+ All Categories
Home > Documents > mencecap cita rasa, mengurai kuasa wacana dan ...

mencecap cita rasa, mengurai kuasa wacana dan ...

Date post: 16-Mar-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
193
MENCECAP CITA RASA, MENGURAI KUASA WACANA DAN PASCAKOLONIALITAS KOPI SPESIAL TESIS OLEH: OKTA FIRMANSYAH NIM: 176322018 MAGISTER KAJIAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2020 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Transcript

MENCECAP CITA RASA, MENGURAI KUASA

WACANA DAN PASCAKOLONIALITAS KOPI SPESIAL

TESIS

OLEH: OKTA FIRMANSYAH

NIM: 176322018

MAGISTER KAJIAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2020

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Untuk Ayah dan Ibuku,

Walija dan Naisyah (Almh)

serta teristimewa untuk Istri dan Anakku,

Indira Kartini dan Pendar Nareswari

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

vii

MOTO

“The West is now everywhere, within the West and outside, in structures and in minds.”

Ashis Nandy

The Intimate Enemy, 1983

“Where there is power, there is resistance,

and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation to power.”

Michel Foucault

The History of Sexuality (Volume 1: An Introduction), 1978

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xi

MENCECAP CITA RASA, MENGURAI KUASA WACANA DAN PASCAKOLONIALITAS KOPI SPESIAL

OKTA FIRMANSYAH

ABSTRAK

Tesis ini menyoroti cita rasa kopi dalam industri kopi spesial yang

dikatakan berada di era gelombang ketiga. Bahwa mencecap cita rasa kopi tidak hanya berkaitan dengan perkara genetika dan budidaya tanaman kopi serta proses produksinya; ataupun dengan kemampuan indrawi serta pengalaman sensoris yang dimiliki seseorang; melainkan pula berkaitan dengan pengetahuan cita rasa yang dikontruksi oleh Specialty Coffee Association (SCA) beserta beberapa organisasi/lembaga yang terafiliasi dengannya.

Dalam hal ini, SCA yang berpusat di Barat (AS/Eropa) mendiseminasikan pengetahuannya sebagai standar yang berlaku secara global. Pengetahuan ini beraneka macam wujudnya: Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, Le Nez Du Café, Q Coffee System (Q-Grader/R-Grader), SCA Coffee Standards, dan SCAA Cupping Protocols. Keberlakuannya pun tidak hanya bagi anggota SCA yang membutuhkan dan bagi industri kopi spesial saja, melainkan pula bagi kebanyakan orang yang menyakini “kebenaran” standar SCA, termasuk orang-orang Indonesia. Sepintas pengetahuan ini terkesan netral dengan dalih objektifitas sains dan demi memajukan industri kopi spesial global. Namun, setiap pengetahuan apalagi yang diklaim sebagai standar bersama, tentu berpotensi untuk dibaca secara politis-kritis. Terlebih lagi dalam konteks Indonesia, yang memperlihatkan relasi kuasa tak setara antara Barat sebagai “pusat” dengan non-Barat, seperti di Indonesia, yang dianggap “pinggiran” dan liyan (its other) dari mereka. Sebuah relasi yang hadir dan sejajar sebagai continuing effects kolonialisme.

Atas dasar inilah, tesis ini bergerak mempertanyakan bagaimana

pengetahuan dan wacana cita rasa SCA medominasi sekaligus menyeragamkan persepsi cita rasa global; dan bagaimana subjektivitas orang-orang di Indonesia mereproduksi, menegoisasi, dan meresistansi pengetahuan dan wacana ini. Secara khusus, subjektivitas yang dimaksud adalah subjektivitas pascakolonial dari orang-orang yang berprofesi sebagai Q-Grader/R-Grader atau orang-orang yang hidup dari/dan menghidupi industri kopi spesial.

Untuk membantu mengurai permasalahan tesis ini, konsep

wacana/discourse dari Foucault yang dianalisis secara genealogis dinilai tepat dipakai. Dan guna penguatannya, konsep ambivalensi (dengan segala konsep terkait: hibriditas dan mimikri) dari Homi K. Bhabha serta konsep alienasi linguistik dari Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, dan Helen Tiffin, turut pula dipakai. Berbekal konsep-konsep inilah, pengetahuan/standar SCA dapat dikatakan sebagai wacana neo-kolonial di mana yang menjadi objek pengetahuannya adalah (klaim) sains yang objektif dan universal. Sebab standar SCA telah nyata mendisplinkan dan menyeragamkan (menstereotipisasi) persepsi cita rasa, baik orang awam maupun bagi kalangan profesional, seperti Q-Grader/R-Grader dari Indonesia. Selain itu, standar SCA juga secara jelas telah mengalienasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xii

bahasa ibu (yang ekpresif, lokal, dan empiris) subjek-subjek pascakolonial yang mengafirmasi bahasa cita rasa rumusan SCA. Sekalipun mendisplinkan dan mengalienasi, orang-orang tersebut tidak sepenuhnya mampu ditundukkan oleh wacana cita rasa SCA, sebab mereka merpresentasikan subjektivitasnya sebagai yang ambivalen dan resistan—meski tanpa disadari. Hal ini ditunjukkan dari adanya peniruan (mimikri) satu-dua wujud dari standar SCA dari Q-Grader/R-Grader. Peniruan yang juga dibaca sebagai strategi mengejek (mockery) bahasa cita rasa SCA yang amat tidak memadai untuk dipakai secara bersama oleh berbagai orang di lintas geografi dan kultur, khususnya di Indonesia.

Kata Kunci: Kopi, Cita Rasa, SCA, SCAA, Wacana, Relasi Kuasa, Subjektivitas,

Pascakolonial, Ambivalensi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiii

TASTE THE FLAVOR, UNRAVEL THE POWER DISCOURSE AND POSTCOLONIALITY OF SPECIALTY COFFEE

OKTA FIRMANSYAH

ABSTRACT

This thesis focuses on the taste of coffee in the specialty coffee industry which is said to be in the era of the third wave. That tasting coffee is not only related to the genetics dan cultivation of the coffee tree and its production process; or with the sensory abilities and sensory experiences that a person has; but also related to taste knowledge constructed by the Specialty Coffee Association (SCA) and several organizations/institutions affiliated with it. In this case, the SCA which is based in the West (US/Europe) disseminates its knowledge as a standard that applies globally. This knowledge takes many forms: SCAA Flavor Wheel, Sensory Lexicon, Le Nez Du Café, Q Coffee System (Q-Grader/R-Grader), SCA Coffee Standards, and SCAA Cupping Protocols. Its implementation is not only for SCA members who need it and the specialty coffee industry, but also for most people who believe in the "truth" of SCA standards, including Indonesians. At first glance this knowledge seems neutral on the pretext of the objectivity of science and advancing the global specialty coffee industry. However, any knowledge, let alone claimed as a common standard, certainly has the potential to be read politically-critically. This is even more so in the Indonesian context, which shows unequal power relations between the West as a "center" and non-Westerners, such as in Indonesia, as their "periphery" and other. A relationship that is present and parallel as the continuing effect of colonialism. On this basis, this thesis moves to question how the knowledge and discourse of the SCA tastes dominate as well as homogenize the perception of global tastes; and how the subjectivity of people in Indonesia reproduces, negotiates, and resists this knowledge and discourse. Specifically, the subjectivity referred to is the postcolonial subjectivity of people who work as Q-Graders/R-Graders or people who live from/and live in the specialty coffee industry. To help unravel the problems of this thesis, Foucault's genealogical analysis of discourse is considered appropriate. And for reinforcement, the concept of ambivalence (with all related concepts: hybridity and mimicry) from Homi K. Bhabha and the concept of linguistic alienation from Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, and Helen Tiffin, were also used. Armed with these concepts, SCA knowledge/standards can be said to be neo-colonial discourse in which the object of knowledge (claim) objective and universal science. This is because the SCA standard has clearly disciplined and homogenized (stereotyped) the perception of taste, both for ordinary people and for professionals, such as the Q-Grader/R-Grader from Indonesia. In addition, the SCA standard has also clearly alienated the mother language (expressive, local, and empirical) of postcolonial

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xiv

subjects which affirms the language of taste of the SCA formula. Despite being disciplined and alienating, these people were not completely able to be subdued by the SCA's discourse of taste, because they represented their subjectivity as ambivalence and resistant—even if they didn't realize it (unconscious). This is indicated by the imitation (mimicry) of one or two forms of the SCA standard from Q-Grader/R-Grader. Mimicry is also read as a strategy of mockery of the SCA taste language which is very inadequate to be shared by various people across geographies and cultures, especially in Indonesia.

Keywords: Coffee, Taste, Flavor, SCA, SCAA, Discourse, Relation Power, Subjectivity, Postcolonial, Ambivalence

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... .................................. i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................................................... .................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ....................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................................................... ....................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................................................ ......... v PERSEMBAHAN ................................................................................................................. ................................... vi MOTO ........................................................................................................................ ............................................... ..... vii KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ....................... viii ABSTRAK ............................................................................................. ................................................................... .... xi ABSTRACT ................................................................................................................................................................... xiii DAFTAR ISI .................................................................................................................. ............................................ . xv DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... ................................. xviii BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................................

A. Latar Belakang ............................................................................................................ B. Rumusan Masalah .................................................................................................. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... D. Kajian Pustaka ........................................................................................................... E. Kerangka Teori ............................................................................................................

a. Wacana dan Genealogi .............................................................................. b. Wacana dan Pengalaman .......................................................................

F. Metode Penelitian .................................................................................................... G. Sistematika Pembahasan ................................................................................

1 1 9 9 10 17 17 21 27 33

BAB II CITA RASA KOPI ....................................................................................................................

A. Cita Rasa dan Persepsi ....................................................................................... B. Mutu Kopi dan Pengaruhnya ke Cita Rasa ........................................ C. Apa itu Roda Rasa? ................................................................................................. D. Q-Grader/R-Grader dan Uji Cita Rasa ..........................................................

a. Q Arabica Grader ................................................................................................. b. Q Robusta Grader ............................................................................................... c. Coffee Cupping: Cara Menilai Cita Rasa Kopi ...........................

E. Kopi Spesial, Specialty Coffee ........................................................................... F. Kopi di Era Gelombang Ketiga ......................................................................

34 34 36 38 50 51 54 56 61 66

Bab III WACANA CITA RASA KOPI ................. ............................................................................

A. Cita Rasa Kopi: Historisitas di Lapangan Produksi ................... a. Level Petani ......................................................................................................... b. Level Bersama ................................................................................................... c. Level Penyangrai ............................................................................................. d. Level Barista .......................................................................................................

B. Cita Rasa Kopi: Historisitas dalam Konsumsi ............................... C. Historisitas Wacana Cita Rasa dan Institusi SCAA/SCA .......

70 72 73 82 83 85 88 98

D. Struktur Diskursif Wacana Cita Rasa Kopi ....................................... 124

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvi

Bab IV MENGALAMI CITA RASA KOPI ....................................................................................

A. Mengalami Cita Rasa Kopi, Memeluk SCA ......................................... B. Standar SCA: Bahasa yang Bermasalah .............................................. C. Subjek yang Mendua ............................................................................................

a. Reproduksi Bahasa Rasa dan Aroma yang Lokal .............. b. Negoisasi: Testimoni dan Menangguhkan .............................

128 129 142 149 150 162

Bab V PENUTUP ................................................................................................................................... 170 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. .................. 176 LAMPIRAN ................................................................................................................................................................. 179

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xvii

DAFTAR SINGKATAN

ACDI/VOCA : Agricultural Cooperative Development International/ Volunteers in Overseas Cooperative Assistance AMARTA : Agrobusiness Market and Support Activity AS : Amerika Serikat ACF : Asean Coffee Federation C.A.F.E Practices : Coffee and Farmer Equity Practices CDG : Coffee Development Group CQI : Coffee Quality Institute GDA Coffee Corps : Geospatial Data Analysis Coffee Corporation IACA : Inter-American Coffee Agreement ICA : International Coffee Agreement ICO : International Coffee Organization IPB : Institut Pertanian Bogor IRC : International Relations Committee ISO : International Organization for Standardization MDPL : Meter Di atas Permukaan Laut NCSA : National Office Coffee Service Association NGO : Non Government Organization OCS : Office Coffee Service Puslitkoka : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia PPP : Public-Private Partnership Q-Grader : Q Arabica Grader Q-Instructor : Q Arabica Instructor R-Grader : Q Robusta Grader RI : Republik Indonesia SCA : Specialty Coffee Association SCAA : Specialty Coffee Association of America SCAE : Specialty Coffee Association of Europe SCAI : Specialty Coffee Association of Indonesia SCAJ : Specialty Coffee Association of Japan SNI : Standar Nasional Indonesia TVRI : Televisi Republik Indonesia UCDA : Uganda Coffee Development Authority USAID : United States Agency for International Development VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie WCR : World Coffee Research

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

xviii

DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 : Roda Rasa SCAA

(SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 1995 ........................................ 39

Gambar II.2 : Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 ........................................

41

Gambar II.3 : Deskripsi Atribut Cita Rasa Sensory Lexicon ......................................... 44

Gambar II.4 : Skala Intensitas Sensory Lexicon .................................................................... 46

Gambar II.5 : Visual Gap dalam Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 ........................................

48

Gambar II.6 : The Q Arabika Course: A Breakdown ....... ................................................... 52

Gambar II.7 : The Q Robusta Course: A Breakdown ..... .................................................... 54

Gambar III.1 : Atribut Whiskey pada Sensory Lexicon ......................................................... 101

Gambar III.2 : Le Nez Du Café di Sensory Lexicon ...................................................................... 103

Gambar IV.1 : Roda Rasa Kopi Indonesia (Indonesia’s Coffee Flavor Wheel) edisi 2019 .............................................

151

Gambar IV.2 : Sensoflavo: Coffee Aroma Library ....................................... ......................... 158

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pengalaman sebagai peminum kopi yang hampir setiap harinya

menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi di Yogyakarta, dan kemudian

berlanjut sebagai penyeduh (barista) di kedai yang saya rintis dan kelola sendiri

di Palembang, “memaksa” saya untuk akrab dengan “Coffee Taster’s Flavor Wheel”

atau biasa disebut di Indonesia sebagai “Roda Rasa”.

Pertanyaan awal yang seringkali muncul saat mencecap secangkir kopi,

yaitu perkara cita rasa. Pertanyaan ini bisa sangat gampang dijawab atau

malah sebaliknya, begitu sukar. Dikatakan gampang, sebab seseorang hanya

perlu menggiatkan paling tidak dua indra yang dimilikinya: lidah untuk

mengecap rasa dan hidung untuk mencium aroma, hasilnya adalah cita rasa.

Dari cecapan dua indra tadi, seseorang biasanya akan dituntun untuk beropini

tentang cita rasa, yang umumnya akan bermuara pada dua jawaban: enak atau

tidak enak, suka atau tidak suka. Sebaliknya, akan menjadi sangat sukar, bila

cita rasa kopi tersebut coba diidentifikasi secara cermat, lalu dideskripsikan

secara rinci dan jelas sehingga memperkecil peluang ketidakakuratan cecapan

cita rasa kopi. Di sini, cita rasa diletakkan dalam pemahaman sebagai sensasi

yang kompleks dari rasa dan aroma yang kemudian direspon otak untuk

dipersepsi dan diinterpretasi oleh si pencecap1. Bahkan semakin pelik dijawab,

bila cita rasa tersebut coba diberlakukan kepada lebih dari satu orang. Atau

dengan kata lain, cita rasa menjadi referensi bagi orang jamak. Lebih

1 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, Sains Kopi Indonesia, (Malang: UB Press, 2019) , hal. 29-30.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

ekstrimnya, bisa pula dibilang agar dapat diterima sebagai sebuah

kesepakatan cita rasa.

Hal yang sukar dan pelik inilah yang seringkali saya temui, baik sebagai

peminum, penyeduh (barista), maupun sebagai orang yang menjalankan bisnis

kedai kopi. Untuk mengurai kepelikan ini, seringkali “Coffee Taster’s Flavor Wheel”

diperbantukan. Coffee Taster’s Flavor Wheel atau Roda Rasa diklaim sebagai hasil

riset ilmiah kolaborasi antara Specialty Coffee Association of America (SCAA)―yang

kemudian disebut Specialty Coffee Association (SCA) setelah dilebur dengan

organisasi lain yang berkantor di London, Specialty Cofeee Association of Europe

(SCAE) pada 2016. Baik SCAA maupun SCAE, keduanya mendedikasikan

pendiriannya untuk industri specialty coffee―dan World Coffee Research (WCR),

organisasi yang terafiliasi ke SCAA2. Roda Rasa SCAA ini berwujud lingkaran yang

memuat berbagai macam atribut cita rasa atau kosakata cita rasa. Lingkaran

ini dibedakan secara horizontal, antara bagian atas dan bawah. Bagian atas

mencakup kelompok atribut cita rasa yang menyenangkan (positif) seperti

sweet, floral, fruity, nutty/cocoa, dan spices. Sedangkan bagian bawah terdiri dari

kelompok atribut cita rasa yang tidak menyenangkan (negatif), seperti roasted,

green/vegetative, sour/fermented, dan other. Dari kedua kelompok atribut cita rasa

yang umum tadi, orang akan dipandu menuju ke atribut cita rasa yang lebih

spesifik. Bila di awal terindikasi cita rasa fruity, maka pertanyaan selanjutnya

adalah kelompok fruity apa tepatnya? Apakah citrus fruit? Kalau toh, iya, citrus

fruit sejenis apa? Orange? Lemon? Lime? Grapefruit? Atau apa? Singkatnya

beginilah Roda Rasa SCAA dibaca dan digunakan3.

2 https://sca.coffee/research/coffee-tasters-flavor-wheel/ diakses pada 4 November 2019 3 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

Roda Rasa SCAA ini menjadi hal penting bagi para pegiat kopi seluruh dunia

di setiap mata rantainya: dari hulu ke hilir, dari produksi ke konsumsi, dari

awam ke ahli, dari amatiran ke profesional. Petani, penyangrai, penyeduh,

konsumen, atau siapa pun yang hidup dan menghidupi kopi turut antusias atas

Roda Rasa SCAA yang seringkali diperbantukan saat mengevaluasi cita

rasa―biasa disebut coffee cupping atau uji cita rasa―termasuk yang berdiam di

Indonesia. Roda Rasa SCAA semakin menyita perhatian terlebih di era industri

kopi yang dikatakan berada di gelombang ketiga (third wave era) yang

mengunggulkan kopi berkualitas terbaik atau specialty coffee. Sebuah industri

yang semakin ingar-bingar di berbagai belahan dunia belakang ini (2000-an),

termasuk di Indonesia dan setidaknya di kota-kota besarnya, seperti Jakarta,

Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya.

Gelombang (wave) yang dimaksud adalah konsep pembabakan sejarah

industri kopi yang merujuk pada situasi dan kondisi yang berlangsung di

Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Gelombang ketiga adalah jawaban atas dua

gelombang sebelumnya. Bila di gelombang pertama konsumsi kopi lebih

mementingkan kepraktiksan dengan harga terjangkau sehingga abai terhadap

kualitas kopi; dan gelombang kedua yang mulai beralih dari kopi “buruk” ke

kopi berkualitas terbaik secara bentuk, warna, dan cita rasa; maka gelombang

ketiga, kopi semakin tegas dengan reputasinya: sebagai minuman artisanal,

layaknya wine bagi Perancis dan beer bagi Jerman. Para pelaku dalam industri

kopi, dari hulu hingga hilir, semakin terobsesi mengejar kopi kualitas terbaik,

specialty coffee.4

4 Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed our World, (New York: Basic Book, 2010), hal. 415-417.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

Mulanya, istilah specialty coffee atau kopi spesial dipakai pada tahun 1974

oleh Erna Knutsen di Tea & Coffee Trade Journal5. Knutsen memakai istilah ini

untuk menyebut biji kopi kualitas terbaik dengan cita rasa istimewa dari area

tanam ideal. Dalam industri kopi, dikenal tiga tingkatan (grade) kopi: specialty

coffee, gourmet, atau rare origin menempati peringkat pertama, lalu disusul oleh

kopi premium ditingkat kedua, dan kopi komersil ditingkat ketiga. Untuk kopi

terbaik, industri kopi mulai beralih ke kopi yang berasal dari perkebunan kopi

perseorangan atau kelompok mikro di area spesifik (yang tidak terlalu luas)

dengan kondisi geografis dan iklim yang ideal untuk tanam kopi.

Oleh SCAA, ditegaskan bahwa hanya kopi yang lulus uji mutu fisik dan

mutu sensoris dengan skor cupping 80-100 yang layak disebut sebagai kopi

spesial. Terbagi lagi dalam sub kelas very good (80-84, 99), excellent (85-89, 99),

dan outstanding (90-100). Kopi dengan nilai akhir kurang dari 80 dikategorikan

bukan kopi spesial oleh SCAA6.

Kopi spesial juga menuntut sajian informasi detil tentang kopi kepada

pelaku industrinya. Tidak hanya daerah tanam kopi, melainkan juga varietas

kopi, indikasi geografis (seperti ketinggian tanam dan curah hujan), proses

pasca panen, level dan tanggal sangrai, informasi perolehan cita rasa (cup

notes), hingga informasi tentang siapa petaninya dan di desa mana ia berkebun

kopi. Hal ini dilakukan sebagai wujud dari keterbukaan informasi dan edukasi

kopi pada konsumen, katanya. Sekaligus guna membentuk kesadaran atas apa

yang dikonsumsi. Kopi diidentifikasi lebih spesifik—tidak lagi secara

regional/negara seperti di gelombang kedua.

5 Mark Pendergrast, hal. 328.

6 SCAA Cupping Protocols (revisi November 2009), diakses dari https://sca.coffee pada 10 Juli 2020, hal. 3; lihat pula: Wenny Bekti Sunarharum, hal. 36.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

Sampai di sini, Roda Rasa SCAA yang saya sebut di awal tadi kini mendapat

tautannya, yakni kopi spesial yang hidup di era gelombang ketiga. Setiap kopi akan

dinilai cita rasanya dengan ketentuan SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping

Protocols serta alat bantu Roda Rasa SCAA. Secara mendasar, penilaian ini atau

cupping diperlukan agar kopi dapat dievaluasi mutunya dan kemudian

dikategorikan sebagai kopi spesial atau tidak. Orang yang melakukan pengujian

ini biasanya dari kalangan profesional yang disebut sebagai Q Arabica Grader

untuk penguji spesies kopi arabika (umumnya disingkat Q-Grader) dan Q Robusta

Grader untuk robusta (umumnya disingkat R-Grader). Orang-orang ini adalah

orang yang terlatih dan telah lulus ujian panjang yang sulit untuk mendapat

lisensi Q-Grader/R-Grader. Sementara otoritas pelatihan dan tes berbiaya mahal

ini dipegang oleh organisasi nirlaba, Coffee Quality Institute (CQI), yang bernaung

di bawah SCA dan berafiliasi dengan Uganda Coffee Development Authority

(UCDA). Dan layaknya “sabda”, hasil cecapan lidah serta hidung para Q-Grader/R-

Grader tadi akan dijadikan “babon cita rasa” bagi industri kopi spesial serta

orang-orang yang mencecap kopi yang sama di waktu berikutnya.

Sampai di sini, saya mulai gelisah bertanya, mengapa Roda Rasa SCAA ini

dibutuhkan sebagai alat bantu untuk cupping, baik secara resmi dengan

standar protokol ketat SCA/SCAA maupun secara santai (casual/fun cupping)?

Mengapa Roda Rasa SCAA ini selalu menjadi rujukan dalam mengidentifikasi-

menamai cita rasa kopi di era gelombang ketiga ini? Suatu rujukan yang lantas

diproyeksikan para ahli terdidik oleh “sekolahan” ala CQI/SCA? Suatu rujukan

yang kemudian menjadi common taste bagi orang-orang yang mencicip kopi di

waktu berikutnya. Ringkasnya, mengapa asumsi penyeragaman cita rasa kopi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

atau homogenisasi ini terjadi? Padahal kan setiap orang memiliki lidah dan

hidung yang berbeda sesuai dengan memori sensoris masing-masing.

Apakah ada legitimasi saintifik di sana? Maksudnya, Roda Rasa SCAA

diperlukan karena ia diklaim ilmiah dan bersumber dari Barat. Mengingat di era

industri kopi spesial di gelombang ketiga ini, kopi bukan semata perkara

subjektifitas cita rasa, tapi juga didudukkan sebagai fakta ilmiah dan praktik

pengetahuan yang terukur sebab berdasarkan rasio dan akal budi para ahli.

Kata lainnya, bila mengikuti pendapat umum, yang membuat saya maklum

dengan asumsi penyeragaman cita rasa tadi, bisa jadi karena dalih: pertama,

selain secara indrawiah, kopi juga bisa diukur secara rasio/akal-budi; dan

kedua, dengan begitu, maka kopi tergolong sebagai fakta ilmiah dan praktik

pengetahuan yang sering kali diposisikan sebagai yang objektif dan universal.

Kedua dalih ini diproyeksikan melalui, diantaranya, Roda Rasa SCAA, SCA Coffee

Standards dan SCAA Cupping Protocols yang menjadi standar industri kopi spesial

(yang diklaim berbasis riset ilmiah dan diposisikan sebagai ilmu yang

universal) dan Q-Grader/R-Grader (ahli yang berpengetahuan yang

mendayagunakan rasionya serta terlatih indra sensorisnya).

Namun bila dipikir sedikit kritis, dalih-dalih tadi justru membuat saya

mengernyit heran dan geli. Sebab telah memprovokasi saya untuk berpikir

secara bertautan, terutama pada kuasa Barat (negara-negara konsumen kopi)

terhadap non-Barat (negara-negara produsen kopi) yang semena-mena

dikategorikan sebagai negara-negara “dunia ketiga”. Disinyalir ini bukan

sekadar saintifikasi; melainkan lebih ke soal politik konsumsi; tepatnya politik

cita rasa!

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

Bila melihat tarikan sejarah, standar-standar SCA ini (secara khusus) dan

industri kopi spesial di gelombang ketiga (secara umum), mulanya dan

umumnya dirumuskan oleh Barat melalui kehadiran SCA/SCAA berserta

organisasi yang terafiliasi dengannya. Dirumuskan oleh orang-orang yang hidup

di negara-negara konsumen kopi utama dunia, penguasa pasar, cum negara

kanonik “eks” kolonial, yakni: AS dan Eropa. Sebuah rumusan yang disusun

berdasarkan pengalaman dan pengetahuan cita rasa mereka yang hidup di

empat musim, yang tentunya berbeda dengan orang yang hidup di dua musim.

Di sana ada referensi cita rasa blueberry, misalnya. Sedang di sini, di Indonesia,

salah satu negara pascakolonial, adanya buah duwet. Jika seseorang belum

mengalami cita rasa blueberry, lantas bagaimana bisa mempersepsikan cita

rasa dari kopi yang ia cecap sebagai blueberry seperti yang dimaksud di Roda

Rasa SCAA?

Di titik inilah, saya berasumsi bahwa perkara cita rasa kopi yang

distandardisasi oleh SCA untuk industri kopi spesial di era gelombang ketiga ini

lebih mendekati sebagai mitos sekalipun terkesan “ilmiah”. Sebagaimana

mitos orientalisme yang dibabar oleh Edward Said (1935-2003). Dalam

pengantar bukunya, Orientalism (1978), Said mengatakan bahwa orientalisme

adalah sebuah praktik pengetahuan yang mengada-ada sebab erat kaitannya

dengan wacana kolonialisme pengetahuan yang rasis. Oreintalisme lahir dari

praktik dan kebutuhan kolonial. Orientalisme adalah sejenis sejarah yang

diendapkan kepada orang Timur, kepada seorang Arab seperti Said. Bagaimana

definisi, sejarah, narasi, dan seluruh hal yang berkaitan dengan Timur

dimonopoli oleh orientalisme. Sebuah praktik politik pengetahuan yang berelasi

dengan kekuasaan yang dilancarkan Barat terhadap Timur (Arab-Islam).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

Dalam penelusuran orientalisme ini, Said memakai (salah satunya)

konsep discourse (wacana) dari Michel Foucault (1926-1984). Sebagai seorang

yang skeptis pada kebenaran tunggal, Foucault menunjukkan bahwa

pengetahuan pada dasarnya berelasi dengan kekuasaan yang hegemonik. Maka

wajar bila sejarah pengetahuan akan selalu diskontinu dan fragmentaris,

karena ditentukan oleh episteme (perspektif/paradigma) tertentu yang dikontrol

oleh kekuasaan tertentu pula. Ide discourse ini digunakan Said dengan alasan,

“Kita tidak akan mungkin bisa memahami disiplin yang sangat sistematis ini

(orientalisme), dengan mana budaya Barat mampu mengatur—bahkan

menciptakan—dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik,

dan imajinatif selama masa pasca Pencerahan7.”

Kiranya, pemeriksaan orientalisme oleh Said ini sejalan dalam

mendudukkan asumsi politik cita rasa kopi tadi. Sebuah tengara homogenisasi

cita rasa dari budaya yang mendominasi secara ekonomi dan politik. Tentang

normalisasi cita rasa kopi yang kemudian semakin dianggap wajar-wajar saja.

Perihal praktik setir budaya dari negara-negara kanonik kepada negara-negara

yang didiami para petani kopi. Mereka yang dominan membangun wacana cita

rasa kopi yang diklaim saintifik sebagai pengetahuan netral dan universal.

Sebuah wacana yang saya kira lebih tepat dilihat sebagai mitos, karena diduga

ada praktik ideologis kekuasaan di sana dan kepentingan kapitalisme—

ketimbang sebagai praktik pengetahuan yang nir-kepentingan. Praktik yang

membuat orang-orang latah terhadap standar SCA saat mencicip kopi spesial

di era gelombang ketiga ini, terutama yang berdiam di “dunia ketiga”.

7 Edward Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 1985), bab. Pendahuluan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

Kegelisahan inilah yang kiranya hendak saya telusuri; hendak dijawab

dalam kegiatan penelitian kajian budaya, khususnya pada interaksi antara

teks/wacana yang dicerminkan oleh standar cita rasa kopi yang politis dan

diklaim ilmiah dengan pengalaman orang yang menghidupi teks/wacana

tersebut, seperti yang ditunjukkan, salah satunya, oleh para Q-Grader/R-Grader

dari Indonesia.

B. Rumusan Masalah

Dari penjelasan di atas, maka dirumuskanlah beberapa pertanyaan:

1. Bagaimana Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya, mengartikulasikan

homogenisasi cita rasa dari budaya yang mendominasi secara ekonomi dan

politik?

2. Bagaimana Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya ini dialami oleh Q-

Grader/R-Grader di Indonesia untuk kemudian direproduksi pengetahuannya

kepada orang-orang yang bergiat di mata rantai industri kopi spesial di era

gelombang ketiga?

3. Subjektivitas macam apa yang muncul dari negoisasi dan reproduksi

kuasa diskursif cita rasa kopi di era gelombang ketiga? Lalu apa signifikansi

politiknya?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Secara umum, disamping sebagai upaya memperkaya wacana di bidang

kajian budaya (khususnya studi tentang wacana dan pengetahuan serta kajian

pascakolonial), penelitian ini juga bertujuan memotret situasi yang paradoks

nan subtil dalam masyarakat pascakolonial, yang seringkali tidak disadari oleh

masyarakat itu sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan mendapatkan dan

mengetahui gambaran dari praktik artikulasi wacana cita rasa kopi di era

gelombang ketiga yang diteropong melalui kehadiran Roda Rasa SCAA dan

standar SCA lainnya; dan juga orang-orang yang hidup di tengah wacana

tersebut. Baik yang berkenaan dengan praktik konsumsi, hingga yang

menyangkut praktik reproduksi pengetahuan. Hal ini dirasa penting, sebab apa

yang didapatkan nantinya—entah konstruktif atau tidak—diharapkan mampu

memberikan manfaat berupa narasi alternatif (opsional) bagi pegiat kopi itu

sendiri, khususnya di Indonesia.

Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memantik daya kritis orang-

orang yang bergiat kopi yang bergulat di tengah hiruk-pikuk industri kopi di era

gelombang ketiga yang dirasa begitu didominasi oleh Barat—negara-negara

konsumen kopi utama dunia: AS dan Eropa. Dengan kata lain, muluknya,

penelitian ini mengajak para pegiat kopi untuk bergerak mengidentifikasi dan

memikirkan ulang posisi dan daya tawarnya di tengah hiruk-pikuk industri

tersebut.

D. Kajian Pustaka

Berbagai penelitian yang menjadikan kopi sebagai objek material telah

banyak dilakukan, terlebih dalam disiplin ilmu agronomi, kimia pangan,

gastronomi molekuler, fisiologi dan kedokteran, serta teknologi pangan dan

perkebunan. Pun halnya dengan topik spesifik seperti cita rasa kopi yang lebih

banyak didekati dalam arus utama ilmu eksakta. Oleh karena itu, agar kajian

pustaka di sini tidak terlampau luas, maka saya membatasi dengan meninjau

penelitian cita rasa kopi hanya dalam rumpun ilmu sosial-humaniora.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

Disamping itu, relevansi dengan penelitian tentang kopi sebagai komoditas

kapitalisme yang diletakkan dalam konteks relasi kuasa global, turut pula

menjadi perhatian dalam kajian pustaka di sini.

Untuk kategori pertama, sangat sedikit temuan penelitian yang mengkaji

cita rasa kopi dalam rumpun ilmu-ilmu sosial humaniora. Kebanyakan

penelitian yang ada berkutat dengan tema kopi (secara umum) yang ditinjau

dari sisi sejarah produksi dan eksploitasi, konsumsi dan gaya hidup,

kedaulatan agraria dan pangan, hingga perdagangan berkeadilan, dan lain

sebagainya. Akan ada daftar nama yang panjang untuk tema-tema ini, dimulai

dari Mark Pendergrast, Jan Breman, Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, Jeffrey

Neilson, Steven Topik, Marco Palacios, Caludia D’ Andrea, dan seterusnya. Tanpa

menafikan kerja-kerja ilmiah yang telah mereka lakukan, temuan-temuan

dalam penelitian tersebut secara pasti dikatakan tidak mengkritisi persoalan

cita rasa kopi secara langsung dan tidak cukup membantu dalam memberikan

latar pemahaman wacana cita rasa kopi secara historis, sosial-antropologis,

maupun ekonomi-politik.

Meski demikian, dari jumlah penelitian cita rasa kopi dalam kajian sosial

humaniora yang terbilang sedikit tadi, tetap ada beberapa penelitian yang bisa

dikatakan relevan dengan bahasan di sini. Relevan dalam arti dapat membantu

memberi ilustrasi bagaimana cita rasa kopi turut berkolerasi dengan mata

rantai produksinya. Baik produksi dari kebun ke cangkir, maupun produksi Roda

Rasa SCAA dan standar SCA itu sendiri. Diantaranya adalah penelitian dari Molly

Spencer, Emma Sage, Martin Velez, dan Jean-Xavier Guinard, dengan judul

“Using Single Free Sorting and Multivariate Exploratory Methods to Design a New Coffee

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

Taster’s Flavor Wheel”8 dan “Not All Flavor Expertise Is Equal: The Language of Wine and

Coffee Experts” dari Ilja Croijmans dan Asifa Majid9. Adapula beberapa

artikel/esai yang berangkat dari penelitian yang kemudian dibukukan dalam

“Coffee: A Comprehensive Guide to the Bean, the Beverage, and the Industry”. Buku yang

dieditori oleh Robert W. Thurston, Jonathan Morris, dan Shawn Steiman ini telah

diterjemahkan dengan baik oleh Ninus Andarnuswari ke dalam judul “Kitab

Pendekar Kopi”10.

Pertama, penelitian dari Spencer, dkk. Melalui penelitiannya, Spencer, dkk,

mencoba memberikan validitas ilmiah untuk Roda Rasa SCAA terbaru edisi 2016

yang dibuat berdasarkan Sensory Lexicon WCR edisi kedua. Sebenarnya,

penelitian Spencer, dkk, tergolong penelitian statistik karena menggunakan

metode agglomerative hierarchical clustering dan multidimensional scaling. Kedua

metode ini diletakkan dalam telaah sensoris untuk mengamati dan

memvisualisasikan kesamaan antara produk, konsumen, atau atribut cita rasa

yang berbeda. Jadi, tidak tepat bila penelitian Spencer, dkk, dimasukkan ke

dalam ketegori pertama, sebab tidak dikaji dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora,

dan tentunya jauh berbeda dengan bahasan di sini. Meski begitu, dalam

bahasan cita rasa kopi, Spencer, dkk, telah menguji sekaligus memberi

pemahaman mengapa desian/visualisasi Roda Rasa SCAA dikreasikan serupa

lingkaran dan memuat kategori cita rasa dari yang generik hingga cita rasa

yang paling spesifik. Melalui penilitian ini, Spencer, dkk, menyatakan bahwa

8 Molly Spencer, dkk, Using Single Free Sorting and Multivariate Exploratory Methods to Design a Coffee Taster’s Flavor Wheel, (Journal of Food Science, Institute of Food Technologists, Vol. 18, Nr. 12, 2016)

9 Ilja Croijmans dan Asifa Majid, Not All Flavor Expertise Is Equal: The Language of Wine and Coffee Experts, (Plos One Journal, DOI: 10.1371/0155845, 20 Juni, 2016)

10 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

Roda Rasa SCAA edisi 2016 adalah pionir bahasa visual yang lengkap, efektif, dan

mudah dipahami dalam menjalin standar komunikasi di industri kopi global.

Sebuah kesimpulan ilmiah yang bisa saja politis atau bias kepentingan,

mengingat Spencer, dkk, adalah bagian dari pengembangan proyek Roda Rasa

SCAA. Bahkan Emma Sage adalah manajer kopi dan sains untuk SCAA.

Kedua, penelitian dari Croijmans dan Majid. Penelitian ini tergolong

sebagai kajian lingusitik terapan. Keduanya meneliti bagaimana bahasa dan

persepsi cita rasa itu pada dasarnya saling terkait. Penelitian ini menyebutkan

bahwa para ahli kopi tidak lebih baik dibanding awam ketika mengekspresikan

persepsi cita rasanya ke dalam bahasa yang ia hidupi. Sebabnya, adanya sikap

inkonsistensi dalam penilaian sensoris mereka. Kendati begitu, ahli kopi masih

dinyatakan lebih unggul dalam hal keterampilan linguistik seputar cita rasa.

Berbeda halnya dengan ahli anggur yang sedikit lebih baik dari awam ketika

berbicara tentang cita rasa anggur, baik dalam konsistensi maupun dalam

kemampuan linguistik. Menariknya, di penelitian ini dikatakan bahwa, baik ahli

kopi maupun anggur, akan mendeskripsikan cita rasa yang didapatkannya

dengan berbasis sumber, misalnya, atribut vanilla. Sementara awam, cenderung

berdasarkan opini, misalnya, enak atau tidak enak.

Croijman dan Majid kemudian menyimpulkan bahwa kemampuan

sensoris dan preokupasi budaya tidak cukup mampu mengatasi batas-batas

bahasa. Hal ini disebabkan oleh kemampuan verbal seputar rasa dan aroma

yang tidak terasah. Atau dengan kata lain, kemampuan mendefinisikan cita

rasa bukan semata berdasarkan keterampilan sensoris, melainkan juga

berkenaan dengan kemampuan verbal-linguistik seputar cita rasa. Apa yang

disodorkan oleh Corijman dan Majid, jelas bukan bagian dalam penelitian di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

sini. Namun pengetahuan tentang peranan bahasa dalam persepsi cita rasa

kopi dapat diketengahkan untuk menguji klaim Roda Rasa SCAA sebagai bahasa

cita rasa bersama yang membantu seseorang mengasosiasikan persepsi cita

rasa dengan bahasa.

Ketiga, buku “Kitab Pendekar Kopi” dari Robert W. Thurston, dkk. Dari sekian

tulisan yang dihimpun dalam buku tersebut, terdapat beberapa esai yang

berbicara langsung tentang cita rasa kopi. Seeperti esai “Apa itu Kopi Spesial?”,

“Mengapa Kopi Rasanya Begitu?”, dan “Penilaian dan Kualitas Kopi” yang ditulis

Shawn Steiman; dan esai dari Geoff Watts yang berjudul “Kualitas Kopi” juga

“Ekologi Cita Rasa: Kopi Robusta dan Batas-batas Revolusi Kopi Spesial” yang ditulis

oleh Stuart McCook. Esai-esai dari Steiman menunjukkan bahwa cita rasa kopi

tidak mutlak ditentukan oleh faktor produksi kopi: dari bibit dan daerah tanam

hingga penyangraian dan penyeduhan kopi. Setiap fase dalam produksi kopi

akan saling mengeliminasi perolehan cita rasa. Steiman pun mengatakan

bahwa faktor produksi sebatas berkorelasi dengan cita rasa kopi akhir di

cangkir saji alias tidak mutlak menentukan. Steiman juga menyebut bahwa

manusia sebagai wahana terbaik untuk mempelajari cita rasa pun tidak begitu

bisa diandalkan. Sebab manusia tidak punya pengetahuan yang memadai

untuk merancang, mengeksekusi, dan menganalisis aspek indrawi secara tepat.

Sementara esai dari Watts dan McCook melihat bahwa kualitas cita rasa kopi

juga terkait dengan selera konsumen dan tumbuhnya industri ritel di AS—yang

waktu itu belum ramai membicarakan specialty coffee. Baik Steiman, Watts

maupun McCook, dipandang belum mempertanyakan lebih jauh bagaimana

cita rasa kopi tidak hanya cukup dinilai dari dapur produksinya saja, melainkan

juga bisa diasumsikan dikonstruksi oleh SCA dalam konteks relasi kuasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

global. Sebenarnya apa yang dilakukan Watts dan McCook sedikit lebih jauh

dari Steiman, tapi tidak cukup jeli melihat bagaimana peran SCA mengatur dan

menjadi kanon bagi industri kopi spesial. Celah inilah yang akan ditindaklanjuti

dalam penelitian di sini.

Dalam buku “Kitab Pendekar Kopi” adapula esai yang bisa menjembatani

antara kategori pertama: kajian cita rasa kopi dalam rumpun ilmu sosial

humaniora; dengan kategori kedua: kajian kopi sebagai komoditas kapitalisme

dalam konteks relasi kuasa global. Yakni esai dari Ted Lingle dengan judul

“Hidup dengan Kopi” serta “Mengapa orang Amerika minum Kopi?” yang ditulis oleh

Steven Topik dan Michelle Craig McDonald. Esai Lingle bercerita tentang

pengalaman hidup Lingle yang mengampanyekan gagasan specialty coffee di AS

dan perannya menginisiasi SCAA. Sementara esai dari Topik dan McDonald

lebih mengulik sejarah AS memproyeksikan identitas nasionalnya sebagai

bangsa peminum kopi di tengah mapannya identitas imperialis besar dunia

lainnya, seperti Spanyol dengan cokelat, Jerman dengan bir, dan Inggris dengan

teh. Kedua esai ini jelas bukan topik yang ingin diteliti di sini. Tapi bahasan

kedua esai ini akan membantu mengurai historisitas akar kuasa SCAA, atau

akan didudukan sebagai document dalam pengertian Foucault untuk kemudian

dibaca secara kritis.

Berikutnya, di kategori kajian pustaka kedua: kajian kopi sebagai

komoditas kapitalisme dalam konteks relasi kuasa global. Terdapat satu

penelitian yang begitu relevan dengan bahasan di sini, yakni penelitian dari

Fauziah Romahtika Mayang Sari, yang diberi judul, “Kapabilitas Hegemoni Amerika

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia”11. Apa

yang dilakukan Fauziah sedikit banyak mendekati persoalan pokok dalam

penelitian ini, yakni perihal bagaimana Barat, khususnya AS, menjadi hegemon

dalam industri kedai kopi dunia. Kapabilitas hegemoni ini didapati AS terhitung

sejak menyandang status sebagai negara pemenang Perang Dunia II. Status de

facto ini memungkinkan AS untuk menutup kekurangannya sebagai negara

yang tidak mampu memproduksi biji kopi mentah dengan berbagai variabel.

Ada tiga diantara beberapa variabel, yakni: pertama, melibatkan diri langsung

dalam komoditas kopi dalam wujud membentuk rezim Inter-American Coffee

Agreement (IACA) yang dilanjutkan dengan International Coffee Agreement (ICA)

yang berkewenangan mengatur tata niaga kopi dunia. Kedua, AS mengimpor

berbagai biji kopi mentah khususnya dari Amerika Latin untuk diolah menjadi

kopi bubuk, kopi sangrai (roasted), dan kopi dadak (instan) dan kemudian

diperdagangkan di pasar global. Ketiga, hegemoni juga dilancarkan AS dalam

konsumsi kopi dengan membentuk tren konsumsi kopi melalui industri kedai

kopinya. Tonggaknya ada pada Starbucks saat melakukan internasionalisasi

secara masif yang dimulai tahun 1996. Kopi yang merupakan bagian dari

konsumerisme masyarakat serta cara konsumsi di kedai yang sangat sarat

nilai-nilai khas Amerikanisasi dianggap sebagai media yang tepat untuk

menjadi etalase kultur AS yang kemudian mempengaruhi kultur (culture

hegemony) lain di luar AS.

Secara pasti, hendak dikatakan bahwa tiga variabel dari kapabilitas

hegemoni AS yang didapati Fauziah tidak diteropong dari konsumsi kopi

11 Fauziah Romahtika Mayang Sari, Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia, (Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

sebagai praktik kuasa dan pengetahuan—sebagaimana yang hendak ditelusuri

dalam penelitian ini. Meski begitu, tidak dipungkiri bahwa temuan penelitian

Fauziah bisa menjadi basis data yang saling mendukung dengan dua esai dari

Lingle dan McDonald dalam buku “Kitab Pendekar Kopi”. Keduanya bisa

dielaborasi untuk memperkaya gambaran praktik hegemoni AS bagi penelitian

di sini.

E. Kerangka Teori

Guna memeriksa persoalan politik cita rasa kopi dalam industri kopi

spesial di era gelombang ketiga, maka ide discourse (diskurs/wacana) dari

Michel Foucault dinilai relevan sebagai kerangka konseptual.

Secara teoritis, wacana cita rasa kopi akan ditempatkan dalam dua hal,

yakni wacana dalam kaitannya dengan analisis genealogis dan wacana dalam

kaitannya dengan pengalaman. Untuk kepentingan kedua, akan diperbantukan

pula konsep ambivalensi dari Homi K. Bhabha dalam bukunya The Location of

Culture (1994); dan konsep alienasi linguistik dari Bill Ashcroft, Gareth Griffins,

dan Hellen Tiffin yang tertuang dalam buku mereka, The Empire Writes Back:

Theory and Practice in Post-colonial Literature (1989).

a. Wacana dan Genealogi

Membalik adagium Francis Bacon di abad ke-15, “Knowledge is Power”,

Foucault dengan nada kritis menyatakan, “Pouvoir est savoir”. Bila Bacon

menyatakan dengan nada optimis bahwa dengan pengetahuan seseorang akan

memperoleh kekuasaan, maka Foucault sebaliknya, bahwa dengan kekuasaan

seseorang akan memproduksi pengetahuan guna meneguhkan kuasanya.

