Date post: | 10-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
41
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOMETRI MELALUI TEORI VAN
HIELE DI SEKOLAH MENENGAH ATAS
Jumaidi Nur
email: [email protected]
Universitas Kutai Kartanegara
Abstract. Mastering geometry material will be a provision in
learning geometry at an advanced level, for example, at
university. The understanding of geometry materials of
students in high school is important. The teacher is the
spearhead of the success of the learing process needs to do a
choice on the appoopriate method or model to gain the
success. Learning geometry based on Van Hiele theory can
be an alternative choice for the teacher to improve the
understanding of the student on geometry.
Keywords. Learing, geometry, theory of Van Hiele
PENDAHULUAN
Geometri merupakan suatu ilmu matematika yang sangat terkait dengan bentuk,
ukuran, dan pemposisian. Geometri sebagai bagian dari matematika dipelajari oleh
siswa di sekolah, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Geometri sangat
berguna bagi kehidupan. Membangun rumah, gedung, membuat peralatan rumah
tangga, membuat mesin-mesin, dan lain-lain semuanya menggunakan prinsip-prinsip
geometri. Geometri sangat erat kaitannya dengan kehidupan, karenanya sangatlah
penting untuk dipelajari.
Pembelajaran geometri di sekolah bertujuan agar siswa dapat memperoleh ilmu
dan dapat mempergunakan konsep-konsep geometri untuk menyelesaikan
permasalahan sehari-hari, memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan
matematikanya, dapat berpikir logis, dapat berkomunikasi secara matematik, dapat
bernalar secara matematika, dan sebagai bekal di kemudian hari untuk dapat
menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan geometri.
Dibandingkan dengan cabang matematika lainnya, geometri mempunyai
peluang yang lebih besar untuk dipahami oleh siswa, karena ide-ide geometri sudah
dikenal oleh siswa sebelum siswa duduk di bangku sekolah. Intuisi geometris dapat
muncul dalam semua manusia, bahkan tanpa mempelajari geometri sebelumnya.
Kesimpulan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh CNRS, Inserm, CEA, Collège
de France, Harvard University dan Paris Descartes, universitas Paris-Sud 11 dan Paris
8 membuktikan hal tersebut. Melalui penelitian tentang perbandingan pemahaman
intuitif antara populasi yang telah belajar geometri di sekolah dengan populasi Indian
Amazon, Mundurucu, di daerah terpencil yang tidakpernah mempelajari geometri di
sekolah dan hanya mengetahui sedikit kosakata geometris.
Berdasarkan Abdussakir (2009), meski geometri memiliki peluang yang besar
untuk dipahami, namun bukti-bukti menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih
rendah dan perlu ditingkatkan. Di Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada
yang mengambil pelajaran geometri formal, dan hanya sekitar 34% siswa-siswa
42
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
tersebut yang dapat membuktikan teori dan mengerjakan latihan secara deduktif. Selain itu, prestasi semua siswa dalam masalah yang berkaitan dengan geometri dan
pengukuran masih rendah. Hoffer menyatakan bahwa siswa-siswa di Amerika dan
Uni Soviet sama-sama mengalami kesulitan dalam belajar geometri.
Di Indonesia bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak
siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari geometri, dari siswa tingkat dasar
sampai perguruan tinggi. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa prestasi
geometri siswa SD masih rendah. Di tingkat SMP hasil penelitian menunjukkan
bahwa masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep geometri.
Nurhasanah (20100) melaporkan, berdasarkan hasil penelitiannya didapat bahwa
siswa di SMP masih kesulitan mempelajari topik segitiga lancip. Di SMA didapati
bahwa hasil tes geometri siswa kurang memuaskan jika dibandingkan dengan materi
matematika yang lain.
Teori van Hiele telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh
yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat
adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori
van Hiele.
Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori
van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango
(1993) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van
Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang
memuaskan. Senk (1989) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis
pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry
(1983) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van
Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986) melaporkan bahwa siswa
menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai
dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989) menyimpulkan bahwa
pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif daripada
pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001) menyatakan bahwa
penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa (dalam
Abdussakir: 2009).
Geometri di tingkat SMA merupakan pendalaman materi geometri dan lanjutan
dari materi geometri SMP yang akan menjadi bekal dalam memperlajari geometri di
tingkat lanjut. Oleh karena itu, pemahaman materi geometri bagi siswa di SMA
sangatlah penting. Guru merupakan tombak keberhasilan proses pembelajaran
yangperlu melakukan pilihan terhadap metode atau model yang tepat untuk meraih
keberhasilan tersebut. Pembelajaran berdasarkan teori van Hiele bisa menjadi
alternatif pilihan bagi guru karena penelitian telah membuktikan bahwa pembelajaran
berdasarkan teori van Hiele berdampak positif pada pemahaman siswa pada geometri.
KONSEP GEOMETRI
a. Pengertian Geometri
Geometri berasal dari bahasa Yunani, geo yang berarti bumi dan metri yang
berarti pengukuran. Geometri adalah cabang matematika yang bersangkutan
dengan pertanyaan posisi bentuk, ukuran relatif dari angka, dan sifat ruang.
Awalnya geometri hanya mencakup panjang, area, dan volume. Namun seiring
dengan perkembangannya geometri mencakup bidang lainnya, seperti astronomi,
topologi, dan lain-lain.
