Date post: | 27-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat dan karunia-Nya. Berkat limpahan rahmat-Nya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam tetap tercurahkan pada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW.
Di antara tujuan tim penyusun adalah agar pembaca dapat
memperluas pengatahuan tentang Pendapatan Asli Daerah (PAD),
yang saya sajikan berdasarkan pengamatan dari berbagai sumber
informasi, referensi, dan berita. Dasar penulisan dilakukan
untuk memenuhi tugas mata kuliah Etika Administrasi Negara.
Dalam penyelesaian makalah tim penyusun ingin mengucapkan
terima kasih kepada berbagai pihak yang telah membantu. Ucapan
terima kasih kepada:
1. Ibu Hj. Saidah Hasbiyah, S.Sos, M.AP selaku Dosen
Pembimbing Etika Administrasi Negara
2. Semua pihak yang ikut terlibat
Akhirnya, penyusun menyadari bahwa makalah ini jauh dari
kesempurnaan, untuk itu penyusun mengharapkan saran dan kritik
yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.
Amuntai, 20 Juni 2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma
pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999,
pemerintah pusat mencoba meletakkan kembali arti penting
otonomi daerah pada posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa
otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat
sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah
tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta
kewenangan bidang lain.
Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa
konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk
menjalankan kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya
adalah bahwa daerah harus mampu membiayai semua kegiatan
pemerintahan dan pembangunan yang menjadi kewenangannya
Sejalan dengan hal tersebut, Koswara (2000 : 5) menyatakan
bahwa daerah otonom harus memiliki kewenangan dan kemampuan
untuk menggali sumber-sumber keuangannya sendiri, mengelola
dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar,
yang didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan
daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan
negara.
Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat
menjadi modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan, pada saat ini kondisinya masih kurang memadai.
Dalam arti bahwa proporsi yang dapat disumbangkan PAD
terhadap Total Penerimaan Daerah (TPD) masih relatif rendah.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Pengertian pendapatan asli daerah?
2. Apa saja sumber pendapatan asli daerah?
3. Apakah faktor-faktor rendahnya pendapatan asli daerah
suatu daerah?
4. Bagaimana gambaran pendapatan asli daerah kabupaten Hulu
Sungai Utara?
C. TUJUAN PENULISAN
Setiap kegiatan pastilah ada tujuan tertentu yang ingin
dicapai, demikian juga yang dilakukan penulis dalam
pembuatan makalah ini. Adapun tujuan penulisan membuat
makalah ini adalah bertujuan untuk:
1. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan Pendapatan Asli
Daerah..
2. Agar dapat mengetahui apa saja sumber-sumber Pendapatan
Asli Daerah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. PENGERTIAN PENDAPATAN ASLI DAERAH
Pengertian pendapatan asli daerah berdasarkan Undang-
Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pusat dan Daerah Pasal 1 angka 18 bahwa “Pendapatan
asli daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan yang
diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Menurut Warsito (2001:128) Pendapatan Asli Daerah
“Pendapatan asli daerah (PAD) adalah pendapatan yang
bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah.
Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, restribusi daerah,
laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan
asli daerah lainnya yang sah”.
Sedangkan menurut Herlina Rahman(2005:38) Pendapatan
asli daerah Merupakan pendapatan daerah yang bersumber dari
hasil pajak daerah ,hasil distribusi hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan
asli daerah yang sah dalam menggali pendanaan dalam
pelaksanaan otoda sebagai perwujudan asas desentralisasi.
Kebijakan keuangan daerah diarahkan untuk meningkatkan
pendapatan asli daerah sebagai sumber utama pendapatan
daerah yang dapat dipergunakan oleh daerah dalam
rnelaksanakan pemerintahan dan pembangunan daerah
sesuai dengan kebutuhannya guna memperkecil ketergantungan
dalam mendapatkan dana dan pemerintah tingkat atas
(subsidi). Dengan demikian usaha peningkatan pendapatan asli
daerah seharusnya dilihat dari perspektif yang Iebih luas
tidak hanya ditinjau dan segi daerah masing-masing tetapi
daham kaitannya dengan kesatuan perekonomian Indonesia.
Pendapatan asli daerah itu sendiri, dianggap sebagai
alternatif untuk memperoleh tambahan dana yang dapat
digunakan untuk berbagai keperluan pengeluaran yang
ditentukan oleh daerah sendiri khususnya keperluan rutin.
