+ All Categories
Home > Documents > Pendekatan Terintegrasi Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam untuk Estimasi Nilai Ekonomis...

Pendekatan Terintegrasi Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam untuk Estimasi Nilai Ekonomis...

Date post: 17-Nov-2023
Category:
Upload: bppt
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
10
ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT Volume 1 336 Pendekatan Terintegrasi Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam untuk Estimasi Dampak Ekonomis Kebakaran Lahan Tahun 2015 di Indonesia Agustan * , Fauziah Alhasanah, Laju Gandharum, Nugraheni Setyaningrum, Ruki Ardiyanto, Andri Purwandani, Riissiyani, Anisah, Doni Fernando Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) * email: [email protected] PENDAHULUAN Teknologi inventarisasi sumberdaya alam yang dikembangkan pada Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merupakan suatu metode terintegrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis keruangan. Metode ini meliputi kegiatan pengenalan pola dan fenomena berbasiskan kompetensi penginderaan jauh dan terestrial; kemudian dimodelkan dengan pendekatan analisis spasial; selanjutnya divaluasi dengan pendekatan akuntansi sumberdaya alam. Fenomena kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia menunjukkan kecenderungan kejadian berulang dari tahun ke tahun dan meningkat saat musim kemarau. Keadaan ini diperparah apabila tejadi anomali iklim pada saat kemarau yang mempengaruhi Benua Maritim Indonesia. Terdapat tiga fenomena iklim global yang mempengaruhi Benua Maritim Indonesia: Southern Oscillation (pada Samudera Pasifik), Dipole Mode atau biasa juga disebut Indian Ocean Dipole (IOD) pada Samudera Hindia, dan Monsun. Ketiga fenomena ini mempunyai siklus dan indeks. Anomali terjadi apabila indeks fenomena ini positif atau negatif. Ketiga fenomena ini sangat terkait dengan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan pergerakan semu matahari. Apabila indeks Southern Oscillation(Southern Oscillation Index/ SOI) positif maka akan terjadi La Nina atau fenomena musim hujan yang lebih panjang di wilayah Indonesia, dan sebaliknya jika indeksnya negatif maka akan terjadi El Nino (ENSO) atau fenemona kemarau yang lebih panjang. Apabila indeks Dipole Mode (Dipole Mode Index / DMI) positif, maka curah hujan di wilayah Indonesia berkurang, dan sebaliknya jika indeks Dipole Mode negatif maka curah hujan akan berlebih di wilayah Indonesia. Apabila indeks Monsun (Monsun Index / MSI) positif maka wilayah Indonesia didominasi musim kemarau dan sebaliknya jika indeksnya negatif, maka sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh musim penghujan. Siklus ini bersifat tahunan. Fenomena anomali iklim ini saat ini dapat diestimasi dengan bantuan sistem pengamatan terintegrasi dengan teknologi penginderaan jauh berbasis satelit. Khusus untuk fenomena Southern Oscillation, hasil analisis dan peringatan dininya dapat diperoleh melalui situs http://stateoftheocean.osmc.noaa.gov/. Variabilitas pola spasial ENSO dan DM dari hasil kajian memperlihatkan bahwa anomali suhu permukaan laut memiliki kecenderungan untuk membentuk pola seperti kejadian ENSO dan DM yang terjadi pada tahun 1982-1983 dan 1997-1998 dimana pada kedua periode tersebut memiliki dampak yang sangat besar di Indonesia berupa kekeringan yang luar biasa dan lama Musim Kering atau Kemarau mencapai 11 bulan. Sehingga fenomena ini harus diwaspadai pada tahun 2015-2016. ENSO merupakan salah satu faktor yang menyebabkan variasi curah hujan di wilayah ekuator daerah pasifik dan biasanya mempunyai siklus 2 – 7 tahunan (Aldrian and Dwi Susanto, 2003; Dobles-Reyes et al., 2013). Salah satu dampak yang terjadi akibat fenomena ENSO dan DMI fase positif adalah makin sering dan mudahnya suatu lahan mengalami kebakaran. Berdasarkan Undang Undang No. 24 Tahun 2007, kekeringan, kebakaran dan kebakaran hutan merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan sebagai bencana. Turunan lain dari kebakaran lahan adalah gangguan asap yang sangat berpengaruh terhadap aspek sosial dan kehidupan sehari-hari karena sifat jangkauan yang dinamis dan tidak dapat dikendalikan. Kebakaran lahan skala besar di Indonesia tercatat sejak tahun 1960-an dan makin sering terjadi pada wilayah Kalimantan bagian selatan dan Sumatera bagian timur (Field and Shen, 2008; Field et al., 2009; Schultz et al., 2008) dan biasanya terkait dengan waktu terjadinya fenomena ENSO (Spessa et al., 2015). Fenomena kebakaran lahan ini menjadi perhatian, karena selain bencana asap yang terjadi juga sangat terkait dengan emisi karbon yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim pada jangka panjang.
Transcript

