Date post: | 17-Jan-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 1 times |
Download: | 0 times |
PRODUCT PLACEMENT DALAM BUDAYA POPULER UNTUK MEMBENTUK
LIFESTYLE BRAND
(Studi Mengenai Lifestyle Brand sebagai Instrumen Ideologi Kapitalisme dalam Film-
Film James Bond yang Dirilis Tahun 1962-2012)
Irene Wulandari
Ilmu Komunikasi
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Brawijaya
2014
Abstract
Lifestyle brand is a product or a service that provides consumer with an emotional
attachment to an identifiable lifestyle. Cultural Studies view lifestyle brand as a form of
modern capitalism, which industries try to construct a positive image and producing a sense
of necessity to buy the products the sell. The spread of capitalism ideology goes through mass
media, such as movie and advertising. In addition, movie and advertising could blend in
together in a form of product placement. Product placement is appeared frequently in
Hollywood movies, including James Bond movies that first released from 1962 until now.
James Bond movie is action movies that renowned for the product placements and its
character’s high-end lifestyles. The aim of this research is to analyze the content of product
placement of lifestyle brand that used to depict characters in the movie which seemed to
deliver the message on modern capitalism. This is a mixed method research that used the
content analysis and rhetorical analysis method. The research chose all the James Bond
movies in total sampling. Content analysis was used as data collecting method. Whereas,
data analyzing technique used was frequency table and cross-tabulation which was then
analyzed with the rhetorical analysis. This research revealed that product placements in
James Bond movies are representing the lifestyle of each primary character; those are James
Bond itself, Bond, Bond girls, Bond villains, and Bond allies. The image of the brands is
suitable with the characterization of those primary characters. James Bond is identical to the
image of masculine, mature, and classy man. The Bond girls are identical to the image of
glamour, sexiness, beauty, and elegant. The Bond villains are identical to the image of
power, expressing threat to the country and James Bond as an agent. The lastly, Bond allies
are identical to the products and brands that more advanced than the latest technology. The
lifestyle depiction in James Bond movies through the using of brands and products by the
characters produced the image and the hiperreality where products using and the lives of its
characters are not real and illusive. The lifestyle depiction in James Bond movies are tend to
be hyperreal illusive, and also far from audience’s way of life timeframe. It is concluded that
a fine product placement constructs an artificial needs of a certain brand which along with
capitalism ideology are drawing audience’s interest to buy the product. This serves as and
argument of reasons why people impulsively buys products beyond its necessity.
Keywords: Capitalism, Lifestyle Brand, Product Placement, James Bond
Pendahuluan
Produk dan merek atau brand merupakan hal-hal yang dekat dengan keseharian manusia.
Manusia menggunakan berbagai macam produk dari berbagai macam brand untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari. Gokhale (2010) membagi kategori produk ke dalam 24 kategori dan
kemudian membaginya lagi ke dalam 14 subkategori. Kategori-kategori tersebut adalah
elektronik, food and beverages, health and beauty, pakaian, hiburan dan situs internet,
aksesoris, minuman keras, transportasi, footwear, perlengkapan olahraga, wisata, dan rokok,
serta masih banyak lagi. Aaker (1996) mengatakan bahwa terdapat tiga manfaat berbeda yang
didapat saat membeli produk, yaitu fungsional, emosional, dan pengekspresian diri.Adanya
berbagai manfaat yang didapat dari suatu produk ini, membuat perusahaan membuat produk
yang dapat memberikan manfaat-manfaat tersebut, terutama manfaat pengekspresian diri.
Produk untuk mengekspresikan diri disebut sebagai lifestyle brand. Menurut Jung &
Merlin (2002, h.40) lifestyle brand adalah produk atau jasa yang menyediakan keterkaitan
emosional kepada konsumen dengan gaya hidup tertentu. Seperti produk pada umumnya,
lifestyle brand juga memerlukan branding. Branding sendiri adalah alat manajemen yang
digunakan untuk mencapai diferensiasi dan menciptakan keunggulan kompetitif yang
berkelanjutan (Kotler & Pfoertsch, 2010 h.11). Jadi dapat disimpulkan bahwa kegiatan untuk
memasarkan keunggulan dan perbedaan suatu produk atau brand yang sesuai dengan lifestyle
konsumennya adalah lifestyle branding.
Lifestyle atau gaya hidup mengacu kepada pola konsumsi yang merefleksikan pilihan
seseorang terhadap pengalokasian pendapatannya untuk pengeluaran tetap dan relatif serta
bagaimana menghabiskan uang dan waktunya, dan ini tercermin dari pola perilakunya yang
menunjukkan konsep diri, grup referensi, dan kelas sosialnya (Solomon, 1994). Perusahaan
banyak menggunakan lifestyle branding untuk produk yang dihasilkannya karena lifestyle
branding ini memiliki beberapa keuntungan, antara lain adalah adanya hubungan jangka
panjang yang kuat dengan konsumen (Jung & Merlin, 2002).
Tetapi bagaimanapun, para ahli Cultural Studies menyatakan bahwa adanya lifestyle
branding sebagai bentuk kapitalisme modern. Naomi Klein dalam bukunya yang berjudul No
Logo (2000) menyebutkan bahwa lifestyle branding merupakan bentuk kapitalisme modern,
dimana banyak perusahaan tidak menjual apa yang menjadi fungsi sebenarnya dari suatu
produk, tetapi malah menjual idea atau gagasan melalui produk tersebut. Contohnya adalah
Disney yang menjual “American dream” melalui film-film dan karakter kartunnya, Coca
Cola menjual ide tentang gaya hidup anak muda yang gaul, dan lain-lain.
Kemudian Arvidsson (2005) juga menyebutkan bahwa adanya brand, terutama lifestyle
brand yang beredar sekarang ini di masyarakat merupakan bentuk kapitalisme dari keadaan
postmodern yang ditandai dengan adanya mediaisasi yang intensif dari perusahaan.
Kapitalisme era postmodern di mana terdapat banyak produk yang menekankan pada
penjualan citra produk daripada produknya itu sendiri dan juga terdapat estetisasi kehidupan
sehari-hari dimana seni terus-menerus hadir bersamaan dengan kepentingan modal yang
menungganginya, sehingga sekarang ini tidak ada pembedaan antara seni tinggi dan seni
populer massa (Hasan, 2011, h.199-200).
Terdapat teori mengenai kapitalisme ini yang dibuat oleh kelompok Frankfurt School,
yaitu adalah bahwa kaum kapitalis menciptakan kebutuhan artifisial yang secara tidak sadar
ditanamkan kepada masyarakat dengan kelas sosial yang lebih rendah bahwa kebutuhan
tersebut menjanjikan stabilitas dan kemakmuran (Strinati, 2004). Frankfurt School juga
dikenal sebagai teori kritik, yang beberapa diantaranya merupakan buah pikir dari Jean
Baudrillard dan Theodor Adorno beserta Max Horkheimer.
Keuntungan industri merupakan penggerak utama budaya massa, dimana produksi
budaya diproduksi secara besar-besaran yang didasarkan pada kemudahan dan keuntungan
industri dengan alasan kepentingan khalayak, padahal bukan (Adorno, 1944). Industri
menggunakan media massa seperti film, radio, majalah, dan lain-lain untuk memanipulasi
kebutuhan masyarakat dengan cara menciptakan standarisasi budaya dalam bentuk masif
yang kemudian menciptakan kebutuhan artifisial masyarakat (Adorno, 1944).
