Date post: | 01-May-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
i
KECEMASAN PADA PENYALAHGUNA OPIOID
YANG SEDANG MENJALANI PROGRAM TERAPI
RUMATAN METADON DI RSUP SANGLAH
Oleh : Dr. Luh Nyoman Alit Aryani
SMF Psikiatri FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar
2017
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadapan Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat rahmatNya penelitian ini bisa selesai tepat pada waktunya. Penelitian kecil
ini dilaksanakan
Meskipun penelitian ini sangat sederhana karena bersifat deskriptif,
mudah-mudahan ada manfaatnya untuk penanganan klien metadon di PTRM
Sandat, dan juga bagi pembaca. Besar harapan kami agar peneltian yang lebih
lengkap dan dengan desain penelitian yang lebih baik dapat dilakukan dikemudian
hari.
Akhir kata kami menyadari bahwa tinjauan pustaka yang kami susun
kurang sempurna sehingga memerlukan tambahan bimbingan, kritik atau saran,
dan atas perhatiannya kami mengucapkan terima kasih.
Peneliti
Dr. L.N. Alit Aryani
i
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
1.1 Latar Belakang .................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................. 2
1.3 Tujuan Masalah ................................................................ 2
1.4 Manfaat Penelitian ............................................................ 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 4
2.1 NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat
Adiktif lainnya) .................................................................. 4
2.2 Penyebab dan Deteksi Dini Penyalahgunaan NAPZA ..... 5
2.3 Opiat ( Morphine, Heroin/”Putaw”) .................................. 6
2.4 PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon) ..................... 8
2.5 Kecemasan pada Penyalahguna Opioid ............................. 9
2.6 Kecemasan pada Penyalahguna Opioid yang Menjalani
Terapi Rumatan Metadon .................................................. 10
2.7 Klasifikasi dan Diagnosa Kecemasan ................................ 11
BAB III METODOLOGI PENELITIAN .............................................. 13
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................. 14
4.1 Hasil Penelitian ................................................................ 14
4.2 Pembahasan ...................................................................... 16
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan ............................................................................ 17
5.2 Saran ................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA
ii
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyalahguna ketergantungan NAPZA dari tahun ke tahun semakin
meningkat, sementara fenomena NAPZA itu sendiri bagaikan gunung es (ice
berg) artinya yang tampak di permukaan lebih kecil, dibandingkan dengan
yang tidak tampak.
Penelitian yang dilakukan oleh Hawari dkk (1998) dari pasien
penyalahguna NAPZA jenis opioid, ditemukan angka kematian (mortality
rate) mencapai angka 17,16%. Biasanya disebabkan oleh karena mereka
mengalami komplikasi medik, berupa kelainan paru, gangguan fungsi liver
dan hepatitis serta HIV.
Pada suatu studi kepustakaan, didapatkan angka kekambuhan cukup
tinggi sekitar 43,9%. Dari mereka yang kambuh, ternyata ada tiga faktor
utama sebagai penyebab atau pemicunya, yaitu faktor teman, faktor sugesti,
dan faktor frustasi atau stres.
Beberapa fakta yang didapat, dari penelitian yang dilakukan oleh
Hawari 1990 adalah
1. Pada umumnya penyalahguna/ ketergantungan NAPZA, mulai memakai
NAPZA antara usia 13-17 tahun, dan 90% berjenis kelamin laki-laki.
2. Sebanyak 68% penyalahguna NAPZA, memakai lebih dari satu zat (poli
drug abuser).
3. Remaja dengan kelainan kepribadian antisosial, mempunyai resiko relatif
19,9 kali untuk menyalahgunakan NAPZA.
4. Remaja dengan gangguan kejiwaan depresi, mempunyai resiko relatif 18,8
kali untuk menyalahgunakan NAPZA.
5. Remaja dengan gangguan jiwa kecemasan, mempunyai resiko relatif 13,8
kali untuk menyalahgunakan NAPZA.
6. Remaja dengan kondisi keluarga yang tidak baik (disfungsi keluarga),
misalnya kedua orangtua bercerai atau berpisah, kedua orangtua terlalu
sibuk dan hubungan segitiga ayah ibu anak yang tidak harmonis,
mempunyai resiko relatif 7,9 kali untuk menyalahgunakan NAPZA.
2
Semua zat yang termasuk NAPZA, menimbulkan adiksi (ketagihan),
yang berakibat dependensi (ketergantungan). Zat yang termasuk NAPZA,
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :
1. Keinginan yang tak tertahankan terhadap zat yang dimaksud, dan kalau
perlu dengan jalan apapun untuk memperolehnya.
2. Kecendrungan untuk menambah takaran (dosis), sesuai dengan toleransi
tubuh.
