Date post: | 12-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 1 times |
Download: | 0 times |
1
LEGALITAS PERWAKAFAN INDONESIA;
SEBUAH KONSEP PEMBERDAYAAN EKONOMI UMAT
Oleh : Miftahul Khaer
A. PENDAHULUAN
Ajaran Islam disamping mengatur masalah kehidupan yang berkaitan dengan kehidupan
akhirat, juga mengatur kehidupan duniawi. Antara lain, masalah-masalah sosial. Kemudian, di
antara kehidupan sosial tersebut adalah pengelolaan dan pemanfaatan harta benda yang
mengandung nilai-nilai sosial. Harta merupakan kebutuhan manusia di dunia yang dituntut untuk
memperolehnya dengan jalan yang baik.
Salah satu institusi atau peranan sosial yang mengandung nilai sosial ekonomi adalah
lembaga perwakafan, sebagai lanjutan dari ajaran tauhid yang berarti segala sesuatu berpuncak
pada kesadaran akan adanya Allah swt. Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk
perwujudan sosial dalam Islam, prinsip pemilikan harta dalam Islam menyatakan bahwa harta
tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang.1
Setiap manusia adalah penguasa harta benda yang dimiliki, akan tetapi bukan sebagai
pemilik mutlak, dengan ketentuan ia mendapatkan dan mengelolanya sesuai dengan aturan yang
telah ditetapkan oleh ajaran agama Islam. Sebagai pemilik benda yang dimilikinya, maka ia
berkewajiban untuk menafkahkan harta benda itu, sebagaimana ditegaskan dalam al-Qur’an:
Artinya: “Berimanlah kamu kepada Allah dan rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu
yang Allah Telah menjadikan kamu menguasainya. Maka orang-orang yang beriman di
antara kamu dan menafkahkan (sebagian) dari hartanya memperoleh pahala yang
besar”. (QS.al-Hadid: 7).
Ayat al-Qur’an di atas memberikan isyarat kepada kita bahwa harta yang diberikan
kepada orang disamping ia akan menerima imbalan pahala dari Allah juga dapat memberikan
rasa sosial yang tinggi dalam masyarakat. Salah satu pemanfaatan harta itu adalah wakaf yang
bermanfaat bagi yang berwakaf maupun bagi masyarakat. Oleh karena itu, wakaf telah
disyariatkan dan dipraktekkan oleh masyarakat Islam di seluruh dunia sampai sekarang termasuk
masyarakat Islam Indonesia.2 Menurut Ameep Ali, hukum wakaf merupakan cabang yang
terpenting dalam syariat Islam, sebab ia terjalin ke dalam seluruh kehidupan ibadat dan
perekonomian sosial kaum muslimin.3
Wakaf tidak hanya berfungsi sebagai ibadah ritual semata tapi juga berfungsi sosial. Ia
merupakan bentuk pernyataan iman yang mantap dan rasa solidaritas yang tinggi antar sesama
manusia. Oleh karenanya, wakaf adalah salah satu usaha mewujudkan dan memelihara hubungan
1 S. Praja Juhaya, Perwakafan di Indonesia, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 1. 2 Suparman Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Serang: Darul Ulum, 1994), h. 2. 3 AA. Fyzee Asaf, Outlines of Muhammadah Law, disalin oleh Arifin Bey, (Jakarta: TintaMas, 1996), h. 75.
2
vertikal (habl min Allah) dan horizontal (habl min al-nas).4 Dalam fungsinya sebagai ibadah ia
diharapkan akan menjadi bekal bagi kehidupan wakif (orang yang berwakaf) di hari kemudian. Ia
adalah suatu bentuk amal yang pahalanya terus mengalir selama harta wakaf dimanfaatkan.
Rasulullah saw. bersabda:
٥الح (رواه مسلم)إذا مات اإلنسان إنـقطع عمله إال من ثالث صدقة جارية أو علم يـنتـفع به أو ولد صArtinya: “Apabila manusia wafat, terputuslah amal perbuatannya kecuali tiga perkara, yaitu
sedekah jariyah, atau ilmu pengetahuan yang dimanfaatkan, atau anak saleh”. (HR.
Muslim).
Wujud perwakafan banyak macamnya, ada yang berwujud tanah, gedung, pohon, surat-
surat, perhiasan, dan lain-lain. Secara historis peran wakaf sangat besar baik secara kualitas
maupun kuantitas. Misalnya, di Mesir sampai pada abad ke-19, jumlah lahan pertanian hasil
wakaf masyarakat mencapai total sepertiga dari jumlah lahan pertanian yang ada. Di lain sisi,
wakaf mempunyai andil yang sangat besar dalam memajukan sektor pendidikan, kesehatan dan
kebutuhan sosial lainnya. Belum lagi pemanfaatan wakaf tanah, gedung, buku-buku untuk
perpustakaan sebagai sarana penunjang pembangunan sektor sekolah yang dibiayai oleh harta
wakaf.6
Wakaf merupakan salah satu instrumen ekonomi umat dan negara yang unik. Dalam
wakaf yang layak untuk dimanfaatkan adalah hasil dari perputaran wakaf, sedangkan pengelolaan
wakaf bukanlah pokoknya. Dengan demikian, harta wakaf tidak akan habis. Keunikan wakaf juga
terlihat pada pengembangan harta yang tidak didasarkan pada tingkat pencapaian keuntungan
bagi pemilik harta wakaf, tetapi lebih didasarkan pada target dan unsur kebajikan, kebaikan dan
kerja sama. Bisa saja sebuah harta wakaf tidak mendatangkan keuntungan, namun jika
dialokasikan dengan benar sehingga dapat dimanfaatkan dengan benar, maka harta wakaf tadi
harus dikelola dengan penuh kebersamaan dan transparansi.
Perbedaan pendapatan atau penghasilan dan kesejahteraan masyarakat tidak boleh
menimbulkan jurang pemisah yang pada akhirnya dapat mengganggu stabilitas keamanan,
sedangkan Islam memandang bahwa manusia adalah makhluk mulia yang hidup bermasyarakat
karena secara alamiah dapat dibuktikan bahwa tidak ada satu pun yang bisa dihasilkan oleh
manusia tanpa melibatkan manusia lain di sekelilingnya. Kajian wakaf dengan menganggapnya
sebagai lembaga kemasyarakatan atau lembaga yang hidup dalam masyarakat berarti mengkaji
wakaf dengan tinjauan sosial. Kajian ini merujuk pada korpus yang meliputi fakta dan data yang
ada dalam masyarakat.
Kajian wakaf sebagai lembaga yang diatur oleh negara merujuk pada peraturan
perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Perwakafan telah diatur dalam perundang-
4 Departemen Agama RI, Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam, (Direktorat Jenderal Bimbingan
Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf Departemen Agama RI, 2005), h. 4.
5 Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Juz II, h. 70. 6 Zubairi Hasan, “Membebaskan Keterbelakangan Umat dengan Wakaf”, Majalah Peduli Umat, Edisi IV, 9
Agustus 2003, h. 6.
3
undangan sejak tahun 1905, walaupun masih sebatas pada perwakafan tanah yang termasuk di
dalamnya masjid dan rumah-rumah suci. Peraturan-peraturan tersebut adalah:
1. Bijblad op het staatsblad (Lembaga Negara) No. 1698, Bedehizeen Maskieen, tanggal 31
Januari 1905 tentang rumah-rumah suci dan masjid.
2. Bijblad op het staatsblad No. 12573, tanggal 4 Juni 1931 tentang Bedehizeen wakaps.
Peraturan ini dengan jelas menyatakan wakaf.
3. Bijblad op het staatsblad No. 13380, tanggal 24 Mei 1935 tentang Bedehizeen Bijblad op het
staatsblad Nomorrijdagdiensten Moskieen en Wakap.
4. Bijblad op het staatsblad No. 13480, tanggal 27 Mei 1935 tentang Bedehizeen Vrijdagdiesten
Moeskin en Wakap.7
Peraturan-peraturan tersebut di atas masih berlaku hingga pendudukan Jepang. Pada masa
kemerdekaan telah diundangkan pula peraturan pertanahan yang dikenal dengan Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960. Kemudian sebagai tindak lanjut dari PP No. 28 yang
dikeluarkan pada tahun 1977 maka dikeluarkan peraturan-peraturan lainnya, diantaranya:
1. Peraturan Pelaksanaan PP No. 28 tahun 1977 yang diatur oleh Menteri Agama No. 1 tahun
1978.
2. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 tahun 1978.
3. Peraturan Menteri Agama No. 73 tahun 1978 tentang pendelegasian wewenang kepada
Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi di seluruh Indonesia untuk mengangkat
atau memberhentikan setiap kepala KUA sebagai PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar
Wakaf).
4. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1978 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri
Agama No. 73 tahun 1978.
5. Instruksi Menteri Agama No. 3 tahun 1978 tentang Bimbingan dan Pembinaan kepada Badan
Hukum Keagamaan yang Memiliki Tanah.
6. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertahanan Nasional No. 4 tahun 1990
tentang Sertifikat Tanah Wakaf.8
7. Undang-Undang RI No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Pada waktu yang lampau, peraturan tentang perwakafan dalam suatu peraturan
perundangan belum jelas dan terperinci sehingga mudah terjadi penyimpangan dari hakikat dan
tujuan wakaf, terutama disebabkan terdapatnya beraneka ragam bentuk benda yang akan
diwakafkan dan tidak ada keharusan untuk didaftarkan, sehingga banyak harta benda wakaf yang
tidak diketahui lagi keberadaannya. Bahkan, sempat terjadi harta benda wakaf seolah-olah
menjadi milik ahli waris pengurus atau nazir. Dan banyak sekali terdapat persengketaan-
persengketaan harta benda wakaf, diantaranya tanah yang disebabkan tidak jelasnya status tanah.
Dengan adanya peraturan pemerintah dan undang-undang tentang pelaksanaan wakaf yang ada
7 Zubairi Hasan, Membebaskan…, h. 6. 8 Zubairi Hasan, Membebaskan …, h. 6.
4
sekarang, diharapkan persoalan tentang wakaf ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya dan
tidak lagi hanya dipandang sebagai lembaga keagamaan semata sehingga segala sesuatunya juga
harus memenuhi segala bentuk persyaratan formal yang ditentukan dalam peraturan perundang-
undangan tentang wakaf.
Meskipun demikian, keberadaan wakaf bukanlah tanpa masalah. Dalam pelaksanaannya
juga masih menghadapi hambatan-hambatan yang perlu lebih disempurnakan lagi. Pada tahun
1977 telah diluncurkan peraturan pemerintah yang merujuk pada pasal 49 ayat 3 UUPA, yaitu
peraturan pemerintah No. 28 tahun 1977 dan kemudian disempurnakan lagi menjadi Undang-
Undang No. 41 tahun 2004.
B. TINJAUAN UMUM TENTANG WAKAF
Di tengah problem sosial masyarakat Indonesia dan tuntutan akan kesejahteraan ekonomi
akhir-akhir ini, keberadaan lembaga wakaf menjadi sangat strategis. Disamping sebagai salah
satu ajaran Islam yang berdimensi spiritual, wakaf juga merupakan ajaran yang menekankan
pentingnya kesejahteraan ekonomi (dimensi sosial).
Kesadaran masyarakat Islam akan pentingnya wakaf menimbulkan efek positif pada pola
manajemen dan sistem administrasi wakaf yang terus-menerus mengalami perubahan serta
penyempurnaan. Tidak diragukan lagi bahwa perkembangan manajemen wakaf Islam selama
lebih dari satu setengah abad yang lalu, secara keseluruhan merupakan upaya perbaikan yang
bertujuan untuk membenahi manajemen wakaf dan menghilangkan sebab-sebab keterpurukan
manajemen wakaf akibat ulah orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Karena itu,
pendefinisian ulang (me-review) terhadap wakaf agar memiliki makna yang lebih relevan dengan
kondisi riil persoalan kesejahteraan menjadi sangat penting. Hal ini dimaksudkan supaya dapat
menghilangkan kesimpangsiuran pemikiran tentang wakaf, terutama dalam praktiknya yang
terkadang masih sering menyimpang dari ajaran Islam dan aturan perundang-undangan.
1. Definisi Wakaf
a. Definisi Wakaf Menurut Ahli Fiqh
1) Definisi Wakaf Secara Terminologis
Berdasarkan maknanya yang umum dan praktiknya, wakaf adalah
memberikan harta atau pokok benda yang produktif terlepas dari campur tangan
pribadi, menyalurkan hasil dan manfaatnya secara khusus sesuai dengan tujuan
wakaf, baik wakaf kepentingan perorangan, masyarakat, agama, atau umum.
