Date post: | 28-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Globalisasi telah menjadi tema diskusi di kalangan pemerintah maupun
masyarakat. Respon terhadap gejala globalisasi sesungguhnya bergantung pada
bagaimana cara yang dikreasian agar tidak terjerumus dalam persaingan dunia
global tersebut. Era globalisasi yang sedang berkembang dewasa ini telah
menimbulkan dampak yang dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung
di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi bukan hanya
memberikan dampak yang positif dalam memajukan berbagai bidang kehidupan.
Dampak negatif daripada era globalisasi juga menjadi permasalahan yang pelik di
sejumlah negara, khususnya negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah
pengangguran yang tinggi, juga menjadi salah satu dampak dari globalisasi.
Data Badan Pusat Statistik (bps.go.id, 2015) mencatat, per Februari 2015
pengangguran di Indonesia meningkat sejumlah 300ribu jiwa menjadi 7,54juta
jiwa karena perlambatan ekonomi yang melambat dari kuartal sebelumnya sebesar
4,71%. Hal ini sangat berdampak terhadap bidang kehidupan yang lain.
Meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya taraf hidup masyarakat, dan berbagai
permasalahan sosial menjadi akibat dari tingginya angka pengangguran.
Sementara itu, data lain diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(yogyakarta.bps.go.id, 2015) menunjukkan jumlah pengangguran terbuka di
Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai angka 4.07 persen, sementara perempuan
1
sebesar 2,59 persen. Data tersebut diperkuat dengan tabel di bawah yang
menunjukkan perbedaan angka pengangguran berdasarkan jenis kelamin dari
tahun 2009 sampai dengan 2012:
Umur
Jenis Kelamin
Perempuan Laki-laki
09 10 11 12 09 10 11 12
15-19 28,8 28,6 30 26,5 26,6 27,2 28,5 26
20-24 19,3 17,8 15,4 15,4 18, 17,9 13,6 15
25-29 11,1 11,2 8,3 7,7 9,3 7,7 6,7 6,9
30-34 6,4 6,8 5,3 5,3 4,8 3,8 3,1 3,5
35-39 4,6 5,1 4,2 3,8 3,62 2,3 1,8 1,9
40-44 3,6 4,0 3,6 3 3,1 1,9 2 1,8
45-49 3 3,4 2,8 2,4 3 1,6 1,6 2,0
50-54 2,2 3 2,4 2,7 2,7 1,5 2,2 2,4
55-59 1,8 3,9 3 1,1 2,8 1,6 2,5 1,8
60-64 0,7 5,6 4 0,4 0,9 1,4 3,2 0,6
Jumlah 8,4 8,7 7,6 6,7 7,5 6,1 5,90 5,75
Sumber:bps.go.id tahun 2015
Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah
pengangguran kaum perempuan lebih banyak daripada jumlah pengangguran laki-
laki. Pengangguran di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan. Kaum
perempuan sering dianggap tidak mampu untuk bersaing di dunia kerja, sehingga
hal tersebut menimbulkan subordinasi dan marginalisasi terhadap kaum
perempuan, dan menyempitnya kesempatan karir.
Selain itu, permasalahan lain yang berkaitan dengan tingginya angka
pengangguran adalah sempitnya lapangan pekerjaan. Jika angka pengangguran
2
terus naik, maka ketersediaan lapangan pekerjaan justru relatif sama. Sehingga hal
tersebut menyebabkan kesenjangan di masyarakat. Mau tidak mau, masyarakat
harus mampu mengembangkan dan meningatkan kompetensi yang dimiliki
sehingga dapat bersaing dalam dunia kerja. Meski begitu, tidak semua pelamar
dapat terserap oleh penyedia lapangan kerja.
Leonardus Saiman (2014: 4) menyatakan, rendahnya kesempatan kerja
yang tercipta dari setiap 1 persen pertumbuhan tidak dapat dilepaskan dari relatif
rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun pertumbuhan produktivitas
per pekerja tidak banyak berubah. Kesenjangan antara permintaan dengan
penawaran kerja ini terjadi di seluruh sektor, baik di dalam maupun di luar negeri
yang meliputi sektor industri, pertanian, pertambangan, transportasi, pariwisata,
dan lain-lain. Hal ini perlu menjadi sorotan bagi pemerintah terlebih lagi untuk
memperhatikan penganggur yang tidak terdidik, tidak terampil, atau
berpendidikan rendah. Apabila pengangguran tidak terserap dalam sektor formal,
maka alternatif lain adalah pembekalan keterampilan, aksara kewirausahaan, dan
bantuan lain secara moril maupun materil. Sehingga mereka tetap memperoleh
penghasilan dan meningkatkan kesejahteraan tanpa harus bergantung pada
lapangan kerja yang telah ada atau perusahaan.
Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat
dalam lapangan pekerjaan maupun pergaulan hidup. Menurut Mustofa Kamil
(2012: 1), kebutuhan akan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan
teknologi pada masa sekarang semakin dirasakan seiring dengan semakin
meluasnya hubungan manusia dalam tatanan global masyarakat modern.
3
Makin disadari bahwa dalam pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan material maupun spiritual yang merata, faktor manusia adalah yang
terpenting. Sementara itu menurut Anwar (2004), masih banyak sumber daya
manusia yang kurang berkualitas, tidak memiliki bekal hidup berupa keterampilan
untuk hidup produktif. Seiring dengan pembangunan fisik, peningkatan
kemampuan manusia, perubahan sikap dan perilaku manusia sesuai dengan
perkembangan zaman perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh oleh
pemerintah. Kenyataan itu mendorong masyarakat untuk berusaha belajar
menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan
kemampuan dan kesempatan belajar
Revolusi teknologi tersebut perlu disikapi sebagai sebuah tantangan dan
peluang bagi dunia pendidikan. Usaha-usaha masyarakat dalam belajar dan
menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam
berbagai bidang, salah satunya melalui bidang pendidikan. Menurut Saleh
Marzuki (2012: 13), untuk menyongsong era baru globalisasi tersebut, dunia
pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dunia harus beradaptasi, bersentuhan, dan
kompatibel dengan arah kecenderungan lingkungan strategisnya.
Pendidikan pada masa sekarang sudah tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan setiap masyarakat. Pada umunya memang diakui pendidikan
memberikan perubahan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.
UNESCO (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4), mendefinisikan pendidikan sebagai
proses belajar yang terorganisir dan terus menerus yang dirancang untuk
mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, skill, dan pemahaman yang bernilai
4
untuk aktivitas hidup. Sementara itu, pendapat lain mengenai pendidikan
disampaikan oleh Saleh Marzuki (2012: 136-137), yang menyatakan bahwa:
“pendidikan dipandang sebagai proses belajar sepanjang hayat manusia untuk merubah dirinya ataupun orang lain, yang lebih dari sekedar masalah akademik atau perolehan pengetahuan, skill dan mata pelajaran yang konfensional, melainkan harus mencakup berbagai kecakapan yang diperlukan untuk menjadi manusia yang lebih baik.”
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional (2012), membagi pendidikan menjadi tiga jalur, yaitu; pendidikan
formal, pendidikan non formal, dan pendidikan in formal. Ketiga jalur pendidikan
tersebut memiliki peran dan tujuan yang sama di masyarakat, yaitu untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dewasa ini pemerintah terkesan hanya
memprioritaskan pendidikan formal, dan kurang memperhatikan mutu pendidikan
non formal dan in formal yang merupakan satuan pendidikan luar sekolah. Di sisi
lain, Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (2009: 3)
menyampaikan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan
pendidikan nonformal dan informal belum dapat direalisasikan secara optimal
sebagai akibat rendahnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan
Yohan Naftali (dalam kompas.com, 2006), Indonesia masih mengalami
ketidakmerataan pendidikan jika dilihat dari gini index pemerataan pendidikan di
Indonesia yang mencapai 0.32. Untuk mempercepat pemerataan dan
meningkatkan kualitas pendidikan, upaya menggerakkan prakarsa dan partisipasi
masyarakat menjadi sangat penting bukan saja karena adanya keterbatasan
pemerintah dalam mendanai dan memenuhi sarana dan prasarana pendidikan serta
5
menyediakan sumber lainnya, melainkan karena pendidikan menjadi
tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.
Pada dasarnya baik pendidikan formal maupun non formal dan in formal
sama-sama memiliki peranan yang penting dalam transformasi sosial budaya
lewat transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai budaya pada
individu dan masyarakat. Hanya dengan pendidikan formal saja tidak dapat
memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis dalam kehidupan. Menurut
Mustofa Kamil (2012: 2), pendidikan formal lebih diarahkan pada pemenuhan
kebutuhan akan penguasaan pengetahuan dan kemampuan akademis, sementara
untuk memenuhi kebutuhan praktis, masayarakat lebih mengandalkan pendidikan
non formal. Sehingga pendidikan formal, non formal, dan in formal, diharapkan
dapat menjadi pengisi kekurangan satu sama lain untuk dapat memenuhi
kebutuhan pendidikan di masyarakat.
