Date post: | 16-Mar-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
MENCECAP CITA RASA, MENGURAI KUASA
WACANA DAN PASCAKOLONIALITAS KOPI SPESIAL
TESIS
OLEH: OKTA FIRMANSYAH
NIM: 176322018
MAGISTER KAJIAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2020
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vi
HALAMAN PERSEMBAHAN
Untuk Ayah dan Ibuku,
Walija dan Naisyah (Almh)
serta teristimewa untuk Istri dan Anakku,
Indira Kartini dan Pendar Nareswari
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
vii
MOTO
“The West is now everywhere, within the West and outside, in structures and in minds.”
Ashis Nandy
The Intimate Enemy, 1983
“Where there is power, there is resistance,
and yet, or rather consequently, this resistance is never in a position of exteriority in relation to power.”
Michel Foucault
The History of Sexuality (Volume 1: An Introduction), 1978
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xi
MENCECAP CITA RASA, MENGURAI KUASA WACANA DAN PASCAKOLONIALITAS KOPI SPESIAL
OKTA FIRMANSYAH
ABSTRAK
Tesis ini menyoroti cita rasa kopi dalam industri kopi spesial yang
dikatakan berada di era gelombang ketiga. Bahwa mencecap cita rasa kopi tidak hanya berkaitan dengan perkara genetika dan budidaya tanaman kopi serta proses produksinya; ataupun dengan kemampuan indrawi serta pengalaman sensoris yang dimiliki seseorang; melainkan pula berkaitan dengan pengetahuan cita rasa yang dikontruksi oleh Specialty Coffee Association (SCA) beserta beberapa organisasi/lembaga yang terafiliasi dengannya.
Dalam hal ini, SCA yang berpusat di Barat (AS/Eropa) mendiseminasikan pengetahuannya sebagai standar yang berlaku secara global. Pengetahuan ini beraneka macam wujudnya: Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, Le Nez Du Café, Q Coffee System (Q-Grader/R-Grader), SCA Coffee Standards, dan SCAA Cupping Protocols. Keberlakuannya pun tidak hanya bagi anggota SCA yang membutuhkan dan bagi industri kopi spesial saja, melainkan pula bagi kebanyakan orang yang menyakini “kebenaran” standar SCA, termasuk orang-orang Indonesia. Sepintas pengetahuan ini terkesan netral dengan dalih objektifitas sains dan demi memajukan industri kopi spesial global. Namun, setiap pengetahuan apalagi yang diklaim sebagai standar bersama, tentu berpotensi untuk dibaca secara politis-kritis. Terlebih lagi dalam konteks Indonesia, yang memperlihatkan relasi kuasa tak setara antara Barat sebagai “pusat” dengan non-Barat, seperti di Indonesia, yang dianggap “pinggiran” dan liyan (its other) dari mereka. Sebuah relasi yang hadir dan sejajar sebagai continuing effects kolonialisme.
Atas dasar inilah, tesis ini bergerak mempertanyakan bagaimana
pengetahuan dan wacana cita rasa SCA medominasi sekaligus menyeragamkan persepsi cita rasa global; dan bagaimana subjektivitas orang-orang di Indonesia mereproduksi, menegoisasi, dan meresistansi pengetahuan dan wacana ini. Secara khusus, subjektivitas yang dimaksud adalah subjektivitas pascakolonial dari orang-orang yang berprofesi sebagai Q-Grader/R-Grader atau orang-orang yang hidup dari/dan menghidupi industri kopi spesial.
Untuk membantu mengurai permasalahan tesis ini, konsep
wacana/discourse dari Foucault yang dianalisis secara genealogis dinilai tepat dipakai. Dan guna penguatannya, konsep ambivalensi (dengan segala konsep terkait: hibriditas dan mimikri) dari Homi K. Bhabha serta konsep alienasi linguistik dari Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, dan Helen Tiffin, turut pula dipakai. Berbekal konsep-konsep inilah, pengetahuan/standar SCA dapat dikatakan sebagai wacana neo-kolonial di mana yang menjadi objek pengetahuannya adalah (klaim) sains yang objektif dan universal. Sebab standar SCA telah nyata mendisplinkan dan menyeragamkan (menstereotipisasi) persepsi cita rasa, baik orang awam maupun bagi kalangan profesional, seperti Q-Grader/R-Grader dari Indonesia. Selain itu, standar SCA juga secara jelas telah mengalienasi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xii
bahasa ibu (yang ekpresif, lokal, dan empiris) subjek-subjek pascakolonial yang mengafirmasi bahasa cita rasa rumusan SCA. Sekalipun mendisplinkan dan mengalienasi, orang-orang tersebut tidak sepenuhnya mampu ditundukkan oleh wacana cita rasa SCA, sebab mereka merpresentasikan subjektivitasnya sebagai yang ambivalen dan resistan—meski tanpa disadari. Hal ini ditunjukkan dari adanya peniruan (mimikri) satu-dua wujud dari standar SCA dari Q-Grader/R-Grader. Peniruan yang juga dibaca sebagai strategi mengejek (mockery) bahasa cita rasa SCA yang amat tidak memadai untuk dipakai secara bersama oleh berbagai orang di lintas geografi dan kultur, khususnya di Indonesia.
Kata Kunci: Kopi, Cita Rasa, SCA, SCAA, Wacana, Relasi Kuasa, Subjektivitas,
Pascakolonial, Ambivalensi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiii
TASTE THE FLAVOR, UNRAVEL THE POWER DISCOURSE AND POSTCOLONIALITY OF SPECIALTY COFFEE
OKTA FIRMANSYAH
ABSTRACT
This thesis focuses on the taste of coffee in the specialty coffee industry which is said to be in the era of the third wave. That tasting coffee is not only related to the genetics dan cultivation of the coffee tree and its production process; or with the sensory abilities and sensory experiences that a person has; but also related to taste knowledge constructed by the Specialty Coffee Association (SCA) and several organizations/institutions affiliated with it. In this case, the SCA which is based in the West (US/Europe) disseminates its knowledge as a standard that applies globally. This knowledge takes many forms: SCAA Flavor Wheel, Sensory Lexicon, Le Nez Du Café, Q Coffee System (Q-Grader/R-Grader), SCA Coffee Standards, and SCAA Cupping Protocols. Its implementation is not only for SCA members who need it and the specialty coffee industry, but also for most people who believe in the "truth" of SCA standards, including Indonesians. At first glance this knowledge seems neutral on the pretext of the objectivity of science and advancing the global specialty coffee industry. However, any knowledge, let alone claimed as a common standard, certainly has the potential to be read politically-critically. This is even more so in the Indonesian context, which shows unequal power relations between the West as a "center" and non-Westerners, such as in Indonesia, as their "periphery" and other. A relationship that is present and parallel as the continuing effect of colonialism. On this basis, this thesis moves to question how the knowledge and discourse of the SCA tastes dominate as well as homogenize the perception of global tastes; and how the subjectivity of people in Indonesia reproduces, negotiates, and resists this knowledge and discourse. Specifically, the subjectivity referred to is the postcolonial subjectivity of people who work as Q-Graders/R-Graders or people who live from/and live in the specialty coffee industry. To help unravel the problems of this thesis, Foucault's genealogical analysis of discourse is considered appropriate. And for reinforcement, the concept of ambivalence (with all related concepts: hybridity and mimicry) from Homi K. Bhabha and the concept of linguistic alienation from Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, and Helen Tiffin, were also used. Armed with these concepts, SCA knowledge/standards can be said to be neo-colonial discourse in which the object of knowledge (claim) objective and universal science. This is because the SCA standard has clearly disciplined and homogenized (stereotyped) the perception of taste, both for ordinary people and for professionals, such as the Q-Grader/R-Grader from Indonesia. In addition, the SCA standard has also clearly alienated the mother language (expressive, local, and empirical) of postcolonial
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xiv
subjects which affirms the language of taste of the SCA formula. Despite being disciplined and alienating, these people were not completely able to be subdued by the SCA's discourse of taste, because they represented their subjectivity as ambivalence and resistant—even if they didn't realize it (unconscious). This is indicated by the imitation (mimicry) of one or two forms of the SCA standard from Q-Grader/R-Grader. Mimicry is also read as a strategy of mockery of the SCA taste language which is very inadequate to be shared by various people across geographies and cultures, especially in Indonesia.
Keywords: Coffee, Taste, Flavor, SCA, SCAA, Discourse, Relation Power, Subjectivity, Postcolonial, Ambivalence
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................................... .................................. i HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................................................... .................... ii HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................................... ....................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN ......................................................................................................... ....................... iv PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................................................ ......... v PERSEMBAHAN ................................................................................................................. ................................... vi MOTO ........................................................................................................................ ............................................... ..... vii KATA PENGANTAR ....................................................................................................................... ....................... viii ABSTRAK ............................................................................................. ................................................................... .... xi ABSTRACT ................................................................................................................................................................... xiii DAFTAR ISI .................................................................................................................. ............................................ . xv DAFTAR SINGKATAN ......................................................................................................................................... xvii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... ................................. xviii BAB I PENDAHULUAN .....................................................................................................................
A. Latar Belakang ............................................................................................................ B. Rumusan Masalah .................................................................................................. C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................................... D. Kajian Pustaka ........................................................................................................... E. Kerangka Teori ............................................................................................................
a. Wacana dan Genealogi .............................................................................. b. Wacana dan Pengalaman .......................................................................
F. Metode Penelitian .................................................................................................... G. Sistematika Pembahasan ................................................................................
1 1 9 9 10 17 17 21 27 33
BAB II CITA RASA KOPI ....................................................................................................................
A. Cita Rasa dan Persepsi ....................................................................................... B. Mutu Kopi dan Pengaruhnya ke Cita Rasa ........................................ C. Apa itu Roda Rasa? ................................................................................................. D. Q-Grader/R-Grader dan Uji Cita Rasa ..........................................................
a. Q Arabica Grader ................................................................................................. b. Q Robusta Grader ............................................................................................... c. Coffee Cupping: Cara Menilai Cita Rasa Kopi ...........................
E. Kopi Spesial, Specialty Coffee ........................................................................... F. Kopi di Era Gelombang Ketiga ......................................................................
34 34 36 38 50 51 54 56 61 66
Bab III WACANA CITA RASA KOPI ................. ............................................................................
A. Cita Rasa Kopi: Historisitas di Lapangan Produksi ................... a. Level Petani ......................................................................................................... b. Level Bersama ................................................................................................... c. Level Penyangrai ............................................................................................. d. Level Barista .......................................................................................................
B. Cita Rasa Kopi: Historisitas dalam Konsumsi ............................... C. Historisitas Wacana Cita Rasa dan Institusi SCAA/SCA .......
70 72 73 82 83 85 88 98
D. Struktur Diskursif Wacana Cita Rasa Kopi ....................................... 124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvi
Bab IV MENGALAMI CITA RASA KOPI ....................................................................................
A. Mengalami Cita Rasa Kopi, Memeluk SCA ......................................... B. Standar SCA: Bahasa yang Bermasalah .............................................. C. Subjek yang Mendua ............................................................................................
a. Reproduksi Bahasa Rasa dan Aroma yang Lokal .............. b. Negoisasi: Testimoni dan Menangguhkan .............................
128 129 142 149 150 162
Bab V PENUTUP ................................................................................................................................... 170 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................. .................. 176 LAMPIRAN ................................................................................................................................................................. 179
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xvii
DAFTAR SINGKATAN
ACDI/VOCA : Agricultural Cooperative Development International/ Volunteers in Overseas Cooperative Assistance AMARTA : Agrobusiness Market and Support Activity AS : Amerika Serikat ACF : Asean Coffee Federation C.A.F.E Practices : Coffee and Farmer Equity Practices CDG : Coffee Development Group CQI : Coffee Quality Institute GDA Coffee Corps : Geospatial Data Analysis Coffee Corporation IACA : Inter-American Coffee Agreement ICA : International Coffee Agreement ICO : International Coffee Organization IPB : Institut Pertanian Bogor IRC : International Relations Committee ISO : International Organization for Standardization MDPL : Meter Di atas Permukaan Laut NCSA : National Office Coffee Service Association NGO : Non Government Organization OCS : Office Coffee Service Puslitkoka : Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia PPP : Public-Private Partnership Q-Grader : Q Arabica Grader Q-Instructor : Q Arabica Instructor R-Grader : Q Robusta Grader RI : Republik Indonesia SCA : Specialty Coffee Association SCAA : Specialty Coffee Association of America SCAE : Specialty Coffee Association of Europe SCAI : Specialty Coffee Association of Indonesia SCAJ : Specialty Coffee Association of Japan SNI : Standar Nasional Indonesia TVRI : Televisi Republik Indonesia UCDA : Uganda Coffee Development Authority USAID : United States Agency for International Development VOC : Vereenigde Oost-Indische Compagnie WCR : World Coffee Research
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
xviii
DAFTAR GAMBAR Gambar II.1 : Roda Rasa SCAA
(SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 1995 ........................................ 39
Gambar II.2 : Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 ........................................
41
Gambar II.3 : Deskripsi Atribut Cita Rasa Sensory Lexicon ......................................... 44
Gambar II.4 : Skala Intensitas Sensory Lexicon .................................................................... 46
Gambar II.5 : Visual Gap dalam Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 ........................................
48
Gambar II.6 : The Q Arabika Course: A Breakdown ....... ................................................... 52
Gambar II.7 : The Q Robusta Course: A Breakdown ..... .................................................... 54
Gambar III.1 : Atribut Whiskey pada Sensory Lexicon ......................................................... 101
Gambar III.2 : Le Nez Du Café di Sensory Lexicon ...................................................................... 103
Gambar IV.1 : Roda Rasa Kopi Indonesia (Indonesia’s Coffee Flavor Wheel) edisi 2019 .............................................
151
Gambar IV.2 : Sensoflavo: Coffee Aroma Library ....................................... ......................... 158
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengalaman sebagai peminum kopi yang hampir setiap harinya
menghabiskan waktu di kedai-kedai kopi di Yogyakarta, dan kemudian
berlanjut sebagai penyeduh (barista) di kedai yang saya rintis dan kelola sendiri
di Palembang, “memaksa” saya untuk akrab dengan “Coffee Taster’s Flavor Wheel”
atau biasa disebut di Indonesia sebagai “Roda Rasa”.
Pertanyaan awal yang seringkali muncul saat mencecap secangkir kopi,
yaitu perkara cita rasa. Pertanyaan ini bisa sangat gampang dijawab atau
malah sebaliknya, begitu sukar. Dikatakan gampang, sebab seseorang hanya
perlu menggiatkan paling tidak dua indra yang dimilikinya: lidah untuk
mengecap rasa dan hidung untuk mencium aroma, hasilnya adalah cita rasa.
Dari cecapan dua indra tadi, seseorang biasanya akan dituntun untuk beropini
tentang cita rasa, yang umumnya akan bermuara pada dua jawaban: enak atau
tidak enak, suka atau tidak suka. Sebaliknya, akan menjadi sangat sukar, bila
cita rasa kopi tersebut coba diidentifikasi secara cermat, lalu dideskripsikan
secara rinci dan jelas sehingga memperkecil peluang ketidakakuratan cecapan
cita rasa kopi. Di sini, cita rasa diletakkan dalam pemahaman sebagai sensasi
yang kompleks dari rasa dan aroma yang kemudian direspon otak untuk
dipersepsi dan diinterpretasi oleh si pencecap1. Bahkan semakin pelik dijawab,
bila cita rasa tersebut coba diberlakukan kepada lebih dari satu orang. Atau
dengan kata lain, cita rasa menjadi referensi bagi orang jamak. Lebih
1 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, Sains Kopi Indonesia, (Malang: UB Press, 2019) , hal. 29-30.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
ekstrimnya, bisa pula dibilang agar dapat diterima sebagai sebuah
kesepakatan cita rasa.
Hal yang sukar dan pelik inilah yang seringkali saya temui, baik sebagai
peminum, penyeduh (barista), maupun sebagai orang yang menjalankan bisnis
kedai kopi. Untuk mengurai kepelikan ini, seringkali “Coffee Taster’s Flavor Wheel”
diperbantukan. Coffee Taster’s Flavor Wheel atau Roda Rasa diklaim sebagai hasil
riset ilmiah kolaborasi antara Specialty Coffee Association of America (SCAA)―yang
kemudian disebut Specialty Coffee Association (SCA) setelah dilebur dengan
organisasi lain yang berkantor di London, Specialty Cofeee Association of Europe
(SCAE) pada 2016. Baik SCAA maupun SCAE, keduanya mendedikasikan
pendiriannya untuk industri specialty coffee―dan World Coffee Research (WCR),
organisasi yang terafiliasi ke SCAA2. Roda Rasa SCAA ini berwujud lingkaran yang
memuat berbagai macam atribut cita rasa atau kosakata cita rasa. Lingkaran
ini dibedakan secara horizontal, antara bagian atas dan bawah. Bagian atas
mencakup kelompok atribut cita rasa yang menyenangkan (positif) seperti
sweet, floral, fruity, nutty/cocoa, dan spices. Sedangkan bagian bawah terdiri dari
kelompok atribut cita rasa yang tidak menyenangkan (negatif), seperti roasted,
green/vegetative, sour/fermented, dan other. Dari kedua kelompok atribut cita rasa
yang umum tadi, orang akan dipandu menuju ke atribut cita rasa yang lebih
spesifik. Bila di awal terindikasi cita rasa fruity, maka pertanyaan selanjutnya
adalah kelompok fruity apa tepatnya? Apakah citrus fruit? Kalau toh, iya, citrus
fruit sejenis apa? Orange? Lemon? Lime? Grapefruit? Atau apa? Singkatnya
beginilah Roda Rasa SCAA dibaca dan digunakan3.
2 https://sca.coffee/research/coffee-tasters-flavor-wheel/ diakses pada 4 November 2019 3 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
Roda Rasa SCAA ini menjadi hal penting bagi para pegiat kopi seluruh dunia
di setiap mata rantainya: dari hulu ke hilir, dari produksi ke konsumsi, dari
awam ke ahli, dari amatiran ke profesional. Petani, penyangrai, penyeduh,
konsumen, atau siapa pun yang hidup dan menghidupi kopi turut antusias atas
Roda Rasa SCAA yang seringkali diperbantukan saat mengevaluasi cita
rasa―biasa disebut coffee cupping atau uji cita rasa―termasuk yang berdiam di
Indonesia. Roda Rasa SCAA semakin menyita perhatian terlebih di era industri
kopi yang dikatakan berada di gelombang ketiga (third wave era) yang
mengunggulkan kopi berkualitas terbaik atau specialty coffee. Sebuah industri
yang semakin ingar-bingar di berbagai belahan dunia belakang ini (2000-an),
termasuk di Indonesia dan setidaknya di kota-kota besarnya, seperti Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Medan, dan Surabaya.
Gelombang (wave) yang dimaksud adalah konsep pembabakan sejarah
industri kopi yang merujuk pada situasi dan kondisi yang berlangsung di
Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Gelombang ketiga adalah jawaban atas dua
gelombang sebelumnya. Bila di gelombang pertama konsumsi kopi lebih
mementingkan kepraktiksan dengan harga terjangkau sehingga abai terhadap
kualitas kopi; dan gelombang kedua yang mulai beralih dari kopi “buruk” ke
kopi berkualitas terbaik secara bentuk, warna, dan cita rasa; maka gelombang
ketiga, kopi semakin tegas dengan reputasinya: sebagai minuman artisanal,
layaknya wine bagi Perancis dan beer bagi Jerman. Para pelaku dalam industri
kopi, dari hulu hingga hilir, semakin terobsesi mengejar kopi kualitas terbaik,
specialty coffee.4
4 Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed our World, (New York: Basic Book, 2010), hal. 415-417.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Mulanya, istilah specialty coffee atau kopi spesial dipakai pada tahun 1974
oleh Erna Knutsen di Tea & Coffee Trade Journal5. Knutsen memakai istilah ini
untuk menyebut biji kopi kualitas terbaik dengan cita rasa istimewa dari area
tanam ideal. Dalam industri kopi, dikenal tiga tingkatan (grade) kopi: specialty
coffee, gourmet, atau rare origin menempati peringkat pertama, lalu disusul oleh
kopi premium ditingkat kedua, dan kopi komersil ditingkat ketiga. Untuk kopi
terbaik, industri kopi mulai beralih ke kopi yang berasal dari perkebunan kopi
perseorangan atau kelompok mikro di area spesifik (yang tidak terlalu luas)
dengan kondisi geografis dan iklim yang ideal untuk tanam kopi.
Oleh SCAA, ditegaskan bahwa hanya kopi yang lulus uji mutu fisik dan
mutu sensoris dengan skor cupping 80-100 yang layak disebut sebagai kopi
spesial. Terbagi lagi dalam sub kelas very good (80-84, 99), excellent (85-89, 99),
dan outstanding (90-100). Kopi dengan nilai akhir kurang dari 80 dikategorikan
bukan kopi spesial oleh SCAA6.
Kopi spesial juga menuntut sajian informasi detil tentang kopi kepada
pelaku industrinya. Tidak hanya daerah tanam kopi, melainkan juga varietas
kopi, indikasi geografis (seperti ketinggian tanam dan curah hujan), proses
pasca panen, level dan tanggal sangrai, informasi perolehan cita rasa (cup
notes), hingga informasi tentang siapa petaninya dan di desa mana ia berkebun
kopi. Hal ini dilakukan sebagai wujud dari keterbukaan informasi dan edukasi
kopi pada konsumen, katanya. Sekaligus guna membentuk kesadaran atas apa
yang dikonsumsi. Kopi diidentifikasi lebih spesifik—tidak lagi secara
regional/negara seperti di gelombang kedua.
5 Mark Pendergrast, hal. 328.
6 SCAA Cupping Protocols (revisi November 2009), diakses dari https://sca.coffee pada 10 Juli 2020, hal. 3; lihat pula: Wenny Bekti Sunarharum, hal. 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Sampai di sini, Roda Rasa SCAA yang saya sebut di awal tadi kini mendapat
tautannya, yakni kopi spesial yang hidup di era gelombang ketiga. Setiap kopi akan
dinilai cita rasanya dengan ketentuan SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping
Protocols serta alat bantu Roda Rasa SCAA. Secara mendasar, penilaian ini atau
cupping diperlukan agar kopi dapat dievaluasi mutunya dan kemudian
dikategorikan sebagai kopi spesial atau tidak. Orang yang melakukan pengujian
ini biasanya dari kalangan profesional yang disebut sebagai Q Arabica Grader
untuk penguji spesies kopi arabika (umumnya disingkat Q-Grader) dan Q Robusta
Grader untuk robusta (umumnya disingkat R-Grader). Orang-orang ini adalah
orang yang terlatih dan telah lulus ujian panjang yang sulit untuk mendapat
lisensi Q-Grader/R-Grader. Sementara otoritas pelatihan dan tes berbiaya mahal
ini dipegang oleh organisasi nirlaba, Coffee Quality Institute (CQI), yang bernaung
di bawah SCA dan berafiliasi dengan Uganda Coffee Development Authority
(UCDA). Dan layaknya “sabda”, hasil cecapan lidah serta hidung para Q-Grader/R-
Grader tadi akan dijadikan “babon cita rasa” bagi industri kopi spesial serta
orang-orang yang mencecap kopi yang sama di waktu berikutnya.
Sampai di sini, saya mulai gelisah bertanya, mengapa Roda Rasa SCAA ini
dibutuhkan sebagai alat bantu untuk cupping, baik secara resmi dengan
standar protokol ketat SCA/SCAA maupun secara santai (casual/fun cupping)?
Mengapa Roda Rasa SCAA ini selalu menjadi rujukan dalam mengidentifikasi-
menamai cita rasa kopi di era gelombang ketiga ini? Suatu rujukan yang lantas
diproyeksikan para ahli terdidik oleh “sekolahan” ala CQI/SCA? Suatu rujukan
yang kemudian menjadi common taste bagi orang-orang yang mencicip kopi di
waktu berikutnya. Ringkasnya, mengapa asumsi penyeragaman cita rasa kopi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
atau homogenisasi ini terjadi? Padahal kan setiap orang memiliki lidah dan
hidung yang berbeda sesuai dengan memori sensoris masing-masing.
Apakah ada legitimasi saintifik di sana? Maksudnya, Roda Rasa SCAA
diperlukan karena ia diklaim ilmiah dan bersumber dari Barat. Mengingat di era
industri kopi spesial di gelombang ketiga ini, kopi bukan semata perkara
subjektifitas cita rasa, tapi juga didudukkan sebagai fakta ilmiah dan praktik
pengetahuan yang terukur sebab berdasarkan rasio dan akal budi para ahli.
Kata lainnya, bila mengikuti pendapat umum, yang membuat saya maklum
dengan asumsi penyeragaman cita rasa tadi, bisa jadi karena dalih: pertama,
selain secara indrawiah, kopi juga bisa diukur secara rasio/akal-budi; dan
kedua, dengan begitu, maka kopi tergolong sebagai fakta ilmiah dan praktik
pengetahuan yang sering kali diposisikan sebagai yang objektif dan universal.
Kedua dalih ini diproyeksikan melalui, diantaranya, Roda Rasa SCAA, SCA Coffee
Standards dan SCAA Cupping Protocols yang menjadi standar industri kopi spesial
(yang diklaim berbasis riset ilmiah dan diposisikan sebagai ilmu yang
universal) dan Q-Grader/R-Grader (ahli yang berpengetahuan yang
mendayagunakan rasionya serta terlatih indra sensorisnya).
Namun bila dipikir sedikit kritis, dalih-dalih tadi justru membuat saya
mengernyit heran dan geli. Sebab telah memprovokasi saya untuk berpikir
secara bertautan, terutama pada kuasa Barat (negara-negara konsumen kopi)
terhadap non-Barat (negara-negara produsen kopi) yang semena-mena
dikategorikan sebagai negara-negara “dunia ketiga”. Disinyalir ini bukan
sekadar saintifikasi; melainkan lebih ke soal politik konsumsi; tepatnya politik
cita rasa!
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Bila melihat tarikan sejarah, standar-standar SCA ini (secara khusus) dan
industri kopi spesial di gelombang ketiga (secara umum), mulanya dan
umumnya dirumuskan oleh Barat melalui kehadiran SCA/SCAA berserta
organisasi yang terafiliasi dengannya. Dirumuskan oleh orang-orang yang hidup
di negara-negara konsumen kopi utama dunia, penguasa pasar, cum negara
kanonik “eks” kolonial, yakni: AS dan Eropa. Sebuah rumusan yang disusun
berdasarkan pengalaman dan pengetahuan cita rasa mereka yang hidup di
empat musim, yang tentunya berbeda dengan orang yang hidup di dua musim.
Di sana ada referensi cita rasa blueberry, misalnya. Sedang di sini, di Indonesia,
salah satu negara pascakolonial, adanya buah duwet. Jika seseorang belum
mengalami cita rasa blueberry, lantas bagaimana bisa mempersepsikan cita
rasa dari kopi yang ia cecap sebagai blueberry seperti yang dimaksud di Roda
Rasa SCAA?
Di titik inilah, saya berasumsi bahwa perkara cita rasa kopi yang
distandardisasi oleh SCA untuk industri kopi spesial di era gelombang ketiga ini
lebih mendekati sebagai mitos sekalipun terkesan “ilmiah”. Sebagaimana
mitos orientalisme yang dibabar oleh Edward Said (1935-2003). Dalam
pengantar bukunya, Orientalism (1978), Said mengatakan bahwa orientalisme
adalah sebuah praktik pengetahuan yang mengada-ada sebab erat kaitannya
dengan wacana kolonialisme pengetahuan yang rasis. Oreintalisme lahir dari
praktik dan kebutuhan kolonial. Orientalisme adalah sejenis sejarah yang
diendapkan kepada orang Timur, kepada seorang Arab seperti Said. Bagaimana
definisi, sejarah, narasi, dan seluruh hal yang berkaitan dengan Timur
dimonopoli oleh orientalisme. Sebuah praktik politik pengetahuan yang berelasi
dengan kekuasaan yang dilancarkan Barat terhadap Timur (Arab-Islam).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
Dalam penelusuran orientalisme ini, Said memakai (salah satunya)
konsep discourse (wacana) dari Michel Foucault (1926-1984). Sebagai seorang
yang skeptis pada kebenaran tunggal, Foucault menunjukkan bahwa
pengetahuan pada dasarnya berelasi dengan kekuasaan yang hegemonik. Maka
wajar bila sejarah pengetahuan akan selalu diskontinu dan fragmentaris,
karena ditentukan oleh episteme (perspektif/paradigma) tertentu yang dikontrol
oleh kekuasaan tertentu pula. Ide discourse ini digunakan Said dengan alasan,
“Kita tidak akan mungkin bisa memahami disiplin yang sangat sistematis ini
(orientalisme), dengan mana budaya Barat mampu mengatur—bahkan
menciptakan—dunia Timur secara politis, sosiologis, militer, ideologis, saintifik,
dan imajinatif selama masa pasca Pencerahan7.”
Kiranya, pemeriksaan orientalisme oleh Said ini sejalan dalam
mendudukkan asumsi politik cita rasa kopi tadi. Sebuah tengara homogenisasi
cita rasa dari budaya yang mendominasi secara ekonomi dan politik. Tentang
normalisasi cita rasa kopi yang kemudian semakin dianggap wajar-wajar saja.
Perihal praktik setir budaya dari negara-negara kanonik kepada negara-negara
yang didiami para petani kopi. Mereka yang dominan membangun wacana cita
rasa kopi yang diklaim saintifik sebagai pengetahuan netral dan universal.
Sebuah wacana yang saya kira lebih tepat dilihat sebagai mitos, karena diduga
ada praktik ideologis kekuasaan di sana dan kepentingan kapitalisme—
ketimbang sebagai praktik pengetahuan yang nir-kepentingan. Praktik yang
membuat orang-orang latah terhadap standar SCA saat mencicip kopi spesial
di era gelombang ketiga ini, terutama yang berdiam di “dunia ketiga”.
7 Edward Said, Orientalisme, terj. Asep Hikmat (Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 1985), bab. Pendahuluan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
Kegelisahan inilah yang kiranya hendak saya telusuri; hendak dijawab
dalam kegiatan penelitian kajian budaya, khususnya pada interaksi antara
teks/wacana yang dicerminkan oleh standar cita rasa kopi yang politis dan
diklaim ilmiah dengan pengalaman orang yang menghidupi teks/wacana
tersebut, seperti yang ditunjukkan, salah satunya, oleh para Q-Grader/R-Grader
dari Indonesia.
B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan di atas, maka dirumuskanlah beberapa pertanyaan:
1. Bagaimana Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya, mengartikulasikan
homogenisasi cita rasa dari budaya yang mendominasi secara ekonomi dan
politik?
2. Bagaimana Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya ini dialami oleh Q-
Grader/R-Grader di Indonesia untuk kemudian direproduksi pengetahuannya
kepada orang-orang yang bergiat di mata rantai industri kopi spesial di era
gelombang ketiga?
3. Subjektivitas macam apa yang muncul dari negoisasi dan reproduksi
kuasa diskursif cita rasa kopi di era gelombang ketiga? Lalu apa signifikansi
politiknya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Secara umum, disamping sebagai upaya memperkaya wacana di bidang
kajian budaya (khususnya studi tentang wacana dan pengetahuan serta kajian
pascakolonial), penelitian ini juga bertujuan memotret situasi yang paradoks
nan subtil dalam masyarakat pascakolonial, yang seringkali tidak disadari oleh
masyarakat itu sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
Sedangkan secara khusus, penelitian ini bertujuan mendapatkan dan
mengetahui gambaran dari praktik artikulasi wacana cita rasa kopi di era
gelombang ketiga yang diteropong melalui kehadiran Roda Rasa SCAA dan
standar SCA lainnya; dan juga orang-orang yang hidup di tengah wacana
tersebut. Baik yang berkenaan dengan praktik konsumsi, hingga yang
menyangkut praktik reproduksi pengetahuan. Hal ini dirasa penting, sebab apa
yang didapatkan nantinya—entah konstruktif atau tidak—diharapkan mampu
memberikan manfaat berupa narasi alternatif (opsional) bagi pegiat kopi itu
sendiri, khususnya di Indonesia.
Akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memantik daya kritis orang-
orang yang bergiat kopi yang bergulat di tengah hiruk-pikuk industri kopi di era
gelombang ketiga yang dirasa begitu didominasi oleh Barat—negara-negara
konsumen kopi utama dunia: AS dan Eropa. Dengan kata lain, muluknya,
penelitian ini mengajak para pegiat kopi untuk bergerak mengidentifikasi dan
memikirkan ulang posisi dan daya tawarnya di tengah hiruk-pikuk industri
tersebut.
D. Kajian Pustaka
Berbagai penelitian yang menjadikan kopi sebagai objek material telah
banyak dilakukan, terlebih dalam disiplin ilmu agronomi, kimia pangan,
gastronomi molekuler, fisiologi dan kedokteran, serta teknologi pangan dan
perkebunan. Pun halnya dengan topik spesifik seperti cita rasa kopi yang lebih
banyak didekati dalam arus utama ilmu eksakta. Oleh karena itu, agar kajian
pustaka di sini tidak terlampau luas, maka saya membatasi dengan meninjau
penelitian cita rasa kopi hanya dalam rumpun ilmu sosial-humaniora.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Disamping itu, relevansi dengan penelitian tentang kopi sebagai komoditas
kapitalisme yang diletakkan dalam konteks relasi kuasa global, turut pula
menjadi perhatian dalam kajian pustaka di sini.
Untuk kategori pertama, sangat sedikit temuan penelitian yang mengkaji
cita rasa kopi dalam rumpun ilmu-ilmu sosial humaniora. Kebanyakan
penelitian yang ada berkutat dengan tema kopi (secara umum) yang ditinjau
dari sisi sejarah produksi dan eksploitasi, konsumsi dan gaya hidup,
kedaulatan agraria dan pangan, hingga perdagangan berkeadilan, dan lain
sebagainya. Akan ada daftar nama yang panjang untuk tema-tema ini, dimulai
dari Mark Pendergrast, Jan Breman, Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, Jeffrey
Neilson, Steven Topik, Marco Palacios, Caludia D’ Andrea, dan seterusnya. Tanpa
menafikan kerja-kerja ilmiah yang telah mereka lakukan, temuan-temuan
dalam penelitian tersebut secara pasti dikatakan tidak mengkritisi persoalan
cita rasa kopi secara langsung dan tidak cukup membantu dalam memberikan
latar pemahaman wacana cita rasa kopi secara historis, sosial-antropologis,
maupun ekonomi-politik.
Meski demikian, dari jumlah penelitian cita rasa kopi dalam kajian sosial
humaniora yang terbilang sedikit tadi, tetap ada beberapa penelitian yang bisa
dikatakan relevan dengan bahasan di sini. Relevan dalam arti dapat membantu
memberi ilustrasi bagaimana cita rasa kopi turut berkolerasi dengan mata
rantai produksinya. Baik produksi dari kebun ke cangkir, maupun produksi Roda
Rasa SCAA dan standar SCA itu sendiri. Diantaranya adalah penelitian dari Molly
Spencer, Emma Sage, Martin Velez, dan Jean-Xavier Guinard, dengan judul
“Using Single Free Sorting and Multivariate Exploratory Methods to Design a New Coffee
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Taster’s Flavor Wheel”8 dan “Not All Flavor Expertise Is Equal: The Language of Wine and
Coffee Experts” dari Ilja Croijmans dan Asifa Majid9. Adapula beberapa
artikel/esai yang berangkat dari penelitian yang kemudian dibukukan dalam
“Coffee: A Comprehensive Guide to the Bean, the Beverage, and the Industry”. Buku yang
dieditori oleh Robert W. Thurston, Jonathan Morris, dan Shawn Steiman ini telah
diterjemahkan dengan baik oleh Ninus Andarnuswari ke dalam judul “Kitab
Pendekar Kopi”10.
Pertama, penelitian dari Spencer, dkk. Melalui penelitiannya, Spencer, dkk,
mencoba memberikan validitas ilmiah untuk Roda Rasa SCAA terbaru edisi 2016
yang dibuat berdasarkan Sensory Lexicon WCR edisi kedua. Sebenarnya,
penelitian Spencer, dkk, tergolong penelitian statistik karena menggunakan
metode agglomerative hierarchical clustering dan multidimensional scaling. Kedua
metode ini diletakkan dalam telaah sensoris untuk mengamati dan
memvisualisasikan kesamaan antara produk, konsumen, atau atribut cita rasa
yang berbeda. Jadi, tidak tepat bila penelitian Spencer, dkk, dimasukkan ke
dalam ketegori pertama, sebab tidak dikaji dalam ilmu-ilmu sosial-humaniora,
dan tentunya jauh berbeda dengan bahasan di sini. Meski begitu, dalam
bahasan cita rasa kopi, Spencer, dkk, telah menguji sekaligus memberi
pemahaman mengapa desian/visualisasi Roda Rasa SCAA dikreasikan serupa
lingkaran dan memuat kategori cita rasa dari yang generik hingga cita rasa
yang paling spesifik. Melalui penilitian ini, Spencer, dkk, menyatakan bahwa
8 Molly Spencer, dkk, Using Single Free Sorting and Multivariate Exploratory Methods to Design a Coffee Taster’s Flavor Wheel, (Journal of Food Science, Institute of Food Technologists, Vol. 18, Nr. 12, 2016)
9 Ilja Croijmans dan Asifa Majid, Not All Flavor Expertise Is Equal: The Language of Wine and Coffee Experts, (Plos One Journal, DOI: 10.1371/0155845, 20 Juni, 2016)
10 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Roda Rasa SCAA edisi 2016 adalah pionir bahasa visual yang lengkap, efektif, dan
mudah dipahami dalam menjalin standar komunikasi di industri kopi global.
Sebuah kesimpulan ilmiah yang bisa saja politis atau bias kepentingan,
mengingat Spencer, dkk, adalah bagian dari pengembangan proyek Roda Rasa
SCAA. Bahkan Emma Sage adalah manajer kopi dan sains untuk SCAA.
Kedua, penelitian dari Croijmans dan Majid. Penelitian ini tergolong
sebagai kajian lingusitik terapan. Keduanya meneliti bagaimana bahasa dan
persepsi cita rasa itu pada dasarnya saling terkait. Penelitian ini menyebutkan
bahwa para ahli kopi tidak lebih baik dibanding awam ketika mengekspresikan
persepsi cita rasanya ke dalam bahasa yang ia hidupi. Sebabnya, adanya sikap
inkonsistensi dalam penilaian sensoris mereka. Kendati begitu, ahli kopi masih
dinyatakan lebih unggul dalam hal keterampilan linguistik seputar cita rasa.
Berbeda halnya dengan ahli anggur yang sedikit lebih baik dari awam ketika
berbicara tentang cita rasa anggur, baik dalam konsistensi maupun dalam
kemampuan linguistik. Menariknya, di penelitian ini dikatakan bahwa, baik ahli
kopi maupun anggur, akan mendeskripsikan cita rasa yang didapatkannya
dengan berbasis sumber, misalnya, atribut vanilla. Sementara awam, cenderung
berdasarkan opini, misalnya, enak atau tidak enak.
Croijman dan Majid kemudian menyimpulkan bahwa kemampuan
sensoris dan preokupasi budaya tidak cukup mampu mengatasi batas-batas
bahasa. Hal ini disebabkan oleh kemampuan verbal seputar rasa dan aroma
yang tidak terasah. Atau dengan kata lain, kemampuan mendefinisikan cita
rasa bukan semata berdasarkan keterampilan sensoris, melainkan juga
berkenaan dengan kemampuan verbal-linguistik seputar cita rasa. Apa yang
disodorkan oleh Corijman dan Majid, jelas bukan bagian dalam penelitian di
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
sini. Namun pengetahuan tentang peranan bahasa dalam persepsi cita rasa
kopi dapat diketengahkan untuk menguji klaim Roda Rasa SCAA sebagai bahasa
cita rasa bersama yang membantu seseorang mengasosiasikan persepsi cita
rasa dengan bahasa.
Ketiga, buku “Kitab Pendekar Kopi” dari Robert W. Thurston, dkk. Dari sekian
tulisan yang dihimpun dalam buku tersebut, terdapat beberapa esai yang
berbicara langsung tentang cita rasa kopi. Seeperti esai “Apa itu Kopi Spesial?”,
“Mengapa Kopi Rasanya Begitu?”, dan “Penilaian dan Kualitas Kopi” yang ditulis
Shawn Steiman; dan esai dari Geoff Watts yang berjudul “Kualitas Kopi” juga
“Ekologi Cita Rasa: Kopi Robusta dan Batas-batas Revolusi Kopi Spesial” yang ditulis
oleh Stuart McCook. Esai-esai dari Steiman menunjukkan bahwa cita rasa kopi
tidak mutlak ditentukan oleh faktor produksi kopi: dari bibit dan daerah tanam
hingga penyangraian dan penyeduhan kopi. Setiap fase dalam produksi kopi
akan saling mengeliminasi perolehan cita rasa. Steiman pun mengatakan
bahwa faktor produksi sebatas berkorelasi dengan cita rasa kopi akhir di
cangkir saji alias tidak mutlak menentukan. Steiman juga menyebut bahwa
manusia sebagai wahana terbaik untuk mempelajari cita rasa pun tidak begitu
bisa diandalkan. Sebab manusia tidak punya pengetahuan yang memadai
untuk merancang, mengeksekusi, dan menganalisis aspek indrawi secara tepat.
Sementara esai dari Watts dan McCook melihat bahwa kualitas cita rasa kopi
juga terkait dengan selera konsumen dan tumbuhnya industri ritel di AS—yang
waktu itu belum ramai membicarakan specialty coffee. Baik Steiman, Watts
maupun McCook, dipandang belum mempertanyakan lebih jauh bagaimana
cita rasa kopi tidak hanya cukup dinilai dari dapur produksinya saja, melainkan
juga bisa diasumsikan dikonstruksi oleh SCA dalam konteks relasi kuasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
global. Sebenarnya apa yang dilakukan Watts dan McCook sedikit lebih jauh
dari Steiman, tapi tidak cukup jeli melihat bagaimana peran SCA mengatur dan
menjadi kanon bagi industri kopi spesial. Celah inilah yang akan ditindaklanjuti
dalam penelitian di sini.
Dalam buku “Kitab Pendekar Kopi” adapula esai yang bisa menjembatani
antara kategori pertama: kajian cita rasa kopi dalam rumpun ilmu sosial
humaniora; dengan kategori kedua: kajian kopi sebagai komoditas kapitalisme
dalam konteks relasi kuasa global. Yakni esai dari Ted Lingle dengan judul
“Hidup dengan Kopi” serta “Mengapa orang Amerika minum Kopi?” yang ditulis oleh
Steven Topik dan Michelle Craig McDonald. Esai Lingle bercerita tentang
pengalaman hidup Lingle yang mengampanyekan gagasan specialty coffee di AS
dan perannya menginisiasi SCAA. Sementara esai dari Topik dan McDonald
lebih mengulik sejarah AS memproyeksikan identitas nasionalnya sebagai
bangsa peminum kopi di tengah mapannya identitas imperialis besar dunia
lainnya, seperti Spanyol dengan cokelat, Jerman dengan bir, dan Inggris dengan
teh. Kedua esai ini jelas bukan topik yang ingin diteliti di sini. Tapi bahasan
kedua esai ini akan membantu mengurai historisitas akar kuasa SCAA, atau
akan didudukan sebagai document dalam pengertian Foucault untuk kemudian
dibaca secara kritis.
Berikutnya, di kategori kajian pustaka kedua: kajian kopi sebagai
komoditas kapitalisme dalam konteks relasi kuasa global. Terdapat satu
penelitian yang begitu relevan dengan bahasan di sini, yakni penelitian dari
Fauziah Romahtika Mayang Sari, yang diberi judul, “Kapabilitas Hegemoni Amerika
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia”11. Apa
yang dilakukan Fauziah sedikit banyak mendekati persoalan pokok dalam
penelitian ini, yakni perihal bagaimana Barat, khususnya AS, menjadi hegemon
dalam industri kedai kopi dunia. Kapabilitas hegemoni ini didapati AS terhitung
sejak menyandang status sebagai negara pemenang Perang Dunia II. Status de
facto ini memungkinkan AS untuk menutup kekurangannya sebagai negara
yang tidak mampu memproduksi biji kopi mentah dengan berbagai variabel.
Ada tiga diantara beberapa variabel, yakni: pertama, melibatkan diri langsung
dalam komoditas kopi dalam wujud membentuk rezim Inter-American Coffee
Agreement (IACA) yang dilanjutkan dengan International Coffee Agreement (ICA)
yang berkewenangan mengatur tata niaga kopi dunia. Kedua, AS mengimpor
berbagai biji kopi mentah khususnya dari Amerika Latin untuk diolah menjadi
kopi bubuk, kopi sangrai (roasted), dan kopi dadak (instan) dan kemudian
diperdagangkan di pasar global. Ketiga, hegemoni juga dilancarkan AS dalam
konsumsi kopi dengan membentuk tren konsumsi kopi melalui industri kedai
kopinya. Tonggaknya ada pada Starbucks saat melakukan internasionalisasi
secara masif yang dimulai tahun 1996. Kopi yang merupakan bagian dari
konsumerisme masyarakat serta cara konsumsi di kedai yang sangat sarat
nilai-nilai khas Amerikanisasi dianggap sebagai media yang tepat untuk
menjadi etalase kultur AS yang kemudian mempengaruhi kultur (culture
hegemony) lain di luar AS.
Secara pasti, hendak dikatakan bahwa tiga variabel dari kapabilitas
hegemoni AS yang didapati Fauziah tidak diteropong dari konsumsi kopi
11 Fauziah Romahtika Mayang Sari, Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia, (Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
sebagai praktik kuasa dan pengetahuan—sebagaimana yang hendak ditelusuri
dalam penelitian ini. Meski begitu, tidak dipungkiri bahwa temuan penelitian
Fauziah bisa menjadi basis data yang saling mendukung dengan dua esai dari
Lingle dan McDonald dalam buku “Kitab Pendekar Kopi”. Keduanya bisa
dielaborasi untuk memperkaya gambaran praktik hegemoni AS bagi penelitian
di sini.
E. Kerangka Teori
Guna memeriksa persoalan politik cita rasa kopi dalam industri kopi
spesial di era gelombang ketiga, maka ide discourse (diskurs/wacana) dari
Michel Foucault dinilai relevan sebagai kerangka konseptual.
Secara teoritis, wacana cita rasa kopi akan ditempatkan dalam dua hal,
yakni wacana dalam kaitannya dengan analisis genealogis dan wacana dalam
kaitannya dengan pengalaman. Untuk kepentingan kedua, akan diperbantukan
pula konsep ambivalensi dari Homi K. Bhabha dalam bukunya The Location of
Culture (1994); dan konsep alienasi linguistik dari Bill Ashcroft, Gareth Griffins,
dan Hellen Tiffin yang tertuang dalam buku mereka, The Empire Writes Back:
Theory and Practice in Post-colonial Literature (1989).
a. Wacana dan Genealogi
Membalik adagium Francis Bacon di abad ke-15, “Knowledge is Power”,
Foucault dengan nada kritis menyatakan, “Pouvoir est savoir”. Bila Bacon
menyatakan dengan nada optimis bahwa dengan pengetahuan seseorang akan
memperoleh kekuasaan, maka Foucault sebaliknya, bahwa dengan kekuasaan
seseorang akan memproduksi pengetahuan guna meneguhkan kuasanya.
Bahwa kekuasaan akan selalu diartikulasikan lewat pengetahuan, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
pengetahuan akan berimplikasi pada kuasa. Setiap yang berkuasa, memegang
hak penuh untuk menentukan pengetahuan sebagai basis kekuasaannya.
