+ All Categories
Home > Documents > PRODUCT PLACEMENT DALAM BUDAYA POPULER UNTUK MEMBENTUK LIFESTYLE BRAND (Studi Mengenai Lifestyle...

PRODUCT PLACEMENT DALAM BUDAYA POPULER UNTUK MEMBENTUK LIFESTYLE BRAND (Studi Mengenai Lifestyle...

Date post: 17-Jan-2023
Category:
Upload: independent
View: 1 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
19
PRODUCT PLACEMENT DALAM BUDAYA POPULER UNTUK MEMBENTUK LIFESTYLE BRAND (Studi Mengenai Lifestyle Brand sebagai Instrumen Ideologi Kapitalisme dalam Film- Film James Bond yang Dirilis Tahun 1962-2012) Irene Wulandari Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya 2014 Abstract Lifestyle brand is a product or a service that provides consumer with an emotional attachment to an identifiable lifestyle. Cultural Studies view lifestyle brand as a form of modern capitalism, which industries try to construct a positive image and producing a sense of necessity to buy the products the sell. The spread of capitalism ideology goes through mass media, such as movie and advertising. In addition, movie and advertising could blend in together in a form of product placement. Product placement is appeared frequently in Hollywood movies, including James Bond movies that first released from 1962 until now. James Bond movie is action movies that renowned for the product placements and its character’s high-end lifestyles. The aim of this research is to analyze the content of product placement of lifestyle brand that used to depict characters in the movie which seemed to deliver the message on modern capitalism. This is a mixed method research that used the content analysis and rhetorical analysis method. The research chose all the James Bond movies in total sampling. Content analysis was used as data collecting method. Whereas, data analyzing technique used was frequency table and cross-tabulation which was then analyzed with the rhetorical analysis. This research revealed that product placements in James Bond movies are representing the lifestyle of each primary character; those are James Bond itself, Bond, Bond girls, Bond villains, and Bond allies. The image of the brands is suitable with the characterization of those primary characters. James Bond is identical to the image of masculine, mature, and classy man. The Bond girls are identical to the image of glamour, sexiness, beauty, and elegant. The Bond villains are identical to the image of power, expressing threat to the country and James Bond as an agent. The lastly, Bond allies are identical to the products and brands that more advanced than the latest technology. The lifestyle depiction in James Bond movies through the using of brands and products by the characters produced the image and the hiperreality where products using and the lives of its characters are not real and illusive. The lifestyle depiction in James Bond movies are tend to be hyperreal illusive, and also far from audience’s way of life timeframe. It is concluded that a fine product placement constructs an artificial needs of a certain brand which along with capitalism ideology are drawing audience’s interest to buy the product. This serves as and argument of reasons why people impulsively buys products beyond its necessity. Keywords: Capitalism, Lifestyle Brand, Product Placement, James Bond
Transcript

PRODUCT PLACEMENT DALAM BUDAYA POPULER UNTUK MEMBENTUK

LIFESTYLE BRAND

(Studi Mengenai Lifestyle Brand sebagai Instrumen Ideologi Kapitalisme dalam Film-

Film James Bond yang Dirilis Tahun 1962-2012)

Irene Wulandari

Ilmu Komunikasi

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Brawijaya

2014

Abstract

Lifestyle brand is a product or a service that provides consumer with an emotional

attachment to an identifiable lifestyle. Cultural Studies view lifestyle brand as a form of

modern capitalism, which industries try to construct a positive image and producing a sense

of necessity to buy the products the sell. The spread of capitalism ideology goes through mass

media, such as movie and advertising. In addition, movie and advertising could blend in

together in a form of product placement. Product placement is appeared frequently in

Hollywood movies, including James Bond movies that first released from 1962 until now.

James Bond movie is action movies that renowned for the product placements and its

character’s high-end lifestyles. The aim of this research is to analyze the content of product

placement of lifestyle brand that used to depict characters in the movie which seemed to

deliver the message on modern capitalism. This is a mixed method research that used the

content analysis and rhetorical analysis method. The research chose all the James Bond

movies in total sampling. Content analysis was used as data collecting method. Whereas,

data analyzing technique used was frequency table and cross-tabulation which was then

analyzed with the rhetorical analysis. This research revealed that product placements in

James Bond movies are representing the lifestyle of each primary character; those are James

Bond itself, Bond, Bond girls, Bond villains, and Bond allies. The image of the brands is

suitable with the characterization of those primary characters. James Bond is identical to the

image of masculine, mature, and classy man. The Bond girls are identical to the image of

glamour, sexiness, beauty, and elegant. The Bond villains are identical to the image of

power, expressing threat to the country and James Bond as an agent. The lastly, Bond allies

are identical to the products and brands that more advanced than the latest technology. The

lifestyle depiction in James Bond movies through the using of brands and products by the

characters produced the image and the hiperreality where products using and the lives of its

characters are not real and illusive. The lifestyle depiction in James Bond movies are tend to

be hyperreal illusive, and also far from audience’s way of life timeframe. It is concluded that

a fine product placement constructs an artificial needs of a certain brand which along with

capitalism ideology are drawing audience’s interest to buy the product. This serves as and

argument of reasons why people impulsively buys products beyond its necessity.

Keywords: Capitalism, Lifestyle Brand, Product Placement, James Bond

Pendahuluan

Produk dan merek atau brand merupakan hal-hal yang dekat dengan keseharian manusia.

Manusia menggunakan berbagai macam produk dari berbagai macam brand untuk memenuhi

kebutuhan sehari-hari. Gokhale (2010) membagi kategori produk ke dalam 24 kategori dan

kemudian membaginya lagi ke dalam 14 subkategori. Kategori-kategori tersebut adalah

elektronik, food and beverages, health and beauty, pakaian, hiburan dan situs internet,

aksesoris, minuman keras, transportasi, footwear, perlengkapan olahraga, wisata, dan rokok,

serta masih banyak lagi. Aaker (1996) mengatakan bahwa terdapat tiga manfaat berbeda yang

didapat saat membeli produk, yaitu fungsional, emosional, dan pengekspresian diri.Adanya

berbagai manfaat yang didapat dari suatu produk ini, membuat perusahaan membuat produk

yang dapat memberikan manfaat-manfaat tersebut, terutama manfaat pengekspresian diri.

Produk untuk mengekspresikan diri disebut sebagai lifestyle brand. Menurut Jung &

Merlin (2002, h.40) lifestyle brand adalah produk atau jasa yang menyediakan keterkaitan

emosional kepada konsumen dengan gaya hidup tertentu. Seperti produk pada umumnya,

lifestyle brand juga memerlukan branding. Branding sendiri adalah alat manajemen yang

digunakan untuk mencapai diferensiasi dan menciptakan keunggulan kompetitif yang

berkelanjutan (Kotler & Pfoertsch, 2010 h.11). Jadi dapat disimpulkan bahwa kegiatan untuk

memasarkan keunggulan dan perbedaan suatu produk atau brand yang sesuai dengan lifestyle

konsumennya adalah lifestyle branding.

Lifestyle atau gaya hidup mengacu kepada pola konsumsi yang merefleksikan pilihan

seseorang terhadap pengalokasian pendapatannya untuk pengeluaran tetap dan relatif serta

bagaimana menghabiskan uang dan waktunya, dan ini tercermin dari pola perilakunya yang

menunjukkan konsep diri, grup referensi, dan kelas sosialnya (Solomon, 1994). Perusahaan

banyak menggunakan lifestyle branding untuk produk yang dihasilkannya karena lifestyle

branding ini memiliki beberapa keuntungan, antara lain adalah adanya hubungan jangka

panjang yang kuat dengan konsumen (Jung & Merlin, 2002).

