangyang hitam bagai hutan belantarakulihat hanya uban-uban tandusyang melukiskan lamanya waktu.
Pada balik uban-uban tandus
yang melukiskan lamanya waktukulihat ada sejumlah namatempat dan peristiwayang membuat aku bergetarkarena telah mengingatnya.
Gorontalo, 2016
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Di Langit Megah
aku tanam kemboja di matamu, Megakembang pertama yang menjaga mahkota rajamata waktu mengajarkanmu tentang para kumbangyang mabuk di hitam rambutmu nan bergelombang.
seperti angin yang kembaliatau badai kembar di bulan Julikita akan dekat pada pembakaranlebih dekat dengan semua kenangan.
aku telah memakan banyak dosahatiku kembung dan membuncit ke angkasake Bimasakti, hingga ke serambi neraka.
aku mencari di lembah dan di gunungbahkan di langit megabmu yang membusung.
Oh Agustus yang agung, aku berada di akhir Juliyang dipertamhkan almanak bagai musim kesepian: batu hitam di malam gelap
apabila hujan telah menjehna pelangimaka musim hujan bam saja dimulaibeijudi bagai Juni dan Juli
kemarau bagai daun keringyang meranggas di tepi Desember
aku memangil Agustus nan agungmemanggilnya di puncakpuncak gunungmenggalinya di kedalaman palungsebab aku dan Agustusadalah almanak yang tak tamat.
Gorontalo, 2016
10
Kilau Merah Mata
Batu Nisan Pemabuk
berharap menegak air surga
namim kendimu tak bemangkau pendusta paling jenakalain kau mencoba menjadi imamsementara di tangan kananmubergelantungan para iblisyang entah kapan mengulang
peijamuan terakhir
hari ini bukanlah babak bam
bukan tahun bam
bukan abad yang bambahkan bukan ulang tahun siapa-siapa
manusia seperti daim keringbeijatuhan dan terkapar di musim gugurtetapi kau dan akuhingga hari initak pemah belajar.
Gorontalo, Juni 2016
PERPU8TAKAAN
BADAN BAHASADEPARTEMEN PENOIOtKAN NASIONAL
11
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Seragam yang Luka
kita tengah hidup dalam sebuah waktu tanpa jiwa.tak peduli itu di rimba raya atau di singgasanadari seragam yang terlnka.
seperti sebuah layangan, berlari mengejar awandemi cita-cita sempuma semenjak belia.namim ada yang Input dari kata saudara.kita lupa bagaimana meniti tangga ke langit,kita lupa menyimpan seragam saat bekeqa,sementara pikiran, perasaan dan budi kitaterperangkap dalam yel-yel pramuka.
Nantu, Mei 2012
12
Kilau Merah Mata
Di Depan Rumah Sakit Jiwa
antara tabir yang rapuh hingga pada debu-debuyang telah menyeret selaksa mimpikita hanya bisa terpaku menatap langitdengan segenggam doa setajam belati
memang pemah ada mimpi meruntuhkannyatapi siapa bisamencampur anggur dengan madumenjadi sendu
kita hanya jeruji benang laba-labayang hendak menjaring langit
Gorontalo, 6Agustus 2015
13
Antologi 12 Penyair Gorontalo
'nimbilotohe Sebelum Lebaran
Sebelum lebaran kali ini
Lampu-lampu dinyalakan dengan apiMenerangi kampung tanpa kaliDulamayo aku sebut dia berulang kali.
Tumbilotohe sebelum lebaran
Adalah pengusir kesepianKarena puasa akan pergiJauh di tahun-tahun
Dan mungkin tidak kembali.
Tumbilotohe sebelum lebaran
Adalah sebuah penantianMungkin itu sebuah kedatanganMungkin juga sebuah pemberian.
Tumbilotohe sebelum lebaran
Adalah tumbilotohe paling terangTumbilotohe serta petasanTumbilotohe di kampung halaman.
Gorontalo 7 Juli 2016
14
Kilau Merah Mata
Malam Kamis
biarkan seluruh sakit terbawa anginbiarkan seluruh dendam terpendamdi setiap kota, Batudaa, Tabongo hingga Bongomemebiarkan seluruh tanyamu aku jawab pada gubuk tua milik ibu.
biarkan aku berkaca di matamu
biarkan aku merasa di hatimu
biarkan pula aku bertanya pada kejujuranmu
adakah engkau masih seyakin sebelum malam
wahai rindu pengembara baratdan sesuatu yang turun dari langit.gadis ini telah melihatku telanjang bulatdi tanah moyangmu yang terbun^s malam pekat
15
Kilau Merah Mata
Malam Sendu
Haruskah dingin yang berbisik?Ataukah sunyi yang bergumam?Aku hanya bisa meratap piluKenang rembulan yang bisu- membisu
Lidah kelu,
Hati piluTelah lama kumenungguSetetes embun di pagi syahdu
Lekaslah berlalu
Biarkan aku menyatuDengan kekasihkuYang menimggu di balik pintuSedari malam yang sendu
Jember, 06 September 2015
17
Antologi 12 Penyair Gorontalo
'Ain
Bermuram duija memerah piluKehitaman pekatJabal *ain mengapa tak kaudengar?Untaian kata manis utusan Allah
Sukakah dirimu
Di jahannam kelak?Tak rindukah kau dengan uhudYang bersenandung bersama Rosul
Quraisy biar mengecohmuSemangatmu membaraMadinah, diperingatiTak peduliTak acuh, pada sirotol mustaqim
Oh ummat, jangan kami jadi *ainMasakini
Biar Uhud menemani jalan ke surga.
Jember, 19 Desember 2015
18
Kilau Merah Mata
Lumat
Kemarin, lautan masih bemyanyiDedannan, kelopak bunga,Dan rerumputan saling sahut sapaKicauan burung senada melodi bahagiaBahkan mentari tak lalai mencintai embiin pagiNamun kini,hilang, musnah sekejapLUMAT
laron-laron tak bersayapberterbangan,gimung-gunung tak pandai menaripun bergoyang lincahmengikuti irama terompet Sang Israfil.Tak ada peduli bersamaLuka-lukamu
Jerit-jerit kalianMaka senang adalah senangkuSemua yang balk menikmati panggilan TuhanAduhai, yang jahat melarat dilaknatKesakitan
Seorang Pacar yang disayang telah hilangSeorang Anak yang dikandung telah berkabungKarena jaringan telah terhubungAntara hawiyah dan firdausiyah.
19
£tMopl%^^rGorvn,alo
Sepasang Pedang Jfimu J„ . „ i/nuvnrid riir;iji!r> .ai-iisnio.^Bagaimana? . .w ; , r. « , . r .K.nJika embun dan hujan adalah sepasang ' ̂-- T.-vif:;-: iHiTca yiuiz--: .!s){i(irnui37 nsuYangsiapmenikam ..:\fSiapa pun yang menghalan^ merekabersate , ' fi
Akan ada kebahagiaan yang kan nampak setelah kesedih^^ ̂ ^ ^Aku bukan sedang berpuisi, bukan pula berkblusi ! '' !:Aku hanya memanggil sebuah jiwa yang tertinggal, ^Diam dalam kesendirian penuh janggal ' ' ' i/ii.
jiK5£f'Gd'?yhorj
Kau kan datang membawa pedffig ihofi^q l ^niinijsBukan sekarang . . ^ ^ o-m
rx\n:iy\\: i':y.y yyAiyi'jm
Kau kan tikam penghalang-penghalang ' '' ' ' f ^Lemparkankejurang. ^
I'.;r.
G)!(no8
iBrDlBiih .'B:!;;? :^fiiv." iBfisibA
aku, di sini masih inengj^en^g^ ^
Jember, 27 Agustus 2016
diihi "■i.r.'hd i:K.i."foo8gnudKOi^id g!iid;'!ii;>iid ^ui>i yaG70c»2
g;hjchj:ii:^l ni:ga":G[,flBvi>:/JBb7n nsb flBV; Vf.f' irro;flA
Temaii(i)ku
vAvi^V'.woO
Hinii'^/l nsb iiiiM Igsiiqeiil
Jarijemari engganterhenti •i/i/rvi.bn^ni ̂ iibsv .uri'lujBVr' dc/b >1Lcwat inalam hingga scnja han >.ti e'iihu.? rifin stB'-"'!Menghitimg abjad meiy^i sebuah ^ ̂ -jUt r r; 'Memberi harapan pa^jwa yang ditemui:iCala tcrOc ganas manjinjing hati ' .if \ U i- '■ ';f*rib; fiojli/;' ?. iKau datang bagai seorang pennaism ,,,r ,,Memanggilmimpiyangtelah l^ap^i^. p,, ;Mengobatidengansenyumanabi^. ^ j,;Saat mi .niniK r,mob j< agannab iioQTemaniaku ^ ^ jii.-.ii iiiiduduirin •;>!Jangan pergi hingga mentari menggumpal pagidan kembali padaku lagi. i^y i/j
, tt j jdrno! dBni:.'. 'Gorontalo, 1 Muharram 1438 H . . r;vjuiuuuuu, 1 r-: rii:3n C'
:rn- dnnoq fwnt£n lynudarikvid !:nA9n:iidoBb n!iB;nfi!;^-nf>gynhi ifiGr'Ofjgrri ijs^lynd
i iji-i,;,-: f.:!.:;'!TT.!ninrri:;fii dxibnj jUkHiSnAWWlllA
.i Jibibwl- -
. ■ ■ !' ! ■ i; ' : • ■ro.jk .'Giiid nil"'.!