43
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
Menurut World Book Encyclopedia, “Geometry is a branch of mathematics. It
involves studying the shape, size, and position of geometric figures. These figures
include plane (flat) figures, such as triangles and rectangles, and solid (three-
dimensional) figures, such as cubes and spheres”. Dalam pengertian tersebut,
dijelaskan bahwa geometri merupakan suatu ilmu matematika yang erat kaitannya
dengan bentuk, ukuran, dan pemposisian. Definisi tersebut sangat luas, sehingga
dengan hanya berpedoman pada definisi tersebut, maka tiap bentuk dapat
dikategorikan sebagai suatu geometri dan juga terdiri dari elemen geometri.
Josef Muller-Brockmann menjelaskan bahwa “The proportions of the formal
elements and their intermediate spaces are almost always related to certain
numerical progressions logically followed out” yang berarti bahwa proporsi dari
elemen formal dan ruang dalam geometri selalu terkait dengan perhitungan
numerik yang logis. Sebagai salah satu ilmu matematika, geometri tentunya
memiliki aturan-aturan yang membatasi bentuk yang dimilikinya. Dengan sifat
bentuk geometri yang berhubungan dengan elemen numerik dan harus memiliki
suatu bentuk yang logis, maka variasi bentuk pada geometri menjadi berkurang.
Objek-objek yang bersifat abstrak, cenderung memiliki bentuk yang tidak logis dan
tidak dapat didefinisikan sebagai bentuk numerik, karena elemen-elemen
pembentuknya tidak terukur. Oleh karena itu, objek-objek yang bersifat abstrak
tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk geometri (Wiratama, 2007).
b. Ruang Lingkup Pembelajaran Geometri di SMA
Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan No. 24 tahun 2016
dan Permendikbud 22 Tahun 2016 tentang standard proses. Satuan Pendidikan
Dasar dan Menengah, ruang lingkup pembelajaran geometri yang disatukan dengan
pengukuran, dituangkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasarnya pada
tingkat pendidikan menengah seperti yang disajikan dalam tabel 1.1 berikut ini.
Tabel 1.1
Geometri Tingkat SMA/MA
Kelas/
Semester
Satandar Kompetensi Kompetensi dasar
X/2 6. Menetukan
kedudukan jarak dan
besar sudut yang
melibatkan titi, garis,
dan bidang dalam
ruang dimensi tiga.
6.1 Menentukan kedududukan
titik, garis dan bidang dalam
ruang dimensi tiga
6.2 Menentukan jarak dan titik ke
gris dan dari titik ke bidang
dalam ruang dimensi tiga.
6.3 Menentukan besar sudut antara
garis dan bidang dan antara
bidang dalam ruang dimensi
tiga
44
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
TEORI VAN HIELE
Berdasarkan Wikipedia (2019), teori Van Hiele adalah teori yang
menggambarkan bagaimana siswa belajar geometri. Teori ini menitikberatkan pada
bagaimana tahap berpikir seseorang terhadap hal-hal geometris, bukan pada tahap
pengetahuannya. Teori berpikir ini dikemukakan oleh pengajar matematika, Pierre
van Hiele dan istrinya, Dina van Hiele-Geldof, dalam disertasinya pada tahun 1957 di
Universitas Utrecht, Belanda. Soviet melakukan penelitian pada teori itu di tahun
1960, dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum mereka. Peneliti Amerika
melakukan beberapa penelitian besar pada teori van Hiele sekitar 1970 – 1980,
kemudian temuan Pierre van Hiele dalam Structure and Insight yang menjelaskan
lebih lanjut tentang teorinya, diterbitkan pada tahun 1986. Model van Hiele sangat
mempengaruhi kurikulum geometri seluruh dunia.
Van Hiele menyebutkan bahwa jika siswa belajar dengan menerima ilmu seperti
menghafal, maka siswa tidak akan tahu bagaimana menerapkan konsep yang telah
dipelajari pada situasi baru. Seperti yang disebutkan pada: The student learns by rote
to operate with (mathematical) relations that he does not understand, and of which he
has not seen the origin…. Therefore the system of relations is an independent
construction having no rapport with other experiences of the child. This means that
the student knows only what has been taught to him and what has been deduced from
it. He has not learned to establish connections between the system and the sensory
world. He will not know how to apply what he has learned in a new situation.
Van Hiele membagi tingkatan berpikir dalam geometri menjadi lima tingkatan.
Menurutnya, siswa tidak dapat mencapai tingkat lebih lanjut sebelum mencapai
tingkat sebelumnya. Siswa tidak dapat membuktikan teorema geometris sampai
mereka dapat membangun pemahaman yang luas dari sistem hubungan antara ide-ide
geometris. Sistem tersebut tidak dapat dipelajari oleh hafalan, tetapi harus
dikembangkan melalui keakraban dengan mempelajari banyak contoh dan
perbandingan, berbagai sifat bentuk geometris, hubungan antara sifat-sifat, dan
bagaimana sifat digolongkan.
a. Tingkatan (level) van Hiele
Tingkatan (level) dalam teori van Hiele sebagai berikut:
(1) Level 0 (Visualisasi)
Pada tingkat ini, seseorang mengenali suatu bentuk geometri
dengan penampilan saja, seringkali dengan membandingkan bentuk pada
prototipe yang dikenal. Seseorang mengklasifikasikan bentuk dengan menilai
penampilan secara menyeluruh, bukan berdasarkan sifat-sifat suatu bentuk.
