+ All Categories
Home > Documents > seminar nasional sastra dan budaya iv - Unud Repository

seminar nasional sastra dan budaya iv - Unud Repository

Date post: 20-Feb-2023
Category:
Upload: khangminh22
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
362
i
Transcript

i

i

PROSIDING SEMINAR NASIONAL SASTRA DAN BUDAYA IV

KEARIFAN LOKAL SEBAGAI PEMBENTUK KARAKTER BANGSA

Tim Penyunting

Drs. I Ketut Ngurah Sulibra, M. Hum.

Drs. I Wayan Teguh, M. Hum.

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M. Hum.

DENPASAR, 29 – 30 MARET 2019

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2019

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kepada Ida Sang Hyang Widhi atas berkat-

Nyalah kegiatan ini dapat diselengarakan sesuai dengan harapan. Pada

kesempatan ini kami menghaturkan terima kasih kepada dua pembicara kunci,

yakni Bapak Prof. Dr. Djoko Saryono, M. Pd., Guru Besar Universitas Negeri

Malang (UNM), dan Bapak H. Sunggono, Sekretaris Daerah Kutai Kartanegara.

Selain itu, ucapan terima kasih yang tulus kepada kedua pembicara undangan,

yaitu Bapak Dr. Ida Bagus Kade Gunayasa, M. Hum., dari Universitas Mataram,

dan Bapak Dr. Drs. I Nyoman Wardi, M. Si. dari Prodi Arkeologi FIB Universitas

Udayana yang telah bersedia menyampaikan ide-ide dan gagasannya untuk

memperkuat isi SNSB IV ini. Terima kasih pula kami ucapkan kepada para

pemakalah pendamping, peserta dan mahasiswa yang sudah berupaya menjadikan

SNSB IV sangat berarti. Partisipasi Bapak Ibu sekalian sebagai pemakalah dan

sebagai peserta sangat memotivasi bagi kami demi keberlangsungan SNSB IV ini

maupun SNSB pada tahun-tahun berikutnya dan sudah tentu dengan tema dan

materi yang berbeda.

Kami juga mengucapkan terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan

oleh Ibu Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M. A. selaku dekan FIB beserta staf,

serta para koordinator Program Studi di lingkungan FIB, Bapak/Ibu dosen,

mahasiswa dan segenap civitas Akademika FIB Unud, yang telah memperlancar

SNSB IV ini. Terima kasih kami ucapkan kepada seluruh panitia SNSB IV atas

dukungan dan kerja samanya yang baik juga tidak kenal lelah. Harapan, tujuan,

semangat, kerja sama yang dilandasi dengan komitmen baik telah menjadikan

seminar ini berjalan dengan suasana akademik yang kondusif.

Akhirnya kami tidak pernah lupa dengan pepatah bahasa Jawa Kuno ―Tan

Hana Wang Saswatānulus‖ yang identik dengan ―Tiada gading yang tak retak‖.

Oleh karena itu, segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif sangat kami

harapkan demi terlaksananya SNSB yang lebih berkualitas di masa mendatang.

Kami mohon maaf jika ada hal-hal yang tidak berkenan di hati Bapak/Ibu selama

acara ini berlangsung. Terima kasih.

Panitia Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Ketua,

Dr. Dra. Ni Ketut Ratna Erawati, M.Hum.

iii

SAMBUTAN

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa/

Tuhan Yang Maha Esa karena atas asung kerta wara nugraha-Nya maka Buku

Kumpulan Abstrak untuk Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV (SNSB IV)

yang mengusung tema Kearifan Lokal sebagai Pembentuk Karakter Bangsa' dapat

diselesaikan tepat pada waktunya. Tema ini menjadi sangat penting karena kita

dapat memahami hubungan yang sangat erat antara Sastra dan Budaya sehingga

Sastra dan Budaya merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Melalui

karya sastra yang penulisnya memiliki latar belakang budaya berbeda akan

mampu memperindah karya-karya sastra yang dihasilkan baik untuk kebutuhan

sebagai bahan ajar maupun untuk dihayati.

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana mengembangkan ilmu-ilmu

Sastra dan Budaya. Dengan mengungkap hasil karya sastra yang berisikan

kandungan budaya diharapkan dapat membangun karakter masyarakat dan bangsa

Indonesia dalam menghadapi era globalisasi yang penuh tantangan dapat terwujud

dengan baik. SNSB IV dilaksanakan untuk mendiskusikan dan

menginterpretasikan hubungan yang begitu erat antara Sastra dan Budaya

sehingga muncul pemahaman, dan apresiasi terhadap keanekaragaman dan

persamaan budaya untuk mewujudkan multikulturalisme. Multikulturalisme

adalah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam

kesederajatan baik secara individu maupun budaya. Perbedaan dan persamaan

Sastra dan Budaya dipandang sebagai landasan dalam multikulturalisme, yaitu

peradaban manusia melalui rentang waktu dan tempat.

Berkaitan dengan hal ini, perlu diperhatikan hubungan Sastra dan Budaya

untuk pendidikan multikulturalisme yang terdiri atas:

1. Menginterpretasikan perbedaan Sastra dan budaya berdasarkan persamaan;

2. Membuat hubungan dan perbandingan secara lintas budaya (cross Cultural

Connections and Comparisons);

3. Menunjukkan konteksnya; dan

4. Menyeimbangkan antara konteks (ecology) dan komparasi (cross-culture)

dalam Sastra dan Budaya.

Melalui kesempatan ini, kami menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Para Koordinator Program Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Udayana atas kerjasama yang baik sehingga SNSB IV bisa

dilaksanakan secara berkesinambungan.

2. Bapak Prof. Dr. Djoko Saryono, M.Pd., dari Universitas Negeri Malang

sebagai pembicara kunci, pemakalah utama yakni Bapak Dr. Drs. I.B. Kade

Gunayasa, M.Hum. dari Universitas Mataram, dan Bapak Dr. I Nyoman

Wardi, M.Si. dari Fakultas Ilmu Budaya Unud, serta para pemakalah

pendamping lainnya yang terdiri atas dosen bahasa, pengamat sastra,

budayawan, dll.

3. Peserta SNSB IV, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang terdiri

atas, peneliti dan/atau dosen bahasa, sastra, dan budaya, guru, mahasiswa,

pekerja dan pengamat media, sastra dan budaya, yang terlalu panjang bila

disebutkan semuanya.

iv

4. Panitia SNSB IV Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana yang telah

bekerja keras mempersiapkan segala sesuatu yang terkait dengan

penyelenggaraan seminar ini dengan sebaik-baiknya.

Semoga SNSB IV yang diselenggarakan atas kerjasama semua Program

Studi di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana dapat

memberikan pencerahan tentang hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara

Sastra dan Budaya, dan diharapkan bermuara pada penyatuan Visi Fakultas Ilmu

Budaya, Unud yaitu memiliki keunggulan dan kemandirian dalam bidang

pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dengan aplikasi

keilmuan yang berlandaskan kebudayaan.

Melalui kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran

pelaksanaan SNSB IV, dengan harapan semoga Tuhan YME memberikan

imbalan yang setimpal dengan pengorbanan Bapak/Ibu sekalian. Kami juga tidak

lupa mohon maaf apabila ada hal-hal yang kurang berkenan dan semoga Buku ini

bermanfaat untuk kita semua.

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana

Dekan,

Prof. Dr. Ni Luh Sutjiati Beratha, M.A.

v

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

KATA PENGANTAR ........................................................................................... ii

SAMBUTAN ......................................................................................................... iii

DAFTAR ISI ........................................................................................................... v

PEMAKALAH KUNCI

MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL, MEMPERKUAT KARAKTER

BANGSA: Kearifan dan Karakter sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi

Djoko Saryono ........................................................................................................ 1

PEMAKALAH UTAMA

REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ SESEKEQ

SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN PENDIDIKAN

KARAKTER

Ida Bagus Kade Gunayasa .................................................................................... 15

RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN

CAGAR BUDAYA BATUKARU DI BALI : KEARIFAN KONSERVASI

LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER MASYARAKAT

BALI

I Nyoman Wardi .................................................................................................... 25

PEMAKALAH PENDAMPING

ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK

MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE

Ahmad Habib, Robbi Gunawan, Mamluqil Farihah ............................................. 37

TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG

REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN

Aliffiati, AA Ayu Murniasih ................................................................................. 43

PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI DI DUSUN

PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR (1984-2018)

Anak Agung Inten Asmariati ................................................................................ 54

RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN

GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI

Bambang Dharwiyanto Putro ................................................................................ 59

vi

MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA

RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR

NARATIF ALAN DUNDES)

Dewi Ayuningtyas ................................................................................................. 69

PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT

MULTIBUDAYA DI BALI

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo ........................................................................ 75

REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA DAN

SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA SANGKAN

GUNUNG

Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti,

I Wayan Nurjaya .................................................................................................... 82

ANALISIS ‗UNTUK KITA RENUNGKAN‘

I Gusti Ayu Gde Sosiowati .................................................................................... 88

METAFORA DI MEDIA CETAK: SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN

I Gusti Ngurah Parthama ....................................................................................... 95

PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA DALAM MEMBANGUN

KARAKTER BANGSA YANG SEHAT

I Ketut Darma Laksana ........................................................................................ 102

MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK

MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT

I Ketut Jirnaya ..................................................................................................... 107

RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN

I Ketut Setiawan .................................................................................................. 112

KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA

I Made Suastika ................................................................................................... 117

TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS

MASYARAKAT BALI ERA MODERN

I Nyoman Duana Sutika ...................................................................................... 123

HIPONIMI KATA‖SEKAR‖ DALAM BAHASA JAWA KUNA

I Nyoman Sukartha, Komang Paramartha ........................................................... 130

DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI

I Nyoman Suparwa .............................................................................................. 136

vii

DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI : PERANAN NILAI-NILAI

TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN MASYARAKAT ISLAM DI

BALI

I Putu Gede Suwitha ........................................................................................... 143

BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS CERITA

RAKYAT CORO ILA DAN I BELOG MANTU

I Wayan Cika....................................................................................................... 153

MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX-

XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI

I Wayan Srijaya ................................................................................................... 159

BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI: REPLEKSI TEKS

GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN I KETUT BAGUS

I Wayan Suardiana .............................................................................................. 166

KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS AGAMA

DI LAMPUNG SUMATRA SELATAN

I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni ....................................... 173

KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA: SUATU

TINJAUAN SINGKAT

I Wayan Teguh .................................................................................................... 178

KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF DALAM BAHASA SASAK

Ida Ayu Putu Aridawati ...................................................................................... 185

KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA

KERAJAAN BALI KUNO

Ida Ayu Putu Mahyuni ........................................................................................ 193

DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH

Ida Ayu Wirasmini Sidemen ............................................................................... 197

WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA

NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK DESA PLAGA-BADUNG

Ida Bagus Rai Putra ............................................................................................. 205

KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF CANDI

PENATARAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA

Ida Bagus Sapta Jaya ........................................................................................... 210

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG MUTIS

DALAM PELESTARIAN HUTAN DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA

TENGGARA TIMUR

Industri Ginting Suka .......................................................................................... 216

viii

ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA

ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO, KABUPATEN LUMAJANG,

PROVINSI JAWA TIMUR

Ketut Darmana ..................................................................................................... 221

CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE DALAM SEBUAH

PERBANDINGAN

Komang Paramartha, I Nyoman Sukartha ........................................................... 227

KISAH CINTA DAN PENGORBANAN DI BALIK TRADISI PASOLA DI

SUMBA (KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA)

Maria Matildis Banda .......................................................................................... 234

KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI LANGIT

SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN AKU ADALAH

DAGING YANG KAU PECAH-PECAH KARYA STEBBY JULIONATAN

Moh. Yusril Hermansya ...................................................................................... 240

PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN

LINGKUNGAN HIDUP

Mursalim .............................................................................................................. 247

PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN BAHASA BALI

Nengah Arnawa ................................................................................................... 252

DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI DI MEDIA

ONLINE

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama ................................... 258

PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI

KUNO

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi ................................................................................. 265

“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL BALI

DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER

Ni Luh Arjani ...................................................................................................... 270

PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG: STUDI

PENDAHULUAN

Ni Luh Kade Yuliani Giri .................................................................................... 275

REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS DALAM BAHASA BALI

Ni Luh Komang Candrawati ............................................................................... 280

GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA): ANALISIS ALUR CERITA

DAN PENOKOHAN

Luh Putu Puspawati ............................................................................................. 287

ix

EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN KOBAYASHI TAKIJI

DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti ......................................................... 292

MANFAAT DAUN DEDAP ‗Erythrina variegate‘

Ni Luh Sutjiati Beratha ....................................................................................... 301

KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI

HYŌGEN

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti .................................... 310

REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN BALI

MASA KINI

Ni Made Wiasti, Ni Luh Arjani........................................................................... 318

PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA DI RUANG

PUBLIK

Rahmat, Tya Resta Fitriana ................................................................................. 326

NILAI PENDIDIKAN DALAM ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK

BUDI

Sri Jumadiah ........................................................................................................ 330

KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI

PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO

Vanesia Amelia Sebayang, Asmyta Surbakti ..................................................... 337

KEARIFAN LOKAL DI BUMI MAJAPAHIT KECAMATAN TROWULAN-

KABUPATEN MOJOKERTO

Zuraidah .............................................................................................................. 344

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 1

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

MEMUDAKAN KEARIFAN LOKAL,

MEMPERKUAT KARAKTER BANGSA:

Kearifan dan Karakter

sebagai Kompas Kehidupan Zaman Disrupsi

Djoko Saryono

Universitas Negeri Malang

Umat manusia sedang menghadapi revolusi yang belum pernah

terjadi sebelumnya, semua cerita lama kita runtuh, dan tidak ada

cerita baru yang muncul untuk menggantikannya. Bagaimana kita

dapat mempersiapkan diri dan anak-anak kita untuk dunia dengan

transformasi dan ketakpastian radikal yang belum pernah terjadi

sebelumnya? (Yuval Noah Harari, 21 Lessons for 21st Century,

2018, Spiegel & Grau)

Dobbs, Manyika, dan Woetzel (2015) membaca perubahan dunia

yang lebih besar (makro) dan menyebutkan saat ini kita tengah

berada dalam ―no ordinary disruption‖ yang tidak biasa, yang

membuat banyak orang gelisah kalau ditangani oleh orang-orang

yang hanya mampu berwacana. (Renald Khasali, Disruption, 2017,

Penerbit Gramedia Pustaka Utama)

Revolusi Industri Keempat dapat menjadi titik-temu bagi makna

tradisional manusia (pekerjaan, masyarakat, keluarga, dan

identitas) atau dapat meningkatkan rasa kemanusiaan menjadi

kesadaran kolektif dan moral baru berdasarkan perasaan takdir

bersama. Pilihannya ada pada kita. (Klaus Schwab, The Fourth

Industrial Revolution, 2016, World Economic Forum)

Revolusi Industri Keempat seharusnya menjadi revolusi nilai-nilai.

(Amira Yahyaoui, dalam Astrid Savitri, Revolusi Industri 4.0,

2019, Penerbit Genesis).

Seperti dikatakan oleh salah seorang arif bijaksana dunia bernama Socrates

bahwa ―hidup yang tidak boleh diperiksa kembali adalah hidup yang tidak layani

dijalani‖, marilah kita periksa kembali hidup kita dan zaman tempat kita hidup

sekarang agar kita dapat menjalani hidup dan kehidupan dalam dunia masa

sekarang dan masa depan pada satu sisi dan pada sisi lain menghidupi dunia masa

sekarang dan masa depan yang kita kehendaki. Dunia macam apakah yang sedang

kita hadapi, bahkan menghidupi kita sekarang atau menjadi tempat hidup kita

sekarang? Dengan ringkas pertanyaan ini dapat dijawab bahwa dunia masa

sekarang, bahkan masa depan yang sedang kita hadapi dan hidupi adalah sebuah

dunia yang sedang berubah sangat disruptif, radikal, fundamental, dan

eksponensial! Dunia kita sekarang adalah dunia yang sedang mengalami tsunami

perubahan dalam skala yang luas, dalam, dan kompleks. Tak heran, kita seakan-

akan tidak mampu ―menangkapnya‖ secara utuh-lengkap sehingga kita tidak dapat

2 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

menamainya dengan satu istilah atau frasa yang berterima pada semua pihak.

Banyak di antara kita menamainya dengan bermacam-macam istilah atau frasa

sesuai dengan candraan masing-masing. Betapa tidak! Gejala perubahan,

pergeseran, dan pergantian radikal, disruptif, fundamental, dan eksponensial itu

berlangsung hampir di seluruh lapangan kehidupan sejak Abad XXI, baik dalam

skala lokal, nasional, regional maupun global, bahkan planeter; baik dalam

dimensi empiris maupun normatif. Sesuai candraan masing-masing, para ahli dan

pengamat mencandra hal tersebut dengan berbagai-bagai sebutan, di antaranya

Abad XXI sekarang telah berlangsung Revolusi Industri Keempat, Revolusi

Internet Gelombang Ketiga (dari internet of thing‟s menuju internet of

everything), Revolusi Digital, Revolusi Ilmu Pengetahuan, Revolusi Mahadata

(Big Data), Revolusi Glokalisasi, dan revolusi-revolusi lain yang secara mendasar

mengubah tatanan dunia manusia, bahkan tatanan alam semesta.

Rupa-rupa penyebutan atau penjenamaan tsunami perubahan disruptif-

radikal-fundamental tersebut menggambarkan adanya perubahan yang serba tidak

terduga, serba tidak pasti, demikian kompleks, dan senantiasa taksa. Di sinilah

kita memasuki dunia VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity;

VUCA World). Dunia VUCA menyodorkan tantangan, tuntutan, dan kebutuhan

baru bagi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan manusia khususnya

kelangsungan kebudayaan dan peradaban. Tantangan, tuntutan, dan kebutuhan

baru bidang kebudayaan dan peradaban direspons secara setimpal berlandaskan

dan bermodalkan kekayaan kebudayaan dan peradaban kita khususnya kearifan-

kearifan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan kultural atau moral-etis yang sudah

tumbuh dan berkembang di Indonesia disertai dengan usaha-usaha menemukan

―jawaban-jawaban baru‖ yang cocok dan sepadan dengan tantangan, tuntutan, dan

kebutuhan kebudayaan dan peradaban pada Abad XXI yang merupakan Dunia

VUCA tersebut. Secara khusus bidang kebudayaan dan peradaban ditantang,

dituntut, dan ditagih untuk memperoleh jawaban-jawaban baru yang dapat

menjadikan bidang kebudayaan dan peradaban kita tetap eksis, berdaulat, dan

berdaya. Jadi, demi daulat dan daya-tahan kebudayaan dan peradaban kita

diperlukan transformasi kebudayaan dan peradaban secara disruptif-radikal-

fundamental. Di sini kita dituntut untuk mampu menjadi aktor atau agen

transformasi matra-matra dan sendi-sendi tertentu kebudayaan dan peradaban.

Dalam transformasi kebudayaan dan peradaban tersebut kita tidak boleh

terjebak dalam dikotomi-dikotomi biner-atomistis, hanya pendekatan dan

wawasan hitam-putih belaka secara fanatis dan kaku. Diperlukan pendekatan dan

wawasan holistis-pluriversal (transversal) yang transversal, interseksional,

interkonektif, multimodal, dan inklusif dalam usaha-usaha transformasi

kebudayaan dan peradaban demi keberlanjutan dan kelangsungan kehidupan

manusia secara planeter. Berhubung masa sekarang, lebih-lebih masa depan yang

semakin padat-kendali ilmu pengetahuan dan kreativitas-inovasi, maka

keberadaan karakter dan intelektualitas sama-sama penting di samping humanitas

dan spiritualitas; keduanya tidak boleh dipertentangkan satu sama lain, apalagi

ditinggalkan salah satu di antaranya. Beranalogi dengan ucapan Albert Einstein,

karakter tanpa intelektualitas menjadikan kehidupan masa depan kehilangan arah

pada satu sisi dan pada sisi lain intelektualitas tanpa karakter menjadikan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 3

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kehidupan masa mendatang mengalami kegelapan. Di samping itu, karakter dan

intelektualitas tanpa humanitas dan spiritualitas bisa menjerumuskan kehidupan

dalam kehampaan dan keputusasaan. Baik karakter maupun intelektualitas yang

―dipimpin‖ oleh humanitas dan spiritualitas sama-sama dibutuhkan dalam

kehidupan masa sekarang, lebih-lebih kehidupan masa depan. Sebab itu,

beralaskan humanitas dan spiritualitas, baik karakter maupun intelektualitas harus

ditumbuhkembangkan dan diperkuat secara serempak-bersamaan dan seimbang

demi keselamatan dan keberlanjutan kehidupan masa sekarang dan masa depan.

Penumbuhkembangan dan penguatan karakter dan intelektualitas

berlandaskan humanitas dan spiritualitas menjadi tugas-bersama kita. Hal ini perlu

dilaksanakan secara simultan dan kontekstual, bukan serial-kronologis-prosedural.

Dikatakan demikian karena karakter dan intelektualitas, bahkan Forum Ekonomi

Dunia telah menambah literasi (2016), merupakan ―pinang dibelah dua‖,

keduanya berkoesistensi atau saling mengada demi kemajuan kebudayaan dan

peradaban. Demikian juga humanitas dan spiritualitas, keduanya berkoeksistensi,

saling mengada bersama demi ketangguhan akar dan aras-tuju kebudayaan dan

peradaban. Sejarah telah memberi pelajaran kepada kita bahwa manusia

bermartabat merupakan manusia yang mempunyai karakter yang kuat dan

intelektualitas yang tinggi di samping humanitas yang tegas dan spiritualitas yang

kokoh. Implikasinya, peningkatan martabat bangsa Indonesia dapat dilakukan

dengan penguatan karakter dan intelektualitas bangsa Indonesia beralaskan

humanitas dan spiritualitas. Dalam usaha memperkuat karakter dan intelektualitas

bangsa Indonesia beralaskan humanitas dan spiritualitas tersebut ―sumber-sumber

atau bahan-bahan‖ kebudayaan dan peradaban mana pun yang memang

―bermanfaat, menyegarkan, memperkaya, dan memperkuat‖ karakter dan

intelektualitas bangsa Indonesia. Terutama dalam konteks zaman glokalisasi,

salah satu ―sumber atau bahan‖ penguatan karakter dan intelektualitas bangsa

yang dapat dimanfaatkan adalah khazanah kebudayaan dan peradaban lokal dan

―pribumi‖ (indigenous) kita yang demikian kaya dan beranekaragam. Secara

khusus kearifan-kearifan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖

yang tersimpan atau berada dalam kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖

dapat dimanfaatkan atau didayagunakan sebagai salah satu ―sumber atau bahan‖

penguatan karakter bangsa. Di tengah-tengah tsunami perubahan disruptif-radikal-

fundamental, yang mengakibatkan ketidakstabilan dan ketidakpastian hampir

seluruh matra dan sendi kebudayaan dan peradaban lokal dan ―pribumi‖, tentulah

kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ tersebut perlu direstorasi,

direvitalisasi, dan diadvokasi hak dan daya hidupnya agar benar-benar bermanfaat

dan berdaya-guna sebagai sumber penguatan karakter bangsa. Ringkas kata,

kearifan dan kebijaksanaan lokal dan “pribumi” yang terekspresi-terproyeksikan

dalam matra simbolis, sosial, dan material kebudayaan perlu dimudakan kembali,

direjuvinasi, seiring dengan pemanfaatannya sebagai salah satu sumber

penguatan karakter bangsa.

Tulisan ringkas ini mencoba membeberkan bagaimana memudakan kembali

kearifan dan kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ seiring dengan usaha memperkuat

karakter bangsa di tengah kehidupan zaman disrupsi sehingga kearifan dan

kebijaksanaan lokal dan ―pribumi bersama karakter bangsa dapat berfungsi-peran

4 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sebagai kompas kehidupan zaman disrupsi. Untuk itu, dalam tulisan ringkas ini

diuraikan berturut-turut (1) konsep karakter, intelektualitas, dan manusia

bermartabat, (2) hubungan zaman disrupsi dengan modal manusia dan kebutuhan

penguatan karakter dan intelektualitas beralaskan humanitas dan spiritualitas, (3)

urgensi penguatan karakter dan intelektualitas sebagai tugas pemajuan

kebudayaan dan peradaban, dan (4) upaya-upaya penguatan karakter dan

intelektualitas melalui jalan pemajuan kebudayaan dan peradaban, (5) tempat dan

peran kebudayaan mdan peradaban lokal dan ―pribumi‖ khususnya kearifan dan

kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ dalam upaya penguatan karakter dan

intelektualitas bangsa, dan (6) strategi pemudaan kembali kearifan dan

kebijaksanaan lokal dan ―pribumi‖ agar bermanfaat untuk mempersegar dan

memperkaya, dan memperkuat karakter dan intelektualitas bangsa.

KONSEP KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS

Sampai sekarang terdapat berbagai perspektif dan pendekatan untuk

menentukan konsep karakter dan intelektualitas sehingga terdapat berbagai

pengertian karakter dan intelektualitas. Untuk menyegarkan ingatan kita, pertama-

tama marilah kita telaah pengertian atau konsep karakter dan intelektualitas secara

etimologis dan psikologis. Istilah karakter berasal dari istilah Yunani charassein

yang berarti ―mengukir corak yang tetap dan tidak terhapuskan‖. Menurut Ki

Hadjar Dewantara – seorang tokoh pendidikan nasional yang sangat terkemuka –

karakter atau watak adalah ―paduan segala tabiat manusia yang bersifat tetap

sehingga menjadi tanda yang khusus untuk membedakan orang yang satu dengan

yang lain‖. Oleh karena itu, lanjut Dewantara, karakter itu merupakan ―imbangan

antara hidup batin seseorang dengan segala perbuatan lahirnya; oleh karena itu,

seolah-olah menjadi lajer atau sendi dalam hidupnya, yang selalu mewujudkan

sifat atau perangai yang khusus bagi masing-masing manusia. Ini menunjukkan

bahwa karakter merupakan keseluruhan sifat kejiwaan, kepribadian, dan akhlak

atau budi pekerti yang membedakan seorang manusia dengan manusia lainnya.

Bisa disimpulkan, karakter adalah keseluruhan sifat manusia yang meliputi

kemampuan, kebiasaan, kesukaan, perilaku, potensi, nilai, dan pola pikir seorang

manusia. Pada zaman sekarang, manusia berkarakter kuat lazimnya memiliki ciri

(a) keimanan dan ketakwaan yang kuat, (b) spiritualitas yang kokoh, (c)

emosionalitas yang mantap, (d) kedisiplinan yang tinggi, (e) sikap dan tindakan

yang adil dan arif, (f) keberanian bertanggung jawab yang tinggi, (g) kemampuan

menghargai dan menghormati orang lain, (h) orientasi pada keunggulan dan

kesempurnaan, (i) kemampuan bekerja sama dengan pihak lain, (j) sikap dan

perilaku demokratis dan hak asasi atau kemampuan menjunjung demokrasi dan

hak asasi, dan (k) sikap dan perilaku yang mengutamakan kebenaran. Apakah

karakter seseorang (baca: pribadi) atau sekelompok orang (baca: bangsa) menjadi

kuat seperti tersebut atau lemah dibentuk oleh ―dasar yang telah kena

pengaruhnya ajar‖, kata Dewantara. Dengan demikian, karakter seseorang

dibentuk oleh pendidikan. Jika pendidikan merupakan entitas kelangsungan

kebudayaan dan peradaban, maka karakter dibentuk dan dikembangkan oleh

kebudayaan dan peradaban.

Sementara itu, istilah intelektualitas berasal intellectuality yang berarti

kondisi atau kenyataan kemampuan kognitif seseorang. Intelektualitas atau

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 5

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kecerdasan merupakan mutu kecendekiaan, kepandaian atau kepintaran seseorang

yang ditujukan untuk menyatakan kebenaran yang bermaslahat bagi banyak orang

atau masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa kecendekiaan, kepandaian,

kebenaran, dan kemaslahatan menjadi intisari atau saripati intelektualitas. Seorang

yang mampu menggunakan kemampuan kognitifnya untuk menyatakan kebenaran

yang berguna bagi masyarakat sering disebut intelektual atau cendekiawan. Tidak

mengherankan, W. S. Rendra – seorang sastrawan terkemuka Indonesia –

menyatakan bahwa tugas intelektual adalah menjaga hati nurani masyarakat agar

tetap dapat melihat kebenaran-kebenaran. Supaya tugas ini dapat terlaksana

dengan baik, seorang intelektual harus otonom, mandiri, merdeka, dan bebas serta

arif sehingga ―intelektual harus berumah di atas angin‖, kata Rendra. Jadi, dapat

disimpulkan bahwasanya intelektualitas merupakan kecendekiaan atau kepandaian

yang dimiliki oleh seseorang untuk menyatakan kebenaran secara bebas, otonom,

mandiri, dan arif demi kemaslahatan bersama manusia – bagi sebagai makhluk

personal dan makhluk sosial maupun sebagai makhluk spiritual. Mutu

intelektualitas seseorang dibentuk oleh pendidikan, bukan pengajaran, sehingga

lembaga pendidikan [baca: sekolah dan perguruan tinggi] bukan tempat satu-

satunya bagi penguatan dan penguatan intelektualitas meskipun sekolah

berkedudukan dan berfungsi strategis bagi penguatan dan penguatan

intelektualitas.

Mutu karakter dan intelektualitas seseorang atau seorang manusia dapat

menentukan martabat seorang manusia. Jika seorang atau sekelompok manusia

memiliki mutu karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi, maka dia atau

mereka akan menjadi manusia bermartabat. Sebaliknya, bilamana seseorang atau

sekelompok manusia memiliki mutu karakter dan intelektualitas yang rendah,

maka dia atau mereka dianggap tidak atau kurang bermartabat. Ini menunjukkan

bahwa karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi menjadi prasyarat yang

harus ada – conditio sine qua non – manusia yang bermartabat.

Manusia bermartabat di sini adalah seorang (baca: pribadi) atau sekelompok

manusia (baca: bangsa) yang disegani, dihormati, dijunjung, diperhitungkan, dan

diakui keberadaannya oleh pihak lain atau manusia lain. Di samping itu, manusia

bermartabat pada umumnya senantiasa didengar pendapat-pendapatnya, dipakai

pikiran dan pandangannya, dirujuk tindakan-tindakannya, dan diteladani segala

perilakunya oleh manusia lain. Sebagai contoh, para ruhaniwan dan pemikir-

ilmuwan merupakan manusia-manusia bermartabat luar biasa tiada tepermanai.

Dalam masa sekarang, manusia bermartabat atau kelompok manusia bermartabat

itu antara lain berkarakteristik sebagai berikut: (a) memiliki keimanan dan akhlah

yang kuat, (b) memiliki kemampuan, keberanian, kejujuran, dan ketulusan untuk

menyatakan segala kebenaran demi kemaslahatan manusia lain; (c) memiliki

keotonoman, kemandirian, keberdikarian, keindependenan, dan daya saing positif

serta daya sanding yang baik dari pihak lain atau manusia lain; (c) memiliki

keberdayaan, keberkuasaan, kekuatan, dan kemampuan menentukan nasib sendiri

baik secara politis, geografis, ekonomis maupun sosial budaya; (d) memiliki

kemampuan memelopori dan mendorong kerja sama dan hubungan antar-

manusia, (e) memiliki kemantapan, ketahanan, dan kelenturan politik, ekonomi,

sosial, budaya, dan teknologi; (f) menguasai ilmu, teknologi, dan ekonomi yang

6 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berarti dan berguna bagi peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan seluruh

warga manusia dan dunia; (g) mampu memberikan sumbangan (kontribusi)

penting bagi dunia dan kawasan tertentu, misalnya perdamaian dunia dan

kemajuan dunia; dan (h) mampu mewujudkan keadilan, kemakmuran, demokrasi,

dan hak asasi manusia baik bagi siapa saja. Dari uraian ini dapat disimpulkan

bahwa manusia bermartabat selalu bermodalkan karakter yang kuat dan

intelektualitas yang tinggi secara padu dan utuh yang dialasi oleh humanitas dan

spiritualitas sehingga bermaslahat bagi manusia lain dan kehidupan sesama-

bersama.

ZAMAN DISRUPSI, MODAL MANUSIA, DAN KARAKTER—

INTELEKTUALITAS

Harus disadari bahwa sekarang kita telah tiba pada zaman disrupsi yang

dipimpin oleh ilmu pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi; kita hidup di

dalam zaman pengetahuan-teknologi dan zaman kreatif-inovatif. Dalam zaman

pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi, segala sesuatu bertumpu atau

berbasis pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi, tanpa tumpuan atau basis

pengetahuan-teknologi dan kreativitas-inovasi yang layak segala sesuatu akan

tergeser, terpinggirkan, bahkan tergusur. Kita telah menyaksikan dengan jelas

beberapa gejala: perekonomian bertumpu pengetahuan-teknologi, teknologi

bertumpu pengetahuan tingkat tinggi, pekerjaan bertumpu pengetahuan-teknologi

[termasuk pekerja berpengetahuan-teknologi], dan kegiatan-kegiatan lain juga

bertumpu pengetahuan-teknologi. Oleh karena itu, sejak lama Peter Drucker –

seorang tokoh manajemen kelas dunia – dalam New Realities (1992)

memaklumkan kehadiran masyarakat berpengetahuan, melanjutkan [atau malah

menggantikan?] dominasi masyarakat informasi dan industrial, masyarakat

pertanian [pra-industrial], dan masyarakat pra-pertanian. Dalam masyarakat

berpengetahuan-teknologi, manusia-manusia tanpa penguasaan pengetahuan-

teknologi memadai niscaya akan tergeser dan terpinggirkan, bahkan kalah karena

mereka tidak akan mampu memasuki dan berkiprah pada berbagai aktivitas utama

kehidupan manusia [ekonomi, pekerjaan, dan lain-lain] yang notabene berbasis

pengetahuan-teknologi. Dalam pada itu, manusia-manusia berpengetahuan-

teknologi memadai akan unggul dan berjaya karena mereka niscaya mampu

memasuki dan eksis dalam berbagai aktivitas utama kehidupan. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pengetahuan-teknologi telah menjadi modal dasar

keunggulan dalam zaman disrupsi sekarang.

Sejalan dengan itu, Thomas A. Stewart dalam Intellectual Capital (1997)

dan pakar-pakar lain menyatakan betapa penting, utama, dan sentralnya

keberadaan dan peranan modal intelektualitas dalam zaman pengetahuan. Yuval

Noah Harari dalam tiga buku laris-manisnya, yaitu Sapiens: A Brief History of

Humankind (2011) dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), dan 21

Lessons for 21st Century (2018), malah memaklumatkan sepak terjang

intelektualitas terutama revolusi kognitif yang telah dan sedang menyapu seluruh

tatanan dunia dan tatanan kehidupan manusia di dunia, bahkan ―di seberang

dunia‖. Demikian juga Steven Pinker dalam Enlightenment Now: The Case for

Reason, Science, Humanism, and Progress (2018) memaklumkan sekaligus

membela nalar, sains, humanisme, dan kemajuan sebagai pencapaian kebudayaan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 7

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dan peradaban manusia yang perlu terus dikembangkan di tengah menjamurnya

―progresophobia‖. Dengan modal pengetahuan-teknologi [intelektualitas] yang

bermutu dan unggul, seseorang (pribadi) atau sekelompok masyarakat (bangsa)

niscaya mampu eksis, unggul, berjaya, dan berkiprah secara berarti dalam suatu

bidang kehidupan mutakhir di manapun selain mereka juga mampu berkembang

dengan baik di dalam kehidupan. Sebaliknya, dengan modal pengetahuan yang

terbatas, ―pas-pasan sekali‖, apalagi usang, seseorang [atau sekelompok

masyarakat] niscaya akan terancam, terpinggirkan, malah tergusur dari bidang

kehidupan mutakhir. Hal ini mengimplikasikan, manusia berpengetahuan atau

yang mempunyai modal intelektualitas akan menjadi manusia bermutu dan unggul,

sedangkan manusia yang tidak memiliki modal pengetahuan akan menjadi

manusia ―terbelakang‖ dan serba kalah.

Modal intelektualitas tersebut harus disertai dan dipadukan dengan modal

karakter yang kuat agar benar-benar bermaslahat dan unggul bagi kemanusiaan

dan kemasyarakatan. Hal ini menunjukkan betapa penting dan sentralnya modal

manusia (yang berkandungan intelektualitas dan karakter yang kuat) bagi

pertumbuhan, perkembangan, dan pembangunan manusia dan masyarakat. Tak

mengherankan, dalam buku The Quality of Growth dan buku-buku lain yang

ditulis atas nama Bank Dunia dan dipublikasikan oleh Bank Dunia (2000), modal

manusia (bukan sekadar modal intelektualitas!) telah dianggap sebagai aset paling

utama dan berharga bagi mutu pertumbuhan dan pembangunan yang akan

mendatangkan kesejahteraan. Dikatakan dalam buku tersebut bahwa ―Secara

umum, aset yang penting bagi pertumbuhan dan pembangunan adalah modal

manusia, modal fisik, dan modal alam‖ (xxxiv). Jadi, modal manusia khususnya

modal intelektualitas dan karakter telah menjadi investasi paling berharga dalam

abad pengetahuan, jauh melebihi investasi uang dan tanah, apalagi tenaga manusia.

Sehubungan dengan itu, penguatan mutu modal manusia menjadi tugas,

imperatif, dan tantangan bagi semua individu, masyarakat, dan bangsa jika ingin

selamat memasuki dan mampu berkiprah secara signifikan dalam abad

pengetahuan. Individu – juga masyarakat dan bangsa – yang mampu memperkuat

mutu modal intelektualitas dan karakternya niscaya mampu bermain dan berjaya

dalam kehidupan abad pengetahuan. Masyarakat dan bangsa yang mampu

memperkuat mutu modal intelektualitas dan karakter mereka niscaya akan

menjadi masyarakat dan bangsa unggul secara kompetitif dan kolaboratif di

samping berperanan signifikan dalam abad pengetahuan. Sebab itu, tidak

mengherankan, individu-individu, masyarakat-masyarakat, dan bangsa-bangsa di

dunia [termasuk ke dalamnya lembaga atau organisasi masyarakat dan bangsa]

sibuk dan disibukkan oleh kegiatan-kegiatan penguatan mutu modal manusia,

dalam hal ini mutu modal intelektualitas dan karakter. Terlepas dari istilah,

konsep, dan karakteristiknya, yang dapat berbeda-beda, tampak jelas bahwa

individu, masyarakat, dan bangsa di dunia sekarang tengah mencurahkan

perhatian pada upaya penguatan mutu modal karakter dan intelektual manusia –

termasuk karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia.

Dalam upaya penguatan mutu modal manusia terutama modal intelektualitas

dan karakter, pendidikan telah dipandang oleh pelbagai kalangan sebagai wahana,

8 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

wadah, ajang, dan jalur yang sangat utama dan vital sehingga mempunyai

kedudukan, fungsi, dan peranannya sangat penting, strategis, bahkan taktis.

Galibnya, individu, masyarakat, dan bangsa yang terobsesi untuk memperkuat

mutu modal manusia menempatkan dan memperlakukan kebudayaan dan

peradaban sedemikian penting dalam kehidupan di samping memprioritaskan

pemenuhannya. Tidak mengherankan PPB atau masyarakat bangsa di dunia telah

menetapkan pemenuhan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban sebagai salah

satu hak asasi manusia sebagaimana termaktub dalam kovenan Hak-hak Sosial,

Ekonomi, dan Budaya. Amanat konstitusi kita terutama pembukaan UUD 45 juga

berpusat pada pentingnya pendidikan bagi penguatan dan penguatan karakter dan

intelektualitas manusia dan bangsa Indonesia. Bahkan jauh sebelum itu, agama-

agama di dunia selalu mengamanatkan pemenuhan dan pemajuan kebudayaan dan

peradaban dalam upaya pembentukan, pengembangan, dan peningkatan modal

manusia khususnya modal karakter dan intelektualitas. Tanpa harus mengutip

ayat-ayat kitab suci dan atau atau ajaran agama yang sudah pasti jumlahnya sangat

banyak, dapat dikemukakan di sini bahwa agama-agama atau spiritualitas mana

pun sangat menekankan vital, fundamental, strategisnya kebudayaan dan

peradaban selain mengamanatkan utamanya menumbuhkembangkan dan

memajukan kebudayaan dan peradaban. Jadi, dapat dinyatakan bahwa

pengembangan dan pemajuan kebudayaan dan peradaban sebagai upaya

membentuk dan memperkuat mutu modal karakter dan intelektualitas manusia

telah menjadi obsesi, imperatif, dan visi—misi—tujuan manusia, bangsa, dan

agama, termasuk manusia dan bangsa Indonesia.

URGENSI PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS

Sejalan dengan uraian tersebut, dapat ditegaskan di sini bahwa upaya

penguatan karakter (yang kuat) dan intelektualitas (yang tinggi) bangsa inilah

yang sekarang menjadi tantangan, tuntutan, kebutuhan, dan tugas pemajuan

kebudayaan dan peradaban, bahkan tugas semua sektor kehidupan manusia

Indonesia. Mengapa demikian? Sejumlah alasan dapat dikemukakan berikut ini.

1. Dikatakan menjadi tantangan dan tuntutan pendidikan termasuk pendidikan

nasional Indonesia karena hasil-hasil pendidikan modern kita selama ini –

yang sangat menekankan dan mengunggulkan mutu intelektualitas atau

kepandaian yang dilambangkan dengan IQ terbukti kurang berhasil atau malah

telah gagal dalam membentuk dan memperkuat kaum muda Indonesia menjadi

manusia-manusia bermartabat yang bermaslahat bagi bangsa dan negara,

kemanusiaan, dan agama. Daniel Goleman – seorang pakar psikologi

pendidikan dan pencetus teori kecerdasan emosional (EQ) – menceritakan

(dalam buku monumentalnya yang berjudul Emotional Intelligence, 1995)

bahwa di Amerika banyak sekali dijumpai kaum muda Indonesia pandai atau

intelektualitasnya tinggi yang mudah putus asa, naik darah, dan bertindak

brutal seperti menikam guru dan membunuh teman. Di tempat kita sendiri atau

di Indonesia, dengan mudah juga dapat kita jumpai para kaum muda Indonesia

yang sering berkelahi atau tawuran, berbuat kriminal seperti membajak

buskota, bahkan membentuk gang kriminal meskipun banyak di antara mereka

memiliki intelektualitas yang tinggi atau kecerdasan yang baik. Stolz dalam

buku Adversity Quotient malah mengelompokkan manusia Indonesia bertipe

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 9

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tukang kemah (camper) yang tidak memiliki tahan banting yang kuat. Ini

semua terjadi karena intelektualitas mereka tidak diimbangi dengan karakter

yang kuat. Lebih lanjut, hal ini menyarankan bahwa penguatan dan penguatan

mutu karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi menjadi tantangan dan

tuntutan bagi pendidikan. Orang tua, masyarakat, bahkan negara Indonesia

sekarang juga menuntut agar pendidikan mampu membentuk karakter dan

intelektualitas secara seimbang dan utuh sebab karakter dan intelektualitas

yang seimbang dan utuh akan menjadikan modal manusia unggul.

2. Sementara itu, dikatakan menjadi kebutuhan dunia pendidikan pada masa kini

dan masa depan karena pandangan-pandangan dan teori-teori pendidikan

mutakhir selalu menyerukan dan menyarankan agar pendidikan tidak hanya

membentuk kecerdasan kognitif atau intelektual (IQ; Intelligence Quotient),

tetapi juga kecerdasan emosional (EQ/EI; Emotional Quotient/Emitional

Intelligence) dan kecerdasan spiritual (SQ/SI; Spiritual Quotient/Spiritual

Intelligence) serta kecerdasan adversitas (AQ; Adversity Quotient);

kecerdasan majemuk (MI; Multiple Intelligence) Sudah bukan zamannya lagi

pendidikan hanya menekankan, mengutamakan, dan memuja-muja kecerdasan

kognitif karena kecerdasan kognitif tidak cukup memadai untuk mengarungi

kompleksitas dan konfigurasi abad pengetahuan. Para pemikir sosial dan

pendidikan juga senantiasa mengingatkan agar penguatan dan penguatan

karakter kaum muda Indonesia diperhatikan sekaligus digarap (ditangani)

secara sungguh-sungguh selain penguatan dan penguatan intelektualitas. Jika

hal tersebut dapat diwujudkan, maka mutu modal manusia niscaya unggul

secara kompetitif atau surpetitif (istilah Giddens). Mutu modal manusia yang

unggul secara kompetitif dan kolaboratif – yang berisikan karakter yang kuat

dan intelektualitas yang tinggi – akan membuat seorang atau sekelompok

manusia mampu berkiprah secara berarti di dalam konfigurasi abad

pengetahuan di dunia yang serba berlari tanpa kendali (runway world – kata

Anthony Giddens). Jadi, pada abad pengetahuan pendidikan harus

memusatkan perhatian pada upaya penguatan karakter dan intelektualitas

secara utuh, padu, seimbang, dan proporsional.

3. Dikatakan menjadi tugas dunia pendidikan termasuk dunia pendidikan

nasional kita sekarang karena pendidikan yang berpusat pada penguatan dan

penguatan karakter dan intelektualitas telah menjadi salah satu hak asasi

manusia. Dalam Kovenan Hak Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya,

pasal 13, ayat 1 dinyatakan bahwa ―Negara-negara Peserta Kovenan ini

mengakui hak setiap orang atas pendidikan. Mereka bersepakat bahwa

pendidikan harus diarahkan pada perkembangan seutuhnya dari kepribadian

manusia dan kesadaran akan harga dirinya dan memperkuat rasa hormat

terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan dasar. Mereka selanjutnya

bersepakat bahwa pendidikan harus memungkinkan semua orang untuk

berpartisipasi secara efektif dalam suatu masyarakat yang bebas,

meningkatkan rasa pengertian, toleransi serta persahabatan antara semua

bangsa dan semua kelompok rasional, etnis atau beragama‖. Demikian juga

Pembukaan Undang-undang Dasar 1945 dan Bab XIII, pasal 31, ayat (2)

Batang Tubuh UUD 45 mengamanatkan penguatan dan penguatan karakter

yang kuat dan intelektualitas yang tinggi sebagai wujud pencerdasan

kehidupan bangsa sebagai tugas utama pendidikan. Lebih daripada semua itu,

10 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sejak awal keberadaannya, agama-agama mencanangkan dan menyerukan

bahwa pendidikan itu sangat utama-fundamental-vital dan tugas pokoknya

adalah membentuk dan memperkuat karakter dan intelektualitas manusia –

selain spiritualitas dan religiositas. Agama malah secara luar biasa

menyerukan agar semua manusia menempuh pendidikan demi terbentuknya

karakter dan intelektualitas – juga spiritualitas dan religiositas – secara

seimbang dan proporsional selain mengamalkan hasil pendidikan berupa ilmu

dan kearifan kepada orang lain. Dapat dikatakan bahwa agama telah

menempatkan pendidikan sebagai proses penguatan dan penguatan karakter

dan intelektualitas sedemikian tinggi dan utama serta pokoknya.

4. World Economic Forum (2015, 2016) merumuskan visi baru bagi

pembangunan khususnya visi baru bagi pendidikan yang menawarkan

konfigurasi kecakapan Abad XXI. Menurut World Economic Forum,

kecakapan Abad XXI itu berintikan tiga entitas pokok, yaitu kualitas karakter,

kompetensi, dan literasi fondasional, yang kemudian dijabarkan lebih lanjut

menjadi 17 macam kecakapan. Hal tersebut menunjukkan betapa pentingnya

karakter dan intelektualitas, bahkan dapat dikatakan bahwa poros atau ruh

pendidikan Abad XXI adalah karakter dan intelektualitas. Selaras dengan hal

tersebut, Kemendikbud meluncurkan Gerakan Penguatan Pendidikan Karakter

(PPK) yang bertujuan mengembalikan atau menempatkan kembali karakter

dan intelektualitas selain literasi sebagai poros pendidikan nasional. Gerakan

PPK itu diperankan sebagai wahana penunaian Nawa Cita dan perwujudan

Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM). Lebih lanjut, belakan Gerakan

PPK tersebut diperkuat oleh Perpres 87 Tahun 2017 tentang Penguatan

Pendidikan Karakter. Semua itu memperlihatkan bahwa teras atau poros

pendidikan nasional sekarang mencakup karakter, intelektualitas, dan literasi

sebagai satu keutuhan. Hal ini jelas menjadi tugas dan tantangan utama bagi

pendidikan nasional Indonesia.

UPAYA PENGUATAN KARAKTER DAN INTELEKTUALITAS

Upaya penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi dapat

dilaksanakan melalui pendidikan keluarga, pendidikan masyarakat, dan

pendidikan formal. Tulisan ini mencoba memusatkan perhatian pada pendidikan

sebagai wahana penguatan karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi.

Sejak dulu sampai sekarang pendidikan kita sudah melaksanakan penguatan dan

penguatan karakter dan intelektualitas baik melalui kegiatan warga belajar.

Berbagai kegiatan warga belajar yang dilaksanakan oleh berbagai satuan

pendidikan mencerminkan komposisi penguatan dan penguatan karakter dan

intelektualitas. Sebagai contoh, kegiatan pendidikan agama dan pendidikan budi

pekerti diarahkan pada penguatan dan pengembangan karakter, sedangkan

kegiatan pemahaman pengetahuan alam dan sosial diarahkan pada penguatan dan

pengembangan intelektualitas. Program Pendidikan Karakter yang sekarang

sedang digencarkan beberapa tahun belakangan ini di berbagai lembaga

pendidikan di Indonesia juga bertujuan membentuk dan memperkuat karakter

kaum muda. Jadi, pada dasarnya dan sesungguhnya pendidikan kita telah

mengupayakan pelbagai program dan kegiatan penguatan mutu karakter dan

intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia meskipun ada pula warga belajar

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 11

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang tergolong tua secara biologis. Pendidik dan tenaga kependidikan telah

berusaha secara sungguh-sungguh dan optimal untuk mengupayakan penguatan

karakter dan intelektualitas kaum muda.

Walaupun demikian, harus diakui dengan jujur, bahwa upaya penguatan

mutu karakter dan intelektualitas melalui pendidikan tersebut belum

mendatangkan hasil optimal dan memuaskan berbagai pihak. Hal ini terbukti dari

berbagai indikator yang langsung atau tidak langsung merupakan keluaran, hasil,

dan dampak proses pendidikan selama ini. Sudah berulang-ulang dikemukakan

oleh banyak kalangan dan media massa, misalnya, mutu indeks pembangunan

manusia (HDI) Indonesia sangat rendah, jauh di bawah negara jiran kita

Singapura dan Malaysia. HDI Indonesia, yaitu peringkat pencapaian pendidikan,

kesehatan, dan penghasilan per kepala, makin lama makin menurun: pada tahun

1996 HDI Indonesia menempati peringkat 102 dari 174 negara, pada tahun 1997

naik ke urutan 99, kemudian mesorot kembali ke urutan 105 pada tahun 1998 dan

tambah merosot ke urutan 109 pada tahun 1999. Rendahnya kualitas, kompetensi,

dan kinerja HDI Indonesia ini cerminan rendahnya daya saing Indonesia. Data

yang dilaporkan The World Economic Forum (2000) menempatkan Indonesia

sebagai negara berdaya saing rendah, yaitu menempati urutan 37 dari 57 negara

yang disurvai di dunia. Laporan Learning Curve tahun 2012 tentang adidaya

pendidikan dunia juga menempatkan mutu pendidikan Indonesia pada peringkat

terbawah dari 40 negara yang disurvai. Berbagai keadaan tersebut juga tidak

berubah signifikan hingga sekarang. Demikian juga perkelahian antar-pelajar,

bahkan perkelahian antar-mahasiswa, pembajakan bus kota oleh pelajar, tindakan

pencurian oleh pelajar, dan lain-lain mengisyaratkan bahwa usaha penguatan dan

penguatan karakter dan intelektualitas melalui pendidikan belum mencapai hasil

yang diharapkan. Kenyataan lain – yang menunjukkan bahwa terdapat 50 ribu

anak jalanan di 12 kota besar Indonesia, sekitar 400 ribu anak pengungsi domestik

menghapi permasalahan sosial, sekitar 10,6 juta menderita berbagai kecacatan,

sekitar 70 ribu anak dalam cengkeraman eksploitasi seksual, dan sekitar 80%

tindak kekerasan menimpa anak-anak berusia 15 tahun serta puluhan ribu siswa

terkena narkoba – nyata-nyata menggambarkan betapa upaya penguatan karakter

dan intelektualitas kaum muda Indonesia sangat jauh dari memuaskan dan

memenuhi harapan semua pihak.

Hal tersebut terjadi bukan semata-mata kesalahan dan kelemahan

pendidikan dan pendidik yang ada yang telah bekerja secara sungguh-sungguh

sekalipun dengan belum memadai. Dikatakan demikian karena ada berbagai

faktor lain yang berpengaruh terhadap berhasil tidaknya penguatan karakter dan

intelektualitas kaum muda Indonesia Indonesia. Di samping lembaga lembaga

pendidikan, pendidik dan tenaga kependidikan, dan anggaran pendidikan yang

belum efektif, tak kalah pentingnya adalah faktor gaya hidup keluarga, dan

masyarakat. Gaya hidup modern sekarang yang disokong oleh kapitalisme gaya

hidup hedonis yang senantiasa menyerbu lewat televisi, media, dan iklan telah

membuat para pelajar, bahkan manusia pada umumnya, memilih jalan pintas,

kehilangan pertahanan diri, dan kehilangan akal sehat – seolah-olah lemah sekali

karakternya. Demikian juga kebanyakan keluarga Indonesia cenderung

menyerahkan anaknya kepada lembaga pendidikan, padahal kemampuan lembaga

12 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pendidikan sangat terbatas. Partisipasi keluarga Indonesia masih tergolong rendah

dalam proses pendidikan anak-anak mereka dibandingkan dengan partisipasi

kelurga dari negara lain. Hal yang sama juga terjadi pada masyarakat. Masyarakat

juga cenderung menyerahkan segala urusan pendidikan dan menimpakan segala

kesalahan kepada lembaga-lembaga pendidikan dan para pendidik. Partisipasi dan

dukungan mereka terhadap proses pendidikan kurang optimal. Oleh karena itu,

dalam rangka mengoptimalkan dan menyukseskan upaya penguatan karakter dan

intelektualitas melalui pendidikan formal, partisipasi dan dukungan keluarga dan

masyarakat Indonesia perlu ditingkatkan dan digalang secara optimal selain

partisipasi keluarga dan masyarakat ditingkatkan dalam proses pendidikan

keluarga dan masyarakat. Untuk itu, secara sistemik dan terencana harus

menggalang partisipasi keluarga dan masyarakat Indonesia dalam pendidikan

guna membentuk dan memperkuat karakter yang kuat dan intelektualitas yang

tinggi.

PERAN BUDAYA LOKAL DALAM PENGUATAN KARAKTER DAN

INTELEKTUALITAS

Bagian akhir uraian di atas memperlihatkan bahwa penguatan karakter dan

intelektualitas melalui pendidikan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor

eksternal proses pendidikan di samping faktor internal proses pendidikan.

Berbagai faktor eksternal dan internal itu dapat disebut budaya dalam pengertian

empiris, bukan normatif. Hal ini mengimplikasikan bahwa proses penguatan

karakter sekaligus intelektualitas bukan hanya dipengaruhi atau ditentukan oleh

budaya, melainkan merupakan proses budaya. Di sinilah dapat dikatakan bahwa

penguatan karakter dan intelektualitas merupakan proses budaya di samping

ditentukan oleh budaya. Tegasnya, budaya memainkan peran sangat fundamental

dan strategis dalam penguatan karakter dan intelektualitas bangsa. Dikatakan

fundamental karena budaya akan menjadi sumber, sumbu, dan landasan

penguatan karakter dan intelektualitas kaum muda Indonesia, sedang dikatakan

strategis karena budaya harus dijadikan perspektif dan pendekatan penguatan

karakter dan intelektualitas melalui berbagai sektor kehidupan budaya.

Arah perkembangan budaya Indonesia akan menentukan arah penguatan

karakter dan intelektualitas Indonesia. Demikian juga corak dan kecenderungan

budaya di Indonesia jelaslah akan menentukan corak dan kecenderungan karakter

dan intelektualitas kaum muda Indonesia yang dibentuk. Politik atau kebijakan

budaya Indonesia juga akan menentukan proses penguatan profil karakter dan

intelektualitas kaum muda Indonesia. Ketika budaya Indonesia tidak jelas arah

perkembangannya, seperti yang sekarang terjadi atau sedang berlangsung, maka

sesungguhnya sekarang tidak jelas arah penguatan karakter dan intelektualitas

Indonesia: karakter dan intelektualitas macam apa yang kita dikehendaki untuk

eksistensi manusia dan bangsa Indonesia pada Abad Pengetahuan? Pada saat

corak dan kecenderungan perkembangan budaya Indonesia tidak jelas, tidak

terarah, dan tidak utuh seperti sekarang, maka sesungguhnya tidak jelas pula

penguatan corak dan kecenderungan karakter dan intelektualitas manusia

Indonesia yang dikehendaki bersama. Demikian juga ketika politik atau kebijakan

budaya Indonesia tidak jelas dan kurang kokoh seperti sekarang, maka

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 13

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sesungguhnya tidak jelas pula politik atau kebijakan penguatan karakter dan

intelektualitas kaum muda Indonesia. Hal tersebut menunjukkan bahwa penguatan

karakter yang kuat dan intelektualitas yang tinggi – sebagaimana kita kehendaki –

memerlukan politik atau kebijakan budaya yang jelas arah, corak, dan

kecenderungannya.

PENUTUP

Dalam Abad Pengetahuan yang demikian kompetitif sekaligus kooperatif,

dalam arti derajat kompetisi dan kooperasi sedemikian tinggi, sudah barang tentu

ketinggian intelektualitas atau kemampuan intelektual yang sangat tinggi saja

tidak cukup. Kekuatan dan ketahanan karakter juga sangat diperlukan. Abad

Pengetahuan yang sedang menjelang memang tidak membutuhkan orang-orang

yang hanya mempunyai kemampuan intelektual tinggi, tetapi juga membutuhkan

orang-orang yang mempunyai ciri karakter yang kuat, berdaya sanding hebat, dan

berdaya tahan tinggi – di samping spiritualitas dan religiositas yang mantap.

Dikatakan demikian karena dalam abad tersebut perubahan berlangsung sangat

cepat sehingga kebaruan dan keusangan cepat terjadi, pilihan-pilihan menjadi

sedemikian banyak, dan persaingan menjadi sedemikian tinggi. Kenyataan ini

dapat dikelola dan dilalui dengan baik kalau manusia memiliki karakter yang kuat

sekaligus intelektualitas yang tinggi. Pendidikan perlu cepat merespons kebutuhan

tersebut, yaitu dengan baik mempersiapkan manusia yang berkarakter kuat

sekaligus berintelektualitas tinggi. Inilah tugas penting pendidikan sekarang,

mengingat eksistensi dan posisinya yang sedemikian strategis dan vital dalam

zaman modern sekarang. Dalam melaksanakan tugas penting tersebut, budaya

berperanan sangat penting. Oleh karena itu, budaya harus ditempatkan sebagai

sumbu sekaligus landasan dalam penguatan karakter dan intelektualitas kaum

muda Indonesia Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Amir, Hazim. 1984. Nilai-nilai Etis Wayang dan Pendidikan Watak Guru.

Disertasi, tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana IKIP Malang.

Dewantara, Ki Hadjar. 1967. Pendidikan: Buku I. Jogyakarta: Majelis Luhur

Persatuan Tamansiswa dan Penerbit Tamansiswa.

Drucker, Peter. 1999. New Realities. Jakarta: Penerbit Elex Komputindo.

Kartika, Sandra dan Sapto Yunus. 2001. Kovenan Internasional Hak Ekonomi,

Sosial, dan Budaya. Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan bekerja

sama dengan The Asia Foundation.

Nucci, Larry P. dan Darcia Narvaez (Penyunting). 2008. Handbook of Moral and

Character Education. Madison Awe, New York: Routledge

Pat Duffy Hutcheon. 1999. Building Character and Culture. Wespot,

Connecticut: Praeger.

Ritchhart, Ron. 2002. Intellectual Character: What It Is,Why It Matters, and How

to Get It. San Fransisco: Jossey Bass

Stewart, Thomas A. 1997. Intelectual Capital. Terjemahan T. Hermaya. Jakarta:

Penerbit Elex Komputindo.

14 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Supriadi, Dedi. 2000. Internasionalisasi Pendidikan: Perbandingan Mutu

Pendidikan Antar-negara. Makalah disajikan dalam Kovensi Nasional

Pendidikan Indonesia di Hotel Indonesia, Jakarta, pada 19 – 22 September

2000.

Winston, Joe. 1998. Drama, Narrative and Moral Education: Exploring

Traditional Tales in the Primary Years. Washington, D.C: The Falmer Press

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 15

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

REVITALISASI NILAI DALAM CERITA RAKYAT SASAK LOQ

SESEKEQ SEBAGAI PENGUATAN POLA ASUH ANAK DAN

PENDIDIKAN KARAKTER

Ida Bagus Kade Gunayasa

Universitas Mataram

ABSTRAK

Tujuan pembahasan ini adalah merevitalisasi nilai-nilai yang ada

pada dongeng Loq Sesekeksebagai kekayaan intelektual daerah atau

masyarakat Sasak yang ada di Pulau Lombok. Pembahasan ini

mencoba mengukap fakta bahwa dalam cerita rakyat Sasak Loq

Sesekeqdapat ditemukan nilai-nilai kearifan lokal tentang

penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter, meliputi; (a)

pembentukan pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif,

(c) pribadi menghormati guru, (d) dan sikap jujur dan menepati

janji. Diketahui saat ini pola asuh anak dan pendidikan karakter

masih bercermin atau mengikuti pola yang dari luar, di daerah

tempat kita membina dan melakukan pendidikan terdapat kekayaan

intelektual yang mampu memberikan solusi dalam permasalahan

bangsa dewasa ini tentang krisis moral atau karakter, pembahasan

tentang cerita rakyat SasakLoq Sesekeq ini dapat sebagai jawaban

permasalahan yang dihadapi.

A. PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Membentuk pribadi berkarakter adalah angan-angan luhur bangsa yang

pada masa sekarang masih banyak rintangan (Nurgyantoro, 2010). Pengaruh

budaya global sebagai salah satu hal penyebab degradasi moral anak generasi

penerus bangsa kita. Suryaman (dalam Herfanda, 2008:131) menyatakan bahwa

karya sastra memiliki peluang utama dalam pembentukan dan perubahan karakter.

Melalui karya sastra dapat dipelajari berbagai nilai-nilai yang bersifat humanis

mengenai hubungan antara manusia secara horizontal dan spiritual sebagai

manusia yang beriman kepada Allah SWT secara vertikal, serta menghargai

segala yang ada dalam kehidupan sekitar kita.

Para ahli psikologi dan pendidikan berpendapat bahwa masa anak-anak

adalah masa keemasan (the golden ages). Hidayah (2009:10) menyatakan

bahwaanak usia balita sedang mengalami masa pertumbuhan yang sangat pesat.

Pertumbuhan otak dan kepala anak lebih cepat daripada pertumbuhan organ yang

lain. Dilihat dari aspek perkembangan kecerdasan balita, banyak ahli mengatakan:

(a) pada usia 0-4 tahun mencapai 50%; (b) pada usia 4-8 tahun mencapai 80%;

dan (c) pada usia 8-18 tahun mencapai 100%. Suyadi (dalam Subiyantoro,

2012:2) menjelaskan bahwa menurut para psikolog, masa kanak-kanak adalah

masa yang penuh dengan imajinasi. Anak mempunyai daya imajinasi yang lebih

beragam dari pada orang dewasa. Terlebih lagi ketika anak-anak bermain peran,

yaitu memerankan tokoh dari sebuah cerita.

16 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

menyatakan bahwa ―Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk mengembangkan potensi

peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan

menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.‖ Pembangunan

karakter sudah menjadi amanat dalam pendidikan dan menjadi kewajiban bersama

untuk mewujudkan Indonesia yang berakhlak, bermoral, dan beretika

(Soelistyarini, 2011:1).

Pada saat ini bangsa Indonesia dalam konteks perkembangan zaman

karakter anak bangsa mengalami degradasi, hubungan antar orang tua, guru dan

siswa boleh dikatakan mengalami penurunan nilai, dalam banyak kasus kita

mendapati anak menganiyaya orang tua, siswa menganiyaya guru. Kasus-kasus

penganiayan yang dialami oleh guru yang dilakukan oleh muridnya sendiri seperti

kasus Ahmat Budi Cahyono seorang guru yang tewas dianiaya oleh muridnya di

Sampang Madura, Nuryana seorang guru di Tanggerang dibacok siswanya, Dasrul

seorang guru dianiaya oleh wali murid gara-gara tidak terima anaknya ditegur

oleh gurunya tersebut, Osi wulandari seorang guru di Sumatra Selatan hidungnya

patah dianiaya oleh siswanya gara-gara tidak terima ditegur jangan duduk di atas

meja, di Banten seorang guru bernama Yoga dianiaya oleh murid bersama

kakaknya, gara-gara tidak terima rambutnya dipotong. Masih banyak kasus yang

seperti ini. Pada awal 2019 beredar video seorang murid menantang gurunya,

gara-gara di tegur merokok oleh gurunya bahkan sampai berani memegang kepala

gurunya.

Gambaran kasus antara guru dan murid bahkan wali murid memberikan

gambaran nilai-nilai tentang karakter dan pola asuh anak sudah mengalami

degradasi. Penelitian ini akan mengkaji tentang nilai-nilai yang ada dalam cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeq. cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini memiliki keunikan

tersendiri sehingga peneliti merasa tertarik untuk mengungkapnya dalam sebuah

penelitian terutama tentang penguatan pola asuh anak dan penanaman pendidikan

karakter. Nilai-nilai inilah yang menmbuat penulis ingin melakukan peneliti

tentang kearifan lokal khususnya bagaimana orang tua atau seorang ibu

menanamkan karakter pada seorang anak melaluicerita rakyat Sasak Loq Sesekeq

ini, sebagai langkah revitalisasi nilai kearifan lokal yang dimiliki oleh daerah

khususnya yang ada pada suku Sasak.

Nilai-nilai ini yang akan mengembalikan pola asuh anak dan

penanamanpendidikan karakteruntuk mencegah terjadi degradasi moral. Dan

mentrasnformasi nilai-nilai dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqini sebagai nilai

yang dimiliki oleh masyarakat Sasak sejak lama yang terlupakan saat ini. Cerita

rakyat SasakLoq Sesekeq ini merupakan dongeng yang penyebarannyasecara lisan

dan dilakukan turun memurun sebagai metode memberikan pendidikan karakter

oleh orang tua kepada anaknya. Dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini

terdapat gambaran, seorang ibu menanamkan pemahamankepada anaknya dan

mengajarkan bagaimana cara memperlakukan guru. Jika nilai-nilai yang ada

dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini diaplikasikan dalam otak anak sedikit

kemungkinan kasus-kasus di atas akan terjadi.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 17

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Perumusan Masalah

Permasalahan yang diangkat dalam pembahasan ini adalah peranan Cerita

Rakyat Sasak sebagai media dalam penguatan pola asuh anak dan pendidikan

karakter.Penguatan pola asuh anak melalui cerita rakyat Sasak ini sebagai salah

satu upaya dalam pembentukan kepribadian anak. Seiring dengan permasalahan di

atas penulis memberikan penekanan pada tujuan pembahasan yakni, dongeng

sebagai cerita rakyat dan peranannya dalam pembentukan pola asuh anak dan

pendidikan karakter. Nilai-nilai yang terkandung dalamcerita rakyat ini sangat

penting dikemukakan dan diangkat kembali dengan tujuandapat dijadikan sebagai

referensi pendidikan karakter bernuansa kearifan lokal.

3. Tujuan

Bertolak dari rumusan masalah di atas, maka secara umum pembahasan ini

dilakukan dengan tujuan untuk menggali, mempertahankan, dan mengembangkan

nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeqwarisan

leluhur masyarakat Sasak, sebagai alternatif pendidikan karakter dan pola asuh

anak dalam mengembangkan kepribadian anak bangsa, sebagai acuan dalam

pengembangan pendidikan karakter, baik melalui pendidikan formal maupun non

formal.

Secara khusus merevitalisasi nilai-nilai yang ada pada dongeng Loq

Sesekeksebagai kekayaan intelektual daerah atau masyarakat Sasak yang ada di

Pulau Lombok.Pembahasan ini mencoba mengukap fakta bahwa dalam cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeqdapat ditemukan nilai-nilai kearifan lokal tentang

penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter. Diketahui saat ini pola asuh

anak dan pendidikan karakter masih bercermin atau mengikuti pola yang dari luar,

di daerah tempat kita membina dan melakukan pendidikan terdapat kekayaan

intelektual yang mampu memberikan solusi dalam permasalahan bangsa dewasa

ini tentang krisis moral atau karakter, pembahasan tentang cerita rakyatSasakLoq

Sesekeq ini dapat sebagai jawaban permasalahan yang dihadapi.

4. Manfaat

Data dan fakta yang ditemukan melalui pembahasan ini merupakan sebuah

gagasan dalam penguatan pola asuh anak dan pendidikan karakter yang

ditanamkan melalui nilai-nilai yang ada pada cerita rakyatSasak Loq Sesekek yang

sudah terlupakan atau sedikit dimarjinalkan. Dalam perkembangan zaman dan

teknologi sekarang ini , bertambahnya pengatahuan berubahnya gaya hidup,

banyak muncul sastra baru yang tidak mengindahkan jati diri bangsa atas azas

kebebasan. Folklore dalam hal ini cerita rakyat sebagai salah satu hiburan rakyat

yang berfungsi sebagai lembaga pendidikan budi pekerti kepada anak-anak atau

tuntunan dalam hidup. Berkewajiban sebagai kalangan akademisi yang peduli

pada aspek pendidikan karakter,untuk merivitalisasi nilai-nilai dalam cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeq ini, dapat dikembangkan sebagai satu solusi dalam

penanaman dan penguatan pola asuh anak dan penguatan pendidikan karakter

bangsa.

5. Metode

Tahapan yang ditempuh dalam menganalisis data sebagai berikut :

1. Membaca dengan cermat secara keseluruhan teks cerita rakyat Sasak Loq

Sesekeq hasil transkrip dan translitrasi

18 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Menandai hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai karakter.

3. Megidentifikasi nilai-nilai yang terdapat dalam dongeng Loq Sesekeq dalam

kontek kultur dan budaya.

4. Menganalisis nilai-nilai yang terdapat dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq

dengan menggunakan teori yang telah ditetapkan sebelumnya,

5. Menarik kesimpulan.

Prosedur yang ditempuh dalam pengumpulan data ini meliputi beberapa tahapan:

1. Persiapan meliputi:

a. Penentuan pencerita

b. Perekaman penceritaan

c. Penulisan / transkripsi teks cerita

d. Penerjemahan teks cerita

2. Membaca, mendalami, dan mencatat nilai-nilai yang terkandung dalam

cerita.

3. Pengolahan data secara deskriptif kualitatif.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Tinjauan pustaka yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah uraian

tentang konsep teori yang dianggap memiliki relevansi dengan penelitian ini.

Relevansi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan perbandingan dan pertimbangan

penelitian ini, yang secara langsung terkait dengan kerangka teori, metode, dan

hasil penelitian.

1. Konsep Teori Hermeneutika

Secara etimologis Hermeneutika berasal dari kata hermeneuein, bahasa

Yunani yang berarti ‗menafsirkan‘ atau ‗menginterpretasikan‘. Secara mitologis

hermeneutika dikaitkan dengan Hermes, nama Dewa Yunani yang

menyampaikan pesan illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium pesan adalah

bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan

lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya sastra perlu ditafsirkan sebab di satu

pihak karya sastra terdiri atas bahasa, di pihak lain, di dalam bahasa sangat

banyak makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan (Ratna,

2004:45).

Fungsi utama hermeneutika sebagai metode adalah untuk memahami

agama, maka metode ini dianggap tepat untuk memahami karya sastra dengan

pertimbangan bahwa di antara karya tulis, yang paling dekat dengan agama adalah

karya sastra. Oleh karena itu, maka hermeneutika cocok untuk membaca karya

sastra karena dalam kajian sastra, apapun bentuknya, berkaitan dengan aktivitas

yakni interpretasi (penafsiran). Kegiatan apresiasi dan kritik sastra, pada awal dan

akhirnya, bersangkut-paut dengan karya sastra yang harus diinterpretasi dan

dimaknai. Semua kegiatan kajian sastra terutama dalam prosesnya pasti

melibatkan peranan konsep hermeneutika. Oleh karena itu, hermeneutika menjadi

hal yang prinsip dan tidak mungkin diabaikan (Newton, 1994:51-52). Atas dasar

itulah hermeneutika akan digunakan sebagai landasan teoritis untuk memahami

secara komprehensif cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq guna memperoleh

pemahaman yang memadai.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 19

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2.Pola Asuh Anak

Pola asuh yang benar dan kasih sayang yang luar biasa dicurahkan oleh

ibumembentuk pribadi yang baik. Sifat-sifat baik yang dimiliki memberikan

gambaran prilaku yang dihasilkan dari pendidikan karakter,

Menjaga pesan ibu, dalam cerita ini dikisahkan bagaimana dia berani

mengambil resiko dalam mempertahankan pesan ibunya untuk berbakti pada guru,

sebagai nilai yang ditanamkan dalam kisah ini, karakter itu adalah sebagai

pegangan hidup, apa pun terjadi harus dilakukansebagai bukti kuat pesan moral

yang disampaikan.

Nilai yang ada pada cerita rakyat memberikan karakter nilai sastra

tradisional. Mengetahui berbagai cerita rakyat dapat juga dipandang sebagai

memahami akar eksistensi manusia dan kemanusian serta hidup dan kehidupan

pada masa lalu yang menjadi akar kehidupan dewasa ini (Nurgiantoro, 2005:167).

Sebagai orang tua sadar kalau anak butuh seorang guru. Namun sebelum

dia menyerahkan anaknya, karakter sudah tertanam dengan penuh kasih

sayang.Nilai-nilai pola asuh anak yang sudah turun memurun bertahan sebagai

cerita rakyat yang bisa bertahan lama, pada hakikatnya suatu moral baik dalam

hubungannya dengan kebudayaan sumbernya maupun dalam hubungannya

dengan orang-seorang. Cerita rakyat bukan moral dalam arti sempit, yakni yang

sesuai dengan suatu kode atau sistem tindak-tanduk tertentu, melainkan

pengertian bahwa dia terlibat dalam kehidupan dan menampilkan tanggapan

evaluatif. Dengan demikian cerita rakyat adalah eksprimen moral (Endraswara,

2003:92).

C. PEMBAHASAN

Perlu diinformasikan bahwa ringkasan cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq

yang dijadikan sebagai objek kajian tidak dicantumkan dalam memulai

pembahasan ini karena beberapa alasan terkait efektivitas penyajian, dan

selajutnya di bawah ini secara berurutan dibahas, yakni meliputi; (a) pembentukan

pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru,

(d) sikap jujur dan menepati janji. Perhatikan uraian berikut.

1. Pembentukan Pribadi Yang Rajin

Dalam cerita ini juga dikisahkan Loq Sesekeq, anak yang rajin membantu

pekerjaan orang tua di rumah, tidak malas. Pagi hari dia sudah melakukan

pekerjaan rumah. Dalam kisah ini ingin memberikan nilai kepribadian agar tidak

malas pada anak-anak. Berikut kutipan ceritanya.

Spok jelo leq waktu genne araq subuh, manuk ngungkung tende benar.

Selapuk kemanukan tarik muni, tesambut isik sueren bang leq masjid. Loq

Sesekek tures lalo sembahyang. Selese sembahyang, Sesekeq lalo tulung

inakne nyepu meriri, ronas piring, mopoq natap dait siram tetaletan. Tetu-

tetu mule bodo, sesuai isik aranne Lok Sesekeq. Sekalipun sak ngeno,

Sesekeq sanget isine tetunah kangen isik inakne.

‗Suatu hari pada waktu subuh ayam berkokok, semua burung-burung

berbunyi disambut suara azan di masjid, Sesekeq langsung pergi salat,

20 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

setelah selasai salat ia kemudian membantu ibunya membersihkan rumah,

mecuci piring, mencuci pakaian, dan siram tanaman ‗.

Cerita ini menjelaskan bagaimana seorang anak rajin membantu orang tua

dan pembiasaan bangun pagi dan mengerjakan pekerjaan rumah, terbalik dengan

pola asuh anak sekarang bagaimana ketika kasih sayang orang tua saat ini, jika

menyangi anaknya sangat berlebihan kasih sayang di ukur dengan materi, anak

yang disayangi tidak boleh melakukan pekerjaan rumah, sehingga rasa malas anak

timbul dan tidak bisa mengurus diri sendiri.

Cerita rakyat khususnya cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan

cermin kehidupan untuk kehidupan yang bersifat pragmatis. Memahami cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeq penting sebagai pengalaman sehingga terjadi persepsi

dan pengatahuan dan kepribadian yang bersifat positif. Karakter Sesekeq yang

rajin membantu orang tua dan penurut dan sebaliknya orang tua yang

mencurahkan kasih sayang secara penuh secara tidak langsung pada saat

mendongeng kita telah membangun dan menanamkan karakter kepribaadian pada

anak.Pola asuh orang tua merupakan pola perilaku yang diterapkan pada anak dan

bersifat relatif konsisten dari waktu ke waktu. Pola perilaku ini dapat dirasakan

oleh anak, dari segi negatif maupun positif, seorang anak akan beradaptasi dengan

lingkungannya, sehingga dapat menanamkan sikap disiplin dan mandiri.

2. Pembentukan Pribadi Kreatif

Dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq ini dikisahkan bagaimana seorang

ibu mengajarkan kepada anaknya berbagai hal, walau dalam keseharian banyak

kesalahan yang dilakukan oleh anaknya dalam proses pengembangan diri si anak.

Dalam dongeng diceritakan bagaimana Sesekeq diajarkan untuk berwirausaha

dengan jual beli kemek (alat masak yang terbuat dari tanah liat) dalam kenyataan

pada langkah awal Sesekeq melakukan kesalahan, namun ibunya menyuruh ulang

melakukan dan mengajari cara membawa kemek agar tidak dilubangi seperti

kesalahan pertama yang dilakukan Sesekeq karena ketidak tahuannya. Dalam

proses mendidik anak memang butuh kesabaran sebagaimana tercermin dalam

kutifan berikut.

Sopoq jelo, inakne suruk Sesekeq lalo beli kemek ojok peken, lalo nguruk

jeri saudagar kemek, saudagar si jujur dait pecu. Sesekeq ndek neuah

tolak perintah inakne. Sambil terenyuk lalok si tesuruk beli kemek. Si

pikiranane berembe entan yak jauk kemek. Dateng leq peken, langsung ye

pileq kemek si ndek boke atau ntek. Yahne beli kemek sino, bingiung ye

Loq Sesekeq. Berembe bae ntan yak jauk kemek sino. ” Oh, eku bingung

jauk kemek sine. Bedagang doang dekke tao, epe legi jauk kemek. Oh, eku

dait akal… Mem ! ” Unin Sesekeq. Banjur boyakne telu, beterusne totos

kemek sino ntan-ntan sopoq. Suahan sino boyakne teli, beterus perentokne

kemek sino jeri sekeq, langsung teoros ojok sopok taok, Sesekeq lampaq

ndek nearak kereguan. Sesekeq pencar kemekne teapek yakne bedagang

jeri saudagar kemek. Ndek arak bae dengan mele beregak sekek-sekek.

Bahkan lueq dengan si bengak lalok gitak kemek tarik tepong. Ndek jak

arak leku kemekne, Sesekeq ulek lalo ngelapur tipak inakne. Muni inakne

” O, gamak anakku, tetu jak luek dengan dateng, tetujak luek pemborong,

laguk pasti pede bengak si gitak kemekde si selapukne tepong” Lamun

ngeno, becat de lalo malik ojok peken.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 21

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Pada suatu hari ibunya menyuruh Sesekeq pergi beli kemek ke pasar,

melatih atau mengajar untuk menjadi saudagar yang jujur dan benar,

Sesekeq tidak pernah menolak perintah ibunya, sambil ia merasa lucu

disuruh beli kemek, dalam pikiran Sesekeq bagaimana cara akan

membawa kemek. Sampailah ia di pasar lalu memilih kemek yang tidak

ada cacatnya, masih bingung bagaimana cara membawa kemek, ―saya

bingung membawa kemek ini kata Sesekeq, berdagang aja belum bisa,

apalagi bawa kemek, oh saya dapat cara‖ kata Sesekeq. Dia ambil tiga,

terus dia pukul melubangi satu persatu, kemudian ia tarik membawa

kesuatu tempat, tanpa ragu Sesekeq menggelar dagangannya menjadi

saudagar kemek. Tidak ada yang menawar dagangannya satupun, bahkan

banyak orang yang heran melihat kemek yang semuanya bolong. Tidak

ada yang laku kemeknya Sesekeq pulang memberi tahu ibunya ― oh

anakku memang banyak orang datang, banyak pembeli, tapi pasti mereka

bingung melihat kemek kamu semuanya rusak‖ kalau begitu cepatan ke

pasar lagi‘.

Dalam kutipan cerita tersebut tokoh seorang ibu bagaimana memberikan

pendidikan karakter menjadi saudagar yang jujur dan benar. Walaupun sang anak

melakukan kesalahan karena ketidaktahuan anak tersebut bagaimana cara

membawa dan berjualan kemek di pasar. Setelah anak melakukan kesalahan

seorang ibu tidak memarahi akan tetapi menjelaskan bagaimana seharusnya

membawa dan menjual kemek. Cerita ini dapat memberikan wawasan kepada

orang tua dan anak bagaimanaa pola asuh yang baik untuk perkembangan anak

dengan menciptakan suasana yang mendukung dengan memberikan kasih sayang,

cinta dan kehangatan, dapat mengembangkan sel-sel syaraf dan kecerdasan

emosional.

Tokoh ibu di dalam cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan tokoh ibu

yang mengajarkan berbagai macam nilai karakter yang baik sebagai

pengembangan pribadi anak yang kreatif dan berjiwa wirausaha dengan

mengajarkan anaknya berjualan di pasar.

3. Pribadi Menghormati Guru

Maraknya peristiwa negatif yang terjadi beberapa tahun belakangan ini

apabila tidak ada rasa hormat, jika kita mengabaikan siapapun atau apapun pasti

ada yang terluka dan dampaknya cukup besar, salah satunya menghormati guru.

Di dalam buku living Values,a Guide Book (1995) dijelaskan bahwa respek itu

dimulai dari dalam individu. Keadaan hormat awalnya didasarkan pada kesadaran

diri sebagai suatu kesatuan yang unik, kekuatan yang hidup di dalam diri, sesuatu

yang spiritual.

Tokoh Sesekeq adalah sosok yang sangat menghormati guru, rasa hormat

dia pada guru tidak terlepas bagaimana pola asuh yang diceritakan dalam cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeq ini yang melibatkan nasihat ibunya. Sebelum Sesekeq

menuntut ilmu pada seorang guru, ibunya menitipkan pesan, Sesekek harus

mengikuti gurunya kemana saja, kata ini mengandung makna apapun yang akan

diperintahkan gurunya dan kemana arah gurunya harus ia ikuti dan taati.

Cerita rakyat khususnya cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan

media pembelajaran yang dapat digunakan secara reseptif, untuk penerimaan

nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Perhatikan kutipan berikut.

22 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Oh, gamak anakku, lamun ngene lalok si bodo belokde jak mae bae

kuserah ojok guru ngeji unin inakne lek sopok malem. Inakne bepesen,

endak bae mele bekelin kence guru. Lamun mangan harus tetep bareng-

bareng. Malem si sanget telihne, ye taokne lalo teatong ojok guru ngeji.

Teserah ngeji sangne beu arak pengetaone, erak adekne beu jeri kanak si

terrpuji. Sekeno harepan inakne.

‗ wahai anakku, kalau begini ketidaktahuan kamu, saya akan serahkan

ngaji kepada guru ngaji kata ibunya di suatu malam, ibunya berpesan,

jangan sekali-kali kamu bepisah dengan gurumu. Kalau ia makan harus

tetap bersama.Di dinginnya malam diantarlah anaknya ke guru ngaji.

Diserahkan ngaji supaya ada pengetahuan, nanti agar menjadi anak yang

terpuji, itu harapan ibunya‘.

Tokoh ibu menekankan rasa hormat kepada guru sangat penting, pesan

sebelum Sesekeq diserahkan untuk menuntut ilmu, ibunya berpesan agar selalu

mengikuti gurunya. Pesan yang disampaikan sangat penting sebagai orang tua

bagaimana mengajarkan posisi murid dan guru, sampai sampai dalam cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeq harus terus mengikuti gurunya. Nilai-nilai seperti ini

harus ditanamkan kepada anak agar menghormati guru.

Diceritakan setelah diserahkan mengaji sesekeq sangat taat kepad gurunya,

apapun yang dilakukan gurunya ia ikuti. Seperti kutipan cerita.

Mbe jak lein gurunye ye milu doang jeri bentek sandel. Make ye tetunah

isik gurune. Tetunah endah sik selapuk baturne.

‗ Kemana gurunya pergi Sesekeq selalu ikut, walaupun hanya

membawakan sandal gurunya. Makanya ia di sayang oleh gurunya dan

semua teman-temannya‘.

Tokoh Sesekeq memiliki rasa hormat pada gurunya. Hal ini prilaku yang

baik bagi murid kepada gurunya. Jika ingin timbul kasih sayang maka rasa hormat

harus dilakukan, tidak sebaliknya akan mengakibatkan pada kejadian tidak

menghargai dan menghormati sesesma. Cerita rakyat sebagai media komunikasi

yang menyampaikan pesan-pesan moral secara tidak langsung akan meniru tokoh

yang diceritakan pada pendengar dan pembacanya.

4. Sikap Jujur dan Menepati Janji

Kejujuran adalah modal utama, reputasi bisa dibuat dalam sekejap tapi

karakter dibangun dalam seumur hidup. Setiap kejadian dari hidup dan setiap

proses dalam hidup, membangun karakter seseorang. Jika menambahkan lapisan

kejujuran untuk itu, orang akan menganggap sebagai orang yang memiliki nilai-

nilai yang tinggi. Karena kejujuran adalah yang terbaik dari semua kebajikan.

Tokoh Sesekeq dalam dongeng ini memiliki prilaku yang jujur dan menepati janji.

Betaun bebalit Sesekeq si nuntut ilmu leq gurune, laguk ndekne inik tao.

Huruf sepeleng dekne inik dait. Laguk ye tetep tekun dekne inik putus asa.

Timakne teparan bodo isik baturne tetep ye tenang. Sesekek kanak jujur,

timakne bodo. Lamun uah bejenji pastine tepatin. Dekne girang berugung

endah. Lamune ngeraos ndekne girang berugung. Epejak unine ye uah

dalem atene.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 23

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Beberapa tahun Sesekeq menuntut ilmu kepada gurunya, namun dia tetap

tidak bisa, meskipun satu hurup. Biarpun begitu dia tetap tekun dan tidak

putus asa. Temannya mengira dia bodoh dia tetap tenang, Sesekeq anak

jujur kalau berjanji pasti ditepati tidak pernah berbohong kalau dia berkata

pasti benar apa yang ada di dalam hatinya‘.

Kutipan di atas mengajarkan bahwa siapapun yang mendambakan dapat

meraih kehidupan yang lebih baik dan sukses maka nilai-nilai kebaikan yang

tercermin dalam kutipan di atas yakni ketekunan, keuletan, kedisiplinan,

keteguhan hati, kejujuran menjadi suatu hal yang sangat prinsip dan harus

dipegang teguh.

C. SIMPULAN

Cerita rakyat Sasak Loq Sesekeq merupakan kearifan lokal yang dimiliki

oleh masyarakat Sasak yang telah turun-menurun disebarkan secara lisan.Cerita

rakyat Sasak Loq Sesekeqini sebenarnya memiliki tujuan yang jelas, yakni oleh

masyarakat digunakan sebagai media pengembangan pendidikan karakter secara

tradisional. Hasil pembahasan ini menunjukkan bahwa dalam cerita rakyat Sasak

Loq Sesekeq ini terkandung nilai-nilai budaya terutama yang berhubungan

dengan pola asuh anak dan pendidikan karakter, yakni meliputi; (a) pembentukan

pribadi yang rajin, (b) pembentukan pribadi kreatif, (c) pribadi menghormati guru,

(d) dan sikap jujur dan menepati janji. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian

yang lebih lanjut terhadap cerita rakyat yang lainnya, karena cerita-cerita

tersebutmerupakan kekayaan lokal yang perlu direvitalisasi nilai-nilai kebaikan

yang terkandung di dalamnya sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam

dunia pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Epistemologi Model

Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama.

Herfanda, A.Y. 2008. ―Sastra sebagai Agen Perubahan Budaya‖ dalam Bahasa

dan Budaya dalam Berbagai Perspektif, Anwar Effendi, ed. FBS UNY dan

Tiara Wacana: Yogyakarta.

Hidayah, Rifa. 2015. Psikologi Pengasuhan Anak. Press Malang: UIN Miliki

Howard, Roy J., 2001. Pengantar Atas Teori-teori Pemahaman kontemporer:

Hermeneutika; Wacana Analitis, Psikososial, & Ontologis. Yayasan

Adikarya IKAPIdan The Pord Foundation:Bandung.

Hutomo, Suripan Sadi, 1991. Mutiara Yang Terlupakan: Pengantar Studi Sastra

Lisan. HISKI:Komisariat Jawa Timur.

Kurniawan, Heru. 2009. Sastra Anak: Dalam Kajian Strukturalisme, Sosiologi,

Semiotika, hingga Penulisan Kreatif. Yogyakarta: Graha Ilmu.

24 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Nasir, Moh. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta

Newton, K.M., 1994. Menafsirkan Teks: Pengantar Kritis mengenai Teori dan

Praktek Menafsirkan Sastra. (penerjemah Dr. Soelistia, ML). Harvester

Wheatsheaf: New York London Toronto Sydney Tokyo Singapore.

Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Propp, V. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Terjemahan. Noriah Taslim. Kuala

Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia.

Ratna, Nyoman Kuta, 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra: dari

Strukturalisme Hingga Postrukturalime Perspektif Wacana Naratif.

Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Sarumpaet. Toha, Riris K. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak. Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Soelistyarini,Titien Diah. 2011. Cerita Anak dan Pembentukan Karakter,

http://www.academia.edu/7304333/diakses 15 januari 2018

Subiyantoro, 2012. Membangun Karakter Bangsa Melalui Cerita Rakyat

Nusantara (Model Pendidikan Karakter untuk Anak MI Awal Berbasis

Cerita Rakyat dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan Islam),

http:/digilib.uin-suka.ac.id/15935/,14 Januari 2019

Laman.

www.masbagikfestival.site

https://www.researchgate.net/publication/327663899

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 25

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

RITUAL AIR DALAM SIKLUS PURNAMA KAPAT PADA KAWASAN

CAGAR BUDAYA BATUKARU DI BALI : KEARIFAN KONSERVASI

LINGKUNGAN SEBAGAI IDENTITAS DAN KARAKTER

MASYARAKAT BALI

I Nyoman Wardi

Program Studi Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Karya tulis ini bertujuan mengungkap pengetahuan lokal

masyarakat Bali (etnosains) terkait dengan kearifan lingkungan

yang secara implisit terekspresi dalam ritual air (mendak toya)

dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya Batukaru-

Tabanan. Hal ini dipandang penting dalam upaya mewujudkan

pembangunan character-building (kepribadian) dan dalam

memitigasi krisis ekologi (krisis air).Untuk mencapai tujuan

tersebut dilakukan pengumpulan data dengan teknik observasi,

wawancara mendalam dan studi dokumen. Data yang terkumpul

dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan

pendekatan teori Deep Ecology.

Hasil studi menunjukkan bahwa ritual air dalam siklus purnama

kapat di kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru yang kini

berkedudukan sebagai kahyangan jagat Bali dan world heritage

merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat

agraris (subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan

dipraktikan oleh masyarakat tradisional bersama pemerintah di

Kabupaten Tabanan-Bali. Ritual tersebut sarat dengan kandungan

kearifan konservasi lingkungan, khususnya dalam konteks

manajemen air yang mempunyai hubungan interdependensi

dengan keberadaan gunung, hutan, danau dan sungai. Kini

kearifan budaya/kearifan lingkungan menghadapi tantangan yang

cukup berat di era pembangunan Modern yang mengglobal yang

di Bali mewujud dalam industri pariwisata.

Kata kunci : ritual air, purnama kapat, cagar budaya Batukaru,

kearifan lingkungan

1. Pendahuluan

Kebudayaan masyarakat Bali dikenal memiliki akar sejarah budaya

Austronesia yang cukup ―dalam‖ dan diperkaya oleh Budaya Hindu (Agama

Hindu dan Budha dari India), budaya suku bangsa China dan budaya dari etnis-

etnis Asia Tenggara. Di era modern/era kolonial (abad XX M) budaya masyarakat

26 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bali (Hindu) juga bersentuhan dengan budaya Eropa yang kemudian ikut

mewarnai karakteristik keanekaragaman wujud dan nilai budayanya.

Dalam perjalan waktu yang sangat panjang dan perubahan ruang yang

sangat dinamis, tampaknya terlalu sedikit yang dapat disaksikan dan diwarisi

dari hasil karya budaya para leluhur dari masa silam, baik warisan budaya yang

tangible (budaya material) maupun intangible (budaya immaterial). Di dalam

warisan budaya yang bersifat tangible maupun intangible terkandung berbagai

kearifan budaya, kearifan sosial dan kearifan lingkungan. Kearifan lingkungan di

Bali cukup banyak tertuang dalam oral tradition seperti cerita mitos, ritual

maupun dalam artefak/ekofak, monument, tata ruang, dan wujud lainnya.

Kearifan lingkungan merupakan salah satu bentuk pengetahuan lokal (local

knowledge) baik yang terkait dengan lingkungan alam biotik (flora dan fauna),

unsur lingkungan geofisik (tanah, air, iklim), maupun yang terkait pandangan

masyarakat terhadap alam kosmis (cosmic world view). Pengetahuan lokal pada

umumnya didasarkan atas pengalaman tradisional, maupun pengalaman praktis

dan inovasi yang diwujudkan dalam cara atau gaya lokal (local style).

Karakteristik sistem pengetahuan lokal, di antaranya yaitu terintegrasi dalam

kebudayaan dan dengan sistem kepercayaan masyarakat setempat (Manoharan,

Dhusenti, et.al., 2009 : 6 ). Di antara kearifan lingkungan tersebut secara implisit

tertuang dalam ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya

Pura Batukaru- Tabanan.

Kini di era global, pengaruh Modernisme melalui industri pariwisata di Bali

membawa perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam kehidupan sosial,

budaya, ekonomi, dan lingkungan alamnya. Pada satu sisi pariwisata untuk

sementara dipandang membawa dampak positif pada pada bidang ekonomi, tetapi

pada sisi lain mulai muncul kekhawatiran, khususnya terkait dengan nilai-nilai

budaya yang luhur dan mengandung kearifan sosial budaya dan lingkungan.

Kebijakan pembangunan yang hanya berorientasi pada pembangunan fisik dan

ekonomi semata, cenderung dan berpotensi melunturkan nilai-nilai budaya luhur

yang mengandung kearifan budaya dan lingkungan. Hal ini juga memicu

terjadinya kiris ekologis, khususnya krisis sumberdaya air bersih yang kini

terjadi di berbagai belahan dunia, termasuk juga di Indonesia dan Bali khususnya.

Studi yang dilakukan oleh ― Club of Rome‖ dalam bukunya yang berjudul

The Limit to Growth (1972) menunjukkan, bahwa dalam sistem global terdapat 5

variable pokok yang saling mempengaruhi, yang dalam waktu panjang sangat

mengkhawatirkan keberadaan umat manusia di planet bumi. Kelima varibel

tersebut, yaitu: (1) penduduk, (2) persediaan pangan, (3) sumber kekayaan alam,

(4) produksi industri, dan (5) pecemaran lingkungan (pollution)

(Djojohadikusumo, 1981: 71 -73).

Karya tulis ini dimaksudkan untuk mengungkap pengetahuan lokal

masyarakat (etnosains) terkait dengan kearifan lingkungan yang secara implisit

terekspresi dalam ritual air dalam siklus purnama kapat di kawasan Cagar Budaya

Batukaru-Tabanan. Hal ini dipandang penting dalam upaya mewujudkan

pembangunan character-building (kepribadian), sosial budaya, ekologi, dan

pariwisata budaya dalam konteks pembangunan berkelanjutan (sustainable

development).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 27

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Metodologi

Penulisan karya ilmiah ini dilakukan melalui riset. Untuk mencapai tujuan

penelitian dilakukan langkah-langkah pengumpulan data dengan teknik observasi

partisipatif, wawancara mendalam (indept interview) dan studi dokumen. Data

yang terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan

pendekatan teori Deep Ecology dari Arne Naess (Keraf, 2002: 79-80).

3. Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat dan Makna Kearifan Lingkungan

Kawasan Cagar Budaya Batukaru

3.1 Aspek Historis Cagar Budaya Pura Batukaru

Dalam UU No.11 Th 2010 tentang Cagar Budaya (Kemenbudpar, 2010),

dinyatakan bahwa Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan

berupa benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs

cagar budaya, dan kawasan cagar budaya di darat dan/atau di air yang perlu

dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu

pengetahuan, pendidikan, agama, dan /atau kebudayaan melalui proses penetapan.

Pada Pasal 5 disebutkan, bahwa kriteria Cagar Budaya meliputi : a) Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih;

b) Mewakili masa gaya paling singkat 50 (lima puluh) tahun;

c) Memiliki arti khusus bagi: sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama,

dan/atau kebudayaan; dan

d) Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa;

Sementara itu, pada Pasal 10 dinyatakan, bahwa satuan ruang geografis dapat

ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya apabila: a. Mengandung dua situs cagar budaya atau lebih yang letaknya berdekatan

b. Berupa landskap budaya hasil bentukan manusia berusia paling sedikit 50 tahun;

c. Memiliki pola yang memperhatikan fungsi ruang pada masa lalu , berusia paling

sedikit 50 tahun;

d. Memperhatikan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang

berskala luas;

e. Memperlihatkan bukti pembentukan lanskap budaya; dan

f. Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau

endapan fosil;

Warisan budaya Pura Batukaru telah ditetapkan sebagai Cagar Budaya

dengan kawasannya sebagai bagian dari World Cultural Landscape of Bali

Province. Keberadaan Pura Luhur Batukaru yang terletak di kaki Selatan Gunung

Batukaru (833 m .dpl) merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Kahyangan

Pucak Kedaton Batukaru yang terletak di puncak Gunung Batukaru (ketinggian

2.275 m dpl) yang merupakan puncak daerah Kabupaten Tabanan.

Keberadaan Kahyangan Pucak Kedaton dan Pura Batukaru, terungkap dalam

mitos yang mengisahkan tentang pasangan dua tokoh dewa dan dewi yang

berstatus sebagai suami-istri (alaki-rabi/raja dan ratu) dan sebagai penguasa

sebuah kerajaan kosmis (kedatuan/kedaton atau keraton). Sang Raja Kosmis

berstana di puncak gunung dan Sang Dewi berstana di kaki Selatan Gunung (Pura

Penataran Batukaru). Hingga dewasa ini, di puncak Gunung Batukaru (ketinggian

2.275 m dpl), terdapat sebuah palinggih bebaturan (tahta batu) yang berudak

(berteras) dua, dan di atasnya berdiri sebuah menhir yang terbuat dari batu alam

28 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sebagai media pemujaan Bhatara Pucak Kedaton-Batukaru atau juga disebut

Sang Hyang Tumuwuh. Sementara itu, palinggih untuk pemujaan Bhatari (permaisuri Bhatara Pucak

Kedaton) yang ada di Pura Penataran Batukaru tidak diketahui secara jelas. Diperkirakan,

palinggih candi induk yang tinggi dan ramping (pengaruh budaya Jawa Timur) dengan

struktur atap tumpang tujuh yang ada di halaman jeroan menjadi palinggih utama dan

menjadi pusat media pemujaan dalam ritual yang sering dilakukan oleh masyarakat

pangempon, subak, dan penyungsung pura Batukaru di Tabanan (Bali) menjadi stana

beliau (Bhatari Sakti Batukaru).

Kesejarahan Pura Batukaru juga disebutkan dalam lontar Usana Bali, yaitu Mpu

Kuturan (XI M) yang juga bergelar Mpu Rajahretha membangun parhyangan (angawe

parhyangan) atau pura di Bali. Di antaranya ada disebutkan Bhatara ring Batukaru… .

(Lontar Penyusun, dan Tim Penyusun Pura Luhur Batukaru, 1994: 35).

Selain itu, keberadaan Pura Batukaru atau Kahyangan Puncak Kedaton di Puncak

Gunung Batukaru juga ada diuraikan dalam sebuah lontar yang berjudul Tatwa Purana

Hyang Ning Wukir yang berasal dari Geriya Madhu. Di dalam lontar tersebut juga ada

disebutkan nama Hyang Ning Wukir (Sang Hyang Giri Putri) yang berstana di Pura

Pucak Kedaton (Pura Batukaru) (Mandia, 2008).

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda di Bali (th 1918), Nieuwenkamps

tampaknya pernah melakukan kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Demikian pula,

seorang ahli Filologi Belanda, yaitu Hoykaas belakangan juga pernah melakukan

kunjungan ke Pura Luhur Batukaru. Beliau menyatakan, bahwa warisan budaya Pura

Luhur Batukaru yang terletak di lereng selatan Gunung Batukaru merupakan puncak

daerah Kabupaten Tabanan. Berdasarkan keberadaan ekofak batu berdiri tegak (menhir)

yang jumlahnya cukup banyak ditemukannya pada bangunan palinggih, situs ini juga

disebut kompleks lingga kuno (archaic “lingga sanctuary”) dan diasumsikan, bahwa

tempat suci atau Pura Batukaru terkait dengan kompleks pemujaan arwah leluhur

(ancestral sanctuary) (Kempers,1977 : 180).

Berdasarkan cerita mitos yang bersifat oral tradition dan yang tertuang secara vebal

tertulis dalam lontar tersebut, maka dapat diintepretasikan bahwa Sang Hyang Tumuwuh

yang berstana di puncak Gunung Batukaru merupakan dewa alam yang dikaitkan dengan

pemujaan Dewa Gunung. Kepercayaan terhadap gunung sebagai tempat suci atau stana

arwah leluhur sudah dikenal pada masa prasejarah, khususnya zaman Megalithik.

Pemujaan Dewa Gunung ( Sang Hyang Tumuwuh) yang berstana di Pucak Kedaton di

Puncak Gunung Batukaru dapat dipandang sebagai sistem religi masyarakat asli lokal (

authochtonic) dan dipandang sebagai Dewa Tertinggi. Sebagai Dewa Tertinggi, Sang

Hyang Tumuwuh yang berstana di Pucak Kedaton mempunyai hubungan kosmis magis

dengan Danau Tamblingan, Jajar Kemiri Catur Angga Pura Batukaru (Pura Muncaksari,

Tambawaras, Pucak Petali dan Pura Besi Kalung) dan warisan budaya lain di sekitarnya.

Dapat diinterpretasikan, bahwa pada awalnya ( Zaman Megalithik) cagar budaya

Pura Batukatu merupakan tempat pemujaan orang-orang Bali Aga yang dipimpin oleh

seorang Kubayan. Pada zaman Bali Kuno, sejalan dengan menguatnya pengaruh Agama

Hindu di Bali dengan pusat kerajaannya di Pejeng-Bedahulu (Gianyar), warisan budaya

Pura Batukaru kemudian ditetapkan sebagai salah satu kahyangan jagat dalam struktur

kosmologis Nawa Sanggha Jagat Bali, dan dipandang sebagai representasi dewa kosmis

arah Barat dengan Dewa Mahadewa sebagai penguasanya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 29

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Cagar budaya Pura Batukaru kini memiliki multi status dan fungsi, yaitu sebagai:

(1) pura genealogis (pemujaan karihinan/leluhur Kubayan, raja/cokorda Tabanan,

Badung dan Panjisakti/Buleleng), (2) pura Ulun Subak /Ulun Swi, (3) Kahyangan Jagat

(Pura Gunung) Kerajaan Tabanan, dan (4) Kahyangan Jagat (Sad Kahyangan) Bali.

Kini Kahyangan Pucak Kedaton diempon oleh dua Desa Adat, yaitu Desa Adat

Piling-Kecamatan Penebel dan Desa Adat Sanda-Batungsel (Kecamatan Pupuan-

Kabupaten Tabanan). Semenmtara itu, Cagar Budaya Pura Batukaru yang terletak di

selatan kaki Gunung Batukaru diempon oleh 8 Desa Adat. Ke delapan Desa Adat selaku

Panjak Pekandelan Ida Bhatara Batukaru tersebut, yaitu : Desa Wongaye Gde; Desa

Adat Tengkudak; Desa Adat Kloncing; Desa Adat Batu Kambing; Desa Adat Bengkel;

Desa Adat Penganggahan; Desa Adat Amplas, dan Desa Adat Sandan).

Sejak 29 Juni 2012 , Cagar Budaya Pura Luhur Batukaru dengan jajar kemiri catur

angganya (Pura Muncaksari,Tambawaras, Pucak Petali,dan Pura Besi Kalung) statusnya

telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai salah satu bagian dari World Cultural Landscape

of Bali Province. Penetapan status sebagai salah satu world cultural landscape secara

tidak langsung berpengaruh signifikan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan ke

situs-situs tersebut dan menjadi tantangan dalam pengelolaannya untuk

mempertahankan status tersebut (Wardi, 2018: 30-34).

3.2 Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat dan Makna Kearifan Konservasi

Lingkungan Pada Kawasan Cagar Budaya Batukaru

3.2.1 Ritual Air Dalam Siklus Purnama Kapat Pada Kawasan Cagar Budaya

Batukaru

Ritual Air yang disebut upacara mendak toya dilakukan oleh Lembaga

Subak bersama pemerintah daerah di Kabupaten Tabanan Bali dalam Siklus

Purnama Kapat (setiap hari Purnama bulan Oktober). Bagi masyarakat Hindu di

Bali, purnama kapat merupakan hari yang sangat spesial (khusus) dan dipandang

sangat sakral. Kata mendak toya terdiri atas dua patah kata, yaitu mendak yang

lengkapnya dari kata mamendak yang berarti menyambut, dan toya (Bahasa Bali)

artinya air. Dengan demikian secara harfiah kata mendak toya berarti menyambut

kedatangan air. Air yang dimaksudkan dalam konteks ritual ini adalah air yang

turun dari langit (air hujan). Air tersebut dipandang sebagai air yang sakral

sebagai berkah dari Dewa Langit. Air Sakral berkah dari Dewa lazim disebut

tirtha. Permohonan berkah air dari para dewa dimaksudkan untuk menjamin

kelancaran dan keberhasilan aktivitas pertanian (air irigasi) dalam budidaya padi

bagi krama subak (para petani) di Tabanan khususnya, bagi warga desa dan

masyarakat Bali pada umumnya.

Ritual air oleh Lembaga Subak (Subak Sabhantara-Tabanan) di kawasan

Cagar Budaya Batukaru dilakukan setiap tahun dalam siklus segitiga Purnama

Kapat, dengan pusat ritual yang berpindah-pindah secara sirkuler, yaitu:

1) Purnama Kapat I, ritual dipusatkan di Pucak Kedaton Batukaru yang ada

di puncak Gunung Batukaru. Ritual diwali dengan persembahyangan oleh

krama subak dan staf Dispenda Sedahan Agung Pemda Tabanan di

bangunan suci candi utama di halaman jeroan Pura Batukaru. Kemudian

dilanjutkan dengan pendakian spiritual menuju puncak Gunung Batukaru,

30 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dan ritual kurban (pakelem) dan persembahan yang sangat khidmat

dilakukan pukul 12 malam di puncak gunung.

2) Purnama Kapat II, ritual dipusatkan di hulu Sungai (Tukad) Mawa, yaitu

terletak di kaki gunung yang ada di sebelah Barat Pura Batukaru; dan

3) Purnama Kapat III, ritual terakhir dari rangkaian siklus ritual air dengan

upacara terbesar (kurban sepasang kerbau bertanduk emas), dan sebagai

puncak ritual dari siklus tahunan Purnama Kapat (dalam hitungan tiga

tahun) dilakukan di Danau Tamblingan (Pura Gubug-Ulun Danu

Tamblingan) yang terletak di Desa Munduk-Gobleg Kecamatan Banjar

Kabupaten Buleleng.

Ritual air (mendak toya) tersebut selalui diawali dengan upacara persembahan

dan atur-piuning (pemberitahuan secara niskala) pada Dewa yang berstana di

palinggih candi utama yang ada di halaman jeroan Pura Batukaru. Ritual air atau

upacara mendak toya tersebut selalu disertai dengan upacara kurban binatang

(mulang pakelem). Demikian ritual air itu dilakukan secara sirkulir dalam siklus

purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Pura Batukaru. Untuk tiga tahun

siklus berikutnya, ritual juga dilakukan dengan cara, tahapan dan tempat yang

sama, yaitu dengan mengambil pusat lokasi ritual yang berpindah-pindah, yaitu

Pucak Kedaton (Puncak Gunung Batukaru)- Hulu DAS Mawa dan Danau

Tamblingan.

3.2.2 Makna Kearifan Konservasi Lingkungan Sebagai Identitas dan

Karakter Masyarakat Bali

Kearifan lingkungan (kearifan tradisional/kearifan lokal) adalah

pengetahuan kebudayaan yang dimiliki kelompok masyarakat tertentu, mencakup

model-model pengelolaan sumberdaya alam melalui pemanfaatan yang bijaksana

dan bertanggung jawab (Zakaria,1994 dalam Kartodiharjo, H. dan Jhamtani,

H.,(ed.), 2006: 175). Kearifan lokal (kearifan lingkungan /kearifan tradisional)

adalah sebuah sistem yang mengintegrasikan pengetahuan, budaya dan

kelembagaan serta praktik mengelola sumberdaya alam secara berkelanjutan.

Ritual air oleh Lembaga Subak (Subak Sabhantara-Tabanan) di kawasan

Cagar Budaya Batukaru yang dilakukan setiap tahun dalam siklus segitiga

Purnama Kapat tersebut dapat dipandang sebagai etnosains yang mengandung

kearifan lingkungan. Walaupun tempatnya, jenis sarana, dan kelengkapan

ritualnya berbeda-beda, namun pada intinya ritual tersebut dimaksudkan untuk

memohon berkah air hujan dari para dewa untuk kelancaran dan kerberhasilan

dalam aktivitas pertanian bagi para petani (krama Subak) dan masyarakat Desa di

Tabanan dan masyarakat Bali pada umumnya. Pada sisi lain, lokasi pusat ritual

yang berbeda-beda tersebut secara konotatif dapat dimaknai dalam konteks

konservasi lingkungan alam, khususnya konservasi gunung-hutan

(wanādri/wana-wukir), sungai (DAS), dan danau. Hubungan ketiga segmen unsur

lingkungan alam tersebut (wanādri – sungai – danau) bersifat holistic integrated

dan keberadaannya saling mempengaruhi (interdependensi) satu dengan yang

lainnya.

Secara implisit ritual air yang dipusatkan di puncak gunung, dapat dimaknai

bagaimana masyarakat bersama pemerintah harus menjaga, merawat dan

melestarikan gunung dan hutan yang ada di sekitarnya (wanādri /wana-wukir),

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 31

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

karena gunung-hutan mempunyai fungsi yang sangat penting untuk menjaga

keseimbangan ekosistem alam, khususnya ekosistem air di bhumi.

Seperti diilustrasikan dalam lontar Usana Bali, khususnya dalam konteks

catur lokapala, gunung dipandang sebagai penjaga kestabilan jagat (ekosistem

alam) Bali. Dalam teks lontar Usana Bali ini, nama Batukaru muncul sebagai

nama dewa yang berstana di Gunung Bharatan. Dalam frase bait 4a teks lontar

Usana Bali di antaranya disebutkan:

―Kunang malih iti katuturaning Usana Bali, nga. Cinarita tingkahing bhumi

Bali, hana gunung catur lokapala, nghing tingkah ing among ika amarah pat,

lwire: maring purwwa gunung lempuyang, nga. Pangastanan Ida Bhatara

Gnijaya. Maring pascima , Gunung Bharatan, nga. pangastanan Ida Bhatara

Batukaru. Maring Uttara, Gunung Mangu nga. Pangastananira Hyang Danawa.

Maring Daksina, Gunung Andhakasa, nga. Pangastanan Ida Bhatara Hyanging

Tugu…‖. (Warna , dkk.: 1986: 3).

Artinya :

‗Demikian selanjutnya diceritakan dalam Usana Bali namanya. Dikisahkan

keadaan di Pulau (Jagat) Bali, ada gunung Catur Lokapala ( Empat Gunung

Penjaga Kestabilan Alam/Jagat Bali), keadaan gunung penjaga itu berada pada

empat bagian wilayah (Nyatur Desa), yaitu : wilayah di sebelah Timur bernama

Gunung Lempuyang sebagai stana Ida Bhatara Gnijaya. Di Barat bernama

Gunung Bharatan sebagai stana Ida Bhatara Batukaru. Di Utara bernama Gunung

Mangu (sekarang Gunung Pucak Mangu) sebagai stana Hyang Danawa. Di

wilayah bagian Selatan bernama Gunung Andhakasa sebagai stana Ida Bhatara

Hyanging Tugu…‘.

Secara ekologi budaya, bagi suku bangsa selaku pendukung budaya

Austronesia (termasuk etnis Bali), gunung merupakan permukaan bumi yang

tertinggi yang dekat dengan langit (alam dewa) dipandang sakral dan sebagai

stana para dewa, arwah nenek moyang (arwah leluhur) dan mahkluk suci lainnya.

Gunung menjadi pusat kosmis di bhumi dan berfungsi sebagai axis mundi yang

menghubungkan alam dewa (alam atas) dengan alam manusia (alam tengah) dan

alam para bhuta (alam bawah) melalui ritual yang bersifat religious-magis.

Secara fisik biologis, gunung berfungsi untuk menahap uap air dalam siklus

hidrologis makro. Kemudian uap air mengalami kondensasi (dingin) dan akhirnya

jatuh menjadi rintik-rintik air dari langit/hujan (presitipasi). Hutan di sekitar

gunung dengan keanekaragaman vegetasi dan sebagai habitat berbagai fauna,

diibaratkan sebagai paru-paru dunia yang menyerap polusi udara (CO2, dan jenis

polutan lain) yang dihasilkan dari aktivitas manusia. Dalam sistem respirasi, hutan

(pohon) menyerap CO2 (Karbondioksida) dan menghasilkan O (Oksigen) untuk

kelangsungan hidup manusia dan makhluk lainnya. Jasa keberadaan pohon

(hutan) yang utuh dan lestari juga berkontribusi untuk menciptakan iklim

mikro/makro yang sejuk dan mencegah terjadinya erosi dan bencana longsor. -

Hutan menyimpan air pada akar di dalam tanah, batang, dan daun yang kemudian

dialirkan secara gradual ke hilir melalui jaringan mata air (yeh klebutan), danau,

dan badan sungai atau Daerah Aliran Sungai (DAS). Dalam sistem kepercayaan

masyarakat Bali, keberadaan gunung dan hutan sering dipandang sebagai hulu

atau sumber amertasari.

32 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Ritual air yang dipusatkan di hulu sungai (Tukad Mawa) dapat dimaknai,

bahwa sungai yang sering diibaratkan sebagai urat nadi dalam kehidupan suatu

makhluk hidup (manusia) mempunyai fungsi penting dalam mengalirkan air

(darah) kehidupan untuk manusia dan makhluk lain. Badan air atau Sungai yang

juga diibaratkan sosok seekor ular Naga Basuki yang kepalanya di gunung dan

ekornya di laut, juga berfungsi sakral yang menghubungkan kawasan zone hulu

(bukit/gunung), zona tengah (dataran), dan hilir (teben) atau kawasan pesisir dan

laut (samudera). Demikian penting dan besarnya jasa sungai (tukad) untuk

mengalirkan air demi kehidupan manusia dan makhluk lain, karena itu secara

imperatif sungai mesti dirawat dan dijaga kelestariannya.

Dengan demikian, ritual air di hulu sungai dapat dimaknai, bahwa volume

aliran dan kemurnian (kebersihan) air yang mengalir dan keutuhan dan

kelestarian sempadan sungai, sedapat mungkin dirawat dan dijaga kestabilannya.

Kestabilan dan kecukupan air sungai untuk irigasi pertanian (subak) sangat peting

artinya dalam budidaya padi, khususnya daerah Tabanan yang dikenal sebagai

lumbung berasnya Bali.

Ritual air yang paling besar dalam siklus purnama kapat ketiga di Ulun

Danu Tamblingan dapat dimaknai bahwa danau sebagai cekungan alam besar

berfungsi sangat penting untuk menampung air hujan yang turun dari langit

melalui puncak dan lereng-lereng gunung dan hutan yang ada di sekitarnya.

Dalam pandangan dan kepercayaan masyarakat Bali, secara umum danau

dipandang sebagai tempat sakral dan hulu atau sumber dari segala mata air yang

kemudian menyatu dan mengalir ke sungai-sungai, mengaliri sawah-sawah dan

kebun para petani (subak) di hilir. Masyarakat petani (subak) di daerah

Kecamatan Penebel dan Tabanan pada umumnya memandang eksistensi Danau

Tamblingan tersebut identik dengan keberadaan gebeh/tempayan alam (gebeh

adalah wadah air besar dari tanah liat yang dibakar) yang ada di hulu dan sangat

dimuliakan sebagai sumber dan penyambung kehidupan masyarakat petani secara

berkelanjutan.

Dalam worldview masyarakat tradisional Bali, secara transendental esensi

danau dipandang sebagai representasi dari seorang dewi (Dewi Danu/Dewi

Air/Dewi Gangga) (feminin), sedangkan gunung sebagai representasi dari dewa

(Dewa Gunung/Girinatha/Dewa Parwata) (maskulin). Ritual air yang dipusatkan

di Danau Tamblingan sesungguhnya sebagai simbol dan perayaan pertemuan

(perkawinan) kosmis yang bersifat sakral antara Dewa Gunung Batukaru

( Sanghyang Tumuwuh/Bhatara Pucak Kedaton) dengan Dewi Air yang berstana

di Danau Tamblingan (Dewi Ulun Danu/Dewi Gangga). Pertemuan tersebut juga

dapat diidentikan sebagai pertemuan kosmis magis Lingga dan Yoni yang bersifat

alami yang dipandang mengandung energi kreatif yang bersifat magis-religius.

Berangkat dari ritual air ini, diharapkan mampu menciptakan kesuburan dan

kemakmuran, kesehatan, kerahayuan dan kesejahteraan dalam konteks kehidupan

pertanian (subak) dan aspek kehidupan lainnya di Bali.

Ritual air dalam siklus tahunan purnama kapat di kawasan Cagar Budaya

Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat dan world

heritage Bali merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris

(subak) purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat

tradisional bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Kearifan manajemen

air dalam konservasi lingkungan yang diekspresikan dalam ritual air siklus

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 33

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

purnama kapat ini dapat dipandang sebagai identitas budaya dan menjadi

karakteristik masyarakat Bali, khususnya masyarakat agraris (subak) dalam

berinteraksi dengan lingkungan alam. Identitas dan karakteristik budaya Bali ini

mempunyai nilai penting dalam mencegah dan mengatasi (mitigasi)

kecenderungan terjadinya krisis ekologi (kiris air) di Era Modern yang bersifat

global.

Domestikasi air melalui ritual mendak toya tersebut sarat dengan makna

kearifan lingkungan, khususnya terkait dengan manajemen air. Berdasarkan

makna kearifan lingkungan yang terkandung pada ritual air dalam siklus purnama

kapat pada kawasan Cagar Budaya Batukaru tersebut dapat dibangun sebuah

slogan atau motto: ― No Mount-Forest (Wanādri), No Water

No Water, No Future ―.

4. Kearifan Lingkungan dan Tantangan Pengelolaan Sumberdaya Air di Era

Modern

Modernisme yang berawal dari negara Eropa ( abad XVII M) dintandai

dengan perkembangan sistem ekonomi pasar uang/modal (kapitalisme) dan

kemajuan industrialisasi dalam bidang teknologi transportasi, telekomunikasi,

dan teknologi eksploitasi sumberdaya alam secara masif. Modernisme membawa

perubahan sosial ekonomi, sosial budaya dan lingkungan alam (ekologi) yang

sangat dinamis, kompleks dan mengglobal. Perubahan terjadi demikian masif dan

dinamis, melintas dan menembus batas ruang dan waktu hingga ke plosok-plosok

kehidupan rumah tangga di pedesaan (Ritzer, G., dan Douglas,J. 2007: 550-557).

Terkait dengan Modernisme Simmel menyatakan, bahwa modernisasi

memberikan keuntungan bagi umat manusia, terutama fakta bahwa melalui

modernisasi, manusia mampu mengungkapkan berbagai potensi yang belum

pernah terungkapkan, tersembunyi dan tertekan dalam masyarakat pramodern (era

monarkhi). Simmel memandang Moderniitas sebagai ―epiphany‖ dalam arti

sebagai tanda manifestasi kekuatan instrinsik manusia, kekuatan manusia yang

sebelumnya tak terjelmakan. Namun pada sisi lain Simmel juga mengakui,

besarnya pengaruh uang terhadap kehidupan masyarakat modern. Dampak negatif

pengaruh uang, terutama terjadinya alienasi. Lebih lanjut dinyatakan, masalah

alienasi membawa kita kembali ke masalah sentral, yaitu tragedi kultur, yaitu

terhentinya pertumbuhan ―kultur individu‖ dan pesatnya pertumbuhan ―kultur

objektif‖. (Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007: 551).

Sementara itu Giddens (penganut Postmodern) menyatakan, bahwa salah

satu keunggulan dari modernitas yaitu memungkinkan tumbuhnya organisasi

rasional seperti birokrasi dan negara bangsa (state nation) dengan dinamismenya,

dan kemampuan menghubungkan otoritas lokal dam global. Ciri kedinamisan

modernitas digambarkannya sebagai refleksivitas yang secara khusus diartikan

bahwa dalam praktik kehidupan sosial terus menerus diuji dan diubah

berdasarkan informasi yang baru masuk yang paling praktis dan dengan demikian

mengubah ciri modernitas itu sendiri (Gidedens, 1990 dalam Ritzer, G., dan

Douglas,J.,2007:556-557).

Kenyataan terjadi di tengah masyarakat negara-negara berkembang, seperti

halnya Indonesia dan negara-negara lain, termasuk pada masyarakat Bali,

menunjukkan bahwa kemajuan Ilmu Pengetahuan dan teknologi (Iptek) dari Era

34 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Modern, khususnya di bidang medis telah banyak menolong dan

menyelamatkan warga masyarakat dari berbagai ancaman penyakit kritis yang

dideritanya, serta dapat mempepanjang usia harapan hidupnya. Demikian pula,

kemajuan teknologi transportasi, telekomunikasi dan informasi, secara tidak

langsung mempengaruhi perkembangan pembangunan industri pariwisata di Bali

yang kini membuka peluang kerja dan berusaha serta menapung tenaga kerja dan

menjadi sumber pendapatan utama bagi masyarakat lokal dan pemerintah.

Namun pada sisi lain terjadi, bahwa sejalan dengan pertumbuhan dan

perkembangan penduduk, kemajuan teknologi produksi komoditas, transportasi,

dan teknologi digital membuat warga masyarakat modern seakan termanjakan

dalam pemenuhan kebutuhan yang bersifat materialistis dan cenderung

kuantitasnya meningkat. Pertumbuhan penduduk dan meningkatnya kebutuhan

masyarakat cenderung meningkatkan eksploitasi terhadap sumberdaya alam.

Masyarakat kemudian cenderung bersifat konsumtif. Terstein Veblen dalam

bukunya The Theory of The Leisure (Ritzer, G., 2009: 213), cenderung

menggolongkan masyarakat Modern sebagai masyarakat kelas penikmat. Kelas

penikmat melibatkan diri dalam ―penikmatan yang berlebihan‖ (penggunaan

waktu secara tidak produktif) dan ―konsumsi yang berlebihan‖.

Eksploitasi sumberdaya alam secara berlebih-lebih, dan pemenuhan

kebutuhan penduduk yang cenderung meningkat, ditambah dengan keserakahan

kelompok-kelompok tertentu (kapitalis) dalam pemenuhan kebutuhan yang tidak

pernah terpuaskan cenderung menimbulkan degradasi lingkungan. Kondisi ini

cenderung menggerakan hukum entropi yang tewujud dalam bentuk

meningkatnya pencemaran lingkungan, menipisan dan kelangkaan sumberdaya

alam (air, lahan, hutan, biodiversitas), bencana alam, dan terjadinya konflik sosial

di kalangan masyarakat.

Dalam kehidupan masyarakat modernitas maju, isu utamanya adalah resiko.

Giddens menyatakan, bahwa kehidupan modern adalah ―sebuah dunia yang tidak

terkendali‖ (running world) dengan langkah, cakupan, dan kedalaman

perubahannya yang jauh lebih besar dan dasyat daripada zaman sebelumnya

(pramodern). Lebih lanjut dinyatakan, Modernitas ini tidak mengikuti suatu jalan

tunggal (linear), tetapi terdiri atas sejumlah bagian berlawanan dan saling

bertentangan. Bahkan kehidupan modern dianalogikannya sebagai makhluk

―juggernaut‖ (panser raksasa) yang resiko dan dampaknya sangat berbahaya jika

tidak dapat dikendalikan (Ritzer, G., dan Douglas,J.,2007:553).

Di era Modern, Bali (luas Pulau Bali 5633 km2

dengan jumlah penduduk

4,2 juta tahun 2018) diwarnai dengan pertumbuhan penduduk yang cenderung

meningkat ditambah dengan pembangunan fisik (fasilitas pariwisata) yang kurang

terkontrol, dan terjadinya deforestasi di beberapa tempat. Dampaknya terjadi

krisis ekologis, khususnya krisis air. Krisis air bersih telah terjadi di beberapa

tempat di Bali. Demikian pula konflik sosial terkait dengan kompetisi

pemanfaatan sumberdaya air. Hasil beberapa studi mengindikasikan, bahwa ada

kecenderung terjadi pengalihan sumberdaya air irigasi pertanian (subak) ke

industri pariwisata di Bali. Hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa kasus konflik

air yang terjadi di beberapa tempat sebelumya, seperti konflik antara subak dan

PDAM di situs Pura Tirtha Empul dan mata air Gamrong di Desa Soka

Kecamatan Penebel-Tabanan. Demikian pula konflik pemanfaatan air antara

krama Subak dengan pengelola sebuah Villa di Desa Jatiluwih, dan tempat

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 35

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lainnya (Wardi, 2018: 350-353). Tipe pembangunan pariwisata semacam ini tentu

tidak mencermikan konsep Pariwisata Budaya seperti yang dituangkan dalam

Perda Provinsi Bali No.2 Tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali yang

berbasis pada falsafat Tri Hita Karana yang mengisyaratkan adanya

keseimbangan pembangunan dalam bidang ekonomi, ekologi dan sosial budaya

(sustainable development).

Keberadaan kearifan budaya dalam konteks lingkungan di Bali tampaknya

belum dapat mencegah secara optimal dan efektif terjadinya krisis ekologis,

khususnya krisis air dalam pembangunan era Modern. Tentu ada berbagai factor

yang menyebabkan terjadinya hal ini. Di antaranya karena kurangnya sosialisasi

dan revitalisasi kearifan lingkungan, pembangunan yang hanya menekankan

pertumbuhan ekonomi semata, adanya relasi kuasa antara kelompok kapiltalis

tertentu dengan agen otoritas rasional legal, dan faktor lainnya. Kearifan budaya

kini juga mengalami tantangan di Bali sejalan dengan munculnya kecenderungan

desakralisasi dan proses demitologi dalam kehidupan masyarakat sebagai bias

dampak negatif Modernisme. Perlu ada upaya dan strategi untuk meminimalkan

dan mencegah dampat negatif tersebut.

Beberapa upaya untuk meminimalkan dan mencegah dampak negatif

pembangunan Modern terhadap lingkungan dalam kehidupan masyarakat di Bali,

di antaranya dapat dilakukan dengan : (1) menggali dan mengungkap lebih banyak dan lebih dalam khasanah kearifan

budaya dan kearifan lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal Bali melalui

sumber-sumber tradisional (oral traditions: ritual dan mitos, kepustakaan

tradisional seperti babad/lontar, pamacangah, kesusasteraan klasik; prasasti,

artefak, ekofak, monument, dan yang lain);

(2) upaya pendidikan dan sosialisasi secara terus menerus terkait dengan

karakteristik ekosistem alam sekitar dan keberadaan kearifan budaya dan

lingkungan yang dimiliki masyarakat lokal;

(3) melakukan revitalisasi kearifan budaya dengan berbagai strategi kultural, dan

sosial politik, seperti merumuskan dan menetapkan regulasi perlindungan

sumberdaya alam dan budaya ( awig-awig dan perda), dan praktik Law

Enforcement dalam kehidupan masyarakat sehari-hari dan dalam praktik

pembangunan modern;

(4) melakukan aksi lingkungan melalui penghijauan (reboisasi), gotong royong

menjaga kebersihan lingkungan, dan bentuk aksi nyata lainnya;

(5) komitmen merombak prilaku tidak ramah lingkungan menuju prilaku ramah

lingkungan secara individu maupun kolektif; dan

(6) memadukan kearifan budaya lokal dan budaya global melalui proses glokalisasi.

5. Simpulan

Ritual air (mendak toya) dalam siklus tahunan purnama kapat di kawasan Cagar

Budaya Pura Batukaru yang kini berkedudukan sebagai kahyangan jagat Bali dan world

heritage merupakan peradaban hidraulik yang berasal dari masyarakat agraris (subak)

purba yang hingga kini masih tetap eksis dan dipraktikan oleh masyarakat tradisional

bersama pemerintah di Kabupaten Tabanan-Bali. Ritual tersebut sarat dengan kandungan

kearifan konservasi lingkungan, khususnya dalam konteks manajemen air yang

mempunyai hubungan interdependensi dengan keberadaan gunung, hutan, danau dan

sungai.

36 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam konteks krisis ekologis global (krisis air), kearifan konservasi lingkungan

dari ritual air dalam siklus purnama kapat pada kawasan Cagar Budaya Batukaru tersebut

perlu dijaga, dipelihara dan direvitalisasi dalam pembangunan dan perubahan kehidupan

modern yang sangat dinamis dan kompleks.

Era pembangunan Modern menjadi tantangan yang cukup berat dalam menjaga

keutuhan dan kelestarian eksistensi kearifan budaya/kearifan lingkungan.Terpenting di

antaranya, yaitu bagaimana kita dapat mengelola resiko-resiko Modernitas dengan

upaya-upaya tertentu agar dampak negatifnya dapat dicegah, diminimalkan atau

disalurkkan menjadi hal-hal yang positif.

Daftar Pustaka

Djojohadikusumo, Sumitro. 1981. ―Aspek Ekonomi dan Politik Sekitar Masalah

Ekologi dan Lingkungan Hidup ― , dalam Menuju Kelestarian Lingkungan

Hidup. Diedit oleh M.T. Zen. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Kartodiharjo, H. dan Jhamtani, H.,(ed.). 2006. Politik Lingkungan dan

Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: PT Equinox Publishing Indonesia.

Kemendikbudpar.2010. Undang-Undang Republik Indonesia Nomoe 11 Tahun

2010 tentang Cagar Budaya. Dirrektorat Jenderal Sejarah dan Pubakala,

Jakarta.

Kempers, A.J. Bernet.1977.Monumental Bali : Introduction to Balinese

Archaeology Guide to Monuments. Den Haag.

Keraf, A.Sonny, 2002. Etika Lingkungan. Pernerbit Buku Kompas, Jakarta.

Manoharan, Dhusenti, Hilscher, Manuel, Birkenberg, Athena. 2009. Local

Knowledge and The Ecology of Medicinal Plants in Northen Thailand.

Stuttgart: Departemen of Gender and Nutritions, Hohenhim University.

Pemerintah Provinsi Bali. 2012. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 2 Tahun

2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Denpasar.

Ritzer,G., Douglas J.Goodman, 2009. Teori Sosiologi: dari Teori Sosiologi Klasik

Sampai Perkembangan Teori Sosiologi Postmodern. Diterjemahkan oleh

Nurhadi dari buku Sociological Theory. PenerbitKreasi Wacana, Yogyakarta.

Wardi, I Nyoman. 2018. Marjinalisasi Kearifan Lingkungan Kosmologis Warisan

Budaya Pura Batukaru-Pakendungan di Kabupaten Tabanan Bali.

(Disertasi) Program Doktor Kajian Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas

Udayana, Denpasar.

