Date post: | 05-Nov-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Konflik politik dapat dirumuskan sebagai bentuk gejala yang
disebabkan oleh adanya perbedaaan pendapat, persaingan dan
pertentangan dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber
– sumber dari kepuutusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Yang dimaksud pemerintah dalam hal ini tidak hanya lembaga eksekutif
(pemerintah dalam arti sempit) tetapi juga lembaga – lembaga legislative
dan yudikatif. Dari pengertian ini dapat disebutkan beberapa contoh
konflik politik seperti pemlihan umum, pemilihan kepala daerah, proses
penyusunan undang – undang dan anggaran pendapatan dan belanja
negara, proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tinggi negara,
demonstrasi, pengajuan petisi, gerakan separatism, gerakan ekstrem kanan
dan kiri untuk pengganti dasar negara secara kekerasan, dan penolakan
terhadap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.
Pada dasarnya penyebab konflik politik dapat dibedakan menjadi
dua kelompok, yaitu kemajemukan horizontal dan kemajemukan vertical.
Yang dimaksud dengan kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat
yang majemuk secara cultural, seperti suku bangasa, daerah, agama, dan
ras, serta majemuk secara sosial dalam perbedaan pekerjaan dan profesi,
petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai negeri sipil, wartawan, tokoh
agama, sopir dan cendikiawan. Sementara itu yang dimaksud dengan
kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang terpolarisasi secara
hierarkis (dalam ketidaksderajatan) yang didasarkan pada perbedaan
kekayaan, pendidikan, kekuasaan, kewenangan dan sebagainya.
Kemajemukan horizontal dapat menyebabkan konflik sosiopolitik
karena masing –masing unsur atau kelompok masyarakat tersebut
mempunyai kepentingan yang berbeda bahkan tidak jarang pula yang
saling bertentangan. Kemajemukan vertical pun dapat menimbulkan
konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat yang memiliki
1
kekayaan, pendidikan, dan kekuasaan yang besar sementara sebagian besar
tidak atau kurang memiliki kekayaan, pendidikan atau kekuaaan.
Polarisasi masyarakat ini merupakan benih subur untuk tumbuhnya konflik
politik. Konflik yang disebabkan oleh kemajemukan vertical ini akan
semakin luas dan mendalam jika sekelompok kecil masyarakat itu
mendominasi ketiga sumber kekuasaan tersebut.
Perilaku nepotisme yang dalam pengertian Undang – undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas KKN Pasal 1 angka 5 bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara”.
Perilaku nepotisme ini merupakan perilaku paling buruk dari
seorang penguasa daerah dan akan sangat merusak tatanan
penyelenggaraan pemerintahan daerah dalam jangka panjang. Hal paling
kental dengan jelas dalam penempatan pejabat birokrasi pemerintahan
daerah. Apalagi bila seorang kepala daerah memiliki anak, saudara,
sepupu, keponakan, bahkan cucu yang berstatus Pegawai Negeri Sipil,
maka seluruh pejabat pada posisi jabatan strategis dapat dipastikan akan
diduduki oleh keluarga dan kroni kepala daerah yang bersangkutan.
Nepotisme dapat diartikan secara sempit yaitu memperlihatkan
sirkulasi kepentingan dalam suatu ikatan kekerabatan yang dekat. Isu
konflik politik Ratu Atut yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan
mengangkat keluarga dekatnya dalam pemerintahan. Diawali kemunculan
Airin Rachmi Diany, adik ipar Atut, dalam Pilkada Kabupaten Tangerang
2008. Istri Tubagus Chaeri Wardana alias Wawan (adik Atut) itu jadi
calon wakil bupati mendampingi Jazuli Juwaini dari PKS. Namun,
pasangan ini dikalahkan pasangan petahana, Ismet Iskandar – Rano Karno.
Tahun yang sama, adik tiri Atut, Tubagus Haerul Jaman, maju sebagai
calon wakil wali kota Serang berpasangan dengan Bunyamin (mantan
Bupati Serang) dan menang. Kurang dari tiga tahun berkuasa, 1 Maret
2011, Bunyamin meninggal dunia. Jaman lalu diangkat menjadi Wali Kota
2
Serang. Saat Pilkada Kota Serang 2013, ia kembali mencalonkan diri dan
menang. Tahun 2010, adik Atut, Ratu Tatu Chasanah, mengikuti Pilkada
Kabupaten Serang. Ia terpilih jadi Wakil Bupati Serang 2010-2011
mendampingi Taufik Nuriman Airin yang gagal di Pilkada Kabupaten
Tangerang coba peruntungan di Pilkada Kota Tangerang Selatan 2010.
Airin yang berpasangan dengan Benyamin Davnie terpilih sebagai Wali
Kota Tangerang Selatan 2011 – 2015. Ibu tiri Atut Heryani, juga tak
ketinggalan. Ia terpilih menjadi Wakil Bupati Pandeglang pada Pilkada
2011 mendampingi Erwan Kurtubi. Pada tahun yang sama, Atut kembali
mencalonkan diri sebagai gubernur Banten didampingi Rano Karno.
Untuk kedua kalinya, Atut terpilih sebagai Gubernur Banten.
Jadi kasus Ratu Atut merupakan penyalahgunaan kekuasaannya
yang menimbulkan adanya nepotisme. Praktek nepotisme yang terjadi
sangat berdampak panjang pada pelayanan publik. Mental nepotisme yang
masih tertanam pada pejabat – pejabat daerah membuat semakin
menipisnya kepercayaan serta pelayanan terhadap masyarakat. Dari isu
politik dinasti kekuasaan tersebut penyusun menulis makalah ini dengan
judul “Penyalahgunaan Kekuasaan Dinasti Ratu Atut yang Menyebabkan
Konflik Politik”.
B. Rumusan Masalah
Untuk menyesalaikan permasalahan penyalahgunaan kekuasaan
penyusun telah mengklasifikasikan berbagai rumusan masalah yang
terjadi. Seperti:
1. Bagaimana kronologis terungkapnya dinasti kekuasaan ratu atut?
2. Bagaimana hal yang melatarebelakangi terjadinya dinasti kekuasaan
ratu atut?
3. Bagaimana dampak konflik politik dari dinasti kekuasaan atut terhadap
masyarakat banten?
4. Bagaimana tindak lanjut dari pihak yang berwenang terhadap kasus
dinasti politik ratu atut?
3
C. Tujuan Penulisan
Adapun penyususnan makalah ini guna menemukan jawaban atas
permasalahan-permasalahan yang terjadi, seperti:
1. Untuk mengetahui bagaimana kronologis terungkapnya dinasti
kekuasaan ratu atut.
2. Untuk mengetahui hal yang melatarebelakangi terjadinya dinasti
kekuasaan ratu atut.
3. Untuk mengetahui dampak konflik politik dari dinasti kekuasaan atut
terhadap masyarakat banten.
4. Untuk mengetahui tindak lanjut dari pihak yang berwenang terhadap
kasus dinasti politik ratu atut.
D. Manfaat Penulisan
Dengan adanya makalah ini, diharapkan dapat memberikan
manfaat dan informasi sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Diharapkan dapat menambah pengetahuan bersama dalam
bidang ilmu pengetahuan sosial, khususnya sosiologi. Dan dapat
digunakan sebagai referensi dalam contoh acuan penyelesaian
permasalahan dan dampak dari konflik politik.
2. Secara Praktis
a. Penulis, sebagai wahana penambahan pengetahuan dalam konsep
penyalahgunaan kekuasaan ratu atut yang menyebabkan konflik
politik.
b. Bagi masyarakat, sebagai media informasi, meningkatkan
partisipasi dan kesadaran politik mengenai konsep penyalahgunaan
kekuasaan ratu atut yang menyebabkan konflik politik.
c. Bagi pemerintah, dapat dijadikan referensi dalam upaya
pencegahan dan pemberian solusi dari penyalahgunaan kekuasaan
ratu atut yang menyebabkan konflik politik.
d.