Kemudian terdapat pula Jean Baudrillard yang juga merupakan penganut Mazhab
Frankfurt yang menciptakan The Precession of Simulacra (1994). ). Kemudian simulacra
adalah instrumen yang mampu merngubah hal-hal yang bersifat abstrak menjadi konkret, dan
sebaliknya (Baudrillard, 1994). Instrumen tersebut adalah media massa, seperti film, televisi,
majalah, dan lain sebagainya.Terdapat empat tahap dari image, yaitu dimana image menjadi
refleksi dari realitas, image menutupi dan mengubah sifat realitas, image menutupi ketiadaan
realitas, dan terakhir dimana image tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas
manapun – dan itu disebut sebagai simulacrum (Baudrillard, 1994). Kemudian ciri dari
simulacra yang paling terlihat adalah hiperealitas, dimana yang tergambar dalam image
tersebut terlihat seperti nyata padahal image tersebut merupakan realitas yang dibuat-buat dan
tidak nyata (Baudrillard, 1994). Hal tersebut yang tercermin pada budaya kapitalisme modern
di media massa saat ini, dimana terdapat image yang terlihat nyata padahal hal tersebut
merupakan realitas yang dibuat-buat dan tidak nyata.Penciptaan kebutuhan artifisial tersebut
dengan menggunakan penciptaan image produk, antara lain dengan menciptakan lifestyle
brand tersebut disiarkan kepada masyarakat melalui budaya populer, seperti film, musik, dan
lain sebagainya, serta melalui periklanan. Terdapat perpaduan antara periklanan dan juga
budaya populer, terutama film, yang lazim disebut product placement.
Product placement menurut Balasubramanian (1994 h.31) merupakan pesan produk
berbayar yang ditujukan untuk mempengaruhi penonton film (atau televisi) melalui
keberadaan produk bermerek ke dalam film (atau acara televisi) secara tersamar. Product
placement adalah integrasi suatu produk atau merek ke dalam film atau serial televisi, bahkan
berbagai bentuk hiburan seperti novel dan lagu (Lehu, 2007 h.1). Product placement menjadi
jawaban bagi banyak perusahaan yang menggunakan lifestyle branding tetapi tidak lagi
menggunakan periklanan televisi karena berbagai hambatan, antara lain karena adanya
skipping, zipping, dan zapping (Lehu, 2007 h.31). Kemudian permasalahan selanjutnya
adalah adanya perkembangan teknologi yang memungkinkan penonton untuk melewatkan
iklan pada saat acara favoritnya tayang (Cleophat, 2005 h.12).
Adanya product placement dalam suatu film terjadi dengan kesepakatan antara
perusahaan pengiklan dan produsen film tersebut. Product placement dalam film merupakan
hubungan simbiosis mutualisme antara produsen film dan perusahaan pengiklan tersebut
(Balasubramanian, 1994 h.31). Dikatakan sebagai simbiosis mutualisme karena product
placement memberikan keuntungan bagi kedua belah pihak yang terlibat di dalamnya, yaitu
pihak pembuat film serta perusahaan yang ingin beriklan lewat product placement.
Bagi pembuat film, salah satu alasan adanya product placement dalam film yang
dibuatnya adalah bahwa product placement dapat meningkatkan realitas dalam film tersebut
(Lehu, 2007 h.47-51), sehingga penonton akan lebih mudah hanyut dan percaya dengan
realita film tersebut. Selain itu, dengan adanya product placement ini pembuat film tersebut
akan mendapatkan tambahan modal untuk produksi filmnya dari perusahaan yang akan
beriklan dalam film itu (Balasubramanian, 1994; Lehu, 2007). Jadi pihak perusahaan tersebut
membayar kepada pembuat film sebagai kompensasi untuk menggunakan film tersebut
sebagai media beriklan. Sedangkan bagi perusahaan pengiklannya, terdapat beberapa
keuntungan dalam penggunaan product placement di film (Moser et al, 2004). Keuntungan
tersebut antara lain adalah terintegrasinya brand ke dalam program televisi atau film yang
ditempati oleh brand tersebut, product placement tidak mengganggu penonton dibandingkan
dengan periklanan dengan menggunakan media klasik, jangkauannya luas, dan biaya product
placement lebih rendah dibandingkan dengan periklanan yang menggunakan media klasik.
Keuntungan dari penggunaan product placement ini sudah ditemukan oleh para pembuat
film di luar negeri, terutama di Hollywood. Walaupun product placement sudah ada sejak
lama, tetapi product placement mulai booming di kancah perfilman Hollywood sejak
beredarnya film ET: Extra Terrestrial (1982) yang disutradarai oleh Steven Spielberg yang
menampilkan coklat Reese’s Pieces. Product placement dalam film ini meningkatkan
penjualan dari coklat Reese’s Pieces sebanyak 65% (Lehu, 2007:78).
Terdapat berbagai jenis product placement, antara lain seperti dirumuskan oleh Lehu
(2007) yang membagi product placement menjadi empat jenis, yaitu classic placement,
corporate placement, evocative placement, dan stealth placement. Kemudian tipe placement
berikutnya secara garis besar, Corniani (2001, h.66-67) membagi product placement menjadi
tiga jenis penempatan, yaitu produk nampak di layar, produk nampak digunakan sebagaimana
fungsinya, dan produk disebutkan oleh aktornya. Russell (2002) membagi kategori dimensi
product placement menjadi tiga bagian, yaitu screen placement, script placement, dan plot
placement.Terdapat pula pengklasifikasian berdasarkan kenampakan penempatannya
menurut Gupta dan Lord (1998) yang membagi product placement menjadi dua kategori
menurut kenampakannya yaitu prominent product placement dan subtle product placement.
Hampir sebagian besar film luar negeri, terutama film Hollywood menyertakan product
placement dalam filmnya. Hal tersebut juga terdapat dalam film-film James Bond. Film
James Bond merupakan film franchise pertama di dunia yang sudah ada sejak tahun 1962
hingga sekarang dan menurut Box Office Mojo tahun 2012 (situs box office yang paling
banyak dikunjungi) merupakan film franchise yang berpenghasilan tertinggi kedua di dunia –
dimana film franchise berpenghasilan tertinggi pertama adalah serial Harry Potter yang
merupakan film fiksi fantasi, sehingga tidak ada unsur realitanya (dimana salah satu fungsi
product placement adalah untuk menambah unsur realitas) – hingga mencapai lebih 6 milyar
dollar AS dari seluruh filmnya.
Film James Bond merupakan film bergenre spy action produksi Inggris yang pada
awalnya dibuat berdasarkan novel karya Ian Fleming. Kemudian pada perkembangannya,
hanya karakter-karakter utamanya saja yang berdasarkan novel Ian Fleming. Dari 50 tahun
perjalanan film James Bond, sudah diproduksi 23 film yang semuanya sukses di pasaran.