Tetapi bagaimanapun, para ahli Cultural Studies menyatakan bahwa adanya lifestyle

branding sebagai bentuk kapitalisme modern. Naomi Klein dalam bukunya yang berjudul No

Logo (2000) menyebutkan bahwa lifestyle branding merupakan bentuk kapitalisme modern,

dimana banyak perusahaan tidak menjual apa yang menjadi fungsi sebenarnya dari suatu

produk, tetapi malah menjual idea atau gagasan melalui produk tersebut. Contohnya adalah

Disney yang menjual “American dream” melalui film-film dan karakter kartunnya, Coca

Cola menjual ide tentang gaya hidup anak muda yang gaul, dan lain-lain.

Kemudian Arvidsson (2005) juga menyebutkan bahwa adanya brand, terutama lifestyle

brand yang beredar sekarang ini di masyarakat merupakan bentuk kapitalisme dari keadaan

postmodern yang ditandai dengan adanya mediaisasi yang intensif dari perusahaan.

Kapitalisme era postmodern di mana terdapat banyak produk yang menekankan pada

penjualan citra produk daripada produknya itu sendiri dan juga terdapat estetisasi kehidupan

sehari-hari dimana seni terus-menerus hadir bersamaan dengan kepentingan modal yang

menungganginya, sehingga sekarang ini tidak ada pembedaan antara seni tinggi dan seni

populer massa (Hasan, 2011, h.199-200).

Terdapat teori mengenai kapitalisme ini yang dibuat oleh kelompok Frankfurt School,

yaitu adalah bahwa kaum kapitalis menciptakan kebutuhan artifisial yang secara tidak sadar

ditanamkan kepada masyarakat dengan kelas sosial yang lebih rendah bahwa kebutuhan

tersebut menjanjikan stabilitas dan kemakmuran (Strinati, 2004). Frankfurt School juga

dikenal sebagai teori kritik, yang beberapa diantaranya merupakan buah pikir dari Jean

Baudrillard dan Theodor Adorno beserta Max Horkheimer.

Keuntungan industri merupakan penggerak utama budaya massa, dimana produksi

budaya diproduksi secara besar-besaran yang didasarkan pada kemudahan dan keuntungan

industri dengan alasan kepentingan khalayak, padahal bukan (Adorno, 1944). Industri

menggunakan media massa seperti film, radio, majalah, dan lain-lain untuk memanipulasi

kebutuhan masyarakat dengan cara menciptakan standarisasi budaya dalam bentuk masif

yang kemudian menciptakan kebutuhan artifisial masyarakat (Adorno, 1944).

Kemudian terdapat pula Jean Baudrillard yang juga merupakan penganut Mazhab

Frankfurt yang menciptakan The Precession of Simulacra (1994). ). Kemudian simulacra

adalah instrumen yang mampu merngubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret, dan

sebaliknya (Baudrillard, 1994). Instrumen tersebut adalah media massa, seperti film, televisi,

majalah, dan lain sebagainya.Terdapat empat tahap dari image, yaitu dimana image menjadi

refleksi dari realitas, image menutupi dan mengubah sifat realitas, image menutupi ketiadaan

realitas, dan terakhir dimana image tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas

manapun – dan itu disebut sebagai simulacrum (Baudrillard, 1994). Kemudian ciri dari

simulacra yang paling terlihat adalah hiperealitas, dimana yang tergambar dalam image

tersebut terlihat seperti nyata padahal image tersebut merupakan realitas yang dibuat-buat dan

tidak nyata (Baudrillard, 1994). Hal tersebut yang tercermin pada budaya kapitalisme modern

di media massa saat ini, dimana terdapat image yang terlihat nyata padahal hal tersebut

merupakan realitas yang dibuat-buat dan tidak nyata.Penciptaan kebutuhan artifisial tersebut

dengan menggunakan penciptaan image produk, antara lain dengan menciptakan lifestyle

brand tersebut disiarkan kepada masyarakat melalui budaya populer, seperti film, musik, dan

lain sebagainya, serta melalui periklanan. Terdapat perpaduan antara periklanan dan juga

budaya populer, terutama film, yang lazim disebut product placement.

Product placement menurut Balasubramanian (1994 h.31) merupakan pesan produk

berbayar yang ditujukan untuk mempengaruhi penonton film (atau televisi) melalui

keberadaan produk bermerek ke dalam film (atau acara televisi) secara tersamar. Product

placement adalah integrasi suatu produk atau merek ke dalam film atau serial televisi, bahkan

berbagai bentuk hiburan seperti novel dan lagu (Lehu, 2007 h.1). Product placement menjadi

jawaban bagi banyak perusahaan yang menggunakan lifestyle branding tetapi tidak lagi

menggunakan periklanan televisi karena berbagai hambatan, antara lain karena adanya

skipping, zipping, dan zapping (Lehu, 2007 h.31). Kemudian permasalahan selanjutnya

adalah adanya perkembangan teknologi yang memungkinkan penonton untuk melewatkan

iklan pada saat acara favoritnya tayang (Cleophat, 2005 h.12).

Adanya product placement dalam suatu film terjadi dengan kesepakatan antara

perusahaan pengiklan dan produsen film tersebut. Product placement dalam film merupakan

hubungan simbiosis mutualisme antara produsen film dan perusahaan pengiklan tersebut

(Balasubramanian, 1994 h.31). Dikatakan sebagai simbiosis mutualisme karena product

placement memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu

pihak pembuat film serta perusahaan yang ingin beriklan lewat product placement.

Bagi pembuat film, salah satu alasan adanya product placement dalam film yang

dibuatnya adalah bahwa product placement dapat meningkatkan realitas dalam film tersebut

(Lehu, 2007 h.47-51), sehingga penonton akan lebih mudah hanyut dan percaya dengan

realita film tersebut. Selain itu, dengan adanya product placement ini pembuat film tersebut

akan mendapatkan tambahan modal untuk produksi filmnya dari perusahaan yang akan

beriklan dalam film itu (Balasubramanian, 1994; Lehu, 2007). Jadi pihak perusahaan tersebut

membayar kepada pembuat film sebagai kompensasi untuk menggunakan film tersebut

sebagai media beriklan. Sedangkan bagi perusahaan pengiklannya, terdapat beberapa

keuntungan dalam penggunaan product placement di film (Moser et al, 2004). Keuntungan

tersebut antara lain adalah terintegrasinya brand ke dalam program televisi atau film yang

ditempati oleh brand tersebut, product placement tidak mengganggu penonton dibandingkan

dengan periklanan dengan menggunakan media klasik, jangkauannya luas, dan biaya product

placement lebih rendah dibandingkan dengan periklanan yang menggunakan media klasik.

Keuntungan dari penggunaan product placement ini sudah ditemukan oleh para pembuat

film di luar negeri, terutama di Hollywood. Walaupun product placement sudah ada sejak

lama, tetapi product placement mulai booming di kancah perfilman Hollywood sejak

beredarnya film ET: Extra Terrestrial (1982) yang disutradarai oleh Steven Spielberg yang

menampilkan coklat Reese’s Pieces. Product placement dalam film ini meningkatkan

penjualan dari coklat Reese’s Pieces sebanyak 65% (Lehu, 2007:78).