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

336

Pendekatan Terintegrasi Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam untuk Estimasi Dampak Ekonomis Kebakaran Lahan Tahun

2015 di Indonesia

Agustan*, Fauziah Alhasanah, Laju Gandharum, Nugraheni Setyaningrum, Ruki Ardiyanto, Andri Purwandani, Riissiyani, Anisah, Doni Fernando

Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) *email: [email protected]

PENDAHULUAN

Teknologi inventarisasi sumberdaya alam yang dikembangkan pada Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam (PTISDA) – Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) merupakan suatu metode terintegrasi dalam pengelolaan sumberdaya alam berbasis keruangan. Metode ini meliputi kegiatan pengenalan pola dan fenomena berbasiskan kompetensi penginderaan jauh dan terestrial; kemudian dimodelkan dengan pendekatan analisis spasial; selanjutnya divaluasi dengan pendekatan akuntansi sumberdaya alam.

Fenomena kebakaran lahan yang terjadi di Indonesia menunjukkan kecenderungan kejadian berulang dari tahun ke tahun dan meningkat saat musim kemarau. Keadaan ini diperparah apabila tejadi anomali iklim pada saat kemarau yang mempengaruhi Benua Maritim Indonesia. Terdapat tiga fenomena iklim global yang mempengaruhi Benua Maritim Indonesia: Southern Oscillation (pada Samudera Pasifik), Dipole Mode atau biasa juga disebut Indian Ocean Dipole (IOD) pada Samudera Hindia, dan Monsun. Ketiga fenomena ini mempunyai siklus dan indeks. Anomali terjadi apabila indeks fenomena ini positif atau negatif. Ketiga fenomena ini sangat terkait dengan suhu permukaan laut di Samudera Pasifik, Samudera Hindia dan pergerakan semu matahari.

Apabila indeks Southern Oscillation(Southern Oscillation Index/ SOI) positif maka akan terjadi La Nina atau fenomena musim hujan yang lebih panjang di wilayah Indonesia, dan sebaliknya jika indeksnya negatif maka akan terjadi El Nino (ENSO) atau fenemona kemarau yang lebih panjang. Apabila indeks Dipole Mode (Dipole Mode Index / DMI) positif, maka curah hujan di wilayah Indonesia berkurang, dan sebaliknya jika indeks Dipole Mode negatif maka curah hujan akan berlebih di wilayah Indonesia. Apabila indeks Monsun (Monsun Index / MSI) positif maka wilayah Indonesia didominasi musim kemarau dan sebaliknya jika indeksnya negatif, maka sebagian besar wilayah Indonesia didominasi oleh musim penghujan. Siklus ini bersifat tahunan. Fenomena anomali iklim ini saat ini dapat diestimasi dengan bantuan sistem pengamatan terintegrasi dengan teknologi penginderaan jauh berbasis satelit. Khusus untuk fenomena Southern Oscillation, hasil analisis dan peringatan dininya dapat diperoleh melalui situs http://stateoftheocean.osmc.noaa.gov/.