Hegemoni dimapankan dan diartikulasikan lewat pengetahuan, dan siapa pun
yang mengontrol pengetahuan maka akan dapat mengontrol sejarah, bahkan
lebih jauh dapat mengontrol “kebenaran”. Siapa pun itu! Sebab kekuasaan
dalam keragaman manifestasinya itu tersebar di mana-mana. Dari unit-unit
terkecil hingga yang besar sekalipun. Foucault berbicara tentang aparatus untuk
menunjuk “siapa pun” yang bertindak sebagai hegemon. Aparatus adalah
struktur elemen-eleman heterogen, seperti wacana, hukum, institusi. Pendek
kata: apa yang dikatakan maupun yang tidak dikatakan. Aparatus terdiri dari
strategi pola-pola hubungan kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh
berbagai jenis pengetahuan12.
Itu sebabnya, dapat dipahami bahwa Foucault menolak narasi tunggal
kebenaran pengetahuan. Foucault lebih meyakini bahwa sifat kebenaran
pengetahuan itu parsial dan relatif karena didasari episteme tertentu pada
masanya. Episteme dipahami sebagai hal-hal yang fundamental yang
mengkontruksi realitas pengetahuan. Suatu ide/peristiwa yang sama akan
dinilai secara berbeda bergantung fragmen sejarah dan siapa yang memegang
kekuasaan pada saat itu. Episteme akan selalu berubah seturut fragmen sejarah
berikut relasinya pada kekuasaan. Sejarah bukanlah bentangan ide/peristiwa
yang total-berkesinambungan-kronologis, yang disusun berdasarkan prinsip
kausalitas, serta mengisyaratkan adanya permulaan dan suatu tujuan. Sejarah
bukanlah koherensi ide/peristiwa. Bagi Foucault, sejarah adalah retakan
12 Madan Sarup, Post-Structuralism dan Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Agnita Hidayat, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 110.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
(rupture), ia diskontinuitas13. Bahwa sejarah pada dewasa kini terpisah dari
sejarah masa lalu—tidak berkaitan. Sebab setiap fragmen sejarah memiliki
episteme-nya sendiri. Dan, episteme inilah yang menjadi formasi bagi
terbentuknya discourse of knowledge (wacana pengetahuan)14, yakni seperangkat
pengetahuan yang menyediakan suatu bahasa untuk berkomunikasi (praktik
sosial). Lengkapnya, seperangkat batasan dan regulasi (yang dikonstruksi
secara politis-ideologis atas pikiran dan tindakan) yang terterap ketika
membicarakan segala sesuatu. Bagaimana suatu sejarah: ide, pengetahuan,
peristiwa dikategoriksasikan, didefinisikan, dan ditindaklanjuti bergantung
pada komponen-komponen diskursif: disiplin ilmu, institusi, dan tokoh
(subjek).
Dalam penelitian ini, wacana cita rasa kopi dari SCA yang disusun
berdasar episteme dan relasinya dengan kekuasaan dalam suatu fragmen
sejarah tertentu akan dianalisis secara genealogis. Sebagaimana ide
diskontinuitas sejarah, prinsip-prinsip genealogi juga diadopsi Foucault dari
gaya filsafat Nietzsche, genealogy of moral. Genealogi menelisik bagaimana
kebenaran-kebenaran yang sudah dianggap terberi dan menjadi kelaziman
(taken for granted), seperti kebenaran ilmiah, rupanya suatu konstruksi historis
yang berdasar pada agenda sosial-politik tertentu15. Dengan kata lain, analisis
genealogi adalah analisis kritis yang menyasar akar wacana, yang bertujuan
menemukan bagaimana suatu pengetahuan ditentukan dan didisiplinkan
13 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Mudzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 17.
14 P. Sunu Hardiyanta, Michel Foucault: Displin Tubuh, Bengkel Individu Modern, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. XV.
15 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approach. (London: Sage Publication, 2003), hal. 115.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
sebagai sebuah wacana, serta bagaimana ia menjadi strategi kekuasaan pada
periode sejarah tertentu. Jadi tidak sebatas “menjelaskan” gejala-peristiwa
sosial, melainkan lebih jauh untuk menyingkap motif dan variabel tersembunyi
dalam tiap-tiap episteme.
Analisis genelaogi lazimnya akan mencermati detil-detil sejarah wacana
(historisitas wacana), bagaimana ia dikonstruksi. Pencermatan ini akan
mengandaikan pada apa yang dikatakan arsip/documents/statements sejarah
(arkeologis) sekaligus pada apa yang tidak dikatakannya (genealogis). Ini
terkait dengan mengapa arsip itu perlu ada dan sejarah beserta pengetahuan
dan kebenarannya itu perlu dikonstruksi16. Analisis genealogis akan lebih
berupaya memeriksa rangkaian proses pendisiplinan pengetahuan dan formasi
diskursifnya (episteme) yang menjadi taktik dan strategi kekuasaan. Bagaimana
rangkaian tersebut memperlihatkan perkembangannya, dan kemudian
dikonsumsi pada masanya hingga diyakini menjadi sebuah rezim
“kebenaran”17.
Bila dirumuskan sebagai langkah berpikir tentang kuasa dan
pengetahuan, maka penjelasan di atas dapat diringkas sebagaimana berikut:
setiap yang berkuasa akan dapat menentukan (produksi) dan mengontrol
pengetahuan guna kepentingan kuasanya. Politisasi pengetahuan ini kemudian
menyarankan pada sebuah rezim “kebenaran”. Sifat kebenaran itu parsial dan
relatif, sebab dibaliknya tersimpan episteme tertentu. Episteme ini berada dalam
sejarah yang diskontinu (rupture). Inilah yang kemudian disebut discourse, yang
dalam penelusurannya diperlukan analisis genealogi. Suatu kerja analisis yang
16 Paula Saukko, hal. 118.
17 Michel Foucault, Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan, terj. Yudi Santosa (Yogyakarta: bentang Budaya: 2002) hal. 96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
menggugat kebenaran wacana-pengetahuan dengan cara menelanjangi
historisitas kebenaran tersebut.
b. Wacana dan Pengalaman
Dalam kaitannya dengan pengalaman, wacana dibentangkan pada dua
pemahaman sekaligus, sebagai disiplin dan sebagai teknologi diri. Sebagai
disiplin, wacana (yang seringkali tidak disadari) telah mendisiplinkan atau
mengkonstruksi pengalaman (lived experience) dan kesadaran diri seseorang
(sense of self) yang amat mendasar. Segala hal yang dinilai sebagai yang
autentis pada personalitas seseorang adalah hasil dari internalisasi wacana
melalui kuasa institusi-institusinya. Di sinilah letak dari kekuatan wacana yang
mampu merekayasa kesadaran seseorang. Meskipun demikian, di saat yang
bersamaan, Foucault juga mengatakan, “where there is power, there is resistance”,
bahwa wacana tidak selalu bersifat monolitik. Di satu sisi, wacana akan
mendisiplinkan seseorang, sedang di sisi lain, wacana akan selalu membuat
seseorang melakukan resistansi18.
Untuk menjelaskan resitansi inilah, maka Foucault meneruskan
pandangannya tentang wacana. Dari wacana sebagai disiplin ke wacana
sebagai teknologi. Sebagai teknologi, Foucault tidak lagi melihat wacana yang
mendisiplinkan, melainkan sebagai upaya seseorang untuk membalikkan
keadaan, yang semula “dikuasai” menjadi “menguasai”. Foucault mengatakan
bahwa seseorang dapat melakukan “critical ontology of self” dengan cara
memanfaatkan wacana yang telah membentuk subjektivitas seseorang dan
kemudian mereaktualisasi kembali diri secara berbeda. Praktik ini bukan upaya
18 Paula Saukko, hal. 76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
membebaskan diri dari wacana, melainkan sebagai upaya menumbuhkan
kesadaran kritis terhadap wacana yang selama ini telah mengkonstruksi
subjektivitas seseorang19.
Walaupun Foucault telah melihat aspek bagaimana wacana dialami,
namun sayangnya pengalaman di sini tidak dimaksudkan sebagai pengalaman
terjajah sebagai imbas dari kolonialisme Barat. Foucault mengabaikan
ekspansi kolonial sebagai suatu aspek dari masyarakat sipil Eropa yang ia teliti,
atau bagaimana kolonialisme telah memengaruhi sistem-sistem
kekuasaan/pengetahuan negara Eropa modern. Maka konsep-konsep Foucault
sendiri adalah Eropa sentris dalam fokusnya, dan terbatas manfaatnya dalam
memahami masyarakat-masyarakat kolonial.
Pengalaman yang diurai Foucault lebih mengarah ke bagaimana negara-
negara Eropa modern yang “produktif” meliyankan (othering) subjek-subjek sipil
Eropa yang dianggap “abnormal”. Praktik ini cenderung beroperasi melalui
hukuman, siksaan, pelabelan (diagnosis), penjara dan asilum. Foucault luput
melihat bahwa negara-negara Eropa modern juga adalah yang “represif”,
sementara negara-negara kolonial yang terepresi itu sudah tidak “modern” di
mata Eropa. Foucault juga abai bahwa subjek-subjek kolonial dalam pengertian
Eropa sudah menjadi yang liyan lebih dulu ketimbang subjek-subjek sipil Eropa.
Hal yang tak kalah yang penting diabaikan Foucault adalah kekuasaan
hegemonik (kolonial) tidak melulu beroperasi dengan cara-cara represi fisik,
tapi juga dengan merepresi mindset yang dicitrakan konstruksif dan positif20.
19 Paula Saukko, hal. 77
20 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal 68-69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Karena kelemahan-kelemahan ini, agar wacana dan pengalaman cita rasa
SCA dapat diletakkan dalam konteks kajian pascakolonial, maka diperlukan
teori bantu. Apa yang dirumuskan oleh Bhabha sebagai ambivalensi dipandang
dapat membantu menjelaskan perihal ini. Asumsinya, bahwa wacana cita rasa
ini adalah wacana neo-kolonial yang diedarkan oleh Barat, yakni SCA, kepada
orang-orang yang hidup di negara-negara pascakolonial, yakni Indonesia.
Wacana ini seringkali berpretensi mulia, bahwa SCA acapkali mencitrakan diri
sebagai organisasi nirlaba yang berdedikasi memajukan industri kopi spesial
dunia lewat kerja-kerja saintifik dan keberlanjutan (sustainability). Dengan
demikian, akan ada relasi kuasa global yang kompleks di sana yang cenderung
tidak disadari. Sebuah relasi yang diasumsikan bergandengan tangan dengan
pertumbuhan kapitalisme, di mana keuntungannya tetap mengalir ke pusat:
Barat.
Bagi Bhabha, wacana kolonial tidak sepenuhnya berhasil menguasai
subjek-subjek kolonial. Akan selalu ada potensi untuk negoisasi dan resistansi
oleh terjajah kepada penjajah. Bhabha berpandangan bahwa individu atau
kelompok masyarakat pada dasarnya bersifat hibrid, yakni terjadinya
percampuran antara budaya, bahasa, dan ras, sebagai konsekuensi logis
adanya interaksi antar manusia yang saling memengaruhi. Hibriditas akan
selalu ada dalam setiap subjek dan kebudayaan, menurut Bhabha, dan wacana
kolonial kemudian menginterupsi keniscayaan ini dengan memberi kesan
bahwa setiap budaya itu terpisah secara tegas, dan final. Dengan kata lain,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
wacana kolonial menolak sifat individu atau kelompok masyarakat di tanah
koloninya sebagai yang cair dan dinamis21.
Konsep hibriditas diketengahkan Bhabha sebagai upaya mengkritisi
fiksasi tadi, yang dijalankan melalui proyek sterotipisasi. Kolonial akan selalu
berambisi menstereotipisasi yang terjajah di tengah realitas yang hibrid.
Stereotipisasi oleh wacana kolonial selalu mengasumsikan kondisi yang
terjajah adalah fix dan koeksis dengan keadaan yang tidak teratur dan
berantakan. Padahal realitasnya, tidak semua yang terjajah demikian. Namun
oleh wacana kolonial, realitas ini kemudian diprasangkakan sebagai yang
disorder. Mengapa? Sebab dengan menstereotipikasi terjajah, penjajah dapat
mengeliminasi kecemasan (anxiety) penjajah, bahwa hibriditas akan
mengancam hirarki identitas antara penjajah yang selalu baik dan terjajah
yang selalu buruk22.
Selain hibriditas, kecemasan ini juga berdasar pada wacana kolonial yang
bersifat ambivalen. Ambivalensi adalah kondisi di mana wacana kolonial, di
satu sisi, begitu tegas menarik perbedaan identitas dengan cara yang rasis dan
penuh stereotip. Bahwa non-Barat selalu dinilai “terbelakang” dibanding Barat.
Sedang di sisi lain, kolonialisme dilegitimasi melalui misi pemberadaban.
Bahwa subjek-subjek kolonial yang “terbelakang” perlu dididik agar dapat
sama “majunya” dengan kolonialis. Tujuannya, agar subjek-subjek kolonial
yang terdidik dapat mengagumi kebesaran bahasa dan budaya penjajah.
Terjajah dididik berbahasa Inggris, misalnya, agar ia mampu mampu membaca
21 Katrin Bandel, Homi K. Bhabha, (Bahan Kuliah Kajian Pascakolonial, Magister Kajian Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2017)
22 Katrin Bandel; dan David Huddart, Homi K. Bhabha, (Routledge: London dan New York, 2006), hal 25 dan 37.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
karya-karya sastra klasik dari Inggris dan kemudian mengagumi “ke-
adiluhung-annya”. Atau paling tidak agar ia mampu berkomunikasi seperti
penjajah, menggunakan bahasa yang sama. Meski diharapkan sama, tapi
jangan sampai sama persis, “almost the same, but not quite”. Sebab bila sama
persis, hierarki identitas antara penjajah dan terjajah akan kabur, dan segala
stereotip yang rasis akan menjadi fiktif, “almost the same, but not white”23.
Konsep ambivalensi ini juga menghasilkan tindakan lain, yakni mimikri.
Bila sikap ambivalensi tadi datangnya dari diri penjajah, maka mimikri
datangnya dari terjajah. Mimikri adalah tindakan terjajah yang meniru (mimic)
penjajah. Peniruan ini bukan murni ketertundukan, melainkan menjadi mockery
(ejekan)—“mimicry is at once resemblance and menace”—kepada kolonial. Di satu
sisi, terjajah “benci” pada penjajah karena dominasi dan represi kolonial.
Namun di sisi lain, terjajah berkompromi dengan berupaya tampil sama dengan
penjajah dalam hal bahasa, budaya, sikap dan gaya berpikir, tujuannya untuk
resistansi. “Mimicry repre-sents an ironic compromise,” ujar Bhabha. Bhabha
memandang mimikri sebagai strategi perlawanan terjajah pada wacana
kolonial, resistansi. Meskipun resistansi seringkali dilakukan secara tidak
sadar. Dengan konsep mimikri, terjajah dipandang bukan sebagai objek pasif
yang dikuasai (oleh penjajah, wacana kolonial). Terjajah meniru, tapi bukan
berarti tunduk24.
Berikutnya, konsep lain yang turut diperbantukan dalam penelitian ini
adalah alienasi linguistik dari Ashcroft, dkk. Konsep ini dipakai sehubungan
bagaimana bahasa cita rasa kopi yang distandarkan oleh SCA menjadi salah
23 Katrin Bandel; dan David Huddart, hal 40
24 Katrin Bandel; dan David Huddart, hal 39-41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
satu praktik represi neo-kolonialisme terhadap subjek-subjek pascakolonial. Di
sini, SCA diasumsikan telah mengontrol persepsi cita rasa seseorang melalui
sarana bahasa. Bahasa menjadi sarana untuk menunjukkan struktur hierarki
kekuasaan dan menetapkan konsepsi-konsepsi kebenaran, aturan, dan realitas
yang terepresi25. Hierarki bahasa SCA sebagai bahasa “pusat” dengan bahasa
pascakolonial yang dikatakan sebagai bahasa “pinggiran” berimplikasi pada
keterasingan bahasa atau alienasi linguistik. Yakni sebuah kondisi di mana
subjek pascakolonial mengafirmasi bahasa “pusat” dan menggunakannya
untuk mengekspresikan konsep tertentu. Keteraturan menggunakan bahasa
“pusat” secara terus-menerus oleh subjek pascakolonial, menjadikan mereka
mulai terasing dari bahasa ibu yang dihidupinya. Seakan bahasa ibu tidak
dibutuhkan, sebab dirasa tidak memadai untuk dipakai sebagai sarana
berekspresi. Bahasa ibu terdesak menjadi “pinggiran”, dinilai tidak cocok, tidak
pas dan tidak layak digunakan. Sehingga para penuturnya pun menjadi
kesulitan jika harus mengungkapkan konsep tertentu dengan bahasa historis
miliknya26. Pada kondisi itu pula, subjek pascakolonial secara tidak sadar
direkayasa menjadi inautentis. Menjadi distingsif antara pengalaman autentis
dari dunia yang “real” dengan pengalaman yang inautentis dari pengalaman
“pinggiran” yang tidak sah. Ashcroft, dkk, menilai bahwa dominasi “pusat” dan
pandangan resminya harus ditentang sampai pengalaman “pinggiran” tersebut
dapat diterimanya27.
25 Bill Ashcroft, dkk, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature, (London-New York: Routledge, Edisi Kedua, 2002), hal. 7-8.
26 Aschcroft, dkk, hal. 8-11
27 Aschcroft, dkk, hal. 87-88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
Berbekal konsep ambivalensi dari Bhabha dan alienasi lingusitik dari
Ashcroft, dkk, ini, penjelasan tentang wacana dan pengalaman―yang
mendisiplinkan sekaligus yang monolitik―seperti yang dimaksud Foucault,
dapat diletakkan dalam konteks kajian pascakolonial sebagai pengalaman
yang terdampak dari adanya praktik-praktik neo-kolonialisme.
F. Metode Penelitian
Secara formal, penelitian ini tergolong sebagai penelitian teks/wacana
budaya (speaking being) sekaligus penelitian pengalaman para pelaku dari
budaya itu sendiri (living being). Sebagai speaking being, penelitian ini berfokus
pada savoir kopi dengan mengambil bentuk analisa wacana cita rasa SCA di era
industri kopi spesial di gelombang ketiga. Seperti yang sudah disinggung
sebelumnya, analisa genealogis Foucauldian akan ditempuh.
Genealogi dibedakan dari arkeologi. Bila arkeologi mendasarkan analisanya
pada apa yang dikatakan oleh dokumen-dokumen sejarah, tapi tidak
berspekulasi tentang apa yang tidak dikatakan, maka genealogi mencoba
masuk ke spekulasi yang lebih dalam, yakni tentang motif-motif dan
pembentukan subjek atau institusi wacana di masa lalu28.
Dengan kata lain, genealogi lebih berupaya memeriksa rangkaian
pengetahuan dan formasi diskursifnya. Lebih jelasnya, setiap episteme yang
didapat dari pemeriksaan arkeologis tadi, kemudian akan diperiksa kembali
dengan pertanyaan lanjutan: bagaimana rantai episteme memperlihatkan
perkembangannya, dan kemudian dikonsumsi pada masanya hingga diyakini
menjadi sebuah rezim “kebenaran”. Dengan demikian, genealogi atas
28 Paula Saukko, hal. 118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
pengetahuan ini dianilisis bukan dalam kaitannya dengan berbagai tipe
kesadaran, model persepsi, dan bentuk ideologi (seperti dalam arkeologi),
melainkan dalam kaitannya dengan taktik dan strategi kekuasaan29.
Dengan genealogi pula, historisitas wacana cita rasa kopi dalam industri
kopi spesial akan dianalisis. Bahwasanya cita rasa kopi tidak hanya
dipengaruhi oleh jejak produksinya saja: dari kebun ke cangkir, tapi yang paling
penting juga dikonstruksi sebagai wacana yang diusung oleh AS melalui
institusi SCA. Analisa di sini akan mendasarkan pada pembacaan kritis atas
objek pengetahuan yang mewujud document dan/atau statement. Pengetahuan
yang dimaksud adalah pengetahuan yang membatasi seseorang akan cita rasa
kopi spesial, yakni pengetahuan sains yang dipandang objektif dan universal.
Sementara document yang dimaksud antara lain, Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon,
SCA Coffee Standards, dan SCAA Cupping Protocols, yang diterbitkan oleh SCA
maupun organisasi/institusi yang terafiliasi dengannya. Juga beberapa
dokumen lain yang berkaitan dengan institusi wacana SCA, seperti yang
tertuang dalam esai “Hidup dengan Kopi” yang ditulis oleh Ted Lingle—seorang
yang gigih mengampanyekan kopi spesial serta salah satu dari aktor dibalik
berdirinya SCAA dan CQI—dan dokumen lain yang berhubungan dengan tren
komoditas kopi bagi kepentingan nasional AS. Dokumen-dokumen ini dibaca
wujud dari statement: sebagai praktik artikulatif yang dibentuk oleh conditions of
possibility30. Terdapat empat kondisi yang memungkinkan statement
dioperasikan sebagai praktik diskursif cum sebagai praktik sosial, yaitu: objek
29 Power/Knowledge, hal. 96.
30 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 2006) hal. 38.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
pengetahuan, the formations of objects31 (pengetahuan yang saintifik, objektif,
dan universal); subjek penutur dan gaya bertutur, the formations of enunciative
modalities32 (SCAA/SCA dan subjek-subjek yang mengidealisasikannya); konsep-
konsep dan kategori yang menguatkan statement, the formations of concepts33
(industri kopi spesial di era gelombang ketiga); dan strategi-strategi yang
memungkinkan realitas (cita-rasa) hadir, the formations of strategies34.
Pembacaan ini dilakukan dalam rangka mempelajari sejarah yang telah terberi
(taken for granted) guna membongkar “kebenaran-kebenaran” sejarah itu sendiri.
Pada titik ini, teknik analisa masih dijalankan secara arkeologis. Baru
kemudian, hingga pada gilirannya menuju ke analisa genealogis yang akan
mengantarkan pada analisa pengetahuan dan relasi kuasa yang ada dalam
wacana cita rasa kopi yang hidup dalam masyarakat industri35.
Hasil analisa ini kemudian akan dibawa dan dikonfrontir dengan praktik
formal penelitian selanjutnya: living being. Sebagai living being, saya mencoba
mencermati bagaimana pelaku budaya mengalami teks budaya. Bagaimana
wacana cita rasa kopi dari SCA kemudian dialami oleh berbagai orang.
Bagaimana setiap orang bernegoisasi dan/atau mereproduksi pengetahuan cita
rasa SCA. Untuk kepentingan ini, selain konsep tentang wacana dan
pengalaman dari Foucault—baik sebagai disiplin maupun teknologi diri—
tahapan analisa living being juga akan dilengkapi oleh konsep dari Bhabha
tentang ambivalensi dan alienasi linguistik dari Ashcroft, dkk. Konsep-konsep
31 Norman Fairclough, hal. 41-43
32 Norman Fairclough, hal. 43-45
33 Norman Fairclough, hal. 45-48
34 Norman Fairclough, hal. 48-49
35 Norman Fairclough, hal. 54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
mereka dipakai sebab pengalaman yang dimaksud di sini adalah pengalaman
subjek-subjek pascakolonial; subjek yang mengalami wacana cita rasa SCA
yang berat sebelah ke AS. Dan, dengan konsep-konsep ini, ciri-ciri pengalaman-
pengalaman tersebut dapat dijelaskan. Praktik penelitian living being ini akan
menggali pengalaman subjek melalui pendekatan self-reflexive dan kegiatan
wawancara.
Ada dua pengalaman yang akan saya amati nantinya. Pertama, pengalaman
saya pribadi sebagai awam dalam mencicip cita rasa kopi. Di sini, saya akan
menggali berbagai ingatan personal saya saat hendak menyatakan cita rasa
kopi. Kemudian didialogkan kembali pada situasi aktual setelah saya
melakukan analisa genealogi atas wacana cita rasa tadi. Penggalian ini tidak
semata mengandalkan ingatan empiris, melainkan juga didukung oleh tinjauan
berbagai catatan atau dokumen yang pernah saya tulis dan arsipkan sejauh
berkaitan dengan cita rasa kopi. Untuk mendukung pembacaan ini, maka
pendekatan self-reflexive akan diperbantukan. Dalam peta analisis wacana dan
pengalaman, self-reflexive ini dapat dipahami sejalan dengan gagasan Foucault
tentang disiplin dan teknologi diri, yakni sebuah proyek inventarisasi dan
penelitian kritis atas wacana-wacana yang telah membentuk diri sendiri.
Foucault (via Saukko) menyebutkan bahwa orang bisa melalakukan “critical
ontology of the self” dengan memanfaatkan berbagai wacana yang telah
membentuk subjektivitasnya dan kemudian mengimajinasikan ulang dirinya
secara berbeda36.
Kedua, adalah pengalaman orang lain, yakni pengalaman dari Q-Grader/R-
Grader sebagai yang primer; serta pengalaman pelaku bisnis pendidikan dan
36 Paula Saukko, hal. 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
pelatihan kopi yang tersertifikasi oleh SCA (SCA Premier Campus) dan ilmuwan
sensori dan cita rasa kopi (coffee flavor and sensory scientist) sebagai yang
sekunder. Keduanya digolongkan sebagai pengalaman yang mewakili kalangan
profesional. Pengalaman mereka menjadi penting untuk diketahui, sebab
mereka adalah subjek aktif yang “dipercaya” oleh institusi wacana cita rasa
SCA, sekaligus yang mewakili sisi lain dari bagian (situasi) budaya yang akan
diteliti. Penggalian pengalaman mereka juga bagian dari upaya memahami
orang lain melalui perbandingan dan pertukaran pengalaman yang setema
antar subjek. Pun juga untuk mengetahui posisi dan daya tawar khususnya bagi
Q-Grader/R-Grader terhadap wacana cita rasa SCA. Serta bagaimana respon
mereka atas temuan kritis dari praktik formal penelitian sebelumnya, speaking
being. Seperti yang dijelaskan Saukko, bahwa self-reflexive adalah pendekatan
yang mencoba merefleksikan sekaligus menarasikan pengalaman diri peneliti,
untuk selanjutnya memahami orang lain (understanding other). Pengalaman
kedua ini akan digali melalui kegiatan wawancara secara mendalam; yang
hasilnya akan diolah secara kualitatif. Wawancara menjadi penting agar analisa
di sini dapat terhindar dari tindakan “mendiagnosis” subjek-subjek wacana.
Seperti kritik Saukko (2001), bahwa analisis kritis yang dilakukan Foucault atas
wacana yang mendisiplinkan dan membentuk pengalaman subjek cenderung
jatuh pada produksi logika pengakuan itu sendiri. Peneliti yang demikian, ujar
Saukko, pada gilirannya akan memberi kesan sebagai penafsir yang “maha
tahu”, yang memberikan penilaian tentang kebenaran pengalaman subjek yang
ditelitinya, dan membuat diagnosis37. Atas alasan inilah, wawancara menjadi
37 Paula Saukko, hal. 77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
penting sebagai data pembanding dalam analisis pengalaman subjek-subjek
wacana.
Para penguji cita rasa kopi, Q-Grader/R-Grader, yang dimaksud adalah yang
berlisensi CQI, yang berasal dan bekerja di Indonesia: representasi “dunia
ketiga”. Mereka yang dipiih sebagai narasumber adalah Q-Grader/R-Grader yang
vokal, representatif serta populer di industri kopi nasional. Dikatakan begitu,
sebab pendapat mereka tentang cita rasa kopi begitu melimpah dan berserak di
berbagai media massa serta di banyak tulisan lepas. Pendapat mereka pun
digemari, dirujuk, dan diyakini kualitasnya oleh banyak para pegiat kopi di
Indonesia. Ada tiga orang yang dipandang masuk kualifikasi ini, yaitu Adi W.
Taroepratjeka, Q Arabica Instructor dari 5758 Coffee Lab., Bandung; Uji Sapitu, Q
Robusta Grader dari Rumah Kopi Ranin, Bogor; dan William Christiansen, Q Arabica
Grader dari Space Roastery Yogyakarta . Sementara narasumber yang mewakili
pebisnis SCA Premier Training Campus adalah Andi K. Yuwono dari 5758 Coffee Lab.,
Bandung; serta yang mewakili kalangan Coffee Flavor and Sensory Scientist, adalah
Wenny Bekti Sunarharum, Ph.D dari Universitas Brawijaya Malang.
Andi K. Yuwono dipilih sebab 5758 Coffee Lab., yang ia kelola—sebagai salah
satu SCA Campus yang mentereng di Indonesia—bersama Seniman Coffee Bali
menciptakan alternatif Roda Rasa selain SCAA, yaitu Roda Rasa Kopi Indonesia.
Alasan serupa juga berlaku pada Wenny Bekti Sunarharum yang telah
menciptakan Sensoflavo: Coffee Aroma Library, sebuah coffee aroma kit lokal
pertama di Indonesia. Senso Flavo hadir belakangan setalah kit aroma kopi lain
seperti, Le Nez Du Café dari Perancis (yang dipakai SCA sebagai standar referensi
aroma kopi), dan Scentone: Coffee Flavor Map dari Korea Selatan. Baik Roda Rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
Kopi Indonesia maupun Sensoflavo, keduanya mendapat respon dan antusiasme
yang tinggi dari pegiat kopi di Indonesia.
G. Sistematika Pembahasan
Bab pertama berisikan pendahuluan yang menguraikan argumentasi
seputar signifikasi penelitian ini. Di dalamnya, terdiri dari latar belakang,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, kerangka teori dan metode
penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika pembahasan.
Bab kedua, tentang cita rasa kopi. Bab ini berisi informasi dan definisi
tentang cita rasa dan persepsi; mutu kopi dan pengaruhnya terhadap cita rasa
kopi; Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon; Q-Grader/R-Grader dan coffee cupping
sebagai aktivitas kerja mereka. Bab ini juga mengulas tentang specialty coffee
dan era gelombang ketiga. Definisi dan informasi di sini dirasa perlu, sebab
sebagai batasan dan gerbang masuk ke persoalan penelitian ini.
Bab ketiga, perihal analisis wacana dan institusinya. Di sini, historisitas
wacana cita rasa SCA yang berelasi dengan kekuasaan tertentu akan dianalisis
secara genealogis. Bab ini juga akan berupaya menunjukkan muatan politis-
ideologis dari wacana cita rasa kopi yang diusung SCA. Bagaimana wacana
tersebut menjadi begitu dominan dan otoritatif bagi industri kopi spesial
global.
Bab keempat, berkaitan dengan bagaimana wacana cita rasa SCA dialami
oleh subjek-subjek pascakolonial. Pada bagian ini, akan dibicarakan
pengalaman Q-Grader/R-Garder, pelaku bisnis SCA Campus, ilmuwan sensori dan
cita rasa kopi sebagai professional, yang bernegoisasi dan/atau mereproduksi
standar pengetahuan cita rasa SCA. Atau dengan kata lain, bab ini akan bicara
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
bagaimana mereka merepresentasikan subjektivitasnya di tengah kuasa
wacana dominan.
Bab kelima, penutup dan kesimpulan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
BAB II
CITA RASA KOPI
Bab ini memberi beberapa uraian tentang batasan dan gambaran dalam
penelitian ini. Mula-mula tentang batasan yang diterangkan melalui definisi.
Uraian ini meliputi definisi rasa, aroma, dan cita rasa kopi, sekaligus definisi
lain yang terkait, seperti definisi tentang mutu. Selanjutnya, uraian berkembang
ke gambaran tentang Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon sebagai basis
pengetahuannya. Lalu para penguji cita rasa kopi, Q-Grader/R-Grader, yakni
individu terpenting yang hidup di tengah gagasan cita rasa kopi SCA. Di akhir
bab, penjelasan mengenai kapan Roda Rasa SCAA ramai dibicarakan akan
diketengahkan. Pertanyaan waktu ini akan menunjuk era gelombang ketiga
yang secara bersamaan turut membahas kopi spesial sebagai kopi yang
memiliki cita rasa terbaik. Segala uraian dalam bab ini dimaksudkan sebagai
informasi awal dan penunjang sebelum masuk ke persoalan cita rasa sebagai
wacana.
A. Cita Rasa dan Persepsi
Ada tiga hal yang perlu ditekankan di sini. Tiga hal ini, meski sulit, sebisa
mungkin ditulis secara singkat dengan menghindari bahasa yang amat
fisiologis. Setidaknya, agar tidak terlalu teknis tapi bukan berarti menjadi
simplistis. Hal pertama, adalah soal rasa. Rasa merupakan tanggapan indra
pengecap, yakni lidah. Lidah memiliki reseptor yang hanya mampu mencecap
rasa-rasa yang mendasar (basic taste) seperti manis, asin, asam, pahit dan gurih
(umami).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
Kedua, soal aroma. Aroma adalah tanggapan dari indra pencium, yakni
hidung. Hidung mampu mendeteksi lebih dari 10.000 aroma atau aromatik
murni (pure aromatics taste) seperti aroma buah-buahan, sayuran, rempah-
rempah, bebungaan, kacang-kacangan, alkohol/fermentasi, kimiawi, dan
seterusnya. Jadi, sebagian besar yang dianggap rasa sebenarnya adalah aroma
yang dibaui. Rasa serupa lemon yang didapat dari kopi, misalnya, pada
dasarnya adalah aroma kopi. Maka wajar bila dikatakan bahwa kopi adalah
produk aromatik yang lebih mengandalkan hidung untuk mendeteksi cita rasa.
Lalu apa itu cita rasa? Ini hal yang ketiga. Membahas cita rasa kadangkala
menyulitkan. Lantaran cita rasa merupakan fenomena multisensoris yang
dipengaruhi berbagai faktor. Tapi yang patut digarisbawahi adalah bahwa cita
rasa merupakan sensasi yang kompleks yang dihasilkan dari interaksi antara
rasa dari lidah, aroma dari hidung, tekstur dan kesan di mulut (mouthfell).
Sensasi ini lantas diteruskan ke otak untuk diinterpretasi. Otak kemudian akan
memberikan respon sehingga seseorang mempersepsikan dan menyadari cita
rasa—dalam hal ini adalah kopi—seturut referensi atau pengalaman konsumsi
masing-masing. Pada titik ini, cita rasa yang bersifat abstrak ini menjadi
persoalan yang amat subjektif. Oleh saintis cita rasa dan sensori (flavor and
sensory scientist), seperti Wenny Bekti Sunarharum (2019) proses interaksi dan
interpretasi ini lazim disebut sebagai persepsi cita rasa.
Selain rasa dan aroma, warna juga menjadi parameter lain yang
mempengaruhi persepsi cita rasa. Menyadari bahwa manusia juga makhluk
visual, maka penampilan maupun warna menjadi sangat penting untuk produk
pangan dan minuman, termasuk kopi. Misalnya, biji kopi yang disangrai gelap
akan memberi persepsi cita rasa pahit. Atau biji kopi yang cenderung cacat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
fisiknya atau cacat bentuk (pecah, berlubang, hitam sebagian) dapat dipersepsi
sebagai cacat cita rasa.
Cita rasa pun terkait dengan intensitas. Karena terkait, maka cita rasa
bersifat temporer. Berdasarkan waktu sangrai kopi (kesegaran kopi), misalnya,
kopi yang diseduh tak jauh dari tanggal kopi disangrai tentu memiliki
intensitas cita rasa yang kuat, ketimbang kopi apek hasil sangraian lama. Atau
berdasarkan waktu pasca seduh, kopi yang masih panas, hangat, dan dingin
memiliki cita rasa sama tapi berbeda dalam hal intensitas. Intensitas akan
berbeda dan berubah dari detik-detik awal kopi diminum hingga di fase-fase
akhir. Aroma awal kopi saat diminum pada suhu panas dan tegukan pertama
akan memiliki intensitas yang sangat kuat, lalu semakin melemah atau
menimbulkan sensasi lainnya pada tegukan di waktu berikutnya1.
Jadi, tiga hal tadi, bila diringkas: cita rasa adalah perpaduan antara 1) rasa,
2) aroma, 3) tekstur dan kesan di mulut, 4) tampilan warna 5) yang bersifat
subjektif dan temporer.
B. Mutu Kopi dan Pengaruhnya ke Cita Rasa
Mutu berpengaruh pada, pertama cita rasa, kedua penggolongan (grade),
dan ketiga harga dan pangsa pasar. Ketiganya dimafhumi oleh banyak orang.
Sejak tahun 1970-an telah banyak ilmuwan yang mencoba mendefiniskan mutu.
Diantaranya yang populer adalah Crosby (1979), Demming (1986), Lowe dan
Mazzeo (1986), serta Juran dan Godfrey (1998). Tapi secara umum, mengikuti
simpulan dari Wenny, seorang flavor and sensory scientist, mutu merupakan
1 Sebagian besar uraian ini disarikan dari buku: Wenny Bekti Sunarharum, dkk, Sains Kopi Indonesia, (Malang: UB Press, 2019) , hal. 29-34; dan didukung buku: Shawn Steiman, The Little Coffee Know-It-All: Serba-serbi Kopi yang Harus Kamu Ketahui, terj. Prasojo dan Ining Isaiyas, (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019) , hal. 209-212.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
kesesuaian (conformance) dengan tujuan, performa (performance) yang baik,
maupun pemenuhan kebutuhan (requirement) atau kepuasan (satisfaction)
konsumen2.
Terkait dengan kopi, mutu kopi bisa ditinjau melalui beberapa cara yang
meliputi penilaian karakteristik fisik, kimiawi maupun sensoris. Mutu fisik
menilai tampilan fisik dan karakteristik fisik kopi. Sementara mutu kimiawi
kopi berhubungan dengan komposisi kimiawi kopi, misalnya kandungan air,
kadar kafein, dan senyawa-senyawa lainnya yang dikandung kopi. Berbeda
dengan mutu fisik dan kimiawi, mutu sensoris berhubungan dengan penilaian
cita rasa kopi dan diukur oleh indra manusia3.
Ada banyak standar mutu kopi yang menjadi acuan oleh pasar nasional
maupun internasional. Misalnya, Standar Nasional Indonesia (SNI) yang
disusun oleh Kementrian Pertanian RI untuk kebutuhan nasional; standar dari
International Organization for Standardization (ISO) yang lebih banyak menyoal grade
kopi komersil untuk pasar internasional; dan standar SCA untuk industri kopi
spesial AS dan Eropa. Tapi untuk kepentingan penelitian ini4, hanya standar
SCA-lah yang lebih dieksplorasi di sini. Daya tarik standar SCA terletak pada
kekhususannya menangani produk kopi spesial dan cakupan evaluasi mutu
kopi yang lebih luas dan ketat dibanding standar lainnya—tidak hanya mutu
fisik tapi juga mutu sensoris. Selain itu, standar SCA juga diakui secara
internasional meski diniatkan untuk pasar AS dan Eropa.
Standar mutu SCA mencakup green coffee standards, yakni ketentuan dalam
menilai tampilan fisik dan karakteristik biji kopi hijau (green bean) dan water
2 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 17.
3 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 18.
4 P.S Siswoputranto, Kopi Internasional dan Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 1993), hal. 196
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
standards berupa ketentuan dalam menilai aspek kimiawi air yang digunakan
untuk menyeduh kopi, dan cupping protocols yang mengatur standar cupping
guna menilai mutu kopi secara sensoris. Standar dari SCA ini diterbitkan dalam
berbagai selebaran, diantaranya yang berjudul SCA Coffee Standards dan SCAA
Cupping Protocols5. Oleh SCA, coffee standards dikatakan sebagai instrumen
referensi terpercaya yang disusun oleh para ahli melalui serangkaian uji
kuantitas dan kualitas secara ilmiah6.
Poin penting di green coffee standards adalah agar bisa digolongkan sebagai
specialty coffee, setiap 300 gram biji kopi hijau memiliki nilai catat (defect) yang
sangat kecil, tidak lebih dari 5 biji kopi hijau. Jenis cacat biji kopi hijau bisa
berupa biji hitam/sebagian, biji berlubang, biji pecah, dan seterusnya. Green
Coffee Standards juga mengatur perihal ukuran biji (permukaan), warna dan bau
biji, dan kadar air biji biji kopi hijau (12-13%). Aturan ini menekankan
keseragaman dan kesegaran. Bila didapati biji dengan ukuran dan warnanya
yang berbeda dalam 300 gram sampel kopi, misalnya, maka biji kopi hijau bisa
dinilai cacat mutu7―dan tidak akan dilanjutkan ke uji mutu sensoris.
Sedangkan poin untuk water standards adalah standar kandungan air yang
digunakan untuk menyeduh kopi spesial. Hal Ini akan berkaitan langsung
dengan cupping protocols yang akan dijelaskan di sub-bab berikutnya.
C. Apa Itu Roda Rasa?
SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel atau Roda Rasa SCAA adalah hasil kerja
kolaborasi antara SCAA dan WCR. Sejak dipublikasikan pertama kali pada 1995,
5 SCA Coffee Standards, (Revisi 2018), diakses dari https://sca.coffee pada 10 Juli 2020
6 SCA Coffee Standards, hal. 4
7 SCA Coffee Standards, hal. 5-8; dan Wenny Bekti Sunarharum, hal. 21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
Roda Rasa SCAA lantas menjadi referensi dan standar bahasa cita rasa yang
paling ikonik lebih dari dua dekade. Pada tahun 2016, Roda Rasa SCAA kemudian
disempurnakan dengan melibatkan lebih banyak kolaborator. Tidak hanya WCR,
SCAA juga menggandeng lebih banyak panelis sensoris profesional, saintis,
coffee buyer (pemborong yang juga merangkap konsultan kopi), dan perusahaan-
perusahaan sangrai kopi kelas dunia. Kolaborasi ini diklaim sebagai yang
terbesar yang menghasilkan hasil riset terlengkap dan teruji secara ilmiah
sepanjang sejarah industri kopi8.
Roda Rasa SCAA adalah bahasa cita rasa paling populer di industri kopi
spesial yang umumnya digunakan sebagai acuan bersama menganalisa cita
rasa kopi. Dengan kata lain, Roda Rasa SCAA adalah daftar kosakata cita rasa; ia
adalah tambatan (cita rasa yang diasosiasikan dengan nama tertentu) untuk
karakteristik sensoris cita rasa kopi. Sebagai alat bantu pencicip kopi dalam
membahasakan atau mempersepsikan cita rasa kopi9.
Landasan dasar dari Roda Rasa SCAA terbaru adalah Sensory Lexicon dari
WCR. Bila Roda Rasa SCAA memuat atribut cita rasa atau kosakata cita rasa,
maka Sensory Lexicon memuat penjelasan dari atribut cita rasa yang dimuat
Roda Rasa SCAA tadi. Segala hal yang dicantumkan di Roda Rasa SCAA akan
memperoleh penjelasan di Sensory Lexicon.
Sensory Lexicon dapat digunakan untuk menjelaskan karakterisktik
sensoris kopi. Sensory Lexicon umumnya dikembangkan melalui metode
deskriptif yang melibatkan beberapa panelis terlatih. Data yang dihasilkan
8 https://sca.coffee/research/coffee-tasters-flavor-wheel/ diakses pada 4 November 2019
9 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 37-38.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
berupa data kualitatif yaitu deskripsi cita rasa kopi, sekaligus kuantitatif
berupa rating terhadap intensitas cita rasa kopi10.
Sensory Lexicon dikerjakan di Laboratorium Edgar Chambers IV, Ph.D., di Sensory
Analisis Center di Kansas State University dan divalidasi di Laboratorium Rhonda
Miller di Texas A&M University. Dikerjakan pada rentang waktu 2016-2017 dan
mulai dipublikasikan secara bertahap. Edisi pertama pada 2016 dan edisi
pembaharuan pada Oktober 201711.
Gambar II.1: Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 1995 sumber: https://store.sca.coffee/products/coffee-tasters-flavor-wheel-1995-mouse-pad
Di edisi terbaru, Sensory Lexicon melengkapi diri dengan mengidentifikasi
lebih dari 110 atribut cita rasa. Sebuah hasil kerja lebih dari 100 jam oleh para
10 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 35-36.
11 World Coffee Research, Sensoy Lexicon: Unabridged Definition and References, edisi kedua, (WCR, 2016) hal. 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
panelis yang mengevaluasi 105 sampel kopi dari 13 negara12. Selain atribut cita
rasa, Sensori Lexicon juga memberikan referensi untuk mengukur intensitas
atribut cita rasa. Tujuan dari Sensori Lexicon ini adalah untuk memberikan
pemahaman lebih mendalam tentang cita rasa dan kualitas kopi―utamanya
specialty coffee. WCR mengatakan dengan bangga bahwa Sensori Lexicon ini bukan
hanya puncak dari kejeniusan ilmiah, lebih daripada itu: sebagai sesuatu yang
dapat memungkinkan kegiatan penelitian kopi di masa mendatang bisa terus
berlangsung. WCR menggunakan Sensori Lexicon untuk membantu menganalisis
sampel kopi dari berbagai proyek penelitian bersamaan dengan analisis kimia
dan genetik guna memahami asal-usul kualitas kopi13.
Baik Roda Rasa SCAA maupun Sensori Lexicon, keduanya dikerjakan untuk
saling melengkapi dan menjadi panduan bersama dalam mengidentifikasi cita
rasa kopi yang biasanya dilakukan Q-Grader/R-Grader atau para pelaku lain
dalam rantai industri kopi spesial.
12 Sensoy Lexicon, hal. 10.
13 https://worldcoffeeresearch.org/work/sensory-lexicon/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Gambar II.2: Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 sumber: https://store.sca.coffee/products/the-coffee-tasters-flavor-wheel-poster?variant=18787771718
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Lalu, bagaimana Roda Rasa SCAA dan Sensori Lexicon dapat digunakan
dengan mudah secara bersamaan? Terdapat delapan langkah yang disarankan
SCA14.
Langkah pertama. Dengan genit, SCA menyebut langkah pertama ini
sebagai Take it All in. Rinciannya ditulis:
“The wheel is meant to be beautiful, like the greatest coffees can be. It represents a comprehensive, kaleidoscopic picture of coffee flavor. Let the words wash over you, and soak it in. You might see some words you’re not familiar with. That’s ok, we’ll deal with those later. For now, just marvel at the possible complexity of coffee.”15
Kegenitan ini bisa ditafsirkan sebagai anjuran untuk membaca dan
memahami seluruh konten yang ada pada Roda Rasa SCAA. Konten ini mencakup
atribut nama cita rasa dan visualisasinya—sekalipun konten-konten tersebut
seringkali tidak familiar bagi penguna Roda Rasa SCAA. Dengan mencoba
memahami nama dan visual di awal langkah, seorang dituntun pada kesadaran
betapa cita rasa kopi itu sungguh kaya dan kompleks, sehingga semakin
tertantang untuk menyelaminya.
Langkah kedua, mencicip berbagai jenis kopi. Roda Rasa SCAA dirancang untuk
cupping, baik dalam sesi santai maupun sesi resmi seperti yang dilakukan para
profesional dengan SCAA Cupping Protocols. Apapun sesinya, kunci utamanya
adalah merasakan dengan penuh saksama: fokus. Mencecap cita rasa kopi
dapat ditempuh dalam tiga tahap. Pertama, menghirup aroma biji kopi sangrai
yang keluar sesaat setelah digiling. Kedua, menghirup aroma yang keluar saat
air panas di tuang ke kopi bubuk, dan ketiga, mencicip rasa yang memenuhi
langit-langit dan lidah saat kopi diseruput. Roda Rasa SCAA memiliki atribut cita 14 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
15 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
rasa yang mencakup cita rasa generik pada lingkaran lapis pertama (fruity, floral,
sweet, nutty/cocoa, spices, roasted, dan seterusnya); cita rasa sub-generik pada
lingkaran lapis kedua (citrus fruit, black tea, brown sugar, brown spice, cereal , dan
seterusnya); dan cita rasa spesifik pada lingkaran lapis ketiga (lemon, mapple
syrup, cinnamon, malt, dan seterusnya). Misalnya, rasa asam dan aroma khas
yang dimiliki oleh cita rasa lemon. Atau rasa manis, pahit, dan aroma yang unik
dari yang dimiliki molasses (kristalisasi gula)16. Dari tiga tahapan yang
ditempuh tadi, seorang akan mendapati stimulus pertama yang dirasakan.
