+ All Categories
Home > Documents > Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim by Prof. Jakob Sumardjo

Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim by Prof. Jakob Sumardjo

Date post: 05-Mar-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
28
Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 1 Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim Oleh: Jakob Sumardjo nagara satelung puluh telu bagawan sawidak lima pancer salawe nagara [Kanekes] 1 Manusia Simbol Nenek moyang bangsa Indonesia hidup dengan simbol, dalam simbol, dan untuk simbol, justru karena tingkat religiositasnya yang tinggi. Simbol adalah Realitas, yaitu penghubung antara manusia dengan Realitas Tertinggi Yang Maha Esa, sesuatu yang terakbar, terluas, terdalam, terkuasa, tak terbatas, yang berada di luar realitas manusia yang terbatas. Dia yang tidak terbatas berada di dunia terbatas namun tidak terkena batas itu. Simbol adalah imanensi yang transenden tak terbatas itu. Alam tempat manusia ini bergantung adalah simbol-simbol. Gunung bukan lagi sekadar wujud bernama gunung, tetapi simbol penghubung bumi yang terbatas dengan langit tanpa batas. Pohon yang menjulang tinggi ke langit juga simbol mediasi dengan yang transenden. Gua, tebing curam, hulu sungai dan muaranya, bunga dan buah yang berwarna-warni, hewan-hewan, semua adalah simbol. Begitu pula tubuh manusia sendiri adalah simbol . Wujud kelamin lelaki dan kelamin perempuan adalah simbol. Rambut, tulang, kulit, darah, semen, adalah simbol- simbol mediasi. Karena manusia hidup di tengah-tengah alam raya yang penuh simbol, maka semua karya budayanya juga didesain dalam simbol-simbol. Rumah yang mereka bangun adalah simbol manusia sekaligus semesta, makrokosmos dan mikrokosmos. Hunian kampung dan kemudian negara yang mereka bangun berdesain simbolik. Bahkan lisung, leuit , saung lisung, hihid, boboko, kujang, semuanya mengandung simbol-
Transcript

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 1

Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim

Oleh: Jakob Sumardjo

nagara satelung puluh telu bagawan sawidak lima pancer salawe nagara

[Kanekes]

1

Manusia Simbol

Nenek moyang bangsa Indonesia hidup dengan simbol, dalam simbol, dan untuk

simbol, justru karena tingkat religiositasnya yang tinggi. Simbol adalah Realitas,

yaitu penghubung antara manusia dengan Realitas Tertinggi Yang Maha Esa, sesuatu

yang terakbar, terluas, terdalam, terkuasa, tak terbatas, yang berada di luar realitas

manusia yang terbatas. Dia yang tidak terbatas berada di dunia terbatas namun tidak

terkena batas itu. Simbol adalah imanensi yang transenden tak terbatas itu.

Alam tempat manusia ini bergantung adalah simbol-simbol. Gunung bukan lagi

sekadar wujud bernama gunung, tetapi simbol penghubung bumi yang terbatas

dengan langit tanpa batas. Pohon yang menjulang tinggi ke langit juga simbol

mediasi dengan yang transenden. Gua, tebing curam, hulu sungai dan muaranya,

bunga dan buah yang berwarna-warni, hewan-hewan, semua adalah simbol.

Begitu pula tubuh manusia sendiri adalah simbol . Wujud kelamin lelaki dan kelamin

perempuan adalah simbol. Rambut, tulang, kulit, darah, semen, adalah simbol-

simbol mediasi.

Karena manusia hidup di tengah-tengah alam raya yang penuh simbol, maka semua

karya budayanya juga didesain dalam simbol-simbol. Rumah yang mereka bangun

adalah simbol manusia sekaligus semesta, makrokosmos dan mikrokosmos. Hunian

kampung dan kemudian negara yang mereka bangun berdesain simbolik. Bahkan

lisung, leuit, saung lisung, hihid, boboko, kujang, semuanya mengandung simbol-

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 2

simbol. Melalui benda-benda budaya itulah Yang Kuasa mengimanensikan diriNya,

atau di Jawa Barat disebut Sanghyang Hurip.

Nenek moyang Indonesia hidup di dunia ini dalam totalitas keberadaan, yaitu segala

sesuatu yang ditunjuk sebagai realitas. Antara yang transenden dan imanen, antara

yang ada di sana dan yang ada di sini adalah suatu kesatuan. Yang di sana dapat

berada di sini, dan yang di sini dapat berada di sana. Muncullah realitas paradoks

yang struktur paradoksalnya dapat berbeda-beda untuk setiap suku di Indonesia.

Kondisi paradoksal sifatnya dapat sementara dan dapat menetap.

**

Lukisan-lukisan Herry Dim dengan tajuk serial Cosmogony mungkin dapat disebut

“lukisan abstrak” pada pertengahan abad 20. Tetapi karena simbol-simbol “abstrak”

yang dipakainya dapat mengacu pada simbol-simbol primordial Indonesia, maka

saya akan membahasnya sebagai karya-karya simbolik primordial. Judul karya yang

dipakainya juga mengacu pada cara berfikir primordial atau pra-modern Indonesia.