Seseorang belum memperhatikan komponen-komponen suatu bentuk geometri.
Pada tingkat ini, pembuatan keputusan berdasarkan persepsi, bukan penalaran.
Misalnya, seorang siswa menyatakan suatu bentuk sebagai lingkaran karena
terlihat seperti matahari, dan persegi panjang karena terlihat seperti pintu atau
kotak.
(2) Level 1 (Analisis)
Pada tingkat ini, seseorang dapat mengenali sifat-sifat suatu bangun
geometri, tetapi tidak melihat hubungan antara sifat. Ketika menjelaskan
sebuah objek, seorang siswa dapat menyebutkan sifat-sifat, tapi tidak dapat
membedakan mana sifat yang perlu dan yang cukup untuk menggambarkan
suatu objek. Siswa dapat mendiskusikan sifat-sifat dasar suatu bangun dan
45
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
mengenali mereka dengan sifat tersebut, tetapi umumnya tidak memungkinkan jika penggolongannya tumpang tindih, karena pemahaman terhadap masing-
masing sifat terpisah dengan yang lainnya. Misalnya, siswa masih akan
bersikeras bahwa persegi bukan persegi panjang. Mereka biasanya dapat
berpikir secara induktif melalui beberapa contoh, tetapi belum bisa berpikir
secara deduktif karena mereka tidak mengerti bagaimana keterkaitan sifat suatu
bentuk.
(3) Level 2 (Abstraksi atau Deduksi Informal atau Pengurutan)
Pada tingkat ini, seseorang memahami hubungan antara sifat dan antara
bangun. Pada tingkat ini, siswa dapat membuat definisi yang bermakna dan
memberi argumen informal untuk membenarkan alasan mereka. Siswa
memahami implikasi, ekuivalen, dan negasi dari implikasi. Misalnya, siswa
dapat memberi alasan sederhana bahwa persegi adalah persegi panjang. Siswa
dapat mengatakan apakah mungkin atau tidak, sebuah persegi panjang yang
juga belah ketupat. Mereka memahami syarat yang perlu dan cukup untuk dapat
menulis definisi ringkas. Namun, mereka belum memahami makna hakiki
deduksi. Mereka tidak bisa mengikuti argumen yang kompleks, memahami
tempat definisi, atau memahami kebutuhan aksioma, sehingga mereka belum
dapat memahami peran bukti geometrik formal.
(4) Level 3 (Deduksi)
Pada tingkat ini, seseorang sudah memahami peranan pengertian-
pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema
dalam geometri Euclidean. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu
menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa
sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu
menggunakan proses berpikir tersebut. Namun, siswa di tingkat ini percaya
bahwa aksioma dan definisi adalah tetap, bukan berubah-ubah, sehingga
mereka belum bisa memahami geometri non-Euclidean. Ide-ide geometris
masih dipahami sebagai obyek dalam bidang Euclidean.
(5) Level 4 (Rigor)
Pada tingkat ini, geometri dipahami seperti pada tingkat ahli matematika.
Seseorang akan memahami aspek-aspek formal deduksi, seperti membangun
dan membandingkan sistem matematika. Seseorang pada tingkat ini dapat
memahami penggunaan bukti tidak langsung dan bukti dengan kontrapositif,
dan dapat memahami sistem non-Euclidean.
Pierre van Hiele menomori tingkat atau levelnya dengan 0 sampai dengan
4. Peneliti Amerika menomori level van Hiele 1 sampai 5 agar mereka dapat
menambahkan level 0 yaitu level sebelum visualisasi, untuk menggambarkan
seseorang yang tidak berada pada kelima level van Hiele. Kedua penomoran
masih digunakan hingga kini. Bahkan, beberapa peneliti juga memberikan nama
yang berbeda untuk setiap levelnya (Wikipedia: 2019, Mason: 2009).
Karakter pada masing-masing level van Hiele berdasarkan hasil penelitian
adalah sebagai berikut:
(1) Pada level visual, Fuys et al (1988) mengungkapkan bahwa siswa dapat:
(a)Mengidentifikasi contoh suatu bentuk berdasarkan penampilannya secara
utuh dalam gambar sederhana atau potongannya, dalam posisi yang berbeda,
dan dalam bentuk yang lebih kompleks; (b) Membangun, menggambar, dan
meniru suatu bangun. Respon siswa dari kegiatan misalnya mencocokkan
46
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
gambar, menggunakan geoboard (papan atau kertas bertitik), memasang ubin, menggambar ulang suatu contoh bangun; (c) Menamai atau memberi
label susunan atau bentuk geometri sesuai dengan nama standard atau tidak
standard; (d) Membandingkan atau menyortir bangun berdasarkan
penampilan secara utuh. Siswa biasanya memisahkan bangun dari bangun
yang lain karena “menyerupai seperti atau berbeda seperti”, “persegi panjang
lebih lebar dari pada persegi”; (e) Menjelaskan secara verbal tentang suatu
bangun berdasarkan penampilan yang utuh. Misalnya, persegi panjang
“seperti persegi”, jajar genjang adalah “persegi panjang yang condong”,
sudut adalah “lengan atau jarum jam”; (f) Memecahkan permasalahan rutin
dengan menerapkan sifat-sifat bangun yang tidak mengacu pada sifat-sifat
yang diterapkan secara umum. Siswa dapat mencoba-coba menyelesaikan
tangram puzzle dan menempatkan ubin pada persegi panjang untuk
menentukan luas suatu bangun; (g) Mengidentifikasi bagian dari bangun
tetapi tidak dapat menganalisa istilah bagian, tidak dapat memikirkan sifat-
sifat sebagai karakter penggolongan suatu bangun, tidak dapat membuat
generalisasi atau suatu kesimpulan dengan bahasa yang relevan tentang suatu
bangun.