Wakaf menurut bahasa arab berarti س ب احل yang berasal dari kata kerja س ب ح
ا س ب ح - س ب حي - , artrinya menahan atau menjauhkan orang dari sesuatu atau
5
memenjarakan. Kemudian kata ini berkembang menjadi حبس yang berarti
mewakafkan harta karena Allah.9
Kata حبس merupakan sinonim kata فا ق و - ف ق ي - ف ق و yang berarti berhenti,
berdiam di tempat, atau menahan. Rasulullah saw. menggunakan kata al-habs dalam
menunjukan pengertian wakaf. Dengan demikian yang dimaksud wakaf dalam
pembahasan ini ialah (al-habs), yaitu menahan suatu harta benda yang manfaatnnya
diperuntukan bagi kebajikan yang dianjurkan oleh agama.10
Menurut kamus Bahasa Indonesia, wakaf ialah memperuntukan sesuatu bagi
kepentingan umum sebagai derma atau kepentingan yang berhubungan dengan
agama.11
Kesimpulannya, baik al-habs maupun al-waqf sama-sama menunjukan arti al-
imsak (menahan), al-man‘u (mencegah atau melarang) dan al-tamakkuts (diam).
Disebut menahan karena wakaf ditahan dari kerusakan, penjualan, dan semua
tindakan yang tidak sesuai dengan tujuan wakaf. Dikatakan menahan, juga karena
manfaat dan hasilnya ditahan serta dilarang bagi siapapun selain dari orang-orang
yang berhak atas wakaf tersebut.
2) Definisi Wakaf Secara Epistemologis
Secara epistemologis, yang dimaksud dengan wakaf menurut ulama fiqh ialah
sebagai berikut.
a) Menurut Mazhab Hanafi
١٢ ري خل ا ة ه ج لى ع ة ع ف نـ م ال ب ق د ص الت و ف اق لو ا ك ل م م ك ح لى ع ني الع س ب ح ف ق و ل ا Artinya: “Wakaf adalah menahan benda orang yang berwakaf (wakif) dan
mensedekahkan manfaatnya untuk kebaikan”.
Lebih lanjut, menurut mazhab Hanafi, mewakafkan harta bukan berarti
meninggalkan hak milik secara mutlak, dan orang yang mewakafkan boleh saja
menarik wakafnya kembali kapan saja ia kehendaki dan boleh diperjualbelikan
oleh pemilik semula. Bahkan menurut Abu Hanifah, jika wakif tersebut meninggal
dunia, maka kepemilikan harta yang diwakafkannya berpindah menjadi hak ahli
warisnya.13 Dengan demikian, suatu wakaf akan berakhir dengan meninggalnya
orang yang mewakafkan dan harta tersebut kembali kepada ahli warisnya yang
berhak.
9 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2002), cet. ke-4, h. 25. 10 Departemen Agama RI, Wakaf Tunai dalam Perspektif Hukum Islam, (2005), h. 13 – 14. 11 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,
1988), h. 1008. 12 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam wa ‘Adilatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1985), Juz VII, h. 153. 13 Ibid, h. 169.
6
Namun pada kesempatan lain, mazhab Hanafi mengakui keberadaan harta
wakaf yang tidak dapat ditarik kembali, yaitu:
(1) Berdasarkan keputusan hakim bahwa harta wakaf ini tidak boleh dan tidak
dapat ditarik kembali.
(2) Wakaf dilakukan dengan jalan wasiat.
(3) Harta wakaf yang dipergunakan untuk masjid.14
b) Menurut Mazhab Maliki
ا ل ع ج ف ق و ل ا ة غ يـ ص ب ق ح ت س م ل م اه ر د ك ه ت ب ال غ ل ع ج و ا ة ر ج أ ا ب ك و ل مم ان ك و ل و ة ك و ل مم ة ع ف نـ م ك ال مل
١٥ س ب ح م ال اه ر ا يـ م ة د م Artinya: “Wakaf ialah menjadikan manfaat harta sang wakif, baik berupa sewa
atau hasilnya untuk diserahkan kepada orang yang berhak dengan bentuk
penyerahan berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh
orang yang mewakafkan”.
Berdasarkan definisi ini, seorang yang mewakafkan hartanya dapat
menahan penggunaan harta benda tersebut secara penuh dan membolehkan
pemanfaatan hasilnya untuk tujuan kebaikan dengan kepemilikan harta tetap pada
diri sang wakif. Adapun masa berlakunya harta yang diwakafkan tidak untuk
selama-lamanya, melainkan hanya untuk jangka waktu tertentu sesuai kehendak
wakif pada saat mengucapkan shighat (akad) wakaf.
Pendapat mazhab Maliki ini berdasarkan pada kepemilikan harta wakaf itu
tetap berada di tangan orang yang mewakafkan (wakif) dan manfaat bagi mauquf
‘alaih (yang berhak menerima hasil manfaat wakaf) ialah hadis Rasulullah saw:16
١٧(رواه النسائي) ... ا� ت ق د ص ت ا و ه ل ص أ ت س ب ح ت ئ ش ن ا ... Artinya: “… Jika engkau mau, tahanlah zat asal (pokok) bendanya, dan
sedekahkanlah hasilnya…”. (HR. al-Nasa’i).
c) Menurut mazhab Hanbali dan Syafi‘i
Mazhab hanbali mendefinisikan wakaf sebagai berikut:
ا ه ال م ف ر ص الت ق لـ ط م ك ال م س ي ب حت ف ق و ل ا ع و نـ ل ه ت ب قـ ر يف ه ري غ و ه ف ر ص ت ع ط ق ب ه ن ي ع ء قا ب ع م ه ب ع ف ت ن مل
١٨اهللا ىل ا با ر ق تـ ر ب ىل ا ه ع يـ ر ف ر ص ا ي س ي ب حت ف ر تص ال اع و نـ أ ن م
Artinya: “Wakaf ialah menahan secara mutlak kebebasan pemilik harta dalam
membelanjakan harrtanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta
14 Ibid, h. 152 – 154. 15 Ibid, h. 155. 16 Ibid, h. 169. 17 Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), Juz VI, h. 233. 18 Sayyid Ali Fikri, al-Mu‘awalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, (Mesir: Mustafa al-Bab al-Halabi, 1938),
Juz II, h. 312.
7
dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta tersebut.
Sedangkan manfaatnya diperuntukan bagi kebaikan dalam rangka
mendekatkan diri kepada Allah”.
Sedangkan mazhab Syafi‘i mendefinisikannya sebagai berikut:
١٩ اح ب م ف ر ص م لى ع ه ت ب قـ ر يف ف ر ص الت ع ط ق ب ه ن ي ع اء ق بـ ع م ه ب اع ف ت ن ال ا ن ك مي ه ال م س ب ح ف ق و ل ا
Artinya: “Wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan
tetap utuhnya barang, dan barang tersebut lepas dari milik orang yang
mewakafkan serta dimanfaatkan untuk sesuatu yang di perbolehkan
agama”.
Kedua pendapat mazhab Hanbali dan Syafi‘i di atas, meskipun memakai
lafadz yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai inti pemikiran yang sama.
Mereka berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif setelah sempurna prosedur perwakafan. Wakif tidak boleh
melakukan apa saja terhadap harta yang diwakafkan, seperti perlakuan pemilik
dengan cara memindahkan kepemilikannya kepada yang lain. Jika wakif
meninggal, harta yang diwakafkan tersebut tidak dapat diwarisi oleh ahli
warisnya. Wakif menyalurkan manfaat harta yang diwakafkannya kepada mauquf
‘alaih sebagai sedekah yang mengikat, di mana wakif tidak dapat melarang
penyaluran sumbangannya tersebut. Apabila wakif melarangnya, maka hakim
berhak memaksanya agar memberikannya kepada mauquf ‘alaih.20
d) Menurut Mazhab Imamiyah
Mazhab ini memiliki kesamaan pendapat tentang wakaf dengan mazhab
Syafi‘i dan Hanbali. Namun, Imamiyah berbeda dari segi kepemilikan atas benda
yang diwakafkan, yaitu menjadi milik mauquf ‘alaih. Meskipun mauquf ‘alaih
tidak berhak melakukan suatu tindakan atas benda wakaf tersebut, baik menjual
atau menghibahkannya.21
Dalam kitab al-Jawahir, sebuah kitab rujukan paling otoritatif bagi Fiqh
Imamiyah, disebutkan bahwa bila wakaf telah sempurna dilaksanakan maka
pemilikan atas barang tersebut hilang dari orang yang mewakafkannya. Ini
merupakan pendapat mayoritas Ulama Imamiyah, dan dapat dikatakan sebagai
pendapat yang masyhur dan sudah menjadi ijma’.22
19 Ibid, h. 314. 20 Departemen Agama Republik Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 3.
21 Ibid, h. 4. 22 Ibid, h. 8 – 9.
8
Berdasarkan beberapa pengertian wakaf yang telah dikemukakan beberapa fuqoha
di atas, terlihat dengan jelas bahwa mereka memiliki substansi pemahaman yang serupa,
yakni wakaf adalah menahan harta atau menjadikan harta untuk dimanfaatkan (baik
sementara maupun selamanya), baik secara langsung maupun tidak langsung, dan
kemudian diambil manfaat hasilnya secara berulang-ulang di jalan kebaikan. Hanya saja
tetap terdapat perbedaan pendapat dalam merumuskan pengertian-pengertian wakaf, serta
tetap atau tidaknya kepemilikan harta wakaf itu bagi sang wakif.
b. Definisi Wakaf Menurut Undang-Undang
Pengertian wakaf menurut PP no. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik
adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari
harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya
bagi kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran
agama Islam. Pengertian ini disebutkan juga di dalam Peraturan Menteri Agama RI no. 1
Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan PP no. 28 tahun 1977 Tentang Perwakafan
Tanah Milik.
Perlu ditegaskan di sini bahwa peraturan di atas hanya mengatur wakaf sosial
(untuk umum) atas tanah milik. Bentuk-bentuk perwakafan lainnya, seperti perwakafan
keluarga tidak termasuk ke dalam peraturan kedua peraturan ini. Hal ini sebagaimana
telah dijelaskan dalam Penjelasan Atas PP no. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Pembatasan ini dilakukan untuk menghindari kekaburan masalah perwakafan.
Pengertian wakaf selanjutnya semakin meluas dan tidak terbatas hanya terhadap
tanah. Keputusan Menteri Agama RI no. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi
Presiden RI no. 1 tahun 1991 tanggal 1 Juni 1991 menyebutkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan
sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna
kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam. Sedangkan
dalam Undang-Undang no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf, disebutkan bahwa wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda
miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
Beberapa definisi tentang wakaf di atas terlihat sama, bahwa wakaf merupakan
pemisahan atau penyerahan wakif terhadap sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan menurut ketentuan syari’ah.
2. Dasar Hukum Wakaf
Para sahabat sepakat bahwa hukum wakaf sangat dianjurkan dalam Islam dan tidak satu
pun diantara mereka yang menafikannya. Menurut Syafi’i, Malik, Ahmad dan Hanbali, wakaf
9
adalah suatu ibadah yang disyari’atkan.23 Imam Malik, Syafi’i dan Ahmad sepakat bahwa hukum
wakaf adalah sunnah (mandub). Sedangkan menurut ulama Hanafiyah hukum wakaf adalah
mubah (boleh), sebab wakaf non muslim pun sah hukumnya.24 Pendapat-pendapat seperti ini
disimpulkan dari pengertian-pengertian umum ayat al-Quran maupun hadis yang secara khusus
menceritakan kasus-kasus wakaf di zaman Rasulullah saw. Di antara dalil-dalil yang dijadikan
sumber legitimasi wakaf dalam agama Islam ialah:
a. QS. Ali ‘Imran ayat 92:
Artinya: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”. (QS. Ali ‘Imran: 92).
b. QS. al-Baqarah ayat 267:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. (QS. al-Baqarah: 267).
c. QS. al-Hajj ayat 77:
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, ruku'lah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan”. (QS. al-Hajj: 77).
d. QS. al-Nahl ayat 97:
Artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik[839] dan Sesungguhnya akan kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang Telah mereka kerjakan”. (QS. al-Nahl: 97).
e. Hadis Nabi saw. riwayat Muslim dari Abu Hurairah:
23 Hasbi Ash-Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), cet. ke-5, h. 179. 24 Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), h. 28.
10
من انـقطع عمله إال عن أيب هريـرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال إذا مات اإلنسان
٢٥ثالث صدقة جارية أو علم يـنتـفع به أو ولد صالح يدعو له ( رواه مسلم )Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila manusia
meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal, yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang mendoakannya”. (HR. Muslim).
Para ulama menafsirkan lafaz shadaqah jariyah dalam hadis di atas dengan wakaf.
Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh seorang imam:
ذكره ىف باب الوقف ألنـه فسر العلماء الصدقة اجلارية بالوقف Artinya: “Hadis ini disebutkan di dalam bab wakaf, karena para ulama menafsirkan sedekah
jariyah dengan wakaf”.26
f. Hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh lima ahli hadis dari Ibn ‘Umar:
هما قال أصاب عمر أرضا خبيبـر فأتى النيب صلى اهللا عليه وس هاعن ابن عمر رضي اهللا عنـ فـقال لم يستأمر فيـ
ه فـقال رسول اهللا صلى يا رسول اهللا إين أصبت أرضا خبيبـر مل أصب ماال قط هو أنـفس عندي منه فما تأمرين ب
قت �ا فـتصدق �ا عمر أنـها ال تـباع وال تـوهب وال تـورث قال اهللا عليه وسلم إن شئت حبست أصلها وتصد
جناح على من وليـها أن وتصدق �ا ىف الفقراء وىف القرىب وىف الرقاب وىف سبيل اهللا وابن السبيل والضيف ال
عر ها بامل ر متمول. وىف لفظ : غري متأثل ماال ( رواه اجلماعة )يأكل منـ ٢٧وف ويطعم غيـ
Artinya: Dari Ibn Umar ra. bahwa Umar pernah mendapatkan sebidang tanah dari tanah Khaibar, lalu ia bertanya: “Ya Rasulullah saw., aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah kudapatkan sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak engkau perintahkan kepadaku?” Maka jawab Nabi saw.: “Jika engkau suka tahanlah pokoknya dan sedekahkan hasilnya”. Lalu Umar menyedekahkannya, dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh diwarisi, yaitu untuk orang-orang fakir, untuk keluarga terdekat, untuk hamba sahaya, sabilillah, ibn sabil, dan tamu. Dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik. Dan dalam suatu riwayat dikatakan: dengan syarat jangan dikuasai pokoknya. (HR. Bukhari, Muslim, Tirmizi, Nasa’i dan Ahmad).
g. Hadis Nabi saw. riwayat Bukhari dan Muslim dari Ibn ‘Umar:
25 Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Dar al-Fikr, 1992), Juz II, h. 70. 26 Departemen Agama Republik Indonesia, Panduan Pemberdayaan Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, (Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Departemen Agama Republik Indonesia, 2004), cet. ke-2, h. 18.
27 Al-Nasa’i, Sunan al-Nasa’i, Juz VI, h. 233.
11
مل اصب ماال قط اعجب إيل عن ابن عمر قال قال عمر للنيب صلى اهللا عليه وسلم إن مائة سهم الىت ىل خبيبـر
ق �ا فـقال النيب صلى اهللا عليه وسلم احبس اصلها وسبل مثر�ا ( رواه البخاري ومسلم منها قد اردت ان اتصد
( Artinya: Dari Ibn Umar, ia berkata: “Umar mengatakan kepada Nabi saw., saya mempunyai
seratus dirham saham di Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu”. Nabi saw. Berkata kepada Umar: “Tahanlah pokoknya dan jadikan buahnya sedekah untuk sabilillah”.(HR. Bukhari dan Muslim).
Dilihat dari beberapa ayat al-Quran dan hadis di atas, nampak tidak terlalu tegas
menyinggung wakaf. Karena itu, sedikit sekali hukum-hukum wakaf yang ditetapkan
berdasarkan kedua sumber tersebut. Dengan demikian, ajaran wakaf ini diletakkan pada wilayah
yang bersifat ijtihadi, bukan ta‘abbudi, khususnya yang berkaitan dengan aspek pengelolaan,
jenis wakaf, syarat, peruntukan, dan lain-lain.
Meskipun demikian, ayat al-Quran dan sunnah yang sedikit itu mampu menjadi pedoman
para ahli fiqh Islam. Sejak masa Khulafa’ al-Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan
mengembangkan hukum-hukum wakaf dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad)
mereka. Oleh karenanya, ketika suatu hukum (ajaran) Islam yang masuk ke dalam wilayah
ijtihadi, maka hal tersebut menjadi sangat fleksibel, terbuka terhadap penafsiran-penafsiran baru,
dinamis dan futuristik. Sehingga dengan demikian, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup
besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran wakaf ini
termasuk bagian mu‘amalah yang memiliki jangkauan sangat luas, khususnya dalam
pengembangan ekonomi lemah.
Di Indonesia, sampai sekarang terdapat berbagai peraturan yang masih berlaku yang
mengatur masalah perwakafan, diantaranya:
1. Undang-Undang no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (LN. 1960
– 104 TLN. 2043).
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 24 tahun 1977 tentang Pendaftaran Tanah.
3. Peraturan Pemerintah no. 38 tahun 1963 tentang Penunjukkan Badan-Badan Hukum yang
Dapat Mempunyai Hak Milik Atas Tanah (LN. 1963 – 61 TLN. 2555).
4. Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang Perawakafan Tanah Milik (LN. 1977 – 38
TLN. 3107).
5. Peraturan Menteri Agama no. 1 tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang Perawakafan Tanah Milik.
6. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 2 tahun 1992 tentang Biaya Pendaftaran
Tanah Milik Badan Pertanahan Nasional.
7. Keputusan Menteri Agama no. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang Kepada
Kepala Kanwil Departemen Agama Propinsi/Setingkat di Seluruh Indonesia Untuk
Mengangkat/Memberhentikan Setiap Kepala KUA Kecamatan Sebagai PPAIW.
8. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri tentang no. 1 tahun 1978 no. 1 tahun 1978
12
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah no. 28 tentang Perwakafan Tanah Milik tahun 1977.
9. Instruksi Menteri Agama no. 3 tahun 1979 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Menteri
Agama no. 73 tahun 1978 tentang Pendelegasian Wewenang Kepada Kepala Kantor Wilayah
Departemen Agama Propinsi/Setingkat Untuk Mengangkat/Memberhentikan Setiap Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan Sebagai Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
10. Instruksi Menteri Agama no. 3 tahun 1987 tentang Bimbingan dan Pembinaan Kepada Badan
Hukum Keagamaan Sebagai Nadzir dan Badan Hukum Keagamaan yang Memiliki Tanah.
11. Instruksi Menteri Agama no. 15 tahun 1989 tentang Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan
Pensertifikatan Tanah Wakaf.
12. Instruksi Bersama Menteri Agama dan Kepala Badan Pertanahan Nasional
tentang Sertifikat Tanah Wakaf.
13. Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan haji no. 15 tahun 1990 tentang Penyempurnaan
Formulir dan Pedoman Pelaksanaan Peraturan-Peraturan tentang Perwakafan Tanah Milik.
14. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji no. D.11/5/Ed/07/1981 tentang Pendaftaran
Perwakafan Tanah Milik.
15. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji no. D.11/5/Ed/II/1981 tentang Petunjuk Pengisian
Nomor pada Formulir Perwakafan Tanah Milik.
16. Surat Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji no. D.11/55/I/KU.03.2/263/1986 tentang Bea
Materai, Akta Nikah, Akta Ikrar Wakaf dan Sebagainya dengan Lampiran Rekaman Surat
Direktur Jenderal Pajak no. 5-40 I/Pj.3/1986 tentang Bea Materai, Akta Nikah, Akta Ikrar
Wakaf dan Sebagainya.
17. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji no. D.11/5/HK/007/901/1989 tentang
Petunjuk Perubahan Status/Tukar-Menukar Tanah Wakaf.
18. Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji no. D/Ed/BA.032/1990 tentang Petunjuk
Teknis Instruksi Menteri Agama no. 15 tahun 1989 tentang Pembuatan Akta Ikrar Wakaf dan
Pensertifikatan Tanah Wakaf.
19. Surat Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 630.1-2782 tentang Pelaksanaan Pensertifikatan
Tanah Wakaf.
20. Surat Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 630.1-304 tentang
Pensertifikatan Tanah Wakaf.
21. Undang-Undang Republik Indonesia no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
22. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia no. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
23. Keputusan Bersama Menteri Agama Republik Indonesia dan Kepala Badan Pertanahan
Nasional tentang Tanah Wakaf.
3. Unsur-Unsur Wakaf dan Syarat-Syaratnya
no. 4 tahun 1990 no. 24 tahun 1990
no. 422 tahun 2004 no. 3/SKB/BPN/2004
13
Unsur wakaf yang dimaksud di sini adalah rukun wakaf. Para ahli fiqh sepakat bahwa
wakaf harus memenuhi rukun dan syarat tertentu. Hanya saja, terdapat perbedaan pendapat
mengenai jumlah rukun wakaf. Menurut mazhab Hanafi, rukun wakaf hanya satu, yaitu shighat
(pernyataan pemberian wakaf).28 Sementara jumhur ulama, yakni kalangan mazhab Syafi’i,
Maliki dan Hanbali menyatakan bahwa rukun wakaf itu ada empat hal, yaitu:
1. Waqif, yaitu orang yang mewakafkan.
2. Mauquf, yaitu barang atau harta benda yang diwakafkan.
3. Mauquf ‘alaih, yaitu sasaran yang berhak menerima hasil atau manfaat wakaf.
4. Shighat, yaitu pernyataan kehendak wakif untuk mewakafkan harta bendanya.29
5. Nazir wakaf atau pengelola wakaf.30
Tiap-tiap rukun wakaf mempunyai syarat-syarat tertentu. Secara luas mengenai hal ini
akan diutarakan di bawah ini.
1. Syarat-Syarat Wakif
Pada hakikatnya, amalan wakaf adalah tindakan tabarru’ (mendermakan harta benda).
Karena itu, syarat seorang wakif adalah cakap melakukan tindakan tabarru’. Kecakapan di
sini meliputi beberapa kriteria, yaitu:
a. Berakal sehat/sempurna. Orang yang berwakaf harus mempunyai akal yang sehat. Oleh
karenanya, tidak sah hukum wakaf yang diberikan oleh seorang yang tidak
sehat/sempurna akalnya (orang gila, misalnya). Demikian pula tidak sah wakaf yang
diberikan orang yang lemah akalnya yang diakibatkan sakit, lanjut usia, atau dungu
(idiot). Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan sah atau tidaknya wakaf yang
diberikan oleh seorang mabuk. Sebagian pendapat tidak sah karena dianalogikan dengan
orang gila, dan sebagian lain membolehkan.31
b. Dewasa/baligh. Baligh di sini dititik beratkan pada umur. Umumnya ulama berpendapat
bahwa seorang dianggap baligh bila telah berumur 15 tahun.
c. Cerdas/rasyid. Yang dimaksud cerdas di sini ialah kecakapan dan kematangan dalam
akad dan tindakan lainnya. Karenanya, tidak diperkenankan wakaf orang yang bodoh atau
lalai karena dianggap akalnya tidak sempurna dan tidak cakap menggugurkan hak
miliknya.32
d. Merdeka (pemilik sebenarnya). Orang yang berwakaf itu harus merdeka dan pemilik
sebenarnya. Oleh sebab itu, tidak sah wakaf seorang budak sahaya, demikian pula
mewakafkan milik orang lain atau wakaf seorang pencuri atas barang orang lain/hasil
28 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islam…, h. 159. 29 Ibid, h. 159. 30 Pada umumnya, di dalam kitab-kitab fiqh tidak mencantumkan nazir wakaf sebagai salah satu rukun
wakaf. Ini dapat dimengerti karena wakaf merupakan ibadah ta‘abbudi. Namun demikian, memperhatikan tujuan wakaf yang ingin melestarikan manfaat dari benda wakaf, maka kehadiran nazir menjadi sangat diperlukan. Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet. ke-4, h. 498.
31 Depag RI, Wakaf Tunai …, h. 29. 32 Ibid, h. 30.
14
curian, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik
tersebut kepada orang lain.33
e. Berhak berbuat kebaikan, sekalipun ia bukan orang Islam.34 Para fuqaha sepakat
mengenai ketidakabsahan wakaf yang diberikan non-muslim untuk kepentingan maksiat.
Namun, mereka berbeda pendapat mengenai wakaf non-muslim untuk tujuan
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dalam arti apakah itu ditinjau dari kacamata
Islam atau non-muslim. Menurut mazhab Maliki dan Hanafi, tujuan taqarrub itu harus
sesuai dengan ajaran Islam dan non-muslim sekaligus. Misalnya, wakaf untuk fakir
miskin. Tidak sah wakaf non-muslim untuk masjid karena dianggap hanya taqarrub
menurut Islam. Berbeda halnya dengan mazhab Syafi’i dan Hanbali. Menurut keduanya,
keabsahan wakaf non-muslim harus diukur menurut kacamata ajaran Islam, tanpa
mempertimbangkan taqarrub menurut ajaran non-muslim. Dengan kata lain, selama harta
wakaf itu dianggap bermanfaat bagi umat dan agama, maka dianggap sah dan bernilai
ibadah, apapun agama wakif. Karenanya, wakaf non-muslim untuk masjid tetap sah
hukumnya.35
f. Kehendak sendiri (bukan karena paksaan).36 Wakaf yang diberikan oleh seseorang
dengan terpaksa karena sedang tertekan terhadap suatu masalah, tidak ikhlas karena
Allah, atau karena sedang main-main, maka dianggap tidak sah. Begitu pula wakaf yang
diberikan karena dipaksa atau diancam orang lain.
