Date post: | 27-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
Laporan Metode Hari/Tanggal : Kamis,26 Februari 2015
Inspeksi Pangan Dosen : Dr NurWulandari
UNDANG-UNDANG YANG MENGATUR BIDANG PANGAN DI INDONESIA
Kelompok 3/AP2
Apriany Islamiaty J3E113068
Dila Azalia Putri J3E113054
Fathan As’ad J3E113059
Yuni Tiara Sari J3E113049
SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN
PROGRAM DIPLOMA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2014 -2015
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2012
TENTANG
PANGAN
BAB V
KETERJANGKAUAN PANGAN
Bagian Ketiga Pemasaran Pangan
Pasal 53
Pelaku Usaha Pangan dilarang menimbun atau menyimpan
Pangan Pokok melebihi jumlah maksimal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 52.
Pasal 54
(1) Pelaku Usaha Pangan yang melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran; dan/atau
c. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VI
KONSUMSI PANGAN DAN GIZI.
Bagian Kedua
Penganekaragaman Konsumsi Pangan
Bagian Ketiga
Perbaikan Gizi
Pasal 64
(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan
tertentu untuk diperdagangkan wajib menerapkan tata
cara pengolahan Pangan yang dapat menghambat proses
penurunan atau kehilangan kandungan Gizi bahan baku
Pangan yang digunakan.
(2) Penerapan tata cara pengolahan Pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertahap
berdasarkan jenis Pangan serta jenis dan skala usaha
Produksi Pangan.
Pasal 65
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB VII
KEAMANAN PANGAN
Bagian Kedua
Sanitasi Pangan
Pasal 71
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam rantai Pangan
wajib mengendalikan risiko bahaya pada Pangan, baik
yang berasal dari bahan, peralatan, sarana produksi,
maupun dari perseorangan sehingga Keamanan Pangan
terjamin.
(2) Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
peredaran Pangan wajib:
a. memenuhi Persyaratan Sanitasi; dan
b. menjamin Keamanan Pangan dan/atau keselamatan
manusia.
(3) Ketentuan mengenai Persyaratan Sanitasi dan
jaminan Keamanan Pangan dan/atau keselamatan manusia
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
Pasal 72
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 71 ayat (1) dan ayat (2) dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pengaturan Bahan Tambahan Pangan
Pasal 73
Bahan tambahan Pangan merupakan bahan yang ditambahkan
ke dalam Pangan untuk mempengaruhi sifat dan/atau
bentuk Pangan.
Pasal 74
(1) Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan
yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan
yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan
manusia dalam kegiatan atau proses Produksi Pangan
untuk diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan bahan tambahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk mendapatkan
izin peredaran.
Pasal 75
(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan:
a. bahan tambahan Pangan yang melampaui ambang batas
maksimal yang ditetapkan; dan/atau
b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan
tambahan Pangan.
(2) Ketentuan mengenai ambang batas maksimal dan bahan
yang dilarang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
Pasal 76
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 75 ayat (1) dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pengaturan Pangan Produk Rekayasa Genetik
Pasal 77
(1) Setiap Orang dilarang memproduksi Pangan yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan.
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses
Produksi Pangan dilarang menggunakan bahan baku,
bahan tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan.
(3) Persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) diberikan oleh
Pemerintah.
(4) Ketentuan mengenai tata cara memperoleh
persetujuan Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 78
(1) Pemerintah menetapkan persyaratan dan prinsip
penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode
Rekayasa Genetik Pangan dalam kegiatan atau proses
Produksi Pangan, serta menetapkan persyaratan bagi
pengujian Pangan yang dihasilkan dari Rekayasa
Genetik Pangan.
(2) Ketentuan mengenai persyaratan dan prinsip
penelitian, pengembangan, dan pemanfaatan metode
Rekayasa Genetik Pangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 79
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 77 ayat (1) dan ayat (2)
dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Standar Kemasan Pangan
Pasal 82
(1) Kemasan Pangan berfungsi untuk mencegah terjadinya
pembusukan dan kerusakan, melindungi produk dari
kotoran, dan membebaskan Pangan dari jasad renik
patogen.
(2) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan dalam
kemasan wajib menggunakan bahan Kemasan Pangan yang
tidak membahayakan kesehatan manusia.
Pasal 83
(1) Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apa pun sebagai
Kemasan Pangan yang dapat melepaskan cemaran yang
membahayakan kesehatan manusia.
(2) Pengemasan Pangan yang diedarkan dilakukan melalui
tata cara yang dapat menghindarkan terjadinya kerusakan
dan/atau pencemaran.
(3) Ketentuan mengenai Kemasan Pangan, tata cara
pengemasan Pangan, dan bahan yang dilarang digunakan
sebagai Kemasan Pangan diatur dalam Peraturan
Pemerintah.
Pasal 84
(1) Setiap Orang dilarang membuka kemasan akhir Pangan
untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
(2) Ketentuan larangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku terhadap Pangan yang pengadaannya
dalam jumlah besar dan lazim dikemas kembali dalam
jumlah kecil untuk diperdagangkan lebih lanjut.
Pasal 85
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 82 ayat (2), Pasal 83 ayat (1),
dan Pasal 84 ayat (1) dikenai sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Jaminan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan
Pasal 87
(1) Pemerintah dapat menetapkan persyaratan agar Pangan
diuji di laboratorium sebelum diedarkan.
(2) Pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di laboratorium yang ditunjuk oleh dan/atau
yang telah memperoleh akreditasi dari Pemerintah.
(3) Ketentuan mengenai persyaratan pengujian
laboratorium diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 88
(1) Petani, Nelayan, Pembudi Daya Ikan, dan Pelaku
Usaha Pangan di bidang Pangan Segar harus memenuhi
persyaratan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar.
(2) Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membina,
mengawasi, dan memfasilitasi pengembangan usaha Pangan
Segar untuk memenuhi persyaratan teknis minimal
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
(3) Penerapan persyaratan teknis Keamanan Pangan dan
Mutu Pangan Segar sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dilakukan secara bertahap sesuai dengan jenis Pangan
Segar serta jenis dan/atau skala usaha.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan
Keamanan Pangan dan Mutu Pangan Segar sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan atau berdasarkan
Peraturan Pemerintah.
Pasal 89
Setiap Orang dilarang memperdagangkan Pangan yang tidak
sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu Pangan yang
tercantum dalam label Kemasan Pangan.
Pasal 90
(1) Setiap Orang dilarang mengedarkan Pangan tercemar.
(2) Pangan tercemar sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa Pangan yang:
a. mengandung bahan beracun, berbahaya, atau yang dapat
membahayakan kesehatan atau jiwa manusia;
b. mengandung cemaran yang melampaui ambang batas
maksimal yang ditetapkan;
c. mengandung bahan yang dilarang digunakan dalam
kegiatan atau proses Produksi Pangan;
d. mengandung bahan yang kotor, busuk, tengik, terurai,
atau mengandung bahan nabati atau hewani yang
berpenyakit atau berasal dari bangkai;
e. diproduksi dengan cara yang dilarang; dan/atau
f. sudah kedaluwarsa.
Pasal 91
(1) Dalam hal pengawasan keamanan, mutu, dan Gizi,
setiap Pangan Olahan yang dibuat di dalam negeri atau
yang diimpor untuk diperdagangkan dalam kemasan eceran,
Pelaku Usaha Pangan wajib memiliki izin edar.
(2) Kewajiban memiliki izin edar sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dikecualikan terhadap Pangan Olahan
tertentu yang diproduksi oleh industri rumah tangga.
(3) Ketentuan mengenai kewajiban memiliki izin edar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 92
(1) Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah melakukan
pengawasan dan pencegahan secara berkala terhadap kadar
atau kandungan cemaran pada Pangan.
(2) Pengawasan dan pencegahan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 93
Setiap Orang yang mengimpor Pangan untuk diperdagangkan
wajib memenuhi standar Keamanan Pangan dan Mutu Pangan.
Pasal 94
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 86 ayat (2) mengenai pemenuhan
standar Mutu Pangan, Pasal 89 mengenai label Kemasan
Pangan, Pasal 90 ayat (1) mengenai Pangan tercemar, dan
Pasal 93 mengenai impor Pangan dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Jaminan Produk Halal bagi yang Dipersyaratkan
Pasal 95
(1) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melakukan
pengawasan terhadap penerapan sistem jaminan produk
halal bagi yang dipersyaratkan terhadap Pangan.
