Date post: | 20-Feb-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | khangminh22 |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
i
PROSIDING SEMINAR NASIONAL SASTRA DAN BUDAYA IV
KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BANGSA
Tim Penyunting
Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum.
Drs. I Wayan Teguh, M. Hum.
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M. Hum.
DENPASAR, 29 – 30 MARET 2019
FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2019
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami haturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi atas berkat-
Nyalah kegiatan ini dapat diselengarakan sesuai dengan harapan. Pada
kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih kepada dua pembicara kunci,
yakni Bapak Prof. Dr. Djoko Saryono, M. Pd., Guru Besar Universitas Negeri
Malang (UNM), dan Bapak H. Sunggono, Sekretaris Daerah Kutai Kartanegara.
Selain itu, ucapan terima kasih yang tulus kepada kedua pembicara undangan,
yaitu Bapak Dr. Ida Bagus Kade Gunayasa, M. Hum., dari Universitas Mataram,
dan Bapak Dr. Drs. I Nyoman Wardi, M. Si. dari Prodi Arkeologi FIB Universitas
Udayana yang telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk
memperkuat isi SNSB IV ini. Terima kasih pula kami ucapkan kepada para
pemakalah pendamping, peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya menjadikan
SNSB IV sangat berarti. Partisipasi Bapak Ibu sekalian sebagai pemakalah dan
sebagai peserta sangat memotivasi bagi kami demi keberlangsungan SNSB IV ini
maupun SNSB pada tahun-tahun berikutnya dan sudah tentu dengan tema dan
materi yang berbeda.
Kami juga mengucapkan terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan
oleh Ibu Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A. selaku dekan FIB beserta staf,
serta para koordinator Program Studi di lingkungan FIB, Bapak/Ibu dosen,
mahasiswa dan segenap civitas Akademika FIB Unud, yang telah memperlancar
SNSB IV ini. Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh panitia SNSB IV atas
dukungan dan kerja samanya yang baik juga tidak kenal lelah. Harapan, tujuan,
semangat, kerja sama yang dilandasi dengan komitmen baik telah menjadikan
seminar ini berjalan dengan suasana akademik yang kondusif.
Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah bahasa Jawa Kuno ―Tan
Hana Wang Saswatānulus‖ yang identik dengan ―Tiada gading yang tak retak‖.
Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat kami
harapkan demi terlaksananya SNSB yang lebih berkualitas di masa mendatang.
Kami mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama
acara ini berlangsung. Terima kasih.
Panitia Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Ketua,
Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum.
iii
SAMBUTAN
Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka Buku
Kumpulan Abstrak untuk Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV (SNSB IV)
yang mengusung tema Kearifan Lokal sebagai Pembentuk Karakter Bangsa' dapat
diselesaikan tepat pada waktunya. Tema ini menjadi sangat penting karena kita
dapat memahami hubungan yang sangat erat antara Sastra dan Budaya sehingga
Sastra dan Budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Melalui
karya sastra yang penulisnya memiliki latar belakang budaya berbeda akan
mampu memperindah karya-karya sastra yang dihasilkan baik untuk kebutuhan
sebagai bahan ajar maupun untuk dihayati.
Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu-ilmu
Sastra dan Budaya. Dengan mengungkap hasil karya sastra yang berisikan
kandungan budaya diharapkan dapat membangun karakter masyarakat dan bangsa
Indonesia dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dapat terwujud
dengan baik. SNSB IV dilaksanakan untuk mendiskusikan dan
menginterpretasikan hubungan yang begitu erat antara Sastra dan Budaya
sehingga muncul pemahaman, dan apresiasi terhadap keanekaragaman dan
persamaan budaya untuk mewujudkan multikulturalisme. Multikulturalisme
adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individu maupun budaya. Perbedaan dan persamaan
Sastra dan Budaya dipandang sebagai landasan dalam multikulturalisme, yaitu
peradaban manusia melalui rentang waktu dan tempat.
Berkaitan dengan hal ini, perlu diperhatikan hubungan Sastra dan Budaya
untuk pendidikan multikulturalisme yang terdiri atas:
1. Menginterpretasikan perbedaan Sastra dan budaya berdasarkan persamaan;
2. Membuat hubungan dan perbandingan secara lintas budaya (cross Cultural
Connections and Comparisons);
3. Menunjukkan konteksnya; dan
4. Menyeimbangkan antara konteks (ecology) dan komparasi (cross-culture)
dalam Sastra dan Budaya.
Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga SNSB IV bisa
dilaksanakan secara berkesinambungan.
2. Bapak Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., dari Universitas Negeri Malang
sebagai pembicara kunci, pemakalah utama yakni Bapak Dr. Drs. I.B. Kade
Gunayasa, M.Hum. dari Universitas Mataram, dan Bapak Dr. I Nyoman
Wardi, M.Si. dari Fakultas Ilmu Budaya Unud, serta para pemakalah
pendamping lainnya yang terdiri atas dosen bahasa, pengamat sastra,
budayawan, dll.
3. Peserta SNSB IV, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang terdiri
atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, guru, mahasiswa,
pekerja dan pengamat media, sastra dan budaya, yang terlalu panjang bila
disebutkan semuanya.
iv
4. Panitia SNSB IV Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang telah
bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan
penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya.
Semoga SNSB IV yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program
Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dapat
memberikan pencerahan tentang hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara
Sastra dan Budaya, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu
Budaya, Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang
pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi
keilmuan yang berlandaskan kebudayaan.
Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran
pelaksanaan SNSB IV, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan
imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak
lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dan semoga Buku ini
bermanfaat untuk kita semua.
Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana
Dekan,
Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii
SAMBUTAN ......................................................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................................... v
PEMAKALAH KUNCI
MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL, MEMPERKUAT KARAKTER
BANGSA: Kearifan dan Karakter sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi
Djoko Saryono ........................................................................................................ 1
PEMAKALAH UTAMA
REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ SESEKEQ
SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN PENDIDIKAN
KARAKTER
Ida Bagus Kade Gunayasa .................................................................................... 15
RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN
CAGAR BUDAYA BATUKARU DI BALI : KEARIFAN KONSERVASI
LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER MASYARAKAT
BALI
I Nyoman Wardi .................................................................................................... 25
PEMAKALAH PENDAMPING
ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK
MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE
Ahmad Habib, Robbi Gunawan, Mamluqil Farihah ............................................. 37
TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG
REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN
Aliffiati, AA Ayu Murniasih ................................................................................. 43
PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI DI DUSUN
PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR (1984-2018)
Anak Agung Inten Asmariati ................................................................................ 54
RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI
Bambang Dharwiyanto Putro ................................................................................ 59
vi
MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA
RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR
NARATIF ALAN DUNDES)
Dewi Ayuningtyas ................................................................................................. 69
PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT
MULTIBUDAYA DI BALI
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo ........................................................................ 75
REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA DAN
SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA SANGKAN
GUNUNG
Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti,
I Wayan Nurjaya .................................................................................................... 82
ANALISIS ‗UNTUK KITA RENUNGKAN‘
I Gusti Ayu Gde Sosiowati .................................................................................... 88
METAFORA DI MEDIA CETAK: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN
I Gusti Ngurah Parthama ....................................................................................... 95
PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA DALAM MEMBANGUN
KARAKTER BANGSA YANG SEHAT
I Ketut Darma Laksana ........................................................................................ 102
MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK
MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT
I Ketut Jirnaya ..................................................................................................... 107
RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN
I Ketut Setiawan .................................................................................................. 112
KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA
I Made Suastika ................................................................................................... 117
TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS
MASYARAKAT BALI ERA MODERN
I Nyoman Duana Sutika ...................................................................................... 123
HIPONIMI KATA‖SEKAR‖ DALAM BAHASA JAWA KUNA
I Nyoman Sukartha, Komang Paramartha ........................................................... 130
DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI
I Nyoman Suparwa .............................................................................................. 136
vii
DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI : PERANAN NILAI-NILAI
TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN MASYARAKAT ISLAM DI
BALI
I Putu Gede Suwitha ........................................................................................... 143
BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS CERITA
RAKYAT CORO ILA DAN I BELOG MANTU
I Wayan Cika....................................................................................................... 153
MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX-
XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI
I Wayan Srijaya ................................................................................................... 159
BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI: REPLEKSI TEKS
GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN I KETUT BAGUS
I Wayan Suardiana .............................................................................................. 166
KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS AGAMA
DI LAMPUNG SUMATRA SELATAN
I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ....................................... 173
KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA: SUATU
TINJAUAN SINGKAT
I Wayan Teguh .................................................................................................... 178
KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF DALAM BAHASA SASAK
Ida Ayu Putu Aridawati ...................................................................................... 185
KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA
KERAJAAN BALI KUNO
Ida Ayu Putu Mahyuni ........................................................................................ 193
DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH
Ida Ayu Wirasmini Sidemen ............................................................................... 197
WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA
NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK DESA PLAGA-BADUNG
Ida Bagus Rai Putra ............................................................................................. 205
KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF CANDI
PENATARAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA
Ida Bagus Sapta Jaya ........................................................................................... 210
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG MUTIS
DALAM PELESTARIAN HUTAN DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA
TENGGARA TIMUR
Industri Ginting Suka .......................................................................................... 216
viii
ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA
ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO, KABUPATEN LUMAJANG,
PROVINSI JAWA TIMUR
Ketut Darmana ..................................................................................................... 221
CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE DALAM SEBUAH
PERBANDINGAN
Komang Paramartha, I Nyoman Sukartha ........................................................... 227
KISAH CINTA DAN PENGORBANAN DI BALIK TRADISI PASOLA DI
SUMBA (KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA)
Maria Matildis Banda .......................................................................................... 234
KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI LANGIT
SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN AKU ADALAH
DAGING YANG KAU PECAH-PECAH KARYA STEBBY JULIONATAN
Moh. Yusril Hermansya ...................................................................................... 240
PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
Mursalim .............................................................................................................. 247
PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN BAHASA BALI
Nengah Arnawa ................................................................................................... 252
DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI DI MEDIA
ONLINE
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ................................... 258
PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI
KUNO
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi ................................................................................. 265
“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL BALI
DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER
Ni Luh Arjani ...................................................................................................... 270
PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG: STUDI
PENDAHULUAN
Ni Luh Kade Yuliani Giri .................................................................................... 275
REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS DALAM BAHASA BALI
Ni Luh Komang Candrawati ............................................................................... 280
GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA): ANALISIS ALUR CERITA
DAN PENOKOHAN
Luh Putu Puspawati ............................................................................................. 287
ix
EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN KOBAYASHI TAKIJI
DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟
Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti ......................................................... 292
MANFAAT DAUN DEDAP ‗Erythrina variegate‘
Ni Luh Sutjiati Beratha ....................................................................................... 301
KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI
HYŌGEN
Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti .................................... 310
REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN BALI
MASA KINI
Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani........................................................................... 318
PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA DI RUANG
PUBLIK
Rahmat, Tya Resta Fitriana ................................................................................. 326
NILAI PENDIDIKAN DALAM ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK
BUDI
Sri Jumadiah ........................................................................................................ 330
KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI
PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO
Vanesia Amelia Sebayang, Asmyta Surbakti ..................................................... 337
KEARIFAN LOKAL DI BUMI MAJAPAHIT KECAMATAN TROWULAN-
KABUPATEN MOJOKERTO
Zuraidah .............................................................................................................. 344
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 1
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL,
MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA:
Kearifan dan Karakter
sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi
Djoko Saryono
Universitas Negeri Malang
Umat manusia sedang menghadapi revolusi yang belum pernah
terjadi sebelumnya, semua cerita lama kita runtuh, dan tidak ada
cerita baru yang muncul untuk menggantikannya. Bagaimana kita
dapat mempersiapkan diri dan anak-anak kita untuk dunia dengan
transformasi dan ketakpastian radikal yang belum pernah terjadi
sebelumnya? (Yuval Noah Harari, 21 Lessons for 21st Century,
2018, Spiegel & Grau)
Dobbs, Manyika, dan Woetzel (2015) membaca perubahan dunia
yang lebih besar (makro) dan menyebutkan saat ini kita tengah
berada dalam ―no ordinary disruption‖ yang tidak biasa, yang
membuat banyak orang gelisah kalau ditangani oleh orang-orang
yang hanya mampu berwacana. (Renald Khasali, Disruption, 2017,
Penerbit Gramedia Pustaka Utama)
Revolusi Industri Keempat dapat menjadi titik-temu bagi makna
tradisional manusia (pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan
identitas) atau dapat meningkatkan rasa kemanusiaan menjadi
kesadaran kolektif dan moral baru berdasarkan perasaan takdir
bersama. Pilihannya ada pada kita. (Klaus Schwab, The Fourth
Industrial Revolution, 2016, World Economic Forum)
Revolusi Industri Keempat seharusnya menjadi revolusi nilai-nilai.
(Amira Yahyaoui, dalam Astrid Savitri, Revolusi Industri 4.0,
2019, Penerbit Genesis).
Seperti dikatakan oleh salah seorang arif bijaksana dunia bernama Socrates
bahwa ―hidup yang tidak boleh diperiksa kembali adalah hidup yang tidak layani
dijalani‖, marilah kita periksa kembali hidup kita dan zaman tempat kita hidup
sekarang agar kita dapat menjalani hidup dan kehidupan dalam dunia masa
sekarang dan masa depan pada satu sisi dan pada sisi lain menghidupi dunia masa
sekarang dan masa depan yang kita kehendaki. Dunia macam apakah yang sedang
kita hadapi, bahkan menghidupi kita sekarang atau menjadi tempat hidup kita
sekarang? Dengan ringkas pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dunia masa
sekarang, bahkan masa depan yang sedang kita hadapi dan hidupi adalah sebuah
dunia yang sedang berubah sangat disruptif, radikal, fundamental, dan
eksponensial! Dunia kita sekarang adalah dunia yang sedang mengalami tsunami
perubahan dalam skala yang luas, dalam, dan kompleks. Tak heran, kita seakan-
akan tidak mampu ―menangkapnya‖ secara utuh-lengkap sehingga kita tidak dapat
2 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
menamainya dengan satu istilah atau frasa yang berterima pada semua pihak.
Banyak di antara kita menamainya dengan bermacam-macam istilah atau frasa
sesuai dengan candraan masing-masing. Betapa tidak! Gejala perubahan,
pergeseran, dan pergantian radikal, disruptif, fundamental, dan eksponensial itu
berlangsung hampir di seluruh lapangan kehidupan sejak Abad XXI, baik dalam
skala lokal, nasional, regional maupun global, bahkan planeter; baik dalam
dimensi empiris maupun normatif. Sesuai candraan masing-masing, para ahli dan
pengamat mencandra hal tersebut dengan berbagai-bagai sebutan, di antaranya
Abad XXI sekarang telah berlangsung Revolusi Industri Keempat, Revolusi
Internet Gelombang Ketiga (dari internet of thing‟s menuju internet of
everything), Revolusi Digital, Revolusi Ilmu Pengetahuan, Revolusi Mahadata
(Big Data), Revolusi Glokalisasi, dan revolusi-revolusi lain yang secara mendasar
mengubah tatanan dunia manusia, bahkan tatanan alam semesta.
Rupa-rupa penyebutan atau penjenamaan tsunami perubahan disruptif-
radikal-fundamental tersebut menggambarkan adanya perubahan yang serba tidak
terduga, serba tidak pasti, demikian kompleks, dan senantiasa taksa. Di sinilah
kita memasuki dunia VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity;
VUCA World). Dunia VUCA menyodorkan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan
baru bagi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan manusia khususnya
kelangsungan kebudayaan dan peradaban. Tantangan, tuntutan, dan kebutuhan
baru bidang kebudayaan dan peradaban direspons secara setimpal berlandaskan
dan bermodalkan kekayaan kebudayaan dan peradaban kita khususnya kearifan-
kearifan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan kultural atau moral-etis yang sudah
tumbuh dan berkembang di Indonesia disertai dengan usaha-usaha menemukan
―jawaban-jawaban baru‖ yang cocok dan sepadan dengan tantangan, tuntutan, dan
kebutuhan kebudayaan dan peradaban pada Abad XXI yang merupakan Dunia
VUCA tersebut. Secara khusus bidang kebudayaan dan peradaban ditantang,
dituntut, dan ditagih untuk memperoleh jawaban-jawaban baru yang dapat
menjadikan bidang kebudayaan dan peradaban kita tetap eksis, berdaulat, dan
berdaya. Jadi, demi daulat dan daya-tahan kebudayaan dan peradaban kita
diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban secara disruptif-radikal-
fundamental. Di sini kita dituntut untuk mampu menjadi aktor atau agen
transformasi matra-matra dan sendi-sendi tertentu kebudayaan dan peradaban.
Dalam transformasi kebudayaan dan peradaban tersebut kita tidak boleh
terjebak dalam dikotomi-dikotomi biner-atomistis, hanya pendekatan dan
wawasan hitam-putih belaka secara fanatis dan kaku. Diperlukan pendekatan dan
wawasan holistis-pluriversal (transversal) yang transversal, interseksional,
interkonektif, multimodal, dan inklusif dalam usaha-usaha transformasi
kebudayaan dan peradaban demi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan
manusia secara planeter. Berhubung masa sekarang, lebih-lebih masa depan yang
semakin padat-kendali ilmu pengetahuan dan kreativitas-inovasi, maka
keberadaan karakter dan intelektualitas sama-sama penting di samping humanitas
dan spiritualitas; keduanya tidak boleh dipertentangkan satu sama lain, apalagi
ditinggalkan salah satu di antaranya. Beranalogi dengan ucapan Albert Einstein,
karakter tanpa intelektualitas menjadikan kehidupan masa depan kehilangan arah
pada satu sisi dan pada sisi lain intelektualitas tanpa karakter menjadikan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 3
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kehidupan masa mendatang mengalami kegelapan. Di samping itu, karakter dan
intelektualitas tanpa humanitas dan spiritualitas bisa menjerumuskan kehidupan
dalam kehampaan dan keputusasaan. Baik karakter maupun intelektualitas yang
―dipimpin‖ oleh humanitas dan spiritualitas sama-sama dibutuhkan dalam
kehidupan masa sekarang, lebih-lebih kehidupan masa depan. Sebab itu,
beralaskan humanitas dan spiritualitas, baik karakter maupun intelektualitas harus
ditumbuhkembangkan dan diperkuat secara serempak-bersamaan dan seimbang
demi keselamatan dan keberlanjutan kehidupan masa sekarang dan masa depan.
Penumbuhkembangan dan penguatan karakter dan intelektualitas
berlandaskan humanitas dan spiritualitas menjadi tugas-bersama kita. Hal ini perlu
dilaksanakan secara simultan dan kontekstual, bukan serial-kronologis-prosedural.
Dikatakan demikian karena karakter dan intelektualitas, bahkan Forum Ekonomi
Dunia telah menambah literasi (2016), merupakan ―pinang dibelah dua‖,
keduanya berkoesistensi atau saling mengada demi kemajuan kebudayaan dan
peradaban. Demikian juga humanitas dan spiritualitas, keduanya berkoeksistensi,
saling mengada bersama demi ketangguhan akar dan aras-tuju kebudayaan dan
peradaban. Sejarah telah memberi pelajaran kepada kita bahwa manusia
bermartabat merupakan manusia yang mempunyai karakter yang kuat dan
intelektualitas yang tinggi di samping humanitas yang tegas dan spiritualitas yang
kokoh. Implikasinya, peningkatan martabat bangsa Indonesia dapat dilakukan
dengan penguatan karakter dan intelektualitas bangsa Indonesia beralaskan
humanitas dan spiritualitas. Dalam usaha memperkuat karakter dan intelektualitas
bangsa Indonesia beralaskan humanitas dan spiritualitas tersebut ―sumber-sumber
atau bahan-bahan‖ kebudayaan dan peradaban mana pun yang memang
―bermanfaat, menyegarkan, memperkaya, dan memperkuat‖ karakter dan
intelektualitas bangsa Indonesia. Terutama dalam konteks zaman glokalisasi,
salah satu ―sumber atau bahan‖ penguatan karakter dan intelektualitas bangsa
yang dapat dimanfaatkan adalah khazanah kebudayaan dan peradaban lokal dan
―pribumi‖ (indigenous) kita yang demikian kaya dan beranekaragam. Secara
khusus kearifan-kearifan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖
yang tersimpan atau berada dalam kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖
dapat dimanfaatkan atau didayagunakan sebagai salah satu ―sumber atau bahan‖
penguatan karakter bangsa. Di tengah-tengah tsunami perubahan disruptif-radikal-
fundamental, yang mengakibatkan ketidakstabilan dan ketidakpastian hampir
seluruh matra dan sendi kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖, tentulah
kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ tersebut perlu direstorasi,
direvitalisasi, dan diadvokasi hak dan daya hidupnya agar benar-benar bermanfaat
dan berdaya-guna sebagai sumber penguatan karakter bangsa. Ringkas kata,
kearifan dan kebijaksanaan lokal dan “pribumi” yang terekspresi-terproyeksikan
dalam matra simbolis, sosial, dan material kebudayaan perlu dimudakan kembali,
direjuvinasi, seiring dengan pemanfaatannya sebagai salah satu sumber
penguatan karakter bangsa.
Tulisan ringkas ini mencoba membeberkan bagaimana memudakan kembali
kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ seiring dengan usaha memperkuat
karakter bangsa di tengah kehidupan zaman disrupsi sehingga kearifan dan
kebijaksanaan lokal dan ―pribumi bersama karakter bangsa dapat berfungsi-peran
4 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sebagai kompas kehidupan zaman disrupsi. Untuk itu, dalam tulisan ringkas ini
diuraikan berturut-turut (1) konsep karakter, intelektualitas, dan manusia
bermartabat, (2) hubungan zaman disrupsi dengan modal manusia dan kebutuhan
penguatan karakter dan intelektualitas beralaskan humanitas dan spiritualitas, (3)
urgensi penguatan karakter dan intelektualitas sebagai tugas pemajuan
kebudayaan dan peradaban, dan (4) upaya-upaya penguatan karakter dan
intelektualitas melalui jalan pemajuan kebudayaan dan peradaban, (5) tempat dan
peran kebudayaan mdan peradaban lokal dan ―pribumi‖ khususnya kearifan dan
kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ dalam upaya penguatan karakter dan
intelektualitas bangsa, dan (6) strategi pemudaan kembali kearifan dan
kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ agar bermanfaat untuk mempersegar dan
memperkaya, dan memperkuat karakter dan intelektualitas bangsa.
KONSEP KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS
Sampai sekarang terdapat berbagai perspektif dan pendekatan untuk
menentukan konsep karakter dan intelektualitas sehingga terdapat berbagai
pengertian karakter dan intelektualitas. Untuk menyegarkan ingatan kita, pertama-
tama marilah kita telaah pengertian atau konsep karakter dan intelektualitas secara
etimologis dan psikologis. Istilah karakter berasal dari istilah Yunani charassein
yang berarti ―mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan‖. Menurut Ki
Hadjar Dewantara – seorang tokoh pendidikan nasional yang sangat terkemuka –
karakter atau watak adalah ―paduan segala tabiat manusia yang bersifat tetap
sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan
yang lain‖. Oleh karena itu, lanjut Dewantara, karakter itu merupakan ―imbangan
antara hidup batin seseorang dengan segala perbuatan lahirnya; oleh karena itu,
seolah-olah menjadi lajer atau sendi dalam hidupnya, yang selalu mewujudkan
sifat atau perangai yang khusus bagi masing-masing manusia. Ini menunjukkan
bahwa karakter merupakan keseluruhan sifat kejiwaan, kepribadian, dan akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seorang manusia dengan manusia lainnya.
Bisa disimpulkan, karakter adalah keseluruhan sifat manusia yang meliputi
kemampuan, kebiasaan, kesukaan, perilaku, potensi, nilai, dan pola pikir seorang
manusia. Pada zaman sekarang, manusia berkarakter kuat lazimnya memiliki ciri
(a) keimanan dan ketakwaan yang kuat, (b) spiritualitas yang kokoh, (c)
emosionalitas yang mantap, (d) kedisiplinan yang tinggi, (e) sikap dan tindakan
yang adil dan arif, (f) keberanian bertanggung jawab yang tinggi, (g) kemampuan
menghargai dan menghormati orang lain, (h) orientasi pada keunggulan dan
kesempurnaan, (i) kemampuan bekerja sama dengan pihak lain, (j) sikap dan
perilaku demokratis dan hak asasi atau kemampuan menjunjung demokrasi dan
hak asasi, dan (k) sikap dan perilaku yang mengutamakan kebenaran. Apakah
karakter seseorang (baca: pribadi) atau sekelompok orang (baca: bangsa) menjadi
kuat seperti tersebut atau lemah dibentuk oleh ―dasar yang telah kena
pengaruhnya ajar‖, kata Dewantara. Dengan demikian, karakter seseorang
dibentuk oleh pendidikan. Jika pendidikan merupakan entitas kelangsungan
kebudayaan dan peradaban, maka karakter dibentuk dan dikembangkan oleh
kebudayaan dan peradaban.
Sementara itu, istilah intelektualitas berasal intellectuality yang berarti
kondisi atau kenyataan kemampuan kognitif seseorang. Intelektualitas atau
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 5
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kecerdasan merupakan mutu kecendekiaan, kepandaian atau kepintaran seseorang
yang ditujukan untuk menyatakan kebenaran yang bermaslahat bagi banyak orang
atau masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kecendekiaan, kepandaian,
kebenaran, dan kemaslahatan menjadi intisari atau saripati intelektualitas. Seorang
yang mampu menggunakan kemampuan kognitifnya untuk menyatakan kebenaran
yang berguna bagi masyarakat sering disebut intelektual atau cendekiawan. Tidak
mengherankan, W. S. Rendra – seorang sastrawan terkemuka Indonesia –
menyatakan bahwa tugas intelektual adalah menjaga hati nurani masyarakat agar
tetap dapat melihat kebenaran-kebenaran. Supaya tugas ini dapat terlaksana
dengan baik, seorang intelektual harus otonom, mandiri, merdeka, dan bebas serta
arif sehingga ―intelektual harus berumah di atas angin‖, kata Rendra. Jadi, dapat
disimpulkan bahwasanya intelektualitas merupakan kecendekiaan atau kepandaian
yang dimiliki oleh seseorang untuk menyatakan kebenaran secara bebas, otonom,
mandiri, dan arif demi kemaslahatan bersama manusia – bagi sebagai makhluk
personal dan makhluk sosial maupun sebagai makhluk spiritual. Mutu
intelektualitas seseorang dibentuk oleh pendidikan, bukan pengajaran, sehingga
lembaga pendidikan [baca: sekolah dan perguruan tinggi] bukan tempat satu-
satunya bagi penguatan dan penguatan intelektualitas meskipun sekolah
berkedudukan dan berfungsi strategis bagi penguatan dan penguatan
intelektualitas.
Mutu karakter dan intelektualitas seseorang atau seorang manusia dapat
menentukan martabat seorang manusia. Jika seorang atau sekelompok manusia
memiliki mutu karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi, maka dia atau
mereka akan menjadi manusia bermartabat. Sebaliknya, bilamana seseorang atau
sekelompok manusia memiliki mutu karakter dan intelektualitas yang rendah,
maka dia atau mereka dianggap tidak atau kurang bermartabat. Ini menunjukkan
bahwa karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi menjadi prasyarat yang
harus ada – conditio sine qua non – manusia yang bermartabat.
Manusia bermartabat di sini adalah seorang (baca: pribadi) atau sekelompok
manusia (baca: bangsa) yang disegani, dihormati, dijunjung, diperhitungkan, dan
diakui keberadaannya oleh pihak lain atau manusia lain. Di samping itu, manusia
bermartabat pada umumnya senantiasa didengar pendapat-pendapatnya, dipakai
pikiran dan pandangannya, dirujuk tindakan-tindakannya, dan diteladani segala
perilakunya oleh manusia lain. Sebagai contoh, para ruhaniwan dan pemikir-
ilmuwan merupakan manusia-manusia bermartabat luar biasa tiada tepermanai.
Dalam masa sekarang, manusia bermartabat atau kelompok manusia bermartabat
itu antara lain berkarakteristik sebagai berikut: (a) memiliki keimanan dan akhlah
yang kuat, (b) memiliki kemampuan, keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk
menyatakan segala kebenaran demi kemaslahatan manusia lain; (c) memiliki
keotonoman, kemandirian, keberdikarian, keindependenan, dan daya saing positif
serta daya sanding yang baik dari pihak lain atau manusia lain; (c) memiliki
keberdayaan, keberkuasaan, kekuatan, dan kemampuan menentukan nasib sendiri
baik secara politis, geografis, ekonomis maupun sosial budaya; (d) memiliki
kemampuan memelopori dan mendorong kerja sama dan hubungan antar-
manusia, (e) memiliki kemantapan, ketahanan, dan kelenturan politik, ekonomi,
sosial, budaya, dan teknologi; (f) menguasai ilmu, teknologi, dan ekonomi yang
6 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berarti dan berguna bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh
warga manusia dan dunia; (g) mampu memberikan sumbangan (kontribusi)
penting bagi dunia dan kawasan tertentu, misalnya perdamaian dunia dan
kemajuan dunia; dan (h) mampu mewujudkan keadilan, kemakmuran, demokrasi,
dan hak asasi manusia baik bagi siapa saja. Dari uraian ini dapat disimpulkan
bahwa manusia bermartabat selalu bermodalkan karakter yang kuat dan
intelektualitas yang tinggi secara padu dan utuh yang dialasi oleh humanitas dan
spiritualitas sehingga bermaslahat bagi manusia lain dan kehidupan sesama-
bersama.
ZAMAN DISRUPSI, MODAL MANUSIA, DAN KARAKTER—
INTELEKTUALITAS
Harus disadari bahwa sekarang kita telah tiba pada zaman disrupsi yang
dipimpin oleh ilmu pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi; kita hidup di
dalam zaman pengetahuan-teknologi dan zaman kreatif-inovatif. Dalam zaman
pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi, segala sesuatu bertumpu atau
berbasis pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi, tanpa tumpuan atau basis
pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi yang layak segala sesuatu akan
tergeser, terpinggirkan, bahkan tergusur. Kita telah menyaksikan dengan jelas
beberapa gejala: perekonomian bertumpu pengetahuan-teknologi, teknologi
bertumpu pengetahuan tingkat tinggi, pekerjaan bertumpu pengetahuan-teknologi
[termasuk pekerja berpengetahuan-teknologi], dan kegiatan-kegiatan lain juga
bertumpu pengetahuan-teknologi. Oleh karena itu, sejak lama Peter Drucker –
seorang tokoh manajemen kelas dunia – dalam New Realities (1992)
memaklumkan kehadiran masyarakat berpengetahuan, melanjutkan [atau malah
menggantikan?] dominasi masyarakat informasi dan industrial, masyarakat
pertanian [pra-industrial], dan masyarakat pra-pertanian. Dalam masyarakat
berpengetahuan-teknologi, manusia-manusia tanpa penguasaan pengetahuan-
teknologi memadai niscaya akan tergeser dan terpinggirkan, bahkan kalah karena
mereka tidak akan mampu memasuki dan berkiprah pada berbagai aktivitas utama
kehidupan manusia [ekonomi, pekerjaan, dan lain-lain] yang notabene berbasis
pengetahuan-teknologi. Dalam pada itu, manusia-manusia berpengetahuan-
teknologi memadai akan unggul dan berjaya karena mereka niscaya mampu
memasuki dan eksis dalam berbagai aktivitas utama kehidupan. Hal tersebut
menunjukkan bahwa pengetahuan-teknologi telah menjadi modal dasar
keunggulan dalam zaman disrupsi sekarang.
Sejalan dengan itu, Thomas A. Stewart dalam Intellectual Capital (1997)
dan pakar-pakar lain menyatakan betapa penting, utama, dan sentralnya
keberadaan dan peranan modal intelektualitas dalam zaman pengetahuan. Yuval
Noah Harari dalam tiga buku laris-manisnya, yaitu Sapiens: A Brief History of
Humankind (2011) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), dan 21
Lessons for 21st Century (2018), malah memaklumatkan sepak terjang
intelektualitas terutama revolusi kognitif yang telah dan sedang menyapu seluruh
tatanan dunia dan tatanan kehidupan manusia di dunia, bahkan ―di seberang
dunia‖. Demikian juga Steven Pinker dalam Enlightenment Now: The Case for
Reason, Science, Humanism, and Progress (2018) memaklumkan sekaligus
membela nalar, sains, humanisme, dan kemajuan sebagai pencapaian kebudayaan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 7
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dan peradaban manusia yang perlu terus dikembangkan di tengah menjamurnya
―progresophobia‖. Dengan modal pengetahuan-teknologi [intelektualitas] yang
bermutu dan unggul, seseorang (pribadi) atau sekelompok masyarakat (bangsa)
niscaya mampu eksis, unggul, berjaya, dan berkiprah secara berarti dalam suatu
bidang kehidupan mutakhir di manapun selain mereka juga mampu berkembang
dengan baik di dalam kehidupan. Sebaliknya, dengan modal pengetahuan yang
terbatas, ―pas-pasan sekali‖, apalagi usang, seseorang [atau sekelompok
masyarakat] niscaya akan terancam, terpinggirkan, malah tergusur dari bidang
kehidupan mutakhir. Hal ini mengimplikasikan, manusia berpengetahuan atau
yang mempunyai modal intelektualitas akan menjadi manusia bermutu dan unggul,
sedangkan manusia yang tidak memiliki modal pengetahuan akan menjadi
manusia ―terbelakang‖ dan serba kalah.
Modal intelektualitas tersebut harus disertai dan dipadukan dengan modal
karakter yang kuat agar benar-benar bermaslahat dan unggul bagi kemanusiaan
dan kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sentralnya modal
manusia (yang berkandungan intelektualitas dan karakter yang kuat) bagi
pertumbuhan, perkembangan, dan pembangunan manusia dan masyarakat. Tak
mengherankan, dalam buku The Quality of Growth dan buku-buku lain yang
ditulis atas nama Bank Dunia dan dipublikasikan oleh Bank Dunia (2000), modal
manusia (bukan sekadar modal intelektualitas!) telah dianggap sebagai aset paling
utama dan berharga bagi mutu pertumbuhan dan pembangunan yang akan
mendatangkan kesejahteraan. Dikatakan dalam buku tersebut bahwa ―Secara
umum, aset yang penting bagi pertumbuhan dan pembangunan adalah modal
manusia, modal fisik, dan modal alam‖ (xxxiv). Jadi, modal manusia khususnya
modal intelektualitas dan karakter telah menjadi investasi paling berharga dalam
abad pengetahuan, jauh melebihi investasi uang dan tanah, apalagi tenaga manusia.
Sehubungan dengan itu, penguatan mutu modal manusia menjadi tugas,
imperatif, dan tantangan bagi semua individu, masyarakat, dan bangsa jika ingin
selamat memasuki dan mampu berkiprah secara signifikan dalam abad
pengetahuan. Individu – juga masyarakat dan bangsa – yang mampu memperkuat
mutu modal intelektualitas dan karakternya niscaya mampu bermain dan berjaya
dalam kehidupan abad pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang mampu
memperkuat mutu modal intelektualitas dan karakter mereka niscaya akan
menjadi masyarakat dan bangsa unggul secara kompetitif dan kolaboratif di
samping berperanan signifikan dalam abad pengetahuan. Sebab itu, tidak
mengherankan, individu-individu, masyarakat-masyarakat, dan bangsa-bangsa di
dunia [termasuk ke dalamnya lembaga atau organisasi masyarakat dan bangsa]
sibuk dan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan penguatan mutu modal manusia,
dalam hal ini mutu modal intelektualitas dan karakter. Terlepas dari istilah,
konsep, dan karakteristiknya, yang dapat berbeda-beda, tampak jelas bahwa
individu, masyarakat, dan bangsa di dunia sekarang tengah mencurahkan
perhatian pada upaya penguatan mutu modal karakter dan intelektual manusia –
termasuk karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia.
Dalam upaya penguatan mutu modal manusia terutama modal intelektualitas
dan karakter, pendidikan telah dipandang oleh pelbagai kalangan sebagai wahana,
8 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
wadah, ajang, dan jalur yang sangat utama dan vital sehingga mempunyai
kedudukan, fungsi, dan peranannya sangat penting, strategis, bahkan taktis.
Galibnya, individu, masyarakat, dan bangsa yang terobsesi untuk memperkuat
mutu modal manusia menempatkan dan memperlakukan kebudayaan dan
peradaban sedemikian penting dalam kehidupan di samping memprioritaskan
pemenuhannya. Tidak mengherankan PPB atau masyarakat bangsa di dunia telah
menetapkan pemenuhan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban sebagai salah
satu hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam kovenan Hak-hak Sosial,
Ekonomi, dan Budaya. Amanat konstitusi kita terutama pembukaan UUD 45 juga
berpusat pada pentingnya pendidikan bagi penguatan dan penguatan karakter dan
intelektualitas manusia dan bangsa Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, agama-
agama di dunia selalu mengamanatkan pemenuhan dan pemajuan kebudayaan dan
peradaban dalam upaya pembentukan, pengembangan, dan peningkatan modal
manusia khususnya modal karakter dan intelektualitas. Tanpa harus mengutip
ayat-ayat kitab suci dan atau atau ajaran agama yang sudah pasti jumlahnya sangat
banyak, dapat dikemukakan di sini bahwa agama-agama atau spiritualitas mana
pun sangat menekankan vital, fundamental, strategisnya kebudayaan dan
peradaban selain mengamanatkan utamanya menumbuhkembangkan dan
memajukan kebudayaan dan peradaban. Jadi, dapat dinyatakan bahwa
pengembangan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban sebagai upaya
membentuk dan memperkuat mutu modal karakter dan intelektualitas manusia
telah menjadi obsesi, imperatif, dan visi—misi—tujuan manusia, bangsa, dan
agama, termasuk manusia dan bangsa Indonesia.
URGENSI PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS
Sejalan dengan uraian tersebut, dapat ditegaskan di sini bahwa upaya
penguatan karakter (yang kuat) dan intelektualitas (yang tinggi) bangsa inilah
yang sekarang menjadi tantangan, tuntutan, kebutuhan, dan tugas pemajuan
kebudayaan dan peradaban, bahkan tugas semua sektor kehidupan manusia
Indonesia. Mengapa demikian? Sejumlah alasan dapat dikemukakan berikut ini.
1. Dikatakan menjadi tantangan dan tuntutan pendidikan termasuk pendidikan
nasional Indonesia karena hasil-hasil pendidikan modern kita selama ini –
yang sangat menekankan dan mengunggulkan mutu intelektualitas atau
kepandaian yang dilambangkan dengan IQ terbukti kurang berhasil atau malah
telah gagal dalam membentuk dan memperkuat kaum muda Indonesia menjadi
manusia-manusia bermartabat yang bermaslahat bagi bangsa dan negara,
kemanusiaan, dan agama. Daniel Goleman – seorang pakar psikologi
pendidikan dan pencetus teori kecerdasan emosional (EQ) – menceritakan
(dalam buku monumentalnya yang berjudul Emotional Intelligence, 1995)
bahwa di Amerika banyak sekali dijumpai kaum muda Indonesia pandai atau
intelektualitasnya tinggi yang mudah putus asa, naik darah, dan bertindak
brutal seperti menikam guru dan membunuh teman. Di tempat kita sendiri atau
di Indonesia, dengan mudah juga dapat kita jumpai para kaum muda Indonesia
yang sering berkelahi atau tawuran, berbuat kriminal seperti membajak
buskota, bahkan membentuk gang kriminal meskipun banyak di antara mereka
memiliki intelektualitas yang tinggi atau kecerdasan yang baik. Stolz dalam
buku Adversity Quotient malah mengelompokkan manusia Indonesia bertipe
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 9
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tukang kemah (camper) yang tidak memiliki tahan banting yang kuat. Ini
semua terjadi karena intelektualitas mereka tidak diimbangi dengan karakter
yang kuat. Lebih lanjut, hal ini menyarankan bahwa penguatan dan penguatan
mutu karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi menjadi tantangan dan
tuntutan bagi pendidikan. Orang tua, masyarakat, bahkan negara Indonesia
sekarang juga menuntut agar pendidikan mampu membentuk karakter dan
intelektualitas secara seimbang dan utuh sebab karakter dan intelektualitas
yang seimbang dan utuh akan menjadikan modal manusia unggul.
2. Sementara itu, dikatakan menjadi kebutuhan dunia pendidikan pada masa kini
dan masa depan karena pandangan-pandangan dan teori-teori pendidikan
mutakhir selalu menyerukan dan menyarankan agar pendidikan tidak hanya
membentuk kecerdasan kognitif atau intelektual (IQ; Intelligence Quotient),
tetapi juga kecerdasan emosional (EQ/EI; Emotional Quotient/Emitional
Intelligence) dan kecerdasan spiritual (SQ/SI; Spiritual Quotient/Spiritual
Intelligence) serta kecerdasan adversitas (AQ; Adversity Quotient);
kecerdasan majemuk (MI; Multiple Intelligence) Sudah bukan zamannya lagi
pendidikan hanya menekankan, mengutamakan, dan memuja-muja kecerdasan
kognitif karena kecerdasan kognitif tidak cukup memadai untuk mengarungi
kompleksitas dan konfigurasi abad pengetahuan. Para pemikir sosial dan
pendidikan juga senantiasa mengingatkan agar penguatan dan penguatan
karakter kaum muda Indonesia diperhatikan sekaligus digarap (ditangani)
secara sungguh-sungguh selain penguatan dan penguatan intelektualitas. Jika
hal tersebut dapat diwujudkan, maka mutu modal manusia niscaya unggul
secara kompetitif atau surpetitif (istilah Giddens). Mutu modal manusia yang
unggul secara kompetitif dan kolaboratif – yang berisikan karakter yang kuat
dan intelektualitas yang tinggi – akan membuat seorang atau sekelompok
manusia mampu berkiprah secara berarti di dalam konfigurasi abad
pengetahuan di dunia yang serba berlari tanpa kendali (runway world – kata
Anthony Giddens). Jadi, pada abad pengetahuan pendidikan harus
memusatkan perhatian pada upaya penguatan karakter dan intelektualitas
secara utuh, padu, seimbang, dan proporsional.
3. Dikatakan menjadi tugas dunia pendidikan termasuk dunia pendidikan
nasional kita sekarang karena pendidikan yang berpusat pada penguatan dan
penguatan karakter dan intelektualitas telah menjadi salah satu hak asasi
manusia. Dalam Kovenan Hak Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
pasal 13, ayat 1 dinyatakan bahwa ―Negara-negara Peserta Kovenan ini
mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka bersepakat bahwa
pendidikan harus diarahkan pada perkembangan seutuhnya dari kepribadian
manusia dan kesadaran akan harga dirinya dan memperkuat rasa hormat
terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya
bersepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk
berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas,
meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antara semua
bangsa dan semua kelompok rasional, etnis atau beragama‖. Demikian juga
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Bab XIII, pasal 31, ayat (2)
Batang Tubuh UUD 45 mengamanatkan penguatan dan penguatan karakter
yang kuat dan intelektualitas yang tinggi sebagai wujud pencerdasan
kehidupan bangsa sebagai tugas utama pendidikan. Lebih daripada semua itu,
10 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sejak awal keberadaannya, agama-agama mencanangkan dan menyerukan
bahwa pendidikan itu sangat utama-fundamental-vital dan tugas pokoknya
adalah membentuk dan memperkuat karakter dan intelektualitas manusia –
selain spiritualitas dan religiositas. Agama malah secara luar biasa
menyerukan agar semua manusia menempuh pendidikan demi terbentuknya
karakter dan intelektualitas – juga spiritualitas dan religiositas – secara
seimbang dan proporsional selain mengamalkan hasil pendidikan berupa ilmu
dan kearifan kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa agama telah
menempatkan pendidikan sebagai proses penguatan dan penguatan karakter
dan intelektualitas sedemikian tinggi dan utama serta pokoknya.
4. World Economic Forum (2015, 2016) merumuskan visi baru bagi
pembangunan khususnya visi baru bagi pendidikan yang menawarkan
konfigurasi kecakapan Abad XXI. Menurut World Economic Forum,
kecakapan Abad XXI itu berintikan tiga entitas pokok, yaitu kualitas karakter,
kompetensi, dan literasi fondasional, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut
menjadi 17 macam kecakapan. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya
karakter dan intelektualitas, bahkan dapat dikatakan bahwa poros atau ruh
pendidikan Abad XXI adalah karakter dan intelektualitas. Selaras dengan hal
tersebut, Kemendikbud meluncurkan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter
(PPK) yang bertujuan mengembalikan atau menempatkan kembali karakter
dan intelektualitas selain literasi sebagai poros pendidikan nasional. Gerakan
PPK itu diperankan sebagai wahana penunaian Nawa Cita dan perwujudan
Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Lebih lanjut, belakan Gerakan
PPK tersebut diperkuat oleh Perpres 87 Tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter. Semua itu memperlihatkan bahwa teras atau poros
pendidikan nasional sekarang mencakup karakter, intelektualitas, dan literasi
sebagai satu keutuhan. Hal ini jelas menjadi tugas dan tantangan utama bagi
pendidikan nasional Indonesia.
UPAYA PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS
Upaya penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi dapat
dilaksanakan melalui pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan
pendidikan formal. Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada pendidikan
sebagai wahana penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi.
Sejak dulu sampai sekarang pendidikan kita sudah melaksanakan penguatan dan
penguatan karakter dan intelektualitas baik melalui kegiatan warga belajar.
Berbagai kegiatan warga belajar yang dilaksanakan oleh berbagai satuan
pendidikan mencerminkan komposisi penguatan dan penguatan karakter dan
intelektualitas. Sebagai contoh, kegiatan pendidikan agama dan pendidikan budi
pekerti diarahkan pada penguatan dan pengembangan karakter, sedangkan
kegiatan pemahaman pengetahuan alam dan sosial diarahkan pada penguatan dan
pengembangan intelektualitas. Program Pendidikan Karakter yang sekarang
sedang digencarkan beberapa tahun belakangan ini di berbagai lembaga
pendidikan di Indonesia juga bertujuan membentuk dan memperkuat karakter
kaum muda. Jadi, pada dasarnya dan sesungguhnya pendidikan kita telah
mengupayakan pelbagai program dan kegiatan penguatan mutu karakter dan
intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia meskipun ada pula warga belajar
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 11
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang tergolong tua secara biologis. Pendidik dan tenaga kependidikan telah
berusaha secara sungguh-sungguh dan optimal untuk mengupayakan penguatan
karakter dan intelektualitas kaum muda.
Walaupun demikian, harus diakui dengan jujur, bahwa upaya penguatan
mutu karakter dan intelektualitas melalui pendidikan tersebut belum
mendatangkan hasil optimal dan memuaskan berbagai pihak. Hal ini terbukti dari
berbagai indikator yang langsung atau tidak langsung merupakan keluaran, hasil,
dan dampak proses pendidikan selama ini. Sudah berulang-ulang dikemukakan
oleh banyak kalangan dan media massa, misalnya, mutu indeks pembangunan
manusia (HDI) Indonesia sangat rendah, jauh di bawah negara jiran kita
Singapura dan Malaysia. HDI Indonesia, yaitu peringkat pencapaian pendidikan,
kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun: pada tahun
1996 HDI Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara, pada tahun 1997
naik ke urutan 99, kemudian mesorot kembali ke urutan 105 pada tahun 1998 dan
tambah merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Rendahnya kualitas, kompetensi,
dan kinerja HDI Indonesia ini cerminan rendahnya daya saing Indonesia. Data
yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia
sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57 negara
yang disurvai di dunia. Laporan Learning Curve tahun 2012 tentang adidaya
pendidikan dunia juga menempatkan mutu pendidikan Indonesia pada peringkat
terbawah dari 40 negara yang disurvai. Berbagai keadaan tersebut juga tidak
berubah signifikan hingga sekarang. Demikian juga perkelahian antar-pelajar,
bahkan perkelahian antar-mahasiswa, pembajakan bus kota oleh pelajar, tindakan
pencurian oleh pelajar, dan lain-lain mengisyaratkan bahwa usaha penguatan dan
penguatan karakter dan intelektualitas melalui pendidikan belum mencapai hasil
yang diharapkan. Kenyataan lain – yang menunjukkan bahwa terdapat 50 ribu
anak jalanan di 12 kota besar Indonesia, sekitar 400 ribu anak pengungsi domestik
menghapi permasalahan sosial, sekitar 10,6 juta menderita berbagai kecacatan,
sekitar 70 ribu anak dalam cengkeraman eksploitasi seksual, dan sekitar 80%
tindak kekerasan menimpa anak-anak berusia 15 tahun serta puluhan ribu siswa
terkena narkoba – nyata-nyata menggambarkan betapa upaya penguatan karakter
dan intelektualitas kaum muda Indonesia sangat jauh dari memuaskan dan
memenuhi harapan semua pihak.
Hal tersebut terjadi bukan semata-mata kesalahan dan kelemahan
pendidikan dan pendidik yang ada yang telah bekerja secara sungguh-sungguh
sekalipun dengan belum memadai. Dikatakan demikian karena ada berbagai
faktor lain yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya penguatan karakter dan
intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia. Di samping lembaga lembaga
pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, dan anggaran pendidikan yang
belum efektif, tak kalah pentingnya adalah faktor gaya hidup keluarga, dan
masyarakat. Gaya hidup modern sekarang yang disokong oleh kapitalisme gaya
hidup hedonis yang senantiasa menyerbu lewat televisi, media, dan iklan telah
membuat para pelajar, bahkan manusia pada umumnya, memilih jalan pintas,
kehilangan pertahanan diri, dan kehilangan akal sehat – seolah-olah lemah sekali
karakternya. Demikian juga kebanyakan keluarga Indonesia cenderung
menyerahkan anaknya kepada lembaga pendidikan, padahal kemampuan lembaga
12 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
pendidikan sangat terbatas. Partisipasi keluarga Indonesia masih tergolong rendah
dalam proses pendidikan anak-anak mereka dibandingkan dengan partisipasi
kelurga dari negara lain. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat. Masyarakat
juga cenderung menyerahkan segala urusan pendidikan dan menimpakan segala
kesalahan kepada lembaga-lembaga pendidikan dan para pendidik. Partisipasi dan
dukungan mereka terhadap proses pendidikan kurang optimal. Oleh karena itu,
dalam rangka mengoptimalkan dan menyukseskan upaya penguatan karakter dan
intelektualitas melalui pendidikan formal, partisipasi dan dukungan keluarga dan
masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan dan digalang secara optimal selain
partisipasi keluarga dan masyarakat ditingkatkan dalam proses pendidikan
keluarga dan masyarakat. Untuk itu, secara sistemik dan terencana harus
menggalang partisipasi keluarga dan masyarakat Indonesia dalam pendidikan
guna membentuk dan memperkuat karakter yang kuat dan intelektualitas yang
tinggi.
PERAN BUDAYA LOKAL DALAM PENGUATAN KARAKTER DAN
INTELEKTUALITAS
Bagian akhir uraian di atas memperlihatkan bahwa penguatan karakter dan
intelektualitas melalui pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
eksternal proses pendidikan di samping faktor internal proses pendidikan.
Berbagai faktor eksternal dan internal itu dapat disebut budaya dalam pengertian
empiris, bukan normatif. Hal ini mengimplikasikan bahwa proses penguatan
karakter sekaligus intelektualitas bukan hanya dipengaruhi atau ditentukan oleh
budaya, melainkan merupakan proses budaya. Di sinilah dapat dikatakan bahwa
penguatan karakter dan intelektualitas merupakan proses budaya di samping
ditentukan oleh budaya. Tegasnya, budaya memainkan peran sangat fundamental
dan strategis dalam penguatan karakter dan intelektualitas bangsa. Dikatakan
fundamental karena budaya akan menjadi sumber, sumbu, dan landasan
penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia, sedang dikatakan
strategis karena budaya harus dijadikan perspektif dan pendekatan penguatan
karakter dan intelektualitas melalui berbagai sektor kehidupan budaya.
Arah perkembangan budaya Indonesia akan menentukan arah penguatan
karakter dan intelektualitas Indonesia. Demikian juga corak dan kecenderungan
budaya di Indonesia jelaslah akan menentukan corak dan kecenderungan karakter
dan intelektualitas kaum muda Indonesia yang dibentuk. Politik atau kebijakan
budaya Indonesia juga akan menentukan proses penguatan profil karakter dan
intelektualitas kaum muda Indonesia. Ketika budaya Indonesia tidak jelas arah
perkembangannya, seperti yang sekarang terjadi atau sedang berlangsung, maka
sesungguhnya sekarang tidak jelas arah penguatan karakter dan intelektualitas
Indonesia: karakter dan intelektualitas macam apa yang kita dikehendaki untuk
eksistensi manusia dan bangsa Indonesia pada Abad Pengetahuan? Pada saat
corak dan kecenderungan perkembangan budaya Indonesia tidak jelas, tidak
terarah, dan tidak utuh seperti sekarang, maka sesungguhnya tidak jelas pula
penguatan corak dan kecenderungan karakter dan intelektualitas manusia
Indonesia yang dikehendaki bersama. Demikian juga ketika politik atau kebijakan
budaya Indonesia tidak jelas dan kurang kokoh seperti sekarang, maka
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 13
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sesungguhnya tidak jelas pula politik atau kebijakan penguatan karakter dan
intelektualitas kaum muda Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa penguatan
karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi – sebagaimana kita kehendaki –
memerlukan politik atau kebijakan budaya yang jelas arah, corak, dan
kecenderungannya.
PENUTUP
Dalam Abad Pengetahuan yang demikian kompetitif sekaligus kooperatif,
dalam arti derajat kompetisi dan kooperasi sedemikian tinggi, sudah barang tentu
ketinggian intelektualitas atau kemampuan intelektual yang sangat tinggi saja
tidak cukup. Kekuatan dan ketahanan karakter juga sangat diperlukan. Abad
Pengetahuan yang sedang menjelang memang tidak membutuhkan orang-orang
yang hanya mempunyai kemampuan intelektual tinggi, tetapi juga membutuhkan
orang-orang yang mempunyai ciri karakter yang kuat, berdaya sanding hebat, dan
berdaya tahan tinggi – di samping spiritualitas dan religiositas yang mantap.
Dikatakan demikian karena dalam abad tersebut perubahan berlangsung sangat
cepat sehingga kebaruan dan keusangan cepat terjadi, pilihan-pilihan menjadi
sedemikian banyak, dan persaingan menjadi sedemikian tinggi. Kenyataan ini
dapat dikelola dan dilalui dengan baik kalau manusia memiliki karakter yang kuat
sekaligus intelektualitas yang tinggi. Pendidikan perlu cepat merespons kebutuhan
tersebut, yaitu dengan baik mempersiapkan manusia yang berkarakter kuat
sekaligus berintelektualitas tinggi. Inilah tugas penting pendidikan sekarang,
mengingat eksistensi dan posisinya yang sedemikian strategis dan vital dalam
zaman modern sekarang. Dalam melaksanakan tugas penting tersebut, budaya
berperanan sangat penting. Oleh karena itu, budaya harus ditempatkan sebagai
sumbu sekaligus landasan dalam penguatan karakter dan intelektualitas kaum
muda Indonesia Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Hazim. 1984. Nilai-nilai Etis Wayang dan Pendidikan Watak Guru.
Disertasi, tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.
Dewantara, Ki Hadjar. 1967. Pendidikan: Buku I. Jogyakarta: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa dan Penerbit Tamansiswa.
Drucker, Peter. 1999. New Realities. Jakarta: Penerbit Elex Komputindo.
Kartika, Sandra dan Sapto Yunus. 2001. Kovenan Internasional Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan bekerja
sama dengan The Asia Foundation.
Nucci, Larry P. dan Darcia Narvaez (Penyunting). 2008. Handbook of Moral and
Character Education. Madison Awe, New York: Routledge
Pat Duffy Hutcheon. 1999. Building Character and Culture. Wespot,
Connecticut: Praeger.
Ritchhart, Ron. 2002. Intellectual Character: What It Is,Why It Matters, and How
to Get It. San Fransisco: Jossey Bass
Stewart, Thomas A. 1997. Intelectual Capital. Terjemahan T. Hermaya. Jakarta:
Penerbit Elex Komputindo.
14 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Supriadi, Dedi. 2000. Internasionalisasi Pendidikan: Perbandingan Mutu
Pendidikan Antar-negara. Makalah disajikan dalam Kovensi Nasional
Pendidikan Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta, pada 19 – 22 September
2000.
Winston, Joe. 1998. Drama, Narrative and Moral Education: Exploring
Traditional Tales in the Primary Years. Washington, D.C: The Falmer Press
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 15
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ
SESEKEQ SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN
PENDIDIKAN KARAKTER
Ida Bagus Kade Gunayasa
Universitas Mataram
ABSTRAK
Tujuan pembahasan ini adalah merevitalisasi nilai-nilai yang ada
pada dongeng Loq Sesekeksebagai kekayaan intelektual daerah atau
masyarakat Sasak yang ada di Pulau Lombok. Pembahasan ini
mencoba mengukap fakta bahwa dalam cerita rakyat Sasak Loq
Sesekeqdapat ditemukan nilai-nilai kearifan lokal tentang
penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter, meliputi; (a)
pembentukan pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif,
(c) pribadi menghormati guru, (d) dan sikap jujur dan menepati
janji. Diketahui saat ini pola asuh anak dan pendidikan karakter
masih bercermin atau mengikuti pola yang dari luar, di daerah
tempat kita membina dan melakukan pendidikan terdapat kekayaan
intelektual yang mampu memberikan solusi dalam permasalahan
bangsa dewasa ini tentang krisis moral atau karakter, pembahasan
tentang cerita rakyat SasakLoq Sesekeq ini dapat sebagai jawaban
permasalahan yang dihadapi.
A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Membentuk pribadi berkarakter adalah angan-angan luhur bangsa yang
pada masa sekarang masih banyak rintangan (Nurgyantoro, 2010). Pengaruh
budaya global sebagai salah satu hal penyebab degradasi moral anak generasi
penerus bangsa kita. Suryaman (dalam Herfanda, 2008:131) menyatakan bahwa
karya sastra memiliki peluang utama dalam pembentukan dan perubahan karakter.
Melalui karya sastra dapat dipelajari berbagai nilai-nilai yang bersifat humanis
mengenai hubungan antara manusia secara horizontal dan spiritual sebagai
manusia yang beriman kepada Allah SWT secara vertikal, serta menghargai
segala yang ada dalam kehidupan sekitar kita.
Para ahli psikologi dan pendidikan berpendapat bahwa masa anak-anak
adalah masa keemasan (the golden ages). Hidayah (2009:10) menyatakan
bahwaanak usia balita sedang mengalami masa pertumbuhan yang sangat pesat.
Pertumbuhan otak dan kepala anak lebih cepat daripada pertumbuhan organ yang
lain. Dilihat dari aspek perkembangan kecerdasan balita, banyak ahli mengatakan:
(a) pada usia 0-4 tahun mencapai 50%; (b) pada usia 4-8 tahun mencapai 80%;
dan (c) pada usia 8-18 tahun mencapai 100%. Suyadi (dalam Subiyantoro,
2012:2) menjelaskan bahwa menurut para psikolog, masa kanak-kanak adalah
masa yang penuh dengan imajinasi. Anak mempunyai daya imajinasi yang lebih
beragam dari pada orang dewasa. Terlebih lagi ketika anak-anak bermain peran,
yaitu memerankan tokoh dari sebuah cerita.
16 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
menyatakan bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan
Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan
menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Pembangunan
karakter sudah menjadi amanat dalam pendidikan dan menjadi kewajiban bersama
untuk mewujudkan Indonesia yang berakhlak, bermoral, dan beretika
(Soelistyarini, 2011:1).
Pada saat ini bangsa Indonesia dalam konteks perkembangan zaman
karakter anak bangsa mengalami degradasi, hubungan antar orang tua, guru dan
siswa boleh dikatakan mengalami penurunan nilai, dalam banyak kasus kita
mendapati anak menganiyaya orang tua, siswa menganiyaya guru. Kasus-kasus
penganiayan yang dialami oleh guru yang dilakukan oleh muridnya sendiri seperti
kasus Ahmat Budi Cahyono seorang guru yang tewas dianiaya oleh muridnya di
Sampang Madura, Nuryana seorang guru di Tanggerang dibacok siswanya, Dasrul
seorang guru dianiaya oleh wali murid gara-gara tidak terima anaknya ditegur
oleh gurunya tersebut, Osi wulandari seorang guru di Sumatra Selatan hidungnya
patah dianiaya oleh siswanya gara-gara tidak terima ditegur jangan duduk di atas
meja, di Banten seorang guru bernama Yoga dianiaya oleh murid bersama
kakaknya, gara-gara tidak terima rambutnya dipotong. Masih banyak kasus yang
seperti ini. Pada awal 2019 beredar video seorang murid menantang gurunya,
gara-gara di tegur merokok oleh gurunya bahkan sampai berani memegang kepala
gurunya.
Gambaran kasus antara guru dan murid bahkan wali murid memberikan
gambaran nilai-nilai tentang karakter dan pola asuh anak sudah mengalami
degradasi. Penelitian ini akan mengkaji tentang nilai-nilai yang ada dalam cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeq. cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini memiliki keunikan
tersendiri sehingga peneliti merasa tertarik untuk mengungkapnya dalam sebuah
penelitian terutama tentang penguatan pola asuh anak dan penanaman pendidikan
karakter. Nilai-nilai inilah yang menmbuat penulis ingin melakukan peneliti
tentang kearifan lokal khususnya bagaimana orang tua atau seorang ibu
menanamkan karakter pada seorang anak melaluicerita rakyat Sasak Loq Sesekeq
ini, sebagai langkah revitalisasi nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah
khususnya yang ada pada suku Sasak.
Nilai-nilai ini yang akan mengembalikan pola asuh anak dan
penanamanpendidikan karakteruntuk mencegah terjadi degradasi moral. Dan
mentrasnformasi nilai-nilai dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqini sebagai nilai
yang dimiliki oleh masyarakat Sasak sejak lama yang terlupakan saat ini. Cerita
rakyat SasakLoq Sesekeq ini merupakan dongeng yang penyebarannyasecara lisan
dan dilakukan turun memurun sebagai metode memberikan pendidikan karakter
oleh orang tua kepada anaknya. Dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini
terdapat gambaran, seorang ibu menanamkan pemahamankepada anaknya dan
mengajarkan bagaimana cara memperlakukan guru. Jika nilai-nilai yang ada
dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini diaplikasikan dalam otak anak sedikit
kemungkinan kasus-kasus di atas akan terjadi.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 17
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2. Perumusan Masalah
Permasalahan yang diangkat dalam pembahasan ini adalah peranan Cerita
Rakyat Sasak sebagai media dalam penguatan pola asuh anak dan pendidikan
karakter.Penguatan pola asuh anak melalui cerita rakyat Sasak ini sebagai salah
satu upaya dalam pembentukan kepribadian anak. Seiring dengan permasalahan di
atas penulis memberikan penekanan pada tujuan pembahasan yakni, dongeng
sebagai cerita rakyat dan peranannya dalam pembentukan pola asuh anak dan
pendidikan karakter. Nilai-nilai yang terkandung dalamcerita rakyat ini sangat
penting dikemukakan dan diangkat kembali dengan tujuandapat dijadikan sebagai
referensi pendidikan karakter bernuansa kearifan lokal.
3. Tujuan
Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka secara umum pembahasan ini
dilakukan dengan tujuan untuk menggali, mempertahankan, dan mengembangkan
nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqwarisan
leluhur masyarakat Sasak, sebagai alternatif pendidikan karakter dan pola asuh
anak dalam mengembangkan kepribadian anak bangsa, sebagai acuan dalam
pengembangan pendidikan karakter, baik melalui pendidikan formal maupun non
formal.
Secara khusus merevitalisasi nilai-nilai yang ada pada dongeng Loq
Sesekeksebagai kekayaan intelektual daerah atau masyarakat Sasak yang ada di
Pulau Lombok.Pembahasan ini mencoba mengukap fakta bahwa dalam cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeqdapat ditemukan nilai-nilai kearifan lokal tentang
penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter. Diketahui saat ini pola asuh
anak dan pendidikan karakter masih bercermin atau mengikuti pola yang dari luar,
di daerah tempat kita membina dan melakukan pendidikan terdapat kekayaan
intelektual yang mampu memberikan solusi dalam permasalahan bangsa dewasa
ini tentang krisis moral atau karakter, pembahasan tentang cerita rakyatSasakLoq
Sesekeq ini dapat sebagai jawaban permasalahan yang dihadapi.
4. Manfaat
Data dan fakta yang ditemukan melalui pembahasan ini merupakan sebuah
gagasan dalam penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter yang
ditanamkan melalui nilai-nilai yang ada pada cerita rakyatSasak Loq Sesekek yang
sudah terlupakan atau sedikit dimarjinalkan. Dalam perkembangan zaman dan
teknologi sekarang ini , bertambahnya pengatahuan berubahnya gaya hidup,
banyak muncul sastra baru yang tidak mengindahkan jati diri bangsa atas azas
kebebasan. Folklore dalam hal ini cerita rakyat sebagai salah satu hiburan rakyat
yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan budi pekerti kepada anak-anak atau
tuntunan dalam hidup. Berkewajiban sebagai kalangan akademisi yang peduli
pada aspek pendidikan karakter,untuk merivitalisasi nilai-nilai dalam cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeq ini, dapat dikembangkan sebagai satu solusi dalam
penanaman dan penguatan pola asuh anak dan penguatan pendidikan karakter
bangsa.
5. Metode
Tahapan yang ditempuh dalam menganalisis data sebagai berikut :
1. Membaca dengan cermat secara keseluruhan teks cerita rakyat Sasak Loq
Sesekeq hasil transkrip dan translitrasi
18 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2. Menandai hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter.
3. Megidentifikasi nilai-nilai yang terdapat dalam dongeng Loq Sesekeq dalam
kontek kultur dan budaya.
4. Menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq
dengan menggunakan teori yang telah ditetapkan sebelumnya,
5. Menarik kesimpulan.
Prosedur yang ditempuh dalam pengumpulan data ini meliputi beberapa tahapan:
1. Persiapan meliputi:
a. Penentuan pencerita
b. Perekaman penceritaan
c. Penulisan / transkripsi teks cerita
d. Penerjemahan teks cerita
2. Membaca, mendalami, dan mencatat nilai-nilai yang terkandung dalam
cerita.
3. Pengolahan data secara deskriptif kualitatif.
B. TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan pustaka yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah uraian
tentang konsep teori yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian ini.
Relevansi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan
penelitian ini, yang secara langsung terkait dengan kerangka teori, metode, dan
hasil penelitian.
1. Konsep Teori Hermeneutika
Secara etimologis Hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa
Yunani yang berarti ‗menafsirkan‘ atau ‗menginterpretasikan‘. Secara mitologis
hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang
menyampaikan pesan illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah
bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan
lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu
pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat
banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan (Ratna,
2004:45).
Fungsi utama hermeneutika sebagai metode adalah untuk memahami
agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan
pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah
karya sastra. Oleh karena itu, maka hermeneutika cocok untuk membaca karya
sastra karena dalam kajian sastra, apapun bentuknya, berkaitan dengan aktivitas
yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi dan kritik sastra, pada awal dan
akhirnya, bersangkut-paut dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan
dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra terutama dalam prosesnya pasti
melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi
hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan (Newton, 1994:51-52). Atas dasar
itulah hermeneutika akan digunakan sebagai landasan teoritis untuk memahami
secara komprehensif cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq guna memperoleh
pemahaman yang memadai.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 19
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2.Pola Asuh Anak
Pola asuh yang benar dan kasih sayang yang luar biasa dicurahkan oleh
ibumembentuk pribadi yang baik. Sifat-sifat baik yang dimiliki memberikan
gambaran prilaku yang dihasilkan dari pendidikan karakter,
Menjaga pesan ibu, dalam cerita ini dikisahkan bagaimana dia berani
mengambil resiko dalam mempertahankan pesan ibunya untuk berbakti pada guru,
sebagai nilai yang ditanamkan dalam kisah ini, karakter itu adalah sebagai
pegangan hidup, apa pun terjadi harus dilakukansebagai bukti kuat pesan moral
yang disampaikan.
Nilai yang ada pada cerita rakyat memberikan karakter nilai sastra
tradisional. Mengetahui berbagai cerita rakyat dapat juga dipandang sebagai
memahami akar eksistensi manusia dan kemanusian serta hidup dan kehidupan
pada masa lalu yang menjadi akar kehidupan dewasa ini (Nurgiantoro, 2005:167).
Sebagai orang tua sadar kalau anak butuh seorang guru. Namun sebelum
dia menyerahkan anaknya, karakter sudah tertanam dengan penuh kasih
sayang.Nilai-nilai pola asuh anak yang sudah turun memurun bertahan sebagai
cerita rakyat yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral baik dalam
hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya
dengan orang-seorang. Cerita rakyat bukan moral dalam arti sempit, yakni yang
sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak-tanduk tertentu, melainkan
pengertian bahwa dia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan
evaluatif. Dengan demikian cerita rakyat adalah eksprimen moral (Endraswara,
2003:92).
C. PEMBAHASAN
Perlu diinformasikan bahwa ringkasan cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq
yang dijadikan sebagai objek kajian tidak dicantumkan dalam memulai
pembahasan ini karena beberapa alasan terkait efektivitas penyajian, dan
selajutnya di bawah ini secara berurutan dibahas, yakni meliputi; (a) pembentukan
pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru,
(d) sikap jujur dan menepati janji. Perhatikan uraian berikut.
1. Pembentukan Pribadi Yang Rajin
Dalam cerita ini juga dikisahkan Loq Sesekeq, anak yang rajin membantu
pekerjaan orang tua di rumah, tidak malas. Pagi hari dia sudah melakukan
pekerjaan rumah. Dalam kisah ini ingin memberikan nilai kepribadian agar tidak
malas pada anak-anak. Berikut kutipan ceritanya.
Spok jelo leq waktu genne araq subuh, manuk ngungkung tende benar.
Selapuk kemanukan tarik muni, tesambut isik sueren bang leq masjid. Loq
Sesekek tures lalo sembahyang. Selese sembahyang, Sesekeq lalo tulung
inakne nyepu meriri, ronas piring, mopoq natap dait siram tetaletan. Tetu-
tetu mule bodo, sesuai isik aranne Lok Sesekeq. Sekalipun sak ngeno,
Sesekeq sanget isine tetunah kangen isik inakne.
‗Suatu hari pada waktu subuh ayam berkokok, semua burung-burung
berbunyi disambut suara azan di masjid, Sesekeq langsung pergi salat,
20 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
setelah selasai salat ia kemudian membantu ibunya membersihkan rumah,
mecuci piring, mencuci pakaian, dan siram tanaman ‗.
Cerita ini menjelaskan bagaimana seorang anak rajin membantu orang tua
dan pembiasaan bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah, terbalik dengan
pola asuh anak sekarang bagaimana ketika kasih sayang orang tua saat ini, jika
menyangi anaknya sangat berlebihan kasih sayang di ukur dengan materi, anak
yang disayangi tidak boleh melakukan pekerjaan rumah, sehingga rasa malas anak
timbul dan tidak bisa mengurus diri sendiri.
Cerita rakyat khususnya cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan
cermin kehidupan untuk kehidupan yang bersifat pragmatis. Memahami cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeq penting sebagai pengalaman sehingga terjadi persepsi
dan pengatahuan dan kepribadian yang bersifat positif. Karakter Sesekeq yang
rajin membantu orang tua dan penurut dan sebaliknya orang tua yang
mencurahkan kasih sayang secara penuh secara tidak langsung pada saat
mendongeng kita telah membangun dan menanamkan karakter kepribaadian pada
anak.Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak dan
bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan
oleh anak, dari segi negatif maupun positif, seorang anak akan beradaptasi dengan
lingkungannya, sehingga dapat menanamkan sikap disiplin dan mandiri.
2. Pembentukan Pribadi Kreatif
Dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini dikisahkan bagaimana seorang
ibu mengajarkan kepada anaknya berbagai hal, walau dalam keseharian banyak
kesalahan yang dilakukan oleh anaknya dalam proses pengembangan diri si anak.
Dalam dongeng diceritakan bagaimana Sesekeq diajarkan untuk berwirausaha
dengan jual beli kemek (alat masak yang terbuat dari tanah liat) dalam kenyataan
pada langkah awal Sesekeq melakukan kesalahan, namun ibunya menyuruh ulang
melakukan dan mengajari cara membawa kemek agar tidak dilubangi seperti
kesalahan pertama yang dilakukan Sesekeq karena ketidak tahuannya. Dalam
proses mendidik anak memang butuh kesabaran sebagaimana tercermin dalam
kutifan berikut.
Sopoq jelo, inakne suruk Sesekeq lalo beli kemek ojok peken, lalo nguruk
jeri saudagar kemek, saudagar si jujur dait pecu. Sesekeq ndek neuah
tolak perintah inakne. Sambil terenyuk lalok si tesuruk beli kemek. Si
pikiranane berembe entan yak jauk kemek. Dateng leq peken, langsung ye
pileq kemek si ndek boke atau ntek. Yahne beli kemek sino, bingiung ye
Loq Sesekeq. Berembe bae ntan yak jauk kemek sino. ” Oh, eku bingung
jauk kemek sine. Bedagang doang dekke tao, epe legi jauk kemek. Oh, eku
dait akal… Mem ! ” Unin Sesekeq. Banjur boyakne telu, beterusne totos
kemek sino ntan-ntan sopoq. Suahan sino boyakne teli, beterus perentokne
kemek sino jeri sekeq, langsung teoros ojok sopok taok, Sesekeq lampaq
ndek nearak kereguan. Sesekeq pencar kemekne teapek yakne bedagang
jeri saudagar kemek. Ndek arak bae dengan mele beregak sekek-sekek.
Bahkan lueq dengan si bengak lalok gitak kemek tarik tepong. Ndek jak
arak leku kemekne, Sesekeq ulek lalo ngelapur tipak inakne. Muni inakne
” O, gamak anakku, tetu jak luek dengan dateng, tetujak luek pemborong,
laguk pasti pede bengak si gitak kemekde si selapukne tepong” Lamun
ngeno, becat de lalo malik ojok peken.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 21
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
‗Pada suatu hari ibunya menyuruh Sesekeq pergi beli kemek ke pasar,
melatih atau mengajar untuk menjadi saudagar yang jujur dan benar,
Sesekeq tidak pernah menolak perintah ibunya, sambil ia merasa lucu
disuruh beli kemek, dalam pikiran Sesekeq bagaimana cara akan
membawa kemek. Sampailah ia di pasar lalu memilih kemek yang tidak
ada cacatnya, masih bingung bagaimana cara membawa kemek, ―saya
bingung membawa kemek ini kata Sesekeq, berdagang aja belum bisa,
apalagi bawa kemek, oh saya dapat cara‖ kata Sesekeq. Dia ambil tiga,
terus dia pukul melubangi satu persatu, kemudian ia tarik membawa
kesuatu tempat, tanpa ragu Sesekeq menggelar dagangannya menjadi
saudagar kemek. Tidak ada yang menawar dagangannya satupun, bahkan
banyak orang yang heran melihat kemek yang semuanya bolong. Tidak
ada yang laku kemeknya Sesekeq pulang memberi tahu ibunya ― oh
anakku memang banyak orang datang, banyak pembeli, tapi pasti mereka
bingung melihat kemek kamu semuanya rusak‖ kalau begitu cepatan ke
pasar lagi‘.
Dalam kutipan cerita tersebut tokoh seorang ibu bagaimana memberikan
pendidikan karakter menjadi saudagar yang jujur dan benar. Walaupun sang anak
melakukan kesalahan karena ketidaktahuan anak tersebut bagaimana cara
membawa dan berjualan kemek di pasar. Setelah anak melakukan kesalahan
seorang ibu tidak memarahi akan tetapi menjelaskan bagaimana seharusnya
membawa dan menjual kemek. Cerita ini dapat memberikan wawasan kepada
orang tua dan anak bagaimanaa pola asuh yang baik untuk perkembangan anak
dengan menciptakan suasana yang mendukung dengan memberikan kasih sayang,
cinta dan kehangatan, dapat mengembangkan sel-sel syaraf dan kecerdasan
emosional.
Tokoh ibu di dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan tokoh ibu
yang mengajarkan berbagai macam nilai karakter yang baik sebagai
pengembangan pribadi anak yang kreatif dan berjiwa wirausaha dengan
mengajarkan anaknya berjualan di pasar.
3. Pribadi Menghormati Guru
Maraknya peristiwa negatif yang terjadi beberapa tahun belakangan ini
apabila tidak ada rasa hormat, jika kita mengabaikan siapapun atau apapun pasti
ada yang terluka dan dampaknya cukup besar, salah satunya menghormati guru.
Di dalam buku living Values,a Guide Book (1995) dijelaskan bahwa respek itu
dimulai dari dalam individu. Keadaan hormat awalnya didasarkan pada kesadaran
diri sebagai suatu kesatuan yang unik, kekuatan yang hidup di dalam diri, sesuatu
yang spiritual.
Tokoh Sesekeq adalah sosok yang sangat menghormati guru, rasa hormat
dia pada guru tidak terlepas bagaimana pola asuh yang diceritakan dalam cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeq ini yang melibatkan nasihat ibunya. Sebelum Sesekeq
menuntut ilmu pada seorang guru, ibunya menitipkan pesan, Sesekek harus
mengikuti gurunya kemana saja, kata ini mengandung makna apapun yang akan
diperintahkan gurunya dan kemana arah gurunya harus ia ikuti dan taati.
Cerita rakyat khususnya cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan
media pembelajaran yang dapat digunakan secara reseptif, untuk penerimaan
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Perhatikan kutipan berikut.
22 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Oh, gamak anakku, lamun ngene lalok si bodo belokde jak mae bae
kuserah ojok guru ngeji unin inakne lek sopok malem. Inakne bepesen,
endak bae mele bekelin kence guru. Lamun mangan harus tetep bareng-
bareng. Malem si sanget telihne, ye taokne lalo teatong ojok guru ngeji.
Teserah ngeji sangne beu arak pengetaone, erak adekne beu jeri kanak si
terrpuji. Sekeno harepan inakne.
‗ wahai anakku, kalau begini ketidaktahuan kamu, saya akan serahkan
ngaji kepada guru ngaji kata ibunya di suatu malam, ibunya berpesan,
jangan sekali-kali kamu bepisah dengan gurumu. Kalau ia makan harus
tetap bersama.Di dinginnya malam diantarlah anaknya ke guru ngaji.
Diserahkan ngaji supaya ada pengetahuan, nanti agar menjadi anak yang
terpuji, itu harapan ibunya‘.
Tokoh ibu menekankan rasa hormat kepada guru sangat penting, pesan
sebelum Sesekeq diserahkan untuk menuntut ilmu, ibunya berpesan agar selalu
mengikuti gurunya. Pesan yang disampaikan sangat penting sebagai orang tua
bagaimana mengajarkan posisi murid dan guru, sampai sampai dalam cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeq harus terus mengikuti gurunya. Nilai-nilai seperti ini
harus ditanamkan kepada anak agar menghormati guru.
Diceritakan setelah diserahkan mengaji sesekeq sangat taat kepad gurunya,
apapun yang dilakukan gurunya ia ikuti. Seperti kutipan cerita.
Mbe jak lein gurunye ye milu doang jeri bentek sandel. Make ye tetunah
isik gurune. Tetunah endah sik selapuk baturne.
‗ Kemana gurunya pergi Sesekeq selalu ikut, walaupun hanya
membawakan sandal gurunya. Makanya ia di sayang oleh gurunya dan
semua teman-temannya‘.
Tokoh Sesekeq memiliki rasa hormat pada gurunya. Hal ini prilaku yang
baik bagi murid kepada gurunya. Jika ingin timbul kasih sayang maka rasa hormat
harus dilakukan, tidak sebaliknya akan mengakibatkan pada kejadian tidak
menghargai dan menghormati sesesma. Cerita rakyat sebagai media komunikasi
yang menyampaikan pesan-pesan moral secara tidak langsung akan meniru tokoh
yang diceritakan pada pendengar dan pembacanya.
4. Sikap Jujur dan Menepati Janji
Kejujuran adalah modal utama, reputasi bisa dibuat dalam sekejap tapi
karakter dibangun dalam seumur hidup. Setiap kejadian dari hidup dan setiap
proses dalam hidup, membangun karakter seseorang. Jika menambahkan lapisan
kejujuran untuk itu, orang akan menganggap sebagai orang yang memiliki nilai-
nilai yang tinggi. Karena kejujuran adalah yang terbaik dari semua kebajikan.
Tokoh Sesekeq dalam dongeng ini memiliki prilaku yang jujur dan menepati janji.
Betaun bebalit Sesekeq si nuntut ilmu leq gurune, laguk ndekne inik tao.
Huruf sepeleng dekne inik dait. Laguk ye tetep tekun dekne inik putus asa.
Timakne teparan bodo isik baturne tetep ye tenang. Sesekek kanak jujur,
timakne bodo. Lamun uah bejenji pastine tepatin. Dekne girang berugung
endah. Lamune ngeraos ndekne girang berugung. Epejak unine ye uah
dalem atene.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 23
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
‗Beberapa tahun Sesekeq menuntut ilmu kepada gurunya, namun dia tetap
tidak bisa, meskipun satu hurup. Biarpun begitu dia tetap tekun dan tidak
putus asa. Temannya mengira dia bodoh dia tetap tenang, Sesekeq anak
jujur kalau berjanji pasti ditepati tidak pernah berbohong kalau dia berkata
pasti benar apa yang ada di dalam hatinya‘.
Kutipan di atas mengajarkan bahwa siapapun yang mendambakan dapat
meraih kehidupan yang lebih baik dan sukses maka nilai-nilai kebaikan yang
tercermin dalam kutipan di atas yakni ketekunan, keuletan, kedisiplinan,
keteguhan hati, kejujuran menjadi suatu hal yang sangat prinsip dan harus
dipegang teguh.
C. SIMPULAN
Cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan kearifan lokal yang dimiliki
oleh masyarakat Sasak yang telah turun-menurun disebarkan secara lisan.Cerita
rakyat Sasak Loq Sesekeqini sebenarnya memiliki tujuan yang jelas, yakni oleh
masyarakat digunakan sebagai media pengembangan pendidikan karakter secara
tradisional. Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa dalam cerita rakyat Sasak
Loq Sesekeq ini terkandung nilai-nilai budaya terutama yang berhubungan
dengan pola asuh anak dan pendidikan karakter, yakni meliputi; (a) pembentukan
pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru,
(d) dan sikap jujur dan menepati janji. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
yang lebih lanjut terhadap cerita rakyat yang lainnya, karena cerita-cerita
tersebutmerupakan kekayaan lokal yang perlu direvitalisasi nilai-nilai kebaikan
yang terkandung di dalamnya sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam
dunia pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi Model
Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.
Herfanda, A.Y. 2008. ―Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya‖ dalam Bahasa
dan Budaya dalam Berbagai Perspektif, Anwar Effendi, ed. FBS UNY dan
Tiara Wacana: Yogyakarta.
Hidayah, Rifa. 2015. Psikologi Pengasuhan Anak. Press Malang: UIN Miliki
Howard, Roy J., 2001. Pengantar Atas Teori-teori Pemahaman kontemporer:
Hermeneutika; Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis. Yayasan
Adikarya IKAPIdan The Pord Foundation:Bandung.
Hutomo, Suripan Sadi, 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra
Lisan. HISKI:Komisariat Jawa Timur.
Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak: Dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,
Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.
24 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Nasir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta
Newton, K.M., 1994. Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis mengenai Teori dan
Praktek Menafsirkan Sastra. (penerjemah Dr. Soelistia, ML). Harvester
Wheatsheaf: New York London Toronto Sydney Tokyo Singapore.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Propp, V. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Terjemahan. Noriah Taslim. Kuala
Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.
Ratna, Nyoman Kuta, 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalime Perspektif Wacana Naratif.
Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Sarumpaet. Toha, Riris K. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:
Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
Soelistyarini,Titien Diah. 2011. Cerita Anak dan Pembentukan Karakter,
http://www.academia.edu/7304333/diakses 15 januari 2018
Subiyantoro, 2012. Membangun Karakter Bangsa Melalui Cerita Rakyat
Nusantara (Model Pendidikan Karakter untuk Anak MI Awal Berbasis
Cerita Rakyat dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan Islam),
http:/digilib.uin-suka.ac.id/15935/,14 Januari 2019
Laman.
www.masbagikfestival.site
https://www.researchgate.net/publication/327663899
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 25
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN
CAGAR BUDAYA BATUKARU DI BALI : KEARIFAN KONSERVASI
LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER
MASYARAKAT BALI
I Nyoman Wardi
Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Karya tulis ini bertujuan mengungkap pengetahuan lokal
masyarakat Bali (etnosains) terkait dengan kearifan lingkungan
yang secara implisit terekspresi dalam ritual air (mendak toya)
dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Batukaru-
Tabanan. Hal ini dipandang penting dalam upaya mewujudkan
pembangunan character-building (kepribadian) dan dalam
memitigasi krisis ekologi (krisis air).Untuk mencapai tujuan
tersebut dilakukan pengumpulan data dengan teknik observasi,
wawancara mendalam dan studi dokumen. Data yang terkumpul
dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan teori Deep Ecology.
Hasil studi menunjukkan bahwa ritual air dalam siklus purnama
kapat di kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru yang kini
berkedudukan sebagai kahyangan jagat Bali dan world heritage
merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat
agraris (subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan
dipraktikan oleh masyarakat tradisional bersama pemerintah di
Kabupaten Tabanan-Bali. Ritual tersebut sarat dengan kandungan
kearifan konservasi lingkungan, khususnya dalam konteks
manajemen air yang mempunyai hubungan interdependensi
dengan keberadaan gunung, hutan, danau dan sungai. Kini
kearifan budaya/kearifan lingkungan menghadapi tantangan yang
cukup berat di era pembangunan Modern yang mengglobal yang
di Bali mewujud dalam industri pariwisata.
Kata kunci : ritual air, purnama kapat, cagar budaya Batukaru,
kearifan lingkungan
1. Pendahuluan
Kebudayaan masyarakat Bali dikenal memiliki akar sejarah budaya
Austronesia yang cukup ―dalam‖ dan diperkaya oleh Budaya Hindu (Agama
Hindu dan Budha dari India), budaya suku bangsa China dan budaya dari etnis-
etnis Asia Tenggara. Di era modern/era kolonial (abad XX M) budaya masyarakat
26 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Bali (Hindu) juga bersentuhan dengan budaya Eropa yang kemudian ikut
mewarnai karakteristik keanekaragaman wujud dan nilai budayanya.
Dalam perjalan waktu yang sangat panjang dan perubahan ruang yang
sangat dinamis, tampaknya terlalu sedikit yang dapat disaksikan dan diwarisi
dari hasil karya budaya para leluhur dari masa silam, baik warisan budaya yang
tangible (budaya material) maupun intangible (budaya immaterial). Di dalam
warisan budaya yang bersifat tangible maupun intangible terkandung berbagai
kearifan budaya, kearifan sosial dan kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan di
Bali cukup banyak tertuang dalam oral tradition seperti cerita mitos, ritual
maupun dalam artefak/ekofak, monument, tata ruang, dan wujud lainnya.
Kearifan lingkungan merupakan salah satu bentuk pengetahuan lokal (local
knowledge) baik yang terkait dengan lingkungan alam biotik (flora dan fauna),
unsur lingkungan geofisik (tanah, air, iklim), maupun yang terkait pandangan
masyarakat terhadap alam kosmis (cosmic world view). Pengetahuan lokal pada
umumnya didasarkan atas pengalaman tradisional, maupun pengalaman praktis
dan inovasi yang diwujudkan dalam cara atau gaya lokal (local style).
Karakteristik sistem pengetahuan lokal, di antaranya yaitu terintegrasi dalam
kebudayaan dan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat (Manoharan,
Dhusenti, et.al., 2009 : 6 ). Di antara kearifan lingkungan tersebut secara implisit
tertuang dalam ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya
Pura Batukaru- Tabanan.
Kini di era global, pengaruh Modernisme melalui industri pariwisata di Bali
membawa perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam kehidupan sosial,
budaya, ekonomi, dan lingkungan alamnya. Pada satu sisi pariwisata untuk
sementara dipandang membawa dampak positif pada pada bidang ekonomi, tetapi
pada sisi lain mulai muncul kekhawatiran, khususnya terkait dengan nilai-nilai
budaya yang luhur dan mengandung kearifan sosial budaya dan lingkungan.
Kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik dan
ekonomi semata, cenderung dan berpotensi melunturkan nilai-nilai budaya luhur
yang mengandung kearifan budaya dan lingkungan. Hal ini juga memicu
terjadinya kiris ekologis, khususnya krisis sumberdaya air bersih yang kini
terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk juga di Indonesia dan Bali khususnya.
Studi yang dilakukan oleh ― Club of Rome‖ dalam bukunya yang berjudul
The Limit to Growth (1972) menunjukkan, bahwa dalam sistem global terdapat 5
variable pokok yang saling mempengaruhi, yang dalam waktu panjang sangat
mengkhawatirkan keberadaan umat manusia di planet bumi. Kelima varibel
tersebut, yaitu: (1) penduduk, (2) persediaan pangan, (3) sumber kekayaan alam,
(4) produksi industri, dan (5) pecemaran lingkungan (pollution)
(Djojohadikusumo, 1981: 71 -73).
Karya tulis ini dimaksudkan untuk mengungkap pengetahuan lokal
masyarakat (etnosains) terkait dengan kearifan lingkungan yang secara implisit
terekspresi dalam ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya
Batukaru-Tabanan. Hal ini dipandang penting dalam upaya mewujudkan
pembangunan character-building (kepribadian), sosial budaya, ekologi, dan
pariwisata budaya dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 27
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2. Metodologi
Penulisan karya ilmiah ini dilakukan melalui riset. Untuk mencapai tujuan
penelitian dilakukan langkah-langkah pengumpulan data dengan teknik observasi
partisipatif, wawancara mendalam (indept interview) dan studi dokumen. Data
yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan
pendekatan teori Deep Ecology dari Arne Naess (Keraf, 2002: 79-80).
3. Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat dan Makna Kearifan Lingkungan
Kawasan Cagar Budaya Batukaru
3.1 Aspek Historis Cagar Budaya Pura Batukaru
Dalam UU No.11 Th 2010 tentang Cagar Budaya (Kemenbudpar, 2010),
dinyatakan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan
berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs
cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu
dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan /atau kebudayaan melalui proses penetapan.
Pada Pasal 5 disebutkan, bahwa kriteria Cagar Budaya meliputi : a) Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;
b) Mewakili masa gaya paling singkat 50 (lima puluh) tahun;
c) Memiliki arti khusus bagi: sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan; dan
d) Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa;
Sementara itu, pada Pasal 10 dinyatakan, bahwa satuan ruang geografis dapat
ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya apabila: a. Mengandung dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan
b. Berupa landskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 tahun;
c. Memiliki pola yang memperhatikan fungsi ruang pada masa lalu , berusia paling
sedikit 50 tahun;
d. Memperhatikan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang
berskala luas;
e. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan
f. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau
endapan fosil;
Warisan budaya Pura Batukaru telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya
dengan kawasannya sebagai bagian dari World Cultural Landscape of Bali
Province. Keberadaan Pura Luhur Batukaru yang terletak di kaki Selatan Gunung
Batukaru (833 m .dpl) merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Kahyangan
Pucak Kedaton Batukaru yang terletak di puncak Gunung Batukaru (ketinggian
2.275 m dpl) yang merupakan puncak daerah Kabupaten Tabanan.
Keberadaan Kahyangan Pucak Kedaton dan Pura Batukaru, terungkap dalam
mitos yang mengisahkan tentang pasangan dua tokoh dewa dan dewi yang
berstatus sebagai suami-istri (alaki-rabi/raja dan ratu) dan sebagai penguasa
sebuah kerajaan kosmis (kedatuan/kedaton atau keraton). Sang Raja Kosmis
berstana di puncak gunung dan Sang Dewi berstana di kaki Selatan Gunung (Pura
Penataran Batukaru). Hingga dewasa ini, di puncak Gunung Batukaru (ketinggian
2.275 m dpl), terdapat sebuah palinggih bebaturan (tahta batu) yang berudak
(berteras) dua, dan di atasnya berdiri sebuah menhir yang terbuat dari batu alam
28 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sebagai media pemujaan Bhatara Pucak Kedaton-Batukaru atau juga disebut
Sang Hyang Tumuwuh. Sementara itu, palinggih untuk pemujaan Bhatari (permaisuri Bhatara Pucak
Kedaton) yang ada di Pura Penataran Batukaru tidak diketahui secara jelas. Diperkirakan,
palinggih candi induk yang tinggi dan ramping (pengaruh budaya Jawa Timur) dengan
struktur atap tumpang tujuh yang ada di halaman jeroan menjadi palinggih utama dan
menjadi pusat media pemujaan dalam ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat
pangempon, subak, dan penyungsung pura Batukaru di Tabanan (Bali) menjadi stana
beliau (Bhatari Sakti Batukaru).
Kesejarahan Pura Batukaru juga disebutkan dalam lontar Usana Bali, yaitu Mpu
Kuturan (XI M) yang juga bergelar Mpu Rajahretha membangun parhyangan (angawe
parhyangan) atau pura di Bali. Di antaranya ada disebutkan Bhatara ring Batukaru… .
(Lontar Penyusun, dan Tim Penyusun Pura Luhur Batukaru, 1994: 35).
Selain itu, keberadaan Pura Batukaru atau Kahyangan Puncak Kedaton di Puncak
Gunung Batukaru juga ada diuraikan dalam sebuah lontar yang berjudul Tatwa Purana
Hyang Ning Wukir yang berasal dari Geriya Madhu. Di dalam lontar tersebut juga ada
disebutkan nama Hyang Ning Wukir (Sang Hyang Giri Putri) yang berstana di Pura
Pucak Kedaton (Pura Batukaru) (Mandia, 2008).
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Bali (th 1918), Nieuwenkamps
tampaknya pernah melakukan kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Demikian pula,
seorang ahli Filologi Belanda, yaitu Hoykaas belakangan juga pernah melakukan
kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Beliau menyatakan, bahwa warisan budaya Pura
Luhur Batukaru yang terletak di lereng selatan Gunung Batukaru merupakan puncak
daerah Kabupaten Tabanan. Berdasarkan keberadaan ekofak batu berdiri tegak (menhir)
yang jumlahnya cukup banyak ditemukannya pada bangunan palinggih, situs ini juga
disebut kompleks lingga kuno (archaic “lingga sanctuary”) dan diasumsikan, bahwa
tempat suci atau Pura Batukaru terkait dengan kompleks pemujaan arwah leluhur
(ancestral sanctuary) (Kempers,1977 : 180).
Berdasarkan cerita mitos yang bersifat oral tradition dan yang tertuang secara vebal
tertulis dalam lontar tersebut, maka dapat diintepretasikan bahwa Sang Hyang Tumuwuh
yang berstana di puncak Gunung Batukaru merupakan dewa alam yang dikaitkan dengan
pemujaan Dewa Gunung. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci atau stana
arwah leluhur sudah dikenal pada masa prasejarah, khususnya zaman Megalithik.
Pemujaan Dewa Gunung ( Sang Hyang Tumuwuh) yang berstana di Pucak Kedaton di
Puncak Gunung Batukaru dapat dipandang sebagai sistem religi masyarakat asli lokal (
authochtonic) dan dipandang sebagai Dewa Tertinggi. Sebagai Dewa Tertinggi, Sang
Hyang Tumuwuh yang berstana di Pucak Kedaton mempunyai hubungan kosmis magis
dengan Danau Tamblingan, Jajar Kemiri Catur Angga Pura Batukaru (Pura Muncaksari,
Tambawaras, Pucak Petali dan Pura Besi Kalung) dan warisan budaya lain di sekitarnya.
Dapat diinterpretasikan, bahwa pada awalnya ( Zaman Megalithik) cagar budaya
Pura Batukatu merupakan tempat pemujaan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh
seorang Kubayan. Pada zaman Bali Kuno, sejalan dengan menguatnya pengaruh Agama
Hindu di Bali dengan pusat kerajaannya di Pejeng-Bedahulu (Gianyar), warisan budaya
Pura Batukaru kemudian ditetapkan sebagai salah satu kahyangan jagat dalam struktur
kosmologis Nawa Sanggha Jagat Bali, dan dipandang sebagai representasi dewa kosmis
arah Barat dengan Dewa Mahadewa sebagai penguasanya.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 29
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Cagar budaya Pura Batukaru kini memiliki multi status dan fungsi, yaitu sebagai:
(1) pura genealogis (pemujaan karihinan/leluhur Kubayan, raja/cokorda Tabanan,
Badung dan Panjisakti/Buleleng), (2) pura Ulun Subak /Ulun Swi, (3) Kahyangan Jagat
(Pura Gunung) Kerajaan Tabanan, dan (4) Kahyangan Jagat (Sad Kahyangan) Bali.
Kini Kahyangan Pucak Kedaton diempon oleh dua Desa Adat, yaitu Desa Adat
Piling-Kecamatan Penebel dan Desa Adat Sanda-Batungsel (Kecamatan Pupuan-
Kabupaten Tabanan). Semenmtara itu, Cagar Budaya Pura Batukaru yang terletak di
selatan kaki Gunung Batukaru diempon oleh 8 Desa Adat. Ke delapan Desa Adat selaku
Panjak Pekandelan Ida Bhatara Batukaru tersebut, yaitu : Desa Wongaye Gde; Desa
Adat Tengkudak; Desa Adat Kloncing; Desa Adat Batu Kambing; Desa Adat Bengkel;
Desa Adat Penganggahan; Desa Adat Amplas, dan Desa Adat Sandan).
Sejak 29 Juni 2012 , Cagar Budaya Pura Luhur Batukaru dengan jajar kemiri catur
angganya (Pura Muncaksari,Tambawaras, Pucak Petali,dan Pura Besi Kalung) statusnya
telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu bagian dari World Cultural Landscape
of Bali Province. Penetapan status sebagai salah satu world cultural landscape secara
tidak langsung berpengaruh signifikan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke
situs-situs tersebut dan menjadi tantangan dalam pengelolaannya untuk
mempertahankan status tersebut (Wardi, 2018: 30-34).
3.2 Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat dan Makna Kearifan Konservasi
Lingkungan Pada Kawasan Cagar Budaya Batukaru
3.2.1 Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat Pada Kawasan Cagar Budaya
Batukaru
Ritual Air yang disebut upacara mendak toya dilakukan oleh Lembaga
Subak bersama pemerintah daerah di Kabupaten Tabanan Bali dalam Siklus
Purnama Kapat (setiap hari Purnama bulan Oktober). Bagi masyarakat Hindu di
Bali, purnama kapat merupakan hari yang sangat spesial (khusus) dan dipandang
sangat sakral. Kata mendak toya terdiri atas dua patah kata, yaitu mendak yang
lengkapnya dari kata mamendak yang berarti menyambut, dan toya (Bahasa Bali)
artinya air. Dengan demikian secara harfiah kata mendak toya berarti menyambut
kedatangan air. Air yang dimaksudkan dalam konteks ritual ini adalah air yang
turun dari langit (air hujan). Air tersebut dipandang sebagai air yang sakral
sebagai berkah dari Dewa Langit. Air Sakral berkah dari Dewa lazim disebut
tirtha. Permohonan berkah air dari para dewa dimaksudkan untuk menjamin
kelancaran dan keberhasilan aktivitas pertanian (air irigasi) dalam budidaya padi
bagi krama subak (para petani) di Tabanan khususnya, bagi warga desa dan
masyarakat Bali pada umumnya.
Ritual air oleh Lembaga Subak (Subak Sabhantara-Tabanan) di kawasan
Cagar Budaya Batukaru dilakukan setiap tahun dalam siklus segitiga Purnama
Kapat, dengan pusat ritual yang berpindah-pindah secara sirkuler, yaitu:
1) Purnama Kapat I, ritual dipusatkan di Pucak Kedaton Batukaru yang ada
di puncak Gunung Batukaru. Ritual diwali dengan persembahyangan oleh
krama subak dan staf Dispenda Sedahan Agung Pemda Tabanan di
bangunan suci candi utama di halaman jeroan Pura Batukaru. Kemudian
dilanjutkan dengan pendakian spiritual menuju puncak Gunung Batukaru,
30 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dan ritual kurban (pakelem) dan persembahan yang sangat khidmat
dilakukan pukul 12 malam di puncak gunung.
2) Purnama Kapat II, ritual dipusatkan di hulu Sungai (Tukad) Mawa, yaitu
terletak di kaki gunung yang ada di sebelah Barat Pura Batukaru; dan
3) Purnama Kapat III, ritual terakhir dari rangkaian siklus ritual air dengan
upacara terbesar (kurban sepasang kerbau bertanduk emas), dan sebagai
puncak ritual dari siklus tahunan Purnama Kapat (dalam hitungan tiga
tahun) dilakukan di Danau Tamblingan (Pura Gubug-Ulun Danu
Tamblingan) yang terletak di Desa Munduk-Gobleg Kecamatan Banjar
Kabupaten Buleleng.
Ritual air (mendak toya) tersebut selalui diawali dengan upacara persembahan
dan atur-piuning (pemberitahuan secara niskala) pada Dewa yang berstana di
palinggih candi utama yang ada di halaman jeroan Pura Batukaru. Ritual air atau
upacara mendak toya tersebut selalu disertai dengan upacara kurban binatang
(mulang pakelem). Demikian ritual air itu dilakukan secara sirkulir dalam siklus
purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru. Untuk tiga tahun
siklus berikutnya, ritual juga dilakukan dengan cara, tahapan dan tempat yang
sama, yaitu dengan mengambil pusat lokasi ritual yang berpindah-pindah, yaitu
Pucak Kedaton (Puncak Gunung Batukaru)- Hulu DAS Mawa dan Danau
Tamblingan.
3.2.2 Makna Kearifan Konservasi Lingkungan Sebagai Identitas dan
Karakter Masyarakat Bali
Kearifan lingkungan (kearifan tradisional/kearifan lokal) adalah
pengetahuan kebudayaan yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu, mencakup
model-model pengelolaan sumberdaya alam melalui pemanfaatan yang bijaksana
dan bertanggung jawab (Zakaria,1994 dalam Kartodiharjo, H. dan Jhamtani,
H.,(ed.), 2006: 175). Kearifan lokal (kearifan lingkungan /kearifan tradisional)
adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan
kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.
Ritual air oleh Lembaga Subak (Subak Sabhantara-Tabanan) di kawasan
Cagar Budaya Batukaru yang dilakukan setiap tahun dalam siklus segitiga
Purnama Kapat tersebut dapat dipandang sebagai etnosains yang mengandung
kearifan lingkungan. Walaupun tempatnya, jenis sarana, dan kelengkapan
ritualnya berbeda-beda, namun pada intinya ritual tersebut dimaksudkan untuk
memohon berkah air hujan dari para dewa untuk kelancaran dan kerberhasilan
dalam aktivitas pertanian bagi para petani (krama Subak) dan masyarakat Desa di
Tabanan dan masyarakat Bali pada umumnya. Pada sisi lain, lokasi pusat ritual
yang berbeda-beda tersebut secara konotatif dapat dimaknai dalam konteks
konservasi lingkungan alam, khususnya konservasi gunung-hutan
(wanādri/wana-wukir), sungai (DAS), dan danau. Hubungan ketiga segmen unsur
lingkungan alam tersebut (wanādri – sungai – danau) bersifat holistic integrated
dan keberadaannya saling mempengaruhi (interdependensi) satu dengan yang
lainnya.
Secara implisit ritual air yang dipusatkan di puncak gunung, dapat dimaknai
bagaimana masyarakat bersama pemerintah harus menjaga, merawat dan
melestarikan gunung dan hutan yang ada di sekitarnya (wanādri /wana-wukir),
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 31
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
karena gunung-hutan mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menjaga
keseimbangan ekosistem alam, khususnya ekosistem air di bhumi.
Seperti diilustrasikan dalam lontar Usana Bali, khususnya dalam konteks
catur lokapala, gunung dipandang sebagai penjaga kestabilan jagat (ekosistem
alam) Bali. Dalam teks lontar Usana Bali ini, nama Batukaru muncul sebagai
nama dewa yang berstana di Gunung Bharatan. Dalam frase bait 4a teks lontar
Usana Bali di antaranya disebutkan:
―Kunang malih iti katuturaning Usana Bali, nga. Cinarita tingkahing bhumi
Bali, hana gunung catur lokapala, nghing tingkah ing among ika amarah pat,
lwire: maring purwwa gunung lempuyang, nga. Pangastanan Ida Bhatara
Gnijaya. Maring pascima , Gunung Bharatan, nga. pangastanan Ida Bhatara
Batukaru. Maring Uttara, Gunung Mangu nga. Pangastananira Hyang Danawa.
Maring Daksina, Gunung Andhakasa, nga. Pangastanan Ida Bhatara Hyanging
Tugu…‖. (Warna , dkk.: 1986: 3).
Artinya :
‗Demikian selanjutnya diceritakan dalam Usana Bali namanya. Dikisahkan
keadaan di Pulau (Jagat) Bali, ada gunung Catur Lokapala ( Empat Gunung
Penjaga Kestabilan Alam/Jagat Bali), keadaan gunung penjaga itu berada pada
empat bagian wilayah (Nyatur Desa), yaitu : wilayah di sebelah Timur bernama
Gunung Lempuyang sebagai stana Ida Bhatara Gnijaya. Di Barat bernama
Gunung Bharatan sebagai stana Ida Bhatara Batukaru. Di Utara bernama Gunung
Mangu (sekarang Gunung Pucak Mangu) sebagai stana Hyang Danawa. Di
wilayah bagian Selatan bernama Gunung Andhakasa sebagai stana Ida Bhatara
Hyanging Tugu…‘.
Secara ekologi budaya, bagi suku bangsa selaku pendukung budaya
Austronesia (termasuk etnis Bali), gunung merupakan permukaan bumi yang
tertinggi yang dekat dengan langit (alam dewa) dipandang sakral dan sebagai
stana para dewa, arwah nenek moyang (arwah leluhur) dan mahkluk suci lainnya.
Gunung menjadi pusat kosmis di bhumi dan berfungsi sebagai axis mundi yang
menghubungkan alam dewa (alam atas) dengan alam manusia (alam tengah) dan
alam para bhuta (alam bawah) melalui ritual yang bersifat religious-magis.
Secara fisik biologis, gunung berfungsi untuk menahap uap air dalam siklus
hidrologis makro. Kemudian uap air mengalami kondensasi (dingin) dan akhirnya
jatuh menjadi rintik-rintik air dari langit/hujan (presitipasi). Hutan di sekitar
gunung dengan keanekaragaman vegetasi dan sebagai habitat berbagai fauna,
diibaratkan sebagai paru-paru dunia yang menyerap polusi udara (CO2, dan jenis
polutan lain) yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Dalam sistem respirasi, hutan
(pohon) menyerap CO2 (Karbondioksida) dan menghasilkan O (Oksigen) untuk
kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Jasa keberadaan pohon
(hutan) yang utuh dan lestari juga berkontribusi untuk menciptakan iklim
mikro/makro yang sejuk dan mencegah terjadinya erosi dan bencana longsor. -
Hutan menyimpan air pada akar di dalam tanah, batang, dan daun yang kemudian
dialirkan secara gradual ke hilir melalui jaringan mata air (yeh klebutan), danau,
dan badan sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem kepercayaan
masyarakat Bali, keberadaan gunung dan hutan sering dipandang sebagai hulu
atau sumber amertasari.
32 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Ritual air yang dipusatkan di hulu sungai (Tukad Mawa) dapat dimaknai,
bahwa sungai yang sering diibaratkan sebagai urat nadi dalam kehidupan suatu
makhluk hidup (manusia) mempunyai fungsi penting dalam mengalirkan air
(darah) kehidupan untuk manusia dan makhluk lain. Badan air atau Sungai yang
juga diibaratkan sosok seekor ular Naga Basuki yang kepalanya di gunung dan
ekornya di laut, juga berfungsi sakral yang menghubungkan kawasan zone hulu
(bukit/gunung), zona tengah (dataran), dan hilir (teben) atau kawasan pesisir dan
laut (samudera). Demikian penting dan besarnya jasa sungai (tukad) untuk
mengalirkan air demi kehidupan manusia dan makhluk lain, karena itu secara
imperatif sungai mesti dirawat dan dijaga kelestariannya.
Dengan demikian, ritual air di hulu sungai dapat dimaknai, bahwa volume
aliran dan kemurnian (kebersihan) air yang mengalir dan keutuhan dan
kelestarian sempadan sungai, sedapat mungkin dirawat dan dijaga kestabilannya.
Kestabilan dan kecukupan air sungai untuk irigasi pertanian (subak) sangat peting
artinya dalam budidaya padi, khususnya daerah Tabanan yang dikenal sebagai
lumbung berasnya Bali.
Ritual air yang paling besar dalam siklus purnama kapat ketiga di Ulun
Danu Tamblingan dapat dimaknai bahwa danau sebagai cekungan alam besar
berfungsi sangat penting untuk menampung air hujan yang turun dari langit
melalui puncak dan lereng-lereng gunung dan hutan yang ada di sekitarnya.
Dalam pandangan dan kepercayaan masyarakat Bali, secara umum danau
dipandang sebagai tempat sakral dan hulu atau sumber dari segala mata air yang
kemudian menyatu dan mengalir ke sungai-sungai, mengaliri sawah-sawah dan
kebun para petani (subak) di hilir. Masyarakat petani (subak) di daerah
Kecamatan Penebel dan Tabanan pada umumnya memandang eksistensi Danau
Tamblingan tersebut identik dengan keberadaan gebeh/tempayan alam (gebeh
adalah wadah air besar dari tanah liat yang dibakar) yang ada di hulu dan sangat
dimuliakan sebagai sumber dan penyambung kehidupan masyarakat petani secara
berkelanjutan.
Dalam worldview masyarakat tradisional Bali, secara transendental esensi
danau dipandang sebagai representasi dari seorang dewi (Dewi Danu/Dewi
Air/Dewi Gangga) (feminin), sedangkan gunung sebagai representasi dari dewa
(Dewa Gunung/Girinatha/Dewa Parwata) (maskulin). Ritual air yang dipusatkan
di Danau Tamblingan sesungguhnya sebagai simbol dan perayaan pertemuan
(perkawinan) kosmis yang bersifat sakral antara Dewa Gunung Batukaru
( Sanghyang Tumuwuh/Bhatara Pucak Kedaton) dengan Dewi Air yang berstana
di Danau Tamblingan (Dewi Ulun Danu/Dewi Gangga). Pertemuan tersebut juga
dapat diidentikan sebagai pertemuan kosmis magis Lingga dan Yoni yang bersifat
alami yang dipandang mengandung energi kreatif yang bersifat magis-religius.
Berangkat dari ritual air ini, diharapkan mampu menciptakan kesuburan dan
kemakmuran, kesehatan, kerahayuan dan kesejahteraan dalam konteks kehidupan
pertanian (subak) dan aspek kehidupan lainnya di Bali.
Ritual air dalam siklus tahunan purnama kapat di kawasan Cagar Budaya
Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat dan world
heritage Bali merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris
(subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat
tradisional bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Kearifan manajemen
air dalam konservasi lingkungan yang diekspresikan dalam ritual air siklus
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 33
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
purnama kapat ini dapat dipandang sebagai identitas budaya dan menjadi
karakteristik masyarakat Bali, khususnya masyarakat agraris (subak) dalam
berinteraksi dengan lingkungan alam. Identitas dan karakteristik budaya Bali ini
mempunyai nilai penting dalam mencegah dan mengatasi (mitigasi)
kecenderungan terjadinya krisis ekologi (kiris air) di Era Modern yang bersifat
global.
Domestikasi air melalui ritual mendak toya tersebut sarat dengan makna
kearifan lingkungan, khususnya terkait dengan manajemen air. Berdasarkan
makna kearifan lingkungan yang terkandung pada ritual air dalam siklus purnama
kapat pada kawasan Cagar Budaya Batukaru tersebut dapat dibangun sebuah
slogan atau motto: ― No Mount-Forest (Wanādri), No Water
No Water, No Future ―.
4. Kearifan Lingkungan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Era
Modern
Modernisme yang berawal dari negara Eropa ( abad XVII M) dintandai
dengan perkembangan sistem ekonomi pasar uang/modal (kapitalisme) dan
kemajuan industrialisasi dalam bidang teknologi transportasi, telekomunikasi,
dan teknologi eksploitasi sumberdaya alam secara masif. Modernisme membawa
perubahan sosial ekonomi, sosial budaya dan lingkungan alam (ekologi) yang
sangat dinamis, kompleks dan mengglobal. Perubahan terjadi demikian masif dan
dinamis, melintas dan menembus batas ruang dan waktu hingga ke plosok-plosok
kehidupan rumah tangga di pedesaan (Ritzer, G., dan Douglas,J. 2007: 550-557).
Terkait dengan Modernisme Simmel menyatakan, bahwa modernisasi
memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta bahwa melalui
modernisasi, manusia mampu mengungkapkan berbagai potensi yang belum
pernah terungkapkan, tersembunyi dan tertekan dalam masyarakat pramodern (era
monarkhi). Simmel memandang Moderniitas sebagai ―epiphany‖ dalam arti
sebagai tanda manifestasi kekuatan instrinsik manusia, kekuatan manusia yang
sebelumnya tak terjelmakan. Namun pada sisi lain Simmel juga mengakui,
besarnya pengaruh uang terhadap kehidupan masyarakat modern. Dampak negatif
pengaruh uang, terutama terjadinya alienasi. Lebih lanjut dinyatakan, masalah
alienasi membawa kita kembali ke masalah sentral, yaitu tragedi kultur, yaitu
terhentinya pertumbuhan ―kultur individu‖ dan pesatnya pertumbuhan ―kultur
objektif‖. (Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007: 551).
Sementara itu Giddens (penganut Postmodern) menyatakan, bahwa salah
satu keunggulan dari modernitas yaitu memungkinkan tumbuhnya organisasi
rasional seperti birokrasi dan negara bangsa (state nation) dengan dinamismenya,
dan kemampuan menghubungkan otoritas lokal dam global. Ciri kedinamisan
modernitas digambarkannya sebagai refleksivitas yang secara khusus diartikan
bahwa dalam praktik kehidupan sosial terus menerus diuji dan diubah
berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian
mengubah ciri modernitas itu sendiri (Gidedens, 1990 dalam Ritzer, G., dan
Douglas,J.,2007:556-557).
Kenyataan terjadi di tengah masyarakat negara-negara berkembang, seperti
halnya Indonesia dan negara-negara lain, termasuk pada masyarakat Bali,
menunjukkan bahwa kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (Iptek) dari Era
34 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Modern, khususnya di bidang medis telah banyak menolong dan
menyelamatkan warga masyarakat dari berbagai ancaman penyakit kritis yang
dideritanya, serta dapat mempepanjang usia harapan hidupnya. Demikian pula,
kemajuan teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi, secara tidak
langsung mempengaruhi perkembangan pembangunan industri pariwisata di Bali
yang kini membuka peluang kerja dan berusaha serta menapung tenaga kerja dan
menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat lokal dan pemerintah.
Namun pada sisi lain terjadi, bahwa sejalan dengan pertumbuhan dan
perkembangan penduduk, kemajuan teknologi produksi komoditas, transportasi,
dan teknologi digital membuat warga masyarakat modern seakan termanjakan
dalam pemenuhan kebutuhan yang bersifat materialistis dan cenderung
kuantitasnya meningkat. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan
masyarakat cenderung meningkatkan eksploitasi terhadap sumberdaya alam.
Masyarakat kemudian cenderung bersifat konsumtif. Terstein Veblen dalam
bukunya The Theory of The Leisure (Ritzer, G., 2009: 213), cenderung
menggolongkan masyarakat Modern sebagai masyarakat kelas penikmat. Kelas
penikmat melibatkan diri dalam ―penikmatan yang berlebihan‖ (penggunaan
waktu secara tidak produktif) dan ―konsumsi yang berlebihan‖.
Eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih-lebih, dan pemenuhan
kebutuhan penduduk yang cenderung meningkat, ditambah dengan keserakahan
kelompok-kelompok tertentu (kapitalis) dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak
pernah terpuaskan cenderung menimbulkan degradasi lingkungan. Kondisi ini
cenderung menggerakan hukum entropi yang tewujud dalam bentuk
meningkatnya pencemaran lingkungan, menipisan dan kelangkaan sumberdaya
alam (air, lahan, hutan, biodiversitas), bencana alam, dan terjadinya konflik sosial
di kalangan masyarakat.
Dalam kehidupan masyarakat modernitas maju, isu utamanya adalah resiko.
Giddens menyatakan, bahwa kehidupan modern adalah ―sebuah dunia yang tidak
terkendali‖ (running world) dengan langkah, cakupan, dan kedalaman
perubahannya yang jauh lebih besar dan dasyat daripada zaman sebelumnya
(pramodern). Lebih lanjut dinyatakan, Modernitas ini tidak mengikuti suatu jalan
tunggal (linear), tetapi terdiri atas sejumlah bagian berlawanan dan saling
bertentangan. Bahkan kehidupan modern dianalogikannya sebagai makhluk
―juggernaut‖ (panser raksasa) yang resiko dan dampaknya sangat berbahaya jika
tidak dapat dikendalikan (Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007:553).
Di era Modern, Bali (luas Pulau Bali 5633 km2
dengan jumlah penduduk
4,2 juta tahun 2018) diwarnai dengan pertumbuhan penduduk yang cenderung
meningkat ditambah dengan pembangunan fisik (fasilitas pariwisata) yang kurang
terkontrol, dan terjadinya deforestasi di beberapa tempat. Dampaknya terjadi
krisis ekologis, khususnya krisis air. Krisis air bersih telah terjadi di beberapa
tempat di Bali. Demikian pula konflik sosial terkait dengan kompetisi
pemanfaatan sumberdaya air. Hasil beberapa studi mengindikasikan, bahwa ada
kecenderung terjadi pengalihan sumberdaya air irigasi pertanian (subak) ke
industri pariwisata di Bali. Hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa kasus konflik
air yang terjadi di beberapa tempat sebelumya, seperti konflik antara subak dan
PDAM di situs Pura Tirtha Empul dan mata air Gamrong di Desa Soka
Kecamatan Penebel-Tabanan. Demikian pula konflik pemanfaatan air antara
krama Subak dengan pengelola sebuah Villa di Desa Jatiluwih, dan tempat
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 35
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lainnya (Wardi, 2018: 350-353). Tipe pembangunan pariwisata semacam ini tentu
tidak mencermikan konsep Pariwisata Budaya seperti yang dituangkan dalam
Perda Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang
berbasis pada falsafat Tri Hita Karana yang mengisyaratkan adanya
keseimbangan pembangunan dalam bidang ekonomi, ekologi dan sosial budaya
(sustainable development).
Keberadaan kearifan budaya dalam konteks lingkungan di Bali tampaknya
belum dapat mencegah secara optimal dan efektif terjadinya krisis ekologis,
khususnya krisis air dalam pembangunan era Modern. Tentu ada berbagai factor
yang menyebabkan terjadinya hal ini. Di antaranya karena kurangnya sosialisasi
dan revitalisasi kearifan lingkungan, pembangunan yang hanya menekankan
pertumbuhan ekonomi semata, adanya relasi kuasa antara kelompok kapiltalis
tertentu dengan agen otoritas rasional legal, dan faktor lainnya. Kearifan budaya
kini juga mengalami tantangan di Bali sejalan dengan munculnya kecenderungan
desakralisasi dan proses demitologi dalam kehidupan masyarakat sebagai bias
dampak negatif Modernisme. Perlu ada upaya dan strategi untuk meminimalkan
dan mencegah dampat negatif tersebut.
Beberapa upaya untuk meminimalkan dan mencegah dampak negatif
pembangunan Modern terhadap lingkungan dalam kehidupan masyarakat di Bali,
di antaranya dapat dilakukan dengan : (1) menggali dan mengungkap lebih banyak dan lebih dalam khasanah kearifan
budaya dan kearifan lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal Bali melalui
sumber-sumber tradisional (oral traditions: ritual dan mitos, kepustakaan
tradisional seperti babad/lontar, pamacangah, kesusasteraan klasik; prasasti,
artefak, ekofak, monument, dan yang lain);
(2) upaya pendidikan dan sosialisasi secara terus menerus terkait dengan
karakteristik ekosistem alam sekitar dan keberadaan kearifan budaya dan
lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal;
(3) melakukan revitalisasi kearifan budaya dengan berbagai strategi kultural, dan
sosial politik, seperti merumuskan dan menetapkan regulasi perlindungan
sumberdaya alam dan budaya ( awig-awig dan perda), dan praktik Law
Enforcement dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan dalam praktik
pembangunan modern;
(4) melakukan aksi lingkungan melalui penghijauan (reboisasi), gotong royong
menjaga kebersihan lingkungan, dan bentuk aksi nyata lainnya;
(5) komitmen merombak prilaku tidak ramah lingkungan menuju prilaku ramah
lingkungan secara individu maupun kolektif; dan
(6) memadukan kearifan budaya lokal dan budaya global melalui proses glokalisasi.
5. Simpulan
Ritual air (mendak toya) dalam siklus tahunan purnama kapat di kawasan Cagar
Budaya Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat Bali dan world
heritage merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris (subak)
purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat tradisional
bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Ritual tersebut sarat dengan kandungan
kearifan konservasi lingkungan, khususnya dalam konteks manajemen air yang
mempunyai hubungan interdependensi dengan keberadaan gunung, hutan, danau dan
sungai.
36 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dalam konteks krisis ekologis global (krisis air), kearifan konservasi lingkungan
dari ritual air dalam siklus purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Batukaru tersebut
perlu dijaga, dipelihara dan direvitalisasi dalam pembangunan dan perubahan kehidupan
modern yang sangat dinamis dan kompleks.
Era pembangunan Modern menjadi tantangan yang cukup berat dalam menjaga
keutuhan dan kelestarian eksistensi kearifan budaya/kearifan lingkungan.Terpenting di
antaranya, yaitu bagaimana kita dapat mengelola resiko-resiko Modernitas dengan
upaya-upaya tertentu agar dampak negatifnya dapat dicegah, diminimalkan atau
disalurkkan menjadi hal-hal yang positif.
Daftar Pustaka
Djojohadikusumo, Sumitro. 1981. ―Aspek Ekonomi dan Politik Sekitar Masalah
Ekologi dan Lingkungan Hidup ― , dalam Menuju Kelestarian Lingkungan
Hidup. Diedit oleh M.T. Zen. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.
Kartodiharjo, H. dan Jhamtani, H.,(ed.). 2006. Politik Lingkungan dan
Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia.
Kemendikbudpar.2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomoe 11 Tahun
2010 tentang Cagar Budaya. Dirrektorat Jenderal Sejarah dan Pubakala,
Jakarta.
Kempers, A.J. Bernet.1977.Monumental Bali : Introduction to Balinese
Archaeology Guide to Monuments. Den Haag.
Keraf, A.Sonny, 2002. Etika Lingkungan. Pernerbit Buku Kompas, Jakarta.
Manoharan, Dhusenti, Hilscher, Manuel, Birkenberg, Athena. 2009. Local
Knowledge and The Ecology of Medicinal Plants in Northen Thailand.
Stuttgart: Departemen of Gender and Nutritions, Hohenhim University.
Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun
2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Denpasar.
Ritzer,G., Douglas J.Goodman, 2009. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik
Sampai Perkembangan Teori Sosiologi Postmodern. Diterjemahkan oleh
Nurhadi dari buku Sociological Theory. PenerbitKreasi Wacana, Yogyakarta.
Wardi, I Nyoman. 2018. Marjinalisasi Kearifan Lingkungan Kosmologis Warisan
Budaya Pura Batukaru-Pakendungan di Kabupaten Tabanan Bali.
(Disertasi) Program Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Udayana, Denpasar.
Warna, I Wayan, dkk. 1986. Usana Bali -Usana Jawa. Dinas Pendidikan dan
Kebudayaan Provinsi Bali,Denpasar.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 37
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK
MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE
Ahmad Habib1, Robbi Gunawan
2, dan Mamluqil Farihah
3
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa & Seni,
Universitas Negeri Surabaya [email protected],
ABSTRAK
Puisi merupakan sebuah karya sastra yang dihasilkan dari sebuah
pemikiran dan imajinasi seseorang yang disampaikan secara tersirat
dan menggunakan penggambaran yang berbeda namun memiliki
makna yang sama. Karya sastra ini memiliki tanda-tanda yang
kompleks yang sulit untuk ditafsirkan untuk mendapatkan makna
sebenarnya yang dirasakan dan dipikirkan oleh penulis. Tetapi
puisi dapat dideskripsikan dengan rinci untuk mendapatkan sebuah
makna yang tepat dalam suatu tanda yang dibuat dengan
menggunakan beberapa teori dari para ahli. Puisi merupakan
sebuah karya tulis dan bukanlah sekedar karya tulis sastra yang
hanya untuk dinikmati saja, melainkan juga bisa sebagai
penyampai pendapat dan/atau perasaan yang ingin diungkapkan
dengan gaya penyampain yang berbeda oleh penulis itu sendiri.