Warna, I Wayan, dkk. 1986. Usana Bali -Usana Jawa. Dinas Pendidikan dan

Kebudayaan Provinsi Bali,Denpasar.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 37

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ANALISIS PUISI “SAJAK HOAX” KARYA SOSIAWAN LEAK

MENGGUNAKAN TEORI SEMIOTIKA RIFFATERRE

Ahmad Habib1, Robbi Gunawan

2, dan Mamluqil Farihah

3

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa & Seni,

Universitas Negeri Surabaya [email protected],

[email protected],

[email protected]

ABSTRAK

Puisi merupakan sebuah karya sastra yang dihasilkan dari sebuah

pemikiran dan imajinasi seseorang yang disampaikan secara tersirat

dan menggunakan penggambaran yang berbeda namun memiliki

makna yang sama. Karya sastra ini memiliki tanda-tanda yang

kompleks yang sulit untuk ditafsirkan untuk mendapatkan makna

sebenarnya yang dirasakan dan dipikirkan oleh penulis. Tetapi

puisi dapat dideskripsikan dengan rinci untuk mendapatkan sebuah

makna yang tepat dalam suatu tanda yang dibuat dengan

menggunakan beberapa teori dari para ahli. Puisi merupakan

sebuah karya tulis dan bukanlah sekedar karya tulis sastra yang

hanya untuk dinikmati saja, melainkan juga bisa sebagai

penyampai pendapat dan/atau perasaan yang ingin diungkapkan

dengan gaya penyampain yang berbeda oleh penulis itu sendiri.

Penelitian puisi ―Sajak Hoax‖ karya Sosiawan Leak bertujuan

untuk mengidentifikasi dan mendeskripsikan tanda-tanda yang ada

pada puisi tersebut. Agar pembaca puisi tidak hanya mengenal

setiap bait puisi melainkan juga kandungan makna dalam tanda

yang dibuat pada setiap bait puisi. Untuk mengidentifikasi adanya

tanda yang bermakna dalam puisi Sajak Hoax menggunakan

pendekatan pragmatik yang mana peran pembaca sangat penting,

dan teori yang digunakan ialah semiotika Riffaterre yang mengkaji

suatu karya sastra dengan menijau antara hubungan penanda dan

petanda yang ada dalam karya sastra. Yang menggunakan 4

langkah proses pengkajian tanda, yaitu (1)ekspresi tidak langsung,

(2)pembacaan heuristik dan hermeneutik, (3)matris, model, dan

varian, dan (4)hipogram.

Kata Kunci : Puisi, Semiotika Riffaterre, dan Tanda

Pendahuluan

Karya sastra merupakan hasil dari cara berfikir kreatif yang diciptakan

untuk disampaikan secara tertulis maupun lisan dengan menggunakan bahasa

yang indah serta terdapat nilai-nilai kehidupan didalamnya. Menurut Waluyo

(2003:01) Puisi merupakanbentuk karya sastra dengan pemadatan bahasa dan

pemberian irama bunyi yang padu serta pemilihan kata kias guna memperindah

38 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dan menyembunyikan arti sebenarnya. Bahasa puisi sering disebut dengan bahasa

yang puitis. Bahasa atau kata puitis merupakan suatu hal yang sulit untuk

didefinisikan. Namun, bahasa atau kata puitis mengandung nilai keindahan pada

puisi yang dapat membangkitkan perasaan, menarik perhatian, menimbulkan

tanggapan yang jelas, dan menimbulkan keharuan (Pradopo, 2014:13). Dapat

diambil garis besar bahwa puisi merupakan bentuk sastra yang paling tua dengan

pernyataan yang paling padat dan sarat akan makna. Sejarah yang

melatarbelakangi proses penciptaan puisi mempunyai fungsi sangat berpengaruh

dalam membentuk atau memberikan makna pada puisi.

Puisi tidak hanya untuk dinikmati, dibaca, dan didengar saja. Akan tetapi

puisi juga dapat diapresiasi. Kegiatan mengapresiasi suatu karya puisi dapat

memberikan suatu penghargaan dan juga penilaian terhadap puisi yang telah

dibuat. Dalam mengapresiasi suatu puisi diperlukan sebuah pendekatan dan teori

sebagai pisau untuk membedah karya tersebut. Salah satu teori yang dapat

digunakan untuk melakukan apresiasi puisi yaitu dengan menganalisis tentang

tanda-tanda yang terdapat pada puisi. Tentunya dalam puisi banyak sekali tanda

yang memiliki makna tersirat seperti simbol-simbol yang perlu dipahami maksud

sebenarnya.

Teori analisis tanda-tanda dikenal dengan teori semiotik. Zoest (dalam

Lantowa, 2017:01) berpendapat bahwa semiotika adalah salah satu cabang ilmu

yang berkaitan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berkaitan dengan

tanda seperti sistem tanda dan proses yang berlaku dalam menggunakan tanda.

Teori semiotik memiliki empat tokoh yaitu Ferdinand De Saussure, C. S. Peirce,

Roland Barthes, dan Riffaterre. Empat tokoh ini memiliki metode yang berbeda

dalam mengungkapkan teori semiotik terhadap suatu karya sastra.

Untuk proses analisis puisi “Sajak Hoax” karya Sosiawan Leak ini akan

dilakukan dengan menggunakan teori Semiotika dari Riffaterre yang

menggunakan 4 langkah yaitu (1)ekspresi tidak langsung, (2)pembacaan heuristik

dan hermeneutik, (3)matris, model, dan varian, dan (4)hipogram.

Puisi ―Sajak Hoax” dipilih karena rangkaian diksi yang digunakan penulis

mudah untuk dipahami. Puisi ini merupakan puisi satirik yang mengkritik secara

halus atau sering disebut dengan sindiran. Puisi tersebut merupakan karya dari

seorang penulis sekaligus aktor dan sutradara dalam suatu teater yaitu Sosiawan

Leak.

Metodologi

Semiotika merupakan suatu ilmu yang berkaitan dengan tanda. Pada tanda

terdapat dua aspek yaitu penanda dan petanda. Dua aspek pada tanda memiliki

tiga bentuk yaitu ikon, indeks, dan simbol (Pradopo, 2014:123). Menurut Michael

Riffaterre terdapat empat langkah dalam mengkaji suatu karya sastra. Yang

pertama ialah karya sastra yang bukan bentuk ekspresi tidak langsung.Puisi

merupakan salah satu karya sastra yang bukan bentuk ekspresi tidak langsung.

Dalam menyatakan suatu hal dengan pengertian lain puisi mengungkapkan

melalui penggantian arti, penyimpangan atau pemencongan arti, dan penciptaan

arti (Riffaterre dalam (Pradopo, 1999:77)).

Kedua adalah pembacaan heuristik dan hermeneutik (tetroaktif). Pembacaan

heuristik merupakan tahap pembacaan pertama yang dilakukan dengan membaca

puisi dari awal hingga akhir dengan melihat segi kebahasaanya. Meliputi

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 39

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kemampuan pembaca dalam melihat kesesuaian atau penyimpangan dari setiap

kata yang ada. Pada semiotik tingkat kedua pembacaan puisi melihat segi

kesustraan atau dalam arti lain pembacaannya lebih terfokus pada peninjauan,

perbaikan, dan membandingkan sampai invariant, untuk menemukan sebuah

struktur dan hubungan variasi-variasi yang nantinya akan membentuk kesatuan

makna secara utuh pada karya sastra tersebut.

Ketiga ialah mencari matriks, model, dan varian. Matriks merupakan kata

kunci yang bukan kiasan. Matriks bisa berbentuk satu kata, kalimat, bagian

kalimat, atau kalimat sederhana.

Keempat adalah hipogram. Hipogram merupakan latar belakang suatu

karya sastra yang menjadi inspirasi sebuah karya sastra baru. Hipogram akan

membuat suatu pengaitan teks satu dengan teks lain yang telah dikaji sebelumnya.

Suatu yang menjadi hipogram tidak hanya didapat melalui teks karya sastra saja

melainkan bisa dari sebuah berita atau kejadian yang pernah terjadi sebelumnya.

Pembahasan

1. Puisi merupakan Ekspresi Tidak Langsung

Ekspresi tidak langsung menggunakan langkah penggantian arti,

penyimpangan arti, dan atau penciptaan arti.

1.1 Penggantian Arti

Penggantian arti pada sajak-sajak puisi digunakan majas hiperbola, majas

simbolik, majas metafora, majas personifikasi, majas tautologi, majas klimaks,

dan majas sarkasme. Pada bait pertama, orang-orang tanpa kepala yang memiliki

arti orang-orang yang memiliki pemikiran yang kurang bagus, masuk ke dalam

majas tautologi dikarenakan dalam setiap bait puisi kalimat tersebut terus diulang.

Tak bisa menyimpan argumentasi, fakta, dan data serta kebenaran logika di

otaknyaberarti tak bisanya seseorang untuk menyimpan suatu rahasia di dalam

dirinya yang digambar melalui otak, kalimat tersebut masuk kedalam majas

klimaks. Dari kelingking, sikut, dengkul, bahkan dubur dan belahan pantat; kata-

kata muncrat menjelma sihir provokasi, lendir, agitasi juga kedangkalan nurani

berarti diri seseorang yang mudah untuk mengeluarkan sebuah pendapat yang

dapat menyulut orang lain untuk mengikuti apa yang telah dibicarakannya.

Pada bait kedua, tersesat di rimba maya yang mengambarkan tersesatnya

seorang atau sekelompok orang dalam luasnya media sosial.. Namun loyo tanpa

pulsa, gelombang udara, dan puja-puji frekwensiberarti tidak berdayanya

masyarakat zaman sekarang tanpa adanya internet yang sudah menjadi kebutuhan

pokok.

Pada bait ketiga, berjubah online murahan, bersenjata kebebasan yang

mengartikan masyarakat yang menggunakan media sosial (online) sebagai senjata

untuk membuat kritik ataupun berita. Karena adanya hak asasi manusia yaitu

kebebasan berpendapat yang mengakibatkan hoax.

Pada bait keempat, namun selalu terpercik pesing kencing dan mani hasil

onani! merupakan kalimat sindiran kasar kepada para masyarakat yang

menggunakan media sosial secara tidak benar.

1.2 Penyimpangan Arti

Penyimpangan arti pada sajak pusi akan dianalis mengenai ambiguitas,

kontradiksi, dan juga nonsense. Ambiguitas merupakan adanya kata, kalimat,

40 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ataupun kumpulan kalimat yang memiliki banyak makna dan dapat ditafsirkan

dengan bermacam-macam pemikiran. Pada bait pertama terdapat ambiguitas pada

kalimat orang-orang tanpa kepala yang dapat diartikan sebagai seseorang yang

telah mati dipenggal dan kehilangan kepalanya. Pada bait ketiga, berjubah online

murahan yang dapat diartikan baju yang dijual online secara murah, Pada bait

keempat, namun selalu terpercik pesing kencing yang diartikan seseorang yang

sedang membuang air kecil.

Kontradiksi dihasilkan dari adanya penggunaan majas ironi, pradoks, dan

antitesis.Pada bait kedua, namun loyo tanpa pulsa, gelombang udara, dan puja-

puji frekwensi mengartikan bahwa masyarakat saat ini tidak bisa hidup dengan

tidak adanya pulsa, sinyal, dan jaringan. Merekaberanggapan bahwa teman

merekahanya di dalam media sosial. Jika, tidak adanya ketiga hal tersebut akan

membuat kehidupannya lemah dan tidak berarti. Pada bait ketiga, menumpang

status, jempol, dan blokir picisan mengartikan bahwa masyarakat saat ini hanya

menyuarakan apa yang ia ingin katakan dalam status, disukai banyak orang dan

saling blokir-memblokir satu sama lain karena tidak samanya persepsi. Pada bait

keempat, hidungnya sakau blog-blog sampah mengartikan bahwa kepekaan

masyarakat terhadap lingkungan sekitar dikarenakan dari sebuah sumber blog

media sosial di internet yang membuat candu.

Nonsense pada keseluruhan sajak puisi diatas terdapat maknanya dan dalam

bahasa yang digunakan secara keseluruhan terdapat dalam kamus. Nonsense

adalah kata-kata yang tidak memiliki arti dan arti tidak terdapat dalam kamun,

namun kata tersebut memiliki arti gaib atau tidak terduga. Maka, dapat

disimpulkan sementara bahwa secara keselurahan bahasa dan bunyi dalam puisi

memiliki arti dan makna.

2. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik

2.1 Pembacaan Heuristik

Puisi ―Sajak Hoax‖ dapat diartikan pada semiotik tingkat pertama. Yaitu,

mengenai orang-orang tanpa kepala mengartikan orang-orang yang tak bisa

berfikir. Dari kelingking, sikut, dengkul bahkan dubur dan belahan pantat; kata-

kata muncrat, yang mengartikan perkataan yang dihasilkan tidak hanya dari

mulut melainkan dari sikut, dengkul, belahan dubur, dan belahan pantat yang ikut

andil dalam perkataan tersebut. Menjelma sihir provokasi, lendir agitasi juga

kedangkalan nurani. Bermakna bahwa setiap perkataan menjadi bahan provokasi

guna mempengaruhi pemikiran dan hati karena acuhnya terhadap sekitar.

2.2Pembacaan Hermeneutik Orang-orang tanpa kepala mengartikan orang-orang yang tak memiliki

pemikiran secara jangka panjang yang mudah terpengaruh dengan ucapan atau

berita yang belum diketahui dan bisa dianggap sebagai orang yang kurang cerdas.

Merakit kepala dari remah-remah peradaban. Bermakna bahwa daya pikir orang-

orang yang masih dalam tahap pembentukan yang sangat rentan untuk menangkap

sebuah berita atau info yang membuat pemikiran terpecah karena cepatnya

informasi yang bisa didapat tanpa adanya saringan. Matanya layar pudar,

mulutnya keyboard butut karatan, telinganya tautan tanpa jiwa, hidungnya sakau

blog-blog sampah. Mengartikan bahwa manusia yang telah dirusak dengan

teknologi. selain itu, juga telah merusak bagian-bagian tubuh manusia seperti

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 41

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mata, dan tentunya batin manusia itu sendiri dari mulut yang tidak bisa menjaga

perkataannya, telinganya yang tak bisa mendengarkan saran orang lain, dan

pemikirannya tidak bisa berhenti untuk terus mencari blog-blog yang tidak sesuai

dengan kebenaran dan tergolong negatif. Yang sedang menebar fitnah di mata

kaki, mengartikan bahwa segala bentuk ketidakbenaran atas fakta yang ada ia

tularkan melalui manusia terlebih dahulu yang tergolong mudah untuk disusupi

dengan berita yang tidak sesuai. Namun selalu terpercik pesing kencing,

bermakna bahwa perkataan yang orang ucapkan selalu perkataan yang

mengandung unsur negatif, tidak bermanfaat dan hanya membawa unsur

pembodohan.

3. Matriks, Model, dan Varian-Varian

Matriks dalam sajak ―Sajak Hoax‖ adalah orang-orang yang tak memiliki

pemikiran panjang dantidak bisa menyimpan data atau rahasia. Matriks ini

dirubah menjadi model dalam bentuk “kata-kata muncrat menjelma sihir

provokasi, lendir agitasi, juga kedangkalan nurani menabur filsafat kebodohan

dan iri dengki tanpa tandingan”, bermakna bahwa perkataan yang orang-orang

ucapkan merupakan sebuah provokasi untuk mengikuti apa yang orang lain

katakan yang hanya menyebarkan berita-berita tak benar dan diterima karena

kurangnya pengetahuan dan acuh terhadap keadaan. Matriks tersebut adalah

sebuah hipogram intern yang terdapat dalam sajak puisi yang ditransformasikan

dalam bentuk varian-varian dalam bait 1, 2, 3, dan 4.

Pada bait pertama, terdapat varian kepicikan gagasannya lebih durjana. Yang

mengartikan bahwa orang-orang yang memiliki pemikiran yang sangat curang

dengan menggunakan pemikiran dan perkataan yang digunakan sebagai cara

untuk melancarkan kejahatannya.

Pada bait kedua, terdapat varian jatuh cinta pada kebohongan massal. Yang

mengartikan bahwa masyarakat lebih menyukai hal-hal yang disukai banyak

orang meskipun itu salah bisa dianggap benar karena banyak yang mengikuti.

Pada bait ketiga, terdapat varian berjubah online murahan, bersenjata

kebebasan. Yang mengartikan bahwa orang-orang menggunakan media online

secara negatif dan hanya menggunakan sebagai media memberikan pendapat

secara bebas karena setiap manusia memiki hak untuk berpendapat yang sesuai

dengan hak asasi manusia.

Pada bait keempat, terdapat varian yang menebar fitnah di mata kaki. Yang

bermakna bahwa penyebaran berita yang tidak benar atau bohong dimulai dari

bawah yaitu kepada orang-orang yang minim akan pengetahuan dan akan mudah

untuk dipengaruhi.

4. Hipogram

Sebuah karya sastra, baik puisi maupun prosa,mempunyai hubungan sejarah

antara karya sezaman, yang mendahuluinya atau yang kemudian.Pengaruh-

pengaruh yang didapatkan pengarang dari berbagai karya sastra sebelumnya dan

sezamannya tersebut membuat karya sastra hasil ciptaannya tersebut tidaklah

orisinil dan hampir tidak mungkin seorang pengarang tidak terpengaruh oleh

karya sastra lainnya.

Puisi ―Sajak Hoax‖ memiliki kesamaan dengan puisi ―Topeng Kebohongan‖

karya Beny Guntarman yang dibuat pada 15 Juli 2014.

42 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pada puisi ―Topeng Kebohongan‖, memiliki kesamaan dengan puisi ―Sajak

Hoax‖ yaitu dari segi tema yang sama-sama menggunakan tema berita tidak benar

(hoax). Dan dari segi isi puisi juga memiliki kesamaan yang membahas mengenai

berita yang tidak benar yang disebar luaskan demi mendapatkan sesuatu yang

diinginkan dengan berpedoman bahwa semua orang memiliki hak untuk

berpendapat.

Puisi ―Sajak Hoax‖ juga bisa disamakan dengan keadaan manusia jaman

sekarang yang mudah terpengaruh dengan berita-berita yang ada di sosial media

dan mereka juga lebih menyukai hal-hal yang didukung secara massal tanpa harus

mengerti kebenaran berita sebenarnya benar.

Simpulan

Berdasarkan analisis puisi Sajak Hoax katya Sosiawan Leak yang

menggunakan teori semiotika Riffaterre dengan pendekatan pragmatik, telah

ditemukan ekspresi tidak langsung, pembacaan heuristik dan hermeneutik, matris,

model, dan varian, dan hipogram.

Jadi, puisi tersebut yang dapat dikaji menggunakan semiotika Riffaterre yang

dapat dimengerti makna sebenarnya yang ada, puisi ini menceritakan mengenai

manusia yang mudah untuk menerima berita-berita yang tidak benar yang

merupakan hasil dari adanya fitnah yang di sebarkan melalui media online dengan

banyaknya orang yang menyukai berita tersebut dan membuat berita tersebut

dianggap benar karena memiliki banyak pendukung. Berita yang membuat banyak

orang terlihat bodoh karena tidak mengerti mengenai berita sebenarnya yang ada.

Yang pada puisi diberikan kata-kata sindiran yang tergolong frontal untuk

mengungkapkan hal tersebut kepada pembaca. Kata-kata sindiran yang dipakai

menjadi sebuah tanda petanda yang dapat dikaji pada semiotika Riffateree ini.

Daftar Pustaka

Leak, Sosiawan. 2018. Antologi Puisi “Sajak Hoax”. Elmatera: Maguwoharjo

Yogyakarta.

Pradopo, Rachmat Djoko. 1999. Humaniora. Gadjah Mada University Press:

Yogjakarta.

Pradopo, Rachmat Djoko. 2014. Pengkajian Puisi. Gadjah Mada University

Press: Yogjakarta.

Waluyo, Herman. 2003. Apresiasi Puisi untuk Pelajar dan Mahasiswa. Gramedia

Pustaka Utama: Jakarta.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 43

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

TRADISI KULINER TRADISIONAL MASYARAKAT LUMAJANG

REPRESENTASI IDENTITAS BUDAYA PENDALUNGAN

Aliffiati, AA Ayu Murniasih

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana [email protected]

ABSTRAK

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah ‖reinventarisasi tradisi

kuliner tradisional masyarakat Lumajang sebagai upaya pelestarian

seni kuliner tradisional masyarakat dengan budaya pendalungan

serta memberi manfaat besar bagi masyarakat dalam jangka

panjang dalam rangka meningkatkan taraf kehidupannya―.

Tujuan tersebut hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus

penelitian, yaitu menginventarisasi berbagai tradisi kuliner

tradisional yang menunjukkan jatidiri masyarakat Lumajang

sebagai masyarakat dengan budaya pendalungan. Adapun hal-hal

yang hendak diketahui dan dipahami dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut; (1) Bagaimanakah klasifikasi tradisi kuliner pada

masyarakat Lumajang sebagai identitas budaya pendalungan ?; (2)

Bagaimanakah masyarakat Lumajang dalam memanfaatkan kuliner

tradisional?

Metode penelitian yang akan digunakan untuk mencapai tujuan dan

target tersebut di atas adalah metode kualitatif, dan ditunjang

metode kuantitatif seperlunya, berparadigma fenomenologis dan

interpretatif.

Temuan penelitian, ragam tradisi kuliner tradisional masyarakat

Lumajang dapat diklasifikasikan menjadi tradisi kuliner sehari-hari,

tradisi kuliner terkait waktu tertentu, tradisi kuliner terkait dengan

daur hidup. Masyarakat Lumajang mengembangkan kuliner

tradisional sebagai salah satu komoditas bagian dari ekonomi

kreatif masyarakat.

Kata Kunci : identitas budaya, pendalungan, kuliner tradisional

Pendahuluan

Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten di wilayah provinsi

Jawa Timur terletak di kawasan tapal kuda yang memiliki potensi alam khususnya

potensi pangan (makanan) yang berlimpah, dibuktikan dengan lima kali

memperoleh prestasi predikat sebagai kabupaten sehat untuk zona Jawa.

Penilaian dari TPID yaitu Tim pengendali Inflasi Daerah didasari oleh 3

program unggulan di kabupaten Lumajang yaitu: 1) Aksi gerakan pemupukan

44 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

organik dan benih unggul bersertifikat (Sigarpun Bulat); 2) Aksi gemar makanan

pokok lokal (Si Gempal); 3) Gemar makan ikan dan pasar agropolitan.

Masyarakat Lumajang dicirikan sebagai masyarakat dengan corak budaya

pendalungan yaitu pencampuran dua budaya yaitu Jawa dan Madura sehingga

tergolong masyarakat bercorak multikultur karena dalam perkembangan

selanjutnya tidak hanya budaya Jawa dan Madura tapi berbaur pula budaya etnis

lain seperti Arab, Cina. Hal ini sangat menarik terlebih pada tradisi kuliner yang

berkembang di masyarakat Lumajang yang mengambarkan pencampuran antara

berbagai tradisi kuliner namun bagi masyarakat itulah tradisi kuliner yang mereka

miliki yang mereka warisi secara turun temurun serta mengandung unsur kearifan

lokal, meskipun pada kenyataannya tradisi kuliner tradisional mulai terpinggirkan

oleh kehadiran kuliner modern.

Upaya pelestarian tradisi kuliner tradisional sebagai jatidiri masyarakat

pendalungan melalui reinventarisasi makanan dengan tujuan jangka panjang untuk

meningkatkan taraf hidup masyarakat. Hal-hal yang hendak diketahui dan

dipahami dalam penelitian ini adalah bagaimanakah klasifikasi kuliner pada

masyarakat Lumajang sebagai identitas masyarakat pendalungan dan bagaimana

masyarakat memanfaatkannya. Tujuan penelitian adalah menekankan pada aspek

pemahaman. Metode yang relevan dalam penelitian ini adalah metode penelitian

kualitatif dan didukung pula dengan data kuantitatif. Lokasi penelitian dilakukan

pada 3 kecamatan di kabupaten Lumajang propinsi Jawa Timur. Pemilihan lokasi

penelitian karena kabupaten Lumajang salah satu daerah sumber pangan atau

lumbung pangan di wilayah provinsi Jawa Timur dengan corak masyarakat dan

budaya pendalungan.

Kuliner sebagai Identitas Budaya

Dua kutub besar di dalam kajian antropologi mengkaji hubungan makanan

dan kebudayaan, yakni pertama, bahwa makanan merupakan unsur budaya,

memiliki nilai-nilai ritual, kepercayaan dan lain sebagainya. Dalam kajian ini

dikenal dengan model kognisi. Model ini menunjukkan kecenderungan kajian

yang meletakkan masalah-masalah dalam mengkaji makanan adalah karena faktor

kebudayaan. Faktor kebudayaan adalah satu-satunya penyebab tanpa

menghubungkannya dengan faktor yang lain. Misalnya ketika melihat budaya

makan suatu etnis, maka ini dikaitkan dengan nilai-nilai budaya, kepercayaan,

pantangan-pantangan, tahayul, mitos dan lain sebagainya. Tema yang muncul

dalam kajian seperti ini adalah peta pengetahuan. Pendekatan kedua adalah yang

melihat makanan merupakan sesuatu yang tidak hanya terkait faktor kebudayaan

dan ideologi semata, dimana faktor kebudayaan hanya sebagian kecil saja

daripada makanan. Model ini dikembangkan oleh Jerome, Kandel dan Pelto

(1980) yang dikenal dengan nama model ekologi. Ini dikarenakan adanya

perubahan sosial budaya masyarakat yang menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya

mengalami reduksi. Kebudayaan sejajar dengan unsur lainnya seperti organisasi

sosial, lingkungan sosial, lingkungan fisik dan teknologi mempengaruhi makanan

sebagai kebutuhan dasar manusia. Artinya konstribusi kebudayaan sama porsinya

dengan item-item lainnya. Ini menunjukkan bahwa kebudayaan akan berubah

apabila berinteraksi dengan lingkungan, sebagaimana pendekatan-pendekatan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 45

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ekologi deterministik melihat interaksi kebudayaan dan lingkungan. Namun

seberapa jauh perubahan kebudayaan itu tidak dibahas dalam pendekatan ini.

Padahal perubahan kebudayaan itu memiliki gradasi dan variasi dalam

perubahannya (Bee, 1974). Kedua pendekatan akan digunakan dalam penelitian

ini untuk mengkaji ragam kuliner tradisional di Lumajang dengan latar belakang

budaya berbagai etnis khususnya etnis Madura dan Jawa serta bagaimana

masyarakat Lumajang memaknai tradisi kuliner yang mereka miliki

Makanan merupakan pembentuk identitas etnis, yang dapat dikenali dari

jenis masakannya yang memiliki karakteristik rasa yang khusus. Makanan juga

sebagai pembentuk identitas individual yang berkaitan dengan klass dan gender.

Goody (1982) menyebutkan bahwa sebetulnya hirarki klass, kasta, ras dan gender

terbentuk melalui differensiasi kontrol terhasap akses terhadap makanan. Pola-

pola konsumsi yang berbeda adalah satu dari banyak cara yang membedakan diri

mereka sendiri dengan orang lain. Makanan juga mempunyai peran social sebagai

sarana adat komunikasi, standar kekayaan, sebuah barometer status social, dan

sebagai mediator simbolikdalam mendefinisikan dan memanipulasi kekerabatan

dan hubungan sosial.

Guerrero (2009) menjelaskan bahwa, makanan tradisional atau kuliner lokal

adalah produk makanan yang sering dikonsumsi oleh suatu kelompok masyarakat

atau dihidangkan dalam perayaan dan waktu tertentu, diwariskan dari generasi ke

generasi, dibuat sesuai dengan resep secara turun-temurun, dibuat tanpa atau

dengan sedikit rekayasa, dan memiliki karakteristik tertentu yang

membedakannya dengan kuliner daerah lain (seperti dikutip oleh Guerrero et al,

2009). Makanan tradisional artinya dapat dikatakan sebagai identitas lokal karena

keberadaannya yang menjadi bagian dari budaya masyarakat, seperti tata cara

tertentu dalam mengolah bahan makanannya, perannya dalam budaya masyarakat

dan tata perayaan, serta resep yang terjaga secara turun-temurun.

Miller menggambarkan identitas budaya sebagai kondisi dimana setiap

individu menerima dan menghargai perbedaan dan kearifan lokal serta mengakui

hak atas perbedaan (dalam Miller, Kostogriz, & Gearon, 2009, hal.127). Orang

yang memiliki identitas budaya yang kuat bersedia untuk menerima keberagaman

budaya dan mampu untuk mengadakan kontak dengan budaya lain tanpa

menghilangkan budayanya sendiri. Potensi Alam dan Lingkungan Kabupaten Lumajang

Kabupaten Lumajang merupakan salah satu kabupaten yang terletak

dikawasan tapal kuda Provinsi Jawa Timur. Kabupaten Lumajang secara geografis

berada pada posisi 112o -53' - 113

o -23' Bujur Timur dan 7

o -54' -8

o -23' Lintang

Selatan. Kabupaten Lumajang diapit oleh 3 gunung berapi, yaitu gunung Semeru,

gunung Bromo, dan gunung Lamongan. Luas wilayah Kabupaten Lumajang

adalah 1.790,90 km2 yang terbagi ke dalam 21 kecamatan, 198 desa, 7 kelurahan,

1.749 RW dan7.023 RT, dengan jumlah penduduk sampai dengan Juni tahun 2016

adalah 1.104.759 jiwa.

Data BPS tahun 2016, menyatakan bahwa mata pencaharian penduduk

sebagian besar bekerja di sektor pertanian (termasuk perkebunan, peternakan,

46 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

perikanan, dan kehutanan) yaitu sebesar 230.656 jiwa atau 44, 51% dari jumlah

penduduk usia produktif. Sebagian lainnya bekerja di sektor perdagangan besar,

eceran, rumah makan dan hotel sebesar 94.521 jiwa (18,24%), sektor industry

pengolahn sebesar 57.025 jiwa (11,00%), sektor bangunan/konstruksi sebesar

45.904 jiwa (8,86%). Sisanya bekerja di sektor transportasi, pertambangan, jasa

dan keuangan. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang dihitung oleh BPS

tahun 2016, perekonomian kabupaten Lumajang sebagian besar ditunjang oleh

sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan (36,49%), sektor pengolahan industri

(19,48%), sektor perdagangan (14,20%). Tradisi Kuliner dalam Kehidupan Sehari-hari

Konsep makanan di masyarakat Lumajang terkait dengan kebiasan atau

tradisi kuliner yang dilakukan secara turun temurun dan berkembang hingga saat

ini. Konsep makan atau mangan bagi sebagian besar masyarakat Lumajang adalah

ketika mereka mengkonsumsi bahan makanan pokok, seperti ungkapan berikut, ‖

wis mangan lek wis mangan sego” artinya sudah makan jika telah makan nasi.

Tentunya makan nasi tidak hanya nasi saja tetapi dengan bahan pangan lainnya

seperti lauk pauk dan sayur.

Sedangkan makanan non makanan pokok merupakan makanan pendamping

atau sampingan atau selingan, lebih dikenal sebagai camilan atau jajan.

Pendamping dari makanan pokok, selingan atau sampingan yaitu makanan yang

dikonsumsi diantara pergantian waktu makan, misalnya menunggu saat sarapan,

menunggu waktu makan siang. Masyarakat Lumajang pada umumnya makan tiga

kali sehari yakni pagi, siang dan malam. Penyajian makan sehari-hari, cenderung

menyesuaikan dengan kemampuan wilayah tempat tinggal yaitu terkait dengan

sumber bahan pangan yang tersedia dan keadaan ekonomi keluarga. Pada

umumnya makan pagi atau biasa disebut sarapan dengan menu yang sederhana

dalam proses dan penyajian bahkan banyak diantara masyarakat yang makan pagi

atau sarapan dengan konsumsi kue atau jajan didampingi dengan minum kopi, teh

atau susu. Minuman kopi merupakan minuman yang banyak disukai masyarakat,

demikian juga teh. Salah satu menu sarapan yang sangat populer di masyarakat

adalah ketan dan kopi, yaitu beras ketan ditanak dan diatasnya ditaburi dengan

kedelai yang telah dihaluskan yang dikenal dengan nama ketan bubuk, selain

ketan bubuk ada juga ketan kinco yaitu ketan dengan topping kelapa parut yang

telah dimasak dengan gula merah; ketan koro yaitu ketan yang dicampur dengan

kacang koro. Jenis makanan ini merupakan makanan yang merakyat dan

dinikmati oleh semua kalangan masyarakat, umumnya mereka peroleh dengan

membeli di warung. Selain ketan, yang masih disukai oleh masyarakat adalah

jajan pasar. Jenis jajan pasar yang khas di Lumajang adalah : latok, yaitu jenis

makanan yang bentuknya mirip dengan kue lapis tapi berbahan tepung tapioka

diberi warna merah dan hijau serta putih, dimakan dengan topping fla gula merah

jawa dan kelapa parut; tawonan yaitu sejenis kue putu tetapi dicampur dengan

kacang merah atau kacang tolo, buki samadengan tawonan tetapi diberi warna

hitam. Lebih jelas lihat gambar berikut. Makan siang dan makan malam pada umumnya lebih bervariasi atau

beragam dalam pengolahan dan penyajian. Pola makan siang dan malam

masyarakat desa dengan perkotaan ada perbedaan. Masyarakat pedesaan memiliki

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 47

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kesulitan untuk mengembangkan jenis makanan dan minuman. Jumlah makanan

dan minuman yang disediakan atau konsumsi terbatas setiap harinya. Sayur

biasanya hanya diambil dari hasil kebun atau ladang atau dari tanaman pagar

pekarangan rumah dan tidak banyak menggunakan bumbu, dengan cara

pengolahan yang sederhana sesuai dengan tata cara yang dilakukan secara turun

temurun. Sebaliknya dengan masyarakat perkotaan jenis makanan, cara

pengolahan dan penyajian lebih beragam.

Tradisi Kuliner terkait Waktu Tertentu atau Peristiwa Tertentu Masyarakat Lumajang tergolong masyarakat yang masih memegang teguh

tradisi warisan leluhur, khususnya dalam hal memperingati hari-hari atau waktu

yang dianggap punya nilai tersendiri atau sakral. Peringatan hari-hari itu

dilakukan dengan menyelenggarakan slametan sebagai bentuk rasa syukur kepada

Tuhan. Ketika acara slametan ini disajikan beragam makanan, salah satu makanan

yang hampir ada ada di setiap perayaan adalah tumpeng. Falsafah tumpeng

berkaitan dengan kondisi geografis Indonesia yang dikelilingi oleh gunung.

Tumpeng berasal dari tradisi masyarakat Indonesia sejak jaman dahulu sebagai

bentuk memuliakan gunung sebagai tempat bersemayam arwah leluhur.

Kebudayaan Hindu pun berpengaruh terhadap filosofi tumpeng, bentuk tumpeng

yang dicetak kerucut dimaksudkan meniru gunung Mahameru tempat

bersemayamnya para dewa-dewi. Tumpeng menurut tradisi Islam-Jawa

merupakan kependekan dari bahasa Jawa, yen metu kudu sing mempeng artinya

harus bersungguh-sungguh dan benar. Lauk yang menyertai tumpeng biasanya

berjumlah 7 dalam bahasa Jawa disebut pitu, maksudnya pitulungan atau

pertolongan. Tumpeng memiliki makna sebagai permohonan kepada Tuhan agar

diberi kemudahan, kebaikan dan pertolongan. Berikut beberapa waktu atau hari

yang diperingati oleh masyarakat Lumajang: a. Suro, peringatan 1 Muharam (kalender Hijriyah) atau 1 Suro yaitu peringatan

tahun baru berdasarkan kalender hijriyah atau sistem penanggalan Qomariyah

(berdasarkan peredaran bulan). Peringatan 1 Suro ini memiliki arti khusus di

kalangan masyarakat Jawa, Madura atau masyarakat Lumajang, khususnya

mereka yang masih menganut tradisi Kejawen. Mereka akan melakukan

slametan dengan menyajikan makanan dengan menu antara lain nasi, lauk

pauk berupa daging ayam dan telur, tempe tahu , sayur mayur, mie, perkedel

kentang. Selain nasi, mereka membuat bubur yang biasa disebut dengan

bubur suro. b. Sapar, diperingati dengan membuat bubur atau biasa disebut dengan jenang

sapar atau jenang grendul. Bahan utama jenang grendul dari tepung ketan yang dibentuk bulat-bulat sebesar biji kelerng, direbus dan ditambahkan gula merah, dikonsumsi dengan topping santan kental.

c. Muludan atau maulid nabi yaitu peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw, berkaitan dengan masyarakat Lumajang mayoritas beragama Islam. Muludan dirayakan dengan cara melaksanakan slametan dilakukan meramai-ramai dengan membawa makanan dan buah-buahan ke masjid atau langgar. Masing-masing warga saling menukar apa yang mereka bawa atau ijol-ijolan, kemudian setelah doa bersama maka melakukan makan bersama-sama. Tujuan peringatan ini untuk selalu ingat dan dapat mencontoh perilaku nabi.

d. Megengan atau slametan menyambut datangnya bulan ramadhan. Makanan

48 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

e. yang khas pada acara megengan adalah kue apem yang merupakan jajanan utama yang harus ada pada slametan ini.

f. Riyoyo atau slametan yang dilakukan menyambut datangnya 1 Syawal, jenis makanan yang khas adalah kue apem.

g. Kupatan atau slametan yang dilakukan 7 hari setelah lebaran atau tanggal 7 Syawal. Jenis masakan utama pada acara Kupatan adalah kupat yaitu beras yang dibungkus daun kelapa muda atau janur, lepet adalah ketan dibungkus janur, lontong yaitu beras dibungkus daun pisang dan pada umumnya lontong berbentuk kerucut segitiga dengan makanan pelengkap opor ayam, sambel goreng, telur petis, bubuk kedelai atau koya, kelapa parut yang digoreng tanpa minyak atau srundeng.

h. Barikan atau slametan dan makan bersama yang dilakukan di perempatan

desa/jalan desa dalam rangka memperingati hari penting, dalam hal ini malam

menjelang 17 Agustus atau malam 16 Agustus, seluruh warga di Lumajang

melaksanakan barikan. Tradisi Kuliner dalam Daur Hidup

Tradisi kuliner dalam daur hidup adalah slametan yang dilakukan terkait proses perjalanan hidup seseorang sejak dlam kandungan hingga meninggal, tujuannya untuk meminta perlindungan Tuhan agar selalu terjaga keselamatan dan tercapai kebahagian dunia akherat, antara lain: a. Slametan terkait dengan kehamilan, terdiri dari slametan ketika usia

kandungan 3 bulan dan 7 bulan dan slametan ini hanya dilakukan untuk

kehamilan pertama (anak pertama). Makanan yang disiapkan adalah nasi,

sayur, mie, telur, daging ayam serta bubur merah.

b. Slametan bayi yang baru lahir atau brokohan dengan bubur merah dan nasi

kulupan (sayur urap), atau kue yang terbuat dari tepung ketan, gula merah dan

dibungkus daun pisang yaitu jajan iwel-iwel.

c. Slametan pupak puser yaitu ketika bayi pusarnya telah mengering dan lepas

jahitannya. Makanan yang disajikan sama dengan acara brokohan.

d. Sunatan atau acara khitanan anak laki-laki yaitu sebagai tanda anak laki-laki

memasuki masa dewasa atau akil baliq, dilakukan slametan.

e. Acara perkawinan atau slametan manten jenis makanan yang disiapkan terdiri

dari makanan untuk kenduri slametan, makanan hantaran untuk calon besan,

makanan sajian untuk dimakan bersama-sama

f. Slametan untuk orang meninggal terdiri dari makanan ketika menggali

kuburan, slametan kirim doa mulai peringatan 3 hari sampai dengan 7 hari, 40

hari, 100 hari, mendhak 1 (1 tahun), mendhak 2 (2 tahun), 1000 hari. Perkembangan Tradisi Kuliner Tradisional Masyarakat Lumajang

Trend pembangunan di berbagai daerah era 2000 hingga sekarang adalah

pengembangan pariwisata berbasis budaya, trend ini berimpas secara langsung

kepada tradisi kuliner masyarakat. Kegiatan wisata yang identik jalan-jalan atau

melancong secara tidak langsung berdampingan dengan kegiatan makan

khususnya mencari dan menikmati makanan khas di daerah tujuan wisata.

Berbagai daerah berlomba-lomba menggali makanan rakyat atau tradisional untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 49

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ditampilkan sebagai daya tarik wisata kuliner dan berupaya membuat ikon-ikon

makanan khas daerah. Kuliner memiliki peranan penting dalam promosi

pariwisata Indonesia dan kebudayaan Nusantara. Beberapa kuliner khas Indonesia

sudah mulai terkenal hingga mancanegara. Indonesia juga disebut sebagai salah

satu surga kuliner di dunia didukung dengan letak kepulauan Nusantara yang

subur dalam menghasilkan sumber daya alam sebagai bahan pangan yang

berkualitas.

Tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang mengalami perkembangan

seiring berkembangnya jaman dan masyarakat serta budaya. Kultur masyarakat

pendalungan yang merupakan masyarakat campuran atau embeded menjadikan

masyarakat Lumajang pada umumnya bersikap terbuka terhadap pendatang dan

budaya serta perubahan. Kondisi ini berdampak hampir di segala bidang

kehidupan demikian juga dengan budaya kuliner di masyarakat. Tradisi kuliner

tradisional masyarakat Lumajang merupakan salah satu aset atau potensi yang

bisa dikembangkan sebagai sub sektor ekonomi kreatif dalam rangka

meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Terlebih dengan dikembangkannya

daerah Lumajang sebagai daerah tujuan wisata di provinsi Jawa Timur, maka

tradisi kuliner akan ikut berkembang sebagai wisata kuliner. Kondisi ini disadari

oleh pemerintah daerah, melalui berbagai kebijakan (sebagai regulasi) yang

bertujuan untuk mengembangkan potensi kuliner tradisional dari ranah domestik

ke ranah publik yaitu dari hidangan keluarga dan hajatan atau ritual menjadi

bernilai ekonomi menambah pendapatan keluarga.

Ikon Lumajang sebagai Kota Pisang sudah lama dikenal, karena memang

daerah Lumajang banyak menghasilkan aneka ragam jenis pisang dan salah

satunya yang merupakan ciri khas pisang dari Lumajang adalah Pisang Agung.

Upaya memperkuat identitas sebagai kota pisang maka hampir di setiap sudut

kota khususnya tempat-tempat yang strategis didirikan patung pisang agung,

bahkan taman kantor bupati dihiasi dengan patung pisang agung. Pisang agung ini

diolah oleh masyarakat menjadi produk olehan pangan berupa kripik pisang agung.

Kripik pisang agung banyak diproduksi oleh masyarakat di daerah Senduro

sebagai salah satu produk UMKM. Kripik pisang agung merupakan salah satu

produk olahan pangan andalan kabupaten Lumajang dan telah menjadi salah satu

oleh-oleh khas dari Lumajang. Selain pisang agung adalah jeruk siam (dari garut)

yang oleh masyarakat lebih dikenal dengan nama jeruk Lumajang dan masih

banyak lagi jenis makanan atau kuliner masyarakat yang berkembang menjadi

komoditas ekonomi.

Pemerintah daerah melalui Tim Penggerak PKK kabupaten secara

berkesinambungan melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk

mengembangkan potensi kuliner lokal. Salah satunya adalah lomba makanan khas

Lumajang yang diikuti oleh semua kecamatan di Kabupaten Lumajang. Kekayaan

kuliner di kabupaten Lumajang yang berlimpah, hampir di setiap desa di wilayah

kabupaten Lumajang memiliki makanan khas yang merupakan tradisi kuliner

tradisional, namun seiring perkembangan jaman keberadaannya hampir hilang

atau bahkan punah. Harapan dari kegiatan ini mampu mengenalkan dan

50 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mengangkat makanan khas kabupaten Lumajang untuk menjadi satu potensi

wisata kuliner di kabupaten Lumajang.

Lomba kuliner ini didasarkan pada kriteria penilaian yaitu penampilan,

kreatifitas, gizi dan resep. Setiap kuliner yang dilombakan selain mencantumkan

resep juga harus dijelaskan tentang sejarah makanan, latar belakang keberadaan

makanan yang menjadi khas suatu wilayah. Lomba ini memperkenalkan 21

makanan khas yang berasal dari 21 kecamatan di wilayah kabupaten Lumajang.

Contohnya beberapa makanan tradisional yang berasal dari daerah Ranuyoso

Kecamatan Klakah. yaitu rujak nangka muda yang dari dulu hingga sekarang tetap

menjadi makanan rakyat atau makanan tradisional, bahkan sekarang sudah dijual

di warung-warung. Nangka muda banyak ditemukan di Ranuyoso hampir setiap

rumah memiliki tanaman nangka ini. Makanan khas wilayah di kecamatan lain

juga banyak diantaranya krecek bung yaitu makanan dengan bahan baku utama

dari tunas bambu muda atau rebung. Makanan tersebut ada kalanya disajikan saat

acara sedekah desa dan acara selamatan selapanan bayi.

Selain melalui lomba kuliner tradisional, pemerintah daerah juga

memfasilitasi para warga masyarakat yang membuka usaha makanan dengan

memberikan satu lokasi atau tempat mereka membuka usaha sebagai kawasan

kuliner di kota Lumajang. Lesehan Stadion Semeru (LSS) atau sering juga dikenal

dengan nama Lesehan Taman Toga merupakan salah satu tempat destinasi wisata

kuliner yang bisa dikunjungi oleh wisatawan baik lokal maupun internasional saat

berlibur di Lumajang. Tujuan didirikannya LSS adalah mengurangi pengangguran

dan sebagai penunjang kehidupan masyarakat Lumajang sebagai wujud

keperpihakan pemerintah dengan ekonomi kerakyatan. LSS berlokasi di Jl. Gajah

Mada atau di areal bagian belakang dari stadion dan berada di lingkungan hutan

kota. Tempatnya cukup strategis relatif di tengah kota, dekat daerah perkantoran,

pendidikan dan perumahan penduduk. Pemerintah kota menyediakan 30 lapak

untuk pedagang makanan, meskipun kenyataannya yang berdagang lebih dari 30

pedagang makanan dan minuman. Aneka menu kuliner, mulai dari masakan

tradisional hingga masakan kekinian ditawarkan oleh para pedagang kepada

pengunjung. Saat malam Minggu LSS ramai pengunjung, terutama para kaum

muda. Selain lapak dan pedagang kaki lima, di sepanjang jalan Gajah Mada telah

banyak berdiri tempat-tempat jajanan yang bergaya kota atau modern seperti café,

restaurant yang biasanya pengunjungnya kalangan anak muda dan masyarakat

kelas menengah ke atas.

Perkembangan wisata kuliner di wilayah Lumajang berkembang pesat,

ditunjang dengan berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pihak

swasta atau kerjasama antara pemda dan swasta serta yang paling menentukan

adalah semangat dari para warga untuk mengembangkan kuliner mereka sebagai

asset ekonomi. Hampir di setiap pusat-pusat perdagangan baik di ibukota

kabupaten maupun kecamatan bermunculan dan berkembang kedai – kedai,

warung warung makanan lesehan dengan menu yang bervariasi dari makanan

tradisional, hingga modern. Kondisi ini sangat beralasan karena kultur masyarakat

Lumajang secara umum adalah masyarakat yang terbuka, mudah menerima

berbagai unsur dari luar, ulet dalam berusaha khususnya dicirikan oleh etnis

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 51

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Madura yang lebih banyak berusaha di sektor perdagangan selain pertanian.

Berbagai makanan yang dahulunya merupakan makanan rumahan yang sebatas

untuk pemenuhan pangan keluarga saat ini sudah berkembang menjadi komoditas

bagian dari ekonomi kreatif masyarakat Lumajang, contohnya nasi jagung.

Nasi jagung yang merupakan makanan pokok etnis Madura, saat ini menjadi

ciri khas menu makanan lesehan di Lumajang. Nasi jagung menjadi trend

kekinian masyarakat kota Lumajang, mereka tidak malu bahkan dengan bangga

mengkonsumsi makanan ini. Meskipun hanya sebagai makanan selingan tapi

makanan ini menjadi popular di kalangan anak muda. Selain alasan kesehatan ,

mengenang romantisme masa lalu menjadi alasan generasi tua mengkonsumsi

makanan ini. Situasi ini ditunjang dengan gerakan penganekaragaman makanan

pokok non beras yang dicanangkan oleh pemerintah daerah dan dimanfaat oleh

masyarakat sebagai peluang bisnis, sehingga banyak dijumpai warung-warung

nasi jagung.

Selain nasi jagung kuliner yang juga banyak diminati oleh masyarakat

Lumajang adalah minuman Wedang Angsle. Minuman yang berkomposisi dari

santan, gula, ketan, kacang hijau dan roti ini memang benar-benar mantap jika

disajikan saat suasana dingin. Rasanya yang tidak terlalu manis dan tidak berat,

ditambah lagi dengan rasa rotinya yang lembut membuat beberapa orang

menggemarinya. Minuman ini merupakan salah satu minuman tradisional etnis

Jawa, merupakan perpaduan antara berbagai jenis bahan dengan citarasa yang

khas rasa jahe yang menghangatkan. Minuman ini biasa dikonsumsi malam hari

untuk menghangatkan badan serta untuk menghilangkan rasa lapar selain dahaga

tentunya.

Penutup

Tradisi kuliner masyarakat pada umumnya selalu memiliki keunikan akibat

dari pengaruh lingkungan, karena tradisi kuliner merupakan salah satu dari

cerminan budaya masyarakat. Tradisi kuliner tidak hanya terkait dengan masalah

makanan atau konsumsi bahan pangan namun lebih dari itu kearifan lokal

terkandung di dalam tradisi kuliner tradisional suatu masyarakat. Tradisi kuliner

masyarakat Lumajang merupakan salah satu masyarakat dengan budaya

pendalungan yaitu pencampuran antara budaya Jawa dan Madura memiliki tradisi

kuliner tradsisional yang unik.

Secara umum tradisi kuliner tradisional masyarakat Lumajang sama dengan

pada umumnya tradisi kuliner masyarakat Jawa dan Madura. Tradisi kuliner

masyarakat Lumajang sangat beragam, secara khusus dapat diklasifikasikan

menjadi dua bagian yaitu tradisi kuliner sehari- hari dan tradisi kuliner terkaitan

dengan perayaan atau syukuran atau slametan. Tradisi kuliner terkait dengan

perayaan secara khusus dibedakan menjadi 2 yaitu tradisi kuliner terkait

memperingati waktu atau peristiwa yang dianggap penting, tradisi kuliner terkait

dengan daur hidup.

Trend pembangunan dan pengembangan pariwisata di Lumajang berdampak

terhadap perkembangan tradisi kuliner tradisional. Potensi dan peluang ini

52 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

menjadi masyarakat Lumajang mengembangkan kuliner yang mereka miliki

sebagai sebagai salah satu komoditas bagian dari ekonomi kreatif, melalui

kegiatan mandiri maupun dengan bantuan pemerintah dan pihak swasta.

Pemerintah daerah secara aktif bekerjasama dengan swasta melalui berbagai

kebijakan dan kegiatan mengembangkan potensi kuliner tradisional dari ranah

domestik ke ranah publik yaitu dari hidangan keluarga dan hajatan atau ritual

menjadi bernilai ekonomi menambah pendapatan keluarga.

Pengembangan kuliner tradisional harus terus dilakukan baik oleh

masyarakat dengan pemerintah sebagai pengambil kebijakan dengan tetap

memperhatian nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam tradisi kuliner

tradisional agar jangan diabaikan. Perlu dilakukan upaya untuk

mendokumentasikan dan menginventarisasi ragam kuliner tradisional yang ada di

masyarakat Lumajang agar generasi muda lebih mengenalnya, karena banyak

kalangan generasi muda yang mulai tidak mengenal ragam kuliner tradisional.

DAFTAR PUSTAKA Baharsyah dan Karana 2003 Pengembangan Pangan Tradisional dalam Rangka Penganekaragaman

Pangan. Jakarta: Departemen Pertanian. Budi, Noor Sulistyo

Bringeus, Nils-Arvid.

1975 Food and folk belief: on boiling blood sausage gastronomi the anthropology of food and food habits. Margaret L Arnott (ed) Paris: Mouton Pubhlisher

Douglas, Mary. 1971 Dechipering a meal, myth symbol and culture. C Geertz (ed) New York:

W.W.Norton & Company, Inc. Foster, G. M., Anderson, B. G. Ernayanti, dkk

2003 Ensiklopedi Makanan Tradisional (Di Pulau Jawa dan Pulau Madura). Jakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Gardjito, Murdijati. dkk

2016 Kuliner Yogyakarta Pantas Dikenang Sepanjang Masa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Hatley, Ron.

1984. Mapping cultural regions of Java‖, editor Ron Hatley dalam Other Javas

away from the Kraton. Clayton, Australia: Monash University. Hidayat, Mansur 2013. Arya Wiraraja dan Lamajang Tigang Juru Menafsir Ulang Sejarah

Majapahit Timur. Denpasar: Pustaka Larasan Hirschoff, Paula, M. dan Kotler, N. G. 1989 Completing the food chain. Washington & London: Smithsonian Institusion

Press. Jerome, Norge W & Randy F. Kandel & Gretel H Pelto.

1980 Nutritional anthropology, contemporary approaches to diet and culture. USA: Redgrave Publishing Company

Makfoeld, D., dkk. 2002. Kamus Istilah Pangan dan Nutrisi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 53

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Maryoto, Andreas. 2009 Jejak Pangan: Sejarah, Silang Budaya, dan Masa Depan. Jakarta: Penerbit

Buku Kompas. Nurti, Yevita 2017 Kajian Makanan Dalam Perspektif Antropologi dalam Jurnal Antropologi,

Vol. 19 (1),hal. 1-10 Rahman, Fadly 2016 Jejak Rasa Nusantara Sejarah Makanan Indonesia. Jakarta : PT Gramedia

Pustaka Utama Suryadarma, P. P., & Swasono, M. F. 1986 Antropologi kesehatan. Penerbit Universitas Indonesia. Sutarto, Ayu.

2006. Sekilas tentang Masyarakat Pandalungan. Makalah disampaikan pada acara pembekalan Jelajah Budaya, Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 7-10 Agustus

Tajudin, Qaris., dkk. 2015 Antropologi Kuliner Nusantara (Seri Buku Tempo). Jakarta : PT Gramedia Tim Tempo 2015. Antropologi Kuliner Nusantara Ekonomi, Politik dan Sejarah di Belakang

Bumbu Makanan Nusantara. Jakarta: PT. Gramedia.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 54

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PERANAN MADE ADA DALAM PERUBAHAN EKONOMI

DI DUSUN PAKUDUI TEGALALANG GIANYAR

(1984-2018)

Anak Agung Inten Asmariati

Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Sebelum Bali dikenal sebagai daerah wisata, kehidupan ekonomi

masyarakatnya sebagian besar bergerak di sektor agraris. Untuk

daerah pegunungan perekonomian masyarakatnya tidak hanya

ditopang dari sektor pertanian, tetapi juga dari hasil-hasil

perkebunanan, seperti kopi, cengkeh, jeruk, dan kelapa. Salah satu

daerah pegunungan, yaitu di Dusun Pakudui Tegalalang, daerah ini

merupakan daerah yang sejuk dengan menghasilkan biji

kopi,kelapa yang pemasarannya hingga ke Denpasar. Tulisan ini

mengulas bagaimana peranan Made Ada dalam perubahan

perekonomian di dusun Pakudui Tegalalang Gianyar. Berawal pada

tahun 1984, terjadi perubahan mata pencaharian penduduknya yaitu

sebagai pengrajin patung. Ketekunan Made Ada mengembangkan

seni patung yaitu patung garuda. Keberanian dia berguru hingga ke

desa mas dan mengembangkan seni patung garuda hingga

melambungkan namanya ke mancanegara. Melalui Bapak Kembar

Kerepun yang pada waktu itu menjabat sebagai bupati Gianyar

memperkenalkan karya-karya Made Ada ke Istana Negara. Hasil

karya Ada yang menarik minat presiden Soeharto, sehingga Bapak

Presiden memesan 25 patung ukuran sedang untuk di istana negara

dan 100 patung kecil untuk di Taman Mini Indonesia. Pesanan ini

dikerjakan dengan baik melibatkan tenaga-tenaga ukir dari dusun

Pakudui. Made Ada tidak mau mengambil tenaga pengrajin selain

dari dusunnya sendiri. Dalam perkembangan, lambat laun Bali

semakin di kenal tidak hanya keindahan alam begitu pula dengan

kebudayaannya. Hal inilah yang berhasil dimanfaatkan Made Ada

untuk menjadikan dusunnya sebagai daerah penghasil patung

garuda. Diberikan pelatihan gratis oleh Made Ada pada generasi

muda setempat, dan dilibatkan mereka dalam setiap pesanan patung

garuda yang diterima Ada. Kegiatan ini menjadikan mata

pencaharian tambahan bagi masyarakat di dususn Pakudui, ini

berlangsung hingga sekarang. Dan melalui kegiatan ini mampu

meningkatkan perekonomian keluarga masyarakat Pakudui.

Kata Kunci: Peranan Made Ada, Perubahan Ekonomi, Dusun

Pakudui.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 55

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

I

PENDAHULUAN

1.Latar belakang

Dusun Pakudui merupakan wilayah yang berada di desa Kedisan

Kecamatan Tegalalang Kabupaten Gianyar. Daerah ini merupakan daerah

pegunungan dengan hawanya yang sejuk. Kehidupan masyarakatnya sebagian

besar mata pencaharian mereka sebagai petani. Selain itu, wilayah ini merupakan

salah satu wilayaj penghasil kopi. Ada juga yang menjadi tukang bangunan dan

pengrajin patung. Keluarga Bapak Made Ada sangat terkenal sebagai pengrajin

patung, terutama karya kakeknya yang sering digunakan oleh masyarakat

setempat untuk menghiasi rumah mereka yaitu di bale dangin. Tanpa Made Ada

sadari kegiatan kakeknya inilah yang kemudian menjadikan dia terkenal di

bidang seni patung dan di sebut sebagai maestro. Keterbatasan ekonomi yang

dialami keluarga Made Ada menjadikan seorang Ada yang ulet dan tekun.

Keterlibatan Made Ada kecil dalam pekerjaan kakek dan ayahnya menghambat

pendidikan Ada. Untuk menyelesaikan bangku Sekolah Dasar menemuh waktu

hingga 10 tahun. Hal itu diselesaikan melalui timbal balik yang di minta oleh guru

laki-laki di sekolah Ada agar mereka diajari seni patung. Keahlian yang dimili

Made Ada di dengar oleh Bapak Ida bagus Tilem yang terlebih dulu di kenal

mancanegara sebagai ahli patung modern. Diajaklah Ada untuk bekerja di galery

Ida bagus Tilem di desa Mas Gianyar. Kepiawaian Ada dalam seni patung

semakin terasah, kemudian Adapun dilibatkan oleh bupati Gianyar saat itu Bapak

kembar Kerepun untuk menghiasi Istana Negara dengan patung garuda karya

Made ada

Berkembangnya keahlian Made Ada pada seni patung memberi dampak

yang positip pada sektor ekonomi bagi masyarakat dusun Pakudui. Ana-anak

mulai dilatih sebagai pematung dan ibi-ibi rumah tangga mereka sebagai tukang

amplas patung.untuk mengisi waktu senggang mereka di sela-sela kesibukan

sebagai ibu rumah tangga. Pada tahun 1980-an daerah Pakudui mulai dikunjungi

wisatawan asing untuk melihat keindahan alam terutama sawah dengan

teraseringnya. Terputusnya jalan yang menghubungkan dusun Pakudui dengan

jalan utama menghambat perkembangan Pakudui untuk dikunjungi wisatawan

asing. Melalui dana Made Ada dan swadaya masyarakat di dusun tersebut maka

dibutkanlah jembatan penghubung secara permanen. Dengan adanya jembatan ini,

maka semakin lancar perekonomian masyarakatnya terutama dalam memasarkan

hasil pertanian dan perkebunan mereka.

Tulisan ini, memberikan gambaran tentang bagaimana peranan Bapak

Made Ada dalam perubahan ekonomi mayarakat dusun Pakudui dari tahun 1984

sebagai awal penelitian karena di tahun inilah karya-karya Made Ada di kenal dan

pesanan yang di dapat dari istana negara melibatkan tenaga-tenaga dari dusun

Pakudui. Dengan batas akhir tulisan di tahun 2018 dengan data lapangan berupa

wawancara hingga tahun tersebut.

56 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

II

PEMBAHASAN

2.1 Perubahan Ekonomi di Dusun Pakudui

Dalam konsep kebudayaan, sistem budaya adalah seperangkat

pengetahuan yang melingkupi pandangan hidup, keyakinan, nilai norma, aturan,

hukum yang menjadi milik suatu masyarakat melalui suatu proses belajar yang

kemudian diacu untuk menata, menilai dan menginterpretasikan sejumlah benda

dan peristiwa dalam berbagai aspek kehidupan dalam lingkungan masyarakat

yang bersangkutan (Melalatoa,1997 dalam Sudhana Astika,2008:40). Batasan ini

memberikan sebuah pengertian atas beberapa konsep penting seperti: pengetahuan,

keyakinan, nilai, norma, aturan dan hukum yang ada dalam kehidupan masyarakat

atau suatu komunitas.

Pada kehidupan komunitas masyarakat desa di Bali bekerja adalah bagian

dari yadnya. Dalam bekerja akan berhubungan dengan mata pencaharian

masyarakatnya. Jenis-jenis mata pencaharian biasanya bergantung pada

wilayah di mana tinggal. Masyarakat yang tinggal di daerah pantai cenderung

mata pencahariannya sebagai nelayan. Begitu pula yang tinggal di daerah

pegunungan sebagian besar bergerak di sektor pertanian, peternakan dan juga

perkebunan. Begitu pula dengan wilayah Dusun Pakudui Kedisan Tegalalang,

wilayah ini terletak di daerah pegunungan dan mata pencaharian masyarakatnya

dominan dari sektor pertanian. Hasil perekonimian masyarakatnya tidak saja dari

hasil pertanian juga dari hasil perkebunan dan peternakan.

Dusun Pakudui di kenal sebagai sentra penghasil patung garuda, namun

sebelum Pulau Bali berkembang sebagai daerah pariwisata, kehidupan

perekonomian masyarakatnya di topang dari sektor pertanian, perkebunan dan

juga peternakan. Kondisi wilayah Pakudui pada tahun 80-an sulit untuk diakses

karena jembatan yang menghubungkan Dusun Pakudui dengan jalan utama yang

menuju Gianyar atau Denpasar.

Perubahan ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat Pakudui, tidak

terlepas dari peranan Made Ada melalui hasil-hasil karyanya yang dikenal hingga

ke Mancanegara. Bila kita merujuk pada teori perubahan situasi ekonomi,

menitikberatkan pada mekanisme transformasi yang dialami oleh dualism, yang

semula bersifat subsistem dan menitikberatkan pada dualis tradisional menuju ke

situasi lebih modern yang didominasi oleh dualis sektor non-primer khusunya

dualism jasa. Masyarakat Pakudui bisa dikatakan telah mengalami transformasi

ekonomi dari masyarakat agararis ke industrialis. Namun tidak sepenuhnya

mereka meninggalkan kegiatan mereka pada sektor pertanian. Masyarakat

Pakudui memandang pertanian sebagai sektor utama perekonomian mereka,

karena keberadaan sawah yang mereka miliki merupakan warisan keluarga dan

mereka masih memandang tabu untuk menjual harta warisan keluarga.

2.2 Faktor Penyebab Perubahan Ekonomi di Dusun Pakudui

Perubahan ekonomi bisa juga disebut sebagai pertumbuhan ekonomi.

Pertumbuhan ekonomi dapat diartikan sebagai proses perubahan kondisi

perekonomian suatu wilayah secara berkesinambungan menuju keadaan yang

lebih baik selama peride tertentu. Perubahan ekonomi dapat diartikan juga sebagai

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 57

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam

bentuk kenaikan pendapatan masyarakat.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan ekonomi di Dusun Pakudui

yaitu; (a), faktor Sumber Daya Manusia. Sumber daya manusia selaku subjek

perubahan memiliki kompetensi yang memadai untuk melaksanakan proses

perubahan. Ini merujuk pada tokoh Made Ada selaku subjek di Dusun Pakudui

telah memberikan kontribusi positif terhadap perubahan ekonomi masyarakatnya.

(b), Faktor sumber daya alam. Sebagian besar wilayah di Dusun Pakudui

menggunakan sumber daya alam dalam melaksanakan proses perubahan ekonomi.

Namun demikian, sumber daya alam saja tidak menjamin keberhasilan proses

perubahan ekonomi apabila tidak di dukung oleh kemampuan sumber daya

manusianya dalam mengelola sumber daya alam yang tersedia. (c), Faktor ilmu

pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

semakin pesat mendorong adanya percepat proses perubahan ekonomi seperti

pergantian pola kerja, pemanfaatan media sebagai sarana promosi, kualitas dan

kuantitas serangkaian aktivitas yang dilakukan dan pada akhirnya berakibat pada

percepat lajunya perubahan ekonomi. Faktor ini dimanfaatkan oleh Made Ada

untuk mempromosikan karya-karyanya melalui media cetak, elektronok maupun

penempatan brosur di daerah destinasi wisata. (d), Faktor Budaya; Faktor budaya

memberikan dampak tersendiri terhadap pertumbuhan ekonomi yang dilakukan.

Faktor budaya memberikan dampak tersendiri terhadap erubahan ekonomi yang

dilakukan. Faktor ini dapat berfungsi sebagai pembangkit atau pendorong proses

pertumbuhan tetapi dapat juga menjadi penghambat. Budaya yang dapat

mendorong diantaranya sikap kerja keras dan kerja cerdas, jujur, ulet dan

sebagainya. Adapun budaya yang dapat menghambat diantaranya sikap anarkis,

egois, boros dan sebagainya. Justru dari dua hal di atas sikap yang dimiliki oleh

penduduk Pakudui cenderung mereka pekerja keras dan ulet, berangkat dari

keinginan mereka memperbaiki perekonomian keluarga dan meningkatkan

kualitas keluarga. (e), Sumber daya modal. Sumber daya modal dibutuhkan

manusia untuk mengolah sumber daya alam dan meningkatkan kualitas IPTEK.

Sumber daya modal berupa barang-barang modal sangat penting bagi

perkembangan dan kelancaran perubahan ekonomi karena modal juga dapat

meningkatkan produktivitas. Modal skill seni ukir yang dimiliki made Ada

kemudian dikembangkan dengan memberikan pelatihan gratis kepada generasi

muda di Pakudui. Akses ini disalurkan dengan hasil-hasil karya dikenalkan ke

istana negara dan juga ke mancanegara.

III

PENUTUP

Kelebihan yang dimiliki Made Ada di bidang seni ukir dapat dimanfaatkan

secara baik oleh Made Ada. Pariwisata memiliki peranan penting dalam

mengenalkan hasil-hasil karya Made Ada. Namun hal ini tidak dinikmati sendiri

oleh Ada namun juga melibatkan masyarakat Pakudui, baik tenaga laki-laki

maupun perempuan. Ini memberikan dampak positip terhadap perekonomian

masyarakat Pakudui, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup keluarga mereka.

Daftar Pustaka

Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Yayasan Pustaka Obor Indonesia. 2011

58 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Griya, Wayan. Pariwisata dan Dinamika Kebudayaan Lokal, Nasional dan

Global. Denpasar: Upada Sastra. 1996.

Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta Tiara Wacana. 2003

Nordholt, Henk Schulte, Bali Benteng Terbuka 1995-2005. Pustaka Larasan.

KITLV-Jakarta.2007

Pitana, I Gde (ed). Dinamuka Masyarakat dan Kebudayaan Bali (sebuah ontologi),

Balai Pustaka. 1994.

Soekanto,Soejono. Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Dian Rakyat, 1985.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 59

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

RIAK GELOMBANGRESILIENSI KELUARGA ORANG DENGAN

GANGGUAN JIWA (ODGJ) DALAM BALUTAN ASPEK BUDAYA BALI

Bambang Dharwiyanto Putro

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Keluarga yang memiliki anggota keluarga orang dengan gangguan

jiwa (ODGJ) mengalami beban berat dan berbagai macam bentuk

stres yang mengakibatkan kondisi ini sulit untuk dihadapi. Hal ini

dipengaruhi oleh isolasi sosial, stigmatisasi dan beban psikologis

serta beban ekonomi yang makin meningkat. Namun disisi lain

keluarga tetap berharap penderita dapat sembuh total.Pribadi yang

mampu bertahan dalam kondisi sulit tersebut disebut dengan

pribadi yang memiliki resiliensi. Resiliensi dilihat sebagai kualitas

pribadi yang melibatkan kemampuan penyesuaian diri yang tinggi

dan luwes saat dihadapkan pada tekanan, baik internal maupun

eksternal, tetapi juga pada akhirnya mereka dapat menjadi lebih

kuat dari pada sebelumnya.

Di Bali menurut kepercayaan orang Bali yang beragama Hindu

terdapat suatu konsep bahwa sehat sakit terjadi bila tidak ada

keseimbangan ketiga unsur yaitu Buana Alit, Buana Agung dan

Sang Hyang Widhi Wasa sebagai faktor sekala atau niskala yang

dapat menimbulkan gengguan pada manusia. Kepercayaan ini yang

menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun

atau balian untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu

pun setelah penderita keluar dari rumah sakit, sebagian besar

penderita berobat ke dokter dan balian dan ada yang lebih sering ke

balian saja atau dokter saja. Jika mereka kambuh maka sebagian

besar datang ke balian. Balian mampu mempengaruhi pasien dan

keluarganya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan

balian. Terlihat bahwa peranan budaya Bali khususnya yang ada

kaitannya dengan terjadinya gangguan jiwa perlu mendapat

perhatian khusus.

Penulisan artikel ini ingin menunjukkan rekomendasi untuk

perawatan potensial yang dapat menolong dalam tahap

penyembuhan atau pemulihan paling tidak sebagai tambahan

pengalaman.

Kata Kunci: resiliensi, sehat-sakit, balian, aspek budaya

60 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. Pendahuluan

Proses globalisasi dan pesatnya kemajuan teknologi informasi memberi

dampak terhadap nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat. Sementara tidak semua

orang mempunyai kemampuan yang sama untuk menyesuaikan dengan berbagai

perubahan tersebut. Akibatnya, gangguan jiwa saat ini telah menjadi masalah

kesehatan global.Lebih dari 450 juta penduduk dunia hidup dengan gangguan jiwa.

Secara global angka kekambuhan pada pasien gangguan jiwa ini mencapai 50%

hingga 92% yang disebabkan karena ketidakpatuhan dalam berobat maupun

karena kurangnya dukungan dan kondisi kehidupan yang rentan dengan

meningkatan stress (Sheewangisaw, 2012: 1-10). Penderita gangguan jiwa di

Indonesia berdasarkan data Riskesdas (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2007

melaporkan angka gangguan jiwa berat (skizofrenia) 4-6 per 1000 penduduk.

Sebelumnya angka kelainan jiwa (psikosis) di Indonesia diperkirakan sebesar 1-3

per 1000 penduduk. Gangguan mental emosional hasil Riskedas 11,6%.

Sebelumnya gangguan jiwa (neurosis) termasuk neurosis cemas, obsesif, hysteria,

serta gangguan kesehatan jiwa psikosomatik/psikofisiologik sebagai akibat

tekanan hidup berkisar antara 20-60 per 1000 penduduk.Demikian pula halnya

dengan ketergantungan obat, kenakalan remaja, dan penggunaan atau

ketergantungan alkohol serta penyimpangan perilaku manusia (Depkes RI.KMK.

No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010: 2).

Banyak peraturan perundangan di bidang kesehatan yang telah disusun

oleh pemerintah mulai dari UU.No. 3 Tahun 1966 tentang kesehatan jiwa, UU. No.

36 Tahun 2009, hingga peraturan dan keputusan menteri dengan tujuan untuk

mengatur upaya-upaya kesehatan jiwa. Namun dalam pelaksanaannya, sistem

perundang-undangan yang berlaku hingga saat ini belum cukup banyak membantu

dalam hal peningkatan upaya layanan kesehatan jiwa.Penderita gangguan jiwa,

selanjutnya disebut Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) seringkali menjadi

korban ketidakadilan dan perlakuan yang semena-mena oleh masyarakat.

Dari data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI (2013),

diketahui bahwa Provinsi Bali masuk dalam daftar lima besar gangguan jiwa berat

terbanyak di Indonesia, yaitu masing-masing DI Yogyakarta (2,7%), DI Aceh

(2,7%), Provinsi Sulawesi Selatan (2,6%), Provinsi Bali (2,3%), dan Provinsi

Jawa Tengah (2,3%) (Riskedas, 2013: 126). Di daerah Bali jumlah angka

gangguan jiwa yang dipasung di masyarakat menunjukkan masih terjadi

peningkatan kasus dari tahun ke tahun. Pada tahun 2016 lalu di Bali tercacat 32

kasus pemasungan penderita gangguan jiwa yang berhasil ditangani. Jumlah itu

justru meningkat tiap tahunnya.

Berbagai cara dan upaya strategi keluarga ODGJ untuk mengobati anggota

keluarganya yang mengalami gangguan jiwa seakan tak pernah berhenti. Mencoba

dari satu pengobatan ke pengobatan lainnya baik pengobatan tradisional (rumah

tangga, kedukunan) ataupun pengobatan modern (rumah sakit jiwa) secara

tumpang tindih. Pelayanan kesehatan tradisional yang sudah mengakar di

Indonesia umumnya dan di Bali khususnya sejak dahulu tetap dikunjungi oleh

masyarakat. Sesuai dengan Alma Alta Declaration1978 disepakati bahwa semua

kemampuan yang ada dimanfaatkan untuk dapat memberikan pelayanan

kesehatan kepada seluruh anggota masyarakat. dengan demikian disamping usaha

kesehatan formal perlu dipikirkan potensi-potensi lain dalam masyarakat anatara

lain pengobat tradisional dalam upaya pelayanan kesehatan dalam batas-batas

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 61

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tertentu (Nala, 1997). Pengobat tradisional merupakan cara penatalaksanaan

menurut azas kebudayaan yang berlaku untuk tempat tertentu (bukan

neotradisional yang menggunakan listrik, akupunktur dllnya).

Dukungan dan penyertaan keluarga dari pasien-pasien dengan spektrum

dari gangguan jiwa yang dialami dalam program manajemen penyakit

menunjukkan hasil yang bagus dalam aspek psikopatologi, relaps, rehospitalisasi

dan fungsi sosialnya (Sumantra, 2005).Walaupun adanya penemuan

farmakoterapi terbaru, kehidupan beberapa orang dengan skizofrenia seringkali

mengalami kekambuhan, perawatan berulang-ulang dirumah sakit, penyesuaian

kehidupan sosial yang buruk dan kualitas hidup yang tidak memuaskan. Efek

yang kurang optimal dari pengobatan yang terbaru walaupun sudah

dikombinasikan dengan terapi psikososial menyebabkan perlunya pengembangan

dari intervensi bio-psiko-sosial-spiritual terbaru.

2. Metodologi

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian kualitatif yang lebih menekankan pada deskripsi yang bersifat emik,

etik, holistik dan mendalam (thick description).Menurut Moleong (2014),

penelitian kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang

dialami oleh informan penelitian seperti perilaku, persepsi, motivasi secara

holistik. Pendekatan penelitian kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pendekatan fenomenologi. Pendekatan fenomenologi berfokus pada

pengalaman fenomenologikal dan suatu studi tentang kesadaran dan perspektif

pokok dari seseorang (Moleong, 2014).

3. Hasil dan Pembahasan

Sistem-sistem medik tradisional dalam kenyataannya masih tetap hidup,

tidak terhapuskan oleh praktik-praktik biomedik kedokteran yang makin

mengalami perkembangan. Kenyataan inilah yang menunjukkan bahwa pelayanan

dan perawatan kesehatan merupakan fenomena sosial budaya yang kompleks.

Usaha penyembuhan penyakit oleh keluarga penderita tidak hanya dilakukan di

puskesmas, rumah sakit, dokter praktik umum dan spesialis, tetapi dapat pula

dilakukan secara tradisional (Kasniyah, 1985:71).

Ditambahkan oleh Connor bahwa untuk sebagian besar orang atau

masyarakat Bali mempunyai kecenderungan untuk memanfaatkan sistem

pelayanan kesehatan modern apabila sakit. Akan tetapi, tidak dapat dimungkiri

pula secara relatif masih banyak masyarakat juga mendatangi praktisi medis

tradisional (prametra) dalam suatu kasus penyakit tertentu atau masalah-masalah

kesehatan yang tidak dapat diatasi melalui sistem pelayanan kesehatan modern

(Connor, 1982:3). Sependapat dengan Connor, Nala menyatakan bahwa dalam

kehidupan masyarakat Bali umumnya untuk mencari pemecahan masalah

kesehatan dan usaha-usaha dalam sistem pelayanan kesehatan (health care system),

sistem pengobatan tradisional masih merupakan pilihan yang sangat penting di

samping pengobatan modern (Nala, 1997:6--10). Pengambilan keputusan dalam

memilih sumber pengobatan ini dijadikan pedoman dalam perilaku kesehatan oleh

masyarakat.

Diketahui bahwa perilaku perawatan tradisional (yang dijadikan pilihan

pengobatan oleh keluarga penderita) terbagi dalam dua pilihan perawatan

62 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kesehatan, yaitu pilihan perawatan rumah tangga (home remedies) dan pilihan

perawatan kedukunan (folk sector). Kedua sistem perawatan ini dalam

pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan terhadap si sakit memenuhi indikator

pelaksanaan perawatan/pengobatan tradisional. Adapun indikator yang dimaksud,

antara lain penyembuhan dengan jalan mengurut atau memijat anggota tubuh,

meracik berbagai ramuan khusus, obat-obatan yang terbuat dari tumbuh-

tumbuhan, penggunaan mantra dan jimat, serta berbagai halangan/pantangan

(tabu). Bentuk pelaksanaan pengobatan ataupun perawatan pada sistem perilaku

perawatan tradisional tersebut sudah pasti tidak ditemukan dalam sistem perilaku

perawatan kesehatan modern/profesional (kedokteran).

Pada masyarakat Bali yang beragama Hindu, berobat ke Battra

(pengobatan tradisional yang terkenal dengan sebutan Balian, Tapakan atau Jero

Dasaran, masih merupakan pilihan yang tidak dapat dikesampingkan begitu

saja.Penyakittidak hanya merupakan gejala biologis saja, tetapi memiliki dimensi

yang lain yakni sosial dan budaya. Itulah sebabnya untuk menyembuhkan suatu

penyakit tidaklah cukup hanya ditinjau masalah biologisnya saja, tetapi harus

digarap pula masalah sosial budayanya.Sering kali berobat ke Dokter atau

Puskesmas, pada kenyataannya lebih banyak pengobatan ditujukan kepada

masalah biologisnya saja, dan melupakan atau tidak sempat menangani masalah

sosial budayanya. Apalagi bila menjalani rawat inap di rumah sakit, mereka akan

enggan karena masalah sosial budaya ini. Dokter dan perawat, walaupun orang

Bali, dianggap orang asing, disebabkan cara berpikir, bertindak, kerja sudah

berbeda dengan kebiasaan masyarakat Bali pada umumnya. Dokter dan perawat

berpikir, berbicara serta bertindak mempergunakan budaya asing, yang lebih

menitik beratkan pada masalah rasional dan ilmiah, sulit diajak berbicara masalah

yang irrasional dan tradisional. Itulah sebabnya ada sebagian masyarakat yang

kurang mendapat kepuasan akan pelayanan pengobatan modern, mereka akan

merasa lebih puas berobat ke Battra, pengobat tradisional. Di pengobat tradisional

ditangani masalah sosial budayanya secara baik dan memuaskan.

Di Bali menurut kepercayaan agama Hindu, sakit terjadi bila tidak ada

keseimbangan 3 unsur yaitu buana alit, buana agung dan Sanghyang Widhi Wasa

sebagai faktor sekala atau niskala yang dapat menimbulkan gangguan pada

manusia(Suryani, 2000). Jadi menurut kepercayaan dan keyakinan tersebut bahwa

penyakit dapat disebabkan oleh dua penyebab/kausa yaitu kausa sekala (natural,

alami) maupun kausa niskala (supranatural, personalistik). Kausa sekala adalah

penyebab natural sakit yang tampak, nyata, berwujud, misalnya suhu yang

berubah/pilek, benturan fisik/luka karena pisau, patah tulang karena jatuh.

Sedangkan kausa niskala merupakan wujud halus, seperti roh, hantu dan kekuatan

magis hitam adalah penyebab sakit yang tidak tampak, tidak nyata dan tanpa

wujud yang pasti.Kedua unsur ini masuk ke dalam tubuh atau tetap di luar tubuh

dan menyebabkan ketidakseimbangan buana alit tempat keberadaan Tri-dosha

yang terdiri dari Vayu, Pita, Kapha atau berupa udara,panas, cairan. Di dunia

barat dikenal istilah untuk penyakit ini dengan disease dan illness.Penyakit

sebagai disease mencakup satu konsep tentang patologi ilmu penyakit merupakan

gangguan yang terbatas pada kelainan medis dan organobiologis sedangkan

illness merupakan suatu konsep kebudayaan yang merupakan masalah atau

gangguan yang dialami yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Kepercayaan ini

yang menyebabkan penderita atau keluarga akan mengunjungi dukun atau balian

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 63

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan. Begitu pun setelah penderita keluar

dari rumah sakit, sebagian besar penderita berobat ke dokter dan balian dan ada

yang pergi ke balian saja atau ke dokter saja.Dan kalau mereka kambuh maka

sebagian besar datang ke balian.Balian mampu mempengaruhi pasien dan

keluargannya dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian(Putro,

2004).

ODGJ sesungguhnya menimbulkan beban berat pada keluarga dan orang

yang dekat dengan pasien. Penatalaksanaan yang melibatkan keluarga secara dini

dalam proses pengobatan dapat mengurangi kambuh dan menurunkan stres serta

kekacauan dalam keluarga(Power, 2015).

Penderita yang dalam perawatannya hampir selalu memerlukan obat biasanya

tidak berhasil optimal kalau tidak mendapatkan pelayanab dan dukungan untuk

mengatasi penyakitnya dalam menghadapi ketakutan, pengasingan dan hinaan

yang sering menyertainya.Pendekatan bio-psiko-sosio-budaya adalah anggapan

bahwa gangguan jiwa skizofrenia disebabkan oleh ketiga faktor diatas yang satu

dengan lainnya saling berhubungan.Dari segi biologis Skizofrenia adalah penyakit

otak, dari segi psikologis dipengaruhi oleh psikodidinamika kepribadian dan dari

segi sosiobudaya dipengaruhi budaya, lingkungan dan keluarga penderita(Schulze

& Rosler, 2005).

Karakteristik Pasien ODGJ Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali

Karakteristik pasien ODGJ diolah dari Bagian Data & Rekam Medis RSJ

Provinsi Bali 2018 diperoleh hasil sebagai berikut. Distribusi kelompok umur

pasien ODGJ rawat inap yang paling banyak adalah kelompok umur 30--39 tahun,

kemudian disusul kelompok umur pasien rawat inap 40--49 tahun.Angka

kesakitan yang paling jarang adalah berturut-turut kelompok umur pasien 0--9

tahun dan 10--19 tahun.Distribusi pasien rawat inap menurut jenis kelamin

menunjukkan bahwa sebagian besar pasienberjenis kelamin laki-laki

dibandingkan pasien perempuan.Terkait status perkawinan pasien sebagian besar

berstatus belum kawin. Didapatkan pula bahwa jenis kelamin laki-laki yang

belum kawin lebih banyak daripada jenis kelamin perempuan. Untuk status

pendidikan pasien ODGJ terbanyak adalah tidak bersekolah, disusul berturut-turut

pasien yang berpendidikan SMA, SD, SMP, PT dan SLB.Distribusi pasien rawat

inap menurut pekerjaan menunjukkan bahwa sebagian besar pasien rawat

inaptidak memiliki pekerjaan. Tidak bekerja (pengangguran) biasanya

menimbulkan perasaan-perasaan inferior (minder, rendah diri), rasa tidak berguna,

tidak dipakai lagi, tak dibutuhkan,dan menimbulkan banyak frustasi. Berdasarkan

jaminan, pasien rawat inap terbanyak menerima JKBM (Jaminan Kesehatan Bali

Mandara) juga disusul oleh Jamkesmas dan Askes. Dari data asal daerah pasien

rawat inap menunjukkan bahwa yang terbanyak adalah dari daerah Gianyardisusul

berasal dari Kota Denpasar, kemudian berturut-turut berasal dari Karangasem,

dari Bangli dan dari Buleleng.

Bila dilihat dari sepuluh besar penyakit rawat inap pasien ODGJ diketahui bahwa

sebagian besar pasien rawat inap mengidap penyakit gangguan jiwa diagnosis

skizofrenia.

64 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pengobat Tradisional (Battra)

Di Bali, dukun sebagai pengobat tradisional dikenal dengan istilah balian,

tapakan atau jero dosaran. Kemampuan untuk mengobati ini diperoleh dengan

berbagai cara. Tidak seperti di dunia pengobatan modern atau

paramedicmemperoleh pengetahuan dan kemampuan untuk mengobati orang sakit

dari bangku sekolah, pengobat tradisional memperoleh keahliannya berdasarkan

atas tradisi, keturunan, taksu, pica atau dapat pula akibat belajar pada orang yang

sudah jadi balian dan berbagai cara lainnya. Ada beberapa balian yang tidak mau

disebut balian atau jero dasaran, mereka hanya mengaku sebagai orang yang

menolong atau mengobati.

Kebanyakan balian melakukan tugas pengobatannya tanpa

mengharapkansasantun, mereka dengan rela mengobati siapapun orang yang

memerlukan pertolongannya tanpa melihat sesari atau jumlah sasantun yang

ditaruh didalam sesajinya.. Semua pengobatan berlangsung dengan tulus iklas

tanpa pamrih. Sebab semua balian yang benar-benar balian di Bali, tahuakibat

dari kelobaan akansasantun dan materi lainnya. Kesaktian atau kesidiannya dalam

hal mengobati orang sakit akan menurun dan luntur. Kalau mereka tahu tidak

akan mampu mengobati pasiennya, dengan terus terang akan mengatakan dan

menyarankan agar mencari balian yang lebih pintar dari dirinya. Bila tahu

prognosisnya jelek (mati) mereka tidak akan mau mengobati.

Malukat

Malukat dan mohon restu adalah proses untuk menyucikan diri. Malukat

suatu kata yang sangat akrab bagi krama Bali untuk dilakukan dalam kehidupan

ritual.Tujuan dan harapan upacara ini untuk mampu meningkatkan kualitas

kehidupan yang lebih baik.Tujuan-tujuan tertentu yang ingin dicapai adalah

meliputi menyembuhkan penyakit medis maupun non medis.Malukat dilakukan di

mata air, air pancuran, sungai, dilaut bahkan menggunakan air suci dari Sang

Sulinggih.Kumbara (2017) menyatakan bahwa orang Bali umumnya akan

meminta pertolongan kepada seorang dukun atau balian untuk memperoleh

penjelasan mengenai sebab-sebab sakit dan sekaligus cara-cara mengatasinya.

Selain meminta bantuan kepada seorang dukuh atau balian, keluarga akan

mengajak yang bersangkutan untuk melakukan ritual melukat yang memiliki

fungsi dan makna simbolik yang mengarah pada upaya pembersihan jiwa-raga

ODGJ dalam rangka mencapai atau mengembalikan keseimbangan jiwa yang

terganggu.

Persepsi dan Perilaku Perawatan ODGJ Orang Bali

Konsep sakit menurut kepercayaan orang Bali yangberagama Hindu

terjadi akibat ketidakseimbangan 3 unsur Buana Alit, Buana Agung dan Sang

Hyang Widhi Wasa sehingga faktor sekala atau niskala dapat menimbulkan

gangguan pada manusia. Maka kepercayaan ini yang menyebabkan penderita atau

keluarganya mengunjungi pengobat tradisional, dukun(balian) untuk mendapat

pengobatan.Di pengobat tradisional di Bali, proses pengobatan biasanya disertai

upacara sembahyang dan persembahan sajen di Pura (Merajan),tempat suci, laut

dan sebagainya sesuai dengan pandangan atau kepercayaan pengobat tradisional

tersebut.Dilihat dari materi pengobatan tradisional antara lain dengan loloh,

simbuh, boreh, metirta, melukat.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 65

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Keluarga pasien datang ke Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali dengan alasan

atas permintaan keluarga setelah mendapat petunjuk/pertimbangan Balian.

Disamping itu juga atas saran tenaga kesehatan serta anjuran tokoh agama.

Ditemukan juga bahwa hampir sebagian besar kunjungan ke pengobat tradisional

(balian) lebih dari sekali dengan hasil yang sangat bervariasi. Ada yang

merasakan sembuh cukup lama, hanya sembuh sebentar, selalu kumat atau

kambuh, tidak ada perubahan sama sekali, dan semakin parah. Jika dilihat dari

siapa yang menyarankan mereka mencari pengobatan medis antara lain keluarga,

tetangga, balian, teman, dan juga karena keyakinan sendiri.Ditemukan juga alasan

konsep keluarga mencari pembersihan setelah ke rumah sakit dikarenakan merasa

leteh/kotor, mala/cacat,supaya roh pasien tidak ngambang.

Setelah keluar dari Rumah Sakit, pengobatan yang dicari adalah pengobat

tradisional, medis, dan kombinasi/tumpang tindih (antara medis dan tradisional).

Keluarga pasien akan memanfaatkan kedua pengobatan tersebut secara tumpang

tindih (Foster dan Anderson, 1986).Kalau mereka kambuh maka sebagian besar

datang ke balian.Konsep penderita dan keluarganya dikatakan sakitnya karena

sakit Bali karena merasa leteh/kotor sehingga merasa perlu dilakukan

pembersihan atau malukat.Balian mampu memengaruhi pasien dan keluarganya

dan kebanyakan percaya dengan yang dinyatakan balian.Setelah dilakukan

upacara pembersihan perasaan penderita lebih tenang, lebih semangat, merasa

bersih. Pasien ODGJ selama mendapatkan perawatan medis di RSJ terkait

penjelasan terhadap keluarga oleh para tenaga medis mengenai sakit, sistem

perawatan medis, kondisi pasien, kepatuhan minum obat, bagi keluarga pasien

dirasakan masih sangat kurang.

Bagi keluarga pasien bahwa kekambuhan penderita disamping karena

faktor niskala yang dipercaya, juga terjadi karena merasa bersalah, perasaan

tertekan, merasa dijauhi/tidak diperhatikan, ketidaksabaransikap keluarga, tidak

dipercaya dan selalu dicurigai.Rasa bersalah ini bisa dalam bentuk keyakinan

bahwa penyebab gangguan yang dialami karena lemahnya diri dalam cobaan/ujian

hidup, hukuman dari Tuhan, ataupun kesalahan masa lalu (Putro, 2016).

Mengenai bentuk komunikasi serta pola interaksi pada pengobat tradisional

berlangsung terbuka dan tanparahasia. Keluarga dapat menemani dan

mengemukakan pendapat atau komentar tentang masalah yang dihadapi pasien

secara terbuka kepada pengobat tradisional maupun penderita.

Berkaitan dengan kualitas hubungan di pengobat tradisional pada

umumnya bersifat nonformal, terbuka, santai, ramah dan tidak diperlukan tata cara

yang ketat. Kontak emosional biasa saja. Kalaupun ada yang bersifat formal

terbatas ketika dalam keadaan trance saja, setelah itu biasa lagi, tidak formal.

Sehubungan dengan sikap, untuk masyarakat di Bali yang masih memiliki adat

budaya tradisional yang kuat, tidak tedapat sikap ambivalen terhadap pengobat

tradisionalnya (Glynn, 2016).Mengenai sifat sakral dan tidak sakral di Bali, sifat

sakral menonjol sekali di bandingkan dengan daerah lain, dan sifat sakral ini juga

berbeda-beda pada masing-masing pengobat tradisional, misalnya sifat sakral

lebih menonjol pada pengobat tradisional yang menggunakan keadaan trance

pada praktek pengobatannya.Dalam hubungan dengan pandangan penyakit di Bali

bagi seorang balian, keluhan dan gangguan yang dikemukakan pasiennya

sebagian besar diperlakukan sebagai penyakit (disease).Kaitan dengan realitas

klinik adalah salah satu aspek dari realitas sosial yang berkaitan dengan kesehatan

66 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

terutama sikap dan norma-norma tentang penyakit, etiologi penyakit, proses dan

mekanisme pengabilan keputusan, hubungan klinik dan aktivitas penyembuhan.

Hal ini sangat ditentukan oleh keadaan sosial budaya setempat.

4. Simpulan

Pengkajian dan penatalaksanaan gangguan jiwa melalui pendekatan bio-

psiko-sosio-budaya-spiritual sangat penting dalam penangganan gangguan iwa

berbasis komunitas.Pengobat tradisional dapat dilibatkan dan bekerjasama dalam

menangani gangguan jiwa sehingga penderita merasa sembuh sempurna dari

kedua aspek illness dan disease.Pengobat tradisional mempunyai kemampuan

khusus yang tidak dimiliki oleh dokter yang berpendidikan barat dan tidak

menutup kemungkinan adanya kerjasama yang baik di antara kedua disiplin yang

berbeda ini dalam rangka memberi pertolongan yang optimal kepada penderita.

Para ahli medis dan praktisi ahli lainnya (psikiater, psikolog) akanmerasakan

banyak manfaatnya melakukan kerjasama dengan pengobat tradisional, terutama

dalam hal memahami psikopatologi dan psikodinamika dari penyakit mental yang

erat kaitannya dengan kondisi sosial dan budaya.Kegelisahan dan ketakutan yang

dialami orang-orang sakit yang takkunjung sembuh baik yang berpendidikan

tinggi atau buta huruf, kaya maupun miskin, sangat membutuhkan penyaluran

atau kompensasi dan mendapatkan jalan pemecahannya pada balian pada hal yang

rasional maaupun irrasional, logis ataupun tidak logis sehingga tercapailah suatu

ketenangan diri pada si sakit/keluarganya.

Para pengobat tradisionalmengobati keseluruhan kliennya sebagai seorang

manusia dalam arti pendekatan yang bersifat holistik.Dalam hal pemahaman

terhadap penyakit (illness), persepsi penyembuhan yang dialami oleh klien adalah

sesuatu yang nyata tanpa memandang apakah kelainan organik atau psikopatologi

masih tetap ada.Para petugas kesehatan formal seyogyanya mempersiapkan diri

untuk menghadapi kasus seperti ini.

5. Saran

Dalam perencanaan penempatan fasilitas pelayanan kesehatan perlu

memperhatikan dan mempertimbangkan bahwa perilaku mencari pengobatan

dipengaruhi juga oleh rujukan-rujukan informal yang menentukan pemilihan

dalam fasilitas pengobatan.

Diupayakannya secara terus meneruspengintegrasian kuliah-kuliah dan

praktek-praktek ilmu social budaya (antropologi medis, sosiologi medis) dalam

kurikulum pendidikan dokter dengan harapan agar para dokter di kemudian hari

sudah terlatih untuk menjadi sensitif terhadap aspek-aspek sosial-budaya (non-

biomedi)k dan masalah pasiennya.

Agar diperoleh informasi yang lebih ilmiah dan sistematik tentang sikap

profesional dari staf kesehatan, maka penelitian antropologi psikiatri tentang

interaksi staf kesehatan dan keluarga maupun pasien perlu dilakukan.

Pendekatan terhadap pengobat tradisional oleh pemerintah dan pengobat

modern hendaknya terus dilaksanakan.Penelitian terhadap konsep sehat sakit,

efektifitas obat tradisional dan hal-hal lainnya hendaknya terus ditingkatkan.

Rumah sakit jiwa diharapkan dapat lebih meningkatkan dan

mengembangkan lagi sosialisasi program-program pascaperawatan yang lebih

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 67

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bersifat terbuka dalam hubungan relasi yang bersifat intersubjektivitas, baik antara

pihak rumah sakit dan pasien beserta keluarga pasien maupun masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Connor, L.H. 1982. In Darkness and Light: A Study of Peasant Intelectuals in

Bali. Department of Anthropology of Sydney.

Departemen Kesehatan RI KMK. No. 1627/Menkes/SK/XI, 2010 tentang

Pedoman Pelayanan Kegawatdaruratan Psikiatrik. Jakarta: Kementerian

Kesehatan RI.

Foster, G. M. dan Anderson, B. G. 1986. Antropologi Kesehatan. Alih Bahasa

Priyanti Pakan Suryadarma dan Meutia F. Hatta Swasono. Jakarta: UI

Press.

Glynn S. M. 2016. The Potential Impact of Recovery Movement on Family

Interventions for Schizophrenia :Opportunities and Obstacles,

Schizophrenia Buletin Vol 32 No 3 x—pp. 451 - 463, Oxford University

Press.

Kasniyah, Naniek. 1985. ―Etiologi Penyakit secara Tradisional dalam Alam

Pikiran Orang Jawa: Celaka, Sakit, Obat, dan Sehat Menurut Konsepsi

Orang Jawa‖. Soedarsono, Djoko Soekiman, dan Retno Astuti (ed.).

Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara (Javanologi).

Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud.

Kumbara, A. N. 2017. Fungsi dan makna ritual melukat dalam penyembuhan

gangguan jiwa di Bali. Diambil dari www.phdi.or.id:

http://phdi.or.id/artikel/fungsi-dan-makna- ritual- melukat-dalam-

pemnyembuhan-gangguan-jiwa-di-bali.

Moleong, L. J. (2014). Metodologi penelitian kualitatif . Bandung: PT. Remaja

Rosdakarya.

Nala, Ngurah. 1997. Usada Bali. Denpasar: PT Upada Sastra.

Putro, Bambang Dharwiyanto. 2004. ―Gangguan Jiwa (Buduh) di BaliSebagai

Fenomena Budaya, Studi tentang Persepsi dan Perilaku Pilihan

Perawatan Gangguan Jiwa Orang Bali‖. Tesis, Program Studi

Antropologi Pascasarjana.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Putro, Bambang Dharwiyanto. 2016. ―Bayang-Bayang Stigma Terhadap Penderita

Gangguan Jiwa: Studi di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali‖. Disertasi,

Program Doktor Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana.

Power, J. et al. 2015.Family resilience in families where a parent has a mental

illness.Juornal of Social Work.16 (1).1-17.

Riskedas. 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI

Schulze, B. And Rosler, W. 2005. ―Caregiver burden in mental illness: review of

measurement, findings and interventions in 2004-2005‖. CurrOpin

Psychiatry 2005. 18(6).684-691.

Sheewangisaw.2012.―Prevalence and Associated Factors of Relapse in Patent

with Schizophernia At Amanuel Mental Specialized Hospital". Congress

on Public

Health, 1(1).

Sumantra, I Nengah. 2005. Pembinaan Mental Spiritual dalam Upaya Pengobatan

Pasien di Rumah Sakit Jiwa Bangli Ditinjau dari Psikologi Agama

68 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Hindu. Program Pasca Sarjana Institut Hindu Dharma Negeri

Denpasar.

Suryani, L.K., 2000. Peranan Psikiatri dalam mewujudkan Masyarakat Sehat,

Pendekatan Bio- Psiko-Spirit-Sosiobudaya, Orasi Pengukuhan Jactan

Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu psikiatri, Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana, Denpasar.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 69

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

MOTIFEME-MIGRASI-AKULTURASI BUDAYA DALAM CERITA

RAKYAT JAKA TARUB DAN CERITA SERUPA DI ASIA (STRUKTUR

NARATIF ALAN DUNDES)

Dewi Ayuningtyas

Program Studi S1 Sastra Indonesia, FBS, Universitas Negeri Surabaya

[email protected]

ABSTRAK

Cerita rakyat sebagai jenis sastra lisan merupakan representasi

budaya masyarakat di wilayah tertentu memiliki motifeme cerita

yang dapat berkaitan dengan cerita rakyat lainnya. Melalui proses

pewarisan cerita rakyat oleh nenek moyang secara turun temurun

melalui lisan menimbulkan kekayaan gaya cerita atau versi cerita,

yang kemudian menjadi identitas suatu masyarakat. Di nusantara,

terdapat cerita Jaka Tarub yang memiliki berbagai gaya atau versi

cerita sesuai dengan representasi budaya masyarakat di wilayah-

wilayah Asia. Penelitian sastra lisan ini termasuk penelitian

deskriptif-kualitatif dengan menggunakan metode studi

kepustakaan yang bertumpu pada teori struktur naratif Alan

Dundes. Sumber data penelitian ini adalah teks cerita rakyat Jaka

Tarub dan cerita rakyat yang serupa di Asia, yaitu cerita rakyat

Telaga Bidadari-Kalimantan Selatan, Arya Menak-Madura, Puan Si

Taddung-Kalimantan Timur, Maligai Keloyang-Riau, Malim

Deman-Sumatera Barat, Peri Pegunungan Kumgang-Korea, Putri

Tanabata-Jepang, dan Niu Lang dan Dewi Penenun-Cina. Temuan

dari penelitian ini adalah: 1) minimum unit (motifeme) cerita

rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 2) tipologi cerita

rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 3) proses migrasi cerita

rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, 4) akulturasi budaya

dalam cerita rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia.

Kata kunci: Sastra Lisan, Cerita Rakyat Jaka Tarub, Cerita serupa

di Asia, motifeme, migrasi, akulturasi

Pendahuluan

Mulanya kesusastraan yang ada di Indonesia lahir dari kebiasaan yang

berujung pada kebudayaan yang turun temurun. Sastra lisan atau folklore tidak

dapat terlepas dengan sastra, masyarakat, dan kedaerahan, karena sastra lisan

merupakan sebagian kebudayaan secara kolektif yang diwariskan secara turun-

temurun antar generasi, yang di dalamnya termuat identitas suatu masyarakat, dan

seni (keindahan), serta cerita atau narasi yang bernilai luhur (Dananjaja, 1997: 2).

Sama halnya seperti cerita rakyat, kisah yang berangsur-angsur pindah dari mulut

ke telinga lalu diteruskan kembali dengan gaya bercerita yang berbeda hingga

membuat kisah itu menjadi kaya. Hal demikianlah yang membuat adanya

beberapa versi dari cerita. Salah satunya adalah cerita Jaka Tarub, cerita ini telah

70 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dikenal banyak orang sebagai cerita rakyat Jawa, khususnya pada cerita rakyat

Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan versi Jawa Tengah.

Di Indonesia terdapat beberapa cerita yang hampir mirip dengan cerita

JakaTarub. Seperti cerita Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan, Arya Menak

dari Jawa Timur, Peri Pegunungan Kungang dari Korea, Niu Lang dan Dewi

Penenun dari China, Putri Tanabata dari Jepang, Puan Si Taddung dari

Kalimantan Timur, Maligai Kelayong dari Riau, Malim Demam dari Sumatera

Barat. Hal ini merupakan bukti bahwa karya sastra lisan berupa cerita rakyat akan

semakin kaya dan memunculkan berbagai versi bila terus menerus dijaga dan

diceritakan kembali secara turun temurun. Atas dasar itulah peneliti memilih teori

struktur naratif ala Alan Dundes, dan kajian sastra bandingan untuk dapat mencari

pola motifeme pada kesembilan cerita tersebut karena adanya kesamaan dan

perbedaan muatan kisah yang diangkat dari tiap-tiap daerah maupun negara yang

ada di Asia.

Metodologi

Penelitian tentang cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia

merupakan penelitian deskriptif-kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah 9

(sembilan) teks cerita rakyat, yaitu Jaka Tarub dari Jawa Tengah, Telaga

Bidadari dari Kalimantan Selatan, Arya Menak dari Jawa Timur, Peri

Pegunungan Kungang dari Korea, Niu Lang dan Dewi Penenun dari China, Putri

Tanabata dari Jepang, Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur, Maligai

Kelayong dari Riau, Malim Demam dari Sumatera Barat. Teknik pengumpulan

data dalam penelitian ini adalah studi kepustakaan dengan mengambil data-data

berupa cerita rakyat yang telah ditetapkan sebagai obyek penelitian melalui

artikel. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis strukturalisme Alan

Dundes yang membedah sebuah folklore dengan membuat sebuah urutan.

Urutan tersebut berupa perjalanan dari sebuah kondisi ―kekurangan‟ yang

kemudian berakhir dalam kondisi ―berkecukupan‟. Sudikan (2017:99)

menerangkan proses kekurangan menuju berkecukupan dengan skema; lack

(kekurangan), lack liquidate (pemenuhan pada kekurangan), task (tugas), task

completed (tugas terpenuhi), interdiction (larangan) violation pelanggaran),

consequences (konsekuensi), attempescape (usaha menyelamatkan diri), deceit

(tipuan), deception (penipuan) untuk mengetahui motifeme secara rinci,

gambaran pola, dan perbandingan budaya yang terkandung di dalamnya.

Pembahasan 1. Motifeme Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia

Berdasarkan analisis data, diperoleh motifem pada cerita rakyat Jaka Tarub

dan cerita serupa di Asia, sebagai berikut:

Tabel 1. Motifeme Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia Cerita Rakyat AspekMotifeme (Alan Dundes)

L LQ T TC I V C A D1 D2 JUMLAH

Jaka Tarub- Jawa

Tengah

2 2 - - 1 1 1 1 1 1 10

Telaga Bidadari -

Kalimantan Selatan

1 1 1 1 - - - - 1 1 6

Arya Menak-Jawa

Timur

3 3 - - 1 1 1 1 1 1 12

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 71

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Peri Pegunungan

Kungang- Korea

3 3 - - - - - - 1 1 8

Niu Lang dan Dewi

Penenun- China

2 2 - - 1 1 1 1 - 1 9

Putri Tanabata-Jepang 2 2 2 2 2 2 2 1 1 1 17

Puan Si Taddung-

Kalimantan Timur

3 3 2 2 1 1 1 - 1 - 14

Maligai Kelayong-Riau 3 3 - - 1 1 1 1 1 1 12

Malim Demam-

Sumatera Barat

4 4 - - - - - - 1 1 10

Keterangan: L = Lack

LQ= Lack Liquidate

T = Task

TC = Task Complete

I = Interdiction

V = Violatin

C = Consequences

A = Attempescape

D = Deceit

D2 = Deception

2. Tipologi Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia

a. Tipologi cerita rakyat Jaka Tarub dari Jawa Tengah yaitu keinginan-

pernikahan-perjumpaan dengan Bidadari-pencurian selendang-pernikahan-

larangan yang dilanggar-tipu daya Jaka Tarub terbongkar-permintaan maaf.

b. Tipologi cerita rakyat Peri Pegunungan Kungang dari Korea yaitu

perjumpaan Bau dengan Rusa-pertolongan Bau pada Rusa-balas budi rusa-

perjumpaan dengan putri-pencurian pakaian-pernikahan-kepergian-memohon

pertolongan pada Rusa-adanya kekuatan magis (sendok raksasa)-perjumpaan

lagi dengan putri.

c. Tipologi cerita rakyat Niu Lang dan Dewi Penenun dari China yaitu

keinginan-menyembunyikan gaun-tipu daya-pernikahan-larangan dilanggar-

kekuatan magis (jepit) membuat sunga pemisah sebagai konsekuensi-

kekuatan magis berupa jembatan surgawi.

d. Tipologi cerita rakyat Telaga Bidadari dari Kalimantan Selatan yaitu

keinginan-mencuri selendang-pernikahan-tipu daya terbongkar-pesan

merawat anak-kepergian.

e. Tipologi cerita rakyat Putri Tanabata dari Jepang yaitu keinginan mengambil

pakaian-perjumpaan-tipu daya-pernikahan-tipu daya terbongkar- permintaan

putri-pertemuan kembali-larangan dilanggar-pengampunan-tugas-tugas

dilanggar-tugas-tugas dilanggar-hukuman dipisahkan.

f. Tipologi cerita rakyat Arya Menak dari Jawa Timur yaitu pencurian

selendang-pernikahan-pantangan-pantangan dilanggar-kepergian putri-

sumpah.

g. Tipologi cerita Puan Si Taddung dari Kalimantan Timur yaitu keinginan-

pencurian selendang-tipu daya-pernikahan-tugas-larangan dilanggar-

kepergian.

h. Tipologi cerita rakyat Maligai Keloyang dari Riau yaitu keinginan-pencurian

selendang-pernikahan-pentangan dilanggar-kepergian.

i. Tipologi cerita rakyat Malim Demam dari Sumatera Barat yaitu keinginan-

pencurian selendang-tipu daya-pernikahan- tipu daya terbongkar-kepergian.

72 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3. Proses Migrasi Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia

Sudikan (2017: 30) perpindahan sastra lisan dapat dibandingkan dengan

perpindahan ‗kata-kata budaya‘, sebab sastra lisan penyampaiannya dari mulut ke

mulut melalui bahasa, yang kemungkinan dapat beralih bahasa pula. Hutomo

(dalam Sudikan. 2017: 33) menegaskan bahwa dalam pewarisan turun-menurun,

pencerita dapat memasukan hal-hal baru yang bersifat anakronisme untuk

menunjukan konteks zaman cerita berasal. Migrasi atau perpindahan yang terjadi

pada cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, yaitu satu bahasa ke

bahasa Lain, dalam hal ini Bahasa Indonesia ke bahasa Korea, China, dan Jepang,

seperti pada skema berikut:

Bahasa Indonesia Bahasa Korea, bahasa China, bahasa Jepang

Dan migrasi atau perpindahan cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita serupa

terjadi karena perpindahan dialek satu ke dialek lainnya, seperti pada skema

berikut:

Jaka Tarub Telaga Bidadari Arya Menak Puan Si Taddung Maligai Kelayong Malim Demam

4. Akulturasi Budaya Cerita Rakyat Jaka Tarub dan Cerita Serupa di Asia

Pada cerita Jaka Tarub dan cerita serupa di Asia, terdapat motifeme tipu

daya dengan menggunakan alat kebudayaan yang sama, seperti pada tabel berikut:

Cerita Rakyat Alat Tipu Daya Kekuatan Magis

Pakaian Gaun Selendang

Jaka Tarub √ Panci penanak nasi

Peri Pegunungan

Kungang

√ Sendok raksasa perak dari

langit

Niu Lang dan

Dewi Penenun

√ Sungai dari jepit ratu

surgawi

Telaga Bidadari √ Dasar bumbung bambu

Putri Tanabata √ Burung merpati, seribu

pasang sandal jerami, sungai

dari gigitan labu

Arya Menak √ Panci penanak nasi

Puan Si Taddung √ Menari tarian bidadari

Maligai Kelayong √ -

Malim Demam √ -

Berdasarkan tabel di atas, menunjukan adanya budaya dari setiap cerita

rakyat melalui penggunaan pakaian, gaun, selendang sebagai alat tipu daya

mencapai keinginannya menikahi seorang putri. Cerita rakyat Jaka Tarub dan

cerita serupa di Asia penggunaan alat-alat tersebut terdapat kesamaan yaitu

pakaian, gaun, dan selendang yang identik dengan sosok perempuan, menunjukan

adanya penerimaan budaya (berupa gaun, pakaian, selendang) di setiap wilayah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 73

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang melahirkan cerita rakyat tersebut. Selain itu, adanya kekuatan magis dari

setiap cerita juga menjadi muatan budaya asal cerita. Seperti pada cerita Jaka

Tarub dari Jawa Tengah dan Arya Menak dari Jawa Timur terdapat kesamaan

kekuatan magis yang berupa panci penanak nasi. Kekuatan magis tersebut

menunjukan bahwa asal cerita (Jawa Tengah dan Jawa Timur) termasuk dalam

wilayah pulau Jawa masyarakatnya berkultur agraris, dan menggunakan nasi

sebagai makanan pokok. Sedangkan pada cerita rakyat lainnya yang tidak

memiliki kesamaan kekuatan magis dengan cerita rakyat lainnya menjadi

karakteristik atau ciri khas cerita tersebut berasal. Cerita rakyat Putri Tanabata

berasal dari Jepang, menunjukan adanya peralatan tradisional masyarakat Jepang

berupa sandal jerami yang merupakan daun padi yang sudak kering, Hal tersebut

juga menunjukan penggunaan nasi sebagai makanan pokok masyarakat Jepang.

Simpulan

Dari kesembilan cerita rakyat yang digunakan sebagai penelitian, maka

diketahui proses migrasi cerita rakyat Jaka Tarub dan cerita rakyat Putri Tanabata

terjadi perubahan bahasa Indonesia menjadi bahasa Jepang, cerita rakyat Jaka

Tarub dan Niu Lang dan Dewi Penenun terjadi perubahan bahasa Indonesia

menjadi bahasa China, dan pada cerita cerita rakyat Jaka Tarub dan Peri

Pegunungan Kungang terjadi perubahan bahasa Indonesai menjadi bahasa Korea.

Serta cerita Jaka Tarub dengan cerita rakyat Telaga Bidadari, Arya Menak, Puan

Si Taddung, Maligai Kelayong, Malim Demam terjadi perubahan dialek satu ke

dialek lainnya. Dari proses migrasi tersebut yang kemudian menghasilkan cerita-

cerita serupa (selalu terjadi pengurangan dan penambahan motifeme), sehingga

jumlah motifeme berbeda-beda. Pada kesembilan cerita rakyat tersebut berakhir

pada kesedihan sedang satu cerita (Peri Pegunungan Kumgang) berujung pada

kisah bahagia. Akhir dari seluruh kisah dipengaruhi oleh bagaimana pernikahan

yang dilakukan antara manusia dan makhluk langit itu berlangsung. Tetapi tidak

dapat dipungkiri bahwa semua kisah akan kembali lagi merujuk pada bagaimana

tipuan tokoh yang menginginkan kebahagiaan dengan cara yang tidak baik. Dari

kesembilan cerita tersebut penggunaan pakaian, gaun, dan selendang yang selalu

identik dengan perempuan sebagai alat tipu daya menunjukan adanya motifeme

yang dipertahankan dari kesembilan cerita rakyat tersebut meskipun bedara pada

wilayah dan budaya masyarakat yang berbeda. Selain itu, adanya budaya yang

terkandung dalam cerita rakyat menjadi karakteristik tempat suatu cerita rakyat

berasal, seperti budaya masyarakat agraris yang tampak pada cerita Jaka Tarub,

Arya Menak, dan Putri Tanaba, sedangkan pada cerita lainnya budaya yang

termuat sebagai karakteristik daerah suatu cerita berasal.

Daftar Pustaka

Amir, Andiyetti.2013. Sastra Lisan Indonesia. Yogyakarta: Andi Offset

Astika, I Made, DKK. 2014. Sastra Lisan Teori dan Penerapannya. Yogyakarta:

Graha Ilmu

Dananjaja, James. 1997. Folklor Indonesia Ilmu Gosip Dongeng dan Lain-Lain.

Jakarta: Midas Surya Grafindo

Endaswara, Suwardi, 2010. Folklor Jawa Macam Bentuk dan Nilainya. Jakarta:

Penaku

Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS

74 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Hutomo, Suripan Sadi. 1991. Mutiara Yang Terlupakan Pengantar Studi Sastra

Lisan. Jawa Timur: HISKI

Ihromi, 2006. Pokok-Pokok Antropologi Budaya. Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Sudikan, Setya Yuwana. 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Surabaya: Citra

Wacana

Zed, Mestika, 2008. Metode Penelitian Kepustakaaan, Jakarta: Yayasan Obor

Indonesia

Barkah, Lazuardi. (2013-2014). Analisis Motifeme Pola Cerita Irui-kon dalam

Cerita Rakyat Jepang.Japanology, Vol 2, No.1, September 2013-februari 2014 :

29-36.

caritasato.blogspot.co.id/2014/04/kisah-malim-deman-sumatera-barat.html?m=1.

diakses terakhir kali pada tanggal 20 Mei 2018

dongeng1001cerita.blogspot.co.id/2014/10/putri-tanabata-jepang.html?m=1.

Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018

dongengceritarakyat.com/dongeng-cerita-rakyat-jaka-tarub/. Diakses terakhir kali

pada tanggal 31 Maret 2018

edytauhid.wordpress.com/cerita-rakyat-dari-kalimantan-selatan-legenda-telaga-

bidadari/. Diakses terakhir kali pada tanggal 31 Maret 2018

legendakita.wordpress.com/2008/08/22/legenda-aryo-menak/. Diakse terakhir kali

pada tanggal 31 Maret 2018

salombafile.esy.es/ceritaku/si-taddung/. Diakses terakhir kali pada tanggal 20

Mei 2018

Sudikan, Setya Yuwana. 2017. Metode Penelitian Sastra Lisan.

Lamongan :Pustaka Ilalang Group.

traditionghoanews.blogspot.co.id/2011/01/legenda-niu-lang-dan-dewi-

penenun.html?m=1. diaksesterakhir kali padatanggal 31 Maret 2018

www.kaskus.us/showthread.php?t=3775185. Diakses terakhir kali pada tanggal

31 Maret 2018

www.riaudailyphoto.com/2012/11.cerita-rakyat-riau-maligai-

keloyang.html?m=1#sthash.aQCzemiR.dpuf. Diakses terakhir kali pada tanggal

20 Mei 2018

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 75

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PERAN MISIONARIS DALAM TERBENTUKNYA MASYARAKAT

MULTIBUDAYA DI BALI

Fransiska Dewi Setiowati Sunaryo

Program Studi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Tidak banyak yang memahami secara komprehensif tentang peran

tokoh-tokoh rohani awan luar negeri dalam kaitannya dengan

terbentuknya masyaraka tmulti budaya di Bali. Padahal peran

mereka sangat signifikan untuk diperhitungkan, yang didasari atas

tingkat pengalaman dan pendidikan yang erat kaitannya dengan

nuansa nilai-nilai kemanusiaan dari mana mereka berasal. Ini dapat

dilihat dari kontribusi mereka yang berkaitan dengan nilai-nilai

religius yang sarat dengan nuansa kearifan lokal, yang tampaknya

dilakukan dengan pendekatan-pendekatan kemanusiaan dan

kemasyarakatan yang bersifat inklusif.

Berbagai tantangan yang muncul akibat proses perkembangan ini

dapat diatasi dengan baik, tanpa menimbulkan riak-riak sosial di

lapisan masyarakat. Bahkan, di pihak lainnya dapat memperkuat

kearifan lokal yang ada yang sudah mentradisi dalam proses

kesejarahan yang cukup panjang. Kontribusi para missionaris

sangatlah signifikan, karena pendekatan akulturasi budaya yang

diterapkannya tampaknya mampu meredam berbagai persoalan

atau konflik di satu pihak, dan membangun rasa harmoni sosial

yang semakin mengental dengan nilai-nilai budaya luar di pihak

yang lainnya. Di sinilah pentingnya untuk memahami bagaimana

dinamika historis yang berlangsung di masa lalu, dan masih dapat

disaksikan hingga sekarang di Bali.

Dalam tulisan ini akan difokuskan pada bagaimana dengan

penggalian budaya lokal yang dilakukannya dan kemudian diadopsi

dan diadaptasi dengan budaya luar yang kemudian tampaknya

memperkuat rasa multikulturalisme yang sudah berakar di Bali.

Dalam kaitan inilah muncul beberapa pertanyaan yang hendaknya

dapat dipahami dengan baik berkaitan dengan pertama, bagaimana

perkembangan awal tokoh-tokoh religious tersebut dapat

mengembangkan kegiatan misionaris di Bali? Kedua, seberapa jauh

komunitas lokal dapat menerima pandangan-pandangan mereka,

dan ketiga, apa tantangan dan peluang yang ada, sehingga

kontribusi mereka dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks

dinamika historis terbentuknya masyarakat multi budaya di Bali.

Kata kunci: missionaris, masyarakat multi budaya, dan

Kebudayaan Bali

76 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. PENDAHULUAN

Para Misionaris yang datang ke Bali memiliki peranan yang cukup

signifikan terutama untuk perkembangan umat Katolik yang ada di Bali.

Kehadiran misionaris dapat diterima dengan baik karena karakter masyarakat Bali

yang terdiri dari masyarakat multibudaya. Etnis Bali telah mengalami kontak

dengan etnis lain seperti Jawa, Bugis, Sasak, Flores dan lain sebagainya dalam

bidang ekonomi, sosial dan budaya. Dalam bidang agama etnis Bali telah

mengadakan kontak dengan Belanda, Inggris dan Amerika sejak jaman

kolonial.(Ardhana,2011 :1)

Pada umumnya kehidupan masyarakat di Bali hidup berdampingan sesuai

dengan konsep masyarakat multibudaya, namun dengan perbedaan etnis dan

agama juga sering terjadi perbedaan pendapat dalam tatanan prilaku kehidupan

sehari-hari. Hal itupula yang terjadi ketika misionaris tiba di Bali pada tanggal 11

September 1935. Pada waktu misionaris bernama Pater Joanes Kersten, SVD yang

hendak melayani umat Katolik Eropa dan Melayu yang tinggal di Bali. Pada

awalnya misionaris ini dilarang mengadakan hubungan langsung dengan orang

Bali asli, tidak boleh mengunjungi rumah-rumah mereka apalagi mengajarkan

agama kepada mereka. Karena ada ketakutan dari pihak pemerintah kolonial

Belanda. Pemerintah memandang jika agama Katolik membawa kebudayaan

Barat masuk Bali, maka kebudayaan Bali yang sangat menarik dunia akan punah.

Dalam perkembangannya para misionaris yang datang ke Bali dapat diterima

dengan baik, bahkan memiliki peranan penting yang dapat dirasakan dalam

kehidupan sosial masyarakat di Bali. (Patriwirawan, 1974:1411)

Penulisan makalah ini mengambil skupe temporal dari tahun 1935-2018.

Tahun 1935 dipilih sebagai awal tahun penulisan dalam paper ini karena pada

tahun ini misionaris pertama datang ke Bali yaitu Pater Yohenes Kersten, SVD.

Tahun 2018 dijadikan sebagai akhir tahun penulisan karena sepanjang 83 tahun

telah dapat dilihat perkembangan umat Katolik di Bali serta peran misionaris di

Bali dan dalam kurun waktu sepanjang tahun tidak pernah terjadi konflik yang

besar dalam kehidupan masyarakatnya.

Skup spasial yang digunakan dalam makalah ini adalah di Bali. Bali

dipilih sebagai tempat kajian karena peran para misionaris hampir merata di

seluruh kabupaten yang ada di Bali.

Dari penjelasan di atas dapat dirumuskan beberapa permasalahan antara

lain.

1. Bagaimana perkembangan awal tokoh-tokoh religious tersebut dapat

mengembangkan kegiatan misionaris di Bali?

2. Seberapa jauh komunitas local dapat menerima pandangan-pandangan

mereka?

3. Apa tantangan dan peluang yang ada, sehingga kontribusi mereka dapat

diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya

masyarakat multibudaya di Bali?

Inilah beberapa pertanyaan penting yang dibahas dalam makalah ini dalam

upaya untuk memahami lebih baik tentang peran misionaris dalam terbentuknya

masyarakat multikultural Bali.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 77

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu

pengamatan, wawancara, dan penelaahan dokumen. Melalui penelitian kualitatif

budaya ini, memungkinkan peneliti untuk menata, mengkritisi, dan

mengklasifikasikan data yang menarik. Di samping itu, melalui penelitian

kualitatif ini membimbing peneliti untuk memperoleh temuan-temuan yang tidak

terduga sebelumnya dan membangun kerangka teoritis baru. Data yang digunakan

dalam makalah ini adalah data sekunder seperti buku Sejarah Gereja Katolik

Denpasar dan Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah, Migrasi dan

Integrasi.

3.PEMBAHASAN

Perkembangan Awal Tokoh-tokoh Religious di Bali

Pada tanggal 11 September 1935 seorang misionaris Katolik pertama yang datang

ke Bali bernama Pater Joanes Kersten,SVD. Pada awalnya, ia menyewa sebuat

tempat tinggal di Denpasar dengan aturan dari Pemerintah Belanda yang

menegaskan, bahwa ia dilarang untuk mengadakan hubungan dengan orang Bali

asli, mengunjungi rumah-rumah mereka serta mengajarkan agama kepada mereka.

Misi juga dilarang mendirikan sekolah dan rumah sakit. Jadi tugas misi yang

utama adalah melayani belasan umat Katolik Eropa atau melayu yang tinggal di

seluruh Bali.

Setelah dua bulan pelayanannya di Bali, Pater Joanes Kersten dikunjungi

oleh dua orang pemuda Bali yang beragama Kristen yaitu I Wayan Dibloeg dan I

Made Bronong. Mereka bermaksud ingin menawarkan Injil Perjanjan Baru yang

berbahasa Bali kepada Pater Kersten. Dalam perkembangannya terjadi dialog dan

akhinya terlibat dalam kursus agama Katolik. Kedua pemuda ini merasa tertarik

dengan agama Katolik yang baru dikenalnya yang kemudian bersedia untuk

bergabung dengan Gereja katolik. Pada tahun 1936 pada hari raya Paskah kedua

pemuda ini secara resmi diterima sebagai umat katolik di Gereja Katolik Denpasar.

(Patriwirawan, 1974 : 1411)

Dalam perkembangan selanjutnya kedua umat Katolik baru ini mulai

memperkenalkan Injil kepada orang- orang Bali lainnya. Tidak sedikit orang Bali

di Desanya mulai tertarik dan minta supaya diterima di Gereja Katolik. Tetapi

oleh Pater Kersten tidak serta merta diijinkan. Mereka disarankan agar jangan

tergesa-gesa masuk Katolik. Sebaiknya mereka belajar dan mengenal dengan baik

dulu ajaran gereja Katolik sebelum memutuskan untuk masuk Katolik.

Hal inilah yang menyebabkan pada waktu itu hubungan orang Bali Katolik

dengan orang Bali yang Hindu tetap harmonis seperti sebelum ada yang memeluk

agama Katolik. Orang Bali Katolik juga tetap menjalankan kewajiban- kewajiban

dari desa yang tidak berhubungan dengan soal keagamaan seperti Kerja Bakti.

Sehingga kerukunan dan ketentraman tetap terjaga dengan baik.(Patriwirawan,

1974 : 1412)

78 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kondisi Pater Kersten dalam perkembangannya tidaklah memungkinkan

untuk bekerja sendiri di Bali. Ia kemudian digantikan oleh Pater Simon Buis

misionaris Flores yang pada waktu itu sedang berlibur ke Eropa. Pada tanggal 30

September 1936, P. Simon Buis meneruskan pembangunan Kapel yang telah

digagas sebelumnya oleh P. Kersten dan hendak membangun sebuah rumah di

Tuka agar lebih dekat dengan umat yang tinggal di Tuka. Setelah kedatangan P

Simon Buis di Bali ia mulai melayani umat Katolik yang terpencar seperti di

Singaraja, Candi Kesuma Jembarana, Karangasem, Klungkung, Gianyar, dan

Negara. Keadaan ini yang menyebabkan P Simon Buis meminta agar dibantu oleh

misionaris ketiga yaitu Pater Agustinus de Broer untuk untuk membantunya

melayani umat Katolik di Bali pada tahun 1938.

Dalam kaitannya dengan kehidupan multikultur, dimana relasi mayoritas

dan minoritas terjadi dalam konteks harmoni dan riak-riak sosial. Demikian pula

halnya dengan kehidupan umat Hindu Bali dan umat Katolik Bali, yang pada

awalnya terdapat persoalan atau riak-riak sosial dalam kaitannya dengan masalah

kuburan di Tuka. Namun demikian, dalam konteks harmoni yang terjalin, dimana

tidak dilepaskan dari persoalan ikut sertanya umat Katolik dalam perbaikan

tempat ibadah umat Hindu. Hubungan yang dianggap tidak bersinergis ini

tampaknya tidak berlangsung cukup lama. Namun demikian persoalan ini tidak

berlangsung lama yang disebabkan karena mereka dapat mengatasi persoalan

dengan membagi tanah kuburan menjadi dua bagian. Dalam hal ini tampak

sebagian untuk umat Hindu Bali dan sebagian untuk umat Katolik. Demikian pula

dalam hal organisasi desa, umat Katolik dibebaskan dari kewajiban yang

berhubungan dengan soal agama. (Kusumawanta,2009: 45)

Pada tahun 1949 kedatangan misionaris dari Amerika yakni Pater Josef

Flaska dan Pater Norbert Antonius Shadeg, SVD. Dengan kedatangan misionaris

baru ini umat disekitar Tuka berkembang menjadi lebih luas seperti Babakan,

Cemagi, Abianbase. Pada tahun 1951 Pater Simon Buis kembali ke Belanda

karena alasan kesehatan setelah ia membangun Gereja di Bali yang pada tahun

1950 menjadi Prefektur Apostolik.

Misionaris yang berasal dari Amerika ini bernama Pater Nobert Antonius Shadeg,

SVD lahir di Minnesota, Amerika Serikat pada tanggal 10 Desember 1921.

Setelah ditahbiskan menjadi imam, bersama 13 rekannya P. Shadeg diutus ke

Indonesia. Pater N. Shadeg tiba di Bali pada tanggal 20 Juli 1950 setelah datang

berkunjung dari Ujungpandang dan Flores. Selain berperan sebagai seorang pastor

dengan melayani umat Katolik di sejumlah paroki di Bali, Pater Shadeg juga

punya perhatian besar pada dunia pendidikan dan masalah kebudayaan. Ia juga

menjadi guru Bahasa Inggris di Singaraja, yang saat itu menjadi ibu kota Provinsi

Sunda Kecil. Sejak mengajar itulah, dia tertarik untuk lebih intens mempelajari

Bahasa Bali, sampai terbitlah kamus yang disusun P. Shadeg yang berjudul, A

Basic Balinese Vocabulary' dan Bali Pocket Dictionary. (Suprobo,2000:13)

Komunitas Lokal Dapat Menerima Pandangan-Pandangan Misionaris

Kehadiran misionaris di Bali membawa pengaruh tidak hanya bagi umat Katolik,

tetapi juga bagi umat beragama lain yang ada disekitarnya.Dalam aktivitas

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 79

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

misionaris, tidak hanya melakukan kegiatan rohani saja, tetapi juga melakukan

kegiatan sosial lainnya yang dapat diterima oleh masayarakat luas di Bali.

Kegiatan sosial tersebut antara lain mencakup:

1. Bidang Kesehatan

Dalam bidang Kesehatan, misi menaruh perhatian yang sangat besar. Pada

awalnya misionaris mengadakan pengobatan dengan berkeliling dari desa ke desa.

Dalam rangkaian pengobatannya misionaris melakukan pengobatan dengan penuh

kesabaran dan cinta kasih. Komunikasi yang intensif berdialog dari hati ke hati

membuat pasien merasa nyaman dan percaya dengan pengobatan yang dilakukan

oleh misionari. Ini tampak menarik, apalagi jika dikunjungi oleh pastor, secara

psikologis mereka merasa sangat senang karena merasakan sudah mulai diberikan

perhatian. Dari sinilah dapat dilihat bagaimana masyarakat lokal dapat menerima

pandangan-pandangan misionaris tentang cinta kasih dan saling melayani kepada

sesama manusia, tanpa membeda-bedakan suku, ras, dan agama dalam ajaran

agama Katolik. Untuk mengobati pasiennya pastor meminjam sebuah rumah

untuk dijadikan balai pengobatan. Klinik dan BKIA (Badan Kesehatan Ibu dan

Anak) didirikan di Palasari, Tuka, dan Gumrih oleh P. Simon Buis. Klinik ini

mendapat bantuan dari suster-suster Fransiskanes. Melalui pendekatan

kemanusiaan, para misionaris melayani umat tidak hanya yang beragama Katolik

saja, melainkan umat lain yang datang berobat ke klinik. Hal inilah salah satu

faktor penyebab misionaris dapat diterima dengan baik ditengah masyarakat Bali

yang multibudaya.

2. Bidang Pendidikan. Dalam bidang pendidikan pada tahun 1949 Pater

Kersten dan P. Simon Buis mendirikan Sekolah Dasar Katolik pertama di Tuka,

lalu pada tahun 1951 mendirikan sekolah yang sama di Palasari dan Gumbrih

pada tahun 1953. Selanjutnya dibangun pula Sekolah Menengah di bebagai

tempat seperti Tuka, Palasari, Tangeb, Singaraja, dan Denpasar. Meskipun

sekolah yang didirikan merupakan sekolah Katolik, namun sekolah ini menerima

murid dari seluruh agama yang berasal dari seluruh Bali pada khususnya dan dari

seluruh Indonesia pada umumnya. Tidak jarang murid yang masuk ke sekolah ini

berasal dari NTB dan NTT yang pada waktu itu memilih menyekolahkananaknya

di Sekolah Katolik Denpasar karena mutu dan kualitas yang masih terjaga saat itu.

Pada awal berdirinya sekolah, untuk menunjang kegiatan belajar untuk murid

yang tidak mampu tidak dikenai biaya. Misi selalu berusaha untuk membantu

keluarga yang tidak mampu dan tidak hanya untuk keluarga Katolik saja.

Dapat dikatakan, bahwa dengan dibukanya sekolah dari berbagai tingkatan berarti

juga membuka kesempatan untuk tenaga kerja sebagai pengajar dan tenaga

administrasi dari masyarakat Bali, sebab ada pula tenaga pengajar dan

administrasi dari agama lain yang diterima bekerja di Sekolah Katolik.

Tantangan dan Peluang Misionaris di Bali

Tantangan yang dihadapi oleh misionaris di Bali, sehingga kontribusi mereka

dapat diperhitungkan dengan baik dalam konteks dinamika historis terbentuknya

masyarakat multibudaya di Bali antara lain adalah pada awalnya kendala dari

pasal 117 dari UUD Hindia (Indisiche Straatsregeling) tentang sikap pemerintah

80 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang netral terhadap agama. Hal ini terlihat dari sikap pemerintah yang melarang

adanya hubungan antara misionaris dengan orang Bali asli.

