Date post: | 17-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | iainmataram |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN
Oleh:
Siti Nurul Khaerani1
Abstraks :
Menguatnya isu-isu Gender yang disuarakan oleh barat, yang bukan hanya menyentuh tradisi aktual
yang berlatarkan tradisi kultur, yang terjadi di belahan Dunia Islam, lebih dari itu tradisi aktual
ideologis juga tidak lepas dari perhatiannya. Berbagai problematika yang dihadapi oleh perempuan
perempuan di Dunia Islam, oleh sebagian pihak beranggapan bahwa faktor utama penyebabnya
adalah tradisi ideologis Islam. Anggapan semacam ini kemudian bukan hanya terjangkit pada
kalangan pengkaji Gender Barat, tetapi juga di kalangan Islam itu sendiri. Upaya yang dilakukan
adalah dengan melakukan penggusuran besar-besaran, dengan tanpa membedakan antara tradisi
kultur dengan tradisi ideologis, asalkan (menurut mereka) bertentangan dengan undang-undang
kemanusiaan (hak-hak perempuan), maka harus disingkirkan. Maka muncullah kemudian
pendhoi‟fan hadits-hadits yang sebelumnya oleh muhaddits dikategorikan sebagai hadits sohih,
reinterpretasi ayat-ayat al-Qur‟an yang dinilai kurang berpihak kepada kaum perempuan. Bahkan
sering ditenggarai penyebabnya adalah mereka (mujtahid) yang melakukan upaya keras dalam
pembentukan hukum-hukum, baik ahli hadist, fuqaha, mufassir, karena kebanyakan mereka adalah
dari kaum lelaki maka pendiskriminasian terhadap kaum perempuan tidak jarang dilakukan.
Karena itulah dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan apa kata Al-Qur‟an tentang perempuan.
Penulis akan mengemukakan pendapat para mufassir yang berkompeten dalam bidangnya. Dengan
harapan tulisan ini dapat memberikan sekelumit penjelasan tentang perempuan, apakah demikian
bahwa al-Qur‟an juga mendiskriditkan, atau mendiskriminasikan kaum perempuan. Laki dan
perempuan adalah dua makluk yang keduanya adalah hamba Tuhan yang disebut manusia, lalu
kenapa ada perbedaan.
Keywords :
Perempuan, Mufassir, al-Qur’an
A. Sekilas Perempuan dalam Perjalanan Sejarah
Isu-isu perempuan akhir-akhir ini menjadi sebuah diskursus yang cukup menarik baik
dikalangan akademisi maupun praktisi yang gerakannya dikenal dengan Gender. Di kalangan umat
Islam Isu-isu ini bukanlah hal yang baru, dan bukan hanya sebatas wacana bahkan lebih dari itu telah
manjadi sebuah tradisi aktual dalam masyarakat muslim.
1 Penulis adalah dosen IAIN Mataram, dan sebagai ketua Pusat Studi Wanita di IAIN Mataram.
Sebagai studi komparatif, bagaimana perempuan dalam perjalanan sejarah ditengah hiruk-
pikuk perkembangan filsafat dan peradaban dunia sebelum datangnya Al-Qur‟an, maka menjadi penting
untuk diungkap. Tanpa informasi yang demikian itu, kita tidak akan dapat mengetahui bagaimana
revolusi hak-hak perempuan dalam Islam. Sehingga barometer yang kita gunakan dapat menunjukkan
angka yang standar dan objektif dalam melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi, sebelum Islam
dengan sesudah Islam.
Dalam masyarakat Yunani, yang terkenal dengan rasionalitas berfikirnya, tidak banyak
membicarakan hak dan kewajiban perempuan. Dikalangan bangsawan wanita-wanita ditempatkan di
Istana-Istana yang tidak memiliki kebebasan untuk bertindak dan berbuat. Keterkungkungan mereka
terhadap tradisi keningratan yang tidak terelakkan, telah menciptakan dunia baru bagi mereka yang jauh
dari fitrah dan tuntutan nurani seorang perempuan. Sementara dikalangan masyarakat bawah (Jajar
karang) nasib mereka memperihatinkan. Jual beli perempuan (export-inport perempuan) menjadi bisnis
yang menjanjikan. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak-hak warispun tidak diperolehnya.
