+ All Categories
Home > Documents > PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Date post: 17-Nov-2023
Category:
Upload: iainmataram
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
15
PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN Oleh: Siti Nurul Khaerani 1 Abstraks : Menguatnya isu-isu Gender yang disuarakan oleh barat, yang bukan hanya menyentuh tradisi aktual yang berlatarkan tradisi kultur, yang terjadi di belahan Dunia Islam, lebih dari itu tradisi aktual ideologis juga tidak lepas dari perhatiannya. Berbagai problematika yang dihadapi oleh perempuan perempuan di Dunia Islam, oleh sebagian pihak beranggapan bahwa faktor utama penyebabnya adalah tradisi ideologis Islam. Anggapan semacam ini kemudian bukan hanya terjangkit pada kalangan pengkaji Gender Barat, tetapi juga di kalangan Islam itu sendiri. Upaya yang dilakukan adalah dengan melakukan penggusuran besar-besaran, dengan tanpa membedakan antara tradisi kultur dengan tradisi ideologis, asalkan (menurut mereka) bertentangan dengan undang-undang kemanusiaan (hak-hak perempuan), maka harus disingkirkan. Maka muncullah kemudian pendhoi‟fan hadits-hadits yang sebelumnya oleh muhaddits dikategorikan sebagai hadits sohih, reinterpretasi ayat-ayat al-Qur‟an yang dinilai kurang berpihak kepada kaum perempuan. Bahkan sering ditenggarai penyebabnya adalah mereka (mujtahid) yang melakukan upaya keras dalam pembentukan hukum-hukum, baik ahli hadist, fuqaha, mufassir, karena kebanyakan mereka adalah dari kaum lelaki maka pendiskriminasian terhadap kaum perempuan tidak jarang dilakukan. Karena itulah dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan apa kata Al-Qur‟an tentang perempuan. Penulis akan mengemukakan pendapat para mufassir yang berkompeten dalam bidangnya. Dengan harapan tulisan ini dapat memberikan sekelumit penjelasan tentang perempuan, apakah demikian bahwa al-Qur‟an juga mendiskriditkan, atau mendiskriminasikan kaum perempuan. Laki dan perempuan adalah dua makluk yang keduanya adalah hamba Tuhan yang disebut manusia, lalu kenapa ada perbedaan. Keywords : Perempuan, Mufassir, al-Qur’an A. Sekilas Perempuan dalam Perjalanan Sejarah Isu-isu perempuan akhir-akhir ini menjadi sebuah diskursus yang cukup menarik baik dikalangan akademisi maupun praktisi yang gerakannya dikenal dengan Gender. Di kalangan umat Islam Isu-isu ini bukanlah hal yang baru, dan bukan hanya sebatas wacana bahkan lebih dari itu telah manjadi sebuah tradisi aktual dalam masyarakat muslim. 1 Penulis adalah dosen IAIN Mataram, dan sebagai ketua Pusat Studi Wanita di IAIN Mataram.
Transcript

PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF AL-QUR’AN

Oleh:

Siti Nurul Khaerani1

Abstraks :

Menguatnya isu-isu Gender yang disuarakan oleh barat, yang bukan hanya menyentuh tradisi aktual

yang berlatarkan tradisi kultur, yang terjadi di belahan Dunia Islam, lebih dari itu tradisi aktual

ideologis juga tidak lepas dari perhatiannya. Berbagai problematika yang dihadapi oleh perempuan

perempuan di Dunia Islam, oleh sebagian pihak beranggapan bahwa faktor utama penyebabnya

adalah tradisi ideologis Islam. Anggapan semacam ini kemudian bukan hanya terjangkit pada

kalangan pengkaji Gender Barat, tetapi juga di kalangan Islam itu sendiri. Upaya yang dilakukan

adalah dengan melakukan penggusuran besar-besaran, dengan tanpa membedakan antara tradisi

kultur dengan tradisi ideologis, asalkan (menurut mereka) bertentangan dengan undang-undang

kemanusiaan (hak-hak perempuan), maka harus disingkirkan. Maka muncullah kemudian

pendhoi‟fan hadits-hadits yang sebelumnya oleh muhaddits dikategorikan sebagai hadits sohih,

reinterpretasi ayat-ayat al-Qur‟an yang dinilai kurang berpihak kepada kaum perempuan. Bahkan

sering ditenggarai penyebabnya adalah mereka (mujtahid) yang melakukan upaya keras dalam

pembentukan hukum-hukum, baik ahli hadist, fuqaha, mufassir, karena kebanyakan mereka adalah

dari kaum lelaki maka pendiskriminasian terhadap kaum perempuan tidak jarang dilakukan.

Karena itulah dalam tulisan ini, penulis akan menguraikan apa kata Al-Qur‟an tentang perempuan.

