+ All Categories
Home > Documents > makalah - Spada UNS

makalah - Spada UNS

Date post: 07-Jan-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
27
MAKALAH NEUROSAINS PENDIDIKAN “OTAK, PENDIDIKAN, DAN EMOSI” Dosen Pengampu : Jumiatmoko,S. Pd., M. Pd. Disusun Oleh : Kelompok 3 1. Kamiliya Bunga Afifah (3B/K8120042) 2. Lita Dwi Kusuma (3B/K8120044) 3. Oktaviana Meuthia Tharasya (3B/K8120056) 4. Rahuti Wening (3B/K8120061) 5. Septria Adelia (3B/(K8120069) 6. Rahma Azhari Yusra (UNRI/1905111927) Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta
Transcript

MAKALAH

NEUROSAINS PENDIDIKAN

“OTAK, PENDIDIKAN, DAN EMOSI”

Dosen Pengampu : Jumiatmoko,S. Pd., M. Pd.

Disusun Oleh :

Kelompok 3

1. Kamiliya Bunga Afifah (3B/K8120042)

2. Lita Dwi Kusuma (3B/K8120044)

3. Oktaviana Meuthia Tharasya (3B/K8120056)

4. Rahuti Wening (3B/K8120061)

5. Septria Adelia (3B/(K8120069)

6. Rahma Azhari Yusra (UNRI/1905111927)

Program Studi Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Surakarta

ii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dan kelancaran serta

melimpahkan rahmat-Nya dalam pengerjaan makalah ini sehingga berjalan dengan baik.

Shalawat dan salam semoga tercurahkan kepada baginda Nabi Muhammad SAW.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dosen

pengampu pada bidang Neurosains Pendidikan dalam prodi Pendidikan Guru Pendidikan

Anak Usia Dini mengenai Otak, Pendidikan dan Emosi. Semoga makalah ini dapat

memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca meskipun di dalam penyusunan

makalahnya masih banyak kekurangan.

Penulis menyadari bahwa makalah yang ditulis ini masih jauh dari kata sempurna.

Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan penulis nantikan demi kesempurnaan

makalah ini. Terimakasih.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Surakarta, 31 Oktober 2021

Penulis

iii

DAFTAR ISI

COVER .....................................................................................................................................

KATA PENGANTAR ............................................................................................................ ii

DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................................... 4

A. Latar Belakang ............................................................................................................. 5

B. Rumusan Masalah ........................................................................................................ 5

C. Tujuan .......................................................................................................................... 5

D. Manfaat ........................................................................................................................ 5

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................................ 6

A. Otak, Pendidikan, dan Emosi ....................................................................................... 6

1. Hakikat Otak .......................................................................................................... 6

2. Hakikat Pendidikan ................................................................................................ 6

3. Hakikat Emosi ........................................................................................................ 8

B. Hubungan Antara Otak, Pendidikan, dan Emosi ....................................................... 10

1. Otak Rasional dan Pembelajaran ......................................................................... 11

2. Otak Emosional dan Pembelajaran ...................................................................... 13

3. Otak Spiritual dan Pembelajaran ......................................................................... 15

C. Optimalisasi Otak dalam Sistem Pendidikan ............................................................. 17

D. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini ...................................................................... 19

1. Pengertian Perkembangan .................................................................................... 19

2. Pengertian Emosi ................................................................................................. 20

3. Fungsi Emosi pada Anak Usia Dini ..................................................................... 21

4. Karakterisrik Perkembangan Emosi pada Anak Usia Dini .................................. 22

BAB III PENUTUP .............................................................................................................. 26

A. Kesimpulan ................................................................................................................ 26

B. Saran .......................................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................... xxvii

4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan anak usia dini adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang

pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak

sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian

rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani

dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut,

yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pendidikan Anak

Usia Dini juga merupakan pemberian upaya untuk menstimulasi, membimbing,

mengasuh dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan

kemampuan dan keterampilan pada anak (kompetensi).

Masa usia dini merupakan masa kritis pekembangan kemampuan emosi dan

sosial. Pada tahap ini anak belajar tentang nilai-nilai dan perilaku yang dapat diterima

oleh masyarakat dilingkungan sekitarnya. Pada usia ini anak juga sedang

mengembangkan konsep diri mereka sebagai pribadi yang berkompeten dan percaya

diri. Pengembangan kecerdasan emosi anak berbasis otak merupakan upaya-upaya

yang dilakukan pendidik, orang tua atau orang dewasa yang bertanggung jawab

terhadap anak dalam mendidik, baik itu mengasah, mengasih dan megasuh anak untuk

mengembangkan kemampuan emosinya berdasar ilmu-ilmu perilaku otak (neuron)

manusia.

Pengembangan emosi anak usia dini berbasis neurosain, merupakan upaya-

upaya pendidikan yang didalamnya mencakup aktifitas mengasah, mengasih dan

mengasuh ( asah, asih asuh) anak yang berpijak dan menggunakan dasar-dasar ilmu

perilaku otak (Neuron). Sangat penting bagi setiap pendidik, baik itu guru, orang tua

dan pengasuh mengerti dan memahami bagaimana otak anak dan otak dirinya bekerja.

Juga bagaimana otak anak tumbuh dan berkembang secara dasar.

Secara umum, seperti otak manusia dewasa, anatomi otak anak terbagi

menjadi 3, yakni otak depan, otak tengah dan otak belakang. Otak depan adalah

wilayah otak yang terletak di bagian atas dan depan otak, ia terdiri atas kulit otak,

ganglia basalis, sistem limbik, talamus dan hipotalamus. Otak bekerja dengan

menggunakan prinsip sirkuit, bukan kerja sendiri. Sebuah fungsi dapat terjadi karena

semua bagian otak bekerja dalam sebuah sirkuit canggih. Setiap bagian menyumbang

kelebihan masing-masing dalam sirkuit itu. Otak yang berhubungan dengan proses

5

emosi disebut sebagai sistem limbik. Sistem limbik terdiri atas area-area, sirkui-sirkuit

dan syaraf-syaraf spesifik yang terlibat dalam segala aspek yang berfungsi memproses

pengalaman emosional seseorang.

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang penulis tetapkan dalam penyusunan makalah ini

adalah sebagai berikut:

1) Apa hakikat otak, pendidikan dan emosi?

2) Apa hubungan antara otak, pendidikan, dan emosi?

3) Bagaimana optimalisasi otak dalam sistem pendidikan?

4) Apa yang dimaksud dengan perkembangan emosi anak usia dini?

C. Tujuan

Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah:

1) Untuk mengetahui tentang tumbuh-kembang otak anak sebagai dasar untuk

perkembangan otak anak.

2) Untuk membentuk kepribadiam yang cakap akan emosi.

3) Untuk mengatahui bagaimana mengendalikan amarah anak sejak usia dini.

D. Manfaat

Manfaat dari penyusanan makalah ini yaitu untuk lebih memotivasi diri sendiri

dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan dorongan hati, dan tidak melebih-

lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak

melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.

6

BAB II

PEMBAHASAN

A. Otak, Pendidikan, dan Emosi

1. Hakikat Otak

Otak adalah salah satu organ manusia yang sangat vital dan kompleks, karena

otak memiliki kemampuan untuk mengendalikan keseluruhan dari indera manusia.