Sementara dalam masyarakat Romawi, lelaki memiliki kekuasaan penuh terhadap perempuan,
karenanya mereka (ayah atau suami) berhak untuk menjual, menganiaya dan bahkan membunuh
sekalipun. Baru pada abad ke-6 Masehi, pada zaman kaisar Constantinovel diundangkannya hak
pemilikan perempuan yang terbatas, itupun atas persetujuan keluarga.
Cina yang terkenal dengan kemajuan peradabannya, yang juga tempat berkembangnya agama-
agama Besar, memiliki tradisi yang tidak menghargai hak hidup perempuan. Dalam tradisi Hindu
seorang perempuan harus mengakhiri hidupnya dengan dibakar, karena suaminya yang meninggal
dibakar (ngaben).
Dikalangan orang-orang Yahudi perempuan sering ditenggarai sebagai sumber malapetaka.
Ajaran mereka mengganggap bahwa perempuan sebagai sumber laknat, karena perempuanlah Adam
terusir dari Surga.
Sebelum datangnya Islam dalam masyarakat Jahiliyah, memiliki anak perempuan adalah
sebuah ke‟aiban dalam masyarakat. Sehingga tidak jarang orang tua menanam anak perempuannya
hidup-hidup, hanya untuk menutupi rasa malu terhadap masyarakat. Sedangkan kalau anaknya yang
lahir lelaki maka mereka sangat-sangat bangga dan ingin supaya diketahui oleh masyarakat. Dan banyak
yang lain-lainnya yang tidaklah memungkinkan untuk diuraikan dalam makalah ini.
B. Pembahasan
Perempuan dalam Al-Qur’an
Beberapa pandangan yang sampai sekarang ini masih berbekas dalam memori kita tentang
“perempuan”. Mulai dari asal kejadian perempuan, malapetaka terusirnya Adam as. yang disebabkan
oleh perempuan (Hawa), sampai pada kehidupan di dunia, dimana penghuninya masuk neraka karena
perempuan, dan yang lebih menghebohkan lagi adalah nanti di akhirat yang paling banyak masuk
neraka adalah perempuan. Amat menyesallah mereka yang dilahirkan kedunia ini sebagai seorang
perempuan.
1. Asal –Usul Perempuan
Ada anggapan bahwa mula-mula yang diciptakan oleh Allah adalah Adam as. Baru kemudian
karena Adam kesepian maka Allah menciptakan Hawa yang akan menemaninya di Surga. Dan
dikatakan bahwa Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam as. Perbedaan material
penciptaan antara Adam dengan Hawa, telah memunculkan persepsi negatif tentang perempuan,
tentunya karena adanya Adam, Hawa itu ada. Maka dengan sendirinya Adam (laki-laki) lebih mulia dari
pada Hawa (perempuan). Pandangan yang demikian ini mengesankan kerendahan derajat
kemanusiaannya dibanding dengan lelaki.
Benar ada sebuah hadits nabi yang dinilai shahih yang menjelaskan;
“Saling pesan memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan
dari tulang rusuk yang bengkok.”2
Hadis ini yang oleh sebagian orang dipahami secara harfiyah. Muhammad Rasyid Ridha,
dalam Tafsir Al-Manar, menulis: Seandainya tidak tercantum kisah kejadian adam dan Hawa dalam
2 Diriwayatkan oleh Buhari, Muslim dan Tirmizi dari sahabat Abu Hurairah.
kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)3 dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas,
niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.4
Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majzi (kiyasan), dalam arti
bahwa hadits tersebut mengingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan secara arif. Karena ada
sifat, karakter, dan kecendrungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, bila tidak disadari akan
membawa lelaki untuk bersikap tidak wajar terhadap perempuan. Mereka tidak akan mampu merubah
sifat dan karakter perempuan perempuan. Kalau dipaksakan maka akan berakibat fatal, fatalnya
sebagaimana meluruskan tulang rususk yang bengkok, patah.
