1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem penyelenggaran kekuasaan negara yang dipandang paling sesuai
dengan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini adalah sistem demokrasi.1
Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat (democracy is government from people, by people and for
people).2 Terlebih lagi memang konsep demokrasi didirikan atas dasar logika
persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang
diperintah, dalam hal ini adalah rakyat.3 Itu artinya baik dari segi teoritis maupun
praktis demokrasi erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana sistem
penyelenggaraan negara yang demokratis itu menjamin bahwa rakyat terlibat
secara penuh dalam merencanakan, mengatur, dan mengawasi serta menilai
pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.4
Indonesia sebagai negara yang merdeka dengan tegas menganut paham
kedaulatan rakyat dengan menuangkannya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dalam
mengakomodir kedaulatan dan keterlibatan rakyat tersebut, maka dari itu
dituangkanlah dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang
mengatur mengenai jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat di Indonesia. Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen
internasional yang tertuang dalam konferensi International Commision of Jurirsts
di Bangkok pada tahun 1965 yang menjadikan kebebasan berpendapat dan
1 Jimly Asshiddiqie (1), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm.114.
2 U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs, “Defining Democracy”, http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diunduh pada 30 September 2015.
3 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.
4 Jimly Asshidiqie (1) , loc.cit.
Universitas Indonesia
2
kebebasan berserikat sebagai ciri utama negara yang memiliki pemerintahan
demokratis di bawah Rule of Law.5 Dengan diaturnya kebebasan berserikat dalam
kedua ketentuan diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan berserikat telah
diakui dan disepakati sebagai bagian yang penting di negara Indonesia secara
khusus dan masyarakat global secara umum sehingga perlu diatur secara tegas dan
spesifik.
Pada dasarnya kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar
manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun
informal.6 Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang mengemukakan
bahwa manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya untuk hidup bermasyarakat
dan berinteraksi satu sama lain karena masing-masing manusia tidak mampu
hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.7 Menurut Prof. Jimly
kecenderungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, dimana kehidupan
berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan
yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama
berdasarkan persamaan pikiran dan hati.8 Kebebasan berserikat menjadi penting
karena merupakan manifestasi puncak dari kebebasan hati nurani, kebebasan
berkeyakinan dan kebebasan menyatakan pendapat seseorang. Selain itu, hak-hak
tersebut juga merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam
pemerintahan sehingga jaminan terhadap hak-hak tersebut merupakan prasyarat
mutlak demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan
dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat
mengekspreksikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya.9
5 South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurists, 1965), hlm.39-50.
6 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.14.
7 Herbert Gintis and Carel van Schail, “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 30 September 2015.
8Jimly Asshiddiqie (2), Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hlm. 44.
9 Richard H. Pildes, “The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068, diunduh pada 28
Universitas Indonesia
3
Akan tetapi faktanya, selalu saja ada jarak antara rakyat yang berdaulat
tersebut dengan penyelenggara negara itu sendiri. Maka dari itu, konsep abstrak
kebebasan berserikat perlu dikonkretifsasi sehingga diperlukan suatu institusi dan
mekanisme khusus yang menjamin kebebasan berserikat tersebut. Institusi dan
mekanisme itu termanifetasi dan terinternalisasi kepada tiga hal yakni lembaga
perwakilan, partai politik dan pelaksanaan pemilihan umum secara berkala.10
Lembaga perwakilan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan satu
kesatuan sistem yang integral dan sulit dipisahkan, dimana aktivitas partai politik
dalam memperjuangkan program dan menyampaikan aspirasi dari rakyat
diadvokasikan melalui lembaga perwakilan. Kemudian, anggota lembaga
perwakilan tersebut pada umumnya adalah orang-orang dari partai politik yang
diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum.11 Pemilu tanpa disertai partai
politik hanya akan mempertahankan status quo dan itu artinya hanya sekadar
perangkat konservatif yang memberikan keabsahan umum pada struktur dan
kepemimpinan lama.12
Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi dan kedaulatan
rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal itu
karena negara demokrasi memang dibangun di atas sitem kepartaian.13 Bahkan
menurut R.M. Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik
itu sendiri, karena partai politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate
structure) antara rakyat (civil society) dengan negara (state).14 Lebih lanjut
menurut Miriam Budiardjo pentingnya partai politik tertuang dalam 4 fungsi
September 2015.10 Jimly Asshiddiqie (3), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah:
Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm.25-26.11Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, edisi revisi, cetakan keempat,
(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 266.12 Safaat, op.cit ., hlm.16.13Sulastomo, “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan
Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 62.14 RM Maciver, The Modern State, first edition, (London: Oxford University Press, 1955),
hlm. 194.