Terdapat berbagai jenis product placement, antara lain seperti dirumuskan oleh Lehu

(2007) yang membagi product placement menjadi empat jenis, yaitu classic placement,

corporate placement, evocative placement, dan stealth placement. Kemudian tipe placement

berikutnya secara garis besar, Corniani (2001, h.66-67) membagi product placement menjadi

tiga jenis penempatan, yaitu produk nampak di layar, produk nampak digunakan sebagaimana

fungsinya, dan produk disebutkan oleh aktornya. Russell (2002) membagi kategori dimensi

product placement menjadi tiga bagian, yaitu screen placement, script placement, dan plot

placement.Terdapat pula pengklasifikasian berdasarkan kenampakan penempatannya

menurut Gupta dan Lord (1998) yang membagi product placement menjadi dua kategori

menurut kenampakannya yaitu prominent product placement dan subtle product placement.

Hampir sebagian besar film luar negeri, terutama film Hollywood menyertakan product

placement dalam filmnya. Hal tersebut juga terdapat dalam film-film James Bond. Film

James Bond merupakan film franchise pertama di dunia yang sudah ada sejak tahun 1962

hingga sekarang dan menurut Box Office Mojo tahun 2012 (situs box office yang paling

banyak dikunjungi) merupakan film franchise yang berpenghasilan tertinggi kedua di dunia –

dimana film franchise berpenghasilan tertinggi pertama adalah serial Harry Potter yang

merupakan film fiksi fantasi, sehingga tidak ada unsur realitanya (dimana salah satu fungsi

product placement adalah untuk menambah unsur realitas) – hingga mencapai lebih 6 milyar

dollar AS dari seluruh filmnya.

Film James Bond merupakan film bergenre spy action produksi Inggris yang pada

awalnya dibuat berdasarkan novel karya Ian Fleming. Kemudian pada perkembangannya,

hanya karakter-karakter utamanya saja yang berdasarkan novel Ian Fleming. Dari 50 tahun

perjalanan film James Bond, sudah diproduksi 23 film yang semuanya sukses di pasaran.

Antara lain adalah Dr. No (1962), Thunderball (1965), Live and Let Die (1973), The Living

Daylights (1987), Goldeneye (1995), Casino Royale (2006), hingga yang paling terakhir

berjudul Skyfall (2012).

Karakter James Bond telah menjadi ikon dari budaya populer Inggris. Pada buku James

Bond and Popular Culture: The Films are Not Enough (2010), terdapat penelitian yang

membahas bagaimana James Bond berpengaruh terhadap industri perfilman, literatur,

fashion, musik, dan masih banyak lagi hingga gender dan feminisme. Selain itu, karakter

James Bond terkenal dengan lifestyle-nya yang berkelas atas (Moore, 2012). Dalam filmnya,

James Bond selalu digambarkan pergi ke luar negeri untuk menjalankan misinya, berpesiar,

mengonsumsi minuman mahal, mengendarai mobil bagus, memakai baju bermerek dan juga

menggunakan produk-produk trendi dan mengikuti perkembangan jaman.

Penggambaran lifestyle James Bond ini memberikan kesempatan bagi banyak perusahaan

untuk beriklan melalui product placement di film James Bond. Product placement memang

sudah menjadi bagian dalam film James Bond dan menjadikan salah satu faktor James Bond

terkenal (Sancton, 2012). Berbagai macam produk ditampilkan dalam film James Bond,

seperti mobil, minuman, pakaian, hingga maskapai penerbangan pun pernah tampil dalam

film-film James Bond. Penggambaran penggunaan produk itupun menggunakan brand asli,

sehingga terlihat sangat nyata.

Karakter James Bond yang dikenal dengan lifestyle-nya yang terlihat nyata dan selalu

mengikuti perkembangan jaman ini menjadi media bagi perusahaan yang menggunakan

lifestyle branding melalui product placement. Pada penelitian ini, peneliti berupaya untuk

menganalisis isi dari product placement yang digunakan untuk menggambarkan lifestyle tiap

tokoh dalam film James Bond. Selain itu, penelitian ini juga berupaya menganalisis

bagaimana lifestyle branding melalui product placement dalam film James Bond digunakan

untuk membentuk suatu kapitalisme modern dikaji dari teori Frankfurt School.

Metode

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan mixed

method. Penelitian ini menggunakan explanatory design mixed method yang menggunakan

teknik kuantitatif pada pengumpulan datanya, dan kemudian analisis datanya menggunakan

teknik kualititatif (Creswell, 2006, h.73). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah kritik retorika (rhetorical criticism) sebagai metode kualitatifnya dan analisis isi

(content analysis) sebagai metode kuantitatifnya. Pada penelitian ini data didapatkan dari

prosedur matematis yaitu pengkodingan dan kemudian dari data yang didapat dari

pengkodingan ini kemudian dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan kesimpulan

makna dari teks yang diteliti yang kemudian dikritisi retorikanya, dimana teks tersebut dalam

penelitian ini adalah keseluruhan film James Bond.

Pada penelitian ini, digunakan referential units atau character units, dimana unit tersebut

dapat berupa fisik ataupun lainnya yang menunjukkan sesuatu yang memiliki arti sesuai

dengan kategori (Kriyantono, 2006, h.233). Unit data pada penelitian ini adalah setiap

produk/brand yang dapat dikenali lewat elemen brand-nya saja, atau fisik produknya saja,

atau bahkan keduanya. Total sampling digunakan dalam penelitian ini karena jumlah populasi

yang kurang dari 100, menurut Sugiyono (2007) secara keseluruhan dapat dijadikan sampel

penelitian. Populasi dan sampelnya adalah total film James Bond berjumlah 23 film, mulai

dari yang berjudul Dr.No (1962) hingga Skyfall (2012). Keseluruhan film James Bond

digunakan agar peneliti dapat memiliki gambaran utuh tentang lifestyle para tokohnya.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi.

Prosedur yang digunakan merupakan pengkodean yang didasarkan pada kategori. Data yang

berupa film-film James Bond kemudian dikoding sesuai dengan unit pengumpulan data yang

ada agar mendapatkan data yang diperlukan. Pada penelitian ini, teknik analisis data untuk

content analysis yang digunakan adalah tabulasi silang dan tabel frekuensi. Kemudian dari

data yang didapatkan juga dikritisi secara retorikanya bagaimana pesan mengenai produk

atau brand dalam product placement di film James Bond ini menyampaikan pesan

terselubung mengenai ideologi kapitalisme.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas concurrent validity, dimana

peneliti menghubungkan hasil penelitian dengan keadaan di luar penelitian. Pada penelitian

ini, data yang didapat dicocokkan ada tidaknya brand tersebut di dunia nyata, dengan begitu

dapat disimpulkan apakah brand tersebut benar-benar dan digunakan oleh konsumennya.

Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas α-agreement yang dirumuskan oleh

Krippendorff (2004, h.222) yang dapat diaplikasikan pada penelitian dengan jumlah sampel

yang sedikit serta dapat diaplikasikan pula pada setiap jumlah nilai per variabel. Uji

reliabilitas ini mengharuskan reliabilitas berada pada angka antara 0,67-0,80 (Krippendorf,

2004 h.241-242).