Kosmogoni atau kosmologi erat sekali hubungannya dengan mitologi-mitologi tua.

Kosmogoni lebih mengacu pada asal-usul keberadaan yang dalam kamus bahasa

Inggris diartikan the origin or generation of the universe. Di situ mengandung

makna proses atau gerak dinamik yang mengarah kepada kosmologi atau ketataan

keberadaan yang kurang- lebih tetap. Namun kosmologi yang nampaknya permanen

itu ternyata juga tidak permanen alias dalam gerak perubahan yang terus-menerus

juga.

Cara Herry Dim memanifestasikan dirinya dalam lukisan- lukisannya ini dapat

mengandung dua teori semesta yang saling berseberangan, yakni teori Big Bang dan

teori Alam Tetap. Menurut saya ada kandungan paradoks dalam lukisan-lukisan

Cosmogony, tetap dan bergerak, materi dan energi, being dan becoming, serta

berbagai jenis paradoks yang Anda inginkan.

Untuk mempertanggungjawabkan tafsiran saya ini, harus dibahas terlebih dahulu

simbol-simbol primordial Indonesia yang dipakainya.

Kalau diperhatikan lukisan- lukisan ini mengandung sejumlah vokabuler yang tetap

yang selalu hadir dalam tiap lukisannya.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 3

2

Bujur Sangkar

Bentuk bujur sangkar, dalam genealogi budaya Indonesia, sebenarnya termasuk

pinjaman kemudian, yaitu konsep mandala dari India yang dikembangkan agama

Budha. Bentuk yang lebih primordial adalah lingkaran yang dapat ditemukan dalam

berbagai produk budaya masyarakat-masyarakat suku Indonesia yang tidak

kemasukan agama-agama India kuno.

Bujur sangkar sebagai mandala berarti dunia terbatas yang dihadiri oleh dunia tak

terbatas. Dalam budaya religius berarti hadirnya yang transenden di batas-batas

dunia imanen, hadirnya yang sakral di wujud yang profan, sehingga bujur sangkar

keterbatasan itu mengandung yang tak terbatas. Itulah wilayah buyut di Sunda atau

angker, wingit, di Jawa. Bujur sangkar atau mandala adalah ruang sakral yang

dihadiri daya-daya transenden.

Di Jawa Barat, mungkin juga di

berbagai daerah lain, ruang-ruang

mandala seperti itu terlarang untuk

dimasuki sembarang orang. Hanya

orang-orang tertentu yang

berkualitas transenden pula yang

dapat masuk ke dalamnya. Tempat-

tempat demikian itu bernilai buyut

alias tabu alias terlarang dan

tertutup. Itulah sebabnya mandala-mandala itu dipilih di wilayah-wilayah terasing

yang kadang sulit dimasuki manusia justru karena wingitnya itu. Sampai sekarang

kabuyutan-kabuyutan semacam itu, di Jawa Barat, tetap lestari karena penduduknya

patuh pada tradisi nenek-moyangnya.

Tentu saja Herry Dim tidak bermaksud menciptakan lukisan- lukisan yang buyut

seperti itu. Sebagai manusia kontemporer tentu saja hanya peduli makna wacananya.

Ya, tetapi siapa tahu bahwa pembeli lukisannya masih kuat faham primordialnya

sehingga menempatkan “mandala lukisan” Herry Dim secara khusus di kamar

pribadinya, lengkap dengan sesajen dan dupa.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 4

Bujur sangkar atau mandala Herry Dim tersusun dari 25 bujur sangkar kecil. Kalau

digambarkan sebagaimana tampak pada gambar 1.

Jumlah 25 bujur sangkar kecil atau mandala anak ini disusun dalam pola 5 lajur

horisontal arah kiri ke kanan dan arah vertikal dari atas ke bawah. Dengan pola

demikian maka akan ditemukan anak bujur sangkar yang tepat berada di tengah

keseimbangan horisontal sekaligus vertikalnya, itulah “pusat” hadirnya yang

transenden. Dari pusat itulah terjadi “Big Bang” yang membentuk universe mandala

besarnya. Inilah mandala statis yang menetap yang sudah being.

Namun Herry Dim kurang tertarik pada bentuk mandala tetap yang purbawi itu.

Sebagai manusia modern yang ambisinya adalah progres, maju terus secara linear,

bentuk statis semacam itu tidak membuatnya nyaman. Herry Dim lebih melihat

mandalanya sebagai gerak perubahan terus-menerus dengan maknanya sendiri yang

kurang- lebih tak terbatas. Bukan kosmogoni tetap yang menjadi kosmologi, tetapi

seperti penganut teori Big Bang yang melihat semesta atau hidup ini senantiasa

dalam gerak, berubah, menjadi lain dari sebelumnya.

Mandala purbawi yang tetap tak berubah digambarkan sebagai “bujur sangkar dari

lingkaran” atau “lingkaran dalam bujur sangkar.” Bentuknya memang bujur sangkar,

tetapi sebenarnya sebuah lingkaran.