Penelitian puisi ―Sajak Hoax‖ karya Sosiawan Leak bertujuan
untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan tanda-tanda yang ada
pada puisi tersebut. Agar pembaca puisi tidak hanya mengenal
setiap bait puisi melainkan juga kandungan makna dalam tanda
yang dibuat pada setiap bait puisi. Untuk mengidentifikasi adanya
tanda yang bermakna dalam puisi Sajak Hoax menggunakan
pendekatan pragmatik yang mana peran pembaca sangat penting,
dan teori yang digunakan ialah semiotika Riffaterre yang mengkaji
suatu karya sastra dengan menijau antara hubungan penanda dan
petanda yang ada dalam karya sastra. Yang menggunakan 4
langkah proses pengkajian tanda, yaitu (1)ekspresi tidak langsung,
(2)pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3)matris, model, dan
varian, dan (4)hipogram.
Kata Kunci : Puisi, Semiotika Riffaterre, dan Tanda
Pendahuluan
Karya sastra merupakan hasil dari cara berfikir kreatif yang diciptakan
untuk disampaikan secara tertulis maupun lisan dengan menggunakan bahasa
yang indah serta terdapat nilai-nilai kehidupan didalamnya. Menurut Waluyo
(2003:01) Puisi merupakanbentuk karya sastra dengan pemadatan bahasa dan
pemberian irama bunyi yang padu serta pemilihan kata kias guna memperindah
38 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dan menyembunyikan arti sebenarnya. Bahasa puisi sering disebut dengan bahasa
yang puitis. Bahasa atau kata puitis merupakan suatu hal yang sulit untuk
didefinisikan. Namun, bahasa atau kata puitis mengandung nilai keindahan pada
puisi yang dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan
tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan (Pradopo, 2014:13). Dapat
diambil garis besar bahwa puisi merupakan bentuk sastra yang paling tua dengan
pernyataan yang paling padat dan sarat akan makna. Sejarah yang
melatarbelakangi proses penciptaan puisi mempunyai fungsi sangat berpengaruh
dalam membentuk atau memberikan makna pada puisi.
Puisi tidak hanya untuk dinikmati, dibaca, dan didengar saja. Akan tetapi
puisi juga dapat diapresiasi. Kegiatan mengapresiasi suatu karya puisi dapat
memberikan suatu penghargaan dan juga penilaian terhadap puisi yang telah
dibuat. Dalam mengapresiasi suatu puisi diperlukan sebuah pendekatan dan teori
sebagai pisau untuk membedah karya tersebut. Salah satu teori yang dapat
digunakan untuk melakukan apresiasi puisi yaitu dengan menganalisis tentang
tanda-tanda yang terdapat pada puisi. Tentunya dalam puisi banyak sekali tanda
yang memiliki makna tersirat seperti simbol-simbol yang perlu dipahami maksud
sebenarnya.
Teori analisis tanda-tanda dikenal dengan teori semiotik. Zoest (dalam
Lantowa, 2017:01) berpendapat bahwa semiotika adalah salah satu cabang ilmu
yang berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan
tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku dalam menggunakan tanda.
Teori semiotik memiliki empat tokoh yaitu Ferdinand De Saussure, C. S. Peirce,
Roland Barthes, dan Riffaterre. Empat tokoh ini memiliki metode yang berbeda
dalam mengungkapkan teori semiotik terhadap suatu karya sastra.
Untuk proses analisis puisi “Sajak Hoax” karya Sosiawan Leak ini akan
dilakukan dengan menggunakan teori Semiotika dari Riffaterre yang
menggunakan 4 langkah yaitu (1)ekspresi tidak langsung, (2)pembacaan heuristik
dan hermeneutik, (3)matris, model, dan varian, dan (4)hipogram.
Puisi ―Sajak Hoax” dipilih karena rangkaian diksi yang digunakan penulis
mudah untuk dipahami. Puisi ini merupakan puisi satirik yang mengkritik secara
halus atau sering disebut dengan sindiran. Puisi tersebut merupakan karya dari
seorang penulis sekaligus aktor dan sutradara dalam suatu teater yaitu Sosiawan
Leak.
Metodologi
Semiotika merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan tanda. Pada tanda
terdapat dua aspek yaitu penanda dan petanda. Dua aspek pada tanda memiliki
tiga bentuk yaitu ikon, indeks, dan simbol (Pradopo, 2014:123). Menurut Michael
Riffaterre terdapat empat langkah dalam mengkaji suatu karya sastra. Yang
pertama ialah karya sastra yang bukan bentuk ekspresi tidak langsung.Puisi
merupakan salah satu karya sastra yang bukan bentuk ekspresi tidak langsung.
Dalam menyatakan suatu hal dengan pengertian lain puisi mengungkapkan
melalui penggantian arti, penyimpangan atau pemencongan arti, dan penciptaan
arti (Riffaterre dalam (Pradopo, 1999:77)).
Kedua adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik (tetroaktif). Pembacaan
heuristik merupakan tahap pembacaan pertama yang dilakukan dengan membaca
puisi dari awal hingga akhir dengan melihat segi kebahasaanya. Meliputi
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 39
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kemampuan pembaca dalam melihat kesesuaian atau penyimpangan dari setiap
kata yang ada. Pada semiotik tingkat kedua pembacaan puisi melihat segi
kesustraan atau dalam arti lain pembacaannya lebih terfokus pada peninjauan,
perbaikan, dan membandingkan sampai invariant, untuk menemukan sebuah
struktur dan hubungan variasi-variasi yang nantinya akan membentuk kesatuan
makna secara utuh pada karya sastra tersebut.
Ketiga ialah mencari matriks, model, dan varian. Matriks merupakan kata
kunci yang bukan kiasan. Matriks bisa berbentuk satu kata, kalimat, bagian
kalimat, atau kalimat sederhana.
Keempat adalah hipogram. Hipogram merupakan latar belakang suatu
karya sastra yang menjadi inspirasi sebuah karya sastra baru. Hipogram akan
membuat suatu pengaitan teks satu dengan teks lain yang telah dikaji sebelumnya.
Suatu yang menjadi hipogram tidak hanya didapat melalui teks karya sastra saja
melainkan bisa dari sebuah berita atau kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.
Pembahasan
1. Puisi merupakan Ekspresi Tidak Langsung
Ekspresi tidak langsung menggunakan langkah penggantian arti,
penyimpangan arti, dan atau penciptaan arti.
1.1 Penggantian Arti
Penggantian arti pada sajak-sajak puisi digunakan majas hiperbola, majas
simbolik, majas metafora, majas personifikasi, majas tautologi, majas klimaks,
dan majas sarkasme. Pada bait pertama, orang-orang tanpa kepala yang memiliki
arti orang-orang yang memiliki pemikiran yang kurang bagus, masuk ke dalam
majas tautologi dikarenakan dalam setiap bait puisi kalimat tersebut terus diulang.
Tak bisa menyimpan argumentasi, fakta, dan data serta kebenaran logika di
otaknyaberarti tak bisanya seseorang untuk menyimpan suatu rahasia di dalam
dirinya yang digambar melalui otak, kalimat tersebut masuk kedalam majas
klimaks. Dari kelingking, sikut, dengkul, bahkan dubur dan belahan pantat; kata-
kata muncrat menjelma sihir provokasi, lendir, agitasi juga kedangkalan nurani
berarti diri seseorang yang mudah untuk mengeluarkan sebuah pendapat yang
dapat menyulut orang lain untuk mengikuti apa yang telah dibicarakannya.
Pada bait kedua, tersesat di rimba maya yang mengambarkan tersesatnya
seorang atau sekelompok orang dalam luasnya media sosial.. Namun loyo tanpa
pulsa, gelombang udara, dan puja-puji frekwensiberarti tidak berdayanya
masyarakat zaman sekarang tanpa adanya internet yang sudah menjadi kebutuhan
pokok.
Pada bait ketiga, berjubah online murahan, bersenjata kebebasan yang
mengartikan masyarakat yang menggunakan media sosial (online) sebagai senjata
untuk membuat kritik ataupun berita. Karena adanya hak asasi manusia yaitu
kebebasan berpendapat yang mengakibatkan hoax.
Pada bait keempat, namun selalu terpercik pesing kencing dan mani hasil
onani! merupakan kalimat sindiran kasar kepada para masyarakat yang
menggunakan media sosial secara tidak benar.
1.2 Penyimpangan Arti
Penyimpangan arti pada sajak pusi akan dianalis mengenai ambiguitas,
kontradiksi, dan juga nonsense. Ambiguitas merupakan adanya kata, kalimat,
40 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ataupun kumpulan kalimat yang memiliki banyak makna dan dapat ditafsirkan
dengan bermacam-macam pemikiran. Pada bait pertama terdapat ambiguitas pada
kalimat orang-orang tanpa kepala yang dapat diartikan sebagai seseorang yang
telah mati dipenggal dan kehilangan kepalanya. Pada bait ketiga, berjubah online
murahan yang dapat diartikan baju yang dijual online secara murah, Pada bait
keempat, namun selalu terpercik pesing kencing yang diartikan seseorang yang
sedang membuang air kecil.
Kontradiksi dihasilkan dari adanya penggunaan majas ironi, pradoks, dan
antitesis.Pada bait kedua, namun loyo tanpa pulsa, gelombang udara, dan puja-
puji frekwensi mengartikan bahwa masyarakat saat ini tidak bisa hidup dengan
tidak adanya pulsa, sinyal, dan jaringan. Merekaberanggapan bahwa teman
merekahanya di dalam media sosial. Jika, tidak adanya ketiga hal tersebut akan
membuat kehidupannya lemah dan tidak berarti. Pada bait ketiga, menumpang
status, jempol, dan blokir picisan mengartikan bahwa masyarakat saat ini hanya
menyuarakan apa yang ia ingin katakan dalam status, disukai banyak orang dan
saling blokir-memblokir satu sama lain karena tidak samanya persepsi. Pada bait
keempat, hidungnya sakau blog-blog sampah mengartikan bahwa kepekaan
masyarakat terhadap lingkungan sekitar dikarenakan dari sebuah sumber blog
media sosial di internet yang membuat candu.
Nonsense pada keseluruhan sajak puisi diatas terdapat maknanya dan dalam
bahasa yang digunakan secara keseluruhan terdapat dalam kamus. Nonsense
adalah kata-kata yang tidak memiliki arti dan arti tidak terdapat dalam kamun,
namun kata tersebut memiliki arti gaib atau tidak terduga. Maka, dapat
disimpulkan sementara bahwa secara keselurahan bahasa dan bunyi dalam puisi
memiliki arti dan makna.
2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik
2.1 Pembacaan Heuristik
Puisi ―Sajak Hoax‖ dapat diartikan pada semiotik tingkat pertama. Yaitu,
mengenai orang-orang tanpa kepala mengartikan orang-orang yang tak bisa
berfikir. Dari kelingking, sikut, dengkul bahkan dubur dan belahan pantat; kata-
kata muncrat, yang mengartikan perkataan yang dihasilkan tidak hanya dari
mulut melainkan dari sikut, dengkul, belahan dubur, dan belahan pantat yang ikut
andil dalam perkataan tersebut. Menjelma sihir provokasi, lendir agitasi juga
kedangkalan nurani. Bermakna bahwa setiap perkataan menjadi bahan provokasi
guna mempengaruhi pemikiran dan hati karena acuhnya terhadap sekitar.
2.2Pembacaan Hermeneutik Orang-orang tanpa kepala mengartikan orang-orang yang tak memiliki
pemikiran secara jangka panjang yang mudah terpengaruh dengan ucapan atau
berita yang belum diketahui dan bisa dianggap sebagai orang yang kurang cerdas.
Merakit kepala dari remah-remah peradaban. Bermakna bahwa daya pikir orang-
orang yang masih dalam tahap pembentukan yang sangat rentan untuk menangkap
sebuah berita atau info yang membuat pemikiran terpecah karena cepatnya
informasi yang bisa didapat tanpa adanya saringan. Matanya layar pudar,
mulutnya keyboard butut karatan, telinganya tautan tanpa jiwa, hidungnya sakau
blog-blog sampah. Mengartikan bahwa manusia yang telah dirusak dengan
teknologi. selain itu, juga telah merusak bagian-bagian tubuh manusia seperti
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 41
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
mata, dan tentunya batin manusia itu sendiri dari mulut yang tidak bisa menjaga
perkataannya, telinganya yang tak bisa mendengarkan saran orang lain, dan
pemikirannya tidak bisa berhenti untuk terus mencari blog-blog yang tidak sesuai
dengan kebenaran dan tergolong negatif. Yang sedang menebar fitnah di mata
kaki, mengartikan bahwa segala bentuk ketidakbenaran atas fakta yang ada ia
tularkan melalui manusia terlebih dahulu yang tergolong mudah untuk disusupi
dengan berita yang tidak sesuai. Namun selalu terpercik pesing kencing,
bermakna bahwa perkataan yang orang ucapkan selalu perkataan yang
mengandung unsur negatif, tidak bermanfaat dan hanya membawa unsur
pembodohan.
3. Matriks, Model, dan Varian-Varian
Matriks dalam sajak ―Sajak Hoax‖ adalah orang-orang yang tak memiliki
pemikiran panjang dantidak bisa menyimpan data atau rahasia. Matriks ini
dirubah menjadi model dalam bentuk “kata-kata muncrat menjelma sihir
provokasi, lendir agitasi, juga kedangkalan nurani menabur filsafat kebodohan
dan iri dengki tanpa tandingan”, bermakna bahwa perkataan yang orang-orang
ucapkan merupakan sebuah provokasi untuk mengikuti apa yang orang lain
katakan yang hanya menyebarkan berita-berita tak benar dan diterima karena
kurangnya pengetahuan dan acuh terhadap keadaan. Matriks tersebut adalah
sebuah hipogram intern yang terdapat dalam sajak puisi yang ditransformasikan
dalam bentuk varian-varian dalam bait 1, 2, 3, dan 4.
Pada bait pertama, terdapat varian kepicikan gagasannya lebih durjana. Yang
mengartikan bahwa orang-orang yang memiliki pemikiran yang sangat curang
dengan menggunakan pemikiran dan perkataan yang digunakan sebagai cara
untuk melancarkan kejahatannya.
Pada bait kedua, terdapat varian jatuh cinta pada kebohongan massal. Yang
mengartikan bahwa masyarakat lebih menyukai hal-hal yang disukai banyak
orang meskipun itu salah bisa dianggap benar karena banyak yang mengikuti.
Pada bait ketiga, terdapat varian berjubah online murahan, bersenjata
kebebasan. Yang mengartikan bahwa orang-orang menggunakan media online
secara negatif dan hanya menggunakan sebagai media memberikan pendapat
secara bebas karena setiap manusia memiki hak untuk berpendapat yang sesuai
dengan hak asasi manusia.
Pada bait keempat, terdapat varian yang menebar fitnah di mata kaki. Yang
bermakna bahwa penyebaran berita yang tidak benar atau bohong dimulai dari
bawah yaitu kepada orang-orang yang minim akan pengetahuan dan akan mudah
untuk dipengaruhi.
4. Hipogram
Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa,mempunyai hubungan sejarah
antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.Pengaruh-
pengaruh yang didapatkan pengarang dari berbagai karya sastra sebelumnya dan
sezamannya tersebut membuat karya sastra hasil ciptaannya tersebut tidaklah
orisinil dan hampir tidak mungkin seorang pengarang tidak terpengaruh oleh
karya sastra lainnya.
Puisi ―Sajak Hoax‖ memiliki kesamaan dengan puisi ―Topeng Kebohongan‖
karya Beny Guntarman yang dibuat pada 15 Juli 2014.
42 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Pada puisi ―Topeng Kebohongan‖, memiliki kesamaan dengan puisi ―Sajak
Hoax‖ yaitu dari segi tema yang sama-sama menggunakan tema berita tidak benar
(hoax). Dan dari segi isi puisi juga memiliki kesamaan yang membahas mengenai
berita yang tidak benar yang disebar luaskan demi mendapatkan sesuatu yang
diinginkan dengan berpedoman bahwa semua orang memiliki hak untuk
berpendapat.
Puisi ―Sajak Hoax‖ juga bisa disamakan dengan keadaan manusia jaman
sekarang yang mudah terpengaruh dengan berita-berita yang ada di sosial media
dan mereka juga lebih menyukai hal-hal yang didukung secara massal tanpa harus
mengerti kebenaran berita sebenarnya benar.
Simpulan
Berdasarkan analisis puisi Sajak Hoax katya Sosiawan Leak yang
menggunakan teori semiotika Riffaterre dengan pendekatan pragmatik, telah
ditemukan ekspresi tidak langsung, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matris,
model, dan varian, dan hipogram.
Jadi, puisi tersebut yang dapat dikaji menggunakan semiotika Riffaterre yang
dapat dimengerti makna sebenarnya yang ada, puisi ini menceritakan mengenai
manusia yang mudah untuk menerima berita-berita yang tidak benar yang
merupakan hasil dari adanya fitnah yang di sebarkan melalui media online dengan
banyaknya orang yang menyukai berita tersebut dan membuat berita tersebut
dianggap benar karena memiliki banyak pendukung. Berita yang membuat banyak
orang terlihat bodoh karena tidak mengerti mengenai berita sebenarnya yang ada.
Yang pada puisi diberikan kata-kata sindiran yang tergolong frontal untuk
mengungkapkan hal tersebut kepada pembaca. Kata-kata sindiran yang dipakai
menjadi sebuah tanda petanda yang dapat dikaji pada semiotika Riffateree ini.
Daftar Pustaka
Leak, Sosiawan. 2018. Antologi Puisi “Sajak Hoax”. Elmatera: Maguwoharjo
Yogyakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Humaniora. Gadjah Mada University Press:
Yogjakarta.
Pradopo, Rachmat Djoko. 2014. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University
Press: Yogjakarta.
Waluyo, Herman. 2003. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Gramedia
Pustaka Utama: Jakarta.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 43
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG
REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN
Aliffiati, AA Ayu Murniasih
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]
ABSTRAK
Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah ‖reinventarisasi tradisi
kuliner tradisional masyarakat Lumajang sebagai upaya pelestarian
seni kuliner tradisional masyarakat dengan budaya pendalungan
serta memberi manfaat besar bagi masyarakat dalam jangka
panjang dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya―.
Tujuan tersebut hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus
penelitian, yaitu menginventarisasi berbagai tradisi kuliner
tradisional yang menunjukkan jatidiri masyarakat Lumajang
sebagai masyarakat dengan budaya pendalungan. Adapun hal-hal
yang hendak diketahui dan dipahami dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut; (1) Bagaimanakah klasifikasi tradisi kuliner pada
masyarakat Lumajang sebagai identitas budaya pendalungan ?; (2)
Bagaimanakah masyarakat Lumajang dalam memanfaatkan kuliner
tradisional?
Metode penelitian yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan
target tersebut di atas adalah metode kualitatif, dan ditunjang
metode kuantitatif seperlunya, berparadigma fenomenologis dan
interpretatif.
Temuan penelitian, ragam tradisi kuliner tradisional masyarakat
Lumajang dapat diklasifikasikan menjadi tradisi kuliner sehari-hari,
tradisi kuliner terkait waktu tertentu, tradisi kuliner terkait dengan
daur hidup. Masyarakat Lumajang mengembangkan kuliner
tradisional sebagai salah satu komoditas bagian dari ekonomi
kreatif masyarakat.
Kata Kunci : identitas budaya, pendalungan, kuliner tradisional
Pendahuluan
Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi
Jawa Timur terletak di kawasan tapal kuda yang memiliki potensi alam khususnya
potensi pangan (makanan) yang berlimpah, dibuktikan dengan lima kali
memperoleh prestasi predikat sebagai kabupaten sehat untuk zona Jawa.
Penilaian dari TPID yaitu Tim pengendali Inflasi Daerah didasari oleh 3
program unggulan di kabupaten Lumajang yaitu: 1) Aksi gerakan pemupukan
44 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
organik dan benih unggul bersertifikat (Sigarpun Bulat); 2) Aksi gemar makanan
pokok lokal (Si Gempal); 3) Gemar makan ikan dan pasar agropolitan.
Masyarakat Lumajang dicirikan sebagai masyarakat dengan corak budaya
pendalungan yaitu pencampuran dua budaya yaitu Jawa dan Madura sehingga
tergolong masyarakat bercorak multikultur karena dalam perkembangan
selanjutnya tidak hanya budaya Jawa dan Madura tapi berbaur pula budaya etnis
lain seperti Arab, Cina. Hal ini sangat menarik terlebih pada tradisi kuliner yang
berkembang di masyarakat Lumajang yang mengambarkan pencampuran antara
berbagai tradisi kuliner namun bagi masyarakat itulah tradisi kuliner yang mereka
miliki yang mereka warisi secara turun temurun serta mengandung unsur kearifan
lokal, meskipun pada kenyataannya tradisi kuliner tradisional mulai terpinggirkan
oleh kehadiran kuliner modern.
Upaya pelestarian tradisi kuliner tradisional sebagai jatidiri masyarakat
pendalungan melalui reinventarisasi makanan dengan tujuan jangka panjang untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal-hal yang hendak diketahui dan
dipahami dalam penelitian ini adalah bagaimanakah klasifikasi kuliner pada
masyarakat Lumajang sebagai identitas masyarakat pendalungan dan bagaimana
masyarakat memanfaatkannya. Tujuan penelitian adalah menekankan pada aspek
pemahaman. Metode yang relevan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kualitatif dan didukung pula dengan data kuantitatif. Lokasi penelitian dilakukan
pada 3 kecamatan di kabupaten Lumajang propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi
penelitian karena kabupaten Lumajang salah satu daerah sumber pangan atau
lumbung pangan di wilayah provinsi Jawa Timur dengan corak masyarakat dan
budaya pendalungan.
Kuliner sebagai Identitas Budaya
Dua kutub besar di dalam kajian antropologi mengkaji hubungan makanan
dan kebudayaan, yakni pertama, bahwa makanan merupakan unsur budaya,
memiliki nilai-nilai ritual, kepercayaan dan lain sebagainya. Dalam kajian ini
dikenal dengan model kognisi. Model ini menunjukkan kecenderungan kajian
yang meletakkan masalah-masalah dalam mengkaji makanan adalah karena faktor
kebudayaan. Faktor kebudayaan adalah satu-satunya penyebab tanpa
menghubungkannya dengan faktor yang lain. Misalnya ketika melihat budaya
makan suatu etnis, maka ini dikaitkan dengan nilai-nilai budaya, kepercayaan,
pantangan-pantangan, tahayul, mitos dan lain sebagainya. Tema yang muncul
dalam kajian seperti ini adalah peta pengetahuan. Pendekatan kedua adalah yang
melihat makanan merupakan sesuatu yang tidak hanya terkait faktor kebudayaan
dan ideologi semata, dimana faktor kebudayaan hanya sebagian kecil saja
daripada makanan. Model ini dikembangkan oleh Jerome, Kandel dan Pelto
(1980) yang dikenal dengan nama model ekologi. Ini dikarenakan adanya
perubahan sosial budaya masyarakat yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya
mengalami reduksi. Kebudayaan sejajar dengan unsur lainnya seperti organisasi
sosial, lingkungan sosial, lingkungan fisik dan teknologi mempengaruhi makanan
sebagai kebutuhan dasar manusia. Artinya konstribusi kebudayaan sama porsinya
dengan item-item lainnya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan akan berubah
apabila berinteraksi dengan lingkungan, sebagaimana pendekatan-pendekatan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 45
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ekologi deterministik melihat interaksi kebudayaan dan lingkungan. Namun
seberapa jauh perubahan kebudayaan itu tidak dibahas dalam pendekatan ini.
Padahal perubahan kebudayaan itu memiliki gradasi dan variasi dalam
perubahannya (Bee, 1974). Kedua pendekatan akan digunakan dalam penelitian
ini untuk mengkaji ragam kuliner tradisional di Lumajang dengan latar belakang
budaya berbagai etnis khususnya etnis Madura dan Jawa serta bagaimana
masyarakat Lumajang memaknai tradisi kuliner yang mereka miliki
Makanan merupakan pembentuk identitas etnis, yang dapat dikenali dari
jenis masakannya yang memiliki karakteristik rasa yang khusus. Makanan juga
sebagai pembentuk identitas individual yang berkaitan dengan klass dan gender.
Goody (1982) menyebutkan bahwa sebetulnya hirarki klass, kasta, ras dan gender
terbentuk melalui differensiasi kontrol terhasap akses terhadap makanan. Pola-
pola konsumsi yang berbeda adalah satu dari banyak cara yang membedakan diri
mereka sendiri dengan orang lain. Makanan juga mempunyai peran social sebagai
sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status social, dan
sebagai mediator simbolikdalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan
dan hubungan sosial.
Guerrero (2009) menjelaskan bahwa, makanan tradisional atau kuliner lokal
adalah produk makanan yang sering dikonsumsi oleh suatu kelompok masyarakat
atau dihidangkan dalam perayaan dan waktu tertentu, diwariskan dari generasi ke
generasi, dibuat sesuai dengan resep secara turun-temurun, dibuat tanpa atau
dengan sedikit rekayasa, dan memiliki karakteristik tertentu yang
membedakannya dengan kuliner daerah lain (seperti dikutip oleh Guerrero et al,
2009). Makanan tradisional artinya dapat dikatakan sebagai identitas lokal karena
keberadaannya yang menjadi bagian dari budaya masyarakat, seperti tata cara
tertentu dalam mengolah bahan makanannya, perannya dalam budaya masyarakat
dan tata perayaan, serta resep yang terjaga secara turun-temurun.
Miller menggambarkan identitas budaya sebagai kondisi dimana setiap
individu menerima dan menghargai perbedaan dan kearifan lokal serta mengakui
hak atas perbedaan (dalam Miller, Kostogriz, & Gearon, 2009, hal.127). Orang
yang memiliki identitas budaya yang kuat bersedia untuk menerima keberagaman
budaya dan mampu untuk mengadakan kontak dengan budaya lain tanpa
menghilangkan budayanya sendiri. Potensi Alam dan Lingkungan Kabupaten Lumajang
Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang terletak
dikawasan tapal kuda Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Lumajang secara geografis
berada pada posisi 112o -53' - 113
o -23' Bujur Timur dan 7
o -54' -8
o -23' Lintang
Selatan. Kabupaten Lumajang diapit oleh 3 gunung berapi, yaitu gunung Semeru,
gunung Bromo, dan gunung Lamongan. Luas wilayah Kabupaten Lumajang
adalah 1.790,90 km2 yang terbagi ke dalam 21 kecamatan, 198 desa, 7 kelurahan,
1.749 RW dan7.023 RT, dengan jumlah penduduk sampai dengan Juni tahun 2016
adalah 1.104.759 jiwa.
Data BPS tahun 2016, menyatakan bahwa mata pencaharian penduduk
sebagian besar bekerja di sektor pertanian (termasuk perkebunan, peternakan,
46 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
perikanan, dan kehutanan) yaitu sebesar 230.656 jiwa atau 44, 51% dari jumlah
penduduk usia produktif. Sebagian lainnya bekerja di sektor perdagangan besar,
eceran, rumah makan dan hotel sebesar 94.521 jiwa (18,24%), sektor industry
pengolahn sebesar 57.025 jiwa (11,00%), sektor bangunan/konstruksi sebesar
45.904 jiwa (8,86%). Sisanya bekerja di sektor transportasi, pertambangan, jasa
dan keuangan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihitung oleh BPS
tahun 2016, perekonomian kabupaten Lumajang sebagian besar ditunjang oleh
sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (36,49%), sektor pengolahan industri
(19,48%), sektor perdagangan (14,20%). Tradisi Kuliner dalam Kehidupan Sehari-hari
Konsep makanan di masyarakat Lumajang terkait dengan kebiasan atau
tradisi kuliner yang dilakukan secara turun temurun dan berkembang hingga saat
ini. Konsep makan atau mangan bagi sebagian besar masyarakat Lumajang adalah
ketika mereka mengkonsumsi bahan makanan pokok, seperti ungkapan berikut, ‖
wis mangan lek wis mangan sego” artinya sudah makan jika telah makan nasi.
Tentunya makan nasi tidak hanya nasi saja tetapi dengan bahan pangan lainnya
seperti lauk pauk dan sayur.
Sedangkan makanan non makanan pokok merupakan makanan pendamping
atau sampingan atau selingan, lebih dikenal sebagai camilan atau jajan.
Pendamping dari makanan pokok, selingan atau sampingan yaitu makanan yang
dikonsumsi diantara pergantian waktu makan, misalnya menunggu saat sarapan,
menunggu waktu makan siang. Masyarakat Lumajang pada umumnya makan tiga
kali sehari yakni pagi, siang dan malam. Penyajian makan sehari-hari, cenderung
menyesuaikan dengan kemampuan wilayah tempat tinggal yaitu terkait dengan
sumber bahan pangan yang tersedia dan keadaan ekonomi keluarga. Pada
umumnya makan pagi atau biasa disebut sarapan dengan menu yang sederhana
dalam proses dan penyajian bahkan banyak diantara masyarakat yang makan pagi
atau sarapan dengan konsumsi kue atau jajan didampingi dengan minum kopi, teh
atau susu. Minuman kopi merupakan minuman yang banyak disukai masyarakat,
demikian juga teh. Salah satu menu sarapan yang sangat populer di masyarakat
adalah ketan dan kopi, yaitu beras ketan ditanak dan diatasnya ditaburi dengan
kedelai yang telah dihaluskan yang dikenal dengan nama ketan bubuk, selain
ketan bubuk ada juga ketan kinco yaitu ketan dengan topping kelapa parut yang
telah dimasak dengan gula merah; ketan koro yaitu ketan yang dicampur dengan
kacang koro. Jenis makanan ini merupakan makanan yang merakyat dan
dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, umumnya mereka peroleh dengan
membeli di warung. Selain ketan, yang masih disukai oleh masyarakat adalah
jajan pasar. Jenis jajan pasar yang khas di Lumajang adalah : latok, yaitu jenis
makanan yang bentuknya mirip dengan kue lapis tapi berbahan tepung tapioka
diberi warna merah dan hijau serta putih, dimakan dengan topping fla gula merah
jawa dan kelapa parut; tawonan yaitu sejenis kue putu tetapi dicampur dengan
kacang merah atau kacang tolo, buki samadengan tawonan tetapi diberi warna
hitam. Lebih jelas lihat gambar berikut. Makan siang dan makan malam pada umumnya lebih bervariasi atau
beragam dalam pengolahan dan penyajian. Pola makan siang dan malam
masyarakat desa dengan perkotaan ada perbedaan. Masyarakat pedesaan memiliki
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 47
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kesulitan untuk mengembangkan jenis makanan dan minuman. Jumlah makanan
dan minuman yang disediakan atau konsumsi terbatas setiap harinya. Sayur
biasanya hanya diambil dari hasil kebun atau ladang atau dari tanaman pagar
pekarangan rumah dan tidak banyak menggunakan bumbu, dengan cara
pengolahan yang sederhana sesuai dengan tata cara yang dilakukan secara turun
temurun. Sebaliknya dengan masyarakat perkotaan jenis makanan, cara
pengolahan dan penyajian lebih beragam.
Tradisi Kuliner terkait Waktu Tertentu atau Peristiwa Tertentu Masyarakat Lumajang tergolong masyarakat yang masih memegang teguh
tradisi warisan leluhur, khususnya dalam hal memperingati hari-hari atau waktu
yang dianggap punya nilai tersendiri atau sakral. Peringatan hari-hari itu
dilakukan dengan menyelenggarakan slametan sebagai bentuk rasa syukur kepada
Tuhan. Ketika acara slametan ini disajikan beragam makanan, salah satu makanan
yang hampir ada ada di setiap perayaan adalah tumpeng. Falsafah tumpeng
berkaitan dengan kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi oleh gunung.
Tumpeng berasal dari tradisi masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu sebagai
bentuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam arwah leluhur.
Kebudayaan Hindu pun berpengaruh terhadap filosofi tumpeng, bentuk tumpeng
yang dicetak kerucut dimaksudkan meniru gunung Mahameru tempat
bersemayamnya para dewa-dewi. Tumpeng menurut tradisi Islam-Jawa
merupakan kependekan dari bahasa Jawa, yen metu kudu sing mempeng artinya
harus bersungguh-sungguh dan benar. Lauk yang menyertai tumpeng biasanya
berjumlah 7 dalam bahasa Jawa disebut pitu, maksudnya pitulungan atau
pertolongan. Tumpeng memiliki makna sebagai permohonan kepada Tuhan agar
diberi kemudahan, kebaikan dan pertolongan. Berikut beberapa waktu atau hari
yang diperingati oleh masyarakat Lumajang: a. Suro, peringatan 1 Muharam (kalender Hijriyah) atau 1 Suro yaitu peringatan
tahun baru berdasarkan kalender hijriyah atau sistem penanggalan Qomariyah
(berdasarkan peredaran bulan). Peringatan 1 Suro ini memiliki arti khusus di
kalangan masyarakat Jawa, Madura atau masyarakat Lumajang, khususnya
mereka yang masih menganut tradisi Kejawen. Mereka akan melakukan
slametan dengan menyajikan makanan dengan menu antara lain nasi, lauk
pauk berupa daging ayam dan telur, tempe tahu , sayur mayur, mie, perkedel
kentang. Selain nasi, mereka membuat bubur yang biasa disebut dengan
bubur suro. b. Sapar, diperingati dengan membuat bubur atau biasa disebut dengan jenang
sapar atau jenang grendul. Bahan utama jenang grendul dari tepung ketan yang dibentuk bulat-bulat sebesar biji kelerng, direbus dan ditambahkan gula merah, dikonsumsi dengan topping santan kental.
c. Muludan atau maulid nabi yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, berkaitan dengan masyarakat Lumajang mayoritas beragama Islam. Muludan dirayakan dengan cara melaksanakan slametan dilakukan meramai-ramai dengan membawa makanan dan buah-buahan ke masjid atau langgar. Masing-masing warga saling menukar apa yang mereka bawa atau ijol-ijolan, kemudian setelah doa bersama maka melakukan makan bersama-sama. Tujuan peringatan ini untuk selalu ingat dan dapat mencontoh perilaku nabi.
d. Megengan atau slametan menyambut datangnya bulan ramadhan. Makanan
48 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
e. yang khas pada acara megengan adalah kue apem yang merupakan jajanan utama yang harus ada pada slametan ini.
f. Riyoyo atau slametan yang dilakukan menyambut datangnya 1 Syawal, jenis makanan yang khas adalah kue apem.
g. Kupatan atau slametan yang dilakukan 7 hari setelah lebaran atau tanggal 7 Syawal. Jenis masakan utama pada acara Kupatan adalah kupat yaitu beras yang dibungkus daun kelapa muda atau janur, lepet adalah ketan dibungkus janur, lontong yaitu beras dibungkus daun pisang dan pada umumnya lontong berbentuk kerucut segitiga dengan makanan pelengkap opor ayam, sambel goreng, telur petis, bubuk kedelai atau koya, kelapa parut yang digoreng tanpa minyak atau srundeng.
h. Barikan atau slametan dan makan bersama yang dilakukan di perempatan
desa/jalan desa dalam rangka memperingati hari penting, dalam hal ini malam
menjelang 17 Agustus atau malam 16 Agustus, seluruh warga di Lumajang
melaksanakan barikan. Tradisi Kuliner dalam Daur Hidup
Tradisi kuliner dalam daur hidup adalah slametan yang dilakukan terkait proses perjalanan hidup seseorang sejak dlam kandungan hingga meninggal, tujuannya untuk meminta perlindungan Tuhan agar selalu terjaga keselamatan dan tercapai kebahagian dunia akherat, antara lain: a. Slametan terkait dengan kehamilan, terdiri dari slametan ketika usia
kandungan 3 bulan dan 7 bulan dan slametan ini hanya dilakukan untuk
kehamilan pertama (anak pertama). Makanan yang disiapkan adalah nasi,
sayur, mie, telur, daging ayam serta bubur merah.
b. Slametan bayi yang baru lahir atau brokohan dengan bubur merah dan nasi
kulupan (sayur urap), atau kue yang terbuat dari tepung ketan, gula merah dan
dibungkus daun pisang yaitu jajan iwel-iwel.
c. Slametan pupak puser yaitu ketika bayi pusarnya telah mengering dan lepas
jahitannya. Makanan yang disajikan sama dengan acara brokohan.
d. Sunatan atau acara khitanan anak laki-laki yaitu sebagai tanda anak laki-laki
memasuki masa dewasa atau akil baliq, dilakukan slametan.
e. Acara perkawinan atau slametan manten jenis makanan yang disiapkan terdiri
dari makanan untuk kenduri slametan, makanan hantaran untuk calon besan,
makanan sajian untuk dimakan bersama-sama
f. Slametan untuk orang meninggal terdiri dari makanan ketika menggali
kuburan, slametan kirim doa mulai peringatan 3 hari sampai dengan 7 hari, 40
hari, 100 hari, mendhak 1 (1 tahun), mendhak 2 (2 tahun), 1000 hari. Perkembangan Tradisi Kuliner Tradisional Masyarakat Lumajang
Trend pembangunan di berbagai daerah era 2000 hingga sekarang adalah
pengembangan pariwisata berbasis budaya, trend ini berimpas secara langsung
kepada tradisi kuliner masyarakat. Kegiatan wisata yang identik jalan-jalan atau
melancong secara tidak langsung berdampingan dengan kegiatan makan
khususnya mencari dan menikmati makanan khas di daerah tujuan wisata.
Berbagai daerah berlomba-lomba menggali makanan rakyat atau tradisional untuk
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 49
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ditampilkan sebagai daya tarik wisata kuliner dan berupaya membuat ikon-ikon
makanan khas daerah. Kuliner memiliki peranan penting dalam promosi
pariwisata Indonesia dan kebudayaan Nusantara. Beberapa kuliner khas Indonesia
sudah mulai terkenal hingga mancanegara. Indonesia juga disebut sebagai salah
satu surga kuliner di dunia didukung dengan letak kepulauan Nusantara yang
subur dalam menghasilkan sumber daya alam sebagai bahan pangan yang
berkualitas.
Tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang mengalami perkembangan
seiring berkembangnya jaman dan masyarakat serta budaya. Kultur masyarakat
pendalungan yang merupakan masyarakat campuran atau embeded menjadikan
masyarakat Lumajang pada umumnya bersikap terbuka terhadap pendatang dan
budaya serta perubahan. Kondisi ini berdampak hampir di segala bidang
kehidupan demikian juga dengan budaya kuliner di masyarakat. Tradisi kuliner
tradisional masyarakat Lumajang merupakan salah satu aset atau potensi yang
bisa dikembangkan sebagai sub sektor ekonomi kreatif dalam rangka
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terlebih dengan dikembangkannya
daerah Lumajang sebagai daerah tujuan wisata di provinsi Jawa Timur, maka
tradisi kuliner akan ikut berkembang sebagai wisata kuliner. Kondisi ini disadari
oleh pemerintah daerah, melalui berbagai kebijakan (sebagai regulasi) yang
bertujuan untuk mengembangkan potensi kuliner tradisional dari ranah domestik
ke ranah publik yaitu dari hidangan keluarga dan hajatan atau ritual menjadi
bernilai ekonomi menambah pendapatan keluarga.
Ikon Lumajang sebagai Kota Pisang sudah lama dikenal, karena memang
daerah Lumajang banyak menghasilkan aneka ragam jenis pisang dan salah
satunya yang merupakan ciri khas pisang dari Lumajang adalah Pisang Agung.
Upaya memperkuat identitas sebagai kota pisang maka hampir di setiap sudut
kota khususnya tempat-tempat yang strategis didirikan patung pisang agung,
bahkan taman kantor bupati dihiasi dengan patung pisang agung. Pisang agung ini
diolah oleh masyarakat menjadi produk olehan pangan berupa kripik pisang agung.
Kripik pisang agung banyak diproduksi oleh masyarakat di daerah Senduro
sebagai salah satu produk UMKM. Kripik pisang agung merupakan salah satu
produk olahan pangan andalan kabupaten Lumajang dan telah menjadi salah satu
oleh-oleh khas dari Lumajang. Selain pisang agung adalah jeruk siam (dari garut)
yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama jeruk Lumajang dan masih
banyak lagi jenis makanan atau kuliner masyarakat yang berkembang menjadi
komoditas ekonomi.
Pemerintah daerah melalui Tim Penggerak PKK kabupaten secara
berkesinambungan melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk
mengembangkan potensi kuliner lokal. Salah satunya adalah lomba makanan khas
Lumajang yang diikuti oleh semua kecamatan di Kabupaten Lumajang. Kekayaan
kuliner di kabupaten Lumajang yang berlimpah, hampir di setiap desa di wilayah
kabupaten Lumajang memiliki makanan khas yang merupakan tradisi kuliner
tradisional, namun seiring perkembangan jaman keberadaannya hampir hilang
atau bahkan punah. Harapan dari kegiatan ini mampu mengenalkan dan
50 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
mengangkat makanan khas kabupaten Lumajang untuk menjadi satu potensi
wisata kuliner di kabupaten Lumajang.
Lomba kuliner ini didasarkan pada kriteria penilaian yaitu penampilan,
kreatifitas, gizi dan resep. Setiap kuliner yang dilombakan selain mencantumkan
resep juga harus dijelaskan tentang sejarah makanan, latar belakang keberadaan
makanan yang menjadi khas suatu wilayah. Lomba ini memperkenalkan 21
makanan khas yang berasal dari 21 kecamatan di wilayah kabupaten Lumajang.
Contohnya beberapa makanan tradisional yang berasal dari daerah Ranuyoso
Kecamatan Klakah. yaitu rujak nangka muda yang dari dulu hingga sekarang tetap
menjadi makanan rakyat atau makanan tradisional, bahkan sekarang sudah dijual
di warung-warung. Nangka muda banyak ditemukan di Ranuyoso hampir setiap
rumah memiliki tanaman nangka ini. Makanan khas wilayah di kecamatan lain
juga banyak diantaranya krecek bung yaitu makanan dengan bahan baku utama
dari tunas bambu muda atau rebung. Makanan tersebut ada kalanya disajikan saat
acara sedekah desa dan acara selamatan selapanan bayi.
Selain melalui lomba kuliner tradisional, pemerintah daerah juga
memfasilitasi para warga masyarakat yang membuka usaha makanan dengan
memberikan satu lokasi atau tempat mereka membuka usaha sebagai kawasan
kuliner di kota Lumajang. Lesehan Stadion Semeru (LSS) atau sering juga dikenal
dengan nama Lesehan Taman Toga merupakan salah satu tempat destinasi wisata
kuliner yang bisa dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun internasional saat
berlibur di Lumajang. Tujuan didirikannya LSS adalah mengurangi pengangguran
dan sebagai penunjang kehidupan masyarakat Lumajang sebagai wujud
keperpihakan pemerintah dengan ekonomi kerakyatan. LSS berlokasi di Jl. Gajah
Mada atau di areal bagian belakang dari stadion dan berada di lingkungan hutan
kota. Tempatnya cukup strategis relatif di tengah kota, dekat daerah perkantoran,
pendidikan dan perumahan penduduk. Pemerintah kota menyediakan 30 lapak
untuk pedagang makanan, meskipun kenyataannya yang berdagang lebih dari 30
pedagang makanan dan minuman. Aneka menu kuliner, mulai dari masakan
tradisional hingga masakan kekinian ditawarkan oleh para pedagang kepada
pengunjung. Saat malam Minggu LSS ramai pengunjung, terutama para kaum
muda. Selain lapak dan pedagang kaki lima, di sepanjang jalan Gajah Mada telah
banyak berdiri tempat-tempat jajanan yang bergaya kota atau modern seperti café,
restaurant yang biasanya pengunjungnya kalangan anak muda dan masyarakat
kelas menengah ke atas.
Perkembangan wisata kuliner di wilayah Lumajang berkembang pesat,
ditunjang dengan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pihak
swasta atau kerjasama antara pemda dan swasta serta yang paling menentukan
adalah semangat dari para warga untuk mengembangkan kuliner mereka sebagai
asset ekonomi. Hampir di setiap pusat-pusat perdagangan baik di ibukota
kabupaten maupun kecamatan bermunculan dan berkembang kedai – kedai,
warung warung makanan lesehan dengan menu yang bervariasi dari makanan
tradisional, hingga modern. Kondisi ini sangat beralasan karena kultur masyarakat
Lumajang secara umum adalah masyarakat yang terbuka, mudah menerima
berbagai unsur dari luar, ulet dalam berusaha khususnya dicirikan oleh etnis
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 51
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Madura yang lebih banyak berusaha di sektor perdagangan selain pertanian.
Berbagai makanan yang dahulunya merupakan makanan rumahan yang sebatas
untuk pemenuhan pangan keluarga saat ini sudah berkembang menjadi komoditas
bagian dari ekonomi kreatif masyarakat Lumajang, contohnya nasi jagung.
Nasi jagung yang merupakan makanan pokok etnis Madura, saat ini menjadi
ciri khas menu makanan lesehan di Lumajang. Nasi jagung menjadi trend
kekinian masyarakat kota Lumajang, mereka tidak malu bahkan dengan bangga
mengkonsumsi makanan ini. Meskipun hanya sebagai makanan selingan tapi
makanan ini menjadi popular di kalangan anak muda. Selain alasan kesehatan ,
mengenang romantisme masa lalu menjadi alasan generasi tua mengkonsumsi
makanan ini. Situasi ini ditunjang dengan gerakan penganekaragaman makanan
pokok non beras yang dicanangkan oleh pemerintah daerah dan dimanfaat oleh
masyarakat sebagai peluang bisnis, sehingga banyak dijumpai warung-warung
nasi jagung.
Selain nasi jagung kuliner yang juga banyak diminati oleh masyarakat
Lumajang adalah minuman Wedang Angsle. Minuman yang berkomposisi dari
santan, gula, ketan, kacang hijau dan roti ini memang benar-benar mantap jika
disajikan saat suasana dingin. Rasanya yang tidak terlalu manis dan tidak berat,
ditambah lagi dengan rasa rotinya yang lembut membuat beberapa orang
menggemarinya. Minuman ini merupakan salah satu minuman tradisional etnis
Jawa, merupakan perpaduan antara berbagai jenis bahan dengan citarasa yang
khas rasa jahe yang menghangatkan. Minuman ini biasa dikonsumsi malam hari
untuk menghangatkan badan serta untuk menghilangkan rasa lapar selain dahaga
tentunya.
Penutup
Tradisi kuliner masyarakat pada umumnya selalu memiliki keunikan akibat
dari pengaruh lingkungan, karena tradisi kuliner merupakan salah satu dari
cerminan budaya masyarakat. Tradisi kuliner tidak hanya terkait dengan masalah
makanan atau konsumsi bahan pangan namun lebih dari itu kearifan lokal
terkandung di dalam tradisi kuliner tradisional suatu masyarakat. Tradisi kuliner
masyarakat Lumajang merupakan salah satu masyarakat dengan budaya
pendalungan yaitu pencampuran antara budaya Jawa dan Madura memiliki tradisi
kuliner tradsisional yang unik.
Secara umum tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang sama dengan
pada umumnya tradisi kuliner masyarakat Jawa dan Madura. Tradisi kuliner
masyarakat Lumajang sangat beragam, secara khusus dapat diklasifikasikan
menjadi dua bagian yaitu tradisi kuliner sehari- hari dan tradisi kuliner terkaitan
dengan perayaan atau syukuran atau slametan. Tradisi kuliner terkait dengan
perayaan secara khusus dibedakan menjadi 2 yaitu tradisi kuliner terkait
memperingati waktu atau peristiwa yang dianggap penting, tradisi kuliner terkait
dengan daur hidup.
Trend pembangunan dan pengembangan pariwisata di Lumajang berdampak
terhadap perkembangan tradisi kuliner tradisional. Potensi dan peluang ini
52 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
menjadi masyarakat Lumajang mengembangkan kuliner yang mereka miliki
sebagai sebagai salah satu komoditas bagian dari ekonomi kreatif, melalui
kegiatan mandiri maupun dengan bantuan pemerintah dan pihak swasta.
Pemerintah daerah secara aktif bekerjasama dengan swasta melalui berbagai
kebijakan dan kegiatan mengembangkan potensi kuliner tradisional dari ranah
domestik ke ranah publik yaitu dari hidangan keluarga dan hajatan atau ritual
menjadi bernilai ekonomi menambah pendapatan keluarga.
Pengembangan kuliner tradisional harus terus dilakukan baik oleh
masyarakat dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan tetap
memperhatian nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi kuliner
tradisional agar jangan diabaikan. Perlu dilakukan upaya untuk
mendokumentasikan dan menginventarisasi ragam kuliner tradisional yang ada di
masyarakat Lumajang agar generasi muda lebih mengenalnya, karena banyak
kalangan generasi muda yang mulai tidak mengenal ragam kuliner tradisional.
DAFTAR PUSTAKA Baharsyah dan Karana 2003 Pengembangan Pangan Tradisional dalam Rangka Penganekaragaman
Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian. Budi, Noor Sulistyo
Bringeus, Nils-Arvid.
1975 Food and folk belief: on boiling blood sausage gastronomi the anthropology of food and food habits. Margaret L Arnott (ed) Paris: Mouton Pubhlisher
Douglas, Mary. 1971 Dechipering a meal, myth symbol and culture. C Geertz (ed) New York:
W.W.Norton & Company, Inc. Foster, G. M., Anderson, B. G. Ernayanti, dkk
2003 Ensiklopedi Makanan Tradisional (Di Pulau Jawa dan Pulau Madura). Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Gardjito, Murdijati. dkk
2016 Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hatley, Ron.
1984. Mapping cultural regions of Java‖, editor Ron Hatley dalam Other Javas
away from the Kraton. Clayton, Australia: Monash University. Hidayat, Mansur 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru Menafsir Ulang Sejarah
Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan Hirschoff, Paula, M. dan Kotler, N. G. 1989 Completing the food chain. Washington & London: Smithsonian Institusion
Press. Jerome, Norge W & Randy F. Kandel & Gretel H Pelto.
1980 Nutritional anthropology, contemporary approaches to diet and culture. USA: Redgrave Publishing Company
Makfoeld, D., dkk. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 53
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Maryoto, Andreas. 2009 Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit
Buku Kompas. Nurti, Yevita 2017 Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi dalam Jurnal Antropologi,
Vol. 19 (1),hal. 1-10 Rahman, Fadly 2016 Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama Suryadarma, P. P., & Swasono, M. F. 1986 Antropologi kesehatan. Penerbit Universitas Indonesia. Sutarto, Ayu.
2006. Sekilas tentang Masyarakat Pandalungan. Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 7-10 Agustus
Tajudin, Qaris., dkk. 2015 Antropologi Kuliner Nusantara (Seri Buku Tempo). Jakarta : PT Gramedia Tim Tempo 2015. Antropologi Kuliner Nusantara Ekonomi, Politik dan Sejarah di Belakang
Bumbu Makanan Nusantara. Jakarta: PT. Gramedia.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 54
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI
DI DUSUN PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR
(1984-2018)
Anak Agung Inten Asmariati
Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Sebelum Bali dikenal sebagai daerah wisata, kehidupan ekonomi
masyarakatnya sebagian besar bergerak di sektor agraris. Untuk
daerah pegunungan perekonomian masyarakatnya tidak hanya
ditopang dari sektor pertanian, tetapi juga dari hasil-hasil
perkebunanan, seperti kopi, cengkeh, jeruk, dan kelapa. Salah satu
daerah pegunungan, yaitu di Dusun Pakudui Tegalalang, daerah ini
merupakan daerah yang sejuk dengan menghasilkan biji
kopi,kelapa yang pemasarannya hingga ke Denpasar. Tulisan ini
mengulas bagaimana peranan Made Ada dalam perubahan
perekonomian di dusun Pakudui Tegalalang Gianyar. Berawal pada
tahun 1984, terjadi perubahan mata pencaharian penduduknya yaitu
sebagai pengrajin patung. Ketekunan Made Ada mengembangkan
seni patung yaitu patung garuda. Keberanian dia berguru hingga ke
desa mas dan mengembangkan seni patung garuda hingga
melambungkan namanya ke mancanegara. Melalui Bapak Kembar
Kerepun yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Gianyar
memperkenalkan karya-karya Made Ada ke Istana Negara. Hasil
karya Ada yang menarik minat presiden Soeharto, sehingga Bapak
Presiden memesan 25 patung ukuran sedang untuk di istana negara
dan 100 patung kecil untuk di Taman Mini Indonesia. Pesanan ini
dikerjakan dengan baik melibatkan tenaga-tenaga ukir dari dusun
Pakudui. Made Ada tidak mau mengambil tenaga pengrajin selain
dari dusunnya sendiri. Dalam perkembangan, lambat laun Bali
semakin di kenal tidak hanya keindahan alam begitu pula dengan
kebudayaannya. Hal inilah yang berhasil dimanfaatkan Made Ada
untuk menjadikan dusunnya sebagai daerah penghasil patung
garuda. Diberikan pelatihan gratis oleh Made Ada pada generasi
muda setempat, dan dilibatkan mereka dalam setiap pesanan patung
garuda yang diterima Ada. Kegiatan ini menjadikan mata
pencaharian tambahan bagi masyarakat di dususn Pakudui, ini
berlangsung hingga sekarang. Dan melalui kegiatan ini mampu
meningkatkan perekonomian keluarga masyarakat Pakudui.
Kata Kunci: Peranan Made Ada, Perubahan Ekonomi, Dusun
Pakudui.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 55
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
I
PENDAHULUAN
1.Latar belakang
Dusun Pakudui merupakan wilayah yang berada di desa Kedisan
Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Daerah ini merupakan daerah
pegunungan dengan hawanya yang sejuk. Kehidupan masyarakatnya sebagian
besar mata pencaharian mereka sebagai petani. Selain itu, wilayah ini merupakan
salah satu wilayaj penghasil kopi. Ada juga yang menjadi tukang bangunan dan
pengrajin patung. Keluarga Bapak Made Ada sangat terkenal sebagai pengrajin
patung, terutama karya kakeknya yang sering digunakan oleh masyarakat
setempat untuk menghiasi rumah mereka yaitu di bale dangin. Tanpa Made Ada
sadari kegiatan kakeknya inilah yang kemudian menjadikan dia terkenal di
bidang seni patung dan di sebut sebagai maestro. Keterbatasan ekonomi yang
dialami keluarga Made Ada menjadikan seorang Ada yang ulet dan tekun.
Keterlibatan Made Ada kecil dalam pekerjaan kakek dan ayahnya menghambat
pendidikan Ada. Untuk menyelesaikan bangku Sekolah Dasar menemuh waktu
hingga 10 tahun. Hal itu diselesaikan melalui timbal balik yang di minta oleh guru
laki-laki di sekolah Ada agar mereka diajari seni patung. Keahlian yang dimili
Made Ada di dengar oleh Bapak Ida bagus Tilem yang terlebih dulu di kenal
mancanegara sebagai ahli patung modern. Diajaklah Ada untuk bekerja di galery
Ida bagus Tilem di desa Mas Gianyar. Kepiawaian Ada dalam seni patung
semakin terasah, kemudian Adapun dilibatkan oleh bupati Gianyar saat itu Bapak
kembar Kerepun untuk menghiasi Istana Negara dengan patung garuda karya
Made ada
Berkembangnya keahlian Made Ada pada seni patung memberi dampak
yang positip pada sektor ekonomi bagi masyarakat dusun Pakudui. Ana-anak
mulai dilatih sebagai pematung dan ibi-ibi rumah tangga mereka sebagai tukang
amplas patung.untuk mengisi waktu senggang mereka di sela-sela kesibukan
sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1980-an daerah Pakudui mulai dikunjungi
wisatawan asing untuk melihat keindahan alam terutama sawah dengan
teraseringnya. Terputusnya jalan yang menghubungkan dusun Pakudui dengan
jalan utama menghambat perkembangan Pakudui untuk dikunjungi wisatawan
asing. Melalui dana Made Ada dan swadaya masyarakat di dusun tersebut maka
dibutkanlah jembatan penghubung secara permanen. Dengan adanya jembatan ini,
maka semakin lancar perekonomian masyarakatnya terutama dalam memasarkan
hasil pertanian dan perkebunan mereka.
Tulisan ini, memberikan gambaran tentang bagaimana peranan Bapak
Made Ada dalam perubahan ekonomi mayarakat dusun Pakudui dari tahun 1984
sebagai awal penelitian karena di tahun inilah karya-karya Made Ada di kenal dan
pesanan yang di dapat dari istana negara melibatkan tenaga-tenaga dari dusun
Pakudui. Dengan batas akhir tulisan di tahun 2018 dengan data lapangan berupa
wawancara hingga tahun tersebut.
56 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
II
PEMBAHASAN
2.1 Perubahan Ekonomi di Dusun Pakudui
Dalam konsep kebudayaan, sistem budaya adalah seperangkat
pengetahuan yang melingkupi pandangan hidup, keyakinan, nilai norma, aturan,
hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui suatu proses belajar yang
kemudian diacu untuk menata, menilai dan menginterpretasikan sejumlah benda
dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat
yang bersangkutan (Melalatoa,1997 dalam Sudhana Astika,2008:40). Batasan ini
memberikan sebuah pengertian atas beberapa konsep penting seperti: pengetahuan,
keyakinan, nilai, norma, aturan dan hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat
atau suatu komunitas.
Pada kehidupan komunitas masyarakat desa di Bali bekerja adalah bagian
dari yadnya. Dalam bekerja akan berhubungan dengan mata pencaharian
masyarakatnya. Jenis-jenis mata pencaharian biasanya bergantung pada
wilayah di mana tinggal. Masyarakat yang tinggal di daerah pantai cenderung
mata pencahariannya sebagai nelayan. Begitu pula yang tinggal di daerah
pegunungan sebagian besar bergerak di sektor pertanian, peternakan dan juga
perkebunan. Begitu pula dengan wilayah Dusun Pakudui Kedisan Tegalalang,
wilayah ini terletak di daerah pegunungan dan mata pencaharian masyarakatnya
dominan dari sektor pertanian. Hasil perekonimian masyarakatnya tidak saja dari
hasil pertanian juga dari hasil perkebunan dan peternakan.
Dusun Pakudui di kenal sebagai sentra penghasil patung garuda, namun
sebelum Pulau Bali berkembang sebagai daerah pariwisata, kehidupan
perekonomian masyarakatnya di topang dari sektor pertanian, perkebunan dan
juga peternakan. Kondisi wilayah Pakudui pada tahun 80-an sulit untuk diakses
karena jembatan yang menghubungkan Dusun Pakudui dengan jalan utama yang
menuju Gianyar atau Denpasar.
Perubahan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Pakudui, tidak
terlepas dari peranan Made Ada melalui hasil-hasil karyanya yang dikenal hingga
ke Mancanegara. Bila kita merujuk pada teori perubahan situasi ekonomi,
menitikberatkan pada mekanisme transformasi yang dialami oleh dualism, yang
semula bersifat subsistem dan menitikberatkan pada dualis tradisional menuju ke
situasi lebih modern yang didominasi oleh dualis sektor non-primer khusunya
dualism jasa. Masyarakat Pakudui bisa dikatakan telah mengalami transformasi
ekonomi dari masyarakat agararis ke industrialis. Namun tidak sepenuhnya
mereka meninggalkan kegiatan mereka pada sektor pertanian. Masyarakat
Pakudui memandang pertanian sebagai sektor utama perekonomian mereka,
karena keberadaan sawah yang mereka miliki merupakan warisan keluarga dan
mereka masih memandang tabu untuk menjual harta warisan keluarga.
2.2 Faktor Penyebab Perubahan Ekonomi di Dusun Pakudui
Perubahan ekonomi bisa juga disebut sebagai pertumbuhan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi
perekonomian suatu wilayah secara berkesinambungan menuju keadaan yang
lebih baik selama peride tertentu. Perubahan ekonomi dapat diartikan juga sebagai
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 57
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam
bentuk kenaikan pendapatan masyarakat.
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ekonomi di Dusun Pakudui
yaitu; (a), faktor Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia selaku subjek
perubahan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses
perubahan. Ini merujuk pada tokoh Made Ada selaku subjek di Dusun Pakudui
telah memberikan kontribusi positif terhadap perubahan ekonomi masyarakatnya.
(b), Faktor sumber daya alam. Sebagian besar wilayah di Dusun Pakudui
menggunakan sumber daya alam dalam melaksanakan proses perubahan ekonomi.
Namun demikian, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses
perubahan ekonomi apabila tidak di dukung oleh kemampuan sumber daya
manusianya dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia. (c), Faktor ilmu
pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang
semakin pesat mendorong adanya percepat proses perubahan ekonomi seperti
pergantian pola kerja, pemanfaatan media sebagai sarana promosi, kualitas dan
kuantitas serangkaian aktivitas yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada
percepat lajunya perubahan ekonomi. Faktor ini dimanfaatkan oleh Made Ada
untuk mempromosikan karya-karyanya melalui media cetak, elektronok maupun
penempatan brosur di daerah destinasi wisata. (d), Faktor Budaya; Faktor budaya
memberikan dampak tersendiri terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilakukan.
Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap erubahan ekonomi yang
dilakukan. Faktor ini dapat berfungsi sebagai pembangkit atau pendorong proses
pertumbuhan tetapi dapat juga menjadi penghambat. Budaya yang dapat
mendorong diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet dan
sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat diantaranya sikap anarkis,
egois, boros dan sebagainya. Justru dari dua hal di atas sikap yang dimiliki oleh
penduduk Pakudui cenderung mereka pekerja keras dan ulet, berangkat dari
keinginan mereka memperbaiki perekonomian keluarga dan meningkatkan
kualitas keluarga. (e), Sumber daya modal. Sumber daya modal dibutuhkan
manusia untuk mengolah sumber daya alam dan meningkatkan kualitas IPTEK.
Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi
perkembangan dan kelancaran perubahan ekonomi karena modal juga dapat
meningkatkan produktivitas. Modal skill seni ukir yang dimiliki made Ada
kemudian dikembangkan dengan memberikan pelatihan gratis kepada generasi
muda di Pakudui. Akses ini disalurkan dengan hasil-hasil karya dikenalkan ke
istana negara dan juga ke mancanegara.
III
PENUTUP
Kelebihan yang dimiliki Made Ada di bidang seni ukir dapat dimanfaatkan
secara baik oleh Made Ada. Pariwisata memiliki peranan penting dalam
mengenalkan hasil-hasil karya Made Ada. Namun hal ini tidak dinikmati sendiri
oleh Ada namun juga melibatkan masyarakat Pakudui, baik tenaga laki-laki
maupun perempuan. Ini memberikan dampak positip terhadap perekonomian
masyarakat Pakudui, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup keluarga mereka.
Daftar Pustaka
Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011
58 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Griya, Wayan. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional dan
Global. Denpasar: Upada Sastra. 1996.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana. 2003
Nordholt, Henk Schulte, Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Pustaka Larasan.
KITLV-Jakarta.2007
Pitana, I Gde (ed). Dinamuka Masyarakat dan Kebudayaan Bali (sebuah ontologi),
Balai Pustaka. 1994.
Soekanto,Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Dian Rakyat, 1985.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 59
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN
GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI
Bambang Dharwiyanto Putro
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan
jiwa (ODGJ) mengalami beban berat dan berbagai macam bentuk
stres yang mengakibatkan kondisi ini sulit untuk dihadapi. Hal ini
dipengaruhi oleh isolasi sosial, stigmatisasi dan beban psikologis
serta beban ekonomi yang makin meningkat. Namun disisi lain
keluarga tetap berharap penderita dapat sembuh total.Pribadi yang
mampu bertahan dalam kondisi sulit tersebut disebut dengan
pribadi yang memiliki resiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas
pribadi yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi
dan luwes saat dihadapkan pada tekanan, baik internal maupun
eksternal, tetapi juga pada akhirnya mereka dapat menjadi lebih
kuat dari pada sebelumnya.
Di Bali menurut kepercayaan orang Bali yang beragama Hindu
terdapat suatu konsep bahwa sehat sakit terjadi bila tidak ada
keseimbangan ketiga unsur yaitu Buana Alit, Buana Agung dan
Sang Hyang Widhi Wasa sebagai faktor sekala atau niskala yang
dapat menimbulkan gengguan pada manusia. Kepercayaan ini yang
menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun
atau balian untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu
pun setelah penderita keluar dari rumah sakit, sebagian besar
penderita berobat ke dokter dan balian dan ada yang lebih sering ke
balian saja atau dokter saja. Jika mereka kambuh maka sebagian
besar datang ke balian. Balian mampu mempengaruhi pasien dan
keluarganya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan
balian. Terlihat bahwa peranan budaya Bali khususnya yang ada
kaitannya dengan terjadinya gangguan jiwa perlu mendapat
perhatian khusus.
Penulisan artikel ini ingin menunjukkan rekomendasi untuk
perawatan potensial yang dapat menolong dalam tahap
penyembuhan atau pemulihan paling tidak sebagai tambahan
pengalaman.
Kata Kunci: resiliensi, sehat-sakit, balian, aspek budaya
60 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
1. Pendahuluan
Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi
dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua
orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai
perubahan tersebut. Akibatnya, gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah
kesehatan global.Lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa.
Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50%
hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun
karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan
meningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Penderita gangguan jiwa di
Indonesia berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007
melaporkan angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4-6 per 1000 penduduk.
Sebelumnya angka kelainan jiwa (psikosis) di Indonesia diperkirakan sebesar 1-3
per 1000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas 11,6%.
Sebelumnya gangguan jiwa (neurosis) termasuk neurosis cemas, obsesif, hysteria,
serta gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik sebagai akibat
tekanan hidup berkisar antara 20-60 per 1000 penduduk.Demikian pula halnya
dengan ketergantungan obat, kenakalan remaja, dan penggunaan atau
ketergantungan alkohol serta penyimpangan perilaku manusia (Depkes RI.KMK.
No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010: 2).
Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun
oleh pemerintah mulai dari UU.No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, UU. No.
36 Tahun 2009, hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk
mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem
perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu
dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa.Penderita gangguan jiwa,
selanjutnya disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seringkali menjadi
korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat.
Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (2013),
diketahui bahwa Provinsi Bali masuk dalam daftar lima besar gangguan jiwa berat
terbanyak di Indonesia, yaitu masing-masing DI Yogyakarta (2,7%), DI Aceh
(2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%), Provinsi Bali (2,3%), dan Provinsi
Jawa Tengah (2,3%) (Riskedas, 2013: 126). Di daerah Bali jumlah angka
gangguan jiwa yang dipasung di masyarakat menunjukkan masih terjadi
peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 lalu di Bali tercacat 32
kasus pemasungan penderita gangguan jiwa yang berhasil ditangani. Jumlah itu
justru meningkat tiap tahunnya.
Berbagai cara dan upaya strategi keluarga ODGJ untuk mengobati anggota
keluarganya yang mengalami gangguan jiwa seakan tak pernah berhenti. Mencoba
dari satu pengobatan ke pengobatan lainnya baik pengobatan tradisional (rumah
tangga, kedukunan) ataupun pengobatan modern (rumah sakit jiwa) secara
tumpang tindih. Pelayanan kesehatan tradisional yang sudah mengakar di
Indonesia umumnya dan di Bali khususnya sejak dahulu tetap dikunjungi oleh
masyarakat. Sesuai dengan Alma Alta Declaration1978 disepakati bahwa semua
kemampuan yang ada dimanfaatkan untuk dapat memberikan pelayanan
kesehatan kepada seluruh anggota masyarakat. dengan demikian disamping usaha
kesehatan formal perlu dipikirkan potensi-potensi lain dalam masyarakat anatara
lain pengobat tradisional dalam upaya pelayanan kesehatan dalam batas-batas
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 61
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tertentu (Nala, 1997). Pengobat tradisional merupakan cara penatalaksanaan
menurut azas kebudayaan yang berlaku untuk tempat tertentu (bukan
neotradisional yang menggunakan listrik, akupunktur dllnya).
Dukungan dan penyertaan keluarga dari pasien-pasien dengan spektrum
dari gangguan jiwa yang dialami dalam program manajemen penyakit
menunjukkan hasil yang bagus dalam aspek psikopatologi, relaps, rehospitalisasi
dan fungsi sosialnya (Sumantra, 2005).Walaupun adanya penemuan
farmakoterapi terbaru, kehidupan beberapa orang dengan skizofrenia seringkali
mengalami kekambuhan, perawatan berulang-ulang dirumah sakit, penyesuaian
kehidupan sosial yang buruk dan kualitas hidup yang tidak memuaskan. Efek
yang kurang optimal dari pengobatan yang terbaru walaupun sudah
dikombinasikan dengan terapi psikososial menyebabkan perlunya pengembangan
dari intervensi bio-psiko-sosial-spiritual terbaru.
2. Metodologi
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada deskripsi yang bersifat emik,
etik, holistik dan mendalam (thick description).Menurut Moleong (2014),
penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi secara
holistik. Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi berfokus pada
pengalaman fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dan perspektif
pokok dari seseorang (Moleong, 2014).
3. Hasil dan Pembahasan
Sistem-sistem medik tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup,
tidak terhapuskan oleh praktik-praktik biomedik kedokteran yang makin
mengalami perkembangan. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa pelayanan
dan perawatan kesehatan merupakan fenomena sosial budaya yang kompleks.
Usaha penyembuhan penyakit oleh keluarga penderita tidak hanya dilakukan di
puskesmas, rumah sakit, dokter praktik umum dan spesialis, tetapi dapat pula
dilakukan secara tradisional (Kasniyah, 1985:71).
Ditambahkan oleh Connor bahwa untuk sebagian besar orang atau
masyarakat Bali mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sistem
pelayanan kesehatan modern apabila sakit. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri
pula secara relatif masih banyak masyarakat juga mendatangi praktisi medis
tradisional (prametra) dalam suatu kasus penyakit tertentu atau masalah-masalah
kesehatan yang tidak dapat diatasi melalui sistem pelayanan kesehatan modern
(Connor, 1982:3). Sependapat dengan Connor, Nala menyatakan bahwa dalam
kehidupan masyarakat Bali umumnya untuk mencari pemecahan masalah
kesehatan dan usaha-usaha dalam sistem pelayanan kesehatan (health care system),
sistem pengobatan tradisional masih merupakan pilihan yang sangat penting di
samping pengobatan modern (Nala, 1997:6--10). Pengambilan keputusan dalam
memilih sumber pengobatan ini dijadikan pedoman dalam perilaku kesehatan oleh
masyarakat.
Diketahui bahwa perilaku perawatan tradisional (yang dijadikan pilihan
pengobatan oleh keluarga penderita) terbagi dalam dua pilihan perawatan
62 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kesehatan, yaitu pilihan perawatan rumah tangga (home remedies) dan pilihan
perawatan kedukunan (folk sector). Kedua sistem perawatan ini dalam
pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan terhadap si sakit memenuhi indikator
pelaksanaan perawatan/pengobatan tradisional. Adapun indikator yang dimaksud,
antara lain penyembuhan dengan jalan mengurut atau memijat anggota tubuh,
meracik berbagai ramuan khusus, obat-obatan yang terbuat dari tumbuh-
tumbuhan, penggunaan mantra dan jimat, serta berbagai halangan/pantangan
(tabu). Bentuk pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan pada sistem perilaku
perawatan tradisional tersebut sudah pasti tidak ditemukan dalam sistem perilaku
perawatan kesehatan modern/profesional (kedokteran).
Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu, berobat ke Battra
(pengobatan tradisional yang terkenal dengan sebutan Balian, Tapakan atau Jero
Dasaran, masih merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu
saja.Penyakittidak hanya merupakan gejala biologis saja, tetapi memiliki dimensi
yang lain yakni sosial dan budaya. Itulah sebabnya untuk menyembuhkan suatu
penyakit tidaklah cukup hanya ditinjau masalah biologisnya saja, tetapi harus
digarap pula masalah sosial budayanya.Sering kali berobat ke Dokter atau
Puskesmas, pada kenyataannya lebih banyak pengobatan ditujukan kepada
masalah biologisnya saja, dan melupakan atau tidak sempat menangani masalah
sosial budayanya. Apalagi bila menjalani rawat inap di rumah sakit, mereka akan
enggan karena masalah sosial budaya ini. Dokter dan perawat, walaupun orang
Bali, dianggap orang asing, disebabkan cara berpikir, bertindak, kerja sudah
berbeda dengan kebiasaan masyarakat Bali pada umumnya. Dokter dan perawat
berpikir, berbicara serta bertindak mempergunakan budaya asing, yang lebih
menitik beratkan pada masalah rasional dan ilmiah, sulit diajak berbicara masalah
yang irrasional dan tradisional. Itulah sebabnya ada sebagian masyarakat yang
kurang mendapat kepuasan akan pelayanan pengobatan modern, mereka akan
merasa lebih puas berobat ke Battra, pengobat tradisional. Di pengobat tradisional
ditangani masalah sosial budayanya secara baik dan memuaskan.
Di Bali menurut kepercayaan agama Hindu, sakit terjadi bila tidak ada
keseimbangan 3 unsur yaitu buana alit, buana agung dan Sanghyang Widhi Wasa
sebagai faktor sekala atau niskala yang dapat menimbulkan gangguan pada
manusia(Suryani, 2000). Jadi menurut kepercayaan dan keyakinan tersebut bahwa
penyakit dapat disebabkan oleh dua penyebab/kausa yaitu kausa sekala (natural,
alami) maupun kausa niskala (supranatural, personalistik). Kausa sekala adalah
penyebab natural sakit yang tampak, nyata, berwujud, misalnya suhu yang
berubah/pilek, benturan fisik/luka karena pisau, patah tulang karena jatuh.
Sedangkan kausa niskala merupakan wujud halus, seperti roh, hantu dan kekuatan
magis hitam adalah penyebab sakit yang tidak tampak, tidak nyata dan tanpa
wujud yang pasti.Kedua unsur ini masuk ke dalam tubuh atau tetap di luar tubuh
dan menyebabkan ketidakseimbangan buana alit tempat keberadaan Tri-dosha
yang terdiri dari Vayu, Pita, Kapha atau berupa udara,panas, cairan. Di dunia
barat dikenal istilah untuk penyakit ini dengan disease dan illness.Penyakit
sebagai disease mencakup satu konsep tentang patologi ilmu penyakit merupakan
gangguan yang terbatas pada kelainan medis dan organobiologis sedangkan
illness merupakan suatu konsep kebudayaan yang merupakan masalah atau
gangguan yang dialami yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Kepercayaan ini
yang menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun atau balian
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 63
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu pun setelah penderita keluar
dari rumah sakit, sebagian besar penderita berobat ke dokter dan balian dan ada
yang pergi ke balian saja atau ke dokter saja.Dan kalau mereka kambuh maka
sebagian besar datang ke balian.Balian mampu mempengaruhi pasien dan
keluargannya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian(Putro,
2004).
ODGJ sesungguhnya menimbulkan beban berat pada keluarga dan orang
yang dekat dengan pasien. Penatalaksanaan yang melibatkan keluarga secara dini
dalam proses pengobatan dapat mengurangi kambuh dan menurunkan stres serta
kekacauan dalam keluarga(Power, 2015).
Penderita yang dalam perawatannya hampir selalu memerlukan obat biasanya
tidak berhasil optimal kalau tidak mendapatkan pelayanab dan dukungan untuk
mengatasi penyakitnya dalam menghadapi ketakutan, pengasingan dan hinaan
yang sering menyertainya.Pendekatan bio-psiko-sosio-budaya adalah anggapan
bahwa gangguan jiwa skizofrenia disebabkan oleh ketiga faktor diatas yang satu
dengan lainnya saling berhubungan.Dari segi biologis Skizofrenia adalah penyakit
otak, dari segi psikologis dipengaruhi oleh psikodidinamika kepribadian dan dari
segi sosiobudaya dipengaruhi budaya, lingkungan dan keluarga penderita(Schulze
& Rosler, 2005).
Karakteristik Pasien ODGJ Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali
Karakteristik pasien ODGJ diolah dari Bagian Data & Rekam Medis RSJ
Provinsi Bali 2018 diperoleh hasil sebagai berikut. Distribusi kelompok umur
pasien ODGJ rawat inap yang paling banyak adalah kelompok umur 30--39 tahun,
kemudian disusul kelompok umur pasien rawat inap 40--49 tahun.Angka
kesakitan yang paling jarang adalah berturut-turut kelompok umur pasien 0--9
tahun dan 10--19 tahun.Distribusi pasien rawat inap menurut jenis kelamin
menunjukkan bahwa sebagian besar pasienberjenis kelamin laki-laki
dibandingkan pasien perempuan.Terkait status perkawinan pasien sebagian besar
berstatus belum kawin. Didapatkan pula bahwa jenis kelamin laki-laki yang
belum kawin lebih banyak daripada jenis kelamin perempuan. Untuk status
pendidikan pasien ODGJ terbanyak adalah tidak bersekolah, disusul berturut-turut
pasien yang berpendidikan SMA, SD, SMP, PT dan SLB.Distribusi pasien rawat
inap menurut pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rawat
inaptidak memiliki pekerjaan. Tidak bekerja (pengangguran) biasanya
menimbulkan perasaan-perasaan inferior (minder, rendah diri), rasa tidak berguna,
tidak dipakai lagi, tak dibutuhkan,dan menimbulkan banyak frustasi. Berdasarkan
jaminan, pasien rawat inap terbanyak menerima JKBM (Jaminan Kesehatan Bali
Mandara) juga disusul oleh Jamkesmas dan Askes. Dari data asal daerah pasien
rawat inap menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah dari daerah Gianyardisusul
berasal dari Kota Denpasar, kemudian berturut-turut berasal dari Karangasem,
dari Bangli dan dari Buleleng.
Bila dilihat dari sepuluh besar penyakit rawat inap pasien ODGJ diketahui bahwa
sebagian besar pasien rawat inap mengidap penyakit gangguan jiwa diagnosis
skizofrenia.
64 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Pengobat Tradisional (Battra)
Di Bali, dukun sebagai pengobat tradisional dikenal dengan istilah balian,
tapakan atau jero dosaran. Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan
berbagai cara. Tidak seperti di dunia pengobatan modern atau
paramedicmemperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk mengobati orang sakit
dari bangku sekolah, pengobat tradisional memperoleh keahliannya berdasarkan
atas tradisi, keturunan, taksu, pica atau dapat pula akibat belajar pada orang yang
sudah jadi balian dan berbagai cara lainnya. Ada beberapa balian yang tidak mau
disebut balian atau jero dasaran, mereka hanya mengaku sebagai orang yang
menolong atau mengobati.
Kebanyakan balian melakukan tugas pengobatannya tanpa
mengharapkansasantun, mereka dengan rela mengobati siapapun orang yang
memerlukan pertolongannya tanpa melihat sesari atau jumlah sasantun yang
ditaruh didalam sesajinya.. Semua pengobatan berlangsung dengan tulus iklas
tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali, tahuakibat
dari kelobaan akansasantun dan materi lainnya. Kesaktian atau kesidiannya dalam
hal mengobati orang sakit akan menurun dan luntur. Kalau mereka tahu tidak
akan mampu mengobati pasiennya, dengan terus terang akan mengatakan dan
menyarankan agar mencari balian yang lebih pintar dari dirinya. Bila tahu
prognosisnya jelek (mati) mereka tidak akan mau mengobati.
Malukat
Malukat dan mohon restu adalah proses untuk menyucikan diri. Malukat
suatu kata yang sangat akrab bagi krama Bali untuk dilakukan dalam kehidupan
ritual.Tujuan dan harapan upacara ini untuk mampu meningkatkan kualitas
kehidupan yang lebih baik.Tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai adalah
meliputi menyembuhkan penyakit medis maupun non medis.Malukat dilakukan di
mata air, air pancuran, sungai, dilaut bahkan menggunakan air suci dari Sang
Sulinggih.Kumbara (2017) menyatakan bahwa orang Bali umumnya akan
meminta pertolongan kepada seorang dukun atau balian untuk memperoleh
penjelasan mengenai sebab-sebab sakit dan sekaligus cara-cara mengatasinya.
Selain meminta bantuan kepada seorang dukuh atau balian, keluarga akan
mengajak yang bersangkutan untuk melakukan ritual melukat yang memiliki
fungsi dan makna simbolik yang mengarah pada upaya pembersihan jiwa-raga
ODGJ dalam rangka mencapai atau mengembalikan keseimbangan jiwa yang
terganggu.
Persepsi dan Perilaku Perawatan ODGJ Orang Bali
Konsep sakit menurut kepercayaan orang Bali yangberagama Hindu
terjadi akibat ketidakseimbangan 3 unsur Buana Alit, Buana Agung dan Sang
Hyang Widhi Wasa sehingga faktor sekala atau niskala dapat menimbulkan
gangguan pada manusia. Maka kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau
keluarganya mengunjungi pengobat tradisional, dukun(balian) untuk mendapat
pengobatan.Di pengobat tradisional di Bali, proses pengobatan biasanya disertai
upacara sembahyang dan persembahan sajen di Pura (Merajan),tempat suci, laut
dan sebagainya sesuai dengan pandangan atau kepercayaan pengobat tradisional
tersebut.Dilihat dari materi pengobatan tradisional antara lain dengan loloh,
simbuh, boreh, metirta, melukat.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 65
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Keluarga pasien datang ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dengan alasan
atas permintaan keluarga setelah mendapat petunjuk/pertimbangan Balian.
Disamping itu juga atas saran tenaga kesehatan serta anjuran tokoh agama.
Ditemukan juga bahwa hampir sebagian besar kunjungan ke pengobat tradisional
(balian) lebih dari sekali dengan hasil yang sangat bervariasi. Ada yang
merasakan sembuh cukup lama, hanya sembuh sebentar, selalu kumat atau
kambuh, tidak ada perubahan sama sekali, dan semakin parah. Jika dilihat dari
siapa yang menyarankan mereka mencari pengobatan medis antara lain keluarga,
tetangga, balian, teman, dan juga karena keyakinan sendiri.Ditemukan juga alasan
konsep keluarga mencari pembersihan setelah ke rumah sakit dikarenakan merasa
leteh/kotor, mala/cacat,supaya roh pasien tidak ngambang.
Setelah keluar dari Rumah Sakit, pengobatan yang dicari adalah pengobat
tradisional, medis, dan kombinasi/tumpang tindih (antara medis dan tradisional).
Keluarga pasien akan memanfaatkan kedua pengobatan tersebut secara tumpang
tindih (Foster dan Anderson, 1986).Kalau mereka kambuh maka sebagian besar
datang ke balian.Konsep penderita dan keluarganya dikatakan sakitnya karena
sakit Bali karena merasa leteh/kotor sehingga merasa perlu dilakukan
pembersihan atau malukat.Balian mampu memengaruhi pasien dan keluarganya
dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian.Setelah dilakukan
upacara pembersihan perasaan penderita lebih tenang, lebih semangat, merasa
bersih. Pasien ODGJ selama mendapatkan perawatan medis di RSJ terkait
penjelasan terhadap keluarga oleh para tenaga medis mengenai sakit, sistem
perawatan medis, kondisi pasien, kepatuhan minum obat, bagi keluarga pasien
dirasakan masih sangat kurang.
Bagi keluarga pasien bahwa kekambuhan penderita disamping karena
faktor niskala yang dipercaya, juga terjadi karena merasa bersalah, perasaan
tertekan, merasa dijauhi/tidak diperhatikan, ketidaksabaransikap keluarga, tidak
dipercaya dan selalu dicurigai.Rasa bersalah ini bisa dalam bentuk keyakinan
bahwa penyebab gangguan yang dialami karena lemahnya diri dalam cobaan/ujian
hidup, hukuman dari Tuhan, ataupun kesalahan masa lalu (Putro, 2016).
Mengenai bentuk komunikasi serta pola interaksi pada pengobat tradisional
berlangsung terbuka dan tanparahasia. Keluarga dapat menemani dan
mengemukakan pendapat atau komentar tentang masalah yang dihadapi pasien
secara terbuka kepada pengobat tradisional maupun penderita.
Berkaitan dengan kualitas hubungan di pengobat tradisional pada
umumnya bersifat nonformal, terbuka, santai, ramah dan tidak diperlukan tata cara
yang ketat. Kontak emosional biasa saja. Kalaupun ada yang bersifat formal
terbatas ketika dalam keadaan trance saja, setelah itu biasa lagi, tidak formal.
Sehubungan dengan sikap, untuk masyarakat di Bali yang masih memiliki adat
budaya tradisional yang kuat, tidak tedapat sikap ambivalen terhadap pengobat
tradisionalnya (Glynn, 2016).Mengenai sifat sakral dan tidak sakral di Bali, sifat
sakral menonjol sekali di bandingkan dengan daerah lain, dan sifat sakral ini juga
berbeda-beda pada masing-masing pengobat tradisional, misalnya sifat sakral
lebih menonjol pada pengobat tradisional yang menggunakan keadaan trance
pada praktek pengobatannya.Dalam hubungan dengan pandangan penyakit di Bali
bagi seorang balian, keluhan dan gangguan yang dikemukakan pasiennya
sebagian besar diperlakukan sebagai penyakit (disease).Kaitan dengan realitas
klinik adalah salah satu aspek dari realitas sosial yang berkaitan dengan kesehatan
66 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
terutama sikap dan norma-norma tentang penyakit, etiologi penyakit, proses dan
mekanisme pengabilan keputusan, hubungan klinik dan aktivitas penyembuhan.
Hal ini sangat ditentukan oleh keadaan sosial budaya setempat.
4. Simpulan
Pengkajian dan penatalaksanaan gangguan jiwa melalui pendekatan bio-
psiko-sosio-budaya-spiritual sangat penting dalam penangganan gangguan iwa
berbasis komunitas.Pengobat tradisional dapat dilibatkan dan bekerjasama dalam
menangani gangguan jiwa sehingga penderita merasa sembuh sempurna dari
kedua aspek illness dan disease.Pengobat tradisional mempunyai kemampuan
khusus yang tidak dimiliki oleh dokter yang berpendidikan barat dan tidak
menutup kemungkinan adanya kerjasama yang baik di antara kedua disiplin yang
berbeda ini dalam rangka memberi pertolongan yang optimal kepada penderita.
Para ahli medis dan praktisi ahli lainnya (psikiater, psikolog) akanmerasakan
banyak manfaatnya melakukan kerjasama dengan pengobat tradisional, terutama
dalam hal memahami psikopatologi dan psikodinamika dari penyakit mental yang
erat kaitannya dengan kondisi sosial dan budaya.Kegelisahan dan ketakutan yang
dialami orang-orang sakit yang takkunjung sembuh baik yang berpendidikan
tinggi atau buta huruf, kaya maupun miskin, sangat membutuhkan penyaluran
atau kompensasi dan mendapatkan jalan pemecahannya pada balian pada hal yang
rasional maaupun irrasional, logis ataupun tidak logis sehingga tercapailah suatu
ketenangan diri pada si sakit/keluarganya.
Para pengobat tradisionalmengobati keseluruhan kliennya sebagai seorang
manusia dalam arti pendekatan yang bersifat holistik.Dalam hal pemahaman
terhadap penyakit (illness), persepsi penyembuhan yang dialami oleh klien adalah
sesuatu yang nyata tanpa memandang apakah kelainan organik atau psikopatologi
masih tetap ada.Para petugas kesehatan formal seyogyanya mempersiapkan diri
untuk menghadapi kasus seperti ini.
5. Saran
Dalam perencanaan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan perlu
memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa perilaku mencari pengobatan
dipengaruhi juga oleh rujukan-rujukan informal yang menentukan pemilihan
dalam fasilitas pengobatan.
Diupayakannya secara terus meneruspengintegrasian kuliah-kuliah dan
praktek-praktek ilmu social budaya (antropologi medis, sosiologi medis) dalam
kurikulum pendidikan dokter dengan harapan agar para dokter di kemudian hari
sudah terlatih untuk menjadi sensitif terhadap aspek-aspek sosial-budaya (non-
biomedi)k dan masalah pasiennya.
Agar diperoleh informasi yang lebih ilmiah dan sistematik tentang sikap
profesional dari staf kesehatan, maka penelitian antropologi psikiatri tentang
interaksi staf kesehatan dan keluarga maupun pasien perlu dilakukan.
Pendekatan terhadap pengobat tradisional oleh pemerintah dan pengobat
modern hendaknya terus dilaksanakan.Penelitian terhadap konsep sehat sakit,
efektifitas obat tradisional dan hal-hal lainnya hendaknya terus ditingkatkan.
Rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan
mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 67
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
bersifat terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara
pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
Connor, L.H. 1982. In Darkness and Light: A Study of Peasant Intelectuals in
Bali. Department of Anthropology of Sydney.
Departemen Kesehatan RI KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010 tentang
Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI.
Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Alih Bahasa
Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI
Press.
Glynn S. M. 2016. The Potential Impact of Recovery Movement on Family
Interventions for Schizophrenia :Opportunities and Obstacles,
Schizophrenia Buletin Vol 32 No 3 x—pp. 451 - 463, Oxford University
Press.
Kasniyah, Naniek. 1985. ―Etiologi Penyakit secara Tradisional dalam Alam
Pikiran Orang Jawa: Celaka, Sakit, Obat, dan Sehat Menurut Konsepsi
Orang Jawa‖. Soedarsono, Djoko Soekiman, dan Retno Astuti (ed.).
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).
Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud.
Kumbara, A. N. 2017. Fungsi dan makna ritual melukat dalam penyembuhan
gangguan jiwa di Bali. Diambil dari www.phdi.or.id:
http://phdi.or.id/artikel/fungsi-dan-makna- ritual- melukat-dalam-
pemnyembuhan-gangguan-jiwa-di-bali.
Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif . Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Nala, Ngurah. 1997. Usada Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.
Putro, Bambang Dharwiyanto. 2004. ―Gangguan Jiwa (Buduh) di BaliSebagai
Fenomena Budaya, Studi tentang Persepsi dan Perilaku Pilihan
Perawatan Gangguan Jiwa Orang Bali‖. Tesis, Program Studi
Antropologi Pascasarjana.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Putro, Bambang Dharwiyanto. 2016. ―Bayang-Bayang Stigma Terhadap Penderita
Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali‖. Disertasi,
Program Doktor Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana.
Power, J. et al. 2015.Family resilience in families where a parent has a mental
illness.Juornal of Social Work.16 (1).1-17.
Riskedas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI
Schulze, B. And Rosler, W. 2005. ―Caregiver burden in mental illness: review of
measurement, findings and interventions in 2004-2005‖. CurrOpin
Psychiatry 2005. 18(6).684-691.
Sheewangisaw.2012.―Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent
with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital". Congress
on Public
Health, 1(1).
Sumantra, I Nengah. 2005. Pembinaan Mental Spiritual dalam Upaya Pengobatan
Pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli Ditinjau dari Psikologi Agama
68 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Hindu. Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri
Denpasar.
Suryani, L.K., 2000. Peranan Psikiatri dalam mewujudkan Masyarakat Sehat,
Pendekatan Bio- Psiko-Spirit-Sosiobudaya, Orasi Pengukuhan Jactan
Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu psikiatri, Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana, Denpasar.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 69
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA
RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR
NARATIF ALAN DUNDES)
Dewi Ayuningtyas
Program Studi S1 Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK
Cerita rakyat sebagai jenis sastra lisan merupakan representasi
budaya masyarakat di wilayah tertentu memiliki motifeme cerita
yang dapat berkaitan dengan cerita rakyat lainnya. Melalui proses
pewarisan cerita rakyat oleh nenek moyang secara turun temurun
melalui lisan menimbulkan kekayaan gaya cerita atau versi cerita,
yang kemudian menjadi identitas suatu masyarakat. Di nusantara,
terdapat cerita Jaka Tarub yang memiliki berbagai gaya atau versi
cerita sesuai dengan representasi budaya masyarakat di wilayah-
wilayah Asia. Penelitian sastra lisan ini termasuk penelitian
deskriptif-kualitatif dengan menggunakan metode studi
kepustakaan yang bertumpu pada teori struktur naratif Alan
Dundes. Sumber data penelitian ini adalah teks cerita rakyat Jaka
Tarub dan cerita rakyat yang serupa di Asia, yaitu cerita rakyat
Telaga Bidadari-Kalimantan Selatan, Arya Menak-Madura, Puan Si
Taddung-Kalimantan Timur, Maligai Keloyang-Riau, Malim
Deman-Sumatera Barat, Peri Pegunungan Kumgang-Korea, Putri
Tanabata-Jepang, dan Niu Lang dan Dewi Penenun-Cina. Temuan
dari penelitian ini adalah: 1) minimum unit (motifeme) cerita
rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 2) tipologi cerita
rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 3) proses migrasi cerita
rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 4) akulturasi budaya
dalam cerita rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia.
Kata kunci: Sastra Lisan, Cerita Rakyat Jaka Tarub, Cerita serupa
di Asia, motifeme, migrasi, akulturasi
Pendahuluan
Mulanya kesusastraan yang ada di Indonesia lahir dari kebiasaan yang
berujung pada kebudayaan yang turun temurun. Sastra lisan atau folklore tidak
dapat terlepas dengan sastra, masyarakat, dan kedaerahan, karena sastra lisan
merupakan sebagian kebudayaan secara kolektif yang diwariskan secara turun-
temurun antar generasi, yang di dalamnya termuat identitas suatu masyarakat, dan
seni (keindahan), serta cerita atau narasi yang bernilai luhur (Dananjaja, 1997: 2).
Sama halnya seperti cerita rakyat, kisah yang berangsur-angsur pindah dari mulut
ke telinga lalu diteruskan kembali dengan gaya bercerita yang berbeda hingga
membuat kisah itu menjadi kaya. Hal demikianlah yang membuat adanya
beberapa versi dari cerita. Salah satunya adalah cerita Jaka Tarub, cerita ini telah
70 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dikenal banyak orang sebagai cerita rakyat Jawa, khususnya pada cerita rakyat
Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan versi Jawa Tengah.
Di Indonesia terdapat beberapa cerita yang hampir mirip dengan cerita
JakaTarub. Seperti cerita Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan, Arya Menak
dari Jawa Timur, Peri Pegunungan Kungang dari Korea, Niu Lang dan Dewi
Penenun dari China, Putri Tanabata dari Jepang, Puan Si Taddung dari
Kalimantan Timur, Maligai Kelayong dari Riau, Malim Demam dari Sumatera
Barat. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra lisan berupa cerita rakyat akan
semakin kaya dan memunculkan berbagai versi bila terus menerus dijaga dan
diceritakan kembali secara turun temurun. Atas dasar itulah peneliti memilih teori
struktur naratif ala Alan Dundes, dan kajian sastra bandingan untuk dapat mencari
pola motifeme pada kesembilan cerita tersebut karena adanya kesamaan dan
perbedaan muatan kisah yang diangkat dari tiap-tiap daerah maupun negara yang
ada di Asia.
Metodologi
Penelitian tentang cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia
merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah 9
(sembilan) teks cerita rakyat, yaitu Jaka Tarub dari Jawa Tengah, Telaga
Bidadari dari Kalimantan Selatan, Arya Menak dari Jawa Timur, Peri
Pegunungan Kungang dari Korea, Niu Lang dan Dewi Penenun dari China, Putri
Tanabata dari Jepang, Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur, Maligai
Kelayong dari Riau, Malim Demam dari Sumatera Barat. Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengambil data-data
berupa cerita rakyat yang telah ditetapkan sebagai obyek penelitian melalui
artikel. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis strukturalisme Alan
Dundes yang membedah sebuah folklore dengan membuat sebuah urutan.
Urutan tersebut berupa perjalanan dari sebuah kondisi ―kekurangan‟ yang
kemudian berakhir dalam kondisi ―berkecukupan‟. Sudikan (2017:99)
menerangkan proses kekurangan menuju berkecukupan dengan skema; lack
(kekurangan), lack liquidate (pemenuhan pada kekurangan), task (tugas), task
completed (tugas terpenuhi), interdiction (larangan) violation pelanggaran),
consequences (konsekuensi), attempescape (usaha menyelamatkan diri), deceit
(tipuan), deception (penipuan) untuk mengetahui motifeme secara rinci,
gambaran pola, dan perbandingan budaya yang terkandung di dalamnya.
Pembahasan 1. Motifeme Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia
Berdasarkan analisis data, diperoleh motifem pada cerita rakyat Jaka Tarub
dan cerita serupa di Asia, sebagai berikut:
Tabel 1. Motifeme Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia Cerita Rakyat AspekMotifeme (Alan Dundes)
L LQ T TC I V C A D1 D2 JUMLAH
Jaka Tarub- Jawa
Tengah
2 2 - - 1 1 1 1 1 1 10
Telaga Bidadari -
Kalimantan Selatan
1 1 1 1 - - - - 1 1 6
Arya Menak-Jawa
Timur
3 3 - - 1 1 1 1 1 1 12
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 71
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Peri Pegunungan
Kungang- Korea
3 3 - - - - - - 1 1 8
Niu Lang dan Dewi
Penenun- China
2 2 - - 1 1 1 1 - 1 9
Putri Tanabata-Jepang 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 17
Puan Si Taddung-
Kalimantan Timur
3 3 2 2 1 1 1 - 1 - 14
Maligai Kelayong-Riau 3 3 - - 1 1 1 1 1 1 12
Malim Demam-
Sumatera Barat
4 4 - - - - - - 1 1 10
Keterangan: L = Lack
LQ= Lack Liquidate
T = Task
TC = Task Complete
I = Interdiction
V = Violatin
C = Consequences
A = Attempescape
D = Deceit
D2 = Deception
2. Tipologi Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia
a. Tipologi cerita rakyat Jaka Tarub dari Jawa Tengah yaitu keinginan-
pernikahan-perjumpaan dengan Bidadari-pencurian selendang-pernikahan-
larangan yang dilanggar-tipu daya Jaka Tarub terbongkar-permintaan maaf.
b. Tipologi cerita rakyat Peri Pegunungan Kungang dari Korea yaitu
perjumpaan Bau dengan Rusa-pertolongan Bau pada Rusa-balas budi rusa-
perjumpaan dengan putri-pencurian pakaian-pernikahan-kepergian-memohon
pertolongan pada Rusa-adanya kekuatan magis (sendok raksasa)-perjumpaan
lagi dengan putri.
c. Tipologi cerita rakyat Niu Lang dan Dewi Penenun dari China yaitu
keinginan-menyembunyikan gaun-tipu daya-pernikahan-larangan dilanggar-
kekuatan magis (jepit) membuat sunga pemisah sebagai konsekuensi-
kekuatan magis berupa jembatan surgawi.
d. Tipologi cerita rakyat Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan yaitu
keinginan-mencuri selendang-pernikahan-tipu daya terbongkar-pesan
merawat anak-kepergian.
e. Tipologi cerita rakyat Putri Tanabata dari Jepang yaitu keinginan mengambil
pakaian-perjumpaan-tipu daya-pernikahan-tipu daya terbongkar- permintaan
putri-pertemuan kembali-larangan dilanggar-pengampunan-tugas-tugas
dilanggar-tugas-tugas dilanggar-hukuman dipisahkan.
f. Tipologi cerita rakyat Arya Menak dari Jawa Timur yaitu pencurian
selendang-pernikahan-pantangan-pantangan dilanggar-kepergian putri-
sumpah.
g. Tipologi cerita Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur yaitu keinginan-
pencurian selendang-tipu daya-pernikahan-tugas-larangan dilanggar-
kepergian.
h. Tipologi cerita rakyat Maligai Keloyang dari Riau yaitu keinginan-pencurian
selendang-pernikahan-pentangan dilanggar-kepergian.
i. Tipologi cerita rakyat Malim Demam dari Sumatera Barat yaitu keinginan-
pencurian selendang-tipu daya-pernikahan- tipu daya terbongkar-kepergian.
72 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
3. Proses Migrasi Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia
Sudikan (2017: 30) perpindahan sastra lisan dapat dibandingkan dengan
perpindahan ‗kata-kata budaya‘, sebab sastra lisan penyampaiannya dari mulut ke
mulut melalui bahasa, yang kemungkinan dapat beralih bahasa pula. Hutomo
(dalam Sudikan. 2017: 33) menegaskan bahwa dalam pewarisan turun-menurun,
pencerita dapat memasukan hal-hal baru yang bersifat anakronisme untuk
menunjukan konteks zaman cerita berasal. Migrasi atau perpindahan yang terjadi
pada cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, yaitu satu bahasa ke
bahasa Lain, dalam hal ini Bahasa Indonesia ke bahasa Korea, China, dan Jepang,
seperti pada skema berikut:
Bahasa Indonesia Bahasa Korea, bahasa China, bahasa Jepang
Dan migrasi atau perpindahan cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa
terjadi karena perpindahan dialek satu ke dialek lainnya, seperti pada skema
berikut:
Jaka Tarub Telaga Bidadari Arya Menak Puan Si Taddung Maligai Kelayong Malim Demam
4. Akulturasi Budaya Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia
Pada cerita Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, terdapat motifeme tipu
daya dengan menggunakan alat kebudayaan yang sama, seperti pada tabel berikut:
Cerita Rakyat Alat Tipu Daya Kekuatan Magis
Pakaian Gaun Selendang
Jaka Tarub √ Panci penanak nasi
Peri Pegunungan
Kungang
√ Sendok raksasa perak dari
langit
Niu Lang dan
Dewi Penenun
√ Sungai dari jepit ratu
surgawi
Telaga Bidadari √ Dasar bumbung bambu
Putri Tanabata √ Burung merpati, seribu
pasang sandal jerami, sungai
dari gigitan labu
Arya Menak √ Panci penanak nasi
Puan Si Taddung √ Menari tarian bidadari
Maligai Kelayong √ -
Malim Demam √ -
Berdasarkan tabel di atas, menunjukan adanya budaya dari setiap cerita
rakyat melalui penggunaan pakaian, gaun, selendang sebagai alat tipu daya
mencapai keinginannya menikahi seorang putri. Cerita rakyat Jaka Tarub dan
cerita serupa di Asia penggunaan alat-alat tersebut terdapat kesamaan yaitu
pakaian, gaun, dan selendang yang identik dengan sosok perempuan, menunjukan
adanya penerimaan budaya (berupa gaun, pakaian, selendang) di setiap wilayah
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 73
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang melahirkan cerita rakyat tersebut. Selain itu, adanya kekuatan magis dari
setiap cerita juga menjadi muatan budaya asal cerita. Seperti pada cerita Jaka
Tarub dari Jawa Tengah dan Arya Menak dari Jawa Timur terdapat kesamaan
kekuatan magis yang berupa panci penanak nasi. Kekuatan magis tersebut
menunjukan bahwa asal cerita (Jawa Tengah dan Jawa Timur) termasuk dalam
wilayah pulau Jawa masyarakatnya berkultur agraris, dan menggunakan nasi
sebagai makanan pokok. Sedangkan pada cerita rakyat lainnya yang tidak
memiliki kesamaan kekuatan magis dengan cerita rakyat lainnya menjadi
karakteristik atau ciri khas cerita tersebut berasal. Cerita rakyat Putri Tanabata
berasal dari Jepang, menunjukan adanya peralatan tradisional masyarakat Jepang
berupa sandal jerami yang merupakan daun padi yang sudak kering, Hal tersebut
juga menunjukan penggunaan nasi sebagai makanan pokok masyarakat Jepang.
Simpulan
Dari kesembilan cerita rakyat yang digunakan sebagai penelitian, maka
diketahui proses migrasi cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita rakyat Putri Tanabata
terjadi perubahan bahasa Indonesia menjadi bahasa Jepang, cerita rakyat Jaka
Tarub dan Niu Lang dan Dewi Penenun terjadi perubahan bahasa Indonesia
menjadi bahasa China, dan pada cerita cerita rakyat Jaka Tarub dan Peri
Pegunungan Kungang terjadi perubahan bahasa Indonesai menjadi bahasa Korea.
Serta cerita Jaka Tarub dengan cerita rakyat Telaga Bidadari, Arya Menak, Puan
Si Taddung, Maligai Kelayong, Malim Demam terjadi perubahan dialek satu ke
dialek lainnya. Dari proses migrasi tersebut yang kemudian menghasilkan cerita-
cerita serupa (selalu terjadi pengurangan dan penambahan motifeme), sehingga
jumlah motifeme berbeda-beda. Pada kesembilan cerita rakyat tersebut berakhir
pada kesedihan sedang satu cerita (Peri Pegunungan Kumgang) berujung pada
kisah bahagia. Akhir dari seluruh kisah dipengaruhi oleh bagaimana pernikahan
yang dilakukan antara manusia dan makhluk langit itu berlangsung. Tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa semua kisah akan kembali lagi merujuk pada bagaimana
tipuan tokoh yang menginginkan kebahagiaan dengan cara yang tidak baik. Dari
kesembilan cerita tersebut penggunaan pakaian, gaun, dan selendang yang selalu
identik dengan perempuan sebagai alat tipu daya menunjukan adanya motifeme
yang dipertahankan dari kesembilan cerita rakyat tersebut meskipun bedara pada
wilayah dan budaya masyarakat yang berbeda. Selain itu, adanya budaya yang
terkandung dalam cerita rakyat menjadi karakteristik tempat suatu cerita rakyat
berasal, seperti budaya masyarakat agraris yang tampak pada cerita Jaka Tarub,
Arya Menak, dan Putri Tanaba, sedangkan pada cerita lainnya budaya yang
termuat sebagai karakteristik daerah suatu cerita berasal.
Daftar Pustaka
Amir, Andiyetti.2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset
Astika, I Made, DKK. 2014. Sastra Lisan Teori dan Penerapannya. Yogyakarta:
Graha Ilmu
Dananjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-Lain.
Jakarta: Midas Surya Grafindo
Endaswara, Suwardi, 2010. Folklor Jawa Macam Bentuk dan Nilainya. Jakarta:
Penaku
Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS
74 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra
Lisan. Jawa Timur: HISKI
Ihromi, 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra
Wacana
Zed, Mestika, 2008. Metode Penelitian Kepustakaaan, Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia
Barkah, Lazuardi. (2013-2014). Analisis Motifeme Pola Cerita Irui-kon dalam
Cerita Rakyat Jepang.Japanology, Vol 2, No.1, September 2013-februari 2014 :
29-36.
caritasato.blogspot.co.id/2014/04/kisah-malim-deman-sumatera-barat.html?m=1.
diakses terakhir kali pada tanggal 20 Mei 2018
dongeng1001cerita.blogspot.co.id/2014/10/putri-tanabata-jepang.html?m=1.
Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018
dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-rakyat-jaka-tarub/. Diakses terakhir kali
pada tanggal 31 Maret 2018
edytauhid.wordpress.com/cerita-rakyat-dari-kalimantan-selatan-legenda-telaga-
bidadari/. Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018
legendakita.wordpress.com/2008/08/22/legenda-aryo-menak/. Diakse terakhir kali
pada tanggal 31 Maret 2018
salombafile.esy.es/ceritaku/si-taddung/. Diakses terakhir kali pada tanggal 20
Mei 2018
Sudikan, Setya Yuwana. 2017. Metode Penelitian Sastra Lisan.
Lamongan :Pustaka Ilalang Group.
traditionghoanews.blogspot.co.id/2011/01/legenda-niu-lang-dan-dewi-
penenun.html?m=1. diaksesterakhir kali padatanggal 31 Maret 2018
www.kaskus.us/showthread.php?t=3775185. Diakses terakhir kali pada tanggal
31 Maret 2018
www.riaudailyphoto.com/2012/11.cerita-rakyat-riau-maligai-
keloyang.html?m=1#sthash.aQCzemiR.dpuf. Diakses terakhir kali pada tanggal
20 Mei 2018
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 75
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT
MULTIBUDAYA DI BALI
Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo
Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Tidak banyak yang memahami secara komprehensif tentang peran
tokoh-tokoh rohani awan luar negeri dalam kaitannya dengan
terbentuknya masyaraka tmulti budaya di Bali. Padahal peran
mereka sangat signifikan untuk diperhitungkan, yang didasari atas
tingkat pengalaman dan pendidikan yang erat kaitannya dengan
nuansa nilai-nilai kemanusiaan dari mana mereka berasal. Ini dapat
dilihat dari kontribusi mereka yang berkaitan dengan nilai-nilai
religius yang sarat dengan nuansa kearifan lokal, yang tampaknya
dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kemanusiaan dan
kemasyarakatan yang bersifat inklusif.
Berbagai tantangan yang muncul akibat proses perkembangan ini
dapat diatasi dengan baik, tanpa menimbulkan riak-riak sosial di
lapisan masyarakat. Bahkan, di pihak lainnya dapat memperkuat
kearifan lokal yang ada yang sudah mentradisi dalam proses
kesejarahan yang cukup panjang. Kontribusi para missionaris
sangatlah signifikan, karena pendekatan akulturasi budaya yang
diterapkannya tampaknya mampu meredam berbagai persoalan
atau konflik di satu pihak, dan membangun rasa harmoni sosial
yang semakin mengental dengan nilai-nilai budaya luar di pihak
yang lainnya. Di sinilah pentingnya untuk memahami bagaimana
dinamika historis yang berlangsung di masa lalu, dan masih dapat
disaksikan hingga sekarang di Bali.
Dalam tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana dengan
penggalian budaya lokal yang dilakukannya dan kemudian diadopsi
dan diadaptasi dengan budaya luar yang kemudian tampaknya
memperkuat rasa multikulturalisme yang sudah berakar di Bali.
Dalam kaitan inilah muncul beberapa pertanyaan yang hendaknya
dapat dipahami dengan baik berkaitan dengan pertama, bagaimana
perkembangan awal tokoh-tokoh religious tersebut dapat
mengembangkan kegiatan misionaris di Bali? Kedua, seberapa jauh
komunitas lokal dapat menerima pandangan-pandangan mereka,
dan ketiga, apa tantangan dan peluang yang ada, sehingga
kontribusi mereka dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks
dinamika historis terbentuknya masyarakat multi budaya di Bali.
Kata kunci: missionaris, masyarakat multi budaya, dan
Kebudayaan Bali
76 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
1. PENDAHULUAN
Para Misionaris yang datang ke Bali memiliki peranan yang cukup
signifikan terutama untuk perkembangan umat Katolik yang ada di Bali.
Kehadiran misionaris dapat diterima dengan baik karena karakter masyarakat Bali
yang terdiri dari masyarakat multibudaya. Etnis Bali telah mengalami kontak
dengan etnis lain seperti Jawa, Bugis, Sasak, Flores dan lain sebagainya dalam
bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dalam bidang agama etnis Bali telah
mengadakan kontak dengan Belanda, Inggris dan Amerika sejak jaman
kolonial.(Ardhana,2011 :1)
Pada umumnya kehidupan masyarakat di Bali hidup berdampingan sesuai
dengan konsep masyarakat multibudaya, namun dengan perbedaan etnis dan
agama juga sering terjadi perbedaan pendapat dalam tatanan prilaku kehidupan
sehari-hari. Hal itupula yang terjadi ketika misionaris tiba di Bali pada tanggal 11
September 1935. Pada waktu misionaris bernama Pater Joanes Kersten, SVD yang
hendak melayani umat Katolik Eropa dan Melayu yang tinggal di Bali. Pada
awalnya misionaris ini dilarang mengadakan hubungan langsung dengan orang
Bali asli, tidak boleh mengunjungi rumah-rumah mereka apalagi mengajarkan
agama kepada mereka. Karena ada ketakutan dari pihak pemerintah kolonial
Belanda. Pemerintah memandang jika agama Katolik membawa kebudayaan
Barat masuk Bali, maka kebudayaan Bali yang sangat menarik dunia akan punah.
Dalam perkembangannya para misionaris yang datang ke Bali dapat diterima
dengan baik, bahkan memiliki peranan penting yang dapat dirasakan dalam
kehidupan sosial masyarakat di Bali. (Patriwirawan, 1974:1411)
Penulisan makalah ini mengambil skupe temporal dari tahun 1935-2018.
Tahun 1935 dipilih sebagai awal tahun penulisan dalam paper ini karena pada
tahun ini misionaris pertama datang ke Bali yaitu Pater Yohenes Kersten, SVD.
Tahun 2018 dijadikan sebagai akhir tahun penulisan karena sepanjang 83 tahun
telah dapat dilihat perkembangan umat Katolik di Bali serta peran misionaris di
Bali dan dalam kurun waktu sepanjang tahun tidak pernah terjadi konflik yang
besar dalam kehidupan masyarakatnya.
Skup spasial yang digunakan dalam makalah ini adalah di Bali. Bali
dipilih sebagai tempat kajian karena peran para misionaris hampir merata di
seluruh kabupaten yang ada di Bali.
Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara
lain.
1. Bagaimana perkembangan awal tokoh-tokoh religious tersebut dapat
mengembangkan kegiatan misionaris di Bali?
2. Seberapa jauh komunitas local dapat menerima pandangan-pandangan
mereka?
3. Apa tantangan dan peluang yang ada, sehingga kontribusi mereka dapat
diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya
masyarakat multibudaya di Bali?
Inilah beberapa pertanyaan penting yang dibahas dalam makalah ini dalam
upaya untuk memahami lebih baik tentang peran misionaris dalam terbentuknya
masyarakat multikultural Bali.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 77
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2. METODOLOGI
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu
pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen. Melalui penelitian kualitatif
budaya ini, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan
mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu, melalui penelitian
kualitatif ini membimbing peneliti untuk memperoleh temuan-temuan yang tidak
terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Data yang digunakan
dalam makalah ini adalah data sekunder seperti buku Sejarah Gereja Katolik
Denpasar dan Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi dan
Integrasi.
3.PEMBAHASAN
Perkembangan Awal Tokoh-tokoh Religious di Bali
Pada tanggal 11 September 1935 seorang misionaris Katolik pertama yang datang
ke Bali bernama Pater Joanes Kersten,SVD. Pada awalnya, ia menyewa sebuat
tempat tinggal di Denpasar dengan aturan dari Pemerintah Belanda yang
menegaskan, bahwa ia dilarang untuk mengadakan hubungan dengan orang Bali
asli, mengunjungi rumah-rumah mereka serta mengajarkan agama kepada mereka.
Misi juga dilarang mendirikan sekolah dan rumah sakit. Jadi tugas misi yang
utama adalah melayani belasan umat Katolik Eropa atau melayu yang tinggal di
seluruh Bali.
Setelah dua bulan pelayanannya di Bali, Pater Joanes Kersten dikunjungi
oleh dua orang pemuda Bali yang beragama Kristen yaitu I Wayan Dibloeg dan I
Made Bronong. Mereka bermaksud ingin menawarkan Injil Perjanjan Baru yang
berbahasa Bali kepada Pater Kersten. Dalam perkembangannya terjadi dialog dan
akhinya terlibat dalam kursus agama Katolik. Kedua pemuda ini merasa tertarik
dengan agama Katolik yang baru dikenalnya yang kemudian bersedia untuk
bergabung dengan Gereja katolik. Pada tahun 1936 pada hari raya Paskah kedua
pemuda ini secara resmi diterima sebagai umat katolik di Gereja Katolik Denpasar.
(Patriwirawan, 1974 : 1411)
Dalam perkembangan selanjutnya kedua umat Katolik baru ini mulai
memperkenalkan Injil kepada orang- orang Bali lainnya. Tidak sedikit orang Bali
di Desanya mulai tertarik dan minta supaya diterima di Gereja Katolik. Tetapi
oleh Pater Kersten tidak serta merta diijinkan. Mereka disarankan agar jangan
tergesa-gesa masuk Katolik. Sebaiknya mereka belajar dan mengenal dengan baik
dulu ajaran gereja Katolik sebelum memutuskan untuk masuk Katolik.
Hal inilah yang menyebabkan pada waktu itu hubungan orang Bali Katolik
dengan orang Bali yang Hindu tetap harmonis seperti sebelum ada yang memeluk
agama Katolik. Orang Bali Katolik juga tetap menjalankan kewajiban- kewajiban
dari desa yang tidak berhubungan dengan soal keagamaan seperti Kerja Bakti.
Sehingga kerukunan dan ketentraman tetap terjaga dengan baik.(Patriwirawan,
1974 : 1412)
78 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kondisi Pater Kersten dalam perkembangannya tidaklah memungkinkan
untuk bekerja sendiri di Bali. Ia kemudian digantikan oleh Pater Simon Buis
misionaris Flores yang pada waktu itu sedang berlibur ke Eropa. Pada tanggal 30
September 1936, P. Simon Buis meneruskan pembangunan Kapel yang telah
digagas sebelumnya oleh P. Kersten dan hendak membangun sebuah rumah di
Tuka agar lebih dekat dengan umat yang tinggal di Tuka. Setelah kedatangan P
Simon Buis di Bali ia mulai melayani umat Katolik yang terpencar seperti di
Singaraja, Candi Kesuma Jembarana, Karangasem, Klungkung, Gianyar, dan
Negara. Keadaan ini yang menyebabkan P Simon Buis meminta agar dibantu oleh
misionaris ketiga yaitu Pater Agustinus de Broer untuk untuk membantunya
melayani umat Katolik di Bali pada tahun 1938.
Dalam kaitannya dengan kehidupan multikultur, dimana relasi mayoritas
dan minoritas terjadi dalam konteks harmoni dan riak-riak sosial. Demikian pula
halnya dengan kehidupan umat Hindu Bali dan umat Katolik Bali, yang pada
awalnya terdapat persoalan atau riak-riak sosial dalam kaitannya dengan masalah
kuburan di Tuka. Namun demikian, dalam konteks harmoni yang terjalin, dimana
tidak dilepaskan dari persoalan ikut sertanya umat Katolik dalam perbaikan
tempat ibadah umat Hindu. Hubungan yang dianggap tidak bersinergis ini
tampaknya tidak berlangsung cukup lama. Namun demikian persoalan ini tidak
berlangsung lama yang disebabkan karena mereka dapat mengatasi persoalan
dengan membagi tanah kuburan menjadi dua bagian. Dalam hal ini tampak
sebagian untuk umat Hindu Bali dan sebagian untuk umat Katolik. Demikian pula
dalam hal organisasi desa, umat Katolik dibebaskan dari kewajiban yang
berhubungan dengan soal agama. (Kusumawanta,2009: 45)
Pada tahun 1949 kedatangan misionaris dari Amerika yakni Pater Josef
Flaska dan Pater Norbert Antonius Shadeg, SVD. Dengan kedatangan misionaris
baru ini umat disekitar Tuka berkembang menjadi lebih luas seperti Babakan,
Cemagi, Abianbase. Pada tahun 1951 Pater Simon Buis kembali ke Belanda
karena alasan kesehatan setelah ia membangun Gereja di Bali yang pada tahun
1950 menjadi Prefektur Apostolik.
Misionaris yang berasal dari Amerika ini bernama Pater Nobert Antonius Shadeg,
SVD lahir di Minnesota, Amerika Serikat pada tanggal 10 Desember 1921.
Setelah ditahbiskan menjadi imam, bersama 13 rekannya P. Shadeg diutus ke
Indonesia. Pater N. Shadeg tiba di Bali pada tanggal 20 Juli 1950 setelah datang
berkunjung dari Ujungpandang dan Flores. Selain berperan sebagai seorang pastor
dengan melayani umat Katolik di sejumlah paroki di Bali, Pater Shadeg juga
punya perhatian besar pada dunia pendidikan dan masalah kebudayaan. Ia juga
menjadi guru Bahasa Inggris di Singaraja, yang saat itu menjadi ibu kota Provinsi
Sunda Kecil. Sejak mengajar itulah, dia tertarik untuk lebih intens mempelajari
Bahasa Bali, sampai terbitlah kamus yang disusun P. Shadeg yang berjudul, A
Basic Balinese Vocabulary' dan Bali Pocket Dictionary. (Suprobo,2000:13)
Komunitas Lokal Dapat Menerima Pandangan-Pandangan Misionaris
Kehadiran misionaris di Bali membawa pengaruh tidak hanya bagi umat Katolik,
tetapi juga bagi umat beragama lain yang ada disekitarnya.Dalam aktivitas
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 79
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
misionaris, tidak hanya melakukan kegiatan rohani saja, tetapi juga melakukan
kegiatan sosial lainnya yang dapat diterima oleh masayarakat luas di Bali.
Kegiatan sosial tersebut antara lain mencakup:
1. Bidang Kesehatan
Dalam bidang Kesehatan, misi menaruh perhatian yang sangat besar. Pada
awalnya misionaris mengadakan pengobatan dengan berkeliling dari desa ke desa.
Dalam rangkaian pengobatannya misionaris melakukan pengobatan dengan penuh
kesabaran dan cinta kasih. Komunikasi yang intensif berdialog dari hati ke hati
membuat pasien merasa nyaman dan percaya dengan pengobatan yang dilakukan
oleh misionari. Ini tampak menarik, apalagi jika dikunjungi oleh pastor, secara
psikologis mereka merasa sangat senang karena merasakan sudah mulai diberikan
perhatian. Dari sinilah dapat dilihat bagaimana masyarakat lokal dapat menerima
pandangan-pandangan misionaris tentang cinta kasih dan saling melayani kepada
sesama manusia, tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama dalam ajaran
agama Katolik. Untuk mengobati pasiennya pastor meminjam sebuah rumah
untuk dijadikan balai pengobatan. Klinik dan BKIA (Badan Kesehatan Ibu dan
Anak) didirikan di Palasari, Tuka, dan Gumrih oleh P. Simon Buis. Klinik ini
mendapat bantuan dari suster-suster Fransiskanes. Melalui pendekatan
kemanusiaan, para misionaris melayani umat tidak hanya yang beragama Katolik
saja, melainkan umat lain yang datang berobat ke klinik. Hal inilah salah satu
faktor penyebab misionaris dapat diterima dengan baik ditengah masyarakat Bali
yang multibudaya.
2. Bidang Pendidikan. Dalam bidang pendidikan pada tahun 1949 Pater
Kersten dan P. Simon Buis mendirikan Sekolah Dasar Katolik pertama di Tuka,
lalu pada tahun 1951 mendirikan sekolah yang sama di Palasari dan Gumbrih
pada tahun 1953. Selanjutnya dibangun pula Sekolah Menengah di bebagai
tempat seperti Tuka, Palasari, Tangeb, Singaraja, dan Denpasar. Meskipun
sekolah yang didirikan merupakan sekolah Katolik, namun sekolah ini menerima
murid dari seluruh agama yang berasal dari seluruh Bali pada khususnya dan dari
seluruh Indonesia pada umumnya. Tidak jarang murid yang masuk ke sekolah ini
berasal dari NTB dan NTT yang pada waktu itu memilih menyekolahkananaknya
di Sekolah Katolik Denpasar karena mutu dan kualitas yang masih terjaga saat itu.
Pada awal berdirinya sekolah, untuk menunjang kegiatan belajar untuk murid
yang tidak mampu tidak dikenai biaya. Misi selalu berusaha untuk membantu
keluarga yang tidak mampu dan tidak hanya untuk keluarga Katolik saja.
Dapat dikatakan, bahwa dengan dibukanya sekolah dari berbagai tingkatan berarti
juga membuka kesempatan untuk tenaga kerja sebagai pengajar dan tenaga
administrasi dari masyarakat Bali, sebab ada pula tenaga pengajar dan
administrasi dari agama lain yang diterima bekerja di Sekolah Katolik.
Tantangan dan Peluang Misionaris di Bali
Tantangan yang dihadapi oleh misionaris di Bali, sehingga kontribusi mereka
dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya
masyarakat multibudaya di Bali antara lain adalah pada awalnya kendala dari
pasal 117 dari UUD Hindia (Indisiche Straatsregeling) tentang sikap pemerintah
80 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang netral terhadap agama. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang melarang
adanya hubungan antara misionaris dengan orang Bali asli.
Tantangan lainnya adalah masalah sosial seperti keadaan umat yang
sangat miskin. Sebagai rohaniwan, mereka tidak hanya memperhatikan masalah
rohani saja, tetapi juga memikirkan masalahekonomi umatnya. Pada tahun 139 P.
Buis memohon pada Assisten Residen Bali Selatan agar umatnya diberi tanah di
Bali Barat. Permintaan tersebut baru dapat terpenuhi pada bulan September 1940.
P. Buis bersama dengan 24 orang umat laki-laki membuka lahan hutan yang lebat
menjadi pemukiman lalu pada tanggal 12 November 1940 sebanyak 22 KK yang
berasal dari Desa Tuka pindah dan menetap di Desa Palasari Jembrana.
Tantangan kembali dihadapi pada periode okupasi Jepang pad tahun 1942,
dimana tentara Jepang mendarat di Bali. Pada saat itu, banyak misionaris di Bali
yang ditangkap dan ditawan oleh tentara Jepang. Misalnya saja dapat disebutkan
dengan ditangkapnya P. Kersten di Flores dan kemudian ditawan di Sulawesi.
Pater Agus de Broer juga ditawan di Jawa, sedangkan P. Simon Buis ditahan di
Penjara Singaraja lalu dipindahkan ke Pare-pare, Sulawesi sehingga dapat
berjumpa dengan rekan-rekannya dari Flores. Dengan ditahannya imam-imam
yang ada di Bali untuk sementara sakramen permandian dan perkawinan diberikan
oleh umat yang bernama I Wayan Dibloeg setelah di beri kuasa oleh Mgr. Leven
dari Ndona Flores sambil menunggu imam dari Jawa untuk memberikan sakramen
lainnya.Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946, para misionaris
dibebaskan dari tawanan. Mereka satu per satu kembali seperti P. Kerten di Tuka,
P Simon Buis di Palasari.(Patriwirawan, 1974:1415).
Demikian dinamika umat yang berada di Bali yang mengalami berbagai pasang
surut dalam kaitannya pembertahanan konsep masyarakat multikultur yang ada di
Bali pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.
SIMPULAN
Dari uraian dan analisis yang disampaikan dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut. Pertama, kehadiran misionaris di Bali memang pada awalnya
mendapat pertentangan dari pemerintah kolonial, karena mereka ingin menjaga
dan melestarikan keutuhan dan budaya asli serta struktur sosial masyarakat Bali.