Variabilitas pola spasial ENSO dan DM dari hasil kajian memperlihatkan bahwa anomali suhu permukaan laut memiliki kecenderungan untuk membentuk pola seperti kejadian ENSO dan DM yang terjadi pada tahun 1982-1983 dan 1997-1998 dimana pada kedua periode tersebut memiliki dampak yang sangat besar di Indonesia berupa kekeringan yang luar biasa dan lama Musim Kering atau Kemarau mencapai 11 bulan. Sehingga fenomena ini harus diwaspadai pada tahun 2015-2016. ENSO merupakan salah satu faktor yang menyebabkan variasi curah hujan di wilayah ekuator daerah pasifik dan biasanya mempunyai siklus 2 – 7 tahunan (Aldrian and Dwi Susanto, 2003; Dobles-Reyes et al., 2013). Salah satu dampak yang terjadi akibat fenomena ENSO dan DMI fase positif adalah makin sering dan mudahnya suatu lahan mengalami kebakaran. Berdasarkan Undang Undang No. 24 Tahun 2007, kekeringan, kebakaran dan kebakaran hutan merupakan suatu kejadian yang dapat digolongkan sebagai bencana. Turunan lain dari kebakaran lahan adalah gangguan asap yang sangat berpengaruh terhadap aspek sosial dan kehidupan sehari-hari karena sifat jangkauan yang dinamis dan tidak dapat dikendalikan.

Kebakaran lahan skala besar di Indonesia tercatat sejak tahun 1960-an dan makin sering terjadi pada wilayah Kalimantan bagian selatan dan Sumatera bagian timur (Field and Shen, 2008; Field et al., 2009; Schultz et al., 2008) dan biasanya terkait dengan waktu terjadinya fenomena ENSO (Spessa et al., 2015). Fenomena kebakaran lahan ini menjadi perhatian, karena selain bencana asap yang terjadi juga sangat terkait dengan emisi karbon yang sangat berpengaruh terhadap perubahan iklim pada jangka panjang.

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

337

Kajian yang dilakukan oleh Saatchi et al., (2011) mengestimasi bahwa total kandungan karbon Indonesia sekitar 14 Giga Ton dari sektor hutan; dan sekitar 60 Giga Ton yang terkandung pada lahan gambut (Page et al., 2011). Kejadian kebakaran lahan pada tahun 1997 yang bertepatan dengan ENSO diperkirakan melepaskan karbon sebanyak 1 Giga Ton (Page et al., 2002).

Tulisan ini menjelaskan kajian penerapan teknologi inventarisasi sumberdaya alam dalam mengestimasi dampak ekonomis akibat kebakaran lahan pada rentang waktu Juni – Oktober 2015. Kajian ini mencakup pengolahan data satelit untuk mengidentifikasi lahan terbakar, pemodelan sebaran lahan terbakar pada tutupan lahan, estimasi luasan lahan terbakar dan fungsi tutupan lahannya menggunakan analisis spasial dan estimasi dampak ekonomis berdasarkan akuntansi sumberdaya alam.

DATA DAN METODE

Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data satelit MODIS untuk 3 epok pengamatan (Juni, September dan Oktober 2015) wilayah Sumatra-Kalimantan; data satelit LANDSAT 7ETM+ dan LANDSAT 8 OLI-TIRS; serta data satelit ALOS-2 untuk wilayah pantai timur Sumatra Selatan epok pengamatan Juli dan Oktober. Selain itu data spasial penggunaan lahan yang bersumber dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Badan Informasi Geospasial; data sebaran gambut yang diperoleh dari Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP) – Kementerian Pertanian.

Perangkat lunak yang digunakan adalah ENVI (untuk data MODIS), SNAP (untuk data LANDSAT dan ALOS-2) dan ArcGIS-QGIS (untuk pemodelan data spasial). Perhitungan luas lahan terbakar dilakukan berbasiskan pada poligon yang diperoleh dari pengolahan citra satelit.

