+ All Categories
Home > Documents > Liberalisme, Klasik dan Modern

Liberalisme, Klasik dan Modern

Date post: 17-Feb-2023
Category:
Upload: fai-umt
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
23
Liberalisme Lama dan Baru William Ebenstein, Great Political Thinkers, 1960 Oleh Agus Sutisna Mahasiswa Program Doktor Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta 1. Pendahuluan Seperti mata air abadi, diskursus dan perhatian para ahli seputar faham liberalisme terus mengalir dari abad ke abad. Buku Great Political Thinkers (1960) yang ditulis William Ebenstein adalah salah satu dari ratusan buku yang mengupas seputar liberalisme, ideologi yang telah mengalami “penyempurnaan” sekaligus kritik dari para ahli sosiologi dan politik di berbagai negara. Topik liberalisme ini dibahas Ebenstein di dalam Bagian Ke-22 dibawah judul Liberalism : Old and New. Di kalangan ilmuwan Indonesia, istilah “old and new” dalam konteks faham liberalisme yang digunakan Ebenstein juga sering diterjemahkan dengan istilah “klasik dan modern”. Pemikiran liberalisme, baik yang klasik maupun modern, sebetulnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh banyak tokoh. Di kalangan pemikir klasik (lama) misalnya, terdapat nama-nama besar seperti John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), dan Adam Smith (1723-1790). Sementara di kalangan pemikir liberalisme modern (baru) tercatat nama-nama Thomas Hill Green (1836-1882), John Dewey (1859-1952), Franklin D. Roosevelt (1882- 1945). Dalam buku ini, Ebenstein menampilkan dua tokoh yang 1
Transcript

Liberalisme Lama dan BaruWilliam Ebenstein, Great Political Thinkers, 1960

Oleh Agus SutisnaMahasiswa Program Doktor Ilmu Politik

Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional Jakarta

1. PendahuluanSeperti mata air abadi, diskursus dan perhatian para ahli

seputar faham liberalisme terus mengalir dari abad ke abad. Buku

Great Political Thinkers (1960) yang ditulis William Ebenstein adalah

salah satu dari ratusan buku yang mengupas seputar liberalisme,

ideologi yang telah mengalami “penyempurnaan” sekaligus kritik

dari para ahli sosiologi dan politik di berbagai negara. Topik

liberalisme ini dibahas Ebenstein di dalam Bagian Ke-22 dibawah

judul Liberalism : Old and New. Di kalangan ilmuwan Indonesia, istilah

“old and new” dalam konteks faham liberalisme yang digunakan

Ebenstein juga sering diterjemahkan dengan istilah “klasik dan

modern”.

Pemikiran liberalisme, baik yang klasik maupun modern,

sebetulnya diperkenalkan dan dikembangkan oleh banyak tokoh. Di

kalangan pemikir klasik (lama) misalnya, terdapat nama-nama besar

seperti John Locke (1632-1704), Jeremy Bentham (1748-1832), dan

Adam Smith (1723-1790). Sementara di kalangan pemikir

liberalisme modern (baru) tercatat nama-nama Thomas Hill Green

(1836-1882), John Dewey (1859-1952), Franklin D. Roosevelt (1882-

1945). Dalam buku ini, Ebenstein menampilkan dua tokoh yang

1

dianggap paling berpengaruh, yang masing-masing mewakili aliran

pemikiran klasik dan modern. Kedua tokoh itu adalah Herbert

Spencer (1820-1903) yang mewakili pemikiran liberalisme klasik

dan John Maynard Keynes (1883-1946) yang mewakili aliran

pemikiran liberalisme modern.

Tulisan ini berusaha mengemukakan kembali pokok-pokok

pikiran Herbert Spencer tentang Liberalisme Klasik (Lama) dan

John Maynard Keynes tentang Liberalisme Modern (Baru) sebagaimana

diuraikan oleh William Ebenstain dalam bukunya, disertai dengan

beberapa catatan kritis penulis terhadap pemikiran kedua tokoh

liberalisme ini. Kemudian sebagai pelengkap, dalam tulisan ini

juga disertakan uraian riwayat ringkas kedua tokoh dan konteks

sejarah hidupnya yang memiliki relevansi dengan pemikiran-

pemikiran mereka tentang liberalisme.

2. Herbert Spencer dan Liberalisme Klasik

Riwayat Hidup Spencer

Herbert Spencer lahir pada 27 April 1820 di kota kecil

Derbyshire, Midland, Inggris. Ayahnya seorang guru, yang

memutuskan Spencer menempuh pendidikan dasar dan menengahnya di

rumah sendiri (secara ekslusif) karena alasan kesehatan. Seperti

ditulis oleh banyak pemerhati kehidupannya, lingkungan tinggal

Spencer pada saat itu terbilang sangat buruk oleh karena polusi

akut yang ditebarkan pabrik-pabrik yang berdesakan dengan

2

pemukiman. Dalam usia yang relatif sangat muda, 17 tahun, Spencer

menjadi insinyur sipil dan bekerja di sebuah perusahaan kereta

api di Birmingham London. Pekerjaannya ini dijalani Spencer

selama kurang lebih 9 tahun (1837-1846) sambil melanjutkan

studinya. Pada periode ini pula minatnya terhadap masalah-masalah

sosiologi, politik, ekonomi dan filsafat tumbuh, dan Spencer

mulai rajin menulis artikel-artikel sosial.