Bujur sangkar adalah keterbatasan yang jelas awal dan akhirnya dalam garis-garis

linear. Inilah simbol dunia manusia atau dunia material. Sedangkan lingkaran tidak

punya awal dan tak punya akhir. Kalau Anda menunjukan satu titik pada lingkaran,

maka berarti titik awal sekaligus titik akhir. Keberadaannya sirkuler yang tidak ada

habisnya. Inilah simbol keabadian, dunia spiritual. Titik kosmogoni kehadirannya

tepat di tengah-tengah, pusat, pancer, anak mandala di pusat.

Herry Dim menandainya dengan bujur sangkar yang di pusatnya ada lingkaran, lebih

tepatnya tonjolan lingkaran. Tanda ini dapat dijadikan pegangan penting dalam

membaca berbagai mandala lukisannya.

Pusat atau pancer sebagai kehadiran kebenaran tertinggi, kuasa tertinggi, dan

keinginan tertinggi (takdir) adalah Maha Esa yang menjadikan dirinya menyebar ke

segala arah mata angin semesta dalam wujud dan sifat yang berbeda-beda, bahkan

saling berseberangan. Dalam vokabuler Herry Dim dapat digambarkan sebagaimana

(gambar 2) berikut in:

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 5

Gambar 2

Penyebaran arah semesta lebih lanjut adalah (gambar 3) sebagai berikut:

Gambar 3

Begitulah selanjutnya sampai seluruh bidang anak-anak mandala dapat diisi dengan

pasangan-pasangan oposisi yang lain, misalnya lobang- lobang kecil beroposisi

dengan sembulan bulat kecil pula. Komposisi kosmologi yang mengarah demikian

itu terdapat dalam lukisan Cosmogony #4 in Terracotta and Gold dan Cosmogony #5

in Red Spinel.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 6

Namun sebagian besar lukisannya merupakan kosmologi yang “rusak” atau “belum

jadi.” Mereka menggambarkan proses kosmogoni yang saling menerjang, saling

menggusur, saling merampok entah pasangan oposisinya atau jenisnya sendiri.

Lukisan-lukisan Herry Dim menggambarkan Chaos semesta entah yang mikro

maupun makro. Sebuah dunia yang belum tertata.

Perhatikan saja letak mandalanya (kabuyutan) tidak di pusat atau di tengah-tengah

ruang mandala (kabuyutan) tetapi terombang-ambing di mana-mana. Begitu pula

pasangan-pasangan oposisinya bisa saling berdempetan, menggusur yang lain,

bahkan wilayah beberapa mandalanya masih kosong, setengah kosong atau

seperempat kosong.

Kalau lukisan Herry Dim ini gambar sebuah mandala besar yang terdiri dari 25

mandala-mandala bagian (kecil) merupakan simbol sebuah negara, maka hanya ada

dua lukisan yang saya sebut di atas yang mendekati terbentuknya mandala negara

yang selesai, tenang, aman, adil, makmur. Sebuah mandala negara yang loh jinawi,

sebuah negara Nusa Damai. Hampir seluruh lukisannya, kalau ditempatkan dalam

keberadaan sebuah negara, menggambaran negara yang masih chaos dalam suasana

saling menyikut, melahap, menggeser, tidak menghormati “pusat” atau pancernya,

saling melenyapkan, salah tempat.

Bagaimana kualitas chaos mandala negara semacam itu dapat dibaca dari simbol-

simbol oposisionernya yang salah tempat, banyaknya mandala kosong, mandala

teriris, mandala yang belum selesai terisi nilai-nilainya.

Entah disadari atau tidak, Herry Dim dengan 25 bagiannya membawakan ungkapan

Sunda lama yang terdapat dalam cerita pantun Panggung Karaton dan kaum adat

Baduy. Bunyi ungkapan adat itu sebagai berikut:

Buyut yang dititipkan kepada puun Negara tiga puluh tiga Sungai enam puluh lima Pancer dua puluh lima negara

atau

nagara satelung puluh telu bagawan sawidak lima pancer salawe nagara

Sedangkan dalam cerita pantun Panggung Karaton, jumlah 25 itu terdapat dalam

bagian ketika Prabu Siliwangi membekali puteranya, Raden Layung, yang ingin

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 7

mengembara untuk menemukan daerah yang dapat dijadikan negara baru. Prabu

Siliwangi memberikan peta yang isinya tergambar suatu daerah yang terdiri dari 33

pulau, 65 sungai, dan pancernya 25 “negara.” Kalau daerah semacam itu ditemukan

maka tempat dimana negara yang ideal dapat didirikan. Ternyata daerah semacam itu

ada di negara Dayeuh Manggung dengan kepala negara (daerah) Panggung Karaton.