3. Ketergantungan psikologis yaitu apabila pemakaian zat dihentikan, akan
menimbulkan gejala-gejala kejiwaan, seperti kegelisahan, kecemasan,
depresi dan sejenisnya. (Hawari, 2002)
Kecemasan yang normal dibutuhkan dalam hidup sehari-hari, untuk
dapat mengiringi proses pertumbuhan dan perkembangan, serta untuk
mencapai kepuasan tertentu dalam pekerjaan. Jadi cemas sampai taraf dan
kwalitas tertentu mempunyai fungsi adaptif dan konstruktif, demi
kelangsungan hidup individu dalam lingkungan yang serba berubah-ubah.
Lebih dari itu akan menjadi sindrom klinik yang mengganggu kesehatan,
kegiatan sehari-hari dan kesejahteraan hidup. (Maramis, 2003)
1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran kecemasan pada pengguna opioid yang
sedang menjalani program terapi rumatan metadon di PTRM Sandat RSUP
Sanglah.
1.3 Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui karakteristik pengguna opioid yang sedang menjalani
program terapi rumatan metadon di RSUP Sanglah
2. Untuk mengetahui angka kejadian kecemasan pada pengguna opioid yang
sedang menjalani terapi rumatan metadon
3. Mengetahui faktor pencetus yang menimbulkan terjadinya kecemasan
pada klien metadon.
4. Mengetahui jenis gangguan kecemasan pada klien metadon.
3
1.4 Manfaat Penelitian
1. Dapat dilakukan penanganan secara holistik terhadap klien, sehingga
kepatuhan menjalani terapi dapat ditingkatkan.
2. Mengurangi morbiditas yang diakibatkan oleh terjadinya kecemasan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya)
Penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA merupakan penyakit endemik
dalam masyarakat modern, penyakit kronik yang berulangkali kambuh, dan
merupakan proses gangguan mental adiktif. Secara umum mereka yang
menyalahgunakan NAPZA dapat dibagi kedalam 3 golongan besar yaitu :
1. Ketergantungan primer, ditandai adanya kecemasan dan depresi, yang
terdapat pada orang dengan kepribadian tidak stabil. Mereka ini menderita
sakit, namun salah atau tersesat ke NAPZA, dalam mengobati dirinya
seharusnya meminta pertolongan ke psikiater. Golongan ini memerlukan
terapi dan rehabilitasi dan bukan hukuman.
2. Ketergantungan reaktif yaitu terdapat pada remaja, karena dorongan ingin
tahu, bujukan dan rayuan teman, jebakan dan tekanan serta pengaruh
kelompok sebaya. Mereka sebenarnya korban, dan memerlukan
rehabilitasi
3. Ketergantungan simtomatis, yaitu penyalahgunaan NAPZA sebagai salah
satu gejala dari tipe kepribadian yang mendasarinya, umumnya terjadi
pada orang dengan kepribadian antisosial, dan pemakaian hanya untuk
kesenangan. Mereka digolongkan kriminal karena merangkap sebagai
pengedar, sehingga diperlukan hukuman selain perlu rehabilitasi.
Meskipun NAPZA tertentu bermanfaat bagi pengobatan, namun
apabila disalahgunakan akan berakibat merugikan si pemakai, orang-orang di
sekitarnya serta masyarakat umum.
Menurut UU Narkotika (UU no 22, tahun 1997), yang dimaksud
narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
yang menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa,
mengurangi nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan.(Lumbantobing,
2007).
5
Ada 3 golongan narkotika. Golongan I, yaitu heroin, kokain dan ganja,
golongan II yaitu morfin, petidin dan derivatnya serta golongan III yaitu
kodein dan garam-garam narkotika golongan tersebut.
Sedangkan psikotropika mempunyai pengaruh selektif terhadap
susunan saraf pusat. Psikotropika golongan I, amat kuat menimbulkan
ketergantungan, misalnya ekstasi, shabu, LSD. Golongan II, misalnya
amfetamin, metilfenidat dan ritalin. Golongan III, potensi sedang misalnya
fenobarbital, flunitrazepam. Pada potensi ringan adalah diazepam,
klonazepam, pil BK, pil koplo, Dumolid dan Mogadon.
Zat adiktif lainnya termasul alkohol, inhalansia dan solven, tembakau
serta kafein. (Husin, 2004).
2.2 Penyebab dan Deteksi Dini Penyalahgunaan NAPZA
Penyalahgunaan NAPZA terjadi akibat interaksi 3 faktor berikut
1. Faktor NAPZA. NAPZA bekerja pada bagian otak yang yang menjadi
pusat penghayatan kenikmatan, termasuk stimulasi seksual. Karena itu
penggunaan NAPZA ingin diulangi.