Hasil

Hasil dari penelitian 23 judul film James Bond ini adalah pengkode pertama yaitu peneliti

menemukan 472 item product placement, pengkode kedua yaitu Oktosalsa D.C. menemukan

457 item product placement, dan yang terakhir adalah pengkode ketiga yaitu Imandha S.R.

menemukan 438 item product placement. Ketiga hasil ini kemudian dirata-rata menjadi 456

item product placement.Hasil penelitian dari ketiga pengkode ini kemudian dicari kesetujuan

atau kesamaannya. Dari hasil pendataan ditemukan bahwa terdapat 408 item kesetujuan. Dari

sini peneliti menghitung ketidaksetujuan yang ditemukan dalam penelitian untuk dapat

menguji reliabilitasnya.

Dalam uji reliabilitas ini, peneliti menggunakan jumlah ketidaksetujuan yang bisa

diperkirakan (De) sebanyak 0,33. Kemudian peneliti harus menemukan ketidaksetujuan yang

disepakati (Do). Pada penelitian ini, ditemukan ketidaksetujuan sebanyak 48 item. Dari sini

jumlah ketidaksetujuan tersebut dibagi dengan jumlah kesetujuan yang ditemukan (408 item),

sehingga ditemukan angka ketidaksetujuan yang disepakati sebanyak 0,11.

Jumlah reliabilitas data adalah sebanyak 0,67. Aturan dari uji reliabilitas α-agreement ini

adalah bahwa 1≥α≥0 dan mengharuskan reliabilitasnya pada angka 0,67-0,80 (Neuendorf,

2002). Pada penelitian ini ditemukan angka 0,67 yang berarti bahwa data yang didapat

reliabel dan dapat dianalisis.

Selain uji reliabilitas, peneliti juga melakukan uji validitas. Uji validitas yang dilakukan

adalah content validity, dimana peneliti melakukan pengecekan fiktif tidaknya brand yang

didata melalui internet dengan melihat ada tidaknya informasi atau situs resmi brand tersebut.

Pada penelitian terdapat 408 item brand yang disetujui oleh para pengkode, kesemuanya

merupakan brand yang benar-benar ada dalam kehidupan nyata dan bukan brand yang fiktif.

Sehingga dapat dinyatakan bahwa data yang didapatkan merupakan data yang valid.

Pada penelitian ini, peneliti meneliti bagaimana product placement dalam film James

Bond ini menggambarkan lifestyle keempat karakter utama. Pada tabel di bawah ini

ditampilkan product placement apa yang digunakan oleh James Bond, penggambaran

karakter dari James Bond dan bagaimana penampakan dari brand yang digunakan.

Karakter utama dari film James Bond dan product placement yang digunakannya

dijabarkan pada tabel-tabel di bawah ini. Terdapat empat karakter utama dari film James

Bond. karakter-karakter tersebut adalah James Bond sendiri, Bond girl, Bond villain atau

musuh James Bond, dan juga Bond allies atau teman-teman dari James Bond.

Tabel 1 Tabulasi Silang antara Nama Brand dengan Nama Tokoh BRAND NAME * CHARACTER NAME Crosstabulation