Saat masih bekerja sebagai ahli mesin di perusahaan itu,

tepatnya tahun 1842, tulisan pertamanya di bidang sosial, “The

Proper Sphere of Government” diterbitkan oleh majalah Non Conformist.

Enam tahun kemudian (1848), tulisan yang sama dipublikasikan lagi

di majalah The Economist. Sebuah majalah ekonomi terkemuka yang

berbasis di London, yang menjadi corong kaum oposisi dan

pendukung ide-ide perdagangan bebas. Di majalah ini pula, Spencer

kemudian membangun profesi barunya sebagai penulis masalah-

masalah sosial, dan sempat menduduki jabatan sebagai Wakil

Editor, setelah memutuskan keluar dari perushaan tempat ia

bekerja sebagai ahli mekanik. Tahun 1851, saat usianya memasuki

31 tahun, buku pertama Spencer berjudul Social Static terbit. Inilah

buku pertama dimana Spencer mulai merumuskan ide-ide liberalisnya

seputar individualisme, the survival of the fittes, laissez faire dan peran

negara yang cukup menjadi “penjaga malam” bagi rakyatnya.

Tahun 1853, Spencer memperoleh warisan kekayaan yang sangat

banyak dari pamannya (Thomas Spencer). Dengan bekal harta waris

ini, Spencer kemudian memutuskan keluar dari tempatnya bekerja,

dan mengambil jalan hidup sebagai penulis bebas yang mencurahkan

3

pikiran sepenuhnya untuk mendalami dan mengkaji masalah-masalah

sosial. Sejak itulah buku-buku Spencer kemudian terbit

berkesinambungan, diantaranya : Social Statics (1851), Principles of

Psychology (1855), Its Law and Cause (1857), Principles of Biology (1861 dan

1864), First Principles (1862), The Study of Sociology (1873), Descriptive

Sociology (1874), The Principles of Sociology (1877), Principles of Ethics

(1883), dan The Man versus The State (1884). Tanggal 8 Desember 1903

Herbert Spencer meninggal dunia, dan dikenang sebagai salah

seorang sosiolog terkemuka meski selama hidupnya ia tidak pernah

menduduki jabatan akademik formal di perguruan tinggi manapun.

Liberalisme Klasik Spencer

Seperti disinggung didepan tadi, masa kanak-kanak Spencer

dan pertumbuhannya banyak dijalani dalam suatu “lingkungan” yang

serba ekslusif. Ia dididik di rumahnya sendiri; dan diarahkan

oleh ayahnya untuk fokus mempelajari sains dan teknologi. Spencer

tidak mengenal banyak sejarah dan ilmu-ilmu humaniora yang

memungkinkannya bersentuhan secara intensif dan memadai dengan

isu-isu sosial-kemanusiaan. Meski terlalu simplistik untuk

menyimpulkan bahwa latar situasi inilah yang telah membuat

Spencer kemudian menjadi seorang individualis (akar dari

liberalisme) sejati. Namun mengawali pembahasannya pada Bab 22

ini, William Ebenstein menyatakan : “the most extreme reflection of

nineteenth-century individualism is to be found in the encyclopedic system of Herbert

Spencer (1820-1903)” dalam rangkaian ilustrasinya perihal

4

perkembangan puncak individualisme abad ke-19 di Eropa sejak John

Locke (1632-1704) memeloporinya pada abad ke-16.

Faktanya memang, warisan-warisan pemikiran yang ditinggalkan

Spencer menunjukkan betapa ia adalah seorang “penyempurna” faham

liberalisme klasik (lama) yang paling berpengaruh hingga

liberalisme lama ini mencapai puncaknya pada abad 19, sebelum

dikoreksi oleh pemikir-pemikir liberalisme modern (baru) pada

awal abad 20 sebagaimana akan diuraikan di belakang dalam tulisan

ini. Secara umum, sebagaimana tercermin dalam gagasan dan

pemikiran-pemikiran Spencer, liberalisme klasik (lama) ini

memiliki sejumlah karakter yang khas, antara lain semangat

empirisme untuk dunia filsafat, etika utilitarian, agnotisme

agama, persaingan ekonomi, anti-otoritarianisme dalam kehidupan

politik, semangat anti imperalisme, pasifisme dan perdagangan

bebas dalam dunia hubungan inetrnasional.

Warisan pemikiran penting Spencer yang pertama

dipublikasikan dalam majalah Nonconformist pada awal tahun 1842,

berupa serangkaian artikel berjudul The Proper Sphere of Government.

Dalam bukunya ini Spencer menyatakan keyakinan pandangannya,

bahwa segala sesuatu di alam ini memiliki hukum-hukumnya sendiri,

dan manusia tunduk pada hukum alam itu. Hukum alam menciptakan

“keadilannya” sendiri bagi kehidupan pelbagai makhluk di dunia.

Jika seekor banteng yang sudah tua dan penyakitan, lalu diterkam

harimau dan mati, ini adalah “keadilan” yang diberikan alam, dan

karenanya tidak perlu disesali. Pada waktunya di kemudian hari

nanti, si harimau perkasa itu pastilah juga akan mati. Cepat atau

5

lambat kematian itu menjemputnya sangat bergantung pada

kemampuannya menyesuaikan diri dengan alamnya (survival of the fittest).