4
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A. Resolusi Konflik
1. Definisi dan Batasan Konflik
Secara etimologi, konflik (conflict) berasal dari bahasa
latinconfigere yang berarti saling memukul. Menurut Antonius, dkk,
konflik adalah suatu tindakan salah satu pihak yang berakibat
menghalangi, menghambat, atau mengganggu pihak lain dimana hal
ini dapat terjadi antar kelompok masyarakat ataupun dalam hubungan
antar pribadi.(Gea, A.A, dkk, 2002, hlm. 175). Hal ini sejalan dengan
pendapat Morton Deutsch, seorang pionir pendidikan resolusi konflik
yang menyatakan bahwa dalam konflik, interaksi sosial antar individu
atau kelompok lebih dipengaruhi oleh perbedaan daripada persamaan.
(Maftuh, B., 2005, hlm. 47).
Sedangkan menurut Mary Scannell konflik adalah suatu hal
alami dan normal yang timbul karena perbedaan persepsi, tujuan atau
nilai dalam sekelompok individu.(Scanell, M., 2010, hlm. 2).
Sedangkan secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu
proses social antara dua orang atau lebih (atau juga kelompok) yang
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkan dan
membuatnya tidak bedaya (Muin, I., 2006:49). Kemudian Soerjono
Soekanto (1990) menyebut konflik sebagai pertentangan atau
pertikaian, yaitu suatu proses social individu atau kelompok yang
berusaha memenuhi tujuannya dengan jalan menantang pihak lawan,
disertai dengan ancaman dan kekerasan. (dalam Muin, I., 2006, hlm.
50), Selanjutnya menurut Collins, menjelaskan bahwa konflik adalah
proses sentral dalam kehidupan social sehingga dia tidak menganggap
konflik itu baik atau buruk. (dalam Muin, I., 2006, hlm. 50)
5
Namun secara sederhana, konflik dapat diartikan sebagai
perselisihan atau persengketaan antara dua atau lebih kekuatan baik
secara individu atau kelompok yang kedua belah pihak memiliki
keinginan untuk saling menjatuhkan atau menyingkirkan atau
mengalahkan atau menyisihkan.(Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm.
54).
2. Jenis-Jenis Konflik
Terdapat berbagai macam jenis konflik, tergantung pada dasar
yang digunakan untuk membuat klasifikasi.Ada yang membagi
konflik atas dasar fungsinya, ada pembagian atas dasar pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik, dan sebagainya.
Berdasarkan fungsinya, Robbins membagi konflik menjadi dua
macam, yaitu: konflik fungsional (Functional Conflict) dan konflik
disfungsional (Dysfunctional Conflict). (Robbins, S.P. 1994, hlm. 430)
Konflik fungsional adalah konflik yang mendukung
pencapaian tujuan kelompok, dan memperbaiki kinerja
kelompok.Sedangkan konflik disfungsional adalah konflik yang
merintangi pencapaian tujuan kelompok.
Menurut Robbins, batas yang menentukan apakah suatu
konflik fungsional atau disfungsional sering tidak tegas (kabur). Suatu
konflik mungkin fungsional bagi suatu kelompok, tetapi tidak
fungsional bagi kelompok yang lain. Begitu pula, konflik dapat
fungsional pada waktu tertentu, tetapi tidak fungsional di waktu yang
lain. Kriteria yang membedakan apakah suatu konflik fungsional atau
disfungsional adalah dampak konflik tersebut terhadap kinerja
kelompok, bukan pada kinerja individu.Jika konflik tersebut dapat
meningkatkan kinerja kelompok, walaupun kurang memuaskan bagi
individu, maka konflik tersebut dikatakan fungsional.Demikian
sebaliknya, jika konflik tersebut hanya memuaskan individu saja,
6
tetapi menurunkan kinerja kelompok maka konflik tersebut
disfungsional.(Robbins, S.P. 1994, hlm. 430).
Berdasarkan pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik,
Stoner, Freeman and Gilbert membagi konflik menjadi enam macam,
yaitu (Stoner, J.A.F., Freeman, R,E., & Gilbert, D.R., 1996, hlm 393):
a. Konflik dalam diri individu (conflict within the individual).
Konflik ini terjadi jika seseorang harus memilih tujuan yang
saling bertentangan, atau karena tuntutan tugas yang melebihi
batas kemampuannya.
b. Konflik antar-individu (conflict among individuals). Terjadi
karena perbedaan kepribadian (personality differences) antara
individu yang satu dengan individu yang lain.
c. Konflik antara individu dan kelompok (conflict among
individuals and groups). Terjadi jika individu gagal
menyesuaikan diri dengan norma - norma kelompok tempat ia
bekerja.
d. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama (conflict
among groups in the same organization). Konflik ini terjadi
karena masing - masing kelompok memiliki tujuan yang
berbeda dan masing-masing berupaya untuk mencapainya.
e. Konflik antar organisasi (conflict among organizations).
Konflik ini terjadi jika tindakan yang dilakukan oleh organisasi
menimbulkan dampak negatif bagi organisasi lainnya.
Misalnya, dalam perebutan sumber daya yang sama.
f. Konflik antar individu dalam organisasi yang berbeda (conflict
among individuals in different organizations). Konflik ini
terjadi sebagai akibat sikap atau perilaku dari anggota suatu
organisasi yang berdampak negatif bagi anggota organisasi
yang lain. Misalnya, seorang manajer public relations yang
menyatakan keberatan atas pemberitaan yang dilansir seorang
jurnalis.
7
3. Faktor Penyebab Konflik
Menurut Robbins, konflik muncul karena ada kondisi yang
melatarbelakanginya (antecedent conditions). Kondisi tersebut, yang
disebut juga sebagai sumber terjadinya konflik, terdiri dari tiga
ketegori, yaitu: komunikasi, struktur, dan variabel pribadi. (Robbins,
S.P. 1994, hlm. 431).
Komunikasi.Komunikasi yang buruk, dalam arti komunikasi
yang menimbulkan kesalahpahaman antara pihak-pihak yang terlibat,
dapat menjadi sumber konflik.Suatu hasil penelitian menunjukkan
bahwa kesulitan semantik, pertukaran informasi yang tidak cukup, dan
gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap
komunikasi dan menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik.
Struktur. Istilah struktur dalam konteks ini digunakan dalam
artian yang mencakup: ukuran (kelompok), derajat spesialisasi yang
diberikan kepada anggota kelompok, kejelasan jurisdiksi (wilayah
kerja), kecocokan antara tujuan anggota dengan tujuan kelompok,
gaya kepemimpinan, sistem imbalan dan derajat ketergantungan
antara kelompok. Penelitian menunjukkan bahwa ukuran kelompok
dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong
terjadinya konflik. Makin besar kelompok dan makin khusus
kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkinan terjadinya
konflik.
Variabel Pribadi. Sumber konflik lainnya yang potensial
adalah faktor pribadi, yang meliputi: sistem nilai yang dimiliki tiap-
tiap individu, karakteristik kepribadian yang menyebabkan individu
memiliki keunikan (idiosyncrasies) dan berbeda dengan individu yang
lain. Kenyataan menunjukkan bahwa tipe kepribadian tertentu,
misalnya, individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai
rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Jika
salah satu dari kondisi tersebut terjadi dalam kelompok, dan para
8
karyawan menyadari akan hal tersebut, maka muncullah persepsi
bahwa di dalam kelompok terjadi konflik. Keadaan ini disebut dengan
konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Kemudian jika
individu terlibat secara emosional, dan mereka merasa cemas, tegang,
frustrasi, atau muncul sikap bermusuhan, maka konflik berubah
menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya, konflik
yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya itu akan berubah
menjadi konflik yang nyata, jika pihak-pihak yang terlibat
mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Misalnya, serangan secara
verbal, ancaman terhadap pihak lain, serangan fisik, huru-hara,
pemogokan, dan sebagainya.(Robbins, S.P. 1994, hlm. 432).
