+ All Categories
Home > Documents > meningkatkan hasil belajar geometri melalui teori van

meningkatkan hasil belajar geometri melalui teori van

Date post: 10-Nov-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
14
41 Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019 MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOMETRI MELALUI TEORI VAN HIELE DI SEKOLAH MENENGAH ATAS Jumaidi Nur email: [email protected] Universitas Kutai Kartanegara Abstract. Mastering geometry material will be a provision in learning geometry at an advanced level, for example, at university. The understanding of geometry materials of students in high school is important. The teacher is the spearhead of the success of the learing process needs to do a choice on the appoopriate method or model to gain the success. Learning geometry based on Van Hiele theory can be an alternative choice for the teacher to improve the understanding of the student on geometry. Keywords. Learing, geometry, theory of Van Hiele PENDAHULUAN Geometri merupakan suatu ilmu matematika yang sangat terkait dengan bentuk, ukuran, dan pemposisian. Geometri sebagai bagian dari matematika dipelajari oleh siswa di sekolah, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Geometri sangat berguna bagi kehidupan. Membangun rumah, gedung, membuat peralatan rumah tangga, membuat mesin-mesin, dan lain-lain semuanya menggunakan prinsip-prinsip geometri. Geometri sangat erat kaitannya dengan kehidupan, karenanya sangatlah penting untuk dipelajari. Pembelajaran geometri di sekolah bertujuan agar siswa dapat memperoleh ilmu dan dapat mempergunakan konsep-konsep geometri untuk menyelesaikan permasalahan sehari-hari, memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan matematikanya, dapat berpikir logis, dapat berkomunikasi secara matematik, dapat bernalar secara matematika, dan sebagai bekal di kemudian hari untuk dapat menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan geometri. Dibandingkan dengan cabang matematika lainnya, geometri mempunyai peluang yang lebih besar untuk dipahami oleh siswa, karena ide-ide geometri sudah dikenal oleh siswa sebelum siswa duduk di bangku sekolah. Intuisi geometris dapat muncul dalam semua manusia, bahkan tanpa mempelajari geometri sebelumnya. Kesimpulan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh CNRS, Inserm, CEA, Collège de France, Harvard University dan Paris Descartes, universitas Paris-Sud 11 dan Paris 8 membuktikan hal tersebut. Melalui penelitian tentang perbandingan pemahaman intuitif antara populasi yang telah belajar geometri di sekolah dengan populasi Indian Amazon, Mundurucu, di daerah terpencil yang tidakpernah mempelajari geometri di sekolah dan hanya mengetahui sedikit kosakata geometris. Berdasarkan Abdussakir (2009), meski geometri memiliki peluang yang besar untuk dipahami, namun bukti-bukti menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih rendah dan perlu ditingkatkan. Di Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada yang mengambil pelajaran geometri formal, dan hanya sekitar 34% siswa-siswa
Transcript

41

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

MENINGKATKAN HASIL BELAJAR GEOMETRI MELALUI TEORI VAN

HIELE DI SEKOLAH MENENGAH ATAS

Jumaidi Nur

email: [email protected]

Universitas Kutai Kartanegara

Abstract. Mastering geometry material will be a provision in

learning geometry at an advanced level, for example, at

university. The understanding of geometry materials of

students in high school is important. The teacher is the

spearhead of the success of the learing process needs to do a

choice on the appoopriate method or model to gain the

success. Learning geometry based on Van Hiele theory can

be an alternative choice for the teacher to improve the

understanding of the student on geometry.

Keywords. Learing, geometry, theory of Van Hiele

PENDAHULUAN

Geometri merupakan suatu ilmu matematika yang sangat terkait dengan bentuk,

ukuran, dan pemposisian. Geometri sebagai bagian dari matematika dipelajari oleh

siswa di sekolah, dari sekolah dasar sampai dengan perguruan tinggi. Geometri sangat

berguna bagi kehidupan. Membangun rumah, gedung, membuat peralatan rumah

tangga, membuat mesin-mesin, dan lain-lain semuanya menggunakan prinsip-prinsip

geometri. Geometri sangat erat kaitannya dengan kehidupan, karenanya sangatlah

penting untuk dipelajari.

Pembelajaran geometri di sekolah bertujuan agar siswa dapat memperoleh ilmu

dan dapat mempergunakan konsep-konsep geometri untuk menyelesaikan

permasalahan sehari-hari, memperoleh rasa percaya diri mengenai kemampuan

matematikanya, dapat berpikir logis, dapat berkomunikasi secara matematik, dapat

bernalar secara matematika, dan sebagai bekal di kemudian hari untuk dapat

menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan geometri.

Dibandingkan dengan cabang matematika lainnya, geometri mempunyai

peluang yang lebih besar untuk dipahami oleh siswa, karena ide-ide geometri sudah

dikenal oleh siswa sebelum siswa duduk di bangku sekolah. Intuisi geometris dapat

muncul dalam semua manusia, bahkan tanpa mempelajari geometri sebelumnya.

Kesimpulan dari sebuah penelitian yang dilakukan oleh CNRS, Inserm, CEA, Collège

de France, Harvard University dan Paris Descartes, universitas Paris-Sud 11 dan Paris

8 membuktikan hal tersebut. Melalui penelitian tentang perbandingan pemahaman

intuitif antara populasi yang telah belajar geometri di sekolah dengan populasi Indian

Amazon, Mundurucu, di daerah terpencil yang tidakpernah mempelajari geometri di

sekolah dan hanya mengetahui sedikit kosakata geometris.

Berdasarkan Abdussakir (2009), meski geometri memiliki peluang yang besar

untuk dipahami, namun bukti-bukti menunjukkan bahwa hasil belajar geometri masih

rendah dan perlu ditingkatkan. Di Amerika Serikat, hanya separuh dari siswa yang ada

yang mengambil pelajaran geometri formal, dan hanya sekitar 34% siswa-siswa

42

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

tersebut yang dapat membuktikan teori dan mengerjakan latihan secara deduktif. Selain itu, prestasi semua siswa dalam masalah yang berkaitan dengan geometri dan

pengukuran masih rendah. Hoffer menyatakan bahwa siswa-siswa di Amerika dan

Uni Soviet sama-sama mengalami kesulitan dalam belajar geometri.