Universitas Indonesia
4
yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur
konflik politik.15
Fungsi komunikasi politik artinya partai politik berkomunikasi dengan
rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan program-program
politik yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk program serta diperjuangkan
menjadi keputusan pemerintah. Itu artinya partai politik adalah jembatan antara
mereka yang memerintah (the rulers) dengan mereka yang diperintah (the ruled).
Lalu fungsi sosialisasi politik berarti partai melakukan penanaman nilai-nilai
ideologi dan loyalitas kepada negara dan partainya. Kemudian, fungsi rekrutmen
politik berarti partai politik melakukan kaderisasi dan seleksi terhadap calon-calon
anggota lembaga perwakilan yang berbakat dan nantinya calon-calon tersebut
akan dipilih oleh rakyat. Terakhir fungsi pengatur konflik politik diartikan partai
politik mengelola aturan main dan pelembagaan kelompok-kelompok sosial
sehingga dapat meminimalisir potensi gerakan massal yang merusak dengan cara
revolusi atau kudeta.
Berdasarkan jabaran argumentasi diatas, dapat diketahui bahwasannya
kebebasan berserikat dan eksistensi dari partai politik merupakan syarat mutlak
dari ciri negara yang demokratis. Salah satu konsekuensinya dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur dalam Pasal
22E ayat (3) bahwa partai politik diakui sebagai bagian dari tata kehidupan
bernegara dengan menjadikannya sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah, bahkan berdasarkan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga
menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai
politik atau gabungan partai politik. Maka dari itu keberadaan partai politik yang
penting tersebut juga harus diakui kedudukannya dalam lalu lintas hukum sebagai
suatu subjek hukum tersendiri, itu artinya partai politik harus memiliki status
sebagai badan hukum atau rechtpersoon yang beranggotakan perorangan warga
negara sebagai natuurlijke persoons. Apalagi partai politik masuk dalam
kualifikasi empat unsur suatu badan hukum yakni:
15 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982), hlm. 14-16.
Universitas Indonesia
5
1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang
lain;
2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan;
3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;
4. Memiliki organisasi kepengurusan yang teratur menurut peraturan
perundang-undangan dan peraturan internalnya; dan
5. Didaftarkan dan memperolah status sebagai badan hukum.16
Manfaat dari diakuinya partai politik sebagai badan hukum adalah dapat
melakukan tindakan hukum baik yang bersifat publik maupun perdata sekaligus
juga mengetahui batasan hak dan kewajibannya.
Meskipun demikian, kebebasan berserikat yang termanisfestasi dalam
partai politik harus memiliki batasan dalam konteks masyarakat demokratis, hal
ini semata-mata demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk
mencegah kejahatan serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk
melindungi hak dan kebebasan lain.17 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara
ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum, harus dilakukan
semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis, dan harus
benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan
sosial.18 Terlebih lagi, di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan haruslah diberikan suatu
batasan. Dimana ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara
lengkap seperti berikut:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamana, dan ketertban umum dalam suatu masyarakat yang demokrasi.”
16 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm.74-75.17 Moh. Saleh, “Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik,” Jurnal Konstitusi Volume I
No. 1, (November 2011), hlm. 7.18 Ibid., hlm. 7-8.
Universitas Indonesia
6
Maka dari itu menurut Prof. Jimly Asshidiqie dalam suatu negara yang
demokratis, pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-
alasan rasional dan proporsional melalui mekanisme due process of law serta
berdasarkan putusan pengadilan. Dalam konteks ini, pembubaran yang dimaksud
adalah ketika telah berakhirnya eksistensi hukum dari partai politik, dimana
proses terjadinya pembubaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
tentang Partai Politik Pasal 41 bisa terjadi karena tiga hal, yakni atas keputusan
sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan
berdasarkan keputusan otoritas negara. Dalam penelitian ini, Penulis fokus pada
pembubaran partai politik variasi ke tiga yakni pembubaran yang dilakukan oleh
keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).19 Perbedaan antara
pembubaran dengan cara keputusan otoritas negara secara paksa dengan
pembubaran jenis lainnya adalah pembubaran jenis ini harus dipandang sebagai
pemberian sanksi dari negara terhadap partai politik yang inkonstitusional dan
melanggar peraturan perundang-undangan.