Stimulus ini kemudian akan dihubungkan pada atribut yang dirasa sesuai dan
tertera pada lingkaran lapis pertama (cita rasa generik).
Langkah ketiga, menuju ke cita rasa spesifik. Roda Rasa SCAA didesain serupa
cakram atau lingkaran. Di dalamnya memuat berbagai macam atribut cita rasa
atau kosakata cita rasa. Atribut cita rasa ini bergerak dari tengah lingkaran
kemudian keluar lingkaran. Cita rasa yang paling umum berada di tengah (di
lingkaran lapis pertama) dan akan semakin spesifik bila keluar lingkaran (lapis
kedua dan ketiga). Setelah seorang mendapatkan jenis cita rasa generik dari
stimulus pertama, selanjutnya seorang akan dipandu menuju ke atribut cita
rasa yang spesifik alias menganalisa lebih dalam dari stimulus lanjutan yang ia
deteksi. Semakin sering berlatih dan semakin kaya pengalaman cita rasa
sesorang, maka akan semakin mampu dan tepat ia mengejar cita rasa yang
spesifik—semakin mampu bergerak ke luar lingkaran (lapis kedua dan ketiga).
Bila di awal terindikasi cita rasa fruity, maka pertanyaan selanjutnya adalah
fruity jenis apa? Apakah citrus fruit? Berry? Dried fruit? Kalau toh, iya, citrus fruit,
sub-jenisnya apa? Apakah lime? Lemon? Orange? Grapefruit? Singkatnya beginilah
16 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
Roda Rasa SCAA dibaca dan digunakan17. Walaupun cita rasa spesifik yang
dikejar, tetap saja siapa pun yang menggunakan Roda Rasa SCAA dapat berhenti
di mana saja, bergantung pada batas kemampuan indra pengecap dan pencium
masing-masing.
Selain dibaca dalam lapisan-lapisan, Roda Rasa SCAA juga bisa dibaca
dengan dibedakan secara horizontal, antara bagian atas dan bawah. Bagian
atas mencakup atribut cita rasa yang menyenangkan (positif) seperti fruity,
floral, sweet, nutty/cocoa, dan spice. Sedangkan bagian bawah terdiri dari atribut
cita rasa yang cenderung tidak menyenangkan seperti sour/fermented,
green/vegetative, other (chemical dan papery/musty), dan roasted.
Langkah keempat, sandingkan dengan Sensory Lexicon. Roda Rasa SCAA dibuat
berdasarkan Sensory Lexicon rancangan WCR. Sebuah standar pendefinisian cita
rasa kopi yang diperlukan oleh para Q-Grader/R-Grader atau panelis sensoris
lainnya dalam mengevaluasi mutu kopi untuk kegiatan penelitian ilmiah.
Setiap definisi cita rasa memiliki referensinya alias ada rujukan nyata. Bila
didapati atribut cita rasa yang asing yang tidak dikenal di Roda Rasa SCAA, maka
Sensory Lexicon akan menjelaskannya dengan jelas serta memberikan referensi
sensoris untuk semua atribut rasa18.
Gambar II.3: Deskripsi Atribut Cita Rasa Sensory Lexicon Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References;
edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR) 17 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
18 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Agar mudah dipahami, oleh WCR, gambar di atas diterangkan melalui lima
pintu masuk (entry). Pertama, Atribut Cita Rasa. Yakni kata untuk menyebut atau
menamai cita rasa. Kedua, Definisi. Adalah uraian penjelas dan deskripsi atas
atribut cita rasa. Ketiga, Referensi Cita Rasa. Setiap atribut cita rasa telah
dijelaskan memiliki referensi masing-masing. Referensi ini bisa bersifat
natural-alamiah (seperti blackberry dari pohon blackberry) dan artifisial (seperti
sirup, ekstrak imitasi atau seperti produk bernama Le Nez Du Café yang berisi 36
palet aroma kopi artifisial; hasil karya dari ahli olfactory (penciuman) Perancis,
Jean Lenoir). Referensi dimaksudkan sebagai standar dalam rujukan cita rasa.
Contoh di atas, blackberry, hanya memiliki satu referensi saja: smucker’s
blackberry jam. Tapi di atribut cita rasa lain, referensinya bisa saja lebih dari
satu. Contoh lain, atribut cita rasa smoky memiliki tiga referensi untuk aroma,
yaitu: benzyl disulfide, wood ashes, dan smoked almonds; dan satu referensi untuk
rasa: smoked almonds. Seperti yang ditunjukkan, Referensi dapat digunakan
untuk mengevaluasi rasa atau aroma (atau keduanya: cita rasa). Dan kadang
pula, referensi yang sama dapat digunakan untuk lebih dari atribut cita rasa.
Misalnya, roasted peanuts digunakan sebagai referensi untuk atribut cita rasa
peanut dan roasted. Keempat, Intensitas. Sebagian besar referensi telah diberi
skor intensitas pada skala 1 hingga 15 dan diberi label baik sebagai referensi
aroma atau referensi rasa. Skor intensitas adalah angka kritis yang membuat
Sensory Lexicon bukan sebatas kamus deskriptif tetapi juga alat ukur, bahkan
jika memungkinkan bisa disebut evaluator yang mengukur jumlah rasa atau
aroma tiap-tiap jenis kopi. Skor ini memungkinkan untuk membandingkan
daya yang dimiliki atribut cita rasa yang menguar dari kopi dengan daya yang
dimiliki referensi cita rasa.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
Gambar II.4: Skala Intensitas Sensory Lexicon Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References;
edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR)
Misalnya, atribut rasa hazelnut memiliki dua referensi cita rasa. Pertama
adalah 1/8 sdt McCormick imitation hazelnut extract (referensi artifisial) dicampur 1
cangkir susu murni (fresh whole milk), yang diberikan skor intensitas 3,5. Kedua
adalah 1/4 sdt McCormick imitation hazelnut extract dicampur 1 cangkir susu
murni (fresh whole milk), yang diberikan skor intensitas 6.0. Jika dalam
mengevaluasi intensitas atribut cita rasa hazelnut dalam sampel kopi,
seseorang mendapati skornya lebih tinggi dari referensi pertama dan sedikit di
bawah yang kedua (di antara), maka dapat diberikan skor intensitas 5.5―skala
intensitas 15 poin digunakan untuk banyak jenis makanan dalam analisis
sensoris. Ada pula beberapa referensi cita rasa yang tidak memiliki skor
intensitas. Untuk kasus ini, referensi telah divalidasi dan disetujui untuk
digunakan sebagai referensi atribut cita rasa, tetapi belum diteliti lebih lanjut
untuk menentukan skor intensitas. Terakhir, entry ke kelima, Persiapan. Setiap
referensi memiliki instruksi dalam persiapannya. Misal, lebih baik
menggunakan snifters glass (serupa gelas bir yang berkaki) agar referensi aroma
tidak saling mencemari dengan aroma lain seperti aroma kayu dari meja19.
Langkah kelima, mengecek kembali beberapa referensi. Setiap atribut cita
rasa dalam Sensory Lexicon memiliki referensi. Sebagian banyak dari referensi ini
19 Sensoy Lexicon, hal. 8-9.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
telah tersedia di pasar nasional maupun internasional. Keperluan untuk
mengecek banyak referensi tak lain agar pengalaman cita rasa semakin kaya
serta identifikasi cita rasa semakin tepat dan cermat20.
Langkah keenam, kembali ke tengah: lingkaran lapis pertama. Setelah
meninjau berbagai atribut cita rasa di Sensory Lexicon, seseorang bisa
mengulang kembali ke tengah: lingkaran lapis pertama. Namun kali ini
disarankan untuk lebih jeli dan fokus melihat atribut cita rasa. Bila mendapati
kopi dengan atribut cita rasa tertentu, maka coba tengok atribut cita rasa di
sebelahnya. Apakah terdapat jarak atau tidak sama sekali? Jika berjarak,
seberapa besar gap-nya? Lebar atau sempit? Penjelasannya, jika dua atribut
rasa menyatu, itu berarti bahwa panelis sensoris yang menyusun Roda Rasa SCAA
menganggap atribut-atribut ini terkait erat, atau dengan kata lain nyaris sama.
Namun jika ada gap, itu menandakan bahwa atribut-atribut cita rasa ini kurang
dekat hubungannya, atau memiliki perbedaan yang terang. Semakin besar gap,
perbedaan cita rasa akan semakin signifikan. Inilah alasannya mengapa garis-
garis visual Roda Rasa SCAA didesain sedemikian rupa21.
20 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
21 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Gambar II.5: Visual Gap dalam Roda Rasa SCAA (SCAA Coffee Taster’s Flavor Wheel) edisi 2016 sumber: https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/
Langkah ketujuh, gunakan istilah sendiri. Yang hebat dari Roda Rasa SCAA
(seturut klaimmnya) adalah menjadi bahasa bersama (yang umum dan
mendasar) yang mampu menjelaskan berbagai macam cita rasa yang didapati
dari setiap kopi yang dicicip oleh siapa saja. Sekiranya seorang telah mendapati
karakter cita rasa dari sampel kopi yang ia dicicip, maka bahasakanlah dengan
istilahnya sendiri. Baru kemudian, padankan kembali ke atribut cita rasa yang
ada pada roda rasa. Pendek kata, Roda Rasa SCAA diklaim memiliki kemampuan
menampung segala bahasa cita rasa dari siapa saja22.
Langkah kedelapan, amati visual warna. Seringkali apa yang dilihat akan
mempersepsikan sesuatu yang lain. Tampilan makanan, misalnya, sedikit
banyak akan mengasosiasikan cita rasa. Keterhubungan indra penglihatan
dengan indra pengecap inilah yang menjadikan warna yang terdapat di Roda
Rasa SCAA diperhitungkan secara cermat. Bila seorang mendapati rasa kopi yang
sulit diartikulasikan: “seperti rasa buah yang kemerahan”, maka ia dapat
memindai kelompok warna merah pada Roda Rasa SCAA. Dengan begitu, ia
22 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
dimudahkan dalam menentukan atribut cita rasa apa yang terdapat di
kelompok warna merah yang cocok dengan cita rasa kopi yang didapatinya.
Warna-warna terang seringkali diasosiasikan untuk atribut cita rasa yang
ringan (light) dan lembut di mulut. Begitu pun sebaliknya. Prinsip inilah yang
dipakai dalam mendisain warna pada Roda Rasa SCAA23. Singkatnya, warna Roda
Rasa SCAA tidak pilih secara acak. Ia dipertimbangkan karena warna
mempengaruhi persepsi seorang terhadap suatu hal yang spesifik.
D. Q-Grader/R-Grader dan Uji Cita Rasa Kopi
Kopi perlu dievaluasi mutu sensorisnya. Orang yang melakukan ini disebut
Q Arabica Grader untuk penguji kopi spesies arabika, dan Q Robusta Grader untuk
penguji spesies robusta. Pengujian diperlukan agar cita rasa kopi yang
cenderung subjektif bagi masing-masing orang dapat di standardisasikan
sehingga berlaku objektif dan universal. Selain itu, juga agar kopi dapat
dikategorikan sebagai specialty coffee atau bukan, lalu dilempar ke pasar lelang
untuk ditentukan harganya.
a. Q Arabika Grader
Coffee Quality Institue (CQI)―organisasi nirlaba yang bernaung di bawah
SCA. Berkantor di Long Beach California, CQI didedikasikan memperbaiki
kualitas kopi skala internasional dan orang-orang yang memproduksinya
melalui pelatihan, pembangunan kapasitas institusional, dan penerapan
sistem standar kualitas―lembaga yang menelurkan ide dan berhak
menyelenggarakan program Q Arabica Grader dan Q Robusta Grader, menyebutkan
bahwa Q Arabica Grader (selanjutnya ditulis Q-Grader, mengikuti sebutan populer) 23 https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-steps/ diakses pada 4 November 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
adalah individu yang dipercaya oleh CQI untuk menilai kopi arabika dengan
menggunakan standar yang dikembangkan oleh SCA. Saat ini, tidak ada
persyaratan formal untuk menjadi Q-Grader. Akan tetapi, bila hendak mengikuti
Q Arabica Course, maka hanya sensoris yang terlatih saja yang lebih disarankan;
yang familiar dengan proses cupping, lembar kerja cupping (cupping form), serta
pengalaman yang berkaitan dengan kopi arabika. Dengan kata lain, pada
dasarnya ujian ini diperuntukkan bagi orang yang telah mempersiapkan diri
dengan baik melalui program Pre-Q, jadi bukan untuk yang baru-baru saja atau
awam24.
Terdapat 22 materi tes dari CQI yang akan diujikan selama 6 hari, dengan
durasi 8 jam perhari. Materi-materi ini akan menguji kemampuan seseorang
yang akurat dan konsisten dalam menilai mutu kopi sesuai dengan,
diantaranya (yang terkait langsung dengan cita rasa kopi): SCA Coffee Standards,
SCAA Cupping Protocols dan alat bantu lain seperti Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon,
dan Le Nez Du Café. Termasuk pula pemahaman menyeluruh tentang SCA cupping
form. Ke-22 materi yang diujikan, secara garis besar meliputi:
1. General Coffee Knowledge, tes pengetahuan dasar kopi yang meliputi
sejarah, spesies dan varietas, proses pascapanen, dan seterusnya;
2. Green Coffee Grading, yakni tes kemampuan mengevaluasi pengaruh
cacat pada biji kopi hijau terhadap kualitas kopi serta kemampuan
menggolongkannya seturut SCAA Green Coffee Classification Chart dan SCAA
Green Coffee Defect Handbook;
3. Roasted Grading, yakni tes kemampuan mengevaluasi pengaruh cacat
pada biji kopi yang telah disangrai;
24 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
4. Sample Roast Individual Skills, yakni menakar kemampuan individu dalam
menngidentifikasi sampel biji kopi sangrai sesuai SCAA Sample Roast
Protocols yang akan digunakan untuk cupping;
5. Sensory Skill, yakni tes kemampuan indra perasa (lidah) dalam
membedakan rasa dan intensitas acid, sweet, dan sour pada kopi, serta
bagaimana interaksi antar ketiganya;
6. Olfactory Test, yakni tes kemampuan indra penciuman (hidung) dalam
mengenali dan mencocokan aroma yang biasanya terdapat dalam kopi
(floral, fruity, brown, roasted, dan seterusnya). Tes ini akan menggunakan
Le Nez Du Café sebagai alat bantunya. Le Nez Du Café adalah coffee aroma kit
yang diciptakan oleh Jean Lenoir, ahli olfactori dari Perancis. Le Nez Du
Café berisi 36 palet aroma dengan 4 klasifikasi aroma: aromatic taints,
enzimatic aroma, sugar browning, dan dry distillation;
7. Triangulation Test, yakni tes kemampuan membedakan cita rasa
beberapa sampel kopi;
8. Organic Acid Matching Pairs Test, yakni tes kemampuan mengidentifikasi
zat dan kadar asam yang ada pada kopi, seperti acetic, malic, citric, dan
phosphoric;
9. Cupping Test, tes kemapuan mengevaluasi/menilai cita rasa kopi sesuai
dengan SCA Cupping Protocols dan Cupping Form.25
Oleh CQI, ke-22 materi tersebut digambarkan sebuah grafis:
25https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses pada 10 Desember 2019; dan wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ( Q-Grader Instructor dari 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Gambar II.6: The Q Arabika Course : A Breakdown sumber: https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/
Secara internasional, tingkat kelulusan Q Arabica Course hanya berkisar
33%. Hal ini mengingat materi tes yang begitu kompleks dan tingkat
kesulitannya yang tinggi26. Calon Q-Grader yang lulus akan diberikan lisensi
profesional sebagai Q-Grader. Dengan catatan lisensi ini tidak berlaku seumur
hidup alias harus diperbarui setiap 3 tahun27. Seorang Q-Grader harus
melakukan kalibrasi atau tes ulang. Gunanya untuk kembali mengukur
kemampuan terkini setiap Q-Grader sekaligus menyamakan kembali persepsi
dan definsi yang terkait dengan mutu kopi arabika. Pada kalibrasi, rentang nilai
yang diizinkan pun semakin dipersempit alias semakin sulit. Misal, jika rata-
rata skor cupping pada sampel kopi di kelas Q Arabica Course adalah 83, maka
skor yang dizinkan adalah plus-minus 1: calon Q-Grader bisa dikatakan lulus bila 26 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka
27 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
memberi skor 82-84. Selanjutnya, jika seorang Q-Grader habis lisensinya dan
hendak melakukan kalibrasi, maka skor yang diizinkan semakin dipersempit,
yakni plus-minus 0,528.
Dikutip dari CQI, dari sekitar 5.000 penduduk bumi yang menyandang titel
Q-Grader, sebanyak 93 diantaranya adalah orang Indonesia dan 2 diantaranya
adalah Q-Instructor29. Jumlah yang kecil ini bisa jadi disebabkan oleh gelombang
minat menjadi Q-Grader yang juga kecil; tuntutan ketekunan berlatih serta level
kesulitan yang luar biasa sukar; dan mungkin juga dikarenakan biayanya yang
mahal. Jika ada aspiran Q-Grader, maka ia perlu merogoh kocek sebesar Rp. 17
juta atau naik 2 kali lipat lebih dari biaya tahun 2008, sebesar Rp. 5 juta30. Ini
belum termasuk biaya tahunan lainnya, seperti biaya keanggotan SCA dan SCAI.
b. Q Robusta Grader
Q Robusta Grader (selanjutnya ditulis R-Grader, mengikuti sebutan populer)
adalah individu yang dipercaya oleh CQI untuk menilai kopi robusta dengan
standar yang dikembangkan oleh CQI yang bermitra dengan Uganda Coffee
Development Authority (UCDA). Seperti halnya Q-Grader, tidak ada prasyarat formal
untuk mengikuti ujian R-Grader. Meski demkian, calon R-Grader juga sangat
disarankan memiliki keakraban yang kuat dengan cupping, cupping form, dan
pengalaman yang berkaitan dengan kopi robusta31.
Materi tes yang diujikan pun serupa dengan materi untuk Q Arabica Course.
Bedanya hanya pada sampel kopi yang digunakan lebih kepada kopi spesies
28 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka
29 https://www.coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020
30 Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita, (Edisi 4465 26-01 April 2018), hal. 95
31 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
robusta. Juga pada textbook yang dipakai, misalnya pada materi green coffee
grading yang mengacu ke UCDA/CQI Green Coffee Defect Handbook dan CQI Green
Coffee Classification Chart; dan materi cupping test, yang selain mengacu ke SCAA
Cupping Handbook juga ke UCDA/CQI Cupping Protocols dan Form32.
Berikut grafis materi tes R-Grader:
Gambar II.7: The Q Robusta Course : A Breakdown sumber: https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/
Bagi yang lulus tes akan diberikan lisensi profesional sebagai R-Grader.
Masa berlaku lisensi R-Grader sama dengan Q-Grader, yakni tiga tahun.
32https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses pada 10 Desember 2019; dan Wawancara dengan Uji Sapitu (R-Grader dari Rumah Kopi Ranin, Bogor) pada Kamis, 13 Agustus 2020 di Rumah Kopi Ranin, Bogor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
Pembaharuannya pun juga harus mengikuti tes kalibrasi ulang R-Grader, guna
memastikan kompetensi terkini yang dimiliki masing-masing R-Grader33.
Jumlah orang yang memegang lisensi R-Grader jauh lebih sedikit dari Q-
Grader seluruh dunia. Jumlah yang kecil ini menjadi semakin kecil bila melihat
beberapa R-Grader yang tidak melakukan kalibrasi ulang. Di Indonesia, hanya
ada 7 orang yang memegang lisensi R-Grader34. Salah satunya, Uji Sapitu yang
bekerja untuk Rumah Kopi Ranin, Bogor—sebuah tempat di mana kerja-kerja
laboratorium atas kopi dilakukan. Uji mengatakan, “Kelangkaan R-Grader ini
bisa dikarenakan robusta masih dipandang sebagai kopi kelas dua setelah
arabika. Padahal untuk fine robusta (grade yang sama dengan specialty untuk
arabika), perkara cita rasa dan harga jual, telah jauh berkembang sangat baik
beriringan dengan arabika specialty.”35
c. Coffee Cupping: Cara Menilai Cita Rasa Kopi Kopi
Bagi banyak orang kualitas kopi tentunya berkaitan dengan cita rasa.
Untuk menilainya diperlukan uji cita rasa kopi atau coffee cupping. Cupping
adalah cara formal menilai kualitas kopi berdasarkan metodologi yang
konsisten secara ketat. Agar hasil peniliannya valid dan mendekati objektif,
maka penguji yang dipercaya adalah Q-Grader/R-Grader yang belisensi dari CQI36.
Cupping adalah praktik lama. Dulu sebelum 1900, setiap kopi yang masuk
dan akan dijual di AS diseleksi berdasarkan fisiknya. Kenyataan ini menguatkan
gagasan bahwa importir Clarence Bickford mungkin menemukannya pada
33 https://www.coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ diakses 10 Desember 2019
34 https://coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020
35 Wawancara dengan Uji Sapitu
36 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia) hal. 502-506
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
tahun 1880-an―setidaknya mengenalkannya ke AS. William Ukers, sejarawan
kopi mencatat peran Bickford dalam perdagangan kopi San Fransisco tapi tidak
menyebutkan uji cita rasa kopi, sekadar bahwa Bickford menyadari sebenarnya
warna dan ukuran biji kopi tidak menyatakan apa-apa terkait cita rasanya.
Secara analitis, manfaat terbesar dari cupping ketimbang mencicip adalah
betapa jauh cupping mengesampingkan pengalaman emosional minum kopi
seorang pencicip dan memosisikan mereka ke tengah situasi untuk semata-
mata mengevaluasi.
Tak ada satu protokol definitif bagaimana menjalankan cupping. Namun,
ada metodologi dasar, lalu tiap individu atau kelompok mempraktikkan apa
yang diajarkan kepada mereka atau memodifikasi sesuai kebutuhan khusus
mereka. Faktor paling penting dalam cupping adalah konsistensi metodologi di
tiap dan antar sesi. Variasi-variasi kecil dalam metodologi, khususnya di dalam
satu sesi cupping dapat berpengaruh secara signifikan terhadap pengalaman
cita rasa cangkir yang diukur. Tingkat presisi tertinggi hanya dengan
membatasi sumber variasi sesedikit mungkin. Itulah mengapa SCAA
mendefinisikan metodologi standar cupping. Harapannya, standar ini dapat
dijadikan standar bersama dalam industri kopi, meminimalkan variasi di tiap
dan antar cupping37.
Mengacu pada SCA Coffee Standards (2018) dan SCAA Cupping Protocols
(2009), cupping ditujukan untuk mengevaluasi mutu kopi agar kemudian bisa
digolongkan sebagai specialty atau tidak. Penilaiannya dimulai dari biji hingga
hasil gilingan dan seduhannya. Sebelum prosedur evaluasi cita rasa dijalani,
lebih dulu sampel kopi dipersiapkan:
37 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 502-503
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
1. Biji kopi hijau harus lulus uji mutu fisik. Kopi yang lulus adalah kopi
yang: memiliki kadar air rendah (12-13%), jumlah nilai cacat (defect)
maksimal 5 untuk setiap 300 gram sampel kopi, memiliki warna
seragam dan cerah serta bau yang segar (4000 Kelvin (K) /1200 Lux (lx) /120
footcandles (fc)), memiliki ukuran biji yang seragam (feet long and feet
wide (0.6096 meters by 0.6096 meters). Setelah lulus uji mutu fisik, kopi
kemudian disangrai lalu siap diuji secara sensoris atau cupping.
2. Menyiapkan biji kopi sangrai. Kopi disangrai pada level medium roast
(agtron specialty coffee: 63.0), dengan durasi sangrai berkisar 8-12 menit.
Setelah kopi selesai disangrai, kopi didiamkan (resting) selama 8-24
jam.
3. Selanjutnya, biji kopi sangrai digiling <15 menit sebelum cupping.
Ukuran gilingnya berkisar pada 70-75% pass atau ayakan 20 mesh.
4. Setelah digiling, kopi kemudian diseduh. Ketentuan penggunaan air
untuk seduh cupping: 1) rasio antara bubuk dan air adalah 8,25 gram
kopi untuk 150 ml air atau 0,055 gram kopi/ml air, 2) konsentrasi air
pada rentang 125-175 ppm, 3) temperatur air distel pada 92-96oC
5. Waktu ekstraksi kopi dihitung dari kontak pertama seduhan (air
menyentuh kopi) adalah 4 menit.
6. Satu sampel kopi yang akan di-cupping baiknya disiapkan ke dalam 5
gelas/mangkuk keramik dengan mulut lebar yang bisa memuat 150-180
ml air38.
Setelah sampel kopi siap, cupping dapat dilakukan sesuai protokol dari
SCAA. Terdapat 5 prosedur evaluasi:
38 Coffee Standards, hal. 4-10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
1. Sampel kopi pertama-tama dinilai derajat sangrainya berdasarkan
tampilan warna biji kopi sangrai.
2. Sampel kopi dinilai kualitas fragrance atau aromanya. Terdapat dua
aroma yang dinilai. 1) Aroma kering (dry fragrance), yaitu aroma yang
dihirup dari bubuk kopi yang digiling di rentang waktu 15 menit
pertama. 2) Aroma basah (wet fragrance), yaitu aroma yang dihirup
setelah air ditambahkan pada bubuk kopi lalu didiamkan selama 3
menit atau tidak lebih dari 5 menit. Teknisnya, dengan melakukan break:
memecah kerak (ampas yang mengambang) dengan cara mengaduk 3
kali atau mencium bubuk di belakang sendok khusus cupping. Skor
aroma ditandai berdasarkan evaluasi kering dan basah.
3. Sampel kopi dinilai pada aspek flavor (cita rasa), aftertaste (gaung rasa
yang intensif dan nikmat yang bertahan―di bagian belakang langit-
langit mulut―setelah kopi ditelan), acidity (sensasi keasaman), body
(tingkat kekentalan atau viskositas kopi), dan balance (keseimbangan
seluruh aspek: tidak ada yang dominan). Teknisnya, lebih dulu ampas
yang mengambang di buang. Setelah itu, kopi diseruput kuat
menggunakan sendok cupping hingga seluruh cairan kopi terpecah dan
memenuhi area lidah, langit-langit dan mulut secara keseluruhan. Pada
suhu sampel kopi turun ke 71o C, flavor dan aftertaste dapat dinilai dan
diberi skor. Sementara acidity, body dan balance bisa dinilai dan diberi
skor pada suhu 71o C-60o C.
4. Sampel kopi juga dinilai pada aspek sweetness (rasa manis yang
menyenangkan), uniformity (keseragaman cita rasa kelima sampel kopi),
dan clean cup (tidak terdapat dari penilaian negatif sejak aspek flavor
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
sampai aftertaste). Teknisnya, saat suhu sampel kopi mendekati 37o C
atau suhu ruang, sweetness, uniformity, dan clean cup baru bisa dievaluasi
dan diberikan skor.
5. Evaluasi sensoris dihentikan saat suhu kopi mencapai 21o C. Q-Grader/R-
Grader kemudian memberikan skor secara keseluruhan (nilai akhir)
untuk sampel kopi yang diujinya di cupping form39.
Dengan prosedur evaluasi demikian, cupping, oleh SCAA melalui Shawn
Steiman (2013) dalam tulisannya, “Penilaian dan Kualitas Kopi”, disebut sebagai
sistem objektif yang menghindarkan suatu kopi untuk dipandang secara
inheren “enak” atau “tidak enak” yang merupakan opini dari peminum kopi.
Selain itu, sebab sistem subjektif lebih sulit untuk diterjemahkan di antara
pengguna karena tidak ada orang yang sepenuhnya memahami perasaan dan
pengalaman orang lain. Dengan menggunakan metode evaluasi standar seperti
cupping dari SCAA dapat memastikan bahwa pengukuran-pengukuran kualitas
ini dapat diulangi kembali secara masuk akal40.
Meski dipandang objektif, di sisi lain, Shawn juga memberi catatan
menarik, bahwa batas kemampuan manusia untuk bisa menjadi instrumen
objektif, sebuah sistem pengukuran yang objektif terutama bersifat deskriptif.
Alhasil, informasi yang diperas atas tiap kopi bisa secara sangkil ditransfer
antar orang karena tidak ada pengodean subjektif atas informasi. Pandangan
pengguna tidak perlu distel antara satu yang lain atau disesuaikan dengan
definisi khusus atas kualitas; kopi tidak perlu diukur dalam konteks kopi lain41.
39 SCAA Cupping Protocols (revisi November 2009), diakses dari https://sca.coffee pada 10 Juli 2020
40 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 506-507.
41 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 505.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
C. Kopi Spesial, Spesialty Coffee
Istilah kopi spesial atau specialty coffee, mulanya dicetuskan oleh Erna
Knutsen, pendiri perusahaan kopi Knutsen Coffees Ltd., yang berbasis di San
Fransisco, Amerika Serikat, dalam Tea & Coffee Trade Journal pada 197442. Knutsen
melontarkan istilah tersebut untuk menggambarkan kopi dengan kualitas
istimewa yang berbeda dengan kopi premium43. Dalam industri kopi, dikenal
tiga tingkatan (grade) kopi: specialty coffee (origin tunggal), gourmet atau rare origin
(blend, campuran antar origin) menempati peringkat pertama, lalu disusul oleh
kopi premium ditingkat kedua, dan kopi komersil ditingkat ketiga.
Knutsen menyebutkan bahwa kopi spesial adalah kopi yang berasal dari
indeks geografis dengan iklim mikro tertentu yang ideal atau disebut micro-lot;
serta yang memiliki profil cita rasa unik. Penyebutan istilah kopi spesial ini juga
bagian dari strategi persaingan pasar domestik di AS, yang kala itu digempur
oleh kopi komersil dari Brazil untuk kebutuhan industri retil. Di tengah situasi
ini, rumah sangrai kopi mikro seperti Peet’s Coffee, Thanksgiving Coffee, dan Gillies
Coffee yang merasa jenuh dan kecewa dengan mutu dan cita rasa kopi retil,
kemudian mulai menggagas kopi dengan mutu dan cita rasa yang
diproyeksikan lebih khas dan lebih baik dibanding kopi ritel44.
Don Holly, Direktur Administratif SCAA, yang menulis pada tahun 1999,
menambahkan bahwa kopi yang punya perbedaan cita rasa yang menonjol
sajalah (dalam pengertian positif), yang bisa disebut sebagai kopi istimewa.
Holly mengatakan, “Bukan hanya kopi yang tidak punya cacat cita rasa; untuk
42 Majalah Tempo, hal. 72
43 Majalah Tempo, hal. 72
44 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
bisa dianggap kopi spesial, kopi haruslah benar-benar nikmat,” Lalu imbuhnya
diakhir tulisannya, “kopi spesial, pada akhirnya, didefinisikan dalam cangkir.”45
Satu dasawarsa setelah Holly menuliskan definisinya, Ric Rhinehart,
Direktur Eksekutif SCAA mengajukan definisi yang lebih rinci. Dari kacamata
industri yang lebih maju, kopi spesial seturut Rhinehart, tidak hanya mencakup
proses kopi dari benih ke cangkir saji dan hasil akhir dari proses itu, melainkan
juga mencakup aktor-aktor proses tersebut. Rhinehart menulis, “Pada akhirnya,
kopi spesial didefinisikan oleh kualitas produknya, entah biji kopi hijau, biji
sangrai, atau kopi seduh, dan oleh kualitas hidup yang dapat disajikan kopi itu
kepada semua yang terlibat dalam budidaya, pengolahan, dan pencicipannya.”46
Sayangnya, baik Holly maupun Rhinehart tidak menguantifikasi
bagaimana kopi spesial berbeda dari kopi premium atau komersil. Definisi
mereka lebih kepada proposisi filosofis yang menjelaskan apa yang harus
terjadi agar kopi seduh istimewa itu bisa hadir dan siapa yang harus
mendapatkan manfaatnya47. Pada fase inilah, SCAA kemudian menetapkan
standar kopi yang layak disebut kopi spesial.
Oleh SCAA, ditegaskan bahwa hanya kopi yang lulus uji mutu fisik, mutu
kimiawi, dan mutu sensoris dengan skor cupping 80-100 lah yang layak disebut
sebagai specialty coffee. Terbagi lagi ke dalam sub kelas very good (80-84, 99),
excellent (85-89,99), dan outstanding (90-100). Kopi dengan nilai akhir kurang dari
80 dikategorikan bukan spesial oleh SCAA48.
45 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 181
46 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 181
47 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 181
48 SCAA Cupping Protocols, hal. 3; dan Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Untuk mendapat skor ini, tidaklah mudah. Kerjasama dan harmonisasi
berbagai pihak yang mendedikasikan dirinya dalam rantai produksi kopi dari
hulu ke hilir mutlak dilakukan49. Biasanya, kopi spesial berasal dari area
perkebunan micro-lot: area spesifik (yang tidak terlalu luas) dengan kondisi
geografis dan iklim yang ideal untuk tanam kopi. Selain itu, lingkungan sosial
area tanam kadangkala turut dicermati. Tentang kesejahteraan dan kualitas
petani, buruh petik, dan lainnya menjadi poin penting di sini. Meski tidak
menentukan, hal ini tetap menjadi sorotan.
Sorotan semacam ini lantas mendorong rasa ingin tahu yang amat sangat
tentang kopi spesial yang dinikmati. Para petani, prosesor, coffe buyer,
penyangrai kopi, bahkan barista akan menyajikan informasi detil tentang kopi
spesial kepada konsumen. Tidak hanya daerah tanam kopi, melainkan juga
varietas kopi, indikasi geografis (seperti ketinggian tanam dan curah hujan),
proses pasca panen, level dan tanggal sangrai, skor cupping, perolehan cita rasa
(cup notes), hingga informasi tentang siapa petaninya. Hal ini dilakukan sebagai
wujud dari keterbukaan informasi dan edukasi kopi pada konsumen, katanya.
Kopi spesial diidentifikasi lebih spesifik—tidak seperti kopi saset atau kopi
supermarket yang sempat merajai pasar sebelumnya50.
Jika kopi spesial ditentukan berdasarkan mutu kopi melalui skor cupping,
lantas bagaimana nasib cita rasanya setelah cupping? Saat kopi spesial telah
diberi harga, dilempar ke pasar, dan diminum oleh konsumen. Apakah
perjalanan waktu ini tidak menggerus nilainya? Bukankah lazim diketahui
bahwa kopi akan terus menurun kesegaran (yang lurus berpengaruh ke cita
49 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 36.
50 Wenny Bekti Sunarharum, dkk, hal. 37.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
rasa) seiring waktu? Atau, bila saya membeli kopi spesial dan menyeduhnya
dengan teknik yang berbeda dari teknik cupping, misalnya, lalu saya
menambahkan susu pasteurisasi, sehingga terjadi perubahan cita rasa, apakah
masih spesial? Pertanyaan-pertanyaan ini sejatinya disadari Holly, Rhinehart
dan orang-orang kopi. Artinya, bahwa kopi spesial bukanlah sesuatu yang
diminum atau dialami; kopi sepesial adalah gagasan. Sebagai gagasan, ia
masih abu-abu dan terus membuka peluang untuk didiskusikan. Tidak ada
deskripsi kopi spesial yang definitif dan kuantitatif. Kopi spesial tidak
didefinisikan oleh cita rasa kopi itu sendiri melainkan oleh orang-orang yang
berinteraksi dengannya. Bagi petani, kopi spesial bisa memberi mereka
pemasukan lebih besar atau kebanggaan pribadi. Bagi konsumen, kopi spesial
bisa memberi mereka cita rasa yang hidup dalam kenangan, tidak hanya di
mulut. Kopi spesial erat kaitannya dengan kualitas hidup masing-masing
orang51.
Lain halnya dengan pendapat Andi K. Yuwono, founder SCA Premier Campus,
5758 Coffee Lab. Bandung, tentang kopi spesial. Dengan nada satir, Andi
mengatakan bahwa kopi spesial adalah kopi genit-genitan alias kopi hasil
sortiran. Di dalam 60 kg kopi hijau/mentah kopi arabika dengan spesifikasi
tertentu misalnya, pasti terdapat grade kopi spesial di dalamnya, entah dalam
jumlah banyak atau malah sangat sedikit: semisal 2 gram. Karena sifatnya
sortiran, kopi spesial pun menjadi terbatas segmen pasarnya dan cenderung
51 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 182-184.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
dihargai lebih mahal dari grade kopi lainnya. Dan, SCAA (SCA) dibentuk guna
“mengurusi” pasar “kecil” bernama kopi spesial52.
Hingga dewasa kini, SCA giat meregulasi dan mendominasi standardisasi
dalam industri kopi spesial. Sebuah standar yang disepakati bersama baik oleh
negara-negara konsumen kopi maupun negara-negara produsen kopi, seperti
Indonesia melalui SCAI (Specialty Coffee Association of Indonesia) dan AEKI
(Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia). Sebuah standar untuk melahirkan hasil
yang akan menentukan harga, kebanggaan, dan keberterimaan pasar
internasional.
D. Kopi di Era Gelombang Ketiga
Adalah Trish Rothgeb, wanita Amerika Serikat, yang mendefinisikan
adanya tiga pergerakan di dalam dunia kopi dan menyebutnya dengan istilah:
gelombang (waves). Tahun 2002, Rothgeb mengemukakan idenya ini pada
sebuah artikel di Wrecking Ball Coffee Roaster, yang dipublikasikan oleh Roaster
Guild, The Flamekeeper53.
Gelombang pertama, diawali pada 1800-an dan ditandai dengan maraknya
kopi dadak (kemasan/saset). Saat itu, industri kopi lebih mementingkan
kepraktisan dengan harga yang terjangkau, sehingga abai terhadap kualitas
dari kopi itu sendiri. Fenomena ini semakin gencar pada awal 1900-an, saat kopi
dadak diproduksi dalam skala besar, dikemas secara inovatif, dan dipasarkan
begitu masifnya. Folgers Coffee (1850), Maxwell House (1892), dan kemudian
disusul Nescafe (1938) adalah brand-brand kopi dadak dari Amerika Serikat dan
52 Wawancara dengan Andi K. Yuwono (Founder 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung.
53 Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How it Transformed our World, (New York: Basic Book, 2010), hal. 415-417.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Swiss yang begitu populer dan merajai pasar kopi Amerika Serikat. Singkat
kata, kopi di gelombang pertama lebih mementingkan kuantitas ketimbang
kualitas kopi.
Berikutnya, sebagai respon “kopi buruk” dari gelombang pertama, maka
gelombang kedua pun lahir ditengarai pada tahun 1960-an. Di gelombang kedua
ini, industri kopi mulai memperhatikan bentuk dan cita rasa: kualitas kopi. Kopi
mulai dikenal berdasarkan regional/negara tanam karena tuntutan konsumen
akan pengetahuan asal-usul kopi yang mereka minum. Hal ini bisa pula
dimaknai sebagai gejala mulai dikenalnya istilah kopi spesial, meski masih
lamat-lamat. Konsumsi kopi di gelombang ini juga erat kaitannya dengan aspek
sosial, life style. Kedai-kedai kopi mulai banyak muncul di berbagai negara-
negara konsumen kopi, seperti Amerika Serikat, Italia, Perancis, Inggris, dan
lainnya. Di era ini, orang ramai-ramai pergi ke kedai kopi untuk dua hal: ngopi,
berinteraksi sosial, dan mengekspresikan diri. Salah satu kedai kopi yang
paling ikonik di gelombang kedua ini adalah: Starbucks, si duyung hijau dari
Seattle, Washington, AS—yang pada fase berikutnya, Starbucks
menginternasionalisasikan gaya konsumsi (out-of-home consumption) pertama
kali pada tahun 1996 yang kemudian kopi menjadi budaya populer “khas
Amerika” di dunia global.
Gelombang berikutnya dinamakan gelombang ketiga. Para pelaku dalam
industri kopi, dari hulu hingga hilir, semakin terobsesi mengejar kopi kualitas
terbaik. Kopi semakin tegas dengan reputasinya: sebagai minuman artisanal,
layaknya wine dan beer. Hendak dikatakan bahwa di fase ini kopi tidak sekadar
komoditas. Diprediksi dipicu sejak akhir tahun 1990-an, gelombang ketiga ini
setidaknya memiliki tiga penanda utama:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
Pertama, menguatnya gagasan kopi spesial. Pada gelombang ketiga ini,
kopi spesial semakin diburu. Baik karena reputasi maupun karena kualitas cita
rasanya.
Penanda kedua, kopi diidentifikasi lebih spesifik, tidak seperti kopi di
gelombang kedua yang kebanyakan tidak mencantumkan asal-usul kopi, kalau
toh ada hanya sebatas informasi regional/negara.
Ketiga, orang-orang yang bekerja dalam industri kopi gelombang ketiga ini,
konon dikabarkan semakin tertarik dengan perdagangan langsung dengan
petani tanpa perantara atau penadah. Direct trade, begitu konsep ini disebut.
Tujuannya tak lain untuk meningkatkan kualitas kopi di suatu wilayah; yang
dengan begitu dapat meningkatkan kesejahteraan petani kopi; yang pada
akhirnya dapat meningkatkan mutu hidupnya. Direct trade juga dimaksudkan
sebagai pemenuhan konsumen yang berkesadaran konsumsi (bukan mass
market) akan kopi berkualitas tinggi. Direct trade umumnya dilakukan secara
mandiri tanpa tangan lembaga audit-sertifikasi mutu seperti USDA, Fair Trade
USA, Utz Kapeh Good Insdie, Rainforest Alliance, Smithsonian Bird Friendly, 4c , dan
C.A.F.E. Parctices.
Dan keempat yang terakhir, yakni terkait semaraknya alat/metode
penyeduhan kopi alternatif selain mesin/elektrik, yang dikenal dengan sebutan:
manual brewing coffee atau kopi yang diseduh secara manual. Memang, ada
metode seduh kopi yang telah hadir sejak gelombang sebelumnya, namun baru
populer di era ini. Adapula yang baru muncul dan langsung menggema. V60,
Kalita, Aeropress, Syphon, Rok Presso, adalah sebagian dari alat/metode seduh
kopi manual yang dimaksud. Selain harganya yang “wah” dan penggunaannya
yang relatif “rumit” karena berdasarkan tetek-bengek “protokol” penyeduhan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
masing-masing alat/metode tersebut diklaim mampu menghasilkan rasa kopi
yang unik, berbeda-beda.
Dari empat penanda ini, bisa terlihat bahwa orientasi industri kopi di era
gelombang ketiga adalah mengejar kopi yang benar-benar terbaik mutu
kualitas minumannya, serta terbaik secara sosial-kesejahteraaan para pelaku
industri kopi. Karena kejaran ini, kontestasi pun berlangsung, logika pasar
bekerja, dan kapitalis bermain. Setiap orang berupaya menghasilkan kopi yang
terbaik. Begitu pula dalam hal mengonsumsi kopi.
Kontestasi ini riuh di banyak negara, termasuk negara-negara produsen
kopi—yang terkategorikan sebagai negara “dunia ketiga”. Bahkan kontestasi di
era gelombang ketiga juga melibatkan para artisanal coffee, yakni pegiat kopi
yang menawarkan kopi spesial dan biasanya bersifat independen dan berskala
mikro—petani, penyangrai (roaster), dan barista termasuk golongan ini.
Artisanal kopi (selanjutnya akan disebut: artisan kopi) adalah pegiat kopi
yang terbilang idealis—kalau tidak mau dikatakan “muluk”. Kebanyakan dari
mereka adalah anak-anak muda. Mereka mengapresiasi kopi tidak sekadar
sebagai produk atau komoditi, tapi lebih sebagai “yang luhur nilainya”,
sebagaimana karya seni, sebagai artisanal foodstuff. Para artisan kopi dikenal
sebagai orang yang menyajikan kopi spesial seturut logika industri kopi spesial.
Mereka adalah orang-orang ahli dalam kopi; orang yang memeluk sekaligus
kadang kala resistan terhadap ideologi kapitalisme global. Tren para artisan
kopi adalah anti mainstream namun negoisatif dengan arus utama industri;
menolak bergaya seperti kedai kopi trans-nasional sebagaimana Starbucks
dari Seatle, Illy Coffee dari Italia, namun karakter berbisnisnya sulit ditolak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
menyerupai korporasi kedai kopi berjejaring. Artisan kopi kadangkala dijuluki
independent coffee dan umumnya berformat usaha mikro.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
BAB III
WACANA CITA RASA KOPI
Bab ini meletakkan Roda Rasa SCAA beserta standar SCA lainnya sebagai
praktik diskursif wacana cita rasa. Di sini, historisitas wacana cita rasa dan
institusinya yang berelasi dengan kekuasaan tertentu akan dianalisis secara
genealogis. Tujuannya untuk menunjukkan bahwa latar belakang historis
memliki arti penting dalam konstruksi wacana cita rasa yang diusung SCA.
Bagaimana wacana tersebut begitu dominan dan otoritatif sehingga mampu
menormalisasi keragaman persepsi cita rasa di industri kopi spesial. Dengan
kata lain, bab ini mendedah bagaimana cita rasa kopi yang kini dianggap lazim
sebagai standar industri kopi spesial rupanya memiliki agenda-agenda politis
dan ideologis yang diusung oleh institusi wacana, SCA.
Untuk kepentingan ini, analisis genealogi dari Foucault akan dipakai
sebagai pisau dedah. Melalui analisis genealogis, pembacaan kritis atas sejarah
ditujukan untuk membongkar kebenaran-kebenaran sejarah masa kini1.
Hal ini tentu berbeda dari sejarah tradisional. Madan Sarup (1993) dengan
jeli memperlihatkan maksud Foucault: bila sejarah tradisional atau total history
memasukkan peristiwa-persitiwa ke dalam sistem pembabaran besar (grand
explanatory) dan dalam proses yang linear, merayakan peristiwa dan tokoh besar
serta berusaha mendokumentasikan asal-usul kejadian, maka genealogis
sebaliknya, berusaha membangun dan mempertahankan singularitas peristiwa
spektakuler untuk peristiwa sepele dan yang diabaikan, serta keseluruhan
1 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approach. (London: Sage Publication, 2003), hal. 118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
tentang fenomena yang sering ditolak sebagai sejarah. Genealogi berfokus
terutama pada pengetahuan lokal, diskontinu, remeh-temeh, dan dianggap
tidak sah di hadapan klaim kesatuan teori yang akan menyaring, menyusun
secara hierarkis, dan menatanya atas nama pengetahuan sejati tertentu.
Genealogi adalah sebentuk kritik. Genealogi menolak asal-usul dan lebih
tertarik pada konsepsi awal mula historis sebagai sesuatu yang bersifat
rendahan, kompleks, dan kebetulan (contingent). Genealogi berusaha
menyingkap keanekaragaman faktor di balik suatu peristiwa dan kerapuhan
bentuk-bentuk sejarah2.
Berbicara soal cita rasa kopi, tentu ada banyak sekali faktor historis yang
turut membentuknya. Di sini, saya membaginya ke dalam dua irisan faktor.