Pendidikan luar sekolah dalam hal ini pendidikan non formal, memiliki
ranah cakupan yang luas, meliputi; pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan,
pendidikan kepemudaan, pendidikan berkelanjutan, pendidikan anak usia dini,
pendidikan kecakapan hidup, pendidikan pelatihan, dan pemberdayaan
perempuan.
Sejalan dengan melajunya jenis pekerjaan dan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang telah dipaparkan di atas, orang dewasa
merasakan kekurangan akan keterampilan yang selama ini dimiliki dan sekaligus
perlunya keterampilan-keterampilan baru yang relevan. Dalam hal ini, orang
6
dewasa cenderung terlibat dalam kegiatan pendidikan di masyarakat atau yang
sering disebut pendidikan luar sekolah.
Permasalahan lain yang tidak kalah kompleks, tidak jarang pengelola
maupun fasilitator dalam kegiatan pendidikan tersebut tidak memahami secara
mendalam mengenai pentingnya penerapan prinsip andragogi dalam pembelajaran
orang dewasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati
pada tahun 2011 (Skripsi, 2011), meskipun sebagian besar fasilitator senior di
salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah telah menerapkan
pendekatan andragogi, namun bagi fasilitator muda yang belum mendapatkan
keilmuan mengenai pendidikan orang dewasa belum sepenuhnya memahami dan
menerapkan pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran.
Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa belum semua pendidik bagi
orang dewasa menerapkan prinsip andragogi tersebut, bahkan cenderung
memperlakukan orang dewasa seperti anak-anak pada saat pembelajaran. Tentu
hal ini tidak akan sesuai dengan karakteristik yang telah dimiliki orang dewasa
sebagai warga belajar dalam sebuah kegiatan pendidikan.
Orang dewasa cenderung lebih tertarik pada jenis pendidikan yang
memberikan keuntungan terhadap kepentingan kehidupan sehari-hari. Pendidikan
tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan kecakapan hidup, pelatihan, kursus,
maupun pendidikan lain yang memberikan pilihan tersebut bagi orang dewasa.
Sastrodipoero (dalam Mustofa Kamil, 2012: 152) memaparkan pelatihan sebagai
salah satu jenis proses pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan
keterampilan di luar sistem pengembangan sumber daya manusia, yang berlaku
7
dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang mengutamakan praktek
daripada teori. Pelatihan lebih banyak dilaksanakan dalam masyarakat atau dunia
kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatan pelatihan
dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan
dan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah.
Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan layanan
pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah Pintar Mata
Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rumah Pintar Mata
Aksara merupakan salah satu satuan pendidikan luar sekolah yang melayani
masyarakat melalui pendidikan yang diselenggarakan secara gratis. Rumah Pintar
Mata Aksara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh
pendidikan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, belajar bersama, bimbingan
belajar, workshop, outbond, dan aktivitas pendidikan lainnya mulai dari tahap
perencanaan program pendidikan sampai dengan evaluasinya dilakukan secara
bersama-sama dengan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, pendidikan
kecakapan hidup berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata
Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja.
Melalui observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh
gambaran umum mengenai jenis pelatihan yang diberikan dalam program
pendidikan kecakapan hidup di Rumah Pintar Mata Aksara, yaitu Pelatihan Rajut.
Program tersebut memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar
khususnya kaum perempuan untuk dapat menguasai keterampilan khusus.
8
Melalui pendidikan kecakapan hidup tersebut, diharapkan masyarakat
sebagai warga belajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga
dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan. Selain itu, penelitian perlu
dilakukan untuk mengetahui gambaran bahwa Rumah Pintar Mata Aksara mampu
menerapkan prinsip andragogi pada proses pembelajaran pendidikan kecakapan
hidup berupa Pelatihan Rajut bagi warga belajarnya.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat
diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:
1. Tingginya angka pengangguran kaum perempuan di Daerah Istimewa
Yogyakarta.
2. Terdapat kesenjangan antara jumlah ketersediaan lapangan kerja, dengan
jumlah pencari kerja.
3. Pendidikan yang belum tersebar rata di Indonesia, khususnya di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
4. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.
5. Belum semua penyelenggara pendidikan bagi orang dewasa menerapkan
pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.
6. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara sudah menerapkan
pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.
C. Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas,
maka peneliti membatasi permasalahan yang ada dan memfokuskan penelitian
9
pada penerapan prinsip andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut di
Rumah Pintar Mata Aksara.
D. Rumusan Masalah
Setelah diidentifikasi dan dilakukan pembatasan masalah, maka dapat
dirumuskan beberapa permasalahan berikut:
1. Bagaimana pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata
Aksara Sleman?
2. Bagaimana kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan
andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara?
3. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi dalam program Pelatihan
Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman?
E. Tujuan Penelitian
Berdasarkan pada permasalahan yang diungkapkan di atas, adapun tujuan
dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah
Pintar Mata Aksara Sleman.
2. Untuk mendeskripsikan kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai
pendekatan andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara.
3. Untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi dalam program
Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat dari penelitian mengenai penerapan prinsip andragogi pada proses
pembelajaran Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman adalah:
10
1. Bagi Rumah Pintar Mata Aksara
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
peningkatan kegiatan Pelatihan Rajut dengan menerapkan pendekatan
andragogi.
2. Bagi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah
Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam
perkembangan kualitas pendidikan luar sekolah melalui pendidikan tinggi
di Universitas Negeri Yogyakarta.
3. Bagi Peneliti
Peneliti dapat mengetahui gambaran kegiatan penerapan
pendekatan andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut yang
dilaksanakan di tempat penelitian.
11
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah
a. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (2012: 2-3) berbunyi:
“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan pontensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Driyakarya (1980: 80) mendefinisikan pendidikan sebagai
gejala semesta (fenomena universal) dan berlangsung sepanjang hayat
manusia, di manapun manusia berada. Sementara itu menurut
Sulistyono (dalam Dwi Siswoyo, dkk, 2007: 1), pendidikan adalah
usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan
pada landasan pemikiran tertentu. Dengan kata lain, pendidikan dapat
digunakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia yang didasarkan
pada pandangan hidup di masyarakat, serta pemikiran-pemikiran
tertentu.
Pendapat lain disampaikan oleh Dwi Siswoyo (2007: 53-54),
yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses dimana masyarakat
12
melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan sengaja
mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai,
dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Menurut Ki
Hajar Dewantara (1977: 20), yang dimaksudkan pendidikan yaitu,
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar
mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat
mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.
Sugihartono, dkk (2012: 3-4) berpendapat bahwa pendidikan
adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah
tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk
mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.
Sementara itu menurut Peters (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4)
mengemukakan kriteria untuk memudahkan memahami istilah
pendidikan, diantaranya:
1) Pendidikan meliputi penyebaran hal yang bermanfaat bagi mereka yang terlibat di dalamnya.
2) Pendidikan harus melibatkan pengetahuan dan pemahaman serta sejumlah perspektif kognitif.
3) Pendidikan setidaknya memiliki sejumlah prosedur, dengan asumsi bahwa peserta didik belum memiliki pengetahuan dan kesiapan belajar secara sukarela.
Berdasarkan pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli di
atas mengenai pendidikan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pendidikan merupakan sebuah proses belajar mengajar yang
terorganisir dan berkesinambungan yang dirancang untuk
mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, keterampilan, dan
13
pemahaman yang bernilai untuk seluruh aktivitas kehidupan.
Pendidikan digambarkan memiliki kaitan dengan pengembangan
pengetahuan dan pemahaman. Pendidikan juga merupakan usaha secara
sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu
diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap segala
perbuatannya.
Setiap orang memerlukan pendidikan agar mereka memiliki
pengetahuan, yang luas, memiliki sikap yang diperlukan dalam
hidupnya, memiliki keterampilan agar dapat bekerja mencari nafkah
bagi kehidupannya. Kecakapan tersebut bukan hanya sekedar dimiliki,
melainkan agar dapat dikembangkan di kemudian hari sepanjang
kehidupannya, sehingga dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang
selalu berubah.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem
Pendidikan Nasional (2012), menyatakan bahwa pendidikan terbagi
menjadi tiga jenis antara lain pendidikan formal, nonformal dan
informal. Sementara itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional (dalam Anwar, 2004) menetapkan
pendidikan luar sekolah dalam Sistem Pendidikan Nasional, dan
diselenggarakan di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan keluarga.
Frederick Harbison (dalam Saleh Marzuki, 2012: 103)
mendefinisikan pendidikan luar sekolah sebagai wadah pembentukan
keterampilan dan pengetahuan di luar sistem sekolah formal. Sementara
14
itu, Santoso S. Hamijoyo (dalam Sudjana, 2004) berpendapat
pendidikan luar sekolah adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan
secara terorganisasikan, terencana di luar sistem persekolahan, yang
ditujukan kepada individu maupun kelompok, untuk meningkatkan
kualitas hidupnya. Dalam hal ini, peningkatan kualitas individu
dilakukan dengan membelajarkan individu agar terdapat perubahan
tingkah laku, berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
dalam kehidupan sehari-hari.