4. Pengertian Resolusi Konflik
Resolusi konflik yang dalam bahasa Inggris adalah conflict
resolution memiliki makna yang berbeda-beda menurut para ahli yang
fokus meneliti tentang konflik.Resolusi dalam Webster Dictionary
menurut Levine adalah (1) tindakan mengurai suatu permasalahan, (2)
pemecahan, (3) penghapusan atau penghilangan permasalahan.
(Levine, S. 1998, hlm. 3)
Sedangkan Weitzman dalam Morton and Coleman,
mendefinisikan resolusi konflik sebagai sebuah tindakan pemecahan
masalah bersama (solve a problem together). (Morton, D., &
Coleman, P.T. 2006, hlm. 197) Lain halnya dengan Simon Fisher,
dkk, yang menjelaskan bahwa resolusi konflik adalah usaha
menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan
baru yang bisa tahan lama diantara kelompok-kelompok yang
berseteru. (Fisher, S. dkk. 2001, hlm.7)
Menurut Mindes resolusi konflik merupakan kemampuan
untuk menyelesaikan perbedaan dengan yang lainnya dan merupakan
aspek penting dalam pembangunuan sosial dan moral yang
9
memerlukan keterampilan dan penilaian untuk bernegoisasi,
kompromi serta mengembang-kan rasa keadilan.(Mindes, G. 2006,
hlm. 24).
5. Kemampuan Resolusi Konflik
Bodine and Crawford dalam Jones dan Kmitta, merumuskan
beberapa macam kemampuan yang sangat penting dalam
menumbuhkan inisiatif resolusi konflik diantaranya (Jones, T.S &
Kmitta, D. 2001, hlm.2)
a. Kemampuan orientasi
Kemampuan orientasi dalam resolusi konflik meliputi
pemahaman individu tentang konflik dan sikap yang
menunjukkan anti kekerasan, kejujuran, keadilan, toleransi,
harga diri.
b. Kemampuan persepsi
Kemampuan persepsi adalah suatu kemampuan
seseorang untuk dapat memahami bahwa tiap individu dengan
individu yang lainnya berbeda, mampu melihat situasi seperti
orang lain melihatnya (empati), dan menunda untuk
menyalahkan atau memberi penilaian sepihak.
c. Kemampuan emosi
Kemampuan emosi dalam resolusi konflik mencakup
kemampuan untuk mengelola berbagai macam emosi,
termasuk di dalamnya rasa marah, takut, frustasi, dan emosi
negatif lainnya.
d. Kemampuan komunikasi
10
Kemampuan komunikasi dalam resolusi konflik
meliputi kemampuan mendengarkan orang lain: memahami
lawan bicara; berbicara dengan bahasa yang mudah dipahami;
dan meresume atau menyusun ulang pernyataan yang
bermuatan emosional ke dalam pernyatan yang netral atau
kurang emosional.
e. Kemampuan berfikir kreatif
Kemampuan berfikir kreatif dalam resolusi konflik
meliputi kemampuan memahami masalah untuk memecahkan
masalah dengan berbagi macam alternatif jalan keluar.
f. Kemampuan berfikir kritis
Kemampuan berfikir kritis dalam resolusi konflik,
yaitu suatu kemampuan untuk memprediksi dan menganalisis
situasi konflik yang sedang dialami.
B. Konflik Politik
1. Penyebab Konflik Politik
Pada dasarnya penyebab konflik politik dapat dibedakan
menjadi dua kelompok, yaitu :
a. Kemajemukan horizontal, yaitu struktur masyarakat yang
majemuk secara kultural, seperti suku bangsa, daerah, agama dan
ras. Serta majemuk secara social dalam perbedaan pekerjaan dan
profesi, seperti petani, buruh, pedagang, pengusaha, pegawai
negeri sipil, militer, wartawan tokoh agama (alim ulama), supir
dan cendekiawan. Kemajemukan horizontal-kultural menyebabkan
konflik karena masing-masing unsur kultural tersebut mempunyai
karakteristik sendiri-sendiri dan adanya keinginan dari masing-
masing penghayat budaya tersebut untuk mempertahankan
karakterisitik budaya yang dhayatinya tersebut.
11
Sedangkan horizontal-sosial adalah kemajemukan yang
ditimbulkan oleh adanya unsur-unsur sosiopolitik dalam
kesederajatan yang didasarkan atas perbedaan etnis, kultur, agama,
ras dan sebagainya. Gejala ini juga menadi salah satu penyebab
yang menimbulkan konflik sosio-politik karena masing-masing
unsur atau kelompok masyarakat tersebut mempuyai
kepentinganyang berbeda bahkan tidak jarang pula saling
bertentangan.
b. Kemajemukan vertikal, yaitu struktur masyarakat yang
terpolarisasi secara hierarkis (dalam ketidaksederajatan) yang
didasarkan pada perbedaan kekayaan, pendidikan, kekuasaan,
kewenangan dan sebagainya. Kemajemukan ini dapat
menimbulkan konflik karena adanya sekelompok kecil masyarakat
yang memiliki kekayaan, pendidikan dan kekuasaan yang besar
sementara sebagian besar tidak atau kurang memiliki kekayaan,
pendidikan dan kekuasaan. Konflik yang disebabkan oleh
kemajemukan vertical ini akan semakin luas dan mendalam
apabila sekelompok kecil masyarakata itu mendominasi ketiga
sumber kekuasaan itu sekaligus. Singkat, distribusi kekuasaan
yang pincang adalah penyebab utama timbulnya konflik politik.
(Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm. 59).
2. Tipe – tipe Konflik Politik
Secara garis besar, konflik politik dapat dibagi menjadi dua
tipe, yaitu :
a. Konflik positif (konflik yang berdampak positif). Konflik yang
berdampak positif ini adalah konflik yang disalurkan lewat
mekanisme penyelesaian konflikyang telah disepakati bersama,
yaitu lembaga-lembaga kepemerintahan yang demokrasi seperti
badan perwakilan rakyat, partai politik, pemerintah, pengadilan
dan pers, sehingga gejala konflik tesebuttidak mengncam
eksistensi system poliik yang telah ada.
12
b. Konflik negative (konflik yang bedampak negatif). Konflik yang
berdampak negative adalah konflik yang disalurkan tidak lewat
mekanisme politik yang telah disepakati bersama. Tipe konflik ini
akan terjadi jika mayoritas masyarakat memandang bahwa
lembaga dan struktur politik yang ada (lembaga demokrasi) tidak
mencerminkan kepentingan mereka, atau lembaga politik
dipandang tidak aspiratif, maka konflik yang disalurkan lewat
mekanisme politik tersebut justru dipandang sebagai konflik
negative.(Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm. 61).
3. Struktur Konflik Politik
Ramlan Surbakti (dalam Setiadi, E.M & Kolip, U. 2013, hlm.
63) mengemukaan bahwa situasi konflik pada hakikatnya dapat dibagi
menjadi dua bentuk, yaitu :
a. Zero sum conflictadalah situasi konflik yang bersifat antagonistis,
tanpa memungkinkan adanya kompromi dan kerjasama antara
pihak-pihak yang terlibat konflik. Ciri struktur konflik seperti ini
adalah tak mungkin mengadakan kerjasama, hasil kompetisi hanta
akan dinikmati oleh oleh pihak pemenang saja, pihak pemenang
akan mendapatkan semuanya, sedangkan yang kalah akan
kehilangan semuanya dan yang dipertaruhkan itu biasanya
mngenai hal-hal yang prinsipiel.
b. Non zero sum conflict diartikan sebagai situasi konflik dimana
pihak-pihak yang terlibat dalamdalam konflikmasih mungkin
untuk berdialog, kompromi dan kerjasama. Hal ini disebabkan
karena yang dipertaruhkan dalam konflik itu tidak begitu
menyangkut hal-hal yang prinsipiel, sehingga masing-masing
kepentingan dapat dikompromikan. Ciri struktur politik ini adalah
kerjasama.