(2) Penerapan sistem jaminan produk halal bagi yang
dipersyaratkan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VIII
LABEL DAN IKLAN PANGAN
Bagian Kesatu Label Pangan
Pasal 96
(1) Pemberian label Pangan bertujuan untuk memberikan
informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat
tentang setiap produk Pangan yang dikemas sebelum
membeli dan/atau mengonsumsi Pangan.
(2) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan Gizi,
dan keterangan lain yang diperlukan.
Pasal 97
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan di dalam
negeri untuk diperdagangkan wajib mencantumkan label di
dalam dan/atau pada Kemasan Pangan.
(2) Setiap Orang yang mengimpor pangan untuk
diperdagangkan wajib mencantumkan label di dalam
dan/atau pada Kemasan Pangan pada saat memasuki wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Pencantuman label di dalam dan/atau pada Kemasan
Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
ditulis atau dicetak dengan menggunakan bahasa
Indonesia serta memuat paling sedikit keterangan
mengenai:
a. nama produk;
b. daftar bahan yang digunakan;
c. berat bersih atau isi bersih;
d. nama dan alamat pihak yang memproduksi atau
mengimpor;
e. halal bagi yang dipersyaratkan;
f. tanggal dan kode produksi;
g. tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa;
h. nomor izin edar bagi Pangan Olahan; dan
i. asal usul bahan Pangan tertentu.
(4) Keterangan pada label sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) ditulis, dicetak, atau ditampilkan secara
tegas dan jelas sehingga mudah dimengerti oleh
masyarakat.
Pasal 98
(1) Ketentuan mengenai label berlaku bagi Pangan yang
telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk
diperdagangkan.
(2) Ketentuan label tidak berlaku bagi Perdagangan
Pangan yang dibungkus di hadapan pembeli.
(3) Pemerintah dan Pemerintah Daerah melaksanakan
pembinaan terhadap usaha mikro dan kecil agar secara
bertahap mampu menerapkan ketentuan label sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 99
Setiap Orang dilarang menghapus, mencabut, menutup,
mengganti label, melabel kembali, dan/atau menukar
tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan yang
diedarkan.
Pasal 100
(1) Setiap label Pangan yang diperdagangkan wajib
memuat keterangan mengenai Pangan dengan benar dan
tidak menyesatkan.
(2) Setiap Orang dilarang memberikan keterangan atau
pernyataan yang tidak benar dan/atau menyesatkan pada
label.
Pasal 101
(1) Setiap Orang yang menyatakan dalam label bahwa
Pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan
yang dipersyaratkan bertanggung jawab atas
kebenarannya.
(2) Setiap Orang yang menyatakan dalam label bahwa
Pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim
tertentu bertanggung jawab atas kebenaran klaim
tersebut.
(3) Label tentang Pangan Olahan tertentu yang
diperdagangkan wajib memuat keterangan tentang
peruntukan, cara penggunaan, dan/atau keterangan lain
yang perlu diketahui mengenai dampak Pangan terhadap
kesehatan manusia.
Pasal 102
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (1), Pasal 99, dan Pasal
100 ayat (2) dikenai sanksi administratif.
(2) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 97 ayat (2) wajib mengeluarkan
dari dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia
atau memusnahkan Pangan yang diimpor.
(3) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 104
(1) Setiap iklan Pangan yang diperdagangkan harus
memuat keterangan atau pernyataan mengenai Pangan
dengan benar dan tidak menyesatkan.
(2) Setiap Orang dilarang memuat keterangan atau
pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan dalam
iklan Pangan yang diperdagangkan.
(3) Pemerintah mengatur, mengawasi, dan melakukan
tindakan yang diperlukan agar iklan Pangan yang
diperdagangkan tidak memuat keterangan atau pernyataan
yang tidak benar atau menyesatkan.
Pasal 105
(1) Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa
Pangan yang diperdagangkan adalah halal sesuai dengan
yang dipersyaratkan wajib bertanggung jawab atas
kebenarannya.
(2) Setiap Orang yang menyatakan dalam iklan bahwa
Pangan yang diperdagangkan adalah sesuai dengan klaim
tertentu wajib bertanggung jawab atas kebenaran klaim
tersebut.
Pasal 106
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dan Pasal 105 dikenai
sanksi administratif.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) berupa:
a. denda;
b. penghentian sementara dari kegiatan, produksi,
dan/atau peredaran;
c. penarikan Pangan dari peredaran oleh produsen;
d. ganti rugi; dan/atau
e. pencabutan izin.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran
denda, tata cara, dan mekanisme pengenaan sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah.
BAB IX
PENGAWASAN
Pasal 109
Dalam melaksanakan pengawasan, lembaga pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108 ayat (3) sesuai
dengan urusan dan/atau tugas serta kewenangan, masing-
masing mengangkat pengawas.
Pasal 110
(1) Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 109
berwenang:
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan Perdagangan Pangan untuk memeriksa,
meneliti, dan mengambil contoh Pangan dan segala
sesuatu yang diduga digunakan dalam kegiatan produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan/atau Perdagangan Pangan;
b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap sarana
angkutan yang diduga atau patut diduga yang digunakan
dalam pengangkutan Pangan serta mengambil dan memeriksa
contoh Pangan;
c. membuka dan meneliti Kemasan Pangan;
d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain
yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
Perdagangan Pangan, termasuk menggandakan atau mengutip
keterangan tersebut; dan
e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha atau
dokumen lain yang sejenis.
(2) Pengawas dalam melaksanakan tugas sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) wajib dilengkapi dengan surat
perintah pengawasan dan/atau pemeriksaan serta tanda
pengenal.
Pasal 111
Dalam hal hasil pemeriksaan oleh pengawas menunjukkan
adanya bukti awal bahwa telah terjadi tindak pidana di
bidang Pangan, penyidikan segera dilakukan oleh
penyidik yang berwenang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 112
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengawasan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 sampai dengan Pasal 110 diatur
dalam Peraturan Pemerintah. .
BAB XIV
PENYIDIKAN
Pasal 132
(1) Selain pejabat polisi negara Republik Indonesia,
pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang lingkup
tugas dan tanggung jawabnya di bidang Pangan diberi
wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan
penyidikan dalam tindak pidana di bidang Pangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang Hukum Acara Pidana.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berwenang:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau
keterangan berkenaan dengan tindak pidana di
bidang Pangan;
b. melakukan pemanggilan terhadap seseorang untuk
didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau
sebagai saksi dalam tindak pidana di bidang
Pangan;
c. melakukan penggeledahan dan penyitaan terhadap
barang bukti tindak pidana di bidang Pangan;
d. meminta keterangan dan barang bukti dari orang
atau badan hukum sehubungan dengan tindak pidana
di bidang Pangan;
e. membuat dan menandatangani berita acara;
f. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat
cukup bukti tentang adanya tindak pidana di bidang
Pangan; dan
g. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan
tugas penyidikan tindak pidana di bidang Pangan.
(1) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan
kepada pejabat penyidik kepolisian negara Republik
Indonesia.
(2) Apabila pelaksanaan kewenangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) memerlukan tindakan
penangkapan dan penahanan, penyidik pegawai negeri
sipil melakukan koordinasi dengan pejabat penyidik
kepolisian negara Republik Indonesia sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada
penuntut umum melalui pejabat penyidik kepolisian
negara Republik Indonesia.
(4) Pengangkatan pejabat penyidik pegawai negeri sipil
dan tata cara serta proses penyidikan dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
BAB XV
KETENTUAN PIDANA
Pasal 133
Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja menimbun atau
menyimpan melebihi jumlah maksimal sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 53 dengan maksud untuk memperoleh
keuntungan yang mengakibatkan harga Pangan Pokok
menjadi mahal atau melambung tinggi dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda
paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar
rupiah).