2. Faktor Individu. Penyalahguna NAPZA terbanyak adalah pada remaja,
disebabkan remaja mengalami perubahan biologik, psikologik dan sosial
yang pesat sehingga merupakan individu yang rentan. Merokok atau
minum alkohol dipandang sebagai lambang kedewasaan, dan terdapat
keyakinan bahwa dirinya lain dari orang lain (personal fable).
3. Lingkungan Keluarga, Sekolah dan Masyarakat
Faktor orangtua sering ikut menjadi penyebab, misalnya kurang
komunikatif, terlalu mengatur atau terlalu permisif, disiplin yang tidak
konsisten, sikap ayah dan ibu yang tidak sepaham, terlalu sibuk, atau
hubungan orangtua yang kurang harmonis, sering bertengkar atau
berselingkuh, tidak menanamkan nilai baik-buruk dan boleh-tidak, serta
salah satu anggota keluarga sebagai penyalahguna NAPZA.
Sekolah yang kurang disiplin, sering tidak ada pelajaran, pelajaran
membosankan, guru kurang komunikatif dengan siswa dan tidak adanya
6
fasilitas untuk menyalurkan kreativitas siswanya akan mendorong
terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
Lingkungan masyarakat yang berperan antara lain mudah
diperolehnya NAPZA dan harga yang murah dari NAPZA.
Kelompok resiko tinggi (potential abuser), adalah orang yang belum
menjadi pemakai tetapi mempunyai resiko untuk terlibat. Ciri-cirinya pada
anak, adalah sulit memusatkan perhatian, mudah kecewa atau sedih, sudah
merokok sejak SD, agresif, sering berbohong, mencuri dan mempunyai IQ
borderline (70-90). Sedangkan pada remaja, ciri-cirinya adalah rasa rendah
diri yang tinggi, tidak sabar, diliputi depresi atau cemas, cenderung
melakukan hal berbahaya, memberontak, tidak ikut aturan motivasi belajar
rendah, tidak suka kegiatan ekstrakurikuler dan gangguan dalam
perkembangan psikoseksual serta bergaul dengan pengguna NAPZA.
(Setiawan, 2006).
2.3 Opioid ( Morphine, Heroin/”Putaw”)
Opioid dihasilkan dari getah opium poppy, yang diolah menjadi morfin
kemudian dengan proses tertentu menghasilkan putauw berbentuk serbuk
putih, dimana putauw mempunyai kekuatan 10 kali melebihi morfin. Opioid
dibagi dalam 3 golongan besar, yaitu opioid alamiah seperti morfin, opium,
kodein, opioid semi sintetik seperti heroin/putauw, hidromorfin dan opioid
sintetik seperti metadon, meperidin, propoksifen. Opioid biasanya digunakan
dokter sebagai analgetik kuat, berupa pethidin, metadon dan kodein.
(Setiawan, 2006).
Opioid juga mempunyai efek yang bermakna pada sistem
neurotransmitter dopaminergik dan noradrenergik. Sifat rewarding adiktif
opioid, di mediasi melalui aktivasi neuron dopaminergik di daerah ventral
tegmental, yang berproyeksi ke korteks sereberal dan sistem limbik.
(Lumbantobing, 2007).
Mereka yang mengkonsumsi NAPZA jenis opioid, baik dengan cara
menghirup asap setelah bubuk opiat dibakar atau disuntikkan setelah bubuk
7
opioid dilarutkan dalam air, akan mengalami hal-hal sebagai berikut :
(Hawari, 2002)
1. Pupil mata mengecil atau sebaliknya melebar. Bila dalam keadaan gelap,
biasanya pupil mata melebar tetapi yang terjadi sebaliknya pupil mata
mengecil.
2. Euforia atau sebaliknya disforia. Euforia adalah gangguan afektif yang
meninggi, dan kenyamanan serta kegembiraan tanpa sebab dan tidak wajar
(fly), sedangkan disforia gangguan mood berupa kemurungan dan
ketidaknyamanan.
3. Apatis. Yang bersangkutan acuh takacuh, kehilangan dorongan, kehendak
dan inisiatif sehingga penampilan tampak lesu dan kumuh.
4. Retardasi psikomotor. Gerak dan aktivitas fisik merosot sehingga terkesan
malas.
5. Mengantuk/tidur. Pada umumnya penyalahguna tidak dapat tidur pada
malam hari, dan setelah mengkonsumsi NAPZA jenis opioid yang
bersangkutan dapat tidur sampai sore keesokan harinya, kemudian keluar
rumah lagi mencari NAPZA dan tertidur lagi.
6. Pembicaraan cadel karena gerakan lidah terganggu.
7. Gangguan pemusatan perhatian atau konsentrasi. Akibatnya mereka
mengalami penurunan prestasi pelajaran atau pekerjaan dan komunikasi
sering terganggu (tidak nyambung).