(2) Pada level analisis, menurut Fuys et al (1988) siswa: (a) Mengenal dan
menguji hubungan-hubungan antara bagian-bagian suatu bangun, misalnya
menguji kongruensi sisi pada persegi. Siswa akan mencatat atau mengingat
bahwa persegi memiliki empat sisi yang kongruen dan empat sudut siku-
siku; (b) Mengingat dan menggunakan dengan tepat perbendaharaan kata
tentang hubungan-hubungan dan bagian-bagian suatu bangun, misalnya sisi-
sisi yang berhadapan, diagonal saling membagi dua bagian; (c)
Membandingkan dua bangun menurut hubungan antara bagian-bagiannya,
dan menyortir bangun-bangun dalam cara yang berbeda menurut sifat-
sifatnya; (d) Menafsirkan dan menggunakan deskripsi verbal dari suatu
bentuk dalam istilah sifat-sifatnya, dan melukis bentuk bangun dari deskripsi
tersebut. Siswa juga menafsirkan pernyataan verbal atau simbolis tentang
aturan-aturan dan dapat mempergunakannya. Misalnya, dapat menjelaskan
aturan luas dan dapat mengerti kapan aturan tersebut digunakan; (e)
Menemukan sifat-sifat dari bentuk bangun secara empiris dan
menggeneralisasikannya untuk pengelompokkan bentuk bangun tersebut.
Misalnya, setelah mewarnai sudut-sudut kongruen pada triangular grid (grid
dengan segitiga sama sisi), siswa mencatat jumlah sudut-sudut tiap segitiga
adalah 180º dan kemudian mencoba mengetahui apakah juga berlaku pada
semua segitiga; (f) Menggambarkan sifat-sifat kelompok suatu bentuk
bangun. Siswa juga dapat menyebutkan jenis bangun dari sifat-sifat yang
diberikan; (g) Mengidentifikasi sifat-sifat mana yang digunakan untuk
menggolongkan suatu bangun dalam satu kelompok, dan menggunakannya
pada pengelompokkan bangun lain, serta membandingkan kelompok-
kelompok menurut sifat-sifatnya. Misalnya, siswa mengetahui bahwa jajar
genjang memiliki sisi sejajar yang berhadapan, maka siswa akan mengetahui
bahwa hal tersebut juga dimiliki oleh persegi dan persegi panjang; (h)
Menemukan sifat-sifat dari sebuah kelas bangun yang tidak biasa dikenal;
(i) Memecahkan permasalahan geometris dengan menggunakan pengetahuan
sifat-sifat bangun atau dengan pendekatan pemahaman; (j) Merumuskan dan
47
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
menggunakan generalisasi sifat-sifat suatu bangun, dan menggunakan bahasa yang sesuai, misalnya “semua”, “setiap”, dan “tidak satupun”; tetapi
tidak menjelaskan bagaimana sifat-sifat tertentu saling terkait, tidak
merumuskan dan menggunakan definisi formal, tidak menjelaskan relasi sub
kelas tanpa memeriksa contoh-contoh spesifik yang bertentangan dengan
daftar sifat-sifat yang ditentukan, tidak melihat perlunya pembuktian atau
penjelasan logis untuk generalisasi yang ditemukan secara empiris, dan tidak
menggunakan bahasa seperti “jika...maka” dan “karena”.
