Konstruksi Gender Perempuan dalam Artikel Majalah Gadis
(Analisis Semiotik Sosial Artikel pada Rubrik ‘CINTA’
dalam Majalah Gadis Edisi 08-11 Bulan Maret-April 2012)
A. Latar Belakang
Komunikasi adalah bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan kita sehari-hari. Hal yang
berpengaruh penting dalam hubungan komunikasi, baik
secara langsung maupun tak langsung, searah maupun
dua arah, adalah Bahasa. Bahasa digunakan untuk
menyampaikan pesan dan maksud komunikan, yang akan
sangat mempengaruhi seseorang dalam menafsirkan
makna yang terkandung di dalamnya. Penafsiran bahasa
itu sendiri juga dipengaruhi oleh rangkaian konteks
dan situasi di mana komunikasi itu dibentuk.
Kemampuan untuk berkomunikasi secara lisan pun
akhirnya berkembang menjadi komunikasi melalui
perantara media massa, dimulai dengan munculnya Acta
Diurna, yang mempelopori munculnya surat kabar sebagai
salah satu media cetak (. Kini media cetak telah
1
berkembang menjadi berbagai macam bentuk, salah
satunya adalah majalah. Majalah pun kini telah
memiliki kategorisasi, seperti majalah politik,
majalah khusus perempuan atau perempuan, majalah
bisnis, majalah rohani, dan sebagainya. Dari sekian
banyak kategorisasi majalah tersebut, penulis akan
mengarah kepada majalah remaja perempuan.
Bagi sebagian remaja, membaca majalah mingguan
yang berhubungan dengan remaja adalah hal yang
wajar. Sebagian membaca majalah yang sesuai dengan
hobi dan minatnya, sebagian lagi membaca majalah
tersebut agar selalu memperoleh segala hal mengenai
remaja dan menjadi tidak ketinggalan jaman dengan
cara dan bahasa yang berbeda dalam penyampaian
maknanya, yang disesuaikan dengan dunia remaja
perempuan. Namun, dunia remaja yang disajikan tentu
saja merupakan dunia remaja perempuan yang telah
digeneralisasikan dan telah mucul sebagai budaya
popular. Mengingat usia remaja adalah usia rawan, di
mana remaja masih cenderung labil dalam membentuk
2
pribadinya, maka informasi dan liputan yang
disajikan di dalam majalah tersebut dapat
mempengaruhi pandangan remaja perempuan dalam
perkembangannya, terutama dalam memahami makna
tentang bagaimana seharusnya perempuan seusianya
bertindak dan berperan. Dari makna yang dibentuk
itulah, mereka akan membentuk pola perilakunya
sebagai seorang remaja perempuan. Walau secara
teoritis cara pandang dan pembentukan gender
dipengaruhi oleh lingkup keluarga, agama,
pendidikan, dan sosial, media massa tetap memiliki
porsi yang besar untuk menanamkan ideologinya di
benak pembaca.
Salah satu majalah remaja yang juga menggunakan
artikelnya untuk mengarahkan pembentukan karakter
gender remaja perempuan, adalah Majalah Gadis.
Majalah tersebut adalah anak produksi yang tergabung
dalam Femina Group, yang terbit pertama kali pada 19
November 1973. Majalah ini diterbitkan dengan
3
pemikiran bahwa anak-anak perempuan yang masih muda,
butuh majalah dengan isi bacaan yang bisa
meningkatkan wawasan, menghibur, sekaligus trendi
(http://www.gadis.co.id/sejarah). Dengan slogan “Top
di antara yang Pop”, Gadis terlihat ingin
mengarahkan remaja perempuan untuk menjadi ‘bintang’
di antara sekian banyak orang yang populer. Untuk
itu, selain dari fisik, diperlukan juga inner beauty
yang akan sangat mendukung karakter positif dalam
diri remaja perempuan.
Melalui rubrik ‘CINTA’, majalah ini tidak
melulu berbicara mengenai relasi antara perempuan
dan laki-laki saja. Cinta di sini diartikan secara
umum sehingga Gadis pun menyajikan artikel-artikel
yang berisi tentang bagaimana sebaiknya seorang
remaja perempuan mencintai dan bersikap terhadap
dirinya sendiri maupun terhadap lingkungan
sosialnya. Rubrik ini berisi saran dan tips untuk
remaja perempuan dalam mengeluarkan inner beauty-nya
agar dapat diterima di lingkungan di mana dia berada
4
dan dapat dipandang sebagai remaja perempuan yang
baik. Secara teoritis, hal ini merujuk pada fungsi
media sebagai sarana edukasi dan transmisi budaya,
yang dapat mempengaruhi cara padang dan konstruksi
pribadi, termasuk mengenai gender perempuan.
Contoh artikel dari rubrik ‘CINTA’ adalah
artikel berjudul ‘Berbagi Rumah, Berbagi Keluarga’
pada Majalah Gadis edisi 10 tahun 2012. Di dalam
artikel tersebut, dipaparkan hal-hal yang dapat
membantu remaja perempuan dalam menghadapi banyaknya
anggota keluarga yang tinggal dalam satu atap,
seperti menjaga privasi setiap anggota, menjaga
fasilitas yang digunakan bersama, belajar
berkompromi agar tidak menjadi egois, dan
menghormati aturan tiap keluarga. Namun, yang
menjadi topik adalah bagaimana remaja perempuan yang
membaca majalah ini harus bertindak sementara itu
tidak ada bagian dalam artikel tersebut yang
menginformasikan kendala-kendala apa saja yang
mungkin ditemui dalam merealisasikannya. Hal ini
5
membuat artikel tersebut terlihat tidak seimbang dan
terkesan mensimplisitisi masalah hidup yang ada di
seputar pembaca.
Untuk melihat bagaimana majalah ini membentuk
karakter gender remaja perempuan melalui ulasan
singkat, saran-saran serta tips yang diberikan dalam
artikel-artikelnya pada rubrik tersebut, peneliti
akan meneliti artikel tersebut melalui pendekatan
kualitatif dengan analisis semiotika sosial. Artikel
yang akan diteliti adalah artikel pada rubrik
‘CINTA’ dalam Majalah Gadis edisi 8-11 bulan Maret-
April 2012.
Analisis semiotika sosial sendiri merupakan
analisis semiotik yang khusus menelaah sistem tanda
yang terdapat di dalam bahasa. Dalam penelitian ini,
ada tiga unsur yang menjadi pusat perhatian
penafsiran teks secara kontekstual, yaitu medan
wacana, pelibat wacana, dan sarana wacana. Beberapa
penelitian serupa yang pernah dilakukan adalah
“Konsturksi Identitas Perempuan dalam Majalah
6
Cosmopolitan Indonesia” oleh Eva Leiliyanti dalam
Jurnal Perempuan No.28 tahun 2003, tentang Perempuan
dan Media. Di dalam penelitian ini, analisis
semiotika sosial berperan untuk mengungkapkan
bagaimana gambar dan artikel dalam Majalah
Cosmopolitan tersebut terkesan mengangkat perempuan,
namun sekaligus membentuk perempuan menjadi
perempuan ideal ala Cosmopolitan yang kembali
dikaitkan dengan produk-produk sponsor yang ada,
sehingga artikel tersebut tidak hanya mengangkat
perempuan, namun juga menunjukkan tingginya tingkat
konsumtif perempuan untuk menjadi perempuan ideal.
Sejauh ini telah banyak penelitian yang serupa
dengan penelitian di atas, yang mencapai pada sebuah
kesimpulan bahwa perempuan diarahkan untuk menjadi
konsumtif dan dilecehkan serta direndahkan secara
tidak langsung dan implisit melalui teks-teks yang
ada di dalam majalah. Namun, benarkah bahwa setiap
majalah selalu mengarahkan perempuan sebagai obyek
yang mudah ditarik ke dalam pasar seperti itu? Oleh
7
karena itu, dalam penelitian ini, peneliti ingin
melihat bagaimana majalah remaja, sebagai salah satu
media yang juga ikut berperan dalam membentuk dan
mengembangkan karakter perempuan dalam diri remaja,
memberikan gambar tentang bagaimana sosok seorang
remaja perempuan, terutama dalam bertindak.
B. Rumusan Masalah
Bagaimana artikel pada Majalah GADIS
mengkonstruksi karakter gender pada remaja
perempuan?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui konstruksi karakter gender
pada remaja perempuan pada artikel Majalah GADIS.
8
D. Manfaat
D.1. Manfaat Teoritis
1. Mengetahui lebih dalam bagaimana artikel dalam
Majalah GADIS dapat mengkonstruksi karakter
gender remaja perempuan.
2. Memberikan referensi bagi para peneliti
selanjutnya, terutama untuk penelitian dengan
topik media massa sebagai pengkonstruksi
gender.
D.2. Manfaat Praktis
1. Memberikan sumbangan dalam terapan ilmu
komunikasi. Peneliti berharap penelitian ini
dapat menambah keberagaman studi khalayak yang
bisa digunakan sebagai tambahan referensi bagi
para mahasiswa.
2. Memberikan pemahaman yang menyeluruh pada
masyarakat bahwa teks dapat mengkonstruksi
9
E. Kerangka Teori
Teori Kritis dan Kapitalisme Media
Teori Kritis muncul sebagai koreksi terhadap
pandangan konstruktivisme yang dinilai kurang
sensitif dalam memproduksi dan mereproduksi makna
(Ardianto. 2007, 167). Teori ini bersumber pada
ilmu sosial yang dikemukakan oleh Marxis, yang
dipakai untuk mengevaluasi dan mengkritik
mengenai isu-isu seputar status quo yang terbentuk
di dalam lingkup sosial masyarakat. Hal ini
disebabkan dengan adanya keinginan untuk berubah
menjadi modern yang berubah menjadi keinginan
untuk berkuasa. Perkembangan modernisasi ini
kemudian terbentuk dalam sistem ekonomi kapitalis
dan politik liberal, yang dijalankan dalam suatu
sistem birokrasi dan teknokrasi, yaitu di mana
kaum kapitalis ingin melestarikan kekuasaannya
sedangkan kaum buruh ingin membebaskan diri
(Ardianto. 2007, 171). Hal ini membuat individu
kehilangan kendali atas dirinya sendiri untuk
11
mencapai kebebasan sebagai tujuan utamanya karena
ia dikuasai oleh kekuatan psikologis dan sosial
yang menghalangi mereka untuk menyadari dan
mencapai apa yang mereka butuhkan (Maryani. 2011,
27). Saat itu lah ekonomi menjadi dasar dari
semua struktur sosial yang kemudian membentuk
status quo (John. 2009, 69).
Teori ini bertujuan untuk melakukan
eksplorasi refleksif terhadap pengalaman yang
dialami dan cara individu mendefinisikan diri
sendiri, budaya, dan dunia sehingga teori ini
tidak diterapkan untuk mencari kebenaran atau
ketidakbenaran melainkan untuk melihat bagaimana
sebuah kekuatan berperan dalam produksi maupun
reproduksi makna (Ardianto. 2007, 167). Melalui
teori ini, dapat dilihat bagaimana media
cenderung mengukuhkan status quo karena hal
tersebut sudah tidak dapat dirubah lagi, entah
karena kepentingan kapitalis maupun karena adat
istiadat.
12
Teori ini berangkat dari asumsi bahwa teks
media, cara penyampaian, serta individu yang
menjadi komunikan, memiliki keterkaitan. Stuart
Hall (dikutip dari McQuail. 2011, 127) sebagai
salah satu peneliti yang mengembangkan teori
kritis ini mengangkat model encoding-decoding dari
teks media yang menunjukkan bahwa teks media
diberi kerangka makna dengan cara tertentu oleh
produsennya, yang kemudian akan ditafsirkan
menurut situasi sosial dan interpretasi yang
berbeda-beda. Ini terjadi karena setiap individu
selalu mempunyai sistem nilai dan budaya yang ada
di dalam dirinya, yang merupakan hasil
interaksinya dengan dunia sosialnya. Individu
tidak dapat dianggap sebagai subjek netral karena
pemikiran dan penafsirannya akan sangat
dipengaruhi oleh kekuatan sosial yang ada dalam
masyarakat, begitu pun dengan bahasa komunikasi
yang dinilai bukan medium netral karena bahasa
inilah yang akan berperan membentuk subjek, tema,
13
dan merepresentasikan strategi yang ada di dalam
wacana.
Di samping itu, teks media sendiri tidak
hanya sesederhana informasi yang disampaikan
dengan bahasa yang sederhana pula. Bahasa yang
digunakan itulah yang nantinya akan bereaksi
dengan pemikiran dasar individu yang sudah
memiliki sistem nilai di dalam dirinya, dan
proses itulah yang akan menentukan sikap individu
selanjutnya dalam berpikir maupun bertindak.
Bahasa yang telah dikontrol dan dimanipulasi itu
akan menjadi alat kontrol perilaku yang membangun
kesadaran kita (Ibrahim. 2011, 227). Menurut
Owell (Ibrahim. 2011, 233), bahasa pun kini
menjadi alat untuk mengendalikan apa yang harus
dipikirkan oleh individu terhadap kenyataan yang
menyangkut lingkungan sosialnya. Hal ini
terbentuk sedemikian rupa karena adanya
kapitalisme media yang kuat yang menjadi kekuatan
media.
14
Kapitalisme media atau persaingan bebas yang
terjadi di antara sekian banyak media massa dalam
menarik minat khalayak untuk mengkonsumsi media
tersebut. Apalagi perlu diingat bahwa institusi
media berada di bawah ketumpangtindihan antara
sektor ekonomi, politik, dan teknologi (McQuail.