8. Daya ingat menurun. Nasehat dan larangan sering dilanggar, karena
menjadi pelupa.
9. Tingkah laku maladaptif, seperti ketidakmampuan menyesuaikan diri
dengan lingkungan sekitar, seperti ketakutan, kecurigaan, gangguan
menilai realitas dan gangguan dalam fungsi sosial dan pekerjaan.
Mereka yang sudah ketagihan dan ketergantungan NAPZA jenis
opioid, bila pemakaiannya dihentikan akan timbul gejala putus opioid
(withdrawal symptoms) atau “sakaw” yaitu gejala ketagihan dan
ketergantungan, berupa lakrimasi, rhinorea, dilatasi pupil, keringatan, mual,
muntah, diare, bulu kuduk berdiri (piloereksi), menguap (yawning), hipertensi,
demam, insomnia, kejang, nyeri tulang, nyeri kepala dan mudah marah.
8
Sindrom putus zat ini merupakan gejala yang tidak mengenakkan, baik
fisik maupun psikis, untuk mengatasinya yang bersangkutan kembali
mengkonsumsi dengan dosis yang semakin bertambah, baik kuantitas maupun
kualitas. Kematian seringkali disebabkan karena overdosis, dengan akibat
komplikasi medik berupa oedema paru. (Hawari,2002)
2.4 PTRM (Program Terapi Rumatan Metadon)
1. Definisi
Metadon adalah derivat sintetis dari opioid, berbentuk cair dan diberikan
lewat mulut. mempunyai khasiat serupa seperti yang dimiliki opioid,
sehingga dapat mencegah simtom putus zat dan mengurangi sugesti. Pada
saat yang sama, ia mengurangi efek heroin atau zat opioid lain, karena ia
mengikat reseptor opioid dalam otak. Bahan obat substitusi, mempunyai
masa kerja lebih panjang daripada zat yang diganti, sehingga tidak
mengganggu aktivitas sehari-hari.
Metadon adalah salah satu bentuk terapi alternatif sementara untuk
pengguna opiat. Seseorang dapat menjadi klien metadon, setelah
didiagnosa oleh dokter umum dan diperkenankan mendapat terapi
metadon. Untuk terapi jangka pendek biasanya kurang dari satu bulan,
guna terapi putus zat atau detoksifikasi. Terapi jangka panjang (lebih dari
enam bulan), guna terapi rumatan, untuk memberi kesempatan fungsi otak
stabil dan pencegahan menagih dan putus zat. Selain metadon, terapi
substitusi yang lain adalah buprenorphine (subutex) dan naltrexone.
(Intergovernmental, 2004).
2. Manfaat
Istilah pengurangan dampak buruk NAPZA (Harm Reduction), semakin
banyak digunakan ketika pola penularan HIV/AIDS bergeser, dari perilaku
penularan seksual ke perilaku penggunaan jarum suntik. Hal ini dimulai di
Merseyside, Inggris tahun 1920, dimana diberikannya resep heroin kepada
pengguna jarum suntik. (Depkes, 2006).
Program ini bertujuan untuk menurunkan pengunaan heroin injeksi, dan
mencegah penularan HIV & AIDS melalui pengguna heroin suntik.
9
Manfaat lain adalah untuk meningkatkan kualitas hidup klien, serta
menurunkan penggunaan heroin. Dari beberapa bukti studi bahwa terapi
substitusi menurunkan penggunaan opioid jalur gelap, tindak kriminal,
kematian karena overdosis, dan perilaku dengan resiko tinggi penularan
HIV/AIDS. Sejak tahun 1969 program pemulihan dengan metadon
pertama kali dilakukan di California. (Goldstein, 2001).
3. Kegiatan
Program terapi rumatan metadon melakukan banyak kegiatan dan
pelayanan meliputi : Kegiatan biologik seperti: terapi metadon oral,
pemeriksaan fisik oleh dokter umum, merujuk ke bagian lain di RS
Sanglah, tes laboratorium seperti fungsi liver, Hepatitis B, C, HIV, darah
lengkap dan obat dalam urine, menyebarkan kondom dan program jarum
steril. Sedangkan aktivitas yang berkaitan dengan psikologis antara lain
pelayanan oleh psikiater, pelayanan konseling, pelayanan VCT (Voluntary
Counseling & Test), CBT (Cognitive Behavioral Therapy), pertemuan
dengan klien serta pelatihan keluarga. Pelayanan yang lain adalah
pelayanan sosial, budaya dan spiritual.(WHO, 2004)
4. Kriteria klien
Beberapa kriteria Penasun yang dapat mengikuti program terapi rumatan
Metadon adalah
a. Memenuhi kriteria ketergantungan opioid menurut DSM IV
b. Usia 18 tahun atau lebih
c. Penasun dengan status HIV positif maupun negative.
d. Penggunaan jarum suntik kronis, minimal 1 tahun.
e. Penasun yang mengalami kekambuhan masif dan beresiko tinggi
f. Usia di bawah 18 tahun dengan kondisi khusus dan dinilai perlu.