Pasal 215 (2) KHI, PP no. 28 tahun 1977 pasal 1 (2) dan Peraturan Menteri Agama no.
1 tahun 1978 pasal 1 point c, menyebutkan bahwa wakif adalah orang atau orang-orang
ataupun badan hukum yang mewakafkan tanah iliknya. Adapun syarat-syaratnya
dikemukakan dalam pasal 217 KHI dan pasal 3 PP no. 28 tahun 1977, sebagai berikut:
(1) Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat
akal serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas
kehendak sendiri dan tanpa paksaan dari pihak lain, dapat mewakafkan tanah miliknya
dengan memperhatikan peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak atas nama adalah pengurusnya yang
sah menurut badan hukum.
2. Syarat-Syarat Maukuf
Syarat-syarat harta benda yang diwakafkan adalah sebagai berikut:
a. Benda wakaf dapat diwakafkan untuk jangka panjang, tidak sekali pakai. Hal ini karena
wakaf bersifat lebih mementingkan manfaat benda tersebut.
b. Benda-benda wakaf dapat berupa milik kelompok atau badan hukum.
33 Ibid, h. 30. 34 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, (Bandung: Sinar Baru Algersindo, 2000), cet. ke-33, h. 341. 35 Depag RI, Wakaf Tunai…, h. 31 – 32. 36 Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam, h. 341.
15
c. Hak milik wakif yang jelas wujud dan batas-batas kepemilikiannya. Selain itu, benda
wakaf merupakan benda milik yang bebas segala pembebasan, ikatan, sitaan, dan
sengketa.
d. Benda wakaf itu dapat dimiliki dan dipindahkan kepemilikannya.
e. Benda wakaf dapat dialihkan hanya jika jelas-jelas untuk maslahat yang lebih besar.
f. Benda wakaf tidak dapat diperjualbelikan, dihibahkan atau diwariskan.37
g. Bukan barang haram atau najis.38
h. Benda wakaf harus tertentu atau diketahui ketika terjadi akad wakaf. Penentuan benda
tersebut bisa ditetapkan dengan jumlahnya, nisbahnya, dan lain sebagainya.39
Menurut PP no. 28 tahun 1977 pasal 4 disebutkan, “Tanah sebagaiman dimaksud
dalam pasal 3 harus merupakan tanah hak milik yang bebas dari segala pembebanan, ikatan,
sitaan dan perkara”. Mengenai benda wakaf, lebih luas dijelaskan dalam KHI pasal 215 (4),
“Benda wakaf adalah segala benda baik benda bergerak atau tidak bergerak yang memiliki
daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut ajaran Islam”. Kemudian
dilanjutkan, “Benda wakaf sebagaimana dimaksud dalam pasal 215 (4) harus merupakan
benda milik yang bebas segala pembebanan, ikatan, sitaan dan sengketa” (KHI pasal 217
(3)).
3. Syarat-Syarat Maukuf ‘Alaih
Yang dimaksud maukuf ‘alaih adalah tujuan, peruntukan atau sasaran wakaf.
Seharusnya, wakif menentukan tujuan ia mewakafkan harta benda miliknya. Apakah
diwakafkan untuk menolong keluarganya sendiri, untuk fakir miskin, sabilillah, ibn sabil,
atau untuk kepentingan umum. Wakaf harus dimanfaatkan dalam batas-batas yang sesuai dan
diperbolehkan syariat Islam. Karena pada dasarnya, wakaf merupakan amal yang
mendekatkan diri kepada Allah.
Para ulama berbeda pendapat mengenai maukuf ‘alaih. Menurut mazhab Hanafi,
maukuf ‘alaih disyaratkan untuk ibadah menurut pandangan Islam dan keyakinan wakif. Jika
tidak terwujud salah satunya maka wakaf tidak sah. Sedangkan mazhab Maliki mensyaratkan
agar wakaf ditujukan untuk ibadat menurut pandangan wakif. Mazhab Syafi’i dan Hanbali
mensyaratkan agar maukuf ‘alaih adalah ibadat menurut pandangan Islam saja tanpa
memandang keyakinan wakif.40
Secara global, pihak yang menerima wakaf adalah kebajikan umum dan tidak
ditentukan secara lebih jelas oleh nash. Sayyid Sabiq membagi sasaran wakaf kepada dua
macam, yakni:
37 Ahmad Rofiq, Hukum Islam…, h. 495. 38 Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah…, h. 33. 39 Dirjen Wakaf, Paraigma Baru…, h. 42. 40 Ibid, h. 57 – 58.
16
a. Wakaf khairi, adalah wakaf yang wakifnya tidak membatasi sasaran wakafnya untuk
pihak tertentu, tetapi untuk kepentingan umum, dalam arti sesuai syariat Islam.
b. Wakaf dzurri (keluarga), adalah wakaf yang wakifnya membatasi sasaran wakafnya
untuk pihak tertentu, yaitu keluarganya.41
Selanjutnya, para ahli fiqh membagi tempat penyaluran wakaf kepada dua bagian,
yaitu:
a. Kepada yang tertentu
Fuqaha sepakat bahwa obyek wakaf yang berupa perorangan tertentu disyaratkan
mempunyai keahlian memiliki, yakni penerima wakaf dapat memiliki harta yang
diwakafkan kepadanya pada saat pemberian wakaf. Hanya saja, mereka berbeda pendapat
dalam hal tujuan wakaf yang tidak ada, tidak jelas dan untuk diri sendiri.
Menurut mazhab Hanafi, penyaluran wakaf tidak sah baik kepada orang yang
diketahui maupun orang yang tidak ada, muslim ataupun non-muslim (kafir dzimmi). Abu
Yusuf dan lainnya dari kalangan Hanafiah membolehkan wakaf untuk diri sendiri.
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wakaf sah ditujukan kepada orang yang mempunyai
hak memiliki, baik kepada sesuatu yang nyata (jelas) ada maupun kepada sesuatu yang
dimungkinkan ada, seperti janin yang akan lahir, meskipun hal tersebut bersama orang
lain yang bukan ahli waris.
Mazhab Syafi’i tidak membolehkan wakf untuk sesuatu yang belum ada, seperti
janin. Begitu pula kepada sesuatu yang tidak jelas dan wakaf untuk diri sendiri. Namun,
dibolehkan wakaf untuk kafir dzimmi tertentu. Pendapat ini dianut pula para pengikut
mazhab Hanbali.
b. Tidak tertentu atau umum
Mengenai hal ini, fuqaha sepakat bahwa tujuan wakaf tersebut harus jelas
diketahui dan untuk kebajikan. Namun, menurut ulama Syafi’iyyah tidak diharuskan
adanya unsur qabul (penerimaan) secara khusus dalam hal wakaf yang ditujukan kepada
obyek yang bersifat umum, seperti masji dan lembaga-lembaga pendidikan sosial.42
Bagaimanapun, tujuan wakaf ialah untuk mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah.
Oleh karenanya, jumhur ulama sependapat bahwa sasaran wakaf tidak boleh ditujukan untuk
maksiat atau hal-hal yang bertentangan dengan syariat Islam. Sasaran wakaf adalah pihak
yang mendapatkan manfaat wakaf. Penetuan tujuan wakaf ditentukan oleh wakif dan tidak
ada yang menngekangnya kecuali hukum syariat Islam. Apabila wakif tidak menentukan
tujuan wakafnya maka wakafnya sah dan pada saat itu yang menjadi tujuan wakaf adalah
41 Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Kuwait: Dar al-Bayan, 1971), Jilid III, h. 378. 42 Depag RI, Wakaf Tunai…, h. 47 – 50.
17
fakir miskin, anak-anak yatim, kaum dhu’afa, dan semua pihak yang sangat memerlukan,
seperti mereka yang berhak menerima zakat menurut hukum syariat Islam.43
4. Syarat-Syarat Shighat Wakaf
Shighat wakaf ialah pernyataan kehendak dari wakif berupa tanah, baik ucapan,
isyarat, atau tulisan dengan jelas tentang benda yang diwakafkan, kepada siapa diwakafkan
dan untuk apa dimanfaatkan, pada saat memberikan wakaf. Bila penerima wakaf adalah pihak
tertentu, sebagian ulama berpendapat perlu ada qabul (jawaban penerimaan), tetapi bila
wakaf itu untuk umum saja, maka tidak harus ada qabul. Singkatnya, ikrar adalah pernyataan
kehendak dari wakif untuk mewakafkan tanah (benda) miliknya (PP no. 28 tahun 1977 pasal
1 (3) dan KHI pasal 215 (3)).
Para ulama ahli fiqh telah menetapkan syarat-syarat shighat sebagai berikut:
a. Shighat harus mengandung pernyataan bahwa wakaf itu bersifat kekal (ta’bid). Jumhur
ulama kecuali Maliki menganggap tidak sah jika wakaf dibatasi waktunya atau hanya
bersifat sementara.
b. Shighat harus mengandung arti yang tegas dan tunai. Karenanya, lafaz shighat tidak
boleh terkait dengan syarat tertentu atau masa yang akan datang, sebab akad wakaf
mengandung ketentuan pemindahan milik pada saat akad berlangsung.
c. Shighat harus mengandung kepastian, dalam arti suatu wakaf tidak boleh diikuti oleh
syarat kebebasan memilih, seperti mewakafkan sesuatu dengan syarat ia dan orang lain
boleh mengambilnya kapan saja dikehendaki.
d. Shighat tidak boleh diiringi dengan syarat yang membatalkan wakaf, seperti
mensyaratkan sebagian dari hasil wakaf tersebut untuk perbuatan maksiat.
e. Shighat harus mengandung penjelasan tempat atau tujuan wakaf. Artinya, wakif harus
menjelaskan ke mana, untuk siapa dan untuk apa wakaf itu diberikan. Ini hanyalah
pendapat Syafi’iyyah.44
Shighat wakaf adalah tindakan hukum yang bersifat deklaratif (sepihak). Karenanya,
tidak diperlukan adanya qabul (penerimaan) dari orang yang menikmati manfaat wakaf
tersebut. Namun demikian, untuk ketertiban hukum dan administrasi serta guna menghindari
penyalahgunaan benda wakaf, pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan
yang secara organik mengatur perwakafan.
Dalam pasal 5 PP no. 28 tahun 1977 jo. Pasal 218 KHI, dinyatakan:
(1) Pihak yang mewakafkan tanahnya harus mengikrarkan kehendaknya secara jelas dan
tegas kepada nazir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf sebagaimana dimaksud
pasal 9 ayat (2) yang kemudian menuangkannya dalam bentuk Akta Ikrar Wakaf dan
disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
43 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf Produktif, (Jakarta: Khalifa, 2004), cet. ke-3, h. 160 – 161. 44 Depag RI, Wakaf Tunai…, h. 51 – 52.
18
(2) Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksud dalam ayat (1) dapat
dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan Menteri Agama.
5. Syarat-Syarat Nazir Wakaf
Istilah nazir baru dikenal dan berkembang pada masa-masa sekarang, meskipun sejak
zaman Nabi Muhammad saw. sudah ada pengelola wakaf tetapi belum dikenal istilah nazir.
Hal ini terbukti ketika Umar ibn al-Khaththab mewakafkan tanahnya dan beliau sendirilah
yang bertindak sebagai nazir semasa hidupnya. Sepeninggalnya, pengelolaan wakaf
diserahkan kepada putrinya, Hafshah. Setelah itu, ‘Abdullah ibn Umar, kemudian keluarga
Umar lainnya, dan seterusnya berdasarkan wasiat Umar.45
Seiring dengan perkembangan zaman dan semakin maraknya penyelewengan wakaf,
pemerintah merasa perlu membentuk undang-undang khusus bagi nazir terutama berkenaan
dengan hal-hal yang dapat berpengaruh bagi keberadaan wakaf itu sendiri. Untuk menjadi
seorang nazir, haruslah dipenuhi syarat-syarat berikut:
a. Mempunyai kecakapan dalam melakukan perbuatan hukum (mukallaf) sehingga ia bisa
mengelola wakaf dengan baik.
b. Memiliki kreatifitas (zara’i). ini didasarkan kepada tindakan Umar ketika ia menunjuk
Hafshah menjadi nazir harta wakafnya. Ini karena Hafshah dianggap mempunyai
kreatifitas tersebut.46
Nazir adalah kelompok orang atau badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan
pengurusan benda wakaf (pasal 215 (5) KHI). Adapun syarat-syarat nazir menurut pasal 219
KHI adalah:
(1) Nazir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 215 ayat (4) terdiri dari perorangan yang harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. sudah dewasa;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. tidak berada di bawah pengampunan;
f. bertempat tinggal di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(2) Jika berbentuk badan hukum, maka nazir harta memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia;
b. mempunyai perwakilan di kecamatan tempat letak benda yang diwakafkannya.