2011, 245). Setiap media berlomba-lomba untuk
menarik sebanyak mungkin konsumen, yang nantinya
akan mempengaruhi banyaknya pemasang iklan di
media tersebut. Pemasang iklan ini lah yang
nantinya dapat memberikan keuntungan yang besar
kepada media karena semakin tinggi ratting yang
dimiliki oleh media tersebut, semakin mahal pula
biaya pemasangan iklannya, sehingga semakin
tinggi pula pemasukan serta keuntungan yang dapat
diperoleh media tersebut. Hal ini menempatkan
keuntungan sebagai tujuan utama media, yang
akhirnya membuat media cenderung mengesampingkan
fungsi edukasi, watch dog, dan lain sebagainya.
15
Demi menarik minat khalayak, media pun akan
menyesuaikan penyajian informasi agar sesuai
dengan minat khalayak yang menjadi sasarannya.
Seperti yang dikemukakan Habermas tentang dua
jenis utama dari tindakan sosial, yaitu tindakan
strategis yang dilakukan untuk mempengaruhi
dengan ancaman sanksi atau prospek menyenangkan
agar pihak-pihak tersebut melakukan apa yg mereka
ingini, serta tindakan komunikatif ini
berorientasi pada pencapaian pemahaman dari apa
yang disampaikan oleh komunikator. Selain itu,
tindakan komunikatif tersebut dimungkinkan ketika
komunikator dan komunikan memiliki asumsi latar
belakang, kepercayaanm maupun norma yang sama
(Edkins. 2010, 248-249). Untuk itu, media
cenderung mereproduksi nilai-nilai yang sudah ada
sebelumnya di dalam lingkup sosial khalayak
sehingga terlihat baru dan lebih dapat diterima,
dengan kata lain media akan memunculkan wacana-
wacana yang berasal dari kaum dominan agar dapat
16
lebih mudah diterima. Media akan berpikir dua
kali sebelum mengangkat nilai yang jauh dari
lingkup sosial tersebut karena pasti akan lebih
sulit diterima dan justru dapat mengurangi minat
khalayak. Kapitalisme media ini mempengaruhi
bentuk informasi yang disampaikan oleh media
kepada khalayak sebagai konsumennya. Informasi-
informasi tersebut dibentuk sesuai dengan nilai-
nilai yang dianut dan ingin disebarkan oleh
kapitalis media demi memenuhi permintaan pasar
dan demi kelancaran pemasaran.
Konstruksi Gender pada Remaja Perempuan dalam Media
Media yang akan dibahas oleh penulis pada
bahasan kali ini adalah media cetak yang target
segmennya adalah remaja. Dalam bahasan ini,
mereka lah yang memiliki posisi sebagai konsumen
media yang mengkonsumsi segala bentuk informasi
yang diberikan oleh media tersebut. Remaja
sendiri berasal dari bahasa latin adolensence yang
berarti tumbuh menjadi dewasa, yaitu periode
17
transisi perkembangan antara masa kanak-kanak
dengan masa dewasa, yang melibatkan perubahan
biologis, kognitif, dan sosio-emosional. Menurut
G. Stanley Hall (dalam Santrock, 2007), sebagai
bapak studi ilmiah mengenai remaja, dalam masa
ini (usia 12-23 tahun) manusia mengalami
pergolakan yang hebat. Ia memakai istilah
Pandangan badai-dan-stress (storm-and-stres view),
yaitu konsep yang menggambarkan bahwa masa remaja
penuh pergolakan yang penuh konflik dan perubahan
suasana hati (Santrock, 2007 : 6).
Perkembangan remaja tidak hanya dapat dilihat
dari segi fisiknya saja, tetapi juga melalui
perkembangan mental dan pemikirannya. Faktor yang
paling banyak mempengaruhi perkembangan remaja
adalah lingkungan, dan termasuk di dalamnya
adalah teman atau kelompok, dan media massa.
Remaja cenderung membandingkan diri dengan
lingkungan sosialnya karena merasa bahwa
perbandingan sosial kurang dapat diterima dan
18
menurunkan popularitasnya. Mereka kerap
memperhatikan penampilannya dan merasa nyaman
saat dapat bergabung dengan kelompok sosial yang
disukainya. Bahkan tak jarang remaja menyesuaikan
diri terhadap kelompok agar dapat diterima,
sehingga acap kali menimbulkan perang batin di
dalam dirinya sendiri.
Individu yang berada dalam masa remaja ini
pun dihadapkan dengan persoalan mengenai
pembentukan karakternya sebagai seorang
perempuan. Di dalam masyarakat patriarki, seorang
perempuan sering kali diidentikan dengan feminin.
Mereka dituntut untuk berperilaku feminin karena
begitulah anggapan masyarakat mengenai
keterkaitan perempuan dan feminin. Masyarakat
cenderung tidak dapat membedakan antara
seksualitas dan gender, sehingga seakan-akan
perempuan dan feminin adalah hal yang sama dan
sudah sepantasnya ada bersama sebagai satu
kesatuan.
19
Gender sering dianggap sebagai suatu sikap,
perilaku, peran, dan atribut lainnya yang
dijadikan alat ukur untuk menentukan jenis
kelamin Perempuan dan Laki-laki, atau dengan kata
lain, Gender adalah konstruksi sosial dan
kodifikasi perbedaan antarseks yang mengarah pada
hubungan antara perempuan, perempuan dan laki-
laki, atau laki-laki, yang tidak bersifat
universal dan memiliki identitas yang berbeda-
beda karena dipengaruhi oleh lingkungan
sosialnya. Gender Role atau peran gender merupakan
seperangkat ekspektasi yang menentukan bagaimana
perempuan dan laki-laki sebaiknya berpikir,
bertindak, dan merasa (Santrock, 2007: 221). Hal
ini berkaitan dengan stereotip gender yang
merupakan pandangan secara umum tentang kesan dan
keyakinan kita mengenai perempuan dan laki-laki.
Stereotip ini, seperti disampaikan oleh Santrock
(2007: 228), sering kali berifat negatif dan
dapat menimbulkan prasangka dan diskriminasi
20
terhadap individu sehubungan dengan jenis
kelaminnya (sexism).
Stereotip ini dapat mengalami modifikasi
ketika menghadapi perubahan budaya dan lingkungan
sosio-ekonomi, dengan kata lain gender merupakan
rekayasa sosial dan tidak bersifat universal.
Gender merupakan bentuk psikologis yang dimiliki
oleh tiap jenis kelamin dengan kapasitas
femininitas dan maskulinitas yang berbeda,
tergantung dari pengalaman sosial yang dimiliki.
Stereotip yang muncul di dalam masyarakat selama
ini adalah feminin adalah milik perempuan,
sementara maskulin adalah milik laki-laki. Dan
sering timbul celaan saat laki-laki terlihat
feminin, atau pun perempuan terlihat maskulin.
Bahkan Hermes (dikutip dari McQuail. 2011, 131)
berpendapat bahwa konstruksi nilai tentang
feminitas dan maskulinitas adalah salah satu
bentuk dari ideologi dominan sehingga media
sering kali masih menawarkan panduan agar
21
khalayak dapat berperilaku sesuai dengan
penilaian pantas dari kaum dominan.
Menurut pakar-pakar behavioral, kedua gender
tersebut berdiri sendiri-sendiri dan memiliki
porsinya masing-masing. Bahkan muncul istilah
Androginy, di mana individu memiliki karakteristik
maskulin dan feminin dalam kadar yang sama
tingginya. Sehingga menjadi sangat mungkin dan
merupakan hal yang wajar jika setiap individu,
apapun jenis kelaminnya, memiliki karakteristik
feminin, maskulin, maupun keduanya (Santrock,
2007: 235). Menurut Teori Kognisi Sosial mengenai
gender, perkembangan gender pada anak dan remaja
dipengaruhi oleh pengamatan dan imitasi terhadap
perilaku gender orang lain, maupun imbalan dan
hukuman yang dialami bila mereka tidak
berperilaku seperti yang diharapkan oleh
lingkungannya.
Gender merupakan atribut yang dilekatkan
secara sosial maupun kultural baik pada laki-
22
laki maupun perempuan. Gender bukan merupakan
kodrat, melainkan sebuah konstruksi sosial,
budaya, agama, dan ideologi tertentu yang
mengenal batas ruang dan waktu sehingga gender
sangat bergantung pada nilai-nilai masyarakat
dan berubah menurut situasi dan kondisi.
Selanjutnya gender mewariskan konsep pemikiran
tentang bagaimana seharusnya laki-laki dan
perempuan berpikir dan bertindak yang diwariskan
dari generasi ke generasi untuk pembenaran
terhadap pembedaan peran sosial antara laki-laki
dan perempuan hanya karena perbedaan kelaminnya.
Namun, menurut Van Zoonen (McQuail. 2011, 132)
deskripsi tentang gender dan perlakuan
kulturalnya saling tumpang tindih dan berlawanan
yang kemudian merujuk pada perbedaan jenis
kelamin.
Berbicara mengenai perempuan tidak terlepas
dari sistem sosial di mana mereka berada. Adanya
usaha untuk memahami perempuan juga merupakan
23
usaha untuk memahami masyarakat. Dari banyak
penelitian yang menjadikan perempuan sebagai
objek pengamatannya, kebanyakan mendapati bahwa
perempuan selama ini berada dalam posisi yang
kurang menguntungkan di masyarakat. Selain itu
juga berkesimpulan bahwa laki-laki banyak
mendapat keuntungan dari hak-hak istimewanya
yang terus terpelihara dalam budaya patriarki.
Timpangnya relasi gender dan diskriminasi
terhadap perempuan, diyakini oleh para aktifis
feminis terjadi di dalam lingkungan masyarakat
yang terkecil yaitu keluarga. Salah satu media
pembelajaran dalam lingkup sosial yang harus
dikritik adalah bias gender dalam
merepresentasikan perempuan dalam media massa.
Di mana banyak dari isi program acara maupun
pesan yang disampaikan oleh media massa tersebut
tetap saja memelihara budaya patriarki. Dengan
kata lain pesan yang disampaikan media massa
lebih banyak didominasi oleh simbol-simbol
24
kekuasaan lelaki yang lebih cenderung
mempertahankan status quo-nya.
Salah satu kekuatan yang memiliki banyak
peran dalam dunia sosial adalah pers atau media
massa. Di sini, media massa berfungsi sebagai
perpanjangan tangan untuk membangun simbol yang
semakin menopang kewenanan status quo (Ibrahim.
2011, 226). Pers wanita muncul pertama kali
dengan tujuan memberikan hal yang bermanfaat dan
bermutu untuk mengisi waktu luang para wanita.
Fungsi idealnya adalah untuk mendidik, memberi
informasi, membina atau member pengaruh, serta
menghibur. Namun, sejalan perkembangan
permintaan pasar, ternyata informasi yang
terlalu berbobot pun tidak begitu diminati oleh
kaum perempuan itu sendiri. Mereka lebih
tertarik dengan hal-hal seputar gosip,
kecantikan, dan sebagainya, sehingga fungsi
media massa yang tadinya sebagai alat perjuangan
25
pengangkatan derajat perempuan, berubah menjadi
sekadar hobi saja. (Susanto. 1995, 84-88).
Dan di dalam hubungan media dan khalayak,
antara produsen dan konsumen, selalu tercipta
suatu proses dialogis. Dengan kata lain, proses
yang terjadi adalah konsumen pada dasarnya
selalu menciptakan suatu proses konsumsi kreatif
dan aktif dalam memaknai pesan-pesan media massa
yang mereka konsumsi. Mereka tidak sekedar
membaca informasi yang diberikan oleh media,
melainkan juga memaknai informasi-informasi
tersebut sesuai dengan pengetahuan dan nilai-
nilai sosial yang telah dianutnya.
Melihat peran media sebagai penyampai pesan,
media pun memiliki andil dalam membangun
konstruksi sosial dan memperkuat atau pun
meniadakan status quo tersebut. Konstruksi sosial
sendiri merupakan proses menciptakan pengetahuan
dan realitas sosial melalui interaksi simbolis
dalam suatu kelompok sosial yang muncul dari
26
persepsi manusia. Realitas ini adalah hasil
ciptaan manusia kreatif yang dipengaruhi oleh
kekuatan konstruksi sosial terhadap dunia sosial
di sekelilingnya.
Salah satu bentuk media massa itu adalah
majalah, yang merupakan salah satu bentuk media
massa jurnalistik, yang juga dapat memberikan
pengaruh dalam kehidupan pembacanya (Jurnal
Perempuan No.28, 69). Majalah yang mengambil
target pembaca pada usia remaja memiliki potensi
yang lebih tinggi untuk ikut mengajarkan dan
membentuk pola pikir, gaya hidup, serta pemahaman
akan pribadinya. Kalangan muda adalah kalangan
yang memang dipandang sebagai motor utama
terbentuknya budaya global (dikutip dari Naisbitt
& Aburdene, 1990, dalam Jurnal Perempuan No. 37,
halaman 38). Melalui artikel maupun iklan yang
dimuat, secara tidak langsung majalah telah ikut
mengkonstruksi pribadi seseorang.