2.5 Kecemasan pada Penyalahguna Opioid
Kecemasan patologik timbul pada seseorang apabila ia tidak memakai
mekanisme pembelaan diri yang positif dalam menghadapi suatu stres.
Gangguan Cemas merupakan ketakutan kronis yang menetap tanpa adanya
ancaman langsung yang terdiri dari komponen psikis : perasaan cemas dan
10
komponen fisik : ketegangan motorik dan hiperaktivitas susunan saraf
otonom, baik yang simpatis maupun parasimpatis.
Keadaan klinis ini menyebabkan individu menjadi “ maladaptif” yaitu
menimbulkan hendaya (disabilitas) dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari,
dalam produktivitas kerja, serta gangguan dalam kesejahteraan hidup.(Semiun,
2001).
Komorbiditas atau penyakit yang ada bersama atau menyertai pecandu
opioid sekitar 90% mempunyai gangguan psikiatri. Paling sering ialah
gangguan depresi mayor, pecandu alkohol, gangguan kepribadian antisosial
dan gangguan kecemasan. Kelainan ini harus ditelusuri dan ditangani agar
tercapai penanganan yang optimal. (Lumbantobing, 2007).
Komorbiditas ada empat macam yaitu penyakit yang satu dengan yang
lain tidak ada sebab akibat, penyakit yang satu menjadi penyebab penyakit
yang lain, penyakit yang satu dan yang lain penyebabnya sama atau penyakit
yang satu memperberat penyakit yang lain. (Joewana, 2005)
Gangguan yang bisa menambah resiko perkembangan ke arah
gangguan cemas termasuk gangguan makan, depresi dan penyalahgunaan zat.
Sebaliknya gangguan cemas dikenal meningkatkan resiko gangguan
penyalahgunaan zat dan sebagai mediator antara depresi dan penyalahgunaan
zat. (Essau, 2006).
Gejala henti obat zat opioid banyak yang disebabkan oleh
hiperaktivitas saraf simpatetik. Gejalanya dapat berupa berkeringat, malaise,
cemas, depresi, ereksi penis yang persisten (priapismus), kram anggota gerak,
lakrimasi, nausea, mual,muntah, diare dan sulit tidur. Pendekatan yang
dilakukan adalah dengan substitusi dengan opioid, yang durasinya lebih lama
seperti metadon atau buprenorpin atau dengan pemberian obat non opioid
seperti benzodiazepine. Dan gejala ini dapat pula ditekan dengan memberikan
obat klonidin (catapres) alfa 2 agonis yang bekerja sentral, obat ini juga bisa
sebagai antihipertensi. (Lumbantobing, 2007).
11
2.6 Kecemasan pada Penyalahguna Opioid yang Menjalani Terapi Rumatan
Metadon
Durasi aksi metadon melebihi 24 jam, dengan demikian pemberian satu
kali sehari sudah adekuat. Rumatan (maintenance) metadon dilanjutkan
sampai pasien dapat ditarik dari metadon. Gejala henti obat pada metadon
dapat terjadi, namun proses detoksifikasinya lebih mudah diatasi daripada
heroin.
Penyalahguna zat lebih peka terhadap stres telah lama diketahui.
Fenomena ini diterangkan berdasarkan penelitian Kreek dan Koob tahun 1998
yang menemukan bahwa opioid meningkatkan kadar kortisol, suatu hormon
yang berperan dalam respon terhadap stres. Hipersensitivitas siklus hormon
stres ini, menyebabkan stres kecil yang diabaikan oleh orang normal, akan
menimbulkan craving untuk menggunakan kembali opioid. (Nurdin, 2006)
Jika kecemasan dengan depresi memberi respon terhadap
psikofarmaka, maka depresi hendaknya diobati segera. Gangguan cemas
menyeluruh, panik, atau gangguan kecemasan lain lebih baik diobati dengan
cognitive behavior therapy (CBT), dikombinasi dengan antidepresan. Metadon
mempunyai efek anti cemas yang tidak spesifik, tetapi tidak efektif untuk
gangguan kecemasan. Benzodiazepin jarang dipakai untuk terapi pada pasien
metadon, disebabkan populasi ini mempunyai resiko lebih besar untuk
menyalahgunakan daripada keuntungan potensial. (Strain, 1999).