Tantangan lainnya adalah masalah sosial seperti keadaan umat yang

sangat miskin. Sebagai rohaniwan, mereka tidak hanya memperhatikan masalah

rohani saja, tetapi juga memikirkan masalahekonomi umatnya. Pada tahun 139 P.

Buis memohon pada Assisten Residen Bali Selatan agar umatnya diberi tanah di

Bali Barat. Permintaan tersebut baru dapat terpenuhi pada bulan September 1940.

P. Buis bersama dengan 24 orang umat laki-laki membuka lahan hutan yang lebat

menjadi pemukiman lalu pada tanggal 12 November 1940 sebanyak 22 KK yang

berasal dari Desa Tuka pindah dan menetap di Desa Palasari Jembrana.

Tantangan kembali dihadapi pada periode okupasi Jepang pad tahun 1942,

dimana tentara Jepang mendarat di Bali. Pada saat itu, banyak misionaris di Bali

yang ditangkap dan ditawan oleh tentara Jepang. Misalnya saja dapat disebutkan

dengan ditangkapnya P. Kersten di Flores dan kemudian ditawan di Sulawesi.

Pater Agus de Broer juga ditawan di Jawa, sedangkan P. Simon Buis ditahan di

Penjara Singaraja lalu dipindahkan ke Pare-pare, Sulawesi sehingga dapat

berjumpa dengan rekan-rekannya dari Flores. Dengan ditahannya imam-imam

yang ada di Bali untuk sementara sakramen permandian dan perkawinan diberikan

oleh umat yang bernama I Wayan Dibloeg setelah di beri kuasa oleh Mgr. Leven

dari Ndona Flores sambil menunggu imam dari Jawa untuk memberikan sakramen

lainnya.Setelah kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1946, para misionaris

dibebaskan dari tawanan. Mereka satu per satu kembali seperti P. Kerten di Tuka,

P Simon Buis di Palasari.(Patriwirawan, 1974:1415).

Demikian dinamika umat yang berada di Bali yang mengalami berbagai pasang

surut dalam kaitannya pembertahanan konsep masyarakat multikultur yang ada di

Bali pada khususnya, dan di Indonesia pada umumnya.

SIMPULAN

Dari uraian dan analisis yang disampaikan dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut. Pertama, kehadiran misionaris di Bali memang pada awalnya

mendapat pertentangan dari pemerintah kolonial, karena mereka ingin menjaga

dan melestarikan keutuhan dan budaya asli serta struktur sosial masyarakat Bali.

Kedua, adanya kekhawatiran karena Kehadiran misionaris menjadi ancaman

apabila banyak umat Hindu Bali yang beralih menjadi Katolik, namun hal ini

tidak terjadi sebab dalam perkembangannya kehadiran misionaris yang datang ke

Bali tidak hanya untuk memberi pelayanan rohani kepada umat Katolik Eropa

ataupun melayu saja melainkan juga membantu masyarakat Bali lainnya yang

berada disekitarnya seperti di daerah Tuka, Singaraja, Karangsem dan Jembrana.

Ketiga, para misionaris memberikan bantuan kepada masyarakat yang pada waktu

itu kondisinya sangat miskin. Terutama yang berada di daerah Tuka. Peran

misionaris dalam hal pemberian layanan kesehatan di klinik dan Balai Kesehatan

Ibu dan Anak serta mendirikan sekolah-sekolah dari tingkat dasar hingga

menengah yang dibuka untuk umum memberikan kesempatan kepada umat di

Bali untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Keempat, misionaris diberi

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 81

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kesempatan untuk melaksanakan pelayanannya dalam sejarah perkembangan

gereja Katolik di Bali, meskipun mendapat tantanganyang menunjukkan, bahwa

misionaris juga berperan dalam pembentukan masyarakat multibudaya di Bali.

Hal ini dapat dilihat dari terbukanya masyarakat Bali dapat menerima pendatang

dari luar yang sama-sama mempertahankan etinisitas dan identitas budayanya

masing-masing di masa kini dan masa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

Ardhana, I Ketut, dkk. 2011. Masyarakat Multikultural Bali Tinjauan Sejarah,

Migrasi dan Integrasi. Pustaka Larasan : Yogyakarta.

Bagian Dokumentasi Penerangan Kantor Wali Gereja Indonesia. 1974. Sejarah

Gereja Katolik Indonesia. Percetakan Arnoldus : Ende.

Suprobo, Leo. 2000.50 Tahun Karya Missionaris Romo Norbertus Antonius

Sahdeg, Svd, Ma (1949-1999).Skripsi yang belum diterbitkan, Jurusan

Sejarah : Universitas Udayana.

Kusumawanta, Rm.D.Gusti Bagus, Yoseph Made Ratnatha, Mathias Rony . 2009.

Gereja Katolik Di Bali (Suatu Penelusuran Sejarah Awal Kekatolikan

Sampai dengan 2006). Yayasan Pustaka Nusatama:Yogyakarta.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 82

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

REVITALISASI NILAI-NILAI KEARIFAN LOKAL TRI HITA KARANA

DAN SAD KERTIH DALAM PENGEMBANGAN DESA WISATA

SANGKAN GUNUNG

Gede Ginaya, I.A. Kade Werdika Damayanti, Ni Wayan Wahyu Astuti, I Wayan

Nurjaya

Jurusan Pariwisata Politeknik Negeri Bali

[email protected]

ABSTRAK

Bali merupakan salah satu tujuan wisata di Indonesia yang telah

dikenal luas di dunia. Pada tahun 2017, Bali memperoleh

penghargaan sebagai tujuan wisata terbaik dunia oleh TripAdvisor,

situs perjalanan terbesar di dunia. Penghargaan ini juga berdampak

pada peningkatan upaya pemerintah untuk mencapai target 20 juta

wisatawan asing pada tahun 2019. Bahkan, penghargaan ini dan

sejumlah penghargaan lainnya yang telah disematkan pada pulau

dewata ini tercapai karena kesatuan pengejawantahan implementasi

nilai-nilaiTri Hita Karana (THK) dan Sad Kertih (SK) sebagai

kearifan lokal dalam menjaga keseimbangan Bali. Namun,

Pembangunan kepariwisataan kini hanya terfokus pada

pertumbuhan ekonomi dengan begitu masifnya pengembangan

pariwisata masal (mass tourism),sehingga para wisatawan menjadi

sulit menemukan keunikan Bali karena mereka tidak cukup

menemukan informasi yang benar tentang Bali. Penelitian ini

bertujuan untuk menginvestigasi revitalisasi nilai-nilai-nilai THK

dan SK dalam pengembangan desa wisata Sangkan Gunung,

Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem.Metode yang

digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan teknik pengumpulan

data observasi partisipatif, wawancara mendalam, dan studi

dokumen. Sedangkan teori yang digunakan adalah teori

hermeneutik dan fenemenologiHasil penelitian menunjukkan

bahwa perlu adanya revitalisasi, transformasi, konservasi, dan re-

aktualisasi nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK, sebagai upaya

mewujudkan multiplier effects dari pengembangan desa wisata

yang berbasis masyarakat serta dilandasi dengan nilai-nilai

kearifan lokal yang pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan

masyarakat yang seimbang antara lahir dan batin.

Kata Kunci: revitalisasi, kearifan lokal, THK dan SK,multiplier

effects, kesejahteraan lahir dan batin

Latar Belakang

Pengembangan pariwisata tidak hanya terkonsentrasi dengan pengembangan

yang berbasis komodifikasi dari suatu produk yang bernilai ekonomis sehingga

mempunyai nilai tambah (added value) saja, tetapi juga perlu dilandasi dengan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 83

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

nilai-nilai kearifan lokal agar tercipta keharmonisan dalam sendi-sendi kehidupan

masyarakat, sehingga tidak terjadi pergulatan kepentingan (conflict of interest)

antar pemangku kepentingan dan masyarakat pelaku pariwisata karena perebutan

kue pariwisata (Ginaya, 2017). Salah satu kearifan lokal yang tumbuh subur

dalam kehidupan sosial masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana (THK) dan Sad

Kertih (SK). Windia dan Ratna Komala Dewi (2007), Pitana (2010), Purana

(2016), Ardika (2017), Mudana et al (2018), dan Ginaya (2018)menyebutkan

pengertian THK sebagai tiga hubungan yang harmonis, yaitu hubungan yang

harmonis dengan Tuhan Yang Maha Esa, hubungan harmonis antara sesama

manusia dan hubungan harmonis antara manusia dengan alam serta makhluk

lainnya.SK adalah enam jenis upacara yang bertujuan untuk menjaga

keharmonisan alam dan isinya atau enam konsep dalam melestarikan lingkungan

(Wiana, 2004, 2018). Menurut Wiana konsep Sad Kertih adalah ajaran Hindu di

Bali yang dapat ditelusuri ke sumbernya di Bali Purana atau lontar di mana alam

semesta ini termasuk manusia menurut Veda terdiri dari unsur-unsur Panca Maha

Butha atau lima unsur yang terdiri alam semesta. Implementasi THK dalam

pembangunan pariwisata Bali yang dianggap mempunyai dampak sangat luas bagi

masyarakat serta lingkungan di Bali, yaitu sektor perhotelan, akomodasi, serta

atraksi wisata telah diakui oleh Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata, I Gd.

Ardika (Anonim, 2003: 80). I Gd. Ardika dalam sumber yang sama menyatakan

bahwa ada beberapa hal yang penting dari pelaksanaan THK Tourism Awards:

bersifat bottom up, memberdayakan masyarakat, bersifat voluntary, dan

partisipatif.

Keadaan yang cenderung membuat pembangunan kepariwisataan kini hanya

difokuskan pada pertumbuhan ekonomi, para penikmat pariwisata menjadi sulit

menemukan keunikan Bali adalah bertentangan dengan prinsip utama pariwisata

berkelanjutan(key principles of sustainable tourism) (Ardika, 2009) dan prinsip-

prinsip local genius atau cultural identity seperti yang dikemukakan oleh

Soebadio (Ayat,1986: 18). Berdasarkan prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan,

menurut Ardika bahwa salah satunya tertulis secara tegas bahwa pariwisata

hendaknya dilakukan dengan asas kesetaraan guna terdistribusinya secara adil

keuntungan(benefits)dan biaya(costs)di antara investor, masyarakat lokal, dan

kawasan wisata. Oleh karena itu, Bali sebagai daerah destinasi wisata mengalami

ketimpangan saat menghadapi derasnya arus informasi dari luar dengan semakin

meningkatnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi antar generasi,

sehingga terjadi disorientasi pemaknaan sistem nilai budaya lokal. Di sisi lain,

dari prinsip-prinsip cultural identity, Soebadio menyatakan bahwa kemampuan

untuk menyerap dan mengolah pengaruh kebudayaan dari luar adalah ketahanan

di bidang budaya sebagai ketahanan bangsa di mana suatu bangsa akan lebih

mampu untuk bertahan menghadapi ancaman budaya luar, sehingga mampu

menyerap apa yang cocok dan menolak apa yang tidak cocok.Hal ini menjadi akar

permasalahan dalam pengembangan pariwisata di mana kemampuan masyarakat

dalam menangani percepatan perubahan, kompleksitas, dan ketidakpastian

perkembangan kepariwisataan di Bali masih rendah, sehingga kapasitas

masyarakat dalam mengelola pariwisata yang berbasis budaya perlu ditingkatkan.

Permasalahan ini perlu untuk diteliti sebagai sebuah kajian budaya (cultural

studies) yang bersifat kritis dan multidisipliner serta berusaha membela

kelompok-kelompok masyarakat yang terpinggirkan seperti yang disarankan oleh

84 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

para pakar kajian budaya, di antaranya Barker (2005: 6), sehingga nantinya dapat

memberikan gambaran tentang pengembangan model pariwisata kreatif di desa

Sangkan Gunung sebagai pengejawantahan sebuah pembangunan pariwisata

berkelanjutan melalui integrasi komunitas, budaya dan lingkungan yang

berlandaskan nilai-nilai kearifan lokal Tri Hita Karana dan Sad Kertih untuk

mewujudkan masyarakat yang sejahtera lahir dan batin dengan tetap menjaga

kelestarian linkungan alam dan keajegan budaya lokal.

Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah data

primer dan sekunder. Data primer adalah data yang langsung didapatkan

berdasarkan hasil survei pada saat penjajagan awal pengabdian kepada masyarakat

di desa Sangkan Gunung dan wawancara langsung terhadap tokoh-tokoh

masyarakat di desa tersebut, seperti kepala desa, bendesa adat, ketua kelompok

sadar wisata desa Sangkan Gunung beserta kelompok mitra lainnya seperti

kelompok tani, pengerajin, kesenian. Sedangkan data sekunder adalah data yang

diperoleh dari hasil penelusuran studi dokumen dan pustaka.

Data selanjutnya dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif yang didasari

paradigma metodologis induktif. Artinya, suatu paradigma yang bertolak dari

sesuatu yang khusus ke sesuatu yang umum (Mahsun dalam Ginaya, 2018).

Dengan metode analisis deskriptif, data yang telah dikumpulkan dideskripsikan

secara lengkap sehingga akhirnya didapatkan suatu simpulan. Hasil penelitian

disajikan dengan metode formal dan informal. Menurut Sudaryanto (1993: 145)

metode penyajian informal adalah menyajikan hasil analisis dengan uraian atau

kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian formal adalah perumusan dengan

tanda-tanda dan lambang-lambang Menurut Muhammad dalam Ginaya (2018)

lambang-lambang atau tanda-tanda digunakan untuk menyajikan atau

merumuskan hasil analisis sehingga makna kaedah, hubungan antar-kaedah, dan

kekhasan kaedah dapat diketahui dan dipahami.

Hasil dan Pembahasan

Pengembangan sebuah desa wisatayang dirumuskanhendaknya sedapat

mungkin merupakan representasi partisipasi masyarakat dalam setiap aspeknya.

Demikian pula harapan masyarakat Sangkan Gunungdalam pengembangan

desawisata sesuai dengan potensi desa ke depannyaadalah(1) Pengembangan

Pokdarwis desa Sangkan Gunung sedapat mungkin dapat melibatkan masyarakat

sebagai konsep pengembangan pariwisata berbasis masyarakat (PBM) dengan

melibatkan seluruh komponen warga masyarakat yang terlibat

aktifdalampengembangan potensi wisatadesa menjadi sebuah destinasi wisata; (2)

Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) yang lebih menekankan pada sisi ekonomi

hendaknya dilandasi juga dengan kearifan lokal THK dan SK. THK adalah

keseimbangan hubungan di antara 3 unsur di masyarakat desa Sangkan Gunung

dalam menjalankan kehidupannya sebagai upaya untuk terciptanya kehidupan

masyarakat yang damai, harmonis dan bahagia, yaitu hubungan masyarakat

dengan Sang penciptanya, hubungan harmonis sesama warga masyarakat, dan

hubungan harmonis masyarakat dengan lingkungannya. Ketiga hubungan

harmonis yang menyebabkan kebahagiaan ini dan enam unsur dalam SK akan

memupuk rasa ―paras paros sarpanaya salulung sabayantaka‖ atau adanya

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 85

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

penghargaan terhadap hak-hak masyarakat lokal serta menjaga kelestarian

linkungan yang ada di kawasan desa Sangkan Gunung. Gambar 1 berikut

menunjukkan perpaduan konsep filosofis kearifan lokal THK dan SK sebagai

model pengembangan desa wisata Sangkan Gunung.

Gambar 1. Konsep filosofis THK danSK

Metode yang dipergunakan untuk mencapai target pengembangan PBM yang

dilandasi dengan nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK dalam pengembangan

desa wisata Sangkan Gunung yang secara garis besar dapat diklasifikan menjadi 3

sesuai dengan identifikasi permasalahan dalam pengembangan desa Sangkan

Gunung sebagai desa wisata, yaitu keterbatasan daya jangkau terhadap pasar;

keterbatasan SDM bidang manajemen, administrasi dan kompetensi operasional;

keterbatasan fasilitas fisik. Oleh karena itu, metode rancangan pengembangan

desa wisata Sangkan Gunung seperti pada Tabel 1.

Tabel 1. Metode rancangan pengembangan desa wisata Sangkan Gunung Data Kegiatan Metode Rasional

Mendata

Potensi

wisata

yang ada

untuk

dikembang

kan

Pengadaanwebsite

Pokdarwis desa

Sangkan Gunung

serta

mengembangkan

Pokdarwis desa

Sangkan Gunung

menjadi Desa

wisata (Dewi)

Procurement of website

in English and other

foreign languages

Websitememberikanak

ses

informasitentangPokda

rwisterhadappasar

Pengemba

ngan

prasarana

dan sarana

pendukung

Mengembangkan

Pokdarwis desa

Sangkan Gunung

menjadi desa

wisata

Materi situs web

dikumpulkan dan disusun

bersama antara tim dan

personel Pokdarwis

Situs web ini

menyediakan akses

informasi tentang

Pokdarwis ke pasar

Pengemba

ngan

Sosialisasi PBM

berlandaskan THK

PendadarantentangPBM

berlandaskan THK dan SK

Pemahamanterhadapprin

sip PBM berlandaskan

Tri Hita Karana

(Tigahubunganhar

monisantaramanus

iadenganTuhan,

manusiadenganma

nusia, dan

manusiadenganala

m)

Parhyangan/AtmaK

ertih

Pawongan/Jana

Kertih

Palemahan/Segara,

Wana, Danu, Jagat

Kertih

PariwisataBerkelanjutan

Sad Kertih

(Enamkonsepdala

mmelestarikanling

kungan)

86 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

produk

wisata

dan SK diberikanuntukmembang

un

pemahamantentangesensi

dari

parwisataberbasismasyar

akat berlandaskan THK

dan SK

THK dan SK

akanmenuntunpada

pengembanganpariwisat

ayang lebihterarah.

Potensi yang dapat dikembangkan sebagai atraksi wisata di desa wisata

Sangkan Gunung adalah sumber daya alam dan keindahan alam serta seni dan

budaya. Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, potensi yang ada di desa

Sangkan Gunungmerupakan daerah pedesaan yang sangat potensial untuk

dikembangkan sebagai tujuan wisata dengan daya tariknya termasuk keindahan

alamnya. Desa Sangkan Gunung terletak pada ketinggian sekitar 800 meter di atas

permukaan laut dapat ditemukan petak persawahan dengan teras sering, aliran

sungai Telaga Waja yang terkenal dengan wisata arung jeram, air terjun,

bendungan irigasi, dan beberapa sumber mata air untuk ritual malukat atau

penyucian. Gambar 2 berikut adalah penduduk lokal yang memanfaatkan mata air

mumbul untuk aktivitas penyucian atau pembersihan diri.

Gambar 2. Malukat di mata air Mumbul

Simpulan

Semua komponen masyarakat yang tergabung dalam organisasi yang ada di

desa Sangkan Gunung adalah sangat potensial dalam mendukung keberhasilan

pengembangan Pokdarwis di desa tersebut. Semua Potensi tersebut sangat perlu

diberdayakan sebagai upaya mendukung pengembangan Pokdarwis di desa tersebut.

Dalam pengembangannya diharapkan terjadi kebersamaan dalam suatu aktivitas

yang dilandasi dengan semangat gotong royong saling bahu membahu di antara

seluruh komponen masyarakat yang memiliki visi dan misi yang sama yaitu

pengembangan potensi wisata desa untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera,

bahagia, dan damai sebagai realisasi dari esensi pengembangan pariwisata yang

berlandasan THK dan SK dan berbasis masyarakat atau PBM.

Dalam pengembangan komodifikasi potensi wisata di desa Sangkan Gunung

semaksimal mungkin diharapkan untuk melibatkan partisipasi masyarakat yang

sejalan dengan konsep pariwisata berbasis masyarakat (PBM) yang menurut para

pemerhati pariwisata berbasis masyarakat tersebut, PBM merupakan model

pembangunan yang memberikan peluang yang sebesar-besarnya kepada

masyarakat pedesaan untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata.

Melalui pengembangan desa wisata diharapkan terjadi pemerataan yang sesuai

dengan konsep pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Di samping itu,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 87

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

keberadaan desa wisata menjadikan produk wisata lebih bernilai budaya pedesaan

karena dilandasi oleh nilai-nilai kearifan lokal THK dan SK, sehingga

pengembangan desa wisata bernilai budaya tanpa merusaknya.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim (2003). Bali: Objek dan Daya Tarik Wisata (Buku Panduan

Pramuwisata). Denpasar: Dinas Pariwisata Provinsi Bali.

Ardika, I. W. (2009). ―Aspek Sosial Budaya dalam Pariwisata Berkelanjutan‖.

(Makalah disampaikan pada Kuliah Globalisasi dan Pariwisata Budaya

Program Studi Magister (S2) Kajian Budaya Universitas Udayana).

Ardika, I. W. (2018). The Implementation of Tri Hita Karana on the World

Heritage of Taman Ayun and Tirta Empul Temples as Tourist Attractions

in Bali. E-Journal of Tourism, 85-93.

Ayat, R. (1986). Kepribadian budaya bangsa (local genius). Jakarta: Pustaka

Jaya.

Ginaya, G. (2018). The Balinese calendar system: From its epistemological

perspective to axiological practices. International Journal of Linguistics,

Literature and Culture (IJLLC), 4(3), 24-37.

Ginaya, G. (2017). Pergulatan Kepentingan antara Representatif Asing dan

Pramuwisata dalam Penanganan Wisatawan Rusia pada PT. Tiga

Putrindo Lestari, Nusa Dua. Sekolah Tinggi Pariwisata Triatma Jaya, 13.

Mudana, I. G., Suamba, I. B. P., Putra, I. M. A., & Ardini, N. W. (2018, January).

Practices of Bali Tourism Development, Threefolding, and Tri Hita

Karana Local Knowledge in New Order Indonesia. In Journal of Physics:

Conference Series (Vol. 953, No. 1, p. 012108). IOP Publishing.

Pitana, I., (2010). Tri Hita Karana–the local wisdom of the Balinese in managing

development. In Trends and issues in Global Tourism 2010 (pp. 139-

150). Springer, Berlin, Heidelberg.Agusnawar, A.Md.Par. 2004.

Resepsionis Hotel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Purana,IMade.(2016).―PelaksanaanTriHitaKaranadalamKehidupanUmatHindu‖.Ju

rnalKajian PendidikanWidyaAccarya,FKIPUniversitas

Dwijendra,Maret2016.

Sudaryanto. (1993). Metode dan aneka teknik analisis bahasa: pengantar

penelitian wahana kebudayaan secara linguistis. Duta Wacana

University Press.

Wiana. I. K.(2004).Mengapa Bali di sebut Bali.Penerbit Paramita Surabaya

Wiana. I. K.(2018). ―Implementasi Filosofi dan Konsepsi Pembangunan Bali

(Bagian VII, Rubrik Wija Kasaur): Empat Fungsi Kebersamaan

Universal‖, Pos Bali, Sunday, 20 May, p. 1.

Windia,W.andRatnaKomalaDewi.(2007).AnalisisBisnisyangberlandaskantrihitaka

rana. Denpasar:Universitas Udayana.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 88

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ANALISIS ‘UNTUK KITA RENUNGKAN’

I Gusti Ayu Gde Sosiowati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Banyak cara manusia untuk menyampaikan apa yang ada di dalam

pikirannya dan salah satu dari cara tersebut adalah melalui lagu.

Pada dasarnya lagu adalah sebuah puisi yang disampaikan dengan

bantuan nada-nada musik yang biasa disebut musikalisasi. Oleh

karena bentuk dasarnya adalah puisi, penyampaiannya juga

menggunakan perangkat puisi. Kenney (1966) menyatakan bahwa

perangkat puisi ada bermacam-macam, misalnya simbol, metaphor,

personifikasi dsb. ―Untuk Kita Renungkan‖ adalah sebuah lagu

yang diciptakan oleh Ebit G.Ade. Lagu ini sama dengan lagu-

lagunya yang lain yang biasanya mengusung tema tentang alam

dan duka derita sekelompok orang yang teraniaya. Jenis musik

yang biasa dimainkannya adalah musik pop, balada dan country.

Dari sekian banyak lagu, lagu dengan judul ―Untuk Kita

Renungkan‘ merupakan lagu yang memiliki kosa kata yang tidak

terduga. Lagu ini sangat bernuansa religi karena banyak mengacu

kepada pengetahuan agama dan Tuhan. Mengingat bahwa pada

masa sekarang ini banyak terjadi bencana alam dan juga banyak

manusia lupa kepada ajaran kebajikan, menganalisis lagi ini sangat

relevan untuk dilakukan. Analisis lagu ini dilakukan untuk

mengupas kandungan nilai-nilai moral yang ada di dalamnya dan

bagaimana cara Ebit G.Ade menyampaikan pesan yang ingin

disampaikannya. Meskipun hanya lagu, makna yang tersirat di

dalamnya diharapkan dapat menggugah nurani pendengarnya dan

memunculkan niat untuk selalu berbuat baik kepada sesama.

Kata kunci: puisi; lagu; musikalisasi; nilai-nilai moral

Pendahuluan

Lagu adalah suatu bentuk karya seni yang banyak digemari oleh manusia

sebagai alat menghibur diri. Lagu dapat memiliki beraneka ragam tema, misalnya

tentang alam, cinta, kesedihan, kegembiraan ataupun kekecewaan. Oleh karena

kemampuannya mengakomodasi berbagai macam perasaan, lagu seringkali

dipakai oleh peciptanya untuk menyampaikan apa yang dirasakan atau dilihat.

Sebagai sebuah bentuk seni yang dianggap sama dengan puisi, menganalisis untuk

mendapatkan maknanyapun sama dengan menganalisis puisi. Analisis karya

sastra, dalam hal ini puisi, dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan

intrinsik dan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah suatu cara menganalisis puisi

berdasarkan elemen-elemen intrinsic seperti misalnya tema, gaya bahasa, bentuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 89

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang digunakan dan sebagainya sedangkan analisis ekstrinsik akan

menghubungkan suatu puisi dengan kondisi sosial atau kehidupan pengarangnya.

Analisis puisi yang pada akhirnya dipresentasikan melalui lagu sudah banyak

dilakukan oleh para ahli. Salah satunya adalah karya ilmiah yang ditulis oleh

Ransom (2015). Dia mengatakan bahwa music adalah salah satu alat komunikasi

yang efektif dan lirik lagu sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan

komunikasi. Dikatakan pula bahwa lagu dapat membangkitkan perasaan positif

bagi pendengarnya. Lirik lagu disamping dapat membangkitkan perasaan positif,

dapat pula merupakan pembelajaran. Hal ini disampaikan oleh Steinberg (2014)

yang menyatakan bahwa generasi muda yang berumur belasan dengan kondisi

otak yang masih lentur dapat dengan mudah belajar dan menyerap makna sebuah

lagu. Pendapat ini sejalan dengan tujuan penulisan artikel ini yaitu menemukan

ajaran moral dalam lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ melalui analisis intrinsik dan

ekstrinsik. Harapan yang dapat dikemukakan dengan

menganalisis lagu ini adalah membuka kesadaran manusia terutama generasi

muda sebagai generasi penerus bangsa terhadap kebesaran Tuhan sehingga

perilaku religious dapat mendasari setiap tindakannya.

Metodologi

Data artikel ini diambil dari sebuah lagu yang berjudul ―Untuk Kita

Renungkan‖ yang ditulis oleh Ebit G.Ade tahun 1982 pada saat Gunung

Galunggung di Jawa Barat meletus. Lagu ini merupakan lagu yang mengandung

ajaran untuk introspeksi diri dan bagaimana menyikapi sebuah bencana. Oleh

karena lagu dapat dikatakan sebagai puisi yang dimusikalisasi, analisisnya akan di

awali dengan tema, kemudian diikuti oleh analisis bagian-bagian lagu itu dengan

menggunakan teori Kenney (1966). Kenney menyebutkan bahwa perangkat puisi

(poetic devices) terdiri atas: pilihan kata, bahasa figurative misalnya Hiperbola,

Ironi, Metafora, Metonimi, Paradox, Personifikasi, Simili, Sinekdoce dan

sebagainya. Menurut Morner & Rausch ( 1998) Hiperbola adalah menyatakan

sesuatu dengan cara membesar-besarkan, Ironi adalah kontradiksi antara apa yang

diharapkan dan yang terjadi sebenarnya, Metafora adalah menganalogikan sesuatu

sucara imajinatif dengan hal lain yang berbeda, Metonimi adalah penggantian

nama benda atau orang dengan nama lain yang berhubungan, Paradox adalah

pernyataan yang nampaknya bertentangan, tetapi benar, Personifikasi adalah

pemberian karakteristik manusia kepada benda-benda yang bukan manusia

termasuk kekuatan alam dan konsep yang abstrak, Simili adalah perbandingan dua

hal yang berbeda dengan menggunakan kata ―seperti‘ atau ‗bagaikan, dan

Sinekdoce adalah menyatakan suatu objek secara keseluruhan dengan

mengatakan bagiannya saja.

Lagu ini dipilih karena sangat relevan dengan kondisi masa kini dimana banyak

orang cenderung mencaci maki bahkan memfitnah orang lain tanpa pernah

menyadari bahwa mereka sendiri bukan sosok yang lebih baik. Rasa takut berbuat

dosa sudah tidak ada lagi demi materi. Mereka tidak menyadari bahwa Tuhan

dapat membalikkan segala sesuatu dalam sekejap.

90 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pembahasan

Pembahasan ini akan diawali oleh presentasi lagu yang berjudul ―Untuk

Kita Renungkan‖ ciptaan Ebiet G. Ade. Selanjutnya baris demi baris akan

dianalisis untuk melihat apa yang sebenarnya ingin dikatakan oleh pengarangnya.

Untuk Kita Renungkan

1 Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih

2 Suci lahir dan di dalam batin

3 Tengoklah ke dalam sebelum bicara

4 Singkirkan debu yang masig melekat, oh

5 Singkirkan debu yang masih melekat

Du du du du du oh oh oh

6 Anugerah dan bencana adalah kehendakNya

7 Kita mesti tabah menjalani

8 Hanya cambuk kecil agar kita sadar

9 Adalah Dia di atas segalanya oh

10 Adalah Dia di atas segalanya

11 Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai menyapu

bersih

12 Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak

berbenah

13 Memang, bila kita kaji lebih jauh

14 Dalam kekalutan, masih banyak tangan yang tega berbuat nista... oh

15 Tuhan pasti telah memperhitungkan

16 Amal dan dosa yang kita perbuat

17 Kemanakah lagi kita kan sembunyi

18 Hanya kepadaNya kita kembali

19 Tak ada yang bakal bisa menjawab

20 Mari, hanya runduk sujud padaNya

hooo...hooohooo du du du

21 Kita mesti berjuang memerangi diri

22 Bercermin dan banyaklah bercermin

23 Tuhan ada di sini di dalam jiwa ini

24 Berusahalah agar Dia tersenyum...

ho.....ho...ho...ho...du..du..du..du..

25 Berusahalah agar Dia tersenyum

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 91

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Seperti yang sudah dinyatakan sebelumnya, lagu ―Untuk Kita Renungkan‖

ini diciptakan berlatar belakang meletusnya gunung Galunggung di Jawa Bart

pada tahun 1982. sehingga video clip nyapun dibuat dengan memanfaatkan

potongan-potongan gambaran yang terjadi pada saat terjadinya bencana alam yang

berupa gambar bayi, orang berdoa kondisi sebuah lokasi yang porak porand,

aliran lahar yang masih membara dan tangan yang menerima uang. Kondisi

seperti ini tentunya banyak mengundang komentar. Ada yang mengatakan bahwa

bencana itu adalah teguran Tuhan akan tetapi adapula yang mengatakan bahwa

bencana itu adalah hukuman dari Tuhan. Menyikapi bencana dan komentar

tentang meletusnya gunung Galunggung itu serta sikap manusia yang

memanfaatkan penderitaan orang lain, Ebiet G. Ade menulis lirik lagu yang

seakan-akan mengingatkan bahwa manusia itu hendaknya jangan mengatakan dan

melakukan hal-hal yang buruk kepada orang lain. Pada saat manusia mengalami

kesulitan hanya Tuhan yang bisa menolong oleh karena itu tugas manusia adalah

berbuat baik sehingga Tuhan menjadi senang. Latar belakang lagu ini akan

digunakan sebegai elemen intrinsik yang sangat membantu dalam menganalisis

lagu ini. Latar belakang penciptanya juga sangat membantu dalam penentuan tema.

Musisi yang bernama asli Abid Ghoffar bin Aboe Dja‘far yang lahir di Wanadadi,

Banjarnegara, Jawa Tengah pada 21 April 1954 ini adalah sosok yang suka

bergaul dengan seniman muda Yogyakarta. Berlatar belakang pendidikan yang

bernuansa agama (SMP dan SMA Muhammadiyah) bahkan menjalani pendidikan

Guru Agama, tidak mengherankan bahwa lagu-lagunya banyak bernuansa religi,

termasuk lagu ―Untuk Kita Renungkan‖

Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, lagu ―Untuk Kita

Renungkan‖, apabila dilihat dari liriknya adalah lagu yang bertema religi.

Melalui lagu ini penciptanya ingin menunjukkan betapa maha kuasanya dan

maha pengasihnya Tuhan. Bagaimana Ebiet G Ade membangun tema ini melalui

lirik lagu ―Untuk Kita Renungkan‖ dapat dilihat pada paparan berikut.

1 Kita mesti telanjang dan benar-benar bersih

2 Suci lahir dan di dalam batin

3 Tengoklah ke dalam sebelum bicara

4 Singkirkan debu yang masig melekat, oh

5 Singkirkan debu yang masih melekat

Melalui lirik 1 – 5 para pendengar lagu ini dapat menyimpulkan bahwa

penciptanya ingin mengajak orang untuk introspeksi diri sebelum membicarakan

keburukan orang lain. Di baris (1) Ebiet menggunakan kata ―telanjang‖ yang

apabila dilihat sebatas baris itu dapat mengundang pemahaman yang berbeda

karena terdengar vulgar. Akan tetapi sebenarnya Ebit menggunakan Metafora

untuk menyatakan bahwa bahwa sebaiknya kita bersikap seperti bayi yang bersih

yang belum dikotori oleh berbagai nafsu. Bukankah pada saat bayi baru lahir

telanjang? Sosok bayi

Adalah sosok yang jujur dan belum dikotori nafsu duniawi. Begitulah

hendaknya apabila manusia ingin mengomentari apa yang terjadi. Bersihkan hati

dan pikiran diri terlebih dahulu (line 2: suci lahir dan di dalam batin). Di line (3)

kita diminta untuk melihat ke dalam (hati) yang maksudnya adalah lihatlah secara

jujur siapa kita sebenarnya. Pada line 3, gaya bahasa yang digunakan adalah

Elipsis yaitu tidak menyebutkan kata ―hati‖ secara eksplisit. Himbauan untuk

92 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lebih membersihkan hati nurani disampaikan melalui baris (4 - 5). Kedua baris ini

merupakan pengulangan yang juga merupakan salah satu gaya bahasa untuk

menekankan makna. Ebit menggunakan kata ―debu‖ yang merupakan simbol dari

kekotoran. Hilangkan kekotoran ini dari hati sehingga manusia dapat melihat apa

yang terjadi dengan baik sehingga apa yang dikatakan juga akan dilandasi oleh

niat baik. Ebiet mengibaratkan kesucian hati merupakan hal yang sangat penting

sehingga baris itu diulang pada saat dinyanyikan.

Baris 6 – 10 menunjukkan betapa besarnya kuasa Tuhan. Anugerah dan

bencana merupakan majas antitesis yang menggunakan dua kata berlawanan. Hal

ini menunjukkan bahwa Tuhan, apabila berkehendak dapat melakukan apa saja.

Bencana yang demikian besar diibaratkan hanya sebagai cambuk kecil. Gaya

bahasa yang digunakan adalah Litotes yaitu gaya bahasa untuk mengecilkan

sesuatu. Dengan menggunakan ungkapan ini Ebiet mencoba menyampaikan

bahwa apa yang merupakan lecutan kecil ternyata berdampak begitu besar bagi

umat manusia. ―Cambuk kecil‖ yang sudah membuat manusia sadar atas

kuasaNya, ternyata juga dipakai oleh sekelompok manusia untuk melakukan hal-

hal yang tidak terpuji. Perbuatan tidak terpuji ini misalnya memberi pertolongan

kepada orang yang sudah mengalami kesusahan dengan meminta bayaran.

Baris 11: ―Anak menjerit-jerit, asap panas membakar, lahar dan badai

menyapu bersih‖ menyajikan gaya bahasa Klimaks untuk menunjukkan betapa

asap panas, lahar dan badai yang awalnya ―hanya‖ membuat anak-anak menjerit

ketakutan dan kesakitan pada akhirnya menyapu semua yang ada di sekitranya

tanpa memandang apa dan siapa yang diterjang. Sekilas memang Nampak seperti

hukuman bagi manusia. Akan tetapi dengan menggunakan gaya bahasa koreksio

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 93

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(line 12: Ini bukan hukuman, hanya satu isyarat, bahwa kita mesti banyak

berbenah) Ebit menyatakan bahwa bencana tersebut hanya merupakan isyarat dari

Tuhan bahwa manusia haris lebih memperbaiki perilaku terhadap sesame manusia

dan perilaku terhadap alam. Dalam hal Tuhan bukan penghukum karena cambuk

kecilNya saja sudah mampu menimbulkan asap panas dan lahar, dua hal yang

tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Pada baris 14 (…banyak tangan yang tega

berbuat nista), Ebit menggunakan gaya bahasa Sinekdoce yaitu menggunakan satu

bagian tubuh manusia untuk merepresentasikan manusia secara utuh

Baris 15 – 20 mengandung arti bahwa manusia tidak seharusnya saling

menghakimi karena Tuhan yang merupakan hakim paling adil telah

memperhitungkan apa yang dilakukan manusia dan menunjukkannya melalui

berbagai cara. Belum tentu peringatan itu langsung diberikan kepada pelaku akan

tetapi diberikan melalui orang lain untuk menggugah hati nurani si pelaku bahwa

perbuatannya bisa menyengsarakan orang lain. Misalnya eksploitasi terhadap

alam sudah mengakibatkan perubahan lapisan bumi yang dapat menimbulkan

bencana alam. Untuk menyampaikan kebesaran Tuhan, Ebit menggunakan gaya

bahasa Retoris (baris 17: Kemanakah lagi kita kan sembunyi). Manusia tidak bisa

bersembunyi dari Tuhan yang akan member ganjaran kepada manusia sesuai

dengan perbuatannya. Semua itu hanya masalah waktu.

Baris 21 – 25 adalah lirik yang mengajak kita semua untuk melawan hawa

nafsu yang tidak baik. Baris 21: Kita mesti berjuang memerangi diri,

mengaplikasikan gaya bahasa hiperbola melalui kata ‗memerangi‘ karena kata

perang merupakan aktifitas yang melibatkan banyak orang. Baris 22 mengandung

pengulangan kata ‗bercermin‘ dengan tujuan menekankan makna. ‗Bercermin‖

tidak mengandung arti harfiah karena maksudnya adalah kita harus melihat

kedalam hati kita sendiri dan jujur karena cermin memantulkan diri kita dengan

cara yang sangat jujur. Kembali Ebiet menggunakan Alegori.

Baris 24 menampilkan Personifikasi dimana Tuhan yang merupakan konsep

abstrak namun sangat dipercaya keberadaanNya dianggap dapat tersenyum

apabila merasa bahagia. Tuhan akan bahagia apabila umatnya menjalankan

ajaranNya dengan baik dan benar. Makna baris ini sangat penting sehingga Ebiet

mengulangnya di baris 25.

94 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Simpulan

Paparan di atas menunjukkan bahwa untuk membangun suatu tema,

pemilihan kata dan gaya bahasa yang digunakan merupakan hal yang sangat

penting. Ebiet G Ade dalam usahanya memberikan pembelajaran religi melalui

lagu kepada masyarakat sudah menggunakan elemen ekstrinsik yaitu bencana

meletusnya gunung Galunggung dan pengetahuannya terhadap agama dan elemen

intrinsik yaitu gaya bahasa untuk menyampaikan pesannya. Gaya bahasa yang

digunakannya adalah Metafora, Ellipsis, Simbol, Repetisi, Antithesis, Litotes,

Klimaks, Koreksio, Sinekdoce, Retoris dan Alegori. Lagu ini dapat dikatakan

merupakan himbauan yang sangat kuat untuk memperbaiki perilaku hidup

manusia sehingga nilai keimanan yang tergerus dapat kembali dipertebal untuk

dapat menciptakan kehidupan yang mengedepankan kepentingan bersama dan

menghilangkan keserakahan yang dapat menimbulkan malapetaka bagi

masyarakat.

Daftar Pustaka

https://www.viva.co.id > read. Profil Ebiet D Ade – VIVA. Diunduh tanggal 17

Maret 2019.

Kenney, William (1966). How to Analyze Fiction.

Morner, Kathlees; Rausch, Ralph (1998). NTC‟s Dictionary of Literary Terms.

Chicago: NTC Publishing Group.

Ransom, Patricia Fox, "Message in the Music: Do Lyrics Influence Well-Being?"

(2015).Master of Applied Positive Psychology (MAPP)Capstone Projects. 94.

http://repository.upenn.edu/mapp_capstone/94

Steinberg, L. (2014). Age of opportunity: Lessons from the new science of

adolescence.

Houghton Mifflin Harcourt.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 95

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

METAFORA DI MEDIA CETAK:

SEBUAH PENELITIAN PENDAHULUAN

I Gusti Ngurah Parthama

Program Studi Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Paper ini membahas mengenai model – model tipologi metafora

yang terdapat pada judul – judul berita media cetak. Metafora

merupakan suatu bentuk gaya bahasa yang menarik perhatian

lawan bicara. Penggunaan metafora memungkinkan seorang

penutur untuk menggunakan pilihan – pilihan diksi tertentu. Diksi –

diksi itu selanjutnya menjadi bagian yang menarik perhatian dalam

suatu bentuk komunikasi. Hal tersebut juga berlaku bagi media

cetak. Penggunaan metafora pada judul – judul berita media cetak

menjadi daya tarik tersendiri bagi pembacanya. Dengan pemakaian

metafora yang sesuai maka seorang penulis dapat menemukan

alternatif untuk membandingkan persamaan atau perbedaan suatu

kondisi dengan kondisi lainnya yang digunakan sebagai metafora.

Penggunaan metafora pada judul berita juga memberikan

kesempatan pembaca untuk mencari tahu lebih detail terkait berita

yang hendak dibacanya. Sumber data dari paper ini adalah judul –

judul berita yang diambil dari media cetak. Keseluruhan judul

berita diambil dari media cetak terbitan bulan Nopember hingga

Desember 2018. Metode pengumpulan data dilakukan dengan

metode simak dengan teknik membaca rinci, memilah, dan

mencatat. Selanjutnya metode analisa data dilakukan secara

deskriptif kualitatif. Dalam hal ini teknik deskripsi dilakukan untuk

mengklasifikasikan data berdasarkan tipologi metafora. Simpulan

yang diperoleh adalah metafora yang ditemukan merupakan bagian

dari metafora berdasarkan sifatnya. Berdasarkan karakteristik sifat,

metafora – metafora pada judul berita media cetak terdiri dari

metafora yang bersifat konkrit ke abstrak, metafora antropomorfik

yang memindahkan sifat – sifat manusia kepada benda mati, dan

metafora kehewanan yang cenderung memindahkan sifat – sifat

kehewanan kepada persamaan atau perbandingan terhadap benda

maupun situasi yang terjadi. Adapun variasi tipologi metafora

berdasarkan sifatnya tersebut ditemukan dalam variasi bentuk

yakni bentuk kata dan bentuk frasa.

Kata kunci: metafora, tipologi, judul berita

PENDAHULUAN

Metafora merupakan fenomena menarik dalam komunikasi baik secara

lisan maupun tertulis. Penggunaan metafora menjadi alternatif bagi penutur untuk

96 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dapat mengekpresikan pendapat, pandangan, maupun model tuturan lainnya.

Dengan menggunakan metafora, tuturan menjadi lebih dimungkinkan untuk

menarik perhatian penutur lainnya. Setidaknya, para penutur yang terlibat

memiliki kemampuan yang luas untuk mampu memahami tuturan berisikan

metafora dalam konteks – konteks tertentu. Di samping itu, para penutur yang

mengaplikasikan metafora dalam komunikasinya mempunyai pilihan – pilihan

diksi maupun makna tertentu dengan penggunaan metaforanya. Dengan demikian,

proses komunikasi berlangsung menjadi lebih menarik.

Dalam bahasa tulis, metafora sering kali digunakan pada karya – karya

sastra maupun ekspresi puistis tertentu. Namun, metafora justru mempunyai peran

yang lebih luas pada komunikasi – komunikasi tertulis. Yang paling dominan

terlihat adalah penggunaan metafora pada judul – judul berita media cetak.

Penggunaan metafora pada judul berita media cetak tentunya mempunyai latar

belakang tersendiri. Judul sebuah berita pada media – media terutamanya media

cetak wajib dan harus mempunyai keunikan tertentu yang menarik perhatian

pembaca. Hal tersebut mengingat posisi judul berita pada media cetak merupakan

bagian paling krusial dari sebuah berita. Judul berita yang unik tentunya menarik

minat pembaca untuk membaca isi berita lebih lanjut. Dengan demikian, pembaca

memperoleh gambaran seutuhnya terhadap berita yang disampaikan. Sehingga

mereka tidak hanya menarik kesimpulan subyektif terhadap isi suatu berita

dengan hanya membaca judul beritanya saja. Namun, pembaca mempunyai

kecenderungan memperoleh informasi secara lengkap dan komprehensif terhadap

suatu berita.

Untuk mendapatkan kriteria unik pada pembuatan judul suatu berita,

penggunaan metafora menjadi pilihan. Pemakaian metafora memungkinkan

seorang penulis memunculkan suatu perbandingan maupun persamaan.

Perbandingan maupun persamaan tersebut tentunya menjadi sesuatu yang perlu

dijelaskan pada isi berita. Dalam hal ini, perbandingan atau persamaan yang

dimunculkan dalam bentuk metafora diungkapkan dengan gaya bahasa kiasan.

Keraf (2007: 15) mengungkapkan tentang metafora sebagai gaya bahasa kiasan

yang memiliki karakteristik perbandingan maupun persamaan. Gaya bahasa

kiasan yang dimaksud adalah adanya ide kesamaan diantara dua hal yang

dibandingkan. Namun, pada sisi lain juga terdapat perbandingan yang mempunyai

dua karakter berbeda yaitu perbandingan gaya bahasa polos dan perbandingan

gaya bahasa kiasan. Perbandingan gaya bahasa polos atau langsung biasanya

terdapat pada tuturan seperti dia sama nakalnya dengan kakaknya. Sedangkan

perbandingan gaya bahasa kiasan muncul pada ujaran giginya seperti untaian

mutiara.

Sukarno (2017) dalam artikelnya yang berjudul Makna dan Fungsi

Ungkapan Metaforis dalam Wacana Hukum Pada Surat Kabar Harian Jawa Pos

memaparkan konsep dasar metafora dalam penelitiannya. Metafora sesungguhnya

mempunyai komponen – komponen semantis yang dikaitkan dengan

perbandingan atau pengasosiasian antara wilayah sumber dan wilayah target.

Secara sederhana, konsep metafora itu mengacu pada adanya suatu pemaknaan

awal dan pemaknaan pada ujaran dengan perbandingan tertentu. Dalam hal ini

Sukarno menambahkan bahwa metafora memunculkan makna leksikal dan makna

kontekstual. Makna leksikal adalah makna yang sesungguhnya atau sebenarnya

dan makna kontekstual lebih mengacu kepada makna yang berhubungan dengan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 97

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

konteks dimana suatu kata atau ujaran digunakan. Untuk memberikan pemahaman

terhadap konsep metafora itu, dirinya memberikan kata mengalir yang digunakan

pada dua konteks berbeda. Kata mengalir umumnya diasosiasikan dengan air

mengalir yang bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya.

Sedangkan jika kata mengalir dikaitkan pada kalimat pikirannya mengalir dengan

lancar saat menjawab ujian mempunyai makna yang nyaris serupa dan kasat

mata. Dalam hal ini kita tidak dapat melihat bagaimana suatu pikiran itu mengalir.

Pemaknaan kata mengalir pada pikirannya mengalir dengan lancar saat

menjawab ujian lebih mengacu pada kemampuan seseorang menjawab ujian

dengan baik. Sehingga Sukarno memaparkan bahwa metafora menjadi suatu

bentuk ujaran yang tidak sempurna. Ketidaksempurnaan terjadi apabila tidak

adanya suatu kaitan dengan komponen semantis pada wilayah sumber. Sehingga

pemahaman secara menyeluruh pada suatu ujaran metafora diperlukan dengan

mengkaitkan wilayah sumber dan wilayah target.

Pemahaman metafora sebagai suatu bentuk asosiasi terhadap kondisi

harfiah atau denotatif juga dipaparkan oleh Ekoyanantiasih (2015) dalam

artikelnya yang berjudul Majas Metafora Dalam Pemberitaan Olahraga di Media

Cetak. Pemaknaan asosiatif muncul sebagai suatu bentuk ekspresi yang berkaitan

juga dengan makna konotatif. Ekoyanantiasih memaparkan pemahaman konotasi

dari tiga perspektif ahli bahasa yang berbeda (Keraf, 1991: 26; Djayasudarma,

1994: 9; Alwi, et.al., 1992: 2). Merangkum dari ketiganya, pemahaman konotasi

dikaitkan dengan makna tambahan, makna asosiatif, dan pemaknaan dalam

kalimat yang selanjutnya memunculkan makna konotasi. Sehingga memaknai

metafora sebagai suatu bentuk asosiasi berkaitan erat dengan hubungan antara

makna denotasi dan makna konotasi. Lebih lanjut, Ekoyanantiasih menjelaskan

variasi – variasi majas metafora dalam bentuk – bentuk kata, frasa, dan klausa.

Adapun majas metafora dalam bentuk kata baik kata tunggal maupun berimbuhan

seperti otak, tiket, algojo, bertempur, berjibaku, dan beroperasi. Sementara itu,

majas metafora dalam bentuk frasa meliputi permainan cantik Persib, benang

kusut, dan batu karang. Sedangkan dalam hal klausa yang menjadi contoh majas

metafora adalah gantung sarung tinju, menjebol gawang, dan merobek gawang.

Adanya variasi – variasi majas metafora tersebut mengindikasikan bahwa dalam

pemberitaan media cetak terutamanya terkait bidang olahraga juga telah

menerapkan metafora sebagai pilihan kata untuk menarik perhatian pembaca.

METODELOGI

Tahapan penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu adalah

tahapan penyediaan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan

tahapan analisa data. Sumber data yang akan digunakan adalah media cetak harian

Kompas terbitan bulan November hingga Desember 2018. Data yang akan dipilah

dan digunakan pada penelitian ini adalah judul – judul berita pada bulan – bulan

yang dimaksud. Judul – judul berita akan diambil dari satu media cetak terbitan

nasional dan satu media cetak terbitan daerah.

Tahap pertama adalah tahapan pengumpulan data. Metode dokumentasi

akan digunakan pada tahapan pengumpulan data. Metode tersebut didukung

dengan teknik – teknik seperti teknik membaca rinci dan memilah judul – judul

berita yang berisikan unsur metafora. Selanjutnya teknik mencatat untuk

menuliskan data yang akan digunakan sebagai data penelitian. Sementara pada

98 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bagian berikutnya akan dilakukan teknik pengklasifikasian data penelitian

berdasarkan jenis – jenis metafora yang terdapat pada judul berita media cetak.

Tahapan analisa data merupakan tahapan kedua dari penelitian ini.

Tahapan tersebut akan mengaplikasikan metode deskriptif kualitatif. Metode

deskriptif kualitatif akan didasarkan pada penjelasan – penjelasan terkait tipologi

metafora yang ditemukan pada judul – judul media cetak. Selanjutnya secara

kualitatif penjelasan – penjelasan tersebut akan didukung oleh teori – teori yang

berhubungan dengan metafora.

PEMBAHASAN

Dari analisa data yang dilakukan terhadap media cetak harian Kompas edisi

November hingga Desember 2018, diperoleh sejumlah data judul berita yang

mempunyai karakteristik metafora. Masing – masing judul berita tersebut

diklasifikasikan berdasarkan tipologi metafora yang berkaitan dengan sifat. Setiap

klasifikasi metafora dipaparkan dalam bentuk tampilan data dan analisa deskriptif

seperti di bawah ini.

Tabel berikut ini berisikan judul berita yang termasuk dalam klasifikasi

metafora kongkrit ke abstrak.

1 Rapor Merah Prestasi Timnas Minggu, 2 Desember

2017 (hal. 29)

2 Melenggang Tanpa Bintang Minggu, 2 Desember

2017 (hal. 31)

3 Narkoba Banjiri Indonesia Rabu, 5 Desember 2018

(hal. 1)

4 Salju Tebal Selimuti Eropa Kamis, 2 November 2018

(hal. 8)

Pemahaman dasar terhadap metafora dengan karakteristik kongkret ke

abstrak adalah adanya suatu kondisi yang konkrit atau nyata pada suatu

lingkungan masyarakat. Namun selanjutnya perbandingan atau persamaan

tersebut justru menjadi abstrak ketika diaplikasikan dalam suatu bentuk metafora.

Dalam hal ini, kata ataupun frasa pada tabel di atas yaitu rapor merah, bintang,

banjiri, membara, dan selimuti menunjukkan suatu kenyataan atau kondisi konkrit

yang dapat diketahui maupun dirasakan dalam suatu masyarakat.

Namun, penggunaan kata maupun frasa tersebut dalam konteks judul

berita justru memunculkan adanya bentuk abstrak. Dalam hal ini rapor merah

prestasi timnas diartikan sebagai suatu bentuk kegagalan atau ketidakberhasilan

prestasi dari sebuah tim. Padahal, jika dipahami secara konkrit rapor merah

dipahami secara umum sebagai suatu bentuk penilaian yang buruk atau kegagalan

peserta didik di tingkat pendidikan. Dalam hal ini pemahaman rapor merah secara

nyata maupun metafora sama – sama berarti kegagalan atau ketidakberhasilan.

Begitu juga halnya dengan bintang pada data 2. Pemahaman konkrit bintang

adalah benda langit yang dapat disaksikan pada malam hari. Tetapi dalam judul

berita melenggang tanpa bintang mengacu kepada keberhasilan sebuah tim yang

kehilangan bintang atau atlet andalannya. Akan tetapi, mereka justru memperoleh

hasil yang lebih baik tanpa kehadiran si atlet andalannya.

Begitu halnya dengan banjir yang dalam makna konkrit adalah kondisi

dimana air meluap dari sungai dan menggenangi wilayah – wilayah pemukiman.

Pemahaman banjir juga memberikan makna kesulitan yang dihadapi ketika hal

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 99

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tersebut terjadi. Dalam judul berita narkoba banjiri Indonesia memunculkan

makna yang bersifat abstrak dalam persepsi metafora. Hal itu mengingat narkoba

tidak mempunyai karakteristik seperti air sehingga mampu membanjiri suatu

wilayah. Namun persamaan yang muncul adalah adanya suatu keadaan dimana

narkoba sudah beredar luas di masyarakat tanpa bisa dicegah. Hal itu serupa

dengan kondisi banjir yang jika tidak dicegah dapat dengan mudah membanjiri

wilayah tertentu. Sedangkan pada data 4 terdapat kata selimuti yang mengacu

pada bentuk konkrit dari selimut. Hal itu dipahami sebagai media atau alat yang

menimbulkan rasa hangat. Tetapi pada judul berita salju tebal selimuti Eropa

justru menimbulkan makna abstrak. Pemahaman selimuti justru memunculkan

makna metafora abstrak yang berkaitan dengan permasalahan baru. Dalam hal ini

salju yang terjadi di Eropa menimbulkan situasi yang tidak nyaman dan

menjangkau seluruh wilayah Eropa. Sehingga wilayah tersebut dianggap sebagai

daerah yang di-selimuti oleh salju.

Tabel selanjutnya berisikan empat data judul berita yang termasuk dalam

kategori metafora antropomorfik. Metafora antropomorfik memiliki

kecenderungan menggunakan karakteristik manusia terhadap sesuatu atau benda

mati.

1 Kelesuan Ekonomi Meluas di Bali Rabu, 5 Desember 2018

(hal. 9)

2 Wajah Baru Harco Glodok Rabu, 5 Desember 2018

(hal. 25)

3 Negara Bermuka Dua Rabu, 5 November 2018

(hal. 6)

4 Tanah Bergerak Warga Mengungsi Kamis, 2 November 2018

(hal. 22)

Dari keseluruhan frasa yang terdapat pada tabel di atas, masing – masing

mengacu pada kategori metafora antropomorfik. Frasa kelesuan ekonomi, wajah

baru, bermuka dua, dan tanah bergerak merupakan kategori metafora

antropomorfik. Dengan pemahaman metafora antropomorfik yang meminjam

karakteristik manusia terhadap sesuatu atau benda mati, maka karakteristik

manusia dapat dilihat pada kata kelesuan, wajah, bermuka, dan bergerak.

Karakteristik manusia tersebut digunakan untuk menjelaskan kondisi dari

keadaan atau benda mati. Sehingga jika diperhatikan judul berita kelesuan

ekonomi meluas di Bali memberikan arti bahwa keadaan ekonomi di Bali juga

tidak bagus. Makna lesu pada karakteristik manusia berkaitan dengan kondisi

tidak baik dan memerlukan istirahat. Sedangkan lesu pada judul berita di atas

digunakan untuk menjelaskan keadaan ekonomi di Bali. Sedangkan kata wajah

merupakan bagian muka dari tubuh manusia. Penggunaan kata wajah dalam judul

berita wajah baru Harco Glodok lebih mengacu pada penampilan baru sebuah

pusat perbelanjaan bernama Harco Glodok. Di sini dapat dilihat adanya suatu

perbandingan kesamaan antara muka dan tampilan suatu benda atau kondisi

melalui penggunaan kata wajah.

Hal yang sama juga terdapat pada judul berita negara bermuka dua.

Penggunaan kata muka memberikan acuan pada bagian tubuh dari manusia.

Sebaliknya pada judul berita justru penggunaan muka memberikan makna

metafora. Dalam kaitan dengan negara atau wilayah, penggunaan muka tidak

dikaitkan dengan karakteristik dari tubuh manusia. Akan tetapi, penggunaannya

100 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dikaitkan dengan kondisi dimana negara melakukan dua hal yang berbeda. Sama

halnya dengan judul berita tanah bergerak warga mengungsi. Kata bergerak

adalah ciri atau karakteristik dari manusia. Manusia melakukan gerak untuk

melakukan atau mencapai sesuatu. Adapun gerak dipahami sebagai keadaan yang

berpindah dari kondisi awal menuju kondisi yang diinginkan. Sehingga pada judul

berita tanah bergerak warga mengungsi menunjukkan adanya persamaan.

Persamaan yang terjadi adalah kondisi tanah yang labil sehingga menyebabkan

warga mengungsi. Kondisi tanah labil dijadikan suatu dasar metafora dengan

kategori antropomorfik yang mengambil bentuk persamaan dengan gerak yang

dilakukan manusia.

Tabel selanjutnya di bawah ini berisikan judul berita yang mempunyai

keterkaitan dengan metafora kehewanan. Masing – masing judul berita

ditampilkan sebagai berikut.

1 Kicauan Trump Menuai Kecaman Selasa, 4 Desember 2018

(hal. 4)

2 Misi Rusia Menjinakkan Supporter Senin, 3 Desember 2018

(hal. 31)

3 Sultan: Waspadai Upaya Adu Domba Rabu, 5 November 2018

(hal. 20)

4 Partenopei Terancam Kehilangan Taji Minggu, 4 November

2018 (hal. 9)

Kategori metafora kehewanan menunjukkan adanya ciri atau perlakuan

yang ada kaitannya dengan hewan pada benda maupun kondisi tertentu. Sehingga

penggunaan kata maupun frasa kicauan, menjinakkan, adu domba, dan taji

mengacu pada makna kehewanan. Kata kicauan berhubungan dengan perilaku

burung, kata menjinakkan berkaitan dengan tindakan untuk menjadikan binatang

khususnya binatang peliharaan jinak, frasa adu domba mempunyai keterkaitan

dengan tindakan mengadu hewan domba, dan kata taji erat hubungannya dengan

binatang ayam.

Dalam penggunaannya pada judul berita, makna – makna sesungguhnya

mengalami perubahan. Perubahan itu dapat dilihat pada judul berita kicauan

Trump menuai kecaman. Kata kicauan yang berkaitan dengan burung disamakan

dengan pernyataan atau ujaran yang disampaikan Trump. Dalam hal ini

pernyataan maupun ujarannya menimbulkan permasalahan. Sementara itu, judul

misi Rusia menjinakkan supporter tidak memperlihatkan adanya upaya yang

berkaitan dengan menjinakkan binatang, namun lebih pada upaya untuk

menyenangkan pendukung Rusia. Sehingga muncul persamaan makna pada

penggunaan kata menjinakkan.

Adanya kesamaan makna juga terdapat pada judul berita Sultan: waspadai

upaya adu domba. Dapat dipahami dari makna asli bahwa adu domba adalah

upaya untuk mengadu dua binatang domba. Namun, pada judul berita itu yang

justru muncul adalah makna mempertentangkan dua pihak atau keinginan

mengadu dua pihak yang berseberangan. Tentunya pihak – pihak yang

berseberangan adalah kelompok orang, bukan binatang. Sementara itu, taji

merupakan salah satu senjata ayam yang biasanya terdapat di kaki. Penggunaan

taji biasanya dihubungkan dengan kegiatan adu ayam. Tetapi judul berita

Partenopei terancam kehilangan taji tidak ada kaitannya dengan senjata seperti

halnya ayam. Namun lebih kepada kemampuan individu seseorang terutama

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 101

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berkaitan dengan skill. Kemampuan individu dikaitkan dengan makna taji pada

judul berita tersebut.

SIMPULAN

Dari analisa di atas, kategori metafora berdasarkan sifat yang digunakan pada

judul berita media cetak terdiri dari tiga kategori. Masing – masing kategori

tersebut adalah kategori konkrit ke abstrak, kategori antropomorfik, dan kategori

kehewanan. Keseluruhan kategori dalam metafora menunjukkan adanya suatu

bentuk persamaan maupun perbandingan kondisi terhadap makna sesungguhnya.

Penggunaan metafora juga memberikan alternatif kosakata pada judul berita

media cetak. Sehingga penggunaan metafora sekaligus juga menarik perhatian

para pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Ekoynantiasih, Ririen. 2015. Majas Metafora Dalam Pemberitaan Olahraga di

Media Massa Cetak dalam Jurnal Pujangga Universitas Nasional, volume

1, no. 1.

Keraf, Gorys. 2007. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Sukarno. 2017. Makna dan Fungsi Ungkapan Metaforis Dalam Wacana Hukum

Pada Surat Kabar Harian Jawa Pos dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan

Sastra, volume 17, nomor 1, April 2017, halaman 15 – 28.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 102

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBERDAYAAN SASTRA DAN BUDAYA

DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA YANG SEHAT

I Ketut Darma Laksana

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Sastra dan budaya keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang

lain karena budaya hakikatnya tercermin dalam sastra. Pengarang

karya sastra ibarat ―Ki Dalang‖ dalam dunia pewayangan

(Nusantara: Jawa, Sunda, Bali) yang memainkan tokoh-tokoh

wayangnya dalam bentuk karakter ―baik dan buruk‖, yang secara

universal dikenal dengan istilah Orientasi Dua-Nilai. Pada

dasarnya, keuniversalan nilai yang terkandung dalam sastra

merupakan sesuatu yang abadi, karakter manusia telah tergambar di

dalamnya, namun manusia banyak kealfaannya mengenai hal

tersebut. Pertanyaan yang muncul adalah: (1) Berapa jauh

pemberdayaan sastra dan budaya telah dilakukan? dan (2) Metode

pemberdayaan seperti apa yang diterapkan? Pemberdayaan sastra

dan budaya harus dilakukan secara intens dalam ruang dan waktu

yang bersifat spesifik. Pemberdayaan keduanya jangan terlalu

terikat pada kelas pembelajaran, dapat dilakukan kapan dan di

mana saja sesuai dengan situasi. Sementara itu, metode

pembelajaran haruslah bersifat ―doktrinatif‖, berbau religius,

dengan mengetengahkan pristiwa-peristiwa (events) dan narasi-

narasi yang bersifat psikologis yang terdapat dalam sastra yang

dapat menumbuhkan koginisi pembelajar ke arah pembentukan

karakter bangsa yang sehat, dalam hal ini, karakter nasional/bangsa,

tanpa meninggalkan karakter daerah yang khas. Dengan demikian,

hasil pembelajaran dapat menciptakan kehidupan berbangsa dan

bernegara yang menghargai perbedaan dalam rangka persatuan dan

kesatuan bangsa.

Kata kunci: sastra dan budaya, karakter, persatuan bangsa

PENAHULUAN

Sastra dilihat dari segi kategori dan bentuknya sangat kompleks. Dari segi

kategori dikenal sastra nasional/Indonesia dan sastra dunia. Sementara itu, dari

segi bentuknya dikenal sastra klasik dan sastra modern. Selain itu, juga dikenal

sastra rakyat, yaitu kategori sastra yang mencakupi lagu rakyat, balada, dongeng,

ketoprak, peribahasa, teka-teki, legenda (banyak yang termasuk tradisi lisan).

Sehubungan dengan topik makalah ini, apa pun kategori dan bentuk sastra

itu, yang diperhatikan ialah pemberdayaannya dalam konteks budaya untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 103

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

membangun karakter bangsa yang sehat. Untuk itu, sejumlah sumber yang

berbicara tentang sastra dan budaya yang dapat dikumpulkan digunakan sebagai

bahan pembahasan.

Sastra dan budaya keduanya tidak dapat dipisahkan satu dari yang lain

karena sastra pada dasarnya bertemakan budaya yang dikemas demikian rupa oleh

pengarangnya, yang sesungguhnya mengusung ideologi pengarang sastra itu

sendiri. Apa yang dinamakan sastra nusantara adalah sastra daerah, yang aslinya

ditulis dalam bahasa daerah, namun kemudian dapat dituliskan dalam bahasa

Indonesia. Penulisannya ke dalam bahasa Indonesia inilah yang dapat mendorong

meluasnya pemahaman masyarakat akan nilai-nilai yang termuat dalam karya

sastra itu karena umumnya dewasa ini pemakaian bahasa Indonesia telah tersebar

luas. Namun, sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini, generasi

muda tidak banyak yang tertarik untuk membaca karya sastra.

Sebagai contoh, pengajaran sastra di sekolah dasar. Menurut Sulaiman Saleh,

selama ini pengajaran sastra di Sekolah Dasar kurang efektif. Guru dan murid

tidak pernah terlibat secara sistematis ke dalam pertemuan sastra. Menurutnya,

ada tiga faktor yang tidak menunjang pengajaran sastra, yaitu bahan, waktu, dan

guru. Apakah buku pelajaran bahasa Indonesia sudah meliputi sastra. Dalam

praktiknya, waktu yang tersedia untuk pelajaran bahasa Indonesia dipakai

seutuhnya untuk pelajaran bahasa Indonesia. Kemudian, sanggupkah guru

menciptakan waktu yang permanen bagi kegiatan pengajaan sastra dan berapa

persen mereka mengikuti perkembangan sastra di masyarakat secara teratur (Saleh,

1976). Walaupun tulisan Sulaiman Saleh tersebut lebih dari empat puluh tahun

yang lalu, apa yang disampaikannya perlu mendapat respons dari para guru,

apakah saat ini hal itu masih terjadi.

METODOLOGI

Metode pebelajaran sastra yag umum dikenal dalam dunia pedidikan adalah

apresiasi sastra. Penerapan metode ini bertujuan memberikan pemahaman pada

siswa agar mereka, jika perlu, menjiwai karakter tokoh. Karena sifatnya yang

terlalu moderat, metode apresiasi sastra tidak banyak sumbangannya pada

pembentukan karakter. Benar apa yag dikatakan oleh Sulaiman Saleh di atas, guru

harus bisa menciptakan waktu yang permanen. Selain itu, pemberdayaan sastra

dengan muatan budaya di dalamnya harus bersifat ―doktrinatif‖. Metode

pembelajaran kelas doktrina dari Baquedano-Lopez (2001) dapat diterapkan

dalam konteks yang lebih spesifik, misalnya di ruang terbuka (pantai,

perbukitan—tidak bersifat eksklusif di kelas).

Metode pembelajaran kelas doktrina tersebut juga menyertakan penyampaian

peristiwa (events), doktrin tentang karakter yang ―baik‖ lawannya yang ―buruk‖

dengan mengutip nilai-nliai kemasyarakatan yang tercermin dalam sastra. Metode

pembelajaran tersebut sudah dapat diterapkan di Sekolah Dasar. Jadi, makin dini

anak ―didoktrinasi‖ dengan pemahaman karakter yang baik, makin baik akhlak

anak yang bersangkutan.

104 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBAHASAN

Kajian mengenai ―karakter‖ biasanya disandingkan dengan konsep

―kepribadian‖ (personality). Setiap individu memiliki apa yang disebut ―struktur

dasar kepribadian‖. Apabila struktur dasar kepribadian itu mencakupi sebuah

kolektiva yang luas, misalnya bangsa atau negara, maka lahirlah apa yang

dinamakan karakter bangsa atau karakter nasional (Harris,1996). Konsep

karakter bangsa/nasional dipertentangkan dengan ―stereotip‖, yakni sebuah kesan

yang menggeneralisasikan kepribadian sekelompok individu sebagai milik suatu

kolektiva.

Selain karakter nasional tersebut, ada juga karakter daerah, yakni kekhasan

daerah tertentu dalam berpikir, berkata, dan berbuat. Akan tetapi, kedua jenis

karakter itu tidak boleh dipertentangkan. Pada tingkat daerah terdapat karakter

daerah yang dapat menopang karakter nasional. Bagaimanapun, ada anggapan

bahwa kebudayaan nasional merupakan puncak-puncak kebudayaan daerah.

Sastra dan Budaya

Dalam makalah ini diangkat beberapa karya sastra yang berlatar belakang

tema-tema budaya kedaerahan yang pantas diberdayakan agar terus hidup di

masyarakat. Tema-tema budaya yang terdapat di dalamnya dianggap sebagai

cermin bagi setiap individu ataupun kolektiva dalam berperilaku di masyarakat.

―Orientasi Dua-Nilai‖ yang dikemukakan oleh H.J. Hayakawa (lihat Panggabean,

ed., 1987), yaitu ―putih‖ dan ―hitam‖, yang ―baik‖ dan yang ―buruk‖, bersifat

universal sebagaimana yang tercermin dalam sastra dunia, merupakan pilihan bagi

setiap individu ataupun kolektiva.

Sastra dan Budaya Minangkabau

Novel Bako

Dalam Bako: Kumpulan Novel Karya Darman Moenir, yang dikupas oleh

Edwar Djamaris (1987) dari sudut tema dan nilai-nilai yang terkandung di

dalamnya, kita disuguhkan tokoh cerita yang memiliki karakter yang terpuji.

Perjuangan seorang ―Ibu‖ secara lahir dan batin pada keluarganya sampai ia sakit

ingatan karena selalu dihina dan diejek oleh masyarakat lingkungannya karena ia

tidak berasal dari lingkungan Minang. Namun, tokoh ―Umi‖ (saudara dari ayah

―Aku‖) sangat mulia pula perilakunya. Segala kebutuhan hidup si ―Ibu‖, yang

ditinggal jauh oleh ―Ayah‖ dalam tugasnya sebagai guru SD, termasuk pendidikan

si ―Aku‖,ditanggung oleh ―Umi‖.

Roman Tenggelamnya Kapal van der Wijck dan Salah Asuhan

Mursal Esten (1982), sebagaimana yang dikutip oleh Edwar Djamaris (1987),

membuat perbandingan antara karya sastra, seperti Tenggelamnya Kapal van der

Wijck oleh Hamka dan Salah Asuhan oleh Abdul Muis. Menurut Mursal Esten,

kedua roman itu menyuguhkan adanya deskrimiasi di antara para tokohnya. Pada

Tenggelamnya Kapal van der Wijck deskriminasi disebabkan oleh keturunan,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 105

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

suku bangsa, sedangkan dalam Salah Asuhan deskriminasi disebabkan oleh asal

bangsa atau ras. Menurut Edwar Djamaris, deskriminasi juga terdapat dalam Bako,

yakni orang datang (dari luar: si ―Ibu‖) yang dianggap melanggar adat.

Sastra dan Budaya Sunda

Legenda Sangkuriang

Dewasa ini sering terjadi pelanggaran hokum, seperti pembunuhan anak

terhadap orang tua, atau sebaliknya, orang tua terhadap anak. Cerita/legenda

Sangkuriang, dalam hal ini, watak Dayang Sumbi merupakan cerminan seorang

wanita (ibu) yang berbudi luhur, penuh kasih sayang pada anaknya (Sangkuriang).

Meskipun setelah ia tahu bahwa anaknya sendiri mencintainya, Dayang Sumbi

menuntut hal-hal yang sebenarnya mustahil, semuanya dilakukannya dengan

maksud menyadarkan si anak bahwa keinginannya itu tidak patut. Dewasa ini

dapat terjadi percintaan terlarang antara anak dan orang tua.

Cerita Si Kabayan

Si Kabayan adalah tokoh dalam cerita rakyat yang juga terkenal. Tokoh ini

mencerminkan kepribadian orang Sunda yang to naon-naon ku naon-naon yang

berarti ‗tidak apa-apa oleh apa pun‘ (Ayatrohaedi, 1980:146). Karena sifatnya

yang istimewa itu, tokoh si Kabayan dapat hidup menembus ruang dan waktu.

Pengarang Sunda masa kini sesungguhnya menjadikan si Kabayan sebagai tokoh

ceritanya yang mencermikan pengalaman pribadinya atau orang-orang yang

dikenalnya. Dalam cerita Si Kabayan baru itu, tokoh tersebut dipinjam untuk

mewakili masyarakat umumnya dalam menyampaikan kritik tentang keadaan,

penguasa, ketidakadilan. Karena watak si Kabayan yang senantiasa mengajak

pembaca tertawa, pada umumnya orang tidak ada yang merasa tersinggung atas

segala macam kritik yang dilontarkan. Hal ini bertolak belakang dengan situasi

politik saat ini yang gemar melontarkan fitnah atau hujatan.

Sastra dan Budaya Jawa dan Bali

Kedua sastra dan budaya, yakni Jawa dan Bali, terkenal dengan cerita

wayang Mahabharata dan Ramayana. Wayang adalah sebuah wiracarita yang

pada intinya mengisahkan kepahlawanan para tokoh yang berwatak ―baik‖ dan

―buruk‖. Menurut Burhan Nurgiyantoro (1980:20), wayang telah melewati

berbagai peristiwa sejarah, dari generasi ke generasi, betapa budaya pewayangan

telah melekat dan menjadi bagian hidup, khususnya masyarakat Jawa dan Bali.

Wayang yang mengambil cerita Mahabharata dan Ramayana sudah tidak asing

lagi bagi orang-orang tua Jawa dan Bali. Namun tidak demikian untuk generasi

mudanya. Mereka ditengarai tidak tertarik menonton ataupun membaca kedua

epos itu. Karakter baik dan buruk tercermin dalam tokoh-tokohnya: Pandawa

(Pandawa Lima) dilukiskan sebagai ―yang baik‖, sedangkan Kurawa (Korawa

Seratus) sebagai ―yang buruk‖, demikian pula, pada Ramayana, Rama dilukiskan

sebagai tokoh ―yang baik‖, sedangkan Rawana sebagai tokoh ―yang buruk‖.

106 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

SIMPULAN

Karakter manusia tidak dapat dipisahkan dari pandangan tentang ―Orientasi

Dua-Nilai‖, baik dan buruk. Pada akhirnya, manusialah yang menjatuhkan pilihan

terhadap kedua pandangan itu. Sastra dan budaya kita telah memberikan arah dan

tuntunan ke mana harus bergerak. Persoalannya ialah upaya pemberdayaan sastra

dan budaya itu jangan hanya mengandalkan metode apresiasi semata. Metode

yang agak radikal perlu diterapkan, perlu dilakukan semacam doktrinasi kepada

anak didik kita yang tidak mengenal batas ruang dan waktu.

DAFTAR PUSTAKA

Ayatrohaedi. 1980. ―Tradisi Sastra Sunda Buhun‖. Yang Tersirat dan Tersurat.

Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia.

Baquedano-Lopez, P. 2001. ―Creating Social Identity Through Doctrina Class‖.

Dalam: Duranti, A., ed., Linguistic Anthropology: A Reader. Malden,

Masschusetts: Blackwell Publishers, hllm. 343—358.

Djamaris, E. 1987. ―Bako Novel Karya Darman Moenir: Tinjauan Tema dan

Amanat‖. Majalah Pembinaan Bahasa Indonesia, Tahun 8 No. 2, Juni 1987.

Jakarta: Bhratara, hlm. 103—113.

Harris, M. 1991. Cultural Anthropology. Edisi III. New York: Harfer Collins

Publisher.

Panggabean, M. ed. 1981. Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: PT

Gramedia.

Saleh, S. 1976. ―Pengajaran Sastra di Sekolah Dasar‖. Pengajaran Bahasa dan

Sastra. Tahun II No. 6. Jakarta : Pusat Pembiaan dan Pengembagan Bahasa,

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 17—24.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 107

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

MEMILIH DAN MEMILAH SATUA DI DUNIA PENDIDIKAN UNTUK

MEMBANGUN KARAKTER YANG TEPAT

I Ketut Jirnaya

Program Studi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Sastra tidak hanya dinikmati oleh pengarang, pembaca, dan

masyarakat luas. Fungsi sastra sangat luas, diantaranya berfungsi

untuk membangun karakter pembaca. Berbicara masalah karakter,

pemerintah telah memasukkan sastra sebagai materi pelajaran

dengan tujuan anak-anak agar lebih dini dapat terbentuk

karakternya dan menjadi manusia yang berbudi serta bermatabat.

Untuk materi sastra di ranah pendidikan di Bali masuk sastra

tradisional yang dikenal dengan nama satua yang berarti cerita.

Masalahnya apakah sudah ada pemilahan materi sastra sesuai

dengan tingkat pendidikan anak-anak? Untuk memecahkan

masalah ini, sastra akan dikaji dari sudut fungsi dan memilah

materi sastra dihubungkan dengan tingkat pendidikan anak-anak.

Sastra daerah Bali sangat beragam. Ada yang membalut nilai sastra

itu dengan keluguan dan kelucuan, ada yang membalut sastra itu

dengan logika, dan ada yang membalut nilai filosofi dalam sebuah

narasi. Hasil kajian ini diharapkan akan menemukan formula

materi sastra yang sesuai dengan tingkat pendidikan anak untuk

ketepatan membangun karakter mereka.

Kata kunci: sastra, pendidikan, lugu, logika, filsafat, karakter.

1. Pendahuluan

Perkembangan dunia di era globalisasi tidak dapat diprediksi dan selalu

datang dengan membawa perubahan. Siapapun tidak kuasa untuk membendung

arus globalisasi, Ketika ada usaha untuk melawan arus tersebut, maka ia akan

tenggelam terbawa arus. Pemerintah mulai memikirkan pengaruh globalisasi

tersebut terutama pada generasi muda atau anak-anak. Sejatinya kita telah

memiliki karakter yang baik sesuai dengan nilai budaya yang diwariskan para

leluhur. Nilai budaya tersebut salah satunya berupa karya sastra tradisional.

Sebagian besar peninggalan karya sastra ini memuat ajaran filsafat, etika, dan

estetika agama Hindu yang dijadikan pedoman dalam kehidupan masyarakat dan

budaya Bali (Medera, 1997: 23).

Dulu ada kebiasaan orang tua mesatua (mendongeng) pada anak atau

cucu sebelum mereka tidur. Kebiasaan ini membawa dampak positif terhadap

karakter anak-anak. Kini tradisi ini sudah tidak tampak lagi. Anak-anak di zaman

millennia sudah memiliki kesibukan tersendiri, yaitu memegang dan main telpun

seluler. Mereka tanpa bisa dikontrol lagi entah apa yang dilihat atau ditonton pada

108 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

handphone-nya. Mereka tidak lagi tahu dan tertarik pada satua yang akan

sesungguhnya akan membangun karakter mereka agar menjadi manusia yang

berbudi luhur. Salahkah mereka? mereka sering berdalih memiliki orang tua sibuk

dengan pekerjaannya, atau orang tuanya memang tidak mengetahui satua-satua.

Ini merupakan persoalan lain yang perlu diteliti untuk mengetahui berapa persen

orang tua anak-anak yang tahu satua, berapa banyak para orang tua bisa mesatua,

serta memiliki waktu untuk mesatua pada anak.

Relevansi satua terhadap pembentukan karakter anak-anak dirasakan

sangat penting. Dari itu pemerintah memasukkan satua di dalam dunia

pendidikan sebagai bagian dari muatan lokal. Masalahnya untuk tingkat

pendidikan dasar, satua apa yang cocok sesuai dengan kemampuan daya serap

anak-anak. Untuk anak-anak sekolah lanjutan pertama (SLTP), satua apa yang

cocok untuk mereka? Demikian pula pada tataran tingkat pendidikan selanjutnya.

Kajian ini akan memilih dan memilah materi satua yang dirasakan cocok pada

kemampuan daya serap peserta didik.

2.Pembahasan

Pengelompokkan sebutan yang sudah umum diketahui dalam tataran umur

terkait dengan dunia pendidikan meliputi:

1) Anak-anak; usia Taman Kanak-kanak sampai Sekolah Dasar

2) Remaja; usia Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP-sederajat) sampai

Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA- sederajat)

3) Dewasa; usia pendidikan Diploma, S- sederajat.

Pengelompokan ini berdasarkan jenjang pendidikan yang berpengaruh

pada kemampuan berpikir. Pengelompokkan ini pula dipakai acuan untuk

memberikan materi pelajaran sastra tradisional yang berupa satua untuk

membangun karakter. Secara umum kata satua dalam bahasa Bali berarti cerita

(Anom, dkk. 2014: 627). Jika didalami lebih lanjut, kata satua merupakan kata

yang memiliki arti lebih luas jika dikaitkan dengan karya sastra tradisional Bali.

Satua merupakan karya sastra tradisional Bali yang mengandung nilai-nilai etika,

estetika, filasafat agama Hindu. Kebanyakan satua tersebut berupa ceritera lisan

yang kini telah banyak ditulis atau dibukukan. Beberapa satua yang telah banyak

dikenal oleh masyarakat Bali, diantaranya, I Belog, Siap Selem, I Tiwas, I Balang

Tamak, Pan Angklung Gadang, cerita binatang (fable) yang bersumber dari cerita

Tantri (lihat Suarka, 2007).

Di samping itu juga ada beberapa satua yang berasal dari naskah lontar,

seperti Ni Diah Tantri, episode-episode dari kakawin Ramayana, kakawin

Bharatayudha, sampai ke karya sastra yang merupakan cerita turunan dari dua

karya sastra kakawin tersebut berupa karya sastra geguritan. Ada geguritan Salya,

geguritan Dharma Kusuma, geguritan Bima Sakti, dan banyak yang lainnya.

Semua karya sastra ini dilisankan dan menjadilah satua. Contoh kosa kata satua

memiliki arti khusus dalam konteks karya sastra tradisional Bali, ketika si tukang

satua memulai satuanya, mereka akan mengawali dengan kata pembuka: ―ada

tuturan satua‖ bukan ―ada satua‖. Di sini terlihat bahwa kata satua ketika

didahului dengan kata tuturan berarti satua yang mengandung nilai filsafat, etika,

estetika. Sedangkan jika kata satua tanpa didahului dengan kata tuturan, maka

berarti cerita biasa, yang merupakan informasi dalam komunikasi. Berikut salah

satu cuplikan satua yang cocok untuk pendidikan dasar.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 109

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

―Suatu ketika I Belog disuruh ibunya membeli itik di pasar dan pesannya

agar dipilih itik yang gemuk dan berat. Pada saat pulang dari pasar, I

Belog mandi di sungai bersama itiknya berenang. Jelas itiknya berenang

kesana kemari, I Belog marah merasa ditipu oleh dagang itik karena

minta yang gemuk dan berat, nyatanya itik itu kambang. Artinya kalau

betul gemuk dan berat, pasti tenggelam. Ditinggallah itik itu di sungai‖.

Contoh satua di atas baik yang berasal dari cerita lisan maupun merupakan

sastra tulis, masing-masing memerlukan kemampuan untuk menyimaknya. Dari

itu harus diperhatikan satua apa yang cocok untuk tingkat usia pendidikan mereka.

Satua I Belog, Men Tiwas, Siap Selem, I Bawang, cocok untuk anak-anak usia

Sekolah Dasar. Satua-satua ini memiliki sifat lucu dan rasa iba. Anak-anak ketika

diberikan satua lucu dan lugu pasti senang. Di akhir satua seorang guru yang

berperan sebagai tukang satua akan menyampaikan pesan atau amanat yang

dikandung tersebut. Contoh: ―anak-anak harus rajin belajar biar pintar, lihat I

Belog yang tidak pernah dan tidak mau sekolah, begitu jadinya, memalukan dan

merugikan‖.

Berikut contoh salah satu satua yang cocok untuk anak usia remaja atau

setingkat anak-anak SLTP.

Si Balang Tamak tokoh yang cerdik namun pintar, ole karena itu ia

dimusuhi oleh raja dan masyarakat. Ia sering dijebak agar kena denda

namun tidak pernah berhasil. Suatu ketika raja mempunyai acara berburu

ke hutan. Semua warga disarankan membawa anjing pemburu. Warga

harus kumpul di alun-alun ketika ayam pada turun (tuun siap) kira-kira

subuh. Kata tuun siap ini menjadi patokan si Balang Tamak, Balang

Tamak baru datang pukul sembilan pagi. Jadi ia diharuskan bayar denda.

Si Balang Tamak melawan karena tidak merasa bersalah. Ia hanya

memiliki seekor ayam betina yang sedang mengeram. Ayam itu turun dari

sangkarnya sekitar pukul Sembilan. Jadi, si Balang Tamak benar dan tidak

jadi didenda. Sekarang raja dituntut balik oleh si BalangTamak karena

mencemarkan nama baik dan salah tuduh. Akhirnya si Balang Tamak

mendapat uang denda yang diberikan oleh raja.

Amanat dari satua si Balang Tamak sesungguhnya banyak, salah satunya

kritikan pada pemimpin agar tegas, pintar, dan berlaku adil. Dari ketidak tegasan

seperti kata tuun siap memang dapat berarti subuh secara umum, namun jangan

lupa ada warga yang tidak punya ayam atau memiliki ayam seekor pas sedang

mengeram. Ayam mengeram akan turun untuk mencari makan sekitar jam

sembilan. Seandainya pemimpin tegas, jangan memakai patokan waktu subuh,

pagi, siang, dan malam karena masing-masing kata tersebut memiliki rentang

waktu. Umpama: pagi, rentang waktunya pukul 03.00 – 09.00. Untuk

menghindari masalah, harus tegas memakai ukuran waktu, jam (Sukartha, dkk.

2015:45)

Untuk satua pada tingkat usia tergolong dewasa (SLTA – Mahasiswa)

sudah mulai mengenalkan satua yang mengandung nilai filsafat tentang

kehidupan. Salah satu satua dengan tokoh Arjuna yang bersumber dari kakawin

Arjunawiwaha. Sang Arjuna tokoh sakti dan ganteng ketika bertapa di gunung

Indrakila untuk mohon anugerah dewa Siwa, Indraloka (surga) menjadi

110 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kekhawatiran surga karena kelak bisa mengalahkan surga. Diutuslah para bidadari

cantik untuk menggoda agar semadinya gagal. Para bidadari dari Kahyangan

turun dan ada yang merayu Arjuna, ada yang gemes mencium pipinya, dan ada

pula yang benci serta menangis di sudut sambil duduk di atas batu karena merasa

cintanya dicampakkan. Arjuna tetap tegar tidak bergeming pada posisi duduk

bersila dan mata terpejam.

Dalam cerita ini pencerita akan menyampaikan amanat pada para siswa,

mahasiswa, atau generasi milenial. Hidup ini harus ada tujuan, untuk mencapai

tujuan perlu ada usaha dan perjuangan. Tujuan sering tidak tercapai karena kurang

fokus dan tidak bisa menangkal godaan-godaan. Sekarang godaan yang paling

dahsyat adalah handphone (HP). Jika salah menggunakannya maka akan merusak

moral generasi. Contohlah sang Arjuna ketika bertapa, segala godaan

dikesampingkan sehingga berhasil mencapai tujuan, yaitu memperoleh panah

pasupati.

Ketiga formulasi satua di atas baik untuk level tingkat anak-anak, remaja,

dan dewasa, semua bertujuan dan berfungsi untuk mendidik karakter agar menjadi

manusia yang berkarakter. Hal ini sesuai dengan fungsi cerita lisan menurut R.

Bascom (1965: 3-10) adalah a) sebagai sebuah bentuk hiburan; b) sebagai alat

pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan; c) sebagai alat pendidikan

anak-anak; d) sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat

akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya. Sebuah karya sastra ketika disampaikan

oleh penutur (tukang cerita) maka akan menjadi sastra lisan (bdk. Sukartha, 2015:

44).

Satua sebagai sarana untuk membangun karakter anak-anak berpegangan

pada realitas bahwa sastra menurut masyarakat Bali sampai saat ini masih tetap

percaya pada sastra tradisional bahkan di pakai guru atau pedoman hidup. Sastra

dalam hal ini berarti juga alat untuk mendidik (Ratna, 2005: 447). Lebih jauh

dikatakan bahwa bagi masyarakat lama karya sastra tidak berbeda dengan hukum,

adat-istiadat, dan tradisi. Memahami karya sastra pada gilirannya merupakan

pemahaman terhadap nasehat dan peraturan, larangan dan anjuran, kebenaran

yang harus ditiru, jenis-jenis kejahatan yang harus ditolak.

Jika digali lebih dalam satua-satua sebagai produk karya sastra tradisional

jumlahnya cukup banyak. Seorang guru yang berfungsi sebagai pencerita tidak

boleh kekeringan materi satua. Galilah sumber-sumber satua dan ceritakan sesuai

dengan tingkat usia anak-anak. Dengan demikian anak-anak atau para remaja

tidak merasa bosan mendengarkan. Akhirnya pembentukan karakter pada anak

didik akan berjalan dengan baik.

3.Simpulan

Setelah dilakukan kajian dan memformulasikan satua sesuai dengan

tingkat pendidikan anak didik, ada beberapa hal yang dapat disimpulkan.

1) Pada umumnya semua senang mendengarkan satua sebagai produk karya

sastra tradisional.

2) Satua sesungguhnya implementasi dari tatwa (filsafat). Untuk kosumsi anak-

anak karena pasti kesulitan memahami tatwa, maka dibuatlah satua.

3) Di dalam satua terselip nilai pendidikan, etika, moral, dan estetika. Semuanya

ini merupakan sarana untuk pembentukan karakter anak-anak, para remaja,

para orang dewasa, dan kita semua.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 111

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

4) Agar kandungan nilai satua tersebut dapat dipahami dan diaplikasikan di

dalam dirinya, maka harus disesuaikan dengan tingkat usia anak didik

tersebut.

Daftar Pustaka

Anom, I Gusti Ketut, dkk. 2014. Kamus Bali- Indonesia Beraksara Latin dan Bali.

Denpasar: Badan Pembina Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali Provinsi

Bali.

Bascom, William r. 1965. ―The Form of Folkrole: Prose Naratives”. Journal

American Folklore, 78, The Hague Moution, p 3-20.

Medera, Nengah. 1997. Kakawin dan Mabebasan di Bali. Denpasar: Upada Sastra.

Ratna, Nyoman Kutha. 2005. Sastra dan Cultural Studies Representaasi Fiksi dan

Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Suarka, I Nyoman. 2007. Kidung Tantri Pisacarana. Denpasar: Pustaka Larasan.

Sukartha, I Nyoman. 2015. ―Kelisanan dalam Tradisi Mabebasan di Bali‖

Disertasi. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana.

Sukartha, I Nyoman, dkk. 2015. ―Kritik Sosial dalam Satua Pan Balang Tamak

sebagai Upaya menciptakan Revolusi Mental Anak Bangsa.‖ Denpasar:

Laporan Hasil Penelitian Hibah Unggulan Program Studi Universitas

Udayana.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 112

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

RATU SAKTI PANCERING JAGAT DI DESA TRUNYAN

I Ketut Setiawan

[email protected]

ABSTRAK

Ratu Sakti Pancering Jagat oleh masyarakat Desa Trunyan

dianggap sebagai dewa tertinggi yang dapat melindungi desa dan

masyarakatnya. Oleh karena itu, dewa ini sangat dihormati dan

disakralkan melalui beberapa proses upacara yang dilangsungkan

dalam setiap tahun. Ratu Sakti Pancering Jagat adalah sebutan

untuk sebuah arca yang sekarang tersimpan pada bangunan meru

tumpang tujuh di Pura Bale Agung Desa Trunyan. Dalam prasasti-

prasasti yang tersimpan di Desa Trunyan, Ratu Saksi Pancering

Jagat disebut dengan Bhatara Da Tonta dan Sanghyang di

Turunyan, disebut sebagai dewa tertinggi yang merupakan leluhur

masyarakat Desa Trunyan. Masyarakat Desa Abang yang

mendiami wilayah Desa Trunyan juga berkewajiban pada setiap

bulan Badrawada (Agustus-September) untuk turut serta dalam

upacara keagamaan dewa tertinggi tersebut. Pada upacara itu arca

atau patung dewa tersebut harus dimandikan serta dihias oleh

Sahayan Padang dari Desa Abang.

Kata Kunci: Trunyan, Ratu Sakti Pancaring Jagat, Dewa, Prasasti.

1. Pendahuluan

Sejak terbitnya sebuah hasil penelitian atau disertasi mengenai

Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali (1980) oleh James Danandjaya, Desa

Trunyan yang terletak di bagian timur laut Danau Batur semakin dikenal dan

menarik untuk didiskusikan. Sebagai desa yang cukup tua, desa ini telah banyak

menarik perhatian di kalangan masyarakat, sehingga desa ini mendapat kunjungan

yang cukup banyak. Keunikan-keunikan yang dimiliki serta kekhasannya semakin

menarik untuk dikunjungi. Tradisi penguburan yang sangat unik hanya dengan

meletakkan mayat tanpa ditanam, serta serangkaian upacara keagamaan yang

memperlihatkan ciri khas desa tradisional adalah salah satu di antaranya, di

samping keunikan-keunikan yang lain.

Penduduk Desa Trunyan menyebut dirinya sebagai orang Bali mula atau

Bali Trunyan, karena nama mula menunjukkan bahwa mereka adalah penduduk

asli Pulau Bali. Demkian pula orang Trunyan sangat suka jika disebut Bali

Trunyan, karena mereka percaya bahwa leluhur mereka “turun‖ dari langit ke

bumi Trunyan. Jadi nama Bali Trunyan berarti orang Bali yang turun langsung

dari langit ke Bali. Mereka menganggap dirinya berbeda dengan orang Bali Hindu

(Danandjaya, 1980:2).

Desa Trunyan dewasa ini telah menjadi objek wisata, karena cara

pemakaman jenazah warga mereka bukan dikebumikan atau dibakar melainkan

diletakkan saja di atas tanah di bawah udara terbuka. Tradisi pemakaman seperti

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 113

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ini tampaknya merupakan pengaruh budaya pra Hindu. Walaupun demikian, hal

ini bukan berarti bahwa kebudayaan masyarakat Trunyan yang kita kenal

sekarang bebas dari pengaruh kebudayaan Hindu. Keberadaan prasasti-prasasti

perunggu yang ditemukan di salah satu pelinggih di dalam kuil utama di Desa

Trunyan, membuktikan bahwa pada abad X Desa Trunyan sudah kena pengaruh

budaya Hindu. Demikian pula Desa Trunyan juga tidak lepas dari pengaruh

kebudayaan Hindu Jawa Majapahit. Untuk membuktikan hal tersebut dapat

ditunjukkan bahwa di dalam kompleks kuil utama Desa Trunyan ada satu bale

yang disebut bale Maspahit, berupa bangunan suci untuk yang disebut sebagai

kompleks pelinggih Maspahit. Demikian juga di beberapa bangunan suci klen

kecil (sanggah dadya) ada patung kayu berupa kepala dan leher rusa (Menjangan

Seluang), adalah sebuah bangunan suci (pelinggih) tempat bersemayam bhatara

Majapahit (Goris, 1960:379).

Sebagaimana diketahui bahwa untuk mengungkap tokoh dewa tertinggi di

Desa Trunyan digunakan prasasti-prasasti, termasuk pula cerita rakyat (falklor),

mitos (mite), dongeng, dan lain-lain. Untuk sumber tertlis, digunakan tujuh buah

prasasti, yaitu prasasti Trunyan AI (833 Saka), Trunyan B (833 Saka), Bwahan A

(916 Saka), Batur Pura Abang A (933 Saka), Trunyan C (97 Saka), Trunyan AII

(971 Saka), dan prasasti Bwahan E (1103 Saka).Prasasti Trunyan AI, Trunyan B,

dan prasasti Batur Pura Abang A menggunakan bahasa Bali Kuno, sedangkan

keempat prasasti yang lainnya menggunakan bahasa Jawa Kuno.

Terkait dengan Ratu Sakti Pancering Jagat, satu hal yang perlu

dikemukakan adalah tentang keberadaan sebuah arca yang tersimpan pada

bangunan suci meru tumpang tujuh di Pura Bale Desa Trunyan. Arca ini

merupakan arca yang sangat besar dengan ukuran tinggi lebih kurang 4 meter

(Kempers, 1956:91). Berdasarkan tipologinya, patung/arca ini memperliatkan

gaya patung masa megalitik, dimana bentuknya sederhana, badan tambun, hidung

besar, bibir tebal, mata bundar, kepala bulat tanpa hiasan, dan telinga agak

menonjol. Arca berdiri dengan tangan kanan di lipat ke atas, seolah-olah

memegang sesuatu. Gaya patung bertipe primitif seperti itu dipercaya oleh

masyarakat mengandung suatu kekuatan magis dan penolak bahaya atau pengaruh

jahat (Soejono, 1977).

2. Pembahasan

2.1 IdentifikasiRatu Sakti Pancering Jagat

Prasasti-prasasti yang digunakan sebagai sumber utama penelitian ini tidak

satupun menyebut tentang tokoh Ratu Sakti Pancering Jagat. Sebutan Ratu Sakti

Pancering Jagat diberikan oleh masyarakat Desa Trunyan adalah untuk menyebut

―patung‖ yang tersimpan di Pura Bale Agung Desa Trunyan. Dalam prasasti-

prasasti Trunyan patung sakti itu disebut Bhatara Da Tonta. Kata bhatara dapat

berarti (1) tempat ketuhanan, yaitu bangunan suci untuk memuja dewa atau

bhatara, (2) raja yang telah wafat dan disucikan sebagai dewa/bhetara, (3) raja

yang masih hidup, dan (4) dewa, bhatara (Goris, 1954:233). Bhatara juga berarti

―pelindung‖(Mardiwarsito, 1978). Sedangkan kata da Tonta oleh James

Danandjaya diartikan dengan ―Tuhan kita‖. Bhatara Da Tonta berarti Tuhan,

dewa, bhatara yang melindungi kita semua. Terkait dengan cerita rakyat, ada dua

buah cerita berupa mitos tentang ―Dewi yang turun dari langit‖dan ―Anak-anak

Dalem Solo yang mengembara mencari bau harum‖. Cerita pertama mengisahkan

114 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tentang seorang Dewi yang terpesona oleh bau harum dari suatu tempat. Sang

Dewi terus mencari bau harum itu, beliau turun dari langit, dan menemukannya

bau tersebut berasal dari sebuah pohon yang bernama Taru Menyan. Kemudian

Sang Dewi memutuskan untuk tetap berdiam di tempat itu.

Cerita kedua, bau harum yang berasal dari Taru Menyan di Desa Trunyan,

tampaknya tercium pula sampai di Keraton Dalem Solo. Empat orang anak Dalem

Solo mencari sumber bau harum itu, dan menemukan di Desa Trunyan. Putra

Sulung Dalem Solo menelusuri pinggir danau dan menemukan seorang Dewi

yang sedang berada di bawah pohon Taru Menyan. Sedangkan ketiga adiknya

menetap di sekitar danau Batur, yaitu di Pura Batur, di Desa Kedisan, dan di Desa

Abang. Keberadaan Dewi yang sangat cantik, menyebabkan putra Sulung Dalem

Solo jatuh cinta dan diakhiri dengan perkawinan Putra Sulung itu menjadi pancer

dari jagat (dunia), yaitu menjadi tokoh atau penguasa yang memimpin Desa

Trunyan yang bergelar Ratu Gede Pancering Jagat dan Sang Dewi (istrinya

bergelar Ratu Ayu Pingit Dalem Dasar yang menguasai danau Batur (Danandjaya,

1980:40-42).

2.2 Religi dan Kewajiban Masyarakat Terhadap Dewa Tertinggi

Tradisi megalitik berpengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat,

terutama sistem religi yang berpusat pada arwah nenek moyang. Masyarakat

percaya bahwa arwah nenek moyang berada di puncak-puncak gunung atau bukit

dan dapat memberi keselamatan kepada masyarakat. Penelitian tradisi megalitik di

Bali sudah berhasil menemukan bentuk-bentuk megalitik yang beragam, yaitu

menhir, dolmen, bangunan teras berundak, tahta batu, arca-arca nenek moyang,

arca-arca sederhana, dan lain-lain. Sebelum agama Hindu masuk ke Bali,

kehidupan masyarakat didominasi oleh kepercayaan kepada arwah nenek moyang

(Sutaba, 1980, Soejono, 1975). Hal itu dapat ditemukan dimana bentuk-bentuk

megalitik sampai sekarang berfungsi sakral bagi masyarakat setemapat.

Sementara itu, kawasan budaya di antara sungai Pakerisan dan Petanu

berkembang semakin maju. Di kawasan ini dan sekitarnya terjadi persentuhan

dengan budaya India yang membawa aksara dan agama Hindu Budha. Penelitian

arkeologi telah menemukan bukti-bukti tertulis (prasasti) dalam stupika-stupika

tanah liat di Desa Pejeng dan sekitarnya. Prasasti-prasasti ini tidak menyebut

nama raja dan angka tahun, tetapi berdasarkan studi paleografi, dapat diduga

prasasti jenis ini berasal dari abad VIII (Goris, 1948, 1954). Kemudian

masyarakat ditemukan prasasti-prasasti yang lain, yaitu prasasti Sukawana,

Bebetin, Trunyan, Abang, Manik Liu, Serai, Bwahan, dan banyak lagi.

Prasasti Trunyan AI dan Trunyan B menyebut mengenai pendirian sebuah

bangunan suci sebagai tempat pemujaan ―Bhatara Da Tonta‖masamahin

katurunan bhatara da tonta pirumahang pinakangudundadatu”…. Artinya

mengumpulkan keturunan Bhatara Da Tonta agar dibuatkan tempat suci untuk

pemujaan sang ratu. Perkataan masamahin katurunan yang dimaksud adalah

semua masyarakat Desa Trunyan yang mereka percayai sebagai ―keturunan‖

tokoh pujaannya, yaitu Bhatara Da Tonta. Sebagai leluhur orang Trunyan,

Bhatara Da Tonta tidak hanya dipuja oleh masyarakat Desa Trunyan saja, tetapi

juga masyarakat lain yang berada di pinggir Danau Batur, seperti Songan, Abang,

Bwahan, Kedisan, dan Air Beras.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 115

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Selain pendirian tempat suci, penghormatan terhadap Bhatara Da Tonta

juga dilakukan melalui upacara keagamaan sebagai kewajiban dan bakti

masyarakat. Untuk mewujudkan rasa bakti itu, maka dilakukan persembahan atau

korban suci berupa sesaji. Berdasarkan keterangan prasasti-prasasti Trunyan, ada

dua jenis upacara pemujaan terhadap Bhatara Da Tonta, yaitu, upacara caru dan

rajakarya (karya agung), yang masing-masing dilakukan pada bulan Bhadrawada

dan asuji. Upacara caru adalah korban suci untuk para Bhutakala agar tidak

mengganggu manusia dan menjaga kehormatan alam semesta. Sedangkan upacara

rajakarya adalah upacara terpenting dan terbesar bagi Bhatara Da Tonta. Dalam

rajakarya ini patung Bhatara Da Tonta dimandikan dengan air suci, kemudian

diberi bedak kuning serta dihiasai dengan cincin dan anting-anting. Selanjutnya,

mulailah prosesi upacara gaib, yaitu manggurumandyang yang dilakukan oleh

SahayanPadang dari Desa Abang. Setelah kekuatan gaib atau Sakti Bhatara Da

Tonta dianggap telah bersthana di patung tersebut, kemudian disusul dengan

upacara haywahaywan (selamatan) oleh seluruh masyarakat dengan menghaturkan

berbagai macam sesajen untuk mohon keselamatan seluruh masyarakat dan

ketentraman desa. Upacara diakhiri dengan pesta (makan bersama) dan dilengkapi

dengan seni pertunjukkan.

3. Penutup

Berdasarkan data arkeologi (prasasti) dapat diketahui bahwa Desa Trunyan

merupakan salah satu desa tua yang telah ada sejak abad X atau mungkin jauh

sebelumnya. Prasasti-prasasti Trunyan tahun 833 Saka menyebut desa ini dengan

nama Turunyan yang memuja tokoh yang sangat disucikan, yaitu Ratu Sakti

Pancering Jagat. Nama ini adalah sebutan yang diberikan oleh masyarakat Desa

Trunyan sesuai dengan mitos, sedangkan dalam prasasti-prasasti disebut dengan

nama Bhatara Da Tonta. Dengan demikian Ratu Sakti Pancering Jagat adalah

sama dengan Bhatara Da Tonta, yang arcanya masih tersimpan dan dipuja pada

bangunan suci berupa meru tumpang tujuh di Pura Bale Desa Trunyan. Dalam

prasasti-prasasti pura ini disebut umah sanghyang turunyan. Ratu Sakti Pancering

Jagat atau Bhatara Da Tonta adalah tokoh yang dianggap dewa tertinggi

masyarakat Trunyan dan merupakan leluhur yang turun dari langit.

Untuk memohon keselamatan, kebahagiaan, dan kesuburan tanaman,

masyarakat wajib menyembah dan memuja tokoh ini, dengan perantaraan upacara

keagamaan yang dilakukan pada tiap enam bulan atau satu tahun. Prasasti-prasasti

yang berkaitan dengan tokoh ini menguraikan secara panjang lebar mengenai

upacara keagamaan yang harus dilakukan oleh masyarakat Desa Trunyan dan

desa-desa di sekitarnya, misalnya upacara rutin pada bulan Magha (Januari-

Februari), upacara caru pada bulan Badrawada (Agustus-September), dan raja

karyya (karya agung) pada bulan asuji (September-Oktober). Upacara seperti itu

sampai sekarang masih dilakukan oleh masyarakat Desa Trunyan, namun

namanya berbeda, misalnya upacara saba gede, yaitu ritual untuk menghormati

Ratu Sakti Pancering Jagat. Upacara keagamaan juga berfungsi untuk

menguatkan solidaritas sosial masyarakat Trunyan dengan masyarakat desa-desa

sekitarnya.

116 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DAFTAR PUSTAKA

Budiastra, Putu. 1978. Prasasti Bwahan Kintamani Bangli. Denpsar: Museum

Bali.

Callenfels, Van Stein. 1926. Epigraphy Balica I. Deel LXG. Kolf & Co.

Dananjaya, James, 1980. Kebudayaan Petani Desa Trunyan di Bali. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Goris, R. 1948. Sejarah Bali Kuna. Singaraja.

______. 1954. Prasasti Bali I. Bandung: Masa Baru.

Mardiwarsito, L. 1978. Kamus Jawa Kuno Indonesia. Flores: Nusa Indah.

Parisada Hindu Dharma. 1967. Upadesa Tentang Ajaran Agama Hindu. Denpasar.

Stutterheim. W.F. 1929. Oudheden Van Bali. Kirtya Lieffrinck Van Der Tuuk.

Singaraja.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 117

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KAKAWIN SIWARATRIKALPA: ALUR DAN TEMA CERITA

I Made Suastika

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Teks kakawin Siwaratrikalpa berbahasa Jawa Kuna, kakawin itu

terdiri atas beberapa wirama, isi teks kakawin Siwaratrikalpa

berkaitan dengan kehidupan seorang pemburu bernama Lubdaka.

Dalam perburuaanya ia tidak mendapatkan binatang tangkapannya.

Setelah kematian rohnya diperebutkan oleh Batara Yama dan

Batara Siwa. Batara Yama mempertahankan roh Lubdaka dihukum

di neraka 1000 tahun karena ketika hidup ia berbuat jahat. Dewa

Siwa menyebabkan roh Lubdaka dibawa ke sorgaloka karena pada

hidupnya melakukan tapa, berata, yoga, dan darma utama, sehingga

rohnya menyatu dengan Siwa di Suralaya.

Terjadinya perebutan roh Lubdaka dan dimenangkan oleh prajurit

Ganabala dan prajurit Yamapati kalah. Roh Lubdaka diterima oleh

Sanghyang Siwa dan menerima anugrah terbebas dari dosa dan

papa, menyatu dengan Sanghyang Siwa.

Kata kunci: Yama, Siwa, Kingkarabala.

1. Pendahuluan

Kakawin Siwaratrikalpa terdiri atas 39 sargah, dengan menggunakan

bermacam-macam wirama, ada pergantian wirama sebanyak 38 kali dan yang

terbanyak Sardula wikridita 4 kali, Ragakusuma 8 kali, Aswalalita 4 kali dan

sebagainya.

Berbagai pendapat yang menyebutkan, pengarang Mpu Tanakung dari

kerajaan Kediri, akhirnya kakawin itu dibawa ke Bali dan hidup tetap sampai

sekarang. Bait 1-3 berisikan pemujaan kepada Sanghyang Siwa dipuja oleh

penghamba keindahan. Ditempatkan dalam hati sebagai bunga padma, pemusatan

pikiran dilakukan dengan pemujaan , mantra, mudra dan mohon anugrah untuk

mendapatkan keindahan.

Keindahan yang dinikmati di pantai dan gunung, semoga Sang Raja Sri

Adhi Supraprabawa gelar beliau raja keturunan Girindra, walaupun karya itu

kurang dicela dan dicerca namun tujuan utama untuk mendapatkan kebebasan

sejati.

2. Alur cerita

Sardula wikridita

Seorang pemburu bernama Lubdaka , senantiasa tinggal di puncak gunung,

tidak pernah risau selalu bersenang-senang dengan istri dan anaknya.Sejak kecil

melaksanakan perbuatan darma dan yasa, walaupun pekerjaannya membunuh

118 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

badak, gajah, semua binatang mati dan dipakai menghidupi anak-anaknya. Tiba

saatnya hari ke 14, paroh gelap sasih ke 7, langit berawan indah. Ketika itu ia

berangkat berpakaian hitam dan lengkap dengan alat perburuannya (panah dan

busur). Perjalanannya ke timur laut, dengan lembah yang indah. Ada persawahan,

gunung, jurang air terjun mengenangi sawah-sawah

Ada desa di bawah di antara gunung, ada balai tetapi atapnya lapuk, asap

menjulang bersatu dengan angkasa ada balai wantilan. Di bagian bagian barat ada

letak sawah dengan pematang lurus, petak-petak ladang, diselimuti awan, burung

kuntul terbang ditutup awan. Tak jauh dari tempat itu ada pura seperti

memandang sungai, pintu pura tinggi, sangat suci, pohon tanjung, bana,

nagapuspa sedang mekar asri berjajar dengan tembok dan kumbang mendengung.

Ada pada bagian dalam balai indah beratap ijuk bagaikan lukisan yang dipajang.

Ada lilitan bunga gadung dan bunga bunga harum, bunga kenanga bunganya di

atas atap di tiup angin. Di sebelah utara tempat upacara halaman hijau, suara

sungai berbaur dengan suara genta.

Wirama Ragakusuma

Ada pura padarman menjulang tinggi di tepi sungai, pohon merambat

seperti menceriterakan kedukaan, ada balai runtuh seperti menceriterakan

penderitaan tidak dikunjungi oleh pencari keindahan. Persada yang rusak

ditumbuhi oleh pohon rerumputan, tetapi para Dewata tetap kokoh di tengah-

tengah bangunan. Banyak bangunan rusak taman tidak asri bunga dan tanaman

layu karena dirusak kumbang.

Ada batu karang air menyembur bersahutan dengan suara kodok di jurang,

pohon di bawahnya subur dan berbunga. Penuh cerita keindahan alam bunga

sampai di samudra tampak perahu kecil menghilang dan samar-samar ditelan

gelap.

Wirama Suwandana

Berbagai hal diceriterakan dalam perjalanan, perjalanan Lubdaka semakin

jauh dari tempat itu. Kini Lubdaka sampai di hutan tempat perkumpulan binatang,

sangat sukar lewat di tempat itu.

Disana ia berhenti sambil membidik, banyak binatang di sana dan tidak

ragu. Ia berkeliling mencari binatang buruan, tidak ada bekas kaki binatang dan

binatang yang dilihatnya. Ia bingung tidak seperti biasanya . Terus berburu

sampai jauh tetapi tidak menemukan binatang satupun. Ia lelah dan kesakitan, ia

lapar karena tidak makan saat berangkat, ia kehabisan akal, kalau pulang tidak

akan ada makanan di rumah. Ia meneruskan berburu, ada tempat yogana

perjalanannya tetapi tidak menemukan buruannya, lalu ia menemukan telaga luas

dan minum air, mandi, cuci muka. Ia sadar karena sudah malam, menginap di

pinggir telaga, tetapi ada binatang yang minum air kesana

Wirama Aswalalita

Matahari terbenam, hari mulai semakin gelap. Akhirnya Sang Lubdaka naik

ke atas pohon tetapi tidak ada binatang. Akhirnya ia mengantuk takut tertidur lalu

memetik daun maja tidak hentinya di lemparkan ke telaga yang dalam. Ia tidak

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 119

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tidur semalaman takut jatuh dimakan buaya.Matahari terbit, siang muncul,

binatang riang gembira.

Wirama Wisantatilaka

Perjalanan Lubdaka, ia ingin pulang pagi itu dengan busurnya, tiba di

rumahnya ketika senja hari dijemput istri dan anaknya, dengan mengatakan

anakmu lemas dan lapar mana hasil buruannya.

Wirama Tebusol

Ia tidak mendapatkan hasil buruan dari kemarin dan bertengger di atas

pohon maja karena ketakutan. Sungguh haru di tepi danau, betapa sedih hasil

buruan tidak ada jika jatuh akan mati. Istrinya berkata jangan ceroboh dan sedih

mendengarkan perjalannya.

Wirama Ragakusuma

Datang kematian Lubdaka sesak nafas tidak dapat diobati, anak dan istrinya

menunggu, dengan perasaan sedih dan penderitaan terutama siapa yang

menghidupi anaknya nanti. Lubdaka menderita dalam kesakitan tidak ada denyut

nadi dan dada karena tidak pernah berbuat darma sebagai jalan menuntun jiwa

pada saat kematian.

Lubdaka pun meninggal keluarganya menangis dengan berkata‖ mengapa

kakanda pura-pura tidak mengetahui, perhatikan dukaku‖. Dengan menyebut-

nyebut ketika pulang dari berburu istrinya menanyakan binatang buruannya dan

anak-anaknya. Mayat Lubdaka dibungkus dan diantarkan ke lereng gunung.

Wirama Sucyandewi

Diceriterakan perjalanan atma Si Lubdaka, melayang di angkasa tidak tahu

jalan ke sorga, dilihat oleh sanghyang Siwa, Beliau tahu perilaku hidup pastilah

dibawa ke alam Neraka. Makanya para prajurit (Ganabala) datang menyembah,

apa tugas kami Hyang Iswara, kami diundang semua datang. Tujuannya adalah

agar menjemput atma Lubdaka dan bawa kehadapanku.

Meskipun parajurit Yama, jangan takut merebut atma Si Lubdaka bawa ke

Suralaya. Selama hidupnya jahat membunuh binatang, tanpa tapa brata mengapa

ia datang ke siwalaya. Para Kingkara tak henti-hentinya roh orang yang tidak

berbuat susila dan brata, ada catatan Kingkara roh siapa ke sorga dan ke neraka.

Wirama Sardulawikridita

Hyang Siwa berkata kepada Ganabala, ―Anakku berata dilaksanakan

semasa hidupnya sungguh utama‖ tidak pernah dilaksanakan oleh umat manusia

sesuai ajaran sastra utama dalam ceritera Siwaratri yang tidak ada bandingannya.

Itulah aku mengutus agar mengambil arwah Si Lubdaka, ia telah berbuat luhur

melaksanakan darma utama dan brata, berangkatlah jangan ragu-ragu.

Berangkatlah para Ganabala.

Wirama Turidagati

Diceriterakan perjalanan Ganabala gagah perkasa Sang Nandana

pemimpin pasukan, di belakangnya Sang Udwabesa, Ganarata dan Puspadanta,

menjemput roh Lubdaka.

120 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Wirama Swalalita

Prajurit kingkara bgaikan macan dan membawa senjata. Sang Candra,

Pracanda, Sang Kala Sang Pramestinretya, Sang Nila dan Ugrakarma. Sang

Citradenkara Sang garaeikrama Sang Recanda Sang Antika gagah berani. Roh

Lubdaka ketakutan melihat prajurit Hyang Yama, sambil bersimpuh menangis,

mengatakan Lubdaka terimalah pahala dari perbuatan yang hina.

Wirama Ragakusuma

Penderitaan roh Lubdaka diikat oleh Kingkara, tolonglah aku agar terbebas.

Wirama Udgatawisama

Aku(Lubdaka) ada di angkasa sejak ajalku tiba tidak ada tempat untuk

mengabdi. Ratapan roh Lubdaka terus-menerus di angkasa.

Wirama Kusumawilasita

Roh Lubdaka semakin menangis dan sengsara semakin diikat keras-keras,

perbuatanya dulu jahat.

Wirama Sardulawikridita

Kingkara menyiksa roh Lubdaka, datang Ganabala bernama Wimana

menjemput roh Lubdaka, dan sangat terkejut atas siksaan itu. Sang Mahadara

menanyakan mengapa roh Si Lubdaka disiksa, hukuman itu tidak tepat.

Waktu masih hidup ia melakukan berata utama, kedatanganku mengambil roh

Lubdaka atas perintah Dewa Siwa. Bahkan akan tetap menghukum roh Lubdaka,

jawab prajurit Yamadipati. Roh Lubdaka diantar ke Yamadipati untuk mengisi

alam neraka, hukuman dimulai. Lalu direbut beramai-ramai oleh prajurit Betara

Siwa dan diterbangkan ke Siwaloka dan berusaha merebut kembali.

Perang terjadi antara prajurit Kingkara dan pasukan Dewata. Pasukan

Ganabala maju menyerang prajurit Kingkara dan prajurit Yama Lari. Laskar

Kingkara mundur dan melarikan diri.

Wirama Aswalalita

Perang antara prajurit Yama dan Dewata.

Wirama Wasartatiloka

Prajurit berperang dengan berbagi senjata.

Wirama Indrabajra

Peperangan diteruskan.

Wirama Sardulawikridita

Perang berlangsung terus. Prajurit Hyang Yama lari berhamburan. Laskar

Ganabala ditambah prajurit Siwaloka terus berperang akhirnya pasukan Kingkara

kalah.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 121

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Wirama Ragakusuma

Prajurit Kingkara menghadap Hyang Yama, Prajurit Ganabala menang dan

mengambil roh Lubdaka kembali. Prajurit Ganabala menghadap Hyang Siwa,

Lubdaka bersujud dan disambut kata manis‖syukur anakku datang yang sangat

darma, berjasa dan taat melakukan brata‖.

Sekarang terimalah olehmu pahala brata utama yang kamu laksanakan.

Terimalah anugrahku, mudah-mudahan engkau mau menemukan kebahagiaan

abadi di Siwalaya beserta puspaka utama 8 jalan pengetahuan utama (astagina)

permata tak ternilai dan juga mata (trilocana) dan segala jenis busana akan

diserahkan kepadamu. Selama ini kamu akan menikmati kebahagiaan di Siwalaya.

Ia menyatu dengan Hyang Siwa dan dipercaya karena tekun melakukan brata

Siwa Rajani.

Wirama Raganata

Pasukan Kingkrabala kembali ke Hyang Yama, karena Hyang Siwalah

yang menentukan dan menugaskan untuk mencantumkan setiap perilaku manusia

dan memerintahkan untuk mengetahui perbuatan baik buruk seseorang. Hanyalah

orang yang berbuat baik dan menghayati darma itulah yang untuk memuja atma

Siwa (Siwaloka).

Roh yang berbuat salah dan durhaka akan diterima sebagai penghuni Neraka,

Hyang Yama menghadap Hyang Siwa.

Wirama Sekarini

Hyang Siwa di puncak gunung Kailasa, Hyang Siwa mengatakan kepada

Yama dalam meminta kepadamu hanya satu roh ini bernama Si Lubdaka.

Janganlah engkau bersikeras untuk mengambil ia telah melaksanakan darma,

berbudi luhur, dan berhasil melaksanakan brata utama. Akhirnya Si Lubdaka

berhasil mencapai Siwalaya. Si Lubdaka yang telah melaksanakan brata utama,

brata Siwaratri, pada paroh gelap keempatbelas, sekitar bulan Januari sasih (kapat).

III. Tema Kakawin Siwaratrikalpa

Tokoh Lubdaka sebagai tokoh manusia dengan pekerjaan sehari-hari

sebagai pemburu membunuh binatang di dalam hutan.

Pada suatu hari perburuannya gagal tidak seekor binatang yang didapat, ia

gagal mendapat buruannya. Ketika itu pada hari panglong ping 14, paroh gelap

sasih kepitu (bulan Januari), karena takut kemalaman di hutan maka ia naik ke

atas pohon bila. Ia memetik daun satu persatu sampai pagi, karena takut jatuh dan

dimakan binatang buas. Ia tidak makan minum , pada besok paginya ia pulang dan

istrinya menanyakan binatang tangkapannya. Ia menyatakan tidak dapat dan

istrinyapun bertambah sedih apa yang akan dimakan anaknya.

Waktu kematianpun tiba, mayatnya terbang ke angkasa tidak tahu kemana

tujuannya. Akhirnya diketahui oleh Sanghyang Siwa kemudian memanggil

prajuritnya untuk menangkapnya. Begitulah Sanghyang Yama mengetahui atma

Lubdaka dan memerintahkan prajuritnya untuk menangkap dan menyiksanya

bahkan sampai menjerit ketakutan. Terjadi perkelahian antara prajurit Siwa

dengan prajurit Yama, dan dimenangkan oleh prajurit Siwa. Roh Lubdaka dibawa

kehadapan Sanghyang Siwa dengan disambut meriah penuh kegembiraan. Dulu

Lubdaka bertapa, yoga, semadi dan menjalankan darma utama. Sekaranglah

122 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

waktunya menikmati kebahagiaan dengan menerima anugrah Sanghyang Siwa

berupa Aji Astagina dan kebahagiaan sejati.

Terjadinya dialog panjang sebelumnya antara Sanghyang Siwa dan

Sanghyang Yama, Sanghyang Siwa berpendapat bahwa Lubdaka seharusnya tidak

dihukum karena pada waktu panglong ping 14, sasih ke 7 paroh gelap

melaksanakan darma utama, tapa, yoga. Sedangkan Sanghyang Yama mengatakan

bahwa Lubdaka harus dihukum berat selama 1000 tahun karena perbuatannya

didunia dulu jahat dan membunuh binatang.

Akhirnya dapat disebutkan tema Kakawin Siwaratrikalpa yaitu tentang

malam suci Siwa (Siwa Ratri). Barang siapa yang dapat melaksanakan tapa berata

dan darma utama pada waktu malam Siwa Ratri maka ia terbebas dari dosadan

papa dan mendapatkan anugrah dari Siwa bernama Aji Astagina dari Sanghyang

Siwa, demikian ajaran Siwa Ratri.

IV. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpukan sebagai berikut:

a. Teks Kakawin Siwaratrikalpa berisikan perjalan tokoh seorang pemburu yang

awalnya memburu binatang pada hari tertentu buruannya kosong.

b. Suatu hari Lubdaka meninggal, rohnya menjadi perebutan antara dewa yama

dan Batara Siwa oleh Batara Yama Si Lubdaka menghuni neraka 1000 tahun

oleh Dewa Siwa terbebas dari papa karena telah menjalankan brata pada hari

Siwaratri, jatuh hari panglong ping 14 sasih kepitu paroh gelap.

c. Terjadinya perebutan roh Lubdaka yang dimenangkan oleh prajurit Batara

Siwa mengalahlah prajurit Yamadipati, roh lubdaka dibawa ke Suralaya.

d. Roh lubdaka menyatu dengan Sanghyang Siwa di Siwalaya.

e. Tema dari Kakawin Siwaratrikalpa adalah malam suci Siwa (Siwaratri).

Daftar Pustaka

Kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung (Diterjemahkan IBG Agastia),

Yayasan Dharma Sastra, 2002.

Zoetmulder,P.J. 1994, Kalanguan Karya Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang:

Jakarta:Jambatan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 123

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

TRANSFORMASI SOSIAL DAN ETIKA BUDAYA RELIGIUS

MASYARAKAT BALI ERA MODERN

I Nyoman Duana Sutika

Program Studi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Pengaruh modernisasi dan arus globalisasi yang begitu cepat telah

menghanyutkan semua orang untuk mengikuti pola-pola kehidupan

modern yang dicirikan oleh adanya perubahan nilai kehidupan. Era

global ini telah membawa perubahan secara signifikan terhadap

nilai-nilai sosial dan etika budaya religius masyarakat Bali.

Masyarakat Bali yang awalnya dikenal sebagai masyarakat

agraris/komunal yang sarat dengan kearifan lokal, adiluhung, taat

pada tuntunan etis dan tunduk pada dunia niskala mengalami

perubahan dan pergeseran oleh progresivitas asing (Barat) yang

lebih mementingkan objek material (citra) yang artifisial.

Masyarakat yang tidak lagi mementingkan esensi, tetapi sebuah

dunia citra yang ditunjukkan melalui objek sebagai media yang

dianggap menentukan status, prestise dan simbol-simbol sosial

tertentu.

Kata kunci: modernisasi, globalisasi, transformasi, dan budaya

religius

PENDAHULUAN

Dewasa ini ada kecendrungan terjadi perubahan sosial yang amat

signifikan pada hanpir semua aspek kehidupan masyarakat. Semua wilayah dunia

tidak bisa berkelit dari perubahan sosial yang terjadi. Termasuk juga masyarakat

Bali, kini berada di tengah pusaran menuju perubahan sosial dan budaya yang

tidak terkendali. Era modernisasi menimbulkan arus globalisasi yang begitu deras

mengalir secara intensif tanpa mampu untuk membendungnya, bahkan dapat

meruntuhkan, mengancam eksistensi dan jati diri serta kebudayaan Bali itu

sendiri.

Arus modernisasi yang begitu kencang telah menghanyutkan semua orang

untuk mengikuti pola-pola kehidupan modern yang dicirikan oleh perubahan-

perubahan nilai kehidupan. Gelombang globalisasi disadari atau tidak telah

melahirkan orientasi nilai kehidupan yang cendrung bersifat individualistis dan

materialistis. Nilai-nilai kehidupan kini lebih tertuju pada pola-pola fetisisme dan

gaya hidup materialisme untuk kesenangan (hedonisme) semata dengan

mengabaikan aspek kehidupan yang lain. Piliang (2006: 189) menyebutkan bahwa

manusia masa kini tidak lagi dikelilingi oleh manusia-manusia lain, melainkan

oleh objek-objek, semacam fetisisme komoditi, yaitu simbol yang sebenarnya

tidak merupakan substansi dari komoditi. Objek di luar diri tersebut seakan

menjadi identitas dan status sosial seseorang yang menentukan derajat sosialnya.

Budaya konsumerisme telah menciptakan berbagai gaya hidup berkaitan dengan

unsur-unsur simbolik yang menandai kelas, status atau simbol sosial lainnya.

124 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Konsumsi mengekspresikan posisi sosial dan identitas kultural seseorang di dalam

masyarakat.

Masyarakat Bali sebagai bagian dari masyarakat global tidak bisa lepas

dari pengaruh dunia Barat. Akselerasi kultur Barat sepertinya tidak bisa dihindari

sebagai bagian integral dari pergaulan dunia modern. Kultur budaya Barat ini

terserap dalam gaya hidup, norma, nilai, adat dan aspek kehidupan yang lain

membentuk kultur budaya baru yang berbeda dari budaya sebelumnya. Walaupun

pada dasarnya tidak ada masyarakat yang tidak berubah baik masyarakar

tradisional maupun masyarakat modern. Tetapi yang terjadi pada dekade ini

adalah perubahan dan pergeseran nilai yang amat signifikan dan bahkan

mengejutkan bagi kehidupan masyarakat yakni pergeseran-pergeseran yang

merubah orientasi dan nilai kehidupan masyarakat. Masyarakat Bali yang pada

awalnya dikenal sebagai masyarakat agraris/komunal yang sarat dengan kearifan

lokal perlahan namun pasti mengalami perubahan dan pergeseran oleh

progresivitas asing (Barat). Perubahan menuju arah pendangkalan kultural akibat

nilai-nilai baru dalam masyarakat terkonstruksi menjadi simbol yang tampil tanpa

makna.

Perubahan sudut pandang dan perubahan orientasi nilai masyarakat terjadi

oleh cara berpikir dan sikap hidup yang lahir dari modernitas Barat yang lebih

menekankan pada rasio dan objek materialistis. Terjadi dampak perubahan budaya

religius yang lebih mementingkan objek material (keuntungan) daripada nilai-nilai

kemuliaan bagi kehidupan masyarakatnya. Budaya religius telah terkontaminasi

dan dirasuki oleh nilai-nilai ekonomis yang bisa mendatangkan keuntungan

materi. Unsur-unsur komodifikasi telah merasuki pola-pola kehidupan religius

masyarakat Bali khususnya sehingga budaya ngayah berubah menjadi budaya

buruh yang berorientasi pada upah dan keuntungan. Dengan demikian Tutik

(2008: 4) menyebutkan bahwa peradaban manusia dewasa ini senantiasa

mengalami metamorfosis sehingga melahirkan realita baru yang mengubah

kehidupan wajah manusia itu sendiri.

METODOLOGI

Data bersumber dari beberapa fenomena sosial tentang etika budaya

religius masyarakat Bali yang terjadi berdasarkan pengamatan (observasi) dalam

kehidupan masyarakat Bali. Data yang diperoleh dianalisis dan disajikan dengan

menggunakan analisis deskriptif kualitatif dan teknik simak serta interpretatif.

Data yang berkaitan dengan fenomena sosial dan etika budaya religius ini, dicatat

dan diidentifikasi serta diklasifikasikan sesuai dengan permasalahan yang

ditetapkan. Selanjutnya data diinterpretasikan sesuai sehingga menghasilkan suatu

hasil penelitian yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

PEMBAHASAN

1. TRANSFORMASI SOSIAL BUDAYA RELIGIUS MASYARAKAT

BALI ERA MODERN

Transformasi sosial budaya pada hakikatnya adalah perubahan yang

didasari oleh keinginan dari warga suatu masyarakat, untuk meninggalkan hal-hal

yang sudah mentradisi dalam suatu masyarakat kebudayaan tertentu. Perubahan

budaya yang terjadi dewasa ini dipercepat oleh adanya proses globalisasi yakni

perkembangan budaya internasional yang memasuki wilayah berbagai negara di

dunia. Tentu saja wilayah kebudayaan dunia ini sangat kompleks. Walaupun

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 125

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

diakui trasformasi sosial budaya sebagaimana dikemukakan oleh Hoed (2008:119)

tidak hanya terjadi karena dipaksakan dari luar melainkan dapat juga terjadi

karena keinginan dari dalam yang memang dibutuhkan oleh masyarakat

bersangkutan.

Sebagai warga masyarakat mana pun tidak dapat mengisolasi diri dari

perubahan yang terjadi sebagaimana dikemukakan Tutik (2008: 6) bahwa pada

akhirnya semua di hadapkan pada dua pilihan, yaitu bertarung atau bergabung,

bersanding atau bertanding yang kemudian melahirkan dinamika. Menurut Geriya

(2008: 5) ada dua kubu pandangan berbeda dalam menanggapi dan memberikan

interpretasi mengenai keberadaan, dinamika dan perubahan kebudayaan Bali.

Kubu pertama, menilai dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan

Bali modern atau pasca agraris bergerak menuju konsepsi continuity in changes

dengan dukungan konsep-konsep, seperti revitalisasi, pencerahan, adaptif,

akomodatif, fleksibel, dan selektif. Dengan penilaian betapa kokohnya keberadaan

kebudayaan tradisional di tengah-tengah arus modernisasi dan globalisasi yang

pada hakekatnya hanya mampu merubah sisi permukaan. Kubu kedua, menilai

dinamika kebudayaan Bali tradisional menuju kebudayaan Bali modern

mengandung ancaman yang serius, krisis dan ketidakberdayaan kebudayaan

tradisional tengah mengalami distorsi, diskontinu dan disintegrasi. Dengan

demikian masyarakat yang masih kuat berpegang pada nilai-nilai lama

memerlukan penyesuaian untuk bisa menerima kebudayaan baru, bahkan ini

sering menimbulkan konflik sosial akibat dari benturan nilai-nilai yang belum

menyerap ke dalam masyarakat. Tingginya dinamika kebudayaan yang terjadi

pada satu sisi membuka peluang pada peningkatan kesempatan kerja dan

sumbangan ekonomi, namun di sisi lain makin runtuhnya dimensi nurani

kehidupan kemanusiaan akibat kuatnya ancaman komersialisasi dan materialisme.