Di Indonesia bukti-bukti empiris di lapangan menunjukkan bahwa masih banyak

siswa yang mengalami kesulitan dalam mempelajari geometri, dari siswa tingkat dasar

sampai perguruan tinggi. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa prestasi

geometri siswa SD masih rendah. Di tingkat SMP hasil penelitian menunjukkan

bahwa masih banyak siswa yang belum memahami konsep-konsep geometri.

Nurhasanah (20100) melaporkan, berdasarkan hasil penelitiannya didapat bahwa

siswa di SMP masih kesulitan mempelajari topik segitiga lancip. Di SMA didapati

bahwa hasil tes geometri siswa kurang memuaskan jika dibandingkan dengan materi

matematika yang lain.

Teori van Hiele telah diakui secara internasional dan memberikan pengaruh

yang kuat dalam pembelajaran geometri sekolah. Uni Soviet dan Amerika Serikat

adalah contoh negara yang telah mengubah kurikulum geometri berdasar pada teori

van Hiele.

Beberapa penelitian yang telah dilakukan membuktikan bahwa penerapan teori

van Hiele memberikan dampak yang positif dalam pembelajaran geometri. Bobango

(1993) menyatakan bahwa pembelajaran yang menekankan pada tahap belajar van

Hiele dapat membantu perencanaan pembelajaran dan memberikan hasil yang

memuaskan. Senk (1989) menyatakan bahwa prestasi siswa SMU dalam menulis

pembuktian geometri berkaitan secara positif dengan teori van Hiele. Mayberry

(1983) berdasarkan hasil penelitiannya menyatakan bahwa konsekuensi teori van

Hiele adalah konsisten. Burger dan Shaughnessy (1986) melaporkan bahwa siswa

menunjukkan tingkah laku yang konsisten dalam tingkat berpikir geometri sesuai

dengan tingkatan berpikir van Hiele. Susiswo (1989) menyimpulkan bahwa

pembelajaran geometri dengan pembelajaran model van Hiele lebih efektif daripada

pembelajaran konvensional. Selanjutnya Husnaeni (2001) menyatakan bahwa

penerapan model van Hiele efektif untuk peningkatan kualitas berpikir siswa (dalam

Abdussakir: 2009).

Geometri di tingkat SMA merupakan pendalaman materi geometri dan lanjutan

dari materi geometri SMP yang akan menjadi bekal dalam memperlajari geometri di

tingkat lanjut. Oleh karena itu, pemahaman materi geometri bagi siswa di SMA

sangatlah penting. Guru merupakan tombak keberhasilan proses pembelajaran

yangperlu melakukan pilihan terhadap metode atau model yang tepat untuk meraih

keberhasilan tersebut. Pembelajaran berdasarkan teori van Hiele bisa menjadi

alternatif pilihan bagi guru karena penelitian telah membuktikan bahwa pembelajaran

berdasarkan teori van Hiele berdampak positif pada pemahaman siswa pada geometri.

KONSEP GEOMETRI

a. Pengertian Geometri

Geometri berasal dari bahasa Yunani, geo yang berarti bumi dan metri yang

berarti pengukuran. Geometri adalah cabang matematika yang bersangkutan

dengan pertanyaan posisi bentuk, ukuran relatif dari angka, dan sifat ruang.

Awalnya geometri hanya mencakup panjang, area, dan volume. Namun seiring

dengan perkembangannya geometri mencakup bidang lainnya, seperti astronomi,

topologi, dan lain-lain.

43

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

Menurut World Book Encyclopedia, “Geometry is a branch of mathematics. It

involves studying the shape, size, and position of geometric figures. These figures

include plane (flat) figures, such as triangles and rectangles, and solid (three-

dimensional) figures, such as cubes and spheres”. Dalam pengertian tersebut,

dijelaskan bahwa geometri merupakan suatu ilmu matematika yang erat kaitannya

dengan bentuk, ukuran, dan pemposisian. Definisi tersebut sangat luas, sehingga

dengan hanya berpedoman pada definisi tersebut, maka tiap bentuk dapat

dikategorikan sebagai suatu geometri dan juga terdiri dari elemen geometri.

Josef Muller-Brockmann menjelaskan bahwa “The proportions of the formal

elements and their intermediate spaces are almost always related to certain

numerical progressions logically followed out” yang berarti bahwa proporsi dari

elemen formal dan ruang dalam geometri selalu terkait dengan perhitungan

numerik yang logis. Sebagai salah satu ilmu matematika, geometri tentunya

memiliki aturan-aturan yang membatasi bentuk yang dimilikinya. Dengan sifat

bentuk geometri yang berhubungan dengan elemen numerik dan harus memiliki

suatu bentuk yang logis, maka variasi bentuk pada geometri menjadi berkurang.

Objek-objek yang bersifat abstrak, cenderung memiliki bentuk yang tidak logis dan

tidak dapat didefinisikan sebagai bentuk numerik, karena elemen-elemen

pembentuknya tidak terukur. Oleh karena itu, objek-objek yang bersifat abstrak

tidak dapat dikategorikan sebagai bentuk geometri (Wiratama, 2007).

b. Ruang Lingkup Pembelajaran Geometri di SMA

Berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan No. 24 tahun 2016

dan Permendikbud 22 Tahun 2016 tentang standard proses. Satuan Pendidikan

Dasar dan Menengah, ruang lingkup pembelajaran geometri yang disatukan dengan

pengukuran, dituangkan dalam standar kompetensi dan kompetensi dasarnya pada

tingkat pendidikan menengah seperti yang disajikan dalam tabel 1.1 berikut ini.