Penulis akan mengemukakan pendapat para mufassir yang berkompeten dalam bidangnya. Dengan

harapan tulisan ini dapat memberikan sekelumit penjelasan tentang perempuan, apakah demikian

bahwa al-Qur‟an juga mendiskriditkan, atau mendiskriminasikan kaum perempuan. Laki dan

perempuan adalah dua makluk yang keduanya adalah hamba Tuhan yang disebut manusia, lalu

kenapa ada perbedaan.

Keywords :

Perempuan, Mufassir, al-Qur’an

A. Sekilas Perempuan dalam Perjalanan Sejarah

Isu-isu perempuan akhir-akhir ini menjadi sebuah diskursus yang cukup menarik baik

dikalangan akademisi maupun praktisi yang gerakannya dikenal dengan Gender. Di kalangan umat

Islam Isu-isu ini bukanlah hal yang baru, dan bukan hanya sebatas wacana bahkan lebih dari itu telah

manjadi sebuah tradisi aktual dalam masyarakat muslim.

1 Penulis adalah dosen IAIN Mataram, dan sebagai ketua Pusat Studi Wanita di IAIN Mataram.

Sebagai studi komparatif, bagaimana perempuan dalam perjalanan sejarah ditengah hiruk-

pikuk perkembangan filsafat dan peradaban dunia sebelum datangnya Al-Qur‟an, maka menjadi penting

untuk diungkap. Tanpa informasi yang demikian itu, kita tidak akan dapat mengetahui bagaimana

revolusi hak-hak perempuan dalam Islam. Sehingga barometer yang kita gunakan dapat menunjukkan

angka yang standar dan objektif dalam melihat perbedaan-perbedaan yang terjadi, sebelum Islam

dengan sesudah Islam.

Dalam masyarakat Yunani, yang terkenal dengan rasionalitas berfikirnya, tidak banyak

membicarakan hak dan kewajiban perempuan. Dikalangan bangsawan wanita-wanita ditempatkan di

Istana-Istana yang tidak memiliki kebebasan untuk bertindak dan berbuat. Keterkungkungan mereka

terhadap tradisi keningratan yang tidak terelakkan, telah menciptakan dunia baru bagi mereka yang jauh

dari fitrah dan tuntutan nurani seorang perempuan. Sementara dikalangan masyarakat bawah (Jajar

karang) nasib mereka memperihatinkan. Jual beli perempuan (export-inport perempuan) menjadi bisnis

yang menjanjikan. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil, bahkan hak-hak warispun tidak diperolehnya.

Sementara dalam masyarakat Romawi, lelaki memiliki kekuasaan penuh terhadap perempuan,

karenanya mereka (ayah atau suami) berhak untuk menjual, menganiaya dan bahkan membunuh

sekalipun. Baru pada abad ke-6 Masehi, pada zaman kaisar Constantinovel diundangkannya hak

pemilikan perempuan yang terbatas, itupun atas persetujuan keluarga.

Cina yang terkenal dengan kemajuan peradabannya, yang juga tempat berkembangnya agama-

agama Besar, memiliki tradisi yang tidak menghargai hak hidup perempuan. Dalam tradisi Hindu

seorang perempuan harus mengakhiri hidupnya dengan dibakar, karena suaminya yang meninggal

dibakar (ngaben).

Dikalangan orang-orang Yahudi perempuan sering ditenggarai sebagai sumber malapetaka.

Ajaran mereka mengganggap bahwa perempuan sebagai sumber laknat, karena perempuanlah Adam

terusir dari Surga.

Sebelum datangnya Islam dalam masyarakat Jahiliyah, memiliki anak perempuan adalah

sebuah ke‟aiban dalam masyarakat. Sehingga tidak jarang orang tua menanam anak perempuannya

hidup-hidup, hanya untuk menutupi rasa malu terhadap masyarakat. Sedangkan kalau anaknya yang

lahir lelaki maka mereka sangat-sangat bangga dan ingin supaya diketahui oleh masyarakat. Dan banyak

yang lain-lainnya yang tidaklah memungkinkan untuk diuraikan dalam makalah ini.

B. Pembahasan

Perempuan dalam Al-Qur’an

Beberapa pandangan yang sampai sekarang ini masih berbekas dalam memori kita tentang

“perempuan”. Mulai dari asal kejadian perempuan, malapetaka terusirnya Adam as. yang disebabkan

oleh perempuan (Hawa), sampai pada kehidupan di dunia, dimana penghuninya masuk neraka karena

perempuan, dan yang lebih menghebohkan lagi adalah nanti di akhirat yang paling banyak masuk

neraka adalah perempuan. Amat menyesallah mereka yang dilahirkan kedunia ini sebagai seorang

perempuan.

1. Asal –Usul Perempuan

Ada anggapan bahwa mula-mula yang diciptakan oleh Allah adalah Adam as. Baru kemudian

karena Adam kesepian maka Allah menciptakan Hawa yang akan menemaninya di Surga. Dan

dikatakan bahwa Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam as. Perbedaan material

penciptaan antara Adam dengan Hawa, telah memunculkan persepsi negatif tentang perempuan,

tentunya karena adanya Adam, Hawa itu ada. Maka dengan sendirinya Adam (laki-laki) lebih mulia dari

pada Hawa (perempuan). Pandangan yang demikian ini mengesankan kerendahan derajat

kemanusiaannya dibanding dengan lelaki.