27
Bila dikaitkan dengan masa remaja, majalah
sebagai media massa memiliki peran yang sangat
penting, di mana kecenderungan remaja dalam
mengkonsumsi majalah selalu meningkat. Masa
remaja adalah titik kritis dalam perkembangan
individu, terutama bagi perempuan. Mereka akan
memiliki kecenderungan yang besar untuk
membandingkan dirinya dengan apa yang ada di
dalam majalah tersebut dan menirunya dalam
kehidupan sehari-hari. Di sinilah majalah
berperan dalam membentuk karakter mereka. Seperti
yang dikutip oleh Maria Rosari Dwi Perempuan
(Jurnal Perempuan No. 37. 2004, 12), yang
berbunyi sebagai berikut, ‘Saya berani mengatakan
bahwa majalah sebagai media yang digemari oleh
remaja perempuan menjadi salah satu dasar, atau
bekal kami untuk menuju pendewasaan diri. Hal ini
didasari dari pengalaman pribadi dan apa yang
terjadi di antara remaja perempuan sendiri.’
28
McCusser (dalam Jurnal Perempuan No. 37.
2004, 67) menilai bahwa kemudahan yang dialami
oleh remaja perempuan saat ini mendekatkan mereka
pada feminisme populer, di mana feminisme populer
tersebut diperkirakan hanya berfungsi sebagai
perpanjangan tangan dari status quo. Mereka
mengkampanyekan tentang pembangkitan kekuatan
perempuan, namun tetap memaksakan standar
patriarki yang ada di dalam kehidupan sosial.
Media tidak pernah segan dalam mempromosikan
nilai agar nilai tersebut menjadi bentuk ideal
bagi semua orang. Media itu sendiri akhirnya
memiliki dua sisi yang berlawanan, di mana di
satu sisi ia memberikan kesempatan dan ruang bagi
perempuan untuk memperoleh informasi dan membuka
wawasan, namun di sisi lain, ia tetap memperkuat
nilai dominan dalam masyarakat dan lingkungan
sosialnya.
Mereka dihadapkan pada posisi yang serba
sulit dalam menghadapi media massa yang bertarget
29
segmen remaja perempuan. Meskipun mereka memiliki
sikap sendiri tentang gaya hidup, namun tawaran
dari media massa mengenai kehidupan remaja yang
selalu ditampilkan dalam setiap sosialisasinya
tetap akan berpengaruh sesedikit apapun
prosentasenya. Hal ini sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Jurnal Perempuan,
yang dibahas pada Jurnal nomor 37 mengenai dilema
remaja perempuan menyikapi media. Bagaimana
tidak, bila media melakukan sosialisasi dengan
segala bentuk pesonanya yang terlihat meyakinkan.
Pesona tersebutlah yang akhirnya dapat
meruntuhkan kepercayadirian remaja perempuan, dan
tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti
tips-tips yang disajikan oleh media tersebut. Di
sinilah tempat di mana peran orang tua untuk
tetap membimbing remaja perempuan tersebut
diperlukan sebagai suatu kontrol.
Representasi perempuan dalam media pun
menjadi keprihatinan oleh kaum feminis. Mereka
30
menganggap media adalah cermin dari kepentingan,
kehendak, dan hasrat dari masyarakat yang
menganut sistem patriarki, yang kemudian
dikuatkan oleh sistem ekonomi kapitalis. Hal ini
mengakibatkan bias gender karena media
merefleksikan segala bentuk subordinasi, dan
membuat media berubah menjadi alat pencetak
nilai-nilai yang akhirnya tetap menempatkan
perempuan sesuai dengan apa yang diyakini oleh
lingkungan sosialnya. Bahkan media memiliki peran
yang sangat besar dalam mempengaruhi kesadaran
masyarakat (Jurnal Perempuan, 2004: 120).
Efek Media dengan Asumsi Teori Kultivasi
Menggunakan teori kultivasi, yang notabene
berasal dari pandangan konstruktivisme, sebagai
salah satu teori di dalam penelitian semiotik
sosial yang bersifat kritis ini akan terkesan
membingungkan pada awalnya. Namun, perlu kita
ingat kembali bahwa teori-teori tersebut muncul
31
dengan adanya saling keterkaitan. Pada dasarnya,
teori kritis justru muncul akibat pandangan
konstruktivisme yang melahirkan apa yang disebut
kaum kapitalis, dan salah satunya adalah
kapitalisme media. Pandangan konstruktivisme
menilai bahwa realitas sosial adalah hasil
konstruksi sosial yang kebenarannya bersifat
relatif, termasuk adanya media massa sebagai
salah satu faktor pembentuknya (Bungin. 2008, 5).
Karena itulah, beberapa orang yang tidak setuju
mulai menelaahnya melalui teori kritis.
Salah satu teori konstruktivisme yang
berhubungan dengan penelitian ini mengacu pada
hasil penelitian yang dilakukan oleh George
Gerbner terhadap telivisi sebagai media massa dan
bagaimana penonton memposisikan media tersebut
dalam kehidupannya. Teori ini membagi penonton
menjadi dua bagian yang saling bertolak belakang
yang merupakan efek dari mengkonsumsi program
televisi dalam jangka waktu yang panjang. Ada
32
penonton yang tergolong pecandu atau penonton
fanatik, dan penonton yang melakukan aktivitas
menonton televisi dengan kapasitas normal atau
penonton biasa (Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu
Komunikasi. 2006, 57). Penonton yang tergolong
pecandu atau fanatik ini akan menjadi berbahaya
apabila dia sangat mempercayai penuh apa yang
disampaikan media massa kepadanya tanpa menyaring
informasi yang sampai kepadanya terlebih dahulu
sebelum bertindak lebih lanjut. Yang lebih parah
adalah ketika mereka kehilangan kepercayaan
terhadap dirinya sendiri maupun sekitarnya, dan
hanya mengandalkan apa yang disampaikan oleh
media massa sebagai panduannya dalam bertindak di
kehidupan nyata.
Seperti halnya media massa lainnya, majalah
pun menjadi media yang berfungsi sebagai sumber
pembelajaran pembacanya tentang masyarakat,
lingkungan dan nilai sosial, budaya, dan adat
istiadat yang melingkupi kehidupannya. Dan sesuai
33
dengan pendapat Gerbner, media massa cenderung
menanamkan dan memperkuat nilai-nilai yang telah
ada sebelumnya di dalam masyarakat dan lingkungan
sosial (West. 2007, 408). Media massa hanya
mengkonstruksi kembali ide-ide tersebut agar
lebih dapat diterima sesuai dengan cara berpikir
konsumennya agar nilai-nilai tersebut dapat
bertahan dan semakin luas tersebar. Hal ini
memunculkan mainstream di mana kapitalisme
membangun kekuatannya untuk memanipulasi berbagai
kepentingan dan kesadaran publik yang akhirnya
mempengaruhi diri konsumen media dalam membentuk
pribadinya dan mempengaruhi tindakan-tindakannya
(Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi. 2006,
58).
Teori Kultivasi ini berhubungan erat dengan
bagaimana kapitalisme menanamkan nilai-nilai
tersebut melalui media. Melalui cara yang
dipaparkan dalam teori inilah kapitalisme
memasuki pikiran konsumen untuk membentuk nilai,
34
budaya, pola pikir, dan tingkah laku konsumen.
Penyampaian melalui media dalam berbagai macam
info yang disajikan ini secara tidak langsung
memberikan dampak dalam pembentukan karakter
konsumen media sesuai dengan nilai-nilai yang
telah dibentuk oleh media itu sendiri, yang
sering disebut sebagai kesadaran palsu. Kesadaran
palsu ini dimunculkan demi menjaga kelanggengan
sistem yang ada, yaitu kapitalisme itu sendiri.
Bila kesadaran individu sebagai kelompok yang
tertindas tersebut hilang, individu akan semakin
mudah dikuasai (Maryani. 2011, 40).
Media massa memang bukan satu-satunya faktor
yang berpengaruh dalam pembentukan karakter
masyarakat, namun media massa telah berkembang
menjadi agen sosialisasi yang semakin menentukan
karena tingginya intensitas masyarakat dalam
mengkonsumsinya. Efek media juga akan semakin
kuat mengingat pemberian informasi melalui media
yang sesuai dengan nilai sosial yang ada
35
adalah cara yang memperkokoh stereotip yang sudah
terbangun di tengah masyarakat. Oleh karena itu,
dalam permasalahan konstruksi gender ini, media
massa memang bukan yang melahirkan
ketidaksetaraan gender namun media massa jelas
memperkokoh, melestarikan, dan bahkan memperburuk
segenap ketidakadilan terhadap perempuan dalam
masyarakat. Ketika media massa menyajikan sebuah
anggapan tentang perempuan secara konsisten,
orang menjadi menyangka bahwa pilihan yang paling
logis adalah mengikuti apa yang nampak sebagai
kecenderungan umum itu sebagaimana yang disajikan
media.
Teori Kultivasi ini juga mengutarakan
mengenai resonansi sebagai salah satu efeknya,
yang adalah situasi di mana konsumen media
mendapati bahwa apa yang disajikan oleh media
ternyata sesuai dengan kehidupan yang mereka
alami (Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi.
2006, 58). Karena adanya kesesuaian ini, maka
36
konsumen media secara kontinyu akan semakin
meyakini informasi yang diberikan oleh media.
Secara halus, media mempengaruhi pemikiran
konsumennya dengan informasi yang sudah disusun
sedemikian rupa agar dapat mempengaruhi konsumen
tersebut untuk berpikir dan bertindak sesuai
dengan nilai-nilai yang dominan di dalam
kehidupan sosialnya. Dikuatkan oleh pendapat
Hawkins dan Pingree, yaitu bawa dalam proses
kultivasi di dalam pikiran kita dilakukan melalui
dua bentuk, yaitu learning dan constructing. Hal ini
menekankan bahwa apa yang diterima oleh konsumen
media akan dipelajari dan dilanjutkan dengan
mengkonstruksi pemikiran konsumen tersebut.
Bahasa sendiri, menurut pandangan Marxisme,
merupakan produksi dari produsen budaya yang
ditujukan kepada konsumen demi kepentingan
kapitalis. Kapitalis disini mengeksploitasi
produsen maupun konsumen demi memperoleh
keuntungan yang sebesar-besarnya karena media
37
semakin ditekan dengan tuntutan pasar, saham, dan
modal. Saat media berhasil membuat konsumen
menerima pesan sesuai dengan sistem nilai yang
dianut, saat itu pula lah terjadi komunikasi yang
efektif antara media dan konsumen. Setelah pesan
tersebut dapat diterima dengan baik, akan terjadi
proses identifikasi dan ketaatan pada diri
konsumen sebagai komunikan di mana mereka merasa
yakin dan puas dengan bertindak sesuai dengan
informasi yang disampaikan oleh media. Dan
semakin efektif komunikasi yang dapat diciptakan
antara produsen dan konsumen media, akan semakin
menarik minat khalayak lain untuk ikut menjadi
konsumen media tersebut, serta dapat meningkatkan
kesetiaan konsumen media dalam mengkonsumsi media
tersebut secara lebih kontinyu.
Bila kesimpulan tersebut diterapkan dalam
majalah sebagai salah satu bentuk media massa
lainnya dan remaja perempuan sebagai pembacanya,
yang memiliki posisi yang sama seperti penonton
38
pada penelitian Gerbner, maka diasumsikan bahwa
pembaca majalah pun ada yang masuk dalam tipe
pecandu dan ada yang biasa saja. Melihat karakter
remaja yang cenderung labil karena sedang mencari
jati diri, maka remaja akan cenderung menggunakan
media, dalam hal ini majalah, sebagai sumber
informasi seputar dunia remaja. Remaja memiliki
rasa ingin tahu yang tinggi namun cenderung belum
dapat menyaring informasi yang mereka dapatkan,
maka di sinilah peran majalah dalam membentuk
persepsi dan memproduksi tiap artikelnya yang
secara tidak langsung akan ikut membentuk
karakter pembacanya. Dan bila proses membaca
majalah ini dilakukan secara kontinyu dalam
jangka waktu yang lama sangat dimungkinkan bahwa
pembacanya akan sangat mempercayai setiap
informasi yang diberikan oleh majalah dan
mempergunakannya sebagai pedomannya untuk
bertindak.
39
F. Metodologi
F.1. Paradigma Penelitian
Paradigma adalah suatu sudut pandang yang
digunakan oleh peneliti untuk memandang realita
serta cara-cara untuk mempelajari, meneliti, dan
menginterpretasi temuannya (Chariri.
http://eprints.undip.ac.id). Sarantakos (1998)
berpendapat ada tiga paradigma utama dalam ilmu
sosial, yaitu positivistik, interpretif, dan
critical. Pemilihan paradigma memiliki implikasi
terhadap pemilihan metodologi dan metode
pengumpulan dan analisis data.
Paradigma yang digunakan dalam penelitian
ini, sesuai dengan tujuan penelitian, adalah
paradigma kritis. Paradigma ini tidak digunakan
untuk mencari generalisasi yang digunakan dalam
meramalkan atau memprediksi, tetapi untuk
mencari bagaimana struktur masyarakat
digambarkan dan ditempatkan pada objek
penelitian. Paradigma ini selalu berangkat dari
40
pemikiran bahwa ada saja struktur sosial yang
yang sengaja dibentuk dan dimanipulasi demi
kepentingan golongan tertentu. Singkatnya,
paradigma kritis didefinisikan sebagai proses
pencarian jawaban yang mendalam dalam rangka
menolong masyarakat untuk mengubah dan membangun
dunianya agar lebih baik (Neuman, 2003:81).