Kedua, adanya kekhawatiran karena Kehadiran misionaris menjadi ancaman
apabila banyak umat Hindu Bali yang beralih menjadi Katolik, namun hal ini
tidak terjadi sebab dalam perkembangannya kehadiran misionaris yang datang ke
Bali tidak hanya untuk memberi pelayanan rohani kepada umat Katolik Eropa
ataupun melayu saja melainkan juga membantu masyarakat Bali lainnya yang
berada disekitarnya seperti di daerah Tuka, Singaraja, Karangsem dan Jembrana.
Ketiga, para misionaris memberikan bantuan kepada masyarakat yang pada waktu
itu kondisinya sangat miskin. Terutama yang berada di daerah Tuka. Peran
misionaris dalam hal pemberian layanan kesehatan di klinik dan Balai Kesehatan
Ibu dan Anak serta mendirikan sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga
menengah yang dibuka untuk umum memberikan kesempatan kepada umat di
Bali untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keempat, misionaris diberi
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 81
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kesempatan untuk melaksanakan pelayanannya dalam sejarah perkembangan
gereja Katolik di Bali, meskipun mendapat tantanganyang menunjukkan, bahwa
misionaris juga berperan dalam pembentukan masyarakat multibudaya di Bali.
Hal ini dapat dilihat dari terbukanya masyarakat Bali dapat menerima pendatang
dari luar yang sama-sama mempertahankan etinisitas dan identitas budayanya
masing-masing di masa kini dan masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
Ardhana, I Ketut, dkk. 2011. Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah,
Migrasi dan Integrasi. Pustaka Larasan : Yogyakarta.
Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia. 1974. Sejarah
Gereja Katolik Indonesia. Percetakan Arnoldus : Ende.
Suprobo, Leo. 2000.50 Tahun Karya Missionaris Romo Norbertus Antonius
Sahdeg, Svd, Ma (1949-1999).Skripsi yang belum diterbitkan, Jurusan
Sejarah : Universitas Udayana.
Kusumawanta, Rm.D.Gusti Bagus, Yoseph Made Ratnatha, Mathias Rony . 2009.
Gereja Katolik Di Bali (Suatu Penelusuran Sejarah Awal Kekatolikan
Sampai dengan 2006). Yayasan Pustaka Nusatama:Yogyakarta.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 82
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA
DAN SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA
SANGKAN GUNUNG
Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti, I Wayan
Nurjaya
Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali
ABSTRAK
Bali merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia yang telah
dikenal luas di dunia. Pada tahun 2017, Bali memperoleh
penghargaan sebagai tujuan wisata terbaik dunia oleh TripAdvisor,
situs perjalanan terbesar di dunia. Penghargaan ini juga berdampak
pada peningkatan upaya pemerintah untuk mencapai target 20 juta
wisatawan asing pada tahun 2019. Bahkan, penghargaan ini dan
sejumlah penghargaan lainnya yang telah disematkan pada pulau
dewata ini tercapai karena kesatuan pengejawantahan implementasi
nilai-nilaiTri Hita Karana (THK) dan Sad Kertih (SK) sebagai
kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan Bali. Namun,
Pembangunan kepariwisataan kini hanya terfokus pada
pertumbuhan ekonomi dengan begitu masifnya pengembangan
pariwisata masal (mass tourism),sehingga para wisatawan menjadi
sulit menemukan keunikan Bali karena mereka tidak cukup
menemukan informasi yang benar tentang Bali. Penelitian ini
bertujuan untuk menginvestigasi revitalisasi nilai-nilai-nilai THK
dan SK dalam pengembangan desa wisata Sangkan Gunung,
Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.Metode yang
digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan
data observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi
dokumen. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori
hermeneutik dan fenemenologiHasil penelitian menunjukkan
bahwa perlu adanya revitalisasi, transformasi, konservasi, dan re-
aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK, sebagai upaya
mewujudkan multiplier effects dari pengembangan desa wisata
yang berbasis masyarakat serta dilandasi dengan nilai-nilai
kearifan lokal yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan
masyarakat yang seimbang antara lahir dan batin.
Kata Kunci: revitalisasi, kearifan lokal, THK dan SK,multiplier
effects, kesejahteraan lahir dan batin
Latar Belakang
Pengembangan pariwisata tidak hanya terkonsentrasi dengan pengembangan
yang berbasis komodifikasi dari suatu produk yang bernilai ekonomis sehingga
mempunyai nilai tambah (added value) saja, tetapi juga perlu dilandasi dengan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 83
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
nilai-nilai kearifan lokal agar tercipta keharmonisan dalam sendi-sendi kehidupan
masyarakat, sehingga tidak terjadi pergulatan kepentingan (conflict of interest)
antar pemangku kepentingan dan masyarakat pelaku pariwisata karena perebutan
kue pariwisata (Ginaya, 2017). Salah satu kearifan lokal yang tumbuh subur
dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana (THK) dan Sad
Kertih (SK). Windia dan Ratna Komala Dewi (2007), Pitana (2010), Purana
(2016), Ardika (2017), Mudana et al (2018), dan Ginaya (2018)menyebutkan
pengertian THK sebagai tiga hubungan yang harmonis, yaitu hubungan yang
harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis antara sesama
manusia dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam serta makhluk
lainnya.SK adalah enam jenis upacara yang bertujuan untuk menjaga
keharmonisan alam dan isinya atau enam konsep dalam melestarikan lingkungan
(Wiana, 2004, 2018). Menurut Wiana konsep Sad Kertih adalah ajaran Hindu di
Bali yang dapat ditelusuri ke sumbernya di Bali Purana atau lontar di mana alam
semesta ini termasuk manusia menurut Veda terdiri dari unsur-unsur Panca Maha
Butha atau lima unsur yang terdiri alam semesta. Implementasi THK dalam
pembangunan pariwisata Bali yang dianggap mempunyai dampak sangat luas bagi
masyarakat serta lingkungan di Bali, yaitu sektor perhotelan, akomodasi, serta
atraksi wisata telah diakui oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gd.
Ardika (Anonim, 2003: 80). I Gd. Ardika dalam sumber yang sama menyatakan
bahwa ada beberapa hal yang penting dari pelaksanaan THK Tourism Awards:
bersifat bottom up, memberdayakan masyarakat, bersifat voluntary, dan
partisipatif.
Keadaan yang cenderung membuat pembangunan kepariwisataan kini hanya
difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, para penikmat pariwisata menjadi sulit
menemukan keunikan Bali adalah bertentangan dengan prinsip utama pariwisata
berkelanjutan(key principles of sustainable tourism) (Ardika, 2009) dan prinsip-
prinsip local genius atau cultural identity seperti yang dikemukakan oleh
Soebadio (Ayat,1986: 18). Berdasarkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan,
menurut Ardika bahwa salah satunya tertulis secara tegas bahwa pariwisata
hendaknya dilakukan dengan asas kesetaraan guna terdistribusinya secara adil
keuntungan(benefits)dan biaya(costs)di antara investor, masyarakat lokal, dan
kawasan wisata. Oleh karena itu, Bali sebagai daerah destinasi wisata mengalami
ketimpangan saat menghadapi derasnya arus informasi dari luar dengan semakin
meningkatnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi antar generasi,
sehingga terjadi disorientasi pemaknaan sistem nilai budaya lokal. Di sisi lain,
dari prinsip-prinsip cultural identity, Soebadio menyatakan bahwa kemampuan
untuk menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar adalah ketahanan
di bidang budaya sebagai ketahanan bangsa di mana suatu bangsa akan lebih
mampu untuk bertahan menghadapi ancaman budaya luar, sehingga mampu
menyerap apa yang cocok dan menolak apa yang tidak cocok.Hal ini menjadi akar
permasalahan dalam pengembangan pariwisata di mana kemampuan masyarakat
dalam menangani percepatan perubahan, kompleksitas, dan ketidakpastian
perkembangan kepariwisataan di Bali masih rendah, sehingga kapasitas
masyarakat dalam mengelola pariwisata yang berbasis budaya perlu ditingkatkan.
Permasalahan ini perlu untuk diteliti sebagai sebuah kajian budaya (cultural
studies) yang bersifat kritis dan multidisipliner serta berusaha membela
kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti yang disarankan oleh
84 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
para pakar kajian budaya, di antaranya Barker (2005: 6), sehingga nantinya dapat
memberikan gambaran tentang pengembangan model pariwisata kreatif di desa
Sangkan Gunung sebagai pengejawantahan sebuah pembangunan pariwisata
berkelanjutan melalui integrasi komunitas, budaya dan lingkungan yang
berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana dan Sad Kertih untuk
mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin dengan tetap menjaga
kelestarian linkungan alam dan keajegan budaya lokal.
Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung didapatkan
berdasarkan hasil survei pada saat penjajagan awal pengabdian kepada masyarakat
di desa Sangkan Gunung dan wawancara langsung terhadap tokoh-tokoh
masyarakat di desa tersebut, seperti kepala desa, bendesa adat, ketua kelompok
sadar wisata desa Sangkan Gunung beserta kelompok mitra lainnya seperti
kelompok tani, pengerajin, kesenian. Sedangkan data sekunder adalah data yang
diperoleh dari hasil penelusuran studi dokumen dan pustaka.
Data selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif yang didasari
paradigma metodologis induktif. Artinya, suatu paradigma yang bertolak dari
sesuatu yang khusus ke sesuatu yang umum (Mahsun dalam Ginaya, 2018).
Dengan metode analisis deskriptif, data yang telah dikumpulkan dideskripsikan
secara lengkap sehingga akhirnya didapatkan suatu simpulan. Hasil penelitian
disajikan dengan metode formal dan informal. Menurut Sudaryanto (1993: 145)
metode penyajian informal adalah menyajikan hasil analisis dengan uraian atau
kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian formal adalah perumusan dengan
tanda-tanda dan lambang-lambang Menurut Muhammad dalam Ginaya (2018)
lambang-lambang atau tanda-tanda digunakan untuk menyajikan atau
merumuskan hasil analisis sehingga makna kaedah, hubungan antar-kaedah, dan
kekhasan kaedah dapat diketahui dan dipahami.
Hasil dan Pembahasan
Pengembangan sebuah desa wisatayang dirumuskanhendaknya sedapat
mungkin merupakan representasi partisipasi masyarakat dalam setiap aspeknya.
Demikian pula harapan masyarakat Sangkan Gunungdalam pengembangan
desawisata sesuai dengan potensi desa ke depannyaadalah(1) Pengembangan
Pokdarwis desa Sangkan Gunung sedapat mungkin dapat melibatkan masyarakat
sebagai konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (PBM) dengan
melibatkan seluruh komponen warga masyarakat yang terlibat
aktifdalampengembangan potensi wisatadesa menjadi sebuah destinasi wisata; (2)
Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) yang lebih menekankan pada sisi ekonomi
hendaknya dilandasi juga dengan kearifan lokal THK dan SK. THK adalah
keseimbangan hubungan di antara 3 unsur di masyarakat desa Sangkan Gunung
dalam menjalankan kehidupannya sebagai upaya untuk terciptanya kehidupan
masyarakat yang damai, harmonis dan bahagia, yaitu hubungan masyarakat
dengan Sang penciptanya, hubungan harmonis sesama warga masyarakat, dan
hubungan harmonis masyarakat dengan lingkungannya. Ketiga hubungan
harmonis yang menyebabkan kebahagiaan ini dan enam unsur dalam SK akan
memupuk rasa ―paras paros sarpanaya salulung sabayantaka‖ atau adanya
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 85
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal serta menjaga kelestarian
linkungan yang ada di kawasan desa Sangkan Gunung. Gambar 1 berikut
menunjukkan perpaduan konsep filosofis kearifan lokal THK dan SK sebagai
model pengembangan desa wisata Sangkan Gunung.
Gambar 1. Konsep filosofis THK danSK
Metode yang dipergunakan untuk mencapai target pengembangan PBM yang
dilandasi dengan nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK dalam pengembangan
desa wisata Sangkan Gunung yang secara garis besar dapat diklasifikan menjadi 3
sesuai dengan identifikasi permasalahan dalam pengembangan desa Sangkan
Gunung sebagai desa wisata, yaitu keterbatasan daya jangkau terhadap pasar;
keterbatasan SDM bidang manajemen, administrasi dan kompetensi operasional;
keterbatasan fasilitas fisik. Oleh karena itu, metode rancangan pengembangan
desa wisata Sangkan Gunung seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Metode rancangan pengembangan desa wisata Sangkan Gunung Data Kegiatan Metode Rasional
Mendata
Potensi
wisata
yang ada
untuk
dikembang
kan
Pengadaanwebsite
Pokdarwis desa
Sangkan Gunung
serta
mengembangkan
Pokdarwis desa
Sangkan Gunung
menjadi Desa
wisata (Dewi)
Procurement of website
in English and other
foreign languages
Websitememberikanak
ses
informasitentangPokda
rwisterhadappasar
Pengemba
ngan
prasarana
dan sarana
pendukung
Mengembangkan
Pokdarwis desa
Sangkan Gunung
menjadi desa
wisata
Materi situs web
dikumpulkan dan disusun
bersama antara tim dan
personel Pokdarwis
Situs web ini
menyediakan akses
informasi tentang
Pokdarwis ke pasar
Pengemba
ngan
Sosialisasi PBM
berlandaskan THK
PendadarantentangPBM
berlandaskan THK dan SK
Pemahamanterhadapprin
sip PBM berlandaskan
Tri Hita Karana
(Tigahubunganhar
monisantaramanus
iadenganTuhan,
manusiadenganma
nusia, dan
manusiadenganala
m)
Parhyangan/AtmaK
ertih
Pawongan/Jana
Kertih
Palemahan/Segara,
Wana, Danu, Jagat
Kertih
PariwisataBerkelanjutan
Sad Kertih
(Enamkonsepdala
mmelestarikanling
kungan)
86 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
produk
wisata
dan SK diberikanuntukmembang
un
pemahamantentangesensi
dari
parwisataberbasismasyar
akat berlandaskan THK
dan SK
THK dan SK
akanmenuntunpada
pengembanganpariwisat
ayang lebihterarah.
Potensi yang dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata di desa wisata
Sangkan Gunung adalah sumber daya alam dan keindahan alam serta seni dan
budaya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, potensi yang ada di desa
Sangkan Gunungmerupakan daerah pedesaan yang sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai tujuan wisata dengan daya tariknya termasuk keindahan
alamnya. Desa Sangkan Gunung terletak pada ketinggian sekitar 800 meter di atas
permukaan laut dapat ditemukan petak persawahan dengan teras sering, aliran
sungai Telaga Waja yang terkenal dengan wisata arung jeram, air terjun,
bendungan irigasi, dan beberapa sumber mata air untuk ritual malukat atau
penyucian. Gambar 2 berikut adalah penduduk lokal yang memanfaatkan mata air
mumbul untuk aktivitas penyucian atau pembersihan diri.
Gambar 2. Malukat di mata air Mumbul
Simpulan
Semua komponen masyarakat yang tergabung dalam organisasi yang ada di
desa Sangkan Gunung adalah sangat potensial dalam mendukung keberhasilan
pengembangan Pokdarwis di desa tersebut. Semua Potensi tersebut sangat perlu
diberdayakan sebagai upaya mendukung pengembangan Pokdarwis di desa tersebut.
Dalam pengembangannya diharapkan terjadi kebersamaan dalam suatu aktivitas
yang dilandasi dengan semangat gotong royong saling bahu membahu di antara
seluruh komponen masyarakat yang memiliki visi dan misi yang sama yaitu
pengembangan potensi wisata desa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,
bahagia, dan damai sebagai realisasi dari esensi pengembangan pariwisata yang
berlandasan THK dan SK dan berbasis masyarakat atau PBM.
Dalam pengembangan komodifikasi potensi wisata di desa Sangkan Gunung
semaksimal mungkin diharapkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang
sejalan dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat (PBM) yang menurut para
pemerhati pariwisata berbasis masyarakat tersebut, PBM merupakan model
pembangunan yang memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada
masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata.
Melalui pengembangan desa wisata diharapkan terjadi pemerataan yang sesuai
dengan konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu,
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 87
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
keberadaan desa wisata menjadikan produk wisata lebih bernilai budaya pedesaan
karena dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK, sehingga
pengembangan desa wisata bernilai budaya tanpa merusaknya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim (2003). Bali: Objek dan Daya Tarik Wisata (Buku Panduan
Pramuwisata). Denpasar: Dinas Pariwisata Provinsi Bali.
Ardika, I. W. (2009). ―Aspek Sosial Budaya dalam Pariwisata Berkelanjutan‖.
(Makalah disampaikan pada Kuliah Globalisasi dan Pariwisata Budaya
Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana).
Ardika, I. W. (2018). The Implementation of Tri Hita Karana on the World
Heritage of Taman Ayun and Tirta Empul Temples as Tourist Attractions
in Bali. E-Journal of Tourism, 85-93.
Ayat, R. (1986). Kepribadian budaya bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka
Jaya.
Ginaya, G. (2018). The Balinese calendar system: From its epistemological
perspective to axiological practices. International Journal of Linguistics,
Literature and Culture (IJLLC), 4(3), 24-37.
Ginaya, G. (2017). Pergulatan Kepentingan antara Representatif Asing dan
Pramuwisata dalam Penanganan Wisatawan Rusia pada PT. Tiga
Putrindo Lestari, Nusa Dua. Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, 13.
Mudana, I. G., Suamba, I. B. P., Putra, I. M. A., & Ardini, N. W. (2018, January).
Practices of Bali Tourism Development, Threefolding, and Tri Hita
Karana Local Knowledge in New Order Indonesia. In Journal of Physics:
Conference Series (Vol. 953, No. 1, p. 012108). IOP Publishing.
Pitana, I., (2010). Tri Hita Karana–the local wisdom of the Balinese in managing
development. In Trends and issues in Global Tourism 2010 (pp. 139-
150). Springer, Berlin, Heidelberg.Agusnawar, A.Md.Par. 2004.
Resepsionis Hotel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Purana,IMade.(2016).―PelaksanaanTriHitaKaranadalamKehidupanUmatHindu‖.Ju
rnalKajian PendidikanWidyaAccarya,FKIPUniversitas
Dwijendra,Maret2016.
Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: pengantar
penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Duta Wacana
University Press.
Wiana. I. K.(2004).Mengapa Bali di sebut Bali.Penerbit Paramita Surabaya
Wiana. I. K.(2018). ―Implementasi Filosofi dan Konsepsi Pembangunan Bali
(Bagian VII, Rubrik Wija Kasaur): Empat Fungsi Kebersamaan
Universal‖, Pos Bali, Sunday, 20 May, p. 1.
Windia,W.andRatnaKomalaDewi.(2007).AnalisisBisnisyangberlandaskantrihitaka
rana. Denpasar:Universitas Udayana.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 88
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ANALISIS ‘UNTUK KITA RENUNGKAN’
I Gusti Ayu Gde Sosiowati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Banyak cara manusia untuk menyampaikan apa yang ada di dalam
pikirannya dan salah satu dari cara tersebut adalah melalui lagu.
Pada dasarnya lagu adalah sebuah puisi yang disampaikan dengan
bantuan nada-nada musik yang biasa disebut musikalisasi. Oleh
karena bentuk dasarnya adalah puisi, penyampaiannya juga
menggunakan perangkat puisi. Kenney (1966) menyatakan bahwa
perangkat puisi ada bermacam-macam, misalnya simbol, metaphor,
personifikasi dsb. ―Untuk Kita Renungkan‖ adalah sebuah lagu
yang diciptakan oleh Ebit G.Ade. Lagu ini sama dengan lagu-
lagunya yang lain yang biasanya mengusung tema tentang alam
dan duka derita sekelompok orang yang teraniaya. Jenis musik
yang biasa dimainkannya adalah musik pop, balada dan country.
Dari sekian banyak lagu, lagu dengan judul ―Untuk Kita
Renungkan‘ merupakan lagu yang memiliki kosa kata yang tidak
terduga. Lagu ini sangat bernuansa religi karena banyak mengacu
kepada pengetahuan agama dan Tuhan. Mengingat bahwa pada
masa sekarang ini banyak terjadi bencana alam dan juga banyak
manusia lupa kepada ajaran kebajikan, menganalisis lagi ini sangat
relevan untuk dilakukan. Analisis lagu ini dilakukan untuk
mengupas kandungan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya dan
bagaimana cara Ebit G.Ade menyampaikan pesan yang ingin
disampaikannya. Meskipun hanya lagu, makna yang tersirat di
dalamnya diharapkan dapat menggugah nurani pendengarnya dan
memunculkan niat untuk selalu berbuat baik kepada sesama.
Kata kunci: puisi; lagu; musikalisasi; nilai-nilai moral
Pendahuluan
Lagu adalah suatu bentuk karya seni yang banyak digemari oleh manusia
sebagai alat menghibur diri. Lagu dapat memiliki beraneka ragam tema, misalnya
tentang alam, cinta, kesedihan, kegembiraan ataupun kekecewaan. Oleh karena
kemampuannya mengakomodasi berbagai macam perasaan, lagu seringkali
dipakai oleh peciptanya untuk menyampaikan apa yang dirasakan atau dilihat.
Sebagai sebuah bentuk seni yang dianggap sama dengan puisi, menganalisis untuk
mendapatkan maknanyapun sama dengan menganalisis puisi. Analisis karya
sastra, dalam hal ini puisi, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan
intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah suatu cara menganalisis puisi
berdasarkan elemen-elemen intrinsic seperti misalnya tema, gaya bahasa, bentuk
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 89
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang digunakan dan sebagainya sedangkan analisis ekstrinsik akan
menghubungkan suatu puisi dengan kondisi sosial atau kehidupan pengarangnya.
Analisis puisi yang pada akhirnya dipresentasikan melalui lagu sudah banyak
dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah karya ilmiah yang ditulis oleh
Ransom (2015). Dia mengatakan bahwa music adalah salah satu alat komunikasi
yang efektif dan lirik lagu sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan
komunikasi. Dikatakan pula bahwa lagu dapat membangkitkan perasaan positif
bagi pendengarnya. Lirik lagu disamping dapat membangkitkan perasaan positif,
dapat pula merupakan pembelajaran. Hal ini disampaikan oleh Steinberg (2014)
yang menyatakan bahwa generasi muda yang berumur belasan dengan kondisi
otak yang masih lentur dapat dengan mudah belajar dan menyerap makna sebuah
lagu. Pendapat ini sejalan dengan tujuan penulisan artikel ini yaitu menemukan
ajaran moral dalam lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ melalui analisis intrinsik dan
ekstrinsik. Harapan yang dapat dikemukakan dengan
menganalisis lagu ini adalah membuka kesadaran manusia terutama generasi
muda sebagai generasi penerus bangsa terhadap kebesaran Tuhan sehingga
perilaku religious dapat mendasari setiap tindakannya.
Metodologi
Data artikel ini diambil dari sebuah lagu yang berjudul ―Untuk Kita
Renungkan‖ yang ditulis oleh Ebit G.Ade tahun 1982 pada saat Gunung
Galunggung di Jawa Barat meletus. Lagu ini merupakan lagu yang mengandung
ajaran untuk introspeksi diri dan bagaimana menyikapi sebuah bencana. Oleh
karena lagu dapat dikatakan sebagai puisi yang dimusikalisasi, analisisnya akan di
awali dengan tema, kemudian diikuti oleh analisis bagian-bagian lagu itu dengan
menggunakan teori Kenney (1966). Kenney menyebutkan bahwa perangkat puisi
(poetic devices) terdiri atas: pilihan kata, bahasa figurative misalnya Hiperbola,
Ironi, Metafora, Metonimi, Paradox, Personifikasi, Simili, Sinekdoce dan
sebagainya. Menurut Morner & Rausch ( 1998) Hiperbola adalah menyatakan
sesuatu dengan cara membesar-besarkan, Ironi adalah kontradiksi antara apa yang
diharapkan dan yang terjadi sebenarnya, Metafora adalah menganalogikan sesuatu
sucara imajinatif dengan hal lain yang berbeda, Metonimi adalah penggantian
nama benda atau orang dengan nama lain yang berhubungan, Paradox adalah
pernyataan yang nampaknya bertentangan, tetapi benar, Personifikasi adalah
pemberian karakteristik manusia kepada benda-benda yang bukan manusia
termasuk kekuatan alam dan konsep yang abstrak, Simili adalah perbandingan dua
hal yang berbeda dengan menggunakan kata ―seperti‘ atau ‗bagaikan, dan
Sinekdoce adalah menyatakan suatu objek secara keseluruhan dengan
mengatakan bagiannya saja.
Lagu ini dipilih karena sangat relevan dengan kondisi masa kini dimana banyak
orang cenderung mencaci maki bahkan memfitnah orang lain tanpa pernah
menyadari bahwa mereka sendiri bukan sosok yang lebih baik. Rasa takut berbuat
dosa sudah tidak ada lagi demi materi. Mereka tidak menyadari bahwa Tuhan
dapat membalikkan segala sesuatu dalam sekejap.
90 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Pembahasan
Pembahasan ini akan diawali oleh presentasi lagu yang berjudul ―Untuk
Kita Renungkan‖ ciptaan Ebiet G. Ade. Selanjutnya baris demi baris akan
dianalisis untuk melihat apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pengarangnya.
Untuk Kita Renungkan
1 Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
2 Suci lahir dan di dalam batin
3 Tengoklah ke dalam sebelum bicara
4 Singkirkan debu yang masig melekat, oh
5 Singkirkan debu yang masih melekat
Du du du du du oh oh oh
6 Anugerah dan bencana adalah kehendakNya
7 Kita mesti tabah menjalani
8 Hanya cambuk kecil agar kita sadar
9 Adalah Dia di atas segalanya oh
10 Adalah Dia di atas segalanya
11 Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu
bersih
12 Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak
berbenah
13 Memang, bila kita kaji lebih jauh
14 Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista... oh
15 Tuhan pasti telah memperhitungkan
16 Amal dan dosa yang kita perbuat
17 Kemanakah lagi kita kan sembunyi
18 Hanya kepadaNya kita kembali
19 Tak ada yang bakal bisa menjawab
20 Mari, hanya runduk sujud padaNya
hooo...hooohooo du du du
21 Kita mesti berjuang memerangi diri
22 Bercermin dan banyaklah bercermin
23 Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini
24 Berusahalah agar Dia tersenyum...
ho.....ho...ho...ho...du..du..du..du..
25 Berusahalah agar Dia tersenyum
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 91
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, lagu ―Untuk Kita Renungkan‖
ini diciptakan berlatar belakang meletusnya gunung Galunggung di Jawa Bart
pada tahun 1982. sehingga video clip nyapun dibuat dengan memanfaatkan
potongan-potongan gambaran yang terjadi pada saat terjadinya bencana alam yang
berupa gambar bayi, orang berdoa kondisi sebuah lokasi yang porak porand,
aliran lahar yang masih membara dan tangan yang menerima uang. Kondisi
seperti ini tentunya banyak mengundang komentar. Ada yang mengatakan bahwa
bencana itu adalah teguran Tuhan akan tetapi adapula yang mengatakan bahwa
bencana itu adalah hukuman dari Tuhan. Menyikapi bencana dan komentar
tentang meletusnya gunung Galunggung itu serta sikap manusia yang
memanfaatkan penderitaan orang lain, Ebiet G. Ade menulis lirik lagu yang
seakan-akan mengingatkan bahwa manusia itu hendaknya jangan mengatakan dan
melakukan hal-hal yang buruk kepada orang lain. Pada saat manusia mengalami
kesulitan hanya Tuhan yang bisa menolong oleh karena itu tugas manusia adalah
berbuat baik sehingga Tuhan menjadi senang. Latar belakang lagu ini akan
digunakan sebegai elemen intrinsik yang sangat membantu dalam menganalisis
lagu ini. Latar belakang penciptanya juga sangat membantu dalam penentuan tema.
Musisi yang bernama asli Abid Ghoffar bin Aboe Dja‘far yang lahir di Wanadadi,
Banjarnegara, Jawa Tengah pada 21 April 1954 ini adalah sosok yang suka
bergaul dengan seniman muda Yogyakarta. Berlatar belakang pendidikan yang
bernuansa agama (SMP dan SMA Muhammadiyah) bahkan menjalani pendidikan
Guru Agama, tidak mengherankan bahwa lagu-lagunya banyak bernuansa religi,
termasuk lagu ―Untuk Kita Renungkan‖
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, lagu ―Untuk Kita
Renungkan‖, apabila dilihat dari liriknya adalah lagu yang bertema religi.
Melalui lagu ini penciptanya ingin menunjukkan betapa maha kuasanya dan
maha pengasihnya Tuhan. Bagaimana Ebiet G Ade membangun tema ini melalui
lirik lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ dapat dilihat pada paparan berikut.
1 Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih
2 Suci lahir dan di dalam batin
3 Tengoklah ke dalam sebelum bicara
4 Singkirkan debu yang masig melekat, oh
5 Singkirkan debu yang masih melekat
Melalui lirik 1 – 5 para pendengar lagu ini dapat menyimpulkan bahwa
penciptanya ingin mengajak orang untuk introspeksi diri sebelum membicarakan
keburukan orang lain. Di baris (1) Ebiet menggunakan kata ―telanjang‖ yang
apabila dilihat sebatas baris itu dapat mengundang pemahaman yang berbeda
karena terdengar vulgar. Akan tetapi sebenarnya Ebit menggunakan Metafora
untuk menyatakan bahwa bahwa sebaiknya kita bersikap seperti bayi yang bersih
yang belum dikotori oleh berbagai nafsu. Bukankah pada saat bayi baru lahir
telanjang? Sosok bayi
Adalah sosok yang jujur dan belum dikotori nafsu duniawi. Begitulah
hendaknya apabila manusia ingin mengomentari apa yang terjadi. Bersihkan hati
dan pikiran diri terlebih dahulu (line 2: suci lahir dan di dalam batin). Di line (3)
kita diminta untuk melihat ke dalam (hati) yang maksudnya adalah lihatlah secara
jujur siapa kita sebenarnya. Pada line 3, gaya bahasa yang digunakan adalah
Elipsis yaitu tidak menyebutkan kata ―hati‖ secara eksplisit. Himbauan untuk
92 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lebih membersihkan hati nurani disampaikan melalui baris (4 - 5). Kedua baris ini
merupakan pengulangan yang juga merupakan salah satu gaya bahasa untuk
menekankan makna. Ebit menggunakan kata ―debu‖ yang merupakan simbol dari
kekotoran. Hilangkan kekotoran ini dari hati sehingga manusia dapat melihat apa
yang terjadi dengan baik sehingga apa yang dikatakan juga akan dilandasi oleh
niat baik. Ebiet mengibaratkan kesucian hati merupakan hal yang sangat penting
sehingga baris itu diulang pada saat dinyanyikan.
Baris 6 – 10 menunjukkan betapa besarnya kuasa Tuhan. Anugerah dan
bencana merupakan majas antitesis yang menggunakan dua kata berlawanan. Hal
ini menunjukkan bahwa Tuhan, apabila berkehendak dapat melakukan apa saja.
Bencana yang demikian besar diibaratkan hanya sebagai cambuk kecil. Gaya
bahasa yang digunakan adalah Litotes yaitu gaya bahasa untuk mengecilkan
sesuatu. Dengan menggunakan ungkapan ini Ebiet mencoba menyampaikan
bahwa apa yang merupakan lecutan kecil ternyata berdampak begitu besar bagi
umat manusia. ―Cambuk kecil‖ yang sudah membuat manusia sadar atas
kuasaNya, ternyata juga dipakai oleh sekelompok manusia untuk melakukan hal-
hal yang tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji ini misalnya memberi pertolongan
kepada orang yang sudah mengalami kesusahan dengan meminta bayaran.
Baris 11: ―Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai
menyapu bersih‖ menyajikan gaya bahasa Klimaks untuk menunjukkan betapa
asap panas, lahar dan badai yang awalnya ―hanya‖ membuat anak-anak menjerit
ketakutan dan kesakitan pada akhirnya menyapu semua yang ada di sekitranya
tanpa memandang apa dan siapa yang diterjang. Sekilas memang Nampak seperti
hukuman bagi manusia. Akan tetapi dengan menggunakan gaya bahasa koreksio
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 93
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(line 12: Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak
berbenah) Ebit menyatakan bahwa bencana tersebut hanya merupakan isyarat dari
Tuhan bahwa manusia haris lebih memperbaiki perilaku terhadap sesame manusia
dan perilaku terhadap alam. Dalam hal Tuhan bukan penghukum karena cambuk
kecilNya saja sudah mampu menimbulkan asap panas dan lahar, dua hal yang
tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Pada baris 14 (…banyak tangan yang tega
berbuat nista), Ebit menggunakan gaya bahasa Sinekdoce yaitu menggunakan satu
bagian tubuh manusia untuk merepresentasikan manusia secara utuh
Baris 15 – 20 mengandung arti bahwa manusia tidak seharusnya saling
menghakimi karena Tuhan yang merupakan hakim paling adil telah
memperhitungkan apa yang dilakukan manusia dan menunjukkannya melalui
berbagai cara. Belum tentu peringatan itu langsung diberikan kepada pelaku akan
tetapi diberikan melalui orang lain untuk menggugah hati nurani si pelaku bahwa
perbuatannya bisa menyengsarakan orang lain. Misalnya eksploitasi terhadap
alam sudah mengakibatkan perubahan lapisan bumi yang dapat menimbulkan
bencana alam. Untuk menyampaikan kebesaran Tuhan, Ebit menggunakan gaya
bahasa Retoris (baris 17: Kemanakah lagi kita kan sembunyi). Manusia tidak bisa
bersembunyi dari Tuhan yang akan member ganjaran kepada manusia sesuai
dengan perbuatannya. Semua itu hanya masalah waktu.
Baris 21 – 25 adalah lirik yang mengajak kita semua untuk melawan hawa
nafsu yang tidak baik. Baris 21: Kita mesti berjuang memerangi diri,
mengaplikasikan gaya bahasa hiperbola melalui kata ‗memerangi‘ karena kata
perang merupakan aktifitas yang melibatkan banyak orang. Baris 22 mengandung
pengulangan kata ‗bercermin‘ dengan tujuan menekankan makna. ‗Bercermin‖
tidak mengandung arti harfiah karena maksudnya adalah kita harus melihat
kedalam hati kita sendiri dan jujur karena cermin memantulkan diri kita dengan
cara yang sangat jujur. Kembali Ebiet menggunakan Alegori.
Baris 24 menampilkan Personifikasi dimana Tuhan yang merupakan konsep
abstrak namun sangat dipercaya keberadaanNya dianggap dapat tersenyum
apabila merasa bahagia. Tuhan akan bahagia apabila umatnya menjalankan
ajaranNya dengan baik dan benar. Makna baris ini sangat penting sehingga Ebiet
mengulangnya di baris 25.
94 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Simpulan
Paparan di atas menunjukkan bahwa untuk membangun suatu tema,
pemilihan kata dan gaya bahasa yang digunakan merupakan hal yang sangat
penting. Ebiet G Ade dalam usahanya memberikan pembelajaran religi melalui
lagu kepada masyarakat sudah menggunakan elemen ekstrinsik yaitu bencana
meletusnya gunung Galunggung dan pengetahuannya terhadap agama dan elemen
intrinsik yaitu gaya bahasa untuk menyampaikan pesannya. Gaya bahasa yang
digunakannya adalah Metafora, Ellipsis, Simbol, Repetisi, Antithesis, Litotes,
Klimaks, Koreksio, Sinekdoce, Retoris dan Alegori. Lagu ini dapat dikatakan
merupakan himbauan yang sangat kuat untuk memperbaiki perilaku hidup
manusia sehingga nilai keimanan yang tergerus dapat kembali dipertebal untuk
dapat menciptakan kehidupan yang mengedepankan kepentingan bersama dan
menghilangkan keserakahan yang dapat menimbulkan malapetaka bagi
masyarakat.
Daftar Pustaka
https://www.viva.co.id > read. Profil Ebiet D Ade – VIVA. Diunduh tanggal 17
Maret 2019.
Kenney, William (1966). How to Analyze Fiction.
Morner, Kathlees; Rausch, Ralph (1998). NTC‟s Dictionary of Literary Terms.
Chicago: NTC Publishing Group.
Ransom, Patricia Fox, "Message in the Music: Do Lyrics Influence Well-Being?"
(2015).Master of Applied Positive Psychology (MAPP)Capstone Projects. 94.
http://repository.upenn.edu/mapp_capstone/94
Steinberg, L. (2014). Age of opportunity: Lessons from the new science of
adolescence.
Houghton Mifflin Harcourt.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 95
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
METAFORA DI MEDIA CETAK:
SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN
I Gusti Ngurah Parthama
Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai model – model tipologi metafora
yang terdapat pada judul – judul berita media cetak. Metafora
merupakan suatu bentuk gaya bahasa yang menarik perhatian
lawan bicara. Penggunaan metafora memungkinkan seorang
penutur untuk menggunakan pilihan – pilihan diksi tertentu. Diksi –
diksi itu selanjutnya menjadi bagian yang menarik perhatian dalam
suatu bentuk komunikasi. Hal tersebut juga berlaku bagi media
cetak. Penggunaan metafora pada judul – judul berita media cetak
menjadi daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Dengan pemakaian
metafora yang sesuai maka seorang penulis dapat menemukan
alternatif untuk membandingkan persamaan atau perbedaan suatu
kondisi dengan kondisi lainnya yang digunakan sebagai metafora.
Penggunaan metafora pada judul berita juga memberikan
kesempatan pembaca untuk mencari tahu lebih detail terkait berita
yang hendak dibacanya. Sumber data dari paper ini adalah judul –
judul berita yang diambil dari media cetak. Keseluruhan judul
berita diambil dari media cetak terbitan bulan Nopember hingga
Desember 2018. Metode pengumpulan data dilakukan dengan
metode simak dengan teknik membaca rinci, memilah, dan
mencatat. Selanjutnya metode analisa data dilakukan secara
deskriptif kualitatif. Dalam hal ini teknik deskripsi dilakukan untuk
mengklasifikasikan data berdasarkan tipologi metafora. Simpulan
yang diperoleh adalah metafora yang ditemukan merupakan bagian
dari metafora berdasarkan sifatnya. Berdasarkan karakteristik sifat,
metafora – metafora pada judul berita media cetak terdiri dari
metafora yang bersifat konkrit ke abstrak, metafora antropomorfik
yang memindahkan sifat – sifat manusia kepada benda mati, dan
metafora kehewanan yang cenderung memindahkan sifat – sifat
kehewanan kepada persamaan atau perbandingan terhadap benda
maupun situasi yang terjadi. Adapun variasi tipologi metafora
berdasarkan sifatnya tersebut ditemukan dalam variasi bentuk
yakni bentuk kata dan bentuk frasa.
Kata kunci: metafora, tipologi, judul berita
PENDAHULUAN
Metafora merupakan fenomena menarik dalam komunikasi baik secara
lisan maupun tertulis. Penggunaan metafora menjadi alternatif bagi penutur untuk
96 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dapat mengekpresikan pendapat, pandangan, maupun model tuturan lainnya.
Dengan menggunakan metafora, tuturan menjadi lebih dimungkinkan untuk
menarik perhatian penutur lainnya. Setidaknya, para penutur yang terlibat
memiliki kemampuan yang luas untuk mampu memahami tuturan berisikan
metafora dalam konteks – konteks tertentu. Di samping itu, para penutur yang
mengaplikasikan metafora dalam komunikasinya mempunyai pilihan – pilihan
diksi maupun makna tertentu dengan penggunaan metaforanya. Dengan demikian,
proses komunikasi berlangsung menjadi lebih menarik.
Dalam bahasa tulis, metafora sering kali digunakan pada karya – karya
sastra maupun ekspresi puistis tertentu. Namun, metafora justru mempunyai peran
yang lebih luas pada komunikasi – komunikasi tertulis. Yang paling dominan
terlihat adalah penggunaan metafora pada judul – judul berita media cetak.
Penggunaan metafora pada judul berita media cetak tentunya mempunyai latar
belakang tersendiri. Judul sebuah berita pada media – media terutamanya media
cetak wajib dan harus mempunyai keunikan tertentu yang menarik perhatian
pembaca. Hal tersebut mengingat posisi judul berita pada media cetak merupakan
bagian paling krusial dari sebuah berita. Judul berita yang unik tentunya menarik
minat pembaca untuk membaca isi berita lebih lanjut. Dengan demikian, pembaca
memperoleh gambaran seutuhnya terhadap berita yang disampaikan. Sehingga
mereka tidak hanya menarik kesimpulan subyektif terhadap isi suatu berita
dengan hanya membaca judul beritanya saja. Namun, pembaca mempunyai
kecenderungan memperoleh informasi secara lengkap dan komprehensif terhadap
suatu berita.
Untuk mendapatkan kriteria unik pada pembuatan judul suatu berita,
penggunaan metafora menjadi pilihan. Pemakaian metafora memungkinkan
seorang penulis memunculkan suatu perbandingan maupun persamaan.
Perbandingan maupun persamaan tersebut tentunya menjadi sesuatu yang perlu
dijelaskan pada isi berita. Dalam hal ini, perbandingan atau persamaan yang
dimunculkan dalam bentuk metafora diungkapkan dengan gaya bahasa kiasan.
Keraf (2007: 15) mengungkapkan tentang metafora sebagai gaya bahasa kiasan
yang memiliki karakteristik perbandingan maupun persamaan. Gaya bahasa
kiasan yang dimaksud adalah adanya ide kesamaan diantara dua hal yang
dibandingkan. Namun, pada sisi lain juga terdapat perbandingan yang mempunyai
dua karakter berbeda yaitu perbandingan gaya bahasa polos dan perbandingan
gaya bahasa kiasan. Perbandingan gaya bahasa polos atau langsung biasanya
terdapat pada tuturan seperti dia sama nakalnya dengan kakaknya. Sedangkan
perbandingan gaya bahasa kiasan muncul pada ujaran giginya seperti untaian
mutiara.
Sukarno (2017) dalam artikelnya yang berjudul Makna dan Fungsi
Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum Pada Surat Kabar Harian Jawa Pos
memaparkan konsep dasar metafora dalam penelitiannya. Metafora sesungguhnya
mempunyai komponen – komponen semantis yang dikaitkan dengan
perbandingan atau pengasosiasian antara wilayah sumber dan wilayah target.
Secara sederhana, konsep metafora itu mengacu pada adanya suatu pemaknaan
awal dan pemaknaan pada ujaran dengan perbandingan tertentu. Dalam hal ini
Sukarno menambahkan bahwa metafora memunculkan makna leksikal dan makna
kontekstual. Makna leksikal adalah makna yang sesungguhnya atau sebenarnya
dan makna kontekstual lebih mengacu kepada makna yang berhubungan dengan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 97
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
konteks dimana suatu kata atau ujaran digunakan. Untuk memberikan pemahaman
terhadap konsep metafora itu, dirinya memberikan kata mengalir yang digunakan
pada dua konteks berbeda. Kata mengalir umumnya diasosiasikan dengan air
mengalir yang bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.
Sedangkan jika kata mengalir dikaitkan pada kalimat pikirannya mengalir dengan
lancar saat menjawab ujian mempunyai makna yang nyaris serupa dan kasat
mata. Dalam hal ini kita tidak dapat melihat bagaimana suatu pikiran itu mengalir.
Pemaknaan kata mengalir pada pikirannya mengalir dengan lancar saat
menjawab ujian lebih mengacu pada kemampuan seseorang menjawab ujian
dengan baik. Sehingga Sukarno memaparkan bahwa metafora menjadi suatu
bentuk ujaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan terjadi apabila tidak
adanya suatu kaitan dengan komponen semantis pada wilayah sumber. Sehingga
pemahaman secara menyeluruh pada suatu ujaran metafora diperlukan dengan
mengkaitkan wilayah sumber dan wilayah target.
Pemahaman metafora sebagai suatu bentuk asosiasi terhadap kondisi
harfiah atau denotatif juga dipaparkan oleh Ekoyanantiasih (2015) dalam
artikelnya yang berjudul Majas Metafora Dalam Pemberitaan Olahraga di Media
Cetak. Pemaknaan asosiatif muncul sebagai suatu bentuk ekspresi yang berkaitan
juga dengan makna konotatif. Ekoyanantiasih memaparkan pemahaman konotasi
dari tiga perspektif ahli bahasa yang berbeda (Keraf, 1991: 26; Djayasudarma,
1994: 9; Alwi, et.al., 1992: 2). Merangkum dari ketiganya, pemahaman konotasi
dikaitkan dengan makna tambahan, makna asosiatif, dan pemaknaan dalam
kalimat yang selanjutnya memunculkan makna konotasi. Sehingga memaknai
metafora sebagai suatu bentuk asosiasi berkaitan erat dengan hubungan antara
makna denotasi dan makna konotasi. Lebih lanjut, Ekoyanantiasih menjelaskan
variasi – variasi majas metafora dalam bentuk – bentuk kata, frasa, dan klausa.
Adapun majas metafora dalam bentuk kata baik kata tunggal maupun berimbuhan
seperti otak, tiket, algojo, bertempur, berjibaku, dan beroperasi. Sementara itu,
majas metafora dalam bentuk frasa meliputi permainan cantik Persib, benang
kusut, dan batu karang. Sedangkan dalam hal klausa yang menjadi contoh majas
metafora adalah gantung sarung tinju, menjebol gawang, dan merobek gawang.
Adanya variasi – variasi majas metafora tersebut mengindikasikan bahwa dalam
pemberitaan media cetak terutamanya terkait bidang olahraga juga telah
menerapkan metafora sebagai pilihan kata untuk menarik perhatian pembaca.
METODELOGI
Tahapan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu adalah
tahapan penyediaan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan
tahapan analisa data. Sumber data yang akan digunakan adalah media cetak harian
Kompas terbitan bulan November hingga Desember 2018. Data yang akan dipilah
dan digunakan pada penelitian ini adalah judul – judul berita pada bulan – bulan
yang dimaksud. Judul – judul berita akan diambil dari satu media cetak terbitan
nasional dan satu media cetak terbitan daerah.
Tahap pertama adalah tahapan pengumpulan data. Metode dokumentasi
akan digunakan pada tahapan pengumpulan data. Metode tersebut didukung
dengan teknik – teknik seperti teknik membaca rinci dan memilah judul – judul
berita yang berisikan unsur metafora. Selanjutnya teknik mencatat untuk
menuliskan data yang akan digunakan sebagai data penelitian. Sementara pada
98 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
bagian berikutnya akan dilakukan teknik pengklasifikasian data penelitian
berdasarkan jenis – jenis metafora yang terdapat pada judul berita media cetak.
Tahapan analisa data merupakan tahapan kedua dari penelitian ini.
Tahapan tersebut akan mengaplikasikan metode deskriptif kualitatif. Metode
deskriptif kualitatif akan didasarkan pada penjelasan – penjelasan terkait tipologi
metafora yang ditemukan pada judul – judul media cetak. Selanjutnya secara
kualitatif penjelasan – penjelasan tersebut akan didukung oleh teori – teori yang
berhubungan dengan metafora.
PEMBAHASAN
Dari analisa data yang dilakukan terhadap media cetak harian Kompas edisi
November hingga Desember 2018, diperoleh sejumlah data judul berita yang
mempunyai karakteristik metafora. Masing – masing judul berita tersebut
diklasifikasikan berdasarkan tipologi metafora yang berkaitan dengan sifat. Setiap
klasifikasi metafora dipaparkan dalam bentuk tampilan data dan analisa deskriptif
seperti di bawah ini.
Tabel berikut ini berisikan judul berita yang termasuk dalam klasifikasi
metafora kongkrit ke abstrak.
1 Rapor Merah Prestasi Timnas Minggu, 2 Desember
2017 (hal. 29)
2 Melenggang Tanpa Bintang Minggu, 2 Desember
2017 (hal. 31)
3 Narkoba Banjiri Indonesia Rabu, 5 Desember 2018
(hal. 1)
4 Salju Tebal Selimuti Eropa Kamis, 2 November 2018
(hal. 8)
Pemahaman dasar terhadap metafora dengan karakteristik kongkret ke
abstrak adalah adanya suatu kondisi yang konkrit atau nyata pada suatu
lingkungan masyarakat. Namun selanjutnya perbandingan atau persamaan
tersebut justru menjadi abstrak ketika diaplikasikan dalam suatu bentuk metafora.
Dalam hal ini, kata ataupun frasa pada tabel di atas yaitu rapor merah, bintang,
banjiri, membara, dan selimuti menunjukkan suatu kenyataan atau kondisi konkrit
yang dapat diketahui maupun dirasakan dalam suatu masyarakat.
Namun, penggunaan kata maupun frasa tersebut dalam konteks judul
berita justru memunculkan adanya bentuk abstrak. Dalam hal ini rapor merah
prestasi timnas diartikan sebagai suatu bentuk kegagalan atau ketidakberhasilan
prestasi dari sebuah tim. Padahal, jika dipahami secara konkrit rapor merah
dipahami secara umum sebagai suatu bentuk penilaian yang buruk atau kegagalan
peserta didik di tingkat pendidikan. Dalam hal ini pemahaman rapor merah secara
nyata maupun metafora sama – sama berarti kegagalan atau ketidakberhasilan.
Begitu juga halnya dengan bintang pada data 2. Pemahaman konkrit bintang
adalah benda langit yang dapat disaksikan pada malam hari. Tetapi dalam judul
berita melenggang tanpa bintang mengacu kepada keberhasilan sebuah tim yang
kehilangan bintang atau atlet andalannya. Akan tetapi, mereka justru memperoleh
hasil yang lebih baik tanpa kehadiran si atlet andalannya.
Begitu halnya dengan banjir yang dalam makna konkrit adalah kondisi
dimana air meluap dari sungai dan menggenangi wilayah – wilayah pemukiman.
Pemahaman banjir juga memberikan makna kesulitan yang dihadapi ketika hal
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 99
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tersebut terjadi. Dalam judul berita narkoba banjiri Indonesia memunculkan
makna yang bersifat abstrak dalam persepsi metafora. Hal itu mengingat narkoba
tidak mempunyai karakteristik seperti air sehingga mampu membanjiri suatu
wilayah. Namun persamaan yang muncul adalah adanya suatu keadaan dimana
narkoba sudah beredar luas di masyarakat tanpa bisa dicegah. Hal itu serupa
dengan kondisi banjir yang jika tidak dicegah dapat dengan mudah membanjiri
wilayah tertentu. Sedangkan pada data 4 terdapat kata selimuti yang mengacu
pada bentuk konkrit dari selimut. Hal itu dipahami sebagai media atau alat yang
menimbulkan rasa hangat. Tetapi pada judul berita salju tebal selimuti Eropa
justru menimbulkan makna abstrak. Pemahaman selimuti justru memunculkan
makna metafora abstrak yang berkaitan dengan permasalahan baru. Dalam hal ini
salju yang terjadi di Eropa menimbulkan situasi yang tidak nyaman dan
menjangkau seluruh wilayah Eropa. Sehingga wilayah tersebut dianggap sebagai
daerah yang di-selimuti oleh salju.
Tabel selanjutnya berisikan empat data judul berita yang termasuk dalam
kategori metafora antropomorfik. Metafora antropomorfik memiliki
kecenderungan menggunakan karakteristik manusia terhadap sesuatu atau benda
mati.
1 Kelesuan Ekonomi Meluas di Bali Rabu, 5 Desember 2018
(hal. 9)
2 Wajah Baru Harco Glodok Rabu, 5 Desember 2018
(hal. 25)
3 Negara Bermuka Dua Rabu, 5 November 2018
(hal. 6)
4 Tanah Bergerak Warga Mengungsi Kamis, 2 November 2018
(hal. 22)
Dari keseluruhan frasa yang terdapat pada tabel di atas, masing – masing
mengacu pada kategori metafora antropomorfik. Frasa kelesuan ekonomi, wajah
baru, bermuka dua, dan tanah bergerak merupakan kategori metafora
antropomorfik. Dengan pemahaman metafora antropomorfik yang meminjam
karakteristik manusia terhadap sesuatu atau benda mati, maka karakteristik
manusia dapat dilihat pada kata kelesuan, wajah, bermuka, dan bergerak.
Karakteristik manusia tersebut digunakan untuk menjelaskan kondisi dari
keadaan atau benda mati. Sehingga jika diperhatikan judul berita kelesuan
ekonomi meluas di Bali memberikan arti bahwa keadaan ekonomi di Bali juga
tidak bagus. Makna lesu pada karakteristik manusia berkaitan dengan kondisi
tidak baik dan memerlukan istirahat. Sedangkan lesu pada judul berita di atas
digunakan untuk menjelaskan keadaan ekonomi di Bali. Sedangkan kata wajah
merupakan bagian muka dari tubuh manusia. Penggunaan kata wajah dalam judul
berita wajah baru Harco Glodok lebih mengacu pada penampilan baru sebuah
pusat perbelanjaan bernama Harco Glodok. Di sini dapat dilihat adanya suatu
perbandingan kesamaan antara muka dan tampilan suatu benda atau kondisi
melalui penggunaan kata wajah.
Hal yang sama juga terdapat pada judul berita negara bermuka dua.
Penggunaan kata muka memberikan acuan pada bagian tubuh dari manusia.
Sebaliknya pada judul berita justru penggunaan muka memberikan makna
metafora. Dalam kaitan dengan negara atau wilayah, penggunaan muka tidak
dikaitkan dengan karakteristik dari tubuh manusia. Akan tetapi, penggunaannya
100 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dikaitkan dengan kondisi dimana negara melakukan dua hal yang berbeda. Sama
halnya dengan judul berita tanah bergerak warga mengungsi. Kata bergerak
adalah ciri atau karakteristik dari manusia. Manusia melakukan gerak untuk
melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun gerak dipahami sebagai keadaan yang
berpindah dari kondisi awal menuju kondisi yang diinginkan. Sehingga pada judul
berita tanah bergerak warga mengungsi menunjukkan adanya persamaan.
Persamaan yang terjadi adalah kondisi tanah yang labil sehingga menyebabkan
warga mengungsi. Kondisi tanah labil dijadikan suatu dasar metafora dengan
kategori antropomorfik yang mengambil bentuk persamaan dengan gerak yang
dilakukan manusia.
Tabel selanjutnya di bawah ini berisikan judul berita yang mempunyai
keterkaitan dengan metafora kehewanan. Masing – masing judul berita
ditampilkan sebagai berikut.
1 Kicauan Trump Menuai Kecaman Selasa, 4 Desember 2018
(hal. 4)
2 Misi Rusia Menjinakkan Supporter Senin, 3 Desember 2018
(hal. 31)
3 Sultan: Waspadai Upaya Adu Domba Rabu, 5 November 2018
(hal. 20)
4 Partenopei Terancam Kehilangan Taji Minggu, 4 November
2018 (hal. 9)
Kategori metafora kehewanan menunjukkan adanya ciri atau perlakuan
yang ada kaitannya dengan hewan pada benda maupun kondisi tertentu. Sehingga
penggunaan kata maupun frasa kicauan, menjinakkan, adu domba, dan taji
mengacu pada makna kehewanan. Kata kicauan berhubungan dengan perilaku
burung, kata menjinakkan berkaitan dengan tindakan untuk menjadikan binatang
khususnya binatang peliharaan jinak, frasa adu domba mempunyai keterkaitan
dengan tindakan mengadu hewan domba, dan kata taji erat hubungannya dengan
binatang ayam.
Dalam penggunaannya pada judul berita, makna – makna sesungguhnya
mengalami perubahan. Perubahan itu dapat dilihat pada judul berita kicauan
Trump menuai kecaman. Kata kicauan yang berkaitan dengan burung disamakan
dengan pernyataan atau ujaran yang disampaikan Trump. Dalam hal ini
pernyataan maupun ujarannya menimbulkan permasalahan. Sementara itu, judul
misi Rusia menjinakkan supporter tidak memperlihatkan adanya upaya yang
berkaitan dengan menjinakkan binatang, namun lebih pada upaya untuk
menyenangkan pendukung Rusia. Sehingga muncul persamaan makna pada
penggunaan kata menjinakkan.
Adanya kesamaan makna juga terdapat pada judul berita Sultan: waspadai
upaya adu domba. Dapat dipahami dari makna asli bahwa adu domba adalah
upaya untuk mengadu dua binatang domba. Namun, pada judul berita itu yang
justru muncul adalah makna mempertentangkan dua pihak atau keinginan
mengadu dua pihak yang berseberangan. Tentunya pihak – pihak yang
berseberangan adalah kelompok orang, bukan binatang. Sementara itu, taji
merupakan salah satu senjata ayam yang biasanya terdapat di kaki. Penggunaan
taji biasanya dihubungkan dengan kegiatan adu ayam. Tetapi judul berita
Partenopei terancam kehilangan taji tidak ada kaitannya dengan senjata seperti
halnya ayam. Namun lebih kepada kemampuan individu seseorang terutama
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 101
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berkaitan dengan skill. Kemampuan individu dikaitkan dengan makna taji pada
judul berita tersebut.
SIMPULAN
Dari analisa di atas, kategori metafora berdasarkan sifat yang digunakan pada
judul berita media cetak terdiri dari tiga kategori. Masing – masing kategori
tersebut adalah kategori konkrit ke abstrak, kategori antropomorfik, dan kategori
kehewanan. Keseluruhan kategori dalam metafora menunjukkan adanya suatu
bentuk persamaan maupun perbandingan kondisi terhadap makna sesungguhnya.
Penggunaan metafora juga memberikan alternatif kosakata pada judul berita
media cetak. Sehingga penggunaan metafora sekaligus juga menarik perhatian
para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Ekoynantiasih, Ririen. 2015. Majas Metafora Dalam Pemberitaan Olahraga di
Media Massa Cetak dalam Jurnal Pujangga Universitas Nasional, volume
1, no. 1.
Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sukarno. 2017. Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis Dalam Wacana Hukum
Pada Surat Kabar Harian Jawa Pos dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan
Sastra, volume 17, nomor 1, April 2017, halaman 15 – 28.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 102
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA
DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG SEHAT
I Ketut Darma Laksana
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Sastra dan budaya keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang
lain karena budaya hakikatnya tercermin dalam sastra. Pengarang
karya sastra ibarat ―Ki Dalang‖ dalam dunia pewayangan
(Nusantara: Jawa, Sunda, Bali) yang memainkan tokoh-tokoh
wayangnya dalam bentuk karakter ―baik dan buruk‖, yang secara
universal dikenal dengan istilah Orientasi Dua-Nilai. Pada
dasarnya, keuniversalan nilai yang terkandung dalam sastra
merupakan sesuatu yang abadi, karakter manusia telah tergambar di
dalamnya, namun manusia banyak kealfaannya mengenai hal
tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah: (1) Berapa jauh
pemberdayaan sastra dan budaya telah dilakukan? dan (2) Metode
pemberdayaan seperti apa yang diterapkan? Pemberdayaan sastra
dan budaya harus dilakukan secara intens dalam ruang dan waktu
yang bersifat spesifik. Pemberdayaan keduanya jangan terlalu
terikat pada kelas pembelajaran, dapat dilakukan kapan dan di
mana saja sesuai dengan situasi. Sementara itu, metode
pembelajaran haruslah bersifat ―doktrinatif‖, berbau religius,
dengan mengetengahkan pristiwa-peristiwa (events) dan narasi-
narasi yang bersifat psikologis yang terdapat dalam sastra yang
dapat menumbuhkan koginisi pembelajar ke arah pembentukan
karakter bangsa yang sehat, dalam hal ini, karakter nasional/bangsa,
tanpa meninggalkan karakter daerah yang khas. Dengan demikian,
hasil pembelajaran dapat menciptakan kehidupan berbangsa dan
bernegara yang menghargai perbedaan dalam rangka persatuan dan
kesatuan bangsa.
Kata kunci: sastra dan budaya, karakter, persatuan bangsa
PENAHULUAN
Sastra dilihat dari segi kategori dan bentuknya sangat kompleks. Dari segi
kategori dikenal sastra nasional/Indonesia dan sastra dunia. Sementara itu, dari
segi bentuknya dikenal sastra klasik dan sastra modern. Selain itu, juga dikenal
sastra rakyat, yaitu kategori sastra yang mencakupi lagu rakyat, balada, dongeng,
ketoprak, peribahasa, teka-teki, legenda (banyak yang termasuk tradisi lisan).
Sehubungan dengan topik makalah ini, apa pun kategori dan bentuk sastra
itu, yang diperhatikan ialah pemberdayaannya dalam konteks budaya untuk
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 103
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
membangun karakter bangsa yang sehat. Untuk itu, sejumlah sumber yang
berbicara tentang sastra dan budaya yang dapat dikumpulkan digunakan sebagai
bahan pembahasan.
Sastra dan budaya keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain
karena sastra pada dasarnya bertemakan budaya yang dikemas demikian rupa oleh
pengarangnya, yang sesungguhnya mengusung ideologi pengarang sastra itu
sendiri. Apa yang dinamakan sastra nusantara adalah sastra daerah, yang aslinya
ditulis dalam bahasa daerah, namun kemudian dapat dituliskan dalam bahasa
Indonesia. Penulisannya ke dalam bahasa Indonesia inilah yang dapat mendorong
meluasnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai yang termuat dalam karya
sastra itu karena umumnya dewasa ini pemakaian bahasa Indonesia telah tersebar
luas. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, generasi
muda tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra.
Sebagai contoh, pengajaran sastra di sekolah dasar. Menurut Sulaiman Saleh,
selama ini pengajaran sastra di Sekolah Dasar kurang efektif. Guru dan murid
tidak pernah terlibat secara sistematis ke dalam pertemuan sastra. Menurutnya,
ada tiga faktor yang tidak menunjang pengajaran sastra, yaitu bahan, waktu, dan
guru. Apakah buku pelajaran bahasa Indonesia sudah meliputi sastra. Dalam
praktiknya, waktu yang tersedia untuk pelajaran bahasa Indonesia dipakai
seutuhnya untuk pelajaran bahasa Indonesia. Kemudian, sanggupkah guru
menciptakan waktu yang permanen bagi kegiatan pengajaan sastra dan berapa
persen mereka mengikuti perkembangan sastra di masyarakat secara teratur (Saleh,
1976). Walaupun tulisan Sulaiman Saleh tersebut lebih dari empat puluh tahun
yang lalu, apa yang disampaikannya perlu mendapat respons dari para guru,
apakah saat ini hal itu masih terjadi.
METODOLOGI
Metode pebelajaran sastra yag umum dikenal dalam dunia pedidikan adalah
apresiasi sastra. Penerapan metode ini bertujuan memberikan pemahaman pada
siswa agar mereka, jika perlu, menjiwai karakter tokoh. Karena sifatnya yang
terlalu moderat, metode apresiasi sastra tidak banyak sumbangannya pada
pembentukan karakter. Benar apa yag dikatakan oleh Sulaiman Saleh di atas, guru
harus bisa menciptakan waktu yang permanen. Selain itu, pemberdayaan sastra
dengan muatan budaya di dalamnya harus bersifat ―doktrinatif‖. Metode
pembelajaran kelas doktrina dari Baquedano-Lopez (2001) dapat diterapkan
dalam konteks yang lebih spesifik, misalnya di ruang terbuka (pantai,
perbukitan—tidak bersifat eksklusif di kelas).
Metode pembelajaran kelas doktrina tersebut juga menyertakan penyampaian
peristiwa (events), doktrin tentang karakter yang ―baik‖ lawannya yang ―buruk‖
dengan mengutip nilai-nliai kemasyarakatan yang tercermin dalam sastra. Metode
pembelajaran tersebut sudah dapat diterapkan di Sekolah Dasar. Jadi, makin dini
anak ―didoktrinasi‖ dengan pemahaman karakter yang baik, makin baik akhlak
anak yang bersangkutan.
104 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PEMBAHASAN
Kajian mengenai ―karakter‖ biasanya disandingkan dengan konsep
―kepribadian‖ (personality). Setiap individu memiliki apa yang disebut ―struktur
dasar kepribadian‖. Apabila struktur dasar kepribadian itu mencakupi sebuah
kolektiva yang luas, misalnya bangsa atau negara, maka lahirlah apa yang
dinamakan karakter bangsa atau karakter nasional (Harris,1996). Konsep
karakter bangsa/nasional dipertentangkan dengan ―stereotip‖, yakni sebuah kesan
yang menggeneralisasikan kepribadian sekelompok individu sebagai milik suatu
kolektiva.
Selain karakter nasional tersebut, ada juga karakter daerah, yakni kekhasan
daerah tertentu dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Akan tetapi, kedua jenis
karakter itu tidak boleh dipertentangkan. Pada tingkat daerah terdapat karakter
daerah yang dapat menopang karakter nasional. Bagaimanapun, ada anggapan
bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah.
Sastra dan Budaya
Dalam makalah ini diangkat beberapa karya sastra yang berlatar belakang
tema-tema budaya kedaerahan yang pantas diberdayakan agar terus hidup di
masyarakat. Tema-tema budaya yang terdapat di dalamnya dianggap sebagai
cermin bagi setiap individu ataupun kolektiva dalam berperilaku di masyarakat.
―Orientasi Dua-Nilai‖ yang dikemukakan oleh H.J. Hayakawa (lihat Panggabean,
ed., 1987), yaitu ―putih‖ dan ―hitam‖, yang ―baik‖ dan yang ―buruk‖, bersifat
universal sebagaimana yang tercermin dalam sastra dunia, merupakan pilihan bagi
setiap individu ataupun kolektiva.
Sastra dan Budaya Minangkabau
Novel Bako
Dalam Bako: Kumpulan Novel Karya Darman Moenir, yang dikupas oleh
Edwar Djamaris (1987) dari sudut tema dan nilai-nilai yang terkandung di
dalamnya, kita disuguhkan tokoh cerita yang memiliki karakter yang terpuji.
Perjuangan seorang ―Ibu‖ secara lahir dan batin pada keluarganya sampai ia sakit
ingatan karena selalu dihina dan diejek oleh masyarakat lingkungannya karena ia
tidak berasal dari lingkungan Minang. Namun, tokoh ―Umi‖ (saudara dari ayah
―Aku‖) sangat mulia pula perilakunya. Segala kebutuhan hidup si ―Ibu‖, yang
ditinggal jauh oleh ―Ayah‖ dalam tugasnya sebagai guru SD, termasuk pendidikan
si ―Aku‖,ditanggung oleh ―Umi‖.
Roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Salah Asuhan
Mursal Esten (1982), sebagaimana yang dikutip oleh Edwar Djamaris (1987),
membuat perbandingan antara karya sastra, seperti Tenggelamnya Kapal van der
Wijck oleh Hamka dan Salah Asuhan oleh Abdul Muis. Menurut Mursal Esten,
kedua roman itu menyuguhkan adanya deskrimiasi di antara para tokohnya. Pada
Tenggelamnya Kapal van der Wijck deskriminasi disebabkan oleh keturunan,
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 105
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
suku bangsa, sedangkan dalam Salah Asuhan deskriminasi disebabkan oleh asal
bangsa atau ras. Menurut Edwar Djamaris, deskriminasi juga terdapat dalam Bako,
yakni orang datang (dari luar: si ―Ibu‖) yang dianggap melanggar adat.
Sastra dan Budaya Sunda
Legenda Sangkuriang
Dewasa ini sering terjadi pelanggaran hokum, seperti pembunuhan anak
terhadap orang tua, atau sebaliknya, orang tua terhadap anak. Cerita/legenda
Sangkuriang, dalam hal ini, watak Dayang Sumbi merupakan cerminan seorang
wanita (ibu) yang berbudi luhur, penuh kasih sayang pada anaknya (Sangkuriang).
Meskipun setelah ia tahu bahwa anaknya sendiri mencintainya, Dayang Sumbi
menuntut hal-hal yang sebenarnya mustahil, semuanya dilakukannya dengan
maksud menyadarkan si anak bahwa keinginannya itu tidak patut. Dewasa ini
dapat terjadi percintaan terlarang antara anak dan orang tua.
Cerita Si Kabayan
Si Kabayan adalah tokoh dalam cerita rakyat yang juga terkenal. Tokoh ini
mencerminkan kepribadian orang Sunda yang to naon-naon ku naon-naon yang
berarti ‗tidak apa-apa oleh apa pun‘ (Ayatrohaedi, 1980:146). Karena sifatnya
yang istimewa itu, tokoh si Kabayan dapat hidup menembus ruang dan waktu.
Pengarang Sunda masa kini sesungguhnya menjadikan si Kabayan sebagai tokoh
ceritanya yang mencermikan pengalaman pribadinya atau orang-orang yang
dikenalnya. Dalam cerita Si Kabayan baru itu, tokoh tersebut dipinjam untuk
mewakili masyarakat umumnya dalam menyampaikan kritik tentang keadaan,
penguasa, ketidakadilan. Karena watak si Kabayan yang senantiasa mengajak
pembaca tertawa, pada umumnya orang tidak ada yang merasa tersinggung atas
segala macam kritik yang dilontarkan. Hal ini bertolak belakang dengan situasi
politik saat ini yang gemar melontarkan fitnah atau hujatan.
Sastra dan Budaya Jawa dan Bali
Kedua sastra dan budaya, yakni Jawa dan Bali, terkenal dengan cerita
wayang Mahabharata dan Ramayana. Wayang adalah sebuah wiracarita yang
pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak ―baik‖ dan
―buruk‖. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1980:20), wayang telah melewati
berbagai peristiwa sejarah, dari generasi ke generasi, betapa budaya pewayangan
telah melekat dan menjadi bagian hidup, khususnya masyarakat Jawa dan Bali.
Wayang yang mengambil cerita Mahabharata dan Ramayana sudah tidak asing
lagi bagi orang-orang tua Jawa dan Bali. Namun tidak demikian untuk generasi
mudanya. Mereka ditengarai tidak tertarik menonton ataupun membaca kedua
epos itu. Karakter baik dan buruk tercermin dalam tokoh-tokohnya: Pandawa
(Pandawa Lima) dilukiskan sebagai ―yang baik‖, sedangkan Kurawa (Korawa
Seratus) sebagai ―yang buruk‖, demikian pula, pada Ramayana, Rama dilukiskan
sebagai tokoh ―yang baik‖, sedangkan Rawana sebagai tokoh ―yang buruk‖.
106 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
SIMPULAN
Karakter manusia tidak dapat dipisahkan dari pandangan tentang ―Orientasi
Dua-Nilai‖, baik dan buruk. Pada akhirnya, manusialah yang menjatuhkan pilihan
terhadap kedua pandangan itu. Sastra dan budaya kita telah memberikan arah dan
tuntunan ke mana harus bergerak. Persoalannya ialah upaya pemberdayaan sastra
dan budaya itu jangan hanya mengandalkan metode apresiasi semata. Metode
yang agak radikal perlu diterapkan, perlu dilakukan semacam doktrinasi kepada
anak didik kita yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.
DAFTAR PUSTAKA
Ayatrohaedi. 1980. ―Tradisi Sastra Sunda Buhun‖. Yang Tersirat dan Tersurat.
Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
Baquedano-Lopez, P. 2001. ―Creating Social Identity Through Doctrina Class‖.
Dalam: Duranti, A., ed., Linguistic Anthropology: A Reader. Malden,
Masschusetts: Blackwell Publishers, hllm. 343—358.
Djamaris, E. 1987. ―Bako Novel Karya Darman Moenir: Tinjauan Tema dan
Amanat‖. Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Tahun 8 No. 2, Juni 1987.
Jakarta: Bhratara, hlm. 103—113.
Harris, M. 1991. Cultural Anthropology. Edisi III. New York: Harfer Collins
Publisher.
Panggabean, M. ed. 1981. Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: PT
Gramedia.
Saleh, S. 1976. ―Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar‖. Pengajaran Bahasa dan
Sastra. Tahun II No. 6. Jakarta : Pusat Pembiaan dan Pengembagan Bahasa,
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 17—24.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 107
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK
MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT
I Ketut Jirnaya
Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Sastra tidak hanya dinikmati oleh pengarang, pembaca, dan
masyarakat luas. Fungsi sastra sangat luas, diantaranya berfungsi
untuk membangun karakter pembaca. Berbicara masalah karakter,
pemerintah telah memasukkan sastra sebagai materi pelajaran
dengan tujuan anak-anak agar lebih dini dapat terbentuk
karakternya dan menjadi manusia yang berbudi serta bermatabat.
Untuk materi sastra di ranah pendidikan di Bali masuk sastra
tradisional yang dikenal dengan nama satua yang berarti cerita.
Masalahnya apakah sudah ada pemilahan materi sastra sesuai
dengan tingkat pendidikan anak-anak? Untuk memecahkan
masalah ini, sastra akan dikaji dari sudut fungsi dan memilah
materi sastra dihubungkan dengan tingkat pendidikan anak-anak.
Sastra daerah Bali sangat beragam. Ada yang membalut nilai sastra
itu dengan keluguan dan kelucuan, ada yang membalut sastra itu
dengan logika, dan ada yang membalut nilai filosofi dalam sebuah
narasi. Hasil kajian ini diharapkan akan menemukan formula
materi sastra yang sesuai dengan tingkat pendidikan anak untuk
ketepatan membangun karakter mereka.
Kata kunci: sastra, pendidikan, lugu, logika, filsafat, karakter.
1. Pendahuluan
Perkembangan dunia di era globalisasi tidak dapat diprediksi dan selalu
datang dengan membawa perubahan. Siapapun tidak kuasa untuk membendung
arus globalisasi, Ketika ada usaha untuk melawan arus tersebut, maka ia akan
tenggelam terbawa arus. Pemerintah mulai memikirkan pengaruh globalisasi
tersebut terutama pada generasi muda atau anak-anak. Sejatinya kita telah
memiliki karakter yang baik sesuai dengan nilai budaya yang diwariskan para
leluhur. Nilai budaya tersebut salah satunya berupa karya sastra tradisional.
Sebagian besar peninggalan karya sastra ini memuat ajaran filsafat, etika, dan
estetika agama Hindu yang dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat dan
budaya Bali (Medera, 1997: 23).
Dulu ada kebiasaan orang tua mesatua (mendongeng) pada anak atau
cucu sebelum mereka tidur. Kebiasaan ini membawa dampak positif terhadap
karakter anak-anak. Kini tradisi ini sudah tidak tampak lagi. Anak-anak di zaman
millennia sudah memiliki kesibukan tersendiri, yaitu memegang dan main telpun
seluler. Mereka tanpa bisa dikontrol lagi entah apa yang dilihat atau ditonton pada
108 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
handphone-nya. Mereka tidak lagi tahu dan tertarik pada satua yang akan
sesungguhnya akan membangun karakter mereka agar menjadi manusia yang
berbudi luhur. Salahkah mereka? mereka sering berdalih memiliki orang tua sibuk
dengan pekerjaannya, atau orang tuanya memang tidak mengetahui satua-satua.
Ini merupakan persoalan lain yang perlu diteliti untuk mengetahui berapa persen
orang tua anak-anak yang tahu satua, berapa banyak para orang tua bisa mesatua,
serta memiliki waktu untuk mesatua pada anak.
Relevansi satua terhadap pembentukan karakter anak-anak dirasakan
sangat penting. Dari itu pemerintah memasukkan satua di dalam dunia
pendidikan sebagai bagian dari muatan lokal. Masalahnya untuk tingkat
pendidikan dasar, satua apa yang cocok sesuai dengan kemampuan daya serap
anak-anak. Untuk anak-anak sekolah lanjutan pertama (SLTP), satua apa yang
cocok untuk mereka? Demikian pula pada tataran tingkat pendidikan selanjutnya.
Kajian ini akan memilih dan memilah materi satua yang dirasakan cocok pada
kemampuan daya serap peserta didik.
2.Pembahasan
Pengelompokkan sebutan yang sudah umum diketahui dalam tataran umur
terkait dengan dunia pendidikan meliputi:
1) Anak-anak; usia Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar
2) Remaja; usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP-sederajat) sampai
Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA- sederajat)
3) Dewasa; usia pendidikan Diploma, S- sederajat.
Pengelompokan ini berdasarkan jenjang pendidikan yang berpengaruh
pada kemampuan berpikir. Pengelompokkan ini pula dipakai acuan untuk
memberikan materi pelajaran sastra tradisional yang berupa satua untuk
membangun karakter. Secara umum kata satua dalam bahasa Bali berarti cerita
(Anom, dkk. 2014: 627). Jika didalami lebih lanjut, kata satua merupakan kata
yang memiliki arti lebih luas jika dikaitkan dengan karya sastra tradisional Bali.
Satua merupakan karya sastra tradisional Bali yang mengandung nilai-nilai etika,
estetika, filasafat agama Hindu. Kebanyakan satua tersebut berupa ceritera lisan
yang kini telah banyak ditulis atau dibukukan. Beberapa satua yang telah banyak
dikenal oleh masyarakat Bali, diantaranya, I Belog, Siap Selem, I Tiwas, I Balang
Tamak, Pan Angklung Gadang, cerita binatang (fable) yang bersumber dari cerita
Tantri (lihat Suarka, 2007).
Di samping itu juga ada beberapa satua yang berasal dari naskah lontar,
seperti Ni Diah Tantri, episode-episode dari kakawin Ramayana, kakawin
Bharatayudha, sampai ke karya sastra yang merupakan cerita turunan dari dua
karya sastra kakawin tersebut berupa karya sastra geguritan. Ada geguritan Salya,
geguritan Dharma Kusuma, geguritan Bima Sakti, dan banyak yang lainnya.
Semua karya sastra ini dilisankan dan menjadilah satua. Contoh kosa kata satua
memiliki arti khusus dalam konteks karya sastra tradisional Bali, ketika si tukang
satua memulai satuanya, mereka akan mengawali dengan kata pembuka: ―ada
tuturan satua‖ bukan ―ada satua‖. Di sini terlihat bahwa kata satua ketika
didahului dengan kata tuturan berarti satua yang mengandung nilai filsafat, etika,
estetika. Sedangkan jika kata satua tanpa didahului dengan kata tuturan, maka
berarti cerita biasa, yang merupakan informasi dalam komunikasi. Berikut salah
satu cuplikan satua yang cocok untuk pendidikan dasar.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 109
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
―Suatu ketika I Belog disuruh ibunya membeli itik di pasar dan pesannya
agar dipilih itik yang gemuk dan berat. Pada saat pulang dari pasar, I
Belog mandi di sungai bersama itiknya berenang. Jelas itiknya berenang
kesana kemari, I Belog marah merasa ditipu oleh dagang itik karena
minta yang gemuk dan berat, nyatanya itik itu kambang. Artinya kalau
betul gemuk dan berat, pasti tenggelam. Ditinggallah itik itu di sungai‖.
Contoh satua di atas baik yang berasal dari cerita lisan maupun merupakan
sastra tulis, masing-masing memerlukan kemampuan untuk menyimaknya. Dari
itu harus diperhatikan satua apa yang cocok untuk tingkat usia pendidikan mereka.
Satua I Belog, Men Tiwas, Siap Selem, I Bawang, cocok untuk anak-anak usia
Sekolah Dasar. Satua-satua ini memiliki sifat lucu dan rasa iba. Anak-anak ketika
diberikan satua lucu dan lugu pasti senang. Di akhir satua seorang guru yang
berperan sebagai tukang satua akan menyampaikan pesan atau amanat yang
dikandung tersebut. Contoh: ―anak-anak harus rajin belajar biar pintar, lihat I
Belog yang tidak pernah dan tidak mau sekolah, begitu jadinya, memalukan dan
merugikan‖.
Berikut contoh salah satu satua yang cocok untuk anak usia remaja atau
setingkat anak-anak SLTP.
Si Balang Tamak tokoh yang cerdik namun pintar, ole karena itu ia
dimusuhi oleh raja dan masyarakat. Ia sering dijebak agar kena denda
namun tidak pernah berhasil. Suatu ketika raja mempunyai acara berburu
ke hutan. Semua warga disarankan membawa anjing pemburu. Warga
harus kumpul di alun-alun ketika ayam pada turun (tuun siap) kira-kira
subuh. Kata tuun siap ini menjadi patokan si Balang Tamak, Balang
Tamak baru datang pukul sembilan pagi. Jadi ia diharuskan bayar denda.
Si Balang Tamak melawan karena tidak merasa bersalah. Ia hanya
memiliki seekor ayam betina yang sedang mengeram. Ayam itu turun dari
sangkarnya sekitar pukul Sembilan. Jadi, si Balang Tamak benar dan tidak
jadi didenda. Sekarang raja dituntut balik oleh si BalangTamak karena
mencemarkan nama baik dan salah tuduh. Akhirnya si Balang Tamak
mendapat uang denda yang diberikan oleh raja.
Amanat dari satua si Balang Tamak sesungguhnya banyak, salah satunya
kritikan pada pemimpin agar tegas, pintar, dan berlaku adil. Dari ketidak tegasan
seperti kata tuun siap memang dapat berarti subuh secara umum, namun jangan
lupa ada warga yang tidak punya ayam atau memiliki ayam seekor pas sedang
mengeram. Ayam mengeram akan turun untuk mencari makan sekitar jam
sembilan. Seandainya pemimpin tegas, jangan memakai patokan waktu subuh,
pagi, siang, dan malam karena masing-masing kata tersebut memiliki rentang
waktu. Umpama: pagi, rentang waktunya pukul 03.00 – 09.00. Untuk
menghindari masalah, harus tegas memakai ukuran waktu, jam (Sukartha, dkk.
2015:45)
Untuk satua pada tingkat usia tergolong dewasa (SLTA – Mahasiswa)
sudah mulai mengenalkan satua yang mengandung nilai filsafat tentang
kehidupan. Salah satu satua dengan tokoh Arjuna yang bersumber dari kakawin
Arjunawiwaha. Sang Arjuna tokoh sakti dan ganteng ketika bertapa di gunung
Indrakila untuk mohon anugerah dewa Siwa, Indraloka (surga) menjadi
110 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kekhawatiran surga karena kelak bisa mengalahkan surga. Diutuslah para bidadari
cantik untuk menggoda agar semadinya gagal. Para bidadari dari Kahyangan
turun dan ada yang merayu Arjuna, ada yang gemes mencium pipinya, dan ada
pula yang benci serta menangis di sudut sambil duduk di atas batu karena merasa
cintanya dicampakkan. Arjuna tetap tegar tidak bergeming pada posisi duduk
bersila dan mata terpejam.
Dalam cerita ini pencerita akan menyampaikan amanat pada para siswa,
mahasiswa, atau generasi milenial. Hidup ini harus ada tujuan, untuk mencapai
tujuan perlu ada usaha dan perjuangan. Tujuan sering tidak tercapai karena kurang
fokus dan tidak bisa menangkal godaan-godaan. Sekarang godaan yang paling
dahsyat adalah handphone (HP). Jika salah menggunakannya maka akan merusak
moral generasi. Contohlah sang Arjuna ketika bertapa, segala godaan
dikesampingkan sehingga berhasil mencapai tujuan, yaitu memperoleh panah
pasupati.
Ketiga formulasi satua di atas baik untuk level tingkat anak-anak, remaja,
dan dewasa, semua bertujuan dan berfungsi untuk mendidik karakter agar menjadi
manusia yang berkarakter. Hal ini sesuai dengan fungsi cerita lisan menurut R.
Bascom (1965: 3-10) adalah a) sebagai sebuah bentuk hiburan; b) sebagai alat
pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan; c) sebagai alat pendidikan
anak-anak; d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat
akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sebuah karya sastra ketika disampaikan
oleh penutur (tukang cerita) maka akan menjadi sastra lisan (bdk. Sukartha, 2015:
44).
Satua sebagai sarana untuk membangun karakter anak-anak berpegangan
pada realitas bahwa sastra menurut masyarakat Bali sampai saat ini masih tetap
percaya pada sastra tradisional bahkan di pakai guru atau pedoman hidup. Sastra
dalam hal ini berarti juga alat untuk mendidik (Ratna, 2005: 447). Lebih jauh
dikatakan bahwa bagi masyarakat lama karya sastra tidak berbeda dengan hukum,
adat-istiadat, dan tradisi. Memahami karya sastra pada gilirannya merupakan
pemahaman terhadap nasehat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran
yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak.
Jika digali lebih dalam satua-satua sebagai produk karya sastra tradisional
jumlahnya cukup banyak. Seorang guru yang berfungsi sebagai pencerita tidak
boleh kekeringan materi satua. Galilah sumber-sumber satua dan ceritakan sesuai
dengan tingkat usia anak-anak. Dengan demikian anak-anak atau para remaja
tidak merasa bosan mendengarkan. Akhirnya pembentukan karakter pada anak
didik akan berjalan dengan baik.
3.Simpulan
Setelah dilakukan kajian dan memformulasikan satua sesuai dengan
tingkat pendidikan anak didik, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan.
1) Pada umumnya semua senang mendengarkan satua sebagai produk karya
sastra tradisional.
2) Satua sesungguhnya implementasi dari tatwa (filsafat). Untuk kosumsi anak-
anak karena pasti kesulitan memahami tatwa, maka dibuatlah satua.
3) Di dalam satua terselip nilai pendidikan, etika, moral, dan estetika. Semuanya
ini merupakan sarana untuk pembentukan karakter anak-anak, para remaja,
para orang dewasa, dan kita semua.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 111
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
4) Agar kandungan nilai satua tersebut dapat dipahami dan diaplikasikan di
dalam dirinya, maka harus disesuaikan dengan tingkat usia anak didik
tersebut.
Daftar Pustaka
Anom, I Gusti Ketut, dkk. 2014. Kamus Bali- Indonesia Beraksara Latin dan Bali.
Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi
Bali.
Bascom, William r. 1965. ―The Form of Folkrole: Prose Naratives”. Journal
American Folklore, 78, The Hague Moution, p 3-20.
Medera, Nengah. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra.
Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representaasi Fiksi dan
Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.
Sukartha, I Nyoman. 2015. ―Kelisanan dalam Tradisi Mabebasan di Bali‖
Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.
Sukartha, I Nyoman, dkk. 2015. ―Kritik Sosial dalam Satua Pan Balang Tamak
sebagai Upaya menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa.‖ Denpasar:
Laporan Hasil Penelitian Hibah Unggulan Program Studi Universitas
Udayana.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 112
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN
I Ketut Setiawan
ABSTRAK
Ratu Sakti Pancering Jagat oleh masyarakat Desa Trunyan
dianggap sebagai dewa tertinggi yang dapat melindungi desa dan
masyarakatnya. Oleh karena itu, dewa ini sangat dihormati dan
disakralkan melalui beberapa proses upacara yang dilangsungkan
dalam setiap tahun. Ratu Sakti Pancering Jagat adalah sebutan
untuk sebuah arca yang sekarang tersimpan pada bangunan meru
tumpang tujuh di Pura Bale Agung Desa Trunyan. Dalam prasasti-
prasasti yang tersimpan di Desa Trunyan, Ratu Saksi Pancering
Jagat disebut dengan Bhatara Da Tonta dan Sanghyang di
Turunyan, disebut sebagai dewa tertinggi yang merupakan leluhur
masyarakat Desa Trunyan. Masyarakat Desa Abang yang
mendiami wilayah Desa Trunyan juga berkewajiban pada setiap
bulan Badrawada (Agustus-September) untuk turut serta dalam
upacara keagamaan dewa tertinggi tersebut. Pada upacara itu arca
atau patung dewa tersebut harus dimandikan serta dihias oleh
Sahayan Padang dari Desa Abang.
Kata Kunci: Trunyan, Ratu Sakti Pancaring Jagat, Dewa, Prasasti.
1. Pendahuluan
Sejak terbitnya sebuah hasil penelitian atau disertasi mengenai
Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali (1980) oleh James Danandjaya, Desa
Trunyan yang terletak di bagian timur laut Danau Batur semakin dikenal dan
menarik untuk didiskusikan. Sebagai desa yang cukup tua, desa ini telah banyak
menarik perhatian di kalangan masyarakat, sehingga desa ini mendapat kunjungan
yang cukup banyak. Keunikan-keunikan yang dimiliki serta kekhasannya semakin
menarik untuk dikunjungi. Tradisi penguburan yang sangat unik hanya dengan
meletakkan mayat tanpa ditanam, serta serangkaian upacara keagamaan yang
memperlihatkan ciri khas desa tradisional adalah salah satu di antaranya, di
samping keunikan-keunikan yang lain.
Penduduk Desa Trunyan menyebut dirinya sebagai orang Bali mula atau
Bali Trunyan, karena nama mula menunjukkan bahwa mereka adalah penduduk
asli Pulau Bali. Demkian pula orang Trunyan sangat suka jika disebut Bali
Trunyan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka “turun‖ dari langit ke
bumi Trunyan. Jadi nama Bali Trunyan berarti orang Bali yang turun langsung
dari langit ke Bali. Mereka menganggap dirinya berbeda dengan orang Bali Hindu
(Danandjaya, 1980:2).
Desa Trunyan dewasa ini telah menjadi objek wisata, karena cara
pemakaman jenazah warga mereka bukan dikebumikan atau dibakar melainkan
diletakkan saja di atas tanah di bawah udara terbuka. Tradisi pemakaman seperti
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 113
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ini tampaknya merupakan pengaruh budaya pra Hindu. Walaupun demikian, hal
ini bukan berarti bahwa kebudayaan masyarakat Trunyan yang kita kenal
sekarang bebas dari pengaruh kebudayaan Hindu. Keberadaan prasasti-prasasti
perunggu yang ditemukan di salah satu pelinggih di dalam kuil utama di Desa
Trunyan, membuktikan bahwa pada abad X Desa Trunyan sudah kena pengaruh
budaya Hindu. Demikian pula Desa Trunyan juga tidak lepas dari pengaruh
kebudayaan Hindu Jawa Majapahit. Untuk membuktikan hal tersebut dapat
ditunjukkan bahwa di dalam kompleks kuil utama Desa Trunyan ada satu bale
yang disebut bale Maspahit, berupa bangunan suci untuk yang disebut sebagai
kompleks pelinggih Maspahit. Demikian juga di beberapa bangunan suci klen
kecil (sanggah dadya) ada patung kayu berupa kepala dan leher rusa (Menjangan
Seluang), adalah sebuah bangunan suci (pelinggih) tempat bersemayam bhatara
Majapahit (Goris, 1960:379).
Sebagaimana diketahui bahwa untuk mengungkap tokoh dewa tertinggi di
Desa Trunyan digunakan prasasti-prasasti, termasuk pula cerita rakyat (falklor),
mitos (mite), dongeng, dan lain-lain. Untuk sumber tertlis, digunakan tujuh buah
prasasti, yaitu prasasti Trunyan AI (833 Saka), Trunyan B (833 Saka), Bwahan A
(916 Saka), Batur Pura Abang A (933 Saka), Trunyan C (97 Saka), Trunyan AII
(971 Saka), dan prasasti Bwahan E (1103 Saka).Prasasti Trunyan AI, Trunyan B,
dan prasasti Batur Pura Abang A menggunakan bahasa Bali Kuno, sedangkan
keempat prasasti yang lainnya menggunakan bahasa Jawa Kuno.
Terkait dengan Ratu Sakti Pancering Jagat, satu hal yang perlu
dikemukakan adalah tentang keberadaan sebuah arca yang tersimpan pada
bangunan suci meru tumpang tujuh di Pura Bale Desa Trunyan. Arca ini
merupakan arca yang sangat besar dengan ukuran tinggi lebih kurang 4 meter
(Kempers, 1956:91). Berdasarkan tipologinya, patung/arca ini memperliatkan
gaya patung masa megalitik, dimana bentuknya sederhana, badan tambun, hidung
besar, bibir tebal, mata bundar, kepala bulat tanpa hiasan, dan telinga agak
menonjol. Arca berdiri dengan tangan kanan di lipat ke atas, seolah-olah
memegang sesuatu. Gaya patung bertipe primitif seperti itu dipercaya oleh
masyarakat mengandung suatu kekuatan magis dan penolak bahaya atau pengaruh
jahat (Soejono, 1977).
2. Pembahasan
2.1 IdentifikasiRatu Sakti Pancering Jagat
Prasasti-prasasti yang digunakan sebagai sumber utama penelitian ini tidak
satupun menyebut tentang tokoh Ratu Sakti Pancering Jagat. Sebutan Ratu Sakti
Pancering Jagat diberikan oleh masyarakat Desa Trunyan adalah untuk menyebut
―patung‖ yang tersimpan di Pura Bale Agung Desa Trunyan. Dalam prasasti-
prasasti Trunyan patung sakti itu disebut Bhatara Da Tonta. Kata bhatara dapat
berarti (1) tempat ketuhanan, yaitu bangunan suci untuk memuja dewa atau
bhatara, (2) raja yang telah wafat dan disucikan sebagai dewa/bhetara, (3) raja
yang masih hidup, dan (4) dewa, bhatara (Goris, 1954:233). Bhatara juga berarti
―pelindung‖(Mardiwarsito, 1978). Sedangkan kata da Tonta oleh James
Danandjaya diartikan dengan ―Tuhan kita‖. Bhatara Da Tonta berarti Tuhan,
dewa, bhatara yang melindungi kita semua. Terkait dengan cerita rakyat, ada dua
buah cerita berupa mitos tentang ―Dewi yang turun dari langit‖dan ―Anak-anak
Dalem Solo yang mengembara mencari bau harum‖. Cerita pertama mengisahkan
114 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tentang seorang Dewi yang terpesona oleh bau harum dari suatu tempat. Sang
Dewi terus mencari bau harum itu, beliau turun dari langit, dan menemukannya
bau tersebut berasal dari sebuah pohon yang bernama Taru Menyan. Kemudian
Sang Dewi memutuskan untuk tetap berdiam di tempat itu.
Cerita kedua, bau harum yang berasal dari Taru Menyan di Desa Trunyan,
tampaknya tercium pula sampai di Keraton Dalem Solo. Empat orang anak Dalem
Solo mencari sumber bau harum itu, dan menemukan di Desa Trunyan. Putra
Sulung Dalem Solo menelusuri pinggir danau dan menemukan seorang Dewi
yang sedang berada di bawah pohon Taru Menyan. Sedangkan ketiga adiknya
menetap di sekitar danau Batur, yaitu di Pura Batur, di Desa Kedisan, dan di Desa
Abang. Keberadaan Dewi yang sangat cantik, menyebabkan putra Sulung Dalem
Solo jatuh cinta dan diakhiri dengan perkawinan Putra Sulung itu menjadi pancer
dari jagat (dunia), yaitu menjadi tokoh atau penguasa yang memimpin Desa
Trunyan yang bergelar Ratu Gede Pancering Jagat dan Sang Dewi (istrinya
bergelar Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar yang menguasai danau Batur (Danandjaya,
1980:40-42).
2.2 Religi dan Kewajiban Masyarakat Terhadap Dewa Tertinggi
Tradisi megalitik berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat,
terutama sistem religi yang berpusat pada arwah nenek moyang. Masyarakat
percaya bahwa arwah nenek moyang berada di puncak-puncak gunung atau bukit
dan dapat memberi keselamatan kepada masyarakat. Penelitian tradisi megalitik di
Bali sudah berhasil menemukan bentuk-bentuk megalitik yang beragam, yaitu
menhir, dolmen, bangunan teras berundak, tahta batu, arca-arca nenek moyang,
arca-arca sederhana, dan lain-lain. Sebelum agama Hindu masuk ke Bali,
kehidupan masyarakat didominasi oleh kepercayaan kepada arwah nenek moyang
(Sutaba, 1980, Soejono, 1975). Hal itu dapat ditemukan dimana bentuk-bentuk
megalitik sampai sekarang berfungsi sakral bagi masyarakat setemapat.
Sementara itu, kawasan budaya di antara sungai Pakerisan dan Petanu
berkembang semakin maju. Di kawasan ini dan sekitarnya terjadi persentuhan
dengan budaya India yang membawa aksara dan agama Hindu Budha. Penelitian
arkeologi telah menemukan bukti-bukti tertulis (prasasti) dalam stupika-stupika
tanah liat di Desa Pejeng dan sekitarnya. Prasasti-prasasti ini tidak menyebut
nama raja dan angka tahun, tetapi berdasarkan studi paleografi, dapat diduga
prasasti jenis ini berasal dari abad VIII (Goris, 1948, 1954). Kemudian
masyarakat ditemukan prasasti-prasasti yang lain, yaitu prasasti Sukawana,
Bebetin, Trunyan, Abang, Manik Liu, Serai, Bwahan, dan banyak lagi.
Prasasti Trunyan AI dan Trunyan B menyebut mengenai pendirian sebuah
bangunan suci sebagai tempat pemujaan ―Bhatara Da Tonta‖masamahin
katurunan bhatara da tonta pirumahang pinakangudundadatu”…. Artinya
mengumpulkan keturunan Bhatara Da Tonta agar dibuatkan tempat suci untuk
pemujaan sang ratu. Perkataan masamahin katurunan yang dimaksud adalah
semua masyarakat Desa Trunyan yang mereka percayai sebagai ―keturunan‖
tokoh pujaannya, yaitu Bhatara Da Tonta. Sebagai leluhur orang Trunyan,
Bhatara Da Tonta tidak hanya dipuja oleh masyarakat Desa Trunyan saja, tetapi
juga masyarakat lain yang berada di pinggir Danau Batur, seperti Songan, Abang,
Bwahan, Kedisan, dan Air Beras.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 115
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Selain pendirian tempat suci, penghormatan terhadap Bhatara Da Tonta
juga dilakukan melalui upacara keagamaan sebagai kewajiban dan bakti
masyarakat. Untuk mewujudkan rasa bakti itu, maka dilakukan persembahan atau
korban suci berupa sesaji. Berdasarkan keterangan prasasti-prasasti Trunyan, ada
dua jenis upacara pemujaan terhadap Bhatara Da Tonta, yaitu, upacara caru dan
rajakarya (karya agung), yang masing-masing dilakukan pada bulan Bhadrawada
dan asuji. Upacara caru adalah korban suci untuk para Bhutakala agar tidak
mengganggu manusia dan menjaga kehormatan alam semesta. Sedangkan upacara
rajakarya adalah upacara terpenting dan terbesar bagi Bhatara Da Tonta. Dalam
rajakarya ini patung Bhatara Da Tonta dimandikan dengan air suci, kemudian
diberi bedak kuning serta dihiasai dengan cincin dan anting-anting. Selanjutnya,
mulailah prosesi upacara gaib, yaitu manggurumandyang yang dilakukan oleh
SahayanPadang dari Desa Abang. Setelah kekuatan gaib atau Sakti Bhatara Da
Tonta dianggap telah bersthana di patung tersebut, kemudian disusul dengan
upacara haywahaywan (selamatan) oleh seluruh masyarakat dengan menghaturkan
berbagai macam sesajen untuk mohon keselamatan seluruh masyarakat dan
ketentraman desa. Upacara diakhiri dengan pesta (makan bersama) dan dilengkapi
dengan seni pertunjukkan.
3. Penutup
Berdasarkan data arkeologi (prasasti) dapat diketahui bahwa Desa Trunyan
merupakan salah satu desa tua yang telah ada sejak abad X atau mungkin jauh
sebelumnya. Prasasti-prasasti Trunyan tahun 833 Saka menyebut desa ini dengan
nama Turunyan yang memuja tokoh yang sangat disucikan, yaitu Ratu Sakti
Pancering Jagat. Nama ini adalah sebutan yang diberikan oleh masyarakat Desa
Trunyan sesuai dengan mitos, sedangkan dalam prasasti-prasasti disebut dengan
nama Bhatara Da Tonta. Dengan demikian Ratu Sakti Pancering Jagat adalah
sama dengan Bhatara Da Tonta, yang arcanya masih tersimpan dan dipuja pada
bangunan suci berupa meru tumpang tujuh di Pura Bale Desa Trunyan. Dalam
prasasti-prasasti pura ini disebut umah sanghyang turunyan. Ratu Sakti Pancering
Jagat atau Bhatara Da Tonta adalah tokoh yang dianggap dewa tertinggi
masyarakat Trunyan dan merupakan leluhur yang turun dari langit.
Untuk memohon keselamatan, kebahagiaan, dan kesuburan tanaman,
masyarakat wajib menyembah dan memuja tokoh ini, dengan perantaraan upacara
keagamaan yang dilakukan pada tiap enam bulan atau satu tahun. Prasasti-prasasti
yang berkaitan dengan tokoh ini menguraikan secara panjang lebar mengenai
upacara keagamaan yang harus dilakukan oleh masyarakat Desa Trunyan dan
desa-desa di sekitarnya, misalnya upacara rutin pada bulan Magha (Januari-
Februari), upacara caru pada bulan Badrawada (Agustus-September), dan raja
karyya (karya agung) pada bulan asuji (September-Oktober). Upacara seperti itu
sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Trunyan, namun
namanya berbeda, misalnya upacara saba gede, yaitu ritual untuk menghormati
Ratu Sakti Pancering Jagat. Upacara keagamaan juga berfungsi untuk
menguatkan solidaritas sosial masyarakat Trunyan dengan masyarakat desa-desa
sekitarnya.
116 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
DAFTAR PUSTAKA
Budiastra, Putu. 1978. Prasasti Bwahan Kintamani Bangli. Denpsar: Museum
Bali.
Callenfels, Van Stein. 1926. Epigraphy Balica I. Deel LXG. Kolf & Co.
Dananjaya, James, 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta:
Universitas Indonesia.
Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuna. Singaraja.
______. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: Masa Baru.
Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Flores: Nusa Indah.
Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadesa Tentang Ajaran Agama Hindu. Denpasar.
Stutterheim. W.F. 1929. Oudheden Van Bali. Kirtya Lieffrinck Van Der Tuuk.
Singaraja.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 117
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA
I Made Suastika
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Teks kakawin Siwaratrikalpa berbahasa Jawa Kuna, kakawin itu
terdiri atas beberapa wirama, isi teks kakawin Siwaratrikalpa
berkaitan dengan kehidupan seorang pemburu bernama Lubdaka.
Dalam perburuaanya ia tidak mendapatkan binatang tangkapannya.
Setelah kematian rohnya diperebutkan oleh Batara Yama dan
Batara Siwa. Batara Yama mempertahankan roh Lubdaka dihukum
di neraka 1000 tahun karena ketika hidup ia berbuat jahat. Dewa
Siwa menyebabkan roh Lubdaka dibawa ke sorgaloka karena pada
hidupnya melakukan tapa, berata, yoga, dan darma utama, sehingga
rohnya menyatu dengan Siwa di Suralaya.
Terjadinya perebutan roh Lubdaka dan dimenangkan oleh prajurit
Ganabala dan prajurit Yamapati kalah. Roh Lubdaka diterima oleh
Sanghyang Siwa dan menerima anugrah terbebas dari dosa dan
papa, menyatu dengan Sanghyang Siwa.
Kata kunci: Yama, Siwa, Kingkarabala.
1. Pendahuluan
Kakawin Siwaratrikalpa terdiri atas 39 sargah, dengan menggunakan
bermacam-macam wirama, ada pergantian wirama sebanyak 38 kali dan yang
terbanyak Sardula wikridita 4 kali, Ragakusuma 8 kali, Aswalalita 4 kali dan
sebagainya.
Berbagai pendapat yang menyebutkan, pengarang Mpu Tanakung dari
kerajaan Kediri, akhirnya kakawin itu dibawa ke Bali dan hidup tetap sampai
sekarang. Bait 1-3 berisikan pemujaan kepada Sanghyang Siwa dipuja oleh
penghamba keindahan. Ditempatkan dalam hati sebagai bunga padma, pemusatan
pikiran dilakukan dengan pemujaan , mantra, mudra dan mohon anugrah untuk
mendapatkan keindahan.
Keindahan yang dinikmati di pantai dan gunung, semoga Sang Raja Sri
Adhi Supraprabawa gelar beliau raja keturunan Girindra, walaupun karya itu
kurang dicela dan dicerca namun tujuan utama untuk mendapatkan kebebasan
sejati.
2. Alur cerita
Sardula wikridita
Seorang pemburu bernama Lubdaka , senantiasa tinggal di puncak gunung,
tidak pernah risau selalu bersenang-senang dengan istri dan anaknya.Sejak kecil
melaksanakan perbuatan darma dan yasa, walaupun pekerjaannya membunuh
118 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
badak, gajah, semua binatang mati dan dipakai menghidupi anak-anaknya. Tiba
saatnya hari ke 14, paroh gelap sasih ke 7, langit berawan indah. Ketika itu ia
berangkat berpakaian hitam dan lengkap dengan alat perburuannya (panah dan
busur). Perjalanannya ke timur laut, dengan lembah yang indah. Ada persawahan,
gunung, jurang air terjun mengenangi sawah-sawah
Ada desa di bawah di antara gunung, ada balai tetapi atapnya lapuk, asap
menjulang bersatu dengan angkasa ada balai wantilan. Di bagian bagian barat ada
letak sawah dengan pematang lurus, petak-petak ladang, diselimuti awan, burung
kuntul terbang ditutup awan. Tak jauh dari tempat itu ada pura seperti
memandang sungai, pintu pura tinggi, sangat suci, pohon tanjung, bana,
nagapuspa sedang mekar asri berjajar dengan tembok dan kumbang mendengung.
Ada pada bagian dalam balai indah beratap ijuk bagaikan lukisan yang dipajang.
Ada lilitan bunga gadung dan bunga bunga harum, bunga kenanga bunganya di
atas atap di tiup angin. Di sebelah utara tempat upacara halaman hijau, suara
sungai berbaur dengan suara genta.
Wirama Ragakusuma
Ada pura padarman menjulang tinggi di tepi sungai, pohon merambat
seperti menceriterakan kedukaan, ada balai runtuh seperti menceriterakan
penderitaan tidak dikunjungi oleh pencari keindahan. Persada yang rusak
ditumbuhi oleh pohon rerumputan, tetapi para Dewata tetap kokoh di tengah-
tengah bangunan. Banyak bangunan rusak taman tidak asri bunga dan tanaman
layu karena dirusak kumbang.
Ada batu karang air menyembur bersahutan dengan suara kodok di jurang,
pohon di bawahnya subur dan berbunga. Penuh cerita keindahan alam bunga
sampai di samudra tampak perahu kecil menghilang dan samar-samar ditelan
gelap.
Wirama Suwandana
Berbagai hal diceriterakan dalam perjalanan, perjalanan Lubdaka semakin
jauh dari tempat itu. Kini Lubdaka sampai di hutan tempat perkumpulan binatang,
sangat sukar lewat di tempat itu.
Disana ia berhenti sambil membidik, banyak binatang di sana dan tidak
ragu. Ia berkeliling mencari binatang buruan, tidak ada bekas kaki binatang dan
binatang yang dilihatnya. Ia bingung tidak seperti biasanya . Terus berburu
sampai jauh tetapi tidak menemukan binatang satupun. Ia lelah dan kesakitan, ia
lapar karena tidak makan saat berangkat, ia kehabisan akal, kalau pulang tidak
akan ada makanan di rumah. Ia meneruskan berburu, ada tempat yogana
perjalanannya tetapi tidak menemukan buruannya, lalu ia menemukan telaga luas
dan minum air, mandi, cuci muka. Ia sadar karena sudah malam, menginap di
pinggir telaga, tetapi ada binatang yang minum air kesana
Wirama Aswalalita
Matahari terbenam, hari mulai semakin gelap. Akhirnya Sang Lubdaka naik
ke atas pohon tetapi tidak ada binatang. Akhirnya ia mengantuk takut tertidur lalu
memetik daun maja tidak hentinya di lemparkan ke telaga yang dalam. Ia tidak
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 119
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tidur semalaman takut jatuh dimakan buaya.Matahari terbit, siang muncul,
binatang riang gembira.
Wirama Wisantatilaka
Perjalanan Lubdaka, ia ingin pulang pagi itu dengan busurnya, tiba di
rumahnya ketika senja hari dijemput istri dan anaknya, dengan mengatakan
anakmu lemas dan lapar mana hasil buruannya.
Wirama Tebusol
Ia tidak mendapatkan hasil buruan dari kemarin dan bertengger di atas
pohon maja karena ketakutan. Sungguh haru di tepi danau, betapa sedih hasil
buruan tidak ada jika jatuh akan mati. Istrinya berkata jangan ceroboh dan sedih
mendengarkan perjalannya.
Wirama Ragakusuma
Datang kematian Lubdaka sesak nafas tidak dapat diobati, anak dan istrinya
menunggu, dengan perasaan sedih dan penderitaan terutama siapa yang
menghidupi anaknya nanti. Lubdaka menderita dalam kesakitan tidak ada denyut
nadi dan dada karena tidak pernah berbuat darma sebagai jalan menuntun jiwa
pada saat kematian.
Lubdaka pun meninggal keluarganya menangis dengan berkata‖ mengapa
kakanda pura-pura tidak mengetahui, perhatikan dukaku‖. Dengan menyebut-
nyebut ketika pulang dari berburu istrinya menanyakan binatang buruannya dan
anak-anaknya. Mayat Lubdaka dibungkus dan diantarkan ke lereng gunung.
Wirama Sucyandewi
Diceriterakan perjalanan atma Si Lubdaka, melayang di angkasa tidak tahu
jalan ke sorga, dilihat oleh sanghyang Siwa, Beliau tahu perilaku hidup pastilah
dibawa ke alam Neraka. Makanya para prajurit (Ganabala) datang menyembah,
apa tugas kami Hyang Iswara, kami diundang semua datang. Tujuannya adalah
agar menjemput atma Lubdaka dan bawa kehadapanku.
Meskipun parajurit Yama, jangan takut merebut atma Si Lubdaka bawa ke
Suralaya. Selama hidupnya jahat membunuh binatang, tanpa tapa brata mengapa
ia datang ke siwalaya. Para Kingkara tak henti-hentinya roh orang yang tidak
berbuat susila dan brata, ada catatan Kingkara roh siapa ke sorga dan ke neraka.
Wirama Sardulawikridita
Hyang Siwa berkata kepada Ganabala, ―Anakku berata dilaksanakan
semasa hidupnya sungguh utama‖ tidak pernah dilaksanakan oleh umat manusia
sesuai ajaran sastra utama dalam ceritera Siwaratri yang tidak ada bandingannya.
Itulah aku mengutus agar mengambil arwah Si Lubdaka, ia telah berbuat luhur
melaksanakan darma utama dan brata, berangkatlah jangan ragu-ragu.
Berangkatlah para Ganabala.
Wirama Turidagati
Diceriterakan perjalanan Ganabala gagah perkasa Sang Nandana
pemimpin pasukan, di belakangnya Sang Udwabesa, Ganarata dan Puspadanta,
menjemput roh Lubdaka.
120 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Wirama Swalalita
Prajurit kingkara bgaikan macan dan membawa senjata. Sang Candra,
Pracanda, Sang Kala Sang Pramestinretya, Sang Nila dan Ugrakarma. Sang
Citradenkara Sang garaeikrama Sang Recanda Sang Antika gagah berani. Roh
Lubdaka ketakutan melihat prajurit Hyang Yama, sambil bersimpuh menangis,
mengatakan Lubdaka terimalah pahala dari perbuatan yang hina.
Wirama Ragakusuma
Penderitaan roh Lubdaka diikat oleh Kingkara, tolonglah aku agar terbebas.
Wirama Udgatawisama
Aku(Lubdaka) ada di angkasa sejak ajalku tiba tidak ada tempat untuk
mengabdi. Ratapan roh Lubdaka terus-menerus di angkasa.
Wirama Kusumawilasita
Roh Lubdaka semakin menangis dan sengsara semakin diikat keras-keras,
perbuatanya dulu jahat.
Wirama Sardulawikridita
Kingkara menyiksa roh Lubdaka, datang Ganabala bernama Wimana
menjemput roh Lubdaka, dan sangat terkejut atas siksaan itu. Sang Mahadara
menanyakan mengapa roh Si Lubdaka disiksa, hukuman itu tidak tepat.
Waktu masih hidup ia melakukan berata utama, kedatanganku mengambil roh
Lubdaka atas perintah Dewa Siwa. Bahkan akan tetap menghukum roh Lubdaka,
jawab prajurit Yamadipati. Roh Lubdaka diantar ke Yamadipati untuk mengisi
alam neraka, hukuman dimulai. Lalu direbut beramai-ramai oleh prajurit Betara
Siwa dan diterbangkan ke Siwaloka dan berusaha merebut kembali.
Perang terjadi antara prajurit Kingkara dan pasukan Dewata. Pasukan
Ganabala maju menyerang prajurit Kingkara dan prajurit Yama Lari. Laskar
Kingkara mundur dan melarikan diri.
Wirama Aswalalita
Perang antara prajurit Yama dan Dewata.
Wirama Wasartatiloka
Prajurit berperang dengan berbagi senjata.
Wirama Indrabajra
Peperangan diteruskan.
Wirama Sardulawikridita
Perang berlangsung terus. Prajurit Hyang Yama lari berhamburan. Laskar
Ganabala ditambah prajurit Siwaloka terus berperang akhirnya pasukan Kingkara
kalah.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 121
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Wirama Ragakusuma
Prajurit Kingkara menghadap Hyang Yama, Prajurit Ganabala menang dan
mengambil roh Lubdaka kembali. Prajurit Ganabala menghadap Hyang Siwa,
Lubdaka bersujud dan disambut kata manis‖syukur anakku datang yang sangat
darma, berjasa dan taat melakukan brata‖.
Sekarang terimalah olehmu pahala brata utama yang kamu laksanakan.
Terimalah anugrahku, mudah-mudahan engkau mau menemukan kebahagiaan
abadi di Siwalaya beserta puspaka utama 8 jalan pengetahuan utama (astagina)
permata tak ternilai dan juga mata (trilocana) dan segala jenis busana akan
diserahkan kepadamu. Selama ini kamu akan menikmati kebahagiaan di Siwalaya.
Ia menyatu dengan Hyang Siwa dan dipercaya karena tekun melakukan brata
Siwa Rajani.
Wirama Raganata
Pasukan Kingkrabala kembali ke Hyang Yama, karena Hyang Siwalah
yang menentukan dan menugaskan untuk mencantumkan setiap perilaku manusia
dan memerintahkan untuk mengetahui perbuatan baik buruk seseorang. Hanyalah
orang yang berbuat baik dan menghayati darma itulah yang untuk memuja atma
Siwa (Siwaloka).
Roh yang berbuat salah dan durhaka akan diterima sebagai penghuni Neraka,
Hyang Yama menghadap Hyang Siwa.
Wirama Sekarini
Hyang Siwa di puncak gunung Kailasa, Hyang Siwa mengatakan kepada
Yama dalam meminta kepadamu hanya satu roh ini bernama Si Lubdaka.
Janganlah engkau bersikeras untuk mengambil ia telah melaksanakan darma,
berbudi luhur, dan berhasil melaksanakan brata utama. Akhirnya Si Lubdaka
berhasil mencapai Siwalaya. Si Lubdaka yang telah melaksanakan brata utama,
brata Siwaratri, pada paroh gelap keempatbelas, sekitar bulan Januari sasih (kapat).
III. Tema Kakawin Siwaratrikalpa
Tokoh Lubdaka sebagai tokoh manusia dengan pekerjaan sehari-hari
sebagai pemburu membunuh binatang di dalam hutan.
Pada suatu hari perburuannya gagal tidak seekor binatang yang didapat, ia
gagal mendapat buruannya. Ketika itu pada hari panglong ping 14, paroh gelap
sasih kepitu (bulan Januari), karena takut kemalaman di hutan maka ia naik ke
atas pohon bila. Ia memetik daun satu persatu sampai pagi, karena takut jatuh dan
dimakan binatang buas. Ia tidak makan minum , pada besok paginya ia pulang dan
istrinya menanyakan binatang tangkapannya. Ia menyatakan tidak dapat dan
istrinyapun bertambah sedih apa yang akan dimakan anaknya.
Waktu kematianpun tiba, mayatnya terbang ke angkasa tidak tahu kemana
tujuannya. Akhirnya diketahui oleh Sanghyang Siwa kemudian memanggil
prajuritnya untuk menangkapnya. Begitulah Sanghyang Yama mengetahui atma
Lubdaka dan memerintahkan prajuritnya untuk menangkap dan menyiksanya
bahkan sampai menjerit ketakutan. Terjadi perkelahian antara prajurit Siwa
dengan prajurit Yama, dan dimenangkan oleh prajurit Siwa. Roh Lubdaka dibawa
kehadapan Sanghyang Siwa dengan disambut meriah penuh kegembiraan. Dulu
Lubdaka bertapa, yoga, semadi dan menjalankan darma utama. Sekaranglah
122 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
waktunya menikmati kebahagiaan dengan menerima anugrah Sanghyang Siwa
berupa Aji Astagina dan kebahagiaan sejati.
Terjadinya dialog panjang sebelumnya antara Sanghyang Siwa dan
Sanghyang Yama, Sanghyang Siwa berpendapat bahwa Lubdaka seharusnya tidak
dihukum karena pada waktu panglong ping 14, sasih ke 7 paroh gelap
melaksanakan darma utama, tapa, yoga. Sedangkan Sanghyang Yama mengatakan
bahwa Lubdaka harus dihukum berat selama 1000 tahun karena perbuatannya
didunia dulu jahat dan membunuh binatang.
Akhirnya dapat disebutkan tema Kakawin Siwaratrikalpa yaitu tentang
malam suci Siwa (Siwa Ratri). Barang siapa yang dapat melaksanakan tapa berata
dan darma utama pada waktu malam Siwa Ratri maka ia terbebas dari dosadan
papa dan mendapatkan anugrah dari Siwa bernama Aji Astagina dari Sanghyang
Siwa, demikian ajaran Siwa Ratri.
IV. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpukan sebagai berikut:
a. Teks Kakawin Siwaratrikalpa berisikan perjalan tokoh seorang pemburu yang
awalnya memburu binatang pada hari tertentu buruannya kosong.
b. Suatu hari Lubdaka meninggal, rohnya menjadi perebutan antara dewa yama
dan Batara Siwa oleh Batara Yama Si Lubdaka menghuni neraka 1000 tahun
oleh Dewa Siwa terbebas dari papa karena telah menjalankan brata pada hari
Siwaratri, jatuh hari panglong ping 14 sasih kepitu paroh gelap.
c. Terjadinya perebutan roh Lubdaka yang dimenangkan oleh prajurit Batara
Siwa mengalahlah prajurit Yamadipati, roh lubdaka dibawa ke Suralaya.
d. Roh lubdaka menyatu dengan Sanghyang Siwa di Siwalaya.
e. Tema dari Kakawin Siwaratrikalpa adalah malam suci Siwa (Siwaratri).
Daftar Pustaka
Kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung (Diterjemahkan IBG Agastia),
Yayasan Dharma Sastra, 2002.
Zoetmulder,P.J. 1994, Kalanguan Karya Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang:
Jakarta:Jambatan.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 123
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS
MASYARAKAT BALI ERA MODERN
I Nyoman Duana Sutika
Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Pengaruh modernisasi dan arus globalisasi yang begitu cepat telah
menghanyutkan semua orang untuk mengikuti pola-pola kehidupan
modern yang dicirikan oleh adanya perubahan nilai kehidupan. Era
global ini telah membawa perubahan secara signifikan terhadap
nilai-nilai sosial dan etika budaya religius masyarakat Bali.
Masyarakat Bali yang awalnya dikenal sebagai masyarakat
agraris/komunal yang sarat dengan kearifan lokal, adiluhung, taat
pada tuntunan etis dan tunduk pada dunia niskala mengalami
perubahan dan pergeseran oleh progresivitas asing (Barat) yang
lebih mementingkan objek material (citra) yang artifisial.
Masyarakat yang tidak lagi mementingkan esensi, tetapi sebuah
dunia citra yang ditunjukkan melalui objek sebagai media yang
dianggap menentukan status, prestise dan simbol-simbol sosial
tertentu.
Kata kunci: modernisasi, globalisasi, transformasi, dan budaya
religius
PENDAHULUAN
Dewasa ini ada kecendrungan terjadi perubahan sosial yang amat
signifikan pada hanpir semua aspek kehidupan masyarakat. Semua wilayah dunia
tidak bisa berkelit dari perubahan sosial yang terjadi. Termasuk juga masyarakat
Bali, kini berada di tengah pusaran menuju perubahan sosial dan budaya yang
tidak terkendali. Era modernisasi menimbulkan arus globalisasi yang begitu deras
mengalir secara intensif tanpa mampu untuk membendungnya, bahkan dapat
meruntuhkan, mengancam eksistensi dan jati diri serta kebudayaan Bali itu
sendiri.
Arus modernisasi yang begitu kencang telah menghanyutkan semua orang
untuk mengikuti pola-pola kehidupan modern yang dicirikan oleh perubahan-
perubahan nilai kehidupan. Gelombang globalisasi disadari atau tidak telah
melahirkan orientasi nilai kehidupan yang cendrung bersifat individualistis dan
materialistis. Nilai-nilai kehidupan kini lebih tertuju pada pola-pola fetisisme dan
gaya hidup materialisme untuk kesenangan (hedonisme) semata dengan
mengabaikan aspek kehidupan yang lain. Piliang (2006: 189) menyebutkan bahwa
manusia masa kini tidak lagi dikelilingi oleh manusia-manusia lain, melainkan
oleh objek-objek, semacam fetisisme komoditi, yaitu simbol yang sebenarnya
tidak merupakan substansi dari komoditi. Objek di luar diri tersebut seakan
menjadi identitas dan status sosial seseorang yang menentukan derajat sosialnya.
Budaya konsumerisme telah menciptakan berbagai gaya hidup berkaitan dengan
unsur-unsur simbolik yang menandai kelas, status atau simbol sosial lainnya.
124 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam
masyarakat.
Masyarakat Bali sebagai bagian dari masyarakat global tidak bisa lepas
dari pengaruh dunia Barat. Akselerasi kultur Barat sepertinya tidak bisa dihindari
sebagai bagian integral dari pergaulan dunia modern. Kultur budaya Barat ini
terserap dalam gaya hidup, norma, nilai, adat dan aspek kehidupan yang lain
membentuk kultur budaya baru yang berbeda dari budaya sebelumnya. Walaupun
pada dasarnya tidak ada masyarakat yang tidak berubah baik masyarakar
tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi yang terjadi pada dekade ini
adalah perubahan dan pergeseran nilai yang amat signifikan dan bahkan
mengejutkan bagi kehidupan masyarakat yakni pergeseran-pergeseran yang
merubah orientasi dan nilai kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali yang pada
awalnya dikenal sebagai masyarakat agraris/komunal yang sarat dengan kearifan
lokal perlahan namun pasti mengalami perubahan dan pergeseran oleh
progresivitas asing (Barat). Perubahan menuju arah pendangkalan kultural akibat
nilai-nilai baru dalam masyarakat terkonstruksi menjadi simbol yang tampil tanpa
makna.
Perubahan sudut pandang dan perubahan orientasi nilai masyarakat terjadi
oleh cara berpikir dan sikap hidup yang lahir dari modernitas Barat yang lebih
menekankan pada rasio dan objek materialistis. Terjadi dampak perubahan budaya
religius yang lebih mementingkan objek material (keuntungan) daripada nilai-nilai
kemuliaan bagi kehidupan masyarakatnya. Budaya religius telah terkontaminasi
dan dirasuki oleh nilai-nilai ekonomis yang bisa mendatangkan keuntungan
materi. Unsur-unsur komodifikasi telah merasuki pola-pola kehidupan religius
masyarakat Bali khususnya sehingga budaya ngayah berubah menjadi budaya
buruh yang berorientasi pada upah dan keuntungan. Dengan demikian Tutik
(2008: 4) menyebutkan bahwa peradaban manusia dewasa ini senantiasa
mengalami metamorfosis sehingga melahirkan realita baru yang mengubah
kehidupan wajah manusia itu sendiri.
METODOLOGI
Data bersumber dari beberapa fenomena sosial tentang etika budaya
religius masyarakat Bali yang terjadi berdasarkan pengamatan (observasi) dalam
kehidupan masyarakat Bali. Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan dengan
menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan teknik simak serta interpretatif.
Data yang berkaitan dengan fenomena sosial dan etika budaya religius ini, dicatat
dan diidentifikasi serta diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang
ditetapkan. Selanjutnya data diinterpretasikan sesuai sehingga menghasilkan suatu
hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
PEMBAHASAN
1. TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA RELIGIUS MASYARAKAT
BALI ERA MODERN
Transformasi sosial budaya pada hakikatnya adalah perubahan yang
didasari oleh keinginan dari warga suatu masyarakat, untuk meninggalkan hal-hal
yang sudah mentradisi dalam suatu masyarakat kebudayaan tertentu. Perubahan
budaya yang terjadi dewasa ini dipercepat oleh adanya proses globalisasi yakni
perkembangan budaya internasional yang memasuki wilayah berbagai negara di
dunia. Tentu saja wilayah kebudayaan dunia ini sangat kompleks. Walaupun
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 125
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
diakui trasformasi sosial budaya sebagaimana dikemukakan oleh Hoed (2008:119)
tidak hanya terjadi karena dipaksakan dari luar melainkan dapat juga terjadi
karena keinginan dari dalam yang memang dibutuhkan oleh masyarakat
bersangkutan.
Sebagai warga masyarakat mana pun tidak dapat mengisolasi diri dari
perubahan yang terjadi sebagaimana dikemukakan Tutik (2008: 6) bahwa pada
akhirnya semua di hadapkan pada dua pilihan, yaitu bertarung atau bergabung,
bersanding atau bertanding yang kemudian melahirkan dinamika. Menurut Geriya
(2008: 5) ada dua kubu pandangan berbeda dalam menanggapi dan memberikan
interpretasi mengenai keberadaan, dinamika dan perubahan kebudayaan Bali.