Perubahan budaya atau transformasi budaya itu terjadi sepanjang zaman

hanya saja mengalami percepatan yang sangat signifikan pada dua puluh tahun

terakhir mengiringi era globalisasi. Makin terbukanya hubungan antarmanusia,

antarnegara yang didukung oleh peralatan canggih memberikan keleluasaan bagi

perkembangan semua aspek kehidupan. Perkembangan masyarakat selain

didukung oleh perkembangan teknologi komunikasi, informasi dan transformasi

juga didukung oleh teknologi modern lainnya. Hanya saja perkembangan

teknologi yang begitu cepat akan pula mengandung resiko (risk culture) terhadap

dampak budaya yang justru merugikan karena bertentangan dengan azas

masyarakat.

Transformasi sosial atau perubahan sosial pada umumnya terjadi akibat

perubahan kondisi sosial primer, seperti unsur ekonomi, biologis, politik, agama

dan lain-lain. Terjadinya perubahan kebutuhan sosial mendorong perubahan pada

unsur-unsur yang lain. Setiap perubahan yang terjadi pada mulanya dianggap

sebagai penyimpangan (deviation) yang kemudian penyimpangan tersebut

mengalami penyesuaian-penyesuaian dengan ide-ide yang baru. Tutik (2008: vi)

menyebutkan bahwa modernisasi yang berkembang sebagai buah dari

transformasi sosial budaya dewasa ini, baik langsung maupun tidak telah

melahirkan distorsi, terutama ketidakseimbangan antara ranah material dan ranah

spiritual. Ketidakharmonisan kedua aspek menimbulkan berbagai gejolak, seperti

degradasi moral dan runtuhnya sendi-sendi transendental kehidupan masyarakat.

126 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Perubahan tersebut juga menimbulkan keguncangan baik secara individu,

keluarga, sistem kekerabatan dan kehidupan sosial lainnya.

Masyarakat Bali (Hindu) yang dulu terkenal dengan kehidupan sosialnya

yang sangat religius, taat pada tuntunan etis dan tunduk pada dunia niskala kini

nampak bergerak keluar dari pakem-pakem etika menuju ke agem-agem atau

anubhawa (gaya) estetika yang lebih menonjolkan performance (penampilan)

yang artifisial. Nilai-nilai etika religius telah banyak dilanggar yang cendrung

bersuka cita di ranah estetik dengan menanggalkan atau meninggalkan tuntunan

etik. Potensi ekonomi yang ditandai oleh keberlimpahan materi memberikan

kesempatan umat Hindu Bali khususnya untuk mengeksplorasi dan

mengekploitasi diri melalui media tubuh yang dikomunikasikan dengan

bermacam-macam simbol. Penampilan umat masa kini lebih menonjolkan sisi

estetika/keindahan dan penampilan (performance) ketimbang nilai-nilai etika yang

menjadi inti tujuan beragama. Pengutamaan penampilan ini justru didorong oleh

pamrih atau keinginan untuk mendapat pujian, pehatian dan kekaguman atau

bahkan pamer diri untuk mendapatkan prestise diri. Masyarakat umumnya kurang

memahami aspek fungsional materi tanpa disadari telah menyeretnya pada arus

pencitraan yang dipenuhi simbol-simbol kebendaan.

Di balik semua ini ada kekawatiran terjadi di masa depan bahwa aturan

kultural, termasuk di dalamnya budaya religius dan hukum agama akan

kehilangan daya mengikatnya yang menurut Widana (2011,: 255-256) cendrung

menuju keadaan anomie atau tanpa norma, sehingga sikap dan prilaku seakan

tanpa nilai atau aturan. Ketiadaan norma yang tentu saja kalau dibiarkan akan

menjerumuskan umat menjadi kehidupan umat yang bebas, sekuler dan hedonis.

Dinamika dan fenomena ini dianggap sebagai proses transformasi era postmodern

dari masyarakat tradisional ke masyarakat industri yang tentunya dapat

menimbulkan masalah sosial tersendiri. Norma-norma masyarakat tidak lagi

memiliki daya kohesif pemaksa yang cukup kuat untuk mengukuhkan norma-

norma yang telah berlaku yang juga cendrung meninggalkan norma agama yang

dianutnya. Pada titik itulah umat Hindu Bali akan kehilangan/kehampaan norma

yang menurut Durkheim (dalam Widana, 2011: 258) disebut anomie.

Jika di masa lalu masyarakat Bali diperdaya oleh ningrat lokal bernama

kerajaan, di zaman modern saat ini justru dikuasai oleh ningrat kapitalis yang

masyarakatnya tetap menjadi objek semata. Putrawan (2011: 135) bahkan

menyebut jati diri orang Bali dengan akar pertumbuhan budayanya telah

tercerabut akibat mengadopsi secara mentah budaya Barat yang tidak sepenuhnya

sesuai dengan budaya ketimuran. Bermaksud pindah ke rumah mewah malahan

jadi gelandangan atau lebih ironis lagi menjadi pembantu di rumah sendiri. Itulah

gambaran masyarakat yang tentu tidak menjastifikasi masyarakat Bali secara

menyeluruh.

2. SPIRIT BERKETUHANAN MASYARAKAT BALI ERA MODERN

Spirit berketuhanan dikemukakan Piliang (2009: 334) adalah spirit

pengekangan hasrat, pembentengan libido, pengutamaan perenungan, pencarian

jalan kesucian, pengutamaan kedalaman, pengutamaan kesederhanaan, penjauhan

diri dari dunia (materi). Inilah refleksi masyarakat tradisional yang di zaman

sekarang ini telah terjadi perubahan menuju ke hal-hal yang besifat artifisial.

Spirit berketuhanan cendrung digiring ke dalam ruang-ruang imanen yang di

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 127

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dalamnya tampil dalam wujud tanda-tanda dan citraan yang pada tingkat tertentu

tidak lagi merefleksikan esensi spiritual itu sendiri, akan tetapi telah terditorsi ke

dalam realitas tanda dan citra itu sendiri. Perubahan terjadi karena menganut

pandangan yang berorientasi pada nilai-nilai yang lahir dari modernitas

Baratdengan lebih mengutamakan dunia objektif yang rasional materialistis

dibandingkan dengan aspek spiritual religius yang bersandar pada agama.

Adanya progresivitas ritual dalam kehidupan masyarakat Bali yang

cendrung bergerak sebagai realitas ritual sebagai penanda identitas sosial

sebagaimana dilakukan dalam upacara ngaben Di dalam prosesi berlangsungnya

upacara ngaben (manusa yadnya) merasuk unsur-unsur fashion yang sarat dengan

komuditas material. Begitu pula yang terjadi pada pelaksanaan upacara yadnya

(dewa yadnya) di pura, para pemedek cendrung mengutamakan penampilan

(fashion) ala selebritis untuk mendapatkan status sosial dan bentuk pujian serta

penghormatan lainnya, dibandingkan dengan kualitas rohaninya. Dengan

demikian produktivitas rohani yang diharapkan terinternalisasi dalam diri umat,

justru lebih menampakkan manifestasinya dalam bentuk produktivitas materi yang

tidak saja merefleksikan simbol ekonomi, tetapi identitas sosial kultural lainnya.

Dalam kenyataannya masyarakat Bali haus akan aktivitas spiritual yang

dilakukannya melalui berbagai macam ritus keagamaan yang mampu memberikan

rasa puas bagi kehidupannya. Tidak menampik kalau kemudian Tutik (2008: 21)

menyebutkan bahwa kehidupan tanpa kandungan spiritual akan menjadi absurd

sehingga yang terjadi adalah hujatan terhadap hal-hal metafisik atas kekosongan

spiritual dan ketidakbermaknaan hidup.

Simbiosis gaya hidup ke dalam wilayah spiritual telah menciptakan sebuah

kondisi yang di dalamnya masyarakat mencampurkan jagad materi dan gaya

hidup yang bersifat dangkal dengan ranah spiritual yang suci. Masyarakat Bali

Hindu sekarang ini telah dimanjakan oleh suguhan upacara siap saji untuk

dipersembahkan ke hadapan Tuhan/Ida Sanghyang Widhi, sehingga apapun

peralatan upacara bisa diperoleh dengan cepat dan mudah asalkan ada uang.

Masyarakat manapun lebih-lebih masyarakat perkotaan tidak sulit mendapatkan

segala peralatan upacara karena telah tersedia menurut keinginan; nista, madia

dan utama. Prinsip ―uang maha raja‖ bukanlah isapan jempol, tetapi senyatanya di

era sekarang ini segala sesuatu dapat dibeli asalkan memiliki uang. Keadaan ini

yang kemudian membuat setiap orang harus berlari kencang mengejar uang atau

kekayaan untuk memperoleh simbol kesejahtraan dan keberhasilan bagi

seseorang. Dengan materi berlimpah seseorang mampu melakukan pelepasan

hasrat termasuk tubuh sebagai objek tontonan yang di dalamnya lebih

menawarkan tampilan, citra dan gaya hidup.

Ketika orang melakukan persembahyangan ke pura, tidak bisa dipungkiri,

baik kaum laki-laki maupun perempuan akan memilih pakaian yang tidak kalah

mewahnya untuk membangun citra diri secara sosial ekonomi. Inilah era yang

tidak lagi mementingkan esensi, tetapi sebuah dunia citra yang ditunjukkan

melalui objek (benda/barang) sebagai media yang dianggap menentukan status,

prestise dan simbol-simbol sosial pemakainya. Piliang (2009:336) menyebutkan

bahwa ketika ritual keagamaan terseret ke dalam ruang citra maka ia akan

terperangkap di dalam sifat-sifat kedangkalan dan artifisialitasnya serta akan

semakin menjauhkannya dari makna-makna dan nilai-nilai hakikinya.

128 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Aktivitas ritual keagamaan adalah sebuah ruang penyucian jiwa, yaitu

pembersihan jiwa dari berbagai kotoran lewat mekanisme pengekangan hasrat.

Ritual agama juga memberi spirit akan adanya perubahan pada pola prilaku sosial

dengan cara mengekang berbagai aspek materialitas. Akan tetapi aktivitas ritual

yang terperangkap dalam dunia citra yang terjadi adalah pendangkalan ritual yang

semakin tercabut dari makna hakikinya.

Nilai-nilai spiritual keagamaan kini ditafsirkan secara sangat subyektif

sesuai dengan kebutuhan masing-masing individu, dalam upayanya untuk mencari

kesempurnaan diri sesuai dengan tafsiran mereka masing-masing (Piliang, 2006:

5002). Dengan demikian meskipun Tuhan itu sama setiap orang dapat mempunyai

penamaan yang berbeda terhadap institusi agama yang mewadahinya.

Masyarakat Bali adalah masyarakat yang banyak memuja simbol-simbol

ketuhanan karena keterbatasan manusia untuk mengetahui sesuatu yang berada di

luar dirinya. Ada sejarah panjang manusia dalam mencari, memahami dan

menafsirkan sesuatu yang disebut sakral (benda suci), baik berupa keris, lontar,

dan benda lainnya yang dianggap mempunyai atribut kesucian yang

sesungguhnya hanyalah sumber spirit yang tak diketahui dari kekuatan yang

disebut Tuhan.

Spiritualitas saat ini sedang menuju perkembangan ke arah sekular yang

cendrung tampil sebagai sesuatu yang mengobjek yang berbeda dari agama

konvesional. Berbagai jalan spiritual berkembang dalam masyarakat Bali, seperti

meditasi, upacara-upacara magis, tenaga dalam, pengobatan alternatif sebagai

bagian dari lukisan obsesi masyarakat dewasa ini. Ada semacam keyakinan baru

yang berkembang yang memandang informasi tersebut bermula dari Tuhan. Laku

spiritual tersebut mampu membawa pikiran, suasana mental, ke dalam alam

virtual (hayal) dan meninggalkan tubuh yang nyata di dunia nyata. Spiritual

sekuler yang berkembang saat ini cenrung bersifat individu yang di dalamnya

tidak diperlukan kehadiran Tuhan sebagai keyakinan tertinggi. Spirituan semacam

ini mampu memberikan kepuasan yang bersifat individual berupa ketenangan

sebagai bentuk pemenuhan hasrat, akan tetapi tidak dapat menjawab berbagai

persoalan teologis yang lebih besar.

Kenyataan dalam kehidupan masyarakat Bali saat ini juga banyak

berkembang spiritualitas sekuler yang secara positif dapat menyenangkan hati,

menghibur dan sebagai penyegaran diri, bahkan terapi untuk berbagai penyakit,

seperti halnya seni yoga yang marak bermunculan dewasa ini. Berbeda dengan

spiritual religius yang lebih menawarkan sebuah keheningan, kesucian,

konsentrasi, kekhusukan dan kedalaman seperti yang dapat dialami dalam

berbagai upacara Hindu di Bali dan ritual komunitas lainnya.

1. SIMPULAN

Perubahan sosial budaya masyarakat berimplikasi pada perubahan pada

cara pandang masyarakat terhadap orientasi sosial budayanya, dan bahkan

menimbulkan degradasi/kelongsoran moral. Modernisasi dan pengaruh globalisasi

langsung atau tidak langsung telah mempengaruhi orientasi masyarakat Bali

terhadap nilai-nilai dasar kehidupannya. Masyarakat Bali yang terkenal menganut

budaya religius magis kini telah mengalami perubahan menuju masyarakat

hedonis, masyarakat yang beorientasi pada materi dan cendrung mengutamakan

performance dengan mengejar simbol-simbol pencitraan pada diri seseorang.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 129

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Masyarakat berlomba mengejar citra untuk mendapatkan kelas sosial dan prestise

bagi kehidupannya.

DAFTAR PUSTAKA

Geriya, I Wayan. 2008. Transformasi Kebudayaan Bali Memasuki abad XXI.

Surabaya: Paramita.

Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Jakarta: Fakultas

Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI Depok.

Piliang, Yasraf Amir. 2003. Hipersemiotika, Tafsir Cultural Studies Atas Matinya

Makna. Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2006. Dunia Yang Dilipat, Tamasya Melampaui Batas-

batas Kebudayaan. Yogyakarta: Jalasutra.

Piliang, Yasraf Amir. 2009. Posrealitas, Realitas Kebudayaan dalam Era

Posmetafisika. Yogyakarta&Bandung: Jalasutra.

Tutik, Titik Triwulan dan Trianto. 2008. Dimensi Transendental dan

Transformasi Sosial Budaya. Jakarta: Lintas Pustaka.

Widana, I Gusti Ketut. 2011. Menyoroti Etika Umat Hindu. Denpasar: Pustaka

Bali Post.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 130

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

HIPONIMI KATA”SEKAR” DALAM BAHASA JAWA KUNA

I Nyoman Sukartha dan Komang Paramartha

Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa yang sudah mati atau tidak

digunakan lagi sebagai bahasa komunikasi. Namun dalam sastra

klasik bahasa itu masih hidup. Begitu juga dalam beberapa jenis

kesenian di Bali seperti: seni pewayangan, mabebasan, sendratari,

dan seni arja, bahasa tersebut masih digunakan walau bukan

sebagai bahasa pengantar. Kata ―sekar‖ (‗bunga‘) dalam bahasa

Jawa Kuna memiliki memiliki makna yang khas bila dilihat dari

teori structural maupun teori fungsional. Bila dilihat secara

formalis, maka kata ―sekar‖ memiliki kehiponiman dengan kata

―puspa‖, ―kembang‖, ―santun‖, dan ―wunga‖. Begitu pula bila

dilihat secara fungsional. Kajian seperti itu belum pernah ada.

Untuk itu tulisan ini akan mencoba mengajinya.

Kata kunci: wacana, makna, dan fungsi

1. Pendahuluan

Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa documenter yang sangat menarik

untuk ditelaah. Hal itu disebabkan karena di dalam bahasa itu terkandung warisan

budaya bangsa yang adiluhung, baik mengenai kesenian, peradaban, maupun yng

menyangkut susastra dan religi. Sebagai bahasa wrisan leluhur yang hanya bisa

ditemukan lewat dokumen-dokumen masa lalu, bahasa Jawa Kuna masih bisa

ditemukan pada masyarakat Hindu Bali terutama dalam bidang agama,

kesusastraan klasik, nama-nama, baik nama orang, gedung, dan nama istilah.

Bahasa Jawa Kuna merupakan bahasa integrasi dari bahasa Jawa (masa

lalu) dengan bahasa Sansekerta. Bahasa tersebut kemudian tergeser ke Bali dan di

Bali disebut dengan bahasa Kawi. Bahasa Jawa Kuna memang ernah dijadikan

bahasa resmi di Bali yaitu ketika raja Udayana memerintah Bali. Namun

kemudian bahasa tersebut hanya bisa ditemukan dalam naskah-naskah susastra

klasik, agama, dan dalam kesenian tradisional.

Bahasa Jawa Kuna amat kaya akan perbendaharaan kata (leksikal). Salah

satunya adalah kata ―sekar‖. Kata tersebut memiliki hiponim seperti: ―puspa‖,

―kembang‖,

2. Lingkup Kajian

Berkenaan dengan banyaknya varian ang berkaitan dengan konsepsi ―sekar‖ di

dalam bahasa Jawa Kuna, maka kajian ini dibedakan menjadi:

a) Apa hiponim ―sekar‖?

b) Bagaimana bentuk sinoniminya?

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 131

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

c) Bagaimana bentuknya dalam sanding kata dan bentuk mana yang memiliki

distribusi pemakaian paling banyak?

3. Kerangka Berpikir

Telaah tentang kehiponiman kata ―sekar‖ dalam tulisan ini mengacu

kepada teori wacana Formalis dan fungsional seperti yang dikemukakan oleh

Vandjik dan Halliday. Menurut Halliday (dalam Tomasowa:1994;36) terdapat 3

(tiga) komponen makna dalam suatu struktur bahasa (meta fungsi). Komponen

yang dimaksud seperti: komponen tekstual, komponen interpersonal, dan

komponen ideasional.

Komponen tekstual meliputi organisasi tematis, struktur informasi serta

dari suatu kandungan oposisi. Pola tematis menguraikan cara-cara unsur

komponen ideasional disusun menjadi suatu wacana. Struktur tematis terdiri atas

―tema‖ dan ―rema‖. Tema merupakan unsur terdepan dari klausa. Sedang sisanya

merupakan unsur ―rema‖. Tema digunakan oleh penutur sebagai titik tolak

ujarannya. Tema bisa merupakan: subjek, predikat, komplemen atau keterangan.

Komponen interpersonal merupakan aspek interaksi dan aspek personal

dari tatabahasa. Aspek itu meliputi hal; bagaimana seoang penutur/pengujar

berinteraksi dengan orang lain (tentu saja interaksi dengan memakai bahasa

sebagai alat komunikasi). Hubungan yang dimaksud menyangkut, baik hubungan

secara sosial maupun hubungan secara pengaturannya dan hubungan secara

instrumental dalam membangun sebuah komunikasi.

Komponen ideasional menyangkut hal yang mendasar dari sebuah ujaran.

Patut dipahami bahwa bahasa merupakan alat untuk manusia membentuk suatu

gambaran mental dari kenyataan yang ada untk memberi arti pada pengalamannya

tentang apa yang terjadi di sekitar dan pada dirinya (tindakan, kejadian, perasaan,

dan keberadaannya).

Vandjik membedakan wacana menjadi: wacana mikro, wana makro, dan

super struktur.

4. Pembahasan

Kata ―sekar‖ dalam bahasa Jawa Kuna bermakna ‗bunga‘. Bila dilihat kata yang

berhiponim dengan kata ―sekar‖ maka didapatkan kata-kata seperti: ―puspa‖,

―kembang‖, ―sari‖, ―kusuma‖, dan ―santun‖.

a. Kehiponiman

Hiponim (hyponym) diartikan sebagai ‗kata yang memiliki makna yang

lebih sempit dari pada makna generic spesifik dan makna generic anggota

taksonomi dan nama taksonomi (Moeliono dkk, 2014;502). Sejalan dengan

makna itu, hiponimi (hyponym) diartikan sebagai‗ hubungan dalam semantik

antara makna spesifik, atau antara anggota taksonomi dan makna taksonomi.

Contoh; antara anjing, kucung, dan kambing disebut hiponim dari hewan. Hewan

disebut sebagai superordinate dari kucing, anjing, dan kambing. Sedangkan kata

kucing, anjing, dan kambing disebut sebagai kohiponim (Kridalaksana, 1993;74).

Dalam bahasa Jawa Kuna kata ―sekar‖ memiliki kohiponim seperti;

Tabel 1; Hiponimi*)

132 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

No Superordinat Subordinat/kohiponim Jumlah

1 Sekar 1) - gandira ‗hiasan bunga di kepala‘

2) raga - ‗nama metrum/Ragakusuma)‘

3) - carang ‗nama halaman rumah‘

4) - kuning ‗bunga kuning‘

5) - petak ‗bunga putih‘

6) - emas ‗bunga emas‘

7) - suhun ‗untaian bunga hiasan kepala‘

8) - taji ‗nama bunga hiasan kepala‘

9) - tahun ‗upeti‘

10) - ura ‗taburan bunga dlm upacara‘

11) - wangi ‗bunga dan wangi-wangian‘

Banyak

2 Puspa 1) ṡara - ‗nama senjata‘

2) - capa ‗nama senjata‘

3) - danta ‗bergigi bunga‘

4) - dewati ‗dewi bunga‘

5) - gandha prawandha ‗wewangian‘

Sedikit

3 Kembang 1) - ura ‗bunga tabur‘

2) - emas ‗bunga emas‘

3) - rajata ‗kembang perak/putih‘

4) - petak ‗bunga putih‘

Agak

Banyak

4 Santun 1) padma - ‗bunga lotus‘ Sangat

sedikit

5 Padma. 1) - caraka ‗nama bunga‘

2) Antapadma ‗teratai di dalam

(diri/jantung)‘

6 Kusuma 1) - ‗bunga‘

2) - bhawana ‗sorga bunga‘

3) - capa ‗panah bunga‘

4) - padapa ‗ranting bunga‘

5) - parwata ‗gunung bunga‘

6) - śaňcaya ‗(‗ikat‘) ‗timbunan bunga‘

7) - śara ‗berpanah bunga,

8) - saňjata ‗bersenjata bunga‘

9) - sȃri ‗tepung sari‘

10) Kusumȃstra ‗berpanah bunga‘

11) Kusumȃstradewi ‗dewi Ratih‘

12) - ȃstrapȃni ‗panah bunga di tangan‘

13) Kusumȃstrapatni ‗Ratih (istri Kama)‘

14) - warsa ‗hujan bunga‘

15) - wicitra berbagai macam bunga‘;

‗nama metrum/pola gurulaghu‘

16) - wilasita ‗nama metrum‘

17) Kusumȃyudha ‗senjata bunga‘; ‗nama

Kama‘

18) Kusumȃyudhatantra ‗Kamatantra‘

19) Kusumesu ‗panah bunga‘

20) - mitajanma ‗manusia mulia‘;‘nama

Sangat

banyak

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 133

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

metrum‘

7 wunga 1). Bunga/kembang**)

*) Arti kata disesuaikan dengan Kamus Jawa Kuna-Indonesia dari

Zoutmulder.

**) Ditemukan pemakaiannya hanya 1 kali saja dalam Kakawin Ramayana,

Sargah l7.

Melihat contoh kata-kata di atas dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Kata kusuma memiliki varian terbanyak yaitu sebanyak 17 buah. Kata

kusuma mengacu kepada refrent bunga secara keseluruhan yang

meliputi; tangkai, kuncup, putik dbenang sari dan tepung sari.

2) Kata sȇkar memiliki varian sebanyak 11 buah atau lebih sedikit

dibandingkan dengan kata kusuma. Kata itu pun mengacu kepada refren

bunga secara keseluruhan seperti; tangkai, kuncup, putik dan benang

sari dan tepung sari.

3) Kata puspa memiliki varian 5 buah dan memiliki peringkat ketiga

dalam hal varian untuk kata bunga.

4) Kata kembangmemiliki varian sebanyak 4 buah

5) Kata Padma memiliki varian 2 buah dan

6) Kata santun hanya 1

Semua varian kata-kata di atas mengacu kepada refren yang luas yang meliputi;

tangkai, kuncup, putik, benang sari, dan tepung sari bunga. Namun bila dirunut

pemakaiannya di dalam kalimat maka diketemukan hal-hal sebagai berikut.

Semua jenis bunga Sȇkar

Kusuma - bhawana

- capa- padapa

- parwata

- śaňcaya

- śara

- saňjata

-sȃri

Kusumȃstra

Kusumȃstradewa

- ȃstrapȃni

Kusumȃstrapatni

- warsa

- wicitra

-wilasita ‗

Kusumȃyudha

Kusumȃyudhatantra

Kusumesu

- mitajanma

- gandira

raga -

- carang

- kuning

- petak

-emas

- suhun

- taji- tahun

- ura

- wangi

Sȇkar

134 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

puspa - ṡara

- capa

- danta

- dewati

- gandha prawandha

- caraka

antapadma

-nabha

-keṡara

-yoni

padma

Kembang -- ura

- emas

- rajata

- petak

santun

Contoh pemakaian

Bila semua kata-kata di atas diimbuhi dengan afiks (imbuhan) maka akan

terjadi perbedaan. Maksudnya adalah ada kata yang kurang pas bila dilekati

prefiks-, -infiks-, -suffiks dank konfiks, dan ada kata-kata yang cocok/boleh

dilekati imbuhan.

Contoh:

Prefix a- /ma-

Cocok/benar Asȇkar/masȇkar

Akusuma/-

Akembang/makȇmban

g

Apadma/ -

Apuspa/-

Asantun

A-/makusuma

Mapadma

Mapuspa

Masantun

Tidak

cocok/salah

Prefiks ma-

Cocok Manȇkar

Mangêsuma

Mapadma

Makembang

mapuspa

Tidak

cocok

Infiks –in- dan –um-

Cocok Sumȇkar

Sinȇkar

Pinuspa

Kumusuma

Pumuspa

Kumembang

Pumadma

Tidak

Cocok

Imbuhan gabung –um-/-in-

Sinȇkaran/ Sinȇkarakȇn

sumȇkaran/sumȇkarakȇ

n

pinuspanȇn

Kinusuman/kinusumakȇn

Kumusuman/kumusumakȇn

kinusumakȇn

kinȇmbangan/kinȇmbangakȇn

kumumbangan/kumumbangkȇ

n

kinȇmbangȇn

pinuspanan/pinuspanakȇn

umuspanȇn/umuspanakȇn

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 135

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

5. Kesimpulan

Kata yang memiliki hiponimi yang paling banyak adalah kata ―kusuma‖

(20 kata), diikuti oleh kata ―sêkar‖ (11 kata), ―puspa‖ (5 kata), ―kêmbang

4 kata), ―padma‖ (2 kata), dan ―santun‖ (1 kata).

Daftar Pustaka

Keraf, Gorys. 1980. Tatabahasa Indonesia. Ende Flores; Nusa Indah.

Mardiwarsita, L. 1981. Kamus Jawa Kuna – Indonesia. Ende Flores. Nusa Indah.

Mardiwarsita, L dan Harimurti Kridalaksana, 1978. Struktur Bahasa Jawa Kuna.

Ende Flores. Kanisius

Moeliono dkk, 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Soegriwa, I Gusti Bagus. 1978. Penuntun Pelajaran Kakawin. Denpasar. Bali

Mas.

Suarka, I Nyoman. 2009. Telaah Sastra Kakawin. Denpasar. Percetakan Bali

Sukartha, I Nyoman. 1982. ―Mabebasan dan Cara-Cara Menerjemahkannya di

Kabupaten Klungkung‖ (Skripsi S1). Fakultas Sastra Universitas

Udayana

Sukartha, I Nyoman. 2015. Tradisi Lisan Mabebasan Di Bali. Denpasar. Program

S3 Linguistik Pascasarjana Universitas Udayana.

Sukartha, I Nyoman. 2016.―Pendidikan Karakter Dalam Kidung Manduka

Praharana Episode I Lutung, I Tetani, Dan I Katak‖ (Proseding).

Denpasar. Pustaka Larasan

Sukartha, I Nyoman. 2017. ‗Makna Pendidikan Moral Dalam Kidung Raga

Winasa Episode Persahabatan Si Lutung Dengan Si Keker‖

(Proseding). Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

Tarigan, Henry Guntur. 1990. Pengajaran Semantik. Bandung; Penerbit Angkasa.

Zoutmulder, P.J. 2009. Kamus Bahasa Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta. PT

Gramedia Pustaka Utama.

Zoutmulder. P.J. 1984. Kalangwan Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang

(terjemahan Dick Hartoko cs. Jakarta; Jambatan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 136

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DINAMIKA SAPAAN DALAM BAHASA MELAYU BALI

I Nyoman Suparwa

Prodi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan kajian ini adalah untuk menemukan dinamika sapaan dalam

bahasa Melayu Bali. Teori yang digunakan mengacu kepada teori

T-V Brown-Gilman (1960:253—379), yaitu untuk menganalisis

bentuk, fungsi, dan makna. Teori T-V merupakan teori dua makna,

yaitu makna kekuasaan (the power semantic) dan makna solidaritas

(the solidarity semantics). Data kajian ini didapat dari informan

bahasa Melayu Bali yang berdomisili di Loloan Barat dan Loloan

Timur (dua belas orang; enam orang per desa), Kecamatan Negara,

Jembrana, Bali. Terhadap informan dilakukan wawancara

mendalam untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu berupa

kata, frasa, klausa, atau kalimat. Analisis data dilakukan secara

kualitatif deskriptif dengan penjelasan bila diperlukan.

Hasil kajian menemukan bahwa ada tiga kelompok sapaan menurut

kekerabatan, yaitu (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti Bapak,

Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong,

Pak/Mak Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare,

abang, mas. Berdasarkan hubungan keakraban, ditemukan juga tiga

macam pemakaian istilah sapaan, yaitu (a) tinggi-rendah (TV)

untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama tinggi/rendah

(VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c)

rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika

pemakaian istilah sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya

lagi istilah sapaan, seperti Wak, Encu; diganti dengan istilah sapaan

bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur bahasa Indonesia.

Kata kunci: dinamika, sapaan, bahasa Melayu Bali

Pendahuluan

Dalam kegiatan berkomunikasi, dengan bahasa, kegiatan menyapa

merupakan aktivitas pokok karena komunikasi tidak bisa berlangsung tanpa ada

saling sapa antarpihak. Begitu pentingnya kegiatan saling menyapa, sehingga

dalam proses pembelajaran bahasa, khususnya pengajaran bahasa Indonesia untuk

penutur asing (BIPA), materi sapaan ditempatkan pada kegiatan pembelajaran

awal. Dalam Buku Ajar Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing FIB 1, materi

sapaan dengan judul ―Salam dan Perkenalan‖ sebagai materi 1; sedangkan dalam

buku ―Selamat Datang: Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing Tingkat Dasar‖,

materi ―salam‖ sebagai materi 1. Misalnya, dicontohkan ―Selamat malam, Pak;

nama saya Ketut Restu, panggil Restu‖.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 137

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kata panggilan Pak atau panggil Restu pada contoh di atas merupakan

kata sapaan karena definisi kata sapaan menurut kamus adalah kata yang

digunakan untuk menyapa seseorang (misalnya kata Anda, Saudara, Tuan,

Nyonya, Ibu, Bapak, Kakak, dan Adik) (KBBI, 1991:452). Kamus bidang khusus

(istilah) linguistik juga mendefinisikan kata sapaan yang mirip dengan itu, yaitu

sapaan (address) adalah morfem, kata, atau frasa yang dipergunakan untuk saling

merujuk dalam situasi pembicaraan dan yang berbeda-beda menurut sifat

hubungan antara pembicara itu (Kridalaksana, 1982:147). Dengan demikian,

berbicara masalah sapaan tidak hanya mengulas masalah bahasa, tetapi juga

masalah budaya karena di dalamnya terkandung nilai sosial kesopanan, kebiasaan,

norma, dan lain-lain.

Bahasa Melayu Bali adalah sebuah bahasa daerah yang hidup dan

berkembang di daerah pergaulan antaretnis (multikultural) di Indonesia,

khususnya di Bali, tepatnya Desa Loloan (barat dan timur) Kota Negara,

Kabupaten Jembrana, Provinsi Bali. Daerah pakai itu merupakan daerah pusat dan

pemakaian bahasa itu juga tersebar di beberapa desa pinggir pantai, yaitu Desa

Tegal Badeng Barat, Tegal Badeng Timur, Banyubiru, Air Kuning, Cupel,

Pengambengan yang berada di wilayah Kecamatan Negara,dan Desa Tuwed serta

Melaya (pantai) yang berada di wilayah Kecamatan Melaya, Jembrana Bali.

Keberadaan bahasa Melayu sebagai bahasa minoritas di lingkungan bahasa

mayoritas (bahasa Bali) menyebabkan bahasa ini berinteraksi secara ekstralingual.

Penutur bahasa Melayu Loloan, umumnya, dwibahasawan (menguasai bahasa

Melayu Loloan dan bahasa Indonesia serta mengerti bahasa Bali) dengan

pemakaian bahasa Melayu Loloan dalam ranah informal, seperti intrakeluarga,

upacara adat, dan pengajian (Suparwa, dkk., 2014:514).

Dinamika bahasa Melayu tersebut tentu tidak lepas dari daya sentripetal

dan sentrifugal (Kridalaksana, 1996:1). Daya sentripetal merupakan usaha penutur

bahasa untuk mempertahankan bahasanya karena bahasa Melayu Loloan itu

merupakan ciri identitas Melayu Islam di Jembrana. Daya sentrifugal merupakan

usaha akomodasi bahasa tersebut dalam perkembangannya sebagai alat

komunikasi di dalam pergaulan intraetnis dan antaretnis. Dalam hal ini pengaruh

bahasa Bali sebagai bahasa mayoritas di Jembrana dan di Bali serta bahasa

Indonesia sebagai bahasa nasional di Indonesia tidak bisa dihindari. Dalam

linguistik, pengaruh itu menimbulkan unsur retensi (kebertahanan) dan unsur

inovasi (perubahan).

Perubahan/dinamika unsur bahasa secara mikrolinguistik telah dikerjakan

berupa artikel berjudul ―Dinamika Fonologis Bahasa Melayu Bali‖ oleh Suparwa,

dkk. (2014) dan Dynamics of the Sentences System in Balinese-Malay Language

oleh Suparwa dkk. (2017). Akan tetapi, unsur bahasa yang bersifat

makrolinguistik, termasuk dinamika unsur sapaan belum pernah diteliti. Untuk itu,

kajian ini perlu dilakukan untuk mengungkap sistem sapaan dalam bahasa Melayu

Bali. Secara eksplisit, kajian yang dilakukan ini menganalisis masalah,

―Bagaimanakah dinamika sapaan dalam bahasa Melayu Bali?‖

Metodologi

Kajian Dinamika Sapaan Bahasa Melayu Bali ini mengikuti alur berpikir

berupa kerangka teori dan metode sebagai berikut. Teori yang diterapkan dalam

138 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kajian ini adalah teori T-V Brown-Gilman (1960:253—379). Teori tersebut

digunakan untuk menganalisis bentuk, fungsi, dan makna sapaan dalam bahasa

Melayu Bali. Teori T-V merupakan teori dua makna, yaitu makna kekuasaan (the

power semantic) dan makna solidaritas (the solidarity semantics). Makna

kekuasaan adalah makna yang ditentukan berdasarkan usia, status, jenis kelamin,

dan yang lainnnya. Dalam makna kekuasaan itu terdapat hubungan nonresiprokal

superior. Dalam hal ini, T adalah superior dan V adalah inferior karena adanya

perbedaan status dan yang lainnnya, seperti perbedaan kekuasaan atau usia. Di

pihak lain, makna solidaritas adalah makna yang dihasilkan oleh adanya norma

hubungan resiprokal, yaitu saling menyatakan V (baik pembicara maupun

penerima) karena adanya persamaan status, kekuasaan, usia, dan yang lainnnya.

Data kajian ini didapat dari informan bahasa Melayu Bali yang berdomisili

di Loloan Barat dan Loloan Timur (dua belas orang; enam orang per desa),

Kecamatan Negara, Jembrana, Bali. Terhadap informan dilakukan wawancara

mendalam untuk mendapatkan data yang diperlukan, yaitu berupa kata, frasa,

klausa, atau kalimat. Analisis data dilakukan secara kualitatif deskriptif dengan

penjelasan bila diperlukan.

Pembahasan

Sapaan dalam bahasa Melayu Bali ditemukan bervariasi menurut

hubungan kekeluargaan dan variasi kelompok umur. Menurut hubungan

kekeluargaan dibedakan menjadi tiga, yaitu (1) sapaan dalam keluarga inti, (2)

sapaan antar-kerabat, dan (3) sapaan pada orang asing. Sementara itu,

berdasarkan kelompok umur dibedakan atas (a) kelompok umur 40 sampai dengan

60 tahun, (b) kelompok umur 25 sampai dengan 39 tahun, dan (c) kelompok umur

15 sampai dengan 20 tahun. Pengelompokan tersebut dapat memperlihatkan

dinamika penggunaan sapaan antar-beda generasi dan antar-kelompok hubungan

kekeluargaan.

1. Sapaan dalam Keluarga Inti

Dalam keluarga inti, terdapat orang tua dan anak. Istilah sapaan antara

orang tua dan anak ditemukan beberapa variasi yang berbeda pada tiga kelompok

informan. Informan dengan rentang usia 40—60 tahun menggunakan istilah wak

‗bapak‘ atau bapak kepada orang tuanya laki-laki dan mak ‗ibu‘ pada orang tua

perempuan. Istilah ini mengalami sedikit perubahan pada informan dengan

rentang usia 25—39 tahun yang menggunakan istilah bapak untuk mengacu

kepada orang tua laki-laki dan mak atau mamak untuk mengacu kepada orang tua

perempuan. Pada rentang usia ini, istilah wak ‗bapak‘ sudah tidak ditemukan.

Pada informan dengan rentang usia 15—20 tahun ditemukan variasi yang lebih

banyak dalam penggunaan istilah sapaan antara orang tua dan anak. Pada rentang

usia tersebut, istilah wak ‗bapak‘ sudah tidak lagi dikenal. Pada rentang usia

tersebut, istilah yang banyak digunakan adalah bapak atau ayah untuk orang tua

laki-laki dan ibu, bunda dan sebagian kecil mak ‗ibu‘ untuk orang tua perempuan.

Dalam penggunaan istilah sapaan ini, terdapat pola Perhatikan contoh

berikut.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 139

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

A: Nak kemane, Na?

mau kemana Nd

‗Mau pergi kemana, Na?‘

B: Ke rumah kawan Mak. Nana maleman pulang

ke rumah teman bu Nd malam Pulang

‗Ke rumah teman, Bu. Saya pulang agak malam.‘

A: Iye baek-baeki lanan

iya hati-hati

‗Baik, hati-hati.‘

Pada contoh tersebut, penggunaan istilah sapaan mak ‗ibu‘ mengacu

kepada orang tua perempuan. Sapaan Na pada contoh tersebut merupakan nama

dari addressee yang menunjukkan kedekatan sekaligus kesopanan dalam tuturan

tersebut. Untuk istilah sapaan untuk diri sendiri, penutur bahasa Melayu Bali

menggunakan nama diri. Hal itu menunjukkan kedekatan serta kesopanan

dibandingkan dengan penggunaan awak untuk mengacu kepada diri sendiri. Pola

yang terlihat pada contoh tersebut adalah pola V-V yang menunjukkan hubungan

simetris antara A sebagai orang tua dan B sebagai anak. Penggunaan pola V-V ini

bukan berarti orang tua tidak memiliki kekuasaan atau kekuatan kepada anak. Hal

tersebut menunjukkan adanya hubungan yang didasarkan pada kesopanan dan

kasih sayang kepada anak.

Bandingkan dengan contoh berikut.

A: sudah uwak taoi kau jangan maen

sudah bapak beritahu 2T jangan bermain

sampe‟ malem-malem tinggal an

sampai malam-malam masih saja

‗Sudah bapak beritahu untuk tidak keluar malam, masih saja.‘

Pada contoh tersebut, sapaan kau ‗kamu‘ digunakan untuk menunjukkan

kekuasaan yang dimiliki oleh A sehingga tuturan yang diekspresikan akan

memiliki kekuatan untuk mengatur ataupun memberikan perintah. Pola sapaan

antara orang tua dan anak diterangkan dalam tabel berikut.

Tabel 1 Istilah sapaan antara Orang Tua dan Anak

Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola

Orang tua Anak Nama Resiprokal V-V

Orang tua Anak kau Nonresiprokal T-V

Anak Orang tua Bapak, Ayah,

Wak

Nonresiprokal

Resiprokal

V-T

V-V

Anak Orang tua Mak, Ibu,

Bunda

Nonresiprokal

Resiprokal

V-T

V-V

Selain antara orang tua dan anak, istilah sapaan dalam keluarga juga

ditemukan pada sapaan antara saudara. Variasi sapaan yang digunakan antara

saudara dari yang lebih muda kepada yang lebih tua yaitu menggunakan istilah

bang ‗kakak‘ atau abang ‗kakak‘ kepada saudara laki-laki atau akak ‗kakak‘

140 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kepada saudara perempuan. Penutur usia 40—60 mengenal istilah bang olong dan

kak olong untuk saudara tertua. Sebagian penutur tersebut juga mengenal istilah

sapaan bang/kak ngah untuk saudara kedua, bang oman/kak oman untuk saudara

ketiga, bang cik/kak cik untuk saudara keempat dan seterusnya. Akan tetapi,

istilah ini sangat jarang ditemukan penggunaannya. Sapaan yang digunakan

umum kepada saudara yang lebih tua biasanya hanya menggunakan istilah bang

atau kak saja kepada yang lebih tua sedangkan kepada yang lebih muda

menggunakan nama yang bersangkutan. Hal tersebut digunakan untuk

menunjukkan kedekatan sekaligus kesopanan. Terkadang istilah kau ‗kamu‘ juga

digunakan dalam menunjukkan kekuatan. Akan tertapi, hal tersebut dianggap

kurang sopan dan cenderung merujuk pada kondisi emosi seseorang.

Penggunaan sapaan antara saudara ini dapat dilihat dari tabel berikut.

Tabel 2 Istilah Sapaan antara Saudara

Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola

Lebih tua Lebih muda Nama Resiprokal V-V

Lebih tua Lebih muda kau Nonresiprokal

Resiprokal

T-V

T-T

Lebih muda Lebih tua Abang, akak Nonresiprokal

Resiprokal

V-T

V-V

Lebih muda Lebih tua kau Resiprokal T-T

2. Sapaan antara Kerabat

Istilah sapaan lain yang terdapat dalam bahasa Melayu Bali berkaitan erat

dengan sistem kekerabatan dalam kebudayaan Melayu (Loloan) Bali. Sapaan yang

digunakan kepada orang yang lebih tua dari orang tua ego, akan sangat bervariasi

bergantung pada posisinya dalam kekerabatan. Sebagai contoh, Ayah/Ibu ego

merupakan anak keempat dari lima bersaudara maka sapaan saudara tertua

Ayah/Ibu adalah pak/mak olong, untuk saudara kedua menggunakan istilah

pak/mak ngah, untuk saudara ketiga menggunakan istilah pak/mak oman, dan

yang seterusnya menggunakan pak/mak encu atau encu saja. Jika orang tua ego

merupakan anak tertua maka ego tidak memiliki pak/mak olong.

Sapaan untuk mengacu kepada diri sendiri digunakan istilah diri yang

bersangkutan atau nama diri untuk menunjukkan kedekatan hubungan. Hal itu

menunjukkan keakraban.

Perhatikan contoh berikut.

A: bile encu nak Ke Denpasar?

kapan bibi/paman akan prep Denpasar?

‗Kapan bibi/paman ke Denpasar?

B: paling besok encu ke sane. Ina nak mekot?

mungkin besok Pron ke sana Nd mau ikut?

‗Mungkin besok saya ke sana. Kamu mau ikut?‘

Penggunaan encu ‗paman/bibi‘ yang digunakan A mengacu kepada kata

ganti orang kedua tunggal. Berbeda dengan encu ‗paman/bibi‘ yang digunakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 141

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

oleh B merupakan acuan pengganti saya sebagai kata ganti orang pertama tunggal.

Begitu juga dengan penggunaan Ina yang merupakan nama seseorang digunakan

untuk mengacu kepada kata ganti orang kedua tunggal. Istilah sapaan yang pada

contoh tersebut digunakan untuk menunjukkan kedekatan antara satu sama

lainnya. Brown dan Gilman (1960: 257—258) menjelaskan bahwa penggunaan V

merupakan bentuk keintiman atau kedekatan dan T merupakan bentuk

penghormatan dan bentuk formal. Dalam bahasa Melayu Bali, keintiman,

penghormatan, dan bentuk formal juga dapat diwakilkan oleh T tersebut. Tabel

berikut menjelaskan sapaan yang digunakan antar kerabat dan pola yang terdapat

di dalamnya.

Tabel 3 Istilah sapaan antar- kerabat

Addresser Addressee Istilah Keterangan Pola

Saudara

ayah/ibu keponakan

Pak/mak olong, pak/mak

ngah, pak/mak oman,

pak/mak encu, encu

Resiprokal V-V

keponakan Saudara

ayah/ibu Nama diri Resiprokal V-V

Selain yang terdapat pada tabel tersebut, ditemukan juga istilah sapaan

dari bahasa daerah yang lain. Hal ini ditemukan jika penutur bahasa Melayu Bali

menikah dengan pasangan dari luar daerah. Istilah sapaan yang digunakan untuk

pasangannya tersebut menggunakan istilah dari tempat asalnya. Sebagai contoh,

jika pasangannya tersebut berasal dari jawa, maka keponakannya akan

menggunakan istilah pakdhe/budhe atau paklik/bulik.

3. Sapaan pada Orang Asing

Untuk istilah sapaan pada orang asing, sapaan yang digunakan oleh

responden usia 40—60 tahun adalah adik, sodare, abang, akak, bapak, atau ibu

bergantung pada usia orang tersebut. Untuk penutur lain, ditemukan juga

penggunaan istilah mas, mbak yang merupakan serapan bahasa Indonesia.

Penggunaan istilah tersebut digunakan untuk orang yang berasal dari luar daerah

penutur bahasa Melayu Bali.

Simpulan

Berdasarkan analisis yang dilakukan di dalam bahasa Melayu Bali,

khususnya mengenai istilah sapaan, ditemukan tiga kelompok istilah sapaan

menurut hubungan kekerabatan, yaitu (a) sapaan dalam keluarga inti, seperti

Bapak, Ayah, Wak, (b) sapaan antara kerabat, seperti Pak/Mak Olong, Pak/Mak

Ngah; dan (c) sapaan pada orang asing, seperti sodare, abang, mas. Berdasarkan

hubungan keakraban, ditemukan juga tiga macam pemakaian istilah sapaan, yaitu

(a) tinggi-rendah (TV) untuk menunjukkan kekuasaan, seperti kau; (b) sama

tinggi/rendah (VV) untuk keakraban, seperti Nama diri (misalnya Nana); dan (c)

rendah-tinggi (VT) untuk kesopanan, seperti Abang. Dinamika pemakaian istilah

sapaan diperlihatkan oleh tidak digunakannya lagi istilah sapaan, seperti Wak,

142 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Encu; diganti dengan istilah sapaan bahasa Indonesia Pak/Bapak, Bi/Bibi unsur

bahasa Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, R dan A. Gilman. 1960. ‗The Pronouns of Power and Solidarity‘ dalam

T.A. Seobeok (ed.), Style in Language. MIT Press, halaman 253—276.

Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta: Pusat

Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Suparwa, I Nyoman dan Made Sri Satyawati. 2017. ―Dynamics of the Sentences

System in Balinese-Malay Language‖ dalam Jurnal Melayu 16(1). Online.

Suparwa, I Nyoman, A.A. Pt. Putra, Ni Luh Nyoman Seri Malini. 2014. Dinamika

Fonologis Bahasa Melayu Bali. https://docplayer.info/69929420-

Dinamika-fonologis-bahasa-melayu-bali.html

Tim Penyusun. 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Jakarta: Balai

Pustaka.

===

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 143

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DARI ISLAM KAMPUNG SAMPAI ISLAM BALI :

PERANAN NILAI-NILAI TRADISIONAL DALAM KEBERTAHANAN

MASYARAKAT ISLAM DI BALI

I Putu Gede Suwitha

Program Studi Sejarah Universitas Udayana

ABSTRAK

Studi ini akan membahas peranan nilai-nilai tradisional Bali dalam

kolaborasi dengan nilai-nilai dalam dinamikanya di Bali.

Kebertahanan masyarakat Islam di Bali bahwa keberhasilannya

memadukan dan nilai-nilai masyarakat lokal.Islam datang ke

seluruh penjuru nusantara membawa ajaran-ajaran yang universal,

tetapi nilai-nilai lokal diakomodir, termasuk nilai-nilai lokal Bali.

Metode yang dipergunakan adalah metode historis kualitatif

dengan mengumpulkan data kepustakaan dan wawancara

mendalam.Dalam analisis data dipergunakan analisis sejarah dan

semua data yang terkumpul diolah secara deskriptif kualitatif.

Hasil studi yang didapat bahwa kolaborasi dan kerjasama antara

masyarakat Islam dan masyarakat Bali telah berlangsung lama dan

mendalam. Dalam aras kontemporer terjadi perubahan dan

transformasi dalam hubungan dengan usaha-usaha mencari nilai

yang baru dengan kenyataan yang aktual. Nilai-nilai baru tersebut

seperti pariwisata, merupakan penghadapan terbaru masyarakat

Islam Bali dalam membangun masyarakat multikultur.

Kata kunci : Identitas, kolaborasi, kebertahanan, kerjasama,

transformasi.

I Pendahuluan

Percampuran budaya merupakan kekuatan budaya Bali.kesadaran

akan kekuatan Bali sebagai penjaga pluralitas budaya mendorong penulis

untuk melakukan studi tentang budaya lokal Bali yang adi luhung yang

mampu menjalani komunikasi dengan baik dengan budaya luar. Kekuatan-

kekuatan ini pula yang menempatkan Bali sebagai pulau pluralis sejak lama,

sehingga mendapat julukan-julukan yang eksotis.Antropolog Barat

menemukan Bali sebagai sebuah pulau dimana budaya dan alam saling

berpautan erat.Jalinan manusia Bali dan alamnya melalui semangat religious

dalam bingkai yadnya melahirkan harmoni kehidupan.

Keterbukaan masyarakat Bali terhadap pendatang sudah terjadi sejak

ratusan tahun dan tidak pernah menimbulkan masalah. Kehadiran para

pendatang sebagai dampak proses perumabahan menghasilkan masyarakat

144 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

plural yang harus dipahami sungguh-sungguh. Oleh karena itu dapat

menghasilkan modus, cara manajemen yang paling sesuai dengan situasi

masyarakat plural dan multikultur. Oleh karena itu diperlukan kajian model-

model adaptasi dan akulturasi unsur-unsur kebudayaan luar yang

berkesinambungan. Termasuk kehadiran pariwisata yang harus dilihat bukan

saja sebagai tantangan, tetapi juga sekaligus sebagai peluang bagi proses

kreatif orang Bali mengikuti perubahan-perubahan. Interaksi antara

pendatang Islam dengan masyarakat Bali menarik untuk ditelaah karena

khas bagaimana dinamika Islam didalam kehidupan di tengah-tengah

masyarakat Hindu dan bagaimana potret Islam sekarang.

II Metodologi Metode penelitian yang digunakan adalah metode sejarah yang

meliputi empat tahap yaitu : Heuristik, Kritik, Analisa dan Pemeriksaan.

Bahan-bahan berupa dokumen dan tulisan-tulisan lainnya dianalisis dengan

mempergunakan teori sosial.Penelitian juga dibantu dengan metode surve ke

kantong-kantong Islam Tradisional di Bali.

III Uraian

3.1 Kerjasama dan Kolaborasi Budaya

Masyarakat Islam Bali meskipun jumlahnya relatif kecil

(minoritas), tetapi sejak lama telah memainkan peran yang penting terutama

di daerah pesisir, khususnya dalam bidang ekonomi.Kehadiran kelompok-

kelompok Islam secara historis tidak pernah dipermasalahkan.Hal ini karena

adanya entitias politik yang menjadi patron yaitu beberapa puri di Bali1.

Demikian juga adanya kultur pertukaran (culture of change) antara

masyarakat Islam dan masyarakat Bali lainnya dalam berbagai aktifitas

sosial, politik, budaya, maupun ekonomi. Kehadiran masyarakat Islam di

Bali kontributif terhadap sistem ekonomi masyarakat Bali dan terlibat dalam

struktur pertukaran sosial-ekonomi yang terbangun sejak lama.Hubungan ini

menampakkan relasi sosial antar etnik lebih bersifat kolaboratif dibanding

kompetitif.

Kelangkaan sumber daya manusia (SDM) dengan kompetensi

tertentu seperti pedagang dan aktifitas maritim yang perntah terjadi dalam

sistem ekonomi dan politik Bali, membuat satu-satunya pilihan yang

tersedia secara historis adalah orang-orang Islam ini. Selanjutnya terjadi

kerjasama dan kontak-kontak lewat pranata tradisional sekaa, subak, banjar

yangada di Bali2.

Demikian juga terjadi kontak-kontak kultural melalui ―cultural

broken‖ (pialang budaya) seperti ulama, haji, tokoh puri, tokoh-tokoh yang

lainnya saling mengadakan kontak kultural, saling memberi dan menerima

1Masyarakat Islam di Kepaon, Suwung, Serangan, mempunyai hubungan Sejarah dengan

Puri Pemecutan di Badung. Demikian juga masyarakat Islam lain di Bali, mempunyai patron puri

(istana) sebagai pelindung.

2Sekaa, Subak, Banjar adalah pranata atau organisasi sosial yang bersifat sukarela salam

masyarakat Bali yang ada sampai sekarang lihat I Gst Ngr Bagus, kebudayaan bali, dalam

Koentjaraningrat Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan, 1975

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 145

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

unsur budaya masing-masing. Hal ini kemudian berkembang sebagai alat

untuk mendekatkan diri menuju kehidupan bersama yang bersifat trans

etnik, multikultur, menuju terwujudnya komunitas yang lebih luas yaitu

masyarakat Bali yang mandiri (sivil society), menjadi komunitas bangsa.

Islam yang berkembang di Bali saat ini dominan berasal dari Jawa

yang merupakan pengaruh Islam budaya, para ahli sering menyebut Islam

Walisongo yang berkembang pada masa Majapahit di Jawa.Menurut Agus

Sunyoto (Kompas, 6-12-2016) sebutan Walisongo sebetulnya mengambil

petikan pada Sembilan pengaruh yang digambarkan pada simbol ―Surya

Majapahit‖.Memang dalam dunia perkembangan Islam sangat menarik

untuk diteliti karena terdapat variasi-variasi geografis yang amat luas dan

populaisnya mendunia dan melanda semua ras.Keberadaan Islam di pesisir

Bali sejak lama dapat dikatakan kasus unik, dimana komunitas Islam mampu

bereksistensi dengan komunitas Bali yang memiliki identitas budaya

sendiri.Hubungan dan kontak-kontak budaya ini merupakan variasi yang

menarik.Varian Islam yang mengarah ke sinkretisme sampai ke Islam

modern yang menuju ke ortodoksi.Raja-raja Bali sejak dahulu sangat toleran

terhadap masyarakat Islam dan melindungi Islam dengan baik. Raja

mengharapkan masyarakat Islam melakukan kewajibannya dengan baik

sebagai muslim (Korn, 1932).

Karakter Islam Bali yang dibawa oleh Wali Songo sebagai Islam

yang harmoni, akulturatif, adaptif, dan toleransi, di Bali bukan hanya

sekedar wacana, tetapi merupakan praktek dalam kehidupan keseharian.

Penekanan pada toleransi juga dikatakan oleh sejarawan Prancis Lombard,

yang mengatakan bahwa banyak elemen Majapahit yang dipakai oleh

Islam.Disamping simbol surya Majapahit, juga sistem pesantren yang

merupakan warisan Hindu-Budha (Lombard, 1999).3

Pembawa Islam dari Jawa mengutamakan pendekatan damai.

Abdurachman Wahid dalam bukunya : Menggerakkan Tradisi, menyebut

pendekatan ini mengena di hati warga nusantara yang bercampur dengan

kepercayaan lokal Hindu-Jawa. Dalam perjalanan sejarah yang

panjang.Islam Bali sejak abad ke-16, Islam yang bernafas tasawuf ini

bertumpang tindih dengan pandangan masyarakat lokal Bali.Pada awal-awal

Islam masuk ke Bali sinkretisme memang mewarnai interaksi dengan

masyarakat Bali.sebaliknya masyarakat Bali juga banyak mengadopsi

tradisi-tradisi Islam. Sebuah fakta dapat dilihat bahwa mantra-mantra pada

dukun pengobatan Bali selalu menyebut Muhammad pada awal-awal

pengobatannya.Penghormatan pada masyarakat Islam juga dapat disaksikan

sampai sekarang ada beberapa pura yang didalamnya ada pemujaan terhadap

Islam yang sering disebut ―Ratu Mekah‖ seperti di Bangli, Buleleng, Sanur,

Ubung (Denpasar) dan lainnya.

Sepertinya pernah dikatakan oleh Abdurachman Wahid, hakekat

muslim adalah memberi kedamaian untuk sesama. Tidak hanya bermanfaat

3Dalam konsep Hindu-Budha, Surya Majapahit menggambarkan Sembilan dewa yaitu :

Wisnu (Utara), Iswara (T.Laut), Sambu (Timur), Maheswara (Tenggara), Brahma (Selatan), Rudra

(B.Daya), MAhadewa (Barat), Sankara (B. Laut) dan Ciwa sebagai titik pusat. Lihat Agus Sunyoto

Kompas, 6-12-2016.

146 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bagi agama yang dianut saja, melainkan para pengikut agama lain.

Menghargai ajaran dan keyakinan agama yang berbeda tidak lantas mengiris

keimanan seseorang, bahkan akan makin meningkatkan spiritualisnya

(Rachmanto, Bali Post, 8-1-2018). Pikiran dan gagasan Abdurachman

Wahid diatas ternyata sangat kontekstual dengan kondisi Bali sekarang.

Masih relevan kiranya pendapat Abdurachman Wahid ini jika

dikomparasikan dengan kenyataan masa kini di Bali, saat Islam bersahabat

dengan lingkungan dan kultur Bali. disini pendekatan budaya yang menonjol

yang mengena dihati masyarakat.

Dari data sejarah, sejak awal masyarakat Islam masuk ke Bali

sudah memperlihatkan watak yang kolaboratif, bukan konfrontatif.Mereka

melakukan kontak kultural, saling menerima dan memberi unsur-unsur

budaya masing-masing.Dalam bidang sosial-ekonomi mereka sama-sama

menjadi anggota dan pengurus subak (organisasi pengairan masyarakat

Bali). Clifford Geertz menyebut kolaborasi ini karena sama-sama menjadi

anggota organisasi sukarela (seka), menjadi anggota kekerabatan dan

organisasi petani lainnya (Geertz, 1959 : 991-1012). Sehubungan dengan

organisasi petani (subak), di Jembrana, orang-orang Islam sudah lama

menjadi anggota dan pengurusnya, seperti yang diketemukan oleh Grader di

Banyubiru. Dalam artikelnya yang berjudul : The irrigation system in the

region of Djembrana, Grader mengatakan antara lain :

―Though there no subaks in Djembrana consisting entirely of

Muslims, there are association there and there were their

proportion is fairly high. The subaks of Yeh Anakan, in the vicinity

of Muslems settlement of Banyubiru, it‘s the largest proportion of

muslems members, sixty percent of the total. The board of the

subaks contains the following, fungtionaries : kalian subak (Bali

Islam). Assosiation klian (Bali Hindu, and there assistant (Bali

Islam) (Grader, 1960 : 285)‖

Beberapa simbol kolaborasi ini dapat dilukiskan pulapada dua buah

manuskrip yang sekarang tersimpan di perpustakaan Kirtya di Singaraja

yaitu : ―Pepalihan Gama Bali Ring Gama Selam‖, dan sebuah lagi yang

berjudul : Ahmad Muhammad, secara garis besarnya kedua manuskrip ini

menceritakan dua orang bersaudara yang satu beragama Hindu, dan yang

lain beragama Islam.Keduanya hidup berdampingan secara damai.

Perpaduan antara unsur Islam degan unsur Hindu dalam abad 18

juga tercermin dalam komplek beberapa pura yang pada bagian dalamnya

terdapat bangunan pemujaan Islam dalam bentuk langgar.Yang dihormati

dalam pura langgar (atau yang dipuja).Adalah leluhur yang beragama Islam,

tetapi dihormati atau dipuja juga oleh umat Hindu.Terkadang juga didalam

pura di Bali terdapat bagian yang memuja atau tempat pemujaan ―Ratu

Mekah‖. Pura Meru di pantai Seseh Mengwi Kabupaten Badung dan Pura

―Taman Suci‖ di kota Denpasar dipuja oleh umat Islam di sekitarnya karena

mereka percaya bahwa orang yang di ―meru‖kan atau dihormati adalah

orang yang beragama Islam.

Penggunaan bahasa Melayu yang identik dengan Islam juga

dipakai tidak saja dalam bahasa pergaulan atau ―lingua franca‖, tetapi juga

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 147

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dipergunakan dalam sastra-satra merupakan kolaborasi budaya yang sangat

menarik. Terjadi akulturasi dalam sastra Bali – Melayu (Islam) dalam

bentuk geguritan.

Geguritan merupakan jenis sastra (genre) yang mengandung unsur-unsur

bahasa Melayu (Islam).Keunikan dari geguritan ini ditulis dalam huruf /

aksara Bali dengan menggunakan bahasa Melayu yang menerangkan

berbagai ajaran Islam dan juga beberapa aspek Islam.Seperti contoh kisah

Nabi Muhammad SAW yang dinyanyikan dengan tembang khusus yang

bernama Tembang Amat. Geguritan Tamtam, berkisah tentang tokoh

Tamtam yang masuk Islam dan belajar Islam sampai ke Istana Prabu Mesir.

Pengaruh lain yang berhubungan dengan Melayu (Islam) adalah

praktek dukun yang memperaktekkan ritual yang Islam yang sering disebut

―nyelam‖. Hubungan antara Islam dan pengobatan diabadikan dalam satu

etimologi Loloan di Jembrana yang berasal dari kata loloh, sebuah kosa kata

bahasa Bali yang berarti ―ramuan‖ atau ―obat‖ yang diberikan oleh dukun

muslim di Loloan (Jembrana) (Suwitha, 1983 : 189).

Dalam praktek Balian (dukun) yang nyelam selalu menyebut

figure, formula, dan nama Islam. Islam adalah kekuatan eksotis asing yang

berbeda dengan praktek dukun Bali, dan perbedaan ini dianggap lebih.Ini

merupakan gagasan kunci dalam praktek ilmu pengobatan di Bali.dualitas

foundamental berdampingan dapat dimanfaatkan untuk meraih pembebasan

magis atau control atas elemen-elemen natural dan supernatural. Dengan

demikian menjadi penting bahwa Islam tetap berbeda, tetapi serentak

dengan itu pula diakrabi. Begitu akrabnya sampai sampai diperhitungkan

sebagai unsur kekuatan leluhur pada sementara kelompok (Adrian Vickers,

2009 : 407).

Praktek ilmu gaib Islam dan figure balian kemungkinan besar

adalah sumber dari banyak mantra ―Islami‖ yang terdapat dalam berbagai

manuskrip usada (pengobatan) yang ada di Bali. Hooykaas seperti yang

dikutip oleh Adrian Vickers meneliti sejumlah manuskrip (lontar) yang

khusus mencurahkan perbuatan pada aktifitas dukun beranak tentang

kehamilan dan persalinan yang selalu menyebut ―asma Allah‖ dan

―Muhammad‖ (Vickers, 2009 : 38).

Dalam tuturan yang lebih mendalam penggunaan berbagai identitas

Islam dalam ―konsep Kanda Empat‖ di Bali sangat menarik untuk

dicermati.―Kanda Empat‖ adalah empat saudara mistis yang mendampingi

ego setiap orang Bali dalam perjalanannya menempuh kehidupan sampai

dengan kematian.Empat saudara kandung harus ditentramkan dan dirangkul

secara harmoni melalui ritual kehidupan. Nama-nama saudara empat ini

sering disebut dalam tradisi Islam seperti : Jibrail, Mikail, Sarapil ,dan Israil

dan sebagainya yang berkonotasi Islam.

Teks-teks Islam dalam praktek Balian islam yang umum di Bali

pada masa lalu, mengilustrasikan betapa kesadaran tentang Islam telah

menjadi bagian dari apa yang disebut oleh Adrian Vickers sebagai agama

popular di Bali. mengingat kecilnya ukuran pulau Bali dan kepadatan

penduduknya yang tinggi sejak jaman pra kolonial, hampir-hampir tidak

mengejutkan bahwa ciri Islam banyak ditemukan dalam ritual penyembuhan

dan ritual lainnya di pelosok Bali (Vickers, 2007 : 39).

148 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pengaruh Islam dalam Usada (pengobatan) tradisional juga

ditemukan oleh peneliti Wayan Jendra dari Universitas Udayana. Dalam

Manuskrip (lontar) usada manual, banyak ditemukan kata-kata yang

menyebut nama Allah. Pada lembar pertama (I a) manuskrip ini

menyebutkan mantra yang berbunyi sebagai berikut :

―Ong tutup kancing buana Allah

Buana keeling, tutupan Gedong

Allah wuwus pepet, sariname

Sianu teke pepet (Wayan Jendra, 1981 ― 84)‖

Mantra diatas ini adalah mantra yang diperuntukkan bagi seorang calon ibu

yang hamil, supaya kandungannya kuat, tidak keguguran.

Bila kandungan seorang ibu sudah berhasil sampai

menjelang kelahiran bayinya, maka sebelum bayi lahir dibuat lagi

mantra.Mantra ini sebagai pembuka supaya jabang bayi lahir

dengan lancar. Mantra pembuka berbunyi sebagai berikut :

―Buka aku kancing Allah Rasullullah‖

Maka dilanjutkan setelah bayi lahir, baukan pengobatan berupa air

yang ditempatkan dalam sebuah wadah, diminumkan kepada Ibu,

sisanya untuk mencuci kemaluan si Ibu. Mantra lanjutan sebagai

berikut :

―Allah, uung, mang, bungkah kancing Allah

Kancing Muhammad, opan aku ngedeg duwa

Pamungkah kancing Muhammat

(Jendra, 1981 : 86)

Pemakaian kata-kata Allah, Muhammad, Rasulullah memberi

petunjuk bahwa pengobatan (usada) dalam proses persalinan (manak)

dipengaruhi oleh Islam. Kata-kata itu makna yang erat hubungannya antara

pengobatan dan konteks keagamaan.Adanya pengaruh budaya Islam adalah

salah satu hal yang wajar dalam dinamika kehidupan antara masyarakat

Islam dan masyarakat Bali Hindu.Tidak ada kebudayaan yang luput dari

pengaruh-pengaruh sesamanya.

Tradisi lokal yang menarik adalah persaudaraan antara masyarakat

Islam dengan masyarakat Bali yang disebut ―menyama braya‖ yang

berkembang luas di Bali Selatan.Ikatan ―menyamabraya‖ berkembang

menjadi ikatan yang merekatkan masyarakat Bali dengan pendatang.Nyama

adalah saudara dekat secara biologis karena hubungan perkawinan. Braya

adalah saudara dekat karena tetangga, karena pekerjaan dan ikatan sosial

yang lain.

Wilayah Bali Selatan secara geografis merupakan pelabuhan alam

yang berfungsi sebagai pelabuhan tradisional sejak lama.Sudah sejak lama

terjadi percampuran budaya di kawasan pesisir Badung dan Denpasar

sekarang.Percampuran antara Islam, Melayu, Cina, Arab yang melahirkan

budaya Mestizo.Budaya mestizo merupakan budaya campuran yang

menghasilkan budayadan adat istiadat yang berbeda dengan daerah Bali

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 149

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lainnya. Bali Selatan sekitar Teluk Benoa sudah lama menjadi tempat silang

budaya dan kontak-kontak peradaban, meminjam konsep Restu Gunawan

(Kompas, 15 Januari 2016), laut bebas ini bukan sekedar laut perdagangan

tetapi juga laut peradaban. Tidak berlebihan Bali Post edisi 3 Juli 2015

menyebutkan laut sekitar Teluk Benoa sebagai ―Beranda Pulau Dewata‖.

3.2 Pemertahanan dan Perubahan Identitas

Secara historis penduduk yang beragama Islam di Bali dibagi

menjadi dua kelompok besar.Kelompok pertama, penduduk yang sekarang

merupakan keturunan para pendatang abad 17-18, sering disebut orang

kampung.Kebanyakan dari mereka berasal dari Sulawesi Selatan,

Kalimantan Barat, Sumatera, Arab, Melayu. Kelompok ini mendiami

kampung-kampung Islam seperti Loloan (Jembrana), Pegayaman

(Buleleng), Toyo Pakeh, Gelgel, Kusamba (Klungkung), Serangan, Kepaon,

Suwung, Tanjung Benoa (Badung/Denpasar).

Para peneliti tentang Bali menyebut kelompok ini Bali Islam

(Korn, 1932; Grader : 1960; Barth, 1988) atau juga disebut Bali Melayu

(Bagus, 1978 ; Sumarsono, 1978). Sebutan Bali Islam atau Islam Bali

(muslim Bali) sesungguhnya berasal dari terminologi lama atau muslim

kuno yang mempunyai ikatan genealogi, kekerabatan dan menyamabraya

(keluarga dekat) dengan masyarakat Bali. hakekatnya secara historis kultural

bagian integral dari masyarakat Bali. secara geografis mereka tidak

mempunyai asal-muasal di luar Bali, sehingga mereka menyebut diri orang

Bali. biasanya diikuti dengan dengan daerah asalnya di Bali yaitu misalnya

dari Loloan, dari Kepaon, Serangan dan lainnya.

Kelompok kedua mereka yang datang ke Bali akhir abad 19, awal

abad 20, karena didorong oleh sebab-sebab sosial ekonomi.Merkea berasal

dari Sasak (Lombok), Madura, dan Jawa Timur lainnya.Tempat tinggal

mereka sekarang menyebar di desa-desa pantai di Jembrana,

Buleleng.Kelompok kedua ini ditambah dengan mereka yang datang setelah

tahun 1970 an karena perkembangan pariwisata yang pesat di Bali.kelompok

ini sering disebut muslim di Bali.

Dalam kajian post modernism, identitas sesungguhnya tidak

bersifat tunggal (multi identitas) dan setiap budaya bersifat multikultur.

Identias memang merupakan kebutuhan esensial setiap individu atau

kelompok.Dalam kaitan dengan masyarakat Islam di Bali, petanda utama

identitas adalah budaya dan bahasa.Bahasa merupakan salah satu alat

pengidentifikasi ciri-ciri yagn paling meluas. Menurut Kramsch (dalam

Suastra, 2010 : 4) bahasa sebagai sistem tanda untuk megnungkapkan,

membentuk, dan menyimbulkan realitas budaya. Dalam hal ini identitas

masyarakat Islam di Bali bersifat cair, dinamis, dan variatif, identitas

sengaja dibentuk, bukan warisan (given), Bourdieu (1986), Madan Sarup

(1987) mengatakan identitas itu tidak pernah tetap, selalu berubah-ubah,

tidak utuh, tidak satu, tetapi fabricated atau constructed dan terus digodok

oleh proses sesuai dengan kebutuhan. Bahkan Barth (1988) berpendapat

bahwa identitas dan etnisitas, bukan hanya bersifat askriptif melainkan

perjuangan politik untuk memperebutkan sumber daya ekonomi dan politik.

150 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Mencermati konsep diatas, dapat dipakai sebagai acuan untuk

melihat perubahan identitas masyarakat Islam di Bali.suatu hal yang

menarik dalam perubahan identitas ini dipergunakan bahasa Melayu oleh

masyarakat Islam khususnya di Jembrana. Bahasa Melayu Bali oleh

beberapa peneliti sering disebut bahasa khas ―Loloan‖ (Bagus, 1978,

Sumarsono, 1978).Bahasa ini dipergunakan sebagai ―lingua franca‖ oleh

para pendatang yang mendiami desa-desa pantai di Jembrana.Bahasa ini jika

diselidiki lebih lanjut ternyata banyak mengandung unsur-unsur bahasa

Bugis-Makassar maupun Melayu.Kelompok penutur bahasa Melayu (dialek

Loloan) hidup dalam kesatuan sosial yang tidak berdasarkan ikatan

kekerabatan, tetapi ikatan tempat kehidupan (geografis) dan agama.Dalam

perkembangan kemudian, penutur bahasa Melayu tidak mau disebut Bali

Islam.Alasan mereka sangat praktis, karena sebutan itu terlalu

menjolok.Mereka lebih senang disebut ―nak kampung‖ yang artinya orang

kampung.Pada masa orde baru, situasi pembangunan pada masa itu (1969-

1998), rupanya berpengaruh terhadap sikap masyarakat setempat. Timbul

anggapan bahwa nama ―nak kampung‖ tidak sesuai dengan zamannya. Ada

anggapan bahwa orang kampung berarti orang desa. Pada umumnya mereka

tidak senang lagi disebut orang desa, karena itu mulai popular dengan nama

Melayu Bali. dalam kaitan dengan identitas Melayu, seperti yang dikatakan

oleh Andaya dan Andaya (dalam Ardhana, 2010 : 13) bahwa mereka juga

didifinisikan sebagai muslim yang berwujud melayu seperti halnya di Sabah,

dalam hal di Bali menjadi Melayu Bali.

Dalam jaman kerajaan abad 18-19 mereka disebut wong suanantara

/ wong dura negara (orang asing luar Bali), seperti Bugis, Mandar,

Makassar, Arab, sesuai dengan etnisnya. Penggunaan penanda-penanda

identitas memang memiliki kecenderungan berubah-ubah.Sekarang

kecenderungan memilih asal-usul mereka sebagai identitas yang berkelindan

dengan agama seperti Islam dari Loloan, Islam dari Kepaon dan seterusnya.

Beberapa orang yang diwawancarai mengaku sebagai orang Islam dari Bali,

seperti penjelasan dibawah ini :

―Saya orang Bali yang lahir di Serangan (Denpasar)

Saya tidak tahu dari mana leluhur saya berasal

Yang jelas saya lahir di Serangan,

Sebagai orang Bali yang kebetulan beragama Islam,

Sama seperti orang Bali lain yang beragama Hindu

Atau beragama Kristen‖

(Ahmad Sastra, 70 tahun)

Tokoh Islam lain yang diwawancarai, juga menyebut diri orang Bali yang

beragama Islam, seperti pengakuannya dibawah ini :

―Saya lahir di Kepaon (Denpasar), saya tidak

begitu tahu dari mana saya berasal. Tetapi ibu

Saya orang Bali yang beragama Hindu. Ayah saya

katanya dari Palembang yang beragama Islam.

Saya diasuh dan dibesarkan oleh Kakek saya

Yang beragama Hindu. Bahasa sehari-hari saya

Adalah bahasa Bali‖.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 151

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(Padani, 65 Tahun)

Kerinduan pencarian identitas baru di tengah gemuruhnya dunia

tanpa sekat yang bernama globalisasi, membangun identitas baru sebagai

pertahanan globalisasi pariwisata yang melanda Bali.identitas Bali, identitas

Islam, identitas Melayu dimainkan dan ditukar-tukar silih berganti.

Pariwisata yang tadinya merupakan dunia negatif bagi masyarakat Islam,

sekarang sudah menjadi bagian dari dunia Islam di Bali.―Kue Pariwisata‖

juga mulai diminati oleh masyarakat Islam (Adnan, 1997).

Ketika bom bali meledak tahun 2002 dan 2005, keadaan cepat pulih karena

masyarakat Islam di Bali bahu-membahu memulihkan keadaan lewat para

tokoh agama (Haji Bambang, 2015, Wildaniyati, 2017).

Bersamaan dengan datangnya pelajar dan mahasiswa Islam dari

pesantren-pesantren di Jawa, mereka menguatkan identitas Islam Bali, Islam

yang berasal dari Bali.ketika Lebaran (Idul Fitri), justru orang-orang Islam

yang berasal dari Bali mudik ke Bali, ke kampung-kampung Islam yang

tersebar di Bali. sekarang ada fenomena baru, banyak orang-orang Islam

yang menempati perumahan seperti ―BTN‖, karena tanah Bali makin

terbatas, mereka menyebut diri Islam ―BTN‖.

IV Kesimpulan

Kehidupan masyarakat Bali sampai sekarang masih dilandasi oleh nilai-

nilai budaya yang tercermin dalam tata kehidupan dan tata pergaulan gotong

royong.Gotong royong dan kerjasama ini melibatkan lembaga-lembaga sosial

seperti banjar, desa adat, seka, subak dan organisasi sosial lainnya.Hubungan

sosial harmonis ini menembus batas-batas agama.Kolaborasi masyarakat Islam

dan masyarakat Bali merupakan mainstream, seperti dikatakan oleh Lombard

(1999) masyarakat Islam di Bali berada di luar Islam dan tidak bisa dijelaskan

dengan teori-teori yang ada.

Dari beberapa fakta diatas, terutama bagaimana dinamika identitas

masyarakat Islam dalam rangka kebertahanan, sesungguhnya dapat dilihat dari

makna transformatif.Sebuah kecenderungan / trend, sebuah pembaharuan dalam

hubungan dengan usaha mencari etika baru, untuk mencari nilai-nilai baru dengan

kenyataan yang aktual.Roland Robertson menyebut hal ini sebagai ―Ascetic

Mistic‖.Pariwisata yang pada sebagai masyarakat Islam dianggap ―tabu‖, sebagian

besar sudah diterima oleh masyarakat Islam di Bali.Islam dan pariwisata

merupakan penghadapan terbaru masyarakat Islam di Bali dalam membangun

multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

C.J. Grader, ―The Irrigation System in Jembrana‖, dalam Swellengrebel (ed.), Bali

Studies; Life, Thought and Ritual, The Hague, 1960.

V.E. Korn. Het Adatrecht van Bali. u‘Gravenhage : C. Naeff, 1932.

Ardhana, I Ketut dkk. Masyarakat Multikultur Bali : Tinjauan Sejarah, Migrasi,

dan Integrasi : Pustaka Larasan, 2011.

Lombard, Denys. Nusa Jawa Silang Budaya. Vol.I. Jakarta : Gramedia, 1999.

Vickers, Adrian. ―Hinduism and Islam in Indonesia : Dalam Indonesia No. 44‖,

1987.

152 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

_________. Peradaban Pesisir Menuju Sebuah Budaya Nusantara. Denpasar :

Pustaka Larasan, 2009.

Clifford Geretz. ―Gorm and Variation in Balinese Village Structure‖.American

Anthropology, No. 61, 1959.

Wildaniyati. Dinamika Kerukunan Antar Umat Beragama : Eksistensi Masyarakat

Islam di Bali Pasca Bom 2002 – 2012. Skripsi, Udayana, 2017.

Bagus, I Gusti Ngurah. ―Kebudayaan Bali‖, dalam Koentjaraningrat, Manusia dan

Kebudayaan di Indonesia. Jakarta : Jambatan, 1975.

Adnan, H.S. Habib. Islam dan Dinamika Kehidupan.MUI Bali, 1997.

Bagus, I Gusti Ngurah, Sekilas Tentang Latar Belakang Sosial Budaya dan

Struktur Dialek Melayu Bali.laporan Penelitian, 1978.

Jendra, I Wayan. Pengaruh Agama Islam Dalam Uada Tradisional Bali : Suatu

Studi Kasus Dalam Usada Manak. FS, 1981.

Sumarsono. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan-Bali. Jakarta : Pusat Bahasa,

1993.

I Putu Gede Suwitha, ―Islam dan Perahu Pinisi di Selat ali‖, dalam Masyarakat

Indonesia, Th. X, No. 1, 1983. Jakarta : LIPI.

Kompas, 6-12-2016.

Kompas, 15-01-2016.

Bali Post, 8-01-2018.

Bali Post, 03-07-2015.

Suastra, I Made. Bahasa Bali Sebagai Simbol Idenditas Manusia Bali.Denpasar :

Makalah, 2008.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 153

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

BENANG MERAH SASTRA LISAN NUSANTARA: STUDI KASUS

CERITA RAKYAT

CORO ILA DAN I BELOG MANTU

I Wayan Cika

Program Studi Sastra Indonesia, FIB Unud

[email protected]

ABSTRAK

Berdasarkan perbandingan antara cerita rakyat Coro Ila (dari

Bima) dan I Belog Mantu (dari Bali) ditemukan adanya hubungan.

Hubungan itu terlihat dalam bentuk tema, latar, dan penokohan.

Tema kedua cerita adalah sama, yakni menyunting seorang gadis

dengan cara tipu daya. Latar kedua cerita pun nuansanya sama,

yaitu sama-sama terjadi di sebuah tempat keramat pada malam hari.

Hubungan aspek penokohan tercermin, baik dari segi fisik maupun

psikisnya. Unsur perbedaannya terletak pada latar cerita, yakni

dalam cerita rakyat Coro Ila terjadi di sebuah pohon sedangkan

dalam cerita I Belog Mantu terjadi di sebuah merajan (tempat

sembahyang umat Hindu). Selain itu, kata-kata atau ungkapan

yang digunakan dalam cerita Coro Ila bermakna denotatif

sedangkan dalam cerita I Belog Mantu banyak ditemukan kata yang

bermakna ambigu, terutama ketika I Belog memperdaya calon

mertuanya.

Kata-kata kunci: Coro Ila, I Belog Mantu, tipu daya,

kesinambungan, pemisahan.

1. Pendahuluan Cerita rakyat adalah salah satu genre sastra lisan yang terdapat di seluruh

wilayah Nusantara. Cerita rakyat itu memiliki bentuk dan jenis yang beraneka

ragam. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini akan dicoba ditelusuri cerita rakyat

Bali yang berjudul I Belog Mantu dan cerita rakyat daerah Donggo, Kabupaten

Bima, NTB yang berjudul Coro Ila. Cerita rakyat I Belog Mantu diangkat dari

Satua-satua Sane Banyol ring Kesusastran Bali yang dikumpulkan oleh I Gusti

Ngurah Bagus dan diterbitkan oleh Balai Penelitian Bahasa Singaraja, l976;

sedangkan cerita rakyat Coro Ila yang diangkat di sini adalah cerita rakyat yang

telah ditransliterasikan oleh Ni Putu Asmarini, dkk. yang dimuat dalam laporan

hasil penelitiannya yang berjudul ―Sastra Lisan Donggo‖ (l994/l995); Kedua

cerita tersebut cukup menarik. Di dalamnya dilukiskan cara-cara untuk

mempersunting seorang gadis dengan motif tipu daya. Kedua tokoh utama dalam

cerita tersebut memiliki cita-cita yang tinggi, yakni untuk mempersunting gadis

cantik yang disegani di desanya. Padahal dari segi fisik, kedua tokoh utama itu

termasuh tokoh hina. Oleh karena itu, untuk mempersunting gadis yang cantik di

desanya, mereka menggunakan motif tipu daya.

154 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Berdasarkan uraian tersebut, kedua cerita memiliki motif-motif persamaan

(hubungan), baik hubungan tema dan amanat, hubungan latar, maupun hubungan

penokohan, di samping juga ada perbedaannya terutama cara penyajiannya dan

tempat terjadinya peristiwa. Untuk itu, masalah yang akan dibahas adalah sejauh

mana hubungan antara cerita rakyat cerita rakyat Coro Ila (dari Bima) dan cerita

rakyat I Belog Mantu (dari Bali) dan

II. METODOLOGI

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan di atas, kedua cerita itu

mempunyai hubungan secara tekstual. Oleh karena itu,dalam kesempatan ini akan

dicoba dianalisis dengan menggunakan teori intertekstualitas. Teori

intertekstualitas maksudnya adalah untuk mengetahui sejauh mana hubungan

kedua cerita tersebut. Teori ini diguakan karena kedua teks diprediksi

mempunyai hubungan tertentu dengan teks-teks lain, misalnya hubungan tema,

penokohan, dan unsur-unsur intrinsik lainnya. Telaah interteks berangkat dari

asumsi bahwa kapan pun sebuah karya ditulis, termasuk karya sastra, tidak

mungkin lahir dari kekosongan budaya. Karya itu merupakan respons pada karya

sastra yang terbit sebelumnya (Teeuw, dalam Ratih, l994:177). Tidak ada sebuah

teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti bahwa penciptaan dan

pembacaannya tidak dapat dilakukan tanpa adanya teks-teks lain sebagai contoh,

teladan, kerangka karya sastra yang ditulis kemudian, bisanya mendasarkan diri

pada karya-karya lain, baik secara langsung maupun tidak langsung

(Nurgiyantoro, l995:51). Menurut Kristeva (dalam Junus, l985: 87—88),

intertekstualitas adalah kehadiran suatu teks pada teks lain. Hal itu dapat ditandai

oleh adanya petunjuk yang menunjukkan hubungan, persambungan, dan

pemisahan antara suatu teks dengan sebuah teks yang pernah ada.

III. PEMBAHASAN

3.1 Hubungan Tema dan Amanat

Tema dan amanat dapat dirumuskan dari berbagai peristiwa, latar, dan

penokohan. Tema adalah inti permasalahan yang hendak disampaikan pengarang

dalam karyanya. Oleh sebab itu, tema merupakan hasil konklusi dari berbagai

peristiwa yang terkait dengan penokohan dan latar (Hasanuddin, l996:103).

Setelah dirumuskan dari berbagai peristiwa, maka cerita Coro Ila dan I Belog

Mantu mempunyai tema yang sama, yaitu ‖mempersunting seorang istri dengan

cara tipu daya‖. Namun demikian, masih tampak ada sedikit perbedaan, terutama

dalam teknik penyajian peristiwa. Dalam cerita Coro Ila, semula Hasan (tokoh

utama), tampaknya tidak mungkin menikah dengan Aminah, karena adanya

perbedaan status antara keduanya. Hasan dikenal sebagai orang hina, sakit-

sakitan, dan sangat miskin; sedangkan Aminah anak kepala kampung, kaya, dan

disegani di desa itu. Akan tetapi, dengan tipu dayanya itu, Hasan dapat menikahi

Aminah. Hal itu dapat dilihat dalam kutipan berikut.

Ade ngadi kai ai la Hasan lao nee aka fuu mangge sampe taese elona labo

kani maburu, ese fuu la Hasan kanggica labo nggahira. Hasa Eeeee menana dou

mawara di kampoe itadoho musti kanikamu la Hasa mbonco labola Aminah ana

doumanae kai rasa, watisi kanikamu rasa ake pede nawara bala diwaa ba mada,

saraana dou mawara ade rasa wancuku wedina ringana eli mandede nae, ringana

eli mandede nae dou ade rasa haroci roci lao ngoa doumanae kai rasa. Edempara

au mandadi doumanae kai rasa kaboro saraana dou ma loa loa ade rasa ede, mabe

dou ma disa kau lao tio deniku aka hidi wara kai douma kanggica, edempara lao

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 155

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sabua sando mawancuku loa ade rasa ede aka kompe wara kai dou ma kanggica

kande. Waumpara sado rongga aka hidi akande, edempara edana wara nipu

mabura ma nggoncu ese elo fuu mangge, nihu mabura ede nakauku dou mawara

taawa fuu mangge kanikapu la Hasan labo la Aminah (Asmarini, l994/95:93).

Terjemahannya:

Pada tengah malam yang gelap, pergilah Hasan memanjat pohon asam

dan duduk di atas pohon itu dengan berkerudung kain putih. Hasan dengansuara

lantang berteriak. ―Hai Bapak-bapak-ibu-ibu seluruh masyarakat penduduk desa

ini, kawinkanlah Hasan Mbonco dengan Aminah anak kepala kampung. Apabila

tidak, bala dan bencana akan saya tuangkan dan limpahkan di desa ini. Semua

masyarakat kaget mendengar suara yang begitu besar dan lancang. Akhirnya,

masyarakat di desa itu berembug dan melaporkan kejadian itu kepada kepala

kampung. Malam itu juga kepala kampung mengumpulkan para pemuka desa,

dan kepada yang berani disuruh menyelidiki, apa gerangan yang terjadi di pohon

itu. Berangkatlah seorang dukun terkenal dan melihat-lihat ke atas pohon. Pohon-

pohon itu dilihatnya satu per satu, dan ternyata ada satu bayangan putih yang

sedang berteriak-teriak dan menginstruksikan agar masyarakat kampung mau

mengawinkan Hasan dengan Aminah (Asmarini, l994/95: 116—117).

Setelah mereka menikah, Hasan tetap berkeinginan untuk membalas sakit

hatinya. Ia masih tetap teringat akan sakit hatinya ketika ia dihina oleh mertuanya

sebelum menikah. Oleh karena itu, ia membuat tipu daya. Hasan membeli ikan di

pasar, kemudian ia melapor kepada istrinya, bahwa ikan yang dibawa itu adalah

hasil memancing di sungai. Melihat kejadian itu, Aminah tertarik, lalu

menyampaikan kepada ayahnya. Ayahnya pun tertarik juga; lalu ia membeli alat-

alat memancing dan pergi ke sungai. Begitu ia melemparkan kail ke dalam sungai,

tiba-tiba, secara sembunyi-sembunyi, Hasan menyelam ke dalam sungai itu, lalu

kail itu ditarik. Dalam proses tarik-menarik itu, mertuanya terjatuh lalu dicubit-

cubit. Mertuanya lari tunggang langgang, disangka ada ikan besar yang

mencubitnya. Setelah sampai di rumah, mertuanya baru sadar bahwa yang

mencubit itu adalah Hasan. Kejadian itu akan dibalas oleh mertuanya (Asmarini,

1994/95:119).

Pada suatu ketika, Hasan pergi memancing di tempat yang sama. Ayah

mertuanya pun sudah ada di situ sebelumnya dan melakukan aktivitas sama

seperti yang dilakukan Hasan. Akan tetapi, Hasan tampak lebih cerdik. Ketika

terjadi saling tarik dengan ayah mertuanya, Hasan menghentikan tarikannya,

kemudian mengambil batu dan melempar ikan dalam air bertubi-tubi, sambil

menggerutu ―ikan kurang ajar, ikan kurang ajar‖. Ayah mertuanya muncul tiba-

tiba dan mohon maaf kepada Hasan.

Dalam cerita I Belog Mantu, tipu daya hanya terjadi sebelum I Belog

menikah dengan Ni Luh Sari. Tipu daya itu ada yang berupa ungkapan-ungkapan

yang bermakna ambigu, dalam bahasa Bali disebut raos ngempelin, dan ada juga

yang berupa tindakan. Tipu daya yang berupa ungkapan-ungkapan yang bermakna

ambigu, dapat dilihat pada contoh berikut.

―Apa, tain siape ne tuh-tuh di tembok paone, kadung pang liu kanyahnyah

kakulang, basange bas kalayahane‖ (apa, tai ayam yang kering di tembok dapur,

kebetulan banyak, digoreng seperti kakul, perut kelewat lapar). ―Apa, tain cicinge,

156 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

katumplu iwel manis jaan pesan‖ (apa, tai anjing disodok dodol manis sekali).

―Bapa sing ja bisa apa naar taluh kakul matah-matahan, cara icang kene ngamah

jaja bagina magoreng‖ (ayah tidak bisa makan telur kakul mentah-mentah, seperti

saya makan kue bagina goreng)

Ayah Luh Sari tampaknya kurang jeli menangkap makna ungkapan-

ungkapan itu, sehingga ia tertipu olehnya. Ayah Luh Sari ternyata makan ―tai

ayam yang digoreng‖, ―tai anjing‖, dan ―telur kakul mentah‖. Padahal yang

dimaksud bukan itu melainkan ―kakul yang digoreng‖, ―kue iwel (dodol)‖, dan

―kue bagina yang digoreng‖

Selanjutnya, ayah Luh Sari menyadari bahwa dirinya diperdayai. Oleh

karena itu, ia ingin membalas dengan tipu daya. I Belog diajak pergi ke hutan

mencari ijuk. Setelah tiba di hutan, ayah Luh Sari naik pohon ijuk, sedangkan I

Belog disuruh menunggu di bawah. Dengan begitu, ia mengharap agar I Belog

diterkam macan (Bagus, 1976:45). Setelah dipetik, ijuk itu dijatuhkan. Ijuk itu

dirapikan, digulung, dan I Belog masuk di dalamnya. Kemudian ia menjerit-jerit,

pura-pura diterkam macan. Mendengar kejadian itu, ayah Luh Sari gembira sekali

karena keinginannya untuk membalas dendam terpenuhi. Ayah Luh Sari bergegas

pulang sambil memikul ijuk itu. Ia merasakan bahwa ijuk itu sangat berat, tahu-

tahu setelah tiba di rumah, I Belog muncul dari dalam ijuk itu. Ayah Luh Sari

sangat menyesal, disangka I Belog benar-benar diterkam macan.

Keesokan harinya, ayah LuhSari kembali mengajak I Belog pergi ke hutan

mencari ijuk. Sekarang giliran I Belog yang disuruh naik pohon sedangkan ayah

Luh Sari berada di bawah. Ayah Luh Sari ingin memperdayai I Belog, seperti

yang dilakukan sebelumnya. Setelah ijuk berjatuhan, ayah Luh Sari merapikan

dan menggulungnya, kemudian ia memasukkan dirinya ke dalam gulungan itu,

sambil berteriak pura-pura diterkam macan.

Kejadian itu sudah dibaca sebelumnya oleh I Belog. I Belog pun bergegas

mengambil tali lalu mengikat gulungan ijuk itu dengan keras. Ayah Luh Sari

berteriak kesakitan. Akan tetapi tidak dihiraukan oleh I Belog. Gulungan ijuk itu

diseret bahkan dibanting-banting ketika tiba di rumahnya (Bagus, 1976:47)

Sebelum tercapai niatnya, I Belog masih tetap melanjutkan perjuangannya

dengan tipu daya. Tipu daya itu tampak dalam kutipan berikut.

I Belog buin mangeka daya kalaning peteng, nyingid ia kema kasanggah

bapan Luh Sarine. Macelep kasanggah kamulane, lantas ia ngawe munyi kauk-

kauk ngaukin bapan Luh Sari, manyaru pangandikan Dewa Hyang Gurunne. Kene

munyinne: ―Cai Pan Sari, mai tangkilin ira, ira Dewa Hyang caine. Jani ira

nagihin cai punjung rayunan, mabe siap maguling, yan sing iba ngaturin ira

punjung rayunan jani, sing buungan iba pongor ira‖. (Terjemahan: I Belog

kembali membuat tipu daya di waktu malam, sembunyi ia ke sanggah (tempat

pemujaan Hyang Widi) ayah Luh Sari. Masuk ke dalam sanggah kemulan lalu ia

berteriak keras-keras memanggil ayah Luh Sari, menyamar bagaikan suara Dewa

Hyang Guru. Suaranya begini: ―Engkau Pan Sari, datanglah ke mari, aku Dewa

Hyangmu. Sekarang aku minta santapan nasi berisi ayam guling, jika engkau

tidak menghaturkan sekarang, tidak urung engkau akan kusakiti (Bagus, 1976:48).

Ada lagi permintaan I Belog, seperti tampak dalam kutipan berikut.

Jani ada pakayun ira, ento pianak ibane Ni Sari apang iba ngantenang

teken I Belog, ia mula jatu karmane, da iba bani-bani teken ia I Belog. I Belog

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 157

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

anak ririh pesan madaya. Yen iba buin bani teken ia, sing buungan iba mati. Yen

sing ia I Belog baang iba pianak ibane nganggo kurenan, sing buungan iba lacur

kapegatan sentana, nyen bakal ajak iba manyungsung manira dini di sanggah,

manira duka teken iba. Da iba buin ngalih dewasa, bin telun sakapang ia I Belog

teken pianak ibane! Pragat amonto, kema iba mulihan, jani manira tuun

ngunggahang aturan ibane, sing dadi tongosin dini. (Terjemahan: Sekarang ada

keinginanku, itu anakmu Ni Sari supaya dinikahkan dengan I Belog, dia memang

jodohnya, jangan kau berani dengan I Belog. I Belog pintar sekali berdaya-upaya.

Jika kau berani dengannya, tidak urung kau akan mati. Jika tidak I Belog yang kau

beri anakmu, tidak urung kau sengsara ketinggalan keturunan, siapa yang akan

kau ajak menyembahku di tempat pemujaan ini, aku marah denganmu. Tidak

perlu lagi mencari waktu baik, lagi tiga hari nikahkan I Belog dengan anakmu!

Hanya sekian, pergilah ke kamarmu, sekarang aku turun menyantap suguhanmu,

tidak boleh ditunggu (Bagus, 1976:49).

Pan Luh Sari tampaknya percaya betul dengan suara itu. Akhirnya, ia

menikahkan putrinya (Ni Luh Sari) dengan I Belog.

3.2 Hubungan Latar

Latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu,

dan sosial (Nurgiyantoro, l995:227). Ketiga unsur itu, walaupun menawarkan

permasalahan yang berbeda dan dapat dibicarakan secara sendiri, namun pada

kenyataannya saling berkaitan, dan saling mempengaruhi satu sama lainnya. Hal

itu penting untuk menciptakan suasana dalam karya naratif (Hartoko, l986:78)

Aspek ruang dan waktu dalam cerita Coro Ila, adalah sebuah pohon asam

yang dianggap keramat oleh penduduk setempat. Di atas pohon itu, Hasan duduk

memakai kain kerudung putih, kemudian bersuara keras-keras agar Aminah

dikawinkan dengan Hasan. Peristiwa itu terjadi tepat tengah malam Jumat.

Kejadian itu menyebabkan suasana desa tercekam rasa ketakutan. Demikian pula

kepala kampung menjadi gelisah. Akhirnya, kepala kampung menikahkan putri

kesayangannya dengan Hasan.

Hal seperti itu terjadi pula dalam cerita I Belog Mantu. Peristiwanya

terjadi di sebuah tempat suci (sanggah, merajan) di rumah Pan Luh Sari. Di

tempat itu, I Belog menyamar dan bersuara seperti suara Dewa Hyang Guru.

Suara itu memanggil-manggil Pan Luh Sari agar segera mendatanginya, dan

selanjutnya dimohon agar putrinya dikawinkan dengan I Belog. Peristiwa itu

terjadi tengah malam. Dengan adanya peristiwa itu, Pan Luh Sari justeru merasa

senang, karena ia percaya bahwa suara itu benar-benar suara Dewa Hyang

Gurunya. Selain itu, persembahan berupa nasi dan ayam guling yang telah

dihaturkan sebelumnya, hilang tanpa bekas, dikira sudah diambil oleh Dewa

Hyang Guru.

3.3 Hubungan Penokohan Tokoh utama dalam kedua cerita, Coro Ila dan I Belog Mantu mempunyai

keselarasan, setidaknya dapat dilihat dari dua segi, yaitu segi fisik dan psikis.

Secara fisik, tokoh Hasan dilukiskan sebagai sosok yang sakit-sakitan. Sejak

dalam kandungan, ia sudah ditinggal oleh ayahnya. Ia hanya diasuh oleh ibunya,

Ina Hasan. Ia hidup dalam keluarga yang sangat miskin. Secara psikis, Hasan

termasuk orang yang cerdik. Ia berkali-kali berhasil memperdaya ayah mertuanya,

158 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mulai dari sebelum sampai sesudah ia menikah dengan Aminah. Semuanya itu

dilakukan, karena rasa cintanya dengan Aminah sangat dalam.

Tokoh I Belog, secara fisik memang tidak banyak dilukisakn, sama seperti

tokoh Hasan. Namun, masih dapat ditelusuri bahwa I Belog adalah tokoh yang

tidak simpatik (bocok buin jelek, ubuh, tiwas) (Bagus, l976:49); artinya tidak

menarik, buruk, yatim piatu, dan miskin. Akan tetapi, ia termasuk tokoh yang

cerdik.

IV. Simpulan Berdasarkan analisis di atas, dapat disimpulkan bahwa secara intertekstual,

cerita Coro Ila dan cerita I Belog Mantu mempunyai benang merah yang jelas.

Benang merah itu dapat dibuktikan dengan adanya hubungan tema amanat, latar,

dan penokohan. Kedua cerita mempunyai tema yang sama, yaitu menyunting

seorang istri dengan cara tipu daya. Hanya saja teknik penyajiannya sedikit

berbeda. Dari tema itu tersirat adanya amanat yang mengisyaratkan kepada

pembaca agar selalu berhati-hati dalam menerima ungkapan-ungkapan yang

mengandung makna ambiguitas. Sebab, ungkapan semacan itu sering membuat

seseorang terkecoh, yang pada akhirnya akan membawa dampak yang dapat

menjerumuskan seseorang.

Kedua cerita, I Belog Mantu dan Coro Ila menampilkan nuansa tokoh

utama dan latar yang sama, yaitu sama-sama terjadi di suatu tempat yang keramat

dan pada waktu malam hari. Bedanya terletak pada latar. Latar cerita Coro Ila

adalah di sebuah pohon asam yang dianggap keramat oleh penduduk setempat dan

latar cerita I Belog Mantu di sebuah sanggah kemulan, yang juga dianggap

sebagai tempat keramat (suci).

Daftar Pustaka Asmarini, Ni Putu, dkk. l994/l955. Sastra Lisan Donggo. Denpasar: Proyek

Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Bali, Depdikbud,

Denpasar.

Bagus, IGN. L976. Satua-satua Sane Banyol ring Kasusastran Bali. Singaraja:

Balai Penelitian Bahasa.

Junus, Umar. 1985. Resepsi Sastra Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia.

Hartoko, Dick dan B. Rachmanto. L986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta:

Kanisius.

Hasanudin, W.S. 1996. Drama Karya dalam Dua Dimensi. Bandung: Angkasa.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi.Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press.

Ratih, Rina. 1994. ―Pendekatan Intertekstual dalam Penelitian Sastra‖, dalam

Teori Penelitian Sastra: Yogyakarta: Masyarakat Poetika Indonesia,

IKIP Muhammadiyah.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 159

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

MASYARAKAT MULTIKULTUR PADA ZAMAN BALI KUNO ABAD IX-

XIV M BERDASARKAN REKAMAN ARKEOLOGI

I Wayan Srijaya

[email protected]

ABSTRAK

Indonesia merupakan Negara dengan masyarakatnya yang

multikultur. Masyarakat multikultur tidak saja dilihat dari

banyaknya suku bangsa yang mendiami Negara kepulauan ini,

melainkan juga menyiratkan banyaknya kebudayaan yang ada

didalamnya. Kekayaan budaya ini menjadi kekuatan untuk

mengikat masyarakat multikultur ke dalam bingkai Negara

kesatuan. Demikian pula halnya dengan Bali yang menjadi bagian

dari Negara Indonesia mempunyai keberagaman budaya dan adat

istiadatnya yang diimplentasikan ke dalam berbagai bentuk

kebudayaan. Masyarakat Bali juga telah dibentuk menjadi

masyarakat multikultur sejak abad IX M sebagaimana ditunjukkan

oleh bukti-bukti arkeologis.

Kata kunci:masyarakat multikultur, budaya, rekaman arkeologis

Pendahuluan

Masyarakat Bali telah menjalin persahabatan dengan dunia luar sejak awal

abad masehi (Ardika, 1991) yang ditandai dengan adanya bukti-bukti arkeologi

berupa gerabah India yang berasal dari situs Arikamedu.Keberadaan gerabah

India ini memberikan petunjuk bahwa telah terjadi kontak-kontak antara

masyarakat pesisir Bali utara dengan pedagang India. Namun demikian kehadiran

budaya India ini belum dapat dipastikan apakah dibawa oleh para pedagang India,

masih menjadi pertanyaan. Sebab secara formal masyarakat Bali baru diketahui

memasuki zaman sejarahnya sekitar abad VIII M sebagaimana ditunjukkan

prasasti tertua yang belum menyebut nama raja yang oleh Goris disebut prasasti

Yumu pakatahu (Goris, 1954). Sejak saat ini, masyarakat Bali mulai memahami

tatanan sosial yang bernafaskan agama Hindu dan Budha. Kemudian dengan

kontak-kontak formal yang membentuk masyarakat religious ini melahirkan

berbagai kebudayaan yang di padukan dengan tradisi lokal yang sudah ada

sebelumnya. Tradisi lokal masyarakat Bali tidak hilang begitu saja, melainkan

dapat diselaraskan dengan unsur-unsur budaya yang dibawa oleh para pedagang

dan pendeta India. Itulah sebabnya, dibanyak desa di Bali (desa-desa Bali mula)

tetap dapat mempertahankan tradisinya yang sudah diwarisi secara turun temurun.

Begitu juga konsep Hindu dan Budha yang datang belakangan tidak serta merta

menghilangkan tradisi masyarakat melainkan saling melengkapi. Sejak

munculnya sistem politik yang berbetuk kerajaan di Bali, masyarakat mulai

diperkenalkan dengan masyarakat multikultur yang ditandai dengan hadirnya para

migrant India yang membawa perubahan dalam tatanan sosial masyarakat. Aspek-

aspek yang mengalami pembauran dalam sistem sosial masyarakat adalah dalam

160 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

stratifikasi sosial, bahasa, seni, teknologi, ilmu pengetahuan, politik,dan agama.

Unsur-unsur inilah yang paling mudah dicermati dari berbagai bukti arkeologis

yang ada di Bali. Dari bukti-bukti arkeologis ini dapat dijelaskan bahwa di Bali

telah terbentuk masyarakat multikultur.

Definisi Masyarakat Multikultur

Sebelum membahas masyarakat multikultur di Bali, kiranya ada baiknya

diberikan difinisi tentang masyarakat multikultur. Ada beberapa pendapat tentang

pengertian masyarakat multikultur yaitu:

(a) J.S.Furnivall memberikan difinisi masyarakat multikultur adalah suatu

masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih elemen yang hidup sendiri-

sendiri tanpa ada pembauran satu sama lainnya di dalam satu kesatuan

politik;

(b) Nasikun seorang sosiolog kenamaan dari Universitas Gajah Mada

Yogyakarta memberikan definisi masyarakat multikultur adalah

masyarakat yang terdiri dari dua atau lebih dari tatanan sosial masyarakat ,

atau kelompok yang secara kultural, ekonomi, dan politik

dipisahkan(diisolasi), dan memiliki struktur kelembagaan dan berbeda

satu sama lain.

(c) Cliffort Geertz memberikan definisi masyarakat multikultur adalah

masyarakat yang terbagi ke dalam kebudayaan subsistem dimana masing-

masing subsistem terikat oleh ikatan primordial;

(d) Parekh memberikan definisi masyarakat multikultur adalah masyarakat

yang memiliki berbagai jenis komunitas budaya dengan segala manfaat

dan sekit perbedaan yang ada seperti sejarah, adat istiadat, dan kebiasaan

yang ada.

Dari definisi konsefsional yang disampaikan oleh para ahli di atas, kiranya

yang menjadi inti dari masyarakat multikultur adalah terdiri atas dua atau lebih

elemen masyarakat yang secara bersama-sama bertempat tinggal pada wilayah

tertentu. Bali yang sejak abad VIII M, telah menjalin kontak dengan masyarakat

internasional dapat dipastikan sudah didiami oleh setidak-tidaknya dua suku

bangsa yaitu suku bangsa Bali dan suku bangsa para pedagang/pendeta yang

diduga datang dari India. Suku bangsa pendatang ini telah melakukan berbagai

perubahan terutama dalam mengantarkan masyarakat Bali memasuki peradaban

sejarahnya, memperkenalkan bahasa Sansekerta, tatanan politik dengan sistem

pemerintahan kerajaan, dengan rajanya yang mendapat gelar warmadewa, yang

tak kalah pentingnya adalah diperkenalkannya sistem relegi Hindu dan Budha.

Oleh karena itu, sejalan dengan definisi di atas, maka Bali sejak abad VIII M telah

menganut sistem sosial masyarakat multikultur. Masyarakat multikultur sering

disebut pula dengan masyarakat majenuk (masyarakat plural).

Sementara untuk mewujudkan masyarakat multikutur perlu ada acuannya

yaitu multikulturalisme.Multikulturalisme adalah sebuah pandangan yang

mengakaui dan mengagukan perbedaan dalam kesederajatan baik secara

individual maupun secara kebudayaan. Multikulturalisme dapat berkembang

ketika didukung adanya tolerasi dan kesediaan untuk saling menghargai.

Burhanuddin (2003) sebagaimana dikutip oleh Sutjiati Beratha dkk (2010)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 161

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

memberikan pengertian multikulturalusme adalah gerakan sosial intelektual yang

mempromosikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip perbedaan serta menekankan

pentingnya penghargaan pada setiap kelompok yang mempunyai kultur yang

berbeda. Orientasinya adalah kehendak untuk membawa masyarakat ke dalam

suasana rukun, damai,egaliter, toleran, saling menghargai, saling menghormati,

tanpa ada konflik dan kekerasan, tanpa mesti menghilangkan kompleksitas

perbedaan yang ada.

Demikian pula pendapat Berry dkk seperti dikutip Sutjiati Beratha dkk

(2010) menyatakan bahwa multikulturalisme bermaksud menciptakan suatu

konteksosiopolitis yang memungkinkan individu dapat mengembangkan

kesehatan jati diri dan secara timbal balik mengembangkan sikap-sikap antar

kelompok yang positif. Kebijakan-kebijakan yang mempertimbangkan pluralism

biasanya banyak ditemui, acapkali hanya tersirat, tetapi dapat juga ekplisit.

Mereka yang secara positif menyukai pluralisme diistilahkan dengan kebijakan-

kebijakan multikulturalisme.

Berdasarkan kutipan di atas, mengisyaratkan bahwa multikulturalisme

merupakan sebuah doktrin yang mempromosikan keberagaman antaretnik

maupun antarkelompok secara sosiobudaya dalam suatu suasana yang rukun,

damai, egaliter, toleran,saling menghargai, dan saling menghormati perbedaan.

Bersamaan dengan itu, masing-masing pihak pun bisa menumbuhkembangkan jati

diri mereka secara optimal tanpa dinisbikan oleh yang lainnya (Sutjiati Beratha

dkk, 2010: 17).

Dalam kontek masyarakat Bali abad VIIIM-XIV M secara tersIrat dan

tersurat dalam prasasti mengindikasikan bahwa masyarakat multikulturalisme

sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Hal ini dapat diketahui dari adanya

istilah-istilah banyaga dalam prasasti Julah (Goris, 1954: Ardika dkk,2013) yang

mendakan adanya pedagang asing yang berdagang di pelabuhan Bali utara saat itu.

Namun demikian belum dapat dipastikan apakah kelompok pedagang asing yang

melakukan aktivitas perdagangan di Bali utara sudah membentuk komunitas

sendiri belumlah dapat diketahui. Berdasarkan teori yang ada, bahwa ketika awal-

awal proses Indianisasi di Indonesia, bahwa telah terjadi perkawinan antara kaum

pedagang dengan wanita pribumi yang selanjutnya menurunkan keturunan

campuram (Soemadio ed. 1984). Apabila hal itu yangterjadi kiranya tidak dapat

dipungkiri bahwa sejak masuknya peradaban Hindu dan Budha ke Bali diikuti

pula oleh terjadinya perkawinan antara wanita pribumi dengan pedagang asing

(India) yang melahirkan keturunan campuran sehingga membentuk komunitas

masyarakat yang dilandasi oleh budaya India. Kontak-kontak yang makin intensif

dilakukan oleh masyarakat Bali terjadi pada abad-abad berikutnya baik secara

langsung maupun melalui perantara kerajaan-kerajaan yang sudah berkembang di

Jawa. Oleh karena itu dapat dikatakan pada waktu itu di Bali setidak-tidaknya

sudah berkembang masyarakat multikultur yang bersumber dari budaya India dan

budaya lokal. Stereotipe budaya India dan lokal ini semakin jelas ketika kita

memperhatikan prasasti-prasasti yang ditemukan di Bali. Pada mulanya prasasti

yang termasuk katagori yumu pakatahu menggunakan hurup dan Bahasa Bali

kuno, ketika masuknya peradaban India prasasti ditulis dengan hurup Prenegari

dan bahasa Sansekerta sebagaimana ditunjukkan dalam prasasti Blanjong yang

dikeluarkan oleh raja Kesariwarmadewa. Penggunaan bahasa Sansekerta dalam

prasasti rupanya tidak banyak digunakan lagi pada masa pemerintahan raja-raja

162 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berikutnya. Tetapi dalam prasasti-prasasti itu terkadang masih ada unsur-unsur

kata sansekertanya.

Masyarakat Bali kuno sebagaimana disebutkan di atas, menyiratkan

adanya masyarakat multikultur (masyarakat plural) yang terdiri atas dua

kelompok yaitu masyarakat lokal yang kuat dengan tradisi turun temurun dan

masyarakat pendatang (India) dengan tradisi Hindu dan Budha. Kedua steriotif

masyarakat ini, semakin kelihatan pada abad XIII-XV M yaitu dengan adanya

penyebutan masyarakat Bali mula (yang mendiami dataran tinggi) dan masyarakat

majapahit(wong majapahit) yang mendimi dataran rendah. Stereotive kedua

kelompok masyarakat ini masih kuat dalam sistem sosial masyakat hingga saat ini.

Perbedaan steriotive ini juga terlihat dari budaya yang mereka warisi secara turun

temurun, kendatipun mereka merasa satu keyakinan yaitu Hindu tetapi dalam

prakteknya ada perbedaan. Perbedaan ini tidak sampai menimbulkan terjadinya

konflik antar kelompok yang berbeda tradisi ini. Contoh masyarakat yang masih

kuat dengan tradisi ini misalnya masyarakat desa Trunyan di Bangli, Tenganan

Pegeringsingan di Karangasem, Timrah di Karangasem, Sembiran, Tigawase,

Sidatapedi Buleleng. Desa-desa ini umumnya berlokasi pada daerah-daerah

pedalaman atau pegunungan, sementara kelompok masyarakat lainnya yang

disebut wong Majapahit mendiami sebagian besar dataran rendah Bali.

Sutjiati Beratha dkk(2010) dalam penelitiannya terhadap komunitas

mansyarakat Bali dan masayarakat Cina memberikan petunjuk adanya perbedaan

perlakuan di satu sisi dan adanya persamaan hak dan kewajiban disisi yang lain.

Dalam kajian ini dijelaskan status orang Cina dalam kontek desa pakraman.

Keikutsertaan mereka dalam berbagai kegiatan di desa Pakeraman tidak selalu

didasarkan padastatus mereka sebagai anggota desa Pakraman. Di dea Paakraman

Baturiti, orang Cina tidak tercatat sebagai anggota desa pakraman , tetapi dalam

hal-hal tertentu mereka (orang Cina ) banyak berkontribusi dalam bentuk tenaga,

barang maupun uang dalam berbagai kegiatan desa Pakraman setempat. Hal ini

disebabkan karenaawig-awig desa pakraman mengatur tentang itu sebagaimana

disebutkan dalam pasal 1 ayat 4 awig-awig desa Pakraman Baturiti sebagai

berikut: ―Sane kabawos krama desa adat inggih punike kulewarga sane magama

Hindu saha ngamong karang paumahan. Sjabe punika sinanggeh tamiu” artinya:

bahwa yang dimaksud dengan warga/anggota Desa Adat/Desa Pakraman dalam

hal ini adalahkeluarga yang beragama Hindudan mempunyaipekarangan rumah

diwilayah desa tersebut.Selain itu disebut tamu. Masyarakat Cina yang

umumnya sebagai pemeluk agama Budha, tidaklah memungkinkan untuk menjadi

anggota desa Pakeraman.

Sementara keikutsertaan mereka dalam desa Pakeraman di desa Baturiti

oleh sementara informan disebut sudah menjadi tradisi yang berlangsung sejak

lama. Agak berbeda dengan didesa Pakraman Padangbai dan Carangsari

Badung.Pada kedua desa Pakraman ini, walaupunawig-awig mereka tidak jauh

berbeda dengan awig-awig desa pakraman Baturiti, tetapi keanggotaan warga

Cina dalam desa Pakraman didasarkan atas kesepakatan antara orang Bali dan

orang Cina untuk meneruskan tradisi yang sudah ada secara turun temurun. Oleh

karena itu,kesepakatan yang mereka buat dianggap sah dan memiliki kekuatan

sama dengan peraturan atau awig-awig desa setempat (Sutjiati Beratha dkk, 2010:

96-97).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 163

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam kesempatan yang berbeda masyarakat Cina yang sudah turun

temurun mewarisi tradisi leluhurnya di Bali mereka tidak dapat lepas tanggung

jawabnya dengan desa pakraman dimana mereka bertempat tinggal. Dikatakan

bahwa mereka terlibat secara aktif baik terkait dengan paryangan, pawongan dan

palemahan. Dalam hal paryangan mereka ikut serta melaksanakan kegiatan yang

ada didalam pura kahyangan tiga, seperti saat akan ada upacara di pura kahyangan

tiga mereka ikut dari mulai persiapan hingga selesai kegiatan upacara. Demikian

pula yang berkaitan dengan pawongan, secara khusuk mereka terlibat dalam

berbagai kegiatan manusa yadnya. Mulai dari persiapan sampai selesai kegiatan.

Dalam kontek palemahan, masyarakat Cina secara aktif ikut serta dalam menjaga

lingkungan melalui kegiatan gotong royong yang diadakan oleh kerama banjar

atau desa adat (Dialog Metro Tv, tanggal 2Maret 2019 tayang pk.22.05). Dari

dialog yang dilakukan Metro Tv dengan masyarakat Cina yang ada di Bali kiranya

dapat dipetik maknanya bahwa kebersamaan diantara dua suku bangsa yang sudah

ada sejak berabad-abad silam dapat menjadi inspirasi bagi keberagaman

masyarakat Indonesia. Dankeberagaman ini merupakan jati diri bangsa Indonesia.

Sejarah mencatat bahwa diantara penguasa-penguasa kerajaan Bali kuno

salah satunya adalah Raja Jayapangus telah menikahi putri Cina yang bernama

Cing Kei Wi namun tidak memberikan keturunan. Perkawinan raja Jayapangus

dengan putri Cing Kei Wi menjadi bagian dari cerita kehadiran masyarakat Cina

di Bali yang melegenda. Bahkan sesudah keduanya meninggal kemudian di

reprentasikan sebagai bentuk barong landung (laki-perempuan). Barong laki

representasi dari raja Jayapangus dan barong landung perempuan represntasi dari

Cing Kei Wi. Representasi perkawinan ini tidak saja berbentuk barong landung,

tetapi juga ditemukan dalam bentuk pahatan topeng padabeberapa bangunan kuno

di Bali. Contohnya adalah motif hias topeng yang ada pada prasada di pura Giri

Kusume Abiansemal Badung.

Multikultul dalam Ragam Bentuk Tinggalan Arkeologi

Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa Bali telah mendapat

pengaruh kebudayaan asing sejak awal-awal abad masehi. Namun secara jelas

baru diketahui pada abad VIII M dengan adanya prasasti. Prasasti sebagai bukti

tertulis, menyiratkan di Bali berkembang masyarakat multikultur dengan agama

yang berbeda yaitu Hindu dan Budha. Dalam berbagai prasasti yang dikeluarkan

oleh penguasa Bali kuno selalu disertakan dua penasehat kerajaan yang bergelar

dang acharya (pendeta Siwa) dan dang upadiyaya (pendeta Budha) untuk

memberikan pertimbangan kepada raja dalam mengambil keputusan penting.

Kehadiran orang-orang India yang beragama Budha tentu merupakan sebuah

kenyataan yang tidak dapat dikesampingkan dalam sejarah Bali termasuk juga

orang-orang Cina yang telah berbaur dengan masyarakat lokal. Berbagai bukti

arkeologi yang ditemukan di Bali diketahui bahwa agama Budha sudah

berkembang sejak abad IX M. Kehadiran agama Budha (Mahayana) pada abad

ini ditandai dengan ditemukannya stupika-stupika tanah liat di Pejeng dan

Singaraja. Stupika-stupika ini didalamnya berisikan meterai-meterai tanah liat.

Pada meterai-meterai ini terdapat prasasti yang memuat mantra-antra budha.

Selain memuat mantra-mantra budha ada pula yang memuat relief Dyani

Budhayang merupakan panteon Budha. Stupika-stupika ini tidak satupun berisi

penanggalan, namun prasasti yang sama di temukan di ambang pintu Candi

164 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kalasan Yogyakarta. Pada prasasti Kalasan terdapat penanggalan yang berangka

tahun 778 M (Goris, 1948; Stutterheim, 1929). Dari perbandingan ini dipastikan

bahwa prasasti yang ditemukan dalam stupika-stupika tanah liat (dalam jumlah

ratusan ) di Bali diperkirakan berasal dariabad IX M.

Stupa Pegulingan Runtuhan Catra Yasti di Goa Gajah

Selain stupika-stupika tanah liat, ada pula situs-situs yang merupakan situs

Hindu tapi didalamnya terdapat bangunan budha. Situs tersebut adalah Pura

Pegulingan, Pura Goa Gajah, serta Pura Batur, dan Pura Balingkang. Pura

Pegulingan yang terletak di Banjar Basangambu Tampaksiring merupakan sebuah

bangunan suci untuk agama Hindu. Namun dalam pura ini juga terdapat sebuah

bangunan stupa Budha yang berasal dari abad IX M. Keberadaan stupa Budha ini

menjadi bukti kuat betapa harmoninya masyarakat penganut Siwaisme dan

Budhisme di Bali. Dalam kontek ini, masyarakat Budha yang di Bali setiap hari-

hari besar keagamaan selalu hadir melakukan persembahyangan ditempat ini.

Namun sekarang ini karena masyarakat yang menjadi pengempon dari pura

Pegulingan adalah pemeluk Hindu maka tanggung jawab yang berkaitan dengan

kegiatan ritual keagaman di pura ini dilaksanakan sepenuhnya oleh masyarakat

yang menjadi bagian dari krama desa setempat. Masyarakat yang beragama Budha

datang secara insidental untuk melakukan kegiatan pemujaan di bangunan stupa

ini. Agak berbeda dengan masyarakat Cina yang bertemapat tinggal di Kintamani,

yang menjadi bagian dari krama desa adat setempat sebagaimana di ceritakan di

atas.

Bukti arkologi kedua adalah pura Goa Gajah yang terletak di desa Bedulu

Gianyar. Oleh masyarakat Hindu tempat ini dikenal sebagai pura Goa yang

diempon oleh keluarga pemangku pura Goa. Namun saat berlangsungnya upacara

piodalan maka krama adat Bedulu secara bersama-sama melakukan

persembahyangan. Dalam komplek pura ini, terdapat bangunan budhis yang

berupa pahatan catra yasti bersusun 13. Pahatan catra yasti ini terletak di tepi

tukad Pangkung, yang saat ini tertinggal dalam bentuk runtuhan di jurang tukad

Pangkung. Selain itu, di komplek ini juga terdapat dua buah arca Dyani Budha di

timur Goa. Satu diantaranya sudah hilang sejak tahun 1991 dan sekarang masih

satu buah tanpa kepala.. Arca ini dilihat dari langgamnya diduga kuat sejaman

dengan arca-arca Budha yang menghiasi candi Borobudur yaitu abad IX M.

Terkait dengan keberadaan tempat ini, kitab Negara Kertagama yang digubah oleh

Mpu Prapanca pujangga besar dari masa pemerintahan raja Hayam Wuruk

menyebut nama dua tempat di Bali yaitu Lwa Gajah dan Bedahulu (Slamet

Mulyana, 1979). Lwa Gajah oleh banyak ahli diduga adalah Goa Gajah sekarang,

sedangkan Bedahulu sekarang menjadi nama desa Bedulu. Apabila pernyataan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 165

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Prapanca ini diyakini kebenarannya maka Goa Gajah setidak-tidaknya sudah

menjadi tempat kegiatan keagamaan sejak abad IX M.

Dari dua contoh di atas dapat diduga bahwa sejak abad IX M-XIV M di

Bali telah muncul masyarakat multikultur yang hidup berdampingan secara

harmoni. Kedua agama ini sebagaimana disebutkan di atas mempunyai peranan

penting dalam keberlangsungan roda pemerintahan di Bali saat itu. Itulah

sebabnya tokoh-tokoh agama dari kedua agama ini ditempatkan sebagai penasehat

raja untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan penting yang

dilakukan oleh raja.

Simpulan

Masyarakat multikultur telah ada sejak abad IX M yang ditandai dengan adanya

masyarakat yang menganut agama Hindu dan Budha. Para pemeluk kedua

keyakinan yang berbeda ini dapat hidup secara hormis untuk dapat menjalankan

agamanya masing-masing. Kedua agama ini mendapat perhatian besar dari para

penguasa, sehingga tokoh-tokoh/pemimpin umat ditempatkan menjadi penasehat

kerajaan. Pura Pegulingan dan Goa Gajah merupakan bukti keberadaan

masyarakat multikultur tersebut walaupun belum dapat dirunut sebagaimana

dikonsefsikan oleh para ahli seperti di atas.Masyarakat multikultur merupakan jati

diri bangsa Indonesia.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan, I Gde Parimartha, dan A.A.Bagus Wirawan, 2013 Sejarah Bali

dari Prasejarah sampai Modern. Denpasar: Udayana Press.

Goris, R. 1948 Sejarah Bali Kuno.Singaradja

1954 Prasasti Bali.Bandung: NV Masa Baru

Slamet Mulyana, 1979Negarakertagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta:Bratha

Stuterheim, W.F, 1929 Oudheden van Bali. Singaradja

Soemadio Ed, 1984 Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka

Sutjiati Beratha, Ni Luh, I Wayan Ardika, dan Inyoman Dana, 2010 Dari

Tatatapan Mata ke Pelaminan sampai di Desa Pakraman. Studi Tentang

Hubungan Orang Bali dengan Orang Cina di Bali. Denpasar: Udayana

Prees.

https://blog.ruangguru.com Mengenal masyarakat multikultur dan

karakteristiknya ditulis oleh EMbun Beng Diniari 28 Maret 2018.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 166

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

BUDAYA KRITIK DALAM TEKS SASTRA TRADISI:

REPLEKSI TEKS GEGURITAN I KETUT BUNGKLING DAN GEGURITAN

I KETUT BAGUS

I Wayan Suardiana

Prodi Sastra Bali Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Kehidupan ini dapat berjalan dengan baik dan semarak bila ada

dinamika di dalamnya. Kritik itu penting sebagai salah satu

penggerak dinamika kehidupan. Dalam sastra Bali tulis tradisional,

kritik itu diungkapkan kawi sastra dengan sangat elegan. Artikel ini

menelisik budaya kritik yang berkarakter tradisi Bali lewat teks

Geguritan I Ketut Bungkling dan Geguritan I Ketut Bagus. Kedua

tokoh utama dalam teks bersangkutan, yakni, I Ketut Bungkling

dan I Ketut Bagus diberikan ‗tugas‘ oleh pengarangnya untuk

menyampaikan pesan-pesan moral kepada pembaca dengan sangat

apik. Pesan-pesan moral berupa kritik itu, dalam tulisan ini coba

akan diungkapkan dengan menggunakan metode simak. Metode

simak dibantu dengan teknik catat untuk mengutip hal-hal penting

berkaitan dengan kritik yang disampaikan oleh kedua tokoh

utamanya. Selanjutnya, dilakukan teknik terjemahan (ke bahasa

Indonesia) mengingat teks sumber berbahasa Bali untuk

memudahkan analisis pemaknaan. Hasil terjemahan akan

diinterpretasikan dengan teori hermeneutika untuk mengungkapkan

makna teks secara keseluruhan. Secara keseluruhan, teks

Geguritan I Ketut Bungkling dan Geguritan I Ketut Bagus memiliki

karakter yang sama, yakni kritis dalam menyikapi fenomena sosial

tanpa merusak tatanan masyarakat pendukung teks bersangkutan.

Kata kunci: Budaya kritik, karakter, dan Sastra tradisi.

1. Pendahuluan

Teks Geguritan I Ketut Bungkling, selanjutnya disingkat (GIKBk.) dan

Geguritan I Ketut Bagus, selanjutnya disingkat (GIKBg.) adalah dua buah teks

geguritan di Bali yang memiliki kesamaan ide, yaitu tentang kritik sosial.

Keberadaan dari kedua teks tersebut sesungguhnya sudah diteliti secara seksama

oleh penulis sendiri dalam sebuah penelitian disertasi (Suardiana, 2009).

Meskipun demikian, kajian tematik terhadap kedua teks tersebut tidaklah secara

mendalam dilakukan. Untuk itu, dalam artikel ini akan dilakukan kajian yang

komprehensip tentang tema kritik sosial yang diungkapkan dalam kedua teks

bersangkutan. Sebagaimana telah penulis ungkapkan dalam disertasi (2009) itu

bahwa ada sebuah teks lagi yang memiliki tema yang sama, yaitu dengan judul

Geguritan I Ketut Bangun, namun dalam ulasan ini teks tersebut diabaikan karena

dianggap teks plagiat dari teks GIKBg. (lih. Suardiana, 2009: 206--279).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 167

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Budaya kritik dalam sejarahnya telah berlangsung lama dan istilah kritik

sastra mempunyai sejarah yang panjang. Istilah itu telah dikenal pada sekitar

tahun 500 sebelum Masehi. Kata kritik berasal dari bahasa Yunani, krinein yang

bermakna menghakimi, membanding, atau menimbang. Kata krenein menjadi

pangkal atau asal kata kreterion yang berarti dasar, pertimbangan, penghakiman.

Orang yang melakukan pertimbangan dan penghakiman itu disebut krites yang

berarti hakim. Bentuk krites inilah yang menjadi dasar kata kritik yang selanjutnya

digunakan dalam analisis ini (Semi, 1985: 7).

Pentingnya melakukan kajian secara komprehensip tentang kedua teks ini,

mengingat di Bali masyarakatnya berlatarbelakang beragam. Keberagaman latar

belakang sosial dan status berdasarkan golongan (klen) bagi masyarakat Bali itu

penting dikelola agar tidak menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal.

Model kritik sebagaimana disampaikan oleh teks GIKBk. dan GIKBg. sementara

waktu tidak ditemukan dalam teks-teks sejenis di Bali.

2. Budaya Kritik dalam Teks Geguritan I Ketut Bungkling

Protes sosial dalam sastra sebagaimana diungkapkan oleh Saini K.M.

(1990: 1-3) dilakukan tokoh utama GIKBk., yakni I Ketut Bungkling terhadap

tokoh suci dari klen Sengguhu bergelar Ida Resi Ganggasura. Ia mohon penjelasan

tentang pelaksanaan memandikan jenazah bagi umat Hindu sebelum dibawa ke

kuburan. Ida Wayan menjelaskan makna sarana saat setelah memandikan jenazah

itu, seperti: kaca yang ditaruh di kedua mata bermakna nanti ketika kembali

menjelma agar matanya dapat melihat dengan terang; serpihan baja yang ditaruh

di gigi, sebagai simbul agar setelah menjelma giginya kokoh dan kuat; kulit orang

yang terlahir kembali menjadi kuning langsat dan lembut itu konon berkat umbi

gadung dan telur yang dipakai untuk menggelilingi sekujur tubuh jenazah; minyak

menyebabkan kulih halus; dan monmon yang ditaruh di bibir membuat orang yang

akan menjelma nantinya tutur katanya halus, manis, menyejukkan, dan bertuah.

Mendengar penjelasan Ida Resi Ganggasura seperti itu, I Ketut

Bungkling bertanya balik sambil menyanggah.

Punika anak Pranda, wénten kakah burik cungih, twara nyingak badil

séngkok, manawi lali sané dumun, meka waja sedek arang, kurang kunyit,

taluh sikapané arang.

Tuké kebo sampi jaran, kuda celang lemah latrì, sira mangejangin

meka?”, Ida Gedhé duka murub, tamyuné katah mabriyag, mangedékin,

Ida Gedhé maangsegan (GIKBk., bait 23 dan 24).

Terjemahan:

Kenapa putra Tuanku, ada yang kulitnya kasar, bopeng, sumbing, tiada

melihat, cadel dan tangannya bengkok, mungkinkah dulu lupa, cermin baja

langka?, kurang kunir, telor dan umbi gadungnya langka?

Tokek kerbau sapi dan kuda, kenapa dia melihat siang malam, siapa yang

membekali cermin (saat meninggal)?‖, Ida Wakih marah bukan kepalang,

para tamu semuanya tertawa, menertawai, Ida Wakih tertegun.

Kritik I Ketut Bungkling terhadap tokoh yang arogan seperti Ida Resi

Ganggasura dilanjutkannya pula terhadap tokoh Sengguhu Pangi. Sengguhu

Pangi, adalah tokoh suci yang arogan juga kemaruk harta. Akibat perbuatannya

itu, akhirnya Sengguhu Pangi kena jebak ketika I Ketut Bungkling menanyakan

batasan arah angin, seperti berikut.