Dalam kaitannya dengan sistem komunikasi dan
media massa, manipulasi dan pembentukan struktur
sosial tersebut dilakukan melalui media dan
wacana yang terkandung di dalamnya. Untuk itu,
paradigma kritis selalu berusaha mencari
bagaimana struktur sosial tersebut dibentuk dan
apa yang menjadi tujuannya. Dalam penelitian ini
pun peneliti akan mencari bagaimana majalah
GADIS mengkonstruksi gender terhadap remaja
perempuan sebagai pembacanya mengingat negara
kita adalah negara patriarki dan tidak lepas
dari kapitalisme. Dan penelitian ini tidak akan
mengungkit soal kebenaran atau kesalahan
41
daripada teori, melainkan hanya akan memberikan
sebuah kesimpulan mengenai temuannya di akhir
penelitian yang dapat dikembangkan lagi oleh
penelitian berikutnya.
F.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian terdiri dari tiga jenis,
yaitu eksplorasi, deskriptif, dan eksplanatif.
Penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
termasuk dalam penelitian deskriptif kualitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan
realita ditemukan saat penelitian berlangsung.
Metode kualitatif ini memberikan informasi
terbaru sehingga bermanfaat bagi perkembangan
ilmu pengetahuan serta lebih banyak dapat
diterapkan pada berbagai masalah (Husein Umar,
1997: 81). Sedangkan penelitian ini lebih
memfokuskan pada studi kasus yang merupakan
penelitian yang rinci mengenai suatu obyek
42
tertentu selama kurun waktu tertentu dengan
cukup mendalam dan menyeluruh. Hubungan
antarvariabel yang diteliti baru dapat
didefinisikan setelah pengamatan, pengumpulan
data, dan analisis dilakukan. Penelitian ini
mempunyai tingkat kritisme yang lebih dalam,
yang akan menjadi dasar yang kuat dalam
keseluruhan proses penelitiannya.
Dalam penelitian ini, penulis akan
mengemukakan bagaimana majalah Gadis membentuk
konstruksi gender secara tidak langsung dalam
pikiran pembacanya yang adalah remaja perempuan.
Melalui perbandingan teori dan analisis teks,
serta dilengkapi dengan penelitian-penelitian
sebelumnya, peneliti akan mengungkap
permasalahan tersebut tanpa memberikan penilaian
benar atau salah.
F.3. Obyek Penelitian
43
Menurut Sugiyono (2009:38), objek penelitian
merupakan nilai dari individu, benda, atau
kegiatan yang memiliki variasi tertentu, yang
dipilih dan ditetapkan oleh peneliti untuk
dipelajari secara lebih mendalam sehingga
diperolehlah sebuah kesimpulan atasnya. Dalam
penelitian ini, yang menjadi objek penelitian
adalah teks yang akan diambil dari Majalah
GADIS, yang menembak sasaran pembaca berusia
remaja. Artikel yang dijadikan obyek penelitian
adalah artikel-artikel pada rubrik ‘CINTA’ pada
Majalah GADIS edisi 08 – 11 terbitan bulan Maret
- April 2012. Artikel pada rubrik tersebut
dinilai oleh penulis sebagai artikel yang paling
menonjolkan tentang konstruksi karakteristik
gender remaja.
Majalah yang memiliki frekuensi terbit satu
kali dalam seminggu ini merupakan anak produksi
dari Femina Group yang berada dalam asuhan Ibu
Pia Alisyahbana beserta kawan-kawannya. Majalah
44
ini terbit dengan pemikiran bahwa remaja
perempuan butuh majalah dengan isi bacaan yang
bisa meningkatkan wawasan, menghibur, sekaligus
trendi. Dengan menempatkan “Top di antara yang
Pop” sebagai slogan dari majalah ini, Gadis
ingin mengarahkan pembacanya agar menjadi remaja
perempuan yang tetap “bersinar” di antara sekian
banyak orang yang populer.
Majalah Gadis memiliki beberapa rubrik, di
antaranya hot issue, TJ (Tanya Jawab), Cinta,
serta Grup dan Musik. Dengan komposisi rubrik
dan artikel yang disajikan, selain ingin
membentuk remaja perempuan menjadi manusia muda
yang berakhlak mulia, Gadis juga memberikan
wawasan dan hiburan agar para remaja ini tidak
menjadi ‘ketinggalan jaman’. Gadis pun tak
jarang mengadakan event yang melibatkan remaja
perempuan, yang dapat memacu kreatifitas para
remaja tersebut maupun yang sifatnya menghibur
(sumber: http://www.gadis.co.id/sejarah).
45
F.4. Jenis Data Penelitian
1. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh
secara langsung pada objek yang diteliti.
Data-data ini diperoleh dengan cara wawancara
maupun observasi. Dalam penelitian ini,
peneliti akan melakukan observasi terhadap
artikel “CINTA” yang telah ditetapkan sebagai
objek penelitian dan bila memungkinkan, akan
melakukan proses wawancara terhadap pihak
redaksi dari majalah GADIS.
46
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh melalui studi
kepustakaan, dokumentasi, maupun dari hasil
penelitian yang pernah ada sebelumnya, untuk
mendukung data primer. Data sekunder yang akan
digunakan oleh peneliti adalah hasil
penelitian yang sudah pernah dilakukan
sebelumnya, yang berhubungan dengan pembahasan
mengenai remaja, semiotika sosial, dan media.
F.5. Metode Pengumpulan Data
F.5.1. Level Teks
Dalam level ini, data-data yang akan
diteliti adalah artikel pada Majalah GADIS
Indonesia edisi Januari - Desember tahun
2011. Artikel tersebut adalah artikel yang
berada pada rubrik CINTA. Observasi ini
berguna untuk melihat bagaimana artikel
tersebut, sebagai produk dari orang-orang di
be1akang media, dibingkai agar dapat
47
ditangkap oleh pembaca sesuai dengan tujuan
produksi Majalah GADIS Indonesia.
F.5.2. Level Konteks
Pada level ini, penulis akan menggali
infornasi berkaitan dengan penulisan artikel
ini dengan me1akukan wawancara kepada Redaksi
Majalah GADIS Indonesia. Wawancara diharapkan
akan mampu menjawab pertanyaan dan hasil yang
didapat pada level teks. Peneliti akan
menanyakan tentang profil media beserta visi
dan misinya. Lebih lanjut, peneliti akan
menanyakan bagaimana topik-topik dalam
artikel tersebut dipilih, dibangun, dan
disunting.
F.6. Metode Analisis Data
Untuk mendapatkan konstruksi karakter
gender remaja perempuan dalam artikel-artikel
tersebut, penulis akan menganalisis data yang
48
telah diperoleh dengan metode analisis semiotika
sosial. Metode ini khusus menelaah sistem tanda
yang dihasilkan oleh manusia yang berwujud
lambang, baik dalam bentuk kata maupun kalimat.
Ditegaskan kembali oleh Halliday bahwa semiotika
sosial adalah suatu pendekatan yang memberi
tekanan pada konteks sosial, yaitu pada fungsi
sosial yang menentukan bentuk bahasa. Perhatian
utamanya terletak pada hubungan antara bahasa
dengan struktur sosial, dan sampailah pada
kesimpulan bahwa wacana, yang dalam hal ini
berbentuk teks atau artikel, tersebut terdiri
dari makna-makna yang dapat diartikan sebagai
kecenderungan pihak tertentu untuk menggunakan
bahasa sebagai simbol suatu hal.
Dalam metode analisis ini, ada tiga unsur
yang menjadi pusat perhatian penafsiran teks
secara kontekstual, yaitu:
a) Medan wacana (field of discourse)
49
Medan wacana adalah sesuatu yang
menunjuk pada hal yang terjadi atau apa
yang dijadikan wacana oleh media massa,
mengenai suatu peristiwa, baik yang
terjadi saat lampau dan mempengaruhi
pelibat wacana maupun yang baru saja
terjadi. Dalam unsur ini, akan dibahas
pula mengenai peran bahasa yang terdiri
dari kata, kalimat, paragraf, dan
seterusnya yang digunakan oleh produsen
teks dalam menggambarkan realita
sesungguhnya, baik dalam menyampaikan
cerita maupun keinginan dari produsen teks
tersebut untuk dimengerti oleh konsumen
teks.
Hal ini mengarah kepada aktivitas sosial
yang dibahas di dalam teks. Untuk
menganalisis bagian ini, ada tiga hal yang
dapat dijadikan kunci utamanya. Pertama,
bagaimana pengalaman atau latar belakang
50
wacana, yakni keseluruhan hubungan antara
aktivitas sosial, keadaan, proses, serta
partisipan yang ada di dalamnya. Kedua,
tujuan jangka pendek, yaitu tujuan yang
langsung tercapai dengan adanya wacana
tersebut dan bersifat konkrit. Ketiga,
tujuan jangka panjang, yaitu bagaimana
fungsi wacana tersebut dalam lingkup yang
lebih besar. Tujuan jangka panjang ini
bersifat abstrak dan sering kali tidak
terlihat bila tidak dilakukan analisis
terlebih dulu serta dipahami secara lebih
dalam.
51
b) Pelibat wacana (tenor of discourse)
Yang dimaksud dengan pelibat wacana
adalah orang-orang yang dicantumkan dalam
teks, beserta sifat dan perannya. Dengan
kata lain siapa yang sedang dibicarakan di
dalam teks tersebut, apa perannya dalam
aktivitas sosial yang sedang dibahas,
serta apa jabatannya dalam realitas
sosial. Termasuk di dalamnya adalah relasi
antarpartisipan.
Tiga hal yang dapat dijadikan acuan
dalam menganalisis bagian ini adalah peran
agen atau masyarakat, status sosial, dan
jarak sosial. Peran mengarah kepada fungsi
individu atau masyarakat tersebut. Status
berhubungan dengan jabatan atau posisi
indivifu dalam masyarakat, sejajar atau
tidak. Jarak sosial adalah bagaimana
hubungan dan tingkat pengenalan
52
(keintiman) antarpartisipan. Ketiga hal
ini dapat bersifat permanen maupun
sementara karena sangat dipengaruhi oleh
aktivitas sosial dari lingkungan
sekitarnya.
c) Sarana wacana (mode of discourse)
Sarana wacana adalah gaya bahasa maupun
cara penyampaian yang digunakan oleh media
massa untuk menggambarkan medan dan
pelibat. Yang dimaksud adalah bagaimana
bahasa membentuk pemahaman terhadap isi
wacana, termasuk saluran yang dipilih,
lisan atau tulisan.
Ada lima hal yang dapat dijadikan
patokan dalam menganalisis bagian ini.
Pertama, peran bahasa, yaitu bagaimana
bahasa bertindak dalam aktivitas sosial
yang sedang dibicarakan dan bagaimana
bahasa membentuk pemahaman tentang
53
aktivitas tersebut, baik secara
keseluruhan maupun hanya sebagai
pendukung. Kedua, tipe interaksi, yang
merujuk pada berapa banyak jumlah
partisipan dalam wacana tersebut dan
apakah isi wacana bersifat dialogis atau
monologis. Ketiga, medium, yaitu bagaimana
wacana tersebut disampaikan kepada
khalayak luas, baik secara lisan,
tertulis, maupun dengan menggunakan
isyarat. Keempat, saluran, adalah
bagaimana bentuk wacana tersebut
disampaikan kepada pembaca, yaitu dalam
bentuk grafis atau tulisan. Yang terakhir,
modus retoris, yaitu makna yang ingin
disampaikan melalui wacana dan teks
tersebut, baik yang bertujuan akademis,
persuasif, edukatif, dan lain sebagainya.
(Sumber:
54
BAB II
Deskripsi Objek Penelitian
Majalah yang memiliki frekuensi terbit satu kali
dalam seminggu ini merupakan anak produksi dari Femina
Group yang berada dalam asuhan Ibu Pia Alisyahbana
beserta kawan-kawannya. Majalah ini terbit pertama kali
pada 19 November 1973, dengan kekuatan perempuan
sebagai inspirasinya dan pemikiran bahwa remaja
perempuan butuh majalah dengan isi bacaan yang dapat
meningkatkan wawasan, menghibur, sekaligus trendi.
Namun, berbasis kekuatan perempuan bukan berarti
mengajak pembaca untuk menjadi seorang feminis. Gadis
ingin membentuk karakter yang kuat pada remaja
perempuan masa kini, yaitu remaja perempuan yang
mandiri, percaya diri, punya sifat kompetitif, bisa
menentukan jati dirinya, peduli dengan lingkungan, dan
merawat diri (Jurnal Perempuan, 2004: 69).
56
Sejak majalah ini muncul, Pia Alisyahbana, yang
saat itu menjadi pemimpin redaksi, menegaskan bahwa
dalam setiap tulisan yang dikelola, harus memiliki
nilai yang merupakan sumbangan bagi kemajuan kaum
perempuan. Namun, mengelola majalah yang segmennya
adalah remaja justru lebih sulit dibandingkan majalah
dewasa. Pasalnya, di usia remaja, sikap kritis dan
ingin tahu, serta mudah untuk percaya, sangat tinggi
sehingga redaksi harus benar-benar selektif dalam
memilih topik dan kata-kata dalam setiap artikelnya.
Hal ini dikarenakan asumsi bahwa remaja belum dapat
menyaring dengan teliti informasi yang mereka terima.
Karena kehati-hatian itu, posisi majalah ini
menjadi ambigu. Di satu sisi, mereka menampilkan
informasi yang sesuai dengan kondisi remaja urban kelas
menengah ke atas, sesuai dengan target segmen yang
mereka miliki. Namun, mereka tetap mempertahankan
stereotip feminitas klasik, yang terepresentasi dalam
artikel-artikelnya, baik yang mencakup gaya hidup dan
57
tampilan fisik, maupun pesan moral yang disampaikan
pada rubrik-rubrik tertentu.