Oleh karena itu peningkatan pendapatan tersebut merupakan
hal yang dikehendaki setiap daerah. (Mamesa, 1995:30).
Sebagaimana telah diuraikan terlebih dahulu bahwa
pendapatan daerah dalam hal ini pendapatan asli daerah
adalah salah satu sumber dana pembiayaan pembangunan daerah
pada Kenyataannya belum cukup memberikan sumbangan bagi
pertumbuhan daerah, hal ini mengharuskan pemerintah daerah
menggali dan meningkatkan pendapatan daerah terutama sumber
pendapatan asli daerah.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil
retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,
yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah
sebagai mewujudan asas desentralisasi. (Penjelasan UU No.33
Tahun 2004).
2. SUMBER-SUMBER PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD)
Dalam upaya memperbesar peran pemerintah daerah dalam
pembangunan, pemerintah daerah dituntut untuk lebih mandiri
dalam membiayai kegiatan operasional rumah tangganya.
Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat bahwa pendapatan
daerah tidak dapat dipisahkan dengan belanja daerah, karena
adanya saling terkait dan merupakan satu alokasi anggaran
yang disusun dan dibuat untuk melancarkan roda pemerintahan
daerah. (Rozali Abdullah, 2002).
Sebagaimana halnya dengan negara, maka daerah dimana
masing-rnasing pemerintah daerah mempunyai fungsi dan
tanggung jawab untuk meningkatkan kehidupan dan
kesejahteraan rakyat dengan jalan melaksanakan pembangunan
disegala bidang sebagaimana yang tercantum dalam Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa
“Pemerintah daerah berhak dan berwenang menjalankan otonomi,
seluas-Iuasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan”.
(Pasal 10).
Adanya hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan
Kepada daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri, merupakan satu upaya untuk meningkatkan peran
pemerintah daerah dalam mengembangkan potensi daerahnya
dengan mengelola sumber-sumber pendapatan daerah secara
efisien dan efektif khususnya Pendapatan asli daerah
sendiri.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah mengisyaratkan bahwa Pemerintah Daerah dalam
mengurus rumah tangganya sendiri diberikan sumber-sumber
pedapatan atau penerimaan keuangan Daerah untuk membiayai
seluruh aktivitas dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas
pemerintah dan pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat
secara adil dan makmur.
Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD)
sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 157, yaitu:
1) Hasil Pajak Daerah
Pajak merupakan sumber keuangan pokok bagi daerah-
daerah disamping retribusi daerah. Pengertian pajak
secara umum telah diajukan oleh para ahli, misalnya
Rochmad Sumitro yang merumuskannya “Pajak lokal atau
pajak daerah ialah pajak yang dipungut oleh daerah-daerah
swatantra, seperti Provinsi, Kotapraja, Kabupaten, dan
sebagainya”.
Sedangkan Siagin merumuskannya sebagai, “pajak negara
yang diserahkan kepada daerah dan dinyatakan sebagai
pajak daerah berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang dipergunakan guna membiayai pengeluaran daerah
sebagai badan hukum publik”. Dengan demikian ciri-ciri
yang menyertai pajak daerah dapat diikhtisarkan seperti
berikut:
a) Pajak daerah berasal dan pajak negara yang diserahkan
kepada daerah sebagai pajak daerah;
b) Penyerahan dilakukan berdasarkan undang-undang;
c) Pajak daerah dipungut oleh daerah berdasarkan kekuatan
undang-undang dan/atau peraturan hukum Lainnya;
d) Hasil pungutan pajak daerah dipergunakan untuk
membiayai penyelenggaraan urusan-urusan rumah tangga
daerah atau untuk membiayai perigeluaran daerah
sebagai badan hukum public.
2) Hasil Retribusi Daerah
Sumber pendapatan daerah yang penting lainnya adalah
retribusi daerah. Pengertian retribusi daerah dapat
ditetusuri dan pendapat-pendapat para ahli, misalnya
Panitia Nasrun merumuskan retribusi daerah (Josef Kaho
Riwu, 2005:171) adalah pungutan daerah sebagal pembayaran
pemakalan atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha
atau mhlik daerah untuk kepentingan umum, atau karena
jasa yang diberikan oleh daerah balk Iangsung maupun
tidak Iangsung”.