(3) Pada level deduksi informal (ordering), berdasarkan Fuys et al (1988),
Burger (1986), dan Usiskin (1982) siswa: (a) Mengindentifikasi perbedaan
himpunan sifat-sifat yang mengkarakterisasi kelas bangun dan menguji
bilamana itu dirasa cukup. Siswa juga dapat mengidentifikasi himpunan
sifat-sifat yang paling sedikit dapat dimiliki oleh sebuah bangun, serta
memformulasi dan menggunakan definisi bagi sebuah kelompok bangun; (b)
memberikan argumen informal (menggunakan diagram, gambar guntingan
yang dapat dilipat, dan lain-lain). Siswa dapat menggambarkan suatu
kesimpulan, membuat kesimpulan dengan relasi yang logis secara implisit
(menggunakan “jika p termasuk q dan jika q termasuk r, maka p termasuk
r”). Siswa juga dapat mengurutkan kelas bangun, misalnya persegi panjang
adalah jajar genjang karena memiliki semua sifat-sifat jajar genjang;
mengurutkan dua sifat, misalnya pada sifat-sifat persegi siswa akan
mengatakan bahwa sifat sisi yang berhadapan sama panjang adalah tidak
diperlukan karena sudah disebutkan bahwa keempat sisi sama panjangnya;
menemukan sifat-sifat baru dengan deduksi, misalnya siswa menyebutkan
bahwa kedua sudut lancip pada segitiga siku-siku ditambahkan besarnya
adalah 90º karena jumlah sudut-sudut segitiga adalah 180º;
mengghubungkan beberapa sifat satu sama lain dalam pohon keluarga; (c)
Memiliki kemampuan untuk memodifikasi definisi dan segera menerima dan
menggunakan definisi dari konsep baru; (d) Siswa mengerti apa yang
dimaksud dengan bukti dalam geometri; (e) Memberikan lebih dari satu
penjelasan untuk membuktikan sesuatu dan memberikan penjelasan untuk
membuktikan sesuatu mengunakan pohon keluarga (silsilah/asal-usul),
misalnya siswa menjelaskan jumlah sudut sebuah segilima sama dengan
540º yang didapat dengan membagi segilima menjadi 3 segitiga atau
membaginya menjadi 1 segiempat dan 1 segitiga, dan dapat menunjukkan
setiap cara menggunakan pohon keluarga; (f) Secara informal mengenali
perbedaan antara sebuah pernyataan dengan pernyataan sebaliknya; (g)
Mengidentifikasi dan menggunakan strategi atau penjelasan penuh
pemahaman untuk menyelesaikan permasalahan; (h) Mengenali peran
argumen deduktif dan mendekati argumen dalam cara deduktif, tetapi tidak
memerlukan definisi dan asumsi dasar, tidak secara formal membedakan
pernyataan dan kebalikannya, tidak membangun hubungan timbale balik
antara jaringan teorema; (i) Bingung akan peran antara aksioma dan
teorema.
(4) Pada level deduksi, menurut Burger (1986) dan berdasarkan Usiskin (1982)
siswa: (a) Seringkali membuat dugaan dan mencoba untuk menguji dugaan
secara deduktif; (b) Mulai memanipulasi karakter intrinsik dari hubungan-
hubungan, misalnya dapat membedakan antara sebuah proposisi dan
48
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
konversnya; (c) Mengerti peran komponen dalam matematika seperti aksioma, definisi, teorema, dan bukti; (d) Memiliki pemikiran akan
pentingnya deduksi, dari kebalikan teorema, dari aksioma, dari syarat-syarat
yang perlu dan cukup; (e) Menerima secara implisit postulat-postulat
geometri Euclidean.
(5) Pada level rigor, siswa: (a) Membandingkan berbagai sistem deduktif dalam
relasi-relasi geometris (Usiskin 1982), membandingkan sistem aksiomatis
(misalnya Euclidean dan non-Euclidean); (b) Menjadikan pikiran logis
sebagai subjek (Usiskin 1982); (c) Dengan kuat menetapkan teorema dalam
sistem aksiomatis yang berbeda dengan tanpa model referensi.
Para peneliti menemukan bahwa tingkat van Hiele pelajar Amerika dan Eropa
cukup rendah. Sebagian besar mahasiswa Amerika tidak mencapai tingkat deduksi
meskipun telah berhasil menyelesaikan pelajaran geometri di sekolah. Seperti dugaan
van Hiele, hal ini mungkin karena materi yang dihafalkan.
Menurut Malloy (2002), idealnya siswa pra-taman kanak-kanak sampai
menengah atas akan memiliki pola pikir geometri dengan perkembangan yang serupa.
Siswa pra-taman kanak-kanak sampai kelas 2 berfokus pada level visualisasi, siswa
kelas 2 – 5 berfokus di level analisis, siswa kelas 5 – 8 berada pada level informal
deduksi (abstraksi), dan siswa menengah atas pada level deduksi. Namun, menurut
van Hiele, banyak siswa menengah pertama berada pada level van Hiele antara level 0
(visualisasi) dan level 2 (informal deduksi). Selanjutnya, berdasarkan Knight (2006),
hasil penelitian terhadap calon guru (pre-service elementary teachers) menunjukkan
bahwa level berada di bawah level deduksi informal (dimana siswa diharapkan
mencapainya pada kelas atau tingkat 8), dan terhadap calon guru menengah (pre-
service secondary teachers) menunjukkan level lebih rendah dari pada level deduksi
(level yang diharapkan saat siswa menyelesaikan tingkat 12).
Seorang guru jika ingin menjadi guru yang berhasil perlu memiliki pengetahuan
dan pemahaman tentang materi pembelajaran matematika yang diajarnya. Menurut
van Hiele, hanya seseorang yang berada pada level 3 (deduksi) yang memiliki
pemahaman intisari geometri. Oleh karena itu, seorang guru akan menjadi guru yang
berhasil dalam pembelajaran geometri jika ia berada minimal di level 3 (deduksi) van
Hiele (University of Western Sidney). Seorang guru yang mengajar di sekolah
menengah pertama memerlukan paling tidak berada pada level informal deduksi
sesuai dengan pencapaian yang diinginkan bagi siswa di akhir tingkat 8 yaitu level
informal deduksi, dan seorang guru yang mengajar di sekolah menengah atas paling
tidak berada pada level deduksi sesuai dengan pencapaiannya siswanya.
