KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA SEBAGAI
FUNGSI SOSIAL
“Konsep Jouge Kankei dalam Olah Raga Beladiri Karate”
Disusun oleh
Dery Muhammad Yusuf
Yayah Badriyah
Jurusan Bahasa Jepang
Sekolah Tinggi Bahasa Asing LIA
2015
2
I. PENDAHULUAN
Ilmu beladiri dikenal sejak adanya peradaban manusia, yang pada waktu itu dipergunakan
hanya untuk mempertahankan diri dari gangguan binatang buas dan alam sekitarnya. Sekarang,
di samping untuk mempertahankan diri, beladiri digunakan sebagai alat untuk menjaga kesehatan,
mencari prestasi dan sebagai jalan hidup. Karate-do adalah suatu seni perkasa, beladiri tanpa
senjata yang bertujuan untuk mengatasi segala bentuk rintangan, yang dicapai dengan cara
mengembangkan kepribadian melalui latihan-latihan tertentu. Di samping itu karate juga
berfungsi sebagai alat komunikasi dan tempat berinteraksi dengan orang lain, seni beladiri karate
mempunyai etika dan sopan santun yang harus ditaati dan dilaksanakan oleh segenap
anggota/orang yang ada di dalamnya. Aturan main, etika dan sopan santun yang terdapat dalam
seni beladiri ini dibuat berdasarkan semangat dan filosofi yang diwariskan oleh orang-orang
yang melahirkanya. Salah satu aturan dalam karate yang perlu mendapatkan perhatian adalah
adanya sistim warna sabuk dan tahun pendidikan yang berkaitan nilai budaya jouge kankei, yang
wajib dipahami oleh orang-orang yang berkutat sebagai pembelajar karate atau biasa disebut
Karate-ka.
Gb. 1 Karate Okinawa
3
II. PEMBAHASAN
A. Sejarah Karate
Sekitar abad ke-5, seorang pendeta Budha dari India yang bernama Bodhidharma (Daruma
Daishi), mengembara ke China untuk menyebarkan dan membetulkan ajaran Budha yang sudah
menyimpang saat itu. Setelah ada selisih paham atau perbedaan pandangan dalam ajaran Budha
dengan Kaisar Wu, Kaisar Kerajaan Liang waktu itu, Daruma Daishi kemudian mengasingkan
diri di Biara Shaolin Tsu, di Pegunungan Sung, bagian selatan Loyang, Ibukota Kerajaan Wei.
Daruma Daishi melanjutkan pengajaran Agama Budhanya di biara itu, yang kemudian
merupakan cikal bakal ajaran Zen. Di samping mengajarkan agama, beliau juga memberikan
Buku Petunjuk mengenai Latihan Fisik kepada muridmuridnya. Buku Petunjuk itu juga
mengajarkan teknik-teknik pukulan, yang bernama 18 Arhat. Berawal dari situ biara tersebut
terkenal sebagai Shaolin Chuan, pusat beladiri di daratan China hingga sekarang. Pada
perkembangannya biara tersebut banyak menghasilkan ahli beladiri, namun selama peralihan
dari Dinasti Ming ke Dinasti Ching, sejumlah ahli beladiri China melarikan diri ke negara lain
agar terbebas dari penindasan dan pembunuhan besar-besaran yang dilakukan oleh orang-orang
Manchu sebagai penguasa China saat itu. Akibatnya, ilmu beladiri tersebar ke berbagai negara
lain seperti Jepang, Korea, Asia Tenggara, dan juga Kepulauan Okinawa.
Sampai abad ke-15 Kepulauan Okinawa masih terbagi menjadi 3 kerajaan dan pada tahun
1470 Youshi Sho dari golongan Sashikianji berhasil mempersatukan semua pulau di Kepulauan
Okinawa dibawah kekuasaannya. Shin Sho sebagai penguasa ke-2 dari golongan Sho, menyita
dan melarang penggunaan senjata tajam. Kemudian Keluarga Shimazu dari Pulau Kyushu
berhasil menguasai Kepulauan Okinawa, tetapi larangan terhadap kepemilikan senjata tajam
masih diberlakukan. Akibatnya, rakyat hanya dapat mengandalkan pada kekuatan dan
keterampilan fisik mereka untuk membela diri. Pada saat yang sama, ilmu beladiri China mulai
diperkenalkan di Kepulauan Okinawa melalui para pengungsi China yang berdatangan.
Pengaruh ilmu beladiri China sangat cepat berkembang di seluruh Kepulauan Okinawa.