Gadis memiliki textline “Top di antara yang top, hal
ini menunjukkan bahwa ia ingin mengarahkan pembacanya
agar menjadi remaja perempuan yang tetap “bersinar” di
antara sekian banyak orang yang populer. Dengan
menempatkan diri dengan kalimat ‘Sobat setia kamu’, ia
menempatkan diri sejajar dengan pembacanya yang adalah
remaja perempuan, sehingga relasi antara ia dan pembaca
menjadi sangat dekat dan terbangun kenyamanan dalam
berkomunikasi, baik bagi redaksi sebagai komunikator
maupun pembaca sebagai komunikannya. Tiga topik yang
menjadi andalan Gadis adalah artikel seputar gaya,
gaul, dan gosip. Hal ini adalah penyesuaian dari
permintaan konsumen, tanpa kemudian mengesampingkan
informasi-informasi yang bersifat edukatif, yang perlu
disampaikan kepada pembaca.
Majalah Gadis memiliki beberapa rubrik, di
antaranya hot issue, TJ (Tanya Jawab), Cinta, serta Grup
dan Musik. Dengan komposisi rubrik dan artikel yang
58
disajikan, selain ingin membentuk remaja perempuan
menjadi manusia muda yang berakhlak mulia, Gadis juga
memberikan wawasan dan hiburan agar para remaja ini
tidak menjadi ‘ketinggalan jaman’. Selain menerbitkan
majalah yang menghibur dan mendidik, Gadis pun tak
jarang mengadakan event yang melibatkan remaja
perempuan, yang dapat memacu kreatifitas para remaja
tersebut maupun yang sifatnya menghibur
(sumber: http://www.gadis.co.id/sejarah).
59
BAB III
DATA DAN ANALISIS DATA
Dalam artikel-artikel yang terdapat pada rubrik
CINTA di Majalah Gadis, banyak masalah dalam kehidupan
sosial yang menjadi topik pembahasan. Dan setelah
survey yang dilakukan, akhirnya terpilihlah empat
artikel yang dapat mewakili beberapa masalah sosial
yang sering menjadi problematika dan sangat dekat
dengan kehidupan remaja saat ini.
Artikel-artikel tersebut kemudian dianalisis
dengan sistem analisis semiotik sosial menurut
pandangan Halliday. Ada tiga bagian yang akan dipakai
untuk membahas artikel ini, yaitu medan wacana, pelibat
wacana, dan sarana wacana. Hal-hal tersebut meliputi
analisis penggunaan kata dan bahasa, cara penyampaian,
serta situasi yang dibangun dalam menyampaikan
informasi tersebut kepada remaja perempuan, sebagai
pembacanya, yang dipakai oleh Majalah Gadis.
60
Pembahasan-pembahasan tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Tetangga, Dekat di Mata Jauh di Hati
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 08, Tahun 2012)
Artikel ini membicarakan tentang bagaimana remaja
perempuan seharusnya bersikap terhadap tetangganya.
Tetangga, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
adalah orang yang yang tempat tinggalnya terletak
berdekatan. Relasi dengan tetangga sering kali
dianggap sebagai bagian yang menjadi urusan orang
tua sehingga pembaca, yang adalah remaja perempuan,
sering kali tidak memperhatikan keadaan sekitarnya,
termasuk tetangga. Padahal, tetangga adalah orang
terdekat yang ada dalam lingkungan rumah tangga,
yang dapat diandalkan bila terjadi masalah terhadap
keluarga. Karena terlalu cuek atau menganggap hal
ini sepele, sering kali pembaca tidak memiliki
relasi yang baik dengan tetangga, bahkan mengetahui
namanya pun mungkin tidak. Memang tidak selamanya
61
bertetangga itu menyenangkan, namun, paling tidak
saat pembaca mengenal tetangga, pembaca tidak akan
terlalu sungkan untuk tolong menolong saat benar-
benar membutuhkan.
a) Medan wacana (field of discourse)
Dalam rubrik ini, tidak hanya melihat alasan-
alasan sederhana yang berasal dari dalam diri
pembaca, yang menyebabkan terhambatnya hubungan
bertetangga, namun juga cara-cara sederhana untuk
menghadapinya dan berubah menjadi tetangga yang
baik. Gambaran yang diberikan oleh majalah Gadis
tentang bertetangga ini sangat sederhana dan
praktis. Bahkan sumber permasalahan pun hanya
dilihat dari segi pembaca, tanpa membahas lebih
dalam mengenai antisipasi untuk menghadapi
perlakuan buruk dari tetangga walaupun pembaca
sudah berusaha mengenal dan mendekat dengan baik.
Hal ini membuat perilaku tersebut hanya diusahakan
secara sepihak dan akan dapat diaplikasikan dengan
mudah dalam kehidupan nyata.
62
Dalam artikel ini, produsen teks menempatkan
diri sebagai orang yang sudah pernah mengalami
masalah tersebut, dan sudah memperoleh solusinya.
Oleh karena itu, artikel ini berkesan seperti
pengalaman pribadi yang diceritakan ulang supaya
bisa ditiru oleh pembaca. Tujuan jangka pendeknya
adalah agar remaja perempuan, dalam hal ini
pembaca Gadis, dapat bersosialisasi dengan baik
terhadap tetangganya. Tujuan jangka panjang adalah
membentuk pemikiran bahwa hidup bermasyarakat
bukan lah hal yang rumit karena di dalam artikel
ini tidak dibahas faktor-faktor penghambat yang
datang dari tetangga, sebagai lawan bicara
pembaca.
b) Pelibat wacana (tenor of discourse)
Kata-kata pengganti subyek yang dipakai dalam
artikel ini adalah kata ‘kita’. Kita, menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti pronominal
persona pertama jamak yang berbicara bersama
63
dengan orang lain termasuk yang diajak bicara.
Dalam artikel ini, kata ‘kita’ membuat posisi
produsen artikel dengan konsumen artikel menjadi
setara tingkatannya. Dengan kata ganti ini,
produsen memposisikan diri sebagai orang yang
akrab dan bersahabat dengan konsumen. Remaja
cenderung lebih mudah untuk mendengarkan nasihat
dari sahabatnya, dan kata ‘kita’ membuat artikel
ini terkesan menjadi seperti obrolan santai remaja
yang bernilai. Dengan kata ‘kita’, produsen teks
dapat memberikan arahan kepada konsumen teks tanpa
terkesan menggurui sehingga lebih mudah diterima.
Selain itu, produsen juga menggunakan kata
‘tetangga’ sebagai penanda objek yang sedang
menjadi topik pembahasan dalam teks tersebut dan
juga sebagai pihak yang menjadi pasangan interaksi
konsumen teks dalam lingkungan sosialnya.
Walau di dalam teks tersebut dibangun suasana
akrab yang tidak mengintimidasi pihak konsumen,
tetap terlihat bagaimana produsen teks menempatkan
64
diri sebagai pihak yang memiliki pengetahuan lebih
untuk mengambil sikap dalam masalah yang sedah
dibahas dalam artikel tersebut. Teks yang
diproduksi berupa cara-cara mudah untuk menghadapi
masalah-masalah sederhana yang ditampilkan di
dalam artikel tersebut. Hal ini membuat konsumen
teks tidak memiliki pilihan lain, selain mengikuti
saran-saran yang diberikan oleh produsen teks.
c) Sarana wacana (mode of discourse)
Sarana wacana dapat dilihat dari kata-kata yang
digunakan dalam memproduksi teks agar teks
tersebut dapat dibaca dan dipahami oleh konsumen.
Dalam isi teks ini, banyak terdapat kata-kata yang
sering dipakai dalam percakapan remaja, seperti
nggak, garing, numpang, dan gimana. Kata-kata
seperti ini lah yang membangun suasana akrab
antara produsen teks dan konsumennya sehingga
tidak ada jarak antara mereka.
Tetangga, Dekat di Mata Jauh di Hati
65
Tetangga berarti orang yang yang tempat
tinggalnya terletak berdekatan. Hal ini merujuk
pada konsumen dan orang-orang yang bertempat
tinggal di sekitarnya. Dekat di mata berarti
tetangga ini sangat dekat menurut jarak pandang
dan dapat dilihat dengan mudah, baik disengaja
maupun tidak, karena jarak antarrumah pun pasti
tidak jauh satu sama lain. Namun, ada ungkapan
jauh di hati, yang berarti tidak adanya kedekatan
konsumen dengan tetangganya, yang dapat
menyebabkan konsumen dan tetangganya tersebut
saling merasa asing walau tinggal berdekatan dalam
lingkup sosial yang sama. Ini adalah bentuk
sindiran halus yang diberikan oleh produsen teks
terhadap konsumen teks sebagai bahan refleksi, di
mana konsumen diposisikan sebagai pihak yang
berada dalam jarak dekat dengan tetangga tetapi
justru tidak mengenal siapa tetangga itu.
Tetangga terlalu akrab
66
Akrab, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
berarti dekat dan erat, atau dapat disebut juga
sebagai intim. Hubungan akrab atau intim lebih
mengarah pada kedekatan yang saling dirasakan oleh
kedua belah pihak dan bernilai positif. Namun,
arti akrab di dalam teks yang diproduksi ini lebih
mengarah pada kedekatan yang hanya dirasakan oleh
satu pihak dan bersifat mengganggu atau mengandung
nilai negatif. Dalam teks ini, akrab berarti dekat
secara berlebihan sehingga mengganggu salah satu
pihak tanpa disadari oleh pihak yang melakukan,
seperti sering berkunjung di rumah tanpa mengenal
batas waktu, mulai dari sekedar mengobrol sampai
ikut menonton televisi, dan lain sebagainya.
2. Hadapi Si Pendebat
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 09, Tahun 2012)
a) Medan wacana (field of discourse)
Yang menjadi fokus bahasan dalam teks ini
adalah bagaimana konsumen teks memposisikan diri
67
terhadap teman yang sangat suka berdebat. Debat,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, berarti
pembahasan dan pertukaran pendapat mengenai suatu
hal dengan saling memberi alasan untuk
mempertahankan pendapat masing-masing. Berarti,
pendebat adalah orang yang melakukan tindakan atau
aktivitas debat tersebut.
Dalam berteman atau bersahabat, pasti ada hal-
hal yang tidak disukai dari masing-masing pribadi,
termasuk kebiasaan untuk menjadikan setiap obral
sebagai bahan perdebatan. Perdebatan memang dapat
menjadi berbobot dan membangun obrolan menjadi
lebih seru bila dilakukan dengan benar. Kebiasaan
berdebat tidak datang begitu saja. Kemungkinan
orang tersebut memiliki kebiasaan mengikuti
kompetisi sehingga selalu memiliki rasa bersaing
dengan lawan bicaranya atau karena topik yang
sedang dibahas menyangkut hal yang diyakini dan
menjadi prinsip hidupnya. Namun, bila semua topik
dijadikan bahan perdebatan, bahkan di saat sedang
68
mengobrol santai sekali pun, hal tersebut akan
membuat jenuh dan lelah, karena dalam berdebat
diperlukan pemikiran khusus mengenai topik yang
sedang dibahas tersebut.
Di dalam pertemanan, terutama di masa-masa awal
pertemanan tersebut terbangun, antarteman kerap
tidak berani mengungkapkan ketidaksukaannya akan
hal-hal yang tertentu, sehingga masalah itu kerap
kali dipendam saja dalam hati. Mereka akan
cenderung berusaha saling menerima dan
menyesuaikan diri dengan mengikuti kemauan dan
kebiasaan temannya itu dengan berbagai cara.
Namun, pada suatu titik, kita harus memiliki
strategi untuk menghadapi kebiasaan buruk teman
tersebut. Dan bila strategi tersebut tidak dapat
berjalan dengan baik, maka sebaiknya hal itu
diungkapkan kepada teman yang bersangkutan dengan
cara yang baik dan sopan, demi kelangsungan
pertemanan yang harmonis.
69
b) Pelibat wacana (tenor of discourse)
Masih seperti edisi sebelumnya, kata ‘kita’
yang digunakan oleh produsen teks dalam artikel
ini memberikan kesan bahwa posisi produsen teks
dengan konsumen teks, yaitu remaja perempuan,
adalah setara. Namun, dengan nasihat-nasihat yang
disampaikan oleh produsen teks kepada konsumen
teks menunjukkan bahwa produsen tetap berada di
posisi yang lebih mengerti mengenai masalah yang
sedang dibahas dalam artikel ini sehingga dapat
memberikan masukan kepada konsumen teks. Namun,
dengan kata ganti ‘kita’, produsen menciptakan
suasana yang akrab dan santai dengan konsumennya,
sehingga tidak ada batasan antarmereka dan masukan
tersebut dapat lebih diterima oleh konsumen teks.