Bahwa kekuasaan akan selalu diartikulasikan lewat pengetahuan, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

pengetahuan akan berimplikasi pada kuasa. Setiap yang berkuasa, memegang

hak penuh untuk menentukan pengetahuan sebagai basis kekuasaannya.

Hegemoni dimapankan dan diartikulasikan lewat pengetahuan, dan siapa pun

yang mengontrol pengetahuan maka akan dapat mengontrol sejarah, bahkan

lebih jauh dapat mengontrol “kebenaran”. Siapa pun itu! Sebab kekuasaan

dalam keragaman manifestasinya itu tersebar di mana-mana. Dari unit-unit

terkecil hingga yang besar sekalipun. Foucault berbicara tentang aparatus untuk

menunjuk “siapa pun” yang bertindak sebagai hegemon. Aparatus adalah

struktur elemen-eleman heterogen, seperti wacana, hukum, institusi. Pendek

kata: apa yang dikatakan maupun yang tidak dikatakan. Aparatus terdiri dari

strategi pola-pola hubungan kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh

berbagai jenis pengetahuan12.

Itu sebabnya, dapat dipahami bahwa Foucault menolak narasi tunggal

kebenaran pengetahuan. Foucault lebih meyakini bahwa sifat kebenaran

pengetahuan itu parsial dan relatif karena didasari episteme tertentu pada

masanya. Episteme dipahami sebagai hal-hal yang fundamental yang

mengkontruksi realitas pengetahuan. Suatu ide/peristiwa yang sama akan

dinilai secara berbeda bergantung fragmen sejarah dan siapa yang memegang

kekuasaan pada saat itu. Episteme akan selalu berubah seturut fragmen sejarah

berikut relasinya pada kekuasaan. Sejarah bukanlah bentangan ide/peristiwa

yang total-berkesinambungan-kronologis, yang disusun berdasarkan prinsip

kausalitas, serta mengisyaratkan adanya permulaan dan suatu tujuan. Sejarah

bukanlah koherensi ide/peristiwa. Bagi Foucault, sejarah adalah retakan

12 Madan Sarup, Post-Structuralism dan Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Agnita Hidayat, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 110.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

(rupture), ia diskontinuitas13. Bahwa sejarah pada dewasa kini terpisah dari

sejarah masa lalu—tidak berkaitan. Sebab setiap fragmen sejarah memiliki

episteme-nya sendiri. Dan, episteme inilah yang menjadi formasi bagi

terbentuknya discourse of knowledge (wacana pengetahuan)14, yakni seperangkat

pengetahuan yang menyediakan suatu bahasa untuk berkomunikasi (praktik

sosial). Lengkapnya, seperangkat batasan dan regulasi (yang dikonstruksi

secara politis-ideologis atas pikiran dan tindakan) yang terterap ketika

membicarakan segala sesuatu. Bagaimana suatu sejarah: ide, pengetahuan,

peristiwa dikategoriksasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti bergantung

pada komponen-komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh

(subjek).

Dalam penelitian ini, wacana cita rasa kopi dari SCA yang disusun

berdasar episteme dan relasinya dengan kekuasaan dalam suatu fragmen

sejarah tertentu akan dianalisis secara genealogis. Sebagaimana ide

diskontinuitas sejarah, prinsip-prinsip genealogi juga diadopsi Foucault dari

gaya filsafat Nietzsche, genealogy of moral. Genealogi menelisik bagaimana

kebenaran-kebenaran yang sudah dianggap terberi dan menjadi kelaziman

(taken for granted), seperti kebenaran ilmiah, rupanya suatu konstruksi historis

yang berdasar pada agenda sosial-politik tertentu15. Dengan kata lain, analisis

genealogi adalah analisis kritis yang menyasar akar wacana, yang bertujuan

menemukan bagaimana suatu pengetahuan ditentukan dan didisiplinkan

13 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Mudzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 17.

14 P. Sunu Hardiyanta, Michel Foucault: Displin Tubuh, Bengkel Individu Modern, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. XV.

15 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approach. (London: Sage Publication, 2003), hal. 115.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

sebagai sebuah wacana, serta bagaimana ia menjadi strategi kekuasaan pada

periode sejarah tertentu. Jadi tidak sebatas “menjelaskan” gejala-peristiwa

sosial, melainkan lebih jauh untuk menyingkap motif dan variabel tersembunyi

dalam tiap-tiap episteme.

Analisis genelaogi lazimnya akan mencermati detil-detil sejarah wacana

(historisitas wacana), bagaimana ia dikonstruksi. Pencermatan ini akan

mengandaikan pada apa yang dikatakan arsip/documents/statements sejarah

(arkeologis) sekaligus pada apa yang tidak dikatakannya (genealogis). Ini

terkait dengan mengapa arsip itu perlu ada dan sejarah beserta pengetahuan

dan kebenarannya itu perlu dikonstruksi16. Analisis genealogis akan lebih

berupaya memeriksa rangkaian proses pendisiplinan pengetahuan dan formasi

diskursifnya (episteme) yang menjadi taktik dan strategi kekuasaan. Bagaimana

rangkaian tersebut memperlihatkan perkembangannya, dan kemudian

dikonsumsi pada masanya hingga diyakini menjadi sebuah rezim

“kebenaran”17.

Bila dirumuskan sebagai langkah berpikir tentang kuasa dan

pengetahuan, maka penjelasan di atas dapat diringkas sebagaimana berikut:

setiap yang berkuasa akan dapat menentukan (produksi) dan mengontrol

pengetahuan guna kepentingan kuasanya. Politisasi pengetahuan ini kemudian

menyarankan pada sebuah rezim “kebenaran”. Sifat kebenaran itu parsial dan

relatif, sebab dibaliknya tersimpan episteme tertentu. Episteme ini berada dalam

sejarah yang diskontinu (rupture). Inilah yang kemudian disebut discourse, yang

dalam penelusurannya diperlukan analisis genealogi. Suatu kerja analisis yang

16 Paula Saukko, hal. 118.

17 Michel Foucault, Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan, terj. Yudi Santosa (Yogyakarta: bentang Budaya: 2002) hal. 96

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

menggugat kebenaran wacana-pengetahuan dengan cara menelanjangi

historisitas kebenaran tersebut.

b. Wacana dan Pengalaman

Dalam kaitannya dengan pengalaman, wacana dibentangkan pada dua

pemahaman sekaligus, sebagai disiplin dan sebagai teknologi diri. Sebagai

disiplin, wacana (yang seringkali tidak disadari) telah mendisiplinkan atau

mengkonstruksi pengalaman (lived experience) dan kesadaran diri seseorang

(sense of self) yang amat mendasar. Segala hal yang dinilai sebagai yang

autentis pada personalitas seseorang adalah hasil dari internalisasi wacana

melalui kuasa institusi-institusinya. Di sinilah letak dari kekuatan wacana yang

mampu merekayasa kesadaran seseorang. Meskipun demikian, di saat yang

bersamaan, Foucault juga mengatakan, “where there is power, there is resistance”,

bahwa wacana tidak selalu bersifat monolitik. Di satu sisi, wacana akan

mendisiplinkan seseorang, sedang di sisi lain, wacana akan selalu membuat

seseorang melakukan resistansi18.

Untuk menjelaskan resitansi inilah, maka Foucault meneruskan

pandangannya tentang wacana. Dari wacana sebagai disiplin ke wacana

sebagai teknologi. Sebagai teknologi, Foucault tidak lagi melihat wacana yang

mendisiplinkan, melainkan sebagai upaya seseorang untuk membalikkan

keadaan, yang semula “dikuasai” menjadi “menguasai”. Foucault mengatakan

bahwa seseorang dapat melakukan “critical ontology of self” dengan cara

memanfaatkan wacana yang telah membentuk subjektivitas seseorang dan

kemudian mereaktualisasi kembali diri secara berbeda. Praktik ini bukan upaya

18 Paula Saukko, hal. 76

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

membebaskan diri dari wacana, melainkan sebagai upaya menumbuhkan

kesadaran kritis terhadap wacana yang selama ini telah mengkonstruksi

subjektivitas seseorang19.

Walaupun Foucault telah melihat aspek bagaimana wacana dialami,

namun sayangnya pengalaman di sini tidak dimaksudkan sebagai pengalaman

terjajah sebagai imbas dari kolonialisme Barat. Foucault mengabaikan

ekspansi kolonial sebagai suatu aspek dari masyarakat sipil Eropa yang ia teliti,

atau bagaimana kolonialisme telah memengaruhi sistem-sistem

kekuasaan/pengetahuan negara Eropa modern. Maka konsep-konsep Foucault

sendiri adalah Eropa sentris dalam fokusnya, dan terbatas manfaatnya dalam

memahami masyarakat-masyarakat kolonial.

Pengalaman yang diurai Foucault lebih mengarah ke bagaimana negara-

negara Eropa modern yang “produktif” meliyankan (othering) subjek-subjek sipil

Eropa yang dianggap “abnormal”. Praktik ini cenderung beroperasi melalui

hukuman, siksaan, pelabelan (diagnosis), penjara dan asilum. Foucault luput

melihat bahwa negara-negara Eropa modern juga adalah yang “represif”,

sementara negara-negara kolonial yang terepresi itu sudah tidak “modern” di

mata Eropa. Foucault juga abai bahwa subjek-subjek kolonial dalam pengertian

Eropa sudah menjadi yang liyan lebih dulu ketimbang subjek-subjek sipil Eropa.

Hal yang tak kalah yang penting diabaikan Foucault adalah kekuasaan

hegemonik (kolonial) tidak melulu beroperasi dengan cara-cara represi fisik,

tapi juga dengan merepresi mindset yang dicitrakan konstruksif dan positif20.

19 Paula Saukko, hal. 77

20 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal 68-69.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Karena kelemahan-kelemahan ini, agar wacana dan pengalaman cita rasa

SCA dapat diletakkan dalam konteks kajian pascakolonial, maka diperlukan

teori bantu. Apa yang dirumuskan oleh Bhabha sebagai ambivalensi dipandang

dapat membantu menjelaskan perihal ini. Asumsinya, bahwa wacana cita rasa

ini adalah wacana neo-kolonial yang diedarkan oleh Barat, yakni SCA, kepada

orang-orang yang hidup di negara-negara pascakolonial, yakni Indonesia.

Wacana ini seringkali berpretensi mulia, bahwa SCA acapkali mencitrakan diri

sebagai organisasi nirlaba yang berdedikasi memajukan industri kopi spesial

dunia lewat kerja-kerja saintifik dan keberlanjutan (sustainability). Dengan

demikian, akan ada relasi kuasa global yang kompleks di sana yang cenderung

tidak disadari. Sebuah relasi yang diasumsikan bergandengan tangan dengan

pertumbuhan kapitalisme, di mana keuntungannya tetap mengalir ke pusat:

Barat.

Bagi Bhabha, wacana kolonial tidak sepenuhnya berhasil menguasai

subjek-subjek kolonial. Akan selalu ada potensi untuk negoisasi dan resistansi

oleh terjajah kepada penjajah. Bhabha berpandangan bahwa individu atau

kelompok masyarakat pada dasarnya bersifat hibrid, yakni terjadinya

percampuran antara budaya, bahasa, dan ras, sebagai konsekuensi logis

adanya interaksi antar manusia yang saling memengaruhi. Hibriditas akan

selalu ada dalam setiap subjek dan kebudayaan, menurut Bhabha, dan wacana

kolonial kemudian menginterupsi keniscayaan ini dengan memberi kesan

bahwa setiap budaya itu terpisah secara tegas, dan final. Dengan kata lain,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

wacana kolonial menolak sifat individu atau kelompok masyarakat di tanah

koloninya sebagai yang cair dan dinamis21.

Konsep hibriditas diketengahkan Bhabha sebagai upaya mengkritisi

fiksasi tadi, yang dijalankan melalui proyek sterotipisasi. Kolonial akan selalu

berambisi menstereotipisasi yang terjajah di tengah realitas yang hibrid.

Stereotipisasi oleh wacana kolonial selalu mengasumsikan kondisi yang

terjajah adalah fix dan koeksis dengan keadaan yang tidak teratur dan

berantakan. Padahal realitasnya, tidak semua yang terjajah demikian. Namun

oleh wacana kolonial, realitas ini kemudian diprasangkakan sebagai yang

disorder. Mengapa? Sebab dengan menstereotipikasi terjajah, penjajah dapat

mengeliminasi kecemasan (anxiety) penjajah, bahwa hibriditas akan

mengancam hirarki identitas antara penjajah yang selalu baik dan terjajah

yang selalu buruk22.

Selain hibriditas, kecemasan ini juga berdasar pada wacana kolonial yang

bersifat ambivalen. Ambivalensi adalah kondisi di mana wacana kolonial, di

satu sisi, begitu tegas menarik perbedaan identitas dengan cara yang rasis dan

penuh stereotip. Bahwa non-Barat selalu dinilai “terbelakang” dibanding Barat.

Sedang di sisi lain, kolonialisme dilegitimasi melalui misi pemberadaban.

Bahwa subjek-subjek kolonial yang “terbelakang” perlu dididik agar dapat

sama “majunya” dengan kolonialis. Tujuannya, agar subjek-subjek kolonial

yang terdidik dapat mengagumi kebesaran bahasa dan budaya penjajah.

Terjajah dididik berbahasa Inggris, misalnya, agar ia mampu mampu membaca

21 Katrin Bandel, Homi K. Bhabha, (Bahan Kuliah Kajian Pascakolonial, Magister Kajian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2017)

22 Katrin Bandel; dan David Huddart, Homi K. Bhabha, (Routledge: London dan New York, 2006), hal 25 dan 37.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

karya-karya sastra klasik dari Inggris dan kemudian mengagumi “ke-

adiluhung-annya”. Atau paling tidak agar ia mampu berkomunikasi seperti

penjajah, menggunakan bahasa yang sama. Meski diharapkan sama, tapi

jangan sampai sama persis, “almost the same, but not quite”. Sebab bila sama

persis, hierarki identitas antara penjajah dan terjajah akan kabur, dan segala

stereotip yang rasis akan menjadi fiktif, “almost the same, but not white”23.

Konsep ambivalensi ini juga menghasilkan tindakan lain, yakni mimikri.

Bila sikap ambivalensi tadi datangnya dari diri penjajah, maka mimikri

datangnya dari terjajah. Mimikri adalah tindakan terjajah yang meniru (mimic)

penjajah. Peniruan ini bukan murni ketertundukan, melainkan menjadi mockery

(ejekan)—“mimicry is at once resemblance and menace”—kepada kolonial. Di satu

sisi, terjajah “benci” pada penjajah karena dominasi dan represi kolonial.

Namun di sisi lain, terjajah berkompromi dengan berupaya tampil sama dengan

penjajah dalam hal bahasa, budaya, sikap dan gaya berpikir, tujuannya untuk

resistansi. “Mimicry repre-sents an ironic compromise,” ujar Bhabha. Bhabha

memandang mimikri sebagai strategi perlawanan terjajah pada wacana

kolonial, resistansi. Meskipun resistansi seringkali dilakukan secara tidak

sadar. Dengan konsep mimikri, terjajah dipandang bukan sebagai objek pasif

yang dikuasai (oleh penjajah, wacana kolonial). Terjajah meniru, tapi bukan

berarti tunduk24.

Berikutnya, konsep lain yang turut diperbantukan dalam penelitian ini

adalah alienasi linguistik dari Ashcroft, dkk. Konsep ini dipakai sehubungan

bagaimana bahasa cita rasa kopi yang distandarkan oleh SCA menjadi salah

23 Katrin Bandel; dan David Huddart, hal 40

24 Katrin Bandel; dan David Huddart, hal 39-41

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

satu praktik represi neo-kolonialisme terhadap subjek-subjek pascakolonial. Di

sini, SCA diasumsikan telah mengontrol persepsi cita rasa seseorang melalui

sarana bahasa. Bahasa menjadi sarana untuk menunjukkan struktur hierarki

kekuasaan dan menetapkan konsepsi-konsepsi kebenaran, aturan, dan realitas

yang terepresi25. Hierarki bahasa SCA sebagai bahasa “pusat” dengan bahasa

pascakolonial yang dikatakan sebagai bahasa “pinggiran” berimplikasi pada

keterasingan bahasa atau alienasi linguistik. Yakni sebuah kondisi di mana

subjek pascakolonial mengafirmasi bahasa “pusat” dan menggunakannya

untuk mengekspresikan konsep tertentu. Keteraturan menggunakan bahasa

“pusat” secara terus-menerus oleh subjek pascakolonial, menjadikan mereka

mulai terasing dari bahasa ibu yang dihidupinya. Seakan bahasa ibu tidak

dibutuhkan, sebab dirasa tidak memadai untuk dipakai sebagai sarana

berekspresi. Bahasa ibu terdesak menjadi “pinggiran”, dinilai tidak cocok, tidak

pas dan tidak layak digunakan. Sehingga para penuturnya pun menjadi

kesulitan jika harus mengungkapkan konsep tertentu dengan bahasa historis

miliknya26. Pada kondisi itu pula, subjek pascakolonial secara tidak sadar

direkayasa menjadi inautentis. Menjadi distingsif antara pengalaman autentis

dari dunia yang “real” dengan pengalaman yang inautentis dari pengalaman

“pinggiran” yang tidak sah. Ashcroft, dkk, menilai bahwa dominasi “pusat” dan

pandangan resminya harus ditentang sampai pengalaman “pinggiran” tersebut

dapat diterimanya27.

25 Bill Ashcroft, dkk, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature, (London-New York: Routledge, Edisi Kedua, 2002), hal. 7-8.

26 Aschcroft, dkk, hal. 8-11

27 Aschcroft, dkk, hal. 87-88

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

Berbekal konsep ambivalensi dari Bhabha dan alienasi lingusitik dari

Ashcroft, dkk, ini, penjelasan tentang wacana dan pengalaman―yang

mendisiplinkan sekaligus yang monolitik―seperti yang dimaksud Foucault,

dapat diletakkan dalam konteks kajian pascakolonial sebagai pengalaman

yang terdampak dari adanya praktik-praktik neo-kolonialisme.

F. Metode Penelitian

Secara formal, penelitian ini tergolong sebagai penelitian teks/wacana

budaya (speaking being) sekaligus penelitian pengalaman para pelaku dari

budaya itu sendiri (living being). Sebagai speaking being, penelitian ini berfokus

pada savoir kopi dengan mengambil bentuk analisa wacana cita rasa SCA di era

industri kopi spesial di gelombang ketiga. Seperti yang sudah disinggung

sebelumnya, analisa genealogis Foucauldian akan ditempuh.

Genealogi dibedakan dari arkeologi. Bila arkeologi mendasarkan analisanya

pada apa yang dikatakan oleh dokumen-dokumen sejarah, tapi tidak

berspekulasi tentang apa yang tidak dikatakan, maka genealogi mencoba

masuk ke spekulasi yang lebih dalam, yakni tentang motif-motif dan

pembentukan subjek atau institusi wacana di masa lalu28.

Dengan kata lain, genealogi lebih berupaya memeriksa rangkaian

pengetahuan dan formasi diskursifnya. Lebih jelasnya, setiap episteme yang

didapat dari pemeriksaan arkeologis tadi, kemudian akan diperiksa kembali

dengan pertanyaan lanjutan: bagaimana rantai episteme memperlihatkan

perkembangannya, dan kemudian dikonsumsi pada masanya hingga diyakini

menjadi sebuah rezim “kebenaran”. Dengan demikian, genealogi atas

28 Paula Saukko, hal. 118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

pengetahuan ini dianilisis bukan dalam kaitannya dengan berbagai tipe

kesadaran, model persepsi, dan bentuk ideologi (seperti dalam arkeologi),

melainkan dalam kaitannya dengan taktik dan strategi kekuasaan29.

Dengan genealogi pula, historisitas wacana cita rasa kopi dalam industri

kopi spesial akan dianalisis. Bahwasanya cita rasa kopi tidak hanya

dipengaruhi oleh jejak produksinya saja: dari kebun ke cangkir, tapi yang paling

penting juga dikonstruksi sebagai wacana yang diusung oleh AS melalui

institusi SCA. Analisa di sini akan mendasarkan pada pembacaan kritis atas

objek pengetahuan yang mewujud document dan/atau statement. Pengetahuan

yang dimaksud adalah pengetahuan yang membatasi seseorang akan cita rasa

kopi spesial, yakni pengetahuan sains yang dipandang objektif dan universal.

Sementara document yang dimaksud antara lain, Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon,

SCA Coffee Standards, dan SCAA Cupping Protocols, yang diterbitkan oleh SCA

maupun organisasi/institusi yang terafiliasi dengannya. Juga beberapa

dokumen lain yang berkaitan dengan institusi wacana SCA, seperti yang

tertuang dalam esai “Hidup dengan Kopi” yang ditulis oleh Ted Lingle—seorang

yang gigih mengampanyekan kopi spesial serta salah satu dari aktor dibalik

berdirinya SCAA dan CQI—dan dokumen lain yang berhubungan dengan tren

komoditas kopi bagi kepentingan nasional AS. Dokumen-dokumen ini dibaca

wujud dari statement: sebagai praktik artikulatif yang dibentuk oleh conditions of

possibility30. Terdapat empat kondisi yang memungkinkan statement

dioperasikan sebagai praktik diskursif cum sebagai praktik sosial, yaitu: objek

29 Power/Knowledge, hal. 96.

30 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 2006) hal. 38.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

pengetahuan, the formations of objects31 (pengetahuan yang saintifik, objektif,

dan universal); subjek penutur dan gaya bertutur, the formations of enunciative

modalities32 (SCAA/SCA dan subjek-subjek yang mengidealisasikannya); konsep-

konsep dan kategori yang menguatkan statement, the formations of concepts33

(industri kopi spesial di era gelombang ketiga); dan strategi-strategi yang

memungkinkan realitas (cita-rasa) hadir, the formations of strategies34.

Pembacaan ini dilakukan dalam rangka mempelajari sejarah yang telah terberi

(taken for granted) guna membongkar “kebenaran-kebenaran” sejarah itu sendiri.

Pada titik ini, teknik analisa masih dijalankan secara arkeologis. Baru

kemudian, hingga pada gilirannya menuju ke analisa genealogis yang akan

mengantarkan pada analisa pengetahuan dan relasi kuasa yang ada dalam

wacana cita rasa kopi yang hidup dalam masyarakat industri35.

Hasil analisa ini kemudian akan dibawa dan dikonfrontir dengan praktik

formal penelitian selanjutnya: living being. Sebagai living being, saya mencoba

mencermati bagaimana pelaku budaya mengalami teks budaya. Bagaimana

wacana cita rasa kopi dari SCA kemudian dialami oleh berbagai orang.

Bagaimana setiap orang bernegoisasi dan/atau mereproduksi pengetahuan cita

rasa SCA. Untuk kepentingan ini, selain konsep tentang wacana dan

pengalaman dari Foucault—baik sebagai disiplin maupun teknologi diri—

tahapan analisa living being juga akan dilengkapi oleh konsep dari Bhabha

tentang ambivalensi dan alienasi linguistik dari Ashcroft, dkk. Konsep-konsep

31 Norman Fairclough, hal. 41-43

32 Norman Fairclough, hal. 43-45

33 Norman Fairclough, hal. 45-48

34 Norman Fairclough, hal. 48-49

35 Norman Fairclough, hal. 54

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

mereka dipakai sebab pengalaman yang dimaksud di sini adalah pengalaman

subjek-subjek pascakolonial; subjek yang mengalami wacana cita rasa SCA

yang berat sebelah ke AS. Dan, dengan konsep-konsep ini, ciri-ciri pengalaman-

pengalaman tersebut dapat dijelaskan. Praktik penelitian living being ini akan

menggali pengalaman subjek melalui pendekatan self-reflexive dan kegiatan

wawancara.

Ada dua pengalaman yang akan saya amati nantinya. Pertama, pengalaman

saya pribadi sebagai awam dalam mencicip cita rasa kopi. Di sini, saya akan

menggali berbagai ingatan personal saya saat hendak menyatakan cita rasa

kopi. Kemudian didialogkan kembali pada situasi aktual setelah saya

melakukan analisa genealogi atas wacana cita rasa tadi. Penggalian ini tidak

semata mengandalkan ingatan empiris, melainkan juga didukung oleh tinjauan

berbagai catatan atau dokumen yang pernah saya tulis dan arsipkan sejauh

berkaitan dengan cita rasa kopi. Untuk mendukung pembacaan ini, maka

pendekatan self-reflexive akan diperbantukan. Dalam peta analisis wacana dan

pengalaman, self-reflexive ini dapat dipahami sejalan dengan gagasan Foucault

tentang disiplin dan teknologi diri, yakni sebuah proyek inventarisasi dan

penelitian kritis atas wacana-wacana yang telah membentuk diri sendiri.

Foucault (via Saukko) menyebutkan bahwa orang bisa melalakukan “critical

ontology of the self” dengan memanfaatkan berbagai wacana yang telah

membentuk subjektivitasnya dan kemudian mengimajinasikan ulang dirinya

secara berbeda36.

Kedua, adalah pengalaman orang lain, yakni pengalaman dari Q-Grader/R-

Grader sebagai yang primer; serta pengalaman pelaku bisnis pendidikan dan

36 Paula Saukko, hal. 77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

pelatihan kopi yang tersertifikasi oleh SCA (SCA Premier Campus) dan ilmuwan

sensori dan cita rasa kopi (coffee flavor and sensory scientist) sebagai yang

sekunder. Keduanya digolongkan sebagai pengalaman yang mewakili kalangan

profesional. Pengalaman mereka menjadi penting untuk diketahui, sebab

mereka adalah subjek aktif yang “dipercaya” oleh institusi wacana cita rasa

SCA, sekaligus yang mewakili sisi lain dari bagian (situasi) budaya yang akan

diteliti. Penggalian pengalaman mereka juga bagian dari upaya memahami

orang lain melalui perbandingan dan pertukaran pengalaman yang setema

antar subjek. Pun juga untuk mengetahui posisi dan daya tawar khususnya bagi

Q-Grader/R-Grader terhadap wacana cita rasa SCA. Serta bagaimana respon

mereka atas temuan kritis dari praktik formal penelitian sebelumnya, speaking

being. Seperti yang dijelaskan Saukko, bahwa self-reflexive adalah pendekatan

yang mencoba merefleksikan sekaligus menarasikan pengalaman diri peneliti,

untuk selanjutnya memahami orang lain (understanding other). Pengalaman

kedua ini akan digali melalui kegiatan wawancara secara mendalam; yang

hasilnya akan diolah secara kualitatif. Wawancara menjadi penting agar analisa

di sini dapat terhindar dari tindakan “mendiagnosis” subjek-subjek wacana.

Seperti kritik Saukko (2001), bahwa analisis kritis yang dilakukan Foucault atas

wacana yang mendisiplinkan dan membentuk pengalaman subjek cenderung

jatuh pada produksi logika pengakuan itu sendiri. Peneliti yang demikian, ujar

Saukko, pada gilirannya akan memberi kesan sebagai penafsir yang “maha

tahu”, yang memberikan penilaian tentang kebenaran pengalaman subjek yang

ditelitinya, dan membuat diagnosis37. Atas alasan inilah, wawancara menjadi

37 Paula Saukko, hal. 77

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

penting sebagai data pembanding dalam analisis pengalaman subjek-subjek

wacana.

Para penguji cita rasa kopi, Q-Grader/R-Grader, yang dimaksud adalah yang

berlisensi CQI, yang berasal dan bekerja di Indonesia: representasi “dunia

ketiga”. Mereka yang dipiih sebagai narasumber adalah Q-Grader/R-Grader yang

vokal, representatif serta populer di industri kopi nasional. Dikatakan begitu,

sebab pendapat mereka tentang cita rasa kopi begitu melimpah dan berserak di

berbagai media massa serta di banyak tulisan lepas. Pendapat mereka pun

digemari, dirujuk, dan diyakini kualitasnya oleh banyak para pegiat kopi di

Indonesia. Ada tiga orang yang dipandang masuk kualifikasi ini, yaitu Adi W.

Taroepratjeka, Q Arabica Instructor dari 5758 Coffee Lab., Bandung; Uji Sapitu, Q

Robusta Grader dari Rumah Kopi Ranin, Bogor; dan William Christiansen, Q Arabica

Grader dari Space Roastery Yogyakarta . Sementara narasumber yang mewakili

pebisnis SCA Premier Training Campus adalah Andi K. Yuwono dari 5758 Coffee Lab.,

Bandung; serta yang mewakili kalangan Coffee Flavor and Sensory Scientist, adalah

Wenny Bekti Sunarharum, Ph.D dari Universitas Brawijaya Malang.

Andi K. Yuwono dipilih sebab 5758 Coffee Lab., yang ia kelola—sebagai salah

satu SCA Campus yang mentereng di Indonesia—bersama Seniman Coffee Bali

menciptakan alternatif Roda Rasa selain SCAA, yaitu Roda Rasa Kopi Indonesia.

Alasan serupa juga berlaku pada Wenny Bekti Sunarharum yang telah

menciptakan Sensoflavo: Coffee Aroma Library, sebuah coffee aroma kit lokal

pertama di Indonesia. Senso Flavo hadir belakangan setalah kit aroma kopi lain

seperti, Le Nez Du Café dari Perancis (yang dipakai SCA sebagai standar referensi

aroma kopi), dan Scentone: Coffee Flavor Map dari Korea Selatan. Baik Roda Rasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

Kopi Indonesia maupun Sensoflavo, keduanya mendapat respon dan antusiasme

yang tinggi dari pegiat kopi di Indonesia.

G. Sistematika Pembahasan

Bab pertama berisikan pendahuluan yang menguraikan argumentasi

seputar signifikasi penelitian ini. Di dalamnya, terdiri dari latar belakang,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan metode

penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika pembahasan.

Bab kedua, tentang cita rasa kopi. Bab ini berisi informasi dan definisi

tentang cita rasa dan persepsi; mutu kopi dan pengaruhnya terhadap cita rasa

kopi; Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon; Q-Grader/R-Grader dan coffee cupping

sebagai aktivitas kerja mereka. Bab ini juga mengulas tentang specialty coffee

dan era gelombang ketiga. Definisi dan informasi di sini dirasa perlu, sebab

sebagai batasan dan gerbang masuk ke persoalan penelitian ini.

Bab ketiga, perihal analisis wacana dan institusinya. Di sini, historisitas

wacana cita rasa SCA yang berelasi dengan kekuasaan tertentu akan dianalisis

secara genealogis. Bab ini juga akan berupaya menunjukkan muatan politis-

ideologis dari wacana cita rasa kopi yang diusung SCA. Bagaimana wacana

tersebut menjadi begitu dominan dan otoritatif bagi industri kopi spesial

global.

Bab keempat, berkaitan dengan bagaimana wacana cita rasa SCA dialami

oleh subjek-subjek pascakolonial. Pada bagian ini, akan dibicarakan

pengalaman Q-Grader/R-Garder, pelaku bisnis SCA Campus, ilmuwan sensori dan

cita rasa kopi sebagai professional, yang bernegoisasi dan/atau mereproduksi

standar pengetahuan cita rasa SCA. Atau dengan kata lain, bab ini akan bicara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

bagaimana mereka merepresentasikan subjektivitasnya di tengah kuasa

wacana dominan.

Bab kelima, penutup dan kesimpulan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

BAB II

CITA RASA KOPI

Bab ini memberi beberapa uraian tentang batasan dan gambaran dalam

penelitian ini. Mula-mula tentang batasan yang diterangkan melalui definisi.

Uraian ini meliputi definisi rasa, aroma, dan cita rasa kopi, sekaligus definisi

lain yang terkait, seperti definisi tentang mutu. Selanjutnya, uraian berkembang

ke gambaran tentang Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon sebagai basis

pengetahuannya. Lalu para penguji cita rasa kopi, Q-Grader/R-Grader, yakni

individu terpenting yang hidup di tengah gagasan cita rasa kopi SCA. Di akhir

bab, penjelasan mengenai kapan Roda Rasa SCAA ramai dibicarakan akan

diketengahkan. Pertanyaan waktu ini akan menunjuk era gelombang ketiga

yang secara bersamaan turut membahas kopi spesial sebagai kopi yang

memiliki cita rasa terbaik. Segala uraian dalam bab ini dimaksudkan sebagai

informasi awal dan penunjang sebelum masuk ke persoalan cita rasa sebagai

wacana.

A. Cita Rasa dan Persepsi

Ada tiga hal yang perlu ditekankan di sini. Tiga hal ini, meski sulit, sebisa

mungkin ditulis secara singkat dengan menghindari bahasa yang amat

fisiologis. Setidaknya, agar tidak terlalu teknis tapi bukan berarti menjadi

simplistis. Hal pertama, adalah soal rasa. Rasa merupakan tanggapan indra

pengecap, yakni lidah. Lidah memiliki reseptor yang hanya mampu mencecap

rasa-rasa yang mendasar (basic taste) seperti manis, asin, asam, pahit dan gurih

(umami).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

Kedua, soal aroma. Aroma adalah tanggapan dari indra pencium, yakni

hidung. Hidung mampu mendeteksi lebih dari 10.000 aroma atau aromatik

murni (pure aromatics taste) seperti aroma buah-buahan, sayuran, rempah-

rempah, bebungaan, kacang-kacangan, alkohol/fermentasi, kimiawi, dan

seterusnya. Jadi, sebagian besar yang dianggap rasa sebenarnya adalah aroma

yang dibaui. Rasa serupa lemon yang didapat dari kopi, misalnya, pada

dasarnya adalah aroma kopi. Maka wajar bila dikatakan bahwa kopi adalah

produk aromatik yang lebih mengandalkan hidung untuk mendeteksi cita rasa.

Lalu apa itu cita rasa? Ini hal yang ketiga. Membahas cita rasa kadangkala

menyulitkan. Lantaran cita rasa merupakan fenomena multisensoris yang

dipengaruhi berbagai faktor. Tapi yang patut digarisbawahi adalah bahwa cita

rasa merupakan sensasi yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi antara

rasa dari lidah, aroma dari hidung, tekstur dan kesan di mulut (mouthfell).

Sensasi ini lantas diteruskan ke otak untuk diinterpretasi. Otak kemudian akan

memberikan respon sehingga seseorang mempersepsikan dan menyadari cita

rasa—dalam hal ini adalah kopi—seturut referensi atau pengalaman konsumsi

masing-masing. Pada titik ini, cita rasa yang bersifat abstrak ini menjadi

persoalan yang amat subjektif. Oleh saintis cita rasa dan sensori (flavor and

sensory scientist), seperti Wenny Bekti Sunarharum (2019) proses interaksi dan

interpretasi ini lazim disebut sebagai persepsi cita rasa.

Selain rasa dan aroma, warna juga menjadi parameter lain yang

mempengaruhi persepsi cita rasa. Menyadari bahwa manusia juga makhluk

visual, maka penampilan maupun warna menjadi sangat penting untuk produk

pangan dan minuman, termasuk kopi. Misalnya, biji kopi yang disangrai gelap

akan memberi persepsi cita rasa pahit. Atau biji kopi yang cenderung cacat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

fisiknya atau cacat bentuk (pecah, berlubang, hitam sebagian) dapat dipersepsi

sebagai cacat cita rasa.

Cita rasa pun terkait dengan intensitas. Karena terkait, maka cita rasa

bersifat temporer. Berdasarkan waktu sangrai kopi (kesegaran kopi), misalnya,

kopi yang diseduh tak jauh dari tanggal kopi disangrai tentu memiliki

intensitas cita rasa yang kuat, ketimbang kopi apek hasil sangraian lama. Atau

berdasarkan waktu pasca seduh, kopi yang masih panas, hangat, dan dingin

memiliki cita rasa sama tapi berbeda dalam hal intensitas. Intensitas akan

berbeda dan berubah dari detik-detik awal kopi diminum hingga di fase-fase

akhir. Aroma awal kopi saat diminum pada suhu panas dan tegukan pertama

akan memiliki intensitas yang sangat kuat, lalu semakin melemah atau

menimbulkan sensasi lainnya pada tegukan di waktu berikutnya1.

Jadi, tiga hal tadi, bila diringkas: cita rasa adalah perpaduan antara 1) rasa,

2) aroma, 3) tekstur dan kesan di mulut, 4) tampilan warna 5) yang bersifat

subjektif dan temporer.

B. Mutu Kopi dan Pengaruhnya ke Cita Rasa

Mutu berpengaruh pada, pertama cita rasa, kedua penggolongan (grade),

dan ketiga harga dan pangsa pasar. Ketiganya dimafhumi oleh banyak orang.

Sejak tahun 1970-an telah banyak ilmuwan yang mencoba mendefiniskan mutu.

Diantaranya yang populer adalah Crosby (1979), Demming (1986), Lowe dan

Mazzeo (1986), serta Juran dan Godfrey (1998). Tapi secara umum, mengikuti

simpulan dari Wenny, seorang flavor and sensory scientist, mutu merupakan

1 Sebagian besar uraian ini disarikan dari buku: Wenny Bekti Sunarharum, dkk, Sains Kopi Indonesia, (Malang: UB Press, 2019) , hal. 29-34; dan didukung buku: Shawn Steiman, The Little Coffee Know-It-All: Serba-serbi Kopi yang Harus Kamu Ketahui, terj. Prasojo dan Ining Isaiyas, (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019) , hal. 209-212.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

kesesuaian (conformance) dengan tujuan, performa (performance) yang baik,

maupun pemenuhan kebutuhan (requirement) atau kepuasan (satisfaction)

konsumen2.

Terkait dengan kopi, mutu kopi bisa ditinjau melalui beberapa cara yang

meliputi penilaian karakteristik fisik, kimiawi maupun sensoris. Mutu fisik

menilai tampilan fisik dan karakteristik fisik kopi. Sementara mutu kimiawi

kopi berhubungan dengan komposisi kimiawi kopi, misalnya kandungan air,

kadar kafein, dan senyawa-senyawa lainnya yang dikandung kopi. Berbeda

dengan mutu fisik dan kimiawi, mutu sensoris berhubungan dengan penilaian

cita rasa kopi dan diukur oleh indra manusia3.

Ada banyak standar mutu kopi yang menjadi acuan oleh pasar nasional

maupun internasional. Misalnya, Standar Nasional Indonesia (SNI) yang

disusun oleh Kementrian Pertanian RI untuk kebutuhan nasional; standar dari

International Organization for Standardization (ISO) yang lebih banyak menyoal grade

kopi komersil untuk pasar internasional; dan standar SCA untuk industri kopi

spesial AS dan Eropa. Tapi untuk kepentingan penelitian ini4, hanya standar

SCA-lah yang lebih dieksplorasi di sini. Daya tarik standar SCA terletak pada

kekhususannya menangani produk kopi spesial dan cakupan evaluasi mutu

kopi yang lebih luas dan ketat dibanding standar lainnya—tidak hanya mutu

fisik tapi juga mutu sensoris. Selain itu, standar SCA juga diakui secara

internasional meski diniatkan untuk pasar AS dan Eropa.

Standar mutu SCA mencakup green coffee standards, yakni ketentuan dalam

menilai tampilan fisik dan karakteristik biji kopi hijau (green bean) dan water

2 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 17.

3 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 18.

4 P.S Siswoputranto, Kopi Internasional dan Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 196

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

39

standards berupa ketentuan dalam menilai aspek kimiawi air yang digunakan

untuk menyeduh kopi, dan cupping protocols yang mengatur standar cupping

guna menilai mutu kopi secara sensoris. Standar dari SCA ini diterbitkan dalam

berbagai selebaran, diantaranya yang berjudul SCA Coffee Standards dan SCAA

Cupping Protocols5. Oleh SCA, coffee standards dikatakan sebagai instrumen

referensi terpercaya yang disusun oleh para ahli melalui serangkaian uji

kuantitas dan kualitas secara ilmiah6.

Poin penting di green coffee standards adalah agar bisa digolongkan sebagai

specialty coffee, setiap 300 gram biji kopi hijau memiliki nilai catat (defect) yang

sangat kecil, tidak lebih dari 5 biji kopi hijau. Jenis cacat biji kopi hijau bisa

berupa biji hitam/sebagian, biji berlubang, biji pecah, dan seterusnya. Green

Coffee Standards juga mengatur perihal ukuran biji (permukaan), warna dan bau

biji, dan kadar air biji biji kopi hijau (12-13%). Aturan ini menekankan

keseragaman dan kesegaran. Bila didapati biji dengan ukuran dan warnanya

yang berbeda dalam 300 gram sampel kopi, misalnya, maka biji kopi hijau bisa

dinilai cacat mutu7―dan tidak akan dilanjutkan ke uji mutu sensoris.

Sedangkan poin untuk water standards adalah standar kandungan air yang

digunakan untuk menyeduh kopi spesial. Hal Ini akan berkaitan langsung

dengan cupping protocols yang akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.

C. Apa Itu Roda Rasa?

SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel atau Roda Rasa SCAA adalah hasil kerja

kolaborasi antara SCAA dan WCR. Sejak dipublikasikan pertama kali pada 1995,

5 SCA Coffee Standards, (Revisi 2018), diakses dari https://sca.coffee pada 10 Juli 2020

6 SCA Coffee Standards, hal. 4

7 SCA Coffee Standards, hal. 5-8; dan Wenny Bekti Sunarharum, hal. 21.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

Roda Rasa SCAA lantas menjadi referensi dan standar bahasa cita rasa yang

paling ikonik lebih dari dua dekade. Pada tahun 2016, Roda Rasa SCAA kemudian

disempurnakan dengan melibatkan lebih banyak kolaborator. Tidak hanya WCR,

SCAA juga menggandeng lebih banyak panelis sensoris profesional, saintis,

coffee buyer (pemborong yang juga merangkap konsultan kopi), dan perusahaan-

perusahaan sangrai kopi kelas dunia. Kolaborasi ini diklaim sebagai yang

terbesar yang menghasilkan hasil riset terlengkap dan teruji secara ilmiah

sepanjang sejarah industri kopi8.

Roda Rasa SCAA adalah bahasa cita rasa paling populer di industri kopi

spesial yang umumnya digunakan sebagai acuan bersama menganalisa cita

rasa kopi. Dengan kata lain, Roda Rasa SCAA adalah daftar kosakata cita rasa; ia

adalah tambatan (cita rasa yang diasosiasikan dengan nama tertentu) untuk

karakteristik sensoris cita rasa kopi. Sebagai alat bantu pencicip kopi dalam

membahasakan atau mempersepsikan cita rasa kopi9.

Landasan dasar dari Roda Rasa SCAA terbaru adalah Sensory Lexicon dari

WCR. Bila Roda Rasa SCAA memuat atribut cita rasa atau kosakata cita rasa,

maka Sensory Lexicon memuat penjelasan dari atribut cita rasa yang dimuat

Roda Rasa SCAA tadi. Segala hal yang dicantumkan di Roda Rasa SCAA akan

memperoleh penjelasan di Sensory Lexicon.

Sensory Lexicon dapat digunakan untuk menjelaskan karakterisktik

sensoris kopi. Sensory Lexicon umumnya dikembangkan melalui metode

deskriptif yang melibatkan beberapa panelis terlatih. Data yang dihasilkan

8 https://sca.coffee/research/coffee-tasters-flavor-wheel/ diakses pada 4 November 2019

9 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 37-38.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

berupa data kualitatif yaitu deskripsi cita rasa kopi, sekaligus kuantitatif

berupa rating terhadap intensitas cita rasa kopi10.

Sensory Lexicon dikerjakan di Laboratorium Edgar Chambers IV, Ph.D., di Sensory

Analisis Center di Kansas State University dan divalidasi di Laboratorium Rhonda

Miller di Texas A&M University. Dikerjakan pada rentang waktu 2016-2017 dan

mulai dipublikasikan secara bertahap. Edisi pertama pada 2016 dan edisi

pembaharuan pada Oktober 201711.

Gambar II.1: Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 1995 sumber: https://store.sca.coffee/products/coffee-tasters-flavor-wheel-1995-mouse-pad

Di edisi terbaru, Sensory Lexicon melengkapi diri dengan mengidentifikasi

lebih dari 110 atribut cita rasa. Sebuah hasil kerja lebih dari 100 jam oleh para

10 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 35-36.

11 World Coffee Research, Sensoy Lexicon: Unabridged Definition and References, edisi kedua, (WCR, 2016) hal. 3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

panelis yang mengevaluasi 105 sampel kopi dari 13 negara12. Selain atribut cita

rasa, Sensori Lexicon juga memberikan referensi untuk mengukur intensitas

atribut cita rasa. Tujuan dari Sensori Lexicon ini adalah untuk memberikan

pemahaman lebih mendalam tentang cita rasa dan kualitas kopi―utamanya

specialty coffee. WCR mengatakan dengan bangga bahwa Sensori Lexicon ini bukan

hanya puncak dari kejeniusan ilmiah, lebih daripada itu: sebagai sesuatu yang

dapat memungkinkan kegiatan penelitian kopi di masa mendatang bisa terus

berlangsung. WCR menggunakan Sensori Lexicon untuk membantu menganalisis

sampel kopi dari berbagai proyek penelitian bersamaan dengan analisis kimia

dan genetik guna memahami asal-usul kualitas kopi13.

Baik Roda Rasa SCAA maupun Sensori Lexicon, keduanya dikerjakan untuk

saling melengkapi dan menjadi panduan bersama dalam mengidentifikasi cita

rasa kopi yang biasanya dilakukan Q-Grader/R-Grader atau para pelaku lain

dalam rantai industri kopi spesial.

12 Sensoy Lexicon, hal. 10.

13 https://worldcoffeeresearch.org/work/sensory-lexicon/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

Gambar II.2: Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 sumber: https://store.sca.coffee/products/the-coffee-tasters-flavor-wheel-poster?variant=18787771718

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

Lalu, bagaimana Roda Rasa SCAA dan Sensori Lexicon dapat digunakan

dengan mudah secara bersamaan? Terdapat delapan langkah yang disarankan

SCA14.

Langkah pertama. Dengan genit, SCA menyebut langkah pertama ini

sebagai Take it All in. Rinciannya ditulis:

“The wheel is meant to be beautiful, like the greatest coffees can be. It represents a comprehensive, kaleidoscopic picture of coffee flavor. Let the words wash over you, and soak it in. You might see some words you’re not familiar with. That’s ok, we’ll deal with those later. For now, just marvel at the possible complexity of coffee.”15

Kegenitan ini bisa ditafsirkan sebagai anjuran untuk membaca dan

memahami seluruh konten yang ada pada Roda Rasa SCAA. Konten ini mencakup

atribut nama cita rasa dan visualisasinya—sekalipun konten-konten tersebut

seringkali tidak familiar bagi penguna Roda Rasa SCAA. Dengan mencoba

memahami nama dan visual di awal langkah, seorang dituntun pada kesadaran

betapa cita rasa kopi itu sungguh kaya dan kompleks, sehingga semakin

tertantang untuk menyelaminya.