Apa yang dimaksud dengan pulo (pulau)? Bagaimana daerah perbukitan yang

merupakan dataran tinggi di Jawa Barat terdapat pulau-pulau? Pulau di sini simbol

yang ada di alam Pasundan ini. Pulau adalah suatu wilayah yang berada di

pertemuan dua sungai. Kadang dua sungai itu bertemu (patimuan) begitu rupa

sehingga membentuk wilayah “terisolasi” akibat di satu ujung dua sungai itu benar-

benar bersatu dan ujung yang lain hampir menyatu dan hanya menyisakan daratan

tipis antara kedua sungai tersebut. Kalau pertemuan dua sungai tersebut tidak

memiliki bagian dimana “dua sungai nyaris bertemu,” maka sering dibikin terusan

(walungan) sehingga sebuah daerah pulo terbentuk.

Dengan demikian 33 pulau memerlukan adanya 65 sungai karena setiap pulau

memerlukan hadirnya dua sungai. Hitungannya adalah 32 pulau memerlukan 64

sungai, sedang 1 pulau merupakan pusat atau pancer negara (mandala) dengan hanya

1 sungai induk atau “sungai negara.” Dengan demikian dapat diduga bahwa

kerajaan-kerajaan Sunda lama berorientasi pada sungai-sungai besar seperti Citarum,

Ciliwung, Cimandiri, dan lain- lain. Saya menduga bahwa orientasi kerajaan Galuh di

Ciamis berpusat pada sungai Cimuntur yang menyambung ke Citanduy.

Apa yang disebut pancer mungkin mengacu pada semacam “ibu negara,” kalau

sekarang semacam kota Jakarta, yang merupakan sebuah “negara” yang berarti

provinsi. Di masyarakat Jawa mirip dengan apa yang disebut negaragung atau

negara agung. Negara pancer dari 32 pulo yang kira-kira kalau di Jawa disebut

mancanegara atau wilayah kuasa suatu negara pusat (Galuh, Pajajaran, Galunggung

atau semacam itu). Jumlah 32 pulo atau daerah-daerah “negara kampung” yang

menjadi kekuasaannya hanya merupakan idealisme. Dalam kenyataannya mungkin

tidak sampai meliputi 32 negara kampung.

Dalam lukisan Herry Dim dapat ditandai dengan mandala-mandala kosong berupa

ceruk-ceruk datar. Atau ibu negara itu sendiri juga tidak selalu dikelilingi oleh 24

negara kota lainnya. Mungkin itu pula yang digambarkan dalam lukisan-lukisan

Herry Dim, yaitu mandala besar (ibu negara) yang terdiri dari 25 negara bagian

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 8

(yang dikuasai pangeran), karena kanvas Herry Dim selalu bujur sangkar dengan

tatanan 25 bujur-bujur sangkar kecil (bagian).

Kanvas-kanvas Cosmogony Herry Dim yang bujur sangkar ibaratnya negaragung

yang dikitari oleh wilayah-wilayah bawahannya atau mancanegara. Semuanya

berbentuk mandala-mandala kekuasaan dan kesakralan yang bujur sangkar. Kalau

digambarkan dalam konsep Salawe Nagara (25 negara) sebagaimana tampak pada

(gambar 4) berikut in:

Gambar 4

Kini saya tinggal menjelaskan kedudukan masing-masing mandala atau “negara

bagian” dalam ungkapan: 33 pulau dan 65 sungai. Apa yang dimaksud pulo (negara

bagian atau bagian mandala atau anak mandala) dapat digambarkan sebagaimana

tampak pada gambar 5 berikut ini:

Gambar 5

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 9

Dalam peta-peta yang dibuat oleh orang-orang kerajaan Sunda masa lampau, gambar

sebuah negara wujudnya kira-kira seperti gambar 6 sebagai berikut:

Gambar 6

Marilah kita telusur hierarki tinggi rendahnya kekuasaan dengan hitungan jumlah

mandalanya. Mandala paling tinggi adalah negara-kuta yang ada di pusat dengan

simbol seperti gambar 7 berikut ini:

Gambar 7

Itulah satu-satunya mandala agung kekuasaan.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 10

Mandala agung kekuasaan raja di pusat negara ini dikelilingi oleh 8 mandala

pengikut yang biasanya daerah-daerah kekuasaan keluarga raja, entah anak-anaknya

atau saudara-saudara kandungnya.

Gambar 8

Kalau kekuasaan raja semakin besar, maka mandala-mandala yang mengelilinginya

semakin banyak, yakni 16 mandala, seperti digambarkan Herry Dim. Itulah negara

atau mandala bawahan yang bisa disebut mancanagara (negara sahabat).

Keseluruhannya, mulai dari kedaton, negaragung, mancanegara jumlahnya ada 25

mandala (1 + 8 + 16). Inilah Salawe Nagara itu (gambar 9):

Gambar 9

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 11

Salawe Nagara ternyata belum ideal. Negara yang lebih besar dari salawe nagara

adalah kelipatan 2 dari 16 yakni 32 mandala. Yang lebih ideal lagi adalah kelipatan 2

dari 32 yakni 64 negara atau mandala, ditambah pusatnya menjadi 65 mandala.