(3) Nazir dimaksud dalam ayat (1) dan (2) harus didahului pada Kantor Urusan Agama
Kecamatan setempat setelah mendengar saran dari Camat dan Majelis Ulama untuk
mendapatkan pengesahan.
45 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf…, h. 117. 46 Ahmad Rofiq, Hukum Islam…, h. 499.
19
(4) Nazir sebelum melaksanakan tugas, harus mengucapkan sumpah di hadapan Kepala
Kantor Urusan Agama Kecamatan disaksikan sekurang-kurangnya oleh 2 orang saksi
dengan isi sumpah sebagai berikut:
“Demi Allah, saya bersumpah, bahwa saya untuk diangkat menjadi nazir langsung atau
tidak langsung dengan nama atau dalih apapun tidak memberikan atau menjanjikan
ataupun memberikan sesuatu kepada siapa pun juga”.
“Saya bersumpah, bahwa saya untuk melaksanakan atau tidak melakukan sesuatu sesuatu
dalam jabatan ini tiada sekali-kali akan menerima langsung atau tidak langsung dari siapa
pun juga suatu janji atau pemberian”.
(5) Jumlah nazir yang diperbolehkan untuk satu unit perwakafan, seperti dimaksud Pasal 215
ayat(5) sekurang-kurangnya terdiri dari 3 orang dan sebanyak-banyaknya 10 orang yang
diangkat oleh Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan dan Camat setempat.
4. Macam-Macam Wakaf
Dalam Islam, wakaf tidak terbatas pada tempat-tempat ibadah saja dan hal-hal yang
menjadi prasarana dan sarananya saja. Seiring dengan terus berkembangnya pemikiran Islam dan
semakin maraknya para mujtahid wakaf, pembagian macam-macam wakaf pun semakin luas.
Berikut ini akan dijelaskan macam-macam wakaf berdasarkan spesifikasinya.
a. Pembagian Wakaf Berdasarkan Sasaran/Tujuannya
1) Wakaf ahli/dzurri (wakaf keluarga), yaitu wakaf yang manfaatnya diperuntukkan kepada
wakif, keluarganya, keturunannya, dan orang-orang tertentu. Menurut Nazaroeddin
Rahmat, wakaf ahli banyak banyak dipraktekkan di beberapa negara Timur Tengah.
Namun dalam perkembangannya, wakaf semacam ini menimbulkan permasalahan dan
banyak disalahgunakan. Misalnya, (1) menjadikan wakaf ahli itu sebagai cara untuk
menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak
menerimanya, setelah wakif meninggal dunia, dan (2) wakaf ahli dijadikan alat untuk
meelak tuntutan kreditor atas utang-utang yang dibuat wakif sebelum mewakafkan
kekayaannya. Oleh karena itu, di beberapa negara tersebut wakaf ahli dibatasi dan bahkan
dihapuskan karena tidak sejalan denagn ajaran Islam.47
2) Wakaf khairi (wakaf umum), yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi segala amal kebaikan
atau kepentingan umum.
3) Wakaf musytarak (wakaf gabungan), yaitu wakaf yang ditujukan untuk umum dan
keluarga secara bersamaan. Maksudnya, wakaf yang sebagian manfaat dan hasilnya
diberikan khusus untuk anak dan keturunan wakif serta selebihnya disalurkan untuk
kepentingan umum. Wakaf ini pada realitanya lebih banyak dari keluarga. Karena
biasanya wakif menggabungkan manfaat wakafnya untuk tujuan umum dan khusus,
47 Ibid, h. 491 – 492.
20
seperti separuh untuk keluarga dan anak-anaknya dan separuhnya lagi untuk fakir
miskin.48
b. Pembagian Wakaf Berdasarkan Batasan Waktunya49
1) Wakaf abadi, yaitu apabila wakafnya berbentuk barang yang bersifat abadi, seperti tanah
dan bangunan dengan tanahnya, atau barang bergerak yang ditentukan oleh wakif sebagai
wakaf abadi dan produktif, dimana sebagian hasilnya untuk disalurkan sesuai tujuan
wakaf, sedangkan sisanya untuk biaya perawatan wakaf dan mengganti kerusakannya.
2) Wakaf sementara, yaitu apabila barang yang diwakafkan berupa barang yang mudah rusak
ketika dipergunakan tanpa memberi syarat untuk mengganti bagian yang rusak. Wakaf
sementara juga bisa dikarenakan oleh keinginan wakif yang memberi batasan waktu
ketika mewakafkan barangnya.
c. Pembagian Wakaf Berdasarkan Penggunaannya/Substansi Ekonomi50
1) Wakaf langsung. Yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk mencapai
tujuannya, seperti masjid untuk shalat, sekolah untuk kegiatan belajar mengajar, rumah
sakit untuk mengobati orang sakit, dan lain sebagainya.
2) Wakaf produktif, yaitu wakaf yang pokok barangnya digunakan untuk kegiatan produksi
dan hasilnya diberikan sesuai dengan tujuan wakaf.
d. Pembagian Wakaf Berdasarkan Bentuk Manajemennya51
1) Wakaf dikelola oleh wakif sendiri atau salah satu dari keturunannya yang kategori
orangnya ditentukan oleh wakif.
2) Wakaf dikelola oleh orang lain yang ditunjuk wakif mewakili suatu jabatan atau lembaga
tertentu, seperti imam masjid dimana hasil wakafnya untuk kepentingan masjid tersebut.
3) Wakaf yang dokumennya telah hilang sehingga hakim menunjuk seseorang untuk
mengelola wakaf tersebut. Ini bisanya terjadi pada benda wakaf yang sudah berusia
puluhan atau ratusan tahun.
4) Wakaf yang dikelola oleh pemerintah.
e. Pembagian Wakaf Berdasarkan Keadaan Wakif52
1) Wakaf orang-orang kaya.
2) Wakaf tanah pemerintah berdasarkan keputusan penguasa atau hakim.
3) Wakaf yang dilakukan oleh wakif atas dasar wasiat.
48 Jenis wakaf ini dikemukakan oleh Dr. Mundzir Qahaf di dalam bukunya. (Mundzir Qahaf, Manajemen
Wakaf…, h. 24 dan 161). 49 Mundzir Qahaf, Manajemen Wakaf…, h. 161 – 162. 50 Ibid, h. 162 dan 22 – 23. 51 Ibid, h. 20 – 21. 52 Ibid, h. 21 – 22.
21
f. Pembagian Wakaf Berdasarkan Keadaan Benda Wakaf53
1) Benda tidak bergerak, seperti tanah, sawah, dan bangunan.
2) Benda bergerak, seperti mobil, sepeda motor, binatang ternak, atau benda-benda lainnya.
5. Fungsi dan Keutamaan Wakaf
Kompilasi Hukum Islam pasal 216 dan PP no. 28 tahun 1977 pasal 2 menyebutkan bahwa
fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu
melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingnan ibadat atau keperluan umum
lainnya sesuai dengan ajaran Islam (KHI pasal 215).
Dalam konsep Islam, dikenal istilah jariyah, artinya mengalir. Maksudnya, sedekah atau
wakaf yang dikeluarkan sepanjang benda wakaf itu dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan
maka selama itu pula wakif mendapat pahala secara terus-menerus, meskipun ia telah meninggal
dunia. Firman Allah swt.:
Artinya: “Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh; Maka bagi mereka pahala yang
tiada putus-putusnya”. (QS. Al-Tin: 4 – 6).
Rasulullah saw. menjelaskan pula mengenai hal ini di dalam hadisnya:
انـقطع عمله إال من ثالث عن أيب هريـرة رضي اهللا عنه أن رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم قال إذا مات اإلنسان
٥٤صدقة جارية أو علم يـنتـفع به أو ولد صالح يدعو له ( رواه مسلم )Artinya: Dari Abu Hurairah ra. bahwasanya Rasulullah saw. bersabda: “Apabila manusia
meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya, kecuali dari tiga hal,
yaitu sedekah jariyah, atau ilmu yang dimanfaatkan, atau anak saleh yang
mendoakannya”. (HR. Muslim).
Hadis di atas menerangkan bahwa berwakaf bukan seperti sedekah biasa, tetapi lebih
besar ganjaran dan manfaatnya terhadap diri yang berwakaf itu sendiri, karena ganjaran wakaf itu
akan terus mengalir selama benda wakaf tersebut masih berguna. Juga terhadap masyarakat dapat
menjadi jalan untuk kemajuan yang seluas-luasnya dan dapat menghambat arus kerusakan.
Selain keutamaan wakaf sebagai jariyah, Ahmad Rofiq menyebutkan beberapa
keutamaan wakaf lainnya, di antaranya:
53 Ahmad Rofiq, Hukum Islam…, h. 505. 54 Muslim, Shahih Muslim, h. 70.
22
a. Wakaf menanamkan sifat zuhud dan melatih menolong kepentingan orang lain.
b. Menghidupkan lembaga-lembaga sosial maupun keagamaan demi syi’ar Islam dan
keunggulan kaum muslimin.
c. Menanamkan kesadaran bahwa di dalam setiap harta benda, meski telah menjadi milik sah,
mempunyai fungsi sosial.
d. Wakaf menyadarkan seseorang bahwa kehidupan di akhiran memerlukan persiapan yang
cukup.
e. Wakaf merupakan tindakan hukum yang menjanjikan pahala yang berkesinambungan.55
C. PROSEDUR PELAKSANAAN DAN SISTEM PENGELOLAAN WAKAF DALAM
UNDANG-UNDANG NO. 41 TAHUN 2004 TENTANG WAKAF
Undang-undang khusus tentang wakaf lahir sudah dan tanpa terasa Undang-Undang no.
41 tahun 2004 tentang Wakaf sudah memasuki usia empat tahun. Setelah melalui perjuangan
politik yang panjang, diajukan sejak era pemerintahan Megawati baru disahkan tepatnya tanggal
27 Oktober 2004 oleh Presiden Susilo Bambang Yodhoyono setelah disetujui oleh DPR RI dan
tercatat pada Lembar Negara RI no. 159.56 sesuai dengan kehendak politik yang tertuang dalam
undang-undang tersebut, pemerintah secara operasional tidak mengelola wakaf, tetapi pemerintah
berfungsi sebagai regulator, motivator dan fasilitator bagi pengelola wakaf yang dilakukan oleh
nazir dari masyarakat dan diberi kewibawaan formal melalui pengukuhan pemerintah.57
Adapun tujuan lahirnya UU Wakaf ini adalah untuk: pertama, mengunifikasi berbagai
peraturan tentang wakaf. Kedua, menjamin kepastian hukum dalam bidang wakaf. Ketiga,
melindungi dan memberikan rasa aman bagi wakif, nazir perorangan, organisasi, maupun badan
hukum. Keempat, sebagai instrumen untuk mengembangkan rasa tanggung jawab bagi para pihak
yang mendapat kepercayaan mengelola wakaf. Kelima, sebagai koridor kebijakan publik dalam
rangka advokasi dan penyelesaian perkara dan sengketa wakaf. Keenam, mendorong optimalisasi
pengelolaan dan pengembangan wakaf. Ketujuh, memperluas pengaturan mengenai wakaf
sehingga mencakup pula wakaf benda tidak bergerak dan benda bergerak termasuk wakaf uang.58
Dengan lahirnya UU Wakaf tersebut, maka terjadi penggabungan beberapa peraturan
yang ada, yaitu UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, PP No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, PP No. 38 Tahun 1963 tentang Petunjuk Badan-Badan Hukum yang
dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, serta PP No. 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah
Milik. Dengan UU ini, diharapkan pengelolaan dan pengembangan wakaf akan memperoleh
dasar hukum yang lebih kuat serta dapat menampung praksis perwakafan di Tanah Air.