Dari pendapat tersebut di atas dapat diikhtisarkan
ciri-ciri pokok retribusi daerah, yakni:
a) Retribusi dipungut oleh daerah;
b) Dalam pungutan retribusi terdapat prestasi yang
diberikan daerah yang Iangsung dapat ditunjuk;
c) Retribusi dikenakan kepada siapa saja yang
memanfaatkan, atau mengenyam jasa yang disediakan
daerah.
3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Kekayaan daerah yang dipisahkan berarti kekayaan
daerah yang dilepaskan dan penguasaan umum yang
dipertanggung jawabkan melalui anggaran belanja daerah
dan dimaksudkan untuk dikuasai dan dipertanggungjawabkan
sendiri.
Dalam hal ini hasil laba perusahaan daerah merupakan
salah satu daripada pendapatan daerah yang modalnya untuk
seluruhnya atau untuk sebagian merupakan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Maka sewajarnya daerah dapat pula
mendirikan perusahaan yang khusus dimaksudkan untuk
menambah penghasilan daerah disamping tujuan utama untuk
mempertinggi produksi, yang kesemua kegiatan usahanya
dititkberatkan kearah pembangunan daerah khususnya dan
pembangunan ekonomi nasional umumnya serta ketentraman
dan kesenangan kerja dalam perusahaan menuju masyarakat
adil dan makmur. Oleh karena itu, dalam batas-batas
tertentu pengelolaan perusahaan haruslah bersifat
professional dan harus tetap berpegang pada prinsip
ekonomi secara umum, yakni efisiensi. (Penjelasan atas UU
No.5 Tahun 1962).
Berdasarkan ketentuan di atas maka walaupun
perusahaan daerah merupakan salah satu komponen yang
diharapkan dapat memberikan kontribusinya hagi pendapatan
daerah, tapi sifat utama dan perusahaan daerah bukanlah
berorientasi pada profit (keuntungan), akan tetapi justru
dalam memberikan jasa dan menyelenggarakan kemanfaatan
umum. Atau dengan perkataan lain, perusahaan daerah
menjalankan fungsi ganda yang harus tetap terjainin
keseimbangannya, yakni fungsi sosial dan fungsi ekonomi.
Walaupun demikian hal ini tidak berarti bahwa
perusahaan daerah tidak dapat memberikan kontribusi
maksimal bagi ketangguhan keuangan daerah. Pemenuhan
fungsi sosial oleh perusahaan daerah dan keharusan untuk
mendapat keuntungan yang memungkmnkan perusahaan daerah
dapat memberikan sumbangan bagi pendapatan daerah,
bukanlah dua pilihan dikotomis yang saling bertolak
belakang. Artinya bahwa pemenuhan fungsi sosial
perusahaan daerah dapat berjalan seiring dengan pemenuhan
fungsi ekonominya sebagal badan ekonomi yang bertujuan
untuk mendapatkan laba/keuntungan. Hal ini dapat berjalan
apabila profesionalisme dalam pengelolaannya dapat
diwujudkan. (Josef Kaho Riwu, 2005:188).
4) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf d, meliputi:
a) Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b) Jasa giro;
c) Pendapatan bunga;
d) Keuntungan seIisih nilai tukar rupiah terhadap mata
uang asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain
sebagai akibat dan penjualan dan/atau pengadaan barang
dan/atau jasa oleh daerah.
Sedangkan menurut Feni Rosalia (dalam Bintoro
Tjokroamidjojo 1984: 160) sumber-sumber Pendapatan Asli
Daerah antara lain:
a) Dari pendapatan melalui pajak yang sepenuhnya
diserahkan kepada daerah atau yang bukan menjadi
kewenangan pemajakan pemerintah pusat dan masih ada
potensinya di daerah;
b) Penerimaan dari jasa-jasa pelayanan daerah, misalnya
retribusi, tarif perizinan tertentu, dan lain-lain;
c) Pendapatan-pendapatan daerah yang diperoleh dari
keuntungan-keuntungan perusahaan daerah, yaitu
perusahaan yang mendapat modal sebagian atau seluruh
dari kekayaan daerah;
d) Penerimaan daerah dari perimbangan keuangan antara
pemerintah pusat dan daerah, dengan ini dimaksudkan
sebagai bagian penerimaan pusat dan kemudian
diserahkan kepada daerah;
e) Pendapatan daerah karena pemberian subsidi secara
langsung atau yang penggunaannya ditentukan daerah
tersebut;
f) Seiring terdapat pemberian bantuan dari pemerintah
pusat yang bersifat khusus karena keadaan tertentu. Di
Indonesia hal ini disebut ganjaran;
g) Penerimaan-penerimaan daerah yang didapat dari
pinjaman-pinjaman yang dilakukan pemerintah daerah.
