+ All Categories
Home > Documents > Proposal Penelitian Penerapan Pendekatan Andragogi pada Proses Pembelajaran Program Pelatihan Rajut...

Proposal Penelitian Penerapan Pendekatan Andragogi pada Proses Pembelajaran Program Pelatihan Rajut...

Date post: 28-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
61
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Globalisasi telah menjadi tema diskusi di kalangan pemerintah maupun masyarakat. Respon terhadap gejala globalisasi sesungguhnya bergantung pada bagaimana cara yang dikreasian agar tidak terjerumus dalam persaingan dunia global tersebut. Era globalisasi yang sedang berkembang dewasa ini telah menimbulkan dampak yang dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi bukan hanya memberikan dampak yang positif dalam memajukan berbagai bidang kehidupan. Dampak negatif daripada era globalisasi juga menjadi permasalahan yang pelik di sejumlah negara, khususnya negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah pengangguran yang tinggi, juga menjadi salah satu dampak dari globalisasi. Data Badan Pusat Statistik (bps.go.id, 2015) mencatat, per Februari 2015 pengangguran di Indonesia meningkat sejumlah 300ribu jiwa menjadi 7,54juta jiwa karena perlambatan ekonomi yang melambat dari kuartal sebelumnya sebesar 4,71%. Hal ini sangat berdampak terhadap bidang kehidupan yang lain. Meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya taraf hidup masyarakat, dan berbagai permasalahan sosial menjadi akibat dari tingginya angka pengangguran. Sementara itu, data lain diperoleh dari Badan Pusat Statistik (yogyakarta.bps.go.id, 2015) menunjukkan jumlah pengangguran terbuka di Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai angka 4.07 persen, sementara perempuan 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Globalisasi telah menjadi tema diskusi di kalangan pemerintah maupun

masyarakat. Respon terhadap gejala globalisasi sesungguhnya bergantung pada

bagaimana cara yang dikreasian agar tidak terjerumus dalam persaingan dunia

global tersebut. Era globalisasi yang sedang berkembang dewasa ini telah

menimbulkan dampak yang dapat dilihat secara langsung maupun tidak langsung

di masyarakat. Tidak dapat dipungkiri bahwa globalisasi bukan hanya

memberikan dampak yang positif dalam memajukan berbagai bidang kehidupan.

Dampak negatif daripada era globalisasi juga menjadi permasalahan yang pelik di

sejumlah negara, khususnya negara berkembang seperti di Indonesia. Jumlah

pengangguran yang tinggi, juga menjadi salah satu dampak dari globalisasi.

Data Badan Pusat Statistik (bps.go.id, 2015) mencatat, per Februari 2015

pengangguran di Indonesia meningkat sejumlah 300ribu jiwa menjadi 7,54juta

jiwa karena perlambatan ekonomi yang melambat dari kuartal sebelumnya sebesar

4,71%. Hal ini sangat berdampak terhadap bidang kehidupan yang lain.

Meningkatnya angka kemiskinan, rendahnya taraf hidup masyarakat, dan berbagai

permasalahan sosial menjadi akibat dari tingginya angka pengangguran.

Sementara itu, data lain diperoleh dari Badan Pusat Statistik

(yogyakarta.bps.go.id, 2015) menunjukkan jumlah pengangguran terbuka di

Daerah Istimewa Yogyakarta mencapai angka 4.07 persen, sementara perempuan

1

sebesar 2,59 persen. Data tersebut diperkuat dengan tabel di bawah yang

menunjukkan perbedaan angka pengangguran berdasarkan jenis kelamin dari

tahun 2009 sampai dengan 2012:

Umur

Jenis Kelamin

Perempuan Laki-laki

09 10 11 12 09 10 11 12

15-19 28,8 28,6 30 26,5 26,6 27,2 28,5 26

20-24 19,3 17,8 15,4 15,4 18, 17,9 13,6 15

25-29 11,1 11,2 8,3 7,7 9,3 7,7 6,7 6,9

30-34 6,4 6,8 5,3 5,3 4,8 3,8 3,1 3,5

35-39 4,6 5,1 4,2 3,8 3,62 2,3 1,8 1,9

40-44 3,6 4,0 3,6 3 3,1 1,9 2 1,8

45-49 3 3,4 2,8 2,4 3 1,6 1,6 2,0

50-54 2,2 3 2,4 2,7 2,7 1,5 2,2 2,4

55-59 1,8 3,9 3 1,1 2,8 1,6 2,5 1,8

60-64 0,7 5,6 4 0,4 0,9 1,4 3,2 0,6

Jumlah 8,4 8,7 7,6 6,7 7,5 6,1 5,90 5,75

Sumber:bps.go.id tahun 2015

Berdasarkan tabel di atas, dapat disimpulkan bahwa jumlah

pengangguran kaum perempuan lebih banyak daripada jumlah pengangguran laki-

laki. Pengangguran di Indonesia didominasi oleh kaum perempuan. Kaum

perempuan sering dianggap tidak mampu untuk bersaing di dunia kerja, sehingga

hal tersebut menimbulkan subordinasi dan marginalisasi terhadap kaum

perempuan, dan menyempitnya kesempatan karir.

Selain itu, permasalahan lain yang berkaitan dengan tingginya angka

pengangguran adalah sempitnya lapangan pekerjaan. Jika angka pengangguran

2

terus naik, maka ketersediaan lapangan pekerjaan justru relatif sama. Sehingga hal

tersebut menyebabkan kesenjangan di masyarakat. Mau tidak mau, masyarakat

harus mampu mengembangkan dan meningatkan kompetensi yang dimiliki

sehingga dapat bersaing dalam dunia kerja. Meski begitu, tidak semua pelamar

dapat terserap oleh penyedia lapangan kerja.

Leonardus Saiman (2014: 4) menyatakan, rendahnya kesempatan kerja

yang tercipta dari setiap 1 persen pertumbuhan tidak dapat dilepaskan dari relatif

rendahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia, meskipun pertumbuhan produktivitas

per pekerja tidak banyak berubah. Kesenjangan antara permintaan dengan

penawaran kerja ini terjadi di seluruh sektor, baik di dalam maupun di luar negeri

yang meliputi sektor industri, pertanian, pertambangan, transportasi, pariwisata,

dan lain-lain. Hal ini perlu menjadi sorotan bagi pemerintah terlebih lagi untuk

memperhatikan penganggur yang tidak terdidik, tidak terampil, atau

berpendidikan rendah. Apabila pengangguran tidak terserap dalam sektor formal,

maka alternatif lain adalah pembekalan keterampilan, aksara kewirausahaan, dan

bantuan lain secara moril maupun materil. Sehingga mereka tetap memperoleh

penghasilan dan meningkatkan kesejahteraan tanpa harus bergantung pada

lapangan kerja yang telah ada atau perusahaan.

Dewasa ini ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang dengan pesat

dalam lapangan pekerjaan maupun pergaulan hidup. Menurut Mustofa Kamil

(2012: 1), kebutuhan akan peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan

teknologi pada masa sekarang semakin dirasakan seiring dengan semakin

meluasnya hubungan manusia dalam tatanan global masyarakat modern.

3

Makin disadari bahwa dalam pembangunan untuk mencapai

kesejahteraan material maupun spiritual yang merata, faktor manusia adalah yang

terpenting. Sementara itu menurut Anwar (2004), masih banyak sumber daya

manusia yang kurang berkualitas, tidak memiliki bekal hidup berupa keterampilan

untuk hidup produktif. Seiring dengan pembangunan fisik, peningkatan

kemampuan manusia, perubahan sikap dan perilaku manusia sesuai dengan

perkembangan zaman perlu diberikan perhatian yang sungguh-sungguh oleh

pemerintah. Kenyataan itu mendorong masyarakat untuk berusaha belajar

menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi sesuai dengan

kemampuan dan kesempatan belajar

Revolusi teknologi tersebut perlu disikapi sebagai sebuah tantangan dan

peluang bagi dunia pendidikan. Usaha-usaha masyarakat dalam belajar dan

menyesuaikan diri dengan ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dalam

berbagai bidang, salah satunya melalui bidang pendidikan. Menurut Saleh

Marzuki (2012: 13), untuk menyongsong era baru globalisasi tersebut, dunia

pendidikan sebagai sebuah sub-sistem dunia harus beradaptasi, bersentuhan, dan

kompatibel dengan arah kecenderungan lingkungan strategisnya.

Pendidikan pada masa sekarang sudah tidak dapat dipisahkan dari

kehidupan setiap masyarakat. Pada umunya memang diakui pendidikan

memberikan perubahan kesejahteraan masyarakat dan kemajuan bangsa.

UNESCO (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4), mendefinisikan pendidikan sebagai

proses belajar yang terorganisir dan terus menerus yang dirancang untuk

mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, skill, dan pemahaman yang bernilai

4

untuk aktivitas hidup. Sementara itu, pendapat lain mengenai pendidikan

disampaikan oleh Saleh Marzuki (2012: 136-137), yang menyatakan bahwa:

“pendidikan dipandang sebagai proses belajar sepanjang hayat manusia untuk merubah dirinya ataupun orang lain, yang lebih dari sekedar masalah akademik atau perolehan pengetahuan, skill dan mata pelajaran yang konfensional, melainkan harus mencakup berbagai kecakapan yang diperlukan untuk menjadi manusia yang lebih baik.”

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan

Nasional (2012), membagi pendidikan menjadi tiga jalur, yaitu; pendidikan

formal, pendidikan non formal, dan pendidikan in formal. Ketiga jalur pendidikan

tersebut memiliki peran dan tujuan yang sama di masyarakat, yaitu untuk

mencerdaskan kehidupan bangsa. Namun dewasa ini pemerintah terkesan hanya

memprioritaskan pendidikan formal, dan kurang memperhatikan mutu pendidikan

non formal dan in formal yang merupakan satuan pendidikan luar sekolah. Di sisi

lain, Direktorat Jendral Pendidikan Nonformal dan Informal Depdiknas (2009: 3)

menyampaikan bahwa kemampuan masyarakat untuk mengakses layanan

pendidikan nonformal dan informal belum dapat direalisasikan secara optimal

sebagai akibat rendahnya partisipasi masyarakat di bidang pendidikan

Yohan Naftali (dalam kompas.com, 2006), Indonesia masih mengalami

ketidakmerataan pendidikan jika dilihat dari gini index pemerataan pendidikan di

Indonesia yang mencapai 0.32. Untuk mempercepat pemerataan dan

meningkatkan kualitas pendidikan, upaya menggerakkan prakarsa dan partisipasi

masyarakat menjadi sangat penting bukan saja karena adanya keterbatasan

pemerintah dalam mendanai dan memenuhi sarana dan prasarana pendidikan serta

5

menyediakan sumber lainnya, melainkan karena pendidikan menjadi

tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat.