Khususnya di Indonesia, praktek pembubaran partai politik pernah
beberapa kali terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Pada masa penjajahan
Belanda, beberapa partai yang pernah dibubarkan antara lain adalah Indische
Partij (IP), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).
Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terjadi pembubaran terhadap Partai
Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) serta beberapa partai politik lain
yang tidak diakui statusnya sebagai badan hukum. Pada masa pemerintahan
Presiden Soeharto memang tidak terjadi pembubaran partai politik, akan tetapi
dilakukannya fusi sehingga menjadi tiga partai politik saja dan menutup ruang
kebebasan membentuk partai politik baru.20 Pada masa Abdurrahman Wahid pun
Partai Golkar juga pernah ingin dibubarkan dengan maklumat Presiden RI
Tanggal 23 Juli 2001 akan tetapi hal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan
hukum mengikat sejak dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001.21
19 Safa’at, op.cit., hlm. 32.20 Ibid.21 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Terhadap Maklmuat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001, TAP MPR No : I/MPR/2001, Ps.1 ayat (3).
Universitas Indonesia
7
Dimana dalam prakteknya partai politik sejatinya memiliki kewajiban
untuk mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan peraturan
perundang-undangan dibawahnya serta tidak menganut, mengembangkan dan
menyebarkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme serta melakukan kegiatan
yangnmembahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.22 Apabila partai politik tidak menjalankan kewajiban-kewajiban
yuridisnya, maka terdapat sanksi dan yang paling berat adalah dengan dibubarkan.
Pemberian sanksi oleh negara harus dipandang sebagai bentuk tanggung
jawab negara dalam mengawasi partai politik sebagai upaya menjaga eksistensi
partai politik itu sendiri agar berjalan sesuai dengan koridor yang telah diatur
dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Instrumen sanksi merupakan
upaya preventif dan represif dalam rangka pengawasan partai politik. Hal ini
sangat penting mengingat karena tanpa adanya sanksi terdapat kemungkinan
partai politik keluar dari jalur yang telah ditetapkan dalam peraturan sangat besar
dan menjadi lebih besar. Apabila hal tersebut terjadi dikhawatirkan kredibilitas
partai politik kepada masyarakat semakin terancam sehingga partai politik tidak
dipercaya lagi dalam menjalankan fungsinya.23 Apalagi saat ini partai politik tidak
mendapatkan kepercayaan yang cukup memadai dari masyarakat, dimana
berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga kajian nonprofit Populi
Center pada 16-22 Januari 2015 didapati hasil hanya 12.5 persen responden saja
yang percaya akan kinerja partai politik.24
Mengingat kebebasan berserikat adalah hak konstitusional warga negara
yang tercantum dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan
itu artinya kebebasan berserikat adalah hak yang teramat penting sehingga perlu
dituangkan dalam konstitusi. Terlebih lagi beberapa ahli berkeyakinan bahwa
kebebasan berserikat adalah salah satu bentuk natural rights yang bersifat
22 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801, Ps. 40 ayat (1) dan (5).
23 Allan FGW dan Harry S., “Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Nomor. 4, (Oktober, 2013), hlm. 524.
24Noor Aspasia Hasibuan, “DPR dan Polri Lembaga Terkorup”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi-dpr-dan-polri-lembaga-terkorup/, diunduh pada 2 November 2015.
Universitas Indonesia
8
fundamental dan melekat dalam perikehidupan bersama umat manusia, maka
menjadi suatu pertanyaan besar, apakah pembubaran partai politik tidak berakibat
pada hak konstitusional dalam berserikat? Apalagi berdasarkan penjabaran
sebelumnya, diketahui bahwa salah satu manifestasi kebebasan berserikat yang
paling nyata adalah adanya partai politik di suatu negara.