Metode Pengolahan Data MODIS

Pengolahan data satelit MODIS untuk identifikasi lahan terbakar, dilakukan dengan pendekatan identifikasi perubahan nilai spektral tiap piksel data citra dari dua waktu pengamatan yang berbeda. Pola spektral dari dua waktu pengamatan untuk kondisi lahan yang normal (misalnya tertutup vegetasi) dengan kondisi lahan yang terbakar pada lokasi yang sama dibandingkan. Tumbuhan lebih cenderung untuk memantulkan radiasi panjang gelombang near infra-red(NIR)sedangkan lahan yang terbakar lebih cenderung untuk memantulkan radiasi panjang gelombang tampak, short wave infra-red (SWIR) dan menyerap NIR.

Berdasarkan prinsip ini, beberapa algoritma dibangun untuk aplikasi identifikasi kebakaran lahan yaitu:

1. Normalized Difference Vegetation Index (NDVI) oleh Tucker(1979) merupakan algoritma paling awal untuk mengidentifikasi vegetasi;

2. Burned Area Index (BAI) oleh Martín(1998) yang mengintegrasikan informasi gelombang merah dan NIR;

3. Burned Area Index adapted to MODIS bands (BAIM) oleh Martín et al.(2006) yang memodifikasi BAI dengan tambahan SWIR;

4. Normalized Burn Ratio (NBR) oleh Key and Benson(1999) yang menggunakan nilai reflektansi maksimum antar 2 waktu pengamatan dengan kriteria NIR yang menurun dan SWIR yang meningkat.

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

338

Tahapan pengolahan data MODIS dijelaskan sebagai berikut:

1. Citra Aqua MODIS dapat diperoleh secara gratis yang diunduh dari website http://ladsweb.nascom.nasa.gov/data/search.html, dalam format data HDF (Hierarchical Data Format).

2. Koreksi Geometrik. Koreksi yang pertama dilakukan yaitu koreksi geometrik. Koreksi geometrik dilaksanakan untuk memberikan informasi ketepatan letak koordinat citra terhadap letak sebenarnya di permukaan bumi. Software ENVI 4.2 sudah menyediakan fasilitas koreksi geometrik untuk data citra MODIS, yaitu pada menu Map kemudian georeference MODIS

Gambar 1. Sebelum terkoreksi geometrik (kiri), sesudah terkoreksi (kanan)

3. Koreksi Bowtie. Koreksi Bowtie bertujuan untuk memperbaiki bagian data citra yang mengalami overlap. Overlap terjadi karena terdapat peningkatan Instantaneous Field of View (IFOV) dari 1x1 km dari titik terendah. Titik hampir mendekati 2 x 5 km pada sudut scan maksimum yaitu 55°.

Gambar 2. Sebelum terkoreksi Bowtie (kiri), sesudah terkoreksi (kanan)

4. Koreksi Radiometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki visual citra dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral obyek yang sebenarnya. Untuk citra MODIS, koreksi radiometrik dilakukan dengan cara menghitung nilai radiansi dan nilai reflektansi. Nilai radiansi dihitung untuk saluran termal (20-36 kecuali 26) dan sensor zenith, sedangkan nilai reflektansi dihitung untuk saluran tampak dan inframerah termal (1-19 dan 26).

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

339

Nilai radiansi dihitung menggunakan formula berikut ini:

Rb = R_scaleb ( SIb – R_offsetsb)

dimana:Rb = Nilai radiansi saluran ke-b; R_Scaleb = Nilai skala (Radiance scale) pada saluran ke-b; Sib = Sign Integer saluran ke-b; R_offsetsb = Nilai offset (Radiance offsets) saluran ke-b.