Pertama, berupa faktor-faktor yang tidak dikatakan langsung oleh Roda Rasa
SCAA dan standar SCA lainnya tapi punya kaitan membentuk cita rasa kopi
tertentu, yakni faktor sejarah produksi kopi: dari bibit kopi hingga cangkir saji.
Bagaimana lapangan produksi kopi berkorelasi membentuk cita rasa kopi
sebagai fakta sensoris. Sedangkan kedua, faktor-faktor sejarah yang turut
mengkonstruksi Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya sebagai produk
pengetahuan cita rasa diskursif yang dogmatis. Bahwa cita rasa kopi juga turut
ditentukan oleh SCA melalui produksi pengetahuannya yang dijadikan standar
bagi industri kopi spesial. Di bagian kedua ini, cita rasa bukan lagi sebagai
fakta sensoris melainkan lebih sebagai pengetahuan yang politis.
2 Madan Sarup, Post-Structuralism dan Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis, terj. Medhy Agnita Hidayat, (Yogyakarta: Jendela, 2003), hal. 100-101.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
A. Cita Rasa Kopi: Historisitas di Lapangan Produksi
Cita rasa kopi atau kualitas organoleptik, pada mulanya berawal dari
lapangan produksi. Perunutan bisa dimulai dari bibit kopi, pembudidayaan atau
kultivasi kopi, panen dan proses pasca panen di level petani dan prosesor,
penyimpanan biji kopi hijau di level bersama (petani/koperasi, coffee buyer, dan
penyangrai), penyangraian di level roaster, dan penyeduhan di level barista.
Semua level turut berkolerasi ke cita rasa kopi sesuai kadar dan porsi
masing-masing. Disebut korelasi, sebab tidak serta merta faktor produksi
menentukan kualitas cangkir3 Pada masing-masing level, cita rasa kopi pun
bersifat temporer. Artinya, level berikutnya akan mengeliminasi cita rasa di level
sebelumnya.
Pada sub-bab pertama ini, faktor sejarah di lapangan produksi kopi akan
dibeber berdasarkan level produksinya. Pembeberan ini dilakukan sejauh
berkolerasi terhadap cita rasa kopi. Argumennya, “Bagaimana mungkin
mendekati wacana cita rasa kopi tanpa menelusuri konsepsi awal-mula cita
rasa kopi sebagai fakta sensoris?” Atau dalam bahasa Foucault, “Bagaimana
mungkin memeriksa aspek diskursif bila aspek non-diskursif diabaikan?”
Faktor sejarah di lapangan produksi kopi diperiksa bukan untuk mengaitkan
cita rasa sebagai fakta sensoris (aspek non-diskursif: sebagaimana total history)
dengan cita rasa sebagai pengetahuan yang politis (aspek diskursif) melainkan
untuk menunjukan keterbelahannya atau sifat fragmentaris sejarah.
3 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia) hal. 483.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
a. Level Petani
Bila dipresentasekan, para ahli agronomi dan kimiawi kopi percaya bahwa
petani memiliki kapasitas hingga hingga 60% dalam menentukan cita rasa.
Sebanyak 40% sisanya dibagi lagi menjadi 10% secara bersama
(petani/koperasi, coffee buyer, penyangrai), 20% penyangrai, dan 10% barista4.
Bila dirinci, andil petani mencakup pada pemilihan bibit, kultivasi dan
pembudidayaan, panen, pasca panen―dalam kasus tertentu, proses pasca
panen biasanya dilakukan oleh seorang prosesor5.
Secara umum, perkara bibit kopi berkaitan dengan spesies, dan semakin
spesifik bila sampai ke ragam varietas dan sub-varietas, baik itu hasil
persilangan maupun mutasi alamiah. Dalam genus Coffea, sebenarnya ada
banyak spesies kopi yang ditanam di belahan dunia beriklim tropis. Shawn
Steiman (2015) menyebut total ada 124 spesies, belum lagi varietas/sub-
varietasnya. Namun dalam peta budidaya kopi dunia, hanya dikenal empat
spesies utama, yakni arabika, robusta, exselca, dan liberika. Dari keempat itu,
yang paling umum dibudidayakan skala global hanya ada dua: arabika (coffea
arabica) dan robusta (coffea canephora)6―data dari ICO menunjukkan bahwa di
tahun 2018 produksi arabika dunia mencapai 100.653.000 karung/60kg dan
robusta sebanyak 70.449.000 karung/60kg. Atau naik sekitar 3,5% dari tahun
4 Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita, (Edisi 4465 26-01 April 2018) hal. 74-75.
5 Prosesor adalah ahli yang mengolah kopi setelah dipanen. Petani biasanya akan menjual kopi ceri ke para prosesor―prosesor kadang bertindak sendiri; kadang sebagai utusan dari perusahaan sangrai dan kedai kopi; juga kadang pula tergabung di koperasi petani kopi. Di kasus lain, prosesor kadang hanya bertindak sebagai pendamping dan konsultan petani dalam proses pasca panen. Pendampingan biasanya bersifat konseptual dan teknis. Seorang prosesor yang profesional juga mendapat lisensi dari CQI, dan dijuluki Q-Prosessor.
6 Shawn Steiman, The Little Coffee Know-It-All: Serba-serbi Kopi yang Harus Kamu Ketahui, terj. Prasojo dan Ining Isaiyas, (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 11-12.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
sebelumnya untuk arabika dan 7,7% untuk robusta7. Arabika dikenal sebagai
bibit unggul, karena dianggap memiliki atribut cita rasa yang lebih kaya
dibanding robusta. Pada kopi arabika, lazim ditemukan cita rasa buah-buahan,
bunga-bungaan, rempah-rempah, coklat maupun kacang-kacangan. Sementara
pada robusta (non-grade fine robusta) hanya terbatas pada cita rasa kacang-
kacangan atau cita rasa yang cenderung kepahit-pahitan. Dari perolehan cita
rasa ini, sangkaan awal adalah pada mulanya persoalan cita rasa merupakan
persoalan genetik bawaan tanaman. Ada benarnya, namun tidak sepenuhnya.
Pertama, benar, sebab coffea arabica adalah hasil penyerbukan dari coffea
canephora atau coffea congensis ke putik bunga induk, coffea eugenioides. Maka
wajar, bila arabika mewarisi genetika keduanya sehingga lebih kaya akan cita
rasa. Selain itu, kandungan kafein arabika lebih rendah dibanding robusta8.
Arabika mengandung 0,8-1,4% kafein sedangkan robusta bisa dua kali lipatnya,
hingga sebesar 2,2%. Kafein memberi dampak cita rasa pahit berlebih pada
kopi. Jadi wajar saja bila kopi robusta lebih pahit ketimbang arabika. Pun juga,
arabika memiliki kandungan gula dan lipid (zat lemak) sebesar 6-9%, lebih
tinggi dibanding robusta yang hanya berkisar 3-7%. Karena kandungan inilah,
cita rasa kopi arabika menjadi lebih lembut dan lantas lebih difavoritkan9.
Kedua, tidak sepenuhnya benar, sebab dalam proses budidaya, arabika
mendapatkan perhatian lebih dari pada robusta. Arabika lebih rentan terkena
penyakit karat daun, Hemileia vastatrix (HV), terutama bila ditanam di daerah
dengan elevasi kurang dari 700 meter atau dataran rendah. Sehingga dari segi
7 International Coffee Organization (ICO), Po Production April 2020, diakses dari https//ico.org/trade_sta tictics.asp pada 10 Juli 2020.
8 Shawn Steiman, hal. 12-13.
9 Majalah Tempo, hal. 58-59; dan Britta Folmer, (Ed.), Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, terj. Nandya Andwiani (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
perawatan dan pembudidayaan, arabika memang butuh perhatian lebih
dibanding robusta atau spesies kopi lainnya. Semakin tinggi pohon kopi
ditanam, semakin rentan akan penyakit dan hama, sehingga petani perlu
memberikan perawatan lebih seperti pemupukan dan pengairan, pemangkasan
intensif pada dahan atau ranting yang layu dan tidak produktif, pembersihan
lahan dari gulma yang dikhawatirkan mengurangi pasokan nutrisi dan
kesehatan tanaman kopi, memerhatikan keberadaaan tanaman sekitar
(penaung/penyela), serta bentuk-bentuk perawatan lebih lainnya. Sementara
robusta lebih unggul secara agronomik dan lebih resistan terhadap hama.
Banyak petani robusta merasa tidak perlu terlalu intens memerhatikan
tanamannya. Andai saja, robusta mendapat perhatian sebesar arabika, bisa jadi
robusta pun punya daya tarik cita rasa yang sekompleks arabika10.
inilah, yang kini mulai dikejar akhir-akhir ini terutama oleh sektor hulu industri
kopi spesial, yang rela turun langsung ke petani robusta guna pendampingan
agar robusta yang dihasilkan tergolong fine robusta, yang memiliki cita rasa
lebih kaya atau tidak terbatas pada cita rasa pahit dan kecokelatan.
Bila bibit (spesies, varietas, dan sub-varietas) telah ditentukan, maka
perjalanan cita rasa kopi berlanjut ke daerah dan iklim tanaman serta
bagaimana bibit kopi ditumbuhkan sampai menghasil buah kopi yang siap
panen. Hal ini masih sepenuhnya berada di tangan petani, plus turut dicampuri
oleh tangan alam.
Secara umum cita rasa kopi lebih banyak diperhitungkan berdasarkan
ketinggian tanam dan intenitas paparan cahaya matahari. Pertama, idealnya,
kopi arabika akan tumbuh baik pada ketinggian 700-1.700 meter di atas
10 Shawn Steiman, hal. 14 dan 58-59.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
permukaan laut (mdpl). Sedangkan Robusta di lahan di bawah ketinggian 800
mdpl11. Ketinggian tanam ini secara logis juga akan menyangkut suhu wilayah
tanam. Semakin tinggi daerah tanam, suhu akan semakin turun. Arabika
membutuhkan suhu 16-20° C untuk pertumbuhannya. Sementara robusta butuh
suhu yang lebih hangat yang berkisar 21-24° C12.
Berbagai catatan menunjukkan, suhu memang mempengaruhi banyak
aspek petumbuhan dan perkembangan beraneka spesies tanaman, termasuk
kopi. Namun rupanya suhu tidak hanya ditentukan oleh ketinggian, melainkan
pula pada garis lintang. Shawn Steiman (2015) menunjukkan hal ini melalui
sebuah perbandingan yang menarik. Semakin jauh garis lintang suatu wilayah
dengan ketinggian tertentu dari khatulistiwa, semakin rendah suhunya. Jadi,
daerah dengan ketinggian 762 mdpl di Hawaii beriklim lebih sejuk dibanding
daerah berketinggian 762 mdpl di Kolombia. Walaupun kopi yang ditanam di
Hawaii pada ketinggian tersebut bisa menghasilkan kompleksitas cita rasa dan
keasaman, hal serupa belum tentu bisa didapati di Kolombia, bahkan sekalipun
ketinggian tanamnya persis sama13.
Dengan demikian, daerah tanam kopi yang berada pada ketinggian, serta
suhu ideal dan posisi garis lintang yang dekat dengan khatulistiwa dapat
memberi kesehatan pada tanaman kopi. Semakin sehat tanaman kopi, semakin
baik hasil panennya, dan lebih jauh semakin baik pula cita rasa kopi.
Berikutnya, kata kunci lain di aspek budi daya adalah: cahaya, pohon
penaung dan organik. Demi kesehatan tanaman kopi, pertumbuhan kopi
lazimnya hanya ditunjang oleh pupuk zat hara yang berasal dari bahan organik.
11 Majalah Tempo, hal. 58-59.
12 Beng Rahadian, Mencari Kopi Aceh, (Jakarta: Octopus Garden, 2016), hal. 82.
13 Shawn Steiman, hal. 15-18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
Petani akan menghindari pemakaian pupuk kimiawi dan pestisida
sebagaimana anjuran “revolusi hijau”. Karena serba organik, maka pohon kopi
butuh pembatasan cahaya matahari agar asupan air, nutrisi, dan
karbondioksida dapat terpenuhi secara seimbang.
Cara utama pemenuhan ini adalah pohon kopi dibudidayakan dengan
diberi penaung. Penaung berfungsi menahan paparan cahaya matahari agar
tidak berlebih pada pohon kopi. Semakin sedikit paparan cahaya matahari,
maka semakin sedikit pula produksi bunga, buah, dan biji yang dihasilkan
pohon kopi. Ini menandakan bahwa pohon kopi mendapat pasokan nutrisi yang
pas. Dengan kata lain, kebanyakan petani kopi organik akan menggunakan
pohon penaung untuk membantu mengurangi kebutuhan nutrisi pohon kopi.
Sebab ketika pohon kopi menghasilkan bunga yang lebih banyak karena
kelebihan cahaya dan bukan penyebab lainnya, pohon kopi akan cenderung
butuh air, nutrisi, dan karbondioksida lebih banyak. Jika nutrisi tidak tersedia
dalam jumlah yang cukup, pertumbuhan kopi akan menjadi tidak sehat karena
tidak bisa memenuhi kebutuhan nutrisi yang diperlukan oleh buah. Gejala
kekurangan nutrisi paling awal ialah daun menguning dan buah matang
prematur, lalu daun dan buah berguguran. Salah satu cara agar budi daya kopi
di bawah sinar matahari langsung bisa berhasil adalah dengan memberikan
nutrisi tambahan yang cukup yakni melalui pupuk kimia. Dan ini tentu
mengingkari prinsip organik tadi.
Selain alasan tadi, pohon kopi berpenaung juga akan mengubah sistem
budi daya dan lingkungan hayati kebun kopi dalam segala aspek. Pohon
penaung berinteraksi dengan tanah: menambahkan nutrisi alami melalui
penguraian daun-daun rontok, menahan posisi tanah (dengan demikian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
mencegah erosi), memproduksi remah-remah akar, dan boleh jadi membawa
air dengan memompanya dari lapisan yang lebih dalam ke lapisan yang lebih
tinggi. Atas dasar inilah, masuk akal bila sistem organik berkelindan dengan
gagasan sustainability atau berkelanjutan.
Jadi, agar nutrisi tercukupi petani akan memberikan pohon penaung pada
tanaman kopinya. Dengan begitu, petani tidak perlu menambahkan pupuk
kimia yang dikhawatirkan mempengaruhi kualitas cita rasa kopi nantinya14.
Memang, budi daya kopi organik dan berpenaung tidak niscaya menghasilkan
cita rasa yang “baik”, tapi dari sebagian besar kopi organik yang ada di pasar
dunia menunjukan memiliki cita rasa yang lebih baik15.
Selanjutnya, perjalanan cita rasa bergeser ke pemanenan dan pasca
panen kopi. Pada tahapan ini ukuran cita rasa kopi jamak dihubungkan dengan
petik merah. Hanya buah-buah kopi yang merah saja yang di panen; yang
matangnya pas. Dikenal dengan sebutan buah kopi merah16. Selain warna, kopi
14 Shawn Steiman, hal. 19-24.
15 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 54.
Di Indonesia, praktik perkebunan kopi dengan pohon penaung lebih banyak dilakukan oleh perkebunan kopi skala besar (milik negara atau swasta). Umumnya ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, utamanya di Sumatera dan Jawa. Sementara perkebunan milik rakyat lebih terbiasa dengan sistem tumpang sari. Sistem tumpang sari adalah pola penanaman pohon kopi dengan tanaman musiman, seperti tanaman holtikultura yang mencakup sayur -mayur, buah-buahan, dan rempah-rempah. Pohon kopi umumnya baru siap dipanen setelah 2-3 tahun sejak ditanam. Sambil menunggu kopi berbuah siap panen, maka dibutuhkan tanaman lain yang dapat dipanen lebih cepat dari kopi. Dengan kata lain, sistem tumpang sari lebih tepat disebut sebagai pemanfataan ruang serta strategi meningkatkan pemasukan bagi petani. Sementara, tanaman penanung yang biasanya berupa pohon Lamtoro, jelas hanya menitikberatkan pada kejaran cita rasa, tanpa memberi perhatian pada pemasukan tambahan bagi petani kopi yang seringkali dibutuhkan ada dalam waktu relatif singkat (Sekalipun penaung Lamtoro dapat meningkatkan mutu cita rasa kopi, yang dengan demikian turut menaikkan harga jual kopi. Tapi untuk mendapatkan pemasukan tersebut, dibutuhkan waktu yang realtif lebih lama ketimbang pemasukan dari tanaman tumpang sari). Di Aceh, ada kopi yang ditanam bersamaan dengan pohon durian. Atau di Bali, Jeruk Bali adalah pilihan tanaman sela kopi.
16 Di Indonesia, buah kopi yang matang berwarna merah populer disebut sebagai ceri kopi. Sebutan ini berdasarkan terjemahan dari coffee cherries. Di tulisan ini, istilah buah kopi merah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
yang ranum juga bisa dikenali dengan mencicipnya. Kopi ranum akan terasa
manis terutama lapisan lendirnya. Tapi cara kedua ini jarang ditemui.
Buah kopi merah yang telah dipanen harus segera diproses kurang dari 12
jam, agar tak terfermentasi di luar kemauan produksi. Proses ini dinamakan
pasca panen. Pasca panen memainkan peran yang besar dalam kualitas cita
rasa. Telah banyak ilmuwan menyepakati peranan ini17. Bila 60% cita rasa kopi
berada di level petani, maka sekitar 40% darinya ditentukan pada proses pasca
panen.
Umumnya, ada empat metode pasca panen. Tiap-tiap metode dipilih
berdasarkan tujuan cita rasa kopi yang diinginkan, pertimbangan sumber daya,
biaya yang harus dikeluarkan, iklim/geografis, potensi harga jual, atau bisa
juga karena tradisi temurun18. Pada praktik pengolahan pasca panen, prosesor
kopi akan mengambil alih atau setidaknya turut campur dalam memandu dan
memberi pertimbangan ke petani kopi, agar metode yang dipilih tepat guna,
baik secara ekonomis maupun kualitas cita rasa.
Pertama, basah (fully-washed). Buah kopi yang ranum terlebih dulu dipilah
dengan cara perambangan. Buah-buah kopi dirambang di dalam sebuah wadah
berisi air. Buah-buah yang mengambang akan disisihkan sebab menjadi
pertanda bahwa buah-buah tersebut kopong atau cacat fisik. Hanya buah kopi
ranum yang tenggelam di dasar wadah yang akan dikupas. Buah kopi terpilih
tadi dikupas dengan bantuan mesin hingga menyisakan biji dan kulit
tanduknya. Dari sini kopi kemudian direndam dalam wadah berisi air selama
lebih dipilih, sebab menghindari istilah ceri kopi terkesan Eropa sentris, yakni memakai ceri yang akrab dalam keseharian orang Eropa sebagai rujukan.
17 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 489.
18 Shawn Steiman, hal. 38.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
12-36 jam. Proses ini dilakukan untuk membersihkan daging buah yang masih
menempel sekaligus untuk fermentasi. Setelah terfermentasi, kopi akan dicuci
sekali lagi untuk menghilangkan lendir sisa fermentasi. Baru kemudian kopi
dijemur untuk menurunkan kadar airnya dari yang semula berkadar 50%
menjadi 11-12%―versi lain menyebutkan hingga 9-12%. Tujuannya penurunan ini
agar kopi tidak lembab dan tidak mudah membusuk. Bila kadar air dicapai, kopi
akan dikupas kembali setelah didiamkan dalam suhu ruang di gudang. Proses
ini dilakukan untuk memisahkan kulit tanduk dengan biji sehingga
menghasilkan biji kopi hijau (green bean). Dari sini kopi masih menyisakan satu
tahapan pengolahan sebelum biji kopi hijau siap disangrai: penggolongan
(grading). Kopi dipilah berdasarkan ukuran dan warna, sekaligus untuk
menyisihkan biji yang cacat dan benda asing. Proses grading, mau tak mau
harus dilakukan secara manual untuk menjaga tingkat akurasinya.
Kedua, semi basah (semi washed atau giling basah (wet hulled). Dua langkah
awal metode basah juga dijalankan pada metode semi basah: perambangan
dan pengupasan buah kopi merah dari daging buah dan kulit ari. Yang menjadi
pembeda di metode semi basah adalah sisa lendir pada kulit tanduk
dibersihkan dengan mesin demucilager tanpa menggunakan air. Kopi yang
bersih kemudian dijemur selama satu-dua hari hingga kadar air turun menjadi
40% agar siap dikupas kulit tanduk pada biji kopi labu (yang masih relatif
basah) dengan bantuan mesin huller. Dari sini, tinggal dua proses lagi dalam
semi basah yang juga sama seperti metode basah: pengeringan biji kopi hingga
kadar air 11-12% dan penggolongan (grading).
Metode semi basah ini digemari oleh petani kopi di Indonesia karena
prosesnya yang cepat. Di sebagian besar wilayah Indonesia, yang memiliki
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
curah hujan dan kelembaban tinggi, pengeringan kopi bisa memakan waktu
lebih dari tiga pekan. Dengan metode semi basah, pengeringan kopi bisa tiga
kali lebih cepat. Dalam hal korelasi ke kualitas cita rasa seduhan kopi. James
Hoffman, penulis “The World Atlas of Coffee: From Beans to Brewing―Coffee Explored,
Explained and Enjoyed” mengatakan bahwa “kopi semi basah memiliki kadar
keasaman yang rendah serta cita rasa yang lebih lembut dan berat”.
Ketiga, natural. Yang pertama dilakukan pada metode ini masih sama
dengan dua sebelumnya: perambangan. Setelah dirambang buah kopi merah
langsung dijemur tanpa dikupas lebih dulu. Penjemuran akan memakan waktu
kira-kira dua-tiga pekan untuk mencapai kadar air 11-12%. Baru sesudahnya,
kopi didiamkan sejenak dalam ruangan untuk kemudian dikupas dengan
mesin huller guna memisahkan biji dari kulit buah, kulit tanduk, dan kulit ari.
Setelah melalui proses pengupasan (penggilingan), buah kopi merah yang telah
menjadi biji kopi hijau akan digolongkan seperti metode pasca panen lainnya.
Metode pasca panen natural, meski tidak berlaku untuk semua kopi,
biasanya akan menghasilkan cita rasa seperti buah-buahan dengan keasaman
(acidity) yang rendah, dan body yang lebih kuat.
Keempat, madu (honey). Metode ini lazim dipakai petani kopi di Amerika
Tengah. Mereka menyebut lendir kopi atau mucilage sebagai miel, yang artinya
madu (honey). Dari sinilah muncul istilah madu. Miel muncul saat kopi dikupas.
Setelah kopi dirambang, kopi akan dikupas dengan mesin hingga menyisakan
biji dan lendirnya. Ada tiga kategori yang menyatakan kadar lapisan lendir:
madu kuning (yellow honey) yang menyisakan lapisan lendir 25%, madu merah (red
honey) tersisa 50%, dan madu hitam (black honey) yang masih 100%. Kadar sisa ini
juga akan menentukan penyikapan kopi selanjutnya saat dikeringkan. Untuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
madu kuning, kopi akan dikeringkan di tempat terbuka, namun tidak terpapar
sinar matahari langsung, kurang lebih selama 7-8 hari. Untuk madu merah, kopi
akan dikeringkan di tempat teduh selama 11-12 hari. Sedangkan untuk madu
hitam, kopi akan dikeringkan di dalam ruangan selama 20-30 hari. Setelah
dikeringkan, baru kopi akan digiling atau dikupas seperti metode natural dan
digolongkan seperti metode yang lain19.
Sampai di sini, setelah pasca panen, peran petani dengan produk akhir biji
kopi hijau diteruskan ke level berikut. Sebagai catatan penutup di level petani,
bahwa dari segala tahapan yang dilakukan petani kopi, setidaknya upaya
merekayasa cita rasa kopi itu ada, meski sekali lagi ditekankan, tidak serta
merta menentukan cita rasa kopi yang spesial. Rekayasa ini hanya berkolerasi
terhadap cita rasa akhir. Sebab masih ada level produksi lainnya yang turut
melengkapi pembentukan cita rasa kopi.
b. Level Bersama
Penyimpanan biji kopi hijau menjadi soal yang signifikan. biji kopi hijau
hasil petani akan mengalami waktu penyimpanan tentatif sebelum sampai di
tangan penyangrai―waktu di sini bergantung pada mekanisme distribusi, jual-
beli kopi atau ekspor-impor kopi di pasar domestik maupun global. Petani
dan/atau prosesor bisa saja menyimpan biji kopi hijau sambil menunggu coffee
buyer atau ia bisa juga menyimpan miliknya di koperasi bersamaan dengan
hasil petani lain sambil menunggu harga jual yang diinginkan, misalnya. Atau,
di lain sisi, coffee buyer bisa juga “menahan” biji kopi hijau sebelum ia jual ke
penyangrai dengan berbagai alasan, atau malah penyangrai yang menyimpan
19 Didasarkan pada tiga sumber rujukan yang dielaborasikan. Pertama, Majalah Tempo, hal. 74-75. Kedua, Shawn Steiman, hal. 37-43. Dan ketiga, Koffie Goenoeng Fairshare, Tiga Model Memproses Kopi Pasca-Panen, (tulisan lepas, tanpa tahun).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
lama biji kopi hijau sembari menunggu giliran untuk disangrai. Singkatnya, biji
kopi hijau bisa disimpan dalam waktu yang variatif oleh siapa pun atas dasar
kepentingan masing-masing.
Namun yang terpenting dalam aspek penyimpanan adalah jika biji kopi
hijau disimpan asal-asalan, maka bukan tidak mungkin biji kopi hijau akan
menurun tajam kualitasnya, yang tercermin dalam cita rasa yang hambar,
lapuk, dan apak. Rasa yang begini merupakan nilai cacat yang muncul bukan
sebagai sifat intrinsik bawaan kopi, melainkan lebih dikarenakan masalah
penyimpanan (human error) yang secara logis juga menyangkut kesegaran20.
Guna menghindari kesalahan ini, terlebih di industri kopi spesial,
ketepatan penyimpanan kopi mutlak diperhatikan. Dua faktor penting yang
perlu dikendalikan adalah kemasan, kelembaban, dan suhu ruangan. Secara
kimiawi, pengaturan ini diperlukan, agar tidak terjadi oksidasi dalam lipid kopi
(zat lemak) dalam masa penyimpanan yang berpotensi besar menurunkan
kualitas biji kopi hijau dari kualitas awalnya21.
c. Level Penyangrai
Setelah diproses dari buah kopi merah menjadi biji kopi hijau, kopi masih
menyerupai kerikil hijau yang keras, tidak terlalu punya cita rasa yang
mencolok. Bahkan biji kopi hijau sering dikatakan berasa serupa rumput. Tugas
seorang penyangrai (roaster) adalah mengembangkan cita rasa dalam kopi,
yang membuatnya menarik untuk diminum. Setiap kopi dari berbagai daerah
20 Britta Folmer (Ed.), Kriya dan Ilmu Menyeduh Kopi, terj. Rani S. Ekawati (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 35
21 Kriya dan Ilmu Menyeduh Kopi, hal. 36.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
tertentu memiliki karakteristik cita rasa yang tertentu pula, dan penyangraian
yang cermat akan mengeluarkan cita rasa ini22.
Para juru sangrai akan mengembangkan lebih dari 1000 senyawa volatil
(dialami indra penciuman) dan non-volatil kopi (dialami indra perasa) yang
berbeda dari sebelum disangrai. Di sinilah, penyangrai mengambil peran dalam
mengkreasikan cita rasa kopi melalui proses pemanasan kopi. Kopi dipanasi
dengan peralatan tertentu (biasanya dengan mesin sangrai bertabung) hingga
mencapai tingkat kematangan tertentu pula; yang mana tingkatan ini akan
turut menyatakan profil cita rasa kopi yang akan diseduh para barista. Di sini,
tingkat kematangan menjadi penting, tidak hanya bagi juru sangrai, tapi juga
bagi seluruh sektor hilir berikutnya: pengonsumsi kopi23.
Ada delapan tingkat kematangan kopi sangrai (derajat sangrai). Cinnamon
Roast, New England Roast, American Roast, City Roast, Full City Roast, Vienna Roast,
French Roast, dan Italian Roast―ada juga yang menambahkan Spanish Roast
sebagai tingkatan terakhir. Namun bila disederhanakan, hanya ada tiga derajat
sangrai yang lebih populer: Light atau sangrai ringan (Cinnamon Roast, New
England Roast), Medium atau sangrai sedang (American Roast, City Roast), dan Dark
atau sangrai gelap (Full City Roast, Vienna Roast, French Roast, Italian Roast, Spanish
Roast). Masing-masing derajat sangrai menunjukkan titik berhenti di lima fase
penyangraian kopi. Dengan kata lain, ada lima fase dalam penyangraian kopi, di
mana tiap fase memiliki titik henti yang kemudian dikenal sebagai delapan
derajat sangrai yang bisa disederhanakan menjadi tiga derajat sangrai24.
22 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 528.
23 Britta Folmer (Ed.), Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, terj. Nandya Andwiani (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 59-60; dan Shawn Steiman, hal. 78.
24 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 32-33; dan Shawn Steiman, hal. 77.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Derajat sangrai yang optimal bergantung pada karakteristik biji kopi
hijau, metode penyeduhan yang diinginkan, dan yang penting adalah preferensi
selera penyangrai dan pasar. Roaster berpengalaman tahu bahwa cita rasa akan
berkembang dari karakter manis, seperti buah-buahan, roti panggang, dan
kacang-kacangan di derajat sangrai ringan (light), kemudian semakin kompleks
pada derajat sangrai sedang (medium). Sementara derajat sangrai gelap (dark)
akan cenderung membentuk cita rasa cokelat, rempah, bahkan tengik dan
sangit atau gosong bila kebablasan. Cita rasa pahit meningkat selama
penyangraian, sedangkan kadar acidity menurun selama tahap awal proses
penyangraian25.
Untuk kopi spesial, sangrai ringan hingga sedang lebih mendominasi
sebab dikaitakan dengan hasil akhir cita rasa yang kompleks dan
menyenangkan (cita rasa positif)26.
d. Level Barista
Dari penyangrai, cita rasa kopi berlanjut ditangani barista. Meski barista
berperan hanya 10% saja, paling kecil dibanding lainnya, tapi tanpa barista kopi
belum tentu bisa disebut minuman. Lewat barista, kopi diseduh untuk
mengungkap cita rasa yang masih tersimpan di biji kopi sangrai atau yang
sudah digiling. Shawn Steiman (2015) menunjukkan bahwa menyeduh kopi
adalah persoalan kimia dasar. Menyeduh kopi sekadar ekstraksi sederhana
atas zat terlaut (partikel kopi) dengan pelarut (air) dari suatu
25 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 33 dan 75.
26 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 530.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
matriks/kandungan (bubuk kopi) untuk menghasilkan suatu larutan (minuman
kopi)27.
Ada beraneka ragam metode penyeduhan kopi, yakni berdasarkan daerah
asal, tradisi, dan preferensi konsumen. Setiap metode memiliki beberapa
parameter seduh yang memainkan peranan penting dalam menghidangkan
minuman dengan cita rasa seimbang28.
Bila dirangkum, dibentang sejarahnya setidaknya ada dua golongan besar
dalam praktik penyeduhan kopi: dengan tekanan dan tanpa tekanan. Berbagai
macam ekstraksi kopi menjadi espresso adalah bagian penyeduhan dengan
tekanan (pressure). Espresso bisa dibuat menggunakan peralatan elektrik
(otomatis/semi otomatis) maupun dikerjakan dengan tangan/manual.
Sementara golongan tanpa tekanan, umumnya didominasi oleh peralatan
seduh manual (manual brew) dan mencakup tiga teknik dasar: perendaman
(immersing), tetes (dripping), dan pendidihan (boiling)29. Masing-masing golongan
dan teknik punya aturan main atau parameter seduhnya. Serta kadang kala
memiliki preferensi kopi yang digunakan (cocok-cocokan), baik spesies atau
varietas, maupun soal derajat sangrai dan kesegarannya. Kualitas dan suhu air,
tingkat halus-kasar gilingan kopi (area permukaan), rasio antara dosis kopi
yang digunakan (dose) dan hasil akhir seduhan (yield), lama waktu seduh,
hingga jenis dan bahan peralatan seduh, adalah parameter yang patut
diperhatikan barista guna mewujudkan cita rasa kopi sebagaimana
diinginkan30.
27 Shawn Steiman, hal. 128.
28 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 67.
29 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal.90-94.
30 Shawn Steiman, hal. 129-150.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
Tekanan memiliki dampak penting terhadap cita rasa yang dihasilkan.
Sebab kopi yang digiling cenderung halus, akan dimampatkan lalu mendapat
tekanan udara sehingga cita rasa yang dihasilkan akan mengarah ke kepekatan
intensitas serta body yang lebih tinggi. Sedangkan kopi yang diseduh dengan
V60 (salah satu teknik tetes dan saring) misalnya, yang lazim menggunakan
kopi arabika yang disangrai di rentang derajat ringan (light) ke medium dan
digiling lebih kasar dari ukuran garam dapur, umumnya akan didapati cita rasa
yang lebih ringan dan seimbang31. Atau kopi yang diseduh dengan cara
pendidihan seperti kopi turki (Turkish method dengan alat seduh berbahan
tembaga bernama Ibrik) memiliki karakter cita rasa yang pahit dan cokelat
hitam, karena suhu ekstraksi yang tinggi32.
Setiap parameter yang memengaruhi hasil ekastraksi perlu dipahami
seorang barista. Dengan mengotak-atik semua parameter tersebut dan
menyeimbangkan pengaruhnya satu sama lain, barista bisa membuat sederet
kopi seduh yang berbeda-beda cita rasanya, masing-masing punya nuansa33.
Barista akan mengoptimalkan cita rasa tertentu seperti, manis buah-buahan,
wangi rempah, dan acidity yang menyenangkan, serta meminimalkan cita rasa
yang mereka anggap tidak layak. Biasanya, barista akan menentukan
metodologi penyeduhan yang digunakan dan merancang kondisi penyeduhan
dengan menggunakan parameter yang sudah diketahui sebagai titik awal.
Kemudian, barista akan menguji kopi secara sensoris, dengan mencari jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan seperti: apakah cita rasa pada kopi yang muncul
31 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 89.
32 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 90.
33 Shawn Steiman, hal. 128.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
akibat ekstraksi yang berlebih atau tidak cukup terkestraksi? serta sederet
pertanyaan lainnya.
Sekalipun ada banyak tetek-bengek pernyeduhan kopi, pada akhirnya,
parameter utama untuk menilai kualitas secangkir kopi dari barista tetaplah
pengalaman indrawi. Namun, persepsi indrawi, dan bahkan apa yang disukai
pelanggan, sampai batas tertentu tetap subjektif. Sekalipun beberapa
parameter kunci telah dintentukan melalui pengukuran fisikokimiawi34.
B. Cita Rasa Kopi: Historisitas dalam Konsumsi
Pada sub bab kedua ini, cita rasa kopi dibicarakan dalam konteks
konsumsi, khususnya yang berlangsung di Indonesia. Pengkhususan ini
dilakukan sebab pembahasan di bab berikutnya akan diarahkan ke
pengalaman subjek-subjek pascakolonial di Indonesia dalam mengalami cita
rasa kopi di era gelombang ketiga.
Bila sub bab sebelumnya melihat catatan-catatan dari lapangan produksi
yang dinilai berkorelasi dengan kualitas cita rasa kopi, maka di sub bab kedua
ini, cita rasa kopi dilihat sebagai hasil konstruksi tiap fase dalam sejarah.
Bahwa persoalan cita rasa kopi di Indonesia turut berubah seiring perbedaan
episteme di setiap fase zaman: beda zaman, lain cita rasa . Historisitas di lapangan
produksi tidak begitu punya andil menyarankan cita rasa kopi. Yang berandil
besar di bagian ini justru industri sektor hilir yang memainkan preferensi cita
rasa konsumen.
Ada tiga fase yang saya dapati di sini. Pertama, fase di mana Indonesia
mengenal kopi berkat ambisi perusahaan dagang Vereenigde Oost-Indische
34 Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi, hal. 68.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Compagnie (VOC). Di masa ini, cita rasa kopi masih diisi oleh “kopi pahit”. Kedua,
fase kedatangan Starbucks, yang mulai mengenalkan cita rasa lain dari kopi
serta mengubah tren konsumsi kopi, dari semata komoditas menjadi bagian
gaya hidup. Dan fase ketiga, saat ini, ketika SCAA/SCA menjadi corong dari
segala persoalan cita rasa kopi di Indonesia.
Fase pertama. Sebermula kopi di Indonesia tidak dimulai dari pabrik. Tapi
dari kebun. Berbeda dari sejarah kopi di AS yang dilihat dari praktik konsumsi
dan dicirikan dalam konsep gelombang (wave), bahwa mulanya di gelombang
pertama pada tahun 1800-an, kopi di AS massif diwarnai oleh Maxwell House dan
Folgers yang memasok kopi sangrai dan bubuk kopi untuk rumah tangga35,
maka sebaliknya di Indonesia, bahwa sejarah kopi dimulai dari konteks
produksi, dari perkebunan yang jauh lebih dulu, bahkan ada sejak abad 17.
Catatan sejarah menunjukkan bahwa kopi pertama kali ditanam di Jawa pada
tahun 1710, berkat ambisi dagang VOC yang hendak merebut pasar kopi dunia
dari bangsa-bangsa Arab, utamanya dari Yaman.
Meski lebih dulu di sektor produksi, orang Indonesia tidak serta merta
dapat mengonsumsi kopi. Sebabnya VOC yang tidak memperuntukkan kopi
Jawa dikonsumsi di tanah koloni Belanda. Tapi lebih sebagai komoditi ekspor ke
sebagian Eropa―Jawa dan Sumatra di masa koffiestelsel (tanam paksa,
cultuurstelsel) yang berlaku pada 1830 dan mulai berakhir sejak disahkannya
undang-undang reformasi argraria pada 1870 dan pada politik etis 1910; Jawa
35 Persoalan ini berkaitan dengan revolusi ritel yang akan dibahas di sub-bab berikutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
menjadi pemasok kopi terbesar pada tahun 1850-an menggeser India dan
Ceylon (Sri Lanka)36.
Orang Cianjur, Malabar, serta orang-orang pulau lain, seperti Sumatera,
Bali, Sulawesi, Timor, dan lainnya, sama sekali tidak pernah menikmati
secangkir kopi yang ia tanam. Pada masa itu, para petani lebih akrab dengan
seduhan daun kopi yang biasa di sebut dengan kopi kawa, seperti yang dialami
di Sumatera37. Atau seduhan daging buah buah kopi merah yang dikeringkan
yang dikenal sebagai teh kopi (sekarang populer disebut cascara) seperti umum
dijumpai di Timor38. Kalau toh petani dapat meminum kopi dari biji, tentu biji
kopi yang diolah adalah biji buangan yang sangat buruk kualitasnya. Biji
tersebut disangrai seadanya. Kadangkala dicampuri jagung dan beras
sebagaimana yang dilakukan di Jawa. Campuran ini diniatkan agar cita rasa
kopi “membaik”, menjadi lebih gurih, meski masih sangat tidak layak. Juga
agar lebih murah terjangkau dan kuantitas kopi menjadi banyak, sehingga
dapat bertahan dikonsumsi hari ke hari. Terdengar ironis, memang39.
Baru pada 1927 di era kolonial Belanda, saat kopi mulai dikomersialisasi di
pasar domestik, Koffie Fabriek pertama di Indonesia berdiri di Weltevreden, Batavia,
dengan nama Tek Sun Ho; dan budaya minum kopi dari biji yang “layak”40 pun
dimulai. Semakin berkembang berkat Koffie Fabriek lain yang menyusul berdiri:
Kapal Api yang mulai beroperasi tahun 1927 di Surabaya, Javaco Cofffee yang
36 Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, a Cup of Java, (Jakarta-Singapura: Equinox Publishing, 2003), hal 28 dan 33; dan Andi Haswidi, Kopi: Indonesian Craft and Culture, (Jakarta: Bekraf, 2017), hal. 30.
37 Andi Haswidi, hal. 108.
38 Andi Haswidi, hal. 33.
39 Andi Haswidi, hal. 93; dan Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, hal. 112.
40 Dalam pengertian lebih baik dari biji kopi yang beredar di Indonesia di era VOC.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
berdiri di Bandung pada tahun 1928, Singa di Surabaya pada 1928, dan Aroma
Koffie pada tahun 1930 juga di Bandung. Jika AS mengenal merek Maxwell House
dan Folgers sebagai pemasok kopi terjangkau bagi rumah tangga di AS, maka di
Hindia Belanda, di Indonesia, orang mengenal merek Aroma dan Javaco sebagai
kopi biji sangrai dan kopi bubuk konsumsi41.
Koffie Fabriek, sebutan untuk pabrik kopi dalam bahasa belanda, yang
beroperasi di Indonesia, tepatnya Hindia Belanda. Rumah sangrai lokal ini
menandai tren cita rasa kopi awal di Indonesa era VOC dan kolonial Belanda.
Sebagaimana kebanyakan bisnis era itu, rumah sangrai kopi biasanya dimiliki
dan dijalankan oleh keturunan Cina kelas menengah ke atas. Berkat status
sosial dan ekonomi yang relatif tinggi dibanding pribumi serta pergaulan yang
lebih dekat dengan kolonialis, membuat mereka unggul dalam membaca
peluang bisnis kopi bubuk yang pesat di Batavia, Bandung, dan Surabaya kala
itu.
Bagi para perintis, membuka bisnis kopi berarti perlu mengimpor mesin
sangrai dari Jerman. Probat, merek ternama dari Emmericher Maschinenfabrik &
Eisengiesserei yang berdiri tahun 1868, sering menjadi pilihan favorit para
pebisnis kopi. Probat waktu masih serba manual. Untuk mengoperasikannya
dibutuhkan sekitar dua-tiga orang. Satu orang bertugas memelihara putaran
drum silinder besar yang diisi biji kopi hijau secara stabil dan kontinu. Seorang
lagi (dan yang lain) bertugas menjaga perapian kayu agar mencapai suhu ajeg
berkisar 205o-260o C. Penyangrai akan mengubah biji kopi hijau dari semula
hijau menjadi menguning lalu berakhir gelap. Perubahan akan berlangsung
beberapa menit. Hasil akhir sangrai kopi yang begini dikenal sebagai Turkish
41 Andi Haswidi, hal. 82-87; dan Gabriella Teggia dan Mark Hanusz, hal. 75-83.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
Roast, satu-satunya derajat sangrai yang dinginkan masa itu. Bahkan, ada
beberapa penyangrai dengan sengaja tidak segera mengeluarkan biji
sangrainya dari drum, dengan maksud agar rasa terbakar (burned/gosong)
semakin sempurna.
Praktik sangrai yang telah berusia seabad lamanya ini, lantas diwariskan
ke generasi berikut. Terus-menerus, menjadi tradisi. Hingga pada gillirannya
semakin menguatkan tren cita rasa kopi “pahit” di Indonesia bahkan hingga
hari ini42.
Pada tahun 1980, saat gelombang pertama di AS memasuki abad ke-20,
budaya minum kopi “pahit” semakin dominan sebagai kultur cita rasa kopi di
Indonesia. Hal ini ditandai dengan populernya kopi bubuk bermerek Kapal Api di
pasaran di Surabaya―mengekor Douwe Egeberts (Belanda), Lavazza (Italia), dan
Maxwell House, Folgers (AS)43.
Seiring itu pula, orang Indonesia semakin kental dengan kultur cita rasa
kopi pahit. Agar kopi pahit ini dapat dinikmati, maka rasa kopi perlu direkayasa.
Seringkali kopi dicampur dengan berbagai bahan untuk mengatasi rasa pahit
akibat penyangraian. Di berbagai daerah di Indonesia, jamak dijumpai kopi
42 Hingga hari ini, setidaknya saat tulisan ini dikerjakan, akan sangat mudah menemukan praktik sangrai ala Koffie Fabriek. Selain di koffie fabriek yang masih beroperasi hingga kini, kopi-kopi yang disangrai gelap dan cenderung gosong dengan cita rasa pahit juga mudah ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Beng Rahadian menemukannya di Aceh saat ia melakukan observasi untuk proyek komiknya, “Mencari Kopi Aceh” yang terbit tahun 2016. Saya pribadi juga menemukan hal serupa saat berada di Tulang Bawang, Lampung pada 2017; di Lereng Sindoro, Temanggung pada 2017; di Pagar Alam, Sumatera Selatan pada 2018; Lereng Merapi Sleman, 2019. Beberapa acara serial semi dokumenter produksi televisi nasional juga sering memberitakan cara sangrai kopi serupa, baik skala indutri maupun rumahan. Bererapa di antaranya, Coffee Story, produksi Kompas TV yang tayang sejak September 2011 hingga September 2012; Jelajah Kopi, produksi TVRI yang tayang sejak Januari 2020 hingga kini; dan Viva Barista, produksi Metro TV, yang sempat tayang sejak Februari 2016 hingga Juli 2018. Lihat juga: Andi Haswidi, 78-79
43 Andi Haswidi, hal. 123 dan 13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
dicampur telur ayam kampung, kental manis, vanili, margarin, gula pasir, dan
bahan-bahan lainnya.
Meski praktik konsumsi kopi di era kolonial mulai membaik dibanding
era VOC, kopi masih tetap menjadi barang mewah kala itu. Bila di era VOC, kopi
menjadi langka dikarenakan monopoli ekspor VOC, maka di era kolonial
Belanda, selain monopoli ekspor masih dijalankan, kopi menjadi langka di
dapur rumah tangga sebab mahal harganya. Keran konsumsi kopi domestik
memang dibuka di era kolonial Belanda, tapi masih saja tak banyak orang yang
mampu membeli produk kopi dari koffie fabriek. Sudah mahal, pahit pula.
Hal ini semakin melengkapi frasa kopi “... kopi adalah sejarah kelam
penindasan ...” sebagaimana ujar Multatuli alias Eduard Douwes Dekker dalam
novelnya, Max Havelaar (1860).
Fase Kedua. Invasi Starbucks ke berbagai negara telah membuka babak baru
cita rasa kopi global, termasuk di Indonesia. Antipati pada kopi “pahit” seperti
yang ditunjukkan di gelombang pertama lantas memunculkan era baru, disebut
sebagai gelombang kedua. Era yang menginginkan cita rasa kopi yang lebih
baik. Kehadiran Peet’s Coffee & Tea dan Starbucks menandai hal ini ketika mereka
mulai buka toko pada 1966 dan 1971. Keduanya lantas memimpin tren konsumsi
di AS. Mereka mempromosikan inovasi yang relatif baru pada saat itu ke
konsumen AS, seperti kesegaran biji kopi sangrai dan pengenalan minuman
espresso dan turunannya (espresso based) seperti cappuccino dan latte.
Gelombang kedua di AS juga disokong oleh gagasan kopi spesial yang lamat-
lamat dikenal pada 1970-an melalui Erna Knutsen.