Sebuah hadis lain yang secara jelas menegaskan tentang hal ini, adalah hadis yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah;
قاه ع سيسج زضي للاه : حديث أتي ظيه عي يه للاه قاه زظه للاه
ي سأج ماىلض ه ى ج ا ع ف ا رعد ت ا ظر ذسمر ا ا معسذ ثد ذق ذ ذ5
Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda:
Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk. Jika kamu mencoba untuk meluruskannya, ia akan
patah. Tetapi kalau kamu biarkan (memperlakukannya secara bijaksana), maka kamu akan dapat
menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok.
Dalam hadits di atas secara jelas disebutkan bahwa perempuan itu seperti tulang rusuk yang
bengkok “ ي سأج ماىلض ه ى “, jadi tulang rusuk yang dimaksud adalah bukan pada asal kejadiannya
sebagaimana khabar Israiliyat di atas, melainkan pada karakter, sifat perempuan. Karena itu
memperlakukan perempuan dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang humanis dan bijak.
Tentang asal kejadian perempuan al-Qur‟an menegaskan bahwa antara lelaki dan perempuan
tidak ada perbedaan. Allah SWT. berfirman dalam kitabnya:
ه للاه أذقام د للاه ع ن ه أمس قثائو ىرعازف شعتا جعيام ث أ ذمس ا ىهاض ها خيقام ياأي
م خث سم (13)عي 6
3 Ketika Adam tertidur lelap, maka diambilnya oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu
dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. 4 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Almanar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H Jilid IV, h. 330.
5 Hadis Riwayat Bukhari dalam bab Qisasul Ambiya‟ no. 3084, Muslim meriwayatkannya dalam bab Persusuan no.
2669, dan Tirmizi di dalam bab Talaq, no. 1109, Ahmad bin Hambal dalam bab Juzuk, Addarimi dalam bab Nikah, no 2125. 6 QS. Al-Hujurat, ayat 13
Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan
perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-sukuagar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.
Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa antara lelaki dan perempuan tidak ada perbedaan.
Penciptaan lelaki dan perempuan menurut ayat di atas dalam satu paket. Ketika manusia diciptakan,
terdiri dari lelaki dan perempuan. Ayat tersebut sekaligus juga menjelaskan kemuliaan manusia- baik
lelaki maupun perempuan- yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, ataupun jenis kelamin,
tetapi ketakwaannya kepada Allah yang menentukan derajat kemuliaan.
Ayat Al-Qur‟an yang dengan tegas menjelaskan kesamaan antara lelaki dan perempuan dan
sekaligus menepis anggapan perbedaan asal kejadian antara lelaki dan perempuan adalah surat An-Nisa‟
ayat 1:
عاء ا زجال مث س تثه ا ج ا ش خيق حدج فط ىهري خيقن ا ىهاض ذهق زتهن ياأي7
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari Nafs yang
satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduannya Allah
perkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.
Namun demikian beberapa mufassir, memiliki pandangan yang berbeda terhadap ayat di atas,
Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksudkan dengan حدج فط , adalah
Adam as. Sedangkan ungkapan ا ج ا ش خيق yang dimaksudkan adalah Hawa as. Ibnu Katsir
dalam menjelaskan ayat tersebut menguatkan argumennya dengan menggunakan hadits yang
diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas, ( ي سأج ماىلض ه ى ).8 Pendapat yang sama juga dikemukan
oleh Al-Qurtubi 9dan Jalaluddin As-Syuyuti,
10 dan beberapa mufassir lainnya.
Dari pandangan tersebut di atas yang berpendapat nafs adalah Adam, dan zaujaha, yang
artinya “pasangannya”, mengarahkan pada istrinya yaitu Hawa. Para mufassir terdahulu memahami
bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Jadi kalau Adam (lelaki) diciptakan Allah
dengan material awal (turab), maka Hawa (perempuan) bahan materialnya adalah diambil dari Adam itu
7 QS. An-Nisa, ayat 1.
8 Lihat Penjelasan Surat An-Nisa‟ ayat 1, dalam “Tafsir Ibnu Katsir”, CD Kitab tafsir.
9 Lihat juga penafsiran Al-Qurtubi tentang surat An-Nisa‟ ayat 1dalam tafsirnya “ Tafsit al-Qurtubi”, CD kitab Tafsir.
10 Jalaluddin As-Syuyuti, surat An-Nisa‟ ayat 1 dalam tafsirnya, “Tafsir Jalalain” , CD kitab Tafsir.
sendiri (nafs), pada penciptaan Adam sebagai potensi adalah adanya turab, sedangkan pada penciptaan
Hawa sebagai potensi adalah Adam.