Nilai radiansi sensor zenith dihitung menggunakan formula berikut ini:

Rz = R_scalez * iz * pi/180 dimana: Rz = Nilai radiansi sensor zenith; R_scalez = Nilai skala (Radiance scale) pada sensor zenith;

iz = Sensor zenith. Nilai reflektansi dihitung menggunakan formula berikut ini:

Refb = Ref_Scaleb * (Bb - Ref_offsetsb) dimana: Refb = Nilai reflektansi saluran ke b; Ref_Scaleb = Nilai skala (Reflectance scale); Bb =

Saluran ke-b; Ref_offsetsb = Nilai offset (Reflectance offsets) saluran ke-b.

Gambar 3. Sebelum terkoreksi Radiometrik (kiri), sesudah terkoreksi (kanan)

5. Masking daratan. Masking daratan bertujuan untuk mendapatkan kenampakan daerah administrasi yang diharapkan dari hasil pemotongan citra.

Gambar 4. Sebelum Masking (kiri), sesudah Masking (kanan)

6. Pembuatan Citra Transformasi Indeks Burn Area. Transformasi menggunakan NBR (Normalized Burn Ratio). Nilai NBR masing–masing hasil pengolahan per perekaman ditampilkan untuk dianalisis. Kriteria nilai NBR yang digunakan adalah memenuhi kedua syarat: 0< NBR2 ≤ 0,3718 dan ∆NBR ≤ -0,3878.

7. Validasi data vektor yang dihasilkan dari proses perekaman nilai NBR. Validasi ini menggunakan data density yang dibangun dari data hotspot NASA, citra resolusi lebih tinggi seperti citra LANDSAT serta citra satelit ALOS-2 dengan mode observasi ScanSAR dan finebeam. Algoritma yang digunakan umumnya adalah NBR dengan tahapan yang dikemukakan oleh Bastarrika et al. (2011). Prinsip pengolahan data SAR untuk identifikasi kebakaran lahan dilakukan berdasarkan algoritma yang dikemukakan oleh Polychronaki et el. (2010).

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

340

Alur pengolahan identifikasi lahan terbakar dengan data MODIS:

Metode Pengolahan Satelit LANDSAT

Data satelit LANDSAT digunakan untuk membantu validasi secara visual dari hasil poligon yang dihasilkan dari pengolahan citra satelit MODIS. Algoritma yang digunakan umumnya adalah NBR dengan tahapan yang dikemukakan oleh Bastarrika, et al. (2011).

Pengolahan data satelit ALOS-2

Beberapa citra satelit ALOS-2 dengan mode observasi ScanSAR dan finebeam digunakan untuk validasi selain densitas titik panas (hotspot) dari NASA. Prinsip pengolahan data SAR untuk identifikasi kebakaran lahan dilakukan berdasarkan algoritma yang diajukan oleh Polychronaki et al. (2013).

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

341

Metode Analisis Spasial

Untuk melihat distribusi lahan terbakar pada tutupan lahan, metode tumpang susun dan analisis spasial berbasis sistem informasi geografis dilakukan. Berbagai data spasial yang terkait, utamanya data tutupan lahan dikumpulkan dari berbagai sumber utamanya dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Metode Valuasi Sumberdaya Alam

Hasil analisis spasial berupa poligon lahan terbakar pada penggunaan lahan tertentu divaluasi berdasarkan prinsip akuntansi sumberdaya alam. Beberapa metode dilakukan untuk melakukan hal ini yaitu metode penilaian langsung berdasarkan harga pasar; metode CVM (contingent valuation method) untuk memberi harga atau komoditas ataulingkungan yang tidak ada harga pasarnya yaitu dengan WTP (willingness to pay) dan WTA(willingness to accept).

HASIL DAN REKOMENDASI

Hasil Identifikasi Lahan Terbakar

Identifikasi awal dari berbagai data set rekaman satelit MODIS rentang waktu Juni – Oktober 2015, terlihat bahwa liputan awan terdapat di beberapa lokasi. Untuk itu diperlukan validasi visual dengan bantuan data LANDSAT dan ALOS-2.