4. Tujuan Konflik Politik
13
Pada hakikatnya, Ramlan Surbakti (dalam Setiadi, E.M &
Kolip, U. 2013, hlm. 65) membagi tujuan dari setiap gejala konflik
secara mendasar dalam dua bentuk, yaitu: (1) mendapatkan sumber-
sumber nilai otoritatif, dan (2) mempertahankan sumber-sumber nilai
otoritatif. Konflik yang bertujuan untuk mempertahankan sumber-
sumber merupakan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena
manusia memerlukan ciri manusia yang hidup bermasyarakat karena
manusia memerlukan sumber-sumber nilai-nilai tertentu, baik yang
bersifat materi-jasmani maupun spiritual-rohani, untuk dapat hidup
secara layak dan terhormat dalam masyarakat.
5. Intensitas Konflik Politik
Intensitas konflik dapat diartikan besar kecilnya konflik dalam
suatu struktur social. Surbakti, R (dalam Setiadi, E.M & Kolip, U.
2013, hlm. 67) mengemukakan bahwa ada dua factor yang
menentukan intensitas konflik, yaitu (1) besar kecilnya sumber-
sumber otoritatif yang diperebutkan dalam konfik, dan (2) besar
kecilnya resiko yang mungkin akan terjadi dalam konfik tersebut.Jika
pihak yang terlibat dalam konflik memandang bahwa sumber-sumber
otoritatif yang diperebutkan dalam konflik itu begitu besar artya bagi
pihak-pihak yang melibatkan diri dala konflik, maka kemungkinan
intensitas konflik semakin tinggi.Factor-faktor yan mempengaruhi
pandangan pihak-pihak yang teribat dalam konflik mengenai besar-
kecilnya sumber-sumber yang diperebutkan dalam konflik tersebut
adalah persepsi masing-masing pihak yang terlibat dalam konflik
mengenai bertambah tidaknya sumber-sumber yang diperebutkan, dan
kegunaan sumber tersebut bagi mereka.Artinya, jika masing-masing
pihak yang terlibat dalam konflik menganggap bahwa sumber-sumber
yang diperebutkan itu jumlahnya tetap (konstan), maka kemungkinan
intensitas konflik kecil.
C. Penyalahgunaan Kekuasaan dan Wewenang
14
1. Penyalahgunaan Kekuasaan
Kekuasaan merupakan kuasa untuk mengurus, kuasa untuk
memerintah, kemampuan, kesanggupan kemampuan orang atau
golongan untuk menguasai orang atau golongan lain, fungsi
menciptakan dan memanfaatkan keadilan serta mencegah pelanggaran
keadilan. Namun didalam kekuasaan tersebut banyak disalahgunakan
untuk mencari kekayaan. Sehingga banyak penguasa mencari
kekayaan tersebut dengan berbagaicara termasuk menggunakan
kekuasaan yang telah di amanahkan rakyat kepadanya. Banyak
penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan demikepentingan
peribadi sehinga HAM rakyat rela dikorbankan. Banyaknya kasus-
kasus penyalahgunaan kekuasaan seperti korupsi, mafia hukum,
pengelapan sehingga membutuhkan hukum pidana untuk mengatur
masalah penyalahgunaan kekuasaan dan menghindari jatuhnya korban
akibat penyalahgunaan kekuasaan tersebut. Secara umum, fungsi
hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam
bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil.Ketentuan-
ketentuan dalam hukum acrara Pidana dimaksudkan untuk melindungi
para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang
aparat penegak hukum dan pengadilan. Pada sisi lain, hukum juga
memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat
penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi
hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber
kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain
yang terlibat (penasehat hukum).
2. Penyalahgunaan wewenang
Secara Yuridis untuk mengetahui penyalahgunaan wewenang
(penggunaan wewenang yang melanggar hukum) harus dilihat dari
segi sumber atau lahirnya wewenang.Ini sejalan dengan konsep
hukum, “Di dalam setiap pemberian wewenang kepada pejabat
pemerintahan tertentu tersirat pertanggungjawaban dari pejabat yang
15
bersangkutan”. (Minarno,N.B. 2009, hlm 75-76). Ini membuktikan
bahwa dalam hukum administrasi di setiap penggunaan wewenang di
dalamnya terkandung pertanggungjawaban, namun tidak semua
pejabat yang menjalankan wewenang itu secara otomatis memikul
tanggung jawab karena harus dapat melihat apakah pejabat yang
bersangkutan yang memikul jabatan tersebut, baik dilihat dari cara
memperoleh dan menjalankan wewenang.
Di dalam hukum administrasi asas legalitas atau keabsahan
(legaliteit beginsel/wetmatigheid van bestuur) mencakup tiga aspek,
yaitu: wewenang, prosedur, dan substansi. Artinya wewenang,
prosedur maupun substansi harus berdasarkan peraturan perundang–
undangan (asas legalitas), karena pada peraturan perundang-undangan
tersebut sudah ditentukan tujuan diberikannya wewenang kepada
pejabat administrasi, bagaimana prosedur untuk mencapai suatu tujuan
serta menyangkut tentang substansinya.
Penyalahgunaan wewenang dikategorikan sebagai tindak
pidana korupsi dalam perumusan pasal 3 UUPTK 1999 secara
expressive verbis.Untuk kali pertama di Indonesia, penyalahgunaan
wewenang dibentuk dan dirumuskan dalam pasal 1 ayat (1) huruf b
untuk UUPTK 1973. Pasal 1 ayat (1) huruf b untuk UUPTK 1973
tersebut dipandang sebagai salah satu inovasi dari UU no. 24 Prp
Tahun 1960 yang hanya mengatur “memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan.”
3. Nepotisme
Nepotisme berasal dari istilah bahasa Inggris “Nepotism” yang
secaraumum mengandung pengertian “mendahulukan atau
memprioritaskan keluarganya atau kelompok atau golongan untuk
diangkat dan atau diberikan jalanmenjadi pejabat negara atau
sejenisnya. Dengan demikian nepotism memerupakan suatu
perbuatan/tindakan atau pengambilan keputusan secarasubyektif
dengan terlebih dahulu mengangkat atau memberikan jalan dalam
16
bentuk apapun bagi keluarga/kelompok/golongannya untuk
suatukedudukan atau jabatan tertentu (Echol dan Sadily, 1985 : 21).
Nepotisme juga berasal dari kata Latin nepos, yang berarti
“keponakan” atau “cucu”, secara istilah berarti mendahulukan anggota
keluarga atau kawan dalam memberikan pekerjaan atau hak istimewa
(Chambers Murray Latin-English Dictionary, 1983). Nepotisme adalah
setiap perbuatan penyelenggara negara secaramelawan hukum yang
menguntungkan kepentingan keluarganya dan ataukroninya diatas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, nepotisme dapat berarti (1) perilaku yang
memperlihatkan kesukaan yang berlebihan kepada kerabat dekat; (2)
kecenderungan untuk mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara
sendiri, terutama dalam jabatan, pangkat di lingkungan pemerintah; (3)
tindakan memilih kerabat atau sanak saudara sendiri untuk memegang
pemerintahan. Sedangkan menurut Undang-undang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi No. 28 Tahun 1999 Pasal 1 Ayat 5, nepotisme
adalah setiap perbuatan Penyelenggara Negara secara melawan hukum
yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di
atas kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.