Permasalahan kedua adalah terkait dengan legal standing. Saat ini
kewenangan dalam melakukan pembubaran partai politik berada di lembaga
peradilan bernama Mahkamah Konstitusi. Dasar kewenangan Mahkamah
Konstitusi dalam pembubaran partai politik tertuang dalam Pasal 24C (1) Undang-
Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan suatu
partai politik melalui putusan yang bersifat final dan mengikat (legally binding).
Selain itu wewenang Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai
politik juga terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 41 butir c Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2008 tentang Partai Politik serta Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12
Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.
Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik
yang telah terdaftar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementrian
Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi
melakukan bentuk pelanggaran konstitusional.25 Adapun alasan-alasan
membubarkan suatu partai politik telah tertuang dalam Pasal 68 (2) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana partai
politik tersebut terbukti memiliki ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan
yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a
Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan bahwa partai politik dilarang
melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Lebih
ekstrim lagi, partai politik yang menganut, mengembangkan dan menyebarluaskan
paham komunisme, marxisme, dan leninisme berdasarkan Pasal 40 ayat (5)
25 Saleh, op.cit., hlm. 8.
Universitas Indonesia
9
Undang-Undang Partai Politik sudah pasti harus dibubarkan karena hal tersebut
bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.
Akan tetapi, permasalahan selanjutnya muncul ketika peletakan
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi hanya bisa dimohonkan oleh
pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang
ditugaskan. Hal itu terlihat dalam Pasal 68 (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun
2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai
Politik yang kemudian dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
53/PUU-IX/2011 yang memonopoli legal standing dalam pembubaran partai
politik hanya dapat diajukan oleh pemerintah.
Konsekuensi logis dari dimonopolinya legal standing dalam mengajukan
pembubaran partai politik adalah nihilnya permohonan mengenai pembubaran
partai politik di Mahkamah Konstitusi. Sejak pertama kali Mahkamah Konstitusi
di bentuk pada tahun 2003 hingga akhir tahun 2015 faktanya belum ada satupun
permohonan yang masuk ke meja panitera Mahkamah Konstitusi.26 Disinyalir hal
ini ada kaitannya dengan permohonan pembubaran partai politik yang hanya
dapat diajukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden dan jajarannya.27
Akibat dari dimonopolinya legal standing pembubaran partai politik jelas
menutup pihak lain untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi,
seperti perseorangan atau kelompok masyarakat. Implikasinya adalah tumpulnya
peran warga negara dalam mengawasi kinerja partai politik, padahal dalam negara
yang demokratis peran warga negara sebegai pemegang kedaulatan tertinggi
sangatlah strategis, apalagi dalam hal pengawasan partai politik yang notabene-
nya adalah penyuplai wakil-wakil rakyat di pemerintahan.28
Jika ditelaah dari ketentuan yuridis, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 26Mahkamah Konstitusi, “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai
Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#, diunduh 1 Oktober 2015.
27 Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316, Ps. 68 ayat (1).
28 Allan FGW dan Harry S., loc.cit.
Universitas Indonesia
10
2008 tentang Partai Politik dapat diketahui bahwa partai politik adalah organisasi
yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia
secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita. Itu artinya jika
ditelaah lebih lanjut maka patut dipertanyakan jika hanya Presiden yang memiliki
legal standing dalam pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi
disebabkan karena 4 alasan, pertama keberadaan partai politik tidak hanya
ditujukan bagi Presiden tapi warga negara secara keseluruhan, kedua partai politik
dibentuk oleh warga negara maka seharusnya warga negara pula yang dapat
membubarkannya, ketiga dengan hanya ada legalstanding dari pemerintah
tentunya sangat membatasi hak asasi manusia dalam hal mengajukan permohonan
ke Mahkamah Konstitusi padahal Indonesia telah menganut prinsip kesamaan
dihadapan hukum yang di akomodir dalam Pasal 27 ayat (1), 28 C ayat (2), 28 D
ayat (1) dan 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, keempat dengan hanya
Presiden yang menjadi legal standing dalam pembubaran partai politik membuat
banyak partai politik yang berpotensi untuk dibubarkan tetapi tidak dimohonkan
ke Mahkamah Konstitusi mengingat Presiden tersandera karena adanya hubungan
kontrak politik yang terjalin dalam sistem koalisi.