Benar ada sebuah hadits nabi yang dinilai shahih yang menjelaskan;

“Saling pesan memesanlah untuk berbuat baik kepada perempuan, karena mereka diciptakan

dari tulang rusuk yang bengkok.”2

Hadis ini yang oleh sebagian orang dipahami secara harfiyah. Muhammad Rasyid Ridha,

dalam Tafsir Al-Manar, menulis: Seandainya tidak tercantum kisah kejadian adam dan Hawa dalam

2 Diriwayatkan oleh Buhari, Muslim dan Tirmizi dari sahabat Abu Hurairah.

kitab Perjanjian Lama (Kejadian II;21)3 dengan redaksi yang mengarah kepada pemahaman di atas,

niscaya pendapat yang keliru itu tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim.4

Tulang rusuk yang bengkok harus dipahami dalam pengertian majzi (kiyasan), dalam arti

bahwa hadits tersebut mengingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan secara arif. Karena ada

sifat, karakter, dan kecendrungan mereka yang tidak sama dengan lelaki, bila tidak disadari akan

membawa lelaki untuk bersikap tidak wajar terhadap perempuan. Mereka tidak akan mampu merubah

sifat dan karakter perempuan perempuan. Kalau dipaksakan maka akan berakibat fatal, fatalnya

sebagaimana meluruskan tulang rususk yang bengkok, patah.

Sebuah hadis lain yang secara jelas menegaskan tentang hal ini, adalah hadis yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah;

قاه ع سيسج زضي للاه : حديث أتي ظيه عي يه للاه قاه زظه للاه

ي سأج ماىلض ه ى ج ا ع ف ا رعد ت ا ظر ذسمر ا ا معسذ ثد ذق ذ ذ5

Diriwayatkan daripada Abu Hurairah r.a katanya: Rasulullah s.a.w pernah bersabda:

Sesungguhnya wanita itu seperti tulang rusuk. Jika kamu mencoba untuk meluruskannya, ia akan

patah. Tetapi kalau kamu biarkan (memperlakukannya secara bijaksana), maka kamu akan dapat

menikmatinya dengan tetap dalam keadaan bengkok.

Dalam hadits di atas secara jelas disebutkan bahwa perempuan itu seperti tulang rusuk yang

bengkok “ ي سأج ماىلض ه ى “, jadi tulang rusuk yang dimaksud adalah bukan pada asal kejadiannya

sebagaimana khabar Israiliyat di atas, melainkan pada karakter, sifat perempuan. Karena itu

memperlakukan perempuan dibutuhkan pendekatan-pendekatan yang humanis dan bijak.

Tentang asal kejadian perempuan al-Qur‟an menegaskan bahwa antara lelaki dan perempuan

tidak ada perbedaan. Allah SWT. berfirman dalam kitabnya:

ه للاه أذقام د للاه ع ن ه أمس قثائو ىرعازف شعتا جعيام ث أ ذمس ا ىهاض ها خيقام ياأي

م خث سم (13)عي 6

3 Ketika Adam tertidur lelap, maka diambilnya oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu

dengan daging. Maka dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. 4 Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Almanar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H Jilid IV, h. 330.

5 Hadis Riwayat Bukhari dalam bab Qisasul Ambiya‟ no. 3084, Muslim meriwayatkannya dalam bab Persusuan no.

2669, dan Tirmizi di dalam bab Talaq, no. 1109, Ahmad bin Hambal dalam bab Juzuk, Addarimi dalam bab Nikah, no 2125. 6 QS. Al-Hujurat, ayat 13

Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami telah menciptakan kamu (terdiri) dari lelaki dan

perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-sukuagar kamu saling

mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling bertakwa.

Ayat tersebut di atas menegaskan bahwa antara lelaki dan perempuan tidak ada perbedaan.

Penciptaan lelaki dan perempuan menurut ayat di atas dalam satu paket. Ketika manusia diciptakan,

terdiri dari lelaki dan perempuan. Ayat tersebut sekaligus juga menjelaskan kemuliaan manusia- baik

lelaki maupun perempuan- yang dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, ataupun jenis kelamin,

tetapi ketakwaannya kepada Allah yang menentukan derajat kemuliaan.

Ayat Al-Qur‟an yang dengan tegas menjelaskan kesamaan antara lelaki dan perempuan dan

sekaligus menepis anggapan perbedaan asal kejadian antara lelaki dan perempuan adalah surat An-Nisa‟

ayat 1:

عاء ا زجال مث س تثه ا ج ا ش خيق حدج فط ىهري خيقن ا ىهاض ذهق زتهن ياأي7

Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari Nafs yang

satu (sama), dan darinya Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduannya Allah

perkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.