Pasal 134
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan Olahan
tertentu untuk diperdagangkan, yang dengan sengaja
tidak menerapkan tata cara pengolahan Pangan yang dapat
menghambat proses penurunan atau kehilangan kandungan
Gizi bahan baku Pangan yang digunakan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling
banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 135
Setiap Orang yang menyelenggarakan kegiatan atau
proses produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
peredaran Pangan yang tidak memenuhi Persyaratan
Sanitasi Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2
(dua) tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Pasal 136
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk
diedarkan yang dengan sengaja menggunakan:
a. bahan tambahan Pangan melampaui ambang batas
maksimal yang ditetapkan; atau
b. bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan
tambahan Pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75
ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
5 (lima) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Pasal 137
(1) Setiap Orang yang memproduksi Pangan yang
dihasilkan dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum
mendapatkan persetujuan Keamanan Pangan sebelum
diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat
(1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Setiap Orang yang melakukan kegiatan atau proses
Produksi Pangan dengan menggunakan bahan baku, bahan
tambahan Pangan, dan/atau bahan lain yang dihasilkan
dari Rekayasa Genetik Pangan yang belum mendapatkan
persetujuan Keamanan Pangan sebelum diedarkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun atau denda paling banyak Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 138
Setiap Orang yang melakukan Produksi Pangan untuk
diedarkan, yang dengan sengaja menggunakan bahan apa
pun sebagai Kemasan Pangan yang dapat melepaskan
cemaran yang membahayakan kesehatan manusia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling
banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 139
Setiap Orang yang dengan sengaja membuka kemasan akhir
Pangan untuk dikemas kembali dan diperdagangkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah). Pasal 140 Setiap Orang yang memproduksi dan
memperdagangkan Pangan yang dengan sengaja tidak
memenuhi standar Keamanan Pangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 86 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 141
Setiap Orang yang dengan sengaja memperdagangkan Pangan
yang tidak sesuai dengan Keamanan Pangan dan Mutu
Pangan yang tercantum dalam label Kemasan Pangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda
paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 142
Pelaku Usaha Pangan yang dengan sengaja tidak memiliki
izin edar terhadap setiap Pangan Olahan yang dibuat di
dalam negeri atau yang diimpor untuk diperdagangkan
dalam kemasan eceran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
91 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama
2 (dua) tahun atau denda paling banyak
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).
Pasal 143
Setiap Orang yang dengan sengaja menghapus, mencabut,
menutup, mengganti label, melabel kembali, dan/atau
menukar tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa Pangan
yang diedarkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun atau denda paling banyak Rp4.000.000.000,00
(empat miliar rupiah).
Pasal 144
Setiap Orang yang dengan sengaja memberikan keterangan
atau pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan pada
label sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun atau denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam
miliar rupiah).
Pasal 145
Setiap Orang yang dengan sengaja memuat keterangan
atau pernyataan tentang Pangan yang diperdagangkan
melalui iklan yang tidak benar atau menyesatkan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau
denda paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar
rupiah).
Pasal 146
(1) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
137, Pasal 138, Pasal 142, Pasal 143, dan Pasal 145
yang mengakibatkan:
a. luka berat atau membahayakan nyawa orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun atau denda paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
b. kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
140 yang mengakibatkan:
a. luka berat atau membahayakan nyawa orang, pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling lama 7
(tujuh) tahun atau denda paling banyak
Rp14.000.000.000,00 (empat belas miliar rupiah).
b. kematian orang, pelaku dipidana dengan pidana
penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau denda
paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh
miliar rupiah).
Pasal 147
Setiap pejabat atau penyelenggara negara yang melakukan
atau membantu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 133 sampai Pasal 145, dikenai pidana dengan
pemberatan ditambah 1/3 (satu pertiga) dari ancaman
pidana masing-masing.
Pasal 148
(1) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 133 sampai Pasal 145 dilakukan oleh korporasi,
selain pidana penjara dan pidana denda terhadap
pengurusnya, pidana dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3
(tiga) kali dari pidana denda terhadap perseorangan.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pencabutan hak-hak tertentu; atau
b. pengumuman putusan hakim.
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 28 TAHUN 2004
TENTANG
KEAMANAN, MUTU DAN GIZI PANGAN
BAB II
KEAMANAN PANGAN
Bagian Pertama
Sanitasi
Pasal 2
(1) Setiap orang yang bertanggung jawab dalam
penyelenggaraan kegiatan pada rantai pangan yang
meliputi proses produksi, penyimpanan, pengangkutan,
dan peredaran pangan wajib memenuhi persyaratan
sanitasi sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
(2) Persyaratan sanitasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diatur lebih lanjut oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan yang meliputi
antara lain :
a. sarana dan/atau prasarana;
b. penyelenggaraan kegiatan; dan
c. orang perseorangan.
Bagian Kedua
Bahan Tambahan Pangan
Pasal 11
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai
bahan tambahan pangan yang dinyatakan terlarang.
(2) Bahan yang dinyatakan terlarang sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 13
(1) Bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan
pangan tetapi belum diketahui dampaknya bagi
kesehatan manusia, wajib terlebih dahulu diperiksa
keamanannya, dan dapat digunakan dalam kegiatan atau
proses produksi pangan untuk diedarkan setelah
memperoleh persetujuan Kepala Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan
sebagaiman dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Bagian Ketiga
Pangan Produk Rekayasa Genetika
Pasal 14
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan atau
menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan,
dan/atau bahan bantu lain dalam kegiatan atau proses
produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa
genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan
pangan tersebut sebelum diedarkan.
(2) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa
genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
:
a. informasi genetika, antara lain deskripsi umum
pangan produk rekayasa genetika dan deskripsi
inang serta penggunaanya sebagai pangan;
b. deskripsi organisme donor;
c. deskripsi modifikasi genetika;
d. karakterisasi modifikasi genetika; dan
e. informasi keamanan pangan, antara lain kesepadanan
substansial, perubahan nilai gizi, alergenitas dan
toksisitas.
(3) Pemeriksaan keamanan pangan produk rekayasa
genetika sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilaksanakan oleh komisi yang menangani keamanan
pangan produk rekayasa genetika.
(4) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan keamanan
pangan produk rekayasa genetika sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) ditetapkan oleh komisi yang menangani
keamanan pangan produk rekayasa genetika.
(5) Kepala Badan menetapkan bahan baku, bahan tambahan
pangan, dan/atau bahan bantu lain hasil proses
rekayasa genetika yang dinyatakan aman sebagai
pangan dengan memperhatikan rekomendasi dari komisi
yang menangani keamanan pangan produk rekayasa
genetika.
Bagian Keempat
Iradiasi Pangan
Pasal 15
(1) Fasilitas iradiasi yang digunakan dalam kegiatan
atau proses produksi pangan untuk diedarkan harus
mendapatkan izin pemanfaatan tenaga nuklir dan
didaftarkan kepada Kepala badan yang bertanggung jawab
di bidang pengawasan tenaga nuklir.
(2) Setiap pangan yang diproduksi dengan menggunakan
teknik dan/atau metode iradiasi untuk diedarkan harus
memenuhi ketentuan tentang pangan iradiasi yang
ditetapkan oleh Kepala Badan.
Bagian Kelima
Kemasan Pangan
Pasal 16
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diedarkan dilarang menggunakan bahan apapun sebagai
kemasan pangan yang dinyatakan terlarang dan/atau
yang dapat melepaskan cemaran yang merugikan atau
membahayakan kesehatan manusia.
(2) Bahan yang dilarang digunakan sebagai kemasan
pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh Kepala Badan.
Pasal 17
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan untuk
diedarkan wajib menggunakan bahan kemasan yang
diizinkan.
(2) Bahan kemasan yang diizinkan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala Badan.
Pasal 18
(1) Bahan selain yang dimaksud dalam Pasal 16 ayat (2)
dan Pasal 17 ayat (2) hanya boleh digunakan sebagai
bahan kemasan pangan setelah diperiksa keamanannya
dan mendapat persetujuan dari Kepala Badan.
(2) Persyaratan dan tata cara memperoleh persetujuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 19
(1) Setiap orang yang melakukan produksi pangan yang
akan diedarkan wajib melakukan pengemasan pangan
secara benar untuk menghindari terjadinya pencemaran
terhadap pangan.
(2) Tata cara pengemasan pangan secara benar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 20
(1) Setiap orang dilarang membuka kemasan akhir pangan
untuk dikemas kembali dan diperdagangkan.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku terhadap pangan yang pengadaannya dalam jumlah
besar dan lazim dikemas kembali dalam jumlah kecil
untuk diperdagangkan lebih lanjut.
(3) Setiap orang yang mengemas kembali pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melakukan
pengemasan pangan secara benar untuk menghindari
terjadinya pencemaran terhadap pangan.