Dua permasalahan terkait pembubaran partai politik yakni hak
konstitusional warga negara dalam berserikat yang dibatasi dan legal standing
dalam mengajukan pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi yang
hanya di miliki oleh pemerintah membuat Penulis tertarik untuk membahasnya
lebih lanjut dalam karya tulis berbentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis
atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik di Mahkamah Konstitusi”
1.2 Pokok Permasalahan
Penelitian ini mengangkat permasalahan utama yaitu:
1. Apakah gagasan tentang pembubaran partai politik berakibat terhadap
hak konstitusional warga negara dalam berserikat?
Universitas Indonesia
11
2. Apakah Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi telah melanggar
hak konstitusional warga negara?
1.3 Tujuan Penelitian
Secara umum, tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk
memberikan pemahaman yang komprehensif dengan memberikan kajian yang
lebih mendalam tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara
pembubaran partai politik. Adapun tujuan penelitian ini secara khusus adalah
untuk:
1. Untuk mengetahui hubungan dan akibat hukum dari pembubaran
partai politik terhadap hak konstitusional warga negara dalam
berserikat.
2. Untuk mengetahui Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah
dalam pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi apakah
melanggar hak konstitusional warga negara ataukah tidak.
1.4 Kerangka Teori
1.4.1 Teori Kedaulatan Rakyat
Istilah kedaulatan lazim dipahami sebagai sovereignity atau majesty yang
diadopsi dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda yang telah banyak
dipengaruhi oleh Bahasa Latin. Semua istilah tadi menunjuk kepada akar
pengertian yang sama yaitu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Akan tetapi
sejatinya akar kata kedaulatan itu sendiri merupakan saduran dari bahasa Arab
yang berasal dari akar kata daulat atau dulatan, yang dalam makna klasik artinya
sebagai pergantian atau peredaran. Dengan demikian, pengertian kedaulatan itu
dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan
tertinggi yang didalamnya sekaligus terkandung dimensi waktu dan proses
peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiyah.29
29 Jimly Asshiddiqie (4), Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Pers,1995), hlm. 11.
Universitas Indonesia
12
Teori kedaulatan rakyat memiliki hubungan yang erat dengan konsepsi
perjanjian masyarakat atau kontrak sosial dalam konteks asal mula pembentukan
negara.30 Dimana timbulnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi atas teori
kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi
rakyat.31 Maka dari itu J.J Rousseau menggemakan konsep kedaulatan baru yang
yang memposisikan rakyat sebagai penguasa tertinggi lewat bukunya Du Contract
Social. Buku tersebut merupakan pengembangan pemikiran dari Jean Bodin
mengenai kedaulatan dalam buku Six Livres de la Republique. Jean Bodin
mengatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang mengatasi warga
negara, anak buah, dan undang-undang. Konsep ini jika diurai dapat ditarik
menjadi 3 unsur, yakni:
1) Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi,
dan asli dalam arti tidak berasal dari atau bersumber kepada kekuasaan
lain yang lebih tinggi.
2) Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan
lain yang membatasinya.
3) Utuh, bulat, dan abadi, dalam arti tidak terpecah-pecah dan tidak terbagi-
bagi.
Maka dari itu konsep kedaulatan sejatinya bersifat unite dalam arti
terdapat semangat dan kemauan umum rakyat adalah suatu kesatuan dengan mana
mereka sebagai kesatuan berhak memerintah dan menolak diperintah. Karena
rakyat adalah satu maka negara juga adalah satu, dan dengan sendirinya konsep
kedaulatan ini juga bersifat bulat dan tak dapat dipecah-pecah. Jika rakyat
berdaulat, maka rakyatlah satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi, bukan
yang lain. Disimpulkan oleh Bodin, bahwa kedaulatan adalah milik setiap bangsa
sebagai kesatuan yang bersifat turun-temurun, sehingga kedaulatan tidak dapat
berubah-ubah begitu saja, ketika berada di tangan rakyat maka selamanya akan
tetap ada di tangan rakyat. Kemudian dalam teori fiksinya mengenai perjanjian
30 “Pengertian Kedaulatan Rakyat” http://www.pengertianahli.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-rakyat.html, diunduh pada 5 Oktober 2015.
31 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI, Ilmu Negara, edisi revisi, (Depok: Penerbit FH UI ,2014), hlm. 124.