Tabel 1.1

Geometri Tingkat SMA/MA

Kelas/

Semester

Satandar Kompetensi Kompetensi dasar

X/2 6. Menetukan

kedudukan jarak dan

besar sudut yang

melibatkan titi, garis,

dan bidang dalam

ruang dimensi tiga.

6.1 Menentukan kedududukan

titik, garis dan bidang dalam

ruang dimensi tiga

6.2 Menentukan jarak dan titik ke

gris dan dari titik ke bidang

dalam ruang dimensi tiga.

6.3 Menentukan besar sudut antara

garis dan bidang dan antara

bidang dalam ruang dimensi

tiga

44

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

TEORI VAN HIELE

Berdasarkan Wikipedia (2019), teori Van Hiele adalah teori yang

menggambarkan bagaimana siswa belajar geometri. Teori ini menitikberatkan pada

bagaimana tahap berpikir seseorang terhadap hal-hal geometris, bukan pada tahap

pengetahuannya. Teori berpikir ini dikemukakan oleh pengajar matematika, Pierre

van Hiele dan istrinya, Dina van Hiele-Geldof, dalam disertasinya pada tahun 1957 di

Universitas Utrecht, Belanda. Soviet melakukan penelitian pada teori itu di tahun

1960, dan mengintegrasikannya ke dalam kurikulum mereka. Peneliti Amerika

melakukan beberapa penelitian besar pada teori van Hiele sekitar 1970 – 1980,

kemudian temuan Pierre van Hiele dalam Structure and Insight yang menjelaskan

lebih lanjut tentang teorinya, diterbitkan pada tahun 1986. Model van Hiele sangat

mempengaruhi kurikulum geometri seluruh dunia.

Van Hiele menyebutkan bahwa jika siswa belajar dengan menerima ilmu seperti

menghafal, maka siswa tidak akan tahu bagaimana menerapkan konsep yang telah

dipelajari pada situasi baru. Seperti yang disebutkan pada: The student learns by rote

to operate with (mathematical) relations that he does not understand, and of which he

has not seen the origin…. Therefore the system of relations is an independent

construction having no rapport with other experiences of the child. This means that

the student knows only what has been taught to him and what has been deduced from

it. He has not learned to establish connections between the system and the sensory

world. He will not know how to apply what he has learned in a new situation.

Van Hiele membagi tingkatan berpikir dalam geometri menjadi lima tingkatan.

Menurutnya, siswa tidak dapat mencapai tingkat lebih lanjut sebelum mencapai

tingkat sebelumnya. Siswa tidak dapat membuktikan teorema geometris sampai

mereka dapat membangun pemahaman yang luas dari sistem hubungan antara ide-ide

geometris. Sistem tersebut tidak dapat dipelajari oleh hafalan, tetapi harus

dikembangkan melalui keakraban dengan mempelajari banyak contoh dan

perbandingan, berbagai sifat bentuk geometris, hubungan antara sifat-sifat, dan

bagaimana sifat digolongkan.

a. Tingkatan (level) van Hiele

Tingkatan (level) dalam teori van Hiele sebagai berikut:

(1) Level 0 (Visualisasi)

Pada tingkat ini, seseorang mengenali suatu bentuk geometri

dengan penampilan saja, seringkali dengan membandingkan bentuk pada

prototipe yang dikenal. Seseorang mengklasifikasikan bentuk dengan menilai

penampilan secara menyeluruh, bukan berdasarkan sifat-sifat suatu bentuk.

Seseorang belum memperhatikan komponen-komponen suatu bentuk geometri.

Pada tingkat ini, pembuatan keputusan berdasarkan persepsi, bukan penalaran.

Misalnya, seorang siswa menyatakan suatu bentuk sebagai lingkaran karena

terlihat seperti matahari, dan persegi panjang karena terlihat seperti pintu atau

kotak.

(2) Level 1 (Analisis)

Pada tingkat ini, seseorang dapat mengenali sifat-sifat suatu bangun

geometri, tetapi tidak melihat hubungan antara sifat. Ketika menjelaskan

sebuah objek, seorang siswa dapat menyebutkan sifat-sifat, tapi tidak dapat

membedakan mana sifat yang perlu dan yang cukup untuk menggambarkan

suatu objek. Siswa dapat mendiskusikan sifat-sifat dasar suatu bangun dan

45

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

mengenali mereka dengan sifat tersebut, tetapi umumnya tidak memungkinkan jika penggolongannya tumpang tindih, karena pemahaman terhadap masing-

masing sifat terpisah dengan yang lainnya. Misalnya, siswa masih akan

bersikeras bahwa persegi bukan persegi panjang. Mereka biasanya dapat

berpikir secara induktif melalui beberapa contoh, tetapi belum bisa berpikir

secara deduktif karena mereka tidak mengerti bagaimana keterkaitan sifat suatu

bentuk.

(3) Level 2 (Abstraksi atau Deduksi Informal atau Pengurutan)

Pada tingkat ini, seseorang memahami hubungan antara sifat dan antara

bangun. Pada tingkat ini, siswa dapat membuat definisi yang bermakna dan

memberi argumen informal untuk membenarkan alasan mereka. Siswa

memahami implikasi, ekuivalen, dan negasi dari implikasi. Misalnya, siswa

dapat memberi alasan sederhana bahwa persegi adalah persegi panjang. Siswa

dapat mengatakan apakah mungkin atau tidak, sebuah persegi panjang yang

juga belah ketupat. Mereka memahami syarat yang perlu dan cukup untuk dapat

menulis definisi ringkas. Namun, mereka belum memahami makna hakiki

deduksi. Mereka tidak bisa mengikuti argumen yang kompleks, memahami

tempat definisi, atau memahami kebutuhan aksioma, sehingga mereka belum

dapat memahami peran bukti geometrik formal.