Menurut Agus Nggermanti (2001), di dalam otak setidaknya terdapat Sembilan sub-

komponen. Neocertex yaitu lapisan paling luar dan hanya dimiliki oleh manusia,

dimana lapisan ini memungkunkan manusia untuk memiliki kemampuan membaca,

menulis, mempelajari bahasa, berhitung, melukis, dan sebagainya. Corpus Callasum

yang menghubungkan belahan kiri dengan belahan kanan neocortex. Cerebellum

(otak kecil) berfungsu untuk mengatur gerakan dan gerakan reflex. Otak reptileter

letak bagian terdalam dan berfungsi untuk merangsang rasa aman, rasa takut, dan

mengendalikan pernapasan, peredaran darah, detak jantung, pencernaan, dan

kesadaran. Hippocampus berhubungan dengan ingatan, amigdala berfungsi untuk

mengatur emosi, pituitary gland mengatur kerja hormone, hypothalamus mengontrol

hormone (seksual, tekanan darah, suhu badan, dan rasa haus) dan thalamus

mengkatifkan sensor indera.

A.M. Rukky Santoso (2011) mengatakan bahwa pada otak terdapat ratusan

miliar neuron yang memiliki tiga puluh miliar sel yang bekerja sama. Otak manusia

diibaratkan computer yang menerima rangsangan dari panca indera lalu disalurkan

melalui saraf sebagai perantara otak dengan bagian tubuh lain. Roger Wolkott Sperry

(dalam Taugada, 2003) meneliti tentang otak kiri yang menjalankan fungsi berpikir

sacara kognitif dan rasional dengan karakteristik yang bersifat logis, matematis,

analitis, realistis, vertical, kuantitatif, intelektual, objektif, dan mengontrol sistem

motorik tubuh bagian kanan. Dan otak kanan yang berfungsi untuk berfikir secara

afektif, dan rasional juga mempunyai karakteristik kualitatif, implusif, spiritualm

holistik, emosional, artistik kreatif, subjektif, simbolis, imajinatif, simultan, intuitif,

dan mengontrol gerak tubuh sebelah kiri. Humphrey (2000) membedakan kerja otak

berdasarkan gelombang elektro, yaitu gelombang alpha, beta, delta, dan tetha.

Sementara itu, Ned Herrmandd (1995) mengemabngkan lebih lanjut fungsi otak

dengan membaginya ke dalam empat kuadran.

2. Hakikat Pendidikan

7

Secara formal pendidikan itu dilaksanakan sejak usia dini sampai perguruan

tinggi. Adapun secara hakiki pendidikan dilakukan seumur hidup sejak lahir hingga

dewasa. Waktu kecil pun dalam UU 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pendidikan

anak usia dini yang notabene anak-anak kecil sudah didasari dengan pendidikan yang

mengajarkan nilai-nilai moral yang baik agar dapat membentuk kepribadian dan

potensi diri sesuai dengan perkembangan anak.

Dalam PP 27 tahun 1990 bab 1 pasal 1 ayat 2, disebutkan bahwa sekolah

untuk peserta didik yang masih kecil adalah salah satu bentuk pendidikan pra sekolah

yang menyediakan program pendidikan dini bagi anak usia 4 tahun sampai memasuki

pendidikan dasar (Harianti, 1996: 12). Di samping itu terdapat 6 fungsi pendidikan

(Depdiknas 2004: 4), yaitu:

Mengenalkan peraturan dan menanamkan disiplin kepada anak.

Mengenalkan anak pada dunia sekitarnya.

Menumbuhkan sikap dan perilaku yang baik.

Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi.

Mengembang ketrampilan, kreativitas, dan kemampuan yang dimiliki anak.

Menyiapkan anak untuk memasuki pendidikan dasar.

Dari beberapa uraian di atas inilah, maka pendidikan yang menanamkan nilai-

nilai positif akan tepat dimulai ketika anak usia dini. Dengan demikian pendidikan

bagi peserta didik yang masih kecil merupakan landasan yang tepat sebelum masuk

pada pendidikan yang lebih tinggi. Pendidikan anak usia dini merupakan pendidikan

awal yang sesuai dengan tujuan untuk mengembangkan sosialisasi anak,

menumbuhkan kemampuan sesuai dengan perkembangannya, mengenalkan

lingkungan kepada anak, serta menanamkan disiplin, karena secara tidak langsung

dapat menanamkan atau mentransfer nilai-nilai moral dan nilai sosial kepada anak.

Tujuan pendidikan itu juga ditanamkan sejak manusia masih dalam

kandungan, lahir, hingga dewasa yang sesuai dengan perkembangan dirinya. Ketika

masih kecil pun pendidikan sudah dituangkan dalam UU 20 Sisdiknas 2003, yaitu

disebutkan bahwa pada pendidikan anak usia dini bertujuan untuk mengembangkan

kepribadian dan potensi diri sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik

(Depdiknas 2003: 11). Dengan demikian tujuan pendidikan juga mengalami

perubahan menyesuaikan dengan perkembangan manusia.

8

Akan tetapi tidak selamanya manusia menuai hasil dari proses yang

diupayakan tersebut. Oleh karena itu, kadang proses itu berhasil atau kadang pun

tidak. Jadi dengan demikian dapat dikatakan bahwa “keberhasilan” dari proses

pendidikan secara makro tersebut merupakan tujuan. Keberhasilan itu juga

dipengaruhi oleh beberapa faktor. Hal ini mengingat bahwa pendidikan itu ada tiga

pilar yaitu pendidikan keluarga, pendidikan sekolah, dan pendidikan masyarakat.

Dalam pembentukan dan tujuan pendidikan yang berkaitan dengan pembentukan

watak, maka faktor keluarga sangat penting. Faktor orang tua sangat berpengaruh

pada pendidikan manusia sebagai peserta didik. Kesadaran orang tua makin

meningkat mengenai pentingnya pendidikan sebagai persiapan awal untuk membantu

pencapaian keberhasilan pendidikan selanjutnya. Persiapan awal tersebut menyangkut

pencapaian perkembangan sehat secara mental, emosi, dan sosial. Namun orang tua

juga tidak sama.

Ciri-ciri etika pendidikan:

1. Etika tetap berlaku meskipun tidak ada orang lain yang menyaksikan.

2. Etika sifatnya absolute atau mutlak.

3. Dalam etika terdapat cara pandang dari sisi batiniah manusia.

4. Etika sangat berkaitan dengan perbuatan atau perlakuan manusia.

3. Hakikat Emosi

Emosi adalah kondisi tergerak (a state of being moved) yang memiliki

komponen penghayatan perasaan subyektif, impuls untuk berbuat dan kesadaran

(awareness) tentang perasaan yang dihayatinya (Semiawan, 1997; 153). Feldman

(1997) mendefinisikan emosi sebagai perasaan-perasaan yang dapat mempengaruhi

perilaku dan pada umumnya mengandung komponen fisiologis dan kognitif. Emosi

sebagai perasaan-perasaan yang dapat mempengaruhi perilaku dan pada umumnya

mengandung komponen fisiologis dan kognitif. Perasaan-perasaan tersebut bisa

sangat kuat sehingga kontrol rasional tidak berfungsi (Winkel, 1983; 151). Perasaan

yang kuat tersebut diikuti oleh ekspresi motoric yang berhubungan dengan suatu

objek atau situasi eksternal (Gunarsa, 1989;156). Goleman (1997) menyatakan bahwa

emosi adalah perasaan dan pikiran khas, yakni suatu keadaan biologik dan psikologik.

Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa

yang dimaksud dengan emosi adalah keadaan yang kuat dan kompleks yang diikuti

9

oleh ekspresi motorik serta mengandung unsur afeksi dan pikiran yang khas, yang

mempengaruhi perilaku. Keadaan afeksi yang disadari dapat berupa kegembiraan,

ketakutan, kebencian, cinta dan sebagainya.