168 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

“Nggih Bapa tunasang tityang, Kaja Kelod Kawuh Kangin”, Dé

Sengguhu panuding ngébot, “Ento Kangin adanipun, yan ring awak

papusuhan, rupa putih, mulih urangkané juwang!”

“Nggih Bapa malih tunasang, teked dija madan Kangin?”, Dé Sengguhu

bangras angucap, “Teked di guminé nanggu, ditu langit nguda-nguda,

pagulawir, buka kuwud geban-geban.”

“Dangin to napi waûtannya?”, Dé Sengguhu angling aris, “Masih Kangin

nto adannya”, “Bapa nahen lungà sàmpun?”, Dé Sengguhu ya

kamemegan, “Bapa to sing, satuannyané Bapa nawang.” (GIKBk., bait

42, 43, dan 44)

Terjemahannya:

―Ya, Tuan yang hamba tanyakan, Utara, Selatan, Barat, dan Timur,

Sengguhu Pangi menuding dengan telunjuk kiri, ―Itu Timur namanya!,

bila dalam badan jantung, warnanya putih, pulang ambillah pangkal

sarung kerisnya!‖

Ya Tuan, (hamba) lagi menanyakan, sampai di mana bernama Timur?‖,

Sengguhu Pangi berujar ketus, ―Sampai batas dunia, di sana langitnya

muda-muda, terjuntai-juntai, seperti daging kelapa muda melonjak-

lonjak.‖

―Di Timurnya (Timur) apa namanya?‖, Sengguhu Pangi berkata lagi,

―Masih Timut itu namanya‖, ―Tuan pernah pergi ke sana?‖, Sengguhu

Pangi terperangah, ―Aku tidak pernah, ceritanya Aku mengetahui.‖

Sengguhu Pangi kalah jawab, tidak mampu menjelaskan batas akhir arah

angin sehingga ia disuruh bersilat lidah dengan empat muridnya. I Ketut

Bungkling minta dua hal kepada murid Sengguhu Pangi yang juga bergelar

Sengguhu, yakni suara angin dan suara burung Sawanujan, seperti berikut.

Ngindayang kuda suratang, Maman munyin angin tarik, munyin kedis

Sawanujan, edoh paca apang muput!”, I Sengguhu kamemegan, tur

matari, ingeh-ingeh maka patpat.

“Apa anggon manulisang, ama-ama ya to dadi?, gredeg-gredeg uwug

alon”, maka patpat suba inguh, peluh pidit patuh atah, nganggar

pangutik, data késkés tuara tawang. (GIKBk. bait 52 dan 53)

Terjemahannya:

Cobalah ditulis, Paman suratkan suara angin kencang, (surat pula) suara

burung Sawanujan, cobalah dibaca sampai selesai!‖, Si Sengguhu

terperanjat, saling tanya, keempatnya gelisah.

―Apa dipakai menuliskan?, ama-ama itu jadinya, (suara) gemuruh keras

dan pelan‖, keempatnya telah gelisah, bercucuran keringat, mengacungkan

pangutik, sambil menggaruk-garuk tidak tahu.

Terakhir, I Ketut Bungkling mengadu kecerdasan ke rumah Ida Wayan,

seorang pendeta dari klen brahmana. Sama seperti sebelumnya, Ida Wayan pun

dapat dipecundangi oleh I Ketut Bungkling karena tidak mampu menunjukkan

rupa Dewi Saraswati, yaitu Dewinya ilmu pengetahuan menurut kepercayaan

Hindu, seperti berikut.

Déwané nganggo darma, Yan kadi pangrasan Beli, né mangraksa

Saraswatya, manongos di lidah iku!”, I Bungkling matur nyekenang, “Kadi

napi, warnan Ida Saraswatya?

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 169

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Édéngang pang not titiang!”, Ida Wayan manyaurin, “Sing nyak not dané

kénto, kéwala kena baan ngitung, suba melah suba bisa!”, “Titiang ngiring,

lamun kénten néné bisa (GIKBk.bait 78 dan 79).

Terjemahannya:

Déwa yang mempergunakan dharma, bila menurut pendapat ‗ku, yang

memberkati Saraswati, bersemayam di lidah (beliau)!‖, Si Bungkling

bertanya menegaskan, ―Seperti apa, wujud beliau (Déwa) Saraswati?

Tunjukkanlah supaya hamba lihat!‖, Ida Wayan menjawab, ―Tidak mampu

dilihat yang seperti itu, namun hanya dapat dihitung, telah baik telah bisa!‖,

―Hamba menurut, bila demikian sudah dapat.

Karena terdesak, Ida Wayan lantas menanyakan asal-usul I Ketut

Bungkling. I Ketut Bungkling mengatakan dirinya merupakan titisan Dewa

Wisnu, sehingga ia diakui sebagai anak dan diberi nama Mantri serta bergelar Ida

Gede Anyar oleh Ida Wayan dan dinikahkan dengan putri beliau bernama Ida

Srayu.

3. Budaya Kritik dalam Teks Geguritan I Ketut Bagus

Dalam teks GIKBg., tokoh sentral I Ketut Bagus berperan melancarkan

kritik kepada tokoh-tokoh seperti seorang dukun,….. Pertama-tama ia mendatangi

I Gede Tugu, seorang dukun mumpuni, namun kemaruk harta serta omongannya

kurang bukti otentik sehingga sangat mudah I Ketut Bagus menjebaknya.

Jeroné tui mangawag pisan, natengerin anak mati, bungut enggang jati

pêjah, titiang katah mamanggihin, bungut enggang nu maurip, tuah jeroné

liwat denguh, nu luih ririhan titiang, matengerin anak mati, tong melihang,

tatenger titiangé lintang!

Kayun masiwa ring titiang! Titiang nyadia ngawarahin, apang jati tuara

ngawag, apang jati pasti-pasti, niki patengeran jati, yan wénten tong

mabayu, nora kari maangkihan, ento purun nyuakang mati, nundén purun,

mananem mangupakara! (GIKBg. bait 29 dan 30).

Terjemahannya:

Tuan sungguh sembrono, meramal kematian orang, mulut menganga pasti

mati, hamba banyak menjumpai, mulut menganga masih hidup, Tuan terlalu

bodoh, hamba masih jauh lebih pintar, meramal orang mati, bukan

menyalahkan, ramalan hamba yang lalu.‖

―Maukah berguru kepada hamba?, hamba bersedia mengajarkan, supaya

sungguh-sungguh tidak sembarangan, agar benar-benar, inilah ramalan

sesungguhnya, jika ada orang tidak bertenaga, tidak lagi bernafas, itu bisa

dikatakan mati, bisa menyuruh, mengubur memberi upacara.

Terdesak karena keterangan I Gede Tugu tentang konsep sehat, sakit, dan

meninggalnya seseorang dibantahkan oleh I Ketut Bagus, I Gede Tugu dan

istrinya marah besar. Bukan introspeksi diri, justru semakin arogan, I Gede Tugu

mengambil lontar dan membacanya dengan keras sambil berkata, ―Demikianlah

ucap sastra!‖ Dengan enteng I Ketut Bagus membantah, bahwa yang berucap

bukan sastra, namun mulut I Gede Tugu yang berujar, seperti berikut.

Pangonéké ngatih keras, tuara nyak kejil sawiji, I Ketut kedék mangakak,

“Nah, mangkin terang titiang uning, tuara sastrané mamunyi, kadi baos

jeroné bau, lambén jeroné makemélan, kanggo kitané mamunyi, wiakti

170 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lemuh, layahé biana matulang!” (GIKBg. bait 35).

Terjemahannya:

Pembacaannya jelas dan keras, tidak mau kalah sedikit pun, I Ketut tertawa

terbahak-bahak, ―Ya, kini hamba jelas tahu, bukanlah ajaran itu mengatakan,

sebagaimana tuan katakan tadi, bibir tuan berucap, sekehendak hati berkata,

memang lembut, dasar lidah tidak bertulang‖.

Selanjutnya, I Ketut Bagus menyambangi tempat I Mangku Éngéngan,

seorang tukang tenung untuk mengadu kepintaran. Dengan berpura-pura

menanyakan penyebab sakit yang diderita ayahnya, ia menguji kecerdasan I

Mangku Éngéngan.

Ira Hyang Guru Kamulan, manyakitin Nanang Ca(h)i, tuara rungu tekén

Nira, tusing ngaturang sasepuh, miwah ngaturang odalan, klésa gati, akéto

apang tawang!

Akék-akék siga pérmas, ba bani nani ngadianin, ya lamun tuara kadianan,

pilegang baong apang elung, mentik punggel carang empak!” Tur makejit, I

Ketut kedék mangakak.

“Jero Mangku dija Batara?, tuara ko tiang nepukin?, Jero Mangku ngomong

padidian, mangécél munyiné liu, ngora(h)ang Déwa masih didian, jeroné

nguci, mirib anak bebainan.

Jero Mangku bas mauk pisan, ngadu daya sa(h)i-sa(h)i, kadung payu ulih

loyang, nguluk-uluk anak pacul, dayan Jroné tawang tiang, suba pasti, ngaku

katapak baan Déwa?

Jero Mangku nyak ngugu tiang?, Tiang kapangluh né jani, Jeroné melahang

manatak! “Batara jani mawuwus!, Ira Batara di Suargan, Mangku ma(h)i,

Ira ngicén Mangku emas! (GIKBg. bait 17 -- 21)

Terjemahannya:

Aku adalah Hyang Guru Kamulan, menyakiti ayahmu, tidak peduli kepadaku,

tidak mempersembahkan pembersihan, dan membuat upacara odalan, kotor

sekali, begitulah agar (kamu) tahu!

Beginilah, hai kamu! Kamu berani, terserah kamu, jika berani putar lehernya

hingga patah, tumbuh tumpul ranting patah!‖, Dan berkedut, I Ketut tertawa

terbahak.

―Tuan Mangku, di manakah roh suci leluhur?, Hamba tidak melihat!, Tuan

Mangku berkata sendiri, mengomel bersuara banyak, mengatakan Déwa juga

sendiri, Tuanku berbohong, seperti sedang terkena sihir.

Tuan Mangku terlalu berbohong, menipu setiap hari, agar memperoleh harta

karena tipuan, membohongi orang lugu, akal busukmu aku pamahi, sudah

jelas, mengaku sebagai persemayaman Déwa.

Tuan Mangku tidak mempercayaiku, kini hamba menerangkan, baik-baiklah

Tuan mendengarkan, sekarang Batara bersabda, ―Aku adalah Batara di sorga,

kemarilah, Mangku! Aku memberimu emas!

Tipu muslihat I Mangku Éngéngan dalam mencari uang dengan berpura-

pura sebagai tukang tenung dibantahkan oleh I Ketut Bagus. Ia mengambil sarana

persembahyangan yang telah dihaturkan di tempat I Mangku Éngéngan dan

bergegas pergi. Tokoh berikutnya yang menjadi sasaran tembak I Ketut Bagus

adalah tokoh cerdik pandai I Déwa Resi seorang suci dari klen ksatria. Ia berpura-

pura mohon kepada I Déwa Resi agar dirinya mampu mengeluarkan api dari

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 171

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dalam tubuhnya.

Ya I Ketut matur alus patelaanan, “Prasangga titiang akidik, nemuang sastra

ring basang, saking napi ambil nika?, sinah biana pacang dadi!, sastrané

untal?, méh maadukan bacin.

Kadi baos yan mangringkes Dasàkûara, keni dados Pañcakûarì, lalima kija

bakta?, dados pacang pejunang?, mangda dados Pañcakûarì, yan ngringkes

sastra, dados bongkos dadiang siki?

Malih sapunapiang matemuang Sùryya Candra, sira anaké ririh?, nyidayang

manyemak, nunggalang Sùryya bulan, genah sawat mangulangit, baos tuah

tawah, boya nyandang dingeh koping.” (GIKBg. bait 18--20).

Terjemahannya:

I Ketut berkata lembut perlahan-lahan, ―Hamba menanggapi sedikit,

mempertemukan aksara suci di perut, dari mana diambil?, mustahil akan

berhasil, menelan aksara itu, mungkin akan bercampur kotoran!

Sebagaimana dikatakan jika memeras kesepuluh aksara suci, sehingga

menjadi lima aksara suci, yang lima lagi dibawa ke mana?, apakah bisa

diberakkan, agar bisa menjadi lima aksara suci?, jika memeras aksara suci,

apakah boleh dibungkus dijadikan satu?

Seterusnya, bagaimana caranya mempertemukan matahari dan bulan?, siapa

yang mampu, bisa mengambil, menyatukan matahari dan bulan, tempatnya

nun jauh di langit, perkataan aneh-aneh, tidak pantas didengar telinga!‖

Mendengar perintah dari I Dewa Resi aneh-aneh, yakni dengan meringkas

aksara suci dirinya akan dapat melakukan apa yang diminta, I Ketut Bagus tidak

mengamini dan sebaliknya menyerang dengan logikanya sendiri. Selanjutnya, I

Ketut Bagus kembali mengolok-olok I Dewa Resi dengan maksud agar dapat

menikahi putrinya yang jelita itu. Untuk kedua kalinya I Dewa Resi dapat

dipermalukan karena kecerobohannya menafsirkan arti mimpi. I Ketut Bagus

mengatakan ia mimpi menghaturkan kelapa kepada I Dewa Resi sebanyak lima

puluh biji. Menurut I Dewa Resi, mimpi itu tidak boleh dipungkiri karena

merupakan perintah Tuhan! Dengan demikian, I Ketut Bagus menganggap,

jeratnya sudah mengena. Ia dengan segera menghaturkan kelapa kepada I Dewa

Resi. Berikutnya, ia mengatakan dirinya mimpi dinikahkan dengan putri I Dewa

Resi bernama Désak Manik.

Apa ada buin Ca(h)i praya uningang?, nah caritayang jani!” I Ketut maatur

ngasab, “Agung nunas pangampura, ibi soré titiang ngipi,” Déwa Resi

ngakak, “Nah kénkén ipian Ca(h)i?”

“Ratu Agung Pranda Resi sasuhunan, ipian titiang sapuniki, titiang

midartayang, titiang reké kaanténang, ring i anak Désak Manik, inggih

picayang, réh ipian maraga Widhi.

Déning Pranda maraga lir pageh dharma, biana purun manungkasin, ipian

mautama, mangkin ko tunas titiang, i anak I Désak Manik!” Pranda

nyangongak, tan keni antuk nyaurin (GIKBg.bait 47--49).

Terjemahannya:

Ada apa lagi yang kamu mau tanyakan? Silakan katakan sekarang!‖ I Ketut

menyahut hormat, ―Hamba mohon ampun, kemarin sore hamba bermimpi‖,

Déwa Resi tertawa terbahak-bahak, ―Nah mimpi apa lagi kamu?‖

―Daulat Tuanku Pendeta Agung, mimpi hamba begini, hamba menjelaskan,

konon hamba dinikahkan, dengan Ananda Ni Désak Manik, sudilah

172 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

diberikan, sebab mimpi perwujudan Tuhan!

Karena Tuan Pendeta perwujudan kebenaran abadi, tiada berani mengingkari,

mimpi utama, kinilah hamba mohon, Ananda I Désak Manik!‖ Tuan Pendeta

mendongak, tidak bisa menjawab.

I Dewa Resi kehabisan jawaban dan kebetulan kakak Ni Desak Manik, I

Dewa Yangapi datang maka I Ketut Bagus undur diri dengan membawa

kekecewaan tidak dapat menikah dengan Ni Desak Manik. Akhirnya, I Ketut

Bagus menyesali perbuatannya yang suka mengolok-olok orang serta selanjutnya

ingin menyucikan diri ke hutan. Setelah bertemu dengan Ida Peranda Bodakeling,

ia disucikan menjadi pendeta dari golongan Siwa diberi gelar Mpu Sruti.

4. Simpulan

Teks tradisi di Bali memiliki ciri tersendiri dalam menyuarakan kritik

terhadap situasi sosial masyarakat pembacanya. Pengarang teks tradisi (kasus teks

GIKBk. dan GIKBg.), sebagai representasi pengarang, masyarakat, dan

masyarakat pembaca, menyampaikan kritik dengan cara yang elegant. Meskipun

kritik yang disampaikan oleh pelaku dalam ceritanya itu memasuki ranah yang

berbahaya dan rawan menimbulkan konflik, namun teks GIKBk. dan GIKBg. tetap

dapat dibaca sampai saat ini. Kepiawaian itu tercermin dari pemilihan nama tokoh

(I Ketut Bungkling dan I Ketut Bagus) yang secara status sosial merupakan

golongan kebanyakan sehingga mengkritisi tokoh yang disucikan oleh klen

tertentu di Bali, awalnya dianggap tidak wajar. Namun, akhirnya menjadi wajar

mengingat kedua tokoh tersebut dinaikkan statusnya menjadi sederajat dengan

tokoh yang dikritisinya.

Daftar Pustaka

Saini, K.M. 1990. Protes Sosial dalam Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

Semi, Atar. 1985. Kritik Sastra. Bandung: Penerbit Angkasa.

Suardiana, I Wayan. 2009. ―Geguritan I Gedé Basur dan I Ketut Bungkling Karya

Ki Dalang Tangsub: Analisis Interteks dan Resepsi. Disertasi

pada Program Doktor Program Studi Linguistik Program

Pascasarjana Universitas Udayana.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 173

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEBERTERIMAAN KOMUNITAS HINDU DALAM PLURALITAS

AGAMA DI LAMPUNG SUMATRA SELATAN

I Wayan Tagel Eddy, Anak Agung Ayu Rai Wahyuni

ABSTRAK

Lampung adalah wilayah multietnik dan multi agama yang tersirat

dalam sesanti bhinneka tunggal ika.Kenyataan menunjukkan

bahwa di Lampung Sumatra Selatan, pluralitas agama ditandai oleh

keberterimaan komunintas Hindu oleh masyarakat

setempat.Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap fenomena

yang berkaitan dengan kehidupan komunitas Hindu dalam

pluralitas agama.Sebagai kajian yang kritis dan emansipatoris,

dirumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan. (1)

Bagaimanakah bentuk keberterimaan komunitas Hindu dalam

pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?, (2) Faktor-faktor

apa sajakah yang menyebabkan keberterimaan komunitas Hindu

dalam pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?, dan (3) apa

dampak serta makna keberterimaan komunitas Hindu dalam

pluralitas agama di Lampung Sumatra Selatan?

Data terkait dikumpulkan melalui wawancara, observasi, dan

dokumentasi serta dianalisis dengan teknik deskriptif-kualitatif dan

interpretatif. Sumber data dari sejumlah informan, yang diawali

pemeluk dan tokoh Hindu sebagai informan kunci (key informan),

yang dalam proses wawancara dilakukan dengan cara snowballing.

Kata kunci: multietnik, komunitas Hindu, keberterimaan,

pluralitas agama, emansipatoris

Latar Belakang

Pluralitas merupakan ciri kemajemukan yang nyata, termasuk dalam hal

keagamaan. Di Provinsi Lampung, Sumatra Selatan, hal itu tampak relevan

dengan keberadaan berbagai agama, di samping aliran kepercayaan yang ada sejak

dahulu hingga kini. Pluralitas keagamaan di Lampung telah mampu membuat

cita-cita multikulturalisme melalui sesanti bhinneka tunggal ika tercapai secara

signifikan dalam realitasnya.

Di Lampung, komunitas Hindu menduduki posisi kedua jika dibandingkan

dengan agam lain setelah Islam. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, komunitas

Hindu mengalami penambahan jumlah penduduk. Hal ini dimungkinkan karena

adanya pembinaan dan pengembangan secara intensif dari lembaga keagamaan

Hindu di Lampung.Hal ini sangat terkait dengan apa yang terjadi pada masa

lampau, yakni Hindu merupakan agama tertua dengan jumlah pemeluk yang

sangat dominan. Komunitas Hindu yang hidup di Lampung tersebar pada

beberapa kecamatan mengalami kemajuan dalam kontestasi baik dalam bidang

politik, ekonomi, maupun sosial budaya.

174 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Peper ini akan membahas faktor-faktor penyebab keberterimaan

komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung serta makna keberterimaan

komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung.Kajian ini menggunakan

metode kualitatif dengan pendekatan multidisipliner.

Keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung

menjadi wacana hubungan manusia, agama, dan kebudayaan. Hal ini menarik di

tengah cita-cita kehidupan yang multikultur atau berbinneka tunggal ika.Dalam

kaitannya dengan ini, keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di

Lampung disebabkan baik internal maupun struktur dominan yaitu agama yang

lebih dominan.Fenomena keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama

tidak muncul secara sepontan, tetapi memiliki masa transisi, yaitu diawali dari

proses transmigrasi spontan hingga transmigrasi yang dicanangkan oleh

pemerintah pusat.

Pembahasan

Lampung merupakn salah satu provinsi di Sumatra Selatan yang terletak di

bagian selatan Sumatra.Penduduk Lampung merupakan penduduk yang bercirikan

multikultur dan dapat dipahami dari konteks sejarah dan migrasi penduduk dalam

kaitannya dengan kebijakan politik kolonialBelanda dalam abad ke-19 yang

dikenal dengan kolonisasi dan dilanjutkan oleh pemerintah Indonesia pada pasca

kemerdekaan.Kebijakan ini tidak hanya diberlakukan untuk Lampung saja tetapi

juga berlaku bagi wilayah lainnya seperti Lombok, Sumbawa, Kalimantan dan

Sulawesi.

Provinsi Lampung yang berbatasan dengan Provinsi Bengkulu dengan

ibukotanya Bandar Lampung memiliki pelabuhan udara Internasional Pelabuhan

Panjang dan pelabuhan lokal Bakauheni yang menghubungkan wilayah Sumatra

dengan Jawa lewat transportasi laut. Terdapat pelabuhan perdagangan ikan laut

seperti pasar ikan Teluk Betung, Tarahan dan Kalianda di Pelabuhan Lampung.

Lampung terkenal sebagai wilayah yang dihuni oleh etnis Bali yang

beragama Hindu terbanyak kedua setelah agama Islam. Kendatipun ada

perbedaan agama diantara mereka, namun kehidupan harmonis dapat terjaga

dengan baik diantara mereka. Orang Jawa dan orang Bali sebagai komunitas

pendatang di Lampung sudah merasa menjadi penduduk Lampung karena adanya

sebuah proses yang panjang dalam dinamika perkembangan kawasan wilayah ini.

Orang Jawa memiliki keterampilan dalam usaha dagang, pertukangan, sementara

etnis Bali yang dikenal memiliki ketrampilan dalam bidang pertanian dan

perkebunan. Karena kehidupan orang Bali yang sangat terkait dengan bidang ini,

maka tidak mengherankan kalau orang Bali di Lampung mempunyai nilai-nilai

kreatif dan inovatif dalam upaya mengembangkan dan meningkatkan peran

budaya lokal yang diakomodasikan dengan berbagai pengaruh budaya daerah

yang ada di Lampung selaras dengan konsepsi Tri hita karana. Potensi dalam

pengembangan budaya lokal ini tampaknya menjadi karakter yang signifikan

sehingga kehidupan kedua etnis yang saling berdampingan itu dapat berkembang

secara harmonis hingga saat ini, sehingga kedatangan etnis Bali yang beragam

Hindu ke Lampung bisa berterima diantara beberapa etnis lainnya yang ada di

Lampung.

Penduduk Lampung terdiri atas etnis lokal atau penduduk orang Lampung,

etnis Jawa sebagai pemeluk agama Islam, dan sebagian kecil dari mereka ada

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 175

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang menganut agama Hindu. Etnis Bali sebagai penduduk pendatang sebagai

penganut agama Hidu sebagai penduduk mayoritas terbesar kedua setelah etnis

Jawa sebagai penganut agama Islam

Sebagaimana yag telah dipahami bahwa dalam sejarah transmigrasi di

Indonesia tampaknya pepindahan penduduk dari suatu wilayah ke wilayah lainnya

sudah dikenal sejak lama. Program transmigrasi yang diintrodusir oleh pemerintah

Indonesia pascakemerdekaan, bercikal bakal pada politik kolonial Belanda dalam

abad ke-19.Kebjakan kolonial ini dikenal dengan program kolonisasi yang

berhubungkait dengan masalah kebutuhan tenaga kerja di wilayahonderneming

yang dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda di pantai timur Pulau

Sumatra yang telah menyebabkan bertemunya bebagai etnis di wilayah Lampng.

Program koloniasi yang diperkenalkan ini sangat menguntungkan pihak

pemerintah Belanda pada masa kekuasaannya di Indonesia umumnya dan di

Sumatra khususnya.Namun, ketika rezim kolonial Belanda berakhir karena

didesak oleh kekuasaan Jepang, maka memungkinkan bagi pemerintah Indonesia

untuk mengambil alih kebijakan ekonomi dan politik sebagai pengganti kebijakan

pemerintah jajahan di Indonesia.Setelah Indonesiameraih kemerdekaan pada

tahun 1945, Nampak program Belanda ini masih berlanjut dampaknya dan

pemerintah Indonesia berupaya mengubahnya menjadi program transmigrasi yang

masih dikenal hingga saat ini.

Transmigrasi dari Bali berlangsung pertama kali sekitar tahun 1958

dengan dibiayai oleh pemerintah.Pemerintah memberikan lahan kepada

transmigran di Desa Sidorejo Lampung.Pemerintah mengimbau agar lahan

tersebut dapat diolah menjadi lahan produktif.Namun, kondisi lahan tersebut

masih banyak yang ditumbuhi tanaman liar sehingga harus dibersihkan sendiri

oleh transmigran. Menghadapi kondisi baru di tanah rantauan, terlebih masih ada

beberapa daerah transmigran dengan medan tidak datar (naik-turun), beberapa

transmigran tidak sanggup tinggal lebih lama. Mereka yang tidak mampu

beradaptasi, memutuskan untuk kembali ke Bali. Sebagian lainnya tetap di daerah

tersebut, ada juga yang pindah ke daerah lain dengan permukaan tanah yang lebih

datar sehingga lebih mudah untuk membuka lahan persawahan.

Setelah itu transmigrasi bergulir kembali pada tahun 1963.Transmigrasi

asal Bali ini dilatarbelakangi oleh adanya bencana letusan Gunung Agung di

Bali.Masyarakat pergi ke Sumatera Selatan dengan harapan dapat memulai

kehidupan baru dan mendapatkan penghidupan yang lebih baik.Keseluruhan

transmigrasi ini membawa gelombang baru perpindahan masyarakat beragama

Hindu ke Sumatera Selatan yang kemudian terus berkembang hingga saat ini.

Selain transmigrasi yang diselenggarakan pemerintah, masyarakat Bali juga

banyak yang merantau ke Sumatera Selatan secara mandiri maupun karena pindah

tugas atau utusan dinas.

Ketika mereka berada di daerah Lampung, berupaya untuk menyesuaikan

diri dalam segala aspek agar bisa beradaptasi dengan lingkungan serta tidak

menmbulkan konflik antara penduduk yang didatangi dan dengan etnik lainnya

yang memiliki latar belakang budaya berbeda-beda. Dengan berpegang teguh

pada konsepsi tri hita karana, maka proses adaptasi antara komunitas Hindu

dengan komunitas etnik lainnya bisa berjalan secara harmonis tanpa menimbulkan

176 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

gejolak yang dapat mengganggu ketentraman dan kenyamanan bagi penduduk

lokal dan etnik pendatang lainnya.

Peran Lembaga Keagamaan PHDI

PHDI secara umum berperan untuk mengayomi umat Hindu di wilayahnya

baik secara agama maupun sosial.PHDI membantu memecahkan permasalahan

keagamaan yang terjadi di masyarakat.Secara sosial, organisasi ini berperan

melindungi dan memperjuangkan kepentingan umat ke berbagai pihak

terkait.Oleh karenanya, PHDI juga berupaya membina hubungan baik dengan

berbagai lembaga, organisasi, jajaran pemerintahan, legislatif dan intitusi lainnya

baik di tingkat lokal, nasional dan internasional.PHDI juga bertugas untuk

mengembangkan dan merawat keharmonisan internal dan antar umat beragama.

Kegiatan PHDI di Lampung dapat ditentukan dari kebutuhan umat di

daerah tersebut.Saat ini PHDI masih memperjuangkan pengangkatan guru agama

Hindu di sekolah-sekolah jenjang SD sampai SMA.Dalam hal pendidikan, PHDI

juga ikut membangun dan mengelola pasraman dan bekerjasama dengan para

penyuluh agama Hindu untuk memberikan pelayanan bagi umat Hindu di

wilayahnya.Secara khusus, PHDI di kabupaten/kota di Provinsi Sumatera Selatan

saat ini sedang berusaha mendata dan mendaftarkan seluruh tempat ibadah dan

pasraman di wilayahnya.Data ini diminta oleh Bimas Hindu Kanwil Agama

Provinsi Sumatera Selatan. Tujuannya adalah untuk mempermudah jika hendak

mengajukan proposal bantuan untuk pembangunan, renovasi atau penyediaan

sarana prasarana pura dan pasraman, sehingga kegiatan yang terkait dengan

keagamaan bisa berjalan dengan baik.Hal ini mendapat tanggapan yang sangat

serius dari pemerintah khususnya dari Gubernur Lampung M. Ridho Ficardo yang

memberikan lahan seluas tiga hektar di kota Lampung yang diserahkan kepada

umat Hindu untuk pembangunan pura dan The centre of Exellent Hindu di

Lampung (Bali Post, 25 Maret 2019). Ini merupakan realitas dari keberterimaan

komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung.

Komunitas Hindu di Lampung sebagian besar adalah etnis Bali dan juga

etnis Jawa, tapi bukan orang Bali dan Jawa lagi, namun sudah sah menjadi warga

Lampung keturunan Bali dan Jawa, sehingga dimana bumi dipijak di sana langit

dijunjung, suatu bentuk penghormatan kepada budaya lokal dalam upaya menjaga

perdamaian dan kondusivitas Lampung dengan harapan komunitas Hindu mampu

menjadi teladan kebangsaan.Dengan memiliki sifat kesatria yang berani membela

negara (nindihin tanah palekadan), argumentatif dan berani mabelapati terhadap

sradha dan bhakti kepada pemerintah maka keberterimaan komunitas Hindu

dalam pluralitas agama di Lampung bisa berjalan dengan harmonis.

Simpulan

Multikulturalisme menekankan pada perbedaan yang muncul di antara

budaya etnik yang ada di Lampung. Multikulturalisme menjadi pendekatan etik

dan emik dalam pertukaran antar budaya.Dalam hal ini penguatan pandangan

multikulturalisme bertumpu pada perbedaan dan kesederajatan, baik secara

individu maupun secara kultur.

Penguatan solidaritas merupakan suatu aspek penting dalam hubungan

antar kelompok dan inter kelompok. Di samping itu mengingat agama dan budaya

bukan sesuatu yang beku, tetapi berada dalam proses menjadi, maka akan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 177

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

memberikan pemahaman bahwa agama Hindu sebagai agama dominan pada masa

lalu, dan diakui sebagai inspirasi budaya Lampung

Keberterimaan komunitas Hindu ada di antara pluralitas agama dan

multikulturalitas keagamaan.Artinya mereka tidak sekadar representasi pluralitas,

tidak juga dapat dikatakan mltikultural sejati, tetapi ada di

antaranya.Keberterimaan komunitas Hindu dalam pluralitas agama di Lampung

merupakan cermin keberhasilan multikultural di bidang keagamaan di Indonesia.

Keberterimaan komunitas Hindu di Lampung merupakan suatu posisi

sebuah entitas yang diwujudkan dari ruang spasialnya. Berkaitan dengan hal ini

maka dalam praktik-praktik religious dalam setiap agama ke depannya dapat

menerima hal yang berbeda, seperti di sini ada pendeta, di sana ada biksu,

ditempat lain ada pinandita. Kecuali itu harus dipahami bahwa sulit ditemkan sifat

umum yang berbentuk kesamaan yang menggiringnya pada satu paham karena

representasi religious merupakan representasi kolektif.

DAFTAR PUSTAKA

―Data Keagamaan Hindu tahun 2017‖ Bimas Hindu Kanwil Dept. Agama

Provinsi Sumatera Selatan.

―Indonesia‘s Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political

Landscape.‖ 2003. Institute of Southeast Asian Studies.

―Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kota dan

Agama yang Dianut (orang), 2014.‖ Kanwil Dept. Agama Provinsi

Sumatera Selatan.

―Jumlah Penduduk Provinsi Sumatera Selatan menurut Kabupaten/Kota dan

Agama yang Dianut (orang), 2015-2017.‖ Kanwil Dept. Agama Provinsi

Sumatera Selatan.

Abdullah, Ma‘moen. 1991/1992.Sejarah Daerah Sumatera Selatan.Jakarta :

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Bagian Proyek Inventarisasi dan

Pembinaan Nilai-Nilai Budaya Propinsi Sumatera Selatan.

Levang, Patrice. 2003. Ayo Ke Tanah Sabrang. Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia.

Siregar, Sondang Martini. 2018. ―The Statues, Plants and Animals in The Region

of Bumiayu Temple Tanah Abang Sub District, Penukal Abal Ilir

Regency.‖ Indonesian Journal of Environmental Management and

Sustainability. 2 (2018

Sulistyaningsih, Cahyo. 2017. Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya. Palembang :

Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sumatera Selatan UPTD

Taman Wisata Kerajaan Sriwijaya.

Transmigrasi: Masa Doeloe, Kini dan Harapan ke Depan. 2015. Jakarta:

Direktorat Bina Potensi Kawasan Transmigrasi, Direktorat Jenderal

Penyiapan Kawasan dan Pembangunan Permukiman Transmigrasi,

Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi RI.

Utomo, Bambang Budi. 2010. Atlas Sejarah Indonesia Masa Klasik (Hindu-

Buddha). Jakarta: Direktorat Geografi Sejarah, Direktorat Jenderal Sejarah

dan Purbakala, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 178

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEPRIBADIAN NASIONAL DAN BAHASA INDONESIA:

SUATU TINJAUAN SINGKAT

I Wayan Teguh

Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Ungkapan ―bahasa cermin bangsa‖ menunjukkan bahwa pola pikir

bangsa dapat dikaji melalui bahasa. Artinya, bahasa memengaruhi

cara berpikir masyarakat dan cara masyarakat memahami

lingkungan atau dunia sekelilingnya. Dalam hal ini salah satu

kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui

bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi

pasif. Konstruksi pasif berhubungan dengan pola pikir bangsa

Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku dibandingkan dengan

konstruksi aktif yang menonjolkan pelaku.

Pada era globalisasi hendaknya bahasa Indonesia dapat memenuhi

kepentingan peradaban modern. Namun, identitasnya harus

dipertahankan agar tidak hilang akibat globalisasi. Semua tradisi

yang bersifat positif hendaknya tidak hilang akibat globalisasi.

Dalam kaitan ini warisan bahasa yang menjadi identitas atau jati

diri masyarakat bahasa mutlak dituntut. Artinya, kelengkapan unsur

pengungkap diri secara alami hanya dimiliki oleh bahasa sebagai

jati diri atau kepribadian.

Tantangan bagi bahasa Indonesia sebagai asas peradaban

modern adalah dalam hal bahasa Indonesia sebagai das Sein di

samping sebagai das Sollen. Di sini dituntut kemampuan bahasa

Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan peradaban modern. Jadi,

kebijakan yang perlu ditempuh dalam lintas bahasa Indonesia dan

bahasa asing adalah mempertimbangkan bahasa Indonesia sebagai

identitas bangsa atau kepribadian nasional (Indonesia).

Kata kunci: kepribadian nasional, konstruksi pasif

1. Pendahuluan

Alisyahbana (1988) menyatakan bahwa salah satu konstruksi bahasa

Indonesia yang berhubungan dengan kepribadian nasional adalah pemasifan atau

konstruksi pasif. Konstruksi pasif telah menjadi materi pembelajaran, baik di

tingkat sekolah dasar maupun di tingkat sekolah menengah. Keberhasilan

pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia telah berdampak sangat positif bagi

bangsa Indonesia dalam membangun jati diri, martabat, dan kepribadian sebagai

bangsa (band. Kompas, 26 Oktober 2011). Artinya, dengan bahasa Indonesia,

bangsa Indonesia menyatakan secara verbal sebagai bangsa yang berbeda dengan

bangsa lain. Berkat bahasa Indonesia yang dipelajari, baik secara formal maupun

informal, warga Indonesia merasa satu sebagai bangsa. Dalam hal ini walaupun

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 179

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berbeda suku dan bahasa daerah, warga Indonesia dapat berkomunikasi dengan

lancar, dapat melakukan aneka kegiatan sosial budaya, dapat memperoleh

informasi, serta dapat menikmati seni budaya melalui bahasa dan sastra Indonesia

(band. Alisyahbana, 1988).

Indonesia merupakan negara sekaligus bangsa yang multietnik dan

multikultural. Tuntutan kehidupan modern, lebih-lebih terjadinya terjangan

bahasa dan budaya global yang dianggap mengganggu pertumbuhan jati diri dan

kepribadian nasional patut diwaspadai. Dalam hal ini bangsa Indonesia tidak

berniat mengingkari arus bawah juga pilar keetnikan. Di samping itu, juga tidak

memagari bangsa dari arus bahasa dan budaya global. Akan tetapi, hanya menapis

arus dalam dan arus luar atau globalisasi yang menerjang. Artinya, proses

pembelajaran bahasa (dan sastra) Indonesia harus dapat dikelola secara lebih

berhasil guna dan berdaya guna dalam membangun jati diri sebagai bangsa. Di

pihak lain persoalan internal, khususnya orientasi atau kultur pembelajaran

bahasa (juga pendidikan umumnya) perlu didalami secara kritis.

Bahasa Indonesia (yang tumbuh dari bahasa Melayu) yang pada awalnya

hanya sebagai bahasa perhubungan antaretnis ternyata mempunyai fungsi yang

cukup kompleks. Kekompleksan fungsi itu menyebabkan bahasa Indonesia harus

membentuk konstruksi-konstruksi baru sesuai dengan perkembangan masyarakat

modern. Pada hahikatnya masyarakat modern merupakan masyarakat yang

berwawasan nasional. Hal tersebut tentu tidak disangka oleh para pencetus

gagasan ketika bahasa Melayu diangkat sebagai bahasa persatuan dengan nama

bahasa Indonesia (Kridalaksana, 1997:1). Artinya, di Indonesia bahasa Indonesia

tidak hanya memiliki fungsi komunikatif antarwarga, tetapi juga mempunyai

fungsi lain. Sehubungan dengan hal itu, berikut dibicarakan secara singkat

hubungan bahasa Indonesia dan kepribadian nasional (Indonesia).

2. Bahasa Indonesia dan Kepribadian Nasional

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:788) dinyatakan bahwa

kepribadian berarti sifat hakiki yang tercermin pada sikap seseorang atau suatu

bangsa yang membedakan dirinya dari orang atau bangsa lain. Berdasarkan

pengertian itu, kepribadian nasional dapat diartikan sebagai ciri-ciri watak yang

menonjol ada pada banyak warga suatu kesatuan nasional. Kepribadian nasional

juga dapat disamakan dengan kepribadian bangsa.

Seperti telah dinyatakan sebelumnya bahwa salah satu konstruksi bahasa

Indonesia yang berhubungan dengan kepribadian nasional adalah pemasifan atau

konstruksi pasif (Alisyahbana, 1988). Lebih lanjut dikemukakan bahwa prefiks di-

dalam bentuk pasif terikat pada fungsi objek dan peran pelaku (objek pelaku)

orang ketiga. Apabila objek pelaku itu adalah orang pertama atau orang kedua,

prefiks di- tidak dapat digunakan lagi. Selain itu, objek pelakunya bersatu dengan

verba (predikatnya).

Contoh:

(1) a. Penyebar berita bohong itu telah ditangkap oleh polisi (dia, -nya).

(2) b. Penyebar berita bohong itu telah kutangkap.

c. Penyebar berita bohong itu telah kautangkap.

180 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Hal lain yang juga diungkapkan oleh Alisyahbana adalah

ketidakmungkinannya dapat diselakan kata atau unsur lain di antara pelaku pasif

dengan pelaku pertama dan pelaku kedua seperti tampak di bawah ini.

(3) *a. Penyebar berita bohong itu saya telah tangkap.

*b. Saya telah tangkap penyebar berita bohong itu.

Adanya penyelaan unsur atau kata lain di antara pelaku pasif dengan pelaku

pertama menunjukkan konstruksi yang tidak gramatikal seperti (3a) dan (3b).

Konstruksi itu akan gramatikal apabila dijadikan seperti (4a) dan (4b) berikut.

(4) a. Penyebar berita bohong itu telah saya tangkap.

b. Saya telah menangkap penyebar berita bohong itu.

Konstruksi pasif bahasa Indonesia juga dibahas dalam Tata Bahasa Baku

Bahasa Indonesia (1993:391—395). Pada buku tersebut diungkapkan bahwa

dalam bahasa Indonesia terdapat dua cara pembentukan (kalimat) pasif, yaitu

sebagai berikut.

Pertama, yaitu (a) pengisi subjek dipertukarkan dengan pengisi objek, (b)

prefiks

meng- pada predikat diganti dengan prefiks di-, dan (c) kata oleh ditambahkan di

depan pelengkap (yang semula subjek aktif).

Kedua, yaitu (a) objek kalimat aktif dipindahkan ke awal kalimat sebagai

subjek kalimat pasif, (b) prefiks meng- pada predikat ditanggalkan, dan (c) pelaku

(pronomina yang semula subjek) dipindahkan ke depan verba (predikat) apabila

ada kata lain yang mendahului verba.

Kaidah pasif dengan cara pertama digunakan jika subjek kalimat berupa

nomina atau frasa nominal. Di pihak lain jika subjek kalimat aktif berupa

gabungan nomina dengan pronomina atau frasa lain, yang digunakan adalah

kaidah pasif dengan cara kedua. Contoh penerapan kaidah pasif cara pertama

tampak pada (5b), (6b), dan (7b), sedangkan penerapan cara kedua tampak pada

contoh (8b) seperti di bawah ini.

(5) a. Romeo membeli sepeda motor baru.

b. Sepeda motor baru dibeli oleh Romeo.

(6) a. Yoga mengangkat sebuah kursi.

b. Sebuah kursi diangkat (oleh) Yoga.

(7) a. Ibu Yunita harus memperbaiki tata letak dagangannya dengan cepat.

b. Tata letak dagangannya harus diperbaiki dengan cepat oleh Ibu Yunita.

*c. Tata letak dagangannya harus diperbaiki dengan cepat Ibu Yunita.

(8) a. Saya telah menyelesaikan pekerjaan rumah itu.

b. Pekerjaan rumah itu sudah saya selesaikan.

*c. Pekerjaan rumah itu sudah diselesaikan saya.

Pemakaian kata oleh pada kalimat pasif bersifat manasuka. Apabila verba

pasif langsung diikuti oleh pelaku (yang semula subjek aktif), kata oleh wajib

hadir. Oleh

karena itu, kalimat (8c) tidak gramatikal.

Berdasarkan uraian dan sejumlah konstruksi di atas dapat dipahami bahwa

kepribadian nasional sesungguhnya adalah jati diri pemilik bahasa Indonesia

secara lebih luas. Dalam arti khusus identitas dipahami sebagai ciri bahasa

Indonesia itu sendiri sehubungan dengan pemahaman identitas individual yang

berkaitan langsung dengan bahasa ibu, yaitu bahasa yang pertama kali diperoleh.

Di samping itu, masyarakat penutur bahasa Indonesia juga mempunyai identitas

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 181

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sosiologis yang berhubungan dengan bahasa nasional, yakni bahasa Indonesia.

Dengan demikian, identitas individual akan mewarnai bahasa nasional dalam hal

tertentu.

Situasi peradaban modern ditandai oleh situasi budaya inovatif. Situasi itu

diawali dengan masuknya kosakata bagi benda atau peristiwa budaya yang

teramati. Artinya, suatu budaya akan dipungut oleh suatu bangsa melalui bahasa.

Hal itu tampak dari sejumlah nama yang tidak dapat ditelusuri lagi asal

identitasnya. Dalam hubungan ini bahasa Indonesia yang komunikatif dan efektif

makin merupakan tantangan, terutama bagi bahasa Indonesia sebagai das Sein

(sebagaimana adanya). Di pihak lain, bahasa Indonesia sebagai identitas nasional

merupakan das Sollen (yang seharusnya) dalam pertahanannya, lebih-lebih pada

era globalisasi (Djajasudarma, 1999:1).

Kebijakan mengenai lintas bahasa nasional (Indonesia) dengan bahasa-bahasa

daerah telah diatur melalui Politik Bahasa Nasional (Halim, 1978). Akan tetapi,

lintas bahasa Indonesia dengan bahasa asing sulit ditentukan, terutama pada era

globalisasi. Dalam hubungan ini era globalisasi hendaknya dipahami sebagai

―berpikir global, tetapi bertindak lokal‖. Artinya, modern harus dipahami dalam

cara berpikir universal, tetapi dalam bertindak harus selalu mempertimbangkan

lingkungan, yaitu budaya, termasuk bahasa lokal. Lingkungan diartikan sebagai

lingkungan bahasa (Indonesia) yang menjadi ciri, jati diri, dan identitas nasional.

Dalam kondisi kemanusiaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan seperti

sekarang ini hendaknya bangsa Indonesia tidak hanya berpatokan pada ―ilmu

untuk ilmu‖, tetapi juga berorientasi pada ―ilmu untuk kemanusiaan,

kemasyarakatan, kebudayaan, lingkungan, dan ke(ber)adaban. Artinya, secara

khusus pula aplikasi bahasa (dan sastra) Indonesia demi kemanusiaan,

kemasyarakatan, lingkungan, dan kebudayaan dapat berpijak pada isu dasar, yaitu

―krisis jati diri (identitas), krisis nilai kultural lingual, masih terenggutnya

kebebasan (berekspresi verbal), ketercerabutan akar lokal, dan penurunan

semangat nasionalisme di bidang bahasa, sastra, dan budaya Indonesia di tengah

dahsyatnya arus budaya global.

Salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui

bahasa Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi

pasif itu berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan

pelaku atau agen dibandingkan dengan konstruksi aktif.

Contoh:

(9) Sudahkah diberi hadiah pemenang lomba esai itu?

(10) Sudahkah Anda beri hadiah pemenang lomba esai itu?

(11) Suahkah Anda memberi hadiah pemenang lomba esai itu?

Dalam karya ilmiah juga sering muncul ekspresi seperti itu.

Contoh:

(12) Di dalam makalah ini dikemukakan ….

(13) Di dalam makalah ini saya kemukakan ….

Jika konstruksi (9) sampai dengan (13) dicermati, dapat dikatakan bahwa

penutur bahasa Indonesia akan memilih konstruksi (9) dibandingkan dengan (10)

karena lebih ekonomis. Di samping itu, apabila dilihat dari segi budaya, ekspresi

(9) tidak menonjolkan pelaku. Hal tersebut terjadi karena prefiks di- cenderung

menginklusifkan pelaku. Ekspresi (11) jarang muncul dalam tuturan bahasa

Indonesia, sedangkan ekspresi (12) lebih sering muncul dibandingkan dengan

182 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(13). Akan tetapi, konstruksi (13) lebih sering muncul atau frekuensi

pemakaiannya lebh tinggi dengan kaidah pronomina persona pertama + verba

dasar, terutama di dalam transformasi aktif pasif seperti di bawah ini.

(14) Saya telah menyelesaikan pekerjaan rumah itu.

Apabila konstruksi aktif (14) dipasifkan, akan menjadi seperti di bawah ini.

(15) Pekerjaan rumah itu telah saya selesaikan.

Konstruksi (15) itu dapat divariasikan sekaligus dibandingkan dengan konstruksi

di bawah ini.

(16) Pekerjaan rumah itu telah dirampungkan *(oleh saya).

Dalam pemakaian bahasa Indonesia konstruksi (16) lebih tinggi frekuensi

penggunaannya dibandingkan dengan konstruksi (15). Hal ini menunjukkan

bahwa pelaku sering dilesapkan dan seakan-akan pronomina persona pertama

sebagai pelaku atau agen diinklusifkan oleh prefiks di- yang digunakan dalam

konstruksi tersebut. Di samping konstruksi pasif seperti di atas, kecenderungan

pola pikir bangsa Indonesia melalui bahasa (Indonesia) yang mencerminkan

kepribadian nasional Indonesia dapat diperhatikan dalam konstruksi frasa.

Frasa bahasa Indonesia cenderung bertipe diterangkan-menerangkan (D-M).

Namun, kenyataannya dalam bahasa Indonesia juga terdapat konstruksi M-D

(menerangkan-diterangkan). Dalam hubungan ini pola frasa bahasa Indonesia

cenderung dipertimbangkan dari segi D-M. Akan tetapi, dapat pula

dipertimbangkan dari segi pola urutan M-D. Pola-pola atau konstruksi frasa itu

dapat diperhatikan pada contoh berikut.

(17) mahasiswa cerdas

D M

(18) putri pejabat

D M

Dalam konstruksi (18) terdapat hubungan termilik (T), yaitu putri dan pemilik

(P), yaitu pejabat. Di pihak lain, konstruksi (17) menunjukkan hubungan

anteseden (mahasiswa) dan kualifier (cerdas). Hubungan milik atau posesif yang

lebih kompleks tampak pada konstruksi (19) di bawah ini.

(19) koperasi desa kami

T P P

________ __

T P

Konstruksi frasa dengan susunan M-D cenderung terdapat pada urutan

numeralia (Num-)-nomina (N) seperti tampak pada contoh berikut.

(20) seorang anak

Pola urutan frasa (20) menunjukkan frasa bahasa Indonesia yang menyatakan

jumlah. Jumlah yang tercermin dalam pola frasa seperti itu adalah pola sistem

tunggal-jamak-tak tentu. Dengan demikian, konstruksi bahasa Inggris two or more

people harus diterjemahkan sesuai dengan pola bahasa Indonesia menjadi

konstruksi (21), bukan konstruksi (22).

(21) dua orang atau lebih

*(22) dua atau lebih orang

Dalam tipe yang lebih kompleks dapat ditemukan konstruksi seperti (23) di

bawah ini.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 183

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(23) sebuah rumah pejabat negara

M D D M

________ ________

D M

Tipe bahasa Indonesia, terutama dalam hal pola urutan frasa ternyata

memengaruhi konstruksi baru pada peradaban dunia modern, misalnya dalam

penerjemahan business woman. Konstruksi itu diterjemahkan menjadi konstruksi

(24) berikut.

(24) wanita pengusaha

D M

Konstruksi (24) dapat dibandingkan dengan konstruksi (25). Konstruksi (25)

memungkinkan munculnya dua pola, yaitu (a) pola D-M dan (b) pola M-D.

Perhatikanlah konstruksi (25) di bawah ini.

(25) pengusaha wanita

a. D M

b. M D

Masalah yang dapat dipahami dari konstruksi (24) dan (25) adalah konstruksi

(24) menunjukkan pola D-M dan menyatakan konstruksi hasil terjemahan dan

cocok dengan pola bahasa Indonesia. Di samping itu, konstruksi (24) juga dapat

dikatakan sebagai usahawati (sebagai padanan wanita pengusaha).

Pada hakikatnya konstruksi (25) muncul sebagai akibat peradaban modern dan

dapat dipahami sebagai pengusaha wanita sama dengan usahawati pada (25a)

dengan pola D-M atau dapat pula dipahami sebagai usahawan pada (25b) dengan

objek usaha adalah wanita. Konstruksi (25) dapat menimbulkan penafsiran ganda.

Hal itu mengingatkan penutur bahasa Indonesia pada istilah TKI (tenaga kerja

Indonesia), khususnya TKW (tenaga kerja wanita).

3. Simpulan

Uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut. Semua tradisi yang

bersifat positif hendaknya tidak hilang akibat globalisasi. Dalam kaitan ini

warisan bahasa yang menjadi identitas atau jati diri masyarakat bahasa mutlak

dituntut. Artinya, kelengkapan unsur pengungkap diri secara alami hanya dimiliki

oleh bahasa sebagai jati diri atau kepribadian.

Ungkapan ―bahasa cermin bangsa‖ menunjukkan bahwa pola pikir bangsa

dapat dikaji melalui bahasa. Artinya, bahasa memengaruhi cara berpikir

masyarakat dan cara masyarakat memahami lingkungan atau dunia sekelilingnya.

Salah satu kenyataan identitas atau kepribadian nasional Indonesia melalui bahasa

Indonesia adalah unsur bahasa yang disebut konstruksi pasif. Konstruksi pasif

berhubungan dengan pola pikir bangsa Indonesia yang tidak menonjolkan pelaku

dibandingkan dengan konstruksi aktif yang menonjolkan pelaku.

Para era globalisasi bahasa Indonesia hendaknya dapat memenuhi

kepentingan peradaban modern. Namun, identitasnya harus dipertahankan agar

tidak hilang akibat globalisasi. Tantangan bagi bahasa Indonesia sebagai asas

peradaban modern adalah dalam hal bahasa Indonesia sebagai das Sein di

samping sebagai das Sollen. Sehubungan dengan itu, dituntut kemampuan bahasa

Indonesia dalam pemenuhan kebutuhan peradaban modern. Jadi, kebijakan yang

perlu ditempuh dalam lintas bahasa Indonesia dan bahasa asing adalah

184 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mempertimbangkan bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa atau kepribadian

nasional (Indonesia).

Daftar Pustaka

Alisyahbana, Sutan Takdir. 1988. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jakarta:

Dian Rakyat.

Alwi, Hasan. 1993. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Djajasudarma,T.Fatimah. 1999. ―Melalui Bahasa Manusia Membudaya‖. Dalam

Majalah Koridor. Bandung: Fakultas Pascasarjana, Universitas Padjadjaran.

Halim, Amran. 1980. Politik Bahasa Nasional II. Jakarta: PN Balai Pustaka.

Nirwanto, P.B. 1997. ―Antipasif dalam Bahasa Indonesia‖. Dalam Linguistika:

Wahana Pengembang Cakrawala Linguistik. Denpasar: Program Magister

(S2) Linguistik, Universitas Udayana.

Parera, Jos Daniel. 1995. ―Bahasa Indonesia dan Bahasa Daerah Dilihat dari Segi

Sosiopolitikolinguistik‖. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan

Bahasa.

Ridwan, T. Amin. 2005. Kedaulatan Bahasa Melayu sebagai Bahasa Utama

Thompson, B. John. 2003. Analisis Ideologi: Kritik Wacana Ideologi-Ideologi

Dunia. Yogyakarta: IRCioD.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 185

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KATA KETERANGAN ASPEK FREKUENTATIF

DALAM BAHASA SASAK

Ida Ayu Putu Aridawati

Balai Bahasa Bali

ABSTRAK

Tulisan ini mengkaji kata keterangan aspek frekuentatif yang

menyatakan bahwa suatu peristiwa terjadi beberapa kali berturut-

turut, atau dengan kata lain bahwa suatu peristiwa sering terjadi.

Masalah yang dibahas meliputi (1) bagaimana pemarkah kata

keterangan aspek frekuentattif dalam bahasa Sasak?, (2) bagaimana

distribusi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?,

dan (3) apa saja fungsi kata keterangan aspek frekuentatif dalam

bahasa Sasak? Tujuan penelitian ini mendeskripsikan pemarkah,

distribusi, dan fungsi kata keterangan aspek frekuentitatif dalam

bahasa Sasak. Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah teori

analisis linguistik struktural berdasarkan pada data (data oriented).

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode

kontak dibantu dengan teknik libat simak, teknik catat, dan teknik

cakap bersemuka. Dalam analisis data digunakan metode

distribusional dibantu dengan teknik permutasi, substitusi, dan

pelesapan. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode

formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif.

Berdasarkan hasil pembahasan, dapat disimpulkan terdapat enam

pemarkah aspek frekuentatif, yaitu girang ‗selalu‘,

tetep‟selalu/sering‘, mokor‟selalu/‗sering‘, bilang jelo „sering‟,

terus‟sering‘, kereng‘sering‘. Keenam pemarkah aspek frekuentatif

itu dapat berdistribusi di awal frasa verbal, frasa adjektival dan

frasa nominal. Dalam tataran sintaksis, kata keterangan aspek

frekuentatif menjadi atributif bagi unsur pusat pada frasa verbal,

frasa adjektival, dan frasa niominal. Pada tataran kalimat kata

keterangan aspek ini berfungsi sebagai predikat. Dilihat dari

peranan semantiknya, kata keterangan aspek frekuentatif

menyatakan makna bahwa suatu peristiwa atau tindakan yang telah

sering terjadi atau berulang-ulang.

Kata kunci: kata keterangan, aspek frekuentatif, bahasa Sasak

1. Pendahuluan

Aspek adalah kategori gramatikal verba yang menunjukkan lama dan

jenis perbuatan, apakah mulai, selesai, sedang berlangsung, dan berulang. Jadi,

aspek adalah segi proses berlangsungnya perbuatan, kejadian atau peristiwa,

peristiwa itu belum berlangsung, akan berlangsung, mulai berlangsung, sedang

berlangsung, berlangsung secara singkat, serta merta, dan tidak terduga, selesai

186 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berlangsung, berlangsung berulang-ulang, dan peristiwa yang berlangsung terus-

menerus sehingga merupakan suatu kebiasaan (Kridalaksana, 2008). Kata

keterangan aspek ialah kata yang menjelaskan berlangsungnya suatu peristiwa

secara objektif, yaitu suatu peristiwa terjadi dengan sendirinya tanpa suatu

pengaruh atau pandangan dari pembicara (Keraf, 1984:81). Padmosoekotjo

(1986:116) menyebut keterangan aspek sebagai kata keterangan predikat, yaitu

kata yang menjadi keterangan bagi kata kerja, kata keadaan, dan kata bilangan.

Dwidjosusono (1979:22) menyebut kata kerangan aspek sebagai kata keterangan

yang menyatakan waktu yang terdiri atas tiga golongan, yaitu waktu yang sedang

terjadi, akan terjadi, dan sudah terjadi. Kata keterangan aspek meliputi aspek

habituatif, inkoatif, perfektif, dan aspek frekuentatif. Kata keterangan aspek

frekuentatif adalah kata keterangan yang menyatakan bahwa suatu peristiwa

terjadi beberapa kali berturut-turut, atau dengan kata lain bahwa suatu peristiwa

sering terjadi. Namun, kejadian itu terputus-putus atau terhenti-henti. Penelitian

terhadap kata keterangan aspek dalam bahasa Sasak khususnya aspek frekuentatif

belum pernah dilakukan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini masalah tersebut

dijadikan bahan kajian, sehingga secara rinci dapat diketahui pemarkah, distribusi

dan fungsi kata keterangan aspek frekuentatif tersebut.

Masalah yang dibahas dalam kajian ini, meliputi (1) bagaimana

pemarkah kata keterangan aspek frekuentattif dalam bahasa Sasak?, (2)

bagaimana distribusi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?, dan

(3) apa saja fungsi kata keterangan aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak?

Tujuan khusus penelitian ini mendeskripsikan pemarkah, distribusi, dan

fungsi kata keterangan aspek frekuentatif bahasa Sasak. Tujuan umum penelitian

ini untuk mendokumentasikan salah satu tataran bahasa-bahasa nusantara,

khususnya tataran sintaksis bahasa Sasak. Upaya ini akan menunjang usaha

pemerintah dalam melestarikan salah satu unsur budaya bangsa.

Teori yang diterapkan dalam kajian ini adalah teori analisis linguistik

struktural. Artinya semua analisis berdasarkan pada data (data oriented). Landasan

teori yang bersifat data oriented ialah landasan teori itu dapat menghasilkan

kejelasan-kejelasan, yaitu tentang klasifikasi bentuk dan makna, frekuensi

penggunaannya seperti dalam linguistik deskriptif (Poedjosoedarmo, 1981:4).

Analisis hubungan gramatikal yang menyangkut hubungan aspek dengan unsur

lain mengikuti pendapat Ramlan tentang unsur inti (pusat) dan atribut (2005).

Pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dan metode kontak.

Dalam pelaksanaannya kedua metode itu dibantu dengan teknik libat simak,

teknik catat, dan teknik cakap bersemuka. Setelah pengumpulan data, dilanjutkan

dengan pengklasifikasian data, selanjutnya tahap analisis. Dalam analisis data

digunakan metode distribusional. Metode ini dibantu dengan teknik permutasi,

substitusi, dan pelesapan. Dalam penyajian hasil analisis data digunakan metode

formal dan informal, dibantu dengan teknik induktif dan deduktif (Sudaryanto,

1988:13).

Sumber data penelitian ini adalah sumber data tertulis dan yang tidak

tertulis atau lisan. Penentuan sumber data tersebut dilakukan untuk memudahkan

pemerolehan data yang lengkap. Hal ini dimaksudkan agar dalam tahap

pengolahan data diperoleh gambaran yang lebih lengkap mengenai pemarkah,

distribusi, dan fungsi aspek frekuentatif dalam bahasa Sasak.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 187

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2. Pemarkah Aspek Frekuentatif

Pemarkah aspek frekuentatif dalam kajian ini, yaitu girang ‗selalu‘, tetep

„selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘, mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan

kereng ‗sering‘. Penggunaan pemarkah aspek frekuentatif tersebut dapat dilihat

pada contoh berikut.

(1) Nia girang lalo lamun jelo uahserep.

‗Dia selalu pergi jika matahari sudah terbenan.‘

(2) Nia girang nangis lamun tesili isiqsemamanna.

‗Dia selalu menangis jika dimarahi oleh suaminya.‘

(3) Sejeloan nia girang tindoq-tindoqan doang.

‗Seharian dia selalu tidur-tiduran saja.‘

(4) Nia maseh tetep lalo botoh.

‗Dia masih selalu/sering pergi berjudi.‘

(5) Nia bilang jelo lalo jaoq.

‗Dia sering pergi jauh.‘

(6) Nia mokor teoloq kanca batur-baturna.

‗Dia selalu/sering diejek oleh teman-temannya.‘

(7) Aku terus bekedeq joq to.

‗Saya sering bermain ke sana.‘

(8) Siti kereng madiq leq balen aku.

‗Made sering menginap di rumah saya.‘

Pada contoh diatas tampak bahwa peristiwa atau perbuatan yang

dinyatakan pada verba lalo ‗pergi‘ (1), nangis ‗menangis‘(2), tinduq-tinduqan

‗tidur-tiduran‘ (3), lalo ‗pergi‘ (4) dan (5), teoloq ‗diejek‘ (6) bekedeq ‗bermain‘

(7), dan madiq ‗menginap‘ (8), masing-masing menyatakan perbuatan atau

peristiwa telah berlangsung berulang-ulang atau telah terjadi beberapa kali. Untuk

menguji apakah kata girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘,

mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘ merupakan pemarkah

aspek frekuentatif, keenam kata itu akan dilesapkan dalam konteks kalimat yang

bersangkutan. Jika kata-kata itu sudah dilesapkan dan ternyata kalimatnya tetap

menyatakan suatu peristiwa atau perbuatan terjadi berulang (sering terjadi), berarti

kata-kata itu bukan merupakan keterangan aspek frekuentatif. Sebaliknya, jika

pemarkah aspek frekuentatif itu sudah dilesapkan dan makna frekuentatifnya

hilang, berarti kata-kata itu merupakan pemarkah aspek frekuentatif. Kalimat (1--

8) diatas akan diuji ketegaran makna frekuentatifnya dengan cara melesapkannya

sehingga kalimat tersebut menjadi (1a—8a) di bawah ini.

(1a) Nia lalo lamun jelo uah serep.

‗Dia pergi jika matahari sudah terbenan.‘

(2a) Nia nangis lamun tesili isiq semamanna.

‗Dia menangis jika dimarahi oleh suaminya.‘

(3a) Sejeloan nia tindoq-tindoqan doang.

‗Seharian dia tidur-tiduran saja.‘

(4a) Nia maseh lalo botoh.

‗Dia masih pergi berjudi.‘

(5a) Nia lalo jaoq.

‗Dia pergi jauh.‘

188 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(6a) Nia teoloq kanca batur-baturna.

‗Dia diejek oleh teman-temannya.‘

(7a) Aku bekedeq joq to..

‗Saya bermain ke sana.‘

(8a) Siti madiq leq balen aku..

‗Siti menginap di rumah saya.‘

Setelah kata girang ‗selalu‘, tetep „selalu/sering‘, bilang jelo ‗sering‘,

mokor „selalu/sering‘, terus ‗sering‘, dan kereng ‗sering‘ dilesapkan ternyata

kalimat-kalimat di atas tidak lagi menggambarkan perbuatan atau peristiwa terjadi

berkali-kali dan terus menerus. Hal itu berarti bahwa keenam kata tersebut

memang merupakan pemarkah aspek frekuentatif.

3. Distribusi Kata Keterangan Aspek Frekuentatif

Distribusi kata keterangan aspek yang menyatakan makna frekuentatif

dapat menduduki posisi awal dalam sebuah frasa. Selain dapat berposisi pada

awal frasa juga dapat berposisi pada akhir sebuah frasa. Kata keterangan aspek

frekuentatif pada sebuah frasa mempunyai arti bahwa kata keterangan tersebut

berfungsi sebagai atribut diikuti verba, adjektiva dan nomina sebagai unsur pusat.

3.1 Distribusi di Awal Frasa Verbal

Kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di awal kelas

verba yang berfungsi sebagai atribut, sedangkan unsur verba yang mengikutinya

sebagai inti (pusat). Dengan demikian, kata keterangan aspek frekuentatif

membentuk frasa verbal yang endosentris. Keenam pemarkah aspek frekuentatif

dalam bahasa Bali ini, keseluruhnya dapat berdistribusi di awal frasa verbal.

Contoh :

girang tindoq ‗selalu tidur‘

tetep bedagang ‗selalu/sering berjualan‘

terus plai ‗sering lari‘

bilang jelolekaq nae ‗sering berjalan kaki‘

mokor teriq ‗selalu/sering jatuh‘

kereng betijoh ‗sering berludah‘

3.2 Distribusi di Awal Frasa Adjektival

Kata keterangan aspek frekuentatif berposisi di awal kelas adjektiva yang

membentuk frasa adjektival. Frasa adjektival ini adalah frasa yang mempunyai

distribusi yang sama dengan adjektiva. Aspek frekuentatif pembentuk frasa

adjektival berfungsi sebagai atribut dan adjektiva yang mengikutinya sebagai

unsur inti (pusat).

Contoh :

girang inges ‗selalu (dalam keadaan) cantik‘

tetep kereng „selalu kuat‘

terus bersih ‗selalu (dalam keadaan) bersih‘

bilang jelo nyang ‗sering gelisah‘

mokor kelem ‗sering gelap‘

kereng basaq ‗sering basah‘

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 189

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3.3 Distribusi di Awal Frasa Nominal

Kata keterangan aspek frekuentatif yang berdistribusi di awal kelas

nomina membentuk frasa nominal. Aspek frekuentatif pada frasa nominal ini

berfungsi sebagai atribut dan diikuti kelas nomina sebagai unsur inti (pusat).

Contoh :

girang kelambi ‗selalu pakaian‘

mokor bale ‗selalu rumah‘

tetep empaq segara ‗selalu ikan laut‘

Perlu diketahui bahwa tidak semua kata keterangan aspek frekuentatif

dapat berkonstruksi dengan nomina.

Contoh pemakaiannya dalam kalimat dapat dilihat sebagai berikut.

(9) Girang kelambi saq tebeli.

‗selalu pakaian yang dibelinya.‘

(Hanya pakaian yang selalu dibelinya)

(10) Mokor bale saq teperiri.

„Selalu rumah yang diperbaikinya.‘

(Hanya rumah yang selalu diperbaikinya)

(11) Tetep empaq segara saq tekadu empaq sejelo-jelo.

‗Selalu ikan laut yang dijadikan lauk sehari-hari.‘

(Ikan laut selalu dijadikan lauk sehari-hari)

Contoh-contoh di atas menunjukkan bahwa frasa girang kelambi ‗selalu

pakaian, mokor bale ‗selalu rumah‘, dan tetep empaq segara „selalu ikan laut‘

merupakan penjelasan bagi frasa konstruksi tebeli, teperiri, dan tekadu

mengandung makna tindakan (membeli, memperbaiki, dan menjadikan lauk) yang

dilakukan berulang-ulang (sering dilakukan) secara berturut-turut. Jadi, yang

menyatakan tindakan atau peristiwa itu sering terjadi atau dilakukan berulang-

ulang bukan untuk nomina itu sendiri melainkan verbanya, yaitu tebeli, tepetiri,

dan tekadu empaq.

3.4 Distribusi di Akhir Frasa Verbal

Kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi di akhir frasa

verba. Adapun kata keterangan aspek frekuentatif tersebut sebagai berikut.

bedagang terus ‗sering berjualan (berjualan berulang-

ulang)

uliq kereng ‗sering pulang‘(pulang berulang-ulang)

bowos bilang jelo ‗sering mabuk‘(mabuk berulang-ulang)

4. Fungsi Kata Keterangan Aspek Frekuentatif

4.1 Fungsi Sintaksis

Kata keterangan aspek frekuentatif dalam tataran sintaksis berfungsi sebagai

unsur pembentuk frasa. Artinya, pada posisi mana pun dalam suatu kalimat,

kehadiran kata keterangan aspek selalu dalam wujud frasa, karena kehadirannya

selalu bersama-sama dengan kata lain. Oleh karena itu, fungsi sintaksis kata

keterangan aspek frekuentatif adalah sebagai atribut, yaitu kata yang menjelaskan

190 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

unsur inti suatu frasa yang berkonstruksi endosentrik. Unsur inti yang dimaksud

dapat berupa verba adjektiva, dan nomina. Contoh dalam bentuk frasa dapat

dilihat sebagai berikut.

(12) Sumarni kereng sili kanca ariqna.

„Sumarni sering marah kepada adiknya.‘

(13) Zubaidah mokor inges lamun sugul langan bale.

„Zubaidah selalu cantik jika ke luar rumah.‘

(14) Empaqna tetep empaq manuq.

„Lauknya selalu daging ayam.‘

Satuan frasa kereng sili „sering marah‟ (12), mokor inges ‗selalu cantik‘

(13), dan tetep empaq manuq „selalu daging ayam‘ (14) berfungsi sebagai pedikat.

Unsur sumarni, Zubaidah, dan empaqna ‗Lauknya‘ berfungsi sebagai subyek,

sedangkan kanca ariqna ‗kepada adiknya‘ (12), lamun sugul langan bale ‗jika ke

luar rumah‘ (13) pengisi fungsi keterangan.

4.2 Fungsi Semantis

Yang dimaksud dengan fungsi semantis disini adalah fungsi kata

keterangan aspek frekuentatif yang menimbulkan makna dalam suatu konteks.

Pengertian ini dihubungkan dengan kenyataan yang menunjukkan bahwa kata

keterangan aspek frekuentatif tidak mempunyai makna leksikal, tetapi makna

dalam suatu konteks.

Kata keterangan aspek frekuentatif mempunyai satuan makna semantis

baik dalam frasa ataupun kalimat, yaitu menyatakan suatu peristiwa atau tindakan

telah terjadi beberapa kali atau telah sering terjadi.

Perhatikan contoh :

(14)Bilang bedait kanca aku,nia girang ngendeng kepeng.

‗Setiap bertemu dengan saya, dia selalu minta uang.‘

(15)Timaq nani balenna jauq, nia masiq tetep bekedeq joq te.

‗Walaupun sekarang rumahnya jauh, dia masih selalu bermain ke sini.‘

(16)Sida dendeq bilang jelo dengahan raos saq lenge.

‗Kamu jangan sering mendengarkan perkataan yang tidak benar.‘

(17)Aku kereng tuku nasiq joq to.

‗Saya sering membeli nasi di sana.‘

Kata girang„selalu‘, pada frasa girang ngendeng ‘selalu minta‘ (14) dan

kata tetep ‗selalu‘ pada frasa tetep bekedeq„selalu bermain‘ (15) menyatakan

makna bahwa suatu peristiwa berlangsung secara berulang-ulang dan terus

menerus, sedangkan kata bilang jelo ‗sering‘ pada frasa bilang jelo dengahan

‗sering mendengarkan‘ (16) dan kata kereng ‗sering‘ pada frasa kereng tuku

„sering membeli‘ (17) menyatakan makna suatu peristiwa sering berlangsung,

tetapi tingkat kekerapannya tidak seperti pada kalimat (14—15).

Apabila kata girang, tetep, bilang jelo, dan kereng pada kalimat (14—17)

dilesapkan, makna kalimat tersebut tidak tegas dan tidak diketahui apakah

peristiwa atau tindakan itu sering berlangsung atau keberlangsungannya hanya

pada saat pertuturan. Berikut ini akan diperlihatkan beberapa contoh kalimat

keterangan keaspekannya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 191

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(14a)Bilang bedait kanca aku,nia ngendeng kepeng.

‗Setiap bertemu dengan saya, dia minta uang.‘

(15a)Timaq nani balenna jauq, nia masiq bekedeq joq te.

‗Walaupun sekarang rumahnya jauh, dia masih bermain ke sini.‘

(16a)Sida dendeq dengahan raos saq lenge.

‗Kamu jangan mendengarkan perkataan yang tidak benar.‘

(17a)Aku tuku nasiq joq to.

‗Saya membeli nasi di sana.‘

5. Simpulan

Berdasarkan hasil pengamatan penulis, hanya ditemukan enam kata

keterangan yang menyatakan makna aspek frekuentatif. Keenam pemarkah aspek

frekuentatif tersebut girang ‗selalu‘, tetep‟selalu/sering‘, mokor‟selalu/‗sering‘,

bilang jelo „sering‟, terus‟sering‘, kereng‘sering‘

Keenam pemarkah kata keterangan aspek frekuentatif dapat berdistribusi

di awal frasa verbal, ajektifal, nominal dan berfungsi sebagai atribut, sedangkan

unsur verba, adjektiva, dan nomina yang mengokutinya sebagai pusatnya.

Kata keterangan aspek yang menyatakan makna frekuentatif dapat

mendahului kelas verba. Apabila dilihat dari segi posisinya dalam kalimat, pada

umumnya dapat menduduki posisi awal dan tengah kalimat. Akan tetapi, tidak

dapat menduduki posisi akhir dalam sebuah kalimat.

Dalam tataran sintaksis, kata keterangan aspek frekuentatif membentuk

frasa endosentrik yang atributif, yakni menjadi atributif bagi unsur pusat pada

frasa verbal, frasa adjektival, dan frasa niominal. Pada tataran kalimat kata

keterangan aspek ini berfungsi sebagai predikat. Dilihat dari peranan semantiknya,

kata keterangan aspek frekuentatif menyatakan makna bahwa suatu peristiwa atau

tindakan berulang-ulang.

DAFTAR PUSTAKA

Dwidjosusono. 1979. Tata Bahasa Jawa Baru. Jakarta Pusat Pembinaan

Dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan.

Keraf, Gorys. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Ende: Nusa Indah.

Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Padmosoekotjo, S. 1986. Pramaasastra Jawa. Surabaya: Citra Jaya Murti.

Poedjosoedarmo, Soepomo. 1981. ―Sistem Pemajemukan dalam Bahasa Jawa‖.

Yogyakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah,

DIY.

Ramlan, M. 2005. Sintaksis. Yogyakarta: CV Karyono.

192 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sudaryanto. 1988. ―Metode dan Aneka Teknik Analisa Bahasa‖.

Yogyakarta: Komisaris MLI. UGM.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 193

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEARIFAN LOKAL DALAM KEBIJAKAN RAJA-RAJA PADA MASA

KERAJAAN BALI KUNO

Ida Ayu Putu Mahyuni

Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Salah satu ciri kearifan lokal adalah memiliki tingkat solidaritas

yang tinggi atas lingkungannya. Kearifan lokal memiliki

kandungan yang tinggi dan layak terus digali, dikembangkan serta

dilestarikan sebagai perubahan sosial budaya masa modernisasi.

Kearifan lokal produk budaya masa lalu yang secara terus menerus

dijadikan pegangan hidup, meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang

terkandung di dalamnya dianggap sangat universal

(http://seputarpengertian.blogspot.com /2018/10/pengertian-

kearifan-lokal-dan-bentuknya.html?m=1).

Dalam kesempatan ini perlu untuk mengkaji secara mendalam dan

kritis tentang kearifan lokal pada masa kerajaan kuno di Bali .

Kajian tentang kearifan lokal ini dicoba didekati melalui salah satu

teori kebudayaan yang berkaitan dengan solidaritas. Jika agama

dianggap sebagai salah satu ikatan solidaritas masyarakat (Sutrisno

dan Hendar Putranto, 2005). Dengan demikian akan dicoba juga

melihat, bahwa kearifan lokal berupa kebijakan raja pada masa

kerajaan kuno di Bali dapat menciptakan nilai solidaritas, dan perlu

dikembangkan sebagai pedoman hidup pada masa sekarang.

Seorang Raja/Pemimpin pada masa kerajaan kuno di Bali, agar

dapat menjadi pemimpin yang diidolakan dan dihormati, maka

seorang Raja/Pemimpin harus bertingkah laku seperti seorang

pendeta utama, seperti dewa-dewa sebagai pelindung, penjaga,

pemelihara, alam jagat raya beserta isinya. Tipe idola seorang raja

atau pemimpin dalam Wiracarita Ramayana disebut dengan istilah

Asta Brata.

Kata Kunci : Kearifan Lokal, Asta Brata

Pendahuluan

Sebelum kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali, Bali sudah merupakan

satu kesatuan wilayah yang telah berdaulat, otonom, menjalankan pemerintahan

tersendiri terlepas dari ikatan-ikatan kerajaan lain.

Adapun satu kesatuan yang dimaksud adalah :

1.Wilayah kekuasaan Singhamandala

Sumber yang dapat mengungkap periode Singhamandala ini digunakan

beberapa prasasti. Prasasti-prasasti yang ada di Bali jumlahnya ada 224 buah

194 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(Kartidirdjo (Dkk), 1975). Untuk memahami periode Singhamandala didukung

oleh tujuh (7) buah prasasti. Dari sejumlah prasasti ini diketahui mengisaratkan

tentang kebijakan-kebijakan penguasa pada saat itu. Hanya sangat disayangkan

prasasti semua sumber-sumber berupa prasasti itu tidak jelas menyebutkan nama

raja atau pejabat pada saat itu.

Dalam prasasti Sukawana suatu ketetapan dibuat oleh penguasa dengan

alasan tertentu para Bhiksu dibebaskan dari tugas serta pajak-pajak tertentu.

Dalam prasasti lain, prasasti Pura Kehen, menetapkan ketentuan Para Bhiksu juga

mendapatkan hak istimewa, misalnya para Bhiksu tidak boleh diwajibkan antara

lain, ikut bergotong royong mengangkut kayu dan bambu, tidak boleh dilibatkan

dalam masalah jual beli, dan pemungutan pajak (Ardika (DKK), 2015). Belum

ada alasan yang jelas, mengapa Raja atau pejabat pada saat itu membuat ketentuan

seperti itu. Barangkali alasannya karena para Bhiksu umumnya sudah mempunyai

peran yang sangat mulya, mengurus dan bertanggungjawab terhadap upacara dan

upakara yang berkaitan dengan bidang spiritual hingga pembangunan tempat suci

atas ketentuan Raja atau pejabat lainnya,

Dipahami secara saksama, ketetapan yang terdapat dalam kedua prasasti

tersebut di atas didapatkan suatu ketentuan yang sangat bijak yang dibuat oleh

Raja atau penguasa pada saat itu. Kebijakan yang ditetapkan dan dilaksanakan itu

identik dengan kearifan lokal yang patut dikembangkan dan dilestarikan agar

dapat dijadikan sebagai pedoman oleh siapapun, dimanapun, baik dalam

masyarakat lokal maupun masyarakat modern seperti sekarang ini.

Dalam bidang keamanan Raja tergolong sangan memperhatikan masalah

keamanan rakyatnya. Dalam Prasasti Bebetain AI berisi tentang perhatian Raja

terhadap desa, yakni Desa Bharu, karena desa tersebut telah diserang atau dirusak

oleh perampok, sehingga banya penduduknya yang mati terbunuh. Akhirnya Raja

beserta para pejabatnya berhasil mengendalikan keadaan hingga keadaan menjadi

aman dan penduduknya yang sempat melarikan diri ke desa lain dapat kembali

lagi ke desa mereka dalam keadaan aman. Kebijakan yang dibuat oleh Raja dan

para pejabatnya itu merupakan bentuk solidaritas salah satu wujud dari kearifan

lokal yang juga perlu dikembangkan dan dilestarikan sehingga dapat dijadikan

pedoman bagi setiap orang untuk berbuat secara bijaksana, memupuk solidaritas,

lebih manusiawi demi keselamatan dan keamanan orang banyak.

2. Pemerintahan Dinasti Warmadewa

Raja pertama berdasartkan Prasasti Blanjong Sri Kesari Warmadewa

diduga keturunan Raja Sailendra di Sriwijaya ke Bali dalam mengembangkan

agama Budha Mahayana. Keturunannya adalah Raja Dharma Udayana beserta

permaisurinya Gunapriyadharmapatni (putri Mahendradatta) dari Jawa Timur,

cucu dari Empu Sindok. Sejak pemerintahannya banyak membawa perubahan di

Bali, baik dalam struktur pemerintahan, bidang kebudayaan, penulisan prasasti

mulai dilakukan dengan bahasa jawa kuno berbeda dengan prasasti sebelumnya

yang menggunakan bahasa Bali kuno (Team Penyususn Naskah Dan Pengadaan

Buku Sejarah Bali Daerah Tingkat I Bali, 1980).

Selama pemerintahan keturunan dinasti Warmadewa, beberapa kali

pergantian tampuk pemerintahan di Bali dipegang oleh pasangan Sri

Gunapriyadharmapatni bersama Sri Dharmodayana warmadewa (Ardika (DKK),

2015). Perempuan telah mempunyai kedudukan penting dan dihormati pada masa

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 195

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

itu. Berarti, bahwa pada saat itu sudah terdapat masyarakatnya yang menghargai

kedudukan perempuan. Penghargaan terhadap perempuan sesuai dengan

kemampuan, dan kepentingannya sejalan dengan model pendekatan perjuangan

kesetaraan gender dewasa ini yang berasumsi, bahwa perempuan dan laki-

merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi, dan seharusnya diberikan

manfaat secara adil pula. Kesetaraan gender yang ditanamkan dalam

pemerintahan, dalam bidang politik, atau kepemimpinan yang diterapkan pada

masa Dinasti Warmadewa mengandung nilai-nilai kearifan lokal yang juga perlu

dikembangkan, dilestarikan, serta diwujudnyatakan pada masyarakat dewasa ini

secara lebih luas, tidak terbatas pada lembaga pemerintahan, juga dalam lembaga

keluarga, sekolah, lingkungan pekerjaan, dan lembaga kemasyarakatan lainnya,

selalu responsif gender dalam pelaksanaannya agar kesetaraan gender dapat

diwujudkan semakin optimal.

Dalam prasasti yang lain, disebutkan Sang Ratu Sri Aji Tabanendra

Warmadewa. Ia memerintah bersama dengan permaisurinya, Sang Ratu Luhur Sri

Subhadrika Dharmadewi. Selain itu disebutkan juga seorang raja perempuan, Sri

Maharaja Sri Wijaya Mahadewi (Kartodirdjo (Dkk), 1975). Dari perspektif

gender, kebijakan yang dibuat pada saat itu perempuan sudah dihargai, dan diakui

memiliki kemampuan yang setara dengan peran laki-laki dalam bidang politik

pemerintahan. Kebijakan seperti ini dapat dikatakan mengandung nilai-nilai

kearifan lokal yang perlu dikembangkan dan dilestarikan sebagai pedoman hidup

dalam mewujudkan kesetaraan gender dewasa ini.

Pada masa kerajaan kuno raja memiliki keuasaan tertinggi, agar raja tetap

di idolakan dan dihormati oleh rakyatnya, maka seorang raja perlu bahkan

dituntun selalu bertikah laku arif bijaksana. Sebagai tabiat seorang pendeta utama,

bahkan sering juga rakyatnya yang akan menilai dari sifatnya, raja bukan saja

dihormati karena tingkahblakunya yangarif bijaksana, namun raja juga sering

dipercaya sebagai titisan dewa dengan manifestasinya sebagai pelindung,

pemelihara, pengasih, penyayang, pemberi kesejahteraan, pemberi rasa aman,

berlaku adil terhadap seluruh rakyatnya.

Dalam Ramayana, tipe idola seorang raja atau pemimpin di mata rakyat

atau masyarakatnya disebut dengan istilah Asta Brata, yakni 8 asas utama yang

harus dituruti oleh seorang raja atau pemimpin (Ardika, 2015 : 135). Ajaran ini

terdapat dalam Wiracarita Ramayana ketika Rama Wijaya memberikan nasehat-

nasehat Nitipraja kepada Sang Pangeran Gunawan Wibisana yang akan menjadi

Raja setelah hancurnya Alengkadiraja dan kepada adiknya Sang Brata, bahwa

seorang Prabu/Pemimpin hendaknya meniru sifat-sifat alam/dewa-

dewa/manifestasinya Hyang Widhi Wasa (Suteja, 1978 : 13). Ini berarti

kepemimpinan yang dikehendaki adalah kepemimpinan sosial dan religius.

diantara 8 asas utama tersebut, yaitu :

1. Indra Brata : Raja/Pemimpin harus berwibaea, dan bersikap senantiasa

memperjuangkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.

2. Yama Brata : Raja hendaknya bersikap tegas dan berani menegakkan

keadilan berdasarkan hukum yang berlaku untuk mengayomi masyarakatnya.

3. Surya Brata : Raja hendaknya dapat memberikan sumber energy semangat

dankekuatan bagi rakyatnya.

196 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3.Simpulan

Dari uraian tentang kearifan lokal pada masa kerajaan kuno di Bali di atas,

maka seorang raja/pemimpin pada saat itu telah memimpin dengan bijaksana

selalu berpijak pada ajaran asta brata. Nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran

Asta Brata tersebut telah melahirkan nilai-nilai kearifan lokal yang sangat perlu

dikembangkan dan dilestarikan sebagai pegangan hidup masyarakat dewasa ini.

4 Kepustakaan

Ardika, I Wayan (DKK), 2015. Pemerintahan Raja-Raja Bali Kuno. Denpasar :

Udayana University Press.

Team Penyusun Naskah Sejarah Bali Dan Pengadaan Buku Sejarah Bali Daerah

Tingkat I Bali, 1980.Sejarah Bali. Denpasar : Pemda Propinsi Daerah

Tingkat I Bali.

Kartodirdjo (Dkk), 1975. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II. Jakarta :

Departeman Pendidikan Dan Kebudayaan.

Putranto,Hendar dan Mudji Sutrisno, 2005. Teori-Teori Kebudayaan.

Yogyakarta : Kanisius.

Suteja, Wayan Mertha, 1978. Dasar-dasar Kepemimpinan Tradisional Di Bali.

Denpasar : CV.Sumber Mas Bali.

http://seputarpengertian.blogspot.com/2018/10/pengertian-kearifan-lokal-dan-

bentuknya.html?m=1)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 197

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DESA-DESA DI BALI, DALAM LINTASAN SEJARAH

Ida Ayu Wirasmini Sidemen

Prodi Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Bagi masyarakat Bali, desa itu adalah kesatuan manusia dengan

manusia yang mendiami sebuah wilayah dengan batas-batas yang

pasti. Masyarakat Bali sangat terikat dengan kenyataan empirik

kehidupan, yaitu tri hita karana tentang hubungan hakiki antara

manusia dengan manusia yang disebut pawongan, hubungan

interaksi hakiki antara manusia dan tempat hidupnya yang disebut

dengan palemahan, dan hubungan interaksi hakiki antara manusia

dengan Tuhan yang disebut dengan parhyangan.

Penduduk yang tinggal dalam satu wilayah desa disebut kerama

desa yang jumlahnya ditentukan oleh mereka yang sudah terdaftar

sebagai penduduk, laki-laki perempuan, tua muda.

Dalam wilayah Bali, wilayah desa merupakan bagian wilayah

terkecil dari wilayah Bali yang lebih besar. Desa sebagai unit

terkecil dari wilayah dan dapat dibagi menjadi lebih kecil lagi yang

disebut dengan wilayah banjar. Wilayah banjar dibagi menjadi

bagian yang lebih kecil disebut dengan tempekan. Ada bagian utara,

timur, selatan dan barat, yang dilihat dari titik nadir wilayah desa

yang disebut dengan pempatan agung atau catus pata.

Pimpinan tertinggi prajuru desa disebut dengan bendesa. Jabatan

bendesa dibantu oleh beberapa pejabat yang memegang jabatan

tertentu, yang statusnya sesama pejabat bersifat horisontal. Di

bawah bendesa terdapat beberapa jabatan yaitu penyarikan, dapat

disamakan dengan sekretaris; petengen dapat disamakan dengan

bendahara; jabatan jururaksa dapat disamakan dengan kasir; juru

surat dapat disamakan dengan orang yang mengetik surat.

Pemerintah seharusnya mulai memperhatikan desa sebagai bagian

terkecil wilayah NKRI, yang harus mendapat perhatian khusus dan

memahami kondisi desa zaman dulu, untuk menemukan local

genius yang sebenarnya tidak perlu dihapus, tetapi harus ditumbuh

kembangkan dari berbagai aspek. Tidak bisa menyamakan semua

desa yang ada di Indonesia. Desa sebagai basis dasar

terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan. Jika ada yang

harus diubah, sebaiknya disesuaikan dengan yang telah

berlangsung di desa.

Kata Kunci: desa, kerama desa, bendesa

198 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

I

Pengantar

Latar Belakang dan Permasalahan

Bagi masyarakat Bali, membaca atau mendengar kata ―desa‖ dengan cepat

dapat mengerti makna yang terkandung, sehingga sering tidak membutuhkan

penjelasan. Bagi masyarakat Bali, desa itu adalah kesatuan manusia dengan

manusia yang mendiami sebuah wilayah dengan batas-batas yang pasti.

Masyarakat Bali sangat terikat dengan kenyataan empirik kehidupan, yaitu tri hita

karana tentang hubungan hakiki antara manusia dengan manusia yang disebut

pawongan, hubungan interaksi hakiki antara manusia dan tempat hidupnya yang

disebut dengan palemahan, dan hubungan interaksi hakiki antara manusia dengan

Tuhan yang disebut dengan parhyangan.1

Desa juga berarti sebuah kesatuan pemujaan terhadap kepercayaan Hindu

yang terpusat pada pemujaan Kahyangan Tiga, terdiri atas Pura Desa Bale Agung,

Pura Puseh dan Pura Dalem. Pura Desa Bale Agung merupakan tempat

pemujaan kepada Tuhan sebagai pencipta, Pura Puseh tempat pemujaan kepada

Tuhan sebagai pemelihara dan kehidupan, sedangkan Pura Dalem pemujaan

kepada Tuhan sebagai tempat mengembalikan semua kehidupan kepada asalnya.2

Pengertian desa, selain ditentukan oleh wilayah masih ada lagi syarat yang

secara eksplisit menjadi persyaratan. Misalnya sebuah desa harus memiliki pasar

yang disebut peken gede, atau tenten.Perbedaan antara peken gede dengan tenten,

selain lokasinya di desa dan di banjar, juga bahwa peken gede harus memiliki

pura melanting pasar, namun tenten tidak perlu memikili pura melanting

pasar.Desa juga harus memiliki tanah kuburan yang disebut dengan sema, khusus

untuk tempat menguburkan jenazah.

Dalam tulisan ini, yang dibahas mengenai kearifan lokal desa yang

berkaitan dengan masyarakat desa,wilayahdan struktur pemerintahan desa.

Metode

Karya tulis ini menggunakan metode sejarah yang diaplikasikan sebagai

perangkat kerja dalam usaha menemukan sumber (heuristik). Digunakan sumber

tertulis dan lisan. Sumber tertulis ditemukan di Perpustakaan Nasional Republik

Indonesia, Perpustakaan Gedong KirtyaSingaraja dan perpustakaan pribadi milik

Ida Bagus Sidemen. Sumber lisan diperoleh dari hasil wawancara dengan bendesa

sebagai narasumber, antara lain dengan I Gusti Ngurah Mahendradata,I Putu

Ardana. Sumber-sumber lain berupa artikel majalah dan bentuk penerbitan yang

lain.Sumber-sumber tersebut diperoleh dari menilai otensitas dan kredibelitas

1Dinas Pertanian Propinsi Bali, Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali (Denpasar:

Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980), hlm. 47. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Monografi Daerah Bali, 1985), hlm. 65-66.

2Team Penyusun Monografi Daerah Bali, Monografi Daerah Bali, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976), hlm. 59. Dinas Pertanian Propinsi Bali, Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali (Denpasar: Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980), hlm. 47. Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali, Monografi Daerah Bali, 1985), hlm. 65-66.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 199

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sumber (kritik). Berikutnya intepretasi terhadap sumber dan penulisan sejarah

sebagai hasil penelitian (historiografi).3

II

Penduduk, Wilayah dan Struktur Pemerintahan

1. Penduduk Desa.

Pengertian desa tidak hanya wilayah sebagai bagian dari daratan, tetapi

juga manusia yang tinggal, hidup dan berkembang dalam wilayah (palemahan).4

Penduduk yang tinggal dalam satu wilayah desa disebut kerama desa yang

jumlahnya ditentukan oleh mereka yang sudah terdaftar sebagai penduduk, laki-

laki perempuan tua muda. Kerama desa terdiri atas mereka yang sudah bersuami

istri, disebutkerama desa angkep; mereka yang janda atau duda karena

ditinggalkan mati atau cerai oleh suami atau istri, disebutkerama desa ayah balu,

semua penduduk laki-laki perempuan yang sudah akil balik tetapi belum nikah,

disebutkerama desa bajang.5

Dari sudut pandang administrasi pemerintahan desa, yang disebut dengan

kerama desaadalah kerama desa angkepdan kerama desa ayah balu. Oleh karena

itu kerama desa adalah manusia yang tinggal dalam wilayah yang disebut sebagai

desa. Pada umumnya angka diatas 75 kepala keluargasudah cukup memenuhi

syarat disebut sebagai penghuni wilayah yang disebut desa. Alasannya, karena

jumlah itu dianggap telah mampu melaksanakan dan membiayai

piodalankahyangan desa atau membantu kerama pada saat upacara upacara

ngaben (pitra yadnya).6

Kerama desa memiliki beberapa sebutan nama. Penyebutan kerama desa

yang tampak berbeda-beda itu, terkait dengan tugas dan kewajibannya terhadap

desa. Ketika kerama desa terkait dengan urusan pura, disebut dengan kerama

pemaksan. Ketika berurusan dengan kewajiban banjar, disebut sebagai kerama

banjar dan ketika terkait dengan penyelenggaraan kematian (pitra yadnya),

disebut dengan kerama patus. Ketika dikaitkan dengan tugas dan kewajiban

terhadap leluhurdari garis ayah disebut dengan kerama dadya atau garis ibu

disebut kerama paibon.Dalam hal yang melaksanakan kewajiban yang berbeda-

beda itu, pelaksananya semua sama sebagai penduduk atau kerama desa.

2. Pembagian Wilayah Desa.

Dalam wilayahBali, wilayah desa merupakan bagian wilayah terkecil

dari wilayah Bali yang lebih besar. Wilayah yang lebih besar itu disebut dengan

3

G.J. Garraghan, S.J, A GuideofHistoricalMethod (New York:

FordhamUniversityPress, 1957), hlm. 33; Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah (Jakarta:

Yayasan UI, 1975), hlm. 80-95.

4Palemahan merupakan salah satu bagian dari trihitakarana. Palemahan yang merupakan wilayah suatu desa.

5Berdasarkan pengamatan peneliti di lapangan.

6Hasil wawancara dengan, nama: I Gusti Ngurah Mahendradata; pekerjaan: swasta; jabatan: BendesaDesa Saba-Gianyar sejak tahun 2009; umur: 44 tahun; alamat: Desa Saba; tanggal wawancara: 15 September 2012.

200 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

gumiBali, atau kerajaan Bali. Ada sembilan wilayah yang disebut dandiakui

sebagaiwilayahkerajaanyaitu kerajaan Klungkung, Payangan, Mengwi, Den Bukit

(Buleleng), Badung, Karangasem, Bangli, dan Gianyar.7

Wilayah kerajaan masih terbagi menjadi wilayah kepunggawaan dan

kemancaan, yang luas wilayahnya berbeda-beda. Ada wilayah kepunggawaan

yang mewilayahi beberapa wilayah kemancaan dan sejumlah wilayah desa.

Namun ada satu punggawa hanya mewilayahi satu wilayah manca, yang juga

samadengan wilayah sebuah desa.8

Desa sebagai unit terkecil dari wilayah kerajaan masih dapat dibagi

menjadi lebih kecil lagi yang disebut dengan wilayah banjar. Wilayah banjar

dibagi menjadi bagian yang lebih kecil disebut dengan tempekan. Ada tempek

kaja(utara), tempek kangin(timur), tempek kauh(barat) dan tempek kelod (selatan),

yang dilihat dari titik nadir wilayah desa yang disebut dengan pempatan agung

atau catus pata.9

Tempekan merupakan pengelompokan wilayah karang desa yang

ditempati oleh kerama desa sebagai bagian dari wilayah banjar. Batas-batas setiap

karang desa ditentukan oleh tembok atau pagar yang dibuat oleh pemilik karang

desa dan penyanding karang desa.10

Dalam hal ini berlaku ulu, teben, kiwa,

tengen. Untuk menentukan batas unit terkecil desa yang disebut dengan karang

desa, maka kerama desa yang menempati karangdesa harus membuat tembok

pembatas(penyengker) yang sudah ditetapkan oleh desa. Tembok pembatas yang

wajib dibuat oleh kerama desa adalah tembok sebelah utara (ulu) dan tembok

sebelah timur(tengen), sedangkan tembok sebelah selatan (teben) dan sebelah

barat (kiwa) dibuat oleh yang bertempat tinggal disebelahnya (keramapenyanding). 11

Batas-batas tersebut sangat penting karena akan digunakan sebagai

pedoman untuk acuan menyelesaikan sengketa antar keraman, apabila terjadi

pelanggaran terhadap palemahan karang desa yang disebut kataban

karang.12

Untuk melindungi hak dan kewajiban penduduk desa dalam kasus

7Paswara Astanegara, naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, Nomor IIa.967/3,

hlm. 1b-9a.

8J.J. de Hollander, Handleiding bij de Boeefening der Land en Volkenkunde van Nederlandsch Oos-Indie, (Breda: van Broese&Compagnie, 1898), hlm. 697.

9Hasil wawancara dengan, nama: I Gusti Ngurah Mahendradata; pekerjaan: wiraswasta; jabatan: BendesaDesa Saba-Gianyar; umur: 44 tahun; alamat: Desa Saba; tanggal wawancara: 15 September 2012.

10Contoh kasus tentang batas penyandin, salahsatunyatermuatdalamnaskah lontar koleksi PerpustakaanNasional RI. Kode Penelitian. 068/24/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5 **/ 05. 2013.

11 Hasil wawancara dengan, nama: Ida Bagus Sidemen; umur: 75 tahun; pekerjaan: pensiunan dosen Sejarah Fakultas IlmuBudaya Universitas Udayana; alamat: Jln. Tunggul Ametung II/15 Denpasar-Bali; tanggal wawancara: 23 September 2013.

12Beberapa contoh yang termasuk dengan pelanggarankataban karang misalnya

lebah banyu artinya air cucuran atap melewati tembok tembok batas

pekarangan(penyengker), sehingga air cucuran atap jatuh pada halaman pekarangan

kerama penyanding.Ngungkulinkarang, kalau ada pohon atau tumbuhan besar, yang daun

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 201

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kataban karang yang berkaitan dengan masalah antar kerajaan, dalam

PaswaraAstanegaraantara kerajaan dapat ditemukan beberapa petikan untuk

kesepakatan antara beberapa kerajaan, baik yang bersifat bilateral maupun

multilateral. Di dalamnyaantara lain berkaitan dengankesepakatan perlindungan

antar kerajaan Klungkung, Karangasem, Singaraja, Gianyar, Bangli, Payangan

dan Mengwi, yang disebutkan mengenai kewajiban membantu menyelamatkan isi

kapal yang terdampar (melayar kampih), yang dilakukan oleh penduduk desa

nelayan, dan kepada penduduk harus dibayarkan ganti rugi atau uang penebusan

yang jumlahnya sudah disepakati 1.000 keping pis bolong, untuk setiap orang

yang mampu diselamatkan.13

Ada juga perlindungan terhadap penduduk desa yangmenikah dengan

orang asing, seperti dengan Tionghoa dan Bugis. Jika ada lelaki orang asing yang

menikahi gadis penduduk desa, baik dengan menikahberdasarkan cinta, atau

kawin lari, atau terkait pembayaran utang, maka kepada lelaki asing itu tetap

harus membayar kepada orang tua perempuan (untuk gadis) 14.000 keping pis

bolong dan untuk janda 12.000 keping pis bolong.14

Istilah kataban karang, yang pada dasarnya berlaku dalam batas

pekarangan rumah, atau batas wilayah kerajaan, pada zaman kedatangan Belanda,

istilah kataban karang itu berubah menjadi tawan karang. Kata karang

diterjemahkan bukan sebagai wilayah, tetapi sebagai batu karang yang sering

menyebabkan perahu besar kandas. Pemahaman ini telah membuat Belanda

menerjemahkan hukum tawan karang itu dengan kata kliprecht. Klip itu artinya

karang, rect itu artinya hukum. Dalam paswara antar kerajaan di Bali, ditetapkan

hukum tawan karang ini dengan istilah melayar kampih. Apabila ada perahu

kandas (kampih), maka penduduk desa nelayan yang berdekatan dengan lokasi

perahu yang kandas itu, wajib memberikan bantuan penyelamatan nyawa terhadap

awak atau penumpang kapal dan bantuan penyelamatan barang-barang. Setelah

kapal itu dilaporkan, maka pemilik kapal harus menebus orang yang telah

diselamatkan dan menebus pula barang-barang yang telah diselamatkan. Apabila

tidak bersedia menebus, maka awak atau penumpang kapal menjadi budak hak

raja yang memiliki lokasi tempat kapal itu kandas dan barang-barang menjadi

milik desa yang membantu menyelamatkan barang-barang itu.15

Bagi Belanda aturan ini dianggap sangat merugikan niaga pelayarannya,

baik milik Belanda sendiri atau penduduk wilayah lain yang sudah berada di

bawah kekuasaan Belanda. Hampir semua sengketa antara Bali dengan Belanda,

atau cabangnya berada di halaman rumah tetangga, sehingga sampahnya jatuh menjadi

sampah tetangga. Apabila kasus ini dilaporkan kepada prajuru desa, maka akan

dikenakan denda sesuai dengan awig-awig desa atau banjar yang berkaitan dengan

kataban karang. Hasilwawancaradengan Ida Bagus Sidemen, loc.cit.

13Paswara Astanegara, op.cit., hlm.3a.

14Ibid., hlm.4b.

15 Paswara Asta Negara, naskah koleksi Gedong KirtyaSingaraja, Nomor

IIa.967/3, hlm 2a-2b. V.E.Korn, BalischeOvereenkomsten, (‗s-Gravenhage: Martinus

Nijhoff, 1922), hlm. 14-15.

202 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang diawali dengan kasus tawan karang.16

Perang Buleleng tahun 1846 dimulai

dengan yang pihak Belanda tidak bersedia menebus, bahkan berbalik meminta

ganti rugi dengan tuduhan bahwa kerajaan dan penduduk desa telah melakukan

perampasan. Perang Buleleng tahun 1846, didahului oleh kasus kapal Cina yang

kandas di pesisir desa Sangsit, yang dikenakan hukum tawan karang oleh

kerajaan Buleleng. Perang Kusamba tahun 1849 berawal dari kasus kapal milik

Cina kandas di pesisir Pesinggahan Kasumba. Perang Puputan Badung tahun 1906,

diawali oleh kasus kapal bernama Sri Komala berbendera Belanda milik Cina

kandas di pantai Sanur.17

3. Struktur Pemerintahan Desa

Penduduk desa terbagi atas kerama desa sebagai yang diperintah dan

prajuru desa sebagai yang memerintah. Pimpinan tertinggi prajuru desa disebut

dengan bendesa (jero bendesa/kelian desa).Kata jero adalah sebuah penghormatan

kepada pejabat yang diberikan oleh keramadesa.18

Jabatan bendesa dibantu oleh

beberapa pejabat yang memegang jabatan tertentu, yang statusnya sesama pejabat

bersifat horisontal. Di bawah bendesa terdapat beberapa jabatan yaitu penyarikan,

dapat disamakan dengan sekretaris; petengen dapat disamakan dengan bendahara;

jabatan jururaksa dapat disamakan dengan kasir; juru surat dapat disamakan

dengan orang yang mengetik surat. Status jabatan tersebut sama tingginya baik

ditinjau dari bendesa sebagai atasan maupun dari kerama desa sebagai bawahan,

seperti di bawah ini:

16

Dalam hal ini kata karang diterjemahkan sebagai batu karang yang sering

membuat kapal kandas. Dalam paswara, karang itu artinya wilayah dengan batas-

batasnya yang pasti, wilayah kerajaan atau wilayah perumahan. Belanda lebih

memperhatikan pelanggaran di laut, tetapi jarang sekali memperhatikan pelanggaran tapal

batas di darat yang sering menyebabkan perang-perang kecil (branangan) antar desa

perbatasan yang berpengaruh atas perubahan tapal batas kerajaan pada desa-desa tepi

batas kerajaan.

17Gaguritan Bhuwana Winasa, naskah koleksi Gedong KirtyaSingaraja, nomor Vc 1565/4, hlm. 16b–19b. Lihat pula karya Ida Bagus Sidemen,“Bali Jilid Dua:Melawan dengan Matelasan”,(naskah belum diterbitkan), (Denpasar : 2010), hlm. 356 – 365.

18Kata jero adalah sebuah penghormatan kepada pejabat yang diberikan oleh keramadesa.Hasil wawancara dengan: (1), nama: I Nengah Mardika; jabatan: juru raksa desa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 37 tahun pekerjaan: jero mangku Dalem; tanggal wawancara: 17 Mei 2012. (2), nama: I Putu Ardana; jabatan bendesa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 38 tahun; pekerjaan: wiraswasta; tanggal wawancara: 21 Oktober 2012.(3), nama: I Wayan Sukardana; jabatan: penyarikan desa adat Tenganan Dauh Tukad; umur: 39 tahun; pekerjaan: wiraswasta; tanggal wawancara: 17 Mei 2012.Di Desa Tenganan Dauh Tukad-Karangasem yang dituakan disebut penghulun desa. Ada juga keliang lingsir dan keliang desa. Keliang lingsir terdiri dari 12 (dua belas) orang yang diangkat menurut jenjang perkawinan yang tertua. Keliang lingsir bertugas untuk mengawasi kinerja keliang desa dan sekaligus menjalankan upacara di desa.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 203

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bendesa

penyarikan petengen juru raksa

Setiap banjar akan dipimpin oleh kelian banjar (keliang banjar),19

yang juga

dibantu oleh penyarikan, petengen, juru raksa dan juru surat tingkat banjar.

Dalam hubungan struktural antara banjar dengan desa, jabatan yang terkait hanya

bendesa dan kelianbanjar, sedangkan pejabat prajuru hanya bertanggung jawab

kepada atasan masing-masing.

III

Simpulan

Ketika pemerintah mulai memperhatikan desa sebagai bagian terkecil

wilayah NKRI, yang harus mendapat perhatian khusus, seharusnya pemerintah

memahami kondisi desa zaman dulu, untuk menemukan local genius yang

sebenarnya tidak perlu dihapus, tetapi harus ditumbuh kembangkan dari berbagai

aspek. Tidak bisa menyamakan semua desa yang ada di Indonesia. Desa sebagai

basis dasar terselenggaranya pembangunan dan pemerintahan. Jika ada yang harus

diubah, sebaiknya disesuaikan dengan yang telah berlangsung di desa. Salah

satunya yang sedang terjadi perbincangan di Bali, tentang perda Lembaga

Perkreditan Desa (LPD, yang menurut beberapa pendiri menyatakan dimedia

cetak, bahwa pembentukannya telah lebih dulu melakukan kajian sejarah desa.

LPD dibangun telah sesuai dengan local genius manusia Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Buku dan Artikel

Balai Bahasa. Kamus Bali Indonesia. Denpasar: Balai Bahasa Denpasar, 2005.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Bahasa Bali Kuno-Indonesia.

Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan, 1985.

Dinas Pertanian Propinsi Bali. Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali. Denpasar:

Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980.

19Kelian atau kelihan berarti orang yang dituakan. Ada juga yang menyebut

keliang yang berarti orang yang selalu memberikan kesenangan. Dari kedua istilah tersebut menunjukkan bahwa seorang pemimpin diwajibkan memberikan kegembiraan kepada kerama, maka dari itu dianggap sebagai tetua. G.J Graner menyebutkan, sebuah desa di Bali dipimpin oleh orang yang dituakan yang disebut dengan dulun desa. Dulun desa diangkat berdasarkan kemampuan dan kesepakatan keramadesa. G.J. Graner, Nota vanToelichtingenbetreffendehet in stollenZelfbesturendLandschapBoeleleng, 1932, hlm. 45.

204 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dinas Pertanian Propinsi Bali. Monografi Propinsi Daerah TK. I Bali. Denpasar:

Pertanian Propinsi Daerah Tingkat I Bali, 1980.

Gaguritan Bhuwana Winasa. Naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, nomor

Vc 1565/4.

Garraghan, G.J. S.J. A Guide of Historical Method. New York: Fordham

University Press, 1957.

Gorris. Prasasti Bali Jilid I. Bandung: Masa Baru, 1954.

Gottschalk, Louis. Mengerti Sejarah. Jakarta: Yayasan UI, 1975.

Graner, G.J. Nota van Toelichtingen betreffende het in stollen Zelfbesturend

Landschap Boeleleng, 1932.

Hollander, J.J. de.Handleiding bij de Boeefening der Land en Volkenkunde van

Nederlandsch Oos-Indie. Breda: van Broese&Compagnie, 1898.

Korn, V.E.Balische Overeenkomsten. ‗s-Gravenhage: Martinus Nijhoff, 1922.

Naskah lontar koleksi PerpustakaanNasional RI. Kode Penelitian.

068/24/PNRI/JKT/PT 43 LKB 5 **/ 05. 2013.

Paswara Astanegara. Naskah koleksi Gedong Kirtya Singaraja, Nomor IIa.967/3.

Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Monografi Daerah Bali, 1985.

Pemerintah Daerah Tingkat I Propinsi Bali. Monografi Daerah Bali, 1985.

Sidemen,Ida Bagus. ―Bali Jilid Dua:Melawan dengan Matelasan‖.(naskah belum

diterbitkan). Denpasar : 2010.

Team Penyusun Monografi Daerah Bali. Monografi Daerah Bali. Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI, 1976.

Zoetmulder, P.J. dan S.O. Robson. Kamus Jawa Kuna Indonesia. Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 205

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

WACANA TRADISI TARI WALI BARIS SUMBU DALAM UPACARA

NEDUH DI PURA DESA, DESA ADAT SEMANIK

DESA PLAGA-BADUNG

Ida Bagus Rai Putra

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Baris sumbu merupakan tarian keagamaan yang dipentaskan setiap

upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga,

Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh merupakan

upacara bersih desa yang dimaksudkan untuk memohon

kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Ida Hyang Widhi,

Tuhan penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya.

Tarian Baris Sumbu dalam kaitan upacara Neduh ditarikan setahun

sekali, sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam

perhitungan Panca Wara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon)

bertepatan dengan hari kelima yang pertama, yaitu Umanis. Pada

penelitian ini dijelaskan 2 hal permasalahan pokok, yaitu pertama

mengapa tradisi Tari Baris Sumbu dilaksanakan secara

berkelanjutan dari tahun ke tahundan dari generasi ke generasi.

Kedua, apa makna tradisi Tari Baris Sumbu bagi masyarakat Desa

Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Kabupaten Badung.

Penelitian ini bersifat kualitatif, deskriptif interpretatif. Diawali

dari fakta empiris,penelitian terjun ke lapangan, mempelajari,

menganalisis, menafsirkan, dan menarik kesimpulan dari fenomena

yang ada di lapangan. Menafsirkan dan mendiskripsikan data

ataspencarian fakta berdasarkan pemahaman dan interpretasi yang

tepat. Teori yang digunakan adalah teori pasca struktur, yaitu teori

wacana dan semiotik.

Proses Tari Wali Baris Sumbu sangatlah sederhana sebagaimana

karakteristik tari wali pada umumnya. Ditarikan 4 orang pemuda

membawa Sumbu yang telah digelantungi ketupat, jajan bantal,

dan jenis jajanan lainnya dengan mengelilingi piyadnyan (balai suci

tempat upacara) ke arah kanan sebanyak 3 kali. Tipat bantal dan

jajanan lainnya pada sumbu diambil, ditaburkan, diperebutkan dan

dinikmati oleh masyarakat. Sisanya kemudian ditaburkan ke tegal

masing-masing dengan maksud memperoleh kesuburan.

Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik,

adalah bentuk penghormatan dan permohonan kemakmuran dari

umat kepada Ida Hyang Widhi. Pementasan tradisi Tari Wali Baris

Sumbu memunculkan rasa kebersamaan, persatuan, dan integritas

sosial pada masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga,

Kecamatan Petang, Kabupaten Badung.

Kata-kata kunci: tradisi, tari wali, baris sumbu, dan neduh.

206 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. Pendahuluan

Tradisi Tari Wali Tari Baris sumbu adalah tarian keagamaan yang

dipentaskan setiap dilangsungkannya Upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat

Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh

oleh masyarakat Desa Adat Semanik digolongkan upacara bersih desa dengan

tujuan memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke hadapan Ida Hyang Widhi

Wasa penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya. Tari Baris Sumbu

ditarikan setahun sekali, bersamaan dengan dilangsungkannya upacara Neduh

pada sasih Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan Panca

Wara ( Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang

pertama, yaitu Umanis.

Tradisi Tari Wali Baris Sumbu, sebagaimana halnya tarian

keagamaan(sakral/ Wali) di Bali, terkait dengan bangun kesenian masyarakatnya.

Keduanya, seni dan agama menjadi penguat konsepsi dan implementasi ajaran

Catur Marga, yaitu Bhakti, Karma, Jnana, dan Raja Marga. Penganut agama

Hindu di Bali mendapatkan banyak carasesuai dengan minat dan bakatnya untuk

memilih jalan terbaik menuju dharma. Akan tetapi dalam prakteknya masyarakat

Bali, tanpa kecuali masyarakat Desa Adat Semanik jalan Bhakti Marga adalah

yang menonjol.

Bhakti Marga merupakan ajaran yang langsung dan dirasakan riil oleh

umat Hindu mencari Sang Hyang Widhi. Implementasi ajaran Bhakti Marga,

terlihat dan terasa begitu alamiah,dan mudah diterima untuk dilaksanakan oleh

mereka yang awam sekalipun. Rasa cinta kasih Hyang Widhi/Hyang Welas Asih

terasa di dalam sanubari mereka yang memperaktekkan ajaran Bhakti Marga.

Tradisi tari Wali Tari Baris Sumbu, yang ditarikan di Pura Desa, di Desa

Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang Badung dirasakan sangat mudah

dicerna baik dalam satuan-satuan gerak tariannya, persiapan, awal gerak, tengah,

dan akhir. Mereka yang menarikan terbawa arus cinta kasih Hyang Widhi berupa

kerahayuan dan kemakmuran untuk tetanaman yang sedang dibudidayakan

ditanam di ladang masyarakat.

Berdasarkan latar belakang itulah, penulis tertarik untuk meneliti wacana

tradisi tari wali Baris Sumbu di desa Adat Semanik, kabupaten Badung ini. Ada

dua masalah pokok yang diketengahkan dalam tulisan ini untuk dicarikan

jawabannya, yaitu: pertama mengapa tradisi Tari Baris Sumbu dilaksanakan

rutin dari tahun ke tahun, dan dari generasi ke generasi. Kedua, apa makna

tradisi Tari Baris Sumbu bagi masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga,

Kecamatan Petang Kabupaten Badung.

2. Kesederhanaan Gerak dan Pewarisan Tari Wali Tari Baris Sumbu Desa

Adat Semanik

Pegamatan terhadap penampilan Tari Wali, Tari Baris Sumbu memiliki

keunikan atau kekhasan, yaitu tarian yang ditarikan oleh 4 orang pemuda ini

menggunakan sarana Sumbu, alat yang terbuat dari batang bambu, ujungnya

berbentuk sumbu, bulat lonjong.Panjang sumbu bambu kurang lebih 2 meter.

Setiap pementasan ujung bambu digelantungi tipat,bantal, blayagdan jajanan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 207

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lainnya. Pakaian atau perhiasan penari cukup menggunakan pakaian adat ke pura,

berupakamen, kampuh, dan destar.

Saat menari, penari yang menarikan Tari Baris Sumbu tidak menggunakan

agem-ageman yang khusus sebagaimana layaknya pada tarian baris yang kita

kenal selama ni. Gerakan-gerakan para penarinya cukup sederhana, hanya

memegang sumbu yang kemudian berjalan dan tangan sesekali dikipaskan

sedemikian rupa (nayog) mengelilingi panggungan banten, berputar kea rah kanan

(pradaksina) sebanyak 3 kali putaran. Gerak tubuh dan pikiran penari pada saat

menari terkosentrasi pelaksanaan upacara Neduh yang berlangsung khimat.

Tari Baris Sumbu dipentaskan secara rutin pada sasihKapitu yang jatuh

pada hari kelima Umanis, bertepatan dengan dilangsunkannya upacara Neduh,

upacara Dewa Yadnyauntuk pembersihan desa dan semua sajen dipersembahan ke

hadapan Dewi Sri. Dewa penganugerah kemakmuran. Upacara ini rutin

dilaksanakan setiap tahun sekali, terlaksana sebelum upacara Mendak Widhi

yang berlangsung di Pura Pucak Mangu. Semua banjar adat yang ada di wilayah

Desa Plaga, yaitu Semanik, Tiyingan Auman, Nungnung, Kiadan, Bukian, Plaga,

Tinggan melaksanakan upacara Neduh. Akan tetapi yang unik adalah hanya Desa

Adat Semanik yang mementaskan Tari Wali Baris Sumbu beriringan dengan

pelaksanaan Upacara Neduh. Rutin setiap tahun dilaksanakan, tidak pernah

terputus. Akan tetapi sebagai tradisi warisan leluhur, masyarakat Desa Adat

Semanik sampai hari inipun tidak ada yang mengetahui kapan sesungguhnya awal

mula Tari Wali Baris Sumbu ini ditarikan di Desa Adat Semanik.

―Dapet tiang sampun memargi kadi asapuniki. Panglingsir tiang taler

maosang asapunika, sampun napet‖. Artinya, saya dapatkan sudah berlangsung

seperti ini. Tetua saya juga mengatakan seperti ini, sudah memang ada.

Informasi di atas menerangkan bahwa Tari Wali Baris Sumbu dalam

Upacara Neduh di Desa Adat Semanik telah menjadi tradisi yang diwariskan

secara turun-temurun.

3. Pementasan tari Baris Sumbu dalam Upacara Neduh

Tidak ada persyaratan khusus sebagai seorang penari Tari Wali Baris

Sumbu, hanya saja penarinya anggota daa truna atau pemuda krama Desa Adat

Semanik yang belum menikah. Sebelum menari para penari diperciki tirtha

prayascita yang dimaksudkan untuk membersihkan segala bentuk kekotoran yang

melekat pada diri penarinya. Iringan gambelan dari Tari Wali Baris Sumbu adalah

tabuh gong kebyar.

Setelah pemangku selesai melaksanakan tugasnya, nganteb Upakara Neduh,

barulah Tari Wali Baris Sumbu dipentaskan. Para penari yang terdiri dari empat

orang pemuda berdiri di setiap pojok panggungan banten, kemudian mereka

bergerak memulai menari mengitari panggungan(tempat sajen upacara) sebanyak

3 kali, berputar searah jarum jam, ke kanan (Murwadaksina). Kemudian Sumbu

yang ditarikan dikumpulkan di natar palataran Pura Desa.Bersamaan dengan itu

pemedek mulai merapat di natar pura. Sumbu yang berisi tipat bantal diambil

masing-masing penari dan ditaburkan ke arah masyarakat adat. Sambil berebutan

mengambil hidangan yang ditaburkan penari Tari Wali Baris sumbu, mereka

208 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

bersorak sorai riang gembira menyambut anugerah kemakmuran untuk dinikmati

dan ditaburkan pula ke masing-masing ladang tegalannya.

Penaburan dan perebutan isi sumbu dari penari Baris Sumbu mengandung

maksud, bahwa amertha (sumber kehidupan) itu tersebar adanya dan dibutuhkan

upaya dan kerja keras untuk mendapatkannya. Demikan pula arti tipatbantal yang

didapatkan.Selain dinikmati juga ditaburkan di semua areal perkebunan secara

merata. Tirtha (air suci) yang dicampur dengan lungsuranjajauli dan

jajabegina(jajanan yang telah dipersembahkan) kemudian dipercikkan ketegal

masyarakat Desa Adat Semanik. Masyarakat mendapatkan tipat dan bantal, boleh

memakannya sebagai simbol anugerah dari Hyang Widhi.

4.Makna Tradisi Tari Wali Tari Baris Sumbu

Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, dapat

dipahami setelah melakukan pendalaman dan interpretasi melalui kewacanaan

meliputi satuan prosesi, gerak dan pewarisan, serta maksud dan tujuan tradisi tari

wali Baris Sumbu ditampilkan pada upacara Neduh di Pura Puseh Desa Adat

Semanik, Desa Palaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Makna yang

terkandung dari tradisi tari wali Baris Sumbuadalahsarana penghormatan dan

permohonan kemakmuran dari masyarakat desa adat Semanik kepada Ida Hyang

Widhi, memunculkan rasa kebersamaan, persatuan dan integritas sosial pada

masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten

Badung.

Makna yang pertama wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat

Semanik, adalah bentuk penghormatan dan permohonan kemakmuran ke hadapan

Ida Hyang Widhi. Tari Wali Baris Sumbu ini adalah bagian integral dari kegiatan

upacara yadnya (DewaYadnya) Neduh yang dilakukan oleh masyarakat Desa Adat

Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Yadnya Neduh

yang dilaksanakan dimaksudkan agar terjadi hubungan harmoni antara manusia

dan Tuhan, manusia denganleluhur (neneh moyang), manusia dengan alam, serta

manusia dengan sesama.

Makna kedua dari wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di pura Desa Desa

Adat Semanik, adalah ungkapan nyata rasa bakti masyarakat Desa Adat Semanik

yang dilaksanakan secara turun temurun. ―Niki sampun tami titiang saking

panglingsir desane deriki ring Desa Adat Semanik. Prasida memargi riantukan

yadnya puniki pinaka bhakti titiang ring Ida Hyang Widhi‖. Ini (Tari Baris

Sumbu) sudah menjadi warisan dari leluhur masyarakat desa adat Semanik. Hal

ini bisa terlaksana secara turun temurun karena pada hakikatnya adalah

perwujudan rasa bhakti kepada Truhan Yang Maha Esa‖, kata Nyoman Madra

(82 tahun) tetua masyarakat desa adat Semanik.

Makna ketiga dari wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu di pura Desa Desa

Adat Semanik, adalah menjadi pendorong dan penggerak rasa persatuan dan

integritas sosial di tengah-tengah masyarakat Desa Adat Semanik. Pada saat

upacara berlangsung dan ditarikannya Tari Wali Baris Sumbu, masyarakat Desa

Adat Semanik wajib datang dan mengikuti prosesing upacara Neduh dan

menyaksikan dengan seksama Tari Wali Baris Sumbu yang ditarikan oleh empat

orang pemuda desa adat Semanik. Dengan keberadaan ini, tari Baris Sumbu

menjadi alat untuk membangun integrasi sosial dalam masyarakat. Di samping itu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 209

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Tari Wali Barius Sumbu berhasil mempererat rasa persaudaraan di antara sesama

penduduk desa adat Semanik.

5. Kesimpulan

Wacana tradisi Tari Wali Baris Sumbu merupakan tarian keagamaan yang

dipentaskan setiap upacara Neduh di Pura Desa, Desa Adat Semanik, Desa Plaga,

Kecamatan Petang, Kabupaten Badung. Upacara Neduh merupakan upacara

bersih desa yang dimaksudkan untuk memohon kemakmuran dan kesejahteraan ke

hadapan Tuhan Siwa penganugerah kerahayuan alam semesta beserta isinya.

Tarian Baris Sumbu dalam kaitan upacara Neduh ditarikan setahun sekali , sasih

Kapitu nemu Umanis, sekitar bulan Januari dalam perhitungan PancaWara (

Umanis, Paing, Pon, Wage, Kliwon) bertepatan dengan hari kelima yang

pertama, yaitu Umanis.

Proses Tari Wali Baris Sumbu sangatlah sederhana sebagaimana

kharakteristik tari wali pada umumnya. Ditarikan 4 orang pemuda membawa

Sumbu yang telah digelantungi ketupat, jajan bantal , dan jenis jajanan lainnya

dengan mengelilingi piyadnyan (balai suci tempat upacara) ke arah kanan

sebanyak 3 kali. Tipatbantal dan jajanan lainnya didalam sumbu diambil,

ditaburkan, diperebutkan dan dinikmati oleh masyarakat. Sisanya kemudian

ditaburkan ke tegalan masing-masing dengan maksud memperoleh kesuburan.

Makna tradisi Tari Wali Baris Sumbu di Desa Adat Semanik, Desa Palaga,

Kecamatan Petang, Kabupaten Badung adalah sarana penghormatan dan

permohonan kemakmuran dari masyarakat desa adat Semanik kepada Ida Hyang

Widhi, memunculkan rasa kebersamaan, persatuan dan integritas sosial pada

masyarakat Desa Adat Semanik, Desa Plaga, Kecamatan Petang, Kabupaten

Badung.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan, 2006.Pengelolaan Pustaka Budaya Sebagai Objek dan Daya

Tarik Pariwisata Di Bali. Makalah dalam Seminar Bali Bangkit Bali

Kembali.

Roland. 2003. Mitologi. Terjemahan oleh Christian Ly dariMythologies.

Padang: Dian Aksara Press.

Berry, John W. dkk, 1999. Psikologi Lintas Budaya: Riset dan Aplikasi. Jakarta:

PT. Gramedia Pustaka Utama.

Diastika, I Wayan, 1985.―Peningkatan Senitasi Lingkungan pada Ilustrasi

Pariwisata di Bali‖ Makalah dalam Rangka Sepekang Seminar Dies Natalis

UNUD.

Ibrahim, Abdul Syukur, ed. 2000. Metode Analisis Teks dan Wacana.

Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Parimartha, dkk. 2011. Nilai Karakter Bangsa dan Aktualisasinya dalam

Kehidupan Masyarakat Bali.Denpasar: Udayana University Press.

Putra, Ida Bagus Rai. 2019. Wacana Mabuug-buugan Masyarakat Desa Adat

Kedonganan-Badung. Denpasar: Makalah Seminar Bahasa Ibu FIB Unud.

Usman, Husaini, 1995.Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: PT Bumi Aksara.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 210

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEARIFAN LOKAL SINKRETISME HINDU-BUDHA PADA RELIEF

CANDI PENATARAN SEBAGAI JATI DIRI BANGSA

Ida Bagus Sapta Jaya

[email protected]

ABSTRAK

Kearifan Local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi

Penataran Sebagai Jati Diri Bangsa menganalisis sinkretisme Relief

cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat

Hindu,dalam seni bangunan atau candi, sifat Hindu-Buda terlihat

harmonis dan serasi sekali pada candi Penataran.Sinkretisme di

relief candi Penataran dapat membuktikan terjadinya toleransi dua

agama yang berbeda yaitu agama Hindu dan Budha, dengan

mengambil sikap politik sinkretisme pada masa lalu. Hal tersebut

dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara

damai antara sekta-sekta agama masa itu yang bermakna sebagai

jati diri bangsa.

Kata Kunci : Relief Hindu-Budha, Sinkretisme, jati diri bangsa

I.Pendahuluan

Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang tinggi

nilai, baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai sumber inspirasi bagi

kehidupan bangsa di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan

upaya-upaya untuk memahami dan melestarikan benda-benda tersebut. Namun

kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna, serta kurangnya rasa memiliki

warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak

bertanggung jawab. (Sambung Widodo, 1992 : 33)

Sebagaimana diketahui bahwa warisan budaya khususnya tinggalan

arkeologi merupakan sumber daya budaya yang memiliki berbagi nilai dan makna

antara lain : nilai, dan makna informasi/ilmu pengetahuan, ekonomi, estetika dan

asosiasi/simbolik (Cleere 1984; Lipe 1984; McManamon 2000; et all Ardika

2004 : 50).

Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang tinggi

nilai, baik sebagai sumber sejarah maupun sebagai sumber inspirasi bagi

kehidupan bangsa di masa kini dan yang akan datang. Oleh karena itu diperlukan

upaya-upaya untuk memahami dan melestarikan benda-benda tersebut. Namun

kurangnya pemahaman dan kesadaran akan makna, serta kurangnya rasa memiliki

warisan budaya bangsa tersebut, sering terjadi tindakan-tindakan tidak

bertanggung jawab. (Sambung Widodo, 1992 : 33)

Jatidiri adalah suatu kata yang secara harfiah dapat berarti karakter pokok,

sifat inti yang dimiliki oleh sekelompok masyarakat, etnis, atau secara individu.

―Penguatan jatidiri haruslah diawali dengan pemupukan rasa cinta dan

kebanggaan terhadap warisan para pendahulu yang mewariskan perangkat nilai,

norma-norma sosial dan kegiatan sosial politik, ekonomi maupun budaya yang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 211

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

terekam dalam sejarah. Rekaman sejarah itulah yang akan menjadi ilham, pemacu

semangat teladan bagi generasi penerus untuk memupuk, mengembangkan, dan

mengukuhkan jatidiri bangsa,‖.(Masyhudi, 2012 : 100-101)

Latar belakangkurangnya rasa memiliki warisan budaya bangsa tersebut,

sering terjadi tindakan-tindakan tidak bertanggung jawabdan diharapkan timbul

kepekaan serta kepedulian untuk memeliharanya sebagai jatidiri bangsa. Bertolak

dari tema ―kearifan local sebagai pembentuk karakter bangsa dengan sub topik

―kearifan local sebagai jatidiri bangsa‖, maka dalam tulisan ini akan dikaji

Kearifan Local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai

Jati Diri Bangsa.

2. Relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang bersifat

Hindu

Terdapatnya seni rupa relief cerita yang bersifat Budha pada candi Penataran yang

bersifat Hindu sebenarnya sudah sesuai dengan keadaan periode Jawa Timur masa

itu yang terdapat perubahan dalam kehidupan beragama, karena pada masa itu

agama Hindu dan Buda dipeluk sekaligus bersamaan. Di samping kedua agama

tersebut, unsur kepercayaan asli Indonesia juga member pengaruh yang besar,

sehingga yang dinamakan agama Negara pada periode Jawa Timur berbeda

dengan Jawa Tengah. Pada periode Jawa Tengah yang dinamakan agma Negara

adalah agama Hindudan Buda, sedangkan pada periode Jawa Timur keduanya

menjadi agamaresmi kerajaan (Rassers, 1982 : 17, 41).

Sehingga puncak dari hubungan Hinduisme denga Budisme di Jawa Timur terjadi

pada zaman Singasari sampai dengan Majapahit. Maka hamper semua cabang

kebudayaan, seperti seni bangun, seni pahat atau seni sastra bernafaskan Hindu-

Buda.

Dalam seni bangunan atau candi, sifat Hindu-Buda terlihat harmonis dan

serasi sekali pada candi Penataran, dengan dipahatkannya relief cerita Bubuksah

Gagangaking. Berdasarkan pengamatan dan penelitian yang dilakukan Kern,

Zoetmulder, Krom, Rassers perpaduan

Hinduisme dan Budisme itu disebut sinkretisme, yang berarti kedua agama

tersebut pada lahirnya tetap merupakan dua wujud yang berdiri sendiri, tapi pada

dasarnya dwi tunggal (Kern, 1901 : 26).

Dari Pengertia tersebut maka Haryati Subadio cenderung menyebutkan dengan

istilah koalisi. Hal ini disebabkan dalam kedua sistem tersebut tidak terdapat

pembauran yang sesungguhnya. Lebih lanjut Haryati Subadio menegaskan antara

kedua agama itu dapat diumpamakan dengan pendakian sebuah gunung.

Meskipun banyak jalan yang dapat ditempuh, tetapi pada akhirnya puncak yang

sama akan tercapai juga (Haryati Subadio, 1985 : 50-51).

Terlepas dari beberapa istilah tentang perpaduan kedua agama tersebut,

pada tulisan ini akan digunakan istilah sinkretisme. Hal ini mengingat istilah

sinkretisme merupakan istilah yang sudah umum dan telah meluas pengertiannya

pada masyarakat.

Seperti telah diketahui, sejak di tanah asalnya (India) agama Siwa (Hindu)

dan Buda sudah memiliki persamaan yang harmonis, khususnya dalam konsepsi

ke-Tuhanannya yang terdapat dalam Saivasiddhanta dan Buda Mahayana, yang

merupakan aliran dalam Siwaisme dan Budhisme paling berpengaruh di Indonesia

(Mantra, 1985 : 279).

212 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam Saivasiddhanta terdapat tri tunggal atau tiga kebenaran yang

tertinggi disebut Siva-tattva, Sadasiva-tattva dan Maheca-tattva. Masing-masing

tattva tersebut diwakili oleh Paramasiva dengan alamnya Niskala, Sadasiva

dengan alamnya Niskala-sakala dan Mahecvara dengan alamnya sekala.