55 Ibid, h. 487. 56 Tabung Wakaf Online, “Wakaf Resep Jitu Atasai Krisis”, artikel diakses dari
http://www.tabungwakaf.cam/?pilih=lihat&id=127 57 Tabung Wakaf Online, “Terobosan Baru Setelah UU Wakaf”, artikel diakses dari
http://www.tabungwakaf.cam/?pilih=lihat&id=70 58 “Wakaf Resep Jitu Atasai Krisis”, http://www.tabungwakaf.cam/?pilih=lihat&id=127
23
1. Ketentuan Umum Tentang Wakaf
Dalam konsideran UU no. 41 tahun 2004 dijelaskan bahwa lembaga wakaf sebagai
pranata keagamaan yang memiliki potensi dan manfaat ekonomi perlu dikelola secara efektif dan
efisien untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum, dan bahwa wakaf
merupakan perbuatan hukum yang telah lama hidup dan dilaksanakan dalam masyarakat yang
pengaturannya belum lengkap serta masih tersebar dalam berbagai peraturan perundang-
undangan.
Pada waktu yang lampau, peraturan tentang perwakafan dalam suatu peraturan
perundangan belum jelas dan terperinci sehingga mudah terjadi penyimpangan dari hakikat dan
tujuan wakaf. Praktek wakaf yang terjadi dalam kehidupan masyarakat belum sepenuhnya
berjalan tertib dan efisien sehingga dalam berbagai kasus harta benda wakaf tidak terpelihara
sebagaimana mestinya, terlontar atau beralih ke tangan pihak ketiga dengan cara melawan hukum
atau bertentangan dengan syariat. Hal ini terutama disebabkan terdapatnya keanekaragaman
bentuk benda yang akan diwakafkan dan tidak ada keharusan untuk didaftarkan, sehingga
banyaklah harta benda wakaf yang tidak diketahui lagi keberadaannya, dan banyak sekali terjadi
persengketaan-persengketaan lainnya tentang harta wakaf.
Keadaan demikian itu tidak hanya karena kelalaian atau ketidakmampuan nazir dalam
mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf, tetapi karena juga sikap masyarakat yang
kurang peduli atau belum memahami status harta benda wakaf yang seharusnya dilindungi untuk
kesejahteraan umum sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukan wakaf.
Atas dasar itulah, lahir UU no. 41 tahun 2004 tanggal 27 Oktober 2004 yang dimuat
dalam Lembaran Negara RI no. 159 tahun 2004. UU ini dibuat untuk—sebagaimana diterangkan
dalam Penjelasan UU no. 41 tahun 2004—memenuhi kebutuhan hukum dalam rangka
pembangunan hukum nasional. Juga untuk memajukan kesejahteraan umum—sebagaimana
diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945—melalui wakaf yang merupakan pranata keagamaan
yang tidak hanya bertujuan menyediakan berbagai sarana ibadah dan sosial, tetapi juga memiliki
kekuatan ekonomi yang berpotensi.
Mengenai ketentuan umum perwakafan yang dimuat dalam pasal 1 (1) UU no. 41 tahun
2004, isinya mengemukakan pengertian wakaf, wakif, ikrar wakaf, nazir, harta benda wakaf,
Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), Badan Wakaf Indonesia (BWI), pemerintah dan
menteri.
Pengertian wakaf dalam UU ini adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan
dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau
kesejahteraan umum menurut syariah.
Pengertian wakaf di atas tampak semakin luas cakupannya dibanding pengertian wakaf
yang disebutkan dalam PP no. 28 tahun 1977 pasal 1 yang hanya menyebutkan tanah sebagai
satu-satunya harta benda yang dapat diwakafkan. Hal ini tidak mengherankan bila sebagian
24
masyarakat di masa itu menganggap bahwa seolah-olah hanya tanah yang boleh diwakafkan.
Paradigma seperti ini kemudian berubah sejak keluarnya Kompilasi Hukum Islam tanggal 10 Juni
1991. namun demikian, wakaf di dalam KHI pasal 215 hanya dapat dipahami untuk selama-
lamanya, artinya wakif tidak dapat mewakafkan harta bendanya untuk jangka waktu tertentu.
Pengertian wakaf tersebut dalam pasal 215 belum benar-benar sesuai dengan syariat Islam yang
membolehkan wakaf dalam jangka waktu tertentu—sebagaimana telah dijelaskan dalam bab
sebelumnya. Sehingga wajar bila M. Yahya Harahap menganggap KHI jauh dari sempurna
karena ia merupakan usaha awal dari penertiban segala macam kerusakan dan ketidakpastian
ikhtilaf yang tidak berujung pangkal dalam sejarah Peradilan Agama,59 bahkan KHI lebih
merupakan copy-paste dari PP no. 28 tahun 1977.60
Pembahasan selanjutnya adalah tentang wakif, yaitu pihak yang mewakafkan harta benda
miliknya (UU no. 41 tahun 2004 pasal 1 (2)). Pengertian wakif di sini lebih ringkas daripada
yang disebutkan di dalam pasal 215 (2) KHI, yaitu wakif adalah orang atau orang-orang ataupun
badan hukum yang mewakafkan benda miliknya.
Dalam KHI, pengertian ikrar wakaf tidak dijelaskan bagaimana dan kepada siapa ikrar
wakaf dilakukan. Berbeda dengan pengertian ikrar wakaf dalam UU, yaitu pernyataan kehendak
wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazir untuk mewakafkan harta benda
miliknya. Berbeda pula pengertian nazir di dalam UU yang menyebutkan bahwa nazir adalah
pihak yang menerima harta benda wakaf dari wakif untuk dikelola dan dikembangkan sesuai
dengan peruntukannya. Sedangkan KHI menyebutkan bahwa nazir adalah kelompok orang atau
badan hukum yang diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Selain itu, pengertian benda wakaf juga berbeda dan bahkan terlihat sangat mencolok.
Bila PP no. 28 tahun 1977 tidak menjelaskan hal ini adalah wajar karena sudah jelas bahwa benda
yang dapat diwakafkan pun terbatas kepada tanah, sebab peraturan tersebut memang menjelaskan
perwakafan tanah milik. KHI menjelaskan bahwa benda wakaf adalah segala benda baik bergerak
atau tidak bergerak yang memiliki daya tahan yang tidak hanya sekali pakai dan bernilai menurut
ajaran Islam. Sedangkan UU menyebutkan bahwa harta benda wakaf adalah harta benda yang
memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi
menurut syariat yang diwakafkan oleh wakif. Perbedaan seperti ini disebabkan KHI dibuat hanya
sekedar memenuhi kebutuhan hukum dan sebagai langkah awal penertiban perwakafan di
Indonesia. Akan tetapi UU dibuat tidak hanya untuk itu, bahkan diharapkan perwakafan di
Indonesia dapat mengdongkrak serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat umum di seluruh
Indonesia. Karenanya harta benda yang boleh diwakafkan menurut UU tidak hanya dapat
digunakan untuk jangka waktu yang lama, tetapi ia juga harus mempunyai nilai ekonomi. Hal ini
diperjelas dalam Penjelasan UU no. 41 tahun 2004, sebagai berikut:
59 M. Yahya harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam: Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam
dalam Kompilasi Hukum Islam dan Peradilan Agama dalam Sistem Hukum Nasional, (ed. Cik Hasan Bisri), (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), cet. ke-2, h. 77 – 78.
60 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2000), cet. ke-4, h. 489.
25
2. Ruang lingkup wakaf yang selama ini dipahami secara umum cenderung terbatas pada wakaf
benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, menurut Undang-Undang ini wakif dapat
pula meakafkan sebagian kekayaannya berupa harta benda wakaf bergerak, baik berwujud
atau tidak berwujud yaitu uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak kekayaan
intelektual, hak sewa dan benda bergerak lainnya.
Dalam hal benda bergerak berupa uang, wakif dapat mewakafkan melalui Lembaga
Keuangan Syariah.
Pasal 1 ayat (6) UU no. 41 tahun 2004 menjelaskan tentang PPAIW atau Pejabat Pembuat
Akta Ikrar Wakaf yang merupakan pejabat berwenang yang ditetapkan oleh Menteri untuk
membuat Akta Ikrar Wakaf (AIW). Penjelasan PPAIW di sini tidak serinci di dalam KHI yang
menyebutkan sampai dua point sekaligus. Berikut penjelasan tentang PPAIW di dalam KHI pasal
215:
(6) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf yang selanjutnya disingkat PPAIW adalah petugas
pemerintah yang diangkat berdasarkan peraturan yang berlaku, berkewajiban menerima ikrar
dari wakif dan menyerahkannya kepada nazir serta melakukan pengawasan untuk kelestarian
perwakafan.
(7) Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf dimaksud dalam ayat (6), diangkat dan diberhentikan oleh
Menteri Agama.
Ketentuan selanjutnya yang dimuat di dalam UU adalah mengenai Badan Wakaf
Indonesia, Pemerintah dan Menteri, yang ketiganya sama sekali tidak dibahas dalam peraturan
perundangan sebelumnya. BWI (Badan Wakaf Indonesia) yang dimaksud adalah lembaga
independen untuk mengembangkan perwakafan di Indonesia. Lebih lanjut diterangkan dalam
Penjelasan UU bahwa badan tersebut merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas
di bidang perwakafan yang melakukan pembinaan terhadap nazir, melakukan pengelolaan dan
pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan internasional, memberikan persetujuan
atas perubahan peruntukan dan status harta benda wakaf, dan memberikan saran dan
pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di bidang perwakafan.
Dua ayat selanjutnya dan merupakan dua ayat terakhir di dalam BAB I tentang Ketentuan
Umum Pasal 1 UU no. 41 tahun 2004 adalah tentang Pemerintah dan Menteri, yang sifatnya
sebagai pelengkap dan penegas. Pemerintah dimaksud dalam ayat 8 pasal 1 adalah perangkat
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para menteri. Dan
Menteri adalah menteri yang bertanggung jawab di bidang agama (pasal 1 ayat 9).
2. Prosedur Pelaksanaan dan Sistem Pengelolaan Wakaf
Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh
sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan
wakaf sebelum adanya UU no. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria dan
Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, masyarakat Islam
26
Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan
perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau
lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal saleh yang mempunyai nilai mulia
di hadapan Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik
Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah swt. Selain
tradisi lisan dan tingginya kepercayaan kepada penerima amanah dalam melakukan wakaf, umat
Islam Indonesia lebih banyak mengambil pendapat dari golongan Syafi’iyyah yang terkait dengan
ikrar wakaf, benda yang boleh diwakafkan, peruntukan harta wakaf dan boleh tidaknya tukar-
menukar benda wakaf.61
Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan
perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan untuk
kepentingan masyarakat benyak. Bahkan banyak benda wakaf yang hilang atau bersengketa
dengan pihak ketiga akibat tidak adanya bukti tertulis, seperti akta ikrar wakaf, sertifikat tanah,
dan lain-lain. Dari kenyataan itulah, sejak diundangkannya UU no. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok Agraria dan Peraturan Pemerintah no. 28 tahun 1977 tentang Perwakafan
Tanah Milik, perwakafan mulai dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di
bidang pengelolaan dan paham wakaf secara umum. Paling tidak, pelaksanaan pembaharuan
paham yang selama ini sudah dan sedang dilakukan oleh pihak yang berkepentingan dengan
wakaf.
Dalam Undang-Undang Pokok Agraria no. 5 tahun 1960, masalah wakaf dapat diketahui
pada pasal 5, pasal 14 ayat (1) dan pasal 49 yang memuat rumusan-rumusan sebagai berikut:
a. Pasal 5 menjelaskan bahwa hukum adatlah yang menjadi dasar hukum agraria Indonesia,
yaitu hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan RI yang di
sana-sini mengandung unsur agama yang telah diresipir dalam lembaga hukum adat,
khususnya lembaga wakaf.
b. Pasal 14 ayat (1) mengandung perintah kepada pemerintah pusat dan pemerintah daerah
untuk membuat skala prioritas penyediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang
angkasa dalam bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah termasuk pengaturan tentang penggunaan tanah untuk keperluan peribadatan dan
kepentingan suci lainnya.
c. Pasal 49 menegaskan bahwa soal-soal yang berkaitan dengan peribadatan dan keperluan suci
lainnya dalam hukum agraria akan mendapatkan perhatian sebagaimana mestinya, termasuk
perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Peraturan perundangan selanjutnya yang mengatur tentang wakaf adalah Peraturan
Pemerintah no. 28 tahun 1977 yang terdiri atas tujuh bab dan delapan belas pasal, meliputi
pengertian tentang wakaf, syarat-syarat sahnya wakaf, fungsi wakaf, tata cara mewakafkan dan
61 Departemen Agama Republik Indonesia, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, (Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf dan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2004), h. 97.
27
pendaftaran wakaf, perubahan, penyelesaian perselisihan dan pengawasan wakaf, ketentuan
pidana dan ketentuan peralihan.
Maksud dikeluarkannya PP ini adalah untuk memberikan jaminan kepastian hukum
mengenai tanah wakaf serta pemanfaatannya sesuai dengan tujuan wakaf. Dengan demikian
berbagai penyimpangan dan sengketa wakaf dapat dihindari dan dikurangi.