Sejalan dengan kedua pendapat di atas, Saleh Marzuki (2012:
106) menyatakan bahwa pendidikan luar sekolah ditekankan pada
peningkatan kemampuan individu untuk segera dapat mengatasi
masalah dan kesulitan hidupnya. Dalam hal ini, pendidikan luar sekolah
memiliki nilai informatif, praktis, dan aplikatif. Orientasi kebutuhannya
adalah tertuju pada sekelompok sasaran didik tertentu, dan berupa
pengembangan masyarakat.
Yoyon Suryono (2013: 2) mendefinisikan pendidikan luar
sekolah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang
menempati posisi dan memiliki peran strategis dalam mewujudkan visi
pendidikan nasional. Pendidikan luar sekolah bukan hanya diharapkan
mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, namun juga
menjadikan manusia tersebut menjadi agen perubahan dan masyarakat
Indonesia yang cedas.
15
Definisi lain mengenai pendidikan luar sekolah disampaikan
oleh Phillips H Combs (dalam Soelaiman Joesoef, 1992: 50), yaitu:
“setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan belajar.”
Berdasarkan beberapa definisi pendidikan luar sekolah
menurut para ahli di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa
pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan terorganisir,
yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi untuk
memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang berkualitas.
Pendidikan luar sekolah dalam konteks pengembangan programnya
berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami manusia,
terutama masalah yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan,
keterampilan, dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam
konteks pendidikan persekolahan.
Pendidikan luar sekolah berperan penting dalam kegiatan
pembangunan di suatu negara. Menurut Saleh Marzuki (2012: 95),
pendidikan luar sekolah sangat peduli dengan perubahan masyarakat
yang berdampak langsung pada pengembangan sumber daya manusia
melalui pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia tidak hanya
akan membantu menghilangkan kemiskinan, tetapi juga memberikan
sumbangan penting terhadap pertumbuhan produktivitas dan
pendapatan nasional yang berarti juga pemerataan kesejahteraan.
16
b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah
Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh
kegiatan pendidikan. Adalah suatu yang logis bahwa pendidikan harus
dimulai dengan tujuan.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 (2012) menyampaikan
bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu tujuan dari pendidikan luar
sekolah, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 73 Tahun 1991 (dalam Mustofa Kamil, 2012: 32-33) adalah:
1) Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat serta mutu kehidupannya.
2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.
Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat
dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Santoso S. Hamijoyo (dalam
Sudjana, 2004) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah
adalah supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial
dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggungjawab menjadi
pendorong ke arah kemajuan, gemar berpartisipasi memperbaiki
kehidupan mereka. Sementara itu HAR Tilaar (dalam Suprijanto, 2012:
108) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah:
“menciptakan subyek pembangunan yang: (a) mampu melihat sekitar, melihat masalah-masalah hidup sehari-hari, melihat
17
potensi yang ada baik sosial maupun fisik, (b) mampu serta terampil memanfaatkan potensi yang ada dalam diri, kelompok, masyarakat, dan lingkungan fisiknya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan masyarakatnya.”
Definisi lain disampaikan oleh Jansen (dalam Saleh Marzuki,
2012: 107), yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah
adalah membimbing dan merangsang perkembangan sosial ekonomi
suatu masyarakat ke arah peningkatan taraf hidup.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan
pendidikan luar sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan
pendidikan luar sekolah adalah untuk memecahkan masalah-masalah
keterlantaran pendidikan, baik bagi mereka yang belum pernah sekolah
maupun yang gagal sekolah, serta memberikian bekal sikap,
keterampilan, dan pengetahuan praktis yang relevan dengan kebutuhan
kehidupannya.
c. Jenis Pendidikan Luar Sekolah
Pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan
terorganisir, yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi
untuk memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang
berkualitas. Dalam pengertian yang luas, setiap proses pendidikan yang
secara sengaja di upayakan agar terjadi proses belajar dan pembelajaran
yang mengarah pada perubahan positif dalam aspek mental dan
intelektual individu dan masyarakat di luar sistem persekolahan.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sitem
Pendidikan Nasional (2012: 14), mengelompokkan pendidikan
18
nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia
dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,
pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk
mengembangkan kemampuan peserta didik
1) Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan
Menurut Saleh Marzuki (2012), pendidikan keaksaraan
merupakan kebutuhan dasar yang memiliki daya ungkit bagi
pembangunan masyarakat dan berkaitan dengan kemampuan dasar
yang sangat bermanfaat untuk berbagai macam aktivitas kehidupan.
Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)
mendefinisikan pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan
nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara dengan
SD/MI, SMP/Mts, dan SMA/MA.
Pada hakikatnya, pendidikan keaksaraan dan kesetaraan
adalah salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal bagi warga
masyarakat yang bertujuan untuk membuka wawasan warga belajar
dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui
pemberantasan buta aksara. Keduanya ditujukan kepada warga
masyarakat yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan
formal di sekolah.
Pendidikan keaksaraan juga bertujuan untuk menggali dan
mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan pembaharuan untuk
meningkatkan taraf hidup warga belajar, serta berpartisipasi aktif
19
dalam pembangunan. Sementara itu pendidikan kesetaraan
dilakukan berjenjang yang setara dengan pendidikan formal, yaitu
Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA.
2) Pendidikan Kepemudaan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46),
menyatakan bahwa pendidikan kepemudaan adalah:
“pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan atau kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam,serta kewirausahaan.”
Pendidikan kepemudaan merupakan upaya untuk
membangun semangat pemuda dan mengembangkan segala potensi,
keterampilan, dan kemandirian berusaha, sehingga pemuda berperan
aktif dan ikut berpartispasi dalam pembangunan bangsa Indonesia
menjadi lebih baik.
3) Pendidikan Anak Usia Dini
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46),
menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan anak usia dini
adalah:
“suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”
Anak perlu dibimbing sejak dini untuk membantu
pertumbuhan dan perkembangannya untuk memasuki jenjang
20
pendidikan sekolah dasar. Sehingga kesiapan belajar anak lebih
baik, dan siap untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.
4) Pemberdayaan Perempuan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)
mendefinisikan pendidikan pemberdayaan perempuan sebagai
pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.
Lebih jauh, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2013 tentang Pendirian Satuan
Pendidikan Nonformal pasal 12 (dalam kemdikbud.go.id, 2014),
menyatakan bahwa:
“program pendidikan pemberdayaan perempuan adalah program pendidikan nonformal yang diselenggarakan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis dalam upaya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.”
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan
bahwa pendidikan pemberdayaan perempuan adalah upaya
pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control
terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya, agar
perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri
untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan
masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep
diri.
Jenis kegiatan yang dilakukan adalah melalui pendidikan
kecakapan hidup perempuan yang merupakan tindakan
21
pembelajaran yang berpihak (affirmative action) terhadap
peningkatan kemampuan kecakapan hidup meliputi kecakapan
personal, sosial, intelektual, dan vokasional berkaitan dengan
pendidikan karakter dalam keluarga, kesehatan reproduksi,
keterampilan mengolah dan mendayagunakan sumber daya lokal
yang memberikan nilai tambah pada kemandirian dan kehidupan
keluarga.
5) Pendidikan Kecakapan Hidup
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)
mendefinisikan pendidikan kecakapan hidup sebagai pendidikan
yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual, dan
vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Menurut Anwar
(2006), pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat
memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait
dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi
atau industri yang ada. Oleh karenanya, life skill memiliki cakupan
yang cukup luas. Cakupan-cakupan life skill diantaranya seperti
communication skill atau kecakapan berkomunikasi, decision-
making skill atau kecakapan membuat keputusan, time-management
skill atau kecakapan manajemen waktu, dan planning skill atau
kecakapan merencanakan sesuatu. Pendidikan kecakapan hidup
memiliki esensi untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan
nilai-nilai kehidupan nyata.
22
Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa
pendidikan kecakapan hidup merupakan usaha yang dilakukan
untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
mengembangkan potensi diri yang dimiliki dengan pengoptimalan
sumber daya yang ada dalam pemenuhan kebutuhan akan
kecakapan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecakapan yang diperoleh tidak hanya dipergunakan dalam dunia
pekerjaan saja, namun juga dapat digunakan dalam kehidupan
bermasyarakat melalui kemampuan-kemampuan berkomunikasi dan
memecahkan permasalahan yang ada.
6) Pendidikan dan Pelatihan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 14)
mencantumkan sebagai berikut:
“kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.”
Lebih luas, Mustofa Kamil (2012: 10) mendefinisikan
pelatihan sebagai bagian dar pendidikan yang menyangkut proses
belajar yang dilaksanakan di luar sistem sekolah, memerlukan
waktu yang relatif singkat, dan lebih menekankan pada praktek.