Antara lain adalah Dr. No (1962), Thunderball (1965), Live and Let Die (1973), The Living
Daylights (1987), Goldeneye (1995), Casino Royale (2006), hingga yang paling terakhir
berjudul Skyfall (2012).
Karakter James Bond telah menjadi ikon dari budaya populer Inggris. Pada buku James
Bond and Popular Culture: The Films are Not Enough (2010), terdapat penelitian yang
membahas bagaimana James Bond berpengaruh terhadap industri perfilman, literatur,
fashion, musik, dan masih banyak lagi hingga gender dan feminisme. Selain itu, karakter
James Bond terkenal dengan lifestyle-nya yang berkelas atas (Moore, 2012). Dalam filmnya,
James Bond selalu digambarkan pergi ke luar negeri untuk menjalankan misinya, berpesiar,
mengonsumsi minuman mahal, mengendarai mobil bagus, memakai baju bermerek dan juga
menggunakan produk-produk trendi dan mengikuti perkembangan jaman.
Penggambaran lifestyle James Bond ini memberikan kesempatan bagi banyak perusahaan
untuk beriklan melalui product placement di film James Bond. Product placement memang
sudah menjadi bagian dalam film James Bond dan menjadikan salah satu faktor James Bond
terkenal (Sancton, 2012). Berbagai macam produk ditampilkan dalam film James Bond,
seperti mobil, minuman, pakaian, hingga maskapai penerbangan pun pernah tampil dalam
film-film James Bond. Penggambaran penggunaan produk itupun menggunakan brand asli,
sehingga terlihat sangat nyata.
Karakter James Bond yang dikenal dengan lifestyle-nya yang terlihat nyata dan selalu
mengikuti perkembangan jaman ini menjadi media bagi perusahaan yang menggunakan
lifestyle branding melalui product placement. Pada penelitian ini, peneliti berupaya untuk
menganalisis isi dari product placement yang digunakan untuk menggambarkan lifestyle tiap
tokoh dalam film James Bond. Selain itu, penelitian ini juga berupaya menganalisis
bagaimana lifestyle branding melalui product placement dalam film James Bond digunakan
untuk membentuk suatu kapitalisme modern dikaji dari teori Frankfurt School.
Metode
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan mixed
method. Penelitian ini menggunakan explanatory design mixed method yang menggunakan
teknik kuantitatif pada pengumpulan datanya, dan kemudian analisis datanya menggunakan
teknik kualititatif (Creswell, 2006, h.73). Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kritik retorika (rhetorical criticism) sebagai metode kualitatifnya dan analisis isi
(content analysis) sebagai metode kuantitatifnya. Pada penelitian ini data didapatkan dari
prosedur matematis yaitu pengkodingan dan kemudian dari data yang didapat dari
pengkodingan ini kemudian dianalisis secara mendalam untuk mendapatkan kesimpulan
makna dari teks yang diteliti yang kemudian dikritisi retorikanya, dimana teks tersebut dalam
penelitian ini adalah keseluruhan film James Bond.
Pada penelitian ini, digunakan referential units atau character units, dimana unit tersebut
dapat berupa fisik ataupun lainnya yang menunjukkan sesuatu yang memiliki arti sesuai
dengan kategori (Kriyantono, 2006, h.233). Unit data pada penelitian ini adalah setiap
produk/brand yang dapat dikenali lewat elemen brand-nya saja, atau fisik produknya saja,
atau bahkan keduanya. Total sampling digunakan dalam penelitian ini karena jumlah populasi
yang kurang dari 100, menurut Sugiyono (2007) secara keseluruhan dapat dijadikan sampel
penelitian. Populasi dan sampelnya adalah total film James Bond berjumlah 23 film, mulai
dari yang berjudul Dr.No (1962) hingga Skyfall (2012). Keseluruhan film James Bond
digunakan agar peneliti dapat memiliki gambaran utuh tentang lifestyle para tokohnya.
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi.
Prosedur yang digunakan merupakan pengkodean yang didasarkan pada kategori. Data yang
berupa film-film James Bond kemudian dikoding sesuai dengan unit pengumpulan data yang
ada agar mendapatkan data yang diperlukan. Pada penelitian ini, teknik analisis data untuk
content analysis yang digunakan adalah tabulasi silang dan tabel frekuensi. Kemudian dari
data yang didapatkan juga dikritisi secara retorikanya bagaimana pesan mengenai produk
atau brand dalam product placement di film James Bond ini menyampaikan pesan
terselubung mengenai ideologi kapitalisme.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji validitas concurrent validity, dimana
peneliti menghubungkan hasil penelitian dengan keadaan di luar penelitian. Pada penelitian
ini, data yang didapat dicocokkan ada tidaknya brand tersebut di dunia nyata, dengan begitu
dapat disimpulkan apakah brand tersebut benar-benar dan digunakan oleh konsumennya.
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan uji reliabilitas α-agreement yang dirumuskan oleh
Krippendorff (2004, h.222) yang dapat diaplikasikan pada penelitian dengan jumlah sampel
yang sedikit serta dapat diaplikasikan pula pada setiap jumlah nilai per variabel. Uji
reliabilitas ini mengharuskan reliabilitas berada pada angka antara 0,67-0,80 (Krippendorf,
2004 h.241-242).
Hasil
Hasil dari penelitian 23 judul film James Bond ini adalah pengkode pertama yaitu peneliti
menemukan 472 item product placement, pengkode kedua yaitu Oktosalsa D.C. menemukan
457 item product placement, dan yang terakhir adalah pengkode ketiga yaitu Imandha S.R.
menemukan 438 item product placement. Ketiga hasil ini kemudian dirata-rata menjadi 456
item product placement.Hasil penelitian dari ketiga pengkode ini kemudian dicari kesetujuan
atau kesamaannya. Dari hasil pendataan ditemukan bahwa terdapat 408 item kesetujuan. Dari
sini peneliti menghitung ketidaksetujuan yang ditemukan dalam penelitian untuk dapat
menguji reliabilitasnya.
Dalam uji reliabilitas ini, peneliti menggunakan jumlah ketidaksetujuan yang bisa
diperkirakan (De) sebanyak 0,33. Kemudian peneliti harus menemukan ketidaksetujuan yang
disepakati (Do). Pada penelitian ini, ditemukan ketidaksetujuan sebanyak 48 item. Dari sini
jumlah ketidaksetujuan tersebut dibagi dengan jumlah kesetujuan yang ditemukan (408 item),
sehingga ditemukan angka ketidaksetujuan yang disepakati sebanyak 0,11.
Jumlah reliabilitas data adalah sebanyak 0,67. Aturan dari uji reliabilitas α-agreement ini
adalah bahwa 1≥α≥0 dan mengharuskan reliabilitasnya pada angka 0,67-0,80 (Neuendorf,
2002). Pada penelitian ini ditemukan angka 0,67 yang berarti bahwa data yang didapat
reliabel dan dapat dianalisis.
Selain uji reliabilitas, peneliti juga melakukan uji validitas. Uji validitas yang dilakukan
adalah content validity, dimana peneliti melakukan pengecekan fiktif tidaknya brand yang
didata melalui internet dengan melihat ada tidaknya informasi atau situs resmi brand tersebut.
Pada penelitian terdapat 408 item brand yang disetujui oleh para pengkode, kesemuanya
merupakan brand yang benar-benar ada dalam kehidupan nyata dan bukan brand yang fiktif.