Langkah kedua, mencicip berbagai jenis kopi. Roda Rasa SCAA dirancang untuk

cupping, baik dalam sesi santai maupun sesi resmi seperti yang dilakukan para

profesional dengan SCAA Cupping Protocols. Apapun sesinya, kunci utamanya

adalah merasakan dengan penuh saksama: fokus. Mencecap cita rasa kopi

dapat ditempuh dalam tiga tahap. Pertama, menghirup aroma biji kopi sangrai

yang keluar sesaat setelah digiling. Kedua, menghirup aroma yang keluar saat

air panas di tuang ke kopi bubuk, dan ketiga, mencicip rasa yang memenuhi

langit-langit dan lidah saat kopi diseruput. Roda Rasa SCAA memiliki atribut cita 14 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

15 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

rasa yang mencakup cita rasa generik pada lingkaran lapis pertama (fruity, floral,

sweet, nutty/cocoa, spices, roasted, dan seterusnya); cita rasa sub-generik pada

lingkaran lapis kedua (citrus fruit, black tea, brown sugar, brown spice, cereal , dan

seterusnya); dan cita rasa spesifik pada lingkaran lapis ketiga (lemon, mapple

syrup, cinnamon, malt, dan seterusnya). Misalnya, rasa asam dan aroma khas

yang dimiliki oleh cita rasa lemon. Atau rasa manis, pahit, dan aroma yang unik

dari yang dimiliki molasses (kristalisasi gula)16. Dari tiga tahapan yang

ditempuh tadi, seorang akan mendapati stimulus pertama yang dirasakan.

Stimulus ini kemudian akan dihubungkan pada atribut yang dirasa sesuai dan

tertera pada lingkaran lapis pertama (cita rasa generik).

Langkah ketiga, menuju ke cita rasa spesifik. Roda Rasa SCAA didesain serupa

cakram atau lingkaran. Di dalamnya memuat berbagai macam atribut cita rasa

atau kosakata cita rasa. Atribut cita rasa ini bergerak dari tengah lingkaran

kemudian keluar lingkaran. Cita rasa yang paling umum berada di tengah (di

lingkaran lapis pertama) dan akan semakin spesifik bila keluar lingkaran (lapis

kedua dan ketiga). Setelah seorang mendapatkan jenis cita rasa generik dari

stimulus pertama, selanjutnya seorang akan dipandu menuju ke atribut cita

rasa yang spesifik alias menganalisa lebih dalam dari stimulus lanjutan yang ia

deteksi. Semakin sering berlatih dan semakin kaya pengalaman cita rasa

sesorang, maka akan semakin mampu dan tepat ia mengejar cita rasa yang

spesifik—semakin mampu bergerak ke luar lingkaran (lapis kedua dan ketiga).

Bila di awal terindikasi cita rasa fruity, maka pertanyaan selanjutnya adalah

fruity jenis apa? Apakah citrus fruit? Berry? Dried fruit? Kalau toh, iya, citrus fruit,

sub-jenisnya apa? Apakah lime? Lemon? Orange? Grapefruit? Singkatnya beginilah

16 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

Roda Rasa SCAA dibaca dan digunakan17. Walaupun cita rasa spesifik yang

dikejar, tetap saja siapa pun yang menggunakan Roda Rasa SCAA dapat berhenti

di mana saja, bergantung pada batas kemampuan indra pengecap dan pencium

masing-masing.

Selain dibaca dalam lapisan-lapisan, Roda Rasa SCAA juga bisa dibaca

dengan dibedakan secara horizontal, antara bagian atas dan bawah. Bagian

atas mencakup atribut cita rasa yang menyenangkan (positif) seperti fruity,

floral, sweet, nutty/cocoa, dan spice. Sedangkan bagian bawah terdiri dari atribut

cita rasa yang cenderung tidak menyenangkan seperti sour/fermented,

green/vegetative, other (chemical dan papery/musty), dan roasted.

Langkah keempat, sandingkan dengan Sensory Lexicon. Roda Rasa SCAA dibuat

berdasarkan Sensory Lexicon rancangan WCR. Sebuah standar pendefinisian cita

rasa kopi yang diperlukan oleh para Q-Grader/R-Grader atau panelis sensoris

lainnya dalam mengevaluasi mutu kopi untuk kegiatan penelitian ilmiah.

Setiap definisi cita rasa memiliki referensinya alias ada rujukan nyata. Bila

didapati atribut cita rasa yang asing yang tidak dikenal di Roda Rasa SCAA, maka

Sensory Lexicon akan menjelaskannya dengan jelas serta memberikan referensi

sensoris untuk semua atribut rasa18.

Gambar II.3: Deskripsi Atribut Cita Rasa Sensory Lexicon Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References;

edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR) 17 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

18 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

Agar mudah dipahami, oleh WCR, gambar di atas diterangkan melalui lima

pintu masuk (entry). Pertama, Atribut Cita Rasa. Yakni kata untuk menyebut atau

menamai cita rasa. Kedua, Definisi. Adalah uraian penjelas dan deskripsi atas

atribut cita rasa. Ketiga, Referensi Cita Rasa. Setiap atribut cita rasa telah

dijelaskan memiliki referensi masing-masing. Referensi ini bisa bersifat

natural-alamiah (seperti blackberry dari pohon blackberry) dan artifisial (seperti

sirup, ekstrak imitasi atau seperti produk bernama Le Nez Du Café yang berisi 36

palet aroma kopi artifisial; hasil karya dari ahli olfactory (penciuman) Perancis,

Jean Lenoir). Referensi dimaksudkan sebagai standar dalam rujukan cita rasa.

Contoh di atas, blackberry, hanya memiliki satu referensi saja: smucker’s

blackberry jam. Tapi di atribut cita rasa lain, referensinya bisa saja lebih dari

satu. Contoh lain, atribut cita rasa smoky memiliki tiga referensi untuk aroma,

yaitu: benzyl disulfide, wood ashes, dan smoked almonds; dan satu referensi untuk

rasa: smoked almonds. Seperti yang ditunjukkan, Referensi dapat digunakan

untuk mengevaluasi rasa atau aroma (atau keduanya: cita rasa). Dan kadang

pula, referensi yang sama dapat digunakan untuk lebih dari atribut cita rasa.

Misalnya, roasted peanuts digunakan sebagai referensi untuk atribut cita rasa

peanut dan roasted. Keempat, Intensitas. Sebagian besar referensi telah diberi

skor intensitas pada skala 1 hingga 15 dan diberi label baik sebagai referensi

aroma atau referensi rasa. Skor intensitas adalah angka kritis yang membuat

Sensory Lexicon bukan sebatas kamus deskriptif tetapi juga alat ukur, bahkan

jika memungkinkan bisa disebut evaluator yang mengukur jumlah rasa atau

aroma tiap-tiap jenis kopi. Skor ini memungkinkan untuk membandingkan

daya yang dimiliki atribut cita rasa yang menguar dari kopi dengan daya yang

dimiliki referensi cita rasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

Gambar II.4: Skala Intensitas Sensory Lexicon Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References;

edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR)

Misalnya, atribut rasa hazelnut memiliki dua referensi cita rasa. Pertama

adalah 1/8 sdt McCormick imitation hazelnut extract (referensi artifisial) dicampur 1

cangkir susu murni (fresh whole milk), yang diberikan skor intensitas 3,5. Kedua

adalah 1/4 sdt McCormick imitation hazelnut extract dicampur 1 cangkir susu

murni (fresh whole milk), yang diberikan skor intensitas 6.0. Jika dalam

mengevaluasi intensitas atribut cita rasa hazelnut dalam sampel kopi,

seseorang mendapati skornya lebih tinggi dari referensi pertama dan sedikit di

bawah yang kedua (di antara), maka dapat diberikan skor intensitas 5.5―skala

intensitas 15 poin digunakan untuk banyak jenis makanan dalam analisis

sensoris. Ada pula beberapa referensi cita rasa yang tidak memiliki skor

intensitas. Untuk kasus ini, referensi telah divalidasi dan disetujui untuk

digunakan sebagai referensi atribut cita rasa, tetapi belum diteliti lebih lanjut

untuk menentukan skor intensitas. Terakhir, entry ke kelima, Persiapan. Setiap

referensi memiliki instruksi dalam persiapannya. Misal, lebih baik

menggunakan snifters glass (serupa gelas bir yang berkaki) agar referensi aroma

tidak saling mencemari dengan aroma lain seperti aroma kayu dari meja19.

Langkah kelima, mengecek kembali beberapa referensi. Setiap atribut cita

rasa dalam Sensory Lexicon memiliki referensi. Sebagian banyak dari referensi ini

19 Sensoy Lexicon, hal. 8-9.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

telah tersedia di pasar nasional maupun internasional. Keperluan untuk

mengecek banyak referensi tak lain agar pengalaman cita rasa semakin kaya

serta identifikasi cita rasa semakin tepat dan cermat20.

Langkah keenam, kembali ke tengah: lingkaran lapis pertama. Setelah

meninjau berbagai atribut cita rasa di Sensory Lexicon, seseorang bisa

mengulang kembali ke tengah: lingkaran lapis pertama. Namun kali ini

disarankan untuk lebih jeli dan fokus melihat atribut cita rasa. Bila mendapati

kopi dengan atribut cita rasa tertentu, maka coba tengok atribut cita rasa di

sebelahnya. Apakah terdapat jarak atau tidak sama sekali? Jika berjarak,

seberapa besar gap-nya? Lebar atau sempit? Penjelasannya, jika dua atribut

rasa menyatu, itu berarti bahwa panelis sensoris yang menyusun Roda Rasa SCAA

menganggap atribut-atribut ini terkait erat, atau dengan kata lain nyaris sama.

Namun jika ada gap, itu menandakan bahwa atribut-atribut cita rasa ini kurang

dekat hubungannya, atau memiliki perbedaan yang terang. Semakin besar gap,

perbedaan cita rasa akan semakin signifikan. Inilah alasannya mengapa garis-

garis visual Roda Rasa SCAA didesain sedemikian rupa21.

20 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

21 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

Gambar II.5: Visual Gap dalam Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 sumber: https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/

Langkah ketujuh, gunakan istilah sendiri. Yang hebat dari Roda Rasa SCAA

(seturut klaimmnya) adalah menjadi bahasa bersama (yang umum dan

mendasar) yang mampu menjelaskan berbagai macam cita rasa yang didapati

dari setiap kopi yang dicicip oleh siapa saja. Sekiranya seorang telah mendapati

karakter cita rasa dari sampel kopi yang ia dicicip, maka bahasakanlah dengan

istilahnya sendiri. Baru kemudian, padankan kembali ke atribut cita rasa yang

ada pada roda rasa. Pendek kata, Roda Rasa SCAA diklaim memiliki kemampuan

menampung segala bahasa cita rasa dari siapa saja22.

Langkah kedelapan, amati visual warna. Seringkali apa yang dilihat akan

mempersepsikan sesuatu yang lain. Tampilan makanan, misalnya, sedikit

banyak akan mengasosiasikan cita rasa. Keterhubungan indra penglihatan

dengan indra pengecap inilah yang menjadikan warna yang terdapat di Roda

Rasa SCAA diperhitungkan secara cermat. Bila seorang mendapati rasa kopi yang

sulit diartikulasikan: “seperti rasa buah yang kemerahan”, maka ia dapat

memindai kelompok warna merah pada Roda Rasa SCAA. Dengan begitu, ia

22 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

dimudahkan dalam menentukan atribut cita rasa apa yang terdapat di

kelompok warna merah yang cocok dengan cita rasa kopi yang didapatinya.

Warna-warna terang seringkali diasosiasikan untuk atribut cita rasa yang

ringan (light) dan lembut di mulut. Begitu pun sebaliknya. Prinsip inilah yang

dipakai dalam mendisain warna pada Roda Rasa SCAA23. Singkatnya, warna Roda

Rasa SCAA tidak pilih secara acak. Ia dipertimbangkan karena warna

mempengaruhi persepsi seorang terhadap suatu hal yang spesifik.

D. Q-Grader/R-Grader dan Uji Cita Rasa Kopi

Kopi perlu dievaluasi mutu sensorisnya. Orang yang melakukan ini disebut

Q Arabica Grader untuk penguji kopi spesies arabika, dan Q Robusta Grader untuk

penguji spesies robusta. Pengujian diperlukan agar cita rasa kopi yang

cenderung subjektif bagi masing-masing orang dapat di standardisasikan

sehingga berlaku objektif dan universal. Selain itu, juga agar kopi dapat

dikategorikan sebagai specialty coffee atau bukan, lalu dilempar ke pasar lelang

untuk ditentukan harganya.

a. Q Arabika Grader

Coffee Quality Institue (CQI)―organisasi nirlaba yang bernaung di bawah

SCA. Berkantor di Long Beach California, CQI didedikasikan memperbaiki

kualitas kopi skala internasional dan orang-orang yang memproduksinya

melalui pelatihan, pembangunan kapasitas institusional, dan penerapan

sistem standar kualitas―lembaga yang menelurkan ide dan berhak

menyelenggarakan program Q Arabica Grader dan Q Robusta Grader, menyebutkan

bahwa Q Arabica Grader (selanjutnya ditulis Q-Grader, mengikuti sebutan populer) 23 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

adalah individu yang dipercaya oleh CQI untuk menilai kopi arabika dengan

menggunakan standar yang dikembangkan oleh SCA. Saat ini, tidak ada

persyaratan formal untuk menjadi Q-Grader. Akan tetapi, bila hendak mengikuti

Q Arabica Course, maka hanya sensoris yang terlatih saja yang lebih disarankan;

yang familiar dengan proses cupping, lembar kerja cupping (cupping form), serta

pengalaman yang berkaitan dengan kopi arabika. Dengan kata lain, pada

dasarnya ujian ini diperuntukkan bagi orang yang telah mempersiapkan diri

dengan baik melalui program Pre-Q, jadi bukan untuk yang baru-baru saja atau

awam24.

Terdapat 22 materi tes dari CQI yang akan diujikan selama 6 hari, dengan

durasi 8 jam perhari. Materi-materi ini akan menguji kemampuan seseorang

yang akurat dan konsisten dalam menilai mutu kopi sesuai dengan,

diantaranya (yang terkait langsung dengan cita rasa kopi): SCA Coffee Standards,

SCAA Cupping Protocols dan alat bantu lain seperti Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon,

dan Le Nez Du Café. Termasuk pula pemahaman menyeluruh tentang SCA cupping

form. Ke-22 materi yang diujikan, secara garis besar meliputi:

1. General Coffee Knowledge, tes pengetahuan dasar kopi yang meliputi

sejarah, spesies dan varietas, proses pascapanen, dan seterusnya;

2. Green Coffee Grading, yakni tes kemampuan mengevaluasi pengaruh

cacat pada biji kopi hijau terhadap kualitas kopi serta kemampuan

menggolongkannya seturut SCAA Green Coffee Classification Chart dan SCAA

Green Coffee Defect Handbook;

3. Roasted Grading, yakni tes kemampuan mengevaluasi pengaruh cacat

pada biji kopi yang telah disangrai;

24 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

4. Sample Roast Individual Skills, yakni menakar kemampuan individu dalam

menngidentifikasi sampel biji kopi sangrai sesuai SCAA Sample Roast

Protocols yang akan digunakan untuk cupping;

5. Sensory Skill, yakni tes kemampuan indra perasa (lidah) dalam

membedakan rasa dan intensitas acid, sweet, dan sour pada kopi, serta

bagaimana interaksi antar ketiganya;

6. Olfactory Test, yakni tes kemampuan indra penciuman (hidung) dalam

mengenali dan mencocokan aroma yang biasanya terdapat dalam kopi

(floral, fruity, brown, roasted, dan seterusnya). Tes ini akan menggunakan

Le Nez Du Café sebagai alat bantunya. Le Nez Du Café adalah coffee aroma kit

yang diciptakan oleh Jean Lenoir, ahli olfactori dari Perancis. Le Nez Du

Café berisi 36 palet aroma dengan 4 klasifikasi aroma: aromatic taints,

enzimatic aroma, sugar browning, dan dry distillation;

7. Triangulation Test, yakni tes kemampuan membedakan cita rasa

beberapa sampel kopi;

8. Organic Acid Matching Pairs Test, yakni tes kemampuan mengidentifikasi

zat dan kadar asam yang ada pada kopi, seperti acetic, malic, citric, dan

phosphoric;

9. Cupping Test, tes kemapuan mengevaluasi/menilai cita rasa kopi sesuai

dengan SCA Cupping Protocols dan Cupping Form.25

Oleh CQI, ke-22 materi tersebut digambarkan sebuah grafis:

25https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses pada 10 Desember 2019; dan wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ( Q-Grader Instructor dari 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

Gambar II.6: The Q Arabika Course : A Breakdown sumber: https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/

Secara internasional, tingkat kelulusan Q Arabica Course hanya berkisar

33%. Hal ini mengingat materi tes yang begitu kompleks dan tingkat

kesulitannya yang tinggi26. Calon Q-Grader yang lulus akan diberikan lisensi

profesional sebagai Q-Grader. Dengan catatan lisensi ini tidak berlaku seumur

hidup alias harus diperbarui setiap 3 tahun27. Seorang Q-Grader harus

melakukan kalibrasi atau tes ulang. Gunanya untuk kembali mengukur

kemampuan terkini setiap Q-Grader sekaligus menyamakan kembali persepsi

dan definsi yang terkait dengan mutu kopi arabika. Pada kalibrasi, rentang nilai

yang diizinkan pun semakin dipersempit alias semakin sulit. Misal, jika rata-

rata skor cupping pada sampel kopi di kelas Q Arabica Course adalah 83, maka

skor yang dizinkan adalah plus-minus 1: calon Q-Grader bisa dikatakan lulus bila 26 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka

27 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

memberi skor 82-84. Selanjutnya, jika seorang Q-Grader habis lisensinya dan

hendak melakukan kalibrasi, maka skor yang diizinkan semakin dipersempit,

yakni plus-minus 0,528.

Dikutip dari CQI, dari sekitar 5.000 penduduk bumi yang menyandang titel

Q-Grader, sebanyak 93 diantaranya adalah orang Indonesia dan 2 diantaranya

adalah Q-Instructor29. Jumlah yang kecil ini bisa jadi disebabkan oleh gelombang

minat menjadi Q-Grader yang juga kecil; tuntutan ketekunan berlatih serta level

kesulitan yang luar biasa sukar; dan mungkin juga dikarenakan biayanya yang

mahal. Jika ada aspiran Q-Grader, maka ia perlu merogoh kocek sebesar Rp. 17

juta atau naik 2 kali lipat lebih dari biaya tahun 2008, sebesar Rp. 5 juta30. Ini

belum termasuk biaya tahunan lainnya, seperti biaya keanggotan SCA dan SCAI.

b. Q Robusta Grader

Q Robusta Grader (selanjutnya ditulis R-Grader, mengikuti sebutan populer)

adalah individu yang dipercaya oleh CQI untuk menilai kopi robusta dengan

standar yang dikembangkan oleh CQI yang bermitra dengan Uganda Coffee

Development Authority (UCDA). Seperti halnya Q-Grader, tidak ada prasyarat formal

untuk mengikuti ujian R-Grader. Meski demkian, calon R-Grader juga sangat

disarankan memiliki keakraban yang kuat dengan cupping, cupping form, dan

pengalaman yang berkaitan dengan kopi robusta31.

Materi tes yang diujikan pun serupa dengan materi untuk Q Arabica Course.

Bedanya hanya pada sampel kopi yang digunakan lebih kepada kopi spesies

28 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka

29 https://www.coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020

30 Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita, (Edisi 4465 26-01 April 2018), hal. 95

31 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

robusta. Juga pada textbook yang dipakai, misalnya pada materi green coffee

grading yang mengacu ke UCDA/CQI Green Coffee Defect Handbook dan CQI Green

Coffee Classification Chart; dan materi cupping test, yang selain mengacu ke SCAA

Cupping Handbook juga ke UCDA/CQI Cupping Protocols dan Form32.

Berikut grafis materi tes R-Grader:

Gambar II.7: The Q Robusta Course : A Breakdown sumber: https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/

Bagi yang lulus tes akan diberikan lisensi profesional sebagai R-Grader.

Masa berlaku lisensi R-Grader sama dengan Q-Grader, yakni tiga tahun.

32https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses pada 10 Desember 2019; dan Wawancara dengan Uji Sapitu (R-Grader dari Rumah Kopi Ranin, Bogor) pada Kamis, 13 Agustus 2020 di Rumah Kopi Ranin, Bogor.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

Pembaharuannya pun juga harus mengikuti tes kalibrasi ulang R-Grader, guna

memastikan kompetensi terkini yang dimiliki masing-masing R-Grader33.

Jumlah orang yang memegang lisensi R-Grader jauh lebih sedikit dari Q-

Grader seluruh dunia. Jumlah yang kecil ini menjadi semakin kecil bila melihat

beberapa R-Grader yang tidak melakukan kalibrasi ulang. Di Indonesia, hanya

ada 7 orang yang memegang lisensi R-Grader34. Salah satunya, Uji Sapitu yang

bekerja untuk Rumah Kopi Ranin, Bogor—sebuah tempat di mana kerja-kerja

laboratorium atas kopi dilakukan. Uji mengatakan, “Kelangkaan R-Grader ini

bisa dikarenakan robusta masih dipandang sebagai kopi kelas dua setelah

arabika. Padahal untuk fine robusta (grade yang sama dengan specialty untuk

arabika), perkara cita rasa dan harga jual, telah jauh berkembang sangat baik

beriringan dengan arabika specialty.”35

c. Coffee Cupping: Cara Menilai Cita Rasa Kopi Kopi

Bagi banyak orang kualitas kopi tentunya berkaitan dengan cita rasa.

Untuk menilainya diperlukan uji cita rasa kopi atau coffee cupping. Cupping

adalah cara formal menilai kualitas kopi berdasarkan metodologi yang

konsisten secara ketat. Agar hasil peniliannya valid dan mendekati objektif,

maka penguji yang dipercaya adalah Q-Grader/R-Grader yang belisensi dari CQI36.

Cupping adalah praktik lama. Dulu sebelum 1900, setiap kopi yang masuk

dan akan dijual di AS diseleksi berdasarkan fisiknya. Kenyataan ini menguatkan

gagasan bahwa importir Clarence Bickford mungkin menemukannya pada

33 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019

34 https://coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020

35 Wawancara dengan Uji Sapitu

36 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia) hal. 502-506

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

tahun 1880-an―setidaknya mengenalkannya ke AS. William Ukers, sejarawan

kopi mencatat peran Bickford dalam perdagangan kopi San Fransisco tapi tidak

menyebutkan uji cita rasa kopi, sekadar bahwa Bickford menyadari sebenarnya

warna dan ukuran biji kopi tidak menyatakan apa-apa terkait cita rasanya.

Secara analitis, manfaat terbesar dari cupping ketimbang mencicip adalah

betapa jauh cupping mengesampingkan pengalaman emosional minum kopi

seorang pencicip dan memosisikan mereka ke tengah situasi untuk semata-

mata mengevaluasi.

Tak ada satu protokol definitif bagaimana menjalankan cupping. Namun,

ada metodologi dasar, lalu tiap individu atau kelompok mempraktikkan apa

yang diajarkan kepada mereka atau memodifikasi sesuai kebutuhan khusus

mereka. Faktor paling penting dalam cupping adalah konsistensi metodologi di

tiap dan antar sesi. Variasi-variasi kecil dalam metodologi, khususnya di dalam

satu sesi cupping dapat berpengaruh secara signifikan terhadap pengalaman

cita rasa cangkir yang diukur. Tingkat presisi tertinggi hanya dengan

membatasi sumber variasi sesedikit mungkin. Itulah mengapa SCAA

mendefinisikan metodologi standar cupping. Harapannya, standar ini dapat

dijadikan standar bersama dalam industri kopi, meminimalkan variasi di tiap

dan antar cupping37.

Mengacu pada SCA Coffee Standards (2018) dan SCAA Cupping Protocols

(2009), cupping ditujukan untuk mengevaluasi mutu kopi agar kemudian bisa

digolongkan sebagai specialty atau tidak. Penilaiannya dimulai dari biji hingga

hasil gilingan dan seduhannya. Sebelum prosedur evaluasi cita rasa dijalani,

lebih dulu sampel kopi dipersiapkan:

37 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 502-503

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

1. Biji kopi hijau harus lulus uji mutu fisik. Kopi yang lulus adalah kopi

yang: memiliki kadar air rendah (12-13%), jumlah nilai cacat (defect)

maksimal 5 untuk setiap 300 gram sampel kopi, memiliki warna

seragam dan cerah serta bau yang segar (4000 Kelvin (K) /1200 Lux (lx) /120

footcandles (fc)), memiliki ukuran biji yang seragam (feet long and feet

wide (0.6096 meters by 0.6096 meters). Setelah lulus uji mutu fisik, kopi

kemudian disangrai lalu siap diuji secara sensoris atau cupping.

2. Menyiapkan biji kopi sangrai. Kopi disangrai pada level medium roast

(agtron specialty coffee: 63.0), dengan durasi sangrai berkisar 8-12 menit.

Setelah kopi selesai disangrai, kopi didiamkan (resting) selama 8-24

jam.

3. Selanjutnya, biji kopi sangrai digiling <15 menit sebelum cupping.

Ukuran gilingnya berkisar pada 70-75% pass atau ayakan 20 mesh.

4. Setelah digiling, kopi kemudian diseduh. Ketentuan penggunaan air

untuk seduh cupping: 1) rasio antara bubuk dan air adalah 8,25 gram

kopi untuk 150 ml air atau 0,055 gram kopi/ml air, 2) konsentrasi air

pada rentang 125-175 ppm, 3) temperatur air distel pada 92-96oC

5. Waktu ekstraksi kopi dihitung dari kontak pertama seduhan (air

menyentuh kopi) adalah 4 menit.

6. Satu sampel kopi yang akan di-cupping baiknya disiapkan ke dalam 5

gelas/mangkuk keramik dengan mulut lebar yang bisa memuat 150-180

ml air38.

Setelah sampel kopi siap, cupping dapat dilakukan sesuai protokol dari

SCAA. Terdapat 5 prosedur evaluasi:

38 Coffee Standards, hal. 4-10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

1. Sampel kopi pertama-tama dinilai derajat sangrainya berdasarkan

tampilan warna biji kopi sangrai.

2. Sampel kopi dinilai kualitas fragrance atau aromanya. Terdapat dua

aroma yang dinilai. 1) Aroma kering (dry fragrance), yaitu aroma yang

dihirup dari bubuk kopi yang digiling di rentang waktu 15 menit

pertama. 2) Aroma basah (wet fragrance), yaitu aroma yang dihirup

setelah air ditambahkan pada bubuk kopi lalu didiamkan selama 3

menit atau tidak lebih dari 5 menit. Teknisnya, dengan melakukan break:

memecah kerak (ampas yang mengambang) dengan cara mengaduk 3

kali atau mencium bubuk di belakang sendok khusus cupping. Skor

aroma ditandai berdasarkan evaluasi kering dan basah.

3. Sampel kopi dinilai pada aspek flavor (cita rasa), aftertaste (gaung rasa

yang intensif dan nikmat yang bertahan―di bagian belakang langit-

langit mulut―setelah kopi ditelan), acidity (sensasi keasaman), body

(tingkat kekentalan atau viskositas kopi), dan balance (keseimbangan

seluruh aspek: tidak ada yang dominan). Teknisnya, lebih dulu ampas

yang mengambang di buang. Setelah itu, kopi diseruput kuat

menggunakan sendok cupping hingga seluruh cairan kopi terpecah dan

memenuhi area lidah, langit-langit dan mulut secara keseluruhan. Pada

suhu sampel kopi turun ke 71o C, flavor dan aftertaste dapat dinilai dan

diberi skor. Sementara acidity, body dan balance bisa dinilai dan diberi

skor pada suhu 71o C-60o C.

4. Sampel kopi juga dinilai pada aspek sweetness (rasa manis yang

menyenangkan), uniformity (keseragaman cita rasa kelima sampel kopi),

dan clean cup (tidak terdapat dari penilaian negatif sejak aspek flavor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

sampai aftertaste). Teknisnya, saat suhu sampel kopi mendekati 37o C

atau suhu ruang, sweetness, uniformity, dan clean cup baru bisa dievaluasi

dan diberikan skor.

5. Evaluasi sensoris dihentikan saat suhu kopi mencapai 21o C. Q-Grader/R-

Grader kemudian memberikan skor secara keseluruhan (nilai akhir)

untuk sampel kopi yang diujinya di cupping form39.

Dengan prosedur evaluasi demikian, cupping, oleh SCAA melalui Shawn

Steiman (2013) dalam tulisannya, “Penilaian dan Kualitas Kopi”, disebut sebagai

sistem objektif yang menghindarkan suatu kopi untuk dipandang secara

inheren “enak” atau “tidak enak” yang merupakan opini dari peminum kopi.

Selain itu, sebab sistem subjektif lebih sulit untuk diterjemahkan di antara

pengguna karena tidak ada orang yang sepenuhnya memahami perasaan dan

pengalaman orang lain. Dengan menggunakan metode evaluasi standar seperti

cupping dari SCAA dapat memastikan bahwa pengukuran-pengukuran kualitas

ini dapat diulangi kembali secara masuk akal40.

Meski dipandang objektif, di sisi lain, Shawn juga memberi catatan

menarik, bahwa batas kemampuan manusia untuk bisa menjadi instrumen

objektif, sebuah sistem pengukuran yang objektif terutama bersifat deskriptif.

Alhasil, informasi yang diperas atas tiap kopi bisa secara sangkil ditransfer

antar orang karena tidak ada pengodean subjektif atas informasi. Pandangan

pengguna tidak perlu distel antara satu yang lain atau disesuaikan dengan

definisi khusus atas kualitas; kopi tidak perlu diukur dalam konteks kopi lain41.

39 SCAA Cupping Protocols (revisi November 2009), diakses dari https://sca.coffee pada 10 Juli 2020

40 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 506-507.

41 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 505.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

C. Kopi Spesial, Spesialty Coffee

Istilah kopi spesial atau specialty coffee, mulanya dicetuskan oleh Erna

Knutsen, pendiri perusahaan kopi Knutsen Coffees Ltd., yang berbasis di San

Fransisco, Amerika Serikat, dalam Tea & Coffee Trade Journal pada 197442. Knutsen

melontarkan istilah tersebut untuk menggambarkan kopi dengan kualitas

istimewa yang berbeda dengan kopi premium43. Dalam industri kopi, dikenal

tiga tingkatan (grade) kopi: specialty coffee (origin tunggal), gourmet atau rare origin

(blend, campuran antar origin) menempati peringkat pertama, lalu disusul oleh

kopi premium ditingkat kedua, dan kopi komersil ditingkat ketiga.

Knutsen menyebutkan bahwa kopi spesial adalah kopi yang berasal dari

indeks geografis dengan iklim mikro tertentu yang ideal atau disebut micro-lot;

serta yang memiliki profil cita rasa unik. Penyebutan istilah kopi spesial ini juga

bagian dari strategi persaingan pasar domestik di AS, yang kala itu digempur

oleh kopi komersil dari Brazil untuk kebutuhan industri retil. Di tengah situasi

ini, rumah sangrai kopi mikro seperti Peet’s Coffee, Thanksgiving Coffee, dan Gillies

Coffee yang merasa jenuh dan kecewa dengan mutu dan cita rasa kopi retil,

kemudian mulai menggagas kopi dengan mutu dan cita rasa yang

diproyeksikan lebih khas dan lebih baik dibanding kopi ritel44.

Don Holly, Direktur Administratif SCAA, yang menulis pada tahun 1999,

menambahkan bahwa kopi yang punya perbedaan cita rasa yang menonjol

sajalah (dalam pengertian positif), yang bisa disebut sebagai kopi istimewa.

Holly mengatakan, “Bukan hanya kopi yang tidak punya cacat cita rasa; untuk

42 Majalah Tempo, hal. 72

43 Majalah Tempo, hal. 72

44 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

bisa dianggap kopi spesial, kopi haruslah benar-benar nikmat,” Lalu imbuhnya

diakhir tulisannya, “kopi spesial, pada akhirnya, didefinisikan dalam cangkir.”45

Satu dasawarsa setelah Holly menuliskan definisinya, Ric Rhinehart,

Direktur Eksekutif SCAA mengajukan definisi yang lebih rinci. Dari kacamata

industri yang lebih maju, kopi spesial seturut Rhinehart, tidak hanya mencakup

proses kopi dari benih ke cangkir saji dan hasil akhir dari proses itu, melainkan

juga mencakup aktor-aktor proses tersebut. Rhinehart menulis, “Pada akhirnya,

kopi spesial didefinisikan oleh kualitas produknya, entah biji kopi hijau, biji

sangrai, atau kopi seduh, dan oleh kualitas hidup yang dapat disajikan kopi itu

kepada semua yang terlibat dalam budidaya, pengolahan, dan pencicipannya.”46

Sayangnya, baik Holly maupun Rhinehart tidak menguantifikasi

bagaimana kopi spesial berbeda dari kopi premium atau komersil. Definisi

mereka lebih kepada proposisi filosofis yang menjelaskan apa yang harus

terjadi agar kopi seduh istimewa itu bisa hadir dan siapa yang harus

mendapatkan manfaatnya47. Pada fase inilah, SCAA kemudian menetapkan

standar kopi yang layak disebut kopi spesial.

Oleh SCAA, ditegaskan bahwa hanya kopi yang lulus uji mutu fisik, mutu

kimiawi, dan mutu sensoris dengan skor cupping 80-100 lah yang layak disebut

sebagai specialty coffee. Terbagi lagi ke dalam sub kelas very good (80-84, 99),

excellent (85-89,99), dan outstanding (90-100). Kopi dengan nilai akhir kurang dari

80 dikategorikan bukan spesial oleh SCAA48.

45 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 181

46 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 181

47 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 181

48 SCAA Cupping Protocols, hal. 3; dan Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 36.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Untuk mendapat skor ini, tidaklah mudah. Kerjasama dan harmonisasi

berbagai pihak yang mendedikasikan dirinya dalam rantai produksi kopi dari

hulu ke hilir mutlak dilakukan49. Biasanya, kopi spesial berasal dari area

perkebunan micro-lot: area spesifik (yang tidak terlalu luas) dengan kondisi

geografis dan iklim yang ideal untuk tanam kopi. Selain itu, lingkungan sosial

area tanam kadangkala turut dicermati. Tentang kesejahteraan dan kualitas

petani, buruh petik, dan lainnya menjadi poin penting di sini. Meski tidak

menentukan, hal ini tetap menjadi sorotan.

Sorotan semacam ini lantas mendorong rasa ingin tahu yang amat sangat

tentang kopi spesial yang dinikmati. Para petani, prosesor, coffe buyer,

penyangrai kopi, bahkan barista akan menyajikan informasi detil tentang kopi

spesial kepada konsumen. Tidak hanya daerah tanam kopi, melainkan juga

varietas kopi, indikasi geografis (seperti ketinggian tanam dan curah hujan),

proses pasca panen, level dan tanggal sangrai, skor cupping, perolehan cita rasa

(cup notes), hingga informasi tentang siapa petaninya. Hal ini dilakukan sebagai

wujud dari keterbukaan informasi dan edukasi kopi pada konsumen, katanya.

Kopi spesial diidentifikasi lebih spesifik—tidak seperti kopi saset atau kopi

supermarket yang sempat merajai pasar sebelumnya50.

Jika kopi spesial ditentukan berdasarkan mutu kopi melalui skor cupping,

lantas bagaimana nasib cita rasanya setelah cupping? Saat kopi spesial telah

diberi harga, dilempar ke pasar, dan diminum oleh konsumen. Apakah

perjalanan waktu ini tidak menggerus nilainya? Bukankah lazim diketahui

bahwa kopi akan terus menurun kesegaran (yang lurus berpengaruh ke cita

49 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 36.

50 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 37.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

rasa) seiring waktu? Atau, bila saya membeli kopi spesial dan menyeduhnya

dengan teknik yang berbeda dari teknik cupping, misalnya, lalu saya

menambahkan susu pasteurisasi, sehingga terjadi perubahan cita rasa, apakah

masih spesial? Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya disadari Holly, Rhinehart

dan orang-orang kopi. Artinya, bahwa kopi spesial bukanlah sesuatu yang

diminum atau dialami; kopi sepesial adalah gagasan. Sebagai gagasan, ia

masih abu-abu dan terus membuka peluang untuk didiskusikan. Tidak ada

deskripsi kopi spesial yang definitif dan kuantitatif. Kopi spesial tidak

didefinisikan oleh cita rasa kopi itu sendiri melainkan oleh orang-orang yang

berinteraksi dengannya. Bagi petani, kopi spesial bisa memberi mereka

pemasukan lebih besar atau kebanggaan pribadi. Bagi konsumen, kopi spesial

bisa memberi mereka cita rasa yang hidup dalam kenangan, tidak hanya di

mulut. Kopi spesial erat kaitannya dengan kualitas hidup masing-masing

orang51.

Lain halnya dengan pendapat Andi K. Yuwono, founder SCA Premier Campus,

5758 Coffee Lab. Bandung, tentang kopi spesial. Dengan nada satir, Andi

mengatakan bahwa kopi spesial adalah kopi genit-genitan alias kopi hasil

sortiran. Di dalam 60 kg kopi hijau/mentah kopi arabika dengan spesifikasi

tertentu misalnya, pasti terdapat grade kopi spesial di dalamnya, entah dalam

jumlah banyak atau malah sangat sedikit: semisal 2 gram. Karena sifatnya

sortiran, kopi spesial pun menjadi terbatas segmen pasarnya dan cenderung

51 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 182-184.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

dihargai lebih mahal dari grade kopi lainnya. Dan, SCAA (SCA) dibentuk guna

“mengurusi” pasar “kecil” bernama kopi spesial52.

Hingga dewasa kini, SCA giat meregulasi dan mendominasi standardisasi

dalam industri kopi spesial. Sebuah standar yang disepakati bersama baik oleh

negara-negara konsumen kopi maupun negara-negara produsen kopi, seperti

Indonesia melalui SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia) dan AEKI

(Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). Sebuah standar untuk melahirkan hasil

yang akan menentukan harga, kebanggaan, dan keberterimaan pasar

internasional.

D. Kopi di Era Gelombang Ketiga

Adalah Trish Rothgeb, wanita Amerika Serikat, yang mendefinisikan

adanya tiga pergerakan di dalam dunia kopi dan menyebutnya dengan istilah:

gelombang (waves). Tahun 2002, Rothgeb mengemukakan idenya ini pada

sebuah artikel di Wrecking Ball Coffee Roaster, yang dipublikasikan oleh Roaster

Guild, The Flamekeeper53.

Gelombang pertama, diawali pada 1800-an dan ditandai dengan maraknya

kopi dadak (kemasan/saset). Saat itu, industri kopi lebih mementingkan

kepraktisan dengan harga yang terjangkau, sehingga abai terhadap kualitas

dari kopi itu sendiri. Fenomena ini semakin gencar pada awal 1900-an, saat kopi

dadak diproduksi dalam skala besar, dikemas secara inovatif, dan dipasarkan

begitu masifnya. Folgers Coffee (1850), Maxwell House (1892), dan kemudian

disusul Nescafe (1938) adalah brand-brand kopi dadak dari Amerika Serikat dan

52 Wawancara dengan Andi K. Yuwono (Founder 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung.

53 Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed our World, (New York: Basic Book, 2010), hal. 415-417.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

Swiss yang begitu populer dan merajai pasar kopi Amerika Serikat. Singkat

kata, kopi di gelombang pertama lebih mementingkan kuantitas ketimbang

kualitas kopi.

Berikutnya, sebagai respon “kopi buruk” dari gelombang pertama, maka

gelombang kedua pun lahir ditengarai pada tahun 1960-an. Di gelombang kedua

ini, industri kopi mulai memperhatikan bentuk dan cita rasa: kualitas kopi. Kopi

mulai dikenal berdasarkan regional/negara tanam karena tuntutan konsumen

akan pengetahuan asal-usul kopi yang mereka minum. Hal ini bisa pula

dimaknai sebagai gejala mulai dikenalnya istilah kopi spesial, meski masih

lamat-lamat. Konsumsi kopi di gelombang ini juga erat kaitannya dengan aspek

sosial, life style. Kedai-kedai kopi mulai banyak muncul di berbagai negara-

negara konsumen kopi, seperti Amerika Serikat, Italia, Perancis, Inggris, dan

lainnya. Di era ini, orang ramai-ramai pergi ke kedai kopi untuk dua hal: ngopi,

berinteraksi sosial, dan mengekspresikan diri. Salah satu kedai kopi yang

paling ikonik di gelombang kedua ini adalah: Starbucks, si duyung hijau dari

Seattle, Washington, AS—yang pada fase berikutnya, Starbucks

menginternasionalisasikan gaya konsumsi (out-of-home consumption) pertama

kali pada tahun 1996 yang kemudian kopi menjadi budaya populer “khas

Amerika” di dunia global.

Gelombang berikutnya dinamakan gelombang ketiga. Para pelaku dalam

industri kopi, dari hulu hingga hilir, semakin terobsesi mengejar kopi kualitas

terbaik. Kopi semakin tegas dengan reputasinya: sebagai minuman artisanal,

layaknya wine dan beer. Hendak dikatakan bahwa di fase ini kopi tidak sekadar

komoditas. Diprediksi dipicu sejak akhir tahun 1990-an, gelombang ketiga ini

setidaknya memiliki tiga penanda utama:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

68

Pertama, menguatnya gagasan kopi spesial. Pada gelombang ketiga ini,

kopi spesial semakin diburu. Baik karena reputasi maupun karena kualitas cita

rasanya.

Penanda kedua, kopi diidentifikasi lebih spesifik, tidak seperti kopi di

gelombang kedua yang kebanyakan tidak mencantumkan asal-usul kopi, kalau

toh ada hanya sebatas informasi regional/negara.

Ketiga, orang-orang yang bekerja dalam industri kopi gelombang ketiga ini,

konon dikabarkan semakin tertarik dengan perdagangan langsung dengan

petani tanpa perantara atau penadah. Direct trade, begitu konsep ini disebut.

Tujuannya tak lain untuk meningkatkan kualitas kopi di suatu wilayah; yang

dengan begitu dapat meningkatkan kesejahteraan petani kopi; yang pada

akhirnya dapat meningkatkan mutu hidupnya. Direct trade juga dimaksudkan

sebagai pemenuhan konsumen yang berkesadaran konsumsi (bukan mass

market) akan kopi berkualitas tinggi. Direct trade umumnya dilakukan secara

mandiri tanpa tangan lembaga audit-sertifikasi mutu seperti USDA, Fair Trade

USA, Utz Kapeh Good Insdie, Rainforest Alliance, Smithsonian Bird Friendly, 4c , dan

C.A.F.E. Parctices.

Dan keempat yang terakhir, yakni terkait semaraknya alat/metode

penyeduhan kopi alternatif selain mesin/elektrik, yang dikenal dengan sebutan:

manual brewing coffee atau kopi yang diseduh secara manual. Memang, ada

metode seduh kopi yang telah hadir sejak gelombang sebelumnya, namun baru

populer di era ini. Adapula yang baru muncul dan langsung menggema. V60,

Kalita, Aeropress, Syphon, Rok Presso, adalah sebagian dari alat/metode seduh

kopi manual yang dimaksud. Selain harganya yang “wah” dan penggunaannya

yang relatif “rumit” karena berdasarkan tetek-bengek “protokol” penyeduhan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

masing-masing alat/metode tersebut diklaim mampu menghasilkan rasa kopi

yang unik, berbeda-beda.

Dari empat penanda ini, bisa terlihat bahwa orientasi industri kopi di era

gelombang ketiga adalah mengejar kopi yang benar-benar terbaik mutu

kualitas minumannya, serta terbaik secara sosial-kesejahteraaan para pelaku

industri kopi. Karena kejaran ini, kontestasi pun berlangsung, logika pasar

bekerja, dan kapitalis bermain. Setiap orang berupaya menghasilkan kopi yang

terbaik. Begitu pula dalam hal mengonsumsi kopi.

Kontestasi ini riuh di banyak negara, termasuk negara-negara produsen

kopi—yang terkategorikan sebagai negara “dunia ketiga”. Bahkan kontestasi di

era gelombang ketiga juga melibatkan para artisanal coffee, yakni pegiat kopi

yang menawarkan kopi spesial dan biasanya bersifat independen dan berskala

mikro—petani, penyangrai (roaster), dan barista termasuk golongan ini.

Artisanal kopi (selanjutnya akan disebut: artisan kopi) adalah pegiat kopi

yang terbilang idealis—kalau tidak mau dikatakan “muluk”. Kebanyakan dari

mereka adalah anak-anak muda. Mereka mengapresiasi kopi tidak sekadar

sebagai produk atau komoditi, tapi lebih sebagai “yang luhur nilainya”,

sebagaimana karya seni, sebagai artisanal foodstuff. Para artisan kopi dikenal

sebagai orang yang menyajikan kopi spesial seturut logika industri kopi spesial.

Mereka adalah orang-orang ahli dalam kopi; orang yang memeluk sekaligus

kadang kala resistan terhadap ideologi kapitalisme global. Tren para artisan

kopi adalah anti mainstream namun negoisatif dengan arus utama industri;

menolak bergaya seperti kedai kopi trans-nasional sebagaimana Starbucks

dari Seatle, Illy Coffee dari Italia, namun karakter berbisnisnya sulit ditolak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

menyerupai korporasi kedai kopi berjejaring. Artisan kopi kadangkala dijuluki

independent coffee dan umumnya berformat usaha mikro.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

BAB III

WACANA CITA RASA KOPI

Bab ini meletakkan Roda Rasa SCAA beserta standar SCA lainnya sebagai

praktik diskursif wacana cita rasa. Di sini, historisitas wacana cita rasa dan

institusinya yang berelasi dengan kekuasaan tertentu akan dianalisis secara

genealogis. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa latar belakang historis

memliki arti penting dalam konstruksi wacana cita rasa yang diusung SCA.

Bagaimana wacana tersebut begitu dominan dan otoritatif sehingga mampu

menormalisasi keragaman persepsi cita rasa di industri kopi spesial. Dengan

kata lain, bab ini mendedah bagaimana cita rasa kopi yang kini dianggap lazim

sebagai standar industri kopi spesial rupanya memiliki agenda-agenda politis

dan ideologis yang diusung oleh institusi wacana, SCA.

Untuk kepentingan ini, analisis genealogi dari Foucault akan dipakai

sebagai pisau dedah. Melalui analisis genealogis, pembacaan kritis atas sejarah

ditujukan untuk membongkar kebenaran-kebenaran sejarah masa kini1.

Hal ini tentu berbeda dari sejarah tradisional. Madan Sarup (1993) dengan

jeli memperlihatkan maksud Foucault: bila sejarah tradisional atau total history

memasukkan peristiwa-persitiwa ke dalam sistem pembabaran besar (grand

explanatory) dan dalam proses yang linear, merayakan peristiwa dan tokoh besar

serta berusaha mendokumentasikan asal-usul kejadian, maka genealogis

sebaliknya, berusaha membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa

spektakuler untuk peristiwa sepele dan yang diabaikan, serta keseluruhan

1 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approach. (London: Sage Publication, 2003), hal. 118

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

tentang fenomena yang sering ditolak sebagai sejarah. Genealogi berfokus

terutama pada pengetahuan lokal, diskontinu, remeh-temeh, dan dianggap

tidak sah di hadapan klaim kesatuan teori yang akan menyaring, menyusun

secara hierarkis, dan menatanya atas nama pengetahuan sejati tertentu.