Bagian Ketujuh
Pangan Tercemar
Pasal 23
Setiap orang dilarang mengedarkan :
a. pangan yang mengandung bahan beracun, berbahaya
atau yang dapat merugikan atau membahayakan
kesehatan atau jiwa manusia;
b. pangan yang mengandung cemaran yang melampaui
ambang batas maksimal yang ditetapkan;
c. pangan yang mengandung bahan yang dilarang
digunakan dalam kegiatan atau proses produksi
pangan;
d. pangan yang mengandung bahan yang kotor, busuk,
tengik, terurai, atau mengandung bahan nabati atau
hewani yang berpenyakit atau berasal dari bangkai
sehingga menjadikan pangan tidak layak dikonsumsi
manusia; atau
e. pangan yang sudah kedaluwarsa.
Pasal 26
(1) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas
Kabupaten/Kota atau ada permintaan dari Pemerintah
Daerah Kabupaten/Kota, Pemerintah Daerah Propinsi
wajib melaksanakan pemeriksaan dan penanggulangan
KLB keracunan pangan.
(2) Dalam hal KLB keracunan pangan terjadi pada lintas
Propinsi, atau ada permintaan dari Pemerintah Daerah
Propinsi, Pemerintah Pusat wajib melaksanakan
pemeriksaan dan penanggulangan KLB keracunan pangan.
Pasal 27
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan terhadap KLB
keracunan pangan atut diduga merupakan tindak pidana,
segera dilakukan tindakan penyidikan oleh Penyidik
Pegawai Negeri Sipil Badan dan/atau penyidik lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 28
(1) Ketentuan lebih lanjut mengenai tindakan
pertolongan kepada korban, pengambilan contoh
spesimen dan pengujian spesimen serta pelaporan KLB
keracunan pangan ditetapkan oleh Menteri yang
bertanggung jawab di bidang kesehatan.
(2) Tata cara pengambilan contoh pangan, pengujian
laboratorium dan pelaporan penyebab keracunan
ditetapkan oleh Kepala Badan.
BAB IV
PEMASUKAN DAN PENGELUARAN PANGAN KE DALAM DAN
DARI WILAYAH INDONESIA
Bagian Kedua
Pengeluaran Pangan dari Wilayah Indonesia
Pasal 45
(1) Badan berwenang melakukan pengawasan keamanan,
mutu dan gizi pangan yang beredar.
(2) Dalam melaksanakan fungsi pengawasan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Badan berwenang untuk :
a. mengambil contoh pangan yang beredar; dan/atau
b. melakukan pengujian terhadap contoh pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) butir a.
(3) Hasil pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
butir b :
a. untuk pangan segar disampaikan kepada dan
ditindaklanjuti oleh instansi yang bertanggung
jawab di bidang pertanian, perikanan atau kehutanan
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan
masingmasing;
b. untuk pangan olahan disampaikan dan ditindaklanjuti
oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang
perikanan, perindustrian atau Badan sesuai dengan
bidang tugas dan kewenangan masingmasing;
c. untuk pangan olahan tertentu ditindaklanjuti oleh
Badan;
d. untuk pangan olahan hasil industri rumah tangga
pangan dan pangan siap saji disampaikan kepada dan
ditindaklanjuti oleh Pemerintah Daerah
Kabupaten/Kota.
Pasal 46
(1) Gubernur atau Bupati/Walikota berwenang melakukan
pemeriksaan dalam hal terdapat dugaan terjadinya
pelanggaran hukum di bidang pangan segar.
(2) Kepala Badan berwenang melakukan pemeriksaan dalam
hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran hukum di
bidang pangan olahan.
(3) Bupati/Walikota berwenang melakukan pemeriksaan
dalam hal terdapat dugaan terjadinya pelanggaran
hukum di bidang pangan siap saji dan pangan olahan
hasil industri rumah tangga.
(4) Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan
berwenang :
a. memasuki setiap tempat yang diduga digunakan dalam
kegiatan atau proses produksi, penyimpanan,
pengangkutan, dan perdagangan pangan untuk
memeriksa, meneliti, dan mengambil contoh pangan
dan segala sesuatu yang diduga digunakan dalam
kegiatan produksi, penyimpanan, pengangkutan,
dan/atau perdagangan pangan;
b. menghentikan, memeriksa, dan mencegah setiap
sarana angkutan yang diduga patut diduga
digunakan dalam pengangkutan pangan serta
mengambil dan memeriksa contoh pangan;
c. membuka dan meneliti setiap kemasan pangan;
d. memeriksa setiap buku, dokumen, atau catatan lain
yang diduga memuat keterangan mengenai kegiatan
produksi, penyimpanan, pengangkutan, dan/atau
perdagangan pangan, termasuk menggandakan atau
mengutip keterangan tersebut; dan/atau
e. memerintahkan untuk memperlihatkan izin usaha
dan/atau dokumen lain sejenis.
(1) Dalam rangka melaksanakan pemeriksaan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3),
Gubernur, Bupati/Walikota atau Kepala Badan sesuai
dengan bidang tugas dan kewenangan masing-masing
menunjuk pejabat untuk melakukan pemeriksaan.
(2) Pejabat yang ditunjuk untuk melakukan pemeriksaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), dilengkapi
dengan surat perintah.
Pasal 47
(1) Dalam hal berdasarkan hasil pengujian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3) dan/atau hasil
pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46
terjadi pelanggaran, Gubernur, Bupati/Walikota atau
Kepala Badan, berwenang mengambil tindakan
administratif.
(2) Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) meliputi :
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau perintah menarik produk pangan dari
peredaran;
c. pemusnahan pangan, jika terbukti membahayakan
kesehatan dan jiwa manusia;
d. penghentian produksi untuk sementara waktu;
e. pengenaan denda paling tinggi sebesar Rp.
50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah); dan/atau
f. pencabutan izin produksi, izin usaha, persetujuan
pendaftaran atau sertifikat produksi pangan
industri rumah tangga.
(3) Pengenaan tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan berdasarkan
risiko yang diakibatkan oleh pelanggaran yang
dilakukan.
(4) Pelaksanaan tindakan administratif sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) huruf f dilakukan oleh
pejabat penerbit izin produksi, izin usaha,
persetujuan pendaftaran atau sertifikat produksi
pangan industri rumah tangga yang bersangkutan
sesuai dengan bidang tugas kewenangan masing-masing.
Pasal 48
(1) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 dilaksanakan oleh setiap
orang yang memproduksi atau yang memasukkan pangan
ke dalam wilayah Indonesia dan dilaksanakan sesuai
dengan pedoman penarikan dan pemusnahan pangan.
(2) Setiap pihak yang terlibat dalam peredaran pangan
wajib membantu pelaksanaan penarikan dan/atau
pemusnahan pangan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1).
(3) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pangan segar
dilaksanakan atas perintah Gubernur, Bupati/Walikota
sesuai dengan bidang tugas dan kewenangan
masingmasing.
(4) Penarikan dan/atau pemusnahan pangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) untuk pangan olahan
dilaksanakan atas perintah Kepala Badan.
(5) Pedoman penarikan dan/atau pemusnahan pangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Kepala Badan.
Pasal 49
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 46, patut diduga merupakan tindak
pidana di bidang pangan, segera dilakukan tindakan
penyidikan oleh penyidik berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 2013
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PENGGUNAAN
BAHAN TAMBAHAN PANGAN PENGAWET
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
TENTANG BATAS MAKSIMUM PENGGUNAAN BAHAN TAMBAHAN PANGAN
PENGAWET.
BAB III
JENIS DAN BATAS MAKSIMUM BTP PENGAWET
Pasal 3
Jenis BTP Pengawet yang diizinkan digunakan dalam
pangan terdiri atas:
1. Asam sorbat dan garamnya (Sorbic acid and its salts);
2. Asam benzoat dan garamnya (Benzoic acid and its salts);
3. Etil para-hidroksibenzoat (Ethyl para-hydroxybenzoate);
4. Metil para-hidroksibenzoat (Methyl para-hydroxybenzoate);
5. Sulfit (Sulphites);
6. Nisin (Nisin);
7. Nitrit (Nitrites);
8. Nitrat (Nitrates);
9. Asam propionat dan garamnya (Propionic acid and its salts);
dan
10. Lisozim hidroklorida (Lysozyme hydrochloride).
Batas Maksimum penggunaan BTP Pengawet sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 untuk setiap Kategori Pangan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
BAB IV
PENGGUNAAN BTP PENGAWET
Pasal 5
(1) Penggunaan BTP Pengawet dibuktikan dengan
sertifikat analisis kuantitatif.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk penggunaan BTP pada Kategori
Pangan dengan Batas Maksimum CPPB dibuktikan dengan
sertifikat analisis kualitatif.