Proses perkembangan emosi berlangsung sejak bayi lahir sampai dewasa

melalui pola-pola tertentu. Perkembangan emosi dipengaruhi oleh faktor bawaan dan

pengaruh lingkungan, yaitu melalui proses pematangan dan proses belajar. Bayi sejak

lahir, gejala pertama perilaku emosionalnya ialah keterangsangan umum terhadap

stimuli-stimuli yang kuat. Setelah berumur 1 tahun, ekspresi emosional mereka

berwujud kegembiraan, ketakutan, kemarahan, dan kebahagiaan. Selanjutnya, dengan

meningkatnya usia anak, reaksi emosional dapat berwujud menjerit dan menangis,

mengadakan perlawanan, melemparkan benda, lari menghindar, bersembunyi, dan

mengeluarkan kata-kata. Makin bertambah usia, maka reaksi yang berwujud bahasa

makin meningkat, dan reaksi gerakan otot makin berkurang. Sekitar 2-4 tahun, reaksi

ledakan marah mencapai puncaknya. Kemudian tampak pola emosi yang lebih

matang, seperti cemberut dan sikap bengal.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi adalah faktor

kematangan dan faktor belajar. Peran faktor kematangan, meliputi perkembangan

intelektual yang menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang

sebelumnya tidak dimengerti. Perkembangan kelenjar endokrin penting untuk

mematangkan perilaku emosional. Selanjutnya, peran faktor belajar yang turut

menunjang pola perkembangan emosi pada masa kanak-kanak, adalah melalui:

a) belajar dengan cara coba dan ralat,

b) belajar dengan cara meniru atau imitasi,

c) belajar dengan cara identifikasi,

d) belajar dengan cara pengkondisian, yaitu dengan asosiasi,

e) belajar melalui pelatihan atau belajar di bawah bimbingan dan pengawasan.

Ciri khas penampilan emosi anak adalah sebagai berikut: (a) emosi yang kuat,

yaitu bereaksi dengan intensitas yang sama, baik terhadap situasi yang remeh ataupun

yang serius, (b) emosi seringkali tampak, yaitu memperlihatkan emosi mereka

meningkat dan menjumpai bahwa ledakan emosional seringkali melibatkan hukuman,

(c) emosi bersifat sementara, yaitu peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari

tertawa kemudian menangis, dan sebagainya. Tetapi dengan meningkatnya usia anak,

10

emosi mereka menjadi lebih menetap, (d) reaksi mencerminkan individualitas, yaitu

secara bertahap, dengan adanya pengaruh faktor belajar dan lingkungan, perilaku

yang menyertai berbagai macam emosi semakin diindividualisasikan (tiap anak

berbeda reaksinya), (e) emosi berubah kekuatannya, dalam arti dengan meningkatnya

usia anak, pada usia tertentu emosi yang sangat kuat berkurang kekuatannya,

sedangkan emosi lainnya yang tadinya lemah berubah menjadi kuat, (f) emosi dapat

diketahui melalui gejala perilaku, misalnya: gelisah, menangis, melamun, kesukaran

berbicara, dan bertingkah laku yang gugup seperti menggigit kuku atau mengisap

jempol.

Bahaya perkembangan emosi adalah sebagai berikut:

b. keterlantaran emosional;

c. terlalu banyak kasih sayang;

d. emosionalitas yang tinggi.

B. Hubungan Antara Otak, Pendidikan, dan Emosi

Banyak penelitian menemukan bahwa manusia belum maksimal dalam

memakai otaknya baik untuk memecahkan masalah maupun menciptakan ide baru.

Hal ini tidak lepas dari sistem pendidikan yang berlaku saat ini yang hanya berfokus

pada otak luar bagian kiri. Otak ini berperan dalam pemrosesan logika, kata-kata,

matematika, dan urutan yang dominan untuk pembelajaran akademis. Otak kanan

yang berurusan dengan irama musik, gambar, dan imajinasi kreatif belum mendapat

bagian secara proporsional untuk dikembangkan. Demikian juga dengan sistem limbik

sebagai pusat emosi yang belum dilibatkan dalam pembelajaran, padahal pusat emosi

ini berhubungan erat dengan sistem penyimpanan memori jangka panjang. Lebih dari

itu pemanfaatan seluruh bagian otak (whole brain) secara terpadu belum diaplikasikan

dengan efektif dalam sistem pendidikan. Dalam dasawarsa terakhir ini, otak berhasil

dieksplorasi secara besar-besaran dan menghasilkan kesimpulan bahwa sungguh otak

merupakan pusat berpikir, berkreasi, berperadaban, dan beragama (Taufiq, 2003).

Sistem pendidikan saat ini cenderung mengarahkan peserta didik untuk hanya

menerima satu jawaban dari permasalahan. Jawaban itulah yang kemudian diajarkan

oleh dosen/guru untuk kemudian diulangi oleh peserta didik dengan baik pada saat

ujian. Tak ada ruang untuk berpikir lateral, berpikir alternatif, mencari jawaban yang

nyleneh, terbuka, dan memandang kearah lain. Mungkin secara tak sadar kita sebagai

11

guru maupun orangtua telah banyak memasung potensi berpikir anak-anak dan

menghambat pengembangan otaknya. Sistem pendidikan berperadaban harus

memungkinkan peserta didik untuk mencampur-memisah, mengeraskan-melunakkan,

menebalkanmenipiskan, menutup-membuka, memotong-menyambung sesuatu

sehingga menjadi sesuatu yang baru. Pada dasarnya suatu ide baru merupakan

kombinasi dari ide-ide lama, dan tak ada sesuatu yang betul-betul baru.

Telah terbukti bahwa selain memiliki kemampuan hebat untuk menyimpan

informasi, otak juga memiliki kemampuan yang sama hebat untuk menyusun ulang

informasi tersebut dengan cara baru, sehingga tercipta ide baru. Tantangan yang

dihadapi adalah bagaimana menerapkan sistem pendidikan yang memungkinkan

optimalisasi seluruh otak sehingga penerimaan, pengolahan, penyimpanan, dan

penggunaan informasi terjadi secara efisien. Sangat inspiratif definisi Pendidikan

yang tercantum dalam Sisdiknas yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang

diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara.

1. Otak Rasional dan Pembelajaran

Otak rasional berpusat di cortex cerebri atau bagian luar otak besar yang

berwarna abu-abu. Volumenya cukup besar sampai mencapai 80% dari volume

seluruh otak. Besarnya volume cortex cerebri memungkinkan manusia berpikir

secara rasional dan menjadikan manusia sungguh sebagai manusia. Semakin

beradab dan berbudaya, manusia akan menggeser perilakunya lebih ke pusat

berpikir rasional. Cortex cerebri ini terbelah menjadi otak kiri dan kanan. Otak kiri

dengan cara berpikir yang linier dan sekuensial, dan otak kanan dengan

kreativitasnya akan bekerjasama untuk memahami dan memecahkan

permasalahan secara holistik. Sistem pendidikan yang baik harus dapat

menyediakan model pembelajaran untuk optimalisasi kedua belah otak. Quantum

learning berpijak pada prosedur kerja dua belahan otak ini (Agus, 2001).