Genealogi adalah sebentuk kritik. Genealogi menolak asal-usul dan lebih

tertarik pada konsepsi awal mula historis sebagai sesuatu yang bersifat

rendahan, kompleks, dan kebetulan (contingent). Genealogi berusaha

menyingkap keanekaragaman faktor di balik suatu peristiwa dan kerapuhan

bentuk-bentuk sejarah2.

Berbicara soal cita rasa kopi, tentu ada banyak sekali faktor historis yang

turut membentuknya. Di sini, saya membaginya ke dalam dua irisan faktor.

Pertama, berupa faktor-faktor yang tidak dikatakan langsung oleh Roda Rasa

SCAA dan standar SCA lainnya tapi punya kaitan membentuk cita rasa kopi

tertentu, yakni faktor sejarah produksi kopi: dari bibit kopi hingga cangkir saji.

Bagaimana lapangan produksi kopi berkorelasi membentuk cita rasa kopi

sebagai fakta sensoris. Sedangkan kedua, faktor-faktor sejarah yang turut

mengkonstruksi Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya sebagai produk

pengetahuan cita rasa diskursif yang dogmatis. Bahwa cita rasa kopi juga turut

ditentukan oleh SCA melalui produksi pengetahuannya yang dijadikan standar

bagi industri kopi spesial. Di bagian kedua ini, cita rasa bukan lagi sebagai

fakta sensoris melainkan lebih sebagai pengetahuan yang politis.

2 Madan Sarup, Post-Structuralism dan Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Agnita Hidayat, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 100-101.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

A. Cita Rasa Kopi: Historisitas di Lapangan Produksi

Cita rasa kopi atau kualitas organoleptik, pada mulanya berawal dari

lapangan produksi. Perunutan bisa dimulai dari bibit kopi, pembudidayaan atau

kultivasi kopi, panen dan proses pasca panen di level petani dan prosesor,

penyimpanan biji kopi hijau di level bersama (petani/koperasi, coffee buyer, dan

penyangrai), penyangraian di level roaster, dan penyeduhan di level barista.

Semua level turut berkolerasi ke cita rasa kopi sesuai kadar dan porsi

masing-masing. Disebut korelasi, sebab tidak serta merta faktor produksi

menentukan kualitas cangkir3 Pada masing-masing level, cita rasa kopi pun

bersifat temporer. Artinya, level berikutnya akan mengeliminasi cita rasa di level

sebelumnya.

Pada sub-bab pertama ini, faktor sejarah di lapangan produksi kopi akan

dibeber berdasarkan level produksinya. Pembeberan ini dilakukan sejauh

berkolerasi terhadap cita rasa kopi. Argumennya, “Bagaimana mungkin

mendekati wacana cita rasa kopi tanpa menelusuri konsepsi awal-mula cita

rasa kopi sebagai fakta sensoris?” Atau dalam bahasa Foucault, “Bagaimana

mungkin memeriksa aspek diskursif bila aspek non-diskursif diabaikan?”

Faktor sejarah di lapangan produksi kopi diperiksa bukan untuk mengaitkan

cita rasa sebagai fakta sensoris (aspek non-diskursif: sebagaimana total history)

dengan cita rasa sebagai pengetahuan yang politis (aspek diskursif) melainkan

untuk menunjukan keterbelahannya atau sifat fragmentaris sejarah.

3 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia) hal. 483.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

a. Level Petani

Bila dipresentasekan, para ahli agronomi dan kimiawi kopi percaya bahwa

petani memiliki kapasitas hingga hingga 60% dalam menentukan cita rasa.

Sebanyak 40% sisanya dibagi lagi menjadi 10% secara bersama

(petani/koperasi, coffee buyer, penyangrai), 20% penyangrai, dan 10% barista4.

Bila dirinci, andil petani mencakup pada pemilihan bibit, kultivasi dan

pembudidayaan, panen, pasca panen―dalam kasus tertentu, proses pasca

panen biasanya dilakukan oleh seorang prosesor5.

Secara umum, perkara bibit kopi berkaitan dengan spesies, dan semakin

spesifik bila sampai ke ragam varietas dan sub-varietas, baik itu hasil

persilangan maupun mutasi alamiah. Dalam genus Coffea, sebenarnya ada

banyak spesies kopi yang ditanam di belahan dunia beriklim tropis. Shawn

Steiman (2015) menyebut total ada 124 spesies, belum lagi varietas/sub-

varietasnya. Namun dalam peta budidaya kopi dunia, hanya dikenal empat

spesies utama, yakni arabika, robusta, exselca, dan liberika. Dari keempat itu,

yang paling umum dibudidayakan skala global hanya ada dua: arabika (coffea

arabica) dan robusta (coffea canephora)6―data dari ICO menunjukkan bahwa di

tahun 2018 produksi arabika dunia mencapai 100.653.000 karung/60kg dan

robusta sebanyak 70.449.000 karung/60kg. Atau naik sekitar 3,5% dari tahun

4 Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita, (Edisi 4465 26-01 April 2018) hal. 74-75.

5 Prosesor adalah ahli yang mengolah kopi setelah dipanen. Petani biasanya akan menjual kopi ceri ke para prosesor―prosesor kadang bertindak sendiri; kadang sebagai utusan dari perusahaan sangrai dan kedai kopi; juga kadang pula tergabung di koperasi petani kopi. Di kasus lain, prosesor kadang hanya bertindak sebagai pendamping dan konsultan petani dalam proses pasca panen. Pendampingan biasanya bersifat konseptual dan teknis. Seorang prosesor yang profesional juga mendapat lisensi dari CQI, dan dijuluki Q-Prosessor.

6 Shawn Steiman, The Little Coffee Know-It-All: Serba-serbi Kopi yang Harus Kamu Ketahui, terj. Prasojo dan Ining Isaiyas, (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 11-12.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

sebelumnya untuk arabika dan 7,7% untuk robusta7. Arabika dikenal sebagai

bibit unggul, karena dianggap memiliki atribut cita rasa yang lebih kaya

dibanding robusta. Pada kopi arabika, lazim ditemukan cita rasa buah-buahan,

bunga-bungaan, rempah-rempah, coklat maupun kacang-kacangan. Sementara

pada robusta (non-grade fine robusta) hanya terbatas pada cita rasa kacang-

kacangan atau cita rasa yang cenderung kepahit-pahitan. Dari perolehan cita

rasa ini, sangkaan awal adalah pada mulanya persoalan cita rasa merupakan

persoalan genetik bawaan tanaman. Ada benarnya, namun tidak sepenuhnya.

Pertama, benar, sebab coffea arabica adalah hasil penyerbukan dari coffea

canephora atau coffea congensis ke putik bunga induk, coffea eugenioides. Maka

wajar, bila arabika mewarisi genetika keduanya sehingga lebih kaya akan cita

rasa. Selain itu, kandungan kafein arabika lebih rendah dibanding robusta8.

Arabika mengandung 0,8-1,4% kafein sedangkan robusta bisa dua kali lipatnya,

hingga sebesar 2,2%. Kafein memberi dampak cita rasa pahit berlebih pada

kopi. Jadi wajar saja bila kopi robusta lebih pahit ketimbang arabika. Pun juga,

arabika memiliki kandungan gula dan lipid (zat lemak) sebesar 6-9%, lebih

tinggi dibanding robusta yang hanya berkisar 3-7%. Karena kandungan inilah,

cita rasa kopi arabika menjadi lebih lembut dan lantas lebih difavoritkan9.

Kedua, tidak sepenuhnya benar, sebab dalam proses budidaya, arabika

mendapatkan perhatian lebih dari pada robusta. Arabika lebih rentan terkena

penyakit karat daun, Hemileia vastatrix (HV), terutama bila ditanam di daerah

dengan elevasi kurang dari 700 meter atau dataran rendah. Sehingga dari segi

7 International Coffee Organization (ICO), Po Production April 2020, diakses dari https//ico.org/trade_sta tictics.asp pada 10 Juli 2020.

8 Shawn Steiman, hal. 12-13.

9 Majalah Tempo, hal. 58-59; dan Britta Folmer, (Ed.), Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, terj. Nandya Andwiani (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 59

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

perawatan dan pembudidayaan, arabika memang butuh perhatian lebih

dibanding robusta atau spesies kopi lainnya. Semakin tinggi pohon kopi

ditanam, semakin rentan akan penyakit dan hama, sehingga petani perlu

memberikan perawatan lebih seperti pemupukan dan pengairan, pemangkasan

intensif pada dahan atau ranting yang layu dan tidak produktif, pembersihan

lahan dari gulma yang dikhawatirkan mengurangi pasokan nutrisi dan

kesehatan tanaman kopi, memerhatikan keberadaaan tanaman sekitar

(penaung/penyela), serta bentuk-bentuk perawatan lebih lainnya. Sementara

robusta lebih unggul secara agronomik dan lebih resistan terhadap hama.

Banyak petani robusta merasa tidak perlu terlalu intens memerhatikan

tanamannya. Andai saja, robusta mendapat perhatian sebesar arabika, bisa jadi

robusta pun punya daya tarik cita rasa yang sekompleks arabika10.

inilah, yang kini mulai dikejar akhir-akhir ini terutama oleh sektor hulu industri

kopi spesial, yang rela turun langsung ke petani robusta guna pendampingan

agar robusta yang dihasilkan tergolong fine robusta, yang memiliki cita rasa

lebih kaya atau tidak terbatas pada cita rasa pahit dan kecokelatan.

Bila bibit (spesies, varietas, dan sub-varietas) telah ditentukan, maka

perjalanan cita rasa kopi berlanjut ke daerah dan iklim tanaman serta

bagaimana bibit kopi ditumbuhkan sampai menghasil buah kopi yang siap

panen. Hal ini masih sepenuhnya berada di tangan petani, plus turut dicampuri

oleh tangan alam.

Secara umum cita rasa kopi lebih banyak diperhitungkan berdasarkan

ketinggian tanam dan intenitas paparan cahaya matahari. Pertama, idealnya,

kopi arabika akan tumbuh baik pada ketinggian 700-1.700 meter di atas

10 Shawn Steiman, hal. 14 dan 58-59.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

permukaan laut (mdpl). Sedangkan Robusta di lahan di bawah ketinggian 800

mdpl11. Ketinggian tanam ini secara logis juga akan menyangkut suhu wilayah

tanam. Semakin tinggi daerah tanam, suhu akan semakin turun. Arabika

membutuhkan suhu 16-20° C untuk pertumbuhannya. Sementara robusta butuh

suhu yang lebih hangat yang berkisar 21-24° C12.

Berbagai catatan menunjukkan, suhu memang mempengaruhi banyak

aspek petumbuhan dan perkembangan beraneka spesies tanaman, termasuk

kopi. Namun rupanya suhu tidak hanya ditentukan oleh ketinggian, melainkan

pula pada garis lintang. Shawn Steiman (2015) menunjukkan hal ini melalui

sebuah perbandingan yang menarik. Semakin jauh garis lintang suatu wilayah

dengan ketinggian tertentu dari khatulistiwa, semakin rendah suhunya. Jadi,

daerah dengan ketinggian 762 mdpl di Hawaii beriklim lebih sejuk dibanding

daerah berketinggian 762 mdpl di Kolombia. Walaupun kopi yang ditanam di

Hawaii pada ketinggian tersebut bisa menghasilkan kompleksitas cita rasa dan

keasaman, hal serupa belum tentu bisa didapati di Kolombia, bahkan sekalipun

ketinggian tanamnya persis sama13.

Dengan demikian, daerah tanam kopi yang berada pada ketinggian, serta

suhu ideal dan posisi garis lintang yang dekat dengan khatulistiwa dapat

memberi kesehatan pada tanaman kopi. Semakin sehat tanaman kopi, semakin

baik hasil panennya, dan lebih jauh semakin baik pula cita rasa kopi.

Berikutnya, kata kunci lain di aspek budi daya adalah: cahaya, pohon

penaung dan organik. Demi kesehatan tanaman kopi, pertumbuhan kopi

lazimnya hanya ditunjang oleh pupuk zat hara yang berasal dari bahan organik.

11 Majalah Tempo, hal. 58-59.

12 Beng Rahadian, Mencari Kopi Aceh, (Jakarta: Octopus Garden, 2016), hal. 82.

13 Shawn Steiman, hal. 15-18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

Petani akan menghindari pemakaian pupuk kimiawi dan pestisida

sebagaimana anjuran “revolusi hijau”. Karena serba organik, maka pohon kopi

butuh pembatasan cahaya matahari agar asupan air, nutrisi, dan

karbondioksida dapat terpenuhi secara seimbang.

Cara utama pemenuhan ini adalah pohon kopi dibudidayakan dengan

diberi penaung. Penaung berfungsi menahan paparan cahaya matahari agar

tidak berlebih pada pohon kopi. Semakin sedikit paparan cahaya matahari,

maka semakin sedikit pula produksi bunga, buah, dan biji yang dihasilkan

pohon kopi. Ini menandakan bahwa pohon kopi mendapat pasokan nutrisi yang

pas. Dengan kata lain, kebanyakan petani kopi organik akan menggunakan

pohon penaung untuk membantu mengurangi kebutuhan nutrisi pohon kopi.

Sebab ketika pohon kopi menghasilkan bunga yang lebih banyak karena

kelebihan cahaya dan bukan penyebab lainnya, pohon kopi akan cenderung

butuh air, nutrisi, dan karbondioksida lebih banyak. Jika nutrisi tidak tersedia

dalam jumlah yang cukup, pertumbuhan kopi akan menjadi tidak sehat karena

tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh buah. Gejala

kekurangan nutrisi paling awal ialah daun menguning dan buah matang

prematur, lalu daun dan buah berguguran. Salah satu cara agar budi daya kopi

di bawah sinar matahari langsung bisa berhasil adalah dengan memberikan

nutrisi tambahan yang cukup yakni melalui pupuk kimia. Dan ini tentu

mengingkari prinsip organik tadi.

Selain alasan tadi, pohon kopi berpenaung juga akan mengubah sistem

budi daya dan lingkungan hayati kebun kopi dalam segala aspek. Pohon

penaung berinteraksi dengan tanah: menambahkan nutrisi alami melalui

penguraian daun-daun rontok, menahan posisi tanah (dengan demikian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

mencegah erosi), memproduksi remah-remah akar, dan boleh jadi membawa

air dengan memompanya dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih

tinggi. Atas dasar inilah, masuk akal bila sistem organik berkelindan dengan

gagasan sustainability atau berkelanjutan.

Jadi, agar nutrisi tercukupi petani akan memberikan pohon penaung pada

tanaman kopinya. Dengan begitu, petani tidak perlu menambahkan pupuk

kimia yang dikhawatirkan mempengaruhi kualitas cita rasa kopi nantinya14.

Memang, budi daya kopi organik dan berpenaung tidak niscaya menghasilkan

cita rasa yang “baik”, tapi dari sebagian besar kopi organik yang ada di pasar

dunia menunjukan memiliki cita rasa yang lebih baik15.

Selanjutnya, perjalanan cita rasa bergeser ke pemanenan dan pasca

panen kopi. Pada tahapan ini ukuran cita rasa kopi jamak dihubungkan dengan

petik merah. Hanya buah-buah kopi yang merah saja yang di panen; yang

matangnya pas. Dikenal dengan sebutan buah kopi merah16. Selain warna, kopi

14 Shawn Steiman, hal. 19-24.

15 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 54.

Di Indonesia, praktik perkebunan kopi dengan pohon penaung lebih banyak dilakukan oleh perkebunan kopi skala besar (milik negara atau swasta). Umumnya ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, utamanya di Sumatera dan Jawa. Sementara perkebunan milik rakyat lebih terbiasa dengan sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari adalah pola penanaman pohon kopi dengan tanaman musiman, seperti tanaman holtikultura yang mencakup sayur -mayur, buah-buahan, dan rempah-rempah. Pohon kopi umumnya baru siap dipanen setelah 2-3 tahun sejak ditanam. Sambil menunggu kopi berbuah siap panen, maka dibutuhkan tanaman lain yang dapat dipanen lebih cepat dari kopi. Dengan kata lain, sistem tumpang sari lebih tepat disebut sebagai pemanfataan ruang serta strategi meningkatkan pemasukan bagi petani. Sementara, tanaman penanung yang biasanya berupa pohon Lamtoro, jelas hanya menitikberatkan pada kejaran cita rasa, tanpa memberi perhatian pada pemasukan tambahan bagi petani kopi yang seringkali dibutuhkan ada dalam waktu relatif singkat (Sekalipun penaung Lamtoro dapat meningkatkan mutu cita rasa kopi, yang dengan demikian turut menaikkan harga jual kopi. Tapi untuk mendapatkan pemasukan tersebut, dibutuhkan waktu yang realtif lebih lama ketimbang pemasukan dari tanaman tumpang sari). Di Aceh, ada kopi yang ditanam bersamaan dengan pohon durian. Atau di Bali, Jeruk Bali adalah pilihan tanaman sela kopi.

16 Di Indonesia, buah kopi yang matang berwarna merah populer disebut sebagai ceri kopi. Sebutan ini berdasarkan terjemahan dari coffee cherries. Di tulisan ini, istilah buah kopi merah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

yang ranum juga bisa dikenali dengan mencicipnya. Kopi ranum akan terasa

manis terutama lapisan lendirnya. Tapi cara kedua ini jarang ditemui.

Buah kopi merah yang telah dipanen harus segera diproses kurang dari 12

jam, agar tak terfermentasi di luar kemauan produksi. Proses ini dinamakan

pasca panen. Pasca panen memainkan peran yang besar dalam kualitas cita

rasa. Telah banyak ilmuwan menyepakati peranan ini17. Bila 60% cita rasa kopi

berada di level petani, maka sekitar 40% darinya ditentukan pada proses pasca

panen.

Umumnya, ada empat metode pasca panen. Tiap-tiap metode dipilih

berdasarkan tujuan cita rasa kopi yang diinginkan, pertimbangan sumber daya,

biaya yang harus dikeluarkan, iklim/geografis, potensi harga jual, atau bisa

juga karena tradisi temurun18. Pada praktik pengolahan pasca panen, prosesor

kopi akan mengambil alih atau setidaknya turut campur dalam memandu dan

memberi pertimbangan ke petani kopi, agar metode yang dipilih tepat guna,

baik secara ekonomis maupun kualitas cita rasa.

Pertama, basah (fully-washed). Buah kopi yang ranum terlebih dulu dipilah

dengan cara perambangan. Buah-buah kopi dirambang di dalam sebuah wadah

berisi air. Buah-buah yang mengambang akan disisihkan sebab menjadi

pertanda bahwa buah-buah tersebut kopong atau cacat fisik. Hanya buah kopi

ranum yang tenggelam di dasar wadah yang akan dikupas. Buah kopi terpilih

tadi dikupas dengan bantuan mesin hingga menyisakan biji dan kulit

tanduknya. Dari sini kopi kemudian direndam dalam wadah berisi air selama

lebih dipilih, sebab menghindari istilah ceri kopi terkesan Eropa sentris, yakni memakai ceri yang akrab dalam keseharian orang Eropa sebagai rujukan.

17 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 489.

18 Shawn Steiman, hal. 38.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

12-36 jam. Proses ini dilakukan untuk membersihkan daging buah yang masih

menempel sekaligus untuk fermentasi. Setelah terfermentasi, kopi akan dicuci

sekali lagi untuk menghilangkan lendir sisa fermentasi. Baru kemudian kopi

dijemur untuk menurunkan kadar airnya dari yang semula berkadar 50%

menjadi 11-12%―versi lain menyebutkan hingga 9-12%. Tujuannya penurunan ini

agar kopi tidak lembab dan tidak mudah membusuk. Bila kadar air dicapai, kopi

akan dikupas kembali setelah didiamkan dalam suhu ruang di gudang. Proses

ini dilakukan untuk memisahkan kulit tanduk dengan biji sehingga

menghasilkan biji kopi hijau (green bean). Dari sini kopi masih menyisakan satu

tahapan pengolahan sebelum biji kopi hijau siap disangrai: penggolongan

(grading). Kopi dipilah berdasarkan ukuran dan warna, sekaligus untuk

menyisihkan biji yang cacat dan benda asing. Proses grading, mau tak mau

harus dilakukan secara manual untuk menjaga tingkat akurasinya.

Kedua, semi basah (semi washed atau giling basah (wet hulled). Dua langkah

awal metode basah juga dijalankan pada metode semi basah: perambangan

dan pengupasan buah kopi merah dari daging buah dan kulit ari. Yang menjadi

pembeda di metode semi basah adalah sisa lendir pada kulit tanduk

dibersihkan dengan mesin demucilager tanpa menggunakan air. Kopi yang

bersih kemudian dijemur selama satu-dua hari hingga kadar air turun menjadi

40% agar siap dikupas kulit tanduk pada biji kopi labu (yang masih relatif

basah) dengan bantuan mesin huller. Dari sini, tinggal dua proses lagi dalam

semi basah yang juga sama seperti metode basah: pengeringan biji kopi hingga

kadar air 11-12% dan penggolongan (grading).

Metode semi basah ini digemari oleh petani kopi di Indonesia karena

prosesnya yang cepat. Di sebagian besar wilayah Indonesia, yang memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

curah hujan dan kelembaban tinggi, pengeringan kopi bisa memakan waktu

lebih dari tiga pekan. Dengan metode semi basah, pengeringan kopi bisa tiga

kali lebih cepat. Dalam hal korelasi ke kualitas cita rasa seduhan kopi. James

Hoffman, penulis “The World Atlas of Coffee: From Beans to Brewing―Coffee Explored,

Explained and Enjoyed” mengatakan bahwa “kopi semi basah memiliki kadar

keasaman yang rendah serta cita rasa yang lebih lembut dan berat”.

Ketiga, natural. Yang pertama dilakukan pada metode ini masih sama

dengan dua sebelumnya: perambangan. Setelah dirambang buah kopi merah

langsung dijemur tanpa dikupas lebih dulu. Penjemuran akan memakan waktu

kira-kira dua-tiga pekan untuk mencapai kadar air 11-12%. Baru sesudahnya,

kopi didiamkan sejenak dalam ruangan untuk kemudian dikupas dengan

mesin huller guna memisahkan biji dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari.

Setelah melalui proses pengupasan (penggilingan), buah kopi merah yang telah

menjadi biji kopi hijau akan digolongkan seperti metode pasca panen lainnya.

Metode pasca panen natural, meski tidak berlaku untuk semua kopi,

biasanya akan menghasilkan cita rasa seperti buah-buahan dengan keasaman

(acidity) yang rendah, dan body yang lebih kuat.

Keempat, madu (honey). Metode ini lazim dipakai petani kopi di Amerika

Tengah. Mereka menyebut lendir kopi atau mucilage sebagai miel, yang artinya

madu (honey). Dari sinilah muncul istilah madu. Miel muncul saat kopi dikupas.

Setelah kopi dirambang, kopi akan dikupas dengan mesin hingga menyisakan

biji dan lendirnya. Ada tiga kategori yang menyatakan kadar lapisan lendir:

madu kuning (yellow honey) yang menyisakan lapisan lendir 25%, madu merah (red

honey) tersisa 50%, dan madu hitam (black honey) yang masih 100%. Kadar sisa ini

juga akan menentukan penyikapan kopi selanjutnya saat dikeringkan. Untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

madu kuning, kopi akan dikeringkan di tempat terbuka, namun tidak terpapar

sinar matahari langsung, kurang lebih selama 7-8 hari. Untuk madu merah, kopi

akan dikeringkan di tempat teduh selama 11-12 hari. Sedangkan untuk madu

hitam, kopi akan dikeringkan di dalam ruangan selama 20-30 hari. Setelah

dikeringkan, baru kopi akan digiling atau dikupas seperti metode natural dan

digolongkan seperti metode yang lain19.

Sampai di sini, setelah pasca panen, peran petani dengan produk akhir biji

kopi hijau diteruskan ke level berikut. Sebagai catatan penutup di level petani,

bahwa dari segala tahapan yang dilakukan petani kopi, setidaknya upaya

merekayasa cita rasa kopi itu ada, meski sekali lagi ditekankan, tidak serta

merta menentukan cita rasa kopi yang spesial. Rekayasa ini hanya berkolerasi

terhadap cita rasa akhir. Sebab masih ada level produksi lainnya yang turut

melengkapi pembentukan cita rasa kopi.

b. Level Bersama

Penyimpanan biji kopi hijau menjadi soal yang signifikan. biji kopi hijau

hasil petani akan mengalami waktu penyimpanan tentatif sebelum sampai di

tangan penyangrai―waktu di sini bergantung pada mekanisme distribusi, jual-

beli kopi atau ekspor-impor kopi di pasar domestik maupun global. Petani

dan/atau prosesor bisa saja menyimpan biji kopi hijau sambil menunggu coffee

buyer atau ia bisa juga menyimpan miliknya di koperasi bersamaan dengan

hasil petani lain sambil menunggu harga jual yang diinginkan, misalnya. Atau,

di lain sisi, coffee buyer bisa juga “menahan” biji kopi hijau sebelum ia jual ke

penyangrai dengan berbagai alasan, atau malah penyangrai yang menyimpan

19 Didasarkan pada tiga sumber rujukan yang dielaborasikan. Pertama, Majalah Tempo, hal. 74-75. Kedua, Shawn Steiman, hal. 37-43. Dan ketiga, Koffie Goenoeng Fairshare, Tiga Model Memproses Kopi Pasca-Panen, (tulisan lepas, tanpa tahun).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

lama biji kopi hijau sembari menunggu giliran untuk disangrai. Singkatnya, biji

kopi hijau bisa disimpan dalam waktu yang variatif oleh siapa pun atas dasar

kepentingan masing-masing.

Namun yang terpenting dalam aspek penyimpanan adalah jika biji kopi

hijau disimpan asal-asalan, maka bukan tidak mungkin biji kopi hijau akan

menurun tajam kualitasnya, yang tercermin dalam cita rasa yang hambar,

lapuk, dan apak. Rasa yang begini merupakan nilai cacat yang muncul bukan

sebagai sifat intrinsik bawaan kopi, melainkan lebih dikarenakan masalah

penyimpanan (human error) yang secara logis juga menyangkut kesegaran20.

Guna menghindari kesalahan ini, terlebih di industri kopi spesial,

ketepatan penyimpanan kopi mutlak diperhatikan. Dua faktor penting yang

perlu dikendalikan adalah kemasan, kelembaban, dan suhu ruangan. Secara

kimiawi, pengaturan ini diperlukan, agar tidak terjadi oksidasi dalam lipid kopi

(zat lemak) dalam masa penyimpanan yang berpotensi besar menurunkan

kualitas biji kopi hijau dari kualitas awalnya21.

c. Level Penyangrai

Setelah diproses dari buah kopi merah menjadi biji kopi hijau, kopi masih

menyerupai kerikil hijau yang keras, tidak terlalu punya cita rasa yang

mencolok. Bahkan biji kopi hijau sering dikatakan berasa serupa rumput. Tugas

seorang penyangrai (roaster) adalah mengembangkan cita rasa dalam kopi,

yang membuatnya menarik untuk diminum. Setiap kopi dari berbagai daerah

20 Britta Folmer (Ed.), Kriya dan Ilmu Menyeduh Kopi, terj. Rani S. Ekawati (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 35

21 Kriya dan Ilmu Menyeduh Kopi, hal. 36.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

tertentu memiliki karakteristik cita rasa yang tertentu pula, dan penyangraian

yang cermat akan mengeluarkan cita rasa ini22.

Para juru sangrai akan mengembangkan lebih dari 1000 senyawa volatil

(dialami indra penciuman) dan non-volatil kopi (dialami indra perasa) yang

berbeda dari sebelum disangrai. Di sinilah, penyangrai mengambil peran dalam

mengkreasikan cita rasa kopi melalui proses pemanasan kopi. Kopi dipanasi

dengan peralatan tertentu (biasanya dengan mesin sangrai bertabung) hingga

mencapai tingkat kematangan tertentu pula; yang mana tingkatan ini akan

turut menyatakan profil cita rasa kopi yang akan diseduh para barista. Di sini,

tingkat kematangan menjadi penting, tidak hanya bagi juru sangrai, tapi juga

bagi seluruh sektor hilir berikutnya: pengonsumsi kopi23.

Ada delapan tingkat kematangan kopi sangrai (derajat sangrai). Cinnamon

Roast, New England Roast, American Roast, City Roast, Full City Roast, Vienna Roast,

French Roast, dan Italian Roast―ada juga yang menambahkan Spanish Roast

sebagai tingkatan terakhir. Namun bila disederhanakan, hanya ada tiga derajat

sangrai yang lebih populer: Light atau sangrai ringan (Cinnamon Roast, New

England Roast), Medium atau sangrai sedang (American Roast, City Roast), dan Dark

atau sangrai gelap (Full City Roast, Vienna Roast, French Roast, Italian Roast, Spanish

Roast). Masing-masing derajat sangrai menunjukkan titik berhenti di lima fase

penyangraian kopi. Dengan kata lain, ada lima fase dalam penyangraian kopi, di

mana tiap fase memiliki titik henti yang kemudian dikenal sebagai delapan

derajat sangrai yang bisa disederhanakan menjadi tiga derajat sangrai24.

22 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 528.

23 Britta Folmer (Ed.), Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, terj. Nandya Andwiani (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 59-60; dan Shawn Steiman, hal. 78.

24 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 32-33; dan Shawn Steiman, hal. 77.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

Derajat sangrai yang optimal bergantung pada karakteristik biji kopi

hijau, metode penyeduhan yang diinginkan, dan yang penting adalah preferensi

selera penyangrai dan pasar. Roaster berpengalaman tahu bahwa cita rasa akan

berkembang dari karakter manis, seperti buah-buahan, roti panggang, dan

kacang-kacangan di derajat sangrai ringan (light), kemudian semakin kompleks

pada derajat sangrai sedang (medium). Sementara derajat sangrai gelap (dark)

akan cenderung membentuk cita rasa cokelat, rempah, bahkan tengik dan

sangit atau gosong bila kebablasan. Cita rasa pahit meningkat selama

penyangraian, sedangkan kadar acidity menurun selama tahap awal proses

penyangraian25.

Untuk kopi spesial, sangrai ringan hingga sedang lebih mendominasi

sebab dikaitakan dengan hasil akhir cita rasa yang kompleks dan

menyenangkan (cita rasa positif)26.

d. Level Barista

Dari penyangrai, cita rasa kopi berlanjut ditangani barista. Meski barista

berperan hanya 10% saja, paling kecil dibanding lainnya, tapi tanpa barista kopi

belum tentu bisa disebut minuman. Lewat barista, kopi diseduh untuk

mengungkap cita rasa yang masih tersimpan di biji kopi sangrai atau yang

sudah digiling. Shawn Steiman (2015) menunjukkan bahwa menyeduh kopi

adalah persoalan kimia dasar. Menyeduh kopi sekadar ekstraksi sederhana

atas zat terlaut (partikel kopi) dengan pelarut (air) dari suatu

25 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 33 dan 75.

26 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 530.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

matriks/kandungan (bubuk kopi) untuk menghasilkan suatu larutan (minuman

kopi)27.

Ada beraneka ragam metode penyeduhan kopi, yakni berdasarkan daerah

asal, tradisi, dan preferensi konsumen. Setiap metode memiliki beberapa

parameter seduh yang memainkan peranan penting dalam menghidangkan

minuman dengan cita rasa seimbang28.

Bila dirangkum, dibentang sejarahnya setidaknya ada dua golongan besar

dalam praktik penyeduhan kopi: dengan tekanan dan tanpa tekanan. Berbagai

macam ekstraksi kopi menjadi espresso adalah bagian penyeduhan dengan

tekanan (pressure). Espresso bisa dibuat menggunakan peralatan elektrik

(otomatis/semi otomatis) maupun dikerjakan dengan tangan/manual.

Sementara golongan tanpa tekanan, umumnya didominasi oleh peralatan

seduh manual (manual brew) dan mencakup tiga teknik dasar: perendaman

(immersing), tetes (dripping), dan pendidihan (boiling)29. Masing-masing golongan

dan teknik punya aturan main atau parameter seduhnya. Serta kadang kala

memiliki preferensi kopi yang digunakan (cocok-cocokan), baik spesies atau

varietas, maupun soal derajat sangrai dan kesegarannya. Kualitas dan suhu air,

tingkat halus-kasar gilingan kopi (area permukaan), rasio antara dosis kopi

yang digunakan (dose) dan hasil akhir seduhan (yield), lama waktu seduh,

hingga jenis dan bahan peralatan seduh, adalah parameter yang patut

diperhatikan barista guna mewujudkan cita rasa kopi sebagaimana

diinginkan30.

27 Shawn Steiman, hal. 128.

28 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 67.

29 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal.90-94.

30 Shawn Steiman, hal. 129-150.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

Tekanan memiliki dampak penting terhadap cita rasa yang dihasilkan.

Sebab kopi yang digiling cenderung halus, akan dimampatkan lalu mendapat

tekanan udara sehingga cita rasa yang dihasilkan akan mengarah ke kepekatan

intensitas serta body yang lebih tinggi. Sedangkan kopi yang diseduh dengan

V60 (salah satu teknik tetes dan saring) misalnya, yang lazim menggunakan

kopi arabika yang disangrai di rentang derajat ringan (light) ke medium dan

digiling lebih kasar dari ukuran garam dapur, umumnya akan didapati cita rasa

yang lebih ringan dan seimbang31. Atau kopi yang diseduh dengan cara

pendidihan seperti kopi turki (Turkish method dengan alat seduh berbahan

tembaga bernama Ibrik) memiliki karakter cita rasa yang pahit dan cokelat

hitam, karena suhu ekstraksi yang tinggi32.

Setiap parameter yang memengaruhi hasil ekastraksi perlu dipahami

seorang barista. Dengan mengotak-atik semua parameter tersebut dan

menyeimbangkan pengaruhnya satu sama lain, barista bisa membuat sederet

kopi seduh yang berbeda-beda cita rasanya, masing-masing punya nuansa33.

Barista akan mengoptimalkan cita rasa tertentu seperti, manis buah-buahan,

wangi rempah, dan acidity yang menyenangkan, serta meminimalkan cita rasa

yang mereka anggap tidak layak. Biasanya, barista akan menentukan

metodologi penyeduhan yang digunakan dan merancang kondisi penyeduhan

dengan menggunakan parameter yang sudah diketahui sebagai titik awal.

Kemudian, barista akan menguji kopi secara sensoris, dengan mencari jawaban

atas pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah cita rasa pada kopi yang muncul

31 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 89.

32 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 90.

33 Shawn Steiman, hal. 128.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

akibat ekstraksi yang berlebih atau tidak cukup terkestraksi? serta sederet

pertanyaan lainnya.

Sekalipun ada banyak tetek-bengek pernyeduhan kopi, pada akhirnya,

parameter utama untuk menilai kualitas secangkir kopi dari barista tetaplah

pengalaman indrawi. Namun, persepsi indrawi, dan bahkan apa yang disukai

pelanggan, sampai batas tertentu tetap subjektif. Sekalipun beberapa

parameter kunci telah dintentukan melalui pengukuran fisikokimiawi34.

B. Cita Rasa Kopi: Historisitas dalam Konsumsi

Pada sub bab kedua ini, cita rasa kopi dibicarakan dalam konteks

konsumsi, khususnya yang berlangsung di Indonesia. Pengkhususan ini

dilakukan sebab pembahasan di bab berikutnya akan diarahkan ke

pengalaman subjek-subjek pascakolonial di Indonesia dalam mengalami cita

rasa kopi di era gelombang ketiga.

Bila sub bab sebelumnya melihat catatan-catatan dari lapangan produksi

yang dinilai berkorelasi dengan kualitas cita rasa kopi, maka di sub bab kedua

ini, cita rasa kopi dilihat sebagai hasil konstruksi tiap fase dalam sejarah.

Bahwa persoalan cita rasa kopi di Indonesia turut berubah seiring perbedaan

episteme di setiap fase zaman: beda zaman, lain cita rasa . Historisitas di lapangan

produksi tidak begitu punya andil menyarankan cita rasa kopi. Yang berandil

besar di bagian ini justru industri sektor hilir yang memainkan preferensi cita

rasa konsumen.

Ada tiga fase yang saya dapati di sini. Pertama, fase di mana Indonesia

mengenal kopi berkat ambisi perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische

34 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 68.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

Compagnie (VOC). Di masa ini, cita rasa kopi masih diisi oleh “kopi pahit”. Kedua,

fase kedatangan Starbucks, yang mulai mengenalkan cita rasa lain dari kopi

serta mengubah tren konsumsi kopi, dari semata komoditas menjadi bagian

gaya hidup. Dan fase ketiga, saat ini, ketika SCAA/SCA menjadi corong dari

segala persoalan cita rasa kopi di Indonesia.

Fase pertama. Sebermula kopi di Indonesia tidak dimulai dari pabrik. Tapi

dari kebun. Berbeda dari sejarah kopi di AS yang dilihat dari praktik konsumsi

dan dicirikan dalam konsep gelombang (wave), bahwa mulanya di gelombang

pertama pada tahun 1800-an, kopi di AS massif diwarnai oleh Maxwell House dan

Folgers yang memasok kopi sangrai dan bubuk kopi untuk rumah tangga35,

maka sebaliknya di Indonesia, bahwa sejarah kopi dimulai dari konteks

produksi, dari perkebunan yang jauh lebih dulu, bahkan ada sejak abad 17.

Catatan sejarah menunjukkan bahwa kopi pertama kali ditanam di Jawa pada

tahun 1710, berkat ambisi dagang VOC yang hendak merebut pasar kopi dunia

dari bangsa-bangsa Arab, utamanya dari Yaman.

Meski lebih dulu di sektor produksi, orang Indonesia tidak serta merta

dapat mengonsumsi kopi. Sebabnya VOC yang tidak memperuntukkan kopi

Jawa dikonsumsi di tanah koloni Belanda. Tapi lebih sebagai komoditi ekspor ke

sebagian Eropa―Jawa dan Sumatra di masa koffiestelsel (tanam paksa,

cultuurstelsel) yang berlaku pada 1830 dan mulai berakhir sejak disahkannya

undang-undang reformasi argraria pada 1870 dan pada politik etis 1910; Jawa

35 Persoalan ini berkaitan dengan revolusi ritel yang akan dibahas di sub-bab berikutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

menjadi pemasok kopi terbesar pada tahun 1850-an menggeser India dan

Ceylon (Sri Lanka)36.

Orang Cianjur, Malabar, serta orang-orang pulau lain, seperti Sumatera,

Bali, Sulawesi, Timor, dan lainnya, sama sekali tidak pernah menikmati

secangkir kopi yang ia tanam. Pada masa itu, para petani lebih akrab dengan

seduhan daun kopi yang biasa di sebut dengan kopi kawa, seperti yang dialami

di Sumatera37. Atau seduhan daging buah buah kopi merah yang dikeringkan

yang dikenal sebagai teh kopi (sekarang populer disebut cascara) seperti umum

dijumpai di Timor38. Kalau toh petani dapat meminum kopi dari biji, tentu biji

kopi yang diolah adalah biji buangan yang sangat buruk kualitasnya. Biji

tersebut disangrai seadanya. Kadangkala dicampuri jagung dan beras

sebagaimana yang dilakukan di Jawa. Campuran ini diniatkan agar cita rasa

kopi “membaik”, menjadi lebih gurih, meski masih sangat tidak layak. Juga

agar lebih murah terjangkau dan kuantitas kopi menjadi banyak, sehingga

dapat bertahan dikonsumsi hari ke hari. Terdengar ironis, memang39.

Baru pada 1927 di era kolonial Belanda, saat kopi mulai dikomersialisasi di

pasar domestik, Koffie Fabriek pertama di Indonesia berdiri di Weltevreden, Batavia,

dengan nama Tek Sun Ho; dan budaya minum kopi dari biji yang “layak”40 pun

dimulai. Semakin berkembang berkat Koffie Fabriek lain yang menyusul berdiri:

Kapal Api yang mulai beroperasi tahun 1927 di Surabaya, Javaco Cofffee yang

36 Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, a Cup of Java, (Jakarta-Singapura: Equinox Publishing, 2003), hal 28 dan 33; dan Andi Haswidi, Kopi: Indonesian Craft and Culture, (Jakarta: Bekraf, 2017), hal. 30.

37 Andi Haswidi, hal. 108.

38 Andi Haswidi, hal. 33.

39 Andi Haswidi, hal. 93; dan Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, hal. 112.

40 Dalam pengertian lebih baik dari biji kopi yang beredar di Indonesia di era VOC.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

berdiri di Bandung pada tahun 1928, Singa di Surabaya pada 1928, dan Aroma

Koffie pada tahun 1930 juga di Bandung. Jika AS mengenal merek Maxwell House

dan Folgers sebagai pemasok kopi terjangkau bagi rumah tangga di AS, maka di

Hindia Belanda, di Indonesia, orang mengenal merek Aroma dan Javaco sebagai

kopi biji sangrai dan kopi bubuk konsumsi41.

Koffie Fabriek, sebutan untuk pabrik kopi dalam bahasa belanda, yang

beroperasi di Indonesia, tepatnya Hindia Belanda. Rumah sangrai lokal ini

menandai tren cita rasa kopi awal di Indonesa era VOC dan kolonial Belanda.

Sebagaimana kebanyakan bisnis era itu, rumah sangrai kopi biasanya dimiliki

dan dijalankan oleh keturunan Cina kelas menengah ke atas. Berkat status

sosial dan ekonomi yang relatif tinggi dibanding pribumi serta pergaulan yang

lebih dekat dengan kolonialis, membuat mereka unggul dalam membaca

peluang bisnis kopi bubuk yang pesat di Batavia, Bandung, dan Surabaya kala

itu.

Bagi para perintis, membuka bisnis kopi berarti perlu mengimpor mesin

sangrai dari Jerman. Probat, merek ternama dari Emmericher Maschinenfabrik &

Eisengiesserei yang berdiri tahun 1868, sering menjadi pilihan favorit para

pebisnis kopi. Probat waktu masih serba manual. Untuk mengoperasikannya

dibutuhkan sekitar dua-tiga orang. Satu orang bertugas memelihara putaran

drum silinder besar yang diisi biji kopi hijau secara stabil dan kontinu. Seorang

lagi (dan yang lain) bertugas menjaga perapian kayu agar mencapai suhu ajeg

berkisar 205o-260o C. Penyangrai akan mengubah biji kopi hijau dari semula

hijau menjadi menguning lalu berakhir gelap. Perubahan akan berlangsung

beberapa menit. Hasil akhir sangrai kopi yang begini dikenal sebagai Turkish

41 Andi Haswidi, hal. 82-87; dan Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, hal. 75-83.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

Roast, satu-satunya derajat sangrai yang dinginkan masa itu. Bahkan, ada

beberapa penyangrai dengan sengaja tidak segera mengeluarkan biji

sangrainya dari drum, dengan maksud agar rasa terbakar (burned/gosong)

semakin sempurna.

Praktik sangrai yang telah berusia seabad lamanya ini, lantas diwariskan

ke generasi berikut. Terus-menerus, menjadi tradisi. Hingga pada gillirannya

semakin menguatkan tren cita rasa kopi “pahit” di Indonesia bahkan hingga

hari ini42.

Pada tahun 1980, saat gelombang pertama di AS memasuki abad ke-20,

budaya minum kopi “pahit” semakin dominan sebagai kultur cita rasa kopi di

Indonesia. Hal ini ditandai dengan populernya kopi bubuk bermerek Kapal Api di

pasaran di Surabaya―mengekor Douwe Egeberts (Belanda), Lavazza (Italia), dan

Maxwell House, Folgers (AS)43.

Seiring itu pula, orang Indonesia semakin kental dengan kultur cita rasa

kopi pahit. Agar kopi pahit ini dapat dinikmati, maka rasa kopi perlu direkayasa.

Seringkali kopi dicampur dengan berbagai bahan untuk mengatasi rasa pahit

akibat penyangraian. Di berbagai daerah di Indonesia, jamak dijumpai kopi

42 Hingga hari ini, setidaknya saat tulisan ini dikerjakan, akan sangat mudah menemukan praktik sangrai ala Koffie Fabriek. Selain di koffie fabriek yang masih beroperasi hingga kini, kopi-kopi yang disangrai gelap dan cenderung gosong dengan cita rasa pahit juga mudah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Beng Rahadian menemukannya di Aceh saat ia melakukan observasi untuk proyek komiknya, “Mencari Kopi Aceh” yang terbit tahun 2016. Saya pribadi juga menemukan hal serupa saat berada di Tulang Bawang, Lampung pada 2017; di Lereng Sindoro, Temanggung pada 2017; di Pagar Alam, Sumatera Selatan pada 2018; Lereng Merapi Sleman, 2019. Beberapa acara serial semi dokumenter produksi televisi nasional juga sering memberitakan cara sangrai kopi serupa, baik skala indutri maupun rumahan. Bererapa di antaranya, Coffee Story, produksi Kompas TV yang tayang sejak September 2011 hingga September 2012; Jelajah Kopi, produksi TVRI yang tayang sejak Januari 2020 hingga kini; dan Viva Barista, produksi Metro TV, yang sempat tayang sejak Februari 2016 hingga Juli 2018. Lihat juga: Andi Haswidi, 78-79

43 Andi Haswidi, hal. 123 dan 13.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

dicampur telur ayam kampung, kental manis, vanili, margarin, gula pasir, dan

bahan-bahan lainnya.

Meski praktik konsumsi kopi di era kolonial mulai membaik dibanding

era VOC, kopi masih tetap menjadi barang mewah kala itu. Bila di era VOC, kopi

menjadi langka dikarenakan monopoli ekspor VOC, maka di era kolonial

Belanda, selain monopoli ekspor masih dijalankan, kopi menjadi langka di

dapur rumah tangga sebab mahal harganya. Keran konsumsi kopi domestik

memang dibuka di era kolonial Belanda, tapi masih saja tak banyak orang yang

mampu membeli produk kopi dari koffie fabriek. Sudah mahal, pahit pula.

Hal ini semakin melengkapi frasa kopi “... kopi adalah sejarah kelam

penindasan ...” sebagaimana ujar Multatuli alias Eduard Douwes Dekker dalam

novelnya, Max Havelaar (1860).

Fase Kedua. Invasi Starbucks ke berbagai negara telah membuka babak baru

cita rasa kopi global, termasuk di Indonesia. Antipati pada kopi “pahit” seperti

yang ditunjukkan di gelombang pertama lantas memunculkan era baru, disebut

sebagai gelombang kedua. Era yang menginginkan cita rasa kopi yang lebih

baik. Kehadiran Peet’s Coffee & Tea dan Starbucks menandai hal ini ketika mereka

mulai buka toko pada 1966 dan 1971. Keduanya lantas memimpin tren konsumsi

di AS. Mereka mempromosikan inovasi yang relatif baru pada saat itu ke

konsumen AS, seperti kesegaran biji kopi sangrai dan pengenalan minuman

espresso dan turunannya (espresso based) seperti cappuccino dan latte.

Gelombang kedua di AS juga disokong oleh gagasan kopi spesial yang lamat-

lamat dikenal pada 1970-an melalui Erna Knutsen.