Mufassir belakangan menolak pendapat tersebut, seperti Muhammad Abduh misalnya yang
memahami arti kata nafs, dengan jenis. Jadi manusia (Adam dan Hawa) diciptakan Allah dari satu
potensi yang sama ( حدج فط ). Tidak ada perbedaan dari keduanya, karena sama maka keduanya
memiliki derajat kemanusian yang sama. Quraish Sihab dengan tegas menolak pendapat yang pertama
di atas, sependapat dengan yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha, bahwa pendapat yang mengarahkan
pemahaman Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah Israiliyah.11
Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan apabila pemahaman pertama (nafs adalah Adam),
maka akan memberikan sebuah pemahaman bahwa perempuan adalah manusia kelas dua. Adamlah
yang sebagai manusia asal. Beberapa ayat lain yang dapat dikemukakan yang menegaskan bahwa lelaki
dan perempuan memiliki persamaan unsur kejadian Adam (lelaki) dan Hawa (perempuan), dan
persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra‟ ayat 70,
عي مث س يا فله ىطه ضثاخ زشقا ىثحس في ىثسض يا ح ا تي ء د ىقد مسه
خيقا ذفل ي ه
Sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak adam, kami angkat di daratan dan di lautan (untuk
memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rizki yang baik-baik, dan kami
lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk-mahluk yang yang kami
ciptakan.
Terhadap ayat tersebut Quraish Shihab menjelaskan, kalimat anak-anak Adam ( ,( تي ء د
mencakup lelaki dan perempuan. Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikannya itu mencakup
anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran
ayat 195 yang menyatakan, تع sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang) تعلن
lainnya). Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis lelaki) berasal dari
pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis
11
Lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung, (Bandung;
Penerbit Mizan, 1996), h. 302. Lihat Juga Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat, (Bandung; Penerbit Mizan, 1994), h.270.
perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada
perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya. 12
Sayyid Qutub dalam menjelaskan Ayat 1 surat Al-Isra‟ di atas, mengatakan; ayat tersebut
memberikan kesan bahwa manusia yang berasal dari satu iradah itu berhubungan dalam satu rahim,
bertemu dalam satu koneksi, bersumber dari satu asal-usul, dan bernasab kepada satu Nasab.
Seandainya manusia mau menyadari hakikat ini, niscaya akan lenyaplah dalam perasaan mereka semua
perbedaan yang muncul belakangan dalam kehidupan mereka, yang mencerai-beraikan anak-anak “diri”
yang satu dan merobek-robek tenunan rahim yang satu itu pula. Semua itu adalah kondisi yang berlaku
dan tidak boleh melanggar hubungan cinta kasih rahim (kekeluargaan) dan hak-haknya untuk dipelihara
tidak boleh dilanggar hubungan nafs dan hak-haknya dalam berkasih sayang, dan tidak boleh melanggar
hubungan rububiyah dan hak-haknya dalam urusan taqwa.13
Lebih lanjut dikatakan hakikat lain yang diisyaratkan, ialah bahwa dari diri yang satu itu
“diciptakan Istrimu”. Hakikat ini akan memberi jaminan, kalau manusia mengerti, untuk menjaga
kekeliruan-kekeliruan pandangan yang menyakitkan dan merendahkan wanita. Yaitu pandangan yang
menggambarkan wanita dengan aneka gambaran yang hina, dan menganggap mereka sebagai sumber
kotoran dan kenajisan, keburukan dan bencana, padahal dia juga berasal dari “diri” yang pertama itu
dengan fitrah dan tabiatnya, yang diciptakan oleh Allah untuk menjadi „istri” baginya. Dan untuk
mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak dari keduanya. Karena itu, tidak ada perbedaan
mengenai asal-usul dan fitrahnya. Adapun yang berbeda cuma persiapan (kodrat) dan tugasnya.14
Kaitannya dengan konteks asal kejadian, ada anggapan bahwa, terusirnya manusia dari surga
adalah karena keteledoran Hawa (perempuan), seandainya bukan karena Hawa maka manusia tetap
akan berada di Surga.
Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan hanya itu saja karena sejak semula Allah
telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia sebagai khalipah di bumi (Q.S. Al-
Baqarah, 30), tetapi juga karena dari ayat-ayat Al-Qur‟an ditemukan bahwa godaan dan rayuan iblis itu
bukan hanya ditujukan kepada Hawa (perempuan) saja melainkan juga kepada Adam (lelaki). Ayat-ayat
12
Lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, h. 301. 13
Sayyid Quthub, Tafsir FI Zilalil Qur’an , (Jakarta: Gema Insani, 2002). Jilid. 2. h.270. 14
Sayyid Qutub, ibid. h.271.
yang membicarakan Godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa diungkapkan dalam
bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti طا ا ىله ض ى ظ ف
“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya” ( Al-A‟raf; 20). ا ع طا ا ىله فأشىه
ا ماا ف ه ا Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surgaitu, dan keduanya فأخسج
dikeluarkan dari keadaan yang mereka nikmati sebelumnya..(QS. Al-Baqarah: 36).15
2. Hak-Hak Perempuan
Sedangkan yang terkait dengan hak-hak perempuan, secara umum surat An-Nisa‟ ayat 32,
menunjukkan hak-hak perempuan:
ا مرعثه ه ىيضعاء ص ةم ا مرعث ه جاه ص ةم ىسض
(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya, dan bagi
perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya.
Dari ayat tersebut dipahami bahwa masing-masing lelaki maupun perempuan memiliki hak-hak,
dan haknya tersebut didasarkan kepada bagaimana kemampuan mereka dalam mengaktualisasikan
dirinya. Semakin banyak yang dapat diperbuat, maka semakin banyak pula yang diperoleh.
Dalam Islam kiprah perempuan tidak terbatas pada persoalan domistik, melainkan memiliki
ruang gerak yang luas sebatas itu tidak bertentangan dengan kodratnya. Ada sebagian kalangan terkadang
menjastifikasikan keterbatasan perempuan untuk bergerak hanya pada ruang domistik yang sangat
sempit. Beberapa ayat al-Qur‟an yang biasa digunakan seperti, QS. Al-Ahzab, ayat 33, yang berbunyi,
ج ىجاي هح لى ذثس ج ل ذثسه ه في ت ذن قس Dan hendaklah kamu tetep di rumahmu, dan jangan kamu berhias dan bertingkah laku seperti
orang-orang jahiliyah terdahulu.
Terhadap ayat tersebut, terdapat dua pendapat, yang pertama memahami bahwa perempuan
harus tetap diam di rumah untuk memenuhi tugas-tugas dirumah. Perempuan dilarang keluar rumah.
Pendapat ini didukung oleh Al-Qurtubi (w.671 H). Perempuan boleh keluar rumah hanya dalam
15
Quraish Shihab, Wawasan. op.cit.302. Tentang ayat diatas, sebab-sebab keluarnya Adam dan Hawa, lihat Quraish
Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati; 2000), jilid 1. h. 154-158.
keadaan emergensi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn al-Arabi (1076-1148 M).
Sementara Al-Maududi, boleh keluar karena “kebutuhan atau keperluan”. 16
Sayyid Quthub, menegaskan bahwa ayat ini tidak melarang seseorang (perempuan) untuk
meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan
selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.17
Fakta sejarah menunjukkan bahwa perempuan pada masa Rasulullah Saw., masa Sahabat,
ataupun masa sesudahnya, tidak dilarang keluar rumah dan melakukan aktifitas di luar rumah. Sekian
banyak jenis dan ragam pekerjaan yang digeluti oleh perempuan pada masa itu.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Gaffariyah, Ummu
Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh perempuan yang terlibat dalam
peperangan.18
Selain itu perempuan-perempuan pada masa Nabi aktif pula dalam berbagai pekerjaan.
Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara
lain Shafioyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan,
dan sebagainya.