(3) Jenis BTP Pengawet yang tidak dapat dianalisis,
Batas Maksimum dihitung berdasarkan penambahan BTP
Pengawet yang digunakan dalam pangan.
Pasal 6
(1) BTP Pengawet dapat digunakan secara tunggal atau
campuran.
(2) Dalam hal BTP Pengawet digunakan secara campuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan
hasil bagi masing-masing BTP dengan Batas Maksimum
penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih
dari 1 (satu).
(3) Contoh perhitungan hasil bagi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) seperti tercantum pada Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk penggunaan BTP pada Kategori
Pangan dengan Batas Maksimum CPPB.
Pasal 7
(1) Jenis dan Batas Maksimum BTP Pengawet Ikutan (carry
over) mengikuti ketentuan jenis dan Batas Maksimum BTP
seperti tercantum pada Lampiran I sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4.
(2) Dalam hal BTP Pengawet Ikutan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) tidak tercantum pada Lampiran I, maka
harus terlebih dahulu mendapat persetujuan tertulis
dari Kepala Badan.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Kepala Badan disertai kelengkapan data
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.
(4) Keputusan persetujuan/penolakan dari Kepala Badan
diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya
permohonan secara lengkap.
Pasal 8
(1) Jenis dan penggunaan BTP Pengawet selain yang
tercantum dalam Lampiran I hanya boleh digunakan
sebagai BTP Pengawet setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Kepala Badan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Kepala Badan disertai kelengkapan
data dengan menggunakan formulir sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
(3) Keputusan persetujuan/penolakan dari Kepala Badan
diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak
diterimanya permohonan secara lengkap.
BAB V
LARANGAN
Pasal 9
Dilarang menggunakan BTP Pengawet sebagaimana yang
dimaksud dalam Lampiran I untuk tujuan:
a. menyembunyikan penggunaan bahan yang tidak
memenuhi persyaratan;
b. menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan
cara produksi pangan yang baik untuk pangan;
dan/atau
c. menyembunyikan kerusakan pangan.
SANKSI
Pasal 10
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini
dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau perintah untuk penarikan kembali dari
peredaran;
c. perintah pemusnahan, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan atau mutu; dan/atau
d. pencabutan izin edar.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
(1) Sediaan BTP Pengawet dan Pangan mengandung BTP
Pengawet yang telah memiliki persetujuan pendaftaran
harus menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan
ini paling lama 1 (satu) tahun sejak diundangkannya
Peraturan ini.
(2) Sediaan BTP Pengawet dan Pangan mengandung BTP
Pengawet yang sedang diajukan permohonan
perpanjangan persetujuan pendaftaran sebelum
diberlakukannya Peraturan ini, tetap diproses
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan
Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999
dengan ketentuan masa berlaku surat persetujuan
pendaftaran untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Peraturan ini.
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2013
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PENGGUNAAN
BAHAN TAMBAHAN PANGAN ANTIKEMPAL
BAB III
JENIS DAN BATAS MAKSIMUM BTP ANTIKEMPAL
Pasal 3
Jenis BTP Antikempal yang diizinkan digunakan dalam
pangan terdiri atas:
1. Kalsium karbonat (Calcium carbonate);
2. Trikalsium fosfat (Tricalcium orthophosphate);
3. Selulosa mikrokristalin (Microcrystalline cellulose);
4. Selulosa bubuk (Powdered cellulose);
5. Asam miristat, palmitat dan stearat dan garamnya
(Myristic, palmitic & stearic acids and their salts);
6. Garam-garam dari asam oleat dengan kalsium, kalium
dan natrium (Ca, K, Na) (Salts of oleic acid with calcium,
potassium, and sodium (Ca, K, Na));
7. Natrium karbonat (Sodium carbonate)
8. Magnesium karbonat (Magnesium carbonate);
9. Magnesium oksida (Magnesium oxide);
10. Natrium besi (II) sianida (Sodium ferrocyanide);
11. Kalium besi (II) sianida (Potassium ferrocyanide);
12. Kalsium besi (II) sianida (Calcium ferrocyanide);
13. Silikon dioksida halus (Silicon dioxide, amorphous);
14. Kalsium silikat (Calcium silicate)
15. Natrium aluminosilikat (Sodium aluminosilicate); dan
16. Magnesium silikat (Magnesium silicate).
Pasal 4
Batas Maksimum penggunaan BTP Antikempal sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 untuk setiap Kategori Pangan
sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
PENGGUNAAN BTP ANTIKEMPAL
Pasal 5
(1) Penggunaan BTP Antikempal dibuktikan dengan
sertifikat analisis kuantitatif.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk penggunaan BTP pada Kategori
Pangan dengan Batas Maksimum CPPB dibuktikan dengan
sertifikat analisis kualitatif.
(3) Jenis BTP Antikempal yang tidak dapat dianalisis,
Batas Maksimum dihitung berdasarkan penambahan BTP
Antikempal yang digunakan dalam pangan.
Pasal 6
(1) BTP Antikempal dapat digunakan secara tunggal atau
campuran.
(2) Dalam hal BTP Antikempal digunakan secara campuran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perhitungan
hasil bagi masing-masing BTP dengan Batas Maksimum
penggunaannya jika dijumlahkan tidak boleh lebih
dari 1 (satu).
(3) Contoh perhitungan hasil bagi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) seperti tercantum pada Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk penggunaan BTP pada Kategori
Pangan dengan Batas Maksimum CPPB
Pasal 7
(1) Jenis dan Batas Maksimum BTP Antikempal Ikutan
(carry over) mengikuti ketentuan jenis dan Batas Maksimum
BTP seperti tercantum pada Lampiran I sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Dalam hal BTP Antikempal Ikutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercantum pada Lampiran I,
maka harus terlebih dahulu mendapat persetujuan
tertulis dari Kepala Badan.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Kepala Badan disertai kelengkapan data
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.
(4) Keputusan persetujuan/penolakan dari Kepala Badan
diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya
permohonan secara lengkap.
Pasal 8
(1) Jenis dan penggunaan BTP Antikempal selain yang
tercantum dalam Lampiran I hanya boleh digunakan
sebagai BTP Antikempal setelah mendapat persetujuan
tertulis dari Kepala Badan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Kepala Badan disertai kelengkapan data
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.
(3) Keputusan persetujuan/penolakan dari Kepala Badan
diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya
permohonan secara lengkap.
BAB V
LARANGAN
Pasal 9
Dilarang menggunakan BTP Antikempal sebagaimana yang
dimaksud dalam Lampiran I untuk tujuan:
a. menyembunyikan penggunaan bahan yang tidak memenuhi
persyaratan;
b. menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan
cara produksi pangan yang baik untuk pangan;
dan/atau
BAB VI
SANKSI
Pasal 10
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini
dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau
perintah untuk penarikan kembali dari peredaran;
c. perintah pemusnahan, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan atau mutu; dan/atau
d. pencabutan izin edar.
PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 21 TAHUN 2013
TENTANG
BATAS MAKSIMUM PENGGUNAAN
BAHAN TAMBAHAN PANGAN PERETENSI WARNA
BAB III
JENIS DAN BATAS MAKSIMUM BTP PERETENSI WARNA
Pasal 3
Jenis BTP Peretensi Warna yang diizinkan digunakan
dalam pangan terdiri atas:
1. Magnesium karbonat (Magnesium carbonate); dan
2. Magnesium hidroksida (Magnesium hydroxide).
Pasal 4
Batas Maksimum penggunaan BTP Peretensi Warna
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 untuk setiap
Kategori Pangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran I
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
ini.
BAB IV
PENGGUNAAN BTP PERETENSI WARNA
Pasal 5
(1) Penggunaan BTP Peretensi Warna dibuktikan dengan
sertifikat analisis kuantitatif.
(2) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), untuk penggunaan BTP pada Kategori
Pangan dengan Batas Maksimum CPPB dibuktikan dengan
sertifikat analisis kualitatif.
(3) Jenis BTP Peretensi Warna yang tidak dapat
dianalisis, Batas Maksimum dihitung berdasarkan
penambahan BTP Peretensi Warna yang digunakan dalam
pangan.
Pasal 6
(1) BTP Peretensi Warna dapat digunakan secara tunggal
atau campuran.