Universitas Indonesia
13
masyarakat (kontrak sosial), Rousseau menyatakan bahwa dalam suatu negara,
natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat sebagai penguasa
tertinggi memiliki hak-haknya. Itu artinya, secara sederhana dapat diartikan
bahwa kedaulatan rakyat adalah meletakan kekuasaan tertinggi disuatu negara di
tangan rakyat.32
Khususnya dalam konstitusi di negara Indonesia penegasan kedaulatan rakyat
secara nyata dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-
Undang Dasar”. Pasal tersebut merupakan bentuk kemerdekaan dan penghargaan
kepada rakyat selaku elemen tertinggi. Sebelumnya, kedaulatan tersebut di
jewantahkan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,
akan tetapi kepercayaan tersebut ternoda dengan tirani kekuasaan selama 32 tahun
yang dilakukan oleh Presiden selaku mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan tersebut menjadikan tidak hanya
MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat secara tunggal, akan tetapi
mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan
Undang-Undang Dasar.33
1.4.2 Teori Hak Asasi Manusia: Hak Konstitusional Warga Negara
Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, gerakan HAM di level internasional
semakin intensif terlebih lagi setelah didirikannya PBB. Sejalan dengan hal
tersebut banyak negara yang memasukkan jaminan dan perlindungan HAM itu
secara tertulis ke dalam konstitusinya, terlebih lagi setelah kejatuhan rezim
komunis pada akhir abad ke-20. Perancangan konstitusi negara pasca Perang
Dunia II terfokus pada dua masalah pokok:
32 Nike K. Rumokoy, “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” Jurnal Hukum Unsrat Vol. XVII/No. 1 (April – Juni 2009), hlm. 96.
33 Jimly Asshiddiqie, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional”, Sambutan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005.
Universitas Indonesia
14
1. Penegasan HAM sebagai pembatasan wilayah otonomi individu yang tak
boleh dilanggar oleh negara.
2. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan khusus untuk
menjaga dan melindungi hak-hak asasi tersebut.34
Dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status
kepada hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional. Perlindungan yang dijamin
oleh konstitusi bagi hak konstitusional itu adalah perlindungan terhadap
pelanggaran oleh perbuatan negara atau public authorities, bukan terhadap
pelanggaran oleh individu lain.35
Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi
manusia. Maka dari itu hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari
pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Apabila hak asasi manusia itu
telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga secara otomatis hak
asasi manusia tersebut telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara
atau “constitutional rights”.
Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights”
identik dengan “human rights”. Terdapat hak konstitusional warga negara (the
citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam
pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara
untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah “the citizen’s constitutional
rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena
itu, tidak semua “the citizen’s rights” adalah “the human rights”, akan tetapi dapat
dikatakan bahwa “the human rights” bisa juga sekaligus merupakan “the citizen’s
rights”.
Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional
Warga Negara adalah:
34 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 132-133.
35 Ibid.
Universitas Indonesia
15
a. Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak
konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak
yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas kesempatan yang
sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2) menyatakan,
“Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi,
“Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam
pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap
Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan
dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap
Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan
tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi
setiap orang yang berada di Indonesia;
b. Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap
orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga
Negara Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu.
Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap
orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat membatasi
hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing
dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan
penghidupan atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama
masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945
menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini
bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang
berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak
mungkin dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut
campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara
bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan
sosial tertentu. Demikian pula orang warga negara asing tidak
berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan
Universitas Indonesia
16
mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2)
menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan
perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat
yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga
diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing
yang merupakan tanggungjawab negara asalnya sendiri untuk
memberikan perlakuan khusus itu;
c. Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi
melalui prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan
Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa, Hakim
Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan,
anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR,
DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI,
Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara,
dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan,
baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.
d. Hak Warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu
(appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi
negara, jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan
struktural dan fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan
jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan. Setiap jabatan
(office, ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban serta tugas
dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau
perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing
(official, ambtsdrager, fungsionaris) sebagai subyek yang
menjalankan jabatan tersebut. Semua jabatan yang dimaksud di
atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga negara
Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27 ayat
(1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala
warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
Universitas Indonesia
17
dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (3) berbunyi,
“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama
dalam pemerintahan”. Dengan demikian, setiap warga negara
Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan
pemerintahan Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas.