G. 1 d ,0i.,JGo;0c J
5i
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Inspirasi Kini dan Nanti
KyaiTeduh wajahmu yang mendayimg rinduMata sendu nan suara merdu
Yang terdengar selalu pada langit ketujuhDari dirimu aku mengeitiKetukan idhar untuk mjukanMelodi alif yang dilantunkanTerapan thariqoh untuk masa depanSuara parau begitu menggetarkanDari dermaga sederhanamu membawaku,Ke pelabuhan Ilahi
Nyai,Lemah lembut
Dengan senyum yang tertutupi kabutEngkau bersembunyi namun penuh artiEngkau menemani singgah-singgah merpati RabbiRaut indah menentramkan santri
Kauajarkan kami berbakti,Kaudidik kami mandiri.
Dari kami santri sampai mati.
Gorontalo, 21 September 2016
22
Kilm.^erah^M^^
GUinung Lima Jari ^ ^
Aku yang sekarang di hadapanmu .Bukanlah orang yang teiperangkapdi bawah gunung itu 500 tahun yang lain , ,Seseorang yang berbeda telah keluar darinyaMenjadikan sesuatu yang lain dari yang kau tahu
Meskipun aku masih bisajadi yang terhebat di muka bumiWalau kemampuanku masih samahebat seperti duluTapi ruang dan waktu adalah cara tuhanUntuk menunjukkan sesuatu padakuSetelah 500 tahun berlaluKurasa mungkin aku justru menjadi lebih kuat ■ j ..
Tapi apa yang aku dapat bila tidak bersabar? ,Dan apa bila aku bisa?Aku masih dapat membalikkan gunung dengaasatu jariMembekukan laut dengan satu tiupanMenghujankan api degan sekali luikDan mencabut nafas ribuan manusia tanpa ada hitunganNamun apa yang akan kudapat dan ini semuaTentunya biian cinta dan kasih sayangBukan, bukan ituBaran^ali hanya perlawanan yang sia-siaDan kesumat yang semakin melekatOh sayang sekali cara hidup ini dihabiskan
25
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Manusia Terhebat di Muka Bumi
Sudah berapa rnnurmu berani menantangkuUmurmu yang hanya diberikan oleh TuhanTuhan yang mengindahkan segala kemampuankuKau rugikan untuk menantangku
Sekali tanganku bergerakAku dapat memecah gunungLayaknya ditembus 100 peluru meriamBintang-bintang di angkasaBergerak atas kemauankuBersinar atas perintahku
Suara dan pikirankuMenjadi pucuk batas keagunganUntuk mengukur kehebatan seseorangMeskipun mereka masih di bawahku
Tombakku lebih berat dari 10 orang priaSekali ayun dapat mengambil nyawa 10 orang priaLirikanku dapat menundukkan nyawaTakkan beringsut tubuhmu sebelum kuberpaling
Masih beranikah kau menantangku dengan permainanmu?Meskipun kau tahu kaulah yang akan menang?
26
Kilau Merah Mata
Danauku
Langit dan Udara
Jutaan kepakan sayap menghiasi danau ini tanpa hentiDiintai langit yang mumng kelabu dan awan berbisikMeneduhkan gunung-gunung dari kilau senja yang lelahHilir mudik nafas alam yang sepiYang dulu ditemani sayap-sayap berwama yang telah pergi
Darat dan Pasir
Di timur tegak tembok pasirTempat kuda-kuda dan gajah bersandarSembari majikannya menyerahkan din pada keindahanAlam yang moleknya yang sinergis mempersembahkanWama-wama biasa yang indah saat menyatuSatu dan bersembunyi dari hiruk pikuk kehidupan
Air dan Daun
Dan yang paling menyita hati adalah hijau dan kelabuYang tak saling jatuh cinta tetapi saling menyatuTidak akrab tetapi tidak pemah jauh dari satu sama lainHijau datang memeluk kelabu bukan karena ia sayangTetapi tanpa kelabu takkan pula hijau hidupDan mereka terus berdekapan, untuk danau yang dilagukan
27
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Sebuah Prolog
Siapa kau yang beijalan di dalam gelap?Teriak penjaga pada sesuatu yang berderapMendekat seperti misteri yang diseret di jalan setapakLangkahnya lelah, tak seperti kami yang terantaiNafas yang berat bergemerisik di malam bekuTexas bukanlah tempat yang baik imtuk dilewatipan bukan pula tempat yang baik untuk matiKegel^an pekat menyetubuhi hutanDisaksikan pepohonan renta di musim dinginTiada lelah, selain derap tapak kudaIngin rasanya mati di bawah timbunan dedaunan
yang berangsur jadi bagian bumi dan ingatanHoror yang menanti kami 730 hari dari sekarangTidak semenakjubkan apa yang teijadi malam ituKetika tubuh-tubuh yang rindu akan hancurJustru bergetar sunyi akan hadimyaSosok yang membawa enigma, mungkinkah ia sebuah bencana?Mati dibuatnya seperti sebuah kemewahan di malam itu
28
Kilau Merah Mata
Purgatorio
Dari taman gantimg Babilonia
Hingga taman apel HesperidesAku menjelajah dnnia lewat nalarNamun tidak seperti langkahku hari ituPapan ditabuh di bawah kekaguman mataAkan hebatnya lukisan Tuhan kali iniDi tanah besar, tanah agung, tanah dari tanahDibalut hijau oleh nyawa-nyawa
yang tumbuh tidak terkiraDiselimuti air yang kelabu daripada kelabuJauh di atasnya bertatahkan kapas-kapas lembutDan di sampingnya didekap oleh oleh
gummg-gummg yang bisu
Aku adalah Persephone yang
diculik hades dari ElysiumAku seperti Iskandar di depan dinding ya'juj
Setiap tarikan nafas seakan senilai sebongkah batuYang tiada berarti di tengah miliaran bongkah emasBetul tiada dua lukisan Tuhan yang satu iniMengapa tidak mereka menyebutnya indahMeski air yang luas ini digauli oleh dedaunanMasih bisa melahirkan kekaguman
29
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Kemelut Raga
Jantung
Jantung ini berteriak minta tolong, tersedu-seduBerdetak resah gelisah risau setiap 3.14 milidetik
Nadi
Berlomba dengan nadi yang terus-menerus bisingMembuka jalan darah yang tersendak keraguan
Otak
Otak ini terbang ke segala penjuru dnniaSibuk mencari kosakata yang tepat
Dubur
Membuat dubur kecil yang jauh di sana pun ikut khawatirAkan apa yang disajikan oleh masa depan
Kaki dan tangan
Kaki dan tangan layaknya batangan besi matiTak bemyawa, tak berdaya, tak sehebat seperti biasanya
Seluruh tubuh
Gigi bergemeretak, lidah serasa disembelih, nafas pun koyakSeluruh tubuh luluh lantak bak digilas baja
Mata
30
Kilctu Merah Mata
Semua fenomena ini bisa dan telah teijadiHanya karena mataku bersua dengan matamu
31
Antologi 12 Penyair Gorontalo
28 April 2016
Rokputih
Ujung rok putihmu yang diterpa air lautTak pemah keberatan berhilir mudik akan ombakLusuh berbeban basah kerut berpasir
Kamera
Lensa kamera menodong mentari mungil yang saat itu tersipuMencadar dirinya di balik awan yang dibidik sengit olehlensamu
Menangkap setiap kenangan memuai tak berbekas
Rambut
Uraian rambutmu mencambuk menghujam merajam jutaanMalaikat kecil di dalam kepalaku untuk berteriak"peluklah aku sebelum aku meledak karena ragu"
Langkah
Tiada dua langkahmu yang anggun dan pongah dalam waktubersamaan
Semahal sutra dari ujung Cina hingga batas RomaMenyetubuhi pasir kelabu yang luluh akan halusnya dirimu
Semesta
Pulau dewata sore itu tak mampu membendungDahsyatnya konspirasi semesta dalam mempersatukanHati kita untuk sekejap saja setelah lama berai
Pertanyaan
Ketika ribuan bintang galaksi mengintip dari balik awan
32
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Katana Gentar
Pendekar itu beijalan sendirian di depan rumahRumah-rumah yang beqejer sempit nan tinggiWajahnya diterpa angin kesunyianEkspresi-ekspresi takut perlahan membuka tiraiTirai nntuknya yang diragu oleh penasaranAlunan suasana berubah ketika di tengah langkahnyaSeekor anjing beijalan dengan membawaSepenggal tangan yang telah cerai dari lengannyaEntah mengimgkap maut untuk yang ditinggalnyaDan entah kenapa sang pendekar memutar langkahKe arah anjing itu pergiMungkin dengan sesuatu yang cukup dahsyat untuk bisamembuatnya berpalingMemalingkan wajahnya yang dihiasi campuran emosi yangserba tids^ jelasDi dalam hitam putih yang tidak pasti dari dunia saat itu
34
KUau Merah Mata
Pinokio
Beberapa lampu di atas kepala ini menerangi niatkuUntuk menghidupkanmu lewat segala mampukuAkan membutuhkan bertahun-tahun, berabad-abadBerzaman-zaman untuk menghidupkanmuTetapi layaknya Bondowoso pada Prambanan tanpa JonggrangAkan kuhidupkan kau dalam semalam
Segala cahaya ilham dari teori-teori evolusiSerta mur dan martil yang setia menemaniMungkin takkan cukup untuk membuat matamu mendelikSampai roboh meja keqaku, demi setiap butir paku yang telahkuhabiskan
Takkan pemah kuberhenti, di dalam gelap ruang iniUntuk dapat melihat langkahmu
35
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Ditinggal Pergi Azrael
Tak mampu kubayangkanSuatu saat aku akan tergeletakTak berdaya tubuhku yang sudah mulai retakTerhimpit kayu-kayu bisu nan beratYang juga tak bemyawa
Papan-papan tak bemyawa ituTerletak tak jauh darikuDi atasnya kesucian tergambarkan berbaringDan di dalamnya nanti daging memuai menjadi tanahTetap kubiarkan asap berlalu lalangdi dalam kerongkonganku yang tidak mengingat Charon
entah apa yang istriku pikirkania duduk di sampingku, tangannya yang satumemegang tangannya yang lainkarena aku bersandar pada dinding putihdari rumah kami yang sederhanaia malah tak ingin menyamankanpunggungnya yang sudah tua
Evan tertidur pulas di kakinyaanjing kecil itu telah lama menemani kamilebih lama dari nyawa anak kami sendirikini ia telah dalam sunyi berbaringdan Evan masih saja menggaruk dengan tungkai belakangnya
Siapa yang akan ikut di kesempatan berikut?Aku yang selalu dijauhi mautMeski dadaku tak ubahnya tungku mengepulAtau istriku yang hidup bersamaku bertahun-tahun?Tetapi seperti hidup sendiri selama berabad-abad
36
Kilau Merah Mata
Di Maratua
Di Maratua
penyu yang memikul bulan sabitadalah zatua
haram disambit
dalam kitab hukum banua.