Kubu pertama, menilai dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan
Bali modern atau pasca agraris bergerak menuju konsepsi continuity in changes
dengan dukungan konsep-konsep, seperti revitalisasi, pencerahan, adaptif,
akomodatif, fleksibel, dan selektif. Dengan penilaian betapa kokohnya keberadaan
kebudayaan tradisional di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi yang
pada hakekatnya hanya mampu merubah sisi permukaan. Kubu kedua, menilai
dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan Bali modern
mengandung ancaman yang serius, krisis dan ketidakberdayaan kebudayaan
tradisional tengah mengalami distorsi, diskontinu dan disintegrasi. Dengan
demikian masyarakat yang masih kuat berpegang pada nilai-nilai lama
memerlukan penyesuaian untuk bisa menerima kebudayaan baru, bahkan ini
sering menimbulkan konflik sosial akibat dari benturan nilai-nilai yang belum
menyerap ke dalam masyarakat. Tingginya dinamika kebudayaan yang terjadi
pada satu sisi membuka peluang pada peningkatan kesempatan kerja dan
sumbangan ekonomi, namun di sisi lain makin runtuhnya dimensi nurani
kehidupan kemanusiaan akibat kuatnya ancaman komersialisasi dan materialisme.
Perubahan budaya atau transformasi budaya itu terjadi sepanjang zaman
hanya saja mengalami percepatan yang sangat signifikan pada dua puluh tahun
terakhir mengiringi era globalisasi. Makin terbukanya hubungan antarmanusia,
antarnegara yang didukung oleh peralatan canggih memberikan keleluasaan bagi
perkembangan semua aspek kehidupan. Perkembangan masyarakat selain
didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transformasi
juga didukung oleh teknologi modern lainnya. Hanya saja perkembangan
teknologi yang begitu cepat akan pula mengandung resiko (risk culture) terhadap
dampak budaya yang justru merugikan karena bertentangan dengan azas
masyarakat.
Transformasi sosial atau perubahan sosial pada umumnya terjadi akibat
perubahan kondisi sosial primer, seperti unsur ekonomi, biologis, politik, agama
dan lain-lain. Terjadinya perubahan kebutuhan sosial mendorong perubahan pada
unsur-unsur yang lain. Setiap perubahan yang terjadi pada mulanya dianggap
sebagai penyimpangan (deviation) yang kemudian penyimpangan tersebut
mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan ide-ide yang baru. Tutik (2008: vi)
menyebutkan bahwa modernisasi yang berkembang sebagai buah dari
transformasi sosial budaya dewasa ini, baik langsung maupun tidak telah
melahirkan distorsi, terutama ketidakseimbangan antara ranah material dan ranah
spiritual. Ketidakharmonisan kedua aspek menimbulkan berbagai gejolak, seperti
degradasi moral dan runtuhnya sendi-sendi transendental kehidupan masyarakat.
126 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Perubahan tersebut juga menimbulkan keguncangan baik secara individu,
keluarga, sistem kekerabatan dan kehidupan sosial lainnya.
Masyarakat Bali (Hindu) yang dulu terkenal dengan kehidupan sosialnya
yang sangat religius, taat pada tuntunan etis dan tunduk pada dunia niskala kini
nampak bergerak keluar dari pakem-pakem etika menuju ke agem-agem atau
anubhawa (gaya) estetika yang lebih menonjolkan performance (penampilan)
yang artifisial. Nilai-nilai etika religius telah banyak dilanggar yang cendrung
bersuka cita di ranah estetik dengan menanggalkan atau meninggalkan tuntunan
etik. Potensi ekonomi yang ditandai oleh keberlimpahan materi memberikan
kesempatan umat Hindu Bali khususnya untuk mengeksplorasi dan
mengekploitasi diri melalui media tubuh yang dikomunikasikan dengan
bermacam-macam simbol. Penampilan umat masa kini lebih menonjolkan sisi
estetika/keindahan dan penampilan (performance) ketimbang nilai-nilai etika yang
menjadi inti tujuan beragama. Pengutamaan penampilan ini justru didorong oleh
pamrih atau keinginan untuk mendapat pujian, pehatian dan kekaguman atau
bahkan pamer diri untuk mendapatkan prestise diri. Masyarakat umumnya kurang
memahami aspek fungsional materi tanpa disadari telah menyeretnya pada arus
pencitraan yang dipenuhi simbol-simbol kebendaan.
Di balik semua ini ada kekawatiran terjadi di masa depan bahwa aturan
kultural, termasuk di dalamnya budaya religius dan hukum agama akan
kehilangan daya mengikatnya yang menurut Widana (2011,: 255-256) cendrung
menuju keadaan anomie atau tanpa norma, sehingga sikap dan prilaku seakan
tanpa nilai atau aturan. Ketiadaan norma yang tentu saja kalau dibiarkan akan
menjerumuskan umat menjadi kehidupan umat yang bebas, sekuler dan hedonis.
Dinamika dan fenomena ini dianggap sebagai proses transformasi era postmodern
dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri yang tentunya dapat
menimbulkan masalah sosial tersendiri. Norma-norma masyarakat tidak lagi
memiliki daya kohesif pemaksa yang cukup kuat untuk mengukuhkan norma-
norma yang telah berlaku yang juga cendrung meninggalkan norma agama yang
dianutnya. Pada titik itulah umat Hindu Bali akan kehilangan/kehampaan norma
yang menurut Durkheim (dalam Widana, 2011: 258) disebut anomie.
Jika di masa lalu masyarakat Bali diperdaya oleh ningrat lokal bernama
kerajaan, di zaman modern saat ini justru dikuasai oleh ningrat kapitalis yang
masyarakatnya tetap menjadi objek semata. Putrawan (2011: 135) bahkan
menyebut jati diri orang Bali dengan akar pertumbuhan budayanya telah
tercerabut akibat mengadopsi secara mentah budaya Barat yang tidak sepenuhnya
sesuai dengan budaya ketimuran. Bermaksud pindah ke rumah mewah malahan
jadi gelandangan atau lebih ironis lagi menjadi pembantu di rumah sendiri. Itulah
gambaran masyarakat yang tentu tidak menjastifikasi masyarakat Bali secara
menyeluruh.
2. SPIRIT BERKETUHANAN MASYARAKAT BALI ERA MODERN
Spirit berketuhanan dikemukakan Piliang (2009: 334) adalah spirit
pengekangan hasrat, pembentengan libido, pengutamaan perenungan, pencarian
jalan kesucian, pengutamaan kedalaman, pengutamaan kesederhanaan, penjauhan
diri dari dunia (materi). Inilah refleksi masyarakat tradisional yang di zaman
sekarang ini telah terjadi perubahan menuju ke hal-hal yang besifat artifisial.
Spirit berketuhanan cendrung digiring ke dalam ruang-ruang imanen yang di
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 127
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dalamnya tampil dalam wujud tanda-tanda dan citraan yang pada tingkat tertentu
tidak lagi merefleksikan esensi spiritual itu sendiri, akan tetapi telah terditorsi ke
dalam realitas tanda dan citra itu sendiri. Perubahan terjadi karena menganut
pandangan yang berorientasi pada nilai-nilai yang lahir dari modernitas
Baratdengan lebih mengutamakan dunia objektif yang rasional materialistis
dibandingkan dengan aspek spiritual religius yang bersandar pada agama.
Adanya progresivitas ritual dalam kehidupan masyarakat Bali yang
cendrung bergerak sebagai realitas ritual sebagai penanda identitas sosial
sebagaimana dilakukan dalam upacara ngaben Di dalam prosesi berlangsungnya
upacara ngaben (manusa yadnya) merasuk unsur-unsur fashion yang sarat dengan
komuditas material. Begitu pula yang terjadi pada pelaksanaan upacara yadnya
(dewa yadnya) di pura, para pemedek cendrung mengutamakan penampilan
(fashion) ala selebritis untuk mendapatkan status sosial dan bentuk pujian serta
penghormatan lainnya, dibandingkan dengan kualitas rohaninya. Dengan
demikian produktivitas rohani yang diharapkan terinternalisasi dalam diri umat,
justru lebih menampakkan manifestasinya dalam bentuk produktivitas materi yang
tidak saja merefleksikan simbol ekonomi, tetapi identitas sosial kultural lainnya.
Dalam kenyataannya masyarakat Bali haus akan aktivitas spiritual yang
dilakukannya melalui berbagai macam ritus keagamaan yang mampu memberikan
rasa puas bagi kehidupannya. Tidak menampik kalau kemudian Tutik (2008: 21)
menyebutkan bahwa kehidupan tanpa kandungan spiritual akan menjadi absurd
sehingga yang terjadi adalah hujatan terhadap hal-hal metafisik atas kekosongan
spiritual dan ketidakbermaknaan hidup.
Simbiosis gaya hidup ke dalam wilayah spiritual telah menciptakan sebuah
kondisi yang di dalamnya masyarakat mencampurkan jagad materi dan gaya
hidup yang bersifat dangkal dengan ranah spiritual yang suci. Masyarakat Bali
Hindu sekarang ini telah dimanjakan oleh suguhan upacara siap saji untuk
dipersembahkan ke hadapan Tuhan/Ida Sanghyang Widhi, sehingga apapun
peralatan upacara bisa diperoleh dengan cepat dan mudah asalkan ada uang.
Masyarakat manapun lebih-lebih masyarakat perkotaan tidak sulit mendapatkan
segala peralatan upacara karena telah tersedia menurut keinginan; nista, madia
dan utama. Prinsip ―uang maha raja‖ bukanlah isapan jempol, tetapi senyatanya di
era sekarang ini segala sesuatu dapat dibeli asalkan memiliki uang. Keadaan ini
yang kemudian membuat setiap orang harus berlari kencang mengejar uang atau
kekayaan untuk memperoleh simbol kesejahtraan dan keberhasilan bagi
seseorang. Dengan materi berlimpah seseorang mampu melakukan pelepasan
hasrat termasuk tubuh sebagai objek tontonan yang di dalamnya lebih
menawarkan tampilan, citra dan gaya hidup.
Ketika orang melakukan persembahyangan ke pura, tidak bisa dipungkiri,
baik kaum laki-laki maupun perempuan akan memilih pakaian yang tidak kalah
mewahnya untuk membangun citra diri secara sosial ekonomi. Inilah era yang
tidak lagi mementingkan esensi, tetapi sebuah dunia citra yang ditunjukkan
melalui objek (benda/barang) sebagai media yang dianggap menentukan status,
prestise dan simbol-simbol sosial pemakainya. Piliang (2009:336) menyebutkan
bahwa ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang citra maka ia akan
terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan dan artifisialitasnya serta akan
semakin menjauhkannya dari makna-makna dan nilai-nilai hakikinya.
128 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Aktivitas ritual keagamaan adalah sebuah ruang penyucian jiwa, yaitu
pembersihan jiwa dari berbagai kotoran lewat mekanisme pengekangan hasrat.
Ritual agama juga memberi spirit akan adanya perubahan pada pola prilaku sosial
dengan cara mengekang berbagai aspek materialitas. Akan tetapi aktivitas ritual
yang terperangkap dalam dunia citra yang terjadi adalah pendangkalan ritual yang
semakin tercabut dari makna hakikinya.
Nilai-nilai spiritual keagamaan kini ditafsirkan secara sangat subyektif
sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, dalam upayanya untuk mencari
kesempurnaan diri sesuai dengan tafsiran mereka masing-masing (Piliang, 2006:
5002). Dengan demikian meskipun Tuhan itu sama setiap orang dapat mempunyai
penamaan yang berbeda terhadap institusi agama yang mewadahinya.
Masyarakat Bali adalah masyarakat yang banyak memuja simbol-simbol
ketuhanan karena keterbatasan manusia untuk mengetahui sesuatu yang berada di
luar dirinya. Ada sejarah panjang manusia dalam mencari, memahami dan
menafsirkan sesuatu yang disebut sakral (benda suci), baik berupa keris, lontar,
dan benda lainnya yang dianggap mempunyai atribut kesucian yang
sesungguhnya hanyalah sumber spirit yang tak diketahui dari kekuatan yang
disebut Tuhan.
Spiritualitas saat ini sedang menuju perkembangan ke arah sekular yang
cendrung tampil sebagai sesuatu yang mengobjek yang berbeda dari agama
konvesional. Berbagai jalan spiritual berkembang dalam masyarakat Bali, seperti
meditasi, upacara-upacara magis, tenaga dalam, pengobatan alternatif sebagai
bagian dari lukisan obsesi masyarakat dewasa ini. Ada semacam keyakinan baru
yang berkembang yang memandang informasi tersebut bermula dari Tuhan. Laku
spiritual tersebut mampu membawa pikiran, suasana mental, ke dalam alam
virtual (hayal) dan meninggalkan tubuh yang nyata di dunia nyata. Spiritual
sekuler yang berkembang saat ini cenrung bersifat individu yang di dalamnya
tidak diperlukan kehadiran Tuhan sebagai keyakinan tertinggi. Spirituan semacam
ini mampu memberikan kepuasan yang bersifat individual berupa ketenangan
sebagai bentuk pemenuhan hasrat, akan tetapi tidak dapat menjawab berbagai
persoalan teologis yang lebih besar.
Kenyataan dalam kehidupan masyarakat Bali saat ini juga banyak
berkembang spiritualitas sekuler yang secara positif dapat menyenangkan hati,
menghibur dan sebagai penyegaran diri, bahkan terapi untuk berbagai penyakit,
seperti halnya seni yoga yang marak bermunculan dewasa ini. Berbeda dengan
spiritual religius yang lebih menawarkan sebuah keheningan, kesucian,
konsentrasi, kekhusukan dan kedalaman seperti yang dapat dialami dalam
berbagai upacara Hindu di Bali dan ritual komunitas lainnya.
1. SIMPULAN
Perubahan sosial budaya masyarakat berimplikasi pada perubahan pada
cara pandang masyarakat terhadap orientasi sosial budayanya, dan bahkan
menimbulkan degradasi/kelongsoran moral. Modernisasi dan pengaruh globalisasi
langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi orientasi masyarakat Bali
terhadap nilai-nilai dasar kehidupannya. Masyarakat Bali yang terkenal menganut
budaya religius magis kini telah mengalami perubahan menuju masyarakat
hedonis, masyarakat yang beorientasi pada materi dan cendrung mengutamakan
performance dengan mengejar simbol-simbol pencitraan pada diri seseorang.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 129
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Masyarakat berlomba mengejar citra untuk mendapatkan kelas sosial dan prestise
bagi kehidupannya.
DAFTAR PUSTAKA
Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki abad XXI.
Surabaya: Paramita.
Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas
Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.
Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya
Makna. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-
batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.
Piliang, Yasraf Amir. 2009. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era
Posmetafisika. Yogyakarta&Bandung: Jalasutra.
Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan
Transformasi Sosial Budaya. Jakarta: Lintas Pustaka.
Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu. Denpasar: Pustaka
Bali Post.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 130
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
HIPONIMI KATA”SEKAR” DALAM BAHASA JAWA KUNA
I Nyoman Sukartha dan Komang Paramartha
Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa yang sudah mati atau tidak
digunakan lagi sebagai bahasa komunikasi. Namun dalam sastra
klasik bahasa itu masih hidup. Begitu juga dalam beberapa jenis
kesenian di Bali seperti: seni pewayangan, mabebasan, sendratari,
dan seni arja, bahasa tersebut masih digunakan walau bukan
sebagai bahasa pengantar. Kata ―sekar‖ (‗bunga‘) dalam bahasa
Jawa Kuna memiliki memiliki makna yang khas bila dilihat dari
teori structural maupun teori fungsional. Bila dilihat secara
formalis, maka kata ―sekar‖ memiliki kehiponiman dengan kata
―puspa‖, ―kembang‖, ―santun‖, dan ―wunga‖. Begitu pula bila
dilihat secara fungsional. Kajian seperti itu belum pernah ada.
Untuk itu tulisan ini akan mencoba mengajinya.
Kata kunci: wacana, makna, dan fungsi
1. Pendahuluan
Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa documenter yang sangat menarik
untuk ditelaah. Hal itu disebabkan karena di dalam bahasa itu terkandung warisan
budaya bangsa yang adiluhung, baik mengenai kesenian, peradaban, maupun yng
menyangkut susastra dan religi. Sebagai bahasa wrisan leluhur yang hanya bisa
ditemukan lewat dokumen-dokumen masa lalu, bahasa Jawa Kuna masih bisa
ditemukan pada masyarakat Hindu Bali terutama dalam bidang agama,
kesusastraan klasik, nama-nama, baik nama orang, gedung, dan nama istilah.
Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa integrasi dari bahasa Jawa (masa
lalu) dengan bahasa Sansekerta. Bahasa tersebut kemudian tergeser ke Bali dan di
Bali disebut dengan bahasa Kawi. Bahasa Jawa Kuna memang ernah dijadikan
bahasa resmi di Bali yaitu ketika raja Udayana memerintah Bali. Namun
kemudian bahasa tersebut hanya bisa ditemukan dalam naskah-naskah susastra
klasik, agama, dan dalam kesenian tradisional.
Bahasa Jawa Kuna amat kaya akan perbendaharaan kata (leksikal). Salah
satunya adalah kata ―sekar‖. Kata tersebut memiliki hiponim seperti: ―puspa‖,
―kembang‖,
2. Lingkup Kajian
Berkenaan dengan banyaknya varian ang berkaitan dengan konsepsi ―sekar‖ di
dalam bahasa Jawa Kuna, maka kajian ini dibedakan menjadi:
a) Apa hiponim ―sekar‖?
b) Bagaimana bentuk sinoniminya?
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 131
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
c) Bagaimana bentuknya dalam sanding kata dan bentuk mana yang memiliki
distribusi pemakaian paling banyak?
3. Kerangka Berpikir
Telaah tentang kehiponiman kata ―sekar‖ dalam tulisan ini mengacu
kepada teori wacana Formalis dan fungsional seperti yang dikemukakan oleh
Vandjik dan Halliday. Menurut Halliday (dalam Tomasowa:1994;36) terdapat 3
(tiga) komponen makna dalam suatu struktur bahasa (meta fungsi). Komponen
yang dimaksud seperti: komponen tekstual, komponen interpersonal, dan
komponen ideasional.
Komponen tekstual meliputi organisasi tematis, struktur informasi serta
dari suatu kandungan oposisi. Pola tematis menguraikan cara-cara unsur
komponen ideasional disusun menjadi suatu wacana. Struktur tematis terdiri atas
―tema‖ dan ―rema‖. Tema merupakan unsur terdepan dari klausa. Sedang sisanya
merupakan unsur ―rema‖. Tema digunakan oleh penutur sebagai titik tolak
ujarannya. Tema bisa merupakan: subjek, predikat, komplemen atau keterangan.
Komponen interpersonal merupakan aspek interaksi dan aspek personal
dari tatabahasa. Aspek itu meliputi hal; bagaimana seoang penutur/pengujar
berinteraksi dengan orang lain (tentu saja interaksi dengan memakai bahasa
sebagai alat komunikasi). Hubungan yang dimaksud menyangkut, baik hubungan
secara sosial maupun hubungan secara pengaturannya dan hubungan secara
instrumental dalam membangun sebuah komunikasi.
Komponen ideasional menyangkut hal yang mendasar dari sebuah ujaran.
Patut dipahami bahwa bahasa merupakan alat untuk manusia membentuk suatu
gambaran mental dari kenyataan yang ada untk memberi arti pada pengalamannya
tentang apa yang terjadi di sekitar dan pada dirinya (tindakan, kejadian, perasaan,
dan keberadaannya).
Vandjik membedakan wacana menjadi: wacana mikro, wana makro, dan
super struktur.
4. Pembahasan
Kata ―sekar‖ dalam bahasa Jawa Kuna bermakna ‗bunga‘. Bila dilihat kata yang
berhiponim dengan kata ―sekar‖ maka didapatkan kata-kata seperti: ―puspa‖,
―kembang‖, ―sari‖, ―kusuma‖, dan ―santun‖.
a. Kehiponiman
Hiponim (hyponym) diartikan sebagai ‗kata yang memiliki makna yang
lebih sempit dari pada makna generic spesifik dan makna generic anggota
taksonomi dan nama taksonomi (Moeliono dkk, 2014;502). Sejalan dengan
makna itu, hiponimi (hyponym) diartikan sebagai‗ hubungan dalam semantik
antara makna spesifik, atau antara anggota taksonomi dan makna taksonomi.
Contoh; antara anjing, kucung, dan kambing disebut hiponim dari hewan. Hewan
disebut sebagai superordinate dari kucing, anjing, dan kambing. Sedangkan kata
kucing, anjing, dan kambing disebut sebagai kohiponim (Kridalaksana, 1993;74).
Dalam bahasa Jawa Kuna kata ―sekar‖ memiliki kohiponim seperti;
Tabel 1; Hiponimi*)
132 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
No Superordinat Subordinat/kohiponim Jumlah
1 Sekar 1) - gandira ‗hiasan bunga di kepala‘
2) raga - ‗nama metrum/Ragakusuma)‘
3) - carang ‗nama halaman rumah‘
4) - kuning ‗bunga kuning‘
5) - petak ‗bunga putih‘
6) - emas ‗bunga emas‘
7) - suhun ‗untaian bunga hiasan kepala‘
8) - taji ‗nama bunga hiasan kepala‘
9) - tahun ‗upeti‘
10) - ura ‗taburan bunga dlm upacara‘
11) - wangi ‗bunga dan wangi-wangian‘
Banyak
2 Puspa 1) ṡara - ‗nama senjata‘
2) - capa ‗nama senjata‘
3) - danta ‗bergigi bunga‘
4) - dewati ‗dewi bunga‘
5) - gandha prawandha ‗wewangian‘
Sedikit
3 Kembang 1) - ura ‗bunga tabur‘
2) - emas ‗bunga emas‘
3) - rajata ‗kembang perak/putih‘
4) - petak ‗bunga putih‘
Agak
Banyak
4 Santun 1) padma - ‗bunga lotus‘ Sangat
sedikit
5 Padma. 1) - caraka ‗nama bunga‘
2) Antapadma ‗teratai di dalam
(diri/jantung)‘
6 Kusuma 1) - ‗bunga‘
2) - bhawana ‗sorga bunga‘
3) - capa ‗panah bunga‘
4) - padapa ‗ranting bunga‘
5) - parwata ‗gunung bunga‘
6) - śaňcaya ‗(‗ikat‘) ‗timbunan bunga‘
7) - śara ‗berpanah bunga,
8) - saňjata ‗bersenjata bunga‘
9) - sȃri ‗tepung sari‘
10) Kusumȃstra ‗berpanah bunga‘
11) Kusumȃstradewi ‗dewi Ratih‘
12) - ȃstrapȃni ‗panah bunga di tangan‘
13) Kusumȃstrapatni ‗Ratih (istri Kama)‘
14) - warsa ‗hujan bunga‘
15) - wicitra berbagai macam bunga‘;
‗nama metrum/pola gurulaghu‘
16) - wilasita ‗nama metrum‘
17) Kusumȃyudha ‗senjata bunga‘; ‗nama
Kama‘
18) Kusumȃyudhatantra ‗Kamatantra‘
19) Kusumesu ‗panah bunga‘
20) - mitajanma ‗manusia mulia‘;‘nama
Sangat
banyak
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 133
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
metrum‘
7 wunga 1). Bunga/kembang**)
*) Arti kata disesuaikan dengan Kamus Jawa Kuna-Indonesia dari
Zoutmulder.
**) Ditemukan pemakaiannya hanya 1 kali saja dalam Kakawin Ramayana,
Sargah l7.
Melihat contoh kata-kata di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Kata kusuma memiliki varian terbanyak yaitu sebanyak 17 buah. Kata
kusuma mengacu kepada refrent bunga secara keseluruhan yang
meliputi; tangkai, kuncup, putik dbenang sari dan tepung sari.
2) Kata sȇkar memiliki varian sebanyak 11 buah atau lebih sedikit
dibandingkan dengan kata kusuma. Kata itu pun mengacu kepada refren
bunga secara keseluruhan seperti; tangkai, kuncup, putik dan benang
sari dan tepung sari.
3) Kata puspa memiliki varian 5 buah dan memiliki peringkat ketiga
dalam hal varian untuk kata bunga.
4) Kata kembangmemiliki varian sebanyak 4 buah
5) Kata Padma memiliki varian 2 buah dan
6) Kata santun hanya 1
Semua varian kata-kata di atas mengacu kepada refren yang luas yang meliputi;
tangkai, kuncup, putik, benang sari, dan tepung sari bunga. Namun bila dirunut
pemakaiannya di dalam kalimat maka diketemukan hal-hal sebagai berikut.
Semua jenis bunga Sȇkar
Kusuma - bhawana
- capa- padapa
- parwata
- śaňcaya
- śara
- saňjata
-sȃri
Kusumȃstra
Kusumȃstradewa
- ȃstrapȃni
Kusumȃstrapatni
- warsa
- wicitra
-wilasita ‗
Kusumȃyudha
Kusumȃyudhatantra
Kusumesu
- mitajanma
- gandira
raga -
- carang
- kuning
- petak
-emas
- suhun
- taji- tahun
- ura
- wangi
Sȇkar
134 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
puspa - ṡara
- capa
- danta
- dewati
- gandha prawandha
- caraka
antapadma
-nabha
-keṡara
-yoni
padma
Kembang -- ura
- emas
- rajata
- petak
santun
Contoh pemakaian
Bila semua kata-kata di atas diimbuhi dengan afiks (imbuhan) maka akan
terjadi perbedaan. Maksudnya adalah ada kata yang kurang pas bila dilekati
prefiks-, -infiks-, -suffiks dank konfiks, dan ada kata-kata yang cocok/boleh
dilekati imbuhan.
Contoh:
Prefix a- /ma-
Cocok/benar Asȇkar/masȇkar
Akusuma/-
Akembang/makȇmban
g
Apadma/ -
Apuspa/-
Asantun
A-/makusuma
Mapadma
Mapuspa
Masantun
Tidak
cocok/salah
Prefiks ma-
Cocok Manȇkar
Mangêsuma
Mapadma
Makembang
mapuspa
Tidak
cocok
Infiks –in- dan –um-
Cocok Sumȇkar
Sinȇkar
Pinuspa
Kumusuma
Pumuspa
Kumembang
Pumadma
Tidak
Cocok
Imbuhan gabung –um-/-in-
Sinȇkaran/ Sinȇkarakȇn
sumȇkaran/sumȇkarakȇ
n
pinuspanȇn
Kinusuman/kinusumakȇn
Kumusuman/kumusumakȇn
kinusumakȇn
kinȇmbangan/kinȇmbangakȇn
kumumbangan/kumumbangkȇ
n
kinȇmbangȇn
pinuspanan/pinuspanakȇn
umuspanȇn/umuspanakȇn
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 135
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
5. Kesimpulan
Kata yang memiliki hiponimi yang paling banyak adalah kata ―kusuma‖
(20 kata), diikuti oleh kata ―sêkar‖ (11 kata), ―puspa‖ (5 kata), ―kêmbang
4 kata), ―padma‖ (2 kata), dan ―santun‖ (1 kata).
Daftar Pustaka
Keraf, Gorys. 1980. Tatabahasa Indonesia. Ende Flores; Nusa Indah.
Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Ende Flores. Nusa Indah.
Mardiwarsita, L dan Harimurti Kridalaksana, 1978. Struktur Bahasa Jawa Kuna.
Ende Flores. Kanisius
Moeliono dkk, 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Soegriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar. Bali
Mas.
Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar. Percetakan Bali
Sukartha, I Nyoman. 1982. ―Mabebasan dan Cara-Cara Menerjemahkannya di
Kabupaten Klungkung‖ (Skripsi S1). Fakultas Sastra Universitas
Udayana
Sukartha, I Nyoman. 2015. Tradisi Lisan Mabebasan Di Bali. Denpasar. Program
S3 Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana.
Sukartha, I Nyoman. 2016.―Pendidikan Karakter Dalam Kidung Manduka
Praharana Episode I Lutung, I Tetani, Dan I Katak‖ (Proseding).
Denpasar. Pustaka Larasan
Sukartha, I Nyoman. 2017. ‗Makna Pendidikan Moral Dalam Kidung Raga
Winasa Episode Persahabatan Si Lutung Dengan Si Keker‖
(Proseding). Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung; Penerbit Angkasa.
Zoutmulder, P.J. 2009. Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta. PT
Gramedia Pustaka Utama.
Zoutmulder. P.J. 1984. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang
(terjemahan Dick Hartoko cs. Jakarta; Jambatan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 136
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI
I Nyoman Suparwa
Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Tujuan kajian ini adalah untuk menemukan dinamika sapaan dalam
bahasa Melayu Bali. Teori yang digunakan mengacu kepada teori
T-V Brown-Gilman (1960:253—379), yaitu untuk menganalisis
bentuk, fungsi, dan makna. Teori T-V merupakan teori dua makna,
yaitu makna kekuasaan (the power semantic) dan makna solidaritas
(the solidarity semantics). Data kajian ini didapat dari informan
bahasa Melayu Bali yang berdomisili di Loloan Barat dan Loloan
Timur (dua belas orang; enam orang per desa), Kecamatan Negara,
Jembrana, Bali. Terhadap informan dilakukan wawancara
mendalam untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu berupa
kata, frasa, klausa, atau kalimat. Analisis data dilakukan secara
kualitatif deskriptif dengan penjelasan bila diperlukan.
Hasil kajian menemukan bahwa ada tiga kelompok sapaan menurut
kekerabatan, yaitu (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti Bapak,
Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong,
Pak/Mak Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare,
abang, mas. Berdasarkan hubungan keakraban, ditemukan juga tiga
macam pemakaian istilah sapaan, yaitu (a) tinggi-rendah (TV)
untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama tinggi/rendah
(VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c)
rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika
pemakaian istilah sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya
lagi istilah sapaan, seperti Wak, Encu; diganti dengan istilah sapaan
bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur bahasa Indonesia.
Kata kunci: dinamika, sapaan, bahasa Melayu Bali
Pendahuluan
Dalam kegiatan berkomunikasi, dengan bahasa, kegiatan menyapa
merupakan aktivitas pokok karena komunikasi tidak bisa berlangsung tanpa ada
saling sapa antarpihak. Begitu pentingnya kegiatan saling menyapa, sehingga
dalam proses pembelajaran bahasa, khususnya pengajaran bahasa Indonesia untuk
penutur asing (BIPA), materi sapaan ditempatkan pada kegiatan pembelajaran
awal. Dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing FIB 1, materi
sapaan dengan judul ―Salam dan Perkenalan‖ sebagai materi 1; sedangkan dalam
buku ―Selamat Datang: Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Dasar‖,
materi ―salam‖ sebagai materi 1. Misalnya, dicontohkan ―Selamat malam, Pak;
nama saya Ketut Restu, panggil Restu‖.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 137
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kata panggilan Pak atau panggil Restu pada contoh di atas merupakan
kata sapaan karena definisi kata sapaan menurut kamus adalah kata yang
digunakan untuk menyapa seseorang (misalnya kata Anda, Saudara, Tuan,
Nyonya, Ibu, Bapak, Kakak, dan Adik) (KBBI, 1991:452). Kamus bidang khusus
(istilah) linguistik juga mendefinisikan kata sapaan yang mirip dengan itu, yaitu
sapaan (address) adalah morfem, kata, atau frasa yang dipergunakan untuk saling
merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat
hubungan antara pembicara itu (Kridalaksana, 1982:147). Dengan demikian,
berbicara masalah sapaan tidak hanya mengulas masalah bahasa, tetapi juga
masalah budaya karena di dalamnya terkandung nilai sosial kesopanan, kebiasaan,
norma, dan lain-lain.
Bahasa Melayu Bali adalah sebuah bahasa daerah yang hidup dan
berkembang di daerah pergaulan antaretnis (multikultural) di Indonesia,
khususnya di Bali, tepatnya Desa Loloan (barat dan timur) Kota Negara,
Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Daerah pakai itu merupakan daerah pusat dan
pemakaian bahasa itu juga tersebar di beberapa desa pinggir pantai, yaitu Desa
Tegal Badeng Barat, Tegal Badeng Timur, Banyubiru, Air Kuning, Cupel,
Pengambengan yang berada di wilayah Kecamatan Negara,dan Desa Tuwed serta
Melaya (pantai) yang berada di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana Bali.
Keberadaan bahasa Melayu sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa
mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual.
Penutur bahasa Melayu Loloan, umumnya, dwibahasawan (menguasai bahasa
Melayu Loloan dan bahasa Indonesia serta mengerti bahasa Bali) dengan
pemakaian bahasa Melayu Loloan dalam ranah informal, seperti intrakeluarga,
upacara adat, dan pengajian (Suparwa, dkk., 2014:514).
Dinamika bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal
dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur
bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu
merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Daya sentrifugal merupakan
usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat
komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh
bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa
Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia tidak bisa dihindari. Dalam
linguistik, pengaruh itu menimbulkan unsur retensi (kebertahanan) dan unsur
inovasi (perubahan).
Perubahan/dinamika unsur bahasa secara mikrolinguistik telah dikerjakan
berupa artikel berjudul ―Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Bali‖ oleh Suparwa,
dkk. (2014) dan Dynamics of the Sentences System in Balinese-Malay Language
oleh Suparwa dkk. (2017). Akan tetapi, unsur bahasa yang bersifat
makrolinguistik, termasuk dinamika unsur sapaan belum pernah diteliti. Untuk itu,
kajian ini perlu dilakukan untuk mengungkap sistem sapaan dalam bahasa Melayu
Bali. Secara eksplisit, kajian yang dilakukan ini menganalisis masalah,
―Bagaimanakah dinamika sapaan dalam bahasa Melayu Bali?‖
Metodologi
Kajian Dinamika Sapaan Bahasa Melayu Bali ini mengikuti alur berpikir
berupa kerangka teori dan metode sebagai berikut. Teori yang diterapkan dalam
138 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kajian ini adalah teori T-V Brown-Gilman (1960:253—379). Teori tersebut
digunakan untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna sapaan dalam bahasa
Melayu Bali. Teori T-V merupakan teori dua makna, yaitu makna kekuasaan (the
power semantic) dan makna solidaritas (the solidarity semantics). Makna
kekuasaan adalah makna yang ditentukan berdasarkan usia, status, jenis kelamin,
dan yang lainnnya. Dalam makna kekuasaan itu terdapat hubungan nonresiprokal
superior. Dalam hal ini, T adalah superior dan V adalah inferior karena adanya
perbedaan status dan yang lainnnya, seperti perbedaan kekuasaan atau usia. Di
pihak lain, makna solidaritas adalah makna yang dihasilkan oleh adanya norma
hubungan resiprokal, yaitu saling menyatakan V (baik pembicara maupun
penerima) karena adanya persamaan status, kekuasaan, usia, dan yang lainnnya.
Data kajian ini didapat dari informan bahasa Melayu Bali yang berdomisili
di Loloan Barat dan Loloan Timur (dua belas orang; enam orang per desa),
Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Terhadap informan dilakukan wawancara
mendalam untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu berupa kata, frasa,
klausa, atau kalimat. Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan
penjelasan bila diperlukan.
Pembahasan
Sapaan dalam bahasa Melayu Bali ditemukan bervariasi menurut
hubungan kekeluargaan dan variasi kelompok umur. Menurut hubungan
kekeluargaan dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) sapaan dalam keluarga inti, (2)
sapaan antar-kerabat, dan (3) sapaan pada orang asing. Sementara itu,
berdasarkan kelompok umur dibedakan atas (a) kelompok umur 40 sampai dengan
60 tahun, (b) kelompok umur 25 sampai dengan 39 tahun, dan (c) kelompok umur
15 sampai dengan 20 tahun. Pengelompokan tersebut dapat memperlihatkan
dinamika penggunaan sapaan antar-beda generasi dan antar-kelompok hubungan
kekeluargaan.
1. Sapaan dalam Keluarga Inti
Dalam keluarga inti, terdapat orang tua dan anak. Istilah sapaan antara
orang tua dan anak ditemukan beberapa variasi yang berbeda pada tiga kelompok
informan. Informan dengan rentang usia 40—60 tahun menggunakan istilah wak
‗bapak‘ atau bapak kepada orang tuanya laki-laki dan mak ‗ibu‘ pada orang tua
perempuan. Istilah ini mengalami sedikit perubahan pada informan dengan
rentang usia 25—39 tahun yang menggunakan istilah bapak untuk mengacu
kepada orang tua laki-laki dan mak atau mamak untuk mengacu kepada orang tua
perempuan. Pada rentang usia ini, istilah wak ‗bapak‘ sudah tidak ditemukan.
Pada informan dengan rentang usia 15—20 tahun ditemukan variasi yang lebih
banyak dalam penggunaan istilah sapaan antara orang tua dan anak. Pada rentang
usia tersebut, istilah wak ‗bapak‘ sudah tidak lagi dikenal. Pada rentang usia
tersebut, istilah yang banyak digunakan adalah bapak atau ayah untuk orang tua
laki-laki dan ibu, bunda dan sebagian kecil mak ‗ibu‘ untuk orang tua perempuan.
Dalam penggunaan istilah sapaan ini, terdapat pola Perhatikan contoh
berikut.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 139
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
A: Nak kemane, Na?
mau kemana Nd
‗Mau pergi kemana, Na?‘
B: Ke rumah kawan Mak. Nana maleman pulang
ke rumah teman bu Nd malam Pulang
‗Ke rumah teman, Bu. Saya pulang agak malam.‘
A: Iye baek-baeki lanan
iya hati-hati
‗Baik, hati-hati.‘
Pada contoh tersebut, penggunaan istilah sapaan mak ‗ibu‘ mengacu
kepada orang tua perempuan. Sapaan Na pada contoh tersebut merupakan nama
dari addressee yang menunjukkan kedekatan sekaligus kesopanan dalam tuturan
tersebut. Untuk istilah sapaan untuk diri sendiri, penutur bahasa Melayu Bali
menggunakan nama diri. Hal itu menunjukkan kedekatan serta kesopanan
dibandingkan dengan penggunaan awak untuk mengacu kepada diri sendiri. Pola
yang terlihat pada contoh tersebut adalah pola V-V yang menunjukkan hubungan
simetris antara A sebagai orang tua dan B sebagai anak. Penggunaan pola V-V ini
bukan berarti orang tua tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan kepada anak. Hal
tersebut menunjukkan adanya hubungan yang didasarkan pada kesopanan dan
kasih sayang kepada anak.
Bandingkan dengan contoh berikut.
A: sudah uwak taoi kau jangan maen
sudah bapak beritahu 2T jangan bermain
sampe‟ malem-malem tinggal an
sampai malam-malam masih saja
‗Sudah bapak beritahu untuk tidak keluar malam, masih saja.‘
Pada contoh tersebut, sapaan kau ‗kamu‘ digunakan untuk menunjukkan
kekuasaan yang dimiliki oleh A sehingga tuturan yang diekspresikan akan
memiliki kekuatan untuk mengatur ataupun memberikan perintah. Pola sapaan
antara orang tua dan anak diterangkan dalam tabel berikut.
Tabel 1 Istilah sapaan antara Orang Tua dan Anak
Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola
Orang tua Anak Nama Resiprokal V-V
Orang tua Anak kau Nonresiprokal T-V
Anak Orang tua Bapak, Ayah,
Wak
Nonresiprokal
Resiprokal
V-T
V-V
Anak Orang tua Mak, Ibu,
Bunda
Nonresiprokal
Resiprokal
V-T
V-V
Selain antara orang tua dan anak, istilah sapaan dalam keluarga juga
ditemukan pada sapaan antara saudara. Variasi sapaan yang digunakan antara
saudara dari yang lebih muda kepada yang lebih tua yaitu menggunakan istilah
bang ‗kakak‘ atau abang ‗kakak‘ kepada saudara laki-laki atau akak ‗kakak‘
140 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kepada saudara perempuan. Penutur usia 40—60 mengenal istilah bang olong dan
kak olong untuk saudara tertua. Sebagian penutur tersebut juga mengenal istilah
sapaan bang/kak ngah untuk saudara kedua, bang oman/kak oman untuk saudara
ketiga, bang cik/kak cik untuk saudara keempat dan seterusnya. Akan tetapi,
istilah ini sangat jarang ditemukan penggunaannya. Sapaan yang digunakan
umum kepada saudara yang lebih tua biasanya hanya menggunakan istilah bang
atau kak saja kepada yang lebih tua sedangkan kepada yang lebih muda
menggunakan nama yang bersangkutan. Hal tersebut digunakan untuk
menunjukkan kedekatan sekaligus kesopanan. Terkadang istilah kau ‗kamu‘ juga
digunakan dalam menunjukkan kekuatan. Akan tertapi, hal tersebut dianggap
kurang sopan dan cenderung merujuk pada kondisi emosi seseorang.
Penggunaan sapaan antara saudara ini dapat dilihat dari tabel berikut.
Tabel 2 Istilah Sapaan antara Saudara
Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola
Lebih tua Lebih muda Nama Resiprokal V-V
Lebih tua Lebih muda kau Nonresiprokal
Resiprokal
T-V
T-T
Lebih muda Lebih tua Abang, akak Nonresiprokal
Resiprokal
V-T
V-V
Lebih muda Lebih tua kau Resiprokal T-T
2. Sapaan antara Kerabat
Istilah sapaan lain yang terdapat dalam bahasa Melayu Bali berkaitan erat
dengan sistem kekerabatan dalam kebudayaan Melayu (Loloan) Bali. Sapaan yang
digunakan kepada orang yang lebih tua dari orang tua ego, akan sangat bervariasi
bergantung pada posisinya dalam kekerabatan. Sebagai contoh, Ayah/Ibu ego
merupakan anak keempat dari lima bersaudara maka sapaan saudara tertua
Ayah/Ibu adalah pak/mak olong, untuk saudara kedua menggunakan istilah
pak/mak ngah, untuk saudara ketiga menggunakan istilah pak/mak oman, dan
yang seterusnya menggunakan pak/mak encu atau encu saja. Jika orang tua ego
merupakan anak tertua maka ego tidak memiliki pak/mak olong.
Sapaan untuk mengacu kepada diri sendiri digunakan istilah diri yang
bersangkutan atau nama diri untuk menunjukkan kedekatan hubungan. Hal itu
menunjukkan keakraban.
Perhatikan contoh berikut.
A: bile encu nak Ke Denpasar?
kapan bibi/paman akan prep Denpasar?
‗Kapan bibi/paman ke Denpasar?
B: paling besok encu ke sane. Ina nak mekot?
mungkin besok Pron ke sana Nd mau ikut?
‗Mungkin besok saya ke sana. Kamu mau ikut?‘
Penggunaan encu ‗paman/bibi‘ yang digunakan A mengacu kepada kata
ganti orang kedua tunggal. Berbeda dengan encu ‗paman/bibi‘ yang digunakan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 141
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
oleh B merupakan acuan pengganti saya sebagai kata ganti orang pertama tunggal.
Begitu juga dengan penggunaan Ina yang merupakan nama seseorang digunakan
untuk mengacu kepada kata ganti orang kedua tunggal. Istilah sapaan yang pada
contoh tersebut digunakan untuk menunjukkan kedekatan antara satu sama
lainnya. Brown dan Gilman (1960: 257—258) menjelaskan bahwa penggunaan V
merupakan bentuk keintiman atau kedekatan dan T merupakan bentuk
penghormatan dan bentuk formal. Dalam bahasa Melayu Bali, keintiman,
penghormatan, dan bentuk formal juga dapat diwakilkan oleh T tersebut. Tabel
berikut menjelaskan sapaan yang digunakan antar kerabat dan pola yang terdapat
di dalamnya.
Tabel 3 Istilah sapaan antar- kerabat
Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola
Saudara
ayah/ibu keponakan
Pak/mak olong, pak/mak
ngah, pak/mak oman,
pak/mak encu, encu
Resiprokal V-V
keponakan Saudara
ayah/ibu Nama diri Resiprokal V-V
Selain yang terdapat pada tabel tersebut, ditemukan juga istilah sapaan
dari bahasa daerah yang lain. Hal ini ditemukan jika penutur bahasa Melayu Bali
menikah dengan pasangan dari luar daerah. Istilah sapaan yang digunakan untuk
pasangannya tersebut menggunakan istilah dari tempat asalnya. Sebagai contoh,
jika pasangannya tersebut berasal dari jawa, maka keponakannya akan
menggunakan istilah pakdhe/budhe atau paklik/bulik.
3. Sapaan pada Orang Asing
Untuk istilah sapaan pada orang asing, sapaan yang digunakan oleh
responden usia 40—60 tahun adalah adik, sodare, abang, akak, bapak, atau ibu
bergantung pada usia orang tersebut. Untuk penutur lain, ditemukan juga
penggunaan istilah mas, mbak yang merupakan serapan bahasa Indonesia.
Penggunaan istilah tersebut digunakan untuk orang yang berasal dari luar daerah
penutur bahasa Melayu Bali.
Simpulan
Berdasarkan analisis yang dilakukan di dalam bahasa Melayu Bali,
khususnya mengenai istilah sapaan, ditemukan tiga kelompok istilah sapaan
menurut hubungan kekerabatan, yaitu (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti
Bapak, Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong, Pak/Mak
Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare, abang, mas. Berdasarkan
hubungan keakraban, ditemukan juga tiga macam pemakaian istilah sapaan, yaitu
(a) tinggi-rendah (TV) untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama
tinggi/rendah (VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c)
rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika pemakaian istilah
sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya lagi istilah sapaan, seperti Wak,
142 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Encu; diganti dengan istilah sapaan bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur
bahasa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
Brown, R dan A. Gilman. 1960. ‗The Pronouns of Power and Solidarity‘ dalam
T.A. Seobeok (ed.), Style in Language. MIT Press, halaman 253—276.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Suparwa, I Nyoman dan Made Sri Satyawati. 2017. ―Dynamics of the Sentences
System in Balinese-Malay Language‖ dalam Jurnal Melayu 16(1). Online.
Suparwa, I Nyoman, A.A. Pt. Putra, Ni Luh Nyoman Seri Malini. 2014. Dinamika
Fonologis Bahasa Melayu Bali. https://docplayer.info/69929420-
Dinamika-fonologis-bahasa-melayu-bali.html
Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai
Pustaka.
===
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 143
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI :
PERANAN NILAI-NILAI TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN
MASYARAKAT ISLAM DI BALI
I Putu Gede Suwitha
Program Studi Sejarah Universitas Udayana
ABSTRAK
Studi ini akan membahas peranan nilai-nilai tradisional Bali dalam
kolaborasi dengan nilai-nilai dalam dinamikanya di Bali.
Kebertahanan masyarakat Islam di Bali bahwa keberhasilannya
memadukan dan nilai-nilai masyarakat lokal.Islam datang ke
seluruh penjuru nusantara membawa ajaran-ajaran yang universal,
tetapi nilai-nilai lokal diakomodir, termasuk nilai-nilai lokal Bali.
Metode yang dipergunakan adalah metode historis kualitatif
dengan mengumpulkan data kepustakaan dan wawancara
mendalam.Dalam analisis data dipergunakan analisis sejarah dan
semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif.
Hasil studi yang didapat bahwa kolaborasi dan kerjasama antara
masyarakat Islam dan masyarakat Bali telah berlangsung lama dan
mendalam. Dalam aras kontemporer terjadi perubahan dan
transformasi dalam hubungan dengan usaha-usaha mencari nilai
yang baru dengan kenyataan yang aktual. Nilai-nilai baru tersebut
seperti pariwisata, merupakan penghadapan terbaru masyarakat
Islam Bali dalam membangun masyarakat multikultur.
Kata kunci : Identitas, kolaborasi, kebertahanan, kerjasama,
transformasi.
I Pendahuluan
Percampuran budaya merupakan kekuatan budaya Bali.kesadaran
akan kekuatan Bali sebagai penjaga pluralitas budaya mendorong penulis
untuk melakukan studi tentang budaya lokal Bali yang adi luhung yang
mampu menjalani komunikasi dengan baik dengan budaya luar. Kekuatan-
kekuatan ini pula yang menempatkan Bali sebagai pulau pluralis sejak lama,
sehingga mendapat julukan-julukan yang eksotis.Antropolog Barat
menemukan Bali sebagai sebuah pulau dimana budaya dan alam saling
berpautan erat.Jalinan manusia Bali dan alamnya melalui semangat religious
dalam bingkai yadnya melahirkan harmoni kehidupan.
Keterbukaan masyarakat Bali terhadap pendatang sudah terjadi sejak
ratusan tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah. Kehadiran para
pendatang sebagai dampak proses perumabahan menghasilkan masyarakat
144 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
plural yang harus dipahami sungguh-sungguh. Oleh karena itu dapat
menghasilkan modus, cara manajemen yang paling sesuai dengan situasi
masyarakat plural dan multikultur. Oleh karena itu diperlukan kajian model-
model adaptasi dan akulturasi unsur-unsur kebudayaan luar yang
berkesinambungan. Termasuk kehadiran pariwisata yang harus dilihat bukan
saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses
kreatif orang Bali mengikuti perubahan-perubahan. Interaksi antara
pendatang Islam dengan masyarakat Bali menarik untuk ditelaah karena
khas bagaimana dinamika Islam didalam kehidupan di tengah-tengah
masyarakat Hindu dan bagaimana potret Islam sekarang.
II Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang
meliputi empat tahap yaitu : Heuristik, Kritik, Analisa dan Pemeriksaan.
Bahan-bahan berupa dokumen dan tulisan-tulisan lainnya dianalisis dengan
mempergunakan teori sosial.Penelitian juga dibantu dengan metode surve ke
kantong-kantong Islam Tradisional di Bali.
III Uraian
3.1 Kerjasama dan Kolaborasi Budaya
Masyarakat Islam Bali meskipun jumlahnya relatif kecil
(minoritas), tetapi sejak lama telah memainkan peran yang penting terutama
di daerah pesisir, khususnya dalam bidang ekonomi.Kehadiran kelompok-
kelompok Islam secara historis tidak pernah dipermasalahkan.Hal ini karena
adanya entitias politik yang menjadi patron yaitu beberapa puri di Bali1.
Demikian juga adanya kultur pertukaran (culture of change) antara
masyarakat Islam dan masyarakat Bali lainnya dalam berbagai aktifitas
sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Kehadiran masyarakat Islam di
Bali kontributif terhadap sistem ekonomi masyarakat Bali dan terlibat dalam
struktur pertukaran sosial-ekonomi yang terbangun sejak lama.Hubungan ini
menampakkan relasi sosial antar etnik lebih bersifat kolaboratif dibanding
kompetitif.
Kelangkaan sumber daya manusia (SDM) dengan kompetensi
tertentu seperti pedagang dan aktifitas maritim yang perntah terjadi dalam
sistem ekonomi dan politik Bali, membuat satu-satunya pilihan yang
tersedia secara historis adalah orang-orang Islam ini. Selanjutnya terjadi
kerjasama dan kontak-kontak lewat pranata tradisional sekaa, subak, banjar
yangada di Bali2.
Demikian juga terjadi kontak-kontak kultural melalui ―cultural
broken‖ (pialang budaya) seperti ulama, haji, tokoh puri, tokoh-tokoh yang
lainnya saling mengadakan kontak kultural, saling memberi dan menerima
1Masyarakat Islam di Kepaon, Suwung, Serangan, mempunyai hubungan Sejarah dengan
Puri Pemecutan di Badung. Demikian juga masyarakat Islam lain di Bali, mempunyai patron puri
(istana) sebagai pelindung.
2Sekaa, Subak, Banjar adalah pranata atau organisasi sosial yang bersifat sukarela salam
masyarakat Bali yang ada sampai sekarang lihat I Gst Ngr Bagus, kebudayaan bali, dalam
Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan, 1975
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 145
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
unsur budaya masing-masing. Hal ini kemudian berkembang sebagai alat
untuk mendekatkan diri menuju kehidupan bersama yang bersifat trans
etnik, multikultur, menuju terwujudnya komunitas yang lebih luas yaitu
masyarakat Bali yang mandiri (sivil society), menjadi komunitas bangsa.
Islam yang berkembang di Bali saat ini dominan berasal dari Jawa
yang merupakan pengaruh Islam budaya, para ahli sering menyebut Islam
Walisongo yang berkembang pada masa Majapahit di Jawa.Menurut Agus
Sunyoto (Kompas, 6-12-2016) sebutan Walisongo sebetulnya mengambil
petikan pada Sembilan pengaruh yang digambarkan pada simbol ―Surya
Majapahit‖.Memang dalam dunia perkembangan Islam sangat menarik
untuk diteliti karena terdapat variasi-variasi geografis yang amat luas dan
populaisnya mendunia dan melanda semua ras.Keberadaan Islam di pesisir
Bali sejak lama dapat dikatakan kasus unik, dimana komunitas Islam mampu
bereksistensi dengan komunitas Bali yang memiliki identitas budaya
sendiri.Hubungan dan kontak-kontak budaya ini merupakan variasi yang
menarik.Varian Islam yang mengarah ke sinkretisme sampai ke Islam
modern yang menuju ke ortodoksi.Raja-raja Bali sejak dahulu sangat toleran
terhadap masyarakat Islam dan melindungi Islam dengan baik. Raja
mengharapkan masyarakat Islam melakukan kewajibannya dengan baik
sebagai muslim (Korn, 1932).
Karakter Islam Bali yang dibawa oleh Wali Songo sebagai Islam
yang harmoni, akulturatif, adaptif, dan toleransi, di Bali bukan hanya
sekedar wacana, tetapi merupakan praktek dalam kehidupan keseharian.
Penekanan pada toleransi juga dikatakan oleh sejarawan Prancis Lombard,
yang mengatakan bahwa banyak elemen Majapahit yang dipakai oleh
Islam.Disamping simbol surya Majapahit, juga sistem pesantren yang
merupakan warisan Hindu-Budha (Lombard, 1999).3
Pembawa Islam dari Jawa mengutamakan pendekatan damai.
Abdurachman Wahid dalam bukunya : Menggerakkan Tradisi, menyebut
pendekatan ini mengena di hati warga nusantara yang bercampur dengan
kepercayaan lokal Hindu-Jawa. Dalam perjalanan sejarah yang
panjang.Islam Bali sejak abad ke-16, Islam yang bernafas tasawuf ini
bertumpang tindih dengan pandangan masyarakat lokal Bali.Pada awal-awal
Islam masuk ke Bali sinkretisme memang mewarnai interaksi dengan
masyarakat Bali.sebaliknya masyarakat Bali juga banyak mengadopsi
tradisi-tradisi Islam. Sebuah fakta dapat dilihat bahwa mantra-mantra pada
dukun pengobatan Bali selalu menyebut Muhammad pada awal-awal
pengobatannya.Penghormatan pada masyarakat Islam juga dapat disaksikan
sampai sekarang ada beberapa pura yang didalamnya ada pemujaan terhadap
Islam yang sering disebut ―Ratu Mekah‖ seperti di Bangli, Buleleng, Sanur,
Ubung (Denpasar) dan lainnya.
Sepertinya pernah dikatakan oleh Abdurachman Wahid, hakekat
muslim adalah memberi kedamaian untuk sesama. Tidak hanya bermanfaat
3Dalam konsep Hindu-Budha, Surya Majapahit menggambarkan Sembilan dewa yaitu :
Wisnu (Utara), Iswara (T.Laut), Sambu (Timur), Maheswara (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra
(B.Daya), MAhadewa (Barat), Sankara (B. Laut) dan Ciwa sebagai titik pusat. Lihat Agus Sunyoto
Kompas, 6-12-2016.
146 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
bagi agama yang dianut saja, melainkan para pengikut agama lain.
Menghargai ajaran dan keyakinan agama yang berbeda tidak lantas mengiris
keimanan seseorang, bahkan akan makin meningkatkan spiritualisnya
(Rachmanto, Bali Post, 8-1-2018). Pikiran dan gagasan Abdurachman
Wahid diatas ternyata sangat kontekstual dengan kondisi Bali sekarang.
Masih relevan kiranya pendapat Abdurachman Wahid ini jika
dikomparasikan dengan kenyataan masa kini di Bali, saat Islam bersahabat
dengan lingkungan dan kultur Bali. disini pendekatan budaya yang menonjol
yang mengena dihati masyarakat.
Dari data sejarah, sejak awal masyarakat Islam masuk ke Bali
sudah memperlihatkan watak yang kolaboratif, bukan konfrontatif.Mereka
melakukan kontak kultural, saling menerima dan memberi unsur-unsur
budaya masing-masing.Dalam bidang sosial-ekonomi mereka sama-sama
menjadi anggota dan pengurus subak (organisasi pengairan masyarakat
Bali). Clifford Geertz menyebut kolaborasi ini karena sama-sama menjadi
anggota organisasi sukarela (seka), menjadi anggota kekerabatan dan
organisasi petani lainnya (Geertz, 1959 : 991-1012). Sehubungan dengan
organisasi petani (subak), di Jembrana, orang-orang Islam sudah lama
menjadi anggota dan pengurusnya, seperti yang diketemukan oleh Grader di
Banyubiru. Dalam artikelnya yang berjudul : The irrigation system in the
region of Djembrana, Grader mengatakan antara lain :
―Though there no subaks in Djembrana consisting entirely of
Muslims, there are association there and there were their
proportion is fairly high. The subaks of Yeh Anakan, in the vicinity
of Muslems settlement of Banyubiru, it‘s the largest proportion of
muslems members, sixty percent of the total. The board of the
subaks contains the following, fungtionaries : kalian subak (Bali
Islam). Assosiation klian (Bali Hindu, and there assistant (Bali
Islam) (Grader, 1960 : 285)‖
Beberapa simbol kolaborasi ini dapat dilukiskan pulapada dua buah
manuskrip yang sekarang tersimpan di perpustakaan Kirtya di Singaraja
yaitu : ―Pepalihan Gama Bali Ring Gama Selam‖, dan sebuah lagi yang
berjudul : Ahmad Muhammad, secara garis besarnya kedua manuskrip ini
menceritakan dua orang bersaudara yang satu beragama Hindu, dan yang
lain beragama Islam.Keduanya hidup berdampingan secara damai.
Perpaduan antara unsur Islam degan unsur Hindu dalam abad 18
juga tercermin dalam komplek beberapa pura yang pada bagian dalamnya
terdapat bangunan pemujaan Islam dalam bentuk langgar.Yang dihormati
dalam pura langgar (atau yang dipuja).Adalah leluhur yang beragama Islam,
tetapi dihormati atau dipuja juga oleh umat Hindu.Terkadang juga didalam
pura di Bali terdapat bagian yang memuja atau tempat pemujaan ―Ratu
Mekah‖. Pura Meru di pantai Seseh Mengwi Kabupaten Badung dan Pura
―Taman Suci‖ di kota Denpasar dipuja oleh umat Islam di sekitarnya karena
mereka percaya bahwa orang yang di ―meru‖kan atau dihormati adalah
orang yang beragama Islam.
Penggunaan bahasa Melayu yang identik dengan Islam juga
dipakai tidak saja dalam bahasa pergaulan atau ―lingua franca‖, tetapi juga
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 147
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dipergunakan dalam sastra-satra merupakan kolaborasi budaya yang sangat
menarik. Terjadi akulturasi dalam sastra Bali – Melayu (Islam) dalam
bentuk geguritan.
Geguritan merupakan jenis sastra (genre) yang mengandung unsur-unsur
bahasa Melayu (Islam).Keunikan dari geguritan ini ditulis dalam huruf /
aksara Bali dengan menggunakan bahasa Melayu yang menerangkan
berbagai ajaran Islam dan juga beberapa aspek Islam.Seperti contoh kisah
Nabi Muhammad SAW yang dinyanyikan dengan tembang khusus yang
bernama Tembang Amat. Geguritan Tamtam, berkisah tentang tokoh
Tamtam yang masuk Islam dan belajar Islam sampai ke Istana Prabu Mesir.
Pengaruh lain yang berhubungan dengan Melayu (Islam) adalah
praktek dukun yang memperaktekkan ritual yang Islam yang sering disebut
―nyelam‖. Hubungan antara Islam dan pengobatan diabadikan dalam satu
etimologi Loloan di Jembrana yang berasal dari kata loloh, sebuah kosa kata
bahasa Bali yang berarti ―ramuan‖ atau ―obat‖ yang diberikan oleh dukun
muslim di Loloan (Jembrana) (Suwitha, 1983 : 189).
Dalam praktek Balian (dukun) yang nyelam selalu menyebut
figure, formula, dan nama Islam. Islam adalah kekuatan eksotis asing yang
berbeda dengan praktek dukun Bali, dan perbedaan ini dianggap lebih.Ini
merupakan gagasan kunci dalam praktek ilmu pengobatan di Bali.dualitas
foundamental berdampingan dapat dimanfaatkan untuk meraih pembebasan
magis atau control atas elemen-elemen natural dan supernatural. Dengan
demikian menjadi penting bahwa Islam tetap berbeda, tetapi serentak
dengan itu pula diakrabi. Begitu akrabnya sampai sampai diperhitungkan
sebagai unsur kekuatan leluhur pada sementara kelompok (Adrian Vickers,
2009 : 407).
Praktek ilmu gaib Islam dan figure balian kemungkinan besar
adalah sumber dari banyak mantra ―Islami‖ yang terdapat dalam berbagai
manuskrip usada (pengobatan) yang ada di Bali. Hooykaas seperti yang
dikutip oleh Adrian Vickers meneliti sejumlah manuskrip (lontar) yang
khusus mencurahkan perbuatan pada aktifitas dukun beranak tentang
kehamilan dan persalinan yang selalu menyebut ―asma Allah‖ dan
―Muhammad‖ (Vickers, 2009 : 38).
Dalam tuturan yang lebih mendalam penggunaan berbagai identitas
Islam dalam ―konsep Kanda Empat‖ di Bali sangat menarik untuk
dicermati.―Kanda Empat‖ adalah empat saudara mistis yang mendampingi
ego setiap orang Bali dalam perjalanannya menempuh kehidupan sampai
dengan kematian.Empat saudara kandung harus ditentramkan dan dirangkul
secara harmoni melalui ritual kehidupan. Nama-nama saudara empat ini
sering disebut dalam tradisi Islam seperti : Jibrail, Mikail, Sarapil ,dan Israil
dan sebagainya yang berkonotasi Islam.
Teks-teks Islam dalam praktek Balian islam yang umum di Bali
pada masa lalu, mengilustrasikan betapa kesadaran tentang Islam telah
menjadi bagian dari apa yang disebut oleh Adrian Vickers sebagai agama
popular di Bali. mengingat kecilnya ukuran pulau Bali dan kepadatan
penduduknya yang tinggi sejak jaman pra kolonial, hampir-hampir tidak
mengejutkan bahwa ciri Islam banyak ditemukan dalam ritual penyembuhan
dan ritual lainnya di pelosok Bali (Vickers, 2007 : 39).
148 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Pengaruh Islam dalam Usada (pengobatan) tradisional juga
ditemukan oleh peneliti Wayan Jendra dari Universitas Udayana. Dalam
Manuskrip (lontar) usada manual, banyak ditemukan kata-kata yang
menyebut nama Allah. Pada lembar pertama (I a) manuskrip ini
menyebutkan mantra yang berbunyi sebagai berikut :
―Ong tutup kancing buana Allah
Buana keeling, tutupan Gedong
Allah wuwus pepet, sariname
Sianu teke pepet (Wayan Jendra, 1981 ― 84)‖
Mantra diatas ini adalah mantra yang diperuntukkan bagi seorang calon ibu
yang hamil, supaya kandungannya kuat, tidak keguguran.
Bila kandungan seorang ibu sudah berhasil sampai
menjelang kelahiran bayinya, maka sebelum bayi lahir dibuat lagi
mantra.Mantra ini sebagai pembuka supaya jabang bayi lahir
dengan lancar. Mantra pembuka berbunyi sebagai berikut :
―Buka aku kancing Allah Rasullullah‖
Maka dilanjutkan setelah bayi lahir, baukan pengobatan berupa air
yang ditempatkan dalam sebuah wadah, diminumkan kepada Ibu,
sisanya untuk mencuci kemaluan si Ibu. Mantra lanjutan sebagai
berikut :
―Allah, uung, mang, bungkah kancing Allah
Kancing Muhammad, opan aku ngedeg duwa
Pamungkah kancing Muhammat
(Jendra, 1981 : 86)
Pemakaian kata-kata Allah, Muhammad, Rasulullah memberi
petunjuk bahwa pengobatan (usada) dalam proses persalinan (manak)
dipengaruhi oleh Islam. Kata-kata itu makna yang erat hubungannya antara
pengobatan dan konteks keagamaan.Adanya pengaruh budaya Islam adalah
salah satu hal yang wajar dalam dinamika kehidupan antara masyarakat
Islam dan masyarakat Bali Hindu.Tidak ada kebudayaan yang luput dari
pengaruh-pengaruh sesamanya.
Tradisi lokal yang menarik adalah persaudaraan antara masyarakat
Islam dengan masyarakat Bali yang disebut ―menyama braya‖ yang
berkembang luas di Bali Selatan.Ikatan ―menyamabraya‖ berkembang
menjadi ikatan yang merekatkan masyarakat Bali dengan pendatang.Nyama
adalah saudara dekat secara biologis karena hubungan perkawinan. Braya
adalah saudara dekat karena tetangga, karena pekerjaan dan ikatan sosial
yang lain.
Wilayah Bali Selatan secara geografis merupakan pelabuhan alam
yang berfungsi sebagai pelabuhan tradisional sejak lama.Sudah sejak lama
terjadi percampuran budaya di kawasan pesisir Badung dan Denpasar
sekarang.Percampuran antara Islam, Melayu, Cina, Arab yang melahirkan
budaya Mestizo.Budaya mestizo merupakan budaya campuran yang
menghasilkan budayadan adat istiadat yang berbeda dengan daerah Bali
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 149
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lainnya. Bali Selatan sekitar Teluk Benoa sudah lama menjadi tempat silang
budaya dan kontak-kontak peradaban, meminjam konsep Restu Gunawan
(Kompas, 15 Januari 2016), laut bebas ini bukan sekedar laut perdagangan
tetapi juga laut peradaban. Tidak berlebihan Bali Post edisi 3 Juli 2015
menyebutkan laut sekitar Teluk Benoa sebagai ―Beranda Pulau Dewata‖.
3.2 Pemertahanan dan Perubahan Identitas
Secara historis penduduk yang beragama Islam di Bali dibagi
menjadi dua kelompok besar.Kelompok pertama, penduduk yang sekarang
merupakan keturunan para pendatang abad 17-18, sering disebut orang
kampung.Kebanyakan dari mereka berasal dari Sulawesi Selatan,
Kalimantan Barat, Sumatera, Arab, Melayu. Kelompok ini mendiami
kampung-kampung Islam seperti Loloan (Jembrana), Pegayaman
(Buleleng), Toyo Pakeh, Gelgel, Kusamba (Klungkung), Serangan, Kepaon,
Suwung, Tanjung Benoa (Badung/Denpasar).
Para peneliti tentang Bali menyebut kelompok ini Bali Islam
(Korn, 1932; Grader : 1960; Barth, 1988) atau juga disebut Bali Melayu
(Bagus, 1978 ; Sumarsono, 1978). Sebutan Bali Islam atau Islam Bali
(muslim Bali) sesungguhnya berasal dari terminologi lama atau muslim
kuno yang mempunyai ikatan genealogi, kekerabatan dan menyamabraya
(keluarga dekat) dengan masyarakat Bali. hakekatnya secara historis kultural
bagian integral dari masyarakat Bali. secara geografis mereka tidak
mempunyai asal-muasal di luar Bali, sehingga mereka menyebut diri orang
Bali. biasanya diikuti dengan dengan daerah asalnya di Bali yaitu misalnya
dari Loloan, dari Kepaon, Serangan dan lainnya.
Kelompok kedua mereka yang datang ke Bali akhir abad 19, awal
abad 20, karena didorong oleh sebab-sebab sosial ekonomi.Merkea berasal
dari Sasak (Lombok), Madura, dan Jawa Timur lainnya.Tempat tinggal
mereka sekarang menyebar di desa-desa pantai di Jembrana,
Buleleng.Kelompok kedua ini ditambah dengan mereka yang datang setelah
tahun 1970 an karena perkembangan pariwisata yang pesat di Bali.kelompok
ini sering disebut muslim di Bali.
Dalam kajian post modernism, identitas sesungguhnya tidak
bersifat tunggal (multi identitas) dan setiap budaya bersifat multikultur.
Identias memang merupakan kebutuhan esensial setiap individu atau
kelompok.Dalam kaitan dengan masyarakat Islam di Bali, petanda utama
identitas adalah budaya dan bahasa.Bahasa merupakan salah satu alat
pengidentifikasi ciri-ciri yagn paling meluas. Menurut Kramsch (dalam
Suastra, 2010 : 4) bahasa sebagai sistem tanda untuk megnungkapkan,
membentuk, dan menyimbulkan realitas budaya. Dalam hal ini identitas
masyarakat Islam di Bali bersifat cair, dinamis, dan variatif, identitas
sengaja dibentuk, bukan warisan (given), Bourdieu (1986), Madan Sarup
(1987) mengatakan identitas itu tidak pernah tetap, selalu berubah-ubah,
tidak utuh, tidak satu, tetapi fabricated atau constructed dan terus digodok
oleh proses sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Barth (1988) berpendapat
bahwa identitas dan etnisitas, bukan hanya bersifat askriptif melainkan
perjuangan politik untuk memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik.
150 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Mencermati konsep diatas, dapat dipakai sebagai acuan untuk
melihat perubahan identitas masyarakat Islam di Bali.suatu hal yang
menarik dalam perubahan identitas ini dipergunakan bahasa Melayu oleh
masyarakat Islam khususnya di Jembrana. Bahasa Melayu Bali oleh
beberapa peneliti sering disebut bahasa khas ―Loloan‖ (Bagus, 1978,
Sumarsono, 1978).Bahasa ini dipergunakan sebagai ―lingua franca‖ oleh
para pendatang yang mendiami desa-desa pantai di Jembrana.Bahasa ini jika
diselidiki lebih lanjut ternyata banyak mengandung unsur-unsur bahasa
Bugis-Makassar maupun Melayu.Kelompok penutur bahasa Melayu (dialek
Loloan) hidup dalam kesatuan sosial yang tidak berdasarkan ikatan
kekerabatan, tetapi ikatan tempat kehidupan (geografis) dan agama.Dalam
perkembangan kemudian, penutur bahasa Melayu tidak mau disebut Bali
Islam.Alasan mereka sangat praktis, karena sebutan itu terlalu
menjolok.Mereka lebih senang disebut ―nak kampung‖ yang artinya orang
kampung.Pada masa orde baru, situasi pembangunan pada masa itu (1969-
1998), rupanya berpengaruh terhadap sikap masyarakat setempat. Timbul
anggapan bahwa nama ―nak kampung‖ tidak sesuai dengan zamannya. Ada
anggapan bahwa orang kampung berarti orang desa. Pada umumnya mereka
tidak senang lagi disebut orang desa, karena itu mulai popular dengan nama
Melayu Bali. dalam kaitan dengan identitas Melayu, seperti yang dikatakan
oleh Andaya dan Andaya (dalam Ardhana, 2010 : 13) bahwa mereka juga
didifinisikan sebagai muslim yang berwujud melayu seperti halnya di Sabah,
dalam hal di Bali menjadi Melayu Bali.
Dalam jaman kerajaan abad 18-19 mereka disebut wong suanantara
/ wong dura negara (orang asing luar Bali), seperti Bugis, Mandar,
Makassar, Arab, sesuai dengan etnisnya. Penggunaan penanda-penanda
identitas memang memiliki kecenderungan berubah-ubah.Sekarang
kecenderungan memilih asal-usul mereka sebagai identitas yang berkelindan
dengan agama seperti Islam dari Loloan, Islam dari Kepaon dan seterusnya.
Beberapa orang yang diwawancarai mengaku sebagai orang Islam dari Bali,
seperti penjelasan dibawah ini :
―Saya orang Bali yang lahir di Serangan (Denpasar)
Saya tidak tahu dari mana leluhur saya berasal
Yang jelas saya lahir di Serangan,
Sebagai orang Bali yang kebetulan beragama Islam,
Sama seperti orang Bali lain yang beragama Hindu
Atau beragama Kristen‖
(Ahmad Sastra, 70 tahun)
Tokoh Islam lain yang diwawancarai, juga menyebut diri orang Bali yang
beragama Islam, seperti pengakuannya dibawah ini :
―Saya lahir di Kepaon (Denpasar), saya tidak
begitu tahu dari mana saya berasal. Tetapi ibu
Saya orang Bali yang beragama Hindu. Ayah saya
katanya dari Palembang yang beragama Islam.
Saya diasuh dan dibesarkan oleh Kakek saya
Yang beragama Hindu. Bahasa sehari-hari saya
Adalah bahasa Bali‖.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 151
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(Padani, 65 Tahun)
Kerinduan pencarian identitas baru di tengah gemuruhnya dunia
tanpa sekat yang bernama globalisasi, membangun identitas baru sebagai
pertahanan globalisasi pariwisata yang melanda Bali.identitas Bali, identitas
Islam, identitas Melayu dimainkan dan ditukar-tukar silih berganti.
Pariwisata yang tadinya merupakan dunia negatif bagi masyarakat Islam,
sekarang sudah menjadi bagian dari dunia Islam di Bali.―Kue Pariwisata‖
juga mulai diminati oleh masyarakat Islam (Adnan, 1997).
Ketika bom bali meledak tahun 2002 dan 2005, keadaan cepat pulih karena
masyarakat Islam di Bali bahu-membahu memulihkan keadaan lewat para
tokoh agama (Haji Bambang, 2015, Wildaniyati, 2017).
Bersamaan dengan datangnya pelajar dan mahasiswa Islam dari
pesantren-pesantren di Jawa, mereka menguatkan identitas Islam Bali, Islam
yang berasal dari Bali.ketika Lebaran (Idul Fitri), justru orang-orang Islam
yang berasal dari Bali mudik ke Bali, ke kampung-kampung Islam yang
tersebar di Bali. sekarang ada fenomena baru, banyak orang-orang Islam
yang menempati perumahan seperti ―BTN‖, karena tanah Bali makin
terbatas, mereka menyebut diri Islam ―BTN‖.
IV Kesimpulan
Kehidupan masyarakat Bali sampai sekarang masih dilandasi oleh nilai-
nilai budaya yang tercermin dalam tata kehidupan dan tata pergaulan gotong
royong.Gotong royong dan kerjasama ini melibatkan lembaga-lembaga sosial
seperti banjar, desa adat, seka, subak dan organisasi sosial lainnya.Hubungan
sosial harmonis ini menembus batas-batas agama.Kolaborasi masyarakat Islam
dan masyarakat Bali merupakan mainstream, seperti dikatakan oleh Lombard
(1999) masyarakat Islam di Bali berada di luar Islam dan tidak bisa dijelaskan
dengan teori-teori yang ada.
Dari beberapa fakta diatas, terutama bagaimana dinamika identitas
masyarakat Islam dalam rangka kebertahanan, sesungguhnya dapat dilihat dari
makna transformatif.Sebuah kecenderungan / trend, sebuah pembaharuan dalam
hubungan dengan usaha mencari etika baru, untuk mencari nilai-nilai baru dengan
kenyataan yang aktual.Roland Robertson menyebut hal ini sebagai ―Ascetic
Mistic‖.Pariwisata yang pada sebagai masyarakat Islam dianggap ―tabu‖, sebagian
besar sudah diterima oleh masyarakat Islam di Bali.Islam dan pariwisata
merupakan penghadapan terbaru masyarakat Islam di Bali dalam membangun
multikultural.
DAFTAR PUSTAKA
C.J. Grader, ―The Irrigation System in Jembrana‖, dalam Swellengrebel (ed.), Bali
Studies; Life, Thought and Ritual, The Hague, 1960.
V.E. Korn. Het Adatrecht van Bali. u‘Gravenhage : C. Naeff, 1932.
Ardhana, I Ketut dkk. Masyarakat Multikultur Bali : Tinjauan Sejarah, Migrasi,
dan Integrasi : Pustaka Larasan, 2011.
Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya. Vol.I. Jakarta : Gramedia, 1999.
Vickers, Adrian. ―Hinduism and Islam in Indonesia : Dalam Indonesia No. 44‖,
1987.
152 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
_________. Peradaban Pesisir Menuju Sebuah Budaya Nusantara. Denpasar :
Pustaka Larasan, 2009.
Clifford Geretz. ―Gorm and Variation in Balinese Village Structure‖.American
Anthropology, No. 61, 1959.
Wildaniyati. Dinamika Kerukunan Antar Umat Beragama : Eksistensi Masyarakat
Islam di Bali Pasca Bom 2002 – 2012. Skripsi, Udayana, 2017.
Bagus, I Gusti Ngurah. ―Kebudayaan Bali‖, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan, 1975.
Adnan, H.S. Habib. Islam dan Dinamika Kehidupan.MUI Bali, 1997.
Bagus, I Gusti Ngurah, Sekilas Tentang Latar Belakang Sosial Budaya dan
Struktur Dialek Melayu Bali.laporan Penelitian, 1978.
Jendra, I Wayan. Pengaruh Agama Islam Dalam Uada Tradisional Bali : Suatu
Studi Kasus Dalam Usada Manak. FS, 1981.
Sumarsono. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan-Bali. Jakarta : Pusat Bahasa,
1993.
I Putu Gede Suwitha, ―Islam dan Perahu Pinisi di Selat ali‖, dalam Masyarakat
Indonesia, Th. X, No. 1, 1983. Jakarta : LIPI.
Kompas, 6-12-2016.
Kompas, 15-01-2016.
Bali Post, 8-01-2018.
Bali Post, 03-07-2015.
Suastra, I Made. Bahasa Bali Sebagai Simbol Idenditas Manusia Bali.Denpasar :
Makalah, 2008.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 153
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS
CERITA RAKYAT
CORO ILA DAN I BELOG MANTU
I Wayan Cika
Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unud
ABSTRAK
Berdasarkan perbandingan antara cerita rakyat Coro Ila (dari
Bima) dan I Belog Mantu (dari Bali) ditemukan adanya hubungan.
Hubungan itu terlihat dalam bentuk tema, latar, dan penokohan.
Tema kedua cerita adalah sama, yakni menyunting seorang gadis
dengan cara tipu daya. Latar kedua cerita pun nuansanya sama,
yaitu sama-sama terjadi di sebuah tempat keramat pada malam hari.
Hubungan aspek penokohan tercermin, baik dari segi fisik maupun
psikisnya. Unsur perbedaannya terletak pada latar cerita, yakni
dalam cerita rakyat Coro Ila terjadi di sebuah pohon sedangkan
dalam cerita I Belog Mantu terjadi di sebuah merajan (tempat
sembahyang umat Hindu). Selain itu, kata-kata atau ungkapan
yang digunakan dalam cerita Coro Ila bermakna denotatif
sedangkan dalam cerita I Belog Mantu banyak ditemukan kata yang
bermakna ambigu, terutama ketika I Belog memperdaya calon
mertuanya.
Kata-kata kunci: Coro Ila, I Belog Mantu, tipu daya,
kesinambungan, pemisahan.
1. Pendahuluan Cerita rakyat adalah salah satu genre sastra lisan yang terdapat di seluruh
wilayah Nusantara. Cerita rakyat itu memiliki bentuk dan jenis yang beraneka
ragam. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan dicoba ditelusuri cerita rakyat
Bali yang berjudul I Belog Mantu dan cerita rakyat daerah Donggo, Kabupaten
Bima, NTB yang berjudul Coro Ila. Cerita rakyat I Belog Mantu diangkat dari
Satua-satua Sane Banyol ring Kesusastran Bali yang dikumpulkan oleh I Gusti
Ngurah Bagus dan diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Singaraja, l976;
sedangkan cerita rakyat Coro Ila yang diangkat di sini adalah cerita rakyat yang
telah ditransliterasikan oleh Ni Putu Asmarini, dkk. yang dimuat dalam laporan
hasil penelitiannya yang berjudul ―Sastra Lisan Donggo‖ (l994/l995); Kedua
cerita tersebut cukup menarik. Di dalamnya dilukiskan cara-cara untuk
mempersunting seorang gadis dengan motif tipu daya. Kedua tokoh utama dalam
cerita tersebut memiliki cita-cita yang tinggi, yakni untuk mempersunting gadis
cantik yang disegani di desanya. Padahal dari segi fisik, kedua tokoh utama itu
termasuh tokoh hina. Oleh karena itu, untuk mempersunting gadis yang cantik di
desanya, mereka menggunakan motif tipu daya.
154 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Berdasarkan uraian tersebut, kedua cerita memiliki motif-motif persamaan
(hubungan), baik hubungan tema dan amanat, hubungan latar, maupun hubungan
penokohan, di samping juga ada perbedaannya terutama cara penyajiannya dan
tempat terjadinya peristiwa. Untuk itu, masalah yang akan dibahas adalah sejauh
mana hubungan antara cerita rakyat cerita rakyat Coro Ila (dari Bima) dan cerita
rakyat I Belog Mantu (dari Bali) dan
II. METODOLOGI
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, kedua cerita itu
mempunyai hubungan secara tekstual. Oleh karena itu,dalam kesempatan ini akan
dicoba dianalisis dengan menggunakan teori intertekstualitas. Teori
intertekstualitas maksudnya adalah untuk mengetahui sejauh mana hubungan
kedua cerita tersebut. Teori ini diguakan karena kedua teks diprediksi
mempunyai hubungan tertentu dengan teks-teks lain, misalnya hubungan tema,
penokohan, dan unsur-unsur intrinsik lainnya. Telaah interteks berangkat dari
asumsi bahwa kapan pun sebuah karya ditulis, termasuk karya sastra, tidak
mungkin lahir dari kekosongan budaya. Karya itu merupakan respons pada karya
sastra yang terbit sebelumnya (Teeuw, dalam Ratih, l994:177). Tidak ada sebuah
teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan
pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh,
teladan, kerangka karya sastra yang ditulis kemudian, bisanya mendasarkan diri
pada karya-karya lain, baik secara langsung maupun tidak langsung
(Nurgiyantoro, l995:51). Menurut Kristeva (dalam Junus, l985: 87—88),
intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada teks lain. Hal itu dapat ditandai
oleh adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan, persambungan, dan
pemisahan antara suatu teks dengan sebuah teks yang pernah ada.
III. PEMBAHASAN
3.1 Hubungan Tema dan Amanat
Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, latar, dan
penokohan. Tema adalah inti permasalahan yang hendak disampaikan pengarang
dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai
peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar (Hasanuddin, l996:103).
Setelah dirumuskan dari berbagai peristiwa, maka cerita Coro Ila dan I Belog
Mantu mempunyai tema yang sama, yaitu ‖mempersunting seorang istri dengan
cara tipu daya‖. Namun demikian, masih tampak ada sedikit perbedaan, terutama
dalam teknik penyajian peristiwa. Dalam cerita Coro Ila, semula Hasan (tokoh
utama), tampaknya tidak mungkin menikah dengan Aminah, karena adanya
perbedaan status antara keduanya. Hasan dikenal sebagai orang hina, sakit-
sakitan, dan sangat miskin; sedangkan Aminah anak kepala kampung, kaya, dan
disegani di desa itu. Akan tetapi, dengan tipu dayanya itu, Hasan dapat menikahi
Aminah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.
Ade ngadi kai ai la Hasan lao nee aka fuu mangge sampe taese elona labo
kani maburu, ese fuu la Hasan kanggica labo nggahira. Hasa Eeeee menana dou
mawara di kampoe itadoho musti kanikamu la Hasa mbonco labola Aminah ana
doumanae kai rasa, watisi kanikamu rasa ake pede nawara bala diwaa ba mada,
saraana dou mawara ade rasa wancuku wedina ringana eli mandede nae, ringana
eli mandede nae dou ade rasa haroci roci lao ngoa doumanae kai rasa. Edempara
au mandadi doumanae kai rasa kaboro saraana dou ma loa loa ade rasa ede, mabe
dou ma disa kau lao tio deniku aka hidi wara kai douma kanggica, edempara lao
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 155
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sabua sando mawancuku loa ade rasa ede aka kompe wara kai dou ma kanggica
kande. Waumpara sado rongga aka hidi akande, edempara edana wara nipu
mabura ma nggoncu ese elo fuu mangge, nihu mabura ede nakauku dou mawara
taawa fuu mangge kanikapu la Hasan labo la Aminah (Asmarini, l994/95:93).
Terjemahannya:
Pada tengah malam yang gelap, pergilah Hasan memanjat pohon asam
dan duduk di atas pohon itu dengan berkerudung kain putih. Hasan dengansuara
lantang berteriak. ―Hai Bapak-bapak-ibu-ibu seluruh masyarakat penduduk desa
ini, kawinkanlah Hasan Mbonco dengan Aminah anak kepala kampung. Apabila
tidak, bala dan bencana akan saya tuangkan dan limpahkan di desa ini. Semua
masyarakat kaget mendengar suara yang begitu besar dan lancang. Akhirnya,
masyarakat di desa itu berembug dan melaporkan kejadian itu kepada kepala
kampung. Malam itu juga kepala kampung mengumpulkan para pemuka desa,
dan kepada yang berani disuruh menyelidiki, apa gerangan yang terjadi di pohon
itu. Berangkatlah seorang dukun terkenal dan melihat-lihat ke atas pohon. Pohon-
pohon itu dilihatnya satu per satu, dan ternyata ada satu bayangan putih yang
sedang berteriak-teriak dan menginstruksikan agar masyarakat kampung mau
mengawinkan Hasan dengan Aminah (Asmarini, l994/95: 116—117).
Setelah mereka menikah, Hasan tetap berkeinginan untuk membalas sakit
hatinya. Ia masih tetap teringat akan sakit hatinya ketika ia dihina oleh mertuanya
sebelum menikah. Oleh karena itu, ia membuat tipu daya. Hasan membeli ikan di
pasar, kemudian ia melapor kepada istrinya, bahwa ikan yang dibawa itu adalah
hasil memancing di sungai. Melihat kejadian itu, Aminah tertarik, lalu
menyampaikan kepada ayahnya. Ayahnya pun tertarik juga; lalu ia membeli alat-
alat memancing dan pergi ke sungai. Begitu ia melemparkan kail ke dalam sungai,
tiba-tiba, secara sembunyi-sembunyi, Hasan menyelam ke dalam sungai itu, lalu
kail itu ditarik. Dalam proses tarik-menarik itu, mertuanya terjatuh lalu dicubit-
cubit. Mertuanya lari tunggang langgang, disangka ada ikan besar yang
mencubitnya. Setelah sampai di rumah, mertuanya baru sadar bahwa yang
mencubit itu adalah Hasan. Kejadian itu akan dibalas oleh mertuanya (Asmarini,
1994/95:119).
Pada suatu ketika, Hasan pergi memancing di tempat yang sama. Ayah
mertuanya pun sudah ada di situ sebelumnya dan melakukan aktivitas sama
seperti yang dilakukan Hasan. Akan tetapi, Hasan tampak lebih cerdik. Ketika
terjadi saling tarik dengan ayah mertuanya, Hasan menghentikan tarikannya,
kemudian mengambil batu dan melempar ikan dalam air bertubi-tubi, sambil
menggerutu ―ikan kurang ajar, ikan kurang ajar‖. Ayah mertuanya muncul tiba-
tiba dan mohon maaf kepada Hasan.
Dalam cerita I Belog Mantu, tipu daya hanya terjadi sebelum I Belog
menikah dengan Ni Luh Sari. Tipu daya itu ada yang berupa ungkapan-ungkapan
yang bermakna ambigu, dalam bahasa Bali disebut raos ngempelin, dan ada juga
yang berupa tindakan. Tipu daya yang berupa ungkapan-ungkapan yang bermakna
ambigu, dapat dilihat pada contoh berikut.
―Apa, tain siape ne tuh-tuh di tembok paone, kadung pang liu kanyahnyah
kakulang, basange bas kalayahane‖ (apa, tai ayam yang kering di tembok dapur,
kebetulan banyak, digoreng seperti kakul, perut kelewat lapar). ―Apa, tain cicinge,
156 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
katumplu iwel manis jaan pesan‖ (apa, tai anjing disodok dodol manis sekali).
―Bapa sing ja bisa apa naar taluh kakul matah-matahan, cara icang kene ngamah
jaja bagina magoreng‖ (ayah tidak bisa makan telur kakul mentah-mentah, seperti
saya makan kue bagina goreng)
Ayah Luh Sari tampaknya kurang jeli menangkap makna ungkapan-
ungkapan itu, sehingga ia tertipu olehnya. Ayah Luh Sari ternyata makan ―tai
ayam yang digoreng‖, ―tai anjing‖, dan ―telur kakul mentah‖. Padahal yang
dimaksud bukan itu melainkan ―kakul yang digoreng‖, ―kue iwel (dodol)‖, dan
―kue bagina yang digoreng‖
Selanjutnya, ayah Luh Sari menyadari bahwa dirinya diperdayai. Oleh
karena itu, ia ingin membalas dengan tipu daya. I Belog diajak pergi ke hutan
mencari ijuk. Setelah tiba di hutan, ayah Luh Sari naik pohon ijuk, sedangkan I
Belog disuruh menunggu di bawah. Dengan begitu, ia mengharap agar I Belog
diterkam macan (Bagus, 1976:45). Setelah dipetik, ijuk itu dijatuhkan. Ijuk itu
dirapikan, digulung, dan I Belog masuk di dalamnya. Kemudian ia menjerit-jerit,
pura-pura diterkam macan. Mendengar kejadian itu, ayah Luh Sari gembira sekali
karena keinginannya untuk membalas dendam terpenuhi. Ayah Luh Sari bergegas
pulang sambil memikul ijuk itu. Ia merasakan bahwa ijuk itu sangat berat, tahu-
tahu setelah tiba di rumah, I Belog muncul dari dalam ijuk itu. Ayah Luh Sari
sangat menyesal, disangka I Belog benar-benar diterkam macan.
Keesokan harinya, ayah LuhSari kembali mengajak I Belog pergi ke hutan
mencari ijuk. Sekarang giliran I Belog yang disuruh naik pohon sedangkan ayah
Luh Sari berada di bawah. Ayah Luh Sari ingin memperdayai I Belog, seperti
yang dilakukan sebelumnya. Setelah ijuk berjatuhan, ayah Luh Sari merapikan
dan menggulungnya, kemudian ia memasukkan dirinya ke dalam gulungan itu,
sambil berteriak pura-pura diterkam macan.
Kejadian itu sudah dibaca sebelumnya oleh I Belog. I Belog pun bergegas
mengambil tali lalu mengikat gulungan ijuk itu dengan keras. Ayah Luh Sari
berteriak kesakitan. Akan tetapi tidak dihiraukan oleh I Belog. Gulungan ijuk itu
diseret bahkan dibanting-banting ketika tiba di rumahnya (Bagus, 1976:47)
Sebelum tercapai niatnya, I Belog masih tetap melanjutkan perjuangannya
dengan tipu daya. Tipu daya itu tampak dalam kutipan berikut.
I Belog buin mangeka daya kalaning peteng, nyingid ia kema kasanggah
bapan Luh Sarine. Macelep kasanggah kamulane, lantas ia ngawe munyi kauk-
kauk ngaukin bapan Luh Sari, manyaru pangandikan Dewa Hyang Gurunne. Kene
munyinne: ―Cai Pan Sari, mai tangkilin ira, ira Dewa Hyang caine. Jani ira
nagihin cai punjung rayunan, mabe siap maguling, yan sing iba ngaturin ira
punjung rayunan jani, sing buungan iba pongor ira‖. (Terjemahan: I Belog
kembali membuat tipu daya di waktu malam, sembunyi ia ke sanggah (tempat
pemujaan Hyang Widi) ayah Luh Sari. Masuk ke dalam sanggah kemulan lalu ia
berteriak keras-keras memanggil ayah Luh Sari, menyamar bagaikan suara Dewa
Hyang Guru. Suaranya begini: ―Engkau Pan Sari, datanglah ke mari, aku Dewa
Hyangmu. Sekarang aku minta santapan nasi berisi ayam guling, jika engkau
tidak menghaturkan sekarang, tidak urung engkau akan kusakiti (Bagus, 1976:48).
Ada lagi permintaan I Belog, seperti tampak dalam kutipan berikut.
Jani ada pakayun ira, ento pianak ibane Ni Sari apang iba ngantenang
teken I Belog, ia mula jatu karmane, da iba bani-bani teken ia I Belog. I Belog
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 157
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
anak ririh pesan madaya. Yen iba buin bani teken ia, sing buungan iba mati. Yen
sing ia I Belog baang iba pianak ibane nganggo kurenan, sing buungan iba lacur
kapegatan sentana, nyen bakal ajak iba manyungsung manira dini di sanggah,
manira duka teken iba. Da iba buin ngalih dewasa, bin telun sakapang ia I Belog
teken pianak ibane! Pragat amonto, kema iba mulihan, jani manira tuun
ngunggahang aturan ibane, sing dadi tongosin dini. (Terjemahan: Sekarang ada
keinginanku, itu anakmu Ni Sari supaya dinikahkan dengan I Belog, dia memang
jodohnya, jangan kau berani dengan I Belog. I Belog pintar sekali berdaya-upaya.
Jika kau berani dengannya, tidak urung kau akan mati. Jika tidak I Belog yang kau
beri anakmu, tidak urung kau sengsara ketinggalan keturunan, siapa yang akan
kau ajak menyembahku di tempat pemujaan ini, aku marah denganmu. Tidak
perlu lagi mencari waktu baik, lagi tiga hari nikahkan I Belog dengan anakmu!
Hanya sekian, pergilah ke kamarmu, sekarang aku turun menyantap suguhanmu,
tidak boleh ditunggu (Bagus, 1976:49).
Pan Luh Sari tampaknya percaya betul dengan suara itu. Akhirnya, ia
menikahkan putrinya (Ni Luh Sari) dengan I Belog.
3.2 Hubungan Latar
Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,
dan sosial (Nurgiyantoro, l995:227). Ketiga unsur itu, walaupun menawarkan
permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, namun pada
kenyataannya saling berkaitan, dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hal
itu penting untuk menciptakan suasana dalam karya naratif (Hartoko, l986:78)
Aspek ruang dan waktu dalam cerita Coro Ila, adalah sebuah pohon asam
yang dianggap keramat oleh penduduk setempat. Di atas pohon itu, Hasan duduk
memakai kain kerudung putih, kemudian bersuara keras-keras agar Aminah
dikawinkan dengan Hasan. Peristiwa itu terjadi tepat tengah malam Jumat.
Kejadian itu menyebabkan suasana desa tercekam rasa ketakutan. Demikian pula
kepala kampung menjadi gelisah. Akhirnya, kepala kampung menikahkan putri
kesayangannya dengan Hasan.
Hal seperti itu terjadi pula dalam cerita I Belog Mantu. Peristiwanya
terjadi di sebuah tempat suci (sanggah, merajan) di rumah Pan Luh Sari. Di
tempat itu, I Belog menyamar dan bersuara seperti suara Dewa Hyang Guru.
Suara itu memanggil-manggil Pan Luh Sari agar segera mendatanginya, dan
selanjutnya dimohon agar putrinya dikawinkan dengan I Belog. Peristiwa itu
terjadi tengah malam. Dengan adanya peristiwa itu, Pan Luh Sari justeru merasa
senang, karena ia percaya bahwa suara itu benar-benar suara Dewa Hyang
Gurunya. Selain itu, persembahan berupa nasi dan ayam guling yang telah
dihaturkan sebelumnya, hilang tanpa bekas, dikira sudah diambil oleh Dewa
Hyang Guru.
3.3 Hubungan Penokohan Tokoh utama dalam kedua cerita, Coro Ila dan I Belog Mantu mempunyai
keselarasan, setidaknya dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi fisik dan psikis.
Secara fisik, tokoh Hasan dilukiskan sebagai sosok yang sakit-sakitan. Sejak
dalam kandungan, ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Ia hanya diasuh oleh ibunya,
Ina Hasan. Ia hidup dalam keluarga yang sangat miskin. Secara psikis, Hasan
termasuk orang yang cerdik. Ia berkali-kali berhasil memperdaya ayah mertuanya,
158 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
mulai dari sebelum sampai sesudah ia menikah dengan Aminah. Semuanya itu
dilakukan, karena rasa cintanya dengan Aminah sangat dalam.
Tokoh I Belog, secara fisik memang tidak banyak dilukisakn, sama seperti
tokoh Hasan. Namun, masih dapat ditelusuri bahwa I Belog adalah tokoh yang
tidak simpatik (bocok buin jelek, ubuh, tiwas) (Bagus, l976:49); artinya tidak
menarik, buruk, yatim piatu, dan miskin. Akan tetapi, ia termasuk tokoh yang
cerdik.
IV. Simpulan Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa secara intertekstual,
cerita Coro Ila dan cerita I Belog Mantu mempunyai benang merah yang jelas.
Benang merah itu dapat dibuktikan dengan adanya hubungan tema amanat, latar,
dan penokohan. Kedua cerita mempunyai tema yang sama, yaitu menyunting
seorang istri dengan cara tipu daya. Hanya saja teknik penyajiannya sedikit
berbeda. Dari tema itu tersirat adanya amanat yang mengisyaratkan kepada
pembaca agar selalu berhati-hati dalam menerima ungkapan-ungkapan yang
mengandung makna ambiguitas. Sebab, ungkapan semacan itu sering membuat
seseorang terkecoh, yang pada akhirnya akan membawa dampak yang dapat
menjerumuskan seseorang.
Kedua cerita, I Belog Mantu dan Coro Ila menampilkan nuansa tokoh
utama dan latar yang sama, yaitu sama-sama terjadi di suatu tempat yang keramat
dan pada waktu malam hari. Bedanya terletak pada latar. Latar cerita Coro Ila
adalah di sebuah pohon asam yang dianggap keramat oleh penduduk setempat dan
latar cerita I Belog Mantu di sebuah sanggah kemulan, yang juga dianggap
sebagai tempat keramat (suci).
Daftar Pustaka Asmarini, Ni Putu, dkk. l994/l955. Sastra Lisan Donggo. Denpasar: Proyek
Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Depdikbud,
Denpasar.
Bagus, IGN. L976. Satua-satua Sane Banyol ring Kasusastran Bali. Singaraja:
Balai Penelitian Bahasa.
Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.
Hartoko, Dick dan B. Rachmanto. L986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:
Kanisius.
Hasanudin, W.S. 1996. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.
Ratih, Rina. 1994. ―Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra‖, dalam
Teori Penelitian Sastra: Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia,
IKIP Muhammadiyah.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 159
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX-
XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI
I Wayan Srijaya
ABSTRAK
Indonesia merupakan Negara dengan masyarakatnya yang
multikultur. Masyarakat multikultur tidak saja dilihat dari
banyaknya suku bangsa yang mendiami Negara kepulauan ini,
melainkan juga menyiratkan banyaknya kebudayaan yang ada
didalamnya. Kekayaan budaya ini menjadi kekuatan untuk
mengikat masyarakat multikultur ke dalam bingkai Negara
kesatuan. Demikian pula halnya dengan Bali yang menjadi bagian
dari Negara Indonesia mempunyai keberagaman budaya dan adat
istiadatnya yang diimplentasikan ke dalam berbagai bentuk
kebudayaan. Masyarakat Bali juga telah dibentuk menjadi
masyarakat multikultur sejak abad IX M sebagaimana ditunjukkan
oleh bukti-bukti arkeologis.
Kata kunci:masyarakat multikultur, budaya, rekaman arkeologis
Pendahuluan
Masyarakat Bali telah menjalin persahabatan dengan dunia luar sejak awal
abad masehi (Ardika, 1991) yang ditandai dengan adanya bukti-bukti arkeologi
berupa gerabah India yang berasal dari situs Arikamedu.Keberadaan gerabah
India ini memberikan petunjuk bahwa telah terjadi kontak-kontak antara
masyarakat pesisir Bali utara dengan pedagang India. Namun demikian kehadiran
budaya India ini belum dapat dipastikan apakah dibawa oleh para pedagang India,
masih menjadi pertanyaan. Sebab secara formal masyarakat Bali baru diketahui
memasuki zaman sejarahnya sekitar abad VIII M sebagaimana ditunjukkan
prasasti tertua yang belum menyebut nama raja yang oleh Goris disebut prasasti
Yumu pakatahu (Goris, 1954). Sejak saat ini, masyarakat Bali mulai memahami
tatanan sosial yang bernafaskan agama Hindu dan Budha. Kemudian dengan
kontak-kontak formal yang membentuk masyarakat religious ini melahirkan
berbagai kebudayaan yang di padukan dengan tradisi lokal yang sudah ada
sebelumnya. Tradisi lokal masyarakat Bali tidak hilang begitu saja, melainkan
dapat diselaraskan dengan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh para pedagang
dan pendeta India. Itulah sebabnya, dibanyak desa di Bali (desa-desa Bali mula)
tetap dapat mempertahankan tradisinya yang sudah diwarisi secara turun temurun.
Begitu juga konsep Hindu dan Budha yang datang belakangan tidak serta merta
menghilangkan tradisi masyarakat melainkan saling melengkapi. Sejak
munculnya sistem politik yang berbetuk kerajaan di Bali, masyarakat mulai
diperkenalkan dengan masyarakat multikultur yang ditandai dengan hadirnya para
migrant India yang membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat. Aspek-
aspek yang mengalami pembauran dalam sistem sosial masyarakat adalah dalam
160 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
stratifikasi sosial, bahasa, seni, teknologi, ilmu pengetahuan, politik,dan agama.
Unsur-unsur inilah yang paling mudah dicermati dari berbagai bukti arkeologis
yang ada di Bali. Dari bukti-bukti arkeologis ini dapat dijelaskan bahwa di Bali
telah terbentuk masyarakat multikultur.
Definisi Masyarakat Multikultur
Sebelum membahas masyarakat multikultur di Bali, kiranya ada baiknya
diberikan difinisi tentang masyarakat multikultur. Ada beberapa pendapat tentang
pengertian masyarakat multikultur yaitu:
(a) J.S.Furnivall memberikan difinisi masyarakat multikultur adalah suatu
masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-
sendiri tanpa ada pembauran satu sama lainnya di dalam satu kesatuan
politik;
(b) Nasikun seorang sosiolog kenamaan dari Universitas Gajah Mada
Yogyakarta memberikan definisi masyarakat multikultur adalah
masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih dari tatanan sosial masyarakat ,
atau kelompok yang secara kultural, ekonomi, dan politik
dipisahkan(diisolasi), dan memiliki struktur kelembagaan dan berbeda
satu sama lain.
(c) Cliffort Geertz memberikan definisi masyarakat multikultur adalah
masyarakat yang terbagi ke dalam kebudayaan subsistem dimana masing-
masing subsistem terikat oleh ikatan primordial;
(d) Parekh memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat
yang memiliki berbagai jenis komunitas budaya dengan segala manfaat
dan sekit perbedaan yang ada seperti sejarah, adat istiadat, dan kebiasaan
yang ada.
Dari definisi konsefsional yang disampaikan oleh para ahli di atas, kiranya
yang menjadi inti dari masyarakat multikultur adalah terdiri atas dua atau lebih
elemen masyarakat yang secara bersama-sama bertempat tinggal pada wilayah
tertentu. Bali yang sejak abad VIII M, telah menjalin kontak dengan masyarakat
internasional dapat dipastikan sudah didiami oleh setidak-tidaknya dua suku
bangsa yaitu suku bangsa Bali dan suku bangsa para pedagang/pendeta yang
diduga datang dari India. Suku bangsa pendatang ini telah melakukan berbagai
perubahan terutama dalam mengantarkan masyarakat Bali memasuki peradaban
sejarahnya, memperkenalkan bahasa Sansekerta, tatanan politik dengan sistem
pemerintahan kerajaan, dengan rajanya yang mendapat gelar warmadewa, yang
tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya sistem relegi Hindu dan Budha.
Oleh karena itu, sejalan dengan definisi di atas, maka Bali sejak abad VIII M telah
menganut sistem sosial masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sering
disebut pula dengan masyarakat majenuk (masyarakat plural).
Sementara untuk mewujudkan masyarakat multikutur perlu ada acuannya
yaitu multikulturalisme.Multikulturalisme adalah sebuah pandangan yang
mengakaui dan mengagukan perbedaan dalam kesederajatan baik secara
individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang
ketika didukung adanya tolerasi dan kesediaan untuk saling menghargai.
Burhanuddin (2003) sebagaimana dikutip oleh Sutjiati Beratha dkk (2010)
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 161
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
memberikan pengertian multikulturalusme adalah gerakan sosial intelektual yang
mempromosikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan
pentingnya penghargaan pada setiap kelompok yang mempunyai kultur yang
berbeda. Orientasinya adalah kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam
suasana rukun, damai,egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati,
tanpa ada konflik dan kekerasan, tanpa mesti menghilangkan kompleksitas
perbedaan yang ada.
Demikian pula pendapat Berry dkk seperti dikutip Sutjiati Beratha dkk
(2010) menyatakan bahwa multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu
konteksosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan
kesehatan jati diri dan secara timbal balik mengembangkan sikap-sikap antar
kelompok yang positif. Kebijakan-kebijakan yang mempertimbangkan pluralism
biasanya banyak ditemui, acapkali hanya tersirat, tetapi dapat juga ekplisit.
Mereka yang secara positif menyukai pluralisme diistilahkan dengan kebijakan-
kebijakan multikulturalisme.
Berdasarkan kutipan di atas, mengisyaratkan bahwa multikulturalisme
merupakan sebuah doktrin yang mempromosikan keberagaman antaretnik
maupun antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun,
damai, egaliter, toleran,saling menghargai, dan saling menghormati perbedaan.
Bersamaan dengan itu, masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati
diri mereka secara optimal tanpa dinisbikan oleh yang lainnya (Sutjiati Beratha
dkk, 2010: 17).
Dalam kontek masyarakat Bali abad VIIIM-XIV M secara tersIrat dan
tersurat dalam prasasti mengindikasikan bahwa masyarakat multikulturalisme
sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini dapat diketahui dari adanya
istilah-istilah banyaga dalam prasasti Julah (Goris, 1954: Ardika dkk,2013) yang
mendakan adanya pedagang asing yang berdagang di pelabuhan Bali utara saat itu.
Namun demikian belum dapat dipastikan apakah kelompok pedagang asing yang
melakukan aktivitas perdagangan di Bali utara sudah membentuk komunitas
sendiri belumlah dapat diketahui. Berdasarkan teori yang ada, bahwa ketika awal-
awal proses Indianisasi di Indonesia, bahwa telah terjadi perkawinan antara kaum
pedagang dengan wanita pribumi yang selanjutnya menurunkan keturunan
campuram (Soemadio ed. 1984). Apabila hal itu yangterjadi kiranya tidak dapat
dipungkiri bahwa sejak masuknya peradaban Hindu dan Budha ke Bali diikuti
pula oleh terjadinya perkawinan antara wanita pribumi dengan pedagang asing
(India) yang melahirkan keturunan campuran sehingga membentuk komunitas
masyarakat yang dilandasi oleh budaya India. Kontak-kontak yang makin intensif
dilakukan oleh masyarakat Bali terjadi pada abad-abad berikutnya baik secara
langsung maupun melalui perantara kerajaan-kerajaan yang sudah berkembang di
Jawa. Oleh karena itu dapat dikatakan pada waktu itu di Bali setidak-tidaknya
sudah berkembang masyarakat multikultur yang bersumber dari budaya India dan
budaya lokal. Stereotipe budaya India dan lokal ini semakin jelas ketika kita
memperhatikan prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali. Pada mulanya prasasti
yang termasuk katagori yumu pakatahu menggunakan hurup dan Bahasa Bali
kuno, ketika masuknya peradaban India prasasti ditulis dengan hurup Prenegari
dan bahasa Sansekerta sebagaimana ditunjukkan dalam prasasti Blanjong yang
dikeluarkan oleh raja Kesariwarmadewa. Penggunaan bahasa Sansekerta dalam
prasasti rupanya tidak banyak digunakan lagi pada masa pemerintahan raja-raja
162 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berikutnya. Tetapi dalam prasasti-prasasti itu terkadang masih ada unsur-unsur
kata sansekertanya.
Masyarakat Bali kuno sebagaimana disebutkan di atas, menyiratkan
adanya masyarakat multikultur (masyarakat plural) yang terdiri atas dua
kelompok yaitu masyarakat lokal yang kuat dengan tradisi turun temurun dan
masyarakat pendatang (India) dengan tradisi Hindu dan Budha. Kedua steriotif
masyarakat ini, semakin kelihatan pada abad XIII-XV M yaitu dengan adanya
penyebutan masyarakat Bali mula (yang mendiami dataran tinggi) dan masyarakat
majapahit(wong majapahit) yang mendimi dataran rendah. Stereotive kedua
kelompok masyarakat ini masih kuat dalam sistem sosial masyakat hingga saat ini.
Perbedaan steriotive ini juga terlihat dari budaya yang mereka warisi secara turun
temurun, kendatipun mereka merasa satu keyakinan yaitu Hindu tetapi dalam
prakteknya ada perbedaan. Perbedaan ini tidak sampai menimbulkan terjadinya
konflik antar kelompok yang berbeda tradisi ini. Contoh masyarakat yang masih
kuat dengan tradisi ini misalnya masyarakat desa Trunyan di Bangli, Tenganan
Pegeringsingan di Karangasem, Timrah di Karangasem, Sembiran, Tigawase,
Sidatapedi Buleleng. Desa-desa ini umumnya berlokasi pada daerah-daerah
pedalaman atau pegunungan, sementara kelompok masyarakat lainnya yang
disebut wong Majapahit mendiami sebagian besar dataran rendah Bali.
Sutjiati Beratha dkk(2010) dalam penelitiannya terhadap komunitas
mansyarakat Bali dan masayarakat Cina memberikan petunjuk adanya perbedaan
perlakuan di satu sisi dan adanya persamaan hak dan kewajiban disisi yang lain.
Dalam kajian ini dijelaskan status orang Cina dalam kontek desa pakraman.
Keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan di desa Pakeraman tidak selalu
didasarkan padastatus mereka sebagai anggota desa Pakraman. Di dea Paakraman
Baturiti, orang Cina tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman , tetapi dalam
hal-hal tertentu mereka (orang Cina ) banyak berkontribusi dalam bentuk tenaga,
barang maupun uang dalam berbagai kegiatan desa Pakraman setempat. Hal ini
disebabkan karenaawig-awig desa pakraman mengatur tentang itu sebagaimana
disebutkan dalam pasal 1 ayat 4 awig-awig desa Pakraman Baturiti sebagai
berikut: ―Sane kabawos krama desa adat inggih punike kulewarga sane magama
Hindu saha ngamong karang paumahan. Sjabe punika sinanggeh tamiu” artinya:
bahwa yang dimaksud dengan warga/anggota Desa Adat/Desa Pakraman dalam
hal ini adalahkeluarga yang beragama Hindudan mempunyaipekarangan rumah
diwilayah desa tersebut.Selain itu disebut tamu. Masyarakat Cina yang
umumnya sebagai pemeluk agama Budha, tidaklah memungkinkan untuk menjadi
anggota desa Pakeraman.
Sementara keikutsertaan mereka dalam desa Pakeraman di desa Baturiti
oleh sementara informan disebut sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak
lama. Agak berbeda dengan didesa Pakraman Padangbai dan Carangsari
Badung.Pada kedua desa Pakraman ini, walaupunawig-awig mereka tidak jauh
berbeda dengan awig-awig desa pakraman Baturiti, tetapi keanggotaan warga
Cina dalam desa Pakraman didasarkan atas kesepakatan antara orang Bali dan
orang Cina untuk meneruskan tradisi yang sudah ada secara turun temurun. Oleh
karena itu,kesepakatan yang mereka buat dianggap sah dan memiliki kekuatan
sama dengan peraturan atau awig-awig desa setempat (Sutjiati Beratha dkk, 2010:
96-97).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 163
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dalam kesempatan yang berbeda masyarakat Cina yang sudah turun
temurun mewarisi tradisi leluhurnya di Bali mereka tidak dapat lepas tanggung
jawabnya dengan desa pakraman dimana mereka bertempat tinggal. Dikatakan
bahwa mereka terlibat secara aktif baik terkait dengan paryangan, pawongan dan
palemahan. Dalam hal paryangan mereka ikut serta melaksanakan kegiatan yang
ada didalam pura kahyangan tiga, seperti saat akan ada upacara di pura kahyangan
tiga mereka ikut dari mulai persiapan hingga selesai kegiatan upacara. Demikian
pula yang berkaitan dengan pawongan, secara khusuk mereka terlibat dalam
berbagai kegiatan manusa yadnya. Mulai dari persiapan sampai selesai kegiatan.
Dalam kontek palemahan, masyarakat Cina secara aktif ikut serta dalam menjaga
lingkungan melalui kegiatan gotong royong yang diadakan oleh kerama banjar
atau desa adat (Dialog Metro Tv, tanggal 2Maret 2019 tayang pk.22.05). Dari
dialog yang dilakukan Metro Tv dengan masyarakat Cina yang ada di Bali kiranya
dapat dipetik maknanya bahwa kebersamaan diantara dua suku bangsa yang sudah
ada sejak berabad-abad silam dapat menjadi inspirasi bagi keberagaman
masyarakat Indonesia. Dankeberagaman ini merupakan jati diri bangsa Indonesia.
Sejarah mencatat bahwa diantara penguasa-penguasa kerajaan Bali kuno
salah satunya adalah Raja Jayapangus telah menikahi putri Cina yang bernama
Cing Kei Wi namun tidak memberikan keturunan. Perkawinan raja Jayapangus
dengan putri Cing Kei Wi menjadi bagian dari cerita kehadiran masyarakat Cina
di Bali yang melegenda. Bahkan sesudah keduanya meninggal kemudian di
reprentasikan sebagai bentuk barong landung (laki-perempuan). Barong laki
representasi dari raja Jayapangus dan barong landung perempuan represntasi dari
Cing Kei Wi. Representasi perkawinan ini tidak saja berbentuk barong landung,
tetapi juga ditemukan dalam bentuk pahatan topeng padabeberapa bangunan kuno
di Bali. Contohnya adalah motif hias topeng yang ada pada prasada di pura Giri
Kusume Abiansemal Badung.
Multikultul dalam Ragam Bentuk Tinggalan Arkeologi
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Bali telah mendapat
pengaruh kebudayaan asing sejak awal-awal abad masehi. Namun secara jelas
baru diketahui pada abad VIII M dengan adanya prasasti. Prasasti sebagai bukti
tertulis, menyiratkan di Bali berkembang masyarakat multikultur dengan agama
yang berbeda yaitu Hindu dan Budha. Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan
oleh penguasa Bali kuno selalu disertakan dua penasehat kerajaan yang bergelar
dang acharya (pendeta Siwa) dan dang upadiyaya (pendeta Budha) untuk
memberikan pertimbangan kepada raja dalam mengambil keputusan penting.
Kehadiran orang-orang India yang beragama Budha tentu merupakan sebuah
kenyataan yang tidak dapat dikesampingkan dalam sejarah Bali termasuk juga
orang-orang Cina yang telah berbaur dengan masyarakat lokal. Berbagai bukti
arkeologi yang ditemukan di Bali diketahui bahwa agama Budha sudah
berkembang sejak abad IX M. Kehadiran agama Budha (Mahayana) pada abad
ini ditandai dengan ditemukannya stupika-stupika tanah liat di Pejeng dan
Singaraja. Stupika-stupika ini didalamnya berisikan meterai-meterai tanah liat.
Pada meterai-meterai ini terdapat prasasti yang memuat mantra-antra budha.
Selain memuat mantra-mantra budha ada pula yang memuat relief Dyani
Budhayang merupakan panteon Budha. Stupika-stupika ini tidak satupun berisi
penanggalan, namun prasasti yang sama di temukan di ambang pintu Candi
164 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kalasan Yogyakarta. Pada prasasti Kalasan terdapat penanggalan yang berangka
tahun 778 M (Goris, 1948; Stutterheim, 1929). Dari perbandingan ini dipastikan
bahwa prasasti yang ditemukan dalam stupika-stupika tanah liat (dalam jumlah
ratusan ) di Bali diperkirakan berasal dariabad IX M.
Stupa Pegulingan Runtuhan Catra Yasti di Goa Gajah
Selain stupika-stupika tanah liat, ada pula situs-situs yang merupakan situs
Hindu tapi didalamnya terdapat bangunan budha. Situs tersebut adalah Pura
Pegulingan, Pura Goa Gajah, serta Pura Batur, dan Pura Balingkang. Pura
Pegulingan yang terletak di Banjar Basangambu Tampaksiring merupakan sebuah
bangunan suci untuk agama Hindu. Namun dalam pura ini juga terdapat sebuah
bangunan stupa Budha yang berasal dari abad IX M. Keberadaan stupa Budha ini
menjadi bukti kuat betapa harmoninya masyarakat penganut Siwaisme dan
Budhisme di Bali. Dalam kontek ini, masyarakat Budha yang di Bali setiap hari-
hari besar keagamaan selalu hadir melakukan persembahyangan ditempat ini.
Namun sekarang ini karena masyarakat yang menjadi pengempon dari pura
Pegulingan adalah pemeluk Hindu maka tanggung jawab yang berkaitan dengan
kegiatan ritual keagaman di pura ini dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat
yang menjadi bagian dari krama desa setempat. Masyarakat yang beragama Budha
datang secara insidental untuk melakukan kegiatan pemujaan di bangunan stupa
ini. Agak berbeda dengan masyarakat Cina yang bertemapat tinggal di Kintamani,
yang menjadi bagian dari krama desa adat setempat sebagaimana di ceritakan di
atas.
Bukti arkologi kedua adalah pura Goa Gajah yang terletak di desa Bedulu
Gianyar. Oleh masyarakat Hindu tempat ini dikenal sebagai pura Goa yang
diempon oleh keluarga pemangku pura Goa. Namun saat berlangsungnya upacara
piodalan maka krama adat Bedulu secara bersama-sama melakukan
persembahyangan. Dalam komplek pura ini, terdapat bangunan budhis yang
berupa pahatan catra yasti bersusun 13. Pahatan catra yasti ini terletak di tepi
tukad Pangkung, yang saat ini tertinggal dalam bentuk runtuhan di jurang tukad
Pangkung. Selain itu, di komplek ini juga terdapat dua buah arca Dyani Budha di
timur Goa. Satu diantaranya sudah hilang sejak tahun 1991 dan sekarang masih
satu buah tanpa kepala.. Arca ini dilihat dari langgamnya diduga kuat sejaman
dengan arca-arca Budha yang menghiasi candi Borobudur yaitu abad IX M.
Terkait dengan keberadaan tempat ini, kitab Negara Kertagama yang digubah oleh
Mpu Prapanca pujangga besar dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk
menyebut nama dua tempat di Bali yaitu Lwa Gajah dan Bedahulu (Slamet
Mulyana, 1979). Lwa Gajah oleh banyak ahli diduga adalah Goa Gajah sekarang,
sedangkan Bedahulu sekarang menjadi nama desa Bedulu. Apabila pernyataan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 165
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Prapanca ini diyakini kebenarannya maka Goa Gajah setidak-tidaknya sudah
menjadi tempat kegiatan keagamaan sejak abad IX M.
Dari dua contoh di atas dapat diduga bahwa sejak abad IX M-XIV M di
Bali telah muncul masyarakat multikultur yang hidup berdampingan secara
harmoni. Kedua agama ini sebagaimana disebutkan di atas mempunyai peranan
penting dalam keberlangsungan roda pemerintahan di Bali saat itu. Itulah
sebabnya tokoh-tokoh agama dari kedua agama ini ditempatkan sebagai penasehat
raja untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan penting yang
dilakukan oleh raja.
Simpulan
Masyarakat multikultur telah ada sejak abad IX M yang ditandai dengan adanya
masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha. Para pemeluk kedua
keyakinan yang berbeda ini dapat hidup secara hormis untuk dapat menjalankan
agamanya masing-masing. Kedua agama ini mendapat perhatian besar dari para
penguasa, sehingga tokoh-tokoh/pemimpin umat ditempatkan menjadi penasehat
kerajaan. Pura Pegulingan dan Goa Gajah merupakan bukti keberadaan
masyarakat multikultur tersebut walaupun belum dapat dirunut sebagaimana
dikonsefsikan oleh para ahli seperti di atas.Masyarakat multikultur merupakan jati
diri bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A.A.Bagus Wirawan, 2013 Sejarah Bali
dari Prasejarah sampai Modern. Denpasar: Udayana Press.
Goris, R. 1948 Sejarah Bali Kuno.Singaradja
1954 Prasasti Bali.Bandung: NV Masa Baru
Slamet Mulyana, 1979Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bratha
Stuterheim, W.F, 1929 Oudheden van Bali. Singaradja
Soemadio Ed, 1984 Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka
Sutjiati Beratha, Ni Luh, I Wayan Ardika, dan Inyoman Dana, 2010 Dari
Tatatapan Mata ke Pelaminan sampai di Desa Pakraman. Studi Tentang
Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Bali. Denpasar: Udayana
Prees.
https://blog.ruangguru.com Mengenal masyarakat multikultur dan
karakteristiknya ditulis oleh EMbun Beng Diniari 28 Maret 2018.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 166
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI:
REPLEKSI TEKS GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN
I KETUT BAGUS
I Wayan Suardiana
Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Kehidupan ini dapat berjalan dengan baik dan semarak bila ada
dinamika di dalamnya. Kritik itu penting sebagai salah satu
penggerak dinamika kehidupan. Dalam sastra Bali tulis tradisional,
kritik itu diungkapkan kawi sastra dengan sangat elegan. Artikel ini
menelisik budaya kritik yang berkarakter tradisi Bali lewat teks
Geguritan I Ketut Bungkling dan Geguritan I Ketut Bagus. Kedua
tokoh utama dalam teks bersangkutan, yakni, I Ketut Bungkling
dan I Ketut Bagus diberikan ‗tugas‘ oleh pengarangnya untuk
menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca dengan sangat
apik. Pesan-pesan moral berupa kritik itu, dalam tulisan ini coba
akan diungkapkan dengan menggunakan metode simak. Metode
simak dibantu dengan teknik catat untuk mengutip hal-hal penting
berkaitan dengan kritik yang disampaikan oleh kedua tokoh
utamanya. Selanjutnya, dilakukan teknik terjemahan (ke bahasa
Indonesia) mengingat teks sumber berbahasa Bali untuk
memudahkan analisis pemaknaan. Hasil terjemahan akan
diinterpretasikan dengan teori hermeneutika untuk mengungkapkan
makna teks secara keseluruhan. Secara keseluruhan, teks
Geguritan I Ketut Bungkling dan Geguritan I Ketut Bagus memiliki
karakter yang sama, yakni kritis dalam menyikapi fenomena sosial
tanpa merusak tatanan masyarakat pendukung teks bersangkutan.
Kata kunci: Budaya kritik, karakter, dan Sastra tradisi.
1. Pendahuluan
Teks Geguritan I Ketut Bungkling, selanjutnya disingkat (GIKBk.) dan
Geguritan I Ketut Bagus, selanjutnya disingkat (GIKBg.) adalah dua buah teks
geguritan di Bali yang memiliki kesamaan ide, yaitu tentang kritik sosial.
Keberadaan dari kedua teks tersebut sesungguhnya sudah diteliti secara seksama
oleh penulis sendiri dalam sebuah penelitian disertasi (Suardiana, 2009).
Meskipun demikian, kajian tematik terhadap kedua teks tersebut tidaklah secara
mendalam dilakukan. Untuk itu, dalam artikel ini akan dilakukan kajian yang
komprehensip tentang tema kritik sosial yang diungkapkan dalam kedua teks
bersangkutan. Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam disertasi (2009) itu
bahwa ada sebuah teks lagi yang memiliki tema yang sama, yaitu dengan judul
Geguritan I Ketut Bangun, namun dalam ulasan ini teks tersebut diabaikan karena
dianggap teks plagiat dari teks GIKBg. (lih. Suardiana, 2009: 206--279).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 167
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Budaya kritik dalam sejarahnya telah berlangsung lama dan istilah kritik
sastra mempunyai sejarah yang panjang. Istilah itu telah dikenal pada sekitar
tahun 500 sebelum Masehi. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani, krinein yang
bermakna menghakimi, membanding, atau menimbang. Kata krenein menjadi
pangkal atau asal kata kreterion yang berarti dasar, pertimbangan, penghakiman.
Orang yang melakukan pertimbangan dan penghakiman itu disebut krites yang
berarti hakim. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang selanjutnya
digunakan dalam analisis ini (Semi, 1985: 7).
Pentingnya melakukan kajian secara komprehensip tentang kedua teks ini,
mengingat di Bali masyarakatnya berlatarbelakang beragam. Keberagaman latar
belakang sosial dan status berdasarkan golongan (klen) bagi masyarakat Bali itu
penting dikelola agar tidak menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal.
Model kritik sebagaimana disampaikan oleh teks GIKBk. dan GIKBg. sementara
waktu tidak ditemukan dalam teks-teks sejenis di Bali.
2. Budaya Kritik dalam Teks Geguritan I Ketut Bungkling
Protes sosial dalam sastra sebagaimana diungkapkan oleh Saini K.M.