Sehingga dapat dinyatakan bahwa data yang didapatkan merupakan data yang valid.
Pada penelitian ini, peneliti meneliti bagaimana product placement dalam film James
Bond ini menggambarkan lifestyle keempat karakter utama. Pada tabel di bawah ini
ditampilkan product placement apa yang digunakan oleh James Bond, penggambaran
karakter dari James Bond dan bagaimana penampakan dari brand yang digunakan.
Karakter utama dari film James Bond dan product placement yang digunakannya
dijabarkan pada tabel-tabel di bawah ini. Terdapat empat karakter utama dari film James
Bond. karakter-karakter tersebut adalah James Bond sendiri, Bond girl, Bond villain atau
musuh James Bond, dan juga Bond allies atau teman-teman dari James Bond.
Tabel 1 Tabulasi Silang antara Nama Brand dengan Nama Tokoh BRAND NAME * CHARACTER NAME Crosstabulation
Count
CHARACTER NAME
Total Bond allies Bond girl
Bond villain Figuran
James Bond
Tidak digunakan
BRAND NAME
7up 0 0 0 0 0 3 3
Air France 0 1 0 0 1 0 2
Alfa Romeo 0 0 0 0 0 1 1
Alpine 0 0 0 0 1 0 1
American Motors Company 0 0 0 0 1 0 1
Apple 0 1 0 0 0 0 1
Armourlite 0 0 0 0 0 1 1
Aston Martin 3 0 1 0 17 0 21
Atlantic Hotel 0 0 0 0 0 2 2
Audi 1 0 1 0 1 1 4
Avis 0 0 0 0 0 1 1
Bacardi 0 0 0 0 1 0 1
BBC 1 0 0 0 0 0 1
Bell Textron Jetpack 0 0 0 0 1 0 1
Bentley 0 0 0 0 1 0 1
Beretta 1 0 0 0 3 0 4
Blanc de Blancs 0 0 1 0 0 0 1
BMW 3 1 0 1 9 0 14
BOAC 0 0 0 0 0 1 1
Body Worlds 0 0 0 0 0 1 1
Bollinger 0 0 2 0 9 5 16
Bottoms Up Club 0 0 0 0 1 0 1
Breitling 0 0 0 0 2 0 2
Brioni 0 0 0 0 1 0 1
British Airways 0 0 0 0 2 2 4
British Petroleum 0 1 0 0 0 0 1
British Telecom 1 0 0 0 0 0 1
British United Airways 0 0 1 0 0 0 1
Busch 0 0 0 0 0 2 2
Cabana club 0 0 0 0 0 1 1
Cadillac 0 0 1 0 0 0 1
Call Me Bwana 0 0 0 0 0 1 1
Cambridge University 0 0 0 0 1 0 1
Camel 0 0 0 0 0 1 1
Campari 1 0 0 0 0 0 1
Canon 1 0 0 0 0 0 1
Carlsberg 0 0 0 0 0 3 3
Cartier 0 0 0 0 0 1 1
Case New Holland 0 0 0 0 0 1 1
Cat 0 0 0 0 2 2 4
Chevrolet 0 0 0 0 0 1 1
Chevron 0 0 0 0 0 1 1
Christian Dior 0 1 0 0 0 0 1
Circus Circus 0 0 0 1 0 0 1
Citroen 0 1 2 0 0 0 3
CNN 1 0 0 0 1 0 2
Coca Cola 0 0 0 0 0 1 1
Coca Cola Zero 0 0 0 0 0 3 3
Cosmed 0 0 0 0 1 0 1
Cougar 0 1 0 0 1 0 2
Dodge 0 0 1 1 0 0 2
Dom Perignon 0 1 0 0 5 0 6
Dunes Hotel 0 0 0 0 0 1 1
Dunlop 0 0 1 0 0 1 2
Eastern Airlines 0 0 0 0 0 1 1
Enco 0 0 0 0 1 0 1
Ericsson 1 0 1 0 3 0 5
Estee Lauder 0 1 0 0 0 0 1
Evinrude 0 0 0 0 1 0 1
Ferrari 0 0 0 0 1 0 1
Ford 1 2 3 0 4 1 11
Fujitsu 0 0 0 1 1 0 2
Glaston 0 0 0 0 1 0 1
Google 1 0 0 0 0 0 1
Harrods 0 0 1 0 0 0 1
Heineken 0 0 0 2 1 4 7
Hennesy 0 0 0 0 1 0 1
Hertz Rent-a-Car 0 0 0 0 1 0 1
Hitachi 0 0 0 0 0 1 1
Honda 0 0 1 0 0 0 1
Hotel Tropicana 0 0 0 0 1 0 1
HP 0 1 0 0 0 0 1
Hyundai 0 0 0 0 0 1 1
IBM 0 1 0 0 0 0 1
Ingenico 0 0 0 0 1 0 1
J&B 0 0 0 0 0 1 1
Jaguar 2 0 2 0 0 2 6
Jeep 0 0 0 2 0 0 2
Jeep Cherokee 0 1 0 0 0 0 1
Joe's Restaurant 0 0 0 0 0 1 1
K.W.Vanguard 0 0 0 0 0 1 1
Kentucky Fried Chicken (KFC) 0 0 0 0 0 1 1
Kenworth Truck 0 0 0 1 0 0 1
Kodak 0 0 0 0 0 2 2
Lafite Rothschild 1 0 0 0 0 0 1
Land Rover 1 0 0 0 0 0 1
Lark 0 0 0 0 1 0 1
Le Cercle 0 0 0 0 1 0 1
Lotus 0 0 0 0 5 0 5
Louis Vuitton 0 0 0 0 0 1 1
Lufthansa 0 0 0 0 1 0 1
Macallan 0 0 1 0 0 0 1
Marlboro 0 0 0 0 0 3 3
MEFT 0 0 0 0 1 0 1
Mercedes Benz 1 1 3 2 3 2 12
Michelin 0 0 0 0 1 1 2
Michelob 0 0 0 0 0 1 1
Microsoft Windows 0 1 0 0 0 0 1
Monza 0 0 0 0 0 1 1
Motorola 0 0 0 0 0 1 1
Mouton Rothschild 0 0 1 0 0 0 1
Nikon 0 0 1 0 0 3 4
Nokia 0 0 1 0 1 0 2
Ocean Club 0 0 0 0 1 0 1
Ocean Sky jet 0 0 0 0 1 0 1
Olin 0 0 0 0 1 0 1
Olympus 0 0 0 2 0 0 2
Omega 0 0 2 0 5 1 8
OPI 0 1 0 0 0 0 1
Pan American 0 0 0 0 1 4 5
Panasonic 0 0 0 0 0 1 1
Pepsi 0 0 0 0 0 2 2
Perrier 0 0 0 0 0 1 1
Philips 0 1 1 0 3 0 5
Piz Gloria 0 0 1 0 1 0 2
Playboy 0 0 0 0 1 0 1
Playboy Club and Casino 0 1 0 0 0 0 1
Range Rover 1 0 1 1 4 1 8
Red Stripe Beer 0 0 0 0 0 1 1
Renault 0 1 0 0 0 0 1
Rolex 0 1 0 0 7 0 8
Rolls Royce 1 1 2 0 4 4 12
Saint Sophia Mosque 0 0 0 0 1 0 1
Samsonite 0 0 0 0 1 0 1
Seaspeed Hovercraft 0 0 0 0 0 1 1
Seiko 0 0 0 0 6 1 7
Shell 0 0 0 0 0 1 1
Slazenger 0 0 0 0 1 0 1
Smirnoff 1 0 0 0 3 0 4
Smith & Wesson 0 1 1 0 1 0 3
Sony 3 0 5 1 4 0 13
Sony Bravia 1 0 0 0 0 1 2
Sony CD 0 0 0 0 1 0 1
Sony CD player 0 0 0 0 1 0 1
Sony Cyber Shot 0 1 0 0 0 1 2
Sony Ericsson 0 1 4 0 9 0 14
Sony Vaio 10 0 1 0 3 0 14
Sony Xperia 0 0 0 0 1 0 1
Sotheby's Auction 0 0 0 0 1 0 1
Spirit 0 1 0 0 0 0 1
Stolichnaya 0 0 0 0 1 0 1
Sunoco 0 0 0 0 0 1 1
Sunseeker 0 0 1 0 0 0 1
Swarovski 0 3 0 0 0 0 3
Texron 0 0 1 0 0 1 2
The Hilton Hotel 0 0 0 0 1 0 1
The Jamaica Telephone Company Ltd
0 0 0 0 1 0 1
The Mint Hotel 0 0 0 0 0 1 1
The Peninsula Hotel 0 0 0 0 1 0 1
Theotaki Aspro 0 0 0 0 1 0 1