Pada tahun yang sama, konteks konsumsi kopi di AS tidak serta merta

belaku di Indonesia. Indonesia mengenal kopi dalam pengertian “gelombang ala

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

AS” ini baru-baru saja. Sulit untuk mengatakan dengan tepat kapan tren cita

rasa kopi di konsumen Indonesia mulai bergeser dari kopi “pahit”. Ada yang

mengatakan sejak Starbucks membuka kedai pertamanya di Plaza Indonesia,

Jakarta, pada Mei 2002. Ada pula yang menyebutkan sejak tahun 2004, saat

rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana Tsunami. Saat itu, USAID

bersama lembaga donor lain membantu merevitalisasi pertanian kopi organik

di dataran tinggi Gayo, Aceh. Bersamaan dengan itu di lokasi lain, Eko

Purnomowidi, dari Volkopi Indonesia juga mengerjakan proyek mengembangkan

arabika berkualitas tinggi di Sumatera Utara yang telah dirintis sejak awal

2000-an, lebih dulu dari kehadiran Starbucks di Indonesia. Sementara bagi

mereka yang tinggal di Jakarta, mungkin akan menunjuk pada pendirian kedai

Caswell Coffee di Jakarta pada tahun 1999, sebagai yang pertama yang

mempromosikan kopi spesial di Indonesia di sektor hilir. Di kemudian hari,

Caswell Coffee merambah ke bisnis sekolah kopi, juga sebagai sekolah kopi yang

pertama terakreditasi SCA: SCA Campus

Terlepas dari perdebatan kapan tepatnya, secara pasti, baik Starbucks,

peran USAID di Aceh, Eko Purnomowidi di Sumatera Utara, maupun Caswell Coffee

di Jakarta, telah berkontribusi menggiring tren konsumsi kopi di Indonesia ke

cita rasa kopi yang tidak lagi sekadar pahit; yang memungkinkan kopi untuk

dikawinkan dengan bahan lain, seperti susu segar, cokelat, sirup, dan lain

sebagainya. Bahwa di Indonesia, kopi mulai dimaknai dan dirasakan secara

berbeda. Hal ini semakin menguat dengan dukungan teknologi produksi kopi

yang berkembang, serta perubahan selera pasar kopi global ke espresso dan

kopi susu44. Tapi patut di garis bawahi, bahwa cita rasa kopi di fase kedua ini

44 Andi Haswidi, hal. 122-124. Lihat juga: Majalah Tempo, hal. 80.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

memiliki segmen pasar terbatas, yakni masyarakat kelas menengah ke atas.

Sementara masyarakat kelas lain masih terbiasa dengan kopi pabrik bercita

rasa “pahit”. Mengapa terbatas? Sebab kopi yang demikian cuma dapat ditemui

di kafe-kafe di kota-kota besar Indonesia.

Seperti halnya di Starbucks. Di Starbucks, orang bisa menikmati espresso,

cappuccino, dan latte, sekaligus bisa menikmati gaya hidup. Di Starbucks, kopi

tidak semata dimaknai sebagai komoditas. Starbucks turut menambahkan

atribut gaya hidup pada kopi. Ini erat kaitannya popularisasi kopi sebagai

minuman out-home consumption khas AS sebagai akibat industri ritel dan kopi di

AS yang mulai memasuki masa sulit dan stagnan. Momen ini melahirkan ide

yang terbilang baru45 di AS dengan mencoba menggarap segmen pasar baru,

yaitu kedai kopi. Bila di era sebelumnya, tren konsumsi kopi di AS lebih marak

dengan at-home consumption berkat keberadaan pabrikan kopi saset dan

industri retil yang eksplosif, maka di era out-home consumption orang lebih

diajak meminum kopi di kedai kopi sembari merayakan individualisme dan

kesetaraan diri di ruang ketiga (third place).

Oldenburg, sosiolog perkotaan, menyebut bahwa kedai kopi adalah ruang

ketiga. Di ruang ketiga ini kedai kopi tidak hanya menjual kopi tapi juga ruang

dan waktu. Orang-orang berkumpul di kedai kopi, di luar rumah dan kantor,

untuk bercakap-cakap santai dan berinteraksi tanpa memandang status sosial.

45 Secara keseluruhan tren konsumsi kopi dikenal pertama kali di Turki dan kemudian berkembang. Awalnya, kafe adalah tempat yang digunakan oleh masyarakat sebagai cikal-bakal kedai kopi. Pada masing-masing perkembangan terdapat perbedaan dan persamaanya, yaitu fungsinya sebagai ruang publik. Lebih lanjut, perkembangan cara konsumsi out-home consumption terlihat di Italia awal abad ke-20. Awalnya kopi di Italia hanyalah sebatas budaya kafe seperti di negara-negara Eropa lainnya, begitu pula dengan cara penyajian kopinya yang sebatas diseduh manual (manual brewing). Namun ketika mesin espresso diperkenalkan pertama kali pada tahun 1901 dan disempurnakan pada tahun 1947, kini espresso merupakan bahan dasar yang sering dijumpai di kedai kopi yang mengekor Starbucks. Lihat: Fauziah Rohmatika Mayangsari, hal 179-180.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

Orang-orang merasa bahwa kedai kopi adalah miliknya sebab mereka

menemukan kenyamanan dan keramahan di sana, serta memandang kedai

kopi adalah tempat yang netral dan terbuka untuk ekspresi diri. Nilai-nilai yang

ditambahkan inilah yang menjadi sangat penting selain secangkir kopi itu

sendiri46.

Starbucks mengklaim bahwa mereka adalah bagian dari third place. Meski

dibantah kemudian oleh Oldenburg yang menangkap kurangnya interaksi sosial

dan percakapan santai di kedai Starbucks. Di Starbucks, orang lebih terbiasa

menyendiri merayakan individualisme ketimbang berinteraksi sosial47.

Fase Ketiga. Seiring menguatnya industri kopi spesial, orang-orang secara

pasti dan perlahan menampik “ampas kolonial” seperti di fase pertama, juga

mulai menginginkan cita rasa kopi yang berbeda-berbeda tidak seperti

cappuccino dan latte atau olahan kopi susu lainnya seperti di fase kedua. Kopi

mulai dinikmati “kemurniannya” alias tanpa campuran bahan non-kopi.

Semakin khas cita rasa kopi, maka semakin ia diminati. Tren pun kembali

bergeser ke kejaran otentisitas dan kompleksitas cita rasa kopi sebagaimana

gagasan kopi spesial yang dikampanyekan AS melalui SCAA/SCA.

Di Indonesia, pergeseran ini disokong oleh, pertama karena permintaan

kopi spesial yang datang dari AS. Dari total produksi kopi nasional pada tahun

2018 yang mencapai 687 ribu ton, 280 ribu ton diantaranya diekspor dengan

tujuan utama adalah AS, Italia, dan Jepang. Di sini AS menyerap sekitar 52 ribu

ton atau sekitar 18,6% dari total eskpor. Sisanya diserap pasar domestik, yang

46 Muhammad Najih, Warung Kopi dan Place Identity (Tesis Magister Psikologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: 2017), hal. 36-37.

47 Muhammad Najih, hal. 38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

sebagain besar diolah menjadi kopi saset48. Karena permintaan ini, wajar bila AS

giat berkampanye soal kopi spesial di Indonesia. Kedua, karena diseminasi

pengetahuan kopi spesial oleh AS melalui SCA dan diringi perkembangan

teknologi produksi kopi, khususnya di teknologi sangrai dan penyeduhan yang

semakin memudahkan merekayasa (atau membentuk) cita rasa kopi spesial.

Dan ketiga, karena ceruk pasar telah dibuka oleh Starbucks, sehingga memberi

daya optimis kedai kopi lokal (serupa format Starbucks) untuk menjajakan kopi

spesial di Indonesia.

Ketiga fase ini menunjukkan bahwa cita rasa kopi dalam konteks

konsumsi di Indonesia dialami secara berbeda seturut kemauan industri kopi:

Koffie fabriek, Starbucks, dan SCA. Hal ini juga menunjukkan bahwa secara

perlahan, cita rasa kopi mulai dapat dipahami sebagai wacana. Sebab realitas

cita rasa di sini dibatasi dan diarahkan oleh industri. Pun juga, sifat kebenaran

cita rasa yang dimaksud di ketiga fase ini amat parsial dan relatif karena

didasari episteme tertentu pada masanya. Suatu ide tentang cita rasa kopi yang

sama akan dinilai secara berbeda bergantung fragmen sejarah dan siapa yang

memegang kekuasaan pada saat itu, dan kekuasaan di sini dipegang oleh

industri, yakni koffie fabriek, Starbucks, dan SCA. Sejarah bukanlah koherensi

ide/peristiwa. Bagi Foucault, sejarah adalah retakan (rupture), ia

diskontinuitas49. Bahwa sejarah pada dewasa kini, cita rasa kopi di fase ketiga,

terpisah dari sejarah di dua fase sebelumnya sekaligus tidak berkaitan dengan

historisitas di lapangan produksi. Sebab setiap fragmen sejarah memiliki

48 Badan Pusat Statistik Indonesia, Statistik Kopi Indonesia 2018, (Jakarta: BPS, 2019), Hal. 10-13

49 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Mudzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 17.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

episteme-nya sendiri. Dan, episteme inilah yang menjadi formasi bagi

terbentuknya discourse of knowledge (diskursus pengetahuan)50.

Secara khusus, penjelasan fase ketiga, cita rasa kopi di industri kopi

spesial yang giat dikampanyekan SCA, lebih lanjut akan didalami di sub bab

ketiga. Pendalaman ini berkaitan dengan wacana cita rasa kopi dan institusi

yang mengkonstruksi wacana tersebut.

C. Historisitas Wacana Cita Rasa dan Institusi SCAA/SCA

Pada sub-bab ketiga di sini, cita rasa kopi mulai dibicarakan dari sisi

faktor-faktor sejarah yang mengkonstruksi Roda Rasa SCAA dan standar SCA

lainnya sebagai produk pengetahuan diskursif yang dogmatis. Bahwa cita rasa

kopi juga turut ditentukan oleh SCA melalui produksi pengetahuannya yang

dijadikan standar bagi industri kopi spesial. Di sini, pembicaraan cita rasa

tepatnya bukan lagi sebagai fakta sensoris seperti di lapangan produksi,

melainkan lebih sebagai pengetahuan yang politis, melanjutkan penjelasan sub

bab kedua khususnya cita rasa di fase ketiga.

Sebagai wacana, Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya akan dianalisis

bersamaan dengan aspek-aspek lain, seperti pemeriksaan SCA sebagai institusi

wacana, sekaligus sedikit meninjau pengalaman subjek-subjek yang

menghidupi wacana51. Tujuan dari upaya ini adalah untuk melihat relasi kuasa

yang ada dalam wacana cita rasa pada industri kopi spesial.

Tren kopi spesial gelombang ketiga telah meniscayakan topik utamanya

kepada cita rasa. Topik yang merebak, digemari ke segala penjuru dunia. Setiap

50 Bisa juga episteme dalam penyebutannya kemudian adalah wacana atau dalam istilah anglosakson disebut paradigma. Lihat: P. Sunu Hardiyanta, Michel Foucault: Displin Tubuh, Bengkel Individu Modern, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. XV.

51 Pembahasan mengenai pengalaman subjek-subjek wacana akan lebih didalami di bab IV.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

orang menginginkan cita rasa terbaik dari kopi yang ia konsumsi. Ini didasari

oleh kejumudan terhadap kopi saset dan kopi pahit yang marak di dua era

gelombang sebelumnya. Orang-orang di masa sekarang mulai berangsur beralih

ke kopi yang memiliki cita rasa terbaik sekaligus unik: khas. Semakin enak dan

khas cita rasa kopi, maka semakin diminati. Karena kejaran itulah, baik

konsumen maupun produsen kopi mulai serius mengupayakan cita rasa kopi

enak dan unik yang tiada duanya. Pertanyaan-pertanyaan kualitatif tentang cita

rasa lantas berjejalan seiring dengan ragam upaya peningkatan mutu dan

volume produksi kopi dari tingkat petani hingga ke cangkir saji, serta upaya

memperbaiki tata kelola-niaga kopi yang berkelanjutan (sustainable), adil, dan

menyejahterakan semua lini. Perlahan secara pasti, berbagai penelitian

dikembangkan dan ratusan uji coba digelar guna mengejar ambisi ini.

Keluarannya (output) adalah pengetahuan. Sebuah savoir tentang melahirkan

cita rasa kopi yang spesial. Wujud kongkrit dari pengetahuan tersebut berbagai

macam, berupa buku-buku, alat/teknologi, praktik tata kelola, prosedur-

prosedur, sertifikasi keterampilan, standardisasi, dan lain sebagainya.

Pada momentum inilah, SCA mengetengahkan diri dan mengambil

peranan penting dalam industri kopi spesial skala global. SCA mengklaim

sebagai organisasi non-profit yang merepresentasikan ribuan profesional di

bidang kopi, dari tingkat produser kopi hingga barista dari berbagai penjuru

dunia. Sejak resmi berdiri pada tahun 2016―hasil unifikasi SCAA yang telah ada

sejak 1982 dan SCAE sejak 1998―SCA telah menggelar dan memfasilitasi

rangkaian pendidikan, pelatihan, dan penelitian di arena kopi dunia dengan

pendekatan yang kolaboratif dan progresif. Dari kegiatan ini, SCA memiliki

kapasitas memproduksi berbagai pengetahuan guna menjawab pertanyaan-

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

pertanyaan tadi. Sebuah jawaban yang dinilai dapat menjamin kecerahan masa

depan industri kopi spesial. Konsekuensi logis dari kiprah SCA inilah yang

kemudian menahbiskan SCA sebagai korpus pengetahuan industri kopi spesial.

Sebagai universitas kopi dunia yang diikuti oleh para anggotanya dari berbagai

negara dan lintas pelaku mata rantai industri kopi spesial.

Bagaimana membudidayakan tanaman kopi yang tepat kondisi geografis?

dan berkelanjutan? Orang akan menjawabnya dengan merujuk ke SCA. Seperti

apa karakterisitik buah kopi yang layak panen dan bagaimana memproses

pasca panennya? Orang akan mengutip pendapat SCA. Teknologi sangrai seperti

apa yang tepat guna untuk kopi spesial? Apa yang dimaksud dengan biji kopi

cacat? Bagaimana mengkategorikan kopi spesial atau bukan? Siapa yang

mampu mengidentifikasi atribut cita rasa kopi secara akurat? Bagaimana tata

kelola niaga kopi yang adil? Prosedur macam apa yang diperlukan dalam

menyeduh kopi spesial? Bagaimana membaca peta konsumen kopi? Jawaban-

jawaban atas setumpuk pertanyaan tadi akan bermuara ke SCA. Kiranya, SCA

menyediakan jawaban segala macam pertanyaan yang dinilai sahih oleh

anggota dan pengikut SCA di berbagai tempat tinggal.

Termasuk pula pertanyaan tentang cita rasa kopi. Dalam hal ini, SCA telah

menerbitkan beragam produk dan konsep pengetahuan terkait. Di antaranya

adalah Roda Rasa SCAA (yang berbasis pada data yang ada di Sensory Lexicon), SCA

Coffee Standards, dan SCAA Coffee Protocols. Standar-standar ini mencakup

material bahan dan peralatan, pelaksana, dan tata cara mengidentifikasi mutu

kopi. Standar ini diajukan agar semua orang memiliki frekuensi yang sama atas

term cita rasa dari kopi spesial.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

Sampai di sini, standar SCA telah memenuhi syarat untuk dikatakan

sebagai sebagai wacana, sebab SCA telah menjadi seperangkat batasan dan

regulasi yang terterap ketika membicarakan cita rasa kopi. Sebagai wacana,

pada gilirannya, standar SCA berkembang menjadi adalah rezim kebenaran itu

sendiri dalam konteks sejarah masa kini (history of present) yang tidak lagi

terhubung dengan sejarah dibelakangnya. Maksudnya, bahwa pemahaman

terkait cita rasa kopi spesial di waktu kini dapat dibenarkan sejauh berada

dalam lanskap pengetahuan SCA. Cita rasa kopi kemudian “dipisahkan” dari

kesejarahan lapangan produksi kopi sekaligus kesejarahan individu yang

mencecapnya. Sejarah bukanlah koherensi ide/peristiwa, ia adalah retakan

(rupture): diskontinuitas, kata Foucault52. Dan dibalik setiap retakan sejarah

terdapat episteme.

Dalam bukunya, The Archeology of Knowledge (1976), Foucualt menjelaskan

episteme sebagai totalitas kognitif yang mampu mengendalikan cara seseorang

atau sekolompok orang dalam memandang realitas tertentu tanpa disadari53.

Episteme hanya berlaku pada periode sejarah tertentu. Lantas, episteme macam

apa yang mendasari wacana cita rasa kopi spesial kiwari yang diusung SCA?

Sebelum menjawabnya, terlebih dulu akan diketengahkan ilustrasi terkait

betapa berpengaruhnya SCA dalam membayangkan cita rasa kopi di era

gelombang ketiga ini. Ilustrasi ini bersumber dari pengalaman personal saya

saat membicarakan cita rasa kopi. Penengahan pengalaman ini dimaksudkan

52 Arkeologi Pengetahuan, hal. 17.

53 Arkeologi Pengetahuan, hal. 17; dan Michel Foucault, Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan, terj. Yudi Santosa (Yogyakarta: bentang Budaya: 2002), hal. 242-243.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

sebagai “the critical ontology of self”. Untuk melihat secara kritis wacana yang

membentuk subjektivitas lalu mengimajinasikan ulang diri secara berbeda54.

Kasus Pertama. Bagi orang awam yang bukan panelis sensoris profesional

seperti saya yang hidup di dua kultur Jawa (Yogyakarta) dan Melayu

(Palembang), nyaris separuh dari atribut cita rasa spesifik yang ada di Roda Rasa

SCAA adalah asing bagi saya. Asing dalam pengertian tidak familiar, jauh dari

keseharian konsumsi di kultur tempat saya tinggal, dan sukar dituturkan

dalam bahasa ibu saya. Kalau yang asing ini adalah cita rasa buah, maka buah

tersebut tidak panen di bumi yang saya jejaki atau pohonnya tumbuh di luar

jangkauan tempat tinggal saya. Kalau toh ada di pasaran, akses

mendapatkannya terbilang terbatas sehingga membuat orang seperti saya

tidak terbiasa dengan cita rasa buah yang bisa diimpor itu. Pun juga untuk

menyebut buah impor tersebut, penutur seperti saya harus meminjam bahasa

kreol dari Roda Rasa SCAA itu sendiri. Cita rasa prune dan raspberry yang ada di

Roda Rasa SCAA adalah dua di antara yang mewakili hal ini. Kalau yang asing

adalah cita rasa alkohol/yang terfermentasi, maka cita rasa ini bukan bagian

dari kultur cita rasa di komunitas yang saya tinggali. Untuk soal ini, bisa

didapati atribut cita rasa whiskey, salah satunya. Whiskey di Roda Rasa SCAA

mendapat definisi di Sensory Lexicon sebagai:

Gambar III.1: Atribut Whiskey pada Sensory Lexicon

Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References; edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR)

54 Paula Saukko, hal. 76-77.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

Di sana, whiskey didefinisikan sebagai aroma yang diasosiasikan kepada

produk sulingan dari fermentasi biji-bijian (malt, jelai, gandum hitam, gandum,

dan jagung). Sementara untuk referensi cita rasa whiskey mengacu ke Jack

Daniels’s Tennessee Whiskey Old No. 7 yang disajikan (preparation) di ½ gelas besar

snifter. Definisi dengan referensi yang semakin asing bagi saya. Baik whiskey

maupun Jack Daniel’s bukan sesuatu yang jamak di lingkungan saya tinggal.

Saya lebih mampu mengingat cita rasa legen ketimbang whiskey. Sebab saya

memiliki pengalaman cita rasa legen selama tinggal di Yogyakarta. Dari contoh

kasus ini, bisa ditarik pertanyaan, bagaimana relevansi Roda Rasa SCAA dengan

alam cita rasa lokal saya yang tinggal di daerah tropis? Bukankah Roda Rasa

SCAA yang berdasarkan data dari Sensory Lexicon diciptakan dalam konteks cita

rasa orang-orang AS dan Eropa!55 Sementara Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon

telah bernilai sebagai standar atribut cita rasa kopi spesial yang melintasi

batas budaya dan spasial AS dan Eropa. Mengapa jurang cita rasa yang lebar ini

justru diterima di publik kopi dunia, termasuk di Indonesia? Jika saya

mendapati cita rasa kopi yang manis samar serupa salak, buah yang saya

kenali, lantas saya tidak menemukannya di Roda Rasa SCAA, apakah saya harus

beralih ke atribut cita rasa yang hanya ada di Roda Rasa SCAA? Atau sebaliknya,

Roda Rasa SCAA malah mensugesti saya untuk mengarahkan karakter cita rasa

55 Mereka yang terlibat sebagai dewan penasehat dalam proyek Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon adalah: Lindsey Bolger (Keurig Green Mountain Coffee), Bruce Bria (Royal Cup Coffee and Tea), Gail Vance Civille (Sensory Spectrum), Brent Ginn (The J.M. Smucker Company), Peter Giuliano (Specialty Coffee Association of America), Chris Hallien (Kraft Foods), Timothy Hill (Counter Culture Coffee), Ali Johnston (Keurig Green Mountain Coffee), Chris Kerth (Texas A&M University), Doug Langworthy (Starbucks), Rhonda Miller (Texas A&M University), Thompsen Owen (Sweet Maria’s), Mark Romano (Illycaffé), Trish Rothgeb (Wrecking Ball Roasters & Coffee Quality Institute), Emma Sage (Specialty Coffee Association of America), Christy Thorns (Allegro Coffee). Dari sekian nama tersebut tidak ada yang mewakili atau merepresentasikan alam cita rasa negara-negara produsen kopi/negara-negara pascakolonial. Lihat: World Coffee Research, Sensoy Lexicon: Unabridged Definition and References, edisi kedua, (WCR, 2016) hal. 3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

kopi yang akan saya sesap ke atribut cita rasa yang dimiliki Roda Rasa SCAA dan

dijelaskan oleh Sensory Lexicon. Saya pikir, yang kedua inilah yang umumnya

terjadi. Orang seperti saya “dipaksa berdamai” soal cita rasa. Atribut cita rasa

yang sejatinya asing lantas saya terima secara sukarela: seketika yang asing itu

menjadi akrab. Seakan-akan saya memiliki pengalaman cita rasa prune,

raspberry, dan whiskey. Hal utopis inilah yang lantas mengalienasi cita rasa

empiris buah salak dan legen yang saya miliki.

Kasus Kedua. Le Nez Du Café, produk dari Perancis, yang secara harfiah bisa

diartikan “hidungnya kopi”. Bila Roda Rasa SCAA merujuk ke Sensory Lexicon,

maka sebagian konten dari Sensory Lexicon akan merujuk Le Nez Du Café

khususnya di kolom referensi untuk aroma.

Gambar III.2: Le Nez Du Café di Sensory Lexicon Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References ;

edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR)

Le Nez Du Café adalah produk referensi aromatik kopi. Produk ini

dilegitimasi: pertama, oleh penciptanya, Jean Lenoir , yang diakui sebagai ahli

olfactori dunia; kedua, oleh SCA dan lembaga sayapnya WCR dan CQI sebagai

korpus pengetahuan kopi, khususnya tentang cita rasa; dan ketiga, oleh Q-

Grader/R-Grader sebagai “intelektual cita rasa kopi”, agen terpenting dan terkuat

dalam wacana cita rasa. Legitimasi ini lantas amat menentukan dalam hal

aroma kopi―patut diingat bahwa yang utama adalah kopi merupakan produk

aromatik yang menegaskan hidung sebagai pembaunya, bukan lidah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

Di dalam kotak “ajaib” Le Nez Du Café terdapat 36 palet aroma dengan 4

klasifikasi aroma:

1. Aromatic taints, yakni aroma yang cacat. Umumnya terjadi akibat adanya

kontaminasi lingkungan baik saat proses pasca panen maupun

penyimpanan biji biji kopi hijau. Aromatic taints terdiri dari earthy (tanah),

coffee pulp (kulit kopi), rubber (karet), leather (kulit), basmati rice (beras

India), cooked beef (daging panggang), straw (jerami), medicinal (obat-

obatan), dan smoke (asap).

2. Enzimatic aroma, yaitu aroma-aroma yang menyenangkan yang

dihasilkan dari proses enzimatik sejak kopi masih di pohon. Seringkali

aroma ini menjadi karakteristik bagi kopi pada daerah tertentu.

Enzimatic aroma mencakup: coffee blossom (bunga kopi), apple (apel),

lemon (jeruk lemon), potato (kentang), garden peas (kacang polong),

honeyed (madu), tea rose (teh mawar), apricot (aprikot), cucumber

(ketimun).

3. Sugar browning adalah aroma yang dihasilkan dari prose pembakaran

gula (glukosa) yang ada di dalam biji kopi. Aroma ini tergolong yang

menyenangkan dan benilai tinggi. Sugar browning terdiri dari: caramel

(karamel), vanilla (vanili), dark chocolate (coklat pekat), roasted peanuts

(kacang tanah sangrai), roasted hazelnut (hazelnut sangrai), alnut

(kacang kenari), fresh butter (mentega segar), toast (roti panggang), dan

roasted almond (almon sangrai).

4. Dry distillation, yaitu ketegori aroma yang dihasilkan kontaminasi kopi

saat masih di pohon atau pada saat kering. Aroma ini seringkali muncul

pada kopi yang disangrai gelap. Dry distillation terdiri dari 9 jenis aroma:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

pepper (lada), roasted coffee (kopi sangrai gelap), maple syrup (sirup

mapel), coriander seed (ketumbar), malt (gandum), cedar (cemara). clove

like (cengkeh), pipe tobacco (pipa tembakau), dan black currant-like

(anggur hitam)56.

Dari 36 palet aroma tadi, setidaknya terdapat aroma apricot dan basmati

rice yang asing bagi saya. Adapula aroma yang lebih familiar tapi definisinya

jauh dari realitas yang acapkali saya jumpai. Definisi ini jauh panggang dari api.

Di lain persoalan, mengapa saya tidak menemukan aroma asam jawa yang khas

di Le Nez Du Café, misalnya? Padahal asam jawa akrab untuk saya. Bisa saja

pertanyaan ini dijawab dengan permakluman, toh Le Nez Du Café buatan orang

Perancis. Orang Perancis mana mengenal asam jawa? Tapi mengapa aroma ala

Perancis ini begitu berlaku bagi pegiat kopi di industri kopi spesial yang

diagungkan oleh SCA, di mana pun ia berada, termasuk saya. Begitu legitimated,

kiranya. Dengan kata lain, dalam konteks standardisasi aroma kopi spesial,

saya “diminta” membayangkan hidung Jean Lenoir sebagai hidung saya juga.

Di pasaran Indonesia, Le Nez Du Café dihargai di kisaran 5 juta rupiah. Harga

relatif tinggi untuk sebuah kit. Meski mahal, kehadiran Le Nez Du Café tidak

menurunkan antusias orang di luar Perancis untuk membeli dan “memiliki

aromanya” Di satu sisi, Le Nez Du Café memang didesain sebagai alat bantu

untuk mengenali aroma kopi, melatih kecakapan indrawi khususnya hidung

(olfactory skill), sekaligus memperkaya perbendaharaan aroma seseorang. Tapi

di sisi yang berbeda, sama seperti Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon, Le Nez Du

Café justru mempersempit aroma kopi itu sendiri. Sebab orang awam seperti

56 Gayo Cuppers Team, Standar Umum Pengujian Mutu pada Biji Kopi, (diakses dari http://www.tpsaproject.com/wp-content/uploads/2017-03-06-Presentation-9-1123.03a.pdf, pada 14 Juli 2020)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

saya terbatas hanya pada 36 aroma di Le Nez Du Café, atau dengan kata lain

hanya mematok pada pengalaman aroma Jean Lenior.

Kasus Ketiga. Direntang awal 2015 hingga 2017, lalu berlanjut ke tahun

2019-2020, saya menjalankan bisnis kedai kopi di Palembang. Semasa itu, saya

kerap belanja bermacam kopi sangrai untuk kebutuhan kedai. Kopi grade

premium dan sesekali specialty menjadi pilihan saya. Kopi-kopi ini disuplai dari

berbagai rumah sangrai kopi (coffee roastery) yang ada di Palembang, Jakarta,

Yogyakarta, dan beberapa dari pasar daring luar negeri. Lazimnya kopi yang

dijual di gelombang ketiga, kopi biji sangrai dikemas dengan mencantumkan

keterangan identitasnya: indikasi geografis, catatan proses pasca panen, level

sangrai, rekomendasi seduh, dan tak lupa skor serta catatan perolehan cita

rasa (cup notes).

Untuk dua keterangan terakhir, skor dan cup notes, menjadi perhatian

kasus ketiga. Seperti yang diketahui, skor dan cup notes adalah hasil yang

didapatkan dari cupping yang dilakukan Q-Grader/R-Grader―beberapa penyangrai

juga memegang lisensi Q-Grader/R-Grader dari CQI. Hasil-hasil ini kemudian

menjadi acuan saya saat mempersiapkan kopi seduhan maupun saat ngobrol

perkara cita rasa kopi hidangan dengan konsumen di kedai. Sebisa mungkin

saya mengejar perolehan cita rasa sebagaimana yang tertulis di kemasan. Bila

di kemasan tertulis informasi cup notes berupa lavender, raspberry, strawberry, dan

lime, maka cita rasa ini yang saya acu. Saya melakukan kalibrasi sebelum kopi

disajikan ke konsumen. Mengobservasi kopi dengan cara mengutak-atik

parameter seduh, atau dengan kata lain, saya mencari resep penyeduhan yang

pas agar cita rasa yang diperoleh sama atau paling tidak mendekati cup notes

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

yang tertulis di kemasan. Bila ini berhasil, baru kopi seduhan saya bisa sajikan

ke konsumen.

Dari pengalaman ini, saya dirangsang untuk mengambil kesimpulan

kritis. Rupanya, saya telah didikte oleh cup notes-nya Q-Grader-R-Grader. Celakanya

lagi, saya meneruskan praktik ini ke konsumen: bahwa saya juga mendiktekan

cita rasa kopi yang saya peroleh ke konsumen. Artinya, baik saya maupun

konsumen diminta untuk berada dalam satu frekuensi term cita rasa. Di sini,

hasil pencecapan Q-Grader/R-Grader yang hadir di kemasan kopi lebih

dipentingkan ketimbang cita rasa empiris dari orang-orang yang merasakan

kopi yang sama di waktu berikutnya (setelah Q-Grader/R-Grader). Kopi dirasakan

dari sudut pandang orang lain, bukan dari diri pribadi. Kopinya sama, lidah dan

hidung orang yang berbeda, tapi cita rasanya condong untuk seragam.

Berikutnya, bila kasus ketiga tadi saya didikte melalui perantara cup notes

yang ada di kemasan kopi, maka untuk kasus keempat ini, saya didikte secara

langsung oleh Q-Grader/R-Grader. Persitiwa ini terjadi saat saya mengikuti

lokakarya cupping di Palembang. Lokakarya berlangsung dalam dua sesi. Sesi

pertama, kelas teori dan kedua, kelas praktik. Bisa dibilang, lokakarya ini serba

SCAA/SCA. Cupping yang dilatihkan sesuai dengan standar dan protokol dari

SCAA. Instrukturnya, Q-Grader dari Jakarta yang bersertifikat CQI yang terafiliasi

ke SCA. Sebelum cupping dilakukan, lebih dulu dijelaskan Roda Rasa SCAA, SCA

Coffee Standard, SCAA Cupping Protocols, SCAA Cupping Form, Sensory Lexicon dari WCR

yang terafiliasi dengan SCA, dan Le Nez Du Café, Coffee Aroma Kit “resmi” yang

ditunjuk SCA. Jadi wajar jika dibilang serba SCA, sebab lokakarya ini

menempatkan SCA menjadi locus classicus pengetahuan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

Sebagai catatan, lokakarya yang saya ikuti bukan seperti kursus bagi

aspiran Q-Grader/R-Grader. Karena setiap materi disampaikan sekilas atau cukup

pada taraf pengenalan saja; tidak semendalam agar dipahami betul dan

seketat seperti yang diikuti para calon Q-Grader/R-Grader. Soal durasi pun juga

ada bedanya. Jika kursus untuk calon Q-Grader/R-Grader bisa mencapai berhari-

hari yang intensif, maka lokakarya ini hanya berlangsung sehari penuh, dari

jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Meski kilat, saya bisa merasakan bagaimana SCA

benar-benar hadir di forum dan masuk ke alam cita rasa masing-masing

peserta sejauh yang saya amati.

Di sesi pertama, kelas teori. Instruktur menegaskan pada peserta bahwa

dalam melacak atribut cita rasa kopi akan membutuhkan perangkat Roda Rasa

SCAA, Sensory Lexicon, dan ditempuh dengan prosedur cupping. Ketiganya harus

“dihafal” di luar kepala, agar saat cupping berlangsung, seseorang hanya perlu

me-rekoleksi ingatan (recall memory). Saya menafsir penegasan ini sebagai

upaya menjadikan diri saya setia bergantung pada perangkat dari SCA; atau

esktrimnya bisa dibilang ini upaya yang intimidatif. SCA melalui instrukturnya

menggertak alam cita rasa saya agar menyingkir sehingga bisa diisi kembali

oleh materi cita rasa dari SCA tadi. Seperti ajakan untuk mececap cita rasa tapi

bukan dari pengalaman pribadi, bukan dari yang lokal dan akrab, melainkan

dari lidah dan hidung SCA. Seperti membalik sekian persen derajat sudut

pandang.

Selanjutnya, di sesi kedua: kelas praktik. Sebagai instruktur tentu

berkewajiban mencontohkan ke peserta termasuk saya perihal menjalankan

prosedur cupping SCAA. Ada beberapa sampel kopi yang diuji. Peserta

dipersilakan praktik cupping setelah instruktur selesai mencontohkan. Setelah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

selesai, diskusi dibuka. Masing-masing orang menyampaikan perolehan cita

rasa yang didapat dari sampel kopi yang diuji. Ada perbedaan perolehan cita

rasa yang niscaya. Tapi gelinya, perbedaan ini justru dipungkasi oleh cup notes

perolehan instruktur. Seperti sihir, apa yang dikatakan oleh instruktur

dikagumi, dinilai tepat, dan lantas menggerus perbedaan cita rasa tadi. Alhasil,

peserta tidak percaya diri dengan kemampuan sensoris masing-masing. Forum

sepenuhnya taklid pada instruktur.

Dari keempat kasus ini, diketahui bahwa SCA telah memperoleh kapasitas

serta pengaruh yang sedemikian besar dalam industri kopi spesial di era yang

dikatakan gelombang ketiga. Kapasitas dan pengaruh ini sangat ditentukan

oleh kemampuan SCA memproduksi berbagai pengetahuan terkait cita rasa.

Dari pengetahuan yang ada, SCA pun meneguhkan kuasanya atas totalitas

“kebenaran” tentang cita rasa kopi spesial. Atau bila dibalik, kekuasaan SCA di

sini diartikulasikan lewat pengetahuan yang berimplikasi pada kuasa.

Hegemoni dimapankan dan diartikulasikan lewat pengetahuan, dan SCA yang

mengontrol pengetahuan turut bertindak mengontrol sejarah dan “kebenaran”

cita rasa kopi.

Di sisi lain, kekuasaan SCA juga begitu beragam dalam manifestasinya

dan tersebar di mana-mana. Dari unit-unit terkecil hingga yang besar sekalipun.

Foucault berbicara tentang aparatus untuk menunjuk “siapa pun” yang

bertindak sebagai hegemon. Dari keempat kasus di atas, dapat dilihat bahwa

aparatus wacana tidak lagi tunggal yang menunjuk SCA dengan ragam

pengetahuannya semata, melainkan pula telah menyebar dan terpecah hingga

ke unit terkecil: dari Jean Lenoir dengan Le Nez Du Café, Q-Grader/R-Grader dalam

lokakarya cupping SCAA, hingga ke saya sendiri yang telah mendiktekan cita rasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

kopi ke konsumen. Di sini, dari Jean Lenoir hingga saya, telah menjadi strategi

pola-pola hubungan kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh berbagai

jenis pengetahuan57.

Lantas, bagaimana wacana cita rasa SCA ini dikonstruksi dan begitu

ampuh dalam mendisiplinkan persepsi cita rasa seseorang di industri kopi

spesial? Untuk menjawabnya, diperlukan pemeriksaan SCA sebagai historisitas

institusi wacana. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka mempelajari sejarah

yang telah terberi (taken for granted) guna membongkar “kebenaran-kebenaran”

sejarah itu sendiri, dan pada gilirannya juga akan membuka episteme yang ada

di balik wacana cita rasa SCA serta seberapa politisnya pengetahuan cita rasa

kopi.

Dalam kesejarahannya, akar SCA bisa dilacak pada upaya AS sebelum SCA

didirikan, yaitu Inter-American Coffee Agreement (IACA). Pada tahun 1940, saat

Perang Dunia II berlangsung di Eropa, AS―yang menyandang status negara

konsumen kopi terbanyak di dunia saat itu―khawatir jika harga kopi rendah

yang datang dari Amerika Latin, khususnya Brazil―negara produsen terbesar

dunia hingga kini―akan berdampak pada pemasukan yang rendah bagi petani

di sana58. Pemasukan yang rendah dinilai dapat mendorong simpati berlebih

pada fasisme atau komunisme. IACA kemudian diusulkan AS guna mendorong

57 Madan Sarup, hal. 110.

58 Pada masa itu, pasar dunia masih kuat dengan konsep monopolistiknya―sebelum kemudian beralih ke konsep multilateralisme lalu perdagangan bebas. Konse p monopolistik menyatakan bahwa suplai barang/jasa tertentu dikuasai dan dikendalikan oleh seorang produsen saja. Di atas kertas, dalam hal komoditas kopi, Brazil menjadi aktor penentu, sebagai monopolis, sebab menguasai 75% dari total produksi kopi dunia. Tapi bila menengok ke fakta lapangan, negara konsumen kopi terbesar dunia seperti AS, turut serta mengambil peran sebagai monopolis dalam komoditas kopi. Lihat: Fauziah Rohmatika Mayangsari, Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia, (Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016), hal. 178.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

kesepakatan bahwa AS tidak akan mengimpor lebih dari 15,9 juta karung kopi

per tahun―padahal pembatasan impor oleh AS dilakukan di tengah usaha

menaikkan identitas nasional sebagai “bangsa peminum kopi” pada abad ke

sembilan belas; menyaingi kolonial lain seperti Inggris peminum teh, Spanyol

dengan cokelat panasnya, Perancis beserta anggur kebanggaannya, dan Jerman

dengan bir miliknya59―kontraprestasi dari kesepakatan IACA menyebutkan

bahwa pemerintah-pemerintah Amerika Latin diminta mengendalikan produksi.

Kesepakatan ini berhasil mengendalikan harga kopi pada akhir 1941.

Kekhawatiran AS pun teratasi60. Di sini, IACA menjadi penanda awal bahwa AS

mulai melibatkan diri secara langsung dalam tata niaga kopi global sekaligus

memberikan pengaruhnya.

Di fase selanjutnya, pada medio 1950-an, terjadi keseimbangan antara

permintaan dan persediaan kopi dunia. Keseimbangan yang berdampak pada

IACA dan kesepakatan internasional lain yang akhirnya tumbang. Namun

kondisi ini tidak berlangsung lama, sebab tahun 1959, fluktuasi harga kopi

kembali terjadi dan AS lagi-lagi dilanda ketakutan baru akan komunisme yang

berkembang di Amerika Latin. Pasca Revolusi Kuba 1959, Amerika Latin kembali

berusaha sekali lagi mengendalikan pasokan, dan dengan demikian harga. Atas

situasi ini, AS pun mengusulkan kesepakatan baru, International Coffee Agreement

(ICA) pada tahun 1962. ICA menetapkan kuota ekspor untuk kebanyakan negara

produsen kopi dunia. Saat harga jatuh di bawah $1,2 per pon, kuota diketatkan,

mengurangi jumlah kopi di pasar global dan mendorong harga naik. Saat harga

lebih dari $1,4, kuota dilonggarkan―disebut sebagai sistem

59 Lihat esai penting dari Steven Topik dan Michelle Craig McDonald, “Mengapa Orang Amerika Minum Kopi”, yang terdapat dalam Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 378.

60 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 193.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

korset―memungkinkan negara-negara untuk mengekspor lebih dan membuat

harga turun. Saat kondisi cuaca menyebabkan kenaikan tajam dalam harga,

seperti pada 1975-1977, sistem kuota ditinggalkan sepenuhnya. ICA tahun

pertama ini mengalami tiga revisi sebelum akhirnya tumbang pada 1989. Pada

waktu itu, ketakutan AS terhadap komunisme di Amerika Latin berkurang,

sementara beberapa negara produsen merasa bahwa sistem kuota membatasi

mereka secara tidak adil61.

ICA kembali dihidupkan di antara para produsen pada 1994, dan direvisi

pada 2001 dan 2007. Walaupun akhirnya tidak menetapkan kuota atau

mekanisme lain untuk mengontrol produksi dan ekspor. Upaya-upaya lain pun

tidak mampu meregulasi pasar yang telah sengkarut. Pada tahun 1989, masa di

mana ketiadaan kesepakatan, International Coffee Organization (ICO) yang

didirikan pada tahun 1963 dan semula difungsikan sebagai lembaga pengawas

ICA di tahun pertama, dialihkan sebagai lembaga yang didedikasikan untuk

mengumpulkan dan melaksanakan program yang dirancang untuk

meningkatkan kualitas dan produksi. Dengan visi yang baru ini, ICO, yang kini

memiliki tiga puluh anggota eksportir dan lima anggota importir (AS, Uni Eropa,

Tunisia, Norwegia, dan Swiss) telah terbukti menjadi pangkalan data tentang

kopi yang begitu kaya62.

Dari keterangan ini, selain sebagai intervensi meredakan komunisme dan

fasisme, klausul IACA yang dilanjutkan ICA yang diusulkan AS juga dapat dibaca

sebagai agenda AS dalam menstabilkan harga komoditas kopi di tengah krisis

61 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 193.

62 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 194.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

115

agar tidak merugikan industri kopi domestik63. AS adalah konsumen terbesar

kopi dunia―bahkan hingga sekarang. Karena status ini, negara-negara

produsen kopi dunia mau tak mau patuh pada klausul. Selain itu ada agenda AS

lainnya yang mesti dijaga melalui IACA dan ICA, yaitu agar identitas nasional AS

sebagai bangsa yang lekat dengan kopi diamini dunia dan agar kapitalisme AS

tidak remuk oleh komunisme dan fasisme. Saat negara produsen kopi

menyadari ketidakadilan dari sistem kuota ICA, AS pun menanggapinya dengan

cerdik. AS mengundurkan diri dari perjanjian dengan tidak menyetujui klausul

ICA yang baru pada tahun 1989. Kecerdikan yang memberikan kesan bahwa AS

tetap berpihak pada prinsip perdagangan kopi yang berkeadilan.

Tumbangnya ICA menandai awal berlakunya sistem pasar bebas dalam

komoditas kopi. Lagi-lagi situasi ini masih menguntungkan AS. AS diuntungkan

dengan penurunan pendapatan yang diterima petani dari total harga ritel. Di

tahun 1980-an awal, petani masih memiliki kontrol sebesar 20%, namun di era

pasar bebas yang tidak lagi mengikat, kontrol tersebut turun menjadi 13%. Arti

sebaliknya, kontrol harga kopi di tangan AS sebagai negara konsumen kopi

naik, dan ini jelas menguntungkan pasar domestik AS dan memperbesar

pengaruh AS di pasar kopi dunia64.

Superioritas AS semakin menjadi sejak kehadiran SCAA. Bahwa mencecap

secangkir kopi di berbagai kedai kopi di belahan dunia tak bisa lepas dari nama

SCAA. Kemunculan SCAA dalam segmen kopi spesial semakin didukung oleh

keberadaan Starbucks yang meng-internasionalisasi diri secara massif pada

1996.

63 Fauziah Rohmatika Mayangsari, hal. 178.

64 Fauziah Rohmatika Mayangsari, hal. 179.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116

Wacana awal kopi spesial yang diusung SCAA sebenarnya bisa dilacak

mundur jauh sebelum Trish Rothgeb mencetuskan istilah tersebut pada 1974.

Yakni pada permulaan 1930-an lalu bergeser ke 1950-an sampai akhirnya SCAA

didirikan. Pada 1930-an, peralihan besar-besaran toko serba ada (toserba) di AS

dari format rak-rak yang hanya dapat diakses oleh penjaga, yang menyerahkan

kemasan dan kaleng kepada pengunjung, menjadi supermarket swalayan, di

mana pengunjung dapat mengakses langsung produk yang dimaui. Perubahan

ini turut mendominasi kanal distribusi kopi dan pada gilirannya berujung

transformasi struktur industri kopi: konglomerat besar bisnis makanan yang

membuka cabang-cabang swalayan baru dan membeli merek-merek kopi

utama. Seiring revolusi ritel ini mendunia, kelompok raksasa multi nasional

yang elite mulai mendominasi pasar dunia, membeli merek-merek besar di tiap

kawasan―pada 1998, lima besar: Philip Morris (kini bagian dari Kraft), Nestle,

Sara Lee, Procter and Gamble, dan Tchibo; mewakili 69 persen penjualan kopi

global65.

Agar memikat konsumen―yang dihadapkan langsung pada rak-rak yang

memajang banyak produk kopi―pebisnis besar kopi (bubuk/biji sangrai)

menjalankan taktik berupa peningkatan volume besar dibarengi harga jual

yang rendah. Bahkan mereka juga mengelabui konsumen. Beberapa merek ada

yang dinyatakan sebagai kopi premium, meski tidak ada keterangan khusus

asal-usul kopi. Agar volume produksi terjaga dan harga jual tetap rendah,

gonta-ganti komposisi bahan kopi menjadi hal yang wajib terus dilakukan.

Termasuk mencampurkan robusta yang dihargai murah kala itu. Upaya

65 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 359.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117

penghematan biaya produksi ini semakin mulus karena ketidaktahuan

konsumen tadi66.

Proyeksi bisnis yang menjanjikan ini lantas mendorong inovasi besar

paruh pertama abad kedua puluh. Setelah proses dekafeinasi67 pada 1903

disempurnakan oleh Ludwig Roselius dari Hamburg, lalu disambung oleh

seorang ibu rumah tangga bernama Melitta Bentz dari Dresden, yang

mematenkan teknik seduh dengan kertas filter68 yang berhasil memperbaiki

tampilan kopi serta memberikan perasaan bahwa minuman ini sudah “bersih”

dari kontaminasi (bubuk kopi) dan juga menyingkat waktu persiapan,

mendorong inovasi berupa: kopi instan/saset.

Kopi saset (bubuk tanpa ampas) yang dikenal pertama adalah Nescafe,

yang diproduksi raksasa Swiss, Nestle, pada tahun 1938. Penjualannya melejit

pada 1950-an dan meroket lebih jauh begitu teknik semprot-kering yang

terdahulu digantikan oleh pengeringan beku sebagaimana digunakan dalam

merek premium Gold Blend yang diluncurkan pada akhir 1960-an, dikenal

sebagai Taster’s Choice di AS. Produksi kopi dekafein maupun instan hanya

dilakukan di pabrik-pabrik besar disebabkan biaya produksi yang juga besar.