Count

CHARACTER NAME

Total Bond allies Bond girl

Bond villain Figuran

James Bond

Tidak digunakan

BRAND NAME

7up 0 0 0 0 0 3 3

Air France 0 1 0 0 1 0 2

Alfa Romeo 0 0 0 0 0 1 1

Alpine 0 0 0 0 1 0 1

American Motors Company 0 0 0 0 1 0 1

Apple 0 1 0 0 0 0 1

Armourlite 0 0 0 0 0 1 1

Aston Martin 3 0 1 0 17 0 21

Atlantic Hotel 0 0 0 0 0 2 2

Audi 1 0 1 0 1 1 4

Avis 0 0 0 0 0 1 1

Bacardi 0 0 0 0 1 0 1

BBC 1 0 0 0 0 0 1

Bell Textron Jetpack 0 0 0 0 1 0 1

Bentley 0 0 0 0 1 0 1

Beretta 1 0 0 0 3 0 4

Blanc de Blancs 0 0 1 0 0 0 1

BMW 3 1 0 1 9 0 14

BOAC 0 0 0 0 0 1 1

Body Worlds 0 0 0 0 0 1 1

Bollinger 0 0 2 0 9 5 16

Bottoms Up Club 0 0 0 0 1 0 1

Breitling 0 0 0 0 2 0 2

Brioni 0 0 0 0 1 0 1

British Airways 0 0 0 0 2 2 4

British Petroleum 0 1 0 0 0 0 1

British Telecom 1 0 0 0 0 0 1

British United Airways 0 0 1 0 0 0 1

Busch 0 0 0 0 0 2 2

Cabana club 0 0 0 0 0 1 1

Cadillac 0 0 1 0 0 0 1

Call Me Bwana 0 0 0 0 0 1 1

Cambridge University 0 0 0 0 1 0 1

Camel 0 0 0 0 0 1 1

Campari 1 0 0 0 0 0 1

Canon 1 0 0 0 0 0 1

Carlsberg 0 0 0 0 0 3 3

Cartier 0 0 0 0 0 1 1

Case New Holland 0 0 0 0 0 1 1

Cat 0 0 0 0 2 2 4

Chevrolet 0 0 0 0 0 1 1

Chevron 0 0 0 0 0 1 1

Christian Dior 0 1 0 0 0 0 1

Circus Circus 0 0 0 1 0 0 1

Citroen 0 1 2 0 0 0 3

CNN 1 0 0 0 1 0 2

Coca Cola 0 0 0 0 0 1 1

Coca Cola Zero 0 0 0 0 0 3 3

Cosmed 0 0 0 0 1 0 1

Cougar 0 1 0 0 1 0 2

Dodge 0 0 1 1 0 0 2

Dom Perignon 0 1 0 0 5 0 6

Dunes Hotel 0 0 0 0 0 1 1

Dunlop 0 0 1 0 0 1 2

Eastern Airlines 0 0 0 0 0 1 1

Enco 0 0 0 0 1 0 1

Ericsson 1 0 1 0 3 0 5

Estee Lauder 0 1 0 0 0 0 1

Evinrude 0 0 0 0 1 0 1

Ferrari 0 0 0 0 1 0 1

Ford 1 2 3 0 4 1 11

Fujitsu 0 0 0 1 1 0 2

Glaston 0 0 0 0 1 0 1

Google 1 0 0 0 0 0 1

Harrods 0 0 1 0 0 0 1

Heineken 0 0 0 2 1 4 7

Hennesy 0 0 0 0 1 0 1

Hertz Rent-a-Car 0 0 0 0 1 0 1

Hitachi 0 0 0 0 0 1 1

Honda 0 0 1 0 0 0 1

Hotel Tropicana 0 0 0 0 1 0 1

HP 0 1 0 0 0 0 1

Hyundai 0 0 0 0 0 1 1

IBM 0 1 0 0 0 0 1

Ingenico 0 0 0 0 1 0 1

J&B 0 0 0 0 0 1 1

Jaguar 2 0 2 0 0 2 6

Jeep 0 0 0 2 0 0 2

Jeep Cherokee 0 1 0 0 0 0 1

Joe's Restaurant 0 0 0 0 0 1 1

K.W.Vanguard 0 0 0 0 0 1 1

Kentucky Fried Chicken (KFC) 0 0 0 0 0 1 1

Kenworth Truck 0 0 0 1 0 0 1

Kodak 0 0 0 0 0 2 2

Lafite Rothschild 1 0 0 0 0 0 1

Land Rover 1 0 0 0 0 0 1

Lark 0 0 0 0 1 0 1

Le Cercle 0 0 0 0 1 0 1

Lotus 0 0 0 0 5 0 5

Louis Vuitton 0 0 0 0 0 1 1

Lufthansa 0 0 0 0 1 0 1

Macallan 0 0 1 0 0 0 1

Marlboro 0 0 0 0 0 3 3

MEFT 0 0 0 0 1 0 1

Mercedes Benz 1 1 3 2 3 2 12

Michelin 0 0 0 0 1 1 2

Michelob 0 0 0 0 0 1 1

Microsoft Windows 0 1 0 0 0 0 1

Monza 0 0 0 0 0 1 1

Motorola 0 0 0 0 0 1 1

Mouton Rothschild 0 0 1 0 0 0 1

Nikon 0 0 1 0 0 3 4

Nokia 0 0 1 0 1 0 2

Ocean Club 0 0 0 0 1 0 1

Ocean Sky jet 0 0 0 0 1 0 1

Olin 0 0 0 0 1 0 1

Olympus 0 0 0 2 0 0 2

Omega 0 0 2 0 5 1 8

OPI 0 1 0 0 0 0 1

Pan American 0 0 0 0 1 4 5

Panasonic 0 0 0 0 0 1 1

Pepsi 0 0 0 0 0 2 2

Perrier 0 0 0 0 0 1 1

Philips 0 1 1 0 3 0 5

Piz Gloria 0 0 1 0 1 0 2

Playboy 0 0 0 0 1 0 1

Playboy Club and Casino 0 1 0 0 0 0 1

Range Rover 1 0 1 1 4 1 8

Red Stripe Beer 0 0 0 0 0 1 1

Renault 0 1 0 0 0 0 1

Rolex 0 1 0 0 7 0 8

Rolls Royce 1 1 2 0 4 4 12

Saint Sophia Mosque 0 0 0 0 1 0 1

Samsonite 0 0 0 0 1 0 1

Seaspeed Hovercraft 0 0 0 0 0 1 1

Seiko 0 0 0 0 6 1 7

Shell 0 0 0 0 0 1 1

Slazenger 0 0 0 0 1 0 1

Smirnoff 1 0 0 0 3 0 4

Smith & Wesson 0 1 1 0 1 0 3

Sony 3 0 5 1 4 0 13

Sony Bravia 1 0 0 0 0 1 2

Sony CD 0 0 0 0 1 0 1

Sony CD player 0 0 0 0 1 0 1

Sony Cyber Shot 0 1 0 0 0 1 2

Sony Ericsson 0 1 4 0 9 0 14

Sony Vaio 10 0 1 0 3 0 14

Sony Xperia 0 0 0 0 1 0 1

Sotheby's Auction 0 0 0 0 1 0 1

Spirit 0 1 0 0 0 0 1

Stolichnaya 0 0 0 0 1 0 1

Sunoco 0 0 0 0 0 1 1

Sunseeker 0 0 1 0 0 0 1

Swarovski 0 3 0 0 0 0 3

Texron 0 0 1 0 0 1 2

The Hilton Hotel 0 0 0 0 1 0 1

The Jamaica Telephone Company Ltd

0 0 0 0 1 0 1

The Mint Hotel 0 0 0 0 0 1 1

The Peninsula Hotel 0 0 0 0 1 0 1

Theotaki Aspro 0 0 0 0 1 0 1

Titan Airways 0 0 0 0 0 1 1

Toblerone 0 0 0 0 0 1 1

Toshiba 0 0 0 0 0 1 1

Toyota 0 0 0 0 0 1 1

Vespa 0 0 0 0 0 1 1

Virgin Atlantic 0 0 0 0 0 3 3

Visa 0 0 0 0 1 1 2

Vodaphone 1 0 0 0 0 0 1

VW 0 1 0 1 1 2 5

VW Beetle 1 0 0 0 0 0 1

Walther PPK 2 0 2 1 4 0 9

Wetbike 0 0 0 0 1 0 1

Whiskas 0 0 0 0 1 0 1

Yamaha 0 0 0 0 1 0 1

Youtube 1 0 0 0 0 0 1 Total 43 30 48 17 169 101 408

Sumber: Data diolah peneliti

Ket.: Pada tabel 1, terdapat 43 item yang digunakan Bond allies, 30 item digunakan Bond girl, 48 item

digunakan Bond villain, 17 item digunakan figuran, 169 item digunakan James Bond, dan 101 item tidak

digunakan siapapun. Brand yang paling sering digunakan Bond allies adalah Sony Vaio di mana 10 item dari

total 14 item digunakan Bond allies. Swarovski adalah brand yang paling sering digunakan Bond girl. Mercedes

Benz adalah brand yang paling banyak digunakan pemeran antagonis. James Bond paling sering menggunakan

brand Aston Martin.

Product Placement dalam Lifestyle Karakter James Bond, Bond Girls, Bond Villains,

dan Bond Allies

Tokoh James Bond merupakan tokoh yang mendominasi penggunaan produk dan brand

dalam film-film James Bond. Sebanyak 41,4% product placement digambarkan untuk

dimiliki atau digunakan oleh James Bond. Tokoh James Bond yang merupakan laki-laki

dengan perkiraan umur dewasa muda hingga dewasa (20-64 tahun) ini berasal dari kelas

sosial upper class. Dalam novelnya, Ian Fleming mendeskripsikan James Bond sebagai

seorang agen rahasia dari Inggris yang memiliki keturunan bangsawan (Moore, 2012).

Penggambaran ini juga terdapat dalam filmnya, dimana selain penggambaran mengenai

pekerjaannya, pada film terakhirnya yang berjudul Skyfall (2012) yang menceritakan latar

belakang keluarga James Bond yang merupakan bangsawan. Hal tersebut ditunjukkan dari

kediaman keluarga James Bond yang berupa kastil bangsawan.

Product placement yang menggunakan tokoh James Bond terdiri dari berbagai macam

kategori produk. Pada filmnya, James Bond sering menggunakan produk mobil, minuman

keras, jam tangan, handphone, dan senjata laras pendek/pistol. Produk-produk tersebut

ditampilkan dengan berbagai macam brand. Brand handphone yang paling sering digunakan

oleh James Bond adalah Sony Ericsson yang digunakan oleh James Bond sendiri di film

Casino Royale (2006) dan Quantum of Solace (2008). Brand pistol yang paling sering

digunakan James Bond adalah Walther. Pistol Walther telah digunakan oleh James Bond

sejak filmnya yang pertama, sehingga pistol Walther telah menjadi bagian dari penggambaran

karakter James Bond. Untuk jam tangan, James Bond paling sering menggunakan brand

Rolex, kemudian minuman keras paling banyak menggunakan Dom Perignon, dan mobil

paling banyak menggunakan Aston Martin.

Produk-produk dan brand yang digunakan oleh James Bond ini menunjukkan bahwa

produk tersebut merupakan produk yang maskulin, stylish, dan berkelas. Hal tersebut

dikarenakan penggambaran karakter James Bond yang berasal dari upper class, stylish, dan

juga sangat maskulin, dilihat dari bagaimana banyak perempuan jatuh cinta kepadanya karena

James Bond sangat melindungi wanita. Produk-produk tersebut juga menjadi simbol dari

dewasa dan kemapanan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana produk-produk tersebut

digunakan oleh James Bond yang merupakan orang dewasa yang mapan. Produk-produk

yang digunakan oleh James Bond ini ditampilkan sebagai prominent placement dan juga

classic placement. Hal tersebut ditujukan agar penonton dapat dengan mudah menangkap

pesan brand dan dapat dengan mudah mengenali brand yang muncul tersebut.