(4) Level 3 (Deduksi)

Pada tingkat ini, seseorang sudah memahami peranan pengertian-

pengertian pangkal, definisi-definisi, aksioma-aksioma, dan terorema-teorema

dalam geometri Euclidean. Pada tingkat ini siswa sudah mulai mampu

menyusun bukti-bukti secara formal. Ini berarti bahwa pada tingkat ini siswa

sudah memahami proses berpikir yang bersifat deduktif-aksiomatis dan mampu

menggunakan proses berpikir tersebut. Namun, siswa di tingkat ini percaya

bahwa aksioma dan definisi adalah tetap, bukan berubah-ubah, sehingga

mereka belum bisa memahami geometri non-Euclidean. Ide-ide geometris

masih dipahami sebagai obyek dalam bidang Euclidean.

(5) Level 4 (Rigor)

Pada tingkat ini, geometri dipahami seperti pada tingkat ahli matematika.

Seseorang akan memahami aspek-aspek formal deduksi, seperti membangun

dan membandingkan sistem matematika. Seseorang pada tingkat ini dapat

memahami penggunaan bukti tidak langsung dan bukti dengan kontrapositif,

dan dapat memahami sistem non-Euclidean.

Pierre van Hiele menomori tingkat atau levelnya dengan 0 sampai dengan

4. Peneliti Amerika menomori level van Hiele 1 sampai 5 agar mereka dapat

menambahkan level 0 yaitu level sebelum visualisasi, untuk menggambarkan

seseorang yang tidak berada pada kelima level van Hiele. Kedua penomoran

masih digunakan hingga kini. Bahkan, beberapa peneliti juga memberikan nama

yang berbeda untuk setiap levelnya (Wikipedia: 2019, Mason: 2009).

Karakter pada masing-masing level van Hiele berdasarkan hasil penelitian

adalah sebagai berikut:

(1) Pada level visual, Fuys et al (1988) mengungkapkan bahwa siswa dapat:

(a)Mengidentifikasi contoh suatu bentuk berdasarkan penampilannya secara

utuh dalam gambar sederhana atau potongannya, dalam posisi yang berbeda,

dan dalam bentuk yang lebih kompleks; (b) Membangun, menggambar, dan

meniru suatu bangun. Respon siswa dari kegiatan misalnya mencocokkan

46

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

gambar, menggunakan geoboard (papan atau kertas bertitik), memasang ubin, menggambar ulang suatu contoh bangun; (c) Menamai atau memberi

label susunan atau bentuk geometri sesuai dengan nama standard atau tidak

standard; (d) Membandingkan atau menyortir bangun berdasarkan

penampilan secara utuh. Siswa biasanya memisahkan bangun dari bangun

yang lain karena “menyerupai seperti atau berbeda seperti”, “persegi panjang

lebih lebar dari pada persegi”; (e) Menjelaskan secara verbal tentang suatu

bangun berdasarkan penampilan yang utuh. Misalnya, persegi panjang

“seperti persegi”, jajar genjang adalah “persegi panjang yang condong”,

sudut adalah “lengan atau jarum jam”; (f) Memecahkan permasalahan rutin

dengan menerapkan sifat-sifat bangun yang tidak mengacu pada sifat-sifat

yang diterapkan secara umum. Siswa dapat mencoba-coba menyelesaikan

tangram puzzle dan menempatkan ubin pada persegi panjang untuk

menentukan luas suatu bangun; (g) Mengidentifikasi bagian dari bangun

tetapi tidak dapat menganalisa istilah bagian, tidak dapat memikirkan sifat-

sifat sebagai karakter penggolongan suatu bangun, tidak dapat membuat

generalisasi atau suatu kesimpulan dengan bahasa yang relevan tentang suatu

bangun.

(2) Pada level analisis, menurut Fuys et al (1988) siswa: (a) Mengenal dan

menguji hubungan-hubungan antara bagian-bagian suatu bangun, misalnya

menguji kongruensi sisi pada persegi. Siswa akan mencatat atau mengingat

bahwa persegi memiliki empat sisi yang kongruen dan empat sudut siku-

siku; (b) Mengingat dan menggunakan dengan tepat perbendaharaan kata

tentang hubungan-hubungan dan bagian-bagian suatu bangun, misalnya sisi-

sisi yang berhadapan, diagonal saling membagi dua bagian; (c)

Membandingkan dua bangun menurut hubungan antara bagian-bagiannya,

dan menyortir bangun-bangun dalam cara yang berbeda menurut sifat-

sifatnya; (d) Menafsirkan dan menggunakan deskripsi verbal dari suatu

bentuk dalam istilah sifat-sifatnya, dan melukis bentuk bangun dari deskripsi

tersebut. Siswa juga menafsirkan pernyataan verbal atau simbolis tentang

aturan-aturan dan dapat mempergunakannya. Misalnya, dapat menjelaskan

aturan luas dan dapat mengerti kapan aturan tersebut digunakan; (e)

Menemukan sifat-sifat dari bentuk bangun secara empiris dan

menggeneralisasikannya untuk pengelompokkan bentuk bangun tersebut.

Misalnya, setelah mewarnai sudut-sudut kongruen pada triangular grid (grid

dengan segitiga sama sisi), siswa mencatat jumlah sudut-sudut tiap segitiga

adalah 180º dan kemudian mencoba mengetahui apakah juga berlaku pada

semua segitiga; (f) Menggambarkan sifat-sifat kelompok suatu bentuk

bangun. Siswa juga dapat menyebutkan jenis bangun dari sifat-sifat yang

diberikan; (g) Mengidentifikasi sifat-sifat mana yang digunakan untuk

menggolongkan suatu bangun dalam satu kelompok, dan menggunakannya

pada pengelompokkan bangun lain, serta membandingkan kelompok-

kelompok menurut sifat-sifatnya. Misalnya, siswa mengetahui bahwa jajar

genjang memiliki sisi sejajar yang berhadapan, maka siswa akan mengetahui

bahwa hal tersebut juga dimiliki oleh persegi dan persegi panjang; (h)

Menemukan sifat-sifat dari sebuah kelas bangun yang tidak biasa dikenal;

(i) Memecahkan permasalahan geometris dengan menggunakan pengetahuan

sifat-sifat bangun atau dengan pendekatan pemahaman; (j) Merumuskan dan

47

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

menggunakan generalisasi sifat-sifat suatu bangun, dan menggunakan bahasa yang sesuai, misalnya “semua”, “setiap”, dan “tidak satupun”; tetapi

tidak menjelaskan bagaimana sifat-sifat tertentu saling terkait, tidak

merumuskan dan menggunakan definisi formal, tidak menjelaskan relasi sub

kelas tanpa memeriksa contoh-contoh spesifik yang bertentangan dengan

daftar sifat-sifat yang ditentukan, tidak melihat perlunya pembuktian atau

penjelasan logis untuk generalisasi yang ditemukan secara empiris, dan tidak

menggunakan bahasa seperti “jika...maka” dan “karena”.