Pelatihan diselenggarakan baik terkait dengan kebutuhan dunia
kerja maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.
23
Penelitian ini akan memperdalam pendeskripsian
informasi pada jenis pendidikan nonformal pendidikan pelatihan
saja. Maka dari itu, mengenai pendidikan pelatihan akan dipaparkan
lebih jauh pada pembahasan poin berikutnya
7) Pendidikan Lain-lain
Segala bentuk pendidikan yang berlangsung di luar jalur
persekolahan formal, yang memiliki tujuan untuk memberdayakan,
memberikan pengetahuan dan keterampilan, adanya perubahan
tingkah laku, bagi individu maupun kelompok di masyarakat.
d. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah
1) Pengertian Pelatihan
Istilah pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training”
dalam bahasa Inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah
“train”, yang berarti: (1) memberi pelajaran dan praktek (give
teaching and practice), (2) menjadikan berkembang dalam arah
yang dikehendaki (cause to grow in a required direction), (3)
persiapan (preparation), dan (4) praktek (practice).
Dictionary of Education (dalam Saleh Marzuki, 2012: 174-
175), mengartikan pelatihan sebagai suatu pengajaran tertentu yang
tujuannya telah ditentukan secara jelas, dapat diragakan, yang
menghendaki peserta dan penilaian terhadap perbaikan untuk kerja
peserta didik. Menurut Edwin Filipo (dalam Mustofa Kamil, 2012:
3), pelatihan adalah tindakan meningkatkan pengetahuan dan
24
keterampilan seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan
tertentu.
Definisi lain disampaikan oleh Ivancevich (dalam
Marwansyah, 2000: 154) yang menyatakan bahwa pelatihan adalah
proses sistematis untuk mengubah perilaku karyawan, yang
diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sementara itu,
William G. Scott (dalam Sedarmayanti, 2010: 163) mendefinisikan
pelatihan sebagai:
“suatu kegiatan lini dan staf yang tujuannya mengembangkan pemimpin untuk mencapai efektivitas pekerjaan seseorang yang lebih besar, hubungan antar pribadi dalam organisasi yang lebih baik dan penyesuaian pemimpin yang ditinggalkan kepada konteks seluruh lingkungannya.”
Keempat definisi di atas, tampak pelatihan hanya dilihat
dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam
kenyataannya, pelatihan tidak harus selalu dalam kaitan dengan
pekerjaan, atau tidak selalu diperuntukkan bagi pegawai. Berbeda
dengan pendapat di atas, Henry Simamora (2004) mengartikan
pelatihan sebagai serangkaian aktivitas yang dirancang untuk
meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman,
ataupun perubahan sikap individu.
Sementara itu, menurut Robinson (dalam Saleh Marzuki,
2012: 174), pelatihan adalah pengajaran atau pembelajaran
pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan tingkah laku
(pengetahuan, keterampilan, sikap) agar mencapai sesuatu yang
25
diinginkan. Definisi lain menurut Suprijanto (2012: 163), pelatihan
adalah salah satu metode dalam pendidikan orang dewasa atau
dalam suatu pertemuan yang biasa digunakan dalam meningkatkan
pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikap dengan cara yang
spesifik.
Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disampaikan
oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah
proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan untuk mencapai
tingkatan kompetensi tertentu sehingga terjadi perubahan
pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku
seorang individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu
proses yang melayani masyarakat untuk memperoleh keterampilan
berupa pengetahuan, skill, dan sikap, yang berguna bagi
kehidupannya di masyarakat.
2) Tujuan dan Manfaat Pelatihan
Dale S Beach (dalam Mustofa Kamil, 2012: 10)
mengemukakan, the objective of training is to achieve a hange in
the behavios of those trained. Makna dari pernyataan tersebut yaitu,
tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh perubahan dalam tingkah
laku mereka yang dilatih. Sedangkan menurut Saleh Marzuki (2012:
174), tujuan pelatihan adalah untuk mengembangkan pola tingkah
laku orang agar mencapai sesuatu yang diinginkan
26
Pendapat lain disampaikan oleh Henry Simamora (2004),
yang mengelompokkan tujuan pelatihan kedalam lima bidang,
yaitu:
a) Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi.
b) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan.
c) Membantu memecahkan permasalahan operasional.d) Mempersiapkan karyawan untuk promosi.e) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.
Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan
pelatihan, dapat disimpulkan bahwa tujuan pelatihan itu tidak hanya
untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan
juga untuk mengembangkan minat dan bakat.
Pelatihan dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan di
masyarakat dengan harapan memetik manfaat daripadanya.
Beberapa manfaat tersebut diantaranya sebagaimana dikemukakan
oleh Richard B Johnson (dalam Saleh Marzuki, 2012: 176):
“(1) menambah produktivitas, (2) memperbaiki kualitas kerja dan menaikkan semangat kerja, (3) mengembangkan keterampilan, pengetahuan, pengertian, dan sikap-sikap baru, (4) dapat memperbaiki cara penggunaan yang tepat mengenai alat-alat, mesin, proses, metode, dan lain-lain, (5) mengurangi pemborosan, kecelakaan, keteelambatan, kelalaian, biaya berlebihan, dan ongkos-ongkos yang tidak diperlukan, (6) melaksanakan perubahan atau pembaruan kebijakan atau aturan-aturan baru, (7) memerangi kejenuhan atau keterlambatan dalam skill, teknologi, metode, produksi, pemasaran, modal dan manajemen, dan lain-lain, (8) meningkatkan pengetahuan agar sesuai dengan standar performan sesuai dengan pekerjaannya, (9) mengembangkan, menempatkan, dan menyiapkan orang untuk maju, memperbaiki pendayagunaan tenaga kerja, dan
27
meneruskan kepemimpinan, dan (10) menjamin ketahanan dan pertumbuhan perusahaan.”
Sementara itu menurut Suprijanto (2007: 160), manfaat
pelatihan adalah agar individu dapat memecahkan suatu
permasalahan yang ada dalam pekerjaan melalui kompromi dengan
pengembangan empati.
Berdasarkan pemaparan kedua ahli di atas mengenai
manfaat pelatihan, dapat ditarik sebuah benang merah yaitu, bahwa
pelatihan mendatangkan manfaat untuk memecahkan suatu
permasalahan yang timbul dalam kehidupan di masyarakat maupun
dunia pekerjaan dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia di
dalamnya. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-dikap terhadap
pekerjaan, dan sikap-sikap yang tidak produktif timbul dari salah
pengertian dan kurangnya informasi mengenai suatu hal pada
individu.
3) Pendekatan Sistem Pelatihan
Mustofa Kamil (2012: 19) menyampaikan bahwa penilaian
kebutuhan (need assessment) merupakan tahap yang peling penting
dalam penyelenggaraan pelatihan. Tahap ini berguna sebagai dasar
bagi keseluruhan upaya pelatihan. Karena dari tahap inilah seluruh
proses pelatihan akan mengalir. Kebutuhan akan pelatihan harus
diperiksa, demikian pula sumber daya yang tersedia untuk
pelatihan. Meski begitu, tahap pelaksanaan dan evaluasi dalam
pelatihan juga tidak dapat dianggap sepele. Ketiganya memiliki
28
tahapan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu dengan
yang lainnya.
4) Jenis-jenis Pelatihan
JC Denyer (dalam Mustofa Kamil, 2012: 15) membedakan
pelatihan atas empat macam, yaitu:
a) Pelatihan induksi, yaitu pelatihan perkenalan yang biasanya diberikan kepada pegawai baru dengan tidak memandang tingkatannya.
b) Pelatihan kerja, yaitu pelatihan yang diberikan kepada semua pegawai dengan maksud untuk memberikan petunjuk khusus guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.
c) Pelatihan supervisor, yaitu pelatihan yang diberikan kepada supervisor atau pimpinan tingkat bawah.
d) Pelatihan manajemen, yaitu pelatihan yang diberikan kepada manajemen atau untuk pemagang jabatan manajemen.
e) Pengembangan eksekutif, yaitu pelatihan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat pimpinan
Macam-macam jenis pelatihan tersebut dapat dijadikan
sebagai alternatif dalam pemecahan masalah yang timbul di
lingkungan masyarakat maupun dunia kerja. Dengan banyaknya
jenis pelatihan yang tersedia di masyarakat, menunjukkan bahwa
pendidikan dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat. Sehingga
kualitas sumber daya masyarakat akan lebih berkembang dan
memiliki kompetensi khusus yang dapat digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
29
2. Pembelajaran Orang Dewasa
a. Konsep Dasar Pembelajaran Orang Dewasa
AG Lunandi (1982: 3) menyatakan bahwa orang dewasa bukan
seperti gelas kosong yang dengan mudah dapat diisi sesuatu, oleh
karena itu, orang dewasa tidak dapat diajarkan sesuatu untuk merubah
tingkah lakunya. Terdapat perbedaan antara anak-anak dengan orang
dewasa jika ditinjau berdasarkan umur, ciri psikologis, dan ciri
biologis.