Sementara dalam bidang perdagangan, nama Istri Nabi yang pertama, Khoddijah binti
Khuwailid, tercatat sebagai perempuan sukses dalam bidang ini. Demikian juga Qilat Ummi Bani
Anmar yang tercatat sebagai seorang peerempuan yang pernah datang kepada Nabi menanyakan
tentang petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy yang juga aktif bekerja menyamak kulit
binatang, dan hasil usahanya beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah
Ibn Mas‟ud, sangat aktif bekerja karena suami dan anaknya pada waktu itu tidak mampu memenuhi
kebutuhan keluarganya.19
khalifah Umar ra mengangkat Al-Syifa‟, (seorang perempuan) yang pandai menulis sebagai
pengawas keuangan di pasar kota Madinah, kekuasaan itu meliputi semua orang yang beraktifitas
16
Quraish Shihab, Wawasan. Ibid, h. 303-305. 17
Sayyid Quthub, op.cit. 18
Ahli hadis Imam Bukhari membukukan, bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti Bab
Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan merawat Korban, dan
Lain-Lain. 19
Quraish Shihab, Wawasan, op.cit. 306-307.
disana, lelaki maupun perempuan. Dialah yang –ditempat itu- menghalalkan apa yang halal dan
mengharamkan apa yang haram, menegakkan keadilan dan mencegah pelanggaran.20
Dalam Al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang sepertinya membatasi ruang gerak perempuan
khususnya dalam hal pekerjaan, misalnya pada ayat 34 surat An-Nisa‟, عي ىضعاء ه جاه ق ىسض
“Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Ayat ini sering dipahami sebagai larangan bagi
perempuan untuk menjadi pemimpin. Lebih-lebih lagi terdapat sebuah hadits yang mengatakan;
“Tidak akan berbahagia satu Qaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” 21
.
Terhadap surat An-Nisa‟ diatas, kata ar-rijal, dalam ayat عي ىضعاء ه جاه ق , ىسض
bukan berarti lelaki secara umum, melainkan berarti “suami”, karena konsiderans perintah tersebut
seperti yang disebutkan pada lanjutan ayat adalah, karena mereka para suami menapkahkan sebagian
harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksudkan adalah lelaki secara umum, tentu
konsiderannya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para
istri dan kehidupan rumah tangga.22
Sedangkan hadits, “Tidak akan berbahagia satu Qaum…, Al-Gazali, menjelaskan, bahwa
hadits ini adalah hadits sahih, baik sanadnya maupun matannya, namun maksud hadits ini bukan
pelarangan terhadap kepemimpinan perempuan. Lebih lanjut dikatakannya, sejarah menyebutkan
bahwa ketika negeri Persia sedang berada di ambang kehancuran menghadapi serangan pasukan
Islam, pada waktu itu diperintah oleh suatu sistem monarkhi yang bobrok dan otoriter. Keluarga
kerajaan tidak mengenal sistem musyawarah dan tidak menghormati pendapat apapun yang
berlawanan dengan pendapat mereka, hubungan antar mereka dengan rakyat sangat buruk. Dalam
kondisi seperti itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur, dan luas wilayahnya
semakin menyempit, sebenarnya masih ada kesempatan untuk menyerahkan kepemimpinan negara
kepada seorang Jenderal yang memiliki kemampuan. Namun paganisme politik telah menjadikan
rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang perempuan muda yang
tidak mengetahui dan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara. hal itulah yang
20
Syekh Muhammad Al-Ghazali, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, (terj: Studi Kritis
Terhadap Nabi SAW), Bandung; Mizan, 1994. h. 64. 21
Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa‟i, dan Ahmad melalui Abu Bakr. 22
Quraish Shihab, Wawasan, op.cit. h.314.
menandakan bahwa Persia sedang menuju kehancuran total. Dengan melihat kondisi semacam ini
rasulullah mengucapkan hadits tersebut.23
Memperhatikan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa perempuan tidak ada
larangan baginya untuk menjadi seorang pemimpin selama dia memiliki kemampuan untuk itu, dan
kewajiban-kewajibannya domistiknya mampu dijalankan.