di zaman yang sekeras batu payunganak-anak melagu Bajaumantra penjaga kampungdari bala kemarau
:di sini, kemarau lebih berbahaya dari bajak lautDan hujan adalah kapal bajak laut yang terdampar.Sebab, mata air mengering di bedak tebal para amai.
meski berpuluh pawang kemarau,Biji-biji tak berkecambahMaka harga sayur dan rempahmelebihi tinggi menara bandara Kalimarau.
Bila angin barat menukik derasLangit keruh, laut tak teduhPera^u menepiNelayan melipat cemas di gulungan sarungSambil bermimpi:Bahwa hujan yang gurihakan melukis denah nasib di pasiratau boleh secangkir gerimisasal, mereda sengat paceklik yang lebih perih dari tusukan duripari.
Maratua, 2016
39
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Muara
tanpa muara, maut itu apa?
hidup embarasebatas anjangmenjala cahayamencari terang
ketika tanah melepas roh mata airdi muara, masihkah maut dalam basirMu?
di muara kita melebur tajam rindumembunuh sepi yang pisaumasihkah maut memukau?
maut katamu, kepastian peijumpaanbahwa awal adalah muasal
menujujalan:kekal
Gorontalo, 15 Agustus 2016
40
Kilau Merah Mata
Menjelma Belanga
malam ini belanga di atas timgku menjelma bulandidih aimya tak memejamkan matakau yang bam saja menjadi buih, melelehmemadamkan api yang sabar dan tak henti-hentinyamendoakanmu
didih air di belanga tak pemah bermimpi menjadisegelas rindu, racun, apalagi dirimuyang ia tahu bahwa ia hujan yang tidur di udarasebelnm akhimya tumpah ke jendela kamarmu
malam ini aku mandi di belangaban didihnya bagai gerimis, melelehmeruah di tubuhku
sungguh, panas airmu tak membakar jantungapalagi sampai memadamkan rindu
malam ini kau menjelma belanga di atas tungkubulan yang mabuk bau hujan
aku yang mandi di belangaselalu menunggu giliran meleleh di jendela kamarmu
Gorontalo, 14 April 2016
41
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Ibu
dua batu hitam di tanah ziarah
adalah perhentian arus umurwaktu belum cukup deras menghapus bau rambeduhai, bidadaridi butir kemenyan berkepulan rindu
di Mokonowu, pasir-pasir menjagamuratu ombak melagu dikilidan namamu dielu sambil air mata mereka menjelma hujanmengaliri akar bintalo di rumah abadimu
di Popaya, cucu langit menganyam bulan jadi toyopomemenuhinya dengan rapalan wawalomereka tau kau bakal hadir lewat tangis bayi yang lugusebelum akhimya mengantarmu pulang dengan mantra polanggu
di pasir-pasir yang menjagamu hanya doa yang kutaburkansebab, bagaimana mungkin darah dalam diriku mampu menebusdosa
bila asalnya dari keringatmu?
Gorontalo, 15 Agustus 2016
42
Kilau Merah Mata
Dermaga Kesepian
Bukankah cinta tanpa kesepianadalah laut tanpa gelombang?di Maratua yang tabah diubrakabrik angin selatan,kesepian adalah kuku elang laut,mencengkeram.
Di Payung-Payung, rindu adalah duri ikan buntalAku kaku. Terkulai.
Aku lubang pada perahu tua yang kehilangan dempulAku digulung ombak. Dimuntahkan kembalidi atas tumpukan karang mati
Dem gelombangadalah nyanyian kesepiannian membuai di kesunyianaku yang teminabobo menjadi kaki-kaki dermagatempat kau tambatkan tali perahumuusai angin selatan.
Maratua, 2016
43
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Memanah Ikan
Saudara,
memanah ikan adalah menaklukan lautan
imtuk apa dimia ini diciptakan kalau bukan ditundukkan?Bukankah Mustafa, sang Manusia Sempuma telah memaksalangit dan bulan bertekuk lutut?
Memanah ikan, saudara, selain menahan nafas juga melawannafsu
untuk menaklukan lautan, kau hanya butuh nafas yang panjangtapi menundukkan dunia, kau perlu lebih dulu membunuhnafsumu.
Memanah ikan saudara, bukan mengebom ikanmemanah adalah membidik pilihan hatisementara mengebom adalah ketamakan yang tak mengenalpilihankau bakal dikenai undang-undang terorismetapi, bukankah kita adalah teror bagi diri kita sendiri?
Memanah, saudaraadalah membidik kedamaian
sebab, kedamaian hanyalah milik orangyang mata panahnya mampu menembus kehendak Tuhan.
Maratua, 2016
44
Kilau Merah Mata
Maratua, Anakku
Anakku,
Di ujung negeri iniangin senantiasa melawan ams lautorang-orang tergems arah zaman.Mengikuti sapuan angin,hanyut bersama laju arusatau bahkan mati oleh keduanya
Nak, bercerminlah di bim bening danau Haji Mangkuakan tampak di hadapanmubayangan masa depan yang keruh: menjadi tamu di rumah sendiri.
Masih ingatkah kau, pidato si bule bermatasayu ketika paceklik menyerang?"Jika hidup lebih asin dari air lautuntuk apa bertahan di tanah berkarangyang b^an untuk berkubur pun tak ada".
Maka, dengan mesin 200 pktanah-tanah menjadi kepunyaan investor asingdi tanah kelahiran sendiri anak-anak menjadi asing pulamenjadi penonton pesta bikini menjadi babu bule-bulemenjadi pengemis yang amismenjadi gulma bagi pertumbuhan ekonomi kaum kapitalis.Lantas dengan dalih demi kenyamanan bersama,beramai-ramai mereka mengusir para penonton para babu parapengemispara gulma itu dari peradaban.satu demi satu.
Selamanya.
45
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Anakku, bangunlah!Jauhi mimpi burukpergilah sekolahrajinlah belajarbiar nanti kau tak dibodohi
dan tidak membodohi
esok, atau di waktu entahjika aimya masih sebening air matamucobalah kau tengok,bayangan dunia macam apa yang tampak di danau Haji Buang.saksikanlah dengan saksamamasihkah Maratua kepunyaanmu?
Maratua, 2016
46
Kilau Merah Mata
Ketika Danau Limboto
Dalam:
Saat itu, duwiwi dan bulia terbang bersenandiingSenja masih mengantar nelayan memeluk malam,gimung masih menelan kabut,dan nelayan memanggul dayung dan jala
Dangkal:
Perahu kandas beijejer bagai matiElok nian kembang magenta di atas air.Siapa membunuh ringgak,Ringgak membunuh siapa.Hingga Malam mengusir senjaTanah adalah cermin langit yang retakdi danau tandus.
Kering:
Rumah berselokan bekas Danau Limboto,dinding berlukis Danau Limboto,dermaga jadi tribun,dan teratai memilih jadi mawar.
Gorontalo 25 September 2016
49
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Binthe BUuhuta
Rebusan Jagung:
Merebus jagung adalah cara kitamenuai jumpa dalam kenanganMengingat tunggu yang membosankanMelepas risau yang gelisahMelawan ragu yang bergemuruhDan sesekali bimbang merebah,kala aroma asin menerobos dinding rongga hidungyang dulu pemah dilalui aroma tubuhmu.Hingga, butiran jagung yang di dua menit berlalumasih sedia cerah menguning kini pucat pasipertanda jumpa telah usai meski rindu belum rampung
Parutan Kelapa:
Memarut kelapa adalah gurih di setiap gigitan,Ritmis senada memisahkan keping-demi kepingsetiap kental santan yang lebur dalam kunyahjuga jeda saat memarut, menimbangbanyak sedikit cinta yang akan kita taburpada rebusan jagung membiarkan mereka meleburdan kita terabaikan
Ikan Asap:
Kita tidak sampai lenyaphanya menunggu matang,Memuaskan lahap pada tebal daging ikan asapYang dirobek pada temu kepulan asap.Di tapal batas darat dan laut pada ceruk di meja makan.