b. Sifat-sifat level van Hiele
Berdasarkan Usiskin (1982), level van Hiele memiliki lima sifat, yaitu: (1) Fixed
sequence, yaitu urutannya tetap berdasarkan hirarki, tingkatan tidak dapat
diloncati/dilewatkan; (2) Adjacency, yaitu sifat yang intrinsik pada satu tingkat
menjadi ekstrinsik pada berikutnya; (3) Distinction, yaitu setiap tingkat masing-
masing memiliki simbol linguistik dan jaringan hubungan sendiri; (4) Separation,
yaitu dua orang yang berada pada level yang berbeda jika menjelaskan sesuatu akan
tidak mengerti satu sama lain, karena tingkat penalaran dan pemahaman yang
berbeda; (5) Attainment (pencapaian)
Van Hiele merekomendasikan lima tahap untuk membimbing siswa dari satu
tingkat ke tingkat yang lain pada topik pembelajaran, yaitu:
49
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
(1) Information or inquiry (informasi atau pertanyaan) Siswa berkenalan dengan materi dan mulai menemukan strukturnya. Guru
menyajikan sebuah ide baru dan memungkinkan siswa untuk bekerja dengan
konsep baru. Misalnya melalui diskusi, guru mengidentifikasi apa yang telah
diketahui siswa dan siswa terorientasi pada topik baru.
(2) Guided of directed orientation (orientasi terbimbing)
Siswa melakukan tugas-tugas yang memungkinkan mereka untuk
mengeksplorasi hubungan implisit. Guru memandu kegiatan yang
memungkinkan siswa untuk mengenal sifat-sifat konsep baru yang guru
inginkan untuk dipelajari siswa. Misalnya, guru membuat instruksi atau
memandu siswa menyelidiki suatu bangun datar dengan melipat, mengukur,
atau membangun suatu bangun datar.
(3) Explicitation (eksplisitasi)
Siswa mengekspresikan apa yang telah mereka pelajari dan mereka
temukan dari topik yang dibahas, dengan kata-kata mereka sendiri. Guru
memperkenalkan istilah atau simbol-simbol yang relevan. Van Hiele percaya
bahwa akan lebih baik jika belajar kosakata setelah siswa memiliki kesempatan
untuk akrab dengan konsep.
(4) Free orientation (orientasi bebas)
Siswa melakukan tugas-tugas yang lebih kompleks yang memungkinkan
mereka untuk menguasai jaringan hubungan dalam materi. Siswa mengetahui
sifat yang sedang dipelajari, tetapi perlu untuk mengembangkan kefasihan
dalam menjelajahi jaringan hubungan dalam berbagai situasi. Jenis kegiatan ini
jauh lebih terbuka daripada orientasi terbimbing. Prosedur pemecahan masalah
tidak ditetapkan. Permasalahan lebih luas dan memerlukan eksplorasi lebih
bebas (tak terbatas) untuk menemukan solusi.
(5) Integration (integrasi)
Siswa meringkas dan menyatupadukan apa yang telah mereka pelajari dan
mengingatnya. Guru dapat memberikan gambaran dari segala sesuatu yang
telah mereka pelajari kepada siswa, tetapi tidak menyajikan sesuatu hal yang
baru selama fase ini. Guru juga bisa memberikan tugas untuk mengingat
prinsip-prinsip dan kosakata belajar untuk pelajaran selanjutnya.
c. Struktur
Menurut van Hiele, pencapaian keberhasilan dalam pembelajaran geometri
bukan diakibatkan oleh proses mengajar, tetapi oleh suatu pilihan latihan yang cocok
yang dapat dibuat oleh guru sehingga siswa dapat mencapai level berpikir yang lebih
tinggi. Hal ini dikarenakan pencapaian level berpikir yang lebih tinggi lebih
disebabkan oleh pemahaman terhadap struktur daripada faktanya.
Menurut Van Hiele, suatu struktur juga merupakan bagian dari struktur lainnya,
struktur dapat diperluas, struktur yang berhubungan satu dengan yang lain memiliki
kemiripan sehingga jika telah mengetahui bagaimana suatu struktur dibangun maka
dapat kita ketahui pula bagaimana struktur lainnya dibangun. Oleh karena itu suatu
pengetahuan dan pemahaman geometri, dimulai dari persepsi tentang suatu struktur.
Van Hiele (1986) relied on Gestalt psychology to develop his ideas of structure and
he believed that structures had four important properties. He (1986) stated:
50
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
(1) It is possible to extend a structure. Whoever knows a part of the structure also knows the extension of it. The extension of a structure is subjected to the same
rules as the given part of it.
(2) A structure may be seen as a part of a finer structure. The original structure is
not affected by this: the rules of the game are not changed, they are only
enlarged. In this way it is possible to have more details take part in the
building up of the structure.
(3) A structure may be seen as a part of a more-inclusive structure. This more-
inclusive structure also has more rules. Some of them define the original
structure.
(4) A given structure may be isomorphic with another structure. In this case the
two structures are defined by rules that correspond with each other. So if you
have studied the given structure, you also know how the other structure is
built up.
PEMBAHASAN
Seperti yang dikemukakan oleh Pierre van Hiele dan istrinya, bahwa rendahnya
pemahaman siswa terhadap materi geometri dapat diakibatkan oleh adanya
pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses pengalaman, seperti menghafalkan,
sehingga pengetahuan sulit untuk diingat dan siswa kurang dapat mengaplikasikan
konsep yang didapat guna menyelesaikan permasalahan.