Menindaklanjuti PP no. 28 tahun 1977, maka dalam rangka pelaksanaannya dikeluarkan
Peraturan Menteri Agama no. 1 tahun 1978 yang merinci lebih lanjut tata cara perwakafan tanah
milik, antara lain ikrar wakaf dan aktanya, pejabat pembuat akta ikrar wakaf, hak dan kewajiban
nazir, perubahan perwakafan tanah milik, pengawasan dan bimbingan, penyelesaian perselisihan
wakaf serta biaya perwakafan tanah milik.
Pada tahun 1991, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan instruksi kepada Menteri
Agama RI untuk menyebarluaskan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Hukum perwakafan
sebagaimana diatur di dalam KHI pada dasarnya sama dengan hukum perwakafan pada peraturan
perundangan yang telah sebelumya. Beberapa ketentuan hukum perwakafan dalam KHI
merupakan pengembangan dan penyempurnaan terhadap materi perwakafan yang ada pada
perundangan-undangan sebelumnya sesuai dengan hukum Islam.
Peraturan perundangan selanjutnya adalah Undang-Undang no. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf yang terdiri dari sebelas bab dan tujuh puluh satu pasal. Proses pelaksanaan wakaf secara
singkat—sebagaimana petunjuk Departemen Agama RI—dapat digambarkan sebagai berikut:
a. Sebuah Keluarga bermusyawarah terlebih dahulu untuk mewakafkan tanah miliknya.
b. Kepala keluarga (selaku Wakif), bersama Nazir (Pengurus wakaf) dan saksi datang ke KUA
menghadap Kepala KUA selaku Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW).
c. PPAIW memeriksa persyaratan Wakaf dan selanjutnya mengesahkan Nazir.
d. Wakif mengucapkan Ikrar Wakaf dihadapan saksi-saksi dan PPAIW, selanjutnya membuat
Akta Ikrar Wakaf (AIW) dan salinannya.
e. Wakif, Nazir dan saksi pulang dengan membawa AIW (form W.2a).
f. PPAIW atas nama Nadzir menuju ke Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota dengan membawa
berkas permohonan pendaftaran Tanah Wakaf dengan pengantar form W.7.
g. Kantor Pertanahan memproses sertifikat Tanah Wakaf.
h. Kepala Kantor Pertanahan menyerahkan sertifikat tanah wakaf kepada Nadzir, selanjutnya
ditunjukkan kepada PPAIW untuk dicatat pada daftar Akta Ikrar Wakaf form W.4.62
Tahap pertama adalah musyawarah keluarga tentang wakaf yang akan dikeluarkan.
Meskipun tahap ini tidak tercantum di dalam Undang-Undang, akan tetapi hal ini menjadi
penting untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan di kemudian hari, seperti menuntut
harta waris yang ternyata harta tersebut telah diwakafkan. Musyawarah keluarga ini dapat
membahas jenis harta apa yang akan dikeluarkan, untuk tujuan apa, sampai kapan dan siapa yang
62 “Proses Sertifikasi Tanah Wakaf”, artikel diakses dari
http://www.bimasislam.net/?mod=publicservices&op=detail&id=25
28
akan mengelola atau menjadi nazir wakaf tersebut, dan lain sebagainya yang menyangkut tentang
wakaf. Apabila wakaf menyangkut suatu organisasi atau badan hukum, maka tentu musyawarah
seperti ini menjadi sangat penting untuk dilakukan.
Setelah tahap pertama selesai maka dilaksanakanlah tahap kedua, yakni wakif bersama
saksi dan nazir menghadap Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW), yaitu Kepala Kantor
Urusan Agama (KUA). Wakif dan nazir di sini dapat merupakan perseorangan atau organisasi
ataupun badan hukum (UU no. 41 tahun 2004 pasal 7 jo. pasal 9). Sedangkan syarat-syarat wakif
diterangkan pada pasal 8 berikut ini:
(1) Wakif perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf a hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi persyaratan:
a. dewasa;
b. berakal sehat;
c. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan
d. pemilik sah harta benda wakaf.
(2) Wakif organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf b hanya dapat melakukan wakaf
apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan.
(3) Wakif badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 huruf c hanya dapat melakukan
wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik
badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
Adapun syarat-syarat nazir yang tertuang dalam pasal 10 UU no. 41 tahun 2004 adalah:
(1) Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf a hanya dapat menjadi nazir
apabila memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. beragama Islam;
c. dewasa;
d. amanah;
e. mampu secara jasmani dan rohani; dan
f. tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
(2) Organisasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf b hanya dapat menjadi nazir apabila
memenuhi persyaratan:
a. pengurus organisasi yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. organisasi yang bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan, dan/atau
keagamaan Islam.
(3) Pengurus badan hukum sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 huruf c hanya dapat menjadi
nazir apabila memenuhi persyaratan:
29
a. pengurus badan hukum yang bersangkutan memenuhi persyaratan nazir perseorangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan
b. badan hukum Indonesia yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku; dan
c. badan hukum yang bersangkutan bergerak di bidang sosial, pendidikan, kemasyarakatan,
dan/atau keagamaan Islam.
Apabila terdapat wakif dan nazir, tentu harus ada harta benda yang diwakafkan dan harta
benda yang dapat diwakafkan adalah dimiliki dan dikuasai wakif secara sah (pasal 15). Harta
benda wakaf dapat berupa benda tidak bergerak, seperti tanah, bangunan beserta tanahnya,
tanaman dan benda lainnya yang berkaitan dengan tanah, rumah susun, dan lain sebagainya. Dan
dapat pula berupa benda bergerak, seperti uang, logam mulia, surat berharga, kendaraan, hak atas
kekayaan intelektual, hak sewa, dan lain-lainnya (pasal 19 (1,2, dan 3)).
Tahap ketiga adalah Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) selaku Pejabat Pembuat Akta
Ikrar Wakaf (PPAIW) memeriksa seluruh persyaratan wakaf, apakah sudah sesuai dengan
ketentuan syariat dan peraturan perundang-undangan ataukah belum sesuai, yang diantaranya
wakif harus menyerahkan surat dan/atau bukti kepemilikan atas harta benda wakaf (pasal 19).
Kemudian PPAIW mengesahkan nazir wakaf.
Tahap keempat, wakif mengucapkan ikrar wakaf di hadapan saksi-saksi dan PPAIW yang
diucapkan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf oleh PPAIW
(pasal 17). Di dalam AIW paling sedikit memuat tentang nama dan identitas wakif dan nazir, data
dan keterangan harta benda wakaf, peruntukan harta benda wakaf serta jangka waktu wakaf
(pasal 21 (2). Adapun saksi-saksi dalam ikrar wakaf harus seorang yang dewasa, beragama Islam,
berakal sehat dan tidak terhalang melakukan perbuatan hukum (pasal 20).
Tahap kelima sampai tahap terakhir adalah Wakif, Nazir dan saksi pulang dengan
membawa AIW (form W.2a). Selanjutnya, PPAIW atas nama Nadzir menuju ke Kantor
Pertanahan Kabupaten/Kota dengan membawa berkas permohonan pendaftaran Tanah Wakaf
dengan pengantar form W.7. Kemudian Kantor Pertanahan memproses sertifikat Tanah Wakaf.
Kepala Kantor Pertanahan menyerahkan sertifikat tanah wakaf kepada Nadzir, selanjutnya
ditunjukkan kepada PPAIW untuk dicatat pada daftar Akta Ikrar Wakaf form W.4.
Sistem pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf tidak dapat dipisahkan dari
keberadaan nazir. Hal ini disebabkan karena berkembang tidaknya harta wakaf, salah satu
diantaranya sangat tergantung pada nazir wakaf. Walaupun para mujtahid tidak menjadikan nazir
sebagai salah satu rukun wakaf, namun para ulama sepakat bahwa wakif harus menunjuk nazir
wakaf. Mengingat pentingnya nazir dalam pengelolaan wakaf, maka di Indonesia nazir ditetapkan
sebagai dasar pokok perwakafan. Pengangkatan nazir ini tampaknya ditujukan agar harta benda
wakaf itu tidak sia-sia. Di dalam UU no. 41 tahun 2004 Bab V disebutkan ketentuan pengelolaan
perwakafan sebagai berikut:
30
a. Pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf oleh nazir dilaksanakan sesuai dengan
tujuan, fungsi dan peruntukannya (pasal 42) serta harus sesuai dengan prinsip syariah dan
dilakukan secara produktif (pasal 43).
b. Nazir dilarang melakukan perubahan peruntukan harta benda wakaf kecuali atas dasar izin
tertulis dari Badan Wakaf Indonesia yang izin tersebut hanya dapat diberikakan apabila harta
benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan peruntukan yang telah dinyatakan di
dalam ikrar wakaf (pasal 44).
c. Nazir dapat diberhentikan dan diganti apabila meninggal dunia (nazir perseorangan), bubar
atau dibubarkan (nazir organisasi atau badan hukum), atas permintaan sendiri, tidak
melaksanakan tugasnya atau melanggar ketentuan perundangan, dan apabila dijatuhi
hukuman pidana oleh pengadilan. Pemberhentian dan penggantian nazir ini dilaksanakan
oleh Badan Wakaf Indonesia (pasal 45).
3. Badan Wakaf Indonesia
Berdirinya Badan Wakaf Indonesia (BWI), menjadi salah satu tujuan dari lahirnya UU
Wakaf kelak. BWI merupakan lembaga independen yang melaksanakan tugas di bidang
perwakafan. Melalui badan ini diharapkan perwakafan di Indonesia mampu berkembang lebih
baik lagi. Terutama dalam melakukan pembinaan, pengawasan nadzir serta pengelolaan wakaf itu
sendiri sebagaimana dijelaskan di dalam Penjelasan UU no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf.
Menurut Tulus, Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf, Departemen Agama, kelahiran
BWI sangat urgen. Ini terkait dengan upaya untuk meningkatkan kualitas pengelolaan wakaf di
Indonesia. Sebab, di antara tugas BWI ini adalah melakukan pembinaan dan pengawasan
terhadap pengelola wakaf. Dengan demikian, diharapkan pengelola wakaf yang berbentuk
peroranga, lembaga atau badan usaha akan mampu mengelolanya dengan baik. Dan tentunya
membuat wakaf tersebut memberikan manfaat sosial lebih besar dibandingkan pada masa
sekarang.63
Anggota Komisi VI DPR RI, Lukman Hakim Saefudin, juga menyatakan pentingnya
keberadaan BWI dalam perwakafan di Indonesia. Lembaga itu akan menjadi pengontrol bagi para
pengelola wakaf yang ada di Indonesia. Selama ini, menurut Lukman, tak ada kontrol sama sekali
terhadap pengelola wakaf. Buktinya, begitu banyak kasus di lapangan yang memperlihatkan para
nadzir baik perorangan maupun kelembagaan tak bertanggung jawab atas benda wakaf yang
dikelolanya.64
Undang-Undang no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf menjelaskan tentang Badan Wakaf
Indonesia dalam bab tersendiri, yaitu Bab VI dan terdiri atas 15 pasal. BWI dibentuk dalam
rangka memajukan dan mengembangkan perwakafan nasional dan merupakan suatu lembaga
63 Republika, “Menanti Lahirnya PP Wakaf”, artikel diakses dari
http://www.republika.co.id/suplemen/cetak_detail.asp?mid=5&id=180216&kat_id=105kat_id1=147&kat_id2=300 64 PKPU Online, “Menimbang Badan Wakaf Indonesia”, artikel diakses dari
http://www.pkpu.or.id/artikel.php?id=10&no=15
31
independen (pasal 47). BWI ini nantinya akan berkedudukan di ibukota Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan dapat membentuk perwakilan di Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota
sesuai dengan kebutuhan (pasal 48).
Tugas-tugas BWI dilaksanakan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Menteri
dan Majelis Ulama Indonesia (pasal 50) dan dapat bekerjasama dengan instansi pemerintah,
organisasi masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak-pihak lainnya (pasal 49 (2)).
Adapun tugas dan wewenang BWI dijelaskan dalam pasal 49 ayat 1 sebagai berikut:
a. Melakukan pembinaan terhadap nazir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda
wakaf.
b. Melakukan pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf berskala nasional dan
internasional.
c. Memberikan persetujuan dan/atau izin atas perubahan peruntukan dan status harta benda
wakaf.
d. Memberhentikan dan mengganti nazir.
e. Memberikan persetujuan atas penukaran harta benda wakaf.
f. Memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah dalam penyusunan kebijakan di
bidang perwakafan.