Muhammad Albar, membagi hak-hak perempuan menjadi dua, yaitu hak ibu dan hak Istri.24
Dalam al-Qur‟an Allah Swt. berfirman,
ي ح ا ضعر مس ا مس ير أ حعاا ح ىدي ت عا ا ا ه س ش فصاى ثيث
Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula),
mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga bulan. (Al-Ahqab; 15).
Dalam ayat lain Allah berfirman:
فصاى في عا ا عي ير أ ح ىدي ت عا ا ا ه
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya
telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam
dua tahun. (Lukman, 14).
Dalam Surat al-Isra‟ Allah berfirman;
ا في ذقو مي ا أ دك ىنثس أحد ه ع ا يثيغ ه حعاا ىدي تاى قل زتل أله ذعثد له يها
ا ل مسي ا ق قو ى ا س ل ذ ا أف (23)ى
ا زته اي غ س ا م قو زبض زح ح ح ىسه هض ا جاح ىر (24) خف ى
Dan Tuhanmu teleh memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah
kamu berbuat baik ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya
sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada
keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka
perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh
kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka
berdua telah mendidik aku masih kecil.”(Al-Isra‟: 23-24).
23
Syekh Muhammad Al-Ghazali, As-Sunnah.., op.cit. h.65. 24
Muhammad Albar,” Amal Mar‟ah fi Al-Mizan, (terj; wanita karir dalam timbangan Islam; Kodrat kewanitaan,
emansipasi dan pelecehan seksual), Jakarta, Pustaka Azam, 1998, h.19.
Memperhatikan firman Allah di atas, yang menunjukkan bagaimana perempuan (dalam
konteks ini haknya sebagai Ibu) mendapat tempat yang sangat-sangat mulia. Dua ayat yang pertama
yang secara lansung Allah memerintahkan kepada semua manusia untuk berbuat baik kepada orang
tua (termasuk di dalamnya ibu), yang secara khusus disebutkan perjuangan sang ibu disaat dia
(manusia) masih dalam kandungan ibunya dan yang kemudian disapihnya selama dua tahun.
Perintah yang disertai dengan argumen semacam ini membawa kepada sebuah pesan yang mesti
dilakukan, dengan tanpa harus mempertanyakan “kenapa”. Dan dengan sendirinya akan
menyadarkankan kepada kita akan tanggung jawab yang akan diembannya sebagai seorang anak.
Ayat yang ketiga di atas, juga memerintahkan hal yang sama berbakti atau berbuat baik
pada orang tua, akan tetapi sebelumnya diperintahkan agar tidak mensekutukan Allah. Ayat tersebut
menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua menempati posisi kedua setelah
mentauhidkan Allah Swt.
Apalagi seorang anak akan melepaskan tanggung jawabnya dan marah kepada orang tuanya
mengatakan “ ah” saja dilarang. Jadi di sini disaat orang tua tidak mampu lagi melakukan kegiatan-
kegiatan yang produktif atau sudah sepuh, maka itu akan menjadi tanggung jawab sang anak. Di saat
seperti ini orang tua membutuhkan perhatian yang lebih dari orang lain, dalam hal ini anak. Pada
umumnya mereka sering lupa terhadap pekerjaan yang telah dilakukan atau bahkan tidak tahu apa
yang sedang dikerjakan. Serta sangat sensitif terhadap perkataan dan perbuatan orang
disekelilingnya, karenanya dia sering marah. Pada saat yang demikian tidak setiap orang dapat
mengendalikan emosinya, dengan tanpa memahami kondisi orang tuanya, sang anak akan marah,
bahkan tidak memperduliakan orang tuanya. Karena itulah Allah memerintahkan kepada manusia
untuk tetap berbakti kepada orang tua lebih-lebih kepada ibu.
Hanya sekedar menceritakan salah-satu contoh yang terjadi pada masa Rasul, Ada seorang
yang menggendong ibunya di punggungnya sambil bertawab di baitullah, orang ini bertanya:
sudahkah aku memenuhi haknya ?. Rasulullah Saw menjawab; Belum, dan itu tidak setara dengan
satu langkahnya. Diriwayat lain disebutkan; Rasul menjawab: Belum itu belum sama dengan satu
napasnya.
Demikian besarnya tanggung jawab anak kepada orang tua, dan menempatkan posisi ibu
dalam posisi yang sangat mulia.