Namun demikian beberapa mufassir, memiliki pandangan yang berbeda terhadap ayat di atas,

Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan, bahwa yang dimaksudkan dengan حدج فط , adalah

Adam as. Sedangkan ungkapan ا ج ا ش خيق yang dimaksudkan adalah Hawa as. Ibnu Katsir

dalam menjelaskan ayat tersebut menguatkan argumennya dengan menggunakan hadits yang

diriwayatkan oleh Abu Hurairah di atas, ( ي سأج ماىلض ه ى ).8 Pendapat yang sama juga dikemukan

oleh Al-Qurtubi 9dan Jalaluddin As-Syuyuti,

10 dan beberapa mufassir lainnya.

Dari pandangan tersebut di atas yang berpendapat nafs adalah Adam, dan zaujaha, yang

artinya “pasangannya”, mengarahkan pada istrinya yaitu Hawa. Para mufassir terdahulu memahami

bahwa istri Adam (perempuan) diciptakan dari Adam sendiri. Jadi kalau Adam (lelaki) diciptakan Allah

dengan material awal (turab), maka Hawa (perempuan) bahan materialnya adalah diambil dari Adam itu

7 QS. An-Nisa, ayat 1.

8 Lihat Penjelasan Surat An-Nisa‟ ayat 1, dalam “Tafsir Ibnu Katsir”, CD Kitab tafsir.

9 Lihat juga penafsiran Al-Qurtubi tentang surat An-Nisa‟ ayat 1dalam tafsirnya “ Tafsit al-Qurtubi”, CD kitab Tafsir.

10 Jalaluddin As-Syuyuti, surat An-Nisa‟ ayat 1 dalam tafsirnya, “Tafsir Jalalain” , CD kitab Tafsir.

sendiri (nafs), pada penciptaan Adam sebagai potensi adalah adanya turab, sedangkan pada penciptaan

Hawa sebagai potensi adalah Adam.

Mufassir belakangan menolak pendapat tersebut, seperti Muhammad Abduh misalnya yang

memahami arti kata nafs, dengan jenis. Jadi manusia (Adam dan Hawa) diciptakan Allah dari satu

potensi yang sama ( حدج فط ). Tidak ada perbedaan dari keduanya, karena sama maka keduanya

memiliki derajat kemanusian yang sama. Quraish Sihab dengan tegas menolak pendapat yang pertama

di atas, sependapat dengan yang dikemukakan oleh Rasyid Ridha, bahwa pendapat yang mengarahkan

pemahaman Hawa (perempuan) diciptakan dari tulang rusuk Adam adalah Israiliyah.11

Lebih lanjut Quraish Shihab menjelaskan apabila pemahaman pertama (nafs adalah Adam),

maka akan memberikan sebuah pemahaman bahwa perempuan adalah manusia kelas dua. Adamlah

yang sebagai manusia asal. Beberapa ayat lain yang dapat dikemukakan yang menegaskan bahwa lelaki

dan perempuan memiliki persamaan unsur kejadian Adam (lelaki) dan Hawa (perempuan), dan

persamaan kedudukannya, antara lain surat Al-Isra‟ ayat 70,

عي مث س يا فله ىطه ضثاخ زشقا ىثحس في ىثسض يا ح ا تي ء د ىقد مسه

خيقا ذفل ي ه

Sesungguhnya kami telah memuliakan anak-anak adam, kami angkat di daratan dan di lautan (untuk

memudahkan mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rizki yang baik-baik, dan kami

lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan mahluk-mahluk yang yang kami

ciptakan.

Terhadap ayat tersebut Quraish Shihab menjelaskan, kalimat anak-anak Adam ( ,( تي ء د

mencakup lelaki dan perempuan. Demikian pula penghormatan Tuhan yang diberikannya itu mencakup

anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran

ayat 195 yang menyatakan, تع sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang) تعلن

lainnya). Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang berjenis lelaki) berasal dari

pertemuan ovum perempuan dan sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang berjenis

11

Lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung, (Bandung;

Penerbit Mizan, 1996), h. 302. Lihat Juga Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam

Kehidupan Masyarakat, (Bandung; Penerbit Mizan, 1994), h.270.

perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada

perbedaan diantara mereka dari segi asal kejadian serta kemanusiaannya. 12

Sayyid Qutub dalam menjelaskan Ayat 1 surat Al-Isra‟ di atas, mengatakan; ayat tersebut

memberikan kesan bahwa manusia yang berasal dari satu iradah itu berhubungan dalam satu rahim,

bertemu dalam satu koneksi, bersumber dari satu asal-usul, dan bernasab kepada satu Nasab.