Pada tahun yang sama, konteks konsumsi kopi di AS tidak serta merta
belaku di Indonesia. Indonesia mengenal kopi dalam pengertian “gelombang ala
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
AS” ini baru-baru saja. Sulit untuk mengatakan dengan tepat kapan tren cita
rasa kopi di konsumen Indonesia mulai bergeser dari kopi “pahit”. Ada yang
mengatakan sejak Starbucks membuka kedai pertamanya di Plaza Indonesia,
Jakarta, pada Mei 2002. Ada pula yang menyebutkan sejak tahun 2004, saat
rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca bencana Tsunami. Saat itu, USAID
bersama lembaga donor lain membantu merevitalisasi pertanian kopi organik
di dataran tinggi Gayo, Aceh. Bersamaan dengan itu di lokasi lain, Eko
Purnomowidi, dari Volkopi Indonesia juga mengerjakan proyek mengembangkan
arabika berkualitas tinggi di Sumatera Utara yang telah dirintis sejak awal
2000-an, lebih dulu dari kehadiran Starbucks di Indonesia. Sementara bagi
mereka yang tinggal di Jakarta, mungkin akan menunjuk pada pendirian kedai
Caswell Coffee di Jakarta pada tahun 1999, sebagai yang pertama yang
mempromosikan kopi spesial di Indonesia di sektor hilir. Di kemudian hari,
Caswell Coffee merambah ke bisnis sekolah kopi, juga sebagai sekolah kopi yang
pertama terakreditasi SCA: SCA Campus
Terlepas dari perdebatan kapan tepatnya, secara pasti, baik Starbucks,
peran USAID di Aceh, Eko Purnomowidi di Sumatera Utara, maupun Caswell Coffee
di Jakarta, telah berkontribusi menggiring tren konsumsi kopi di Indonesia ke
cita rasa kopi yang tidak lagi sekadar pahit; yang memungkinkan kopi untuk
dikawinkan dengan bahan lain, seperti susu segar, cokelat, sirup, dan lain
sebagainya. Bahwa di Indonesia, kopi mulai dimaknai dan dirasakan secara
berbeda. Hal ini semakin menguat dengan dukungan teknologi produksi kopi
yang berkembang, serta perubahan selera pasar kopi global ke espresso dan
kopi susu44. Tapi patut di garis bawahi, bahwa cita rasa kopi di fase kedua ini
44 Andi Haswidi, hal. 122-124. Lihat juga: Majalah Tempo, hal. 80.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
memiliki segmen pasar terbatas, yakni masyarakat kelas menengah ke atas.
Sementara masyarakat kelas lain masih terbiasa dengan kopi pabrik bercita
rasa “pahit”. Mengapa terbatas? Sebab kopi yang demikian cuma dapat ditemui
di kafe-kafe di kota-kota besar Indonesia.
Seperti halnya di Starbucks. Di Starbucks, orang bisa menikmati espresso,
cappuccino, dan latte, sekaligus bisa menikmati gaya hidup. Di Starbucks, kopi
tidak semata dimaknai sebagai komoditas. Starbucks turut menambahkan
atribut gaya hidup pada kopi. Ini erat kaitannya popularisasi kopi sebagai
minuman out-home consumption khas AS sebagai akibat industri ritel dan kopi di
AS yang mulai memasuki masa sulit dan stagnan. Momen ini melahirkan ide
yang terbilang baru45 di AS dengan mencoba menggarap segmen pasar baru,
yaitu kedai kopi. Bila di era sebelumnya, tren konsumsi kopi di AS lebih marak
dengan at-home consumption berkat keberadaan pabrikan kopi saset dan
industri retil yang eksplosif, maka di era out-home consumption orang lebih
diajak meminum kopi di kedai kopi sembari merayakan individualisme dan
kesetaraan diri di ruang ketiga (third place).
Oldenburg, sosiolog perkotaan, menyebut bahwa kedai kopi adalah ruang
ketiga. Di ruang ketiga ini kedai kopi tidak hanya menjual kopi tapi juga ruang
dan waktu. Orang-orang berkumpul di kedai kopi, di luar rumah dan kantor,
untuk bercakap-cakap santai dan berinteraksi tanpa memandang status sosial.
45 Secara keseluruhan tren konsumsi kopi dikenal pertama kali di Turki dan kemudian berkembang. Awalnya, kafe adalah tempat yang digunakan oleh masyarakat sebagai cikal-bakal kedai kopi. Pada masing-masing perkembangan terdapat perbedaan dan persamaanya, yaitu fungsinya sebagai ruang publik. Lebih lanjut, perkembangan cara konsumsi out-home consumption terlihat di Italia awal abad ke-20. Awalnya kopi di Italia hanyalah sebatas budaya kafe seperti di negara-negara Eropa lainnya, begitu pula dengan cara penyajian kopinya yang sebatas diseduh manual (manual brewing). Namun ketika mesin espresso diperkenalkan pertama kali pada tahun 1901 dan disempurnakan pada tahun 1947, kini espresso merupakan bahan dasar yang sering dijumpai di kedai kopi yang mengekor Starbucks. Lihat: Fauziah Rohmatika Mayangsari, hal 179-180.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
Orang-orang merasa bahwa kedai kopi adalah miliknya sebab mereka
menemukan kenyamanan dan keramahan di sana, serta memandang kedai
kopi adalah tempat yang netral dan terbuka untuk ekspresi diri. Nilai-nilai yang
ditambahkan inilah yang menjadi sangat penting selain secangkir kopi itu
sendiri46.
Starbucks mengklaim bahwa mereka adalah bagian dari third place. Meski
dibantah kemudian oleh Oldenburg yang menangkap kurangnya interaksi sosial
dan percakapan santai di kedai Starbucks. Di Starbucks, orang lebih terbiasa
menyendiri merayakan individualisme ketimbang berinteraksi sosial47.
Fase Ketiga. Seiring menguatnya industri kopi spesial, orang-orang secara
pasti dan perlahan menampik “ampas kolonial” seperti di fase pertama, juga
mulai menginginkan cita rasa kopi yang berbeda-berbeda tidak seperti
cappuccino dan latte atau olahan kopi susu lainnya seperti di fase kedua. Kopi
mulai dinikmati “kemurniannya” alias tanpa campuran bahan non-kopi.
Semakin khas cita rasa kopi, maka semakin ia diminati. Tren pun kembali
bergeser ke kejaran otentisitas dan kompleksitas cita rasa kopi sebagaimana
gagasan kopi spesial yang dikampanyekan AS melalui SCAA/SCA.
Di Indonesia, pergeseran ini disokong oleh, pertama karena permintaan
kopi spesial yang datang dari AS. Dari total produksi kopi nasional pada tahun
2018 yang mencapai 687 ribu ton, 280 ribu ton diantaranya diekspor dengan
tujuan utama adalah AS, Italia, dan Jepang. Di sini AS menyerap sekitar 52 ribu
ton atau sekitar 18,6% dari total eskpor. Sisanya diserap pasar domestik, yang
46 Muhammad Najih, Warung Kopi dan Place Identity (Tesis Magister Psikologi, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta: 2017), hal. 36-37.
47 Muhammad Najih, hal. 38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
sebagain besar diolah menjadi kopi saset48. Karena permintaan ini, wajar bila AS
giat berkampanye soal kopi spesial di Indonesia. Kedua, karena diseminasi
pengetahuan kopi spesial oleh AS melalui SCA dan diringi perkembangan
teknologi produksi kopi, khususnya di teknologi sangrai dan penyeduhan yang
semakin memudahkan merekayasa (atau membentuk) cita rasa kopi spesial.
Dan ketiga, karena ceruk pasar telah dibuka oleh Starbucks, sehingga memberi
daya optimis kedai kopi lokal (serupa format Starbucks) untuk menjajakan kopi
spesial di Indonesia.
Ketiga fase ini menunjukkan bahwa cita rasa kopi dalam konteks
konsumsi di Indonesia dialami secara berbeda seturut kemauan industri kopi:
Koffie fabriek, Starbucks, dan SCA. Hal ini juga menunjukkan bahwa secara
perlahan, cita rasa kopi mulai dapat dipahami sebagai wacana. Sebab realitas
cita rasa di sini dibatasi dan diarahkan oleh industri. Pun juga, sifat kebenaran
cita rasa yang dimaksud di ketiga fase ini amat parsial dan relatif karena
didasari episteme tertentu pada masanya. Suatu ide tentang cita rasa kopi yang
sama akan dinilai secara berbeda bergantung fragmen sejarah dan siapa yang
memegang kekuasaan pada saat itu, dan kekuasaan di sini dipegang oleh
industri, yakni koffie fabriek, Starbucks, dan SCA. Sejarah bukanlah koherensi
ide/peristiwa. Bagi Foucault, sejarah adalah retakan (rupture), ia
diskontinuitas49. Bahwa sejarah pada dewasa kini, cita rasa kopi di fase ketiga,
terpisah dari sejarah di dua fase sebelumnya sekaligus tidak berkaitan dengan
historisitas di lapangan produksi. Sebab setiap fragmen sejarah memiliki
48 Badan Pusat Statistik Indonesia, Statistik Kopi Indonesia 2018, (Jakarta: BPS, 2019), Hal. 10-13
49 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terj. Inyiak Ridwan Mudzir, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012), hal. 17.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
episteme-nya sendiri. Dan, episteme inilah yang menjadi formasi bagi
terbentuknya discourse of knowledge (diskursus pengetahuan)50.
Secara khusus, penjelasan fase ketiga, cita rasa kopi di industri kopi
spesial yang giat dikampanyekan SCA, lebih lanjut akan didalami di sub bab
ketiga. Pendalaman ini berkaitan dengan wacana cita rasa kopi dan institusi
yang mengkonstruksi wacana tersebut.
C. Historisitas Wacana Cita Rasa dan Institusi SCAA/SCA
Pada sub-bab ketiga di sini, cita rasa kopi mulai dibicarakan dari sisi
faktor-faktor sejarah yang mengkonstruksi Roda Rasa SCAA dan standar SCA
lainnya sebagai produk pengetahuan diskursif yang dogmatis. Bahwa cita rasa
kopi juga turut ditentukan oleh SCA melalui produksi pengetahuannya yang
dijadikan standar bagi industri kopi spesial. Di sini, pembicaraan cita rasa
tepatnya bukan lagi sebagai fakta sensoris seperti di lapangan produksi,
melainkan lebih sebagai pengetahuan yang politis, melanjutkan penjelasan sub
bab kedua khususnya cita rasa di fase ketiga.
Sebagai wacana, Roda Rasa SCAA dan standar SCA lainnya akan dianalisis
bersamaan dengan aspek-aspek lain, seperti pemeriksaan SCA sebagai institusi
wacana, sekaligus sedikit meninjau pengalaman subjek-subjek yang
menghidupi wacana51. Tujuan dari upaya ini adalah untuk melihat relasi kuasa
yang ada dalam wacana cita rasa pada industri kopi spesial.
Tren kopi spesial gelombang ketiga telah meniscayakan topik utamanya
kepada cita rasa. Topik yang merebak, digemari ke segala penjuru dunia. Setiap
50 Bisa juga episteme dalam penyebutannya kemudian adalah wacana atau dalam istilah anglosakson disebut paradigma. Lihat: P. Sunu Hardiyanta, Michel Foucault: Displin Tubuh, Bengkel Individu Modern, (Yogyakarta: LKiS, 1997), hal. XV.
51 Pembahasan mengenai pengalaman subjek-subjek wacana akan lebih didalami di bab IV.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
orang menginginkan cita rasa terbaik dari kopi yang ia konsumsi. Ini didasari
oleh kejumudan terhadap kopi saset dan kopi pahit yang marak di dua era
gelombang sebelumnya. Orang-orang di masa sekarang mulai berangsur beralih
ke kopi yang memiliki cita rasa terbaik sekaligus unik: khas. Semakin enak dan
khas cita rasa kopi, maka semakin diminati. Karena kejaran itulah, baik
konsumen maupun produsen kopi mulai serius mengupayakan cita rasa kopi
enak dan unik yang tiada duanya. Pertanyaan-pertanyaan kualitatif tentang cita
rasa lantas berjejalan seiring dengan ragam upaya peningkatan mutu dan
volume produksi kopi dari tingkat petani hingga ke cangkir saji, serta upaya
memperbaiki tata kelola-niaga kopi yang berkelanjutan (sustainable), adil, dan
menyejahterakan semua lini. Perlahan secara pasti, berbagai penelitian
dikembangkan dan ratusan uji coba digelar guna mengejar ambisi ini.
Keluarannya (output) adalah pengetahuan. Sebuah savoir tentang melahirkan
cita rasa kopi yang spesial. Wujud kongkrit dari pengetahuan tersebut berbagai
macam, berupa buku-buku, alat/teknologi, praktik tata kelola, prosedur-
prosedur, sertifikasi keterampilan, standardisasi, dan lain sebagainya.
Pada momentum inilah, SCA mengetengahkan diri dan mengambil
peranan penting dalam industri kopi spesial skala global. SCA mengklaim
sebagai organisasi non-profit yang merepresentasikan ribuan profesional di
bidang kopi, dari tingkat produser kopi hingga barista dari berbagai penjuru
dunia. Sejak resmi berdiri pada tahun 2016―hasil unifikasi SCAA yang telah ada
sejak 1982 dan SCAE sejak 1998―SCA telah menggelar dan memfasilitasi
rangkaian pendidikan, pelatihan, dan penelitian di arena kopi dunia dengan
pendekatan yang kolaboratif dan progresif. Dari kegiatan ini, SCA memiliki
kapasitas memproduksi berbagai pengetahuan guna menjawab pertanyaan-
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
pertanyaan tadi. Sebuah jawaban yang dinilai dapat menjamin kecerahan masa
depan industri kopi spesial. Konsekuensi logis dari kiprah SCA inilah yang
kemudian menahbiskan SCA sebagai korpus pengetahuan industri kopi spesial.
Sebagai universitas kopi dunia yang diikuti oleh para anggotanya dari berbagai
negara dan lintas pelaku mata rantai industri kopi spesial.
Bagaimana membudidayakan tanaman kopi yang tepat kondisi geografis?
dan berkelanjutan? Orang akan menjawabnya dengan merujuk ke SCA. Seperti
apa karakterisitik buah kopi yang layak panen dan bagaimana memproses
pasca panennya? Orang akan mengutip pendapat SCA. Teknologi sangrai seperti
apa yang tepat guna untuk kopi spesial? Apa yang dimaksud dengan biji kopi
cacat? Bagaimana mengkategorikan kopi spesial atau bukan? Siapa yang
mampu mengidentifikasi atribut cita rasa kopi secara akurat? Bagaimana tata
kelola niaga kopi yang adil? Prosedur macam apa yang diperlukan dalam
menyeduh kopi spesial? Bagaimana membaca peta konsumen kopi? Jawaban-
jawaban atas setumpuk pertanyaan tadi akan bermuara ke SCA. Kiranya, SCA
menyediakan jawaban segala macam pertanyaan yang dinilai sahih oleh
anggota dan pengikut SCA di berbagai tempat tinggal.
Termasuk pula pertanyaan tentang cita rasa kopi. Dalam hal ini, SCA telah
menerbitkan beragam produk dan konsep pengetahuan terkait. Di antaranya
adalah Roda Rasa SCAA (yang berbasis pada data yang ada di Sensory Lexicon), SCA
Coffee Standards, dan SCAA Coffee Protocols. Standar-standar ini mencakup
material bahan dan peralatan, pelaksana, dan tata cara mengidentifikasi mutu
kopi. Standar ini diajukan agar semua orang memiliki frekuensi yang sama atas
term cita rasa dari kopi spesial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
Sampai di sini, standar SCA telah memenuhi syarat untuk dikatakan
sebagai sebagai wacana, sebab SCA telah menjadi seperangkat batasan dan
regulasi yang terterap ketika membicarakan cita rasa kopi. Sebagai wacana,
pada gilirannya, standar SCA berkembang menjadi adalah rezim kebenaran itu
sendiri dalam konteks sejarah masa kini (history of present) yang tidak lagi
terhubung dengan sejarah dibelakangnya. Maksudnya, bahwa pemahaman
terkait cita rasa kopi spesial di waktu kini dapat dibenarkan sejauh berada
dalam lanskap pengetahuan SCA. Cita rasa kopi kemudian “dipisahkan” dari
kesejarahan lapangan produksi kopi sekaligus kesejarahan individu yang
mencecapnya. Sejarah bukanlah koherensi ide/peristiwa, ia adalah retakan
(rupture): diskontinuitas, kata Foucault52. Dan dibalik setiap retakan sejarah
terdapat episteme.
Dalam bukunya, The Archeology of Knowledge (1976), Foucualt menjelaskan
episteme sebagai totalitas kognitif yang mampu mengendalikan cara seseorang
atau sekolompok orang dalam memandang realitas tertentu tanpa disadari53.
Episteme hanya berlaku pada periode sejarah tertentu. Lantas, episteme macam
apa yang mendasari wacana cita rasa kopi spesial kiwari yang diusung SCA?
Sebelum menjawabnya, terlebih dulu akan diketengahkan ilustrasi terkait
betapa berpengaruhnya SCA dalam membayangkan cita rasa kopi di era
gelombang ketiga ini. Ilustrasi ini bersumber dari pengalaman personal saya
saat membicarakan cita rasa kopi. Penengahan pengalaman ini dimaksudkan
52 Arkeologi Pengetahuan, hal. 17.
53 Arkeologi Pengetahuan, hal. 17; dan Michel Foucault, Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan, terj. Yudi Santosa (Yogyakarta: bentang Budaya: 2002), hal. 242-243.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
sebagai “the critical ontology of self”. Untuk melihat secara kritis wacana yang
membentuk subjektivitas lalu mengimajinasikan ulang diri secara berbeda54.
Kasus Pertama. Bagi orang awam yang bukan panelis sensoris profesional
seperti saya yang hidup di dua kultur Jawa (Yogyakarta) dan Melayu
(Palembang), nyaris separuh dari atribut cita rasa spesifik yang ada di Roda Rasa
SCAA adalah asing bagi saya. Asing dalam pengertian tidak familiar, jauh dari
keseharian konsumsi di kultur tempat saya tinggal, dan sukar dituturkan
dalam bahasa ibu saya. Kalau yang asing ini adalah cita rasa buah, maka buah
tersebut tidak panen di bumi yang saya jejaki atau pohonnya tumbuh di luar
jangkauan tempat tinggal saya. Kalau toh ada di pasaran, akses
mendapatkannya terbilang terbatas sehingga membuat orang seperti saya
tidak terbiasa dengan cita rasa buah yang bisa diimpor itu. Pun juga untuk
menyebut buah impor tersebut, penutur seperti saya harus meminjam bahasa
kreol dari Roda Rasa SCAA itu sendiri. Cita rasa prune dan raspberry yang ada di
Roda Rasa SCAA adalah dua di antara yang mewakili hal ini. Kalau yang asing
adalah cita rasa alkohol/yang terfermentasi, maka cita rasa ini bukan bagian
dari kultur cita rasa di komunitas yang saya tinggali. Untuk soal ini, bisa
didapati atribut cita rasa whiskey, salah satunya. Whiskey di Roda Rasa SCAA
mendapat definisi di Sensory Lexicon sebagai:
Gambar III.1: Atribut Whiskey pada Sensory Lexicon
Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References; edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR)
54 Paula Saukko, hal. 76-77.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
Di sana, whiskey didefinisikan sebagai aroma yang diasosiasikan kepada
produk sulingan dari fermentasi biji-bijian (malt, jelai, gandum hitam, gandum,
dan jagung). Sementara untuk referensi cita rasa whiskey mengacu ke Jack
Daniels’s Tennessee Whiskey Old No. 7 yang disajikan (preparation) di ½ gelas besar
snifter. Definisi dengan referensi yang semakin asing bagi saya. Baik whiskey
maupun Jack Daniel’s bukan sesuatu yang jamak di lingkungan saya tinggal.
Saya lebih mampu mengingat cita rasa legen ketimbang whiskey. Sebab saya
memiliki pengalaman cita rasa legen selama tinggal di Yogyakarta. Dari contoh
kasus ini, bisa ditarik pertanyaan, bagaimana relevansi Roda Rasa SCAA dengan
alam cita rasa lokal saya yang tinggal di daerah tropis? Bukankah Roda Rasa
SCAA yang berdasarkan data dari Sensory Lexicon diciptakan dalam konteks cita
rasa orang-orang AS dan Eropa!55 Sementara Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon
telah bernilai sebagai standar atribut cita rasa kopi spesial yang melintasi
batas budaya dan spasial AS dan Eropa. Mengapa jurang cita rasa yang lebar ini
justru diterima di publik kopi dunia, termasuk di Indonesia? Jika saya
mendapati cita rasa kopi yang manis samar serupa salak, buah yang saya
kenali, lantas saya tidak menemukannya di Roda Rasa SCAA, apakah saya harus
beralih ke atribut cita rasa yang hanya ada di Roda Rasa SCAA? Atau sebaliknya,
Roda Rasa SCAA malah mensugesti saya untuk mengarahkan karakter cita rasa
55 Mereka yang terlibat sebagai dewan penasehat dalam proyek Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon adalah: Lindsey Bolger (Keurig Green Mountain Coffee), Bruce Bria (Royal Cup Coffee and Tea), Gail Vance Civille (Sensory Spectrum), Brent Ginn (The J.M. Smucker Company), Peter Giuliano (Specialty Coffee Association of America), Chris Hallien (Kraft Foods), Timothy Hill (Counter Culture Coffee), Ali Johnston (Keurig Green Mountain Coffee), Chris Kerth (Texas A&M University), Doug Langworthy (Starbucks), Rhonda Miller (Texas A&M University), Thompsen Owen (Sweet Maria’s), Mark Romano (Illycaffé), Trish Rothgeb (Wrecking Ball Roasters & Coffee Quality Institute), Emma Sage (Specialty Coffee Association of America), Christy Thorns (Allegro Coffee). Dari sekian nama tersebut tidak ada yang mewakili atau merepresentasikan alam cita rasa negara-negara produsen kopi/negara-negara pascakolonial. Lihat: World Coffee Research, Sensoy Lexicon: Unabridged Definition and References, edisi kedua, (WCR, 2016) hal. 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
kopi yang akan saya sesap ke atribut cita rasa yang dimiliki Roda Rasa SCAA dan
dijelaskan oleh Sensory Lexicon. Saya pikir, yang kedua inilah yang umumnya
terjadi. Orang seperti saya “dipaksa berdamai” soal cita rasa. Atribut cita rasa
yang sejatinya asing lantas saya terima secara sukarela: seketika yang asing itu
menjadi akrab. Seakan-akan saya memiliki pengalaman cita rasa prune,
raspberry, dan whiskey. Hal utopis inilah yang lantas mengalienasi cita rasa
empiris buah salak dan legen yang saya miliki.
Kasus Kedua. Le Nez Du Café, produk dari Perancis, yang secara harfiah bisa
diartikan “hidungnya kopi”. Bila Roda Rasa SCAA merujuk ke Sensory Lexicon,
maka sebagian konten dari Sensory Lexicon akan merujuk Le Nez Du Café
khususnya di kolom referensi untuk aroma.
Gambar III.2: Le Nez Du Café di Sensory Lexicon Sumber: Sensory Lexicon: Unabridged definition and References ;
edisi kedua oleh World Coffee Research (WCR)
Le Nez Du Café adalah produk referensi aromatik kopi. Produk ini
dilegitimasi: pertama, oleh penciptanya, Jean Lenoir , yang diakui sebagai ahli
olfactori dunia; kedua, oleh SCA dan lembaga sayapnya WCR dan CQI sebagai
korpus pengetahuan kopi, khususnya tentang cita rasa; dan ketiga, oleh Q-
Grader/R-Grader sebagai “intelektual cita rasa kopi”, agen terpenting dan terkuat
dalam wacana cita rasa. Legitimasi ini lantas amat menentukan dalam hal
aroma kopi―patut diingat bahwa yang utama adalah kopi merupakan produk
aromatik yang menegaskan hidung sebagai pembaunya, bukan lidah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
Di dalam kotak “ajaib” Le Nez Du Café terdapat 36 palet aroma dengan 4
klasifikasi aroma:
1. Aromatic taints, yakni aroma yang cacat. Umumnya terjadi akibat adanya
kontaminasi lingkungan baik saat proses pasca panen maupun
penyimpanan biji biji kopi hijau. Aromatic taints terdiri dari earthy (tanah),
coffee pulp (kulit kopi), rubber (karet), leather (kulit), basmati rice (beras
India), cooked beef (daging panggang), straw (jerami), medicinal (obat-
obatan), dan smoke (asap).
2. Enzimatic aroma, yaitu aroma-aroma yang menyenangkan yang
dihasilkan dari proses enzimatik sejak kopi masih di pohon. Seringkali
aroma ini menjadi karakteristik bagi kopi pada daerah tertentu.
Enzimatic aroma mencakup: coffee blossom (bunga kopi), apple (apel),
lemon (jeruk lemon), potato (kentang), garden peas (kacang polong),
honeyed (madu), tea rose (teh mawar), apricot (aprikot), cucumber
(ketimun).
3. Sugar browning adalah aroma yang dihasilkan dari prose pembakaran
gula (glukosa) yang ada di dalam biji kopi. Aroma ini tergolong yang
menyenangkan dan benilai tinggi. Sugar browning terdiri dari: caramel
(karamel), vanilla (vanili), dark chocolate (coklat pekat), roasted peanuts
(kacang tanah sangrai), roasted hazelnut (hazelnut sangrai), alnut
(kacang kenari), fresh butter (mentega segar), toast (roti panggang), dan
roasted almond (almon sangrai).
4. Dry distillation, yaitu ketegori aroma yang dihasilkan kontaminasi kopi
saat masih di pohon atau pada saat kering. Aroma ini seringkali muncul
pada kopi yang disangrai gelap. Dry distillation terdiri dari 9 jenis aroma:
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
pepper (lada), roasted coffee (kopi sangrai gelap), maple syrup (sirup
mapel), coriander seed (ketumbar), malt (gandum), cedar (cemara). clove
like (cengkeh), pipe tobacco (pipa tembakau), dan black currant-like
(anggur hitam)56.
Dari 36 palet aroma tadi, setidaknya terdapat aroma apricot dan basmati
rice yang asing bagi saya. Adapula aroma yang lebih familiar tapi definisinya
jauh dari realitas yang acapkali saya jumpai. Definisi ini jauh panggang dari api.
Di lain persoalan, mengapa saya tidak menemukan aroma asam jawa yang khas
di Le Nez Du Café, misalnya? Padahal asam jawa akrab untuk saya. Bisa saja
pertanyaan ini dijawab dengan permakluman, toh Le Nez Du Café buatan orang
Perancis. Orang Perancis mana mengenal asam jawa? Tapi mengapa aroma ala
Perancis ini begitu berlaku bagi pegiat kopi di industri kopi spesial yang
diagungkan oleh SCA, di mana pun ia berada, termasuk saya. Begitu legitimated,
kiranya. Dengan kata lain, dalam konteks standardisasi aroma kopi spesial,
saya “diminta” membayangkan hidung Jean Lenoir sebagai hidung saya juga.
Di pasaran Indonesia, Le Nez Du Café dihargai di kisaran 5 juta rupiah. Harga
relatif tinggi untuk sebuah kit. Meski mahal, kehadiran Le Nez Du Café tidak
menurunkan antusias orang di luar Perancis untuk membeli dan “memiliki
aromanya” Di satu sisi, Le Nez Du Café memang didesain sebagai alat bantu
untuk mengenali aroma kopi, melatih kecakapan indrawi khususnya hidung
(olfactory skill), sekaligus memperkaya perbendaharaan aroma seseorang. Tapi
di sisi yang berbeda, sama seperti Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon, Le Nez Du
Café justru mempersempit aroma kopi itu sendiri. Sebab orang awam seperti
56 Gayo Cuppers Team, Standar Umum Pengujian Mutu pada Biji Kopi, (diakses dari http://www.tpsaproject.com/wp-content/uploads/2017-03-06-Presentation-9-1123.03a.pdf, pada 14 Juli 2020)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
saya terbatas hanya pada 36 aroma di Le Nez Du Café, atau dengan kata lain
hanya mematok pada pengalaman aroma Jean Lenior.
Kasus Ketiga. Direntang awal 2015 hingga 2017, lalu berlanjut ke tahun
2019-2020, saya menjalankan bisnis kedai kopi di Palembang. Semasa itu, saya
kerap belanja bermacam kopi sangrai untuk kebutuhan kedai. Kopi grade
premium dan sesekali specialty menjadi pilihan saya. Kopi-kopi ini disuplai dari
berbagai rumah sangrai kopi (coffee roastery) yang ada di Palembang, Jakarta,
Yogyakarta, dan beberapa dari pasar daring luar negeri. Lazimnya kopi yang
dijual di gelombang ketiga, kopi biji sangrai dikemas dengan mencantumkan
keterangan identitasnya: indikasi geografis, catatan proses pasca panen, level
sangrai, rekomendasi seduh, dan tak lupa skor serta catatan perolehan cita
rasa (cup notes).
Untuk dua keterangan terakhir, skor dan cup notes, menjadi perhatian
kasus ketiga. Seperti yang diketahui, skor dan cup notes adalah hasil yang
didapatkan dari cupping yang dilakukan Q-Grader/R-Grader―beberapa penyangrai
juga memegang lisensi Q-Grader/R-Grader dari CQI. Hasil-hasil ini kemudian
menjadi acuan saya saat mempersiapkan kopi seduhan maupun saat ngobrol
perkara cita rasa kopi hidangan dengan konsumen di kedai. Sebisa mungkin
saya mengejar perolehan cita rasa sebagaimana yang tertulis di kemasan. Bila
di kemasan tertulis informasi cup notes berupa lavender, raspberry, strawberry, dan
lime, maka cita rasa ini yang saya acu. Saya melakukan kalibrasi sebelum kopi
disajikan ke konsumen. Mengobservasi kopi dengan cara mengutak-atik
parameter seduh, atau dengan kata lain, saya mencari resep penyeduhan yang
pas agar cita rasa yang diperoleh sama atau paling tidak mendekati cup notes
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
yang tertulis di kemasan. Bila ini berhasil, baru kopi seduhan saya bisa sajikan
ke konsumen.
Dari pengalaman ini, saya dirangsang untuk mengambil kesimpulan
kritis. Rupanya, saya telah didikte oleh cup notes-nya Q-Grader-R-Grader. Celakanya
lagi, saya meneruskan praktik ini ke konsumen: bahwa saya juga mendiktekan
cita rasa kopi yang saya peroleh ke konsumen. Artinya, baik saya maupun
konsumen diminta untuk berada dalam satu frekuensi term cita rasa. Di sini,
hasil pencecapan Q-Grader/R-Grader yang hadir di kemasan kopi lebih
dipentingkan ketimbang cita rasa empiris dari orang-orang yang merasakan
kopi yang sama di waktu berikutnya (setelah Q-Grader/R-Grader). Kopi dirasakan
dari sudut pandang orang lain, bukan dari diri pribadi. Kopinya sama, lidah dan
hidung orang yang berbeda, tapi cita rasanya condong untuk seragam.
Berikutnya, bila kasus ketiga tadi saya didikte melalui perantara cup notes
yang ada di kemasan kopi, maka untuk kasus keempat ini, saya didikte secara
langsung oleh Q-Grader/R-Grader. Persitiwa ini terjadi saat saya mengikuti
lokakarya cupping di Palembang. Lokakarya berlangsung dalam dua sesi. Sesi
pertama, kelas teori dan kedua, kelas praktik. Bisa dibilang, lokakarya ini serba
SCAA/SCA. Cupping yang dilatihkan sesuai dengan standar dan protokol dari
SCAA. Instrukturnya, Q-Grader dari Jakarta yang bersertifikat CQI yang terafiliasi
ke SCA. Sebelum cupping dilakukan, lebih dulu dijelaskan Roda Rasa SCAA, SCA
Coffee Standard, SCAA Cupping Protocols, SCAA Cupping Form, Sensory Lexicon dari WCR
yang terafiliasi dengan SCA, dan Le Nez Du Café, Coffee Aroma Kit “resmi” yang
ditunjuk SCA. Jadi wajar jika dibilang serba SCA, sebab lokakarya ini
menempatkan SCA menjadi locus classicus pengetahuan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Sebagai catatan, lokakarya yang saya ikuti bukan seperti kursus bagi
aspiran Q-Grader/R-Grader. Karena setiap materi disampaikan sekilas atau cukup
pada taraf pengenalan saja; tidak semendalam agar dipahami betul dan
seketat seperti yang diikuti para calon Q-Grader/R-Grader. Soal durasi pun juga
ada bedanya. Jika kursus untuk calon Q-Grader/R-Grader bisa mencapai berhari-
hari yang intensif, maka lokakarya ini hanya berlangsung sehari penuh, dari
jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Meski kilat, saya bisa merasakan bagaimana SCA
benar-benar hadir di forum dan masuk ke alam cita rasa masing-masing
peserta sejauh yang saya amati.
Di sesi pertama, kelas teori. Instruktur menegaskan pada peserta bahwa
dalam melacak atribut cita rasa kopi akan membutuhkan perangkat Roda Rasa
SCAA, Sensory Lexicon, dan ditempuh dengan prosedur cupping. Ketiganya harus
“dihafal” di luar kepala, agar saat cupping berlangsung, seseorang hanya perlu
me-rekoleksi ingatan (recall memory). Saya menafsir penegasan ini sebagai
upaya menjadikan diri saya setia bergantung pada perangkat dari SCA; atau
esktrimnya bisa dibilang ini upaya yang intimidatif. SCA melalui instrukturnya
menggertak alam cita rasa saya agar menyingkir sehingga bisa diisi kembali
oleh materi cita rasa dari SCA tadi. Seperti ajakan untuk mececap cita rasa tapi
bukan dari pengalaman pribadi, bukan dari yang lokal dan akrab, melainkan
dari lidah dan hidung SCA. Seperti membalik sekian persen derajat sudut
pandang.
Selanjutnya, di sesi kedua: kelas praktik. Sebagai instruktur tentu
berkewajiban mencontohkan ke peserta termasuk saya perihal menjalankan
prosedur cupping SCAA. Ada beberapa sampel kopi yang diuji. Peserta
dipersilakan praktik cupping setelah instruktur selesai mencontohkan. Setelah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
selesai, diskusi dibuka. Masing-masing orang menyampaikan perolehan cita
rasa yang didapat dari sampel kopi yang diuji. Ada perbedaan perolehan cita
rasa yang niscaya. Tapi gelinya, perbedaan ini justru dipungkasi oleh cup notes
perolehan instruktur. Seperti sihir, apa yang dikatakan oleh instruktur
dikagumi, dinilai tepat, dan lantas menggerus perbedaan cita rasa tadi. Alhasil,
peserta tidak percaya diri dengan kemampuan sensoris masing-masing. Forum
sepenuhnya taklid pada instruktur.
Dari keempat kasus ini, diketahui bahwa SCA telah memperoleh kapasitas
serta pengaruh yang sedemikian besar dalam industri kopi spesial di era yang
dikatakan gelombang ketiga. Kapasitas dan pengaruh ini sangat ditentukan
oleh kemampuan SCA memproduksi berbagai pengetahuan terkait cita rasa.
Dari pengetahuan yang ada, SCA pun meneguhkan kuasanya atas totalitas
“kebenaran” tentang cita rasa kopi spesial. Atau bila dibalik, kekuasaan SCA di
sini diartikulasikan lewat pengetahuan yang berimplikasi pada kuasa.
Hegemoni dimapankan dan diartikulasikan lewat pengetahuan, dan SCA yang
mengontrol pengetahuan turut bertindak mengontrol sejarah dan “kebenaran”
cita rasa kopi.
Di sisi lain, kekuasaan SCA juga begitu beragam dalam manifestasinya
dan tersebar di mana-mana. Dari unit-unit terkecil hingga yang besar sekalipun.
Foucault berbicara tentang aparatus untuk menunjuk “siapa pun” yang
bertindak sebagai hegemon. Dari keempat kasus di atas, dapat dilihat bahwa
aparatus wacana tidak lagi tunggal yang menunjuk SCA dengan ragam
pengetahuannya semata, melainkan pula telah menyebar dan terpecah hingga
ke unit terkecil: dari Jean Lenoir dengan Le Nez Du Café, Q-Grader/R-Grader dalam
lokakarya cupping SCAA, hingga ke saya sendiri yang telah mendiktekan cita rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
kopi ke konsumen. Di sini, dari Jean Lenoir hingga saya, telah menjadi strategi
pola-pola hubungan kekuasaan yang mendukung dan didukung oleh berbagai
jenis pengetahuan57.
Lantas, bagaimana wacana cita rasa SCA ini dikonstruksi dan begitu
ampuh dalam mendisiplinkan persepsi cita rasa seseorang di industri kopi
spesial? Untuk menjawabnya, diperlukan pemeriksaan SCA sebagai historisitas
institusi wacana. Pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka mempelajari sejarah
yang telah terberi (taken for granted) guna membongkar “kebenaran-kebenaran”
sejarah itu sendiri, dan pada gilirannya juga akan membuka episteme yang ada
di balik wacana cita rasa SCA serta seberapa politisnya pengetahuan cita rasa
kopi.
Dalam kesejarahannya, akar SCA bisa dilacak pada upaya AS sebelum SCA
didirikan, yaitu Inter-American Coffee Agreement (IACA). Pada tahun 1940, saat
Perang Dunia II berlangsung di Eropa, AS―yang menyandang status negara
konsumen kopi terbanyak di dunia saat itu―khawatir jika harga kopi rendah
yang datang dari Amerika Latin, khususnya Brazil―negara produsen terbesar
dunia hingga kini―akan berdampak pada pemasukan yang rendah bagi petani
di sana58. Pemasukan yang rendah dinilai dapat mendorong simpati berlebih
pada fasisme atau komunisme. IACA kemudian diusulkan AS guna mendorong
57 Madan Sarup, hal. 110.
58 Pada masa itu, pasar dunia masih kuat dengan konsep monopolistiknya―sebelum kemudian beralih ke konsep multilateralisme lalu perdagangan bebas. Konse p monopolistik menyatakan bahwa suplai barang/jasa tertentu dikuasai dan dikendalikan oleh seorang produsen saja. Di atas kertas, dalam hal komoditas kopi, Brazil menjadi aktor penentu, sebagai monopolis, sebab menguasai 75% dari total produksi kopi dunia. Tapi bila menengok ke fakta lapangan, negara konsumen kopi terbesar dunia seperti AS, turut serta mengambil peran sebagai monopolis dalam komoditas kopi. Lihat: Fauziah Rohmatika Mayangsari, Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia, (Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016), hal. 178.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
kesepakatan bahwa AS tidak akan mengimpor lebih dari 15,9 juta karung kopi
per tahun―padahal pembatasan impor oleh AS dilakukan di tengah usaha
menaikkan identitas nasional sebagai “bangsa peminum kopi” pada abad ke
sembilan belas; menyaingi kolonial lain seperti Inggris peminum teh, Spanyol
dengan cokelat panasnya, Perancis beserta anggur kebanggaannya, dan Jerman
dengan bir miliknya59―kontraprestasi dari kesepakatan IACA menyebutkan
bahwa pemerintah-pemerintah Amerika Latin diminta mengendalikan produksi.
Kesepakatan ini berhasil mengendalikan harga kopi pada akhir 1941.
Kekhawatiran AS pun teratasi60. Di sini, IACA menjadi penanda awal bahwa AS
mulai melibatkan diri secara langsung dalam tata niaga kopi global sekaligus
memberikan pengaruhnya.
Di fase selanjutnya, pada medio 1950-an, terjadi keseimbangan antara
permintaan dan persediaan kopi dunia. Keseimbangan yang berdampak pada
IACA dan kesepakatan internasional lain yang akhirnya tumbang. Namun
kondisi ini tidak berlangsung lama, sebab tahun 1959, fluktuasi harga kopi
kembali terjadi dan AS lagi-lagi dilanda ketakutan baru akan komunisme yang
berkembang di Amerika Latin. Pasca Revolusi Kuba 1959, Amerika Latin kembali
berusaha sekali lagi mengendalikan pasokan, dan dengan demikian harga. Atas
situasi ini, AS pun mengusulkan kesepakatan baru, International Coffee Agreement
(ICA) pada tahun 1962. ICA menetapkan kuota ekspor untuk kebanyakan negara
produsen kopi dunia. Saat harga jatuh di bawah $1,2 per pon, kuota diketatkan,
mengurangi jumlah kopi di pasar global dan mendorong harga naik. Saat harga
lebih dari $1,4, kuota dilonggarkan―disebut sebagai sistem
59 Lihat esai penting dari Steven Topik dan Michelle Craig McDonald, “Mengapa Orang Amerika Minum Kopi”, yang terdapat dalam Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 378.
60 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 193.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
korset―memungkinkan negara-negara untuk mengekspor lebih dan membuat
harga turun. Saat kondisi cuaca menyebabkan kenaikan tajam dalam harga,
seperti pada 1975-1977, sistem kuota ditinggalkan sepenuhnya. ICA tahun
pertama ini mengalami tiga revisi sebelum akhirnya tumbang pada 1989. Pada
waktu itu, ketakutan AS terhadap komunisme di Amerika Latin berkurang,
sementara beberapa negara produsen merasa bahwa sistem kuota membatasi
mereka secara tidak adil61.
ICA kembali dihidupkan di antara para produsen pada 1994, dan direvisi
pada 2001 dan 2007. Walaupun akhirnya tidak menetapkan kuota atau
mekanisme lain untuk mengontrol produksi dan ekspor. Upaya-upaya lain pun
tidak mampu meregulasi pasar yang telah sengkarut. Pada tahun 1989, masa di
mana ketiadaan kesepakatan, International Coffee Organization (ICO) yang
didirikan pada tahun 1963 dan semula difungsikan sebagai lembaga pengawas
ICA di tahun pertama, dialihkan sebagai lembaga yang didedikasikan untuk
mengumpulkan dan melaksanakan program yang dirancang untuk
meningkatkan kualitas dan produksi. Dengan visi yang baru ini, ICO, yang kini
memiliki tiga puluh anggota eksportir dan lima anggota importir (AS, Uni Eropa,
Tunisia, Norwegia, dan Swiss) telah terbukti menjadi pangkalan data tentang
kopi yang begitu kaya62.
Dari keterangan ini, selain sebagai intervensi meredakan komunisme dan
fasisme, klausul IACA yang dilanjutkan ICA yang diusulkan AS juga dapat dibaca
sebagai agenda AS dalam menstabilkan harga komoditas kopi di tengah krisis
61 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 193.
62 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 194.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
115
agar tidak merugikan industri kopi domestik63. AS adalah konsumen terbesar
kopi dunia―bahkan hingga sekarang. Karena status ini, negara-negara
produsen kopi dunia mau tak mau patuh pada klausul. Selain itu ada agenda AS
lainnya yang mesti dijaga melalui IACA dan ICA, yaitu agar identitas nasional AS
sebagai bangsa yang lekat dengan kopi diamini dunia dan agar kapitalisme AS
tidak remuk oleh komunisme dan fasisme. Saat negara produsen kopi
menyadari ketidakadilan dari sistem kuota ICA, AS pun menanggapinya dengan
cerdik. AS mengundurkan diri dari perjanjian dengan tidak menyetujui klausul
ICA yang baru pada tahun 1989. Kecerdikan yang memberikan kesan bahwa AS
tetap berpihak pada prinsip perdagangan kopi yang berkeadilan.
Tumbangnya ICA menandai awal berlakunya sistem pasar bebas dalam
komoditas kopi. Lagi-lagi situasi ini masih menguntungkan AS. AS diuntungkan
dengan penurunan pendapatan yang diterima petani dari total harga ritel. Di
tahun 1980-an awal, petani masih memiliki kontrol sebesar 20%, namun di era
pasar bebas yang tidak lagi mengikat, kontrol tersebut turun menjadi 13%. Arti
sebaliknya, kontrol harga kopi di tangan AS sebagai negara konsumen kopi
naik, dan ini jelas menguntungkan pasar domestik AS dan memperbesar
pengaruh AS di pasar kopi dunia64.
Superioritas AS semakin menjadi sejak kehadiran SCAA. Bahwa mencecap
secangkir kopi di berbagai kedai kopi di belahan dunia tak bisa lepas dari nama
SCAA. Kemunculan SCAA dalam segmen kopi spesial semakin didukung oleh
keberadaan Starbucks yang meng-internasionalisasi diri secara massif pada
1996.
63 Fauziah Rohmatika Mayangsari, hal. 178.
64 Fauziah Rohmatika Mayangsari, hal. 179.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
Wacana awal kopi spesial yang diusung SCAA sebenarnya bisa dilacak
mundur jauh sebelum Trish Rothgeb mencetuskan istilah tersebut pada 1974.
Yakni pada permulaan 1930-an lalu bergeser ke 1950-an sampai akhirnya SCAA
didirikan. Pada 1930-an, peralihan besar-besaran toko serba ada (toserba) di AS
dari format rak-rak yang hanya dapat diakses oleh penjaga, yang menyerahkan
kemasan dan kaleng kepada pengunjung, menjadi supermarket swalayan, di
mana pengunjung dapat mengakses langsung produk yang dimaui. Perubahan
ini turut mendominasi kanal distribusi kopi dan pada gilirannya berujung
transformasi struktur industri kopi: konglomerat besar bisnis makanan yang
membuka cabang-cabang swalayan baru dan membeli merek-merek kopi
utama. Seiring revolusi ritel ini mendunia, kelompok raksasa multi nasional
yang elite mulai mendominasi pasar dunia, membeli merek-merek besar di tiap
kawasan―pada 1998, lima besar: Philip Morris (kini bagian dari Kraft), Nestle,
Sara Lee, Procter and Gamble, dan Tchibo; mewakili 69 persen penjualan kopi
global65.
Agar memikat konsumen―yang dihadapkan langsung pada rak-rak yang
memajang banyak produk kopi―pebisnis besar kopi (bubuk/biji sangrai)
menjalankan taktik berupa peningkatan volume besar dibarengi harga jual
yang rendah. Bahkan mereka juga mengelabui konsumen. Beberapa merek ada
yang dinyatakan sebagai kopi premium, meski tidak ada keterangan khusus
asal-usul kopi. Agar volume produksi terjaga dan harga jual tetap rendah,
gonta-ganti komposisi bahan kopi menjadi hal yang wajib terus dilakukan.
Termasuk mencampurkan robusta yang dihargai murah kala itu. Upaya
65 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 359.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
penghematan biaya produksi ini semakin mulus karena ketidaktahuan
konsumen tadi66.
Proyeksi bisnis yang menjanjikan ini lantas mendorong inovasi besar
paruh pertama abad kedua puluh. Setelah proses dekafeinasi67 pada 1903
disempurnakan oleh Ludwig Roselius dari Hamburg, lalu disambung oleh
seorang ibu rumah tangga bernama Melitta Bentz dari Dresden, yang
mematenkan teknik seduh dengan kertas filter68 yang berhasil memperbaiki
tampilan kopi serta memberikan perasaan bahwa minuman ini sudah “bersih”
dari kontaminasi (bubuk kopi) dan juga menyingkat waktu persiapan,
mendorong inovasi berupa: kopi instan/saset.
Kopi saset (bubuk tanpa ampas) yang dikenal pertama adalah Nescafe,
yang diproduksi raksasa Swiss, Nestle, pada tahun 1938. Penjualannya melejit
pada 1950-an dan meroket lebih jauh begitu teknik semprot-kering yang
terdahulu digantikan oleh pengeringan beku sebagaimana digunakan dalam
merek premium Gold Blend yang diluncurkan pada akhir 1960-an, dikenal
sebagai Taster’s Choice di AS. Produksi kopi dekafein maupun instan hanya
dilakukan di pabrik-pabrik besar disebabkan biaya produksi yang juga besar.
Pasar pun dimonopoli oleh korporasi yang dimiliki konglomerat. Kopi instan
disambut meriah dan sukses di pasaran. Di Inggris, kopi instan masih
membentuk 80% pasar kopi dalam rumah. Sementara kopi instan merupakan
66 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 359-360.
67 Dekafeinasi/nirkafeinasi adalah proses menghilangkan kafein dari kopi yang belum disangrai. Untuk dapat digolongkan sebagai kopi dekafein, setidaknya 97 persen kafein yang ada harus dihilangkan. Lihat: Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 628.