Bond girl merupakan salah satu tokoh utama dalam film-film James Bond. Bond girl

memiliki peran tidak hanya untuk mempermanis film saja, tetapi juga memiliki peran sebagai

kekasih James Bond. Bond girl dalam tiap film James Bond biasanya berjumlah 1-4 orang,

biasanya ada yang muncul sebentar dan langsung hilang atau mati, tetapi ada juga yang

betahan hingga akhir film. Bahkan ada pula Bond girl yang juga merupakan musuh James

Bond. Semuanya memiliki rentang usia 20-39 tahun yang berarti masuk ke dalam kategori

dewasa muda. Sebagian besar masuk ke dalam golongan upper class, tetapi ada pula yang

masuk ke dalam kategori middle class.

Terdapat beberapa produk yang digunakan oleh Bond girls. Produk tersebut antara lain

adalah mobil, komputer/laptop, handphone, kosmetika tubuh, dan berbagai macam aksesoris,

yaitu kalung, cincin, dan anting-anting. Beberapa produk bahkan hanya digunakan oleh Bond

girl, seperti kosmetika tubuh, aksesoris, dan wewangian. Pada penelitian ini ditemukan

bahwa tidak terdapat perbedaan product placement pada berbagai macam peran Bond girl.

Baik Bond girl utama, pendukung, maupun musuh tidak terdapat perbedaan kategori produk

yang digunakan. Mobil yang digunakan oleh Bond girl terdiri dari berbagai macam brand.

Brand tersebut antara lain adalah Ford, BMW, Citroen, Cougar, Jeep Cherokee, Renault,

Rolls Royce, dan VW. Walaupun tidak banyak brand yang digunakan oleh Bond girl, tetapi

Bond girl yang menggunakan brand-brand tersebut menggunakannya sepanjang film dan

menjadi identik dengan brand tersebut.

Kemudian produk selanjutnya yang digunakan oleh Bond girl adalah komputer/laptop

dan juga handphone. Komputer/laptop yang digunakan adalah produk keluaran brand Apple

dan IBM. Produk selanjutnya yang digunakan oleh Bond girl adalah handphone. Dalam film

James Bond, terdapat beberapa brand yang digunakan oleh Bond girl, antara lain adalah

brand Sony Ericsson. Untuk kosmetikanya menggunakan OPI, dan Estee Lauder.

Wewangian menggunakan Christian Dior, dan perhiasan menggunakan Swarovski.

Produk-produk yang digunakan oleh Bond girls ini memberikan citra glamor seperti

bagaimana digambarkan dengan menggunakan berbagai produk mewah dan berkelas. Selain

itu, penggambaran karakter Bond girls yang seksi dan cantik juga memberikan citra bahwa

produk yang digunakan oleh Bond girls merupakan produk yang dapat membuat

penggunanya juga menjadi cantik dan seksi. Kemudian produk yang digunakan oleh Bond

girls juga menunjukkan feminitas, kebalikan dari James Bond uang menunjukkan

maskuliinitas. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam produk yang digunakan oleh

Bond girls yang memiliki desain yang elegan, manis, khusus untuk wanita, dan juga dari

berbagai produk khusus wanita yang digunakan oleh Bond girls.

Product placement dari produk-produk yang hanya digunakan oleh Bond girls seperti

wewangian, kosmetika, dan aksesoris ini merupakan subtle placement. Hal tersebut

dikarenakan penonton dari James Bond yang kebanyakan lelaki, sehingga produk- produk

yang khusus digunakan oleh perempuan tidak terlalu diperlihatkan, kecuali produk-produk

yang dapat digunakan oleh laki-laki juga.

Karakter utama dalam film James Bond juga termasuk pemeran antagonis atau Bond

villain. Adanya pemeran antagonis ini memberikan jalan cerita terhadap film James Bond

yang selalu menceritakan dimana James Bond berhadapan dan mengalahkan orang-orang

jahat yang menjadi musuhnya. Bond villain digambarkan sebagai seseorang dengan kekuatan

yang lebih kuat atau berimbang dengan James Bond dan bahkan dalam beberapa film,

digambarkan bahwa Bond villain memiliki kepribadian yang sama dengan James Bond.

Karakter musuh Bond atau Bond villain, yang selalu berganti tiap film, kebanyakan

berjenis kelamin laki-laki. Rentang umurnya lebih luas yaitu mulai dari 20 tahun hingga lebih

dari 65 tahun yang berarti masuk ke dalam kategori usia dewasa muda, dewasa, dan tua.

Mereka masuk ke dalam kategori SES upper class, karena penggambaran pekerjaannya yaitu

penjahat yang memiliki uang banyak sehingga menjadikannya masuk ke dalam kategori

upper class.

Pada film James Bond, pemeran antagonis ini juga memakai berbagai produk dari

berbagai brand yang dimaksudkan sebagai product placement. Berbagai produk tersebut

antara lain adalah mobil, handphone, minuman keras, televisi, dan pistol. Mobil yang

digunakan oleh Bond villain kebanyakan berbeda dengan yang digunakan James Bond. Bond

villain ini menggunakan Mercedes Benz, Citroen, Jaguar, dan Ford. Pemakaian Mercedes

Benz terbanyak oleh Bond villain.

Musuh James Bond ini menggunakan produk dari berbagai brand yang hampir sama

dengan apa yang digunakan oleh James Bond. Produk dan brand yang digunakan oleh Bond

villain ini memiliki citra positif di mana Bond villain selalu digambarkan memiliki kekayaan

yang sangat banyak, sehingga penonton akan mengira produk tersebut mahal, sehingga

mendatangkan prestis dan citra mengenai power. Tidak hanya image powerful, karakter Bond

villains ini juga memiliki image tentang ancaman yang sepadan bagi James Bond. Tetapi

karakter musuh James Bond yang biasanya digambarkan sebagai orang yang sangat jahat

juga terkadang memberikan citra negatif terhadap brand, sehingga product placement yang

digunakan oleh Bond villain ini tidak terlalu banyak.

Sama dengan product placement lainnya yang digunakan oleh karakter-karakter lain,

product placement yang digunakan oleh pemeran antagonis ini juga ditampilkan sebagian

besar sebagai classic placement, prominent placement, dan juga screen placement. Selain itu

produk-produk juga digunakan sesuai dengan fungsinya. Sehingga penonton mengerti

bagaimana penggunaannya dan brand awareness dapat meningkat, walaupun product

placement yang digunakan oleh pemeran antagonis ini tidak sebanyak James Bond yang

menjadi musuhnya.

Pemeran pendukung atau Bond allies ini terdiri dari banyak karakter/tokoh, tetapi

terdapat beberapa tokoh yang selalu muncul di hampir semua film James Bond. Tokoh

tersebut adalah M, Q, Miss Moneypenny, dan Bill Tanner. Tokoh M digambarkan sebagai

kepada dari MI6 yang merupakan bos dari James Bond. Pemerannya berjenis kelamin laki-

laki (mulai dari film pertama hingga film ke-16) dan perempuan (mulai dari film ke-17

hingga ke-23). Usia dari tokoh M ini adalah lebih dari 65 tahun (tua) dan masuk ke dalam

kategori upper class karena penggambaran pekerjaannya yang merupakan bos dari MI6.