Karena itu, hidup dan mati bagi Spencer adalah kebutuhan alamiah,

bukan suatu kecelakaan.

Dalam konteks inilah, Spencer mengadopsi teori evolusi

biologis-nya Charles Darwin dan memperkenalkannya dalam kehidupan

sosial dan politik. Seperti dalam dunia hewan dan tumbuhan, dalam

masyarakat manusia pun, evolusi akan terjadi dan prinsip the

survival of the fittest pasti berlaku. Evolusi sosial akan mengubah tata

kehidupan masyarakat manusia dari homogen dan stagnan menuju

heterogen dan berkemajuan. Dan dalam kerangka evolusi sosial ini

akan terjadi proses seleksi alamiah tadi : mereka yang “kuat”

(memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi) akan bertahan, dan yang

“lemah” (tidak memiliki kemampuan adaptasi yang memadai) akan

terpinggirkan dan kalah. Aspek yang paling fundamental dan

menjadi gagasan utama dimana liberalisme klasik berpijak dari

pemikiran Spencer ini adalah, bahwa dalam proses seleksi alamiah

itu setiap orang harus dibiarkan bebas dan berikhtiar sendiri-

sendiri. Negara tidak perlu campur tangan; bahkan membantu orang

miskin pun tidak perlu. Inilah yang oleh Ebenstein disebut

sebagai filsafat politik Spencer tentang individualisme ekstrem

dan laissez faire.

Masih didalam karyanya The Proper Sphere of Government, Spencer

juga memberi perhatian terhadap fungsi negara. Menurut Spencer,

fungsi utama negara adalah mengatur aparat pemerintah (birokrasi)

dan administrasi lembaga yudikatif untuk memastikan hak-hak dasar

6

manusia yakni kehidupan dan harta kekayaannya terlindungi. Negara

tidak perlu mengatur urusan agama, mengatur perdagangan, dan

mendorong kolonialisasi. Liberalisme klasik memang anti-

kolonialisme. Pandangan-pandangan fundamental Spencer tentang

negara ini diuraikan, baik dalam karya pertamanya maupun dalam

bukunya yang kedua, Social Statics (1851). Namun ada dua gagasan baru

dalam bukunya yang kedua ini, yaitu bahwa negara juga tidak

perlu mengatur urusan mata uang dan ekonomi secara umum. Kedua

urusan ini menurut Spencer akan lebih efisien diserahkan kepada

pihak swasta. Dalam konteks evolusi tadi, Spencer hanya tertarik sedikit

terhadap bentuk-bentuk pemerintahan yang dibedakan secara

tradisional kedalam model monarki, aristokrasi dan demokrasi.

Menurutnya, dalam kerangka teori evolusi ini ada 2 (dua) bentuk

negara dan masyarakat : Negara Militer dan Negara Industri.

Negara militer adalah bentuk awal dari organisasi sosial yang

sifatnya masih primitif, barbar, dan selalu memiliki hasrat untuk

berperang. Dan pemimpin militer memiliki posisi seperti pemimpin

politik, yang didalamnya terdapat hubungan erat antara

militeristik dengan tindakan kesewenang-wenangan. Individu

dinilai tidak lebih dari sekedar alat untuk mencapai tujuan akhir

negara, yaitu mencapai kemenangan dalam setiap peperangan.

Dalam bidang perekonomian, negara militer tunduk kepada

kepentingan dan kebutuhan khas militer. Maka tujuan ekonomi

sendiri tidak diarahkan pada bagaimana mencapai dan mewujudkan

kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat banyak, melainkan sekedar

7

diproyeksikan untuk tujuan-tujuan meningkatkan kekuatan militer

demi keberhasilan dalam peperangan dan penaklukan-penaklukan

negara lain seperti yang kemudian tampak pada fenomena

kolonialisme dan imperialisme. Bahwa dalam negara militer, suatu

hubungan sosial dan kerjasama diantara individu-individu atau

kelompok-kelompok terjadi, hal ini lebih karena terpaksa atau

dipaksakan oleh kekuasaan negara, bukan lahir atas pertimbangan

dan kesadaran sukarela masyarakat. Dalam situasi dimana keamanan

publik dianggap segala-galanya oleh kekuasaan, maka ruang

kebebasan individu dalam negara militer menjadi sempit.

Situasi militeristik dalam negara militer itu pada akhirnya

mengalami perkembangan demikian rupa, teritori negara makin luas

disertai dengan tercapainya keamanan dan stabilitas dalam jangka

waktu yang lama, sehingga secara bertahap menimbulkan perubahan

yang memungkinkan tumbuhnya ciri-ciri masyarakat industri

didalam negara dan masyakarat. Cara hidup bernegara dan

bermasyarakat dalam tradisi industrialis (negara industri) ini

didasarkan pada kerja sama secara bebas dan dihapuskannya segala

bentuk paksaan dan kekerasan dalam segala aspek kehidupan.

Spontanitas, keragaman, dan perbedaan adalah ciri-ciri penting

yang membentuk masyarakat industri; dan tujuan negara dan

masyarakat industri sendiri memang jelas, yakni menjamin

kebebasan dan mewujudkan kebahagiaan warganya secara maksimal.