(1990: 1-3) dilakukan tokoh utama GIKBk., yakni I Ketut Bungkling terhadap
tokoh suci dari klen Sengguhu bergelar Ida Resi Ganggasura. Ia mohon penjelasan
tentang pelaksanaan memandikan jenazah bagi umat Hindu sebelum dibawa ke
kuburan. Ida Wayan menjelaskan makna sarana saat setelah memandikan jenazah
itu, seperti: kaca yang ditaruh di kedua mata bermakna nanti ketika kembali
menjelma agar matanya dapat melihat dengan terang; serpihan baja yang ditaruh
di gigi, sebagai simbul agar setelah menjelma giginya kokoh dan kuat; kulit orang
yang terlahir kembali menjadi kuning langsat dan lembut itu konon berkat umbi
gadung dan telur yang dipakai untuk menggelilingi sekujur tubuh jenazah; minyak
menyebabkan kulih halus; dan monmon yang ditaruh di bibir membuat orang yang
akan menjelma nantinya tutur katanya halus, manis, menyejukkan, dan bertuah.
Mendengar penjelasan Ida Resi Ganggasura seperti itu, I Ketut
Bungkling bertanya balik sambil menyanggah.
Punika anak Pranda, wénten kakah burik cungih, twara nyingak badil
séngkok, manawi lali sané dumun, meka waja sedek arang, kurang kunyit,
taluh sikapané arang.
Tuké kebo sampi jaran, kuda celang lemah latrì, sira mangejangin
meka?”, Ida Gedhé duka murub, tamyuné katah mabriyag, mangedékin,
Ida Gedhé maangsegan (GIKBk., bait 23 dan 24).
Terjemahan:
Kenapa putra Tuanku, ada yang kulitnya kasar, bopeng, sumbing, tiada
melihat, cadel dan tangannya bengkok, mungkinkah dulu lupa, cermin baja
langka?, kurang kunir, telor dan umbi gadungnya langka?
Tokek kerbau sapi dan kuda, kenapa dia melihat siang malam, siapa yang
membekali cermin (saat meninggal)?‖, Ida Wakih marah bukan kepalang,
para tamu semuanya tertawa, menertawai, Ida Wakih tertegun.
Kritik I Ketut Bungkling terhadap tokoh yang arogan seperti Ida Resi
Ganggasura dilanjutkannya pula terhadap tokoh Sengguhu Pangi. Sengguhu
Pangi, adalah tokoh suci yang arogan juga kemaruk harta. Akibat perbuatannya
itu, akhirnya Sengguhu Pangi kena jebak ketika I Ketut Bungkling menanyakan
batasan arah angin, seperti berikut.
168 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
“Nggih Bapa tunasang tityang, Kaja Kelod Kawuh Kangin”, Dé
Sengguhu panuding ngébot, “Ento Kangin adanipun, yan ring awak
papusuhan, rupa putih, mulih urangkané juwang!”
“Nggih Bapa malih tunasang, teked dija madan Kangin?”, Dé Sengguhu
bangras angucap, “Teked di guminé nanggu, ditu langit nguda-nguda,
pagulawir, buka kuwud geban-geban.”
“Dangin to napi waûtannya?”, Dé Sengguhu angling aris, “Masih Kangin
nto adannya”, “Bapa nahen lungà sàmpun?”, Dé Sengguhu ya
kamemegan, “Bapa to sing, satuannyané Bapa nawang.” (GIKBk., bait
42, 43, dan 44)
Terjemahannya:
―Ya, Tuan yang hamba tanyakan, Utara, Selatan, Barat, dan Timur,
Sengguhu Pangi menuding dengan telunjuk kiri, ―Itu Timur namanya!,
bila dalam badan jantung, warnanya putih, pulang ambillah pangkal
sarung kerisnya!‖
Ya Tuan, (hamba) lagi menanyakan, sampai di mana bernama Timur?‖,
Sengguhu Pangi berujar ketus, ―Sampai batas dunia, di sana langitnya
muda-muda, terjuntai-juntai, seperti daging kelapa muda melonjak-
lonjak.‖
―Di Timurnya (Timur) apa namanya?‖, Sengguhu Pangi berkata lagi,
―Masih Timut itu namanya‖, ―Tuan pernah pergi ke sana?‖, Sengguhu
Pangi terperangah, ―Aku tidak pernah, ceritanya Aku mengetahui.‖
Sengguhu Pangi kalah jawab, tidak mampu menjelaskan batas akhir arah
angin sehingga ia disuruh bersilat lidah dengan empat muridnya. I Ketut
Bungkling minta dua hal kepada murid Sengguhu Pangi yang juga bergelar
Sengguhu, yakni suara angin dan suara burung Sawanujan, seperti berikut.
Ngindayang kuda suratang, Maman munyin angin tarik, munyin kedis
Sawanujan, edoh paca apang muput!”, I Sengguhu kamemegan, tur
matari, ingeh-ingeh maka patpat.
“Apa anggon manulisang, ama-ama ya to dadi?, gredeg-gredeg uwug
alon”, maka patpat suba inguh, peluh pidit patuh atah, nganggar
pangutik, data késkés tuara tawang. (GIKBk. bait 52 dan 53)
Terjemahannya:
Cobalah ditulis, Paman suratkan suara angin kencang, (surat pula) suara
burung Sawanujan, cobalah dibaca sampai selesai!‖, Si Sengguhu
terperanjat, saling tanya, keempatnya gelisah.
―Apa dipakai menuliskan?, ama-ama itu jadinya, (suara) gemuruh keras
dan pelan‖, keempatnya telah gelisah, bercucuran keringat, mengacungkan
pangutik, sambil menggaruk-garuk tidak tahu.
Terakhir, I Ketut Bungkling mengadu kecerdasan ke rumah Ida Wayan,
seorang pendeta dari klen brahmana. Sama seperti sebelumnya, Ida Wayan pun
dapat dipecundangi oleh I Ketut Bungkling karena tidak mampu menunjukkan
rupa Dewi Saraswati, yaitu Dewinya ilmu pengetahuan menurut kepercayaan
Hindu, seperti berikut.
Déwané nganggo darma, Yan kadi pangrasan Beli, né mangraksa
Saraswatya, manongos di lidah iku!”, I Bungkling matur nyekenang, “Kadi
napi, warnan Ida Saraswatya?
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 169
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Édéngang pang not titiang!”, Ida Wayan manyaurin, “Sing nyak not dané
kénto, kéwala kena baan ngitung, suba melah suba bisa!”, “Titiang ngiring,
lamun kénten néné bisa (GIKBk.bait 78 dan 79).
Terjemahannya:
Déwa yang mempergunakan dharma, bila menurut pendapat ‗ku, yang
memberkati Saraswati, bersemayam di lidah (beliau)!‖, Si Bungkling
bertanya menegaskan, ―Seperti apa, wujud beliau (Déwa) Saraswati?
Tunjukkanlah supaya hamba lihat!‖, Ida Wayan menjawab, ―Tidak mampu
dilihat yang seperti itu, namun hanya dapat dihitung, telah baik telah bisa!‖,
―Hamba menurut, bila demikian sudah dapat.
Karena terdesak, Ida Wayan lantas menanyakan asal-usul I Ketut
Bungkling. I Ketut Bungkling mengatakan dirinya merupakan titisan Dewa
Wisnu, sehingga ia diakui sebagai anak dan diberi nama Mantri serta bergelar Ida
Gede Anyar oleh Ida Wayan dan dinikahkan dengan putri beliau bernama Ida
Srayu.
3. Budaya Kritik dalam Teks Geguritan I Ketut Bagus
Dalam teks GIKBg., tokoh sentral I Ketut Bagus berperan melancarkan
kritik kepada tokoh-tokoh seperti seorang dukun,….. Pertama-tama ia mendatangi
I Gede Tugu, seorang dukun mumpuni, namun kemaruk harta serta omongannya
kurang bukti otentik sehingga sangat mudah I Ketut Bagus menjebaknya.
Jeroné tui mangawag pisan, natengerin anak mati, bungut enggang jati
pêjah, titiang katah mamanggihin, bungut enggang nu maurip, tuah jeroné
liwat denguh, nu luih ririhan titiang, matengerin anak mati, tong melihang,
tatenger titiangé lintang!
Kayun masiwa ring titiang! Titiang nyadia ngawarahin, apang jati tuara
ngawag, apang jati pasti-pasti, niki patengeran jati, yan wénten tong
mabayu, nora kari maangkihan, ento purun nyuakang mati, nundén purun,
mananem mangupakara! (GIKBg. bait 29 dan 30).
Terjemahannya:
Tuan sungguh sembrono, meramal kematian orang, mulut menganga pasti
mati, hamba banyak menjumpai, mulut menganga masih hidup, Tuan terlalu
bodoh, hamba masih jauh lebih pintar, meramal orang mati, bukan
menyalahkan, ramalan hamba yang lalu.‖
―Maukah berguru kepada hamba?, hamba bersedia mengajarkan, supaya
sungguh-sungguh tidak sembarangan, agar benar-benar, inilah ramalan
sesungguhnya, jika ada orang tidak bertenaga, tidak lagi bernafas, itu bisa
dikatakan mati, bisa menyuruh, mengubur memberi upacara.
Terdesak karena keterangan I Gede Tugu tentang konsep sehat, sakit, dan
meninggalnya seseorang dibantahkan oleh I Ketut Bagus, I Gede Tugu dan
istrinya marah besar. Bukan introspeksi diri, justru semakin arogan, I Gede Tugu
mengambil lontar dan membacanya dengan keras sambil berkata, ―Demikianlah
ucap sastra!‖ Dengan enteng I Ketut Bagus membantah, bahwa yang berucap
bukan sastra, namun mulut I Gede Tugu yang berujar, seperti berikut.
Pangonéké ngatih keras, tuara nyak kejil sawiji, I Ketut kedék mangakak,
“Nah, mangkin terang titiang uning, tuara sastrané mamunyi, kadi baos
jeroné bau, lambén jeroné makemélan, kanggo kitané mamunyi, wiakti
170 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lemuh, layahé biana matulang!” (GIKBg. bait 35).
Terjemahannya:
Pembacaannya jelas dan keras, tidak mau kalah sedikit pun, I Ketut tertawa
terbahak-bahak, ―Ya, kini hamba jelas tahu, bukanlah ajaran itu mengatakan,
sebagaimana tuan katakan tadi, bibir tuan berucap, sekehendak hati berkata,
memang lembut, dasar lidah tidak bertulang‖.
Selanjutnya, I Ketut Bagus menyambangi tempat I Mangku Éngéngan,
seorang tukang tenung untuk mengadu kepintaran. Dengan berpura-pura
menanyakan penyebab sakit yang diderita ayahnya, ia menguji kecerdasan I
Mangku Éngéngan.
Ira Hyang Guru Kamulan, manyakitin Nanang Ca(h)i, tuara rungu tekén
Nira, tusing ngaturang sasepuh, miwah ngaturang odalan, klésa gati, akéto
apang tawang!
Akék-akék siga pérmas, ba bani nani ngadianin, ya lamun tuara kadianan,
pilegang baong apang elung, mentik punggel carang empak!” Tur makejit, I
Ketut kedék mangakak.
“Jero Mangku dija Batara?, tuara ko tiang nepukin?, Jero Mangku ngomong
padidian, mangécél munyiné liu, ngora(h)ang Déwa masih didian, jeroné
nguci, mirib anak bebainan.
Jero Mangku bas mauk pisan, ngadu daya sa(h)i-sa(h)i, kadung payu ulih
loyang, nguluk-uluk anak pacul, dayan Jroné tawang tiang, suba pasti, ngaku
katapak baan Déwa?
Jero Mangku nyak ngugu tiang?, Tiang kapangluh né jani, Jeroné melahang
manatak! “Batara jani mawuwus!, Ira Batara di Suargan, Mangku ma(h)i,
Ira ngicén Mangku emas! (GIKBg. bait 17 -- 21)
Terjemahannya:
Aku adalah Hyang Guru Kamulan, menyakiti ayahmu, tidak peduli kepadaku,
tidak mempersembahkan pembersihan, dan membuat upacara odalan, kotor
sekali, begitulah agar (kamu) tahu!
Beginilah, hai kamu! Kamu berani, terserah kamu, jika berani putar lehernya
hingga patah, tumbuh tumpul ranting patah!‖, Dan berkedut, I Ketut tertawa
terbahak.
―Tuan Mangku, di manakah roh suci leluhur?, Hamba tidak melihat!, Tuan
Mangku berkata sendiri, mengomel bersuara banyak, mengatakan Déwa juga
sendiri, Tuanku berbohong, seperti sedang terkena sihir.
Tuan Mangku terlalu berbohong, menipu setiap hari, agar memperoleh harta
karena tipuan, membohongi orang lugu, akal busukmu aku pamahi, sudah
jelas, mengaku sebagai persemayaman Déwa.
Tuan Mangku tidak mempercayaiku, kini hamba menerangkan, baik-baiklah
Tuan mendengarkan, sekarang Batara bersabda, ―Aku adalah Batara di sorga,
kemarilah, Mangku! Aku memberimu emas!
Tipu muslihat I Mangku Éngéngan dalam mencari uang dengan berpura-
pura sebagai tukang tenung dibantahkan oleh I Ketut Bagus. Ia mengambil sarana
persembahyangan yang telah dihaturkan di tempat I Mangku Éngéngan dan
bergegas pergi. Tokoh berikutnya yang menjadi sasaran tembak I Ketut Bagus
adalah tokoh cerdik pandai I Déwa Resi seorang suci dari klen ksatria. Ia berpura-
pura mohon kepada I Déwa Resi agar dirinya mampu mengeluarkan api dari
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 171
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dalam tubuhnya.
Ya I Ketut matur alus patelaanan, “Prasangga titiang akidik, nemuang sastra
ring basang, saking napi ambil nika?, sinah biana pacang dadi!, sastrané
untal?, méh maadukan bacin.
Kadi baos yan mangringkes Dasàkûara, keni dados Pañcakûarì, lalima kija
bakta?, dados pacang pejunang?, mangda dados Pañcakûarì, yan ngringkes
sastra, dados bongkos dadiang siki?
Malih sapunapiang matemuang Sùryya Candra, sira anaké ririh?, nyidayang
manyemak, nunggalang Sùryya bulan, genah sawat mangulangit, baos tuah
tawah, boya nyandang dingeh koping.” (GIKBg. bait 18--20).
Terjemahannya:
I Ketut berkata lembut perlahan-lahan, ―Hamba menanggapi sedikit,
mempertemukan aksara suci di perut, dari mana diambil?, mustahil akan
berhasil, menelan aksara itu, mungkin akan bercampur kotoran!
Sebagaimana dikatakan jika memeras kesepuluh aksara suci, sehingga
menjadi lima aksara suci, yang lima lagi dibawa ke mana?, apakah bisa
diberakkan, agar bisa menjadi lima aksara suci?, jika memeras aksara suci,
apakah boleh dibungkus dijadikan satu?
Seterusnya, bagaimana caranya mempertemukan matahari dan bulan?, siapa
yang mampu, bisa mengambil, menyatukan matahari dan bulan, tempatnya
nun jauh di langit, perkataan aneh-aneh, tidak pantas didengar telinga!‖
Mendengar perintah dari I Dewa Resi aneh-aneh, yakni dengan meringkas
aksara suci dirinya akan dapat melakukan apa yang diminta, I Ketut Bagus tidak
mengamini dan sebaliknya menyerang dengan logikanya sendiri. Selanjutnya, I
Ketut Bagus kembali mengolok-olok I Dewa Resi dengan maksud agar dapat
menikahi putrinya yang jelita itu. Untuk kedua kalinya I Dewa Resi dapat
dipermalukan karena kecerobohannya menafsirkan arti mimpi. I Ketut Bagus
mengatakan ia mimpi menghaturkan kelapa kepada I Dewa Resi sebanyak lima
puluh biji. Menurut I Dewa Resi, mimpi itu tidak boleh dipungkiri karena
merupakan perintah Tuhan! Dengan demikian, I Ketut Bagus menganggap,
jeratnya sudah mengena. Ia dengan segera menghaturkan kelapa kepada I Dewa
Resi. Berikutnya, ia mengatakan dirinya mimpi dinikahkan dengan putri I Dewa
Resi bernama Désak Manik.
Apa ada buin Ca(h)i praya uningang?, nah caritayang jani!” I Ketut maatur
ngasab, “Agung nunas pangampura, ibi soré titiang ngipi,” Déwa Resi
ngakak, “Nah kénkén ipian Ca(h)i?”
“Ratu Agung Pranda Resi sasuhunan, ipian titiang sapuniki, titiang
midartayang, titiang reké kaanténang, ring i anak Désak Manik, inggih
picayang, réh ipian maraga Widhi.
Déning Pranda maraga lir pageh dharma, biana purun manungkasin, ipian
mautama, mangkin ko tunas titiang, i anak I Désak Manik!” Pranda
nyangongak, tan keni antuk nyaurin (GIKBg.bait 47--49).
Terjemahannya:
Ada apa lagi yang kamu mau tanyakan? Silakan katakan sekarang!‖ I Ketut
menyahut hormat, ―Hamba mohon ampun, kemarin sore hamba bermimpi‖,
Déwa Resi tertawa terbahak-bahak, ―Nah mimpi apa lagi kamu?‖
―Daulat Tuanku Pendeta Agung, mimpi hamba begini, hamba menjelaskan,
konon hamba dinikahkan, dengan Ananda Ni Désak Manik, sudilah
172 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
diberikan, sebab mimpi perwujudan Tuhan!
Karena Tuan Pendeta perwujudan kebenaran abadi, tiada berani mengingkari,
mimpi utama, kinilah hamba mohon, Ananda I Désak Manik!‖ Tuan Pendeta
mendongak, tidak bisa menjawab.
I Dewa Resi kehabisan jawaban dan kebetulan kakak Ni Desak Manik, I
Dewa Yangapi datang maka I Ketut Bagus undur diri dengan membawa
kekecewaan tidak dapat menikah dengan Ni Desak Manik. Akhirnya, I Ketut
Bagus menyesali perbuatannya yang suka mengolok-olok orang serta selanjutnya
ingin menyucikan diri ke hutan. Setelah bertemu dengan Ida Peranda Bodakeling,
ia disucikan menjadi pendeta dari golongan Siwa diberi gelar Mpu Sruti.
4. Simpulan
Teks tradisi di Bali memiliki ciri tersendiri dalam menyuarakan kritik
terhadap situasi sosial masyarakat pembacanya. Pengarang teks tradisi (kasus teks
GIKBk. dan GIKBg.), sebagai representasi pengarang, masyarakat, dan
masyarakat pembaca, menyampaikan kritik dengan cara yang elegant. Meskipun
kritik yang disampaikan oleh pelaku dalam ceritanya itu memasuki ranah yang
berbahaya dan rawan menimbulkan konflik, namun teks GIKBk. dan GIKBg. tetap
dapat dibaca sampai saat ini. Kepiawaian itu tercermin dari pemilihan nama tokoh
(I Ketut Bungkling dan I Ketut Bagus) yang secara status sosial merupakan
golongan kebanyakan sehingga mengkritisi tokoh yang disucikan oleh klen
tertentu di Bali, awalnya dianggap tidak wajar. Namun, akhirnya menjadi wajar
mengingat kedua tokoh tersebut dinaikkan statusnya menjadi sederajat dengan
tokoh yang dikritisinya.
Daftar Pustaka
Saini, K.M. 1990. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.
Suardiana, I Wayan. 2009. ―Geguritan I Gedé Basur dan I Ketut Bungkling Karya
Ki Dalang Tangsub: Analisis Interteks dan Resepsi. Disertasi
pada Program Doktor Program Studi Linguistik Program
Pascasarjana Universitas Udayana.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 173
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS
AGAMA DI LAMPUNG SUMATRA SELATAN
I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni
ABSTRAK
Lampung adalah wilayah multietnik dan multi agama yang tersirat
dalam sesanti bhinneka tunggal ika.Kenyataan menunjukkan
bahwa di Lampung Sumatra Selatan, pluralitas agama ditandai oleh
keberterimaan komunintas Hindu oleh masyarakat
setempat.Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena
yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Hindu dalam
pluralitas agama.Sebagai kajian yang kritis dan emansipatoris,
dirumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan. (1)
Bagaimanakah bentuk keberterimaan komunitas Hindu dalam
pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?, (2) Faktor-faktor
apa sajakah yang menyebabkan keberterimaan komunitas Hindu
dalam pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?, dan (3) apa
dampak serta makna keberterimaan komunitas Hindu dalam
pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?
Data terkait dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan
dokumentasi serta dianalisis dengan teknik deskriptif-kualitatif dan
interpretatif. Sumber data dari sejumlah informan, yang diawali
pemeluk dan tokoh Hindu sebagai informan kunci (key informan),
yang dalam proses wawancara dilakukan dengan cara snowballing.
Kata kunci: multietnik, komunitas Hindu, keberterimaan,
pluralitas agama, emansipatoris
Latar Belakang
Pluralitas merupakan ciri kemajemukan yang nyata, termasuk dalam hal
keagamaan. Di Provinsi Lampung, Sumatra Selatan, hal itu tampak relevan
dengan keberadaan berbagai agama, di samping aliran kepercayaan yang ada sejak
dahulu hingga kini. Pluralitas keagamaan di Lampung telah mampu membuat
cita-cita multikulturalisme melalui sesanti bhinneka tunggal ika tercapai secara
signifikan dalam realitasnya.
Di Lampung, komunitas Hindu menduduki posisi kedua jika dibandingkan
dengan agam lain setelah Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, komunitas
Hindu mengalami penambahan jumlah penduduk. Hal ini dimungkinkan karena
adanya pembinaan dan pengembangan secara intensif dari lembaga keagamaan
Hindu di Lampung.Hal ini sangat terkait dengan apa yang terjadi pada masa
lampau, yakni Hindu merupakan agama tertua dengan jumlah pemeluk yang
sangat dominan. Komunitas Hindu yang hidup di Lampung tersebar pada
beberapa kecamatan mengalami kemajuan dalam kontestasi baik dalam bidang
politik, ekonomi, maupun sosial budaya.
174 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Peper ini akan membahas faktor-faktor penyebab keberterimaan
komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung serta makna keberterimaan
komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung.Kajian ini menggunakan
metode kualitatif dengan pendekatan multidisipliner.
Keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung
menjadi wacana hubungan manusia, agama, dan kebudayaan. Hal ini menarik di
tengah cita-cita kehidupan yang multikultur atau berbinneka tunggal ika.Dalam
kaitannya dengan ini, keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di
Lampung disebabkan baik internal maupun struktur dominan yaitu agama yang
lebih dominan.Fenomena keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama
tidak muncul secara sepontan, tetapi memiliki masa transisi, yaitu diawali dari
proses transmigrasi spontan hingga transmigrasi yang dicanangkan oleh
pemerintah pusat.
Pembahasan
Lampung merupakn salah satu provinsi di Sumatra Selatan yang terletak di
bagian selatan Sumatra.Penduduk Lampung merupakan penduduk yang bercirikan
multikultur dan dapat dipahami dari konteks sejarah dan migrasi penduduk dalam
kaitannya dengan kebijakan politik kolonialBelanda dalam abad ke-19 yang
dikenal dengan kolonisasi dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada pasca
kemerdekaan.Kebijakan ini tidak hanya diberlakukan untuk Lampung saja tetapi
juga berlaku bagi wilayah lainnya seperti Lombok, Sumbawa, Kalimantan dan
Sulawesi.
Provinsi Lampung yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dengan
ibukotanya Bandar Lampung memiliki pelabuhan udara Internasional Pelabuhan
Panjang dan pelabuhan lokal Bakauheni yang menghubungkan wilayah Sumatra
dengan Jawa lewat transportasi laut. Terdapat pelabuhan perdagangan ikan laut
seperti pasar ikan Teluk Betung, Tarahan dan Kalianda di Pelabuhan Lampung.
Lampung terkenal sebagai wilayah yang dihuni oleh etnis Bali yang
beragama Hindu terbanyak kedua setelah agama Islam. Kendatipun ada
perbedaan agama diantara mereka, namun kehidupan harmonis dapat terjaga
dengan baik diantara mereka. Orang Jawa dan orang Bali sebagai komunitas
pendatang di Lampung sudah merasa menjadi penduduk Lampung karena adanya
sebuah proses yang panjang dalam dinamika perkembangan kawasan wilayah ini.
Orang Jawa memiliki keterampilan dalam usaha dagang, pertukangan, sementara
etnis Bali yang dikenal memiliki ketrampilan dalam bidang pertanian dan
perkebunan. Karena kehidupan orang Bali yang sangat terkait dengan bidang ini,
maka tidak mengherankan kalau orang Bali di Lampung mempunyai nilai-nilai
kreatif dan inovatif dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran
budaya lokal yang diakomodasikan dengan berbagai pengaruh budaya daerah
yang ada di Lampung selaras dengan konsepsi Tri hita karana. Potensi dalam
pengembangan budaya lokal ini tampaknya menjadi karakter yang signifikan
sehingga kehidupan kedua etnis yang saling berdampingan itu dapat berkembang
secara harmonis hingga saat ini, sehingga kedatangan etnis Bali yang beragam
Hindu ke Lampung bisa berterima diantara beberapa etnis lainnya yang ada di
Lampung.
Penduduk Lampung terdiri atas etnis lokal atau penduduk orang Lampung,
etnis Jawa sebagai pemeluk agama Islam, dan sebagian kecil dari mereka ada
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 175
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang menganut agama Hindu. Etnis Bali sebagai penduduk pendatang sebagai
penganut agama Hidu sebagai penduduk mayoritas terbesar kedua setelah etnis
Jawa sebagai penganut agama Islam
Sebagaimana yag telah dipahami bahwa dalam sejarah transmigrasi di
Indonesia tampaknya pepindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lainnya
sudah dikenal sejak lama. Program transmigrasi yang diintrodusir oleh pemerintah
Indonesia pascakemerdekaan, bercikal bakal pada politik kolonial Belanda dalam
abad ke-19.Kebjakan kolonial ini dikenal dengan program kolonisasi yang
berhubungkait dengan masalah kebutuhan tenaga kerja di wilayahonderneming
yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda di pantai timur Pulau
Sumatra yang telah menyebabkan bertemunya bebagai etnis di wilayah Lampng.
Program koloniasi yang diperkenalkan ini sangat menguntungkan pihak
pemerintah Belanda pada masa kekuasaannya di Indonesia umumnya dan di
Sumatra khususnya.Namun, ketika rezim kolonial Belanda berakhir karena
didesak oleh kekuasaan Jepang, maka memungkinkan bagi pemerintah Indonesia
untuk mengambil alih kebijakan ekonomi dan politik sebagai pengganti kebijakan
pemerintah jajahan di Indonesia.Setelah Indonesiameraih kemerdekaan pada
tahun 1945, Nampak program Belanda ini masih berlanjut dampaknya dan
pemerintah Indonesia berupaya mengubahnya menjadi program transmigrasi yang
masih dikenal hingga saat ini.
Transmigrasi dari Bali berlangsung pertama kali sekitar tahun 1958
dengan dibiayai oleh pemerintah.Pemerintah memberikan lahan kepada
transmigran di Desa Sidorejo Lampung.Pemerintah mengimbau agar lahan
tersebut dapat diolah menjadi lahan produktif.Namun, kondisi lahan tersebut
masih banyak yang ditumbuhi tanaman liar sehingga harus dibersihkan sendiri
oleh transmigran. Menghadapi kondisi baru di tanah rantauan, terlebih masih ada
beberapa daerah transmigran dengan medan tidak datar (naik-turun), beberapa
transmigran tidak sanggup tinggal lebih lama. Mereka yang tidak mampu
beradaptasi, memutuskan untuk kembali ke Bali. Sebagian lainnya tetap di daerah
tersebut, ada juga yang pindah ke daerah lain dengan permukaan tanah yang lebih
datar sehingga lebih mudah untuk membuka lahan persawahan.
Setelah itu transmigrasi bergulir kembali pada tahun 1963.Transmigrasi
asal Bali ini dilatarbelakangi oleh adanya bencana letusan Gunung Agung di
Bali.Masyarakat pergi ke Sumatera Selatan dengan harapan dapat memulai
kehidupan baru dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik.Keseluruhan
transmigrasi ini membawa gelombang baru perpindahan masyarakat beragama
Hindu ke Sumatera Selatan yang kemudian terus berkembang hingga saat ini.
Selain transmigrasi yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat Bali juga
banyak yang merantau ke Sumatera Selatan secara mandiri maupun karena pindah
tugas atau utusan dinas.
Ketika mereka berada di daerah Lampung, berupaya untuk menyesuaikan
diri dalam segala aspek agar bisa beradaptasi dengan lingkungan serta tidak
menmbulkan konflik antara penduduk yang didatangi dan dengan etnik lainnya
yang memiliki latar belakang budaya berbeda-beda. Dengan berpegang teguh
pada konsepsi tri hita karana, maka proses adaptasi antara komunitas Hindu
dengan komunitas etnik lainnya bisa berjalan secara harmonis tanpa menimbulkan
176 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
gejolak yang dapat mengganggu ketentraman dan kenyamanan bagi penduduk
lokal dan etnik pendatang lainnya.
Peran Lembaga Keagamaan PHDI
PHDI secara umum berperan untuk mengayomi umat Hindu di wilayahnya
baik secara agama maupun sosial.PHDI membantu memecahkan permasalahan
keagamaan yang terjadi di masyarakat.Secara sosial, organisasi ini berperan
melindungi dan memperjuangkan kepentingan umat ke berbagai pihak
terkait.Oleh karenanya, PHDI juga berupaya membina hubungan baik dengan
berbagai lembaga, organisasi, jajaran pemerintahan, legislatif dan intitusi lainnya
baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.PHDI juga bertugas untuk
mengembangkan dan merawat keharmonisan internal dan antar umat beragama.
Kegiatan PHDI di Lampung dapat ditentukan dari kebutuhan umat di
daerah tersebut.Saat ini PHDI masih memperjuangkan pengangkatan guru agama
Hindu di sekolah-sekolah jenjang SD sampai SMA.Dalam hal pendidikan, PHDI
juga ikut membangun dan mengelola pasraman dan bekerjasama dengan para
penyuluh agama Hindu untuk memberikan pelayanan bagi umat Hindu di
wilayahnya.Secara khusus, PHDI di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan
saat ini sedang berusaha mendata dan mendaftarkan seluruh tempat ibadah dan
pasraman di wilayahnya.Data ini diminta oleh Bimas Hindu Kanwil Agama
Provinsi Sumatera Selatan. Tujuannya adalah untuk mempermudah jika hendak
mengajukan proposal bantuan untuk pembangunan, renovasi atau penyediaan
sarana prasarana pura dan pasraman, sehingga kegiatan yang terkait dengan
keagamaan bisa berjalan dengan baik.Hal ini mendapat tanggapan yang sangat
serius dari pemerintah khususnya dari Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo yang
memberikan lahan seluas tiga hektar di kota Lampung yang diserahkan kepada
umat Hindu untuk pembangunan pura dan The centre of Exellent Hindu di
Lampung (Bali Post, 25 Maret 2019). Ini merupakan realitas dari keberterimaan
komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung.
Komunitas Hindu di Lampung sebagian besar adalah etnis Bali dan juga
etnis Jawa, tapi bukan orang Bali dan Jawa lagi, namun sudah sah menjadi warga
Lampung keturunan Bali dan Jawa, sehingga dimana bumi dipijak di sana langit
dijunjung, suatu bentuk penghormatan kepada budaya lokal dalam upaya menjaga
perdamaian dan kondusivitas Lampung dengan harapan komunitas Hindu mampu
menjadi teladan kebangsaan.Dengan memiliki sifat kesatria yang berani membela
negara (nindihin tanah palekadan), argumentatif dan berani mabelapati terhadap
sradha dan bhakti kepada pemerintah maka keberterimaan komunitas Hindu
dalam pluralitas agama di Lampung bisa berjalan dengan harmonis.
Simpulan
Multikulturalisme menekankan pada perbedaan yang muncul di antara
budaya etnik yang ada di Lampung. Multikulturalisme menjadi pendekatan etik
dan emik dalam pertukaran antar budaya.Dalam hal ini penguatan pandangan
multikulturalisme bertumpu pada perbedaan dan kesederajatan, baik secara
individu maupun secara kultur.
Penguatan solidaritas merupakan suatu aspek penting dalam hubungan
antar kelompok dan inter kelompok. Di samping itu mengingat agama dan budaya
bukan sesuatu yang beku, tetapi berada dalam proses menjadi, maka akan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 177
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
memberikan pemahaman bahwa agama Hindu sebagai agama dominan pada masa
lalu, dan diakui sebagai inspirasi budaya Lampung
Keberterimaan komunitas Hindu ada di antara pluralitas agama dan
multikulturalitas keagamaan.Artinya mereka tidak sekadar representasi pluralitas,
tidak juga dapat dikatakan mltikultural sejati, tetapi ada di
antaranya.Keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung
merupakan cermin keberhasilan multikultural di bidang keagamaan di Indonesia.
Keberterimaan komunitas Hindu di Lampung merupakan suatu posisi
sebuah entitas yang diwujudkan dari ruang spasialnya. Berkaitan dengan hal ini
maka dalam praktik-praktik religious dalam setiap agama ke depannya dapat
menerima hal yang berbeda, seperti di sini ada pendeta, di sana ada biksu,
ditempat lain ada pinandita. Kecuali itu harus dipahami bahwa sulit ditemkan sifat
umum yang berbentuk kesamaan yang menggiringnya pada satu paham karena
representasi religious merupakan representasi kolektif.
DAFTAR PUSTAKA
―Data Keagamaan Hindu tahun 2017‖ Bimas Hindu Kanwil Dept. Agama
Provinsi Sumatera Selatan.
―Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political
Landscape.‖ 2003. Institute of Southeast Asian Studies.
―Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kota dan
Agama yang Dianut (orang), 2014.‖ Kanwil Dept. Agama Provinsi
Sumatera Selatan.
―Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kota dan
Agama yang Dianut (orang), 2015-2017.‖ Kanwil Dept. Agama Provinsi
Sumatera Selatan.
Abdullah, Ma‘moen. 1991/1992.Sejarah Daerah Sumatera Selatan.Jakarta :
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Inventarisasi dan
Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Propinsi Sumatera Selatan.
Levang, Patrice. 2003. Ayo Ke Tanah Sabrang. Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia.
Siregar, Sondang Martini. 2018. ―The Statues, Plants and Animals in The Region
of Bumiayu Temple Tanah Abang Sub District, Penukal Abal Ilir
Regency.‖ Indonesian Journal of Environmental Management and
Sustainability. 2 (2018
Sulistyaningsih, Cahyo. 2017. Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya. Palembang :
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan UPTD
Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya.
Transmigrasi: Masa Doeloe, Kini dan Harapan ke Depan. 2015. Jakarta:
Direktorat Bina Potensi Kawasan Transmigrasi, Direktorat Jenderal
Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi,
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI.
Utomo, Bambang Budi. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-
Buddha). Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah
dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 178
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA:
SUATU TINJAUAN SINGKAT
I Wayan Teguh
Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Ungkapan ―bahasa cermin bangsa‖ menunjukkan bahwa pola pikir
bangsa dapat dikaji melalui bahasa. Artinya, bahasa memengaruhi
cara berpikir masyarakat dan cara masyarakat memahami
lingkungan atau dunia sekelilingnya. Dalam hal ini salah satu
kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui
bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi
pasif. Konstruksi pasif berhubungan dengan pola pikir bangsa
Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku dibandingkan dengan
konstruksi aktif yang menonjolkan pelaku.
Pada era globalisasi hendaknya bahasa Indonesia dapat memenuhi
kepentingan peradaban modern. Namun, identitasnya harus
dipertahankan agar tidak hilang akibat globalisasi. Semua tradisi
yang bersifat positif hendaknya tidak hilang akibat globalisasi.
Dalam kaitan ini warisan bahasa yang menjadi identitas atau jati
diri masyarakat bahasa mutlak dituntut. Artinya, kelengkapan unsur
pengungkap diri secara alami hanya dimiliki oleh bahasa sebagai
jati diri atau kepribadian.
Tantangan bagi bahasa Indonesia sebagai asas peradaban
modern adalah dalam hal bahasa Indonesia sebagai das Sein di
samping sebagai das Sollen. Di sini dituntut kemampuan bahasa
Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan peradaban modern. Jadi,
kebijakan yang perlu ditempuh dalam lintas bahasa Indonesia dan
bahasa asing adalah mempertimbangkan bahasa Indonesia sebagai
identitas bangsa atau kepribadian nasional (Indonesia).
Kata kunci: kepribadian nasional, konstruksi pasif
1. Pendahuluan
Alisyahbana (1988) menyatakan bahwa salah satu konstruksi bahasa
Indonesia yang berhubungan dengan kepribadian nasional adalah pemasifan atau
konstruksi pasif. Konstruksi pasif telah menjadi materi pembelajaran, baik di
tingkat sekolah dasar maupun di tingkat sekolah menengah. Keberhasilan
pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia telah berdampak sangat positif bagi
bangsa Indonesia dalam membangun jati diri, martabat, dan kepribadian sebagai
bangsa (band. Kompas, 26 Oktober 2011). Artinya, dengan bahasa Indonesia,
bangsa Indonesia menyatakan secara verbal sebagai bangsa yang berbeda dengan
bangsa lain. Berkat bahasa Indonesia yang dipelajari, baik secara formal maupun
informal, warga Indonesia merasa satu sebagai bangsa. Dalam hal ini walaupun
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 179
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berbeda suku dan bahasa daerah, warga Indonesia dapat berkomunikasi dengan
lancar, dapat melakukan aneka kegiatan sosial budaya, dapat memperoleh
informasi, serta dapat menikmati seni budaya melalui bahasa dan sastra Indonesia
(band. Alisyahbana, 1988).
Indonesia merupakan negara sekaligus bangsa yang multietnik dan
multikultural. Tuntutan kehidupan modern, lebih-lebih terjadinya terjangan
bahasa dan budaya global yang dianggap mengganggu pertumbuhan jati diri dan
kepribadian nasional patut diwaspadai. Dalam hal ini bangsa Indonesia tidak
berniat mengingkari arus bawah juga pilar keetnikan. Di samping itu, juga tidak
memagari bangsa dari arus bahasa dan budaya global. Akan tetapi, hanya menapis
arus dalam dan arus luar atau globalisasi yang menerjang. Artinya, proses
pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia harus dapat dikelola secara lebih
berhasil guna dan berdaya guna dalam membangun jati diri sebagai bangsa. Di
pihak lain persoalan internal, khususnya orientasi atau kultur pembelajaran
bahasa (juga pendidikan umumnya) perlu didalami secara kritis.
Bahasa Indonesia (yang tumbuh dari bahasa Melayu) yang pada awalnya
hanya sebagai bahasa perhubungan antaretnis ternyata mempunyai fungsi yang
cukup kompleks. Kekompleksan fungsi itu menyebabkan bahasa Indonesia harus
membentuk konstruksi-konstruksi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat
modern. Pada hahikatnya masyarakat modern merupakan masyarakat yang
berwawasan nasional. Hal tersebut tentu tidak disangka oleh para pencetus
gagasan ketika bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa persatuan dengan nama
bahasa Indonesia (Kridalaksana, 1997:1). Artinya, di Indonesia bahasa Indonesia
tidak hanya memiliki fungsi komunikatif antarwarga, tetapi juga mempunyai
fungsi lain. Sehubungan dengan hal itu, berikut dibicarakan secara singkat
hubungan bahasa Indonesia dan kepribadian nasional (Indonesia).
2. Bahasa Indonesia dan Kepribadian Nasional
Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:788) dinyatakan bahwa
kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu
bangsa yang membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain. Berdasarkan
pengertian itu, kepribadian nasional dapat diartikan sebagai ciri-ciri watak yang
menonjol ada pada banyak warga suatu kesatuan nasional. Kepribadian nasional
juga dapat disamakan dengan kepribadian bangsa.
Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa salah satu konstruksi bahasa
Indonesia yang berhubungan dengan kepribadian nasional adalah pemasifan atau
konstruksi pasif (Alisyahbana, 1988). Lebih lanjut dikemukakan bahwa prefiks di-
dalam bentuk pasif terikat pada fungsi objek dan peran pelaku (objek pelaku)
orang ketiga. Apabila objek pelaku itu adalah orang pertama atau orang kedua,
prefiks di- tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, objek pelakunya bersatu dengan
verba (predikatnya).
Contoh:
(1) a. Penyebar berita bohong itu telah ditangkap oleh polisi (dia, -nya).
(2) b. Penyebar berita bohong itu telah kutangkap.
c. Penyebar berita bohong itu telah kautangkap.
180 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Hal lain yang juga diungkapkan oleh Alisyahbana adalah
ketidakmungkinannya dapat diselakan kata atau unsur lain di antara pelaku pasif
dengan pelaku pertama dan pelaku kedua seperti tampak di bawah ini.
(3) *a. Penyebar berita bohong itu saya telah tangkap.
*b. Saya telah tangkap penyebar berita bohong itu.
Adanya penyelaan unsur atau kata lain di antara pelaku pasif dengan pelaku
pertama menunjukkan konstruksi yang tidak gramatikal seperti (3a) dan (3b).
Konstruksi itu akan gramatikal apabila dijadikan seperti (4a) dan (4b) berikut.
(4) a. Penyebar berita bohong itu telah saya tangkap.
b. Saya telah menangkap penyebar berita bohong itu.
Konstruksi pasif bahasa Indonesia juga dibahas dalam Tata Bahasa Baku
Bahasa Indonesia (1993:391—395). Pada buku tersebut diungkapkan bahwa
dalam bahasa Indonesia terdapat dua cara pembentukan (kalimat) pasif, yaitu
sebagai berikut.
Pertama, yaitu (a) pengisi subjek dipertukarkan dengan pengisi objek, (b)
prefiks
meng- pada predikat diganti dengan prefiks di-, dan (c) kata oleh ditambahkan di
depan pelengkap (yang semula subjek aktif).
Kedua, yaitu (a) objek kalimat aktif dipindahkan ke awal kalimat sebagai
subjek kalimat pasif, (b) prefiks meng- pada predikat ditanggalkan, dan (c) pelaku
(pronomina yang semula subjek) dipindahkan ke depan verba (predikat) apabila
ada kata lain yang mendahului verba.
Kaidah pasif dengan cara pertama digunakan jika subjek kalimat berupa
nomina atau frasa nominal. Di pihak lain jika subjek kalimat aktif berupa
gabungan nomina dengan pronomina atau frasa lain, yang digunakan adalah
kaidah pasif dengan cara kedua. Contoh penerapan kaidah pasif cara pertama
tampak pada (5b), (6b), dan (7b), sedangkan penerapan cara kedua tampak pada
contoh (8b) seperti di bawah ini.
(5) a. Romeo membeli sepeda motor baru.
b. Sepeda motor baru dibeli oleh Romeo.
(6) a. Yoga mengangkat sebuah kursi.
b. Sebuah kursi diangkat (oleh) Yoga.
(7) a. Ibu Yunita harus memperbaiki tata letak dagangannya dengan cepat.
b. Tata letak dagangannya harus diperbaiki dengan cepat oleh Ibu Yunita.
*c. Tata letak dagangannya harus diperbaiki dengan cepat Ibu Yunita.
(8) a. Saya telah menyelesaikan pekerjaan rumah itu.
b. Pekerjaan rumah itu sudah saya selesaikan.
*c. Pekerjaan rumah itu sudah diselesaikan saya.
Pemakaian kata oleh pada kalimat pasif bersifat manasuka. Apabila verba
pasif langsung diikuti oleh pelaku (yang semula subjek aktif), kata oleh wajib
hadir. Oleh
karena itu, kalimat (8c) tidak gramatikal.
Berdasarkan uraian dan sejumlah konstruksi di atas dapat dipahami bahwa
kepribadian nasional sesungguhnya adalah jati diri pemilik bahasa Indonesia
secara lebih luas. Dalam arti khusus identitas dipahami sebagai ciri bahasa
Indonesia itu sendiri sehubungan dengan pemahaman identitas individual yang
berkaitan langsung dengan bahasa ibu, yaitu bahasa yang pertama kali diperoleh.
Di samping itu, masyarakat penutur bahasa Indonesia juga mempunyai identitas
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 181
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sosiologis yang berhubungan dengan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.
Dengan demikian, identitas individual akan mewarnai bahasa nasional dalam hal
tertentu.
Situasi peradaban modern ditandai oleh situasi budaya inovatif. Situasi itu
diawali dengan masuknya kosakata bagi benda atau peristiwa budaya yang
teramati. Artinya, suatu budaya akan dipungut oleh suatu bangsa melalui bahasa.
Hal itu tampak dari sejumlah nama yang tidak dapat ditelusuri lagi asal
identitasnya. Dalam hubungan ini bahasa Indonesia yang komunikatif dan efektif
makin merupakan tantangan, terutama bagi bahasa Indonesia sebagai das Sein
(sebagaimana adanya). Di pihak lain, bahasa Indonesia sebagai identitas nasional
merupakan das Sollen (yang seharusnya) dalam pertahanannya, lebih-lebih pada
era globalisasi (Djajasudarma, 1999:1).
Kebijakan mengenai lintas bahasa nasional (Indonesia) dengan bahasa-bahasa
daerah telah diatur melalui Politik Bahasa Nasional (Halim, 1978). Akan tetapi,
lintas bahasa Indonesia dengan bahasa asing sulit ditentukan, terutama pada era
globalisasi. Dalam hubungan ini era globalisasi hendaknya dipahami sebagai
―berpikir global, tetapi bertindak lokal‖. Artinya, modern harus dipahami dalam
cara berpikir universal, tetapi dalam bertindak harus selalu mempertimbangkan
lingkungan, yaitu budaya, termasuk bahasa lokal. Lingkungan diartikan sebagai
lingkungan bahasa (Indonesia) yang menjadi ciri, jati diri, dan identitas nasional.
Dalam kondisi kemanusiaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan seperti
sekarang ini hendaknya bangsa Indonesia tidak hanya berpatokan pada ―ilmu
untuk ilmu‖, tetapi juga berorientasi pada ―ilmu untuk kemanusiaan,
kemasyarakatan, kebudayaan, lingkungan, dan ke(ber)adaban. Artinya, secara
khusus pula aplikasi bahasa (dan sastra) Indonesia demi kemanusiaan,
kemasyarakatan, lingkungan, dan kebudayaan dapat berpijak pada isu dasar, yaitu
―krisis jati diri (identitas), krisis nilai kultural lingual, masih terenggutnya
kebebasan (berekspresi verbal), ketercerabutan akar lokal, dan penurunan
semangat nasionalisme di bidang bahasa, sastra, dan budaya Indonesia di tengah
dahsyatnya arus budaya global.
Salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui
bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi
pasif itu berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan
pelaku atau agen dibandingkan dengan konstruksi aktif.
Contoh:
(9) Sudahkah diberi hadiah pemenang lomba esai itu?
(10) Sudahkah Anda beri hadiah pemenang lomba esai itu?
(11) Suahkah Anda memberi hadiah pemenang lomba esai itu?
Dalam karya ilmiah juga sering muncul ekspresi seperti itu.
Contoh:
(12) Di dalam makalah ini dikemukakan ….
(13) Di dalam makalah ini saya kemukakan ….
Jika konstruksi (9) sampai dengan (13) dicermati, dapat dikatakan bahwa
penutur bahasa Indonesia akan memilih konstruksi (9) dibandingkan dengan (10)
karena lebih ekonomis. Di samping itu, apabila dilihat dari segi budaya, ekspresi
(9) tidak menonjolkan pelaku. Hal tersebut terjadi karena prefiks di- cenderung
menginklusifkan pelaku. Ekspresi (11) jarang muncul dalam tuturan bahasa
Indonesia, sedangkan ekspresi (12) lebih sering muncul dibandingkan dengan
182 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(13). Akan tetapi, konstruksi (13) lebih sering muncul atau frekuensi
pemakaiannya lebh tinggi dengan kaidah pronomina persona pertama + verba
dasar, terutama di dalam transformasi aktif pasif seperti di bawah ini.
(14) Saya telah menyelesaikan pekerjaan rumah itu.
Apabila konstruksi aktif (14) dipasifkan, akan menjadi seperti di bawah ini.
(15) Pekerjaan rumah itu telah saya selesaikan.
Konstruksi (15) itu dapat divariasikan sekaligus dibandingkan dengan konstruksi
di bawah ini.
(16) Pekerjaan rumah itu telah dirampungkan *(oleh saya).
Dalam pemakaian bahasa Indonesia konstruksi (16) lebih tinggi frekuensi
penggunaannya dibandingkan dengan konstruksi (15). Hal ini menunjukkan
bahwa pelaku sering dilesapkan dan seakan-akan pronomina persona pertama
sebagai pelaku atau agen diinklusifkan oleh prefiks di- yang digunakan dalam
konstruksi tersebut. Di samping konstruksi pasif seperti di atas, kecenderungan
pola pikir bangsa Indonesia melalui bahasa (Indonesia) yang mencerminkan
kepribadian nasional Indonesia dapat diperhatikan dalam konstruksi frasa.
Frasa bahasa Indonesia cenderung bertipe diterangkan-menerangkan (D-M).
Namun, kenyataannya dalam bahasa Indonesia juga terdapat konstruksi M-D
(menerangkan-diterangkan). Dalam hubungan ini pola frasa bahasa Indonesia
cenderung dipertimbangkan dari segi D-M. Akan tetapi, dapat pula
dipertimbangkan dari segi pola urutan M-D. Pola-pola atau konstruksi frasa itu
dapat diperhatikan pada contoh berikut.
(17) mahasiswa cerdas
D M
(18) putri pejabat
D M
Dalam konstruksi (18) terdapat hubungan termilik (T), yaitu putri dan pemilik
(P), yaitu pejabat. Di pihak lain, konstruksi (17) menunjukkan hubungan
anteseden (mahasiswa) dan kualifier (cerdas). Hubungan milik atau posesif yang
lebih kompleks tampak pada konstruksi (19) di bawah ini.
(19) koperasi desa kami
T P P
________ __
T P
Konstruksi frasa dengan susunan M-D cenderung terdapat pada urutan
numeralia (Num-)-nomina (N) seperti tampak pada contoh berikut.
(20) seorang anak
Pola urutan frasa (20) menunjukkan frasa bahasa Indonesia yang menyatakan
jumlah. Jumlah yang tercermin dalam pola frasa seperti itu adalah pola sistem
tunggal-jamak-tak tentu. Dengan demikian, konstruksi bahasa Inggris two or more
people harus diterjemahkan sesuai dengan pola bahasa Indonesia menjadi
konstruksi (21), bukan konstruksi (22).
(21) dua orang atau lebih
*(22) dua atau lebih orang
Dalam tipe yang lebih kompleks dapat ditemukan konstruksi seperti (23) di
bawah ini.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 183
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(23) sebuah rumah pejabat negara
M D D M
________ ________
D M
Tipe bahasa Indonesia, terutama dalam hal pola urutan frasa ternyata
memengaruhi konstruksi baru pada peradaban dunia modern, misalnya dalam
penerjemahan business woman. Konstruksi itu diterjemahkan menjadi konstruksi
(24) berikut.
(24) wanita pengusaha
D M
Konstruksi (24) dapat dibandingkan dengan konstruksi (25). Konstruksi (25)
memungkinkan munculnya dua pola, yaitu (a) pola D-M dan (b) pola M-D.
Perhatikanlah konstruksi (25) di bawah ini.
(25) pengusaha wanita
a. D M
b. M D
Masalah yang dapat dipahami dari konstruksi (24) dan (25) adalah konstruksi
(24) menunjukkan pola D-M dan menyatakan konstruksi hasil terjemahan dan
cocok dengan pola bahasa Indonesia. Di samping itu, konstruksi (24) juga dapat
dikatakan sebagai usahawati (sebagai padanan wanita pengusaha).
Pada hakikatnya konstruksi (25) muncul sebagai akibat peradaban modern dan
dapat dipahami sebagai pengusaha wanita sama dengan usahawati pada (25a)
dengan pola D-M atau dapat pula dipahami sebagai usahawan pada (25b) dengan
objek usaha adalah wanita. Konstruksi (25) dapat menimbulkan penafsiran ganda.
Hal itu mengingatkan penutur bahasa Indonesia pada istilah TKI (tenaga kerja
Indonesia), khususnya TKW (tenaga kerja wanita).
3. Simpulan
Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Semua tradisi yang
bersifat positif hendaknya tidak hilang akibat globalisasi. Dalam kaitan ini
warisan bahasa yang menjadi identitas atau jati diri masyarakat bahasa mutlak
dituntut. Artinya, kelengkapan unsur pengungkap diri secara alami hanya dimiliki
oleh bahasa sebagai jati diri atau kepribadian.
Ungkapan ―bahasa cermin bangsa‖ menunjukkan bahwa pola pikir bangsa
dapat dikaji melalui bahasa. Artinya, bahasa memengaruhi cara berpikir
masyarakat dan cara masyarakat memahami lingkungan atau dunia sekelilingnya.
Salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui bahasa
Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi pasif
berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku
dibandingkan dengan konstruksi aktif yang menonjolkan pelaku.
Para era globalisasi bahasa Indonesia hendaknya dapat memenuhi
kepentingan peradaban modern. Namun, identitasnya harus dipertahankan agar
tidak hilang akibat globalisasi. Tantangan bagi bahasa Indonesia sebagai asas
peradaban modern adalah dalam hal bahasa Indonesia sebagai das Sein di
samping sebagai das Sollen. Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan bahasa
Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan peradaban modern. Jadi, kebijakan yang
perlu ditempuh dalam lintas bahasa Indonesia dan bahasa asing adalah
184 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
mempertimbangkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa atau kepribadian
nasional (Indonesia).
Daftar Pustaka
Alisyahbana, Sutan Takdir. 1988. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta:
Dian Rakyat.
Alwi, Hasan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Djajasudarma,T.Fatimah. 1999. ―Melalui Bahasa Manusia Membudaya‖. Dalam
Majalah Koridor. Bandung: Fakultas Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.
Halim, Amran. 1980. Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Nirwanto, P.B. 1997. ―Antipasif dalam Bahasa Indonesia‖. Dalam Linguistika:
Wahana Pengembang Cakrawala Linguistik. Denpasar: Program Magister
(S2) Linguistik, Universitas Udayana.
Parera, Jos Daniel. 1995. ―Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Dilihat dari Segi
Sosiopolitikolinguistik‖. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
Ridwan, T. Amin. 2005. Kedaulatan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utama
Thompson, B. John. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi
Dunia. Yogyakarta: IRCioD.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 185
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF
DALAM BAHASA SASAK
Ida Ayu Putu Aridawati
Balai Bahasa Bali
ABSTRAK
Tulisan ini mengkaji kata keterangan aspek frekuentatif yang
menyatakan bahwa suatu peristiwa terjadi beberapa kali berturut-
turut, atau dengan kata lain bahwa suatu peristiwa sering terjadi.
Masalah yang dibahas meliputi (1) bagaimana pemarkah kata
keterangan aspek frekuentattif dalam bahasa Sasak?, (2) bagaimana
distribusi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?,
dan (3) apa saja fungsi kata keterangan aspek frekuentatif dalam
bahasa Sasak? Tujuan penelitian ini mendeskripsikan pemarkah,
distribusi, dan fungsi kata keterangan aspek frekuentitatif dalam
bahasa Sasak. Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah teori
analisis linguistik struktural berdasarkan pada data (data oriented).
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode
kontak dibantu dengan teknik libat simak, teknik catat, dan teknik
cakap bersemuka. Dalam analisis data digunakan metode
distribusional dibantu dengan teknik permutasi, substitusi, dan
pelesapan. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode
formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif.
Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan terdapat enam
pemarkah aspek frekuentatif, yaitu girang ‗selalu‘,
tetep‟selalu/sering‘, mokor‟selalu/‗sering‘, bilang jelo „sering‟,
terus‟sering‘, kereng‘sering‘. Keenam pemarkah aspek frekuentatif
itu dapat berdistribusi di awal frasa verbal, frasa adjektival dan
frasa nominal. Dalam tataran sintaksis, kata keterangan aspek
frekuentatif menjadi atributif bagi unsur pusat pada frasa verbal,
frasa adjektival, dan frasa niominal. Pada tataran kalimat kata
keterangan aspek ini berfungsi sebagai predikat. Dilihat dari
peranan semantiknya, kata keterangan aspek frekuentatif
menyatakan makna bahwa suatu peristiwa atau tindakan yang telah
sering terjadi atau berulang-ulang.
Kata kunci: kata keterangan, aspek frekuentatif, bahasa Sasak
1. Pendahuluan
Aspek adalah kategori gramatikal verba yang menunjukkan lama dan
jenis perbuatan, apakah mulai, selesai, sedang berlangsung, dan berulang. Jadi,
aspek adalah segi proses berlangsungnya perbuatan, kejadian atau peristiwa,
peristiwa itu belum berlangsung, akan berlangsung, mulai berlangsung, sedang
berlangsung, berlangsung secara singkat, serta merta, dan tidak terduga, selesai
186 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berlangsung, berlangsung berulang-ulang, dan peristiwa yang berlangsung terus-
menerus sehingga merupakan suatu kebiasaan (Kridalaksana, 2008). Kata
keterangan aspek ialah kata yang menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa
secara objektif, yaitu suatu peristiwa terjadi dengan sendirinya tanpa suatu
pengaruh atau pandangan dari pembicara (Keraf, 1984:81). Padmosoekotjo
(1986:116) menyebut keterangan aspek sebagai kata keterangan predikat, yaitu
kata yang menjadi keterangan bagi kata kerja, kata keadaan, dan kata bilangan.
Dwidjosusono (1979:22) menyebut kata kerangan aspek sebagai kata keterangan
yang menyatakan waktu yang terdiri atas tiga golongan, yaitu waktu yang sedang
terjadi, akan terjadi, dan sudah terjadi. Kata keterangan aspek meliputi aspek
habituatif, inkoatif, perfektif, dan aspek frekuentatif. Kata keterangan aspek
frekuentatif adalah kata keterangan yang menyatakan bahwa suatu peristiwa
terjadi beberapa kali berturut-turut, atau dengan kata lain bahwa suatu peristiwa
sering terjadi. Namun, kejadian itu terputus-putus atau terhenti-henti. Penelitian
terhadap kata keterangan aspek dalam bahasa Sasak khususnya aspek frekuentatif
belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini masalah tersebut
dijadikan bahan kajian, sehingga secara rinci dapat diketahui pemarkah, distribusi
dan fungsi kata keterangan aspek frekuentatif tersebut.
Masalah yang dibahas dalam kajian ini, meliputi (1) bagaimana
pemarkah kata keterangan aspek frekuentattif dalam bahasa Sasak?, (2)
bagaimana distribusi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?, dan
(3) apa saja fungsi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?
Tujuan khusus penelitian ini mendeskripsikan pemarkah, distribusi, dan
fungsi kata keterangan aspek frekuentatif bahasa Sasak. Tujuan umum penelitian
ini untuk mendokumentasikan salah satu tataran bahasa-bahasa nusantara,
khususnya tataran sintaksis bahasa Sasak. Upaya ini akan menunjang usaha
pemerintah dalam melestarikan salah satu unsur budaya bangsa.
Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah teori analisis linguistik
struktural. Artinya semua analisis berdasarkan pada data (data oriented). Landasan
teori yang bersifat data oriented ialah landasan teori itu dapat menghasilkan
kejelasan-kejelasan, yaitu tentang klasifikasi bentuk dan makna, frekuensi
penggunaannya seperti dalam linguistik deskriptif (Poedjosoedarmo, 1981:4).
Analisis hubungan gramatikal yang menyangkut hubungan aspek dengan unsur
lain mengikuti pendapat Ramlan tentang unsur inti (pusat) dan atribut (2005).
Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode kontak.
Dalam pelaksanaannya kedua metode itu dibantu dengan teknik libat simak,
teknik catat, dan teknik cakap bersemuka. Setelah pengumpulan data, dilanjutkan
dengan pengklasifikasian data, selanjutnya tahap analisis. Dalam analisis data
digunakan metode distribusional. Metode ini dibantu dengan teknik permutasi,
substitusi, dan pelesapan. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode
formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif (Sudaryanto,
1988:13).
Sumber data penelitian ini adalah sumber data tertulis dan yang tidak
tertulis atau lisan. Penentuan sumber data tersebut dilakukan untuk memudahkan
pemerolehan data yang lengkap. Hal ini dimaksudkan agar dalam tahap
pengolahan data diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai pemarkah,
distribusi, dan fungsi aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 187
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2. Pemarkah Aspek Frekuentatif
Pemarkah aspek frekuentatif dalam kajian ini, yaitu girang ‗selalu‘, tetep
„selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘, mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan
kereng ‗sering‘. Penggunaan pemarkah aspek frekuentatif tersebut dapat dilihat
pada contoh berikut.
(1) Nia girang lalo lamun jelo uahserep.
‗Dia selalu pergi jika matahari sudah terbenan.‘
(2) Nia girang nangis lamun tesili isiqsemamanna.
‗Dia selalu menangis jika dimarahi oleh suaminya.‘
(3) Sejeloan nia girang tindoq-tindoqan doang.
‗Seharian dia selalu tidur-tiduran saja.‘
(4) Nia maseh tetep lalo botoh.
‗Dia masih selalu/sering pergi berjudi.‘
(5) Nia bilang jelo lalo jaoq.
‗Dia sering pergi jauh.‘
(6) Nia mokor teoloq kanca batur-baturna.
‗Dia selalu/sering diejek oleh teman-temannya.‘
(7) Aku terus bekedeq joq to.
‗Saya sering bermain ke sana.‘
(8) Siti kereng madiq leq balen aku.
‗Made sering menginap di rumah saya.‘
Pada contoh diatas tampak bahwa peristiwa atau perbuatan yang
dinyatakan pada verba lalo ‗pergi‘ (1), nangis ‗menangis‘(2), tinduq-tinduqan
‗tidur-tiduran‘ (3), lalo ‗pergi‘ (4) dan (5), teoloq ‗diejek‘ (6) bekedeq ‗bermain‘
(7), dan madiq ‗menginap‘ (8), masing-masing menyatakan perbuatan atau
peristiwa telah berlangsung berulang-ulang atau telah terjadi beberapa kali. Untuk
menguji apakah kata girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘,
mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘ merupakan pemarkah
aspek frekuentatif, keenam kata itu akan dilesapkan dalam konteks kalimat yang
bersangkutan. Jika kata-kata itu sudah dilesapkan dan ternyata kalimatnya tetap
menyatakan suatu peristiwa atau perbuatan terjadi berulang (sering terjadi), berarti
kata-kata itu bukan merupakan keterangan aspek frekuentatif. Sebaliknya, jika
pemarkah aspek frekuentatif itu sudah dilesapkan dan makna frekuentatifnya
hilang, berarti kata-kata itu merupakan pemarkah aspek frekuentatif. Kalimat (1--
8) diatas akan diuji ketegaran makna frekuentatifnya dengan cara melesapkannya
sehingga kalimat tersebut menjadi (1a—8a) di bawah ini.
(1a) Nia lalo lamun jelo uah serep.
‗Dia pergi jika matahari sudah terbenan.‘
(2a) Nia nangis lamun tesili isiq semamanna.
‗Dia menangis jika dimarahi oleh suaminya.‘
(3a) Sejeloan nia tindoq-tindoqan doang.
‗Seharian dia tidur-tiduran saja.‘
(4a) Nia maseh lalo botoh.
‗Dia masih pergi berjudi.‘
(5a) Nia lalo jaoq.
‗Dia pergi jauh.‘
188 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(6a) Nia teoloq kanca batur-baturna.
‗Dia diejek oleh teman-temannya.‘
(7a) Aku bekedeq joq to..
‗Saya bermain ke sana.‘
(8a) Siti madiq leq balen aku..
‗Siti menginap di rumah saya.‘
Setelah kata girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘,
mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘ dilesapkan ternyata
kalimat-kalimat di atas tidak lagi menggambarkan perbuatan atau peristiwa terjadi
berkali-kali dan terus menerus. Hal itu berarti bahwa keenam kata tersebut
memang merupakan pemarkah aspek frekuentatif.
3. Distribusi Kata Keterangan Aspek Frekuentatif
Distribusi kata keterangan aspek yang menyatakan makna frekuentatif
dapat menduduki posisi awal dalam sebuah frasa. Selain dapat berposisi pada
awal frasa juga dapat berposisi pada akhir sebuah frasa. Kata keterangan aspek
frekuentatif pada sebuah frasa mempunyai arti bahwa kata keterangan tersebut
berfungsi sebagai atribut diikuti verba, adjektiva dan nomina sebagai unsur pusat.
3.1 Distribusi di Awal Frasa Verbal
Kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di awal kelas
verba yang berfungsi sebagai atribut, sedangkan unsur verba yang mengikutinya
sebagai inti (pusat). Dengan demikian, kata keterangan aspek frekuentatif
membentuk frasa verbal yang endosentris. Keenam pemarkah aspek frekuentatif
dalam bahasa Bali ini, keseluruhnya dapat berdistribusi di awal frasa verbal.
Contoh :
girang tindoq ‗selalu tidur‘
tetep bedagang ‗selalu/sering berjualan‘
terus plai ‗sering lari‘
bilang jelolekaq nae ‗sering berjalan kaki‘
mokor teriq ‗selalu/sering jatuh‘
kereng betijoh ‗sering berludah‘
3.2 Distribusi di Awal Frasa Adjektival
Kata keterangan aspek frekuentatif berposisi di awal kelas adjektiva yang
membentuk frasa adjektival. Frasa adjektival ini adalah frasa yang mempunyai
distribusi yang sama dengan adjektiva. Aspek frekuentatif pembentuk frasa
adjektival berfungsi sebagai atribut dan adjektiva yang mengikutinya sebagai
unsur inti (pusat).
Contoh :
girang inges ‗selalu (dalam keadaan) cantik‘
tetep kereng „selalu kuat‘
terus bersih ‗selalu (dalam keadaan) bersih‘
bilang jelo nyang ‗sering gelisah‘
mokor kelem ‗sering gelap‘
kereng basaq ‗sering basah‘
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 189
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
3.3 Distribusi di Awal Frasa Nominal
Kata keterangan aspek frekuentatif yang berdistribusi di awal kelas
nomina membentuk frasa nominal. Aspek frekuentatif pada frasa nominal ini
berfungsi sebagai atribut dan diikuti kelas nomina sebagai unsur inti (pusat).
Contoh :
girang kelambi ‗selalu pakaian‘
mokor bale ‗selalu rumah‘
tetep empaq segara ‗selalu ikan laut‘
Perlu diketahui bahwa tidak semua kata keterangan aspek frekuentatif
dapat berkonstruksi dengan nomina.
Contoh pemakaiannya dalam kalimat dapat dilihat sebagai berikut.
(9) Girang kelambi saq tebeli.
‗selalu pakaian yang dibelinya.‘
(Hanya pakaian yang selalu dibelinya)
(10) Mokor bale saq teperiri.
„Selalu rumah yang diperbaikinya.‘
(Hanya rumah yang selalu diperbaikinya)
(11) Tetep empaq segara saq tekadu empaq sejelo-jelo.
‗Selalu ikan laut yang dijadikan lauk sehari-hari.‘
(Ikan laut selalu dijadikan lauk sehari-hari)
Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa frasa girang kelambi ‗selalu
pakaian, mokor bale ‗selalu rumah‘, dan tetep empaq segara „selalu ikan laut‘
merupakan penjelasan bagi frasa konstruksi tebeli, teperiri, dan tekadu
mengandung makna tindakan (membeli, memperbaiki, dan menjadikan lauk) yang
dilakukan berulang-ulang (sering dilakukan) secara berturut-turut. Jadi, yang
menyatakan tindakan atau peristiwa itu sering terjadi atau dilakukan berulang-
ulang bukan untuk nomina itu sendiri melainkan verbanya, yaitu tebeli, tepetiri,
dan tekadu empaq.
3.4 Distribusi di Akhir Frasa Verbal
Kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di akhir frasa
verba. Adapun kata keterangan aspek frekuentatif tersebut sebagai berikut.
bedagang terus ‗sering berjualan (berjualan berulang-
ulang)
uliq kereng ‗sering pulang‘(pulang berulang-ulang)
bowos bilang jelo ‗sering mabuk‘(mabuk berulang-ulang)
4. Fungsi Kata Keterangan Aspek Frekuentatif
4.1 Fungsi Sintaksis
Kata keterangan aspek frekuentatif dalam tataran sintaksis berfungsi sebagai
unsur pembentuk frasa. Artinya, pada posisi mana pun dalam suatu kalimat,
kehadiran kata keterangan aspek selalu dalam wujud frasa, karena kehadirannya
selalu bersama-sama dengan kata lain. Oleh karena itu, fungsi sintaksis kata
keterangan aspek frekuentatif adalah sebagai atribut, yaitu kata yang menjelaskan
190 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
unsur inti suatu frasa yang berkonstruksi endosentrik. Unsur inti yang dimaksud
dapat berupa verba adjektiva, dan nomina. Contoh dalam bentuk frasa dapat
dilihat sebagai berikut.
(12) Sumarni kereng sili kanca ariqna.
„Sumarni sering marah kepada adiknya.‘
(13) Zubaidah mokor inges lamun sugul langan bale.
„Zubaidah selalu cantik jika ke luar rumah.‘
(14) Empaqna tetep empaq manuq.
„Lauknya selalu daging ayam.‘
Satuan frasa kereng sili „sering marah‟ (12), mokor inges ‗selalu cantik‘
(13), dan tetep empaq manuq „selalu daging ayam‘ (14) berfungsi sebagai pedikat.
Unsur sumarni, Zubaidah, dan empaqna ‗Lauknya‘ berfungsi sebagai subyek,
sedangkan kanca ariqna ‗kepada adiknya‘ (12), lamun sugul langan bale ‗jika ke
luar rumah‘ (13) pengisi fungsi keterangan.
4.2 Fungsi Semantis
Yang dimaksud dengan fungsi semantis disini adalah fungsi kata
keterangan aspek frekuentatif yang menimbulkan makna dalam suatu konteks.
Pengertian ini dihubungkan dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa kata
keterangan aspek frekuentatif tidak mempunyai makna leksikal, tetapi makna
dalam suatu konteks.
Kata keterangan aspek frekuentatif mempunyai satuan makna semantis
baik dalam frasa ataupun kalimat, yaitu menyatakan suatu peristiwa atau tindakan
telah terjadi beberapa kali atau telah sering terjadi.
Perhatikan contoh :
(14)Bilang bedait kanca aku,nia girang ngendeng kepeng.
‗Setiap bertemu dengan saya, dia selalu minta uang.‘
(15)Timaq nani balenna jauq, nia masiq tetep bekedeq joq te.
‗Walaupun sekarang rumahnya jauh, dia masih selalu bermain ke sini.‘
(16)Sida dendeq bilang jelo dengahan raos saq lenge.
‗Kamu jangan sering mendengarkan perkataan yang tidak benar.‘
(17)Aku kereng tuku nasiq joq to.
‗Saya sering membeli nasi di sana.‘
Kata girang„selalu‘, pada frasa girang ngendeng ‘selalu minta‘ (14) dan
kata tetep ‗selalu‘ pada frasa tetep bekedeq„selalu bermain‘ (15) menyatakan
makna bahwa suatu peristiwa berlangsung secara berulang-ulang dan terus
menerus, sedangkan kata bilang jelo ‗sering‘ pada frasa bilang jelo dengahan
‗sering mendengarkan‘ (16) dan kata kereng ‗sering‘ pada frasa kereng tuku
„sering membeli‘ (17) menyatakan makna suatu peristiwa sering berlangsung,
tetapi tingkat kekerapannya tidak seperti pada kalimat (14—15).
Apabila kata girang, tetep, bilang jelo, dan kereng pada kalimat (14—17)
dilesapkan, makna kalimat tersebut tidak tegas dan tidak diketahui apakah
peristiwa atau tindakan itu sering berlangsung atau keberlangsungannya hanya
pada saat pertuturan. Berikut ini akan diperlihatkan beberapa contoh kalimat
keterangan keaspekannya.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 191
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(14a)Bilang bedait kanca aku,nia ngendeng kepeng.
‗Setiap bertemu dengan saya, dia minta uang.‘
(15a)Timaq nani balenna jauq, nia masiq bekedeq joq te.
‗Walaupun sekarang rumahnya jauh, dia masih bermain ke sini.‘
(16a)Sida dendeq dengahan raos saq lenge.
‗Kamu jangan mendengarkan perkataan yang tidak benar.‘
(17a)Aku tuku nasiq joq to.
‗Saya membeli nasi di sana.‘
5. Simpulan
Berdasarkan hasil pengamatan penulis, hanya ditemukan enam kata
keterangan yang menyatakan makna aspek frekuentatif. Keenam pemarkah aspek
frekuentatif tersebut girang ‗selalu‘, tetep‟selalu/sering‘, mokor‟selalu/‗sering‘,
bilang jelo „sering‟, terus‟sering‘, kereng‘sering‘
Keenam pemarkah kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi
di awal frasa verbal, ajektifal, nominal dan berfungsi sebagai atribut, sedangkan
unsur verba, adjektiva, dan nomina yang mengokutinya sebagai pusatnya.
Kata keterangan aspek yang menyatakan makna frekuentatif dapat
mendahului kelas verba. Apabila dilihat dari segi posisinya dalam kalimat, pada
umumnya dapat menduduki posisi awal dan tengah kalimat. Akan tetapi, tidak
dapat menduduki posisi akhir dalam sebuah kalimat.
Dalam tataran sintaksis, kata keterangan aspek frekuentatif membentuk
frasa endosentrik yang atributif, yakni menjadi atributif bagi unsur pusat pada
frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa niominal. Pada tataran kalimat kata
keterangan aspek ini berfungsi sebagai predikat. Dilihat dari peranan semantiknya,
kata keterangan aspek frekuentatif menyatakan makna bahwa suatu peristiwa atau
tindakan berulang-ulang.
DAFTAR PUSTAKA
Dwidjosusono. 1979. Tata Bahasa Jawa Baru. Jakarta Pusat Pembinaan
Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.
Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
Padmosoekotjo, S. 1986. Pramaasastra Jawa. Surabaya: Citra Jaya Murti.
Poedjosoedarmo, Soepomo. 1981. ―Sistem Pemajemukan dalam Bahasa Jawa‖.
Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,
DIY.
Ramlan, M. 2005. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.
192 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Sudaryanto. 1988. ―Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa‖.
Yogyakarta: Komisaris MLI. UGM.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 193
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA
KERAJAAN BALI KUNO
Ida Ayu Putu Mahyuni
Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas
yang tinggi atas lingkungannya. Kearifan lokal memiliki
kandungan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan serta
dilestarikan sebagai perubahan sosial budaya masa modernisasi.
Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang secara terus menerus
dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang
terkandung di dalamnya dianggap sangat universal
(http://seputarpengertian.blogspot.com /2018/10/pengertian-
kearifan-lokal-dan-bentuknya.html?m=1).
Dalam kesempatan ini perlu untuk mengkaji secara mendalam dan
kritis tentang kearifan lokal pada masa kerajaan kuno di Bali .
Kajian tentang kearifan lokal ini dicoba didekati melalui salah satu
teori kebudayaan yang berkaitan dengan solidaritas. Jika agama
dianggap sebagai salah satu ikatan solidaritas masyarakat (Sutrisno
dan Hendar Putranto, 2005). Dengan demikian akan dicoba juga
melihat, bahwa kearifan lokal berupa kebijakan raja pada masa
kerajaan kuno di Bali dapat menciptakan nilai solidaritas, dan perlu
dikembangkan sebagai pedoman hidup pada masa sekarang.
Seorang Raja/Pemimpin pada masa kerajaan kuno di Bali, agar
dapat menjadi pemimpin yang diidolakan dan dihormati, maka
seorang Raja/Pemimpin harus bertingkah laku seperti seorang
pendeta utama, seperti dewa-dewa sebagai pelindung, penjaga,
pemelihara, alam jagat raya beserta isinya. Tipe idola seorang raja
atau pemimpin dalam Wiracarita Ramayana disebut dengan istilah
Asta Brata.
Kata Kunci : Kearifan Lokal, Asta Brata
Pendahuluan
Sebelum kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali, Bali sudah merupakan
satu kesatuan wilayah yang telah berdaulat, otonom, menjalankan pemerintahan
tersendiri terlepas dari ikatan-ikatan kerajaan lain.
Adapun satu kesatuan yang dimaksud adalah :
1.Wilayah kekuasaan Singhamandala
Sumber yang dapat mengungkap periode Singhamandala ini digunakan
beberapa prasasti. Prasasti-prasasti yang ada di Bali jumlahnya ada 224 buah
194 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(Kartidirdjo (Dkk), 1975). Untuk memahami periode Singhamandala didukung
oleh tujuh (7) buah prasasti. Dari sejumlah prasasti ini diketahui mengisaratkan
tentang kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu. Hanya sangat disayangkan
prasasti semua sumber-sumber berupa prasasti itu tidak jelas menyebutkan nama
raja atau pejabat pada saat itu.
Dalam prasasti Sukawana suatu ketetapan dibuat oleh penguasa dengan
alasan tertentu para Bhiksu dibebaskan dari tugas serta pajak-pajak tertentu.
Dalam prasasti lain, prasasti Pura Kehen, menetapkan ketentuan Para Bhiksu juga
mendapatkan hak istimewa, misalnya para Bhiksu tidak boleh diwajibkan antara
lain, ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan
dalam masalah jual beli, dan pemungutan pajak (Ardika (DKK), 2015). Belum
ada alasan yang jelas, mengapa Raja atau pejabat pada saat itu membuat ketentuan
seperti itu. Barangkali alasannya karena para Bhiksu umumnya sudah mempunyai
peran yang sangat mulya, mengurus dan bertanggungjawab terhadap upacara dan
upakara yang berkaitan dengan bidang spiritual hingga pembangunan tempat suci
atas ketentuan Raja atau pejabat lainnya,
Dipahami secara saksama, ketetapan yang terdapat dalam kedua prasasti
tersebut di atas didapatkan suatu ketentuan yang sangat bijak yang dibuat oleh
Raja atau penguasa pada saat itu. Kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan itu
identik dengan kearifan lokal yang patut dikembangkan dan dilestarikan agar
dapat dijadikan sebagai pedoman oleh siapapun, dimanapun, baik dalam
masyarakat lokal maupun masyarakat modern seperti sekarang ini.
Dalam bidang keamanan Raja tergolong sangan memperhatikan masalah
keamanan rakyatnya. Dalam Prasasti Bebetain AI berisi tentang perhatian Raja
terhadap desa, yakni Desa Bharu, karena desa tersebut telah diserang atau dirusak
oleh perampok, sehingga banya penduduknya yang mati terbunuh. Akhirnya Raja
beserta para pejabatnya berhasil mengendalikan keadaan hingga keadaan menjadi
aman dan penduduknya yang sempat melarikan diri ke desa lain dapat kembali
lagi ke desa mereka dalam keadaan aman. Kebijakan yang dibuat oleh Raja dan
para pejabatnya itu merupakan bentuk solidaritas salah satu wujud dari kearifan
lokal yang juga perlu dikembangkan dan dilestarikan sehingga dapat dijadikan
pedoman bagi setiap orang untuk berbuat secara bijaksana, memupuk solidaritas,
lebih manusiawi demi keselamatan dan keamanan orang banyak.
2. Pemerintahan Dinasti Warmadewa
Raja pertama berdasartkan Prasasti Blanjong Sri Kesari Warmadewa
diduga keturunan Raja Sailendra di Sriwijaya ke Bali dalam mengembangkan
agama Budha Mahayana. Keturunannya adalah Raja Dharma Udayana beserta
permaisurinya Gunapriyadharmapatni (putri Mahendradatta) dari Jawa Timur,
cucu dari Empu Sindok. Sejak pemerintahannya banyak membawa perubahan di
Bali, baik dalam struktur pemerintahan, bidang kebudayaan, penulisan prasasti
mulai dilakukan dengan bahasa jawa kuno berbeda dengan prasasti sebelumnya
yang menggunakan bahasa Bali kuno (Team Penyususn Naskah Dan Pengadaan
Buku Sejarah Bali Daerah Tingkat I Bali, 1980).
Selama pemerintahan keturunan dinasti Warmadewa, beberapa kali
pergantian tampuk pemerintahan di Bali dipegang oleh pasangan Sri
Gunapriyadharmapatni bersama Sri Dharmodayana warmadewa (Ardika (DKK),
2015). Perempuan telah mempunyai kedudukan penting dan dihormati pada masa
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 195
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
itu. Berarti, bahwa pada saat itu sudah terdapat masyarakatnya yang menghargai
kedudukan perempuan. Penghargaan terhadap perempuan sesuai dengan
kemampuan, dan kepentingannya sejalan dengan model pendekatan perjuangan
kesetaraan gender dewasa ini yang berasumsi, bahwa perempuan dan laki-
merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, dan seharusnya diberikan
manfaat secara adil pula. Kesetaraan gender yang ditanamkan dalam
pemerintahan, dalam bidang politik, atau kepemimpinan yang diterapkan pada
masa Dinasti Warmadewa mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang juga perlu
dikembangkan, dilestarikan, serta diwujudnyatakan pada masyarakat dewasa ini
secara lebih luas, tidak terbatas pada lembaga pemerintahan, juga dalam lembaga
keluarga, sekolah, lingkungan pekerjaan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya,
selalu responsif gender dalam pelaksanaannya agar kesetaraan gender dapat
diwujudkan semakin optimal.
Dalam prasasti yang lain, disebutkan Sang Ratu Sri Aji Tabanendra
Warmadewa. Ia memerintah bersama dengan permaisurinya, Sang Ratu Luhur Sri
Subhadrika Dharmadewi. Selain itu disebutkan juga seorang raja perempuan, Sri
Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (Kartodirdjo (Dkk), 1975). Dari perspektif
gender, kebijakan yang dibuat pada saat itu perempuan sudah dihargai, dan diakui
memiliki kemampuan yang setara dengan peran laki-laki dalam bidang politik
pemerintahan. Kebijakan seperti ini dapat dikatakan mengandung nilai-nilai
kearifan lokal yang perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai pedoman hidup
dalam mewujudkan kesetaraan gender dewasa ini.
Pada masa kerajaan kuno raja memiliki keuasaan tertinggi, agar raja tetap
di idolakan dan dihormati oleh rakyatnya, maka seorang raja perlu bahkan
dituntun selalu bertikah laku arif bijaksana. Sebagai tabiat seorang pendeta utama,
bahkan sering juga rakyatnya yang akan menilai dari sifatnya, raja bukan saja
dihormati karena tingkahblakunya yangarif bijaksana, namun raja juga sering
dipercaya sebagai titisan dewa dengan manifestasinya sebagai pelindung,
pemelihara, pengasih, penyayang, pemberi kesejahteraan, pemberi rasa aman,
berlaku adil terhadap seluruh rakyatnya.
Dalam Ramayana, tipe idola seorang raja atau pemimpin di mata rakyat
atau masyarakatnya disebut dengan istilah Asta Brata, yakni 8 asas utama yang
harus dituruti oleh seorang raja atau pemimpin (Ardika, 2015 : 135). Ajaran ini
terdapat dalam Wiracarita Ramayana ketika Rama Wijaya memberikan nasehat-
nasehat Nitipraja kepada Sang Pangeran Gunawan Wibisana yang akan menjadi
Raja setelah hancurnya Alengkadiraja dan kepada adiknya Sang Brata, bahwa
seorang Prabu/Pemimpin hendaknya meniru sifat-sifat alam/dewa-
dewa/manifestasinya Hyang Widhi Wasa (Suteja, 1978 : 13). Ini berarti
kepemimpinan yang dikehendaki adalah kepemimpinan sosial dan religius.
diantara 8 asas utama tersebut, yaitu :
1. Indra Brata : Raja/Pemimpin harus berwibaea, dan bersikap senantiasa
memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
2. Yama Brata : Raja hendaknya bersikap tegas dan berani menegakkan
keadilan berdasarkan hukum yang berlaku untuk mengayomi masyarakatnya.
3. Surya Brata : Raja hendaknya dapat memberikan sumber energy semangat
dankekuatan bagi rakyatnya.
196 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
3.Simpulan
Dari uraian tentang kearifan lokal pada masa kerajaan kuno di Bali di atas,
maka seorang raja/pemimpin pada saat itu telah memimpin dengan bijaksana
selalu berpijak pada ajaran asta brata. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran
Asta Brata tersebut telah melahirkan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat perlu
dikembangkan dan dilestarikan sebagai pegangan hidup masyarakat dewasa ini.
4 Kepustakaan
Ardika, I Wayan (DKK), 2015. Pemerintahan Raja-Raja Bali Kuno. Denpasar :
Udayana University Press.
Team Penyusun Naskah Sejarah Bali Dan Pengadaan Buku Sejarah Bali Daerah
Tingkat I Bali, 1980.Sejarah Bali. Denpasar : Pemda Propinsi Daerah
Tingkat I Bali.
Kartodirdjo (Dkk), 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta :
Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan.
Putranto,Hendar dan Mudji Sutrisno, 2005. Teori-Teori Kebudayaan.
Yogyakarta : Kanisius.
Suteja, Wayan Mertha, 1978. Dasar-dasar Kepemimpinan Tradisional Di Bali.
Denpasar : CV.Sumber Mas Bali.
http://seputarpengertian.blogspot.com/2018/10/pengertian-kearifan-lokal-dan-
bentuknya.html?m=1)
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 197
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH
Ida Ayu Wirasmini Sidemen
Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Bagi masyarakat Bali, desa itu adalah kesatuan manusia dengan
manusia yang mendiami sebuah wilayah dengan batas-batas yang
pasti. Masyarakat Bali sangat terikat dengan kenyataan empirik
kehidupan, yaitu tri hita karana tentang hubungan hakiki antara
manusia dengan manusia yang disebut pawongan, hubungan
interaksi hakiki antara manusia dan tempat hidupnya yang disebut
dengan palemahan, dan hubungan interaksi hakiki antara manusia
dengan Tuhan yang disebut dengan parhyangan.
Penduduk yang tinggal dalam satu wilayah desa disebut kerama
desa yang jumlahnya ditentukan oleh mereka yang sudah terdaftar
sebagai penduduk, laki-laki perempuan, tua muda.
Dalam wilayah Bali, wilayah desa merupakan bagian wilayah
terkecil dari wilayah Bali yang lebih besar. Desa sebagai unit
terkecil dari wilayah dan dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi yang
disebut dengan wilayah banjar. Wilayah banjar dibagi menjadi
bagian yang lebih kecil disebut dengan tempekan. Ada bagian utara,
timur, selatan dan barat, yang dilihat dari titik nadir wilayah desa
yang disebut dengan pempatan agung atau catus pata.
Pimpinan tertinggi prajuru desa disebut dengan bendesa. Jabatan
bendesa dibantu oleh beberapa pejabat yang memegang jabatan
tertentu, yang statusnya sesama pejabat bersifat horisontal. Di
bawah bendesa terdapat beberapa jabatan yaitu penyarikan, dapat
disamakan dengan sekretaris; petengen dapat disamakan dengan
bendahara; jabatan jururaksa dapat disamakan dengan kasir; juru
surat dapat disamakan dengan orang yang mengetik surat.
Pemerintah seharusnya mulai memperhatikan desa sebagai bagian
terkecil wilayah NKRI, yang harus mendapat perhatian khusus dan
memahami kondisi desa zaman dulu, untuk menemukan local
genius yang sebenarnya tidak perlu dihapus, tetapi harus ditumbuh
kembangkan dari berbagai aspek. Tidak bisa menyamakan semua
desa yang ada di Indonesia. Desa sebagai basis dasar
terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan. Jika ada yang
harus diubah, sebaiknya disesuaikan dengan yang telah
berlangsung di desa.
Kata Kunci: desa, kerama desa, bendesa
198 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
I
Pengantar
Latar Belakang dan Permasalahan
Bagi masyarakat Bali, membaca atau mendengar kata ―desa‖ dengan cepat
dapat mengerti makna yang terkandung, sehingga sering tidak membutuhkan
penjelasan. Bagi masyarakat Bali, desa itu adalah kesatuan manusia dengan
manusia yang mendiami sebuah wilayah dengan batas-batas yang pasti.
Masyarakat Bali sangat terikat dengan kenyataan empirik kehidupan, yaitu tri hita
karana tentang hubungan hakiki antara manusia dengan manusia yang disebut
pawongan, hubungan interaksi hakiki antara manusia dan tempat hidupnya yang
disebut dengan palemahan, dan hubungan interaksi hakiki antara manusia dengan
Tuhan yang disebut dengan parhyangan.1
Desa juga berarti sebuah kesatuan pemujaan terhadap kepercayaan Hindu
yang terpusat pada pemujaan Kahyangan Tiga, terdiri atas Pura Desa Bale Agung,
Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa Bale Agung merupakan tempat
pemujaan kepada Tuhan sebagai pencipta, Pura Puseh tempat pemujaan kepada
Tuhan sebagai pemelihara dan kehidupan, sedangkan Pura Dalem pemujaan
kepada Tuhan sebagai tempat mengembalikan semua kehidupan kepada asalnya.2
Pengertian desa, selain ditentukan oleh wilayah masih ada lagi syarat yang
secara eksplisit menjadi persyaratan. Misalnya sebuah desa harus memiliki pasar
yang disebut peken gede, atau tenten.Perbedaan antara peken gede dengan tenten,
selain lokasinya di desa dan di banjar, juga bahwa peken gede harus memiliki
pura melanting pasar, namun tenten tidak perlu memikili pura melanting
pasar.Desa juga harus memiliki tanah kuburan yang disebut dengan sema, khusus
untuk tempat menguburkan jenazah.
Dalam tulisan ini, yang dibahas mengenai kearifan lokal desa yang
berkaitan dengan masyarakat desa,wilayahdan struktur pemerintahan desa.
Metode
Karya tulis ini menggunakan metode sejarah yang diaplikasikan sebagai
perangkat kerja dalam usaha menemukan sumber (heuristik). Digunakan sumber
tertulis dan lisan. Sumber tertulis ditemukan di Perpustakaan Nasional Republik
Indonesia, Perpustakaan Gedong KirtyaSingaraja dan perpustakaan pribadi milik
Ida Bagus Sidemen. Sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan bendesa
sebagai narasumber, antara lain dengan I Gusti Ngurah Mahendradata,I Putu
Ardana. Sumber-sumber lain berupa artikel majalah dan bentuk penerbitan yang
lain.Sumber-sumber tersebut diperoleh dari menilai otensitas dan kredibelitas
1Dinas Pertanian Propinsi Bali, Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali (Denpasar:
Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980), hlm. 47. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Monografi Daerah Bali, 1985), hlm. 65-66.
2Team Penyusun Monografi Daerah Bali, Monografi Daerah Bali, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976), hlm. 59. Dinas Pertanian Propinsi Bali, Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali (Denpasar: Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980), hlm. 47. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Monografi Daerah Bali, 1985), hlm. 65-66.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 199
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sumber (kritik). Berikutnya intepretasi terhadap sumber dan penulisan sejarah
sebagai hasil penelitian (historiografi).3
II
Penduduk, Wilayah dan Struktur Pemerintahan
1. Penduduk Desa.
Pengertian desa tidak hanya wilayah sebagai bagian dari daratan, tetapi
juga manusia yang tinggal, hidup dan berkembang dalam wilayah (palemahan).4
Penduduk yang tinggal dalam satu wilayah desa disebut kerama desa yang
jumlahnya ditentukan oleh mereka yang sudah terdaftar sebagai penduduk, laki-
laki perempuan tua muda. Kerama desa terdiri atas mereka yang sudah bersuami
istri, disebutkerama desa angkep; mereka yang janda atau duda karena
ditinggalkan mati atau cerai oleh suami atau istri, disebutkerama desa ayah balu,
semua penduduk laki-laki perempuan yang sudah akil balik tetapi belum nikah,
disebutkerama desa bajang.5
Dari sudut pandang administrasi pemerintahan desa, yang disebut dengan
kerama desaadalah kerama desa angkepdan kerama desa ayah balu. Oleh karena
itu kerama desa adalah manusia yang tinggal dalam wilayah yang disebut sebagai
desa. Pada umumnya angka diatas 75 kepala keluargasudah cukup memenuhi
syarat disebut sebagai penghuni wilayah yang disebut desa. Alasannya, karena
jumlah itu dianggap telah mampu melaksanakan dan membiayai
piodalankahyangan desa atau membantu kerama pada saat upacara upacara
ngaben (pitra yadnya).6
Kerama desa memiliki beberapa sebutan nama. Penyebutan kerama desa
yang tampak berbeda-beda itu, terkait dengan tugas dan kewajibannya terhadap
desa. Ketika kerama desa terkait dengan urusan pura, disebut dengan kerama
pemaksan. Ketika berurusan dengan kewajiban banjar, disebut sebagai kerama
banjar dan ketika terkait dengan penyelenggaraan kematian (pitra yadnya),
disebut dengan kerama patus. Ketika dikaitkan dengan tugas dan kewajiban
terhadap leluhurdari garis ayah disebut dengan kerama dadya atau garis ibu
disebut kerama paibon.Dalam hal yang melaksanakan kewajiban yang berbeda-
beda itu, pelaksananya semua sama sebagai penduduk atau kerama desa.
2. Pembagian Wilayah Desa.
Dalam wilayahBali, wilayah desa merupakan bagian wilayah terkecil
dari wilayah Bali yang lebih besar. Wilayah yang lebih besar itu disebut dengan
3
G.J. Garraghan, S.J, A GuideofHistoricalMethod (New York:
FordhamUniversityPress, 1957), hlm. 33; Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta:
Yayasan UI, 1975), hlm. 80-95.
4Palemahan merupakan salah satu bagian dari trihitakarana. Palemahan yang merupakan wilayah suatu desa.
5Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan.
6Hasil wawancara dengan, nama: I Gusti Ngurah Mahendradata; pekerjaan: swasta; jabatan: BendesaDesa Saba-Gianyar sejak tahun 2009; umur: 44 tahun; alamat: Desa Saba; tanggal wawancara: 15 September 2012.
200 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
gumiBali, atau kerajaan Bali. Ada sembilan wilayah yang disebut dandiakui
sebagaiwilayahkerajaanyaitu kerajaan Klungkung, Payangan, Mengwi, Den Bukit
(Buleleng), Badung, Karangasem, Bangli, dan Gianyar.7
Wilayah kerajaan masih terbagi menjadi wilayah kepunggawaan dan
kemancaan, yang luas wilayahnya berbeda-beda. Ada wilayah kepunggawaan
yang mewilayahi beberapa wilayah kemancaan dan sejumlah wilayah desa.
Namun ada satu punggawa hanya mewilayahi satu wilayah manca, yang juga
samadengan wilayah sebuah desa.8
Desa sebagai unit terkecil dari wilayah kerajaan masih dapat dibagi
menjadi lebih kecil lagi yang disebut dengan wilayah banjar. Wilayah banjar
dibagi menjadi bagian yang lebih kecil disebut dengan tempekan. Ada tempek
kaja(utara), tempek kangin(timur), tempek kauh(barat) dan tempek kelod (selatan),
yang dilihat dari titik nadir wilayah desa yang disebut dengan pempatan agung
atau catus pata.9
Tempekan merupakan pengelompokan wilayah karang desa yang
ditempati oleh kerama desa sebagai bagian dari wilayah banjar. Batas-batas setiap
karang desa ditentukan oleh tembok atau pagar yang dibuat oleh pemilik karang
desa dan penyanding karang desa.10
Dalam hal ini berlaku ulu, teben, kiwa,
tengen. Untuk menentukan batas unit terkecil desa yang disebut dengan karang
desa, maka kerama desa yang menempati karangdesa harus membuat tembok
pembatas(penyengker) yang sudah ditetapkan oleh desa. Tembok pembatas yang
wajib dibuat oleh kerama desa adalah tembok sebelah utara (ulu) dan tembok
sebelah timur(tengen), sedangkan tembok sebelah selatan (teben) dan sebelah
barat (kiwa) dibuat oleh yang bertempat tinggal disebelahnya (keramapenyanding). 11
Batas-batas tersebut sangat penting karena akan digunakan sebagai
pedoman untuk acuan menyelesaikan sengketa antar keraman, apabila terjadi
pelanggaran terhadap palemahan karang desa yang disebut kataban
karang.12
Untuk melindungi hak dan kewajiban penduduk desa dalam kasus
7Paswara Astanegara, naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, Nomor IIa.967/3,
hlm. 1b-9a.
8J.J. de Hollander, Handleiding bij de Boeefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsch Oos-Indie, (Breda: van Broese&Compagnie, 1898), hlm. 697.
9Hasil wawancara dengan, nama: I Gusti Ngurah Mahendradata; pekerjaan: wiraswasta; jabatan: BendesaDesa Saba-Gianyar; umur: 44 tahun; alamat: Desa Saba; tanggal wawancara: 15 September 2012.
10Contoh kasus tentang batas penyandin, salahsatunyatermuatdalamnaskah lontar koleksi PerpustakaanNasional RI. Kode Penelitian. 068/24/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5 **/ 05. 2013.
11 Hasil wawancara dengan, nama: Ida Bagus Sidemen; umur: 75 tahun; pekerjaan: pensiunan dosen Sejarah Fakultas IlmuBudaya Universitas Udayana; alamat: Jln. Tunggul Ametung II/15 Denpasar-Bali; tanggal wawancara: 23 September 2013.
12Beberapa contoh yang termasuk dengan pelanggarankataban karang misalnya
lebah banyu artinya air cucuran atap melewati tembok tembok batas
pekarangan(penyengker), sehingga air cucuran atap jatuh pada halaman pekarangan
kerama penyanding.Ngungkulinkarang, kalau ada pohon atau tumbuhan besar, yang daun
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 201
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kataban karang yang berkaitan dengan masalah antar kerajaan, dalam
PaswaraAstanegaraantara kerajaan dapat ditemukan beberapa petikan untuk
kesepakatan antara beberapa kerajaan, baik yang bersifat bilateral maupun
multilateral. Di dalamnyaantara lain berkaitan dengankesepakatan perlindungan
antar kerajaan Klungkung, Karangasem, Singaraja, Gianyar, Bangli, Payangan
dan Mengwi, yang disebutkan mengenai kewajiban membantu menyelamatkan isi
kapal yang terdampar (melayar kampih), yang dilakukan oleh penduduk desa
nelayan, dan kepada penduduk harus dibayarkan ganti rugi atau uang penebusan
yang jumlahnya sudah disepakati 1.000 keping pis bolong, untuk setiap orang
yang mampu diselamatkan.13
Ada juga perlindungan terhadap penduduk desa yangmenikah dengan
orang asing, seperti dengan Tionghoa dan Bugis. Jika ada lelaki orang asing yang
menikahi gadis penduduk desa, baik dengan menikahberdasarkan cinta, atau
kawin lari, atau terkait pembayaran utang, maka kepada lelaki asing itu tetap
harus membayar kepada orang tua perempuan (untuk gadis) 14.000 keping pis
bolong dan untuk janda 12.000 keping pis bolong.14
Istilah kataban karang, yang pada dasarnya berlaku dalam batas
pekarangan rumah, atau batas wilayah kerajaan, pada zaman kedatangan Belanda,
istilah kataban karang itu berubah menjadi tawan karang. Kata karang
diterjemahkan bukan sebagai wilayah, tetapi sebagai batu karang yang sering
menyebabkan perahu besar kandas. Pemahaman ini telah membuat Belanda
menerjemahkan hukum tawan karang itu dengan kata kliprecht. Klip itu artinya
karang, rect itu artinya hukum. Dalam paswara antar kerajaan di Bali, ditetapkan
hukum tawan karang ini dengan istilah melayar kampih. Apabila ada perahu
kandas (kampih), maka penduduk desa nelayan yang berdekatan dengan lokasi
perahu yang kandas itu, wajib memberikan bantuan penyelamatan nyawa terhadap
awak atau penumpang kapal dan bantuan penyelamatan barang-barang. Setelah
kapal itu dilaporkan, maka pemilik kapal harus menebus orang yang telah
diselamatkan dan menebus pula barang-barang yang telah diselamatkan. Apabila
tidak bersedia menebus, maka awak atau penumpang kapal menjadi budak hak
raja yang memiliki lokasi tempat kapal itu kandas dan barang-barang menjadi
milik desa yang membantu menyelamatkan barang-barang itu.15
Bagi Belanda aturan ini dianggap sangat merugikan niaga pelayarannya,
baik milik Belanda sendiri atau penduduk wilayah lain yang sudah berada di
bawah kekuasaan Belanda. Hampir semua sengketa antara Bali dengan Belanda,
atau cabangnya berada di halaman rumah tetangga, sehingga sampahnya jatuh menjadi
sampah tetangga. Apabila kasus ini dilaporkan kepada prajuru desa, maka akan
dikenakan denda sesuai dengan awig-awig desa atau banjar yang berkaitan dengan
kataban karang. Hasilwawancaradengan Ida Bagus Sidemen, loc.cit.
13Paswara Astanegara, op.cit., hlm.3a.
14Ibid., hlm.4b.
15 Paswara Asta Negara, naskah koleksi Gedong KirtyaSingaraja, Nomor
IIa.967/3, hlm 2a-2b. V.E.Korn, BalischeOvereenkomsten, (‗s-Gravenhage: Martinus
Nijhoff, 1922), hlm. 14-15.
202 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang diawali dengan kasus tawan karang.16
Perang Buleleng tahun 1846 dimulai
dengan yang pihak Belanda tidak bersedia menebus, bahkan berbalik meminta
ganti rugi dengan tuduhan bahwa kerajaan dan penduduk desa telah melakukan
perampasan. Perang Buleleng tahun 1846, didahului oleh kasus kapal Cina yang
kandas di pesisir desa Sangsit, yang dikenakan hukum tawan karang oleh
kerajaan Buleleng. Perang Kusamba tahun 1849 berawal dari kasus kapal milik
Cina kandas di pesisir Pesinggahan Kasumba. Perang Puputan Badung tahun 1906,
diawali oleh kasus kapal bernama Sri Komala berbendera Belanda milik Cina
kandas di pantai Sanur.17
3. Struktur Pemerintahan Desa
Penduduk desa terbagi atas kerama desa sebagai yang diperintah dan
prajuru desa sebagai yang memerintah. Pimpinan tertinggi prajuru desa disebut
dengan bendesa (jero bendesa/kelian desa).Kata jero adalah sebuah penghormatan
kepada pejabat yang diberikan oleh keramadesa.18
Jabatan bendesa dibantu oleh
beberapa pejabat yang memegang jabatan tertentu, yang statusnya sesama pejabat
bersifat horisontal. Di bawah bendesa terdapat beberapa jabatan yaitu penyarikan,
dapat disamakan dengan sekretaris; petengen dapat disamakan dengan bendahara;
jabatan jururaksa dapat disamakan dengan kasir; juru surat dapat disamakan
dengan orang yang mengetik surat. Status jabatan tersebut sama tingginya baik
ditinjau dari bendesa sebagai atasan maupun dari kerama desa sebagai bawahan,
seperti di bawah ini:
16
Dalam hal ini kata karang diterjemahkan sebagai batu karang yang sering
membuat kapal kandas. Dalam paswara, karang itu artinya wilayah dengan batas-
batasnya yang pasti, wilayah kerajaan atau wilayah perumahan. Belanda lebih
memperhatikan pelanggaran di laut, tetapi jarang sekali memperhatikan pelanggaran tapal
batas di darat yang sering menyebabkan perang-perang kecil (branangan) antar desa
perbatasan yang berpengaruh atas perubahan tapal batas kerajaan pada desa-desa tepi
batas kerajaan.
17Gaguritan Bhuwana Winasa, naskah koleksi Gedong KirtyaSingaraja, nomor Vc 1565/4, hlm. 16b–19b. Lihat pula karya Ida Bagus Sidemen,“Bali Jilid Dua:Melawan dengan Matelasan”,(naskah belum diterbitkan), (Denpasar : 2010), hlm. 356 – 365.
18Kata jero adalah sebuah penghormatan kepada pejabat yang diberikan oleh keramadesa.Hasil wawancara dengan: (1), nama: I Nengah Mardika; jabatan: juru raksa desa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 37 tahun pekerjaan: jero mangku Dalem; tanggal wawancara: 17 Mei 2012. (2), nama: I Putu Ardana; jabatan bendesa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 38 tahun; pekerjaan: wiraswasta; tanggal wawancara: 21 Oktober 2012.(3), nama: I Wayan Sukardana; jabatan: penyarikan desa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 39 tahun; pekerjaan: wiraswasta; tanggal wawancara: 17 Mei 2012.Di Desa Tenganan Dauh Tukad-Karangasem yang dituakan disebut penghulun desa. Ada juga keliang lingsir dan keliang desa. Keliang lingsir terdiri dari 12 (dua belas) orang yang diangkat menurut jenjang perkawinan yang tertua. Keliang lingsir bertugas untuk mengawasi kinerja keliang desa dan sekaligus menjalankan upacara di desa.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 203
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
bendesa
penyarikan petengen juru raksa
Setiap banjar akan dipimpin oleh kelian banjar (keliang banjar),19
yang juga
dibantu oleh penyarikan, petengen, juru raksa dan juru surat tingkat banjar.
Dalam hubungan struktural antara banjar dengan desa, jabatan yang terkait hanya
bendesa dan kelianbanjar, sedangkan pejabat prajuru hanya bertanggung jawab
kepada atasan masing-masing.
III
Simpulan
Ketika pemerintah mulai memperhatikan desa sebagai bagian terkecil
wilayah NKRI, yang harus mendapat perhatian khusus, seharusnya pemerintah
memahami kondisi desa zaman dulu, untuk menemukan local genius yang
sebenarnya tidak perlu dihapus, tetapi harus ditumbuh kembangkan dari berbagai
aspek. Tidak bisa menyamakan semua desa yang ada di Indonesia. Desa sebagai
basis dasar terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan. Jika ada yang harus
diubah, sebaiknya disesuaikan dengan yang telah berlangsung di desa. Salah
satunya yang sedang terjadi perbincangan di Bali, tentang perda Lembaga
Perkreditan Desa (LPD, yang menurut beberapa pendiri menyatakan dimedia
cetak, bahwa pembentukannya telah lebih dulu melakukan kajian sejarah desa.
LPD dibangun telah sesuai dengan local genius manusia Bali.
DAFTAR PUSTAKA
Buku dan Artikel
Balai Bahasa. Kamus Bali Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar, 2005.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia.
Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.
Dinas Pertanian Propinsi Bali. Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali. Denpasar:
Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980.
19Kelian atau kelihan berarti orang yang dituakan. Ada juga yang menyebut
keliang yang berarti orang yang selalu memberikan kesenangan. Dari kedua istilah tersebut menunjukkan bahwa seorang pemimpin diwajibkan memberikan kegembiraan kepada kerama, maka dari itu dianggap sebagai tetua. G.J Graner menyebutkan, sebuah desa di Bali dipimpin oleh orang yang dituakan yang disebut dengan dulun desa. Dulun desa diangkat berdasarkan kemampuan dan kesepakatan keramadesa. G.J. Graner, Nota vanToelichtingenbetreffendehet in stollenZelfbesturendLandschapBoeleleng, 1932, hlm. 45.
204 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dinas Pertanian Propinsi Bali. Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali. Denpasar:
Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980.
Gaguritan Bhuwana Winasa. Naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, nomor
Vc 1565/4.
Garraghan, G.J. S.J. A Guide of Historical Method. New York: Fordham
University Press, 1957.
Gorris. Prasasti Bali Jilid I. Bandung: Masa Baru, 1954.
Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan UI, 1975.
Graner, G.J. Nota van Toelichtingen betreffende het in stollen Zelfbesturend
Landschap Boeleleng, 1932.
Hollander, J.J. de.Handleiding bij de Boeefening der Land en Volkenkunde van
Nederlandsch Oos-Indie. Breda: van Broese&Compagnie, 1898.
Korn, V.E.Balische Overeenkomsten. ‗s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922.
Naskah lontar koleksi PerpustakaanNasional RI. Kode Penelitian.
068/24/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5 **/ 05. 2013.
Paswara Astanegara. Naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, Nomor IIa.967/3.
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Monografi Daerah Bali, 1985.
Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Monografi Daerah Bali, 1985.
Sidemen,Ida Bagus. ―Bali Jilid Dua:Melawan dengan Matelasan‖.(naskah belum
diterbitkan). Denpasar : 2010.
Team Penyusun Monografi Daerah Bali. Monografi Daerah Bali. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976.
Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 205
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA
NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK
DESA PLAGA-BADUNG
Ida Bagus Rai Putra
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Baris sumbu merupakan tarian keagamaan yang dipentaskan setiap
upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga,
Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh merupakan
upacara bersih desa yang dimaksudkan untuk memohon
kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Ida Hyang Widhi,
Tuhan penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya.
Tarian Baris Sumbu dalam kaitan upacara Neduh ditarikan setahun
sekali, sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam
perhitungan Panca Wara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon)
bertepatan dengan hari kelima yang pertama, yaitu Umanis. Pada
penelitian ini dijelaskan 2 hal permasalahan pokok, yaitu pertama
mengapa tradisi Tari Baris Sumbu dilaksanakan secara
berkelanjutan dari tahun ke tahundan dari generasi ke generasi.
Kedua, apa makna tradisi Tari Baris Sumbu bagi masyarakat Desa
Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Kabupaten Badung.
Penelitian ini bersifat kualitatif, deskriptif interpretatif. Diawali
dari fakta empiris,penelitian terjun ke lapangan, mempelajari,
menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena
yang ada di lapangan. Menafsirkan dan mendiskripsikan data
ataspencarian fakta berdasarkan pemahaman dan interpretasi yang
tepat. Teori yang digunakan adalah teori pasca struktur, yaitu teori
wacana dan semiotik.
Proses Tari Wali Baris Sumbu sangatlah sederhana sebagaimana
karakteristik tari wali pada umumnya. Ditarikan 4 orang pemuda
membawa Sumbu yang telah digelantungi ketupat, jajan bantal,
dan jenis jajanan lainnya dengan mengelilingi piyadnyan (balai suci
tempat upacara) ke arah kanan sebanyak 3 kali. Tipat bantal dan
jajanan lainnya pada sumbu diambil, ditaburkan, diperebutkan dan
dinikmati oleh masyarakat. Sisanya kemudian ditaburkan ke tegal
masing-masing dengan maksud memperoleh kesuburan.
Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik,
adalah bentuk penghormatan dan permohonan kemakmuran dari
umat kepada Ida Hyang Widhi. Pementasan tradisi Tari Wali Baris
Sumbu memunculkan rasa kebersamaan, persatuan, dan integritas
sosial pada masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga,
Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.
Kata-kata kunci: tradisi, tari wali, baris sumbu, dan neduh.
206 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
1. Pendahuluan
Tradisi Tari Wali Tari Baris sumbu adalah tarian keagamaan yang
dipentaskan setiap dilangsungkannya Upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat
Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh
oleh masyarakat Desa Adat Semanik digolongkan upacara bersih desa dengan
tujuan memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Ida Hyang Widhi
Wasa penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya. Tari Baris Sumbu
ditarikan setahun sekali, bersamaan dengan dilangsungkannya upacara Neduh
pada sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan Panca
Wara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang
pertama, yaitu Umanis.
Tradisi Tari Wali Baris Sumbu, sebagaimana halnya tarian
keagamaan(sakral/ Wali) di Bali, terkait dengan bangun kesenian masyarakatnya.
Keduanya, seni dan agama menjadi penguat konsepsi dan implementasi ajaran
Catur Marga, yaitu Bhakti, Karma, Jnana, dan Raja Marga. Penganut agama
Hindu di Bali mendapatkan banyak carasesuai dengan minat dan bakatnya untuk
memilih jalan terbaik menuju dharma. Akan tetapi dalam prakteknya masyarakat
Bali, tanpa kecuali masyarakat Desa Adat Semanik jalan Bhakti Marga adalah
yang menonjol.
Bhakti Marga merupakan ajaran yang langsung dan dirasakan riil oleh
umat Hindu mencari Sang Hyang Widhi. Implementasi ajaran Bhakti Marga,
terlihat dan terasa begitu alamiah,dan mudah diterima untuk dilaksanakan oleh
mereka yang awam sekalipun. Rasa cinta kasih Hyang Widhi/Hyang Welas Asih
terasa di dalam sanubari mereka yang memperaktekkan ajaran Bhakti Marga.
Tradisi tari Wali Tari Baris Sumbu, yang ditarikan di Pura Desa, di Desa
Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Badung dirasakan sangat mudah
dicerna baik dalam satuan-satuan gerak tariannya, persiapan, awal gerak, tengah,
dan akhir. Mereka yang menarikan terbawa arus cinta kasih Hyang Widhi berupa
kerahayuan dan kemakmuran untuk tetanaman yang sedang dibudidayakan
ditanam di ladang masyarakat.
Berdasarkan latar belakang itulah, penulis tertarik untuk meneliti wacana
tradisi tari wali Baris Sumbu di desa Adat Semanik, kabupaten Badung ini. Ada
dua masalah pokok yang diketengahkan dalam tulisan ini untuk dicarikan
jawabannya, yaitu: pertama mengapa tradisi Tari Baris Sumbu dilaksanakan
rutin dari tahun ke tahun, dan dari generasi ke generasi. Kedua, apa makna
tradisi Tari Baris Sumbu bagi masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga,
Kecamatan Petang Kabupaten Badung.
2. Kesederhanaan Gerak dan Pewarisan Tari Wali Tari Baris Sumbu Desa
Adat Semanik
Pegamatan terhadap penampilan Tari Wali, Tari Baris Sumbu memiliki
keunikan atau kekhasan, yaitu tarian yang ditarikan oleh 4 orang pemuda ini
menggunakan sarana Sumbu, alat yang terbuat dari batang bambu, ujungnya
berbentuk sumbu, bulat lonjong.Panjang sumbu bambu kurang lebih 2 meter.
Setiap pementasan ujung bambu digelantungi tipat,bantal, blayagdan jajanan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 207
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lainnya. Pakaian atau perhiasan penari cukup menggunakan pakaian adat ke pura,
berupakamen, kampuh, dan destar.
Saat menari, penari yang menarikan Tari Baris Sumbu tidak menggunakan
agem-ageman yang khusus sebagaimana layaknya pada tarian baris yang kita
kenal selama ni. Gerakan-gerakan para penarinya cukup sederhana, hanya
memegang sumbu yang kemudian berjalan dan tangan sesekali dikipaskan
sedemikian rupa (nayog) mengelilingi panggungan banten, berputar kea rah kanan
(pradaksina) sebanyak 3 kali putaran. Gerak tubuh dan pikiran penari pada saat
menari terkosentrasi pelaksanaan upacara Neduh yang berlangsung khimat.
Tari Baris Sumbu dipentaskan secara rutin pada sasihKapitu yang jatuh
pada hari kelima Umanis, bertepatan dengan dilangsunkannya upacara Neduh,
upacara Dewa Yadnyauntuk pembersihan desa dan semua sajen dipersembahan ke
hadapan Dewi Sri. Dewa penganugerah kemakmuran. Upacara ini rutin
dilaksanakan setiap tahun sekali, terlaksana sebelum upacara Mendak Widhi
yang berlangsung di Pura Pucak Mangu. Semua banjar adat yang ada di wilayah
Desa Plaga, yaitu Semanik, Tiyingan Auman, Nungnung, Kiadan, Bukian, Plaga,
Tinggan melaksanakan upacara Neduh. Akan tetapi yang unik adalah hanya Desa
Adat Semanik yang mementaskan Tari Wali Baris Sumbu beriringan dengan
pelaksanaan Upacara Neduh. Rutin setiap tahun dilaksanakan, tidak pernah
terputus. Akan tetapi sebagai tradisi warisan leluhur, masyarakat Desa Adat
Semanik sampai hari inipun tidak ada yang mengetahui kapan sesungguhnya awal
mula Tari Wali Baris Sumbu ini ditarikan di Desa Adat Semanik.
―Dapet tiang sampun memargi kadi asapuniki. Panglingsir tiang taler
maosang asapunika, sampun napet‖. Artinya, saya dapatkan sudah berlangsung
seperti ini. Tetua saya juga mengatakan seperti ini, sudah memang ada.
Informasi di atas menerangkan bahwa Tari Wali Baris Sumbu dalam
Upacara Neduh di Desa Adat Semanik telah menjadi tradisi yang diwariskan
secara turun-temurun.
3. Pementasan tari Baris Sumbu dalam Upacara Neduh
Tidak ada persyaratan khusus sebagai seorang penari Tari Wali Baris
Sumbu, hanya saja penarinya anggota daa truna atau pemuda krama Desa Adat
Semanik yang belum menikah. Sebelum menari para penari diperciki tirtha
prayascita yang dimaksudkan untuk membersihkan segala bentuk kekotoran yang
melekat pada diri penarinya. Iringan gambelan dari Tari Wali Baris Sumbu adalah
tabuh gong kebyar.
Setelah pemangku selesai melaksanakan tugasnya, nganteb Upakara Neduh,
barulah Tari Wali Baris Sumbu dipentaskan. Para penari yang terdiri dari empat
orang pemuda berdiri di setiap pojok panggungan banten, kemudian mereka
bergerak memulai menari mengitari panggungan(tempat sajen upacara) sebanyak
3 kali, berputar searah jarum jam, ke kanan (Murwadaksina). Kemudian Sumbu
yang ditarikan dikumpulkan di natar palataran Pura Desa.Bersamaan dengan itu
pemedek mulai merapat di natar pura. Sumbu yang berisi tipat bantal diambil
masing-masing penari dan ditaburkan ke arah masyarakat adat. Sambil berebutan
mengambil hidangan yang ditaburkan penari Tari Wali Baris sumbu, mereka
208 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
bersorak sorai riang gembira menyambut anugerah kemakmuran untuk dinikmati
dan ditaburkan pula ke masing-masing ladang tegalannya.
Penaburan dan perebutan isi sumbu dari penari Baris Sumbu mengandung
maksud, bahwa amertha (sumber kehidupan) itu tersebar adanya dan dibutuhkan
upaya dan kerja keras untuk mendapatkannya. Demikan pula arti tipatbantal yang
didapatkan.Selain dinikmati juga ditaburkan di semua areal perkebunan secara
merata. Tirtha (air suci) yang dicampur dengan lungsuranjajauli dan
jajabegina(jajanan yang telah dipersembahkan) kemudian dipercikkan ketegal
masyarakat Desa Adat Semanik. Masyarakat mendapatkan tipat dan bantal, boleh
memakannya sebagai simbol anugerah dari Hyang Widhi.
4.Makna Tradisi Tari Wali Tari Baris Sumbu
Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, dapat
dipahami setelah melakukan pendalaman dan interpretasi melalui kewacanaan
meliputi satuan prosesi, gerak dan pewarisan, serta maksud dan tujuan tradisi tari
wali Baris Sumbu ditampilkan pada upacara Neduh di Pura Puseh Desa Adat
Semanik, Desa Palaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Makna yang
terkandung dari tradisi tari wali Baris Sumbuadalahsarana penghormatan dan
permohonan kemakmuran dari masyarakat desa adat Semanik kepada Ida Hyang
Widhi, memunculkan rasa kebersamaan, persatuan dan integritas sosial pada
masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten
Badung.
Makna yang pertama wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat
Semanik, adalah bentuk penghormatan dan permohonan kemakmuran ke hadapan
Ida Hyang Widhi. Tari Wali Baris Sumbu ini adalah bagian integral dari kegiatan
upacara yadnya (DewaYadnya) Neduh yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat
Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Yadnya Neduh
yang dilaksanakan dimaksudkan agar terjadi hubungan harmoni antara manusia
dan Tuhan, manusia denganleluhur (neneh moyang), manusia dengan alam, serta
manusia dengan sesama.
Makna kedua dari wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di pura Desa Desa
Adat Semanik, adalah ungkapan nyata rasa bakti masyarakat Desa Adat Semanik
yang dilaksanakan secara turun temurun. ―Niki sampun tami titiang saking
panglingsir desane deriki ring Desa Adat Semanik. Prasida memargi riantukan
yadnya puniki pinaka bhakti titiang ring Ida Hyang Widhi‖. Ini (Tari Baris
Sumbu) sudah menjadi warisan dari leluhur masyarakat desa adat Semanik. Hal
ini bisa terlaksana secara turun temurun karena pada hakikatnya adalah
perwujudan rasa bhakti kepada Truhan Yang Maha Esa‖, kata Nyoman Madra
(82 tahun) tetua masyarakat desa adat Semanik.
Makna ketiga dari wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di pura Desa Desa
Adat Semanik, adalah menjadi pendorong dan penggerak rasa persatuan dan
integritas sosial di tengah-tengah masyarakat Desa Adat Semanik. Pada saat
upacara berlangsung dan ditarikannya Tari Wali Baris Sumbu, masyarakat Desa
Adat Semanik wajib datang dan mengikuti prosesing upacara Neduh dan
menyaksikan dengan seksama Tari Wali Baris Sumbu yang ditarikan oleh empat
orang pemuda desa adat Semanik. Dengan keberadaan ini, tari Baris Sumbu
menjadi alat untuk membangun integrasi sosial dalam masyarakat. Di samping itu
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 209
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Tari Wali Barius Sumbu berhasil mempererat rasa persaudaraan di antara sesama
penduduk desa adat Semanik.
5. Kesimpulan
Wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu merupakan tarian keagamaan yang
dipentaskan setiap upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga,
Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh merupakan upacara
bersih desa yang dimaksudkan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke
hadapan Tuhan Siwa penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya.
Tarian Baris Sumbu dalam kaitan upacara Neduh ditarikan setahun sekali , sasih
Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan PancaWara (
Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang
pertama, yaitu Umanis.
Proses Tari Wali Baris Sumbu sangatlah sederhana sebagaimana
kharakteristik tari wali pada umumnya. Ditarikan 4 orang pemuda membawa
Sumbu yang telah digelantungi ketupat, jajan bantal , dan jenis jajanan lainnya
dengan mengelilingi piyadnyan (balai suci tempat upacara) ke arah kanan
sebanyak 3 kali. Tipatbantal dan jajanan lainnya didalam sumbu diambil,
ditaburkan, diperebutkan dan dinikmati oleh masyarakat. Sisanya kemudian
ditaburkan ke tegalan masing-masing dengan maksud memperoleh kesuburan.
Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, Desa Palaga,
Kecamatan Petang, Kabupaten Badung adalah sarana penghormatan dan
permohonan kemakmuran dari masyarakat desa adat Semanik kepada Ida Hyang
Widhi, memunculkan rasa kebersamaan, persatuan dan integritas sosial pada
masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten
Badung.
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan, 2006.Pengelolaan Pustaka Budaya Sebagai Objek dan Daya
Tarik Pariwisata Di Bali. Makalah dalam Seminar Bali Bangkit Bali
Kembali.
Roland. 2003. Mitologi. Terjemahan oleh Christian Ly dariMythologies.
Padang: Dian Aksara Press.
Berry, John W. dkk, 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Diastika, I Wayan, 1985.―Peningkatan Senitasi Lingkungan pada Ilustrasi
Pariwisata di Bali‖ Makalah dalam Rangka Sepekang Seminar Dies Natalis
UNUD.
Ibrahim, Abdul Syukur, ed. 2000. Metode Analisis Teks dan Wacana.
Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Parimartha, dkk. 2011. Nilai Karakter Bangsa dan Aktualisasinya dalam
Kehidupan Masyarakat Bali.Denpasar: Udayana University Press.
Putra, Ida Bagus Rai. 2019. Wacana Mabuug-buugan Masyarakat Desa Adat
Kedonganan-Badung. Denpasar: Makalah Seminar Bahasa Ibu FIB Unud.
Usman, Husaini, 1995.Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 210
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF
CANDI PENATARAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA
Ida Bagus Sapta Jaya
ABSTRAK
Kearifan Local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi
Penataran Sebagai Jati Diri Bangsa menganalisis sinkretisme Relief
cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat
Hindu,dalam seni bangunan atau candi, sifat Hindu-Buda terlihat
harmonis dan serasi sekali pada candi Penataran.Sinkretisme di
relief candi Penataran dapat membuktikan terjadinya toleransi dua
agama yang berbeda yaitu agama Hindu dan Budha, dengan
mengambil sikap politik sinkretisme pada masa lalu. Hal tersebut
dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara
damai antara sekta-sekta agama masa itu yang bermakna sebagai
jati diri bangsa.
Kata Kunci : Relief Hindu-Budha, Sinkretisme, jati diri bangsa
I.Pendahuluan
Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang tinggi
nilai, baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai sumber inspirasi bagi
kehidupan bangsa di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan
upaya-upaya untuk memahami dan melestarikan benda-benda tersebut. Namun
kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna, serta kurangnya rasa memiliki
warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak
bertanggung jawab. (Sambung Widodo, 1992 : 33)
Sebagaimana diketahui bahwa warisan budaya khususnya tinggalan
arkeologi merupakan sumber daya budaya yang memiliki berbagi nilai dan makna
antara lain : nilai, dan makna informasi/ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan
asosiasi/simbolik (Cleere 1984; Lipe 1984; McManamon 2000; et all Ardika
2004 : 50).
Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang tinggi
nilai, baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai sumber inspirasi bagi
kehidupan bangsa di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan
upaya-upaya untuk memahami dan melestarikan benda-benda tersebut. Namun
kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna, serta kurangnya rasa memiliki
warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak
bertanggung jawab. (Sambung Widodo, 1992 : 33)
Jatidiri adalah suatu kata yang secara harfiah dapat berarti karakter pokok,
sifat inti yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat, etnis, atau secara individu.