(3) Pada level deduksi informal (ordering), berdasarkan Fuys et al (1988),

Burger (1986), dan Usiskin (1982) siswa: (a) Mengindentifikasi perbedaan

himpunan sifat-sifat yang mengkarakterisasi kelas bangun dan menguji

bilamana itu dirasa cukup. Siswa juga dapat mengidentifikasi himpunan

sifat-sifat yang paling sedikit dapat dimiliki oleh sebuah bangun, serta

memformulasi dan menggunakan definisi bagi sebuah kelompok bangun; (b)

memberikan argumen informal (menggunakan diagram, gambar guntingan

yang dapat dilipat, dan lain-lain). Siswa dapat menggambarkan suatu

kesimpulan, membuat kesimpulan dengan relasi yang logis secara implisit

(menggunakan “jika p termasuk q dan jika q termasuk r, maka p termasuk

r”). Siswa juga dapat mengurutkan kelas bangun, misalnya persegi panjang

adalah jajar genjang karena memiliki semua sifat-sifat jajar genjang;

mengurutkan dua sifat, misalnya pada sifat-sifat persegi siswa akan

mengatakan bahwa sifat sisi yang berhadapan sama panjang adalah tidak

diperlukan karena sudah disebutkan bahwa keempat sisi sama panjangnya;

menemukan sifat-sifat baru dengan deduksi, misalnya siswa menyebutkan

bahwa kedua sudut lancip pada segitiga siku-siku ditambahkan besarnya

adalah 90º karena jumlah sudut-sudut segitiga adalah 180º;

mengghubungkan beberapa sifat satu sama lain dalam pohon keluarga; (c)

Memiliki kemampuan untuk memodifikasi definisi dan segera menerima dan

menggunakan definisi dari konsep baru; (d) Siswa mengerti apa yang

dimaksud dengan bukti dalam geometri; (e) Memberikan lebih dari satu

penjelasan untuk membuktikan sesuatu dan memberikan penjelasan untuk

membuktikan sesuatu mengunakan pohon keluarga (silsilah/asal-usul),

misalnya siswa menjelaskan jumlah sudut sebuah segilima sama dengan

540º yang didapat dengan membagi segilima menjadi 3 segitiga atau

membaginya menjadi 1 segiempat dan 1 segitiga, dan dapat menunjukkan

setiap cara menggunakan pohon keluarga; (f) Secara informal mengenali

perbedaan antara sebuah pernyataan dengan pernyataan sebaliknya; (g)

Mengidentifikasi dan menggunakan strategi atau penjelasan penuh

pemahaman untuk menyelesaikan permasalahan; (h) Mengenali peran

argumen deduktif dan mendekati argumen dalam cara deduktif, tetapi tidak

memerlukan definisi dan asumsi dasar, tidak secara formal membedakan

pernyataan dan kebalikannya, tidak membangun hubungan timbale balik

antara jaringan teorema; (i) Bingung akan peran antara aksioma dan

teorema.

(4) Pada level deduksi, menurut Burger (1986) dan berdasarkan Usiskin (1982)

siswa: (a) Seringkali membuat dugaan dan mencoba untuk menguji dugaan

secara deduktif; (b) Mulai memanipulasi karakter intrinsik dari hubungan-

hubungan, misalnya dapat membedakan antara sebuah proposisi dan

48

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

konversnya; (c) Mengerti peran komponen dalam matematika seperti aksioma, definisi, teorema, dan bukti; (d) Memiliki pemikiran akan

pentingnya deduksi, dari kebalikan teorema, dari aksioma, dari syarat-syarat

yang perlu dan cukup; (e) Menerima secara implisit postulat-postulat

geometri Euclidean.

(5) Pada level rigor, siswa: (a) Membandingkan berbagai sistem deduktif dalam

relasi-relasi geometris (Usiskin 1982), membandingkan sistem aksiomatis

(misalnya Euclidean dan non-Euclidean); (b) Menjadikan pikiran logis

sebagai subjek (Usiskin 1982); (c) Dengan kuat menetapkan teorema dalam

sistem aksiomatis yang berbeda dengan tanpa model referensi.

Para peneliti menemukan bahwa tingkat van Hiele pelajar Amerika dan Eropa

cukup rendah. Sebagian besar mahasiswa Amerika tidak mencapai tingkat deduksi

meskipun telah berhasil menyelesaikan pelajaran geometri di sekolah. Seperti dugaan

van Hiele, hal ini mungkin karena materi yang dihafalkan.

Menurut Malloy (2002), idealnya siswa pra-taman kanak-kanak sampai

menengah atas akan memiliki pola pikir geometri dengan perkembangan yang serupa.

Siswa pra-taman kanak-kanak sampai kelas 2 berfokus pada level visualisasi, siswa

kelas 2 – 5 berfokus di level analisis, siswa kelas 5 – 8 berada pada level informal

deduksi (abstraksi), dan siswa menengah atas pada level deduksi. Namun, menurut

van Hiele, banyak siswa menengah pertama berada pada level van Hiele antara level 0

(visualisasi) dan level 2 (informal deduksi). Selanjutnya, berdasarkan Knight (2006),

hasil penelitian terhadap calon guru (pre-service elementary teachers) menunjukkan

bahwa level berada di bawah level deduksi informal (dimana siswa diharapkan

mencapainya pada kelas atau tingkat 8), dan terhadap calon guru menengah (pre-

service secondary teachers) menunjukkan level lebih rendah dari pada level deduksi

(level yang diharapkan saat siswa menyelesaikan tingkat 12).