Melalui ketekunan dan kekerasan dalam berlatih, rakyat Okinawa berhasil mengembangkan
sejenis gaya dan teknik perkelahian baru, yang akhirnya dapat melampaui sumber asli dari
teknik-teknik setempat atau aliran yang berasal dari Okinawa itu sendiri, yaitu seni beladiri
4
Okinawa-te (Tode atau Tote). Tode/Tote atau te yang artinya tangan, merupakan suatu seni
beladiri tangan kosong atau tanpa menggunakan senjata yang telah mengalami perkembangan
selama berabad-abad di Okinawa. Peraturan pelarangan penggunaan senjata tajam masih tetap
diberlakukan oleh Keluarga Satsuma dari Kagoshima setelah mereka memegang kendali
pemerintahan atas Okinawa pada tahun 1609, bahkan keluarga itu juga melarang keras latihan-
latihan Tote, sehingga menyebabkan latihan latihan Tote, yang menjadi alat terakhir untuk
membela diri, dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan penuh rahasia.
Tahun 1921, Gichin Funakoshi (1886-1957), orang dari Suri, berhasil memperkenalkan
beladiri Tote di Jepang. Peristiwa itu menandai dimulainya pengalaman baru beladiri Tote secara
benar dan sistematis. Tahun 1929, Gichin Funakoshi mengambil langkah-langkah revolusioner
dalam perjuangannya yang ulet dan pantang menyerah untuk mengubah Tote menjadi Karate-do
(kara = kosong, te = tangan, dan do = jalan), sesuai karakter dan aksen masyarakat Jepang.
Dengan demikian Tote atau Karate telah mengalami perubahan dari segi penampilan maupun
isinya. Teknik asli Okinawa menjadi suatu seni perkasa Jepang baru.
B. Budaya Jouge Kankei
Jouge kankei yang berarti hubungan atasan dan bawahan merupakan sebuah istilah yang
berasal dari konfusius. Istilah ini sendiri menunjungan adanya hirearki dalam tataran sosial
masyarakat Jepang yang berfungsi sebagai alat keseimbangan melalui ragam penghormatan baik
secara verbal maupun gesture, sebagai contoh penghormatan seorang murid kepada guru,
bawahan kepada atasan, atau junior kepada senior. Penghormatan verbal yang dimaksud dapat
dicontohkan melalui penggunaan bahasa yang formal kepada atasan, atau sikap menghormat
seperti membungkuk hamir 45 derajat ketika menemui seseorang yang senior atau sangat
dihormati.
C. Hubungan Jouge Kankei dan Beladiri Karate
Dalam lingkungan karate sangat terlihat sekali hubungan atasan bawahan atau jouge kankei,
hal tersebut dibuat untuk mengatur keharmonisan dan ketertiban dalam lingkunagan karate.
Adapun hubungan jouge kankei dengan beladiri karate dapat dilihat sebagai berikut :
5
1. Tingkatan Sabuk/Obi
Seperti yang sudah disinggung pada pembahasan sebelumnya dalam beladiri
Karate terdapat nilai budaya jouge kankei yaitu budaya hirearkis atau atasan bawahan.
Hal ini dapat dilihat dari adanya tingkatan sabuk/obi yang ditunjukan melalui warna-
warna khusus yang akan berubah sesuai dengan lamanya latihan dan pengetahuan yang
didapat oleh seorang karate-ka dan dibuktikan melalui sebuah ujian kenaikan sabuk.
Adapun tingkatan sabuk tersebut adalah :
a. Sabuk Putih (Kyu VI) : Dipergunakan oleh pembelajar pemula
b. Sabuk Kuning (Kyu V) : Dipergunakan oleh pembelajar sabuk putih yang
telah melampaui waktu latihan selama tiga semester dan lulus ujian kenaikan
sabuk.
c. Sabuk Hijau (Kyu IV) : Dipergunakan oleh pembelajar sabuk kuning yang
telah melampaui waktu latihan selama tiga semester dan lulus ujian kenaikan
sabuk.
d. Sabuk Biru (Kyu VI) : Dipergunakan oleh pembelajar sabuk hijau yang
telah melampaui waktu latihan selama tiga semester dan lulus ujian kenaikan
sabuk.
e. Sabuk Cokelat (Kyu III – Kyu I ) : Dipergunakan oleh pembelajar sabuk biru
yang telah melampaui waktu latihan selama tiga semester dan lulus ujian
kenaikan sabuk.
f. Sabuk Hitam (Dan) : Dipergunakan oleh pembelajar sabuk cokelat yang
telah melampaui waktu latihan selama minimal tiga tahun atau telah pada
tingkat Kyu I dan lulus ujian kenaikan sabuk.
2. Penghormatan dan Panggilan dalam Lingkungan Karate
Pemberian penghormatan dapat dilakukan kapan saja dan dimana saja, baik
sedang berpakaian karate maupun tidak. Penghormatan ditujukan kepada :
a. Semua karateka senior, atau yang lebih tinggi tingkatan sabuknya, baik
tingkat kyu atau tingkat Dan-nya.