Dalam pembelajaran berbasis teori van Hiele pendidik haruslah memahami
upaya-upaya apa yang harus dilakukan atau bagaimana dapat menerapkannya pada
pembelajaran geometri di sekolah khususnya di tingkat SMA. Dengan memperhatikan
teori van Hiele, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan dapat dijabarkan seperti
berikut ini:
a. Memahami Teori van Hiele
Dalam menerapkan teori van Hiele, penting bagi seorang guru untuk
mengetahui dan memahami teori yang dicetuskan oleh Pierre van Hiele dan
istrinya. Agar strategi pembelajaran menjadi efektif, perlu bagi guru untuk
mengetahui jalan pikiran siswa atau tahapan berpikir tentang hal geometris yang
telah dituangkan dalam teori van Hiele, karakter pada masing-masing level, serta
sifat-sifat level van Hiele. Melalui pemahaman guru terhadap isi teori, maka guru
dapat mengetahui strategi yang cocok dan melakukan perencanaan yang sesuai.
b. Mengetahui Level van Hiele Siswa
Dalam teori van Hiele terdapat tingkatan-tingkatan berpikir seseorang dalam
hal geometris dari tingkat awal pada level visualisasi sampai dengan tingkatan
tertinggi pada level rigor. Tugas guru yang penting dalam implementasi teori van
Hiele adalah mengetahui dan memahami di level van Hiele mana siswanya berada
dan setelah mengetahuinya kemudian membantu siswanya untuk berkembang pada
level yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.
Berdasarkan sifat level bahwa masing-masing level memiliki penalaran dan
bahasanya masing-masing, serta komunikasi tidak efektif jika dua orang pada level
yang berbeda berbicara, maka seorang guru perlu untuk mengerti level siswanya.
Hal ini agar dalam proses belajar mengajar guru dapat menggunakan gaya bahasa
yang sama dengan siswa sehingga komunikasi menjadi efektif. Selain itu, guru
51
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
dapat membuat desain pembelajaran dengan berdasarkan pola pikir siswa, misalnya pendekatan dan metode apa yang cocok untuk digunakan, alat atau media apa yang
harus digunakan, dan bagaimana skenario pembelajaran disusun agar tujuan
pembelajaran dapat tercapai.
Agar mengetahui level van Hiele siswanya, guru dapat melakukan tes awal
yaitu tes level van Hiele pada siswanya sebelum pembelajaran. Tes berisikan soal-
soal yang mewakili masing-masing level yang mungkin pada jenjang SMA, soal-
soal tes dibuat pada level yang mungkin yaitu level 0, 1, dan 2. Jika tes terdiri dari
15 soal, maka 5 soal mewakili level 0, 5 soal mewakili level 1, dan 5 soal
berikutnya mewakili level 2. Dapat pula ditambahkan 5 soal level 3 pada tes.
Tentunya soal-soal pada masing-masing level menggunakan instruksi dan gaya
bahasa yang sesuai dengan deskripsi masing-masing level.
Gambar 1.2
Bagan Tes Level
Berdasarkan hasil penelitian-penelitian banyak didapat hasil yang tidak
memuaskan dari tes, yakni level yang kurang sesuai dengan kriteria level yang
diperlukan pada tingkat SMA. Misalnya di SMA diperlukan pemikiran dilevel
informal deduksi sedangkan hasil tes menunjukkan siswa berada pada level di
bawah informal deduksi. Dengan demikian guru harus berupaya penyusun
skenario pembelajaran yang sesuai agar siswa dapat berkembang pada level yang
diperlukan yaitu informal deduksi, dan mempersiapkan siswa menuju pada level
selanjutnya yaitu level deduksi ataupun rigor agar dapat memahami pembelajaran
geometri pada tingkat SMA dan tingkat yang lebih tinggi.
Untuk mengetahui perkembangan level siswa guru dapat melakukan tes level
van Hiele kembali setelah menjalani banyak proses KBM. Guru tidak dapat
menaikkan level siswa, guru hanya dapat membantu agar siswa dapat berkembang,
siswa sendirilah yang dapat menentukan kapan mereka dapat berkembang ke
tingkat level yang lebih tinggi.
SISWA SMA
TES BERISIKAN SOAL-SOAL
YANG MEWAKILI LEVEL YANG
MUNGKIN BAGI SISWA SMA
KBM
HASIL TES
BERUPA LEVEL
SISWA
BAHAN DASAR
PERENCANAAN
DESAIN KBM
52
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
c. Menyusun Rencana Pembelajaran yang Disesuaikan Dengan Level Siswa
Setelah mengetahui level siswanya, guru dapat menyusun strategi yang cocok.
Penyusunan rencana harus dilakukan dengan mempertim-bangkan penyesuaian
antara level van Hiele siswa, metode pembelajaran yang digunakan, tujuan
pembelajaran pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, alokasi waktu, dan
ketersediaan alat dan media sebagai sumber belajar.
Gambar 1.3
Bagan Penyusunan Rencana Pembelajaran
Kegiatan inti pada proses KBM disusun menurut sifat pencapaian van Hiele
yang berisikan 5 tahap, yaitu tahap informasi, tahap orientasi terbimbing, tahap
eksplisitasi, tahap orientasi bebas, dan tahap integrasi yang didesain sesuai level
siswa. Misalnya jika hasil tes menunjukkan siswa paling banyak berada di level
visualisasi, maka kagiatan belajar harus disesuaikan dengan karakter pada level
tersebut.