Kata ‘sobat’ yang dipakai sebagai penunjuk
lawan interaksi konsumen teks memiliki arti
sebagai sahabat yang sangat erat hubungannya, yang
tidak mudah terpisahkan. Hal ini menunjukkan bahwa
dalam hubungan pertemanan yang seerat itu pun,
70
pasti ada masalah yang dihadapi antarteman, salah
satunya adalah adanya sobat yang hobi berdebat
tersebut. Walau hubungan itu sudah sangat erat
sekali pun, tidak mudah untuk begitu saja
mengutarakan keberatan kita mengenai kebiasaan
sobat yang tidak berkenan di hati kita. Tetap ada
strategi dan cara-cara penyampaian yang baik, yang
harus diperhatikan dalam menyampaikan pendapat
kita mengenai sikap sobat tersebut.
c) Sarana wacana (mode of discourse)
Teks yang berbunyi:
Dia hobi banget menyelipkan kesempatan untuk beradu pendapat
dan teks:
Ada beberapa kemungkinan sobat bisa gemar berdebat
memberikan gambaran bahwa beradu pendapat atau
berdebat merupakan hobi atau kegemaran yang
terdapat dalam pribadi sobat. Hobi sendiri berarti
kesenangan istimewa pada waktu senggang, yang
bukan merupakan pekerjaan utama, dan gemar berarti
71
suka sekali. Sedangkan menyelipkan berarti
memasukkan di antara beberapa buah benda dan
sebagainya, yang berarti perdebatan ini di
masukkan di antara percakapan yang sedang
dilakukan antara konsumen teks dengan sobatnya.
Kata menyelipkan memiliki makna bahwa aktivitas
selip itu dilakukan dengan sengaja, berbeda dengan
terselip, yang memiliki arti tidak sengaja
dilakukan. Bila dilihat secara bersama, berarti
aktivitas debat tersebut merupakan kesenangan
istimewa yang suka sekali dilakukan sobat pada
pada waktu senggang dengan sengaja, walau bukan
merupakan pekerjaan utamanya.
Kita bisa menanggapi tantangan debat dari sobat
Kata tantangan berarti hal atau objek yang
menggugah tekad untuk meningkatkan kemampuan
mengatasi masalah atau disebut juga rangsangan.
Dengan kata lain, debat di sini dianggap sebagai
objek atau masalah yang harus diatasi, sehingga
akan selalu ada proses adu argumen untuk saling
72
mengalahkan dalam percakapan yang terjalin antara
konsumen teks dengan sobatnya yang suka berdebat
itu. Hal ini lah yang menjadi pemicu munculnya
masalah dalam berdebat, karena perdebatan ini
dianggap sebagai masalah yang harus ada
penyelesaiannya.
Semakin kita terlihat “berbahaya”, semakin semangat sobat untuk
mendebat
Bahaya berarti yg (mungkin) mendatangkan
kecelakaan (bencana, kesengsaraan, kerugian, dan
sebagainya). ‘Semakin kita terlihat berbahaya’
berarti produsen teks mengajak konsumen untuk
memposisikan diri mereka sebagai orang yang
mungkin dapat mendatangkan kerugian bagi sobatnya
sehingga membuat sobat takut untuk mengalami
kerugian tersebut, yang dalam hal ini adalah kalah
dalam perdebatan. Dari kata tersebut, posisi
konsumen berada pada pihak yang negatif karena
merugikan pihak lain, yaitu sobatnya.
73
Kembalikan semuanya pada sobat, biar ia yang menentukan sikap
selanjutnya. Setidaknya tugas kita untuk menasihatinya sudah
terlaksana.
Dalam teks ini, produsen teks memposisikan
masalah perdebatan ini sebagai masalah yang mudah
dipecahkan dan diselesaikan antara konsumen teks
dan sobatnya. Kalimat ‘kembalikan semuanya pada
sobat’ menunjukkan posisi konsumen yang bisa
menerima apa saja sikap yang akan muncul dari
sobat, seburuk apapun respon yang akan diterima.
Hal ini membuat masalah ini menjadi terlihat
sangat mudah diselesaikan tanpa ada resiko-resiko
buruk yang mungkin dapat dialami oleh konsumen
teks setelah menegur dan terbuka dengan sobatnya.
Padahal kemungkinan untuk sakit hati dan putusnya
persahabatan bukan lah hal yang mustahil terjadi
karena sobat merasa tidak diterima dan dihakimi.
3. Berbagi RUMAH, BERBAGI Keluarga
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 10, Tahun 2012)
74
a) Medan wacana (field of discourse)
Yang difokuskan dalam produksi teks ini adalah
bagaimana konsumen teks, yang dalam konteks ini
adalah remaja perempuan, menghadapi situasi di
mana mereka harus tinggal bersama dalam satu rumah
dengan anggota keluarga yang lain di luar keluarga
intinya (keluarga besar), dan harus saling berbagi
dalam segala hal. Tidak hanya itu, pembaca pun
dituntut untuk menjaga keharmonisan seluruh
anggota keluarga di dalam rumah tersebut dengan
cara-cara yang diberikan oleh redaksi.
Tinggal bersama dengan banyak orang, di mana di
dalam rumah tersebut terdapat lebih dari satu
kepala keluarga dan berbagai macam sifat individu
yang berbeda, pasti memiliki sisi positif dan
negatif. Dan untuk menghadapi sisi positif pasti
akan jauh lebih mudah dibanding menghadapi sisi
negatifnya, apalagi bila prinsip hidupnya sudah
berbeda dari tiap keluarga tersebut. Karena merasa
masih satu keluarga besar, seringkali adanya
75
privacy menjadi terlanggar misalnya, anggota
keluarga merasa bertanggung jawab untuk saling
mengarahkan & mengingatkan tentang kehidupan
pribadi masing-masing, sehingga rasanya menjadi
tidak nyaman untuk tinggal di rumah sendiri. Hal-
hal yang terlihat sepele justru dapat menjadi
sumber keributan dan perpecahan dalam keluarga
besar yang hidup dalam situasi seperti ini. Oleh
karena itu, sebaiknya kita saling menjaga dan
menghormati antaranggota keluarga agar hidup
bersama menjadi menyenangkan. Hal ini disampaikan
melalui kalimat ‘Sebelum berpikir negatif, ada
sisi menguntungkan juga kok dari tinggal serumah
dengan saudara yang lain’.
Untuk menghadapi masalah tersebut, di dalam
artikel ini dicantumkan beberapa cara dengan sub
judul ‘the art of sharing’ yang diberikan oleh konsumen
teks untuk produsen teks. Cara-cara yang diberikan
adalah cara yang mudah untuk dilakukan oleh
konsumen teks yang dapat membuat ketentraman di
76
dalam rumah dengan kondisi tinggal bersama
keluarga besar tersebut tetap dapat terjaga.
Produsen teks dalam teks ini ingin menegaskan
bahwa tinggal bersama keluarga besar bukanlah
masalah yang perlu ditakutkan oleh konsumen teks.
Namun yang tidak terperhatikan adalah bagaimana
cara untuk menghadapi anggota keluarga yang
berperilaku buruk dan tidak mau saling menghargai
sehingga menimbulkan kekesalan. Perlu diingat
bahwa menghargai tidak hanya dapat dilakukan
sepihak, melainkan harus dari masing-masing pihak
yang bersangkutan. Seperti kalimat ajakan ‘show
them some respect!’, itu tidak hanya berlaku untuk
pembaca, yang adalah remaja perempuan, melainkan
untuk setiap anggota keluarga yang tinggal bersama
tersebut.
b) Pelibat wacana (tenor of discourse)
Yang menjadi topik dalam teks ini adalah relasi
konsumen teks dan keluarganya. Dalam menyampaikan
77
informasi ini, produsen teks tetap menggunakan
kata sapa ‘kita’. Hal ini mempermudah produsen
teks dalam mengajak konsumen teks untuk menghadapi
masalah yang sedang dibahas di dalam teks dengan
cara-cara yang telah diberikan melalui teks
tersebut. Produsen teks menempatkan diri setara
dengan konsumen teks, baik dari segi usia maupun
sebagai pihak yang mengalami hal serupa dengan
konsumen teks dalam masalah yang sedang dibahas.
Dengan begitu, cara-cara yang diberikan ini akan
terkesan seperti masukan yang diberikan oleh teman
baik, yang cenderung akan mempengaruhi konsumen
teks, tanpa adanya rasa terpaksa atau dipaksa oleh
pihak produsen teks.
Dalam teks ini, konsumen teks diposisikan
sebagai orang yang harus bisa memahami dan
mengerti mengenai keadaan kehidupan bersama
keluarga besar dalam satu atap. Peran keluarga di
dalam kehidupan bersama itu tidak dibahas secara
lebih lanjut, sehingga yang menjadi pembahasan
78
adalah bagaimana konsumen teks, yang dalam hal ini
adalah remaja perempuan, harus bersikap terhadap
keluarganya. Tidak ada teks yang menunjukkan apa
saja yang menjadi hak konsumen teks dalam hidup
bersama tersebut dan bagaimana hubungan timbal
baliknya dengan anggota keluarga yang lain.
Sebaliknya, di dalam teks ini hanya ditampilkan
bagaimana konsumen teks harus memahami dan menjaga
kedamaian dalam kehidupan bersama tersebut.
Ketimpangan pembahasan peran ini membuat seolah
kewajiban menjaga relasi yang baik dengan anggota
keluarga dan mempertahankan keharmonisan keluarga,
hanya menjadi tanggung jawab pembaca, yang adalah
remaja perempuan, saja. Artikel tersebut
memberikan gambaran bahwa tanggung jawab tersebut
berada di tangan perempuan, harus dijalankan oleh
perempuan, tanpa perlu berpikir lebih lanjut apa
haknya sebagai sesame anggota keluarga. Perempuan
dituntut untuk memikirkan perasaan dan kepentingan
orang lain, dari pada kepentingannya sendiri.
79
Bahkan di dalam artikel ini secara tidak langsung,
dengan tidak adanya pembahasan hak pembaca sebagai
sesama anggota keluarga, perempuan diarahkan untuk
tidak fokus dan cenderung menyepelekan
kepentingannya demi kebahagiaan orang lain di
sekelilingnya.
c) Sarana wacana (mode of discourse)
Sebelum berpikir negatif, ada sisi menguntungkan juga kok dari
tinggal serumah dengan saudara yang lain.
Dengan kalimat pembuka seperti itu, redaksi
sudah mengarahkan pembaca untuk berpikir postif
terlebih dahulu walau sebelumnya redaksi pun
mengatakan bahwa hal ini adalah masalah yang rumit
melalui kalimat ‘Tinggal serumah dengan keluarga
inti saja, kadang terasa ribet. Apalagi jika harus
berbagi dengan anggota keluarga besar’. Ajakan
berpikir positif tersebut membentuk karakter
remaja perempuan yang adalah pembacanya, untuk
80
selalu mampu menghadapi masalah serumit apapun
tanpa emosi terlebih dahulu.
Yes, the more the merrier!
Kalimat ini berarti ‘semakin banyak, semakin
gembira’. Dengan kalimat itu, produsen teks ingin
menunjukkan bahwa tinggal bersama keluarga besar
di dalam satu rumah adalah hal yang positif karena
dapat membuat kita lebih bahagia. Kata meriah di
sini berarti dapat memunculkan suasana yang
menyenangkan dan tidak membosankan bersama dengan
seluruh keluarga dan anggota keluarga yang ada di
dalam rumah tersebut. Padahal, tinggal bersama
dengan banyak orang tidak akan pernah luput dari
yang namanya pertengkaran. Bahkan kakak beradik
kandung, yang dibesarkan dengan cara yang sama
pun, pasti pernah bertengkar karena keinginan dan
pemikiran individu yang berbeda.
Supaya ketentraman bersama tetap terjaga, ada beberapa hal
yang perlu diperhatikan.
81
Produsen teks menempatkan diri sebagai pihak
yang memiliki pengetahuan yang benar, yang dapat
dijadikan patokan untuk menjaga ketentraman
bersama. Dengan kalimat ‘ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan’, tanpa disertai dengan kata ‘antara
lain’, menunjukkan bahwa hanya hal-hal yang
disebutkan oleh produsen teks saja yang dapat
dilakukan untuk menjaga ketentraman bersama.
Konsumen teks tidak diajak untuk berpikir lebih
jauh mengenai hal-hal apa saja yang mungkin
dilakukan untuk menjaga ketentraman. Hal ini
mengakibatkan konsumen teks yang cenderung mudah
percaya terhadap artikel akan langsung menjalankan
cara-cara yang telah diberikan oleh produsen teks
tanpa berpikir lebih lagi.
Show them some respect!
Dalam kalimat ini, produsen teks mengajak
konsumen teks untuk menghargai anggota keluarga
lain yang tinggal serumah dengan konsumen
tersebut. Namun, dengan adanya tanda seru
82
tersebut, kalimat tersebut terlihat disampaikan
dengan keras dan wajib dipatuhi. Padahal
menghargai itu tidak bisa hanya dilakukan oleh
satu pihak saja. Kita perlu untuk saling
menghargai satu sama lain, pun dalam masalah yang
dibahas ini, agar segala sesuatunya dapat berjalan
dengan baik. Bila konsumen dituntut untuk selalu
menghargai, dan hanya berjalan secara sepihak,
maka tidak dapat dipungkiri bahwa suatu saat pun
konsumen teks yang berusaha melakukan cara ini
akan merasa sebal dan memberontak, mengingat tiap
manusia pasti memiliki batas kesabaran untuk
menghadapi setiap masalah yang ada. Secara tidak
langsung, remaja perempuan yang menjadi target
market dari majalah ini, diarahkan agar menjadi
perempuan yang selalu menekan emosinya dan
mengalah terhadap yang lain.