(2) Dalam hal BTP Peretensi Warna.digunakan secara
campuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
perhitungan hasil bagi masing-masing BTP dengan
Batas Maksimum penggunaannya jika dijumlahkan tidak
boleh lebih dari 1 (satu).
(3) Contoh perhitungan hasil bagi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) seperti tercantum pada Lampiran III
yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Peraturan ini.
(4) Dikecualikan dari ketentuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) untuk penggunaan BTP pada Kategori
Pangan dengan Batas Maksimum CPPB.
Pasal 7
(1) Jenis dan Batas Maksimum BTP Peretensi Warna Ikutan
(carry over) mengikuti ketentuan jenis dan Batas Maksimum
BTP seperti tercantum pada Lampiran I sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4.
(2) Dalam hal BTP Peretensi Warna Ikutan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak tercantum pada Lampiran I,
maka harus terlebih dahulu mendapat persetujuan
tertulis dari Kepala Badan.
(3) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Kepala Badan disertai kelengkapan data
dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam
Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan
dari Peraturan ini.
(4) Keputusan persetujuan/penolakan dari Kepala Badan
diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak diterimanya
permohonan secara lengkap.
Pasal 8
(1) Jenis dan penggunaan BTP Peretensi Warna selain
yang tercantum dalam Lampiran I hanya boleh
digunakan sebagai BTP Peretensi Warna setelah
mendapat persetujuan tertulis dari Kepala Badan.
(2) Untuk mendapatkan persetujuan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), pemohon harus mengajukan permohonan
tertulis kepada Kepala Badan disertai kelengkapan
data dengan menggunakan formulir sebagaimana
tercantum dalam Lampiran II yang merupakan bagian
tidak terpisahkan dari Peraturan ini.
(3) Keputusan persetujuan/penolakan dari Kepala Badan
diberikan paling lama 6 (enam) bulan sejak
diterimanya permohonan secara lengkap.
BAB V
LARANGAN
Pasal 9
Dilarang menggunakan BTP Peretensi Warna sebagaimana
yang dimaksud dalam Lampiran I untuk tujuan:
a. menyembunyikan penggunaan bahan yang tidak memenuhi
persyaratan;
b. menyembunyikan cara kerja yang bertentangan dengan
cara produksi pangan yang baik untuk pangan;
dan/atau
c. menyembunyikan kerusakan pangan.
BAB VI
SANKSI
Pasal 10
Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan ini
dapat dikenai sanksi administratif berupa:
a. peringatan secara tertulis;
b. larangan mengedarkan untuk sementara waktu dan/atau
perintah untuk penarikan kembali dari peredaran;
c. perintah pemusnahan, jika terbukti tidak memenuhi
persyaratan keamanan atau mutu; dan/atau
d. pencabutan izin edar.
BAB VII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 11
(1) Sediaan BTP Peretensi Warna dan Pangan mengandung
BTP Peretensi Warna yang telah memiliki persetujuan
pendaftaran harus menyesuaikan dengan ketentuan
dalam Peraturan ini paling lama 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Peraturan ini.
(2) Sediaan BTP Peretensi Warna dan Pangan mengandung
BTP Peretensi Warna yang sedang diajukan permohonan
perpanjangan persetujuan pendaftaran sebelum
diberlakukannya Peraturan ini, tetap diproses
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
722/Menkes/Per/IX/1988 tentang Bahan Tambahan
Makanan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 1168/Menkes/Per/X/1999
dengan ketentuan masa berlaku surat persetujuan
pendaftaran untuk jangka waktu 1 (satu) tahun sejak
diundangkannya Peraturan ini.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR492/MENKES/PER/IV/2010
TENTANG
PERSYRATAN KUALITAS AIR MINUM
Pasal 1
Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan :
1. Air munum adalahh air yang melalui proses pengolhan
atau tanpa proses pengolahan yang memnuhi syarat
kesehatan dan dapat langsung diminum
2. Penyelenggraan air minum adalah badan usaha milik
negara/badan usaha milik daerah, koperasi, badan
usaha swasta, usaha perorangan, kelompo masyarakat
dan/atau individual yang melakukan penyelenggaraan
penyediaan air minum.
3. Pemerintah daerah adalah gubenur, bupati, atau
walikota dan peringkat daerah sebagai unsur
peyelenggara pemerintahan daerah
4. Kantor Kesehatan Pelabuhan yang selanjutnya
disingkat KKP adalah unit pelaksana teknis
Kementerian Keehatan di wilayah pelabuhan, bandara
dan pos lintas batas darat.
5. Menteri adalah meneteri yang tugas dan tanggung
jawab nya d bbidang kesehatan
6. Badan Pengawas Obat dan Makanan yang selanjutnya
disingkat BPOM adalah badan yang bertugas di bidang
pengawasan obat dan makanan sesuai peraturan
perudang-undangan.
Pasal 2
Seiap penyelenggara air minum wajib menjamin air miunm
yang diproduksinya aman bagi kesehatan
Pasal 3
(1) Air minum aman bagi kesehatan apabila memnuhi
persyaratan fisika, mikrobiologis, kimiawi dan
radioaktif yang dimuat dalam parameter wajib dan
parameter tambahan.
(2) Parameter wajib sebagaimana dimaksud pada ayat(1)
merupakan persyaratan kualitas air minum yang wajib
diikuti dan ditaati oleh seluru penyelenggra air
minum
(3) Pemerintah daerah dapat menetapkan parameter
tambahan sesuai dengan kondisi kualitas lingkungan
daerah masing-masing dengan mengacu pada parameter
tambahan sebagaimana diattur dalam Peraturan ini.
(4) Parameter wajib dan parameter tambahan sebagaiman
dimaksud pada ayat (2) sebagaimana tercantum dalam
Lampiran Peraturan ini.
Pasal 4
(1) Untuk menjaga kualitas air minum yang dikonsumsi
masyarakat dilakukan pengawasan kualitas air minum
secara eksternal dan secara internal
(2) Pengewasan kualitas air minum secara eksternal
merupakan pengawasan yang dilakukan oleh Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota atau oleh KKP khusus untuk
wilayah kerja KKP
(3) Pengawasan kualitas air minum secara internal
merupakan pengawasan yang dilaksanakan oleh
penyelnggara air minum untuk menjamin kualitas air
minum yang dproduksi memenuhi syarat sebagaimana
diatur dalam Peratura ini.
(4) Kegiatan pengawasan kualitas iar minum sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) meliputi inspeksi sanitasi,
pengambilan sampel air, pengujian kualitas air,
anilisis hasil pemeriksaan laboraturium, rekomendasi
dan tindak lanjut
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tatalaksana
pengawasan kualitas air minum ditetepkan oleh
Menteri.
Pasal 5
Meneteri Kepala BPOM, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi
dan Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan
pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan
ini sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.
Pasal 6
Dalam rangka pembinaan dan pengawsan, Menteri dan
Kepala BPOM dapat memerintahakan produsen untuk menarik
produk air minum dari peredaran atau melarang
pendistribusian air minum di wilayah yang tidak
memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam Peraturan
ini.
Pasal 7
Perintah ataupemerintah daerah sesuai kewenangannya
memberikan sanksi administratif kepada penyelenggara
air minum yang tidak memenuhi persyaratan kualitas air
minum sebgaimana diatur dalam Peraturan ini.
Pasal 8
Pada saat ditetapkannya Peraturan ini, maka Keputusan
Menteri Kesehatan Nomor 907/Menkes/Sk/VII/20002 tentang
Syarat –syarat dan Pengawasn Kualitas Air Minum
sepanjang mengenai persyaratan kualitas air minum dan
dinyatakan tidak berlaku.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2013
TENTANG
PENCANTUMAN INFORMASI KANDUNGAN GULA, GARAM, DAN LEMAK
SERTA PESAN KESEHATAN UNTUK PANGAN OLAHAN DAN PANGAN
SIAPA SAJI
BAB II
PENCANTUMAN INFORMASI KANDUNGAN GULA, GARAM, DAN LEMAK
SERTA PESAN KESEHATAN
Bagian kesatu
Pangan olahan
Pasal 3
(1) Setiap orang yang memproduksi pangan olahan yangmengandung gula, garam, dan atau lemak untukdiperdagangkan wajib memuat informasi kandungangula, garam, dan lemak, serta pesan kesehatan padalabel pangan.