6
b. Semua karateka yang pernah atau lebih dulu mengikuti latihan karate, tapi
karena suatu hal tidak dapat melanjutkan latihan, atau tetap latihan tetapi tidak
mengikuti ujian kenaikan tingkat, dengan tidak mamandang tingkat kyu atau
Dan yang disandang termasuk senior.
c. Kepada orang yang bukan karateka, tetapi aktif mengabdikan dirinya pada
organisasi karate, atau setiap orang yang lebih tua umur maupun
pengalamannya, yang membantu perkembangan karate.
Adapun sebutan untuk menegur sesama karateka yaitu :
a. Kohai : Sebutan kepada adik seperguruan.
b. Senpai : Sebutan untuk semua karateka yang memiliki tingkat sabuk baik kyu
atau Dan yang lebih tinggi, dan senior yang tidak/masih berlatih.
c. Sensei : Sebutan untuk semua karateka Dan IV sampai Dan VIII atau
Anggota Dewan Guru Karate.
d. Sihan : Sebutan bagi Guru Besar Karate (Dan IX dan Dan X)
3. Penghormatan pada Tata Cara Upacara Latihan Karate
a. Seluruh peserta latihan harus berpakaian karate sebelum masuk dojo.
b. Memberi penghormatan sebelum mamasuki dojo. Para murid harus
melakukan penghormatan tanpa mengucapkan “Osh” yang berasal dari kata
Oshi Shinobu yang berarti “Semangat Pantang Menyerah” sambil
membungkukkan badan ketika masuk areal perguruan atau tempat latihan
(dojo). Jika sudah ada yang berlatih, harus memberikan penghormatan dengan
mengucapkan “Osh” ke arah depan dojo.
c. Memberi penghormatan kepada pelatih/senpai/teman latihan yang sudah
berada di dalam dojo, atau pada kerateka yang baru datang dan masuk dojo.
Membalas penghormatan jika ada yang memberi penghormatan. Tunjukkan
rasa hormat yang pantas pada senior dan murid yang lebih tua. Semua murid
harus berdiri dan mengucapkan “Osh” ketika senior atau penyandang Sabuk
Hitam memasuki ruangan.
d. Pada waktu akan mulai latihan, salah satu senior/kapten latihan segera
mengatur dan menyusun barisan, sebagai berikut :
7
a) Dewan Guru : Mengambil tempat terdepan, setelah barisan
tersusun rapi dan setelah kapten latihan melaporkan bahwa
upacara siap dimulai.
b) DAN IV ke atas : Menempati barisan kedua setelah Dewan
Guru.
c) DAN III, II, I : Menempati barisan ketiga dan DAN III berada
paling kanan.
d) Sabuk Berwarna : Menempati barisan ke empat dengan
susunan : sabuk coklat, biru, hijau, kuning, dan putih, dengan
sabuk coklat paling kanan.
e. Ketentuan urutan upacara ini berlaku untuk semua kegiatan upacara
mengawali dan mengakhiri latihan di lingkungan karate.
f. Posisi upacara duduk atau berdiri disesuaikan dengan dewan guru atau pelatih
pada saat itu, jika dewan guru/pelatih mengambil posisi duduk maka seluruh
peserta harus mengikuti dengan upacara duduk. Peserta latihan tidak boleh
mendahului duduk, demikian juga jika dewan guru/ pelatih pada posisi berdiri
maka paserta latihan harus mengikutinya.
Selain ketentuan-ketentuan diatas dalam kegiatan pelatihan para junior tidak diperkenankan
untuk melakukan kegiatan ketentuan seperti mengobrol, membetulkan pakaian, izin ke toilet, dan
sebagainya tanpa izin dari pelatih atau senior. Dengan ketentuan seperti ini terlihat pula semakin
tinggi tingkatan semakin besar pengaruh dan rasa hormat yang didapat, sehingga ada sebuah nilai
aktualisasi diri yang berbanding lurus dengan tingkatan atau lama waktu latihan seorang
karateka.
Gb. 2 Upacara sebelum latihan Karate
8
D. Nilai Budaya Jouge Kankei Di luar Beladiri Karate
Seperti kita ketahui pada saat ini, walaupun karate tidak murni sebagai olahraga beladiri
yang berasal dari Jepang namun pada kenyataannya seluruh dunia telah secara umum
mengasosiakan karate sebagai bagian perwujudan negara Jepang pada bidang olahraga dan seni
beladiri. Di lain sisi , ada nilai-nilai budaya Jepang yang telah berbaur pada kegiatan di
lingkungan karate, salah satunya yaitu budaya jouge kankei. Seiring berkembangnya karate
diseluruh dunia secara otomatis budaya jouge kankei juga mulai tersebar di seluruh dunia bahkan
telah diadopsi oleh beladiri lain seperti Taekwondo Korea, Muang Thai Thailand, Pencak Silat
Indonesia, dll.