50
Kilau Merah Mata
Kemangi dan Perasan Jemk:
Mewangi menyeruput adalah nikmat bemlangMasam meyegar melewati nadidan kulangitkan syukurSebab kali ini aroma hujan lebih syahdu.
Segalanya.Sudah saatnya kita makan,Kunyahlah kenangan sanapai kenyangHabiskan kuah, jangan tersisahAgar aku bahagia.
51
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Kembang Pukul 10
Aku bagaikan kelopak kembang pukul 10Mekar hanya untuk mentariMengatup hanya untuk terikdan perlahan batang dan daun layu di pukul 11
Aku seperti waktudengan kejam mengusir pagi, menggusur siang, melengsermalam
Membiarkan subuh lebih cepat merampas mimpi-mimpimu
Aku adalah beku pada es batu di gelas soda,yang perlahan memuai oleh panas dan lebur bersama dahaga
52
Kilau Merah Mata
Pa^ yang Tabah
Semoga sajakita masih bertemu di pagi yg terik lainnya.
Tidak lagi bersama koma yang menjadikannya jeda.Tidak pula bersama rumpang kalimat yang butuh kau genapi.Aku merindukanmu di penghujung detik temu.Bahkan di saat aku menghitung detik yang tersisa,sama saja aku menghitung berapa kali kita saling memandang.juga, di saat aku menghitung jarak seberapa tabah rindu inimerindu
sama saja kau dan aku menuai jumpa yang belum rampung
Aku tabah setabah-tabahnyaAku bijak sebijak-bijaknyamemaklumi engkau di setiap temu yang tiada.
53
Antdlogi 12 Penyair Goronfalo
Rindu tak Bertuan
Yang menyayat adalah rindu dan risauLuka yang tersengat kecut, tersentuh pekat limauNyanyimu senduKicaumu tajam pisau
Hening tak lagi sejukMata berhenti lelapDadaku penuh, sebab telah kutabung rinduYang tak kau izinkan meruah
Telah kau kirimkan bagiJiwaku seratus nyeriSeperti permainan kau tarik, kau ulur, kau kuliti.Tak berbekas bagai hutan tertelan api.
Oh Nelangsa,Ruang antara aku dan kidung angin malamYang perlahan berangsur merapuh.
54
Kilau Merah Mata
Kabar Kepada Angin
Tahukah kau tentang kabaryang kau kirimkan kepada angin?la telah sampai pada lambaian nyiur di pantai,berbisik, bahwa pasir putih dan batu karangbersenandung pada pecah ombak.
Dan saat itu pula kenangan mengecup mesraMengurai segala tentang kitaTentang teduhnya Teluk Tomini, hijaunya Hutan Nantu,langit jingga Danau Limboto, Dan tentang malamyang menyulam rindu di pangkuan pertiwi.
aku di Pulo Cinta dan kau di Pulau SarondeMeski kita memandang langit yang samaTangan tetap tak tergapai.
Mencintai nusantara,
Adalah duduk dan menulis puisi di bawah langit senja.
Kurinai, 7 Oktober 2016
55
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Cerita tentang Hujan
Hari ini hujan mengecup tanah yang tandusMenghentikan segala gerakMempertemukan basah dan gigilSementara gigi menggerutu pada tangan memeluk dada.
Sungguh,Hujan menyimpan rahasia tidur dan laparSaat ranjang butuh ditiduriDan perut merindukan kenyangMengisahkan awan menyulam kabut
Bahkan saat harapan tak lagi di raga,Kaki ini hams terus menginjak basahKepala hams tetap tengadahMenerobos ribuan rintik
Mengejar ratusan harap dan inginYang mungkin beberapa kali dikhianatiwaktu dan diri sendiri.
Pada mendung, kabut, dan rintik temani aku melangkah.
Gorontalo, 2016
56
Kilau Merah Mata
Pagi yang Tabah
Semoga sajadi pagi terik lain kita bertemu kembali.
Tidak lagi bersama koma yang menjadikannya jeda.Tidak bersama rumpang kalimat yang butuh kau genapi.
Aku merindukanmu di penghujimg detik temu.Bahkan di saat aku menghitung detik yang tersisasama saja aku menghitung berapa kali kita saling memandang.
juga, di saat aku menghitung berapa tabah rindu ini bertahansama saja kau dan aku menuai jumpa yang belum diperkirakan
Aku tabah setabah-tabahnyaAku bijak sebijak-bijaknyamemaklumi engkau di setiap kedip yang tiada.
57
Kilau Merah Mata
Masih
Aku masih di sini.
Terlelap setelah menulis beribu puisiPada gulimgan perkamen yang engkau tinggalkan.
Kubiarkan angin yang lebih dingin dari sentuhan jemarimuMenjamah tulang wajah hingga lesung perutku,Sebab selembar kain putih inihanya mampu melilit permata tubuhku.
Aku masih di sini.
Hatiku sekokoh pilar-pilar yang menopang istana tua.Selalu setia meski badai datang menghempas,Selalu tegar meski hasrat ingin bertemulebih sendu daripada malam yang piatu.
Jika kau ragu terhadapku,Segera datang dan lihatlah dengan siapa aku bercumbu.Hanya ada jeruji berasap dan lampu dinding tanpa saklarYang menjadi cahaya keduaku,Tentu saja setelah kilau matamu.
-Gorontalo, 3 September 2016-
59
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Aku Bagimu
Aku bagaikan cermin dirimu;yang selalu membiaskan setiapinci lekuk tubuhmu
pada bening bola mataku.
Aku seperti oksigen bagi kehidupanmu;yang selalu kau himp,tak pemah sedetik pun kau lewatkan,meski untuk bersyukur pun kau lupa, bahkan enggan.
Untukmu, yang terpesona pada Monalisa;Aku adalah lukisan abstrak
yang ingin selalu berada di ujung pelupukmu,hingga kelak kuasmu menari membentuk inti wajahku.
Gorontalo, 27 Agustus 2016
60
Kilau Merah Mata
Rona dan Jingga
Aku menginginkan rona, tapi abu-abu datang mendurhakaiku,layaknya kelam yang menodai biru,Seperti merah yang mengotori putih.
Aku mempertahankan jingga, tetapi gelap datang merampasnya,Bak kabut yang menutupi kuning,Seperti hijau yang berganti coklat...
Jika sudah begitu, aku ingin bertanya pada angin yang takberwama.
Adakah yang bisa menggantikan rona dan jingga?Hingga aku tak perlu menyusuri gelap kala senja pergi berlalu,Hingga aku tak akan menyentuh tetes embun, tatkala pagidatang merayu...
Dan temyata, setelah empat puluh sembilan hari teguh menanti.Sang angin hanya menunjukkan kebisuan.la sama sekali tak dapat menjawab pertanyaan konyol itu.
Hingga akhimya,Rona dan j ingga pun tak kunjimg terlukis,Layaknya pelangi tanpa hujan,Hanya menggantung di sela-sela awan,Tanpa merah, tanpa kuning, dan tanpa hijau.Tiada berwama.
61
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Kilau Merah Mata
Ada kilau pada merah mata ituYang menatap tajam seperti hati yang membatuPada luka-luka yang piatu.
Kau, keheningan dalam kemarauSelalu menusuk dengan tumpul mata pisauYang membuatku berteriak hingga parau.
-22Juni2016-
62
Kilau Merah Mata
Penyair Malas
Risau menjadi pisau yg memukauTatkala desah mengungkap resahTatkala palsu menikam bisu.
Wahai semu, mengapa selalu kamu?Yang mengubah rindu jadi candu,Yang menjadikan sekat semakin memikat.
Dan tanpa belas, kamu menjadikanku penyair malas,Yang berhenti menulis setelah menangis,Ketika layu terbuai rayu.
-Gorontalo, 5 Juni, 2016-
63
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Menahan Jatuh
Palsu mulai terangkai.Rasuki persendian,menusuk hingga menggigil.
Meski mata air telah mengering,namun pelupuk masih ingin menetes.
Palsu masih terangkai.Tiada seorang pun mampu mengenali.Tidak dia,tidak pula jiwa yang sendu.
Palsu semakin tercabik.Merobek batin yang haus rintik sang hujan.Menikam relung, seolah tanpa kenangan.
Palsu itu adalah tulus.
Berlumur sesal tanpa daya mengejar.Tersentak pedih, di tempat seharusnya la tersenyum.Terhentak perih, di ruang seharusnya la bersuka.
Palsu kini menahan jatuh.Berpijak kokoh diatas bebatuan rapuh.
Menunggu waktu *kan mengubah takdir,hingga rintik hujan bukan lagi masa lalu.
64
Kilau Merah Mata
Tak Berjejak
Masih ada bayangdi luka batin yang menganga.Lembut dan ngilu,pergi dan berlari.
Kado tak biasa di bulan istimewa,hanya tinggal lembaran sisatak lagi berharga.Teibuang dan sia-sia,hilang tak beijejak.
Salah siapa?Pendusta hanya bisa diamtersenyum tanpa daya,terduduk tanpa rayuan.
Lalu, hari kemarin pun terasa tak nyata.Kata temcap nyaring tanpa suara.Lirih, hingga t^ sanggup terbalas.