Nepotisme juga dapat diartikan sebagai upaya dan tindakan
seseorang (yang mempunyai kedudukan dan jabatan) menempatkan
sanak saudara dan anggota keluarga besar, di berbagai jabatan dan
kedudukan sehingga menguntungkannya (Pope, 2003:11).Nepotisme
biasanya dilakukan oleh para pejabat atau pemegang kekuasaan
pemerintah lokal sampai nasional, pemimpin perusahan negara,
pemimpin militer maupun sipil, serta tokoh-tokoh politik.Mereka
menempatkan para anggota atau kaum keluarganya tanpa
mempertimbangkan kapasitas dan kualitasnya.Menurut Pope (2003),
nepotisme pada dasarnya meliputi salah satu atau lebih dari hal-hal
berikut ini:
a. Mendorong atau ikut serta dalam, atau menyebabkan
penerimaan, pengangkatan, pengangkatan kembali, klasifikasi,
17
klasifikasi-ulang, evaluasi, kenaikan pangkat, pemindahan atau
disiplin anggota keluarga dekat atau teman dekat dalam jabatan
pemerintahan, atau dalam lembaga yang dipimpin atau
dikendalikannya.
b. Ikut serta dalam menentukan besar gaji anggota keluarga dekat
atau teman dekat.
c. Melimpahkan tugas yang berkaitan dengan penerimaan,
pengangkatan, pengangkatan-kembali, klasifikasi, klasifikasi-
ulang, evaluasi, promosi, pemindahan atau disiplin anggota
keluarga terdekat atau teman dekat kepada bawahan.
d. Mengawasi, langsung atau tidak langsung, anggota keluarga
dekat atau rekan dekat atau melimpahkan pengawasan kepada
bawahan.
18
BAB III
PEMBAHASAN
A. Kronologis Terungkapnya Dinasti Kekuasaan Ratu Atut
Berawal dari kasus penangkapan Akil Mochtar dan Tubagus Chaeri
Wardana pada tanggal 2 Oktober 2013. KPK menangkap lima orang
terkait dengan kasus sengketa Pilkada Lebak di Mahkamah Konstitusi
(MK) senilai Rp. 2 – 3 miliar. Dua dari lima tersangka itu adalah Akil
Mochtar dan Tubagus Chaeri Wardana adik kandung Gubernur Banten
RatuAtut Choisyah.
Pada tanggal 3 Oktober 2013 Akil Mochtar dan Tubagus Chaeri
Wardana ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap sengketa Pilkada
Lebak di MK tersebut. Kasus itu kemudian menyeret Ratu Atut karena
diduga terlibat dalam kasus suap.
Setelah Akil dan Wawan di tetapkan sebagai tersangka dalam
kasus dugaan suap kasus sengketa Pilkada Lebak Banten senilai Rp. 2 – 3
miliar, Atut juga resmi dilarang berpergian keluar negeri pada tanggal 3
Oktober 2013 untuk jangka waktu enam bulan kedepan. KPK memeriksa
Atut sebagai saksi untuk adiknya Wawan pertama kali pada 11 Oktober
2013, atau tepat 8 tahun Atut berkuasa di Banten.
Ratu Atut Chosiyah kembali diperiksa oleh KPK 19 November
2013, selain kasus suap Pilkada Lebak Tubagus Chaeri Wardana juga
ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus Alkes ini bersama pejabat PT.
Mikkindo Adiguna Pratama Dadang Prijatna dan pejabat pembuat
komitmen Mamak Jamaksari dalam Proyek senilai Rp. 23 miliar tersebut.
Penyeledikankasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di
Tanggerang Selatan dan Provinsi Banten bermula dari pengembangan
kasus suap pengurusan sengketa Pilkada Lebak Banten di Mahkamah
konstitusi.
Terkait kasus Alat Kesehatan (Alkes) Kota Tangerang Selatan dan
Provinsi Banten senilai Rp 23 miliar, KPK menemukan dua barang bukti
yang cukup keterlibatan Atut. Namun, KPK belum menerbitkan sprindik
19
karena penyidik masih merampungkan pemberkasan perkara. KPK
menandatangani surat perintah penyidikan (Sprindik) kasus dugaan suap
pengurusan sengketa pilkada Lebak Banten di Mahkamah Konstitusi (MK)
dengan tersangka Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah. Sprindik
ditandatangani oleh Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Abraham
Samad.
Pada tanggal 17 Desember 2013 KPK menggeledah rumah Atut di
Jalan Bhayangkara Nomor 51 Cipocok, Serang, dini hari. Dari
penggeledahan tersebut, penyidik KPK menyita dua koper berisi dokumen.
KPK resmi menetapkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah sebagai
tersangka kasus penyuapan mantan Ketua MK Akil Mochtar dalam
perkara Pilkada Lebak senilai Rp 2-3 miliar dan korupsi Alkes di Banten
senilai 23 miliar pada 17 Desember 2013. Gubernur Banten Ratu Atut
Chosiyah akhirnya ditahan KPK usai diperiksa, Jumat 20 Desember 2013.
Penahanan dilakukan setelah ia diperiksa selama enam jam. Ratu Atut
dititipkan di Rutan Cabang KPK Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi menuntut Ratu Atut
Chosiyah dengan hukuman 10 tahun penjara dan denda sebesar 250 juta.
Akan tetapi Majelis Hakim Tipikormenjatuhkan hukuman 4 tahun penjara
dengan denda 250 juta, akan tetapi pada tanggal 24 Juni 2015 Mahkamah
Agung akhirnya memberikan keputusan atut dihukum dengan pidana
penjara selama 7 tahun serta didenda 200 juta dan diharuskan menjalani
tambahan kurungan bui selama enam bulan jika denda tidak dapat
dipenuhi.
B. Hal yang Melatarebelakangi Terjadinya Dinasti Kekuasaan Ratu Atut
Menurut Yusi (20) sebelum adanya Dinasti Ratu Atut Chosiyah di
Banten, ada seorang tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh dan
disegani oleh masyarakat Banten bernama Tubagus Chasan Sochib, beliau
tidak lain merupaka ayah Ratu Atut Chosiyah dan beliau ikut berperan
pula dalam pembentukan provinsi Banten pada tahun 2000 yang
sebelumnya Banten tergabung dengan provinsi Jawa Barat. Kemudian
20
Hakamuddin Djamal dipilih oleh DPRD Banten sebagai Gubernur
pertama. Beliau menjabat selama dari 2000 hingga 2002. Setelahnya,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten memilih Djoko Munandar dan
Ratu Atut Chosiyah sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Ratu Atut Chosiyah
terpilih menjadi Wakil Gubernur karena peranan dari ayahnya Tubagus
Chasan. Namun pada tahun 2005 Djiko diberhentikan sementara karena
didakwa memperkaya anggota DPRD Banten dan merugikan keuangan
Negara Rp. 14 miliar. Djoko divonis bersalah dan dihukum 2 tahun
penjara serta denda 100 juta oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Serang.
Sejak hari pertama Djoko diberhentikan, Ratu Atut Chosiyah
dilantik menjadi pelaksana tugas Gubernur Banten dan menggantikan
tugas – tugas Djoko dari tahun 2005 – 2007. Saat Pilkada Banten 2006
Atut mencalonkan sebagai Gubernur Banten, Atut yang berpasangan
dengan M. Masduki memenangi Pilkada Banten dan menjabat 2007 –
2012.
Sejak menjadi orang nomor satu dibanten itulah, satu persatu
anggota keluarga besar dan kerabat Ratu Atut Chosiyah masuk ke politik
praktis. Diawali kemunculan Airin Rachmi Diany pada tahun 2008, adik
ipar Ratu Atut Chosiyah (Istri Tubagus Chaeri Wardana) mencalonkan diri
menjadi calon wakil bupati tanggerang namun gagal. Tahun yang sama
adik tiri Ratu Atut Chosiyah Tubagus Haerul Jaman mencalonkan diri
menjadi calon wakil walikota serang dan berhasil. Tahun 2010 adik Ratu
Atut Chosiyah, Ratu Tatu Chsanah mengikuti pilkada Serang dan terpilih
menjadi Wakil Bupati Serang 2010 – 2015. Pada tahun 2010 Airin yang
gagal di pilkada Kabupaten Tanggerang mencoba mencalonkan kembali di
Pilkada Kota Tanggerang Selatan dan terpilih sebagai walikota
Tanggerang Selatan dengan priode 2011 – 2015.