Secara khusus di Indonesia olahrag beladiri yang paling mendekati karate adalah Pencak
Silat yang terdiri dari lebih kurang 300 aliran. Secara umum Pencak Silat pada saat ini telah
menggunakan sistem senioritas yang mirip dengan karate yaitu penggunaan sabuk. Aturan
penggunaan sabuk sendiri beragam tergantung dari aliran perguruan masing-masing. Sebagai
contoh dibeberapa daerah urutan sabuk dimulai dari warna putih dan berakhir pada tingkat tinggi
di warna merah, sebaliknya ada yang memulai dari warna merah kemudian berakhir pada tingkat
tertinggi berwarna putih. Walaupun berbeda urutan secara umum ada nilai hirearkis yang terlihat
dari penggunaan warna pada sabuk untuk menunjukan tingkatan dan pengaturan upacara latihan.
Hal ini ditenggarai karena adanya pengaruh beladiri Jepang yang dibawa ke Indonesia pada masa
penjajahan Jepang.
Faktanya, dibeberapa aliran Pencak Silat tradisional seperti diaderah Jawa Barat yang telah
ada sejak zaman kolonial Belanda tidak ditemukan adanya secaran spesifik tingkatan sabuk,
hubungan atasan dan bawahan hanya sebatas antara murid dan guru, atau junior dengan senior.
Dalam upacara pelatihan tidak ada aturan khusus diatur berdasarkan senioritas namun hanya
dijalankan dengan berdoa, dan pemanasan sebelum menuju latihan inti.
Gb. 3 Silat Maenpo Cikalong Tanpa Sabuk Gb. 4 Silat PSHT dengan sabuk
9
E. PENUTUP
A. Simpulan
Olahraga beladiri karate menerapkan nilai-nilai budaya Jepang, salah satunya adalah
jouge kankei. Nilai budaya tersebut dapat dilihat dari adanya tingkatan sabuk yang
ditunjukan melalui perbedaan warna, tata cara penghormatan sesama anggota, serta aturan
upacara sebalum memulai latihan. Seiring berkembangnya karate ke seluruh dunia, budaya
jouge kankei dalam beladiri tersebut juga mulai diadaptasi oleh negara-negara lain salah
satunya adalah Indonesia yang mulai menerapkan aturan sabuk, dan upacara sebelum
memulai latihan padahal dahulu kala beladiri Indonesia yaitu Pencak Silat tidak
menggunakan aturan hirearkis seperti ini.
Dengan adanya budaya atasan dan bawahan pada olahragadiri beladiri karate, ada nilai
aktualisasi diri yang muncul yaitu semakin lama seseorang belajar atau semakin tinggi
tingkatan sabuknya maka ia akan mendapatkan penghormatan yang lebih tinggi. Dengan
demikian para bawahan atau juniornya akan memberikan rasa hormata dan kepatuhan,
sebaliknya para senior akan mempunyai tanggung jawab untuk mengayomi bawahan atau
juniornya melalui cara seperti membantu latihan dan mengawasi perkembangan pengetahuan
ilmu beladirinya, dengan demikian hubungan sosial antara senior dan junior bisa
menghasilkan keharmonisan dan sesuatu yang bermanfaat.
B. Daftar Pustaka
Admin. 2011. Profil Persaudaraan Setia Hati Terate. http://www.shterate.com/profil-
persaudaraan-setia-hati-terate/ . Daiakses pada 8 Februari 2015
Danardono. 2012. Sejarah, Etika, dan Filosofi Seni Beladiri Karate. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Danardono,%20S.Pd.,%20M.Or/Sejarah,%
20Etika%20dan%20Filosofi%20Karate.pdf. Diakses pada 8 Februari 2015
10
Bandung Karate Club. 2011. Makna Sabuk Dalam Beladiri Karate. http://bandung-karate-
club.blogspot.com/2012/01/makna-sabuk-dalam-beladiri-karate.html . Diakses pada 8
Februai 2015
Nagapasa. 2007. Maenpo Cikalong. http://sahabatsilat.com/forum/aliran-pencak-
silat/maenpo-cikalong/ . Diakses pada 8 Februai=ri 2015
PB FORKI. 2014. KARATE.
http://www.pbforki.org/index.php?option=com_content&view=article&id=1300:artkel-
karate&catid=62:article&Itemid=58 . Diakses pada 6 Februari 2015