Seandainya manusia mau menyadari hakikat ini, niscaya akan lenyaplah dalam perasaan mereka semua

perbedaan yang muncul belakangan dalam kehidupan mereka, yang mencerai-beraikan anak-anak “diri”

yang satu dan merobek-robek tenunan rahim yang satu itu pula. Semua itu adalah kondisi yang berlaku

dan tidak boleh melanggar hubungan cinta kasih rahim (kekeluargaan) dan hak-haknya untuk dipelihara

tidak boleh dilanggar hubungan nafs dan hak-haknya dalam berkasih sayang, dan tidak boleh melanggar

hubungan rububiyah dan hak-haknya dalam urusan taqwa.13

Lebih lanjut dikatakan hakikat lain yang diisyaratkan, ialah bahwa dari diri yang satu itu

“diciptakan Istrimu”. Hakikat ini akan memberi jaminan, kalau manusia mengerti, untuk menjaga

kekeliruan-kekeliruan pandangan yang menyakitkan dan merendahkan wanita. Yaitu pandangan yang

menggambarkan wanita dengan aneka gambaran yang hina, dan menganggap mereka sebagai sumber

kotoran dan kenajisan, keburukan dan bencana, padahal dia juga berasal dari “diri” yang pertama itu

dengan fitrah dan tabiatnya, yang diciptakan oleh Allah untuk menjadi „istri” baginya. Dan untuk

mengembangbiakkan laki-laki dan wanita yang banyak dari keduanya. Karena itu, tidak ada perbedaan

mengenai asal-usul dan fitrahnya. Adapun yang berbeda cuma persiapan (kodrat) dan tugasnya.14

Kaitannya dengan konteks asal kejadian, ada anggapan bahwa, terusirnya manusia dari surga

adalah karena keteledoran Hawa (perempuan), seandainya bukan karena Hawa maka manusia tetap

akan berada di Surga.

Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan hanya itu saja karena sejak semula Allah

telah menyampaikan rencana-Nya untuk menugaskan manusia sebagai khalipah di bumi (Q.S. Al-

Baqarah, 30), tetapi juga karena dari ayat-ayat Al-Qur‟an ditemukan bahwa godaan dan rayuan iblis itu

bukan hanya ditujukan kepada Hawa (perempuan) saja melainkan juga kepada Adam (lelaki). Ayat-ayat

12

Lihat Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, h. 301. 13

Sayyid Quthub, Tafsir FI Zilalil Qur’an , (Jakarta: Gema Insani, 2002). Jilid. 2. h.270. 14

Sayyid Qutub, ibid. h.271.

yang membicarakan Godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran Adam dan Hawa diungkapkan dalam

bentuk kata yang menunjukkan kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti طا ا ىله ض ى ظ ف

“Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya” ( Al-A‟raf; 20). ا ع طا ا ىله فأشىه

ا ماا ف ه ا Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dari surgaitu, dan keduanya فأخسج

dikeluarkan dari keadaan yang mereka nikmati sebelumnya..(QS. Al-Baqarah: 36).15

2. Hak-Hak Perempuan

Sedangkan yang terkait dengan hak-hak perempuan, secara umum surat An-Nisa‟ ayat 32,

menunjukkan hak-hak perempuan:

ا مرعثه ه ىيضعاء ص ةم ا مرعث ه جاه ص ةم ىسض

(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya, dan bagi

perempuan dianugerahkan hak (bagian) dari apa yang diusahakannya.

Dari ayat tersebut dipahami bahwa masing-masing lelaki maupun perempuan memiliki hak-hak,

dan haknya tersebut didasarkan kepada bagaimana kemampuan mereka dalam mengaktualisasikan

dirinya. Semakin banyak yang dapat diperbuat, maka semakin banyak pula yang diperoleh.

Dalam Islam kiprah perempuan tidak terbatas pada persoalan domistik, melainkan memiliki

ruang gerak yang luas sebatas itu tidak bertentangan dengan kodratnya. Ada sebagian kalangan terkadang

menjastifikasikan keterbatasan perempuan untuk bergerak hanya pada ruang domistik yang sangat

sempit. Beberapa ayat al-Qur‟an yang biasa digunakan seperti, QS. Al-Ahzab, ayat 33, yang berbunyi,

ج ىجاي هح لى ذثس ج ل ذثسه ه في ت ذن قس Dan hendaklah kamu tetep di rumahmu, dan jangan kamu berhias dan bertingkah laku seperti

orang-orang jahiliyah terdahulu.

Terhadap ayat tersebut, terdapat dua pendapat, yang pertama memahami bahwa perempuan

harus tetap diam di rumah untuk memenuhi tugas-tugas dirumah. Perempuan dilarang keluar rumah.

Pendapat ini didukung oleh Al-Qurtubi (w.671 H). Perempuan boleh keluar rumah hanya dalam

15

Quraish Shihab, Wawasan. op.cit.302. Tentang ayat diatas, sebab-sebab keluarnya Adam dan Hawa, lihat Quraish

Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati; 2000), jilid 1. h. 154-158.

keadaan emergensi. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Ibn al-Arabi (1076-1148 M).

Sementara Al-Maududi, boleh keluar karena “kebutuhan atau keperluan”. 16

Sayyid Quthub, menegaskan bahwa ayat ini tidak melarang seseorang (perempuan) untuk

meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan

selain itu adalah tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya.17

Fakta sejarah menunjukkan bahwa perempuan pada masa Rasulullah Saw., masa Sahabat,

ataupun masa sesudahnya, tidak dilarang keluar rumah dan melakukan aktifitas di luar rumah. Sekian

banyak jenis dan ragam pekerjaan yang digeluti oleh perempuan pada masa itu.

Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila Al-Gaffariyah, Ummu

Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain, tercatat sebagai tokoh-tokoh perempuan yang terlibat dalam

peperangan.18

Selain itu perempuan-perempuan pada masa Nabi aktif pula dalam berbagai pekerjaan.

Ada yang bekerja sebagai perias pengantin, seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias antara

lain Shafioyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw., serta ada juga yang menjadi perawat, bidan,

dan sebagainya.

Sementara dalam bidang perdagangan, nama Istri Nabi yang pertama, Khoddijah binti

Khuwailid, tercatat sebagai perempuan sukses dalam bidang ini. Demikian juga Qilat Ummi Bani

Anmar yang tercatat sebagai seorang peerempuan yang pernah datang kepada Nabi menanyakan

tentang petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy yang juga aktif bekerja menyamak kulit

binatang, dan hasil usahanya beliau sedekahkan. Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah

Ibn Mas‟ud, sangat aktif bekerja karena suami dan anaknya pada waktu itu tidak mampu memenuhi

kebutuhan keluarganya.19

khalifah Umar ra mengangkat Al-Syifa‟, (seorang perempuan) yang pandai menulis sebagai

pengawas keuangan di pasar kota Madinah, kekuasaan itu meliputi semua orang yang beraktifitas

16

Quraish Shihab, Wawasan. Ibid, h. 303-305. 17

Sayyid Quthub, op.cit. 18

Ahli hadis Imam Bukhari membukukan, bab-bab dalam kitab Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti Bab

Keterlibatan Perempuan dalam Jihad, Bab Peperangan Perempuan di Lautan, Bab Keterlibatan Perempuan merawat Korban, dan

Lain-Lain. 19

Quraish Shihab, Wawasan, op.cit. 306-307.

disana, lelaki maupun perempuan. Dialah yang –ditempat itu- menghalalkan apa yang halal dan

mengharamkan apa yang haram, menegakkan keadilan dan mencegah pelanggaran.20

Dalam Al-Qur‟an terdapat ayat-ayat yang sepertinya membatasi ruang gerak perempuan

khususnya dalam hal pekerjaan, misalnya pada ayat 34 surat An-Nisa‟, عي ىضعاء ه جاه ق ىسض

“Lelaki adalah pemimpin bagi kaum wanita”. Ayat ini sering dipahami sebagai larangan bagi

perempuan untuk menjadi pemimpin. Lebih-lebih lagi terdapat sebuah hadits yang mengatakan;

“Tidak akan berbahagia satu Qaum yang menyerahkan urusan mereka kepada perempuan” 21

.

Terhadap surat An-Nisa‟ diatas, kata ar-rijal, dalam ayat عي ىضعاء ه جاه ق , ىسض

bukan berarti lelaki secara umum, melainkan berarti “suami”, karena konsiderans perintah tersebut

seperti yang disebutkan pada lanjutan ayat adalah, karena mereka para suami menapkahkan sebagian

harta untuk istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksudkan adalah lelaki secara umum, tentu

konsiderannya tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara jelas berbicara tentang para

istri dan kehidupan rumah tangga.22

Sedangkan hadits, “Tidak akan berbahagia satu Qaum…, Al-Gazali, menjelaskan, bahwa

hadits ini adalah hadits sahih, baik sanadnya maupun matannya, namun maksud hadits ini bukan

pelarangan terhadap kepemimpinan perempuan. Lebih lanjut dikatakannya, sejarah menyebutkan

bahwa ketika negeri Persia sedang berada di ambang kehancuran menghadapi serangan pasukan

Islam, pada waktu itu diperintah oleh suatu sistem monarkhi yang bobrok dan otoriter. Keluarga

kerajaan tidak mengenal sistem musyawarah dan tidak menghormati pendapat apapun yang

berlawanan dengan pendapat mereka, hubungan antar mereka dengan rakyat sangat buruk. Dalam

kondisi seperti itu, ketika pasukan-pasukan Persia telah dipaksa mundur, dan luas wilayahnya

semakin menyempit, sebenarnya masih ada kesempatan untuk menyerahkan kepemimpinan negara

kepada seorang Jenderal yang memiliki kemampuan. Namun paganisme politik telah menjadikan

rakyat dan negara sebagai harta warisan yang diterimakan kepada seorang perempuan muda yang

tidak mengetahui dan tidak memiliki kemampuan untuk memimpin negara. hal itulah yang

20

Syekh Muhammad Al-Ghazali, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, (terj: Studi Kritis

Terhadap Nabi SAW), Bandung; Mizan, 1994. h. 64. 21

Diriwayatkan oleh Bukhari, An-Nasa‟i, dan Ahmad melalui Abu Bakr. 22

Quraish Shihab, Wawasan, op.cit. h.314.

menandakan bahwa Persia sedang menuju kehancuran total. Dengan melihat kondisi semacam ini

rasulullah mengucapkan hadits tersebut.23

Memperhatikan penjelasan di atas maka dapat dikatakan bahwa perempuan tidak ada

larangan baginya untuk menjadi seorang pemimpin selama dia memiliki kemampuan untuk itu, dan

kewajiban-kewajibannya domistiknya mampu dijalankan.