Akhirnya Spencer meyakini, bahwa perkembangan masyarakat dan

negara dari bentuk militer ke industri yang ditandai dengan

adanya prakarsa-prakarsa kerjasama dalam suasana damai dan

8

sukarela, bebas eksploitasi dan paksaan mengindikasikan bahwa

peran pemerintah akan terus berkurang secara simultan dalam

mengurus masyarakat. Sebab menurut Spencer, keberadaan negara

tidak lebih dari “proof of still-existing barbarism”, bukti masih eksisnya

barbarianisme. Jadi, semakin masyarakat dan individu belajar

untuk bekerja sama secara damai, bebas dan saling menguntungkan,

maka semakin dekat masyarakat kepada bentuk ideal dari negara

industri; dan dengan sendirinya pula akan semakin berkurang

kebutuhan masyarakat terhadap kehadiran pemerintah.Tetapi dari semua karya tulis yang pernah dipublikasikan

Spencer sepanjang hidupnya, buku berjudul The Man versus The State

dianggap merupakan buah pikirannya yang paling komprehensif dalam

bidang kajian sosiologi politik, sekaligus paling berpengaruh

dalam konteks filosofi laissez faire. Buku ini diterbitkan tahun

1884, dan merupakan kompilasi dari 4 (empat) esainya yang

diterbitkan oleh Contemporary Review. Keempat esai Spencer itu

adalah The New Tories, The Coming Slavery, The Sins of Legislators, dan The Great

Political Superstition.

Dalam esainya yang pertama Spencer mengrkitik kaum liberalis

Inggris yang meniggalkan prinsip individualisme ekonomi demi

program negara kesejahteraan, yang hendak memberikan peran besar

kepada negara untuk mengurus masalah-masalah perekonomian. Dalam

esai keduanya Spencer meyakini bahwa program negara kesejahteraan

hanya akan melahirkan gejala perbudakan (baru) berupa penindasan

kaum buruh dibawah kendali rezim yang menerapkan prinsip

sosialisme dan marxisme. Sementara dalam esainya yang ketiga

9

Spencer menegaskan bahwa kemajuan bukanlah hasil regulasi

pemerintah, melainkan berasal dari hasrat untuk meningkatkan

kesejahteraan pribadi. Dalam esainya yang terakhir Spencer

menolak hak sakral para raja, yang sekarang hadir menjadi hak

sakral parlemen, yang disebutnya sebagai takhayul politik besar.

Akhirnya Spencer sampai pada kesimpulan , bahwa pemerintah

bukanlah institusi sakral, agung dan luar biasa, serta berada di

atas segalanya. Pemerintah hanyalah sebuah komite manajemen yang

tidak memiliki otoritas dan kekuasaan selain dari yang telah

diberikan atas dasar persetujuan bebas oleh rakyatnya. Dalam

konteks inilah kemudian Spencer menegaskan, bahwa fungsi

liberalisme di masa lalu adalah untuk membatasi kekuasaan raja-

raja, dan dimasa kini fungsi liberalisme adalah untuk membatasi

kekuasaan parlemen yang sering mengatasnamakan kedaulatan rakyat

kemudian bertindak terlalu jauh hingga merampas hak-hak individu,

lalu menciptakan despotisme baru. Situasi ini bukan yang

dikehendaki Spencer sebagaimana tertuang dalam pemikirannya

tentang laissez faire dan survival of the fittest sebagai ruh

dari faham liberalism klasik.

Dalam faham liberalism klasik, kebebasan berarti ada

sejumlah orang yang akan menang dan sejumlah orang yang akan

kalah. Kemenangan dan kekalahan ini terjadi karena persaingan

bebas. Sehingga kebebasan akan diartikan sebagai memiliki hak-hak

dan mampu menggunakan hak-hak itu dengan memperkecil turut

campurnnya pihak lain dalam hal ini adalah pemerintah. Kaum

10

liberal menyatakan bahwa masyarakat pasar kapitalis adalah

masyarakat yang bebas dan masyarakat yang produktif. Kapitalisme

bekerja menghasilkan dinamika, peluang dan kesempatan, serta

kompetisi yang sehat atas dasar kepentingan-kepentingan individu

sebagai motor penggeraknya. Dan Spencer meyakini, bahwa mekanisme

pasar ini akan melahirkan keseimbangan alamiah.

Liberalisme klasi, dengan landasan pembenar kebebasan

bertujuan mengembalikan kepercayaan pada kekuasaan pasar. Seperti

pada contoh kasus upah pekerja; dalam pemahaman liberalisme,

pemerintah tidak berhak ikut campur dalam penentuan gaji pekerja

atau dalam masalah-masalah ketenagakerjaan lainnya; ini

sepenuhnya merupakan urusan antara para pemilik modal (pengusaha)

dan para pekerja. Pendorong utama kembalinya kekuatan kekuasaan

pasar adalah privatisasi aktivitas-aktivitas ekonomi, terutajma

usaha-usaha industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah.