Kalau digambarkan besar-kecilnya suatu negara sebagai sebuah mandala besar

adalah seperti gambae 10 berikut ini:

Gambar 10

Jangan-jangan kerajaan besar seperti Majapahit membawahi 64 negara atau mandala

di seluruh kepulauan Nusantara.

Keistimewaan Herry Dim dengan proyek Cosmogony ini adalah meninggalkan

jumlah hitung-hitungan mandala besar yang sudah jadi itu. Kalau hanya itu yang

mau digambarkan, alangkah membosankannya. Cukup dibikin satu lukisan besar.

Negara yang sudah adil makmur kerta raharja penuh damai tata tentrem itu memang

hidup, tetapi amat membosankan. Tidak ada masalah. Tidak ada dinamika. Tidak ada

konflik. Tidak ada cerita.

Herry Dim seperti seniman-seniman lain lebih tertarik pada adanya dinamika konflik

berupa belitan-belitan masalah. Tetapi belitan-belitan konflik itu diletakan dalam

pola besarnya yang jelas sistem hubungan kesatuannya. Setiap masalah atau konflik

dalam setiap lukisannya dapat dikenali asal-usul maknanya, karena dasarnya adalah

desain besar mandala yang dipakainya.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 12

Saya tidak akan membahasnya karena setiap orang dapat menemukan lenyapnya

hubungan-hubungan, yang menimbulkan masalah, dalam proses pembentukan suatu

harmoni yang adem ayem. Mandala ideal itu tetap ideal belaka, atau sebenarnya yang

demikian itu tak akan pernah ada. Yang ada ialah apa yang dilukiskan Herry Dim,

bahwa jalan menuju idealisme seperti itu senantiasa berproses terus-menerus dengan

berbagai permasalahan yang rumit.

Yang menarik manusia itu adalah adanya cerita, adanya suatu proses. Kalau cerita itu

sudah selesai, maka kebosanan yang akan diperoleh. Saya sudah tahu, jadi mau apa

lagi? Tetapi kalau Anda mengamati lukisan-lukisan ini, dan Anda ingin tahu, tetapi

tidak kunjung tahu juga, itulah daya tarik Cosmogony Herry Dim.

Tidak tahu itu bukan dalam arti tidak tahu sama sekali. Sebenarnya Anda sudah tahu

aturan main Herry Dim dengan lukisan- lukisan mandalanya, namun belum

sepenuhnya memperoleh jawaban finalnya.

Itulah keasyikan seni.

Itulah tepatnya bidang lukisan Herry Dim yang merupakan “pancer salawe nagara.”

Tentu saja lukisan- lukisan itu tidak harus merupakan simbol-simbol mandala negara,

tetapi juga mandala pribadi, mandala bangsa, lembaga-lembaga pendidikan,

kehakiman, dan banyak lagi. Prinsipnya adalah bhineka tunggal ika, yang

nampaknya banyak dan saling berseberangan, sebenarnya dapat saling mengisi,

saling melengkapi, saling menggenapi, sehingga setiap bagian yang tak pernah

sempurna pada dirinya akan menjadi sesuatu yang sempurna kalau semuanya

mengesa. Kesatuan totalitas yang membentuk keseimbangan tanpa melenyapkan

atau mengecilkan yang lain itulah prinsip pokok primordial Indonesia.

3

Pancer

Pancer adalah pusat, entitas yang mengandung semua bagian-bagiannya karena

bagian-bagian itu adalah pancaran dari keberadaannya. Nilai pancer adalah tertinggi

karena hadirnya yang transenden padanya. Kalau dia manusia maka disebut manusia

sempurna, dewa-kemanusiaan, dewa-raja, insan kamil.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 13

Pencapaian tingkat demikian tidak mudah. Kalau manusia harus mencapai tingkat

hakikat tiada perbedaan yang dualistik lagi. Dengan tingkat ini manusia atau

lembaga dapat mentransendenkan diri menyatu dengan Yang Maha Esa, yaitu

sampai tingkat tertinggi manusia yang makrifat (unio). Pada tingkat ini apa pun yang

dikehendakinya, apa yang dipikirkannya, dan apa yang diputuskannya senantiasa

benar belaka, meskipun kadang tidak masuk akal.

Dalam lukisan Herry Dim digambarkan dalam pilihan sebuah mandala bagian dalam

dengan sembulan lingkaran padat di tengah-tengahnya. Dalam bahasa mandala itulah

tempat hiranya garbha atau rahim murni primordial. Inilah gambarnya (gambar 11):

Seharusnya pancer itu ada di pusat mandala

yang dikelilingi oleh mandala-mandala lain

yang serupa di arah empat mata angin semesta

atau delapan arah semesta, atau kelipatan dari

jumlah itu. Dari pancer terjadi proses menyebar

dalam gerak sentrifugal atau justru gerak

memusat dalam gerak sentripetal.