Donald H Brundage (dalam Saleh Marzuki, 2012: 187)
menyatakan, perbedaan keduanya bukan merupakan perbedaan
otomatis, karena kadang-kadang ciri yang ada pada anak juga ada pada
orang dewasa atau sebaliknya walaupun kadar dan kualitasnya tidak
sama. Sujarwo (2013: 1) mendefinisikan orang dewasa sebagai:
“orang yang telah memiliki pengalaman, kemampuan, konsep diri, keberanian, dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, sehingga orang dewasa lebih matang melaksanakan tugasm fungsim dan peran dalam kehidupannya di keluarga, maupun di masyarakat.”
Sehubungan dengan hal di atas, McKenzie (dalam Saleh
Marzuki, 2012: 186) mengemukakan bahwa orang dewasa dan anak
belajar dengan cara yang berbeda, karenanya perlu dibantu dengan cara
yang berbeda pula. Menurut Basleman dan Mappa (2011: 16), pada
hakikatnya semua orang dewasa cenderung memperlihatkan keunikan
gaya belajar di dalam ia melakukan kegiatan belajar.
30
Orang dewasa memiliki kewenangan dalam dirinya sendiri
untuk menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan di
masyarakat. Kondisi tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam
penyiapan, pengelolaan, dan pengorganisasian pembelajaran. Belajar
bagi orang dewasa berhubungan dengan bagaimana
mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari
jawabannya.
Mathias Finger dan Jose Manuel Asun (2004: 71)
menyampaikan, pendidikan orang dewasa menjadi proses menghadapi
diri sendiri secara tetap. Dalam hal ini, pemecahan masalah diterapkan
dalam identitas pengembangan diri. Menurut Mathias Finger dan Jose
Manuel Asun (2004: 71), peran pendidikan orang dewasa dalam
penerapan pragmatisme ini adalah untuk memfasilitasi pemecahan
masalah simbolis dan menyumbang pribadi, identitas, dan
pengembangan kedewasaan.
Definisi lain megenai pendidikan orang dewasa,
menurut Pannen (dalam Suprijanto, 2012: 11)
dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan
keinginan untuk bertanya dan belajar secara
berkelanjutan sepanjang hidup. Sementara itu menurut
Djuju Sudjana (2004: 50), pendidikan orang dewasa
adalah pendidikan yang disediakan untuk
membelajarkan orang dewasa.
31
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas
mengenai dasar pendidikan orang dewasa, maka dapat
ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan orang
dewasa adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi
orang dewasa di masyarakat agar dapat
mengembangkan kemampuan melalui belajar secara
berkelanjutan.
Suharto dalam Sujarwo (2013: 6-8) menjelaskan secara singkat
mengenai tujuan pendidikan orang dewasa, diantaranya tujuan
pengembangan intelektual, aktualisasi diri, personal dan sosial,
transformasi sosial, dan efektivitas organisasi. Orang dewasa masih
membutuhkan pengetahuan dan pengalaman sebagai dasar dalam
menjalankan fungsi dan perannya dalam masyarakat, serta menjadi
yang terbaik bagi dirinya. Selain itu, agar orang dewasa memiliki
kesadaran dalan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan tuntutan
masyarakat, maka perlu adanya sentuhan melalui proses pendidikan.
Sementara itu, tujuan pendidikan orang dewasa yang
disampaikan oleh UNESCO (dalam Sudjana, 2004, 50-51),adalah
supaya orang-orang dewasa mampu mengembangkan diri secara
optimal dan berpartisipasi aktif, malah menjadi pelopor di masyarakat,
dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang.
b. Pendekatan Andragogi dalam Pendidikan Orang Dewasa
1) Pengertian Andragogi
32
Andragogi berasal dari kata andros atau aner, yang berarti
orang dewasa, dan agogos yang berarti memimpin. Jadi andragogi
berarti memimpin orang dewasa.
Knowles (dalam Saleh Marzuki: 185), mendefinisikan
andragogi sebagai seni dan ilmu tentang mengajar orang dewasa
atau yang biasa disebut the art and science of teaching adult.
Sementara itu menurut Saleh Marzuki (2012: 186) sendiri,
cenderung melihat bahwa andragogi merupakan proses bantuan
terhadap orang dewasa agar dapat belajar secara maksimal.
Lebih lanjut Knowles (dalam Basleman dan
Mappa, 2011: 126), menegaskan bahwa
pembelajaran orang dewasa akan berhasil dengan
baik jika:
“melibatkan baik fisik maupun mental emosionalnya, karena itu, pelaksanaan pembelajaran yang bersifat andragogi sebaiknya mengikuti langkah-langkah; (1) menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa, (2) menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif, (3) mendiagnosa kebutuhan belajar, (4) merumuskan tujuan belajar (5) mengembangkan rancangan kegiatan belajar, (6) melaksanakan kegiatan belajar, (7) mendiagnosa kembali kebutuhan belajar (evaluasi) dan mereka diperlukan sebagai teman belajar bukan seperti kedudukan antara warga belajar dengan instruktur.”
Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan
di atas, maka dapat disimpulkan bahwa andragogi merupakan seni
33
dan ilmu tentang bagaimana membantu orang dewasa dalam
belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses bantuannya
berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki keduanya
sangat berbeda.
Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa memerlukan
strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis. Oleh
karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi,
yang meliputi keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan
pengaturan lainnya yang menyangkut materi pelatihan, waktu
penyelenggaraan, dan lain sebagainya.
3. Asumsi Belajar Orang Dewasa
Knowles (dalam Basleman dan Mappa, 2011:
111) bahwa ada perbedaan mendasar mengenai
asumsi yang digunakan oleh andragogi dengan
pedagogi. Andragogi pada dasarnya menggunakan
asumsi-asumsi konsep diri, pengamalan, kesiapan
belajar, dan orientaasi belajar. Perbedaan asumsi
antara pedagogi dengan andragogi menurut Knowles
dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:
No Pedagogi Andragogi
1 Konsep diri:
Anak ialah pribadi yang tergantung. Hubungan pelajar dengan pengajar merupakan hubungan yang
Konsep diri:
Warga belajar bukan bukan pribadi yang tergantung, melainkan telah masak secara psikologis. Hubungan warga
34
bersifat pengarahan. belajar dengan fasilitator adalah saling membantu yang timbal balik.
2
Pengalaman:
Pengalaman pelajar masih sangat terbatas. Karena itu diniliai kecil dalam pembelajaran. Komunikasi yang terjadi adalah satu arah dari pendidik kepada pelajar.
Pengalaman:
Pengalaman warga belajar orang dewasa dinilai sebagai sumber belajar yang kaya. Komunikasi yang terjadi adalah ulti komunikasi oleh semua warga belajar, warga belajar, maupun fasilitator.
3
Kesiapan Belajar
Pendidik menentukan apa yang akan dipelajari, bagaimana dan kapan belajar.
Kesiapan Belajar:
Warga belajar ikut menentukan apa yang mereka perlukan berdasarkan pada persepsi mereka sendiri terhadap tuntutan situasi sosial mereka.
4
Orientasi Belajar:
Persektif waktu dan orientasi terhadap belajar. Diajarkan bahan yang dimaksudkan untuk digunakan di masa yang akan datang. Pendekatannya menggunakan subject centered.
Orientasi Belajar:
Belajar merupakan proses untuk penemuan masalah dan pemecahan masalah pada saat itu juga. Pendekatannya menggunakan problem centered learning.
Sumber: Pembelajaran Orang Dewasa (Sujarwo, 2013)
Sujarwo (2013) menyatakan bahwa asumsi-
asumsi di atas menimbulkan bergbagai penerapan
strategi pembelajaran, strategi pembelajaran orang
dewasa lebih menekankan pada permasalahan yang
dihadapi (problem centered learning). Dengan demikian
35
dapat dikatakan bahwa pendidikan orang dewasa
meliputi segala bentuk pengalaman belajar yang
diperlukan oleh orang dewasa dari intensitas
keikutsertaannya dalam proses belajar.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti
dapat mengambil sebuah kesimpulan dengan
menjabarkan maksud dari asumsi di atas:
a. Konsep Diri
Orang dewasa memiliki konsep diri yang
mandiri dan tidak bergantung, lebih bersifat pada
pengarahan diri. Oleh karena itu, seorang dewasa
memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai,
khususnya dalam pengambilan keputusan. Mereka
akan menolak apabila diperlakukan seperti
anakanak, seperti diberi ceramah apa yang harus
dilakukan dan apa yang tidak boleh. Orang dewasa
akan menolak suatu situasi belajar yang kondisinya
bertentangan dengan konsep diri mereka sebagai
pribadi yang mandiri.