Titan Airways 0 0 0 0 0 1 1
Toblerone 0 0 0 0 0 1 1
Toshiba 0 0 0 0 0 1 1
Toyota 0 0 0 0 0 1 1
Vespa 0 0 0 0 0 1 1
Virgin Atlantic 0 0 0 0 0 3 3
Visa 0 0 0 0 1 1 2
Vodaphone 1 0 0 0 0 0 1
VW 0 1 0 1 1 2 5
VW Beetle 1 0 0 0 0 0 1
Walther PPK 2 0 2 1 4 0 9
Wetbike 0 0 0 0 1 0 1
Whiskas 0 0 0 0 1 0 1
Yamaha 0 0 0 0 1 0 1
Youtube 1 0 0 0 0 0 1 Total 43 30 48 17 169 101 408
Sumber: Data diolah peneliti
Ket.: Pada tabel 1, terdapat 43 item yang digunakan Bond allies, 30 item digunakan Bond girl, 48 item
digunakan Bond villain, 17 item digunakan figuran, 169 item digunakan James Bond, dan 101 item tidak
digunakan siapapun. Brand yang paling sering digunakan Bond allies adalah Sony Vaio di mana 10 item dari
total 14 item digunakan Bond allies. Swarovski adalah brand yang paling sering digunakan Bond girl. Mercedes
Benz adalah brand yang paling banyak digunakan pemeran antagonis. James Bond paling sering menggunakan
brand Aston Martin.
Product Placement dalam Lifestyle Karakter James Bond, Bond Girls, Bond Villains,
dan Bond Allies
Tokoh James Bond merupakan tokoh yang mendominasi penggunaan produk dan brand
dalam film-film James Bond. Sebanyak 41,4% product placement digambarkan untuk
dimiliki atau digunakan oleh James Bond. Tokoh James Bond yang merupakan laki-laki
dengan perkiraan umur dewasa muda hingga dewasa (20-64 tahun) ini berasal dari kelas
sosial upper class. Dalam novelnya, Ian Fleming mendeskripsikan James Bond sebagai
seorang agen rahasia dari Inggris yang memiliki keturunan bangsawan (Moore, 2012).
Penggambaran ini juga terdapat dalam filmnya, dimana selain penggambaran mengenai
pekerjaannya, pada film terakhirnya yang berjudul Skyfall (2012) yang menceritakan latar
belakang keluarga James Bond yang merupakan bangsawan. Hal tersebut ditunjukkan dari
kediaman keluarga James Bond yang berupa kastil bangsawan.
Product placement yang menggunakan tokoh James Bond terdiri dari berbagai macam
kategori produk. Pada filmnya, James Bond sering menggunakan produk mobil, minuman
keras, jam tangan, handphone, dan senjata laras pendek/pistol. Produk-produk tersebut
ditampilkan dengan berbagai macam brand. Brand handphone yang paling sering digunakan
oleh James Bond adalah Sony Ericsson yang digunakan oleh James Bond sendiri di film
Casino Royale (2006) dan Quantum of Solace (2008). Brand pistol yang paling sering
digunakan James Bond adalah Walther. Pistol Walther telah digunakan oleh James Bond
sejak filmnya yang pertama, sehingga pistol Walther telah menjadi bagian dari penggambaran
karakter James Bond. Untuk jam tangan, James Bond paling sering menggunakan brand
Rolex, kemudian minuman keras paling banyak menggunakan Dom Perignon, dan mobil
paling banyak menggunakan Aston Martin.
Produk-produk dan brand yang digunakan oleh James Bond ini menunjukkan bahwa
produk tersebut merupakan produk yang maskulin, stylish, dan berkelas. Hal tersebut
dikarenakan penggambaran karakter James Bond yang berasal dari upper class, stylish, dan
juga sangat maskulin, dilihat dari bagaimana banyak perempuan jatuh cinta kepadanya karena
James Bond sangat melindungi wanita. Produk-produk tersebut juga menjadi simbol dari
dewasa dan kemapanan. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana produk-produk tersebut
digunakan oleh James Bond yang merupakan orang dewasa yang mapan. Produk-produk
yang digunakan oleh James Bond ini ditampilkan sebagai prominent placement dan juga
classic placement. Hal tersebut ditujukan agar penonton dapat dengan mudah menangkap
pesan brand dan dapat dengan mudah mengenali brand yang muncul tersebut.
Bond girl merupakan salah satu tokoh utama dalam film-film James Bond. Bond girl
memiliki peran tidak hanya untuk mempermanis film saja, tetapi juga memiliki peran sebagai
kekasih James Bond. Bond girl dalam tiap film James Bond biasanya berjumlah 1-4 orang,
biasanya ada yang muncul sebentar dan langsung hilang atau mati, tetapi ada juga yang
betahan hingga akhir film. Bahkan ada pula Bond girl yang juga merupakan musuh James
Bond. Semuanya memiliki rentang usia 20-39 tahun yang berarti masuk ke dalam kategori
dewasa muda. Sebagian besar masuk ke dalam golongan upper class, tetapi ada pula yang
masuk ke dalam kategori middle class.
Terdapat beberapa produk yang digunakan oleh Bond girls. Produk tersebut antara lain
adalah mobil, komputer/laptop, handphone, kosmetika tubuh, dan berbagai macam aksesoris,
yaitu kalung, cincin, dan anting-anting. Beberapa produk bahkan hanya digunakan oleh Bond
girl, seperti kosmetika tubuh, aksesoris, dan wewangian. Pada penelitian ini ditemukan
bahwa tidak terdapat perbedaan product placement pada berbagai macam peran Bond girl.