Dalam lukisan Herry Dim hanya dua lukisan

yang memasang pancer persis di pusat mandala. Meskipun demikian letak mandala-

mandala yang mengandung oposisinya belum tertata dengan benar. Inilah simbol

negara yang belum menyatu padu dalam totalitas kehidupannya. Pancer sudah ada,

namun bagian-bagian belum menjalankan tugas semestinya di ruang masing-masing.

4

Mandala Kosong

Bidang mandala kecil atau mandala bagian yang berisi lobang bundar atau lobang

ceruk adalah simbol kekosongan, ketiadaan, yang mirip goa-goa dalam dunia

primordial Indonesia. Goa berarti keperempuanan asal-muasal hidup ini. Dalam

banyak mitologi di Papua misalnya goa-goa berisi roh-roh. Tidak mengherankan

kalau banyak goa-goa yang dindingnya dipenuhi lukisan aneka rupa. Itulah ruang

roh-roh, semacam mandala spiritual,

Dengan demikian pasangan mandala kosong ini adalah mandala isi, yakni mandala

yang berisi sembulan bundar. Itulah pasangan baut dan sekrup, isi dan wadah.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 14

Wadah menentukan bobot isi, dan isi menyesuaikan dengan wadahnya. Dengan

demikian sembulan bernilai kelaki- lakian.

Kategori laki-permpuan dalam pasangan oposisioner dwitunggal dapat berarti

banyak, misalnya pemimpin adalah lelaki dan yang dipimpin adalah rakyat yang

perempuan. Ketegasan adalah lelaki, kasih sayang perempuan. Mendapat banyak

(kaya) bernilai laki- laki sedang memberi banyak (derma) adalah perempuan.

Pada lukisan Herry Dim mandala kosong ini biasanya berisi lobang yang lebih kecil

dari sembulan bulat pancernya. Bahkan kadang disertai lobang yang lebih besar

namun tak lengkap, hanya seperempat atau setengahnya saja. Inilah gangguan,

belum sempurna sebagai mandala. Inilah gambarnya (gambar 12):

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 15

5

Lingkaran Linear

Gambarnya seperti di bawah ini (gambar 13):

Gambar 13

Gerak melingkar garis linear ini disebut mengkanankan pancer atau pusat, yakni

gerak searah jarum jam modern. Gerak ini bermakna dari bawah ke atas, dari

material ke spiritual, dari manusia menuju illahiah. Di daerah Subang sering disebut

ider naga, kalau anti-jarum jam disebut ider munding. Inilah bentuk primordial

yang-yin Cina. Ras Indonesia yang mongoloid purba masih ada hubungan dengan

perkembangan peradaban Cina.

Dalam yang-yin Cina kesempurnaan totalitas

dari peleburan dualitas digambarkan sempurna

dalam satu entitas yang sebenarnya dibentuk

oleh dua entitas yang saling berbalikan

(gambar 14).

Kalau ditelusur lebih jauh asal-usulnya mirip

dengan gerak melingkar mengkanan dan

mengkiri dalam bentuk motif huruf “S”

Indonesia (gambar 15).

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 16

Dengan demikian penggunaan bentuk melingkar

dalam lukisan Herry Dim bertolak dari konsep

yang amat purba di Indonesia, sebelum ras

mongoloid terpecah-pecah dalam banyak bangsa

dan negara sekarang ini. Dalam bentuknya yang

purba yang-yin Indonesia terpisah dalam dua

bentuk motif huruf “S” yang normal dan yang

terbalik. Beginilah gambarnya (gambar 16):

Gambar 16

Kalau motif huruf “S” normal mengandung arah melingkar yang mengkanan, maka

motif huruf “S” terbalik mengandung arah melingkar mengkirikan pusat.

Arah lingkar anti-jarum jam, yakni arah gerak mengkirikan pusat berarti “turun”

mengikuti hukum gravitasi, yakni dari atas ke bawah, dari rohani ke materi. Arah

gerak ini dapat diasosiasikan dalam kategori perempuan. Sedang arah gerak jarum

jam masuk kategori lelaki. Hal ini masih dapat dilihat dari cara melipat kain batik

pada lelaki yang ujungnya jatuh di kaki kanan, sedang pada perempuan arah

lipatannya terbalik sehingga ujung kain batik jatuh di kaki kiri.

Dalam lukisan Herry Dim dapat dibaca sebagai gerak melingkar ke kanan dalam

mandala yang manusianya mentransendensikan diri. Sedang gerak mengkiri Yang

Esa mengimanen di dunia manusia.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 17

Dalam mandala yang kedua gerak itu ada, maka berarti pertemuan yang bawah ke

atas dan yang atas ke bawah, transendensi dan imanensi terjadi dalam satu mandala.

6

Garis-garis Lurus

Dalam gambar Herry Dim berbentuk seperti (gambar 17) ini:

Gambar 17

Inilah mandala yang belum mandala karena jajaran garis lurus yang meskipun

berdampingan tetapi saling terpisah. Motif demikian ada pada kain lurik di Jawa atau

kain sarung Nusantara. Bedanya dengan kain lurik adalah adanya pola hubungan

antara garis-garis besar dan kecil dalam penempatan atau komposisi yang tetap.