2.7 Klasifikasi dan Diagnosa Kecemasan
Menurut DSM IV, yang dimasukkan ke dalam gangguan cemas adalah
Gangguan Cemas Fobik ( Agorafobia, Fobia Sosial, Fobia Sederhana atau
Spesifik), Gangguan Cemas lainnya (Gangguan Panik dengan atau tanpa
Agorafobia, Gangguan Cemas Menyeluruh, Gangguan Campuran Cemas dan
Depresi), Gangguan Obsesif Kompulsif, Gangguan Stres Pasca Trauma,
Reaksi Stres Akut, Gangguan Cemas karena kondisi medik umum, dan
Gangguan Cemas tidak khas.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria yang sudah dibakukan
(DSM IV, ICD-10 atau PPDGJ III). Agorafobia berarti ketakutan patologik
12
tehadap tempat terbuka atau tempat umum. Fobia Sosial atau disebut
kecemasan sosial adalah ketakutan yang irasional terhadap kehadiran orang
lain sedangkan pada Fobia Spesifik terdapat ketakutan patologik terhadap
objek tertentu atau situasi tertentu. Gangguan Panik adalah kecemasan yang
sangat kuat dan berlangsung dalam waktu yang singkat, ditandai oleh
serangan-serangan yang ekstrem. Penderita sering merasa cemas akan
serangan yang muncul. Pada Gangguan Cemas Menyeluruh terdapat
kecemasan umum yang berlangsung sekurang-kurangnya selama satu bulan
dan tidak ada hubungan dengan objek tertentu. Peristiwa traumatis yang luar
biasa seperti bencana alam, kecelakaan berat, penyiksaan akan menimbulkan
ingatan dan kilas balik pada penderita Gangguan Stres Pasca Trauma. Idea
atau impuls yang muncul berulang-ulang dan tidak dapat dikontrol oleh
penderita menimbulkan Gangguan Obsesif Kompulsif/Obsessive Compulsive
Disorder (OCD). Instrumen yang bisa digunakan untuk mengukur derajat
kecemasan adalah Hamilton Rating Scale for Anxiety (HRSA), IPAT Anxiety
Scale dari Catell (IPAT-AS), Manifest Anxiety Scale dari Taylor (T-MAS),
dan Sheehan Patient Rated Anxiety Scale (SPRAS). (Sudiyanto, 2003)
13
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini adalah bersifat deskriptif, dimana subyek penelitian yang
dipakai adalah klien aktif yang mengikuti Program Terapi Rumatan Metadon
(PTRM) “Sandat” RSUP Sanglah dari tanggal 1-16 September 2009. Dari 67
klien aktif kami hanya bisa memakai klien yang bersedia untuk diwawancara. Hal
ini disebabkan, kemungkinan ada beberapa yang dieksklusi, yaitu yang menolak
dengan alasan ingin cepat pulang karena bekerja atau ada urusan tertentu dan
sebagian kecil karena diambilkan oleh wali dan beberapa orang kadang-kadang
mengambil di tempat/ klinik PTRM lain.
Data diambil menggunakan kuesioner Hamilton Rating Scale for Anxiety
(HRSA), yang merupakan skala penilaian kecemasan yang sudah dipakai secara
luas dan sudah divalidasi, Kuesioner ini terdiri dari 14 item, masing-masing item
ada nilai 0-4. Jumlah skor menunjukkan tingkat keparahan kecemasan yang ada.
Skor kurang dari 17 menunjukkan kecemasan ringan, 18-24 kecemasan sedang
dan 25-30 kecemasan berat. Berdasarkan PPDGJ III, kemudian ditelusuri jenis
gangguan kecemasan yang ada pada klien.