Seorang guru jika ingin menjadi guru yang berhasil perlu memiliki pengetahuan

dan pemahaman tentang materi pembelajaran matematika yang diajarnya. Menurut

van Hiele, hanya seseorang yang berada pada level 3 (deduksi) yang memiliki

pemahaman intisari geometri. Oleh karena itu, seorang guru akan menjadi guru yang

berhasil dalam pembelajaran geometri jika ia berada minimal di level 3 (deduksi) van

Hiele (University of Western Sidney). Seorang guru yang mengajar di sekolah

menengah pertama memerlukan paling tidak berada pada level informal deduksi

sesuai dengan pencapaian yang diinginkan bagi siswa di akhir tingkat 8 yaitu level

informal deduksi, dan seorang guru yang mengajar di sekolah menengah atas paling

tidak berada pada level deduksi sesuai dengan pencapaiannya siswanya.

b. Sifat-sifat level van Hiele

Berdasarkan Usiskin (1982), level van Hiele memiliki lima sifat, yaitu: (1) Fixed

sequence, yaitu urutannya tetap berdasarkan hirarki, tingkatan tidak dapat

diloncati/dilewatkan; (2) Adjacency, yaitu sifat yang intrinsik pada satu tingkat

menjadi ekstrinsik pada berikutnya; (3) Distinction, yaitu setiap tingkat masing-

masing memiliki simbol linguistik dan jaringan hubungan sendiri; (4) Separation,

yaitu dua orang yang berada pada level yang berbeda jika menjelaskan sesuatu akan

tidak mengerti satu sama lain, karena tingkat penalaran dan pemahaman yang

berbeda; (5) Attainment (pencapaian)

Van Hiele merekomendasikan lima tahap untuk membimbing siswa dari satu

tingkat ke tingkat yang lain pada topik pembelajaran, yaitu:

49

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

(1) Information or inquiry (informasi atau pertanyaan) Siswa berkenalan dengan materi dan mulai menemukan strukturnya. Guru

menyajikan sebuah ide baru dan memungkinkan siswa untuk bekerja dengan

konsep baru. Misalnya melalui diskusi, guru mengidentifikasi apa yang telah

diketahui siswa dan siswa terorientasi pada topik baru.

(2) Guided of directed orientation (orientasi terbimbing)

Siswa melakukan tugas-tugas yang memungkinkan mereka untuk

mengeksplorasi hubungan implisit. Guru memandu kegiatan yang

memungkinkan siswa untuk mengenal sifat-sifat konsep baru yang guru

inginkan untuk dipelajari siswa. Misalnya, guru membuat instruksi atau

memandu siswa menyelidiki suatu bangun datar dengan melipat, mengukur,

atau membangun suatu bangun datar.

(3) Explicitation (eksplisitasi)

Siswa mengekspresikan apa yang telah mereka pelajari dan mereka

temukan dari topik yang dibahas, dengan kata-kata mereka sendiri. Guru

memperkenalkan istilah atau simbol-simbol yang relevan. Van Hiele percaya

bahwa akan lebih baik jika belajar kosakata setelah siswa memiliki kesempatan

untuk akrab dengan konsep.

(4) Free orientation (orientasi bebas)

Siswa melakukan tugas-tugas yang lebih kompleks yang memungkinkan

mereka untuk menguasai jaringan hubungan dalam materi. Siswa mengetahui

sifat yang sedang dipelajari, tetapi perlu untuk mengembangkan kefasihan

dalam menjelajahi jaringan hubungan dalam berbagai situasi. Jenis kegiatan ini

jauh lebih terbuka daripada orientasi terbimbing. Prosedur pemecahan masalah

tidak ditetapkan. Permasalahan lebih luas dan memerlukan eksplorasi lebih

bebas (tak terbatas) untuk menemukan solusi.

(5) Integration (integrasi)

Siswa meringkas dan menyatupadukan apa yang telah mereka pelajari dan

mengingatnya. Guru dapat memberikan gambaran dari segala sesuatu yang

telah mereka pelajari kepada siswa, tetapi tidak menyajikan sesuatu hal yang

baru selama fase ini. Guru juga bisa memberikan tugas untuk mengingat

prinsip-prinsip dan kosakata belajar untuk pelajaran selanjutnya.

c. Struktur

Menurut van Hiele, pencapaian keberhasilan dalam pembelajaran geometri

bukan diakibatkan oleh proses mengajar, tetapi oleh suatu pilihan latihan yang cocok

yang dapat dibuat oleh guru sehingga siswa dapat mencapai level berpikir yang lebih

tinggi. Hal ini dikarenakan pencapaian level berpikir yang lebih tinggi lebih

disebabkan oleh pemahaman terhadap struktur daripada faktanya.

Menurut Van Hiele, suatu struktur juga merupakan bagian dari struktur lainnya,

struktur dapat diperluas, struktur yang berhubungan satu dengan yang lain memiliki

kemiripan sehingga jika telah mengetahui bagaimana suatu struktur dibangun maka

dapat kita ketahui pula bagaimana struktur lainnya dibangun. Oleh karena itu suatu

pengetahuan dan pemahaman geometri, dimulai dari persepsi tentang suatu struktur.

Van Hiele (1986) relied on Gestalt psychology to develop his ideas of structure and

he believed that structures had four important properties. He (1986) stated:

50

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

(1) It is possible to extend a structure. Whoever knows a part of the structure also knows the extension of it. The extension of a structure is subjected to the same

rules as the given part of it.

(2) A structure may be seen as a part of a finer structure. The original structure is

not affected by this: the rules of the game are not changed, they are only

enlarged. In this way it is possible to have more details take part in the

building up of the structure.