Dengan demikian, liberalisme menghendaki bahwa manajemen ekonomi

haruslah berbasis permintaan yang diciptakan oleh mekanisme pasar

tadi, dan bukan didasarkan pada persediaan yang diciptakan oleh

pemerintah. Dalam hal ini tugas pemerintah hanya menciptakan

lingkungan yang kondusif sehingga modal dapat bergerak bebas

dengan baik. Pemerintah juga harus menjalankan kebijakan-

kebijakan pengurangan anggaran rutin, anggaran-anggaran subsidi

untuk kepentingan publik dan fasilitas-fasilitas untuk

kesejahteraan. Bagi liberalisme ini tidak sesuai dengan prinsip

the survival of the fittest.

11

Dengan demikian, logika pasarlah yang kemudian akan

mengendalikan kehidupan publik. Inilah sejatinya pondasi dasar

liberalism : menundukan kehidupan publik ke dalam logika

mekanisme pasar. Pelayanan publik dalam bentuk berbagai subsidi

dianggap hanya akan mengakibatkan pemborosan dan inefisiensi.

Maka dalam konteks politik, liberalisme klasik menawarkan

pemikiran yang simpel, bahwa hingga batas tertentu, kekuasaan

negara (politik) tidak lagi mempunyai makna selain apa yang

ditentukan oleh pasar; relasi bebas antara pengusaha dan para

pekerja. Dalam pemikiran liberalisme politik adalah keputusan-

keputusan yang menawarkan nilai-nilai; dan liberalisme menganggap

hanya ada satu cara rasional untuk mengukur nilai, yaitu pasar.

Maka semua pemikiran diluar konteks pasar adalah salah.

Kapitalisme liberal menganggap wilayah politik adalah tempat

dimana pasar berkuasa.

3. John Maynard Keynes dan LiberalismeModern

Riwayat Hidup Keynes

John Maynard Keynes lahir di Cambridge, Cambridgeshire

Inggris pada tanggal 5 Juni 1883. Ia dilahirkan dan dibesarkan

dalam lingkungan keluarga menengah dan terhormat. Ayahnya, John

Neville Keynes adalah ahli filsafat dan ekonom terkemuka di

Universitas Cambridge. Dan ibunya sempat menjadi walikota. Keynes

dididik di sekolah terbaik di Inggris pada waktu, Eton College.12

Seperti diungkapkan oleh para pemerhati sejarah hidupnya, Keynes

cemerlang sejak masih kanak-kanak. Saat berusia empat setengah

tahun, Keynes sudah memikirkan arti bunga dilihat dari segi

ekonomi. Pada umur enam tahun ia sudah ingin mengetahui bagaimana

kerja otak manusia. Tidak heran jika di kemudian hari Keynes

menduduki banyak jabatan penting dan terhormat di pelbagai

lembaga terkemuka.

Setelah lulus memuaskan dari Universitas Cambridge, Spencer

memilih bekerja di British Civil Service dan ditempatkan di India

tahun 1906. Dua tahun kemudian ia kembali ke negaranya, lalu

memperoleh beasiswa untuk melanjutkan studinya di King’s College.

Pada periode ini, Keynes memulai aktifitasnya sebagai intelektual

dengan menjadi dosen matakuliah ilmu ekonomi dan keuangan di

almamaternya, Cambridge. Tiga tahun setelah itu ia dipercaya

menjabat posisi Redaktur di Economic Journal, sebuah penerbitan

terkemuka dan paling prestisius diseluruh dunia pada waktu itu.

Sejumlah posisi penting dan strategis pernah dijabat Keynes

selama masa hidupnya, antara lain : Bendahara King’s College,

Anggota Royal Commision, Presiden Komisaris pada National Mutual

Life Assurance Society dan memimpin suatu perusahaan investasi,

dan beberapa kali mewakili negaranya dalam sejumlah konferensi

internasional. Pada tahun 1941 Keynes diangkat menjadi Direktur

Bank of England (Bank Sentral Inggris) dan pada tahun 1942 Ia

menjadi The First Baron Keynes of Tilton, sebuah gelar sangat terhormat

yang dianugerahkan pihak kerajaan berkat sumbangan pikirannya

yang sangat besar pada negaranya. Pada tahun-tahun terakhir masa

13

hidupnya, Keynes dipercaya memimpin delegasi Inggris ke

Konferensi Moneter dan Keuangan PBB di Bretton Woods, Anierika

pada bulan Juli 1944. Dari konferensi inilah kemudian lahir

lembaga paling berpengaruh di dunia saat ini : Dana Moneter

International (International Monetary Fund) dan Bank Dunia (World

Bank).

Sebagai ilmuwan, Keynes banyak menerbitkan buku, beberapa

diantaranya adalah The Economic Consequences of the Peace (1919), A

Treatise on Probability (1921), A Revision of Treaty (1922), A Tract of Monetary

Reform (1923), Monetary Reform (1924), The Economic Consequences of Mr

Churchill (1925), The End Of Laissez Fair (1926), dan The General Theory of

Employment, Interest and Money (1936). Dua bukunya yang terakhir

dianggap paling penting dan berpengaruh dalam konteks

perkembangan faham liberalisme, yang menandai berakhirnya era

liberalisme klasik (lama) dan dimulainya era liberalisme modern

(baru). Keynes meninggal dunia di Tilson, East Sussex Inggris

pada tanggal 21 April 1946, dan dikenang sebagai peletak dasar

liberalisme modern. Tidak banyak yang tahu, di sisi kecemerlangan

karir dan pelbagai posisinya yang terhormat itu, nyaris sepanjang

hidupnya Keynes mengidap orientasi heteroseksual yang tak dapat

disembuhkan.