(2) Kewajiban pencantumaninformasi kandungan gula,gram, dan lemak, serta pesan kesehatan pada labelpangan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 )dilaksanakan secara bertahap sesuai jenis panganolahan dengan mempertimbankan besar resiko kejadianpenyakit tidak menular
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis panganolahan sebagaimana pada ayat ( 2 ) ditetapkan denganperaturan menteri
(4) Pencantuman informasi dan pesan kesehatan padalabel pangan sebagaimana ayat ( 1 ) dilaksanakansesuai ketenuan perundang-undangan.
Pasal 4
(1) Informasi kandungan gula, garam, dan lemaksebagimana dimaksud dalam pasal 3 ayat ( 1 ) terdiri
atas kandungan gula total, natrium total, lemaktotal.
(2) Pesan kesehatan sebagaimana dimaksud pasal 3 ayat( 1 ) berbunyi “ konsumsi gula lebih dari 50 gram,natrium lebih dari 2000 miligram, atau lemak totallebih dari 67 gram per orang per hari beresikohipertensi, stroke, diabetes dan serangan jantung”.
(3) Informasi kandungan gula, garam, dan lemak sertapesan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1 )dan ayat ( 2 ) harus mudah dibaca dengan jelas olehkonsumen.
Bagian Kedua
Pangan Siap Saji
Pasal 5
(1) Setiap orang yang memproduksi Pangan Siap Saji
yang mengandung Gula, garam, dan /atau Lemak wajib
memberikan informasi kandungan Gula, Garam, dan
Lemak, serta pesan kesehatan melalui Media Informasi
dan promosi
(2) Pangan Siap Saji sebagaiman yang dimaksud pada
ayat (1) yang diproduksi oleh Usaha Waralaba sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangn yang memilki
lebih dari 250 ( dua ratus lima puluh)
aoutlet/gerai.
(3) Media Informasi da Promosi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat berupa leaflet, brosur, buku
menu, atau media lainnya.
(4) Ketentuan mengenai informasi kandungan Gula,
Garam, dan Lemak serta pesan kesehatan untuk Pangan
Siap Saji dilaksanakan sesuai ketentuan Pasal 4.
Bagian Ketiga
Uji Laboraturium
Pasal 6
(1) Pencantuman informasi kandungan Gula, Garam, dan
Lemak harus didasarkan pada hasil uji laboraturium
yang dilakukan di laboraturium yang terakreditasi
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal ini laboraturium sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dilakukan hanya seali untuk setiap
jenis produk Pangan Siap Saji selama tidak terjadi
perubahan produk :
BAB II
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 7
(1) Menteri, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota melakukan
pembinaan terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri ini
sesuai dengan tugas ddan fungsi masing-masing
(2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diarahkan untuk :
a. Meningkatkan pengetahuan dan kesadaran
masyarakat terhadapa risiko Penyakit tidak
Menular yang disebabkan oleh asupan Gula, Garam
,dan Lemak yang belebih; dan
b. Mendorong Setian Orang yang memproduksi Pangan
Olahan dan Pangan Siap Saji untuk melakukan
pencantuman informasi kandungan Gula, Garam,
dan Lemak, serta pesan kesehatan.
(3) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan melalui :
a. Advokasi dan sosialisasi;
b. Pemantauan dan evaluasi;
c. Bimbingan teknis; dan/atau
d. Peninngkatan jejaring kerja dan kemitraan.
(4) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
melibatkan institusi dan asosiasi terkait.
Pasal 8
(1) Pengawasn terhadapa pencantuman informasi
kendungan Gula, Garam, dan Lemak, serta pesan
kesehatan pada Panga Olahan dilakukan oleh Kepala
Badan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Pengawasan terhadap pemberian informasi kandungan
Gula, Garam, dan Lemak, serta pesan kesehatan pada
Pangan Siap Saji dilakukan oleh Kepala Dinas
Kesahatan Kabupaten/Kota sesuai tugas dan fungsi
masing-masing
Pasal 9
(1) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (1), Kepala Badan dapat memberikan
sanksi administratif kepada Setiap Orang yang
memperoduksi Pangan Olahan yang melakukan
pelanggaran terhadap Peraturan Menteri ini berupa :
a. Peringatan secara tertulis;
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau perintah untuk penarikan dari
peredaran;
c. Pencabtan surat persetujuan pendaftaran dari
peredaran;
d. Rekomendasi pencabutan sertifikat produksi
pangan industri rumah tangga
(2) Dalam rangka pengawasan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 8 ayat (8) Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota sesuai
kewenangannya dapat memberikan sanksi administratif
kepada Setiap Orang yang memproduksi Pangan Siap
Saji melakukan pelanggaran terhadap Peraturan
Meneteri ini berupa:
a. Perinagatan secara tertulis;
b. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu;
c. Penghentian produksi untuk sementara
waktu;dan/atau
d. Rekomendasi pencabutan izin usaha/tanda daftar
usaha.
PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 701/MENKES/PER/VII/2009
TENTANG
PANGAN IRADIASI
MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
BAB II
PERSYARATAN
Pasal 2
Setiap pangan iradiasi yang beredar di wilayahIndonesia harus memenuhi persyaratan keamanan, mutu,gizi pangan.
Pasal 3
(1) Jenis pangan yang diizinkan untuk diiradiasi,tujuan iradiasi dan dosis serap maksimum untukmasing-masing jenis pangan, tercantum dalam lampiran1 Peraturan ini.
(2) Pangan yang telah dilakukan iradiasi, dilarangdilakukan iradiasi ulang, kecuali untuk tujuantertentu.
(3) Pangan yang diiradiasi ulang untuk tujuan tertentusebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berupapangan:
a. Yang telah diiradiasi dengan dosis rendah sampaidengan 1 kGy, yang diiradiasi lagi untuk tujuanteknologi lain;
b. Yang mengandung bahan yang telah diiradiasi kurangdari 5% atau
c. Dengan dosis radiasi maksimum yang dibutuhkan untukmemperoleh efek yang diinginkan , diberikan secaraberulang lebih dari satu kali untuk memenuhi tujuanteknis tertentu.
(4) Dosis serap total pangan iradiasi ulangsebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak bolehmelebihi dosis serap maksimum 10 kGy.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pangan yangdiiradiasi ulang untuk tujuan tertentu sebagaimanadimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh Kepala BPOM.
Pasal 4
Sumber radiasi yang digunakan digunakan dalam prosesiradiasi pangan untuk jenis pangan sebagaimana dimaksuddalam pasal 3 ayat (1) meliputi:
a. Irradiator Gamma dengan xar radioaktif60 Co atau137Cs;
b. Mesin pembangkit sinar-X dengan energy sama denganatau di bawah 5 MeV; atau
c. Mesin berkas electron dengan energy sama denganatau di bawah 10 MeV.
Pasal 5
(1) Pangan yang menggunakan kemsan dalam prosesiradiasi harus menggunakan bahan kemasan yangdiizinkan untuk digunakan pada proses panganiradiasi.
(2) Bahan kemasan yang diizinkan untuk digunakan padaproses iradiasi sebagaimana tercantum dalam LmapiranII Peraturan ini.
Pasal 6
(1) Iradiasi pangan hanya dapat dilakukan padafasilitas iradiasi yang telah memiliki izinpemanfaatan tenaga nuklir dari BAPETEN.
(2) Fasilitas iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) dalam melaksanakn iradiasi pangan harusberpedoman pada Cara Iradiasi Pangan yang baik.
(3) Ketentuan Cara Iradiasi Panagn Yang Baiksebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan olehKepala BPOM.
Pasal 7
Penanganan pangan sebelum dan sesudah iradiasi harusmemenuhi persyaratan sesuai ketentuan yang ditetapkanoleh BPOM.
BAB III
TANGGUNG JAWAB FASILITAS IRADIASI
Pasal 8
(1) Penanggung jawab fasilitas iradiasi harus melakukanpencatatan pada setiap batch pangan yang dilakukaniradiasi.