Baik Bond girl utama, pendukung, maupun musuh tidak terdapat perbedaan kategori produk
yang digunakan. Mobil yang digunakan oleh Bond girl terdiri dari berbagai macam brand.
Brand tersebut antara lain adalah Ford, BMW, Citroen, Cougar, Jeep Cherokee, Renault,
Rolls Royce, dan VW. Walaupun tidak banyak brand yang digunakan oleh Bond girl, tetapi
Bond girl yang menggunakan brand-brand tersebut menggunakannya sepanjang film dan
menjadi identik dengan brand tersebut.
Kemudian produk selanjutnya yang digunakan oleh Bond girl adalah komputer/laptop
dan juga handphone. Komputer/laptop yang digunakan adalah produk keluaran brand Apple
dan IBM. Produk selanjutnya yang digunakan oleh Bond girl adalah handphone. Dalam film
James Bond, terdapat beberapa brand yang digunakan oleh Bond girl, antara lain adalah
brand Sony Ericsson. Untuk kosmetikanya menggunakan OPI, dan Estee Lauder.
Wewangian menggunakan Christian Dior, dan perhiasan menggunakan Swarovski.
Produk-produk yang digunakan oleh Bond girls ini memberikan citra glamor seperti
bagaimana digambarkan dengan menggunakan berbagai produk mewah dan berkelas. Selain
itu, penggambaran karakter Bond girls yang seksi dan cantik juga memberikan citra bahwa
produk yang digunakan oleh Bond girls merupakan produk yang dapat membuat
penggunanya juga menjadi cantik dan seksi. Kemudian produk yang digunakan oleh Bond
girls juga menunjukkan feminitas, kebalikan dari James Bond uang menunjukkan
maskuliinitas. Hal tersebut dapat dilihat dari berbagai macam produk yang digunakan oleh
Bond girls yang memiliki desain yang elegan, manis, khusus untuk wanita, dan juga dari
berbagai produk khusus wanita yang digunakan oleh Bond girls.
Product placement dari produk-produk yang hanya digunakan oleh Bond girls seperti
wewangian, kosmetika, dan aksesoris ini merupakan subtle placement. Hal tersebut
dikarenakan penonton dari James Bond yang kebanyakan lelaki, sehingga produk- produk
yang khusus digunakan oleh perempuan tidak terlalu diperlihatkan, kecuali produk-produk
yang dapat digunakan oleh laki-laki juga.
Karakter utama dalam film James Bond juga termasuk pemeran antagonis atau Bond
villain. Adanya pemeran antagonis ini memberikan jalan cerita terhadap film James Bond
yang selalu menceritakan dimana James Bond berhadapan dan mengalahkan orang-orang
jahat yang menjadi musuhnya. Bond villain digambarkan sebagai seseorang dengan kekuatan
yang lebih kuat atau berimbang dengan James Bond dan bahkan dalam beberapa film,
digambarkan bahwa Bond villain memiliki kepribadian yang sama dengan James Bond.
Karakter musuh Bond atau Bond villain, yang selalu berganti tiap film, kebanyakan
berjenis kelamin laki-laki. Rentang umurnya lebih luas yaitu mulai dari 20 tahun hingga lebih
dari 65 tahun yang berarti masuk ke dalam kategori usia dewasa muda, dewasa, dan tua.
Mereka masuk ke dalam kategori SES upper class, karena penggambaran pekerjaannya yaitu
penjahat yang memiliki uang banyak sehingga menjadikannya masuk ke dalam kategori
upper class.
Pada film James Bond, pemeran antagonis ini juga memakai berbagai produk dari
berbagai brand yang dimaksudkan sebagai product placement. Berbagai produk tersebut
antara lain adalah mobil, handphone, minuman keras, televisi, dan pistol. Mobil yang
digunakan oleh Bond villain kebanyakan berbeda dengan yang digunakan James Bond. Bond
villain ini menggunakan Mercedes Benz, Citroen, Jaguar, dan Ford. Pemakaian Mercedes
Benz terbanyak oleh Bond villain.
Musuh James Bond ini menggunakan produk dari berbagai brand yang hampir sama
dengan apa yang digunakan oleh James Bond. Produk dan brand yang digunakan oleh Bond
villain ini memiliki citra positif di mana Bond villain selalu digambarkan memiliki kekayaan
yang sangat banyak, sehingga penonton akan mengira produk tersebut mahal, sehingga
mendatangkan prestis dan citra mengenai power. Tidak hanya image powerful, karakter Bond
villains ini juga memiliki image tentang ancaman yang sepadan bagi James Bond. Tetapi
karakter musuh James Bond yang biasanya digambarkan sebagai orang yang sangat jahat
juga terkadang memberikan citra negatif terhadap brand, sehingga product placement yang
digunakan oleh Bond villain ini tidak terlalu banyak.
Sama dengan product placement lainnya yang digunakan oleh karakter-karakter lain,
product placement yang digunakan oleh pemeran antagonis ini juga ditampilkan sebagian
besar sebagai classic placement, prominent placement, dan juga screen placement. Selain itu
produk-produk juga digunakan sesuai dengan fungsinya. Sehingga penonton mengerti
bagaimana penggunaannya dan brand awareness dapat meningkat, walaupun product
placement yang digunakan oleh pemeran antagonis ini tidak sebanyak James Bond yang
menjadi musuhnya.
Pemeran pendukung atau Bond allies ini terdiri dari banyak karakter/tokoh, tetapi
terdapat beberapa tokoh yang selalu muncul di hampir semua film James Bond. Tokoh
tersebut adalah M, Q, Miss Moneypenny, dan Bill Tanner. Tokoh M digambarkan sebagai
kepada dari MI6 yang merupakan bos dari James Bond. Pemerannya berjenis kelamin laki-
laki (mulai dari film pertama hingga film ke-16) dan perempuan (mulai dari film ke-17
hingga ke-23). Usia dari tokoh M ini adalah lebih dari 65 tahun (tua) dan masuk ke dalam
kategori upper class karena penggambaran pekerjaannya yang merupakan bos dari MI6.
Kemudian untuk tokoh Q diperankan oleh laki-laki dengan rentang umur tua (mulai dari
film kedua hingga ke-20) dan dewasa muda. Keduanya masuk ke dalam kategori SES middle
class, karena pekerjaannya yang merupakan kepala teknologi di MI6. Bill Tanner juga sama
dengan Q, yaitu berjenis kelamin laki-laki dan masuk ke dalam middle class, tetapi perkiraan
usianya adalah dewasa (40-64 tahun). Lalu yang terakhir adalah Miss Moneypenny yang
merupakan sekretaris M yang berjenis kelamin perempuan dan masuk ke dalam kategori
middle class. Rentang usianya adalah dewasa muda yaitu berusia 20-39 tahun.
Produk-produk yang digunakan oleh Bond allies juga digunakan sebagai produk untuk
mengekspresikan diri mereka, terutama untuk mengomunikasikan apa pekerjaan mereka.
Misalnya untuk karakter Q yang merupakan kepala divisi pengembangan teknologi di MI6,
tempat James Bond bekerja. Q merupakan orang yang dekat dengan teknologi dan juga orang
yang selalu mengikuti perkembangan teknologi. Maka dari itu, produk-produk yang
digunakannya pun kebanyakan merupakan barang-barang elektronik, seperti
komputer/laptop, handphone, hingga mobil.