Pasar pun dimonopoli oleh korporasi yang dimiliki konglomerat. Kopi instan

disambut meriah dan sukses di pasaran. Di Inggris, kopi instan masih

membentuk 80% pasar kopi dalam rumah. Sementara kopi instan merupakan

66 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 359-360.

67 Dekafeinasi/nirkafeinasi adalah proses menghilangkan kafein dari kopi yang belum disangrai. Untuk dapat digolongkan sebagai kopi dekafein, setidaknya 97 persen kafein yang ada harus dihilangkan. Lihat: Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 628.

68 Sebelum teknik seduh kertas filter, lebih dulu filter kantong linen dalam teko kopi menjadi teknik utama penyeduhan rumah tangga yang mampu bertahan selama dua abad sebelumnya. Lihat: Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 360.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118

40% total konsumsi kopi dunia69. Kesuksesan ini berkat kehadiran televisi

komersial yang baru dirilis. Kopi instan diiklankan sebagai minuman yang

lelbih mudah diseduh ketimbang teh70.

Kopi instan dan praktik dagang yang massif lantas menimbulkan gejolak.

Sering dipersalahkan atas penurunan konsumi kopi per kapita di AS sejak 1950-

an. Trish Rothgeb menyebutnya sebagai “kegamangan pertama” yang

“membuat kopi buruk menjadi lazim ... yang membuat bubuk instan berkualitas

rendah ... yang menghilangkan nuansa (sensasi dan persepsi cita rasa) dalam

campuran (kopi) ... yang memaksakan harga hingga menjadi paling rendah

dalam sejarah” Kegamangan pertama inilah yang menjadi awal dibukanya

gagasan kopi spesial dan wacana cita rasa kopi dalam konteks konsumsi AS,

yang pada gilirannya memicu SCAA didirikan. Kenneth Davids menunjukkan,

“Kopi spesial bertujuan mengedukasi konsumen tentang kopi dan

membangkitkan persepsi mereka tentang kualitas, setidaknya hingga titik di

mana mereka paham kopi berasal dari pohon, bukan kaleng!”

Upaya mengenalkan kopi spesial dimulai dari para wirausahawan yang

beralih ke inovasi lain yang ditujukan untuk mempercepat proses penyeduhan,

bahkan di bar-bar, yakni mesin espresso. Kehadiran mesin ini mendorong

perubahan persepsi konsumen tentang mesin kopi otomatis yang biasa

terdapat di supermarket swalayan yang cuma bisa menghasilkan kopi yang tidak

enak. Serta mendorong pertumbuhan kedai-kedai kopi di berbagai kampus

besar di AS yang dinilai berjasa mendidik konsumen muda selama lebih dari

satu dekade 1980-an. Mendidik minuman berbasis espresso, seperti cappuccino

69 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 360.

70 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 360.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119

dan caffe latte―walaupun beda resep dari Italia―yang lebih baik cita rasanya

ketimbang kopi supermarket (dekafein dan instan). Kampanye ini semakin

berhasil saat cappuccino hadir lewat promosi yang dijalankan selama Olimpiade

Musim Panas 1984 di Los Angeles. Sejak itulah minuman berbasis espresso

digemari secara luas dan terciptalah pasar baru kopi spesial, yang kemudian

hari siap menjadi pasar besar bagi Starbucks yang muncul secara nasional di AS

pada 1990-an71. Peran Starbucks semakin besar, saat meng-internasionalisasi-

kan diri pada 1996.

Minuman berbasis (mesin) espresso adalah sejarah bagi revolusi kopi

spesial sepanjang tiga puluh tahun terakhir . Sebagai medium kampanye

gerakan kopi spesial di AS untuk membujuk orang masuk ke kedai, dan

merebut pasar kopi instan. Sekaligus mendorong pengusaha kopi spesial di AS

untuk berserikat dengan membentuk SCAA72.

SCAA didirikan atas prakarsa Ted Lingle dari Lingle Bross Coffee. Gempuran

kopi supermarket, baik berbentuk biji sangrai maupun bubuk kopi, yang

dikomersialisasikan secara nasional, secara nyata telah banyak mengikis

perusahaan berskala mikro: kopi spesial lokal artisan. Ted Lingle, salah satu

yang bertahan. Ted bersama Alfredd Peet dari Peet’s Coffee, Paul Katzeff dari

Thanksgiving Coffee, dan Don Shoenholt dari Gillies Coffee berinisiasi melakukan

kerja-kerja kolektif guna menjaga keberlangsungan specialty coffee―yang dinilai

lebih baik dalam hal kualitas produk, budaya bisnis, serta keterbukaan

71 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 361 dan 607-608.

72 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 362 dan 427.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120

informasi rantai produksi kopi―di tengah raksasa kopi supermarket. Dasar

inisiasi inilah yang kemudian menelurkan SCAA pada tahun 198273.

Di tulisan berbeda, “Hidup Dengan Kopi” Ted menulis, “Jiika nilai kopi

hanya ditentukan dengan harga (rendah) saja, bukan kualitas, konsumen akan

hilang dalam prosesnya dan beralih ke minuman lain (teh).”74

Kehadiran SCAA juga tak bisa lepaskan dari kolaborasi antara ICO dan

NCSA (National Office Coffee Service Association)―organisasi yang mengakomodir

industri layanan kopi kantor atau OCS (office coffee service); salah satu pemasok

kopi OCS adalah Lingle Bross Coffee. Kolaborasi ini bermula dari tawaran Barry

Davies dari ICO Promotion Fund Coffee tentang pendanaan untuk serikat yang

mewakili toko-toko kopi spesial di AS. Tawaran ini kemudian disikapi Ted

dengan menyusun draf kerangka dan piagam untuk Specialty Coffee Advisory

Board, cikal bakal SCAA. Draf terus diperbaiki hingga pada tahun 1982,

bertempat di Hotel Louise di San Fransisco, draf ini disetujui dan ditanda

tangani oleh 30 orang yang bergerak di sektor kopi spesial. Akhirnya, SCAA pun

resmi berdiri.

Lima tahun berikutnya, SCAA tumbuh perlahan. SCAA memiliki dua

sumber pemasukan di tahun-tahun pertamanya, biaya keanggotaan dan

penjualan Coffee Cupper’s Handbook yang ditulis Ted dan diberikan pada SCAA

pada 1984. Pada 1987, SCAA sudah memiliki 225 anggota, dan menjadi kelompok

besar sehingga dewan SCAA membuat keputusan untuk menyewa perusahaan

manajemen untuk mengambil alih. Konferensi pertama SCAA diadakan pada

73 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 538 dan Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World, (New York: Basic Book, 2010), hal. 350.

74 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 604.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121

1989 di New Orleans dengan bantuan Coffee Development Group (CDG)75. Sebanyak

100 peserta dan 25 meja peraga hadir waktu itu76.

Di tahun-tahun berikutnya, pada 1990, SCAA mengembangkan diri. Dewan

SCAA mulai mencari sosok paruh waktu untuk mengambil alih kendali

operasional dari manajemen. Ted mengajukan diri dalam konferensi tahunan

ketiga SCAA di Orlando pada April 1991 dan ia terpilih. Dua bulan berikutnya,

Juni 1991, kantor SCAA dipindahkan ke Greater Los Angles World Trade Center di

Long Beach. Pemindahan yang membuka babak baru dalam perkembangan

SCAA. Seiring waktu, SCAA terus meroket, baik dalam keanggotaan maupun

konferensi. Pada tahun 2003. SCAA mencatatkan 3.000 anggota dan tingkat

kehadiran konferensi di Seattle melampaui 10.000 orang.

Selama periode pertumbuhan, SCAA merambah ke ranah gagasan budi

daya kopi berkelanjutan yang konon menghargai lingkungan, manusia, dan

ekonomi. SCAA pun membuka Specialty Coffee Institute yang dikemudian hari

menjadi CQI. CQI inilah yang memulai program pelatihan cupping dan sertifikasi

di seluruh dunia; menciptakan International Relations Committee (IRC) yang

mampu melebarkan kaki gerakan kopi spesial di kancah internasional77.

SCAA dan IRC juga membantu pendirian sejumlah asosiasi kemitraan

serupa dengan SCAA. Di Eropa ada SCAE, di Jepang berdiri SCAJ, dan di Indonesia

sendiri ada SCAI. Khusus pada pendirian SCAI di tahun 2008, USAID (United

75 Konsep dari Arman Duplaise, operator OCS di area Baltimore. Konsep ini disusun berdasarkan pengalamannya di Burger King di mana perwakilan lapangan yang melaksanakan serangkaian kampanye pemasaran yang berfokus pada konsumen di tingkat nasional. Dalam konsep CDG, duta lapangan bekerja di area layanan kopi kantor, mesin penjaja, kopi spesial, dan jasa makanan. Anggaran tahunan untuk program ini melebihi $2 juta per tahun selama periode sepuluh tahun dan menghasilkan lompatan kuantum dalam mengubah persepsi tentang kopi di tengah konsumen AS. CDG adalah proyek dari ICO. Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 606-607.

76 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 609.

77 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 611.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122

States Agency for International Development) berperan sebagai lembaga donor dan

salah satu inisiatornya. USAID mengatakan bahwa peran yang dijalankannya

dilandasi maksud meningkatkan mutu kopi arabika di Indonesia78. Di mata

dunia, khususnya di kalangan penikmat kopi spesial, Indonesia masyhur

sebagai penghasil kopi arabika spesial dan belakangan ini juga mencakup fine

robusta―bahkan sejak abad ke-17 berkat “Cup of Java”79. Banyaknya pulau dan

pegunungan yang berderet telah memberi keuntungan topografis yang

memungkinkan cita rasa kopi Indonesia menjadi khas dan beragam―cita rasa

kopi dari Indonesia seringkali dicirikan ber-body tebal oleh pasar kopi spesial.

Terlebih lagi dengan status sebagai negara penghasil kopi terbesar dunia ke-4

setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam, menjadikan Indonesia semakin strategis

dilirik pasar kopi spesial di AS. Termasuk lirikan dari CQI yang dibantu USAID.

CQI memulai kerjanya di Indonesia sejak tahun 2003 hingga 2006 melalui

program GDA Coffee Corps80. Ada banyak fokus yang dikerjakan, seperti

pengembangan kelembagaan, audit industri kopi domestik, serta beberapa

pelatihan cupping, sertifikasi Q-Grader/R-Grader, dan peningkatan mutu

pengolahan pasca panen. Pada tahun 2008, USAID kemudian menggagas

AMARTA (Agrobusiness Market and Support Activity). Program ini bertujuan

meningkatkan mutu hasil pertanian di Indonesia. Salah satunya kopi. Dari

78 Jeffery Neilson, Patrick Labaste, dan Steven Jaffee, Menuju Rantai Nilai yang Lebih Kompetitif dan Dinamis untuk Kopi Indonesia, (Working Paper No. 7 yang disusun untuk Bank Dunia, Washington DC: 2015) hal. 25. Diakses dari https://www.researchgate.net/ pada tanggal 26 Juli 2020.

79 Andi Haswidi, hal. 29.

80 Bisa dibilang GDA Coffee Corps. adalah “intelejen di bidang pertanian”. Geospatial Data Coffee Corporation menganalisis seluk-beluk lahan pertanian guna peningkatan manajemen pertanian terapan. Sejak 2005, GDA Coffee Corps. menjadi kontraktor untuk USDA Foreign Agricultural Service. Lihat: http://www.gdacorp.com/about-us, diakses pada 27 Juli 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123

sinilah, petani mulai mengenal kopi spesialti. Program ini juga menjadi cikal-

bakal lahirnya SCAI81

Seiring waktu, SCAI pun berdiri sebagai mitra dari CQI―dan tentunya pula,

SCAA. SCAI dikemudian hari banyak melakukan kerja di bidang pemasaran kopi,

kompetisi cupping dan berbagai acara kebaristaan. Pada 2012, CQI memulai

program 5 tahun bersama ACDI/VOCA82, melanjutkan program AMARTA, dan

masih dengan bantuan dana dari USAID83. AMARTA disebut sebagai program

investasi sebesar $ 20,6 juta, dan komoditas kopi masih termasuk sebagai

agendanya. Itu mengapa SCAI dilibatkan dalam menghasilkan perjanjian

kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnership, PPP). SCAI pun mapan berkat

program ini. Salah satu indikatornya, adalah banyaknya Q-Grader yang

dihasilkan pada momen itu84. Peran USAID, AMARTA dan kemudian SCAI, adalah

mempromosikan new Standard for them (AS)85. Padahal, USAID telah mendapat

kritik dari banyak sarjana. Kritik ini bahkan membuat banyak NGO di Indonesia,

seperti Walhi Jawa Timur, menarik diri dari USAID.

Salah satu kritik pedas berasal dari James Petras. Dalam esainya, “NGOs: In

the Service of Imperialism (1999)”, James menyebut bahwa peran donor dari AS,

seperti USAID, tak lebih dari upaya AS untuk meluluskan agenda

imperialisme/neoliberalisme di negara-negara yang dikatakannya sedang

81 Majalah Tempo, hal. 80.

82 ACDI/VOCA, Agricultural Cooperative Development International/Volunteers in Overseas Assistance adalah lembaga yang berbasis di Washington, DC., yang bergerak di bidang keamanan pangan, kesejahteraan ekonomi, dan inklusi sosial. Dalam situsnya, disebutkan, “ACDI/VOCA is a global development design and delivery partner.” Sumber: www.acdivoca.org diakses pada 26 Juli 2020.

83 https://www.coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020

84 Lihat: https://www.coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020; dan https://partnerships.usaid.gov/pa rtnership/amarta diakses pada 26 Juli 2020

85 Wawancara dengan Andi K. Yuwono (Founder 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

124

“berkembang”. James mengatakan bahwa NGO penerima USAID tak ubahnya

para “borjuis lokal”, sebagai komprador yang melayani wacana (neo)kolonial.

Para NGO adalah sub-kontraktor ulung yang menghubungkan korporasi

imperial ke produsen lokal kecil-menengah. Dalam hal ini, tujuannya

membelokkan orientasi ekonomi lokal ke kapitalisme gaya AS, yang kemudian

berdampak serius pada kesenjangan antara kapitalisme akut (depresi

ekonomi) dengan absennya gerakan intelektual organik-sosial radikal (yang

tidak tergoda menjadi bagian dari NGO komprador)86.

Sampai di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa historisitas wacana dan

institusi SCAA dipastikan bermula dari kekhawatiran AS terhadap komunisme

dan fasisme yang mendapat simpati di Brazil yang memasok kopi bagi AS.

Kekhawatiran ini lantas menelurkan klausul perdagangan berupa IACA dan ICA

yang berfungsi mengendalikan harga dan pasokan kopi. Secara implisit,

kalusul-klausul ini juga menjadi penanda awal pengaruh AS dalam komoditas

kopi global, serta menjadi penanda atas praktik pengerekan kopi sebagai

identitas nasional AS. Pengaruh ini pun lantas diteruskan dengan digagasnya

kopi spesial dengan cita rasa terbaik sebagai respon atas kopi “buruk” yang

beredar massif pasca revolusi ritel. Gagasan kopi spesial semakin menguat dan

meluas setelah SCAA berdiri—yang dikemudian hari menjadi SCA setelah dilebur

dengan SCAE. SCAA menjejakkan pengaruhnya di banyak tempat, termasuk di

Indonesia, khususnya, melalui program AMARTA yang didanai oleh USAID

dengan segala kontroversinya. Hasilnya, standar SCAA pun mulai dikenal, SCAI

didirikan, dan orang-orang Indonesia perlahan dengan pasti mulai dilisensi oleh

CQI sebagai Q-Grader/R-Grader. 86 James Petras, NGOs: In the Service of Imperialism, (Journal of Contemporary Asia: 1999), hal. 439-440.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

125

Berkat SCAA pula, superioritas AS dalam industri kopi spesial semakin

kuasa. Dengan kata lain, sejarah di sini justru memberikan keterangan bahwa

ada agenda-agenda tertentu yang menjadikan “kebenaran-kebenaran” ala SCAA

begitu politis pada akhirnya, sekaligus memisahkannya dari historisitas di

lapangan produksi kopi dan membedakannya dengan konteks konsumsi di

Indonesia.

D. Struktur Diskursif Wacana Cita Rasa Kopi

Dari uraian sebelumnya, diketahui bahwa objek pengetahuan yang patut

digarisbawahi yang membatasai persepsi cita rasa kopi seseorang adalah

pengetahuan sains yang dipandang objektif. Pengetahuan ini tentu memiliki

struktur diskursif yang khas.

Foucault melalui Fairclough (1992) menyebut bahwa wacana adalah

praktik sosial yang diskusif87. Sebagai praktik diskursif, cita rasa di sini adalah

ide/pengetahuan yang dikonstruksi atas beberapa kondisi yang

memungkinkannya (conditions of possibility) di fase sejarah tertentu88.

Pertama, wacana cita rasa yang dikonstruksi SCAA/SCA terasa begitu

dominan dalam konteks industri kopi spesial. Setidaknya dominasi ini lahir

dari ketegangan antara wacana cita rasa kopi yang menggeser variabel di

lapangan produksi dan konsumsi kopi di Indonesia, serta yang tak kalah

pentingnya adalah memori sensoris tiap-tiap orang.

Pada gilirannya, cita rasa kopi spesial pun cenderung dialami secara

industrial ketimbang pengalaman personal-individu. Fairclough, menyebutnya

sebagai subjek yang membangun identitasnya dari wacana yang dihidupinya.

87 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 2006) hal. 41.

88 Norman Fairclough, hal. 38.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

126

Di sini, subjek berfungsi menguatkan nilai dari statement cita rasa SCA89.

Mekanisme industri telah memaksakan cita rasa kopi tertentu melalui sederet

pengetahuan dan seperangkat alat bantu dan prosedur yang didominasi

SCAA/SCA. Sementara pengalaman keseharian cita rasa seseorang yang begitu

lokal-kultural dan akrab-empiris dinafikan.

Kedua, dalam statusnya sebagai wacana, cita rasa kopi juga tidak lagi

dikolerasikan ke catatan-catatan yang diperoleh dari historisitas di lapangan

produksi. Ini terasa rancu. Meski cita rasa kopi tidak mutlak ditentukan oleh

pilihan bibit sampai ke proses penyeduhan kopi, setidaknya variabel di

lapangan produksi kopi turut berpengaruh ke cita rasa kopi. Sebagai wacana,

cita rasa lebih condong sebagai gagasan yang dikonstruksi secara sosial dan

formal-ilmiah oleh kekuatan diskursif yang mendominasi secara ekonomi-

politik, terutama AS melalui SCAA/SCA. Mereka memonopoli cita rasa kopi.

Membangun ilusi cita rasa kopi dalam jaringan-jaringan diskursif. Pentrasi

wacana cita rasa oleh SCAA/SCA dijalankan dengan kampanye objektivitas

sains/pengetahuan kopi yang bebas kepentingan—di sini, wacana terlihat

bertalian dengan objek pengetahuan yang dibangun oleh klaim ilmiah dan

universalitasnya—padahal mustahil adanya, sebab AS sebagai negara

konsumen kopi terbesar dunia jelas memiliki kepentingan ekonomis demi

menjaga stabilitas pasar domestiknya sekaligus penguasaan pasar kopi global.

Hal ini sangat terlihat dari invasi Starbucks, internasionalisasi kopi spesial, dan

pendirian lembaga jaringan sejenis SCAA di berbagai negara, seperti SCAI dan

SCAJ. Selain hal-hal yang sifatnya sangat ekonomis tadi―sebagai pendorong

utama―kepentingan AS di sini juga menyangkut hal-hal amat yang ideologis.

89 Norman Fairclough, hal. 43.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

127

Ini terkait dengan imperialisme liberal yang pada dasarnya berwatak

neoliberlisme. Dasarnya, pertama, bahwa cita rasa kopi ala SCA adalah bentuk

intervensi AS yang diletigimasi oleh ilmu pengetahuan ke negara-negara

produsen yang sering dikatai semena-mena sebagai “dunia ketiga”. Seakan-

akan orang-orang di luar AS tidak mampu mencecap cita rasa kopi secara

cermat dan tajam sehingga memerlukan Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, SCA

Coffee Standards, SCA Cupping Protocols, Le Nez du Café, dan sebagainya yang

digagas oleh AS melalui SCAA dan kemudian diklaim sebagai pengetahuan

murni―padahal sangat politis. Seolah-olah orang-orang “dunia ketiga” tidak

terdidik dalam menyikapi cita rasa kopi, sehingga perlu uluran pengetahuan

SCA. Kedua, bahwa kultur out-of home consumption yang didapati di banyak kedai

kopi Amerika, seperti Starbucks, sangat sarat nilai-nilai khas Amerikanisasi.

Starbucks menjadi media yang tepat sebagai etalase kultur AS yang kemudian

mempengaruhi kultur (culture hegemony) lain di luar AS. Ketiga, terkait dengan

perang identitas antar negara yang berebut pengaruh di kancah global. Bahwa

AS berupaya terus menguatkan identitas nasionalnya sebagai bangsa peminum

kopi yang bersaing dengan identitas adidaya lainnya seperti Inggris dengan teh,

Spanyol dengan cokelat, Perancis dengan Anggur, dan Jerman dengan bir.

Tren kopi spesial telah niscaya menuntut adanya standardisasi dalam

berbagai hal. Ada standar bagi biji kopi hijau, standar bagi cupping, air untuk

menyeduh kopi, juga beberapa standar penyeduhan kopi lainnya. Standar ini

melingkupi material bahan dan peralatan, pelaksana, dan tata cara. Semua

standar diajukan dengan dalih agar semua orang memiliki frekuensi yang

sama atas term cita rasa kopi spesial. Sebuah standar yang telah nyata

mempersempit alam cita rasa masing-masing orang yang mencecap kopi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

128

Sebab wawasan cita rasa kopi menjadi terbatas hanya pada yang termaksud

dan terangkum dalam standar SCA; hanya pada pengalaman industrial yang

didasarkan pada alam cita rasa AS semata, sebagai pemain besar dalam

industri kopi spesial. Pengalaman cita rasa yang berbeda-beda yang dimiliki

tiap-tiap orang di berbagai lintas batas geografi dan kultur-sosial lantas

menjadi seragam sebagaimana pengalaman cita rasa Ted Lingle, dkk, yang

hanya berdiam di bagian kecil dunia. Kiranya, ini yang saya sebut sebagai

homgenisasi cita rasa kopi melalui narasi keragaman. Klaim sebagai yang

ilmiah hanya siasat untuk menyeragamkan subjektifitas cita rasa tiap-tiap

orang yang terhegemoni.

Dan ketiga, pada titik ini, kuasa SCAA/SCA dan produk pengetahuannya

terlihat berkaitan erat. Memiliki relasi historis dengan imperialisme AS. Bahwa

tanpa adanya praktik kuasa, sulit rasanya standar SCA dapat didefinisikan dan

memiliki format/bentuknya. Maka praktik kuasa di sana telah nyata

berpenetrasi dalam mengkonstruksi objektifitas cita rasa kopi di era

gelombang ketiga seperti yang digembar-gemborkan oleh SCA. Penetrasi di sini

dilakukan tidak dengan represif, tapi lebih persuasif. Keberterimaan wacana

cita rasa kopi dari SCA oleh masyarakat kopi, khususnya di Indonesia, lebih

dikarenakan regulasi dan normalisasi melalui standar SCA. Dan yang lebih

penting lagi, keberterimaan ini juga dikarenakan inferioritas individu

pascakolonial yang memandang perspektif Barat adalah sahih untuk mengukur

cita rasa kopi. Sementara kemampuan diri dipandang sebagai yang tidak

mampu memproduksi pengetahuan secara mandiri. Atas dasar ini, maka

wacana cita rasa kopi dari SCA dipandang sebagai yang positif dan konstruktif.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

129

BAB IV

MENGALAMI CITA RASA KOPI

Wacana ada sebab beredar dibicarakan, dan dihidupi. Entah dalam rangka

pembenaran atau justru disangkal. Laku ini membentuk pengalaman, atau

dalam pengertian lain menjadi serangkaian sikap dan tindakan. Bila di bab

sebelumnya telah diperiksa akar historisitas wacana cita rasa kopi dan

institusinya, bahwa cita rasa kopi tidak hanya berkolerasi dengan sejarah di

lapangan produksi dari kebun ke cangkir saji; ataupun dalam konteks

konsumsi di Indonesia yang berelasi dengan kondisi industri; melainkan juga

dikonstruksi sebagai wacana oleh SCA yang mendominasi persepsi cita rasa

seseorang demi kepentingan kuasa diskursif dan kapitalisme AS; maka

berikutnya pada bab ini, saya akan menuliskan perihal individu yang

mengalami wacana. Tentang kesadaran seseorang sebagai subjek etis di tengah

wacana. Bahwa wacana cita rasa kopi telah mendorong individu untuk

bertindak menyokong wacana atau malah tumbuh di dirinya kesadaran kritis

untuk mempertanyakan ulang hingga melawan hegemoni wacana diskursif.

Dengan kata lain, bab ini akan menelusuri sense of self tiap-tiap subjek adalah

bentukan dari wacana yang ia hidupi.

Untuk kepentingan ini, maka secara bersamaan saya akan menegahkan

pengalaman Q-Grader/R-Grader; pelaku bisnis kedai kopi dan sekolah kopi SCA;

serta pembacaan subjek yang berprofesi sebagai peneliti kopi, utamanya di

bidang sensori pangan. Pengalaman mereka saya gali melalui kegiatan

wawancara mendalam. Wawancara menjadi penting agar analisa di sini dapat

terhindar dari tindakan “mendiagnosis” subjek-subjek wacana. Seperti kritik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

130

Saukko (2003), bahwa analisis kritis yang dilakukan Foucault atas wacana yang

mendisiplinkan dan membentuk pengalaman subjek cenderung jatuh pada

produksi logika pengakuan itu sendiri. Peneliti yang demikian, ujar Saukko,

pada gilirannya akan memberi kesan sebagai penafsir yang “maha tahu”, yang

memberikan penilaian tentang kebenaran pengalaman subjek yang ditelitinya,

dan membuat diagnosis1. Atas alasan inilah, wawancara menjadi penting

sebagai data pembanding dalam analisis pengalaman subjek-subjek wacana.

Bersamaan dengan ini pula, konsep Ambivalensi (beserta konsep terkait

lain: hibriditas dan mimikri) dari Homi K. Bhabha dan konsep alienasi linguistik

dari Bill Ashcroft, Garrefth Griffiths, dan Hellen Tiffin dipakai di sini.

Argumennya, bahwa wacana cita rasa ini adalah wacana neo-kolonial yang

diedarkan oleh Barat, yakni SCA, kepada orang-orang yang hidup di negara-

negara pascakolonial, yakni Indonesia. Dan Foucault dalam melihat aspek

wacana dialami, tidak memaksudkannya sebagai pengalaman terjajah sebagai

imbas dari kolonialisme Barat. Alias konsep wacana dan pengalaman dari

Foucault sendiri adalah Eropa sentris dalam fokusnya, dan terbatas

manfaatnya dalam memahami masyarakat-masyarakat kolonial dalam konteks

kajian pascakolonial2.

A. Mengalami Cita Rasa, Memeluk SCA

Q-Grader/R-Grader adalah individu yang terbilang penting dalam wacana

cita rasa kopi di era gelombang ketiga yang mengunggulkan produk specialty.

Mereka telah diakui ketajaman sensorisnya serta keluasan wawasannya di

1 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approach. (London: Sage Publication, 2003), hal. 77.

2 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal 68-69.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

131

bidang kopi, baik oleh SCA sendiri maupun oleh pegiat kopi secara luas.

Pengakuan ini semakin solid berkat lisensi yang ia terima dari CQI yang

bernaung di SCA, institusi yang begitu dominan dan menjadi pakem di industri

kopi spesial serta yang amat bermarwah bagi pegiat kopi spesial dunia.

Sampai saat ini, Indonesia memilki 93 Q-Grader, 7 R-Grader, dan 2

diantaranya berstatus sebagai Q-Instuctor. Diantara yang populer dan

berpengaruh, yang seringkali disebut di berbagai acara dan media massa

nasional serta acapkali dirujuk pendapatnya oleh banyak orang adalah Adi W.

Taroepratjeka dan Uji Sapitu. Adi adalah Q Arabica Grader dan juga seorang

instruktur dari CQI3. Tahun 2009, Adi mendapatkan lisensi Q-Grader dari CQI. Adi

merupakan angkatan pertama program sertifikasi penguji cita rasa kopi

arabika di Indonesia (Q Arabica Course). Sedangkan lisensi Q Arabica Grader

Instructor ia raih pada Januari 2015. Di sini, status Adi satu tingkat di atas Q-

Grader. Untuk diakui sebagai instruktur, seorang Q-Grader/R-Grader harus

menempuh kualifikasi lanjutan, dan Adi, yang banting stir dari konsultan

restoran, adalah Q Arabica Grader Instuctor pertama di kawasan Asia Tenggara.

Sementara Uji adalah seorang Q Robusta Grader dari Rumah Kopi Ranin

Bogor. Uji lulus tahun 1997 dari Program Studi Nutrisi Ilmu Pangan, Institut

Pertanian Bogor (IPB). Mulai serius menekuni kopi sejak 2002, dan mendapat

lisensi R-Grader pada tahun 2011. Sama seperti Adi, Uji adalah angkatan pertama

yang mendapat predikat R-Grader dari CQI dengan arahan langsung instruktur

Ted Lingle—salah seorang tetua, pemrakarsa gerakan kopi spesial di AS dan

3 Selain lisensi Q Arabica Grader Instructor, Adi juga memegang lisensi Q Robusta Grader, Q Processing Professional, COE Cupper (Cup of Execellent), SCA AST Brewing, dan ACF Barista Instructor (Asean Coffee Federation).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

132

turut berkontribusi besar bagi terbentuknya SCAA dan CQI serta

internasionalisasi kedua institusi tersebut.

Yang menarik dari Adi dan Uji adalah mereka termasuk orang yang taat

betul terhadap segala definisi dan ketentuan dari SCA, sekaligus orang yang

kritis menyikapi wacana cita rasa kopi yang diusung SCA. Sikap mendua ini

unik dan tak banyak. Di satu sisi, konsekuensi logis dari status Q-Grader/R-

Grader, mengharuskan mereka menyikapi cita rasa kopi sebagaimana

pandangan SCA, sesuai kebutuhan SCA. Tapi di sisi lain, Adi dan Uji menyadari

bahwa sekeras apa pun usaha menyatakan cita rasa kopi seturut SCA, tetap

saja pengalaman subjektif yang lokal dan empiris niscaya berperan dalam

menentukan nilai cita rasa kopi. Di satu sisi, Adi dan Uji memeluk erat SCA, di

sisi lain, mereka justru sangat “rewel” dan cenderung mengendurkannya dalam

kebutuhan tertentu. Ada kepatuhan sekaligus kebebasan yang diperlihatkan

oleh keduanya.

Atas alasan inilah, saya menjadikan Adi dan Uji sebagai narasumber

primer. Saya menemui Adi di tempat ia bekerja di 5758 Coffee Lab. di Bandung,

Jawa Barat. 5758 Coffee Lab. adalah salah satu SCA Campus di Indonesia yang

terakreditasi dan berhak menyelenggarakan pathway classes dari SCA: kelas-

kelas tentang kebaristaan, kepenyangraian kopi, Q-Grader/R-Grader, dan lain

sebagainya. Pada kesempatan itu, saya menanyakan perihal keberlakuan SCA

bagi kalangan Q-Grader/R-Grader sebagai SCA member:

Apakah ada kewajiban pake standar (SCA) itu? Gak, kok. Gak semua di industri pake standar itu. Tiap negara punya standar masing-masing. Tapi rata-rata refer-nya ke ISO. ISO lebih fokus ke produk (kopi) komersil. Mayoritas produk yang dijual di pasaran, ya, komersil. SCA dibentuk untuk market kecil, yang namanya specialty. Apakah semua harus ikut standar SCA? Ya, gak.

Kalau gua lihatnya simple. Apakah harus pake flavor wheel? Gak. Apakah harus uji cita rasa? Gak. Tapi kalau benda itu bisa ngebantu gua jualan,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

133

kenapa gak! Itu cuma jembatan. Apakah wajib? Gak ada yang ngewajibin, kok. Sekadar kit. .... Kalau masuk kopi Q (SCA/Specialty), ya ... Wajib. (Adi W. Taroepratjeka)4

SCA menyusun Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, SCA Coffee Standards dan

SCAA Cupping Protocols sebagai upaya proteksi pasar kopi spesial bagi AS dan

kemudian Eropa. Untuk menjamin kualitas dan konsistensi pasokan produk

kopi spesial yang mereka serap dari negara-negara produsen. Karena hal ini,

kesamaan persepsi dan frekuensi dalam menyikapi cita rasa kopi dibutuhkan.

Agar kebutuhan ini terpenuhi, maka diperlukanlah basis pengetahuan yang

sama berupa standardisasi yang mewujud beberapa dokumen protokoler

seperti Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping

Protocols; serta individu-individu sebagai auditor mutu kopi spesial seperti Q-

Grader/R-Grader. Dengan kata lain, secara eksplisit standardisasi dan auditor ini

ada dan diperlukan dalam lingkup transaksi jual-beli produk kopi spesial. Bagi

Q-Grader seperti Adi, standardisasi ini adalah hal yang patut dipegang penuh,

sebab dari sinilah kopi spesial dari Indonesia dapat dipatok dan diterima pasar

AS dan Eropa.

Hal yang sama juga diungkapkan oleh Uji, bahwa standar SCA bagi audit

mutu kopi spesial adalah mutlak berlaku bagi orang yang bekerja di industri

kopi spesial di dan/atau untuk AS dan Eropa, bahkan secara global. Saya

menjumpai Uji di Rumah Kopi Ranin, Bogor; tempat Ia sehari-hari melakukan

kerja-kerja laboratorium yang berkenaan dengan kopi sebagai fakta pangan

maupun kopi sebagai fenomena sosial dan budaya; sekaligus tempat usaha

berformat kedai kopi. Pada kesempatan tersebut, Uji mengatakan:

4 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka (Q-Grader Instructor dari 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

134

Mau gak mau, memang kalau kita bicara pengertian, definisi, kategori, parameter, mau gak mau harus ikut protokol. Misal, mau ngomongi (cita rasa) caramelly, saya sebagai R-Grader, ya harus sama. Kalau gak ya gimana? Karena industri bekerja atas itu. (Uji Sapitu)5

Sebagai pembanding atas sikap Adi dan Uji yang saya tangkap, saya juga

menemui William Christiansen, Q Arabica Grader dari Space Roastery Yogyakarta,

sebagai narasumber sekunder. Selain William, sebenarnya saya juga

berkeinginan mewawancarai Mira Lakshmi Handayani, seorang R-Grader, istri

dari Adi yang juga bekerja di 5758 Coffee Lab., Bandung. Tapi karena kepadatan

jadwal Mia mengajar kelas Uji Cita Rasa, saya tidak dapat menemuinya

walaupun sudah mengatur janji.

Alhasil, saya hanya mengandalkan pendapat pembanding dari William

yang berpredikat sama (dengan Adi dan Uji) sebagai penguji cita rasa kopi SCA.

Saya melirik William, sebab rumah sangrai sekaligus kedai kopi yang bernama

Space Roastery yang ia dirikan sangat populer dan cukup berpengaruh bagi

perkembangan penyeduh rumahan (home brewers) di Yogyakarta, bahkan

Indonesia secara luas. Di Space Roastery, William berperan penting sebagai orang

kunci yang mengkurasi dan mengembangkan (develop) cita rasa kopi yang akan

dijual dalam bentuk biji kopi sangrai maupun yang telah diseduh. William

jualah yang memproyeksikan cita rasa kopi yang diolah di Space Roastery

kepada para home brewers langganannya, sekaligus untuk beberapa kedai kopi

di Yogyakarta maupun di luarnya melalui penjualan biji kopi sangrai di

lokapasar daring (online marketplace). Dalam kontes nasional, Yogyakarta

mencatatkan pertumbuhan kedai kopi yang siginifikan di Indonesia,

bersamaan dengan Jakarta. Laporan dari Financial Times pada Mei 2016 yang

5 Wawancara dengan Uji Sapitu (R-Grader dari Rumah Kopi Ranin, Bogor) pada Kamis, 13 Agustus 2020 di Rumah Kopi Ranin, Bogor.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

135

dikutip Majalah Tempo Edisi 4465, berdasarkan data lembaga riset pasar,

Euromonitor, dalam kurun lima tahun terakhir, ada 1.083 gerai kedai kopi di

Indonesia. Sebagian besar kedai, baik yang artisan maupun jejaring, terkonsentrasi

di Jakarta dan Yogyakarta6. Data ini juga bisa dibaca sebagai tren positif

konsumsi kopi di sektor hilir sekaligus tautan untuk membayangkan seberapa

besar antusiasme konsumsi kopi di Indonesia, khususnya di Jakarta dan

Yogyakarta.

Saya mewawancarai William di Space Roastery di sela-sela kesibukannya.

Pada kesempatan itu, William menyatakan bahwa tidak ada rujukan strategis

untuk standar mutu industri kopi spesial saat ini selain terbitan SCA. Standar

ini bersifat wajib dan mengikat, terutama bagi para Q-Grader/R-Grader.

Q-Grader dituntut detail saat menilai cita rasa kopi. Harus ikut aturan dari SCA. Ya, namanya aja Q-Grader, ya, SCA, dong. Tapi bagi konsumen lain, gak ada tuntutan itu. Semua balik ke orang-orangnya. Sangat subjektif. Apakah Q-Grader memengaruhi konsumen dalam cita rasa? Kadang iya, kadang juga gak. Tergantung orangnya. Bebas itu. (William Christiansen) 7

Baik Adi, Uji, dan William, ketiganya menyebutkan bahwa keberlakuan

standar SCA sebatas bagi industri kopi spesial, yang secara khusus mengarah

ke pasar AS dan Eropa. Lebih spesifik bila bicara mutu cita rasa kopi, maka

otoritas pembicaraannya sebatas bagi Q-Grader/R-Grader. Keberlakuan ini

sifatnya baku dan ketat untuk suatu periode tertentu—karena di waktu yang

mendatang, SCA bisa saja merevisi standarnya berdasarkan kebutuhan zaman

yang berubah. Bahwa SCA satu-satunya model yang representatif bagi industri

kopi spesial dunia saat ini. SCA telah menjadi simbol modernitas pengetahuan

kopi dunia. Dengan menyajikan kelengkapan dan kedalaman pengetahuan

6 Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita, (Edisi 4465 26-01 April 2018), hal. 80.

7 Wawancara dengan William Christiansen (Q-Grader dari Space Coffee Roastery Yogyakarta) pada Rabu, 5 Agustus 2020 di Space Roastery Yogyakarta .

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

136

dalam mengevaluasi cita rasa kopi, SCA kemudian mampu mempersuasi,

mempengaruhi bahkan menentukan sikap seorang Q-Grader/R-Grader terhadap

cita rasa kopi spesial, yang pada gilirannya juga orang kebanyakan yang

“mendambakan” kopi spesial.

Meski demikian, di lain hal, dalam status dan kebutuhan yang berbeda,

standar ini bukan pegangan wajib bagi orang-orang di luar keanggotaan SCA

dan Q-Grader/R-Grader, atau bagi pasar di luar AS dan Eropa. Artinya, bila kopi

dari negara produsen, semisal Brazil hendak dijual ke Indonesia, maka standar

mutu cita rasa kopi yang berlaku tergantung pada negara pembeli. Indonesia

bisa saja mengharuskan produk kopi yang masuk ke negaranya sesuai dengan

Standar Nasional Indonesia (SNI). Atau bisa pula, sesuai standar kawasan Asia

Tenggara, seperti Asean Coffee Federation (AFC)―sekalipun yang melakukan

penilaian mutu adalah Q-Grader/R-Grader dari SCA. Tapi sialnya, baik SNI maupun

ACF memiliki standar mutu yang lebih longgar dibanding SCA. Standar SCA

dikatakan masih jauh lebih unggul dibanding standar negara atau kawasan

lainnya. Karena keunggulan ini, maka individu/lembaga di luar keanggotaan

SCA yang menginginkan produk kopi spesial dengan akurasi mutu tinggi

cenderung memilih standar SCA. Alhasil, penggunaan serta pengakuan standar

SCA telah meluas jangkauannya, tidak hanya bagi Q-Grader/R-Grader atau bagi

pasar AS dan Eropa, melainkan juga bagi non-anggota SCA serta bagi pangsa

pasar negara-negara di luar AS dan Eropa—sekalipun beberapa diantaranya

memiliki standar masing-masing.

Pada kasus yang berbeda pula, misalnya, bila seorang hendak cupping

untuk kebutuhan pribadi atau kedai yang menunjuknya, maka baginya tidak

ada keharusan untuk menjalankan protokol cupping SCA. Pun juga bagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

137

konsumen luas. Seperti kata Adi dan William, secara formal, tidak ada

ketentuan yang mengharuskan orang (non-anggota SCA) untuk “tunduk” pada

konsepsi cita rasa SCA. Perkara cita rasa kopi diserahkan sepenuhnya ke

masing-masing orang. Tapi kebebasan ini tidak serta-merta tercetak mulus di

lapangan, sebab ada saja orang yang bukan Q-Grader/R-Grader, non anggota SCA,

dan menjadi bagian dari industrinya tetap saja loyal dengan SCA. Preferensi cita

rasa kopi spesial menjadi sepenuhnya milik SCA. Mengapa demikian? Lagi-lagi

dikarenakan sejauh ini, SCA telah menjadi kanon pengetahuan cita rasa yang

berpengaruh dan otoritatif di industri kopi spesial dunia. Hal ini dinyatakan Uji:

Protokol itu kan lahir dari tradisi industri. Protokol itu menjelaskan bagaimana bahwa tradisi SCA itu harus punya otoritas. Jadi protokol itu harus dikerjakan, otoritatif gitu. Kayak syarat rukun lah. Jadi protokol itu memang adalah ekspresi, bagaimana tradisi kopi yang dibawa SCA ini menjadi sifatnya sangat otoritatif. Karena, hasilnya agar bisa diklarifikasi, di-confirm, ada peleburan makna, bisa dipahami oleh semua orang, kalangan dari sekian bangsa yang pakai protokol itu. ... Otoritatif, ya, intimidatif. Mau gak mau! Dan Anda jangan tersinggung. Karena industri bekerja kayak gitu. (Uji Sapitu)8

Klaim saintifik yang menjadi basis pengetahuan standar SCA memperkuat

otoritas ini. Biar bagaimanapun, sulit disangkal bahwa sains adalah dalil yang

kuat untuk meyakinkan masyarakat modern agar suatu pengetahuan dapat

diterima. Terlebih bila sumber pengetahuan tersebut berasal dari AS (Barat)

yang seringkali diasumsikan oleh negara “dunia ketiga” sebagai yang memiliki

kapasitas dan kemampuan riset yang unggul9. Karena dinyatakan saintifik,

8 Wawancara dengan Uji Sapitu ...

9 Bagi Uji, semestinya pegiat kopi di Indonesia tidak perlu merasa minder. Alasannya, sebab sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah memuncaki peradaban pangan sebagai bangsa peramu. Iklim tropis telah memberi kemewahan berupa tumbuhnya keragaman hayati. Secara bersamaan, keadaan ini akan memasok pengetahuan cita rasa yang kaya bagi yang hidup di tengah kemewahan ini. Uji menunjukkan fakta berupa rempah yang diramu menjadi jamu dan bumbu masakan di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai macam rempah yang memiliki karakter rasa masing-masing lantas diramu sedemikian rupa untuk menghasikan cita rasa yang padan, berkhasiat, dan diminati banyak orang, termasuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

138

orang lantas cenderung untuk tunduk pada superioritas SCA. Menjadikan

konteks historis pengetahuan dan pengalaman konsumsi yang lokal serta

empiris, yang sejatinya yang berharga sebagai kosakata cita rasa personal,

lantas ter-subordinasi di hadapan SCA. Pada titik inilah, orang menjadi fanatik

pada SCA. Jadi, pengetahuan SCA tidak hanya dijalankan oleh para Q-Grader/R-

Grader atau anggota lainnya karena status konsesus sebagai standar dan

bahasa bersama yang mengikat mereka, tapi lebih dari itu bahwa SCA ditaati

sebab sikap fanatik yang mengidealkan SCA sebagai “pusat” pengetahuan yang

universal. Fanatisme yang juga dialami oleh followers atau non-anggota SCA.

Padahal ke-ilmiah-an suatu pengetahuan tentu akan selalu anomali. Bila

berpikir secara epistimologis kritis, kebenaran pengetahuan tentunya

bergantung sejauh mana paradigma tertentu dipakai, untuk kemudian menjadi

konsensus bagi komunitas ilmiah tertentu dalam periode sejarah tertentu

pula10. Bahwa sains akan selalu bersifat kontekstual yang lahir dari konteks

historis tertentu, dan hal inilah yang disangkal oleh standar SCA dengan

memposisikan otoritas pengetahuan cita rasanya sebagai yang objektif dan

universal. Sungguhpun sifat pengetahuan cita rasa ini akan selalu subjektif,

lebih dari itu dapat bersifat inter-subjektif, atau dengan kata lain tidak akan

pernah objektif.

Sampai di sini, ada beberapa catatan penting dari penjelasan di atas,

bahwa standar SCA berlaku sejauh ia disepakati oleh anggotanya dan untuk

kolonial Eropa. Baik jamu maupun bumbu, keduanya menjadi bukti tentang tingginya daya intelektual orang Indonesia dalam mengolah berbagai jenis material pangan. Tentang pengetahuan akan cita rasa yang mendalam dan berharga yang dimiliki bangsa Indonesia. Suatu capaian riset yang mumpuni nan jenius, menurut Uji. Tapi menurut saya, pleidoi Uji sedikit berbau chauvinistik, dan bisa jadi pula berupa penawar yang esensialis.