(2) Catatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)sekurang-kurangnya harus memuat keterangan tentang:
a. Jenis dan jumlah pangan iradiasi;b. Nomor batch pangan iradiasi;c. Tujuan iradiasid. Jenis kemasan yang digunkan, jika pangan
dikemas;e. Tanggal pelaksanaan iradiasi;f. Sumber radiasi dan dosis radiasi yang
digunkaan;g. Dosis maksimum yang diserap;h. Penyimpangan yang terjadi selama iradiasi;i. Nama dan alamat produsen pangan yang
diiradiasi;j. Nama dan almat fasilitas iradiasi;k. Nomor izin pemanfaatan dari BAPETEN l. Nomor kode internasional fasilitas radiasi,
untuk pangan impor;(3) Penanggung jawab fasilitas iradiasi harus
menyampaikan catatan sebagaimana dimaksud pada ayat(2) secara berkala kepada Kepala BPOM.
(4) Ketentuan lebih lanjuyt mengenai tata carapenyampaian catatan sebagaimana dimaksud pada ayat(3) diatur oleh Kepala Badan POM.
Pasal 9
Penanggung jawab fasilitas iradiasi wajib menyimpanseluruh catatan atau dokumen yang berkaitan denganpelaksanaan iradiasi pangan sekurang-kurangnya untukjangka waktu 5 (lima) tahun.
BAB IV
SERTIFIKAT IRADIASI
Pasal 10
(1) Pangan iradiasi yang dimasukkan ke dalam ataudikeluarkan dari wilayah Indonesia harus disertaidenag sertifikat iradiasi yang berlaku untuk batchpangan yang bersangkutan.
(2) Sertifikat iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) untuk pangan diiradiasi yang dilakukan diIndonesia diterbitkan oleh Kepala BPOM berdasarkancatatn pada batch pangan sebagaimana dimaksud dalampasal 8.
(3) Sertifikat iradiasi sebagaimana dimaksud pada ayat(1) untuk produk pangan yang akan dimasukkan kedalam wilayah Indonesia diterbitkan olehlembaga/instansi yang berwenang di Negara asal.
(4) Permohonan untuk mendapatkan sertifikat iradiasisebagaimana dimaksud pada ayat (2) dismapaikankepada Kepala BPOM dengan mencantumkan jenis danjumlah pangan yang bersangkutan, nefara tujuanekspor dan dengan melampirkan catatan pada batchpangan dari fasilitas iradiasi.
(5) Tata cara permohonan sertifikasi pangan iradiasidiatir oleh Kepala BPOM.
BAB V
PELABELAN PANGAN IRADIASI
Pasal 11
(1) Setiap pangan iradiasi yang dikemas dan diedarkandi wilayah Indonesia harus diberi label.
(2) Label sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selainharus memenuhi ketentuan pelabelan sebagaimanadiatur dalam peraturan perundang-undangan, jugaharus memuat:
a. Tulisan “PANGAN IRADIASI”b. Tujuan iradaisi;c. Tulisan ‘TIDAK BOLEH DIIRADIASI ULANG” apabila
tidak boleh diiradiasi ulang;d. Nama dan alamt penyelenggara iradiasi, apabila
iradiasi tidak dilakukan sendiri oleh pihakyang memproduksi pangan;
e. Tanggal iradiasi dalam bulan dan tahun;f. Nama Negara tempat iradiasi dilakukan;g. Logo khusus pangan iradiasi dan tuliusan
“RADURA”.(3) Logo khusus pangan iradiasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) huruf g sebagaimana contoh berikut:
Pasal 12
Dalam hal pangan yang mengalami perlakuan iradiasimerupakan bahan yang digunakan dalam suatu produkpangan, tulisan pangan iradiasi cukup dicantumkan padabahan yang diiradiasi tersebut dalam daftar bahan yangdigunakan.
Pasal 13
(1) Panagn iradiasi yang diperdagangkan dalam bentukcurah atau dalam keadaan tidak dikemas harus diberiinformasi yang jelas bahwa pangan tersebut merupakanpangan iradiasi.
(2) Informasi sebagimana diamksud pada ayat (1)meliputi:
a. Tulisan “PANGAN IRADIASI”b. Tujuan iradaisic. Logo iradiasi
(3) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2)ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihatdan harus berada dalam wadah atau berdekatan denganwadah tempat penjualan pangan tersebut.
(4) Pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harusditempatkan terpisah dari pangan sejenis yang tidakdiiradiasi.
BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 14
Menteri, Kepala BPOM serta pimpinan instansi terkait melkaukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaanperaturan ini sesuai dengan tugas fungsi masing-masing.
Pasal 15
Dengan tidak mengurangi ancaman pidana srbagaimanadiatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentangKesehatan, dalam rangka pembinaan dan pengawasan,Menteri dan/atau Kepala BPOM dapat mengambil tindakanadministratif terhadap pelanggaran ketentuansebagaimana diatur dalam Peraturan ini.
Pasal 16
Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal15 dapat berupa peringatan tertulis, pencabutan suratpersetujuan pendaftaran sampai dengan penarikan produkdari peredaran.
PERATURAN MENTERI PERINDUSTRIAN REPUBLIK IDONESIA
NOMOR : 24/M-IMD/PER/2/2010
TENTANG
PENCATUMAN LOGO TARA PANGAN DAN KODE DAUR ULANG
PADA KEMASAN PANGAN DARI PLASTRIK
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini, yang dimaksud dengan;
1. Pangan adalah segala sesuatu yang berasal darisumber hayati dan air, baik yang diolah maupuntidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makananatau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan
tambahan pangan, bahn baku pangan dan bahan lainyang digunkan dalam proses penyiapan, pengolahandan/atau pembuatan makanan atau minuman;
2. Kemasan pangan dari plastik yang selanjutnya yangdisebut kemasan pangan adalah bahan yang digunkanuntuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baikyang bersentuhan langsung dengan pangan maupuntidak, yang berasal dari bahan plastik.
3. Logo Tara Pangan yang selanjutnya disebut logoadalah penandaan yang menunjukkan bahwa suatukemasanpangan aman digunakan untuk pangan.
4. Kode daur ulang adalah penandaan yang menunjukkanbahwa suatu kemasan pangan dapat didaur ulang.
5. Menteri adalah Menteri yang menbidangiPerindustrian.
6. Direktur Jenderal Pembina Industri adalah DirekturJenderal Industri Agro dan Kimia.
7.
BAB II
PENCANTUMAN LOGO DAN KODE DAUR ULANG
Pasal 2
(1) Setiap kemasan pangan yang diperdagangkan didalam negeri, yang berasal dari hasil produksidalam negeri atau impor wajib dicantumkan logo dankode daur ulang.
(2) Logo sebagaimana dimaksud pada ayat (1)terdiri atas unsur penanda tara pangan dan ataupernyataan yang menunjukkan kemasan dimaksud amanuntuk mengemas pangan.
(3) Kode daur ulang sebagaimana dimaksud padaayat (1) terdiri atas: a. Penanda jenis bahan baku plastik; danb. Penanda dapat didaur ulang.
(4) Logo dan kode daur ulang sebagaimana dimaksudpada ayat (2) dan ayat (3) sebagaimana tercantumdalam Lampiran Peraturan Menteri ini.
(5) Ukuran logo dan kode daur ulang sebagaimanadimaksud pada ayat (1) disesuaikan dengan ukurankemasan pangan dan harus dapat dilihat denganjelas.
Pasal 3
(1) Pencantuman logo dan kode daur ulang padakemasan pangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2,menggunakan bahasa Indonesia yang jelas dan mudahdimengerti.
(2) Pencantuman logo dan kode daur ulang padakemasan pangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2ayat (2) dan (3) dilakukan sedemikian rupasehingga tidak mudah lepas dari kemasannya, tidakmudah luntur atau rusak, serta terletak padabagian kemasan pangan yang mudah untuk dilihat.
(3) Pencantuman logo dan kode daur ulang padakemasan pangan yang tidak memungkinkan untukdicantumkan, pencantuman dilakukan pada kemasansekunder atau petunjuk yang terpisah.
Pasal 4
Setiap pelaku usaha yang memproduksi kemasan panganwajib:
a. Menyampaikan informasi yang benar mengenai jenisbahan baku plastik untuk kemasan pangan; dan
b. Mencantumkan logo dan kode daur ulang sebagaimanadimaksud dalam Pasal 2 pada setiap kemasan pangan.
BAB III
PEMBINAAN DAN PENGAWASAN
Pasal 5
Direktur Jenderal Pembina Industri wajib melakukanpembinaan dan pengawasan atas pelaksanaan PeraturanMenteri ini.
Pasal 6
Pembinaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 5 berupasosialisasi kepada pelaku usaha, masyarakat danpemangku kepentingan mengenai penggunaan kemasan panganserta hal yang terkait.