Gambar 5. Ilustrasi citra radar ALOS-2 Sumatera Selatan tanggal 27 Juli 2015 (kiri) dan tanggal 5 Oktober 2015 (kanan)

Gambar 6. Hasil pengolahan (kiri) divalidasi dengan data Hotspot ditandai dengan titik warna merah (kanan)

Gambar di atas memperlihatkan hasil pengolahan data ALOS-2 dalam mengidentifikasi lahan terbakar berdasarkan prinsip perubahan tutupan permukaan lahan. Wilayah yang diyakini sebagai lahan terbakar dijadikan sebagai acuan dalam melakukan identifikasi dan klasifikasi piksel pada lokasi yang sama yang dihasilkan pada MODIS. Selain menggunakan data ALOS-2, citra satelit LANDSAT juga digunakan untuk validasi secara visual untuk lebih memastikan.

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

342

Gambar 7. Ilustrasi identifikasi lahan terbakar Citra LANDSAT Merauke, Provinsi Papua pada tanggal 22

September 2015

Tabel 1. Estimasi lahan terbakar pada tujuh provinsi

Riau Jambi Sumatera Selatan

Kalimantan Barat

Kalimantan Tengah

Kalimantan Selatan

Kalimantan Timur Papua Total

Belukar Rawa 6,166.04 35,183.74 217,514.42 43,297.89 134,587.91 9,327.82 56,270.07 28,940.69 531,288.58

Hutan Lahan Kering Primer - - 49.91 25.19 - 954.68 1,827.17 78,376.69 81,233.64 Hutan Lahan Kering Sekunder 58,987.34 28,273.50 11,639.24 10,025.36 10,613.84 32,674.76 47,520.11 32,605.06 232,339.20

Hutan Mangrove Primer - - 1,019.84 - 80.71 41.05 117.64 47.90 1,307.13

Hutan Mangrove Sekunder 47.51 228.44 3,054.30 1,167.32 3,672.02 850.54 5,281.95 680.47 14,982.56

Hutan Rawa Primer

255.58 1,484.98 5,088.43 - 791.19 - 1,627.11 34,307.52 43,554.81 Hutan Rawa Sekunder 17,059.80 16,758.14 20,908.97 31,280.42 46,518.56 17.96 3,143.70 23,665.44 159,352.98 Hutan Tanaman 8,817.62 1,916.05 43,877.06 - 29.61 24,088.60 25,649.42 - 104,378.36

Perkebunan 9,664.88 12,496.28 18,020.37 5,833.11 9,358.49 29,021.44 34,547.18 640.26 119,582.01 Pertambangan - - 3,619.71 5,924.39 119.12 14,656.97 5,505.45 - 29,825.64 Pertanian Lahan Kering 322.57 1,151.88 59,098.97 304.78 186.34 66,822.51 2,548.74 594.89 131,030.68 Pertanian Lahan Kering Campur 3,235.09 9,094.19 100,418.34 3,324.29 27,467.88 15,756.07 32,853.80 3,231.77 195,381.44

Rawa 26.82 1,552.32 22,077.80 6,266.04 162,204.36 1,188.94 8,139.50 37,381.94 238,837.72

Sawah 1,496.79 3,604.08 18,147.64 3,045.35 11,605.70 43,349.03 974.53 - 82,223.13

Semak Belukar

12,838.68 5,319.83 58,800.76 18,565.70 16,491.10 43,999.39 128,771.71 20,543.22 305,330.38

Tanah Terbuka

20,553.92 5,864.19 24,901.72 49,108.56 5,160.44 9,053.37 32,784.30 7,134.74 154,561.24

Total 139,472.64 122,927.64 608,237.48 178,168.39 428,887.28 291,803.13 387,562.37

268,150.58

2,425,209.51

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

343

Hasil pengolahandata pada daerah kajian yaitu 8provinsi (3 di Pulau Sumatera, 4 di Pulau Kalimantan dan 1 di Papua), lahan yang teridentifikasi terbakar tersebar pada 77 Kabupaten/Kota. Total luas lahan terbakar diestimasi melalui analisis data MODIS dengan algoritma Normalized Burn Ratio (NBR) adalah sekitar 2,425,209.50hektar. Sebaran lokasi ini selanjutnya ditumpangsusunkan (overlay) dengan data spasial penutup lahan edisi tahun 2011 yang diterbitkan oleh Badan Planologi Kehutanan.