Liberalisme Modern Keynes

Faham liberalisme modern (baru) merupakan antitesa yang

mengoreksi prinsip-prinsip fundamental liberalisme klasik (lama)

sebagaimana diuraikan Spencer yang sebagian besar pijakan

14

gagasan-gagasannya didasarkan pada pemikiran Adam Smith (1723-

1790). Sebagaimana telah disinggung didepan dalam tulisan ini,

dalam membahas kembali isu liberalisme lama dan baru, Ebenstein

mengambil John Maynard Keynes sebagai representasi dari pemikiran

liberalisme modern. Pertimbangannya sangat jelas dan masuk akal :

Keynes, yang pernah hidup dan bersentuhan dengan pemikiran

Spencer, adalah tokoh liberalisme utama yang secara keras dan

gamblang mengoreksi prinsip-prinsip liberalisme klasik model

Smith dan Spencer.

Oleh karena pikiran-pikirannya sebagaimana ia kemukakan

terutama dalam dua bukunya yang terakhir, The End Of Laissez Fair

(1926), dan The General Theory of Employment, Interest and Money (1936),

Keynes bahkan dianggap sebagai “penyelamat” liberalisme dari

kebangkrutannya lantaran keliru dalam memahami dan mempraktikan

faham laissez faire. Dalam sebuah pidato, berjudul “The End of Laissez

Faire” (judul pidatonya ini kelak menjadi judul salah satu

bukunya) yang dikemukakan tahun 1926, Keynes menegaskan : “Tidak

benar bahwa individu mempunyai kebebasan alamiah dalam aktivitas ekonominya.

Juga tidak benar bahwa kepentingan diri umumnya adalah baik. Pengalaman tidak

menunjukkan bahwa individu, ketika mereka berada dalam unit sosial, selalu lebih

berpandangan jernih dibandingkan ketika mereka bertindak sendirian”.

Pemikiran-pemikiran Keynes, terutama yang dijabarkannya

dalam buku The General Theory of Employment, Interest and Money (1936),

yang terbit sepuluh tahun kemudian sejak pidato terkenalnya itu

memang bertolak dari keprihatinan dan kegalauannya menyaksikan

pelbagai distorsi dari penerapan faham laissez faire murni yang

15

mengakibatkan depresi besar tahun 1930-an di Eropa dan Amerika.

Keynes melihat ada yang keliru dalam faham laissez faire. Berikut

ini adalah pokok-pokok pikirannya yang mengoreksi kekeliruan-

kekeliruan liberalisme klasik itu.

Pertama sekali Keynes menegaskan bahwa untuk menolong sistem

perekonomian negara-negara penganut liberalisme klasik dari

kebangkrutannya karena krisis ekonomi pada tahun 1930an itu,

bangsa-bangsa harus bersedia meninggalkan ideologi laissez faire

yang murni. Artinya, prinsip membebaskan individu-individu dalam

mengelola dan menjalankan kehidupan ekonominya tanpa melibatkan

pemerintah harus dihentikan. Pemerintah harus melakukan campur

tangan lebih banyak dalam mengendalikan perekonomian nasional.

Keynes mengatakan bahwa kegiatan produksi dan pemilikan

faktor-faktor produksi masih tetap bisa dipegang oleh pihak

swasta, tetapi pemerintah wajib mengambil langkah-langkah

kebijakan yang secara aktif akan dan harus mampu mempengaruhi

gerak perekonomian negaranya. Sebagai contoh, pada saat terjadi

depresi itu, pemerintah harus mengambil prakarsa melakukan

berbagai program atau kegiatan yang secara langsung dapat meyerap

tenaga kerja (yang tidak tertampung di sektor swasta), meskipun

untuk itu negara harus menggelontorkan anggaran (subsidi) yang

sangat besar. Jika tidak, maka pengangguran akan merebak dimana-

mana, dan ini tentu berdampak luas dalam kehidupan sosial.

Dalam konteks ini, Keynes dan para pendukung pemikirannya

sama sekali tidak percaya perihal kekuatan hakiki dari sistem

laissez faire yang akan mengoreksi dirinya sendiri sehingga

16

tercapai kondisi efisien (full employment) secara otomatis. Kondisi

full-employment sebagaimana pernah dijelaskan Spencer akan

tercapai dengan sendirinya melalui mekanisme pasar itu, dalam

pandangan Keynes hanya dapat dicapai dengan tindakan-tindakan

terencana dan sistematik. Dan ini tentu membutuhkan “pihak

ketiga” dalam ruang aktifitas perekenomian dan bisnis. Pihak

ketiga inilah pemerintah.

Sebagaimana sudah diuraikan dalam pemikiran Spencer, para

pendukung liberalisme klasik berpendapat bahwa pemerintah tidak

perlu campur tangan dalam perekonomian. Alasannya, mereka

menganggap dan meyakini bahwa perekonomian akan dengan sendirinya

mampu mengatur dirinya sendiri sedemikian rupa sehingga

sumberdaya ekonomi yang ada akan mampu digunakan secara efisien,

dan akan selalu terjadi keadaan dimana kondisi perekonomian pada

full employment. Pandangan dan keyakinan ini cukup lama berakar

dan dipegang sebagai landasan perekonomian sebelum munculnya

Keyness yang membawa perspektif baru dalam tradisi liberalism.