Muhammad Albar, membagi hak-hak perempuan menjadi dua, yaitu hak ibu dan hak Istri.24

Dalam al-Qur‟an Allah Swt. berfirman,

ي ح ا ضعر مس ا مس ير أ حعاا ح ىدي ت عا ا ا ه س ش فصاى ثيث

Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya

mengandungnya dengan susah payah, dan melahirkannya dengan susah payah (pula),

mengandungnya sampai menyapihnya adalah tiga bulan. (Al-Ahqab; 15).

Dalam ayat lain Allah berfirman:

فصاى في عا ا عي ير أ ح ىدي ت عا ا ا ه

Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu bapaknya, ibunya

telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam

dua tahun. (Lukman, 14).

Dalam Surat al-Isra‟ Allah berfirman;

ا في ذقو مي ا أ دك ىنثس أحد ه ع ا يثيغ ه حعاا ىدي تاى قل زتل أله ذعثد له يها

ا ل مسي ا ق قو ى ا س ل ذ ا أف (23)ى

ا زته اي غ س ا م قو زبض زح ح ح ىسه هض ا جاح ىر (24) خف ى

Dan Tuhanmu teleh memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah

kamu berbuat baik ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang diantara keduanya

sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah kamu mengatakan kepada

keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka

perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh

kesayangan dan ucapkanlah: “Wahai Tuhanku, kasihilah mereka keduanya, sebagaimana mereka

berdua telah mendidik aku masih kecil.”(Al-Isra‟: 23-24).

23

Syekh Muhammad Al-Ghazali, As-Sunnah.., op.cit. h.65. 24

Muhammad Albar,” Amal Mar‟ah fi Al-Mizan, (terj; wanita karir dalam timbangan Islam; Kodrat kewanitaan,

emansipasi dan pelecehan seksual), Jakarta, Pustaka Azam, 1998, h.19.

Memperhatikan firman Allah di atas, yang menunjukkan bagaimana perempuan (dalam

konteks ini haknya sebagai Ibu) mendapat tempat yang sangat-sangat mulia. Dua ayat yang pertama

yang secara lansung Allah memerintahkan kepada semua manusia untuk berbuat baik kepada orang

tua (termasuk di dalamnya ibu), yang secara khusus disebutkan perjuangan sang ibu disaat dia

(manusia) masih dalam kandungan ibunya dan yang kemudian disapihnya selama dua tahun.

Perintah yang disertai dengan argumen semacam ini membawa kepada sebuah pesan yang mesti

dilakukan, dengan tanpa harus mempertanyakan “kenapa”. Dan dengan sendirinya akan

menyadarkankan kepada kita akan tanggung jawab yang akan diembannya sebagai seorang anak.

Ayat yang ketiga di atas, juga memerintahkan hal yang sama berbakti atau berbuat baik

pada orang tua, akan tetapi sebelumnya diperintahkan agar tidak mensekutukan Allah. Ayat tersebut

menempatkan kewajiban berbuat baik kepada orang tua menempati posisi kedua setelah

mentauhidkan Allah Swt.

Apalagi seorang anak akan melepaskan tanggung jawabnya dan marah kepada orang tuanya

mengatakan “ ah” saja dilarang. Jadi di sini disaat orang tua tidak mampu lagi melakukan kegiatan-

kegiatan yang produktif atau sudah sepuh, maka itu akan menjadi tanggung jawab sang anak. Di saat

seperti ini orang tua membutuhkan perhatian yang lebih dari orang lain, dalam hal ini anak. Pada

umumnya mereka sering lupa terhadap pekerjaan yang telah dilakukan atau bahkan tidak tahu apa

yang sedang dikerjakan. Serta sangat sensitif terhadap perkataan dan perbuatan orang

disekelilingnya, karenanya dia sering marah. Pada saat yang demikian tidak setiap orang dapat

mengendalikan emosinya, dengan tanpa memahami kondisi orang tuanya, sang anak akan marah,

bahkan tidak memperduliakan orang tuanya. Karena itulah Allah memerintahkan kepada manusia

untuk tetap berbakti kepada orang tua lebih-lebih kepada ibu.

Hanya sekedar menceritakan salah-satu contoh yang terjadi pada masa Rasul, Ada seorang

yang menggendong ibunya di punggungnya sambil bertawab di baitullah, orang ini bertanya:

sudahkah aku memenuhi haknya ?. Rasulullah Saw menjawab; Belum, dan itu tidak setara dengan

satu langkahnya. Diriwayat lain disebutkan; Rasul menjawab: Belum itu belum sama dengan satu

napasnya.