14
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
Hanya 43 orang klien yang ikut dalam penelitian, dari keseluruhan 67
klien metadon yang aktif. Yang lain tidak diikutkan atau dieksklusi karena
alasan menolak untuk diwawancarai disebabkan oleh tidak ada waktu (ada
acara, tergesa-gesa, akan bekerja, dan sebagian kecil tanpa alasan), Selain itu
ada beberapa orang yang mengambil obat metadon diwakili oleh keluarga
(wali), dengan alasan bekerja atau sakit. Karakteristik sampel diperlihatkan
pada tabel 1
Tabel 1. Karakteristik sampel penelitian PTRM “Sandat”
Variable f
Jenis Kelamin
- Wanita 1 (2,3%)
- Laki-laki 42 (97,7%)
Pendidikan
- SD
- SMP 2 (4,7%)
- SMA 32 (74,4%)
- Perguruan Tinggi 9 (20,9%)
Status Perkawinan
- Menikah 27 (62,8%)
- Tidak menikah 12 (27,9%)
- Bercerai 4 (9,3%)
Pekerjaan
- Bekerja 35 (81,4%)
- Tidak bekerja 7 (16,3%)
- Masih sekolah/kuliah 1 (2,3%)
Umur
- < 20 tahun
- 21-30 tahun 18 (41,9%)
- 31-40 tahun 24 (55,8%)
- 41-50 tahun 1 (2,3%)
- 51-60 tahun
15
Tabel 2. Prevalensi Kecemasan pada sampel klien PTRM “Sandat”
Kecemasan f
Cemas
Tidak cemas
32 (74,4%)
11 (25,6%)
Total 43 (100%)
Tabel 3 Derajat Kecemasan klien PTRM “Sandat”
Derajat Kecemasan F
Kecemasan Ringan
Kecemasan Sedang
Kecemasan Berat
22 (51,2%)
8 (18,6%)
2 (4,7%)
Total 32 (74,4%)
Tabel 4. Jenis Kecemasan Klien PTRM “Sandat”
Diagnosis F
Gangguan campuran cemas dan depresi
Gangguan cemas menyeluruh
PTSD
Gangguan cemas YTT
14 (32,6%)
8 (18,6%)
1 (2,3%)
9 (20,9%)
Total 32 (74,4%)
Tabel 5. Faktor Pencetus Kecemasan Klien PTRM “Sandat”
Faktor Pencetus F
Memikirkan kapan bisa menghentikan terapi metadon
Ekonomi/susah mencari pekerjaan
Masalah dengan keluarga
Memikirkan penyakit atau tahu HIV (+)
Melihat teman klien meninggal
Ingat masa lalu (menyesal, takut kambuh)
Dosis belum pas
10 (23,3%)
2 (4,7%)
5 (11,6%)
7 (16,3%)
3 (7,0%)
3 (7,0%)
2 (4,7%)
Total 32 (74,4%)
16
4.2 Pembahasan
Pada karakteristik sampel didapatkan lebih banyak laki-laki 97,7 %,
sesuai dengan penelitian Hawari yang mendapatkan 90% penyalahguna
NAPZA adalah laki-laki. Penyalahguna opioid mulai mengenal opioid pada
usia remaja dan awal usia 20 tahun, dan mereka akhirnya menjadi
ketergantungan pada usia 30-40 tahun. (Kaplan,2007). Ini sesuai dengan hasil
penelitian, dimana umur terbanyak yaitu pada umur 31-40 tahun sebanyak 24
orang (55,8%). Keterlibatan mereka sebagai penyalahguna opioid,
menyebabkan sebagian besar dari mereka mempunyai pendidikan SMA
(74,4%), walaupun sebagian besar dari keluarga dengan sosial ekonomi
cukup. Sebagian besar sampel menikah 62,8% dan memiliki pekerjaan
81,4%, karena dengan menggunakan metadon menyebabkan penurunan
frekuensi keluhan dan kunjungan ke rumah sakit serta peningkatan kualitas
hidup pasien. (Strain, 1999)
Dari hasil penelitian didapatkan 32 orang (74,4%), berdasarkan skor
HRSA, mengalami kecemasan dengan distribusi terbanyak pada kecemasan
ringan yaitu sebesar 22 orang (51,2%). Jenis kecemasan yang tersering
berdasarkan PPDGJ III adalah Gangguan campuran Cemas dan Depresi yaitu
14 orang (32,6%). Sedangkan faktor pencetus kecemasan terbanyak adalah,
ketakutan terlalu lama memakai metadon sebanyak 10 orang (23,3%).
Meskipun para klien telah menjalani terapi, seringkali perilaku
maladaptif belum hilang, rasa ingin memakai NAPZA lagi atau “sugesti”
(craving) masih sering muncul, juga keluhan lain seperti kecemasan dan atau
depresi serta insomnia merupakan keluhan yang masih sering disampaikan
klien saat berkonsultasi. Oleh karena itu terapi psikofarmaka masih dapat
dilanjutkan, dengan catatan jenis obat yang diberikan tidak bersifat adiktif.
Disamping itu perlu dilakukan rehabilitasi psikiatrik berupa psikoterapi
individual dan konsultasi keluarga sehingga prilaku maladaftif dapat berubah
menjadi adaptif.
17
BAB V
SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
Beberapa kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini :
1. Sebagian besar penyalahguna opioid yang mengikuti program terapi
rumatan metadon adalah laki-laki, umur produktif 20-40 tahun,
berpendidikan SMA, menikah dan memiliki pekerjaan.
2. Kecemasan didapatkan lebih dari sebagian klien metadon dengan
distribusi terbanyak pada kecemasan ringan
3. Faktor pencetus yang menimbulkan kecemasan terbanyak adalah berpikir
sampai kapan menjalani terapi rumatan dan memikirkan penyakit HIV
yang diderita.