Gambar 8. Ilustrasi sebaran lahan terbakar pada periode Juni – Oktober 2015

Estimasi dampak ekonomis terkait kebakaran lahan pada penggunaan lahan tertentu diestimasi berdasarkan metode yang telah dijelaskan di atas.

Tabel 2. Estimasi dampak ekonomis terkait kebakaran lahan

No. Penggunaan lahan Metode Luas (Ha) Pengali Ekonomi (Rupiah)

Total Rupiah (Milyar)

1 Belukar Rawa harga pasar 531,288.58 102,566 54

2 Hutan Lahan Kering Primer Benefit Transfer yang diadaptasi dari Natural Resources Management (NRM) 81,233.64 504,100 41

3 Hutan Lahan Kering Sekunder Benefit Transfer yang diadaptasi dari Natural Resources Management (NRM) 232,339.20 204,100 47

4 Hutan Mangrove Primer Willingness To Pay (WTP) 1,307.13 1,515,357 2

5 Hutan Mangrove Sekunder Willingness To Pay (WTP) 14,982.56 515,357 8

6 Hutan Rawa Primer Willingness To Pay (WTP) 43,554.81 1,515,357 66

7 Hutan Rawa Sekunder Willingness To Pay (WTP) 159,352.98 515,357 82

8 Hutan Tanaman Harga Pasar 104,378.36 3,553,000 371

9 Perkebunan Harga Pasar 119,582.01 2,528,020 302

10 Pertambangan Harga Pasar 29,825.64 - -

11 Pertanian Lahan Kering Harga Pasar 131,030.68 1,603,958 210

12 Pertanian Lahan Kering Campur Harga Pasar 195,381.44 2,797,473 547

13 Rawa

Ekowisata (Travel Cost Method/TCM); Nilai pertanian,nilai pakan ternak, nilai perikanan, Nilai kayu bakar, nilai air (harga pasar); penyerapan karbon (Harga pasar, Contingen Valuation Method, WTP) 238,837.72 1,028,476 246

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

344

14 Sawah WTP 82,223.13 1,817,589 149

15 Semak Belukar Harga Pasar 305,330.38 102,566 31

16 Tanah Terbuka Harga Pasar 154,561.24 - -

Total 2,425,209.50 2,157

KESIMPULAN DAN PENUTUP

Penerapan integrasi teknologi inventarisasi sumberdaya alam yang meliputi karakterisasi, pemodelan spasial dan valuasi sumberdaya alam bermanfaat untuk mengkaji dampak kebakaran lahan di Indonesia. Teknologi penginderaan jauh berbasis satelit dapat mengidentifikasi lahan yang diperkirakan terbakar. Informasi ini dapat ditumpangsusunkan dengan informasi spasial penggunaan lahan menggunakan sistem informasi geografis. Selanjutnya dampak ekonomis dapat diestimasi melalui pendekatan valuasi sumberdaya alam berdasarkan nilai ekonomis lahan terbakar tersebut. Pada kejadian kebakaran lahan periode Juni – Oktober 2015 di Indonesia, luas lahan terbakar diperkirakan seluas 2.4 juta hektar dengan total dampak ekonomis langsung terkait penggunaan lahan adalah sekitar 2.1 Trilyun rupiah.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E. and Dwi Susanto, R.: Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia and their relationship to sea sur- face temperature, Int. J. Climatol., 23, 1435–1452, 2003.