3. KEMAMPUAN PAD MEMBIAYAI PEMBANGUNAN DAERAH OTONOM
Pada masa sekarang ini dengan perubahan paradigma
pemerintahan yang ditandai dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22
Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999, serta Undang –
Undang No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah
pusat mencoba meletakkan kembali arti penting otonomi daerah pada
posisi yang sebenarnya, yaitu bahwa otonomi daerah adalah
kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan. Kewenangan daerah
tersebut mencakup seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan
dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan,
moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
Kewenangan yang begitu luas tentunya akan membawa
konsekuensi-konsekuensi tertentu bagi daerah untuk menjalankan
kewenangannnya itu. Salah satu konsekuensinya adalah bahwa daerah
harus mampu membiayai semua kegiatan pemerintahan dan pembangunan
yang menjadi kewenangannya Sejalan dengan hal tersebut, Koswara
(2000 : 5) menyatakan bahwa daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangannya
sendiri, mengelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup
memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya.
Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin,
sehingga PAD harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang
didukung kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah sebagai
prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan negara.
Isyarat bahwa PAD harus menjadi bagian sumber keuangan
terbesar bagi pelaksanaan otonomi daerah menunjukkan bahwa PAD
merupakan tolok ukur terpenting bagi kemampuan daerah dalam
menyelenggarakan dan mewujudkan otonomi daerah. Di samping itu
PAD juga mencerminkan kemandirian suatu daerah. Sebagaimana
Santoso (1995 : 20) mengemukakan bahwa PAD merupakan sumber
penerimaan yang murni dari daerah, yang merupakan modal utama
bagi daerah sebagai biaya penyelenggaraan pemerintahan dan
pembangunan daerah. Meskipun PAD tidak seluruhnya dapat membiayai
total pengeluaran daerah, namun proporsi PAD terhadap total
penerimaan daerah tetap merupakan indikasi derajat kemandirian
keuangan suatu pemerintah daerah.
Pendapatan Asli Daerah meskipun diharapkan dapat menjadi
modal utama bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan,
pada saat ini kondisinya masih kurang memadai. Dalam arti bahwa
proporsi yang dapat disumbangkan PAD terhadap Total Penerimaan
Daerah (TPD) masih relatif rendah.
Apabila diamati lebih jauh, maka dapat dilihat di mana
sebenarnya letak kecilnya nilai PAD suatu daerah. Untuk
mengetahui hal ini perlu diketahui terlebih dahulu unsur-unsur
yang termasuk dalam kelompok PAD seperti tersebut diatas.
Menurut Widayat (1994 : 31) faktor-faktor yang mempengaruhi
rendahnya penerimaan PAD antara lain adalah :
a. Banyak sumber pendapatan di kabupaten/kota yang besar, tetapi
digali oleh instansi yang lebih tinggi, misalnya pajak
kendaraan bermotor (PKB), dan pajak bumi dan bangunan (PBB);
b. Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) belum banyak memberikan
keuntungan kepada Pemerintah Daerah;
c. Kurangnya kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
retribusi, dan pungutan lainnya;
d. Adanya kebocoran-kebocoran;
e. Biaya pungut yang masih tinggi;
f. Banyak Peraturan Daerah yang perlu disesuaikan dan
disempurnakan;
g. Kemampuan masyarakat untuk membayar pajak yang masih rendah.
Menurut Jaya (1996 : 5) beberapa hal yang dianggap menjadi
penyebab utama rendahnya PAD sehingga menyebabkan tingginya
ketergantungan daerah terhadap pusat, adalah sebagai berikut :
a. Kurang berperannya Perusahaan Daerah sebagai sumber pendapatan
daerah;
b. Tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan, karena
semua jenis pajak utama yang paling produktif baik pajak
langsung maupun tidak langsung ditarik oleh pusat;
c. Kendati pajak daerah cukup beragam, ternyata hanya sedikit
yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
d. Alasan politis di mana banyak orang khawatir apabila daerah
mempunyai sumber keuangan yang tinggi akan mendorong
terjadinya disintegrasi dan separatisme;
e. Kelemahan dalam pemberian subsidi Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah yang hanya memberikan kewenangan yang lebih
kecil kepada Pemerintah Daerah merencanakan pembangunan di
daerahnya.