Perspektif baru Keynes ini, sekali lagi bertumpu pada keyaninan

bahwa intervensi pemerintah itu diperlukan dalam perekonomian

dalam upaya membuat suatu kehidupan bersama yang lebih baik.

Apa yang melatarbelakangi lahirnya perspektif baru

liberalisme dari Keynes ? Seperti telah banyak diungkap dalam

sejarah perkembangan liberalisme lama dan baru, kelahiran

perspektif Keynes tidak terlepas dari fenomena yang mengagetkan

kaum liberalisme klasik. Yakni terjadinya depresi besar (great

depression) yang mengakibatkan terjadinya pengangguran besar-

17

besaran, yang dialami oleh negara-negara barat penganut prinsip

liberalisme klasik. Pengangguran besar-besaran ini merupakan

fenomena yang terbukti tidak dapat dijawab oleh kaum klasik pada

waktu itu. Kaum klasik mengatakan bahwa di dalam perekonomian

yang full employment (padahal mereka mengatakan perekonomian

selalu full employment) tidak ada pengagguran (unemployment).

Tetapi kenyataan pada saat itu terjadi pengangguran besar-

besaran. Munculnya pemikiran Keynes ini juga sekaligus membuka

cakrawala baru dan menjadi tonggak sejarah penting bagi

keberadaan makroekonomi.

Pijakan dasar konsep ekonomi-politik liberalisme baru

sebagaimana digagas Keynes antara lain bermuara pada gagasan

anti-naturalistik tentang pasar dan kompetisi. Keynes melihat dan

memposisikan pasar sebagai salah satu dari berbagai macam model

hubungan sosial bentukan manusia. Pasar bukanlah gejala alami.

Oleh karena itu maka pasar sesungguhnya dapat diciptakan dan

dibatalkan menurut desain kehendak manusia sendiri. Tidak ada

ekonomi yang terpisah dari politik, sebagaimana juga tidak ada

politik yang terlepas dari ekonomi, sehingga kinerja pasar juga

membutuhkan adanya tindakan-tindakan politik yang bertugas

menciptakan serangkaian prakondisi bagi operasinya agar adil

namun tetap kompetitif.

Selanjutnya Keynes menegaskan, bahwa harus ada penolakan

atas kinerja kapitalisme yang hanya didasarkan pada logika modal

atau capital semata. Transaksi ekonomi hanyalah salah satu bentuk

dari relasi sosial manusia, oleh karenanya hubungan-hubungan

18

sosial manusia bukanlah untuk mengabdi kepada kapitalisme,

melainkan kapitalisme yang harus mengabdi untuk membantu

kebutuhan relasi sosial manusia agar berlangsung dengan adil dan

kompetitif.

Dan bagi Keynes, kapitalisme hanyalah merupakan sistem

ciptaan manusia atau human construct, oleh sebab itu pastilah dapat

diubah serta dimodifikasi dan desain ulang oleh manusia. Dalam

rangka proses mengubah dan memodifikasi kapitalisme itu, maka

diperlukan suatu proses transformasi kapitalisme, dimana

dilakukan upaya-upaya untuk menciptakan perspektif dan bentuk-

bentuk baru kapitalisme yang lebih sesuai dengan kebutuhan relasi

sosial manusia.

Gejala konsentrasi kekuasaan ekonomi pada segelintir

pengusaha bukanlah suatu gejala alami atau nasib alami dari

sistem ekonomi kapitalisme. Hal tersebut semata merupakan suatu

strategi ekonomi-politik yang gagal, dan produk gagal itu dapat

dicegah dengan rangkaian berbagai politik kebijakan sosial dalam

suatu kebijakan sistem kesejahteraan atau Welfare System.

Selanjutnya dalam gagasan liberal baru kebijakan sosial

merupakan prasyarat mutlak bagi bekerjanya ekonomi yang adil dan

kompetitif. Serangkaian kebijakan sosial, mutlak diperlukan

sebagai pencegah terjadinya kesenjangan kekuasaan ekonomi yang

tajam, serta untuk menciptakan dan memperluas semangat usaha

masyarakat disamping untuk menciptakan iklim inovasi disegala

bidang

19

Pada kesempatan lain, Keynes menyatakan bahwa permasalahan

politik yang dihadapi oleh umat manusia sesungguhnya terdiri dari

kombinasi 3 (tiga) hal yaitu : efisiensi ekonomi, keadilan sosial

dan kebebasan individu. Dalam efisiensi ekonomi dibutuhkan adanya

sikap kritis, langkah-langkah penghematan dan pengetahuan teknis

yang memadai. Menyangkut masalah keadilan sosial, dibutuhkan

adanya sikap terbuka yang mengedepankan kepentingan publik atau

rakyat banyak. Dan berkenan kebebasan individu, masyarakat

manapun sesungguhnya memerlukan adanya sikap toleransi, kebesaran

hati dan apresiasi yang tinggi atas keragaman; dan yang paling

penting adalah pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi

keinginan dan cita-cita yang tinggi dari setiap warga negara.