Kemudian untuk tokoh Q diperankan oleh laki-laki dengan rentang umur tua (mulai dari

film kedua hingga ke-20) dan dewasa muda. Keduanya masuk ke dalam kategori SES middle

class, karena pekerjaannya yang merupakan kepala teknologi di MI6. Bill Tanner juga sama

dengan Q, yaitu berjenis kelamin laki-laki dan masuk ke dalam middle class, tetapi perkiraan

usianya adalah dewasa (40-64 tahun). Lalu yang terakhir adalah Miss Moneypenny yang

merupakan sekretaris M yang berjenis kelamin perempuan dan masuk ke dalam kategori

middle class. Rentang usianya adalah dewasa muda yaitu berusia 20-39 tahun.

Produk-produk yang digunakan oleh Bond allies juga digunakan sebagai produk untuk

mengekspresikan diri mereka, terutama untuk mengomunikasikan apa pekerjaan mereka.

Misalnya untuk karakter Q yang merupakan kepala divisi pengembangan teknologi di MI6,

tempat James Bond bekerja. Q merupakan orang yang dekat dengan teknologi dan juga orang

yang selalu mengikuti perkembangan teknologi. Maka dari itu, produk-produk yang

digunakannya pun kebanyakan merupakan barang-barang elektronik, seperti

komputer/laptop, handphone, hingga mobil.

Selain itu, penggunaan mobil juga menunjukkan kelas sosial dan jabatan dari tokoh

pendukung film James Bond ini. Tokoh M yang diceritakan sebagai kepala MI6 ini

digambarkan menggunakan mobil Jaguar. Mobil Jaguar memang merupakan mobil resmi

yang digunakan oleh Perdana Menteri, pejabat tinggi, dan keluarga Kerajaan Inggris

Penggunaan Jaguar yang diperuntukkan pejabat tinggi Inggris membuat penggambaran

karakter M ini sebagai seorang upper class.

Secara keseluruhan, karakter-karakter dari Bond allies ini dikenal akan penggunaan

produk elektroniknya, seperti komputer, laptop, telepon, televisi, dan berbagai gadget

lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bond allies ini dekat dengan kemajuan teknologi.

Sama seperti penggambaran karakternya yang selalu menggunakan teknologi terkini dan

mem-backing pekerjaan dari James Bond yang seorang mata-mata.

Kapitalisme Modern dalam Product Placement di Film James Bond

Pemakaian produk untuk mengekspresikan diri atau self-expressive ini lebih banyak

mendominasi product placement dalam film James Bond. Hal tersebut tergambar pada

lifestyle karakter film James Bond dimana mereka menggunakan produk-produk dari

berbagai brand ternama untuk mendukung gaya hidup atau lifestyle mereka. Penggambaran

penggunaan produk-produk yang bukan kebutuhan primer, melainkan kebutuhan tersier atau

kebutuhan akan barang mewah ini merupakan usaha pembentukan kebutuhan artifisial seperti

yang dikemukakan oleh Adorno (1944) yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan yang

terlibat dalam pembuatan film James Bond ini.. Penggunaan barang-barang mahal sebagai

lifestyle atau gaya hidup sehari-hari dari James Bond tersebut digambarkan sebagai hal yang

wajar yang terjadi dalam hidup setiap orang.

Hal tersebut sesuai dengan teori yang dibuat oleh Adorno dan Horkheimer (1944) dimana

industri menciptakan suatu kebutuhan artifisial melalui media massa. Penggunaan berbagai

macam produk dalam film James Bond tersebut menciptakan suatu kebutuhan artifisial bagi

penontonnya. Produk-produk yang dipergunakan dalam film James Bond tersebut bukanlah

produk yang merupakan kebutuhan hidup, tetapi lebih kepada untuk pemenuhan gaya hidup.

Selain itu, penggambaran karakter James Bond dan juga karakter lainnya yang

memberikan citra atau image positif terhadap brand juga memberikan pesan kepada penonton

bahwa jika produk dan brand tersebut digunakan oleh penonton akan memberikan image

yang sama terhadap penonton. Pembentukan citra brand sesuai dengan karakter serta

penggambaran lifestyle dalam kehidupan sehari-hari tokoh film James Bond tersebut sesuai

dengan teori budaya kapitalisme modern yang dirumuskan oleh Frankfurt School.

Frankfurt School menyatakan bahwa perusahaan kapitalis ini menciptakan kebutuhan

artifisial dengan menciptakan image yang baik serta menjanjikan stabilitas dan kemakmuran

(Strinati, 2004). Dengan adanya image yang baik akan produk dan brand yang digunakan,

penonton akan terpengaruh dan mencoba menyamakan dirinya dengan image yang dibangun

oleh karakter dalam film James Bond tersebut, dengan persepsi bahwa image yang

ditampilkan oleh karakter dalam film James Bond tersebut merupakan image yang baik dan

menunjukkan kemakmuran.

Produk-produk yang digunakan dalam film James Bond tersebut merupakan lifestyle

brand atau produk/jasa yang digunakan untuk mengekspresikan diri serta menyediakan ikatan

emosional dengan konsumen dengan gaya hidup tertentu (Jung & Merlin, 2002). Menurut

Adorno (1991), media massa membentuk kebutuhan artifisial agar masyarakat tidak rasional

dan membeli produk hanya untuk mengidentifikasikan dirinya dan menunjukkan statusnya.

Produk-produk dalam film James Bond ini merupakan lifestyle brand, dimana

penggunaannya bukanlah untuk kebutuhan utama tetapi untuk mendukung gaya hidupnya.

Penggunaan lifestyle brand ini juga untuk menunjukkan status sosial, yang di film James

Bond didominasi oleh orang dengan kelas sosial upper class dan hal tersebut memberikan

gambaran status kehidupannya yang makmur. Penonton dibuat menjadi tertarik akan produk

tersebut karena digambarkan bahwa dengan menggunakan produk-produk yang ditampilkan

dalam film James Bond akan meningkatkan status sosialnya. Sehingga penonton akan dibawa

untuk berpikir bahwa menunjukkan identitas dan status sosial dengan menggunakan produk-

produk tersebut merupakan kebutuhan utamanya, dan dari situ media massa sukses

menciptakan kebutuhan artifisial.

Penggambaran penggunaan produk dan berbagai macam brand dalam film James Bond

juga merupakan suatu image. Baudrillard (1994) memaparkan bahwa image memiliki empat

tahap sebagai refleksi dari realitas, yaitu image menutupi dan mengubah sifat realitas, image

menutupi ketiadaan realitas, dan terakhir dimana image tidak memiliki hubungan sama sekali

dengan realitas manapun – dan itu disebut sebagai simulacrum.

Pada film James Bond, penggunaan produk dan brand tersebut merupakan suatu image

dan juga membentuk suatu simulacrum. Pada tahap pertama dimana image berperan sebagai

refleksi realitas adalah dimana produk dan brand tersebut merupakan produk dan brand yang

memang benar-benar ada di dunia nyata. Kemudian pada tahap kedua dimana image

menutupi dan mengubah sifat realitas adalah pada saat dimana produk dan brand tersebut

digunakan untuk membangun cerita dari film James Bond atau membangun karakter dari film

James Bond. Kemudian pada tahap ketiga adalah dimana produk dan brand tersebut

dipergunakan untuk memberikan tambahan unsur kenyataan pada film James Bond yang

merupakan film fiksi atau hanya karangan belaka. Lalu yang terakhir adalah dimana image

tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas yaitu bahwa penggunaan produk dan

brand yang dibuat lebih canggih, dan untuk mendukung gaya hidup tokoh-tokoh fiksi dalam

film James Bond, serta menciptakan suatu image atau citra tersendiri tentang brand.