Tak pemah terbayang,tak pemah terkejar.
Hilang, tak beijejak.
65
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Yang tak Terbayang
Aku diberitahu angin untuk membuka mata.
Lalu aku terbang,menjelajah bumi tempatku beipijak
Hingga kudapati dunia tak sesempit lorong mimpiku.
Ini tak seperti pikiranku.Mereka nyata, benar-benar ada.
Bim yang tak pemah terbayangkan,Aku melihatnya.
Dan Sang waktu benar-benar menunjukkannya.
Aku tersadar...
66
Kilau Merah Mata
Dekap Luka
Senandung dalam batin,Latimkan nada kepedihan,Detakkan melodi keperihan.Tiada henti dengungkan syair kesakitan.
Kehampaan terasa ketika Dia melangkah,Nyanyikan rintihan dalam hati yang merana.
Lirih,
saat bayang itu semakin menjauh.Tak terengkuh, tanpa asa tercipta.
Kini, raga itupun telah hilang.Tinggalkan kisah yang pasti 'kan terkenang..
Tanpa arah ku terns mencari,Tanpa jawab ku setia menanti...
Dan mencintainya,haruskah aku mendekap luka?
67
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Jarak
Adalah benua yang menjadi jurang,Adalah musim yang memisahkan niang.
Kepada semesta yang masih mendambakan nirwana;Bagiku mentari, padamu rembulan.Bagiku kokok ayam, padamu auman serigala.
Sebab,siangku adalah malammu,bangunku adalah tidurmu.
Gorontalo - UK, 18 Oktoher 2016
68
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Yang Abadi dalam Arloji
Yang abadi dalam arlojiAdalah putaran dan arahSebagaimana mentari bersinarDan terbenam
Langit sunyiBulan menerangi kegelapanDetik demi detik
jarum jam bergerakMelintasi waktu
mengukur keabadianSiang dan malam bergantiansepanjang kehidupan manusia
Yang abadi dalam arlojiAdalah putaran dan arahKaki anak manusia
yang tahu melangkah
70
Kilau Merah Mata
Pedih Gerimis
Aku bagai gerimis dalam sunyiMemaksa diri berhenti, namunterlanjur menggenangi bumiKadang kabut jadi selimutterang terbun^s gelapterang yang pecah dan selalumemaksa diri pulangNamxm keadaan membelenggudalam waktu tak mampu beijalan
Aku seperti wadah yang selalu diamdituangi bisa, pedih, dan tetes-tetestakdir yang kelam, terbawa jutaanbulir hujan yang mengalir dari hulukenangan, tanpa tujuan
Aku adalah Martina yang ingin merasakankegembiraan hujan. Menjadi perasaan-perasaanyang ingin terbebas dari ratapan.
71
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Eceng Gondok
Di danau Limboto
Engkau bagai bidadari di tepi danauMenari-nari di atas air
Di setiap pasang dan surutEngkau akan tetap hidup bebasdi bawah kendali kehidupan
Suara angin yang membawasegumpal harapan pun telah tibaTetesan hujan pertama membasahiPucuk-pucuk kecilmuYang hendak mekardi bawah bimbingan waktu
72
Kilau Merah Mata
Panorama Danau
Aku di dermaga danauCahaya mentari yang akan terbenamSore yang indah membawa harapan yang kebal akan waktuGemercik air berisik di pinggir perahu nelayanKini angin yang menciptakan arus-arus kehidupanTumpukan penghias danau yang indabNyanyian burung jalak terdengarHati tergetar
73
Antologi 12 PenyairGorontalo
Lipstik
Bibirmu bagaikan wadahTerlukiskan wama pelangi melekat!Bibir yang selalu basah olehbahasa wama-wama
Kau yang dulu bagaikan Permata tanpa hiasanDirimu yang apa adanyaTercoret zaman
Merah melekat di bibirmu
Seakan membuatmu merasa
dewi kecantikan yang beraniOoh Bibir.
Tak bisakah kau
Menjadi buah yang segarTanpa hiasan wama wami
74
Kilau Merah Mata
Hilang Arab
Aku beijalan mengikuti jejakmuNamun di tengah hutan aku tersesatLangkahmu yang renyah tak terlihatBahkan detak tak terdengar lagi
Kunyalakan api unggun sejenak menghangatkanHarapan yang mencair di bawah bulanMeraba setiap jejak yang kau tinggalkan
Pohon tinggi menjulang menjadi bangunanDipenuhi titik-titik lampu yang mencoba jadi terangSeolah malamku, seolah senduku, seolah permainan iniDiciptakan untuk menuju arah yang entah
77
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Senja Menyapa
Ruang itu sejenak sunyiTak terdengar bunyiTak pula terdengar isak
Dua cangkir kopi seolah tenangPenikmatnya hanya duduk termenungdengan tangan menyentuh kepalaPikiran mereka sejenak kosongSeolah mempeijelas ruang sunyi itu
Aroma napas kedua lelaki ituSeolah menyatu di dalam piring putih kilauPerlahan hilang tanpa jejakSeperti senja yang hanya datang menyapa
78
Kilau Merah Mata
Menanti
Di ruang yang diterangi lampu redupDia duduk termenung bertopang daguDengan setelan jas yang rapi dan penutup kepala yangmenjulangSeolah menanti telur dengan rupa yang utuh
Lukisan telanjang yang bisa dilihat dengan mata telanjangSeolah meminta untuk menemaniNamun dengan lampu yang redupMelirik pun lelaki itu tidak sudi
Beijam-jam waktu dihabiskannyaPenantian seolah terbuang percumaBagaimana bisa dia mendapatkan telur dengan rupa yang utuh?Jika kedua bola matanya tertutup sejak tadi
79
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Telapak Sepatumu
Aku telapak sepatumuYang member! nada di setiap langkahmuJalan rusak atau pun tidakAku masih telapak yang tersenyum
Aku telapak sepatumuYang mencipta jejak di setiap langkahmuPanas dingin silih bergantiAku adalah Pelindung kaki yang setia
Aku telapak sepatumuMenjadi pengikut seperti bayanganmuAku telapak yang sudah rapuhTanpa kau sadari itu karenamu
80
Kilau Merah Mata
Arloji Kehidupanku
Hdup ini seperti jam di tanganmuAku hidup dari detak yang kau beriAku hidup dari angka yang kau punyaTanpa kau sadari, aku adalah lensa hidupmu
Aku bukanlah barang mewahBukan pula penunjuk waktu yang tepatAku hidup dengan ketidakpastian darimuNamun ketahuilah, aku cahaya untuk terangi gelapmu
Aku tidak memiliki rupa yang utuhAku hadir di antara pilihan benda-benda yang sempumaSeperti barterai yang kadang kuat dan lemahTapi ingatlah, aku bukanlah jarum kesedihanmuNamun, aku adalah baut yang dapat mengustkan hidupmu
81
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Lepas
Aku berlepas dari ampas yang kau hempasBahkan bagai hembusan napas yang repasSempat kau melibas punggungku dengancambuk yang pedas hingga membekas tilas
Masa lampau terlampauiKini aku kokoh tak tertembus
Mencoba mengubah taman yang tandusMeski panasmu mencoba menusukkuBerulang kali
82
Kilau Merah Mata
Bukan Lagi Kisah
Kini aku bukan malammu
Bukan lagi tema di setiap puisimuTidak lagi hadir di setiap link iramamuBahkan, aku tidak lagi terang bagimu
Kini aku ampas tak berbentukBukan lagi nimah buatmu kembaliManis janjimu tak kusentuhSeperti bantu yang berlalu
83
Kilau Merah Mata
Senyap
Dekat sudut ruang remangTampak keserautan yang menggelitikDia entah siapa tak berkata-kataLakunya senyap hanya menatap
Topi kemcut pun membentak baginya hanya apala terpaku kaloi menyatu di duduknya
Sebuah patung telanjang menoleh dalam duduknyala seolah mengambil sesuatu dengan tangannyaMungkin ia ingin membangunkan angan lelaki itu
Sesekali lelaki itu mengulik bulatanlonjong putih yang menggelinding.berasal dari lubang yang beralurbak saxofone terbelah ke arahnya lalu membisu
Entah apa yang terbata di kata-katanyaHanya kepala terpapah pada tatap bak meratap
85
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Hitam untuk Warna
Pangkal jalan bak batuTerbawa, ke mana, di manadan ada di mana-mana
Teguh, keras, panas dan merana
Hidup pun ranah sepatuTabah di bawah timpaan bebanGuna adalah utama
Tiada jadi lenyap adalah
Kelak akulah nafas
Mendengus pada onggokan bemyawaMemapah entah siapaTerbata akan kutata membara dan tertata
Demi wama
Telah kurangkul awanAgar hitam jadi rinai dan berlaluBerganti rima wama selalu
86
Kilau Merah Mata
Seraiit yang Terindahkan
Mendesir mengikis tepi di tepianMenghanyutkn serpihan yg tersentuh hingga terbawa.
Belaian putih dingin dan basahDi tipis balutan daging pipih terasa
Di bawah ribuan titik cahayaDi atas lembaran hangat di tanahDi dekap nafas sang merahBertekuk hati yang bemafas amarah.