68 Sebelum teknik seduh kertas filter, lebih dulu filter kantong linen dalam teko kopi menjadi teknik utama penyeduhan rumah tangga yang mampu bertahan selama dua abad sebelumnya. Lihat: Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 360.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
40% total konsumsi kopi dunia69. Kesuksesan ini berkat kehadiran televisi
komersial yang baru dirilis. Kopi instan diiklankan sebagai minuman yang
lelbih mudah diseduh ketimbang teh70.
Kopi instan dan praktik dagang yang massif lantas menimbulkan gejolak.
Sering dipersalahkan atas penurunan konsumi kopi per kapita di AS sejak 1950-
an. Trish Rothgeb menyebutnya sebagai “kegamangan pertama” yang
“membuat kopi buruk menjadi lazim ... yang membuat bubuk instan berkualitas
rendah ... yang menghilangkan nuansa (sensasi dan persepsi cita rasa) dalam
campuran (kopi) ... yang memaksakan harga hingga menjadi paling rendah
dalam sejarah” Kegamangan pertama inilah yang menjadi awal dibukanya
gagasan kopi spesial dan wacana cita rasa kopi dalam konteks konsumsi AS,
yang pada gilirannya memicu SCAA didirikan. Kenneth Davids menunjukkan,
“Kopi spesial bertujuan mengedukasi konsumen tentang kopi dan
membangkitkan persepsi mereka tentang kualitas, setidaknya hingga titik di
mana mereka paham kopi berasal dari pohon, bukan kaleng!”
Upaya mengenalkan kopi spesial dimulai dari para wirausahawan yang
beralih ke inovasi lain yang ditujukan untuk mempercepat proses penyeduhan,
bahkan di bar-bar, yakni mesin espresso. Kehadiran mesin ini mendorong
perubahan persepsi konsumen tentang mesin kopi otomatis yang biasa
terdapat di supermarket swalayan yang cuma bisa menghasilkan kopi yang tidak
enak. Serta mendorong pertumbuhan kedai-kedai kopi di berbagai kampus
besar di AS yang dinilai berjasa mendidik konsumen muda selama lebih dari
satu dekade 1980-an. Mendidik minuman berbasis espresso, seperti cappuccino
69 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 360.
70 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 360.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
dan caffe latte―walaupun beda resep dari Italia―yang lebih baik cita rasanya
ketimbang kopi supermarket (dekafein dan instan). Kampanye ini semakin
berhasil saat cappuccino hadir lewat promosi yang dijalankan selama Olimpiade
Musim Panas 1984 di Los Angeles. Sejak itulah minuman berbasis espresso
digemari secara luas dan terciptalah pasar baru kopi spesial, yang kemudian
hari siap menjadi pasar besar bagi Starbucks yang muncul secara nasional di AS
pada 1990-an71. Peran Starbucks semakin besar, saat meng-internasionalisasi-
kan diri pada 1996.
Minuman berbasis (mesin) espresso adalah sejarah bagi revolusi kopi
spesial sepanjang tiga puluh tahun terakhir . Sebagai medium kampanye
gerakan kopi spesial di AS untuk membujuk orang masuk ke kedai, dan
merebut pasar kopi instan. Sekaligus mendorong pengusaha kopi spesial di AS
untuk berserikat dengan membentuk SCAA72.
SCAA didirikan atas prakarsa Ted Lingle dari Lingle Bross Coffee. Gempuran
kopi supermarket, baik berbentuk biji sangrai maupun bubuk kopi, yang
dikomersialisasikan secara nasional, secara nyata telah banyak mengikis
perusahaan berskala mikro: kopi spesial lokal artisan. Ted Lingle, salah satu
yang bertahan. Ted bersama Alfredd Peet dari Peet’s Coffee, Paul Katzeff dari
Thanksgiving Coffee, dan Don Shoenholt dari Gillies Coffee berinisiasi melakukan
kerja-kerja kolektif guna menjaga keberlangsungan specialty coffee―yang dinilai
lebih baik dalam hal kualitas produk, budaya bisnis, serta keterbukaan
71 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 361 dan 607-608.
72 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 362 dan 427.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
informasi rantai produksi kopi―di tengah raksasa kopi supermarket. Dasar
inisiasi inilah yang kemudian menelurkan SCAA pada tahun 198273.
Di tulisan berbeda, “Hidup Dengan Kopi” Ted menulis, “Jiika nilai kopi
hanya ditentukan dengan harga (rendah) saja, bukan kualitas, konsumen akan
hilang dalam prosesnya dan beralih ke minuman lain (teh).”74
Kehadiran SCAA juga tak bisa lepaskan dari kolaborasi antara ICO dan
NCSA (National Office Coffee Service Association)―organisasi yang mengakomodir
industri layanan kopi kantor atau OCS (office coffee service); salah satu pemasok
kopi OCS adalah Lingle Bross Coffee. Kolaborasi ini bermula dari tawaran Barry
Davies dari ICO Promotion Fund Coffee tentang pendanaan untuk serikat yang
mewakili toko-toko kopi spesial di AS. Tawaran ini kemudian disikapi Ted
dengan menyusun draf kerangka dan piagam untuk Specialty Coffee Advisory
Board, cikal bakal SCAA. Draf terus diperbaiki hingga pada tahun 1982,
bertempat di Hotel Louise di San Fransisco, draf ini disetujui dan ditanda
tangani oleh 30 orang yang bergerak di sektor kopi spesial. Akhirnya, SCAA pun
resmi berdiri.
Lima tahun berikutnya, SCAA tumbuh perlahan. SCAA memiliki dua
sumber pemasukan di tahun-tahun pertamanya, biaya keanggotaan dan
penjualan Coffee Cupper’s Handbook yang ditulis Ted dan diberikan pada SCAA
pada 1984. Pada 1987, SCAA sudah memiliki 225 anggota, dan menjadi kelompok
besar sehingga dewan SCAA membuat keputusan untuk menyewa perusahaan
manajemen untuk mengambil alih. Konferensi pertama SCAA diadakan pada
73 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 538 dan Mark Pendergrast, Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed Our World, (New York: Basic Book, 2010), hal. 350.
74 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 604.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
1989 di New Orleans dengan bantuan Coffee Development Group (CDG)75. Sebanyak
100 peserta dan 25 meja peraga hadir waktu itu76.
Di tahun-tahun berikutnya, pada 1990, SCAA mengembangkan diri. Dewan
SCAA mulai mencari sosok paruh waktu untuk mengambil alih kendali
operasional dari manajemen. Ted mengajukan diri dalam konferensi tahunan
ketiga SCAA di Orlando pada April 1991 dan ia terpilih. Dua bulan berikutnya,
Juni 1991, kantor SCAA dipindahkan ke Greater Los Angles World Trade Center di
Long Beach. Pemindahan yang membuka babak baru dalam perkembangan
SCAA. Seiring waktu, SCAA terus meroket, baik dalam keanggotaan maupun
konferensi. Pada tahun 2003. SCAA mencatatkan 3.000 anggota dan tingkat
kehadiran konferensi di Seattle melampaui 10.000 orang.
Selama periode pertumbuhan, SCAA merambah ke ranah gagasan budi
daya kopi berkelanjutan yang konon menghargai lingkungan, manusia, dan
ekonomi. SCAA pun membuka Specialty Coffee Institute yang dikemudian hari
menjadi CQI. CQI inilah yang memulai program pelatihan cupping dan sertifikasi
di seluruh dunia; menciptakan International Relations Committee (IRC) yang
mampu melebarkan kaki gerakan kopi spesial di kancah internasional77.
SCAA dan IRC juga membantu pendirian sejumlah asosiasi kemitraan
serupa dengan SCAA. Di Eropa ada SCAE, di Jepang berdiri SCAJ, dan di Indonesia
sendiri ada SCAI. Khusus pada pendirian SCAI di tahun 2008, USAID (United
75 Konsep dari Arman Duplaise, operator OCS di area Baltimore. Konsep ini disusun berdasarkan pengalamannya di Burger King di mana perwakilan lapangan yang melaksanakan serangkaian kampanye pemasaran yang berfokus pada konsumen di tingkat nasional. Dalam konsep CDG, duta lapangan bekerja di area layanan kopi kantor, mesin penjaja, kopi spesial, dan jasa makanan. Anggaran tahunan untuk program ini melebihi $2 juta per tahun selama periode sepuluh tahun dan menghasilkan lompatan kuantum dalam mengubah persepsi tentang kopi di tengah konsumen AS. CDG adalah proyek dari ICO. Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 606-607.
76 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 609.
77 Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal. 611.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
States Agency for International Development) berperan sebagai lembaga donor dan
salah satu inisiatornya. USAID mengatakan bahwa peran yang dijalankannya
dilandasi maksud meningkatkan mutu kopi arabika di Indonesia78. Di mata
dunia, khususnya di kalangan penikmat kopi spesial, Indonesia masyhur
sebagai penghasil kopi arabika spesial dan belakangan ini juga mencakup fine
robusta―bahkan sejak abad ke-17 berkat “Cup of Java”79. Banyaknya pulau dan
pegunungan yang berderet telah memberi keuntungan topografis yang
memungkinkan cita rasa kopi Indonesia menjadi khas dan beragam―cita rasa
kopi dari Indonesia seringkali dicirikan ber-body tebal oleh pasar kopi spesial.
Terlebih lagi dengan status sebagai negara penghasil kopi terbesar dunia ke-4
setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam, menjadikan Indonesia semakin strategis
dilirik pasar kopi spesial di AS. Termasuk lirikan dari CQI yang dibantu USAID.
CQI memulai kerjanya di Indonesia sejak tahun 2003 hingga 2006 melalui
program GDA Coffee Corps80. Ada banyak fokus yang dikerjakan, seperti
pengembangan kelembagaan, audit industri kopi domestik, serta beberapa
pelatihan cupping, sertifikasi Q-Grader/R-Grader, dan peningkatan mutu
pengolahan pasca panen. Pada tahun 2008, USAID kemudian menggagas
AMARTA (Agrobusiness Market and Support Activity). Program ini bertujuan
meningkatkan mutu hasil pertanian di Indonesia. Salah satunya kopi. Dari
78 Jeffery Neilson, Patrick Labaste, dan Steven Jaffee, Menuju Rantai Nilai yang Lebih Kompetitif dan Dinamis untuk Kopi Indonesia, (Working Paper No. 7 yang disusun untuk Bank Dunia, Washington DC: 2015) hal. 25. Diakses dari https://www.researchgate.net/ pada tanggal 26 Juli 2020.
79 Andi Haswidi, hal. 29.
80 Bisa dibilang GDA Coffee Corps. adalah “intelejen di bidang pertanian”. Geospatial Data Coffee Corporation menganalisis seluk-beluk lahan pertanian guna peningkatan manajemen pertanian terapan. Sejak 2005, GDA Coffee Corps. menjadi kontraktor untuk USDA Foreign Agricultural Service. Lihat: http://www.gdacorp.com/about-us, diakses pada 27 Juli 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
sinilah, petani mulai mengenal kopi spesialti. Program ini juga menjadi cikal-
bakal lahirnya SCAI81
Seiring waktu, SCAI pun berdiri sebagai mitra dari CQI―dan tentunya pula,
SCAA. SCAI dikemudian hari banyak melakukan kerja di bidang pemasaran kopi,
kompetisi cupping dan berbagai acara kebaristaan. Pada 2012, CQI memulai
program 5 tahun bersama ACDI/VOCA82, melanjutkan program AMARTA, dan
masih dengan bantuan dana dari USAID83. AMARTA disebut sebagai program
investasi sebesar $ 20,6 juta, dan komoditas kopi masih termasuk sebagai
agendanya. Itu mengapa SCAI dilibatkan dalam menghasilkan perjanjian
kemitraan publik-swasta (Public-Private Partnership, PPP). SCAI pun mapan berkat
program ini. Salah satu indikatornya, adalah banyaknya Q-Grader yang
dihasilkan pada momen itu84. Peran USAID, AMARTA dan kemudian SCAI, adalah
mempromosikan new Standard for them (AS)85. Padahal, USAID telah mendapat
kritik dari banyak sarjana. Kritik ini bahkan membuat banyak NGO di Indonesia,
seperti Walhi Jawa Timur, menarik diri dari USAID.
Salah satu kritik pedas berasal dari James Petras. Dalam esainya, “NGOs: In
the Service of Imperialism (1999)”, James menyebut bahwa peran donor dari AS,
seperti USAID, tak lebih dari upaya AS untuk meluluskan agenda
imperialisme/neoliberalisme di negara-negara yang dikatakannya sedang
81 Majalah Tempo, hal. 80.
82 ACDI/VOCA, Agricultural Cooperative Development International/Volunteers in Overseas Assistance adalah lembaga yang berbasis di Washington, DC., yang bergerak di bidang keamanan pangan, kesejahteraan ekonomi, dan inklusi sosial. Dalam situsnya, disebutkan, “ACDI/VOCA is a global development design and delivery partner.” Sumber: www.acdivoca.org diakses pada 26 Juli 2020.
83 https://www.coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020
84 Lihat: https://www.coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ diakses pada 26 Juli 2020; dan https://partnerships.usaid.gov/pa rtnership/amarta diakses pada 26 Juli 2020
85 Wawancara dengan Andi K. Yuwono (Founder 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
“berkembang”. James mengatakan bahwa NGO penerima USAID tak ubahnya
para “borjuis lokal”, sebagai komprador yang melayani wacana (neo)kolonial.
Para NGO adalah sub-kontraktor ulung yang menghubungkan korporasi
imperial ke produsen lokal kecil-menengah. Dalam hal ini, tujuannya
membelokkan orientasi ekonomi lokal ke kapitalisme gaya AS, yang kemudian
berdampak serius pada kesenjangan antara kapitalisme akut (depresi
ekonomi) dengan absennya gerakan intelektual organik-sosial radikal (yang
tidak tergoda menjadi bagian dari NGO komprador)86.
Sampai di sini, dapat ditarik kesimpulan bahwa historisitas wacana dan
institusi SCAA dipastikan bermula dari kekhawatiran AS terhadap komunisme
dan fasisme yang mendapat simpati di Brazil yang memasok kopi bagi AS.
Kekhawatiran ini lantas menelurkan klausul perdagangan berupa IACA dan ICA
yang berfungsi mengendalikan harga dan pasokan kopi. Secara implisit,
kalusul-klausul ini juga menjadi penanda awal pengaruh AS dalam komoditas
kopi global, serta menjadi penanda atas praktik pengerekan kopi sebagai
identitas nasional AS. Pengaruh ini pun lantas diteruskan dengan digagasnya
kopi spesial dengan cita rasa terbaik sebagai respon atas kopi “buruk” yang
beredar massif pasca revolusi ritel. Gagasan kopi spesial semakin menguat dan
meluas setelah SCAA berdiri—yang dikemudian hari menjadi SCA setelah dilebur
dengan SCAE. SCAA menjejakkan pengaruhnya di banyak tempat, termasuk di
Indonesia, khususnya, melalui program AMARTA yang didanai oleh USAID
dengan segala kontroversinya. Hasilnya, standar SCAA pun mulai dikenal, SCAI
didirikan, dan orang-orang Indonesia perlahan dengan pasti mulai dilisensi oleh
CQI sebagai Q-Grader/R-Grader. 86 James Petras, NGOs: In the Service of Imperialism, (Journal of Contemporary Asia: 1999), hal. 439-440.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
Berkat SCAA pula, superioritas AS dalam industri kopi spesial semakin
kuasa. Dengan kata lain, sejarah di sini justru memberikan keterangan bahwa
ada agenda-agenda tertentu yang menjadikan “kebenaran-kebenaran” ala SCAA
begitu politis pada akhirnya, sekaligus memisahkannya dari historisitas di
lapangan produksi kopi dan membedakannya dengan konteks konsumsi di
Indonesia.
D. Struktur Diskursif Wacana Cita Rasa Kopi
Dari uraian sebelumnya, diketahui bahwa objek pengetahuan yang patut
digarisbawahi yang membatasai persepsi cita rasa kopi seseorang adalah
pengetahuan sains yang dipandang objektif. Pengetahuan ini tentu memiliki
struktur diskursif yang khas.
Foucault melalui Fairclough (1992) menyebut bahwa wacana adalah
praktik sosial yang diskusif87. Sebagai praktik diskursif, cita rasa di sini adalah
ide/pengetahuan yang dikonstruksi atas beberapa kondisi yang
memungkinkannya (conditions of possibility) di fase sejarah tertentu88.
Pertama, wacana cita rasa yang dikonstruksi SCAA/SCA terasa begitu
dominan dalam konteks industri kopi spesial. Setidaknya dominasi ini lahir
dari ketegangan antara wacana cita rasa kopi yang menggeser variabel di
lapangan produksi dan konsumsi kopi di Indonesia, serta yang tak kalah
pentingnya adalah memori sensoris tiap-tiap orang.
Pada gilirannya, cita rasa kopi spesial pun cenderung dialami secara
industrial ketimbang pengalaman personal-individu. Fairclough, menyebutnya
sebagai subjek yang membangun identitasnya dari wacana yang dihidupinya.
87 Norman Fairclough, Discourse and Social Change, (Cambridge: Polity Press, 2006) hal. 41.
88 Norman Fairclough, hal. 38.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Di sini, subjek berfungsi menguatkan nilai dari statement cita rasa SCA89.
Mekanisme industri telah memaksakan cita rasa kopi tertentu melalui sederet
pengetahuan dan seperangkat alat bantu dan prosedur yang didominasi
SCAA/SCA. Sementara pengalaman keseharian cita rasa seseorang yang begitu
lokal-kultural dan akrab-empiris dinafikan.
Kedua, dalam statusnya sebagai wacana, cita rasa kopi juga tidak lagi
dikolerasikan ke catatan-catatan yang diperoleh dari historisitas di lapangan
produksi. Ini terasa rancu. Meski cita rasa kopi tidak mutlak ditentukan oleh
pilihan bibit sampai ke proses penyeduhan kopi, setidaknya variabel di
lapangan produksi kopi turut berpengaruh ke cita rasa kopi. Sebagai wacana,
cita rasa lebih condong sebagai gagasan yang dikonstruksi secara sosial dan
formal-ilmiah oleh kekuatan diskursif yang mendominasi secara ekonomi-
politik, terutama AS melalui SCAA/SCA. Mereka memonopoli cita rasa kopi.
Membangun ilusi cita rasa kopi dalam jaringan-jaringan diskursif. Pentrasi
wacana cita rasa oleh SCAA/SCA dijalankan dengan kampanye objektivitas
sains/pengetahuan kopi yang bebas kepentingan—di sini, wacana terlihat
bertalian dengan objek pengetahuan yang dibangun oleh klaim ilmiah dan
universalitasnya—padahal mustahil adanya, sebab AS sebagai negara
konsumen kopi terbesar dunia jelas memiliki kepentingan ekonomis demi
menjaga stabilitas pasar domestiknya sekaligus penguasaan pasar kopi global.
Hal ini sangat terlihat dari invasi Starbucks, internasionalisasi kopi spesial, dan
pendirian lembaga jaringan sejenis SCAA di berbagai negara, seperti SCAI dan
SCAJ. Selain hal-hal yang sifatnya sangat ekonomis tadi―sebagai pendorong
utama―kepentingan AS di sini juga menyangkut hal-hal amat yang ideologis.
89 Norman Fairclough, hal. 43.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Ini terkait dengan imperialisme liberal yang pada dasarnya berwatak
neoliberlisme. Dasarnya, pertama, bahwa cita rasa kopi ala SCA adalah bentuk
intervensi AS yang diletigimasi oleh ilmu pengetahuan ke negara-negara
produsen yang sering dikatai semena-mena sebagai “dunia ketiga”. Seakan-
akan orang-orang di luar AS tidak mampu mencecap cita rasa kopi secara
cermat dan tajam sehingga memerlukan Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, SCA
Coffee Standards, SCA Cupping Protocols, Le Nez du Café, dan sebagainya yang
digagas oleh AS melalui SCAA dan kemudian diklaim sebagai pengetahuan
murni―padahal sangat politis. Seolah-olah orang-orang “dunia ketiga” tidak
terdidik dalam menyikapi cita rasa kopi, sehingga perlu uluran pengetahuan
SCA. Kedua, bahwa kultur out-of home consumption yang didapati di banyak kedai
kopi Amerika, seperti Starbucks, sangat sarat nilai-nilai khas Amerikanisasi.
Starbucks menjadi media yang tepat sebagai etalase kultur AS yang kemudian
mempengaruhi kultur (culture hegemony) lain di luar AS. Ketiga, terkait dengan
perang identitas antar negara yang berebut pengaruh di kancah global. Bahwa
AS berupaya terus menguatkan identitas nasionalnya sebagai bangsa peminum
kopi yang bersaing dengan identitas adidaya lainnya seperti Inggris dengan teh,
Spanyol dengan cokelat, Perancis dengan Anggur, dan Jerman dengan bir.
Tren kopi spesial telah niscaya menuntut adanya standardisasi dalam
berbagai hal. Ada standar bagi biji kopi hijau, standar bagi cupping, air untuk
menyeduh kopi, juga beberapa standar penyeduhan kopi lainnya. Standar ini
melingkupi material bahan dan peralatan, pelaksana, dan tata cara. Semua
standar diajukan dengan dalih agar semua orang memiliki frekuensi yang
sama atas term cita rasa kopi spesial. Sebuah standar yang telah nyata
mempersempit alam cita rasa masing-masing orang yang mencecap kopi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
Sebab wawasan cita rasa kopi menjadi terbatas hanya pada yang termaksud
dan terangkum dalam standar SCA; hanya pada pengalaman industrial yang
didasarkan pada alam cita rasa AS semata, sebagai pemain besar dalam
industri kopi spesial. Pengalaman cita rasa yang berbeda-beda yang dimiliki
tiap-tiap orang di berbagai lintas batas geografi dan kultur-sosial lantas
menjadi seragam sebagaimana pengalaman cita rasa Ted Lingle, dkk, yang
hanya berdiam di bagian kecil dunia. Kiranya, ini yang saya sebut sebagai
homgenisasi cita rasa kopi melalui narasi keragaman. Klaim sebagai yang
ilmiah hanya siasat untuk menyeragamkan subjektifitas cita rasa tiap-tiap
orang yang terhegemoni.
Dan ketiga, pada titik ini, kuasa SCAA/SCA dan produk pengetahuannya
terlihat berkaitan erat. Memiliki relasi historis dengan imperialisme AS. Bahwa
tanpa adanya praktik kuasa, sulit rasanya standar SCA dapat didefinisikan dan
memiliki format/bentuknya. Maka praktik kuasa di sana telah nyata
berpenetrasi dalam mengkonstruksi objektifitas cita rasa kopi di era
gelombang ketiga seperti yang digembar-gemborkan oleh SCA. Penetrasi di sini
dilakukan tidak dengan represif, tapi lebih persuasif. Keberterimaan wacana
cita rasa kopi dari SCA oleh masyarakat kopi, khususnya di Indonesia, lebih
dikarenakan regulasi dan normalisasi melalui standar SCA. Dan yang lebih
penting lagi, keberterimaan ini juga dikarenakan inferioritas individu
pascakolonial yang memandang perspektif Barat adalah sahih untuk mengukur
cita rasa kopi. Sementara kemampuan diri dipandang sebagai yang tidak
mampu memproduksi pengetahuan secara mandiri. Atas dasar ini, maka
wacana cita rasa kopi dari SCA dipandang sebagai yang positif dan konstruktif.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
BAB IV
MENGALAMI CITA RASA KOPI
Wacana ada sebab beredar dibicarakan, dan dihidupi. Entah dalam rangka
pembenaran atau justru disangkal. Laku ini membentuk pengalaman, atau
dalam pengertian lain menjadi serangkaian sikap dan tindakan. Bila di bab
sebelumnya telah diperiksa akar historisitas wacana cita rasa kopi dan
institusinya, bahwa cita rasa kopi tidak hanya berkolerasi dengan sejarah di
lapangan produksi dari kebun ke cangkir saji; ataupun dalam konteks
konsumsi di Indonesia yang berelasi dengan kondisi industri; melainkan juga
dikonstruksi sebagai wacana oleh SCA yang mendominasi persepsi cita rasa
seseorang demi kepentingan kuasa diskursif dan kapitalisme AS; maka
berikutnya pada bab ini, saya akan menuliskan perihal individu yang
mengalami wacana. Tentang kesadaran seseorang sebagai subjek etis di tengah
wacana. Bahwa wacana cita rasa kopi telah mendorong individu untuk
bertindak menyokong wacana atau malah tumbuh di dirinya kesadaran kritis
untuk mempertanyakan ulang hingga melawan hegemoni wacana diskursif.
Dengan kata lain, bab ini akan menelusuri sense of self tiap-tiap subjek adalah
bentukan dari wacana yang ia hidupi.
Untuk kepentingan ini, maka secara bersamaan saya akan menegahkan
pengalaman Q-Grader/R-Grader; pelaku bisnis kedai kopi dan sekolah kopi SCA;
serta pembacaan subjek yang berprofesi sebagai peneliti kopi, utamanya di
bidang sensori pangan. Pengalaman mereka saya gali melalui kegiatan
wawancara mendalam. Wawancara menjadi penting agar analisa di sini dapat
terhindar dari tindakan “mendiagnosis” subjek-subjek wacana. Seperti kritik
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
Saukko (2003), bahwa analisis kritis yang dilakukan Foucault atas wacana yang
mendisiplinkan dan membentuk pengalaman subjek cenderung jatuh pada
produksi logika pengakuan itu sendiri. Peneliti yang demikian, ujar Saukko,
pada gilirannya akan memberi kesan sebagai penafsir yang “maha tahu”, yang
memberikan penilaian tentang kebenaran pengalaman subjek yang ditelitinya,
dan membuat diagnosis1. Atas alasan inilah, wawancara menjadi penting
sebagai data pembanding dalam analisis pengalaman subjek-subjek wacana.
Bersamaan dengan ini pula, konsep Ambivalensi (beserta konsep terkait
lain: hibriditas dan mimikri) dari Homi K. Bhabha dan konsep alienasi linguistik
dari Bill Ashcroft, Garrefth Griffiths, dan Hellen Tiffin dipakai di sini.
Argumennya, bahwa wacana cita rasa ini adalah wacana neo-kolonial yang
diedarkan oleh Barat, yakni SCA, kepada orang-orang yang hidup di negara-
negara pascakolonial, yakni Indonesia. Dan Foucault dalam melihat aspek
wacana dialami, tidak memaksudkannya sebagai pengalaman terjajah sebagai
imbas dari kolonialisme Barat. Alias konsep wacana dan pengalaman dari
Foucault sendiri adalah Eropa sentris dalam fokusnya, dan terbatas
manfaatnya dalam memahami masyarakat-masyarakat kolonial dalam konteks
kajian pascakolonial2.
A. Mengalami Cita Rasa, Memeluk SCA
Q-Grader/R-Grader adalah individu yang terbilang penting dalam wacana
cita rasa kopi di era gelombang ketiga yang mengunggulkan produk specialty.
Mereka telah diakui ketajaman sensorisnya serta keluasan wawasannya di
1 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New Methodological Approach. (London: Sage Publication, 2003), hal. 77.
2 Ania Loomba, Kolonialisme/Pascakolonialisme, terj. Hartono Hadikusumo, (Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003), hal 68-69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
bidang kopi, baik oleh SCA sendiri maupun oleh pegiat kopi secara luas.
Pengakuan ini semakin solid berkat lisensi yang ia terima dari CQI yang
bernaung di SCA, institusi yang begitu dominan dan menjadi pakem di industri
kopi spesial serta yang amat bermarwah bagi pegiat kopi spesial dunia.
Sampai saat ini, Indonesia memilki 93 Q-Grader, 7 R-Grader, dan 2
diantaranya berstatus sebagai Q-Instuctor. Diantara yang populer dan
berpengaruh, yang seringkali disebut di berbagai acara dan media massa
nasional serta acapkali dirujuk pendapatnya oleh banyak orang adalah Adi W.
Taroepratjeka dan Uji Sapitu. Adi adalah Q Arabica Grader dan juga seorang
instruktur dari CQI3. Tahun 2009, Adi mendapatkan lisensi Q-Grader dari CQI. Adi
merupakan angkatan pertama program sertifikasi penguji cita rasa kopi
arabika di Indonesia (Q Arabica Course). Sedangkan lisensi Q Arabica Grader
Instructor ia raih pada Januari 2015. Di sini, status Adi satu tingkat di atas Q-
Grader. Untuk diakui sebagai instruktur, seorang Q-Grader/R-Grader harus
menempuh kualifikasi lanjutan, dan Adi, yang banting stir dari konsultan
restoran, adalah Q Arabica Grader Instuctor pertama di kawasan Asia Tenggara.
Sementara Uji adalah seorang Q Robusta Grader dari Rumah Kopi Ranin
Bogor. Uji lulus tahun 1997 dari Program Studi Nutrisi Ilmu Pangan, Institut
Pertanian Bogor (IPB). Mulai serius menekuni kopi sejak 2002, dan mendapat
lisensi R-Grader pada tahun 2011. Sama seperti Adi, Uji adalah angkatan pertama
yang mendapat predikat R-Grader dari CQI dengan arahan langsung instruktur
Ted Lingle—salah seorang tetua, pemrakarsa gerakan kopi spesial di AS dan
3 Selain lisensi Q Arabica Grader Instructor, Adi juga memegang lisensi Q Robusta Grader, Q Processing Professional, COE Cupper (Cup of Execellent), SCA AST Brewing, dan ACF Barista Instructor (Asean Coffee Federation).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
turut berkontribusi besar bagi terbentuknya SCAA dan CQI serta
internasionalisasi kedua institusi tersebut.
Yang menarik dari Adi dan Uji adalah mereka termasuk orang yang taat
betul terhadap segala definisi dan ketentuan dari SCA, sekaligus orang yang
kritis menyikapi wacana cita rasa kopi yang diusung SCA. Sikap mendua ini
unik dan tak banyak. Di satu sisi, konsekuensi logis dari status Q-Grader/R-
Grader, mengharuskan mereka menyikapi cita rasa kopi sebagaimana
pandangan SCA, sesuai kebutuhan SCA. Tapi di sisi lain, Adi dan Uji menyadari
bahwa sekeras apa pun usaha menyatakan cita rasa kopi seturut SCA, tetap
saja pengalaman subjektif yang lokal dan empiris niscaya berperan dalam
menentukan nilai cita rasa kopi. Di satu sisi, Adi dan Uji memeluk erat SCA, di
sisi lain, mereka justru sangat “rewel” dan cenderung mengendurkannya dalam
kebutuhan tertentu. Ada kepatuhan sekaligus kebebasan yang diperlihatkan
oleh keduanya.
Atas alasan inilah, saya menjadikan Adi dan Uji sebagai narasumber
primer. Saya menemui Adi di tempat ia bekerja di 5758 Coffee Lab. di Bandung,
Jawa Barat. 5758 Coffee Lab. adalah salah satu SCA Campus di Indonesia yang
terakreditasi dan berhak menyelenggarakan pathway classes dari SCA: kelas-
kelas tentang kebaristaan, kepenyangraian kopi, Q-Grader/R-Grader, dan lain
sebagainya. Pada kesempatan itu, saya menanyakan perihal keberlakuan SCA
bagi kalangan Q-Grader/R-Grader sebagai SCA member:
Apakah ada kewajiban pake standar (SCA) itu? Gak, kok. Gak semua di industri pake standar itu. Tiap negara punya standar masing-masing. Tapi rata-rata refer-nya ke ISO. ISO lebih fokus ke produk (kopi) komersil. Mayoritas produk yang dijual di pasaran, ya, komersil. SCA dibentuk untuk market kecil, yang namanya specialty. Apakah semua harus ikut standar SCA? Ya, gak.
Kalau gua lihatnya simple. Apakah harus pake flavor wheel? Gak. Apakah harus uji cita rasa? Gak. Tapi kalau benda itu bisa ngebantu gua jualan,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
kenapa gak! Itu cuma jembatan. Apakah wajib? Gak ada yang ngewajibin, kok. Sekadar kit. .... Kalau masuk kopi Q (SCA/Specialty), ya ... Wajib. (Adi W. Taroepratjeka)4
SCA menyusun Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, SCA Coffee Standards dan
SCAA Cupping Protocols sebagai upaya proteksi pasar kopi spesial bagi AS dan
kemudian Eropa. Untuk menjamin kualitas dan konsistensi pasokan produk
kopi spesial yang mereka serap dari negara-negara produsen. Karena hal ini,
kesamaan persepsi dan frekuensi dalam menyikapi cita rasa kopi dibutuhkan.
Agar kebutuhan ini terpenuhi, maka diperlukanlah basis pengetahuan yang
sama berupa standardisasi yang mewujud beberapa dokumen protokoler
seperti Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon, SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping
Protocols; serta individu-individu sebagai auditor mutu kopi spesial seperti Q-
Grader/R-Grader. Dengan kata lain, secara eksplisit standardisasi dan auditor ini
ada dan diperlukan dalam lingkup transaksi jual-beli produk kopi spesial. Bagi
Q-Grader seperti Adi, standardisasi ini adalah hal yang patut dipegang penuh,
sebab dari sinilah kopi spesial dari Indonesia dapat dipatok dan diterima pasar
AS dan Eropa.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Uji, bahwa standar SCA bagi audit
mutu kopi spesial adalah mutlak berlaku bagi orang yang bekerja di industri
kopi spesial di dan/atau untuk AS dan Eropa, bahkan secara global. Saya
menjumpai Uji di Rumah Kopi Ranin, Bogor; tempat Ia sehari-hari melakukan
kerja-kerja laboratorium yang berkenaan dengan kopi sebagai fakta pangan
maupun kopi sebagai fenomena sosial dan budaya; sekaligus tempat usaha
berformat kedai kopi. Pada kesempatan tersebut, Uji mengatakan:
4 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka (Q-Grader Instructor dari 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
Mau gak mau, memang kalau kita bicara pengertian, definisi, kategori, parameter, mau gak mau harus ikut protokol. Misal, mau ngomongi (cita rasa) caramelly, saya sebagai R-Grader, ya harus sama. Kalau gak ya gimana? Karena industri bekerja atas itu. (Uji Sapitu)5
Sebagai pembanding atas sikap Adi dan Uji yang saya tangkap, saya juga
menemui William Christiansen, Q Arabica Grader dari Space Roastery Yogyakarta,
sebagai narasumber sekunder. Selain William, sebenarnya saya juga
berkeinginan mewawancarai Mira Lakshmi Handayani, seorang R-Grader, istri
dari Adi yang juga bekerja di 5758 Coffee Lab., Bandung. Tapi karena kepadatan
jadwal Mia mengajar kelas Uji Cita Rasa, saya tidak dapat menemuinya
walaupun sudah mengatur janji.
Alhasil, saya hanya mengandalkan pendapat pembanding dari William
yang berpredikat sama (dengan Adi dan Uji) sebagai penguji cita rasa kopi SCA.
Saya melirik William, sebab rumah sangrai sekaligus kedai kopi yang bernama
Space Roastery yang ia dirikan sangat populer dan cukup berpengaruh bagi
perkembangan penyeduh rumahan (home brewers) di Yogyakarta, bahkan
Indonesia secara luas. Di Space Roastery, William berperan penting sebagai orang
kunci yang mengkurasi dan mengembangkan (develop) cita rasa kopi yang akan
dijual dalam bentuk biji kopi sangrai maupun yang telah diseduh. William
jualah yang memproyeksikan cita rasa kopi yang diolah di Space Roastery
kepada para home brewers langganannya, sekaligus untuk beberapa kedai kopi
di Yogyakarta maupun di luarnya melalui penjualan biji kopi sangrai di
lokapasar daring (online marketplace). Dalam kontes nasional, Yogyakarta
mencatatkan pertumbuhan kedai kopi yang siginifikan di Indonesia,
bersamaan dengan Jakarta. Laporan dari Financial Times pada Mei 2016 yang
5 Wawancara dengan Uji Sapitu (R-Grader dari Rumah Kopi Ranin, Bogor) pada Kamis, 13 Agustus 2020 di Rumah Kopi Ranin, Bogor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
dikutip Majalah Tempo Edisi 4465, berdasarkan data lembaga riset pasar,
Euromonitor, dalam kurun lima tahun terakhir, ada 1.083 gerai kedai kopi di
Indonesia. Sebagian besar kedai, baik yang artisan maupun jejaring, terkonsentrasi
di Jakarta dan Yogyakarta6. Data ini juga bisa dibaca sebagai tren positif
konsumsi kopi di sektor hilir sekaligus tautan untuk membayangkan seberapa
besar antusiasme konsumsi kopi di Indonesia, khususnya di Jakarta dan
Yogyakarta.
Saya mewawancarai William di Space Roastery di sela-sela kesibukannya.
Pada kesempatan itu, William menyatakan bahwa tidak ada rujukan strategis
untuk standar mutu industri kopi spesial saat ini selain terbitan SCA. Standar
ini bersifat wajib dan mengikat, terutama bagi para Q-Grader/R-Grader.
Q-Grader dituntut detail saat menilai cita rasa kopi. Harus ikut aturan dari SCA. Ya, namanya aja Q-Grader, ya, SCA, dong. Tapi bagi konsumen lain, gak ada tuntutan itu. Semua balik ke orang-orangnya. Sangat subjektif. Apakah Q-Grader memengaruhi konsumen dalam cita rasa? Kadang iya, kadang juga gak. Tergantung orangnya. Bebas itu. (William Christiansen) 7
Baik Adi, Uji, dan William, ketiganya menyebutkan bahwa keberlakuan
standar SCA sebatas bagi industri kopi spesial, yang secara khusus mengarah
ke pasar AS dan Eropa. Lebih spesifik bila bicara mutu cita rasa kopi, maka
otoritas pembicaraannya sebatas bagi Q-Grader/R-Grader. Keberlakuan ini
sifatnya baku dan ketat untuk suatu periode tertentu—karena di waktu yang
mendatang, SCA bisa saja merevisi standarnya berdasarkan kebutuhan zaman
yang berubah. Bahwa SCA satu-satunya model yang representatif bagi industri
kopi spesial dunia saat ini. SCA telah menjadi simbol modernitas pengetahuan
kopi dunia. Dengan menyajikan kelengkapan dan kedalaman pengetahuan
6 Majalah Tempo, liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita, (Edisi 4465 26-01 April 2018), hal. 80.
7 Wawancara dengan William Christiansen (Q-Grader dari Space Coffee Roastery Yogyakarta) pada Rabu, 5 Agustus 2020 di Space Roastery Yogyakarta .
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
dalam mengevaluasi cita rasa kopi, SCA kemudian mampu mempersuasi,
mempengaruhi bahkan menentukan sikap seorang Q-Grader/R-Grader terhadap
cita rasa kopi spesial, yang pada gilirannya juga orang kebanyakan yang
“mendambakan” kopi spesial.
Meski demikian, di lain hal, dalam status dan kebutuhan yang berbeda,
standar ini bukan pegangan wajib bagi orang-orang di luar keanggotaan SCA
dan Q-Grader/R-Grader, atau bagi pasar di luar AS dan Eropa. Artinya, bila kopi
dari negara produsen, semisal Brazil hendak dijual ke Indonesia, maka standar
mutu cita rasa kopi yang berlaku tergantung pada negara pembeli. Indonesia
bisa saja mengharuskan produk kopi yang masuk ke negaranya sesuai dengan
Standar Nasional Indonesia (SNI). Atau bisa pula, sesuai standar kawasan Asia
Tenggara, seperti Asean Coffee Federation (AFC)―sekalipun yang melakukan
penilaian mutu adalah Q-Grader/R-Grader dari SCA. Tapi sialnya, baik SNI maupun
ACF memiliki standar mutu yang lebih longgar dibanding SCA. Standar SCA
dikatakan masih jauh lebih unggul dibanding standar negara atau kawasan
lainnya. Karena keunggulan ini, maka individu/lembaga di luar keanggotaan
SCA yang menginginkan produk kopi spesial dengan akurasi mutu tinggi
cenderung memilih standar SCA. Alhasil, penggunaan serta pengakuan standar
SCA telah meluas jangkauannya, tidak hanya bagi Q-Grader/R-Grader atau bagi
pasar AS dan Eropa, melainkan juga bagi non-anggota SCA serta bagi pangsa
pasar negara-negara di luar AS dan Eropa—sekalipun beberapa diantaranya
memiliki standar masing-masing.
Pada kasus yang berbeda pula, misalnya, bila seorang hendak cupping
untuk kebutuhan pribadi atau kedai yang menunjuknya, maka baginya tidak
ada keharusan untuk menjalankan protokol cupping SCA. Pun juga bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
konsumen luas. Seperti kata Adi dan William, secara formal, tidak ada
ketentuan yang mengharuskan orang (non-anggota SCA) untuk “tunduk” pada
konsepsi cita rasa SCA. Perkara cita rasa kopi diserahkan sepenuhnya ke
masing-masing orang. Tapi kebebasan ini tidak serta-merta tercetak mulus di
lapangan, sebab ada saja orang yang bukan Q-Grader/R-Grader, non anggota SCA,
dan menjadi bagian dari industrinya tetap saja loyal dengan SCA. Preferensi cita
rasa kopi spesial menjadi sepenuhnya milik SCA. Mengapa demikian? Lagi-lagi
dikarenakan sejauh ini, SCA telah menjadi kanon pengetahuan cita rasa yang
berpengaruh dan otoritatif di industri kopi spesial dunia. Hal ini dinyatakan Uji:
Protokol itu kan lahir dari tradisi industri. Protokol itu menjelaskan bagaimana bahwa tradisi SCA itu harus punya otoritas. Jadi protokol itu harus dikerjakan, otoritatif gitu. Kayak syarat rukun lah. Jadi protokol itu memang adalah ekspresi, bagaimana tradisi kopi yang dibawa SCA ini menjadi sifatnya sangat otoritatif. Karena, hasilnya agar bisa diklarifikasi, di-confirm, ada peleburan makna, bisa dipahami oleh semua orang, kalangan dari sekian bangsa yang pakai protokol itu. ... Otoritatif, ya, intimidatif. Mau gak mau! Dan Anda jangan tersinggung. Karena industri bekerja kayak gitu. (Uji Sapitu)8
Klaim saintifik yang menjadi basis pengetahuan standar SCA memperkuat
otoritas ini. Biar bagaimanapun, sulit disangkal bahwa sains adalah dalil yang
kuat untuk meyakinkan masyarakat modern agar suatu pengetahuan dapat
diterima. Terlebih bila sumber pengetahuan tersebut berasal dari AS (Barat)
yang seringkali diasumsikan oleh negara “dunia ketiga” sebagai yang memiliki
kapasitas dan kemampuan riset yang unggul9. Karena dinyatakan saintifik,
8 Wawancara dengan Uji Sapitu ...
9 Bagi Uji, semestinya pegiat kopi di Indonesia tidak perlu merasa minder. Alasannya, sebab sebagai sebuah bangsa, Indonesia telah memuncaki peradaban pangan sebagai bangsa peramu. Iklim tropis telah memberi kemewahan berupa tumbuhnya keragaman hayati. Secara bersamaan, keadaan ini akan memasok pengetahuan cita rasa yang kaya bagi yang hidup di tengah kemewahan ini. Uji menunjukkan fakta berupa rempah yang diramu menjadi jamu dan bumbu masakan di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai macam rempah yang memiliki karakter rasa masing-masing lantas diramu sedemikian rupa untuk menghasikan cita rasa yang padan, berkhasiat, dan diminati banyak orang, termasuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
orang lantas cenderung untuk tunduk pada superioritas SCA. Menjadikan
konteks historis pengetahuan dan pengalaman konsumsi yang lokal serta
empiris, yang sejatinya yang berharga sebagai kosakata cita rasa personal,
lantas ter-subordinasi di hadapan SCA. Pada titik inilah, orang menjadi fanatik
pada SCA. Jadi, pengetahuan SCA tidak hanya dijalankan oleh para Q-Grader/R-
Grader atau anggota lainnya karena status konsesus sebagai standar dan
bahasa bersama yang mengikat mereka, tapi lebih dari itu bahwa SCA ditaati
sebab sikap fanatik yang mengidealkan SCA sebagai “pusat” pengetahuan yang
universal. Fanatisme yang juga dialami oleh followers atau non-anggota SCA.
Padahal ke-ilmiah-an suatu pengetahuan tentu akan selalu anomali. Bila
berpikir secara epistimologis kritis, kebenaran pengetahuan tentunya
bergantung sejauh mana paradigma tertentu dipakai, untuk kemudian menjadi
konsensus bagi komunitas ilmiah tertentu dalam periode sejarah tertentu
pula10. Bahwa sains akan selalu bersifat kontekstual yang lahir dari konteks
historis tertentu, dan hal inilah yang disangkal oleh standar SCA dengan
memposisikan otoritas pengetahuan cita rasanya sebagai yang objektif dan
universal. Sungguhpun sifat pengetahuan cita rasa ini akan selalu subjektif,
lebih dari itu dapat bersifat inter-subjektif, atau dengan kata lain tidak akan
pernah objektif.
Sampai di sini, ada beberapa catatan penting dari penjelasan di atas,
bahwa standar SCA berlaku sejauh ia disepakati oleh anggotanya dan untuk
kolonial Eropa. Baik jamu maupun bumbu, keduanya menjadi bukti tentang tingginya daya intelektual orang Indonesia dalam mengolah berbagai jenis material pangan. Tentang pengetahuan akan cita rasa yang mendalam dan berharga yang dimiliki bangsa Indonesia. Suatu capaian riset yang mumpuni nan jenius, menurut Uji. Tapi menurut saya, pleidoi Uji sedikit berbau chauvinistik, dan bisa jadi pula berupa penawar yang esensialis.
10 Pemahaman ini didapat dari penjelasan episteme-nya Foucault, yang oleh beberapa kritikus disejajarkan dengan paradigma dari Thomas Kuhn.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
kebutuhan industri kopi spesial yang secara khusus menyarankan pada pasar
AS dan Eropa; dan juga sejauh SCA diinginkan oleh orang, kelompok, lembaga,
atau negara yang notabene bukan anggota SCA. Standar SCA telah dialami
sebagai yang ideal, sebagai kanon industri kopi spesial dunia yang otoritatif
yang ditopang oleh klaim universalitas keilmuan yang diajukannya. Catatan-
catatan ini kemudian bila ditarik ke dalam konteks Indonesia yang
menanggung efek kolonialisme Barat, dapat disebut sebagai patologi
pascakolonial11. Tentang bagaimana Q-Grader/R-Grader Indonesia dan individu
lain memandang cita rasa kopi yang tumbuh dan diproduksi di lingkungannya
dengan perspektif Barat sebagai standar. Mereka berbicara tentang cita rasa
kopi dengan indra sensoris miliknya, namun di saat yang sama, mereka
menggunakan kondisi historis SCA yang bukan bahan baku dari memori
sensorisnya. Meski terdapat praktik dan sikap yang bias di sana, hal ini dirasa
sah untuk dijalani. Argumentasinya, sebab sebagai anggota SCA, toh hal ini
menyangkut mekanisme dan relasi jual-beli kopi. Agar kopi dapat diterima
pasar AS dan Eropa, maka sudah seyogianya produsen menyiapkan kopi
sebagaimana yang dimaui oleh konsumen, sebagai kesepakatan dagang. Atau
jika bukan sebagai anggota SCA, bahwa standar SCA baiknya dibebaskan dari
asumsi kolonialisme, sebab SCA dirasa lebih tekun, detil, dan teruji secara
11 Albert Memmi, intelektual dan revolusioner antikolonial Tunisia, menyebut bahwa secara fundamental subjek-subjek pascakolonial terperdaya akan harapan hadirnya tatanan dunia baru pasca jatuhnya kolonialisme. Pesemisme politik Memmi memberikan sebuah catat an tentang pascakolonialitas sebagai suatu kondisi historis yang ditandai oleh kebebasan yang tak tampak dan presistensi ketidakbebasan yang tersembunyi. Memmi menambahkan bahwa patologi pascakolonial sejenis ini berisfat limbo (diterlantarkan/dilupakan) antara kedatangan (pascakolonialitas) dan kepergian (kolonialisme), kemandirian dan ketergantungan, yang bersumber pada jejak dan kenangan yang mengendap atas pengalaman tersubordinasi oleh kolonialisme. Dengan kata lain, subjek-subjek pascakolonial, hingga hari ini senantiasa menanggung luka akibat kolonialisme masa lalu—sekalipun secara formal mereka telah merdeka. Lihat: Leela Gandhi, Postcolonial Theory, a Critical Introduction, (Australia: Allen & Unwin, 1998), hal. 6-7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
saintifik dalam menyusun standar kopi spesial, dibandingkan dengan standar-
standar lain, seperti SNI, misalnya. Sehingga yang dibutuhkan adalah
keterbukaan guna meningkatkan mutu dan pengetahuan akan cita rasa kopi.