Selain itu, penggunaan mobil juga menunjukkan kelas sosial dan jabatan dari tokoh
pendukung film James Bond ini. Tokoh M yang diceritakan sebagai kepala MI6 ini
digambarkan menggunakan mobil Jaguar. Mobil Jaguar memang merupakan mobil resmi
yang digunakan oleh Perdana Menteri, pejabat tinggi, dan keluarga Kerajaan Inggris
Penggunaan Jaguar yang diperuntukkan pejabat tinggi Inggris membuat penggambaran
karakter M ini sebagai seorang upper class.
Secara keseluruhan, karakter-karakter dari Bond allies ini dikenal akan penggunaan
produk elektroniknya, seperti komputer, laptop, telepon, televisi, dan berbagai gadget
lainnya. Hal tersebut menunjukkan bahwa bond allies ini dekat dengan kemajuan teknologi.
Sama seperti penggambaran karakternya yang selalu menggunakan teknologi terkini dan
mem-backing pekerjaan dari James Bond yang seorang mata-mata.
Kapitalisme Modern dalam Product Placement di Film James Bond
Pemakaian produk untuk mengekspresikan diri atau self-expressive ini lebih banyak
mendominasi product placement dalam film James Bond. Hal tersebut tergambar pada
lifestyle karakter film James Bond dimana mereka menggunakan produk-produk dari
berbagai brand ternama untuk mendukung gaya hidup atau lifestyle mereka. Penggambaran
penggunaan produk-produk yang bukan kebutuhan primer, melainkan kebutuhan tersier atau
kebutuhan akan barang mewah ini merupakan usaha pembentukan kebutuhan artifisial seperti
yang dikemukakan oleh Adorno (1944) yang dibentuk oleh perusahaan-perusahaan yang
terlibat dalam pembuatan film James Bond ini.. Penggunaan barang-barang mahal sebagai
lifestyle atau gaya hidup sehari-hari dari James Bond tersebut digambarkan sebagai hal yang
wajar yang terjadi dalam hidup setiap orang.
Hal tersebut sesuai dengan teori yang dibuat oleh Adorno dan Horkheimer (1944) dimana
industri menciptakan suatu kebutuhan artifisial melalui media massa. Penggunaan berbagai
macam produk dalam film James Bond tersebut menciptakan suatu kebutuhan artifisial bagi
penontonnya. Produk-produk yang dipergunakan dalam film James Bond tersebut bukanlah
produk yang merupakan kebutuhan hidup, tetapi lebih kepada untuk pemenuhan gaya hidup.
Selain itu, penggambaran karakter James Bond dan juga karakter lainnya yang
memberikan citra atau image positif terhadap brand juga memberikan pesan kepada penonton
bahwa jika produk dan brand tersebut digunakan oleh penonton akan memberikan image
yang sama terhadap penonton. Pembentukan citra brand sesuai dengan karakter serta
penggambaran lifestyle dalam kehidupan sehari-hari tokoh film James Bond tersebut sesuai
dengan teori budaya kapitalisme modern yang dirumuskan oleh Frankfurt School.
Frankfurt School menyatakan bahwa perusahaan kapitalis ini menciptakan kebutuhan
artifisial dengan menciptakan image yang baik serta menjanjikan stabilitas dan kemakmuran
(Strinati, 2004). Dengan adanya image yang baik akan produk dan brand yang digunakan,
penonton akan terpengaruh dan mencoba menyamakan dirinya dengan image yang dibangun
oleh karakter dalam film James Bond tersebut, dengan persepsi bahwa image yang
ditampilkan oleh karakter dalam film James Bond tersebut merupakan image yang baik dan
menunjukkan kemakmuran.
Produk-produk yang digunakan dalam film James Bond tersebut merupakan lifestyle
brand atau produk/jasa yang digunakan untuk mengekspresikan diri serta menyediakan ikatan
emosional dengan konsumen dengan gaya hidup tertentu (Jung & Merlin, 2002). Menurut
Adorno (1991), media massa membentuk kebutuhan artifisial agar masyarakat tidak rasional
dan membeli produk hanya untuk mengidentifikasikan dirinya dan menunjukkan statusnya.
Produk-produk dalam film James Bond ini merupakan lifestyle brand, dimana
penggunaannya bukanlah untuk kebutuhan utama tetapi untuk mendukung gaya hidupnya.
Penggunaan lifestyle brand ini juga untuk menunjukkan status sosial, yang di film James
Bond didominasi oleh orang dengan kelas sosial upper class dan hal tersebut memberikan
gambaran status kehidupannya yang makmur. Penonton dibuat menjadi tertarik akan produk
tersebut karena digambarkan bahwa dengan menggunakan produk-produk yang ditampilkan
dalam film James Bond akan meningkatkan status sosialnya. Sehingga penonton akan dibawa
untuk berpikir bahwa menunjukkan identitas dan status sosial dengan menggunakan produk-
produk tersebut merupakan kebutuhan utamanya, dan dari situ media massa sukses
menciptakan kebutuhan artifisial.
Penggambaran penggunaan produk dan berbagai macam brand dalam film James Bond
juga merupakan suatu image. Baudrillard (1994) memaparkan bahwa image memiliki empat
tahap sebagai refleksi dari realitas, yaitu image menutupi dan mengubah sifat realitas, image
menutupi ketiadaan realitas, dan terakhir dimana image tidak memiliki hubungan sama sekali
dengan realitas manapun – dan itu disebut sebagai simulacrum.
Pada film James Bond, penggunaan produk dan brand tersebut merupakan suatu image
dan juga membentuk suatu simulacrum. Pada tahap pertama dimana image berperan sebagai
refleksi realitas adalah dimana produk dan brand tersebut merupakan produk dan brand yang
memang benar-benar ada di dunia nyata. Kemudian pada tahap kedua dimana image
menutupi dan mengubah sifat realitas adalah pada saat dimana produk dan brand tersebut
digunakan untuk membangun cerita dari film James Bond atau membangun karakter dari film
James Bond. Kemudian pada tahap ketiga adalah dimana produk dan brand tersebut
dipergunakan untuk memberikan tambahan unsur kenyataan pada film James Bond yang
merupakan film fiksi atau hanya karangan belaka. Lalu yang terakhir adalah dimana image
tidak memiliki hubungan sama sekali dengan realitas yaitu bahwa penggunaan produk dan
brand yang dibuat lebih canggih, dan untuk mendukung gaya hidup tokoh-tokoh fiksi dalam
film James Bond, serta menciptakan suatu image atau citra tersendiri tentang brand.