Secara umum dari kedua pendapat di atas diketahui bahwa
masalah rendahnya PAD disebabkan lebih banyak pada
unsur perpajakan. Lebih jauh mengenai perpajakan dan
permasalahannya perlu dikemukakan pendapat Reksohadiprodjo
(1996 : 74-78), yaitu bahwa beberapa masalah yang sering dihadapi
sistem pajak di daerah secara keseluruhan, di antaranya adalah
adanya kemampuan menghimpun dana yang berbeda antara daerah yang
satu dengan daerah lainnya, yang disebabkan karena perbedaan
dalam resources endowment, tingkat pembangunan, dan derajat
urbanisasi. Masalah lainnya adalah terlalu banyaknya jenis pajak
daerah dan sering tumpang tindih satu dengan yang lainnya. Tidak
ada perbedaan yang jelas antara pajak dengan pungutan lainnya,
dan masalah biaya administrasi pajak yang tinggi.
Pada akhirnya keberhasilan otonomi daerah tidak hanya
ditentukan oleh besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki
oleh daerah tetapi ada beberapa faktor lain yang
dapat mempengaruhi keberhasilannya. Sebagaimana pendapat yang
dikemukakan oleh Kaho (1997 : 34-36) bahwa keberhasilan
pelaksanaan otonomi daerah dipengaruhi oleh beberapa faktor,
yaitu :
a. Faktor Manusia;
b. Faktor Keuangan;
c. Faktor Peralatan;
d. Faktor Organisasi dan Manajemen.
Salah satu ukuran kemampuan daerah untuk melaksanakan
otonomi adalah dengan melihat besarnya nilai PAD yang dapat
dicapai oleh daerah tersebut. Dengan PAD yang relatif kecil akan
sulit bagi daerah tersebut untuk melaksanakan proses
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan secara mandiri,
tanpa didukung oleh pihak lain (dalam hal ini Pemerintah Pusat
dan Propinsi). Padahal dalam pelaksanaan otonomi ini, daerah
dituntut untuk mampu membiayai dirinya sendiri.
Dari Hasil analisis beberapa SDA yang dimiliki oleh Daerah
rata – rata memiliki potensi peningkatan PAD baik disektor Pajak
Daerah, Retribusi Daerah, Perusahaan BUMD dan Pendapatan –
pendapatan lain yang sah sepeti dari sektor Pariwisata, Jasa,
Ekonomi Kreatif, Perikanan, Pertanian. Sektor – sektor
pariwisata, Jasa, Ekonomi Kreatif ( UKM ) serta Perikanan dan
pertanian apabila dikelola dengan seksama oleh pemerintah yang
dalam pelaksanaannya dikelola oleh masyarakat niscaya PAD suatu
Daerah akan selalu naik tiap tahunnya. Dan apabila perekonomian
masyarakat meningkat niscaya Pajak dan Retribusi akan naik pula.
Nah faktor – faktor ini yang seharusnya di dorong dan di
kembangkan oleh suatu pemerintahan di daerah untuk menggenjot
tingginya PAD. Pemberdayaan masyarakat sekotar yang disesuaikan
dengan potensi daerah tersebut harus terus digalakan hingga
tujuan dari pembangunan daerah benar – benar terealisasi.