Walau dikuatkan dengan argumen yang dirasa masuk akal tadi, ada hal
yang luput diperhatikan bahwa standar SCA dipraktikkan dalam kondisi
industrial yang tentunya bekerja dengan prinsip kapitalistik, di mana
keuntungan terbesar akan mengalir ke Barat melalui industri hilir yang
dibangunnya—sekalipun orang-orang di negara produsen kopi yang notabene
negara pascakolonial terlibat dalam proses konsumsi dan produksi.
Agar mudah dibayangkan, mari menengahkan dua contoh kasus. Contoh
pertama: di hulu, terdapat Koperasi Baburrayan di Kabupaten Aceh Tengah yang
telah mengantongi sertifikasi C.A.F.E Practices (Coffee and Farmer Equity Practices).
Sertifikasi ini digagas oleh Starbucks Coffee dan bergandengan dengan
sertifikasi lainnya, yakni Fair Trade USA. C.A.F.E Practices diperlukan agar kopi
arabika dari koperasi Baburrayan dapat diterima oleh korporasi transnasional,
Starbucks, si duyung hijau dari Seattle, AS. Ada banyak hal yang menjadi
perhatian sertifikasi C.A.F.E Practices, antara lain terkait dengan kriteria upah,
larangan atas tenaga kerja anak, pelatihan dan keselamatan pekerja, praktik-
praktik lingkungan, dan akses pekerja terhadap perumahan layak, perawatan
medis, dan pendidikan. Sementara bila terkait kriteria kualitas cita rasa kopi
(cup quality), C.A.F.E Practices sedikit banyak mengacu pada SCA Cupping Protocols
dan dikerjakan oleh Q-Grader dari Starbucks sendiri—Starbucks memang tidak
mengkhususkan diri sebagai kedai kopi spesial, tapi dari 27.715 gerai kopi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
spesial AS, 11.100 atau 47% diantaranya adalah Starbucks, dan Starbucks telah
memiliki lebih dari 100 outlet di seluruh wilayah Indonesia12.
Berbekal label C.A.F.E Practices ini, kopi arabika dari koperasi Baburayyan
pun diolah oleh Starbucks untuk dikembangkan sebagai produk konsumsi di
hilir, yakni yang akan dijual outlet-outlet Starbucks, baik dalam bentuk minuman
jadi ataupun dalam biji kopi sangrai kemasan dengan merek Starbucks Sumatra
Coffee. Lalu, siapa yang membeli produk Starbucks tersebut? Adalah pelanggan
Starbucks di seluruh dunia, termasuk orang Indonesia yang sebagiannya
sangat mungkin orang Gayo. Di sini, mereka orang Indonesia menikmati
Starbucks Sumatra Coffee dalam kriteria C.A.F.E Practices dan standar SCA, lalu
membayarnya dengan harga Amerika. Mereka juga “berjasa” mengakumulasi
kapital yang mengalir mulus ke bursa Wall Street.
Contoh di atas baru mewakili satu skena dan sebatas relasi bisnis yang
sah antara Koperasi Baburayyan dengan Starbucks dan SCA. Pun juga, contoh
tersebut baru menengahkan bahwa yang paling diuntungkan dalam relasi ini
adalah Starbucks. Artinya, belum mempertanyakan bagaimana kapitalisme
dijalankan melalui rezim sertifikasi kopi (C.A.F.E Practices termasuk di
dalammnya) yang seringkali berargumen moral dengan wajah manusiawi. Juga,
contoh tersebut belum termasuk grade kopi non-spesial (komersil dan
premium) yang diproduksi oleh berbagai perkebunan di empat besar negara
produsen kopi dunia (Brazil, Vietnam, Kolombia, dan Indonesia) yang diserap
raksasa lain dari AS dan Eropa, seperti Nestle (Swiss), Costa Coffee (Inggris),
dan Donkin’ Donuts (AS), Kraft (AS), Sara Lee (AS), Tchibo (Jerman), dan
12 Data tahun 2008. Lihat: Robert W. Thurston, dkk (Ed.), Kitab Pendekar Kopi, terj. Ninus Andarnuswari, (Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019), hal. 4 dan 204; dan Starbucks Coffee Company, C.A.F.E. Practices Generic Evaluation Guidelines 2.0, Maret 2007.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
seterusnya, yang memproduksi kopi saset untuk industri retail dan konsumsi
rumah tangga.
Contoh kedua untuk skena lain, misalnya dalam praktik penyediaan kopi
untuk bahan pembelajaran di kelas Q-Grader/R-Grader yang diselenggarakan SCA
Premier Campus. SCA akan mengumpulkan berbagai kopi dari seluruh negara
produsen untuk dijadikan standar bahan kelas Q-Grader/R-Grader di seluruh
dunia. Kopi-kopi tersebut, baik yang specialty atau bukan, akan disuplai oleh
mitra SCA, seperti diantaranya Asosiasi Kopi Spesial dan SCA Premier Campus yang
bermukim di masing-masing negara produsen13. Di sini, SCA tidak hanya
memonopoli lisensi instruktur pengajar; standar kurikulum dan textbook;
standar sarana dan prasarana yang harus dipenuhi oleh suatu tempat agar
dapat diakreditasi dan dikatakan sebagai SCA Premier Campus; tapi, SCA juga
mengambil peran sebagai satu-satunya sumber (library) yang menyuplai ulang
kopi untuk bahan kelas Q-Grader/R-Grader di seluruh dunia. Artinya, ada berlapis-
lapis keuntungan yang didapat SCA dari praktik ini, sebab semua yang disebut
tadi tidaklah gratis alias berbayar. Dari biaya lisensi Q-Grader/R-Grader/Q-
Instructor; biaya akreditasi dan keanggotaan tahunan SCA Premier Campus;
hingga biaya materi dan bahan kelas Q-Grader/R-Grader. Semua biaya yang jelas
tidak murah itu tentu mengalir ke SCA. Sampai di titik ini, saya pun menengarai
bahwa Q-Grader/R-Grader, SCA Premier Campus, dan Asosiasi Kopi Spesial di negara
produsen adalah mitra SCA rasa komprador. Karena dominasi dan monopoli
SCA dipertahankan lewat tangan-tangan mereka dalam jalinan bisnis di antara
mereka.
13 Wawancara dengan Andi K. Yuwono (Founder 5758 Coffee Lab., Bandung) pada Sabtu dan Minggu, 15-16 Agustus 2020 di 5758 Coffee Lab. Bandung.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
Dengan demikian, kepatuhan dan kedisiplinan atau membayangkan
bahwa AS melalui SCA sebagai yang ideal dalam hal universalitas sains cita
rasa kopi, adalah implikasi dari bertahannya wacana kolonial. Dengan kata lain,
memeluk SCA sebagai standar juga bagian dari memeluk wacana neo-kolonial.
Sebab di sini, dominasi tidak lagi dijalankan secara fisik kepada subjek-subjek
pasckakolonial yang secara formal telah lepas dari koloniasasi, tapi
dilanggengkan dengan cara yang lebih subtil melalui pengetahuan tentang
standar akan cita rasa kopi yang diiedalisasi. Di satu sisi, sebagai pengetahuan,
standar SCA seringkali dipandang membawa manfaat bagi orang-orang yang
bekerja bagi industri kopi spesial ataupun bagi orang-orang yang
menginginkan pengakuan publik atas kerja-kerja evaluasi mutu dan cita rasa
kopi yang dijalankannya. Baik manfaat ekonomis maupun manfaat prestise. Di
sisi lain, sebagai wacana neo-kolonial, standar SCA telah memperpanjang
dominasi dan konstruksi identitas imajinatif Barat sebagai yang unggul dan
terbaik dalam banyak bidang, sekaligus terus dibarengkan dengan mengalirnya
keuntungan terbesar ke penguasa kapital Barat melalui globalisasi standar
SCA. Alhasil, wacana cita rasa SCA telah berperan mengkonstruksi subjektivitas
kesadaran seseorang dalam melihat dirinya sendiri, ketika menyatakan cita
rasa kopi tertentu, discursive constitusion of the self . Ada represi di sini, oleh
budaya yang mendominasi secara ekonomi-politik, yang lantas dianggap
semakin wajar oleh seseorang yang menanggung continuing colonialism effect.
B. Standar SCA: Bahasa yang Bermasalah
Dengan adanya standar SCA, orang dari berbagai belahan dunia dapat
berkomunikasi soal mutu dan cita rasa kopi dalam bahasa yang sama.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
144
Begitulah kira-kira dalih keuntungan dari adanya standar SCA. Bagi yang
menjadi bagian dari SCA (bekerja untuk industri kopi spesial) maupun yang
tidak sama sekali, standar SCA telah bernilai sebagai bahasa bersama:
pemersatu dan universal. Bahasa ini ada karena ia disepakati sebagai bahasa
dan dimaksudkan sebagai sarana komunikasi untuk mencapai pemahaman
yang sama. Seperti yang dikatakan Adi:
Terus kenapa ada flavor wheel? Karena ada kebutuhan untuk bisa ngobrol bareng antara negara penghasil dengan negara pembeli. Kenapa sih American based? Karena pembelinya mayoritas Amerika (AS). Dan itu dari SCA dengan Asosiasi Kopi Specialty Kolombia. Dan mereka sadar bahwa ada benda ajaib di dua kultur: tropis dan sub tropis. Makanannya, buahnya, pasti beda (dengan yang di Indonesia). Makanya mereka bikin Le Nez Du Café, kit 36 bau ini, untuk jadi jembatan. Untuk agree, bahwa bau kayak gini itu namanya ini. (Adi W. Taroepratjeka)14
Hal senada juga diungkap oleh Andi K. Yuwono, aktivis buruh yang juga
salah satu founder 5758 Coffee Lab.15, yang mengatakan bahwa standar SCA
adalah sarana untuk mempertemukan keragaman; sebagai bahasa komunikasi
yang diakui dan digunakan bersama. Saya mewawancari Andi berbarengan
dengan Adi. Pendapat Andi saya rujuk guna melengkapi apa yang dinyatakan
oleh William sebagai pembanding. Andi saya kategorikan sebagai narasumber
sekunder dari kalangan profesional non-Q-Grader/R-Grader, sebagai pelaku
industri kopi spesial.
Kalau berry-berry-an, mau dikatakan (buah) duwet (jamblang/jambu keling) ... Ya, boleh. Dan itu (duwet) kita pakai untuk lokal. Kalau untuk internasional, ya, pakai bahasa internasional. Kalau untuk bahasa Sunda, ya, pakai bahasa Sunda. Kalau untuk Indonesia, ya, pakai bahasa Indonesia. Kamu Palembang kan ngerti, ada terong Belanda di sana. Ngomong sama orang Tegal, ketemu gak? Gak ngerti. Tapi kalau ngomong mirip-mirip nanas sama pepaya ...
14 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
15 Andi K. Yuwono juga memegang lisensi SCA Brewing Professional dan ACF Barista Instructor.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
... Bagaimana pun standar itu arbiter. Sama dengan bahasa: vokal, simbol. Jadi, untuk komunikasi saja ... Sarana untuk mempertemukan. Kesepakatan, doang. (Andi K. Yuwono)16
Disebutnya sifat arbiter dari standar SCA sebagai bahasa bersama
setidaknya mengisyaratkan bahwa selain berdasarkan kepentingan pasar AS
dan Eropa, standar SCA juga ini disusun dalam konteks historis dan
pengalaman konsumsi orang-orang SCA, di AS dan Eropa. Hasilnya, tentu saja
bahasa cita rasa yang berpotensi muncul di berbagai macam kopi menjadi
terbatas dan didominasi oleh kultur konsumsi si perumus standar. Seperti
halnya definisi terbuka tentang cita rasa manis yang terumus pada “A
fundamental taste factor of which sucrose is typical.” seturut Sensory Lexicon; dan
jabaran manis yang sekadar mencakup: molasses, maple syrup, caramelized, honey,
dan vanilla. Sementara, gula aren dan gula jawa tidak memungkinkan ada dalam
konteks dan pengalaman konsumsi mereka, sehingga “dianggap” tidak ada
dalam kategori cita rasa kopi. Kalau toh ada, tentu sebatas pengetahuan
tekstual. Kalau toh dialami secara empiris, tentu pengalamannya tidak se-
intensif orang yang hidup di tengah produksi gula aren dan gula jawa. Belum lagi
apa yang dimaksud honey di sana sangat bisa menjadi bias makna dengan
madu yang dimengerti di sini. Tapi mengingat standar SCA adalah kesepakatan
yang berlaku (baku), maka yang dirujuk bagi industri kopi spesial adalah
sebagaimana yang dimaksud honey. Begitu pula dengan kasus cita rasa apricot
yang dimasukkan di cita rasa kopi spesial berdasarkan fakta bahwa apricot
dialami secara empiris oleh orang-orang SCA. Sementara bagi yang tidak
memiliki akses ke apricot, maka mustahil cita rasa ini dialami. Tapi uniknya lagi-
lagi, mengingat apricot adalah salah satu (standar) cita rasa kopi SCA, maka
16 Wawancara dengan Andi K. Yuwono ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
orang yang tidak mengalami apricot namun menyepakati SCA sebagai bahasa
cita rasa bersama, berpeluang besar untuk menyatakan bahwa apricot adalah
salah satu atribut cita rasa kopi yang ia peroleh berdasarkan cupping.
Pernyataan ini bisa didukung oleh pengalamannya mengonsumsi buah apricot
impor atau ingatan penggunaan referensi Le Nez Du Café, bebauan ala Perancis
yang ditunjuk SCA sebagai standar aroma “resmi” melalui WCR. Atau lebih
sialnya, tidaklah didukung pengalaman dan ingatan apa pun alias sekadar
sugesti cita rasa yang dipersepsikan. Sebuah pengayaankah? Iya, di satu sisi.
Tapi di sisi lain yang lebih menukik tajam, juga menandakan seseorang sebagai
liyan dari AS dan Eropa telah “dimiskinkan” oleh standar SCA.
Bila begini, tersirat ironi bahwa standar SCA, sekalipun bernilai sebagai
penyambung lidah dari aneka bahasa komunikasi, sejatinya bukanlah bahasa
yang relevan bagi Q-Grader/R-Grader atau bagi orang awam di luar AS dan Eropa.
Yang patut dicatat kemudian adalah relevansi ini telah dikikis oleh otoritas SCA
yang dinilai saintis dan modern, yang disepakati sebagai standar bersama,
yang mau tak mau harus diikuti agar bahasa cita rasa ini dapat selaras dengan
perspektif industri kopi spesial yang dibangun SCA.
Mengapa setiap orang yang telah memiliki bahasa cita rasa masing-
masing lantas menerima standar SCA sebagai lingua franca, padahal tidak
relevan? Bill Ashcroft, Gareth Griffins, dan Hellen Tiffin dalam buku mereka, The
Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature (1989) menyebut
bahwa salah satu praktik utama represi imperial adalah kontrol melalui media
bahasa. Bahasa menjadi media untuk menunjukkan struktur hierarki
kekuasaan dan menetapkan konsepsi-konsepsi kebenaran, aturan, dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
realitas17. Dengan “dipaksakannya” standar SCA sebagai bahasa cita rasa
bersama dan diterima industri kopi spesial global (termasuk oleh pegiat kopi di
Indonesia), AS melalui SCA menyatakan bahwa bahasa cita rasa lain, seperti
gula aren atau madu, adalah bahasa “pinggiran”; dan di saat yang bersamaan
bahasa cita rasa SCA, seperti yang tertuang dalam Roda Rasa SCAA dan Sensory
Lexicon, adalah “pusat”. Bahasa pinggiran ini dengan demikian sebenarnya
dibentuk oleh suatu wacana kekuasaan yang bersifat represif.
Situasi semacam ini lebih lanjut akan memunculkan kondisi lain, oleh
Ashcroft, dkk, disebut sebagai alienasi linguistik. Yakni sebuah kondisi di mana
pengguna bahasa “pinggiran” mengafirmasi bahasa “pusat” dan
menggunakannya untuk mengekspresikan konsep tertentu. Pegiat kopi di
Indonesia, dalam hal ini persepsi cita rasa subjek pascakolonial (pada
indikasinya) telah di-dislokasi oleh bahasa cita rasa asing yang seringkali tidak
empiris baginya. Keteraturan menggunakan bahasa cita rasa SCA secara terus-
menerus oleh pegiat kopi di Indonesia, menjadikan mereka mulai terasing dari
bahasa ibu yang dihidupinya. Seakan bahasa ibu tidak dibutuhkan, sebab
dirasa tidak memadai untuk dipakai sebagai media ekspresi persepsi sensoris.
Bahasa ibu terdesak menjadi “pinggiran”, dinilai tidak cocok, tidak pas, dan
tidak layak untuk disebut sebagai kosakata cita rasa. Sehingga para
penuturnya pun menjadi kesulitan jika harus menyebut gula aren atau gula jawa
sebagai bagian dari atribut cita rasa kopi yang ia peroleh dari cupping. Atau
dirasa lebih baik bila dikatakan sebagai honey, misalnya, ketimbang disebut
17 Bill Ashcroft, dkk, The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial Literature, (London-New York: Routledge, Edisi Kedua, 2002), hal. 7-8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
sebagai cita rasa madu yang impresinya “kampungan”18. Hal ini dikuatkan oleh
pengalaman Adi yang telah banyak mengajar peserta kelas uji cita rasa di 5758
Coffee Lab.:
Jadi kendala ketika gua ngajar uji cita rasa, salah satunya mendorong orang untuk bisa bercerita dulu. Kenapa? Kadang orang takut bercerita soal kopi. Nanti cerita, “Kok, rasa kopinya ngingatin dengan rasa rendang19 dari rumah makan Padang mana, gitu.” Ada beberapa orang merasa malu, masa rasa kopinya kayak gitu, sih. Nanti dibilang kampungan. Padahal spontan dan jujur. Dan itu yang gua harapin untuk ditulis (di cupping form). Karena fungsi dari lembar uji cita rasa, diantaranya membantu kita mengingat kopi yang kita uji coba. Jadi mending nulis rendang sederhana, daripada cerita dengan rempah-rempah yang sebenarnya kita gak yakin juga dan kita mudah lupa. (Adi W. Taroepratjeka)20
Dalam konteks alienasi linguistik ini pula, juga muncul perasaan tidak
autentis. Karena atribut cita rasa yang digunakan adalah standar SCA yang
merujuk pada sesuatu yang hanya ada di “pusat”, yang tidak dikenalnya, maka
pegiat kopi di Indonesia merasa tidak autentis.
Adanya standar SCA sebagai kanon industri kopi spesial dunia
menjadikan hanya atribut cita rasa yang dimuat standar SCA sajalah yang
dapat ditasbihkan sebagai “atribut cita rasa” kopi. Ingatan akan cita rasa
rendang seperti yang dicontohkan Adi, merupakan ingatan yang empiris
sekaligus historis. Namun ketika rendang dibawa oleh seseorang ke forum
cupping, rendang menjadi cita rasa yang tak bernilai, sebab persepsi cita rasa
orang tersebut telah dikonstruksi oleh bahasa-bahasa standar cita rasa SCA
yang sebenarnya jauh dari kesejarahan dirinya: yang tidak memasukkan
rendang sebagai bagian dari standar. Normalisasi ini setidaknya telah
mengingkari arti penting pengalaman pascakolonial, dengan menanggap
18 Ashcroft, dkk, hal. 8-11
19 Adi mencontohkan cita rasa rendang karena pada saat itu kami sedang bersiap menyantap nasi rendang bungkusan. Pemilihan contoh ini cenderung acak, spontan, dan kebetulan.
20 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
rendang sebagai atribut cita rasa kopi yang tidak bernilai. Akibatnya, subjek
pascakolonial dimasukkan ke dalam kondisi untuk “asal pakai” karena mereka
dipaksa mengekspresikan persepsi sensorisnya dengan atribut cita rasa SCA
yang di sisi sebenarnya terlepas dari pengalaman-pengalaman subjek
pascakolonial. SCA merekayasa kesadaran seseorang tentang rendang dengan
membuat rendang berjarak sebagai persepsi cita rasanya dan bukan bagian dari
memori sensorisnya. Bahasa-bahasa cita rasa SCA yang sejatinya “jauh” dari
keseharian orang tersebut lantas menjadi “dekat”, sebab dinyatakan sebagai
standar. Sedangkan rendang yang semestinya “dekat” sebagai yang internal
justru menjadi “jauh” akibat dominasi bahasa-bahasa cita rasa SCA. Rekayasa
inilah yang menjadikan rendang sebagai atribut cita rasa yang inautentis,
menyebabkan rendang bukan lagi pengalaman empiris yang dapat
direpresentasikan dengan bahasa kulturalnya21.
Konsep ketidakteraturan dan ketidak-autentikan terus menerus
didesakkan oleh SCA sebagai “pusat” kepada pengalaman-pengalaman
“pinggiran”. Distingsi yang dibuatnya adalah antara pengalaman autentis dari
dunia yang “real” dan pengalaman yang inautentis dari pengalaman
“pinggiran” yang tidak sah. Polaritas ini ditunjukkan melalui sejumlah oposisi:
keteraturan dan ketidakteraturan, autentisitas dan inautentisitas, realitas dan
arealitas, bahkan ada dan ketiadaan. Singkatnya dominasi “pusat” dan
pandangan resminya harus ditentang sampai pengalaman “pinggiran” tersebut
dapat diterimanya22.
21 Ashcroft, dkk, hal. 87 dan 40-41
22 Ashcroft, dkk, hal. 87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
Selain bahasa cita rasa SCA yang menegaskan sturktur hierarkisnya
sekaligus mengakibatkan alienasi lingusitik dan kesadaran inautentis bagi
pengalaman “pinggiran”, bahasa cita rasa SCA juga menyangkal keragaman
bahasa melalui klaim universal yang dibangunnya. Dengan kata lain, telah
berlangsung homogenisasi bahasa cita rasa kopi oleh SCA yang menengahkan
diri sebagai standar industri kopi spesial global. Maka dibalik nilai-nilai
“bersama”, “kesepakatan”, dan “universalitas”, tentu asumsi penyeragaman di
tengah hibriditas bahasa cita rasa yang sebenarnya sangat kontekstual, itu ada
dan menguat. Atau jika dijelaskan dengan konsep Bhabha (1994),
penyeragaman di sini adalah juga tindakan menstereotipisasi. Stereotipisasi
dijalankan atas adanya rasa cemas (anxiety) dari SCA terhadapa realitas bahasa
cita rasa yang hibrid. Bahwa hibriditas akan mengancam hirarki bahasa antara
cita rasa “pusat” dengan cita rasa “pinggiran”. Antara rendang dengan bahasa-
bahasa cita rasa yang bersumber dari pengalaman sensoris Barat yang oleh
SCA dijadikan standar cita rasa industri kopi spesial dunia. Meski, baik yang
“pusat” maupun “pinggiran” dipahami dalam pengertian yang cair dan
dinamis, tetap saja dengan dalih saintifik, “pusat” mengesankan diri melalui
dalil saintifiknya sebagai yang paling representatif bagi industri atau bagi
orang kebanyakan lintas geografi dan kultural.
C. Subjek yang Mendua
Dalam irisan lain, wacana cita rasa yang diartikulasikan oleh standar SCA
tidak selalu bersifat monolitik, “Where there is power, there is resistance,” ujar
Foucault (1978). Artinya, akan selalu ada kemungkinan untuk melawan yang
dominan. Ada banyak reportoar guna meresistansi wacana dominan. Bagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
subjek pascakolonial, Bhabha menyebut mimikri sebagai salah satu dari sekian
reportoar yang dijalankan guna melawan dominasi wacana kolonial yang
ambivalen, alih-alih sekadar hasrat liyan yang tereformasi.
Dalam kasus pengalaman Q-Grader/R-Grader yang diperiksa di sini,
resistansi dijalankan dalam dua reportoar sekaligus, yakni meniru Roda Rasa
SCAA dengan memasukkan unsur bahasa dan aroma yang lokal-Indonesia, serta
menegoisasi standar prosedur cupping SCA dengan lebih dulu menengahkan
ekspresi cita rasa personal. Keduanya akan dijelaskan di bawah ini.
a. Reproduksi: Bahasa Rasa dan Aroma yang Lokal
Tapi di sisi lain, kita gak takut bikin standar sendiri ... (Adi W. Taroepratjeka)23 Kita bikin roda rasa sendiri. Duitnya dari siapa? Sendiri. Gak usah ngemis ke donor ... Ya, akhirnya kita dikontrak karena kita sudah melakukan itu untuk memperbaiki, tapi kan profesional. Kita dikontrak, dibayar. Untuk lebih boosting, gak papa. Tapi bukan tujuan satu-satunya. Soal itu nanti dijual sama orang yang bikin, ya, wajar, dong. Ada upaya yang tidak ditanggung bareng-bareng. Kecuali kalau ditanggung bareng-bareng, ya, milik bareng-bareng, kan ... (Andi K. Yuwono)24
Bersama Seniman Coffee, Bali, 5758 Coffee Lab. mengerjakan proyek Roda
Rasa Kopi Indonesia atau Indonesia’s Coffee Flavor Wheel, terbit tahun 2019. Ada tiga
Q-Grader dari Seniman Coffee Studio dan satu Q-Grader Instructor dari 5758 Coffee
Lab., yakni Adi, yang terlibat aktif dalam proyek ini. Roda Rasa Indonesia ini
disusun berdasarkan pengalaman mereka mencicipi beragam kopi Indonesia
serta pengetahuan cita rasa yang lebih lokal. Mereka secara intensif melakukan
cupping dengan fokus pada perolehan cita rasa buah-buah tropis dan rempah-
rempah yang tumbuh dan familiar di Indonesia. Beberapa cita rasa buah-buah
tropis seperti sirsak, sawo, salak, nangka, manggis, kesemek , dan lain sebagainya,
23 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
24 Wawancara dengan Andi K Yuwono ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
152
serta rempah-rempah manis dan pedas, seperti asam jawa, kemiri, jinten, kencur,
dan seterusnya bisa ditemukan di Roda Rasa Indonesia.
Walaupun berdasarkan cita rasa lokal, format dan desain Roda Rasa Kopi
Indonesia ini tetap mengacu ke Roda Rasa SCAA. Hal ini berdasarkan
pertimbangan bahwa pegiat kopi di Indonesia telah terbiasa menggunakan Roda
Rasa SCAA. Oleh Adi dan orang yang terlibat dalam pengerjaan, Roda Rasa Kopi
Indonesia lebih diniatkan sebagai kosakata cita rasa alternatif, alias sebagai
pengayaan Roda Rasa SCAA.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
153
Gambar IV.1: Roda Rasa Kopi Indonesia (Indonesia’s Coffee Flavor Wheel) edisi 2019 sumber: https://www.senimancoffee.com/rodarasa/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
154
Atribut cita rasa yang lokal ini tentu berpeluang muncul di kopi yang
tumbuh di Indonesia. Sebab bila kopi ditanam dengan pola tumpang sari,
misalkan bersamaan dengan buah-buah tropis semisal durian dan nangka, atau
rempah-rempah semisal, jinten dan kencur, maka kemungkinan munculnya cita
rasa tanaman penyela di secangkir kopi tetap potensial, entah dalam intensitas
cecapan yang tinggi maupun samar. Dan, di Indonesia praktik tumpang sari ini
lazim di temukan di banyak perkebunan kopi rakyat.
Peluang munculnya cita rasa dari serapan tanaman penyela di kopi ini
amat besar. Mengingat bahwa pohon kopi bersifat higroskopis yang
memungkinkan kopi menyerap air, udara, dan aroma yang kuat dari
lingkungannya, termasuk dari tanaman penyela.
Bayangkan bila ketika menguji cita rasa kopi Indonesia yang ditumpang
sari dengan nangka dengan mengacu ke Roda Rasa SCAA, sedangkan nangka
bukan atribut cita rasa SCAA, apakah peluang fakta cita rasa nangka yang
didapatkan dari cupping akan dianggap, sekalipun cupping dilakukan oleh Q-
Grader/R-Grader dari Indonesia? Ada dua spekulasi jawaban, pertama cita rasa
nangka akan dialihkan ke cita rasa yang menyerupainya, atau kedua, cita rasa
nangka akan asingkan.
Atas dasar tidak memadainya Roda Rasa SCAA dalam konteks lokalitas cita
rasa orang Indonesia, Roda Rasa Kopi Indonesia pun dikerjakan guna memperkaya
atribut cita rasa yang mungkin ada pada kopi.
Keberadaan Roda Rasa Kopi Indonesia, seturut konsep mimikri dari Bhabha,
adalah bentuk peniruan yang dilakukan oleh subjek pascakolonial. Baik dalam
konsep dan format, serta visualisasi dan nama Roda Rasa Kopi Indonesia itu
sendiri menyerupai Roda Rasa SCAA. Perbedaan yang mencolok hanya terlihat
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
155
pada adanya atribut cita rasa lokal berbahasa Indonesia di Roda Rasa Kopi
Indonesia. Peniruan ini setidaknya berdasar pada sikap yang ambivalen. Di satu
sisi, 5758 Coffee Lab. dan Seniman Coffee “membenci” Roda Rasa SCAA yang
sangat American based. Di mana Roda Rasa SCAA menyangkal betapa cita rasa
kopi itu sangatlah kontekstual, mengingat cita rasa kopi dapat dinyatakan
berkat kemampuan sensori tiap-tiap individu yang khas—yang hidup dalam
budaya tertentu—juga pada kemampuan berbahasanya. Misal, kemampuan
orang Indonesia berbahasa cita rasa nangka, disebabkan oleh fakta: pertama,
iklim tropis Indonesia yang memungkinkan pohon nangka tumbuh; kedua,
keberadaan nangka ini kemudian mendorong tumbuhnya berbagai pengetahuan
tentang nangka, dari budidaya, aspek kebermanfaatnnya, hingga persoalan cita
rasa. Dan pengetahuan pada gilirannya akan menyusun bahasa tersendiri
sebagai sarana arikulasinya, hingga akhirnya membentuk budaya tentang
nangka; ketiga, alhasil, orang Indonesia pun memiliki memori sensoris sekaligus
kemampuan verbal-lingusitik terkait tentang cita rasa nangka. Ketiga fakta ini
lantas disangkal oleh Roda Rasa SCAA. Penyangkalan yang berbuah pada
homogenisasi cita rasa kopi yang sebetulnya majemuk dan sangat kontekstual.
Alias homegeniasasi ini sejalan dengan prinsip stereotipisasi, sebagai akibat
dari adanya rasa cemas (anxiety) SCA terhadap fakta kemajemukan cita rasa
kopi yang bisa jadi mengancam jalannya kuasa dan dominasi SCAA. Sisi inilah
yang “dibenci” oleh Adi, dkk.
Di sisi lain, ada perasaan “rindu” pada hal yang “dibenci”, yang
diekspresikan dengan meniru Roda Rasa SCAA, bukan untuk tampil sama
melainkan untuk menunjukkan bahwa Roda Rasa SCAA yang digadang-gadang
sebagai cita rasa standar industri kopi spesial global, amat tidak mampu
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
156
memenuhi kekayaan ekpresi global itu sendiri: bahwa “global” adalah beragam,
bukan semata American based. Atau seturut Bhabha, mimikri di sini menjadi
ejekan (mockery) 5758 Coffee Lab. dan Seniman Coffee terhadap SCA, sekaligus
sebagai strategi resistansi terhadap mindset cita rasa SCA yang mengglobal
dan dominan. Resistansi yang cenderung tidak disadari sebagai resistansi.
Sebab Andi dengan dukungan Adi, menyatakan bahwa Roda Rasa Kopi Indonesia,
seperti yang disebut sebelumnya, tidak dimaksudkan sebagai perlawanan
(tandingan) melainkan sebagai pengayaan khazanah atau alternatif atribut cita
rasa kopi yang dinyatakan oleh SCAA. Di lain hal, teknis istilah yang dipilih,
“pengayaan” atau alternatif” justru mengandaikan bahwa Adi, dkk, menolak
dikatakan sebagai yang subjek yang direpresi atau terhegemoni oleh wacana
cita rasa SCA.
Jadi, bukan hegemoni. Tapi soal kesepakatan yang mengikat pada anggotanya yang setuju. Jadi, ya, wajar. Namanya statuta konstitusi. Negara menghegemoni kita, karena kita sepakat, berarti kita harus tunduk. Kalau gak tunduk, kita harus keluar atau melakukan perjuangan. Costumer driven atau producer driven? Producer driven, contohnya Google. Costumer contohnya, SCA. Siapa pun yang berkuasa di sana, dia yang ngontrol. Sejahat apa pun, kita gak tahu. Yang paling jahat, bukannya costumer, sebab dia melindungi diri dia. Fair, dong. Kalau produsen, ya itu yang harus kita kontrol. Karena dia yang nyekokin kita, ngarahin kita ke apa pun produk dia terserah pasar. (Andi K. Yuwono)25
Dominasi SCA ini bekerja dengan cara yang simbolik. Hal yang subtil inilah
yang kadang tak disadari oleh individu yang menyepakati suatu standar
bersama. Individu tidak merasakan represi sebagai represi, melainkan sebagai
suatu normalisasai yang wajar yang perlu dilakukan. Di sini, standar SCA di sini
menjadi simbol kekuasaan pengetahuan-bahasa-politik yang represif yang
dijalankan dengan kesan yang positif dan konstruktif: sebagai sesuatu yang
25 Wawancara dengan Andi K. Yuwono ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
157
ideal bagi industri kopi spesial dunia26. Sebuah standar atau pengetahuan
tentang kopi spesial yang politis karena menyangkut kepentingan dominasi
dan kapaitalisme Barat.
Apa pun teknis istilah yang dipakai, hal yang lebih penting adalah Roda
Rasa Kopi Indonesia ada dan hadir di tengah pegiat kopi di Indoensia berkat
adanya kesadaran kritis yang tumbuh berbarengan kepatuhan kuasa diskursif
SCA. Sebuah sikap yang ambivalen27. Bahwa dibalik kuasa SCA yang
menyarankan kepatuhan dan kedisiplinan, terdapat celah yang menunjukkan
bahwa kuasa tersebut tidak sepenuhnya berhasil “menduduki” subjek-subjek
pascakolonial yang sebenarnya bukan subjek yang pasif.
Selain mimikri dan resistansi (yang tidak disadari) yang ditunjukkan oleh
Roda Rasa Kopi Indonesia, ada persoalan lain yang sekiranya menarik untuk
diketengahkan di sini. Yakni, pertama, terkait signifikansi politik Roda Rasa Kopi
Indonesia dalam konteks industri kopi spesial global; dan kedua, homogenisasi
ganda dari Roda Rasa Kopi Indonesia.
Pertama. Roda Rasa Kopi Indonesia kecil kemungkinan diakui sebagai sebuah
salah satu standar industri kopi spesial global. Artinya, Roda Rasa Kopi Indonesia
tidak mendapat kredit dan apresiasi dari SCA. Keberlakuannya hanya sebatas
komunitas lokal Indonesia. Lingkaran komunitas yang menyepakati Roda Rasa
Kopi Indonesia jauh lebih kecil ketimbang komunitas SCA. Nyaris mustahil Roda
Rasa Kopi Indonesia menjadi bagian standar cita rasa kopi global. Mengapa?
Sebab otoritas kebijakan ada pada SCA. Dalam kacamata kajian pascakolonial,
26 Lihat akhir sub bab D: Struktur Diskursif Wacana Cita Rasa Kopi dalam Bab III.
27 Ambivalensi juga menyangkut pada wacana cita rasa SCA itu sendiri. Dengan kacamata Bhabha, SCA “memberadabkan” subjek-subjek negara pascakolonial guna kepentingan “membuat sama” dengan golongannya. Akan tetapi tidaklah sama persis. Sebab jika persis, tentu legitimasi untuk melanggengkan wacana dan standar ini menjadi hilang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
158
hal ini menyangkut relasi kuasa global, yang dewasa ini menampilkan AS
sebagai kekuatan baru imperialisme.
Kedua, Roda Rasa Kopi Indonesia yang cenderung Jawa sentris ini malah
membuka peluang terjadinya penyeragaman ganda. Alih-alih sebagai alternatif,
penyeragaman kembali berlangsung dengan Jawa sebagai acuannya. Kesulitan
yang nyata adalah bagaimana yang lokal didefinisikan. Sebagaimana kesulitan
mendefinisikan yang autentik di tengah hibriditas budaya. Ada satuan-satuan
lokal yang lebih kecil lagi yang menyusun lokalitas Indonesia. Satuan ini tentu
berjumlah banyak, dan sulit dijangkau oleh empat orang yang menyusun Roda
Rasa Kopi Indonesia. Setiap komunitas budaya akan memiliki kebiasaan
konsumsi yang turut membangun pengetahuan dan memori sensoris. Dan
Indonesia terdiri dari ribuan komunitas budaya. Alhasil, “jalan pintas”
ditempuh dengan menjadikan Jawa sebagai model kelokalan Indonesia. Cita
rasa Jawa pun hadir mendominasi sebagai representasi cita rasa Indonesia,
sebagai bahasa bersama yang lain selain bahasa SCA.
Yang bikin orang Jawa, Sunda, Bali, Flores ... Ya, tetap Jawa sentris. Jadi, di sini kita nemu ... Terlalu Jawa lah, kasarnya. Ada beberapa yang gak kita temuin. Akhirnya kita revisi. Ada beberapa yang dianggap terlalu kaya, dan terlalu miskin. Jadi kita tambahin dan kurangin. Dan sekarang yang lagi dibentuk juga, kayak kit Le Nez Du Café, sebagai alat bantu. (Adi W. Taroepratjeka)28 ————————————————————————— Menarik dunia kopi itu. Penuh perdebatan. Wong nasi Padang aja bisa berantem kan. Kita itu hobi berantem aja. Yang jelek, pokoknya nyalahin pihak lain. Karena pihak lain ... Selalu nyalahin standardisasi. Kita gak bisa memenuhi itu. Bukannya tidak bisa, satu tidak ngerti. Setelah ngerti gak mau pake, gak mau susah. Terus bikin lagi. Setelah jadi, nanti pihak lain yang gak pake dia, juga salah lagi. Jadi dia menolak hegemoni, menciptakan hegemoni, melakukan hegemoni. That’s the problem. Gitu. Terlalu banyak lapisan-lapisan standardisasi. Tapi gak dipake. Kita mau jual ke siapa? Kalau jual ke Jakarta, ya selera standarnya orang Jakarta. Kalau jual ke Jogja, pake standar Jakarta, gak bisa. (Andi K. Yuwono) 29
28 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
29 Wawancara dengan Andi K. Yuwono ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
159
Di sini Roda Rasa Kopi Indonesia telah mereproduksi prinsip Roda Rasa SCAA
yang menghomogenisasi bahasa cita rasa global. Bedanya, Roda Rasa Kopi
Indonesia melakukannya pada komunitas yang lebih kecil: Indonesia, dan bukan
suatu standar yang wajibkan. Pun Roda Rasa Kopi Indonesia tidak memiliki
otoritas mengatur atribut cita rasa seorang Indonesia terhadap kopi tertentu
yang dicicipnya. Murni sekadar alat bantu untuk memancing keluar memori
sensoris dan kemudian menamainya sebagai atribut cita rasa tertentu. Alhasil,
asumsi penyeragaman oleh Roda Rasa Kopi Indonesia di sini tidak dijalankan
secara represif seperti halnya standar SCA, melainkan secara bebas tanpa
ikatan.
Apakah wajib menggunakannya bagi orang Indonesia? Gak. Apakah orang ketika menggunakan kata deskripsi di luar roda rasa ini salah? Gak. Terus fungsinya apa? Ya, buat bantu kalau, “Rasanya apa, ya? Gua pernah ngerasain ini nih.” Terus ngelihat roda rasa, “Oh iya, ya, ngingetin dengan yang ini. (Adi W. Taroepratjeka)30
Selain Roda Rasa Kopi Indonesia, pegiat kopi di Indonesia juga ditawarkan
Sensoflavo: Coffee Aroma Library buah karya grup riset sensori bernama
Sensoflavo. Grup ini digagas oleh Wenny Bekti Sunarharum, Ph.D, seorang Flavor
and Sensory Scientist dan dosen di jurusan Teknologi Hasil Pertanian, Fakultas
Teknologi Pertanian, Universitas Brawijaya Malang. Anggotanya terdiri dari
praktisi, akademisi, periset, dan enthusiast yang bergerak di bidang makanan
dan minuman.
30 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
160
Gambar IV.1: Sensoflavo: Coffee Aroma Library sumber: akun Instagram @toniwahid
https://www.instagram.com/p/CCSkz3Qpiff/?igshid=lby9kctsofcq
Sensoflavo: Coffee Aroma Library31 adalah coffee aroma kit yang dikembangkan
dan berangkat dari studi deskripsi sensori kopi oleh Wenny yang dimulai di
University of Queensland, Brisbane, Australia di tahun 2012. Sensoflavo adalah
produk pertama dari studi ini sekaligus coffee aroma kit pertama di Indonesia.
Sensoflavo ditujukan sebagai alat edukasi dan pelatihan para taster dan
konsumen kopi, dengan menyediakan 18 macam referensi aroma yang dapat
dijumpai pada kopi. Aroma tersebut disusun berdasarkan kosakata dan istilah
umum yang familiar dan mudah dipahami oleh pegiat kopi di Indonesia.
Sensoflavo terdiri dari aroma: jeruk, apel, pisang, nangka, melati, vanili, karamel,
cokelat, gula aren, kacang tanah, cengkeh, kapulaga jawa, asam jawa, tape, tembakau,
31 Penyebutan selanjutnya diringkas menjadi Sensoflavo, ditulis cetak miring untuk membedakan dengan Sensoflavo sebagai nama grup riset.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
161
kayu, tanah, dan asap. Bisa dibilang Sensoflavo adalah versi mini dan lokal dari Le
Nez Du Café.
Kebetulan kan bidang saya di flavor and sensory scientist. Saya ingin mengembangkan are-area di bidang itu. Saya lihat di Indonesia, kebanyakan suka sekali dengan hal-hal yang berbau luar negeri. Dan kebanyakan memang teknologi yang berkembang itu di luar negeri. Karena saya juga mengajar analisis dan evaluasi sensori, dan semacamnya, mahasiswa kadang juga perlu semacam reference kit, yang membantu mereka mengidentifikasi suatu aroma atau rasa (kopi). Nah, karena harga Le Nez Du Café dan Scentone itu cukup mahal ... Sebelumnya saya sempat ikut pelatihan Le Nez Du Café dan Golden Cup untuk SCA di Sydney tahun 2015/2016. Kalau saya lihat, sebenarnya itu (Le Nez Du Café) seperti library yang membantu orang mengenali (aroma kopi). Akhirnya saya membayangkan, saya juga ingin membuat kit yang kira-kira akan bisa digunakan untuk tujuan yang tadi. Dan tentunya dengan tujuan lainnya, di antaranya juga, mungkin saya bisa menambahkan aroma-aroma yang lokal. Sehingga bisa digunakan café-café di Indonesia sendiri. (Wenny Bekti Sunarharum)32
Model dan hasil analisa atas Roda Rasa Kopi Indonesia, setidaknya juga
berlaku pada Senso Flavo: Coffee Aroma Library. Bahwa Senso Flavo juga bentuk
mimikri yang didasarkan pada kondisi subjek yang ambivalen. Di satu sisi,
Wenny menyatakan bahwa ia terinspirasi oleh Le Nez Du Café, sebagai coffee
aroma kit yang amat baik dalam membantu tasters dan konsumen kopi
mempelajari aroma yang mungkin ada pada kopi. Sedang di sisi lain, Wenny
menyatakan bahwa Le Nez Du Café terlampau mahal harganya sehingga orang
yang menggunakannya pun terbatas pada kalangan tertentu. Pun juga, dan ini
32 Kutipan wawancara ini bersumber dari saluran siniar: Coffeelicious Podcast. Siniar ini dimiliki dan digagas oleh Toni Wahid, seorang enthusiast kopi dan blogger cikopi.com. Per 14 Agustus 2020, Coffeelicious Podcast telah menyiarkan 133 episode. Dalam setiap episodenya, Toni bertindak langsung sebagai pewawancara setiap narasumber. Wawancara dengan Wenny Bekti Sunarharum terdapat di episode 91 dengan judul “Wenny Bekti, Ph.D di bidang Aroma Kopi” dan disiarkan per 25 November 2019. Pada waktu wawancara, Sensoflavo belum dirilis ke publik dan masih berupa prototipe. Atas izin Toni Wahid langsung, saya menggunakan episode 91 dalam Coffeelicious Podcast ini sebagai sumber data untuk penelitian ini. Hal ini mengingat bahwa sampai Oktober 2020, saya belum mendapat jawaban atas pertanyaan-pertanyaan wawancara yang saya ajukan ke Wenny. Sedianya, wawancara disepakati dilakukan dengan berkirim surat elektronik (surel). Pertanyaan dikirim melalui surel dan dijawab pula melalui surel. Namun oleh berbagai alasan, jawaban-jawaban Wenny tak kunjung saya terima. Atas dasar ini saya beralih ke sumber data alternatif, yakni episode 91 dalam Coffeelicious Podcast yang diakses pada Diakses pada 3 September 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
162
yang terbilang penting, bahwa aroma yang direferensikan oleh Le Nez Du Café
terbilang berjarak dengan konteks sensori orang Indonesia. Kalau toh ada
kesamaan aroma antara Le Nez Du Café dan Sensoflavo, kesamaan hanya terletak
pada atribut penamaannya saja. Sedangkan definisi, sensasi, dan intensitas
aromanya tetap berjarak. Hal ini diungkap oleh Resianri Triane, Q Arabica Grader
dari PT. Boncafe Indonesia, SCA Campus. Resi mengungkap, misalnya, di Le Nez Du
Café terdapat aroma apple yang dikategorikan sebagai enzimatic aroma yang
bernilai positif. apple di sana lebih cenderung beraroma manis dan menyengat
sebagaimana yang dapat ditemukan pada apel merah (apple Washington).
Sementara apel yang dimaksud Sensoflavo, selain aroma manis, juga
menguarkan aroma asam seperti aroma yang biasa didapat dari Apel Malang33.