Penggunaan produk dan brand dalam film James Bond juga dapat disebut sebagai
hiperrealitas. Menurut Baudrillard (1994), hiperrealitas merupakan realitas yang seolah-olah
nyata padahal hanya dibuat-buat dan tidak nyata sama sekali. Penggunaan produk dan brand
yang hanya digunakan oleh kelas sosial upper class dan juga hanya digunakan untuk
mendukung lifestyle-nya dalam film James Bond tersebut membentuk suatu hiperrealitas
dimana penonton dibuat untuk percaya bahwa dengan menggunakan produk dari brand-
brand tersebut dapat meningkatkan statusnya serta membuat orang percaya bahwa
penggunaan produk seperti itu memang benar adanya dan merupakan gaya hidup yang semua
orang lakukan. Tidak hanya itu, penggambaran karakter James Bond yang menggunakan
Bond girls sebagai alasan bertarung serta perhiasan, tim dari Bond allies yang selalu
memberikan bantuan dalam berbagai bentuk, serta Bond allies yang menciptakan ancaman
memberikan gambaran tentang bagaimana kehidupan yang dibuat oleh industri dan media
massa dapat memikat penonton dan membuat penonton untuk berpikir bahwa hal tersebut
adalah kehidupan yang sesuangguhnya. Hal tersebut menyebabkan penonton film James
Bond menjadi percaya bahwa apa yang ada di film James Bond adalah nyata dan
menganggap bahwa apa yang terdapat dalam film James Bond – terutama penggunaan
produk dan brand-nya – adalah kenyataan dan merupakan kebutuhan utama setiap orang.
Produser film James Bond yang menginginkan bahwa James Bond dan karakter utama
lainnya menggunakan teknologi, terutama teknologi transportasi, yang paling terbaru, bahkan
yang paling terbaru yang masyarakat banyak belum mencobanya (Kamp, 2012), merupakan
suatu bentuk tindakan kapitalisme. Dapat dikatakan kapitalisme karena produser atau pihak
yang memiliki kuasa dalam pembuatan film James Bond ini memasukkan ideologinya
tentang gaya hidup modern serta image yang menunjukkan kemapanan dan kemakmuran.
Product placement atau periklanan dalam film merupakan kombinasi yang tepat sebagai
media penyebaran kapitalisme modern. Pesan iklan yang agresif dengan mengombinasikan
emosi dan cerita film yang disebarkan secara massal dapat memberikan gambaran mengenai
gaya hidup kepada penonton, melalui penggunaan berbagai macam produk dan brand oleh
berbagai macam karakter dalam film. Hal tersebut menyebabkan penonton dapat mudah larut
dan terpengaruh akan pentingnya mengonsumsi produk dari brand yang muncul agar dapat
mengidentifikasikan dirinya sebagai orang yang mapan dan makmur.
Kesimpulan
Product placement dalam film James Bond merupakan representasi dari kapitalisme
modern. Narasi patriakisme terlihat dari penggambaran karakter James Bond yang sangat
maskulin dimana selain untuk membela kebenaran, Bond girls yang identik dengan
kecantikan dan terlihat seperti “perhiasan” laki-laki dijadikan sebagai salah satu motif untuk
melakukan perang terhadap musuhnya. Selain itu, sebagaimana dinarasikan dalam kehidupan
modern, tim dari Bond allies yang selalu memberikan bantuan dalam berbagai bentuk yang
menunjukkan bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa sistem yang jelas, serta Bond allies yang
menciptakan ancaman bagi Bond dan negara Inggris secara spesifik, memberikan gambaran
tentang bagaimana kehidupan memberikan tantangan bagi manusia untuk selalu berpikir ke
depan agar lebih siap menjalani kehidupan.
Produk dan brand ditampilkan dan digambarkan dengan baik dan dengan image yang
baik pula sehingga penonton berpikir bahwa dengan menggunakan produk dan brand tersebut
dapat meningkatkan status sosial dan juga berpikir bahwa penggunaan produk tersebut
merupakan hal yang nyata dilakukan oleh setiap orang. Dari sini tercipta suatu kenyataan
yang dibuat-buat oleh industri yang terlibat di dalamnya serta membentuk pula suatu
kebutuhan artifisial bagi penonton.
Rekomendasi
Penelitian ini menggunakan metode content analysis untuk mengumpulkan dan mengolah
data. Rekomendasi akademis yang dapat peneliti kemukakan adalah bagi peneliti yang ingin
meneliti tentang kapitalisme modern dalam budaya populer, terutama dalam product
placement, untuk lebih mendalami bagaimana praktek kapitalisme modern melalui metode
semiotika atau discourse analysis dalam melihat product placement agar mendapatkan
gambaran yang lebih holistik. Kemudian rekomendasi praktis yang peneliti kemukakan bagi
audience atau masyarakat luas, diharapkan agar lebih memahami pesan iklan di film James
Bond sebagai referensi konsumsi yang disimulasikan oleh perusahaan dan dapat menyeleksi
mana brand yang sesuai dengan kebutuhannya sehingga tidak terjebak dalam budaya
konsumerisme.
Daftar Pustaka
Aaker, David A. (1996). Building Strong Brands. New York: Free Press.
Adorno, Theodor W. (1991). The Culture Industry. Inggris: Routledge.
Adorno, T.W. & Horkheimer, M. (1944). The Culture Industry: Enlightment as Mass
Deception. Amerika Serikat: Social Studies Association.
Arvidsson, Adam. (2005). Brands: A Critical Perspective. Journal of Consumer Culture
2005; 5; 235. Dari tautan http://joc.sagepub.com/cgi/content/abstract/5/2/235
Balasubramanian, Siva K. (1994). Beyond Advertising and Publicity: Hybrid Messages and
Public Policy Issues. Journal of Advertising, Volume XXIII, Number 4. 29-45.
Baudrillard, Jean. (1994). Simulacra and Simulation. Amerika Serikat: University of
Michigan Press.
Corniani, Margherita. (2001). Product Placement and Brand Equity. Emerging Issues
inManagement, 66-82. Dari tautan www.unimib.it/symphonya
Gokhale, Shruti Vinayak. (2010). Comparative Study of Product Placement in Bollywood and
Hollywood Movies. Master’s Theses Paper 3860.
Gupta, P. B., & Lord, K. R. (1998). Product Placement in Movies: The Effect of Prominence
and Mode on Audience Recall.Journal of Current Issues and Research in Advertising,
20(1), 33-40.
Jung, K.L. & Merlin, M. (2002). Lifestyle Branding: As More Companies Embrace It,
Consumer Opposition Grows. Journal of Integrated Communication.
Krippendorff, Klaus. (2004). Content Analysis: An Introduction to Its Methodology, 2nd
Edition. Amerika Serikat: Sage Publications.
Kriyantono, Rachmat. (2006). Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada
Media Group.
Lehu, Jean-Marc. (2007). Branded Entertainment: Product Placement & Brand Strategy in
the Entertainment Business. United States: Kogan Page Limited.
Moser, H., Bryant, L., Sylvester K. (2004). Product Placement as a Marketing Tool in Film
and Television. National Social Science Journal, Vol. 22.1
Russell, C.A. 2002. Investigating the Effectiveness of Product Placements in Television
Shows: The Role of Modality and Plot Connection Congruence on Brand Memory and
Attitude.Journal of Consumer Research, vol. 29, no. 3, pp. 306–318.
Solomon, Michael R. (1994). Consumer Behavior: Buying, Having, and Being; International
Edition Sixth Edition. Amerika Serikat: Prentice Hall, Inc
Strinati, Dominic. (2004). An Introduction to Theories of Populer Culture: Second Edition.
Amerika Serikat: Routledge.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.