Dalam cortex cerebri terdapat lobus frontal (di dahi), lobus occipital (di kepala

bagian belakang), lobus temporal (di seputaran telinga), dan lobus parietal (di

puncak kepala). Lobus frontal bertanggung jawab untuk kegiatan berpikir,

perencanaan, dan penyusunan konsep. Lobus temporal bertanggung jawab

terhadap persepsi suara dan bunyi. Memori dan kegiatan berbahasa (terutama pada

12

otak kiri) juga menjadi tanggung jawab lobus ini. Lobus parietal bertanggung

jawab juga untuk kegiatan berpikir terutama pengaturan memori. Bekerjasama

dengan lobus occipital ia turut mengatur kerja penglihatan. Lobus-lobus menjadi

penting karena mereka menyokong cortex cerebri yang mengemban fungsi vital

terutama untuk berpikir rasional dan daya ingat. Lobus-lobus itu lebih terkuak

keberadaannya ketika Vilyamir Ramachandran, seorang dokter Amerika

keturunan India bersama timnya dari Universitas California menemukan bagian

otak yang bertanggung jawab terhadap respon spiritual dan mistis manusia

(Taufiq, 2003). Mereka menyebutnya “God Spot” atau noktah Tuhan yang

berlokasi di lobus temporal. Di lobus temporal ini juga terjadi pemaknaan dari apa

yang didengar dan dicium.

Seperti telah disebut, bahwa pendidikan yang ada sekarang terlalu berfokus ke

otak kiri, padahal untuk menjadi pintar otak kanan harus diberi pekerjaan seperti

otak kiri. Otak kiri dengan kata-kata dan bahasa, sedangkan otak kanan dengan

musik, gambar, dan warna. Ruangan kelas harus disulap menjadi ruangan yang

santai dengan nuansa musik lembut, bau wangi, dan rasa humor tinggi.

Pemanfaatan pendekatan otak secara keseluruhan (Whole Brain Approach)

dengan mengacu pada belahan otak kiri dan kanan akan secara jelas

memperlihatkan tidak dapatnya dipisahkan masalah kognisi dengan emosi sebagai

satu kesatuan. Memahami emosi dari peserta didik merupakan salah satu kunci

untuk membangun motivasi belajar mereka. Jika informasi hanya dikemas dalam

bentuk kata, ia hanya disimpan dalam otak kiri, sedangkan apabila dikemas juga

dalam bentuk gambar yang penuh warna, otak kanan juga akan ikut

menyimpannya. Dengan demikian informasi yang disajikan dalam paduan kata

dan gambar akan lebih cepat terserap dan tersimpan (Dryden, 2001).

Kedua sisi otak dihubungkan melalui corpus callosum, saklar yang sangat

rumit dengan 300 juta sel saraf aktifnya. Ia secara konstan menyeimbangkan

pesan-pesan otak kiri dan kanan dengan jalan menggabungkan gambar yang

abstrak dan dengan pesan yang konkrit dan logis. Contoh : jika kita mendengarkan

lagu, otak kiri akan memproses syairnya, dan otak kanan akan memproses

musiknya sehingga tidak heran kalau kita mampu memahami kata-kata lagu

dengan begitu mudah dan hafal dengan cepat, karena otak kiri dan kanan

keduanya terlibat.

13

Pengolahan dan penyimpanan informasi akan sangat efektif apabila tubuh dan

otak dalam keadaan waspada yang relaks. Meditasi dengan bantuan musik dan

aroma yang menenangkan akan mempercepat seseorang untuk masuk kedalam

keadaan waspada yang relaks. Pada keadaan tersebut gelombang di otak menjadi

lambat (gelombang alfa) yang membuka pintu ke bawah sadar. Aribowo (2002)

mengatakan bahwa apa yang kita tanam ke dalam pikiran bawah sadar

memungkinkan diwujudkannya imajinasi menjadi kenyataan. Pikiran bawah sadar

dapat diibaratkan sebagai taman kehidupan, sedangkan pikiran sadar sebagai

tukang kebunnya. Apabila secara sadar kita menanam benih profesionalitas dan

perilaku beradab, maka tumbuhlah benih tersebut dan pada saatnya kita dapat

memanennya. Berbagai penyelesaian permasalahan kehidupan sehari-hari akan

lebih efektif apabila lewat alam bawah sadar.

2. Otak Emosional dan Pembelajaran

Otak emosional berpusat di sistem limbik. Sistem ini secara evolusi jauh lebih

tua daripada bagian cortex cerebri. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan

otak manusia dimulai dengan pikiran emosional sebelum pikiran rasional

berfungsi untuk merespon lingkungannya. Keputusan bijak dan cerdas merupakan

hasil kerjasama antara otak emosional dengan otak rasional. Kecerdasan

emosional didefinisikan oleh Goleman (1997) sebagai kemampuan untuk

memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi, mengendalikan

dorongan hati, dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan

menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati,

dan berdoa.

Suasana hati positif seperti perasaan senang dan santai sebelum dan pada saat

belajar akan mempertinggi efektivitas belajar. Sebagai guru kita sering

mengabaikan penciptaan suasana belajar yang menyenangkan. Sehebat apa pun

paparan yang disampaikan guru, peserta didik baru menerima sebagai kebenaran

apabila emosinya telah mengatakan bahwa hal itu benar. Dengan demikian

seseorang baru merasa bahwa sesuatu itu benar atau penting kalau sistem limbik

menerima hal itu sebagai sesuatu yang benar dan penting. Untuk itulah pada saat

meyakinkan peserta didik, guru harus menggunakan suara lantang dinamis dan

ekspresi kuat penuh perasaan. Kecerdasan emosional bertumpu pada hubungan

antara perasaan, watak, dan naluri moral. Banyak bukti menunjukkan bahwa sikap

14

etik dasar dalam kehidupan berasal dari kemampuan emosional yang

melandasinya. Kemampuan mengendalikan dorongan hati merupakan basis

kemauan (will) dan watak (character), sedangkan cinta sesama merupakan akar

dari empati. Goleman (1997) mengatakan bahwa apabila disuruh memilih dua

sikap moral yang dibutuhkan untuk zaman sekarang, ia akan memilih kendali diri

dan kasih sayang.

Warisan genetik memberi kita serangkaian muatan emosi tertentu yang

menentukan temperamen kita, namun pelajaran emosi yang kita peroleh pada saat

anak-anak baik di rumah maupun di sekolah dapat membentuk sirkuit emosi dan

meningkatkan kecerdasan emosional kita. Sekolah unggulan berlomba untuk

menawarkan pengajaran keterampilan sosial dan emosional serta pembentukan

watak yang sangat diperlukan untuk menapaki masa depan. Memang kita tidak

boleh menyerahkan pendidikan emosi pada nasib, lembaga sekolah harus berusaha

mengajarkan kepintaran dan sekaligus kepekaan rasa pada peserta didiknya

(Caine, 1991). Kurikulum berbasis kompetensi yang dikelola dengan benar sangat

memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan pengajaran tersebut.

Kecerdasan emosional pada dasarnya terdiri atas lima wilayah yaitu:

1) mengenali emosi diri;

2) mengelola emosi;

3) memotivasi diri;

4) mengenali emosi orang lain,

5) membina hubungan.