Selain hak perempan sebagai ibu, dalam al-Qur‟an juga dijelaskan bahwa perempuan
sebagai isteri memiliki hak tersendiri, Allah berfirman dalam al-Qur‟an sebagai berikut;
م عصيصم حن للاه ه دزجحم جاه عي ىيسض عسف ه تاى ثو ىهري عي ه ى
Dan para perempuan mempunyai hak-hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut
cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada
isterinya. (Q.S.al-Baqarah; 228)
Ayat tersebut sebenarnya menjelaskan tentang hak perempuan yang menunggu masa Iddah,
maka di sini perempuan memiliki hak-hak tersendiri yang wajib diberikan kepada perempuan yang
ditalaq yang kemudian dirujuk, maka selama masa Iddah mereka harus diberi hak mereka yaitu
nafkah.25
Sebagai seorang isteri, perempuan harus mendapat perlakuan yang baik dari suaminya.
Dalam Islam tidak ada permusuhan antara pria dan wanita, tidak ada peperangan antar keduanya,
tetapi wanita adalah yang harus dikasihi, dialah yang akan melahirkan generasi, yang pertama-tama
membentuk generasi di rumah, kemudian dari rumah itu akan berkembang menjadi masyarakat yang
lebih luas lagi.
C. Penutup
Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan perempuan, di hadapan Allah yang
membedakan seseorang adalah kwalitas takwanya, semakin tinggi ketakwaan seseorang maka semakin
meningkat pula kedudukannya di hadapan Allah. Masing-masing baik lelaki maupun perempuan
memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Karenanya perbedaan yang ada diantara keduanya
merupakan kelebihan dari masing-masing, yang akan menjadi dianamika dalam kehidupan di muka
bumi dan sekaligus sebagai pelengkap dari masing-masing kekuarangan yang ada, bila keduanya secara
sinergis saling menopang dalam menjalankan tugas kekhalipahannya di dunia.
25
Jelasnya lihat, Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, Jakarta Robbani Press, 2000, jilid 1, h.569.
Islam menghormati wanita dengan penghormatan yang sangat luhur mengangkat martabat dari
sumber keburukan dan kehinaan serta dari perlakuan yang buruk ke kedudukan yang terhormat dan
mulia. Posisi perempuan sebagai ibu, maka selayaknya dia harus mendapat penghargaan dan kedudukan
yang tinggi dari anaknya, bahkan inilah sebagai salah satu syarat bagi seorang anak untuk mendapat
kemulian disisi Allah kelak diakhirat, maka berbakti menjadi sebuah keharusan baginya. Dan sebagai
seorang Isteri maka yang harus diperlakukan dengan kelembutan dan kehalusan, dan memposisikannya
sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Selain itu perempuan juga memiliki hak-hak dan kewajiban yang
seimbang dalam ajaran Islam.
DAFTAR PUSTAKA
Albar, Muhammad,” Amal Mar’ah fi Al-Mizan, (terj; wanita karir dalam timbangan Islam; Kodrat
kewanitaan, emansipasi dan pelecehan seksual), Jakarta, Pustaka Azam, 1998
Al-Ghazali, Syekh Muhammad, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, (terj: Studi
Kritis Terhadap Nabi SAW), Bandung; Mizan, 1994
Al-Qurtubi “ Tafsit al-Qurtubi”, CD kitab Tafsir.
As-Syuyuti, Jalaluddin, “Tafsir Jalalain” , CD kitab Tafsir.
Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, CD Kitab tafsir.
Imam al-Tirmizi, Kitab Sunan Tirmizi, CD Kitab Hadits.
Imam Bukhari, Shahih Bukhari, CD kitab Hadits
Imam Muslim, Shahih Muslim, CD Kitab Hadits.
Quthb, Sayyid, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an,( Jakarta Robbani Press, 2000), jilid 1
Quthub,Sayyid, Tafsir FI Zilalil Qur’an , (Jakarta: Gema Insani, 2002). Jilid. 2
Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Almanar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H. Jilid IV
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,
(Bandung; Penerbit Mizan, 1994)
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati; 2000), jilid 1.
Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung,
(Bandung; Penerbit Mizan, 1996).