Penekanan status sebagai warga negara ini penting untuk menjamin
bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang
yang bukan warga negara Indonesia. Dalam hal warga negara
Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan sebagaimana
dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia
dan sebagai warga negara terkait erat dengan tugas dan
kewenangan jabatan yang dipegangnya. Kebebasan yang dimiliki
oleh setiap orang dibatasi oleh status seseorang sebagai warga
negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula oleh
jabatan kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang
bersangkutan. Karena itu, setiap warga negara yang memegang
jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya masing-
masing;
e. Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau
menggugat keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan
hak konstitusional Warga Negara yang bersangkutan. Upaya
hukum dimaksud dapat dilakukan (i) terhadap keputusan
administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie), (ii)
terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan),
baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive
judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review
(formele toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis)
dengan cara mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih
tinggi, yaitu tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali.
Misalnya, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa perorangan Warga
Universitas Indonesia
18
Negara Indonesia dapat menjadi pemohon perkara pengujian
undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu dalam hal
yang bersangkutan menganggap bahwa hak (dan/atau kewenangan)
konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu undang-
undang yang dimohonkan pengujiannya.
1.4.3 Teori Pembubaran Partai Politik
Pembubaran partai politik sejatinya bisa terjadi karena tiga cara, yakni
membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai
politik lain, atau dibubarkan berdasarkan keputusan otoritas negara.36 Dalam karya
tulis ini penulis fokus mengkaji pembubaran kategori terakhir yakni yang
dibubarkan secara paksa oleh otoritas negara dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
(enforce dissolution).
Pembubaran dalam bahasa Inggris adalah dissolution. Menurut kamus
hukum Black’s Law, dissolution berarti : (1) the act of bringing to an end;
termination ; (2) the cancellation or abrogation of a contract, with the effect of
annuling the contract’s binding force and restoring the parties to their original
positions ;dan (3) the termination of a corporation’s legal existence by expiration
of its charter, by legislative act, by bankruptcy, or by other means ; the event
immediately preceding the liquidation or winding-up process.37
Pembubaran partai politik dalam penelitian ini adalah pembubaran secara
paksa yang disebabkan oleh adanya tindakan, keputusan hukum, kebijakan, atau
aturan negara yang mengakibatkan hilangnya eksistensi partai politik sebagai
subjek hukum penyandang hak dan kewajiban. Pembubaran mengakibatkan
perubahan eksistensi hukum suatu partai politik dari ada menjadi tidak ada.
Pembubaran secara paksa dalam penelitian ini meliputi pembubaran yang
dilakukan oleh otoritas negara baik secara langsung berupa keputusan hukum,
maupunsecara tidak langsung melalui aturan atau kebijakan yang mengakibatkan
adanya peristiwa pembubaran partai politik.
36 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, op.cit., hlm.41.37 American Bakruptcy Institute, Consumer Workshop III : Practical and Ethical Issues in
Succesion Planning, (Alexandria : American Bakruptcy Institute), hlm. 379.
Universitas Indonesia
19
Dalam konteks ini pembubaran partai politik yang difokuskan tertuju pada
pengertian pembubaran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, bukan kepada
pembekuan sementara yang dilakukan oleh pengadilan negeri. Selain itu,
pembubaran partai politik yang dimaksud adalah ketika berakhirnya eksistensi
hukum partai politik. Itu artinya karya tulis ini tidak hanya berfokus pada proses
pengadilan di Mahkamah Konstitusi saja, tetapi lebih jauh dari itu yakni akibat
hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang perlu ditindaklanjuti oleh Menteri
terkait untuk diumumkan dalam berita negara.38
Pada prakteknya pengaturan tentang partai politik berbeda-beda
antarnegara bergantung pada bagaimana partai politik diposisikan serta
kepentingan nasional yang harus dilindungi. Di negara-negara baru kawasan Asia
dan Afrika, menurut Weiner dan Lapalombara, pada umumnya pengaturan partai
politik terkait dengan dua elemen integrasi nasional, yaitu masalah kontrol
terhadap seluruh wlayah nasional dan masalah loyalitas.39 Maka dari itu
pembubaran partai politik di tiap negara erat kaitannya dengan sejarah politik
nasional yang menumbuhkan memori kolektif suatu bangsa.40
1.5 Kerangka Konsep
1.5.1 Partai Politik
Secara etimologis, partai memiliki akar kata part yang berarti bagian atau
golongan.41 Kemudian, politik erat kaitannya dengan menghimpun kekuatan,
meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan, mengawasi dan mengendalikan
kekuatan, serta menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam
negara dan institut lainnya.42
38 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, op.cit., hlm.144. UU No.2 Tahun 200839 Myron Weiner dan Joseph Lapalombara, The Impact of Parties on Political
Development, dalam Joseph Lapalombara and Myron Weiner, Political Parties and Political Development, (New York: Princeton University Press, 1966), hal.414
40 Nancy L. Rosenblum, “Banning Parties: Religious and Ethnic Partianship in Multicultural Democracies”, I.L. & Ethics Hun. Rts., 2007., hal.36.