Di antara kecil binar berkilauSosok dicinta melambai menyapaDiamku terbata dalam ejaan namaMengakali raga dapatnya darah
Kubentang sayap kurepas niangKelam menyapa germerlap membentangDi situ memang segalanya adaTapi,yang ada bukanlah apa
Di sini Tasyakurku dalam nyanyian ayun temayunhingga gelap berdandan gelakDari titian damba
tepi sungai desa Tinemba
Tinemba. Agustus 2016
87
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Hidupnya Had
Aku kecil mengambangMengepak epak berkelimbangMendering melengking tak berderingMenapak ranting aku terlanting
Aku mengais baris alls di pelipisYang tampak kalis dikikis habisDatangmu dulu menyapu hamWaktu berlalu jadimu bantu
Memang sumur dalamnya airCair tawar hambar memapar
88
Kilau Merah Mata
Pulang Kampung
*Rencana
Adamu datang di perantara beranda pikirSelalu dingin bersama hasrat yang merindingAku menggigil
♦BerkemasSaat ini adalah panasnya pikirKadang kerutan memapar di dahiSegala disematkan dan ditempatkanBerharap tiada lupa menyapa
♦RehatMerebah memapah dan menadahkan resahSegala demi waktu yang membatuHanya untaian doa yang menjulangDemi esok yang mengintai membentang♦BerkendaraRetetan langkah adalah awalMengantarkan ingin ke kemudi kemudahanMeletakkan tubuh di atasnya sigap dan siapWaktunya berlalu,bersama derap angan,sejumput resah danrangkaian kusut tak tersapa
♦TibaLuapan enggan mengepul di siniMenguap menyatu didekap sejukResah pun terepas tanpa cemasSerta gundah membasah mengunduh haru di pelukan bunda
89
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Desahan Kecil, Sejarah Si Kaca Terbelah
Luas hamparan lebar yang teipaparBerdasar kaca tampak pecah teipencar.Di sela pecahnya, menghijau parasit menjulang menjalarMenyatu membatu, mungjdn takkan berlalu
Katanya, lihai hamparan kaca ini menulis puisiMelukis pelangi terangkai mewangiMembaca tatapan menggugah mendambaMenatap tawa tertata membara
Segala tentang parasnya
Pemah punKetika basah masih di helai rerumputan, angin beku mengulikhari
Di tepi kaca, alam bemyanyi cumengklingBersorak penuhi lubang bunyi, membelai desahan citaSelalu, hingga basahan terurai hangat baskara
Hirau tentang kicau
lagi,Ketika mentari hendak membenam di ufuk barat, pergi karenapenat
Langit bertabur kepakan wama yang tertawala memanjakan tatapan di pelataran awan
Segala tentang kepakan
90
Kilau Merah Mata
Namun
Untuk mata di Dermaga HutadaaKulingkari sisi kaca dengan tatap kesekianKatanya pun terbantahkan
Goresan sajak yang dulu tentang wama
Nyanyian yang melumuri tepi di kala mentari mengintipSerta kepakan yang menari di pelataran awan petangSegala hanya.Lantunan merdu pengisah Danau LimbotoYang terbata ditatap lelapBak nyanyian nina bobo chord minor
91
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Beranda Resah
Di sebuah gedung bertingkat,tepat pada tangga kiri depan gedung,aku duduk pada anak tangga ketujuh.Kutatap puluhan wajah dengan ribuan resahKadang berkerut dahinya, kadang melebar senyumnya,Kadang ke kiri, ke kanan, ke depan ke belakang, diam selaluGaduh saling beraduh dan menyatuitu selalu terpapar di beranda gedung
Tampak waktu adalah remah resah di setiap penjuru gedung ituJadinya mata terengah dalam tatap merdu terbalut gaduhMenjadikan rasa larut dalam adukan resah mereka,Bak terpaku membatu.Begitu dan mengalir sampai mentari melambai pergi
08-09-2016
92
Kilau Merah Mata
Untuk Senyum Tipis Kalis
Masih di pelesiran kataBemafas makna tak terkata
Di balik hitam garis yang terteraDi basahan darah di mata
Dia meraba setiap kepinganyang kuselip di rerumpunMeski pisau hasilnyaKilau keluh tiada bertemu
Meski mengaum dalam kuku hitamkepingan mimpinya
Mimpi kecil sepiMimpi jeram api bak merapiMimpi bergerigi tak bertepiMimpi berkerak batu dan bau
Entahlah...
Padahal dalam sesak ia tahu
la berenang di lautan tintajutaan penatenggelam dalam kata-kataDibungkus kertas putih berlumur puisiDan Tertanam di benak yang mengenang
Manis hanyalah dongeng pulau cokelatYang melambai di mimpimuKau tahu itu
Bahkan kau bungkam untuk resah kemarinKamu meninggikan nadamu untuk julangan ombak yang
93
Antologi 12 Penyair Gorontalo
dendam
Sembab mataku menatapmuMemberi hangat di sekujur mimpimuMenata awan untuk teduhmu
Membalut keluh di helai nafasmu
Memburu tawa di lancip senyummu
Berteduhlah
Biarkan mimpi lelap bersama katup matamuDan bangunlahKuncup matamu milik embun yang tertawa sendudibelai mentari, pergi, berlari dan kembali
94
Kilau Merah Mata
Elegi Danau Limboto
Di Danau Limboto tak ada senjala takut dijaring atau tertusuk kail pancing yang lapar
Di Danau Limboto ikan lupa cara menggunakan insangsebab air tak lagi alir dan ruang gerak tak lagi lapang
Di Danau Limboto perahu tak berani menari,langkahnya tersendat lika liku waktu yang luka
Di Danau Limboto hujan tak dicintai,Sebab tertutup takdir yangbolak balik mencari anak anak hidup
Di Danau Limboto mujair dan buayomenangis hingga paceklik tibaagar air danau kembali kesiur
Di Danau Limboto angin bemyanyilagu sumbang yang gemanya dimakan masa
Di Danau Limboto, Gorontalo patah hatiMengucap rindu pada tahun tahun laluyang tak bisa kembali
Di Danau Limboto zaman dionani
hingga menganga, puisiku menjelma doa;Adakah kau sembunyikan mati di sini
97
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Lupa Pulang
Ada yang sesak napasnyaKetika matanya bertemu matamuAda yang hilang kedipnyaDicuri matamu
Ada yang harinya menahunsebab telinganya tabu namamuTangannya hapal kulitmuHidungnya ingat deru udara dalam hidungmu
Ada yang malanmya bercabang seribu khayalSebab senyummu menua dalam pupilnyaPadahai kemarin ia lelap sekalihingga lupa bermimpi.
Ada yang tidumya hilang,Sebab akalnya tak ingin pulangkepala menjelma bumng; terbangke angan paling ingin.
Ada tubuh menjelma rumahIngin jadi tempat kau rebahSementara ia lupa pulangKe dalam puisi,Makan tidur dalam nadimu
Bahkan telah mati berulang-ulang kali
98
Kilau Merah Mata
Kepada Muazin
la menghuma paruh hidupnya pada TuhanMenjelma kaki bahkan mulutla adalah mpa paling rindu yang tak laribila izrail mencumbui terompetnyala abdi tanpa gajiYang tak mati sekalipunTanpa pelantang
Adalah ia langit tanpa bintang yang didekapAdalah ia lebih mulia dari kelambu yangdijadikan kertas untuk menulis puisiSuaranya pelangi tanpa hujan yang bergantimgmanja di atap malamlain menggoda surga
Sesungguhnya ia adalah sepiyang tak terbaca oleh segala matala berkelahi dengan gigil yang hutanDi hatinya unggun api beriak demi bersuaBeliau yang pada zaman kini lebih banyak didebatkan.Sesekali terik resah campur lelah bertamu pada dadanyalewat bising bahu bahu jalan dan punggung-punggung hidup,lain bertanya perihal keikhlasan yang tak berwama dan takberasa,
ia termangu tapi tetap duduk di atas nmnr dan terus menyanyilagu segala zaman.
Padamu muadzin
temslah melaguSungguh tuhanAda di tiap incimu
99
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Cuaca
Peduli kita pemah menghujan;jatuh tanpa aba-aba,pemah sesenja sorelalu diusir malam;menjelma mimpi
sekali waktu aku mendung tanpabahagia, lalu ditegur petirberisyarat bahwa suaramu yang pelangitakkan selalu menjelma hari
kau angin yang begitu alparihduku jemuran basahtiap detik resah jadi tamuyang terns menagih temusementara aku tak bisa apa-apasebab Tuhan adalah cuaca
100
Kilau Merah Mata
Stoples Acar
Pada stoples acar kulihat senjaditimang oleh ibu tanpa ayah,tanpa tidur, tanpa kata, tanpa keluhbahkan kadang tanpa waktu.Pemah kutanya mengapa
la hanya bicara dengan senyum
Dalam stoples acar kudengar ibu mendikili puisi rindu yangamat panjangDalam stoples acar ibu menyulam malam-malam yang sepi biarmimpi tak tenggelamDalam stoples acar ibu meraut umumya yang mulai keriput agarmasa depanku tak kecut
Dalam stoples acar Tuhan bercerita kepadakutentang kekhawatiran dan kasih sayang ibuyang melebihi hujan bulan juni
Dalam stoples acar ibu meninabobokanlapar yang pisaudengan hati yang pagi;Kasih ibu puisi paling puisi
101
Antologi 12 Penyair Gorontalo
TakAdaKau
Tak ada apa-apa,Yang ada hanya risauDan beberapa hal yg semu,Hal yang seolah ditanam, dipupuk,lain disiram pada tiap kali larut jadi candu.