Ibu tiri Atut, Heryani terpilih menjadi wakil bupati Pandeglang
pada Pilkada 2011, dan pada tahun yang sama Ratu Atut Kembali
mencalonkan diri sebagai Gubernur Banten didampingi Rano Karno,
21
untuk kedua kalinya Ratu Atut Chosiyah terpilih sebagai Gubernur Banten
melalui Pilkada. Menurut Yusi (20) Dinasti Ratu Atut Chosiyah ini
dimulai dari ayah Ratu Atut Chosiyah yang berperan sebagai tokoh
masyarakat yang sangat berperan di Provinsi Banten. Tak hanya jabatan
pemerintah (eksekutif) sejumlah jabatan di lembaga legislative juga
dirambah, Suami atut Hikmat Tomet terpilih sebagai anggota DPR, anak
pertama Atut terpilih menjadi anggota DPD perwakilan Banten, menantu
Ratu Atut Adde Rosi Khairunnisa menjadi anggota DPRD kota Serang.
Juru bicara keluarga Ratu Atut Chosiyah, Fitron Nur Ikhsan
menjelaskan bahwa keluarga Atut merupakan keluarga besar. Banyak
anggota keluarga yang tertarik terjun ke politik praktis sehingga sulit
mengurai motivasi mereka menguasai jabatan public. Tiap – tiap anggota
keluarga memiliki kemandirian sehingga punya pertimbangan sendiri
ketika terjun ke politik praktis.
C. Dampak konflik politik dari dinasti kekuasaan atut terhadap
masyarakat banten
1. Bentroknya pendukung Atut dengan mahasiswa Banten
Puluhan mahasiswa dari aliansi Front Revolusioner
Selamatkan Banten (Foros) melaporkan arogansi masa pendukung
Atut Chosiyah ke Polda Metro Jaya, pada hari Sabtu 10 Mei
2014.Kuasa Hukum korban dari LBH, Nelson Nikodemus
Simamora mengatakan laporan tersebut sudah diproses oleh
penyidik Polda Metro Jaya.
Laporan tersebut terdaftar dalam
LP/1698/V/2014/PMJ/Ditreskrimum dengan Pasal 170 KUHP,
dimana puluhan mahasiswa tersebut melaporkan tiga terlapor yang
terbukti melakukan pengeroyokan.Nelson menuturkan pihaknya
mendampingi para mahasiswa tersebut lantaran penganiayaan dan
pengeroyokan itu mengakibatkan dua mahasiswa pingsan dan dua
lainnya menderita luka memar.Akibat insiden itu dua mahasiswa
yakni Afifudin (25) dan Deni Iskandar (21) pingsan dan menderita
22
luka memar di bagian pinggang serta rusuk sebelah kanan.Dan dua
mahasiswa lainnya juga terluka.
Nelson menjelaskan peristiwa tersebut terjadi pada hari
Rabu 6 Mei 2014 pukul 11.00 WIB di depan Gedung Tindak
Pidana Korupsi, Jalan HR Rasuna Said, Kuningan, Jakarta
Selatan.Awalnya mahasiwa berteriak "maling" ke arah Atut yang
digiring masuk ke mobil Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK).Kemudian mahasiwa melempari mobil tersebut dengan
botol air mineral. Atas reaksi itu ada beberapa massa pendukung
Atut yang tiba-tiba menyerang. Alasan penyerangan tersebut yakni
karena aksi mahasiswa membahayakan jiwa raga Atut.
Usai melaporkan kejadian tersebut, kedua korban yakni
Afifudin dan Deni divisum demi melengkapi berita acara perkara
(BAP) atas laporannya.
2. Berkembangnya Nepotisme (Dinasti Kekuasaan)
Dinasti politik merupakan sebuah serangkaian strategi
politik manusia yang bertujuan untuk memperoleh kekuasaan, agar
kekuasaan tersebut tetap berada di pihaknya dengan cara
mewariskan kekuasaan yang sudah dimiliki kepada orang lain yang
mempunyai hubungan keluarga dengan pemegang kekuasaan
sebelumnya.
Politik kekerabatan, lazim dijumpai pada masyarakat
sekarang.Garis kekeluargaan merupakan penentu utama sistem
kepemimpinan komunal, sekaligus menjadi pola pewarisan
kekuasaan politik tradisional. Politik kekerabatan, dibangun di atas
basis pemikiran yang bertumpu pada doktrin politik kuno: blood is
thicker than water --darah lebih kental daripada air. Doktrin ini
menegaskan, kekuasaan --karena dapat mendatangkan kehormatan,
kemuliaan dan kekayaan.
Kekuasaan tak boleh lepas dari genggaman orang yang
punya hubungan persaudaraan, sehingga hanya terdistribusi dan
23
bergerak melingkar di antara pihak-pihak yang memiliki pertalian
darah. Merujuk pada dalil blood is thicker than water itu, di era
modern, para politikus mewariskan kekuasaan kepada kerabatnya
dengan cara memanipulasi sistem politik demokrasi.
Para kerabat (lantaran pertalian darah) dianggap lebih dapat
dipercaya dan tak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan
politikus pemburu kekuasaan.Maka, para elite politik Indonesia
secara masif mengusung anggota keluarga menjadi caleg atau
calon kepala daerah.Ini bentuk manipulasi sistem politik modern
melalui mekanisme demokrasi prosedural yang memang
mengandung banyak kelemahan.
3. Kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur pemerintah
daerah dan penegak hukum
Pemerintah sebagai pemimpin yang telah dipercaya oleh
rakyat sepatutnya dapat mengemban amanah dengan baik dengan
cara mengayomi rakyat dan memberikan suri tauladan yang baik
bagi masyarakat yang dipimpinnya, mengembangkan daerah yang
dipimpinnya agar lebih maju,dapat dikenal dan menjadi contoh
yang baik bagi daerah lainnya.
Namun, kasus yang dialami oleh Gubernur Banten, Ratu
Atut Chosiyah justru sebaliknya.Akibat kasus korupsi yang
dilakukannya demi dapat memperoleh jabatan sebagai pemimpin
daerah menjadikan citra setiap pemimpin menjadi negatif dimata
masyarakat.Ditambah lagi, upaya penyelesaian yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum yang dipandang kurang tegas
menjadikan masyarakat memandang remeh kinerja mereka dan hal
tersebut dapat mengurangi kepercayaan masyarakat.Selain itu
banyak pula kasus-kasus kecil seperti pencurian ayam yang
dihukum berat, sementara pemimpin yang korupsi bermilyar-
milyar dihukum ringan dan tidak sesuai dengan kapasitas dan
undang-undang yang berlaku.Hal ini merupakan sebuah
24
diskriminasi antara rakyat kecil dan kaum penguasa, serta dapat
memicu kecemburuan social bahkan konflik social.
4. Merusak proses demokrasi
Nepotisme menyebabkan sistem demokrasi tidak dapat
berjalan dengan baik dan menutup kesempatan bagi calon lain
selain pihak keluarga terkait yang hendak mencalonkan diri
sebagai anggota yang termasuk kedalam struktur kepemimpinan
daerah tersebut. Seperti halnya nepotisme yang terjadi dalam
dinasti Ratu Atut yang merekrut keanggotaan dalam struktur
kepemimpinannya kebanyakan berasal dari pihak keluarganya
sendiri. Sehingga hal tersebut menutup kesempatan bagi orang lain
yang ingin mencalonkan diri menjadi bagian dari struktur
kepemimpinan daerah Banten.
Selain itu, hal ini dapat memicu pertentangan keras dari
masyarakat terutama .kaum intelektual yang memahami hal ini,
seperi pertentangan dari mahasiswa Banten yang menuntut
keadilan dan justru mendapat respon yang kerasa dari para
pendukung Ratu Atut.Ini merupakan sebuah diskriminasi dalam
system demokrasi dan tujuan dari demokrasi itu sendiri tidak dapat
tersampaikan dengan maksimal.