Sehingga apabila orang dewasa dibawa ke
dalam situasi belajar yang memperlakukan mereka
dengan penuh penghargaan, aka mereka akan
melakukan proses belajar tersebut dengan penuh
36
pelibatan dirinya secara mendalam. Dalam situasi
seperti ini, orang dewasa telah mempunyai kemauan
sendiri (pengarahan diri) untuk belajar.
b. Pengalaman
Orang dewasa mengumpulkan pengalaman
yang makin meluas, yang menjadi sumber daya
yang kaya dalam kegiatan belajar. Pengalaman yang
dimiliki orang dewasa menjadi konsekuensi dalam
belajar. Orang dewasa mempunyai kesempatan
yang lebih untuk mengkontribusikan dalam proses
belajar orang lain. Hal ini disebabkan karena ia
merupakan sumber belajar yang kaya.
Orang dewasa mempunyai dasar pengalalman
yang lebih kaya yang berkaitan dengan pengalaman
baru (belajar sesuatu yang baru mempunyai
kecenderungan mengambil makna dari pengalaman
yang lama). Selain itu, orang dewasa juga telah
mempunyai pola pikir dan kebiasaan yang pasti dan
karenanya mereka cenderung kurang terbuka.
c. Kesiapan Belajar
Orang dewasa ingin belajar dan mempelajari
bidang permasalahan yang menjadi permasalahan
yang tengah mereka hadapi dan anggap relevan.
37
Sehingga dalam proses pembelajarannya, orang
dewasa terlibat secara aktif mulai dari tahap
perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran,
dan evaluasi pembelajaran.
d. Orientasi Belajar
Orientasi belajar pada orang dewasa lebih
berpusat pada masalah, dan kurang memungkinkan
berpusat pada subyek. Orang dewasa cenderung
untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya
mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka
terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian besar
karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan
dalam kehidupannya sekarang. Oleh karena itu
pendidikan bagi orang yang sudah dewasa
dipandang sebagai suatu proses untuk
meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan
masalah hidup yang ia hadapi.
4. Metode Pembelajaran Orang Dewasa
Metode pembelajaran dalam pembelajaran
orang dewasa merupakan suatu cara atau upaya yang
dilakukan oleh fasilitator agar proses belajar pada
warga belajar lebih efektif dan efisien. Metode yang
38
digunakan dalam pembelajaran orang dewasa biasanya
adalah metode diskusi dan demonstrasi.
a. Metode Diskusi
Pegetahuan orang dewasa banyak diperoleh
melalui partisipasinya dalam diskusi di lingkungan
keluarga, masyarakat maupun tempat kerja. Diskusi
biasanya bersifat spontan. Menurut Gulo (dalam
Suprijanto, 2012: 97), diskusi kelompok merupakan
strategoi belajar mengajar yang tepat untuk
meningkatkan kualitas interaksi antara warga belajar
dengan fasilitator, dan warga belajar dengan warga
belajar.
Suprijanto (2012: 96) berpendapat bahwa
diskusi merupakan alat yang paling efektif dalam
pembelajaran orang dewasa, dengan syarat warga
belajar tidak lebih dari sepuluh orang. Berikut adalah
manfaat diskusi kelompok dalam pembelajaran
orang dewasa menurut Suprijanto:
1) Diskusi memberikan kesempatan kepada setiap warga belajar untuk menyampaikan pendapatnya, dan mendorong individu untuk berpikir dan mengambil keputusan.
2) Diskusi cenderung membuat warga belajar lebih toleran dan berwawasan luas.
3) Diskusi mendorong warga belajar untuk mendengarkan dengan baik.
39
4) Memberikan alat pemersatu fakta dan pendapat anggota kelompok sehingga kesimpulan dapat diambil.
Berdasarkan pemaparan para ahli di atas
mengenai metode diskusi, maka dapat disimpulkan
bahwa metode diskusi dalam pembelajaran orang
dewasa menjadi sangat efektif digunakan karena
komunikasi sehari-hari yang digunakan oleh orang
dewasa adalah dengan melakukan diskusi untuk
memperoleh informasi. Selain itu, banyak
kebermanfaatan yang dapat dipetik oleh warga
belajar melalui metode diskusi.
b. Metode Demonstrasi
Suprijanto (2012: 143) mendefinisikan
demonstrasi sebagai metode pembelajaran yang
sering digunakan dalam bidang tertentu. Morgan,
Flores, Bueno, dan Lapastora (dalam Suprijanto,
2012) menyampaikan manfaat dari metode
demonstrasi:
1) Demonstrasi menarik dan menahan perhatian2) Demonstrasi menghadirkan subyek dengan cara
yang mudah dipahami.3) Meyakinkan hal-hal yang meragukan untuk
dilakukan.4) Menunjukkan pelaksanaan ilmu pengetahuan
dengan contoh.5) Mempercepat penyerapan langsung dari
sumbernya.
40
Berdasarkan pemaparan meengenai metode
demonstrasi dalam pembelajaran orang dewasa di
atas, dapat disimpulkan bahwa metode demonstrasi
dapat digunakan pada pengajaran yang
membeutuhkan contoh secara langsung, seperti
pengajaran keterampilan, cara melakukan sesuatu,
maupun untuk mengembangakan pengertian secara
lebih nyata. Metode demonstrasi tidak selalu dapat
diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, namun
hendaknya disesuaikan dengan situasi yang terjadi.
5. Prinsip-prinsip Andragogi
Orang dewasa dalam belajar mengikuti prinsip-
prinsip tertentu sesuai dengan ciri-ciri psikologisnya.
Prinsip belajar orang dewasa tersebut dapat ditinjau
dari berbagai segi. Menurut Ssaleh Marzuki (2012: 189),
prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Ciri-ciri fisilogis. Menurut prinsip ini, belajar akan
efektif apabila orang dewasa berada dalam keadaan
yang sehat, kondisi fisik produktif.
b. Konsep tentang harga diri. Dalam hal ini, belajar
akan efektif apabila orang dewasa diberikan
kepercayaan dengan melibatkan dirinya dalam
41
penetapan pembelajaran sesuai dengan
kebutuhannya.
c. Emosi. Dalam hubungan ini, belajar akan lebih
efektif apabila orang dewasa diberikan kebebasan
dengan dorongan dan rangsangan yang halus,
kebebasan mengemukakan pendapat, dan
pelayanan yang multi channel.
B. Penelitian yang Relevan
Penelitian mengenai penerapan pendekatan andragogi
dalam program pelatihan ini bukan menjadi yang pertama
dilakukan. Beberapa penelitian yang relevan akan
disampaikan dengan tujuan dapat menjadi rujukan bagi
peneliti untuk meneruskan maupun menemukan hal baru dari
hasil penelitian.
1. Penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati pada
tahun 2013. Penelitian tersebut berjudul “Penerapan Prinsip
Pembelajaran Orang Dewasa (Andragogi) Pada Program Life Skill Di
Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Pati”. Penelitian tersebut
menggunakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data
dilakukan dengan cara wawancara,observasi,dan
dokumentasi. Subyek penelitian terdiri dari pengelola 7
orang, instruktur 3 orang dan warga belajar life skill
komputer 3 orang di SKB Kabupaten Pati. Analisis yang
42
digunakan adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian
menunjukkan: (1) profil SKB Pati merupakan UPT Disdik
Kabupaten Pati, dalam membelajarkan masyarakat
membuka 4 jenis program yaitu program PAUD, program
kesetaraan, program kursus dan pelatihan serta program
dikmas. (2) Pemahaman instruktur dalam tentang prinsip-
prinsip pembelajaran orang dewasa di SKB Kabupaten Pati
masih parsial dan praktis. (3) Penerapan prinsip-prinsip
pembelajaran orang dewasa pada program life skill di SKB
Kabupaten Pati pada umumnya dapat dilaksanakan
dengan cukup baik.
2. Penelitian yang dilakukan Marta Dwi Ningrum pada tahun 2015 yang
berjudul “Dampak Program Pendidikan Kecakapan Hidup Di Taman
Bacaan Masyarakat Mata Aksara Bagi Perempuan Di Desa
Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman”. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dampak dari program kecakapan hidup
yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata Aksara. Hasil dari
penelitian ini adalah dampak bertambahnya kemampuan yang dimiliki
oleh sasaran program baik pada ketrampilan maupun pengetahuan sesuai
dengan jenis kecakapannya. Letak relevansi pada penelitian ini adalah
latar penelitian yang sama, yaitu di Rumah Pintar Mata Aksara.
Sedangkan perbedaannya terletak pada tema penelitian yang diteliti.
C. Kerangka Pikir
43
Pelatihan adalah proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan
untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu sehingga terjadi perubahan
pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku seorang
individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang melayani
masyarakat untuk memperoleh keterampilan berupa pengetahuan, skill, dan
sikap, yang berguna bagi kehidupannya di masyarakat.
Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan
layanan pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah
Pintar Mata Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Melalui
observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh gambaran umum
mengenai jenis pelatihan yang diberikan dalam program pendidikan
kecakapan hidup di Rumah Pintar Mata Aksara, yaitu Pelatihan Rajut.