Seolah dadaku ruang tamu,Rindu, kenangan, ingatan mencarimu di situSudah kubilangTak ada kau, tak ada apa-apaYang ada hanya kata.
la tak lelah,Hingga gerimis meranggas pada Agustusla tak rebah-rebah
Walau telah seratus kali
Tak ada kau,
Rindu yang piatuTak mau membatu
Agustus-tak ada kau
102
Kilau Merah Mata
Segala Rindu
Kau bilang rindumu hujanTapi untuk basah sajakau enggan
Kau bilang rindumu detakTapi untuk bersama sajaaku kau retakan
Jangan tanya rindukuSebab ia tak bertapirinduku segala rindu
103
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Hingga Entah
Aku ingin lebih lama di siniDi kepala yang tak pemah sepiBermain kembang api dan hal ramai lain
Lain
Menahun di situ, ̂ lam dadamuMenggali sumur untuk edelweis;Agar kita sama-sama tahumana yang disiram dengan mimpidan mana yang dengan tangis
Bahkan
Aku pemah ingin hidup di sana, dalam dirimu;Membawa mehtari tiap pagi di ubin mmahmuMenanak beras tanpa air, sebab mungkindengan senyummu ia bisa jadi nasiMerayakan ulang tahun di pekat matamuDan segala ingin ini itu yang pemah kucatatHingga entah kau kemana
104
Kilau Merah Mata
Potongan Puisi yang Hilang
Aku menulis puisi di kelopakmu, itulah mengapakau hanya butuh tidur untuk mengobati rindu
Tak hanya ituTelah kutitipkan jejak pada rona bibirmu,Telah kusisipkan laci kosong dalam kepalakuuntuk tiap detik bersamamu, agar lupa tak datangAgar ingat tak luput.Tentang kau memang tak pemah sesederhana hujan
atau angin yang lalu begitu saja
105
Kilau Merah Mdta
Malam Mencekam
Langkah kaki dan suara loncengTerdengar begitu jelas di gendang telinga pada malam ituBergerak mendelmtSuara itu semakin mendekat, ya semakin jelas
Mereka segerombolan orang dengan kaki dirantaiBeijalan tergopoh-gopoh di keheningan malam
Malam begitu mencekamTanpa suara, tanpa kataRanting-ranting patahnyaring terdengarPepohonan menjadi saksi bisu
Kemanakah mereka akan melangkahKomandan berkuda dan beijubahMengiringi setiap langkah
Dari arah tak didugaTerlihat sebuah cahayaBak secerca harapanDi malam yang mencekam
Gorontalo, 7 September 2016
107
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Laksana Balon Udara
Bangim semua mimpiCiptakan impian yang akan membawamu terbangTerbang laksana balon udara melayang di angkasa
Mimpi, impian, dan semua harapanMengisi ruang kosongMimpi, impian, dan semua harapanKan tercapai, bukan hanya angan kosong
Jangan pemah berpikirBahwa mengisi ruang-ruang itu mudahBanyak rintangan dan tantangan yang akan engkau hadapiSemua butuh peijuangan dan doa
Suatu saat nanti
Letusan balon itu akan bergemaSaat itu semua mimpi, impian, dan harapan terwujud
Medan, 20 Maret 2016
108
Kilau Merah Mata
Jejak Sang Pengembara
Langkah kaki terns beijalanMeninggalkan jejak di sebuah perkampunganPerkampungan tak berpenghuniHanya bayangan hitam yang menemani
Sejenak langkah ini terhentiSeekor anjing melintas di depankula mampu membuat diri ini tercengangEntah apa yang dibawaMungkinkah potongan tangan manusiaAtau hanya sebuah ilusi
Kuputar langkah kakiBerbalik arah untuk mencari jawabanJawaban atas keraguan diri
Gorontalo, 7 September 2016
109
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Istana Impian
#RajaPria tangguh yang penuh wibawaDuduk di singgasanaMenanti kehadiran sang ratuJubah yang begitu indahMembalut tubuh kekamya
#Ratu
Tutur kata nan lembut
Wajah nan jelita membuat siapa pun akan terpesonaGuratan senyuman di wajahMelukiskan semangat dan budi pekerti
#PangeranTangisan sang buah hatiMematahkan kesepianBayi mungil dambaan ayah-bundaPelipur suka nestapa
#PrajuritPasiikan setia pengaman istanaJiwa dan raga mereka korbankanMemukul mundur para penyerangHingga nafas terakhir
#Taman
Bunga-bunga bermekaranAneka wama, aroma, dan rupaKupu-kupu menariHingga sang surya tersenyum
Gorontalo, 21 September 2016
110
Kilau Merah Mata
Di Balik Pesona Danau Limboto
Danau Limboto
Siapa yang tak mengenalDanau Limboto menyimpan sejuta pesonaDanau yang terbentangMemancarkan keindahan yang tersembimyiPegunungan yang menjulang berbaris rapiBurung-burung, lokal dan migran, bebas datangDan pergi, dari air ke udara, juga sebaliknyaPara nelayan masih setia dengan kapal kecilBunga teratai dan ikan bersahabatPesona yang begitu menakjubkanDan kini sang senja kembali menyapa
Gorontalo, 24 September 2016
111
Antologi 12 Penyair Ggrontalo
Buat Ayah Dan Ibu
Ibu
Kini kulit wajahmu sudah menggendurTak lagi kencang seperti duluKondisi badaimiu semakin lemah
Tak lagi kuat seperti dulu
AyahKulihat kini langkahmu tertatih-tatihTak lagi gagah seperti muda duluKini wama rambutmu mulai berubah
Namun, itu semua kalian hiraukanDengan semangat yang membaraKalian lakukan semua untuk kami anak-anakmu
Ayah, IbuKami bangga memiliki kalianKami bahagia saat kita bersamaTetaplah menjadi pahlawan terhebat untuk kami
112
Kilcm MerahMata
Puteri Purnama
Kuceritakan tentang pumama
Si gadis berkulit putih dan berparas cantikGaun kusam selebar pinggul mencobaMenutupi tubuh telanjangnyaMembelai tubuh dengan mata tertutupDi atas meja persegi empat yang berkaratKursi kuno membuatnya nyamandengan gaya melengkungWajah resah tak terlukiskan danCahaya matanya redupMembuatku gundahTopi mancung dan sehelai kertasbertindik paku di atasnyaSeolah menandakan kelemahan dalam dirinyaPemah kulihat di malam itu
Pumama menulis seribu aksara
yang tak kunjung jadi kataPensil bemjung telur keemasan menemaninyaLampu bagaikan api dalam sangkarmenyala menyentuh setiap sudut manganIngin sekali pumama bangun dari mimpiTapi dinding-dinding tua yang kokohmenghalanginya seraya berkata:ini belum usai
Gorontalo, 7-10-2016
115
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Kelopak Matahari
Di serambi, remang mengangkasaUntaian nada dalam karsa
Senja telah pergi berganti malam mendungTinggalkan bias fraktus yang bekuRibuan kelopak matahari mulai tundukMeraba di balik keremangan senjaDi hadapanmu aku dudukMemainkan biolaku
Menggamit indah penuh maknaHingga hati pun merasa terikatTerdengar bunyi-bunyi memilukanNada-nada bersahutan
Bergema seperti melodi kerinduanDan desir angin yang menghembus lembutMatahari melamun kumbang-kumbangMenjelma dan menerangi
Biolaku mengisahkan kedamaiandalam malam yang hening
Gorontalo, 1-10-2016
116
Kilau Merah Mata
Keping Kenangan
Aku bagaikan pena kecilpena yang akan menulissegala hal yang kutempuhdan sampai kehendak menimpaku
Aku seperti benih menjijikkanbasil d^ syahwat kekasihmuyang sungkan singgah di rahimmu,seolah bersyukur telah diberi satuhembusan napas di jiwamu
Aku adalah pecahan teluryang jika disentuh akan retakmelebur menjadi keping-keping kenanganyang akan mengintai dunia
Gorontalo, 29 Agustus 2016
117
v-
Antologi 12 Penyair Gowntalo
Lonceng Hati
detik melampaui bataskubersenandung dalam bingungterdengar denting loncengmenggetarkan hati yang jenuh
elok tubuhku tapi tak bergunaseperti panji ditiup angin, berkibar-kibarmungkin nanti jiwaku jiwamu satubukan kini saat pecahan botol menghalangiotakku goyah dengan lidahmuyang membisikkan getar-getar gairahmenyimpan rindu sedalam samudera
dalam diriku ada tembok rapuhjuga tirai yang tak lagi sanggup menutupmenolak segala irama merdumengikis kenangan yang kelutak ada yang tinggaltak ada yang terucap
Gowntalo, SAgustus 2016
118
Kilau Merah Mata
Danau Bersama Senja
rona senja telah meredupjingga hilang, dan mendungmenggantung di langit jauhdanau limboto kupandangisaat surya meminta diriseraya meninggalkan isyarattentang takdir yang enggan dijinakkan
bumng-bunmg liar berkicau riangkisabkan lelucon yang mereka bawadari negeri-negeri nun di seberangair dan lumpur bericik ramai, membincangkanikan-ikan dumodu 'o yang sembunyi di sela bebatuan
pelukis bebas poleskan kuas kisah tentangsatwa-satwa perenang di danau yang tenang inirintikan air kembali menghunjammengeruhkan sudut pandang bunga bakung,wangi-wangi alami lalu lepas ke udara
sedikit di atas cakrawala, kelam langitmembuat napasku tertahan di dadapandanganku tersangkut di jaring nelayan tuayang memikul dayung dengan wajah lelahnyasenyumannya seolah berkata, "tangkapankutak seberapa, tapi hatiku sungguh gembira."
puisi ini terhenti ketika kudengar seseorangmengingatkan, sepuluh menit telah usaimalam telah jatuh dan mari kita kembali.