4.Beberapa Catatan Seputar Liberalisme

Pertama, prinsip Laissez Faire yang berpijak pada filosopi

tentang kebebasan individu-individu manusia dalam pemikiran

liberalisme klasik (lama) sebagaimana diuraikan Spencer terlalu

percaya pada sisi baik dari manusia. Sehingga dengan cara

membiarkan setiap individu, dengan kebebasannya masing-masing,

berkreasi dan berusaha mengejar dan memenuhi kepentingan hidupnya

masing-masing dianggap dengan sendirinya akan mendorong dan

melahirkan kerjasama dan harmoni diantara mereka, yang pada

akhirnya akan menghasilkan suatu ekuilibrium dalam masyarakat.

Spencer dan para pendukung liberalisme klasik lupa, bahwa

setiap individu manusia memiliki potensi buruk didalam dirinya,

20

yakni egoisme yang tidak mudah dikendalikan dan ditundukan baik

oleh dirinya sendiri maupun terutama oleh “kekuatan pasar”.

Potensi ini dalam prakteknya dengan mudah dapat menegasikan

potensi-potensi baik individu seperti dorongan kerjasama dan

penciptaan harmoni sosial. Inilah yang terjadi pada abad 19

Masehi yang ditunjukkan oleh perilaku para tuan tanah yang

menguasai modal dan alat-alat produksi, yang dalam kenyataannya

sangat lalim dan sewenang-wenang. Dalam situasi yang demikian,

apa yang oleh Spencer disebut kerjasama bebas antar individu yang

menghasilkan kemajuan-kemajuan dan keseimbangan alamiah tidak

selalu terbukti dalam kenyataan.

Kedua, asumsi bahwa laissez faire yang mendorong perubahan

masyarakat dari karakteristik militer ke masyarakat industri yang

ditandai oleh adanya kerjasama dan persaingan yang sehat yang

kemudian melahirkan kemandirian masyarakat dalam mengurus diri

mereka sendiri, yang dengan demikian kehadiran pemerintah dengan

sendirinya akan lenyap atau setidaknya tidak diperlukan, adalah

kesimpulan yang terlalu gegabah. Bahwa peran-peran pemerintah

akan berkurang pada aspek-aspek tertentu (perekonomian itu

misalnya), sangat mungkin. Tetapi menafikan keberadaan pemerintah

dalam seluruh konteks tatakelola kehidupan bersama adalah sesuatu

yang mustahil dan memang tidak mungkin dibiarkan terjadi.

Bagaimanapun segala hal yang terjadi didalam masyarakat

tentu akan berdampak pada kebijakan yang diambil oleh pemerintah,

dan demikian pula sebaliknya. Proses kebijakan yang diambil oleh

pemerintah sangatlah kompleks. Hal tersebut terjadi karena pada

21

hakekatnya proses kebijakan adalah juga sebuah proses politik.

Sehingga segala kompleksitas persoalan yang muncul pada ranah

politik, juga ditemui di ranah kebijakan yang menyangkut publik

(ekonomi).

Ketiga, faham the survival of the fittest yang diadopsinya dari teori

evolusi Darwin, yang kemudian diterapkan dalam ranah kehidupan

sosial menurut hemat penulis adalah cara pandang yang terlalu

ekstrim, bahkan “kejam”. Kehidupan sosial adalah kehidupan

masyarakat manusia, bukan kehidupan dunia hewan yang tidak

memiliki nurani dan akal budi. Membiarkan individu-individu yang

tidak berdaya (bodoh, pemalas, miskin, tertinggal, tidak kreatif

dll) dan tidak memiliki kesanggupan untuk mengadaptasikan diri

secara cepat dengan lingkungannya yang serba kompetitif, hingga

punah, tanpa sedikitpun empati dan ikhtiar membantunya, adalah

sikap dan tindakan yang jauh dari manusiawi. Spencer dan para

pendukung liberalisme klasik lupa, bahwa manusia dilahirkan dalam

kondisi yang berbeda tingkatan kemampuannya. Dengan kondisi

seperti ini adalah tidak adil dan jauh dari manusiawi jika mereka

dibiarkan dalam kompetisi bebas seperti kompetisi para harimau

berebut mangsa.

Bagaimanapun, untuk menciptakan kebahagiaan rakyat (bonnum

publicum) sebagai tujuan akhir hidup bernegara (bersama), usaha-

usaha perlindungan (proteksi) berupa subsidi dan bantuan-bantuan

fasilitas publik, serta regulasi yang mengatur kehidupan bersama

termasuk dalam bidang aktifitas bisnis dan ekonomi tetap

diperlukan. Dan dalam konteks inilah kehadiran dan peran

22

pemerintah dibutuhkan lebih dari sekedar sebagai “penjaga malam”

kehidupan sosial. Cara pandang ini pula, sebagaimana telah

diuraikan diatas, menjadi pijakan dasar John Maynard Keynes dan

para pengoreksi liberalisme klasik di awal abad 20, yang akhirnya

melahirkan alternatif yang lebih “manusiawi” sekaligus perspektif

baru dari liberalisme.

Oktober 2014agus sutisna/[email protected]

23


Recommended