Pada dasarnya baik pendidikan formal maupun non formal dan in formal

sama-sama memiliki peranan yang penting dalam transformasi sosial budaya

lewat transfer dan pengembangan ilmu pengetahuan serta nilai-nilai budaya pada

individu dan masyarakat. Hanya dengan pendidikan formal saja tidak dapat

memenuhi tuntutan-tuntutan yang bersifat praktis dalam kehidupan. Menurut

Mustofa Kamil (2012: 2), pendidikan formal lebih diarahkan pada pemenuhan

kebutuhan akan penguasaan pengetahuan dan kemampuan akademis, sementara

untuk memenuhi kebutuhan praktis, masayarakat lebih mengandalkan pendidikan

non formal. Sehingga pendidikan formal, non formal, dan in formal, diharapkan

dapat menjadi pengisi kekurangan satu sama lain untuk dapat memenuhi

kebutuhan pendidikan di masyarakat.

Pendidikan luar sekolah dalam hal ini pendidikan non formal, memiliki

ranah cakupan yang luas, meliputi; pendidikan kesetaraan, pendidikan keaksaraan,

pendidikan kepemudaan, pendidikan berkelanjutan, pendidikan anak usia dini,

pendidikan kecakapan hidup, pendidikan pelatihan, dan pemberdayaan

perempuan.

Sejalan dengan melajunya jenis pekerjaan dan perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi yang telah dipaparkan di atas, orang dewasa

merasakan kekurangan akan keterampilan yang selama ini dimiliki dan sekaligus

perlunya keterampilan-keterampilan baru yang relevan. Dalam hal ini, orang

6

dewasa cenderung terlibat dalam kegiatan pendidikan di masyarakat atau yang

sering disebut pendidikan luar sekolah.

Permasalahan lain yang tidak kalah kompleks, tidak jarang pengelola

maupun fasilitator dalam kegiatan pendidikan tersebut tidak memahami secara

mendalam mengenai pentingnya penerapan prinsip andragogi dalam pembelajaran

orang dewasa. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati

pada tahun 2011 (Skripsi, 2011), meskipun sebagian besar fasilitator senior di

salah satu lembaga pendidikan dan pelatihan milik pemerintah telah menerapkan

pendekatan andragogi, namun bagi fasilitator muda yang belum mendapatkan

keilmuan mengenai pendidikan orang dewasa belum sepenuhnya memahami dan

menerapkan pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran.

Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa belum semua pendidik bagi

orang dewasa menerapkan prinsip andragogi tersebut, bahkan cenderung

memperlakukan orang dewasa seperti anak-anak pada saat pembelajaran. Tentu

hal ini tidak akan sesuai dengan karakteristik yang telah dimiliki orang dewasa

sebagai warga belajar dalam sebuah kegiatan pendidikan.

Orang dewasa cenderung lebih tertarik pada jenis pendidikan yang

memberikan keuntungan terhadap kepentingan kehidupan sehari-hari. Pendidikan

tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan kecakapan hidup, pelatihan, kursus,

maupun pendidikan lain yang memberikan pilihan tersebut bagi orang dewasa.

Sastrodipoero (dalam Mustofa Kamil, 2012: 152) memaparkan pelatihan sebagai

salah satu jenis proses pembelajaran untuk memperoleh dan meningkatkan

keterampilan di luar sistem pengembangan sumber daya manusia, yang berlaku

7

dalam waktu yang relatif singkat dengan metode yang mengutamakan praktek

daripada teori. Pelatihan lebih banyak dilaksanakan dalam masyarakat atau dunia

kerja untuk mengisi kebutuhan-kebutuhan fungsional. Kegiatan pelatihan

dilakukan dengan menggunakan prinsip-prinsip dan metode-metode pendidikan

dan pembelajaran pada pendidikan luar sekolah.

Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan layanan

pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah Pintar Mata

Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Rumah Pintar Mata

Aksara merupakan salah satu satuan pendidikan luar sekolah yang melayani

masyarakat melalui pendidikan yang diselenggarakan secara gratis. Rumah Pintar

Mata Aksara memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh

pendidikan melalui kegiatan-kegiatan pelatihan, belajar bersama, bimbingan

belajar, workshop, outbond, dan aktivitas pendidikan lainnya mulai dari tahap

perencanaan program pendidikan sampai dengan evaluasinya dilakukan secara

bersama-sama dengan masyarakat itu sendiri. Sementara itu, pendidikan

kecakapan hidup berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata

Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga yang tidak bekerja.

Melalui observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh

gambaran umum mengenai jenis pelatihan yang diberikan dalam program

pendidikan kecakapan hidup di Rumah Pintar Mata Aksara, yaitu Pelatihan Rajut.

Program tersebut memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar

khususnya kaum perempuan untuk dapat menguasai keterampilan khusus.

8

Melalui pendidikan kecakapan hidup tersebut, diharapkan masyarakat

sebagai warga belajar dapat mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga

dapat dijadikan sebagai bekal dalam kehidupan. Selain itu, penelitian perlu

dilakukan untuk mengetahui gambaran bahwa Rumah Pintar Mata Aksara mampu

menerapkan prinsip andragogi pada proses pembelajaran pendidikan kecakapan

hidup berupa Pelatihan Rajut bagi warga belajarnya.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, dapat

diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut:

1. Tingginya angka pengangguran kaum perempuan di Daerah Istimewa

Yogyakarta.

2. Terdapat kesenjangan antara jumlah ketersediaan lapangan kerja, dengan

jumlah pencari kerja.

3. Pendidikan yang belum tersebar rata di Indonesia, khususnya di Daerah

Istimewa Yogyakarta.

4. Rendahnya partisipasi masyarakat dalam bidang pendidikan.

5. Belum semua penyelenggara pendidikan bagi orang dewasa menerapkan

pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.

6. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara sudah menerapkan

pendekatan andragogi dalam kegiatan pembelajaran.

C. Batasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah dan identifikasi masalah di atas,

maka peneliti membatasi permasalahan yang ada dan memfokuskan penelitian

9

pada penerapan prinsip andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut di

Rumah Pintar Mata Aksara.

D. Rumusan Masalah

Setelah diidentifikasi dan dilakukan pembatasan masalah, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan berikut:

1. Bagaimana pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata

Aksara Sleman?

2. Bagaimana kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan

andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara?

3. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi dalam program Pelatihan

Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada permasalahan yang diungkapkan di atas, adapun tujuan

dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mendeskripsikan pelaksanaan program Pelatihan Rajut di Rumah

Pintar Mata Aksara Sleman.

2. Untuk mendeskripsikan kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai

pendekatan andragogi di Rumah Pintar Mata Aksara.

3. Untuk mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi dalam program

Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian mengenai penerapan prinsip andragogi pada proses

pembelajaran Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman adalah:

10

1. Bagi Rumah Pintar Mata Aksara

Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam

peningkatan kegiatan Pelatihan Rajut dengan menerapkan pendekatan

andragogi.

2. Bagi Jurusan Pendidikan Luar Sekolah

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi dalam

perkembangan kualitas pendidikan luar sekolah melalui pendidikan tinggi

di Universitas Negeri Yogyakarta.

3. Bagi Peneliti

Peneliti dapat mengetahui gambaran kegiatan penerapan

pendekatan andragogi pada proses pembelajaran Pelatihan Rajut yang

dilaksanakan di tempat penelitian.

11

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Pustaka

1. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah

a. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah

Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Pasal 1 Ayat 1 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional (2012: 2-3) berbunyi:

“pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan pontensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”

Driyakarya (1980: 80) mendefinisikan pendidikan sebagai

gejala semesta (fenomena universal) dan berlangsung sepanjang hayat

manusia, di manapun manusia berada. Sementara itu menurut

Sulistyono (dalam Dwi Siswoyo, dkk, 2007: 1), pendidikan adalah

usaha sadar bagi pengembangan manusia dan masyarakat, mendasarkan

pada landasan pemikiran tertentu. Dengan kata lain, pendidikan dapat

digunakan sebagai alat untuk memanusiakan manusia yang didasarkan

pada pandangan hidup di masyarakat, serta pemikiran-pemikiran

tertentu.

Pendapat lain disampaikan oleh Dwi Siswoyo (2007: 53-54),

yang menyatakan bahwa pendidikan adalah proses dimana masyarakat

12

melalui lembaga-lembaga pendidikan dengan sengaja

mentransformasikan warisan budayanya, yaitu pengetahuan, nilai-nilai,

dan keterampilan-keterampilan dari generasi ke generasi. Menurut Ki

Hajar Dewantara (1977: 20), yang dimaksudkan pendidikan yaitu,

menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu agar

mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat

mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.

Sugihartono, dkk (2012: 3-4) berpendapat bahwa pendidikan

adalah usaha yang dilakukan secara sadar dan sengaja untuk mengubah

tingkah laku manusia baik secara individu maupun kelompok untuk

mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan.

Sementara itu menurut Peters (dalam Mustofa Kamil, 2012: 4)

mengemukakan kriteria untuk memudahkan memahami istilah

pendidikan, diantaranya:

1) Pendidikan meliputi penyebaran hal yang bermanfaat bagi mereka yang terlibat di dalamnya.

2) Pendidikan harus melibatkan pengetahuan dan pemahaman serta sejumlah perspektif kognitif.

3) Pendidikan setidaknya memiliki sejumlah prosedur, dengan asumsi bahwa peserta didik belum memiliki pengetahuan dan kesiapan belajar secara sukarela.

Berdasarkan pendapat yang telah disampaikan oleh para ahli di

atas mengenai pendidikan, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

pendidikan merupakan sebuah proses belajar mengajar yang

terorganisir dan berkesinambungan yang dirancang untuk

mengkomunikasikan perpaduan pengetahuan, keterampilan, dan

13

pemahaman yang bernilai untuk seluruh aktivitas kehidupan.

Pendidikan digambarkan memiliki kaitan dengan pengembangan

pengetahuan dan pemahaman. Pendidikan juga merupakan usaha secara

sengaja dari orang dewasa untuk meningkatkan kedewasaan yang selalu

diartikan sebagai kemampuan untuk bertanggungjawab terhadap segala

perbuatannya.

Setiap orang memerlukan pendidikan agar mereka memiliki

pengetahuan, yang luas, memiliki sikap yang diperlukan dalam

hidupnya, memiliki keterampilan agar dapat bekerja mencari nafkah

bagi kehidupannya. Kecakapan tersebut bukan hanya sekedar dimiliki,

melainkan agar dapat dikembangkan di kemudian hari sepanjang

kehidupannya, sehingga dapat bertahan hidup dalam lingkungan yang

selalu berubah.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

Pendidikan Nasional (2012), menyatakan bahwa pendidikan terbagi

menjadi tiga jenis antara lain pendidikan formal, nonformal dan

informal. Sementara itu, Undang-Undang No. 2 Tahun 1989 Tentang

Sistem Pendidikan Nasional (dalam Anwar, 2004) menetapkan

pendidikan luar sekolah dalam Sistem Pendidikan Nasional, dan

diselenggarakan di dalam masyarakat, lembaga-lembaga, dan keluarga.

Frederick Harbison (dalam Saleh Marzuki, 2012: 103)

mendefinisikan pendidikan luar sekolah sebagai wadah pembentukan

keterampilan dan pengetahuan di luar sistem sekolah formal. Sementara

14

itu, Santoso S. Hamijoyo (dalam Sudjana, 2004) berpendapat

pendidikan luar sekolah adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan

secara terorganisasikan, terencana di luar sistem persekolahan, yang

ditujukan kepada individu maupun kelompok, untuk meningkatkan

kualitas hidupnya. Dalam hal ini, peningkatan kualitas individu

dilakukan dengan membelajarkan individu agar terdapat perubahan

tingkah laku, berupa perubahan pengetahuan, keterampilan, dan sikap

dalam kehidupan sehari-hari.

Sejalan dengan kedua pendapat di atas, Saleh Marzuki (2012:

106) menyatakan bahwa pendidikan luar sekolah ditekankan pada

peningkatan kemampuan individu untuk segera dapat mengatasi

masalah dan kesulitan hidupnya. Dalam hal ini, pendidikan luar sekolah

memiliki nilai informatif, praktis, dan aplikatif. Orientasi kebutuhannya

adalah tertuju pada sekelompok sasaran didik tertentu, dan berupa

pengembangan masyarakat.

Yoyon Suryono (2013: 2) mendefinisikan pendidikan luar

sekolah sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional yang

menempati posisi dan memiliki peran strategis dalam mewujudkan visi

pendidikan nasional. Pendidikan luar sekolah bukan hanya diharapkan

mencetak sumber daya manusia yang berkualitas, namun juga

menjadikan manusia tersebut menjadi agen perubahan dan masyarakat

Indonesia yang cedas.

15

Definisi lain mengenai pendidikan luar sekolah disampaikan

oleh Phillips H Combs (dalam Soelaiman Joesoef, 1992: 50), yaitu:

“setiap kegiatan pendidikan yang terorganisir yang diselenggarakan di luar sistem formal, baik tersendiri maupun merupakan bagian dari suatu kegiatan yang luas, yang dimaksudkan untuk memberikan layanan kepada sasaran didik tertentu dalam rangka mencapai tujuan belajar.”

Berdasarkan beberapa definisi pendidikan luar sekolah

menurut para ahli di atas, dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa

pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan terorganisir,

yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi untuk

memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang berkualitas.

Pendidikan luar sekolah dalam konteks pengembangan programnya

berhubungan dengan pemecahan masalah yang dialami manusia,

terutama masalah yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan,

keterampilan, dan keahlian khusus yang tidak dapat ditemukan dalam

konteks pendidikan persekolahan.

Pendidikan luar sekolah berperan penting dalam kegiatan

pembangunan di suatu negara. Menurut Saleh Marzuki (2012: 95),

pendidikan luar sekolah sangat peduli dengan perubahan masyarakat

yang berdampak langsung pada pengembangan sumber daya manusia

melalui pendidikan. Pengembangan sumber daya manusia tidak hanya

akan membantu menghilangkan kemiskinan, tetapi juga memberikan

sumbangan penting terhadap pertumbuhan produktivitas dan

pendapatan nasional yang berarti juga pemerataan kesejahteraan.

16

b. Tujuan Pendidikan Luar Sekolah

Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh

kegiatan pendidikan. Adalah suatu yang logis bahwa pendidikan harus

dimulai dengan tujuan.

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 (2012) menyampaikan

bahwa tujuan pendidikan nasional yaitu untuk berkembangnya potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada

Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu tujuan dari pendidikan luar

sekolah, sebagaimana yang tercantum dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 73 Tahun 1991 (dalam Mustofa Kamil, 2012: 32-33) adalah:

1) Melayani warga belajar supaya dapat tumbuh dan berkembang sedini mungkin dan sepanjang hayatnya guna meningkatkan martabat serta mutu kehidupannya.

2) Membina warga belajar agar memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang diperlukan untuk mengembangkan diri, bekerja mencari nafkah, atau melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi.

Memenuhi kebutuhan belajar masyarakat yang tidak dapat

dipenuhi dalam jalur pendidikan sekolah. Santoso S. Hamijoyo (dalam

Sudjana, 2004) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah

adalah supaya individu dalam hubungannya dengan lingkungan sosial

dan alamnya dapat secara bebas dan bertanggungjawab menjadi

pendorong ke arah kemajuan, gemar berpartisipasi memperbaiki

kehidupan mereka. Sementara itu HAR Tilaar (dalam Suprijanto, 2012:

108) menyatakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah adalah:

“menciptakan subyek pembangunan yang: (a) mampu melihat sekitar, melihat masalah-masalah hidup sehari-hari, melihat

17

potensi yang ada baik sosial maupun fisik, (b) mampu serta terampil memanfaatkan potensi yang ada dalam diri, kelompok, masyarakat, dan lingkungan fisiknya untuk memperbaiki hidup dan kehidupan masyarakatnya.”

Definisi lain disampaikan oleh Jansen (dalam Saleh Marzuki,

2012: 107), yang mengemukakan bahwa tujuan pendidikan luar sekolah

adalah membimbing dan merangsang perkembangan sosial ekonomi

suatu masyarakat ke arah peningkatan taraf hidup.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan

pendidikan luar sekolah, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan

pendidikan luar sekolah adalah untuk memecahkan masalah-masalah

keterlantaran pendidikan, baik bagi mereka yang belum pernah sekolah

maupun yang gagal sekolah, serta memberikian bekal sikap,

keterampilan, dan pengetahuan praktis yang relevan dengan kebutuhan

kehidupannya.

c. Jenis Pendidikan Luar Sekolah

Pendidikan luar sekolah adalah suatu usaha sistematis dan

terorganisir, yang dilakukan di luar sistem persekolahan, yang berfungsi

untuk memberikan bekal-bekal kehidupan bagi sumber daya yang

berkualitas. Dalam pengertian yang luas, setiap proses pendidikan yang

secara sengaja di upayakan agar terjadi proses belajar dan pembelajaran

yang mengarah pada perubahan positif dalam aspek mental dan

intelektual individu dan masyarakat di luar sistem persekolahan.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sitem

Pendidikan Nasional (2012: 14), mengelompokkan pendidikan

18

nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia

dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan,

pendidikan keaksaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk

mengembangkan kemampuan peserta didik

1) Pendidikan Keaksaraan dan Kesetaraan

Menurut Saleh Marzuki (2012), pendidikan keaksaraan

merupakan kebutuhan dasar yang memiliki daya ungkit bagi

pembangunan masyarakat dan berkaitan dengan kemampuan dasar

yang sangat bermanfaat untuk berbagai macam aktivitas kehidupan.

Sementara itu, Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)

mendefinisikan pendidikan kesetaraan adalah program pendidikan

nonformal yang menyelenggarakan pendidikan umum setara dengan

SD/MI, SMP/Mts, dan SMA/MA.

Pada hakikatnya, pendidikan keaksaraan dan kesetaraan

adalah salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal bagi warga

masyarakat yang bertujuan untuk membuka wawasan warga belajar

dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi melalui

pemberantasan buta aksara. Keduanya ditujukan kepada warga

masyarakat yang tidak berkesempatan mengenyam pendidikan

formal di sekolah.

Pendidikan keaksaraan juga bertujuan untuk menggali dan

mempelajari pengetahuan, keterampilan, dan pembaharuan untuk

meningkatkan taraf hidup warga belajar, serta berpartisipasi aktif

19

dalam pembangunan. Sementara itu pendidikan kesetaraan

dilakukan berjenjang yang setara dengan pendidikan formal, yaitu

Paket A setara SD, Paket B setara SMP, dan Paket C setara SMA.

2) Pendidikan Kepemudaan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46),

menyatakan bahwa pendidikan kepemudaan adalah:

“pendidikan yang diselenggarakan untuk mempersiapkan kader pemimpin bangsa, seperti organisasi pemuda, pendidikan kepanduan atau kepramukaan, keolahragaan, palang merah, pelatihan, kepemimpinan, pecinta alam,serta kewirausahaan.”

Pendidikan kepemudaan merupakan upaya untuk

membangun semangat pemuda dan mengembangkan segala potensi,

keterampilan, dan kemandirian berusaha, sehingga pemuda berperan

aktif dan ikut berpartispasi dalam pembangunan bangsa Indonesia

menjadi lebih baik.

3) Pendidikan Anak Usia Dini

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46),

menyatakan bahwa yang dimaksud pendidikan anak usia dini

adalah:

“suatu upaya pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.”

Anak perlu dibimbing sejak dini untuk membantu

pertumbuhan dan perkembangannya untuk memasuki jenjang

20

pendidikan sekolah dasar. Sehingga kesiapan belajar anak lebih

baik, dan siap untuk memasuki jenjang pendidikan selanjutnya.

4) Pemberdayaan Perempuan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)

mendefinisikan pendidikan pemberdayaan perempuan sebagai

pendidikan untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.

Lebih jauh, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 81 tahun 2013 tentang Pendirian Satuan

Pendidikan Nonformal pasal 12 (dalam kemdikbud.go.id, 2014),

menyatakan bahwa:

“program pendidikan pemberdayaan perempuan adalah program pendidikan nonformal yang diselenggarakan untuk memberikan pengetahuan dan ketrampilan praktis dalam upaya untuk mengangkat harkat dan martabat perempuan.”

Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan

bahwa pendidikan pemberdayaan perempuan adalah upaya

pemampuan perempuan untuk memperoleh akses dan control

terhadap sumber daya, ekonomi, politik, social, budaya, agar

perempuan dapat mengatur diri dan meningkatkan rasa percaya diri

untuk mampu berperan dan berpartisipasi aktif dalam memecahkan

masalah, sehingga mampu membangun kemampuan dan konsep

diri.

Jenis kegiatan yang dilakukan adalah melalui pendidikan

kecakapan hidup perempuan yang merupakan tindakan

21

pembelajaran yang berpihak (affirmative action) terhadap

peningkatan kemampuan kecakapan hidup meliputi kecakapan

personal, sosial, intelektual, dan vokasional berkaitan dengan

pendidikan karakter dalam keluarga, kesehatan reproduksi,

keterampilan mengolah dan mendayagunakan sumber daya lokal

yang memberikan nilai tambah pada kemandirian dan kehidupan

keluarga.

5) Pendidikan Kecakapan Hidup

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 46)

mendefinisikan pendidikan kecakapan hidup sebagai pendidikan

yang memberikan kecakapan personal, sosial, intelektual, dan

vokasional untuk bekerja atau usaha mandiri. Menurut Anwar

(2006), pendidikan kecakapan hidup adalah pendidikan yang dapat

memberikan bekal keterampilan yang praktis, terpakai, terkait

dengan kebutuhan pasar kerja, peluang usaha dan potensi ekonomi

atau industri yang ada. Oleh karenanya, life skill memiliki cakupan

yang cukup luas. Cakupan-cakupan life skill diantaranya seperti

communication skill atau kecakapan berkomunikasi, decision-

making skill atau kecakapan membuat keputusan, time-management

skill atau kecakapan manajemen waktu, dan planning skill atau

kecakapan merencanakan sesuatu. Pendidikan kecakapan hidup

memiliki esensi untuk meningkatkan relevansi pendidikan dengan

nilai-nilai kehidupan nyata.

22

Berdasarkan pengertian di atas, dapat diketahui bahwa

pendidikan kecakapan hidup merupakan usaha yang dilakukan

untuk memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk

mengembangkan potensi diri yang dimiliki dengan pengoptimalan

sumber daya yang ada dalam pemenuhan kebutuhan akan

kecakapan yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.

Kecakapan yang diperoleh tidak hanya dipergunakan dalam dunia

pekerjaan saja, namun juga dapat digunakan dalam kehidupan

bermasyarakat melalui kemampuan-kemampuan berkomunikasi dan

memecahkan permasalahan yang ada.

6) Pendidikan dan Pelatihan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 (2012: 14)

mencantumkan sebagai berikut:

“kursus dan pelatihan diselenggarakan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan, keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengembangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usaha mandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.”

Lebih luas, Mustofa Kamil (2012: 10) mendefinisikan

pelatihan sebagai bagian dar pendidikan yang menyangkut proses

belajar yang dilaksanakan di luar sistem sekolah, memerlukan

waktu yang relatif singkat, dan lebih menekankan pada praktek.

Pelatihan diselenggarakan baik terkait dengan kebutuhan dunia

kerja maupun dalam lingkungan masyarakat yang lebih luas.

23

Penelitian ini akan memperdalam pendeskripsian

informasi pada jenis pendidikan nonformal pendidikan pelatihan

saja. Maka dari itu, mengenai pendidikan pelatihan akan dipaparkan

lebih jauh pada pembahasan poin berikutnya

7) Pendidikan Lain-lain

Segala bentuk pendidikan yang berlangsung di luar jalur

persekolahan formal, yang memiliki tujuan untuk memberdayakan,

memberikan pengetahuan dan keterampilan, adanya perubahan

tingkah laku, bagi individu maupun kelompok di masyarakat.

d. Pelatihan dalam Pendidikan Luar Sekolah

1) Pengertian Pelatihan

Istilah pelatihan merupakan terjemahan dari kata “training”

dalam bahasa Inggris. Secara harfiah akar kata “training” adalah

“train”, yang berarti: (1) memberi pelajaran dan praktek (give

teaching and practice), (2) menjadikan berkembang dalam arah

yang dikehendaki (cause to grow in a required direction), (3)

persiapan (preparation), dan (4) praktek (practice).

Dictionary of Education (dalam Saleh Marzuki, 2012: 174-

175), mengartikan pelatihan sebagai suatu pengajaran tertentu yang

tujuannya telah ditentukan secara jelas, dapat diragakan, yang

menghendaki peserta dan penilaian terhadap perbaikan untuk kerja

peserta didik. Menurut Edwin Filipo (dalam Mustofa Kamil, 2012:

3), pelatihan adalah tindakan meningkatkan pengetahuan dan

24

keterampilan seorang pegawai untuk melaksanakan pekerjaan

tertentu.

Definisi lain disampaikan oleh Ivancevich (dalam

Marwansyah, 2000: 154) yang menyatakan bahwa pelatihan adalah

proses sistematis untuk mengubah perilaku karyawan, yang

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi. Sementara itu,

William G. Scott (dalam Sedarmayanti, 2010: 163) mendefinisikan

pelatihan sebagai:

“suatu kegiatan lini dan staf yang tujuannya mengembangkan pemimpin untuk mencapai efektivitas pekerjaan seseorang yang lebih besar, hubungan antar pribadi dalam organisasi yang lebih baik dan penyesuaian pemimpin yang ditinggalkan kepada konteks seluruh lingkungannya.”

Keempat definisi di atas, tampak pelatihan hanya dilihat

dalam hubungan dengan pekerjaan-pekerjaan tertentu. Dalam

kenyataannya, pelatihan tidak harus selalu dalam kaitan dengan

pekerjaan, atau tidak selalu diperuntukkan bagi pegawai. Berbeda

dengan pendapat di atas, Henry Simamora (2004) mengartikan

pelatihan sebagai serangkaian aktivitas yang dirancang untuk

meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman,

ataupun perubahan sikap individu.

Sementara itu, menurut Robinson (dalam Saleh Marzuki,

2012: 174), pelatihan adalah pengajaran atau pembelajaran

pengalaman kepada seseorang untuk mengembangkan tingkah laku

(pengetahuan, keterampilan, sikap) agar mencapai sesuatu yang

25

diinginkan. Definisi lain menurut Suprijanto (2012: 163), pelatihan

adalah salah satu metode dalam pendidikan orang dewasa atau

dalam suatu pertemuan yang biasa digunakan dalam meningkatkan

pengetahuan, keterampilan, dan mengubah sikap dengan cara yang

spesifik.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah disampaikan

oleh para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa pelatihan adalah

proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan untuk mencapai

tingkatan kompetensi tertentu sehingga terjadi perubahan

pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku

seorang individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu

proses yang melayani masyarakat untuk memperoleh keterampilan

berupa pengetahuan, skill, dan sikap, yang berguna bagi

kehidupannya di masyarakat.

2) Tujuan dan Manfaat Pelatihan

Dale S Beach (dalam Mustofa Kamil, 2012: 10)

mengemukakan, the objective of training is to achieve a hange in

the behavios of those trained. Makna dari pernyataan tersebut yaitu,

tujuan pelatihan adalah untuk memperoleh perubahan dalam tingkah

laku mereka yang dilatih. Sedangkan menurut Saleh Marzuki (2012:

174), tujuan pelatihan adalah untuk mengembangkan pola tingkah

laku orang agar mencapai sesuatu yang diinginkan

26

Pendapat lain disampaikan oleh Henry Simamora (2004),

yang mengelompokkan tujuan pelatihan kedalam lima bidang,

yaitu:

a) Memutakhirkan keahlian para karyawan sejalan dengan perubahan teknologi.

b) Mengurangi waktu belajar bagi karyawan untuk menjadi kompeten dalam pekerjaan.

c) Membantu memecahkan permasalahan operasional.d) Mempersiapkan karyawan untuk promosi.e) Mengorientasikan karyawan terhadap organisasi.

Berdasarkan pendapat para ahli di atas mengenai tujuan

pelatihan, dapat disimpulkan bahwa tujuan pelatihan itu tidak hanya

untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan saja, melainkan

juga untuk mengembangkan minat dan bakat.

Pelatihan dilaksanakan di berbagai lembaga pendidikan di

masyarakat dengan harapan memetik manfaat daripadanya.

Beberapa manfaat tersebut diantaranya sebagaimana dikemukakan

oleh Richard B Johnson (dalam Saleh Marzuki, 2012: 176):

“(1) menambah produktivitas, (2) memperbaiki kualitas kerja dan menaikkan semangat kerja, (3) mengembangkan keterampilan, pengetahuan, pengertian, dan sikap-sikap baru, (4) dapat memperbaiki cara penggunaan yang tepat mengenai alat-alat, mesin, proses, metode, dan lain-lain, (5) mengurangi pemborosan, kecelakaan, keteelambatan, kelalaian, biaya berlebihan, dan ongkos-ongkos yang tidak diperlukan, (6) melaksanakan perubahan atau pembaruan kebijakan atau aturan-aturan baru, (7) memerangi kejenuhan atau keterlambatan dalam skill, teknologi, metode, produksi, pemasaran, modal dan manajemen, dan lain-lain, (8) meningkatkan pengetahuan agar sesuai dengan standar performan sesuai dengan pekerjaannya, (9) mengembangkan, menempatkan, dan menyiapkan orang untuk maju, memperbaiki pendayagunaan tenaga kerja, dan

27

meneruskan kepemimpinan, dan (10) menjamin ketahanan dan pertumbuhan perusahaan.”

Sementara itu menurut Suprijanto (2007: 160), manfaat

pelatihan adalah agar individu dapat memecahkan suatu

permasalahan yang ada dalam pekerjaan melalui kompromi dengan

pengembangan empati.

Berdasarkan pemaparan kedua ahli di atas mengenai

manfaat pelatihan, dapat ditarik sebuah benang merah yaitu, bahwa

pelatihan mendatangkan manfaat untuk memecahkan suatu

permasalahan yang timbul dalam kehidupan di masyarakat maupun

dunia pekerjaan dan memperbaiki kualitas sumber daya manusia di

dalamnya. Pelatihan juga dapat memperbaiki sikap-dikap terhadap

pekerjaan, dan sikap-sikap yang tidak produktif timbul dari salah

pengertian dan kurangnya informasi mengenai suatu hal pada

individu.

3) Pendekatan Sistem Pelatihan

Mustofa Kamil (2012: 19) menyampaikan bahwa penilaian

kebutuhan (need assessment) merupakan tahap yang peling penting

dalam penyelenggaraan pelatihan. Tahap ini berguna sebagai dasar

bagi keseluruhan upaya pelatihan. Karena dari tahap inilah seluruh

proses pelatihan akan mengalir. Kebutuhan akan pelatihan harus

diperiksa, demikian pula sumber daya yang tersedia untuk

pelatihan. Meski begitu, tahap pelaksanaan dan evaluasi dalam

pelatihan juga tidak dapat dianggap sepele. Ketiganya memiliki

28

tahapan masing-masing yang tidak dapat dipisahkan satu dengan

yang lainnya.

4) Jenis-jenis Pelatihan

JC Denyer (dalam Mustofa Kamil, 2012: 15) membedakan

pelatihan atas empat macam, yaitu:

a) Pelatihan induksi, yaitu pelatihan perkenalan yang biasanya diberikan kepada pegawai baru dengan tidak memandang tingkatannya.

b) Pelatihan kerja, yaitu pelatihan yang diberikan kepada semua pegawai dengan maksud untuk memberikan petunjuk khusus guna melaksanakan tugas-tugas tertentu.

c) Pelatihan supervisor, yaitu pelatihan yang diberikan kepada supervisor atau pimpinan tingkat bawah.

d) Pelatihan manajemen, yaitu pelatihan yang diberikan kepada manajemen atau untuk pemagang jabatan manajemen.

e) Pengembangan eksekutif, yaitu pelatihan untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan pejabat-pejabat pimpinan

Macam-macam jenis pelatihan tersebut dapat dijadikan

sebagai alternatif dalam pemecahan masalah yang timbul di

lingkungan masyarakat maupun dunia kerja. Dengan banyaknya

jenis pelatihan yang tersedia di masyarakat, menunjukkan bahwa

pendidikan dapat merangkul seluruh lapisan masyarakat. Sehingga

kualitas sumber daya masyarakat akan lebih berkembang dan

memiliki kompetensi khusus yang dapat digunakan dalam

kehidupan sehari-hari.

29

2. Pembelajaran Orang Dewasa

a. Konsep Dasar Pembelajaran Orang Dewasa

AG Lunandi (1982: 3) menyatakan bahwa orang dewasa bukan

seperti gelas kosong yang dengan mudah dapat diisi sesuatu, oleh

karena itu, orang dewasa tidak dapat diajarkan sesuatu untuk merubah

tingkah lakunya. Terdapat perbedaan antara anak-anak dengan orang

dewasa jika ditinjau berdasarkan umur, ciri psikologis, dan ciri

biologis.

Donald H Brundage (dalam Saleh Marzuki, 2012: 187)

menyatakan, perbedaan keduanya bukan merupakan perbedaan

otomatis, karena kadang-kadang ciri yang ada pada anak juga ada pada

orang dewasa atau sebaliknya walaupun kadar dan kualitasnya tidak

sama. Sujarwo (2013: 1) mendefinisikan orang dewasa sebagai:

“orang yang telah memiliki pengalaman, kemampuan, konsep diri, keberanian, dan mampu mengarahkan dirinya sendiri, sehingga orang dewasa lebih matang melaksanakan tugasm fungsim dan peran dalam kehidupannya di keluarga, maupun di masyarakat.”

Sehubungan dengan hal di atas, McKenzie (dalam Saleh

Marzuki, 2012: 186) mengemukakan bahwa orang dewasa dan anak

belajar dengan cara yang berbeda, karenanya perlu dibantu dengan cara

yang berbeda pula. Menurut Basleman dan Mappa (2011: 16), pada

hakikatnya semua orang dewasa cenderung memperlihatkan keunikan

gaya belajar di dalam ia melakukan kegiatan belajar.

30

Orang dewasa memiliki kewenangan dalam dirinya sendiri

untuk menjalankan fungsi dan perannya dalam kehidupan di

masyarakat. Kondisi tersebut menjadi bahan pertimbangan dalam

penyiapan, pengelolaan, dan pengorganisasian pembelajaran. Belajar

bagi orang dewasa berhubungan dengan bagaimana

mengarahkan diri sendiri untuk bertanya dan mencari

jawabannya.

Mathias Finger dan Jose Manuel Asun (2004: 71)

menyampaikan, pendidikan orang dewasa menjadi proses menghadapi

diri sendiri secara tetap. Dalam hal ini, pemecahan masalah diterapkan

dalam identitas pengembangan diri. Menurut Mathias Finger dan Jose

Manuel Asun (2004: 71), peran pendidikan orang dewasa dalam

penerapan pragmatisme ini adalah untuk memfasilitasi pemecahan

masalah simbolis dan menyumbang pribadi, identitas, dan

pengembangan kedewasaan.

Definisi lain megenai pendidikan orang dewasa,

menurut Pannen (dalam Suprijanto, 2012: 11)

dirumuskan sebagai suatu proses yang menumbuhkan

keinginan untuk bertanya dan belajar secara

berkelanjutan sepanjang hidup. Sementara itu menurut

Djuju Sudjana (2004: 50), pendidikan orang dewasa

adalah pendidikan yang disediakan untuk

membelajarkan orang dewasa.

31

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas

mengenai dasar pendidikan orang dewasa, maka dapat

ditarik sebuah kesimpulan bahwa pendidikan orang

dewasa adalah pendidikan yang diperuntukkan bagi

orang dewasa di masyarakat agar dapat

mengembangkan kemampuan melalui belajar secara

berkelanjutan.

Suharto dalam Sujarwo (2013: 6-8) menjelaskan secara singkat

mengenai tujuan pendidikan orang dewasa, diantaranya tujuan

pengembangan intelektual, aktualisasi diri, personal dan sosial,

transformasi sosial, dan efektivitas organisasi. Orang dewasa masih

membutuhkan pengetahuan dan pengalaman sebagai dasar dalam

menjalankan fungsi dan perannya dalam masyarakat, serta menjadi

yang terbaik bagi dirinya. Selain itu, agar orang dewasa memiliki

kesadaran dalan menyesuaikan diri terhadap perubahan dan tuntutan

masyarakat, maka perlu adanya sentuhan melalui proses pendidikan.

Sementara itu, tujuan pendidikan orang dewasa yang

disampaikan oleh UNESCO (dalam Sudjana, 2004, 50-51),adalah

supaya orang-orang dewasa mampu mengembangkan diri secara

optimal dan berpartisipasi aktif, malah menjadi pelopor di masyarakat,

dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan budaya yang berkembang.

b. Pendekatan Andragogi dalam Pendidikan Orang Dewasa

1) Pengertian Andragogi

32

Andragogi berasal dari kata andros atau aner, yang berarti

orang dewasa, dan agogos yang berarti memimpin. Jadi andragogi

berarti memimpin orang dewasa.

Knowles (dalam Saleh Marzuki: 185), mendefinisikan

andragogi sebagai seni dan ilmu tentang mengajar orang dewasa

atau yang biasa disebut the art and science of teaching adult.

Sementara itu menurut Saleh Marzuki (2012: 186) sendiri,

cenderung melihat bahwa andragogi merupakan proses bantuan

terhadap orang dewasa agar dapat belajar secara maksimal.

Lebih lanjut Knowles (dalam Basleman dan

Mappa, 2011: 126), menegaskan bahwa

pembelajaran orang dewasa akan berhasil dengan

baik jika:

“melibatkan baik fisik maupun mental emosionalnya, karena itu, pelaksanaan pembelajaran yang bersifat andragogi sebaiknya mengikuti langkah-langkah; (1) menciptakan iklim belajar yang cocok untuk orang dewasa, (2) menciptakan struktur organisasi untuk perencanaan yang bersifat partisipatif, (3) mendiagnosa kebutuhan belajar, (4) merumuskan tujuan belajar (5) mengembangkan rancangan kegiatan belajar, (6) melaksanakan kegiatan belajar, (7) mendiagnosa kembali kebutuhan belajar (evaluasi) dan mereka diperlukan sebagai teman belajar bukan seperti kedudukan antara warga belajar dengan instruktur.”

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan

di atas, maka dapat disimpulkan bahwa andragogi merupakan seni

33

dan ilmu tentang bagaimana membantu orang dewasa dalam

belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses bantuannya

berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki keduanya

sangat berbeda.

Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa memerlukan

strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis. Oleh

karena itu, diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi,

yang meliputi keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan

pengaturan lainnya yang menyangkut materi pelatihan, waktu

penyelenggaraan, dan lain sebagainya.

3. Asumsi Belajar Orang Dewasa

Knowles (dalam Basleman dan Mappa, 2011:

111) bahwa ada perbedaan mendasar mengenai

asumsi yang digunakan oleh andragogi dengan

pedagogi. Andragogi pada dasarnya menggunakan

asumsi-asumsi konsep diri, pengamalan, kesiapan

belajar, dan orientaasi belajar. Perbedaan asumsi

antara pedagogi dengan andragogi menurut Knowles

dapat dilihat dalam tabel 2.1 berikut:

No Pedagogi Andragogi

1 Konsep diri:

Anak ialah pribadi yang tergantung. Hubungan pelajar dengan pengajar merupakan hubungan yang

Konsep diri:

Warga belajar bukan bukan pribadi yang tergantung, melainkan telah masak secara psikologis. Hubungan warga

34

bersifat pengarahan. belajar dengan fasilitator adalah saling membantu yang timbal balik.

2

Pengalaman:

Pengalaman pelajar masih sangat terbatas. Karena itu diniliai kecil dalam pembelajaran. Komunikasi yang terjadi adalah satu arah dari pendidik kepada pelajar.

Pengalaman:

Pengalaman warga belajar orang dewasa dinilai sebagai sumber belajar yang kaya. Komunikasi yang terjadi adalah ulti komunikasi oleh semua warga belajar, warga belajar, maupun fasilitator.

3

Kesiapan Belajar

Pendidik menentukan apa yang akan dipelajari, bagaimana dan kapan belajar.

Kesiapan Belajar:

Warga belajar ikut menentukan apa yang mereka perlukan berdasarkan pada persepsi mereka sendiri terhadap tuntutan situasi sosial mereka.

4

Orientasi Belajar:

Persektif waktu dan orientasi terhadap belajar. Diajarkan bahan yang dimaksudkan untuk digunakan di masa yang akan datang. Pendekatannya menggunakan subject centered.

Orientasi Belajar:

Belajar merupakan proses untuk penemuan masalah dan pemecahan masalah pada saat itu juga. Pendekatannya menggunakan problem centered learning.

Sumber: Pembelajaran Orang Dewasa (Sujarwo, 2013)

Sujarwo (2013) menyatakan bahwa asumsi-

asumsi di atas menimbulkan bergbagai penerapan

strategi pembelajaran, strategi pembelajaran orang

dewasa lebih menekankan pada permasalahan yang

dihadapi (problem centered learning). Dengan demikian

35

dapat dikatakan bahwa pendidikan orang dewasa

meliputi segala bentuk pengalaman belajar yang

diperlukan oleh orang dewasa dari intensitas

keikutsertaannya dalam proses belajar.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka peneliti

dapat mengambil sebuah kesimpulan dengan

menjabarkan maksud dari asumsi di atas:

a. Konsep Diri

Orang dewasa memiliki konsep diri yang

mandiri dan tidak bergantung, lebih bersifat pada

pengarahan diri. Oleh karena itu, seorang dewasa

memerlukan perlakuan yang sifatnya menghargai,

khususnya dalam pengambilan keputusan. Mereka

akan menolak apabila diperlakukan seperti

anakanak, seperti diberi ceramah apa yang harus

dilakukan dan apa yang tidak boleh. Orang dewasa

akan menolak suatu situasi belajar yang kondisinya

bertentangan dengan konsep diri mereka sebagai

pribadi yang mandiri.

Sehingga apabila orang dewasa dibawa ke

dalam situasi belajar yang memperlakukan mereka

dengan penuh penghargaan, aka mereka akan

melakukan proses belajar tersebut dengan penuh

36

pelibatan dirinya secara mendalam. Dalam situasi

seperti ini, orang dewasa telah mempunyai kemauan

sendiri (pengarahan diri) untuk belajar.

b. Pengalaman

Orang dewasa mengumpulkan pengalaman

yang makin meluas, yang menjadi sumber daya

yang kaya dalam kegiatan belajar. Pengalaman yang

dimiliki orang dewasa menjadi konsekuensi dalam

belajar. Orang dewasa mempunyai kesempatan

yang lebih untuk mengkontribusikan dalam proses

belajar orang lain. Hal ini disebabkan karena ia

merupakan sumber belajar yang kaya.

Orang dewasa mempunyai dasar pengalalman

yang lebih kaya yang berkaitan dengan pengalaman

baru (belajar sesuatu yang baru mempunyai

kecenderungan mengambil makna dari pengalaman

yang lama). Selain itu, orang dewasa juga telah

mempunyai pola pikir dan kebiasaan yang pasti dan

karenanya mereka cenderung kurang terbuka.

c. Kesiapan Belajar

Orang dewasa ingin belajar dan mempelajari

bidang permasalahan yang menjadi permasalahan

yang tengah mereka hadapi dan anggap relevan.

37

Sehingga dalam proses pembelajarannya, orang

dewasa terlibat secara aktif mulai dari tahap

perencanaan pembelajaran, proses pembelajaran,

dan evaluasi pembelajaran.

d. Orientasi Belajar

Orientasi belajar pada orang dewasa lebih

berpusat pada masalah, dan kurang memungkinkan

berpusat pada subyek. Orang dewasa cenderung

untuk mempunyai perspektif untuk secepatnya

mengaplikasikan apa yang mereka pelajari. Mereka

terlibat dalam kegiatan belajar, sebagian besar

karena adanya respon terhadap apa yang dirasakan

dalam kehidupannya sekarang. Oleh karena itu

pendidikan bagi orang yang sudah dewasa

dipandang sebagai suatu proses untuk

meningkatkan kemampuannya dalam memecahkan

masalah hidup yang ia hadapi.

4. Metode Pembelajaran Orang Dewasa

Metode pembelajaran dalam pembelajaran

orang dewasa merupakan suatu cara atau upaya yang

dilakukan oleh fasilitator agar proses belajar pada

warga belajar lebih efektif dan efisien. Metode yang

38

digunakan dalam pembelajaran orang dewasa biasanya

adalah metode diskusi dan demonstrasi.

a. Metode Diskusi

Pegetahuan orang dewasa banyak diperoleh

melalui partisipasinya dalam diskusi di lingkungan

keluarga, masyarakat maupun tempat kerja. Diskusi

biasanya bersifat spontan. Menurut Gulo (dalam

Suprijanto, 2012: 97), diskusi kelompok merupakan

strategoi belajar mengajar yang tepat untuk

meningkatkan kualitas interaksi antara warga belajar

dengan fasilitator, dan warga belajar dengan warga

belajar.

Suprijanto (2012: 96) berpendapat bahwa

diskusi merupakan alat yang paling efektif dalam

pembelajaran orang dewasa, dengan syarat warga

belajar tidak lebih dari sepuluh orang. Berikut adalah

manfaat diskusi kelompok dalam pembelajaran

orang dewasa menurut Suprijanto:

1) Diskusi memberikan kesempatan kepada setiap warga belajar untuk menyampaikan pendapatnya, dan mendorong individu untuk berpikir dan mengambil keputusan.

2) Diskusi cenderung membuat warga belajar lebih toleran dan berwawasan luas.

3) Diskusi mendorong warga belajar untuk mendengarkan dengan baik.

39

4) Memberikan alat pemersatu fakta dan pendapat anggota kelompok sehingga kesimpulan dapat diambil.

Berdasarkan pemaparan para ahli di atas

mengenai metode diskusi, maka dapat disimpulkan

bahwa metode diskusi dalam pembelajaran orang

dewasa menjadi sangat efektif digunakan karena

komunikasi sehari-hari yang digunakan oleh orang

dewasa adalah dengan melakukan diskusi untuk

memperoleh informasi. Selain itu, banyak

kebermanfaatan yang dapat dipetik oleh warga

belajar melalui metode diskusi.

b. Metode Demonstrasi

Suprijanto (2012: 143) mendefinisikan

demonstrasi sebagai metode pembelajaran yang

sering digunakan dalam bidang tertentu. Morgan,

Flores, Bueno, dan Lapastora (dalam Suprijanto,

2012) menyampaikan manfaat dari metode

demonstrasi:

1) Demonstrasi menarik dan menahan perhatian2) Demonstrasi menghadirkan subyek dengan cara

yang mudah dipahami.3) Meyakinkan hal-hal yang meragukan untuk

dilakukan.4) Menunjukkan pelaksanaan ilmu pengetahuan

dengan contoh.5) Mempercepat penyerapan langsung dari

sumbernya.

40

Berdasarkan pemaparan meengenai metode

demonstrasi dalam pembelajaran orang dewasa di

atas, dapat disimpulkan bahwa metode demonstrasi

dapat digunakan pada pengajaran yang

membeutuhkan contoh secara langsung, seperti

pengajaran keterampilan, cara melakukan sesuatu,

maupun untuk mengembangakan pengertian secara

lebih nyata. Metode demonstrasi tidak selalu dapat

diterapkan dalam kegiatan pembelajaran, namun

hendaknya disesuaikan dengan situasi yang terjadi.

5. Prinsip-prinsip Andragogi

Orang dewasa dalam belajar mengikuti prinsip-

prinsip tertentu sesuai dengan ciri-ciri psikologisnya.

Prinsip belajar orang dewasa tersebut dapat ditinjau

dari berbagai segi. Menurut Ssaleh Marzuki (2012: 189),

prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:

a. Ciri-ciri fisilogis. Menurut prinsip ini, belajar akan

efektif apabila orang dewasa berada dalam keadaan

yang sehat, kondisi fisik produktif.

b. Konsep tentang harga diri. Dalam hal ini, belajar

akan efektif apabila orang dewasa diberikan

kepercayaan dengan melibatkan dirinya dalam

41

penetapan pembelajaran sesuai dengan

kebutuhannya.

c. Emosi. Dalam hubungan ini, belajar akan lebih

efektif apabila orang dewasa diberikan kebebasan

dengan dorongan dan rangsangan yang halus,

kebebasan mengemukakan pendapat, dan

pelayanan yang multi channel.

B. Penelitian yang Relevan

Penelitian mengenai penerapan pendekatan andragogi

dalam program pelatihan ini bukan menjadi yang pertama

dilakukan. Beberapa penelitian yang relevan akan

disampaikan dengan tujuan dapat menjadi rujukan bagi

peneliti untuk meneruskan maupun menemukan hal baru dari

hasil penelitian.

1. Penelitian yang dilakukan oleh Apriliyana Megawati pada

tahun 2013. Penelitian tersebut berjudul “Penerapan Prinsip

Pembelajaran Orang Dewasa (Andragogi) Pada Program Life Skill Di

Sanggar Kegiatan Belajar Kabupaten Pati”. Penelitian tersebut

menggunakan penelitian kualitatif. Pengumpulan data

dilakukan dengan cara wawancara,observasi,dan

dokumentasi. Subyek penelitian terdiri dari pengelola 7

orang, instruktur 3 orang dan warga belajar life skill

komputer 3 orang di SKB Kabupaten Pati. Analisis yang

42

digunakan adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian

menunjukkan: (1) profil SKB Pati merupakan UPT Disdik

Kabupaten Pati, dalam membelajarkan masyarakat

membuka 4 jenis program yaitu program PAUD, program

kesetaraan, program kursus dan pelatihan serta program

dikmas. (2) Pemahaman instruktur dalam tentang prinsip-

prinsip pembelajaran orang dewasa di SKB Kabupaten Pati

masih parsial dan praktis. (3) Penerapan prinsip-prinsip

pembelajaran orang dewasa pada program life skill di SKB

Kabupaten Pati pada umumnya dapat dilaksanakan

dengan cukup baik.

2. Penelitian yang dilakukan Marta Dwi Ningrum pada tahun 2015 yang

berjudul “Dampak Program Pendidikan Kecakapan Hidup Di Taman

Bacaan Masyarakat Mata Aksara Bagi Perempuan Di Desa

Umbulmartani, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Sleman”. Penelitian ini

bertujuan untuk mendeskripsikan dampak dari program kecakapan hidup

yang diselenggarakan oleh Rumah Pintar Mata Aksara. Hasil dari

penelitian ini adalah dampak bertambahnya kemampuan yang dimiliki

oleh sasaran program baik pada ketrampilan maupun pengetahuan sesuai

dengan jenis kecakapannya. Letak relevansi pada penelitian ini adalah

latar penelitian yang sama, yaitu di Rumah Pintar Mata Aksara.

Sedangkan perbedaannya terletak pada tema penelitian yang diteliti.

C. Kerangka Pikir

43

Pelatihan adalah proses belajar mengajar dan latihan yang bertujuan

untuk mencapai tingkatan kompetensi tertentu sehingga terjadi perubahan

pemahaman mengenai suatu hal dan terjadi perubahan tingkah laku seorang

individu. Pelatihan juga dapat diartikan sebagai suatu proses yang melayani

masyarakat untuk memperoleh keterampilan berupa pengetahuan, skill, dan

sikap, yang berguna bagi kehidupannya di masyarakat.

Salah satu lembaga pendidikan luar sekolah yang memberikan

layanan pembekalan keterampilan melalui kegiatan pelatihan adalah Rumah

Pintar Mata Aksara, yang berada di Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Melalui

observasi dan pengumpulan data yang dilakukan, diperoleh gambaran umum

mengenai jenis pelatihan yang diberikan dalam program pendidikan

kecakapan hidup di Rumah Pintar Mata Aksara, yaitu Pelatihan Rajut.

Program tersebut memiliki tujuan untuk memberdayakan masyarakat sekitar

khususnya kaum perempuan untuk dapat menguasai keterampilan khusus.

Pendidikan yang berupa pelatihan yang diselenggarakan oleh Rumah

Pintar Mata Aksara ditujukan secara khusus kepada ibu-ibu rumah tangga

yang tidak bekerja, dalam hal ini adalah orang dewasa. Melalui pendidikan

pelatihan tersebut, diharapkan masyarakat sebagai warga belajar dapat

mengembangkan potensi yang dimiliki sehingga dapat dijadikan sebagai

bekal dalam kehidupan.

Warga belajar dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata

Aksara adalah orang dewasa. Maka diperlukan pendektan belajar yang tepat

sehingga tujuan pembelajran dapat dicapai dengan efektif. Oleh karena itu,

44

PelatihanPembelajaranOrang Dewasa

Asumsi-asumsi pembelajaran orang dewasaMetode pembelajaran orang dewasa

Penerapan Pendekatan Andragogi

diperlukan pendekatan yang berbeda berupa andragogi, yang meliputi

keterlibatan peran serta peserta pelatihan, dan pengaturan lainnya yang

menyangkut materi pelatihan, waktu penyelenggaraan, dan lain sebagainya.

Andragogi merupakan seni dan ilmu tentang bagaimana membantu orang

dewasa dalam belajar. Dalam hubungan ini, diyakini bahwa proses

bantuannya berbeda dengan anak, karena karakteristik yang dimiliki

keduanya sangat berbeda. Sehingga, pelatihan untuk orang dewasa

memerlukan strategi dan teknik yang berbeda dengan pelatihan pedagogis.

Penelitian perlu dilakukan untuk mengetahui gambaran bahwa

Rumah Pintar Mata Aksara mampu menerapkan prinsip andragogi pada

proses pembelajaran pendidikan kecakapan hidup berupa Pelatihan Rajut bagi

warga belajarnya. Kerangka pikir tersebut dapat dilihat pada bagan di bawah

ini:

45

D. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian yang akan diulas dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah tujuan diselenggarakannya program Pelatihan Rajut di Rumah

Pintar Mata Aksara?

2. Bagaimana proses pembelajaran yang berlangsung dalam program

Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?

3. Apa sajakah faktor pendukung dan penghambat dalam program Pelatihan

Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?

4. Bagaimana kompeensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan

andragogi?

5. Bagaimana penerapan pendekatan andragogi pada proses pembelajaran

program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara?

6. Apakah proses pembelaran program Pelatihan Rajut sudah sesuai dengan

pendekatan andragogi?

46

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Penelitian

Pendekatan penelitian merupakan keseluruhan cara yang atau kegiatan

yang dilakukan oleh peneliti dalam melaksanakan penelitian mulai dari

merumuskan masalah sampai dengan penarikan suatu kesimpulan. Pendekatan

dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode penelitian

yang dipergunakan adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Menurut

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2010: 4), pendekatan penelitian kualitatif

adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sementara itu

menurut Moleong (2010: 6), penelitian kualitatif adalah:

“penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan,dll, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.”

Definisi lain disampaikan Denzin dan Lincoln (dalam Moleong, 2010: 5)

yang menyatakan, penelitian kualitatif merupakan penelitian yang menggunakan

latar ilmiah, dengan maksud menafsirkan fenomena yang terjadi dan dilakukan

dengan jalan melibatkan berbagai metode yang ada. Sementara itu menurut

Sugiyono (2010: 1), pendekatan kualitatif adalah pendekatan penelitian yang

menggunakan naturalistik untuk mencari dan menemukan pengertian atau

pemahaman tentang fenomena dalam suatu latar yang berkonteks khusus.

47

Berdasarkan beberapa pengertian pendekatan penelitian kualitatif

menurut para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan penelitian

kualitatif adalah sebuah pendekatan dalam penelitian yang melibatkan proses

alamiah berupa pengamatan langsung maupun dengan menggunakan berbagai

metode yang hasil akhirnya berupa tulisan atau kata-kata (bukan angka).

Hal ini disesuaikan dengan karakteristik permasalahan yang akan diulas

dalam penelitian ini, yaitu mengenai penerapan pendekatan andragogi pada

program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman dalam

memberikan pendidikan kepada masyarakat khususnya orang dewasa, penerapan

pendekatan andragogi dalam proses pembelajaran oleh fasilitator maupun

pengelola. Sehingga pendekatan penelitian dalam penelitian ini lebih ditekankan

pada pencarian informasi atau berusaha mengungkapkan pemahaman terhadap

fenomena tertentu di masyarakat.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif

yaitu dengan cara memandang objek penelitian sebagai suatu sistem, artinya objek

kajian dilihat sebagai satuan yang terdiri dari unsur yang saling terkait dan

mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada. Menurut Nasution (2004: 24)

yang menyatakan bahwa metode deskriptif kualitatif dimaksudkan agar dapat

mengungkapkan kenyataan yang ada di lapangan serta dapat dipahami secara

mendalam, sehingga pada akhirnya diperoleh temuan penelitian. Data yang

diperlukan adalah yang berkaitan dengan penerapan pendekatan andragogi oleh

fasilitator maupun pengelola dalam program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar

Mata Aksara Sleman.

48

B. Penentuan Subyek dan Obyek Penelitian

Penentuan subjek dan objek penelitian dalam penelitian ini didasarkan

pada tujuan penelitian yakni mendeskripsikan penerapan pendekatan andragogi

pada program Pelatihan Rajut di Mata Aksara Sleman. Hal tersebut bertujuan

untuk memperoleh segala informasi yang dibutuhkan dalam penelitian.

1. Penentuan Subyek Penelitian

Pengambilan sumber data atau subjek dalam penelitian ini

menggunakan teknik purposive, yaitu menentukan kelompok peserta yang

menjadi informan sesuai dengan kriteria terpilih yang relevan dengan

masalah penelitian yang diangkat.

Menurut Sugiyono (2010: 300), teknik purposive ialah dengan

melakukan penentuan sumber data dengan memilih orang yang akan

diwawancarai menggunakan pertimbangan tertentu. Sementara itu menurut

Djam’an Satori (2011), dalam prosedur purposive peneliti memilih subyek

sebagai unit analisis brdasarkan kebutuhan dan menganggap bahwa unit

analisis tersebiut representatif.

Penetapan subyek penelitian dalam penelitian ini didasarkan atas

pertimbangan bahwa informan dapat memberikan data dan informasi yang

berkaitan dengan fokus penelitian dan aspek-aspek yang akan diulas lebih

lanjut dalam penelitian ini, khususnya dalam penerapan pendekatan

andragogi pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara

Sleman.

49

Subyek dalam penelitian ini terdiri dari informan utama dan

informan pendukung. Informan utama yaitu dua orang pengelola Rumah

Pintar Mata Aksara, dan dua orang fasilitator program Pelatihan Rajut.

Informan pendukung yaitu tiga orang warga belajar program Pelatihan

Rajut. Maksud dari pemilihan subyek ini adalah untuk mendapatkan

sebanyak mungkin informasi dari sumber yang berbeda sehingga data

yang diperoleh dapat diakui kebenarannya.

2. Penentuan Obyek Penelitian

Burhan Bungin (2011: 78) menjelaskan obyek dan informan

penelitian kualitatif adalah menjelaskan obyek penelitian yang fokus pada

penelitian, yaitu apa yang menjadi sasaran. Pada penelitian kualitatif,

peneliti memasuki situasi sosial tertentu, melakukan observasi dan

wawancara kepada orang-orang yang dipandang tahu tentang situasi sosial

tersebut.

Adapun yang menjadi obyek dari penelitian ini adalah

pelaksanaan program Pelatihan Rajut yang diselenggarakan di Rumah

Pintar Mata Aksara Sleman.

C. Setting Penelitian

Penelitian mengenai penerapan pendekatan andragogi dalam

program Pelatihan Rajut ini mengambil lokasi di Rumah Pintar Mata Aksara

Sleman, yang beralamatkan di Jalan Kaliurang kilometer 14 nomor 15 A desa

Tegalmanding, kelurahan Umbulmartani, kecamatan Kalasan, kabupaten

50

Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Alasan peneliti memilih lokasi ini

adalah:

1. Ketersesuaian antara permasalahan yang ada di masyarakat dengan obyek

yang akan diteliti.

2. Rumah Pintar Mata Aksara Sleman merupakan salah satu lembaga

pendidikan luar sekolah yang ada di kabupaten Sleman yang berperan

secara aktif dalam menyelenggarakan berbagai macam kegiatan

pendidikan bagi seluruh lapisan masyarakat.

3. Pengelola Rumah Pintar Mata Aksara Sleman memiliki sikap terbuka

terhadap peneliti sehingga dapat mempermudah pemerolehan data di

lapangan.

4. Lokasi Rumah Pintar Mata Aksara sangat strategis, yaitu berada di tepi

jalan raya, sehingga mempermudah peneliti untuk menjangkau lokasi

tersebut.

5. Belum diketahui apakah Rumah Pintar Mata Aksara Sleman menerapkan

pendekatan andragogi dalam program Pelatihan Rajut yang

diselenggarakan.

Sementara penelitian akan dilakukan pada bulan Februari sampai

dengan Maret 2016. Wawancara terhadap pengelola Rumah Pintar Mata

Aksara akan dilakukan pada saat hari aktif yang diterapkan oleh lembaga, di

luar kegiatan pembelajaran. Begitu pula dengan wawancara terhadap

fasilitator Pelatihan Rajut, juga akan dilakukan di luar kegiatan pembelajaran

agar tidak mengganggu kegiatan pembelajaran yang sedang berlangsung.

51

Sementara itu wawancara terhadap warga belajar akan dilakukan pada saat

pembelajaran, dengan pertimbangan penciptaan iklim yang bersahabat

dengan para warga belajar yang akan diwawancarai.sedangkan kegiattan

observasi dan dokumentasi akan dilakukan sesuai dengan kebutuhan data

penelitian.

D. Metode Pengumpulan Data

Sugiyono (2010: 308) berpendapat bahwa teknik pengumpulan data

merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena tujuan

utamanya dari penelitian adalah mendapatkan data (Sugiyono, 2010:308).

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Djam’an Satori (2011: 103) juga

menyatakan fase terpenting dari penelitian adalah pengumpulan data.

Moleong (2010: 121), dalam pengumpulan data, peneliti merupakan

instrumen utama, interaksi antara peneliti dengan informan diharapkan dapat

diperoleh informasi yang mampu mengulas permasalahan yang ada di

lapangan. Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan pada natural

setting (kondisi yang alamiah), sumber data primer, dan teknik pengumpulan

data lebih banyak pada observasi, wawancara, dan dokumentasi.

1. Observasi

Nasution (2004: 106) mendefinisikan observasi sebagai suatu

bentuk pengamatan untuk memperoleh informasi/ gambaran yang jelas

tentang suatu hal dengan jalan mencatat, kemudian mengolahnya untuk

mendapatkan kejelasan masalah yang diteliti. Sementara itu, menurut

52

Sugiyono (2010: 203), observasi merupakan suatu proses yang kompleks,

suatu proses yang tersusun dari pelbagai proses biologis dan psikologis.

Definisi lain mengenai observasi disampaikan oleh Syaodih

(2006: 220), yang berpendapat bahwa observasi atau pengamatan

merupakan suatu teknik atau cara mengumpulkan data dengan jalan

mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang berlangsung. Pada

intinya, observasi dilakukan untuk mencari data dan informasi yang

diperlakukan melalui pengamatan. Menurut Nasution (2004), observasi

merupakan dasar semua ilmu pengetahuan, yaitu fakta mengenai

kenyataan yang diperoleh melalui pengamatan.

Observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan

terhadap kegiatan pembelajaran program Pelatihan Rajut yang sedang

berlangsung di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman. Metode observasi ini

digunakan peneliti untuk memperoleh data penelitian yang bersifat nyata

dan bisa diamati, yang berkaitan dengan penerapan pendekatan andragogi

pada program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.

2. Wawancara

Nasution (2004: 113) mendefinisikan wawancara sebagai suatu

bentuk komunikasi verbal yaitu semacam percakapan yang bertujuan

untuk memperoleh informasi tertentu. Sementara itu, menurut Sugiyono

(2010: 194):

“wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti, dan juga apabila peneliti ingin

53

mengetahui hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit atau kecil.”

Definisi lain disampaikan oleh Djuju Sudjana (2000: 234), yang

menyatakan bahwa wawancara adalah proses pengumpulan data atau

informasi melalui tatap muka antara pihak penanya denan pihak yang

ditanya. Menurut Moleong (2010: 184), wawancara adalah percakapan

dengan maksud tertentu yang dilakukan oleh dua pihak, yaitu

pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang

memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Menurut Sutrisno Hadi (1986)

dalam Sugiyono (2010:194), anggapan yang perlu diperhatikan oleh

peneliti dalam menggunakan metode interview adalah:

a. Bahwa subyek (responden) adalah orang yang paling tahu tentang dirinya.

b. Bahwa apa yang dinyatakan oleh subyek kepada peneliti adalah benar dan dapat dipercaya.

c. Bahwa interpretasi subyek tentang pertanyaan-pertanyaan yang diajukan peneliti kepaanya adalah sama dengan apa yang dimaksudkan oleh peneliti.

Penelitian ini menggunakan in-depth interview, yaitu wawancara

dilakukan berkali-kali dengan informan di lapangan. Maka dari itu, akan

dilakukan wawancara secara mendalam dengan pengelola Rumah Pintar

Mata Aksara Sleman, fasilitator program Pelatihan Rajut, dan warga

belajar program Pelatihan Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.

Pelaksanaan wawancara dilakukan di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman

sendiri, pada waktu pembelajaran maupun diluar proses pembelajaran.

Tema wawancara berfokus pada pelaksanaan kegiatan program

Pelatihan Rajut, kompetensi yang dimiliki fasilitator mengenai pendekatan

54

andragogi, dan penerapan pendekatan andragogi pada program Pelatihan

Rajut di Rumah Pintar Mata Aksara Sleman.

3. Dokumentasi

Studi dokumentasi dalam penelitian kualitatif merupakan

pelengkap dari penggunaan metode observasi dan wawancara. Menurut

Sugiyono (2010:329), dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah

berlalu. Sementara itu, Djam’an Satori (2011: 149) mendefinisikan studi

dokumentasi yaitu mengumpulkan dokumen dan data-data yang

diperlukan dalam permasalahan penelitian lalu ditelaah secara intens

sehingga dapat mendukung dan menambah kepercayaan dan pembuktian

dari suatu kejadian.

Dokumen dalam penelitian dapat berupa arsip tertulis maupun

foto. Menurut Moleong (2010: 217), dokumen digunakan sebagai sumber

data dimanfaatkan untuk menguji, menafsirkan, bahkan untuk

meramalkan.

Penelitian ini juga menggunakan teknik pengumpulan data

dengan dokumentasi, yang dilaksanakan untuk memperoleh data tambahan

informasi mengenai dokumen yang dimiliki oleh Rumah Pintar Mata

Aksara Sleman dengan cara mencetak ulang dan kemudian disalin dengan

menggunakan format studi dokumentasi. Dalam penelitian ini, dokumen

yang akan diperoleh dapat berupa profil lembaga Rumah Pintar Mata

Aksara Sleman, sasaran program Pelatihan Rajut, dan pelaksanaan

kegiatan pembelajaran program Pelatihan Rajut.

55

Metode pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian

ini dapat dilihat pada tabel 3.1 di bawah:

No Aspek Sumber Data Metode

1Keadaan fisik dan

profil lembaga

a. Ketua Rumah

Pintar Mata

Aksara

b. Tim Rumah

Pintar Mata

Aksara

Wawancara,

observasi, dan

dokumentasi

2Kondisi nonfisik

dan program

a. Ketua Rumah

Pintar Mata

Aksara

b. Tim Rumah

Pintar Mata

Aksara

Wawancara,

observasi,

dokumentasi

3 Pelaksanaan

Pelatihan Rajut

a. Pengelola

Pelatihan

Rajut

b. Fasilitator

Pelatihan

Rajut

c. Warga

belajar

Wawancara,

observasi,

dokumentasi

56

Pelatihan

Rajut

4Kompetensi yang

dimiliki Fasilitator

a. Fasilitator

b. Pengelola

program

Wawancara, observasi

5

Penerapan

pendekatan

andragogi

a. Pengelola

program

b. Fasilitator

c. Warga

belajar

Wawancara,

observasi, dan

dokumentasi

E. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk membantu

peneliti dalam mengumpulkan data di lapangan. Seperti yang dikatakan

Sugiyono (2010: 307), dalam penelitian kualitatif yang merupakan

instrumen utamanya adalah peneliti itu sendiri. Maka dalam penelitian ini,

peneliti merupakan instrumen utama. Selanjutnya dibantu oleh alat-alat

pengumpul data yang lain seperti pedoman observasi, pedoman

wawancara dan pedoman dokumentasi. Peneliti membuat dan merancang

sendiri seperangkat alat observasi, wawancara, maupun pedoman penilaian

dokumentasi yang akan digunakan sebagai panduan umum dalam proses

pencatatan.

57

Penyajian DataReduksi Data Penarikan Kesimpulan

F. Metode Analisis Data

Tadjoer Rizal (dalam Burhan Bungin, 2003: 99) berpendapat,

analisis data dalam penelitian berlangsung bersamaan dengan proses

pengumpulan data. Sejalan dengan pendapat tersebut, Sugiyono (2010: 91)

juga menyampaikan bahwa data yang dikumpulkan dalam setiap

pertemuan langsung dilakukan analisis data.

Nasution (2004) berpendapat, analisis telah mulai sejak

merumuskan dan menjelaskan masalah, sebelum terjun ke lapangan, dan

berlangsung terus sampai penulisan hasil penelitian. Analisis data terdiri

dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan/ verivikasi.

Gambar 3.1Analisis Data Model Interaktif

Miles Huberman (1992: 16)

1. Reduksi Data

Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan

perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, transformasi data

kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan. Sugiyono (2010:

338) menyatakan, data yang telah direduksi akan memberikan

gambaran yang lebih jelas, dan mempermudah peneliti untuk

58

melakukan pengumpulan data selanjutnya, dan mencarinya bila

diperlukan.

Pada tahapan ini setelah data dipilah kemudian

disederhanakan, data yang tidak diperlukan disortir agar

memberi kemudahan dalam penampilan, penyajian, serta

untuk menarik kesimpulan sementara.

2. Penyajian Data

Setelah data direduksi, langkah analisis selanjutnya adalah

penyajian data. Data-data tersebut kemudian dipilah-pilah

dan disisikan untuk disortir menurut kelompoknya dan

disusun sesuai dengan katagori yang sejenis untuk

ditampilkan agar selaras dengan permasalahan yang

dihadapi, termasuk kesimpulan-kesimpulan sementara

diperoleh pada waktu data direduksi.

Tujuan dari display data dalam penelitian ini yaitu

memudahkan peneliti dalam memahami apa yang terjadi,

merencanakan kerja selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami

tersebut.

3. Verifikasi Data

Pada penelitian kualitatif, verifikasi data dilakukan

secara terus menerus sepanjang proses penelitian

dilakukan. Kesimpulan dalam penelitian yang diharapkan adalah

temuan baru yang sebelumnya belum pernah ada. Menurut Sugiyono

59

(2010, 345), temuan dapat berupa diskripsi atau gambaran suatu obyek

yang sebelumnya masih remang-remang atau gelap sehingga setelah

diteliti menjadi jelas.

G. Keabsahan Data

Pemeriksaan keabsahan data dalam penelitian ini menggunakan

trianggulasi. Menurut Moleong (2010: 330), triangulasi yaitu teknik

pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain.

Sementara itu, menurut Tohirin (2012: 77), penggunaan metode triangulasi

telah membantu peneliti menangani masalah yang timbul dalam kebenaran

konstruk karena melalui berbagai bahan bukti dapat menyediakan berbagai

ukuran terhadap fenomena yang sama.

Danzim (dalam Moleong, 2001: 178) membedakan

triangulasi menjadi empat tipe dasar triangulasi, yaitu (1)

triangulasi sumber adalah penggunaan beragam sumber data

dalam suatu kajian, sebagai contoh, mewawancarai orang

pada posisi status yang berbeda atau dengan titik pandang

yang berbeda; (2) triangulasi penyelidik adalah penggunaan

beberapa peneliti atau ilmuwan sosial yang berbeda; (3)

triangulasi teori adalah penggunaan sudut pandang ganda dalam

menafsirkan seperangkat tunggal data; dan (4) triangulasi

metode adalah penggunaan metode ganda untuk mengkaji

masalah atau program tunggal, seperti wawancara,

pengamatan, daftar wawancara terstruktur, dan dokumen.

60

Teknik triangulasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

triangulasi sumber dan triangulasi metode. Menurut Sugiyono (2010: 373),

trianggulasi sumber dan metode dilakukan dengan cara mengecek data yang

telah diperoleh melalui beberapa sumber. Hal ini dapat dicapai dengan

jalan: (1) membandingkan data hasil pengamatan dengan

hasil wawancara; (2) membandingkan hasil wawancara

dengan isi suatu dokumen yang berkaitan. Dengan

menggunakan teknik triangulasi, peneliti membandingkan

hasil wawancara yang telah diperoleh dari pengelola,

instruktur dan warga belajar atau membandingkan data hasil

wawancara dengan hasil pengamatan.

61


Recommended