Pembelajaran dengan model diskusi kelompok memungkinkan peserta didik

mengembangkan kelima wilayah kecerdasan emosionalnya. Berbeda dengan IQ,

EQ lebih dapat diajarkan dan dikembangkan. Peran pengendalian emosi

(penundaan kepuasan) dalam menentukan kualitas hidup telah diteliti pada tahun

1960 di TK Kampus Stanford University oleh Walter Mischel. Pada dasarnya tes

tersebut menghadapkan anak pada dua pilihan, sehubungan dengan diletakkannya

satu permen coklat dihadapannya. Dia boleh mengambil permen coklat tersebut,

namun apabila dia mau menunggu 20 menit lagi, peneliti akan menambahkan satu

coklat lagi untuknya. Peneliti meninggalkan ruang dan diam-diam mengamati

tingkah laku anak-anak umur empat tahun tersebut. Sungguh perjuangan sangat

berat bagi anak umur empat tahun untuk mengekang dorongan hati, dan

mengendalikan diri dalam rangka menunda pemuasan hasratnya. Beberapa anak

15

memilih melewati godaan dengan menutup mata, menaruh kepala di lengan,

bernyanyi dan berbicara sendiri tanpa melihat coklat dihadapannya. Beberapa

anak yang lain langsung menyambar coklat dihadapannya begitu peneliti selesai

bicara. Setelah diikuti, sampai usia remaja, terlihat bahwa anak yang mampu

menahan godaan pada umur empat tahun merupakan remaja yang secara sosial

lebih cakap, secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan lebih mampu

menghadapi kekecewaan hidup. Mereka tidak mudah hancur, menyerah, atau

surut dibawah beban stres, atau bingung bila tertekan. Mereka mencari dan siap

menghadapi tantangan, bukannya menyerah sekalipun harus menemui berbagai

kesulitan. Mereka percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat dipercaya

dan diandalkan, serta sering mengambil inisiatif dan terjun langsung menangani

proyek. Lebih dari sepuluh tahun kemudian, mereka tetap mampu menunda

pemuasan demi mengejar tujuan. Sepertiga anak yang tergoda coklat cenderung

kurang memiliki sifat-sifat diatas. Waktu remaja mereka cenderung menjauhi

hubungan sosial, keras kepala dan peragu, mudah kecewa, menganggap dirinya

tak berharga, mundur atau terkalahkan oleh stres, lebih mudah iri hati dan

cemburu, menanggapi gangguan dengan cara kasar dan berlebihan. Bertahun-

tahun kemudian, mereka masih belum mampu menunda pemuasan. Kemampuan

menunda pemuasan sangat besar sumbangannya bagi kemampuan intelektual

(Goleman, 1997).

3. Otak Spiritual dan Pembelajaran

Otak spiritual berpusat di noktah Tuhan yang ditemukan oleh Ramachandran

di lobus temporal. Pada bagian inilah kesadaran tingkat tinggi manusia yaitu

eksistensi diri tereksplorasi. Kesadaran tersebut dibangun oleh adanya sel-sel

kelabu dalam otak manusia. Bila sel-sel ini bekerja lahirlah pikiran rasional yang

merupakan titik pijak awal menuju kesadaran tingkat tinggi manusia. Ada empat

bukti penelitian yang memperkuat dugaan adanya potensi spiritual dalam otak

yaitu potensi untuk membentuk kesadaran sejati manusia tanpa pengaruh

pancaindra dan dunia luar. Keempat bukti tersebut adalah: 1) Osilasi 40Hz yang

ditemukan Denis Pare dan Rudolpho. Dengan alat MEG (Magneto

Encephalograph) ditemukan bahwa gerakan-gerakan saraf akan berlangsung

secara terpadu pada tingkatan frekuensi 40Hz; 2) Alam bawah sadar kognitif yang

ditemukan oleh Joseph de Loux; 3) God Spot pada daerah temporal yang

16

ditemukan oleh Ramachandran; 4)Somatic Marker yang ditemukan oleh Antonio

Damasio (Taufiq, 2003).

Secara biologis Tuhan telah meninggalkan jejaknya dalam diri manusia.

Adanya noktah Tuhan membuat manusia sanggup berpikir dalam kerangka nilai

(value). Pelembagaan nilai tersebut secara umum disebut agama dan merupakan

sistematisasi dari fungsi spiritual otak. Jadi, ketika seseorang menganut suatu

agama, itu berarti ia sedang mewujudkan dimensi spiritual dari otaknya. Demikian

halnya ketika seseorang tidak menganut agama secara formal, tetapi mewujudkan

nilai dalam perilaku hidupnya, ia juga sedang mewujudkan dimensi spiritual

otaknya. Dengan demikian optimalisasi otak spiritual akan membuat seseorang

hidup lebih baik dan bermakna, apa pun agamanya.

Optimalisasi otak spiritual paling tidak menghidupkan tiga komponen (Zohar,

2000), yaitu:

1) kejernihan berpikir rasional;

2) kecakapan emosi;

3) ketenangan hidup.

Otak spiritual, tempat terjadinya kontak dengan Tuhan, hanya akan berperan

jika otak rasional dan pancaindra telah difungsikan secara optimal. Dengan

demikian seorang pencari ilmu tidak akan mendapatkan hidayah dari Tuhan jika ia

tidak memaksimalkan fungsi otak rasional dan pancaindranya. Kesadaran diri

sesungguhnya merupakan fungsi internal dari otak manusia. Tanpa rangsangan

dari luar sekalipun kesadaran diri tetap ada. Sistem pendidikan harus membuka

kesempatan lebar bagi pemenuhan rasa rindu untuk menemukan nilai dan makna

dari apa yang diperbuat dan dialami, sehingga orang dapat memandang kehidupan

dalam konteks yang lebih bermakna. SQ pada dasarnya adalah kecerdasan untuk

menghadapi dan memecahkan persoalan makna dan nilai. SQ yang kuat akan

menjadi landasan kokoh untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif (Zohar,

2000). SQ digunakan untuk bergulat dengan ihwal jahat dan baik, serta untuk

membayangkan kemungkinan yang belum terwujud.

Salah satu cara mengoptimalkan otak spiritual adalah melihat permasalahan

secara utuh, mengkaji yang tersirat dari yang terlihat, dan merenungkannya.

Berdoa dengan berbagai cara pada berbagai agama merupakan sarana ampuh

untuk mengoptimalkan otak spiritual dan cara ampuh untuk berbicara maupun

mendengar apa yang dikatakan Tuhan. Cara ini akan mendukung pemecahan

17

masalah dengan otak emosional-intuitifspiritual. Area prefrontal otak (kira-kira di

belakang pelipis) berperan penting sebagai alarm tanda bahaya. Semua daerah di

otak mempunyai hubungan dengan area prefrontal, baik melalui saraf maupun

neurotransmiter. Area prefrontal juga memiliki mekanisme unik untuk

mempertahankan kehidupan sadar manusia. Jalinan saraf dan kimiawi

memungkinkan area prefrontal berperan dalam dua keadaan baik sadar maupun

tak sadar. Pada keadaan bawah sadar, pengaturan firasat atau intuisi terjadi. Inilah

sumber alarm dan sekaligus sumber pemecahan bagi kasus-kasus yang tak dapat

diselesaikan secara rasional.

Fakta anatomis lain menunjukkan adanya hubungan khusus antara lobus

temporal dan sistem limbik. Sistem ini memberi nuansa emosional pada setiap

kejadian spiritual. Amigdala yang terletak di ujung sistem limbik merupakan

komponen yang sangat penting dan ternyata berhubungan secara timbal balik

dengan lobus temporal. Dalam sistem ini juga ada komponen memori yang

disebut hipokampus. Ketika amigdala dirangsang, ia memberi pengaruh sampai ke

lobus temporal. Demikian pula sebaliknya.

C. Optimalisasi Otak dalam Sistem Pendidikan

Optimalisasi otak pada dasarnya adalah menggunakan seluruh bagian otak

secara bersama-sama dengan melibatkan sebanyak mungkin indra secara serentak.

Penggunaan berbagai media pembelajaran merupakan salah satu usaha

membelajarkan seluruh bagian otak, baik kiri maupun kanan, rasional maupun

emosional, atau bahkan spiritual. Permainan warna, bentuk, tekstur, dan suara sangat

dianjurkan. Ciptakan suasana gembira karena rasa gembira akan merangsang

keluarnya endorfin dari kelenjar di otak, dan selanjutnya mengaktifkan asetilkoloin di

sinaps. Seperti diketahui sinaps yang merupakan penghubung antar sel saraf

menggunakan zat kimia terutama asetilkolin sebagai neurotransmiternya. Dengan

aktifnya asetilkolin maka memori akan tersimpan dengan lebih baik. Lebih jauh

suasana gembira akan mempengaruhi cara otak dalam memproses, menyimpan, dan

mengambil kembali informasi.