―Penguatan jatidiri haruslah diawali dengan pemupukan rasa cinta dan
kebanggaan terhadap warisan para pendahulu yang mewariskan perangkat nilai,
norma-norma sosial dan kegiatan sosial politik, ekonomi maupun budaya yang
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 211
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
terekam dalam sejarah. Rekaman sejarah itulah yang akan menjadi ilham, pemacu
semangat teladan bagi generasi penerus untuk memupuk, mengembangkan, dan
mengukuhkan jatidiri bangsa,‖.(Masyhudi, 2012 : 100-101)
Latar belakangkurangnya rasa memiliki warisan budaya bangsa tersebut,
sering terjadi tindakan-tindakan tidak bertanggung jawabdan diharapkan timbul
kepekaan serta kepedulian untuk memeliharanya sebagai jatidiri bangsa. Bertolak
dari tema ―kearifan local sebagai pembentuk karakter bangsa dengan sub topik
―kearifan local sebagai jatidiri bangsa‖, maka dalam tulisan ini akan dikaji
Kearifan Local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai
Jati Diri Bangsa.
2. Relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat
Hindu
Terdapatnya seni rupa relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang
bersifat Hindu sebenarnya sudah sesuai dengan keadaan periode Jawa Timur masa
itu yang terdapat perubahan dalam kehidupan beragama, karena pada masa itu
agama Hindu dan Buda dipeluk sekaligus bersamaan. Di samping kedua agama
tersebut, unsur kepercayaan asli Indonesia juga member pengaruh yang besar,
sehingga yang dinamakan agama Negara pada periode Jawa Timur berbeda
dengan Jawa Tengah. Pada periode Jawa Tengah yang dinamakan agma Negara
adalah agama Hindudan Buda, sedangkan pada periode Jawa Timur keduanya
menjadi agamaresmi kerajaan (Rassers, 1982 : 17, 41).
Sehingga puncak dari hubungan Hinduisme denga Budisme di Jawa Timur terjadi
pada zaman Singasari sampai dengan Majapahit. Maka hamper semua cabang
kebudayaan, seperti seni bangun, seni pahat atau seni sastra bernafaskan Hindu-
Buda.
Dalam seni bangunan atau candi, sifat Hindu-Buda terlihat harmonis dan
serasi sekali pada candi Penataran, dengan dipahatkannya relief cerita Bubuksah
Gagangaking. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan Kern,
Zoetmulder, Krom, Rassers perpaduan
Hinduisme dan Budisme itu disebut sinkretisme, yang berarti kedua agama
tersebut pada lahirnya tetap merupakan dua wujud yang berdiri sendiri, tapi pada
dasarnya dwi tunggal (Kern, 1901 : 26).
Dari Pengertia tersebut maka Haryati Subadio cenderung menyebutkan dengan
istilah koalisi. Hal ini disebabkan dalam kedua sistem tersebut tidak terdapat
pembauran yang sesungguhnya. Lebih lanjut Haryati Subadio menegaskan antara
kedua agama itu dapat diumpamakan dengan pendakian sebuah gunung.
Meskipun banyak jalan yang dapat ditempuh, tetapi pada akhirnya puncak yang
sama akan tercapai juga (Haryati Subadio, 1985 : 50-51).
Terlepas dari beberapa istilah tentang perpaduan kedua agama tersebut,
pada tulisan ini akan digunakan istilah sinkretisme. Hal ini mengingat istilah
sinkretisme merupakan istilah yang sudah umum dan telah meluas pengertiannya
pada masyarakat.
Seperti telah diketahui, sejak di tanah asalnya (India) agama Siwa (Hindu)
dan Buda sudah memiliki persamaan yang harmonis, khususnya dalam konsepsi
ke-Tuhanannya yang terdapat dalam Saivasiddhanta dan Buda Mahayana, yang
merupakan aliran dalam Siwaisme dan Budhisme paling berpengaruh di Indonesia
(Mantra, 1985 : 279).
212 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dalam Saivasiddhanta terdapat tri tunggal atau tiga kebenaran yang
tertinggi disebut Siva-tattva, Sadasiva-tattva dan Maheca-tattva. Masing-masing
tattva tersebut diwakili oleh Paramasiva dengan alamnya Niskala, Sadasiva
dengan alamnya Niskala-sakala dan Mahecvara dengan alamnya sekala.
Selanjutnya dari Siva-tattva yang bersifat pasif itu diturunkan lima cacti yang
bersifat aktif, yaitu : Para Cakti, Adi Cakti, Icha-Cakti, Jnana-Cakti, dan Kriya-
Cakti. Kemudian lima cacti dari Paramasiva itu akan mewujudkan dirinya sebagai
Sadasiva-tattva dan Maheca-tattva.
Dalam Buda Mahayana, tri tunggal atau tiga kebenaran itu adalah Buda,
Vajrasatva dan Avalokitecwara. Masing-masing berada dalam Dharma-kaya,
Sambhoga-kaya dan Nirmana-kaya. Selanjutnya Buda atau Adi Buda juga
mewujudkan dirinya dalam wujud lima Tathagatha, yaitu : Wairocana, Aksobya,
Ratnasambhawa, Amitabha dan Amoghasidhi.
Dari konsepsi dasar ke-Tuhanan yang dimiliki oleh aliran Saivasiddhanta
dan Budha Mahayana di atas, akhirnya Ida Bagus Mantra menyimpulkan bahwa
Dharma-kaya sejajar dengan niskala, Sambhoga-kaya dengan Sekala-Niskala dan
Nirmana-kaya dengan Sakala. Kemudian tingkatan tertinggi pada dunia Niskala
dan Dharma-kaya tersebut menurut Ida Bagus Mantra dikatakan Siwa=Siwa,
Buda = Buda (Mantra, 1985 : 268 : 287).
Walaupun demikian, prinsip dasar ke-Tuhanan yang sama tanpa didukung
oleh suasana hubungan baik antara pemeluk kedua agama tersebut, mustahil dapat
terwujud sinkretisme antara Hindu dengan Buda. Kenyataan ini dapat dilihat di
Negara asal kedua agama itu (india) dan meskipun di India, Buda adalah salah
satu avatara Wisnu (Slamet Mulyana, 1983 : 48). Namun demikian sinkritisme
antara agama Hindu (Siwa) dengan Budha tidak terdapat adanya rasa toleransi,
khususnya di kalangan penguasa sendiri (Oka, 1978 : 10-13).
Pada periode Jawa Timur, sikap toleransi antara pemeluk kedua agama tersebut
telihat dari masa pemerintahan Mpu Sindok (Harun Hadiwijono, 1971 : 97), dan
awal pemerintahan raja Ken Arok (Slamet Mulyana III, 1983 : 51-56). Toleransi
tersebut kemudian berkembang mencapai puncaknya pada akhir Singhasari
sampai Majapahit. Bukti-bukti itu diketahui dari bangunan-bangunan candi
maupun kitab-kitab kesusastraan yang bernafaskan agama Hindu-Budha. Pada
bangunan candi hal tersebut diperlihatkan dengan harmonis sekai di candi Jago,
Jawi dan Surawana. Pada karya sastra sinkretisme Hindu-Buda terutama
diperlihatkan dalam hasil kesusastraan dari zaman Majapahit. Antara lain dalam
kitab Arjunawijaya, Sutasoma dan Kunjarakarna.
Meskipun sikap toleransi di Jawa Timur, apabila ditelusuri lebih jauh
sudah ada pada masa Jawa Tengah. Petunjuk ini dapat diketahui dari prasasti
Kelurak (782M) (Bosch, 1929 : 19-22), prasasti Taji Gunung (910M) (Damais,
1955 : 246) dan Prasasti Kalasan (778 M) (Csparis, 1950 : 21-22). Walaupun
demikian, bukti monumen masih membedakan kedua agama tersebut. Tetapi
apabila dilihat dari lokasi monument agama Hindu dan Budha yang letaknya
saling berdekatan, hal itu akan menunjukan adanya rasa toleransi yang tinggi di
kalangan masyarakat pemeluk agama tersebut. Bukti itu dapat disaksikan dari
letak candi Prambanan yang bersifat Siwaistis berdekatan letaknya dengan candi
Sewu, Plaosan dan Kalasan yang bersifat Budistis.
Dari petunjuk di atas, dapat diperoleh gambaran mengenai terjadinya
sinkretisme Hindu-Buda di Jawa Timur. Sinkretisme tersebut dapat terjadi karena
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 213
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
factor persamaan dasar konsepsi ke-Tuhanan antara agama Hindu dengan Buda
dan adanya dukungan sikap toleransi dari pemeluk agama Hindu dan Buda sejak
di Jawa Tengah.
3. Makna Filosofis Relief-relief Candi Penataran sebagai Jati diri Bangsa
Relief candi Penataran yang sudah jelas identitasnya adalah relief cerita Sang
Satyawan, Sri Tanjung Bubuksah Gagangaking, Ramayana, Krnayana dan relief
cerita binatang. Jika ditelah makna keagamaannya, cerita tersebut sudah jelas
berlatar belakang Hindu Buda. Relief cerita Sang Satyawan, Sri Tanjung,
Ramayana dan Krnayana mewakili agama yang berlatar belakang Hindu,
sedangkan agama Buda diwakili oleh relief cerita Bubuksah Gagangaking dan
cerita binatang (tantri).
Pemahatan relief berlatar belakang dua agama yang berbeda bukan berarti
telah terjadi suatu penyimpangan dalam bidang ritual. Tetapi hal ini berkaitan
dengan situasi keagamaan pada periode Jawa Timur, khususnya pada zaman
Singasari dengan Majapahit.
Toleransi kehidupan beragama sudah berpangkal pada masa Jawa Tengah.
Selanjutnya pada periode Jawa Timur hal tersebut berkembang menjadi perpaduan
yang harmonis antara Hindu-Buda yang sekaligus mencapai puncaknya. Maka
hamper semua cabang kebudayaan, seperti seni bangunan, seni pahat atau seni
sastra bernafaskan keagamaan Hindu-Buda, sehingga dapat ditarik suatu
kesimpulan bahwa dipahatkannya relief-relief tersebut pada candi penataran
memang mengacu pada kehidupan keagamaan di masa itu, yang sekaligus
merupakan petunjuk adanya hubungan yang harmonis antara Hindu-Buda dalam
candi Penataran. Relief-relief tersebut sebagai bukti bahwa raja-raja Majapahit
dalam pemerintahannya memeluk agama Hindu sekaligus Buda, pada zaman
Singhasari sampai Majapahit hubungan harmonis Hindu-Buda mengalami
perkembangan yang pesat, khususnya di kalangan atas.
Peranan seorang pemimpin sangat menentukan dalam segala hal termasuk
dalam bidang keagamaan. Berkembang tidaknya suatu agama sangat tergantung
dari kebijaksanaan dari sang pemimpin, misalnya pada raja Acoka di India, agama
Hindu tidak dapat bersatu dengan agama Buda, sekalipun keduanya mempunyai
prinsip dasar Ketuhanan yang sama dan di India Buda dianggap sebagai avatara
Wisnu. Hal ini disebabkan tidak adanya rasa toleransi, khususnya di kalangan raja
sendiri (Oka, 1978 : 10-13). Sebaliknya pada periode Jawa Timur, penguasa (raja)
memberikan contoh kearah toleransi antara kedua agama tersebut, yaitu dengan
mengambil sikap politik sinkretisme.Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga
kerjasama dan pengawasan secara damai antara sekta-sekta agama masa itu
(Sartono Kartodirdjo, 1969 : 14). Toleransi antara kedua agama tersebut, yang
tercermin dalam relief Bubuksah Gagangaking yaitu bermakna sebagai jatidiri
bangsa.
4. Simpulan
Berdasarkan uraian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan
local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai Jati Diri
Bangsa dapat membuktikan terjadinya toleransi dua agama yang berbeda yaitu
agama Hindu dan Budha, dengan mengambil sikap politik sinkretisme pada masa
214 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lalu. Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara
damai antara sekta-sekta agama masa itu yang bermakna sebagai jatidiri bangsa.
Daftar Pustaka
Ardika, I Wayan2004. Manajemen Warisan Budaya. KUMPULAN MATERI
Program Inovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali
Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage
Trust).
Edi Triharyantoro, 2002. Aspek Ideologi Dalam Management Sumberdaya
Arkeologi. Dalam BukuManfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh
Integrasi Bangsa. Denpasar. Upada Sastra.
Geria, Made, 2010. Penguatan Jatidiri dalam Perspektif Aktualisasi Arkeologi.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Arkeologi Denpasar.
Harun Hadiwijono 1975 Agama Hindu dan Budha, BPK Gunung Mulia, Jakarta.
Haryati Subadio 1985 Jnanasiddhanta, seri ILDEP, Djambatan, Jakarta.
Kern, J.H.C 1901 De Legende van Kunjarakarna, Volgens her oudst bekende
Handscrift.
Mantra, Ida Bagus 1985 ―Pengertian Siwa Budha Dalam Sejarahnya di Indonesia‖,
Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I, MIPI, Jakarta.
Masyhudi, 2012. ―Temuan Naskah Kuno Di Kampung Arab Sebagai Bukti
Penguatan Jatidiri Bangsa‖. ArkeologiUntukPublik. Jakarta : Ikatan Ahli
Arkeologi Indonesia.
Oka, Ida Bagus 1978 ―Peranan Pimpinan Di Bali‖, Warta Hindu Dharma134,
Denpasar.
Purna, I Made, 2010. Memperkuat Jatidiri dan Pembentukan Karaktergenerasi
Muda Melalui Tinggalan Arkeologi. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai
Tradisional Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT.
Rassers, W.H 1982 ―Ciwa dan Budha di Kepulauan Indonesia‖, Ciwa dan Budha,
Djambatan, Jakarta.
Rata, Ida Bagus., 1993 Manfaat Peninggalan Arkeologi untuk Kepentingan
Agama, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi, Pendidikan & Ilmu Pengetahuan. Dalam
Buku Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : PT Upada Sastra.
Sambung Widodo, 1992. Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Warisan Leluhur.
PIA VI. Kumpulan Makalah. Batu, Malang, Jawa Timur 26-30 Juli.
Sartono artodirdjo, 1969 ―Struktur Sosial Dari Masyarakat Tradisional dan
Kolonial‖, Lembaran Sejarah No. 3 Desember, Seksi Penelitian Jurusan Sejarah
Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta.
Slamet Mulyana 1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Intidayu
Press, Jakarta.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 215
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Soediman, 1983. Peranan Arkeologi Dalam Pembangunan Nasional. Pertemuan
Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei.1-16.
Soerjanto Poespowardojo, 1989. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis,
Gramedia, Jakarta.
Sumartika, I Nyoman, 2010. Pelestarian Benda Cagar Budaya Untuk Memperkuat
Jatidiri Ditengah Globalisasi. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali
Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, Dan NTT.
Slamet Mulyana 1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Intidayu
Press, Jakarta.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 216
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG
MUTIS DALAM PELESTARIAN HUTAN
DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR
Industri Ginting Suka
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Kearifan lokal(local wisdom) yaitu keseluruhan bentuk
pengetahuan, kepercayaan, pemahaman, atau wawasan serta adat
kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam
kehidupan di dalam komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat
adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim
di wilayah geografis tertentu, karena ada ikatan pada asal usul
leluhur, adanya hubungan kuat dengan lingkungan hidup, ada
sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan
hukum. Masyarakat adat kawasan Gunung Mutis yang telah lama
bermukim memiliiki kearifan local yang sampai saat kini bertahan
dari serangan kebudayaan modern, hal ini terlihat dari tetap
lestarinya kawasan hutan gunung Mutis. Permasalahannya ialah
bagaimana wujud kearifan lokal masyarakat gunung Mutis
sehingga mampu mempertahankan kelestarian kawasan hutan.
Tulisan ini ingin mendeskripsikan kearifan local dari masyarakat
adat kawasan gunung Mutis yang memiliki kepedulian pada
pelestarian lingkungan, khususnya dalam ekosistem kawasan hutan.
Pendekatan yang dipakai dalam tulisan ini adalah pendekatan
antropologi ekologi dengan memakai konsep adaptasi manusia
terhadap lingkungan.
Masyarakat di kawasan gunung Mutis memanfaatkan hutan untuk
energi, membuat rumah, mengambil madu hutan danberternak,
namun hutannya terjaga kelestariannya. Hal ini disebabkan ada
kearifan local yang tercermin dalam nilai aturan adat yang
melarang melakukan eksploitasi yang berlebihan. Kearifan local itu
terdapat pada filosofi mansion muit nasi na bua, yang artinya ada
kesatuan antara manusia, hewan ternak dan hutan.
Kata kunci: kearifan local, masyarakat adat, mansion muit nasi na
bua.
I. Pendahuluan
Rusaknya kawasan hutan telah menjadi ancaman yang berdampak luas
seperti kekeringan, banjir dan hilangnya sumberdaya genetik. Situs dan hutan
keramat telah menjadi bagian dari banyak komunitas lokal di Indonesia.
Mengacu pada pengetahuan dan kepercayaan tradisional, pola pengamatan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 217
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
menjadi langkah yang strategis dalam membangun sistem produksi sumber
daya hutan lokal dan pemanfaatannya untuk kepentingan spiritual. Upaya
konservasi yang berasal dari kesadaran masyarakat lokal berdasarkan akal sehat
dan kepercayaanakan lebih efektif dalam menjaga kelestarian hutan
dibandingkan dengan pengelolaan oleh pemerintah dengan sistem birokrasinya
yang rumit.
Permasalahannya ialah: bagaimanakah wujud kearifan lokal masyarakat
gunung Mutis sehingga mampu mempertahankan kelestarian kawasan hutan.
Tujuan tulisan ini ingin mendeskripsikan kearifan lokal masyarakat adat kawasan
gunung Mutis yang memiliki kepedulian pada pelestarian lingkungan, khususnya
dalam ekosistem kawasan hutan. Pendekatan atau metode yang dipakai dalam
tulisan ini adalah deskriptifkualitatif, serta didukung dengan studi perpustakaan
(literature).
1.1. Wujud Kearifan Lingkungan Masyarakat Kawasan Gunung Mutis
Kearifan lokal merupakan bagian dari masyarakat untuk bertahan hidup
sesuai dengan kondisi lingkungan, sesuai dengan kebutuhan, dan kepercayaan
yang telah berakar dan sulit untuk dihilangkan. Pendapat lain mengatakan bahwa
kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat
untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem
kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang
dianut dalam jangka waktu yang lama. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai
berikut. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai
elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan.
Ketiga, kearifan local memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.
Keempat, mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok
dengan meletakkannya di atas nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki. Kelima,
mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah
mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir,
bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas
kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Sumarmi dan Amirudin,
2014).
Kearifan lingkungan merupakan wujud dari perilaku komunitas atau
masyarakat tertentu sehingga dapat hidup berdampingan dengan alam lingkungan
tanpa harus merusaknya. Kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan
dalam masyarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu berwujud dan
kebendaan, sering kali di dalamnya terkandung unsur kepercayaan atau agama,
adat istiadat dan budaya atau nilai-nilai lain yang bermanfaat seperti untuk
kesehatan, pertanian, pengairan, dan sebagainya. Berangkat dari pengertian
tersebut dapat dijelaskan bahwa kearifan lokal sudah mengakar, bersifat
mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna
mengelola dan menjaga lingkungan secara arif atau bijaksana..
Dalam persepsi masyarakat kawasan gunung Mutis dipercaya memiliki
nilai-nilai filosofi yang mendalam, sehingga kawasan tersebut menjadi kawasan
kramat, sebagai sumberdayakehidupan, pemasok berbagai kebutuhan pokok
sekitarnya, dan merupakan tempat yang dipercaya sebagai asal usul orang Timor.
218 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dalam keyakinan penduduk Timor pada umumnya Mutis bukan hanya
dipandang sebagai gunung yang menjulang tinggi. Mutis bermakna sebagai
sumber kehidupan, dan dalam pemahaman mereka sumber kehidupan adalah
berhubungan dengan persediaan air yang berlimpah dari gunung Mutis
bagidaratan Timor (Boymau, 2001)
Mutis mengandung pengertian, sesuatu yang melengkapi, artinya gunung
Mutis mampu menyediakan atau melengkapi segala kebutuhan orang Timor mulai
dari air, kayu, tali, madu, hewan buruan (babi hutan, burung, rusa, kuskus, kera,
dan lainnya) serta berbagai hasil hutan lainnya. Dalam pengertian lain masyarakat
juga menyebutkan bahwa Mutis merupakan sumber kekuatan. Awal mula
kehidupan nenek moyang penduduk Timor adalah berasal dari gunung Mutis,
yang menyimpan sejumlah kekuatan dan kedahsyatan tertentu. Penduduk Timor
mempunyai keyakinan bahwa gunung Mutis dapat melepaskan penduduk Timor
dari segala bencana yang membahayakan (Marettra W, 2001)
Secara harafiah Mutis berasal dari kata mum tis yang artinya melengkapi
dan merupakan tempat raja (uwis=usif)oematan melakukan penyembahan
(gunung Mutis) di wilayah Timor Tengah Selatan), sedangkan bagian atau sisi
gunung Mutis yang menghadap Timor Tengah Utara merupakan tempat dari uwis
kono( di Miomafo) untuk melakukan penyembahan. Sementara itu penduduk
Timor di Kabupaten Belu menyebut gunung Mutis Bab-nai (bab artinya pelihara
dan nai artinya kelompok suku yang ada di Timor). Penduduk Timor yang hidup
di dataran Timor hidup karena tetesan gunung Mutis. Sampai sekitar tahun sekitar
1970 an puncak gunung Mutis masih dianggap tempat yang keramat dan tidak
boleh dimasuki siapapun. Alasan dari larangan itu ialah karena puncak gunung
Mutis merupakan tempat kramat bagi raja dan golongan usif. Selain itu puncak
gunung Mutis tempat bagi golongan usif untuk melepas hewan ternak yang
dikenal dengan namaluke teme pusu, yaitu ternak yang tidak bercap dan tidak
dipotong telinganya.
Ternak yang dipelihara antar lain kerbau, kuda, babi, kambing dan ayam.
Cara pemeliharaan ternak dilepas di sekitar rumah. Salah satu fungsi penting
ternak adalah untuk kepentingan adat terkait dengan upacara sekitar silus hidup
kelahiran, perkawinan, kematian dan siklus hidup berladang. Ternak untuk
kepentingan ekonomi (dijual) terbatas pada ternak besar seperti sapi, kuda dan
kerbau. Pada waktu dulu oreintasi pemeliharaan tenak untuk dijual belum
berkembang (membudaya). Khusus ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau
dilepas agar pemilik ternak dapat mengenali dengan mudah digunakan tanda cap
yang disebut malak. Setiap keluarga (suku) memiliki tanda cap ternak (malak)
yang berbeda-beda. Cap ternak tidak saja diketahui oleh yang bersangkutan tetapi
diketahui oleh seluruh masyarakat setempat. Selain tanda cap (malak) juga
masyarakat mengenal tanda berupa potongan daun telinga hewan yang disebut
(hetis) oleh masing- masing suku (marga).
III. Konsepsi masyarakat tentang hutan, tanah dan air
Konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan
menentukan sikap terhadapnya. Konsepsi mengakomodir idealisme dan harapan
yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Sebuah konsepsi tidk mengubah
wajah dunia secara langsung, melainkan melalui tindakan manusia. Tanpa
tindakan, sebuah konsepsi tidak pernah akan berdaya menciptakan realitas empiris.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 219
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Bagi masyarakat Mutis hutan memiliki arti yang sangat penting bagi
kelangsungan kehidupan mereka, seperti yang diungkapkan oleh masyarakat
bahwa: hutan itu seperti rambut apabila kita buang rambut kita maka rambut akan
botak dan menderita karena panas. Hutan juga bermanfaat untuk melindungi air
sehingga kalu hutan ditebang habis mungkin di Mutis ini tinggal beberapa puluh
penduduk saja, menurut penduduk local.Masyarakat Mutis menggolongkan hutan
ke dalam beberapa tipe menurut fungsi dan statusnya, antara lain hutan suku
(sufma autuf), hutan larangan (nasi talas), dan hutan keramat (nasi le u) atau (nasi
mnuni). (Marettra W, 2001).
IV. Konsepsi masyarakat tentang kearifan lokal Man sian muit Nasi Na bua
Kearifan lokal masyarakat adat ada dalam pengelolaan sumberdaya alam
mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan, selalu ada keseimbangan
antara manusia dan alam sekitarnya, oleh karena itu tidak heran jika lingkungan
terpelihara dengan baik. Kehidupan yang selaras dengan lingkungan alam bukan
berarti masyarakat tradisional bersifat pasif, akan tetapi memanfaatkan lingkungan
alam sebaik baiknya demi kelangsungan hidupnya. Hal tersebut tersirat dalam
keyakinan dasar masyarakat di mana antara manusia, ternak dan lingkungannya
dipandang mempunyai kaitan yang sangat erat dan merupakan bagian yang
tersusun secara sederhana dan tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya.
Hutan dan ternak mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat
menurut penuturan masyarakat konon dalam sejarah jaman kerajaan telah dibuat
perjanjian anatar tiga raja Mutis, yaitu raja Kono, Wamatan dan Sonbai mengenai
konsep segi tiga kehidupan man sian muit nasi na bua. Artinya manusia, ternak,
dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki
ketergantungan. Manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan
di hutan dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Untuk mengukuhkan
perjanjian ini dikorbankan satu ekor kerbau jantan berumur 3 tahun sebagai
materai hukum adat sekaligus disebarluaskan kepada masyarakat dari ke tiga raja
tersebut.
Bertitik dari kearifan lokal tersebut hutan memiliki arti penting bagi
masyarakat selain ekonomis, setiap marga atau suku memiliki faud kana foe
kanaf( batu nama, air nama). Di dalam hutan pada waktu tertentu seluruh anggota
keluarga berkumpul di tempat tersebut untuk melakukan upacara adat sesuai
kepentingan. Faut kana foe kanaf di dalam hutan dianggap sebagai tempat
pertama kali nenek moyang mereka datang dan menginjakkan kaki di desa itu.
Hutan keluarga tersebut dikeramatkan oleh sukunya dan disegani oleh suku suku
lain karena diyakini bahwa hutan tersebut memiliki kekuatan gaib yang dapat
membawa rejeki ataupun menimbulkan malapetaka bagi manusia (Boymau, 2001).
Selain fat kanaf/oe kanaf, di dalam desa juga ada nais/tala (hutan
larangan umum) artinya semua kehidupan yang ada di dalam hutan dilarang untuk
diambil sesuka hati baik penebangan pohon, panen hasil utan maupun berburu
satwa liar. Larangan itu akan dicabut stelah menurut kreteria objektif, hasil hutan
tersebut memenuhi syarat panen dan kegiatan pemanenan pada umumnya diawali
dengan upacara adat. Setiap masyarakat yang melanggar aturan tersebut dapat
dikenakan sangsi adat dalam bentuk denda yang besar dan jumlahnya beragam
tergantung bentuk dan ukuran keslahan. Tetapi denda umumnya berupa kerbau,
sapi, babi, kopi, beras dan uang perak Belanda. Penetapannais tala dilakukan oleh
220 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tokoh tokoh adat dengan ditandai satu ekor sapi atau kerbau dagingnya dibagikan
kepada kepala keluarga. Sedangkan tanduk sapidan kerbaunya diikat pada tempat
strategis sebagai pengumuman bagi masyarakat desa lain.
V. Kesimpulan
1. Pada dasarnya masyarakat di sekitar kawasan gunung Mutis Kabupaten
Timor Tengah Selatan terdiri dari beberapa komunitas kecil atau suku bangsa
(etnis), yang masih tetap berupaya mempertahankan dan melestarikan nilai-
nilai budaya kearifan local sebagai warisan yang diterima dari nenek moyang
mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan peninggalan benda-benda budaya
material dan non material seperti upacara-upacara ritual adat yang masih tetap
dilaksanakan sebagai pendukungnya.
2. Dalam menjaga hutan komunitas adat terus memegang kuat filosofi tentang
alam dan merangkainya dalam wujud budaya bahwa tanah adalah daging,
hutan adalah rambut, batu adalah tulang dan air adalah darah. Filosofi ini
menjadi kekuatan masyarakat di Timor Tengah Selatan untuk menjaga dan
melestarikan lingkungan. Pelestarian lingkungan berbasis budaya ini
merupakan warisan leluhur yang sampai kini dilakukan walaupun
perkembangan teknologi dan modernisasi, namun masyarakat tetap konsisten
mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal.
Daftar Pustaka
1. Adrianus Lopo Anunut dan Kusmayadi, Analysis of Local Wisdom Tamkesi
Indigenous Village as a tourist attraction in the North Central Timor Regency
of East Nusa Tenggara, Jurnal Sains Terapan Pariwisata, Vol. 1, No. 1,
Tahun 2011, pp. 100-108.
2. Ardana dalam Apriyanto, 2008. Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat
dengan Pelestarian Lingkungan Hidup. Bandung, Universitas Pendidikan
Indonesia.
3. Boymau,Yulianti Marlina, 2001., Pola Beternak Lepas dan Pengaruhnya
Terhadap Kawasan Konservasi Cagar Alam Gunung Mutis di Timor Tengah
Selatan, Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Udayana,
Bali.
4. Keraf, 2010. Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian
Lingkungan Hidup. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.
5. MarettaW, Dida Hermandini, 2001., Konsepsi Mansian Muit Nasi Na Bua di
Kawasan Gunung Mutis Timor Tengah Selatan, Skripsi Jurusan Antropologi
Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali.
6. Rohana Sufia, Sumarmi, Ach. Amirudin., Kearifan Lokal Dalam
Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa
Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi), Jurnal Pendidikan:
Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 1 Nomor: 4 Bulan April
Tahun 2016.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 221
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA
ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO,
KABUPATEN LUMAJANG, PROVINSI JAWA TIMUR
Ketut Darmana
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Di Desa Argosari hampir seluruh penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani sayur.Oleh karena itu, warga
petani penduduk desa ini sebagai salah satu pemasuk atau
penyuplai sayuran yang signifikan untuk memenuhi permintaan
beberapa pasar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa
Timur.Agen besar penyalur produk bahan pangan sayuran ini,
selain menyasar pasar tradisional untuk konsumen kelas ekonomi
menengah ke bawah, juga pasar modern, seperti toserba, swalayan,
supermarket, hypermarket, dan sejenisnya bagi konsumen kelas
ekonomi atas.
Masyarakat petani sayur di desa ini, mampu meningkatkan
pendapatan ekonomi keluarga, sekaligus juga mengangkat derajat
kehidupan masyarakat dari penjualan hasil kebunnya, seperti
kentang, bawang prei, dan jenis sayuran yang lainnya.Kondisi
kehidupan masyarakatnya dipandang dari aspek ekonomi cukup
baik, tetapi tidak mendorong anak-anaknya dalam peningkatan
pendidikan untuk perbaikan sumber daya manusia (SDM) yang
lebih berkualitas. Mengingat, anak-anak orientasinya sebagai petani
sayur, apa telah diwariskan oleh orang tuanya. Oleh karena itu,
kasus ini menarik untuk diungkapkan mendalam, sehingga tulisan
ini mengangkat masalah tentang Orientasi Nilai Budaya Petani
Sayur: Studi Kasus Petani Sayur di Desa Argosari. Adapun
rumusan masalahnya yang difokuskan sebagai berikut: (1)
Bagaimana orientasi nilai budaya petani sayur di Desa Argosari?,
dan (2) Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat di desa
tersebut. Persoalan ini dibedah dengan mengacu teori orientasi nilai
budaya yang diungkapkan oleh Kluckhohn, meliputi 5 pokok
masalah, yaitu: (1) Masalah hakekat hidup manusia (MH), (2)
Masalah hakekat karya manusia (MK), (3) Masalah hakekat
kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW), (4) Masalah
hakekat hubungan manusia dengan lingkungan alam (MA), dan (5)
Masalah hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
Data bersumber dari data lapangan dikumpulkan melalui
pengamatan langsung, dan wawancara beberapa informan dari
petani sayur, serta analisis data bersifat kualitatif-deskrptif.
Kata Kunci: Orientasi Nilai Budaya, dan Petani Sayur.
222 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
I. Pendahuluan
Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama untuk menunjang bagi
kehidupan warga masyarakat Desa Argosari.Sektor pertanian yang digarap ini
adalah berupa kebun sayur, jenisnya seperti kentang, bawang pre, kubis,
kacang,tomat, cabai, dan lain-lainnya. Di antara jenis sayuran ini pemanfaatanya
dapat dibedakan sebagai berikut: Pertama, jenis sayuran, seperti kentang, bawang
pre, dan kubis/kol, semuanya itu dijadikan sebagai produk komoditas untuk dijual
ke pasar. Hasil penjualan ini sebagai aset ekonomi rumah tangga keluarga yang
diinvestasikan kembali untuk modal membeli bibit, rabuk, obat-obatan,
pengolahan lahan, dan pemeliharaannya.Hal ini sangat diprioritaskan agar terjadi
kesinambungan untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam rumah tangga. Selain
itu, digunakan membangun rumah, termasuk perabutan rumah tangga, televisi,
sepeda motor atau mobil. Kedua, jenis sayuran lain, seperti tomat, kacang,
Lombok, dan jenis sayur yang lainnya yang dikonsumsi sendiri untuk dimasak
setiap hari.
Masing-masing keluarga dalam sebuah rumah tangga di Desa Argosari,
hampir mengelola lahan kebun sayur ini luar arealnya rata-rata di atas 1 hektar,
bahkan sampai 5 hektar.Lahan yang begitu luas sejauh mata memandang tanpa
pembatas yang jelas antara pemilik lahan yang satu dengan lainnya.Walaupun,
letak lokasi lahan perkebunan tersebut mencapai kemiringan 45 bahkan ada yang
lebih miring lagi.Namun, petani sayur masih bisa tetap mengolah lahan ini agar
tetap bisa produktif berdasarkan pola kearifan lokal yang telah diwariskan dari
pendahulunya.Mengingat kemiringan yang begitu terjal, memang dilihat dari
sudut topografinya merupakan daerah pegunungan yang berbentuk relief dengan
ketinggian 2200 meter dari permukaan laut.Kondisi ini yang menyebabkan jalan
melintas di atas perbukitan yang berkelak-kelok naik-turun yang terjal dan
dikelilingi dengan tanaman kentang, kubis, dan bawang pre.
Keadaan tanah yang subur didukung dengan kondisi lingkungan alam yang
sejuk, bahkan dingin dan disertai kabut, amat cocok dengan berbagai jenis
sayuran seperti disebutkan di atas. Kecocokan sangat jelas terlihat dari
pertumbuhan pada daun tanaman sayur tersebut.Terlepas dari kesuburan tanaman
sayur ini, juga disebabkan karena pemberian pupuk organik maupun kimia.
Pemupukan tanaman ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu (1) cara menaburkan
pupuk pada tanaman seperti pupuk organik(kompos)/urea (kimia), dan (2) cara
menyemprot daunnya denngan cairan kimia. Selain menyuburkan daunnya agar
tumbuh lebih baik, juga untuk mencegah sekaligus membasmi berbagai jenis
hama penyakit yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut, bahkan
menyebabkan tanaman sayuran itu mati.
Produk pertanian pangan yang dihasilkan oleh petani berupa sayur mayur
ini ternyata memiliki prospek ekonomi yang cukup menjanjikan terhadap kondisi
perekonomian warga masyarakat di Desa Argosari.Kontribusinya cukup
signifikan untuk mensuplai sayuran guna memenuhi kebutuhan permintaan pasar,
terutama bagi konsumen, mengingat sayur merupakan menu makanan yang
disantap setiap hari.Pasokan pangan ini harus dijaga dengan baik, karena
berimplikasi terhadap stabilitas harga di pasar yang dibeli oleh
konsumen.Sebagaimana yang berlaku dalam hukum pasar yang menyatakan
bahwa permintaan dan penawaran berkorelasi dengan perubahan harga.Begitu
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 223
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
pula, perubahan harga ini sangat sangat dinamis, karena dipengaruhi oleh faktor
stok (ketersediaan) barang tersebut di pasar yang dibutuhkan oleh masyarakat
konsumen.
Kehidupan masyarakat Argosari, hampir seluruhnya tergantung dari
penjulan hasil kebun sayuran menunjang dan menggerakkan roda perekonomian
keluarga.Oleh karena itu, sumber pendapatan atau penghasilan hanya dari
penjualan hasil penjualan sayuran saja. Jadi sektor pertanian masih lebih kelihatn
dominan, dibandingkan dengan sektor non pertanian, yang bekerja di luar
desanya.Penduduk Desa Argosari lebih cendrung memilih pekerjaan sebagai
petani sayur dibandingkan bekerja di luar bidang pertanian (non pertanian).Di sini
sesungguhnya letak masalahnya, sehingga fenomena ini menarik untuk dikaji
lebih mendalam.Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka fokus
masalah menyenai orientasi nilai budaya petani sayur dengan mengangkat kasus
di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa
Timur. Ada dua pokok masalahantara lain sebagai berikut: (1) Bagaimana
orientasi nilai budaya petani sayur di Desa Argosari?, dan (2) Apa dampaknya
bagi kehidupan perekonomian masyarakat di desa tersebut? Landasan teori
orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat,
1992) dijadikan acuan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan
tersebut.Menurut pandangan Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) menjelaskan
bahwa ada 5 masalah pokok yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya yang
berlaku secara universal pada semua kebudayaan di dunia.Hal ini mencakup
dalam lingkungan ekonomi, kekerabatan, dan religi yang berkaitan dengan
kepercayaan dan keyakinan. Ke-5 masalah orientasi nilai budaya mencakup: (1)
Masalah hakekat hidup manusia (MH), (2) Masalah hakekat karya manusia (MK),
(3) Masalah hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW), (4)
Masalah hakekat hubungan manusia dengan lingkungan alam (MA), dan (5)
Masalah hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (MM).
Metode analisis data kualitatif diskriptif yang bersumber dari data primer
(lapangan) dan data skunder berdasarkan studi pustaka.Data primer diperoleh dari
hasil pengamatan (observasi) selama 6 hari (4—9 Maret 2019), dan wawancara
dengan beberapa informan yang menggeluti sektor perkebunan sayur-mayur di
lokasi penelitian (Bachtiar, 1977, dan Koentjaraningrat, 1997).
II. Pembahasan
1.1. Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur Masyarakat Argosari.
Dalam pembahasan ini ada dua hal pokok yang perlu dipahami lebih dalam,
yaitu (1) Pemahaman konsepsional yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya,
dan (2) konsep petani sayur itu sendiri bila dikaitkan dengan orientasi nilai budaya
seperti apa dalam kehidupan realitas empiris pada masyarakat petani sayur di
Desa Argosari. Oleh karena itu, pelukisan secara etnografis tentang orientasi nilai
budaya petani sayur-mayur bagi masyarakat Argosari sebagai sebuah sub-sektor
yang masih eksis digeluti sampai saat ini.Keberadaan petani berdasarkan analisis
data lapangan, walaupun data yang dikumpulkan masih terbatas, sehingga masih
dibutuhkan data yang lebih memadai agar analisis deskripsi lebih mendalam
(thick description) (Geertz, 1990) untuk memperoleh potret gambaran sesuai
dengan warna aslinya di lapangan.Kembali kepada konsepsi orientasi nilai budaya
itu, menurut pandangan Koentjaraningrat (1992), menjelaskan bahwa suatu
persepsi yang dipandang berharga dan penting dalam kehidupan masyarakat.
224 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Contohnya: nilai gotong royong dipandang penting dan berharga dalam kehidupan
masyarakat, karena yang dibangun kerjasama dalam bentuk gotong royong untuk
menyelesaikan suatu pekerjaan dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat di
Indonesia. Namun, konsepsi berbeda dengan masyarakat kebudayaan Barat bahwa
bernilai tinggi apabila manusia berhasil atas usahanya sendiri, sehingga nilai
individualisme dipandang berharga tinggi dalam kehidupan masyarakat
(Koentjaraningrat, 1992). Selanjutnya, petani (peasant society) secara operasional
di lapangan, maka konsep ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) masyarakat
petani yang hasil pertaniannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga,
(2) masyarakat petani yang memiliki hak-hak atas dan mengolahnya dengan
teknologi sederhana untuk meningkatkan hasil produksi pertaniannya, (3) seorang
petani, tetapi bukan bisnis memperoleh keuntungan, (4) seseorang petani secara
pribadi bertani di atas lahan yang diusahakan sendiri, dan (5) seorang petani,
karena pendidikan rendah, maka sangat menolak kehadiran inovasi (Reading,
1986).
Berdasarkan acuan konsepsi mengenai orientasi nilai budaya petani sayur
masyarakat Argosari, jika dikaitkan dengan kerangka teori orientasi nilai budaya,
sebagaimana telah dijelaskan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) tersebut di
atas, yang meliputi 5 masalah pokok.Namun, dalam pembahasan tulisan ini, hanya
batasi pada pokok masalah yang kedua, yaitu masalah hakekat karya manusia
(MK) mengingat dibatasi jumlah halaman penulisan, dan data yang diperlukan
untuk analisis masih sangat terbatas. Walaapun, ke-5 pokok masalah tersebut
sesungguhnya berkaitan satu sama lain. Akhirnya, dalam pembahasan ini hanya
mengungkapkan orientani nilai budaya petani sayur masyarakat Argosari yang
berhubungan dengan hakekat karya manusia.
Berdasarkan kerangka pemikiran Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992), secara
jelas digambarkan, bahwa masalah dasar dalam hidup manusia, yang terkait
dengan hakekat karya manusia itu. Hal tersebut, secara garis besa mempunyai
oreintasi nilai budaya dalam pandangan hidup masyarakat sebagai berikut: (a)
bekerja atau berkarya itu untuk nafkah hidup, (b) bekerja atau berkarya itu, untuk
kedudukan, kehormatan, kekayaan, dan lain-lainnya, dan (c) bekerja atau berkarya
itu, untuk menambah karya. Jadi, orientasi nilai budaya masyarakat petani sayur
di Desa Argosari lebih menonjol pada komponen butir (a) dan butir (b),
sedangkan komponen butir (c) tidak ada sama sekali. Hal ini berdasarkan data
realitas empiris di lapangan, sangat sulit menyatakan penduduk warga Desa
Argosari itu miskin, walaupun lokasi pemukim penduduk terletak di lereng areal
pegunungan.Ada data lapangan yang mendukung kondisi kehidupan ekonomi
penduduk di desa ini.Pertama, bangunan rumah tempat tinggal warga masyarakat,
hampir semua masyarakat memiliki rumah modern.Artinya, rumahnya berlantai,
lantai keramik, tembok di cat dengan bervariasi warna cat masa kini, bahkan ada
menggunkan keramik.Bentuk bangunan rumah disertai dengan berbagai asesoris,
layaknya seperti villa.Rumah dalam bentuk tradisional hanya masih tinggal
beberapa buah saja, kerena menggunakan diding kayu atau gedeg dan atapnya
genteng atau seng, Kedua, perabotan rumah tangga sudah serba modern.Ketiga,
alat transpotasi untuk mobilitas menggunakan sepeda motor dan mobil roda 4,
rata-rata penduduk memiliki kendaraan sepeda motor pada setiap keluarga lebih
dari satu. Begitu dengan mobil roda 4, ada beberapa memiliki lebih dari satu,
walaupun jumlah pemilik masih tergolong kecil.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 225
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Gambaran yang ditunjukan tentang kepemilikan bentuk rumah yang bagus,
dan kendaraan motor itu, sesungguhnya ingin menunjukkan status sosial dalam
kontestasi kehidupan masyarakat sekitar sebagai hasil dari jerih-payah usaha
taninya yang selama ini telah digeluti. Tampaknya, secara tersembunyi terjadi
persaingan secara kompetitif di antara petani untuk menampilkan kekayaannya
untuk dikomunikasi kepada masyarakat lingkungannya secara tidak langsung
(Daeng, 1985). Justru pada sektor pendidikan tidak mendapat perhatian sama
sekali bagi orang tua. Oleh karena itu, tingkat pendidikan formal penduduk Desa
Argosari sangat rendah. Hanya ada fasilitas gedung TK dan SD, sehingga
melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi (SMP, SMA, dan PT) hanya di kota
kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Anak-anak merasa enggan dan orang tuanya
tidak memotivasi untuk sekolah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa
pendidikan formal lewat bangku sekolah/kuliah itu dapat meningkatkan mutu
sumer daya manusia (SDM) untuk menyosong perubahan kearah peradaban
manusia yang lebih maju di masa depan.
1.2. Dampaknya Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur bagi Kehidupan
Perekonomian Masyarakat Argosari.
Petani sayur-mayur di Desa Argosari ini dapat digolongkan ke dalam bentuk-
bentuk utama ekotipe petani neoteknik.Sebagaimana diilustrasikan oleh Wolf
(1985) bahwa holtikultura yang dispesialisasikan (specialized horticulture),
karena bercirikan hasil kebun, seperti kentang, bawang pre, kol/kubis, jagung,
tomat, cabai/Lombok, dan lain-lainnya.Semua jenis tanaman ini diusahakan di
atas lahan yang dipelihara secara permanen.Petani ini dalam menggarap lahan
kebun sayurnya (hortikulturanya) selalu melibatkan keluarga (suami+istri, dan
anak-anak).Kaum ibu (istri) sangat aktif membantu suaminya bekerja di
dikebun.Begitu pula, anak-anak diikutsertakan dalam aktivitas pengolahan lahan
kebun tersebut, terutama diwaktu masa panen.Kadang-kadang anaknya disuruh
memetik buah tomat, lombok/cabai, jagung, dan sebagainya untuk dikonsumsi
sendiri. Bagi kaum laki-laki (suami) pagi sekitar jam 06.00 waktu setempat sudah
berangkat ke kebunnya. Nanti pulang sekitar pukul 14.00 sore, karena memupuk
daun dengan semprotan lebih baik dilakukan pada pagi hari, agar penyerapan
pupuk pada daun tanaman tersebut daya serapnya lebih baik, dan tidak merusak
pertumbuhan tanaman itu sendiri.
Mengacu pada uraian di atas, tentang orientasi nilai budaya petani sayur bagi
masyarakat Desa Argosari, ternyata pendapatan atau penghasilan dari hasil
penjualan sayur digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat
konsumtif.Seperti kebutuhan makan keluarga sehari-hari.Sisanya, membangun
rumah, membeli sepada motor/mobil, cadangan untuk hajatan maupun ritus siklus
hidup dalam keluarga.Selain itu, ada upacara tertentu ditingkat desa yang
melibatkan seluruh warga masyarakat.Jika, dikaitkan dengan dampak orientasi
nilai budaya pada masalah pokok ke-2 tentang manusia dan karya (MK), di satu
sisi menunjukkan hal-hal yang bersifat positif.Hal ini disebakan karena
kontribusinya sangat signifikan dalam mendongkrak perekonomian keluarga.Di
sisi lain, terlihat juga unsur negatifnya, bagi petani sayur dengan memperoleh
pendapatan cukup tinggi sangat rendah minat untuk menyekolahkan anaknya ke
jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Jadi investasi di bidang pendidikan
memang sangat rendah.Jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan formal
tingkat SMP sederajat dan SMA sederajat sangat rendah sekali.Bahkan yang
226 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kuliah perguruan tinggi (PT Negeri dan PT swasta sangat rendah sekali.
Mengingat juga investasi di bidang pendidikan untuk menikmati hasilnya
membutuhkan proses waktu yang panjang.
III. Penutup
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut.
1. Persepsi petani sayur warga masyarakat Desa Argosari, jika dikaitkan dengan
orientasi nilai budaya mengungkapkan bahwa memandang penting bekerja
atau berkarya dalam hidup untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarga
merupakan prioritas utama. Hal ini menyebabkan semua hasil produksi yang
diperoleh dari penjualan sayur-mayur, keuangan (dana) diarahkan untuk
memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif.
2. Dampaknya, ada dua hal, yaitu positif, karena dapat menjamin stabilitas
perekonomian keluarga, semua kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari hasil
produk penjualan yang diperoleh pada lahan kebunnya serta ada
kecendrungan bersifat konsumtif. Bila dipandang dari sisi negatif, kurang
berminat untuk berinvestasi di bidang pendidikan formal anak-anaknya ke
jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Mengingat, pendidikan dapat
dijadikan salah satu indicator dalam pengembangan kualitas sumber daya
manusia (SDM) untuk memasuki era industri 4.0 di masa datang.
DAFTAR PUSTAKA
Bachtiar, Harsja W., 1977. ―Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian‖ dalam
Metode-metode Penelitian Masyarakat (Editor: Kontjaraningrat). Jakarta:
PT Gramedia.
Daeng, Hans J., 1985. ―Pesta, Persaingan, dan Konsep Harga Diri di Flores‖
dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi
(Penyunting Michael R.Dove). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Kepala Desa Argosari, 2019. Profil Desa 2015—2019.Desa Argosari, Kecamatan
Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.
Koentjaraningrat., 1977. ―Metode Wawancara‖ dalam Metode-metode Penelitian
Masyarakat (Editor: Kontjaraningrat). Jakarta: PT Gramedia.
Koentjaraningrat, 1992.Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT
Gramedia Utama Pustaka.
Reading, Hugo F., 1986. Kamus Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: CV Rajawali.
Wolf, Eric R., 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV Rajawali.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 227
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE
DALAM SEBUAH PERBANDINGAN
Komang Paramartha dan I Nyoman Sukartha
Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Ceritera si Lutung dan si Kekuwe saat ini sudah jarang diketahui
oleh masyarakat Bali. Hal itu disebabkan oleh gempuran pengaruh
budaya asing. Pada hal, bila dicermati dengan baik, ceritera-ceritera
klasik sangat sarat akan kandungan nilai moral. Untuk itu akan
dicoba menggangkat ceriter tersebut sebagai bahan kajian. Kajian
akan dititikberatkan pada perbandingan cerita yang bersumber dari
dua sumber. Sumber pertama adalah bceritera si Lutung dan Si
Kekuwe versi buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali Purwa
oleh I Gusti Ngurah Bagus dan I Nyoman Ginarsa. Yang kedua
adalah bersumber dari Kidung Raga Winasa atauTantri Manduka
Prakarana. Keduanya akan diperbandingkan dengan
menggunakan teori sastra bandingan. Dengan demikian dapat
diketahui persamaan dan perbedaan kedua versi ceritera tersebut.
Kata kunci: sastra bandingan, watak jahat, dan Kekuwe.
1. Pendahuluan
Masyarakat Bali sangat kaya akan ceritera klasik. Salah satunya adalah
ceritera tentang binatang seperti ceritera si Lutung dan si Kekuwe (kura-kura).
Ceritera tersebut masih hidup pada masyarakat Bali hingga kini. Ceritera itu
mengisahkan persahabatan antara si Lutung dengan si Kekuwe yang pada awalnya
saling menolong, namun kemudian menjadi ajang balas dendam. Si Lutung
dikisahkan sebagai tokoh licik yang tidak tahu balas budi. Akhirnya karena
kelicikannya itu ia mendapat kematian.
Ceritera si Lutung dan si Kekuwe yang ada di masyarakat Bali memiliki
versi yang beragam. Dalam tulisan ini akan dicoba membandingkan ceritera
tersebut. Sumber ceritera diambil dari ceritera si Lutung dan Si Kekuwe yang
termuat dalam Kidung Rȃga Winȃsa dan ceritera si Lutung dan si Kekuwe yang
termuat dalam buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali karya I Gusti Ngurah
Bagus (1974). Kidung Rȃga Winȃsa merupakan gendre sastr klasik yang
berbentuk puisi. Kidung tersebut merupakan ceritera berbingkai yang juga
merupakan sempalan kidung Tantri. Kidung Tantri ada tiga yaitu : Kidung Tantri
Nandaka Harana, Kidung Tantri Rȃga Winȃsa, dan Kidung Tantri Pisaca Harana
(Sukartha dkk, 2017, 45, Sukartha, 2018, 78). Sedang Kesusastraan Bali Purwa
merupakan kumpulan ceritera dari I Gusti Ngurah Bagus dkk. Ceritera si Lutung
dan Si Kekuwe terdapat di dalam Kidung Raga Winasa
228 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Robert J. Clements menyatakan bahwa sastra bandingan muncul sebagai
salah satu disiplin akademik. Kajian sastra bandingan terfokus kepada pada
berbagai aspek seperti; tema, jenis atau bentuk, gerakan atau tern, hubungan sastra
dengan bidang yang lain serta media seni lainnya, sejarah kritik dan teori sastra.
Pandangan yang sedikit berbeda adalah pandangan François Jost. Menurutnya,
sastra bandingan lebih memusatkan pada interaksi dan kemiripan di antara dua
atau lebih sastra nasional. Interaksi itu dapat dilihat dari perbedaan pada
pengarang, fungsi khusus ada proses tranmisi yang terlihat pada tekhnik dan aliran
sastra (Susanto, 2015:737).
Ceiritera si Lutung dan si Kekuwe seperti yang telah dikemukakan di atas
memiliki persamaan dan juga perbedaan. Hal itu menggelitik dan merangsang
untuk diketahui. Apa persamaan dana pa pula perbedaan yang terdapat dalam
ceritera itu. Apakah perbedaan yang dimilikinya mengubah tema dan makna dai
ceritera itu. Hal itu bisa diketahui melalui paparan di bawah ini.
2. Cerita versiKembang Rampe Kesusastran Bali Purwa(Versi 1).
Cerita itu berupa cerita yang disajikan pada cerita ketiga setelah cerita Sang
Kidang Teken Sang Cekcek dan sebelum cerita Sang Muun ring Sang Lanjana
(1978: 23). Menggunakan bahasa Bali
Isi Cerita.
Konon, tersebutllah keluarga petani yang hidup memondok di suatu ladang.
Ia memiliki seorang puri yang jelita. Pekerjaannya hanya sebagai petani kebun,
namun kebunnya tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu disebabkan oleh ulah
seekor kera yang bernama sang Lutung yang merusak kebunnya. Itulah sebabnya
sang Petani mencari akal untuk menangkap sang Lutung. Sang Petani berniat
membuat perangkap (santeb) untuk menangkap sang Lutung. Singngkat cerita,
setelah santeb selesai dibuat lalu dipasang beserta umpan buah-buahan. Sang
Lutung tidak mengetahui dirinya akan ditangkap dengan santeb. Akhirnya sang
Lutung tertangkap di dalam santeb dan tidak bisa ke luar. Setelah sang Petani
melihat sang Lutung sudah terkena perangkap maka ia lalu membawanya ke
pondok. Sang Petani memberitahu anak-istrinya bahwa ia sudah menangkap sang
Lutung yang selalu tali. Ia dimasukka ke dalam sangkar bambu lalu ditaruh di
belakang pondoknya.
Diceritakan sang Lutung yang terikat di dalam kerangkeng bambu. Ia
sangat sedih hingga menitikkan air mata memikirkan bahwa dirinya akan dibunuh
utuk dijadikan masakan oleh sang Petani.
Bertepatan dengan itu, tersebutlah seekor kura-kura (sang Kura=Kura) ke
luar dari bawah balok kayu yang bermaksud mencari air ke sungai yang ada di
belakang pondok sang Petani. Ketika sang Lutung melihat sang Kekuwelalu ia
berdehem. Sang Kekuwelalu menolehnya sambil bertanya: ―Sedang apa kamu di
sana Lutung?‖. Sang Lutung menjawab: ―Wah, kamu tidak tahu ya, bahwa aku
dirayu oleh ayah gadis yang sedang menggerus param itu. Tetapi aku tidak mau
kawin makanya aku diborgol dan dimasukkan ke dalam sangkar bambu ini. Bila
kamu mau menggantikanku, aku persilahkan‖. ―Ya, aku mau menggantikanmu
sebagai penganten bila memang bisa diganti‖. Begitulah jawaban sang Kura=Kura.
Sang Lutung kembali berkata: ―Okelah!. Bukalah sangkar ini lalu lepaskan aku
dari ikatanku. Sebagai gantinya, kamulah yang akan aku ikat‖. Sang Kura-Kura
sangat girang hatinya. Dengan cepat ia membuka ikatan sang Lutung. Setelah
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 229
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sang Lutung lepas maka sang Kura-Kura diikat dan dimasukkan ke dalam
kurungan babu. Selanjutnya sang Lutung lalu berlari dan naik ke atas pohon untuk
bersembunyi. Ia lalu tertawa karena hatinya senang sudah bebas. Ketika sudah
berada di atas pohon sang Lutung lalu bernyanyi:
“Sang Kekuwe, sang Kekuwe beten kranjang, sang Lutung babuan di kayu,
sang Kekuwe celakne kenyang,sang Lutung celakne layu”.
Terjemahannya.
Sang Kekuwe sang kekuwe ada di bawah keranjang. Sang Lutung diatas
pohon.
Sang Kekuwe kemaluannya tegang, sang Lutungkemaluannya layu
Gadis anak sang Petani mendengar nyanyian sang Lutung. Ia datang
mendekatinya. Ia lalu melihat ke dalam sangkar bambu. Dilihatnyalah ada seekor
kura-kura terikat berada di dalam sangkar itu. Melihat hal itu sang gadis lalu
berlari memanggil ayahnya. Diceritakanlah prihal tentang sang Kekuweyang
terikat berada di dalam sangkar, sedangkan sang Lutung sudah hilang. Sang petani
lalu berkata: ‗Biar pun kura-kura, toh dagingnya lebih lezat dibandingkan dengan
monyet. Ia tetap kita akan masak jadikan anyang.‖. (anyang berarti ‗lawar atau
sayuran cincang dicampur dengan daging, kulit, darah, isi, dan perut yang
dicincang kecil-kecil dan dibumbui untuk lauk makan‘).
Sang Kura-Kura sangat sedih hatinya ketika diambil dari dalam sangkar.
Air matanya menetes karena ia mengetahui bahwa dirinya akan dipotong untuk
dijadikan masakan. Akhirnya sang Kura-Kura dipotong dan dimasak.
Diceritkan kini sang Lutung yang kegirangan. Ia lalu turun ke kali untuk
mandi. Pada saat itu ada seekor kepiting (sang Yuyu) sedang bersembunyi di sela-
sela batu. Ketika sang Lutung melihat sang Yuyu, timbul niatnya untuk
membencanai. Ia lalu menyuruh sang Yuyu agar naik untuk diajak berembug.
Sang Yuyu tidak mau kaena ia mengetahui sang Lutung memiliki sifat sangat
jahat. Ia berdalih mengaku kakinya keseleo dan tidak mampu berjalan naik.Sang
Yuyu minta ditarik agar bis naik. Sang Lutung lalu mengikuti permintaan sang
Yuyu. Ia lalu menjulurkan ekornya ke sela-sela batu. Sang Yuyu lalu menjepit
ekor sang Lutung. Sang Lutung menjerit kesakitan. Kebetulan jeritannya didengar
oleh seseorang yang sedang mencari ikan. Melihat sang Lutung kesakitan dan
tidak mampu melepaskan diri maka sang pencari ikan lalu menangkapnya dan
menyembelihnya. Sang Lutung akhirnya mati.
3. Cerita Sang Lutung dan Sang Kekuwe Versi Kidung Rȃga Winȃsa (Versi 2).
Diceritaka setelah si Lutung terlepas dari lilitan ekor si Macan. Ia terjatuh di
dalam hutan. Ia lama tidak sadarkan diri. Setelah siuman ia ke luar dari semak-
semak. Ia bertemu dengan seekor kura-kura (si Kekuwe). Ketika itu sang Lutung
ditanyai oleh sang Kekuwe tentang penyebab dan tujuannya datang ke tempat itu.
Dasar Lutung jahat dan usil, maka pertanyaan sang Kekuwedijawabnya dengan
menghina si Kekuwe . Sang Kekuwe mengatakan dirinya adalah keturunan
seekor penyu yang bernama Bedawangnala. Menurutnya, pada waktu dahulu
kala, ia ditugaskan menjaga bumi agar tidak hancur. Mendengar keterangan sang
Kekuwemaka sang Lutung mulai hormat. Namun dalam hatinya ia bermaksud
menguji dan membencanai sang Kekuwe.
Suatu hari diajaknya sang Kekuwepergi ke suatu ladang perkebunan untuk
mencari makan. Sesampainya di tengah perkebunan, sang Lutung mengajaknya
230 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
masuk ke dalam kebun untuk menikmati hasil kebun itu. Sang Lutung dengan
cekatan melompat-lompat sambil makan buah-buahan. Sedang sang
Kekuweberjalan di sela-sela pohon jahe. Niat jahil sang Lutung untuk mencelakai
sang Kekuwemuncul saat itu. Sang Lutung lalu turun ke kebun jahe, serta
mencabut-cabut pohon jahe hingga kebun jahe itu rusak. Ia berteriak-teriak ribut.
SangKekuwemelarangnya namun tidak dihiraukan oleh sang Lutung.
Tersebutlah pemilik kebun yang bernama bernama Pan Durbudi.
Mendengar ada monyet rebut di kebunnya lalu ia dating melihat kebunnya.
Ketika sampai di kebun Pan Durbudi sangat marah melihat banyak pohon
jahenya yang rusak. Pan Durbudi mengejar sang Lutung. Namun sang Lutung
tidak mampu ditangkapnya. Sang Lutung lalu bernyanyi di atas pohon untuk
memanas-manasang Pan Durbudi. Dalam nyanyiannya disebutkan bahwa ada
kura-kura jelek bersembunyi di sela-sela pohon jahe. Dicarilah dan
ditemukannlah sang Kekuwe yang ketika itu sedang bersembunyi di sela-sela
pohon jahe. Sang Kekuwelalu diikat dan dibawanya pulang. Sesampainya di
rumah Pan Durbudi menyuruh istri dan anaknya untuk menyiapkan bumbu dan
beras untuk dimasak esok harinya. Sangbuklah mereka mencari bahan-bahan
masakan untuk memasak kura-kura, Sang Kekuweyang terikat lalu dimasukkan
ke dalam keranjang agar tidak bisa lepas.
Pada malam harinya sang Lutung datang ke tempat sang Kekuwediikat
dengan tujuan mengejek. Sang Lutung mengejek sang Kekuwedengan
mengatakan bahwa sang Kekuwesangat dungu tetapi ngaku pintar. Sang
Kekuwemengetahui bahwa dirinya sengaja ditipu agar tempat persembunyiannya
diketahui oleh pan Durbudi dan lalu dibunuh. Kala itu timbullah niatnya untuk
menipu balik.. Sang Kekuwemengatakan dirinya bukan akan dipotong untuk
dimasak, tetapi sengaja diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang agar tidak bisa
melarikan diri. Sang Kekuweberkata bahwa dirinya besok akan dikawinkan
dengan anak Pan Durbudi yang cantik. Mendengar ceritera sang Kekuweseperti
itu maka sang Lutung memaksa sang Kekuweuntuk menggantikan menjadi
mempelai. Ahirnya sang Kekuwesetuju digantikan oleh sang Lutung. Sang
Lutung lalu menyerahkan diri untuk diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang
bambu. Setelah sang Lutung terikat dan dipastikan tidak akan bisa lepas maka
sang Kekuwelalu pergi menjauh dan masuk ked lam hutan.
Pada keesokan harinya Pan Durbudi sekeluarga sudah bangun dan
bersiap--siap untuk memasak kura-kura. Tetapi, betapa kagetnya ia ketika melihat
bahwa tidak ada kura-kura di dalam keranjang. Sebagai gantinya ada seekor
lutung yang sedang terikat. Merekapun sangat gembira sebab daging lutung tentu
lebih banyak dan lebih lezat dibandingkan dengan daging kura-kura. Pan
Durbudi menyuruh anak-istrinya menambah lebih banyak lagi bumbu masaknya.
Mengethaui bahwa dirinya bukan dikawinkan, tetapi akan dipotong dan dimasak,
maka sang Lutung sangat sedih dan ketakutan. Ia lalu mencari akal agar bisa
membebaskan diri.
Pada malam harinya datanglah seekor anai-anai (sang Tetani) sedang
mencari makan. Ketika sang Lutung melihat sang Tetani, maka timbul idenya
minta bantuan. Sang Lutung memohon minta agar sang Tetani mau
melepaskannya. Ia menyuruh sang Tetani untuk memanggil kawan-kawannya
untuk rela melepaskannya dari ikatan itu. Sang Tetani lalu memanggil kawan-
kawannya. Setelah mereka banyak yang datang maka tali pengikat sang Lutung
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 231
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dimakan bersama-sama.Sebentar saja sang Lutung sudah terlepas dari ikatan
talinya. Sang Lutung lalu pergi berlari ke tangah hutan. Setelah sampai di Hutan
ia lalu menyuruh sang Tetani berkumpul lagi untuk diberi penghormatan atas
pertolongannya. Setelah sang Tetani berkmpul lalu sang Lutung meraup dan
memakannya. Akhirnya sang Tetani hanya tinggal sepasang saja lalu
bersembunyi di bawah pohon teep.
4. Perbandingan Ceritera.Bila cerita sang Lutung dan sang Kekuwedisimak
dengan cermat maka dapat diketahui perbedaan yang sangat sanggnifikan.
Perbedaan tersebut dapat diuraikan seperti di bawah ini.
Versi Kembang Rampe Kasusastran Bali
Purwa
versi Kidung Rȃga Winȃsa.
a) Cerita dimulai dengan kisah
sorang petani yang gagal
dalam berkebun.
b) Kegagalannya disebabkan
ulah seekor Lutung yang
merusak kebunnya.
c) Sang petani marah lalu
iamemasang jerat.
d) Si Lutung terkena jerat, ia lalu
diikat dan akan dimasak untuk
lauk.
e) Malam harinya datanglah
seekor kura-kura ingin
mencari air, terjadi dialoh dan
kura-kura mau menggantikan
Lutung untuk diikat karena
tipu muslihat Lutung.
f) Kura-kura sangat sedih ditipu
si Lutung.
g) Kura-kura ahirnya disembelih
dijadikan lauk oleh si petani.
h) Kejadian itu diketahui oleh
seekor kepiting yang
merupakan sahabat si Kekuwe
i) Kebetulan si Lutung pergi ke
kali untuk mencari minum
j) Ia melihat si Kepiting
k) Ia membohongi si Kepiting
agar mau naik ke darat untuk
diajak jalan-jalan
l) Kepiting mau naik asal
dibantu oleh Lutung.
m) Lutung menurunkan ekornya
dan kepiting menjepitnya.
a) Ceriter dimulai dengan pelarian
si Macan dan si Lutung di
ditengah hutan.
b) Si lutung terjatuh di semak-
semak. Setelah sadar ia
berjumpa dengan si Kekuwe.
c) Terjadi dialog saling
menyombongkan diri. Si
Kekuwe mengaku keturunan
Bedawang Nala
d) Lutung mengajak jalan jalan ke
sebuah kebun yang banyak ada
makanan
e) Sesampainya di kebun si Lutung
merusak tanaman jahe Pak
Durbudi.
f) Pak Durbudi datang lalu
menangkap si Kekuwe dan lalu
diikatnya di taruh di bawah
keranjang.
g) Si Kekuwe bersedih karena mau
disembelih
h) Keesokan harinya si Lutung
mendatangi si Kekuwe dan
mengejeknya. Si Kekuwe
menipu si Lutung, mengatakan
dirinya bukanlah akan
disembelih tetapi akan
dikawinkan dengan anak Pak
Durbudi yang cantic.
i) Mendengar ceritera si Kekuwe
maka si Lutung tertarik dan mau
menggantikan si Kekuwe jadi
pengantin.
232 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
n) Si Lutung berteriak-teriak
kesakitan.
o) Jeritannya di dengar oleh
seorang yang sedang mencari
ikan di sungai.
p) Si Lutung lalu ditangkapnya
dan disembelih untuk
dijadikan lauk.
q) Si Lutung mati.
j) Si Lutung terkena tipuan si
Kekuwe.
k) Pada malam harinya si Lutung
ditolong oleh si Tetani sehingga
ia bisa melepaskan diri.
l) Pada akhir cerita si Lutung dan
si Kekuwe keduanya masih
hidup.
Penjelasan
Melihat paparan di atas dapatlah diketahui bahwa ada persamaan dan
perbedaan antara kedua versi itu. Hal itu dapat dijelaskan sebagai beriku
1) Ceritera versi 1 dan 2 sama-sama menceritakan Lutung dan Kekuwe.
2) Dalam versi 1 si Lutung dan si Kekuwe diceritakan sama-sama suka
bohong.
3) Dalam versi 1 Lutung dan Kekuwe sama-sama mati.
4) Sedang Versi 2 keduanya masih hidup.
5) Versi 2 Lutung adalah tokoh jahat.
6) Versi 1 keduanya jahat karena sama-sama suka berbohong.
7) Versi 1 memiliki tokoh tambahan yaitu sang Kepiting dan tukang pancing
Versi 2 tokoh tambahan adalah si Tetani
Kesimpulan
a) Kedua versi ceritera seperti tersebut di atas mengandung pesan bahwa
tidak baik menjadi orang yang suka berbohong apa lagi menjadi orang
jahat. Sebab perbuatan seperti itu akan menjerumuskan ke dalam
kesengsaraan bahkan kematian.
b) Makna kedua cerita itu adalah: kejahatan akan selalu berakibat buruk
sedang kebaikan akan selalu berakibat kebahagiaan. Untuk itu dalam
kehidupan ini janganlah suka berbohong atau berbuat jahat.
Daftar Pustaka
Bagus dkk. 1974. Kembang Rmpe Kesusastraan Bali Purwa. 1974. Denpasar;
Fakultas Sastra UNUD.
Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen
Pendidikan Nasional.
Sudiana.T. I Made. 2012. Kidung Rȃga Winȃsa (Tantri Mandhuka Prakarana).
Denpasar; Percetakan Bali.
Sukartha, I Nyoman. 2016. ―Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si
Tetani, dan Si Katak‖, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi
Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.
Sukartha. I Nyoman. 2017. ―Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga
Winasa Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker‖dalam
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 233
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas
Ilmu Budaya UNUD.
Sukartha, I Nyoman. 2017. ―Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana‖
dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia
VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya.
Sukartha I Nyoman dkk. 2017. ―Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka
Prakarana‖. Denpasar. Program Stodi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu
Budaya Universitas Udayana.
Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 234
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KISAH CINTA DAN PENGORBANAN
DI BALIK TRADISI PASOLA DI SUMBA
(KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA)
Maria Matildis Banda
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Pasola adalah tradisi heroik masyarakat tradisional Sumba. Pasola
mempertemukan dua kelompok pemuda yang "berperang"
mempertontonkan ketangkasan berkuda dan ketepatan melempar
tombak dari atas kuda yang sedang melaju kencang. Tradisi ini
dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sampai Maret, yang
dilakukan oleh orang Sumba terutama yang masih menganut
agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).
Tradisi pasola lahir dari kisah mitologi tentang Putri Rabu Kaba
yang diperebutkan Umbu Dullah (suaminya) dan Teda Gaiparano
(pria idaman lain). Bagaimanakah alur, karakter tokoh-tokoh, serta
latar kisah mitologi tersebut akan dibahas dalam makalah ini.
Tujuannya untuk mendapatkan masukkan kearifan lokal tentang
kisah Putri Rabu Kaba; serta untuk memperdalam karakter cerita
yang penting untuk penulisan skenario film. Metode yang
digunakan adalah metode kepustakaan dan metode wawancara,
sementara teori yang digunakan untuk analisis strtuktur adalah teori
strukturalisme dan semiotik. Hasilnya menjelaskan tentang struktur
cerita Putri Rabu Kaba dan tradisi pasola yang merupakan simbol
kepahlawanan masyarakat Sumba dalam menghadapi dan
mensyukuri berbagai tantangan hidup.
Kata Kunci: Pasola, Putri Rabu Kaba, mitologi, skenario.
I. Pendahuluan
Pasola adalah tradisi heroik masyarakat tradisional Sumba. Pasola
mempertemukan dua kelompok pemuda yang "berperang" mempertontonkan
ketangkasan berkuda dan ketepatan melempar tombak dari atas kuda yang sedang
melaju kencang. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sampai
Maret, yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang
disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Tradisi pasola diadakan pada
empat kampung di kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Keempat
kampung tersebut antara lain Kodi di Sumba Barat Daya, dan Lamboya,
Wonokaka, dan Gaura di Sumba Barat, serta beberapa kampung lainnya demi
kepentingan pariwisata. Pelaksanaan pasola dilakukan secara bergiliran setelah
pelaksanaan tradisi nyale (pencarian/pengambilan cacing laut). Pasola
dilaksanakan di arena luas terbuka dan disaksikan oleh masyarakat sekitar, turis
domestik, maupun turis asing.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 235
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Tradisi pasola dilatari oleh kisah asmara antara Umbu Dullah (atau nama
lainnya), Rabu Kaba (istri Umbu Dullah), serta Teda Gaiparano Pria Idaman Lain
(PIL) dari Rabu Kaba. Ada beberapa variasi cerita dari beberapa versi yang
menarik untuk ditelusuri dan dikaji secara filologis demi mendapatkan cerita yang
mendekati asli. Pada kesempatan ini akan dibahas secara singkat alur, karakter,
dan latar cerita berdasarkan versi cerita yang dijelaskan melalui wawancara dan
diskusi singkat dengan Romo Atnan Ndate (Jumat, 08 Maret 2019) dan Tony
Umbu Zasa (Sabtu, 09 Maret 2019) di Kupang serta informasi yang diperoleh
melalui studi kepustakaan.
Masalah dan tujuan penulisan makalah ini untuk: 1) mendapatkan gambaran
umum tentang tradisi pasola, tradisi nyale, serta cerita rakyat (mitos) tradisional
Putri Rabu Kaba yang diyakini masyarakat setempat berhubungan dengan kedua
tradisi tersebut; 2) mendapatkan sebuah kajian struktur alur, perwatakan, dan latar
cerita Putri Rabu Kaba. Analisis akan memberi manfaat bagi penulisan skenario
film tentang tradisi pasola berdasarkan cerita Putri Rabu Kaba; 3) mendapatkan
masukkan berupa referensi dan teori demi penelitian lebih lanjut serta tercapainya
tujuan penulisan skenerio film tentang pasola. Teori yang digunakan adalah teori
strukturalisme dan semiotik yang menggarisbawahi tiga konsep estetika sastra
prosa yaitu alur, perwatakan, dan latar serta makna tanda-tanda yang ada di
baliknya.
II. Metodologi
Metode yang digunakan untuk penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.
Metode kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah referensi dan teori
yang berkaitan dengan tradisi nyale, tradisi pasola, dan estetika cerita Putri Rabu
Kaba dari sudut alur, perwatakan, dan latar.
Selanjutnya dilakukan pula wawancara dengan tokoh-tokoh yang memahami
pasola dari sudut pandang warisan kebudayaan dan kebijakan pembangunan
ekonomi pariwisata dengan upaya peningkatan potensi destinasi pariwisata
khususnya tradisi pasola.
III. Pembahasan
Secara etimologi pasola berasal dari "sola" atau "hola", yang artinya tombak.
Pasola artinya menggunakan sola. Tradisi pasola artinya melempar tombak
(lembing) tombak ke arah lawan dari atas kuda pada saat kuda sedang dipacu
kencang. Ada dua ketrampilan penting dalam tradisi pasola yaitu ketrampilan
menunggang kuda dan ketangkasan melempar tombak ke arah lawan dari atas
kuda yang sedang berlari. Tradisi ini pun tidak hanya dilaksanakan pada satu
kampung (desa) saja tetapi beberapa desa, bahkan pada wilayah yang tidak ada
kaitannya dengan tradisi tersebut. Latar belakang sejarah dan mite tentang Putri
Rabu Kaba (selanjutnya disingkat PRK) di balik lahirnya tradisi pasola pun
bervariasi (Romo Atnan, 2019; dan Umbu Saza, 2019) dan menjadi latar budaya
lahirnya pasola.
Tradisi Pasola ini dikenal dan dikenang secara luas, baik di tingkat lokal,
nasional, maupun global. Tradisi ini telah memiliki nilai jual bagi pariwisata
Sumba NTT. Pada kesempatan ini akan dijelaskan ringkasan cerita (salah satu
versi) yang melatari lahirnya tradisi pasola, kajian struktur dan semiotik, serta
236 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kemungkinan mengembangkan cerita PRK ke dalam bentuk skenario berdasarkan
ringkasan cerita.
Ringkasan Cerita Putri Rabu Kaba
Latar belakang lahirnya tradisi pasola adalah hubungan cinta segi tiga antara
suami istri Umbu Dullah (dalam versi lain disebut Umbu Amahu) dan Rabu Kaba
dari kampung Waiwuang dan pria idaman lain (PIL) bernama Teda Gaiparona
yang berasal dari kampung Kodi. Percintaan Rabu dan Teda itu terjadi bukan
karena Rabu berkhianat, tetapi karena kepergian Umbu Dullah bertahun-tahun
tanpa berita. Setelah Rabu dan Teda hidup bersama di Kodi, tiba-tiba Umbu
Dullah kembali. Rasa marah dan rasa malu yang luar biasa menghantam harga diri
Umbu Dullah. Dia kerahkan segenap tenaga untuk merebut kembali Rabu dari sisi
Teda. Terjadilah perang pasola, saling tombak, dan kejar mengejar di arena
terbuka antara Umbu serta pengikutnya berhadapan dengan Teda dan pengikutnya.
Konon banyak orang mati akibat pertempuran itu. Mendengar bahwa pasola
terjadi karena memperebutkan dirinya, Rabu pun bunuh diri dengan menerjunkan
diri kel laut. Rabu berubah menjadi cacing laut yang selanjutnya memberi
kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hingga kini kenangan terhadap Rabu
terus berlanjut dalam tradisi nyale (pencarian cacing laut) dan peringatan perang
antara Umbu dan Teda tetap dikenang melalui tradisi pasola.
Cerita Putri Rabu Kaba: Kajian Struktur dan Semiotik
Abrams dalam The Mirrow and The Lamp (1976) menjelaskan tentang
keragaman pendekatan struktur karya sastra yang mesti dipahami secara utuh atau
secara total demi pemahaman totalitas makna (Teeuw, 1984:50). Alur cerita Putri
Rabu Kaba (PRK) sebagaimana cerita rakyat pada umumnya adalah alur maju.
Rangkaian alurnya adalah sebagai berikut.
1. Suami istri: Umbu Dullah (Umbu Amahu) dan Rabu Kaba di Waiwuang.
2. Umbu Dullah bersama kedua tokoh adat lainnya meninggalkan kampung
untuk melaut. Rabu Kaba ditinggalkan.
3. Umbu Dullah dan kedua tokoh adat tidak pergi melaut melainkan pergi
mencari padi di wilayah selatan Sumba Barat.
4. Tiada kabar tentang Umbu Dullah dkk. Setelah menunggu lama Umbu
dinyatakan hilang. Sementara itu Rabu Kaba mulai menjalin hubungan
denganTeda Gaiparano dari Kampung Kodi.
5. Warga kampung Waiwuang mengadakan ritual perkabungan untuk Umbu
Dullah, dkk.
6. Meskipun tidak direstui keluarga, Rabu Kaba meninggalkan kampung
Waiwuang dan hidup bersama dengan Teda. Keduanya menetap di Kodi.
7. Umbu Dullah dkk kembali ke Waiwuang dalam keadaan sehat. Ia sangat
marah saat mengetahui istrinya telah diambil Teda sebagai istri.
8. Terjadi perang antara warga Waiwuang yang dipimpin Umbu Dullah dan
warga Kodi yang dipimpin Teda. Perang tersebut untuk memperebutkan
kembali Putri Rabu Kaba.
9. Putri Rabu Kaba melakukan bunuh diri setelah mengetahui bahwa perang
tersebut untuk memperebutkan dirinya. Dia menceburkan dirinya ke laut agar
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 237
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
perang berhenti. Tubuh Rabu Kaba menjadi menjadi cacing laut membawa
kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.
10. Perang antara Umbu dan teda berakhir dengan dendam dan rasa marah yang
masih berlanjut hingga lahirnya tradisi pasola.
Ada tiga karakter utama dalam cerita Putri Rabu Kaba. Pertama Rabu Kaba
yang digambarkan cantik. Dia adalah seorang istri dari Umbu Dullah. Istri yang
setia ini jatuh cinta pada Teda pemuda dari Kampung Kodi setelah suaminya pergi,
tidak ada kabar, dan ritual perkabungan dilakukan untuk keselamatan jiwanya.
Umbu Dullah adalah pemuda bangsawan yang kehilangan Rabu Kaba akibat
kesalahannya sendiri yaitu pergi dan hilang tanpa berita. Kemarahannya pada
Teda dan keinginannya merebut kembali Rabu Kabu menjadikan perang antara
kedua kampung tidak terelakkan. Sementara itu Teda adalah pemuda dari Kodi
yang berani dan berhasil menaklukan hati Rabu Kaba untuk menikah dan menetap
di Kodi sebagai istrinya. Pengembangan karakter ini didukung oleh latar cerita di
Waiwuang dan Kodi, serta beberapa wilayah yang tidak disebutkan secara jelas
dalam cerita. Latar sosial cerita PRK ini adalah kehidupan bangsawan pemimpin
kampung yang berupaya menegakkan harga diri dan menempatkan kehormatan
perempuan (istri) dan memperebutkannya, meskipun dengan jalan perang.
Apakah makna di balik cerita PRK? Dalam kajian semiotik (ilmu tanda)
menurut Rolland Barthes (Barthes,1972, edisi Indonesia terjemahan Ikramullah
Mahyuddin, 2010) terdapat tiga tingkatan makna yaitu makna denotatif, makna
konotatif, dan mitos dengan menggarisbawahi semiotika konotatif. Makna
konotatif adalah makna ganda berdasarkan pengalaman kultural dan personal.
Mitos adalah aspek lain dari penandaan yang bermakna dalam tingkat kedua.
Jalinan kisah hidup Rabu Kaba, Umbu Dullah, dan Teja menunjukkan sebuah
hubungan cinta personal. Pengalaman kultural terjadi ketika rasa marah Umbu
Dullah mengungkapkan rasa marah dan harga diri masyarakat Waiwuang yang
tersakiti akibat di"rampas"nya Rabu Kaba.
Selanjutnya bukan lagi tentang cinta antara Umbu, Rabu, dan Teja, tetapi
menyangkut harga diri, perlawanan, dan perjuangan demi integritas kelompok.
Pada tataran ini perang perebutan Rabu telah menjadi perang tentang harga diri
kelompok. Hal inilah yang menjadikan tradisi pasola berkembang sebagai mitos
dan keyakinan pada harga diri. "Perang" dalam tradisi pasola adalah salah satu
rekaman kenangan sekaligus simbol untuk mempertahankan harga diri apa pun
hasilnya. Demikian pula akhir hidup Rabu yang rela berkorban menjadi cacing
laut berprotein tinggi melampaui makna denotatifnya menuju makna konotatif
sebagai kerelaan berkorban, menjadi mitos tentang tradisi nyale, dan keyakinan
masyarakat setempat tentang panen berlimpah yang juga disyukuri melalui tradisi
pasola.
Nilai-Nilai kearifan lokal pasola (filosofi tradisi pasola): Ibarat derap kaki
kuda yang terdengar menggemuruh, jauh lebih dahsyat dari derap degup jantung
yang menggemuruh ketika harga diri tersakiti dan harus ditegakkan. Tidak ada
seorang pun yang mau kalah dalam pertempuran mempertahankan harga diri dan
kehormatan dalam bertahan maupun dalam keikhlasan menghadapi kenyataan.
Skenario Film Tentang Pasola
238 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kisah cinta dan pengorbanan di balik lahirnya tradisi pasola merupakan salah
satu akar kultural yang menjadikan tradisi ini terwariskan turun temurun secara
lisan. Akar kultural ini perlu diposisikan dengan tepat agar pewarisan dapat
bertahan dan hidup sebagai roh perjuangan masyarakat pemiliknya. Dalam
kaitannya tentang pariwisata potensi tradisi pasola ini dapat dikemas dan
dialihwahanakan secara kreatif. Untuk itu diperlukan adanya sebuah bentuk
penyajian yang lain (alih wahana) (Banda, 2016), media baru untuk tradisi pasola
di era milenial demi mendukung tradisi pasola sebagai salah satu icon pariwisata
Sumba.
Misalnya dalam bentuk drama yang dipentaskan, drama radio, cerpen, novel,
puisi-puisi dan musikalisasi puisi, lagu, tarian dan musik, sendratari, skenerio film,
lukisan, serta berbagai bentuk karya seni lain yang berpotensi ekonomi kreatif
dalam pengembangan pariwisata daerah di NTT. Salah satu yang dapat dilakukan
adalah penulisan skenario film. Penulisan skenario diharapkan dilakukan
berdasarkan alur cerita, perwatakan, dan latar sebagaimana dijelaskan di atas.
Filosofi apakah yang paling mendasar dari lahirnya tradisi ini merupakan benang
merah cerita sehingga tradisi pasola diialihwahanakan ke dalam bentuk skenario
berdasarkan akar kutural dan tidak meninggalkan hakikat dan filosofinya.
Bagaimanakah alur, perwatakan, dan latar cerita PRK yang dirancang dalam
bentuk skenario singkat dapat dijelaskan berikut ini.
Peristiwa 1: Keriuhan pasola berhadapan kelompok Umbu Dullah atau Umbu
Amahu (mantan kekasih Rabu Kaba) berhadapan dengan kelompok Teda
Gaiparona (kekasih Rabu Kaba).
Peristiwa 2: Di Bukit yang sunyi Umbu Dullah terkenang masa lalunya bersama
Rabu Kaba, gadis cantik yang sangat dicintainya. Bayangannya kembali... saat itu
Umbu Dullah mengatakan bahwa dia akan segera pergi melaut bersama Ngongo
Tau Masusu dan Bayang Amahu. Rabu Kaba melepas kepergiannya dengan sedih.
Peristiwa 3: Umbu Dullah dkk, tidak pernah kembali. Berita tentang hilang
lenyapnya ketiga pemimpin pun tersiar ke desa-desa lainnya. Rabu Kaba terlihat
sangat sedih kehilangan Umbu Dullah.
Peristiwa 4: Waku berlalu, seorang Pemuda dari Kodi bernama Teda Gaiparano
yang terpesona dengan kecantikan Rabu Kaba mulai sering datang ke Kampung
Waiwuang, tempat Rabu Kaba berasal.
Peristiwa 5: Karena sudah berlangsung lama, para tetua adat pun menjalankan
ritual perkabungan bagi keselamatan jiwa Umbu dan kedua pemimpin lainnya.
Peristiwa 6: Rabu dan Teda menikah dan menetap di Kodi.
Peristiwa 7: Tiba-tiba Umbu Dullah, Ngong Tau Masusu, dan Bayang Amahu
pulang kembali ke kampungnya. Ketiganya ternyata masih hidup. Akan tetapi
berita Rabu telah dilarikan ke Kodi menampar wajah Umbu Dullah. Ia dengan
segenap pemuda memacu kuda menuju Kodi untuk merebut kembali Rabu.
Peristiwa 8: Perang antara kubu Umbu dan kubu Teda tidak dapat dihindari.
Perang tersebut terjadi lapangan terbuka dengan melempar tombak di atas kuda
yang sedang berlari kencang. Perang memperebutkan Rabu Kaba. Rabu Kaba
memilih bunuh diri dengan cara terjun ke dalam laut ketika menyadari bahwa
perang tersebut karena memperebutkan dirinya.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 239
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Peristiwa 9: Kisah itu diabadikan dengan tradisi pasola setelah tradisi nyale
(tradisi penangkapan cacing laut sebelum tradisi pasola dimulai). Pertempuran di
arena terbuka disaksikan oleh semua pihak, sebagai simbol harga diri dan
kepahlawanan.
III. Simpulan
Ringkasan skenerio di atas adalah salah satu contoh cerita rakyat (mite) Putri
Rabu Kaba yang melatari lahirnya tradisi pasola di Sumba. Selain skenario film,
kisah Rabu Kaba tersebut bisa dikemas dalam bentuk karya tulisan kreatif lainnya
seperti puisi, syair lagu, cerpen, drama panggung, sendratari, drama radio,
sinetron, dan lainnya.
Demikian catatan singkat tentang tradisi pasola, cerita rakyat Putri Rabu
Kaba yang melatari lahirnya tradisi pasola, serta nilai-nilai filosofis di baliknya.
Nilai filosofis inilah yang pantas ditempatkan untuk pendasaran pariwisata budaya
di Sumba dalam bentuk skenario film yang mudah-mudahan dapat diwujudkan
dalam film yang memiliki nilai jual dan berarti bagi perkembangan pariwisata
Sumba.
Daftar Pustaka
Banda, Maria Matildis. 2016. "Alih Wahana dari Cerpen ke Drama Panggung,
Refleksi Lomba Drama Modern Bali" Seminar Nasional Sastra dan
Budaya, 2016. Denpasar: FIB Unud.
Barthes, Rolland. 2009. Mitologi (Nurhadi dan Sibabul Millah, penerj.)
Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Barthes, Rolland. 2010. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa Semiotika atau
Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi (Mahyuddin Ikramullah,
penerj.) Yogyakarta: Jalasutra.
Barthes, Rolland. 2007. Petualangan Semiologi (Herwinarko S.A. penerj.) 2007.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Barthes, Rolland. 2012. Elemen-Elemen Semiologi (Nazaruddin, K. penerj.)
Yogyakarta: Jala Sutra.
Boro, Paulus Lete (1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba,
Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jakarta: Obor.
Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka
Jaya.
https://indahnesia.co.id/jadwal-pasola-sumba-2019
https://indonesiatrip.id/paket-wisata/festival-pasola-sumba-2019
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 240
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI
LANGIT SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN
AKU ADALAH DAGING YANG KAU PECAH-PECAH
KARYA STEBBY JULIONATAN
Moh. Yusril Hermansya
Universitas Negeri Surabaya
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda dan makna
yang terdapat dalam puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru.
Puisi tersebut diambil dari buku antologi puisi Di Kota Tuhan Aku
Adalah Daging Yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan.
Bahasa dalam puisi memang padat, sehingga tersimpan banyak
tanda. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika Peirce untuk
mengkaji karya sastra tersebut. Teori darinya menjadi teori
mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang, tidak
lepas dari gagasan yang bersifat menyeluruh (mengaitkan unsur
tanda secara logis), serta deskripsi struktural dari semua sistem
penandaan. Peirce membagi menjadi tiga trikotomi yaitu
representamen, objek, dan interpretan. Representamen terdiri dari
qualisign, sinsign, legisign. Objek terdiri dari ikon, indeks, simbol.
Interpretan terdiri dari rheme, dicent, argument. Metode yang
digunakan untuk meneliti yaitu deskriptif kualitatif-interpretatif
yaitu metode yang berisi ungkapan atau pandangan mengenai data
yang diperoleh dari objek yang diteliti dengan cara menafsirkan
data tersebut dengan pandangan yang logis. Langkah penelitian
yang dilakukan yaitu membaca karya sastra puisi yang akan
dianalisis, lalu menandai tanda yang terdapat di dalamnya,
memaknai atau menafsirkan satu-persatu tanda tersebut melalui
trikotomi Peirce, memaknai keseluruhan isi puisi yang diteliti, dan
menyimpulkan makna tanda pada keseluruhan isi puisi. Setelah
diteliti, puisi tersebut ditemukan lima tanda yang bermakna, yaitu
langit selalu biru, hujan, mahkota duri, doa, dan parang.
Kata kunci: Semiotik, teori Peirce, puisi
PENDAHULUAN
Bahasa sangatlah penting dalam karya sastra. Bahasa dalam karya sastra
memiliki makna yang menunjukkan isi dari karya sastra tersebut. Oleh karena itu,
dalam bahasa mengandung tanda-tanda atau dengan kata lain yaitu semiotik.
Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan
lambang dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, dibahas mengenai
penelitian semiotik pada karya sastra puisi. Puisi merupakan ungkapan secara
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 241
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada
makna konotatif. Oleh karena itu, dilakukan penelitian puisi menggunakan
semiotik untuk mengetahui tanda apa saja yang ada dalam puisi yang diteliti dan
agar mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Tokoh semiotika sangatlah
banyak. Namun dalam hal ini digunakan semiotika Peirce, karena berdasarkan
fakta dari Zoest bahwa Peirce merupakan ahli filsafat dan ahli logika (Sudjiman,
1992:1). Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) adalah filsuf Amerika yang
merupakan tokoh penting dalam semiotik. Teori dari Peirce menjadi teori
mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang tidak lepas dari
gagasan yang bersifat menyeluruh karena mengaitkan unsur tanda secara logis,
serta deskripsi struktural dari semua sistem penandaan (Sobur, 2009:97). Selain
itu, semiotik Peirce bersifat pragmatik, yakni semiotik yang mempelajari
hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreternya atau para pemakainya
(Budiman, 2011:4).
Peirce membagi semiotik ke dalam tiga trikotomi, yaitu representamen
(tanda), objek (denotatum), dan interpretan (tanda baru). Trikotomi pertama
(representamen) terbagi menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah
tanda yang menunjukkan kualitas atau sifat dari tanda tersebut. Sinsign adalah
tanda yang menampilkan kenyataan (sesuai tampilannya). Legisign adalah tanda
yang merupakan peraturan yang berlaku umum (konvensi). Trikotomi kedua
(objek) terbagi menjadi ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah segala sesuatu yang
memiliki hubungan berdasarkan kemiripan dengan objek yang mewakilinya.
Indeks adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan kausalitas pada objek.
Simbol adalah tanda yang telah disetujui dalam masyarakat (konvensi). Trikotomi
ketiga (interpretan) terbagi menjadi rheme, dicent, dan argument. Rheme adalah
segala sesuatu dianggap sebagai tanda (kemungkinan-kemungkinan interpretan).
Dicent adalah tanda yang memberikan informasi, namun tidak memberikan
penjelasan (bisa benar dan juga bisa salah mengenai tanda tersebut). Argument
adalah tanda yang menunjukkan kesimpulan (tanda baru) yang membuktikan
kebenarannya.
METODOLOGI
Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif-interpretatif
dengan memfokuskan pada tanda-tanda yang terdapat pada puisi Ia Tak Pernah
Janji Langit Selalu Biru dalam antologi puisi Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging
Yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan. Metode deskriptif kualitatif-
interpretatif merupakan metode yang berisi ungkapan atau pandangan mengenai
data yang diperoleh dari objek yang diteliti dengan cara menafsirkan data tersebut
dengan pandangan yang logis. Tanda-tanda tersebut dianalisis berdasarkan teori
semiotika Peirce karena merupakan teori yang umum dan menghubungkannya
dengan hal logis. Langkah penelitian yang dilakukan yaitu membaca karya sastra
puisi yang dianalisis tersebut, menandai tanda yang terdapat di dalamnya,
memaknai atau menafsirkan satu-persatu tanda tersebut melalui trikotomi Peirce,
memaknai keseluruhan isi puisi yang diteliti, menyimpulkan makna tanda pada
keseluruhan puisi tersebut.
242 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PEMBAHASAN
Pemaknaan melalui semiotik Peirce yang pertama ditinjau dari judul, Ia Tak
Pernah Janji Langit Selalu Biru, adalah sebagai berikut:
Penjelasan tanda Langit Selalu Biru pada tahapan Trikotomi pertama
(Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign.
Qualisign langit selalu biru, merupakan bentuk dari kualitas hati yang sedang
cerah/baik. Sinsign langit selalu biru, yang ada pada judul Ia Tak Pernah Janji
Langit Selalu Biru menandakan bahwa akan ada masa dimana langit akan berubah
menjadi gelap atau menghitam. Legisign langit selalu biru, langit selalu biru yang
menandakan bahwa awan sedang cerah dan adanya kebebasan beraktifitas oleh
umat manusia.
Selanjutnya penjelasan tanda langit selalu biru pada tahapan Trikotomi
kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon,
Indeks, dan Simbol. Ikon langit selalu biru yaitu awan cerah. Indeks langit selalu
biru, langit selalu biru disebabkan karena sebuah proses hamburan cahaya
(Rayleigh scattering) sehingga langit menjadi cerah. Cahaya dari matahari akan
menumbuk molekul-molekul di udara, kemudian terhambur ke semua arah. Besar
hamburan sangat bergantung pada frekuensi warna cahaya. Cahaya biru, yang
memiliki frekuensi tinggi, terhambur sepuluh kali lebih banyak dari pada cahaya
merah yang memiliki frekuensi lebih rendah. Simbol langit selalu biru, langit
selalu biru sangat terlihat indah dimata seseorang yang mengaguminya dan
menjadikannya nyaman setelah memandangnya.
Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,
yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme langit selalu biru, langit selalu biru
bisa menandakan kebahagiaan hati, kesenangan, kepuasan atas apa yang diraih
atau dirasakan. Dicent langit selalu biru, langit selalu biru menandakan bahwa
tidak akan terjadi hujan. Argument langit selalu biru, langit selalu biru selalu tidak
terjadi hujan hal ini dikarenakan jikalau hujan akan turun langit akan mejadi gelap
atau menghitam.
Selain pemaknaan judul, pemaknaan tanda dalam isi puisi juga diperlukan
untuk mengetahui makna keseluruhan puisi, pemaknaan pada tanda dalam isi
puisi sebagai berikut:
Tak ada langit yang berasal dari hujan;
Penjelasan tanda hujan pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)
terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign hujan,
hujan berupa air jernih dan bersih yang menyegarkan, turun dari langit
menghasilkan suara (ricik) bila jatuh ke bumi. Sinsign hujan, hujan berupa air.
Air tersebut jatuh dari langit ke bumi melalui beberapa tahapan/proses alamiah.
Legisign hujan, hujan yang menandakan bahwa awan sedang mendung dan
menghitam, dalam hal ini pastinya kebebasan beraktifitas diluar ruangan oleh
umat manusia akan terganggu dan harus dihentikan.
Selanjutnya penjelasan tanda hujan pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).
Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.
Ikon hujan yaitu gemericik air. Indeks hujan, hujan terjadi karena mengalami
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 243
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
proses. Proses tersebut diawali oleh penguapan air di muka bumi akibat panas
matahari, dari uap air tersebut terbentuklah awan, kemudian angin membawa
awan-awan kecil saling bertemu dan berkumpul menjadi awan besar. Angin
tersebut menjadi semakin kelabu (mendung) karena semakin banyaknya
kandungan air, sehingga turunlah air ke bumi sebagai hujan. Simbol hujan, hujan
memiliki arti berkah atau keberkahan akan tetapi ada juga yang memberikan
makna malapetaka.
Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,
yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme hujan, hujan bisa menandakan
kekalutan hati, kesedihan, kesengsaraan, keharuan. Dicent hujan, dengan
terjadinya hujan bisa menandakan keberuntungan dan/atau kesengsaraan.
Argument hujan, memiliki makna kegelisahan dalam hidup, hal ini dikarenakan
terjadinya hujan menjadikan terperangkapnya kenangan-kenangan untuk berlalu
lintas dipikiran dan menjadikan kegelisahan teramat dalam.
Ia tak selalu bunga;
Penjelasan tanda bunga pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)
terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign bunga,
bunga merupakan tanaman yang indah dan wangi. Sinsign bunga, bunga adalah
suatu jenis tanaman yang pertumbuhan atau keberadaannya dirawat oleh
pemiliknya dan/atau penanamnya. Legisign bunga, bunga yang menandakan
adanya rasa cinta atau kebahagiaan yang tiap manusia boleh untuk merasakannya.
Selanjutnya penjelasan tanda bunga pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).
Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.
Ikon bunga yaitu taman yang rindang. Indeks bunga, bunga ada dikarenakan
terdapat seseorang yang menanamnya dan merawatnya, seperti memberikan
pupuk setiap harinya dan juga menyiramnya setiap sore hari. Simbol bunga, bunga
memiliki arti kebahagiaan hati, kesenangan hati.
Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,
yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme bunga, bunga bisa menandakan
kesenangan, kepuasan batin, keberkahan hidup. Dicent bunga, bunga pada
kenyataannya digunakan untuk mengungkapkan isi hati seseorang terhadap orang
yang dicintainya. Argument bunga, bunga digunakan sebagai bukti ungkapan
kepada seseorang yang dicintainya karena bunga memiliki khas yaitu warnanya
yang sangat mencolok dan memberikan kesan kebahagiaan, tidak hanya itu wangi
khas yang muncul dari suatu bunga mampu memberikan kepuasan tersendiri
kepada penikmatnya.
dengan surai kerikil dan mahkota duri.
Penjelasan tanda mahkota duri pada tahapan Trikotomi pertama
(Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign.
Qualisign mahkota duri, mahkota duri merupakan ranting berduri yang memiliki
ciri keras, kasar dan berduri. Sinsign mahkota duri, mahkota duri berasal dari
ranting berduri yang berdiameter sangat kecil dan dipakai hanya dikepala Yesus.
Legisign mahkota duri, mahkota duri ditengarai boleh dikenakan diatas kepala
Yesus menandakan kemiskinan.
244 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Selanjutnya penjelasan tanda mahkota duri pada tahapan Trikotomi kedua
(Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan
Simbol. Ikon mahkota duri yaitu Ziziphus spina-christi. Indeks mahkota duri,
mahkota duri ada dikarenakan bunyi dari Kejadian 3:18: Semak dan rumput duri
yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi
makananmu. Simbol mahkota duri, mahkota duri memiliki arti lapang dada,
menerima apa yang telah dimiliki.
Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,
yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme mahkota duri, mahkota duri bisa
menandakan kekurangan, tidak tercukupinya suatu hal yang dibutuhkan. Dicent
mahkota duri, mahkota duri pada kenyataannya digunakan untuk menyiksa Yesus
dan digunakan di atas kepala Yesus sebelum disalibkan. Argument mahkota duri,
mahkota duri dihasilkan dari tumbuhan yang tumbuh di daerah Yerusalem dan
dikenakan oleh Yesus sebelum disalib, hal ini memberikan makna kemiskinan dan
kekurangan atas apa yang telah dimiliki.
Berdoalah, semoga dari sekarang dan untuk seterusnya
Penjelasan tanda doa pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)
terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign doa, doa
merupakan permohonan khusyuk kepada Tuhan yang dilakukan secara khidmat.
Sinsign doa, doa merupakan ucapan yang mengacu pada religi dalam hal ini
menandakan bahwa ada seseorang yang sedang memohon kepada apa yang
disembahnya. Legisign doa, doa boleh dilakukan sebagai perwujudan harapan
seseorang agar dapat mencapai suatu keinginan.
Selanjutnya penjelasan tanda doa pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).
Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.
Ikon doa yaitu memiliki acuan yang bersifat kemiripan, dalam hal ini yaitu
permohonan. Indeks doa, doa terucap karena seseorang memiliki harapan atau
permohonan yang kuat terhadap suatu hal dan ingin cepat terkabulkan atau
terpenuhi. Simbol doa, doa menyimbolkan permintaan atau permohonan yang
bersifat religi.
Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,
yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme doa, doa bisa menandakan harapan,
permohonan, kereligiusan, permintaan, atau keinginan kepada Tuhan. Dicent doa,
doa menandakan percakapan dengan Tuhan dengan segala harapannya atau bisa
juga curahan hati seseorang kepada Tuhan. Argument doa, doa memiliki makna
religius yang memiliki kekuatan ghaib atau sakral. Dalam hal ini terdapat
hubungan antara hamba dengan Tuhannya.
ia memberimu parang yang tajam
Penjelasan tanda parang pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)
terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign parang,
parang merupakan sebuah benda yang kasar dan keras memiliki sisi yang tajam
pada fisiknya. Sinsign parang, parang menandakan adanya suatu gejolak yang
kuat untuk segera dipotong atau ditebas. Legisign parang, dengan adanya parang
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 245
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
yang menandakan bahwa tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan atau
berbahaya melainkan untuk kebermanfaatan.
Selanjutnya penjelasan tanda parang pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).
Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.
Ikon parang, parang biasa disebut ambang yang memiliki kemiripan atau
kesamaan. Indeks parang, parang terbentuk akibat orang-orang Melayu sangat
membutuhkan alat tajam yang digunakan dalam pertempuran pada masa silam.
Simbol parang, parang memiliki makna tajam yang digunakan dalam mematikan
lawannya.
Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,
yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme parang, parang akan digunakan oleh
seseorang yang memiliki semangat menggebu-gebu, emosional yang tidak bisa
dikendalikan. Dicent parang, parang pada kenyataannya digunakan untuk
berperang dan berburu hewan buas. Argument parang, parang digunakan untuk
berperang dan berburu dikarenakan memiliki sisi yang tajam dan terbuat dari besi
yang kuat, terkadang juga digunakan sebagai bentuk ungkapan hati yang sedang
teriris.
SIMPULAN
Nilai estetis pastinya terkandung dalam suatu karya sastra, terutama nilai
estetis yang terkandung pada bahasa dalam puisi. Bahasa dalam puisi sangatlah
padat, sehingga terkadang sulit dipahami maksudnya. Pada penelitian ini
digunakan teori semiotika Peirce untuk menemukan makna dari tanda-tanda yang
diteliti pada puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru dalam antologi puisi Di
Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan.
Setelah digunakan teori semiotika Peirce, ditemukan beberapa tanda antara lain
langit selalu biru, hujan, mahkota duri, doa, dan parang.
Berdasarkan pemaparan tanda-tanda konsep semiotika Peirce, dapat ditarik
benang merah bahwa puisi tersebut merupakan puisi yang mencapai nilai religius.
Makna puisi tersebut adalah bahwa dalam suatu kehidupan pastinya tidak akan
berjalan dengan mulus melainkan pasti terdapat suatu hambatan, masalah, mala
petaka yang datang secara tiba-tiba tanpa disangka. Sebagai umat yang memiliki
tuhan, tentuya diharuskan untuk tetap bersikukuh memohon atau meminta
pertolongan kepada-Nya agar sebagai umat yang patuh bisa menjalani suatu lika-
liku kehidupan dengan mulus dan sedikit hambatan atau masalah.
Berdasarkan tingkatan dalam sastra, suatu karya sastra bila mencapai
religius tinggi, maka kualitas pada karya sastra tersebut juga tinggi. Melalui
analisis puisi ini, dapat diketahui bahwa puisi tersebut berhasil melukiskan
kehidupan seseorang yang berdampak pada penyadaran diri sendiri dan pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Aini, Nurul Alfiah. 2013. Analisis Semiotik Terhadap Novel Laskar Pelangi
Karya Andrea Hirata Sebagai Alternatif Bahan Pengajaran Sastra di SMA.
Skripsi. Surabaya: FS Unair
246 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Budiman, Manneke, ―Indonesia: Perang Tanda,‖ dalam Indonesia: Tanda yang
Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)
Haris, Faisal. 2012. Cinta Sebagai Ekspresi Perubahan Zaman Pada Peralihan
Akhir Abad XIX Sampai Awal Abad XX (Kajian Semiotika Charles Sander
Peirce). Skripsi. Bandung: FIB Unpad
Julionatan, Stebby. 2018. Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-
Pecah. Yogyakarta: Indie Book Corner
Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press
Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)
Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya
Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita
Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 247
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN
LINGKUNGAN HIDUP
Mursalim
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Samarinda
ABSTRAK
Alam semesta adalah guru sastrawan, guru abadi, dan sastra
memang kaya seni. Sastra dapat dilirik dari kacamata ekologi,
karena sastra memang hidup berdampingan dengan alam, dan
sastra memang gambaran lingkungan atau alam semesta. Di
Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada abad 21. Kehadiran
ekologi sastra tidak terlepas dari keprihatinan para pakar sastra.
Dengan beberapa alasan, salah satu contoh alasan yaitu sastrawan
mengkritisi pengembangan kota yaitu pendirian plaza hotel,
perumahan mewah berbentuk apartemen yang tidak
mempertimbangkan hutan kota dan pemusnahan peninggalan
budaya yang bernilai sejarah tidak terhitung jumlahnya. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada
masyarakat pembaca mengenai peran ekologi sastra puisi terhadap
pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, menganai metode yang
digunakan dalam pengumpulan data penulisan makalah adalah
dengan metode kajian pustaka. Dengan mengacu kepada uraian di
atas, maka dalam penulisan pada makalah ini, penulis uraikan hal-
hal sebagai berikut. 1. Pendahuluan, 2. Pembahasan dan uraian
yang meliputi; (a) Makna peran dan ekologi sastra, (b) Peran
sastrawan dalam ekologi sastra puisi, (c) Pelestarian kearifan lokal
lingkungan (ekologis dalam karya sastra puisi), (d) Teori ekologi
sastra yang berwawasan ekologi budaya, 3. Penutup.
Kata Kunci : Peran, Ekologi Sastra Puisi, Pelestarian Lingkungan
Hidup
1. Pendahuluan
Sastra itu suara alam. Alam Semesta adalah guru sastrawan, guru abadi,
dan sastra memang kaya seni.Sastra dapat dilirik dari kacamata ekologi, karena
sastra memang hidup berdampingan dengan alam, dan sastra memang gambaran
lingkungan atau alam semesta. Di Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada abad
21. Kehadiran ekologi sastra tidak terlepas dari keprihatinan para pakar sastra
dengan beberapa alasan. Pertama, karena kerusakan lingkungan hidup seperti
lingkungan alam, sosial, dan budaya. Kedua, yaitu mengingatkan umat manusia
agar alam dan budaya (kearifan lokal tetap terjaga dengan baik). Ketiga,
Sastrawan mengkritisi pengembangan kota yaitu pendirian plaza hotel, dan
perumahan mewah termasuk apartemen yang tidak mempertimbangkan ‗hutan
kota‘dan pemusnahan peninggalan budaya, yang bernilai sejarah tidak terhitung
248 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
jumlahnya. Keempat, demikian juga dengan eksploitasi alam untuk penambangan
emas, batu bara, timah dan lain lain. Belum lagi pembalakan liar hutan kota, dan
pendirian pabrik triplek dan kertas yang berbahan baku pulp, menghabiskan hutan
yang kita miliki. Dengan mengacu kepada uraian di atas, maka dalam penulisan
pada makalah ini, penulis mengangkat judul yaitu, ―Peran ekologi Sastra terhadap
pelestarian lingkungan hidup‖. Mengacu pada uraian ersebut, maka isi makalah
ini adalah sebagai berikut a. Pendahuluan, b. Metodologi Penulisan c.
Pembahasan dan uraian yang meliputi, (1) makna peran dan ekologi sastra, (2)
peran sastrawan dalam ekologi sastra puisi, (3) pelestarian kearifan lokal
lingkungan (ekologis dalam karya sastra), (4) teori ekologi sastra yang
berwawasan ekologi budaya, d. Simpulan.
2. Metodologi Penulisan
Ada pun metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini
adalah melalui metode kajian pustaka.
3. Pembahasan
a. Makna Peran dan Ekologi Sastra
KBBI (2003: 854) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peran
adalah perangkat tingkah yang dimiliki orang yang berkedudukan dalam
masyarakat. Kemudian, Setya Yuwana Sudikan (2016:x) mengatakan bahwa
yang dimaksud dengan ekologi sastra adalah perpaduan ilmu ekologi dan
ilmu sastra melahirkan ekologi sastra.
Selanjutnya, Bate (2000:264), mengatakan bahwa ekologi sastra
memberikan pijakan asumsi bahwa karya sastra akan memiliki nilai
berwawasan lingkungan, jika memiliki kriteria yaitu untuk menulis
lingkungan mempertimbangkan sejauhmana dan bagaimana sastra
menggabungkan etos akuntabilitas terhadap lingkungan alam.
Dengan demikian, penulis mencoba menggabung penadapat di atas bahwa
yang dimaksud dengan peran ekologi sastra adalah perangkat tingkah yang
dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat yang secara khusus
memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya dan bagaimana alam
dipresentasikan dalam karya sastra (puisi, novel, dan drama).
b. Peran Sastrawan dalam Ekologi Sastra Puisi
Dalam menciptakan karya sastra, baik secara eksplisit, maupun secara
implisit sastrawan memiliki tujuan yaitu, penyadaran kepada pembaca betapa
penting mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup. Eksploitasi dan
perusakan lingkungan akan menyebabkan penderitaan panjang pada anak
cucu kita. Penanaman kesadaran kepada pembaca karya sastra, menjadi pusat
perhatian sastrawan.
Mengacu kepada uraian di atas, maka berikut penulis akan mengutip tiga
karya sastra yang masuk dalam kategori karya sastra ekologis seperti berikut.
Puisi Ekologis
Puisi 1
Oleh
Piek Ardiyanto Soepriyanto
Bumiayu
Jamilah
Bumiayu betapa manis
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 249
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Bumimu berpayung langit biru
Lelah memandang rindu
Bangun subuh segar udara
Angin gunung menusuk batas kota
Harapan mekar padi tua sawah mengemas
Sepi menyusuri jalan raya dari utara
Gedung – gedung masih bisu di pagi buta
Sebentar kusilangkan lengan atas jembatan
Gericik kali menceritakan kehidupan
Sendiri di muka masjid kau lewat berbaju kering
Bandul kalung emas manis menghias dadamu gading
Oh gadis gunung berwajah sumringah
Dalam Puisi ―Bumiayu‖ karya Piek Ardijanto Soeprijadi tersebut
ada pesan moral mengenai kelestarian lingkungan hidup terkait
dengan bumi, tumbuh-tumbuhan, satwa, air, angin, dan udara. Ada
kerinduan bagi pembaca terhadap alam pedesaan yang dikisahkan oleh
penyair. Kedekatan penyair dengan alam tak terelakkan lagi.
Puisi 2
Oleh
D Zawawi Imron
Hutan
Kupandang gunung – gunung itu
Jutaan pohon yang menyerap
hujan dan air
Melindungiku, melindungimu
dari bencana longsor dan banjir
Terima kasih teman-temanku!
Karena kau tidak menebang hutanku,
hutanku itu, hutanmu juga
Hingga burung, ular, dan kambing
hutan tetap hidup dengan tenteram
Damaikan jiwamu bercermin firman
agar hatimu damai dibelai pantun
Sebatang pohon sebesar satu pelukan
Dibesarkan Tuhan lima puluh tahun
Tapi hutan bukan sebatang pohon
Hutan bukan seratus batang,
hutan adalah jutaan pohon
habitat ragam binatang
Jika hatimu damai,
250 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
hutan akan damai, dunia akan damai
dengki dan dendam akan dikubur
Amboi, bumi selembut hamparan Kasur
Puisi tersebut mengandung pesan moral agar kita selalu
menjaga hutan untuk kelangsungan hidup manusia. Hutan tropis
yang kita miliki menjadi jantung kehidupan manusia di seluruh
dunia.
c. Pelestarian Kearifan Lokal Lingkungan dalam Karya Sastra
Kearifan lokal adalah modal utama masyarakat dalam membangun
dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam
dan sekitarnya. Selanjutnya, dalam kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun
2009 yaitu nilai – nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat
untuk antara lain mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Kearifan lingkungan merupakan kata kunci untuk membentuk
keseimbangan bagi kehidupan.
d. Ekologi Sastra Berwawasan Ekologi Budaya
Menurut Setya Yuwana Sudikan (2016: 167) istilah ekologi budaya yaitu
sistem pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial dalam memahami dan
menginterpretasikan lingkungan alam.
Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau
dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima
oleh masyarakat sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai –
nilai, norma – norma yang berisikan larangan – larangan untuk melakukan suatu
tindakan dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam,
dan berisikan serangkaian konsep – konsep serta model – model pengetahuan
mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh
pendukungnya dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan
alam. Jadi, nilai – nilai norma, dan konsep – konsep serta model - model
pengetahuan tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan
lingkungannya yang dihadapi oleh pendukungnya.
III. Simpulan
Mengacu kepada beberapa uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan
beberapa kesimpulan dalam penutup seperti berikut.
1. Sastra adalah dunia baru ciptaan pengarang, yang tentu saja memerlukan
bahan – bahan untuk materi ciptaan itu.
2. Bahan – bahan yang diperlukan pengarang adalah sesuatu yang ada, sesuatu
yang pernah ada, atau sesuatu yang mungkin ada di dunia ini. Tentu saja
fokus utama adalah nilai – nilai karakter dan nilai kemanusiaan.
3. Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap – lengkapnya apabila
dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang
menghasilkannya.
4. Sastrawan adalah manusia kritis yang mengkritisi lingkungan dan peradaban.
Hasil dari usaha yang mengkritisi itu adalah dalam bentuk karya sastra berupa
dalam puisi, novel,cerpen atau naskah drama.
5. Karya sastra itu dapat memberikan pencerahan bagi pembacanya.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 251
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
DAFTAR PUSTAKA
Chodjim, Achmad. 2007. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi.
Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Gobyah, I Ketut. 2009. ―Berpijak pada Kearifan
lokal‖.http//www.iloveblue.com/bali-gaul-funky(Artikel bali/detail/2750.htm.
Kadarisman, A. Effendi. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang
UIN: Maliki Press.
Margana, Sri. 2004. Pujangga Jawadan Bayang – Bayang Kolonial.
Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik. Denpasar : Serasan –sejarah.
Sudikan, Yuwana, Setya. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang.
Wahab, Abdul. 2006. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 252
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN
BAHASA BALI
Nengah Arnawa
Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali
ABSTRAK
Makalah ini ditulis untuk menunjukkan bahwa ada masalah
mendasar pada pembelajaran bahasa Bali, yang pelaksanaannya
didasarkan pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 20/2013 dan
Peraturan Daerah Nomor 1/2018. Berdasarkan peraturan itu,
bahasa Bali wajib diajarkan pada semua jenis dan jenjang sekolah.
Namun, tuntutan peraturan itu paradoks dengan potret kurikulum
pembelajaran bahasa Bali sebagai pedoman dasar pelaksanaannya.
Salah satu indikator keparadoksan itu dapat dilihat dari sasaran
kompetensi dalam kurikulum yang sangat generik sehingga
mengabaikan kebutuhan khusus pembelajaran bahasa Bali. Kondisi
empirik ini tidak sesuai dengan logika filsafat epistemologi-
induktif. Spesifikasi cakupan kompetensi dalam kurikulum dan
silabus pembelajaran bahasa Bali mutlak dilakukan karena
kebutuhan pembelajaran bahasa tidak sama pada semua jejang dan
jenis sekolah. Kebutuhan Pembelajaran bahasa Bali pada madrasah
pasti berbeda dengan sekolah umum pada jenjangnya. Kebutuhan
pembelajaran bahasa Bali di SMA seharusnya berbeda dengan
SMK; bahkan antara rumpun SMK pun membutuhkan sub-
spesifikasi. Demikian pula, pembelajaran bahasa Bali pada masing-
masing jenjang dan jenis SLB juga membutuhkan spesifikasi.
Peserta didik tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, yang memiliki
keterbatasan masing-masing, seharusnya kepadanya dipajankan
bahan ajar bahasa Bali yang sesuai kebutuhannya. Hal yang sama
pun terjadi pada pendidikan paket A, B, dan C yang peserta
didiknya memiliki umur di atas rata-rata usia sekolah. Oleh karena
itu, penyusunan kurikulum pembelajaran bahasa Bali perlu
didasarkan pada kompetensi dan kebutuhan pembelajaran pada
masing-masing jenis dan jenjang sekolah.
Kata kunci : kurikulum, kompetensi, kebutuhan pembelajaran
ABSTRACT
This paper is written to show that there are fundamental problems
in learning Balinese, whose implementation is based on Bali
Governor Regulation Number 20/2013 and Bali Regional
Regulation Number 1/2018. Based on both regulations, Balinese
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 253
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
must be taught to all types and levels of schools. However, the
regulatory demands are paradox with a portrait of the Balinese
learning curriculum as a basic guideline for its implementation.
One indicator of paradoxical can be seen from the competency
target in curriculum is very generic so that it ignores the special
needs of Balinese learning. This empirical condition does not
conform to the logic of inductive-epistemological philosophy. The
scope of competence specification in the curriculum and syllabus
of Balinese learning is necessary because the need for language
learning is not the same in all levels and types of schools. The
needs of Balinese learning at the Madrasah definitely be different
from general schools at the same level. The need of Balinese
learning in general high school differs from vocational high school;
even between kinds of the vocational high school also need sub-
specifications. Similarly, learning Balinese at each level and type
of SLB also requires specifications. Students who are blind, deaf,
and mentally disabled, should be exposed to Balinese teaching
materials that their needs. The same thing happened to the
education of packages A, B, and C whose students had an age
above the school age average. Therefore, the planning of the
Balinese learning curriculum must be based on competencies and
learning needs in each type and level of school.
Keywords: curriculum, competence, learning needs.
1. Pendahuluan
Pelajaran bahasa Bali merupakan muatan lokal wajib bagi semua jenis dan
jenjang sekolah di seluruh Provinsi Bali (Perda No. 1/2018 pasal 1.6; pasal 4.e;
pasal 11.a). Pengajaran bahasa Bali pun dipandang sebagai salah satu strategi
pelindungan dan pembinaannya (pasal 7.a dan pasal 10.a Perda No.1/2018).
Mengacu pada peraturan daerah itu, pembelajaran bahasa Bali dapat dipetakan
seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 1: Peta Pembelajaran Bahasa Bali
Jenjang
Jenis
Pendidikan Dasar Pendidikan
Menengah Pertama
Pendidikan
Menengah Atas
Umum SD SMP SMA
Madrasah Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Tsanawiyah
Madrasah Aliyah
/ MAK
SLB SLB SD
A, B, C, D, E, G
SLB SMP
A, B, C, D, E, G
SLB SMA
A, B, C, D, E, G
Kejuruan SMK (Berbagai
Rumpun)
Non-
Formal Paket A Paket B Paket C
254 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Keterangan: SLB A = tunanetra SLB D = tunadaksa
SLB B = tunarungu SLB E = tunalaras
SLB C = tunagrahita SLB G = tunaganda
Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada banyak variabel pembeda yang
wajib dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan dan/atau tujuan pembelajaran
bahasa Bali pada semua jenjang dan jenis sekolah. Variabel-variabel pembeda
tersebut menjadi kekhususan dan karakteristik pembelajaran bahasa Bali pada
masing-masing jenjang dan jenis sekolah; misalnya, program pendidikan paket A
yang setara dengan SD. Perbedaan mencolok antara program pendidikan paket A
dengan SD terletak pada veriabel usia peserta didiknya. Peserta didik pada
program paket A adalah mereka yang telah melampaui batas usia wajib belajar
Sekolah Dasar. Perbedaan usia ini berpengaruh terhadap kebutuhan pembelajaran
bahasa Bali. Menurut Piaget (1969), Sund (1976), dan Chaer (2003) bahwa
tingkat kognitif seseorang, yang memiliki perkembangan normal, akan linier
dengan pertambahan usianya. Selanjutnya, perkembangan kognitif menjadi intake
bagi pembelajaran bahasa Bali sehingga seleksi materi ajar mengikuti formula i +
1, yang artinya satu tingkat di atas kompetensi yang telah dimiliki pembelajar
(Baradja, 1990; Tolla, 1990). Mengacu pada fase perkembangan kognitif dan
prinsip formulasi bahan ajar itu, perlu didesain standar kompetensi dalam silabus
pembelajaran bahasa Bali yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Atas
prinsip ini, sangat tidak masuk akal jika peserta didik baru pada program paket A
diajarkan pengenalan anggota tubuh (misalnya, melalui materi ajar kosabasa Bali)
seperti yang tertuang pada kompetensi dasar 2.1 pelajaran bahasa Bali untuk kelas
I SD (Lampiran Pergub No. 20/2013). Contoh persoalan lain adalah
ketidaktersediaan aksara Bali dalam sistem braille sehingga tidak mungkin
mengajarkan aksara Bali di SLB A pada semua jenjang. Oleh karena itu,
diperlukan desain isi pelajaran bahasa Bali yang sesuai dengan karakteristik jenis
dan jenjang pendidikan.
1. Metode
Makalah ini merupakan hasil penelitian pustaka (library research). Sumber
data berupa dokumen Pemerintah Provinsi Bali, yakni: Peraturan Daerah Provinsi
Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan Peraturan Gubenur Bali Nomor 20 Tahun 2013
beserta lampirannya yang memuat standar kompetensi pembelajaran bahasa Bali
pada semua jenis dan jenjang sekolah. Data dikumpulkan melalui pencatatan
dokumen. Data dielisitasi sesuai tujuan penulisan sehingga menghasilkan data
utama. Data utama ditriangulasi melalui wawancara tidak terstruktur dengan
akademisi, pemerhati, dan praktisi pengajaran bahasa Bali. Data utama dianalisis
secara kualitatif (Bungin, 2003) serta hasilnya disajikan secara informal
(Sudaryanto, 1993).
2. Pembahasan
2.1 Problematika Yuridis Pendidikan Bahasa Bali
Pelaksanaan pendidikan bahasa Bali didasarkan pada pasal 32 UUD 1945,
yang menegaskan bahwa bahasa daerah wajib dihormati dan dipelihara oleh
negara. Selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 pun diatur
penggunaan bahasa daerah untuk mendampingi penggunaan bahasa Indonesia.
Selain kedua landasan hukum yang berlaku secara nasional itu, masih ada dua
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 255
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
produk hukum lokal oleh Pemerintah Provinsi Bali yang mengatur pendidikan
bahasa Bali, yakni: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan
Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Dalam batang tubuh Perda itu
ditemukan sejumlah pasal yang memiliki kaitan secara eksplisit dengan
pendidikan bahasa Bali. Pada pasal 1 (6), bahasa Bali ditetapkan sebagai mata
pelajaran muatan lokal wajib. Pada pasal 4 (e), dinyatakan bahwa
penyelenggaraan pendidikan bahasa Bali pada semua jalur dan jenjang pendidikan
merupakan salah satu sasaran pemajuan bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada
pasal 7 (3.a) ditegaskan bahwa pendidikan bahasa Bali merupakan salah satu
upaya pelindungan. Pada pasal 8 (e) diatur penggunaan bahasa Bali sebagai
pengantar dalam pendidikan. Pada pasal 10 (2.a) ditegaskan bahwa pembinaan
bahasa Bali dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Pada pasal
11 (1.a, c, d) diatur tentang alokasi waktu wajib minimal untuk pelajaran bahasa
Bali, pengadaan guru, dan penyediaan bahan ajar. Mencermati pasal demi pasal
tersebut kegigihan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pelindungan,
pembinaan, dan pengembangan bahasa, akasara, dan sastra Bali patut diapresiasi.