4. Awas, ADA PEMBAJAK!
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 11, Tahun 2012)
83
1. Medan wacana (field of discourse)
Dalam artikel ini, produsen teks membahas
tentang orang yang hobi mengutak-atik social media
kita, terutama merubah status dengan kalimat-
kalimat yang berlebihan, yang disebut sebagai
tukang bajak. “Kesannya sih, sepele, tapi bikin
korbannya sebal setengah mati”, demikian kutipan
kalimat yang diambil dari artikel ini. Dari
kutipan tersebut sudah terlihat bagaimana redaksi
menempatkan dan membangun citra pembajak sebagai
seseorang yang bernilai negatif dan sangat
merugikan korbannya. Niat dari membajak status di
social media korban sudah tentu untuk membuat
korban malu, baik secara sengaja karena adanya
masalah yang mendasari, maupun hanya ingin
bercanda saja. Hal yang sederhana ini dapat
merusak reputasi dan identitas pemilik akun social
media karena bergurau yang tidak pada tempatnya.
Dan di sini, GADIS menyajikan empat ‘jurus
jitu’ yang merupakan cara-cara menghadapi
84
‘pembajak’ status social media tersebut. Cara-cara
yang diberikan adalah cara menghadapi orang dengan
hobi ‘membajak’ dari tingkat yang rendah, yang
hanya karena iseng, sampai pada tingkat di mana
‘membajak’ tersebut telah menjadi kebiasaan orang
tersebut tanpa ada rasa bersalah. Namun, di dalam
cara-cara yang ditawarkan, semua hanya melulu
ditanggapi dengan pembicaraan antara si tukang
bajak dan korbannya, serta adanya ancaman kepada
pelaku, tanpa ada tindakan tegas yang dapat
dilakukan korban untuk menghadapi tindakan yang
sudah keterlaluan sekali pun.
2. Pelibat wacana (tenor of discourse)
Yang menjadi bahan pembicaraan di dalam
artikel ini adalah pelaku pembajak status di
social media, serta pembaca majalah Gadis (yang
adalah remaja perempuan) yang diposisikan sebagai
korban dari pelaku pembajakan tersebut. Pelaku
pembajak dikenai kata ganti ‘si pembajak’ si
85
tukang bajak’, ‘dia’, ‘si sobat/ sobat’, dan ‘si
teman’. Hal ini menunjukkan dan menekankan bahwa
di satu sisi, redaksi menempatkan orang yang telah
mengganggu kita, yang mendapat julukan si tukang
bajak atau si pembajak itu adalah juga sobat
maupun teman dari pembaca. Ketidakkonsistenan ini
membuat posisi pelaku pembajakan tersebut menjadi
rancu, antara dianggap sebagai antagonis atau
protagonis. Dengan penekanan tersebut, pembaca
diarahkan untuk tetap mengakui orang yang telah
mengganggu privasinya sampai sejauh apapun itu,
sebagai sobat maupun temannya, sebagai orang yang
dekat dalam kehidupannya.
Sedangkan, redaksi menempatkan diri sejajar
dengan pembaca, dengan menggunakan kata ganti
‘kita’. Dengan kata ganti ini, redaksi telah
menghilangkan jaraknya dengan pembaca agar
terlihat lebih akrab dan tidak menggurui. Kata
‘kita’ dapat memudahkan redaksi untuk menyampaikan
apa yang mereka ingin pembaca lakukan, tanpa
86
terkesan menggurui, serta terlihat sebagai pihak
yang menempatkan diri sebagai yang paling
mengetahui tentang permasalahan ini. Dengan
mudahnya penyampaian informasi, berupa cara-cara
instan, oleh redaksi maka pembaca semakin lama
akan semakin terpola untuk memandang penyelesaian
persoalan berelasi dalam hidup adalah sesederhana
itu. Pembaca akan menjadi kurang kritis dan hanya
akan menerima setiap informasi yang ada secara
mentah.
3. Sarana wacana (mode of discourse)
Dalam memberikan cara-cara menghadapi
pembajak, artikel ini menyajikannya secara
berurutan sesuai dengan tingkat frekuensi pembajak
melakukan aksinya. Pada tahap pertama, terdapat
pemasangan kata “baru dibajak” dengan “tanggapi
dengan santai”. Pasangan kata ini menunjukkan
bahwa redaksi mengarahkan pembaca yang diposisikan
sebagai korban untuk menanggapi perilaku
87
pembajakan status itu dengan santai pada saat
pertama kali pembajak melakukan tindakan itu
kepada korban. Intinya, pembaca diarahkan untuk
tidak emosi dalam menghadapi tingkah menyebalkan
si pelaku pembajakan tersebut.
Di tahap kedua, terdapat pasangan kalimat “si
pembajak punya niat mengulai perbuatannya dan
menganggap itu adalah hal yang lucu” dengan
kalimat “coba gertak dia” dan “berikan serangan
langsung”. Di sini, pembaca diarahkan untuk
melakukan gertakan bahwa korban akan membalas
tindakan pembajak tersebut dan memberikan serangan
langsung, yang berarti merespon status yang
ditulis oleh pembajak dengan sindiran balik yang
berhubungan dengan hidup pelaku. Walau terdapat
ajakan untuk bertindak melawan pembajak, namun
tindakan tersebut tidak terlihat tegas, karena
tidak dilakukan dengan serius, sehingga belum
tentu pembajak tersebut mengerti maksud kita.
Intinya, pembaca masih diarahkan untuk tidak emosi
88
dan bertindak dengan santai dalam menghadapi
tingkah pembajak yang semakin menyebalkan ini.
Tahap ketiga, adalah di mana pembajak sudah
menganggap perilakunya itu menjadi kebiasaan dan
tidak ada perasaan bersalah saat melakukannya.
Bahkan, apa yang dipaparkan di dalam status korban
pun semakin keterlaluan dan tidak dapat diterima
lagi sebagai sebuah lelucon. Yang mengherankan, di
dalam tahap ini redaksi justru mengarahkan agar
korban untuk mengajak pembajak berbicara secara
serius, yang ditunjukkan dalam kata “berterus
terang”, “sampaikan”, dan “bicarakan dengan
serius”. Dan arahan terakhir yang diberikan pada
tahap ini adalah mengancam pembajak, seperti yang
ditunjukkan dari kalimat “berikan ancaman yang
tegas”. Inti dari tahap ini adalah pembaca, yang
dalam artikel ini diposisikan sebagai korban, yang
adalah remaja perempuan, diarahkan untuk tetap
memakai logika saja dalam menghadapi masalah yang
sudah sangat mengganggu kehidupan pribadinya
89
sekali pun. Pembaca tetap diminta untuk tidak
emosi, melainkan tetap menggunakan argumen yang
kuat. Hal paling maksimal yang dapat dilakukan
adalah mengancam saja, tanpa perlu melakukan
tindakan yang tegas sebagai realisasi ancaman
tersebut, terhadap pelaku pembajakan.
Di tahap keempat, redaksi justru menurunkan
lagi arahan sikap yang ditawarkan kepada pembaca.
Setelah terakhir disarankan untuk mengancam
pelaku, sebagai langkah berikutnya pembaca justru
tidak diarahkan untuk merealisasikan ancaman itu
sebagai tindakan tegas terhadap pembajak,
melainkan justru mundur lagi dengan cara
mengamankan gadget, laptop, maupun benda-benda
lain yang memungkinkan pembajak untuk mengganggu
status social media kita. Dari sikap yang
ditawarkan dalam tahap ini, sangat menunjukkan
bahwa pembaca, yang adalah remaja perempuan,
diarahkan untuk tidak emosi dan selalu menggunakan
logika yang ditunjukkan dengan cara membicarakan
90
dan hanya sekedar mengancam, tetapi tidak diberi
kesempatan untuk mengeluarkan ekspresi emosinya
walaupun kehidupannya sudah diganggu sedemikian
rupa secara berulang-ulang. Mereka diarahkan untuk
tetap menjaga agar situasi tetap damai, terutama
karena yang dibahas sebagai pembajak di sini
adalah sobat atau temannya sendiri, seperti
ditunjukkan dengan kata ganti “si sobat” atau “si
teman” untuk merepresentasikan pembajak, oleh
redaksi.
91
BAB V
KESIMPULAN
Artikel dalam rubrik CINTA dalam majalah GADIS
berisi cara-cara mudah untuk menghadapi masalah dalam
bersosialisasi dengan orang-orang dan lingkungan
sekitar pembaca. Artikel ini membuat komunikasi hanya
berjalan searah dari produsen teks sebagai komunikator
dan pembaca sebagai komunikan tanpa adanya proses
diskusi lagi setelah itu, atau dapat disebut sebagai
komunikasi monolog. Komunikasi monolog ini memiliki
kecenderungan tidak terbantahkan dan lebih mudah di
terima karena tidak ada kesempatan untuk bertanya.
Interpretasi dan tanggapan dari cara-cara yang
diberikan tersebut pun dapat beraneka ragam, tergantung
dari latar belakang pembacanya.
Cara-cara mudah yang diberikan hanya memberikan
solusi dan selalu terlihat positif karena pembahasannya
tidak sebanding dengan pembahasan tentang masalah yang
92
dihadapi. Dalam artikel tersebut hanya diberikan solusi
untuk beberapa poin kecil yang dapat terjadi dalam satu
topik masalah yang dibahas, namun tidak pernah disebut
dan diperhitungkan, bahkan dibahas, untuk faktor-faktor
lain yang lebih penting, yang dapat menghambat
penyelesaian masalah tersebut. Pasalnya, saat
bersosialisasi dan berinteraksi dengan individu maupun
lingkungan di sekitar kita, banyak faktor-faktor, baik
internal maupun eksternal, baik dari komunikator maupun
komunikan, yang dapat menghambat proses, baik disengaja
maupun tidak disengaja.
Dengan adanya cara-cara mudah ini, dan dengan
didukung dengan teori kultivasi tentang efek media,
pembaca yang sangat fanatik dengan Majalah Gadis secara
tidak langsung akan terbentuk untuk memandang masalah
dalam kehidupan bersosialisasi dengan mudah sesuai
dengan apa yang disampaikan oleh majalah tersebut dalam
setiap artikel yang diproduksinya. Pembaca tersebut
akan dengan mudah melakukan apa yang disarankan melalui
93
artikel tersebut tanpa sempat berpikir kritis tentang
masalah yang dibahas dalam artikel tersebut, dan tanpa
memikirkan lebih lanjut mengenai pengaruhnya dalam
jangka panjang dan dengan lebih rinci. Pembaca, yang
notabene masih dalam usia remaja, dapat terpola menjadi
menganggap mudah masalah yang ada karena terbiasa
dengan cara-cara instan yang mereka peroleh, padahal
pada kenyataannya tidak semudah itu saat dipraktekkan.
Remaja perempuan sebagai pembaca artikel ini
diarahkan untuk selalu menjadi orang yang sabar dan
nrimo. Hal ini menunjukkan secara tidak langsung
bagaimana media merekonstruksi pola hidup dalam
masyarakat patriarki, di mana bukan wilayah perempuan
untuk menjadi dominan, tegas, dan mengambil keputusan
dalam masalah yang ada. Dengan mengarahkan untuk
menjadi sabar dan cenderung mengalah ini menunjukkan
bagaimana perempuan selalu digambarkan berada dalam
posisi yang tidak memiliki kekuasaan bahkan dalam
94
Daftar Isi
Buku
Ardianto, Elvinaro dan Bambang Q-Anees. 2007. Filsafat
Ilmu Komunikasi. Bandung: Simbiosa Rekatama
Media.
Halliday, M.A.K dan Ruqaiya Hasan. 1994. Bahasa,
Konteks, dan Teks: Aspek-Aspek Bahasa dalam
Pandangan Semiotik Sosial. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Ibrahim, Idi Subandy. 2011. Budaya Populer Sebagai
Komunikasi: Dinamika Popscape dan Mediascape di
Indonesia Kontemporer. Yogyakarta: Jalasutra.
Maryani, Eni. 2011. Media dan Perubahan Sosial: Suara
Perlawanan Radio Komunitas. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
McQuail, Dennis. 2011. Teori Komunikasi Massa McQuail.
Jakarta: Salemba Humanika.
96
Neuman, W. L. 2003. Social Research Method: Qualitative
and Quantitative Approaches. Boston: Allyn and
Bacon.
Santrock, John. 2007. Remaja Jilid 1. Jakarta:
Erlangga.
Sarantakos, S. 1998, Social research, 2nd Edition,
South Melbourne: Macmillan Education Australia.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif
Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Umar, Husein. 1999. Metodologi Penelitian: Aplikasi
dalam Pemasaran. Jakarta: Gramedia.
West, Richard dan Lynn Turner. 2007. Introducing
Communication Theory Analysis and Application.
Singapore: McGraw-Hill.
Jurnal
Jurnal Perempuan. 2003. Untuk Pencerahan dan
Kesetaraan. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.
Jurnal Perempuan. 2004. Remaja Melek Media. Jakarta:
Yayasan Jurnal Perempuan.
97
Thesis: Jurnal Penelitian Ilmu Komunikasi Volume V/
No.1 Edisi Januari-April. 2006. Depok:
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial
dan Ilmu Politik Universitas Indonesia.
Website
http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/36108115.pdf
98
LAMPIRAN
1. Tetangga, Dekat di Mata Jauh di Hati
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 08, Tahun 2012)
Akrab sama tetangga? Ih, itu sih urusannya mama
sama papa… Eits, nggak juga, lho. Kita, yang juga
bagian dari lingkungan rumah tangga, perlu banget
mengenal dengan baik orang-orang di sekeliling kita.
Pasalnya, tetanggalah orang terdekat yang bisa kita
andalkan, saat kita sedang dalam kesulitan. Kenali
yuk, masalah yang sering menghambat kita, untuk
lebih dekat sama tetangga.