Program tersebut memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar
khususnya kaum perempuan untuk dapat menguasai keterampilan khusus.
Pendidikan yang berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah
Pintar Mata Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga
yang tidak bekerja, dalam hal ini adalah orang dewasa. Melalui pendidikan
pelatihan tersebut, diharapkan masyarakat sebagai warga belajar dapat
mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat dijadikan sebagai
bekal dalam kehidupan.
Warga belajar dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata
Aksara adalah orang dewasa. Maka diperlukan pendektan belajar yang tepat
sehingga tujuan pembelajran dapat dicapai dengan efektif. Oleh karena itu,
44
PelatihanPembelajaranOrang Dewasa
Asumsi-asumsi pembelajaran orang dewasaMetode pembelajaran orang dewasa
Penerapan Pendekatan Andragogi
diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi, yang meliputi
keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan pengaturan lainnya yang
menyangkut materi pelatihan, waktu penyelenggaraan, dan lain sebagainya.
Andragogi merupakan seni dan ilmu tentang bagaimana membantu orang
dewasa dalam belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses
bantuannya berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki
keduanya sangat berbeda. Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa
memerlukan strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis.
Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran bahwa
Rumah Pintar Mata Aksara mampu menerapkan prinsip andragogi pada
proses pembelajaran pendidikan kecakapan hidup berupa Pelatihan Rajut bagi
warga belajarnya. Kerangka pikir tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah
ini:
45
D. Pertanyaan Penelitian
Pertanyaan penelitian yang akan diulas dalam penelitian ini adalah:
1. Apakah tujuan diselenggarakannya program Pelatihan Rajut di Rumah
Pintar Mata Aksara?
2. Bagaimana proses pembelajaran yang berlangsung dalam program
Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
3. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam program Pelatihan
Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
4. Bagaimana kompeensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan
andragogi?
5. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi pada proses pembelajaran
program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?
6. Apakah proses pembelaran program Pelatihan Rajut sudah sesuai dengan
pendekatan andragogi?
46
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian merupakan keseluruhan cara yang atau kegiatan
yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian mulai dari
merumuskan masalah sampai dengan penarikan suatu kesimpulan. Pendekatan
dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian
yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut
Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2010: 4), pendekatan penelitian kualitatif
adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sementara itu
menurut Moleong (2010: 6), penelitian kualitatif adalah:
“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.”
Definisi lain disampaikan Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2010: 5)
yang menyatakan, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan
latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan
dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sementara itu menurut
Sugiyono (2010: 1), pendekatan kualitatif adalah pendekatan penelitian yang
menggunakan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau
pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus.
47
Berdasarkan beberapa pengertian pendekatan penelitian kualitatif
menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan penelitian
kualitatif adalah sebuah pendekatan dalam penelitian yang melibatkan proses
alamiah berupa pengamatan langsung maupun dengan menggunakan berbagai
metode yang hasil akhirnya berupa tulisan atau kata-kata (bukan angka).
Hal ini disesuaikan dengan karakteristik permasalahan yang akan diulas
dalam penelitian ini, yaitu mengenai penerapan pendekatan andragogi pada
program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman dalam
memberikan pendidikan kepada masyarakat khususnya orang dewasa, penerapan
pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran oleh fasilitator maupun
pengelola. Sehingga pendekatan penelitian dalam penelitian ini lebih ditekankan
pada pencarian informasi atau berusaha mengungkapkan pemahaman terhadap
fenomena tertentu di masyarakat.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif
yaitu dengan cara memandang objek penelitian sebagai suatu sistem, artinya objek
kajian dilihat sebagai satuan yang terdiri dari unsur yang saling terkait dan
mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada. Menurut Nasution (2004: 24)
yang menyatakan bahwa metode deskriptif kualitatif dimaksudkan agar dapat
mengungkapkan kenyataan yang ada di lapangan serta dapat dipahami secara
mendalam, sehingga pada akhirnya diperoleh temuan penelitian. Data yang
diperlukan adalah yang berkaitan dengan penerapan pendekatan andragogi oleh
fasilitator maupun pengelola dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar
Mata Aksara Sleman.
48
B. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian
Penentuan subjek dan objek penelitian dalam penelitian ini didasarkan
pada tujuan penelitian yakni mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi
pada program Pelatihan Rajut di Mata Aksara Sleman. Hal tersebut bertujuan
untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.
1. Penentuan Subyek Penelitian
Pengambilan sumber data atau subjek dalam penelitian ini
menggunakan teknik purposive, yaitu menentukan kelompok peserta yang
menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan
masalah penelitian yang diangkat.
Menurut Sugiyono (2010: 300), teknik purposive ialah dengan
melakukan penentuan sumber data dengan memilih orang yang akan
diwawancarai menggunakan pertimbangan tertentu. Sementara itu menurut
Djam’an Satori (2011), dalam prosedur purposive peneliti memilih subyek
sebagai unit analisis brdasarkan kebutuhan dan menganggap bahwa unit
analisis tersebiut representatif.
Penetapan subyek penelitian dalam penelitian ini didasarkan atas
pertimbangan bahwa informan dapat memberikan data dan informasi yang
berkaitan dengan fokus penelitian dan aspek-aspek yang akan diulas lebih
lanjut dalam penelitian ini, khususnya dalam penerapan pendekatan
andragogi pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara
Sleman.
49
Subyek dalam penelitian ini terdiri dari informan utama dan
informan pendukung. Informan utama yaitu dua orang pengelola Rumah
Pintar Mata Aksara, dan dua orang fasilitator program Pelatihan Rajut.
Informan pendukung yaitu tiga orang warga belajar program Pelatihan
Rajut. Maksud dari pemilihan subyek ini adalah untuk mendapatkan
sebanyak mungkin informasi dari sumber yang berbeda sehingga data
yang diperoleh dapat diakui kebenarannya.
2. Penentuan Obyek Penelitian
Burhan Bungin (2011: 78) menjelaskan obyek dan informan
penelitian kualitatif adalah menjelaskan obyek penelitian yang fokus pada
penelitian, yaitu apa yang menjadi sasaran. Pada penelitian kualitatif,
peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan
wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial
tersebut.
Adapun yang menjadi obyek dari penelitian ini adalah
pelaksanaan program Pelatihan Rajut yang diselenggarakan di Rumah
Pintar Mata Aksara Sleman.
C. Setting Penelitian
Penelitian mengenai penerapan pendekatan andragogi dalam
program Pelatihan Rajut ini mengambil lokasi di Rumah Pintar Mata Aksara
Sleman, yang beralamatkan di Jalan Kaliurang kilometer 14 nomor 15 A desa
Tegalmanding, kelurahan Umbulmartani, kecamatan Kalasan, kabupaten
50
Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan peneliti memilih lokasi ini
adalah:
1. Ketersesuaian antara permasalahan yang ada di masyarakat dengan obyek
yang akan diteliti.
2. Rumah Pintar Mata Aksara Sleman merupakan salah satu lembaga
pendidikan luar sekolah yang ada di kabupaten Sleman yang berperan
secara aktif dalam menyelenggarakan berbagai macam kegiatan
pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.
3. Pengelola Rumah Pintar Mata Aksara Sleman memiliki sikap terbuka
terhadap peneliti sehingga dapat mempermudah pemerolehan data di
lapangan.
4. Lokasi Rumah Pintar Mata Aksara sangat strategis, yaitu berada di tepi
jalan raya, sehingga mempermudah peneliti untuk menjangkau lokasi
tersebut.
5. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara Sleman menerapkan
pendekatan andragogi dalam program Pelatihan Rajut yang
diselenggarakan.
Sementara penelitian akan dilakukan pada bulan Februari sampai
dengan Maret 2016. Wawancara terhadap pengelola Rumah Pintar Mata
Aksara akan dilakukan pada saat hari aktif yang diterapkan oleh lembaga, di
luar kegiatan pembelajaran. Begitu pula dengan wawancara terhadap
fasilitator Pelatihan Rajut, juga akan dilakukan di luar kegiatan pembelajaran
agar tidak mengganggu kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung.
51
Sementara itu wawancara terhadap warga belajar akan dilakukan pada saat
pembelajaran, dengan pertimbangan penciptaan iklim yang bersahabat
dengan para warga belajar yang akan diwawancarai.sedangkan kegiattan
observasi dan dokumentasi akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan data
penelitian.
D. Metode Pengumpulan Data
Sugiyono (2010: 308) berpendapat bahwa teknik pengumpulan data
merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan
utamanya dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2010:308).
Sejalan dengan pernyataan tersebut, Djam’an Satori (2011: 103) juga
menyatakan fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data.
Moleong (2010: 121), dalam pengumpulan data, peneliti merupakan
instrumen utama, interaksi antara peneliti dengan informan diharapkan dapat
diperoleh informasi yang mampu mengulas permasalahan yang ada di
lapangan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada natural
setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan
data lebih banyak pada observasi, wawancara, dan dokumentasi.
1. Observasi
Nasution (2004: 106) mendefinisikan observasi sebagai suatu
bentuk pengamatan untuk memperoleh informasi/ gambaran yang jelas
tentang suatu hal dengan jalan mencatat, kemudian mengolahnya untuk
mendapatkan kejelasan masalah yang diteliti. Sementara itu, menurut
52
Sugiyono (2010: 203), observasi merupakan suatu proses yang kompleks,
suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis.
Definisi lain mengenai observasi disampaikan oleh Syaodih
(2006: 220), yang berpendapat bahwa observasi atau pengamatan
merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan
mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang berlangsung. Pada
intinya, observasi dilakukan untuk mencari data dan informasi yang
diperlakukan melalui pengamatan. Menurut Nasution (2004), observasi
merupakan dasar semua ilmu pengetahuan, yaitu fakta mengenai
kenyataan yang diperoleh melalui pengamatan.
Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan
terhadap kegiatan pembelajaran program Pelatihan Rajut yang sedang
berlangsung di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman. Metode observasi ini
digunakan peneliti untuk memperoleh data penelitian yang bersifat nyata
dan bisa diamati, yang berkaitan dengan penerapan pendekatan andragogi
pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
2. Wawancara
Nasution (2004: 113) mendefinisikan wawancara sebagai suatu
bentuk komunikasi verbal yaitu semacam percakapan yang bertujuan
untuk memperoleh informasi tertentu. Sementara itu, menurut Sugiyono
(2010: 194):
“wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin
53
mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil.”
Definisi lain disampaikan oleh Djuju Sudjana (2000: 234), yang
menyatakan bahwa wawancara adalah proses pengumpulan data atau
informasi melalui tatap muka antara pihak penanya denan pihak yang
ditanya. Menurut Moleong (2010: 184), wawancara adalah percakapan
dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu
pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang
memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Menurut Sutrisno Hadi (1986)
dalam Sugiyono (2010:194), anggapan yang perlu diperhatikan oleh
peneliti dalam menggunakan metode interview adalah:
a. Bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.
b. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.
c. Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepaanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.
Penelitian ini menggunakan in-depth interview, yaitu wawancara
dilakukan berkali-kali dengan informan di lapangan. Maka dari itu, akan
dilakukan wawancara secara mendalam dengan pengelola Rumah Pintar
Mata Aksara Sleman, fasilitator program Pelatihan Rajut, dan warga
belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
Pelaksanaan wawancara dilakukan di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman
sendiri, pada waktu pembelajaran maupun diluar proses pembelajaran.
Tema wawancara berfokus pada pelaksanaan kegiatan program
Pelatihan Rajut, kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan
54
andragogi, dan penerapan pendekatan andragogi pada program Pelatihan
Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.
3. Dokumentasi
Studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan
pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Menurut
Sugiyono (2010:329), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah
berlalu. Sementara itu, Djam’an Satori (2011: 149) mendefinisikan studi
dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang
diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens
sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian
dari suatu kejadian.
Dokumen dalam penelitian dapat berupa arsip tertulis maupun
foto. Menurut Moleong (2010: 217), dokumen digunakan sebagai sumber
data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk
meramalkan.
Penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data
dengan dokumentasi, yang dilaksanakan untuk memperoleh data tambahan
informasi mengenai dokumen yang dimiliki oleh Rumah Pintar Mata
Aksara Sleman dengan cara mencetak ulang dan kemudian disalin dengan
menggunakan format studi dokumentasi. Dalam penelitian ini, dokumen
yang akan diperoleh dapat berupa profil lembaga Rumah Pintar Mata
Aksara Sleman, sasaran program Pelatihan Rajut, dan pelaksanaan
kegiatan pembelajaran program Pelatihan Rajut.
55
Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian
ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah:
No Aspek Sumber Data Metode
1Keadaan fisik dan
profil lembaga
a. Ketua Rumah
Pintar Mata
Aksara
b. Tim Rumah
Pintar Mata
Aksara
Wawancara,
observasi, dan
dokumentasi
2Kondisi nonfisik
dan program
a. Ketua Rumah
Pintar Mata
Aksara
b. Tim Rumah
Pintar Mata
Aksara
Wawancara,
observasi,
dokumentasi
3 Pelaksanaan
Pelatihan Rajut
a. Pengelola
Pelatihan
Rajut
b. Fasilitator
Pelatihan
Rajut
c. Warga
belajar
Wawancara,
observasi,
dokumentasi
56
Pelatihan
Rajut
4Kompetensi yang
dimiliki Fasilitator
a. Fasilitator
b. Pengelola
program
Wawancara, observasi
5
Penerapan
pendekatan
andragogi
a. Pengelola
program
b. Fasilitator
c. Warga
belajar
Wawancara,
observasi, dan
dokumentasi
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk membantu
peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan. Seperti yang dikatakan
Sugiyono (2010: 307), dalam penelitian kualitatif yang merupakan
instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri. Maka dalam penelitian ini,
peneliti merupakan instrumen utama. Selanjutnya dibantu oleh alat-alat
pengumpul data yang lain seperti pedoman observasi, pedoman
wawancara dan pedoman dokumentasi. Peneliti membuat dan merancang
sendiri seperangkat alat observasi, wawancara, maupun pedoman penilaian
dokumentasi yang akan digunakan sebagai panduan umum dalam proses
pencatatan.
57
Penyajian DataReduksi Data Penarikan Kesimpulan
F. Metode Analisis Data
Tadjoer Rizal (dalam Burhan Bungin, 2003: 99) berpendapat,
analisis data dalam penelitian berlangsung bersamaan dengan proses
pengumpulan data. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sugiyono (2010: 91)
juga menyampaikan bahwa data yang dikumpulkan dalam setiap
pertemuan langsung dilakukan analisis data.
Nasution (2004) berpendapat, analisis telah mulai sejak
merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan
berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data terdiri
dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verivikasi.
Gambar 3.1Analisis Data Model Interaktif
Miles Huberman (1992: 16)
1. Reduksi Data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan
perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data
kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Sugiyono (2010:
338) menyatakan, data yang telah direduksi akan memberikan
gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk
58
melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila
diperlukan.
Pada tahapan ini setelah data dipilah kemudian
disederhanakan, data yang tidak diperlukan disortir agar
memberi kemudahan dalam penampilan, penyajian, serta
untuk menarik kesimpulan sementara.
2. Penyajian Data
Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah
penyajian data. Data-data tersebut kemudian dipilah-pilah
dan disisikan untuk disortir menurut kelompoknya dan
disusun sesuai dengan katagori yang sejenis untuk
ditampilkan agar selaras dengan permasalahan yang
dihadapi, termasuk kesimpulan-kesimpulan sementara
diperoleh pada waktu data direduksi.
Tujuan dari display data dalam penelitian ini yaitu
memudahkan peneliti dalam memahami apa yang terjadi,
merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami
tersebut.
3. Verifikasi Data
Pada penelitian kualitatif, verifikasi data dilakukan
secara terus menerus sepanjang proses penelitian
dilakukan. Kesimpulan dalam penelitian yang diharapkan adalah
temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Menurut Sugiyono
59
(2010, 345), temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek
yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah
diteliti menjadi jelas.
G. Keabsahan Data
Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan
trianggulasi. Menurut Moleong (2010: 330), triangulasi yaitu teknik
pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.
Sementara itu, menurut Tohirin (2012: 77), penggunaan metode triangulasi
telah membantu peneliti menangani masalah yang timbul dalam kebenaran
konstruk karena melalui berbagai bahan bukti dapat menyediakan berbagai
ukuran terhadap fenomena yang sama.
Danzim (dalam Moleong, 2001: 178) membedakan
triangulasi menjadi empat tipe dasar triangulasi, yaitu (1)
triangulasi sumber adalah penggunaan beragam sumber data
dalam suatu kajian, sebagai contoh, mewawancarai orang
pada posisi status yang berbeda atau dengan titik pandang
yang berbeda; (2) triangulasi penyelidik adalah penggunaan
beberapa peneliti atau ilmuwan sosial yang berbeda; (3)
triangulasi teori adalah penggunaan sudut pandang ganda dalam
menafsirkan seperangkat tunggal data; dan (4) triangulasi
metode adalah penggunaan metode ganda untuk mengkaji
masalah atau program tunggal, seperti wawancara,
pengamatan, daftar wawancara terstruktur, dan dokumen.
60
Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah
triangulasi sumber dan triangulasi metode. Menurut Sugiyono (2010: 373),
trianggulasi sumber dan metode dilakukan dengan cara mengecek data yang
telah diperoleh melalui beberapa sumber. Hal ini dapat dicapai dengan
jalan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan
hasil wawancara; (2) membandingkan hasil wawancara
dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dengan
menggunakan teknik triangulasi, peneliti membandingkan
hasil wawancara yang telah diperoleh dari pengelola,
instruktur dan warga belajar atau membandingkan data hasil
wawancara dengan hasil pengamatan.
61