10 Pemahaman ini didapat dari penjelasan episteme-nya Foucault, yang oleh beberapa kritikus disejajarkan dengan paradigma dari Thomas Kuhn.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

139

kebutuhan industri kopi spesial yang secara khusus menyarankan pada pasar

AS dan Eropa; dan juga sejauh SCA diinginkan oleh orang, kelompok, lembaga,

atau negara yang notabene bukan anggota SCA. Standar SCA telah dialami

sebagai yang ideal, sebagai kanon industri kopi spesial dunia yang otoritatif

yang ditopang oleh klaim universalitas keilmuan yang diajukannya. Catatan-

catatan ini kemudian bila ditarik ke dalam konteks Indonesia yang

menanggung efek kolonialisme Barat, dapat disebut sebagai patologi

pascakolonial11. Tentang bagaimana Q-Grader/R-Grader Indonesia dan individu

lain memandang cita rasa kopi yang tumbuh dan diproduksi di lingkungannya

dengan perspektif Barat sebagai standar. Mereka berbicara tentang cita rasa

kopi dengan indra sensoris miliknya, namun di saat yang sama, mereka

menggunakan kondisi historis SCA yang bukan bahan baku dari memori

sensorisnya. Meski terdapat praktik dan sikap yang bias di sana, hal ini dirasa

sah untuk dijalani. Argumentasinya, sebab sebagai anggota SCA, toh hal ini

menyangkut mekanisme dan relasi jual-beli kopi. Agar kopi dapat diterima

pasar AS dan Eropa, maka sudah seyogianya produsen menyiapkan kopi

sebagaimana yang dimaui oleh konsumen, sebagai kesepakatan dagang. Atau

jika bukan sebagai anggota SCA, bahwa standar SCA baiknya dibebaskan dari

asumsi kolonialisme, sebab SCA dirasa lebih tekun, detil, dan teruji secara

11 Albert Memmi, intelektual dan revolusioner antikolonial Tunisia, menyebut bahwa secara fundamental subjek-subjek pascakolonial terperdaya akan harapan hadirnya tatanan dunia baru pasca jatuhnya kolonialisme. Pesemisme politik Memmi memberikan sebuah catat an tentang pascakolonialitas sebagai suatu kondisi historis yang ditandai oleh kebebasan yang tak tampak dan presistensi ketidakbebasan yang tersembunyi. Memmi menambahkan bahwa patologi pascakolonial sejenis ini berisfat limbo (diterlantarkan/dilupakan) antara kedatangan (pascakolonialitas) dan kepergian (kolonialisme), kemandirian dan ketergantungan, yang bersumber pada jejak dan kenangan yang mengendap atas pengalaman tersubordinasi oleh kolonialisme. Dengan kata lain, subjek-subjek pascakolonial, hingga hari ini senantiasa menanggung luka akibat kolonialisme masa lalu—sekalipun secara formal mereka telah merdeka. Lihat: Leela Gandhi, Postcolonial Theory, a Critical Introduction, (Australia: Allen & Unwin, 1998), hal. 6-7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

140

saintifik dalam menyusun standar kopi spesial, dibandingkan dengan standar-

standar lain, seperti SNI, misalnya. Sehingga yang dibutuhkan adalah

keterbukaan guna meningkatkan mutu dan pengetahuan akan cita rasa kopi.

Walau dikuatkan dengan argumen yang dirasa masuk akal tadi, ada hal

yang luput diperhatikan bahwa standar SCA dipraktikkan dalam kondisi

industrial yang tentunya bekerja dengan prinsip kapitalistik, di mana

keuntungan terbesar akan mengalir ke Barat melalui industri hilir yang

dibangunnya—sekalipun orang-orang di negara produsen kopi yang notabene

negara pascakolonial terlibat dalam proses konsumsi dan produksi.

Agar mudah dibayangkan, mari menengahkan dua contoh kasus. Contoh

pertama: di hulu, terdapat Koperasi Baburrayan di Kabupaten Aceh Tengah yang

telah mengantongi sertifikasi C.A.F.E Practices (Coffee and Farmer Equity Practices).

Sertifikasi ini digagas oleh Starbucks Coffee dan bergandengan dengan

sertifikasi lainnya, yakni Fair Trade USA. C.A.F.E Practices diperlukan agar kopi

arabika dari koperasi Baburrayan dapat diterima oleh korporasi transnasional,

Starbucks, si duyung hijau dari Seattle, AS. Ada banyak hal yang menjadi

perhatian sertifikasi C.A.F.E Practices, antara lain terkait dengan kriteria upah,

larangan atas tenaga kerja anak, pelatihan dan keselamatan pekerja, praktik-

praktik lingkungan, dan akses pekerja terhadap perumahan layak, perawatan

medis, dan pendidikan. Sementara bila terkait kriteria kualitas cita rasa kopi

(cup quality), C.A.F.E Practices sedikit banyak mengacu pada SCA Cupping Protocols

dan dikerjakan oleh Q-Grader dari Starbucks sendiri—Starbucks memang tidak

mengkhususkan diri sebagai kedai kopi spesial, tapi dari 27.715 gerai kopi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

141

spesial AS, 11.100 atau 47% diantaranya adalah Starbucks, dan Starbucks telah

memiliki lebih dari 100 outlet di seluruh wilayah Indonesia12.

Berbekal label C.A.F.E Practices ini, kopi arabika dari koperasi Baburayyan

pun diolah oleh Starbucks untuk dikembangkan sebagai produk konsumsi di

hilir, yakni yang akan dijual outlet-outlet Starbucks, baik dalam bentuk minuman

jadi ataupun dalam biji kopi sangrai kemasan dengan merek Starbucks Sumatra

Coffee. Lalu, siapa yang membeli produk Starbucks tersebut? Adalah pelanggan

Starbucks di seluruh dunia, termasuk orang Indonesia yang sebagiannya

sangat mungkin orang Gayo. Di sini, mereka orang Indonesia menikmati

Starbucks Sumatra Coffee dalam kriteria C.A.F.E Practices dan standar SCA, lalu

membayarnya dengan harga Amerika. Mereka juga “berjasa” mengakumulasi

kapital yang mengalir mulus ke bursa Wall Street.

Contoh di atas baru mewakili satu skena dan sebatas relasi bisnis yang

sah antara Koperasi Baburayyan dengan Starbucks dan SCA. Pun juga, contoh

tersebut baru menengahkan bahwa yang paling diuntungkan dalam relasi ini

adalah Starbucks. Artinya, belum mempertanyakan bagaimana kapitalisme

dijalankan melalui rezim sertifikasi kopi (C.A.F.E Practices termasuk di

dalammnya) yang seringkali berargumen moral dengan wajah manusiawi. Juga,

contoh tersebut belum termasuk grade kopi non-spesial (komersil dan

premium) yang diproduksi oleh berbagai perkebunan di empat besar negara

produsen kopi dunia (Brazil, Vietnam, Kolombia, dan Indonesia) yang diserap

raksasa lain dari AS dan Eropa, seperti Nestle (Swiss), Costa Coffee (Inggris),

dan Donkin’ Donuts (AS), Kraft (AS), Sara Lee (AS), Tchibo (Jerman), dan

12 Data tahun 2008. Lihat: Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari, (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 4 dan 204; dan Starbucks Coffee Company, C.A.F.E. Practices Generic Evaluation Guidelines 2.0, Maret 2007.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142

seterusnya, yang memproduksi kopi saset untuk industri retail dan konsumsi

rumah tangga.

Contoh kedua untuk skena lain, misalnya dalam praktik penyediaan kopi

untuk bahan pembelajaran di kelas Q-Grader/R-Grader yang diselenggarakan SCA

Premier Campus. SCA akan mengumpulkan berbagai kopi dari seluruh negara

produsen untuk dijadikan standar bahan kelas Q-Grader/R-Grader di seluruh

dunia. Kopi-kopi tersebut, baik yang specialty atau bukan, akan disuplai oleh

mitra SCA, seperti diantaranya Asosiasi Kopi Spesial dan SCA Premier Campus yang

bermukim di masing-masing negara produsen13. Di sini, SCA tidak hanya

memonopoli lisensi instruktur pengajar; standar kurikulum dan textbook;

standar sarana dan prasarana yang harus dipenuhi oleh suatu tempat agar

dapat diakreditasi dan dikatakan sebagai SCA Premier Campus; tapi, SCA juga

mengambil peran sebagai satu-satunya sumber (library) yang menyuplai ulang

kopi untuk bahan kelas Q-Grader/R-Grader di seluruh dunia. Artinya, ada berlapis-

lapis keuntungan yang didapat SCA dari praktik ini, sebab semua yang disebut

tadi tidaklah gratis alias berbayar. Dari biaya lisensi Q-Grader/R-Grader/Q-

Instructor; biaya akreditasi dan keanggotaan tahunan SCA Premier Campus;

hingga biaya materi dan bahan kelas Q-Grader/R-Grader. Semua biaya yang jelas

tidak murah itu tentu mengalir ke SCA. Sampai di titik ini, saya pun menengarai

bahwa Q-Grader/R-Grader, SCA Premier Campus, dan Asosiasi Kopi Spesial di negara

produsen adalah mitra SCA rasa komprador. Karena dominasi dan monopoli

SCA dipertahankan lewat tangan-tangan mereka dalam jalinan bisnis di antara

mereka.

13 Wawancara dengan Andi K. Yuwono (Founder 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143

Dengan demikian, kepatuhan dan kedisiplinan atau membayangkan

bahwa AS melalui SCA sebagai yang ideal dalam hal universalitas sains cita

rasa kopi, adalah implikasi dari bertahannya wacana kolonial. Dengan kata lain,

memeluk SCA sebagai standar juga bagian dari memeluk wacana neo-kolonial.

Sebab di sini, dominasi tidak lagi dijalankan secara fisik kepada subjek-subjek

pasckakolonial yang secara formal telah lepas dari koloniasasi, tapi

dilanggengkan dengan cara yang lebih subtil melalui pengetahuan tentang

standar akan cita rasa kopi yang diiedalisasi. Di satu sisi, sebagai pengetahuan,

standar SCA seringkali dipandang membawa manfaat bagi orang-orang yang

bekerja bagi industri kopi spesial ataupun bagi orang-orang yang

menginginkan pengakuan publik atas kerja-kerja evaluasi mutu dan cita rasa

kopi yang dijalankannya. Baik manfaat ekonomis maupun manfaat prestise. Di

sisi lain, sebagai wacana neo-kolonial, standar SCA telah memperpanjang

dominasi dan konstruksi identitas imajinatif Barat sebagai yang unggul dan

terbaik dalam banyak bidang, sekaligus terus dibarengkan dengan mengalirnya

keuntungan terbesar ke penguasa kapital Barat melalui globalisasi standar

SCA. Alhasil, wacana cita rasa SCA telah berperan mengkonstruksi subjektivitas

kesadaran seseorang dalam melihat dirinya sendiri, ketika menyatakan cita

rasa kopi tertentu, discursive constitusion of the self . Ada represi di sini, oleh

budaya yang mendominasi secara ekonomi-politik, yang lantas dianggap

semakin wajar oleh seseorang yang menanggung continuing colonialism effect.

B. Standar SCA: Bahasa yang Bermasalah

Dengan adanya standar SCA, orang dari berbagai belahan dunia dapat

berkomunikasi soal mutu dan cita rasa kopi dalam bahasa yang sama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

144

Begitulah kira-kira dalih keuntungan dari adanya standar SCA. Bagi yang

menjadi bagian dari SCA (bekerja untuk industri kopi spesial) maupun yang

tidak sama sekali, standar SCA telah bernilai sebagai bahasa bersama:

pemersatu dan universal. Bahasa ini ada karena ia disepakati sebagai bahasa

dan dimaksudkan sebagai sarana komunikasi untuk mencapai pemahaman

yang sama. Seperti yang dikatakan Adi:

Terus kenapa ada flavor wheel? Karena ada kebutuhan untuk bisa ngobrol bareng antara negara penghasil dengan negara pembeli. Kenapa sih American based? Karena pembelinya mayoritas Amerika (AS). Dan itu dari SCA dengan Asosiasi Kopi Specialty Kolombia. Dan mereka sadar bahwa ada benda ajaib di dua kultur: tropis dan sub tropis. Makanannya, buahnya, pasti beda (dengan yang di Indonesia). Makanya mereka bikin Le Nez Du Café, kit 36 bau ini, untuk jadi jembatan. Untuk agree, bahwa bau kayak gini itu namanya ini. (Adi W. Taroepratjeka)14

Hal senada juga diungkap oleh Andi K. Yuwono, aktivis buruh yang juga

salah satu founder 5758 Coffee Lab.15, yang mengatakan bahwa standar SCA

adalah sarana untuk mempertemukan keragaman; sebagai bahasa komunikasi

yang diakui dan digunakan bersama. Saya mewawancari Andi berbarengan

dengan Adi. Pendapat Andi saya rujuk guna melengkapi apa yang dinyatakan

oleh William sebagai pembanding. Andi saya kategorikan sebagai narasumber

sekunder dari kalangan profesional non-Q-Grader/R-Grader, sebagai pelaku

industri kopi spesial.

Kalau berry-berry-an, mau dikatakan (buah) duwet (jamblang/jambu keling) ... Ya, boleh. Dan itu (duwet) kita pakai untuk lokal. Kalau untuk internasional, ya, pakai bahasa internasional. Kalau untuk bahasa Sunda, ya, pakai bahasa Sunda. Kalau untuk Indonesia, ya, pakai bahasa Indonesia. Kamu Palembang kan ngerti, ada terong Belanda di sana. Ngomong sama orang Tegal, ketemu gak? Gak ngerti. Tapi kalau ngomong mirip-mirip nanas sama pepaya ...

14 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

15 Andi K. Yuwono juga memegang lisensi SCA Brewing Professional dan ACF Barista Instructor.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

145

... Bagaimana pun standar itu arbiter. Sama dengan bahasa: vokal, simbol. Jadi, untuk komunikasi saja ... Sarana untuk mempertemukan. Kesepakatan, doang. (Andi K. Yuwono)16

Disebutnya sifat arbiter dari standar SCA sebagai bahasa bersama

setidaknya mengisyaratkan bahwa selain berdasarkan kepentingan pasar AS

dan Eropa, standar SCA juga ini disusun dalam konteks historis dan

pengalaman konsumsi orang-orang SCA, di AS dan Eropa. Hasilnya, tentu saja

bahasa cita rasa yang berpotensi muncul di berbagai macam kopi menjadi

terbatas dan didominasi oleh kultur konsumsi si perumus standar. Seperti

halnya definisi terbuka tentang cita rasa manis yang terumus pada “A

fundamental taste factor of which sucrose is typical.” seturut Sensory Lexicon; dan

jabaran manis yang sekadar mencakup: molasses, maple syrup, caramelized, honey,

dan vanilla. Sementara, gula aren dan gula jawa tidak memungkinkan ada dalam

konteks dan pengalaman konsumsi mereka, sehingga “dianggap” tidak ada

dalam kategori cita rasa kopi. Kalau toh ada, tentu sebatas pengetahuan

tekstual. Kalau toh dialami secara empiris, tentu pengalamannya tidak se-

intensif orang yang hidup di tengah produksi gula aren dan gula jawa. Belum lagi

apa yang dimaksud honey di sana sangat bisa menjadi bias makna dengan

madu yang dimengerti di sini. Tapi mengingat standar SCA adalah kesepakatan

yang berlaku (baku), maka yang dirujuk bagi industri kopi spesial adalah

sebagaimana yang dimaksud honey. Begitu pula dengan kasus cita rasa apricot

yang dimasukkan di cita rasa kopi spesial berdasarkan fakta bahwa apricot

dialami secara empiris oleh orang-orang SCA. Sementara bagi yang tidak

memiliki akses ke apricot, maka mustahil cita rasa ini dialami. Tapi uniknya lagi-

lagi, mengingat apricot adalah salah satu (standar) cita rasa kopi SCA, maka

16 Wawancara dengan Andi K. Yuwono ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

146

orang yang tidak mengalami apricot namun menyepakati SCA sebagai bahasa

cita rasa bersama, berpeluang besar untuk menyatakan bahwa apricot adalah

salah satu atribut cita rasa kopi yang ia peroleh berdasarkan cupping.

Pernyataan ini bisa didukung oleh pengalamannya mengonsumsi buah apricot

impor atau ingatan penggunaan referensi Le Nez Du Café, bebauan ala Perancis

yang ditunjuk SCA sebagai standar aroma “resmi” melalui WCR. Atau lebih

sialnya, tidaklah didukung pengalaman dan ingatan apa pun alias sekadar

sugesti cita rasa yang dipersepsikan. Sebuah pengayaankah? Iya, di satu sisi.

Tapi di sisi lain yang lebih menukik tajam, juga menandakan seseorang sebagai

liyan dari AS dan Eropa telah “dimiskinkan” oleh standar SCA.

Bila begini, tersirat ironi bahwa standar SCA, sekalipun bernilai sebagai

penyambung lidah dari aneka bahasa komunikasi, sejatinya bukanlah bahasa

yang relevan bagi Q-Grader/R-Grader atau bagi orang awam di luar AS dan Eropa.

Yang patut dicatat kemudian adalah relevansi ini telah dikikis oleh otoritas SCA

yang dinilai saintis dan modern, yang disepakati sebagai standar bersama,

yang mau tak mau harus diikuti agar bahasa cita rasa ini dapat selaras dengan

perspektif industri kopi spesial yang dibangun SCA.

Mengapa setiap orang yang telah memiliki bahasa cita rasa masing-

masing lantas menerima standar SCA sebagai lingua franca, padahal tidak

relevan? Bill Ashcroft, Gareth Griffins, dan Hellen Tiffin dalam buku mereka, The

Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature (1989) menyebut

bahwa salah satu praktik utama represi imperial adalah kontrol melalui media

bahasa. Bahasa menjadi media untuk menunjukkan struktur hierarki

kekuasaan dan menetapkan konsepsi-konsepsi kebenaran, aturan, dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

147

realitas17. Dengan “dipaksakannya” standar SCA sebagai bahasa cita rasa

bersama dan diterima industri kopi spesial global (termasuk oleh pegiat kopi di

Indonesia), AS melalui SCA menyatakan bahwa bahasa cita rasa lain, seperti

gula aren atau madu, adalah bahasa “pinggiran”; dan di saat yang bersamaan

bahasa cita rasa SCA, seperti yang tertuang dalam Roda Rasa SCAA dan Sensory

Lexicon, adalah “pusat”. Bahasa pinggiran ini dengan demikian sebenarnya

dibentuk oleh suatu wacana kekuasaan yang bersifat represif.

Situasi semacam ini lebih lanjut akan memunculkan kondisi lain, oleh

Ashcroft, dkk, disebut sebagai alienasi linguistik. Yakni sebuah kondisi di mana

pengguna bahasa “pinggiran” mengafirmasi bahasa “pusat” dan

menggunakannya untuk mengekspresikan konsep tertentu. Pegiat kopi di

Indonesia, dalam hal ini persepsi cita rasa subjek pascakolonial (pada

indikasinya) telah di-dislokasi oleh bahasa cita rasa asing yang seringkali tidak

empiris baginya. Keteraturan menggunakan bahasa cita rasa SCA secara terus-

menerus oleh pegiat kopi di Indonesia, menjadikan mereka mulai terasing dari

bahasa ibu yang dihidupinya. Seakan bahasa ibu tidak dibutuhkan, sebab

dirasa tidak memadai untuk dipakai sebagai media ekspresi persepsi sensoris.

Bahasa ibu terdesak menjadi “pinggiran”, dinilai tidak cocok, tidak pas, dan

tidak layak untuk disebut sebagai kosakata cita rasa. Sehingga para

penuturnya pun menjadi kesulitan jika harus menyebut gula aren atau gula jawa

sebagai bagian dari atribut cita rasa kopi yang ia peroleh dari cupping. Atau

dirasa lebih baik bila dikatakan sebagai honey, misalnya, ketimbang disebut

17 Bill Ashcroft, dkk, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature, (London-New York: Routledge, Edisi Kedua, 2002), hal. 7-8.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

148

sebagai cita rasa madu yang impresinya “kampungan”18. Hal ini dikuatkan oleh

pengalaman Adi yang telah banyak mengajar peserta kelas uji cita rasa di 5758

Coffee Lab.:

Jadi kendala ketika gua ngajar uji cita rasa, salah satunya mendorong orang untuk bisa bercerita dulu. Kenapa? Kadang orang takut bercerita soal kopi. Nanti cerita, “Kok, rasa kopinya ngingatin dengan rasa rendang19 dari rumah makan Padang mana, gitu.” Ada beberapa orang merasa malu, masa rasa kopinya kayak gitu, sih. Nanti dibilang kampungan. Padahal spontan dan jujur. Dan itu yang gua harapin untuk ditulis (di cupping form). Karena fungsi dari lembar uji cita rasa, diantaranya membantu kita mengingat kopi yang kita uji coba. Jadi mending nulis rendang sederhana, daripada cerita dengan rempah-rempah yang sebenarnya kita gak yakin juga dan kita mudah lupa. (Adi W. Taroepratjeka)20

Dalam konteks alienasi linguistik ini pula, juga muncul perasaan tidak

autentis. Karena atribut cita rasa yang digunakan adalah standar SCA yang

merujuk pada sesuatu yang hanya ada di “pusat”, yang tidak dikenalnya, maka

pegiat kopi di Indonesia merasa tidak autentis.

Adanya standar SCA sebagai kanon industri kopi spesial dunia

menjadikan hanya atribut cita rasa yang dimuat standar SCA sajalah yang

dapat ditasbihkan sebagai “atribut cita rasa” kopi. Ingatan akan cita rasa

rendang seperti yang dicontohkan Adi, merupakan ingatan yang empiris

sekaligus historis. Namun ketika rendang dibawa oleh seseorang ke forum

cupping, rendang menjadi cita rasa yang tak bernilai, sebab persepsi cita rasa

orang tersebut telah dikonstruksi oleh bahasa-bahasa standar cita rasa SCA

yang sebenarnya jauh dari kesejarahan dirinya: yang tidak memasukkan

rendang sebagai bagian dari standar. Normalisasi ini setidaknya telah

mengingkari arti penting pengalaman pascakolonial, dengan menanggap

18 Ashcroft, dkk, hal. 8-11

19 Adi mencontohkan cita rasa rendang karena pada saat itu kami sedang bersiap menyantap nasi rendang bungkusan. Pemilihan contoh ini cenderung acak, spontan, dan kebetulan.

20 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

149

rendang sebagai atribut cita rasa kopi yang tidak bernilai. Akibatnya, subjek

pascakolonial dimasukkan ke dalam kondisi untuk “asal pakai” karena mereka

dipaksa mengekspresikan persepsi sensorisnya dengan atribut cita rasa SCA

yang di sisi sebenarnya terlepas dari pengalaman-pengalaman subjek

pascakolonial. SCA merekayasa kesadaran seseorang tentang rendang dengan

membuat rendang berjarak sebagai persepsi cita rasanya dan bukan bagian dari

memori sensorisnya. Bahasa-bahasa cita rasa SCA yang sejatinya “jauh” dari

keseharian orang tersebut lantas menjadi “dekat”, sebab dinyatakan sebagai

standar. Sedangkan rendang yang semestinya “dekat” sebagai yang internal

justru menjadi “jauh” akibat dominasi bahasa-bahasa cita rasa SCA. Rekayasa

inilah yang menjadikan rendang sebagai atribut cita rasa yang inautentis,

menyebabkan rendang bukan lagi pengalaman empiris yang dapat

direpresentasikan dengan bahasa kulturalnya21.

Konsep ketidakteraturan dan ketidak-autentikan terus menerus

didesakkan oleh SCA sebagai “pusat” kepada pengalaman-pengalaman

“pinggiran”. Distingsi yang dibuatnya adalah antara pengalaman autentis dari

dunia yang “real” dan pengalaman yang inautentis dari pengalaman

“pinggiran” yang tidak sah. Polaritas ini ditunjukkan melalui sejumlah oposisi:

keteraturan dan ketidakteraturan, autentisitas dan inautentisitas, realitas dan

arealitas, bahkan ada dan ketiadaan. Singkatnya dominasi “pusat” dan

pandangan resminya harus ditentang sampai pengalaman “pinggiran” tersebut

dapat diterimanya22.

21 Ashcroft, dkk, hal. 87 dan 40-41

22 Ashcroft, dkk, hal. 87

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

150

Selain bahasa cita rasa SCA yang menegaskan sturktur hierarkisnya

sekaligus mengakibatkan alienasi lingusitik dan kesadaran inautentis bagi

pengalaman “pinggiran”, bahasa cita rasa SCA juga menyangkal keragaman

bahasa melalui klaim universal yang dibangunnya. Dengan kata lain, telah

berlangsung homogenisasi bahasa cita rasa kopi oleh SCA yang menengahkan

diri sebagai standar industri kopi spesial global. Maka dibalik nilai-nilai

“bersama”, “kesepakatan”, dan “universalitas”, tentu asumsi penyeragaman di

tengah hibriditas bahasa cita rasa yang sebenarnya sangat kontekstual, itu ada

dan menguat. Atau jika dijelaskan dengan konsep Bhabha (1994),

penyeragaman di sini adalah juga tindakan menstereotipisasi. Stereotipisasi

dijalankan atas adanya rasa cemas (anxiety) dari SCA terhadapa realitas bahasa

cita rasa yang hibrid. Bahwa hibriditas akan mengancam hirarki bahasa antara

cita rasa “pusat” dengan cita rasa “pinggiran”. Antara rendang dengan bahasa-

bahasa cita rasa yang bersumber dari pengalaman sensoris Barat yang oleh

SCA dijadikan standar cita rasa industri kopi spesial dunia. Meski, baik yang

“pusat” maupun “pinggiran” dipahami dalam pengertian yang cair dan

dinamis, tetap saja dengan dalih saintifik, “pusat” mengesankan diri melalui

dalil saintifiknya sebagai yang paling representatif bagi industri atau bagi

orang kebanyakan lintas geografi dan kultural.

C. Subjek yang Mendua

Dalam irisan lain, wacana cita rasa yang diartikulasikan oleh standar SCA

tidak selalu bersifat monolitik, “Where there is power, there is resistance,” ujar

Foucault (1978). Artinya, akan selalu ada kemungkinan untuk melawan yang

dominan. Ada banyak reportoar guna meresistansi wacana dominan. Bagi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

151

subjek pascakolonial, Bhabha menyebut mimikri sebagai salah satu dari sekian

reportoar yang dijalankan guna melawan dominasi wacana kolonial yang

ambivalen, alih-alih sekadar hasrat liyan yang tereformasi.

Dalam kasus pengalaman Q-Grader/R-Grader yang diperiksa di sini,

resistansi dijalankan dalam dua reportoar sekaligus, yakni meniru Roda Rasa

SCAA dengan memasukkan unsur bahasa dan aroma yang lokal-Indonesia, serta

menegoisasi standar prosedur cupping SCA dengan lebih dulu menengahkan

ekspresi cita rasa personal. Keduanya akan dijelaskan di bawah ini.

a. Reproduksi: Bahasa Rasa dan Aroma yang Lokal

Tapi di sisi lain, kita gak takut bikin standar sendiri ... (Adi W. Taroepratjeka)23 Kita bikin roda rasa sendiri. Duitnya dari siapa? Sendiri. Gak usah ngemis ke donor ... Ya, akhirnya kita dikontrak karena kita sudah melakukan itu untuk memperbaiki, tapi kan profesional. Kita dikontrak, dibayar. Untuk lebih boosting, gak papa. Tapi bukan tujuan satu-satunya. Soal itu nanti dijual sama orang yang bikin, ya, wajar, dong. Ada upaya yang tidak ditanggung bareng-bareng. Kecuali kalau ditanggung bareng-bareng, ya, milik bareng-bareng, kan ... (Andi K. Yuwono)24

Bersama Seniman Coffee, Bali, 5758 Coffee Lab. mengerjakan proyek Roda

Rasa Kopi Indonesia atau Indonesia’s Coffee Flavor Wheel, terbit tahun 2019. Ada tiga

Q-Grader dari Seniman Coffee Studio dan satu Q-Grader Instructor dari 5758 Coffee

Lab., yakni Adi, yang terlibat aktif dalam proyek ini. Roda Rasa Indonesia ini

disusun berdasarkan pengalaman mereka mencicipi beragam kopi Indonesia

serta pengetahuan cita rasa yang lebih lokal. Mereka secara intensif melakukan

cupping dengan fokus pada perolehan cita rasa buah-buah tropis dan rempah-

rempah yang tumbuh dan familiar di Indonesia. Beberapa cita rasa buah-buah

tropis seperti sirsak, sawo, salak, nangka, manggis, kesemek , dan lain sebagainya,

23 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

24 Wawancara dengan Andi K Yuwono ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

152

serta rempah-rempah manis dan pedas, seperti asam jawa, kemiri, jinten, kencur,

dan seterusnya bisa ditemukan di Roda Rasa Indonesia.

Walaupun berdasarkan cita rasa lokal, format dan desain Roda Rasa Kopi

Indonesia ini tetap mengacu ke Roda Rasa SCAA. Hal ini berdasarkan

pertimbangan bahwa pegiat kopi di Indonesia telah terbiasa menggunakan Roda

Rasa SCAA. Oleh Adi dan orang yang terlibat dalam pengerjaan, Roda Rasa Kopi

Indonesia lebih diniatkan sebagai kosakata cita rasa alternatif, alias sebagai

pengayaan Roda Rasa SCAA.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

153

Gambar IV.1: Roda Rasa Kopi Indonesia (Indonesia’s Coffee Flavor Wheel) edisi 2019 sumber: https://www.senimancoffee.com/rodarasa/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

154

Atribut cita rasa yang lokal ini tentu berpeluang muncul di kopi yang

tumbuh di Indonesia. Sebab bila kopi ditanam dengan pola tumpang sari,

misalkan bersamaan dengan buah-buah tropis semisal durian dan nangka, atau

rempah-rempah semisal, jinten dan kencur, maka kemungkinan munculnya cita

rasa tanaman penyela di secangkir kopi tetap potensial, entah dalam intensitas

cecapan yang tinggi maupun samar. Dan, di Indonesia praktik tumpang sari ini

lazim di temukan di banyak perkebunan kopi rakyat.

Peluang munculnya cita rasa dari serapan tanaman penyela di kopi ini

amat besar. Mengingat bahwa pohon kopi bersifat higroskopis yang

memungkinkan kopi menyerap air, udara, dan aroma yang kuat dari

lingkungannya, termasuk dari tanaman penyela.

Bayangkan bila ketika menguji cita rasa kopi Indonesia yang ditumpang

sari dengan nangka dengan mengacu ke Roda Rasa SCAA, sedangkan nangka

bukan atribut cita rasa SCAA, apakah peluang fakta cita rasa nangka yang

didapatkan dari cupping akan dianggap, sekalipun cupping dilakukan oleh Q-

Grader/R-Grader dari Indonesia? Ada dua spekulasi jawaban, pertama cita rasa

nangka akan dialihkan ke cita rasa yang menyerupainya, atau kedua, cita rasa

nangka akan asingkan.

Atas dasar tidak memadainya Roda Rasa SCAA dalam konteks lokalitas cita

rasa orang Indonesia, Roda Rasa Kopi Indonesia pun dikerjakan guna memperkaya

atribut cita rasa yang mungkin ada pada kopi.

Keberadaan Roda Rasa Kopi Indonesia, seturut konsep mimikri dari Bhabha,

adalah bentuk peniruan yang dilakukan oleh subjek pascakolonial. Baik dalam

konsep dan format, serta visualisasi dan nama Roda Rasa Kopi Indonesia itu

sendiri menyerupai Roda Rasa SCAA. Perbedaan yang mencolok hanya terlihat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

155

pada adanya atribut cita rasa lokal berbahasa Indonesia di Roda Rasa Kopi

Indonesia. Peniruan ini setidaknya berdasar pada sikap yang ambivalen. Di satu

sisi, 5758 Coffee Lab. dan Seniman Coffee “membenci” Roda Rasa SCAA yang

sangat American based. Di mana Roda Rasa SCAA menyangkal betapa cita rasa

kopi itu sangatlah kontekstual, mengingat cita rasa kopi dapat dinyatakan

berkat kemampuan sensori tiap-tiap individu yang khas—yang hidup dalam

budaya tertentu—juga pada kemampuan berbahasanya. Misal, kemampuan

orang Indonesia berbahasa cita rasa nangka, disebabkan oleh fakta: pertama,

iklim tropis Indonesia yang memungkinkan pohon nangka tumbuh; kedua,

keberadaan nangka ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai pengetahuan

tentang nangka, dari budidaya, aspek kebermanfaatnnya, hingga persoalan cita

rasa. Dan pengetahuan pada gilirannya akan menyusun bahasa tersendiri

sebagai sarana arikulasinya, hingga akhirnya membentuk budaya tentang

nangka; ketiga, alhasil, orang Indonesia pun memiliki memori sensoris sekaligus

kemampuan verbal-lingusitik terkait tentang cita rasa nangka. Ketiga fakta ini

lantas disangkal oleh Roda Rasa SCAA. Penyangkalan yang berbuah pada

homogenisasi cita rasa kopi yang sebetulnya majemuk dan sangat kontekstual.

Alias homegeniasasi ini sejalan dengan prinsip stereotipisasi, sebagai akibat

dari adanya rasa cemas (anxiety) SCA terhadap fakta kemajemukan cita rasa

kopi yang bisa jadi mengancam jalannya kuasa dan dominasi SCAA. Sisi inilah

yang “dibenci” oleh Adi, dkk.

Di sisi lain, ada perasaan “rindu” pada hal yang “dibenci”, yang

diekspresikan dengan meniru Roda Rasa SCAA, bukan untuk tampil sama

melainkan untuk menunjukkan bahwa Roda Rasa SCAA yang digadang-gadang

sebagai cita rasa standar industri kopi spesial global, amat tidak mampu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

156

memenuhi kekayaan ekpresi global itu sendiri: bahwa “global” adalah beragam,

bukan semata American based. Atau seturut Bhabha, mimikri di sini menjadi

ejekan (mockery) 5758 Coffee Lab. dan Seniman Coffee terhadap SCA, sekaligus

sebagai strategi resistansi terhadap mindset cita rasa SCA yang mengglobal

dan dominan. Resistansi yang cenderung tidak disadari sebagai resistansi.

Sebab Andi dengan dukungan Adi, menyatakan bahwa Roda Rasa Kopi Indonesia,

seperti yang disebut sebelumnya, tidak dimaksudkan sebagai perlawanan

(tandingan) melainkan sebagai pengayaan khazanah atau alternatif atribut cita

rasa kopi yang dinyatakan oleh SCAA. Di lain hal, teknis istilah yang dipilih,

“pengayaan” atau alternatif” justru mengandaikan bahwa Adi, dkk, menolak

dikatakan sebagai yang subjek yang direpresi atau terhegemoni oleh wacana

cita rasa SCA.

Jadi, bukan hegemoni. Tapi soal kesepakatan yang mengikat pada anggotanya yang setuju. Jadi, ya, wajar. Namanya statuta konstitusi. Negara menghegemoni kita, karena kita sepakat, berarti kita harus tunduk. Kalau gak tunduk, kita harus keluar atau melakukan perjuangan. Costumer driven atau producer driven? Producer driven, contohnya Google. Costumer contohnya, SCA. Siapa pun yang berkuasa di sana, dia yang ngontrol. Sejahat apa pun, kita gak tahu. Yang paling jahat, bukannya costumer, sebab dia melindungi diri dia. Fair, dong. Kalau produsen, ya itu yang harus kita kontrol. Karena dia yang nyekokin kita, ngarahin kita ke apa pun produk dia terserah pasar. (Andi K. Yuwono)25

Dominasi SCA ini bekerja dengan cara yang simbolik. Hal yang subtil inilah

yang kadang tak disadari oleh individu yang menyepakati suatu standar

bersama. Individu tidak merasakan represi sebagai represi, melainkan sebagai

suatu normalisasai yang wajar yang perlu dilakukan. Di sini, standar SCA di sini

menjadi simbol kekuasaan pengetahuan-bahasa-politik yang represif yang

dijalankan dengan kesan yang positif dan konstruktif: sebagai sesuatu yang

25 Wawancara dengan Andi K. Yuwono ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

157

ideal bagi industri kopi spesial dunia26. Sebuah standar atau pengetahuan

tentang kopi spesial yang politis karena menyangkut kepentingan dominasi

dan kapaitalisme Barat.

Apa pun teknis istilah yang dipakai, hal yang lebih penting adalah Roda

Rasa Kopi Indonesia ada dan hadir di tengah pegiat kopi di Indoensia berkat

adanya kesadaran kritis yang tumbuh berbarengan kepatuhan kuasa diskursif

SCA. Sebuah sikap yang ambivalen27. Bahwa dibalik kuasa SCA yang

menyarankan kepatuhan dan kedisiplinan, terdapat celah yang menunjukkan

bahwa kuasa tersebut tidak sepenuhnya berhasil “menduduki” subjek-subjek

pascakolonial yang sebenarnya bukan subjek yang pasif.

Selain mimikri dan resistansi (yang tidak disadari) yang ditunjukkan oleh

Roda Rasa Kopi Indonesia, ada persoalan lain yang sekiranya menarik untuk

diketengahkan di sini. Yakni, pertama, terkait signifikansi politik Roda Rasa Kopi

Indonesia dalam konteks industri kopi spesial global; dan kedua, homogenisasi

ganda dari Roda Rasa Kopi Indonesia.

Pertama. Roda Rasa Kopi Indonesia kecil kemungkinan diakui sebagai sebuah

salah satu standar industri kopi spesial global. Artinya, Roda Rasa Kopi Indonesia

tidak mendapat kredit dan apresiasi dari SCA. Keberlakuannya hanya sebatas

komunitas lokal Indonesia. Lingkaran komunitas yang menyepakati Roda Rasa

Kopi Indonesia jauh lebih kecil ketimbang komunitas SCA. Nyaris mustahil Roda

Rasa Kopi Indonesia menjadi bagian standar cita rasa kopi global. Mengapa?

Sebab otoritas kebijakan ada pada SCA. Dalam kacamata kajian pascakolonial,

26 Lihat akhir sub bab D: Struktur Diskursif Wacana Cita Rasa Kopi dalam Bab III.

27 Ambivalensi juga menyangkut pada wacana cita rasa SCA itu sendiri. Dengan kacamata Bhabha, SCA “memberadabkan” subjek-subjek negara pascakolonial guna kepentingan “membuat sama” dengan golongannya. Akan tetapi tidaklah sama persis. Sebab jika persis, tentu legitimasi untuk melanggengkan wacana dan standar ini menjadi hilang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

158

hal ini menyangkut relasi kuasa global, yang dewasa ini menampilkan AS

sebagai kekuatan baru imperialisme.

Kedua, Roda Rasa Kopi Indonesia yang cenderung Jawa sentris ini malah

membuka peluang terjadinya penyeragaman ganda. Alih-alih sebagai alternatif,

penyeragaman kembali berlangsung dengan Jawa sebagai acuannya. Kesulitan

yang nyata adalah bagaimana yang lokal didefinisikan. Sebagaimana kesulitan

mendefinisikan yang autentik di tengah hibriditas budaya. Ada satuan-satuan

lokal yang lebih kecil lagi yang menyusun lokalitas Indonesia. Satuan ini tentu

berjumlah banyak, dan sulit dijangkau oleh empat orang yang menyusun Roda

Rasa Kopi Indonesia. Setiap komunitas budaya akan memiliki kebiasaan

konsumsi yang turut membangun pengetahuan dan memori sensoris. Dan

Indonesia terdiri dari ribuan komunitas budaya. Alhasil, “jalan pintas”

ditempuh dengan menjadikan Jawa sebagai model kelokalan Indonesia. Cita

rasa Jawa pun hadir mendominasi sebagai representasi cita rasa Indonesia,

sebagai bahasa bersama yang lain selain bahasa SCA.

Yang bikin orang Jawa, Sunda, Bali, Flores ... Ya, tetap Jawa sentris. Jadi, di sini kita nemu ... Terlalu Jawa lah, kasarnya. Ada beberapa yang gak kita temuin. Akhirnya kita revisi. Ada beberapa yang dianggap terlalu kaya, dan terlalu miskin. Jadi kita tambahin dan kurangin. Dan sekarang yang lagi dibentuk juga, kayak kit Le Nez Du Café, sebagai alat bantu. (Adi W. Taroepratjeka)28 ————————————————————————— Menarik dunia kopi itu. Penuh perdebatan. Wong nasi Padang aja bisa berantem kan. Kita itu hobi berantem aja. Yang jelek, pokoknya nyalahin pihak lain. Karena pihak lain ... Selalu nyalahin standardisasi. Kita gak bisa memenuhi itu. Bukannya tidak bisa, satu tidak ngerti. Setelah ngerti gak mau pake, gak mau susah. Terus bikin lagi. Setelah jadi, nanti pihak lain yang gak pake dia, juga salah lagi. Jadi dia menolak hegemoni, menciptakan hegemoni, melakukan hegemoni. That’s the problem. Gitu. Terlalu banyak lapisan-lapisan standardisasi. Tapi gak dipake. Kita mau jual ke siapa? Kalau jual ke Jakarta, ya selera standarnya orang Jakarta. Kalau jual ke Jogja, pake standar Jakarta, gak bisa. (Andi K. Yuwono) 29

28 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

29 Wawancara dengan Andi K. Yuwono ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

159

Di sini Roda Rasa Kopi Indonesia telah mereproduksi prinsip Roda Rasa SCAA

yang menghomogenisasi bahasa cita rasa global. Bedanya, Roda Rasa Kopi

Indonesia melakukannya pada komunitas yang lebih kecil: Indonesia, dan bukan

suatu standar yang wajibkan. Pun Roda Rasa Kopi Indonesia tidak memiliki

otoritas mengatur atribut cita rasa seorang Indonesia terhadap kopi tertentu

yang dicicipnya. Murni sekadar alat bantu untuk memancing keluar memori

sensoris dan kemudian menamainya sebagai atribut cita rasa tertentu. Alhasil,

asumsi penyeragaman oleh Roda Rasa Kopi Indonesia di sini tidak dijalankan

secara represif seperti halnya standar SCA, melainkan secara bebas tanpa

ikatan.

Apakah wajib menggunakannya bagi orang Indonesia? Gak. Apakah orang ketika menggunakan kata deskripsi di luar roda rasa ini salah? Gak. Terus fungsinya apa? Ya, buat bantu kalau, “Rasanya apa, ya? Gua pernah ngerasain ini nih.” Terus ngelihat roda rasa, “Oh iya, ya, ngingetin dengan yang ini. (Adi W. Taroepratjeka)30

Selain Roda Rasa Kopi Indonesia, pegiat kopi di Indonesia juga ditawarkan

Sensoflavo: Coffee Aroma Library buah karya grup riset sensori bernama

Sensoflavo. Grup ini digagas oleh Wenny Bekti Sunarharum, Ph.D, seorang Flavor

and Sensory Scientist dan dosen di jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas

Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Anggotanya terdiri dari

praktisi, akademisi, periset, dan enthusiast yang bergerak di bidang makanan

dan minuman.

30 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

160

Gambar IV.1: Sensoflavo: Coffee Aroma Library sumber: akun Instagram @toniwahid

https://www.instagram.com/p/CCSkz3Qpiff/?igshid=lby9kctsofcq

Sensoflavo: Coffee Aroma Library31 adalah coffee aroma kit yang dikembangkan

dan berangkat dari studi deskripsi sensori kopi oleh Wenny yang dimulai di

University of Queensland, Brisbane, Australia di tahun 2012. Sensoflavo adalah

produk pertama dari studi ini sekaligus coffee aroma kit pertama di Indonesia.

Sensoflavo ditujukan sebagai alat edukasi dan pelatihan para taster dan

konsumen kopi, dengan menyediakan 18 macam referensi aroma yang dapat

dijumpai pada kopi. Aroma tersebut disusun berdasarkan kosakata dan istilah

umum yang familiar dan mudah dipahami oleh pegiat kopi di Indonesia.

Sensoflavo terdiri dari aroma: jeruk, apel, pisang, nangka, melati, vanili, karamel,

cokelat, gula aren, kacang tanah, cengkeh, kapulaga jawa, asam jawa, tape, tembakau,

31 Penyebutan selanjutnya diringkas menjadi Sensoflavo, ditulis cetak miring untuk membedakan dengan Sensoflavo sebagai nama grup riset.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

161

kayu, tanah, dan asap. Bisa dibilang Sensoflavo adalah versi mini dan lokal dari Le

Nez Du Café.

Kebetulan kan bidang saya di flavor and sensory scientist. Saya ingin mengembangkan are-area di bidang itu. Saya lihat di Indonesia, kebanyakan suka sekali dengan hal-hal yang berbau luar negeri. Dan kebanyakan memang teknologi yang berkembang itu di luar negeri. Karena saya juga mengajar analisis dan evaluasi sensori, dan semacamnya, mahasiswa kadang juga perlu semacam reference kit, yang membantu mereka mengidentifikasi suatu aroma atau rasa (kopi). Nah, karena harga Le Nez Du Café dan Scentone itu cukup mahal ... Sebelumnya saya sempat ikut pelatihan Le Nez Du Café dan Golden Cup untuk SCA di Sydney tahun 2015/2016. Kalau saya lihat, sebenarnya itu (Le Nez Du Café) seperti library yang membantu orang mengenali (aroma kopi). Akhirnya saya membayangkan, saya juga ingin membuat kit yang kira-kira akan bisa digunakan untuk tujuan yang tadi. Dan tentunya dengan tujuan lainnya, di antaranya juga, mungkin saya bisa menambahkan aroma-aroma yang lokal. Sehingga bisa digunakan café-café di Indonesia sendiri. (Wenny Bekti Sunarharum)32

Model dan hasil analisa atas Roda Rasa Kopi Indonesia, setidaknya juga

berlaku pada Senso Flavo: Coffee Aroma Library. Bahwa Senso Flavo juga bentuk

mimikri yang didasarkan pada kondisi subjek yang ambivalen. Di satu sisi,

Wenny menyatakan bahwa ia terinspirasi oleh Le Nez Du Café, sebagai coffee

aroma kit yang amat baik dalam membantu tasters dan konsumen kopi

mempelajari aroma yang mungkin ada pada kopi. Sedang di sisi lain, Wenny

menyatakan bahwa Le Nez Du Café terlampau mahal harganya sehingga orang

yang menggunakannya pun terbatas pada kalangan tertentu. Pun juga, dan ini

32 Kutipan wawancara ini bersumber dari saluran siniar: Coffeelicious Podcast. Siniar ini dimiliki dan digagas oleh Toni Wahid, seorang enthusiast kopi dan blogger cikopi.com. Per 14 Agustus 2020, Coffeelicious Podcast telah menyiarkan 133 episode. Dalam setiap episodenya, Toni bertindak langsung sebagai pewawancara setiap narasumber. Wawancara dengan Wenny Bekti Sunarharum terdapat di episode 91 dengan judul “Wenny Bekti, Ph.D di bidang Aroma Kopi” dan disiarkan per 25 November 2019. Pada waktu wawancara, Sensoflavo belum dirilis ke publik dan masih berupa prototipe. Atas izin Toni Wahid langsung, saya menggunakan episode 91 dalam Coffeelicious Podcast ini sebagai sumber data untuk penelitian ini. Hal ini mengingat bahwa sampai Oktober 2020, saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan wawancara yang saya ajukan ke Wenny. Sedianya, wawancara disepakati dilakukan dengan berkirim surat elektronik (surel). Pertanyaan dikirim melalui surel dan dijawab pula melalui surel. Namun oleh berbagai alasan, jawaban-jawaban Wenny tak kunjung saya terima. Atas dasar ini saya beralih ke sumber data alternatif, yakni episode 91 dalam Coffeelicious Podcast yang diakses pada Diakses pada 3 September 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

162

yang terbilang penting, bahwa aroma yang direferensikan oleh Le Nez Du Café

terbilang berjarak dengan konteks sensori orang Indonesia. Kalau toh ada

kesamaan aroma antara Le Nez Du Café dan Sensoflavo, kesamaan hanya terletak

pada atribut penamaannya saja. Sedangkan definisi, sensasi, dan intensitas

aromanya tetap berjarak. Hal ini diungkap oleh Resianri Triane, Q Arabica Grader

dari PT. Boncafe Indonesia, SCA Campus. Resi mengungkap, misalnya, di Le Nez Du

Café terdapat aroma apple yang dikategorikan sebagai enzimatic aroma yang

bernilai positif. apple di sana lebih cenderung beraroma manis dan menyengat

sebagaimana yang dapat ditemukan pada apel merah (apple Washington).