#1: NGGAK KENAL TETANGGA
Coba jawab, siapa nama lengkap tetangga sebelah
rumah kita? Kalau sampai nggak tahu, berarti kita
wajib nih, berkenalan sama mereka. Tapi, gimana
cara memulainya, ya?
Atasi dengan:
99
Hilangkan pikiran atau perasaan malu bertemu
orang baru. Bayangkan, mereka adalah orangtua
teman kita atau saudara sendiri. Santaiii…
Senyum! Ini modal paling dasar yang harus kita
punya untuk menjalin sebuah hubungan. Ketika
kita sedang di luar rumah dan berpapasan mata
dengan tetangga, lempar saja senyum manis kita.
Jika biasanya mama yang memberikan makanan atau
oleh-oleh kepada tetangga, saatnya kita turun
tangan. Kesempatan ini bagus banget untuk
memperkenalkan diri kepada tetangga. Kalau
mereka bingung dengan keberadaan kita, jangan
ragu untuk bilang, “Saya A, anaknya Bapak atau
Ibu B.”
#2: BERSAING SAMA TETANGGA
“Anaknya Ibu C itu jago banget lho, main piano.
Dia juga sudah keterima di universitas negeri. Ayo
dong, kamu jangan mau kalah!” bilang mama pada
kita suatu hari. Sudahlah harus bersaing dengan
100
teman-teman di sekolah, di rumah pun tetangga ikut
jadi saingan.
Atasi dengan:
Perasaan dibanding-bandingkan memang bikin
kesal sekaligus penasaran dengan kehebatan Si
Tetangga. Tapi, ini justru saatnya kita fokus
dengan prestasi dan cita-cita kita. Anggap saja
perkataan mama tadi sebagai motivasi.
Kalau biasanya persaingan bikin kita saling
memusuhi, sebaliknya coba deh, berteman dengan
Si Tetangga. Pertemanan akan membuat kita lebih
mengenal “lawan” dan melihat bahwa masing-
masing dari kita punya kelebihan dan
kekurangan. Nggak cuma itu, kita jua bisa
belajar bareng atau malah bersahabat sama dia.
Rugi kan, kalau sampai musuhan?
#3: TETANGGA TERLALU AKRAB
Kebalikan dari kasus pertama, tetangga kita
yang satu ini hobi banget datang ke rumah. Mulai
dari sekedar bertanya kabar, cari teman ngobrol,
101
sampai sekadar numpang nonton televisi di rumah.
Ganggu banget!
Atasi dengan:
Usir halus Si Tetangga dengan menemaninya
sebentar saja. Saat kita harus kembali
beraktivitas, bilang saja terus terang ke
dia. Misal dengan, “Eh, aku bikin PR dulu,
ya.”
Tanggapi obrolan tetangga seperlunya saja,
tapi tetap dengan cara yang sopan, ya. Ketika
obrolan makin garing, dengan sendirinya mereka
akan menyudahi obrolan, kok.
Untuk tetangga yang masih anak-anak, kita
bisa bilang beberapa alasan untuk membuatnya
pulang ke rumah. Bilang saja ke dia, “Sudah
waktunya tidur siang nih. Aku antar kamu ke
rumah, ya.”
2. Hadapi Si Pendebat
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 09, Tahun 2012)
102
Sobat yang satu ini agak unik, Dia hobi banget
menyelipkan kesempatan untuk beradu pendapat. Bahkan
dalam topik ringan seperti jenis musik yang kita
suka atau artis yang kita idolakan. Sekali dua kali,
kebiasaannya bikin obrolan jadi berbobot dan seru.
Tapi, kalau tiap obrolan ia ngajak debat terus, capek
juga, ya?
Kenapa Harus Debat?
Kebiasaan beradu pendapat, tidaklah datang begitu
saja. Ada beberapa kemungkinan sobat bisa gemar
berdebat, seperti:
TERBIASA BERKOMPETISI
Coba perhatikan, apakah sobat tipe orang yang
suka ikut lomba atau kompetisi? Jika, iya, bisa
jadi sobat sering terbawa akan kegiatannya
tersebut. Rasa ingin selalu bersaing itulah yang
jadi pemicu dia untuk berusaha menang dalam
segala situasi.
MEMPERTAHANKAN PRINSIP
103
Argumen yang dilontarkan sobat, pasti berasal
dari hal yang ia jalani dan amat ia yakini.
Itulah yang membuatnya ingin berada di pihak
yang benar. Karena itu menyangkut prinsip
hidupnya dan apa yang ia percaya.
Let’s Deal With It
Walaupun kadang menyebalkan, hobi berdebat adalah
karakter sobat yang tentunya sulit diubah. Tapi,
rasa khawatir akan mengalami perdebatan panjang
hanya karena mengritik sifatnya itulah yang pada
akhirnya membuat kita membiarkan sobat meneruskan
hobinya. Padahal, itu bisa bikin sobat jadi merasa
bahwa hobi berdebatnya dirasa nyaman juga oleh kita.
Karena itu, coba deh lakukan hal berikut ini.
PERLUAS WAWASAN
Satu hal yang bikin seseorang berdebat adalah
perbedaan pendapat. Karena itu, perbanyaklah
wawasan kita di bidang yang kita yakini dan
sukai. Dengan begitu, kita bisa menanggapi
104
tantangan debat dari sobat dengan alasan yang
masuk akal.
HINDARI TOPIK YANG MEMICU PERDEBATAN
Perhatikan deh, dalam obrolan apa sobat
paling semangat berdebat? Kalau sudah ketemu,
ingat selalu untuk menghindari obrolan berat
seputar topik itu. Perdebatan bisa saja terjadi
karena sobat punya pengalaman pahit di bidang
tersebut.
BERSIKAP “AMAN”
Meski dalam hati gemas ingin membalas
argumennya, sesekali coba tahan emosi itu.
Semakin kita terlihat “berbahaya”, semakin
semangat sobat untuk mendebat. Dengarkan saja
penjelasannya sampai selesai, nanti ia akan
berhenti sendiri.
JELASKAN
Ajak sobat bicara baik-baik, dan jelaskan apa
yang kita rasakan. Jika sobat masih mendebat
kita di saat itu, jangan emosi. Kembalikan
105
semua pada sobat, biar ia yang menentukan
sikap selanjutnya. Setidaknya tugas kita
untuk menasihatinya sudah terlaksana.
3. Berbagi RUMAH, BERBAGI Keluarga
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 10, Tahun 2012)
Rebutan teve sama kakak, adik berantakin barang-
barang kita, dan banyak aturan dari mama-papa,
memang bikin bete di rumah. Nah, kalau kakek, nenek,
oom, tante, serta sepupu-sepupu juga tinggal dalam
satu atap, gimana ya? Apakah semua masalah jadi
dobel? Nooooo….!
OH, HAPPY HOUSE
Tinggal serumah dengan keluarga inta saja, kadang
terasa ribet. Apalagi jika harus berbagi dengan
anggota keluarga besar. Sebelum berpikir negatif,
ada sisi menguntungkan juga kok dari tinggal serumah
dengan saudara yang lain. Yes, the more the merrir!
106
Banyak bala bantuan. Saat kita mau belajar
matematika, ada tante yang membantu. Mendadak
butuh kemeja, bisa pinjam sama sepupu. Urusan
bebenah pun lebih ringan, jika dikerjakan
bersama. Yup, dengan banyaknya orang rumah, kita
bisa saling membantu dalam banyak hal.
Rame dan seru. Banyak lho, teman-teman yang
nggak betah di rumah karena tempat tinggal
mereka selalu sepi. Saat tinggal bareng sama
keluarga besar, rumah dijamin selalu rame.
Alhasil, segala sesuatu pun jadi lebih “meriah”.
Kebayang kan, serunya obrolan saat makan malam
atau ketika nonton bareng acara komedi di
televisi.
THE ART OF SHARING
Supaya ketenteraman bersama tetap terjaga, ada
beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Privacy, please! Ini dia yang sering memicu
konflik. Saking banyaknya anggota keluarga di
rumah, masing-masing jadi merasa kehilangan uang
107
pribadi”. Membiasakan diri untuk mengetuk pintu
kamar bisa menjadi salah satu solusi sederhana.
Terus, jangan lupa untuk meminta izin sebelum
memakai barang orang lain.
Perhatikan “fasilitas umum”. Seperti, kamar
mandi, televisi, telepon serta hal lain yang
dipakai bersama. Selain menjaga kebersihan
(supaya semua nyaman), ingat pula bahwa orang
lain juga butuh. Pasti akan menyebalkan jika
kita mandi kelamaan di saat adik-adik sepupu mau
bersiap ke sekolah. Sebaliknya, kita pun bakal
kesal kalau ada yang memonopoli televisi.
Kompromi. Di lain pihak, berbagai kepentingan
bikin kita belajar berkompromi. Nggak bisa
maksain keinginan dan selera pribadi. Misalnya,
ngotot ingin menaruh komputer terbaru di kamar
kita, padahal yang lain merasa keberatan. Coba
berkompromi dengan menaruhnya di ruang belajar.
Jaga barang masing-masing. Dengan banyaknya
orang di rumah, kemungkinan untuk barang
108
tertukar dan terselip akan semakin besar. Kasus
yang paling sering adalah pakaian. Nah, supaya
aman, perhatikan perlengkapan masing-masing.
Menghormati aturan tiap keluarga. Walau tinggal
seatap, namin biasanya tetap ada aturan serta
kebiasaan yang berbeda di tiap keluarga.
Misalnya, tante mengharuskan anak-anaknya les,
sementara mama papa lebih santai. Maka, nggak
perlu menggoda sepupu kita atau memprotes om dan
tante yang terlalu banyak aturan. Show them some
respect!
109
4. Awas, ADA PEMBAJAK!
(Majalah Gadis, Rubrik CINTA, Edisi 11, Tahun 2012)
Rasanya, baru semenit handphone ditinggal, tapi
sudah banyak kekacauan yang terjadi. Orang-orang
heboh memberi komentar dan me-reply akun twitter
kita. Ternyata itu semua gara-gara status kita yang
di-update tanpa ijin oleh sobat. Isi tweet-nya nggak
penting dan norak banget lagi, seperti: “Gue cewek
paling kece se-jabodetabek.” Atau “Oh, mantan pacar
balikan yuk!” Nggak heran kalau kita sebal sama
sobat yang hobi membajak social media ini!
ULAH SOBAT PEMBAJAK STATUS
Memang ada orang-orang yang hobi membuka
handphone/gadget orang lain tanpa izin, dengan tujuan
mengutak-atik status/BBM, Twitter atau FB. Kegemaran
tersebut membuat mereka dijuluki si tukang bajak.
Kesannya sih, sepele, tapi bikin korbannya sebal
setengah mati. Nah, keempat jurus berikut bisa
110
dipakai untuk “mengalahkan” si pembajak di berbagai
situasi.
JURUS1: KARTU KUNING
Dilakukan saat: Baru dibajak. Ketika orang-orang
lagi pada heboh sama status kita.
Strategi:
Hapus status bajakan tersebut.
Langsung klarifikasi alias buat update yang isinya
memberi tahu kalu barusan akun kita dibajak.
Sekalian disebutkan oknum si pembajak. Karena
niatnya cuma iseng, biasanya mereka akan langsung
mengaku.
Tanggapi dengan santai, karena jika kita panik
malah bikin si sobat senang karena keisengannya
berhasil. Sementara kalau kita marah, urusannya
malah jadi panjang.
JURUS 2: SERANGAN BALIK
Dilakukan saat: Si pembajak punya niat mengulangi
perbuatannya dan menganggap itu adalah hal yang
111
lucu. Niatnya mungkin hanya untuk senang-senang,
tapi dia nggak menyadari efeknya bagi orang lain.
Strategi:
Coba gertak dia dengan bilang bahwa kita akan
membalasnya. Dengan begitu, si pembajak bakal
berpikir akibatnya jika ditempatkan di posisi
yang sama dengan kita (jadi korban).
Berikan serangan langsung. Maksudnya, saat dia
ngerjain kita, langsung kita tanggapi balik.
Misalnya, saat ia membajak status kita dan
menuliskan tentang mantan, segera reply dengan
pertanyaan sindiran seputar mantannya.
JURUS 3: KARTU MERAH
Dilakukan saat: Membajak status sudah menjadi
kebiasaan dan dilakukan tanpa merasa bersalah. Isi
bercandaannya pun sudah keterlaluan.
Strategi:
Berterus terang bahwa kita merasa terganggu
dengan keusilan si teman.
112
Sampaikan pula bahwa yang dia lakukan itu bisa
jadi membuat orang benar-benar sebal, bahkan
memusuhinya.
Bicarakan dengan serius, supaya si tukang bajak
benar-benar paham.
Kalau dia tetap nggak berubah, berikan ancaman
yang tegas, misalnya kita akan mogok bicara sama
dia selama seminggu.
JURUS 4: BERTAHAN
Dilakukan saat: Kita nggak mau kejadian status
dibajak terulang lagi. Intinya, harus mempertahankan
diri dan “membentengi” status kita.
Strategi:
Kenali ciri-ciri si pembajak, supaya kita bisa
waspada. Tandanya antara lain: mata jelalatan tiap
melihat kita mengupdate status, tiba-tiba pengin
pinjam HP/gadget kita tanpa alasan yang jelas, dan
terkenal suka isengin status orang.
Sebaiknya, bawa teru handphone, jangan ditinggal
sembarangan. Jika mau meminjamkan atau
113