(3) A structure may be seen as a part of a more-inclusive structure. This more-

inclusive structure also has more rules. Some of them define the original

structure.

(4) A given structure may be isomorphic with another structure. In this case the

two structures are defined by rules that correspond with each other. So if you

have studied the given structure, you also know how the other structure is

built up.

PEMBAHASAN

Seperti yang dikemukakan oleh Pierre van Hiele dan istrinya, bahwa rendahnya

pemahaman siswa terhadap materi geometri dapat diakibatkan oleh adanya

pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses pengalaman, seperti menghafalkan,

sehingga pengetahuan sulit untuk diingat dan siswa kurang dapat mengaplikasikan

konsep yang didapat guna menyelesaikan permasalahan.

Dalam pembelajaran berbasis teori van Hiele pendidik haruslah memahami

upaya-upaya apa yang harus dilakukan atau bagaimana dapat menerapkannya pada

pembelajaran geometri di sekolah khususnya di tingkat SMA. Dengan memperhatikan

teori van Hiele, maka upaya-upaya yang dapat dilakukan dapat dijabarkan seperti

berikut ini:

a. Memahami Teori van Hiele

Dalam menerapkan teori van Hiele, penting bagi seorang guru untuk

mengetahui dan memahami teori yang dicetuskan oleh Pierre van Hiele dan

istrinya. Agar strategi pembelajaran menjadi efektif, perlu bagi guru untuk

mengetahui jalan pikiran siswa atau tahapan berpikir tentang hal geometris yang

telah dituangkan dalam teori van Hiele, karakter pada masing-masing level, serta

sifat-sifat level van Hiele. Melalui pemahaman guru terhadap isi teori, maka guru

dapat mengetahui strategi yang cocok dan melakukan perencanaan yang sesuai.

b. Mengetahui Level van Hiele Siswa

Dalam teori van Hiele terdapat tingkatan-tingkatan berpikir seseorang dalam

hal geometris dari tingkat awal pada level visualisasi sampai dengan tingkatan

tertinggi pada level rigor. Tugas guru yang penting dalam implementasi teori van

Hiele adalah mengetahui dan memahami di level van Hiele mana siswanya berada

dan setelah mengetahuinya kemudian membantu siswanya untuk berkembang pada

level yang diperlukan agar tujuan pembelajaran dapat dicapai.

Berdasarkan sifat level bahwa masing-masing level memiliki penalaran dan

bahasanya masing-masing, serta komunikasi tidak efektif jika dua orang pada level

yang berbeda berbicara, maka seorang guru perlu untuk mengerti level siswanya.

Hal ini agar dalam proses belajar mengajar guru dapat menggunakan gaya bahasa

yang sama dengan siswa sehingga komunikasi menjadi efektif. Selain itu, guru

51

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

dapat membuat desain pembelajaran dengan berdasarkan pola pikir siswa, misalnya pendekatan dan metode apa yang cocok untuk digunakan, alat atau media apa yang

harus digunakan, dan bagaimana skenario pembelajaran disusun agar tujuan

pembelajaran dapat tercapai.

Agar mengetahui level van Hiele siswanya, guru dapat melakukan tes awal

yaitu tes level van Hiele pada siswanya sebelum pembelajaran. Tes berisikan soal-

soal yang mewakili masing-masing level yang mungkin pada jenjang SMA, soal-

soal tes dibuat pada level yang mungkin yaitu level 0, 1, dan 2. Jika tes terdiri dari

15 soal, maka 5 soal mewakili level 0, 5 soal mewakili level 1, dan 5 soal

berikutnya mewakili level 2. Dapat pula ditambahkan 5 soal level 3 pada tes.

Tentunya soal-soal pada masing-masing level menggunakan instruksi dan gaya

bahasa yang sesuai dengan deskripsi masing-masing level.

Gambar 1.2

Bagan Tes Level

Berdasarkan hasil penelitian-penelitian banyak didapat hasil yang tidak

memuaskan dari tes, yakni level yang kurang sesuai dengan kriteria level yang

diperlukan pada tingkat SMA. Misalnya di SMA diperlukan pemikiran dilevel

informal deduksi sedangkan hasil tes menunjukkan siswa berada pada level di

bawah informal deduksi. Dengan demikian guru harus berupaya penyusun

skenario pembelajaran yang sesuai agar siswa dapat berkembang pada level yang

diperlukan yaitu informal deduksi, dan mempersiapkan siswa menuju pada level

selanjutnya yaitu level deduksi ataupun rigor agar dapat memahami pembelajaran

geometri pada tingkat SMA dan tingkat yang lebih tinggi.

Untuk mengetahui perkembangan level siswa guru dapat melakukan tes level

van Hiele kembali setelah menjalani banyak proses KBM. Guru tidak dapat

menaikkan level siswa, guru hanya dapat membantu agar siswa dapat berkembang,

siswa sendirilah yang dapat menentukan kapan mereka dapat berkembang ke

tingkat level yang lebih tinggi.

SISWA SMA

TES BERISIKAN SOAL-SOAL

YANG MEWAKILI LEVEL YANG

MUNGKIN BAGI SISWA SMA

KBM

HASIL TES

BERUPA LEVEL

SISWA

BAHAN DASAR

PERENCANAAN

DESAIN KBM

52

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

c. Menyusun Rencana Pembelajaran yang Disesuaikan Dengan Level Siswa

Setelah mengetahui level siswanya, guru dapat menyusun strategi yang cocok.

Penyusunan rencana harus dilakukan dengan mempertim-bangkan penyesuaian

antara level van Hiele siswa, metode pembelajaran yang digunakan, tujuan

pembelajaran pada standar kompetensi dan kompetensi dasar, alokasi waktu, dan

ketersediaan alat dan media sebagai sumber belajar.