4. Jenis gangguan kecemasan yang terbanyak adalah gangguan campuran
cemas dan depresi.
5.2 Saran
1. Diadakan penelitian longitudinal dengan pendekatan kualitatif untuk
mendapatkan gambaran yang lebih obyektif.
2. Dilakukan penelitian yang sama dengan alat ukur yang berbeda
3. Perlu diadakan penelitian lanjutan yang membandingkan metode
rehabilitasi yang berbeda seperti metode substitusi buprenorfin.
4. Dengan adanya komorbiditas pada penyalahguna opioid yang sedang
menjalani terapi rumatan, perlu dilakukan rehabilitasi psikiatrik termasuk
psikoterapi suportif oleh psikiater.
5. Untuk mencegah peningkatan status kecemasan dan mencegah hambatan
dalam menjalani program rehabilitasi untuk pemulihan pecandu, perlu
dilakukan peningkatan pelayanan klinis dengan cara peningkatan SDM
dalam deteksi dini gangguan ini, dan perlu adanya evaluasi berkala untuk
mengetahui perkembangan status kecemasan peserta program rehabilitasi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Kesehatan R.I. 1993. Pedoman Penggolongan dan Diagnosis
Gangguan Jiwa di Indonesia III. Cetakan Pertama. Jakarta. hal. 168-
195.
Departemen Kesehatan RI-WHO, Rumah Sakit Ketergantungan Obat Jakarta &
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah. 2003. Pedoman Terapi Substitusi
dengan Metadon pada Proyek Uji Coba Program Rumatan Metadon.
Denpasar.
Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan. 2006. Pedoman Pelaksanaan Pengurangan
Dampak Buruk Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif (NAPZA).
Essau, C.A. 2006. Child and Adolescent Psychopathology, Theoritical and
Clinical Implication. Routledge Taylor and Francis Group. London and
New York. p. 78-101.
Goldstein, A. 2001. Heroin, Morphine and other Opiate. In: Addiction from
Biology to Drug Policy. Second edition. New York. Oxford United Press.
p 157-178
Hawari, D. 2002. Penyalahgunaan dan ketergantungan NAZA (Narkotika,
Alkohol & Zat Adiktif). Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta h. 1-47.
Husin, AB. dkk. 2004. Pedoman Terapi Pasien ketergantungan Narkotika
Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Badan Narkotika Nasional RI
bekerjasama dengan Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Intergovernmental Committee on Drugs sub-committee on Methadone and Other
Treatments, Australian Government. 2004. National Pharmacotherapy
policy for people dependent on opioids. Canberra p. 3-15
19
Joewana, S. 2005. Komorbiditas. Dalam Gangguan Mental dan Perilaku akibat
Penggunaan Zat Psikoaktif. Penyalahgunaan NAPZA/Narkoba. Edisi 2.
Penerbit Buku Kedokteran Gramedia. Jakarta. h. 201.
Kaplan, HI., Sadock, BJ. 2005.Substance Related Disorder. In: Comprehensive
textbook of psychiatry. Eighth edition. Lippincot Williams & Wilkins.
Philadelphia. p. 1718-1767
Lumbantobing, S.M. 2007. Opioid dalam Serba Serbi Narkotika. Balai Penerbit
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Maramis, A., Dharmono, S., Maramis, M. 2003. Anxietas. Dalam: Penanganan
Depresi dan Anxietas di Pelayanan Primer. Indopsy. Surabaya. hal. 67-
132.
Nurdin, AE. 2007. Patologi Penyalahgunaan Opioid. Dalam Madat, Sejarah,
Dampak Klinis dan Penanggulangannya. Pemenang Hibah Penulisan
Buku Teks Perguruan Tinggi DIKTI. Penerbit Mutiara Wacana. Semarang.
h. 98-114.
Semiun, Y. 2001. Neurosis (Psikoneurosis). Dalam Kesehatan Mental 2. Penerbit
Kanisius. Jakarta. h. 315-374.
Setiawan, P. 2006. Pedoman Penyuluhan Masalah Narkotika, Psikotropikaa dan
Zat Adiktif lainnya (NAPZA) bagi Petugas Kesehatan. Direktorattderal
Jenderal Bina Pelayanan Medik – Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan
Jiwa Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Strain, E.C., Stitzer, M.L. 1999. Methadone Treatment for Opioid Dependence.
The John Hopkins University Press. Baltimore & London. p 31-158.
Sudiyanto, A. 2003. Pengalaman Klinik Penatalaksanaan Non Farmakologik
Gangguan Anxietas. Dalam Makalah Pertemuan Ilmiah Dua Tahunan
Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia. Jakarta.