Misalnya (gambar 18) begini:

Gambar 18

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 18

Garis tebal adalah gabungan antara dua garis kecil yang berarti menyatukan yang

pasangan garis kecil. Atau sebaliknya pasangan 4 garis besar justru disatukan oleh

garis kecil (halus, rohaniah).

Dalam lukisan Herry Dim bahkan bidang mandala tidak berisi garis-garis penuh.

Ketidak sempurnaan. Ketidak seimbangan. Garis-garis yang sama tebalnya, selama

berjajar adalah pemisah. Liniaritas adalah pemisahan, tetapi garis sirkuler

menyatukan yang mendefinisikan ruang. Pada Herry Dim ada ruang terisi

pemisahan-pemisahan dan sekaligus ruang kosong belum terisi. Misalnya (gambar

19) begini:

Gambar 19

7

Lapis-lapis Mandala

Dalam satu anak mandala, Herry Dim mengisinya dengan mandala-mandala berlapis

seperti (gambar 20) ini:

Gambar 20

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 19

Tetapi tidak saya jumpai lapis- lapis mandala yang digambarkan seperti (gambar 21)

ini:

Gambar 21

Mandala berlapis semacam itu menunjukan tingkat hierarki kesakralan seperti

terdapat pada candi Borobudur, kira-kira begini (gambar 22):

Gambar 22

Mengapa Herry Dim lebih menyukai mandala “jajaran genjang” seperti itu? Dan

tidak lapis- lapis mandala seperti Borobudur?

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 20

Entah disadari atau tidak, mandala jajaran genjang atau belah ketupat itu sampai

sekarang masih digunakan di daerah kasepuhan Banten Kidul, yaitu ketika

menentukan pancer dalam suatu ritualnya. Bentuknya seperti (gambar 23) ini:

Gambar 23

Bandingkan dengan lambang swastika yang bahkan digunakan juga oleh Hitler

(gambar 24).

Gambar 24

Untuk memahami hal ini kita harus kembali pada makna pancer sakral yang

menyebarkan kesakralannya ke semua penjuru mata angin semesta. Umumnya

sebuah mandala hanya menunjuk pada 4 arah mata angin, yaitu timur, barat, utara,

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 21

selatan. Tetapi pada mandala besar jumlah arah mata angin semesta itu ada 8, yang

ditambah dengan arah barat-utara (barat laut), barat-selatan (barat daya), timur-utara

(timur laut), dan timur-selatan (tenggara).

Penjelasannya adalah pada masyarakat pesawahan yang hidup dari berladang di

dataran-dataran tinggi yang berbukit-bukit, mereka hanya mengalami arah hulu-hilir

(biasanya utara-selatan) dan arah matahari terbit dan tenggelam. Pada dasarnya

hanya mengenal dua arah saja, yakni utara-selatan dan barat-timur sebagai garis ayah

yang bermakna “cahaya” (mungkin arah terbit dan tenggelamnya matahari).

Pertemuan dua arah semesta besar inilah (tritangtu) yang dijadikan pancer-pancer,

sehingga keempat pancernya menyatu dalam ruang mandala, dan terbentuklah

mandala belah ketupat.

Gambar mandala di Bali, seperti terlihat dari pola letak bangunan-bangunan dalam

sebuah rumah, mirip pengertian arah semesta di kampung kasepuhan Banten Kidul,

yakin garis miring yang mengandung rangkap arah alias paradoksal, yaitu menunjuk

arah barat laut, barat daya, timur laut, tenggara. Bukan arah utara-selatan barat-timur.

Dengan cara pandang demikian maka tempat paling sakral justru tidak ada di pusat

tetapi justru di pojok timur laut.

Makna mandala di Bali biasanya digambarkan seperti (gambar 25) berikut:

Gambar 25

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 22

Mungkin inilah sebabnya bentuk mandala belah ketupat lebih “benar” dan “cocok”

sebagai orang Sunda. Tetapi boleh jadi juga oleh pandangan modernnya yang nanti

akan saya jelaskan.

Mengapa letak pancer pada banyak lukisan Herry Dim menghindari pusat yang

persis di tengah-tengah bujur sangkar mandala?

8

Tekstur Ceruk dan Sembulan

Lukisan-lukisan Herry Dim ini paradoks, karena biasanya lukisan hanya berada di

bidang datar kain atau kanvas. Padanya ada aspek ruang karena permukaan

lukisannya bertekstur, sebagian muncul di permukaan dan sebagian dibuat ceruk ke

dalam, jadi mirip seni rupa tua Indonesia, yakni lukisan relief pada candi-candi.

Lukisan-lukisan Herry Dim pada dasarnya relief modern.

Bidang-bidang ceruk biasanya memberikan kesan kekosongan, tidak ada, belum ada,

atau ada gejala akan mengada (lubang- lubang kecil yang senantiasa ditoreh secara

berirama). Atau kosong itu sendiri jangan-jangan dapat berarti Kosong, Sunya,

Awang Uwung, Suwung.