5. Merusak nama baik pemerintah provinsi Banten
Dengan amanah yang Ratu Atut emban sebagai Gubernur
Banten dan memimpin daerah tersebut, artinya ia juga membawa
citra dan nama provinsi Banten. Ketika seorang pemimpin dapat
menjalankan perannya dengan baik sesuai dengan visi-misi dan
dapat membangun daerahnya secara nyata, secara langsung daerah
tersebut juga akan maju dan dapat menjadi contoh bagi daerah
lainnya. Sebaliknya, ketika pemimpin tidak amanah dan justru
melakukan pelanggaran-pelanggaran hukum yang berbanding
terbalik dengan citranya, maka secara langsung daerah tersebut
25
juga terbawa mendapat citra yang negative dan dapat merusak
nama baiknya di mata masyarakat daerah lainnya.
6. Infrastruktur yang tidak merata
Dengan adanya nepotisme atau dinasti kekuasaan ini
menyebabkan infrastruktur di Banten menjadi tidak merata dan
tidak sempurna. Dimana dalam dinasti politiknya ketika Ratu Atut
mengkorupsi dana APBD di Banten khusus untuk dana hibah dan
bantuan sosial tahun 2011. Dalam hal ini semua unsur birokrasi
dan pemerintahan dikuasai secara ‘absolut’ oleh suatu dinasti,
mendorong dinasti ini untuk cenderung bersifat korup demi
kepentingan pribadi dinasti tersebut. Infrastruktur tersebut seperti
pembangunan, jalan raya dan jembatan yang kurang kokoh karena
bahan yang digunakan untuk membangun infrastruktur dikurangi
disebabkan karena dana tdak sepenuhnya disalurkan kepada pihak
yang terkait dalam pembangunan infrastruktur masyarakat Banten.
7. Pelayanan publik yang kurang baik
Pelayanan public seperti dalam bidang kesehatan,
pendidikan dan keamanan tidak secara maksimal dirasakan oleh
masyarakat Banten itu sendiri.Juga setelah Atut ditangkap,
pelayanan publik pun menjadi tidak maksimal pula.Yang dimana
tugas-tugas Atut sebagai kepala daerah tidak berjalan dengan
baik.Hal itu terbukti ketika peringatan HUT Banten yang tidak
dihadiri oleh Atut.Juga, saat peresmian RSUD Banten.
8. Sikap apatisme masyarakat
Sikap apatisme masyarakat ini berawal dari kekecewaan
dan berkurangnya rasa percaya terhadap pemerintahan Provinsi
Banten, kasus nepotisme yang terus menerus terjadi di banten
karena kurangnya pemahaman politik masyarakat desa di Provinsi
banten dan jumlah penduduk masyarakat kota yang tidak lebih
26
banyak dibandingkan dengan masyarakat desa yang kurang akan
pemahaman politiknya menyebabkan terpilihnya lagi kerabat Atut
di lembga eksekutif maupun lembaga legislative. Dan masyarakat
banten banyak yang memiliki pemikiran bahwa apapun usaha dan
partisipasi yang dilakukan tidak akan banyak merubah keadaan
nepotisme di Provinsi Banten dan timbulah sikap aptisme.
D. Tindak lanjut dari pihak yang berwenang terhadap kasus dinasti
politik ratu atut
Ratu Atut atas perbuatannya akhirnya dicabut hak politik dan
dana pensiunnya, serta fasilitas negara yang selama ini masih
diperolehnya. Setidaknya ada lima alasan yang membuat kasus Atut ini
harus ditindak lanjuti, yakni:
1. Pertama, perbuatannya selaku Gubernur Banten tidak dapat
menjadi contoh yang baik bagi warga Banten. Sebaliknya, menjadi
contoh yang buruk bagi warga Banten dan mencoreng nama baik
Pemerintah Provinsi Banten.
2. Kedua tindakan Ratu Atut tidak sejalan dengan program
pemerintah, khususnya program pemberantasan korupsi. Alih-alih
ikut terlibat dalam memberantas korupsi, yang dilakukan oleh Ratu
Atut justru terlibat dalam perkara korupsi," kata Emerson seperti
dikutip dari siaran pers yang diterima wartawan, Jakarta, Minggu
(10/8).Korupsi ini berupa pengadaan sarana dan prasarana alat
kesehatan Provinsi Banten 2011-2013. Peran: Wakil Ketua KPK,
Zulkarnain, mengatakan Atut bertanggung jawab sebagai pengguna
anggaran. Wawan juga menjadi tersangka dalam kasus ini. Pasal
yang menjerat: Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001
juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHPidana. Ancaman Pasal 2 adalah
pidana penjara 4-20 tahun, dan denda Rp 200 juta-Rp 1
27
miliar.Sedangkan Pasal 3 pidana penjara selama 1-20 tahun, dan
denda Rp 50 juta-Rp 1 miliar.
3. Ketiga, lanjut Emerson, perbuatan Ratu Atut justru melanggar
komitmen antikorupsi yang pernah ditandatangani dan
didorongnya. Mengingat ia adalah salah satu dari 22 kepala daerah,
yang bersama KPK pernah menandatangani Deklarasi Antikorupsi
pada 9 Desember 2008.Padahal jelas dalam deklarasi tersebut salah
satu intinya menyatakan tidak akan melakukan korupsi.Ditambah
lagi, pada 20 Maret 2012, dalam acara penandatanganan Pakta
Integritas para wali kota dan bupati se-Provinsi Banten, Ratu Atut
selaku Gubernur Banten pernah mengimbau seluruh kepala daerah
di seluruh Banten untuk mencegah korupsi, kolusi dan nepotisme
(KKN) di lingkungan birokrasi pemerintah Provinsi Banten.
4. Keempat, suap yang dilakukan Ratu Atut kepada Akil Mochtar
bukan sekadar suap kepada pejabat negara biasa. Akil, yang kala
itu adalah seorang hakim MK punya peran besar dalam proses
penegakan hukum serta upaya mengangkat citra penegak hukum di
mata masyarakat. Karenanya perbuatanRatu Atut juga berimbas
pada runtuhnya kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum
dan nilai negara hokum.
5. Terakhir, tuntutan hukuman terhadap Ratu Atut harus maksimal
karena perbuatannya dikategorikan merusak proses demokrasi,
khususnya di Lebak Banten. Terbukti dari putusan Mahkamah
Agung, pada tanggal 24 Juni 2015 telah ditetapkan Atut dihukum
selama tujuh tahun penjara dan didenda Rp200 juta dan diharuskan
menjalani tambahan kurungan bui enam bulan jika denda tak bisa
dipenuhi. Hak politik Atut untuk kembali dipilih jabatan publik
juga dicabut.
28
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Konflik politik dapat dirumuskan sebagai bentuk gejala yang
disebabkan oleh adanya perbedaaan pendapat, persaingan dan
pertentangan dalam usaha mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber
– sumber dari kepuutusan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.
Yang dimaksud pemerintah dalam hal ini tidak hanya lembaga eksekutif
(pemerintah dalam arti sempit) tetapi juga lembaga – lembaga legislative
dan yudikatif. Dari pengertian ini dapat disebutkan beberapa contoh
konflik politik seperti pemlihan umum, pemilihan kepala daerah, proses
penyusunan undang – undang dan anggaran pendapatan dan belanja
negara, proses pemilihan dan pengangkatan pejabat tinggi negara,
demonstrasi, pengajuan petisi, gerakan separatism, gerakan ekstrem kanan
dan kiri untuk pengganti dasar negara secara kekerasan, dan penolakan
terhadap keputusan yang dibuat oleh pemerintah.
Perilaku nepotisme yang dalam pengertian Undang – undang
Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan
Bebas KKN Pasal 1 angka 5 bahwa “Nepotisme adalah setiap perbuatan
Penyelenggara Negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan
masyarakat, bangsa dan negara”.
Nepotisme dapat diartikan secara sempit yaitu memperlihatkan
sirkulasi kepentingan dalam suatu ikatan kekerabatan yang dekat. Isu
konflik politik Ratu Atut yang menyalahgunakan kekuasaannya dengan
mengangkat keluarga dekatnya dalam pemerintahan.