Hal yang perlu diingat bahwa menurut van Hiele instruksi sangat menentukan
bagi perkembangan siswa ketimbang usia. Sehingga guru harus dapat memilih
kegiatan-kegiatan atau instruksi yang tepat, dapat memilah kegiatan mana yang
tepat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan karena tidak sesuai dengan level
siswa.
Siswa yang berada di level visualisasi memikirkan sesuatu bangun
berdasarkan apa yang mereka lihat. Membuat instruksi, pertanyaan, ataupun lembar
kerja pada level ini harus berdasarkan persepsi yang melibatkan konsep. Aktivitas
belajar yang melibatkan gambar penting untuk dilakukan agar mereka lebih
mengenal akan objek bangun yang dipelajari. Keterangan-keterangan akan konsep
juga perlu diberikan dalam orientasi yang tidak standard, misalnya sudut disebut
sebagai simpang, dan sebagainya agar memudahkan mereka.
LEVEL SISWA
HASIL EVALUASI
DAN HASIL TES
LEVEL
PROSES KBM
DESAIN PEMBELAJARAN
DISESUAIKAN DENGAN
KARATERISTIK LEVEL
SISWA
MENGGUNAKAN 5 TAHAP
(INFORMASI ORIENTASI
TERBIMBING
EKSPLISITASI, ORIENTASI
BEBAS, DAN INTEGRASI
53
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
Selain hal di atas, membuat catatan perkembangan siswa pada setiap pertemuan sangatlah penting untuk dilaksanakan oleh guru sebagai bahan acuan
untuk pembuatan rencana atau desain berikutnya.
d. Mengembangkan Diri ke Tingkat Level yang Diperlukan
Seperti yang dikemukakan oleh van Hiele bahwa kriteria minimal guru untuk
dapat mengajar geometri tingkat menengah dengan baik adalah berada pada level
deduksi ke atas. Berdasarkan penelitian bahwa masih ada guru yang belum
mencapai level tersebut, maka perlu pengembangan diri untuk dapat mencapai
level yang diperlukan.
Pengembangan diri dapat dilakukan dengan jalan memperbanyak pengalaman
belajar dari segi materi dan juga manajemen pembelajaran. Pengalaman belajar dari
segi materi bisa didapat dengan terus mempelajari materi geometri yang bisa
didapat dari berbagai sumber. Pengalaman belajar dan pengetahuan dari segi
manajemen pembelajaran bisa didapat dari proses pengelolaan kegiatan belajar
mengajar, catatan-catatan hasil proses belajar mengajar, keberhasilan dan
kegagalan proses kegiatan belajar mengajar, serta berbagai sumber ilmu yang dapat
dipercaya.
SIMPULAN
Pendalaman materi geometri akan menjadi bekal dalam mempelajari geometri
ditingkat lanjut di perguruan tinggi. Oleh karena itu pemahaman materi geometri di
SMA sangat penting, merupakan keberhasilan proses pembelajaran perlu melakukan
pilihan terhadap metode tau model yang tepat. Pembelajaran berdasarkan teori van
Hiele bisa menjadi alternative pilihan bagi guru yang berdampak positif pada
pemahaman siswa materi geometri.
Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menggunakan teori Van Hiele pada
pembelajaran geometri adalah:
1. Memahami konsep teori van Hiele itu sendiri agar dapat menerapkannya.
2. Mengetahui level van Hiele siswa dengan jalan pemberian tes level van Hiele
sehingga memahami cara berpikir siswa.
3. Menyusun strategi atau desain pembelajaran yang efektif sesuai dengan teori van
Hiele dan memperhatikan tujuan pembelajaran agar dapat membantu siswa
berkembang pada level yang diperlukan.
4. Melakukan pengembangan diri agar sesuai dengan kriteria level yang diperlukan
bagi seorang guru.
DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.
Abdussakir. 2009. Work Shop Matematika. Jakarta : Depdikbud Direktorat Jendral
Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTA
Bariyah.2010. Matematika di Sekolah-sekolah Indonesia Dahulu, Sekarang, dan
Masa Depan. Piadato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madia pada Fakultas
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Semarang. Semarang.
Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan
Menengah. 2003. Kurikulum 2004 Sekolah Menengah. Pedoman Khusus
Pengembangan Silabus Barbasis Kompetensi Sekolah Menengah Atas Mata
Pelajaran Matematika. Jakarta .
54
Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019
Marpaung, Y. 2006. Pendekatan Multikultural dalam Pembelajaran Matematika (Makalah)
Nurhasanah. 2010. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang:
Pendidikan Matematika FPMIPA Unnes.
Sudrajat, Didi. 2016. Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Statistics in
Linguistics Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Mahasiswa Program studi
Pendidikan Bahasa Inggris. Jurnal Cemerlang: Jurnal Pendidikan dan
Pembelajaran, 1(1).
Sudrajat, Didi. 2017. Portofolio: Sebuah Penilaian dalam Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jurnal Intelegensia. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 1(2).
Wiratama. 2007. Diktat Kuliah Teori Pembelajaran Matematika. Semarang : FPMIPA
UNNES
Yaniyawati, P. 2006. Mengajar Menyenangi Matematika. Bandung : Pikiran Rakyat
(edisi 27 Maret 2006).