Penggunaan produk dan brand dalam film James Bond juga dapat disebut sebagai

hiperrealitas. Menurut Baudrillard (1994), hiperrealitas merupakan realitas yang seolah-olah

nyata padahal hanya dibuat-buat dan tidak nyata sama sekali. Penggunaan produk dan brand

yang hanya digunakan oleh kelas sosial upper class dan juga hanya digunakan untuk

mendukung lifestyle-nya dalam film James Bond tersebut membentuk suatu hiperrealitas

dimana penonton dibuat untuk percaya bahwa dengan menggunakan produk dari brand-

brand tersebut dapat meningkatkan statusnya serta membuat orang percaya bahwa

penggunaan produk seperti itu memang benar adanya dan merupakan gaya hidup yang semua

orang lakukan. Tidak hanya itu, penggambaran karakter James Bond yang menggunakan

Bond girls sebagai alasan bertarung serta perhiasan, tim dari Bond allies yang selalu

memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, serta Bond allies yang menciptakan ancaman

memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan yang dibuat oleh industri dan media

massa dapat memikat penonton dan membuat penonton untuk berpikir bahwa hal tersebut

adalah kehidupan yang sesuangguhnya. Hal tersebut menyebabkan penonton film James

Bond menjadi percaya bahwa apa yang ada di film James Bond adalah nyata dan

menganggap bahwa apa yang terdapat dalam film James Bond – terutama penggunaan

produk dan brand-nya – adalah kenyataan dan merupakan kebutuhan utama setiap orang.

Produser film James Bond yang menginginkan bahwa James Bond dan karakter utama

lainnya menggunakan teknologi, terutama teknologi transportasi, yang paling terbaru, bahkan

yang paling terbaru yang masyarakat banyak belum mencobanya (Kamp, 2012), merupakan

suatu bentuk tindakan kapitalisme. Dapat dikatakan kapitalisme karena produser atau pihak

yang memiliki kuasa dalam pembuatan film James Bond ini memasukkan ideologinya

tentang gaya hidup modern serta image yang menunjukkan kemapanan dan kemakmuran.

Product placement atau periklanan dalam film merupakan kombinasi yang tepat sebagai

media penyebaran kapitalisme modern. Pesan iklan yang agresif dengan mengombinasikan

emosi dan cerita film yang disebarkan secara massal dapat memberikan gambaran mengenai

gaya hidup kepada penonton, melalui penggunaan berbagai macam produk dan brand oleh

berbagai macam karakter dalam film. Hal tersebut menyebabkan penonton dapat mudah larut

dan terpengaruh akan pentingnya mengonsumsi produk dari brand yang muncul agar dapat

mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang mapan dan makmur.

Kesimpulan

Product placement dalam film James Bond merupakan representasi dari kapitalisme

modern. Narasi patriakisme terlihat dari penggambaran karakter James Bond yang sangat

maskulin dimana selain untuk membela kebenaran, Bond girls yang identik dengan

kecantikan dan terlihat seperti “perhiasan” laki-laki dijadikan sebagai salah satu motif untuk

melakukan perang terhadap musuhnya. Selain itu, sebagaimana dinarasikan dalam kehidupan

modern, tim dari Bond allies yang selalu memberikan bantuan dalam berbagai bentuk yang

menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa sistem yang jelas, serta Bond allies yang

menciptakan ancaman bagi Bond dan negara Inggris secara spesifik, memberikan gambaran

tentang bagaimana kehidupan memberikan tantangan bagi manusia untuk selalu berpikir ke

depan agar lebih siap menjalani kehidupan.

Produk dan brand ditampilkan dan digambarkan dengan baik dan dengan image yang

baik pula sehingga penonton berpikir bahwa dengan menggunakan produk dan brand tersebut

dapat meningkatkan status sosial dan juga berpikir bahwa penggunaan produk tersebut

merupakan hal yang nyata dilakukan oleh setiap orang. Dari sini tercipta suatu kenyataan

yang dibuat-buat oleh industri yang terlibat di dalamnya serta membentuk pula suatu

kebutuhan artifisial bagi penonton.

Rekomendasi

Penelitian ini menggunakan metode content analysis untuk mengumpulkan dan mengolah

data. Rekomendasi akademis yang dapat peneliti kemukakan adalah bagi peneliti yang ingin

meneliti tentang kapitalisme modern dalam budaya populer, terutama dalam product

placement, untuk lebih mendalami bagaimana praktek kapitalisme modern melalui metode

semiotika atau discourse analysis dalam melihat product placement agar mendapatkan

gambaran yang lebih holistik. Kemudian rekomendasi praktis yang peneliti kemukakan bagi

audience atau masyarakat luas, diharapkan agar lebih memahami pesan iklan di film James

Bond sebagai referensi konsumsi yang disimulasikan oleh perusahaan dan dapat menyeleksi

mana brand yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga tidak terjebak dalam budaya

konsumerisme.

Daftar Pustaka

Aaker, David A. (1996). Building Strong Brands. New York: Free Press.

Adorno, Theodor W. (1991). The Culture Industry. Inggris: Routledge.

Adorno, T.W. & Horkheimer, M. (1944). The Culture Industry: Enlightment as Mass

Deception. Amerika Serikat: Social Studies Association.

Arvidsson, Adam. (2005). Brands: A Critical Perspective. Journal of Consumer Culture

2005; 5; 235. Dari tautan http://joc.sagepub.com/cgi/content/abstract/5/2/235

Balasubramanian, Siva K. (1994). Beyond Advertising and Publicity: Hybrid Messages and

Public Policy Issues. Journal of Advertising, Volume XXIII, Number 4. 29-45.

Baudrillard, Jean. (1994). Simulacra and Simulation. Amerika Serikat: University of

Michigan Press.

Corniani, Margherita. (2001). Product Placement and Brand Equity. Emerging Issues

inManagement, 66-82. Dari tautan www.unimib.it/symphonya

Gokhale, Shruti Vinayak. (2010). Comparative Study of Product Placement in Bollywood and

Hollywood Movies. Master’s Theses Paper 3860.

Gupta, P. B., & Lord, K. R. (1998). Product Placement in Movies: The Effect of Prominence

and Mode on Audience Recall.Journal of Current Issues and Research in Advertising,

20(1), 33-40.

Jung, K.L. & Merlin, M. (2002). Lifestyle Branding: As More Companies Embrace It,

Consumer Opposition Grows. Journal of Integrated Communication.

Krippendorff, Klaus. (2004). Content Analysis: An Introduction to Its Methodology, 2nd

Edition. Amerika Serikat: Sage Publications.

Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada

Media Group.

Lehu, Jean-Marc. (2007). Branded Entertainment: Product Placement & Brand Strategy in

the Entertainment Business. United States: Kogan Page Limited.

Moser, H., Bryant, L., Sylvester K. (2004). Product Placement as a Marketing Tool in Film

and Television. National Social Science Journal, Vol. 22.1

Russell, C.A. 2002. Investigating the Effectiveness of Product Placements in Television

Shows: The Role of Modality and Plot Connection Congruence on Brand Memory and

Attitude.Journal of Consumer Research, vol. 29, no. 3, pp. 306–318.

Solomon, Michael R. (1994). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being; International

Edition Sixth Edition. Amerika Serikat: Prentice Hall, Inc

Strinati, Dominic. (2004). An Introduction to Theories of Populer Culture: Second Edition.

Amerika Serikat: Routledge.

Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.


Recommended