4. GAMBARAN PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA
Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Hulu Sungai Utara pada
tiga tahun terakhir :
1) Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun
Anggaran 2011 sebesar Rp. 26.282.153.250,- atau 3,43%
dari jumlah Pendapatan pada APBD Tahun Anggaran 2011
sebesar Rp. 605.593.515.489,- terdiri dari jenis
pendapatan :
a. Pajak Daerah sebesar Rp. 3.583.445.850,-
b. Retribusi Daerah sebesar Rp. 13.054.207.400,-
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
sebesar Rp. 5.020.000.000,-
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah sebesar
Rp. 4.624.500.000,-
2) Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun
Anggaran 2012 sebesar Rp. 30.715.689.100,- atau 4,47%
dari jumlah Pendapatan pada APBD Tahun Anggaran 2012
sebesar Rp. 686.897.710.445,- terdiri dari jenis
pendapatan :
a. Pajak Daerah sebesar Rp. 3.347.179.300,-
b. Retribusi Daerah sebesar Rp. 13.624.787.550,-
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
sebesar Rp. 6.100.000.000,-
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah sebesar
Rp. 7.643.722.250,-
3) Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Hulu Sungai Utara Tahun
Anggaran 2013 sebesar Rp. 31.362.363.750,- atau 4,43%
dari jumlah Pendapatan pada APBD Tahun Anggaran 2013
sebesar Rp. 708.308.563.527,- terdiri dari jenis
pendapatan :
a. Pajak Daerah sebesar Rp. 3.616.250.000,-
b. Retribusi Daerah sebesar Rp. 5.982.444.150,-
c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang Dipisahkan
sebesar Rp. 5.900.000.000,-
d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah sebesar
Rp. 15.863.669.600,-
Dilihat dari rincian Pendapatan Asli Daerah (PAD)
kabupaten Hulu Sungai Utara pada tiga tahun terakhir diatas
tergambar dengan jelas bahwa PAD Kabupaten Hulu Sungai Utara
sangat rendah sehingga masih sangat tergantung pada dana
alokasi umum (DAU), dana alikasi khusus (DAK) dan bagi hasil
pajak/bukan pajak serta bagi hasil SDA pertambangan sehingga
Kabupaten Hulu Sungai Utara sampai saat ini masih termasuk
dalam Kabupaten Tertinggal.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan pendapatan
daerah yang bersumber dari hasil pajak daerah, hasil
retribusi Daerah, basil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah,
yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada daerah
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah
sebagai mewujudan asas desentralisasi.
Adapun sumber-sumber pendapatan asli daerah (PAD)
sebagaimana datur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 157, yaitu:
1. Hasil pajak daerah;
2. Hasil retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah
Keberhasilan otonomi daerah tidak hanya ditentukan oleh
besarnya PAD atau keuangan yang dimiliki oleh daerah tetapi ada
beberapa faktor lain yang dapat mempengaruhi keberhasilannya,
yaitu :
a. Faktor Manusia;
b. Faktor Keuangan;
c. Faktor Peralatan;
d. Faktor Organisasi dan Manajemen.
Berdasarkan PAD kabupaten Hulu Sungai Utara
tergambar dengan jelas bahwa PAD Kabupaten Hulu Sungai
Utara sangat rendah dikarenakan tidak adanya kegiatan
eksplorasi sumber daya alam pertambangan di Kabupaten Hulu
Sungai Utara sehingga masih sangat tergantung pada dana
alokasi umum (DAU), dana alikasi khusus (DAK) dan bagi
hasil pajak / hasil bukan pajak serta bagi hasil SDA
pertambangan dengan Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan
sehingga Kabupaten Hulu Sungai Utara sampai saat ini masih
termasuk dalam Kabupaten Tertinggal
B. SARAN
Dalam mengusahakan agar Kabupaten Hulu Sungai Utara
dapat keluar dari kategori Kabupaten Tertinggal, penulis
memberikan beberapa saran. Diantaranya :
1. Memaksimalkan peran Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dalam
memberikan keuntungan kepada Pemerintah Daerah;
2. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak,
retribusi, dan pungutan lainnya;
3. meminimalisir kebocoran-kebocoran / KKN oleh aparatur
pemerintah;
4. Memperbanyak Peraturan Daerah yang dapat diandalkan dalam
pendapatan daerah misalnya retribusi daerah;
Daftar Pustaka:
1. http://www.negarahukum.com/hukum/pendapatan-asli-daerah.html
2. http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2012/11/14/pad-modal-
membangun-daerah-508948.html
3. Peraturan Bupati Hulu Sungai Utara Nomor : 2 Tahun 2013
tentang Penjabaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Hulu Sungai Utara Tahun Anggaran 2013.
4. Peraturan Bupati Hulu Sungai Utara Nomor : 49 Tahun 2011
tentang Penjabaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Hulu Sungai Utara Tahun Anggaran 2012.
5. Peraturan Bupati Hulu Sungai Utara Nomor : 13 Tahun 2011
tentang Penjabaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten
Hulu Sungai Utara Tahun Anggaran 2011.