Tiga hal penting dalam belajar menurut Susan (1997) adalah:

1) Bagaimana mengambil dan menyimpan informasi dengan cepat,

menyeluruh, dan efisien;

2) Bagaimana menggunakannya untuk menyelesaikan masalah,

18

3) Bagaimana menggunakannya untuk menciptakan ide.

Optimalisasi dapat dilakukan dengan membuatnya dalam keadaan waspada

yang relaks sebelum dimasuki informasi. Musik yang menenangkan dan latihan

pernapasan dapat menghilangkan pikiran yang mengganggu dan mengkondisikan otak

agar waspada dan relaks. Musik juga dapat mengaktifkan otak kanan untuk siaga

menerima informasi dan membantu memindahkan informasitersebut ke dalam bank

memori jangka panjang. Kondisi relaks dan waspada merupakan pintu masuk ke

bawah sadar. Jika informasi dibacakan dengan dibarengi musik dan aroma

menenangkan, maka akan mengambang dibawah sadar dan ditransmisikan dengan

lebih cepat serta disimpan dalam “file” yang benar.

Disamping membutuhkan kondisi waspada yang relaks, otak juga

membutuhkan oksigen untuk bekerjanya. Berhentinya pasokan oksigen akan merusak

sel-sel saraf di otak. Ruang kelas dengan penyediaan oksigen yang berlimpah sangat

kondusif untuk belajar. Pohon dengan daun rimbun di luar kelas dapat menjadi

sumber oksigen. Olahraga yang dilakukan teratur, tidak hanya akan membugarkan

tubuh namun juga akan memperkaya darah dengan oksigen dan meningkatkan

pasokan oksigen ke otak. Bernafas dalam sebelum belajar sangat dianjurkan. Otak

juga membutuhkan makanan yang berujud glukosa. Glukosa dibutuhkan untuk

menghasilkan aliran listrik. Seperti diketahui setiap pesan bergerak seperti aliran

listrik di sepanjang sel saraf untuk kemudian berubah menjadi aliran kimiawi ketika

meloncat melalui sinaps. Buah-buahan segar sangat banyak mengandung glukosa.

Makanan yang kaya akan lesitin (kacang-kacangan) akan meningkatkan produksi

asetilkolin. Asam linoleat atau lemak tak jenuh yang terdapat di minyak jagung dan

alpokat dapat mendukung perbaikan selubung myelin yang bertanggung jawab untuk

loncatan listrik di saraf.

Kekurangan zat besi (sayuran hijau) akan menurunkan rentang perhatian,

menghambat pemahaman, dan secara umum mengganggu prestasi belajar. Kurangnya

kalium (buah dan sayuran) akan mengurangi aliran listrik di otak sehingga akan

menurunkan jumlah informasi yang dapat diterima otak. Dengan demikian makan

pagi dengan mengkonsumsi banyak buah, makan siang dengan prinsip empat sehat,

dan makan malam dengan menambahkan susu akan mengoptimalkan otak. Demikian

juga dengan olahraga teratur dan minum banyak air putih sebagai penghilang racun

akan mendukung kerja otak.

19

Rekayasa lingkungan belajar yang nyaman dan relas akan memudahkan

pengambilalihan tugas dari otak kiri yang rasional ke otak intuitif yang menerima

asupan informasi dari bawah sadar. Intuisi adalah persepsi yang berada diluar

pancaindra meskipun tetap bukan hal mistik, karena tetap bersifat logis. Menyimpan

informasi dengan pola asosiatif dan tidak linier merupakan langkah pertama menuju

pengembangan kemampuan otak yang belum dikembangkan. Belajar melalui praktik

akan melibatkan banyak indra sehingga memori akan lebih mantap. Setiap orang

memiliki dominasi indra secara individual. Apabila guru dapat mengenali dominasi

indra pada masing-masing peserta didiknya maka akan dapat memberi layanan

dengan tepat.

D. Perkembangan Emosi Anak Usia Dini

1. Pengertian Perkembangan

Perkembangan(development) adalah bertambahnya kemampuan (skill) dalam

struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam pola yang teratur dan dapat

diramalkan, sebagai hasil dari proses pematangan. Disini menyangkut adanya

proses diferensiasikan dari sel-sek tubuh, jaringan tubuh, organ-organ dan sistem

organ yang berkembang sedemikian rupa sehingga masing-masing dapat

memenuhi fungsinya. Termasuk juga perkembangan emosi, intelektual, dan

tingkah laku sebagai hasil interaksi dengan lingkungannya (Soetjiningsi, 1995).

Periode penting dalam tubuh kembang anak adalah masa balita, karena pada

masa ini pertumbuhan dasar yang akan mempengaruhi dan menentukan

perkembangan anak selanjutnya. Perkembangan adalah proses perubahan dalam

pertumbuhan pada suatu waktu sebagai fungsi kematangan dan interaksi dengan

lingkungan. Dalam perspektif psikologi, perkembangan merupakan perubahan

progresif yang menunjukan cara tingkah laku dan berinterakasi dengan

lingkungannya (Fakhrudin, 2010).

Sedangkan menurut Jamaris dalam (Sujiono, 2009), perkembangan merupakan

suatu proses yang bersifat kumulatif. Artinya, perkembangan terdahulu akan

menjadi dasar bagi perkembangan selanjutya. Oleh sebab itu, lanjut Jumaris,

apabila terjadi hambatan pada perkembangan terdahulu, maka perkembangan

selanjutnya akan mendapatkan hambatan.

Perkembangan dapat diartikan sebagai “perubahan yang progresif dan

kontinyu (berkesinambungan) dalam bentuk individu dari mulai lahir sampai

mati”. Perngertian lain dari perkembangan adalah perubahan-perubahan yang

20

dialami individu atau organisme menunju tingkat kedewasaannya atau

kematangan (maturation) yang berlangsung secara sistematis, progresif, dan

berkesinambungan, baik menyangkut fisik (jasmaniah) maupun psikis (rohaniah)

(Yusuf, 2008).

Perkembangan adalah perubahan psikologis sebagai hasil dari peroses

pematangan fungsi psikis dan fisik pada diri anak, yang ditunjang oleh faktor

lingkungan dan proses belajar dalam peredaran waktu tertentu menuju

kedewasaan dari lingkungan yang banyak berpengaruh dalam kehidupan anak

menuju dewasa. Perkembangan menandai maturitas dari organ-organ dan sistem-

sistem, prolehan keterampilan, kemampuan yang lebih siap untuk beradaptasi

terhadap stres dan kemampuan untuk memikul tanggung jawab maksimal dan

memperoleh kebebasan dalam mengekperesikan kreativitas (Supriyadi, 2010).

2. Pengertian Emosi

Emosi merupakan suatu keadaan atau perasaan yang begejolak dalam diri

individu yang sifatnya didasari. Oxford English Dictionary mengartikan emosi

sebagai sesuatu kegiatan atau pergolakan pikiran, prasaan, nafsu atau setiap

keadaan mental yang hebat. Selain itu, Daniel Goleman merumuskan emosi

sebagai sesuatu yang merujuk pada suatu prasaan dan pikiranpikiran khasnya,

sesuatu keadaan biologis dan psikologis, serta serangkaian kecendrungan untuk

bertindak. Emosi dapat dikelompokkan sebagai suatu rasa marah, kesedihan, rasa

takut, kenikmatan, cinta, terkejut, jengkel atau malu.