Menurut Narasumber sebelum adanya Dinasti Ratu Atut Chosiyah
di Banten, ada seorang tokoh masyarakat yang sangat berpengaruh dan
disegani oleh masyarakat Banten bernama Tubagus Chasan Sochib, beliau
tidak lain merupakan ayah Ratu Atut Chosiyah dan beliau ikut berperan
pula dalam pembentukan provinsi Banten pada tahun 2000 yang
29
sebelumnya Banten tergabung dengan provinsi Jawa Barat. Kemudian
Hakamuddin Djamal dipilih oleh DPRD Banten sebagai Gubernur
pertama. Beliau menjabat selama dari 2000 hingga 2002. Setelahnya,
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Banten memilih Djoko Munandar dan
Ratu Atut Chosiyah sebagai pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur.
Setelah Ratu Atut Chosiyah menjabat sebagai Gubernur Banten
Banyak dari kerabat dekat Ratu Atut Chosiyah yang menjadi kader Partai
Golkar dan menjadi anggota Eksekutif ataupun Legislatif di Provinsi
Banten.
B. Saran
Masyarakat Banten perlu memiliki pemahaman akan pendidikan
politik agar dapat berpartisipasi aktif dalam kegiatan politik di Provinsi
Banten dan timbulnya kesadaran politik. Bahwasannya banyak kebijakan
yang timbul oleh adanya pengambilan keputusan di dalam politik
pemerintahan, masyarakat tidak dapat bersikap apatis yang terus –
menerus akibat adanya kekecewaan dari pelayanan public yang kurang
memuaskan.
Dan perlu disadari bahwa dipundak para pemuda atau remaja
terletak banyak harapan orang tua/keluarga, masyarakat, bangsa dan
Negara akan berlangsungnya kegiatan politik. Karena itulah generasi muda
harus diberikan pendidikan politik sejak dini, sehingga konflik politik atau
dampak dari konflik politik dimaa yang mendatang dapat diminimalisir
bahkan tidak terjadi kembali.
Serta kepada tokoh agama dan tokoh masyarakat agar mampu
menciptakan fungsi – fungsi nilai religius yang berpengaruh positif
terhadap pelajar dan masyarakat dewasa ini. Dan sosialisasikan kembali
mengenai UU No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas KKN, serta ditanamkan kembali nilai dan moral politik
dilingkungan masyarakat oleh tokoh agama dan tokoh msyarakat.
Serta disahkannya pembatasan dinasti politik diarahkan untuk
meningkatkan derajat kualitas demokrasi kita dengan cara memperluas
30
kesempatan bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam jabatan-jabatan
publik dan mereduksi penyalahgunaan jabatan incumbent dalam kontestasi
Pemilu maupun Pemilukada. Prinsipnya, pembatasan dinasti politik itu
untuk mengatur bukan mematikan hak politik seseorang sama sekali. Usul
pengaturan pembatasan dinasti politik di daerah dari kemendagri, dengan
misalnya ada jeda satu masa jabatan sebelum keluarga dekat seorang
kepala daerah mencalonkan diri. Atau dilarang mencalonkan diri di
wilayah provinsi yangmerugika sama. Peraturan tersebut diharapkan dapat
disahkan dalam UUD RI sehingga tidak ada laginya dinasti politik yang
berefek negative dan merugikan masyarakat Indonesia.
Semoga makalah ini dapat digunakan sebagai reverensi pembaca
dan peneliti selanjutnya yang memiliki topic dan pembahasan yang sama.
31
DAFTAR PUSTAKA
Creswell, J. W. (2012) Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan
Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Fisher, S. dkk. 2001. Mengelola Konflik: Keterampilan dan Strategi Untuk
Bertindak, Cetakan Pertama. Jakarta: The British Counsil, Indonesia.
Gea, A.A, dkk. 2002. Relasi Dengan Sesama. Elex Media Komputindo: Jakarta.
Jones, T.S&Kmitta, D. 2001.School Conflict Management: Evaluating Your
Conflict Resolution Education Program. Ohio Commission on Dispute
Resolution & Conflict Management: Ohio.
Maftuh, B. 2005.Pendidikan Resolusi Konflik: Membangun Generasi Muda yang
Mampu Menyelesaikan Konflik Secara Damai. Program Pendidikan
Kewarganegaraan, Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.
Minarno, N.B. 2009.Penyalahgunaan Wewenang Dan Tindak Pidana Korupsi
Dalam Pengelolaan Keuangan Daerah. Laksbang
Mediatama:Palangkaraya.
Mindes, G. (2006). Teaching Young Children Social Studies. Praeger
Publishers:United States of America.
Morton, D.,&Coleman, P.T. 2006. The Handbook of Conflict Resolution, Theory
and Practice Jossey-Bass Publisher:San Fransisco.
Muin, I. 2006. Sosiologi SMA/MA untuk Kelas XI. Erlangga: Jakarta.
Robbins, S.P. 1994.Teori Organisasi: Struktur, Desain, dan Aplikasi, Edisi
Ketiga. (Arcan : Jakarta.
Sanjaya, W. (2013) Penelitian Pendidikan: Jenis, Metode dan Prosedur. Jakarta:
Kencana
Scanell, M.2010. The Big Book of Conflict Resolution Game. McGraw-Hill
Setiadi, Elly M. dan Usman Kolip. (2011). Pengantar Sosiologi. Bandung:
Kencana
32
Universitas Pendidikan Indonesia. (2014) Pedoman Penulisan Karya Ilmiah.
Bandung: UPI PRESS.
Pope, J. 2003. Strategi Memberantas Korupsi: Elemen Sistem Integritas Nasional.
Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Alfiyah, N. 2015. Ratu Atut Kini Tersangka 3 Kasus KorupsiBanten.
[Online]. Tersedia di: http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/
063544863/ratu-atut-kini-tersangka-3-kasus-korupsi-banten. Diakses 26
Juli 2015
Felisiani, T. 2014. Dikeroyok Pendukung Atut, Mahasiswa Banten Lapor Polisi.
[Online]. Tersedia di: http://www.tribunnews.com/nasional/2014/
05/11/dikeroyok-pendukung-atut-mahasiswa-banten-lapor-polisi?page=2.
Diakses 26 Juli 2015
Sofiyana Syatiri, Ana. (2013). Dinasti Politik Ratu Atut setelah Delapan Tahun
Berkuasa. [Online] Tersedia di: http://nasional.kompas.com/read/
201312/18/0729208/Dinasti.Politik.Ratu.Atut.Setelah.Delapan.Tahun.
Berkuasa Diakses 26 Juli 2015
33
LAMPIRAN
A. Curiculum Vitae Narasumber
Narasumber 1
Nama : Yusi Rahmawati
Tempat tanggal lahir : 10 juni 1995
Riwayat pendidikan : SDN 1 Cilegon
SMPN 1 Cilegon
SMAN 1 Serang
Universitas Pendidikan Indonesia
Alamat : Twin kost setia budi kamar no 6, Geger Kalong
Alamat asal : Jalan Besi 4 No. 29 Komplek Krakatau Stell
Cilegon Banten
Narasumber 2
Nama : Ana Nisaulhusna
Tempat tanggal lahir : 9 Januari 1996
Riwayat Pendidikan : TK Alhuda
SDN Kaguagung timur 3
SMPN 2 Rangkasbitung
SMAN 1 Rangkasbitung
Universitas Pendidikan Indonesia
Alamat : Geger Kalong Girang
Alamat asal : Rangkasbitung, Banten
B. Daftar Pertanyaan
1. Latar belakang kasus dinasti politik ratu atut menurut anda seperti apa?
2. Dampak dari kasus dinasti politik ratu atut di provinsi banten terhadap
masyarakat banten itu sendiri seperti apa? Kuhususnya anda sendiri
sebagai masyarakat asal banten.
3. Solusi terbaik menurut anda seperti apa?
34