Sementara apel yang dimaksud Sensoflavo, selain aroma manis, juga

menguarkan aroma asam seperti aroma yang biasa didapat dari Apel Malang33.

Karena rujukan yang digunakan Le Nez Du Café berjarak dengan konteks sensori

orang Indonesia, maka Sensoflavo mencoba merintis referensi aroma yang lebih

familiar di keseharian orang Indonesia. Pada sisi yang kedua inilah, mimikri

yang dijalankan oleh Wenny melalui Sensoflavo dapat dikatakan sebagai mockery

terhadap aroma kit “resmi” dari SCA, Le Nez Du Café. Mimikri yang mockery ini

menjadi bagian dari realitas pascakolonial dalam konteks relasi pengetahuan

industri kopi spesial.

Makanya saya juga ingin meniru Le Nez Du Café (dan Scentone). Cuma lebih simpel. Saya baru memformulasikan 18 aroma. Harapannya bisa

33 Tanggapan dan komentar Resianri Triane atas produk Sensoflavo juga bersumber dari saluran siniar: Coffeelicious Podcast. Disiarkan dalam episode 132 dengan judul, “Tentang Aroma Kit Sensoflavo bersama Resi dari PT. Boncafe Indonesia” per 18 Juli 2020 dan diakses pada Diakses pada 3 September 2020. Tanggapan dan komentar dari Resi saya butuhkan untuk mendapat gambaran bagaimana respon publik Indonesia atas Sensoflavo. Resi saya pilih karena sejauh ini ulasan yang relatif lengkap atas Sensoflavo dari individu yang representatif, baru dari Resi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

163

dijangkau, lebih murah34, dan bisa dipakai lebih lama (dari Le Nez Du Café yang punya batas expired kit yang singkat) (Wenny Bekti Sunarharum)35

SCA menjadikan Le Nez Du Café sebagai rujukan industri kopi spesial,

sebagai standar. Hal ini bisa dipahami sebagai upaya SCA menyangkal

hibriditas yang dianggap mengancam oposisi biner telah dikonstruksinya.

Antara aroma apel sebagai yang “pinggiran” dengan apple sebagai yang “pusat”.

Kehadiran Sensoflavo, setidaknya dapat dibaca sebagai statement bahwa aroma

bukanlah hal yang definitif, kaku, dan fix. Aroma justru begitu cair dan dinamis

mengikut lanskap kultur dan bahasa yang kontekstual. Meskipun disisi lain

Sensoflavo juga mereproduksi wacana kolonial (pengetahuan aroma kopi)

dengan mendefinisikan aroma yang dianggap lokal.

b. Negoisasi: Testimoni dan Menangguhkan

Selain mimikri, adapula bentuk resistansi lain yang ditemukan dalam

sikap Q-Grader/R-Grader. Yakni menegoisasi protokol cupping dari SCA, atau bisa

juga dikatakan menginterupsi. Seringkali nilai cita rasa kopi yang didapatkan

dari cupping oleh para Q-Grader/R-Grader, dipandang valid bagi industri kopi

spesial. Cupping adalah uji kualitatif yang mengandalkan manusia sebagai alat

ukurnya. Kepekaan indrawi dan pengalaman sensoris mutlak diperlukan bagi Q-

Grader/R-Garder. Semakin peka dan kaya, semakin baik dan akurat nilai cita rasa

kopi yang dihasilkan. Meski akurat, penilaian tetaplah subjektif, atau paling

jauh bersifat inter-subjektif. Sebaliknya, anggapan awam bahwa uji cupping

34 Harga Sensoflavo berada di kisaran 800 ribu rupiah, jauh lebih murah memang dibandingkan Le Nez Du Café (Versi 36 aroma) yang mencapai 5 juta rupiah.

35 Siniar yang dipublikasi di saluran Coffeelicious Podcast, episode 91, “Wenny Bekti, Ph.D di bidang Aroma Kopi” dan disiarkan per 25 November 2019. Diakses pada 3 September 2020.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

164

adalah upaya untuk menghasilkan nilai cita rasa yang objektif dan bebas nilai,

seturut saya adalah komentar yang yang sia-sia, ilusi.

Klaim objektifitas36 pengetahuan cita rasa kopi SCA ini terdengar mustahil

sebab objektifitas yang dimaksud justru disusun berdasarkan pengalaman

subjektif SCA dan dalam konteks konsumsi AS. Selain itu, orang-orang yang

menjalankan uji cupping pun, meski seorang yang terlatih dan protokol

dijalankan dengan baik dan ketat, tetap saja subjek bukanlah entitas yang

mandiri, melainkan bersifat kontekstual dan politis. Subjektifitas, dengan

demikian akan selalu bersifat dan berada dalam kepentingan-kepentingan

diskursif. Sehingga mustahil netral dan nir-kepentingan. Seperti yang disebut di

bab sebelumnya, kepentingan yang dimaksud menyangkut kepentingan pasar

36 Persoalan klaim objektifitas diungkap melalui Shawn Steiman (2013) dalam tulisannya, “Penilaian dan Kualitas Kopi”. Oleh Steiman, cupping disebut sebagai sistem objektif yang menghindarkan suatu kopi untuk dipandang secara inheren “enak” atau “tidak enak” yang merupakan opini dari peminum kopi. Selain itu, sebab sistem subjektif lebih sulit untuk diterjemahkan di antara pengguna karena tidak ada orang yang sepenuhnya memahami perasaan dan pengalaman orang lain. Dengan menggunakan metode evaluasi standar seperti cupping dari SCAA dapat memastikan bahwa pengukuran-pengukuran kualitas ini dapat diulangi kembali secara masuk akal. Meski dipandang objektif, di sisi lain, Shawn juga memberi catatan menarik, bahwa batas kemampuan manusia untuk bisa menjadi instrumen objektif, sebuah sistem pengukuran yang objektif terutama bersifat deskriptif. Alhasil, informasi yang diperas atas tiap kopi bisa secara sangkil ditransfer antar orang karena tidak ada pengodean subjektif atas informasi. Pandangan pengguna tidak perlu distel antara satu yang lain atau disesuaikan dengan definisi khusus atas kualitas; kop i tidak perlu diukur dalam konteks kopi lain. Di kesempatan lain, Steiman (2013) dalam tulisannya yang berbeda, “Mengapa Kopi Rasanya Begitu: Catatan dari Lapangan” menyebutkan bahwa manusia sebagai wahana terbaik untuk mempelajari cita rasa kopi pun tidak terlalu bisa diandalkan. Pada masa lalu, ilmuwan memusatkan perhatian mereka pada ranah-ranah penelitian yang berbeda, yang kebanyakan tidak terkait langsung dengan kualitas cita rasa, karena hanya ada sedikit permintaan (pasar) untuk itu. Bahkan hingga hari ini, seiring tumbuhnya gagasan kopi spesial di era gelombang ketiga, topik cita rasa masih sedikit didekati oleh ilmuwan. Mengapa? Sebab para ilmuwan (ahli agronomi dan ahli fisikokimiawi) tidak punya pengetahuan yang memadai untuk merancang, mengeksekusi, dan menganalisis aspek inderawi secara tepat. Apa yang diungkap Steiman, setidaknya bernada kontradiktoris. Antara objektifitas dalam cupping dan manusia sebagai penganalisa cita rasa kopi yang subjektif. Lihat: Sub bab ke-4, bagian C: Coffee Cupping: Cara Menilai Cita Rasa Kopi, dalam Bab II; dan Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal 505-507 dan hal. 481.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

165

domestik AS, identitas nasional AS sebagai bangsa yang lekat dengan kopi, dan

politik ideologi dan kapitalisme AS.

Agar tidak semakin jatuh pada lubang ilusi objektifitas tadi atau supaya

tidak latah menganggap SCA adalah nilai tunggal cita rasa, berdasarkan

pengalaman Q-Grader seperti Adi ketika mengajarkan cupping dasar pada

kalangan awam, adalah dengan cara mengedepankan testimoni pribadi lebih

dulu sebelum berbicara dengan bahasa SCA. Atau dalam kalimat yang berbeda,

sebagaimana yang diterapkan oleh R-Grader seperti Uji dalam kelas dan

kalangan yang sama, adalah dengan cara menangguhkan SCA terlebih dahulu

sebelum masuk ke dalam perspektif cita rasa SCA. Baik “testimoni” maupun

“menangguhkan”, keduanya memiliki prinsip yang sama, yakni sama-sama

mengedepankan tanggapan personal berdasarkan memori sensoris yang telah

dibentuk oleh kebiasaan konsumsi sehari-hari. Orang akan diajak masuk ke

alam subjektifitas masing-masing dan kemudian mengekspresikan perolehan

cita rasa yang diperolehnya dalam bahasa masing-masing pula. Baru setelah

itu, standar SCA dipakai sebagai bahasa perbandingan.

Jadi kendala ketika gua ngajar uji cita rasa, salah satunya mendorong orang untuk bisa bercerita dulu. Kenapa? Kadang orang takut bercerita soal kopi. Nanti cerita, “Kok, rasa kopinya ngingatin dengan rasa rendang dari rumah makan padang mana, gitu.” Ada beberapa orang merasa malu, masa rasa kopinya kayak gitu, sih. Nanti dibilang kampungan. Padahal spontan dan jujur. Dan itu yang gua harapin untuk ditulis (di cupping form). Karena fungsi dari lembar uji cita rasa, diantaranya membantu kita mengingat kopi yang kita uji coba. Jadi mending nulis rendang sederhana, daripada cerita dengan rempah-rempah yang sebenarnya kita gak yakin juga dan kita mudah lupa. Level berikutnya, setelah bisa cerita, adalah mereferensikan ke Roda Rasa SCAA, ke AS, kalau hubungannya dengan pihak pasar internasional. Orang di Perancis, pake SCAA juga. Jepang juga SCAA. Jadi ada media komunikasi yang kita pake kategori kata yang sama. Jadi gak bisa pake post-mo, suka-suka gua. Post-mo dipake bisnis, ya berantem melulu. (Adi W. Taroepratjeka)37

37 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

166

—————————————————————————————— Akhirnya, bahwa sebenarnya cita rasa itu sifatnya merdeka, ada keleluasan di sana. Seoang punya hak untuk menentukan apa yang dia makan, minum. Esensinya ada kemerdekaan di situ. Sama ketika orang berekspresi tentang cita rasa sebagai pengalaman sensoris, karena ada kemerdekaan seperti itu. Jadi kalau ada sesi cupping, saya sering bilang pakai istilah “menangguhkan” dulu protokol. Jangan belum apa-apa sudah ngomong protokol. Karena sebelum protokol kan, kita punya sistem, ada perilaku dibelakanggnya, sesuatu yang primordial yang mendahului protokol. Jadi protokol itu kita tangguhkan dulu. Dogma-dogma atau ini itu, tangguhkan dulu. Kita keluar dari itu dulu. Jadi, pengalaman cupping menjadi yang sangat personal, intim, empiris. Dan pengalaman orang kan beda-beda. Tapi ketika ngomong manis, kita belajar melihat satu sifat material yang mencerminkan manis. Saya pancing ke pendekatan material itu dulu. Kira-kira lebih dekat ke mana? Seberapa tinggi? Sikap kita, kalau ditanya apakah anti terhadap protokol? Saya gak anti. Saya bisa mengerjakan protokol, dengan tutup mata bisa kok. Katakanlah gitu. Tapi, ya, nanti dulu. Dunia kopi kan tidak hanya cukup dengan protokol. Artinya, kita ngomong tentang ilmu menempatkan sesuatu. (Uji Sapitu)38

Dari Adi, saya mengetahui bahwa ada kecenderungan orang malu untuk

mengekspresikan cita rasa yang diperolehnya. Ekspresi yang sejatinya spontan,

jujur, dan benar-benar menyejarah yang menjadi miliknya (internalisasi

kebiasaan konsumsi) dirasa kampungan/udik ketika disandingkan

(dihadapkan) dengan bahasa cita rasa SCA yang diasumsikan elitis/elegan.

Dari sini saya menangkap bahwa mindset seorang awam terhadap cita

rasa kopi lebih ditentukan oleh SCA ketimbang perspektif sensoris yang

personal. SCA telah menertibkan (order) cita rasa kopi seseorang yang tidak

hidup di AS dan Eropa. Cita rasa rendang, seperti yang dicontohkan Adi, dalam

uji cupping dirasa sebagai cita rasa yang disorder. Rendang dinilai sebagai atribut

cita rasa yang aneh dan tidak lazim untuk dimiliki sampel kopi tertentu.

Padahal rendang adalah fakta (asosiatif) yang diperoleh dari proses sensoris.

Sementara atribut cita rasa yang pantas adalah seperti yang termaksud dalam

38 Wawancara dengan Uji Sapitu ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

167

Roda Rasa SCAA ataupun Le Nez Du Café, sekumpulan atribut cita rasa yang

terumus oleh memori sensoris orang-orang SCA. Dengan begini, cita rasa lantas

jatuh pada klaim yang oposisional, antara hitam dan putih. Bahwa yang layak

sebagai cita rasa kopi adalah seperti yang ditentukan oleh SCA. Di luar itu

semua, testimoni pribadi bukan suatu yang pantas disebut sebagai atribut cita

rasa kopi.

Guna mengatasi hal ini, maka Adi lebih dulu memantik perserta kelas

untuk menengahkan tanggapan personalnya saat praktik uji cita rasa kopi. Apa

dan bagaimanapun impresinya, ini akan menjadi bekal guna diperbandingkan

pada level selanjutnya saat cupping diterapkan dengan standar SCA. Di level

mendasar, Adi coba membangun kesadaran sensoris yang menyejarah.

Tujuannya, orang tidak menjadi minder dengan bahasa cita rasa SCA.

Selebihnya, agar tidak latah terhadap standar SCA tanpa

merekontekstualisasikan memori sensoris miliknya lebih dulu. Sedangkan di

level berikutnya, cupping berstandar SCA diterapkan supaya orang punya

gambaran utuh bagaimana industri kopi spesial bekerja ketika mengurusi

persoalan mutu dan cita rasa. Perihal dua level ini, saya mengutip kalimat Adi

yang saya kira tepat sebagai rumusan antara bagaimana persepsi-interpretasi

cita rasa kopi dibentangkan antara testimoni personal dan standar SCA:

Kadang rasa atau satu benda (kopi) yang sama, bisa diinterpretasikan berbeda (personal dan SCA). Karena semua ini referensinya adalah perjalanan kita berkenalan dengan rasa dan bau. (Adi W. Taroepratjeka) 39

Bila Adi mengedepankan testimoni, maka Uji menyebutnya sebagai

“menangguhkan SCA”. Bagi Uji, standar SCA baiknya ditangguhkan lebih dulu

agar seorang dapat “merdeka” dalam mengekspresikan cita rasa apa yang ia

39 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

168

dapatkan dari cupping. Agar tidak serta merta terjebak pada “dogma” cita rasa

SCA. Uji berpendapat bahwa seseorang telah memiliki segudang memori

sensoris berkat apa yang dimakan dan diminum sehari-hari semasa hidupnya.

Sayangnya, memori ini kini mengendap dan hanya diam. Sebab jarang sekali

diberi ruang untuk bercerita. Memori sensoris ini dipukul mundur oleh arus

besar konsumsi industri yang telah menempatkan seseorang sebagai

konsumen dengan kesadaran konsumsi yang rendah.

Dalam khazanah Timur, kita kan luar biasa kaya tentang material bahan pangan. Terus pengalaman cita rasa itu menjadi sangat empiris. Tidak menegangkan, gak terus akademisi banget gitu. Bagaimana pagi saya memulai minum teh, lalu agak siang saya makan kudapan ... Itu kan pengalaman sensori yang sebenarnya tiap orang mengalami itu. Sebenarnya itu kan terjadi planting memory. Secara sensoris, tanpa disadari kita menjadi mahluk yang di dalam diri kita ada endapan-endapan sensoris. Yang hari ini, dalam konteksnya kopi, menjadi bungkam. Jadi kesadaran yang tidur, tidak pernah dipanggil. Tidak pernah dipanggil, tidak diberi ruang untuk bercerita, jadi terpenggal, jadi bahasa yang diam, tidak dipancing untuk keluar. Salah satu faktornya, karena arus besar konsumsi-industri menempatkan kita sebagai orang yang hanya, katakanlah, “Nek mangan Indomie, ya, Indomie thok. Asal mlebu, wes rampung.” Terus ayam juga, kita gak pernah peduli. Ayam yang kita beli, ternaknya siapa? Motongnya kayak apa? Ini kan terpenggal semua. Memang, pengalaman sensori kita menjadi pengalaman yang hilang unsur spiritualnya. Padahal itu penting. (Uji Sapitu)40

Dalam konteks kopi, aktivitas mengonsumsi kopi tidak dibarengi dengan

upaya untuk melihat fakta dibalik secangkir kopi. Fakta dalam arti

menengahkan unsur keterlacakan (traceability) suatu kopi. Baru-baru ini saja,

pada dekade 2000-an seiring perayaan gelombang ketiga yang ingar-bingar,

banyak orang mulai menaruh perhatian pada isu traceability ini. Sebelumnya,

orang tidak peduli dengan kopi jenis apa yang ia minum, berasal dari daerah

tanam mana, bagaimana kopi diproses, bagaimana kualitasnya, apa saja

komposisi tambahan yang dicampur dalam kemasan, hingga bagaimana

40 Wawancara dengan Uji Sapitu ...

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

169

kualitas hidup petani kopinya. Revolusi ritel dengan booming kopi saset turut

bertanggung jawab akan ketidakpedulian traceability suatu kopi. Kopi hanya

ditempatkan pada keberlimpahan produksi, kemassifan konsumsi, serta harga

yang murah dan kepraktisan dalam menyeduh.

Traceability bukanlah meromantisir sejarah mata rantai produksi kopi dari

hulu ke hilir, tapi lebih ke interdependensi semua informasi dalam traceability

tersebut. Harapannya, konsumen akan peduli dengan barang konsumsinya. Pun

secara linier akan menguatkan kesan sensoris yang utuh terhadap kopi yang

dikonsumsi. Semakin kuat kesan ini, semakin bermakna sebagai ingatan

sensoris. Sebaliknya, begitu seorang tidak bergantung pada memori pribadi

yang dianggap tidak berharga, maka memori tersebut akan semakin

mengendap dan semakin sulit diekspresikan saat dibutuhkan, menjadi

bungkam. Begitu seorang tidak bergantung keterlacakan suatu kopi yang ia

minum, maka pengetahuan akan cita rasa itu menjadi mudah untuk dilupakan.

Maka menjadi wajar, seorang lantas kesulitan untuk menamai-

mendeskripsikan apa yang ia rasakan dari yang secangkir kopi yang ia minum.

Sebab kekayaan memori sensoris milliknya, sulit untuk diungkap. Sehingga

akhirnya, standar SCA lantas mendesak untuk dirujuk sebagai bahasa cita rasa

tanpa perbandingan sama sekali dari memori sensoris yang sangat personal,

yang empiris, dan lokal tadi. Atau dalam kalimat berbeda, orang akan

cenderung latah dengan mengambil sesuatu yang tekstual di luar dirinya untuk

merasakan dan mengungkap cita rasanya.

“Testimoni” atau “Menangguhkan” adalah sebentuk upaya menyuarakan

cita rasa empiris dan personal. Bentuk resistansi selain Roda Rasa Kopi Indonesia

dan Sensoflavo, yang tumbuh berkat kesadaran kritis yang ambivalen terhadap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

170

adanya standar SCA yang lebih menyarankan pada kesegaraman makna cita

rasa kopi. “Testimoni” dan “Menangguhkan” mencoba mendesak rezim

ketertiban (order) yang dijalankan SCA sebagai implikasi dari modernitas

pengetahuan (sains) yang vokal menyuarakan ketertiban. Tapi bukan berarti

pula bahwa “testimoni” dan “menangguhkan” adalah wujud sikap antipati Adi

dan 5758 Coffee Lab., serta Uji dan Rumah Kopi Ranin terhadap adanya standar

SCA. Sebab keduanya tetap mengapresiasi tinggi capaian saintifik SCA dan

menjalankan standar SCA untuk kepentingan industri kopi spesial.

Secara teoritis, bentuk-bentuk resistansi ini sejalan dengan pandangan

Foucault yang lebih mengedepankan subjektifitas reflektif yang berkesadaran

historis. Politik kepentingan seringkali menentukan isi suatu pengetahuan,

termasuk bagaimana pengetahuan tersebut digunakan. Pengetahuan yang

disepakati (atau bahkan dianggap objektif) oleh suatu komunitas ilmiah pada

gilirannya akan bersifat totaliter, menghegemoni. Sehingga yang alternatif

dianggap kampungan, dan yang berbeda dianggap rendahan. Dampaknya,

kesadaran histosisitas mengantarkan pada kesadaran yang dimensional

kemudian dilupakan dan “digantikan” oleh standar SCA yang secara berangsur

mendominasi mindset cita rasa kopi global, termasuk di Indonesia—setidaknya

yang saya temui dalam pengalaman pribadi, serta yang saya baca dari

pengalaman narasumber. Sebab dilupakan dan digantikan, maka cita rasa akan

homogen, menjadi sama dengan yang dipikirkan SCA dan terumus dalam

standarnya yang mengglobal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

171

BAB V

PENUTUP

Penelitian ini menyoroti cita rasa kopi dalam industri kopi spesial yang

dikatakan berada di era gelombang ketiga. Bahwa mencecap cita rasa kopi

tidak hanya berkaitan dengan perkara genetika dan budidaya tanaman kopi

serta produksinya; ataupun berkaitan dengan kemampuan indrawi serta

pengalaman sensoris yang dimiliki seseorang; tapi juga berkaitan dengan

pengetahuan cita rasa yang dikonstruksi oleh Specialty Coffee Association (SCA)

beserta beberapa organisasi/lembaga yang terafiliasi dengannya.

Dalam hal ini, SCA yang berpusat di Barat (AS, khususnya; dan juga Eropa

pada gilirannya) mendesiminasikan pengetahuannya sebagai standar yang

berlaku secara global. Pengetahuan ini mewujud berbagai dokumen-protokol,

seperti Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon (WCR), Le Nez Du Café, Q Coffee System: Q-

Grader/R-Grader (CQI), SCA Coffee Standards, dan SCAA Cupping Protocols.

Keberlakuannya pun tidak hanya bagi anggota SCA yang membutuhkan dan

bagi industri kopi spesial saja, melainkan pula bagi kebanyakan orang yang

mengidealisasikan pengetahuan dan standar SCA. Sepintas apa yang lakukan

oleh SCA ini terkesan netral dengan dalih objektifikasi sains dan demi

memajukan industri kopi spesial dunia. Namun, setiap pengetahuan apalagi

yang diklaim sebagai standar bersama, tentu berpotensi untuk dibaca secara

politis-kritis. Terlebih lagi jika dibaca dalam konteks Indonesia, yang

memperlihatkan relasi kuasa tak setara antara Barat sebagai “pusat”—negara

konsumen kopi dunia—dengan non-Barat, seperti Indonesia, yang dianggap

“pinggiran” dan liyan (its Other) dari mereka—negara produsen kopi terbesar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

172

dunia setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam. Sebuah relasi yang hadir dan

sejajar sebagai continuing effects kolonialisme.

Atas dasar inilah, penelitian ini bergerak mempertanyakan bagaimana

pengetahuan dan standar SCA ini mendominasi sekaligus menyeragamkan

persepsi cita rasa global; dan bagaimana subjektivitas orang-orang di

Indonesia mereproduksi, menegoisasi, dan meresistansi hal ini. Secara khusus,

subjektivitas yang dimaksud adalah subjektivitas pascakolonial dari orang-

orang yang berprofesi sebagai Q-Grader/R-Grader atau orang-orang yang hidup

dari/dan menghidupi industri kopi spesial.

Untuk membantu mengurai permasalahan tesis ini, konsep

wacana/discourse dari Foucault yang dianalisis secara genealogis dinilai tepat

dipakai. Dan guna penguatannya, konsep ambivalensi (dengan segala konsep

terkait: hibriditas dan mimikri) dari Homi K. Bhabha serta konsep alienasi

linguistik dari Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, dan Helen Tiffin, turut pula dipakai.

Berbekal konsep-konsep inilah, penelitian ini menemukan dan menyimpulkan:

Pertama, pengetahuan/standar SCA dapat dikatakan sebagai wacana neo-

kolonial. Dalam statusnya sebagai wacana, savoir cita rasa SCA secara jelas

telah mendisiplinkan, mempersempit, dan menyeragamkan persepsi cita rasa,

tidak hanya bagi anggota SCA atau orang yang bekerja dalam industri kopi

spesial, tapi juga bagi orang-orang yang mengidealisasi standar SCA. Wacana

ini telah menjadi seperangkat batasan dan regulasi yang terterap ketika

membicarakan cita rasa kopi.

Kedua, Sebagai wacana, pada gilirannya, standar SCA berkembang menjadi

adalah rezim kebenaran itu sendiri dalam konteks sejarah masa kini (history of

present) yang tidak lagi terhubung dengan sejarah dibelakangnya. Maksudnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

173

bahwa pemahaman terkait cita rasa kopi spesial di waktu kini dapat

dibenarkan sejauh berada dalam lanskap pengetahuan SCA. Cita rasa kopi

kemudian “dipisahkan” dari kesejarahan di lapangan produksi kopi sekaligus

kesejarahan individu yang mencecapnya. Padahal historisitas di lapangan

produksi menunjukkan bahwa genetika dan budidaya tanaman kopi serta

proses produksi berikutnya (proses pasca panen, penyagraian, dan

penyeduhan) turut berkorelasi dengan cita rasa kopi. Juga kesejarahan individu

yang sejatinya tersusun dari sejarah konsumsi keseharian serta bahasa dan

kultur yang ia dihidupi (keduanya menjadi memori sensoris yang begitu lokal-

kultural dan akrab-empiris) tidak lagi menentukan persepsi cita rasa kopi yang

ia sesap. Cita rasa kopi spesial pun jadi cenderung dialami secara industrial

ketimbang pengalaman personal-individu.

Ketiga, dominasi wacana cita rasa ini bermula dari kekhawatiran AS

terhadap komunisme dan fasisme yang mendapat simpati di Brazil yang

memasok kopi bagi AS. Kekhawatiran ini lantas menelurkan klausul

perdagangan berupa IACA dan ICA yang berfungsi mengendalikan harga dan

pasokan kopi. Secara implisit, kalusul-klausul ini juga menjadi penanda awal

pengaruh AS dalam komoditas kopi global dan demi menjaga stabilitas pasar

domestiknya, serta menjadi penanda atas praktik pengerekan kopi sebagai

identitas nasional AS. Pengaruh ini pun lantas diteruskan dengan

invasi/internasionalisasi Starbucks dan digagasnya kopi spesial dengan cita

rasa terbaik sebagai respon atas kopi “buruk” yang beredar massif pasca

revolusi ritel. Gagasan kopi spesial semakin menguat dan meluas setelah SCAA

berdiri—yang dikemudian hari menjadi SCA setelah dilebur dengan SCAE.

Sebagai institusi wacana, SCAA menjejakkan pengaruhnya di banyak tempat,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

174

termasuk di Indonesia, khususnya, melalui program AMARTA yang didanai oleh

USAID dengan segala kontroversinya. Hasilnya, standar SCAA pun mulai dikenal,

SCAI didirikan, dan orang-orang Indonesia perlahan dengan pasti mulai

dilisensi oleh CQI sebagai Q-Grader/R-Grader.

Keempat, dengan “dipaksakannya” standar SCA sebagai bahasa cita rasa

bersama dan diterima industri kopi spesial global (termasuk oleh pegiat kopi di

Indonesia), AS melalui SCA menyatakan bahwa bahasa cita rasa lain, seperti

gula aren atau madu, adalah bahasa “pinggiran”; dan di saat yang bersamaan

bahasa cita rasa SCA, seperti yang tertuang dalam Roda Rasa SCAA dan Sensory

Lexicon, adalah “pusat”. Bahasa pinggiran ini dengan demikian sebenarnya

dibentuk oleh suatu wacana kekuasaan yang bersifat represif. Situasi semacam

ini lebih lanjut akan memunculkan kondisi lain, yakni alienasi linguistik.

Sebuah kondisi di mana pengguna bahasa “pinggiran” mengafirmasi bahasa

“pusat” dan menggunakannya untuk mengekspresikan konsep tertentu. Pegiat

kopi di Indonesia, dalam hal ini persepsi cita rasa subjek pascakolonial (pada

indikasinya) telah di-dislokasi oleh bahasa cita rasa asing yang seringkali tidak

empiris baginya. Keteraturan menggunakan bahasa cita rasa SCA secara terus-

menerus oleh pegiat kopi di Indonesia, menjadikan mereka mulai terasing dari

bahasa ibu yang dihidupinya. Dalam kondisi yang terasing ini pula, juga muncul

perasaan inauntentis. Karena atribut cita rasa yang digunakan adalah standar

SCA yang merujuk pada sesuatu yang hanya ada di “pusat”, yang tidak

dikenalnya, maka pegiat kopi di Indonesia merasa tidak autentis.

Kelima, wacana cita rasa SCA ini dialami Q-Grader/R-Grader secara mendua.

Mereka termasuk orang yang taat betul terhadap segala definisi dan ketentuan

dari SCA, sekaligus orang yang kritis menyikapi wacana cita rasa kopi yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

175

diusung SCA. Sikap mendua ini unik dan tak banyak ditemukan. Di satu sisi,

konsekuensi logis dari status Q-Grader/R-Grader, mengharuskan mereka

menyikapi cita rasa kopi sebagaimana pandangan SCA, sesuai kebutuhan SCA.

Tapi di sisi lain, mereka menyadari bahwa sekeras apa pun usaha menyatakan

cita rasa kopi seturut SCA, tetap saja pengalaman subjektif yang lokal dan

empiris niscaya berperan dalam menentukan nilai cita rasa kopi.

Keenam, sikap kritis dan mendua atas wacana cita rasa tadi lantas

menghadirkan ide Roda Rasa Kopi Indonesia dan Sensofalvo. Seturut konsep

mimikri dari Bhabha, keduanya adalah bentuk peniruan yang dilakukan oleh

subjek pascakolonial. Peniruan ini setidaknya berdasar pada sikap yang

ambivalen. Di satu sisi, 5758 Coffee Lab., Seniman Coffee, dan Sensoflavo

“membenci” Roda Rasa SCAA dan Le Nez Du Café yang sangat American based dan

Eropa sentris. Di mana Roda Rasa SCAA dan Le Nez Du Café menyangkal betapa cita

rasa kopi itu sangatlah kontekstual, mengingat cita rasa kopi dapat dinyatakan

berkat kemampuan sensori tiap-tiap individu yang khas—yang hidup dalam

budaya tertentu—juga pada kemampuan berbahasanya. Penyangkalan yang

juga berbuah pada homogenisasi cita rasa kopi yang sebetulnya majemuk dan

sangat kontekstual. Alias homegeniasasi ini sejalan dengan prinsip

stereotipisasi, sebagai akibat dari adanya rasa cemas (anxiety) SCA terhadap

fakta kemajemukan cita rasa kopi yang bisa jadi mengancam jalannya kuasa

dan dominasi SCAA. Sisi inilah yang “dibenci” oleh para penggagas Roda Rasa

Kopi Indonesia dan Sensofalvo. Di sisi lain, ada perasaan “rindu” pada hal yang

“dibenci”, yang diekspresikan dengan meniru Roda Rasa SCAA dan Le Nez Du Café,

bukan untuk tampil sama melainkan untuk menunjukkan bahwa Roda Rasa

SCAA dan Le Nez Du Café yang digadang-gadang sebagai acuan atribut cita rasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

176

standar industri kopi spesial global, amat tidak mampu memenuhi kekayaan

ekpresi global itu sendiri: bahwa “global” adalah beragam, bukan semata

American based atau Perancis. Atau seturut Bhabha, mimikri di sini menjadi

ejekan (mockery) 5758 Coffee Lab., Seniman Coffee, dan Sensoflavo terhadap SCA,

sekaligus sebagai strategi resistansi terhadap mindset cita rasa SCA yang

mengglobal dan dominan. Resistansi yang cenderung tidak disadari sebagai

resistansi.

Ketujuh, Selain mimikri, adapula bentuk resistansi lain yang ditemukan

dalam sikap Q-Grader/R-Grader. Yakni menegoisasi protokol cupping dari SCA

dengan cara “testimoni” dan “menangguhkan”. “Testimoni” dan

“menangguhkan” adalah sebentuk upaya menyuarakan cita rasa empiris dan

personal. “Testimoni” dan “menangguhkan” mencoba mendesak rezim

ketertiban (order) yang dijalankan SCA sebagai implikasi dari modernitas

pengetahuan (sains) yang vokal menyuarakan ketertiban. Secara teoritis,

bentuk-bentuk resistansi ini sejalan dengan pandangan Foucault yang lebih

mengedepankan subjektifitas reflektif yang berkesadaran historis. Politik

kepentingan seringkali menentukan isi suatu pengetahuan, termasuk

bagaimana pengetahuan tersebut digunakan. Pengetahuan yang disepakati

(atau bahkan dianggap objektif) oleh suatu komunitas ilmiah pada gilirannya

akan bersifat totaliter, menghegemoni. Sehingga yang alternatif dianggap

kampungan, dan yang berbeda dianggap rendahan. Dampaknya, kesadaran

histosisitas mengantarkan pada kesadaran yang dimensional kemudian

dilupakan dan “digantikan” oleh standar SCA yang secara berangsur

mendominasi mindset cita rasa kopi global, termasuk di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

177

DAFTAR PUSTAKA

Buku Ashcroft, Bill (dkk). The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial

Literature. London: Routledge, Edisi Kedua, 2002 Fairclough, Norman. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press, 2006 Folmer, Britta, (Ed.). Kriya dan Ilmu Menyeduh Kopi. Terj. Rani S. Ekawati. Jakarta:

Kriya Rasa Indonesia, 2019 ―—―—―—―—. Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi. Terj. Nandya Andwiani. Jakarta:

Kriya Rasa Indonesia, 2019 Foucault, Michel. Arkeologi Pengetahuan, Terj. Inyiak Ridwan Mudzir. Yogyakarta:

IRCiSoD, 2012 ―—―—―—―—. Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan. Terj. Yudi

Santosa. Yogyakarta: bentang Budaya, 2002 Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: a Critical Introduction. Australia: Allen & Unwin,

1998 Hanusz, Mark dan Gabriella Teggia. a Cup of Java. Jakarta-Singapura: Equinox

Publishing, 2003 Hardiyanta, P. Sunu. Michel Foucault: Displin Tubuh, Bengkel Individu Modern.

Yogyakarta: LKiS, 1997 Haswidi, Andi, Kopi: Indonesian Craft and Culture, Jakarta: Bekraf, 2017 Huddart, David. Homi K. Bhabha. Routledge: London dan New York, 2006 Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Terj. Hartono Hadikusumo.

Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003 Pendergrast, Mark. Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed

Our World. New York: Basic Book, 2010 Said, Edward. Orientalisme. Terj. Asep Hikmat. Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 1985 Saukko, Paula. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New

Methodological Approach. London: Sage Publication, 2003 Sarup, Madan. Post-Structuralism dan Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terj.

Medhy Agnita Hidayat. Yogyakarta: Jendela, 2003

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

178

Siswoputranto, P.S. Kopi Internasional dan Indonesia . Yogyakarta: Kanisius, 1993 Steiman, Shawn. The Little Coffee Know-It-All: Serba-serbi Kopi yang Harus Kamu

Ketahui. Terj. Prasojo dan Ining Isaiyas. Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019 Sunarharum, Wenny B., (dkk). Sains Kopi Indonesia. Malang: UB Press, 2019 Thurston, Robert W., (dkk) (Ed.). Kitab Pendekar Kopi. Terj. Ninus Andarnuswari.

Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019 Jurnal, Tugas Akhir, Majalah, dan Dokumen Badan Pusat Statistik Indonesia. Statistik Kopi Indonesia 2018. Jakarta: BPS, 2019 Bandel, Katrin, Homi K. Bhabha. Bahan Kuliah Kajian Pascakolonial, Magister

Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2017 Croijmans, Ilja dan Asifa Majid. Not All Flavor Expertise Is Equal: The Language of Wine

and Coffee Experts. Plos One Journal, DOI: 10.1371/0155845, 20 Juni, 2016 Gayo Cuppers Team. Standar Umum Pengujian Mutu pada Biji Kopi (Tulisan Lepas,

Tanpa Tahun dan Penerbit) International Coffee Organization. Po-Production April 2020 Koffie Goenoeng Fairshare. Tiga Model Memproses Kopi Pasca-Panen (Tulisan Lepas,

Tanpa Tahun dan Penerbit) Majalah Tempo. Liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita.

Edisi 4465 26-01 April 2018 Mayangsari, Fauziah Rohmatika. Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan

Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia . Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016

Najih, Muhammad. Warung Kopi dan Place Identity . Tesis Magister Psikologi,

Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2017 Neilson, Jeffery, (dkk). Menuju Rantai Nilai yang Lebih Kompetitif dan Dinamis untuk

Kopi Indonesia. Working Paper No. 7 yang disusun untuk Bank Dunia, Washington DC, 2015

Petras, James. NGOs: In the Service of Imperialism . Journal of Contemporary Asia,

1999 Rahadian, Beng. Mencari Kopi Aceh. Jakarta: Octopus Garden, 2016 SCAA Cupping Protocols. Revisi November 2009

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

179

SCAA Coffee Standards. Revisi 2018 Spencer, Molly (dkk). Using Single Free Sorting and Multivariate Exploratory Methods to

Design a New Coffee Taster’s Flavor Wheel . Journal of Food Science, Institue of Food Technologists, Vol. 10, Nr. 12, 2016

Starbucks Coffee Company. C.A.F.E. Practices Generic Evaluation Guidelines 2.0. Maret

2007 World Coffee Research. Sensory Lexicon: Unabridged Definition and References. Edisi

kedua, 2016 Situs Internet https://acdivoca.org https://coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ https://coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ https://gdacorp.com/about-us https://partnerships.usaid.gov/partnership/amarta https://senimancoffee.com/rodarasa/ https://rumahkopiranin.com/wp-content/uploads/2017/08/WhatsApp-Image-2017-06-19-at-19.51.39.jpeg https://sca.coffee/research/coffee-tasters-flavor-wheel https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-

steps/ https://store.sca.coffee/products/coffee-tasters-flavor-wheel-1995-mouse-pad https://store.sca.coffee/products/the-coffee-tasters-flavor-wheel-

poster?variant=18787771718 https://worldcoffeeresearch.org/work/sensory-lexicon/

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

180

LAMPIRAN

PANDUAN WAWANCARA Tentang Profesi Q-Grader/R-Grader

1. Kopi dalam pandangan Anda? 2. Kapan Anda mulai menseriusi kopi sebagai profesional? Mengapa

diseriusi? 3. Tahun berapa menjadi Q-Grader/R-Grader? Berapa biaya yang dibutuhkan

untuk mengikuti kelasnya? Siapa yang membiayai? Siapa yang memfasilitasi?

4. Mengapa Anda tertarik menjadi Q-Grader/R-Grader? Mengapa tidak R-Grader saja, misalnya (atau sebaliknya)? Mengingat produksi kopi Indonesia lebih banyak robusta.

5. Tantangan atau tingkat kesulitan untuk menjadi Q-Grader/R-Grader? Baik dalam tahap persiapan, pre-Q, maupun saat tes?

6. Apa saja peran Q-Grader/R-Grader dalam industri kopi spesial?

7. Dalam sehari, berapa kali Anda melakukan cupping? 8. Apa pengaruh bagi perjalanan karir Anda di bidang Kopi setelah

menyandang titel Q-Grader/R-Grader?

Tentang Profesi Lainnya

1. Mengapa menekuni bidang sensori pangan, khususnya yang mengarah ke cita rasa kopi?

2. Apa yang paling membedakan seorang Coffee Flavor and Sensory Scientist dengan Q-Grader?

3. Apakah SCA Coffee Standards dan SCA Cupping Protocols yang berlaku bagi Q-Grader/R-Grader, juga berlaku bagi seorang Coffee Flavor and Sensory Scientist?

4. Tertarik menjadi Q-Grader/R-Grader? 5. Mengapa memutuskan untuk berbisnis akademi kopi yang terakreditasi

oleh SCAA/SCA?

Tentang Cita Rasa Kopi dan SCAA/SCA

1. Seberapa penting cita rasa kopi diketahui bagi seorang Q-Grader/R-Grader (atau profesi lainnya) dan masyarakat awam/umum?

2. Sebagai Q-Grader/R-Grader, bagaimana Anda memandang Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon dalam kebutuhan mengevaluasi cita rasa kopi? Seberapa diperlukan alat-alat bantu tersebut?

3. Seberapa penting SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping Protocols bagi Q-Grader/R-Grader, khususnya, serta bagi pelaku industri specialty coffee di Indonesia pada umumnya?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

181

4. Seberapa mungkin SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping Protocols ini diabaikan oleh pelaku industri kopi spesial di Indonesia?

5. Bagi Q-Grader/R-Grader, cita rasa kopi itu nilai objektif atau subjektif? Bagaimana mengukurnya?

6. Sejauh mana nilai skor dan catatan perolehan cita rasa (cup notes) dari cupping dapat dipertahankan di depan pasar/publik domestik dan internasional? Serta, seberapa besar kans hasil cupping dari para Q-Grader/R-Grader dapat dijadikan rujukan/babon rasa bagi awam yang mencicip kopi yang sama pada kesempatan berikutnya?

7. Di Indonesia, ada Roda Rasa Kopi Orang Indonesia karya kolaboratif 5758 Coffee Lab. Bandung dan Seniman Coffee Bali. Sebagai orang yang terlibat dalam proyek ini, dari mana ide melahirkan Roda Rasa Kopi Orang Indonesia? Bagaimana proses mewujudkannya? Lalu apa tujuannya? (Alternatif bagi narasumber yang tidak terlibat: Tanggapan Anda akan hal ini?)

8. Apakah Roda Rasa Kopi Orang Indonesia ini dapat dinilai sebagai counter culture terhadap Roda Rasa SCAA atau sebatas pengayaan atribut cita rasa?

9. Sejauh pengamatan Anda, mana yang lebih dominan pengaruhnya di Indonesia, Roda Rasa Kopi orang Indonesia atau Roda Rasa SCAA?

10. Ada pula, Senso Flavo: Coffee Aroma Library karya Wenny, dosen Univ. Brawijaya Malang. Bagaimana Anda memandang kehadiran produk yang “lebih lokal” ini di tengah Le Nez du Café dari Perancis atau Scentone: Coffee Flavor Map dari Korea Selatan?

11. Mengapa SCA menjadi corong pengetahuan kopi? Setidaknya, di soal cita rasa. Kongkritnya bahwa, SCA mendiseminasikan Roda Rasa SCAA, Sensory Lesxivon, Q Coffee System, Cupping Protocols, SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping Protocols dan kemudian “ditaati” bersama secara global?

12. Bila SCA menjadi kiblat pengetahuan, lantas bagaimana posisi Q-Grader/R-Grader? Sebagai imam kah? Artinya, akan ada jemaah yang mengikuti apa yang dikatakan oleh Q-Grader/R-Grader tentang cita rasa kopi? Misal, skor cupping dan cup notes dari para Q-Grader/R-Grader yang notabene pengalaman indrawiyah mereka, cenderung akan diikuti jemaah kopi? Ekstrimnya, menjadi bahasa cita rasa bersama?

13. Apa pendapat Anda, jika dikatakan bahwa standar SCAA/SCA adalah bentuk monopoli cita rasa dari SCA yang dinilai sebagai representasi negara dominan secara politik dan ekonomi? Dengan kata lain, klaim sebagai “bahasa bersama” dari standar SCAA/SCA tadi hanyalah dalih ilmiah untuk menyeragamkan subjektifitas rasa tiap-tiap orang? Sebagai praktik stir budaya dan ekonomi?

14. “Kopi enak/tidak enak”, “kopi dengan cita rasa begini dan begitu”, jangan-jangan tidak ditentukan oleh masing-masing orang dengan preferensi yang beragam, tapi malah ditentukan oleh SCA (sebagai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

182

standar atau tepatnya pengetahuan yang politis) Apa pendapat Anda tentang dugaan ini?

15. Apa yang diperlukan bagi pelaku industri kopi di Indonesia, agar tidak semata mampu menjadi produsen kopi, tetapi juga menjadi produsen pengetahuan tentang kopi?

16. Di luar teknis produksi kopi (kebun ke cangkir) yang sifatnya teknis agronomis dan kimiawi kopi, variabel apa saja yang turut menentukan cita rasa kopi dalam pandangan Anda?

Tentang Kopi Spesial dan Kultur Konsumsi Kopi

1. Konsep pembabakan sejarah kopi: gelombang atau wave, yang digagas Thrish Rothgeb, relevan tidak dibicarakan di Indonesia? Bukankah kopi spesial yang digagas oleh Erna Knutsen, didasarkan konteks konsumsi kopi di AS (wave)? Jadi, mengapa kita turut “merayakannya”?

2. Specialty Coffee, konsep apa itu? Kapan Indonesia mengenal kopi spesial? 3. Bagaimana Anda melihat perkembangan tren kopi spesial di Indonesia? 4. Seiring berkembangnya tren specialty coffee, kultur cita rasa seperti apa

yang sekarang diminati oleh orang Indonesia? Atau setidaknya yang sering ditemui di tempat Anda bekerja?

5. Pendapat Anda tentang kultur cita rasa kopi masyarakat Indonesia lebih terbiasa dengan kultur rasa kopi yang pahit sebagai hasil dari sangrai gelap? Kultur cita rasa yang seringkali menyarankan kopi direkayasa rasanya dengan ditambahi bumbu (telur/vanili/margarin, dlsb) saat disangrai atau dicampur jagung/beras saat digiling, diminum bersama gula, kental manis, dlsb.

6. Apakah kultur cita rasa pahit ini akibat konstruksi masa lalu, saat VOC memonopoli pasar kopi?

7. Seiring berkembangnya tren specialty coffee, kutur cita rasa seperti apa yang sekarang diminati oleh orang Indonesia? Atau setidaknya yang sering ditemui di tempat Anda bekerja (sebutkan)?

Lainnya

1. Saya mendapati data yang menunjukkan bahwa AS sangat berperan dalam geliat specialty coffee di Indonesia. Peran ini tersalurkan melalui USAID dan dapat dilacak melalui, pertama, rehabilitasi pertanian kopi organik di Aceh, kedua, pendirian SCAI. Sepengetahuan Anda, seberapa jauh peran USAID di rantai industri kopi spesial Indonesia?

2. Bagaimana Anda membaca kepentingan USAID di Indonesia dalam hal specialty coffee? Kepentingan seperti apa?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI


Recommended