Istilah emosi berasal dari kata “emotus” atau “emovere” atau “mencerca” (to

stir up) yang berarti sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu, missal emosi

gembira mendorong untuk tertawa, atau perkataan lain emosi didefinisikan

sebagai suatu keadaan gejolak penyesuaian diri yang berasal dari dalam dan

melibatkan hamper keseluruhan diri individu (Sujiono, 2009).

Emosi berkaitan dengan perubahan fisiologis dan berbagai pikiran. Jadi, emosi

merupakan salah satu aspek penting dalam kehidupan manusia, karena emosi

dapat merupakan motivator perilaku dalam arti menigkatkan, tapi juga dapat

mengganggu perilaku internasional manusia (Prawitasari,1995).

Menurut Crow dan Crow (1958), perngertian emosi adalah ‘An emotion, is an

affective experience that accompanies generalized inner adjustement and mental

and physiological stirredup states in the individual, and that shows it self in his

21

evert behavior’. Jadi, emosi adalah pengalaman afektif yang digeneralisasikan

dalam penyesuaian diri dan mental sehingga dapat menerangkan siapa individu

tersebut sesungguhnya dan ditunjukan dalam setiap perilakunya.

Lindsley, berpendapat bahwa emosi disebabkan oleh perkerjaan yang

terlampau keras dari susunan syaraf terutama otak, misalnya apabila individu

mengalami frustasi, susunan saraf berkerja sangat keras yang menimbulkan

sekreasi kelenjar-kelenjar tertentu yang dapat mempertinggi perkerjaan otak,

maka hal itu menimbulkan emosi.

Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian diri dalam diri

individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah laku yang

tampak. Jadi emosi adalah pengalaman afektif yang disertai penyesuaian dari

dalam diri individu tentang keadaan mental dan fisik dan berwujud suatu tingkah

laku yang tampak. Emosi sering didefinisikan dalam istilah perasaan (feeling),

misalnya pengalaman afektif, kenikmatan atau ketidaknikmatan, marah terkerjut,

bahagia, sedih dan jijik. Emosi juga sering berhubungan dengan ekspresi tingkah

laku dan respon-respon fidiologis.

3. Fungsi Emosi pada Anak Usia Dini

Pertama, perilaku emosi anak yang ditampilkan merupakan sumber penilaian

lingkungan sosial terhadap dirinya. Penilaian lingkungan sosial ini akan menjadi

dasar individu dalam menilai dirinya sendiri. Contoh: jika seorang anak sering

mengekspresikan ketidaknyamannya dengan menangis, lingkuangan sosialnya

akan menilai ia sebagai anak yang “cengeng”. Kedua, emosi yang menyenangkan

atau tidak menyenangkan dapat mempengaruhi interaksi sosial anak melalui

reaksi-reaksi yang ditampilkan lingkungannya. Melalui reaksi lingkungan sosial

anak dapat belajar untuk membentuk tingkah laku emosi yang dapat diterima

lingkungannya. Jika anak melemparkan mainannya saat marah, reaksi yang

muncul dari lingkungannya adalah kurang menyukai atau menolaknya. Ketiga,

emosi dapat mempengaruhi iklim psikologis lingkungan, artinya jiks ada yang

ditampilkan dapat menentukan iklim psikologis lingkungan. Artinya jika ada

seorang anak yang pemarah dalam suatu kelompok, maka dapat mempengaruhi

kondisi psikologis lingkungannya saat itu. Ketiga, tingkah laku yang sama dan

ditampilkan secara berulang dapat menjadi satu kebiasaan. Artinya jika seorang

anak yang ramah dan suka menolong merasa senang dengan perilakunya tersebut

dan lingkunganpun menyukainya maka anak akan melakukan perbuatan tersebut

22

berulang-ulang hingga akhirnya menjadi kebiasaan. Keempat, ketegangan emosi

yang dimiliki anak dapat mengahambat atau mengganggu aktivitas motorik dan

mental anak. Seorang anak yang mengalami stress atau ketakutan menghadapi

suatu situasi, dapat menghambat anak tersebut untuk melakukan aktivitas.

Misalnya, seorang anak akan menolak bermain kreasi dengan cat poster karena

takut akan mengotori bajunya dan dimarahi orang tua. Kegiatan kreasi dengan cat

poster ini sangat baik untuk melatih motorik halus dan indra perabaannya.

4. Karakteristik Perkembangan Emosi pada Anak Usia Dini

Masa anak usia dini disebut juga sebagai masa awal kanak-kanak yang

memliki berbagai karakter atau ciri-ciri. Ciri-ciri ini tercermin dalam sebutan-

sebutan yang diberikan oleh para orang tua, pendidik, dan ahli psikologi untuk

anak usia dini (Masher Riana, 2011: 7). Usia lima tahun pertama adalah masa

emas untuk perkembangan anak. Karena pada usia ini anak mengalami masa peka

dan kritis (Masher Riana, 2011: 10). Emosi yang berasal dari bahasa latin movere,

berarti menggerakkan atau bergerak, dari asal kata tersebut emosi dapat diartikan

sebagai dorongan untuk bertindak. Emosi merujuk pada suatu perasaan atau

pikiran-pikiran khasnya, emosi dapat berupa perasaan amarah, ketakutan,

kebahagiaan, cinta, rasa terkejut, jijik, dan rasa sedih (Mashar, 2015).

Uraian mengenai karakteristik perkembangan emosi anak usia dini memberi

gambaran lebih utuh tentang karakter emosi anak, Hurlock (1993) menyatakan

bahwa karakter emosi anak usia dini sangat kuat pada usia 2,5-3,5 tahun dan 5,5-

6,5 tahun. Beberapa ciri utama reaksi emosi pada anak usia dini antara lain:

a) Reaksi emosi anak sangat kuat, anak akan merespons suatu peristiwa dengan

kadar kondisi emosi yang sama. Semakin bertambah usia anak, anak akan

semakin mampu memilih kadar keterlibatan emosinya.

b) Reaksi emosi sering kali muncul pada setiap peristiwa dengan cara yang

diinginkannya. Anak dapat bereaksi emosi kapan saja mereka

menginginkannya. Kadang tiba-tiba anak menangis saat bosan atau karena

suatu kondisi yang tidak jelas. Semakin bertambah usia anak, kematangan

emosi anak semakin bertambah sehingga mereka mampu mengontrol dan

memilih reaksi emosi yang dapat diterima lingkungan.

c) Reaksi emosi anak mudah berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Bagi

seseorang anak sangat mungkin sehabis menangis akan langsung tertawa keras

23

melihat kejadian yang menurutnya lucu. Reaksi ini menunjukkan spontanitas

pada diri anak dan menunjukkan kondisi asli (genuine) di mana anak sangat

terbuka dengan pengalaman-pengalaman hatinya.

d) Reaksi emosi bersifat individual, artinya meskipun peristiwa pencetus emosi

sama namun reaksi emosinya dapat berbeda-beda. Hal ini terkait dengan

berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan emosi terutama

pengalaman-pengalamn dari lingkungan yang dialami anak.

e) Keadaan emosi anak dapat dikenali melalui gejala tingkah laku yang

ditampilkan. Anak-anak sering kali mengalami kesulitan dalam

mengungkapkan emosi secara verbal. Kondisi emosi yang dialami anak lebih

mudah dikenali dari tingkah laku yang ditunjukkan.