Justru ceruk adalah ketiadaan atau kekosongan yang sejatinya justru segalanya,

mengikuti ungkapan Sunda: adanya tidak ada, adanya ada (ayana aya, ayana

euweuh, aya teh euweuh, euweuh teh aya).

9

Kosmogoni Herry Dim

Begitulah tafsir saya atas lukisan-lukisan Cosmogony Herry Dim berdasarkan cara

berfikir pra-modern Indonesia. Elemen-elemen kosmogoninya sudah saya tafsirkan

sesuai dengan pola mandala. Meskipun Herry Dim menggunakan pola mandala

tetapi dia mengubahnya menurut naluri dan pemikirannya sendiri. Atau mungkin

saja sebenarnya Herry Dim sama sekali tidak menyadari bahwa lukisan-lukisan

reliefnya ini dapat merujuk pada konsep mandala. Perhatiannya hanya pada asal-usul

atau “the origin” semesta (universe), yakni asal-usul keberadaan ini.

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 23

Dalam pandangan modern entitas seperti pancer, pusat, sakral, transenden, semua itu

tidak ada. Kaum astronom dapat mengatakan bahwa “our universe has no center.”

Kalau pusat original (berlawanan dengan Big Bang) itu tidak ada, maka yang disebut

pancer dan pusat itu bisa di mana-mana. Mengikuti pandangan ini, maka pusat

kosmogoni Herry Dim memang wajar saja dapat ada di mana-mana, tidak harus di

pusat atau tengah-tengah kanvasnya. Jadi pembacaannya, kalau center itu ada di

pinggir maka bagaimana hubungan pancer yang di pinggir itu dibangun dalam wujud

kosmologinya.

Simbol-simbol yang sudah saya uraikan berdasarkan kenyataan masa lalu bangsa ini.

Itulah warisan cara berfikir nenek moyang kita dahulu memaknai dirinya, dunia, dan

Tuhan. Kita sekarang juga memiliki pemaknaan sendiri tentang diri, dunia, dan idea-

idea. Tetapi apakah cara berfikir lama dalam memaknai keberadaan ini sudah lapuk

dan ketinggalan zaman sehingga lebih baik kita bunuh ramai-ramai? Atau

sebenarnya pola-pola pikiran tua ini masih sangat relevan untuk menjalani hidup

masa kini?

Bukankah kita mengalami begitu banyak masalah yang tak terpecahkan justru karena

kita telah melupakan filosofi tua Indonesia ini? Bukankah telah terbukti bahwa

selama 4 atau 3 millenium bangsa ini berhasil hidup lestari dalam kedamaian?

Bukankah masuknya cara berfikir luar itulah yang memulai menimbulkan masalah-

masalah di Indonesia?

Tengoklah kaum adat yang keras kepala tidak mau masuk ke modernitas. Mereka

hidup penuh kedamaian tanpa diusik oleh cara berfikir baru dari luar. Mereka ini

akan tetap terus hidup damai, tata tentrem kerta raharja, meskipun republik ini tidak

ada! Mengapa cara hidup kedamaian semacam itu tidak kita telisik kembali?

Herry Dim telah melakukan dan mencoba menafsirkan kehidupan modern ini

berdasarkan pola-pola pikir tua, disadari atau tidak. Dengan melokal akan

mengglobal.***

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 24

Jakob Sumardjo adalah seorang penulis kritik

sastra dan juga pelopor filsafat seni di Indonesia.

Jakob merupakan anak sulung dari tujuh

bersaudara, putra dari pensiunan ABRI, P.

Djojoprajitno.

Karier kefilsafatan Jakob Sumardjo dimulai ketika

menulis kolom di harian Kompas, Pikiran Rakyat,

Suara Karya, Suara Pembaruan, dan majalah

Prisma, Basis, dan Horison sejak 1969. Buku-

bukunya yang membahas filsafat Indonesia ialah:

Filsafat Seni (2000), Menjadi Manusia (2001), Arkeologi Buadaya Indonesia (2002),

Mencari Sukma Indonesia: Pendataan Kesadaran Keindonesiaan di tengah Letupan

Disintegrasi Sosial Kebangsaan (2003), Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda

(2003), Sunda: Pola Rasionalitas Budaya (2012), Negeri Sepanjang Tikai: 100 Esei

Kesaksian Indonesia (2012), dan Estetika Paradoks (edisi revisi, 2014).***

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 25

Serial “Cosmogony” karya Herry Dim

Cosmogony #1 in the Heart of Stone

Cosmogony #2 in Green Jadeite Chrysoprasus

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 26

Cosmogony #3 in Turqouise Blue

Cosmogony #4 in Terracotta and Gold

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 27

Cosmogony #5 in Red Spinel

Cosmogony #6 in White Satin

Jakob Sumardjo, Kosmogoni Salawe Nagara Herry Dim 28

Cosmogony #7 Goes into Greenland

Cosmogony #1 in Turqouise Blue

[saat ini masih dalam proses, “Cosmogony” serial print]


Recommended