Gorontalo,25 September 2016
119
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Biodata Para Penyair
Alwin Bobihu, lahir di Gorontalo, 24 Agustus 1991. MahasiswaJurusan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Gorontalo. SelainMenulis Puisi dan Cerita Pendek, juga sering mengikuti kegiatan-kegiatan yang berbau sastra. Kebanyakan puisi dan cerita pendekyang lahir dari tangannya tidak dipublikasikan di media massa.Mulai serins menulis semenjak tahun 2012. Penulis ini mempunyaiprinsip lebih baik berbagi ilmu daripada bersaing.
Alivia Nadatul Aisyi, lahir di Jember Jawa Timur, 17 November1995, Mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra IndonesiaFKIP Universitas Jember, Jawa Timur. Pada saat bergabungdengan kelas menulis Kantor Bahasa Gorontalo ia sedang
Kilau Merah Mata
mengikutiprogramPERMATA(PertukaranMahasiswaNusantara)di Universitas Negeri Gorontalo. Saat ini aktif sebagai PimpinanRedaksi Majalah Nuns dan mengasuh nibrik berita website resmisalah satu pesantren di Jember yaitu pesantreimuris.net.
Arief Rahmat Nento, lahir di Kota Gorontalo, 28 Juli 1995.Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FakultasSastra Budaya Universitas Negeri Gorontalo. Aktif di berbagaikegiatan seperti debat dan kompetisi-kompetisi kebahasaan, sertaorganisasi dan komunitas seperti Senat Mahasiswa FakultasSastra dan Budaya (SenMa FSB) dan Ikatan Lembaga MahasiswaIlmu Budaya Se-Indonesia (ILMIBSI). Menulis di antara sekianbanyak hobi. Baginya puisi dapat melukiskan berbagai hal yangtak terlukiskan. Arief juga merupakan peserta kelas menulis puisidi Kantor Bahasa provinsi Gorontalo.
Antologi 12 Penyair Gorontalo
Arifin T. Badu, lahir di Bulontio Timur pada tanggal 31Desember 1989. Bungsu dari tiga bersaudara ini menyelesaikanSekolah Dasar di SDN 1 Bulontio Timur pada tahun 2002.Menamatkan Sekolah Menengah Pertama di SMPN 1 Sumalatapada tahun 2005, dan pada tahun 2008 lulus dari SMAN 1Sumalata. Pada tahun yang sama tercatat sebagai mahasiswa diUniversitas Negeri Gorontalo, Jurusan Bahasa dan SastraIndonesia dan lulus pada tahun 2016. Suka membaca, terutamapuisi. Selain itu, sosok yang pendiam ini juga aktif menulis puisidan sesekali belajar menulis cerita pendek. Puisinya Rinaimeraih juara pertama pada lomba penulisan puisi tingkatprovinsi Gorontalo yang diselenggarakan oleh Kantor BahasaProvinsi Gorontalo pada tahun 2015. Cerpennya ManusiaKelapa pemah dimuat sekaligus menjadi judul antologi cerpenremaja yang diterbitkan oleh Kantor Bahasa Provinsi Gorontalopada tahun 2013. Sempat aktif mengikuti proses kreatif pada"Kelas Menulis" binaan Kantor Bahasa Provinsi Gorontalo,sebelum akhimya hams menunaikan tugas sebagai Gum SM-3TTahun 2016 di SDN 001 Maratua, Kabupaten Berau, KalimantanTimur. Bagi yang ingin berinteraksi dengan penulis bolehmelalui E-mail [email protected]. Sejumlah puisinya bisadibaca melalui facebook: Arifin T. Badu.
Kilau Merah Mata
Dahlia Badaru, lahir di Manado, pada tanggal 17 Juni 1995.Mahasiswa di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia UniversitasNegeri Gorontalo. Selain menulis puisi, juga menulis ceritapendek. Cerpennya yang beijudul "Hujan di Malam Lebaranmenjadi Juara II kategori Sayembara Cipta Cerpen Remaja KantorBahasa Gorontalo tahun 2015. Sementara puisinya yang beijudul"Aku Lupa" menjadi Pemenang Harapan II pada perhelatan dantahun yang sama. Menyukai dunia pementasan dan keaktoran.Bercita-cita menjadi Menteri Pendidikan Republik Indonesiayang bersahaja dan kharismatik.
Larasati Djafar, memiliki ketertarikan kuat pada sastra, terutamapuisi dan cerpen sejak pertama kali merasakan 'efek cinta monyet'pada tahun kedua Sekolah Menengah Pertama. Sejak saat ituhingga sekarang, ia sering sekali menuangkan apapun yangdirasakannya melalui rangkaian kata-kata 'tak biasa' yang ia sebut
Antologi 12 Penyair Gorontalo
sebagai puisi. la juga sering menulis cerita tentang kejadian-kejadian yang baginya penting dan hams selalu diingat dalamhidupnya. Dari kebiasaan itulah ia bercita-cita menjadi penulisdan berharap suatu saat dapat menerbitkan buku karyanya sendiri.Selain sastra, perempuan kelahiran tahun 1993 ini juga cukupaktif pada kegiatan kebahasaan dan kepariwisataan di daerahnya.Bagi Lala—^begitulah la disapa—sastra, bahasa, dan pariwisataadalah tiga bidang yang telah membentuk kepribadiannya.
Martina D. Pago, biasa dipanggil Tina, berasal dari daerah Buol,Sulawesi Tengah. Lahir di Kulango pada tanggal 06 Juni 1996.Mahasiswa angkatan 2014 di Jumsan Bahasa dan Sastra Indonesia,Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo.Tertarik menulis puisi dan genre sastra lainnya karena kagumakan keindahan bahasa. Salah seorang anggota Kelas MenulisKantor Bahasa Gorontalo angkatan pertama. Bercita-cita menjadigum sekaligus penulis yang andal.
Kilau Merah Mata
Sopyan Daulat, atau akrab disapa Sopi, lahir di Buol, SulawesiTengah, 27 September 1994. Sejak tahun 2014 menjadi mahasiswaJimisan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra dan Budaya,Universitas Negeri Gorontalo. Tertarik dengan sastra khususnyapuisi, karena baginya puisi adalah keindahan dunia dalam rentetannapas dan kata-kata. Kecintaannya terhadap puisi tampak padakeaktifannya di sebuah Komunitas Musikalisasi Puisi Bahasa danSastra Indonesia (KM? Bastrasia) dan menjabat sebagai ketua,serta mengukuti kelas menulis puisi yang diadakan oleh KantorBahasa Provinsi Gorontalo.
Nurawin Ity, akrab dengan nama kecil Awin. Lahir di KabupatenBone Bolango, Provinsi Gorontalo 02 Februari 1996. Saat inimerupakan mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia,Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontaloangkatan 2014 atau lebih dikenal dengan Sastra Muda. Saat ini
Antologi 12 Penyair Gorontalo
dia aktif dalam organisasi dalam maupun luar kampus. Pemahmengikuti PEKSIMITAS pada tahun 2015 cabang puisi. Puisisemakin melekat lagi pada dirinya semenjak dia masuk di JurusanBahasa dan Sastra Indonesia. Baginya puisi adalah carapengungkapan terbaik ketika mulut tak mampu mengartikulasikanapa yang ia rasakan. la juga salah satu alumni kelas menulis puisiangkatan pertama di Kantor Bahasa provinsi Gorontalo.
Vadly Mahmud, lahir di Kotamobagu, Sulawesi Utara, 14 agustus1996. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas
Negeri Gorontalo. Merupakan Penyair sekaligus Stand UpComedian. Ia tergabung dalam Komunitas Stand Up ComedyGorontalo. Tertarik pada sastra terutama pada puisi, karenabaginya dalam puisi terdapat kebebasan berekspresi dan puisiadalah sebuah karya yang abadi. Peserta kelas menulis puisi yangdiadakan oleh kantor Bahasa Provinsi Gorontalo.
Kilau Merah Mata
Weni Agustianingsih. Lahir di Bandar Tongah, Sumatera Utarapada 3 Agustus 1997. Mahasiswa Jurusan Bahasa dan SastraIndonesia, Universitas Negeri Medan (UNIMED). Pada saatbergabung dengan kelas menuiis Kantor Bahasa Gorontalo,sedang mengikuti program Pertukaran Mahasiswa di UniversitasNegeri Gorontalo (UNG). Sejak memasnki Sekolah MenengahPertama hingga kuliah aktif mengikuti berbagai kegiatanekstrakurikuler. Terus bergerak, dan berkarya!
Yulin Kamumu, memiliki nama kecil Ulva. Lahir di Gorontalo,25 Januari 1994. Alumni SMA Muhammadiyah Bitung, Sulawesi;Utara. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Universitas NegeriGorontalo, Fakultas Sastra dan Budaya Jurusan Bahasa Indonesiadan aktif di sejumlah Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) baikinternal kampus maupun ekstemal, seperti Lembaga PersMahasiswa Universitas Negeri Gorontalo.