Selanjutnya dari Siva-tattva yang bersifat pasif itu diturunkan lima cacti yang

bersifat aktif, yaitu : Para Cakti, Adi Cakti, Icha-Cakti, Jnana-Cakti, dan Kriya-

Cakti. Kemudian lima cacti dari Paramasiva itu akan mewujudkan dirinya sebagai

Sadasiva-tattva dan Maheca-tattva.

Dalam Buda Mahayana, tri tunggal atau tiga kebenaran itu adalah Buda,

Vajrasatva dan Avalokitecwara. Masing-masing berada dalam Dharma-kaya,

Sambhoga-kaya dan Nirmana-kaya. Selanjutnya Buda atau Adi Buda juga

mewujudkan dirinya dalam wujud lima Tathagatha, yaitu : Wairocana, Aksobya,

Ratnasambhawa, Amitabha dan Amoghasidhi.

Dari konsepsi dasar ke-Tuhanan yang dimiliki oleh aliran Saivasiddhanta

dan Budha Mahayana di atas, akhirnya Ida Bagus Mantra menyimpulkan bahwa

Dharma-kaya sejajar dengan niskala, Sambhoga-kaya dengan Sekala-Niskala dan

Nirmana-kaya dengan Sakala. Kemudian tingkatan tertinggi pada dunia Niskala

dan Dharma-kaya tersebut menurut Ida Bagus Mantra dikatakan Siwa=Siwa,

Buda = Buda (Mantra, 1985 : 268 : 287).

Walaupun demikian, prinsip dasar ke-Tuhanan yang sama tanpa didukung

oleh suasana hubungan baik antara pemeluk kedua agama tersebut, mustahil dapat

terwujud sinkretisme antara Hindu dengan Buda. Kenyataan ini dapat dilihat di

Negara asal kedua agama itu (india) dan meskipun di India, Buda adalah salah

satu avatara Wisnu (Slamet Mulyana, 1983 : 48). Namun demikian sinkritisme

antara agama Hindu (Siwa) dengan Budha tidak terdapat adanya rasa toleransi,

khususnya di kalangan penguasa sendiri (Oka, 1978 : 10-13).

Pada periode Jawa Timur, sikap toleransi antara pemeluk kedua agama tersebut

telihat dari masa pemerintahan Mpu Sindok (Harun Hadiwijono, 1971 : 97), dan

awal pemerintahan raja Ken Arok (Slamet Mulyana III, 1983 : 51-56). Toleransi

tersebut kemudian berkembang mencapai puncaknya pada akhir Singhasari

sampai Majapahit. Bukti-bukti itu diketahui dari bangunan-bangunan candi

maupun kitab-kitab kesusastraan yang bernafaskan agama Hindu-Budha. Pada

bangunan candi hal tersebut diperlihatkan dengan harmonis sekai di candi Jago,

Jawi dan Surawana. Pada karya sastra sinkretisme Hindu-Buda terutama

diperlihatkan dalam hasil kesusastraan dari zaman Majapahit. Antara lain dalam

kitab Arjunawijaya, Sutasoma dan Kunjarakarna.

Meskipun sikap toleransi di Jawa Timur, apabila ditelusuri lebih jauh

sudah ada pada masa Jawa Tengah. Petunjuk ini dapat diketahui dari prasasti

Kelurak (782M) (Bosch, 1929 : 19-22), prasasti Taji Gunung (910M) (Damais,

1955 : 246) dan Prasasti Kalasan (778 M) (Csparis, 1950 : 21-22). Walaupun

demikian, bukti monumen masih membedakan kedua agama tersebut. Tetapi

apabila dilihat dari lokasi monument agama Hindu dan Budha yang letaknya

saling berdekatan, hal itu akan menunjukan adanya rasa toleransi yang tinggi di

kalangan masyarakat pemeluk agama tersebut. Bukti itu dapat disaksikan dari

letak candi Prambanan yang bersifat Siwaistis berdekatan letaknya dengan candi

Sewu, Plaosan dan Kalasan yang bersifat Budistis.

Dari petunjuk di atas, dapat diperoleh gambaran mengenai terjadinya

sinkretisme Hindu-Buda di Jawa Timur. Sinkretisme tersebut dapat terjadi karena

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 213

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

factor persamaan dasar konsepsi ke-Tuhanan antara agama Hindu dengan Buda

dan adanya dukungan sikap toleransi dari pemeluk agama Hindu dan Buda sejak

di Jawa Tengah.

3. Makna Filosofis Relief-relief Candi Penataran sebagai Jati diri Bangsa

Relief candi Penataran yang sudah jelas identitasnya adalah relief cerita Sang

Satyawan, Sri Tanjung Bubuksah Gagangaking, Ramayana, Krnayana dan relief

cerita binatang. Jika ditelah makna keagamaannya, cerita tersebut sudah jelas

berlatar belakang Hindu Buda. Relief cerita Sang Satyawan, Sri Tanjung,

Ramayana dan Krnayana mewakili agama yang berlatar belakang Hindu,

sedangkan agama Buda diwakili oleh relief cerita Bubuksah Gagangaking dan

cerita binatang (tantri).

Pemahatan relief berlatar belakang dua agama yang berbeda bukan berarti

telah terjadi suatu penyimpangan dalam bidang ritual. Tetapi hal ini berkaitan

dengan situasi keagamaan pada periode Jawa Timur, khususnya pada zaman

Singasari dengan Majapahit.

Toleransi kehidupan beragama sudah berpangkal pada masa Jawa Tengah.

Selanjutnya pada periode Jawa Timur hal tersebut berkembang menjadi perpaduan

yang harmonis antara Hindu-Buda yang sekaligus mencapai puncaknya. Maka

hamper semua cabang kebudayaan, seperti seni bangunan, seni pahat atau seni

sastra bernafaskan keagamaan Hindu-Buda, sehingga dapat ditarik suatu

kesimpulan bahwa dipahatkannya relief-relief tersebut pada candi penataran

memang mengacu pada kehidupan keagamaan di masa itu, yang sekaligus

merupakan petunjuk adanya hubungan yang harmonis antara Hindu-Buda dalam

candi Penataran. Relief-relief tersebut sebagai bukti bahwa raja-raja Majapahit

dalam pemerintahannya memeluk agama Hindu sekaligus Buda, pada zaman

Singhasari sampai Majapahit hubungan harmonis Hindu-Buda mengalami

perkembangan yang pesat, khususnya di kalangan atas.

Peranan seorang pemimpin sangat menentukan dalam segala hal termasuk

dalam bidang keagamaan. Berkembang tidaknya suatu agama sangat tergantung

dari kebijaksanaan dari sang pemimpin, misalnya pada raja Acoka di India, agama

Hindu tidak dapat bersatu dengan agama Buda, sekalipun keduanya mempunyai

prinsip dasar Ketuhanan yang sama dan di India Buda dianggap sebagai avatara

Wisnu. Hal ini disebabkan tidak adanya rasa toleransi, khususnya di kalangan raja

sendiri (Oka, 1978 : 10-13). Sebaliknya pada periode Jawa Timur, penguasa (raja)

memberikan contoh kearah toleransi antara kedua agama tersebut, yaitu dengan

mengambil sikap politik sinkretisme.Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga

kerjasama dan pengawasan secara damai antara sekta-sekta agama masa itu

(Sartono Kartodirdjo, 1969 : 14). Toleransi antara kedua agama tersebut, yang

tercermin dalam relief Bubuksah Gagangaking yaitu bermakna sebagai jatidiri

bangsa.

4. Simpulan

Berdasarkan uraian di depan, maka dapat disimpulkan bahwa kearifan

local Sinkretisme Hindu-Budha Pada Relief Candi Penataran Sebagai Jati Diri

Bangsa dapat membuktikan terjadinya toleransi dua agama yang berbeda yaitu

agama Hindu dan Budha, dengan mengambil sikap politik sinkretisme pada masa

214 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lalu. Hal tersebut dimaksudkan demi menjaga kerjasama dan pengawasan secara

damai antara sekta-sekta agama masa itu yang bermakna sebagai jatidiri bangsa.

Daftar Pustaka

Ardika, I Wayan2004. Manajemen Warisan Budaya. KUMPULAN MATERI

Program Inovatif TOT (Training of Trainer) Konservasi Warisan Budaya Bali

Dalam Pemberdayaan Lembaga Pelestarian Warisan Budaya Bali (Bali Heritage

Trust).

Edi Triharyantoro, 2002. Aspek Ideologi Dalam Management Sumberdaya

Arkeologi. Dalam BukuManfaat Sumberdaya Arkeologi Untuk Memperkokoh

Integrasi Bangsa. Denpasar. Upada Sastra.

Geria, Made, 2010. Penguatan Jatidiri dalam Perspektif Aktualisasi Arkeologi.

Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Arkeologi Denpasar.

Harun Hadiwijono 1975 Agama Hindu dan Budha, BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Haryati Subadio 1985 Jnanasiddhanta, seri ILDEP, Djambatan, Jakarta.

Kern, J.H.C 1901 De Legende van Kunjarakarna, Volgens her oudst bekende

Handscrift.

Mantra, Ida Bagus 1985 ―Pengertian Siwa Budha Dalam Sejarahnya di Indonesia‖,

Laporan Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional I, MIPI, Jakarta.

Masyhudi, 2012. ―Temuan Naskah Kuno Di Kampung Arab Sebagai Bukti

Penguatan Jatidiri Bangsa‖. ArkeologiUntukPublik. Jakarta : Ikatan Ahli

Arkeologi Indonesia.

Oka, Ida Bagus 1978 ―Peranan Pimpinan Di Bali‖, Warta Hindu Dharma134,

Denpasar.

Purna, I Made, 2010. Memperkuat Jatidiri dan Pembentukan Karaktergenerasi

Muda Melalui Tinggalan Arkeologi. Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai

Tradisional Bali Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

Rassers, W.H 1982 ―Ciwa dan Budha di Kepulauan Indonesia‖, Ciwa dan Budha,

Djambatan, Jakarta.

Rata, Ida Bagus., 1993 Manfaat Peninggalan Arkeologi untuk Kepentingan

Agama, Sosial Budaya, Sosial Ekonomi, Pendidikan & Ilmu Pengetahuan. Dalam

Buku Kebudayaan dan Kepribadian Bangsa. Denpasar : PT Upada Sastra.

Sambung Widodo, 1992. Makna Tinggalan Arkeologi Sebagai Warisan Leluhur.

PIA VI. Kumpulan Makalah. Batu, Malang, Jawa Timur 26-30 Juli.

Sartono artodirdjo, 1969 ―Struktur Sosial Dari Masyarakat Tradisional dan

Kolonial‖, Lembaran Sejarah No. 3 Desember, Seksi Penelitian Jurusan Sejarah

Fakultas Sastra dan Kebudayaan UGM, Yogyakarta.

Slamet Mulyana 1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Intidayu

Press, Jakarta.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 215

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Soediman, 1983. Peranan Arkeologi Dalam Pembangunan Nasional. Pertemuan

Ilmiah Arkeologi III, Ciloto, 23-28 Mei.1-16.

Soerjanto Poespowardojo, 1989. Strategi Kebudayaan, Suatu Pendekatan Filosofis,

Gramedia, Jakarta.

Sumartika, I Nyoman, 2010. Pelestarian Benda Cagar Budaya Untuk Memperkuat

Jatidiri Ditengah Globalisasi. Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Bali

Wilayah Kerja Provinsi Bali, NTB, Dan NTT.

Slamet Mulyana 1983 Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, Intidayu

Press, Jakarta.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 216

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAWASAN GUNUNG

MUTIS DALAM PELESTARIAN HUTAN

DI TIMOR TENGAH SELATAN, NUSA TENGGARA TIMUR

Industri Ginting Suka

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Kearifan lokal(local wisdom) yaitu keseluruhan bentuk

pengetahuan, kepercayaan, pemahaman, atau wawasan serta adat

kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam

kehidupan di dalam komunitas masyarakat adat. Masyarakat adat

adalah kelompok masyarakat yang secara turun-temurun bermukim

di wilayah geografis tertentu, karena ada ikatan pada asal usul

leluhur, adanya hubungan kuat dengan lingkungan hidup, ada

sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan

hukum. Masyarakat adat kawasan Gunung Mutis yang telah lama

bermukim memiliiki kearifan local yang sampai saat kini bertahan

dari serangan kebudayaan modern, hal ini terlihat dari tetap

lestarinya kawasan hutan gunung Mutis. Permasalahannya ialah

bagaimana wujud kearifan lokal masyarakat gunung Mutis

sehingga mampu mempertahankan kelestarian kawasan hutan.

Tulisan ini ingin mendeskripsikan kearifan local dari masyarakat

adat kawasan gunung Mutis yang memiliki kepedulian pada

pelestarian lingkungan, khususnya dalam ekosistem kawasan hutan.

Pendekatan yang dipakai dalam tulisan ini adalah pendekatan

antropologi ekologi dengan memakai konsep adaptasi manusia

terhadap lingkungan.

Masyarakat di kawasan gunung Mutis memanfaatkan hutan untuk

energi, membuat rumah, mengambil madu hutan danberternak,

namun hutannya terjaga kelestariannya. Hal ini disebabkan ada

kearifan local yang tercermin dalam nilai aturan adat yang

melarang melakukan eksploitasi yang berlebihan. Kearifan local itu

terdapat pada filosofi mansion muit nasi na bua, yang artinya ada

kesatuan antara manusia, hewan ternak dan hutan.

Kata kunci: kearifan local, masyarakat adat, mansion muit nasi na

bua.

I. Pendahuluan

Rusaknya kawasan hutan telah menjadi ancaman yang berdampak luas

seperti kekeringan, banjir dan hilangnya sumberdaya genetik. Situs dan hutan

keramat telah menjadi bagian dari banyak komunitas lokal di Indonesia.

Mengacu pada pengetahuan dan kepercayaan tradisional, pola pengamatan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 217

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

menjadi langkah yang strategis dalam membangun sistem produksi sumber

daya hutan lokal dan pemanfaatannya untuk kepentingan spiritual. Upaya

konservasi yang berasal dari kesadaran masyarakat lokal berdasarkan akal sehat

dan kepercayaanakan lebih efektif dalam menjaga kelestarian hutan

dibandingkan dengan pengelolaan oleh pemerintah dengan sistem birokrasinya

yang rumit.

Permasalahannya ialah: bagaimanakah wujud kearifan lokal masyarakat

gunung Mutis sehingga mampu mempertahankan kelestarian kawasan hutan.

Tujuan tulisan ini ingin mendeskripsikan kearifan lokal masyarakat adat kawasan

gunung Mutis yang memiliki kepedulian pada pelestarian lingkungan, khususnya

dalam ekosistem kawasan hutan. Pendekatan atau metode yang dipakai dalam

tulisan ini adalah deskriptifkualitatif, serta didukung dengan studi perpustakaan

(literature).

1.1. Wujud Kearifan Lingkungan Masyarakat Kawasan Gunung Mutis

Kearifan lokal merupakan bagian dari masyarakat untuk bertahan hidup

sesuai dengan kondisi lingkungan, sesuai dengan kebutuhan, dan kepercayaan

yang telah berakar dan sulit untuk dihilangkan. Pendapat lain mengatakan bahwa

kearifan lokal merupakan pengetahuan lokal yang digunakan oleh masyarakat

untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang menyatu dengan sistem

kepercayaan, norma, budaya dan diekspresikan dalam tradisi dan mitos yang

dianut dalam jangka waktu yang lama. Fungsi kearifan lokal adalah sebagai

berikut. Pertama, sebagai penanda identitas sebuah komunitas. Kedua, sebagai

elemen perekat (aspek kohesif) lintas warga, lintas agama dan kepercayaan.

Ketiga, kearifan local memberikan warna kebersamaan bagi sebuah komunitas.

Keempat, mengubah pola pikir dan hubungan timbal balik individu dan kelompok

dengan meletakkannya di atas nilai-nilai kebudayaan yang dimiliki. Kelima,

mendorong terbangunnya kebersamaan, apresiasi sekaligus sebagai sebuah

mekanisme bersama untuk menepis berbagai kemungkinan yang meredusir,

bahkan merusak, solidaritas komunal, yang dipercayai berasal dan tumbuh di atas

kesadaran bersama, dari sebuah komunitas terintegrasi (Sumarmi dan Amirudin,

2014).

Kearifan lingkungan merupakan wujud dari perilaku komunitas atau

masyarakat tertentu sehingga dapat hidup berdampingan dengan alam lingkungan

tanpa harus merusaknya. Kearifan lokal merupakan suatu kegiatan unggulan

dalam masyarakat tertentu, keunggulan tersebut tidak selalu berwujud dan

kebendaan, sering kali di dalamnya terkandung unsur kepercayaan atau agama,

adat istiadat dan budaya atau nilai-nilai lain yang bermanfaat seperti untuk

kesehatan, pertanian, pengairan, dan sebagainya. Berangkat dari pengertian

tersebut dapat dijelaskan bahwa kearifan lokal sudah mengakar, bersifat

mendasar, dan telah menjadi wujud perilaku dari suatu warga masyarakat guna

mengelola dan menjaga lingkungan secara arif atau bijaksana..

Dalam persepsi masyarakat kawasan gunung Mutis dipercaya memiliki

nilai-nilai filosofi yang mendalam, sehingga kawasan tersebut menjadi kawasan

kramat, sebagai sumberdayakehidupan, pemasok berbagai kebutuhan pokok

sekitarnya, dan merupakan tempat yang dipercaya sebagai asal usul orang Timor.

218 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dalam keyakinan penduduk Timor pada umumnya Mutis bukan hanya

dipandang sebagai gunung yang menjulang tinggi. Mutis bermakna sebagai

sumber kehidupan, dan dalam pemahaman mereka sumber kehidupan adalah

berhubungan dengan persediaan air yang berlimpah dari gunung Mutis

bagidaratan Timor (Boymau, 2001)

Mutis mengandung pengertian, sesuatu yang melengkapi, artinya gunung

Mutis mampu menyediakan atau melengkapi segala kebutuhan orang Timor mulai

dari air, kayu, tali, madu, hewan buruan (babi hutan, burung, rusa, kuskus, kera,

dan lainnya) serta berbagai hasil hutan lainnya. Dalam pengertian lain masyarakat

juga menyebutkan bahwa Mutis merupakan sumber kekuatan. Awal mula

kehidupan nenek moyang penduduk Timor adalah berasal dari gunung Mutis,

yang menyimpan sejumlah kekuatan dan kedahsyatan tertentu. Penduduk Timor

mempunyai keyakinan bahwa gunung Mutis dapat melepaskan penduduk Timor

dari segala bencana yang membahayakan (Marettra W, 2001)

Secara harafiah Mutis berasal dari kata mum tis yang artinya melengkapi

dan merupakan tempat raja (uwis=usif)oematan melakukan penyembahan

(gunung Mutis) di wilayah Timor Tengah Selatan), sedangkan bagian atau sisi

gunung Mutis yang menghadap Timor Tengah Utara merupakan tempat dari uwis

kono( di Miomafo) untuk melakukan penyembahan. Sementara itu penduduk

Timor di Kabupaten Belu menyebut gunung Mutis Bab-nai (bab artinya pelihara

dan nai artinya kelompok suku yang ada di Timor). Penduduk Timor yang hidup

di dataran Timor hidup karena tetesan gunung Mutis. Sampai sekitar tahun sekitar

1970 an puncak gunung Mutis masih dianggap tempat yang keramat dan tidak

boleh dimasuki siapapun. Alasan dari larangan itu ialah karena puncak gunung

Mutis merupakan tempat kramat bagi raja dan golongan usif. Selain itu puncak

gunung Mutis tempat bagi golongan usif untuk melepas hewan ternak yang

dikenal dengan namaluke teme pusu, yaitu ternak yang tidak bercap dan tidak

dipotong telinganya.

Ternak yang dipelihara antar lain kerbau, kuda, babi, kambing dan ayam.

Cara pemeliharaan ternak dilepas di sekitar rumah. Salah satu fungsi penting

ternak adalah untuk kepentingan adat terkait dengan upacara sekitar silus hidup

kelahiran, perkawinan, kematian dan siklus hidup berladang. Ternak untuk

kepentingan ekonomi (dijual) terbatas pada ternak besar seperti sapi, kuda dan

kerbau. Pada waktu dulu oreintasi pemeliharaan tenak untuk dijual belum

berkembang (membudaya). Khusus ternak besar seperti sapi, kuda dan kerbau

dilepas agar pemilik ternak dapat mengenali dengan mudah digunakan tanda cap

yang disebut malak. Setiap keluarga (suku) memiliki tanda cap ternak (malak)

yang berbeda-beda. Cap ternak tidak saja diketahui oleh yang bersangkutan tetapi

diketahui oleh seluruh masyarakat setempat. Selain tanda cap (malak) juga

masyarakat mengenal tanda berupa potongan daun telinga hewan yang disebut

(hetis) oleh masing- masing suku (marga).

III. Konsepsi masyarakat tentang hutan, tanah dan air

Konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan

menentukan sikap terhadapnya. Konsepsi mengakomodir idealisme dan harapan

yang erat kaitannya dengan perilaku manusia. Sebuah konsepsi tidk mengubah

wajah dunia secara langsung, melainkan melalui tindakan manusia. Tanpa

tindakan, sebuah konsepsi tidak pernah akan berdaya menciptakan realitas empiris.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 219

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bagi masyarakat Mutis hutan memiliki arti yang sangat penting bagi

kelangsungan kehidupan mereka, seperti yang diungkapkan oleh masyarakat

bahwa: hutan itu seperti rambut apabila kita buang rambut kita maka rambut akan

botak dan menderita karena panas. Hutan juga bermanfaat untuk melindungi air

sehingga kalu hutan ditebang habis mungkin di Mutis ini tinggal beberapa puluh

penduduk saja, menurut penduduk local.Masyarakat Mutis menggolongkan hutan

ke dalam beberapa tipe menurut fungsi dan statusnya, antara lain hutan suku

(sufma autuf), hutan larangan (nasi talas), dan hutan keramat (nasi le u) atau (nasi

mnuni). (Marettra W, 2001).

IV. Konsepsi masyarakat tentang kearifan lokal Man sian muit Nasi Na bua

Kearifan lokal masyarakat adat ada dalam pengelolaan sumberdaya alam

mengandung nilai-nilai kebaikan dan kebijaksanaan, selalu ada keseimbangan

antara manusia dan alam sekitarnya, oleh karena itu tidak heran jika lingkungan

terpelihara dengan baik. Kehidupan yang selaras dengan lingkungan alam bukan

berarti masyarakat tradisional bersifat pasif, akan tetapi memanfaatkan lingkungan

alam sebaik baiknya demi kelangsungan hidupnya. Hal tersebut tersirat dalam

keyakinan dasar masyarakat di mana antara manusia, ternak dan lingkungannya

dipandang mempunyai kaitan yang sangat erat dan merupakan bagian yang

tersusun secara sederhana dan tidak terpisahkan antara satu dengan lainnya.

Hutan dan ternak mempunyai arti yang sangat penting bagi masyarakat

menurut penuturan masyarakat konon dalam sejarah jaman kerajaan telah dibuat

perjanjian anatar tiga raja Mutis, yaitu raja Kono, Wamatan dan Sonbai mengenai

konsep segi tiga kehidupan man sian muit nasi na bua. Artinya manusia, ternak,

dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki

ketergantungan. Manusia mengambil manfaat dari ternak, ternak mencari makan

di hutan dan hutan dijaga kelestariannya oleh manusia. Untuk mengukuhkan

perjanjian ini dikorbankan satu ekor kerbau jantan berumur 3 tahun sebagai

materai hukum adat sekaligus disebarluaskan kepada masyarakat dari ke tiga raja

tersebut.

Bertitik dari kearifan lokal tersebut hutan memiliki arti penting bagi

masyarakat selain ekonomis, setiap marga atau suku memiliki faud kana foe

kanaf( batu nama, air nama). Di dalam hutan pada waktu tertentu seluruh anggota

keluarga berkumpul di tempat tersebut untuk melakukan upacara adat sesuai

kepentingan. Faut kana foe kanaf di dalam hutan dianggap sebagai tempat

pertama kali nenek moyang mereka datang dan menginjakkan kaki di desa itu.

Hutan keluarga tersebut dikeramatkan oleh sukunya dan disegani oleh suku suku

lain karena diyakini bahwa hutan tersebut memiliki kekuatan gaib yang dapat

membawa rejeki ataupun menimbulkan malapetaka bagi manusia (Boymau, 2001).

Selain fat kanaf/oe kanaf, di dalam desa juga ada nais/tala (hutan

larangan umum) artinya semua kehidupan yang ada di dalam hutan dilarang untuk

diambil sesuka hati baik penebangan pohon, panen hasil utan maupun berburu

satwa liar. Larangan itu akan dicabut stelah menurut kreteria objektif, hasil hutan

tersebut memenuhi syarat panen dan kegiatan pemanenan pada umumnya diawali

dengan upacara adat. Setiap masyarakat yang melanggar aturan tersebut dapat

dikenakan sangsi adat dalam bentuk denda yang besar dan jumlahnya beragam

tergantung bentuk dan ukuran keslahan. Tetapi denda umumnya berupa kerbau,

sapi, babi, kopi, beras dan uang perak Belanda. Penetapannais tala dilakukan oleh

220 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tokoh tokoh adat dengan ditandai satu ekor sapi atau kerbau dagingnya dibagikan

kepada kepala keluarga. Sedangkan tanduk sapidan kerbaunya diikat pada tempat

strategis sebagai pengumuman bagi masyarakat desa lain.

V. Kesimpulan

1. Pada dasarnya masyarakat di sekitar kawasan gunung Mutis Kabupaten

Timor Tengah Selatan terdiri dari beberapa komunitas kecil atau suku bangsa

(etnis), yang masih tetap berupaya mempertahankan dan melestarikan nilai-

nilai budaya kearifan local sebagai warisan yang diterima dari nenek moyang

mereka. Hal ini dapat dibuktikan dengan peninggalan benda-benda budaya

material dan non material seperti upacara-upacara ritual adat yang masih tetap

dilaksanakan sebagai pendukungnya.

2. Dalam menjaga hutan komunitas adat terus memegang kuat filosofi tentang

alam dan merangkainya dalam wujud budaya bahwa tanah adalah daging,

hutan adalah rambut, batu adalah tulang dan air adalah darah. Filosofi ini

menjadi kekuatan masyarakat di Timor Tengah Selatan untuk menjaga dan

melestarikan lingkungan. Pelestarian lingkungan berbasis budaya ini

merupakan warisan leluhur yang sampai kini dilakukan walaupun

perkembangan teknologi dan modernisasi, namun masyarakat tetap konsisten

mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal.

Daftar Pustaka

1. Adrianus Lopo Anunut dan Kusmayadi, Analysis of Local Wisdom Tamkesi

Indigenous Village as a tourist attraction in the North Central Timor Regency

of East Nusa Tenggara, Jurnal Sains Terapan Pariwisata, Vol. 1, No. 1,

Tahun 2011, pp. 100-108.

2. Ardana dalam Apriyanto, 2008. Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat

dengan Pelestarian Lingkungan Hidup. Bandung, Universitas Pendidikan

Indonesia.

3. Boymau,Yulianti Marlina, 2001., Pola Beternak Lepas dan Pengaruhnya

Terhadap Kawasan Konservasi Cagar Alam Gunung Mutis di Timor Tengah

Selatan, Skripsi Jurusan Antropologi Fakultas Sastra, Universitas Udayana,

Bali.

4. Keraf, 2010. Hubungan Kearifan Lokal Masyarakat Adat dengan Pelestarian

Lingkungan Hidup. Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung.

5. MarettaW, Dida Hermandini, 2001., Konsepsi Mansian Muit Nasi Na Bua di

Kawasan Gunung Mutis Timor Tengah Selatan, Skripsi Jurusan Antropologi

Fakultas Sastra, Universitas Udayana, Bali.

6. Rohana Sufia, Sumarmi, Ach. Amirudin., Kearifan Lokal Dalam

Melestarikan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Adat Desa

Kemiren Kecamatan Glagah Kabupaten Banyuwangi), Jurnal Pendidikan:

Teori, Penelitian, dan Pengembangan Volume: 1 Nomor: 4 Bulan April

Tahun 2016.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 221

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

ORIENTASI NILAI BUDAYA PETANI SAYUR: STUDI KASUS DI DESA

ARGOSARI, KECAMATAN SENDURO,

KABUPATEN LUMAJANG, PROVINSI JAWA TIMUR

Ketut Darmana

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Di Desa Argosari hampir seluruh penduduknya

bermatapencaharian sebagai petani sayur.Oleh karena itu, warga

petani penduduk desa ini sebagai salah satu pemasuk atau

penyuplai sayuran yang signifikan untuk memenuhi permintaan

beberapa pasar kabupaten/kota di wilayah Provinsi Jawa

Timur.Agen besar penyalur produk bahan pangan sayuran ini,

selain menyasar pasar tradisional untuk konsumen kelas ekonomi

menengah ke bawah, juga pasar modern, seperti toserba, swalayan,

supermarket, hypermarket, dan sejenisnya bagi konsumen kelas

ekonomi atas.

Masyarakat petani sayur di desa ini, mampu meningkatkan

pendapatan ekonomi keluarga, sekaligus juga mengangkat derajat

kehidupan masyarakat dari penjualan hasil kebunnya, seperti

kentang, bawang prei, dan jenis sayuran yang lainnya.Kondisi

kehidupan masyarakatnya dipandang dari aspek ekonomi cukup

baik, tetapi tidak mendorong anak-anaknya dalam peningkatan

pendidikan untuk perbaikan sumber daya manusia (SDM) yang

lebih berkualitas. Mengingat, anak-anak orientasinya sebagai petani

sayur, apa telah diwariskan oleh orang tuanya. Oleh karena itu,

kasus ini menarik untuk diungkapkan mendalam, sehingga tulisan

ini mengangkat masalah tentang Orientasi Nilai Budaya Petani

Sayur: Studi Kasus Petani Sayur di Desa Argosari. Adapun

rumusan masalahnya yang difokuskan sebagai berikut: (1)

Bagaimana orientasi nilai budaya petani sayur di Desa Argosari?,

dan (2) Apa dampaknya bagi kehidupan masyarakat di desa

tersebut. Persoalan ini dibedah dengan mengacu teori orientasi nilai

budaya yang diungkapkan oleh Kluckhohn, meliputi 5 pokok

masalah, yaitu: (1) Masalah hakekat hidup manusia (MH), (2)

Masalah hakekat karya manusia (MK), (3) Masalah hakekat

kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW), (4) Masalah

hakekat hubungan manusia dengan lingkungan alam (MA), dan (5)

Masalah hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (MM).

Data bersumber dari data lapangan dikumpulkan melalui

pengamatan langsung, dan wawancara beberapa informan dari

petani sayur, serta analisis data bersifat kualitatif-deskrptif.

Kata Kunci: Orientasi Nilai Budaya, dan Petani Sayur.

222 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

I. Pendahuluan

Sektor pertanian masih menjadi tumpuan utama untuk menunjang bagi

kehidupan warga masyarakat Desa Argosari.Sektor pertanian yang digarap ini

adalah berupa kebun sayur, jenisnya seperti kentang, bawang pre, kubis,

kacang,tomat, cabai, dan lain-lainnya. Di antara jenis sayuran ini pemanfaatanya

dapat dibedakan sebagai berikut: Pertama, jenis sayuran, seperti kentang, bawang

pre, dan kubis/kol, semuanya itu dijadikan sebagai produk komoditas untuk dijual

ke pasar. Hasil penjualan ini sebagai aset ekonomi rumah tangga keluarga yang

diinvestasikan kembali untuk modal membeli bibit, rabuk, obat-obatan,

pengolahan lahan, dan pemeliharaannya.Hal ini sangat diprioritaskan agar terjadi

kesinambungan untuk menjaga kestabilan ekonomi dalam rumah tangga. Selain

itu, digunakan membangun rumah, termasuk perabutan rumah tangga, televisi,

sepeda motor atau mobil. Kedua, jenis sayuran lain, seperti tomat, kacang,

Lombok, dan jenis sayur yang lainnya yang dikonsumsi sendiri untuk dimasak

setiap hari.

Masing-masing keluarga dalam sebuah rumah tangga di Desa Argosari,

hampir mengelola lahan kebun sayur ini luar arealnya rata-rata di atas 1 hektar,

bahkan sampai 5 hektar.Lahan yang begitu luas sejauh mata memandang tanpa

pembatas yang jelas antara pemilik lahan yang satu dengan lainnya.Walaupun,

letak lokasi lahan perkebunan tersebut mencapai kemiringan 45 bahkan ada yang

lebih miring lagi.Namun, petani sayur masih bisa tetap mengolah lahan ini agar

tetap bisa produktif berdasarkan pola kearifan lokal yang telah diwariskan dari

pendahulunya.Mengingat kemiringan yang begitu terjal, memang dilihat dari

sudut topografinya merupakan daerah pegunungan yang berbentuk relief dengan

ketinggian 2200 meter dari permukaan laut.Kondisi ini yang menyebabkan jalan

melintas di atas perbukitan yang berkelak-kelok naik-turun yang terjal dan

dikelilingi dengan tanaman kentang, kubis, dan bawang pre.

Keadaan tanah yang subur didukung dengan kondisi lingkungan alam yang

sejuk, bahkan dingin dan disertai kabut, amat cocok dengan berbagai jenis

sayuran seperti disebutkan di atas. Kecocokan sangat jelas terlihat dari

pertumbuhan pada daun tanaman sayur tersebut.Terlepas dari kesuburan tanaman

sayur ini, juga disebabkan karena pemberian pupuk organik maupun kimia.

Pemupukan tanaman ini dilakukan melalui dua jalur, yaitu (1) cara menaburkan

pupuk pada tanaman seperti pupuk organik(kompos)/urea (kimia), dan (2) cara

menyemprot daunnya denngan cairan kimia. Selain menyuburkan daunnya agar

tumbuh lebih baik, juga untuk mencegah sekaligus membasmi berbagai jenis

hama penyakit yang bisa mengganggu pertumbuhan tanaman tersebut, bahkan

menyebabkan tanaman sayuran itu mati.

Produk pertanian pangan yang dihasilkan oleh petani berupa sayur mayur

ini ternyata memiliki prospek ekonomi yang cukup menjanjikan terhadap kondisi

perekonomian warga masyarakat di Desa Argosari.Kontribusinya cukup

signifikan untuk mensuplai sayuran guna memenuhi kebutuhan permintaan pasar,

terutama bagi konsumen, mengingat sayur merupakan menu makanan yang

disantap setiap hari.Pasokan pangan ini harus dijaga dengan baik, karena

berimplikasi terhadap stabilitas harga di pasar yang dibeli oleh

konsumen.Sebagaimana yang berlaku dalam hukum pasar yang menyatakan

bahwa permintaan dan penawaran berkorelasi dengan perubahan harga.Begitu

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 223

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pula, perubahan harga ini sangat sangat dinamis, karena dipengaruhi oleh faktor

stok (ketersediaan) barang tersebut di pasar yang dibutuhkan oleh masyarakat

konsumen.

Kehidupan masyarakat Argosari, hampir seluruhnya tergantung dari

penjulan hasil kebun sayuran menunjang dan menggerakkan roda perekonomian

keluarga.Oleh karena itu, sumber pendapatan atau penghasilan hanya dari

penjualan hasil penjualan sayuran saja. Jadi sektor pertanian masih lebih kelihatn

dominan, dibandingkan dengan sektor non pertanian, yang bekerja di luar

desanya.Penduduk Desa Argosari lebih cendrung memilih pekerjaan sebagai

petani sayur dibandingkan bekerja di luar bidang pertanian (non pertanian).Di sini

sesungguhnya letak masalahnya, sehingga fenomena ini menarik untuk dikaji

lebih mendalam.Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka fokus

masalah menyenai orientasi nilai budaya petani sayur dengan mengangkat kasus

di Desa Argosari, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa

Timur. Ada dua pokok masalahantara lain sebagai berikut: (1) Bagaimana

orientasi nilai budaya petani sayur di Desa Argosari?, dan (2) Apa dampaknya

bagi kehidupan perekonomian masyarakat di desa tersebut? Landasan teori

orientasi nilai budaya yang dikembangkan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat,

1992) dijadikan acuan sebagai pisau analisis untuk membedah permasalahan

tersebut.Menurut pandangan Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) menjelaskan

bahwa ada 5 masalah pokok yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya yang

berlaku secara universal pada semua kebudayaan di dunia.Hal ini mencakup

dalam lingkungan ekonomi, kekerabatan, dan religi yang berkaitan dengan

kepercayaan dan keyakinan. Ke-5 masalah orientasi nilai budaya mencakup: (1)

Masalah hakekat hidup manusia (MH), (2) Masalah hakekat karya manusia (MK),

(3) Masalah hakekat kedudukan manusia dalam ruang dan waktu (MW), (4)

Masalah hakekat hubungan manusia dengan lingkungan alam (MA), dan (5)

Masalah hakekat hubungan manusia dengan sesamanya (MM).

Metode analisis data kualitatif diskriptif yang bersumber dari data primer

(lapangan) dan data skunder berdasarkan studi pustaka.Data primer diperoleh dari

hasil pengamatan (observasi) selama 6 hari (4—9 Maret 2019), dan wawancara

dengan beberapa informan yang menggeluti sektor perkebunan sayur-mayur di

lokasi penelitian (Bachtiar, 1977, dan Koentjaraningrat, 1997).

II. Pembahasan

1.1. Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur Masyarakat Argosari.

Dalam pembahasan ini ada dua hal pokok yang perlu dipahami lebih dalam,

yaitu (1) Pemahaman konsepsional yang berkaitan dengan orientasi nilai budaya,

dan (2) konsep petani sayur itu sendiri bila dikaitkan dengan orientasi nilai budaya

seperti apa dalam kehidupan realitas empiris pada masyarakat petani sayur di

Desa Argosari. Oleh karena itu, pelukisan secara etnografis tentang orientasi nilai

budaya petani sayur-mayur bagi masyarakat Argosari sebagai sebuah sub-sektor

yang masih eksis digeluti sampai saat ini.Keberadaan petani berdasarkan analisis

data lapangan, walaupun data yang dikumpulkan masih terbatas, sehingga masih

dibutuhkan data yang lebih memadai agar analisis deskripsi lebih mendalam

(thick description) (Geertz, 1990) untuk memperoleh potret gambaran sesuai

dengan warna aslinya di lapangan.Kembali kepada konsepsi orientasi nilai budaya

itu, menurut pandangan Koentjaraningrat (1992), menjelaskan bahwa suatu

persepsi yang dipandang berharga dan penting dalam kehidupan masyarakat.

224 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Contohnya: nilai gotong royong dipandang penting dan berharga dalam kehidupan

masyarakat, karena yang dibangun kerjasama dalam bentuk gotong royong untuk

menyelesaikan suatu pekerjaan dalam lingkungan keluarga maupun masyarakat di

Indonesia. Namun, konsepsi berbeda dengan masyarakat kebudayaan Barat bahwa

bernilai tinggi apabila manusia berhasil atas usahanya sendiri, sehingga nilai

individualisme dipandang berharga tinggi dalam kehidupan masyarakat

(Koentjaraningrat, 1992). Selanjutnya, petani (peasant society) secara operasional

di lapangan, maka konsep ini dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) masyarakat

petani yang hasil pertaniannya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga,

(2) masyarakat petani yang memiliki hak-hak atas dan mengolahnya dengan

teknologi sederhana untuk meningkatkan hasil produksi pertaniannya, (3) seorang

petani, tetapi bukan bisnis memperoleh keuntungan, (4) seseorang petani secara

pribadi bertani di atas lahan yang diusahakan sendiri, dan (5) seorang petani,

karena pendidikan rendah, maka sangat menolak kehadiran inovasi (Reading,

1986).

Berdasarkan acuan konsepsi mengenai orientasi nilai budaya petani sayur

masyarakat Argosari, jika dikaitkan dengan kerangka teori orientasi nilai budaya,

sebagaimana telah dijelaskan oleh Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992) tersebut di

atas, yang meliputi 5 masalah pokok.Namun, dalam pembahasan tulisan ini, hanya

batasi pada pokok masalah yang kedua, yaitu masalah hakekat karya manusia

(MK) mengingat dibatasi jumlah halaman penulisan, dan data yang diperlukan

untuk analisis masih sangat terbatas. Walaapun, ke-5 pokok masalah tersebut

sesungguhnya berkaitan satu sama lain. Akhirnya, dalam pembahasan ini hanya

mengungkapkan orientani nilai budaya petani sayur masyarakat Argosari yang

berhubungan dengan hakekat karya manusia.

Berdasarkan kerangka pemikiran Kluckhohn (Koentjaraningrat, 1992), secara

jelas digambarkan, bahwa masalah dasar dalam hidup manusia, yang terkait

dengan hakekat karya manusia itu. Hal tersebut, secara garis besa mempunyai

oreintasi nilai budaya dalam pandangan hidup masyarakat sebagai berikut: (a)

bekerja atau berkarya itu untuk nafkah hidup, (b) bekerja atau berkarya itu, untuk

kedudukan, kehormatan, kekayaan, dan lain-lainnya, dan (c) bekerja atau berkarya

itu, untuk menambah karya. Jadi, orientasi nilai budaya masyarakat petani sayur

di Desa Argosari lebih menonjol pada komponen butir (a) dan butir (b),

sedangkan komponen butir (c) tidak ada sama sekali. Hal ini berdasarkan data

realitas empiris di lapangan, sangat sulit menyatakan penduduk warga Desa

Argosari itu miskin, walaupun lokasi pemukim penduduk terletak di lereng areal

pegunungan.Ada data lapangan yang mendukung kondisi kehidupan ekonomi

penduduk di desa ini.Pertama, bangunan rumah tempat tinggal warga masyarakat,

hampir semua masyarakat memiliki rumah modern.Artinya, rumahnya berlantai,

lantai keramik, tembok di cat dengan bervariasi warna cat masa kini, bahkan ada

menggunkan keramik.Bentuk bangunan rumah disertai dengan berbagai asesoris,

layaknya seperti villa.Rumah dalam bentuk tradisional hanya masih tinggal

beberapa buah saja, kerena menggunakan diding kayu atau gedeg dan atapnya

genteng atau seng, Kedua, perabotan rumah tangga sudah serba modern.Ketiga,

alat transpotasi untuk mobilitas menggunakan sepeda motor dan mobil roda 4,

rata-rata penduduk memiliki kendaraan sepeda motor pada setiap keluarga lebih

dari satu. Begitu dengan mobil roda 4, ada beberapa memiliki lebih dari satu,

walaupun jumlah pemilik masih tergolong kecil.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 225

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Gambaran yang ditunjukan tentang kepemilikan bentuk rumah yang bagus,

dan kendaraan motor itu, sesungguhnya ingin menunjukkan status sosial dalam

kontestasi kehidupan masyarakat sekitar sebagai hasil dari jerih-payah usaha

taninya yang selama ini telah digeluti. Tampaknya, secara tersembunyi terjadi

persaingan secara kompetitif di antara petani untuk menampilkan kekayaannya

untuk dikomunikasi kepada masyarakat lingkungannya secara tidak langsung

(Daeng, 1985). Justru pada sektor pendidikan tidak mendapat perhatian sama

sekali bagi orang tua. Oleh karena itu, tingkat pendidikan formal penduduk Desa

Argosari sangat rendah. Hanya ada fasilitas gedung TK dan SD, sehingga

melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi (SMP, SMA, dan PT) hanya di kota

kecamatan, kabupaten, dan provinsi. Anak-anak merasa enggan dan orang tuanya

tidak memotivasi untuk sekolah. Sebagaimana diketahui bersama bahwa

pendidikan formal lewat bangku sekolah/kuliah itu dapat meningkatkan mutu

sumer daya manusia (SDM) untuk menyosong perubahan kearah peradaban

manusia yang lebih maju di masa depan.

1.2. Dampaknya Orientasi Nilai Budaya Petani Sayur bagi Kehidupan

Perekonomian Masyarakat Argosari.

Petani sayur-mayur di Desa Argosari ini dapat digolongkan ke dalam bentuk-

bentuk utama ekotipe petani neoteknik.Sebagaimana diilustrasikan oleh Wolf

(1985) bahwa holtikultura yang dispesialisasikan (specialized horticulture),

karena bercirikan hasil kebun, seperti kentang, bawang pre, kol/kubis, jagung,

tomat, cabai/Lombok, dan lain-lainnya.Semua jenis tanaman ini diusahakan di

atas lahan yang dipelihara secara permanen.Petani ini dalam menggarap lahan

kebun sayurnya (hortikulturanya) selalu melibatkan keluarga (suami+istri, dan

anak-anak).Kaum ibu (istri) sangat aktif membantu suaminya bekerja di

dikebun.Begitu pula, anak-anak diikutsertakan dalam aktivitas pengolahan lahan

kebun tersebut, terutama diwaktu masa panen.Kadang-kadang anaknya disuruh

memetik buah tomat, lombok/cabai, jagung, dan sebagainya untuk dikonsumsi

sendiri. Bagi kaum laki-laki (suami) pagi sekitar jam 06.00 waktu setempat sudah

berangkat ke kebunnya. Nanti pulang sekitar pukul 14.00 sore, karena memupuk

daun dengan semprotan lebih baik dilakukan pada pagi hari, agar penyerapan

pupuk pada daun tanaman tersebut daya serapnya lebih baik, dan tidak merusak

pertumbuhan tanaman itu sendiri.

Mengacu pada uraian di atas, tentang orientasi nilai budaya petani sayur bagi

masyarakat Desa Argosari, ternyata pendapatan atau penghasilan dari hasil

penjualan sayur digunakan untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat

konsumtif.Seperti kebutuhan makan keluarga sehari-hari.Sisanya, membangun

rumah, membeli sepada motor/mobil, cadangan untuk hajatan maupun ritus siklus

hidup dalam keluarga.Selain itu, ada upacara tertentu ditingkat desa yang

melibatkan seluruh warga masyarakat.Jika, dikaitkan dengan dampak orientasi

nilai budaya pada masalah pokok ke-2 tentang manusia dan karya (MK), di satu

sisi menunjukkan hal-hal yang bersifat positif.Hal ini disebakan karena

kontribusinya sangat signifikan dalam mendongkrak perekonomian keluarga.Di

sisi lain, terlihat juga unsur negatifnya, bagi petani sayur dengan memperoleh

pendapatan cukup tinggi sangat rendah minat untuk menyekolahkan anaknya ke

jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Jadi investasi di bidang pendidikan

memang sangat rendah.Jumlah penduduk yang mengenyam pendidikan formal

tingkat SMP sederajat dan SMA sederajat sangat rendah sekali.Bahkan yang

226 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kuliah perguruan tinggi (PT Negeri dan PT swasta sangat rendah sekali.

Mengingat juga investasi di bidang pendidikan untuk menikmati hasilnya

membutuhkan proses waktu yang panjang.

III. Penutup

Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut.

1. Persepsi petani sayur warga masyarakat Desa Argosari, jika dikaitkan dengan

orientasi nilai budaya mengungkapkan bahwa memandang penting bekerja

atau berkarya dalam hidup untuk memenuhi kehidupan ekonomi keluarga

merupakan prioritas utama. Hal ini menyebabkan semua hasil produksi yang

diperoleh dari penjualan sayur-mayur, keuangan (dana) diarahkan untuk

memenuhi kebutuhan yang bersifat konsumtif.

2. Dampaknya, ada dua hal, yaitu positif, karena dapat menjamin stabilitas

perekonomian keluarga, semua kebutuhan hidup dapat dipenuhi dari hasil

produk penjualan yang diperoleh pada lahan kebunnya serta ada

kecendrungan bersifat konsumtif. Bila dipandang dari sisi negatif, kurang

berminat untuk berinvestasi di bidang pendidikan formal anak-anaknya ke

jenjang pendidikan formal yang lebih tinggi. Mengingat, pendidikan dapat

dijadikan salah satu indicator dalam pengembangan kualitas sumber daya

manusia (SDM) untuk memasuki era industri 4.0 di masa datang.

DAFTAR PUSTAKA

Bachtiar, Harsja W., 1977. ―Pengamatan Sebagai Suatu Metode Penelitian‖ dalam

Metode-metode Penelitian Masyarakat (Editor: Kontjaraningrat). Jakarta:

PT Gramedia.

Daeng, Hans J., 1985. ―Pesta, Persaingan, dan Konsep Harga Diri di Flores‖

dalam Peranan Kebudayaan Tradisional Indonesia Dalam Modernisasi

(Penyunting Michael R.Dove). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Kepala Desa Argosari, 2019. Profil Desa 2015—2019.Desa Argosari, Kecamatan

Senduro, Kabupaten Lumajang, Provinsi Jawa Timur.

Koentjaraningrat., 1977. ―Metode Wawancara‖ dalam Metode-metode Penelitian

Masyarakat (Editor: Kontjaraningrat). Jakarta: PT Gramedia.

Koentjaraningrat, 1992.Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan. Jakarta: PT

Gramedia Utama Pustaka.

Reading, Hugo F., 1986. Kamus Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: CV Rajawali.

Wolf, Eric R., 1985. Petani Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta: CV Rajawali.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 227

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

CERITA SI LUTUNG DAN SIKEKUWE

DALAM SEBUAH PERBANDINGAN

Komang Paramartha dan I Nyoman Sukartha

Prodi Sastra Jawa Kuno Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Ceritera si Lutung dan si Kekuwe saat ini sudah jarang diketahui

oleh masyarakat Bali. Hal itu disebabkan oleh gempuran pengaruh

budaya asing. Pada hal, bila dicermati dengan baik, ceritera-ceritera

klasik sangat sarat akan kandungan nilai moral. Untuk itu akan

dicoba menggangkat ceriter tersebut sebagai bahan kajian. Kajian

akan dititikberatkan pada perbandingan cerita yang bersumber dari

dua sumber. Sumber pertama adalah bceritera si Lutung dan Si

Kekuwe versi buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali Purwa

oleh I Gusti Ngurah Bagus dan I Nyoman Ginarsa. Yang kedua

adalah bersumber dari Kidung Raga Winasa atauTantri Manduka

Prakarana. Keduanya akan diperbandingkan dengan

menggunakan teori sastra bandingan. Dengan demikian dapat

diketahui persamaan dan perbedaan kedua versi ceritera tersebut.

Kata kunci: sastra bandingan, watak jahat, dan Kekuwe.

1. Pendahuluan

Masyarakat Bali sangat kaya akan ceritera klasik. Salah satunya adalah

ceritera tentang binatang seperti ceritera si Lutung dan si Kekuwe (kura-kura).

Ceritera tersebut masih hidup pada masyarakat Bali hingga kini. Ceritera itu

mengisahkan persahabatan antara si Lutung dengan si Kekuwe yang pada awalnya

saling menolong, namun kemudian menjadi ajang balas dendam. Si Lutung

dikisahkan sebagai tokoh licik yang tidak tahu balas budi. Akhirnya karena

kelicikannya itu ia mendapat kematian.

Ceritera si Lutung dan si Kekuwe yang ada di masyarakat Bali memiliki

versi yang beragam. Dalam tulisan ini akan dicoba membandingkan ceritera

tersebut. Sumber ceritera diambil dari ceritera si Lutung dan Si Kekuwe yang

termuat dalam Kidung Rȃga Winȃsa dan ceritera si Lutung dan si Kekuwe yang

termuat dalam buku Kembang Rampe Kesusastraan Bali karya I Gusti Ngurah

Bagus (1974). Kidung Rȃga Winȃsa merupakan gendre sastr klasik yang

berbentuk puisi. Kidung tersebut merupakan ceritera berbingkai yang juga

merupakan sempalan kidung Tantri. Kidung Tantri ada tiga yaitu : Kidung Tantri

Nandaka Harana, Kidung Tantri Rȃga Winȃsa, dan Kidung Tantri Pisaca Harana

(Sukartha dkk, 2017, 45, Sukartha, 2018, 78). Sedang Kesusastraan Bali Purwa

merupakan kumpulan ceritera dari I Gusti Ngurah Bagus dkk. Ceritera si Lutung

dan Si Kekuwe terdapat di dalam Kidung Raga Winasa

228 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Robert J. Clements menyatakan bahwa sastra bandingan muncul sebagai

salah satu disiplin akademik. Kajian sastra bandingan terfokus kepada pada

berbagai aspek seperti; tema, jenis atau bentuk, gerakan atau tern, hubungan sastra

dengan bidang yang lain serta media seni lainnya, sejarah kritik dan teori sastra.

Pandangan yang sedikit berbeda adalah pandangan François Jost. Menurutnya,

sastra bandingan lebih memusatkan pada interaksi dan kemiripan di antara dua

atau lebih sastra nasional. Interaksi itu dapat dilihat dari perbedaan pada

pengarang, fungsi khusus ada proses tranmisi yang terlihat pada tekhnik dan aliran

sastra (Susanto, 2015:737).

Ceiritera si Lutung dan si Kekuwe seperti yang telah dikemukakan di atas

memiliki persamaan dan juga perbedaan. Hal itu menggelitik dan merangsang

untuk diketahui. Apa persamaan dana pa pula perbedaan yang terdapat dalam

ceritera itu. Apakah perbedaan yang dimilikinya mengubah tema dan makna dai

ceritera itu. Hal itu bisa diketahui melalui paparan di bawah ini.

2. Cerita versiKembang Rampe Kesusastran Bali Purwa(Versi 1).

Cerita itu berupa cerita yang disajikan pada cerita ketiga setelah cerita Sang

Kidang Teken Sang Cekcek dan sebelum cerita Sang Muun ring Sang Lanjana

(1978: 23). Menggunakan bahasa Bali

Isi Cerita.

Konon, tersebutllah keluarga petani yang hidup memondok di suatu ladang.

Ia memiliki seorang puri yang jelita. Pekerjaannya hanya sebagai petani kebun,

namun kebunnya tidak menghasilkan apa-apa. Hal itu disebabkan oleh ulah

seekor kera yang bernama sang Lutung yang merusak kebunnya. Itulah sebabnya

sang Petani mencari akal untuk menangkap sang Lutung. Sang Petani berniat

membuat perangkap (santeb) untuk menangkap sang Lutung. Singngkat cerita,

setelah santeb selesai dibuat lalu dipasang beserta umpan buah-buahan. Sang

Lutung tidak mengetahui dirinya akan ditangkap dengan santeb. Akhirnya sang

Lutung tertangkap di dalam santeb dan tidak bisa ke luar. Setelah sang Petani

melihat sang Lutung sudah terkena perangkap maka ia lalu membawanya ke

pondok. Sang Petani memberitahu anak-istrinya bahwa ia sudah menangkap sang

Lutung yang selalu tali. Ia dimasukka ke dalam sangkar bambu lalu ditaruh di

belakang pondoknya.

Diceritakan sang Lutung yang terikat di dalam kerangkeng bambu. Ia

sangat sedih hingga menitikkan air mata memikirkan bahwa dirinya akan dibunuh

utuk dijadikan masakan oleh sang Petani.

Bertepatan dengan itu, tersebutlah seekor kura-kura (sang Kura=Kura) ke

luar dari bawah balok kayu yang bermaksud mencari air ke sungai yang ada di

belakang pondok sang Petani. Ketika sang Lutung melihat sang Kekuwelalu ia

berdehem. Sang Kekuwelalu menolehnya sambil bertanya: ―Sedang apa kamu di

sana Lutung?‖. Sang Lutung menjawab: ―Wah, kamu tidak tahu ya, bahwa aku

dirayu oleh ayah gadis yang sedang menggerus param itu. Tetapi aku tidak mau

kawin makanya aku diborgol dan dimasukkan ke dalam sangkar bambu ini. Bila

kamu mau menggantikanku, aku persilahkan‖. ―Ya, aku mau menggantikanmu

sebagai penganten bila memang bisa diganti‖. Begitulah jawaban sang Kura=Kura.

Sang Lutung kembali berkata: ―Okelah!. Bukalah sangkar ini lalu lepaskan aku

dari ikatanku. Sebagai gantinya, kamulah yang akan aku ikat‖. Sang Kura-Kura

sangat girang hatinya. Dengan cepat ia membuka ikatan sang Lutung. Setelah

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 229

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sang Lutung lepas maka sang Kura-Kura diikat dan dimasukkan ke dalam

kurungan babu. Selanjutnya sang Lutung lalu berlari dan naik ke atas pohon untuk

bersembunyi. Ia lalu tertawa karena hatinya senang sudah bebas. Ketika sudah

berada di atas pohon sang Lutung lalu bernyanyi:

“Sang Kekuwe, sang Kekuwe beten kranjang, sang Lutung babuan di kayu,

sang Kekuwe celakne kenyang,sang Lutung celakne layu”.

Terjemahannya.

Sang Kekuwe sang kekuwe ada di bawah keranjang. Sang Lutung diatas

pohon.

Sang Kekuwe kemaluannya tegang, sang Lutungkemaluannya layu

Gadis anak sang Petani mendengar nyanyian sang Lutung. Ia datang

mendekatinya. Ia lalu melihat ke dalam sangkar bambu. Dilihatnyalah ada seekor

kura-kura terikat berada di dalam sangkar itu. Melihat hal itu sang gadis lalu

berlari memanggil ayahnya. Diceritakanlah prihal tentang sang Kekuweyang

terikat berada di dalam sangkar, sedangkan sang Lutung sudah hilang. Sang petani

lalu berkata: ‗Biar pun kura-kura, toh dagingnya lebih lezat dibandingkan dengan

monyet. Ia tetap kita akan masak jadikan anyang.‖. (anyang berarti ‗lawar atau

sayuran cincang dicampur dengan daging, kulit, darah, isi, dan perut yang

dicincang kecil-kecil dan dibumbui untuk lauk makan‘).

Sang Kura-Kura sangat sedih hatinya ketika diambil dari dalam sangkar.

Air matanya menetes karena ia mengetahui bahwa dirinya akan dipotong untuk

dijadikan masakan. Akhirnya sang Kura-Kura dipotong dan dimasak.

Diceritkan kini sang Lutung yang kegirangan. Ia lalu turun ke kali untuk

mandi. Pada saat itu ada seekor kepiting (sang Yuyu) sedang bersembunyi di sela-

sela batu. Ketika sang Lutung melihat sang Yuyu, timbul niatnya untuk

membencanai. Ia lalu menyuruh sang Yuyu agar naik untuk diajak berembug.

Sang Yuyu tidak mau kaena ia mengetahui sang Lutung memiliki sifat sangat

jahat. Ia berdalih mengaku kakinya keseleo dan tidak mampu berjalan naik.Sang

Yuyu minta ditarik agar bis naik. Sang Lutung lalu mengikuti permintaan sang

Yuyu. Ia lalu menjulurkan ekornya ke sela-sela batu. Sang Yuyu lalu menjepit

ekor sang Lutung. Sang Lutung menjerit kesakitan. Kebetulan jeritannya didengar

oleh seseorang yang sedang mencari ikan. Melihat sang Lutung kesakitan dan

tidak mampu melepaskan diri maka sang pencari ikan lalu menangkapnya dan

menyembelihnya. Sang Lutung akhirnya mati.

3. Cerita Sang Lutung dan Sang Kekuwe Versi Kidung Rȃga Winȃsa (Versi 2).

Diceritaka setelah si Lutung terlepas dari lilitan ekor si Macan. Ia terjatuh di

dalam hutan. Ia lama tidak sadarkan diri. Setelah siuman ia ke luar dari semak-

semak. Ia bertemu dengan seekor kura-kura (si Kekuwe). Ketika itu sang Lutung

ditanyai oleh sang Kekuwe tentang penyebab dan tujuannya datang ke tempat itu.

Dasar Lutung jahat dan usil, maka pertanyaan sang Kekuwedijawabnya dengan

menghina si Kekuwe . Sang Kekuwe mengatakan dirinya adalah keturunan

seekor penyu yang bernama Bedawangnala. Menurutnya, pada waktu dahulu

kala, ia ditugaskan menjaga bumi agar tidak hancur. Mendengar keterangan sang

Kekuwemaka sang Lutung mulai hormat. Namun dalam hatinya ia bermaksud

menguji dan membencanai sang Kekuwe.

Suatu hari diajaknya sang Kekuwepergi ke suatu ladang perkebunan untuk

mencari makan. Sesampainya di tengah perkebunan, sang Lutung mengajaknya

230 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

masuk ke dalam kebun untuk menikmati hasil kebun itu. Sang Lutung dengan

cekatan melompat-lompat sambil makan buah-buahan. Sedang sang

Kekuweberjalan di sela-sela pohon jahe. Niat jahil sang Lutung untuk mencelakai

sang Kekuwemuncul saat itu. Sang Lutung lalu turun ke kebun jahe, serta

mencabut-cabut pohon jahe hingga kebun jahe itu rusak. Ia berteriak-teriak ribut.

SangKekuwemelarangnya namun tidak dihiraukan oleh sang Lutung.

Tersebutlah pemilik kebun yang bernama bernama Pan Durbudi.

Mendengar ada monyet rebut di kebunnya lalu ia dating melihat kebunnya.

Ketika sampai di kebun Pan Durbudi sangat marah melihat banyak pohon

jahenya yang rusak. Pan Durbudi mengejar sang Lutung. Namun sang Lutung

tidak mampu ditangkapnya. Sang Lutung lalu bernyanyi di atas pohon untuk

memanas-manasang Pan Durbudi. Dalam nyanyiannya disebutkan bahwa ada

kura-kura jelek bersembunyi di sela-sela pohon jahe. Dicarilah dan

ditemukannlah sang Kekuwe yang ketika itu sedang bersembunyi di sela-sela

pohon jahe. Sang Kekuwelalu diikat dan dibawanya pulang. Sesampainya di

rumah Pan Durbudi menyuruh istri dan anaknya untuk menyiapkan bumbu dan

beras untuk dimasak esok harinya. Sangbuklah mereka mencari bahan-bahan

masakan untuk memasak kura-kura, Sang Kekuweyang terikat lalu dimasukkan

ke dalam keranjang agar tidak bisa lepas.

Pada malam harinya sang Lutung datang ke tempat sang Kekuwediikat

dengan tujuan mengejek. Sang Lutung mengejek sang Kekuwedengan

mengatakan bahwa sang Kekuwesangat dungu tetapi ngaku pintar. Sang

Kekuwemengetahui bahwa dirinya sengaja ditipu agar tempat persembunyiannya

diketahui oleh pan Durbudi dan lalu dibunuh. Kala itu timbullah niatnya untuk

menipu balik.. Sang Kekuwemengatakan dirinya bukan akan dipotong untuk

dimasak, tetapi sengaja diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang agar tidak bisa

melarikan diri. Sang Kekuweberkata bahwa dirinya besok akan dikawinkan

dengan anak Pan Durbudi yang cantik. Mendengar ceritera sang Kekuweseperti

itu maka sang Lutung memaksa sang Kekuweuntuk menggantikan menjadi

mempelai. Ahirnya sang Kekuwesetuju digantikan oleh sang Lutung. Sang

Lutung lalu menyerahkan diri untuk diikat dan dimasukkan ke dalam keranjang

bambu. Setelah sang Lutung terikat dan dipastikan tidak akan bisa lepas maka

sang Kekuwelalu pergi menjauh dan masuk ked lam hutan.

Pada keesokan harinya Pan Durbudi sekeluarga sudah bangun dan

bersiap--siap untuk memasak kura-kura. Tetapi, betapa kagetnya ia ketika melihat

bahwa tidak ada kura-kura di dalam keranjang. Sebagai gantinya ada seekor

lutung yang sedang terikat. Merekapun sangat gembira sebab daging lutung tentu

lebih banyak dan lebih lezat dibandingkan dengan daging kura-kura. Pan

Durbudi menyuruh anak-istrinya menambah lebih banyak lagi bumbu masaknya.

Mengethaui bahwa dirinya bukan dikawinkan, tetapi akan dipotong dan dimasak,

maka sang Lutung sangat sedih dan ketakutan. Ia lalu mencari akal agar bisa

membebaskan diri.

Pada malam harinya datanglah seekor anai-anai (sang Tetani) sedang

mencari makan. Ketika sang Lutung melihat sang Tetani, maka timbul idenya

minta bantuan. Sang Lutung memohon minta agar sang Tetani mau

melepaskannya. Ia menyuruh sang Tetani untuk memanggil kawan-kawannya

untuk rela melepaskannya dari ikatan itu. Sang Tetani lalu memanggil kawan-

kawannya. Setelah mereka banyak yang datang maka tali pengikat sang Lutung

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 231

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dimakan bersama-sama.Sebentar saja sang Lutung sudah terlepas dari ikatan

talinya. Sang Lutung lalu pergi berlari ke tangah hutan. Setelah sampai di Hutan

ia lalu menyuruh sang Tetani berkumpul lagi untuk diberi penghormatan atas

pertolongannya. Setelah sang Tetani berkmpul lalu sang Lutung meraup dan

memakannya. Akhirnya sang Tetani hanya tinggal sepasang saja lalu

bersembunyi di bawah pohon teep.

4. Perbandingan Ceritera.Bila cerita sang Lutung dan sang Kekuwedisimak

dengan cermat maka dapat diketahui perbedaan yang sangat sanggnifikan.

Perbedaan tersebut dapat diuraikan seperti di bawah ini.

Versi Kembang Rampe Kasusastran Bali

Purwa

versi Kidung Rȃga Winȃsa.

a) Cerita dimulai dengan kisah

sorang petani yang gagal

dalam berkebun.

b) Kegagalannya disebabkan

ulah seekor Lutung yang

merusak kebunnya.

c) Sang petani marah lalu

iamemasang jerat.

d) Si Lutung terkena jerat, ia lalu

diikat dan akan dimasak untuk

lauk.

e) Malam harinya datanglah

seekor kura-kura ingin

mencari air, terjadi dialoh dan

kura-kura mau menggantikan

Lutung untuk diikat karena

tipu muslihat Lutung.

f) Kura-kura sangat sedih ditipu

si Lutung.

g) Kura-kura ahirnya disembelih

dijadikan lauk oleh si petani.

h) Kejadian itu diketahui oleh

seekor kepiting yang

merupakan sahabat si Kekuwe

i) Kebetulan si Lutung pergi ke

kali untuk mencari minum

j) Ia melihat si Kepiting

k) Ia membohongi si Kepiting

agar mau naik ke darat untuk

diajak jalan-jalan

l) Kepiting mau naik asal

dibantu oleh Lutung.

m) Lutung menurunkan ekornya

dan kepiting menjepitnya.

a) Ceriter dimulai dengan pelarian

si Macan dan si Lutung di

ditengah hutan.

b) Si lutung terjatuh di semak-

semak. Setelah sadar ia

berjumpa dengan si Kekuwe.

c) Terjadi dialog saling

menyombongkan diri. Si

Kekuwe mengaku keturunan

Bedawang Nala

d) Lutung mengajak jalan jalan ke

sebuah kebun yang banyak ada

makanan

e) Sesampainya di kebun si Lutung

merusak tanaman jahe Pak

Durbudi.

f) Pak Durbudi datang lalu

menangkap si Kekuwe dan lalu

diikatnya di taruh di bawah

keranjang.

g) Si Kekuwe bersedih karena mau

disembelih

h) Keesokan harinya si Lutung

mendatangi si Kekuwe dan

mengejeknya. Si Kekuwe

menipu si Lutung, mengatakan

dirinya bukanlah akan

disembelih tetapi akan

dikawinkan dengan anak Pak

Durbudi yang cantic.

i) Mendengar ceritera si Kekuwe

maka si Lutung tertarik dan mau

menggantikan si Kekuwe jadi

pengantin.

232 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

n) Si Lutung berteriak-teriak

kesakitan.

o) Jeritannya di dengar oleh

seorang yang sedang mencari

ikan di sungai.

p) Si Lutung lalu ditangkapnya

dan disembelih untuk

dijadikan lauk.

q) Si Lutung mati.

j) Si Lutung terkena tipuan si

Kekuwe.

k) Pada malam harinya si Lutung

ditolong oleh si Tetani sehingga

ia bisa melepaskan diri.

l) Pada akhir cerita si Lutung dan

si Kekuwe keduanya masih

hidup.

Penjelasan

Melihat paparan di atas dapatlah diketahui bahwa ada persamaan dan

perbedaan antara kedua versi itu. Hal itu dapat dijelaskan sebagai beriku

1) Ceritera versi 1 dan 2 sama-sama menceritakan Lutung dan Kekuwe.

2) Dalam versi 1 si Lutung dan si Kekuwe diceritakan sama-sama suka

bohong.

3) Dalam versi 1 Lutung dan Kekuwe sama-sama mati.

4) Sedang Versi 2 keduanya masih hidup.

5) Versi 2 Lutung adalah tokoh jahat.

6) Versi 1 keduanya jahat karena sama-sama suka berbohong.

7) Versi 1 memiliki tokoh tambahan yaitu sang Kepiting dan tukang pancing

Versi 2 tokoh tambahan adalah si Tetani

Kesimpulan

a) Kedua versi ceritera seperti tersebut di atas mengandung pesan bahwa

tidak baik menjadi orang yang suka berbohong apa lagi menjadi orang

jahat. Sebab perbuatan seperti itu akan menjerumuskan ke dalam

kesengsaraan bahkan kematian.

b) Makna kedua cerita itu adalah: kejahatan akan selalu berakibat buruk

sedang kebaikan akan selalu berakibat kebahagiaan. Untuk itu dalam

kehidupan ini janganlah suka berbohong atau berbuat jahat.

Daftar Pustaka

Bagus dkk. 1974. Kembang Rmpe Kesusastraan Bali Purwa. 1974. Denpasar;

Fakultas Sastra UNUD.

Moeliono, Anton. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Departemen

Pendidikan Nasional.

Sudiana.T. I Made. 2012. Kidung Rȃga Winȃsa (Tantri Mandhuka Prakarana).

Denpasar; Percetakan Bali.

Sukartha, I Nyoman. 2016. ―Pendidikan Karakter Dalam Ceritera Si Lutung, Si

Tetani, dan Si Katak‖, dalam Proseding Seminar Nasional Asosiasi

Tradisi Lisan. Denpasar; Pustaka Larasan.

Sukartha. I Nyoman. 2017. ―Makna Pendidikan Moral dalam Kidung Raga

Winasa Episode Persahabatan Si Lutung dengan Si Keker‖dalam

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 233

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Proseding Seminar Nasional Sastra dan Budaya II. Denpasar; Fakultas

Ilmu Budaya UNUD.

Sukartha, I Nyoman. 2017. ―Kepengarangan Kidung Tantri Mandhuka Prakarana‖

dalam Proseding Seminar Internasional Bahasa dan Sastra Austronesia

VIII. Denpasar; Fakultas Ilmu Budaya.

Sukartha I Nyoman dkk. 2017. ―Pendidikan Moralitas Dalam Kidung Manduka

Prakarana‖. Denpasar. Program Stodi Bahasa Jawa Kuno Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Udayana.

Susanto, Dwi. 2015. Kamus Istilah Sastra. Yogyakarta; Pustaka Pelajar.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 234

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KISAH CINTA DAN PENGORBANAN

DI BALIK TRADISI PASOLA DI SUMBA

(KONSEP AWAL PENULISAN SKENARIO FILM PASOLA SUMBA)

Maria Matildis Banda

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Pasola adalah tradisi heroik masyarakat tradisional Sumba. Pasola

mempertemukan dua kelompok pemuda yang "berperang"

mempertontonkan ketangkasan berkuda dan ketepatan melempar

tombak dari atas kuda yang sedang melaju kencang. Tradisi ini

dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sampai Maret, yang

dilakukan oleh orang Sumba terutama yang masih menganut

agama asli yang disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba).

Tradisi pasola lahir dari kisah mitologi tentang Putri Rabu Kaba

yang diperebutkan Umbu Dullah (suaminya) dan Teda Gaiparano

(pria idaman lain). Bagaimanakah alur, karakter tokoh-tokoh, serta

latar kisah mitologi tersebut akan dibahas dalam makalah ini.

Tujuannya untuk mendapatkan masukkan kearifan lokal tentang

kisah Putri Rabu Kaba; serta untuk memperdalam karakter cerita

yang penting untuk penulisan skenario film. Metode yang

digunakan adalah metode kepustakaan dan metode wawancara,

sementara teori yang digunakan untuk analisis strtuktur adalah teori

strukturalisme dan semiotik. Hasilnya menjelaskan tentang struktur

cerita Putri Rabu Kaba dan tradisi pasola yang merupakan simbol

kepahlawanan masyarakat Sumba dalam menghadapi dan

mensyukuri berbagai tantangan hidup.

Kata Kunci: Pasola, Putri Rabu Kaba, mitologi, skenario.

I. Pendahuluan

Pasola adalah tradisi heroik masyarakat tradisional Sumba. Pasola

mempertemukan dua kelompok pemuda yang "berperang" mempertontonkan

ketangkasan berkuda dan ketepatan melempar tombak dari atas kuda yang sedang

melaju kencang. Tradisi ini dilaksanakan setiap tahun pada bulan Februari sampai

Maret, yang dilakukan oleh orang Sumba yang masih menganut agama asli yang

disebut Marapu (agama lokal masyarakat sumba). Tradisi pasola diadakan pada

empat kampung di kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Keempat

kampung tersebut antara lain Kodi di Sumba Barat Daya, dan Lamboya,

Wonokaka, dan Gaura di Sumba Barat, serta beberapa kampung lainnya demi

kepentingan pariwisata. Pelaksanaan pasola dilakukan secara bergiliran setelah

pelaksanaan tradisi nyale (pencarian/pengambilan cacing laut). Pasola

dilaksanakan di arena luas terbuka dan disaksikan oleh masyarakat sekitar, turis

domestik, maupun turis asing.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 235

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Tradisi pasola dilatari oleh kisah asmara antara Umbu Dullah (atau nama

lainnya), Rabu Kaba (istri Umbu Dullah), serta Teda Gaiparano Pria Idaman Lain

(PIL) dari Rabu Kaba. Ada beberapa variasi cerita dari beberapa versi yang

menarik untuk ditelusuri dan dikaji secara filologis demi mendapatkan cerita yang

mendekati asli. Pada kesempatan ini akan dibahas secara singkat alur, karakter,

dan latar cerita berdasarkan versi cerita yang dijelaskan melalui wawancara dan

diskusi singkat dengan Romo Atnan Ndate (Jumat, 08 Maret 2019) dan Tony

Umbu Zasa (Sabtu, 09 Maret 2019) di Kupang serta informasi yang diperoleh

melalui studi kepustakaan.

Masalah dan tujuan penulisan makalah ini untuk: 1) mendapatkan gambaran

umum tentang tradisi pasola, tradisi nyale, serta cerita rakyat (mitos) tradisional

Putri Rabu Kaba yang diyakini masyarakat setempat berhubungan dengan kedua

tradisi tersebut; 2) mendapatkan sebuah kajian struktur alur, perwatakan, dan latar

cerita Putri Rabu Kaba. Analisis akan memberi manfaat bagi penulisan skenario

film tentang tradisi pasola berdasarkan cerita Putri Rabu Kaba; 3) mendapatkan

masukkan berupa referensi dan teori demi penelitian lebih lanjut serta tercapainya

tujuan penulisan skenerio film tentang pasola. Teori yang digunakan adalah teori

strukturalisme dan semiotik yang menggarisbawahi tiga konsep estetika sastra

prosa yaitu alur, perwatakan, dan latar serta makna tanda-tanda yang ada di

baliknya.

II. Metodologi

Metode yang digunakan untuk penulisan makalah ini adalah sebagai berikut.

Metode kepustakaan dilakukan dengan membaca sejumlah referensi dan teori

yang berkaitan dengan tradisi nyale, tradisi pasola, dan estetika cerita Putri Rabu

Kaba dari sudut alur, perwatakan, dan latar.

Selanjutnya dilakukan pula wawancara dengan tokoh-tokoh yang memahami

pasola dari sudut pandang warisan kebudayaan dan kebijakan pembangunan

ekonomi pariwisata dengan upaya peningkatan potensi destinasi pariwisata

khususnya tradisi pasola.

III. Pembahasan

Secara etimologi pasola berasal dari "sola" atau "hola", yang artinya tombak.

Pasola artinya menggunakan sola. Tradisi pasola artinya melempar tombak

(lembing) tombak ke arah lawan dari atas kuda pada saat kuda sedang dipacu

kencang. Ada dua ketrampilan penting dalam tradisi pasola yaitu ketrampilan

menunggang kuda dan ketangkasan melempar tombak ke arah lawan dari atas

kuda yang sedang berlari. Tradisi ini pun tidak hanya dilaksanakan pada satu

kampung (desa) saja tetapi beberapa desa, bahkan pada wilayah yang tidak ada

kaitannya dengan tradisi tersebut. Latar belakang sejarah dan mite tentang Putri

Rabu Kaba (selanjutnya disingkat PRK) di balik lahirnya tradisi pasola pun

bervariasi (Romo Atnan, 2019; dan Umbu Saza, 2019) dan menjadi latar budaya

lahirnya pasola.

Tradisi Pasola ini dikenal dan dikenang secara luas, baik di tingkat lokal,

nasional, maupun global. Tradisi ini telah memiliki nilai jual bagi pariwisata

Sumba NTT. Pada kesempatan ini akan dijelaskan ringkasan cerita (salah satu

versi) yang melatari lahirnya tradisi pasola, kajian struktur dan semiotik, serta

236 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kemungkinan mengembangkan cerita PRK ke dalam bentuk skenario berdasarkan

ringkasan cerita.

Ringkasan Cerita Putri Rabu Kaba

Latar belakang lahirnya tradisi pasola adalah hubungan cinta segi tiga antara

suami istri Umbu Dullah (dalam versi lain disebut Umbu Amahu) dan Rabu Kaba

dari kampung Waiwuang dan pria idaman lain (PIL) bernama Teda Gaiparona

yang berasal dari kampung Kodi. Percintaan Rabu dan Teda itu terjadi bukan

karena Rabu berkhianat, tetapi karena kepergian Umbu Dullah bertahun-tahun

tanpa berita. Setelah Rabu dan Teda hidup bersama di Kodi, tiba-tiba Umbu

Dullah kembali. Rasa marah dan rasa malu yang luar biasa menghantam harga diri

Umbu Dullah. Dia kerahkan segenap tenaga untuk merebut kembali Rabu dari sisi

Teda. Terjadilah perang pasola, saling tombak, dan kejar mengejar di arena

terbuka antara Umbu serta pengikutnya berhadapan dengan Teda dan pengikutnya.

Konon banyak orang mati akibat pertempuran itu. Mendengar bahwa pasola

terjadi karena memperebutkan dirinya, Rabu pun bunuh diri dengan menerjunkan

diri kel laut. Rabu berubah menjadi cacing laut yang selanjutnya memberi

kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Hingga kini kenangan terhadap Rabu

terus berlanjut dalam tradisi nyale (pencarian cacing laut) dan peringatan perang

antara Umbu dan Teda tetap dikenang melalui tradisi pasola.

Cerita Putri Rabu Kaba: Kajian Struktur dan Semiotik

Abrams dalam The Mirrow and The Lamp (1976) menjelaskan tentang

keragaman pendekatan struktur karya sastra yang mesti dipahami secara utuh atau

secara total demi pemahaman totalitas makna (Teeuw, 1984:50). Alur cerita Putri

Rabu Kaba (PRK) sebagaimana cerita rakyat pada umumnya adalah alur maju.

Rangkaian alurnya adalah sebagai berikut.

1. Suami istri: Umbu Dullah (Umbu Amahu) dan Rabu Kaba di Waiwuang.

2. Umbu Dullah bersama kedua tokoh adat lainnya meninggalkan kampung

untuk melaut. Rabu Kaba ditinggalkan.

3. Umbu Dullah dan kedua tokoh adat tidak pergi melaut melainkan pergi

mencari padi di wilayah selatan Sumba Barat.

4. Tiada kabar tentang Umbu Dullah dkk. Setelah menunggu lama Umbu

dinyatakan hilang. Sementara itu Rabu Kaba mulai menjalin hubungan

denganTeda Gaiparano dari Kampung Kodi.

5. Warga kampung Waiwuang mengadakan ritual perkabungan untuk Umbu

Dullah, dkk.

6. Meskipun tidak direstui keluarga, Rabu Kaba meninggalkan kampung

Waiwuang dan hidup bersama dengan Teda. Keduanya menetap di Kodi.

7. Umbu Dullah dkk kembali ke Waiwuang dalam keadaan sehat. Ia sangat

marah saat mengetahui istrinya telah diambil Teda sebagai istri.

8. Terjadi perang antara warga Waiwuang yang dipimpin Umbu Dullah dan

warga Kodi yang dipimpin Teda. Perang tersebut untuk memperebutkan

kembali Putri Rabu Kaba.

9. Putri Rabu Kaba melakukan bunuh diri setelah mengetahui bahwa perang

tersebut untuk memperebutkan dirinya. Dia menceburkan dirinya ke laut agar

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 237

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

perang berhenti. Tubuh Rabu Kaba menjadi menjadi cacing laut membawa

kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya.

10. Perang antara Umbu dan teda berakhir dengan dendam dan rasa marah yang

masih berlanjut hingga lahirnya tradisi pasola.

Ada tiga karakter utama dalam cerita Putri Rabu Kaba. Pertama Rabu Kaba

yang digambarkan cantik. Dia adalah seorang istri dari Umbu Dullah. Istri yang

setia ini jatuh cinta pada Teda pemuda dari Kampung Kodi setelah suaminya pergi,

tidak ada kabar, dan ritual perkabungan dilakukan untuk keselamatan jiwanya.

Umbu Dullah adalah pemuda bangsawan yang kehilangan Rabu Kaba akibat

kesalahannya sendiri yaitu pergi dan hilang tanpa berita. Kemarahannya pada

Teda dan keinginannya merebut kembali Rabu Kabu menjadikan perang antara

kedua kampung tidak terelakkan. Sementara itu Teda adalah pemuda dari Kodi

yang berani dan berhasil menaklukan hati Rabu Kaba untuk menikah dan menetap

di Kodi sebagai istrinya. Pengembangan karakter ini didukung oleh latar cerita di

Waiwuang dan Kodi, serta beberapa wilayah yang tidak disebutkan secara jelas

dalam cerita. Latar sosial cerita PRK ini adalah kehidupan bangsawan pemimpin

kampung yang berupaya menegakkan harga diri dan menempatkan kehormatan

perempuan (istri) dan memperebutkannya, meskipun dengan jalan perang.

Apakah makna di balik cerita PRK? Dalam kajian semiotik (ilmu tanda)

menurut Rolland Barthes (Barthes,1972, edisi Indonesia terjemahan Ikramullah

Mahyuddin, 2010) terdapat tiga tingkatan makna yaitu makna denotatif, makna

konotatif, dan mitos dengan menggarisbawahi semiotika konotatif. Makna

konotatif adalah makna ganda berdasarkan pengalaman kultural dan personal.

Mitos adalah aspek lain dari penandaan yang bermakna dalam tingkat kedua.

Jalinan kisah hidup Rabu Kaba, Umbu Dullah, dan Teja menunjukkan sebuah

hubungan cinta personal. Pengalaman kultural terjadi ketika rasa marah Umbu

Dullah mengungkapkan rasa marah dan harga diri masyarakat Waiwuang yang

tersakiti akibat di"rampas"nya Rabu Kaba.

Selanjutnya bukan lagi tentang cinta antara Umbu, Rabu, dan Teja, tetapi

menyangkut harga diri, perlawanan, dan perjuangan demi integritas kelompok.

Pada tataran ini perang perebutan Rabu telah menjadi perang tentang harga diri

kelompok. Hal inilah yang menjadikan tradisi pasola berkembang sebagai mitos

dan keyakinan pada harga diri. "Perang" dalam tradisi pasola adalah salah satu

rekaman kenangan sekaligus simbol untuk mempertahankan harga diri apa pun

hasilnya. Demikian pula akhir hidup Rabu yang rela berkorban menjadi cacing

laut berprotein tinggi melampaui makna denotatifnya menuju makna konotatif

sebagai kerelaan berkorban, menjadi mitos tentang tradisi nyale, dan keyakinan

masyarakat setempat tentang panen berlimpah yang juga disyukuri melalui tradisi

pasola.

Nilai-Nilai kearifan lokal pasola (filosofi tradisi pasola): Ibarat derap kaki

kuda yang terdengar menggemuruh, jauh lebih dahsyat dari derap degup jantung

yang menggemuruh ketika harga diri tersakiti dan harus ditegakkan. Tidak ada

seorang pun yang mau kalah dalam pertempuran mempertahankan harga diri dan

kehormatan dalam bertahan maupun dalam keikhlasan menghadapi kenyataan.

Skenario Film Tentang Pasola

238 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kisah cinta dan pengorbanan di balik lahirnya tradisi pasola merupakan salah

satu akar kultural yang menjadikan tradisi ini terwariskan turun temurun secara

lisan. Akar kultural ini perlu diposisikan dengan tepat agar pewarisan dapat

bertahan dan hidup sebagai roh perjuangan masyarakat pemiliknya. Dalam

kaitannya tentang pariwisata potensi tradisi pasola ini dapat dikemas dan

dialihwahanakan secara kreatif. Untuk itu diperlukan adanya sebuah bentuk

penyajian yang lain (alih wahana) (Banda, 2016), media baru untuk tradisi pasola

di era milenial demi mendukung tradisi pasola sebagai salah satu icon pariwisata

Sumba.

Misalnya dalam bentuk drama yang dipentaskan, drama radio, cerpen, novel,

puisi-puisi dan musikalisasi puisi, lagu, tarian dan musik, sendratari, skenerio film,

lukisan, serta berbagai bentuk karya seni lain yang berpotensi ekonomi kreatif

dalam pengembangan pariwisata daerah di NTT. Salah satu yang dapat dilakukan

adalah penulisan skenario film. Penulisan skenario diharapkan dilakukan

berdasarkan alur cerita, perwatakan, dan latar sebagaimana dijelaskan di atas.

Filosofi apakah yang paling mendasar dari lahirnya tradisi ini merupakan benang

merah cerita sehingga tradisi pasola diialihwahanakan ke dalam bentuk skenario

berdasarkan akar kutural dan tidak meninggalkan hakikat dan filosofinya.

Bagaimanakah alur, perwatakan, dan latar cerita PRK yang dirancang dalam

bentuk skenario singkat dapat dijelaskan berikut ini.

Peristiwa 1: Keriuhan pasola berhadapan kelompok Umbu Dullah atau Umbu

Amahu (mantan kekasih Rabu Kaba) berhadapan dengan kelompok Teda

Gaiparona (kekasih Rabu Kaba).

Peristiwa 2: Di Bukit yang sunyi Umbu Dullah terkenang masa lalunya bersama

Rabu Kaba, gadis cantik yang sangat dicintainya. Bayangannya kembali... saat itu

Umbu Dullah mengatakan bahwa dia akan segera pergi melaut bersama Ngongo

Tau Masusu dan Bayang Amahu. Rabu Kaba melepas kepergiannya dengan sedih.

Peristiwa 3: Umbu Dullah dkk, tidak pernah kembali. Berita tentang hilang

lenyapnya ketiga pemimpin pun tersiar ke desa-desa lainnya. Rabu Kaba terlihat

sangat sedih kehilangan Umbu Dullah.

Peristiwa 4: Waku berlalu, seorang Pemuda dari Kodi bernama Teda Gaiparano

yang terpesona dengan kecantikan Rabu Kaba mulai sering datang ke Kampung

Waiwuang, tempat Rabu Kaba berasal.

Peristiwa 5: Karena sudah berlangsung lama, para tetua adat pun menjalankan

ritual perkabungan bagi keselamatan jiwa Umbu dan kedua pemimpin lainnya.

Peristiwa 6: Rabu dan Teda menikah dan menetap di Kodi.

Peristiwa 7: Tiba-tiba Umbu Dullah, Ngong Tau Masusu, dan Bayang Amahu

pulang kembali ke kampungnya. Ketiganya ternyata masih hidup. Akan tetapi

berita Rabu telah dilarikan ke Kodi menampar wajah Umbu Dullah. Ia dengan

segenap pemuda memacu kuda menuju Kodi untuk merebut kembali Rabu.

Peristiwa 8: Perang antara kubu Umbu dan kubu Teda tidak dapat dihindari.

Perang tersebut terjadi lapangan terbuka dengan melempar tombak di atas kuda

yang sedang berlari kencang. Perang memperebutkan Rabu Kaba. Rabu Kaba

memilih bunuh diri dengan cara terjun ke dalam laut ketika menyadari bahwa

perang tersebut karena memperebutkan dirinya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 239

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Peristiwa 9: Kisah itu diabadikan dengan tradisi pasola setelah tradisi nyale

(tradisi penangkapan cacing laut sebelum tradisi pasola dimulai). Pertempuran di

arena terbuka disaksikan oleh semua pihak, sebagai simbol harga diri dan

kepahlawanan.

III. Simpulan

Ringkasan skenerio di atas adalah salah satu contoh cerita rakyat (mite) Putri

Rabu Kaba yang melatari lahirnya tradisi pasola di Sumba. Selain skenario film,

kisah Rabu Kaba tersebut bisa dikemas dalam bentuk karya tulisan kreatif lainnya

seperti puisi, syair lagu, cerpen, drama panggung, sendratari, drama radio,

sinetron, dan lainnya.

Demikian catatan singkat tentang tradisi pasola, cerita rakyat Putri Rabu

Kaba yang melatari lahirnya tradisi pasola, serta nilai-nilai filosofis di baliknya.

Nilai filosofis inilah yang pantas ditempatkan untuk pendasaran pariwisata budaya

di Sumba dalam bentuk skenario film yang mudah-mudahan dapat diwujudkan

dalam film yang memiliki nilai jual dan berarti bagi perkembangan pariwisata

Sumba.

Daftar Pustaka

Banda, Maria Matildis. 2016. "Alih Wahana dari Cerpen ke Drama Panggung,

Refleksi Lomba Drama Modern Bali" Seminar Nasional Sastra dan

Budaya, 2016. Denpasar: FIB Unud.

Barthes, Rolland. 2009. Mitologi (Nurhadi dan Sibabul Millah, penerj.)

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Barthes, Rolland. 2010. Membedah Mitos-Mitos Budaya Massa Semiotika atau

Sosiologi Tanda, Simbol, dan Representasi (Mahyuddin Ikramullah,

penerj.) Yogyakarta: Jalasutra.

Barthes, Rolland. 2007. Petualangan Semiologi (Herwinarko S.A. penerj.) 2007.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barthes, Rolland. 2012. Elemen-Elemen Semiologi (Nazaruddin, K. penerj.)

Yogyakarta: Jala Sutra.

Boro, Paulus Lete (1995). Pasola, permainan ketangkasan berkuda lelaki Sumba,

Nusa Tenggara Timur, Indonesia. Jakarta: Obor.

Teeuw, A. 1984. Sastra dan Ilmu Sastra. Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Pustaka

Jaya.

https://indahnesia.co.id/jadwal-pasola-sumba-2019

https://indonesiatrip.id/paket-wisata/festival-pasola-sumba-2019

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 240

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KAJIAN SEMIOTIKA PEIRCE PADA PUISI IA TAK PERNAH JANJI

LANGIT SELALU BIRU DALAM ANTOLOGI PUISI DI KOTA TUHAN

AKU ADALAH DAGING YANG KAU PECAH-PECAH

KARYA STEBBY JULIONATAN

Moh. Yusril Hermansya

Universitas Negeri Surabaya

[email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tanda-tanda dan makna

yang terdapat dalam puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru.

Puisi tersebut diambil dari buku antologi puisi Di Kota Tuhan Aku

Adalah Daging Yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan.

Bahasa dalam puisi memang padat, sehingga tersimpan banyak

tanda. Dalam penelitian ini digunakan teori semiotika Peirce untuk

mengkaji karya sastra tersebut. Teori darinya menjadi teori

mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang, tidak

lepas dari gagasan yang bersifat menyeluruh (mengaitkan unsur

tanda secara logis), serta deskripsi struktural dari semua sistem

penandaan. Peirce membagi menjadi tiga trikotomi yaitu

representamen, objek, dan interpretan. Representamen terdiri dari

qualisign, sinsign, legisign. Objek terdiri dari ikon, indeks, simbol.

Interpretan terdiri dari rheme, dicent, argument. Metode yang

digunakan untuk meneliti yaitu deskriptif kualitatif-interpretatif

yaitu metode yang berisi ungkapan atau pandangan mengenai data

yang diperoleh dari objek yang diteliti dengan cara menafsirkan

data tersebut dengan pandangan yang logis. Langkah penelitian

yang dilakukan yaitu membaca karya sastra puisi yang akan

dianalisis, lalu menandai tanda yang terdapat di dalamnya,

memaknai atau menafsirkan satu-persatu tanda tersebut melalui

trikotomi Peirce, memaknai keseluruhan isi puisi yang diteliti, dan

menyimpulkan makna tanda pada keseluruhan isi puisi. Setelah

diteliti, puisi tersebut ditemukan lima tanda yang bermakna, yaitu

langit selalu biru, hujan, mahkota duri, doa, dan parang.

Kata kunci: Semiotik, teori Peirce, puisi

PENDAHULUAN

Bahasa sangatlah penting dalam karya sastra. Bahasa dalam karya sastra

memiliki makna yang menunjukkan isi dari karya sastra tersebut. Oleh karena itu,

dalam bahasa mengandung tanda-tanda atau dengan kata lain yaitu semiotik.

Semiotik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem tanda dan

lambang dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, dibahas mengenai

penelitian semiotik pada karya sastra puisi. Puisi merupakan ungkapan secara

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 241

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

implisit, samar dengan makna yang tersirat, di mana kata-katanya condong pada

makna konotatif. Oleh karena itu, dilakukan penelitian puisi menggunakan

semiotik untuk mengetahui tanda apa saja yang ada dalam puisi yang diteliti dan

agar mengetahui makna yang terkandung di dalamnya. Tokoh semiotika sangatlah

banyak. Namun dalam hal ini digunakan semiotika Peirce, karena berdasarkan

fakta dari Zoest bahwa Peirce merupakan ahli filsafat dan ahli logika (Sudjiman,

1992:1). Charles Sanders Peirce (1839 - 1914) adalah filsuf Amerika yang

merupakan tokoh penting dalam semiotik. Teori dari Peirce menjadi teori

mutakhir dan paling banyak dipakai dalam berbagai bidang tidak lepas dari

gagasan yang bersifat menyeluruh karena mengaitkan unsur tanda secara logis,

serta deskripsi struktural dari semua sistem penandaan (Sobur, 2009:97). Selain

itu, semiotik Peirce bersifat pragmatik, yakni semiotik yang mempelajari

hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreternya atau para pemakainya

(Budiman, 2011:4).

Peirce membagi semiotik ke dalam tiga trikotomi, yaitu representamen

(tanda), objek (denotatum), dan interpretan (tanda baru). Trikotomi pertama

(representamen) terbagi menjadi qualisign, sinsign, dan legisign. Qualisign adalah

tanda yang menunjukkan kualitas atau sifat dari tanda tersebut. Sinsign adalah

tanda yang menampilkan kenyataan (sesuai tampilannya). Legisign adalah tanda

yang merupakan peraturan yang berlaku umum (konvensi). Trikotomi kedua

(objek) terbagi menjadi ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah segala sesuatu yang

memiliki hubungan berdasarkan kemiripan dengan objek yang mewakilinya.

Indeks adalah segala sesuatu yang memiliki hubungan kausalitas pada objek.

Simbol adalah tanda yang telah disetujui dalam masyarakat (konvensi). Trikotomi

ketiga (interpretan) terbagi menjadi rheme, dicent, dan argument. Rheme adalah

segala sesuatu dianggap sebagai tanda (kemungkinan-kemungkinan interpretan).

Dicent adalah tanda yang memberikan informasi, namun tidak memberikan

penjelasan (bisa benar dan juga bisa salah mengenai tanda tersebut). Argument

adalah tanda yang menunjukkan kesimpulan (tanda baru) yang membuktikan

kebenarannya.

METODOLOGI

Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif kualitatif-interpretatif

dengan memfokuskan pada tanda-tanda yang terdapat pada puisi Ia Tak Pernah

Janji Langit Selalu Biru dalam antologi puisi Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging

Yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan. Metode deskriptif kualitatif-

interpretatif merupakan metode yang berisi ungkapan atau pandangan mengenai

data yang diperoleh dari objek yang diteliti dengan cara menafsirkan data tersebut

dengan pandangan yang logis. Tanda-tanda tersebut dianalisis berdasarkan teori

semiotika Peirce karena merupakan teori yang umum dan menghubungkannya

dengan hal logis. Langkah penelitian yang dilakukan yaitu membaca karya sastra

puisi yang dianalisis tersebut, menandai tanda yang terdapat di dalamnya,

memaknai atau menafsirkan satu-persatu tanda tersebut melalui trikotomi Peirce,

memaknai keseluruhan isi puisi yang diteliti, menyimpulkan makna tanda pada

keseluruhan puisi tersebut.

242 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBAHASAN

Pemaknaan melalui semiotik Peirce yang pertama ditinjau dari judul, Ia Tak

Pernah Janji Langit Selalu Biru, adalah sebagai berikut:

Penjelasan tanda Langit Selalu Biru pada tahapan Trikotomi pertama

(Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign.

Qualisign langit selalu biru, merupakan bentuk dari kualitas hati yang sedang

cerah/baik. Sinsign langit selalu biru, yang ada pada judul Ia Tak Pernah Janji

Langit Selalu Biru menandakan bahwa akan ada masa dimana langit akan berubah

menjadi gelap atau menghitam. Legisign langit selalu biru, langit selalu biru yang

menandakan bahwa awan sedang cerah dan adanya kebebasan beraktifitas oleh

umat manusia.

Selanjutnya penjelasan tanda langit selalu biru pada tahapan Trikotomi

kedua (Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon,

Indeks, dan Simbol. Ikon langit selalu biru yaitu awan cerah. Indeks langit selalu

biru, langit selalu biru disebabkan karena sebuah proses hamburan cahaya

(Rayleigh scattering) sehingga langit menjadi cerah. Cahaya dari matahari akan

menumbuk molekul-molekul di udara, kemudian terhambur ke semua arah. Besar

hamburan sangat bergantung pada frekuensi warna cahaya. Cahaya biru, yang

memiliki frekuensi tinggi, terhambur sepuluh kali lebih banyak dari pada cahaya

merah yang memiliki frekuensi lebih rendah. Simbol langit selalu biru, langit

selalu biru sangat terlihat indah dimata seseorang yang mengaguminya dan

menjadikannya nyaman setelah memandangnya.

Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,

yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme langit selalu biru, langit selalu biru

bisa menandakan kebahagiaan hati, kesenangan, kepuasan atas apa yang diraih

atau dirasakan. Dicent langit selalu biru, langit selalu biru menandakan bahwa

tidak akan terjadi hujan. Argument langit selalu biru, langit selalu biru selalu tidak

terjadi hujan hal ini dikarenakan jikalau hujan akan turun langit akan mejadi gelap

atau menghitam.

Selain pemaknaan judul, pemaknaan tanda dalam isi puisi juga diperlukan

untuk mengetahui makna keseluruhan puisi, pemaknaan pada tanda dalam isi

puisi sebagai berikut:

Tak ada langit yang berasal dari hujan;

Penjelasan tanda hujan pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)

terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign hujan,

hujan berupa air jernih dan bersih yang menyegarkan, turun dari langit

menghasilkan suara (ricik) bila jatuh ke bumi. Sinsign hujan, hujan berupa air.

Air tersebut jatuh dari langit ke bumi melalui beberapa tahapan/proses alamiah.

Legisign hujan, hujan yang menandakan bahwa awan sedang mendung dan

menghitam, dalam hal ini pastinya kebebasan beraktifitas diluar ruangan oleh

umat manusia akan terganggu dan harus dihentikan.

Selanjutnya penjelasan tanda hujan pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).

Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.

Ikon hujan yaitu gemericik air. Indeks hujan, hujan terjadi karena mengalami

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 243

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

proses. Proses tersebut diawali oleh penguapan air di muka bumi akibat panas

matahari, dari uap air tersebut terbentuklah awan, kemudian angin membawa

awan-awan kecil saling bertemu dan berkumpul menjadi awan besar. Angin

tersebut menjadi semakin kelabu (mendung) karena semakin banyaknya

kandungan air, sehingga turunlah air ke bumi sebagai hujan. Simbol hujan, hujan

memiliki arti berkah atau keberkahan akan tetapi ada juga yang memberikan

makna malapetaka.

Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,

yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme hujan, hujan bisa menandakan

kekalutan hati, kesedihan, kesengsaraan, keharuan. Dicent hujan, dengan

terjadinya hujan bisa menandakan keberuntungan dan/atau kesengsaraan.

Argument hujan, memiliki makna kegelisahan dalam hidup, hal ini dikarenakan

terjadinya hujan menjadikan terperangkapnya kenangan-kenangan untuk berlalu

lintas dipikiran dan menjadikan kegelisahan teramat dalam.

Ia tak selalu bunga;

Penjelasan tanda bunga pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)

terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign bunga,

bunga merupakan tanaman yang indah dan wangi. Sinsign bunga, bunga adalah

suatu jenis tanaman yang pertumbuhan atau keberadaannya dirawat oleh

pemiliknya dan/atau penanamnya. Legisign bunga, bunga yang menandakan

adanya rasa cinta atau kebahagiaan yang tiap manusia boleh untuk merasakannya.

Selanjutnya penjelasan tanda bunga pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).

Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.

Ikon bunga yaitu taman yang rindang. Indeks bunga, bunga ada dikarenakan

terdapat seseorang yang menanamnya dan merawatnya, seperti memberikan

pupuk setiap harinya dan juga menyiramnya setiap sore hari. Simbol bunga, bunga

memiliki arti kebahagiaan hati, kesenangan hati.

Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,

yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme bunga, bunga bisa menandakan

kesenangan, kepuasan batin, keberkahan hidup. Dicent bunga, bunga pada

kenyataannya digunakan untuk mengungkapkan isi hati seseorang terhadap orang

yang dicintainya. Argument bunga, bunga digunakan sebagai bukti ungkapan

kepada seseorang yang dicintainya karena bunga memiliki khas yaitu warnanya

yang sangat mencolok dan memberikan kesan kebahagiaan, tidak hanya itu wangi

khas yang muncul dari suatu bunga mampu memberikan kepuasan tersendiri

kepada penikmatnya.

dengan surai kerikil dan mahkota duri.

Penjelasan tanda mahkota duri pada tahapan Trikotomi pertama

(Represetamen) terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign.

Qualisign mahkota duri, mahkota duri merupakan ranting berduri yang memiliki

ciri keras, kasar dan berduri. Sinsign mahkota duri, mahkota duri berasal dari

ranting berduri yang berdiameter sangat kecil dan dipakai hanya dikepala Yesus.

Legisign mahkota duri, mahkota duri ditengarai boleh dikenakan diatas kepala

Yesus menandakan kemiskinan.

244 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Selanjutnya penjelasan tanda mahkota duri pada tahapan Trikotomi kedua

(Objek). Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan

Simbol. Ikon mahkota duri yaitu Ziziphus spina-christi. Indeks mahkota duri,

mahkota duri ada dikarenakan bunyi dari Kejadian 3:18: Semak dan rumput duri

yang akan dihasilkannya bagimu, dan tumbuh-tumbuhan di padang akan menjadi

makananmu. Simbol mahkota duri, mahkota duri memiliki arti lapang dada,

menerima apa yang telah dimiliki.

Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,

yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme mahkota duri, mahkota duri bisa

menandakan kekurangan, tidak tercukupinya suatu hal yang dibutuhkan. Dicent

mahkota duri, mahkota duri pada kenyataannya digunakan untuk menyiksa Yesus

dan digunakan di atas kepala Yesus sebelum disalibkan. Argument mahkota duri,

mahkota duri dihasilkan dari tumbuhan yang tumbuh di daerah Yerusalem dan

dikenakan oleh Yesus sebelum disalib, hal ini memberikan makna kemiskinan dan

kekurangan atas apa yang telah dimiliki.

Berdoalah, semoga dari sekarang dan untuk seterusnya

Penjelasan tanda doa pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)

terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign doa, doa

merupakan permohonan khusyuk kepada Tuhan yang dilakukan secara khidmat.

Sinsign doa, doa merupakan ucapan yang mengacu pada religi dalam hal ini

menandakan bahwa ada seseorang yang sedang memohon kepada apa yang

disembahnya. Legisign doa, doa boleh dilakukan sebagai perwujudan harapan

seseorang agar dapat mencapai suatu keinginan.

Selanjutnya penjelasan tanda doa pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).

Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.

Ikon doa yaitu memiliki acuan yang bersifat kemiripan, dalam hal ini yaitu

permohonan. Indeks doa, doa terucap karena seseorang memiliki harapan atau

permohonan yang kuat terhadap suatu hal dan ingin cepat terkabulkan atau

terpenuhi. Simbol doa, doa menyimbolkan permintaan atau permohonan yang

bersifat religi.

Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,

yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme doa, doa bisa menandakan harapan,

permohonan, kereligiusan, permintaan, atau keinginan kepada Tuhan. Dicent doa,

doa menandakan percakapan dengan Tuhan dengan segala harapannya atau bisa

juga curahan hati seseorang kepada Tuhan. Argument doa, doa memiliki makna

religius yang memiliki kekuatan ghaib atau sakral. Dalam hal ini terdapat

hubungan antara hamba dengan Tuhannya.

ia memberimu parang yang tajam

Penjelasan tanda parang pada tahapan Trikotomi pertama (Represetamen)

terbagi menjadi tiga yaitu Qualisign, Sinsign, dan Legisign. Qualisign parang,

parang merupakan sebuah benda yang kasar dan keras memiliki sisi yang tajam

pada fisiknya. Sinsign parang, parang menandakan adanya suatu gejolak yang

kuat untuk segera dipotong atau ditebas. Legisign parang, dengan adanya parang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 245

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

yang menandakan bahwa tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan atau

berbahaya melainkan untuk kebermanfaatan.

Selanjutnya penjelasan tanda parang pada tahapan Trikotomi kedua (Objek).

Pada tahapan objek ini juga terbagi menjadi tiga yaitu Ikon, Indeks, dan Simbol.

Ikon parang, parang biasa disebut ambang yang memiliki kemiripan atau

kesamaan. Indeks parang, parang terbentuk akibat orang-orang Melayu sangat

membutuhkan alat tajam yang digunakan dalam pertempuran pada masa silam.

Simbol parang, parang memiliki makna tajam yang digunakan dalam mematikan

lawannya.

Selanjutnya tahapan trikotomi ketiga (Interpretasi) terbagi menjadi tiga,

yaitu Rheme, Dicent, dan Argument. Rheme parang, parang akan digunakan oleh

seseorang yang memiliki semangat menggebu-gebu, emosional yang tidak bisa

dikendalikan. Dicent parang, parang pada kenyataannya digunakan untuk

berperang dan berburu hewan buas. Argument parang, parang digunakan untuk

berperang dan berburu dikarenakan memiliki sisi yang tajam dan terbuat dari besi

yang kuat, terkadang juga digunakan sebagai bentuk ungkapan hati yang sedang

teriris.

SIMPULAN

Nilai estetis pastinya terkandung dalam suatu karya sastra, terutama nilai

estetis yang terkandung pada bahasa dalam puisi. Bahasa dalam puisi sangatlah

padat, sehingga terkadang sulit dipahami maksudnya. Pada penelitian ini

digunakan teori semiotika Peirce untuk menemukan makna dari tanda-tanda yang

diteliti pada puisi Ia Tak Pernah Janji Langit Selalu Biru dalam antologi puisi Di

Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-Pecah karya Stebby Julionatan.

Setelah digunakan teori semiotika Peirce, ditemukan beberapa tanda antara lain

langit selalu biru, hujan, mahkota duri, doa, dan parang.

Berdasarkan pemaparan tanda-tanda konsep semiotika Peirce, dapat ditarik

benang merah bahwa puisi tersebut merupakan puisi yang mencapai nilai religius.

Makna puisi tersebut adalah bahwa dalam suatu kehidupan pastinya tidak akan

berjalan dengan mulus melainkan pasti terdapat suatu hambatan, masalah, mala

petaka yang datang secara tiba-tiba tanpa disangka. Sebagai umat yang memiliki

tuhan, tentuya diharuskan untuk tetap bersikukuh memohon atau meminta

pertolongan kepada-Nya agar sebagai umat yang patuh bisa menjalani suatu lika-

liku kehidupan dengan mulus dan sedikit hambatan atau masalah.

Berdasarkan tingkatan dalam sastra, suatu karya sastra bila mencapai

religius tinggi, maka kualitas pada karya sastra tersebut juga tinggi. Melalui

analisis puisi ini, dapat diketahui bahwa puisi tersebut berhasil melukiskan

kehidupan seseorang yang berdampak pada penyadaran diri sendiri dan pembaca.

DAFTAR PUSTAKA

Aini, Nurul Alfiah. 2013. Analisis Semiotik Terhadap Novel Laskar Pelangi

Karya Andrea Hirata Sebagai Alternatif Bahan Pengajaran Sastra di SMA.

Skripsi. Surabaya: FS Unair

246 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Budiman, Manneke, ―Indonesia: Perang Tanda,‖ dalam Indonesia: Tanda yang

Retak (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2002)

Haris, Faisal. 2012. Cinta Sebagai Ekspresi Perubahan Zaman Pada Peralihan

Akhir Abad XIX Sampai Awal Abad XX (Kajian Semiotika Charles Sander

Peirce). Skripsi. Bandung: FIB Unpad

Julionatan, Stebby. 2018. Di Kota Tuhan Aku Adalah Daging yang Kau Pecah-

Pecah. Yogyakarta: Indie Book Corner

Pradopo, Rachmat Djoko. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press

Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004)

Teeuw, A. 1983. Tergantung Pada Kata. Jakarta Pusat: PT Dunia Pustaka Jaya

Van Zoest, Aart, Semiotika: Tentang Tanda, Cara Kerjanya dan Apa yang kita

Lakukan Dengannya (Jakarta: Yayasan Sumber Agung, 1993)

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 247

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PERAN EKOLOGI SASTRA PUISI TERHADAP PELESTARIAN

LINGKUNGAN HIDUP

Mursalim

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Mulawarman Samarinda

[email protected]

ABSTRAK

Alam semesta adalah guru sastrawan, guru abadi, dan sastra

memang kaya seni. Sastra dapat dilirik dari kacamata ekologi,

karena sastra memang hidup berdampingan dengan alam, dan

sastra memang gambaran lingkungan atau alam semesta. Di

Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada abad 21. Kehadiran

ekologi sastra tidak terlepas dari keprihatinan para pakar sastra.

Dengan beberapa alasan, salah satu contoh alasan yaitu sastrawan

mengkritisi pengembangan kota yaitu pendirian plaza hotel,

perumahan mewah berbentuk apartemen yang tidak

mempertimbangkan hutan kota dan pemusnahan peninggalan

budaya yang bernilai sejarah tidak terhitung jumlahnya. Tujuan

penulisan makalah ini adalah untuk memberikan informasi kepada

masyarakat pembaca mengenai peran ekologi sastra puisi terhadap

pelestarian lingkungan hidup. Selanjutnya, menganai metode yang

digunakan dalam pengumpulan data penulisan makalah adalah

dengan metode kajian pustaka. Dengan mengacu kepada uraian di

atas, maka dalam penulisan pada makalah ini, penulis uraikan hal-

hal sebagai berikut. 1. Pendahuluan, 2. Pembahasan dan uraian

yang meliputi; (a) Makna peran dan ekologi sastra, (b) Peran

sastrawan dalam ekologi sastra puisi, (c) Pelestarian kearifan lokal

lingkungan (ekologis dalam karya sastra puisi), (d) Teori ekologi

sastra yang berwawasan ekologi budaya, 3. Penutup.

Kata Kunci : Peran, Ekologi Sastra Puisi, Pelestarian Lingkungan

Hidup

1. Pendahuluan

Sastra itu suara alam. Alam Semesta adalah guru sastrawan, guru abadi,

dan sastra memang kaya seni.Sastra dapat dilirik dari kacamata ekologi, karena

sastra memang hidup berdampingan dengan alam, dan sastra memang gambaran

lingkungan atau alam semesta. Di Indonesia ekologi sastra baru dikenal pada abad

21. Kehadiran ekologi sastra tidak terlepas dari keprihatinan para pakar sastra

dengan beberapa alasan. Pertama, karena kerusakan lingkungan hidup seperti

lingkungan alam, sosial, dan budaya. Kedua, yaitu mengingatkan umat manusia

agar alam dan budaya (kearifan lokal tetap terjaga dengan baik). Ketiga,

Sastrawan mengkritisi pengembangan kota yaitu pendirian plaza hotel, dan

perumahan mewah termasuk apartemen yang tidak mempertimbangkan ‗hutan

kota‘dan pemusnahan peninggalan budaya, yang bernilai sejarah tidak terhitung

248 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

jumlahnya. Keempat, demikian juga dengan eksploitasi alam untuk penambangan

emas, batu bara, timah dan lain lain. Belum lagi pembalakan liar hutan kota, dan

pendirian pabrik triplek dan kertas yang berbahan baku pulp, menghabiskan hutan

yang kita miliki. Dengan mengacu kepada uraian di atas, maka dalam penulisan

pada makalah ini, penulis mengangkat judul yaitu, ―Peran ekologi Sastra terhadap

pelestarian lingkungan hidup‖. Mengacu pada uraian ersebut, maka isi makalah

ini adalah sebagai berikut a. Pendahuluan, b. Metodologi Penulisan c.

Pembahasan dan uraian yang meliputi, (1) makna peran dan ekologi sastra, (2)

peran sastrawan dalam ekologi sastra puisi, (3) pelestarian kearifan lokal

lingkungan (ekologis dalam karya sastra), (4) teori ekologi sastra yang

berwawasan ekologi budaya, d. Simpulan.

2. Metodologi Penulisan

Ada pun metode yang digunakan oleh penulis dalam penulisan makalah ini

adalah melalui metode kajian pustaka.

3. Pembahasan

a. Makna Peran dan Ekologi Sastra

KBBI (2003: 854) menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan peran

adalah perangkat tingkah yang dimiliki orang yang berkedudukan dalam

masyarakat. Kemudian, Setya Yuwana Sudikan (2016:x) mengatakan bahwa

yang dimaksud dengan ekologi sastra adalah perpaduan ilmu ekologi dan

ilmu sastra melahirkan ekologi sastra.

Selanjutnya, Bate (2000:264), mengatakan bahwa ekologi sastra

memberikan pijakan asumsi bahwa karya sastra akan memiliki nilai

berwawasan lingkungan, jika memiliki kriteria yaitu untuk menulis

lingkungan mempertimbangkan sejauhmana dan bagaimana sastra

menggabungkan etos akuntabilitas terhadap lingkungan alam.

Dengan demikian, penulis mencoba menggabung penadapat di atas bahwa

yang dimaksud dengan peran ekologi sastra adalah perangkat tingkah yang

dimiliki orang yang berkedudukan dalam masyarakat yang secara khusus

memiliki tanggung jawab terhadap lingkungannya dan bagaimana alam

dipresentasikan dalam karya sastra (puisi, novel, dan drama).

b. Peran Sastrawan dalam Ekologi Sastra Puisi

Dalam menciptakan karya sastra, baik secara eksplisit, maupun secara

implisit sastrawan memiliki tujuan yaitu, penyadaran kepada pembaca betapa

penting mempertahankan dan melestarikan lingkungan hidup. Eksploitasi dan

perusakan lingkungan akan menyebabkan penderitaan panjang pada anak

cucu kita. Penanaman kesadaran kepada pembaca karya sastra, menjadi pusat

perhatian sastrawan.

Mengacu kepada uraian di atas, maka berikut penulis akan mengutip tiga

karya sastra yang masuk dalam kategori karya sastra ekologis seperti berikut.

Puisi Ekologis

Puisi 1

Oleh

Piek Ardiyanto Soepriyanto

Bumiayu

Jamilah

Bumiayu betapa manis

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 249

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bumimu berpayung langit biru

Lelah memandang rindu

Bangun subuh segar udara

Angin gunung menusuk batas kota

Harapan mekar padi tua sawah mengemas

Sepi menyusuri jalan raya dari utara

Gedung – gedung masih bisu di pagi buta

Sebentar kusilangkan lengan atas jembatan

Gericik kali menceritakan kehidupan

Sendiri di muka masjid kau lewat berbaju kering

Bandul kalung emas manis menghias dadamu gading

Oh gadis gunung berwajah sumringah

Dalam Puisi ―Bumiayu‖ karya Piek Ardijanto Soeprijadi tersebut

ada pesan moral mengenai kelestarian lingkungan hidup terkait

dengan bumi, tumbuh-tumbuhan, satwa, air, angin, dan udara. Ada

kerinduan bagi pembaca terhadap alam pedesaan yang dikisahkan oleh

penyair. Kedekatan penyair dengan alam tak terelakkan lagi.

Puisi 2

Oleh

D Zawawi Imron

Hutan

Kupandang gunung – gunung itu

Jutaan pohon yang menyerap

hujan dan air

Melindungiku, melindungimu

dari bencana longsor dan banjir

Terima kasih teman-temanku!

Karena kau tidak menebang hutanku,

hutanku itu, hutanmu juga

Hingga burung, ular, dan kambing

hutan tetap hidup dengan tenteram

Damaikan jiwamu bercermin firman

agar hatimu damai dibelai pantun

Sebatang pohon sebesar satu pelukan

Dibesarkan Tuhan lima puluh tahun

Tapi hutan bukan sebatang pohon

Hutan bukan seratus batang,

hutan adalah jutaan pohon

habitat ragam binatang

Jika hatimu damai,

250 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

hutan akan damai, dunia akan damai

dengki dan dendam akan dikubur

Amboi, bumi selembut hamparan Kasur

Puisi tersebut mengandung pesan moral agar kita selalu

menjaga hutan untuk kelangsungan hidup manusia. Hutan tropis

yang kita miliki menjadi jantung kehidupan manusia di seluruh

dunia.

c. Pelestarian Kearifan Lokal Lingkungan dalam Karya Sastra

Kearifan lokal adalah modal utama masyarakat dalam membangun

dirinya tanpa merusak tatanan sosial yang adaptif dengan lingkungan alam

dan sekitarnya. Selanjutnya, dalam kearifan lokal dalam UU No. 32 Tahun

2009 yaitu nilai – nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat

untuk antara lain mengelola lingkungan hidup secara lestari.

Kearifan lingkungan merupakan kata kunci untuk membentuk

keseimbangan bagi kehidupan.

d. Ekologi Sastra Berwawasan Ekologi Budaya

Menurut Setya Yuwana Sudikan (2016: 167) istilah ekologi budaya yaitu

sistem pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial dalam memahami dan

menginterpretasikan lingkungan alam.

Budaya suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau

dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku sesuai dengan cara yang diterima

oleh masyarakat sebagai satuan ide, kebudayaan terdiri atas serangkaian nilai –

nilai, norma – norma yang berisikan larangan – larangan untuk melakukan suatu

tindakan dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan alam,

dan berisikan serangkaian konsep – konsep serta model – model pengetahuan

mengenai berbagai tindakan dan tingkah laku yang seharusnya diwujudkan oleh

pendukungnya dalam menghadapi sesuatu lingkungan sosial, kebudayaan, dan

alam. Jadi, nilai – nilai norma, dan konsep – konsep serta model - model

pengetahuan tersebut dalam penggunaannya adalah selektif sesuai dengan

lingkungannya yang dihadapi oleh pendukungnya.

III. Simpulan

Mengacu kepada beberapa uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan

beberapa kesimpulan dalam penutup seperti berikut.

1. Sastra adalah dunia baru ciptaan pengarang, yang tentu saja memerlukan

bahan – bahan untuk materi ciptaan itu.

2. Bahan – bahan yang diperlukan pengarang adalah sesuatu yang ada, sesuatu

yang pernah ada, atau sesuatu yang mungkin ada di dunia ini. Tentu saja

fokus utama adalah nilai – nilai karakter dan nilai kemanusiaan.

3. Karya sastra tidak dapat dipahami secara selengkap – lengkapnya apabila

dipisahkan dari lingkungan, kebudayaan atau peradaban yang

menghasilkannya.

4. Sastrawan adalah manusia kritis yang mengkritisi lingkungan dan peradaban.

Hasil dari usaha yang mengkritisi itu adalah dalam bentuk karya sastra berupa

dalam puisi, novel,cerpen atau naskah drama.

5. Karya sastra itu dapat memberikan pencerahan bagi pembacanya.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 251

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DAFTAR PUSTAKA

Chodjim, Achmad. 2007. Mistik dan Makrifat Sunan Kalijaga. Jakarta: Serambi.

Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Gobyah, I Ketut. 2009. ―Berpijak pada Kearifan

lokal‖.http//www.iloveblue.com/bali-gaul-funky(Artikel bali/detail/2750.htm.

Kadarisman, A. Effendi. 2010. Mengurai Bahasa Menyibak Budaya. Malang

UIN: Maliki Press.

Margana, Sri. 2004. Pujangga Jawadan Bayang – Bayang Kolonial.

Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Saidi, Shaleh. 2003. Melayu Klasik. Denpasar : Serasan –sejarah.

Sudikan, Yuwana, Setya. 2016. Ekologi Sastra. Lamongan: Pustaka Ilalang.

Wahab, Abdul. 2006. Teori Semantik. Surabaya: Airlangga.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 252

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PROBLEMATIKA KURIKULUM GENERIK PELAJARAN

BAHASA BALI

Nengah Arnawa

Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, IKIP PGRI Bali

[email protected]

ABSTRAK

Makalah ini ditulis untuk menunjukkan bahwa ada masalah

mendasar pada pembelajaran bahasa Bali, yang pelaksanaannya

didasarkan pada Peraturan Gubernur Bali Nomor 20/2013 dan

Peraturan Daerah Nomor 1/2018. Berdasarkan peraturan itu,

bahasa Bali wajib diajarkan pada semua jenis dan jenjang sekolah.

Namun, tuntutan peraturan itu paradoks dengan potret kurikulum

pembelajaran bahasa Bali sebagai pedoman dasar pelaksanaannya.

Salah satu indikator keparadoksan itu dapat dilihat dari sasaran

kompetensi dalam kurikulum yang sangat generik sehingga

mengabaikan kebutuhan khusus pembelajaran bahasa Bali. Kondisi

empirik ini tidak sesuai dengan logika filsafat epistemologi-

induktif. Spesifikasi cakupan kompetensi dalam kurikulum dan

silabus pembelajaran bahasa Bali mutlak dilakukan karena

kebutuhan pembelajaran bahasa tidak sama pada semua jejang dan

jenis sekolah. Kebutuhan Pembelajaran bahasa Bali pada madrasah

pasti berbeda dengan sekolah umum pada jenjangnya. Kebutuhan

pembelajaran bahasa Bali di SMA seharusnya berbeda dengan

SMK; bahkan antara rumpun SMK pun membutuhkan sub-

spesifikasi. Demikian pula, pembelajaran bahasa Bali pada masing-

masing jenjang dan jenis SLB juga membutuhkan spesifikasi.

Peserta didik tunanetra, tunarungu, dan tunagrahita, yang memiliki

keterbatasan masing-masing, seharusnya kepadanya dipajankan

bahan ajar bahasa Bali yang sesuai kebutuhannya. Hal yang sama

pun terjadi pada pendidikan paket A, B, dan C yang peserta

didiknya memiliki umur di atas rata-rata usia sekolah. Oleh karena

itu, penyusunan kurikulum pembelajaran bahasa Bali perlu

didasarkan pada kompetensi dan kebutuhan pembelajaran pada

masing-masing jenis dan jenjang sekolah.

Kata kunci : kurikulum, kompetensi, kebutuhan pembelajaran

ABSTRACT

This paper is written to show that there are fundamental problems

in learning Balinese, whose implementation is based on Bali

Governor Regulation Number 20/2013 and Bali Regional

Regulation Number 1/2018. Based on both regulations, Balinese

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 253

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

must be taught to all types and levels of schools. However, the

regulatory demands are paradox with a portrait of the Balinese

learning curriculum as a basic guideline for its implementation.

One indicator of paradoxical can be seen from the competency

target in curriculum is very generic so that it ignores the special

needs of Balinese learning. This empirical condition does not

conform to the logic of inductive-epistemological philosophy. The

scope of competence specification in the curriculum and syllabus

of Balinese learning is necessary because the need for language

learning is not the same in all levels and types of schools. The

needs of Balinese learning at the Madrasah definitely be different

from general schools at the same level. The need of Balinese

learning in general high school differs from vocational high school;

even between kinds of the vocational high school also need sub-

specifications. Similarly, learning Balinese at each level and type

of SLB also requires specifications. Students who are blind, deaf,

and mentally disabled, should be exposed to Balinese teaching

materials that their needs. The same thing happened to the

education of packages A, B, and C whose students had an age

above the school age average. Therefore, the planning of the

Balinese learning curriculum must be based on competencies and

learning needs in each type and level of school.

Keywords: curriculum, competence, learning needs.

1. Pendahuluan

Pelajaran bahasa Bali merupakan muatan lokal wajib bagi semua jenis dan

jenjang sekolah di seluruh Provinsi Bali (Perda No. 1/2018 pasal 1.6; pasal 4.e;

pasal 11.a). Pengajaran bahasa Bali pun dipandang sebagai salah satu strategi

pelindungan dan pembinaannya (pasal 7.a dan pasal 10.a Perda No.1/2018).

Mengacu pada peraturan daerah itu, pembelajaran bahasa Bali dapat dipetakan

seperti pada tabel berikut ini.

Tabel 1: Peta Pembelajaran Bahasa Bali

Jenjang

Jenis

Pendidikan Dasar Pendidikan

Menengah Pertama

Pendidikan

Menengah Atas

Umum SD SMP SMA

Madrasah Madrasah Ibtidaiyah Madrasah Tsanawiyah

Madrasah Aliyah

/ MAK

SLB SLB SD

A, B, C, D, E, G

SLB SMP

A, B, C, D, E, G

SLB SMA

A, B, C, D, E, G

Kejuruan SMK (Berbagai

Rumpun)

Non-

Formal Paket A Paket B Paket C

254 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Keterangan: SLB A = tunanetra SLB D = tunadaksa

SLB B = tunarungu SLB E = tunalaras

SLB C = tunagrahita SLB G = tunaganda

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa ada banyak variabel pembeda yang

wajib dipertimbangkan untuk memenuhi kebutuhan dan/atau tujuan pembelajaran

bahasa Bali pada semua jenjang dan jenis sekolah. Variabel-variabel pembeda

tersebut menjadi kekhususan dan karakteristik pembelajaran bahasa Bali pada

masing-masing jenjang dan jenis sekolah; misalnya, program pendidikan paket A

yang setara dengan SD. Perbedaan mencolok antara program pendidikan paket A

dengan SD terletak pada veriabel usia peserta didiknya. Peserta didik pada

program paket A adalah mereka yang telah melampaui batas usia wajib belajar

Sekolah Dasar. Perbedaan usia ini berpengaruh terhadap kebutuhan pembelajaran

bahasa Bali. Menurut Piaget (1969), Sund (1976), dan Chaer (2003) bahwa

tingkat kognitif seseorang, yang memiliki perkembangan normal, akan linier

dengan pertambahan usianya. Selanjutnya, perkembangan kognitif menjadi intake

bagi pembelajaran bahasa Bali sehingga seleksi materi ajar mengikuti formula i +

1, yang artinya satu tingkat di atas kompetensi yang telah dimiliki pembelajar

(Baradja, 1990; Tolla, 1990). Mengacu pada fase perkembangan kognitif dan

prinsip formulasi bahan ajar itu, perlu didesain standar kompetensi dalam silabus

pembelajaran bahasa Bali yang lebih sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Atas

prinsip ini, sangat tidak masuk akal jika peserta didik baru pada program paket A

diajarkan pengenalan anggota tubuh (misalnya, melalui materi ajar kosabasa Bali)

seperti yang tertuang pada kompetensi dasar 2.1 pelajaran bahasa Bali untuk kelas

I SD (Lampiran Pergub No. 20/2013). Contoh persoalan lain adalah

ketidaktersediaan aksara Bali dalam sistem braille sehingga tidak mungkin

mengajarkan aksara Bali di SLB A pada semua jenjang. Oleh karena itu,

diperlukan desain isi pelajaran bahasa Bali yang sesuai dengan karakteristik jenis

dan jenjang pendidikan.

1. Metode

Makalah ini merupakan hasil penelitian pustaka (library research). Sumber

data berupa dokumen Pemerintah Provinsi Bali, yakni: Peraturan Daerah Provinsi

Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan Peraturan Gubenur Bali Nomor 20 Tahun 2013

beserta lampirannya yang memuat standar kompetensi pembelajaran bahasa Bali

pada semua jenis dan jenjang sekolah. Data dikumpulkan melalui pencatatan

dokumen. Data dielisitasi sesuai tujuan penulisan sehingga menghasilkan data

utama. Data utama ditriangulasi melalui wawancara tidak terstruktur dengan

akademisi, pemerhati, dan praktisi pengajaran bahasa Bali. Data utama dianalisis

secara kualitatif (Bungin, 2003) serta hasilnya disajikan secara informal

(Sudaryanto, 1993).

2. Pembahasan

2.1 Problematika Yuridis Pendidikan Bahasa Bali

Pelaksanaan pendidikan bahasa Bali didasarkan pada pasal 32 UUD 1945,

yang menegaskan bahwa bahasa daerah wajib dihormati dan dipelihara oleh

negara. Selanjutnya, pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 pun diatur

penggunaan bahasa daerah untuk mendampingi penggunaan bahasa Indonesia.

Selain kedua landasan hukum yang berlaku secara nasional itu, masih ada dua

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 255

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

produk hukum lokal oleh Pemerintah Provinsi Bali yang mengatur pendidikan

bahasa Bali, yakni: Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan

Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Dalam batang tubuh Perda itu

ditemukan sejumlah pasal yang memiliki kaitan secara eksplisit dengan

pendidikan bahasa Bali. Pada pasal 1 (6), bahasa Bali ditetapkan sebagai mata

pelajaran muatan lokal wajib. Pada pasal 4 (e), dinyatakan bahwa

penyelenggaraan pendidikan bahasa Bali pada semua jalur dan jenjang pendidikan

merupakan salah satu sasaran pemajuan bahasa, aksara, dan sastra Bali. Pada

pasal 7 (3.a) ditegaskan bahwa pendidikan bahasa Bali merupakan salah satu

upaya pelindungan. Pada pasal 8 (e) diatur penggunaan bahasa Bali sebagai

pengantar dalam pendidikan. Pada pasal 10 (2.a) ditegaskan bahwa pembinaan

bahasa Bali dilakukan melalui jalur pendidikan formal dan non formal. Pada pasal

11 (1.a, c, d) diatur tentang alokasi waktu wajib minimal untuk pelajaran bahasa

Bali, pengadaan guru, dan penyediaan bahan ajar. Mencermati pasal demi pasal

tersebut kegigihan Pemerintah Provinsi Bali dalam upaya pelindungan,

pembinaan, dan pengembangan bahasa, akasara, dan sastra Bali patut diapresiasi.

Landasan yuridis lain yang gayut dengan pendidikan bahasa Bali adalah

Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Peraturan Gubernur itu

merupakan sikap dan jawaban Pemerintah Provinsi Bali atas kegelisahan

masyarakat Bali terhadap eksistensi pelajaran bahasa Bali dalam Kurikulum 2013.

Pada pasal 2 (1) dan pasal 4 (1, 2a.b) secara eksplisit ditegaskan bahwa bahasa,

aksara, dan sastra Bali wajib diajarkan minimal 2 jam/minggu pada:

SD/MI/SDLB/Paket-A, SMP/MTs/SMPLB/Paket-B, dan

SMA/MA/SMALB/Paket-C/SMK. Selanjutnya, pada pasal 4 (3) ditegaskan

bahwa pengajaran bahasa Bali berbasis kompetensi. Kompetensi pelajaran bahasa

Bali dideskripsikan pada lampiran, yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari

Pergub tersebut. Mencermati lampiran Pergub Bali Nomor 20/2013 tanggal 23

April 2013 itu ternyata bahwa deskripsi kompetensi pelajaran bahasa Bali hanya

memuat kebutuhan pembelajaran untuk sekolah umum, seperti SD, SMP, dan

SMA; sedangkan sekolah yang memiliki karakteristik khusus, seperti: madrasah,

SLB, SMK, dan paket belajar belum tersentuh. Penyelenggaraan pendidikan

khusus bertujuan mengembangkan kompetensi dan untuk mencapai tujuan khusus

pula, dalam hal ini berlaku logika filsafat epistemologi-induktif, bahwa semakin

khusus sesuatu semakin bernilailah sesuatu itu (Sumarsono, 2004).

Kesenjangan yuridis ini membawa posisi guru bahasa Bali pada pada

sekolah khusus menjadi dilematis. Jika pengajaran bahasa Bali dilakukan secara

konsisten dengan mengacu pada lampiran Pergub Bali No. 20/2013 maka

kompetensi yang diajarkan tidak sesuai kebutuhan pembelajaran (bahkan dalam

hal tertentu mustahil dilakukan). Sebaliknya, jika guru berorentasi pada kebutuhan

dan kondisi nyata pembelajar, maka melanggar pergub yang hingga saat ini masih

berlaku. Misalnya, pada kompetensi dasar 4.1 untuk siswa kelas I SD tertulis

membaca nyaring suku kata dan kata dengan lafal yang tepat. Bagaimana

mengimplementasikan kompetensi dasar ini pada siswa kelas I SD SLB B

(tunarungu)? Bagaimana menetapkan KKM? Bagaimana mengevaluasinya?