Karena rujukan yang digunakan Le Nez Du Café berjarak dengan konteks sensori
orang Indonesia, maka Sensoflavo mencoba merintis referensi aroma yang lebih
familiar di keseharian orang Indonesia. Pada sisi yang kedua inilah, mimikri
yang dijalankan oleh Wenny melalui Sensoflavo dapat dikatakan sebagai mockery
terhadap aroma kit “resmi” dari SCA, Le Nez Du Café. Mimikri yang mockery ini
menjadi bagian dari realitas pascakolonial dalam konteks relasi pengetahuan
industri kopi spesial.
Makanya saya juga ingin meniru Le Nez Du Café (dan Scentone). Cuma lebih simpel. Saya baru memformulasikan 18 aroma. Harapannya bisa
33 Tanggapan dan komentar Resianri Triane atas produk Sensoflavo juga bersumber dari saluran siniar: Coffeelicious Podcast. Disiarkan dalam episode 132 dengan judul, “Tentang Aroma Kit Sensoflavo bersama Resi dari PT. Boncafe Indonesia” per 18 Juli 2020 dan diakses pada Diakses pada 3 September 2020. Tanggapan dan komentar dari Resi saya butuhkan untuk mendapat gambaran bagaimana respon publik Indonesia atas Sensoflavo. Resi saya pilih karena sejauh ini ulasan yang relatif lengkap atas Sensoflavo dari individu yang representatif, baru dari Resi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
163
dijangkau, lebih murah34, dan bisa dipakai lebih lama (dari Le Nez Du Café yang punya batas expired kit yang singkat) (Wenny Bekti Sunarharum)35
SCA menjadikan Le Nez Du Café sebagai rujukan industri kopi spesial,
sebagai standar. Hal ini bisa dipahami sebagai upaya SCA menyangkal
hibriditas yang dianggap mengancam oposisi biner telah dikonstruksinya.
Antara aroma apel sebagai yang “pinggiran” dengan apple sebagai yang “pusat”.
Kehadiran Sensoflavo, setidaknya dapat dibaca sebagai statement bahwa aroma
bukanlah hal yang definitif, kaku, dan fix. Aroma justru begitu cair dan dinamis
mengikut lanskap kultur dan bahasa yang kontekstual. Meskipun disisi lain
Sensoflavo juga mereproduksi wacana kolonial (pengetahuan aroma kopi)
dengan mendefinisikan aroma yang dianggap lokal.
b. Negoisasi: Testimoni dan Menangguhkan
Selain mimikri, adapula bentuk resistansi lain yang ditemukan dalam
sikap Q-Grader/R-Grader. Yakni menegoisasi protokol cupping dari SCA, atau bisa
juga dikatakan menginterupsi. Seringkali nilai cita rasa kopi yang didapatkan
dari cupping oleh para Q-Grader/R-Grader, dipandang valid bagi industri kopi
spesial. Cupping adalah uji kualitatif yang mengandalkan manusia sebagai alat
ukurnya. Kepekaan indrawi dan pengalaman sensoris mutlak diperlukan bagi Q-
Grader/R-Garder. Semakin peka dan kaya, semakin baik dan akurat nilai cita rasa
kopi yang dihasilkan. Meski akurat, penilaian tetaplah subjektif, atau paling
jauh bersifat inter-subjektif. Sebaliknya, anggapan awam bahwa uji cupping
34 Harga Sensoflavo berada di kisaran 800 ribu rupiah, jauh lebih murah memang dibandingkan Le Nez Du Café (Versi 36 aroma) yang mencapai 5 juta rupiah.
35 Siniar yang dipublikasi di saluran Coffeelicious Podcast, episode 91, “Wenny Bekti, Ph.D di bidang Aroma Kopi” dan disiarkan per 25 November 2019. Diakses pada 3 September 2020.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
164
adalah upaya untuk menghasilkan nilai cita rasa yang objektif dan bebas nilai,
seturut saya adalah komentar yang yang sia-sia, ilusi.
Klaim objektifitas36 pengetahuan cita rasa kopi SCA ini terdengar mustahil
sebab objektifitas yang dimaksud justru disusun berdasarkan pengalaman
subjektif SCA dan dalam konteks konsumsi AS. Selain itu, orang-orang yang
menjalankan uji cupping pun, meski seorang yang terlatih dan protokol
dijalankan dengan baik dan ketat, tetap saja subjek bukanlah entitas yang
mandiri, melainkan bersifat kontekstual dan politis. Subjektifitas, dengan
demikian akan selalu bersifat dan berada dalam kepentingan-kepentingan
diskursif. Sehingga mustahil netral dan nir-kepentingan. Seperti yang disebut di
bab sebelumnya, kepentingan yang dimaksud menyangkut kepentingan pasar
36 Persoalan klaim objektifitas diungkap melalui Shawn Steiman (2013) dalam tulisannya, “Penilaian dan Kualitas Kopi”. Oleh Steiman, cupping disebut sebagai sistem objektif yang menghindarkan suatu kopi untuk dipandang secara inheren “enak” atau “tidak enak” yang merupakan opini dari peminum kopi. Selain itu, sebab sistem subjektif lebih sulit untuk diterjemahkan di antara pengguna karena tidak ada orang yang sepenuhnya memahami perasaan dan pengalaman orang lain. Dengan menggunakan metode evaluasi standar seperti cupping dari SCAA dapat memastikan bahwa pengukuran-pengukuran kualitas ini dapat diulangi kembali secara masuk akal. Meski dipandang objektif, di sisi lain, Shawn juga memberi catatan menarik, bahwa batas kemampuan manusia untuk bisa menjadi instrumen objektif, sebuah sistem pengukuran yang objektif terutama bersifat deskriptif. Alhasil, informasi yang diperas atas tiap kopi bisa secara sangkil ditransfer antar orang karena tidak ada pengodean subjektif atas informasi. Pandangan pengguna tidak perlu distel antara satu yang lain atau disesuaikan dengan definisi khusus atas kualitas; kop i tidak perlu diukur dalam konteks kopi lain. Di kesempatan lain, Steiman (2013) dalam tulisannya yang berbeda, “Mengapa Kopi Rasanya Begitu: Catatan dari Lapangan” menyebutkan bahwa manusia sebagai wahana terbaik untuk mempelajari cita rasa kopi pun tidak terlalu bisa diandalkan. Pada masa lalu, ilmuwan memusatkan perhatian mereka pada ranah-ranah penelitian yang berbeda, yang kebanyakan tidak terkait langsung dengan kualitas cita rasa, karena hanya ada sedikit permintaan (pasar) untuk itu. Bahkan hingga hari ini, seiring tumbuhnya gagasan kopi spesial di era gelombang ketiga, topik cita rasa masih sedikit didekati oleh ilmuwan. Mengapa? Sebab para ilmuwan (ahli agronomi dan ahli fisikokimiawi) tidak punya pengetahuan yang memadai untuk merancang, mengeksekusi, dan menganalisis aspek inderawi secara tepat. Apa yang diungkap Steiman, setidaknya bernada kontradiktoris. Antara objektifitas dalam cupping dan manusia sebagai penganalisa cita rasa kopi yang subjektif. Lihat: Sub bab ke-4, bagian C: Coffee Cupping: Cara Menilai Cita Rasa Kopi, dalam Bab II; dan Robert W. Thurston, dkk (Ed.), hal 505-507 dan hal. 481.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
165
domestik AS, identitas nasional AS sebagai bangsa yang lekat dengan kopi, dan
politik ideologi dan kapitalisme AS.
Agar tidak semakin jatuh pada lubang ilusi objektifitas tadi atau supaya
tidak latah menganggap SCA adalah nilai tunggal cita rasa, berdasarkan
pengalaman Q-Grader seperti Adi ketika mengajarkan cupping dasar pada
kalangan awam, adalah dengan cara mengedepankan testimoni pribadi lebih
dulu sebelum berbicara dengan bahasa SCA. Atau dalam kalimat yang berbeda,
sebagaimana yang diterapkan oleh R-Grader seperti Uji dalam kelas dan
kalangan yang sama, adalah dengan cara menangguhkan SCA terlebih dahulu
sebelum masuk ke dalam perspektif cita rasa SCA. Baik “testimoni” maupun
“menangguhkan”, keduanya memiliki prinsip yang sama, yakni sama-sama
mengedepankan tanggapan personal berdasarkan memori sensoris yang telah
dibentuk oleh kebiasaan konsumsi sehari-hari. Orang akan diajak masuk ke
alam subjektifitas masing-masing dan kemudian mengekspresikan perolehan
cita rasa yang diperolehnya dalam bahasa masing-masing pula. Baru setelah
itu, standar SCA dipakai sebagai bahasa perbandingan.
Jadi kendala ketika gua ngajar uji cita rasa, salah satunya mendorong orang untuk bisa bercerita dulu. Kenapa? Kadang orang takut bercerita soal kopi. Nanti cerita, “Kok, rasa kopinya ngingatin dengan rasa rendang dari rumah makan padang mana, gitu.” Ada beberapa orang merasa malu, masa rasa kopinya kayak gitu, sih. Nanti dibilang kampungan. Padahal spontan dan jujur. Dan itu yang gua harapin untuk ditulis (di cupping form). Karena fungsi dari lembar uji cita rasa, diantaranya membantu kita mengingat kopi yang kita uji coba. Jadi mending nulis rendang sederhana, daripada cerita dengan rempah-rempah yang sebenarnya kita gak yakin juga dan kita mudah lupa. Level berikutnya, setelah bisa cerita, adalah mereferensikan ke Roda Rasa SCAA, ke AS, kalau hubungannya dengan pihak pasar internasional. Orang di Perancis, pake SCAA juga. Jepang juga SCAA. Jadi ada media komunikasi yang kita pake kategori kata yang sama. Jadi gak bisa pake post-mo, suka-suka gua. Post-mo dipake bisnis, ya berantem melulu. (Adi W. Taroepratjeka)37
37 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
166
—————————————————————————————— Akhirnya, bahwa sebenarnya cita rasa itu sifatnya merdeka, ada keleluasan di sana. Seoang punya hak untuk menentukan apa yang dia makan, minum. Esensinya ada kemerdekaan di situ. Sama ketika orang berekspresi tentang cita rasa sebagai pengalaman sensoris, karena ada kemerdekaan seperti itu. Jadi kalau ada sesi cupping, saya sering bilang pakai istilah “menangguhkan” dulu protokol. Jangan belum apa-apa sudah ngomong protokol. Karena sebelum protokol kan, kita punya sistem, ada perilaku dibelakanggnya, sesuatu yang primordial yang mendahului protokol. Jadi protokol itu kita tangguhkan dulu. Dogma-dogma atau ini itu, tangguhkan dulu. Kita keluar dari itu dulu. Jadi, pengalaman cupping menjadi yang sangat personal, intim, empiris. Dan pengalaman orang kan beda-beda. Tapi ketika ngomong manis, kita belajar melihat satu sifat material yang mencerminkan manis. Saya pancing ke pendekatan material itu dulu. Kira-kira lebih dekat ke mana? Seberapa tinggi? Sikap kita, kalau ditanya apakah anti terhadap protokol? Saya gak anti. Saya bisa mengerjakan protokol, dengan tutup mata bisa kok. Katakanlah gitu. Tapi, ya, nanti dulu. Dunia kopi kan tidak hanya cukup dengan protokol. Artinya, kita ngomong tentang ilmu menempatkan sesuatu. (Uji Sapitu)38
Dari Adi, saya mengetahui bahwa ada kecenderungan orang malu untuk
mengekspresikan cita rasa yang diperolehnya. Ekspresi yang sejatinya spontan,
jujur, dan benar-benar menyejarah yang menjadi miliknya (internalisasi
kebiasaan konsumsi) dirasa kampungan/udik ketika disandingkan
(dihadapkan) dengan bahasa cita rasa SCA yang diasumsikan elitis/elegan.
Dari sini saya menangkap bahwa mindset seorang awam terhadap cita
rasa kopi lebih ditentukan oleh SCA ketimbang perspektif sensoris yang
personal. SCA telah menertibkan (order) cita rasa kopi seseorang yang tidak
hidup di AS dan Eropa. Cita rasa rendang, seperti yang dicontohkan Adi, dalam
uji cupping dirasa sebagai cita rasa yang disorder. Rendang dinilai sebagai atribut
cita rasa yang aneh dan tidak lazim untuk dimiliki sampel kopi tertentu.
Padahal rendang adalah fakta (asosiatif) yang diperoleh dari proses sensoris.
Sementara atribut cita rasa yang pantas adalah seperti yang termaksud dalam
38 Wawancara dengan Uji Sapitu ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
167
Roda Rasa SCAA ataupun Le Nez Du Café, sekumpulan atribut cita rasa yang
terumus oleh memori sensoris orang-orang SCA. Dengan begini, cita rasa lantas
jatuh pada klaim yang oposisional, antara hitam dan putih. Bahwa yang layak
sebagai cita rasa kopi adalah seperti yang ditentukan oleh SCA. Di luar itu
semua, testimoni pribadi bukan suatu yang pantas disebut sebagai atribut cita
rasa kopi.
Guna mengatasi hal ini, maka Adi lebih dulu memantik perserta kelas
untuk menengahkan tanggapan personalnya saat praktik uji cita rasa kopi. Apa
dan bagaimanapun impresinya, ini akan menjadi bekal guna diperbandingkan
pada level selanjutnya saat cupping diterapkan dengan standar SCA. Di level
mendasar, Adi coba membangun kesadaran sensoris yang menyejarah.
Tujuannya, orang tidak menjadi minder dengan bahasa cita rasa SCA.
Selebihnya, agar tidak latah terhadap standar SCA tanpa
merekontekstualisasikan memori sensoris miliknya lebih dulu. Sedangkan di
level berikutnya, cupping berstandar SCA diterapkan supaya orang punya
gambaran utuh bagaimana industri kopi spesial bekerja ketika mengurusi
persoalan mutu dan cita rasa. Perihal dua level ini, saya mengutip kalimat Adi
yang saya kira tepat sebagai rumusan antara bagaimana persepsi-interpretasi
cita rasa kopi dibentangkan antara testimoni personal dan standar SCA:
Kadang rasa atau satu benda (kopi) yang sama, bisa diinterpretasikan berbeda (personal dan SCA). Karena semua ini referensinya adalah perjalanan kita berkenalan dengan rasa dan bau. (Adi W. Taroepratjeka) 39
Bila Adi mengedepankan testimoni, maka Uji menyebutnya sebagai
“menangguhkan SCA”. Bagi Uji, standar SCA baiknya ditangguhkan lebih dulu
agar seorang dapat “merdeka” dalam mengekspresikan cita rasa apa yang ia
39 Wawancara dengan Adi W. Taroepratjeka ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
168
dapatkan dari cupping. Agar tidak serta merta terjebak pada “dogma” cita rasa
SCA. Uji berpendapat bahwa seseorang telah memiliki segudang memori
sensoris berkat apa yang dimakan dan diminum sehari-hari semasa hidupnya.
Sayangnya, memori ini kini mengendap dan hanya diam. Sebab jarang sekali
diberi ruang untuk bercerita. Memori sensoris ini dipukul mundur oleh arus
besar konsumsi industri yang telah menempatkan seseorang sebagai
konsumen dengan kesadaran konsumsi yang rendah.
Dalam khazanah Timur, kita kan luar biasa kaya tentang material bahan pangan. Terus pengalaman cita rasa itu menjadi sangat empiris. Tidak menegangkan, gak terus akademisi banget gitu. Bagaimana pagi saya memulai minum teh, lalu agak siang saya makan kudapan ... Itu kan pengalaman sensori yang sebenarnya tiap orang mengalami itu. Sebenarnya itu kan terjadi planting memory. Secara sensoris, tanpa disadari kita menjadi mahluk yang di dalam diri kita ada endapan-endapan sensoris. Yang hari ini, dalam konteksnya kopi, menjadi bungkam. Jadi kesadaran yang tidur, tidak pernah dipanggil. Tidak pernah dipanggil, tidak diberi ruang untuk bercerita, jadi terpenggal, jadi bahasa yang diam, tidak dipancing untuk keluar. Salah satu faktornya, karena arus besar konsumsi-industri menempatkan kita sebagai orang yang hanya, katakanlah, “Nek mangan Indomie, ya, Indomie thok. Asal mlebu, wes rampung.” Terus ayam juga, kita gak pernah peduli. Ayam yang kita beli, ternaknya siapa? Motongnya kayak apa? Ini kan terpenggal semua. Memang, pengalaman sensori kita menjadi pengalaman yang hilang unsur spiritualnya. Padahal itu penting. (Uji Sapitu)40
Dalam konteks kopi, aktivitas mengonsumsi kopi tidak dibarengi dengan
upaya untuk melihat fakta dibalik secangkir kopi. Fakta dalam arti
menengahkan unsur keterlacakan (traceability) suatu kopi. Baru-baru ini saja,
pada dekade 2000-an seiring perayaan gelombang ketiga yang ingar-bingar,
banyak orang mulai menaruh perhatian pada isu traceability ini. Sebelumnya,
orang tidak peduli dengan kopi jenis apa yang ia minum, berasal dari daerah
tanam mana, bagaimana kopi diproses, bagaimana kualitasnya, apa saja
komposisi tambahan yang dicampur dalam kemasan, hingga bagaimana
40 Wawancara dengan Uji Sapitu ...
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
169
kualitas hidup petani kopinya. Revolusi ritel dengan booming kopi saset turut
bertanggung jawab akan ketidakpedulian traceability suatu kopi. Kopi hanya
ditempatkan pada keberlimpahan produksi, kemassifan konsumsi, serta harga
yang murah dan kepraktisan dalam menyeduh.
Traceability bukanlah meromantisir sejarah mata rantai produksi kopi dari
hulu ke hilir, tapi lebih ke interdependensi semua informasi dalam traceability
tersebut. Harapannya, konsumen akan peduli dengan barang konsumsinya. Pun
secara linier akan menguatkan kesan sensoris yang utuh terhadap kopi yang
dikonsumsi. Semakin kuat kesan ini, semakin bermakna sebagai ingatan
sensoris. Sebaliknya, begitu seorang tidak bergantung pada memori pribadi
yang dianggap tidak berharga, maka memori tersebut akan semakin
mengendap dan semakin sulit diekspresikan saat dibutuhkan, menjadi
bungkam. Begitu seorang tidak bergantung keterlacakan suatu kopi yang ia
minum, maka pengetahuan akan cita rasa itu menjadi mudah untuk dilupakan.
Maka menjadi wajar, seorang lantas kesulitan untuk menamai-
mendeskripsikan apa yang ia rasakan dari yang secangkir kopi yang ia minum.
Sebab kekayaan memori sensoris milliknya, sulit untuk diungkap. Sehingga
akhirnya, standar SCA lantas mendesak untuk dirujuk sebagai bahasa cita rasa
tanpa perbandingan sama sekali dari memori sensoris yang sangat personal,
yang empiris, dan lokal tadi. Atau dalam kalimat berbeda, orang akan
cenderung latah dengan mengambil sesuatu yang tekstual di luar dirinya untuk
merasakan dan mengungkap cita rasanya.
“Testimoni” atau “Menangguhkan” adalah sebentuk upaya menyuarakan
cita rasa empiris dan personal. Bentuk resistansi selain Roda Rasa Kopi Indonesia
dan Sensoflavo, yang tumbuh berkat kesadaran kritis yang ambivalen terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
170
adanya standar SCA yang lebih menyarankan pada kesegaraman makna cita
rasa kopi. “Testimoni” dan “Menangguhkan” mencoba mendesak rezim
ketertiban (order) yang dijalankan SCA sebagai implikasi dari modernitas
pengetahuan (sains) yang vokal menyuarakan ketertiban. Tapi bukan berarti
pula bahwa “testimoni” dan “menangguhkan” adalah wujud sikap antipati Adi
dan 5758 Coffee Lab., serta Uji dan Rumah Kopi Ranin terhadap adanya standar
SCA. Sebab keduanya tetap mengapresiasi tinggi capaian saintifik SCA dan
menjalankan standar SCA untuk kepentingan industri kopi spesial.
Secara teoritis, bentuk-bentuk resistansi ini sejalan dengan pandangan
Foucault yang lebih mengedepankan subjektifitas reflektif yang berkesadaran
historis. Politik kepentingan seringkali menentukan isi suatu pengetahuan,
termasuk bagaimana pengetahuan tersebut digunakan. Pengetahuan yang
disepakati (atau bahkan dianggap objektif) oleh suatu komunitas ilmiah pada
gilirannya akan bersifat totaliter, menghegemoni. Sehingga yang alternatif
dianggap kampungan, dan yang berbeda dianggap rendahan. Dampaknya,
kesadaran histosisitas mengantarkan pada kesadaran yang dimensional
kemudian dilupakan dan “digantikan” oleh standar SCA yang secara berangsur
mendominasi mindset cita rasa kopi global, termasuk di Indonesia—setidaknya
yang saya temui dalam pengalaman pribadi, serta yang saya baca dari
pengalaman narasumber. Sebab dilupakan dan digantikan, maka cita rasa akan
homogen, menjadi sama dengan yang dipikirkan SCA dan terumus dalam
standarnya yang mengglobal.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
171
BAB V
PENUTUP
Penelitian ini menyoroti cita rasa kopi dalam industri kopi spesial yang
dikatakan berada di era gelombang ketiga. Bahwa mencecap cita rasa kopi
tidak hanya berkaitan dengan perkara genetika dan budidaya tanaman kopi
serta produksinya; ataupun berkaitan dengan kemampuan indrawi serta
pengalaman sensoris yang dimiliki seseorang; tapi juga berkaitan dengan
pengetahuan cita rasa yang dikonstruksi oleh Specialty Coffee Association (SCA)
beserta beberapa organisasi/lembaga yang terafiliasi dengannya.
Dalam hal ini, SCA yang berpusat di Barat (AS, khususnya; dan juga Eropa
pada gilirannya) mendesiminasikan pengetahuannya sebagai standar yang
berlaku secara global. Pengetahuan ini mewujud berbagai dokumen-protokol,
seperti Roda Rasa SCAA, Sensory Lexicon (WCR), Le Nez Du Café, Q Coffee System: Q-
Grader/R-Grader (CQI), SCA Coffee Standards, dan SCAA Cupping Protocols.
Keberlakuannya pun tidak hanya bagi anggota SCA yang membutuhkan dan
bagi industri kopi spesial saja, melainkan pula bagi kebanyakan orang yang
mengidealisasikan pengetahuan dan standar SCA. Sepintas apa yang lakukan
oleh SCA ini terkesan netral dengan dalih objektifikasi sains dan demi
memajukan industri kopi spesial dunia. Namun, setiap pengetahuan apalagi
yang diklaim sebagai standar bersama, tentu berpotensi untuk dibaca secara
politis-kritis. Terlebih lagi jika dibaca dalam konteks Indonesia, yang
memperlihatkan relasi kuasa tak setara antara Barat sebagai “pusat”—negara
konsumen kopi dunia—dengan non-Barat, seperti Indonesia, yang dianggap
“pinggiran” dan liyan (its Other) dari mereka—negara produsen kopi terbesar
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
172
dunia setelah Brazil, Kolombia, dan Vietnam. Sebuah relasi yang hadir dan
sejajar sebagai continuing effects kolonialisme.
Atas dasar inilah, penelitian ini bergerak mempertanyakan bagaimana
pengetahuan dan standar SCA ini mendominasi sekaligus menyeragamkan
persepsi cita rasa global; dan bagaimana subjektivitas orang-orang di
Indonesia mereproduksi, menegoisasi, dan meresistansi hal ini. Secara khusus,
subjektivitas yang dimaksud adalah subjektivitas pascakolonial dari orang-
orang yang berprofesi sebagai Q-Grader/R-Grader atau orang-orang yang hidup
dari/dan menghidupi industri kopi spesial.
Untuk membantu mengurai permasalahan tesis ini, konsep
wacana/discourse dari Foucault yang dianalisis secara genealogis dinilai tepat
dipakai. Dan guna penguatannya, konsep ambivalensi (dengan segala konsep
terkait: hibriditas dan mimikri) dari Homi K. Bhabha serta konsep alienasi
linguistik dari Bill Ashcroft, Garreth Griffiths, dan Helen Tiffin, turut pula dipakai.
Berbekal konsep-konsep inilah, penelitian ini menemukan dan menyimpulkan:
Pertama, pengetahuan/standar SCA dapat dikatakan sebagai wacana neo-
kolonial. Dalam statusnya sebagai wacana, savoir cita rasa SCA secara jelas
telah mendisiplinkan, mempersempit, dan menyeragamkan persepsi cita rasa,
tidak hanya bagi anggota SCA atau orang yang bekerja dalam industri kopi
spesial, tapi juga bagi orang-orang yang mengidealisasi standar SCA. Wacana
ini telah menjadi seperangkat batasan dan regulasi yang terterap ketika
membicarakan cita rasa kopi.
Kedua, Sebagai wacana, pada gilirannya, standar SCA berkembang menjadi
adalah rezim kebenaran itu sendiri dalam konteks sejarah masa kini (history of
present) yang tidak lagi terhubung dengan sejarah dibelakangnya. Maksudnya,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
173
bahwa pemahaman terkait cita rasa kopi spesial di waktu kini dapat
dibenarkan sejauh berada dalam lanskap pengetahuan SCA. Cita rasa kopi
kemudian “dipisahkan” dari kesejarahan di lapangan produksi kopi sekaligus
kesejarahan individu yang mencecapnya. Padahal historisitas di lapangan
produksi menunjukkan bahwa genetika dan budidaya tanaman kopi serta
proses produksi berikutnya (proses pasca panen, penyagraian, dan
penyeduhan) turut berkorelasi dengan cita rasa kopi. Juga kesejarahan individu
yang sejatinya tersusun dari sejarah konsumsi keseharian serta bahasa dan
kultur yang ia dihidupi (keduanya menjadi memori sensoris yang begitu lokal-
kultural dan akrab-empiris) tidak lagi menentukan persepsi cita rasa kopi yang
ia sesap. Cita rasa kopi spesial pun jadi cenderung dialami secara industrial
ketimbang pengalaman personal-individu.
Ketiga, dominasi wacana cita rasa ini bermula dari kekhawatiran AS
terhadap komunisme dan fasisme yang mendapat simpati di Brazil yang
memasok kopi bagi AS. Kekhawatiran ini lantas menelurkan klausul
perdagangan berupa IACA dan ICA yang berfungsi mengendalikan harga dan
pasokan kopi. Secara implisit, kalusul-klausul ini juga menjadi penanda awal
pengaruh AS dalam komoditas kopi global dan demi menjaga stabilitas pasar
domestiknya, serta menjadi penanda atas praktik pengerekan kopi sebagai
identitas nasional AS. Pengaruh ini pun lantas diteruskan dengan
invasi/internasionalisasi Starbucks dan digagasnya kopi spesial dengan cita
rasa terbaik sebagai respon atas kopi “buruk” yang beredar massif pasca
revolusi ritel. Gagasan kopi spesial semakin menguat dan meluas setelah SCAA
berdiri—yang dikemudian hari menjadi SCA setelah dilebur dengan SCAE.
Sebagai institusi wacana, SCAA menjejakkan pengaruhnya di banyak tempat,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
174
termasuk di Indonesia, khususnya, melalui program AMARTA yang didanai oleh
USAID dengan segala kontroversinya. Hasilnya, standar SCAA pun mulai dikenal,
SCAI didirikan, dan orang-orang Indonesia perlahan dengan pasti mulai
dilisensi oleh CQI sebagai Q-Grader/R-Grader.
Keempat, dengan “dipaksakannya” standar SCA sebagai bahasa cita rasa
bersama dan diterima industri kopi spesial global (termasuk oleh pegiat kopi di
Indonesia), AS melalui SCA menyatakan bahwa bahasa cita rasa lain, seperti
gula aren atau madu, adalah bahasa “pinggiran”; dan di saat yang bersamaan
bahasa cita rasa SCA, seperti yang tertuang dalam Roda Rasa SCAA dan Sensory
Lexicon, adalah “pusat”. Bahasa pinggiran ini dengan demikian sebenarnya
dibentuk oleh suatu wacana kekuasaan yang bersifat represif. Situasi semacam
ini lebih lanjut akan memunculkan kondisi lain, yakni alienasi linguistik.
Sebuah kondisi di mana pengguna bahasa “pinggiran” mengafirmasi bahasa
“pusat” dan menggunakannya untuk mengekspresikan konsep tertentu. Pegiat
kopi di Indonesia, dalam hal ini persepsi cita rasa subjek pascakolonial (pada
indikasinya) telah di-dislokasi oleh bahasa cita rasa asing yang seringkali tidak
empiris baginya. Keteraturan menggunakan bahasa cita rasa SCA secara terus-
menerus oleh pegiat kopi di Indonesia, menjadikan mereka mulai terasing dari
bahasa ibu yang dihidupinya. Dalam kondisi yang terasing ini pula, juga muncul
perasaan inauntentis. Karena atribut cita rasa yang digunakan adalah standar
SCA yang merujuk pada sesuatu yang hanya ada di “pusat”, yang tidak
dikenalnya, maka pegiat kopi di Indonesia merasa tidak autentis.
Kelima, wacana cita rasa SCA ini dialami Q-Grader/R-Grader secara mendua.
Mereka termasuk orang yang taat betul terhadap segala definisi dan ketentuan
dari SCA, sekaligus orang yang kritis menyikapi wacana cita rasa kopi yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
175
diusung SCA. Sikap mendua ini unik dan tak banyak ditemukan. Di satu sisi,
konsekuensi logis dari status Q-Grader/R-Grader, mengharuskan mereka
menyikapi cita rasa kopi sebagaimana pandangan SCA, sesuai kebutuhan SCA.
Tapi di sisi lain, mereka menyadari bahwa sekeras apa pun usaha menyatakan
cita rasa kopi seturut SCA, tetap saja pengalaman subjektif yang lokal dan
empiris niscaya berperan dalam menentukan nilai cita rasa kopi.
Keenam, sikap kritis dan mendua atas wacana cita rasa tadi lantas
menghadirkan ide Roda Rasa Kopi Indonesia dan Sensofalvo. Seturut konsep
mimikri dari Bhabha, keduanya adalah bentuk peniruan yang dilakukan oleh
subjek pascakolonial. Peniruan ini setidaknya berdasar pada sikap yang
ambivalen. Di satu sisi, 5758 Coffee Lab., Seniman Coffee, dan Sensoflavo
“membenci” Roda Rasa SCAA dan Le Nez Du Café yang sangat American based dan
Eropa sentris. Di mana Roda Rasa SCAA dan Le Nez Du Café menyangkal betapa cita
rasa kopi itu sangatlah kontekstual, mengingat cita rasa kopi dapat dinyatakan
berkat kemampuan sensori tiap-tiap individu yang khas—yang hidup dalam
budaya tertentu—juga pada kemampuan berbahasanya. Penyangkalan yang
juga berbuah pada homogenisasi cita rasa kopi yang sebetulnya majemuk dan
sangat kontekstual. Alias homegeniasasi ini sejalan dengan prinsip
stereotipisasi, sebagai akibat dari adanya rasa cemas (anxiety) SCA terhadap
fakta kemajemukan cita rasa kopi yang bisa jadi mengancam jalannya kuasa
dan dominasi SCAA. Sisi inilah yang “dibenci” oleh para penggagas Roda Rasa
Kopi Indonesia dan Sensofalvo. Di sisi lain, ada perasaan “rindu” pada hal yang
“dibenci”, yang diekspresikan dengan meniru Roda Rasa SCAA dan Le Nez Du Café,
bukan untuk tampil sama melainkan untuk menunjukkan bahwa Roda Rasa
SCAA dan Le Nez Du Café yang digadang-gadang sebagai acuan atribut cita rasa
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
176
standar industri kopi spesial global, amat tidak mampu memenuhi kekayaan
ekpresi global itu sendiri: bahwa “global” adalah beragam, bukan semata
American based atau Perancis. Atau seturut Bhabha, mimikri di sini menjadi
ejekan (mockery) 5758 Coffee Lab., Seniman Coffee, dan Sensoflavo terhadap SCA,
sekaligus sebagai strategi resistansi terhadap mindset cita rasa SCA yang
mengglobal dan dominan. Resistansi yang cenderung tidak disadari sebagai
resistansi.
Ketujuh, Selain mimikri, adapula bentuk resistansi lain yang ditemukan
dalam sikap Q-Grader/R-Grader. Yakni menegoisasi protokol cupping dari SCA
dengan cara “testimoni” dan “menangguhkan”. “Testimoni” dan
“menangguhkan” adalah sebentuk upaya menyuarakan cita rasa empiris dan
personal. “Testimoni” dan “menangguhkan” mencoba mendesak rezim
ketertiban (order) yang dijalankan SCA sebagai implikasi dari modernitas
pengetahuan (sains) yang vokal menyuarakan ketertiban. Secara teoritis,
bentuk-bentuk resistansi ini sejalan dengan pandangan Foucault yang lebih
mengedepankan subjektifitas reflektif yang berkesadaran historis. Politik
kepentingan seringkali menentukan isi suatu pengetahuan, termasuk
bagaimana pengetahuan tersebut digunakan. Pengetahuan yang disepakati
(atau bahkan dianggap objektif) oleh suatu komunitas ilmiah pada gilirannya
akan bersifat totaliter, menghegemoni. Sehingga yang alternatif dianggap
kampungan, dan yang berbeda dianggap rendahan. Dampaknya, kesadaran
histosisitas mengantarkan pada kesadaran yang dimensional kemudian
dilupakan dan “digantikan” oleh standar SCA yang secara berangsur
mendominasi mindset cita rasa kopi global, termasuk di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
177
DAFTAR PUSTAKA
Buku Ashcroft, Bill (dkk). The Empire Writes Back: Theory and Practice in Post-colonial
Literature. London: Routledge, Edisi Kedua, 2002 Fairclough, Norman. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press, 2006 Folmer, Britta, (Ed.). Kriya dan Ilmu Menyeduh Kopi. Terj. Rani S. Ekawati. Jakarta:
Kriya Rasa Indonesia, 2019 ―—―—―—―—. Kriya dan Ilmu Menyangrai Kopi. Terj. Nandya Andwiani. Jakarta:
Kriya Rasa Indonesia, 2019 Foucault, Michel. Arkeologi Pengetahuan, Terj. Inyiak Ridwan Mudzir. Yogyakarta:
IRCiSoD, 2012 ―—―—―—―—. Power/Knowledge: Wacana Kuasa dan Pengetahuan. Terj. Yudi
Santosa. Yogyakarta: bentang Budaya, 2002 Gandhi, Leela. Postcolonial Theory: a Critical Introduction. Australia: Allen & Unwin,
1998 Hanusz, Mark dan Gabriella Teggia. a Cup of Java. Jakarta-Singapura: Equinox
Publishing, 2003 Hardiyanta, P. Sunu. Michel Foucault: Displin Tubuh, Bengkel Individu Modern.
Yogyakarta: LKiS, 1997 Haswidi, Andi, Kopi: Indonesian Craft and Culture, Jakarta: Bekraf, 2017 Huddart, David. Homi K. Bhabha. Routledge: London dan New York, 2006 Loomba, Ania. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Terj. Hartono Hadikusumo.
Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003 Pendergrast, Mark. Uncommon Grounds: The History of Coffee and How It Transformed
Our World. New York: Basic Book, 2010 Said, Edward. Orientalisme. Terj. Asep Hikmat. Yogyakarta: Penerbit Pustaka, 1985 Saukko, Paula. Doing Research in Cultural Studies: An Introduction to Classical and New
Methodological Approach. London: Sage Publication, 2003 Sarup, Madan. Post-Structuralism dan Postmodernism: Sebuah Pengantar Kritis. Terj.
Medhy Agnita Hidayat. Yogyakarta: Jendela, 2003
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
178
Siswoputranto, P.S. Kopi Internasional dan Indonesia . Yogyakarta: Kanisius, 1993 Steiman, Shawn. The Little Coffee Know-It-All: Serba-serbi Kopi yang Harus Kamu
Ketahui. Terj. Prasojo dan Ining Isaiyas. Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019 Sunarharum, Wenny B., (dkk). Sains Kopi Indonesia. Malang: UB Press, 2019 Thurston, Robert W., (dkk) (Ed.). Kitab Pendekar Kopi. Terj. Ninus Andarnuswari.
Jakarta: Kriya Rasa Indonesia, 2019 Jurnal, Tugas Akhir, Majalah, dan Dokumen Badan Pusat Statistik Indonesia. Statistik Kopi Indonesia 2018. Jakarta: BPS, 2019 Bandel, Katrin, Homi K. Bhabha. Bahan Kuliah Kajian Pascakolonial, Magister
Kajian Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2017 Croijmans, Ilja dan Asifa Majid. Not All Flavor Expertise Is Equal: The Language of Wine
and Coffee Experts. Plos One Journal, DOI: 10.1371/0155845, 20 Juni, 2016 Gayo Cuppers Team. Standar Umum Pengujian Mutu pada Biji Kopi (Tulisan Lepas,
Tanpa Tahun dan Penerbit) International Coffee Organization. Po-Production April 2020 Koffie Goenoeng Fairshare. Tiga Model Memproses Kopi Pasca-Panen (Tulisan Lepas,
Tanpa Tahun dan Penerbit) Majalah Tempo. Liputan khusus dari kebun ke cangkir, Kopi: Aroma, Rasa, Cerita.
Edisi 4465 26-01 April 2018 Mayangsari, Fauziah Rohmatika. Kapabilitas Hegemoni Amerika Serikat dan
Kontribusinya dalam Penguasaan Pasar Industri Kedai Kopi Dunia . Jurnal Analisis Hubungan Internasional, Vol. 5/No. 3, Oktober 2016
Najih, Muhammad. Warung Kopi dan Place Identity . Tesis Magister Psikologi,
Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2017 Neilson, Jeffery, (dkk). Menuju Rantai Nilai yang Lebih Kompetitif dan Dinamis untuk
Kopi Indonesia. Working Paper No. 7 yang disusun untuk Bank Dunia, Washington DC, 2015
Petras, James. NGOs: In the Service of Imperialism . Journal of Contemporary Asia,
1999 Rahadian, Beng. Mencari Kopi Aceh. Jakarta: Octopus Garden, 2016 SCAA Cupping Protocols. Revisi November 2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
179
SCAA Coffee Standards. Revisi 2018 Spencer, Molly (dkk). Using Single Free Sorting and Multivariate Exploratory Methods to
Design a New Coffee Taster’s Flavor Wheel . Journal of Food Science, Institue of Food Technologists, Vol. 10, Nr. 12, 2016
Starbucks Coffee Company. C.A.F.E. Practices Generic Evaluation Guidelines 2.0. Maret
2007 World Coffee Research. Sensory Lexicon: Unabridged Definition and References. Edisi
kedua, 2016 Situs Internet https://acdivoca.org https://coffeeinstitute.org/our-work/a_common_language/what-is-a-q-grader/ https://coffeeinstitute.org/coffee-palces/indonesia/ https://gdacorp.com/about-us https://partnerships.usaid.gov/partnership/amarta https://senimancoffee.com/rodarasa/ https://rumahkopiranin.com/wp-content/uploads/2017/08/WhatsApp-Image-2017-06-19-at-19.51.39.jpeg https://sca.coffee/research/coffee-tasters-flavor-wheel https://scanews.coffee/2016/02/05/how-to-use-the-coffee-tasters-flavor-wheel-in-8-
steps/ https://store.sca.coffee/products/coffee-tasters-flavor-wheel-1995-mouse-pad https://store.sca.coffee/products/the-coffee-tasters-flavor-wheel-
poster?variant=18787771718 https://worldcoffeeresearch.org/work/sensory-lexicon/
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
180
LAMPIRAN
PANDUAN WAWANCARA Tentang Profesi Q-Grader/R-Grader
1. Kopi dalam pandangan Anda? 2. Kapan Anda mulai menseriusi kopi sebagai profesional? Mengapa
diseriusi? 3. Tahun berapa menjadi Q-Grader/R-Grader? Berapa biaya yang dibutuhkan
untuk mengikuti kelasnya? Siapa yang membiayai? Siapa yang memfasilitasi?
4. Mengapa Anda tertarik menjadi Q-Grader/R-Grader? Mengapa tidak R-Grader saja, misalnya (atau sebaliknya)? Mengingat produksi kopi Indonesia lebih banyak robusta.
5. Tantangan atau tingkat kesulitan untuk menjadi Q-Grader/R-Grader? Baik dalam tahap persiapan, pre-Q, maupun saat tes?
6. Apa saja peran Q-Grader/R-Grader dalam industri kopi spesial?
7. Dalam sehari, berapa kali Anda melakukan cupping? 8. Apa pengaruh bagi perjalanan karir Anda di bidang Kopi setelah
menyandang titel Q-Grader/R-Grader?
Tentang Profesi Lainnya
1. Mengapa menekuni bidang sensori pangan, khususnya yang mengarah ke cita rasa kopi?
2. Apa yang paling membedakan seorang Coffee Flavor and Sensory Scientist dengan Q-Grader?
3. Apakah SCA Coffee Standards dan SCA Cupping Protocols yang berlaku bagi Q-Grader/R-Grader, juga berlaku bagi seorang Coffee Flavor and Sensory Scientist?
4. Tertarik menjadi Q-Grader/R-Grader? 5. Mengapa memutuskan untuk berbisnis akademi kopi yang terakreditasi
oleh SCAA/SCA?
Tentang Cita Rasa Kopi dan SCAA/SCA
1. Seberapa penting cita rasa kopi diketahui bagi seorang Q-Grader/R-Grader (atau profesi lainnya) dan masyarakat awam/umum?
2. Sebagai Q-Grader/R-Grader, bagaimana Anda memandang Roda Rasa SCAA dan Sensory Lexicon dalam kebutuhan mengevaluasi cita rasa kopi? Seberapa diperlukan alat-alat bantu tersebut?
3. Seberapa penting SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping Protocols bagi Q-Grader/R-Grader, khususnya, serta bagi pelaku industri specialty coffee di Indonesia pada umumnya?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
181
4. Seberapa mungkin SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping Protocols ini diabaikan oleh pelaku industri kopi spesial di Indonesia?
5. Bagi Q-Grader/R-Grader, cita rasa kopi itu nilai objektif atau subjektif? Bagaimana mengukurnya?
6. Sejauh mana nilai skor dan catatan perolehan cita rasa (cup notes) dari cupping dapat dipertahankan di depan pasar/publik domestik dan internasional? Serta, seberapa besar kans hasil cupping dari para Q-Grader/R-Grader dapat dijadikan rujukan/babon rasa bagi awam yang mencicip kopi yang sama pada kesempatan berikutnya?
7. Di Indonesia, ada Roda Rasa Kopi Orang Indonesia karya kolaboratif 5758 Coffee Lab. Bandung dan Seniman Coffee Bali. Sebagai orang yang terlibat dalam proyek ini, dari mana ide melahirkan Roda Rasa Kopi Orang Indonesia? Bagaimana proses mewujudkannya? Lalu apa tujuannya? (Alternatif bagi narasumber yang tidak terlibat: Tanggapan Anda akan hal ini?)
8. Apakah Roda Rasa Kopi Orang Indonesia ini dapat dinilai sebagai counter culture terhadap Roda Rasa SCAA atau sebatas pengayaan atribut cita rasa?
9. Sejauh pengamatan Anda, mana yang lebih dominan pengaruhnya di Indonesia, Roda Rasa Kopi orang Indonesia atau Roda Rasa SCAA?
10. Ada pula, Senso Flavo: Coffee Aroma Library karya Wenny, dosen Univ. Brawijaya Malang. Bagaimana Anda memandang kehadiran produk yang “lebih lokal” ini di tengah Le Nez du Café dari Perancis atau Scentone: Coffee Flavor Map dari Korea Selatan?
11. Mengapa SCA menjadi corong pengetahuan kopi? Setidaknya, di soal cita rasa. Kongkritnya bahwa, SCA mendiseminasikan Roda Rasa SCAA, Sensory Lesxivon, Q Coffee System, Cupping Protocols, SCA Coffee Standards dan SCAA Cupping Protocols dan kemudian “ditaati” bersama secara global?
12. Bila SCA menjadi kiblat pengetahuan, lantas bagaimana posisi Q-Grader/R-Grader? Sebagai imam kah? Artinya, akan ada jemaah yang mengikuti apa yang dikatakan oleh Q-Grader/R-Grader tentang cita rasa kopi? Misal, skor cupping dan cup notes dari para Q-Grader/R-Grader yang notabene pengalaman indrawiyah mereka, cenderung akan diikuti jemaah kopi? Ekstrimnya, menjadi bahasa cita rasa bersama?
13. Apa pendapat Anda, jika dikatakan bahwa standar SCAA/SCA adalah bentuk monopoli cita rasa dari SCA yang dinilai sebagai representasi negara dominan secara politik dan ekonomi? Dengan kata lain, klaim sebagai “bahasa bersama” dari standar SCAA/SCA tadi hanyalah dalih ilmiah untuk menyeragamkan subjektifitas rasa tiap-tiap orang? Sebagai praktik stir budaya dan ekonomi?
14. “Kopi enak/tidak enak”, “kopi dengan cita rasa begini dan begitu”, jangan-jangan tidak ditentukan oleh masing-masing orang dengan preferensi yang beragam, tapi malah ditentukan oleh SCA (sebagai
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
182
standar atau tepatnya pengetahuan yang politis) Apa pendapat Anda tentang dugaan ini?
15. Apa yang diperlukan bagi pelaku industri kopi di Indonesia, agar tidak semata mampu menjadi produsen kopi, tetapi juga menjadi produsen pengetahuan tentang kopi?
16. Di luar teknis produksi kopi (kebun ke cangkir) yang sifatnya teknis agronomis dan kimiawi kopi, variabel apa saja yang turut menentukan cita rasa kopi dalam pandangan Anda?
Tentang Kopi Spesial dan Kultur Konsumsi Kopi
1. Konsep pembabakan sejarah kopi: gelombang atau wave, yang digagas Thrish Rothgeb, relevan tidak dibicarakan di Indonesia? Bukankah kopi spesial yang digagas oleh Erna Knutsen, didasarkan konteks konsumsi kopi di AS (wave)? Jadi, mengapa kita turut “merayakannya”?
2. Specialty Coffee, konsep apa itu? Kapan Indonesia mengenal kopi spesial? 3. Bagaimana Anda melihat perkembangan tren kopi spesial di Indonesia? 4. Seiring berkembangnya tren specialty coffee, kultur cita rasa seperti apa
yang sekarang diminati oleh orang Indonesia? Atau setidaknya yang sering ditemui di tempat Anda bekerja?
5. Pendapat Anda tentang kultur cita rasa kopi masyarakat Indonesia lebih terbiasa dengan kultur rasa kopi yang pahit sebagai hasil dari sangrai gelap? Kultur cita rasa yang seringkali menyarankan kopi direkayasa rasanya dengan ditambahi bumbu (telur/vanili/margarin, dlsb) saat disangrai atau dicampur jagung/beras saat digiling, diminum bersama gula, kental manis, dlsb.
6. Apakah kultur cita rasa pahit ini akibat konstruksi masa lalu, saat VOC memonopoli pasar kopi?
7. Seiring berkembangnya tren specialty coffee, kutur cita rasa seperti apa yang sekarang diminati oleh orang Indonesia? Atau setidaknya yang sering ditemui di tempat Anda bekerja (sebutkan)?
Lainnya
1. Saya mendapati data yang menunjukkan bahwa AS sangat berperan dalam geliat specialty coffee di Indonesia. Peran ini tersalurkan melalui USAID dan dapat dilacak melalui, pertama, rehabilitasi pertanian kopi organik di Aceh, kedua, pendirian SCAI. Sepengetahuan Anda, seberapa jauh peran USAID di rantai industri kopi spesial Indonesia?
2. Bagaimana Anda membaca kepentingan USAID di Indonesia dalam hal specialty coffee? Kepentingan seperti apa?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI