+ All Categories
Home > Documents > RESOLUSI KONFLIK

RESOLUSI KONFLIK

Date post: 05-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
34
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Konflik politik dapat dirumuskan sebagai bentuk gejala yang disebabkan oleh adanya perbedaaan pendapat, persaingan dan pertentangan dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber – sumber dari kepuutusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah. Yang dimaksud pemerintah dalam hal ini tidak hanya lembaga eksekutif (pemerintah dalam arti sempit) tetapi juga lembaga – lembaga legislative dan yudikatif. Dari pengertian ini dapat disebutkan beberapa contoh konflik politik seperti pemlihan umum, pemilihan kepala daerah, proses penyusunan undang – undang dan anggaran pendapatan dan belanja negara, proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tinggi negara, demonstrasi, pengajuan petisi, gerakan separatism, gerakan ekstrem kanan dan kiri untuk pengganti dasar negara secara kekerasan, dan penolakan terhadap keputusan yang dibuat oleh pemerintah. Pada dasarnya penyebab konflik politik dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertical. Yang dimaksud dengan kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat yang majemuk secara cultural, seperti suku bangasa, daerah, agama, dan ras, serta majemuk secara sosial dalam perbedaan pekerjaan dan profesi, petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil, wartawan, tokoh agama, sopir dan cendikiawan. Sementara itu yang dimaksud dengan kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang terpolarisasi secara hierarkis (dalam ketidaksderajatan) yang didasarkan pada perbedaan kekayaan, pendidikan, kekuasaan, kewenangan dan sebagainya. Kemajemukan horizontal dapat menyebabkan konflik sosiopolitik karena masing –masing unsur atau kelompok masyarakat tersebut mempunyai kepentingan yang berbeda bahkan tidak jarang pula yang saling bertentangan. Kemajemukan vertical pun dapat menimbulkan konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki 1
Transcript

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konflik politik dapat dirumuskan sebagai bentuk gejala yang

disebabkan oleh adanya perbedaaan pendapat, persaingan dan

pertentangan dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber

– sumber dari kepuutusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Yang dimaksud pemerintah dalam hal ini tidak hanya lembaga eksekutif

(pemerintah dalam arti sempit) tetapi juga lembaga – lembaga legislative

dan yudikatif. Dari pengertian ini dapat disebutkan beberapa contoh

konflik politik seperti pemlihan umum, pemilihan kepala daerah, proses

penyusunan undang – undang dan anggaran pendapatan dan belanja

negara, proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tinggi negara,

demonstrasi, pengajuan petisi, gerakan separatism, gerakan ekstrem kanan

dan kiri untuk pengganti dasar negara secara kekerasan, dan penolakan

terhadap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

Pada dasarnya penyebab konflik politik dapat dibedakan menjadi

dua kelompok, yaitu kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertical.

Yang dimaksud dengan kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat

yang majemuk secara cultural, seperti suku bangasa, daerah, agama, dan

ras, serta majemuk secara sosial dalam perbedaan pekerjaan dan profesi,

petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil, wartawan, tokoh

agama, sopir dan cendikiawan. Sementara itu yang dimaksud dengan

kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang terpolarisasi secara

hierarkis (dalam ketidaksderajatan) yang didasarkan pada perbedaan

kekayaan, pendidikan, kekuasaan, kewenangan dan sebagainya.

Kemajemukan horizontal dapat menyebabkan konflik sosiopolitik

karena masing –masing unsur atau kelompok masyarakat tersebut

mempunyai kepentingan yang berbeda bahkan tidak jarang pula yang

saling bertentangan. Kemajemukan vertical pun dapat menimbulkan

konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki

1

kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan yang besar sementara sebagian besar

tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan atau kekuaaan.

Polarisasi masyarakat ini merupakan benih subur untuk tumbuhnya konflik

politik. Konflik yang disebabkan oleh kemajemukan vertical ini akan

semakin luas dan mendalam jika sekelompok kecil masyarakat itu

mendominasi ketiga sumber kekuasaan tersebut.

Perilaku nepotisme yang dalam pengertian Undang – undang

Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan

Bebas  KKN Pasal 1 angka 5 bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan

Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan

kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan

masyarakat, bangsa dan negara”.

Perilaku nepotisme ini merupakan perilaku paling buruk dari

seorang penguasa daerah dan akan sangat merusak tatanan

penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam jangka panjang. Hal paling

kental dengan jelas dalam penempatan pejabat birokrasi pemerintahan

daerah. Apalagi bila seorang kepala daerah memiliki anak, saudara,

sepupu, keponakan, bahkan cucu yang berstatus Pegawai Negeri Sipil,

maka seluruh pejabat pada posisi jabatan strategis dapat dipastikan akan

diduduki oleh keluarga dan kroni kepala daerah yang bersangkutan.

Nepotisme dapat diartikan secara sempit yaitu memperlihatkan

sirkulasi kepentingan dalam suatu ikatan kekerabatan yang dekat. Isu

konflik politik Ratu Atut yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan

mengangkat keluarga dekatnya dalam pemerintahan. Diawali kemunculan

Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut, dalam Pilkada Kabupaten Tangerang

2008. Istri Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan (adik Atut) itu jadi

calon wakil bupati mendampingi Jazuli Juwaini dari PKS. Namun,

pasangan ini dikalahkan pasangan petahana, Ismet Iskandar – Rano Karno.

Tahun yang sama, adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, maju sebagai

calon wakil wali kota Serang berpasangan dengan Bunyamin (mantan

Bupati Serang) dan menang. Kurang dari tiga tahun berkuasa, 1 Maret

2011, Bunyamin meninggal dunia. Jaman lalu diangkat menjadi Wali Kota

2

Serang. Saat Pilkada Kota Serang 2013, ia kembali mencalonkan diri dan

menang. Tahun 2010, adik Atut, Ratu Tatu Chasanah, mengikuti Pilkada

Kabupaten Serang. Ia terpilih jadi Wakil Bupati Serang 2010-2011

mendampingi Taufik Nuriman Airin yang gagal di Pilkada Kabupaten

Tangerang coba peruntungan di Pilkada Kota Tangerang Selatan 2010.

Airin yang berpasangan dengan Benyamin Davnie terpilih sebagai Wali

Kota Tangerang Selatan 2011 – 2015. Ibu tiri Atut Heryani, juga tak

ketinggalan. Ia terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang pada Pilkada

2011 mendampingi Erwan Kurtubi. Pada tahun yang sama, Atut kembali

mencalonkan diri sebagai gubernur Banten didampingi Rano Karno.

Untuk kedua kalinya, Atut terpilih sebagai Gubernur Banten.

Jadi kasus Ratu Atut merupakan penyalahgunaan kekuasaannya

yang menimbulkan adanya nepotisme. Praktek nepotisme yang terjadi

sangat berdampak panjang pada pelayanan publik. Mental nepotisme yang

masih tertanam pada pejabat – pejabat daerah membuat semakin

menipisnya kepercayaan serta pelayanan terhadap masyarakat. Dari isu

politik dinasti kekuasaan tersebut penyusun menulis makalah ini dengan

judul “Penyalahgunaan Kekuasaan Dinasti Ratu Atut yang Menyebabkan

Konflik Politik”.

B. Rumusan Masalah

Untuk menyesalaikan permasalahan penyalahgunaan kekuasaan

penyusun telah mengklasifikasikan berbagai rumusan masalah yang

terjadi. Seperti:

1. Bagaimana kronologis terungkapnya dinasti kekuasaan ratu atut?

2. Bagaimana hal yang melatarebelakangi terjadinya dinasti kekuasaan

ratu atut?

3. Bagaimana dampak konflik politik dari dinasti kekuasaan atut terhadap

masyarakat banten?

4. Bagaimana tindak lanjut dari pihak yang berwenang terhadap kasus

dinasti politik ratu atut?

3

C. Tujuan Penulisan

Adapun penyususnan makalah ini guna menemukan jawaban atas

permasalahan-permasalahan yang terjadi, seperti:

1. Untuk mengetahui bagaimana kronologis terungkapnya dinasti

kekuasaan ratu atut.

2. Untuk mengetahui hal yang melatarebelakangi terjadinya dinasti

kekuasaan ratu atut.

3. Untuk mengetahui dampak konflik politik dari dinasti kekuasaan atut

terhadap masyarakat banten.

4. Untuk mengetahui tindak lanjut dari pihak yang berwenang terhadap

kasus dinasti politik ratu atut.

D. Manfaat Penulisan

Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan

manfaat dan informasi sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Diharapkan dapat menambah pengetahuan bersama dalam

bidang ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi. Dan dapat

digunakan sebagai referensi dalam contoh acuan penyelesaian

permasalahan dan dampak dari konflik politik.

2. Secara Praktis

a. Penulis, sebagai wahana penambahan pengetahuan dalam konsep

penyalahgunaan kekuasaan ratu atut yang menyebabkan konflik

politik.

b. Bagi masyarakat, sebagai media informasi, meningkatkan

partisipasi dan kesadaran politik mengenai konsep penyalahgunaan

kekuasaan ratu atut yang menyebabkan konflik politik.

c. Bagi pemerintah, dapat dijadikan referensi dalam upaya

pencegahan dan pemberian solusi dari penyalahgunaan kekuasaan

ratu atut yang menyebabkan konflik politik.

d.

4

BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. Resolusi Konflik

1. Definisi dan Batasan Konflik

Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa

latinconfigere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk,

konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat

menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal

ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan

antar pribadi.(Gea, A.A, dkk, 2002, hlm. 175). Hal ini sejalan dengan

pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik

yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu

atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan.

(Maftuh, B., 2005, hlm. 47).

Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal

alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau

nilai dalam sekelompok individu.(Scanell, M., 2010, hlm. 2).

Sedangkan secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu

proses social antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang

berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan dan

membuatnya tidak bedaya (Muin, I., 2006:49). Kemudian Soerjono

Soekanto (1990) menyebut konflik sebagai pertentangan atau

pertikaian, yaitu suatu proses social individu atau kelompok yang

berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan,

disertai dengan ancaman dan kekerasan. (dalam Muin, I., 2006, hlm.

50), Selanjutnya menurut Collins, menjelaskan bahwa konflik adalah

proses sentral dalam kehidupan social sehingga dia tidak menganggap

konflik itu baik atau buruk. (dalam Muin, I., 2006, hlm. 50)

5

Namun secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai

perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik

secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki

keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau

mengalahkan atau menyisihkan.(Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm.

54).

2. Jenis-Jenis Konflik

Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar

yang digunakan untuk membuat klasifikasi.Ada yang membagi

konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak

yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.

Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua

macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik

disfungsional (Dysfunctional Conflict). (Robbins, S.P. 1994, hlm. 430)

Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung

pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja

kelompok.Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang

merintangi pencapaian tujuan kelompok.

Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu

konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu

konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak

fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat

fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang

lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau

disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja

kelompok, bukan pada kinerja individu.Jika konflik tersebut dapat

meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi

individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional.Demikian

sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja,

6

tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut

disfungsional.(Robbins, S.P. 1994, hlm. 430).

Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,

Stoner, Freeman and Gilbert membagi konflik menjadi enam macam,

yaitu (Stoner, J.A.F., Freeman, R,E., & Gilbert, D.R., 1996, hlm 393):

a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual).

Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang

saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi

batas kemampuannya.

b. Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi

karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara

individu yang satu dengan individu yang lain.

c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict among

individuals and groups). Terjadi jika individu gagal

menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia

bekerja.

d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict

among groups in the same organization). Konflik ini terjadi

karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang

berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.

e. Konflik antar organisasi (conflict among organizations).

Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi

menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.

Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama.

f. Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict

among individuals in different organizations). Konflik ini

terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu

organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi

yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang

menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang

jurnalis.

7

3. Faktor Penyebab Konflik

Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang

melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang

disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga

ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. (Robbins,

S.P. 1994, hlm. 431).

Komunikasi.Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi

yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat,

dapat menjadi sumber konflik.Suatu hasil penelitian menunjukkan

bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan

gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap

komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.

Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam

artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang

diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah

kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok,

gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan derajat ketergantungan

antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok

dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong

terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan makin khusus

kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya

konflik.

Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial

adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-

tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu

memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang

lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,

misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai

rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika

salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para

8

karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi

bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan

konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika

individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang,

frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah

menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik

yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah

menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat

mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara

verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,

pemogokan, dan sebagainya.(Robbins, S.P. 1994, hlm. 432).

4. Pengertian Resolusi Konflik

Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict

resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang

fokus meneliti tentang konflik.Resolusi dalam Webster Dictionary

menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2)

pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.

(Levine, S. 1998, hlm. 3)

Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman,

mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan

masalah bersama (solve a problem together). (Morton, D., &

Coleman, P.T. 2006, hlm. 197) Lain halnya dengan Simon Fisher,

dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha

menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan

baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang

berseteru. (Fisher, S. dkk. 2001, hlm.7)

Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan

untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan

aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang

9

memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi,

kompromi serta mengembang-kan rasa keadilan.(Mindes, G. 2006,

hlm. 24).

5. Kemampuan Resolusi Konflik

Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan

beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam

menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya (Jones, T.S &

Kmitta, D. 2001, hlm.2)

a. Kemampuan orientasi

Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi

pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang

menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi,

harga diri.

b. Kemampuan persepsi

Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan

seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan

individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti

orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk

menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.

c. Kemampuan emosi

Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup

kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi,

termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi

negatif lainnya.

d. Kemampuan komunikasi

10

Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik

meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami

lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami;

dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang

bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau

kurang emosional.

e. Kemampuan berfikir kreatif

Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik

meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan

masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.

f. Kemampuan berfikir kritis

Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik,

yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis

situasi konflik yang sedang dialami.

B. Konflik Politik

1. Penyebab Konflik Politik

Pada dasarnya penyebab konflik politik dapat dibedakan

menjadi dua kelompok, yaitu :

a. Kemajemukan horizontal, yaitu struktur masyarakat yang

majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama dan

ras. Serta majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan

profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai

negeri sipil, militer, wartawan tokoh agama (alim ulama), supir

dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menyebabkan

konflik karena masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai

karakteristik sendiri-sendiri dan adanya keinginan dari masing-

masing penghayat budaya tersebut untuk mempertahankan

karakterisitik budaya yang dhayatinya tersebut.

11

Sedangkan horizontal-sosial adalah kemajemukan yang

ditimbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik dalam

kesederajatan yang didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama,

ras dan sebagainya. Gejala ini juga menadi salah satu penyebab

yang menimbulkan konflik sosio-politik karena masing-masing

unsur atau kelompok masyarakat tersebut mempuyai

kepentinganyang berbeda bahkan tidak jarang pula saling

bertentangan.

b. Kemajemukan vertikal, yaitu struktur masyarakat yang

terpolarisasi secara hierarkis (dalam ketidaksederajatan) yang

didasarkan pada perbedaan kekayaan, pendidikan, kekuasaan,

kewenangan dan sebagainya. Kemajemukan ini dapat

menimbulkan konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat

yang memiliki kekayaan, pendidikan dan kekuasaan yang besar

sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan,

pendidikan dan kekuasaan. Konflik yang disebabkan oleh

kemajemukan vertical ini akan semakin luas dan mendalam

apabila sekelompok kecil masyarakata itu mendominasi ketiga

sumber kekuasaan itu sekaligus. Singkat, distribusi kekuasaan

yang pincang adalah penyebab utama timbulnya konflik politik.

(Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm. 59).

2. Tipe – tipe Konflik Politik

Secara garis besar, konflik politik dapat dibagi menjadi dua

tipe, yaitu :

a. Konflik positif (konflik yang berdampak positif). Konflik yang

berdampak positif ini adalah konflik yang disalurkan lewat

mekanisme penyelesaian konflikyang telah disepakati bersama,

yaitu lembaga-lembaga kepemerintahan yang demokrasi seperti

badan perwakilan rakyat, partai politik, pemerintah, pengadilan

dan pers, sehingga gejala konflik tesebuttidak mengncam

eksistensi system poliik yang telah ada.

12

b. Konflik negative (konflik yang bedampak negatif). Konflik yang

berdampak negative adalah konflik yang disalurkan tidak lewat

mekanisme politik yang telah disepakati bersama. Tipe konflik ini

akan terjadi jika mayoritas masyarakat memandang bahwa

lembaga dan struktur politik yang ada (lembaga demokrasi) tidak

mencerminkan kepentingan mereka, atau lembaga politik

dipandang tidak aspiratif, maka konflik yang disalurkan lewat

mekanisme politik tersebut justru dipandang sebagai konflik

negative.(Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm. 61).

3. Struktur Konflik Politik

Ramlan Surbakti (dalam Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm.

63) mengemukaan bahwa situasi konflik pada hakikatnya dapat dibagi

menjadi dua bentuk, yaitu :

a. Zero sum conflictadalah situasi konflik yang bersifat antagonistis,

tanpa memungkinkan adanya kompromi dan kerjasama antara

pihak-pihak yang terlibat konflik. Ciri struktur konflik seperti ini

adalah tak mungkin mengadakan kerjasama, hasil kompetisi hanta

akan dinikmati oleh oleh pihak pemenang saja, pihak pemenang

akan mendapatkan semuanya, sedangkan yang kalah akan

kehilangan semuanya dan yang dipertaruhkan itu biasanya

mngenai hal-hal yang prinsipiel.

b. Non zero sum conflict diartikan sebagai situasi konflik dimana

pihak-pihak yang terlibat dalamdalam konflikmasih mungkin

untuk berdialog, kompromi dan kerjasama. Hal ini disebabkan

karena yang dipertaruhkan dalam konflik itu tidak begitu

menyangkut hal-hal yang prinsipiel, sehingga masing-masing

kepentingan dapat dikompromikan. Ciri struktur politik ini adalah

kerjasama.

4. Tujuan Konflik Politik

13

Pada hakikatnya, Ramlan Surbakti (dalam Setiadi, E.M &

Kolip, U. 2013, hlm. 65) membagi tujuan dari setiap gejala konflik

secara mendasar dalam dua bentuk, yaitu: (1) mendapatkan sumber-

sumber nilai otoritatif, dan (2) mempertahankan sumber-sumber nilai

otoritatif. Konflik yang bertujuan untuk mempertahankan sumber-

sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena

manusia memerlukan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena

manusia memerlukan sumber-sumber nilai-nilai tertentu, baik yang

bersifat materi-jasmani maupun spiritual-rohani, untuk dapat hidup

secara layak dan terhormat dalam masyarakat.

5. Intensitas Konflik Politik

Intensitas konflik dapat diartikan besar kecilnya konflik dalam

suatu struktur social. Surbakti, R (dalam Setiadi, E.M & Kolip, U.

2013, hlm. 67) mengemukakan bahwa ada dua factor yang

menentukan intensitas konflik, yaitu (1) besar kecilnya sumber-

sumber otoritatif yang diperebutkan dalam konfik, dan (2) besar

kecilnya resiko yang mungkin akan terjadi dalam konfik tersebut.Jika

pihak yang terlibat dalam konflik memandang bahwa sumber-sumber

otoritatif yang diperebutkan dalam konflik itu begitu besar artya bagi

pihak-pihak yang melibatkan diri dala konflik, maka kemungkinan

intensitas konflik semakin tinggi.Factor-faktor yan mempengaruhi

pandangan pihak-pihak yang teribat dalam konflik mengenai besar-

kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dalam konflik tersebut

adalah persepsi masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik

mengenai bertambah tidaknya sumber-sumber yang diperebutkan, dan

kegunaan sumber tersebut bagi mereka.Artinya, jika masing-masing

pihak yang terlibat dalam konflik menganggap bahwa sumber-sumber

yang diperebutkan itu jumlahnya tetap (konstan), maka kemungkinan

intensitas konflik kecil.

C. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Wewenang

14

1. Penyalahgunaan Kekuasaan

Kekuasaan merupakan kuasa untuk mengurus, kuasa untuk

memerintah, kemampuan, kesanggupan kemampuan orang atau

golongan untuk menguasai orang atau golongan lain, fungsi

menciptakan dan memanfaatkan keadilan serta mencegah pelanggaran

keadilan. Namun didalam kekuasaan tersebut banyak disalahgunakan

untuk mencari kekayaan. Sehingga banyak penguasa mencari

kekayaan tersebut dengan berbagaicara termasuk menggunakan

kekuasaan yang telah di amanahkan rakyat kepadanya. Banyak

penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan demikepentingan

peribadi sehinga HAM rakyat rela dikorbankan. Banyaknya kasus-

kasus penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, mafia hukum,

pengelapan sehingga membutuhkan hukum pidana untuk mengatur

masalah penyalahgunaan kekuasaan dan menghindari jatuhnya korban

akibat penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Secara umum, fungsi

hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam

bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil.Ketentuan-

ketentuan dalam hukum acrara Pidana dimaksudkan untuk melindungi

para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang

aparat penegak hukum dan pengadilan. Pada sisi lain, hukum juga

memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat

penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi

hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber

kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain

yang terlibat (penasehat hukum).

2. Penyalahgunaan wewenang

Secara Yuridis untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang

(penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari

segi sumber atau lahirnya wewenang.Ini sejalan dengan konsep

hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat

pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang

15

bersangkutan”. (Minarno,N.B. 2009, hlm 75-76). Ini membuktikan

bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di

dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua

pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul

tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang

bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara

memperoleh dan menjalankan wewenang.

Di dalam hukum administrasi asas legalitas atau keabsahan

(legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek,

yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang,

prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang–

undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan

tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada

pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan

serta menyangkut tentang substansinya.

Penyalahgunaan wewenang dikategorikan sebagai tindak

pidana korupsi dalam perumusan pasal 3 UUPTK 1999 secara

expressive verbis.Untuk kali pertama di Indonesia, penyalahgunaan

wewenang dibentuk dan dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) huruf b

untuk UUPTK 1973. Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk UUPTK 1973

tersebut dipandang sebagai salah satu inovasi dari UU no. 24 Prp

Tahun 1960 yang hanya mengatur “memperkaya diri sendiri atau

orang lain atau suatu badan.”

3. Nepotisme

Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris “Nepotism” yang

secaraumum mengandung pengertian “mendahulukan atau

memprioritaskan keluarganya atau kelompok atau golongan untuk

diangkat dan atau diberikan jalanmenjadi pejabat negara atau

sejenisnya. Dengan demikian nepotism memerupakan suatu

perbuatan/tindakan atau pengambilan keputusan secarasubyektif

dengan terlebih dahulu mengangkat atau memberikan jalan dalam

16

bentuk apapun bagi keluarga/kelompok/golongannya untuk

suatukedudukan atau jabatan tertentu (Echol dan Sadily, 1985 : 21).

Nepotisme juga berasal dari kata Latin nepos, yang berarti

“keponakan” atau “cucu”, secara istilah berarti mendahulukan anggota

keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan atau hak istimewa

(Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983). Nepotisme adalah

setiap perbuatan penyelenggara negara secaramelawan hukum yang

menguntungkan kepentingan keluarganya dan ataukroninya diatas

kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti (1) perilaku yang

memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; (2)

kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara

sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; (3)

tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang

pemerintahan. Sedangkan menurut Undang-undang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme

adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum

yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di

atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Nepotisme juga dapat diartikan sebagai upaya dan tindakan

seseorang (yang mempunyai kedudukan dan jabatan) menempatkan

sanak saudara dan anggota keluarga besar, di berbagai jabatan dan

kedudukan sehingga menguntungkannya (Pope, 2003:11).Nepotisme

biasanya dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan

pemerintah lokal sampai nasional, pemimpin perusahan negara,

pemimpin militer maupun sipil, serta tokoh-tokoh politik.Mereka

menempatkan para anggota atau kaum keluarganya tanpa

mempertimbangkan kapasitas dan kualitasnya.Menurut Pope (2003),

nepotisme pada dasarnya meliputi salah satu atau lebih dari hal-hal

berikut ini:

a. Mendorong atau ikut serta dalam, atau menyebabkan

penerimaan, pengangkatan, pengangkatan kembali, klasifikasi,

17

klasifikasi-ulang, evaluasi, kenaikan pangkat, pemindahan atau

disiplin anggota keluarga dekat atau teman dekat dalam jabatan

pemerintahan, atau dalam lembaga yang dipimpin atau

dikendalikannya.

b. Ikut serta dalam menentukan besar gaji anggota keluarga dekat

atau teman dekat.

c. Melimpahkan tugas yang berkaitan dengan penerimaan,

pengangkatan, pengangkatan-kembali, klasifikasi, klasifikasi-

ulang, evaluasi, promosi, pemindahan atau disiplin anggota

keluarga terdekat atau teman dekat kepada bawahan.

d. Mengawasi, langsung atau tidak langsung, anggota keluarga

dekat atau rekan dekat atau melimpahkan pengawasan kepada

bawahan.

18

BAB III

PEMBAHASAN

A. Kronologis Terungkapnya Dinasti Kekuasaan Ratu Atut

Berawal dari kasus penangkapan Akil Mochtar dan Tubagus Chaeri

Wardana pada tanggal 2 Oktober 2013. KPK menangkap lima orang

terkait dengan kasus sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi

(MK) senilai Rp. 2 – 3 miliar. Dua dari lima tersangka itu adalah Akil

Mochtar dan Tubagus Chaeri Wardana adik kandung Gubernur Banten

RatuAtut Choisyah.

Pada tanggal 3 Oktober 2013 Akil Mochtar dan Tubagus Chaeri

Wardana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap sengketa Pilkada

Lebak di MK tersebut. Kasus itu kemudian menyeret Ratu Atut karena

diduga terlibat dalam kasus suap.

Setelah Akil dan Wawan di tetapkan sebagai tersangka dalam

kasus dugaan suap kasus sengketa Pilkada Lebak Banten senilai Rp. 2 – 3

miliar, Atut juga resmi dilarang berpergian keluar negeri pada tanggal 3

Oktober 2013 untuk jangka waktu enam bulan kedepan. KPK memeriksa

Atut sebagai saksi untuk adiknya Wawan pertama kali pada 11 Oktober

2013, atau tepat 8 tahun Atut berkuasa di Banten.

Ratu Atut Chosiyah kembali diperiksa oleh KPK 19 November

2013, selain kasus suap Pilkada Lebak Tubagus Chaeri Wardana juga

ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Alkes ini bersama pejabat PT.

Mikkindo Adiguna Pratama Dadang Prijatna dan pejabat pembuat

komitmen Mamak Jamaksari dalam Proyek senilai Rp. 23 miliar tersebut.

Penyeledikankasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di

Tanggerang Selatan dan Provinsi Banten bermula dari pengembangan

kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak Banten di Mahkamah

konstitusi.

Terkait kasus Alat Kesehatan (Alkes) Kota Tangerang Selatan dan

Provinsi Banten senilai Rp 23 miliar, KPK menemukan dua barang bukti

yang cukup keterlibatan Atut. Namun, KPK belum menerbitkan sprindik

19

karena penyidik masih merampungkan pemberkasan perkara. KPK

menandatangani surat perintah penyidikan (Sprindik) kasus dugaan suap

pengurusan sengketa pilkada Lebak Banten di Mahkamah Konstitusi (MK)

dengan tersangka Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Sprindik

ditandatangani oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham

Samad.

Pada tanggal 17 Desember 2013 KPK menggeledah rumah Atut di

Jalan Bhayangkara Nomor 51 Cipocok, Serang, dini hari. Dari

penggeledahan tersebut, penyidik KPK menyita dua koper berisi dokumen.

KPK resmi menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai

tersangka kasus penyuapan mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam

perkara Pilkada Lebak senilai Rp 2-3 miliar dan korupsi Alkes di Banten

senilai 23 miliar pada 17 Desember 2013. Gubernur Banten Ratu Atut

Chosiyah akhirnya ditahan KPK usai diperiksa, Jumat 20 Desember 2013.

Penahanan dilakukan setelah ia diperiksa selama enam jam. Ratu Atut

dititipkan di Rutan Cabang KPK Pondok Bambu, Jakarta Timur.

Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Ratu Atut

Chosiyah dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar 250 juta.

Akan tetapi Majelis Hakim Tipikormenjatuhkan hukuman 4 tahun penjara

dengan denda 250 juta, akan tetapi pada tanggal 24 Juni 2015 Mahkamah

Agung akhirnya memberikan keputusan atut dihukum dengan pidana

penjara selama 7 tahun serta didenda 200 juta dan diharuskan menjalani

tambahan kurungan bui selama enam bulan jika denda tidak dapat

dipenuhi.

B. Hal yang Melatarebelakangi Terjadinya Dinasti Kekuasaan Ratu Atut

Menurut Yusi (20) sebelum adanya Dinasti Ratu Atut Chosiyah di

Banten, ada seorang tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh dan

disegani oleh masyarakat Banten bernama Tubagus Chasan Sochib, beliau

tidak lain merupaka ayah Ratu Atut Chosiyah dan beliau ikut berperan

pula dalam pembentukan provinsi Banten pada tahun 2000 yang

sebelumnya Banten tergabung dengan provinsi Jawa Barat. Kemudian

20

Hakamuddin Djamal dipilih oleh DPRD Banten sebagai Gubernur

pertama. Beliau menjabat selama dari 2000 hingga 2002. Setelahnya,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten memilih Djoko Munandar dan

Ratu Atut Chosiyah sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Ratu Atut Chosiyah

terpilih menjadi Wakil Gubernur karena peranan dari ayahnya Tubagus

Chasan. Namun pada tahun 2005 Djiko diberhentikan sementara karena

didakwa memperkaya anggota DPRD Banten dan merugikan keuangan

Negara Rp. 14 miliar. Djoko divonis bersalah dan dihukum 2 tahun

penjara serta denda 100 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Serang.

Sejak hari pertama Djoko diberhentikan, Ratu Atut Chosiyah

dilantik menjadi pelaksana tugas Gubernur Banten dan menggantikan

tugas – tugas Djoko dari tahun 2005 – 2007. Saat Pilkada Banten 2006

Atut mencalonkan sebagai Gubernur Banten, Atut yang berpasangan

dengan M. Masduki memenangi Pilkada Banten dan menjabat 2007 –

2012.

Sejak menjadi orang nomor satu dibanten itulah, satu persatu

anggota keluarga besar dan kerabat Ratu Atut Chosiyah masuk ke politik

praktis. Diawali kemunculan Airin Rachmi Diany pada tahun 2008, adik

ipar Ratu Atut Chosiyah (Istri Tubagus Chaeri Wardana) mencalonkan diri

menjadi calon wakil bupati tanggerang namun gagal. Tahun yang sama

adik tiri Ratu Atut Chosiyah Tubagus Haerul Jaman mencalonkan diri

menjadi calon wakil walikota serang dan berhasil. Tahun 2010 adik Ratu

Atut Chosiyah, Ratu Tatu Chsanah mengikuti pilkada Serang dan terpilih

menjadi Wakil Bupati Serang 2010 – 2015. Pada tahun 2010 Airin yang

gagal di pilkada Kabupaten Tanggerang mencoba mencalonkan kembali di

Pilkada Kota Tanggerang Selatan dan terpilih sebagai walikota

Tanggerang Selatan dengan priode 2011 – 2015.

Ibu tiri Atut, Heryani terpilih menjadi wakil bupati Pandeglang

pada Pilkada 2011, dan pada tahun yang sama Ratu Atut Kembali

mencalonkan diri sebagai Gubernur Banten didampingi Rano Karno,

21

untuk kedua kalinya Ratu Atut Chosiyah terpilih sebagai Gubernur Banten

melalui Pilkada. Menurut Yusi (20) Dinasti Ratu Atut Chosiyah ini

dimulai dari ayah Ratu Atut Chosiyah yang berperan sebagai tokoh

masyarakat yang sangat berperan di Provinsi Banten. Tak hanya jabatan

pemerintah (eksekutif) sejumlah jabatan di lembaga legislative juga

dirambah, Suami atut Hikmat Tomet terpilih sebagai anggota DPR, anak

pertama Atut terpilih menjadi anggota DPD perwakilan Banten, menantu

Ratu Atut Adde Rosi Khairunnisa menjadi anggota DPRD kota Serang.

Juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiyah, Fitron Nur Ikhsan

menjelaskan bahwa keluarga Atut merupakan keluarga besar. Banyak

anggota keluarga yang tertarik terjun ke politik praktis sehingga sulit

mengurai motivasi mereka menguasai jabatan public. Tiap – tiap anggota

keluarga memiliki kemandirian sehingga punya pertimbangan sendiri

ketika terjun ke politik praktis.

C. Dampak konflik politik dari dinasti kekuasaan atut terhadap

masyarakat banten

1. Bentroknya pendukung Atut dengan mahasiswa Banten

Puluhan mahasiswa dari aliansi Front Revolusioner

Selamatkan Banten (Foros) melaporkan arogansi masa pendukung

Atut Chosiyah ke Polda Metro Jaya, pada hari Sabtu 10 Mei

2014.Kuasa Hukum korban dari LBH, Nelson Nikodemus

Simamora mengatakan laporan tersebut sudah diproses oleh

penyidik Polda Metro Jaya.

Laporan tersebut terdaftar dalam

LP/1698/V/2014/PMJ/Ditreskrimum dengan Pasal 170 KUHP,

dimana puluhan mahasiswa tersebut melaporkan tiga terlapor yang

terbukti melakukan pengeroyokan.Nelson menuturkan pihaknya

mendampingi para mahasiswa tersebut lantaran  penganiayaan dan

pengeroyokan itu mengakibatkan dua mahasiswa pingsan dan dua

lainnya menderita luka memar.Akibat insiden itu dua mahasiswa

yakni Afifudin (25) dan Deni Iskandar (21) pingsan dan menderita

22

luka memar di bagian pinggang serta rusuk sebelah kanan.Dan dua

mahasiswa lainnya juga terluka.

Nelson menjelaskan peristiwa tersebut terjadi pada hari

Rabu 6 Mei 2014 pukul 11.00 WIB di depan Gedung Tindak

Pidana Korupsi, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta

Selatan.Awalnya mahasiwa berteriak "maling" ke arah Atut yang

digiring masuk ke mobil Komisi Pemberantasan Korupsi

(KPK).Kemudian mahasiwa melempari mobil tersebut dengan

botol air mineral. Atas reaksi itu ada beberapa massa pendukung

Atut yang tiba-tiba menyerang. Alasan penyerangan tersebut yakni

karena aksi mahasiswa membahayakan jiwa raga Atut.

Usai melaporkan kejadian tersebut, kedua korban yakni

Afifudin dan Deni divisum demi melengkapi berita acara perkara

(BAP) atas laporannya.

2. Berkembangnya Nepotisme (Dinasti Kekuasaan)

Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi

politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar

kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara

mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang

mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan

sebelumnya.

Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat

sekarang.Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem

kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan

kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di atas

basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is

thicker than water --darah lebih kental daripada air. Doktrin ini

menegaskan, kekuasaan --karena dapat mendatangkan kehormatan,

kemuliaan dan kekayaan.

Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang

punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan

23

bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian

darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water itu, di era

modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya

dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi.

Para kerabat (lantaran pertalian darah) dianggap lebih dapat

dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan

politikus pemburu kekuasaan.Maka, para elite politik Indonesia

secara masif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau

calon kepala daerah.Ini bentuk manipulasi sistem politik modern

melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang

mengandung banyak kelemahan.

3. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah

daerah dan penegak hukum

Pemerintah sebagai pemimpin yang telah dipercaya oleh

rakyat sepatutnya dapat mengemban amanah dengan baik dengan

cara mengayomi rakyat dan memberikan suri tauladan yang baik

bagi masyarakat yang dipimpinnya, mengembangkan daerah yang

dipimpinnya agar lebih maju,dapat dikenal dan menjadi contoh

yang baik bagi daerah lainnya.

Namun, kasus yang dialami oleh Gubernur Banten, Ratu

Atut Chosiyah justru sebaliknya.Akibat kasus korupsi yang

dilakukannya demi dapat memperoleh jabatan sebagai pemimpin

daerah menjadikan citra setiap pemimpin menjadi negatif dimata

masyarakat.Ditambah lagi, upaya penyelesaian yang dilakukan

oleh aparat penegak hukum yang dipandang kurang tegas

menjadikan masyarakat memandang remeh kinerja mereka dan hal

tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.Selain itu

banyak pula kasus-kasus kecil seperti pencurian ayam yang

dihukum berat, sementara pemimpin yang korupsi bermilyar-

milyar dihukum ringan dan tidak sesuai dengan kapasitas dan

undang-undang yang berlaku.Hal ini merupakan sebuah

24

diskriminasi antara rakyat kecil dan kaum penguasa, serta dapat

memicu kecemburuan social bahkan konflik social.

4. Merusak proses demokrasi

Nepotisme menyebabkan sistem demokrasi tidak dapat

berjalan dengan baik dan menutup kesempatan bagi calon lain

selain pihak keluarga terkait yang hendak mencalonkan diri

sebagai anggota yang termasuk kedalam struktur kepemimpinan

daerah tersebut. Seperti halnya nepotisme yang terjadi dalam

dinasti Ratu Atut yang merekrut keanggotaan dalam struktur

kepemimpinannya kebanyakan berasal dari pihak keluarganya

sendiri. Sehingga hal tersebut menutup kesempatan bagi orang lain

yang ingin mencalonkan diri menjadi bagian dari struktur

kepemimpinan daerah Banten.

Selain itu, hal ini dapat memicu pertentangan keras dari

masyarakat terutama .kaum intelektual yang memahami hal ini,

seperi pertentangan dari mahasiswa Banten yang menuntut

keadilan dan justru mendapat respon yang kerasa dari para

pendukung Ratu Atut.Ini merupakan sebuah diskriminasi dalam

system demokrasi dan tujuan dari demokrasi itu sendiri tidak dapat

tersampaikan dengan maksimal.

5. Merusak nama baik pemerintah provinsi Banten

Dengan amanah yang Ratu Atut emban sebagai Gubernur

Banten dan memimpin daerah tersebut, artinya ia juga membawa

citra dan nama provinsi Banten. Ketika seorang pemimpin dapat

menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan visi-misi dan

dapat membangun daerahnya secara nyata, secara langsung daerah

tersebut juga akan maju dan dapat menjadi contoh bagi daerah

lainnya. Sebaliknya, ketika pemimpin tidak amanah dan justru

melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang berbanding

terbalik dengan citranya, maka secara langsung daerah tersebut

25

juga terbawa mendapat citra yang negative dan dapat merusak

nama baiknya di mata masyarakat daerah lainnya.

6. Infrastruktur yang tidak merata

Dengan adanya nepotisme atau dinasti kekuasaan ini

menyebabkan infrastruktur di Banten menjadi tidak merata dan

tidak sempurna. Dimana dalam dinasti politiknya ketika Ratu Atut

mengkorupsi dana APBD di Banten khusus untuk dana hibah dan

bantuan sosial tahun 2011. Dalam hal ini semua unsur birokrasi

dan pemerintahan dikuasai secara ‘absolut’ oleh suatu dinasti,

mendorong dinasti ini untuk cenderung bersifat korup demi

kepentingan pribadi dinasti tersebut. Infrastruktur tersebut seperti

pembangunan, jalan raya dan jembatan yang kurang kokoh karena

bahan yang digunakan untuk membangun infrastruktur dikurangi

disebabkan karena dana tdak sepenuhnya disalurkan kepada pihak

yang terkait dalam pembangunan infrastruktur masyarakat Banten.

7. Pelayanan publik yang kurang baik

Pelayanan public seperti dalam bidang kesehatan,

pendidikan dan keamanan tidak secara maksimal dirasakan oleh

masyarakat Banten itu sendiri.Juga setelah Atut ditangkap,

pelayanan publik pun menjadi tidak maksimal pula.Yang dimana

tugas-tugas Atut sebagai kepala daerah tidak berjalan dengan

baik.Hal itu terbukti ketika peringatan HUT Banten yang tidak

dihadiri oleh Atut.Juga, saat peresmian RSUD Banten.

8. Sikap apatisme masyarakat

Sikap apatisme masyarakat ini berawal dari kekecewaan

dan berkurangnya rasa percaya terhadap pemerintahan Provinsi

Banten, kasus nepotisme yang terus menerus terjadi di banten

karena kurangnya pemahaman politik masyarakat desa di Provinsi

banten dan jumlah penduduk masyarakat kota yang tidak lebih

26

banyak dibandingkan dengan masyarakat desa yang kurang akan

pemahaman politiknya menyebabkan terpilihnya lagi kerabat Atut

di lembga eksekutif maupun lembaga legislative. Dan masyarakat

banten banyak yang memiliki pemikiran bahwa apapun usaha dan

partisipasi yang dilakukan tidak akan banyak merubah keadaan

nepotisme di Provinsi Banten dan timbulah sikap aptisme.

D. Tindak lanjut dari pihak yang berwenang terhadap kasus dinasti

politik ratu atut

Ratu Atut atas perbuatannya akhirnya dicabut hak politik dan

dana pensiunnya, serta fasilitas negara yang selama ini masih

diperolehnya. Setidaknya ada lima alasan yang membuat kasus Atut ini

harus ditindak lanjuti, yakni:

1. Pertama, perbuatannya selaku Gubernur Banten tidak dapat

menjadi contoh yang baik bagi warga Banten. Sebaliknya, menjadi

contoh yang buruk bagi warga Banten dan mencoreng nama baik

Pemerintah Provinsi Banten.

2. Kedua tindakan Ratu Atut tidak sejalan dengan program

pemerintah, khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih

ikut terlibat dalam memberantas korupsi, yang dilakukan oleh Ratu

Atut justru terlibat dalam perkara korupsi," kata Emerson seperti

dikutip dari siaran pers yang diterima wartawan, Jakarta, Minggu

(10/8).Korupsi ini berupa pengadaan sarana dan prasarana alat

kesehatan Provinsi Banten 2011-2013. Peran: Wakil Ketua KPK,

Zulkarnain, mengatakan Atut bertanggung jawab sebagai pengguna

anggaran. Wawan juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Pasal

yang menjerat: Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang

Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001

juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana. Ancaman Pasal 2 adalah

pidana penjara 4-20 tahun, dan denda Rp 200 juta-Rp 1

27

miliar.Sedangkan Pasal 3 pidana penjara selama 1-20 tahun, dan

denda Rp 50 juta-Rp 1 miliar.

3. Ketiga, lanjut Emerson, perbuatan Ratu Atut justru melanggar

komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangani dan

didorongnya. Mengingat ia adalah salah satu dari 22 kepala daerah,

yang bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi

pada 9 Desember 2008.Padahal jelas dalam deklarasi tersebut salah

satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi.Ditambah

lagi, pada 20 Maret 2012, dalam acara penandatanganan Pakta

Integritas para wali kota dan bupati se-Provinsi Banten, Ratu Atut

selaku Gubernur Banten pernah mengimbau seluruh kepala daerah

di seluruh Banten untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme

(KKN) di lingkungan birokrasi pemerintah Provinsi Banten.

4. Keempat, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar

bukan sekadar suap kepada pejabat negara biasa. Akil, yang kala

itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses

penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum di

mata masyarakat. Karenanya perbuatanRatu Atut juga berimbas

pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum

dan nilai negara hokum.

5. Terakhir, tuntutan hukuman terhadap Ratu Atut harus maksimal

karena perbuatannya dikategorikan merusak proses demokrasi,

khususnya di Lebak Banten. Terbukti dari putusan Mahkamah

Agung, pada tanggal 24 Juni 2015 telah ditetapkan Atut dihukum

selama tujuh tahun penjara dan didenda Rp200 juta dan diharuskan

menjalani tambahan kurungan bui enam bulan jika denda tak bisa

dipenuhi. Hak politik Atut untuk kembali dipilih jabatan publik

juga dicabut.

28

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Konflik politik dapat dirumuskan sebagai bentuk gejala yang

disebabkan oleh adanya perbedaaan pendapat, persaingan dan

pertentangan dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber

– sumber dari kepuutusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.

Yang dimaksud pemerintah dalam hal ini tidak hanya lembaga eksekutif

(pemerintah dalam arti sempit) tetapi juga lembaga – lembaga legislative

dan yudikatif. Dari pengertian ini dapat disebutkan beberapa contoh

konflik politik seperti pemlihan umum, pemilihan kepala daerah, proses

penyusunan undang – undang dan anggaran pendapatan dan belanja

negara, proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tinggi negara,

demonstrasi, pengajuan petisi, gerakan separatism, gerakan ekstrem kanan

dan kiri untuk pengganti dasar negara secara kekerasan, dan penolakan

terhadap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.

Perilaku nepotisme yang dalam pengertian Undang – undang

Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan

Bebas  KKN Pasal 1 angka 5 bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan

Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan

kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan

masyarakat, bangsa dan negara”.

Nepotisme dapat diartikan secara sempit yaitu memperlihatkan

sirkulasi kepentingan dalam suatu ikatan kekerabatan yang dekat. Isu

konflik politik Ratu Atut yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan

mengangkat keluarga dekatnya dalam pemerintahan.

Menurut Narasumber sebelum adanya Dinasti Ratu Atut Chosiyah

di Banten, ada seorang tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh dan

disegani oleh masyarakat Banten bernama Tubagus Chasan Sochib, beliau

tidak lain merupakan ayah Ratu Atut Chosiyah dan beliau ikut berperan

pula dalam pembentukan provinsi Banten pada tahun 2000 yang

29

sebelumnya Banten tergabung dengan provinsi Jawa Barat. Kemudian

Hakamuddin Djamal dipilih oleh DPRD Banten sebagai Gubernur

pertama. Beliau menjabat selama dari 2000 hingga 2002. Setelahnya,

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten memilih Djoko Munandar dan

Ratu Atut Chosiyah sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Setelah Ratu Atut Chosiyah menjabat sebagai Gubernur Banten

Banyak dari kerabat dekat Ratu Atut Chosiyah yang menjadi kader Partai

Golkar dan menjadi anggota Eksekutif ataupun Legislatif di Provinsi

Banten.

B. Saran

Masyarakat Banten perlu memiliki pemahaman akan pendidikan

politik agar dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik di Provinsi

Banten dan timbulnya kesadaran politik. Bahwasannya banyak kebijakan

yang timbul oleh adanya pengambilan keputusan di dalam politik

pemerintahan, masyarakat tidak dapat bersikap apatis yang terus –

menerus akibat adanya kekecewaan dari pelayanan public yang kurang

memuaskan.

Dan perlu disadari bahwa dipundak para pemuda atau remaja

terletak banyak harapan orang tua/keluarga, masyarakat, bangsa dan

Negara akan berlangsungnya kegiatan politik. Karena itulah generasi muda

harus diberikan pendidikan politik sejak dini, sehingga konflik politik atau

dampak dari konflik politik dimaa yang mendatang dapat diminimalisir

bahkan tidak terjadi kembali.

Serta kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat agar mampu

menciptakan fungsi – fungsi nilai religius yang berpengaruh positif

terhadap pelajar dan masyarakat dewasa ini. Dan sosialisasikan kembali

mengenai UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang

Bersih dan Bebas KKN, serta ditanamkan kembali nilai dan moral politik

dilingkungan masyarakat oleh tokoh agama dan tokoh msyarakat.

Serta disahkannya pembatasan dinasti politik diarahkan untuk

meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas

30

kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan

publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi

Pemilu maupun Pemilukada. Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu

untuk mengatur bukan mematikan hak politik seseorang sama sekali. Usul

pengaturan pembatasan dinasti politik di daerah dari kemendagri, dengan

misalnya ada jeda satu masa jabatan sebelum keluarga dekat seorang

kepala daerah mencalonkan diri. Atau dilarang mencalonkan diri di

wilayah provinsi yangmerugika sama. Peraturan tersebut diharapkan dapat

disahkan dalam UUD RI sehingga tidak ada laginya dinasti politik yang

berefek negative dan merugikan masyarakat Indonesia.

Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai reverensi pembaca

dan peneliti selanjutnya yang memiliki topic dan pembahasan yang sama.

31

DAFTAR PUSTAKA

Creswell, J. W. (2012) Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan

Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Fisher, S. dkk. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk

Bertindak, Cetakan Pertama. Jakarta: The British Counsil, Indonesia.

Gea, A.A, dkk. 2002. Relasi Dengan Sesama. Elex Media Komputindo: Jakarta.

Jones, T.S&Kmitta, D. 2001.School Conflict Management: Evaluating Your

Conflict Resolution Education Program. Ohio Commission on Dispute

Resolution & Conflict Management: Ohio.

Maftuh, B. 2005.Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang

Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai. Program Pendidikan

Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.

Minarno, N.B. 2009.Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi

Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Laksbang

Mediatama:Palangkaraya.

Mindes, G. (2006). Teaching Young Children Social Studies. Praeger

Publishers:United States of America.

Morton, D.,&Coleman, P.T. 2006. The Handbook of Conflict Resolution, Theory

and Practice Jossey-Bass Publisher:San Fransisco.

Muin, I. 2006. Sosiologi SMA/MA untuk Kelas XI. Erlangga: Jakarta.

Robbins, S.P. 1994.Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi

Ketiga. (Arcan : Jakarta.

Sanjaya, W. (2013) Penelitian Pendidikan: Jenis, Metode dan Prosedur. Jakarta:

Kencana

Scanell, M.2010. The Big Book of Conflict Resolution Game. McGraw-Hill

Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi. Bandung:

Kencana

32

Universitas Pendidikan Indonesia. (2014) Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.

Bandung: UPI PRESS.

Pope, J. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional.

Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.

Alfiyah, N. 2015. Ratu Atut Kini Tersangka 3 Kasus KorupsiBanten.

[Online]. Tersedia di: http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/

063544863/ratu-atut-kini-tersangka-3-kasus-korupsi-banten. Diakses 26

Juli 2015

Felisiani, T. 2014. Dikeroyok Pendukung Atut, Mahasiswa Banten Lapor Polisi.

[Online]. Tersedia di: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/

05/11/dikeroyok-pendukung-atut-mahasiswa-banten-lapor-polisi?page=2.

Diakses 26 Juli 2015

Sofiyana Syatiri, Ana. (2013). Dinasti Politik Ratu Atut setelah Delapan Tahun

Berkuasa. [Online] Tersedia di: http://nasional.kompas.com/read/

201312/18/0729208/Dinasti.Politik.Ratu.Atut.Setelah.Delapan.Tahun.

Berkuasa Diakses 26 Juli 2015

33

LAMPIRAN

A. Curiculum Vitae Narasumber

Narasumber 1

Nama : Yusi Rahmawati

Tempat tanggal lahir : 10 juni 1995

Riwayat pendidikan : SDN 1 Cilegon

SMPN 1 Cilegon

SMAN 1 Serang

Universitas Pendidikan Indonesia

Alamat : Twin kost setia budi kamar no 6, Geger Kalong

Alamat asal : Jalan Besi 4 No. 29 Komplek Krakatau Stell

Cilegon Banten

Narasumber 2

Nama : Ana Nisaulhusna

Tempat tanggal lahir : 9 Januari 1996

Riwayat Pendidikan : TK Alhuda

SDN Kaguagung timur 3

SMPN 2 Rangkasbitung

SMAN 1 Rangkasbitung

Universitas Pendidikan Indonesia

Alamat : Geger Kalong Girang

Alamat asal : Rangkasbitung, Banten

B. Daftar Pertanyaan

1. Latar belakang kasus dinasti politik ratu atut menurut anda seperti apa?

2. Dampak dari kasus dinasti politik ratu atut di provinsi banten terhadap

masyarakat banten itu sendiri seperti apa? Kuhususnya anda sendiri

sebagai masyarakat asal banten.

3. Solusi terbaik menurut anda seperti apa?

34


Recommended