A. Bastarrika, E. Chuvieco, M.P. Martin.: Mapping burned areas from Landsat TM/ETM plus data with a two-phase algorithm: Balancing omission and commission errors, Remote Sensing of Environment, 115 (2011), pp. 1003–1012

Doblas-Reyes, F. J., García-Serrano, J., Lienert, F., Biescas, A. P., and Rodrigues, L. R.: Seasonal climate predictability and fore- casting: status and prospects, Wiley Interdisciplinary Reviews: Climate Change, 4, 245–268, 2013.

Field, R. D. and Shen, S. S. P.: Predictability of carbon emissions from biomass burning in Indonesia from 1997 to 2006, J. Geo- phys. Res.-Biogeo., 113, G04024, doi:10.1029/2008JG000694, 2008.

Field, R. D., van der Werf, G. R., and Shen, S. S. P.: Human ampli- fication of drought-induced biomass burning in Indonesia since 1960, Nat. Geosci., 2, 185–188, 2009.

Key, C.H., Benson, N.C., 1999. Measuring and remote sensing of burn severity: the CBI and NBR. In: Neuenschwander, L.F., Ryan, K.C. (Eds.), Proceedings Joint Fire Science Conference and Workshop, vol. 2. University of Idaho and International Association of Wildland Fire, p. 284 (Boise, ID, 15–17 June 1999).

Martín, M.P. 1998. Cartografía e inventario de incendios forestales en la Península Ibérica a partir de imágenes NOAA-AVHRR. In Departamento de Geografía. Alcalá de Henares: Universidad de Alcalá. Mapping and inventary of forest fires in Spain from NOAA-AVHRR data. PhD dissertation, Geography department. Alcalá University, Spain.

Martín, M.P., Gómez, I., Chuvieco, E. 2006. Burnt area index (BAIM) for burned area discrimination at regional scale using MODIS data. In: X. Viegas (Ed.), Proceedings of the V International Conference on Forest Fire Research, Coimbra, Portugal.

Page, S. E., Rieley, J. O., and Banks, C. J.: Global and regional importance of the tropical peatland carbon pool, Glob. Change Biol., 17, 798–818, 2011.

Page, S. E., Siegert, F., Rieley, J. O., Boehm, H. D. V., Jaya, A., and Limin, S.: The amount of carbon released from peat and forest fires in Indonesia during 1997, Nature, 420, 61–65, 2002.

Polychronaki, A.; Gitas, I.Z.; Veraverbeke, S.; Debien, A. Evaluation of ALOS PALSAR imagery for burned area mapping in Greece using object-based classification. Remote Sens 2013, 5, 5680–5701

Saatchi, S. S., Harris, N. L., Brown, S., Lefsky, M., Mitchard, E. T., Salas, W., and Morel, A.: Benchmark map of forest carbon stocks in tropical regions across three continents, P. Natl. Acad. Sci., 108, 9899–9904, 2011.

ISBN : 978-602-1124-96-3 Prosiding Pertemuan Ilmiah Nas BPPT

Volume 1

345

Schultz, M. G., Heil, A., Hoelzemann, J. J., Spessa, A., Thonicke, K., Goldammer, J. G., and van Het Bolscher, M.: Global wildland fire emissions from 1960 to 2000, Global Biogeochem. Cy., 22, GB2002, doi:10.1029/2007GB003031, 2008.

Spessa, A.C., R.D. Field, F. Pappenberger, A. Langner, S. Englhart, U. Weber, T. Stockdale, F. Siegert, J.W. Kaiser, and J. Moore, 2015: Seasonal forecasting of fire over Kalimantan, Indonesia. Nat. Hazards Earth Syst. Sci., 15, 429-442, doi:10.5194/nhess-15-429-2015.

Tucker, C.J., 1979. Red and photographic infrared linear combinations formonitoring vegetation. Remote Sens. Environ. 8, 127–150.

---o0o---


Recommended