Demikian besarnya tanggung jawab anak kepada orang tua, dan menempatkan posisi ibu

dalam posisi yang sangat mulia.

Selain hak perempan sebagai ibu, dalam al-Qur‟an juga dijelaskan bahwa perempuan

sebagai isteri memiliki hak tersendiri, Allah berfirman dalam al-Qur‟an sebagai berikut;

م عصيصم حن للاه ه دزجحم جاه عي ىيسض عسف ه تاى ثو ىهري عي ه ى

Dan para perempuan mempunyai hak-hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut

cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada

isterinya. (Q.S.al-Baqarah; 228)

Ayat tersebut sebenarnya menjelaskan tentang hak perempuan yang menunggu masa Iddah,

maka di sini perempuan memiliki hak-hak tersendiri yang wajib diberikan kepada perempuan yang

ditalaq yang kemudian dirujuk, maka selama masa Iddah mereka harus diberi hak mereka yaitu

nafkah.25

Sebagai seorang isteri, perempuan harus mendapat perlakuan yang baik dari suaminya.

Dalam Islam tidak ada permusuhan antara pria dan wanita, tidak ada peperangan antar keduanya,

tetapi wanita adalah yang harus dikasihi, dialah yang akan melahirkan generasi, yang pertama-tama

membentuk generasi di rumah, kemudian dari rumah itu akan berkembang menjadi masyarakat yang

lebih luas lagi.

C. Penutup

Islam tidak membedakan antara kaum lelaki dengan perempuan, di hadapan Allah yang

membedakan seseorang adalah kwalitas takwanya, semakin tinggi ketakwaan seseorang maka semakin

meningkat pula kedudukannya di hadapan Allah. Masing-masing baik lelaki maupun perempuan

memiliki hak dan kewajiban yang seimbang. Karenanya perbedaan yang ada diantara keduanya

merupakan kelebihan dari masing-masing, yang akan menjadi dianamika dalam kehidupan di muka

bumi dan sekaligus sebagai pelengkap dari masing-masing kekuarangan yang ada, bila keduanya secara

sinergis saling menopang dalam menjalankan tugas kekhalipahannya di dunia.

25

Jelasnya lihat, Sayyid Quthb, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an, Jakarta Robbani Press, 2000, jilid 1, h.569.

Islam menghormati wanita dengan penghormatan yang sangat luhur mengangkat martabat dari

sumber keburukan dan kehinaan serta dari perlakuan yang buruk ke kedudukan yang terhormat dan

mulia. Posisi perempuan sebagai ibu, maka selayaknya dia harus mendapat penghargaan dan kedudukan

yang tinggi dari anaknya, bahkan inilah sebagai salah satu syarat bagi seorang anak untuk mendapat

kemulian disisi Allah kelak diakhirat, maka berbakti menjadi sebuah keharusan baginya. Dan sebagai

seorang Isteri maka yang harus diperlakukan dengan kelembutan dan kehalusan, dan memposisikannya

sesuai dengan kodrat kewanitaannya. Selain itu perempuan juga memiliki hak-hak dan kewajiban yang

seimbang dalam ajaran Islam.

DAFTAR PUSTAKA

Albar, Muhammad,” Amal Mar’ah fi Al-Mizan, (terj; wanita karir dalam timbangan Islam; Kodrat

kewanitaan, emansipasi dan pelecehan seksual), Jakarta, Pustaka Azam, 1998

Al-Ghazali, Syekh Muhammad, As-Sunnah An-Nabawiyah: Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, (terj: Studi

Kritis Terhadap Nabi SAW), Bandung; Mizan, 1994

Al-Qurtubi “ Tafsit al-Qurtubi”, CD kitab Tafsir.

As-Syuyuti, Jalaluddin, “Tafsir Jalalain” , CD kitab Tafsir.

Ibnu Katsir, “Tafsir Ibnu Katsir”, CD Kitab tafsir.

Imam al-Tirmizi, Kitab Sunan Tirmizi, CD Kitab Hadits.

Imam Bukhari, Shahih Bukhari, CD kitab Hadits

Imam Muslim, Shahih Muslim, CD Kitab Hadits.

Quthb, Sayyid, Tafsir Fi-Zhilalil Qur’an,( Jakarta Robbani Press, 2000), jilid 1

Quthub,Sayyid, Tafsir FI Zilalil Qur’an , (Jakarta: Gema Insani, 2002). Jilid. 2

Ridha, Muhammad Rasyid, Tafsir Almanar, Kairo, Dar Al-Manar, 1367 H. Jilid IV

Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,

(Bandung; Penerbit Mizan, 1994)

Shihab, Quraish, Tafsir Al-Misbah, (Ciputat: Lentera Hati; 2000), jilid 1.

Shihab, Quraish, Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Maudu’I Atas Berbagai Persoalan Umat, Bandung,

(Bandung; Penerbit Mizan, 1996).


Recommended