Pemahaman mengenali karakteristik emosi anak akan sangat membantu orang

tua dan pendidik dalam memberi stimulasi atau rangsangan emosi yang tepat bagi

anak (Mashar, 2015). Campos mendefinisikan emosi sebagai perasaan atau afeksi

yang timbul ketika seseorang berada dalam suatu keadaan yang dianggap penting

oleh individu tersebut. Emosi diwakilkan oleh perilaku yang mengekspresikan

kenyamanan atau ketidaknyamanan terhadap keadaan atau interaksi yang sedang

dialami. Emosi dapat berbentuk rasa senang, takut, marah, dan sebagainya

(Nurmalitasari, 2015).

Karakteristik emosi pada anak berbeda dengan karakteristik yang terjadi pada

orang dewasa, dimana karakteristik emosi pada anak itu antara lain:

a) berlangsung singkat dan berakhir tiba-tiba,

b) terlihat lebih hebat atau kuat,

c) bersifat sementara atau dangkal,

d) lebih sering terjadi,

e) dapat diketahui dengan jelas dari tingkah lakunya,

f) reaksi mencerminkan individualitas.

Emosi memiki peranan yang sangat penting dalam perkembangan anak, baik

pada usia prasekolah maupun pada tahap-tahap perkembangan selanjutnya, karena

memiliki pengaruh terhadap perilaku anak. Woolfson menyebutkan bahwa anak

memiliki kebutuhan emosional, seperti ingin dicintai, dihargai, rasa aman, merasa

kompeten dan mengoptimalkan kompetensinya (Femmi nurmalitasari, 2015: 106).

Terdapat beberapa hal penting dalam perkembangan emosional anak yang

perlu dipahami meliputi: (a)usia berpengaruh pada perbedaan perkembangan

24

emosi, (b)perubahan ekspresi wajah terhadap emosi, (c)menunjukkan emosi yang

kompleks, (d)bahasa tubuh, (e)suara dan kata, (f)representasi simbolik,

(g)pengetahuan emosi,(h)perubahan usia dalam regulasi emosi, (i)respons pada

perasaan lainnya, (j)ikatan emosional dengan yang lain, (k)tahap-tahap

perkembangan emosional (Nurmalitasari, 2015).

Perkembangan ciri khas emosi pada anak adalah emosinya kuat, emosi sering

kali tampak, emosinya bersifat sementara lainil, dan emosi dapat diketahui melalui

perilaku anak (Khairi, 2018). Para psikolog mengemukakan karakteristik

perkembangan sosio emosional bahwa terdapat tiga tipe tempramen anak, yaitu:

a. Pertama, anak yang mudah diatur mudah beradaptasi dengan pengalaman

baru, senang bermain dengan mainan baru, tidur dan makan secara teratur dan

dapat menyesuaikan diri dengan perubahan di sekitarnya.

b. Kedua, anak yang sulit diatur seperti sering menolak rutinitas sehari-hari,

sering menangis, butuh waktu lama untuk menghabiskan makanan dan gelisah

saat tidur.

c. Ketiga, anak yang membutuhkan waktu pemanasan yang lama, umumnya

terlihat agak malas dan pasif, jarang berpatisipasi secara aktif dan seringkali

menunggu semua hal diserahkan kepadanya.

Dari pendapat diatas diketahui bahwa kepribadian dan kemampuan anak

berempati dengan orang lain merupakan kombinasi antara bawaan dengan pola

asuh ketika ia masih anak-anak. Ketika anak berusia satu tahun, senang dengan

permainan yang melibatkan interaksi sosial, senang bermain dengan sesama jenis

kelamin jika berada dalam kelompok yang berbeda. Namun, ketika berumurur

antara 1 s/d 1,5 tahun, biasanya menunjukkan keinganan untuk lebih mandiri

yakni melukakan kegiatan sendiri, seperti main sendiri, makan dan berpakaian

sendiri, cemburu, tantrum (marah jika kemauan nya tidak di penuhi).

Sedangkan saat usia 1,5 s/d 2 tahun, ia mulai berintraksi dengan orang lain,

tetapi butuh waktu untuk bersosialisasi, ia masih sulit berbagi dengan orang lain,

sehingga ia akan menangis bila berpisah dengan orang tua nya meski hanya

sesaat. Sedangkan saat usia 2,5 s/d 6 tahun, perkembangan emosi mereka sangat

kuat seperti ledekan amarah, ketakutan yang hebat iri hati yang tidak masuk akal

Karena ingin memiliki barang orang lain dan biasanya terjadi dalam lingkungan

keluarga yang besar. Demikian pula dengan rasa cemburu muncul karena kurang

nya pehatian yang diterima dibanding dengan yang lainnya, dan terjadi dalam

25

keluarga yang kecil. Terjadi sebagai akibat dari lama nya bermain, tidak mau tidur

siang dan makan terlalu sedikit.

26

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkembangan otak anak terus akan tumbuh seiring dengan bertambahnya usia

anak. Otak akan berkembang dengan baik jika mendapatkan stimulasi yang tepat,

namun sebaliknya otak anak tidak akan berkembang secara maksimal jika tidak

mendapatkan stimulasi yang baik. Perkembangan otak yang baik secara anatomis

dapat dilihat dari banyaknya rambatan konektivitas antara satu sel dengan sel

lainnnya, semakin banyak koneksi yang dibuat oleh sel maka akan semakin baik.

Oleh karena itu untuk mencapai pendidikan yang berkualitas sangat

tergantung dari stimulasi dan motivasi pelajar juga kreatifitas pengajar. Anak yang

memiliki motivasi tinggi ditunjang dengan pengajar yang mampu mengelolah

kecerdasan emosi anak akan membawa pada keberhasilan pencapaian target belajar.

Target belajar dapat diukur melalui perubahan sikap dan kemampuan anak melalui

proses belajar.

Desain pembelajaran yang baik, ditunjang fasilitas yang memadai, ditambah

dengan kreatifitas pengajar, membangun komunikasi yang baik antar pengajar dengan

anak juga akan membuat anak menjadi lebih mudah mencapai target belajar.

Mengembangkan kecerdasan emosional dalam pembelajaran sungguh sangat

diperlukan agar pembelajaran berlangsung optimal dan dapat menghasilkan hasil

belajar yang maksimal. Dengan demikian keutamaan mengenali emosi anak yaitu

melalui cara-cara dan keunggulan motivasi berbasis otak yang akan menjadikan anak

menjadi senang belajar.

B. Saran

Dalam mendidik anak hendaknya ditanamkan kecerdasan emosional sejak usia

dini yaitu mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan

untuk memotivasi diri sendiri,kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan

emosi, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan

kemampuan berpikir.

xxvii

DAFTAR PUSTAKA

Hosnan. 2016. Etika Profesi. Bogor: Ghalia Indonesia.

Mashar, Riana. 2011. Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya. Jakarta:

Kharisma Putra Utama.

Rini, Yuli S. 2013. Pendidikan: Hakekat, Tujuan, Dan Proses. Yogyakarta: Pendidikan Dan

Seni Universitas Negeri Yogyakarta

Sukatin, & dkk. (2020). Analisis Perkembangan Emosi Anak Usia Dini. Jurnal Ilmiah

Tumbuh Kembang Anak Usia Dini. Vol. 5, No. 2. 77-90.

Suryana, Dadan. 2021. Pendidikan Anak Usia Dini Teori dan Praktik Pembelajaran. Jakarta:

Kencana.

Susanti, Rini. (2004, Desember). Perkembangan Emosi Manusia.

Wathon, A. 2016. Neurosains Dalam Pendidikan. Jurnal Lentera: Kajian Keagamaan,

Keilmuan Dan Teknologi Volume 14, Nomor 1.


Recommended