Gambar 1.3

Bagan Penyusunan Rencana Pembelajaran

Kegiatan inti pada proses KBM disusun menurut sifat pencapaian van Hiele

yang berisikan 5 tahap, yaitu tahap informasi, tahap orientasi terbimbing, tahap

eksplisitasi, tahap orientasi bebas, dan tahap integrasi yang didesain sesuai level

siswa. Misalnya jika hasil tes menunjukkan siswa paling banyak berada di level

visualisasi, maka kagiatan belajar harus disesuaikan dengan karakter pada level

tersebut.

Hal yang perlu diingat bahwa menurut van Hiele instruksi sangat menentukan

bagi perkembangan siswa ketimbang usia. Sehingga guru harus dapat memilih

kegiatan-kegiatan atau instruksi yang tepat, dapat memilah kegiatan mana yang

tepat dilakukan dan yang tidak dapat dilakukan karena tidak sesuai dengan level

siswa.

Siswa yang berada di level visualisasi memikirkan sesuatu bangun

berdasarkan apa yang mereka lihat. Membuat instruksi, pertanyaan, ataupun lembar

kerja pada level ini harus berdasarkan persepsi yang melibatkan konsep. Aktivitas

belajar yang melibatkan gambar penting untuk dilakukan agar mereka lebih

mengenal akan objek bangun yang dipelajari. Keterangan-keterangan akan konsep

juga perlu diberikan dalam orientasi yang tidak standard, misalnya sudut disebut

sebagai simpang, dan sebagainya agar memudahkan mereka.

LEVEL SISWA

HASIL EVALUASI

DAN HASIL TES

LEVEL

PROSES KBM

DESAIN PEMBELAJARAN

DISESUAIKAN DENGAN

KARATERISTIK LEVEL

SISWA

MENGGUNAKAN 5 TAHAP

(INFORMASI ORIENTASI

TERBIMBING

EKSPLISITASI, ORIENTASI

BEBAS, DAN INTEGRASI

53

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

Selain hal di atas, membuat catatan perkembangan siswa pada setiap pertemuan sangatlah penting untuk dilaksanakan oleh guru sebagai bahan acuan

untuk pembuatan rencana atau desain berikutnya.

d. Mengembangkan Diri ke Tingkat Level yang Diperlukan

Seperti yang dikemukakan oleh van Hiele bahwa kriteria minimal guru untuk

dapat mengajar geometri tingkat menengah dengan baik adalah berada pada level

deduksi ke atas. Berdasarkan penelitian bahwa masih ada guru yang belum

mencapai level tersebut, maka perlu pengembangan diri untuk dapat mencapai

level yang diperlukan.

Pengembangan diri dapat dilakukan dengan jalan memperbanyak pengalaman

belajar dari segi materi dan juga manajemen pembelajaran. Pengalaman belajar dari

segi materi bisa didapat dengan terus mempelajari materi geometri yang bisa

didapat dari berbagai sumber. Pengalaman belajar dan pengetahuan dari segi

manajemen pembelajaran bisa didapat dari proses pengelolaan kegiatan belajar

mengajar, catatan-catatan hasil proses belajar mengajar, keberhasilan dan

kegagalan proses kegiatan belajar mengajar, serta berbagai sumber ilmu yang dapat

dipercaya.

SIMPULAN

Pendalaman materi geometri akan menjadi bekal dalam mempelajari geometri

ditingkat lanjut di perguruan tinggi. Oleh karena itu pemahaman materi geometri di

SMA sangat penting, merupakan keberhasilan proses pembelajaran perlu melakukan

pilihan terhadap metode tau model yang tepat. Pembelajaran berdasarkan teori van

Hiele bisa menjadi alternative pilihan bagi guru yang berdampak positif pada

pemahaman siswa materi geometri.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan dalam menggunakan teori Van Hiele pada

pembelajaran geometri adalah:

1. Memahami konsep teori van Hiele itu sendiri agar dapat menerapkannya.

2. Mengetahui level van Hiele siswa dengan jalan pemberian tes level van Hiele

sehingga memahami cara berpikir siswa.

3. Menyusun strategi atau desain pembelajaran yang efektif sesuai dengan teori van

Hiele dan memperhatikan tujuan pembelajaran agar dapat membantu siswa

berkembang pada level yang diperlukan.

4. Melakukan pengembangan diri agar sesuai dengan kriteria level yang diperlukan

bagi seorang guru.

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, A. 2006. Media Pembelajaran. PT. Raja Grafindo Perkasa. Jakarta.

Abdussakir. 2009. Work Shop Matematika. Jakarta : Depdikbud Direktorat Jendral

Pendidikan Dasar dan Menengah Bagian Proyek Penataran Guru SLTA

Bariyah.2010. Matematika di Sekolah-sekolah Indonesia Dahulu, Sekarang, dan

Masa Depan. Piadato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madia pada Fakultas

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam IKIP Semarang. Semarang.

Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan

Menengah. 2003. Kurikulum 2004 Sekolah Menengah. Pedoman Khusus

Pengembangan Silabus Barbasis Kompetensi Sekolah Menengah Atas Mata

Pelajaran Matematika. Jakarta .

54

Jurnal Intelegensia, Volume 4, Nomor 1, April 2019

Marpaung, Y. 2006. Pendekatan Multikultural dalam Pembelajaran Matematika (Makalah)

Nurhasanah. 2010. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang:

Pendidikan Matematika FPMIPA Unnes.

Sudrajat, Didi. 2016. Meningkatkan Hasil Belajar Mata Kuliah Statistics in

Linguistics Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Mahasiswa Program studi

Pendidikan Bahasa Inggris. Jurnal Cemerlang: Jurnal Pendidikan dan

Pembelajaran, 1(1).

Sudrajat, Didi. 2017. Portofolio: Sebuah Penilaian dalam Kurikulum Berbasis

Kompetensi. Jurnal Intelegensia. Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran. 1(2).

Wiratama. 2007. Diktat Kuliah Teori Pembelajaran Matematika. Semarang : FPMIPA

UNNES

Yaniyawati, P. 2006. Mengajar Menyenangi Matematika. Bandung : Pikiran Rakyat

(edisi 27 Maret 2006).


Recommended