Landasan yuridis lain yang gayut dengan pendidikan bahasa Bali adalah
Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Peraturan Gubernur itu
merupakan sikap dan jawaban Pemerintah Provinsi Bali atas kegelisahan
masyarakat Bali terhadap eksistensi pelajaran bahasa Bali dalam Kurikulum 2013.
Pada pasal 2 (1) dan pasal 4 (1, 2a.b) secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa,
aksara, dan sastra Bali wajib diajarkan minimal 2 jam/minggu pada:
SD/MI/SDLB/Paket-A, SMP/MTs/SMPLB/Paket-B, dan
SMA/MA/SMALB/Paket-C/SMK. Selanjutnya, pada pasal 4 (3) ditegaskan
bahwa pengajaran bahasa Bali berbasis kompetensi. Kompetensi pelajaran bahasa
Bali dideskripsikan pada lampiran, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Pergub tersebut. Mencermati lampiran Pergub Bali Nomor 20/2013 tanggal 23
April 2013 itu ternyata bahwa deskripsi kompetensi pelajaran bahasa Bali hanya
memuat kebutuhan pembelajaran untuk sekolah umum, seperti SD, SMP, dan
SMA; sedangkan sekolah yang memiliki karakteristik khusus, seperti: madrasah,
SLB, SMK, dan paket belajar belum tersentuh. Penyelenggaraan pendidikan
khusus bertujuan mengembangkan kompetensi dan untuk mencapai tujuan khusus
pula, dalam hal ini berlaku logika filsafat epistemologi-induktif, bahwa semakin
khusus sesuatu semakin bernilailah sesuatu itu (Sumarsono, 2004).
Kesenjangan yuridis ini membawa posisi guru bahasa Bali pada pada
sekolah khusus menjadi dilematis. Jika pengajaran bahasa Bali dilakukan secara
konsisten dengan mengacu pada lampiran Pergub Bali No. 20/2013 maka
kompetensi yang diajarkan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran (bahkan dalam
hal tertentu mustahil dilakukan). Sebaliknya, jika guru berorentasi pada kebutuhan
dan kondisi nyata pembelajar, maka melanggar pergub yang hingga saat ini masih
berlaku. Misalnya, pada kompetensi dasar 4.1 untuk siswa kelas I SD tertulis
membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Bagaimana
mengimplementasikan kompetensi dasar ini pada siswa kelas I SD SLB B
(tunarungu)? Bagaimana menetapkan KKM? Bagaimana mengevaluasinya?
Problematika yuridis ini dapat diatasi dengan merumuskan kembali kompetensi
inti dan kompetensi dasar pelajaran bahasa Bali untuk sekolah yang
berkarakteristik khusus.
256 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2.1 Problematika Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali
Teori nosional-fungsional menegaskan bahwa kebermaknaan pelajaran
bahasa sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan si pembelajarnya (Parera,
1987; Purwo, 1990). Kebutuhan pembelajar sangat tergantung pada lingkungan
pemakaian bahasa yang dipelajari. Oleh karena itu, pajanan dalam pelajaran
bahasa seharusnya sesuai dengan lingkungan sosial dan budaya anak-anak.
Mengacu prinsip umum ini, perlu ada tindakan nyata untuk mendeskripsi secara
cermat kebutuhan pembelajaran bahasa Bali yang sesuai dengan karakteristik jenis
dan jenjang sekolah. Pendeskripsian kebutuhan pembelajaran bahasa Bali
dirasakan sangat penting, perlu, dan mendesak karena alokasi waktu yang tersedia
sangat terbatas, yakni hanya 2 jam pelajaran/minggu serta karakteristik peserta
didik dan sekolah yang sangat bervariasi, seperti yang tertera pada tabel 1. Fakta
adanya keragaman variabel peserta didik dan lembaga persekolahan harus
diselaraskan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang menjadi tujuan
pembelajarannya. Misalnya, kepada siswa SMK rumpun teknik civil akan lebih
bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan asta
kosala kosali; sedangkan bagi siswa SMK rumpun kesehatan lebih bermakna jika
diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan usada dan taru
premana. Demikian pula, kepada siswa SMK rumupun dunia usaha lebih
bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan
paceraken. Kepada siswa SMK rumpun pertanian lebih bermakna jika diajarkan
wacana, kalimat, dan kosabasa tentang darma pamacul. Pada madrasah mungkin
lebih efektif jika fokus pada pengajaran bahasa Bali untuk kepentingan
bersosialisasi-integrated dan/atau kesusastraan Bali bernuansa Islam.
Variabel pembeda lain yang perlu dipertimbangkan adalah jenis sekolah,
seperti SLB. Karakteristik ‗keluarbiasaan‘ yang disematkan pada jenis sekolah ini
memerlukan spesifikasi dalam rincian kompetensi inti dan kompetensi dasar.
Misalnya, kepada siswa kelas II SD SLB A tidak mungkin diajarkan aksara Bali
(kompetensi inti 2 dan kompetensi dasar 2.1) karena tidak tersedia aksara Bali
dengan sistem braille. Kepada siswa kelas X SMA SLB B pun tidak mungkin
diajak melagukan pupuh (kompetensi inti 7 dan kompetensi dasar 7.1). Hal yang
sama pun terjadi pada program paket belajar yang usia peserta didiknya telah
melampaui usia wajib belajar. Peserta didik baru pada program paket A, misalnya,
tidak bermanfaat jika diajarkan penggunaan bahasa Bali dalam setting bermain
(kompetensi inti 2 dan kompetensi dasar 2.7). Jadi, ada problematika penerapan
kompetensi inti dan kompetensi dasar yang tertera pada lampiran Peraturan
Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Problematika ini perlu ditindaklanjuti
dengan menyusun kembali kompetensi inti dan kompetensi dasar pelajaran bahasa
Bali sesuai dengan karakteristik sekolah dan peserta didik.
3. Penutup
Penetapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan
Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013 patut diapresiasi karena
merupakan payung hukum pengajaran bahasa Bali sebagai mutan lokal wajib.
Namun demikian, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan kembali secara cermat
kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) agar lebih sesuai dengan
kebutuhan pembelajaran bahasa Bali. Penyusunan dan pecermatan kembali KI dan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 257
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KD tersebut karena variabel peserta didik dan karakteristik sekolah sangat
beragam. Kekurangtersediaan KI dan KD yang lebih spesifik merupakan
problematika dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah dan Peraturan
Gubernur tersebut.
Daftar Pustaka
Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang : Penerbit IKIP
Malang.
Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada
Chaer, A. 2003. Psikolinguistik : Kajian Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta.
Parera, J.D. 1987. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga.
Piaget, J. 1969. ―Cognitive Development‖. [cited 25 Maei 2004]. Available from :
http://www.psychiacomp.com/diadic/development-piaget.php.
Purwo, B. K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.
Sund, R. B. 1976. Piaget for Educators : A Multimedia Program. Ohio : Charles
E. Merril Publishing Company.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta
Wacana University Press.
Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.
Tolla, A. 1990. ‗Tiga Versi Pandangan dalam Teori Pemerolehan Bahasa: Skinner,
Chomsky, dan Krashen‘. Dalam Nurhadi dan Roekhan (Ed). Dimensi-
Dimensi dalam Belajar bahasa Kedua. Bandung: Sinar Baru.
Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Bahasa, Aksara,
dan Sastra Bali. Avaiable from http://www.jdih.baliprov.go.id.
Peraturan Gubernur Bali Tanggal 23 April 2013 Nomor 20 Tahun 2013 Tentang
Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali pada Pendidikan Dasar dan Menengah.
Avaiable from http://www.jdih.baliprov.go.id.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 258
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI
DI MEDIA ONLINE
Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama
Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai diversifikasi pemaknaan terhadap
penggunaan istilah – istilah budaya Bali di media online berbahasa
Inggris. Media online menjadi media informasi yang paling cepat
diakses di era global saat ini. Penggunaan media online juga efektif
mengingat kemampuannya yang menjangkau pembaca dalam
jumlah yang tidak terbatas. Sehingga informasi – informasi seperti
halnya daerah tujuan wisata menjadi mudah untuk diperoleh. Salah
satunya adalah penjelasan mengenai istilah budaya Bali di media
online khususnya media online berbahasa Inggris. Penggunaan
istilah budaya Bali pada bahasa yang berbeda dengan latar budaya
berbeda menjadi tantangan tersendiri untuk dapat dipahami.
Terutama berkaitan dengan makna khusus yang dibawa oleh istilah
– istilah budaya tersebut. Untuk itu, penggunaan istilah – istilah
budaya Bali di media online berbahasa Inggris menjadi menarik
untuk dianalisa lebih lanjut terkait dengan pemindahan makna.
Apalagi jika dikaitkan dengan beragam media online yang
menjelaskan istilah budaya Bali dengan pemahamannya masing –
masing. Sehingga hal tersebut memunculkan keberagaman dalam
memaknai suatu istilah budaya Bali. Data dari paper ini diambil
dari sejumlah media online berbahasa Inggris yang menggunakan
istilah budaya Bali. Dalam hal pengumpulan data, metode
dokumentasi diaplikasi dengan teknik observasi sejumlah media
online yang menggunakan istilah budaya Bali. Selanjutnya
dilakukan teknik membaca rinci, mencatat, dan mengklasifikasikan
istilah budaya Bali. Sedangkan metode deskriptif kualitatif
digunakan untuk memaparkan kajian terhadap istilah budaya Bali
yang digunakan pada media online berbahasa Inggris. Temuan
yang diperoleh adalah istilah – istilah budaya Bali pada sejumlah
media online berbahasa Inggris dapat dipahami dan dimengerti
maknanya melalui konteks baik berupa konteks kalimat maupun
paragraf. Selain itu, sejumlah istilah budaya Bali, diberikan
penjelasan berdasarkan frasa deskripsi yang dalam hal ini
umumnya menjelaskan tentang bentuk dan fungsi dari istilah
budaya Bali yang dimuat. Dalam hal ini, penjelasan diberikan
dalam bentuk definisi maupun penjelasan khusus.
Kata kunci: istilah budaya Bali, media online, bahasa Inggris
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 259
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PENDAHULUAN
Teknik peminjaman (borrowing) merupakan teknik dalam alihbahasa yang
berhubungan dengan istilah – istilah budaya tertentu. Secara umum, budaya
menjadi entitas paling khas dari suatu golongan masyarakat. Budaya menjadi
penanda yang membedakan satu kelompok masyarakat dengan kelompok –
kelompok masyarakat lainnya. Hal itu juga yang diturunkan pada generasi –
generasi selanjutnya. Dasar pemahaman tersebut menjadi latar belakang
timbulnya tantangan - tantangan yang dihadapi seseorang ketika mempelajari
budaya yang sangat berbeda dengan dirinya. Contoh sederhana adalah etika yang
berkaitan dengan penggunaan tangan kanan dan tangan kiri. Pada budaya timur,
penggunaan tangan kanan saat menerima sesuatu dianggap sebagai hal yang baik.
Sedangkan tangan kiri justru dianggap tidak baik. Sebaliknya pada budaya Barat,
menerima sesuatu dengan salah satu dari kedua tangan justru tidak menjadi
masalah. Tidak terdapat justifikasi baik dan tidak baik jika menggunakan tangan
kanan atau tangan kiri. Perbedaan – perbedaan budaya seperti itu menjadi
tantangan tersendiri bagi seseorang untuk mempelajari budaya yang berbeda.
Sehingga dengan mengetahui lebih awal, persoalan perbedaan budaya (shock
culture) dapat dihindari.
Dalam hal ini, media online dan penyebaran informasi mengenai istilah
budaya Bali menjadi dua sisi yang saling berkaitan. Budaya Bali sebagai inti dari
informasi yang disampaikan dan media online menjadi media atau alat
komunikasi global yang mendukung penyebaran informasi terkait Bali. Menjadi
hal yang menarik untuk mendeskripsikan media online dalam memberikan
informasi dan pengetahuan terkait dengan kekhususan istilah – istilah budaya Bali
sebagai salah satu penunjang pariwisata di Bali. Dengan begitu, media online
yang memuat informasi – informasi terkait budaya Bali justru secara langsung
maupun tidak langsung turut mempromosikan Bali.
Terkait alih bahasa budaya, hal yang sangat menjadi perhatian adalah
penerapan teknik saat proses pengalihan istilah dari bahasa sumber (BSu) ke
dalam bahasa sasaran (BSa). Hal tersebut menjadi perhatian Setianingsih (2003)
dalam tesisnya yang berjudul Some Alternative Ways of Establishing Lexical
Equivalences of Balinese Cultural Terms in English. Perhatian pada penerapan
teknik yang digunakan untuk mengalihbahasakan istilah budaya dikenal dengan
ujaran atau ekspresi leksikal yang tidak ada padanan pada bahasa lain. Hal ini
berhubungan dengan bahasa sebagai bagian budaya. Bahasa menjadi suatu yang
sangat khusus jika berkaitan dengan budaya suatu kelompok masyarakat. Dalam
tesisnya, Setianingsih memaparkan alternatif – alternatif teknik pengalihan bahasa
dari istilah budaya Bali ke budaya lain yaitu budaya Bahasa Inggris. Pemilihan
alternatif teknik juga menyesuaikan dengan kesepadanan alami yang dicapai
dalam hal pentransferan makna. Dengan mencapai kesepadanan alami dalam hal
pemahaman makna, maka pemahaman yang diperoleh oleh pembaca asing akan
serupa dengan masyarakat Bali. Mereka juga mempunyai pemaknaan yang
memadai terkait dengan istilah – istilah budaya Bali.
Budaya dapat dipahami sebagai bagian dari gaya hidup. Newmark (1988:
94) mengemukakan jika dalam tingkatan alih bahasa terdapat tantangan yang
berbeda untuk mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dia
membagi kesulitan pengalihbahasa menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama
adalah pemahaman secara umum atau general yang dimengerti oleh sebagian
260 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
besar masyarakat dengan latar budaya berbeda. Selanjutnya adalah tingkatan
kedua yang sudah mulai lebih khusus. Kekhususan tersebut menjadi permasalahan
awal dalam pengalihbahasaan. Sedangkan tahap ketiga adalah kekhususan yang
spesifik dalam kaitannya dengan budaya – budaya tertentu. Tahapan inilah yang
seringkali menjadi tantangan besar bagi pengalihbahasa. Dari keseluruhan tahapan
yang dimaksud, Newmark (1988: 95) membagi istilah budaya ke dalam 5
kategori. Kategori yang dimaksud adalah kategori ekologi, kategori material atau
artefak, kategori sosial kemasyarakatan, kategori organisasi/konsep/adat
istiadat/aktivitas sosial, dan kategori kebiasaan dan perilaku.
Kategori ekologi umumnya dikaitkan dengan kehidupan selain manusia
seperti tumbuhan, binatang, maupun hal – hal seperti angin, dataran rendah,
perbukitan, dan lainnya. Kategori material atau artefak memiliki pemahaman
sangat luas di masyarakat. Kategori ini umumnya berkaitan dengan makanan,
pakaian, perumahan atau perkotaan, dan transportasi. Kategori sosial
kemasyarakatan mempunyai kedekatan pemahaman dengan struktur sosial suatu
kelompok masyarakat. Kategori organisasi lebih mengarah kepada adat istiadat,
aktivitas masyarakat pada umumnya, kebiasaan – kebiasaan turun temurun, dan
konsep ajaran kehidupan di masyarakat. Kategori yang paling akhir adalah
kategori kebiasaan dan perilaku. Newmark (1988: 102) memberikan pemahaman
bahwa kategori terkait kebiasaan dan perilaku harus diperlakukan berdasarkan
konteks komunikasi saat melakukan alih bahasa.
METODELOGI
Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahapan. Masing – masing tahapan
memberikan kontribusi pada penelitian ini. Ketiga tahapan tersebut adalah
tahapan penentuan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan tahapan
analisa data. Masing – masing dijabarkan secara lebih terinci seperti di bawah ini.
Tahapan pertama adalah sumber data dan data. Penelitian ini menggunakan
sumber data dari media – media online berbahasa Inggris. Tahapan kedua
merupakan pengumpulan data. Dalam hal pengumpulan data, metode
dokumentasi diterapkan pada penelitian ini didukung oleh teknik – teknik seperti
teknik membaca rinci data di media online, selanjutnya teknik pemilahan data
yang digunakan dan yang tidak digunakan, dan teknik mencatat untuk memastikan
data terekam dengan baik sebagai bahan penelitian. Tahapan berikutnya adalah
tahapan analisa data menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan klasifikasi
dan pemahaman mengenai fitur budaya yang disampaikan Newmark (1988).
PEMBAHASAN
Terdapat tiga istilah budaya Bali yang dipilah untuk data pada paper ini. Ketiga
istilah budaya tersebut adalah bale banjar, lontar, dan ogoh – ogoh. Masing –
masing data pada ketiga istilah budaya tersebut ditampilkan dalam tabel.
Selanjutnya ketiga istilah budaya dianalisa secara deskriptif kualitatif.
Tabel berikut di bawah ini berisikan data terkait istilah budaya Bali bale
banjar yang terdapat pada teks bahasa Inggris di media online.
NO DATA SUMBER
1 The Banjar is the smallest formal social unit of Balinese society. In particular, she maintains a Bale Banjar, a gathering place where
https://de.wikipedia.org/wiki/Banjar_(Soz
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 261
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
community meetings and other activities (sports, dance, gamelan, etc.) take place. Each Banjar is led by a clan elected by the Plenum of Family Heads. The Banjar is a very old facility in Bali, probably dating back to prehistoric times.
iologie_Balis)
2 The people from other places and happened to stay in the banjar are welcomed to join the banjar if they want to. The center of banjar is ‘bale banjar’ (‘banjar’ hall), where the members of the banjar usually meet on a certain day. Banjar is led by a „kelian banjar‟.
http://googleweblight.com/i?u=http://www.baliaround.com/banjar-balinese-community/&hl=en-ID
3 Bale banjar adat (traditional community hall) in Bali is an important public building complex for Balinese societies which functions as a social and cultural identity. This building complex also functions as the place where the community holds public activities and assembly meetings.
https://www.researchgate.net/publication/275481729_'Gerenceng_bale_banjar_adat'_change_and_continuity_in_Balinese_architecture
4 Located in the resort‟s Lobby area, the Bale Banjar is an open pavilion that focuses on highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every Balinese village on the island. The Banjar is the most fundamental unit of civil society in Bali - its origins can be traced to the Island‟s pervasive agricultural society.
http://baliplus.com/everything-balinese-at-the-bale-banjar
5 The Banjar must have Bale Banjar which used for the place to conduct meeting and doing ngayah – finishing work with sincerity and selflessly which is done by mutual assistance. Bale Banjar is the central place of the banjar activities.
https://baliindonesiainformation.wordpress.com/2017/02/03/bale-banjar-balinese-society-home-base/
Dari keseluruhan tabel di atas terdapat diversifikasi pada pemaknaan istilah
budaya Bali. Dalam hal ini variasi – variasi yang muncul pada pemaknaan
terhadap istilah budaya Bali bale banjar beragam. Hal itu dapat dilihat dari
keseluruhan tabel di atas yang memberikan pemaknaan terhadap istilah budaya
Bali bale banjar.
Pada data 1 bale banjar didefinisikan dalam konteks kalimat a gathering
place where community meetings and other activities (sports,
dance, gamelan, etc.) take place. Model definisi juga terdapat pada data 4 yang
memberikan pemaknaan berupa Bale Banjar is an open pavilion that focuses on
highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every
Balinese village on the island Bale Banjar is an open pavilion that focuses on
highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every
Balinese village on the island.
NO DATA SUMBER
1 Basically, a lontar is written history and Bali has a unique way of preserving it. These manuscripts are writings from hundreds of years ago that are inscribed on the leaves of the lontar palm (punyan entel).
https://www.baliblog.com/travel-tips/bali-daily/the-ancient-lontar-scripts-of-bali-are-going-digital.html
2 This library annex museum collects, copies and preserves thousands of lontar (manuscripts made of palm leaf), "prasati" (transcriptions on metal plates) and books which deal with various aspects of human life, such as religion, architecture, philosophy, genealogy, homeopathy, "usada" (medical manuscripts), black magic, and so on, in the Balinese, Kawi (old Javanese) and the Dutch, English and German language.
http://www.northbali.info/culture/gedong_kirtya_singaraja.php
3 Lontar is a palm leaf manuscript made of the lontar palm which http://www.bladesofthegod
262 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Sedangkan data istilah budaya Bali bale banjar diberikan pemaknaan
dengan tambahan informasi berupa frasa seperti pada data 2 dan 3. Pada data 2
bale banjar ditambahkan informasi dengan hall dan data 3 ditambahkan informasi
traditional community hall. Penambahan informasi memberikan pemaknaan yang
lebih dekat pada budaya pembaca. Dengan penambahan informasi hall atau
community hall memberikan kedekatan gambaran makna istilah budaya Bali pada
budaya berbeda.
Sementara itu kesatuan istilah budaya Bali dalam konteks kalimat terdapat
pada data 5. Kesatuan tersebut dimunculkan pada kalimat Bale Banjar which used
for the place to conduct meeting and doing ngayah. Dengan menempatkan istilah
budaya Bali dan pemaknaannya maka pembaca dengan latar budaya berbeda
dapat memahami makna istilah budaya yang sekaligus dimunculkan dalam sebuah
kalimat.
Selanjutnya tabel di bawah ini berisikan data istilah budaya Bali lontar
yang terdapat pada media online berbahasa Inggris.
Pada penggunaan istilah budaya Bali lontar di tabel di atas maka dapat
diperhatikan jika pemilihan pemaknaan melalui konteks kalimat menjadi
pertimbangan utama. Hal itu dapat disimak melalui data 1, data 4, dan data 5.
Secara spesifik data 1 dan data 4 memberikan acuan pemaknaan melalui
penggunaan konteks kalimat. Sehingga pembaca lebih mudah memahami konteks
kalimat yang berisikan istilah budaya Bali dan pemaknaannya seperti pada a
lontar is written history and Bali has a unique way of preserving it. These
manuscripts are writings from hundreds of years ago that are inscribed on the
leaves of the lontar palm (punyan entel) dan Lontar is the most iconic and unique
manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from
the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese
and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a
learned tradition of writing and reading texts on lontar. Sedangkan data 5
menerapkan dua model untuk memberikan pemahaman terhadap istilah budaya.
Model yang digunakan adalah kombinasi konteks kalimat yang diikuti pola
deskriptif untuk menjelaskan arti dari istilah lontar. Hal itu terlihat dari kalimat
lontar in Bali, palm leaf manuscripts are considered the most appropriate form of
preserving centuries-old tradition.
was used in ancient Asia and south east Asia. Its use goes back to fifteenth century BCE, and possibly much earlier.
.com/barong-108-box/keris-lontar/
4 Lontar is the most iconic and unique manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a learned tradition of writing and reading texts on lontar.
https://balicultureinformation.wordpress.com/2015/12/05/lontar-balinese-manuscript-which-contain-a-variety-of-aspects-of-human-life/
5 More broadly sutra indicate Hindu and Buddhist religious texts that in the form of palm leaf manuscripts helped to propagate this faith through parts of Asia in the first millennium BCE and through the many centuries of the Common Era. Known as lontar in Bali, palm leaf manuscripts are considered the most appropriate form of preserving centuries-old tradition. They are still used as the most important sources of knowledge on religion, medicine, law, literature, social conventions, and the overall wisdom of tradition.
https://australianmuseum.net.au/book-and-sutra
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 263
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Sedangkan penggunaan teknik deskripsi menjadi pilihan pada data 2 dan
data 3. Pada kedua data, istilah budaya Bali lontar diberikan pemahaman dengan
manuscripts made of palm leaf dan a palm leaf manuscript made of the lontar
palm which was used in ancient Asia and south east Asia. Kedua teknik deskripsi
tersebut memberikan pemaknaan terhadap istilah lontar dalam pemahaman bentuk
(form).
Pada tabel di bawah ini berisikan istilah budaya Bali ogoh – ogoh yang
terdapat pada media online berbahasa Inggris. Masing – masing tabel
dideskripsikan secara lengkap dalam konteks kalimat.
NO DATA SUMBER
1 The name Ogoh Ogoh is derived from the Balinese “ogah-ogah”, meaning “to shake”, and it represents the Bhuta-Kala or evil spirits, vices that need to kept away from humans. Many locals from the Banjar community will carry their Ogoh-Ogoh on the convoy, shaking it to make it look likes it‟s moving and dancing.
http://nowbali.co.id/ngrupuk-monster-parade/
2 Ogoh-ogoh whose appearance is very scary is usually paraded around the village or town by the Banjar or traditional village society which is dominated by the youth. Ogoh-ogoh is a kind of statue / giant doll which is made of light materials such as the combination of wood, bamboo, paper, and styrofoam so it is easy to be lifted and paraded. With the development or technology and materials, people prefer using styrofoam because of its lightweight and easiness to be carved and processed, but of course it costs more.
http://www.baligoldentour.com/ogoh-ogoh.php
3 The main function ogoh-ogoh Bhuta Kala is a representation made before the celebration of Nyepi (Silent) Day, where ogoh-ogoh will be paraded around the rollicking banjar or village at dusk the day before Nyepi (Pangrupukan). Ogoh-ogoh Bali is a masterpiece sculpture depicting Balinese culture personality. Pangrupukan or a day before Nyepi, the events and procession every year is the same on each Banjar (smaller then village) Bali will compete in terms of making ogoh-ogoh as interesting as possible.
http://www.infobalidriver.com/ogoh-ogoh-bali
4 The island‟s streets lit up on Friday night as Balinese took to the streets to parade their Ogoh-ogoh, handmade floats depicting demons and evil spirits while commonly mistaken as an age-old tradition, it turns out Ngrupuk is more of a modern invention, widely believed to have come about in the 1980s.
https://coconuts.co/bali/features/ogoh-ogoh-photos/
5 Ogoh - ogoh are giant dolls made from bamboo frames which are intricately weaved and tied and then covered with papier mache. They are made in the form of creatures of the underworld known in Balinese as buta-kala, in English something like „Satan‟.
http://www.balimusicanddance.com/articles/what-are-ogoh-ogoh.html?lang=id
Berdasarkan tabel di atas, istilah budaya Bali ogoh – ogoh menggunakan derivasi
makna berdasarkan pada definisi dan penjelasan secara deskriptif. Dalam hal
pemaknaan dengan definisi terlihat pada data 2, data 3, dan data 5. Sedangkan
penjelasan secara deskriptif terdapat pada data 1 dan data 4. Pemaknaan secara
deskriptif juga bervariasi dengan pemahaman secara konteks keseluruhan kalimat
dan penjelasan deskriptif secara langsung.
Pemaknaan melalui definisi terlihat pada paparan data 2, data 3, dan data
5. Istilah budaya Bali ogoh – ogoh didefinisikan sebagai a kind of statue / giant
doll which is made of light materials such as the combination of wood, bamboo,
264 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
paper, and styrofoam so it is easy to be lifted and paraded (data 2); Ogoh-ogoh
Bali is a masterpiece sculpture depicting Balinese culture personality (data 3);
dan Ogoh - ogoh are giant dolls made from bamboo frames which are intricately
weaved and tied and then covered with papier mache (data 5).
Sementara itu, pemaknaan melalui teknik deskriptif berdasarkan konteks
keseluruhan makna kalimat terdapat pada data 1. Dalam hal ini penjelasan the
name Ogoh Ogoh is derived from the Balinese “ogah-ogah”, meaning “to
shake”, and it represents the Bhuta-Kala or evil spirits, vices that need to kept
away from humans. Many locals from the Banjar community will carry their
Ogoh-Ogoh on the convoy, shaking it to make it look likes it‟s moving and
dancing. Keseluruhan penjelasan pada data 1 memberikan pemahaman atau
pemaknaan terhadap istilah ogoh – ogoh. Sedangkan data 4 memberikan
penjelasan langsung secara deskriptif dengan handmade floats depicting demons
and evil spirits while commonly mistaken as an age-old tradition.
SIMPULAN
Berdasarkan analisa pada bagian pembahasan maka diperoleh simpulan bahwa
istilah budaya Bali dijelaskan melalui berbagai variasi penjelasan. Adapun variasi
penjelasan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang istilah
budaya Bali kepada pembaca dengan latar belakang berbeda. Variasi – variasi
yang dilakukan terhadap istilah budaya Bali dilakukan dengan memberikan
penjelasan secara utuh dalam konteks – konteks kalimat dan penjelasan melalui
frasa deskripsi. Dengan variasi penjelasan seperti itu maka pembaca dengan latar
budaya berbeda dapat memahami makna yang dikandung oleh sebuah istilah
budaya yang muncul pada media online berbahasa Inggris.
DAFTAR PUSTAKA
Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Washington: Longman
Pearson Education.
Parthama, I Gusti Ngurah. 2017. Kajian Alih Bahasa Penggunaan Dua
Bahasa Pada Papan Informasi Publik. Hasil penelitian Hibah
Unggulan Program Studi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Udayana.
Setianingsih, Alit Ida. 2003. Some Alternative Ways of Establishing Lexical
Equivalences of Balinese Cultural Terms in English. (Tesis).
Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana,
Universitas Udayana.
Vinay, Jean-Paul, dan Jean Darbelnet. 2000. A Methodology for Translation
dalam kumpulan naskah The Translation Studies Reader edited by
Lawrence Venuti. London: Routledge.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 265
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI
KUNO
Ni Ketut Puji Astiti Laksmi
Prasasti dikeluarkan atas perintah seorang raja, maka sewajarnya
apabila hal yang dikemukakan di dalam prasasti adalah hal-hal
yang berkaitan dengan aktivitas seorang raja, sesuai dengan
kepentingan dikeluarkannya prasasti.Walaupun demikian tidak
berarti bahwa hal-hal lain yang tidak disebut-sebut dalam prasasti
khususnya yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat tidak
diketahui atau dikenal, melainkan karena tidak penting
dikemukakan dalam isi prasasti yang biasanya singkat. Pernyataan
ini justru mendorong penulis untuk melakukan penemuan-
penemuan ruang kosong dalam teks prasasti khususnya dari sudut
pandang masyarakat, karena prasasti merupakan bukti kearifan
lokal masyarakat pada masa tersebut.
Kata Kunci : Prasasti, Masyarakat, Kearifan Lokal.
I. Pendahuluan
Prasasti telah terbukti memberikan banyak informasi penting dalam upaya
merekonstruksi sejarah perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia,
khususnya pada masa Hindu-Buddha karena sebagian besar informasi mengenai
zaman kuno di Indonesia diperoleh dari prasasti,demikian juga dengan
rekonstruksi sejarah Bali. Penelitian prasasti dilakukan terutama untuk
membangun kerangka waktu yang diperlukan dalam menjelaskan perkembangan
budaya. Albert C. Spaulding (1971) menyatakan bahwa subject matter dari
arkeologi adalah artefak (dalam arti yang luas), yaitu seluruh benda yang
mencerminkan kegiatan budaya manusia atau disebut dengan budaya bendawi
(material culture). Ian Hodder (1986:11) menyatakan bahwa ‖The writing of ink
on paper is itself one type of material culture, and the inference of meaning from
such evidence is equivalent to that for material objects in general‖ (Tulisan pada
kertas (teks) merupakan salah satu jenis budaya materi itu sendiri, dan makna
yang terkandung dari bukti tersebut setara dengan benda material pada
umumnya).Oleh karena itu, maka prasasti juga merupakan kategori artefak, yang
berarti pula potensial untuk dimanfaatkan bagi kajian arkeologi
(Kusumohartono,1994 :17).
Penelitian prasasti khususnya prasasti masa Bali Kunoabad IX-XIV
Masehi telah dilakukan oleh beberapa ahli, baik ahli dari dalam maupun luar
negeri.Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga sekarang beberapa ahli
yang melakukan penelitian terhadap prasasti diantaranya ialah H.N van der Tuuk,
J.L.A.Brandes, P.V.van stein Callenfels, R.Goris, M.M Soekarto K Atmodjo,
Ketut Ginarsa, Putu Budiastra, Gde Semadi Astra, dan Wayan Ardika.
Pada hakekatnya, makalah ini bertujuan untuk memaparkan keberadaan
prasasti pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi sebagai salah satu bukti
266 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kearifan lokal masyarakat pada masa tersebut. Pada prasasti tercatat beberapa
aspek budaya yang terjadi pada waktu prasasti tersebut diturunkan, sehingga
keakuratan data yang terkandung di dalam prasasti dapat lebih mudah dipercaya
dan dipahami. Meskipun beberapa aspek budaya sering luput dan tidak dipaparkan
secara gamblang di dalam prasasti tetapi disisi lain aspek-aspek yang menjadi
fokus perhatian atau permasalahan pada saat prasasti itu diturunkan sering kali
diulas secara mendetail. Mengacu pada ulasan-ulasan itulah kemudian dapat
dipahami kehidupan masyarakat Bali Kuno.
II. Metodelogi
Magetsari (2016: 79), mengatakan bahwa dalam konteks kesejarahan,
kedudukan prasasti sebagai sumber sejarah dapat dianalogikan sebagai arsip.
Hakekat arsip, menurut archival science atau archivistik merupakan peristiwa
yang dengan sendirinya telah berlalu sehingga telah mengalami pembekuan.
Tugas ahli kearsipan adalah membuat peristiwa itu cair kembali, sehingga dapat
menjadi bermakna dalam masa sekarang. Oleh karena itu, maka tugas seorang
epigraf adalah mengubah masa lampau menjadi masa kini, dengan cara
menjadikan prasasti yang pada dasarnya statis menjadi dinamis. Sehingga dalam
konteks epigrafi, apabila prasasti diperlakukan sebagai representasi fakta sejarah
masa lampau, maka terhadapnya tidak dapat dipahami melalui interpretasi kata
demi kata. Prasasti merupakan proses bekuan dari peristiwa, sehingga unit
analisisnya pun seyogyanya juga peristiwa dan bukan kata. Oleh karena itu, maka
metode interpretasi yang diterapkan tidak terbatas pada kata, melainkan kata
dalam konteks.
III. Pembahasan
PrasastiBali Kuno adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan mulai dari abad
IX (804 Śaka/882 Masehi) sampai dengan abad XIV (1259 Śaka/1337 Masehi).
Sampai sekarang sedikitnya 250cakep prasasti tembaga dari 24 raja telah
ditemukan di Bali. Tradisi tulis di Indonesia telah mewariskan peninggalan berupa
prasasti dalam jumlah yang amat banyak serta beraneka ragam baik bentuk, jenis,
maupun isinya. Keberadaan asset budaya berupa prasasti sebagai salah satu
bentuk cagar budaya, tidak saja memperkaya keberadaan komunitas suatu
masyarakat, tetapi sekaligus memberi pengetahuan mengenai budaya masa lalu,
seperti kondisi sosial budaya, karakter budaya, dan identitas budaya yang
merupakan bukti kearifan lokal masyarakat Bali Kuno. Berikut adalah aspek-
aspek yang dapat menunjukkan bahwa prasasti dapat dipakai sebagai bukti
kearifan lokal masyarakat Bali pada masa lampau.
3.1 Aspek Fisik dan Spiritual Prasasti Bali Kuno
Keberadaan suatu prasasti Bali Kuno hingga sekarang masih sangat
disakralkan oleh masyarakat Bali. Pada umumnya prasasti disimpan di
tempat suci seperti pura, pura kawitan, pemrajan/sanggah, dan dadia.
Prasasti dibungkus dengan kain putih atau kuning dan dimasukan ke dalam
suatu keropak yang kemudian disimpan pada bangunan pelinggih gedong
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 267
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
simpen. Perlakuan cara penyimpanan seperti tersebut menunjukan bahwa
masyarakat sangat menghargai warisan leluhur secara fisik. Sedangkan
secara spiritual masyarakat masih menghormati warisan prasasti seperti
layaknya menghargai leluhur (tetamian leluhur). Masyarakat melaksanakan
persembahan pada hari-hari tertentu misalnya Hari Raya Saraswati karena
prasasti diibaratkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Meskipun tidak
dapat dipungkiri terkadang masyarakat kurang mengerti aksara dan bahasa
yang dituliskan pada prasasti, tetapi spirit menghargai dan menghormati
warisan leluhur dapat dipakai sebagai langkah awal dalam pelestarian
prasasti dan cagar budaya secara umum. Perlakuan baik secara fisik maupun
spiritual terhadap prasasti menunjukan bahwa masyarakat memiliki kearifan
lokal yang yang berujung pada pelestarian budaya Bali.
3.2 Aspek Isi Prasasti Bali Kuno
Secara garis besar prasasti Bali Kuno abad IX-XIV Masehimemiliki
struktur isi yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu tipe prasasti yumu
pakatahu, punah, dan ing/i Śaka. Tipe yumu pakatahu adalah tipe tertua
dalam prasasti Bali. Tipe ini memiliki struktur isi yang berbeda
dibandingkan kedua tipe yang lainnya karena selalu diawali dengan kata
yumu pakatahu dan tidak menyebut nama raja yang mengeluarkan prasasti
tersebut. Unsur pertanggalan diletakkan pada bagian akhir prasasti dan
dikeluarkan di Panglapuan Singhamandawa. Sehingga prasasti-prasasti
tersebut juga sering disebut sebagai prasasti dari periode Singhamandawa.
Walaupun demikian juga ditemukan prasasti bertipe yumu pakatahu yang
menyebut nama raja yakni Raja Ugrasena dan dikeluarkan di Penglapuan
yang sama yakni Panglapuan di Singhamandawa. Penyebutan nama raja
pada prasasti bertipe yumu pakatahu diletakkan pada bagian akhir prasasti.
Struktur isi prasasti secara umum, terlepas dari prasasti bertipe yumu
pakatahu yang memiliki struktur sedikit berbeda, baik yang bertipe punah
maupun ing saka adalah sebagai berikut. (1) Unsur-unsur pertanggalan yang
menyatakan waktu prasasti-prasasti yang bersangkutan dikeluarkan atau
diturunkan secara resmi;(2) Nama raja atau ratu yang mengeluarkan
prasasti;(3) Nama orang/pejabat atau karaman yang menerima perintah raja;
(4) Inti titah raja/ratu; (5)Alasan yang melandasi prasasti itu dikeluarkan
(sambandha);(6) Rincian tentang berbagai hak yang didapat oleh pihak desa
penerima prasasti serta kewajiban yang harus dilakukannya; (7) Pejabat-
pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah yang berfungsi sebagai saksi
dalam penganugerahan prasasti yang bersangkutan; (8) Sapatha yakni
bagian yang memuat sumpah/kutukan bagi siapa pun yang berani melanggar
ketetapan yang tercantum dalam prasasti, banyak prasastiberisi bagian
sapathawalaupun tidak semua prasasti (Astra, 1997:17-18).
Kedelapan struktur isi prasasti mencerminkan kearifan lokal
masyarakat Bali Kuno. Masyarakat Bali Kuno sesungguhnya telah
mendapat pengaruh budaya luar terutama budaya India dan Jawa, tetapi
pada unsur pertanggalan tidak semua unsur budaya luar dipergunakan di
dalam prasasti-prasasti Bali Kuno.Kearifan lokal masyarakat Bali Kuno
268 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
telah tercermin dalam perhitungan pertanggalan yang tertulis di dalam
prasasti. Beberapa unsur lokal seperti hari pasaran wijayamanggala,
wijayakranta dan wijayapura dipergunakan di dalam prasasti-prasasti Bali
Kuno dan tidak ditemukan di dalam prasasti lainnya. Berkaitan dengan
penyebutan nama terutama nama pejabat serta jabatannya juga menunjukan
adanya unsur-unsur budaya lokal. Sebagai contoh, di dalam prasasti
SukawanaAI lempeng Ib baris 1ditemukan nama Kumpi Ananyang
menjabat sebagai Nayakan Makarun (Goris, 1954: 65). Kata kumpi masih
ditemukan pada masyarakat Bali masa sekarang yang berarti nenek/kakak
buyut.
Selanjutnya di bagian rincian aturan-aturan bagi masyarakat pada
masa tersebut sangat jelas menunjukan adanya kearifan lokal. Antara raja
beserta para pejabat dan rakyat bersama-sama memecahkan masalah yang
sedang dihadapi demi kebaikan bersama. Kedudukan raja sebagai kepala
pemerintahan yang tertinggi tidak semata-mata menyebabkan raja dapat
bertindak sewenang-wenang. Stratifikasi sosial yang sampai sekarang
dikenal dengan sistem kasta dan berasal dari budaya India tidak secara
mutlak diadosi dan diterapkan pada masa Bali Kuno.
Adapun Sapatha(kutukan) yang tertulis dalam prasasti-prasasti dapat
dikatakan sebagai sanksi moral (immaterial) bagi mereka yang ingin
mengubah atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh sang raja. Orang-
orang yang melanggar ketentuan dalam prasasti akan mendapat bahaya, hina,
papa, sepanjang masa atau dibunuh oleh para Dewa. Di sisi lain, kutukan
yang tertulis dalam prasasti mencerminkan kekuasaan dan kekuatan seorang
raja. Raja-raja Bali Kuno seolah-olah telah menciptakan strategi atau sistem
pengawasan. Setiap individu melakukan pengawasan terhadap dirinya
sendiri (pendisiplinan diri) atau semacam pengawasan melekat dan
pengawasan tersebut seolah-olah melawan dirinya sendiri dari perbuatan
buruk. Sanksi dengan kutukan kemungkinan merupakan perubahan dari
hukuman jasmani ke hukuman jiwa (psikologi).
IV. Simpulan
Berdasarkan paparan ringkas di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
perlakukan masyarakat Bali pada masa sekarang terhadap tinggalan berupa
prasasti merupakan bukti kearifan lokal masyarakat Bali sebagai wujud
pelestarian warisan leluhur yang merupakan budaya bangsa. Demikian juga
halnya dengan struktur isi prasasti menunjukan adanya kearifan lokal masyarakat
Bali Kuno dalam menyerap budaya yang berasal dari luar. Perpaduan antara
budaya lokal dan budaya luar (India dan Jawa) dapat memperkaya budaya budaya
Bali yang kemudian diwariskan hingga masa sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Astra, I Gde Semadi. 1997. ―Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno abad XII-XIII :
Sebuah Kajian Epigrafis‖, Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 269
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Goris, R. 1954a. Prasasti Bali I. Bandung : NV. Masa Baru.
----------- 1954b. Prasasti Bali II. Bandung : NV. Masa Baru.
Hodder, Ian. 1986. Reading the Past, Current Aproaches to Interpretation in
Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.
Kusumohartono, Bugie. 1994. ―Data Baru dari Distribusi Artefak Prasasti‖, dalam
Berkala Arkeologi Tahun XIV-Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi
Yogyakarta. Hlm 17-21.
Magetsari, Noerhadi. 2016. Perspektif Arkeologi Masa Kini Dalam Konteks
Indonesia. Jakarta : Kompas Media Nusantara.
Laksmi, Ni Ketut Puji Astiti. 2017. ―Identitas Keberagamaan PadaMasa Bali
Kuno Abad IX-XIV Masehi: Kajian Epigrafis‖ Disertasi. Program Doktor
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.
Spaulding, Albert C. 1971. ―In The Dimensions of Archaeology‖, dalam Man‟s
Imprint from The Past, Readings in The Methods of Archaeology. James
Deetz (ed). Boston: Little Brown & Co.
270 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL
BALI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER
Ni Luh Arjani
Prodi Antropologi FIB Unud
ABSTRAK
Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang dilandasi dan dijiwai
oleh agama Hindu. oleh karena itu banyak aspek dari kebudayaan
Bali dapat dilacak dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama
Hindu termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai
sebagai landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis
terutama antara laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan
keluarga maupun masyarakat. Salah satu nilai kearifan lokal
tersebut adalah konsepsi ―ardhanareswari”. Konsep ini secara
harfiah diartikan bahwa Tuhan adalah sebagian laki-laki dan
sebagian perempuan. Dalam agama Hindu hal ini bermakna bahwa
laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah dwi tunggal
yang menyebabkan suatu keluarga menemui kebahagiaan dan
keharmonisan.
Di era milenial saat ini dimana tuntutan kesetaraan gender menjadi
isu nasional maupun global, tampaknya konsepsi ardhanareswari
ini sangat tepat dipakai landasan dalam mewujudkan visi
pemerintah menuju kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh karena itu hal ini penting
dipahami dan diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga
antara suami istri/laki-laki dan perempuan tidak ada saling
menguasai dan dikuasai demi terwujudnya keharmonisan.
Kata kunci: Ardhanareswari, kearifan local, kesetaraan gender.
Pendahuluan
Perdebatan terkait persoalan kesetaraan gender sampai saat ini masih cukup
mengemuka di ranah publik, wacana gender tidak hanya menjadi isu dilingkup
lokal maupun nasional namun sudah menjadi isu global. Hal ini tampak dengan
dimasukkannya isu ini dalam berbagai pertemuan/konfrensi wanita tingkat dunia
di bawah payung PBB, seperti pada konfrensi PBB di Kopenhagen (1980),
Naerobi (1985), dan Konfrensi Beijing (1995), yang telah melahirkan Convention
for Eliminating Discrimination Againts Woman (CEDAW), dan konfrensi PBB
tahun 2000 yang menelorkan deklarasi Millenium Development Goals (MDGs)
dengan 8 isu sentral yang salah satu goalsnya (goals 3) menginginkan
terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tahun 2015.
Target MDGs di yahun 2015 tampaknya belum dapat terwujud sehingga isu
kesetaraan gender muncul kembali dalam kesepakatan sustainable development
goals (SDGs) yang targetnya tercapai di tahun 2030.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 271
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kesepakatan global ini mencirikan bahwa Indonesia sebagai bagian dari
Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tampaknya juga belum terbebas dari persoalan
ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan gender dalam
bentuk diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan dan beban berat masih
muncul diberbagai bidang kehidupan baik di lingkup keluarga maupun
masyarakat yang lebih luas. Dalam kehidupan keluarga, budaya patriarkhi masih
sangat kental dimana dominasi kekuasaan ada di tangan laki-laki. Ideologi
patriarkhi ini merupakan ideology yang menempatkan laki-laki/bapak pada posisi
yang superior, sebagai pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan yang
utama ( Engels dalam Budiman, 1985:19). Sementara di luar keluarga/mayarakat
isu gender masih tampak antara lain di bidang politik dan ekonomi.
Di bidang politik, isu gender terutama tampak di legislatif maupun
eksekutif, pada tahun 2017 di Provinsi Bali, dari 389 anggota DPRD yang ada di
tingkat provinsi dan di semua kabupaten/kota. jumlah anggota perempuan hanya
33 orang (8,5%) begitu pula dengan jumlah DPRD Provinsi Bali dari 55 orang
anggota DPRD, hanya 5 orang ( 9,1%) perempuan, sementara di eksekutif tampak
dari rendahnya posisi perempuan di jabatan truktural eselon dua yang hanya
11,4% (Arjani, dkk, 2017: 67). Kondisi ini merupakan gambaran realita
ketimpangan gender yang masih terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya
dan masyarakat Bali khususnya. Jika dilihat secara normatif, baik dalam hukum
nasional (UUD.45, UU. No.7/1984 tentang anti diskriminasi terhadap perempuan)
maupun hukum agama khususnya agama Hindu telah tersirat dan tersurat
kesetaraan gender. Namun secara nyata tampaknya tidak sejalan dengan norma-
norma yang tercantum dalam regulasi nasional maupun ajaran agama khususnya
agama Hindu. Dalam ajaran Agama Hindu, salah satu sastra Hindu yang
mengajarkan tentang kesetaraan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan
tercantum dalam Siwatatwa yang dikenal dengan konsep ―Ardhanareswari‖ (Titib,
dkk, 2009:103).
Ardhanareswari; Representasi Nilai Kearifan Lokal Bali dalam Mewujudkan
Kesetaraan Gender
Kesetaraan gender merupakan visi pembangunan pemberdayaan perempuan dan
perlindungan anak di Indonesia, ini artinya bahwa ke depan kesetaraan dan
keadilan gender (KKG) menjadi tujuan utama yang ingin dicapai dalam
kehidupan keluarga dan masyarakat. Meskipun kesetaraan gender telah menjadi
visi pembangunan nasional, namun masih sering terjadi kesalahpahaman tentang
istilah gender dan kesetaraan gender. Gender seringkali diartikan perempuan,
padahal secara harfiah gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan
perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya, yakni perbedaan yang bukan
kodrat dan bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui
proses sosial dan kultural yang panjang ( Fakih, 1996;72). Sementara Kesetaraan
gender dalam konteks ini berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan
untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu
berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut
(Angka I.3 dan 4 Lampiran Inpres No.9 Tahun 2000). Agar proses yang adil bagi
perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk
menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah
272 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil
dari peran yang dimainkannya.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi
persoalan gender, namun seperti telah disinggung pada uraian pendahuluan di atas
sampai saat ini ketimpangan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat
Bali kususnya masih terjadi. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain adalah masih kuatnya budaya patriarkhi yang dilandasi oleh sistem
kekeluargaan patrilineal di Bali. Sistem kekerabatan patrilineal sudah menjadi
bagian dari kebudayaan Bali yang berimplikasi terhadap status laki-laki dan
perempuan. Salah satu cirri dari masyarakat yang paternalistik adalah peran dan
kedudukan laki-laki yang lebih dominan dibandingkan perempuan dalam aspek
kehidupan yang penting seperti dalam hal pengambilan keputusan dan pewarisan,
sementara perempuan menduduki posisi yang subordinat atau inferior. Hal inilah
yang secara realitas mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender di masyarakat.
Jika dilihat secara normatif, terutama dalam ajaran agama Hindu telah
tersirat dan tersurat nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti
lingga-yoni, samara-ratih, purusha-pradhana, ardhanareswari yang kemudian
terepresentasi dalam kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang
dilandasi dan dijiwai oleh agama Hindu, oleh karena itu banyak aspek dari
kebudayaan Bali dapat dilacak dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama
Hindu termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai sebagai landasan
dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis terutama antara laki-laki dan
perempuan baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Salah satu nilai
kearifan lokal tersebut adalah konsepsi ―ardhanareswari”. Konsep ini secara
harfiah diartikan bahwa Tuhan adalah sebagian laki-laki dan sebagian perempuan.
Dalam agama Hindu hal ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan sebagai
suami istri adalah dwi tunggal yang menyebabkan suatu keluarga menemui
kebahagiaan dan keharmonisan (Agastia, 1994 dalam Sancaya, 1996;45).
Ardhanariswari juga merupakan simbol Tuhan dalam manifestasinya
sebagai setengah purusa dan setengah pradana. Kedudukan dan peranan purusa
disimbolkan dengan Siwa yang memerankan fungsi maskulin, dan predana
disimbolkan dengan Dewi Uma yang memerankan fungsi feminine. Tidak ada
suatu apapun yang akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu
(Triguna, dalam Ariani, 2007;3). Jika dicermati makna simbol dari konsep
tersebut mengandung arti bahwa status dan peranan laki-laki dan perempuan
adalah setara dan saling melengkapi,
Namun demikian seringkali ditemukan antara sistem nilai budaya atau
norma yang ada dengan perilaku sosial suatu masyarakat tidak selamanya berada
dalam kaitan yang selaras karena tidak semua masyarakat memahami dan
menghayati nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama yang dianutnya. Lebih-lebih
di era milenial saat ini dimana masyarakat khususnya generasi muda sudah mulai
semakin terlena dan tertarik dengan dunia maya dengan memanfaatkan gaget
sehingga niat untuk memahami nilai-nilai agama menjadi semakin lemah.
Sementara disisi lain tuntutan kesetaraan saat ini sudah menjadi isu nasional dan
global, oleh karena itu tampaknya konsepsi ardhanareswari ini sangat tepat
dipakai landasan dalam mewujudkan visi pemerintah menuju kesetaraan gender
dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini penting
dipahami dan diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga antara suami
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 273
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
istri/laki-laki dan perempuan tidak ada saling menguasai dan dikuasai demi
terwujudnya keharmonisan. Untuk bisa membumikan nilai-nilai dari
―ardhanariswari‘ ini sangat diperlukan upaya mendasar yakni mensosialisasikan
ke semua lapisan masyarakat sehingga pemahaman tentang kearifan lokal ini
dapat dipakai dasar dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Ardhanareswari sebagai nilai kearifan lokal yang terkandung dalam
ajaran agama Hindu juga terepresentasi dalam sloka-sloka kitab suci agama Hindu
seperti dalam kitab Menawa Dharmasastra. Dalam Manawa Dharmasastra I.32
disebutkan
Dwidhakartwatmanodeham
Ardhenapurusabhawat
Ardhenanaritasyam
Wirayamasmrjatprabhuh
Terjemahannya:
Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi
perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja.
Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan
oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki
kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan. Dengan demikian, maka
perempuan dalam Hindu bukan merupakan subordinasi dari laki-laki. Demikian
pula sebaliknya. Kedua makhluk yang berbeda jenis kelamin ini memang tidak
sama namun perbedaan tersebut adalah untuk saling melengkapi. Mengapa Tuhan
menciptakan laki-laki dan perempuan? Manawa Dharmasastra IX.96
menyebutkansebagaiberikut.
Prajanarthastriyahsrtah
Samtanartamcamanawah
Tasmatsaharanodharmah
Srutaopatnyasahaditah
Terjemahannya:
Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki diciptakan untuk
menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk
melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda.
(http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/04).
Dari sloka tersebut di atas tersirat makna kesetaraan gender dalam
perspektif agama Hindu telah terwujud, oleh karena itu ada anggapan di
masyarakat bahwa kesetaraan gender di Bali tidak perlu dipersoalkan lagi.
Sementara secara nyata isu ketidakadilan gender masih mewarnai kehidupan
masyarakat di Bali.
Simpulan
Secara normatif baik dalam hukum nasional maupun hukum Agama khususnya
Agama Hindu sudah menunjukkan adanya kesetaraan gender. Namun secara
realitas ketimpangan gender di masyarakat khususnya masyarakat Bali masih
terjadi diberbagai bidang kehidupan, oleh karena itu persoalan gender masih tetap
menjadi isu regional, nasional dan internasional. Hal ini terbukti dari
274 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dimasukkannya isu gender ke dalam kesepakatan sustainable development goals
(SDGs) yang tujuan pencapaiannya di tahun 2030. Dengan demikian representasi
konsep ―Ardhanareswari‖ sebagai nilai kearifan local Bali sangat penting
diterapkan guna mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di Bali.
Daftar Pustaka
Agastia, I.B.G, 1994: ― Sosok Wanita Bali: Ditinjau dari Aspek Agama‖ , dalam
Warta Jagatnatha: Denpasar, PHDI Bali.
Arjani, Dkk. 2018 : Profil Perempuan Bali Tahun 2018. Denpasar. PSWPA
UNUD.
Ariani, 2007; Wanita Hindu dan Kerja; Peluang dan Tantangan. Denpasar.
Makalah seminar.
Budiman, Arief, 1985: Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan
Sosiologis Tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, Jakarta: P.T
Gramedia.
Fakih, Mansur. 1966. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.
Jogyakarta: Pustaka Pelajar.
Titib, 2008. Gender dalam perspektif Agama Hindu; Kesenjangan antara Normatif
dan Realitas Sosial, Denpasar.Makalah Seminar.
Windhu Sancaya, I Dewa Gede, dkk. 1996. ―Citra Wanita Dalam Sastra Bali
Tradisional dan Modern Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra
Feminis‖ Hasil penelitian. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.
Internet:
http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/04.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 275
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG:
STUDI PENDAHULUAN
Ni Luh Kade Yuliani Giri
Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana
ABSTRAK
Paper ini membahas mengenai perspektif gender tuturan perintah
bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei.
Perbedaan gender para pelibat tuturan memungkinkan adanya
penambahan fitur-fitur linguistic tertentu sebagai ciri khas yang
mewakili gender para pelibat tuturan tersebut. Sumber data dari
paper ini diambil dari anime, drama, dan komik bahasa Jepang.
Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan
teknik catat. Selanjutnya metode deskriptif kualitatif digunakan
pada tahapan analisa data. Simpulan yang diperoleh adalah bahwa
penggunaan bentuk imperative meirei dalam tuturan perintah
bahasa Jepang tidak hanya terbatas dikalangan pria saja. Akan
tetapi dapat juga digunakan di antara pria-wanita, maupun
dikalangan wanita. Penggunaan bentuk ini dikalangan pria
cenderung dalam bentuk imperative sederhana berupa kata kerja
bentuk meirei itu sendiri. Apabila dalam konteks tuturan dari
penutur pria terhadap penutur wanita, terdapat penggunaan strategi
soften the face threat dalam bentuk menyatakan alasan maupun
penggunaan partikel akhir kalimat yo yang mempunyai daya ilokusi
untuk menguatkan derajat imperativenya. Sedangkan
penggunaannya di kalangan wanita lebih menunjukkan upaya
untuk menurunkan derajat imperative tuturan melalui strategi
soften the face threat yaitu dengan memberikan penjelasan dan
penggunaan polite copula serta nominalizer untuk meningkatkan
tingkat kesantunan dari bentuk imperative meirei.
Kata kunci: gender, imperative, meirei-kei
PENDAHULUAN
Karakteristik tuturan yang dipengaruhi oleh gender dari penutur tidak
pernah bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian menyebabkan
ketertarikan dari para ahli bahasa untuk meneliti tentang keterkaitan gender
dengan bahasa. Jespersen merupakan salah satu dari ahli bahasa yang pertama kali
mengambil penelitian tentang ujaran kaum wanita pada tahun 1922. Jespersen
mengamati bahwa wanita memiliki kosakata yang kurang luas, menggunakan
struktur yang lebih sederhana dan memiliki kecenderungan untuk berbicara
sebelum berpikir, serta sering mebiarkan kalimat yang mereka sampaikan tidak
lengkap. 50 tahun kemudian, pada tahun 1973 penelitian dari Lakoff memberikan
pengaruh sekaligus sebagai tanda awal dimulainya bidang studi tentang bahasa
276 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dan gender. Lakoff membedakan bahasa laki-laki dengan perempuan berdasarkan
tanda linguistic yang dimunculkan. Tanda linguistic tersebut yaitu perbedaan
leksikal seperti istilah warna, istilah yang kuat versus lemah, istilah ‗wanita‘
versus ‗netral‘, penggunaan kalimat tanya, serta penggunaan bentuk pernyataan
dalam kalimat pertanyaan. Sebagai contoh, Ia mennyatakan bahwa wanita
cenderung mengungkapkan sumpah serapah dengan kata-kata yang lebih halus,
seperti „oh dear!‟ daripada „damn!‟. Wanita juga digambarkan lebih sering
menggunakan tanda tanya dibandingkan dengan pria. Artikel Lakoff tentang
hubungan bahasa dengan gender sampai saat ini pun masih terus berkembang dan
diterapkan di berbagai bahasa (Itakura, 2001:14).
Bahasa Jepang merupakan bahasa yang tidak lepas dari perspektif gender
dalam setiap ujarannya. Itakura (2001:7) menyatakan bahwa gender merupakan
salah satu factor yang menentukan status relative dari masing-masing individu
dalam masyarakat Jepang. Pernyataan Itakura ini juga diperkuat oleh pernyataan
dari Lebra (1984: 301) yang menyatakan bahwa peran seks menstabilkan dan
menguatkan hierarki berdasarkan jenis kelamin. Struktur social masyrakat secara
keseluruhan memandang bahwa status, kekuasaan, otonomi, serta peran yang
dimiliki perempuan dianggap lebih rendah, terbatas, dan harus tunduk terhadap
laki-laki.
Perspektif gender juga bisa diperhatikan penggunaannya dalam bentuk
tuturan perintah bahasa Jepang, terutama bentuk tuturan perintah langsung.
Makino dan Tsutsui (1986), Lambers (2004), Yamaguchi (2007), Lee dan
Ogi(2017) menyatakan bahwa tuturan perintah langsung dalam bahasa Jepang
salah satunya dapat dilihat dari penggunaan bentuk meirei. Berikut merupakan
contoh kata kerja dalam bemtuk meirei.
Jishokei
‗Verba btk kamus‘
meireikei
Kuru „datang‘ Koi ‗datang!‘
Suru ‗melakukan‘ Shiro „lakukan!‘
Miru „melihat‘ Miro „lihat!‘
Taberu „makan‘ Tabero ‗makan!‘
Toru ‗mengambil‘ Tore ‗ambil!‘
Kau „membeli‘ Kae ‗beli!‘
Motsu ‗membawa‘ Mote „bawa!‟
Yobu „memanggil‟ Yobe ‗panggil!‘
Nomu ‗minum‘ Nome „minum!‘
Kaku ‗menulis‘ Kake ‗tulis‘
Oyogu ‗berenang‘ Oyoge „berenang!‘
Hanasu ‗bicara‘ Hanase ‗bicara!‘
METODOLOGI
Metodologi penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu
adalah tahapan penyediaan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan
tahapan analisa data. Sumber data diambil dari komik, drama, dan anime. Data
yang dipilih dan digunakan dalam penelitian ini adalah data tuturan perintah
bahasa jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei kei. Pada tahapan
pengumpulan data digunakan metode simak dengan teknik catat (Sudaryanto,
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 277
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
1993). Metode simak dan teknik catat tersebut diterapkan dengan menyimak
penggunaan tuturan perintah bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative
meirei kei kemudian mencatat dan mengklasifikasikan data-data tersebut
berdasarkan gender dari penutur dan lawan tutur. Sementara metode deskriftif
kualitatif digunakan pada tahapan analisa data dengan cara memberikan
penjelasan terkait terkait strategi-strategi yang diterapkan pada tuturan perintah
yang menggunakan bentuk meirei berdasarkan gender para pelibat tuturan.
PEMBAHASAN
Berikut merupakan pembahasan tuturan perintah bahasa Jepang yang
menggunakan bentuk imperative meirei kei berdasarkan gender para pelibat
tuturan.
Bentuk meirei adalah bentuk perintah yang paling kasar. Penggunaan bentuk ini
tidak hanya menunjukkan otoritas kuat yang dimiliki oleh penutur, namun juga
digunakan untuk menunjukkan kemarahan. Dalam percakapan sehari-hari
penggunaannya sangat terbatas. Martin dalam Okamoto (2004) menyatakan
bahwa jenis imperative ini secara tradisional dikategorikan sebagai bentuk
‗maskulin‘. Sehingga penggunaannya terbatas untuk kalangan pria. Seperti pada
berikut.
a. 「勝手に食いに行け」
“Katte ni kui ni ike!”
‗Sana pergi makan sendiri!‘
Tuturan pada data (a) merupakan tuturan di kalangan pria, yaitu antara
Itsuki dan Setsuna. Itsuki menyuruh Setsuna untuk membeli makan sendiri.
Bentuk imperative pada data (a) terdapat pada verba ike ‗pergi!‘. Bentuk
imperative ike berasal dari verba iku ‗pergi‘. Kesan maskulin juga dipertegas oleh
verba bentuk renyookei kui ‗makan‘ (Okamoto, 2004). Bentuk renyookei „kui‟
berasal dari verba kuu ‗makan‘. Bentuk standar dari verba kuu adalah taberu
‗makan‘. Akan tetapi penggunaan bentuk imperative meireikei tidak hanya
terbatas dikalangan pria saja. Data berikut menunjukkan penggunaan oleh pria
kepada wanita.
b.「明日は早いだからさっさと寝ろ!」
“Ashita wa hayai dakara sassato nero!”
‗Karena besok harus bangun pagi, cepat tidur!‘
Tuturan pada data (b) dituturkan oleh Naofumi (pria) terhadap Raphtalia
dan Filo (wanita). Naofumi menyuruh Raphtalia dan Filo untuk segera tidur
karena keesokan paginya harus bangun lebih pagi. Bentuk imperative pada data
(b) tercermin dari verba nero ‗tidur!‘ yang berasal dari verba neru ‗tidur‘. Akan
tetapi penggunaan bentuk imperative meirei pada data ini, yang dituturkan oleh
Naofumi terhadap Raphtalia dan Filo mengandung unsur yang berfungsi untuk
melembutkan ancaman ‗wajah‘ (soften the face threat). Jarkey (2017) menyatakan
bahwa salah satu cara untuk melembutkan ancaman ‗wajah‘ pada tuturan perintah
sering dengan cara menyatakan alasan atau memberi penjelasan kepada lawan
tutur. Soften the face threat ditunjukkan oleh tuturan ashita wa hayai dakara
278 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
‗karena besok harus bangun pagi.‘ Naufumi memberikan penjelasan atau alasan
yang melatarbelakangi perintah yang ia sampaikan kepada Raphtalia dan Filo.
c. 「感謝しろよ」
“Kansha shiro yo!”
‗Berterimakasihlah padaku!‘
Tuturan pada data (c) dituturkan oleh Ookami (pria) terhadap Kiritani
(wanita). Ookami menyuruh Kiritani untuk berterima kasih kepadanya. Bentuk
imperative pada data (c) dapat dilihat dari tuturan kansha shiro ‗berterima
kasihlah!‘. bentuk imperative kansha shiro berasal dari kansha suru ‗berterima
kasih‘ yang tergolong kedalam kata kerja golongan tiga. Bentuk tuturan perintah
pada data ini dikombinasikan dengan penggunaan partikel yo pada akhir tuturan.
Coniglio dan Zegrean dalam Endo (2012) menyatakan bahwa partikel yo yang
terletak dibelakang bentuk meirei merupakan partikel yang mempunyai daya
ilokusi. Penggunaan partikel yo setelah bentuk meirei berfungsi untuk
mempertegas atau memperkuat bentuk meirei itu sendiri.
Okamoto (2004) menyatakan bahwa tuturan perintah yang berasal dari
bentuk meirei merupakan bentuk ekslusivitas yang hanya dimiliki oleh pria dalam
penggunaannya. Wanita, dari segi budaya dan idealnya disarankan untuk
menghindari penggunaan bentuk meirei. Akan tetapi data berikut ini menunjukkan
bentuk imperative dikalangan wanita.
d. 「終わったら帰れですの!」
“Owattara kaere desu no!”
‗Kalau sudah selesai, pulanglah!’
Tuturan pada data (d) dituturkan oleh Jashin (wanita) kepada Kori
(wanita). Jashin
menyuruh Kori untuk segera pulang kalau pekerjaannya sudah selesai.
Bentuk imperative pada data (d) ditunjukkan oleh kaere ‗pulanglah!
Bentuk imperative kaere berasal dari verba kaeru ‗pulang‘, yang
merupakan kata kerja golongan satu. Dari data ini dapat dilihat bahwa
terdapat penggunaan strategi soften the threat yang tercermin pada tuturan
owattara ‗kalau sudah selesai‘. Owattara merupakan penjelasan yang
disampaikan oleh penutur untuk menurunkan derajat keterancaman yang
ditimbulkan oleh tuturanya. Selain itu penutur juga menyertakan desu no
dibelakang bentuk imperative kaere. Desu merupakan bentuk sopan dari
kopula da. Sementara no yang terdapat dibelakang desu dalam pola desu
no merupakan nominalizer yang berfungsi untuk meningkatkan derajat
kesantunan dari ujaran sebelumnya (Iwasaki, 2002).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 279
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data yang mengandung bentuk meirei
sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaannya tidak hanya terbatas
dikalangan pria saja. Akan tetapi dapat juga digunakan di antara pria-wanita,
maupun dikalangan wanita. Penggunaan bentuk ini dikalangan pria cenderung
dalam bentuk imperative sederhana berupa kata kerja bentuk meirei itu sendiri.
Apabila dalam konteks tuturan dari penutur pria terhadap penutur wanita, terdapat
penggunaan strategi soften the face threat dalam bentuk menyatakan alasan
maupun penggunaan partikel akhir kalimat yo yang mempunyai daya ilokusi
untuk menguatkan derajat imperativenya. Sedangkan penggunaannya di kalangan
wanita lebih menunjukkan upaya untuk menurunkan derajat imperative tuturan
melalui strategi soften the face threat yaitu dengan memberikan penjelasan dan
penggunaan polite copula serta nominalizer untuk meningkatkan tingkat
kesantunan dari bentuk imperative meirei.
DAFTAR PUSTAKA
Hasegawa, Yoko. 2015. Japanese: A Linguistic Introduction. London: Cambridge
University Press
Itakura, Hiroko. 2001. Conversational dominance and gender: A Study of
Japanese speaker in first and second language context. Amsterdam: John
Benjamins B.V
Iwasaki, Shoiki. 2002. Japanese. Amsterdam: John Benjamins B.V
Lambers, Wayne P. 2004. Japanese The Manga Way. California: Stone Bridge
Press
Leech, Geoffrey. 2014. The Pragmatic of Politeness. New York: Oxford
University Press.
Lee, Duck-Young and Naomi Ogi. 2017. Directive Strategies in Modern Korean
and Japanese: With Special Reference to Commands and Requests. Dalam
Imperative and Directive Strategies. Editor: Olmen, Daniel Van, dan Simone
Heinold. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Mizutani, O and N. Mizutani. 1987.How To Be Polite in Japanese. Japan: The
Japan Time
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis). Yogyakarta: Duta Wacana
University Press.
Yamaguchi, Toshiko. 2007. Japanese Language in Use: An Introduction. London:
Continuum
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 280
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS
DALAM BAHASA BALI
Ni Luh Komang Candrawati
Balai Bahasa Bali
ABSTRAK
Tulisan ini menggunakan metode agih yang alat penentunya adalah
berupa bagian atau unsur bahasa itu sendiri. Teknik dasar yang
digunakan adalah ―teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP‖.
Selanjutnya, teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori
struktural. Teori ini memiliki konsep dasar yang memandang
bahasa sebagai objek penelitian yang organik, yang memiliki
struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Di samping itu,
bahasa selalu memiliki bentuk dan arti. Kedua aspek itu perlu
diberi perhatian yang seimbang seperti yang dianjurkan oleh Lyons
(1977:537). Berdasarkan pembahasan, makna reduplikasi adjektif
bahasa Bali dapat dibedakan menjadi enam, yaitu (1) menyatakan
makna ―tak tunggal‘, contohnya Keluargane sugih-sugih
‗kelurganya kaya-kaya‘ (2) makna intensif, ‘Intensif‘ yang
mengandung makna ‘sangat D‘ atau ‗D sekali‘ contohnya Bajune
putih-putih. ‗bajunya putih-putih‘, Intensif yang mengandung
makna penonjolan, contohnya Ia seken-seken tresna teken
kurenanne.‗ia benar-benar mencintai suaminya‘ (3) makna
superlatif contohnya Ia medaar sewareg-waregne. ‗Ia makan
sekenyang-kenyangnya‘, (4) makna pengaburan contohnya Torise
demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-coklatan ‗Wisatawan asing
senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘ (5) makna
seakan-akan D‘contohnya Masalahne ento gede-
gedeange.‗Masalah itu dibesar-besarkan‘, dan (6) makna saling‘
contohnya Penumpange negak medesek-desekan di bise. ‗Para
penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘
Kata kunci: reduplikasi, adjektif, morfemis.
1.Pendahuluan
Sampai saat ini, bahasa Bali masih tetap tumbuh dan berkembang. Bahasa
Bali berfungsi sebagai media komunikasi bagi para penuturnya untuk
mempelajari, menghayati, dan mengungkapkan nilai-nilai budaya Bali. Dalam
kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Bali berfungsi sebagai sarana
komunikasi dalam lingkungan keluarga, alat pengembangan bahasa dan
budaya daerah, serta sebagai alat pengembangan bahasa nasional (band.
Bagus, 1988:13).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 281
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Selain itu, daerah Bali adalah daerah pusat pariwisata yang telah banyak
bersentuhan dengan kebudayaan asing. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah
bahasa Bali mendapat perhatian yang lebih besar dari para ahli bahasa. Pada
saat ini, penelitian bahasa Bali semakin meningkat setelah Pusat Pembinaan
dan Pengembangan Bahasa menggalakkan penelitian bahasa-bahasa daerah di
seluruh Indonesia.
Dari sejumlah penelitian tentang bahasa Bali yang telah dilakukan, berikut
ini hanya sebagian kecil disebutkan, terutama yang ada kemiripannya dengan
masalah yang dibahas. Hasil-hasil penelitian bahasa Bali yang ada kemiripan
dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, di antaranya sebagai berikut.
(a)Tata Bahasa Bali (1983) oleh Wayan Warna, dkk.
(b)Tata bahasa Baku Bahasa Bali (1966) oleh Sulaga, dkk.
Pembahasan dalam kedua buku tersebut tidak secara khusus
membicarakan reduplikasi adjektif dalam bahasa Bali. Reduplikasi (kata
ulang) adjektif pada kedua buku tersebut hanya disinggung sedikit dalam
subbab, yaitu subbab makna reduplikasi (kata ulang) . Makna reduplikasi (kata
ulang) dalam buku tersebut, yaitu ‘menyatakan sangat, mengeraskan
pengertian, atau benda yang menjadi inti frase, contohnya adeng-adeng
‘pelan-pelan‘. Selain itu, juga disinggung dalam subbab‘menyatakan tingkat
paling‘, contohnya sejegeg-jegeg ‘secantik-cantik‘ dan sesiteng-siteng ‘sekuat-
kuat‘. (Warna, 1983:60—61; Sulaga, 1996:165—166).
Hasil penelitian seperti itu telah menampakkan pengaruhnya terhadap
pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Namun, dengan hal seperti itu
bukan berarti bahasa Bali tidak perlu diteliti lagi. Sehubungan dengan itu,
pada kesempatan ini akan dibicarakan ‖Reduplikasi Adjektif Secara
Morfemis Dalam Bahasa Bali‖
―Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis Dalam Bahasa Bali‖ sebagai judul
tulisan ini. Adapun masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah makna
apa saja yang ditemukan pada reduplikasi adjektif dalam bahasa Bali?.
Tulisan ini menggunakan teori struktural. Teori ini memiliki konsep dasar
yang memandang bahasa sebagai objek penelitian yang organik, yang
memiliki struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal (Bloomfield,
1956). Di samping itu, bahasa selalu memiliki bentuk dan arti. Kedua aspek
itu perlu diberi perhatian yang seimbang seperti yang dianjurkan oleh Lyons
(1977:537).
Selanjutnya, Saussure (1977:115) mengatakan bahwa tanda bahasa
merupakan wujud psikis, tidak mempertimbangkan wujud dari parole. Tanda
bahasa dikatakan mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan, yaitu
konsep adalah signefie yang ‘ditandai‘ atau ‘petanda‘, dan citra akustis adalah
signifiant yang ‘menandai‘ atau ‘penanda‘.
Saussure (1977:122) juga mengatakan bahwa bahasa sebagai relasi
sintagmatis dan paradigmatis, sistem itu terjadi dari tingkat-tingkat struktur,
pada tiap-tiap tingkat terdapat unsur-unsur yang saling berkontras dan saling
berkombinasi untuk membentuk satuan-satuan yang lebih tinggi. Prinsip-
prinsip perstukturan pada tiap tingkat pada dasarnya sama, tujuannya adalah
mencari sistem (langue) tersebut dari kenyataan konkret (parole).
Selain itu, Saussure juga mengemukakan dikotomi sinkronik dan
diakronik serta pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Dalam tulisan ini, yang
282 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
akan diterapkan adalah penelitian yang bersifat sinkronik, yaitu memusatkan
penelitian bahasa pada kurun waktu tertentu tanpa melihat unsur
kesejarahannya. Dengan demikian, data yang diperoleh atau terkumpul adalah
data yang bersifat kekinian.
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode agih yang alat
penentunya adalah berupa bagian atau unsur bahasa itu sendiri. Teknik dasar
yang digunakan adalah ―teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP‖. Adapun
alatnya ialah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya.
Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipilah-pilahkan atau dipisah-pisahkan
atau dibagi menjadi berbagai unsur itu, daya pilah itu disebut daya pilah
referensi, daya pilah, fonetis artikulatoris, daya pilah translasional, daya pilah
ortografis, dan daya pilah pragmatis. Adapun dasar pembagiannya atau dasar
pemilahan atau pemisahannya sudah barang tentu disesuiaikan dengan sifat
atau watak unsur penentu itu masing-masing (Sudaryanto, 2015:25—26).
3. Pembahasan
3.1 Reduplikasi Adjektif Bahasa Bali
Selanjutnya, akan dideskripsikan mengenai reduplikasi adjektif bahasa Bali
secara morfemis; yaitu, arti apa saja yang ditimbulkan akibat proses
morfemisnya, dengan kata lain, tipe-tipe makna secara morfemis adalah
makna kata yang dengan segera dapat diketahui tanpa melibatkan konteks
sintaktiknya (Harimurti, 1978).
Sebelum hal ini dibicarakan lebih lanjut, ada baiknya dibicarakan dua jenis
arti proses morfemis secara umum. Dalam garis besarnya, makna dapat dibagi
dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Oleh proses morfemis
tertentu kata yang dikenainya mengalami perubahan dalam kedua bidang ini.
Kata megending ‗menyanyi‘ yang diturunkan dari kata gending ‗nyanyian‘
berbeda arti leksikalnya dari kata yang menurunkannya. Selain itu, proses
yang sama secara serentak mengadakan perubahan keanggotaan kategorial
kata. Namun, ada kalanya proses morfemis tidak mengadakan perubahan arti
leksikal.
Seperti halnya proses morfemis lainnya, reduplikasi juga dapat dibagi atas
reduplikasi yang mengubah arti leksikal dan arti gramatikal. Selanjutnya, data
memperlihatkan bahwa arti yang dapat dihubungkan dengan reduplikasi
tertentu dapat ditentukan dengan segera tanpa memperhatikan konteks
reduplikasi kata yang bersangkutan. Di pihak lain ada reduplikasi tertentu
yang artinya tergantung dari konteksnya. Reduplikasi yang demikian disebut
reduplikasi yang terikat konteks. Reduplikasi yang artinya dapat ditentukan
dengan segera tanpa memperhatikan konteksnya disebut dengan reduplikasi
yang bebas konteks.
Untuk lebih jelasnya, yang dimaksud dengan terikat konteks sehubungan
dengan bentuk-bentuk reduplikasi tertentu adalah diperlukannya konteks
tertentu untuk mengetahui atau menentukan arti yang dikandung oleh bentuk-
bentuk reduplikasi yang bersangkutan. Jika kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘
dalam kalimat berikut kita perhatikan akan tampak bahwa konteks kata
tersebutlah yang menentukan arti reduplikasi tersebut.
(1) Ia ningalin anak cenik-cenik negak di umah ento
‗Ia melihat orang kecil-kecil duduk di rumah itu‘
(2) Nu cenik-cenik, suba duweg mapayas.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 283
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
‗Masih kecil-kecil, sudah pintar berhias‘
Dalam kalimat (1) kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ berarti tak ‗tunggal‘,
sedangkan pada kalimat (2) kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ berarti ‗konsesif‘. Arti
kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ pada kalimat (1) tanpa diberi konteks semacam
itupun dapat ditebak artinya, yaitu berarti ‗tak tunggal‘, sedangkan pada kalimat
(2) sulit ditebak artinya tanpa melibatkan konteks. Oleh karena itu, kata
reduplikasi adjektif seperti yang terdapat pada contoh (1) itulah yang disebut
makna kata reduplikasi adjektif secara morfemis, atau makna kata reduplikasi
adjektif bebas konteks, yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.
3.2 Makna Kata Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis
Berdasarkan analisis, makna kata reduplikasi adjektif secara morfemis
dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, seperti terlihat pada butir-butir
pembicaraan berikut ini.
3.2.1 Menyatakan Makna ‘Tak Tunggal’
Arti ‗tak tunggal‘ yang dinyatakan oleh reduplikasi adjektif dapat dirinci
berdasarkan dasar kata reduplikasi. Pada kata reduplikasi adjektif yang tentu saja
kata adjektif sebagai dasarnya, reduplikasi dapat menyatakan makna ‗tak tunggal‘
kata benda yang diterangkannya.
Contoh
(3) Keluargane sugih-sugih.
‗Kelurganya kaya-kaya‘
Reduplikasi adjektif pada contoh di atas menyatakan makna ‗tak tunggal‘.
Makna ketaktunggalannya tersebut menerangkan kata benda yang mendahuluinya.
Misalnya, pada kalimat (3) kata reduplikasi adjektif sugih-sugih ‗kaya-kaya‘
adalah menjelaskan kata yang mendahuluinya, yaitu keluargane ‗keluarganya‘.
Maksudnya, yang sugih-sugih ‗kaya-kaya‘ adalah keluarganya.
3.2.2 Menyatakan Makna ‘Intensif’
Reduplikasi yang dasarnya merupakan kata adjektif dapat dihubungkan
dengan arti ‗intensif‘. Arti ‗intensif‘ yang dimaksud di sini tidak harus selalu
diartikan dengan ‗D sekali‘ atau ‗sangat D‘. Namun, pengertian ‗intensif‘ yang
akan dibicarakan sehubungan dengan reduplikasi juga mencakup macam-macam
‗pengerasan‘. Dalam berbahasa, ada kalanya seorang penutur ingin menarik
perhatian para pendengarnya pada bagian tertentu dari hal yang ingin
disampaikannya. Untuk itu dia menonjolkan bagian-bagian tertentu itu.
Penonjolan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satu di antaranya
adalah dengan mengulang kata. Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian di bawah
ini.
3.2.2.1 ‘Intensif’ yang Mengandung Makna ‘Sangat D’ atau ‘D Sekali’ Pada reduplikasi semantis (Rs) dapat dengan segera dilihat makna
‗intensifnya‘. Reduplikasi seperti, putih-putih ‗putih-putih‘, misalnya akan segera
dapat ditentukan maknanya, yaitu ‗D sekali‘ atau ‗sangat D‘, sedangkan bentuk-
bentuk reduplikasi yang lain yang dapat dihubungkan dengan makna ‗intensif‘
sering perlu diperhatikan konteksnya untuk menentukan maknanya.
Contoh:
(4) Bajune putih-putih.
‗Bajunya putih-putih‘
284 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Ada pula kata reduplikasi adjektif yang menyatakan makna ‗intensif‘
yang dikuatkan dengan akhiran (sufiks) -an. Contohnya:
(5) Bangun uli nyongkok uyeng-uyengan asane.
‗Berdiri setelah jongkok pusing-pusing rasanya‘
3.2.2.2 ‘Intensif yang Mengandung Makna Penonjolan’
Seperti telah diuraikan di depan bahwa penonjolan dilakukan karena
seorang penutur ingin menarik perhatian para pendengarnya pada bagian tertentu
dari hal yang ingin disampaikannya. Untuk tercapainya tujuan tersebut
dilakukanlah reduplikasi pada bagian yang ingin ditonjolkan supaya lebih menarik
dan lebih jelas.
Contoh:
(6) Ia seken-seken tresna teken kurenanne.
‗Ia benar-benar mencintai suaminya‘
3.2.3 Menyatakan Makna ‘Superlatif’ Di samping kata adjektif di atas yang menyatakan arti ‗intensif‘ ada pula
kata keterangan (yang menerangkan cara) yang diturunkan dari kata adjektif
dengan reduplikasi berimbuhan se-ne ‘se-nya‘ mengandung makna ‗superlatif‘
Contoh:
(7) Suwud kayeh ia mepayas sejegeg-jegegne.
‗Sehabis mandi ia berhias secantik-cantiknya‘
3.2.4 Menyatakan Makna ‘Pengaburan’
Sebelum diuraikannya kata reduplikasi adjektif yang menyatakan makna
‗pengaburan‘ ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud
dengan arti ‗pengaburan‘. dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya kita tidak
sanggup atau tidak ingin melukiskan atau menyatakan sesuatu secara pasti dan
tegas. Jika dalam melukiskan seseorang kita menyatakan bahwa orangnya
tinggi-tinggi maka yang dimaksud tentunya adalah orang tersebut termasuk
kelompok orang dan merupakan satu kontinum agar apa yang dinyatakan
tinggi itu lebih jelas, diperlukan norma ketinggian untuk manusia, gunung,
dan sebagainya.
Seperti dikatakan di atas, arti pengaburan juga bersumber pada
keengganan untuk menyatakan sesuatu secara tegas atau terus terang. Sopan -
santun atau tata krama yang berlaku dalam masyarakat Indonesia tampaknya
menghendaki hal demikian. Jika kita mengagumi hasil karya seseorang
misalnya, sebuah lukisan, maka dapat diduga bahwa orang tersebut akan
mencoba merendahkan diri dan mengelak untuk mengiyakan bahwa
lukisannya memang hebat. Apabila ada yang menanyakan keadaan kita, kita
biasanya akan menjawab dengan kata baik-baik saja, baik atau baik saja, kita
mencoba menghaluskan maksud kita dengan pengaburan yang dalam bahasa
Indonesia antara lain dapat diwujudkan dengan reduplikasi. Reduplikasi
demikian disebut dengan ‗pengulangan penghalusan‘ (Simatupang, 1983:82).
Berikut ini akan akan diperlihatkan perincian bentuk-bentuk reduplikasi
kata adjektif yang dapat dihubungkan dengan arti umum pengaburan Arti
‗pengaburan‘ yang dikandung oleh reduplikasi kata adjektif yang menyatakan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 285
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
makna ‗agak‘ berdasarkan data yang diteliti, reduplikasi yang bebas konteks
dengan arti demikian terdapat pada kata samur-samur ‗samar-samar‘, di
samping itu reduplikasi yang bentuk dasarnya berasal dari kata adjektif dan
mendapat imbuhan (konfiks) ke-/-an akan menunjukkan makna ‗agak‘ , yaitu
kata adjektif itu ada hubungannya dengan warna.
Contoh:
(8) Torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-coklatan.
‗Wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘
3.2.5 Menyatakan Makna ‘Seakan-akan D’
Reduplikasi yang bentuk dasarnya berupa kata adjektif dan mendapat
imbuhan (sufiks) ange ‗di-/-kan‘, dapat dihubungkan dengan arti ‗seakan-
akan D‘(sebenarnya bukan D namun dibuat sedemikian rupa sehingga tampak
D).
Contoh:
(9) Masalahne ento gede-gedeange.
‗Masalah itu dibesar-besarkan‘
Makna reduplikasi di atas dapat dihubungkan dengan pengertian negatif,
yaitu bahwa sesuatu dilakukan tidak secara sepatutnya karena bertentangan
dengan keadaan yang sebenarnya. Makna reduplikasi di atas akan berbeda
dengan makna reduplikasi di bawah ini.
Contoh:
(10) Yen ngae baju gede-gedeang ukuranne apang sing enggal kelet.
‗Kalau membuat baju dilonggarkan ukurannya supaya tidak cepat
sempit‘
Makna yang terkandung pada kata ulang (9) dan (10) di atas adalah
menyatakan makna ‗lebih D‘. Pada contoh (9) di samping mengandung makna
‗lebih D‘ juga menyatakan makna ‗intensif‘ namun harus diperhatikan konteks
sintaktiknya untuk dapat menentukan maknanya.
3.2.6 Menyatakan Makna ‘Saling’
Kata reduplikasi adjektif yang dapat dihubungkan dengan makna
‗saling‘dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
Contoh:
(11) Penumpange negak medesek-desekan di bise.
‗Para penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘
4.Simpulan
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa reduplikasi
adjektif secara morfemis dalam bahasa Bali dilihat dari segi maknanya dapat
dibedakan menjadi enam, yaitu
(1) menyatakan makna ‘tak tunggal‘ keluargane sugih-sugih.
‗kelurganya kaya-kaya‘
(2) menyatakan makna ‘intensif‘
(a) ‘sangat D‘ bajune putih-putih ‘bajunya putih-putih‘
286 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(b) ‗makna penonjolan‘ ia seken-seken tresna teken kurenanne.
‗ia benar-benar mencintai suaminya‘
(3) menyatakan makna ‘superlatif‘
suwud kayeh ia mepayas sejegeg-jegene ‘sehabis mandi ia berhias
secantik-cantiknya‘
(4) makna‘pengaburan‘ torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-
coklatan.
‗wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘
(5)‘seakan-akan D‘ masalahne ento gede-gedeange ‘masalah itu dibesar-
besarkan‘
(6)‘saling‘ penumpange negak medesek-desekan di bise ‘para penumpang
duduk berdesak-desakan di dalam bis‘
Daftar Pustaka
Bagus, I.G.N. 1988. ―melangkah Menuju Masa Depan‖ dalam Majalah Widya
Pustaka. Tahun VI, Edisi Khusus, Oktober 1988. Denpasar:Fakultas Sastra,
Universitas Udayana.
Bloomfield, Leonard. 1956. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston
Lyons, John 1977. Pengantar Teori Linguistik Jakarta:Pt Gramedia Pustaka
Utama
Marsono, D.J. 1983. Kata Sifat Bentuk Ulang Bahasa Jawa. dalam Majalah
Linguistik Indonesia. Masyarakat Linguistik Indonesia.
Parera, Jos Daniel. 1980. Pengantar Linguistik Umum Bidang Morfologi. Ende
Flores:Nusa Indah.
Ramlan, M. 1965. Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata. Yogyakarta:Andi
Ofset.
Ramlan, M. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:CV. Karyono.
Saussure, de Ferdinand. 1977. Course in General Lingustics. London:Fontana
Collins.
Simatupang, M.D.D 1983. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia
Jakarta:Djambatan..
Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa:Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta:Sanata
Darma University Press.
Sulaga, I Nyoman dkk. ed. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali.
Denpasar:Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Warna, I Wayan, dkk. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar:Dinas Pengajaran
Propinsi Daerah Tingkat I Bali.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 287
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA):
ANALISIS ALUR CERITA DAN PENOKOHAN
Luh Putu Puspawati
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Geguritan Siwaratri Kalpa sebuah geguritan berbahasa bali,
geguritan itu diikat oleh pemakaian pupuh. Pengarang Ida Bagus
Putu Bangli dari sanur. Tujuan dibuat karya ini adalah untuk
mengenalkan berbagai pupuh dalam kesusastraan Bali yang dapat
dipahami oleh generasi muda, dalam rangka menyiapkan generasi
yang paham dalam hal tembang Bali.
Isi geguritan ini berkaitan dengan tokoh Lubdaka yang hidup
sebagai pemburu, setelah meninggal rohnya menjadi rebutan antara
Dewa Siwa dan Dewa Yama. Dalam perebutan itu masing-masing
mengerahkan prajurit dipihak Dewa Siwa dan Dewa yama. Dewa
Siwa penguasa sorga dan Dewa Yama penguasa neraka. Dewa
Siwa memenangkan roh Lubdaka dibawa ke Siwalaya dan
mendapatkan anugrah Siwa.
Kata kunci: Siwa, Yama, roh, Lubdaka
I.Pendahuluan
Karya sastra yang berbentuk geguritan ini, berjudul Siwaratri Kalpa,
awalnya proses penciptaan geguritan Siwaratri Kalpa digubah berdasarkan cerita
Lubdaka yang disusun dalam pupuh/gending Bali. Tujuan disusunnya buku ini
sangat ideal seperti halnya penulis dari desa Sanur ini menjadi salah satu tujuan
wisata dunia, sehingga pariwisata budaya sudah tentu harus didukung oleh
manusia-manusia yang berbudaya.
Motivasi terbitnya buku ini dalam kata pengantar buku yang dicetak 2004
(selesai ditulis 2001) dimaksudkan untuk kreativitas generasi muda yang getol
dengan gending-gending Bali, dengan seni budaya yang bernafaskan agama
Hindu, diyakini mampu mengantisipasi proses perkembangan dunia makin
mengglobal.
Pengarang geguritan dalam pemahbah parwa dengan unggapan bahasa
Jawa Kuna didahului manggala dengan kata singgih……Ksamakuanguluniki
ngawis tatakena pemargine
carita dilanjutkan sanghyang murti niskala gemerlap sumerasah
sunuruping rangdu praja
mandala
Mijil..Sanghyang Kawisuara murti, sawettuning tinuduh denira hyang perama
siwa, danira
gumatak wang para.
288 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Sigra..Sanghyang ringgit amolah cara, angikit jatining asta dasa parwa. Wus
jangkep punang
Carita gumaweyakeniranngin pinunggal para ya ta yeki siwa rari kalpa
pangarania
Setelah selesai pemujaan kepada Dewa pengarang Asta Dasa Parwa lalu
pengarang menceriterakan singkat tentang cerita Lubdaka minta diri kepada
istrinya dan putranya dengan mengutip bagian-bagian Kakawin Ramayana
dalam….kawi sarat samaya kala mirah parangka, kalon taleg paradesa ringawarna
kepada ranya. Purwakaning angriptarum, kakandung labuh kartika
massa…panedenging sari.
Setelah tembang malampah yang berisikan makna singkat ceritera
Siwaratri yaitu tentang pesan orang tua kepada seorang anak agar dikemudian hari
menjadi manusia berguna. Lalu bagian akhir pengarang menyebutkan
….sanangkana maksalawaning brata siwaratri maka nimitap siwa pada
binuktinira.
Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan membaca
dan menganalisis teks-teks yang terkait.
II.Struktur Teks (forma) Geguritan Siwaratri Kalpa
b. Pupuh Semarandana (10 pupuh)
c. Pupuh Durma (6 pupuh)
d. Pupuh Dandang (9 pupuh)
e. Pupuh Pangkur (16 pupuh)
f. Tembang Eman- Eman (10 pupuh)
g. Pupuh Durma (10 pupuh)
h. Sinom Lawe (5 pupuh)
i. Pupuh Ginada (5 pupuh)
j. Pupuh Durma (12 pupuh)
k. Pupuh Dandang (10 pupuh)
III. Alur Cerita Geguritan Siwaratri Kalpa
3.1. Pupuh Semarandana
Menyebutkan kerajaan Tumapel sebagai seorang raja adalah Ken Arok
menuruti pikiran tamak, makanya pengarang membuat kakawin Lubdaka yang
menceriterakan pemburu mirip dengan Ken Arok, Ken Dedes diculik yang
bersuami Tunggul Ametung. Seorang istri utama ini dipakai gambaran pengarang
sebagai suluh menjadi manusia, karena karmapala tidak melempas. Demikian
peringatan Mpu Tanakung seperti di Bali yang berbudaya.
Ketika sasih keempat, pesan kepada orang Bali agar paham dengan
gending Bali ngawe lango, setiap tahun agar ingat Siwaratri Kalpa agar melek,
bulan kepitu Betara Siwa menjaga. Di ceriterakan juru boros setiap hari berburu
berbagai binatang, meninggalkan istri dan anak terus melakukan pembunuhan.
Ketika hari cerah pergi pagi sekali sang Lubdaka keluar dari pedukuhan , lengkap
sarana berburu. Dalam perjalanan tidak menemukan binatang, haripun sudah
malam.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 289
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
3.2 Pupuh Durma
Sang Lubdaka masuk ke dalam hutan dalam perburuan itu matahari sudah
siang tidak menemukan binatang. Tidak berhasil merasa sedih, sekarang tiba-tiba
muncul taman tempat Sang Pandawa melakukan pebersihan dulu dan ada
suara/pesan begini nasib jadi orang, hidup menunggu kematian, ingat sangkan
paraning meneresi, bila kurang pengetahuan yadnya dibuat, tri rna diingat dan
dihormati kepada pitara.
3.3 Pupuh Dandang
Pemburu bingung bermalam di hutan, lalu naik ke pohon bila, karena akan
mendapatkan bahaya besar, bila ada binatang macan dating, ketika itu musim
hujan, angina kencang, semakin tidak dapat tidur, di taru bila inilah menggigil
sambil memetik daun-daun bila, menunggu besok pagi. Betara Siwa meyoga di
bawah pohon bila, tiba-tiba arca dilihat, tempat Hyang Parama Guru beryoga dan
semadi, tidak terasakan daun itu jatuh di arca itu dari malam hari Lubdaka terkejut
Diberikan makna cerita tidak tidur semalaman akan melebur dosa tidak
dapat dilebur semalaman juga dipikirkan begadang satu malam saja, yang utama
adalah memahami yang dikuasai musuh loba dengki irihati, panca indria
dipegang. Tri marga dijalani, melaksanakan karya Siwarartri, tutur penting
disertai sembah bakti.
3.4. Pupuh Pangkur
Pemburu merasa sedih balik dari gunung, sedih hati tidak makan minim
merasakan lapar, jangan-jangan rasanya tidak kuat pulang, ingat anak istri dan
merasakan miskin jadi orang. Ketika tiba di rumah, dengan bergurau mengapa
kakak kurus bagaimana pekerjaannya. Sehat saja itu sudah senang itu jawabannya.
Lalu dijelaskan tujuan menjadi manusia dan kelahiran manusia ingat sabda, bayu,
idep dipegang, mati tidak ada pemberitauan, perbuatan yang patuh mengantarkan
ke sorga. Pada karma ingat seperti Ke Arok kepastian kena keris Mpu Gandring.
3.5. Tembang Eman-Eman
Ceritera di Pitaloka, Kingkarabala di depan Betara Yamadipati sebagai
jaksa guru se dang rapat membicarakan hukuman pitara papa. Diceriterakan
kematian Lubdaka, para cikrabala diutus oleh Yamadipati menyongsong roh sang
Lubdaka 1000 tahun kena hukuman di kawah. Kesengsaraan roh di kawah, sedih
akan dibawa bahwa perbuatan baik buruk jadi manusia tidak diketahui dan tidak
bisa dihapus akan dinikmati nanti.
Yamaloka dan sorga seperti Yudistira menghadap di depan Yamadipati
dilihat para pitara, tidak tahu tujuannya pergi, ditanyai karena ke timur batas utara
selatan roh tanpa jasa. Ada roh dalam sebatang bamboo karena tidak mempunyai
anak cucu, leluhur sang Jayatkaru karena loba dalam tapa barata, brahmacari.
Diceriterakan di Siwaloka, sang Lubdaka sudah pulang tinggal di
Yamaloka, lalu mengutus untuk menjemput di Batara Yama, karena Lubdaka
orang sadu, karena membuat yoga berata, Siwaratri, karena mendapat anugrah
(kretawara). Roh sang Lubdaka papa di Yamaloka, akan minta Lubdaka sesuai
ucapan Betara Guru sudah sesuai dengan Siwaratri Kalpa, terjadi perbedaan
pendapat karena Siwa Sang Dyaksa (yama) mengatakan Lubdaka tidak sadu
perbuatannya Hingsakarana, membunuh segala macam binatang di hutan, roh
290 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
sang Lubdaka ada di kawah karena berbuat jahat. Dibantu para bidadari yang asih
kepada Betara Guru menenangkan para sengsara oleh kerti pulang kea lam Siwa.
Sang Cingkrabala marah atas perbuatan bidadari, pikirannya tidak benar,
berbuat yang disebut asta dasta, kini atmanya sudah di depan Sang Hyang Siwa,
bahwa roh I Lubdaka akan mendapat wara nugraha, ulah ikut ke jalan darma
membuat brata yang benar, penuh/buat dan berhasil sida labda karya.
3.6. Pupuh Durma
Perang terjadi antara Cingkrabala (rakyat Yamadipati) dan para widyadara
(pasukan Dewa Siwa) dengan berbagai senjata gada, cakra, keris, rakyat
cingkrabala kalah dan bersembunyi. Kekalahan Cingkrabala lalu menghadap Sang
Hyang Yama lalu berpikir dalam hati.
3.7. Sinom Lawe
Tentra (widyadara) bergembira dan kembali ke suraloka Si Lubdaka
diceriterakan diterima Dewa Siwa dan menyembah bahwa anakku, senang datang
sekarang, mendapatkan yasa kerti (anunggal), juga sadhu dan melaksanakan tapa
brata Anakku menerima yasana sekarang didapat dengarkan panugrahan bapa,
segala yang ada pada diri ayah, anakku memiliki semuanya, lama anakku
muponin, ngulurin manah sakahyun sukane di Siwaloka. Anakku dengan ayah,
selamat, berata Siwaratri Kalpa. Demikian orang sengsara tetap berbuat kebaikan,
hanya itu ada dalam hati.
3.8. Pupuh Ginada
Pasukan Kingkara menghadap Sang Hyang Yama berperang dengan
bidadari (gandarwa) Sang Hyang Yama berkata kepada Cingkrabala, mengapa
Sang Hyang Siwa menghalanginya, karena itu pituduh Sang Hyang Siwa
menariknya baik buruk perbuatan manusia.
3.9. Pupuh Durma
Diceriterakan sampai sekarang di gunung Kalase tempat Sang Hyang
Ardhanareswari Sang Hyang Siwa malingga ring singgasana, disertai Dewi
Giriputri datang Sang Hyang Yama ke tempat Dewa Siwa, menyembah betara
yang menguasai urip, yang ada di triloka, termasuk menguasai pati, ucapan Betara
Siwa pedek bahwa roh itu bernama Si Lubdaka, yang telah melakukan perbuatan
darma utama, tapa berata dan banyak mengutus gandarwa.
3.10. Pupuh Dandang
Si Lubdaka mendapatkan tempat sorga,dari dulu agar melaksanakan yasa,
sebelum ada manusia, melaksanakan berata wiku, bapak sudah lupa baru sekarang
ada orang melaksanakan brata Siwaratri. Yang utama berata dulu, lalu segala dosa
lebur Yamaloka tur kaungsi, Siwaloka yang dituju segala papanya hilang.
IV. Tokoh Dalam Geguritan Siwaratri Kalpa
Ada dua tokoh yang disebutkan dalam geguritan Siwaratri Kalpa yaitu
tokoh manusia bernama Lubdaka, istri dan anaknya. Ini disebut tokoh dunia
dengan berbagai mahluk binatang yang hidup di dunia.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 291
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Tokoh alam Dewa ada dua yaitu tokoh yang penguasa sorga, yaitu Dewa
Siwa dan prajuritnya. Roh Lubdaka mendapatkan wara nugraha (anugrah) karena
ke jalan darma, melakukan brata yang benar penuh dengan ketekunan dan
kekusukan, berhasil sida labda karya (kelepasan). Karena baru sekarang ada yang
melaksanakan Brata Siwaratri yang utama berarti segala dosa terhapuskan dan
segala papa hilang Siwaloka yang dituju
Tokoh alam neraka yang menghukum roh ke dalam alam neraka yaitu
Betara Yamadipati dan prajuritnya Kingkarabala. Yamadipati bertugas sebagai
jaksa guru (yang menghukum) roh di kawah/neraka, selama 1000 tahun
mendapatkan hukuman di kawah, perbuatan baik buruk jadi manusia tidak
diketahui dan tidak bisa dihapus akan dinikmati nanti, segala papanya hilang.
V. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan simpulan sebagai berikut:
1. Geguritan Siwaratri Kalpa (Lubdaka) berasal dari kakawin Jawa Kuna
yang dibuat oleh Ida Bagus Putu Bangli dari Sanur (2001).
2. Isi geguritan ada pendahuluan sebagai penulis tentang kakawin Lubdaka,
pengawi besar parwa dan akhirnya tercipta geguritan Siwaratri Kalpa dengan
ungkapan izin singgih… menyebut rakawi besar, mijil dengan menyebut Sang
Hyang Paramasiwa, lalu sigra muncul karya geguritan Siwaratri Kalpa, oleh
penulis disebut sebagai tembang malampah.
3. Isi ini menceriterakan tentang tokoh pemburu Lubdaka yang setiap hari
membunuh binatang, tetapi karena pada malam Siwa memetik daun bila yang
dibunuh mucul lingga, singgasana Dewa Siwa maka Lubdaka diberikan
anugrah sorga.
4. Siapa yang menjalankan tapa, brata, berbuat sadu dan darma yang jatuh
pada panglong ping pat belas sasih kepitu maka teks Siwaratri Kalpa beliau
akan mendapat anugrah terbebas dari papa neraka.
5. Tokoh dalam Geguritan Siwaratri Kalpa ada dua yaitu tokoh manusia
biasa Lubdaka, istrinya, anaknya serta mahluk lainya di dunia ini. Tokoh alam
Dewa yaitu tokoh Dewa Siwa dan prajurinya yang menghuni sorga, tokoh
yang menghuni neraka adalah Dewa Yamadipati dan prajuritnya
Kingkarabala.
DAFTAR PUSTAKA
Kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung (diterjemahkan IB Agastya)
Yayasan Dharma Sastra, 2002.
Bangli, IG Putu 2001, Geguritan Siwaratri Kalpa, Surabaya: penerbit Paramita
Zoetmulder, P.J. 1994, Kalangwan Karya Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang:
2005, Jakarta: Jambatan.
Tim Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2005, Kesusastraan Bali, Denpasar, Jl Ir
Juanda.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 292
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN
KOBAYASHI TAKIJI DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟
Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kesusastraan proletar yang mengusung ideologi perjuangan kelas
kaum buruh berkembang pesat di Jepang sepanjang tahun 1921
hingga 1943. Salah satu sastrawan Jepang yang menjadi bagian
dalam perkembangan kesusastraan proletar di Jepang adalah
Kobayashi Takiji (1903-1933). Di dalam salah satu karyanya, yaitu
cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, digambarkan eksploitasi yang
dialami para buruh kasar yang didatangkan dari daratan utama
Jepang ke wilayah Hokkaido. Eksploitasi yang dialami para buruh,
yaitu 1) buruh tidak mendapatkan upah yang layak dan 2) kondisi
kerja yang mengabaikan keselamatan buruh. Eksploitasi terhadap
buruh menimbulkan alienasi dalam bentuk 1) alienasi terhadap
aktivitas produksi dan 2) alienasi terhadap buruh lainnya.
Kata Kunci: kesusastraan proletar, eksploitasi, alienasi
PENDAHULUAN
Karl Marx dan Frederick Engels, tokoh yang berpengaruh dalam
perkembangan teori sosial sastra pasca positivisme, mengemukakan bahwa sastra
tidak dapat dipisahkan dari permasalahan perjuangan kelas, kapitalisme, serta
sejarah kemanusiaan. Karya sastra merupakan wujud fenomena zaman
(ephiphenomenon) dari struktur sosial sehingga karya sastra menjadi refleksi
kesadaran maupun ketidaksadaran psikologis yang menjadi media perjuangan
kelas bagi sastrawan. Pandangan ini menempatkan karya sastra sebagai sebuah
kesadaran estetik untuk melegitimasi kekuasaan kelas sosial tertentu yang
dominan (Anwar, 2010:40-47).
Fungsi sosial sastra sebagai media perjuangan kelas menghubungkan
secara langsung sastra dengan kelas proletar. Kelas proletar didefinisikan oleh
Karl Marx sebagai produsen yang tidak memiliki sesuatu untuk dijual selain
tenaga kerjanya sendiri (dalam Cohen, 1983:3) meskipun di dalam bahasa
Bolshevik istilah ―proletar‖ memiliki dua makna utama, yaitu 1) kelas pekerja dan
2) Russian-cum-Soviet Communist Party. Pada periode Uni Soviet, karya sastra
yang diproduksi oleh kelas pekerja atau individu yang terkait di dalamnya disebut
sebagai kesusastraan proletar (proletarskaia literature) (Clark, 2017:1-7).
Tidak hanya di Uni Soviet, kesusastraan proletar juga mengalami
perkembangan pesat di Jepang sepanjang tahun 1921 hingga 1934
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 293
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(Asoo,1983:219). Salah satu sastrawan Jepang yang berafiliasi dengan
perserikatan kesenian proletar Jepang (Zen Nihon Musansha Geijutsu Renmei 全
日本無産者芸術聯盟) adalah Kobayashi Takiji (1903-1933). Selain seorang
sastrawan, Kobayashi Takiji juga merupakan anggota dari Partai Komunis Jepang
(Nihon Kyousan Tou 日本共産) yang merupakan partai terlarang pada masa
tersebut. Sebelum meninggal dalam usia 29 tahun, dalam proses penahanan oleh
satuan polisi khusus (Tokubetsu Kouto Keisatsu 特別高等警察), Kobayashi telah
menghasilkan cukup banyak karya sastra yang mengangkat perjuangan kelas
proletar (Keene, 1984:616-623).
Salah satu karya Kobayashi Takiji yang membahas mengenai kelas
proletar yang mengacu kepada kelas pekerja adalah cerpen berjudul Hokkaido no
„Shunkan‟. Di dalam cerpen ini, Kobayashi Takiji menggambarkan eksploitasi
yang dialami para pekerja yang didatangkan dari daratan utama Jepang sebagai
buruh kasar untuk membuka wilayah Hokkaido yang belum berkembang. Bentuk
eksploitasi serta dampak eksploitasi terhadap kelas pekerja yang digambarkan
Kobayashi Takiji dalam kerangka perjuangan kelas dikaji lebih lanjut pada
makalah ini.
METODOLOGI
Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen berjudul Hokkaido no
„Shunkan‘ karya Kobayashi Takiji. Metode yang digunakan dalam pengumpulan
data penelitian adalah metode kajian pustaka. Metode ini dipilih karena sumber
data penelitian berupa bahan cetak, yaitu cerpen. Pada tahap analisis data
digunakan metode deskriptif analisis. Guna menerapkan metode ini, data
dideskripsikan atau diuraikan dengan memberikan pemahaman dan penjelasan
terkait bentuk eksploitasi serta dampaknya.
PEMBAHASAN
Eksploitasi Buruh dalam Cerpen Hokkaido no Shunkan
Eksploitasi terhadap buruh mengacu kepada dua proposisi independen,
yaitu dalam ekonomi dan sosiologi. Proposisi ekonomi terkait dengan teori nilai
dari Adam Smith yang mendalilkan bahwa semua komoditas pada prinsipnya
diproduksi oleh kelas pekerja dan kelas pekerja selalu menjadi satu-satunya agen
produksi aktif. Di dalam Capital (1867), Karl Marx menuliskan bahwa kelas
pekerja merupakan substansi yang menciptakan nilai sehingga apabila tidak
menerima sejumlah nilai yang mereka ciptakan maka mereka telah dieksploitasi.
Proposi sosiologi terkait dengan struktur kelas dalam masyarakat yang terdiri dari
kelas pekerja yang bekerja untuk memperoleh upah dan kelas pemilik properti
yang menerima sewa dan laba. Di dalam Communist Manifesto (1848), Marx dan
Engels mengutarakan bahwa masyarakat terpecah menjadi dua kubu besar yang
bertentangan, yaitu borjuis dan proletar. Menurut Marx, pada faktanya kelas
pemilik properti memperoleh pendapatan dengan melakukan eksploitasi terhadap
kelas pekerja (Dooley, 2005:177-178).
Kobayashi Takiji sebagai sastrawan Jepang yang berasosiasi dengan
Perserikatan Kesenian Proletar Jepang, merefleksikan perjuangan kelas kaum
294 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟. Cerpen ini menggambarkan
eksploitasi yang dialami kelas pekerja yang didatangkan dari daratan utama
Jepang (naichi)23
sebagai buruh kasar untuk membangun wilayah Hokkaido yang
saat itu belum berkembang24
. Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh dalam
cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ adalah sebagai berikut.
1. Buruh Tidak Mendapatkan Upah yang Layak
Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no
„Shunkan‟ salah satunya adalah para buruh tidak dibayar dengan upah yang layak.
Kondisi ini digambarkan oleh Kobayashi Takiji melalui situasi para buruh tidak
memiliki uang untuk pulang ke kampung halaman merayakan tahun baru, seperti
yang ditunjukan dalam data berikut.
(1) 北海道へ「出稼」に来た人達は冬になると、「内地」の正月に
間に合うように帰つて行く。しかし帰ろうにも、帰れない人達
は、北海道で「越年(おつねん)」しなければならなくなるわ
けである。
Hokkaidou e „dekasegi‟ ni kita hitotachi wa fuyu ni naru to, „naichi‟
no shougatsu ni ma ni au you ni kaette iku. Shikashi kaerou ni mo,
kaerenai hitotachi wa, Hokkaidou de „otsunen‟ shinakereba naranaku
naru wake de aru.
‗Orang-orang yang datang ke Hokkaido untuk bekerja, begitu
memasuki musim dingin akan pulang ke daratan utama Jepang untuk
dapat merayakan tahun baru tepat waktu. Akan tetapi, meskipun
bermaksud untuk pulang, orang yang tidak bisa pulang maka mau
tidak mau harus menyambut tahun baru di Hokkaido.‘
Pada data (1) Kobayashi Takiji menunjukan kondisi para buruh yang tidak
memiliki cukup uang membeli tiket kapal agar dapat pulang ke kampung halaman
mereka yang berada di daratan utama Jepang untuk merayakan tahun baru. Oleh
karena itu, mereka terpaksa harus melewati pergantian tahun baru dengan tetap
berada di Hokkaido. Ketidakmampuan para buruh untuk pulang kampung karena
tidak memiliki cukup uang menunjukan bahwa para buruh tidak mendapatkan
upah yang layak karena buruh tidak dibayar setara dengan nilai untuk dapat
memenuhi semua kebutuhan hidupnya.
Kobayashi Takiji juga menunjukan rendahnya kesejahteraan para buruh
terkait dengan upah yang tidak layak yang mereka terima melalui gambaran
pakaian yang dikenakan, seperti data berikut.
23 Naichi (内地) secara literal bermakna ‗daratan di dalam‘ adalah istilah yang digunakan untuk
membedakan wilayah Jepang dengan sekitarnya. Akan tetapi, secara tidak resmi istilah ini
mengacu kepada kepulauan Jepang di luar wilayah Hokkaido dan Okinawa. 24 Hokkaido sebelumnya merupakan wilayah bebas yang secara resmi menjadi bagian Jepang pada
tahun 1868.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 295
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
(2) 雪が足駄の歯の下で、ギユンギユンなり、硝子が花模様に凍て
つき、鉄物が指に吸いつくとき、彼等は真黒になつたメリヤス
に半纏一枚しか着ていない。
Yuki ga ashida no ha no shita de, gyun gyun nari, garasu ga
hanamoyou ni itetsuki, tetsumono ga yubu ni sui tsuku toki, karera wa
makkuro ni natta meriyasu ni hanten ichimai shika kite inai.
‗Ketika salju membuat alas bawah bakiak berbunyi kyunkyun dan
membeku membentuk pola bunga serta barang-barang besi menjadi
lengket pada jari, mereka hanya memakai selembar hanten di atas
pakaian rajutan yang hitam pekat.
Pada data (2), Kobayashi Takiji menggambarkan bahwa para buruh
bahkan tidak memiliki pakaian yang layak untuk menghangatkan tubuh mereka di
tengah musin dingin di Hokkaido yang sangat dingin. Mereka hanya
menggenakan pakaian rajutan yang kondisinya sudah usang yang ditambahkan
dengan hatten ‗mantel pendek untuk musim dingin. Hal ini tentu tidak akan
terjadi apabila para buruh memperoleh upah yang layak.
Harga atau upah dari buruh yang layak merupakan jumlah nilai semua
komoditi yang dibutuhkan oleh para buruh agar dapat hidup layak sesuai dengan
tingkat sosial dan kultural yang berlaku pada suatu masyarakat (Marx dalam
Suseno, 1999). Kondisi para buruh yang tidak memiliki uang yang cukup untuk
dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟
menunjukan para buruh mengalami eksploitasi dengan tidak mendapatkan
bayaran yang layak.
2. Kondisi Kerja yang Mengabaikan Keselamatan Buruh
Marx menggambarkan kelas buruh sebagai kelas yang hanya mampu
menjual tenaga kerja kepada kelas pemilik modal. Kelas buruh tidak memiliki
alat-alat dan bentuk-bentuk produksi sehingga mereka menjual tenaga untuk tetap
bisa hidup (Suhelmi, 2001:270-271). Para pemilik modal yang membayar upah
para buruh mempekerjakan mereka sesuai dengan cara yang mereka inginkan.
Kelas pemilik modal mendapatkan keuntungan kapital dan material dengan cara
mengeksploitasi kelas buruh, termasuk mengerjakan proses produksi yang
berbahaya dan mengabaikan keselamatan para buruh. Bentuk eksploitasi ini juga
digambarkan Kobayashi Takiji, seperti data berikut.
(3) 夏の間彼等は棒頭にたゝきのめされながら「北海道拓殖のため
に!」山を崩した。熊のいる原始林を伐り開いて鉄道を敷設し
た。
296 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Natsu no ma karera wa bougashira ni tataki no mesarenagara
„Hokkaidou takushoku no tame ni‟ yama o kuzushita. Kuma no iru
genshirin o kiriaite tetsudou o fusetsu shita.
‗Selama musim panas mereka dipanggil sebagai buruh kasar dan
merobohkan gunung ‗untuk membuka daerah Hokkaido yang belum
berkembang. Membuka hutan rimba yang ada beruangnya dan
membangun jalur kereta api.‘
Pada data (3) ditunjukan bahwa para buruh didatangkan ke Hokkaido
sebagai buruh kasar untuk melakukan pekerjaan yang diperintah oleh kelas
pemilik modal. Sebagai buruh kasar, pekerjaan yang dilakukan merupakan
pekerjaan yang berat dan berbahaya karena mereka bekerja di wilayah Hokkaido
yang pada masa itu masih belum berkembang. Pekerjaan merobohkan gunung,
merambah hutan liar yang masih dihuni banyak beruang, serta membangun jalur
kereta api merupakan pekerjaan yang memiliki resiko bahaya cukup tinggi. Akan
tetapi, para buruh yang hanya memiliki tenaga untuk dijual bersedia melakukan
pekerjaan tersebut.
Alienasi Buruh dalam Cerpen Hokkaido no „Shunkan‟
Akibat dari eksploitasi, buruh akan semakin miskin dan mengalami
keterasingan. Keadaan buruh yang mengalami keterasingan dari kehidupannya
disebut Marx dengan istilah alienasi. Marx merumuskan empat bentuk alienasi
atau keterasingan kaum buruh, yaitu 1) terasing dari produk yang mereka
kerjakan; 2) terasing dari aktivitas produksi; 3) terasing dari para buruh lainnya;
dan 4) terasing dari diri mereka sendiri (Musto, 2010:79-82).
Kobayashi Takiji di dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ berupaya
menunjukan bahwa eksploitasi telah menyebabkan para buruh mengalami alienasi.
Judul cerpen ini, yaitu Hokkaido no „Shunkan‟ secara literal bermakna
Shunkannya Hokkaido. Shunkan (1143-1179) merupakan tokoh yang turut
mengambil peran dalam rencana Shishigatani yang bertujuan untuk
menggulingkan Taira Kiyomori. Sebelum rencana tersebut dilaksanakan, Shunkan
diasingkan ke Pulau Kikaiga. Di Pulau tersebut dia ditinggalkan sendirian hingga
akhirnya meninggal. Kondisi Shunkan yang mengalami pengasingan sesuai
dengan kondisi para buruh yang juga terasing di Hokkaido, seperti yang
ditunjukan dalam data berikut.
(4) 冬になると、北海道の奥地にいる労働者は島流しにされた俊寛
のように、せめて内地の陸の見えるところへまでゞも行きたい
と、海のある小樽、函館へ出てくるのだ。
Fuyu ni naru to, Hokkaidou no yama ni iru roudousha wa
shimanagashi ni sareta Shunkan no you ni, semete naichi no riku no
mieru tokoro e made mo ikitai to, umi no aru Otaru, Hakodate e dete
kuru noda.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 297
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
‗Begitu musim dingin, para pekerja yang ada di daerah pedalaman
Hokkaido seperti Shunkan yang dihukum dan diasingkan ke sebuah
pulau sehingga apabila ingin pergi ke tempat dimana setidaknya
terlihat daratan di pulau utama Jepang maka mereka pergi ke daerah
laut Otaru atau Hakodate.‘
Data (4) menunjukan bahwa para buruh yang didatangkan dari daratan
utama Jepang ke Hokkaido mengalami keterasingan karena eksploitasi yang
mereka alami dalam bentuk upah yang tidak layak. Hal ini menyebabkan mereka
tidak memiliki uang yang cukup untuk pulang ke kampung halaman sehingga
mereka diibaratkan oleh Kobayashi Takiji sama dengan Shunkan yang mengalami
pembuangan dan pengasingan.
Kondisi para buruh yang mengalami ‗pembuangan‘ dengan harus
melewati pergantian tahun dan musim dingin di Hokkaido menyebabkan mereka
menjadi jauh dan terasing dengan daerah asal dan keluarga mereka. Pada data (4)
ditunjukan bahwa, untuk dapat mengobati kerinduan mereka akan kampung
halaman maka para buruh pergi ke wilayah laut Otaru dan Hakodate untuk
setidaknya melihat pulau daratan utama Jepang dari kejauhan. Selain hal tersebut
para buruh juga digambarkan oleh Kobayashi Takiji pergi ke stasiun agar dapat
mendengar orang-orang berbicara dengan bahasa daerah asal mereka, seperti yang
ditunjukan pada data berikut.
(5) しかし何故彼等は停車場へ行くのだ。ストーヴがあるからだ。
――だが、そればかりではなくて、彼等は「青森」とか、「秋
田」とか、「盛岡」とか――自分達の国の言葉をきゝたいのだ、
自分ではしかし行けないところの。
Shikashi naze karera wa teishaba e iku noda. Sutobu ga aru kara da.
… da ga, sore bakari dewa nakute, karera wa „Aomori‟ toka. „Akita‟
toka, „Morioka‟ toka … jibun tachi no kuni no kotoba o kikitai no da,
jibun dewa shikashi ikenai tokoro no.
Akan tetapi, mengapa mereka pergi ke stasiun? Karena ada
penghangat. Akan tetapi bukan hanya itu, mereka ingin mendengarkan
bahasa dari daerah mereka masing-masing, seperti ‗Aomori‘, ‗Akita‘,
‗Morioka‘, meskipun daerah asal mereka sendiri tetapi tidak bisa
pergi.
Pada data (5), Kobayashi Takiji menunjukan bahwa para buruh yang
berada dalam keterasingan karena berada di daerah yang jauh dari kampung
halaman datang ke stasiun hanya untuk dapat merasakan suasana kampung
halaman yang tidak dapat mereka kunjungi dengan mendengarkan orang-orang
berbicara dalam bahasa daerah asal mereka. Kondisi para buruh yang terbuang
dan terasing, ibarat Shunkan, di Hokkaido merupakan alienasi sebagai dampak
dari eksploitasi buruh. Bentuk alienasi yang dialami para buruh dalam cerpen
Hokkaido no „Shunkan‟, diantaranya meliputi
298 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
1. Mengalami Alienasi dari Aktivitas Produksi
Para buruh melakukan aktivitas produksi berdasarkan instruksi dari para
pemilik modal sehingga mereka mengalami alienasi atau keterasingan dalam
aktivitas produksi tersebut. Para pemilik modal yang membayar upah para buruh,
memutuskan segala hal terkait aktivitas produksi meliputi jenis produk, jam kerja,
hingga cara atau teknis produksi. Para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟
mengalami alienasi dari aktivitas produksi, salah satunya ditunjukan dalam data
(3) yang menggambarkan para buruh mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya
yang diinstruksikan oleh bos mereka, seperti merobohkan gunung, merambah
hutan liar yang masih dihuni banyak beruang, serta membangun jalur kereta api.
2. Mengalami Alienasi Dari Buruh Lainnya
Para pemilik modal menciptakan lingkungan yang menyebabkan para
buruh mengalami alienasi dari buruh lainnya. Para buruh diarahkan untuk tidak
saling mengenal sehingga tidak dapat membentuk aliansi yang mendukung
gerakan buruh. Para buruh bahkan didorong untuk saling berkonflik dan
berkompetisi satu dengan yang lainnya sehingga tidak terbentuk persatuan di
antara para buruh yang pada akhirnya akan menguntungkan para pemilik modal.
Kondisi ini juga dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, seperti
data berikut.
(6) 冬近くなつて、奥地から続々と「俊寛」が流れ込んでくると、
「友喰い」が始まるのだ。小樽や函館にいる自由労働者は、こ
の俊寛達を敵よりもひどくにめつける。冬になつて仕事が減る。
そこへもつてきて、こやつらは、そうでなくても少ない分前を、
更に横取りしようとする。この「友喰い」は労働者を雇わなけ
ればならない「資本家」を喜ばせる。
Fuyu chikakunatte, yama kara zokuzoku to „Shunkan‟ ga nagare
konde kuru to, „tomokui‟ ga hajimaru noda. Otaru ya Hakodate ni iru
jiyuu roudousha wa, kono Shunkan tachi o kataki yori mo hidoku ni
me tsukeru. Fuyu ni natte shigoto ga heru. Soko e motte kite,
koyatsurawa, sou denakute mo sukunai punmae o, sara ni yokodori
shiyou to suru. Kono „tomokui‟ wa roudousha o yatowanakereba
naranai „shihonka‟ o yorokobaseru.
Musim dingin telah mendekat, dari daerah pedalaman berbondong-
bondong ‗Shunkan‘ datang dan mulai ‗makan teman‘. Pekerja bebas
yang berada di Otaru dan Hakodate menemukan para Shunkan yang
lebih kejam daripada musuh. Begitu musim dingin pekerjaan pun
menjadi berkurang. Dibawa ke sana, padat, ditambah saling merebut
bagian yang hanya sedikit. ‗Makan teman‘ merupakan hal yang
membahagiakan kapitalis yang harus membayar upah mereka.
Pada data (5), Kobayashi Takiji mengambarkan kapitalisme menciptakan
lingkungan kerja yang membuat buruh terasing antara satu dengan yang lainnya.