Problematika yuridis ini dapat diatasi dengan merumuskan kembali kompetensi

inti dan kompetensi dasar pelajaran bahasa Bali untuk sekolah yang

berkarakteristik khusus.

256 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2.1 Problematika Kebutuhan Pembelajaran Bahasa Bali

Teori nosional-fungsional menegaskan bahwa kebermaknaan pelajaran

bahasa sangat tergantung pada pemenuhan kebutuhan si pembelajarnya (Parera,

1987; Purwo, 1990). Kebutuhan pembelajar sangat tergantung pada lingkungan

pemakaian bahasa yang dipelajari. Oleh karena itu, pajanan dalam pelajaran

bahasa seharusnya sesuai dengan lingkungan sosial dan budaya anak-anak.

Mengacu prinsip umum ini, perlu ada tindakan nyata untuk mendeskripsi secara

cermat kebutuhan pembelajaran bahasa Bali yang sesuai dengan karakteristik jenis

dan jenjang sekolah. Pendeskripsian kebutuhan pembelajaran bahasa Bali

dirasakan sangat penting, perlu, dan mendesak karena alokasi waktu yang tersedia

sangat terbatas, yakni hanya 2 jam pelajaran/minggu serta karakteristik peserta

didik dan sekolah yang sangat bervariasi, seperti yang tertera pada tabel 1. Fakta

adanya keragaman variabel peserta didik dan lembaga persekolahan harus

diselaraskan dengan kompetensi inti dan kompetensi dasar yang menjadi tujuan

pembelajarannya. Misalnya, kepada siswa SMK rumpun teknik civil akan lebih

bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan asta

kosala kosali; sedangkan bagi siswa SMK rumpun kesehatan lebih bermakna jika

diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan usada dan taru

premana. Demikian pula, kepada siswa SMK rumupun dunia usaha lebih

bermakna jika diajarkan wacana, kalimat, kosabasa yang berkaitan dengan

paceraken. Kepada siswa SMK rumpun pertanian lebih bermakna jika diajarkan

wacana, kalimat, dan kosabasa tentang darma pamacul. Pada madrasah mungkin

lebih efektif jika fokus pada pengajaran bahasa Bali untuk kepentingan

bersosialisasi-integrated dan/atau kesusastraan Bali bernuansa Islam.

Variabel pembeda lain yang perlu dipertimbangkan adalah jenis sekolah,

seperti SLB. Karakteristik ‗keluarbiasaan‘ yang disematkan pada jenis sekolah ini

memerlukan spesifikasi dalam rincian kompetensi inti dan kompetensi dasar.

Misalnya, kepada siswa kelas II SD SLB A tidak mungkin diajarkan aksara Bali

(kompetensi inti 2 dan kompetensi dasar 2.1) karena tidak tersedia aksara Bali

dengan sistem braille. Kepada siswa kelas X SMA SLB B pun tidak mungkin

diajak melagukan pupuh (kompetensi inti 7 dan kompetensi dasar 7.1). Hal yang

sama pun terjadi pada program paket belajar yang usia peserta didiknya telah

melampaui usia wajib belajar. Peserta didik baru pada program paket A, misalnya,

tidak bermanfaat jika diajarkan penggunaan bahasa Bali dalam setting bermain

(kompetensi inti 2 dan kompetensi dasar 2.7). Jadi, ada problematika penerapan

kompetensi inti dan kompetensi dasar yang tertera pada lampiran Peraturan

Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013. Problematika ini perlu ditindaklanjuti

dengan menyusun kembali kompetensi inti dan kompetensi dasar pelajaran bahasa

Bali sesuai dengan karakteristik sekolah dan peserta didik.

3. Penutup

Penetapan Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 dan

Peraturan Gubernur Bali Nomor 20 Tahun 2013 patut diapresiasi karena

merupakan payung hukum pengajaran bahasa Bali sebagai mutan lokal wajib.

Namun demikian, perlu ditindaklanjuti dengan penyusunan kembali secara cermat

kompetensi inti (KI) dan kompetensi dasar (KD) agar lebih sesuai dengan

kebutuhan pembelajaran bahasa Bali. Penyusunan dan pecermatan kembali KI dan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 257

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KD tersebut karena variabel peserta didik dan karakteristik sekolah sangat

beragam. Kekurangtersediaan KI dan KD yang lebih spesifik merupakan

problematika dalam mengimplementasikan Peraturan Daerah dan Peraturan

Gubernur tersebut.

Daftar Pustaka

Baradja, M.F. 1990. Kapita Selekta Pengajaran Bahasa. Malang : Penerbit IKIP

Malang.

Bungin, B. 2003. Analisis Data Penelitian Kualitatif. Jakarta : PT. Raja Grafindo

Persada

Chaer, A. 2003. Psikolinguistik : Kajian Teoretik. Jakarta : Rineka Cipta.

Parera, J.D. 1987. Linguistik Edukasional. Jakarta: Erlangga.

Piaget, J. 1969. ―Cognitive Development‖. [cited 25 Maei 2004]. Available from :

http://www.psychiacomp.com/diadic/development-piaget.php.

Purwo, B. K. 1990. Pragmatik dan Pengajaran Bahasa. Yogyakarta: Kanisius.

Sund, R. B. 1976. Piaget for Educators : A Multimedia Program. Ohio : Charles

E. Merril Publishing Company.

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta : Duta

Wacana University Press.

Sumarsono. 2004. Filsafat Bahasa. Jakarta: Grasindo.

Tolla, A. 1990. ‗Tiga Versi Pandangan dalam Teori Pemerolehan Bahasa: Skinner,

Chomsky, dan Krashen‘. Dalam Nurhadi dan Roekhan (Ed). Dimensi-

Dimensi dalam Belajar bahasa Kedua. Bandung: Sinar Baru.

Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 1 Tahun 2018 Tentang Bahasa, Aksara,

dan Sastra Bali. Avaiable from http://www.jdih.baliprov.go.id.

Peraturan Gubernur Bali Tanggal 23 April 2013 Nomor 20 Tahun 2013 Tentang

Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali pada Pendidikan Dasar dan Menengah.

Avaiable from http://www.jdih.baliprov.go.id.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 258

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

DIVERSIFIKASI PEMAKNAAN ISTILAH BUDAYA BALI

DI MEDIA ONLINE

Ni Ketut Alit Ida Setianingsih, I Gusti Ngurah Parthama

Program Studi Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Paper ini membahas mengenai diversifikasi pemaknaan terhadap

penggunaan istilah – istilah budaya Bali di media online berbahasa

Inggris. Media online menjadi media informasi yang paling cepat

diakses di era global saat ini. Penggunaan media online juga efektif

mengingat kemampuannya yang menjangkau pembaca dalam

jumlah yang tidak terbatas. Sehingga informasi – informasi seperti

halnya daerah tujuan wisata menjadi mudah untuk diperoleh. Salah

satunya adalah penjelasan mengenai istilah budaya Bali di media

online khususnya media online berbahasa Inggris. Penggunaan

istilah budaya Bali pada bahasa yang berbeda dengan latar budaya

berbeda menjadi tantangan tersendiri untuk dapat dipahami.

Terutama berkaitan dengan makna khusus yang dibawa oleh istilah

– istilah budaya tersebut. Untuk itu, penggunaan istilah – istilah

budaya Bali di media online berbahasa Inggris menjadi menarik

untuk dianalisa lebih lanjut terkait dengan pemindahan makna.

Apalagi jika dikaitkan dengan beragam media online yang

menjelaskan istilah budaya Bali dengan pemahamannya masing –

masing. Sehingga hal tersebut memunculkan keberagaman dalam

memaknai suatu istilah budaya Bali. Data dari paper ini diambil

dari sejumlah media online berbahasa Inggris yang menggunakan

istilah budaya Bali. Dalam hal pengumpulan data, metode

dokumentasi diaplikasi dengan teknik observasi sejumlah media

online yang menggunakan istilah budaya Bali. Selanjutnya

dilakukan teknik membaca rinci, mencatat, dan mengklasifikasikan

istilah budaya Bali. Sedangkan metode deskriptif kualitatif

digunakan untuk memaparkan kajian terhadap istilah budaya Bali

yang digunakan pada media online berbahasa Inggris. Temuan

yang diperoleh adalah istilah – istilah budaya Bali pada sejumlah

media online berbahasa Inggris dapat dipahami dan dimengerti

maknanya melalui konteks baik berupa konteks kalimat maupun

paragraf. Selain itu, sejumlah istilah budaya Bali, diberikan

penjelasan berdasarkan frasa deskripsi yang dalam hal ini

umumnya menjelaskan tentang bentuk dan fungsi dari istilah

budaya Bali yang dimuat. Dalam hal ini, penjelasan diberikan

dalam bentuk definisi maupun penjelasan khusus.

Kata kunci: istilah budaya Bali, media online, bahasa Inggris

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 259

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PENDAHULUAN

Teknik peminjaman (borrowing) merupakan teknik dalam alihbahasa yang

berhubungan dengan istilah – istilah budaya tertentu. Secara umum, budaya

menjadi entitas paling khas dari suatu golongan masyarakat. Budaya menjadi

penanda yang membedakan satu kelompok masyarakat dengan kelompok –

kelompok masyarakat lainnya. Hal itu juga yang diturunkan pada generasi –

generasi selanjutnya. Dasar pemahaman tersebut menjadi latar belakang

timbulnya tantangan - tantangan yang dihadapi seseorang ketika mempelajari

budaya yang sangat berbeda dengan dirinya. Contoh sederhana adalah etika yang

berkaitan dengan penggunaan tangan kanan dan tangan kiri. Pada budaya timur,

penggunaan tangan kanan saat menerima sesuatu dianggap sebagai hal yang baik.

Sedangkan tangan kiri justru dianggap tidak baik. Sebaliknya pada budaya Barat,

menerima sesuatu dengan salah satu dari kedua tangan justru tidak menjadi

masalah. Tidak terdapat justifikasi baik dan tidak baik jika menggunakan tangan

kanan atau tangan kiri. Perbedaan – perbedaan budaya seperti itu menjadi

tantangan tersendiri bagi seseorang untuk mempelajari budaya yang berbeda.

Sehingga dengan mengetahui lebih awal, persoalan perbedaan budaya (shock

culture) dapat dihindari.

Dalam hal ini, media online dan penyebaran informasi mengenai istilah

budaya Bali menjadi dua sisi yang saling berkaitan. Budaya Bali sebagai inti dari

informasi yang disampaikan dan media online menjadi media atau alat

komunikasi global yang mendukung penyebaran informasi terkait Bali. Menjadi

hal yang menarik untuk mendeskripsikan media online dalam memberikan

informasi dan pengetahuan terkait dengan kekhususan istilah – istilah budaya Bali

sebagai salah satu penunjang pariwisata di Bali. Dengan begitu, media online

yang memuat informasi – informasi terkait budaya Bali justru secara langsung

maupun tidak langsung turut mempromosikan Bali.

Terkait alih bahasa budaya, hal yang sangat menjadi perhatian adalah

penerapan teknik saat proses pengalihan istilah dari bahasa sumber (BSu) ke

dalam bahasa sasaran (BSa). Hal tersebut menjadi perhatian Setianingsih (2003)

dalam tesisnya yang berjudul Some Alternative Ways of Establishing Lexical

Equivalences of Balinese Cultural Terms in English. Perhatian pada penerapan

teknik yang digunakan untuk mengalihbahasakan istilah budaya dikenal dengan

ujaran atau ekspresi leksikal yang tidak ada padanan pada bahasa lain. Hal ini

berhubungan dengan bahasa sebagai bagian budaya. Bahasa menjadi suatu yang

sangat khusus jika berkaitan dengan budaya suatu kelompok masyarakat. Dalam

tesisnya, Setianingsih memaparkan alternatif – alternatif teknik pengalihan bahasa

dari istilah budaya Bali ke budaya lain yaitu budaya Bahasa Inggris. Pemilihan

alternatif teknik juga menyesuaikan dengan kesepadanan alami yang dicapai

dalam hal pentransferan makna. Dengan mencapai kesepadanan alami dalam hal

pemahaman makna, maka pemahaman yang diperoleh oleh pembaca asing akan

serupa dengan masyarakat Bali. Mereka juga mempunyai pemaknaan yang

memadai terkait dengan istilah – istilah budaya Bali.

Budaya dapat dipahami sebagai bagian dari gaya hidup. Newmark (1988:

94) mengemukakan jika dalam tingkatan alih bahasa terdapat tantangan yang

berbeda untuk mengalihbahasakan dari satu bahasa ke bahasa lainnya. Dia

membagi kesulitan pengalihbahasa menjadi tiga tingkatan. Tingkatan pertama

adalah pemahaman secara umum atau general yang dimengerti oleh sebagian

260 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

besar masyarakat dengan latar budaya berbeda. Selanjutnya adalah tingkatan

kedua yang sudah mulai lebih khusus. Kekhususan tersebut menjadi permasalahan

awal dalam pengalihbahasaan. Sedangkan tahap ketiga adalah kekhususan yang

spesifik dalam kaitannya dengan budaya – budaya tertentu. Tahapan inilah yang

seringkali menjadi tantangan besar bagi pengalihbahasa. Dari keseluruhan tahapan

yang dimaksud, Newmark (1988: 95) membagi istilah budaya ke dalam 5

kategori. Kategori yang dimaksud adalah kategori ekologi, kategori material atau

artefak, kategori sosial kemasyarakatan, kategori organisasi/konsep/adat

istiadat/aktivitas sosial, dan kategori kebiasaan dan perilaku.

Kategori ekologi umumnya dikaitkan dengan kehidupan selain manusia

seperti tumbuhan, binatang, maupun hal – hal seperti angin, dataran rendah,

perbukitan, dan lainnya. Kategori material atau artefak memiliki pemahaman

sangat luas di masyarakat. Kategori ini umumnya berkaitan dengan makanan,

pakaian, perumahan atau perkotaan, dan transportasi. Kategori sosial

kemasyarakatan mempunyai kedekatan pemahaman dengan struktur sosial suatu

kelompok masyarakat. Kategori organisasi lebih mengarah kepada adat istiadat,

aktivitas masyarakat pada umumnya, kebiasaan – kebiasaan turun temurun, dan

konsep ajaran kehidupan di masyarakat. Kategori yang paling akhir adalah

kategori kebiasaan dan perilaku. Newmark (1988: 102) memberikan pemahaman

bahwa kategori terkait kebiasaan dan perilaku harus diperlakukan berdasarkan

konteks komunikasi saat melakukan alih bahasa.

METODELOGI

Tahapan penelitian dibagi menjadi tiga tahapan. Masing – masing tahapan

memberikan kontribusi pada penelitian ini. Ketiga tahapan tersebut adalah

tahapan penentuan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan tahapan

analisa data. Masing – masing dijabarkan secara lebih terinci seperti di bawah ini.

Tahapan pertama adalah sumber data dan data. Penelitian ini menggunakan

sumber data dari media – media online berbahasa Inggris. Tahapan kedua

merupakan pengumpulan data. Dalam hal pengumpulan data, metode

dokumentasi diterapkan pada penelitian ini didukung oleh teknik – teknik seperti

teknik membaca rinci data di media online, selanjutnya teknik pemilahan data

yang digunakan dan yang tidak digunakan, dan teknik mencatat untuk memastikan

data terekam dengan baik sebagai bahan penelitian. Tahapan berikutnya adalah

tahapan analisa data menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan klasifikasi

dan pemahaman mengenai fitur budaya yang disampaikan Newmark (1988).

PEMBAHASAN

Terdapat tiga istilah budaya Bali yang dipilah untuk data pada paper ini. Ketiga

istilah budaya tersebut adalah bale banjar, lontar, dan ogoh – ogoh. Masing –

masing data pada ketiga istilah budaya tersebut ditampilkan dalam tabel.

Selanjutnya ketiga istilah budaya dianalisa secara deskriptif kualitatif.

Tabel berikut di bawah ini berisikan data terkait istilah budaya Bali bale

banjar yang terdapat pada teks bahasa Inggris di media online.

NO DATA SUMBER

1 The Banjar is the smallest formal social unit of Balinese society. In particular, she maintains a Bale Banjar, a gathering place where

https://de.wikipedia.org/wiki/Banjar_(Soz

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 261

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

community meetings and other activities (sports, dance, gamelan, etc.) take place. Each Banjar is led by a clan elected by the Plenum of Family Heads. The Banjar is a very old facility in Bali, probably dating back to prehistoric times.

iologie_Balis)

2 The people from other places and happened to stay in the banjar are welcomed to join the banjar if they want to. The center of banjar is ‘bale banjar’ (‘banjar’ hall), where the members of the banjar usually meet on a certain day. Banjar is led by a „kelian banjar‟.

http://googleweblight.com/i?u=http://www.baliaround.com/banjar-balinese-community/&hl=en-ID

3 Bale banjar adat (traditional community hall) in Bali is an important public building complex for Balinese societies which functions as a social and cultural identity. This building complex also functions as the place where the community holds public activities and assembly meetings.

https://www.researchgate.net/publication/275481729_'Gerenceng_bale_banjar_adat'_change_and_continuity_in_Balinese_architecture

4 Located in the resort‟s Lobby area, the Bale Banjar is an open pavilion that focuses on highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every Balinese village on the island. The Banjar is the most fundamental unit of civil society in Bali - its origins can be traced to the Island‟s pervasive agricultural society.

http://baliplus.com/everything-balinese-at-the-bale-banjar

5 The Banjar must have Bale Banjar which used for the place to conduct meeting and doing ngayah – finishing work with sincerity and selflessly which is done by mutual assistance. Bale Banjar is the central place of the banjar activities.

https://baliindonesiainformation.wordpress.com/2017/02/03/bale-banjar-balinese-society-home-base/

Dari keseluruhan tabel di atas terdapat diversifikasi pada pemaknaan istilah

budaya Bali. Dalam hal ini variasi – variasi yang muncul pada pemaknaan

terhadap istilah budaya Bali bale banjar beragam. Hal itu dapat dilihat dari

keseluruhan tabel di atas yang memberikan pemaknaan terhadap istilah budaya

Bali bale banjar.

Pada data 1 bale banjar didefinisikan dalam konteks kalimat a gathering

place where community meetings and other activities (sports,

dance, gamelan, etc.) take place. Model definisi juga terdapat pada data 4 yang

memberikan pemaknaan berupa Bale Banjar is an open pavilion that focuses on

highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every

Balinese village on the island Bale Banjar is an open pavilion that focuses on

highlighting the typical functions of the traditional Banjar that is present in every

Balinese village on the island.

NO DATA SUMBER

1 Basically, a lontar is written history and Bali has a unique way of preserving it. These manuscripts are writings from hundreds of years ago that are inscribed on the leaves of the lontar palm (punyan entel).

https://www.baliblog.com/travel-tips/bali-daily/the-ancient-lontar-scripts-of-bali-are-going-digital.html

2 This library annex museum collects, copies and preserves thousands of lontar (manuscripts made of palm leaf), "prasati" (transcriptions on metal plates) and books which deal with various aspects of human life, such as religion, architecture, philosophy, genealogy, homeopathy, "usada" (medical manuscripts), black magic, and so on, in the Balinese, Kawi (old Javanese) and the Dutch, English and German language.

http://www.northbali.info/culture/gedong_kirtya_singaraja.php

3 Lontar is a palm leaf manuscript made of the lontar palm which http://www.bladesofthegod

262 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sedangkan data istilah budaya Bali bale banjar diberikan pemaknaan

dengan tambahan informasi berupa frasa seperti pada data 2 dan 3. Pada data 2

bale banjar ditambahkan informasi dengan hall dan data 3 ditambahkan informasi

traditional community hall. Penambahan informasi memberikan pemaknaan yang

lebih dekat pada budaya pembaca. Dengan penambahan informasi hall atau

community hall memberikan kedekatan gambaran makna istilah budaya Bali pada

budaya berbeda.

Sementara itu kesatuan istilah budaya Bali dalam konteks kalimat terdapat

pada data 5. Kesatuan tersebut dimunculkan pada kalimat Bale Banjar which used

for the place to conduct meeting and doing ngayah. Dengan menempatkan istilah

budaya Bali dan pemaknaannya maka pembaca dengan latar budaya berbeda

dapat memahami makna istilah budaya yang sekaligus dimunculkan dalam sebuah

kalimat.

Selanjutnya tabel di bawah ini berisikan data istilah budaya Bali lontar

yang terdapat pada media online berbahasa Inggris.

Pada penggunaan istilah budaya Bali lontar di tabel di atas maka dapat

diperhatikan jika pemilihan pemaknaan melalui konteks kalimat menjadi

pertimbangan utama. Hal itu dapat disimak melalui data 1, data 4, dan data 5.

Secara spesifik data 1 dan data 4 memberikan acuan pemaknaan melalui

penggunaan konteks kalimat. Sehingga pembaca lebih mudah memahami konteks

kalimat yang berisikan istilah budaya Bali dan pemaknaannya seperti pada a

lontar is written history and Bali has a unique way of preserving it. These

manuscripts are writings from hundreds of years ago that are inscribed on the

leaves of the lontar palm (punyan entel) dan Lontar is the most iconic and unique

manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from

the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese

and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a

learned tradition of writing and reading texts on lontar. Sedangkan data 5

menerapkan dua model untuk memberikan pemahaman terhadap istilah budaya.

Model yang digunakan adalah kombinasi konteks kalimat yang diikuti pola

deskriptif untuk menjelaskan arti dari istilah lontar. Hal itu terlihat dari kalimat

lontar in Bali, palm leaf manuscripts are considered the most appropriate form of

preserving centuries-old tradition.

was used in ancient Asia and south east Asia. Its use goes back to fifteenth century BCE, and possibly much earlier.

.com/barong-108-box/keris-lontar/

4 Lontar is the most iconic and unique manifestations of tangible and intangible cultural heritage preserved on Bali from the past through to the present day. The literature and religious lore of Balinese and ancient Javanese traditions have been reproduced through the centuries via a learned tradition of writing and reading texts on lontar.

https://balicultureinformation.wordpress.com/2015/12/05/lontar-balinese-manuscript-which-contain-a-variety-of-aspects-of-human-life/

5 More broadly sutra indicate Hindu and Buddhist religious texts that in the form of palm leaf manuscripts helped to propagate this faith through parts of Asia in the first millennium BCE and through the many centuries of the Common Era. Known as lontar in Bali, palm leaf manuscripts are considered the most appropriate form of preserving centuries-old tradition. They are still used as the most important sources of knowledge on religion, medicine, law, literature, social conventions, and the overall wisdom of tradition.

https://australianmuseum.net.au/book-and-sutra

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 263

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sedangkan penggunaan teknik deskripsi menjadi pilihan pada data 2 dan

data 3. Pada kedua data, istilah budaya Bali lontar diberikan pemahaman dengan

manuscripts made of palm leaf dan a palm leaf manuscript made of the lontar

palm which was used in ancient Asia and south east Asia. Kedua teknik deskripsi

tersebut memberikan pemaknaan terhadap istilah lontar dalam pemahaman bentuk

(form).

Pada tabel di bawah ini berisikan istilah budaya Bali ogoh – ogoh yang

terdapat pada media online berbahasa Inggris. Masing – masing tabel

dideskripsikan secara lengkap dalam konteks kalimat.

NO DATA SUMBER

1 The name Ogoh Ogoh is derived from the Balinese “ogah-ogah”, meaning “to shake”, and it represents the Bhuta-Kala or evil spirits, vices that need to kept away from humans. Many locals from the Banjar community will carry their Ogoh-Ogoh on the convoy, shaking it to make it look likes it‟s moving and dancing.

http://nowbali.co.id/ngrupuk-monster-parade/

2 Ogoh-ogoh whose appearance is very scary is usually paraded around the village or town by the Banjar or traditional village society which is dominated by the youth. Ogoh-ogoh is a kind of statue / giant doll which is made of light materials such as the combination of wood, bamboo, paper, and styrofoam so it is easy to be lifted and paraded. With the development or technology and materials, people prefer using styrofoam because of its lightweight and easiness to be carved and processed, but of course it costs more.

http://www.baligoldentour.com/ogoh-ogoh.php

3 The main function ogoh-ogoh Bhuta Kala is a representation made before the celebration of Nyepi (Silent) Day, where ogoh-ogoh will be paraded around the rollicking banjar or village at dusk the day before Nyepi (Pangrupukan). Ogoh-ogoh Bali is a masterpiece sculpture depicting Balinese culture personality. Pangrupukan or a day before Nyepi, the events and procession every year is the same on each Banjar (smaller then village) Bali will compete in terms of making ogoh-ogoh as interesting as possible.

http://www.infobalidriver.com/ogoh-ogoh-bali

4 The island‟s streets lit up on Friday night as Balinese took to the streets to parade their Ogoh-ogoh, handmade floats depicting demons and evil spirits while commonly mistaken as an age-old tradition, it turns out Ngrupuk is more of a modern invention, widely believed to have come about in the 1980s.

https://coconuts.co/bali/features/ogoh-ogoh-photos/

5 Ogoh - ogoh are giant dolls made from bamboo frames which are intricately weaved and tied and then covered with papier mache. They are made in the form of creatures of the underworld known in Balinese as buta-kala, in English something like „Satan‟.

http://www.balimusicanddance.com/articles/what-are-ogoh-ogoh.html?lang=id

Berdasarkan tabel di atas, istilah budaya Bali ogoh – ogoh menggunakan derivasi

makna berdasarkan pada definisi dan penjelasan secara deskriptif. Dalam hal

pemaknaan dengan definisi terlihat pada data 2, data 3, dan data 5. Sedangkan

penjelasan secara deskriptif terdapat pada data 1 dan data 4. Pemaknaan secara

deskriptif juga bervariasi dengan pemahaman secara konteks keseluruhan kalimat

dan penjelasan deskriptif secara langsung.

Pemaknaan melalui definisi terlihat pada paparan data 2, data 3, dan data

5. Istilah budaya Bali ogoh – ogoh didefinisikan sebagai a kind of statue / giant

doll which is made of light materials such as the combination of wood, bamboo,

264 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

paper, and styrofoam so it is easy to be lifted and paraded (data 2); Ogoh-ogoh

Bali is a masterpiece sculpture depicting Balinese culture personality (data 3);

dan Ogoh - ogoh are giant dolls made from bamboo frames which are intricately

weaved and tied and then covered with papier mache (data 5).

Sementara itu, pemaknaan melalui teknik deskriptif berdasarkan konteks

keseluruhan makna kalimat terdapat pada data 1. Dalam hal ini penjelasan the

name Ogoh Ogoh is derived from the Balinese “ogah-ogah”, meaning “to

shake”, and it represents the Bhuta-Kala or evil spirits, vices that need to kept

away from humans. Many locals from the Banjar community will carry their

Ogoh-Ogoh on the convoy, shaking it to make it look likes it‟s moving and

dancing. Keseluruhan penjelasan pada data 1 memberikan pemahaman atau

pemaknaan terhadap istilah ogoh – ogoh. Sedangkan data 4 memberikan

penjelasan langsung secara deskriptif dengan handmade floats depicting demons

and evil spirits while commonly mistaken as an age-old tradition.

SIMPULAN

Berdasarkan analisa pada bagian pembahasan maka diperoleh simpulan bahwa

istilah budaya Bali dijelaskan melalui berbagai variasi penjelasan. Adapun variasi

penjelasan tersebut bertujuan untuk memberikan pemahaman tentang istilah

budaya Bali kepada pembaca dengan latar belakang berbeda. Variasi – variasi

yang dilakukan terhadap istilah budaya Bali dilakukan dengan memberikan

penjelasan secara utuh dalam konteks – konteks kalimat dan penjelasan melalui

frasa deskripsi. Dengan variasi penjelasan seperti itu maka pembaca dengan latar

budaya berbeda dapat memahami makna yang dikandung oleh sebuah istilah

budaya yang muncul pada media online berbahasa Inggris.

DAFTAR PUSTAKA

Newmark, Peter. 1988. A Textbook of Translation. Washington: Longman

Pearson Education.

Parthama, I Gusti Ngurah. 2017. Kajian Alih Bahasa Penggunaan Dua

Bahasa Pada Papan Informasi Publik. Hasil penelitian Hibah

Unggulan Program Studi, Lembaga Penelitian dan Pengabdian

Kepada Masyarakat (LPPM), Universitas Udayana.

Setianingsih, Alit Ida. 2003. Some Alternative Ways of Establishing Lexical

Equivalences of Balinese Cultural Terms in English. (Tesis).

Denpasar: Program Studi Linguistik, Program Pascasarjana,

Universitas Udayana.

Vinay, Jean-Paul, dan Jean Darbelnet. 2000. A Methodology for Translation

dalam kumpulan naskah The Translation Studies Reader edited by

Lawrence Venuti. London: Routledge.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 265

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PRASASTI SEBAGAI BUKTI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT BALI

KUNO

Ni Ketut Puji Astiti Laksmi

[email protected]

Prasasti dikeluarkan atas perintah seorang raja, maka sewajarnya

apabila hal yang dikemukakan di dalam prasasti adalah hal-hal

yang berkaitan dengan aktivitas seorang raja, sesuai dengan

kepentingan dikeluarkannya prasasti.Walaupun demikian tidak

berarti bahwa hal-hal lain yang tidak disebut-sebut dalam prasasti

khususnya yang berkaitan dengan aktivitas masyarakat tidak

diketahui atau dikenal, melainkan karena tidak penting

dikemukakan dalam isi prasasti yang biasanya singkat. Pernyataan

ini justru mendorong penulis untuk melakukan penemuan-

penemuan ruang kosong dalam teks prasasti khususnya dari sudut

pandang masyarakat, karena prasasti merupakan bukti kearifan

lokal masyarakat pada masa tersebut.

Kata Kunci : Prasasti, Masyarakat, Kearifan Lokal.

I. Pendahuluan

Prasasti telah terbukti memberikan banyak informasi penting dalam upaya

merekonstruksi sejarah perkembangan masyarakat dan budaya Indonesia,

khususnya pada masa Hindu-Buddha karena sebagian besar informasi mengenai

zaman kuno di Indonesia diperoleh dari prasasti,demikian juga dengan

rekonstruksi sejarah Bali. Penelitian prasasti dilakukan terutama untuk

membangun kerangka waktu yang diperlukan dalam menjelaskan perkembangan

budaya. Albert C. Spaulding (1971) menyatakan bahwa subject matter dari

arkeologi adalah artefak (dalam arti yang luas), yaitu seluruh benda yang

mencerminkan kegiatan budaya manusia atau disebut dengan budaya bendawi

(material culture). Ian Hodder (1986:11) menyatakan bahwa ‖The writing of ink

on paper is itself one type of material culture, and the inference of meaning from

such evidence is equivalent to that for material objects in general‖ (Tulisan pada

kertas (teks) merupakan salah satu jenis budaya materi itu sendiri, dan makna

yang terkandung dari bukti tersebut setara dengan benda material pada

umumnya).Oleh karena itu, maka prasasti juga merupakan kategori artefak, yang

berarti pula potensial untuk dimanfaatkan bagi kajian arkeologi

(Kusumohartono,1994 :17).

Penelitian prasasti khususnya prasasti masa Bali Kunoabad IX-XIV

Masehi telah dilakukan oleh beberapa ahli, baik ahli dari dalam maupun luar

negeri.Sejak masa pemerintahan kolonial Belanda hingga sekarang beberapa ahli

yang melakukan penelitian terhadap prasasti diantaranya ialah H.N van der Tuuk,

J.L.A.Brandes, P.V.van stein Callenfels, R.Goris, M.M Soekarto K Atmodjo,

Ketut Ginarsa, Putu Budiastra, Gde Semadi Astra, dan Wayan Ardika.

Pada hakekatnya, makalah ini bertujuan untuk memaparkan keberadaan

prasasti pada masa Bali Kuno abad IX-XIV Masehi sebagai salah satu bukti

266 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kearifan lokal masyarakat pada masa tersebut. Pada prasasti tercatat beberapa

aspek budaya yang terjadi pada waktu prasasti tersebut diturunkan, sehingga

keakuratan data yang terkandung di dalam prasasti dapat lebih mudah dipercaya

dan dipahami. Meskipun beberapa aspek budaya sering luput dan tidak dipaparkan

secara gamblang di dalam prasasti tetapi disisi lain aspek-aspek yang menjadi

fokus perhatian atau permasalahan pada saat prasasti itu diturunkan sering kali

diulas secara mendetail. Mengacu pada ulasan-ulasan itulah kemudian dapat

dipahami kehidupan masyarakat Bali Kuno.

II. Metodelogi

Magetsari (2016: 79), mengatakan bahwa dalam konteks kesejarahan,

kedudukan prasasti sebagai sumber sejarah dapat dianalogikan sebagai arsip.

Hakekat arsip, menurut archival science atau archivistik merupakan peristiwa

yang dengan sendirinya telah berlalu sehingga telah mengalami pembekuan.

Tugas ahli kearsipan adalah membuat peristiwa itu cair kembali, sehingga dapat

menjadi bermakna dalam masa sekarang. Oleh karena itu, maka tugas seorang

epigraf adalah mengubah masa lampau menjadi masa kini, dengan cara

menjadikan prasasti yang pada dasarnya statis menjadi dinamis. Sehingga dalam

konteks epigrafi, apabila prasasti diperlakukan sebagai representasi fakta sejarah

masa lampau, maka terhadapnya tidak dapat dipahami melalui interpretasi kata

demi kata. Prasasti merupakan proses bekuan dari peristiwa, sehingga unit

analisisnya pun seyogyanya juga peristiwa dan bukan kata. Oleh karena itu, maka

metode interpretasi yang diterapkan tidak terbatas pada kata, melainkan kata

dalam konteks.

III. Pembahasan

PrasastiBali Kuno adalah prasasti-prasasti yang dikeluarkan mulai dari abad

IX (804 Śaka/882 Masehi) sampai dengan abad XIV (1259 Śaka/1337 Masehi).

Sampai sekarang sedikitnya 250cakep prasasti tembaga dari 24 raja telah

ditemukan di Bali. Tradisi tulis di Indonesia telah mewariskan peninggalan berupa

prasasti dalam jumlah yang amat banyak serta beraneka ragam baik bentuk, jenis,

maupun isinya. Keberadaan asset budaya berupa prasasti sebagai salah satu

bentuk cagar budaya, tidak saja memperkaya keberadaan komunitas suatu

masyarakat, tetapi sekaligus memberi pengetahuan mengenai budaya masa lalu,

seperti kondisi sosial budaya, karakter budaya, dan identitas budaya yang

merupakan bukti kearifan lokal masyarakat Bali Kuno. Berikut adalah aspek-

aspek yang dapat menunjukkan bahwa prasasti dapat dipakai sebagai bukti

kearifan lokal masyarakat Bali pada masa lampau.

3.1 Aspek Fisik dan Spiritual Prasasti Bali Kuno

Keberadaan suatu prasasti Bali Kuno hingga sekarang masih sangat

disakralkan oleh masyarakat Bali. Pada umumnya prasasti disimpan di

tempat suci seperti pura, pura kawitan, pemrajan/sanggah, dan dadia.

Prasasti dibungkus dengan kain putih atau kuning dan dimasukan ke dalam

suatu keropak yang kemudian disimpan pada bangunan pelinggih gedong

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 267

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

simpen. Perlakuan cara penyimpanan seperti tersebut menunjukan bahwa

masyarakat sangat menghargai warisan leluhur secara fisik. Sedangkan

secara spiritual masyarakat masih menghormati warisan prasasti seperti

layaknya menghargai leluhur (tetamian leluhur). Masyarakat melaksanakan

persembahan pada hari-hari tertentu misalnya Hari Raya Saraswati karena

prasasti diibaratkan sebagai sumber ilmu pengetahuan. Meskipun tidak

dapat dipungkiri terkadang masyarakat kurang mengerti aksara dan bahasa

yang dituliskan pada prasasti, tetapi spirit menghargai dan menghormati

warisan leluhur dapat dipakai sebagai langkah awal dalam pelestarian

prasasti dan cagar budaya secara umum. Perlakuan baik secara fisik maupun

spiritual terhadap prasasti menunjukan bahwa masyarakat memiliki kearifan

lokal yang yang berujung pada pelestarian budaya Bali.

3.2 Aspek Isi Prasasti Bali Kuno

Secara garis besar prasasti Bali Kuno abad IX-XIV Masehimemiliki

struktur isi yang dapat dibedakan menjadi tiga tipe, yaitu tipe prasasti yumu

pakatahu, punah, dan ing/i Śaka. Tipe yumu pakatahu adalah tipe tertua

dalam prasasti Bali. Tipe ini memiliki struktur isi yang berbeda

dibandingkan kedua tipe yang lainnya karena selalu diawali dengan kata

yumu pakatahu dan tidak menyebut nama raja yang mengeluarkan prasasti

tersebut. Unsur pertanggalan diletakkan pada bagian akhir prasasti dan

dikeluarkan di Panglapuan Singhamandawa. Sehingga prasasti-prasasti

tersebut juga sering disebut sebagai prasasti dari periode Singhamandawa.

Walaupun demikian juga ditemukan prasasti bertipe yumu pakatahu yang

menyebut nama raja yakni Raja Ugrasena dan dikeluarkan di Penglapuan

yang sama yakni Panglapuan di Singhamandawa. Penyebutan nama raja

pada prasasti bertipe yumu pakatahu diletakkan pada bagian akhir prasasti.

Struktur isi prasasti secara umum, terlepas dari prasasti bertipe yumu

pakatahu yang memiliki struktur sedikit berbeda, baik yang bertipe punah

maupun ing saka adalah sebagai berikut. (1) Unsur-unsur pertanggalan yang

menyatakan waktu prasasti-prasasti yang bersangkutan dikeluarkan atau

diturunkan secara resmi;(2) Nama raja atau ratu yang mengeluarkan

prasasti;(3) Nama orang/pejabat atau karaman yang menerima perintah raja;

(4) Inti titah raja/ratu; (5)Alasan yang melandasi prasasti itu dikeluarkan

(sambandha);(6) Rincian tentang berbagai hak yang didapat oleh pihak desa

penerima prasasti serta kewajiban yang harus dilakukannya; (7) Pejabat-

pejabat pemerintah baik pusat maupun daerah yang berfungsi sebagai saksi

dalam penganugerahan prasasti yang bersangkutan; (8) Sapatha yakni

bagian yang memuat sumpah/kutukan bagi siapa pun yang berani melanggar

ketetapan yang tercantum dalam prasasti, banyak prasastiberisi bagian

sapathawalaupun tidak semua prasasti (Astra, 1997:17-18).

Kedelapan struktur isi prasasti mencerminkan kearifan lokal

masyarakat Bali Kuno. Masyarakat Bali Kuno sesungguhnya telah

mendapat pengaruh budaya luar terutama budaya India dan Jawa, tetapi

pada unsur pertanggalan tidak semua unsur budaya luar dipergunakan di

dalam prasasti-prasasti Bali Kuno.Kearifan lokal masyarakat Bali Kuno

268 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

telah tercermin dalam perhitungan pertanggalan yang tertulis di dalam

prasasti. Beberapa unsur lokal seperti hari pasaran wijayamanggala,

wijayakranta dan wijayapura dipergunakan di dalam prasasti-prasasti Bali

Kuno dan tidak ditemukan di dalam prasasti lainnya. Berkaitan dengan

penyebutan nama terutama nama pejabat serta jabatannya juga menunjukan

adanya unsur-unsur budaya lokal. Sebagai contoh, di dalam prasasti

SukawanaAI lempeng Ib baris 1ditemukan nama Kumpi Ananyang

menjabat sebagai Nayakan Makarun (Goris, 1954: 65). Kata kumpi masih

ditemukan pada masyarakat Bali masa sekarang yang berarti nenek/kakak

buyut.

Selanjutnya di bagian rincian aturan-aturan bagi masyarakat pada

masa tersebut sangat jelas menunjukan adanya kearifan lokal. Antara raja

beserta para pejabat dan rakyat bersama-sama memecahkan masalah yang

sedang dihadapi demi kebaikan bersama. Kedudukan raja sebagai kepala

pemerintahan yang tertinggi tidak semata-mata menyebabkan raja dapat

bertindak sewenang-wenang. Stratifikasi sosial yang sampai sekarang

dikenal dengan sistem kasta dan berasal dari budaya India tidak secara

mutlak diadosi dan diterapkan pada masa Bali Kuno.

Adapun Sapatha(kutukan) yang tertulis dalam prasasti-prasasti dapat

dikatakan sebagai sanksi moral (immaterial) bagi mereka yang ingin

mengubah atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh sang raja. Orang-

orang yang melanggar ketentuan dalam prasasti akan mendapat bahaya, hina,

papa, sepanjang masa atau dibunuh oleh para Dewa. Di sisi lain, kutukan

yang tertulis dalam prasasti mencerminkan kekuasaan dan kekuatan seorang

raja. Raja-raja Bali Kuno seolah-olah telah menciptakan strategi atau sistem

pengawasan. Setiap individu melakukan pengawasan terhadap dirinya

sendiri (pendisiplinan diri) atau semacam pengawasan melekat dan

pengawasan tersebut seolah-olah melawan dirinya sendiri dari perbuatan

buruk. Sanksi dengan kutukan kemungkinan merupakan perubahan dari

hukuman jasmani ke hukuman jiwa (psikologi).

IV. Simpulan

Berdasarkan paparan ringkas di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa

perlakukan masyarakat Bali pada masa sekarang terhadap tinggalan berupa

prasasti merupakan bukti kearifan lokal masyarakat Bali sebagai wujud

pelestarian warisan leluhur yang merupakan budaya bangsa. Demikian juga

halnya dengan struktur isi prasasti menunjukan adanya kearifan lokal masyarakat

Bali Kuno dalam menyerap budaya yang berasal dari luar. Perpaduan antara

budaya lokal dan budaya luar (India dan Jawa) dapat memperkaya budaya budaya

Bali yang kemudian diwariskan hingga masa sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Astra, I Gde Semadi. 1997. ―Birokrasi Pemerintahan Bali Kuno abad XII-XIII :

Sebuah Kajian Epigrafis‖, Disertasi. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 269

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Goris, R. 1954a. Prasasti Bali I. Bandung : NV. Masa Baru.

----------- 1954b. Prasasti Bali II. Bandung : NV. Masa Baru.

Hodder, Ian. 1986. Reading the Past, Current Aproaches to Interpretation in

Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.

Kusumohartono, Bugie. 1994. ―Data Baru dari Distribusi Artefak Prasasti‖, dalam

Berkala Arkeologi Tahun XIV-Edisi Khusus. Yogyakarta: Balai Arkeologi

Yogyakarta. Hlm 17-21.

Magetsari, Noerhadi. 2016. Perspektif Arkeologi Masa Kini Dalam Konteks

Indonesia. Jakarta : Kompas Media Nusantara.

Laksmi, Ni Ketut Puji Astiti. 2017. ―Identitas Keberagamaan PadaMasa Bali

Kuno Abad IX-XIV Masehi: Kajian Epigrafis‖ Disertasi. Program Doktor

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia.

Spaulding, Albert C. 1971. ―In The Dimensions of Archaeology‖, dalam Man‟s

Imprint from The Past, Readings in The Methods of Archaeology. James

Deetz (ed). Boston: Little Brown & Co.

270 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

“ARDHANARESWARI”; REPRESENTASI NILAI KEARIFAN LOKAL

BALI DALAM MEWUJUDKAN KESETARAAN GENDER

Ni Luh Arjani

Prodi Antropologi FIB Unud

ABSTRAK

Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang dilandasi dan dijiwai

oleh agama Hindu. oleh karena itu banyak aspek dari kebudayaan

Bali dapat dilacak dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama

Hindu termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai

sebagai landasan dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis

terutama antara laki-laki dan perempuan baik dalam kehidupan

keluarga maupun masyarakat. Salah satu nilai kearifan lokal

tersebut adalah konsepsi ―ardhanareswari”. Konsep ini secara

harfiah diartikan bahwa Tuhan adalah sebagian laki-laki dan

sebagian perempuan. Dalam agama Hindu hal ini bermakna bahwa

laki-laki dan perempuan sebagai suami istri adalah dwi tunggal

yang menyebabkan suatu keluarga menemui kebahagiaan dan

keharmonisan.

Di era milenial saat ini dimana tuntutan kesetaraan gender menjadi

isu nasional maupun global, tampaknya konsepsi ardhanareswari

ini sangat tepat dipakai landasan dalam mewujudkan visi

pemerintah menuju kesetaraan gender dalam kehidupan keluarga,

masyarakat, bangsa dan Negara. Oleh karena itu hal ini penting

dipahami dan diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga

antara suami istri/laki-laki dan perempuan tidak ada saling

menguasai dan dikuasai demi terwujudnya keharmonisan.

Kata kunci: Ardhanareswari, kearifan local, kesetaraan gender.

Pendahuluan

Perdebatan terkait persoalan kesetaraan gender sampai saat ini masih cukup

mengemuka di ranah publik, wacana gender tidak hanya menjadi isu dilingkup

lokal maupun nasional namun sudah menjadi isu global. Hal ini tampak dengan

dimasukkannya isu ini dalam berbagai pertemuan/konfrensi wanita tingkat dunia

di bawah payung PBB, seperti pada konfrensi PBB di Kopenhagen (1980),

Naerobi (1985), dan Konfrensi Beijing (1995), yang telah melahirkan Convention

for Eliminating Discrimination Againts Woman (CEDAW), dan konfrensi PBB

tahun 2000 yang menelorkan deklarasi Millenium Development Goals (MDGs)

dengan 8 isu sentral yang salah satu goalsnya (goals 3) menginginkan

terwujudnya kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan di tahun 2015.

Target MDGs di yahun 2015 tampaknya belum dapat terwujud sehingga isu

kesetaraan gender muncul kembali dalam kesepakatan sustainable development

goals (SDGs) yang targetnya tercapai di tahun 2030.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 271

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kesepakatan global ini mencirikan bahwa Indonesia sebagai bagian dari

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) tampaknya juga belum terbebas dari persoalan

ketidakadilan gender dalam kehidupan masyarakat. Permasalahan gender dalam

bentuk diskriminasi, subordinasi, marginalisasi, kekerasan dan beban berat masih

muncul diberbagai bidang kehidupan baik di lingkup keluarga maupun

masyarakat yang lebih luas. Dalam kehidupan keluarga, budaya patriarkhi masih

sangat kental dimana dominasi kekuasaan ada di tangan laki-laki. Ideologi

patriarkhi ini merupakan ideology yang menempatkan laki-laki/bapak pada posisi

yang superior, sebagai pemegang kekuasaan dan pengambil keputusan yang

utama ( Engels dalam Budiman, 1985:19). Sementara di luar keluarga/mayarakat

isu gender masih tampak antara lain di bidang politik dan ekonomi.

Di bidang politik, isu gender terutama tampak di legislatif maupun

eksekutif, pada tahun 2017 di Provinsi Bali, dari 389 anggota DPRD yang ada di

tingkat provinsi dan di semua kabupaten/kota. jumlah anggota perempuan hanya

33 orang (8,5%) begitu pula dengan jumlah DPRD Provinsi Bali dari 55 orang

anggota DPRD, hanya 5 orang ( 9,1%) perempuan, sementara di eksekutif tampak

dari rendahnya posisi perempuan di jabatan truktural eselon dua yang hanya

11,4% (Arjani, dkk, 2017: 67). Kondisi ini merupakan gambaran realita

ketimpangan gender yang masih terjadi di masyarakat Indonesia pada umumnya

dan masyarakat Bali khususnya. Jika dilihat secara normatif, baik dalam hukum

nasional (UUD.45, UU. No.7/1984 tentang anti diskriminasi terhadap perempuan)

maupun hukum agama khususnya agama Hindu telah tersirat dan tersurat

kesetaraan gender. Namun secara nyata tampaknya tidak sejalan dengan norma-

norma yang tercantum dalam regulasi nasional maupun ajaran agama khususnya

agama Hindu. Dalam ajaran Agama Hindu, salah satu sastra Hindu yang

mengajarkan tentang kesetaraan dan kedudukan antara laki-laki dan perempuan

tercantum dalam Siwatatwa yang dikenal dengan konsep ―Ardhanareswari‖ (Titib,

dkk, 2009:103).

Ardhanareswari; Representasi Nilai Kearifan Lokal Bali dalam Mewujudkan

Kesetaraan Gender

Kesetaraan gender merupakan visi pembangunan pemberdayaan perempuan dan

perlindungan anak di Indonesia, ini artinya bahwa ke depan kesetaraan dan

keadilan gender (KKG) menjadi tujuan utama yang ingin dicapai dalam

kehidupan keluarga dan masyarakat. Meskipun kesetaraan gender telah menjadi

visi pembangunan nasional, namun masih sering terjadi kesalahpahaman tentang

istilah gender dan kesetaraan gender. Gender seringkali diartikan perempuan,

padahal secara harfiah gender adalah perbedaan perilaku antara laki-laki dan

perempuan yang dikonstruksi secara sosial budaya, yakni perbedaan yang bukan

kodrat dan bukan ketentuan Tuhan, melainkan diciptakan oleh manusia melalui

proses sosial dan kultural yang panjang ( Fakih, 1996;72). Sementara Kesetaraan

gender dalam konteks ini berarti kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan

untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu

berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan

keamanan nasional, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut

(Angka I.3 dan 4 Lampiran Inpres No.9 Tahun 2000). Agar proses yang adil bagi

perempuan dan laki-laki terwujud, diperlukan langkah-langkah untuk

menghentikan berbagai hal yang secara sosial dan menurut sejarah telah

272 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

menghambat perempuan dan laki-laki untuk bisa berperan dan menikmati hasil

dari peran yang dimainkannya.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengatasi

persoalan gender, namun seperti telah disinggung pada uraian pendahuluan di atas

sampai saat ini ketimpangan gender dalam kehidupan keluarga dan masyarakat

Bali kususnya masih terjadi. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor antara

lain adalah masih kuatnya budaya patriarkhi yang dilandasi oleh sistem

kekeluargaan patrilineal di Bali. Sistem kekerabatan patrilineal sudah menjadi

bagian dari kebudayaan Bali yang berimplikasi terhadap status laki-laki dan

perempuan. Salah satu cirri dari masyarakat yang paternalistik adalah peran dan

kedudukan laki-laki yang lebih dominan dibandingkan perempuan dalam aspek

kehidupan yang penting seperti dalam hal pengambilan keputusan dan pewarisan,

sementara perempuan menduduki posisi yang subordinat atau inferior. Hal inilah

yang secara realitas mempengaruhi terjadinya kesenjangan gender di masyarakat.

Jika dilihat secara normatif, terutama dalam ajaran agama Hindu telah

tersirat dan tersurat nilai-nilai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan seperti

lingga-yoni, samara-ratih, purusha-pradhana, ardhanareswari yang kemudian

terepresentasi dalam kebudayaan Bali. Kebudayaan Bali adalah kebudayaan yang

dilandasi dan dijiwai oleh agama Hindu, oleh karena itu banyak aspek dari

kebudayaan Bali dapat dilacak dari nilai-nilai yang terkandung dalam agama

Hindu termasuk nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipakai sebagai landasan

dalam mewujudkan kehidupan yang harmonis terutama antara laki-laki dan

perempuan baik dalam kehidupan keluarga maupun masyarakat. Salah satu nilai

kearifan lokal tersebut adalah konsepsi ―ardhanareswari”. Konsep ini secara

harfiah diartikan bahwa Tuhan adalah sebagian laki-laki dan sebagian perempuan.

Dalam agama Hindu hal ini bermakna bahwa laki-laki dan perempuan sebagai

suami istri adalah dwi tunggal yang menyebabkan suatu keluarga menemui

kebahagiaan dan keharmonisan (Agastia, 1994 dalam Sancaya, 1996;45).

Ardhanariswari juga merupakan simbol Tuhan dalam manifestasinya

sebagai setengah purusa dan setengah pradana. Kedudukan dan peranan purusa

disimbolkan dengan Siwa yang memerankan fungsi maskulin, dan predana

disimbolkan dengan Dewi Uma yang memerankan fungsi feminine. Tidak ada

suatu apapun yang akan tercipta jika kekuatan purusa dan pradana tidak menyatu

(Triguna, dalam Ariani, 2007;3). Jika dicermati makna simbol dari konsep

tersebut mengandung arti bahwa status dan peranan laki-laki dan perempuan

adalah setara dan saling melengkapi,

Namun demikian seringkali ditemukan antara sistem nilai budaya atau

norma yang ada dengan perilaku sosial suatu masyarakat tidak selamanya berada

dalam kaitan yang selaras karena tidak semua masyarakat memahami dan

menghayati nilai-nilai yang ada dalam ajaran agama yang dianutnya. Lebih-lebih

di era milenial saat ini dimana masyarakat khususnya generasi muda sudah mulai

semakin terlena dan tertarik dengan dunia maya dengan memanfaatkan gaget

sehingga niat untuk memahami nilai-nilai agama menjadi semakin lemah.

Sementara disisi lain tuntutan kesetaraan saat ini sudah menjadi isu nasional dan

global, oleh karena itu tampaknya konsepsi ardhanareswari ini sangat tepat

dipakai landasan dalam mewujudkan visi pemerintah menuju kesetaraan gender

dalam kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara. Hal ini penting

dipahami dan diterapkan dalam kehidupan keluarga sehingga antara suami

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 273

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

istri/laki-laki dan perempuan tidak ada saling menguasai dan dikuasai demi

terwujudnya keharmonisan. Untuk bisa membumikan nilai-nilai dari

―ardhanariswari‘ ini sangat diperlukan upaya mendasar yakni mensosialisasikan

ke semua lapisan masyarakat sehingga pemahaman tentang kearifan lokal ini

dapat dipakai dasar dalam mewujudkan kesetaraan gender.

Ardhanareswari sebagai nilai kearifan lokal yang terkandung dalam

ajaran agama Hindu juga terepresentasi dalam sloka-sloka kitab suci agama Hindu

seperti dalam kitab Menawa Dharmasastra. Dalam Manawa Dharmasastra I.32

disebutkan

Dwidhakartwatmanodeham

Ardhenapurusabhawat

Ardhenanaritasyam

Wirayamasmrjatprabhuh

Terjemahannya:

Tuhan membagi dirinya menjadi sebagian laki-laki dan sebagian menjadi

perempuan (ardha nari). Darinya terciptalah viraja.

Sloka di atas menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama diciptakan

oleh Tuhan. Laki-laki dan perempuan menurut pandangan Hindu memiliki

kesetaraan karena keduanya tercipta dari Tuhan. Dengan demikian, maka

perempuan dalam Hindu bukan merupakan subordinasi dari laki-laki. Demikian

pula sebaliknya. Kedua makhluk yang berbeda jenis kelamin ini memang tidak

sama namun perbedaan tersebut adalah untuk saling melengkapi. Mengapa Tuhan

menciptakan laki-laki dan perempuan? Manawa Dharmasastra IX.96

menyebutkansebagaiberikut.

Prajanarthastriyahsrtah

Samtanartamcamanawah

Tasmatsaharanodharmah

Srutaopatnyasahaditah

Terjemahannya:

Tujuan Tuhan menciptakan wanita, untuk menjadi ibu. Laki-laki diciptakan untuk

menjadi ayah. Tujuan diciptakan suami istri sebagai keluarga untuk

melangsungkan upacara keagamaan sebagaimana ditetapkan menurut Veda.

(http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/04).

Dari sloka tersebut di atas tersirat makna kesetaraan gender dalam

perspektif agama Hindu telah terwujud, oleh karena itu ada anggapan di

masyarakat bahwa kesetaraan gender di Bali tidak perlu dipersoalkan lagi.

Sementara secara nyata isu ketidakadilan gender masih mewarnai kehidupan

masyarakat di Bali.

Simpulan

Secara normatif baik dalam hukum nasional maupun hukum Agama khususnya

Agama Hindu sudah menunjukkan adanya kesetaraan gender. Namun secara

realitas ketimpangan gender di masyarakat khususnya masyarakat Bali masih

terjadi diberbagai bidang kehidupan, oleh karena itu persoalan gender masih tetap

menjadi isu regional, nasional dan internasional. Hal ini terbukti dari

274 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dimasukkannya isu gender ke dalam kesepakatan sustainable development goals

(SDGs) yang tujuan pencapaiannya di tahun 2030. Dengan demikian representasi

konsep ―Ardhanareswari‖ sebagai nilai kearifan local Bali sangat penting

diterapkan guna mempercepat terwujudnya kesetaraan gender di Bali.

Daftar Pustaka

Agastia, I.B.G, 1994: ― Sosok Wanita Bali: Ditinjau dari Aspek Agama‖ , dalam

Warta Jagatnatha: Denpasar, PHDI Bali.

Arjani, Dkk. 2018 : Profil Perempuan Bali Tahun 2018. Denpasar. PSWPA

UNUD.

Ariani, 2007; Wanita Hindu dan Kerja; Peluang dan Tantangan. Denpasar.

Makalah seminar.

Budiman, Arief, 1985: Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan

Sosiologis Tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat, Jakarta: P.T

Gramedia.

Fakih, Mansur. 1966. Menggeser Konsepsi Gender dan Transformasi Sosial.

Jogyakarta: Pustaka Pelajar.

Titib, 2008. Gender dalam perspektif Agama Hindu; Kesenjangan antara Normatif

dan Realitas Sosial, Denpasar.Makalah Seminar.

Windhu Sancaya, I Dewa Gede, dkk. 1996. ―Citra Wanita Dalam Sastra Bali

Tradisional dan Modern Sebuah Tinjauan Berdasarkan Kritik Sastra

Feminis‖ Hasil penelitian. Denpasar: Fakultas Sastra Universitas Udayana.

Internet:

http://majalahhinduraditya.blogspot.com/2012/04.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 275

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PERSPEKTIF GENDER TUTURAN PERINTAH BAHASA JEPANG:

STUDI PENDAHULUAN

Ni Luh Kade Yuliani Giri

Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Paper ini membahas mengenai perspektif gender tuturan perintah

bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei.

Perbedaan gender para pelibat tuturan memungkinkan adanya

penambahan fitur-fitur linguistic tertentu sebagai ciri khas yang

mewakili gender para pelibat tuturan tersebut. Sumber data dari

paper ini diambil dari anime, drama, dan komik bahasa Jepang.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan metode simak dengan

teknik catat. Selanjutnya metode deskriptif kualitatif digunakan

pada tahapan analisa data. Simpulan yang diperoleh adalah bahwa

penggunaan bentuk imperative meirei dalam tuturan perintah

bahasa Jepang tidak hanya terbatas dikalangan pria saja. Akan

tetapi dapat juga digunakan di antara pria-wanita, maupun

dikalangan wanita. Penggunaan bentuk ini dikalangan pria

cenderung dalam bentuk imperative sederhana berupa kata kerja

bentuk meirei itu sendiri. Apabila dalam konteks tuturan dari

penutur pria terhadap penutur wanita, terdapat penggunaan strategi

soften the face threat dalam bentuk menyatakan alasan maupun

penggunaan partikel akhir kalimat yo yang mempunyai daya ilokusi

untuk menguatkan derajat imperativenya. Sedangkan

penggunaannya di kalangan wanita lebih menunjukkan upaya

untuk menurunkan derajat imperative tuturan melalui strategi

soften the face threat yaitu dengan memberikan penjelasan dan

penggunaan polite copula serta nominalizer untuk meningkatkan

tingkat kesantunan dari bentuk imperative meirei.

Kata kunci: gender, imperative, meirei-kei

PENDAHULUAN

Karakteristik tuturan yang dipengaruhi oleh gender dari penutur tidak

pernah bisa lepas dari kehidupan sehari-hari. Hal ini kemudian menyebabkan

ketertarikan dari para ahli bahasa untuk meneliti tentang keterkaitan gender

dengan bahasa. Jespersen merupakan salah satu dari ahli bahasa yang pertama kali

mengambil penelitian tentang ujaran kaum wanita pada tahun 1922. Jespersen

mengamati bahwa wanita memiliki kosakata yang kurang luas, menggunakan

struktur yang lebih sederhana dan memiliki kecenderungan untuk berbicara

sebelum berpikir, serta sering mebiarkan kalimat yang mereka sampaikan tidak

lengkap. 50 tahun kemudian, pada tahun 1973 penelitian dari Lakoff memberikan

pengaruh sekaligus sebagai tanda awal dimulainya bidang studi tentang bahasa

276 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dan gender. Lakoff membedakan bahasa laki-laki dengan perempuan berdasarkan

tanda linguistic yang dimunculkan. Tanda linguistic tersebut yaitu perbedaan

leksikal seperti istilah warna, istilah yang kuat versus lemah, istilah ‗wanita‘

versus ‗netral‘, penggunaan kalimat tanya, serta penggunaan bentuk pernyataan

dalam kalimat pertanyaan. Sebagai contoh, Ia mennyatakan bahwa wanita

cenderung mengungkapkan sumpah serapah dengan kata-kata yang lebih halus,

seperti „oh dear!‟ daripada „damn!‟. Wanita juga digambarkan lebih sering

menggunakan tanda tanya dibandingkan dengan pria. Artikel Lakoff tentang

hubungan bahasa dengan gender sampai saat ini pun masih terus berkembang dan

diterapkan di berbagai bahasa (Itakura, 2001:14).

Bahasa Jepang merupakan bahasa yang tidak lepas dari perspektif gender

dalam setiap ujarannya. Itakura (2001:7) menyatakan bahwa gender merupakan

salah satu factor yang menentukan status relative dari masing-masing individu

dalam masyarakat Jepang. Pernyataan Itakura ini juga diperkuat oleh pernyataan

dari Lebra (1984: 301) yang menyatakan bahwa peran seks menstabilkan dan

menguatkan hierarki berdasarkan jenis kelamin. Struktur social masyrakat secara

keseluruhan memandang bahwa status, kekuasaan, otonomi, serta peran yang

dimiliki perempuan dianggap lebih rendah, terbatas, dan harus tunduk terhadap

laki-laki.

Perspektif gender juga bisa diperhatikan penggunaannya dalam bentuk

tuturan perintah bahasa Jepang, terutama bentuk tuturan perintah langsung.

Makino dan Tsutsui (1986), Lambers (2004), Yamaguchi (2007), Lee dan

Ogi(2017) menyatakan bahwa tuturan perintah langsung dalam bahasa Jepang

salah satunya dapat dilihat dari penggunaan bentuk meirei. Berikut merupakan

contoh kata kerja dalam bemtuk meirei.

Jishokei

‗Verba btk kamus‘

meireikei

Kuru „datang‘ Koi ‗datang!‘

Suru ‗melakukan‘ Shiro „lakukan!‘

Miru „melihat‘ Miro „lihat!‘

Taberu „makan‘ Tabero ‗makan!‘

Toru ‗mengambil‘ Tore ‗ambil!‘

Kau „membeli‘ Kae ‗beli!‘

Motsu ‗membawa‘ Mote „bawa!‟

Yobu „memanggil‟ Yobe ‗panggil!‘

Nomu ‗minum‘ Nome „minum!‘

Kaku ‗menulis‘ Kake ‗tulis‘

Oyogu ‗berenang‘ Oyoge „berenang!‘

Hanasu ‗bicara‘ Hanase ‗bicara!‘

METODOLOGI

Metodologi penelitian ini dibagi menjadi tiga tahapan. Ketiga tahapan itu

adalah tahapan penyediaan sumber data dan data, tahapan pengumpulan data, dan

tahapan analisa data. Sumber data diambil dari komik, drama, dan anime. Data

yang dipilih dan digunakan dalam penelitian ini adalah data tuturan perintah

bahasa jepang yang menggunakan bentuk imperative meirei kei. Pada tahapan

pengumpulan data digunakan metode simak dengan teknik catat (Sudaryanto,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 277

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1993). Metode simak dan teknik catat tersebut diterapkan dengan menyimak

penggunaan tuturan perintah bahasa Jepang yang menggunakan bentuk imperative

meirei kei kemudian mencatat dan mengklasifikasikan data-data tersebut

berdasarkan gender dari penutur dan lawan tutur. Sementara metode deskriftif

kualitatif digunakan pada tahapan analisa data dengan cara memberikan

penjelasan terkait terkait strategi-strategi yang diterapkan pada tuturan perintah

yang menggunakan bentuk meirei berdasarkan gender para pelibat tuturan.

PEMBAHASAN

Berikut merupakan pembahasan tuturan perintah bahasa Jepang yang

menggunakan bentuk imperative meirei kei berdasarkan gender para pelibat

tuturan.

Bentuk meirei adalah bentuk perintah yang paling kasar. Penggunaan bentuk ini

tidak hanya menunjukkan otoritas kuat yang dimiliki oleh penutur, namun juga

digunakan untuk menunjukkan kemarahan. Dalam percakapan sehari-hari

penggunaannya sangat terbatas. Martin dalam Okamoto (2004) menyatakan

bahwa jenis imperative ini secara tradisional dikategorikan sebagai bentuk

‗maskulin‘. Sehingga penggunaannya terbatas untuk kalangan pria. Seperti pada

berikut.

a. 「勝手に食いに行け」

“Katte ni kui ni ike!”

‗Sana pergi makan sendiri!‘

Tuturan pada data (a) merupakan tuturan di kalangan pria, yaitu antara

Itsuki dan Setsuna. Itsuki menyuruh Setsuna untuk membeli makan sendiri.

Bentuk imperative pada data (a) terdapat pada verba ike ‗pergi!‘. Bentuk

imperative ike berasal dari verba iku ‗pergi‘. Kesan maskulin juga dipertegas oleh

verba bentuk renyookei kui ‗makan‘ (Okamoto, 2004). Bentuk renyookei „kui‟

berasal dari verba kuu ‗makan‘. Bentuk standar dari verba kuu adalah taberu

‗makan‘. Akan tetapi penggunaan bentuk imperative meireikei tidak hanya

terbatas dikalangan pria saja. Data berikut menunjukkan penggunaan oleh pria

kepada wanita.

b.「明日は早いだからさっさと寝ろ!」

“Ashita wa hayai dakara sassato nero!”

‗Karena besok harus bangun pagi, cepat tidur!‘

Tuturan pada data (b) dituturkan oleh Naofumi (pria) terhadap Raphtalia

dan Filo (wanita). Naofumi menyuruh Raphtalia dan Filo untuk segera tidur

karena keesokan paginya harus bangun lebih pagi. Bentuk imperative pada data

(b) tercermin dari verba nero ‗tidur!‘ yang berasal dari verba neru ‗tidur‘. Akan

tetapi penggunaan bentuk imperative meirei pada data ini, yang dituturkan oleh

Naofumi terhadap Raphtalia dan Filo mengandung unsur yang berfungsi untuk

melembutkan ancaman ‗wajah‘ (soften the face threat). Jarkey (2017) menyatakan

bahwa salah satu cara untuk melembutkan ancaman ‗wajah‘ pada tuturan perintah

sering dengan cara menyatakan alasan atau memberi penjelasan kepada lawan

tutur. Soften the face threat ditunjukkan oleh tuturan ashita wa hayai dakara

278 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗karena besok harus bangun pagi.‘ Naufumi memberikan penjelasan atau alasan

yang melatarbelakangi perintah yang ia sampaikan kepada Raphtalia dan Filo.

c. 「感謝しろよ」

“Kansha shiro yo!”

‗Berterimakasihlah padaku!‘

Tuturan pada data (c) dituturkan oleh Ookami (pria) terhadap Kiritani

(wanita). Ookami menyuruh Kiritani untuk berterima kasih kepadanya. Bentuk

imperative pada data (c) dapat dilihat dari tuturan kansha shiro ‗berterima

kasihlah!‘. bentuk imperative kansha shiro berasal dari kansha suru ‗berterima

kasih‘ yang tergolong kedalam kata kerja golongan tiga. Bentuk tuturan perintah

pada data ini dikombinasikan dengan penggunaan partikel yo pada akhir tuturan.

Coniglio dan Zegrean dalam Endo (2012) menyatakan bahwa partikel yo yang

terletak dibelakang bentuk meirei merupakan partikel yang mempunyai daya

ilokusi. Penggunaan partikel yo setelah bentuk meirei berfungsi untuk

mempertegas atau memperkuat bentuk meirei itu sendiri.

Okamoto (2004) menyatakan bahwa tuturan perintah yang berasal dari

bentuk meirei merupakan bentuk ekslusivitas yang hanya dimiliki oleh pria dalam

penggunaannya. Wanita, dari segi budaya dan idealnya disarankan untuk

menghindari penggunaan bentuk meirei. Akan tetapi data berikut ini menunjukkan

bentuk imperative dikalangan wanita.

d. 「終わったら帰れですの!」

“Owattara kaere desu no!”

‗Kalau sudah selesai, pulanglah!’

Tuturan pada data (d) dituturkan oleh Jashin (wanita) kepada Kori

(wanita). Jashin

menyuruh Kori untuk segera pulang kalau pekerjaannya sudah selesai.

Bentuk imperative pada data (d) ditunjukkan oleh kaere ‗pulanglah!

Bentuk imperative kaere berasal dari verba kaeru ‗pulang‘, yang

merupakan kata kerja golongan satu. Dari data ini dapat dilihat bahwa

terdapat penggunaan strategi soften the threat yang tercermin pada tuturan

owattara ‗kalau sudah selesai‘. Owattara merupakan penjelasan yang

disampaikan oleh penutur untuk menurunkan derajat keterancaman yang

ditimbulkan oleh tuturanya. Selain itu penutur juga menyertakan desu no

dibelakang bentuk imperative kaere. Desu merupakan bentuk sopan dari

kopula da. Sementara no yang terdapat dibelakang desu dalam pola desu

no merupakan nominalizer yang berfungsi untuk meningkatkan derajat

kesantunan dari ujaran sebelumnya (Iwasaki, 2002).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 279

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis data yang mengandung bentuk meirei

sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa penggunaannya tidak hanya terbatas

dikalangan pria saja. Akan tetapi dapat juga digunakan di antara pria-wanita,

maupun dikalangan wanita. Penggunaan bentuk ini dikalangan pria cenderung

dalam bentuk imperative sederhana berupa kata kerja bentuk meirei itu sendiri.

Apabila dalam konteks tuturan dari penutur pria terhadap penutur wanita, terdapat

penggunaan strategi soften the face threat dalam bentuk menyatakan alasan

maupun penggunaan partikel akhir kalimat yo yang mempunyai daya ilokusi

untuk menguatkan derajat imperativenya. Sedangkan penggunaannya di kalangan

wanita lebih menunjukkan upaya untuk menurunkan derajat imperative tuturan

melalui strategi soften the face threat yaitu dengan memberikan penjelasan dan

penggunaan polite copula serta nominalizer untuk meningkatkan tingkat

kesantunan dari bentuk imperative meirei.

DAFTAR PUSTAKA

Hasegawa, Yoko. 2015. Japanese: A Linguistic Introduction. London: Cambridge

University Press

Itakura, Hiroko. 2001. Conversational dominance and gender: A Study of

Japanese speaker in first and second language context. Amsterdam: John

Benjamins B.V

Iwasaki, Shoiki. 2002. Japanese. Amsterdam: John Benjamins B.V

Lambers, Wayne P. 2004. Japanese The Manga Way. California: Stone Bridge

Press

Leech, Geoffrey. 2014. The Pragmatic of Politeness. New York: Oxford

University Press.

Lee, Duck-Young and Naomi Ogi. 2017. Directive Strategies in Modern Korean

and Japanese: With Special Reference to Commands and Requests. Dalam

Imperative and Directive Strategies. Editor: Olmen, Daniel Van, dan Simone

Heinold. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.

Mizutani, O and N. Mizutani. 1987.How To Be Polite in Japanese. Japan: The

Japan Time

Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa (Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistis). Yogyakarta: Duta Wacana

University Press.

Yamaguchi, Toshiko. 2007. Japanese Language in Use: An Introduction. London:

Continuum

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 280

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

REDUPLIKASI ADJEKTIF SECARA MORFEMIS

DALAM BAHASA BALI

Ni Luh Komang Candrawati

Balai Bahasa Bali

[email protected]

ABSTRAK

Tulisan ini menggunakan metode agih yang alat penentunya adalah

berupa bagian atau unsur bahasa itu sendiri. Teknik dasar yang

digunakan adalah ―teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP‖.

Selanjutnya, teori yang digunakan dalam tulisan ini adalah teori

struktural. Teori ini memiliki konsep dasar yang memandang

bahasa sebagai objek penelitian yang organik, yang memiliki

struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal. Di samping itu,

bahasa selalu memiliki bentuk dan arti. Kedua aspek itu perlu

diberi perhatian yang seimbang seperti yang dianjurkan oleh Lyons

(1977:537). Berdasarkan pembahasan, makna reduplikasi adjektif

bahasa Bali dapat dibedakan menjadi enam, yaitu (1) menyatakan

makna ―tak tunggal‘, contohnya Keluargane sugih-sugih

‗kelurganya kaya-kaya‘ (2) makna intensif, ‘Intensif‘ yang

mengandung makna ‘sangat D‘ atau ‗D sekali‘ contohnya Bajune

putih-putih. ‗bajunya putih-putih‘, Intensif yang mengandung

makna penonjolan, contohnya Ia seken-seken tresna teken

kurenanne.‗ia benar-benar mencintai suaminya‘ (3) makna

superlatif contohnya Ia medaar sewareg-waregne. ‗Ia makan

sekenyang-kenyangnya‘, (4) makna pengaburan contohnya Torise

demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-coklatan ‗Wisatawan asing

senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘ (5) makna

seakan-akan D‘contohnya Masalahne ento gede-

gedeange.‗Masalah itu dibesar-besarkan‘, dan (6) makna saling‘

contohnya Penumpange negak medesek-desekan di bise. ‗Para

penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘

Kata kunci: reduplikasi, adjektif, morfemis.

1.Pendahuluan

Sampai saat ini, bahasa Bali masih tetap tumbuh dan berkembang. Bahasa

Bali berfungsi sebagai media komunikasi bagi para penuturnya untuk

mempelajari, menghayati, dan mengungkapkan nilai-nilai budaya Bali. Dalam

kedudukannya sebagai bahasa daerah, bahasa Bali berfungsi sebagai sarana

komunikasi dalam lingkungan keluarga, alat pengembangan bahasa dan

budaya daerah, serta sebagai alat pengembangan bahasa nasional (band.

Bagus, 1988:13).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 281

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Selain itu, daerah Bali adalah daerah pusat pariwisata yang telah banyak

bersentuhan dengan kebudayaan asing. Oleh karena itu, sudah sepantasnyalah

bahasa Bali mendapat perhatian yang lebih besar dari para ahli bahasa. Pada

saat ini, penelitian bahasa Bali semakin meningkat setelah Pusat Pembinaan

dan Pengembangan Bahasa menggalakkan penelitian bahasa-bahasa daerah di

seluruh Indonesia.

Dari sejumlah penelitian tentang bahasa Bali yang telah dilakukan, berikut

ini hanya sebagian kecil disebutkan, terutama yang ada kemiripannya dengan

masalah yang dibahas. Hasil-hasil penelitian bahasa Bali yang ada kemiripan

dengan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, di antaranya sebagai berikut.

(a)Tata Bahasa Bali (1983) oleh Wayan Warna, dkk.

(b)Tata bahasa Baku Bahasa Bali (1966) oleh Sulaga, dkk.

Pembahasan dalam kedua buku tersebut tidak secara khusus

membicarakan reduplikasi adjektif dalam bahasa Bali. Reduplikasi (kata

ulang) adjektif pada kedua buku tersebut hanya disinggung sedikit dalam

subbab, yaitu subbab makna reduplikasi (kata ulang) . Makna reduplikasi (kata

ulang) dalam buku tersebut, yaitu ‘menyatakan sangat, mengeraskan

pengertian, atau benda yang menjadi inti frase, contohnya adeng-adeng

‘pelan-pelan‘. Selain itu, juga disinggung dalam subbab‘menyatakan tingkat

paling‘, contohnya sejegeg-jegeg ‘secantik-cantik‘ dan sesiteng-siteng ‘sekuat-

kuat‘. (Warna, 1983:60—61; Sulaga, 1996:165—166).

Hasil penelitian seperti itu telah menampakkan pengaruhnya terhadap

pembinaan dan pengembangan bahasa Bali. Namun, dengan hal seperti itu

bukan berarti bahasa Bali tidak perlu diteliti lagi. Sehubungan dengan itu,

pada kesempatan ini akan dibicarakan ‖Reduplikasi Adjektif Secara

Morfemis Dalam Bahasa Bali‖

―Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis Dalam Bahasa Bali‖ sebagai judul

tulisan ini. Adapun masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah makna

apa saja yang ditemukan pada reduplikasi adjektif dalam bahasa Bali?.

Tulisan ini menggunakan teori struktural. Teori ini memiliki konsep dasar

yang memandang bahasa sebagai objek penelitian yang organik, yang

memiliki struktur fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikal (Bloomfield,

1956). Di samping itu, bahasa selalu memiliki bentuk dan arti. Kedua aspek

itu perlu diberi perhatian yang seimbang seperti yang dianjurkan oleh Lyons

(1977:537).

Selanjutnya, Saussure (1977:115) mengatakan bahwa tanda bahasa

merupakan wujud psikis, tidak mempertimbangkan wujud dari parole. Tanda

bahasa dikatakan mempunyai dua muka yang tidak dapat dipisahkan, yaitu

konsep adalah signefie yang ‘ditandai‘ atau ‘petanda‘, dan citra akustis adalah

signifiant yang ‘menandai‘ atau ‘penanda‘.

Saussure (1977:122) juga mengatakan bahwa bahasa sebagai relasi

sintagmatis dan paradigmatis, sistem itu terjadi dari tingkat-tingkat struktur,

pada tiap-tiap tingkat terdapat unsur-unsur yang saling berkontras dan saling

berkombinasi untuk membentuk satuan-satuan yang lebih tinggi. Prinsip-

prinsip perstukturan pada tiap tingkat pada dasarnya sama, tujuannya adalah

mencari sistem (langue) tersebut dari kenyataan konkret (parole).

Selain itu, Saussure juga mengemukakan dikotomi sinkronik dan

diakronik serta pendekatan intrinsik dan ekstrinsik. Dalam tulisan ini, yang

282 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

akan diterapkan adalah penelitian yang bersifat sinkronik, yaitu memusatkan

penelitian bahasa pada kurun waktu tertentu tanpa melihat unsur

kesejarahannya. Dengan demikian, data yang diperoleh atau terkumpul adalah

data yang bersifat kekinian.

Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode agih yang alat

penentunya adalah berupa bagian atau unsur bahasa itu sendiri. Teknik dasar

yang digunakan adalah ―teknik pilah unsur penentu atau teknik PUP‖. Adapun

alatnya ialah daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh penelitinya.

Sesuai dengan jenis penentu yang akan dipilah-pilahkan atau dipisah-pisahkan

atau dibagi menjadi berbagai unsur itu, daya pilah itu disebut daya pilah

referensi, daya pilah, fonetis artikulatoris, daya pilah translasional, daya pilah

ortografis, dan daya pilah pragmatis. Adapun dasar pembagiannya atau dasar

pemilahan atau pemisahannya sudah barang tentu disesuiaikan dengan sifat

atau watak unsur penentu itu masing-masing (Sudaryanto, 2015:25—26).

3. Pembahasan

3.1 Reduplikasi Adjektif Bahasa Bali

Selanjutnya, akan dideskripsikan mengenai reduplikasi adjektif bahasa Bali

secara morfemis; yaitu, arti apa saja yang ditimbulkan akibat proses

morfemisnya, dengan kata lain, tipe-tipe makna secara morfemis adalah

makna kata yang dengan segera dapat diketahui tanpa melibatkan konteks

sintaktiknya (Harimurti, 1978).

Sebelum hal ini dibicarakan lebih lanjut, ada baiknya dibicarakan dua jenis

arti proses morfemis secara umum. Dalam garis besarnya, makna dapat dibagi

dua, yaitu makna leksikal dan makna gramatikal. Oleh proses morfemis

tertentu kata yang dikenainya mengalami perubahan dalam kedua bidang ini.

Kata megending ‗menyanyi‘ yang diturunkan dari kata gending ‗nyanyian‘

berbeda arti leksikalnya dari kata yang menurunkannya. Selain itu, proses

yang sama secara serentak mengadakan perubahan keanggotaan kategorial

kata. Namun, ada kalanya proses morfemis tidak mengadakan perubahan arti

leksikal.

Seperti halnya proses morfemis lainnya, reduplikasi juga dapat dibagi atas

reduplikasi yang mengubah arti leksikal dan arti gramatikal. Selanjutnya, data

memperlihatkan bahwa arti yang dapat dihubungkan dengan reduplikasi

tertentu dapat ditentukan dengan segera tanpa memperhatikan konteks

reduplikasi kata yang bersangkutan. Di pihak lain ada reduplikasi tertentu

yang artinya tergantung dari konteksnya. Reduplikasi yang demikian disebut

reduplikasi yang terikat konteks. Reduplikasi yang artinya dapat ditentukan

dengan segera tanpa memperhatikan konteksnya disebut dengan reduplikasi

yang bebas konteks.

Untuk lebih jelasnya, yang dimaksud dengan terikat konteks sehubungan

dengan bentuk-bentuk reduplikasi tertentu adalah diperlukannya konteks

tertentu untuk mengetahui atau menentukan arti yang dikandung oleh bentuk-

bentuk reduplikasi yang bersangkutan. Jika kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘

dalam kalimat berikut kita perhatikan akan tampak bahwa konteks kata

tersebutlah yang menentukan arti reduplikasi tersebut.

(1) Ia ningalin anak cenik-cenik negak di umah ento

‗Ia melihat orang kecil-kecil duduk di rumah itu‘

(2) Nu cenik-cenik, suba duweg mapayas.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 283

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Masih kecil-kecil, sudah pintar berhias‘

Dalam kalimat (1) kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ berarti tak ‗tunggal‘,

sedangkan pada kalimat (2) kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ berarti ‗konsesif‘. Arti

kata cenik-cenik ‗kecil-kecil‘ pada kalimat (1) tanpa diberi konteks semacam

itupun dapat ditebak artinya, yaitu berarti ‗tak tunggal‘, sedangkan pada kalimat

(2) sulit ditebak artinya tanpa melibatkan konteks. Oleh karena itu, kata

reduplikasi adjektif seperti yang terdapat pada contoh (1) itulah yang disebut

makna kata reduplikasi adjektif secara morfemis, atau makna kata reduplikasi

adjektif bebas konteks, yang akan dibicarakan dalam tulisan ini.

3.2 Makna Kata Reduplikasi Adjektif Secara Morfemis

Berdasarkan analisis, makna kata reduplikasi adjektif secara morfemis

dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, seperti terlihat pada butir-butir

pembicaraan berikut ini.

3.2.1 Menyatakan Makna ‘Tak Tunggal’

Arti ‗tak tunggal‘ yang dinyatakan oleh reduplikasi adjektif dapat dirinci

berdasarkan dasar kata reduplikasi. Pada kata reduplikasi adjektif yang tentu saja

kata adjektif sebagai dasarnya, reduplikasi dapat menyatakan makna ‗tak tunggal‘

kata benda yang diterangkannya.

Contoh

(3) Keluargane sugih-sugih.

‗Kelurganya kaya-kaya‘

Reduplikasi adjektif pada contoh di atas menyatakan makna ‗tak tunggal‘.

Makna ketaktunggalannya tersebut menerangkan kata benda yang mendahuluinya.

Misalnya, pada kalimat (3) kata reduplikasi adjektif sugih-sugih ‗kaya-kaya‘

adalah menjelaskan kata yang mendahuluinya, yaitu keluargane ‗keluarganya‘.

Maksudnya, yang sugih-sugih ‗kaya-kaya‘ adalah keluarganya.

3.2.2 Menyatakan Makna ‘Intensif’

Reduplikasi yang dasarnya merupakan kata adjektif dapat dihubungkan

dengan arti ‗intensif‘. Arti ‗intensif‘ yang dimaksud di sini tidak harus selalu

diartikan dengan ‗D sekali‘ atau ‗sangat D‘. Namun, pengertian ‗intensif‘ yang

akan dibicarakan sehubungan dengan reduplikasi juga mencakup macam-macam

‗pengerasan‘. Dalam berbahasa, ada kalanya seorang penutur ingin menarik

perhatian para pendengarnya pada bagian tertentu dari hal yang ingin

disampaikannya. Untuk itu dia menonjolkan bagian-bagian tertentu itu.

Penonjolan dapat dilakukan dengan berbagai cara, dan salah satu di antaranya

adalah dengan mengulang kata. Untuk lebih jelasnya perhatikan uraian di bawah

ini.

3.2.2.1 ‘Intensif’ yang Mengandung Makna ‘Sangat D’ atau ‘D Sekali’ Pada reduplikasi semantis (Rs) dapat dengan segera dilihat makna

‗intensifnya‘. Reduplikasi seperti, putih-putih ‗putih-putih‘, misalnya akan segera

dapat ditentukan maknanya, yaitu ‗D sekali‘ atau ‗sangat D‘, sedangkan bentuk-

bentuk reduplikasi yang lain yang dapat dihubungkan dengan makna ‗intensif‘

sering perlu diperhatikan konteksnya untuk menentukan maknanya.

Contoh:

(4) Bajune putih-putih.

‗Bajunya putih-putih‘

284 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Ada pula kata reduplikasi adjektif yang menyatakan makna ‗intensif‘

yang dikuatkan dengan akhiran (sufiks) -an. Contohnya:

(5) Bangun uli nyongkok uyeng-uyengan asane.

‗Berdiri setelah jongkok pusing-pusing rasanya‘

3.2.2.2 ‘Intensif yang Mengandung Makna Penonjolan’

Seperti telah diuraikan di depan bahwa penonjolan dilakukan karena

seorang penutur ingin menarik perhatian para pendengarnya pada bagian tertentu

dari hal yang ingin disampaikannya. Untuk tercapainya tujuan tersebut

dilakukanlah reduplikasi pada bagian yang ingin ditonjolkan supaya lebih menarik

dan lebih jelas.

Contoh:

(6) Ia seken-seken tresna teken kurenanne.

‗Ia benar-benar mencintai suaminya‘

3.2.3 Menyatakan Makna ‘Superlatif’ Di samping kata adjektif di atas yang menyatakan arti ‗intensif‘ ada pula

kata keterangan (yang menerangkan cara) yang diturunkan dari kata adjektif

dengan reduplikasi berimbuhan se-ne ‘se-nya‘ mengandung makna ‗superlatif‘

Contoh:

(7) Suwud kayeh ia mepayas sejegeg-jegegne.

‗Sehabis mandi ia berhias secantik-cantiknya‘

3.2.4 Menyatakan Makna ‘Pengaburan’

Sebelum diuraikannya kata reduplikasi adjektif yang menyatakan makna

‗pengaburan‘ ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu apa yang dimaksud

dengan arti ‗pengaburan‘. dalam kehidupan sehari-hari ada kalanya kita tidak

sanggup atau tidak ingin melukiskan atau menyatakan sesuatu secara pasti dan

tegas. Jika dalam melukiskan seseorang kita menyatakan bahwa orangnya

tinggi-tinggi maka yang dimaksud tentunya adalah orang tersebut termasuk

kelompok orang dan merupakan satu kontinum agar apa yang dinyatakan

tinggi itu lebih jelas, diperlukan norma ketinggian untuk manusia, gunung,

dan sebagainya.

Seperti dikatakan di atas, arti pengaburan juga bersumber pada

keengganan untuk menyatakan sesuatu secara tegas atau terus terang. Sopan -

santun atau tata krama yang berlaku dalam masyarakat Indonesia tampaknya

menghendaki hal demikian. Jika kita mengagumi hasil karya seseorang

misalnya, sebuah lukisan, maka dapat diduga bahwa orang tersebut akan

mencoba merendahkan diri dan mengelak untuk mengiyakan bahwa

lukisannya memang hebat. Apabila ada yang menanyakan keadaan kita, kita

biasanya akan menjawab dengan kata baik-baik saja, baik atau baik saja, kita

mencoba menghaluskan maksud kita dengan pengaburan yang dalam bahasa

Indonesia antara lain dapat diwujudkan dengan reduplikasi. Reduplikasi

demikian disebut dengan ‗pengulangan penghalusan‘ (Simatupang, 1983:82).

Berikut ini akan akan diperlihatkan perincian bentuk-bentuk reduplikasi

kata adjektif yang dapat dihubungkan dengan arti umum pengaburan Arti

‗pengaburan‘ yang dikandung oleh reduplikasi kata adjektif yang menyatakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 285

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

makna ‗agak‘ berdasarkan data yang diteliti, reduplikasi yang bebas konteks

dengan arti demikian terdapat pada kata samur-samur ‗samar-samar‘, di

samping itu reduplikasi yang bentuk dasarnya berasal dari kata adjektif dan

mendapat imbuhan (konfiks) ke-/-an akan menunjukkan makna ‗agak‘ , yaitu

kata adjektif itu ada hubungannya dengan warna.

Contoh:

(8) Torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-coklatan.

‗Wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘

3.2.5 Menyatakan Makna ‘Seakan-akan D’

Reduplikasi yang bentuk dasarnya berupa kata adjektif dan mendapat

imbuhan (sufiks) ange ‗di-/-kan‘, dapat dihubungkan dengan arti ‗seakan-

akan D‘(sebenarnya bukan D namun dibuat sedemikian rupa sehingga tampak

D).

Contoh:

(9) Masalahne ento gede-gedeange.

‗Masalah itu dibesar-besarkan‘

Makna reduplikasi di atas dapat dihubungkan dengan pengertian negatif,

yaitu bahwa sesuatu dilakukan tidak secara sepatutnya karena bertentangan

dengan keadaan yang sebenarnya. Makna reduplikasi di atas akan berbeda

dengan makna reduplikasi di bawah ini.

Contoh:

(10) Yen ngae baju gede-gedeang ukuranne apang sing enggal kelet.

‗Kalau membuat baju dilonggarkan ukurannya supaya tidak cepat

sempit‘

Makna yang terkandung pada kata ulang (9) dan (10) di atas adalah

menyatakan makna ‗lebih D‘. Pada contoh (9) di samping mengandung makna

‗lebih D‘ juga menyatakan makna ‗intensif‘ namun harus diperhatikan konteks

sintaktiknya untuk dapat menentukan maknanya.

3.2.6 Menyatakan Makna ‘Saling’

Kata reduplikasi adjektif yang dapat dihubungkan dengan makna

‗saling‘dapat dilihat pada contoh di bawah ini.

Contoh:

(11) Penumpange negak medesek-desekan di bise.

‗Para penumpang duduk berdesak-desakan di dalam bis‘

4.Simpulan

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa reduplikasi

adjektif secara morfemis dalam bahasa Bali dilihat dari segi maknanya dapat

dibedakan menjadi enam, yaitu

(1) menyatakan makna ‘tak tunggal‘ keluargane sugih-sugih.

‗kelurganya kaya-kaya‘

(2) menyatakan makna ‘intensif‘

(a) ‘sangat D‘ bajune putih-putih ‘bajunya putih-putih‘

286 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(b) ‗makna penonjolan‘ ia seken-seken tresna teken kurenanne.

‗ia benar-benar mencintai suaminya‘

(3) menyatakan makna ‘superlatif‘

suwud kayeh ia mepayas sejegeg-jegene ‘sehabis mandi ia berhias

secantik-cantiknya‘

(4) makna‘pengaburan‘ torise demen mejemuh kulitne dadi kecoklat-

coklatan.

‗wisatawan asing senang berjemur kulitnya menjadi kecoklat-coklatan‘

(5)‘seakan-akan D‘ masalahne ento gede-gedeange ‘masalah itu dibesar-

besarkan‘

(6)‘saling‘ penumpange negak medesek-desekan di bise ‘para penumpang

duduk berdesak-desakan di dalam bis‘

Daftar Pustaka

Bagus, I.G.N. 1988. ―melangkah Menuju Masa Depan‖ dalam Majalah Widya

Pustaka. Tahun VI, Edisi Khusus, Oktober 1988. Denpasar:Fakultas Sastra,

Universitas Udayana.

Bloomfield, Leonard. 1956. Language. New York:Holt, Rinehart and Winston

Lyons, John 1977. Pengantar Teori Linguistik Jakarta:Pt Gramedia Pustaka

Utama

Marsono, D.J. 1983. Kata Sifat Bentuk Ulang Bahasa Jawa. dalam Majalah

Linguistik Indonesia. Masyarakat Linguistik Indonesia.

Parera, Jos Daniel. 1980. Pengantar Linguistik Umum Bidang Morfologi. Ende

Flores:Nusa Indah.

Ramlan, M. 1965. Tata Bahasa Indonesia Penggolongan Kata. Yogyakarta:Andi

Ofset.

Ramlan, M. 1983. Morfologi Suatu Tinjauan Deskriptif. Yogyakarta:CV. Karyono.

Saussure, de Ferdinand. 1977. Course in General Lingustics. London:Fontana

Collins.

Simatupang, M.D.D 1983. Reduplikasi Morfemis Bahasa Indonesia

Jakarta:Djambatan..

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa:Pengantar

Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta:Sanata

Darma University Press.

Sulaga, I Nyoman dkk. ed. 1996. Tata Bahasa Baku Bahasa Bali.

Denpasar:Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Warna, I Wayan, dkk. 1983. Tata Bahasa Bali. Denpasar:Dinas Pengajaran

Propinsi Daerah Tingkat I Bali.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 287

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

GEGURITAN SIWARATRI KALPA (LUBDAKA):

ANALISIS ALUR CERITA DAN PENOKOHAN

Luh Putu Puspawati

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Geguritan Siwaratri Kalpa sebuah geguritan berbahasa bali,

geguritan itu diikat oleh pemakaian pupuh. Pengarang Ida Bagus

Putu Bangli dari sanur. Tujuan dibuat karya ini adalah untuk

mengenalkan berbagai pupuh dalam kesusastraan Bali yang dapat

dipahami oleh generasi muda, dalam rangka menyiapkan generasi

yang paham dalam hal tembang Bali.

Isi geguritan ini berkaitan dengan tokoh Lubdaka yang hidup

sebagai pemburu, setelah meninggal rohnya menjadi rebutan antara

Dewa Siwa dan Dewa Yama. Dalam perebutan itu masing-masing

mengerahkan prajurit dipihak Dewa Siwa dan Dewa yama. Dewa

Siwa penguasa sorga dan Dewa Yama penguasa neraka. Dewa

Siwa memenangkan roh Lubdaka dibawa ke Siwalaya dan

mendapatkan anugrah Siwa.

Kata kunci: Siwa, Yama, roh, Lubdaka

I.Pendahuluan

Karya sastra yang berbentuk geguritan ini, berjudul Siwaratri Kalpa,

awalnya proses penciptaan geguritan Siwaratri Kalpa digubah berdasarkan cerita

Lubdaka yang disusun dalam pupuh/gending Bali. Tujuan disusunnya buku ini

sangat ideal seperti halnya penulis dari desa Sanur ini menjadi salah satu tujuan

wisata dunia, sehingga pariwisata budaya sudah tentu harus didukung oleh

manusia-manusia yang berbudaya.

Motivasi terbitnya buku ini dalam kata pengantar buku yang dicetak 2004

(selesai ditulis 2001) dimaksudkan untuk kreativitas generasi muda yang getol

dengan gending-gending Bali, dengan seni budaya yang bernafaskan agama

Hindu, diyakini mampu mengantisipasi proses perkembangan dunia makin

mengglobal.

Pengarang geguritan dalam pemahbah parwa dengan unggapan bahasa

Jawa Kuna didahului manggala dengan kata singgih……Ksamakuanguluniki

ngawis tatakena pemargine

carita dilanjutkan sanghyang murti niskala gemerlap sumerasah

sunuruping rangdu praja

mandala

Mijil..Sanghyang Kawisuara murti, sawettuning tinuduh denira hyang perama

siwa, danira

gumatak wang para.

288 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sigra..Sanghyang ringgit amolah cara, angikit jatining asta dasa parwa. Wus

jangkep punang

Carita gumaweyakeniranngin pinunggal para ya ta yeki siwa rari kalpa

pangarania

Setelah selesai pemujaan kepada Dewa pengarang Asta Dasa Parwa lalu

pengarang menceriterakan singkat tentang cerita Lubdaka minta diri kepada

istrinya dan putranya dengan mengutip bagian-bagian Kakawin Ramayana

dalam….kawi sarat samaya kala mirah parangka, kalon taleg paradesa ringawarna

kepada ranya. Purwakaning angriptarum, kakandung labuh kartika

massa…panedenging sari.

Setelah tembang malampah yang berisikan makna singkat ceritera

Siwaratri yaitu tentang pesan orang tua kepada seorang anak agar dikemudian hari

menjadi manusia berguna. Lalu bagian akhir pengarang menyebutkan

….sanangkana maksalawaning brata siwaratri maka nimitap siwa pada

binuktinira.

Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yaitu dengan membaca

dan menganalisis teks-teks yang terkait.

II.Struktur Teks (forma) Geguritan Siwaratri Kalpa

b. Pupuh Semarandana (10 pupuh)

c. Pupuh Durma (6 pupuh)

d. Pupuh Dandang (9 pupuh)

e. Pupuh Pangkur (16 pupuh)

f. Tembang Eman- Eman (10 pupuh)

g. Pupuh Durma (10 pupuh)

h. Sinom Lawe (5 pupuh)

i. Pupuh Ginada (5 pupuh)

j. Pupuh Durma (12 pupuh)

k. Pupuh Dandang (10 pupuh)

III. Alur Cerita Geguritan Siwaratri Kalpa

3.1. Pupuh Semarandana

Menyebutkan kerajaan Tumapel sebagai seorang raja adalah Ken Arok

menuruti pikiran tamak, makanya pengarang membuat kakawin Lubdaka yang

menceriterakan pemburu mirip dengan Ken Arok, Ken Dedes diculik yang

bersuami Tunggul Ametung. Seorang istri utama ini dipakai gambaran pengarang

sebagai suluh menjadi manusia, karena karmapala tidak melempas. Demikian

peringatan Mpu Tanakung seperti di Bali yang berbudaya.

Ketika sasih keempat, pesan kepada orang Bali agar paham dengan

gending Bali ngawe lango, setiap tahun agar ingat Siwaratri Kalpa agar melek,

bulan kepitu Betara Siwa menjaga. Di ceriterakan juru boros setiap hari berburu

berbagai binatang, meninggalkan istri dan anak terus melakukan pembunuhan.

Ketika hari cerah pergi pagi sekali sang Lubdaka keluar dari pedukuhan , lengkap

sarana berburu. Dalam perjalanan tidak menemukan binatang, haripun sudah

malam.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 289

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3.2 Pupuh Durma

Sang Lubdaka masuk ke dalam hutan dalam perburuan itu matahari sudah

siang tidak menemukan binatang. Tidak berhasil merasa sedih, sekarang tiba-tiba

muncul taman tempat Sang Pandawa melakukan pebersihan dulu dan ada

suara/pesan begini nasib jadi orang, hidup menunggu kematian, ingat sangkan

paraning meneresi, bila kurang pengetahuan yadnya dibuat, tri rna diingat dan

dihormati kepada pitara.

3.3 Pupuh Dandang

Pemburu bingung bermalam di hutan, lalu naik ke pohon bila, karena akan

mendapatkan bahaya besar, bila ada binatang macan dating, ketika itu musim

hujan, angina kencang, semakin tidak dapat tidur, di taru bila inilah menggigil

sambil memetik daun-daun bila, menunggu besok pagi. Betara Siwa meyoga di

bawah pohon bila, tiba-tiba arca dilihat, tempat Hyang Parama Guru beryoga dan

semadi, tidak terasakan daun itu jatuh di arca itu dari malam hari Lubdaka terkejut

Diberikan makna cerita tidak tidur semalaman akan melebur dosa tidak

dapat dilebur semalaman juga dipikirkan begadang satu malam saja, yang utama

adalah memahami yang dikuasai musuh loba dengki irihati, panca indria

dipegang. Tri marga dijalani, melaksanakan karya Siwarartri, tutur penting

disertai sembah bakti.

3.4. Pupuh Pangkur

Pemburu merasa sedih balik dari gunung, sedih hati tidak makan minim

merasakan lapar, jangan-jangan rasanya tidak kuat pulang, ingat anak istri dan

merasakan miskin jadi orang. Ketika tiba di rumah, dengan bergurau mengapa

kakak kurus bagaimana pekerjaannya. Sehat saja itu sudah senang itu jawabannya.

Lalu dijelaskan tujuan menjadi manusia dan kelahiran manusia ingat sabda, bayu,

idep dipegang, mati tidak ada pemberitauan, perbuatan yang patuh mengantarkan

ke sorga. Pada karma ingat seperti Ke Arok kepastian kena keris Mpu Gandring.

3.5. Tembang Eman-Eman

Ceritera di Pitaloka, Kingkarabala di depan Betara Yamadipati sebagai

jaksa guru se dang rapat membicarakan hukuman pitara papa. Diceriterakan

kematian Lubdaka, para cikrabala diutus oleh Yamadipati menyongsong roh sang

Lubdaka 1000 tahun kena hukuman di kawah. Kesengsaraan roh di kawah, sedih

akan dibawa bahwa perbuatan baik buruk jadi manusia tidak diketahui dan tidak

bisa dihapus akan dinikmati nanti.

Yamaloka dan sorga seperti Yudistira menghadap di depan Yamadipati

dilihat para pitara, tidak tahu tujuannya pergi, ditanyai karena ke timur batas utara

selatan roh tanpa jasa. Ada roh dalam sebatang bamboo karena tidak mempunyai

anak cucu, leluhur sang Jayatkaru karena loba dalam tapa barata, brahmacari.

Diceriterakan di Siwaloka, sang Lubdaka sudah pulang tinggal di

Yamaloka, lalu mengutus untuk menjemput di Batara Yama, karena Lubdaka

orang sadu, karena membuat yoga berata, Siwaratri, karena mendapat anugrah

(kretawara). Roh sang Lubdaka papa di Yamaloka, akan minta Lubdaka sesuai

ucapan Betara Guru sudah sesuai dengan Siwaratri Kalpa, terjadi perbedaan

pendapat karena Siwa Sang Dyaksa (yama) mengatakan Lubdaka tidak sadu

perbuatannya Hingsakarana, membunuh segala macam binatang di hutan, roh

290 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

sang Lubdaka ada di kawah karena berbuat jahat. Dibantu para bidadari yang asih

kepada Betara Guru menenangkan para sengsara oleh kerti pulang kea lam Siwa.

Sang Cingkrabala marah atas perbuatan bidadari, pikirannya tidak benar,

berbuat yang disebut asta dasta, kini atmanya sudah di depan Sang Hyang Siwa,

bahwa roh I Lubdaka akan mendapat wara nugraha, ulah ikut ke jalan darma

membuat brata yang benar, penuh/buat dan berhasil sida labda karya.

3.6. Pupuh Durma

Perang terjadi antara Cingkrabala (rakyat Yamadipati) dan para widyadara

(pasukan Dewa Siwa) dengan berbagai senjata gada, cakra, keris, rakyat

cingkrabala kalah dan bersembunyi. Kekalahan Cingkrabala lalu menghadap Sang

Hyang Yama lalu berpikir dalam hati.

3.7. Sinom Lawe

Tentra (widyadara) bergembira dan kembali ke suraloka Si Lubdaka

diceriterakan diterima Dewa Siwa dan menyembah bahwa anakku, senang datang

sekarang, mendapatkan yasa kerti (anunggal), juga sadhu dan melaksanakan tapa

brata Anakku menerima yasana sekarang didapat dengarkan panugrahan bapa,

segala yang ada pada diri ayah, anakku memiliki semuanya, lama anakku

muponin, ngulurin manah sakahyun sukane di Siwaloka. Anakku dengan ayah,

selamat, berata Siwaratri Kalpa. Demikian orang sengsara tetap berbuat kebaikan,

hanya itu ada dalam hati.

3.8. Pupuh Ginada

Pasukan Kingkara menghadap Sang Hyang Yama berperang dengan

bidadari (gandarwa) Sang Hyang Yama berkata kepada Cingkrabala, mengapa

Sang Hyang Siwa menghalanginya, karena itu pituduh Sang Hyang Siwa

menariknya baik buruk perbuatan manusia.

3.9. Pupuh Durma

Diceriterakan sampai sekarang di gunung Kalase tempat Sang Hyang

Ardhanareswari Sang Hyang Siwa malingga ring singgasana, disertai Dewi

Giriputri datang Sang Hyang Yama ke tempat Dewa Siwa, menyembah betara

yang menguasai urip, yang ada di triloka, termasuk menguasai pati, ucapan Betara

Siwa pedek bahwa roh itu bernama Si Lubdaka, yang telah melakukan perbuatan

darma utama, tapa berata dan banyak mengutus gandarwa.

3.10. Pupuh Dandang

Si Lubdaka mendapatkan tempat sorga,dari dulu agar melaksanakan yasa,

sebelum ada manusia, melaksanakan berata wiku, bapak sudah lupa baru sekarang

ada orang melaksanakan brata Siwaratri. Yang utama berata dulu, lalu segala dosa

lebur Yamaloka tur kaungsi, Siwaloka yang dituju segala papanya hilang.

IV. Tokoh Dalam Geguritan Siwaratri Kalpa

Ada dua tokoh yang disebutkan dalam geguritan Siwaratri Kalpa yaitu

tokoh manusia bernama Lubdaka, istri dan anaknya. Ini disebut tokoh dunia

dengan berbagai mahluk binatang yang hidup di dunia.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 291

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Tokoh alam Dewa ada dua yaitu tokoh yang penguasa sorga, yaitu Dewa

Siwa dan prajuritnya. Roh Lubdaka mendapatkan wara nugraha (anugrah) karena

ke jalan darma, melakukan brata yang benar penuh dengan ketekunan dan

kekusukan, berhasil sida labda karya (kelepasan). Karena baru sekarang ada yang

melaksanakan Brata Siwaratri yang utama berarti segala dosa terhapuskan dan

segala papa hilang Siwaloka yang dituju

Tokoh alam neraka yang menghukum roh ke dalam alam neraka yaitu

Betara Yamadipati dan prajuritnya Kingkarabala. Yamadipati bertugas sebagai

jaksa guru (yang menghukum) roh di kawah/neraka, selama 1000 tahun

mendapatkan hukuman di kawah, perbuatan baik buruk jadi manusia tidak

diketahui dan tidak bisa dihapus akan dinikmati nanti, segala papanya hilang.

V. Simpulan

Berdasarkan uraian di atas dapat disampaikan simpulan sebagai berikut:

1. Geguritan Siwaratri Kalpa (Lubdaka) berasal dari kakawin Jawa Kuna

yang dibuat oleh Ida Bagus Putu Bangli dari Sanur (2001).

2. Isi geguritan ada pendahuluan sebagai penulis tentang kakawin Lubdaka,

pengawi besar parwa dan akhirnya tercipta geguritan Siwaratri Kalpa dengan

ungkapan izin singgih… menyebut rakawi besar, mijil dengan menyebut Sang

Hyang Paramasiwa, lalu sigra muncul karya geguritan Siwaratri Kalpa, oleh

penulis disebut sebagai tembang malampah.

3. Isi ini menceriterakan tentang tokoh pemburu Lubdaka yang setiap hari

membunuh binatang, tetapi karena pada malam Siwa memetik daun bila yang

dibunuh mucul lingga, singgasana Dewa Siwa maka Lubdaka diberikan

anugrah sorga.

4. Siapa yang menjalankan tapa, brata, berbuat sadu dan darma yang jatuh

pada panglong ping pat belas sasih kepitu maka teks Siwaratri Kalpa beliau

akan mendapat anugrah terbebas dari papa neraka.

5. Tokoh dalam Geguritan Siwaratri Kalpa ada dua yaitu tokoh manusia

biasa Lubdaka, istrinya, anaknya serta mahluk lainya di dunia ini. Tokoh alam

Dewa yaitu tokoh Dewa Siwa dan prajurinya yang menghuni sorga, tokoh

yang menghuni neraka adalah Dewa Yamadipati dan prajuritnya

Kingkarabala.

DAFTAR PUSTAKA

Kakawin Siwaratri Kalpa karya Mpu Tanakung (diterjemahkan IB Agastya)

Yayasan Dharma Sastra, 2002.

Bangli, IG Putu 2001, Geguritan Siwaratri Kalpa, Surabaya: penerbit Paramita

Zoetmulder, P.J. 1994, Kalangwan Karya Sastra Jawa Kuna Selayang Pandang:

2005, Jakarta: Jambatan.

Tim Dinas Kebudayaan Propinsi Bali, 2005, Kesusastraan Bali, Denpasar, Jl Ir

Juanda.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 292

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

EKSPLOITASI BURUH YANG DIGAMBARKAN

KOBAYASHI TAKIJI DALAM CERPEN HOKKAIDO NO „SHUNKAN‟

Ni Luh Putu Ari Sulatri, Silvia Damayanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Kesusastraan proletar yang mengusung ideologi perjuangan kelas

kaum buruh berkembang pesat di Jepang sepanjang tahun 1921

hingga 1943. Salah satu sastrawan Jepang yang menjadi bagian

dalam perkembangan kesusastraan proletar di Jepang adalah

Kobayashi Takiji (1903-1933). Di dalam salah satu karyanya, yaitu

cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, digambarkan eksploitasi yang

dialami para buruh kasar yang didatangkan dari daratan utama

Jepang ke wilayah Hokkaido. Eksploitasi yang dialami para buruh,

yaitu 1) buruh tidak mendapatkan upah yang layak dan 2) kondisi

kerja yang mengabaikan keselamatan buruh. Eksploitasi terhadap

buruh menimbulkan alienasi dalam bentuk 1) alienasi terhadap

aktivitas produksi dan 2) alienasi terhadap buruh lainnya.

Kata Kunci: kesusastraan proletar, eksploitasi, alienasi

PENDAHULUAN

Karl Marx dan Frederick Engels, tokoh yang berpengaruh dalam

perkembangan teori sosial sastra pasca positivisme, mengemukakan bahwa sastra

tidak dapat dipisahkan dari permasalahan perjuangan kelas, kapitalisme, serta

sejarah kemanusiaan. Karya sastra merupakan wujud fenomena zaman

(ephiphenomenon) dari struktur sosial sehingga karya sastra menjadi refleksi

kesadaran maupun ketidaksadaran psikologis yang menjadi media perjuangan

kelas bagi sastrawan. Pandangan ini menempatkan karya sastra sebagai sebuah

kesadaran estetik untuk melegitimasi kekuasaan kelas sosial tertentu yang

dominan (Anwar, 2010:40-47).

Fungsi sosial sastra sebagai media perjuangan kelas menghubungkan

secara langsung sastra dengan kelas proletar. Kelas proletar didefinisikan oleh

Karl Marx sebagai produsen yang tidak memiliki sesuatu untuk dijual selain

tenaga kerjanya sendiri (dalam Cohen, 1983:3) meskipun di dalam bahasa

Bolshevik istilah ―proletar‖ memiliki dua makna utama, yaitu 1) kelas pekerja dan

2) Russian-cum-Soviet Communist Party. Pada periode Uni Soviet, karya sastra

yang diproduksi oleh kelas pekerja atau individu yang terkait di dalamnya disebut

sebagai kesusastraan proletar (proletarskaia literature) (Clark, 2017:1-7).

Tidak hanya di Uni Soviet, kesusastraan proletar juga mengalami

perkembangan pesat di Jepang sepanjang tahun 1921 hingga 1934

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 293

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(Asoo,1983:219). Salah satu sastrawan Jepang yang berafiliasi dengan

perserikatan kesenian proletar Jepang (Zen Nihon Musansha Geijutsu Renmei 全

日本無産者芸術聯盟) adalah Kobayashi Takiji (1903-1933). Selain seorang

sastrawan, Kobayashi Takiji juga merupakan anggota dari Partai Komunis Jepang

(Nihon Kyousan Tou 日本共産) yang merupakan partai terlarang pada masa

tersebut. Sebelum meninggal dalam usia 29 tahun, dalam proses penahanan oleh

satuan polisi khusus (Tokubetsu Kouto Keisatsu 特別高等警察), Kobayashi telah

menghasilkan cukup banyak karya sastra yang mengangkat perjuangan kelas

proletar (Keene, 1984:616-623).

Salah satu karya Kobayashi Takiji yang membahas mengenai kelas

proletar yang mengacu kepada kelas pekerja adalah cerpen berjudul Hokkaido no

„Shunkan‟. Di dalam cerpen ini, Kobayashi Takiji menggambarkan eksploitasi

yang dialami para pekerja yang didatangkan dari daratan utama Jepang sebagai

buruh kasar untuk membuka wilayah Hokkaido yang belum berkembang. Bentuk

eksploitasi serta dampak eksploitasi terhadap kelas pekerja yang digambarkan

Kobayashi Takiji dalam kerangka perjuangan kelas dikaji lebih lanjut pada

makalah ini.

METODOLOGI

Sumber data dalam penelitian ini adalah cerpen berjudul Hokkaido no

„Shunkan‘ karya Kobayashi Takiji. Metode yang digunakan dalam pengumpulan

data penelitian adalah metode kajian pustaka. Metode ini dipilih karena sumber

data penelitian berupa bahan cetak, yaitu cerpen. Pada tahap analisis data

digunakan metode deskriptif analisis. Guna menerapkan metode ini, data

dideskripsikan atau diuraikan dengan memberikan pemahaman dan penjelasan

terkait bentuk eksploitasi serta dampaknya.

PEMBAHASAN

Eksploitasi Buruh dalam Cerpen Hokkaido no Shunkan

Eksploitasi terhadap buruh mengacu kepada dua proposisi independen,

yaitu dalam ekonomi dan sosiologi. Proposisi ekonomi terkait dengan teori nilai

dari Adam Smith yang mendalilkan bahwa semua komoditas pada prinsipnya

diproduksi oleh kelas pekerja dan kelas pekerja selalu menjadi satu-satunya agen

produksi aktif. Di dalam Capital (1867), Karl Marx menuliskan bahwa kelas

pekerja merupakan substansi yang menciptakan nilai sehingga apabila tidak

menerima sejumlah nilai yang mereka ciptakan maka mereka telah dieksploitasi.

Proposi sosiologi terkait dengan struktur kelas dalam masyarakat yang terdiri dari

kelas pekerja yang bekerja untuk memperoleh upah dan kelas pemilik properti

yang menerima sewa dan laba. Di dalam Communist Manifesto (1848), Marx dan

Engels mengutarakan bahwa masyarakat terpecah menjadi dua kubu besar yang

bertentangan, yaitu borjuis dan proletar. Menurut Marx, pada faktanya kelas

pemilik properti memperoleh pendapatan dengan melakukan eksploitasi terhadap

kelas pekerja (Dooley, 2005:177-178).

Kobayashi Takiji sebagai sastrawan Jepang yang berasosiasi dengan

Perserikatan Kesenian Proletar Jepang, merefleksikan perjuangan kelas kaum

294 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟. Cerpen ini menggambarkan

eksploitasi yang dialami kelas pekerja yang didatangkan dari daratan utama

Jepang (naichi)23

sebagai buruh kasar untuk membangun wilayah Hokkaido yang

saat itu belum berkembang24

. Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh dalam

cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ adalah sebagai berikut.

1. Buruh Tidak Mendapatkan Upah yang Layak

Bentuk eksploitasi yang dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no

„Shunkan‟ salah satunya adalah para buruh tidak dibayar dengan upah yang layak.

Kondisi ini digambarkan oleh Kobayashi Takiji melalui situasi para buruh tidak

memiliki uang untuk pulang ke kampung halaman merayakan tahun baru, seperti

yang ditunjukan dalam data berikut.

(1) 北海道へ「出稼」に来た人達は冬になると、「内地」の正月に

間に合うように帰つて行く。しかし帰ろうにも、帰れない人達

は、北海道で「越年(おつねん)」しなければならなくなるわ

けである。

Hokkaidou e „dekasegi‟ ni kita hitotachi wa fuyu ni naru to, „naichi‟

no shougatsu ni ma ni au you ni kaette iku. Shikashi kaerou ni mo,

kaerenai hitotachi wa, Hokkaidou de „otsunen‟ shinakereba naranaku

naru wake de aru.

‗Orang-orang yang datang ke Hokkaido untuk bekerja, begitu

memasuki musim dingin akan pulang ke daratan utama Jepang untuk

dapat merayakan tahun baru tepat waktu. Akan tetapi, meskipun

bermaksud untuk pulang, orang yang tidak bisa pulang maka mau

tidak mau harus menyambut tahun baru di Hokkaido.‘

Pada data (1) Kobayashi Takiji menunjukan kondisi para buruh yang tidak

memiliki cukup uang membeli tiket kapal agar dapat pulang ke kampung halaman

mereka yang berada di daratan utama Jepang untuk merayakan tahun baru. Oleh

karena itu, mereka terpaksa harus melewati pergantian tahun baru dengan tetap

berada di Hokkaido. Ketidakmampuan para buruh untuk pulang kampung karena

tidak memiliki cukup uang menunjukan bahwa para buruh tidak mendapatkan

upah yang layak karena buruh tidak dibayar setara dengan nilai untuk dapat

memenuhi semua kebutuhan hidupnya.

Kobayashi Takiji juga menunjukan rendahnya kesejahteraan para buruh

terkait dengan upah yang tidak layak yang mereka terima melalui gambaran

pakaian yang dikenakan, seperti data berikut.

23 Naichi (内地) secara literal bermakna ‗daratan di dalam‘ adalah istilah yang digunakan untuk

membedakan wilayah Jepang dengan sekitarnya. Akan tetapi, secara tidak resmi istilah ini

mengacu kepada kepulauan Jepang di luar wilayah Hokkaido dan Okinawa. 24 Hokkaido sebelumnya merupakan wilayah bebas yang secara resmi menjadi bagian Jepang pada

tahun 1868.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 295

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

(2) 雪が足駄の歯の下で、ギユンギユンなり、硝子が花模様に凍て

つき、鉄物が指に吸いつくとき、彼等は真黒になつたメリヤス

に半纏一枚しか着ていない。

Yuki ga ashida no ha no shita de, gyun gyun nari, garasu ga

hanamoyou ni itetsuki, tetsumono ga yubu ni sui tsuku toki, karera wa

makkuro ni natta meriyasu ni hanten ichimai shika kite inai.

‗Ketika salju membuat alas bawah bakiak berbunyi kyunkyun dan

membeku membentuk pola bunga serta barang-barang besi menjadi

lengket pada jari, mereka hanya memakai selembar hanten di atas

pakaian rajutan yang hitam pekat.

Pada data (2), Kobayashi Takiji menggambarkan bahwa para buruh

bahkan tidak memiliki pakaian yang layak untuk menghangatkan tubuh mereka di

tengah musin dingin di Hokkaido yang sangat dingin. Mereka hanya

menggenakan pakaian rajutan yang kondisinya sudah usang yang ditambahkan

dengan hatten ‗mantel pendek untuk musim dingin. Hal ini tentu tidak akan

terjadi apabila para buruh memperoleh upah yang layak.

Harga atau upah dari buruh yang layak merupakan jumlah nilai semua

komoditi yang dibutuhkan oleh para buruh agar dapat hidup layak sesuai dengan

tingkat sosial dan kultural yang berlaku pada suatu masyarakat (Marx dalam

Suseno, 1999). Kondisi para buruh yang tidak memiliki uang yang cukup untuk

dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟

menunjukan para buruh mengalami eksploitasi dengan tidak mendapatkan

bayaran yang layak.

2. Kondisi Kerja yang Mengabaikan Keselamatan Buruh

Marx menggambarkan kelas buruh sebagai kelas yang hanya mampu

menjual tenaga kerja kepada kelas pemilik modal. Kelas buruh tidak memiliki

alat-alat dan bentuk-bentuk produksi sehingga mereka menjual tenaga untuk tetap

bisa hidup (Suhelmi, 2001:270-271). Para pemilik modal yang membayar upah

para buruh mempekerjakan mereka sesuai dengan cara yang mereka inginkan.

Kelas pemilik modal mendapatkan keuntungan kapital dan material dengan cara

mengeksploitasi kelas buruh, termasuk mengerjakan proses produksi yang

berbahaya dan mengabaikan keselamatan para buruh. Bentuk eksploitasi ini juga

digambarkan Kobayashi Takiji, seperti data berikut.

(3) 夏の間彼等は棒頭にたゝきのめされながら「北海道拓殖のため

に!」山を崩した。熊のいる原始林を伐り開いて鉄道を敷設し

た。

296 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Natsu no ma karera wa bougashira ni tataki no mesarenagara

„Hokkaidou takushoku no tame ni‟ yama o kuzushita. Kuma no iru

genshirin o kiriaite tetsudou o fusetsu shita.

‗Selama musim panas mereka dipanggil sebagai buruh kasar dan

merobohkan gunung ‗untuk membuka daerah Hokkaido yang belum

berkembang. Membuka hutan rimba yang ada beruangnya dan

membangun jalur kereta api.‘

Pada data (3) ditunjukan bahwa para buruh didatangkan ke Hokkaido

sebagai buruh kasar untuk melakukan pekerjaan yang diperintah oleh kelas

pemilik modal. Sebagai buruh kasar, pekerjaan yang dilakukan merupakan

pekerjaan yang berat dan berbahaya karena mereka bekerja di wilayah Hokkaido

yang pada masa itu masih belum berkembang. Pekerjaan merobohkan gunung,

merambah hutan liar yang masih dihuni banyak beruang, serta membangun jalur

kereta api merupakan pekerjaan yang memiliki resiko bahaya cukup tinggi. Akan

tetapi, para buruh yang hanya memiliki tenaga untuk dijual bersedia melakukan

pekerjaan tersebut.

Alienasi Buruh dalam Cerpen Hokkaido no „Shunkan‟

Akibat dari eksploitasi, buruh akan semakin miskin dan mengalami

keterasingan. Keadaan buruh yang mengalami keterasingan dari kehidupannya

disebut Marx dengan istilah alienasi. Marx merumuskan empat bentuk alienasi

atau keterasingan kaum buruh, yaitu 1) terasing dari produk yang mereka

kerjakan; 2) terasing dari aktivitas produksi; 3) terasing dari para buruh lainnya;

dan 4) terasing dari diri mereka sendiri (Musto, 2010:79-82).

Kobayashi Takiji di dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟ berupaya

menunjukan bahwa eksploitasi telah menyebabkan para buruh mengalami alienasi.

Judul cerpen ini, yaitu Hokkaido no „Shunkan‟ secara literal bermakna

Shunkannya Hokkaido. Shunkan (1143-1179) merupakan tokoh yang turut

mengambil peran dalam rencana Shishigatani yang bertujuan untuk

menggulingkan Taira Kiyomori. Sebelum rencana tersebut dilaksanakan, Shunkan

diasingkan ke Pulau Kikaiga. Di Pulau tersebut dia ditinggalkan sendirian hingga

akhirnya meninggal. Kondisi Shunkan yang mengalami pengasingan sesuai

dengan kondisi para buruh yang juga terasing di Hokkaido, seperti yang

ditunjukan dalam data berikut.

(4) 冬になると、北海道の奥地にいる労働者は島流しにされた俊寛

のように、せめて内地の陸の見えるところへまでゞも行きたい

と、海のある小樽、函館へ出てくるのだ。

Fuyu ni naru to, Hokkaidou no yama ni iru roudousha wa

shimanagashi ni sareta Shunkan no you ni, semete naichi no riku no

mieru tokoro e made mo ikitai to, umi no aru Otaru, Hakodate e dete

kuru noda.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 297

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

‗Begitu musim dingin, para pekerja yang ada di daerah pedalaman

Hokkaido seperti Shunkan yang dihukum dan diasingkan ke sebuah

pulau sehingga apabila ingin pergi ke tempat dimana setidaknya

terlihat daratan di pulau utama Jepang maka mereka pergi ke daerah

laut Otaru atau Hakodate.‘

Data (4) menunjukan bahwa para buruh yang didatangkan dari daratan

utama Jepang ke Hokkaido mengalami keterasingan karena eksploitasi yang

mereka alami dalam bentuk upah yang tidak layak. Hal ini menyebabkan mereka

tidak memiliki uang yang cukup untuk pulang ke kampung halaman sehingga

mereka diibaratkan oleh Kobayashi Takiji sama dengan Shunkan yang mengalami

pembuangan dan pengasingan.

Kondisi para buruh yang mengalami ‗pembuangan‘ dengan harus

melewati pergantian tahun dan musim dingin di Hokkaido menyebabkan mereka

menjadi jauh dan terasing dengan daerah asal dan keluarga mereka. Pada data (4)

ditunjukan bahwa, untuk dapat mengobati kerinduan mereka akan kampung

halaman maka para buruh pergi ke wilayah laut Otaru dan Hakodate untuk

setidaknya melihat pulau daratan utama Jepang dari kejauhan. Selain hal tersebut

para buruh juga digambarkan oleh Kobayashi Takiji pergi ke stasiun agar dapat

mendengar orang-orang berbicara dengan bahasa daerah asal mereka, seperti yang

ditunjukan pada data berikut.

(5) しかし何故彼等は停車場へ行くのだ。ストーヴがあるからだ。

――だが、そればかりではなくて、彼等は「青森」とか、「秋

田」とか、「盛岡」とか――自分達の国の言葉をきゝたいのだ、

自分ではしかし行けないところの。

Shikashi naze karera wa teishaba e iku noda. Sutobu ga aru kara da.

… da ga, sore bakari dewa nakute, karera wa „Aomori‟ toka. „Akita‟

toka, „Morioka‟ toka … jibun tachi no kuni no kotoba o kikitai no da,

jibun dewa shikashi ikenai tokoro no.

Akan tetapi, mengapa mereka pergi ke stasiun? Karena ada

penghangat. Akan tetapi bukan hanya itu, mereka ingin mendengarkan

bahasa dari daerah mereka masing-masing, seperti ‗Aomori‘, ‗Akita‘,

‗Morioka‘, meskipun daerah asal mereka sendiri tetapi tidak bisa

pergi.

Pada data (5), Kobayashi Takiji menunjukan bahwa para buruh yang

berada dalam keterasingan karena berada di daerah yang jauh dari kampung

halaman datang ke stasiun hanya untuk dapat merasakan suasana kampung

halaman yang tidak dapat mereka kunjungi dengan mendengarkan orang-orang

berbicara dalam bahasa daerah asal mereka. Kondisi para buruh yang terbuang

dan terasing, ibarat Shunkan, di Hokkaido merupakan alienasi sebagai dampak

dari eksploitasi buruh. Bentuk alienasi yang dialami para buruh dalam cerpen

Hokkaido no „Shunkan‟, diantaranya meliputi

298 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

1. Mengalami Alienasi dari Aktivitas Produksi

Para buruh melakukan aktivitas produksi berdasarkan instruksi dari para

pemilik modal sehingga mereka mengalami alienasi atau keterasingan dalam

aktivitas produksi tersebut. Para pemilik modal yang membayar upah para buruh,

memutuskan segala hal terkait aktivitas produksi meliputi jenis produk, jam kerja,

hingga cara atau teknis produksi. Para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟

mengalami alienasi dari aktivitas produksi, salah satunya ditunjukan dalam data

(3) yang menggambarkan para buruh mengerjakan pekerjaan berat dan berbahaya

yang diinstruksikan oleh bos mereka, seperti merobohkan gunung, merambah

hutan liar yang masih dihuni banyak beruang, serta membangun jalur kereta api.

2. Mengalami Alienasi Dari Buruh Lainnya

Para pemilik modal menciptakan lingkungan yang menyebabkan para

buruh mengalami alienasi dari buruh lainnya. Para buruh diarahkan untuk tidak

saling mengenal sehingga tidak dapat membentuk aliansi yang mendukung

gerakan buruh. Para buruh bahkan didorong untuk saling berkonflik dan

berkompetisi satu dengan yang lainnya sehingga tidak terbentuk persatuan di

antara para buruh yang pada akhirnya akan menguntungkan para pemilik modal.

Kondisi ini juga dialami para buruh dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, seperti

data berikut.

(6) 冬近くなつて、奥地から続々と「俊寛」が流れ込んでくると、

「友喰い」が始まるのだ。小樽や函館にいる自由労働者は、こ

の俊寛達を敵よりもひどくにめつける。冬になつて仕事が減る。

そこへもつてきて、こやつらは、そうでなくても少ない分前を、

更に横取りしようとする。この「友喰い」は労働者を雇わなけ

ればならない「資本家」を喜ばせる。

Fuyu chikakunatte, yama kara zokuzoku to „Shunkan‟ ga nagare

konde kuru to, „tomokui‟ ga hajimaru noda. Otaru ya Hakodate ni iru

jiyuu roudousha wa, kono Shunkan tachi o kataki yori mo hidoku ni

me tsukeru. Fuyu ni natte shigoto ga heru. Soko e motte kite,

koyatsurawa, sou denakute mo sukunai punmae o, sara ni yokodori

shiyou to suru. Kono „tomokui‟ wa roudousha o yatowanakereba

naranai „shihonka‟ o yorokobaseru.

Musim dingin telah mendekat, dari daerah pedalaman berbondong-

bondong ‗Shunkan‘ datang dan mulai ‗makan teman‘. Pekerja bebas

yang berada di Otaru dan Hakodate menemukan para Shunkan yang

lebih kejam daripada musuh. Begitu musim dingin pekerjaan pun

menjadi berkurang. Dibawa ke sana, padat, ditambah saling merebut

bagian yang hanya sedikit. ‗Makan teman‘ merupakan hal yang

membahagiakan kapitalis yang harus membayar upah mereka.

Pada data (5), Kobayashi Takiji mengambarkan kapitalisme menciptakan

lingkungan kerja yang membuat buruh terasing antara satu dengan yang lainnya.

Salju yang turun sangat lebat di Hokkaido pada musim dingin menyebabkan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 299

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

berkurangnya lapangan pekerjaan karena pekerjaan yang bisa dilakukan di musim

panas, seperti merambah hutan dan membangun jalur kereta api menjadi tidak

dapat dilakukan. Para buruh yang tidak memiliki cukup uang menjadi tidak bisa

pulang kampung ke daratan utama Jepang pada musim dingin sehingga mereka

harus saling bersaing untuk memperebutkan lahan pekerjaan yang terbatas di

musim dingin. Kondisi ini oleh Kobayashi Takiji digambarkan dengan istilah

tomokui ‗makan teman‘. Tomokui merupakan alienasi para buruh dengan buruh

lainnya karena berkompetisi dan berebut pekerjaan satu dengan yang lainnya.

Kondisi surplus tenaga kerja ini merupakan kondisi yang menguntungkan para

pemilik modal.

SIMPULAN

Kobayashi Takiji sebagai sastrawan Jepang yang mengusung kesusastraan

proletar menjadikan karya sastra sebagai media perjuangan kelas untuk

menunjukan bahwa kapitalisme telah menyebabkan eksploitasi terhadap kelas

pekerja atau buruh. Di dalam salah satu karyanya, yaitu cerpen Hokkaido no

„Shunkan‟, digambarkan eksploitasi yang dialami para buruh kasar yang

didatangkan dari daratan utama Jepang ke Hokkaido. Bentuk eksploitasi yang

dialami para buruh, yaitu tidak mendapatkan upah yang layak sehingga mereka

tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka dengan baik serta menjalankan

pekerjaan berat dan berbahaya dengan pengabaian terhadap keamanan dan

keselamatan. Eksploitasi menimbulkan dampak alienasi bagi para buruh. Di

dalam cerpen Hokkaido no „Shunkan‟, para buruh diibaratkan sama dengan tokoh

Shunkan yang sedang mengalami pembuangan atau pengasingan. Para buruh

digambarkan mengalami alienasi dari aktivitas produksi dan alienasi dari buruh

lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar. Ahyar. 2010. Teori Sosial Sastra. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Asoo, Isojo. 1983. Sejarah Kesusastraan Jepang diterjemahkan oleh Staf Jurusan

Asia Timur Seksi Jepang Fakultas Sastra Universitas Indonesia dari

buku Nihon Bungakushi. Jakarta: UI Press.

Clark, Katerina. 2017. Working Class Literature and/or Proletarian Literature:

Polemics of the Russian and Soviet Literary Left subbab dalam buku

Working Class Literature(s): Historical and International Perspectives

dieedit oleh John Lennon dan Magnus Nilsson. Swedia: Stockholm

University Press.

Cohen, G.A. 1983. The Structure of Proletarian Unfreedom artikel dalam

Philosophy and Public Affairs Volume 12 Number 1. Diakses melalui

http://www.jstor.org/stable/2265026 pada tanggal 18 Desember 2018

pukul 11.04 WITA.

Dooley, Peter C. 2005. The Labour Theory of Value. New York: Routledge Taylor

and Francis Group

Keene, Donald. 1987. Down to the West: Japanese Literature of the Modern Era.

New York: Henry Holt and Company.

300 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Musto, Marcello. 2010. Revisiting Marx‟s Concept of Alienation artikel dalam

jurnal Socialism and Democracy Volume 24 No 03. New York:

Routledge Taylor and Francis Group

Suhelmi, Ahmad. 2001. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan

Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: P.T.

Gramedia Pustaka Utama.

Suseno, Franz Magnis. 1999. Pemikiran Karl Marx: Dari Sosialis Utopis ke

Perselisihan Revisionisme. Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 301

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

MANFAAT DAUN DEDAP ‘Erythrina variegate’

Ni Luh Sutjiati Beratha

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Filosofi hidup wasudewa kutumbakam yang dianut oleh masyarakat

Bali menempatkan seluruh makhluk di alam semesta sebagai

saudara. Secara konseptual masyarakat Bali tampak menyadari

bahwa keberadaannya di dunia ini memiliki ketergantungan

(interdependensi) yang tinggi dengan alam sebagai penyangga

kehidupan. Salah satu unsur alam khususnya pohon yang sangat

fungsional dalam berbagai bidang kehidupan masyarakat Bali

adalah daun Dedap yang dalam bahasa Latinnya Erythrina

variegate. Daun Dedap yang dalam beberapa pustaka lontar disebut

dengan istilah Dedap atau kayu sakti dijaga kelangsungan hidupnya

hampir di seluruh Desa Pakraman di Bali.