Struktur organisasi BWI terdiri atas Badan Pelaksana yang merupakan unsur pelaksana
tugas-tugas BWI, dan Dewan Pertimbangan yang merupakan unsur pengawas pelaksanaan tugas
BWI (pasal 51). Badan Pelaksana dan Dewan Pertimbangan dipimpin oleh satu orang ketua dan
dua orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh para anggota (pasal 52). Jumlah anggota BWI
terdiri dari 20 sampai 30 orang yang berasal dari unsur masyarakat (pasal 53), dan untuk menjadi
anggota BWI harus memenuhi persyaratan sebagai berikut yang disebutkan di dalam pasal 54:
a. Warga Negara Indonesia.
b. Beragama Islam.
c. Dewasa.
d. Amanah.
e. Mampu secara jasmani dan rohani.
f. Tidak terhalang melakukan perbuatan hukum.
g. Memiliki pengetahuan, kemampuan, dan/atau pengalaman di bidang perwakafan dan/atau
ekonomi, khususnya di bidang ekonomi syariah.
h. Mempunyai komitmen yang tinggi untuk mengembangkan perwakafan nasional.
i. Persyaratan lainnya yang ditetapkan oleh BWI.
Pengangkatan dan pemberhentian keanggotaan BWI dilaksanakan oleh Presiden,
sedangkan keanggotaan perwakilan BWI di daerah diangkat dan diberhentikan oleh BWI (pasal
55). Keanggotaan BWI berlaku untuk masa jabatan 3 tahun dan dapat diangkat kembali untuk
satu kali masa jabatan (pasal 56). Adapun pertanggungjawaban pelaksanaan tugas BWI dilakukan
32
melalui laporan tahunan yang diaudit oleh lembaga audit independen dan disampaikan kepada
Menteri yang selanjutnya diumumkan kepada masyarakat (pasal 61).
Pada prinsipnya, tugas BWI adalah mengelola seluruh harta wakaf yang ada, namun
karena selama ini wakaf yang ada di Indonesia berupa tanah milik dan masing-masing sudah ada
nazirnya dan pembinannya ada di bawah Departemen Agama RI, yakni Direktorat
Pengembangan Zakat dan Wakaf, maka terhadap wakaf yang sudah ada, BWI cukup hanya
membantu memberdayakan tanah wakaf tersebut dengan membuat kebijakan-kebijakan yang
mengarah pada peningkatan kemampuan para nazir wakaf sehingga mereka dapat mengelola
wakaf yang menjadi tanggung jawabnya secara produktif. Disamping itu, BWI juga bertugas:
a. Merumuskan kembali fiqh wakaf baru di Indonesia, khususnya yang berkenaan dengan
barang-barang yang boleh diwakafkan (mauquf bih), peruntukan wakaf (mauquf ‘alaih), dan
nazir wakaf.
b. Membuat kebijakan dan strategi pengelolaan wakaf produktif, mensosialisasikan bolehnya
wakaf benda bergerak dan sertifikat tunai kepada masyarakat.
c. Menyusun RUU wakaf dan berjuang untuk mewujudkan undang-undang wakaf tersebut.
d. Dalam pengelolaan wakaf, khususnya tunai, BWI harus bekerjasama dengan lembaga-
lembaga lain, terutama bank-bank syariah.65
Untuk itulah Badan Wakaf Indonesia (BWI) yang mempunyai fungsi sangat strategis
harus segera dibentuk dan diharapkan dapat membantu, baik dalam pembiayaan, pembinaan
maupun pengawasan terhadap para nazir untuk dapat melakukan pengelolaan dan pemberdayaan
wakaf secara produktif.
4. Pembinaan dan Pengawasan Pelaksanaan Wakaf
Berdasarkan pembahasan yang sudah dikemukakan, jelas bahwa wakaf merupakan salah
satu lembaga perekonomian Islam yang sangat strategis dan potensial untuk dikembangkan.
Keadaan wakaf di Indonesia saat ini perlu mendapat perhatian khusus, karena wakaf yang ada
selama ini pada umumnya berbentuk benda yang tidak bergerak yang sesungguhnya mempunyai
potensi yang cukup besar seperti tanah-tanah produktif strategis untuk dikelola secara produktif.
Tanah wakaf agar mempunyai bobot produktif harus dikelola dengan manajemen yang
baik dan modern, namun tetap berdasarkan syariat Islam oleh suatu badan yang dikoordinir oleh
Badan Wakaf Indonesia (BWI). Untuk itulah pemberdayaan tanah wakaf tersebut mutlak
diperlukan dalam rangka menjalin kekuatan ekonomi umat demi keberlangsungan kehidupan di
dunia dan akhirat yang bahagia.
Pembinaan dan pengawasan perwakafan sangat diperlukan agar harta benda wakaf yang
ada menjadi aman karena dirasakan adanya upaya pihak-pihak tertentu, termasuk oknum nazir
yang ingin menukar dengan tanah-tanah atau harta benda wakaf lainnya yang tidak strategis dan
65 Departemen Agama Republik Indonesia, Pedoman Pengelolaan dan Pengembangan Wakaf, (Direktorat
Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), h. 90 – 91.
33
produktif. Pembinaan dan pengawasan yang bersifat internal sudah menjadi keharusan,
bersamaan dengan kepedulian masyarakat sekitar terhadap keutuhan harta benda wakaf.
Disamping pembinaan dan pengawasan yang bersifat umum tersebut, juga diperlukan pembinaan
dan pengawasan pengelolaan agar para pelaksana kenaziran yang mengurusi langsung terhadap
harta benda wakaf tersebut dapat menjalankan perannnya dengan baik dan benar sehingga
menghasilkan keuntungan yang memadai.66
Undang-Undang tentang Wakaf no. 41 tahun 2004 bahwa yang harus melakukan
pembinaan dan pengawasan dalam bidang perwakafan adalan Menteri dan Badan Wakaf
Indonesia dengan memperhatikan saran dan pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (pasal 63).
Dalam pelaksanaan pembinaan, Menteri dan BWI dapat melakukan kerjasama dengan organisasi
masyarakat, para ahli, badan internasional, dan pihak lain yang dipandang perlu (pasal 64).
Sedangkan dalam pengawasannya dapat menggunakan akuntan publik (pasal 65).
Mengenai hal ini, lebih lanjut dijelaskan di dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia no. 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang no. 41 tahun 2004 tentang
Wakaf, bahwa pembinaan nazir yang dilakukan Menteri dan BWI meliputi—sebagaimana
disebutkan di dalam pasal 53:
a. Penyiapan sarana dan prasarana penunjang operasional Nazhir wakaf baik perseorangan,
organisasi dan badan hukum.
b. Penyusunan regulasi, pemberian motivasi, pemberian fasilitas, pengkoordinasian,
pemberdayaan dan pengembangan terhadap harta benda wakaf.
c. Penyediaan fasilitas proses sertifikasi Wakaf.
d. Penyiapan dan pengadaan blanko-blanko AIW, baik wakaf benda tidak bergerak dan/atau
benda bergerak.
e. Penyiapan penyuluh penerangan di daerah untuk melakukan pembinaan dan pengembangan
wakaf kepada Nazhir sesuai dengan lingkupnya.
f. Pemberian fasilitas masuknya dana-dana wakaf dari dalam dan luar negeri dalam
pengembangan dan pemberdayaan wakaf.
Pembinaan perwakafan terhadap nazir ini bertujuan untuk peningkatan etika dan moralitas
dalam pengelolaan wakaf serta untuk peningkatan profesionalitas pengelolaan dana wakaf.
Pembinaan ini wajib dilakukan sekurang-kurangnya sekali dalam setahun dan dapat berbentuk
penelitian, pelatihan, seminar, ataupun kegiatan lainnya (pasal 55).
Pasal 56 PP no. 42 tahun 2006 menjelaskan bahwa pengawasan perwakafan dilakukan
oleh pemerintah dan masyarakat, baik aktif maupun pasif. Pengawasan aktif dilakukan dengan
melaksanakan pemeriksaan langsung terhadap nazir minimal sekali dalam setahun. Sedangkan
pengawasan pasif dilakukan dengan pengamatan atas berbagai laporan yang disampaikan nazir
66 Departemen Agama Republik Indonesia, Panduan Pemberdayaan Wakaf Produktif Strategis di
Indonesia, (Proyek Peningkatan Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimas Islam dan Penyelenggara Haji Departemen Agama Republik Indonesia, 2004), cet. ke-2, h. 104.
34
berkaitan dengan pengelolaan wakaf. Dan dalam melaksanakan pengawasan, pemerintah dan
masyarakat dapat meminta bantuan jasa akuntan publik independen.
Pengelolaan wakaf yang dikelola dengan sistem dan manajemen yang amanah dan
profesional, dengan bimbingan dan pengawasan dari pemerintah yang dalam operasionalisasinya
terintegrasi sampai ke tingkat daerah akan memacu gerak ekonomi masyarakat dan sekaligus
menyehatkan tatanan sosial dengan makin berkurangnya kesenjangan antara kelompok
masyarakat yang mampu dan kelompok masyarakat yang tidak mampu. Karenanya, sangat
diharapkan agar Badan Wakaf Indonesia dapat segera terbentuk supaya perwakafan di Indonesia
semakin marak dan sesuai dengan syariat agama Islam dan peraturan perundangan yang berlaku.
D. PENUTUP
Undang-Undang Republik Indonesia no. 41 tahun 2004 tentang Wakaf yang lahir dalam
rangka mengunifikasi berbagai peraturan wakaf yang sudah ada, menjamin kepastian hukum
dalam bidang wakaf, serta dalam rangka meningkatkan kesejahteraan umum, adalah berisi
tentang pokok-pokok pemikiran wakaf sebagai berikut:
1. Perbuatan hukum wakaf wajib dicatat dan dituangkan dalam Akta Ikrar Wakaf dan
didaftarkan serta diumumkan. Undang-Undang ini tidak memisahkan antara wakaf ahli yang
pengelolaan dan pemanfaatan harta benda wakaf terbatas untuk kaum kerabat dengan wakaf
khairi yang dimaksudkan untuk kepentingan umum sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
2. Harta benda wakaf yang selama ini baru berupa benda tidak bergerak, dalam UU diperluas
sehingga meliputi benda bergerak. UU ini telah memberi pijakan penting akan keluasan harta
benda wakaf yang dapat dioptimalkan untuk menopang pembangunan umat.
3. Peruntukan harta benda wakaf tidak semata-mata untuk kepentingan sarana ibadah dan
sosial, tetapi juga diarahkan untuk memajukan kesejahteraan umum dengan cara
mewujudkan potensi dan manfaat ekonomi harta benda wakaf, dengan catatan pengelolaan
dan pengembangan harta benda wakaf tersebut harus tetap sesuai dengan prinsip dan
manajemen ekonomi syariah.
4. Nazir wakaf yang selama ini tradisional, dalam UU ini memproyeksikan pada nazir
profesional.
5. UU ini mengatur pembentukan Badan Wakaf Indonesia yang merupakan lembaga
independen yang melaksanakan tugas di bidang perwakafan.
Perwakafan atau wakaf merupakan pranata dalam keagamaan Islam yang sudah mapan.
Dalam hukum Islam, wakaf termasuk ke dalam kategori ibadah kemayarakatan (ibadah
ijtima’iyyah). Sepanjang sejarah Islam, wakaf merupakan sarana dan modal yang amat penting
dalam memajukan perkembangan agama dan kesejahteraan umat. Berdasarkan pembahasan yang
sudah dikemukakan, seharusnya wakaf bisa dijadikan sebagai lembaga ekonomi yang potensial
untuk dikembangkan. Karena institusi perwakafan merupakan salah satu aset kebudayaan
35
nasional dari aspek sosial yang perlu mendapat perhatian serius sebagai penopang hidup dan
harga diri bangsa.
Di dalam Undang-Undang no. 41 tahun 2004 dijelaskan tentang Badan Wakaf Indonesia
yang akan mengurusi masalah perwakafan di Indonesia. Namun setelah empat tahun, sejak
lahirnya Undang-Undang tersebut hingga sekarang, BWI belum juga terbentuk, padahal
masyarakat Indonesia saat ini sangat mengharapkan kehadiran BWI yang tentunya akan
memegang peranan penting dalam pemberdayaan wakaf di bumi Indonesia sehingga terciptanya
kesejahteraan manusia.
Oleh karena itu, untuk mengatasi berbagai persoalan wakaf sementara ini dan sebelum
terbentuknya BWI, Departemen Agama RI mempunyai tugas yang sangat berat dalam rangka
mengembangkan wakaf yang tidak hanya pada aspek pemikiran, tetapi juga harus terus berusaha
membuat inovasi mengenai perwakafan yang sesuai dengan syariat ajaran Islam dan dapat
dirasakan manfaatnya untuk masyarakat luas.