Salju yang turun sangat lebat di Hokkaido pada musim dingin menyebabkan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 299
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
berkurangnya lapangan pekerjaan karena pekerjaan yang bisa dilakukan di musim
panas, seperti merambah hutan dan membangun jalur kereta api menjadi tidak
dapat dilakukan. Para buruh yang tidak memiliki cukup uang menjadi tidak bisa
pulang kampung ke daratan utama Jepang pada musim dingin sehingga mereka
harus saling bersaing untuk memperebutkan lahan pekerjaan yang terbatas di
musim dingin. Kondisi ini oleh Kobayashi Takiji digambarkan dengan istilah
tomokui ‗makan teman‘. Tomokui merupakan alienasi para buruh dengan buruh
lainnya karena berkompetisi dan berebut pekerjaan satu dengan yang lainnya.
Kondisi surplus tenaga kerja ini merupakan kondisi yang menguntungkan para
pemilik modal.
SIMPULAN
Kobayashi Takiji sebagai sastrawan Jepang yang mengusung kesusastraan
proletar menjadikan karya sastra sebagai media perjuangan kelas untuk
menunjukan bahwa kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi terhadap kelas
pekerja atau buruh. Di dalam salah satu karyanya, yaitu cerpen Hokkaido no
„Shunkan‟, digambarkan eksploitasi yang dialami para buruh kasar yang
didatangkan dari daratan utama Jepang ke Hokkaido. Bentuk eksploitasi yang
dialami para buruh, yaitu tidak mendapatkan upah yang layak sehingga mereka
tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan baik serta menjalankan
pekerjaan berat dan berbahaya dengan pengabaian terhadap keamanan dan
keselamatan. Eksploitasi menimbulkan dampak alienasi bagi para buruh. Di
dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, para buruh diibaratkan sama dengan tokoh
Shunkan yang sedang mengalami pembuangan atau pengasingan. Para buruh
digambarkan mengalami alienasi dari aktivitas produksi dan alienasi dari buruh
lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar. Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
Asoo, Isojo. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang diterjemahkan oleh Staf Jurusan
Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia dari
buku Nihon Bungakushi. Jakarta: UI Press.
Clark, Katerina. 2017. Working Class Literature and/or Proletarian Literature:
Polemics of the Russian and Soviet Literary Left subbab dalam buku
Working Class Literature(s): Historical and International Perspectives
dieedit oleh John Lennon dan Magnus Nilsson. Swedia: Stockholm
University Press.
Cohen, G.A. 1983. The Structure of Proletarian Unfreedom artikel dalam
Philosophy and Public Affairs Volume 12 Number 1. Diakses melalui
http://www.jstor.org/stable/2265026 pada tanggal 18 Desember 2018
pukul 11.04 WITA.
Dooley, Peter C. 2005. The Labour Theory of Value. New York: Routledge Taylor
and Francis Group
Keene, Donald. 1987. Down to the West: Japanese Literature of the Modern Era.
New York: Henry Holt and Company.
300 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Musto, Marcello. 2010. Revisiting Marx‟s Concept of Alienation artikel dalam
jurnal Socialism and Democracy Volume 24 No 03. New York:
Routledge Taylor and Francis Group
Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan
Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: P.T.
Gramedia Pustaka Utama.
Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialis Utopis ke
Perselisihan Revisionisme. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 301
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
MANFAAT DAUN DEDAP ‘Erythrina variegate’
Ni Luh Sutjiati Beratha
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Filosofi hidup wasudewa kutumbakam yang dianut oleh masyarakat
Bali menempatkan seluruh makhluk di alam semesta sebagai
saudara. Secara konseptual masyarakat Bali tampak menyadari
bahwa keberadaannya di dunia ini memiliki ketergantungan
(interdependensi) yang tinggi dengan alam sebagai penyangga
kehidupan. Salah satu unsur alam khususnya pohon yang sangat
fungsional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali
adalah daun Dedap yang dalam bahasa Latinnya Erythrina
variegate. Daun Dedap yang dalam beberapa pustaka lontar disebut
dengan istilah Dedap atau kayu sakti dijaga kelangsungan hidupnya
hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali.
Metode kualitatif diterapkan dengan pendekatan budaya, dan data
dianalisis secara sosio-budaya, dan diuji di laboratorium FTP
Universitas Udayana. Hasil menunjukkan bahwa pohon Dedap
digunakan dalam aktivitas upacara yadnya di Bali (Panca Yadnya
activities), yakni upacara Ngampak Lawang pada upacara
pernikahan, Mendem Pedagingan, sampai upacara Ngaben.
Berdasarkan lontar Taru Usada Pramana, manfaat daun Dedap
adalah sebagai sarana pengobatan. Dengan kandungan zat yang
dimiliki, tanaman ini sering digunakan sebagai obat untuk
mengobati perut kembung karena masuk angin dan digunakan
untuk menolong orang sakit perut.
Kata Kunci: Dedap, fungsi, manfaat, vitamin
1. Latar Belakang
Di tengah-tengah krisis lingkungan yang mengancam umat manusia di
berbagai belahan dunia, filosofi Vasudhaiva Kutumbakam(kita semua bersaudara)
yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan
kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini
bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di
bumi initampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut
oleh sebagian besar masyarakat Bali.Oleh sebab itulahdalam bait-bait puja Tri
Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani
hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia.
302 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di
dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga
kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat
kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus
yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam
khususnya tanaman disebut denganTumpek Wariga atau Tumpek Panguduh.Pada
hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara
karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti
pepohonan.Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas
mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengantanaman
karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian
bahkan urip ‗jiwa‘ dari tanaman. Bagian-bagian tanaman itulahyang selanjutnya
digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan),
pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya.
TanamanDedap tersebut secara umum memang tumbuh di kawasan-
kawasan yang diyakini memiliki nilai kesucian oleh masyarakat Bali seperti
lingkungan pura, atau Sanggah atau Palinggih karena tumbuh di lingkungan
seperti itu, pohon Dedap juga identik dengan pohon yang sakral. Tidak sembarang
orang dapat menebang pohon Dedap, terlebih pada hari-hari yang tidak sesuai
dengan dewasa ayuatau hari baik serta sarana upacara yang tertentu pula. Dedap adalah Erythrina variegate dalam bahasa Latinnya. Daun Dedap di Bali
juga disebut dengan daun Kayu Sakti. Penamaan ini diberikan karena fungsi dan
manfaaat yang dimiliki tanaman inibeberapa alasan, yakni: (1) semua bagian (dari akar,
batang daun, dan bungan) dari pohon Dedap bermanfaat; (2) tanaman ini digunakan untuk
berbagai macan sarana upakara bebantenan, seperti upacara Ngampak Lawang pada
upacara pernikahan, Mendem Pedagingan, sampai upacara Ngaben;(3) batang pohon
Dedap dipakai sebagai tiang Turus Lumbung tempat pemujaan umat Hindu yang disebut
dengan Palinggih atauSanggah; dan(4) Pohon Dedap dapat tumbuh di mana saja.
Kasus di atas menunjukkan interaksi, interelasi, dan interdependensi
masyarakat Bali dengan pohon Dedap yang tinggi terutama untuk kebutuhan
upacara yadnya. Di samping itu, penelusuran yang dilakukan terhadap sejumlah
pustaka lontar Bali menunjukkan bahwa Dedap juga berfungsi untuk mengobati
sejumlah penyakit. Dalam buku yang ditulis oleh Nala (1992: 226) berjudul
Usada Balifungsi, pohon Dedap hanya disinggung sebagai obat untuk mengobati
penyakit. Sejumlah pustaka lain juga menjelaskan khaziat pohon Dedap. Hal
tersebut mengindikasikan bahwa artikel terhadap pohon Dedap dari aspek fungsi
dan makna, serata zat yang terkandung dalam tanaman tersebut belum banyak
dilakukan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka artikel ini akan
membahas tentang manfaat tanaman Dedap khususnya daun Dedap, dan
kandungan Vitamindaun Dedap.
2. Teori dan Metode
2.1 Teori
Vitamin merupakan senyawa kompleks yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
yang berfungsi untuk membantu pengaturan atau proses metabolisme tubuh.
Vitamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu vitamin larut lemak: vitamin A, D,
E, dan K; dan vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin C. Untuk
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 303
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut air perlu sering dikonsumsi
(Dewoto dan Wardhini, 1995). Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh
manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus diperoleh dari bahan
pangan yang dikonsumsi (Winarno, 1995). Karoten yang dikenal sebagai
prekursor vitamin A (beta karoten), saat ini telah dikembangkan karoten
sebagai efek protektif melawan sel kanker, penyakit jantung, mengurangi
penyakit mata, antioksidan, dan regulator dalam sistem imun tubuh. Menurut
Counsell dan Hornig (1981), kadar vitamin C tersebar dengan luas dalam
tanaman, kadar vitamin C ini dapat berbeda-beda dikarenakan beberapa faktor
seperti varietas, pengolahan, suhu, masa pemanenan dan yang terakhir adalah
tempat tumbuh.
Vitamin C berperan dalam pembentukan kolagen interseluler (Winarno,
2008). Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan karena
pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi
kekebalan (Almatsier, 2002).Kebutuhan vitamin C untuk orang dewasa adalah 60
mg, lebih banyak dalam kehamilan dan laktasi, sedangkan untuk bayi dan anak-
anak 35-45 mg. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan vitamin
C diatas 60 mg/hari termasuk merokok, pemakaian kontraseptif dan penyembuhan
luka (Linder, 1992).
Suatu tanaman dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selalu
melakukan metabolisme primer. Hasil metabolisme primer berupa metabolit
primer seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Disamping
memproduksi metabolisme primer, tanaman juga menghasilkan metabolisme
sekunder yang tanaman dalam mempertahankan hidupnya dari serangan biotik
dan abiotik disekitar tumbuhnya. Hasil metabolisme sekunder berupa metabolit
sekunder seperti senyawa – senyawa fenol, penil propanoid, saponin, terpenoid,
alkaloid, tanin, steroid dan flavonoid (Parwata, 2016).
Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi senyawa
bioaktif yang belum tampak melalui pengujian yang dapat dengan cepat
memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu
dengan bahan alam yang tidak memiliki. Skrining fitokimia merupaka tahap
pendahuluan dalam artikel fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran
tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti
(Kristianti et al., 2008; Khotimah, 2016).
Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang
umumnya terdapat pada berbagai tanaman. Flavonoid adalah pigmen tanaman
untuk memproduksi warna bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada
kelopak yang digunakan untuk menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir
terdapat pada semua bagian tanaman termasuk buah, akar, daun dan kulit luar
batang (Worotikan, 2011). Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi
struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos
tulang dan sebagai antibiotik (Haris, 2011). Kurniasari (2006) melaporkan bahwa
sejumlah tanaman obat yang mengandung flavanoid memiliki aktivitas
antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi dan antikanker.
304 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2.2 Metode
Artikel ini menggunakan metode kualitatif dan mengambil data yang
bersumber dari naskar lontar Taru Pramanayang dikoleksi di Pusat Kajian Lontar
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, dan naskah sudah ditransliterasi, dan
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sukersa (1996). Usada sebagai
sistem pengobatan yang berbasis ramuan herbal diperkirakan diturunkan dari
ajaran Weda khususnya Ayur Weda. Kitab Ayur Weda adalah bagian dari Weda
Smerti yang banyak mengulas hal yang berkaitan dengan tatwa (falsafah)
pengobatan, cara pemeriksaan terhadap orang yang sakit, menetapkan penyakit
(diagnosis), pengobatan (terapi), memprakirakan atau meramalkan jalannya
penyakit (prognosis), rehabilitasi, cara pembuatan obat, dan etika pengobatan
(Nala, 1992: 27).Usada Taru Pramanadiakui sebagai salah satu sumber yang
paling utama dalam mempelajari bahan obat yang berasal dari tumbuh-tanaman
khusus untuk artikel ini adalah tanaman Dedap.
Sampel dikoleksi dari habitat alaminya yakni tanaman Dedap. Sampel
daun yang dikoleksi adalah: daun Dedap. Sebanyak 2 kilogram sampel daun
Dedapdikoleksi, selanjutnya dikeringkanginkan selama satu minggu dan
dipastikan tidak terkena sinar matahari langsung saat pengeringan. Sebanyak 250
gram daun kering per sampel disiapkan untuk analisa fitokimia.
Analisa fitokimia dilakukan di Laboratorium Pelayanan Terintegrasi,
Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Analisa yang dilakukan
meliputi kadar serat, kadar abu, analisis total Flavonoid, kandungan Tanin,
Katekin, Klorofil, aktivitas antioksidan, kandungan vitamin A (sebagai beta
karoten) dan vitamin C. Metode yang digunakan dalam skrining (penapisan)
fitokimia adalah metode gravimetri dan spektrofotometer. Kandungan klorofil
total dan karotenoid diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri.
Penentuan kadar vitamin C menggunakan metode spektrofometer UV-Vis.
3. Pembahasan
Di antara klasifikasi upacara yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu,
Yadnya di Bali biasanya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca
Yadnya yang terdiri atas Bhuta, Manusa, Pitra, Resi, dan Dewa Yadnya. Yadnya
yang berpusat pada lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) disebut dengan Bhuta
Yadnya. Yadnya ini mendahului Yadnya lainnya. Secara tradisi, Manusa Yadnya
ditafsirkan kewajiban orang tua mengupacarai anaknya dari lahir hingga potong
gigi dan kawin, demikian pula kewajiban anak adalah mengupacarai orang tua
ketika mereka meninggal. Kepada Resi bentuk yadnyanya adalah punia. Upacara
kepada Dewa disebut dengan Dewa Yadnya. Kelima yadnya ini berangkat dari
konsep Tri Rna ‗Tiga Hutang‘ (Palguna, 2008: 89-90).Dedap memiliki peran vital
dalam upacara Pitra Yadnya khususnya upacara Ngaben.Rimbunnya dedaunan,
batangnya yang kokoh memberikan kesejukan dan keteduhan bagi orang yang
berada di bawahnya. Pohon ini diyakini sebagai tanaman sorga, tempat
anjangsana para pitara serta dewa-dewa. Dalam upacara keagamaan pun ini selalu
digunakan, itulah keagungan dari pohon Dedap.
Pohon Dedap sering dikatakan sebagai tanaman sorga, bagi masyarakat
Hindu pohon Dedap mempunyai arti penting, sama halnya dengan pohon kura
bagi umat Muslim, atau pohon bodi bagi umat Buda (Miarta Putra,
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 305
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
2009:34).Pentingnya pohon Dedap bagi umat Hindu karena daunnya sering
digunakan sebagai sarana upacara. Daun Dedap secara filsafati bagi umat Hindu
sebagai lambang kesucian, lambang agni, dan sebagai alas untuk kesucian, baik
dalam upacara Dewa Yajnya, Pitra Yadnya, maupun pelaksanaan yajnya lainnya.
Keyakinan masyarakat Bali tersebut bukanlah suatu hal yang tidak
beralasan, tanpa landasan sastra yang jelas. Secara mitologi, pohon Dedap
merupakan salah satu pohon yang mendapatkan panugrahan. Pohon
Dedaptersebut bisa berkata-kata seraya memohon kepada Bhagawan Salukat.
―Yang Mulia Bhagawan Salukat leburlah dosa hamba, sebatang tanaman yang
tumbuh di tempat-tempat suci, setiap waktu kurus dan selalu menjadi makanan
hewan,‖ kata pohon Dedap dengan kerendahan hati kepada Bhagawan
Salukat.Bhagawan Salukat yang dudah mengerti akan hakikat hidup, serta dengan
kemurahan hati dianugerahilah pohon Dedap tersebut. ―ih kamu pohon Dedap,
kini wajib kamu menjadi pendamai (membuat sentosa) dunia, melebur dosa, wajib
menjadi pelindung para Dewa tumbuh di setiap tempat suci,‖ kata Bhagawan
Salukat memberikan enugerah kepada pohon Dedap.
Berdasarkan pustaka Siwagama tersebut, fungsionalnya pohon Dedap dalam
konteks upacara yadnya dapat dipahami. Ida Padanda Wayahan Tianyar seorang
pendeta yang nyastra juga menyatakan bahwa pohon Dedap yang dijadikan sarana
upacara bermakna wahana penyucian. Dengan fungsionalnya pohon Dedap dalam
kehidupan masyarakat Bali terutama sebagai sarana upacara dan pengobatan,
maka pohon Dedap perlu dilindungi eksistensinya, baik hari ini maupun di masa
depan.
3.1 Manfaat Tanaman Dedap
Secara morfologis, leksikon Dedap merupakan bentuk dasar dan
berkategori nomina. TanamanDedap merupakan jenis tanaman yang dapat
tumbuh dengan mudah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah lembab dan setengah
kering, dengan curah hujan 800 – 1500 mm pertahun dan 5-6 bulan basah.
Biasanya tanaman ini dapat dijumpai di wilayah pesisir hingga ketinggian sekitar
1500 m di atas permukaan laut. Meskipun mampu hidup pada pelbagai keadaan
tanah, Dedap menyukai tanah-tanah yang dalam, sedikit berpasir, dan berdrainase
baik. Dedap mampu tumbuh pada tanah-tanah bergaram, tanah yang terendam air
secara berkala, dan tanah kapur berkarang.
Apabila diamati secara biologis, tanamanDedap memiliki bagian kulit batang
yang jika masih muda tampak halus bergaris-garis vertikal hijau, abu-abu, coklat
muda atau keputihan, terdapat duriduri kecil yang menempel pada bagian
batangnya (1–2 mm) dan berwarna hitam. Daun Dedap berwarna hijau muda
dengan panjang tangkai 10-40 cm. Panjang daun berkisar antara 9-25 cm dengan
lebar daun sekitar 10-30 cm. Selain itu, Bunga-bunga tersusun
dalam tandan berbentuk kerucut, di samping atau di ujung ranting yang gundul,
biasanya muncul tatkala daun berguguran.
Secara sosiologis, masyarakat Bali menggunakan tanaman ini sebagai
tanaman peneduh, tiang-tiang pagar hidup, atau tiang untuk sanggah (tempat
pemujaan), dan sebagai obat tradisional. Kandungan zat pada seluruh bagian
tanaman ini sangat sejuk. Dengan kandungan zat yang demikian, tanaman ini
sering digunakan sebagai obat untuk mengobati perut kembung karena masuk
306 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
angin dan digunakan untuk menolong orang sakit perut. Untuk membuat obat
tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu mencampur bagian kulit
batang dengan ketumbar 11 biji, garam arang, kemudian dilumatkan, diperas dan
disaring, lalu diminum. Selain itu dapat pula dengan mencampurkannya dengan
sindrong (sejenis rempah-rempah) yang disangrai, kemudian disemburkan.
Gambar 1: Dedap „Dedap‘(Erythrina Variegata)
(Sumber: google search)
‗Dedap‘ bermanfaat, mulai dari akar hingga muncuk (pucuknya), (2)
digunakan sebagai pembuatan berbagai sarana upacara atau bebantenan, misalnya
digunakan saat upacara Ngampak Lawang, Mendem Pedagingan, saat Upacara
Pernikahan, hingga upacara Ngaben, (3) digunakan untuk pembuatan palinggih
atau sanggah ‗tempat sembahyang‘ permanen sehingga disebut juga dengan Turus
Lumbung, dan (4)Kayu Dapdap dapat tumbuh di sembarang tempat seperti di air
dan di tanah. Uniknya, tanaman ini dapat tumbuh dan bertunas walapun
batangnya hanya menyentuh tanah dan tidak harus masuk ke dalam tanah.
Sementra itu, dalam Lontar Usada Taru Premana pohon Dapdap ‗Dedap‘
disebutkan bahwa tanaman ini memiliki manfaat sebagai tanaman untuk bahan
obat.
Dapdap ‗Dedap‘ memiliki ciri-ciri morfologis tanaman, yaitu (1)
morfologi batang, memiliki bagian kulit batang yang jika masih muda tampak
halus bergaris-garis vertikal hijau, abu-abu, coklat muda atau keputihan, terdapat
duri-duri kecil yang menempel pada bagian batangnya dan berwarna hitam, (2)
morfologi daun, daun Dedap berwarna hijau muda dengan panjang tangkai 10-40
cm, dengan panjang daun berkisar antara 9-25 cm dengan lebar daun sekitar 10-30
cm, dan (3) morfologi bunga, bunga-bunga tersusun dalam tandan berbentuk
kerucut berwarna merah yang muncul pada bagian ujung ranting yang gundul.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 307
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Gambar 2: Turus Lumbung dari Dedap Gambar3:RitualMendem Pedagingan
(Erythrina variegata) yang merupakan rangkaian
(Sumber: google search) upacara Dewa Yadnya
(Sumber: google search)
Penelusuran terhadap pustaka-pustaka lontar yang termasuk dalam Usada
Bali menunjukkan bahwa pohon Dedap memiliki manfaat yang sangat beraneka
ragam dalam penyembuhan penyakit. Usada Taru Pramana merupakan salah satu
naskah lontar yang memuat informasi mengenai pohon Dedap sebagai sarana
pengobatan. Menariknya, teks usada ini secara naratif berkisah mengenai seorang
dukun bernama Prabhu Mpu Kuturan yang kehilangan kemampuan mengobati
setelah sekian lama membantu masyarakat menyembuhkan berbagai penyakit.
Menyadari hal itu, Ia kemudian melakukan tapa brata di kuburan untuk
mengembalikan kemampuannya. Setelah genap sebulan tujuh hari, turunlah
Bhatari dari kayangan.Beliauberkenan memberi anugerah kepada Prabu Mpu
Kuturan sehingga ia memiliki keahlian untuk memanggil pepohonan untuk
ditanyai khasiatnya Pohon Dapdap „Dedap‟ memiliki manfaat untuk
menyembuhkan penyakit perut kembung, seperti yang diungkapkan dalam teks
lontar Usada Taru Pramana sebagai berikut.
Titiang taru dapdap tis wau rauh, daging titiang tis, babakan titiange
dados anggen tamba běngka, ragin ipune katumbah běbolong, 11 běsik,
uyah arěng, pipis, pěrěs saring, tahap.
Terjemahan
Saya pohon Dedap tis baru datang, kandungan zat saya sejuk, kulit hamba
bisa dipakai untuk obat perut kembung karena masuk angin,
campurannya ketumbar, 11 biji, garam arang, dilumat, diperas dan
disaring, diminum.
Berdasarkan kutipan teks lontar Usada Taru Pramana di atas, pohon Dapdap
‗Dedap‘dapat mengatasi sakit perut kembung karena kandungan zat pada seluruh
bagian tanaman ini yaitu sejuk. Dengan kandungan zat yang demikian tanaman ini
sering digunakan sebagai obat untuk perut kembung karena masuk angin dan
308 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
digunakan untuk menolong sakit perut. Untuk membuat obat tersebut langkah-
langkah yang dapat dilakukan yaitu mencampur bagian kulit batang dengan
ketumbar, 11 biji, garam arang, dilumat, diperas dan disaring, lalu diminum.
Selain itu dapat pula dengan mencampurkan sindrong (sejenis rempah-rempah)
yang disangrai setelah itu disemburkan.
3.2 Kandungan Vitamin dari Daun Dedap
Uji fitokimia ini merupakan suatu metode pengujian awal untuk mengetahui
kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman obat lokal yang berperan
penting dalam penyembuhan penyakit. Hasil artikel ini diharapkan dapat
dilanjutkan dengan artikel yang lebih detil untuk menemukan suatu senyawa yang
memiliki efek farmakologi tertentu sehingga memacu penemuan obat baru yang
berasal dari keragaman jenis tanaman obat lokal. Pengujian kandungan
fitokimia pada sampel tanaman obat masih berlangsung. Hingga saat ini diperoleh
data hasil pengujian kandungan vitamin C seperti tercantum pada Tabel 1.
Tabel 1. Kadar Vitamin C DaunDedap
No Nama lokal Nama Latin Kadar Vitamin C
(mg/L)
1 Dapdap Erythrina variegata 606,7
Hasil pengujian menunjukkan bahwa daun Dedapmemiliki kandungan
vitamin C yaitu606,7 mg/L. Kandungan vitamin C tanaman yang diuji relatif
tinggi dibandingkan tanaman atau buah-buahan seperti cabai yang mengandung
4.5 mg/L (Badriyah et al., 2015).Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang
seringkali dikaitkan dengan peningkatan daya tahan tubuh (Aina dan Suprayogi,
2011). Vitamin C berperan efektif untuk mengatasi radikal bebas yang merusak
sel atau jaringan. Vitamin C saat ini merupakan jenis vitamin yang paling populer
di masyarakat karena khasiatnya yang dikenal untuk kesehatan.
4. Simpulan
Manfaat dari tanaman Dedapadalah secara morfologi tanaman, zat yang
terkandung dalam tanamanDedap dapat menyembuhkan penyakit, cara
pengobatinya, pengobatan baik untuk penyakit baik yang disebabkan oleh kausa
sakala (Naturalistrik) dan kausa niskala (Personalistik) dan wujud obatnya.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa daun Dedapmemiliki kandungan vitamin
C yaitu 606,7 mg/L.
Daftar Pustaka
Aina, M., dan Suprayogi, D. (2011). Uji Kualitatif Vitamin C pada Berbagai
Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Pemanasan. Sainmatika. 3(1): 61-67.
Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Halaman 188.
Anom, Ida Bagus. 2011. Indik Taru. Denpasar: CV Kayu Mas Agung.
Badriyah, L. dan A. B. Manggara. 2015. Penetapan Kadar Vitamin C Pada Cabai
Merah (Capsicum Annum L.) Menggunakan Metode Spektrofotometri UV
Vis. Jurnal Wiyata 2(1): 25 – 28.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 309
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Dewoto, H. R., dan Wardhini B. P., S. (1995). Vitamin dan Mineral. Dalam:
Farmakologi dan Terapi Edisi Keempat. Editor: Ganiswara, S. G. Jakarta:
Gaya Baru. Halaman 714, 722.
Khotimah, K. 2016. Skrining Fitokimia dan Indentifikasi Metabolit Sekunder
Senyawa Karpain pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubescens Lenne & K.
Koch dengan LC/MS (Liquid Chromatograph-tandem Mass Spectrometry).
Skripsi. Fakultas Sains ndan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim
Malang.
Kristianti, A. N., N.S. Aminah, M. Tanjung dan B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar
Fitokimia. Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik. FMIPA,
Universitas Airlangga,Surabaya.
Linder, M. (1985). Nutritional Biochemistry and Metabolism. Penerjemah:
Parakkasi, A. (1992). Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI-Press.
Halaman 165, 178.
Nasution, S. E. 2018. Analisis Dan Perbandingan Kadar Vitamin C Pada Buah
Srikaya (Annona squamosa L.) Dan Buah Sirsak (Annona muricata L.)
Secara Titrasi Volumetri Dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol. Skripsi.
Fakultas Farmasi, Universitas Sumatra Utara, Medan.
Palguna, I.B.M.Darma 2008. Leksikon Hindu. Mataram: Sadampatyaksara.
Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama. Jakarta
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 310
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM
AIMAI HYŌGEN
Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti
Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
[email protected], [email protected]
ABSTRAK
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu topik kebahasaan
yang cukup banyak dikaji dalam penelitian. Kesantunan berbahasa
dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya berfokus pada
masalah linguistik, akan tetapi juga dapat dikaitan dengan budaya
masyarakat penutur bahasa yang melatarbelakanginya. Salah
satunya adalah aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas).
Aimai hyōgen merupakan salah satu konsep berkomunikasi yang
masih digunakan oleh penutur masyarakat Jepang. Konsep aimai
hyōgen ini berfokus pada gaya bahasa yang digunakan melalui
makna-makna yang tidak jelas atau tidak pasti oleh karena terlalu
banyaknya makna yang dimiliki oleh ungkapan tersebut. Hal ini
bertujuan untuk menghindari penggunaan ungkapan yang lugas,
tegas, dan jelas. Berdasarkan fenomena tersebut, maka beberapa
aimai hyōgen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan Leech
dibahas dalam makalah ini.
Kata kunci: aimai hyōgen, kesantunan berbahasa, maksim
kesantunan
PENDAHULUAN
Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) merupakan salah satu konsep
strategi berkomunikasi yang masih digunakan dalam masyarakat Jepang yang
dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditafsirkan memiliki lebih dari
satu makna yang dimaksudkan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan,
ketidaktentuan, dan ketidakpastian. Masyarakat non Jepang menganggap bahwa
masyarakat Jepang pada umumnya memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi
terhadap ambiguitas. Rasa toleransi terhadap ambiguitas ini dianggap sebagai
salah satu karakteristik budaya Jepang. Masyarakat Jepang dianggap cenderung
menghindari mengutarakan sesuatu secara terbuka dalam interaksi sosialnya.
Mereka pada umumnya masih berpegang pada prinsip bahwa hal yang
disampaikan secara lugas dan terbuka kepada mitra tutur dianggap tidak sopan
karena seolah-olah menganggap mitra tutur tidak mengetahui topik yang
dibicarakan (Davies & Ikeno, 2002).
Varisi aimai hyōgen dapat ditemukan dalam bentuk tuturan lisan dalam
kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 311
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
pekerjaan. Salah satunya adalah bentuk tuturan lisan yang digunakan oleh staf
hotel terhadap mitra tuturnya yaitu tamu hotel. Pada situasi pekerjaan di
perhotelan, aimai hyōgen cukup banyak digunakan oleh staf hotel untuk melayani
atau memenuhi kebutuhan tamu. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada
makalah ini dibahas mengenai ungkapan ambiguitas pada beberapa ungkapan
aimai hyōgen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan yang diklasifikasikan
oleh Leech.
Data yang digunakan dalam makalah ini diambil dari drama berbahasa
Jepang yang berjudul Hotel Concierge(ホテルコンシェルジュ) yang
ditayangkan oleh stasiun televisi TBS Jepang dari tanggal 07 Juli sampai 22
September 2015.
PEMBAHASAN
Berikut merupakan Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) yang digunakan
oleh staf hotel pada saat merespon permintaan tamu hotel yang terdapat dalam
drama Hotel Concierge (ホテルコンシェルジュ)(2015).
1. Penggunaan aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan o-
kimochi dake de kekkō desu node
Data 1
Sutaffu 1 : Shitsurei itashimasu.
Sugano : Arigatō.
Tadaima.
Sutaffu 2 : Mōshiwake gozaimasen, Sugano-sama.
O-kaeri ni maniawanakute.
Sugano : Ii no. Ii no. Watashi ga hayaku kaette kichattakara.
Sutaffu 3 : Sugu sumasemasu node.
Sugano : Heiki heiki. Awatenai de ne.
Sou da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira.
Sutaffu 2 : O-kimochi dake de kekkō desu node.
Sugano : Ii kara. Ii kara. Ja, hora. O-dango.
Sutaffu 2&3 : Arigatō gozaimasu.
Sutaffu 3 : Kono mae itadaita umeboshi mo sugoku oishikatta desu.
(Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:06.27-
07.00)
Terjemahan:
Staf 1 : Permisi.
Bu Sugano : Terima kasih.
Saya pulang.
Staf 2 : Mohon maaf, Bu Sugano.
Kami belum selesai membersihkan kamarnya.
Bu Sugano : Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya yang pulang terlalu cepat.
Staf 3 : Kami akan segera menyelesaikannya.
Bu Sugano : Pelan-pelan…pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru ya.
Oya, kamu mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?
312 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Staf 2 : Terima kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot).
Bu Sugano : Tidak apa-apa…tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo ini dango.
Staf 2&3 : Terima kasih banyak.
Staf 3 : Umeboshi yang Ibu berikan kepada saya waktu ini juga sangat
enak.
Situasi dalam percakapan dilakukan antara staf hotel dengan Bu Sugano
(tamu hotel). Bu Sugano yang sedang keluar dari kamarnya, tiba-tiba kembali
dalam waktu yang tidak lama. Saat Bu Sugano tidak berada di dalam kamar hotel,
dua orang staf sedang membersihkan kamarnya.
Bu Sugano merupakan salah satu tamu yang masa tinggal di hotel
Vollmond dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, hubungan antara para
staf hotel dan Bu Sugano sangat baik. Begitu juga yang terlihat pada percakapan
di atas, Bu Sugano digambarkan membawa buah tangan yang ingin diberikan
kepada dua orang staf hotel yang sedang membersihkan kamarnya. Ini terlihat
dalam tuturan sō da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira ‗oya,
kamu mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?‘. Penawaran bu Sugano direspon
oleh staf hotel dengan tuturan berikut o-kimochi dake de kekkō desu node ‗Terima
kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot)‘.
Aimai hyōgen ini apabila dituturkan memiliki makna bahwa si penutur
mengutarakan perasaan terima kasih atas kebaikan dari mitra tutur. Akan tetapi,
aimai hyōgen ini cenderung bermakna menolak sesuatu yang ditawarkan oleh
mitra tutur. Begitu pula yang tergambar pada percakapan diatas. Bu Sugano
menawari penganan anmatsu dan o-dango kepada dua orang staf yang sedang
membersihkan kamarnya. Namun, tawaran Bu Sugano ditolak secara halus salah
seorang staf tersebut dengan ungkapan o-kimochi dake de kekkou desu node.
Dalam bahasa Indonesia mungkin tidak memiliki padanan yang tepat untuk
ungkapan tersebut. Akan tetapi secara sederhana ungkapan tersebut memiliki
makna ‗Saya menghargai perasaan/niat baik (kebaikan) Anda (menawarkan saya
hal tersebut). Jadi, Anda tidak perlu (repot-repot) sampai menyiapkan sesuatu
(untuk saya)‘.
Dalam konteks diatas, penolakan staf hotel yang ditujukan kepada Bu
Sugano sebenarnya salah satu etika yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa
Jepang dalam berinteraksi dalam komunitasnya. Jika dilihat dari posisi staf hotel,
maka menerima sesuatu yang berupa buah tangan merupakan hal yang tidak lazim
dilakukan. Oleh karena alasan itulah, staf tersebut berupaya menolak tawaran Bu
Sugano. Selain itu, etika berinteraksi dalam masyarakat Jepang dilandasi dengan
konsep honne tatemae. Menurut Honna & Hoffer (1986) dalam an English
dictionary of Japanese culture, Honne didefinisikan sebagai motif atau niat dalam
seseorang yang sebenarnya. Sebaliknya, tatemae didefinisikan sebagai motif atau
niat yang disesuaikan secara sosial dan norma yang berlaku dan disepakati
masyarakat Jepang. Secara sederhana dapat dikatakan bahawa motif atau niat
tersebut yang dibentuk, didorong, atau ditekan oleh norma-norma mayoritas yang
berlaku (Davies & Ikeno, 2002:115). Mengacu pada definisi tersebut, maka latar
belakang sikap penolakan yang dilakukan staf hotel didasari konsep tatemae
tersebut. Etika dalam masyarakat Jepang pada saat ditawari sesuatu adalah dengan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 313
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
menolak sebagai salah satu bentuk basa basi. Apabila menerima tawaran dari
seseorang, diharapkan tidak langsung menerimanya. Namun menunggu tawaran
berikutnya dari mitra tutur.
Maksim Penghargaan
Dalam tuturan antara staf hotel dengan Bu Sugano terwujud salah satu
maksim kesantunan yang muncul yaitu maksim penghargaan. Maksim
penghargaan tersirat dalam aimai hyōgen yaitu o-kimochi dake de kekkō desu
node. Staf hotel menghargai perbuatan baik Bu Sugano yang menawari dirinya
buah tangan berupa anmatsu atau o-dango. Melalui ungkapan tersebut, staf hotel
menyampaikan rasa terima kasih atas perbuatan baik yang dilakukan Bu Sugano.
Maksim penghargaan merupakan salah satu bentuk prinsip kesantunan dengan
memaksimalkan pujian atau penghargaan kepada mitra tutur (Rahadi, 2005: 59).
Maksim Kebijaksanaan
Terdapat maksin lain yang terwujud dalam percakapan diatas yaitu
maksim kebijaksanaan. Hal ini terlihat pada percakapan staf hotel dan Bu Sugano.
Staf hotel yang mengetahui Bu Sugano kembali ke kamar lebih awal berusaha
untuk membersihkan kamar lebih cepat. Tuturan staf hotel yang menyatakan
maksim kebijaksanaan yaitu: sugu sumasemasu node ‗kami akan segera
menyelesaikannya‘.
Maksim kebijksanaan menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat
memaksimalkan keuntungan orang lain dan mengurangi kerugian orang lain
(Rahadi, 2005:59). Maksim tersebut tersirat dalam tindakan yang diambil staf
hotel untuk sesegera mungkin membersihkan kamar Bu Sugano. Meskipun,
sebenarnya staf hotel tidak melakukan kesalahan apapun dalam hal ini. Justru, Bu
Sugano yang terlalu cepat kembali ke kamar, yang menyebabkan perkerjaan staf
hotel tidak selesai sesuai jadwal. Akan tetapi, staf hotel menyikapi kejadian ini
dengan bijaksana. Mereka berprinsip bahwa kenyamanan adalah hak tamu. Oleh
karena itu, apapun dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan tamu dan
meminimalisir kerugian tamu.
2. Penggunaan aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan
tondemo gozaimasen.
Data 2
Sutaffu 1 : Taihen shitsurei itashimasu.
Sutaffu 2&3 : Shitsurei itashimashita.
Isaka : Iie, chekku auto jikan kanchigai shite ita watashi ga waruin desu.
Sutaffu 1 : Tondemo gozaimasen.
Isaka : Sore ni, watashi, depojitto no koto, sukkari wasuretete. A, ima
ATM de.
Sutaffu 1 : Osore irimasu.
Sugano : Gokai saseru na koto nashite, mōshiwake nai desu.
Sutaffu 1 : Tondemo gozaimasen.
Shitsurei itashimashita.
314 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Isaka : Mou, yōshite kudasai.
A, tokoro de, hitotsu onegai ga arimashite.
Sutaffu : Nan deshou.
Isaka : Jitsu wa, shucchō ga nobichaimashite, oheya ga aitereba,
ato ni haku sasete itadakereba to.
Sutaffu : Mochiron go-yōi sasete itadakimasu.
Isaka : Yokattaa.
Sutaffu : Isaka sama, yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete
itadakitai no desu ga. Ryōkin wa mochiron sūji no mama kekkō
desu node.
Isaka : Hee, iin desu ka. Arigatō gozaimasu.
(Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:19.40-20.33:
2015)
Terjemahan:
Staf 1 : Mohon maaf.
Staf 2&3 : Kami minta maaf.
Pak Isaka : Tidak, saya yang salah. Saya salah mengerti tentang waktu check
out.
Staf 1 : Tidak apa-apa.
Pak Isaka : Lalu, saya juga benar-benar lupa mengenai uang deposit.
Oya, ini uangnya dari ATM.
Staf 1 : Terima kasih. Maaf merepotkan.
Pak Isaka : Saya minta maaf karena telah membuat Anda semua
salah paham.
Staf 1 : Tidak apa-apa. Kami juga minta maaf.
Pak Isaka : Sudahlah. Silakan diterima (uangnya).
Oya, ngomong-ngomong, saya ingin minta tolong tentang
satu hal.
Staf : Iya, bagaimana ya?
Pak Isaka : Sebenarnya dinas saya diperpanjang…
Jika ada kamar kosong, bisakah saya menginap 2 hari lagi?
Staf : Tentu saja. Kami akan siapkan.
Pak Isaka : Syukurlah.
Staf : Bapak Isaka, apabila berkenan, kami bisa upgrade
kamar Bapak.
Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya sebelumnya.
Pak Isaka : Oya? Benarkah? Terima kasih banyak.
Pada situasi data 2 diatas digambarkan percakapan antara seorang tamu
hotel dengan tiga orang staf hotel. Tamu hotel bernama Pak Isaka, yang dicurigai
berencana melakukan kejahatan yang dikenal dengan istilah ―スキッパー“ .
Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yaitu skipper. Dalam istilah perhotelan
Jepang, ―スキッパー“yaitu jenis kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang
dengan metode membuat reservasi di hotel pada hari bersamaan dengan waktu
menginap, lalu memperpanjang masa menginap, menggunakan segala fasilitas
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 315
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
hotel, namun menjelang pembayaran, yang bersangkutan akan pergi
meninggalkan hotel secara diam-diam untuk menghindari tagihan hotel.
Begitu juga dugaan staf hotel Vollmond terhadap Pak Isaka. Oleh karena
prilaku Pak Isaka yang terkesan mencurigakan, maka pihak hotel mencurigainya
sebagai seorang skipper. Hal ini dikarenakan, kamar yang ditempati Pak Isaka
telah kosong pada saat waktu check out telah tiba. Para staf hotel dibuat panik
oleh Pak Isaka karena hal tersebut. Namun, ternyata ada kesalahpaham yang
terjadi. Pak Isaka ternyata bermaksud mengambil uang tunai di ATM dengan
membawa seluruh barangnya. Pihak hotel menduga Pak Isaka pergi meninggalkan
hotel tanpa membayar tagihan. Sekembalinya ke hotel, Pak Isaka menjelaskan
semuanya, bahwa dirinya salah paham mengenai waktu check out, sehingga
keluar hotel sebelum membayar tagihan menginap. Pak Isaka meminta maaf
kepada para staf hotel yang terlihat melalui tuturan ―iie, chekku auto jikan
kanchigai shite ita watashi ga waruin desu”, ‗Tidak, saya yang salah. Saya salah
mengerti tentang waktu check out‘. Tuturan tersebut direspon oleh staf hotel
dalam aimai hyōgen, yaitu tondemo gozaimasen.
Pada tuturan berikutnya, Pak Isaka kembali meminta maaf atas kesalahan
yang dirinya perbuat secara tidak sengaja yaitu terlupa menyerahkan uang deposit
kepada pihak hotel. Pernyataan maaf tersebut terdapat dalam tuturan Gokai saseru
na koto nashite, mōshiwake nai desu ‗Saya minta maaf karena telah membuat
Anda semua salah paham. Permintaan maaf Pak Isaka direspon kembali oleh staf
hotel dengan ungkapan tondemo gozaimasen ‗Tidak apa-apa. Kami (juga) minta
maaf‘.
Ungkapan tondemo gozaimasen merupakan salah satu ungkapan
ambiguitas yang terdapat dalam bahasa Jepang dan cukup sering digunakan oleh
staf hotel dalam berkomunikasi dengan tamu hotel. Aimai hyōgen tondemo
gozaimasen berasal dari bentuk tondemo nai. Pada dasarnya kedua ungkapan
tersebut memiliki makna yang sama. Hanya saja bentuk tondemo gozaimasen
merupakan bentuk ragam bahasa hormat (keigo), sedangkan tondemo nai
merupakan bentuk sopan.
Dalam kamus pemakaian bahasa Jepang dasar (1988:1225), dinyatakan
terdapat tiga makna penggunaan ungkapan tondemo gozaimasen. Yang pertama
adalah bahwa ungkapan tersebut merujuk pada sesuatu hal yang tidak masuk akal
(diluar dugaan) yang cenderung mengarah ke penilaian yang negatif. Yang kedua
adalah ungkapan tersebut dapat bermakna bahwa sesuatu hal tidak mungkin
terjadi (mustahil) atau sama sekali tidak bisa diampuni. Yang ketiga adalah
ungkapan tondemo gozaimasen yang digunakan untuk menolak pernyataan mitra
tutur. Pernyataan yang pada umumnya ditolak yaitu berupa pujian.
Berbeda dengan ketiga makna diatas, ungkapan tondemo gozaimasen yang
digunakan oleh staf hotel pada data di atas digunakan sebagai negasi (penolakan)
terhadap tuturan mitra tutur yang disebutkan sebelumnya. Adapun bentuk tuturan
yang diujarkan oleh Pak Isaka adalah berupa permintaan maaf atas masalah yang
telah dilakukan sehingga membuat kepanikan pihak hotel. Pada kenyataannya,
316 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
perbuatan yang dilakukan oleh Pak Isaka memang telah menimbulkan kekacauan
di hotel. Akan tetapi, sebagai pihak yang selalu memprioritaskan kenyamanan
tamu, staf hotel merespon permintaan maaf tersebut dengan ungkapan ambiguitas
tondemo gozaimasen, yang bermakna bahwa tindakan tamu (Pak Isaka) ―dianggap‖
bukan suatu masalah oleh pihak hotel. Sebaliknya staf hotel justru turut
menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut. Hal ini terlihat pada
ungkapan taihen shitsurei itashimashita dan shitsurei itashimashita. Hal ini
merupakan salah satu strategi komunikasi yang digunakan oleh staf hotel dengan
tujuan menyelamatkan muka (posisi) tamu agar tidak merasa dipermalukan.
Maksim Pemufakatan
Percakapan pada data 2 di atas yang terjadi antara staf dengan tamu hotel
mewujudkan salah satu prinsip kesantunan berbahasa yaitu maksim kemufakatan.
Hal ini terlihat dari kebijakan yang diberikan diberikan oleh pihak hotel pada saat
tamu terlupa memenuhi kewajiban untuk membayar deposit. Hal ini juga diiikuti
oleh kesadaran tamu yang memiliki niat baik untuk kembali ke hotel untuk
memenuhi kewajiban dan sekaligus meminta maaf kepada pihak hotel. Pihak
hotel merespon tindakan tamu dengan menerima uang deposit yang terlambat
dibayarkan. Selain itu, tindakan tamu yang segera meminta maaf kepada staf hotel
atas keteledoran yang dilakukan, direspon positif oleh staf hotel, yaitu dengan
menerima uang deposit dan dan juga menerima permintaan maaf tamu hotel
melalui ungkapan tondemo gozaiamsen ―tidak apa-apa‖. Melalui situasi tersebut
dapat dikatakan terjadi pemufakatan antara pihak hotel dengan tamu.
Maksim Kebijaksanaan
Dalam percakapan antara staf hotel dengan Pak Isaka, dapat dilihat bahwa
ada sebuah kebijakan yang diberikan pihak hotel melalui pemberian kompensasi
atas keteledorannya menduga tamu sebagai seorang skipper. Tuduhan tersebut
tentu saja memberikan rasa tidak nyaman kepada Pak Isaka. Sebagai upaya untuk
menebus keteledoran tersebut, maka pihak hotel memberikan tawaran kompensasi
berupa upgrade kamar kepada Pak Isaka. Hal ini terlihat pada tuturan Isaka sama,
yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete itadakitai no desu ga. Ryōkin wa
mochiron sūji no mama kekkō desu node ‗Bapak Isaka, apabila berkenan, kami
bisa upgrade kamar Bapak. Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya
sebelumnya‘. Kebijakan pihak hotel ini diterima dengan senang hati oleh Pak
Isaka. Dengan demikian maksim kebijaksanaan yang diterapkan pihak hotel
diterima dengan senang hati oleh Pak Isaka.
SIMPULAN
Kesantunan berbahasa dalam bidang perhotelan seperti yang terdapat
dalam drama Hotel Concierge (コンシェルジュ) cukup banyak ditemukan
dalam bentuk tuturan aimai hyōgen. Aimai hyōgen ini juga cukup sering
digunakan oleh staf hotel terhadap tamu hotel. Bentuk tuturan seperti o-kimochi
dake de kekkō desu node dan tondemo gozaimasen digunakan untuk menghindari
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 317
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
pemakaian ungkapan yang terlalu lugas dan terbuka. Hal ini dikarenakan adanya
budaya masyarakat Jepang membatasi tuturan yang diucapkan secara lugas dan
terbuka, karena dianggap melanggar kesopanan.
DAFTAR PUSTAKA
Davies, Roger dan Ikeno, Osamu.2002. The Japanese Mind. Tuttle Publishing:
Tokyo.
Honna, N., & Hoffer, B. (eds).1986. An English dictionary of Japanese culture.
Tokyo: Yuhikaku.
Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.
Jakarta: Erlangga.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 318
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN
BALI MASA KINI
Ni Made Wiasti, dan Ni Luh Arjani
Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah ―terwujudnya pemahaman
keberagaman budaya berbasis pengetahuan lokal‖. Tujuan tersebut
hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus penelitian, yaitu
pemahaman tentang gaya hidup perempuan Bali masa kini. Untuk
itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah
bagaimana perempuan Bali memaknai identitas mereka yang
direpresentasikan melalui gaya hidup. Adapun fokus penelitian
adalah: 1) bentuk gaya hidup hedonisme di kalangan remaja putri,
2) implikasinya terhadap representasi identitas perempuan Bali
masa kini.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode
kualitatif melalui teknik pengumpulan data dengan observasi dan
wawancara. Analisis data menggunakan análisis diskriptif
interpretatif.
Temuan penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup hedonisme
remaja putri adalah dengan membentuk komunitas yang mereka
beri nama (WBA) yakni tempat mereka mengaktualisasikan diri
sebebas-bebasnya untuk mencari kebahagiaan sebanyak mungkin
dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang
menyakitkan. Implikasi terhadap representasi identitas perempuan
Bali masa kini adalah munculnya konstruksi kecantikan perempuan
Bali postmodern yang mengarah pencitraan dan gaya hidup. Cantik
bagi perempuan Bali bukan merupakan persoalan privat semata,
karena apa yang ditampilkan perempuan dengan tubuhnya menjadi
konsumsi publik.
Kata Kunci: representasi, identitas, gaya hidup, perempuan Bali
masa kini.
1. Pendahuluan
Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah representasi
identitas yang terkait gaya hidup perempuan Bali sebagai akibat arus
globalisasi masa kini. Bisa dikatakan bahwa globalisasi hampir menjadi
kosa kata yang tidak pernah ketinggalan dalam pembicaraan di forum-forum ilmiah, ruang diskusi, halaman surat kabar, program televisi hingga warung
kopi. Pengertian globalisasi sendiri seringkali dipakai untuk merujuk pada
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 319
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
perluasan dan pendalaman arus perdagangan, modal, teknologi, informasi
internasional dalam sebuah pasar global yang terintegrasi. Pengertian
lainnya, globalisasi dipandang sebagai proses liberalisasi pasar nasional dan global yang mengarah pada kebebasan arus perdagangan, modal atau
informasi dengan kepercayaan bahwa situasi tersebut akan menciptakan
pertumbuhan dan kesejahteraan manusia (Petras & Veltmeyer, 2001: 11). Dua pengertian itu mengandung asumsi bahwa fenomena globalisasi
merupakan sesuatu yang tak terelakkan, sesuatu yang pasti terjadi, dan
mengharuskan masyarakat melakukan adaptasi atas perubahan yang terjadi.
Pada kenyataannya, fenomena globalisasi mengubah banyak aspek
kehidupan manusia. Perubahan arus perdagangan internasional membuat
berbagai produk yang dibuat di negara-negara belahan benua Eropa atau
Amerika dapat dikonsumsi oleh warga masyarakat di benua Afrika atau pun
Asia. Globalisasi juga mampu mengubah gaya hidup seseorang maupun
kelompok. Gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif,
mengandung pengertian sebagai tata cara hidup mencakup sekumpulan
kebiasaan, pandangan, dan pola-pola respons terhadap hidup, perlengkapan
untuk hidup, dan keterlibatan dengan kelompok sosial tertentu dalam
kesehariannya. Gaya hidup merupakan hasil interaksi manusia dengan dunia
fisik. Singkatnya, gaya hidup dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan
sosial dan fisik (Takwin, 2006:36-38). Kini gaya hidup dominan yang muncul sebagai dampak dari
globalisasi adalah hedonisme. Hedonisme adalah pandangan hidup yang
menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari
kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari
perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau
pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan
tindakan manusia. Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar
tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang
menjadi hal terbaik bagi manusia?". Hal ini diawali dengan Sokrates yang
menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia.
Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi
hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa
manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak
mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan
tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf
Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan
manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun
demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup
kesenangan badani saja— seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan
rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.
https://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme
Saat ini gaya hidup hedonis diduga banyak merasuki kehidupan remaja putri di Bali, terlebih-lebih mereka yang tergabung dalam kelompok atau komunitas yang tersebar di Kota Denpasar. Berdasarkan fenomena
320 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan memahami beberapa hal, yakni: bentuk gaya hidup hedonis remaja putri, dan implikasinya terhadap representasi identitas perempuan Bali masa kini.
2. Metodologi
Lokasi penelitian adalah di wilayah Kota Denpasar, mengingat Kota
Denpasar adalah miniatur Bali dengan yang kental dengan nuansa
multikultural banyak ditemukan komunitas remaja. Penelitian ini dilakukan
dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih
mengandalkan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan
studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan
informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami
dokumen terkait. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis
deskriptip interpretatif.
3. Pembahasan 3. 1. Gaya Hidup Hedonisme di Kalangan Remaja Putri Studi Kasus Komunitas Warung Bumi Ayu (WBA), Jalan Gunung Agung,
Kota Denpasar Remaja merupakan masa-masa yang paling menyenangkan pada umumnya. Fase
perkembangan remaja merupakan masa yang paling rentan dan kritis. Hal ini dimaksudkan karena masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia memiliki batasan umur antara 11 tahun hingga 24
tahun dan belum menikah (Sarlito, 2003:11-14). Globalisasi dan pergaulan teman sebaya mempengaruhi gaya hidup
remaja. Hal ini terkait dengan konsumerisme yang dicerminkan oleh
pengunaan IPTEK, trend fashion dari media massa, transportasi serta alat
telekomunikasi yang kemudian membawa informasi kepada para remaja ini.
Menurut Steven Miles (dalam Soedjatmiko, 2008:9), konsumerisme
merupakan suatu pola pikir atau tindakan di mana orang membeli barang
bukan karena dia membutuhkan barang melainkan karena tindakan membeli
itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Dengan kata lain,
konsumerisme sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna,
serta memiliki fungsi sosial dan ekonomis. Gaya hidup tersebut
mempengaruhi ideologi dan perilaku remaja yang dapat kita lihat dalam
gaya hidup hedonisme. Hal ini juga terjadi pada remaja putri komunitas
WBA. Remaja putri memiliki citra di masyarakat sebagai sosok kelembutan,
kesederhanaan, kepedulian, ketidakegoisan, diam di rumah dan tidak
terpengaruh oleh hal yang negatif. Namun faktanya, remaja putri di
komunitas Warung Bumi Ayu (WBA) tidak demikian. Tampak perilaku
para remaja putri dalam komunitas ini mengarah pada gaya hidup
hedonisme. Gaya hidup hedonisme menimbulkan pelanggaran status seperti
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 321
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah, berkelahi, merusak infra
struktur (vandalism), merokok di lingkungan atau di luar lingkungan sekolah,
penggunaan minuman beralkohol dan melanggar jam malam yang diberikan
orang tua, hingga pelanggaran hukum seperti perjudian, penggunaan
narkotika, seks bebas dan juga track-trackan (kebut-kebutan).
3.2 Bentuk Aktivitas Komunitas WBA Sejak tahun 2003 komunitas ini sering melakukan aktivitas
nongkrong di Warung Bumi Ayu. Anggotanya didominasi remaja laki-laki,
namun tidak memungkiri adanya remaja perempuan dalam komunitas ini.
Para remaja ini sama halnya dengan remaja umumnya mengaktualisasikan dirinya dengan cara berinteraksi dan membentuk suatu komunitas guna
menjaga eksistensi dirinya di masyarakat atau kalangan remaja seusianya
yaitu komunitas WBA (Warung Bumi Ayu). Remaja WBA melakukan
aktivitas nongkrong di WBA disebabkan oleh munculnya oleh penolakan
dari teman sebayanya, keluarga yang kurang harmonis dan ajakan dari
teman-teman yang memiliki pemikiran yang sama. Bentuk aktivitas lainnya dilakukan di lingkungan WBA (internal)
dan di luar lingkungan WBA (eksternal). Aktivitas internal remaja WBA di
antaranya mengadakan pesta (party), aksi corat coret tembok (vandalism) dan main spirit (judi kartu). Aktivitas eksternal remaja WBA yaitu
mengikuti lomba layang-layang, olahraga bersama, tour ke luar kota, track-
trackan hingga clubbing atau ke tempat hiburan malam. Aktivitas yang
mereka lakukan dalam wadah suatu komunitas memunculkan karakteristik
tersendiri pada komunitasnya berupa penerimaan anggota baru, hubungan
komunitasnya dengan komunitas lain, gaya hidup yang sama hingga penggunaan bahasa pergaulan.
3.3 Faktor Penyebab Gaya Hidup Hedonisme Efek dari era konsumsi atau konsumerisme telah dialami oleh
berbagai lapisan masyarakat di dunia, tidak terkecuali remaja putri
komunitas WBA. Sebagai remaja tentunya akan update terhadap apapun
yang menjadi perkembangan trend dan juga IPTEK seperti style fashion,
gadget, gaya rambut, bahasa pergaulan, tattoo dan masih banyak lagi gaya
hidup lainnya. Inilah yang menyebabkan perilaku hedonisme muncul tanpa
disadari oleh pelakunya. Budaya konsumerisme menjadi labelling dari
berbagai pihak untuk mempertahankan citra mereka di masyarakat. Menurut
Goffman (dalam Sutrisno, 2005:81) labelling sering diartikan sebagai cap
sosial atas seorang individu sehingga terjadi semacam kontrol sosial atas diri
seorang individu. Gaya hidup konsumerisme yang dilakukan oleh remaja
putri WBA merupakan salah satu penopang labeling pada diri remaja
tersebut. Mereka akan mempertahankan label tersebut demi cap sosial yang
mereka dapatkan agar tetap eksis di kalangan komunitasnya.
322 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Gaya hidup konsumerisme yang dilakoni oleh para remaja putri
WBA tentunya tidak terlepas dari peniruan (imitation) budaya baru yang
berkembang saat ini. Imitasi merupakan proses sosial atau tindakan
seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap, berpenampilan, gaya bicara,
gaya hidup, bahkan apapun yang dimiliki oleh orang lain (Ahmadi, 2007:52).
Peranan imitasi dalam gaya hidup hedonis ini tidak kecil, terbukti dari para
remaja putri WBA yang mengikuti perkembangan trend mode yang
berkembang di masyarakat melalui televisi, majalah fashion, jejaring sosial
serta kecanggihan teknologi lainnya. Faktor penyebab hedonisme lainnya
adalah sugesti (suggestion) yang secara internal ialah pengaruh psikis, baik
yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya
diterima tanpa adanya daya kritik. Sugesti dapat dirumuskan sebagai suatu
proses di mana seseorang individu menerima suatu cara penglihatan atau
pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu
(Ahmadi, 2007:54). Rasa takut akan di-bully, diejek, gengsi yang tinggi dan
dijauhi teman-temannya karena ketidakmampuan remaja putri WBA untuk
mengikuti gaya hidup lingkungan atau tempatnya bergaul dapat
dikategorikan ke dalam sebuah sugesti. Padahal kenyataannya tidak ada kata-kata yang jelas ataupun kritikan
terhadap satu sama lain bahwa apabila memiliki gaya hidup yang berbeda
ataupun berbeda kelas akan terjadi perpecahan ataupun adanya diskriminasi
terhadap remaja putri tersebut. Apabila hal ini terjadi pada kalangan kelas
sosial menengah ke bawah yang tentunya akan menimbulkan masalah baru
di mana seseorang dengan kelas sosial rendah akan memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara untuk menaikkan kelas sosialnya, dalam
hal ini disebut dengan social mobility vertical (Soekanto, 2004:249).
3.4 Dampak Gaya Hidup Hedonisme Pada dasarnya perilaku hedonis berlanjut dan tidak bisa dihentikan
ketika pelaku hedonis sudah tidak diterima di kalangan remaja putri biasa,
sehingga pelaku hedonis sebisa mungkin mempertahankan gengsinya agar
tidak dijauhi oleh teman sesama hedonisnya. Cara ini tentunya akan
menimbulkan tekanan secara tidak langsung di dalam diri pelaku hedonis
yang dituntut agar tetap eksis serta mengikuti gaya hidup yang mewah meski
di luar kemampuan remaja tersebut. Kebutuhan ini mengarah pada
munculnya hal-hal patologis seperti mencuri, ―menjual diri‖, hutang dan
juga masuk ke dalam jaringan narkotika. Gaya hidup hedonisme juga berdampak pada perubahan identitas si
pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka
dan memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan
kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya.
Mengubah baju sekolah mereka menjadi lebih menarik seperti membuat baju
sekolah lebih ketat dan rok pendek serta rambut tidak diikat dan diwarnai,
dan mereka cenderung memiliki prestasi yang rendah di sekolahnya. Tidak
jarang mereka bolos sekolah hingga abstain selama beberapa hari hanya
untuk memenuhi hasrat ―bersenang-senangnya‖. Selain itu pelaku hedonis
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 323
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
akan lebih memuja uang dibandingkan dengan memuja keyakinannya
(Tuhan), lebih memilih untuk pergi ke mall, rekreasi ataupun pacaran
daripada ke tempat suci. Dampak lain dari gaya hidup hedonisme adalah terhadap keluarga
serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Citra negatif dan rasa malu akan
pengaduan dari warga sekitar akan menyudutkan orang tua mereka secara
psikologi. Terlebih lagi pandangan masyarakat terhadap perempuan lebih
menonjol dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan memiliki daya tarik
yang sensitif. Penampilan seorang remaja putri yang menonjol rentan
dipandang sensual oleh masyarakat terutama masyarakat di lingkungan yang
awam dengan kemewahan. Tidak jarang remaja pelaku hedonis akan
dikucilkan, menjadi buah bibir di lingkungannya dan memiliki citra ―nakal‖. Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
komunitas WBA terbentuk dari ajang nongkrong yang kemudian memiliki
aktivitas bersama baik yang dilakukan di lingkungan WBA (internal)
maupun di luar lingkungan WBA (eksternal). Hasil dari berinteraksi dalam
wadah suatu komunitas serta perkembangan IPTEK memunculkan gaya
hidup konsumerisme tinggi, adanya peniruan (imitation) dan juga sugesti
(suggestion) rasa takut akan dikucilkan oleh komunitasnya karena
ketidakmampuan mereka berpenampilan yang serupa sesuai dengan trend
masa kini. Dampak perilaku hedonisme terhadap diri remaja pelaku
hedonisme adalah tekanan psikologis, perubahan identitas dan perubahan
ideologi. Perilaku hedonisme juga berdampak terhadap keluarga remaja
hedonisme serta tanggapan masyarakat seperti pencemaran nama baik
keluarga, perilaku yang tidak sesuai harapan keluarga serta citra negatif di
masyarakat
3.5 Simpulan Gaya hidup merefleksikan perilaku individual, nilai-nilai, maupun
pandangan seseorang tentang dunia. Dengan demikian gaya hidup juga
dapat dijadikan acuan untuk melihat identitas diri seseorang maupun simbol-
simbol kultural yang dipakainya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait
dengan perilaku para remaja putri dalam komunitas WBA ini mengarah
pada gaya hidup hedonisme. Gaya hidup hedonisme menimbulkan
pelanggaran status seperti membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah,
berkelahi, merusak infra struktur (vandalism), merokok di lingkungan atau
di luar lingkungan sekolah, penggunaan minuman beralkohol dan melanggar
jam malam yang diberikan orang tua, hingga pelanggaran hukum seperti
perjudian, penggunaan narkotika, seks bebas dan juga track-trackan (kebut-
kebutan). Konsumerisme yang tidak terlepas dari peniruan (imitation) adalah
salah satu faktor yang memunculkan gaya hidup hedonism dari komunitas
WBA. Peranan imitasi dalam gaya hidup hedonis ini tidak kecil, terbukti
dari para remaja putri WBA yang mengikuti perkembangan trend mode
yang berkembang di masyarakat melalui televisi, majalah fashion, jejaring
sosial serta kecanggihan teknologi lainnya. Faktor penyebab hedonisme
324 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
lainnya adalah sugesti (suggestion) yang secara internal ialah pengaruh
psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada
umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. Gaya hidup hedonisme berdampak pada perubahan identitas si
pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka dan memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan
kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya. Dampak
lain dari gaya hidup hedonisme adalah terhadap keluarga serta masyarakat di
lingkungan sekitarnya. Citra negatif dan rasa malu akan pengaduan dari
warga sekitar akan menyudutkan orang tua mereka secara sosial dan
psikologis. DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan, 2001. Seks Gender & kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang.
_____________ 2006a. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif
Antropologi.
Yogyakarta: Tici Press.
______________ 2008. ―Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru‖,
Makalah disampaikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX
Denpasar, 2 Juli 2008.
Adian, Donny Gabral, 2005. ―Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi‖,
dalam Alfathri Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas.
Yogyakarta: Jalasutra.Halaman 23-34..
Agger, Ben, 2006. Teori Sosial Kritis: Penerapan dan Implikasinya, terjemahan
Critical
Social Theoritis: An Introduction. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta
Althusser, Louis, 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,
Cultural
Studies (Olsy Vinoli Arnof, penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.
Aminuddin, 2002. ―Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower‖, dalam Analisis
Wacana dari Linguistik sampai Dekonstruksi (Kris Budiman Penyunting).
Yogyakarta: Penerbit Kanal. Halaman 1-53.
Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal (Pujo
Semadi, penerjemah). Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama.
Ardika, I Wayan, 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.
Atmadja, Nengah Bawa, 2004. ―Pelabelan Seks dan Gender: Dekonstruksi Proses
Menjadi Wanita melalui Pendidikan Keluarga pada Masyarakat Bali.‖,
dalam Jurnal Kajian Budaya. Volume 1 No. 2 hal. 63-82.
Atmadja, Nengah Bawa, dkk. 2005. Joged Bumbung Porno: Industri Seks
Berbentuk Hiburan Seks melalui Rangsangan Mata (Studi Kasus di
Buleleng Bali. Laporan Pelitian Dasar, Dikti. Fakultas Pendidikan Ilmu
Pengetahuan Sosial IKIP Negeri Singaraja.
Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Bunga Rampai I,
Jakarta : PT Gramedia.
Giddens, Anthony.2003. Masyarakat Post-Tradisional, Yogyakarta : IRCiSoD.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 325
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Kartono, Kartini. 1986. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Petras, James and Henry Veltmeyer. 2001. Globalization Unmasked. Imperialism
in 21st Century, London : Zed Books.
Picard, Michel. 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta :
KPG.
Sarwono, Sarlito W. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada
Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika
Konsumsi dan
Design Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme. Yogyakarta: Jalasutra
Suryani, Luh Ketut. 2003. Perempuan Bali Kini, Denpasar : Penerbit BP.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 326
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA
DI RUANG PUBLIK
Rahmat dan Tya Resta Fitriana
Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Usaha menghidupkan kembali penulisan di ruang publik
menggunakan Aksara Daerah menjadi salah satu prioritas dari
usaha pelestarian aksara, bahasa, dan budaya tradisional. Demikian
pula yang terjadi dengan usaha penulisan aksara Jawa di ruang
publik seperti penulisan nama jalan, instansi, nama usaha, dan
sebagainya. Usaha yang demikian luar biasa itu terkendala dengan
landasan utama yaitu pedoman penulisannya. Hal ini terjadi karena
setidaknya ada dua pedoman penulisan aksara Jawa yang masih
dijadikan standar penulisan. Sehingga, menimbulkan kebingungan
pada masyarakat. Adapun kedua pedoman itu adalah pedoman
yang terbit pada tahun 1922 yang dikenal dengan istilah Pedoman
Sriwedari dan pedoman yang terbit pada tahun 1995 yang sering
disebut dengan istilah peraturan tiga gubernur. Untuk itu
diperlukan kajian terhadap keduanya menggunakan metode
perbandingan. Hasil dari penelitian ini akan menunjukkan potensi-
potensi pedoman di antara keduanya. Harapannya, hasil penelitian
ini dapat menjadi referensi untuk penulisan menggunakan aksara
Jawa.
Kata kunci: pedoman penulisan, aksara, aksara Jawa, ruang publik.
Pendahuluan
Perkembangan zaman ternyata berpengaruh terhadap beberapa aspek
kehidupan. Salah satunya adalah di bidang tulis-menulis. Peristiwa ini tentulah di
alami oleh hampir semua suku bangsa. Salah satunya adalah Jawa. Masyarakat
Jawa telah mengalami beberapa fase penggunaan aksara. Apabila didasarkan pada
penulisan sastra, maka masyarakat Jawa telah mengenal tulisan sejak zaman
kesastraan Jawa Kuna (abad ke-8) hingga Jawa Modern (abad ke-21).
Fase pertama adalah kesastraan Jawa Kuna ditandai dengan penggunaan
aksara Pallawa dan Jawa Kuna. Tulisan pertama berbahasa Jawa Kuna tertanggal
25 Maret 804 (Zoetmulder, 1985:3). Selanjutnya, ciri kesastraan Jawa
Pertengahan yang ditandai dengan penggunaan aksara Jawa Kuna dan aksara
Buda. Fase ketiga yaitu zaman kesastraan Jawa Baru ditandai dengan penggunaan
aksara Jawa yang disebut dengan carakan, hanacaraka, atau aksara nglêgêna dan
sezaman dengan itu dipakai pula aksara Arab untuk penulisan sastra yang bersifat
Islami. Sementara itu, kesastraan Jawa Modern ditandai dengan penggunaan huruf
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 327
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Latin seperti yang secara global kita gunakan sekarang (termasuk untuk menulis
dalam hal non sastra pun juga menggunakan huruf Latin). Ras (2014:4) menyebut
masa akhir dari kesastraan Jawa Baru merupakan masa penetrasi Barat yang
semakin mendalam.
Selanjutnya, sehubungan dengan usaha-usaha pelestarian dan
pengembangan bahasa, budaya, dan sastra daerah dewasa ini, maka aksara daerah
termasuk di dalamnya yang juga harus dilestarikan. Hal itu dilakukan agar
warisan intelektual nenek moyang tidak lenyap begitu saja. Pendapat itu kiranya
selaras dengan pemikiran Haugen dan Kloss yang dikenal sebagai ahli yang
menganggap sasaran utama pelestarian dan pengembangan bahasa adalah
terhadap bahasa tulis. Ragam tulisan penting sekali dilestarikan dan
dikembangkan dengan alasan bahwa ragam tulisanlah yang dapat menjembatani
komunikasi antar generasi (Moeliono, 1985:85).
Berdasarkan pandangan di atas, dalam rangka upaya pelestarian dan
pengembangan bahasa maka penting kiranya untuk ―menghidupkan kembali‖
penulisan di ruang publik dengan menggunakan aksara Jawa di wilayah dengan
penutur bahasa Jawa seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan
Jawa Timur. Upaya tersebut sesungguhnya telah dihidupkan kembali sejak tahun
2005 dengan penulisan di papan nama instansi atau lembaga menggunakan aksara
Jawa. Setelah itu, hampir di banyak titik ruang publik di tiga wilayah itu
menggunakan aksara Jawa.
Selain untuk penulisan nama instansi atau lembaga, aksara Jawa
digunakan pula untuk penulisan nama jalan dan nama tempat usaha. Namun
demikian, terdapat kendala terutama dalam penggunaan pedoman penulisan
aksara Jawa. Hal itu terjadi karena setidaknya ada dua pedoman penulisan aksara
Jawa yang dijadikan acuan. Sehingga, permasalahan dalam artikel ini dapat
dijabarkan sebagai berikut. Pertama, apakah kedua pedoman penulisan aksara
Jawa yang masih dikenali oleh masyarakat Jawa itu? Kedua, apakah isi yang
terkandung di masing-masing pedoman? Ketiga, potensi apa yang belum bisa
dipenuhi oleh masing-masing pedoman dalam kaitannya dengan penulisan di
ruang publik saat ini?
Metodologi
Metode disebut juga dengan langkah-langkah atau cara kerja. Sehingga,
dapat dikemukakan di sini bahwa metode adalah rangkaian kerja untuk
mendapatkan jawaban dari permasalahan yang muncul. Adapun rangkaian kerja
yang dilakukan yaitu perbandingan. Perbandingan di sini adalah perbandingan
dari segi isi buku. Sehingga, nantinya akan tampak jelas persamaan dan
perbedaannya. Selain itu, akan tampak pula bagian mana yang belum bisa
dipenuhi oleh kedua pedoman tersebut dalam rangka penulisan di ruang publik.
Pembahasan
Pedoman pertama yang akan di bahas adalah Pedoman Sriwedari.
Pedoman ini disahkan pada tahun 1922. Adapun isinya antara lain tentang:
1 Tembung Lingga
2 Kata serapan
328 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
3 Tembung Andhahan
4 Tembung Tanduk
5 Dwilingga
6 Camboran
7 Tembung ing
8 Gembung utawa pasangan wa
Pedoman kedua yang akan dibahas di sini yaitu Pedoman Penulisan
Aksara Jawa yang terbit pertama kali pada tahun 1995. Buku pedoman ini dikenal
juga dengan istilah peraturan tiga gubernur karena pada bagian awal buku
disebutkan bahwa buku diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama yang
bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa
Tengah, dan Jawa Timur. Adapun isi dari buku ini terdiri dari:
Bab I Pemakaian Aksara: Carakan, Pasangan, Aksara Murda, Aksara Suara,
serta Aksara Rekaan dan pasangannya.
Bab II Pemakaian Sandhangan: Sandhangan Swara, Sandhangan Wignyan,
Sandhangan Layar, Sandhangan Cecak, dan Sandhangan Pangkon.
Bab III Penanda Gugus Konsonan: Cakra, Keret, Pengkal, Panjingan Wa, dan
Panjingan La.
Bab IV Penulisan Kata: Kata Dasar, Kata Turunan, Singkatan dan Akronim,
serta Angka dan Lambang Bilangan
Bab V Pemakaian Tanda Baca: Pada Adeg-Adeg, Pada Guru dan Pada
Pancak, Pada Lingsa, Pada Lungsi, Pada Pangkat, Pada Gedhe atau
Pada Ageng, serta Purwapada, Madyapada, dan Wasanapada.
Bab VI Penulisan Unsur Serapan.
Berdasarkan isi dari masing-masing pedoman, maka dapat dilihat
persamaan dan perbedaannya. Adapun persamaannya adalah terdapat cara
penulisan kata dasar, kata turunan, kata rangkap atau reduplikasi, dan kata serapan
dari bahasa asing. Sementara itu, perbedaannya di antara keduanya yaitu Pedoman
Sriwedari mempunyai isi yang sederhana dan fokus pada penulisan kata dasar,
kata turunan, dan serapan sedangkan Pedoman Tiga Gubernur memiliki isi yang
lebih banyak dan lebih detail karena terdapat cara penulisan aksara Murda, Suara,
dan Rekaan. Selain itu, pada Pedoman Tiga Gubernur terdapat contoh-contoh
penulisan kalimat dengan beberapa penggunaan tanda baca dan angka/bilangan,
cara penulisan singkatan dan akronim.
Berdasarkan pengamatan terhadap kedua pedoman penulisan itu, buku
Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1995) memiliki potensi yang jauh lebih lengkap
dibandingkan dengan Pedoman Sriwedari (1922) terutama sehubungan dengan
penulisan di ruang publik. Apabila akan menulis di ruang publik ternyata dapat
diatasi dengan penggunaan Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1995). Misalnya
untuk menuliskan alamat, penomoran, dan serapan.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 329
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Simpulan
Penulisan aksara Jawa di ruang publik di wilayah Daerah Istimewa
Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sejauh pengamatan penulis ternyata
banyak ditemui kesalahan. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar mereka yang
menulis tidak membaca secara detail dan lengkap buku pedoman itu. hanya
berdasarkan selera pribadi ataupun ikut-ikutan. Kesalahan penulisan juga
diakibatkan oleh tidak terlibatnya para pakar bahasa, sastra, dan budaya Jawa
terutama ahli linguistik dan filologi terutama dalam kaitannya dengan
pemvalidasian penulisan. Oleh sebab itu, kami merekomendasikan bahwa untuk
setiap penulisan di ruang publik terutama untuk kalangan instansi maupun
lembaga wajib untuk mendapatkan validasi dari ahli atau pakar. Sementara itu,
untuk penulisan yang berkaitan dengan tempat usaha paling tidak didiskusikan
terlebih dahulu dengan ahli atau pakar penulisan menggunakan aksara Jawa.
Sehingga, upaya pelestarian dan pengembangan khususnya aksara Jawa dapat
terlaksana dengan betul pada tingkatan penulisan dan juga generasi selanjutnya
tidak akan memperoleh informasi yang keliru tentang penulisan aksara Jawa.
Daftar Pustaka
Darusuprapta (Pengarah). 2003. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Cetakan Ketiga
2003. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
Moeliono, Anton. M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Ancangan
Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa). jakarta: Djambatan.
Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Diterjemahkan oleh
Achadiati Ikram. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Tanpa Nama. 1922. Pedoman Sriwedari.
Zoetmulder. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan
kedua. Jakarta: Djambatan.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 330
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
NILAI PENDIDIKAN DALAM
ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK BUDI
Sri Jumadiah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana
ABSTRAK
Sendja Djiwa Pak Budi (2019) adalah sebuah Antologi Puisi tulisan
berbagai penyair dan simpatisan tanah air, untuk mengenang
almarhum Achmad Budi Bahyanto. Kisah tragis Achmad Budi
Bahyanto (selanjutnya disebut singkat: Guru Budi) menarik simpati
banyak pihak. Mengapa seorang murid MH tega 'menghajar'
gurunya sendiri? Pembelaan terhadap nasib Pak Budi (nasib guru)
datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Sanggar Generasi
Medan yang menggagas lahirnya Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak
Budi (SDPB) yang terdiri dari 185 puisi kiriman 118 penyair dan
pemerhati nasib pendidikan.
Makalah ini akan mengkaji tiga buah puisi yang ditulis Maria
Matildis Banda (MMB) yang diterbitkan dalam SDPB. Puisi MMB
yang dipilih untuk dibahas dalam makalah ini karena isinya
menonjolkan penyesalan murid yang telah menyebabkan Pak Budi
meninggal. Makalah ini bertujuan untuk menjawab masalah
penting tentang nilai pendidikan yang tertuang dalam Antologi
Sendja Djiwa Pak Budi (selanjutnya disingkat SDPB). Nilai
pendidikan tidak dipandang dari sisi guru tetapi dari sisi murid
yang melakukan tindakan yang salah.
Kajian singkat ini menjelaskan dua nilai utama yaitu nilai religius
dan nilai tanggung jawab yang diungkapkan murid yang terpenjara.
Dia mohon maaf dan menyampaikan juga kerinduan untuk pergi
sekolah, meskipun nyatanya dirinya terpenjara. Pendidikan nilai
penting artinya bagi pembentukkan karakter murid dan selanjutnya
sebagai pembentuk karakter bangsa.
Kata Kunci: Sendja Djiwa Pak Budi, Nilai Religius, dan Nilai
Pendidikan.
I. Pendahuluan
Sendja Djiwa Pak Budi (2019) adalah sebuah Antologi Puisi tulisan berbagai
penyair dan simpatisan tanah air, untuk mengenang almarhum Achmad Budi
Bahyanto. Almarhum adalah seorang guru seni rupa SMAN I Torjun, Sampang
Madura Jawa Timur, yang meninggal karena dianiaya muridnya sendiri (San
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 331
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Suyadi, Ed. 2018:3). Beliau meninggal di PRSUD Dr. Soetomo Surabaya setelah
dirujuk dari Puskesmas Jrengik Sampang. Kematian guru seni rupa ini
menggemparkan tanah air dan berbagai protes dan penyesalan terhadap perlakuan
murid yang tidak menghargai gurunya. Hal ini mencoreng dunia pendidikan di
tanah air, ketika murid bertindak sebagai penjahat bahkan pembunuh gurunya
sendiri.
Keprihatinan tentang tingkah laku murid sebenarnya sudah pernah
diungkapkan oleh Achmad Budi Bahyanto, jauh sebelum peristiwa tragis yang
menyebabkan kematiannya sendiri, sebagaimana ditulis sebagai berikut.
Bahkan kalian tega dan tidak enggan - menyaksikan menyiksa gurumu wahai
murid - air mata mana yang akan kalian suguhkan di pangkuannya?
Penyesalan macam apa yang akan kalian haturkan di hadapannya? Lantas
kemana arahmu melangkah tanpanya? Lantas siapa penuntunmu jika bukan
dirinya? Doamu padanya tidak ada ampunannya - tanpa ampunannya
pikirkan jika hatimu masih ada! Perhatikan jika pikiranmu belum binasa!
(San, Suyadi, Ed. 2018:6-7).
Kisah tragis Achmad Budi Bahyanto (selanjutnya disebut singkat: Guru
Budi) menarik simpati banyak pihak. Mengapa seorang murid MH tega
'menghajar' Pak Budi hanya karena Pak Budi mencoret pipi MH dengan cat lukis?
Setelah sebelumnya MH ditegur Pak Budi karena MH membuat gangguan di
kelas? Pembelaan terhadap nasib Pak Budi (nasib guru) datang dari berbagai
pihak. Salah satunya dari Sanggar Generasi Medan yang menggagas lahirnya
Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi yang terdiri dari 185 puisi kiriman 118
penyair dan pemerhati nasib pendidikan. Bagaimana nilai pendidikan tersebut
dijawab melalui sejumlah puisi?
Puisi yang dipilih adalah puisi-puisi yang ditulis Maria Matildis Banda
(MMB) salah satu sastrawan yang puisinya diterbitkan dalam SDPB. Puisi MMB
yang dipilih untuk dibahas dalam makalah ini karena isinya menonjolkan
penyesalan murid yang telah menyebabkan Pak Budi meninggal. Makalah ini
bertujuan untuk menjawab masalah penting tentang nilai pendidikan yang
tertuang dalam Antologi Sendja Djiwa Pak Budi (selanjutnya disingkat SDPB).
Nilai pendidikan tidak dipandang dari sisi guru tetapi dari sisi murid yang
melakukan tindakan yang salah.
II. Metode
Metode yang digunakan dalam kajian singkat ini adalah metode kepustakaan
dan metode wawancara. Metode kepustakaan digunakan untuk mengkaji data
primer berupa Antologi Puisi SDPB khususnya tiga buah puisi yang ditulis MMB.
Metode wawancara digunakan untuk melengkapi kajian. Teori yang digunakan
dalam kajian ini adalah teori nilai, khususnya nilai pendidikan.
Ketiga puisi yang merupakan data primer adalah: Dari Balik Terali, Surat
Untuk Pak Guru, dan Pukul Tujuh Pagi (Banda, 2018:246-248). Sedangkan data
sekunder diperoleh melalui wawancara dengan MMB terutama berkaitan dengan
332 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
pandangannya tentang nilai pendidikan yang diungkapkan melalui puisi-puisi
SDPB.
III. Pembahasan
Nilai pendidikan yang dibahas secara khusus pada kesempatan ini
berdasarkan tiga buah puisi yang ditulis Maria Matildis Banda Cahyono dalam
Sendja Djiwa Pak Budi (2018). MMB adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya
Universitas Udayana Denpasar Bali. Penulis novel: Pada Taman Bahagia
(Grasindo Jakarta: 2000), Liontin Sakura Patah (Grasindo Jakarta: 2000),
Bugenvil di Tengah Karang (Grasindo Jakarta: 2000), Rabies (Care Internasional,
2003), Surat-Surat dari Dili (Nusa Indah Ende: 2005), Wijaya Kusuma dari
Kamar Nomor Tiga (Kanisius Yogyakarta: 2015, 2016, 2017), Doben (Lamalera,
Yogyakarta: 2016), dan Suara Samudra (Kanisius, Yogyakarta: 2017). Selain
novelis, beliau juga menulis puisi berdasarkan kisah tragis yang menimpa guru
Budi, 2017. Sebelumnya MMB juga menulis puisi yang diadaptasi dari novel
dengan judul Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini. Novel ini berkisah tentang
penari dan pelaut dalam dua sudut pandang yaitu sudut pandang penari dan sudut
pandang pelaut. Penari mengungkapkan segenap isi hatinya kepada pelaut. Pelaut
pun demikian, mengekspresikan segenap kedalaman perasaannya terhadap penari
dari sudut pandang dirinya sebagai laki-laki pelaut. Hubungan pelaut dan penari
ini terjadi pada sebuah kapal (Jumadiah, 2018). Meskipun berbeda isinya, puisi
yang ditulis MMB ini sama-sama menggarisbawahi nilai pendidikan.
Dalam pendidikan karakter bangsa, terdapat 18 nilai pendidikan di antaranya:
religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa
ingin tahun, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,
bersahabat/komunikaif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan tanggung jawab (Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran
Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter
Bangsa oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan nasional, 2010;
rumahinspirasi.com). Nilai pendidikan yang menonjol dalam ketiga puisi MMB
dalam SDPB (2018) adalah sebagai berikut.
1. Nilai Religius
Nilai religius adalah salah satu nilai yang disebutkan di atas. Nilai ini
menggarisbawahi pentingnya sikap dan perilaku yang patuh dalam
melaksanakan ajaran agama yang dianutnya (rumahinspirasi.com). Perhatikan
kutipan berikut ini.
Dari balik terali kusampaikan seuntai doa
Yang lahir dari gemuruh suara
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 333
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Yang mendesak relung hati
Yang menyelinap ke sudut-sudut nurani
Yang kini membara dalam kebisuan kata
(Dari Balik Terali, 2018).
Penggalan tersebut mengungkapkan dari relung hatinya doadari Balik
Terali. Penggalan ini menjelaskan permohoan maaf yang mendalam dari
tokoh aku yang ingin mendapatkan pengampunan dari tokoh Bapak (guru),
sekaligus ungkapan penyesalannya secara pribadi.
Bapak...
tanganmukah yang terulur dari balik terali
Genggamlah aku dan jangan lepas lagi
mengalirkan cahaya
Yang ingin kuletakkan pada bantal cerita
Di sini dingin sekali....
(Dari Balik Terali, 2018).
Bapak...
Kutulis surat ini dengan pena yang kau berikan
"Terima kasih untuk sapu tangan...
Yang engkau berikan untuk menghentikan
Air mata sesal yang tak pernah terhapuskan."
(Surat Untuk Pak Guru, 2018).
2. Nilai Tanggung Jawab
Nilai tanggung jawab diungkapkan secara lengkap melalui puisi "Surat
Untuk Pak Guru". Keseluruhan puisi ini menggarisbawahi bagaimana si
murid memohon maaf kepada gurunya. Jika dihubungkan dengan tragedi
yang menimpa Guru Budi yang tewas mengenaskan akibat pukulan dari
muridnya, puisi ini justru menempatkan murid yang sadar bahwa apa yang
telah dilakukannya telah mengakhiri hak hidup orang lain, mencoreng dunia
pendidikan, bahkan menghancurkan masa depannya sendiri. Perhatikan
kutipan lengkap "Surat Untuk Pak Guru" berikut ini.
Surat untuk Pak Guru
Kutulis surat ini untukmu
Semoga sampai padamu tepat di pintu surga
Karena kutahu engkau akan meminta pada-Nya
Agar pintu tetap terbuka untukku
Bacalah Pak, sebelum engkau masuk
"Aku adalah lelaki muda yang...
mematikan bintang,
334 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
mematahkan bulan,
dan menendang matahari
Untuk kujadikan mainan perang di layar gatgetku
Apakah benar anakmu telah mengantarmu menjemput ajal!"
Bacalah Pak, sebelum engkau masuk
"Aku adalah lelaki muda yang...
Mematahkan pedang ayah
Melipat pisau dapur ibu
Dan memasukkannya ke dalam saku seragamku
Untuk kujadikan bekal sepanjang jalan menuju
Mengapa tanganku sanggup membungkam suaramu
Mengapa tanganku sanggup menghentikan denyut jantungmu
Bapak...
Kutulis surat ini dengan pena yang kau berikan
"Terima kasih untuk sapu tangan...
Yang engkau berikan untuk menghentikan
Air mata sesal yang tak pernah terhapuskan."
(Maria Matildis Banda, 2018).
Nilai tanggung jawab tersebut digarisbawahi juga melalui puisi ketiga MMB
berjudul "Pukul Tujuh Pagi" dalam Antologi Puisi SDPB. Ungkapan kerinduan
tokoh yang terpenjara karena mengakhiri hidup gurunya.
Pukul Tujuh Pagi
Bapak...
Saat aku membuka mata
Ada secercah sinar dari kisi-kisi jendela
Kugenggam erat dan kubawa dalam dada
Pukul tujuh pagi ini
Aku tetap di sini
Melewati siang menunggu malam
menjemput pagi
dan secercah sinar dari kisi-kisi jendela
Pukul tujuh pagi ini
Aku tetap di sini
Bapak...
Aku rindu padamu
(Maria Matildis Banda, 2018).
Si "Aku" tokoh menjelaskan kerinduannya untuk pergi ke sekolah pada pukul
tujuh pagi. Ia ingin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai murid kepada
gurunya bahwa dirinya adalah murid yang baik yang rindu sekolah. Meskipun
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 335
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
kenyataannya dia tetap berada di balik terali besi, penjara, akibat perbuatannya
sendiri.
Nilai-nilai pendidikan yang diungkapkan melalui puisi dan dijelaskan di atas
menunjukkan pandangan yang berbeda tentang kasus yang menimpa Guru Budi.
Apa yang terjadi dengan nasib dan masa depan murid yang terpenjara akibat
ulahnya melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian gurunya sendiri? Apa
yang salah dari dunia pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat
sehingga terjadi kasus tersebut? Nilai religius dan nilai tanggung jawab adalah
dua hal serius yang perlu ditanamkan untuk membentuk karaktek anak-anak dan
karakter bangsa.
IV. Simpulan
Demikianlah penjelasan tentang "Nilai Pendidikan dalam Nilai Pendidikan
dalam Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi". Beberapa catatan penting sebagai
kesimpulan dari kajian singkat ini adalah sebagai berikut.
1. Puisi "Dari Balik Terali", "Surat Untuk Pak Guru", dan "Pukul Tujuh Pagi"
karya MMB yang termuat dalam Antologi Puisi SDPB (2018) mengungkapkan
nilai-nilai pendidikan khususnya nilai religius dan nilai tanggung jawab, dua dari
delapan belas nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa.
2. Ketiga puisi tersebut mengungkapkan pentingnya nilai reigius dan nilai
tanggung jawab dari sudut pandang murid. Murid yang memohon pengampunan
dari gurunya, murid yang menyesali kesalahannya, murid yang rindu pergi ke
sekolah meskipun secara fisik berada di balik terali (penjara).
3. Puisi-puisi ini dan segenap puisi dalam SDPB adalah salah satu ungkapan
pentingnya pendidikan nilai sebagai pembentukan karakter bangsa.
Daftar Pustaka
Banda, Maria Matildis. 2014. "Pada Sebuah Kapal" dalam Ratapan Laut Sawu
Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata
Dharma.
Banda, Maria Matildis. 2018. "Dari Balik Terali", "Surat Untuk Pak Guru", dan
"Pukul Tujuh Pagi", dalam Antologi Puisi Senja Djiwa Pak Budi (San
Suyadi, Ed). Medan: Gerhana Media Kreasi.
Jumadiah Sri, 2018. "Alih Wahana Novel Pada Sebuah Kapal Karya NH. Dini ke
dalam Puisi "Pada Sebuah Kapal" karya Maria Matildis Banda" dalam
Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya. Denpasar: FIB Unud.
San, Suyadi. 2018. Sendja Djiwa Pak Budi. Antologi Puisi Mengenang Almarhum
Achmad Budi Cahyanto. Medan: Gerhana Media Kreasi.
Yapi Taum, Joseph (ed). 2014. Ratapan laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT.
Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.
336 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai
Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa oleh
Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan nasional, 2010;
rumahinspirasi.com
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 337
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI
PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO
Vanesia Amelia Sebayang dan Asmyta Surbakti
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Upacara ritual erpangir ku laumerupakan ritual mandi di sumber
air mengalir yangberlandas pada ajaran agama Hindu Pemenayakni
relasi tritunggal dalam sistem kosmos. Upacara ritual ini selain
sebagai media untuk pembersihan jiwa dan raga juga dimaknai
sebagai bentuk komunikasi dengan bégu jabu (leluhur). Upacara ini
mengajarkan masyarakat karo memiliki sifat-sifat luhur yang
kemudian membentuk konsep rakut sitelu dan tutur siwaluh.Akan
tetapi pada era kolonialisme Belanda, upacara ritual ini dilarang
dengan dalih agama Hindu Pemena merupakan bagian dari aliran
ilmu hitam. Sejak saat itu, seluruh praktik upacara yang
berhubungan dengan roh leluhur dihentikan. Hasil dari era
kolonialisme tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat Karo
kini yang semakin hari semakin longgar dan hidup terkotak-kotak.
Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian
kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Data diperoleh
melalui proses dokumentasi, observasi, wawancara, dan daring.
Data kemudian dianalisis menggunakan teori dekonstruksi dan
poskolonialisme.
Artikel ini menyimpulkan bahwa wacana kolonial yang disematkan
pada upacara ritual erpangir ku lau harus dibongkar dan dimaknai
ulang oleh masyarakat Karo itu sendiri. Dengan diresmikannya
upacara ritual ini sebagai warisan budaya tak benda pada tahun
2016, masyarakat Karo harus mendukung pemerintah yang
berupaya mengadakan kembali upacara ritual erpangir ku lau.
Dengan pelaksanaan kembali upacara ritual ini, diharapkan
generasi muda Karo dapat menemukan kembali jati diriserta
menguatkan ideologi mereka dalam berbangsa.
Kata Kunci: upacara ritual erpangir ku lau, kolonialisme,
postkolonialisme, dan jati diri.
338 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Pendahuluan
Kearifan lokal marak dibicarakan dalam kehidupan manusia dewasa ini.
Bahkan isu kearifan lokal merupakan salah satu isu penting dalam ilmu-ilmu
sosial kontemporer. Masyarakat abad ke-21 sekarang ini lazim disebut dengan
masyarakat posmodern. Salah satu ciri masyarakat posmodern adalah lebih
mempercayai penjelasan konteks lokal seperti narasi-narasi kecil kearifan lokal
warisan luhur para leluhur. Masyarakat posmodern tidak lagi percaya pada model
penjelasan dan pemahaman universal berdasarkan cerita agung (grand narrative)
seperti penjelasan François Lyotard. Menurut posmodernisme ketercerabutan
manusia dari nilai-nilai kearifan lokal membuat manusia mengalami keterpecahan
jiwa (Lubis, 2004).
Erpangir ku lau merupakan salah satu upacara ritualleluhur pada
masyarakat Karo. Upacara ini dilaksanakan dengan berlandas kepada ajaran
agama Hindu Pemena yang menganggap bahwa sistem dunia ini merupakan relasi
harmonis antara manusia dengan Dibata (sang Pencipta), manusia dengan alam
semesta, dan manusia dengan sesama manusia (relasi tritunggal). Upacara ritual
ini dilaksanakan dengan cara mandi di sumber air mengalir dengan media guru
sibaso(dukun perempuan) dan gendang(musik tradisional). Pelaksanaannya
dilengkapi dengan kehadiransangkep nggeluh (keluarga inti) (Sebayang, 2013:
118-119).Setelah membersihkan diri, kita diperbolehkan berkomunikasi dengan
bégu jabu (para leluhur) untuk senantiasa menyertai dan menjauhkan
keturunannya dari gangguan sihir, membantu pertahanan diri saat berada di
medan perang, dan segala jenis marabahaya lainnya. Upacara ini mengajarkan
masyarakat Karo untuk selalu rendah hati, menghormati yang lebih tua dan
membimbing yang lebih muda, serta menghargai alam semesta dalam
kesehariannya. Sifat luhur tersebut yang kemudian membentuk konsep rakut
sitelu(tiga posisi kekeluargaan) dan tutur siwaluh(delapan panggilan
kekeluargaan) dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo.
Namun, selama masa kolonialisme Belanda di Tanah Karo, masyarakat
Karo penganut agama Hindu Pemena mendapat intervensi. Segala bentuk upacara
ritual yang berkaitan dengan leluhur dilarang untuk dilaksanakan (Putro, 1979).
Dalam melaksanakan politik devide et impera (pecah belah) dan politik 3G-nya
(Gold, Glory, Gospel), Belanda melontarkan wacana yang menyiratkan agama
Hindu Pemenamerupakan aliran ilmu hitam penyembah setan dan iblis. Belanda
juga mengganti konsep Dibata dengan konotasi negatif. Masyarakat Karo
kemudian meninggalkan Hindu Pemena dan hidup tanpa memerdulikan leluhur,
terkotak-kotak dengan egoisme masing-masing.
Penilaian sepihak kolonialisme Belanda tersebut dirasakan masih melekat
erat hingga era kemerdekaan Indonesia, sehingga tanpa disadari berdampak
langsung pada perubahan realitas sosial-budaya di masyarakat. Masyarakat Karo
terpecah menjadi Karo Jahe, Karo Gugung, dan lainnya. Setiap kelompok
masyarakat tersebut menganggap kelompoknya sebagai kelompok superior dan
yang lainnya adalah kelompok inferior serta cenderung saling tidak menghargai.
Oleh karena itu, sesuai semangat postkolonialisme penelitian ini dianggap penting
agar masyarakat Karo mampu melepaskan diri dari stigmathe otherness yang
disematkan oleh Belanda kepadanya. Masyarakat Karo harus kembali memaknai
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 339
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dirinya lewat pemahamannya sendiri, terlebih lagi upacara ritual erpangir ku
laukini telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda nasional oleh
kementerian pendidikan dan kebudayaan pada tanggal 27 Oktober 2016
(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Kini, upacara ritual erpangir ku lau
dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata budaya di Kabupaten Karo pendukung
Geopark Kaldera Toba dan dilaksanakan sekali dalam setahun.
Pelaksanaan kembali upacara ritual tersebut diharapkan membuka jalan
bagi masyarakat Karo dalam memaknai kembali jati diri warisan leluhurnya
sendiri lepas dari stigma negatif pihak luar yang pernah diberikan kepadanya.
Upacara ritual erpangir ku lau diharapkan membentuk kembali masyarakat Karo
sebagai pribadi yang menghormati sang Pencipta dan menghargai alam semesta
serta sesamanya. Penguatan jati diri pribadi masyarakat Karo diharapkan akan
berdampak pada penguatan etnisitas serta penguatan bangsa yang sekaligus
merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena
menggunakan teori sebagai pijakan. Format desain deskriptif kualitatif menganut
paham fenomenologis dan postpositivisme.Penelitian ini juga bertujuan untuk
menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai
fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian,
dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,
model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu
(Bungin, 2007: 68). Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan beberapa
tahap diantaranya observasi, kepustakaan, dan penelusuran dokumen.
Pembahasan
Upacara Ritual Erpangir Ku Lau pada Masyarakat Karo
Upacara ritual erpangir ku lau berasal dari kata erpangir (mandi sambil
mencuci rambut) dan ku lau (di sungai besar atau sumber air mengalir). Upacara
ritual ini dapat juga dimaknai sebagai ritus pembersihan diri seorang manusia
(ruwatan) dan mendekatkan diri dengan Tuhan, alam semesta, dan sesama
manusia. Dukun perempuan(guru sibaso) dan para pemusik tradisional Karo(si
erjabaten)menjadi media utama yang membantu pelaksanaan upacara ini
(Brahmaputro, 1979: 89-90). Upacara ritual erpangir ku lau dilaksanakan pada
hari-13 (cukra dudu) dan hari ke-14 (belah purnama raya) dalam penanggalan
tradisional Karo.
Dalam melaksanakan upacara ini terdapat perlengkapan mandi yang
disebut pulungen pangir. Dahulu pulungen pangir terdiri dari 13 jenis bahan,
namun seiring waktu bahan tersebut berkurang. Berikut beberapa bahan
perlengkapan yang harus disediakan saat melaksanakan upacara erpangir ku lau
yaitu: (1) Aneka macam jeruk (rimo mukur, rimo simalem-malem, rimo bègu,
rimo cakar harimau); (2) Jèra; (3) Minyak kelapa); (4) Bunga berwarna putih
(melati atau sedap malam).Selanjutnya, perlengkapan pendukung dalam
pembuatan pangir antara lain adalah: mangkok meciho (mangkuk putih) untuk
tempat menampung ramuanpangir, pisau biasa untuk memotong berbagai macam
340 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
jeruk, piso raja (pisau ukir khusus) untuk memotong jeruk purut dan khusus
dilakukan oleh guru, ember/baskom untuk menampung pangir dalam skala
banyak, uis dagangen (kain polos berwarna putih) sebagai alas mangkuk pangir
saat akan dimantrai, kemenyan untuk mendukung selama proses guru memantrai
pangir, kampuh (sarung) sebagai basahan saat pasien akan melakukan proses
erpangir, dan lainnya. Keseluruhan bahan dan perlengkapan dalam pembuatan
pangir ini akan disediakan oleh pasien beserta keluarganya sesaat sebelum
upacara dimulai (Sebayang, 2013).
Pada umumnya, ritus pembersihan diri dilaksanakan dengan maksud
tertentu, seperti (1) sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan (Dibata); (2)
menghindari ancaman malapetaka, (3) menyembuhkan pengaruh gangguan
sihir,dan (4) untuk memperoleh restu dan bantuan dari leluhur sebelum pergi ke
medan perang (Prinst, 2004). Dalam pelaksanaannya, sangkep nggeluh (keluarga
inti) akan saling membantu dan mendukung agar leluhur senantiasa hadir
memberi berkatnya dan upacara ritual akan berjalan dengan lancar.
Kepercayaan lama masyarakat Karo, sama halnya dengan kepercayaan
bangsa Timur pada umumnya yakni selalu berhubungan ataupun berkaitan dengan
kekuatan-kekuatan gaib yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau
kepentingan masyarakat lewat bermacam ritus dan mantera. Masyarakat Karo
percaya bahwa tidak semua pemahaman harus berdasarkan akal. Alisyahbana
(1982: 8), menjelaskan bahwa kepercayaan kepada roh-roh dan energi gaib
meresapi seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Pikiran dan perbuatan kita
tertuju kepada bagaimana mendapatkan bantuan dari roh baik dan bagaimana pula
cara menghalangi pengaruh roh jahat di sekitar manusia.
Kearifan Lokal Upacara Erpangir Ku Lau sebagai Proyeksi Jati Diri
Masyarakat Karo
Pada tanggal 27 Oktober 2016, upacara ritual erpangir ku lauditetapkan
sebagai salah satu warisan budaya tak benda nasional oleh kementerian
pendidikan dan kebudayaan(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Sebagai bentuk
tindak lanjut dari penetapan tersebut, pemerintah daerah memfasilitasi
pelaksanakan upacara ritual erpangir ku lauini menjadisalah satu atraksi wisata
budaya di Kabupeten Karo yang dilaksanakan sekali dalam setahun dengan
bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.
Upacara ritual erpangir ku lau berlandas pada ajaran agama Hindu
Pemena yakni relasi tritunggal dalam sistem kosmos (Tuhan, Manusia, dan Alam
Semesta). Upacara ritual ini selain sebagai media untuk pembersihan jiwa dan
raga juga dimaknai sebagai bentuk komunikasi dengan bégu jabu (leluhur).
Upacara ritual ini mengajarkan masyarakat karo memiliki sifat luhur mehamat
(selalu bersifat sopan), metami (bersifat membujuk), melias (penuh kasih sayang),
perkuah(murah hati), dan perkeleng(penyayang). Sifat-sifat tersebutlah yang
kemudian membentuk konsep rakut sitelu(tiga posisi kekerabatan) dan tutur
siwaluh(delapan jenis panggilan kekerabatan) dalam sistem kekerabatan
masyarakat Karo.
Akan tetapi selama masa kolonialisme Belanda di Tanah Karo,
pelaksanaan segala bentuk upacara ritual termasuk erpangir ku lau dilarang
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 341
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
dengan dalih ajaran agama Hindu Pemena merupakan bagian dari aliran ilmu
hitam. Sejak saat itu, seluruh praktik upacara yang berhubungan dengan roh
leluhur dihentikan. Hasil dari era kolonialisme tersebut akhirnya berdampak pada
kehidupan masyarakat Karo yang semakin hari semakin longgar, jauh dari berkat
leluhur, kurang menghargai alam semesta, dan hidup terpecah-pecah. Menurut
Berger dan Luckmann (dalam Sudikan, 2006: 7) konstruksi realitas sosial tidaklah
berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan
yang menghilangkan kepribadian dalam hal ini keperibadian masyarakat Karo.
Penilaian sepihak kolonialisme tersebut masih melekat erat hingga era
kemerdekaan Indonesia, sehingga tanpa disadari berdampak langsung pada
perubahan realitas sosial budaya di masyarakat. Kepribadian luhur masyarakat
Karoyang mehamat, metami, melias, perkuah, dan perkeleng akhirnya hilang dan
digantikan dengan egoisme. Masing-masing kelompok masyarakat menganggap
kelompoknya sebagai kelompok superior dan lainnya kelompok inferior dan
cenderung saling tidak menghargai.Bahkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini
ditemui sebuah sifat atau penyakit sosial yang berkonotasi negatif yaitu anceng
(senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang), cian (iri
ati/dengki), dan cekurak(senang membicarakan keburukan orang lain) atau
dikenal dengan istilah ―acc‖.
Menurut Derrida (dalam Bungin 2001: 7) gagasan konstruksi sosial
tersebut semestinya dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang lahir guna
melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat.
Melalui dekonstruksi, Derrida membantu kita untuk membaca kembali dan
menafsirkan ulang seluruh puncak pemikiran filosofis Barat, sehingga
menghasilkan teks-teks baru. Konstruksi sosialhasil kolonialisme yang dibentuk
oleh Belanda terbukti mengacaukan sistem kosmos dan kehidupan kultural
masyarakat Karo.Masyarakat Karo tidak lagi terhubung secara batiniah dengan
restu (pasu-pasu) leluhur, tidak menghargai sesama, hidup secara berkompok, dan
tidak lagi menghormati alam semesta.
Oleh karena itu, Postkolonialimeyang merupakan salah satu varian
kontemporer dari Teori Kritis lahir guna mengkaji tentang dampak yang
ditimbulkan oleh praktik kolonialisme. Adapun praktik kolonialisme atau
kolonialisme itu tidak saja menimbulkan dampak pada sisi kerugian materi atau
fisik, namun juga menimbulkan dampak pada sisi perubahan sosial, budaya,
psikologis, nilai-nilai, dan identitas pada masyarakat atau bangsa terjajah. Di sini
ilmuwan dari penelitian sosial dapat melakukan studi perubahan sosial misalnya
dengan melakukan penelitian tentang perubahan budaya atau identitas yang
dialami oleh masyarakat bekas jajahan pasca era Kolonialisasi (Lubis, 2016: 155-
156).
Penelitian ini berupaya mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak-
kotakan ilmiah atas kaum konvensional lalu kemudian mendamaikannya. King
(1999: 197) mengatakan bahwa:
"The postmodernist and post-structuralist interest in dissolving unities into more complex
heterogeneities has much in common with similar post-colonial moves but has been seen by
some as undermining the legitimacy of the “search for an identity” by oppressed group”.
342 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Sebagai salah satu kearifan lokal yang sudah dilindungi sebacara Nasional,
upacara ritual erpangir ku laudinilai sama halnya seperti penjelasan Lyotard
(Lubis, 2004: 37) adalah sesuatu yang bersifat konteks lokal di Kabupaten Karo.
Para leluhur meyakini bahwa upacara erpangir ku lau berkaitan erat dengan siklus
kehidupan (life-cycle) seorang manusia yang pada akhirnya berdampak pada
sistem kosmos masyarakat Karo itu sendiri.Masyarakat Karo hendaknya kembali
memaknai danmempercayai ajaran luhur tinggalan nenek moyang, dan menolak
segala bentuk konsepthe otherness(yang lain/liyan) yang disematkanoleh
Baratkepadanya. Chakrabarty (dalam King: 1999: 189) telah mendeskipsikan
kritiknya terhadap penilaian sepihak kaum orientalis sebagai berikut:
“...You know I was brough up with everything you name it. I‟m just a broad person. The
earth is mine. We were born here man. It‟s out right. That‟s the way I see it. That‟s the way
I deal with it...”
Diharapkan dengan diresmikannya pelaksanaan kembali upacara ritual
erpangir ku lau oleh pemerintah daerah dan didukung sejumlah lembaga swadaya
masyarakat, masyarakat Karo kembali mengenal jati diri luhur mereka dan
kembali menghargai sistem kosmos sesuai ajaran leluhurnya. Konsep rakut sitelu
dan tutur siwaluhserta menerapkan sifat luhur mehamat, metami,melias, perkeleng,
dan perkuah hendaknya dilaksanakan sesuai jati diri masyarakat Karowarisan
leluhur seperti sedia kala. Diharapkan juga masyarakat Karo untuk kembali saling
menghargai sesama tanpa memandang stratifikasi sosial karo jahé atau karo
gugungdan bersatu atas nama etnisitas. Sikap saling menghargai ini diharapkan
berdampak pada penguatan dan kesatuan masyarakat Karo sebagai bagian dari
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Simpulan
Artikel ini menyimpulkan bahwa wacana kolonial yang disematkan pada
upacara ritual erpangir ku lau harus dibongkar dan dimaknai ulang oleh
masyarakat Karo itu sendiri lepas dari pengaruh/stigma kolonial. Masyarakat Karo
hendaknya kembali mengenal jati diri luhurnya yang diproyeksikan oleh upacara
ritual erpangir ku lau. Warisan budaya luhur tinggalan leluhur sebaiknya
dipisahkan dengan isu-isu agama dan nilai-nilainya dikenali kembali sebagai
harmonisasi relasi tritunggal dalam sistem kosmos (manusia dengan Sang
Pencipta, manusia dan manusia, dan manusia dengan alam semesta) sesuai amanat
Hindu Pemena yang merupakan awal dari pelaksanaan ritual ini yakni.
Pemerintah Kabupaten Karo diharapkan memberikan perhatian serta kontribusi
dalam membantu penguatan jati diri, terbentuknya kesatuan identitas masyarakat
Karo, serta menguatkan kembali ideologi mereka dalam berbangsa.
Daftar Pustaka
Alisjahbana, S.T. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai-
Nilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat.
Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik
dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Bungin, B (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis
ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 343
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
King, R. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial Theory, India, and The
Mystic East. New York: Routledge. ISBN:0-203-00608-9.
Lubis, A.Y. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme,
Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka
Indonesia Satu.
_________. 2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan, Masih Adakah
Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan
Kaum Posmodernis. Yogyakarta: BYRU Percetakan.
Prinst, D. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.
Putro, B. 1979. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber.
Sebayang, V.A. 2013. ―Analisis Interelasi Guru Sibaso, Musik, dan Trance dalam
Upacara Ritual Erpangir Ku Lau Pada Masyarakat Karo‖ (tesis). Program
Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Sumatera Utara: Medan.
Sudikan, S.Y. 2001. ―Ragam Metode Pengumpulan Data Mengulas Kembali;
Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore‖ (ed).
Dalam Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah
Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 344
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
KEARIFAN LOKAL DI BUMI MAJAPAHIT
KECAMATAN TROWULAN-KABUPATEN MOJOKERTO
Zuraidah
Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Udayana
Menyebut nama Majapahit tentu tidak terlepas dari nilai-nilai
luhur yang dimiliki oleh sebuah kerajaan yang pernah berdiri
sekitar abad 13-15 M. Banyak nilai-nilai luhur yang diwariskan
sekarang ini tidak hanya menjadi identitas daerah, tetapi juga
menjadi identitas bangsa. Makalah ini akan mengkaji bentuk-
bentuk kearifan lokal yang ada di Kecamatan Trowulan,
Kabupaten Mojokerto. Trowulan merupakan sebuah daerah yang
diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Majapahit, hal ini diperkuat
dengan adanya ribuan temuan arkeologi yang sebagian besar
terkonsentrasi di Kecamatan Trowulan. Meskipun Kerajaan
Majapahit telah lama runtuh dan sekarang masyarakat yang
tinggal di bekas ibukota Kerajaan Majapahit mempunyai ideologi
yang berbeda (mayoritas beragama Islam), tetapi masyarakat
berusaha menghadirkan kembali aura besar Kerajaan Majapahit
baik melalui berbagai event budaya maupun lewat simbol-simbol
identitas Kerajaan Majapahit. Hal tersebut menunjukkan bahwa
masyarakat Trowulan masih mempertahankan kearifan lokal yang
berasal dari Kerajaan Majapahit.
Kata kunci: kearifan lokal, majapahit,masyarakat trowulan.
PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang terdiri dari berbagai
suku bangsa, yang semua pada dasarnya adalah pribumi, artinya, semua adalah
suku-suku bangsa yang meskipun dahulu kala bermigrasi dari tempat lain,
secara turun-temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia sekarang ini,
dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh
manusia Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan
sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri
dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya. Adanya
pilahan lapisan-lapisan tersebut dikesankan oleh terdapatnya perubahan-
perubahan sistematik pada periode-periode tertentu, yang disebabkan oleh
proses akulturasi. Tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia adalah;
yang pertama, ketika menyerap agama Hindu dan Budha, kemudian yang kedua
adalah akulturasi dengan peradaban Islam, dan yang terakhir adalah akulturasi
dengan kebudayaan Eropa (Sedyawati, 2006:315).
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 345
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Akulturasi pertama dengan kebudayaan Hindu-Budha yang dibawa
pedagang-pedagang dari India membawa perubahan besar dalam tatanan sejarah
nusantara, diantaranya nenek moyang kita mengenal agama Hindu dan Budha,
mengenal tulisan, mengenal bangunan suci keagamaan berupa candi, dan
mengenal sistem organisasi politik dalam bentuk kerajaan.Dalam
perkembangannya organisasi politik dalam bentuk kerajaan banyak
bermunculan silih berganti di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang
ada di Nusantara antara lain, Kerajaan Kutai, Tamunegara, Sriwijaya, Mataram
Kuno, Kadiri, Singasari, Majapahit, dan Bali Kuno. Dalam makalah ini yang
menjadi pembahasan adalah adanya kearifan lokal dari Kerajaan Majapahit yang
masih dipertahankan hingga sekarang oleh masyarakat di Kecamatan Trowulan
Kabupaten Mojokerto.
Berbicara tentang Majapahit selalu dikaitkan dengan keberadaan sebuah
kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara dalam kurun waktu abad13-15
M. Pembuktian tentang kebesaran Majapahit telah banyak diteliti dari berbagai
disiplin ilmu. Dimana bukti-bukti kebesaran Majapahit tersebut dapat ditelusuri
dari berbagai sumber seperti; karya sastra kuno (Kitab Pararaton, Kitab
Negarakertagama), data prasasti, candi, relief, seni arca, ribuan artefak
Majapahit yang sudah ditemukan kembali dan sumber-sumber lainnya. Bukti
tentang kebesaran Majapahit tidak hanya ditunjukkan dengan data arkeologi
yang bersifat tangible, tetapi juga ditunjukkan dengan data yang bersifat
intangible.
Sudah banyak ditemukan bukti-bukti kebesaran Majapahit terutama di
Situs Trowulan. Situs Trowulan yang diduga sebagai pusat Kerajaan Majapahit
yang pernah memegang peranan amat penting dalam sejarah Indonesia, bahkan
di kawasan Asia Tenggara, merupakan satu-satunya situs kota dari masa Klasik
(abad 5-15 M). Dalam teori arkeologi, situs Trowulan ini digolongkan sebagai
situs pemukiman (settlement site), khususnya jenis atau tingkat situs-kota karena
di situs ini selain terdapat beberapa bangunan monumental (seperti candi, gapura
dan kolam) ditemukan pula benda-benda (artefak) sisa kehidupan masyarakat
Majapahit dalam jenis yang amat beragam dan dalam jumlah yang sangat besar
serta tersebar dalam areal yang amat luas (Mundardjito, 2000).Di Situs
Trowulan terdapat ribuan peninggalan arkeologi baik data berupa fitur maupun
ribuan artefak. Tinggalan arkeologi yang berupa fitur antara lain; Candi Gentong,
Candi Brahu, Gapura Wringin Lawang, Kolam Segaran, Gapura Bajang Ratu,
Candi Tikus, Makam Troloyo, Makam Putri Campa, Candi Minakjinggo, Candi
Kedaton, Situs Lantai Segi enam, dan lain sebagainya. Sedangkan data arkeologi
yang berupa artefak yang jumlahnya ribuan dan karakter datanya sangat
beragam disimpan di Pusat Informasi Majapahit, seperti arca, prasasti, uang
kepeng, keramik, benda-benda logam, dan lain sebagainya.
Meskipun sebagian besar peninggalan arkeologi di Situs Trowuan
bersifat dead monument dalam artian sudah tidak difungsikan lagi oleh
masyarakat sekarang, tetapi masyarakat Trowulan masih tetap mempertahankan
dan berupaya menghidupkan kembali budaya Majapahit dalam kehidupan
sehari-hari.
346 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
PEMBAHASAN
Kearifan lokal disini merujuk pada pengertian kearifan dalam
kebudayaan tradisional. Dimana kata ―kearifan‖ sendiri hendaknya juga
dimengerti dalam arti luasnya, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-
nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi
pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut,
maka yang termasuk sebagai penjabaran ―kearifan lokal‖ itu, di samping
peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai
pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu, maka
diartikan bahwa ―kearifan lokal‖ itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya,
baik yang tangible maupun yang intangible (Sedyawati, 2006:382).Konsep
―kearifan lokal‖ pada makalah ini adalah menghadirkan kembali budaya
Majapahit melalui budaya materi (bangunan fisik) dengan mendirikan
―Kampung Majapahit‖ di Kecamatan Trowulan.
Sebelum sampai di Kecamatan Trowulan, dari arah Surabaya maupun
Jombang kita akan merasakan suasana Majapahit dengan terdapatnya gapura
yang mengambil bentuk dari gapura Majapahit (seperti gapura/Candi Wringin
Lawang). Bentuk gapura Majapahitan terdapat pada gapura selamat datang di
Kota Mojokerto, selamat datang di Kecamatan Trowulan, Kantor Bupati
Mojokerto, dan di beberapa desa-desa di Kecamatan Trowulan. Suasana
Majapahitan akan lebih terasa di lokasi yang diperkirakan sebagai pusatnya
Kerajaan Majaphit yaitu di Situs Trowulan Kecamatan Trowulan. Terutama di
Desa Bejijong Kecamatan Trowulan yang merupakan desa pertama yang disulap
menjadi Kampung Majapahit. Dimana sejak tahun 2014 pemerintah daerah
Mojokerto dan pemerintah Provinsi Jawa Timur menggagas terwujudnya
Kecamatan Trowulan atau ingin menampilkan suasana Majapahit di Bumi
Majapahit Kecamatan Trowulan.
Untuk mewujudkan berdirinya Kampung Majapahit, pemerintah
bekerjasama dengan beberapa pihak terkait seperti BPCB Trowulan (Balai
Pelestarian Cagar Budaya) dan para pemerhati budaya Majapahit untuk
menggali kearifan lokal Kerajaan Majapahit yang berupa seni
bangunan/arsitektur beserta ornamen-ornamen Majapahit. Dari sinilah kemudian
ditentukan bahwa di beberapa desa yang ada di Kecamatan Trowulan akan
dibangun rumah kuno model Majapahitan. Gagasan pemerintah ini kemudian
disambut baik oleh masyarakat, hal ini terbukti dengan antusiasnya masyarakat
setempat menyulap kampungnya menjadi perkampungan dengan ciri khas
Majapahit.
Sampai tahun 2019 sudah ada 6 desa di Kecamatan Trowulan yang
dijadikan prototipe ―Kampung Majapahit‖, yaitu Desa Bejijong, Sentonorejo,
Kedaton, Trowulan (masih sebagian saja), Jati Pasar dan Jati Sumber. Rumah
―majapahitan‖ dibangun dibagian paling depan, sedangkan bagian belakang
rumah warga bentuknya masih diperbolehkan bervariasi sesuai bangunan
sebelumnya. Tujuannya direnovasi bagian depannya saja dengan model rumah
kuno masa Majapahitan adalah untuk menghadirkan aura perkampungan
Majapahit. Rumah ―majapahitan‖ menempati areal yang sebelumnya merupakan
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 347
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
halaman rumah. warga ada yang memfungsikannya sebagai ruang tamu maupun
tempat usaha seperti warung, toko, art shop. Rumah-rumah model majapahitan
berderet disepanjang jalan dengan bentuk yang seragam (lihat foto 1) dan
berukuran kira-kira 4x5 meter, dengan ciri khas bangunan/arsitektur masa
Majapahit; menggunakan bahan bata merah, jendela dan pintu terbuat dari kayu,
dan penggunaan simbol Kerajaan Majapahit yaitu Surya Majapahit pada pagar
depan rumah majapahitan (lihat foto 2).
Pembangunan rumah model majapahitan selain dimaksudkan sebagai
upaya pelestarian budaya Majapahit, tentunya juga untuk mendongkrak
kunjungan wisatawan untuk datang ke Situs Trowulan. Sehingga wisatawan
mendapatkan hal yang baru dan unik selain peninggalan arkeologi yang sudah
ada. Wisatawan disuguhkan suasana pemukiman Majapahit secara langsung.
Dimana bentuk rumah dari masa Majapahit bisa kita lihat replikanya di Pusat
Informasi Majapahit (PIM) di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan.`Sedangkan
sumber bentuk rumah kuno dari masa Kerajaan Majapahit dapat ditelusuri dari
beberapa relief candi masa Majapahit.
Foto 1. Model rumah majapahitan
Foto 2. Penggunaan ornamen Surya Majapahit
pada pagar rumah model majapahitan.
348 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
Menghadirkan kembali budaya Majapahit melalui bentuk rumah
tradisional beserta ornamen ciri khas majapahit merupakan sebuah upaya
masyarakat mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki oleh nenek moyang
Bangsa Indonesia pada masa lampau. Mempertahankan kearifan lokal berarti
sebuah upaya masyarakat melestarikan budaya daerah. Apa yang dilakukan
masyarakat Kecamatan Trowulan beserta pemerintah (Provinsi dan Daerah)
adalah sebuah bentuk menghadirkan kembali budaya majapahit melalui simbo-
simbol yang identik dengan majapahit, sehingga masyarakat/generasi sekarang
dapat mengingat kembali kebesaran Kerajaan Majapahit yang pusat kerajaannya
diperkirakan terletak di Kecamatan Trowulan sekarang ini.
Dapat dikatakan demikian karena di era globalisasi sekarang ini, banyak
pengaruh kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia salah satunya
mempengaruhi unsur arsitektur. Hal ini dapat kita lihat dengan maraknya
arsitektur dengan ciri-ciri budaya barat dan meninggalkan arsitektur lokal.Pada
masa sekarang proses globalisasi cenderung mengaburkan batas-batas peradaban
antar bangsa, bahkan pada saatnya dapat mengeliminasi jatidiri bangsa yang
diglobalkan. Disinilah pentingnya pemilikan dan penguatan kepribadian bangsa
agar tidak terlindas arus globalisasi, tetapi dengan cerdik menyaring dan
mengolahnya untuk kemajuan budaya sendiri tanpa kehilangan keindonesiannya
(Simanjuntak, 2012: 10).
Dengan pelibatan masyarakat untuk ikut aktif dalam pelestarian kearifan
lokal menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Trowulan masih
menghargai budaya lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Walaupun keberadaan kampung majapahit juga tidak terlepas dari adanya
kepentingan dalam industri pariwisata, dimana dengan dibangunnya
perkampungan Majapahitan masyarakat juga berharap adanya geliat
pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.Tidak dapat dipungkiri bahwa
dengan adanya kampung majapahit, geliat kunjungan wisatawan menunjukkan
peningkatan karena wisatawan penasaran dengan keberadaan kampung
majapahit.peningkatan kunjungan wisatawan juga diimbangi dengan
meningkatnya penjualan hasil-hasil kerajinan yang bercorak seni majapahit,
seperti kerajinan patung, souvernir bercorak majapahit, dan munculnya batik
majapahit yang mengambil motif pada candi yang ada di Situs Trowulan.
Pelestarian budaya majapahit dengan cara menghadirkan kembali
arsitektur rumah tradisional majapahit merupakan sebuah bentuk pelestarian
kearifaan lokal dari masa Kerajaan Majapahit. Pelestarian kearifan lokal di
Bumi Majapahit tidak hanya terbatas pada menghadirkan kembali rumah model
majapahitan, tetapi masih banyak kearifan lokal budaya Majapahit yang masih
tetap dilestarikan hingga sekarang di Kecamatan Trowulan, seperti kegiatan
kirab budaya pada hari kemerdekaan Indonesia dengan mengangkat tema
budaya Majapahit, adanya pengrajin logam dan teracota yang memproduksi
hasil kerajinannya dengan mengambil bentuk seni pahat dari masa Majapahit,
adanya kegiatan gelaran pekan budaya Majapahit yang diselenggarakan oleh
BPCB Trowulan Jawa Timur bekerjasama dengan Pemda Mojokerto, dan masih
banyak kearifan lokal yang lainnya dari masa Majapahit yang perlu dilestarikan.
Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 349
Denpasar, 29 - 30 Maret 2019
SIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas tentang kearifan lokal di Bumi Majapahit
Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, maka dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pemerintah dan masyarakat berupaya mengenalkan kembali
budaya Majapahit salah satunya melalui pembangunan rumah model
majapahitan beserta ornamen ciri khas majapahit. Upaya pengenalan kembali
budaya majapahit ini merupakan sebuah upaya pemerintah dan masyarakat
untuk tetap mempertahankan budaya Majapahit.
DAFTAR PUSTAKA
Mundardjito. 2000. ―Strategi Pelestarian Situs-Kota Majapahit, Trowulan‖,
dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Trowulan-Mojokerto. Dinas
Pariwisata Daerah Kabupaten Mojokerto.
Sedyawati, Edi, 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.
Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Simanjuntak, Truman, 2012. ―Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa‖
dalam Arkeologi Untuk Publik‖. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi
Indonesia.