Metode kualitatif diterapkan dengan pendekatan budaya, dan data

dianalisis secara sosio-budaya, dan diuji di laboratorium FTP

Universitas Udayana. Hasil menunjukkan bahwa pohon Dedap

digunakan dalam aktivitas upacara yadnya di Bali (Panca Yadnya

activities), yakni upacara Ngampak Lawang pada upacara

pernikahan, Mendem Pedagingan, sampai upacara Ngaben.

Berdasarkan lontar Taru Usada Pramana, manfaat daun Dedap

adalah sebagai sarana pengobatan. Dengan kandungan zat yang

dimiliki, tanaman ini sering digunakan sebagai obat untuk

mengobati perut kembung karena masuk angin dan digunakan

untuk menolong orang sakit perut.

Kata Kunci: Dedap, fungsi, manfaat, vitamin

1. Latar Belakang

Di tengah-tengah krisis lingkungan yang mengancam umat manusia di

berbagai belahan dunia, filosofi Vasudhaiva Kutumbakam(kita semua bersaudara)

yang termuat dalam pustaka Hitopadesa dapat ditawarkan untuk mengembalikan

kesadaran manusia bahwa sejatinya seluruh makhluk di alam semesta ini

bersaudara. Pengakuan rasa persaudaraan di antara seluruh ciptaan yang ada di

bumi initampaknya telah mengakar kuat dalam ajaran agama Hindu yang dianut

oleh sebagian besar masyarakat Bali.Oleh sebab itulahdalam bait-bait puja Tri

Sandya yang dilantunkan tiga kali sehari ada harapan ideal agar sarwa prani

hitangkara yang bermakna seluruh makhluk hidup berbahagia.

302 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Secara konseptual masyarakat Bali menyadari bahwa eksistensinya di

dunia ini memiliki ketergantungan yang tinggi dengan alam sebagai penyangga

kehidupan. Hal itu kemudian termanifestasi melalui simbol-simbol yang erat

kaitannya dengan ritual di Bali. Berdasarkan lontar Sundarigama, upacara khusus

yang ditujukan untuk memberi penghormatan sekaligus pemuliaan terhadap alam

khususnya tanaman disebut denganTumpek Wariga atau Tumpek Panguduh.Pada

hari itu masyarakat Bali melakukan persembahan kepada Sang Hyang Sangkara

karena beliaulah Dewa yang menumbuhsuburkan segala yang tumbuh seperti

pepohonan.Upacara yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali itu jelas

mengandung pesan agar manusia Bali senantiasa merajut harmoni dengantanaman

karena untuk bertahan hidup, manusia senantiasa mengambil bagian-bagian

bahkan urip ‗jiwa‘ dari tanaman. Bagian-bagian tanaman itulahyang selanjutnya

digunakan untuk kebutuhan pakaian (sandang), makanan (pangan), rumah (papan),

pengobatan, sarana upacara dan yang lainnya.

TanamanDedap tersebut secara umum memang tumbuh di kawasan-

kawasan yang diyakini memiliki nilai kesucian oleh masyarakat Bali seperti

lingkungan pura, atau Sanggah atau Palinggih karena tumbuh di lingkungan

seperti itu, pohon Dedap juga identik dengan pohon yang sakral. Tidak sembarang

orang dapat menebang pohon Dedap, terlebih pada hari-hari yang tidak sesuai

dengan dewasa ayuatau hari baik serta sarana upacara yang tertentu pula. Dedap adalah Erythrina variegate dalam bahasa Latinnya. Daun Dedap di Bali

juga disebut dengan daun Kayu Sakti. Penamaan ini diberikan karena fungsi dan

manfaaat yang dimiliki tanaman inibeberapa alasan, yakni: (1) semua bagian (dari akar,

batang daun, dan bungan) dari pohon Dedap bermanfaat; (2) tanaman ini digunakan untuk

berbagai macan sarana upakara bebantenan, seperti upacara Ngampak Lawang pada

upacara pernikahan, Mendem Pedagingan, sampai upacara Ngaben;(3) batang pohon

Dedap dipakai sebagai tiang Turus Lumbung tempat pemujaan umat Hindu yang disebut

dengan Palinggih atauSanggah; dan(4) Pohon Dedap dapat tumbuh di mana saja.

Kasus di atas menunjukkan interaksi, interelasi, dan interdependensi

masyarakat Bali dengan pohon Dedap yang tinggi terutama untuk kebutuhan

upacara yadnya. Di samping itu, penelusuran yang dilakukan terhadap sejumlah

pustaka lontar Bali menunjukkan bahwa Dedap juga berfungsi untuk mengobati

sejumlah penyakit. Dalam buku yang ditulis oleh Nala (1992: 226) berjudul

Usada Balifungsi, pohon Dedap hanya disinggung sebagai obat untuk mengobati

penyakit. Sejumlah pustaka lain juga menjelaskan khaziat pohon Dedap. Hal

tersebut mengindikasikan bahwa artikel terhadap pohon Dedap dari aspek fungsi

dan makna, serata zat yang terkandung dalam tanaman tersebut belum banyak

dilakukan. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka artikel ini akan

membahas tentang manfaat tanaman Dedap khususnya daun Dedap, dan

kandungan Vitamindaun Dedap.

2. Teori dan Metode

2.1 Teori

Vitamin merupakan senyawa kompleks yang sangat dibutuhkan oleh tubuh

yang berfungsi untuk membantu pengaturan atau proses metabolisme tubuh.

Vitamin dibagi menjadi 2 golongan, yaitu vitamin larut lemak: vitamin A, D,

E, dan K; dan vitamin larut air: vitamin B kompleks dan vitamin C. Untuk

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 303

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mempertahankan saturasi jaringan vitamin larut air perlu sering dikonsumsi

(Dewoto dan Wardhini, 1995). Vitamin-vitamin tidak dapat dibuat oleh tubuh

manusia dalam jumlah yang cukup, oleh karena itu harus diperoleh dari bahan

pangan yang dikonsumsi (Winarno, 1995). Karoten yang dikenal sebagai

prekursor vitamin A (beta karoten), saat ini telah dikembangkan karoten

sebagai efek protektif melawan sel kanker, penyakit jantung, mengurangi

penyakit mata, antioksidan, dan regulator dalam sistem imun tubuh. Menurut

Counsell dan Hornig (1981), kadar vitamin C tersebar dengan luas dalam

tanaman, kadar vitamin C ini dapat berbeda-beda dikarenakan beberapa faktor

seperti varietas, pengolahan, suhu, masa pemanenan dan yang terakhir adalah

tempat tumbuh.

Vitamin C berperan dalam pembentukan kolagen interseluler (Winarno,

2008). Vitamin C meningkatkan daya tahan terhadap infeksi, kemungkinan karena

pemeliharaan terhadap membran mukosa atau pengaruh terhadap fungsi

kekebalan (Almatsier, 2002).Kebutuhan vitamin C untuk orang dewasa adalah 60

mg, lebih banyak dalam kehamilan dan laktasi, sedangkan untuk bayi dan anak-

anak 35-45 mg. Ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan vitamin

C diatas 60 mg/hari termasuk merokok, pemakaian kontraseptif dan penyembuhan

luka (Linder, 1992).

Suatu tanaman dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya selalu

melakukan metabolisme primer. Hasil metabolisme primer berupa metabolit

primer seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral. Disamping

memproduksi metabolisme primer, tanaman juga menghasilkan metabolisme

sekunder yang tanaman dalam mempertahankan hidupnya dari serangan biotik

dan abiotik disekitar tumbuhnya. Hasil metabolisme sekunder berupa metabolit

sekunder seperti senyawa – senyawa fenol, penil propanoid, saponin, terpenoid,

alkaloid, tanin, steroid dan flavonoid (Parwata, 2016).

Skrining fitokimia merupakan cara untuk mengidentifikasi senyawa

bioaktif yang belum tampak melalui pengujian yang dapat dengan cepat

memisahkan antara bahan alam yang memiliki kandungan fitokimia tertentu

dengan bahan alam yang tidak memiliki. Skrining fitokimia merupaka tahap

pendahuluan dalam artikel fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran

tentang golongan senyawa yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti

(Kristianti et al., 2008; Khotimah, 2016).

Flavonoid merupakan senyawa yang terdiri dari 15 atom karbon yang

umumnya terdapat pada berbagai tanaman. Flavonoid adalah pigmen tanaman

untuk memproduksi warna bunga merah atau biru pigmentasi kuning pada

kelopak yang digunakan untuk menarik hewan penyerbuk. Flavonoid hampir

terdapat pada semua bagian tanaman termasuk buah, akar, daun dan kulit luar

batang (Worotikan, 2011). Manfaat flavonoid antara lain untuk melindungi

struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C, antiinflamasi, mencegah keropos

tulang dan sebagai antibiotik (Haris, 2011). Kurniasari (2006) melaporkan bahwa

sejumlah tanaman obat yang mengandung flavanoid memiliki aktivitas

antioksidan, antibakteri, antivirus, antiradang, antialergi dan antikanker.

304 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2.2 Metode

Artikel ini menggunakan metode kualitatif dan mengambil data yang

bersumber dari naskar lontar Taru Pramanayang dikoleksi di Pusat Kajian Lontar

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana, dan naskah sudah ditransliterasi, dan

diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Sukersa (1996). Usada sebagai

sistem pengobatan yang berbasis ramuan herbal diperkirakan diturunkan dari

ajaran Weda khususnya Ayur Weda. Kitab Ayur Weda adalah bagian dari Weda

Smerti yang banyak mengulas hal yang berkaitan dengan tatwa (falsafah)

pengobatan, cara pemeriksaan terhadap orang yang sakit, menetapkan penyakit

(diagnosis), pengobatan (terapi), memprakirakan atau meramalkan jalannya

penyakit (prognosis), rehabilitasi, cara pembuatan obat, dan etika pengobatan

(Nala, 1992: 27).Usada Taru Pramanadiakui sebagai salah satu sumber yang

paling utama dalam mempelajari bahan obat yang berasal dari tumbuh-tanaman

khusus untuk artikel ini adalah tanaman Dedap.

Sampel dikoleksi dari habitat alaminya yakni tanaman Dedap. Sampel

daun yang dikoleksi adalah: daun Dedap. Sebanyak 2 kilogram sampel daun

Dedapdikoleksi, selanjutnya dikeringkanginkan selama satu minggu dan

dipastikan tidak terkena sinar matahari langsung saat pengeringan. Sebanyak 250

gram daun kering per sampel disiapkan untuk analisa fitokimia.

Analisa fitokimia dilakukan di Laboratorium Pelayanan Terintegrasi,

Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana. Analisa yang dilakukan

meliputi kadar serat, kadar abu, analisis total Flavonoid, kandungan Tanin,

Katekin, Klorofil, aktivitas antioksidan, kandungan vitamin A (sebagai beta

karoten) dan vitamin C. Metode yang digunakan dalam skrining (penapisan)

fitokimia adalah metode gravimetri dan spektrofotometer. Kandungan klorofil

total dan karotenoid diukur dengan menggunakan metode spektrofotometri.

Penentuan kadar vitamin C menggunakan metode spektrofometer UV-Vis.

3. Pembahasan

Di antara klasifikasi upacara yadnya yang dilaksanakan oleh umat Hindu,

Yadnya di Bali biasanya dibedakan menjadi lima yang disebut dengan Panca

Yadnya yang terdiri atas Bhuta, Manusa, Pitra, Resi, dan Dewa Yadnya. Yadnya

yang berpusat pada lima unsur alam (Panca Maha Bhuta) disebut dengan Bhuta

Yadnya. Yadnya ini mendahului Yadnya lainnya. Secara tradisi, Manusa Yadnya

ditafsirkan kewajiban orang tua mengupacarai anaknya dari lahir hingga potong

gigi dan kawin, demikian pula kewajiban anak adalah mengupacarai orang tua

ketika mereka meninggal. Kepada Resi bentuk yadnyanya adalah punia. Upacara

kepada Dewa disebut dengan Dewa Yadnya. Kelima yadnya ini berangkat dari

konsep Tri Rna ‗Tiga Hutang‘ (Palguna, 2008: 89-90).Dedap memiliki peran vital

dalam upacara Pitra Yadnya khususnya upacara Ngaben.Rimbunnya dedaunan,

batangnya yang kokoh memberikan kesejukan dan keteduhan bagi orang yang

berada di bawahnya. Pohon ini diyakini sebagai tanaman sorga, tempat

anjangsana para pitara serta dewa-dewa. Dalam upacara keagamaan pun ini selalu

digunakan, itulah keagungan dari pohon Dedap.

Pohon Dedap sering dikatakan sebagai tanaman sorga, bagi masyarakat

Hindu pohon Dedap mempunyai arti penting, sama halnya dengan pohon kura

bagi umat Muslim, atau pohon bodi bagi umat Buda (Miarta Putra,

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 305

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

2009:34).Pentingnya pohon Dedap bagi umat Hindu karena daunnya sering

digunakan sebagai sarana upacara. Daun Dedap secara filsafati bagi umat Hindu

sebagai lambang kesucian, lambang agni, dan sebagai alas untuk kesucian, baik

dalam upacara Dewa Yajnya, Pitra Yadnya, maupun pelaksanaan yajnya lainnya.

Keyakinan masyarakat Bali tersebut bukanlah suatu hal yang tidak

beralasan, tanpa landasan sastra yang jelas. Secara mitologi, pohon Dedap

merupakan salah satu pohon yang mendapatkan panugrahan. Pohon

Dedaptersebut bisa berkata-kata seraya memohon kepada Bhagawan Salukat.

―Yang Mulia Bhagawan Salukat leburlah dosa hamba, sebatang tanaman yang

tumbuh di tempat-tempat suci, setiap waktu kurus dan selalu menjadi makanan

hewan,‖ kata pohon Dedap dengan kerendahan hati kepada Bhagawan

Salukat.Bhagawan Salukat yang dudah mengerti akan hakikat hidup, serta dengan

kemurahan hati dianugerahilah pohon Dedap tersebut. ―ih kamu pohon Dedap,

kini wajib kamu menjadi pendamai (membuat sentosa) dunia, melebur dosa, wajib

menjadi pelindung para Dewa tumbuh di setiap tempat suci,‖ kata Bhagawan

Salukat memberikan enugerah kepada pohon Dedap.

Berdasarkan pustaka Siwagama tersebut, fungsionalnya pohon Dedap dalam

konteks upacara yadnya dapat dipahami. Ida Padanda Wayahan Tianyar seorang

pendeta yang nyastra juga menyatakan bahwa pohon Dedap yang dijadikan sarana

upacara bermakna wahana penyucian. Dengan fungsionalnya pohon Dedap dalam

kehidupan masyarakat Bali terutama sebagai sarana upacara dan pengobatan,

maka pohon Dedap perlu dilindungi eksistensinya, baik hari ini maupun di masa

depan.

3.1 Manfaat Tanaman Dedap

Secara morfologis, leksikon Dedap merupakan bentuk dasar dan

berkategori nomina. TanamanDedap merupakan jenis tanaman yang dapat

tumbuh dengan mudah. Tanaman ini tumbuh baik di daerah lembab dan setengah

kering, dengan curah hujan 800 – 1500 mm pertahun dan 5-6 bulan basah.

Biasanya tanaman ini dapat dijumpai di wilayah pesisir hingga ketinggian sekitar

1500 m di atas permukaan laut. Meskipun mampu hidup pada pelbagai keadaan

tanah, Dedap menyukai tanah-tanah yang dalam, sedikit berpasir, dan berdrainase

baik. Dedap mampu tumbuh pada tanah-tanah bergaram, tanah yang terendam air

secara berkala, dan tanah kapur berkarang.

Apabila diamati secara biologis, tanamanDedap memiliki bagian kulit batang

yang jika masih muda tampak halus bergaris-garis vertikal hijau, abu-abu, coklat

muda atau keputihan, terdapat duriduri kecil yang menempel pada bagian

batangnya (1–2 mm) dan berwarna hitam. Daun Dedap berwarna hijau muda

dengan panjang tangkai 10-40 cm. Panjang daun berkisar antara 9-25 cm dengan

lebar daun sekitar 10-30 cm. Selain itu, Bunga-bunga tersusun

dalam tandan berbentuk kerucut, di samping atau di ujung ranting yang gundul,

biasanya muncul tatkala daun berguguran.

Secara sosiologis, masyarakat Bali menggunakan tanaman ini sebagai

tanaman peneduh, tiang-tiang pagar hidup, atau tiang untuk sanggah (tempat

pemujaan), dan sebagai obat tradisional. Kandungan zat pada seluruh bagian

tanaman ini sangat sejuk. Dengan kandungan zat yang demikian, tanaman ini

sering digunakan sebagai obat untuk mengobati perut kembung karena masuk

306 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

angin dan digunakan untuk menolong orang sakit perut. Untuk membuat obat

tersebut langkah-langkah yang dapat dilakukan yaitu mencampur bagian kulit

batang dengan ketumbar 11 biji, garam arang, kemudian dilumatkan, diperas dan

disaring, lalu diminum. Selain itu dapat pula dengan mencampurkannya dengan

sindrong (sejenis rempah-rempah) yang disangrai, kemudian disemburkan.

Gambar 1: Dedap „Dedap‘(Erythrina Variegata)

(Sumber: google search)

‗Dedap‘ bermanfaat, mulai dari akar hingga muncuk (pucuknya), (2)

digunakan sebagai pembuatan berbagai sarana upacara atau bebantenan, misalnya

digunakan saat upacara Ngampak Lawang, Mendem Pedagingan, saat Upacara

Pernikahan, hingga upacara Ngaben, (3) digunakan untuk pembuatan palinggih

atau sanggah ‗tempat sembahyang‘ permanen sehingga disebut juga dengan Turus

Lumbung, dan (4)Kayu Dapdap dapat tumbuh di sembarang tempat seperti di air

dan di tanah. Uniknya, tanaman ini dapat tumbuh dan bertunas walapun

batangnya hanya menyentuh tanah dan tidak harus masuk ke dalam tanah.

Sementra itu, dalam Lontar Usada Taru Premana pohon Dapdap ‗Dedap‘

disebutkan bahwa tanaman ini memiliki manfaat sebagai tanaman untuk bahan

obat.

Dapdap ‗Dedap‘ memiliki ciri-ciri morfologis tanaman, yaitu (1)

morfologi batang, memiliki bagian kulit batang yang jika masih muda tampak

halus bergaris-garis vertikal hijau, abu-abu, coklat muda atau keputihan, terdapat

duri-duri kecil yang menempel pada bagian batangnya dan berwarna hitam, (2)

morfologi daun, daun Dedap berwarna hijau muda dengan panjang tangkai 10-40

cm, dengan panjang daun berkisar antara 9-25 cm dengan lebar daun sekitar 10-30

cm, dan (3) morfologi bunga, bunga-bunga tersusun dalam tandan berbentuk

kerucut berwarna merah yang muncul pada bagian ujung ranting yang gundul.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 307

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Gambar 2: Turus Lumbung dari Dedap Gambar3:RitualMendem Pedagingan

(Erythrina variegata) yang merupakan rangkaian

(Sumber: google search) upacara Dewa Yadnya

(Sumber: google search)

Penelusuran terhadap pustaka-pustaka lontar yang termasuk dalam Usada

Bali menunjukkan bahwa pohon Dedap memiliki manfaat yang sangat beraneka

ragam dalam penyembuhan penyakit. Usada Taru Pramana merupakan salah satu

naskah lontar yang memuat informasi mengenai pohon Dedap sebagai sarana

pengobatan. Menariknya, teks usada ini secara naratif berkisah mengenai seorang

dukun bernama Prabhu Mpu Kuturan yang kehilangan kemampuan mengobati

setelah sekian lama membantu masyarakat menyembuhkan berbagai penyakit.

Menyadari hal itu, Ia kemudian melakukan tapa brata di kuburan untuk

mengembalikan kemampuannya. Setelah genap sebulan tujuh hari, turunlah

Bhatari dari kayangan.Beliauberkenan memberi anugerah kepada Prabu Mpu

Kuturan sehingga ia memiliki keahlian untuk memanggil pepohonan untuk

ditanyai khasiatnya Pohon Dapdap „Dedap‟ memiliki manfaat untuk

menyembuhkan penyakit perut kembung, seperti yang diungkapkan dalam teks

lontar Usada Taru Pramana sebagai berikut.

Titiang taru dapdap tis wau rauh, daging titiang tis, babakan titiange

dados anggen tamba běngka, ragin ipune katumbah běbolong, 11 běsik,

uyah arěng, pipis, pěrěs saring, tahap.

Terjemahan

Saya pohon Dedap tis baru datang, kandungan zat saya sejuk, kulit hamba

bisa dipakai untuk obat perut kembung karena masuk angin,

campurannya ketumbar, 11 biji, garam arang, dilumat, diperas dan

disaring, diminum.

Berdasarkan kutipan teks lontar Usada Taru Pramana di atas, pohon Dapdap

‗Dedap‘dapat mengatasi sakit perut kembung karena kandungan zat pada seluruh

bagian tanaman ini yaitu sejuk. Dengan kandungan zat yang demikian tanaman ini

sering digunakan sebagai obat untuk perut kembung karena masuk angin dan

308 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

digunakan untuk menolong sakit perut. Untuk membuat obat tersebut langkah-

langkah yang dapat dilakukan yaitu mencampur bagian kulit batang dengan

ketumbar, 11 biji, garam arang, dilumat, diperas dan disaring, lalu diminum.

Selain itu dapat pula dengan mencampurkan sindrong (sejenis rempah-rempah)

yang disangrai setelah itu disemburkan.

3.2 Kandungan Vitamin dari Daun Dedap

Uji fitokimia ini merupakan suatu metode pengujian awal untuk mengetahui

kandungan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman obat lokal yang berperan

penting dalam penyembuhan penyakit. Hasil artikel ini diharapkan dapat

dilanjutkan dengan artikel yang lebih detil untuk menemukan suatu senyawa yang

memiliki efek farmakologi tertentu sehingga memacu penemuan obat baru yang

berasal dari keragaman jenis tanaman obat lokal. Pengujian kandungan

fitokimia pada sampel tanaman obat masih berlangsung. Hingga saat ini diperoleh

data hasil pengujian kandungan vitamin C seperti tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar Vitamin C DaunDedap

No Nama lokal Nama Latin Kadar Vitamin C

(mg/L)

1 Dapdap Erythrina variegata 606,7

Hasil pengujian menunjukkan bahwa daun Dedapmemiliki kandungan

vitamin C yaitu606,7 mg/L. Kandungan vitamin C tanaman yang diuji relatif

tinggi dibandingkan tanaman atau buah-buahan seperti cabai yang mengandung

4.5 mg/L (Badriyah et al., 2015).Vitamin C merupakan salah satu vitamin yang

seringkali dikaitkan dengan peningkatan daya tahan tubuh (Aina dan Suprayogi,

2011). Vitamin C berperan efektif untuk mengatasi radikal bebas yang merusak

sel atau jaringan. Vitamin C saat ini merupakan jenis vitamin yang paling populer

di masyarakat karena khasiatnya yang dikenal untuk kesehatan.

4. Simpulan

Manfaat dari tanaman Dedapadalah secara morfologi tanaman, zat yang

terkandung dalam tanamanDedap dapat menyembuhkan penyakit, cara

pengobatinya, pengobatan baik untuk penyakit baik yang disebabkan oleh kausa

sakala (Naturalistrik) dan kausa niskala (Personalistik) dan wujud obatnya.

Hasil pengujian menunjukkan bahwa daun Dedapmemiliki kandungan vitamin

C yaitu 606,7 mg/L.

Daftar Pustaka

Aina, M., dan Suprayogi, D. (2011). Uji Kualitatif Vitamin C pada Berbagai

Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Pemanasan. Sainmatika. 3(1): 61-67.

Almatsier, S. (2002). Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Halaman 188.

Anom, Ida Bagus. 2011. Indik Taru. Denpasar: CV Kayu Mas Agung.

Badriyah, L. dan A. B. Manggara. 2015. Penetapan Kadar Vitamin C Pada Cabai

Merah (Capsicum Annum L.) Menggunakan Metode Spektrofotometri UV

Vis. Jurnal Wiyata 2(1): 25 – 28.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 309

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Dewoto, H. R., dan Wardhini B. P., S. (1995). Vitamin dan Mineral. Dalam:

Farmakologi dan Terapi Edisi Keempat. Editor: Ganiswara, S. G. Jakarta:

Gaya Baru. Halaman 714, 722.

Khotimah, K. 2016. Skrining Fitokimia dan Indentifikasi Metabolit Sekunder

Senyawa Karpain pada Ekstrak Metanol Daun Carica pubescens Lenne & K.

Koch dengan LC/MS (Liquid Chromatograph-tandem Mass Spectrometry).

Skripsi. Fakultas Sains ndan Teknologi. UIN Maulana Malik Ibrahim

Malang.

Kristianti, A. N., N.S. Aminah, M. Tanjung dan B. Kurniadi. 2008. Buku Ajar

Fitokimia. Jurusan Kimia Laboratorium Kimia Organik. FMIPA,

Universitas Airlangga,Surabaya.

Linder, M. (1985). Nutritional Biochemistry and Metabolism. Penerjemah:

Parakkasi, A. (1992). Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Jakarta: UI-Press.

Halaman 165, 178.

Nasution, S. E. 2018. Analisis Dan Perbandingan Kadar Vitamin C Pada Buah

Srikaya (Annona squamosa L.) Dan Buah Sirsak (Annona muricata L.)

Secara Titrasi Volumetri Dengan 2,6-Diklorofenol Indofenol. Skripsi.

Fakultas Farmasi, Universitas Sumatra Utara, Medan.

Palguna, I.B.M.Darma 2008. Leksikon Hindu. Mataram: Sadampatyaksara.

Winarno. 2008. Kimia Pangan dan Gizi. PT Gramedia Utama. Jakarta

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 310

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KESANTUNAN BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM

AIMAI HYŌGEN

Ni Made Andry Anita Dewi, Ni Putu Luhur Wedayanti

Program Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected], [email protected]

ABSTRAK

Kesantunan berbahasa merupakan salah satu topik kebahasaan

yang cukup banyak dikaji dalam penelitian. Kesantunan berbahasa

dalam beberapa tahun belakangan ini tidak hanya berfokus pada

masalah linguistik, akan tetapi juga dapat dikaitan dengan budaya

masyarakat penutur bahasa yang melatarbelakanginya. Salah

satunya adalah aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas).

Aimai hyōgen merupakan salah satu konsep berkomunikasi yang

masih digunakan oleh penutur masyarakat Jepang. Konsep aimai

hyōgen ini berfokus pada gaya bahasa yang digunakan melalui

makna-makna yang tidak jelas atau tidak pasti oleh karena terlalu

banyaknya makna yang dimiliki oleh ungkapan tersebut. Hal ini

bertujuan untuk menghindari penggunaan ungkapan yang lugas,

tegas, dan jelas. Berdasarkan fenomena tersebut, maka beberapa

aimai hyōgen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan Leech

dibahas dalam makalah ini.

Kata kunci: aimai hyōgen, kesantunan berbahasa, maksim

kesantunan

PENDAHULUAN

Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) merupakan salah satu konsep

strategi berkomunikasi yang masih digunakan dalam masyarakat Jepang yang

dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditafsirkan memiliki lebih dari

satu makna yang dimaksudkan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan,

ketidaktentuan, dan ketidakpastian. Masyarakat non Jepang menganggap bahwa

masyarakat Jepang pada umumnya memiliki rasa toleransi yang cukup tinggi

terhadap ambiguitas. Rasa toleransi terhadap ambiguitas ini dianggap sebagai

salah satu karakteristik budaya Jepang. Masyarakat Jepang dianggap cenderung

menghindari mengutarakan sesuatu secara terbuka dalam interaksi sosialnya.

Mereka pada umumnya masih berpegang pada prinsip bahwa hal yang

disampaikan secara lugas dan terbuka kepada mitra tutur dianggap tidak sopan

karena seolah-olah menganggap mitra tutur tidak mengetahui topik yang

dibicarakan (Davies & Ikeno, 2002).

Varisi aimai hyōgen dapat ditemukan dalam bentuk tuturan lisan dalam

kehidupan sehari-hari baik dalam lingkungan keluarga maupun lingkungan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 311

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pekerjaan. Salah satunya adalah bentuk tuturan lisan yang digunakan oleh staf

hotel terhadap mitra tuturnya yaitu tamu hotel. Pada situasi pekerjaan di

perhotelan, aimai hyōgen cukup banyak digunakan oleh staf hotel untuk melayani

atau memenuhi kebutuhan tamu. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka pada

makalah ini dibahas mengenai ungkapan ambiguitas pada beberapa ungkapan

aimai hyōgen yang dikaitkan dengan prinsip kesantunan yang diklasifikasikan

oleh Leech.

Data yang digunakan dalam makalah ini diambil dari drama berbahasa

Jepang yang berjudul Hotel Concierge(ホテルコンシェルジュ) yang

ditayangkan oleh stasiun televisi TBS Jepang dari tanggal 07 Juli sampai 22

September 2015.

PEMBAHASAN

Berikut merupakan Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) yang digunakan

oleh staf hotel pada saat merespon permintaan tamu hotel yang terdapat dalam

drama Hotel Concierge (ホテルコンシェルジュ)(2015).

1. Penggunaan aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan o-

kimochi dake de kekkō desu node

Data 1

Sutaffu 1 : Shitsurei itashimasu.

Sugano : Arigatō.

Tadaima.

Sutaffu 2 : Mōshiwake gozaimasen, Sugano-sama.

O-kaeri ni maniawanakute.

Sugano : Ii no. Ii no. Watashi ga hayaku kaette kichattakara.

Sutaffu 3 : Sugu sumasemasu node.

Sugano : Heiki heiki. Awatenai de ne.

Sou da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira.

Sutaffu 2 : O-kimochi dake de kekkō desu node.

Sugano : Ii kara. Ii kara. Ja, hora. O-dango.

Sutaffu 2&3 : Arigatō gozaimasu.

Sutaffu 3 : Kono mae itadaita umeboshi mo sugoku oishikatta desu.

(Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:06.27-

07.00)

Terjemahan:

Staf 1 : Permisi.

Bu Sugano : Terima kasih.

Saya pulang.

Staf 2 : Mohon maaf, Bu Sugano.

Kami belum selesai membersihkan kamarnya.

Bu Sugano : Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Saya yang pulang terlalu cepat.

Staf 3 : Kami akan segera menyelesaikannya.

Bu Sugano : Pelan-pelan…pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru ya.

Oya, kamu mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?

312 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Staf 2 : Terima kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot).

Bu Sugano : Tidak apa-apa…tidak apa-apa. Kalau begitu, ayo ini dango.

Staf 2&3 : Terima kasih banyak.

Staf 3 : Umeboshi yang Ibu berikan kepada saya waktu ini juga sangat

enak.

Situasi dalam percakapan dilakukan antara staf hotel dengan Bu Sugano

(tamu hotel). Bu Sugano yang sedang keluar dari kamarnya, tiba-tiba kembali

dalam waktu yang tidak lama. Saat Bu Sugano tidak berada di dalam kamar hotel,

dua orang staf sedang membersihkan kamarnya.

Bu Sugano merupakan salah satu tamu yang masa tinggal di hotel

Vollmond dalam waktu yang cukup lama. Oleh karena itu, hubungan antara para

staf hotel dan Bu Sugano sangat baik. Begitu juga yang terlihat pada percakapan

di atas, Bu Sugano digambarkan membawa buah tangan yang ingin diberikan

kepada dua orang staf hotel yang sedang membersihkan kamarnya. Ini terlihat

dalam tuturan sō da, anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira ‗oya,

kamu mau yang mana ya. Anmatsu atau dango?‘. Penawaran bu Sugano direspon

oleh staf hotel dengan tuturan berikut o-kimochi dake de kekkō desu node ‗Terima

kasih banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot)‘.

Aimai hyōgen ini apabila dituturkan memiliki makna bahwa si penutur

mengutarakan perasaan terima kasih atas kebaikan dari mitra tutur. Akan tetapi,

aimai hyōgen ini cenderung bermakna menolak sesuatu yang ditawarkan oleh

mitra tutur. Begitu pula yang tergambar pada percakapan diatas. Bu Sugano

menawari penganan anmatsu dan o-dango kepada dua orang staf yang sedang

membersihkan kamarnya. Namun, tawaran Bu Sugano ditolak secara halus salah

seorang staf tersebut dengan ungkapan o-kimochi dake de kekkou desu node.

Dalam bahasa Indonesia mungkin tidak memiliki padanan yang tepat untuk

ungkapan tersebut. Akan tetapi secara sederhana ungkapan tersebut memiliki

makna ‗Saya menghargai perasaan/niat baik (kebaikan) Anda (menawarkan saya

hal tersebut). Jadi, Anda tidak perlu (repot-repot) sampai menyiapkan sesuatu

(untuk saya)‘.

Dalam konteks diatas, penolakan staf hotel yang ditujukan kepada Bu

Sugano sebenarnya salah satu etika yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa

Jepang dalam berinteraksi dalam komunitasnya. Jika dilihat dari posisi staf hotel,

maka menerima sesuatu yang berupa buah tangan merupakan hal yang tidak lazim

dilakukan. Oleh karena alasan itulah, staf tersebut berupaya menolak tawaran Bu

Sugano. Selain itu, etika berinteraksi dalam masyarakat Jepang dilandasi dengan

konsep honne tatemae. Menurut Honna & Hoffer (1986) dalam an English

dictionary of Japanese culture, Honne didefinisikan sebagai motif atau niat dalam

seseorang yang sebenarnya. Sebaliknya, tatemae didefinisikan sebagai motif atau

niat yang disesuaikan secara sosial dan norma yang berlaku dan disepakati

masyarakat Jepang. Secara sederhana dapat dikatakan bahawa motif atau niat

tersebut yang dibentuk, didorong, atau ditekan oleh norma-norma mayoritas yang

berlaku (Davies & Ikeno, 2002:115). Mengacu pada definisi tersebut, maka latar

belakang sikap penolakan yang dilakukan staf hotel didasari konsep tatemae

tersebut. Etika dalam masyarakat Jepang pada saat ditawari sesuatu adalah dengan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 313

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

menolak sebagai salah satu bentuk basa basi. Apabila menerima tawaran dari

seseorang, diharapkan tidak langsung menerimanya. Namun menunggu tawaran

berikutnya dari mitra tutur.

Maksim Penghargaan

Dalam tuturan antara staf hotel dengan Bu Sugano terwujud salah satu

maksim kesantunan yang muncul yaitu maksim penghargaan. Maksim

penghargaan tersirat dalam aimai hyōgen yaitu o-kimochi dake de kekkō desu

node. Staf hotel menghargai perbuatan baik Bu Sugano yang menawari dirinya

buah tangan berupa anmatsu atau o-dango. Melalui ungkapan tersebut, staf hotel

menyampaikan rasa terima kasih atas perbuatan baik yang dilakukan Bu Sugano.

Maksim penghargaan merupakan salah satu bentuk prinsip kesantunan dengan

memaksimalkan pujian atau penghargaan kepada mitra tutur (Rahadi, 2005: 59).

Maksim Kebijaksanaan

Terdapat maksin lain yang terwujud dalam percakapan diatas yaitu

maksim kebijaksanaan. Hal ini terlihat pada percakapan staf hotel dan Bu Sugano.

Staf hotel yang mengetahui Bu Sugano kembali ke kamar lebih awal berusaha

untuk membersihkan kamar lebih cepat. Tuturan staf hotel yang menyatakan

maksim kebijaksanaan yaitu: sugu sumasemasu node ‗kami akan segera

menyelesaikannya‘.

Maksim kebijksanaan menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat

memaksimalkan keuntungan orang lain dan mengurangi kerugian orang lain

(Rahadi, 2005:59). Maksim tersebut tersirat dalam tindakan yang diambil staf

hotel untuk sesegera mungkin membersihkan kamar Bu Sugano. Meskipun,

sebenarnya staf hotel tidak melakukan kesalahan apapun dalam hal ini. Justru, Bu

Sugano yang terlalu cepat kembali ke kamar, yang menyebabkan perkerjaan staf

hotel tidak selesai sesuai jadwal. Akan tetapi, staf hotel menyikapi kejadian ini

dengan bijaksana. Mereka berprinsip bahwa kenyamanan adalah hak tamu. Oleh

karena itu, apapun dilakukan untuk memaksimalkan keuntungan tamu dan

meminimalisir kerugian tamu.

2. Penggunaan aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) pada ungkapan

tondemo gozaimasen.

Data 2

Sutaffu 1 : Taihen shitsurei itashimasu.

Sutaffu 2&3 : Shitsurei itashimashita.

Isaka : Iie, chekku auto jikan kanchigai shite ita watashi ga waruin desu.

Sutaffu 1 : Tondemo gozaimasen.

Isaka : Sore ni, watashi, depojitto no koto, sukkari wasuretete. A, ima

ATM de.

Sutaffu 1 : Osore irimasu.

Sugano : Gokai saseru na koto nashite, mōshiwake nai desu.

Sutaffu 1 : Tondemo gozaimasen.

Shitsurei itashimashita.

314 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Isaka : Mou, yōshite kudasai.

A, tokoro de, hitotsu onegai ga arimashite.

Sutaffu : Nan deshou.

Isaka : Jitsu wa, shucchō ga nobichaimashite, oheya ga aitereba,

ato ni haku sasete itadakereba to.

Sutaffu : Mochiron go-yōi sasete itadakimasu.

Isaka : Yokattaa.

Sutaffu : Isaka sama, yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete

itadakitai no desu ga. Ryōkin wa mochiron sūji no mama kekkō

desu node.

Isaka : Hee, iin desu ka. Arigatō gozaimasu.

(Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:19.40-20.33:

2015)

Terjemahan:

Staf 1 : Mohon maaf.

Staf 2&3 : Kami minta maaf.

Pak Isaka : Tidak, saya yang salah. Saya salah mengerti tentang waktu check

out.

Staf 1 : Tidak apa-apa.

Pak Isaka : Lalu, saya juga benar-benar lupa mengenai uang deposit.

Oya, ini uangnya dari ATM.

Staf 1 : Terima kasih. Maaf merepotkan.

Pak Isaka : Saya minta maaf karena telah membuat Anda semua

salah paham.

Staf 1 : Tidak apa-apa. Kami juga minta maaf.

Pak Isaka : Sudahlah. Silakan diterima (uangnya).

Oya, ngomong-ngomong, saya ingin minta tolong tentang

satu hal.

Staf : Iya, bagaimana ya?

Pak Isaka : Sebenarnya dinas saya diperpanjang…

Jika ada kamar kosong, bisakah saya menginap 2 hari lagi?

Staf : Tentu saja. Kami akan siapkan.

Pak Isaka : Syukurlah.

Staf : Bapak Isaka, apabila berkenan, kami bisa upgrade

kamar Bapak.

Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya sebelumnya.

Pak Isaka : Oya? Benarkah? Terima kasih banyak.

Pada situasi data 2 diatas digambarkan percakapan antara seorang tamu

hotel dengan tiga orang staf hotel. Tamu hotel bernama Pak Isaka, yang dicurigai

berencana melakukan kejahatan yang dikenal dengan istilah ―スキッパー“ .

Istilah ini berasal dari bahasa Inggris yaitu skipper. Dalam istilah perhotelan

Jepang, ―スキッパー“yaitu jenis kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang

dengan metode membuat reservasi di hotel pada hari bersamaan dengan waktu

menginap, lalu memperpanjang masa menginap, menggunakan segala fasilitas

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 315

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

hotel, namun menjelang pembayaran, yang bersangkutan akan pergi

meninggalkan hotel secara diam-diam untuk menghindari tagihan hotel.

Begitu juga dugaan staf hotel Vollmond terhadap Pak Isaka. Oleh karena

prilaku Pak Isaka yang terkesan mencurigakan, maka pihak hotel mencurigainya

sebagai seorang skipper. Hal ini dikarenakan, kamar yang ditempati Pak Isaka

telah kosong pada saat waktu check out telah tiba. Para staf hotel dibuat panik

oleh Pak Isaka karena hal tersebut. Namun, ternyata ada kesalahpaham yang

terjadi. Pak Isaka ternyata bermaksud mengambil uang tunai di ATM dengan

membawa seluruh barangnya. Pihak hotel menduga Pak Isaka pergi meninggalkan

hotel tanpa membayar tagihan. Sekembalinya ke hotel, Pak Isaka menjelaskan

semuanya, bahwa dirinya salah paham mengenai waktu check out, sehingga

keluar hotel sebelum membayar tagihan menginap. Pak Isaka meminta maaf

kepada para staf hotel yang terlihat melalui tuturan ―iie, chekku auto jikan

kanchigai shite ita watashi ga waruin desu”, ‗Tidak, saya yang salah. Saya salah

mengerti tentang waktu check out‘. Tuturan tersebut direspon oleh staf hotel

dalam aimai hyōgen, yaitu tondemo gozaimasen.

Pada tuturan berikutnya, Pak Isaka kembali meminta maaf atas kesalahan

yang dirinya perbuat secara tidak sengaja yaitu terlupa menyerahkan uang deposit

kepada pihak hotel. Pernyataan maaf tersebut terdapat dalam tuturan Gokai saseru

na koto nashite, mōshiwake nai desu ‗Saya minta maaf karena telah membuat

Anda semua salah paham. Permintaan maaf Pak Isaka direspon kembali oleh staf

hotel dengan ungkapan tondemo gozaimasen ‗Tidak apa-apa. Kami (juga) minta

maaf‘.

Ungkapan tondemo gozaimasen merupakan salah satu ungkapan

ambiguitas yang terdapat dalam bahasa Jepang dan cukup sering digunakan oleh

staf hotel dalam berkomunikasi dengan tamu hotel. Aimai hyōgen tondemo

gozaimasen berasal dari bentuk tondemo nai. Pada dasarnya kedua ungkapan

tersebut memiliki makna yang sama. Hanya saja bentuk tondemo gozaimasen

merupakan bentuk ragam bahasa hormat (keigo), sedangkan tondemo nai

merupakan bentuk sopan.

Dalam kamus pemakaian bahasa Jepang dasar (1988:1225), dinyatakan

terdapat tiga makna penggunaan ungkapan tondemo gozaimasen. Yang pertama

adalah bahwa ungkapan tersebut merujuk pada sesuatu hal yang tidak masuk akal

(diluar dugaan) yang cenderung mengarah ke penilaian yang negatif. Yang kedua

adalah ungkapan tersebut dapat bermakna bahwa sesuatu hal tidak mungkin

terjadi (mustahil) atau sama sekali tidak bisa diampuni. Yang ketiga adalah

ungkapan tondemo gozaimasen yang digunakan untuk menolak pernyataan mitra

tutur. Pernyataan yang pada umumnya ditolak yaitu berupa pujian.

Berbeda dengan ketiga makna diatas, ungkapan tondemo gozaimasen yang

digunakan oleh staf hotel pada data di atas digunakan sebagai negasi (penolakan)

terhadap tuturan mitra tutur yang disebutkan sebelumnya. Adapun bentuk tuturan

yang diujarkan oleh Pak Isaka adalah berupa permintaan maaf atas masalah yang

telah dilakukan sehingga membuat kepanikan pihak hotel. Pada kenyataannya,

316 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

perbuatan yang dilakukan oleh Pak Isaka memang telah menimbulkan kekacauan

di hotel. Akan tetapi, sebagai pihak yang selalu memprioritaskan kenyamanan

tamu, staf hotel merespon permintaan maaf tersebut dengan ungkapan ambiguitas

tondemo gozaimasen, yang bermakna bahwa tindakan tamu (Pak Isaka) ―dianggap‖

bukan suatu masalah oleh pihak hotel. Sebaliknya staf hotel justru turut

menyampaikan permintaan maaf atas kejadian tersebut. Hal ini terlihat pada

ungkapan taihen shitsurei itashimashita dan shitsurei itashimashita. Hal ini

merupakan salah satu strategi komunikasi yang digunakan oleh staf hotel dengan

tujuan menyelamatkan muka (posisi) tamu agar tidak merasa dipermalukan.

Maksim Pemufakatan

Percakapan pada data 2 di atas yang terjadi antara staf dengan tamu hotel

mewujudkan salah satu prinsip kesantunan berbahasa yaitu maksim kemufakatan.

Hal ini terlihat dari kebijakan yang diberikan diberikan oleh pihak hotel pada saat

tamu terlupa memenuhi kewajiban untuk membayar deposit. Hal ini juga diiikuti

oleh kesadaran tamu yang memiliki niat baik untuk kembali ke hotel untuk

memenuhi kewajiban dan sekaligus meminta maaf kepada pihak hotel. Pihak

hotel merespon tindakan tamu dengan menerima uang deposit yang terlambat

dibayarkan. Selain itu, tindakan tamu yang segera meminta maaf kepada staf hotel

atas keteledoran yang dilakukan, direspon positif oleh staf hotel, yaitu dengan

menerima uang deposit dan dan juga menerima permintaan maaf tamu hotel

melalui ungkapan tondemo gozaiamsen ―tidak apa-apa‖. Melalui situasi tersebut

dapat dikatakan terjadi pemufakatan antara pihak hotel dengan tamu.

Maksim Kebijaksanaan

Dalam percakapan antara staf hotel dengan Pak Isaka, dapat dilihat bahwa

ada sebuah kebijakan yang diberikan pihak hotel melalui pemberian kompensasi

atas keteledorannya menduga tamu sebagai seorang skipper. Tuduhan tersebut

tentu saja memberikan rasa tidak nyaman kepada Pak Isaka. Sebagai upaya untuk

menebus keteledoran tersebut, maka pihak hotel memberikan tawaran kompensasi

berupa upgrade kamar kepada Pak Isaka. Hal ini terlihat pada tuturan Isaka sama,

yoroshikereba, o-heya wo appuguredo sasete itadakitai no desu ga. Ryōkin wa

mochiron sūji no mama kekkō desu node ‗Bapak Isaka, apabila berkenan, kami

bisa upgrade kamar Bapak. Biaya kamar tentu saja sama seperti biaya

sebelumnya‘. Kebijakan pihak hotel ini diterima dengan senang hati oleh Pak

Isaka. Dengan demikian maksim kebijaksanaan yang diterapkan pihak hotel

diterima dengan senang hati oleh Pak Isaka.

SIMPULAN

Kesantunan berbahasa dalam bidang perhotelan seperti yang terdapat

dalam drama Hotel Concierge (コンシェルジュ) cukup banyak ditemukan

dalam bentuk tuturan aimai hyōgen. Aimai hyōgen ini juga cukup sering

digunakan oleh staf hotel terhadap tamu hotel. Bentuk tuturan seperti o-kimochi

dake de kekkō desu node dan tondemo gozaimasen digunakan untuk menghindari

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 317

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pemakaian ungkapan yang terlalu lugas dan terbuka. Hal ini dikarenakan adanya

budaya masyarakat Jepang membatasi tuturan yang diucapkan secara lugas dan

terbuka, karena dianggap melanggar kesopanan.

DAFTAR PUSTAKA

Davies, Roger dan Ikeno, Osamu.2002. The Japanese Mind. Tuttle Publishing:

Tokyo.

Honna, N., & Hoffer, B. (eds).1986. An English dictionary of Japanese culture.

Tokyo: Yuhikaku.

Rahadi, Kunjana. 2005. Pragmatik Kesantunan Imperatif Bahasa Indonesia.

Jakarta: Erlangga.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 318

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

REPRESENTASI IDENTITAS DALAM GAYA HIDUP PEREMPUAN

BALI MASA KINI

Ni Made Wiasti, dan Ni Luh Arjani

Program Studi Antropologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah ―terwujudnya pemahaman

keberagaman budaya berbasis pengetahuan lokal‖. Tujuan tersebut

hendak dicapai dengan mewujudkan target khusus penelitian, yaitu

pemahaman tentang gaya hidup perempuan Bali masa kini. Untuk

itu, permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah

bagaimana perempuan Bali memaknai identitas mereka yang

direpresentasikan melalui gaya hidup. Adapun fokus penelitian

adalah: 1) bentuk gaya hidup hedonisme di kalangan remaja putri,

2) implikasinya terhadap representasi identitas perempuan Bali

masa kini.Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode

kualitatif melalui teknik pengumpulan data dengan observasi dan

wawancara. Analisis data menggunakan análisis diskriptif

interpretatif.

Temuan penelitian menunjukkan bahwa gaya hidup hedonisme

remaja putri adalah dengan membentuk komunitas yang mereka

beri nama (WBA) yakni tempat mereka mengaktualisasikan diri

sebebas-bebasnya untuk mencari kebahagiaan sebanyak mungkin

dan sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang

menyakitkan. Implikasi terhadap representasi identitas perempuan

Bali masa kini adalah munculnya konstruksi kecantikan perempuan

Bali postmodern yang mengarah pencitraan dan gaya hidup. Cantik

bagi perempuan Bali bukan merupakan persoalan privat semata,

karena apa yang ditampilkan perempuan dengan tubuhnya menjadi

konsumsi publik.

Kata Kunci: representasi, identitas, gaya hidup, perempuan Bali

masa kini.

1. Pendahuluan

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah representasi

identitas yang terkait gaya hidup perempuan Bali sebagai akibat arus

globalisasi masa kini. Bisa dikatakan bahwa globalisasi hampir menjadi

kosa kata yang tidak pernah ketinggalan dalam pembicaraan di forum-forum ilmiah, ruang diskusi, halaman surat kabar, program televisi hingga warung

kopi. Pengertian globalisasi sendiri seringkali dipakai untuk merujuk pada

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 319

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

perluasan dan pendalaman arus perdagangan, modal, teknologi, informasi

internasional dalam sebuah pasar global yang terintegrasi. Pengertian

lainnya, globalisasi dipandang sebagai proses liberalisasi pasar nasional dan global yang mengarah pada kebebasan arus perdagangan, modal atau

informasi dengan kepercayaan bahwa situasi tersebut akan menciptakan

pertumbuhan dan kesejahteraan manusia (Petras & Veltmeyer, 2001: 11). Dua pengertian itu mengandung asumsi bahwa fenomena globalisasi

merupakan sesuatu yang tak terelakkan, sesuatu yang pasti terjadi, dan

mengharuskan masyarakat melakukan adaptasi atas perubahan yang terjadi.

Pada kenyataannya, fenomena globalisasi mengubah banyak aspek

kehidupan manusia. Perubahan arus perdagangan internasional membuat

berbagai produk yang dibuat di negara-negara belahan benua Eropa atau

Amerika dapat dikonsumsi oleh warga masyarakat di benua Afrika atau pun

Asia. Globalisasi juga mampu mengubah gaya hidup seseorang maupun

kelompok. Gaya hidup, baik dari sudut pandang individual maupun kolektif,

mengandung pengertian sebagai tata cara hidup mencakup sekumpulan

kebiasaan, pandangan, dan pola-pola respons terhadap hidup, perlengkapan

untuk hidup, dan keterlibatan dengan kelompok sosial tertentu dalam

kesehariannya. Gaya hidup merupakan hasil interaksi manusia dengan dunia

fisik. Singkatnya, gaya hidup dipengaruhi dan mempengaruhi lingkungan

sosial dan fisik (Takwin, 2006:36-38). Kini gaya hidup dominan yang muncul sebagai dampak dari

globalisasi adalah hedonisme. Hedonisme adalah pandangan hidup yang

menganggap bahwa orang akan menjadi bahagia dengan mencari

kebahagiaan sebanyak mungkin dan sedapat mungkin menghindari

perasaan-perasaan yang menyakitkan. Hedonisme merupakan ajaran atau

pandangan bahwa kesenangan atau kenikmatan merupakan tujuan hidup dan

tindakan manusia. Hedonisme muncul pada awal sejarah filsafat sekitar

tahun 433 SM. Hedonisme ingin menjawab pertanyaan filsafat "apa yang

menjadi hal terbaik bagi manusia?". Hal ini diawali dengan Sokrates yang

menanyakan tentang apa yang sebenarnya menjadi tujuan akhir manusia.

Lalu Aristippos dari Kyrene (433-355 SM) menjawab bahwa yang menjadi

hal terbaik bagi manusia adalah kesenangan. Aristippos memaparkan bahwa

manusia sejak masa kecilnya selalu mencari kesenangan dan bila tidak

mencapainya, manusia itu akan mencari sesuatu yang lain lagi. Pandangan

tentang 'kesenangan' (hedonisme) ini kemudian dilanjutkan seorang filsuf

Yunani lain bernama Epikuros (341-270 SM). Menurutnya, tindakan

manusia yang mencari kesenangan adalah kodrat alamiah. Meskipun

demikian, hedonisme Epikurean lebih luas karena tidak hanya mencakup

kesenangan badani saja— seperti Kaum Aristippos--, melainkan kesenangan

rohani juga, seperti terbebasnya jiwa dari keresahan.

https://id.wikipedia.org/wiki/Hedonisme

Saat ini gaya hidup hedonis diduga banyak merasuki kehidupan remaja putri di Bali, terlebih-lebih mereka yang tergabung dalam kelompok atau komunitas yang tersebar di Kota Denpasar. Berdasarkan fenomena

320 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan memahami beberapa hal, yakni: bentuk gaya hidup hedonis remaja putri, dan implikasinya terhadap representasi identitas perempuan Bali masa kini.

2. Metodologi

Lokasi penelitian adalah di wilayah Kota Denpasar, mengingat Kota

Denpasar adalah miniatur Bali dengan yang kental dengan nuansa

multikultural banyak ditemukan komunitas remaja. Penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan pendekatan penelitian kualitatif yang lebih

mengandalkan teknik pengamatan (observasi), wawancara mendalam, dan

studi dokumen. Dalam upaya mepengumpulan data dan informasi yang dilakukan melalui langkah-langkah: penentuan lokasi penelitian, penentuan

informan, pengamatan (observasi), wawancara mendalam,dan mendalami

dokumen terkait. Teknik analisis data dilakukan dengan teknik analisis

deskriptip interpretatif.

3. Pembahasan 3. 1. Gaya Hidup Hedonisme di Kalangan Remaja Putri Studi Kasus Komunitas Warung Bumi Ayu (WBA), Jalan Gunung Agung,

Kota Denpasar Remaja merupakan masa-masa yang paling menyenangkan pada umumnya. Fase

perkembangan remaja merupakan masa yang paling rentan dan kritis. Hal ini dimaksudkan karena masa remaja merupakan masa penyempurnaan dari perkembangan pada tahap-tahap sebelumnya. Definisi remaja untuk masyarakat Indonesia memiliki batasan umur antara 11 tahun hingga 24

tahun dan belum menikah (Sarlito, 2003:11-14). Globalisasi dan pergaulan teman sebaya mempengaruhi gaya hidup

remaja. Hal ini terkait dengan konsumerisme yang dicerminkan oleh

pengunaan IPTEK, trend fashion dari media massa, transportasi serta alat

telekomunikasi yang kemudian membawa informasi kepada para remaja ini.

Menurut Steven Miles (dalam Soedjatmiko, 2008:9), konsumerisme

merupakan suatu pola pikir atau tindakan di mana orang membeli barang

bukan karena dia membutuhkan barang melainkan karena tindakan membeli

itu sendiri memberikan kepuasan kepadanya. Dengan kata lain,

konsumerisme sebagai wujud pemuasan kebutuhan identitas dan makna,

serta memiliki fungsi sosial dan ekonomis. Gaya hidup tersebut

mempengaruhi ideologi dan perilaku remaja yang dapat kita lihat dalam

gaya hidup hedonisme. Hal ini juga terjadi pada remaja putri komunitas

WBA. Remaja putri memiliki citra di masyarakat sebagai sosok kelembutan,

kesederhanaan, kepedulian, ketidakegoisan, diam di rumah dan tidak

terpengaruh oleh hal yang negatif. Namun faktanya, remaja putri di

komunitas Warung Bumi Ayu (WBA) tidak demikian. Tampak perilaku

para remaja putri dalam komunitas ini mengarah pada gaya hidup

hedonisme. Gaya hidup hedonisme menimbulkan pelanggaran status seperti

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 321

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah, berkelahi, merusak infra

struktur (vandalism), merokok di lingkungan atau di luar lingkungan sekolah,

penggunaan minuman beralkohol dan melanggar jam malam yang diberikan

orang tua, hingga pelanggaran hukum seperti perjudian, penggunaan

narkotika, seks bebas dan juga track-trackan (kebut-kebutan).

3.2 Bentuk Aktivitas Komunitas WBA Sejak tahun 2003 komunitas ini sering melakukan aktivitas

nongkrong di Warung Bumi Ayu. Anggotanya didominasi remaja laki-laki,

namun tidak memungkiri adanya remaja perempuan dalam komunitas ini.

Para remaja ini sama halnya dengan remaja umumnya mengaktualisasikan dirinya dengan cara berinteraksi dan membentuk suatu komunitas guna

menjaga eksistensi dirinya di masyarakat atau kalangan remaja seusianya

yaitu komunitas WBA (Warung Bumi Ayu). Remaja WBA melakukan

aktivitas nongkrong di WBA disebabkan oleh munculnya oleh penolakan

dari teman sebayanya, keluarga yang kurang harmonis dan ajakan dari

teman-teman yang memiliki pemikiran yang sama. Bentuk aktivitas lainnya dilakukan di lingkungan WBA (internal)

dan di luar lingkungan WBA (eksternal). Aktivitas internal remaja WBA di

antaranya mengadakan pesta (party), aksi corat coret tembok (vandalism) dan main spirit (judi kartu). Aktivitas eksternal remaja WBA yaitu

mengikuti lomba layang-layang, olahraga bersama, tour ke luar kota, track-

trackan hingga clubbing atau ke tempat hiburan malam. Aktivitas yang

mereka lakukan dalam wadah suatu komunitas memunculkan karakteristik

tersendiri pada komunitasnya berupa penerimaan anggota baru, hubungan

komunitasnya dengan komunitas lain, gaya hidup yang sama hingga penggunaan bahasa pergaulan.

3.3 Faktor Penyebab Gaya Hidup Hedonisme Efek dari era konsumsi atau konsumerisme telah dialami oleh

berbagai lapisan masyarakat di dunia, tidak terkecuali remaja putri

komunitas WBA. Sebagai remaja tentunya akan update terhadap apapun

yang menjadi perkembangan trend dan juga IPTEK seperti style fashion,

gadget, gaya rambut, bahasa pergaulan, tattoo dan masih banyak lagi gaya

hidup lainnya. Inilah yang menyebabkan perilaku hedonisme muncul tanpa

disadari oleh pelakunya. Budaya konsumerisme menjadi labelling dari

berbagai pihak untuk mempertahankan citra mereka di masyarakat. Menurut

Goffman (dalam Sutrisno, 2005:81) labelling sering diartikan sebagai cap

sosial atas seorang individu sehingga terjadi semacam kontrol sosial atas diri

seorang individu. Gaya hidup konsumerisme yang dilakukan oleh remaja

putri WBA merupakan salah satu penopang labeling pada diri remaja

tersebut. Mereka akan mempertahankan label tersebut demi cap sosial yang

mereka dapatkan agar tetap eksis di kalangan komunitasnya.

322 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Gaya hidup konsumerisme yang dilakoni oleh para remaja putri

WBA tentunya tidak terlepas dari peniruan (imitation) budaya baru yang

berkembang saat ini. Imitasi merupakan proses sosial atau tindakan

seseorang untuk meniru orang lain, baik sikap, berpenampilan, gaya bicara,

gaya hidup, bahkan apapun yang dimiliki oleh orang lain (Ahmadi, 2007:52).

Peranan imitasi dalam gaya hidup hedonis ini tidak kecil, terbukti dari para

remaja putri WBA yang mengikuti perkembangan trend mode yang

berkembang di masyarakat melalui televisi, majalah fashion, jejaring sosial

serta kecanggihan teknologi lainnya. Faktor penyebab hedonisme lainnya

adalah sugesti (suggestion) yang secara internal ialah pengaruh psikis, baik

yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada umumnya

diterima tanpa adanya daya kritik. Sugesti dapat dirumuskan sebagai suatu

proses di mana seseorang individu menerima suatu cara penglihatan atau

pedoman-pedoman tingkah laku dari orang lain tanpa kritik terlebih dahulu

(Ahmadi, 2007:54). Rasa takut akan di-bully, diejek, gengsi yang tinggi dan

dijauhi teman-temannya karena ketidakmampuan remaja putri WBA untuk

mengikuti gaya hidup lingkungan atau tempatnya bergaul dapat

dikategorikan ke dalam sebuah sugesti. Padahal kenyataannya tidak ada kata-kata yang jelas ataupun kritikan

terhadap satu sama lain bahwa apabila memiliki gaya hidup yang berbeda

ataupun berbeda kelas akan terjadi perpecahan ataupun adanya diskriminasi

terhadap remaja putri tersebut. Apabila hal ini terjadi pada kalangan kelas

sosial menengah ke bawah yang tentunya akan menimbulkan masalah baru

di mana seseorang dengan kelas sosial rendah akan memaksakan kehendaknya dengan berbagai cara untuk menaikkan kelas sosialnya, dalam

hal ini disebut dengan social mobility vertical (Soekanto, 2004:249).

3.4 Dampak Gaya Hidup Hedonisme Pada dasarnya perilaku hedonis berlanjut dan tidak bisa dihentikan

ketika pelaku hedonis sudah tidak diterima di kalangan remaja putri biasa,

sehingga pelaku hedonis sebisa mungkin mempertahankan gengsinya agar

tidak dijauhi oleh teman sesama hedonisnya. Cara ini tentunya akan

menimbulkan tekanan secara tidak langsung di dalam diri pelaku hedonis

yang dituntut agar tetap eksis serta mengikuti gaya hidup yang mewah meski

di luar kemampuan remaja tersebut. Kebutuhan ini mengarah pada

munculnya hal-hal patologis seperti mencuri, ―menjual diri‖, hutang dan

juga masuk ke dalam jaringan narkotika. Gaya hidup hedonisme juga berdampak pada perubahan identitas si

pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka

dan memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan

kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya.

Mengubah baju sekolah mereka menjadi lebih menarik seperti membuat baju

sekolah lebih ketat dan rok pendek serta rambut tidak diikat dan diwarnai,

dan mereka cenderung memiliki prestasi yang rendah di sekolahnya. Tidak

jarang mereka bolos sekolah hingga abstain selama beberapa hari hanya

untuk memenuhi hasrat ―bersenang-senangnya‖. Selain itu pelaku hedonis

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 323

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

akan lebih memuja uang dibandingkan dengan memuja keyakinannya

(Tuhan), lebih memilih untuk pergi ke mall, rekreasi ataupun pacaran

daripada ke tempat suci. Dampak lain dari gaya hidup hedonisme adalah terhadap keluarga

serta masyarakat di lingkungan sekitarnya. Citra negatif dan rasa malu akan

pengaduan dari warga sekitar akan menyudutkan orang tua mereka secara

psikologi. Terlebih lagi pandangan masyarakat terhadap perempuan lebih

menonjol dibandingkan dengan laki-laki. Perempuan memiliki daya tarik

yang sensitif. Penampilan seorang remaja putri yang menonjol rentan

dipandang sensual oleh masyarakat terutama masyarakat di lingkungan yang

awam dengan kemewahan. Tidak jarang remaja pelaku hedonis akan

dikucilkan, menjadi buah bibir di lingkungannya dan memiliki citra ―nakal‖. Berdasarkan uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa

komunitas WBA terbentuk dari ajang nongkrong yang kemudian memiliki

aktivitas bersama baik yang dilakukan di lingkungan WBA (internal)

maupun di luar lingkungan WBA (eksternal). Hasil dari berinteraksi dalam

wadah suatu komunitas serta perkembangan IPTEK memunculkan gaya

hidup konsumerisme tinggi, adanya peniruan (imitation) dan juga sugesti

(suggestion) rasa takut akan dikucilkan oleh komunitasnya karena

ketidakmampuan mereka berpenampilan yang serupa sesuai dengan trend

masa kini. Dampak perilaku hedonisme terhadap diri remaja pelaku

hedonisme adalah tekanan psikologis, perubahan identitas dan perubahan

ideologi. Perilaku hedonisme juga berdampak terhadap keluarga remaja

hedonisme serta tanggapan masyarakat seperti pencemaran nama baik

keluarga, perilaku yang tidak sesuai harapan keluarga serta citra negatif di

masyarakat

3.5 Simpulan Gaya hidup merefleksikan perilaku individual, nilai-nilai, maupun

pandangan seseorang tentang dunia. Dengan demikian gaya hidup juga

dapat dijadikan acuan untuk melihat identitas diri seseorang maupun simbol-

simbol kultural yang dipakainya dalam kehidupan sehari-hari. Terkait

dengan perilaku para remaja putri dalam komunitas WBA ini mengarah

pada gaya hidup hedonisme. Gaya hidup hedonisme menimbulkan

pelanggaran status seperti membolos sekolah, melanggar tata tertib sekolah,

berkelahi, merusak infra struktur (vandalism), merokok di lingkungan atau

di luar lingkungan sekolah, penggunaan minuman beralkohol dan melanggar

jam malam yang diberikan orang tua, hingga pelanggaran hukum seperti

perjudian, penggunaan narkotika, seks bebas dan juga track-trackan (kebut-

kebutan). Konsumerisme yang tidak terlepas dari peniruan (imitation) adalah

salah satu faktor yang memunculkan gaya hidup hedonism dari komunitas

WBA. Peranan imitasi dalam gaya hidup hedonis ini tidak kecil, terbukti

dari para remaja putri WBA yang mengikuti perkembangan trend mode

yang berkembang di masyarakat melalui televisi, majalah fashion, jejaring

sosial serta kecanggihan teknologi lainnya. Faktor penyebab hedonisme

324 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

lainnya adalah sugesti (suggestion) yang secara internal ialah pengaruh

psikis, baik yang datang dari dirinya sendiri maupun orang lain, yang pada

umumnya diterima tanpa adanya daya kritik. Gaya hidup hedonisme berdampak pada perubahan identitas si

pelaku, di mana mereka seringkali menyangkal standar orang tua mereka dan memilih nilai-nilai teman kelompok atau sekawan. Lebih mementingkan

kebutuhan konsumerismenya dibandingkan dengan pendidikannya. Dampak

lain dari gaya hidup hedonisme adalah terhadap keluarga serta masyarakat di

lingkungan sekitarnya. Citra negatif dan rasa malu akan pengaduan dari

warga sekitar akan menyudutkan orang tua mereka secara sosial dan

psikologis. DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan, 2001. Seks Gender & kekuasaan. Yogyakarta: Tarawang.

_____________ 2006a. Studi Tubuh, Nalar dan Masyarakat: Perspektif

Antropologi.

Yogyakarta: Tici Press.

______________ 2008. ―Titik Balik Peradaban dan Kebangkitan Budaya Baru‖,

Makalah disampaikan pada Sarasehan Pesta Kesenian Bali (PKB) XXX

Denpasar, 2 Juli 2008.

Adian, Donny Gabral, 2005. ―Gaya Hidup, Resistensi, dan Hasrat Menjadi‖,

dalam Alfathri Adlin (ed.) Resistensi Gaya Hidup: Teori dan Realitas.

Yogyakarta: Jalasutra.Halaman 23-34..

Agger, Ben, 2006. Teori Sosial Kritis: Penerapan dan Implikasinya, terjemahan

Critical

Social Theoritis: An Introduction. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Ahmadi, Abu. 2007. Psikologi Sosial. Jakarta: Rineka Cipta

Althusser, Louis, 2008. Tentang Ideologi : Marxisme Strukturalis, Psikoanalisis,

Cultural

Studies (Olsy Vinoli Arnof, penerjemah). Yogyakarta: Jalasutra.

Aminuddin, 2002. ―Pendekatan Linguistik Kritis: Roger Flower‖, dalam Analisis

Wacana dari Linguistik sampai Dekonstruksi (Kris Budiman Penyunting).

Yogyakarta: Penerbit Kanal. Halaman 1-53.

Antlov, H. 2002. Negara dalam Desa Patronase Kepemimpinan Lokal (Pujo

Semadi, penerjemah). Yogyakarta : Lappera Pustaka Utama.

Ardika, I Wayan, 2007. Pusaka Budaya & Pariwisata. Denpasar: Pustaka Larasan.

Atmadja, Nengah Bawa, 2004. ―Pelabelan Seks dan Gender: Dekonstruksi Proses

Menjadi Wanita melalui Pendidikan Keluarga pada Masyarakat Bali.‖,

dalam Jurnal Kajian Budaya. Volume 1 No. 2 hal. 63-82.

Atmadja, Nengah Bawa, dkk. 2005. Joged Bumbung Porno: Industri Seks

Berbentuk Hiburan Seks melalui Rangsangan Mata (Studi Kasus di

Buleleng Bali. Laporan Pelitian Dasar, Dikti. Fakultas Pendidikan Ilmu

Pengetahuan Sosial IKIP Negeri Singaraja.

Erikson, Erik H. 1989. Identitas dan Siklus Hidup Manusia, Bunga Rampai I,

Jakarta : PT Gramedia.

Giddens, Anthony.2003. Masyarakat Post-Tradisional, Yogyakarta : IRCiSoD.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 325

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Kartono, Kartini. 1986. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Petras, James and Henry Veltmeyer. 2001. Globalization Unmasked. Imperialism

in 21st Century, London : Zed Books.

Picard, Michel. 2006. Bali : Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Jakarta :

KPG.

Sarwono, Sarlito W. 2003. Psikologi Remaja. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Soedjatmiko, Haryanto. 2008. Saya Berbelanja, Maka Saya Ada: Ketika

Konsumsi dan

Design Menjadi Gaya Hidup Konsumerisme. Yogyakarta: Jalasutra

Suryani, Luh Ketut. 2003. Perempuan Bali Kini, Denpasar : Penerbit BP.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 326

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMILIHAN PEDOMAN PENULISAN AKSARA JAWA

DI RUANG PUBLIK

Rahmat dan Tya Resta Fitriana

Universitas Sebelas Maret

[email protected]

ABSTRAK

Usaha menghidupkan kembali penulisan di ruang publik

menggunakan Aksara Daerah menjadi salah satu prioritas dari

usaha pelestarian aksara, bahasa, dan budaya tradisional. Demikian

pula yang terjadi dengan usaha penulisan aksara Jawa di ruang

publik seperti penulisan nama jalan, instansi, nama usaha, dan

sebagainya. Usaha yang demikian luar biasa itu terkendala dengan

landasan utama yaitu pedoman penulisannya. Hal ini terjadi karena

setidaknya ada dua pedoman penulisan aksara Jawa yang masih

dijadikan standar penulisan. Sehingga, menimbulkan kebingungan

pada masyarakat. Adapun kedua pedoman itu adalah pedoman

yang terbit pada tahun 1922 yang dikenal dengan istilah Pedoman

Sriwedari dan pedoman yang terbit pada tahun 1995 yang sering

disebut dengan istilah peraturan tiga gubernur. Untuk itu

diperlukan kajian terhadap keduanya menggunakan metode

perbandingan. Hasil dari penelitian ini akan menunjukkan potensi-

potensi pedoman di antara keduanya. Harapannya, hasil penelitian

ini dapat menjadi referensi untuk penulisan menggunakan aksara

Jawa.

Kata kunci: pedoman penulisan, aksara, aksara Jawa, ruang publik.

Pendahuluan

Perkembangan zaman ternyata berpengaruh terhadap beberapa aspek

kehidupan. Salah satunya adalah di bidang tulis-menulis. Peristiwa ini tentulah di

alami oleh hampir semua suku bangsa. Salah satunya adalah Jawa. Masyarakat

Jawa telah mengalami beberapa fase penggunaan aksara. Apabila didasarkan pada

penulisan sastra, maka masyarakat Jawa telah mengenal tulisan sejak zaman

kesastraan Jawa Kuna (abad ke-8) hingga Jawa Modern (abad ke-21).

Fase pertama adalah kesastraan Jawa Kuna ditandai dengan penggunaan

aksara Pallawa dan Jawa Kuna. Tulisan pertama berbahasa Jawa Kuna tertanggal

25 Maret 804 (Zoetmulder, 1985:3). Selanjutnya, ciri kesastraan Jawa

Pertengahan yang ditandai dengan penggunaan aksara Jawa Kuna dan aksara

Buda. Fase ketiga yaitu zaman kesastraan Jawa Baru ditandai dengan penggunaan

aksara Jawa yang disebut dengan carakan, hanacaraka, atau aksara nglêgêna dan

sezaman dengan itu dipakai pula aksara Arab untuk penulisan sastra yang bersifat

Islami. Sementara itu, kesastraan Jawa Modern ditandai dengan penggunaan huruf

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 327

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Latin seperti yang secara global kita gunakan sekarang (termasuk untuk menulis

dalam hal non sastra pun juga menggunakan huruf Latin). Ras (2014:4) menyebut

masa akhir dari kesastraan Jawa Baru merupakan masa penetrasi Barat yang

semakin mendalam.

Selanjutnya, sehubungan dengan usaha-usaha pelestarian dan

pengembangan bahasa, budaya, dan sastra daerah dewasa ini, maka aksara daerah

termasuk di dalamnya yang juga harus dilestarikan. Hal itu dilakukan agar

warisan intelektual nenek moyang tidak lenyap begitu saja. Pendapat itu kiranya

selaras dengan pemikiran Haugen dan Kloss yang dikenal sebagai ahli yang

menganggap sasaran utama pelestarian dan pengembangan bahasa adalah

terhadap bahasa tulis. Ragam tulisan penting sekali dilestarikan dan

dikembangkan dengan alasan bahwa ragam tulisanlah yang dapat menjembatani

komunikasi antar generasi (Moeliono, 1985:85).

Berdasarkan pandangan di atas, dalam rangka upaya pelestarian dan

pengembangan bahasa maka penting kiranya untuk ―menghidupkan kembali‖

penulisan di ruang publik dengan menggunakan aksara Jawa di wilayah dengan

penutur bahasa Jawa seperti Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, dan

Jawa Timur. Upaya tersebut sesungguhnya telah dihidupkan kembali sejak tahun

2005 dengan penulisan di papan nama instansi atau lembaga menggunakan aksara

Jawa. Setelah itu, hampir di banyak titik ruang publik di tiga wilayah itu

menggunakan aksara Jawa.

Selain untuk penulisan nama instansi atau lembaga, aksara Jawa

digunakan pula untuk penulisan nama jalan dan nama tempat usaha. Namun

demikian, terdapat kendala terutama dalam penggunaan pedoman penulisan

aksara Jawa. Hal itu terjadi karena setidaknya ada dua pedoman penulisan aksara

Jawa yang dijadikan acuan. Sehingga, permasalahan dalam artikel ini dapat

dijabarkan sebagai berikut. Pertama, apakah kedua pedoman penulisan aksara

Jawa yang masih dikenali oleh masyarakat Jawa itu? Kedua, apakah isi yang

terkandung di masing-masing pedoman? Ketiga, potensi apa yang belum bisa

dipenuhi oleh masing-masing pedoman dalam kaitannya dengan penulisan di

ruang publik saat ini?

Metodologi

Metode disebut juga dengan langkah-langkah atau cara kerja. Sehingga,

dapat dikemukakan di sini bahwa metode adalah rangkaian kerja untuk

mendapatkan jawaban dari permasalahan yang muncul. Adapun rangkaian kerja

yang dilakukan yaitu perbandingan. Perbandingan di sini adalah perbandingan

dari segi isi buku. Sehingga, nantinya akan tampak jelas persamaan dan

perbedaannya. Selain itu, akan tampak pula bagian mana yang belum bisa

dipenuhi oleh kedua pedoman tersebut dalam rangka penulisan di ruang publik.

Pembahasan

Pedoman pertama yang akan di bahas adalah Pedoman Sriwedari.

Pedoman ini disahkan pada tahun 1922. Adapun isinya antara lain tentang:

1 Tembung Lingga

2 Kata serapan

328 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

3 Tembung Andhahan

4 Tembung Tanduk

5 Dwilingga

6 Camboran

7 Tembung ing

8 Gembung utawa pasangan wa

Pedoman kedua yang akan dibahas di sini yaitu Pedoman Penulisan

Aksara Jawa yang terbit pertama kali pada tahun 1995. Buku pedoman ini dikenal

juga dengan istilah peraturan tiga gubernur karena pada bagian awal buku

disebutkan bahwa buku diterbitkan oleh Yayasan Pustaka Nusatama yang

bekerjasama dengan Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa

Tengah, dan Jawa Timur. Adapun isi dari buku ini terdiri dari:

Bab I Pemakaian Aksara: Carakan, Pasangan, Aksara Murda, Aksara Suara,

serta Aksara Rekaan dan pasangannya.

Bab II Pemakaian Sandhangan: Sandhangan Swara, Sandhangan Wignyan,

Sandhangan Layar, Sandhangan Cecak, dan Sandhangan Pangkon.

Bab III Penanda Gugus Konsonan: Cakra, Keret, Pengkal, Panjingan Wa, dan

Panjingan La.

Bab IV Penulisan Kata: Kata Dasar, Kata Turunan, Singkatan dan Akronim,

serta Angka dan Lambang Bilangan

Bab V Pemakaian Tanda Baca: Pada Adeg-Adeg, Pada Guru dan Pada

Pancak, Pada Lingsa, Pada Lungsi, Pada Pangkat, Pada Gedhe atau

Pada Ageng, serta Purwapada, Madyapada, dan Wasanapada.

Bab VI Penulisan Unsur Serapan.

Berdasarkan isi dari masing-masing pedoman, maka dapat dilihat

persamaan dan perbedaannya. Adapun persamaannya adalah terdapat cara

penulisan kata dasar, kata turunan, kata rangkap atau reduplikasi, dan kata serapan

dari bahasa asing. Sementara itu, perbedaannya di antara keduanya yaitu Pedoman

Sriwedari mempunyai isi yang sederhana dan fokus pada penulisan kata dasar,

kata turunan, dan serapan sedangkan Pedoman Tiga Gubernur memiliki isi yang

lebih banyak dan lebih detail karena terdapat cara penulisan aksara Murda, Suara,

dan Rekaan. Selain itu, pada Pedoman Tiga Gubernur terdapat contoh-contoh

penulisan kalimat dengan beberapa penggunaan tanda baca dan angka/bilangan,

cara penulisan singkatan dan akronim.

Berdasarkan pengamatan terhadap kedua pedoman penulisan itu, buku

Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1995) memiliki potensi yang jauh lebih lengkap

dibandingkan dengan Pedoman Sriwedari (1922) terutama sehubungan dengan

penulisan di ruang publik. Apabila akan menulis di ruang publik ternyata dapat

diatasi dengan penggunaan Pedoman Penulisan Aksara Jawa (1995). Misalnya

untuk menuliskan alamat, penomoran, dan serapan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 329

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Simpulan

Penulisan aksara Jawa di ruang publik di wilayah Daerah Istimewa

Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sejauh pengamatan penulis ternyata

banyak ditemui kesalahan. Hal ini terjadi karena kemungkinan besar mereka yang

menulis tidak membaca secara detail dan lengkap buku pedoman itu. hanya

berdasarkan selera pribadi ataupun ikut-ikutan. Kesalahan penulisan juga

diakibatkan oleh tidak terlibatnya para pakar bahasa, sastra, dan budaya Jawa

terutama ahli linguistik dan filologi terutama dalam kaitannya dengan

pemvalidasian penulisan. Oleh sebab itu, kami merekomendasikan bahwa untuk

setiap penulisan di ruang publik terutama untuk kalangan instansi maupun

lembaga wajib untuk mendapatkan validasi dari ahli atau pakar. Sementara itu,

untuk penulisan yang berkaitan dengan tempat usaha paling tidak didiskusikan

terlebih dahulu dengan ahli atau pakar penulisan menggunakan aksara Jawa.

Sehingga, upaya pelestarian dan pengembangan khususnya aksara Jawa dapat

terlaksana dengan betul pada tingkatan penulisan dan juga generasi selanjutnya

tidak akan memperoleh informasi yang keliru tentang penulisan aksara Jawa.

Daftar Pustaka

Darusuprapta (Pengarah). 2003. Pedoman Penulisan Aksara Jawa. Cetakan Ketiga

2003. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.

Moeliono, Anton. M. 1985. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa (Ancangan

Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa). jakarta: Djambatan.

Ras, J.J. 2014. Masyarakat dan Kesusastraan di Jawa. Diterjemahkan oleh

Achadiati Ikram. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Tanpa Nama. 1922. Pedoman Sriwedari.

Zoetmulder. 1985. Kalangwan Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang. Cetakan

kedua. Jakarta: Djambatan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 330

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

NILAI PENDIDIKAN DALAM

ANTOLOGI PUISI SENDJA DJIWA PAK BUDI

Sri Jumadiah

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana

ABSTRAK

Sendja Djiwa Pak Budi (2019) adalah sebuah Antologi Puisi tulisan

berbagai penyair dan simpatisan tanah air, untuk mengenang

almarhum Achmad Budi Bahyanto. Kisah tragis Achmad Budi

Bahyanto (selanjutnya disebut singkat: Guru Budi) menarik simpati

banyak pihak. Mengapa seorang murid MH tega 'menghajar'

gurunya sendiri? Pembelaan terhadap nasib Pak Budi (nasib guru)

datang dari berbagai pihak. Salah satunya dari Sanggar Generasi

Medan yang menggagas lahirnya Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak

Budi (SDPB) yang terdiri dari 185 puisi kiriman 118 penyair dan

pemerhati nasib pendidikan.

Makalah ini akan mengkaji tiga buah puisi yang ditulis Maria

Matildis Banda (MMB) yang diterbitkan dalam SDPB. Puisi MMB

yang dipilih untuk dibahas dalam makalah ini karena isinya

menonjolkan penyesalan murid yang telah menyebabkan Pak Budi

meninggal. Makalah ini bertujuan untuk menjawab masalah

penting tentang nilai pendidikan yang tertuang dalam Antologi

Sendja Djiwa Pak Budi (selanjutnya disingkat SDPB). Nilai

pendidikan tidak dipandang dari sisi guru tetapi dari sisi murid

yang melakukan tindakan yang salah.

Kajian singkat ini menjelaskan dua nilai utama yaitu nilai religius

dan nilai tanggung jawab yang diungkapkan murid yang terpenjara.

Dia mohon maaf dan menyampaikan juga kerinduan untuk pergi

sekolah, meskipun nyatanya dirinya terpenjara. Pendidikan nilai

penting artinya bagi pembentukkan karakter murid dan selanjutnya

sebagai pembentuk karakter bangsa.

Kata Kunci: Sendja Djiwa Pak Budi, Nilai Religius, dan Nilai

Pendidikan.

I. Pendahuluan

Sendja Djiwa Pak Budi (2019) adalah sebuah Antologi Puisi tulisan berbagai

penyair dan simpatisan tanah air, untuk mengenang almarhum Achmad Budi

Bahyanto. Almarhum adalah seorang guru seni rupa SMAN I Torjun, Sampang

Madura Jawa Timur, yang meninggal karena dianiaya muridnya sendiri (San

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 331

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Suyadi, Ed. 2018:3). Beliau meninggal di PRSUD Dr. Soetomo Surabaya setelah

dirujuk dari Puskesmas Jrengik Sampang. Kematian guru seni rupa ini

menggemparkan tanah air dan berbagai protes dan penyesalan terhadap perlakuan

murid yang tidak menghargai gurunya. Hal ini mencoreng dunia pendidikan di

tanah air, ketika murid bertindak sebagai penjahat bahkan pembunuh gurunya

sendiri.

Keprihatinan tentang tingkah laku murid sebenarnya sudah pernah

diungkapkan oleh Achmad Budi Bahyanto, jauh sebelum peristiwa tragis yang

menyebabkan kematiannya sendiri, sebagaimana ditulis sebagai berikut.

Bahkan kalian tega dan tidak enggan - menyaksikan menyiksa gurumu wahai

murid - air mata mana yang akan kalian suguhkan di pangkuannya?

Penyesalan macam apa yang akan kalian haturkan di hadapannya? Lantas

kemana arahmu melangkah tanpanya? Lantas siapa penuntunmu jika bukan

dirinya? Doamu padanya tidak ada ampunannya - tanpa ampunannya

pikirkan jika hatimu masih ada! Perhatikan jika pikiranmu belum binasa!

(San, Suyadi, Ed. 2018:6-7).

Kisah tragis Achmad Budi Bahyanto (selanjutnya disebut singkat: Guru

Budi) menarik simpati banyak pihak. Mengapa seorang murid MH tega

'menghajar' Pak Budi hanya karena Pak Budi mencoret pipi MH dengan cat lukis?

Setelah sebelumnya MH ditegur Pak Budi karena MH membuat gangguan di

kelas? Pembelaan terhadap nasib Pak Budi (nasib guru) datang dari berbagai

pihak. Salah satunya dari Sanggar Generasi Medan yang menggagas lahirnya

Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi yang terdiri dari 185 puisi kiriman 118

penyair dan pemerhati nasib pendidikan. Bagaimana nilai pendidikan tersebut

dijawab melalui sejumlah puisi?

Puisi yang dipilih adalah puisi-puisi yang ditulis Maria Matildis Banda

(MMB) salah satu sastrawan yang puisinya diterbitkan dalam SDPB. Puisi MMB

yang dipilih untuk dibahas dalam makalah ini karena isinya menonjolkan

penyesalan murid yang telah menyebabkan Pak Budi meninggal. Makalah ini

bertujuan untuk menjawab masalah penting tentang nilai pendidikan yang

tertuang dalam Antologi Sendja Djiwa Pak Budi (selanjutnya disingkat SDPB).

Nilai pendidikan tidak dipandang dari sisi guru tetapi dari sisi murid yang

melakukan tindakan yang salah.

II. Metode

Metode yang digunakan dalam kajian singkat ini adalah metode kepustakaan

dan metode wawancara. Metode kepustakaan digunakan untuk mengkaji data

primer berupa Antologi Puisi SDPB khususnya tiga buah puisi yang ditulis MMB.

Metode wawancara digunakan untuk melengkapi kajian. Teori yang digunakan

dalam kajian ini adalah teori nilai, khususnya nilai pendidikan.

Ketiga puisi yang merupakan data primer adalah: Dari Balik Terali, Surat

Untuk Pak Guru, dan Pukul Tujuh Pagi (Banda, 2018:246-248). Sedangkan data

sekunder diperoleh melalui wawancara dengan MMB terutama berkaitan dengan

332 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

pandangannya tentang nilai pendidikan yang diungkapkan melalui puisi-puisi

SDPB.

III. Pembahasan

Nilai pendidikan yang dibahas secara khusus pada kesempatan ini

berdasarkan tiga buah puisi yang ditulis Maria Matildis Banda Cahyono dalam

Sendja Djiwa Pak Budi (2018). MMB adalah Dosen Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Udayana Denpasar Bali. Penulis novel: Pada Taman Bahagia

(Grasindo Jakarta: 2000), Liontin Sakura Patah (Grasindo Jakarta: 2000),

Bugenvil di Tengah Karang (Grasindo Jakarta: 2000), Rabies (Care Internasional,

2003), Surat-Surat dari Dili (Nusa Indah Ende: 2005), Wijaya Kusuma dari

Kamar Nomor Tiga (Kanisius Yogyakarta: 2015, 2016, 2017), Doben (Lamalera,

Yogyakarta: 2016), dan Suara Samudra (Kanisius, Yogyakarta: 2017). Selain

novelis, beliau juga menulis puisi berdasarkan kisah tragis yang menimpa guru

Budi, 2017. Sebelumnya MMB juga menulis puisi yang diadaptasi dari novel

dengan judul Pada Sebuah Kapal karya NH. Dini. Novel ini berkisah tentang

penari dan pelaut dalam dua sudut pandang yaitu sudut pandang penari dan sudut

pandang pelaut. Penari mengungkapkan segenap isi hatinya kepada pelaut. Pelaut

pun demikian, mengekspresikan segenap kedalaman perasaannya terhadap penari

dari sudut pandang dirinya sebagai laki-laki pelaut. Hubungan pelaut dan penari

ini terjadi pada sebuah kapal (Jumadiah, 2018). Meskipun berbeda isinya, puisi

yang ditulis MMB ini sama-sama menggarisbawahi nilai pendidikan.

Dalam pendidikan karakter bangsa, terdapat 18 nilai pendidikan di antaranya:

religius, jujur, toleransi, displin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa

ingin tahun, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi,

bersahabat/komunikaif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli

sosial, dan tanggung jawab (Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran

Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter

Bangsa oleh Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan nasional, 2010;

rumahinspirasi.com). Nilai pendidikan yang menonjol dalam ketiga puisi MMB

dalam SDPB (2018) adalah sebagai berikut.

1. Nilai Religius

Nilai religius adalah salah satu nilai yang disebutkan di atas. Nilai ini

menggarisbawahi pentingnya sikap dan perilaku yang patuh dalam

melaksanakan ajaran agama yang dianutnya (rumahinspirasi.com). Perhatikan

kutipan berikut ini.

Dari balik terali kusampaikan seuntai doa

Yang lahir dari gemuruh suara

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 333

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Yang mendesak relung hati

Yang menyelinap ke sudut-sudut nurani

Yang kini membara dalam kebisuan kata

(Dari Balik Terali, 2018).

Penggalan tersebut mengungkapkan dari relung hatinya doadari Balik

Terali. Penggalan ini menjelaskan permohoan maaf yang mendalam dari

tokoh aku yang ingin mendapatkan pengampunan dari tokoh Bapak (guru),

sekaligus ungkapan penyesalannya secara pribadi.

Bapak...

tanganmukah yang terulur dari balik terali

Genggamlah aku dan jangan lepas lagi

mengalirkan cahaya

Yang ingin kuletakkan pada bantal cerita

Di sini dingin sekali....

(Dari Balik Terali, 2018).

Bapak...

Kutulis surat ini dengan pena yang kau berikan

"Terima kasih untuk sapu tangan...

Yang engkau berikan untuk menghentikan

Air mata sesal yang tak pernah terhapuskan."

(Surat Untuk Pak Guru, 2018).

2. Nilai Tanggung Jawab

Nilai tanggung jawab diungkapkan secara lengkap melalui puisi "Surat

Untuk Pak Guru". Keseluruhan puisi ini menggarisbawahi bagaimana si

murid memohon maaf kepada gurunya. Jika dihubungkan dengan tragedi

yang menimpa Guru Budi yang tewas mengenaskan akibat pukulan dari

muridnya, puisi ini justru menempatkan murid yang sadar bahwa apa yang

telah dilakukannya telah mengakhiri hak hidup orang lain, mencoreng dunia

pendidikan, bahkan menghancurkan masa depannya sendiri. Perhatikan

kutipan lengkap "Surat Untuk Pak Guru" berikut ini.

Surat untuk Pak Guru

Kutulis surat ini untukmu

Semoga sampai padamu tepat di pintu surga

Karena kutahu engkau akan meminta pada-Nya

Agar pintu tetap terbuka untukku

Bacalah Pak, sebelum engkau masuk

"Aku adalah lelaki muda yang...

mematikan bintang,

334 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

mematahkan bulan,

dan menendang matahari

Untuk kujadikan mainan perang di layar gatgetku

Apakah benar anakmu telah mengantarmu menjemput ajal!"

Bacalah Pak, sebelum engkau masuk

"Aku adalah lelaki muda yang...

Mematahkan pedang ayah

Melipat pisau dapur ibu

Dan memasukkannya ke dalam saku seragamku

Untuk kujadikan bekal sepanjang jalan menuju

Mengapa tanganku sanggup membungkam suaramu

Mengapa tanganku sanggup menghentikan denyut jantungmu

Bapak...

Kutulis surat ini dengan pena yang kau berikan

"Terima kasih untuk sapu tangan...

Yang engkau berikan untuk menghentikan

Air mata sesal yang tak pernah terhapuskan."

(Maria Matildis Banda, 2018).

Nilai tanggung jawab tersebut digarisbawahi juga melalui puisi ketiga MMB

berjudul "Pukul Tujuh Pagi" dalam Antologi Puisi SDPB. Ungkapan kerinduan

tokoh yang terpenjara karena mengakhiri hidup gurunya.

Pukul Tujuh Pagi

Bapak...

Saat aku membuka mata

Ada secercah sinar dari kisi-kisi jendela

Kugenggam erat dan kubawa dalam dada

Pukul tujuh pagi ini

Aku tetap di sini

Melewati siang menunggu malam

menjemput pagi

dan secercah sinar dari kisi-kisi jendela

Pukul tujuh pagi ini

Aku tetap di sini

Bapak...

Aku rindu padamu

(Maria Matildis Banda, 2018).

Si "Aku" tokoh menjelaskan kerinduannya untuk pergi ke sekolah pada pukul

tujuh pagi. Ia ingin menunjukkan tanggung jawabnya sebagai murid kepada

gurunya bahwa dirinya adalah murid yang baik yang rindu sekolah. Meskipun

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 335

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

kenyataannya dia tetap berada di balik terali besi, penjara, akibat perbuatannya

sendiri.

Nilai-nilai pendidikan yang diungkapkan melalui puisi dan dijelaskan di atas

menunjukkan pandangan yang berbeda tentang kasus yang menimpa Guru Budi.

Apa yang terjadi dengan nasib dan masa depan murid yang terpenjara akibat

ulahnya melakukan kekerasan yang menyebabkan kematian gurunya sendiri? Apa

yang salah dari dunia pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat

sehingga terjadi kasus tersebut? Nilai religius dan nilai tanggung jawab adalah

dua hal serius yang perlu ditanamkan untuk membentuk karaktek anak-anak dan

karakter bangsa.

IV. Simpulan

Demikianlah penjelasan tentang "Nilai Pendidikan dalam Nilai Pendidikan

dalam Antologi Puisi Sendja Djiwa Pak Budi". Beberapa catatan penting sebagai

kesimpulan dari kajian singkat ini adalah sebagai berikut.

1. Puisi "Dari Balik Terali", "Surat Untuk Pak Guru", dan "Pukul Tujuh Pagi"

karya MMB yang termuat dalam Antologi Puisi SDPB (2018) mengungkapkan

nilai-nilai pendidikan khususnya nilai religius dan nilai tanggung jawab, dua dari

delapan belas nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa.

2. Ketiga puisi tersebut mengungkapkan pentingnya nilai reigius dan nilai

tanggung jawab dari sudut pandang murid. Murid yang memohon pengampunan

dari gurunya, murid yang menyesali kesalahannya, murid yang rindu pergi ke

sekolah meskipun secara fisik berada di balik terali (penjara).

3. Puisi-puisi ini dan segenap puisi dalam SDPB adalah salah satu ungkapan

pentingnya pendidikan nilai sebagai pembentukan karakter bangsa.

Daftar Pustaka

Banda, Maria Matildis. 2014. "Pada Sebuah Kapal" dalam Ratapan Laut Sawu

Antologi Puisi Penyair NTT. Yogyakarta: Universitas Sanata

Dharma.

Banda, Maria Matildis. 2018. "Dari Balik Terali", "Surat Untuk Pak Guru", dan

"Pukul Tujuh Pagi", dalam Antologi Puisi Senja Djiwa Pak Budi (San

Suyadi, Ed). Medan: Gerhana Media Kreasi.

Jumadiah Sri, 2018. "Alih Wahana Novel Pada Sebuah Kapal Karya NH. Dini ke

dalam Puisi "Pada Sebuah Kapal" karya Maria Matildis Banda" dalam

Prosiding Seminar Nasional Sastra dan Budaya. Denpasar: FIB Unud.

San, Suyadi. 2018. Sendja Djiwa Pak Budi. Antologi Puisi Mengenang Almarhum

Achmad Budi Cahyanto. Medan: Gerhana Media Kreasi.

Yapi Taum, Joseph (ed). 2014. Ratapan laut Sawu Antologi Puisi Penyair NTT.

Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

336 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai

Budaya Untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa oleh

Pusat Kurikulum Departemen Pendidikan nasional, 2010;

rumahinspirasi.com

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 337

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEARIFAN LOKAL UPACARA RITUAL ERPANGIR KU LAUSEBAGAI

PROYEKSI JATI DIRI MASYARAKAT KARO

Vanesia Amelia Sebayang dan Asmyta Surbakti

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara

[email protected]

ABSTRAK

Upacara ritual erpangir ku laumerupakan ritual mandi di sumber

air mengalir yangberlandas pada ajaran agama Hindu Pemenayakni

relasi tritunggal dalam sistem kosmos. Upacara ritual ini selain

sebagai media untuk pembersihan jiwa dan raga juga dimaknai

sebagai bentuk komunikasi dengan bégu jabu (leluhur). Upacara ini

mengajarkan masyarakat karo memiliki sifat-sifat luhur yang

kemudian membentuk konsep rakut sitelu dan tutur siwaluh.Akan

tetapi pada era kolonialisme Belanda, upacara ritual ini dilarang

dengan dalih agama Hindu Pemena merupakan bagian dari aliran

ilmu hitam. Sejak saat itu, seluruh praktik upacara yang

berhubungan dengan roh leluhur dihentikan. Hasil dari era

kolonialisme tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat Karo

kini yang semakin hari semakin longgar dan hidup terkotak-kotak.

Metode yang digunakan dalam artikel ini adalah metode penelitian

kualitatif yang didukung oleh data kuantitatif. Data diperoleh

melalui proses dokumentasi, observasi, wawancara, dan daring.

Data kemudian dianalisis menggunakan teori dekonstruksi dan

poskolonialisme.

Artikel ini menyimpulkan bahwa wacana kolonial yang disematkan

pada upacara ritual erpangir ku lau harus dibongkar dan dimaknai

ulang oleh masyarakat Karo itu sendiri. Dengan diresmikannya

upacara ritual ini sebagai warisan budaya tak benda pada tahun

2016, masyarakat Karo harus mendukung pemerintah yang

berupaya mengadakan kembali upacara ritual erpangir ku lau.

Dengan pelaksanaan kembali upacara ritual ini, diharapkan

generasi muda Karo dapat menemukan kembali jati diriserta

menguatkan ideologi mereka dalam berbangsa.

Kata Kunci: upacara ritual erpangir ku lau, kolonialisme,

postkolonialisme, dan jati diri.

338 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Pendahuluan

Kearifan lokal marak dibicarakan dalam kehidupan manusia dewasa ini.

Bahkan isu kearifan lokal merupakan salah satu isu penting dalam ilmu-ilmu

sosial kontemporer. Masyarakat abad ke-21 sekarang ini lazim disebut dengan

masyarakat posmodern. Salah satu ciri masyarakat posmodern adalah lebih

mempercayai penjelasan konteks lokal seperti narasi-narasi kecil kearifan lokal

warisan luhur para leluhur. Masyarakat posmodern tidak lagi percaya pada model

penjelasan dan pemahaman universal berdasarkan cerita agung (grand narrative)

seperti penjelasan François Lyotard. Menurut posmodernisme ketercerabutan

manusia dari nilai-nilai kearifan lokal membuat manusia mengalami keterpecahan

jiwa (Lubis, 2004).

Erpangir ku lau merupakan salah satu upacara ritualleluhur pada

masyarakat Karo. Upacara ini dilaksanakan dengan berlandas kepada ajaran

agama Hindu Pemena yang menganggap bahwa sistem dunia ini merupakan relasi

harmonis antara manusia dengan Dibata (sang Pencipta), manusia dengan alam

semesta, dan manusia dengan sesama manusia (relasi tritunggal). Upacara ritual

ini dilaksanakan dengan cara mandi di sumber air mengalir dengan media guru

sibaso(dukun perempuan) dan gendang(musik tradisional). Pelaksanaannya

dilengkapi dengan kehadiransangkep nggeluh (keluarga inti) (Sebayang, 2013:

118-119).Setelah membersihkan diri, kita diperbolehkan berkomunikasi dengan

bégu jabu (para leluhur) untuk senantiasa menyertai dan menjauhkan

keturunannya dari gangguan sihir, membantu pertahanan diri saat berada di

medan perang, dan segala jenis marabahaya lainnya. Upacara ini mengajarkan

masyarakat Karo untuk selalu rendah hati, menghormati yang lebih tua dan

membimbing yang lebih muda, serta menghargai alam semesta dalam

kesehariannya. Sifat luhur tersebut yang kemudian membentuk konsep rakut

sitelu(tiga posisi kekeluargaan) dan tutur siwaluh(delapan panggilan

kekeluargaan) dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo.

Namun, selama masa kolonialisme Belanda di Tanah Karo, masyarakat

Karo penganut agama Hindu Pemena mendapat intervensi. Segala bentuk upacara

ritual yang berkaitan dengan leluhur dilarang untuk dilaksanakan (Putro, 1979).

Dalam melaksanakan politik devide et impera (pecah belah) dan politik 3G-nya

(Gold, Glory, Gospel), Belanda melontarkan wacana yang menyiratkan agama

Hindu Pemenamerupakan aliran ilmu hitam penyembah setan dan iblis. Belanda

juga mengganti konsep Dibata dengan konotasi negatif. Masyarakat Karo

kemudian meninggalkan Hindu Pemena dan hidup tanpa memerdulikan leluhur,

terkotak-kotak dengan egoisme masing-masing.

Penilaian sepihak kolonialisme Belanda tersebut dirasakan masih melekat

erat hingga era kemerdekaan Indonesia, sehingga tanpa disadari berdampak

langsung pada perubahan realitas sosial-budaya di masyarakat. Masyarakat Karo

terpecah menjadi Karo Jahe, Karo Gugung, dan lainnya. Setiap kelompok

masyarakat tersebut menganggap kelompoknya sebagai kelompok superior dan

yang lainnya adalah kelompok inferior serta cenderung saling tidak menghargai.

Oleh karena itu, sesuai semangat postkolonialisme penelitian ini dianggap penting

agar masyarakat Karo mampu melepaskan diri dari stigmathe otherness yang

disematkan oleh Belanda kepadanya. Masyarakat Karo harus kembali memaknai

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 339

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dirinya lewat pemahamannya sendiri, terlebih lagi upacara ritual erpangir ku

laukini telah ditetapkan sebagai warisan budaya tak benda nasional oleh

kementerian pendidikan dan kebudayaan pada tanggal 27 Oktober 2016

(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Kini, upacara ritual erpangir ku lau

dijadikan sebagai salah satu atraksi wisata budaya di Kabupaten Karo pendukung

Geopark Kaldera Toba dan dilaksanakan sekali dalam setahun.

Pelaksanaan kembali upacara ritual tersebut diharapkan membuka jalan

bagi masyarakat Karo dalam memaknai kembali jati diri warisan leluhurnya

sendiri lepas dari stigma negatif pihak luar yang pernah diberikan kepadanya.

Upacara ritual erpangir ku lau diharapkan membentuk kembali masyarakat Karo

sebagai pribadi yang menghormati sang Pencipta dan menghargai alam semesta

serta sesamanya. Penguatan jati diri pribadi masyarakat Karo diharapkan akan

berdampak pada penguatan etnisitas serta penguatan bangsa yang sekaligus

merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Metodologi

Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif karena

menggunakan teori sebagai pijakan. Format desain deskriptif kualitatif menganut

paham fenomenologis dan postpositivisme.Penelitian ini juga bertujuan untuk

menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai

fenomena realitas sosial yang ada di masyarakat yang menjadi objek penelitian,

dan berupaya menarik realitas itu ke permukaan sebagai suatu ciri, karakter, sifat,

model, tanda, atau gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun fenomena tertentu

(Bungin, 2007: 68). Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan beberapa

tahap diantaranya observasi, kepustakaan, dan penelusuran dokumen.

Pembahasan

Upacara Ritual Erpangir Ku Lau pada Masyarakat Karo

Upacara ritual erpangir ku lau berasal dari kata erpangir (mandi sambil

mencuci rambut) dan ku lau (di sungai besar atau sumber air mengalir). Upacara

ritual ini dapat juga dimaknai sebagai ritus pembersihan diri seorang manusia

(ruwatan) dan mendekatkan diri dengan Tuhan, alam semesta, dan sesama

manusia. Dukun perempuan(guru sibaso) dan para pemusik tradisional Karo(si

erjabaten)menjadi media utama yang membantu pelaksanaan upacara ini

(Brahmaputro, 1979: 89-90). Upacara ritual erpangir ku lau dilaksanakan pada

hari-13 (cukra dudu) dan hari ke-14 (belah purnama raya) dalam penanggalan

tradisional Karo.

Dalam melaksanakan upacara ini terdapat perlengkapan mandi yang

disebut pulungen pangir. Dahulu pulungen pangir terdiri dari 13 jenis bahan,

namun seiring waktu bahan tersebut berkurang. Berikut beberapa bahan

perlengkapan yang harus disediakan saat melaksanakan upacara erpangir ku lau

yaitu: (1) Aneka macam jeruk (rimo mukur, rimo simalem-malem, rimo bègu,

rimo cakar harimau); (2) Jèra; (3) Minyak kelapa); (4) Bunga berwarna putih

(melati atau sedap malam).Selanjutnya, perlengkapan pendukung dalam

pembuatan pangir antara lain adalah: mangkok meciho (mangkuk putih) untuk

tempat menampung ramuanpangir, pisau biasa untuk memotong berbagai macam

340 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

jeruk, piso raja (pisau ukir khusus) untuk memotong jeruk purut dan khusus

dilakukan oleh guru, ember/baskom untuk menampung pangir dalam skala

banyak, uis dagangen (kain polos berwarna putih) sebagai alas mangkuk pangir

saat akan dimantrai, kemenyan untuk mendukung selama proses guru memantrai

pangir, kampuh (sarung) sebagai basahan saat pasien akan melakukan proses

erpangir, dan lainnya. Keseluruhan bahan dan perlengkapan dalam pembuatan

pangir ini akan disediakan oleh pasien beserta keluarganya sesaat sebelum

upacara dimulai (Sebayang, 2013).

Pada umumnya, ritus pembersihan diri dilaksanakan dengan maksud

tertentu, seperti (1) sebagai ucapan terima kasih kepada Tuhan (Dibata); (2)

menghindari ancaman malapetaka, (3) menyembuhkan pengaruh gangguan

sihir,dan (4) untuk memperoleh restu dan bantuan dari leluhur sebelum pergi ke

medan perang (Prinst, 2004). Dalam pelaksanaannya, sangkep nggeluh (keluarga

inti) akan saling membantu dan mendukung agar leluhur senantiasa hadir

memberi berkatnya dan upacara ritual akan berjalan dengan lancar.

Kepercayaan lama masyarakat Karo, sama halnya dengan kepercayaan

bangsa Timur pada umumnya yakni selalu berhubungan ataupun berkaitan dengan

kekuatan-kekuatan gaib yang digunakan untuk kepentingan diri sendiri atau

kepentingan masyarakat lewat bermacam ritus dan mantera. Masyarakat Karo

percaya bahwa tidak semua pemahaman harus berdasarkan akal. Alisyahbana

(1982: 8), menjelaskan bahwa kepercayaan kepada roh-roh dan energi gaib

meresapi seluruh kehidupan masyarakat Indonesia. Pikiran dan perbuatan kita

tertuju kepada bagaimana mendapatkan bantuan dari roh baik dan bagaimana pula

cara menghalangi pengaruh roh jahat di sekitar manusia.

Kearifan Lokal Upacara Erpangir Ku Lau sebagai Proyeksi Jati Diri

Masyarakat Karo

Pada tanggal 27 Oktober 2016, upacara ritual erpangir ku lauditetapkan

sebagai salah satu warisan budaya tak benda nasional oleh kementerian

pendidikan dan kebudayaan(https://kebudayaan.kemdikbud.go.id). Sebagai bentuk

tindak lanjut dari penetapan tersebut, pemerintah daerah memfasilitasi

pelaksanakan upacara ritual erpangir ku lauini menjadisalah satu atraksi wisata

budaya di Kabupeten Karo yang dilaksanakan sekali dalam setahun dengan

bantuan sejumlah lembaga swadaya masyarakat.

Upacara ritual erpangir ku lau berlandas pada ajaran agama Hindu

Pemena yakni relasi tritunggal dalam sistem kosmos (Tuhan, Manusia, dan Alam

Semesta). Upacara ritual ini selain sebagai media untuk pembersihan jiwa dan

raga juga dimaknai sebagai bentuk komunikasi dengan bégu jabu (leluhur).

Upacara ritual ini mengajarkan masyarakat karo memiliki sifat luhur mehamat

(selalu bersifat sopan), metami (bersifat membujuk), melias (penuh kasih sayang),

perkuah(murah hati), dan perkeleng(penyayang). Sifat-sifat tersebutlah yang

kemudian membentuk konsep rakut sitelu(tiga posisi kekerabatan) dan tutur

siwaluh(delapan jenis panggilan kekerabatan) dalam sistem kekerabatan

masyarakat Karo.

Akan tetapi selama masa kolonialisme Belanda di Tanah Karo,

pelaksanaan segala bentuk upacara ritual termasuk erpangir ku lau dilarang

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 341

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

dengan dalih ajaran agama Hindu Pemena merupakan bagian dari aliran ilmu

hitam. Sejak saat itu, seluruh praktik upacara yang berhubungan dengan roh

leluhur dihentikan. Hasil dari era kolonialisme tersebut akhirnya berdampak pada

kehidupan masyarakat Karo yang semakin hari semakin longgar, jauh dari berkat

leluhur, kurang menghargai alam semesta, dan hidup terpecah-pecah. Menurut

Berger dan Luckmann (dalam Sudikan, 2006: 7) konstruksi realitas sosial tidaklah

berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan

yang menghilangkan kepribadian dalam hal ini keperibadian masyarakat Karo.

Penilaian sepihak kolonialisme tersebut masih melekat erat hingga era

kemerdekaan Indonesia, sehingga tanpa disadari berdampak langsung pada

perubahan realitas sosial budaya di masyarakat. Kepribadian luhur masyarakat

Karoyang mehamat, metami, melias, perkuah, dan perkeleng akhirnya hilang dan

digantikan dengan egoisme. Masing-masing kelompok masyarakat menganggap

kelompoknya sebagai kelompok superior dan lainnya kelompok inferior dan

cenderung saling tidak menghargai.Bahkan dalam kehidupan sehari-hari saat ini

ditemui sebuah sifat atau penyakit sosial yang berkonotasi negatif yaitu anceng

(senang melihat orang lain susah, susah melihat orang lain senang), cian (iri

ati/dengki), dan cekurak(senang membicarakan keburukan orang lain) atau

dikenal dengan istilah ―acc‖.

Menurut Derrida (dalam Bungin 2001: 7) gagasan konstruksi sosial

tersebut semestinya dikoreksi oleh gagasan dekonstruksi yang lahir guna

melakukan interpretasi terhadap teks, wacana, dan pengetahuan masyarakat.

Melalui dekonstruksi, Derrida membantu kita untuk membaca kembali dan

menafsirkan ulang seluruh puncak pemikiran filosofis Barat, sehingga

menghasilkan teks-teks baru. Konstruksi sosialhasil kolonialisme yang dibentuk

oleh Belanda terbukti mengacaukan sistem kosmos dan kehidupan kultural

masyarakat Karo.Masyarakat Karo tidak lagi terhubung secara batiniah dengan

restu (pasu-pasu) leluhur, tidak menghargai sesama, hidup secara berkompok, dan

tidak lagi menghormati alam semesta.

Oleh karena itu, Postkolonialimeyang merupakan salah satu varian

kontemporer dari Teori Kritis lahir guna mengkaji tentang dampak yang

ditimbulkan oleh praktik kolonialisme. Adapun praktik kolonialisme atau

kolonialisme itu tidak saja menimbulkan dampak pada sisi kerugian materi atau

fisik, namun juga menimbulkan dampak pada sisi perubahan sosial, budaya,

psikologis, nilai-nilai, dan identitas pada masyarakat atau bangsa terjajah. Di sini

ilmuwan dari penelitian sosial dapat melakukan studi perubahan sosial misalnya

dengan melakukan penelitian tentang perubahan budaya atau identitas yang

dialami oleh masyarakat bekas jajahan pasca era Kolonialisasi (Lubis, 2016: 155-

156).

Penelitian ini berupaya mendekonstruksi aturan-aturan dan pengkotak-

kotakan ilmiah atas kaum konvensional lalu kemudian mendamaikannya. King

(1999: 197) mengatakan bahwa:

"The postmodernist and post-structuralist interest in dissolving unities into more complex

heterogeneities has much in common with similar post-colonial moves but has been seen by

some as undermining the legitimacy of the “search for an identity” by oppressed group”.

342 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Sebagai salah satu kearifan lokal yang sudah dilindungi sebacara Nasional,

upacara ritual erpangir ku laudinilai sama halnya seperti penjelasan Lyotard

(Lubis, 2004: 37) adalah sesuatu yang bersifat konteks lokal di Kabupaten Karo.

Para leluhur meyakini bahwa upacara erpangir ku lau berkaitan erat dengan siklus

kehidupan (life-cycle) seorang manusia yang pada akhirnya berdampak pada

sistem kosmos masyarakat Karo itu sendiri.Masyarakat Karo hendaknya kembali

memaknai danmempercayai ajaran luhur tinggalan nenek moyang, dan menolak

segala bentuk konsepthe otherness(yang lain/liyan) yang disematkanoleh

Baratkepadanya. Chakrabarty (dalam King: 1999: 189) telah mendeskipsikan

kritiknya terhadap penilaian sepihak kaum orientalis sebagai berikut:

“...You know I was brough up with everything you name it. I‟m just a broad person. The

earth is mine. We were born here man. It‟s out right. That‟s the way I see it. That‟s the way

I deal with it...”

Diharapkan dengan diresmikannya pelaksanaan kembali upacara ritual

erpangir ku lau oleh pemerintah daerah dan didukung sejumlah lembaga swadaya

masyarakat, masyarakat Karo kembali mengenal jati diri luhur mereka dan

kembali menghargai sistem kosmos sesuai ajaran leluhurnya. Konsep rakut sitelu

dan tutur siwaluhserta menerapkan sifat luhur mehamat, metami,melias, perkeleng,

dan perkuah hendaknya dilaksanakan sesuai jati diri masyarakat Karowarisan

leluhur seperti sedia kala. Diharapkan juga masyarakat Karo untuk kembali saling

menghargai sesama tanpa memandang stratifikasi sosial karo jahé atau karo

gugungdan bersatu atas nama etnisitas. Sikap saling menghargai ini diharapkan

berdampak pada penguatan dan kesatuan masyarakat Karo sebagai bagian dari

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Simpulan

Artikel ini menyimpulkan bahwa wacana kolonial yang disematkan pada

upacara ritual erpangir ku lau harus dibongkar dan dimaknai ulang oleh

masyarakat Karo itu sendiri lepas dari pengaruh/stigma kolonial. Masyarakat Karo

hendaknya kembali mengenal jati diri luhurnya yang diproyeksikan oleh upacara

ritual erpangir ku lau. Warisan budaya luhur tinggalan leluhur sebaiknya

dipisahkan dengan isu-isu agama dan nilai-nilainya dikenali kembali sebagai

harmonisasi relasi tritunggal dalam sistem kosmos (manusia dengan Sang

Pencipta, manusia dan manusia, dan manusia dengan alam semesta) sesuai amanat

Hindu Pemena yang merupakan awal dari pelaksanaan ritual ini yakni.

Pemerintah Kabupaten Karo diharapkan memberikan perhatian serta kontribusi

dalam membantu penguatan jati diri, terbentuknya kesatuan identitas masyarakat

Karo, serta menguatkan kembali ideologi mereka dalam berbangsa.

Daftar Pustaka

Alisjahbana, S.T. 1982. Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat Dari Segi Nilai-

Nilai. Jakarta: PT. Dian Rakyat.

Bungin, B. 2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik

dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.

Bungin, B (ed.). 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Aktualisasi Metodologis

ke Arah Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 343

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

King, R. 1999. Orientalism and Religion: Postcolonial Theory, India, and The

Mystic East. New York: Routledge. ISBN:0-203-00608-9.

Lubis, A.Y. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern: Dari Posmodernisme,

Teori Kritis, Poskolonialisme Hingga Cultural Studies. Jakarta: Pustaka

Indonesia Satu.

_________. 2004. Setelah Kebenaran dan Kepastian Dihancurkan, Masih Adakah

Tempat Berpijak Bagi Ilmuwan. Sebuah Uraian Filsafat Ilmu Pengetahuan

Kaum Posmodernis. Yogyakarta: BYRU Percetakan.

Prinst, D. 2004. Adat Karo. Medan: Bina Media Perintis.

Putro, B. 1979. Karo dari Zaman ke Zaman. Medan: Ulih Saber.

Sebayang, V.A. 2013. ―Analisis Interelasi Guru Sibaso, Musik, dan Trance dalam

Upacara Ritual Erpangir Ku Lau Pada Masyarakat Karo‖ (tesis). Program

Studi Magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Sumatera Utara: Medan.

Sudikan, S.Y. 2001. ―Ragam Metode Pengumpulan Data Mengulas Kembali;

Pengamatan, Wawancara, Analisis Life History, Analisis Folklore‖ (ed).

Dalam Metodologi Penelitian Kualitatif Aktualisasi Metodologis ke Arah

Ragam Varian Kontemporer. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

https://kebudayaan.kemdikbud.go.id

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 344

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

KEARIFAN LOKAL DI BUMI MAJAPAHIT

KECAMATAN TROWULAN-KABUPATEN MOJOKERTO

Zuraidah

Prodi Arkeologi Fakultas Ilmu BudayaUniversitas Udayana

[email protected]

Menyebut nama Majapahit tentu tidak terlepas dari nilai-nilai

luhur yang dimiliki oleh sebuah kerajaan yang pernah berdiri

sekitar abad 13-15 M. Banyak nilai-nilai luhur yang diwariskan

sekarang ini tidak hanya menjadi identitas daerah, tetapi juga

menjadi identitas bangsa. Makalah ini akan mengkaji bentuk-

bentuk kearifan lokal yang ada di Kecamatan Trowulan,

Kabupaten Mojokerto. Trowulan merupakan sebuah daerah yang

diperkirakan sebagai pusat Kerajaan Majapahit, hal ini diperkuat

dengan adanya ribuan temuan arkeologi yang sebagian besar

terkonsentrasi di Kecamatan Trowulan. Meskipun Kerajaan

Majapahit telah lama runtuh dan sekarang masyarakat yang

tinggal di bekas ibukota Kerajaan Majapahit mempunyai ideologi

yang berbeda (mayoritas beragama Islam), tetapi masyarakat

berusaha menghadirkan kembali aura besar Kerajaan Majapahit

baik melalui berbagai event budaya maupun lewat simbol-simbol

identitas Kerajaan Majapahit. Hal tersebut menunjukkan bahwa

masyarakat Trowulan masih mempertahankan kearifan lokal yang

berasal dari Kerajaan Majapahit.

Kata kunci: kearifan lokal, majapahit,masyarakat trowulan.

PENDAHULUAN

Bangsa Indonesia adalah sebuah bangsa baru yang terdiri dari berbagai

suku bangsa, yang semua pada dasarnya adalah pribumi, artinya, semua adalah

suku-suku bangsa yang meskipun dahulu kala bermigrasi dari tempat lain,

secara turun-temurun telah tinggal di wilayah geografis Indonesia sekarang ini,

dan merasa bahwa itu adalah tanah airnya. Kebudayaan yang dimiliki oleh

manusia Indonesia hingga dewasa ini secara keseluruhan dapat digambarkan

sebagai tumpukan pengalaman budaya dan pembangunan budaya yang terdiri

dari lapisan-lapisan budaya yang terbentuk sepanjang sejarahnya. Adanya

pilahan lapisan-lapisan tersebut dikesankan oleh terdapatnya perubahan-

perubahan sistematik pada periode-periode tertentu, yang disebabkan oleh

proses akulturasi. Tiga pengalaman besar dalam akulturasi di Indonesia adalah;

yang pertama, ketika menyerap agama Hindu dan Budha, kemudian yang kedua

adalah akulturasi dengan peradaban Islam, dan yang terakhir adalah akulturasi

dengan kebudayaan Eropa (Sedyawati, 2006:315).

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 345

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Akulturasi pertama dengan kebudayaan Hindu-Budha yang dibawa

pedagang-pedagang dari India membawa perubahan besar dalam tatanan sejarah

nusantara, diantaranya nenek moyang kita mengenal agama Hindu dan Budha,

mengenal tulisan, mengenal bangunan suci keagamaan berupa candi, dan

mengenal sistem organisasi politik dalam bentuk kerajaan.Dalam

perkembangannya organisasi politik dalam bentuk kerajaan banyak

bermunculan silih berganti di Nusantara. Kerajaan-kerajaan Hindu-Budha yang

ada di Nusantara antara lain, Kerajaan Kutai, Tamunegara, Sriwijaya, Mataram

Kuno, Kadiri, Singasari, Majapahit, dan Bali Kuno. Dalam makalah ini yang

menjadi pembahasan adalah adanya kearifan lokal dari Kerajaan Majapahit yang

masih dipertahankan hingga sekarang oleh masyarakat di Kecamatan Trowulan

Kabupaten Mojokerto.

Berbicara tentang Majapahit selalu dikaitkan dengan keberadaan sebuah

kerajaan besar yang pernah berjaya di Nusantara dalam kurun waktu abad13-15

M. Pembuktian tentang kebesaran Majapahit telah banyak diteliti dari berbagai

disiplin ilmu. Dimana bukti-bukti kebesaran Majapahit tersebut dapat ditelusuri

dari berbagai sumber seperti; karya sastra kuno (Kitab Pararaton, Kitab

Negarakertagama), data prasasti, candi, relief, seni arca, ribuan artefak

Majapahit yang sudah ditemukan kembali dan sumber-sumber lainnya. Bukti

tentang kebesaran Majapahit tidak hanya ditunjukkan dengan data arkeologi

yang bersifat tangible, tetapi juga ditunjukkan dengan data yang bersifat

intangible.

Sudah banyak ditemukan bukti-bukti kebesaran Majapahit terutama di

Situs Trowulan. Situs Trowulan yang diduga sebagai pusat Kerajaan Majapahit

yang pernah memegang peranan amat penting dalam sejarah Indonesia, bahkan

di kawasan Asia Tenggara, merupakan satu-satunya situs kota dari masa Klasik

(abad 5-15 M). Dalam teori arkeologi, situs Trowulan ini digolongkan sebagai

situs pemukiman (settlement site), khususnya jenis atau tingkat situs-kota karena

di situs ini selain terdapat beberapa bangunan monumental (seperti candi, gapura

dan kolam) ditemukan pula benda-benda (artefak) sisa kehidupan masyarakat

Majapahit dalam jenis yang amat beragam dan dalam jumlah yang sangat besar

serta tersebar dalam areal yang amat luas (Mundardjito, 2000).Di Situs

Trowulan terdapat ribuan peninggalan arkeologi baik data berupa fitur maupun

ribuan artefak. Tinggalan arkeologi yang berupa fitur antara lain; Candi Gentong,

Candi Brahu, Gapura Wringin Lawang, Kolam Segaran, Gapura Bajang Ratu,

Candi Tikus, Makam Troloyo, Makam Putri Campa, Candi Minakjinggo, Candi

Kedaton, Situs Lantai Segi enam, dan lain sebagainya. Sedangkan data arkeologi

yang berupa artefak yang jumlahnya ribuan dan karakter datanya sangat

beragam disimpan di Pusat Informasi Majapahit, seperti arca, prasasti, uang

kepeng, keramik, benda-benda logam, dan lain sebagainya.

Meskipun sebagian besar peninggalan arkeologi di Situs Trowuan

bersifat dead monument dalam artian sudah tidak difungsikan lagi oleh

masyarakat sekarang, tetapi masyarakat Trowulan masih tetap mempertahankan

dan berupaya menghidupkan kembali budaya Majapahit dalam kehidupan

sehari-hari.

346 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

PEMBAHASAN

Kearifan lokal disini merujuk pada pengertian kearifan dalam

kebudayaan tradisional. Dimana kata ―kearifan‖ sendiri hendaknya juga

dimengerti dalam arti luasnya, yaitu tidak hanya berupa norma-norma dan nilai-

nilai budaya, melainkan juga segala unsur gagasan, termasuk yang berimplikasi

pada teknologi, penanganan kesehatan, dan estetika. Dengan pengertian tersebut,

maka yang termasuk sebagai penjabaran ―kearifan lokal‖ itu, di samping

peribahasa dan segala ungkapan kebahasaan yang lain, adalah juga berbagai

pola tindakan dan hasil budaya materialnya. Dalam arti yang luas itu, maka

diartikan bahwa ―kearifan lokal‖ itu terjabar ke dalam seluruh warisan budaya,

baik yang tangible maupun yang intangible (Sedyawati, 2006:382).Konsep

―kearifan lokal‖ pada makalah ini adalah menghadirkan kembali budaya

Majapahit melalui budaya materi (bangunan fisik) dengan mendirikan

―Kampung Majapahit‖ di Kecamatan Trowulan.

Sebelum sampai di Kecamatan Trowulan, dari arah Surabaya maupun

Jombang kita akan merasakan suasana Majapahit dengan terdapatnya gapura

yang mengambil bentuk dari gapura Majapahit (seperti gapura/Candi Wringin

Lawang). Bentuk gapura Majapahitan terdapat pada gapura selamat datang di

Kota Mojokerto, selamat datang di Kecamatan Trowulan, Kantor Bupati

Mojokerto, dan di beberapa desa-desa di Kecamatan Trowulan. Suasana

Majapahitan akan lebih terasa di lokasi yang diperkirakan sebagai pusatnya

Kerajaan Majaphit yaitu di Situs Trowulan Kecamatan Trowulan. Terutama di

Desa Bejijong Kecamatan Trowulan yang merupakan desa pertama yang disulap

menjadi Kampung Majapahit. Dimana sejak tahun 2014 pemerintah daerah

Mojokerto dan pemerintah Provinsi Jawa Timur menggagas terwujudnya

Kecamatan Trowulan atau ingin menampilkan suasana Majapahit di Bumi

Majapahit Kecamatan Trowulan.

Untuk mewujudkan berdirinya Kampung Majapahit, pemerintah

bekerjasama dengan beberapa pihak terkait seperti BPCB Trowulan (Balai

Pelestarian Cagar Budaya) dan para pemerhati budaya Majapahit untuk

menggali kearifan lokal Kerajaan Majapahit yang berupa seni

bangunan/arsitektur beserta ornamen-ornamen Majapahit. Dari sinilah kemudian

ditentukan bahwa di beberapa desa yang ada di Kecamatan Trowulan akan

dibangun rumah kuno model Majapahitan. Gagasan pemerintah ini kemudian

disambut baik oleh masyarakat, hal ini terbukti dengan antusiasnya masyarakat

setempat menyulap kampungnya menjadi perkampungan dengan ciri khas

Majapahit.

Sampai tahun 2019 sudah ada 6 desa di Kecamatan Trowulan yang

dijadikan prototipe ―Kampung Majapahit‖, yaitu Desa Bejijong, Sentonorejo,

Kedaton, Trowulan (masih sebagian saja), Jati Pasar dan Jati Sumber. Rumah

―majapahitan‖ dibangun dibagian paling depan, sedangkan bagian belakang

rumah warga bentuknya masih diperbolehkan bervariasi sesuai bangunan

sebelumnya. Tujuannya direnovasi bagian depannya saja dengan model rumah

kuno masa Majapahitan adalah untuk menghadirkan aura perkampungan

Majapahit. Rumah ―majapahitan‖ menempati areal yang sebelumnya merupakan

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 347

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

halaman rumah. warga ada yang memfungsikannya sebagai ruang tamu maupun

tempat usaha seperti warung, toko, art shop. Rumah-rumah model majapahitan

berderet disepanjang jalan dengan bentuk yang seragam (lihat foto 1) dan

berukuran kira-kira 4x5 meter, dengan ciri khas bangunan/arsitektur masa

Majapahit; menggunakan bahan bata merah, jendela dan pintu terbuat dari kayu,

dan penggunaan simbol Kerajaan Majapahit yaitu Surya Majapahit pada pagar

depan rumah majapahitan (lihat foto 2).

Pembangunan rumah model majapahitan selain dimaksudkan sebagai

upaya pelestarian budaya Majapahit, tentunya juga untuk mendongkrak

kunjungan wisatawan untuk datang ke Situs Trowulan. Sehingga wisatawan

mendapatkan hal yang baru dan unik selain peninggalan arkeologi yang sudah

ada. Wisatawan disuguhkan suasana pemukiman Majapahit secara langsung.

Dimana bentuk rumah dari masa Majapahit bisa kita lihat replikanya di Pusat

Informasi Majapahit (PIM) di Desa Trowulan Kecamatan Trowulan.`Sedangkan

sumber bentuk rumah kuno dari masa Kerajaan Majapahit dapat ditelusuri dari

beberapa relief candi masa Majapahit.

Foto 1. Model rumah majapahitan

Foto 2. Penggunaan ornamen Surya Majapahit

pada pagar rumah model majapahitan.

348 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

Menghadirkan kembali budaya Majapahit melalui bentuk rumah

tradisional beserta ornamen ciri khas majapahit merupakan sebuah upaya

masyarakat mempertahankan kearifan lokal yang dimiliki oleh nenek moyang

Bangsa Indonesia pada masa lampau. Mempertahankan kearifan lokal berarti

sebuah upaya masyarakat melestarikan budaya daerah. Apa yang dilakukan

masyarakat Kecamatan Trowulan beserta pemerintah (Provinsi dan Daerah)

adalah sebuah bentuk menghadirkan kembali budaya majapahit melalui simbo-

simbol yang identik dengan majapahit, sehingga masyarakat/generasi sekarang

dapat mengingat kembali kebesaran Kerajaan Majapahit yang pusat kerajaannya

diperkirakan terletak di Kecamatan Trowulan sekarang ini.

Dapat dikatakan demikian karena di era globalisasi sekarang ini, banyak

pengaruh kebudayaan luar yang masuk ke Indonesia salah satunya

mempengaruhi unsur arsitektur. Hal ini dapat kita lihat dengan maraknya

arsitektur dengan ciri-ciri budaya barat dan meninggalkan arsitektur lokal.Pada

masa sekarang proses globalisasi cenderung mengaburkan batas-batas peradaban

antar bangsa, bahkan pada saatnya dapat mengeliminasi jatidiri bangsa yang

diglobalkan. Disinilah pentingnya pemilikan dan penguatan kepribadian bangsa

agar tidak terlindas arus globalisasi, tetapi dengan cerdik menyaring dan

mengolahnya untuk kemajuan budaya sendiri tanpa kehilangan keindonesiannya

(Simanjuntak, 2012: 10).

Dengan pelibatan masyarakat untuk ikut aktif dalam pelestarian kearifan

lokal menunjukkan bahwa masyarakat di Kecamatan Trowulan masih

menghargai budaya lokal yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.

Walaupun keberadaan kampung majapahit juga tidak terlepas dari adanya

kepentingan dalam industri pariwisata, dimana dengan dibangunnya

perkampungan Majapahitan masyarakat juga berharap adanya geliat

pertumbuhan ekonomi dari sektor pariwisata.Tidak dapat dipungkiri bahwa

dengan adanya kampung majapahit, geliat kunjungan wisatawan menunjukkan

peningkatan karena wisatawan penasaran dengan keberadaan kampung

majapahit.peningkatan kunjungan wisatawan juga diimbangi dengan

meningkatnya penjualan hasil-hasil kerajinan yang bercorak seni majapahit,

seperti kerajinan patung, souvernir bercorak majapahit, dan munculnya batik

majapahit yang mengambil motif pada candi yang ada di Situs Trowulan.

Pelestarian budaya majapahit dengan cara menghadirkan kembali

arsitektur rumah tradisional majapahit merupakan sebuah bentuk pelestarian

kearifaan lokal dari masa Kerajaan Majapahit. Pelestarian kearifan lokal di

Bumi Majapahit tidak hanya terbatas pada menghadirkan kembali rumah model

majapahitan, tetapi masih banyak kearifan lokal budaya Majapahit yang masih

tetap dilestarikan hingga sekarang di Kecamatan Trowulan, seperti kegiatan

kirab budaya pada hari kemerdekaan Indonesia dengan mengangkat tema

budaya Majapahit, adanya pengrajin logam dan teracota yang memproduksi

hasil kerajinannya dengan mengambil bentuk seni pahat dari masa Majapahit,

adanya kegiatan gelaran pekan budaya Majapahit yang diselenggarakan oleh

BPCB Trowulan Jawa Timur bekerjasama dengan Pemda Mojokerto, dan masih

banyak kearifan lokal yang lainnya dari masa Majapahit yang perlu dilestarikan.

Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV 349

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019

SIMPULAN

Berdasarkan uraian di atas tentang kearifan lokal di Bumi Majapahit

Kecamatan Trowulan Kabupaten Mojokerto, maka dapat ditarik sebuah

kesimpulan bahwa pemerintah dan masyarakat berupaya mengenalkan kembali

budaya Majapahit salah satunya melalui pembangunan rumah model

majapahitan beserta ornamen ciri khas majapahit. Upaya pengenalan kembali

budaya majapahit ini merupakan sebuah upaya pemerintah dan masyarakat

untuk tetap mempertahankan budaya Majapahit.

DAFTAR PUSTAKA

Mundardjito. 2000. ―Strategi Pelestarian Situs-Kota Majapahit, Trowulan‖,

dalam Pengembangan Kawasan Pariwisata Trowulan-Mojokerto. Dinas

Pariwisata Daerah Kabupaten Mojokerto.

Sedyawati, Edi, 2007. Budaya Indonesia Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Simanjuntak, Truman, 2012. ―Arkeologi dan Pembangunan Karakter Bangsa‖

dalam Arkeologi Untuk Publik‖. Jakarta: Ikatan Ahli Arkeologi

Indonesia.

350 Seminar Nasional Sastra dan Budaya IV

Denpasar, 29 - 30 Maret 2019


Recommended