41 Safa’at, op.cit., hlm. 30-31.42H. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang
Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 140.
Universitas Indonesia
20
Jika digabungkan kedua frasa tadi, maka definisi yang cukup
komprehensif mengartikan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat
nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela
atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela
kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara
keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.43
Partai dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti
luas, partai adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang
tidak terbatas hanya pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai
adalah partai politik yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik.44
Penelitian ini fokus pada pengertian partai dalam arti sempit yakni yang ditujukan
hanya kepada partai politik. Ruang lingkup partai politik dalam karya tulis ini
terbatas pada partai politik yang telah lolos verifikasi oleh KPU untuk menjadi
peserta pemilihan umum pada periode tersebut.
1.5.2 Badan Hukum Publik
Badan hukum adalah salah satu subjek hukum yang merupakan persona
ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona serta memiliki hak
dan kewajiban. Sedangkan, badan hukum publik adalah badan hukum yang
didirkan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik
atau orang banyak atau negara umumnya.45 Suatu badan hukum, dapat dikatakan
badan hukum publik apabila:
1. Subjek yang membentuknya adalah kekuasaan umum atau negara
bukan orang perorangan;
2. Sifat kegiatannya tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,
melainkan publik;
3. Tujuan yang hendak dicapai bergerak dalam kegiatan di lapangan
hukum publik;
43 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, op.cit., Ps.1.44 Safa’at, loc.cit.45 C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan , 2002), hlm. 13.
Universitas Indonesia
21
4. Kepentingannya bersifat umum dan khalayak orang banyak.
1.5.3 Legal Standing
Legal Standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak
ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mumpunyai hak untuk
mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara
di depan MK.46 Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in
judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di
depan pengadilan.47 Sudikno Mertokusumo, menyatakan ada dua jenis tuntutan
hak yakni:
1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana
sekurang-kurangnya ada dua pihak. Gugatan termasuk dalam
kategori peradilan contentious (contentieus jurisdictie) atau peradilan
yang sesungguhnya.
2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa disebut permohonan
dimana hanya terdapat satu pihak saja. Permohonan termasuk dalam
kategori peradilan volunteer atau peradilan yang tidak
sesungguhnya.48
Pemohon selanjutnya wajib menguraikan dengan jelas dalam
permohonanya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Sehingga
untuk berperkara di MK pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan
dirinya apakah bertindak sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai
kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai badan hukum publik atau privat atau
sebagai lembaga negara. Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau kewenangan
konstitusionalnya yang dirugikan akibat keberlakuan undang- undang. Jika
kedua hal di atas tidak dapat dipenuhi maka permohonan untuk berperkara di
46Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cetakan pertama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 98.
47 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H.,M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 176.
48Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ketiga, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 23.
Universitas Indonesia
22
MK tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).
1.6 Metode Penelitian
Penelitian Tinjauan Yuridis atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik
di Mahkamah Konstitusi ini merupakan penelitian yuridis-normatif atau lebih
dikenal dengan istilah penelitian hukum kepustakaan.49 Selain itu penelitian ini
juga dilengkapi dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute
approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis dan
pendekatakan komparatif (comparative approach) agar penelitian ini tidak
terbatas pada penelitian atas hukum yang berlaku (normatif) saja, akan tetapi lebih
dari itu yakni bagaimana seharusnya hukum diterapkan.
Penelitian yuridis-normatif mengacu kepada norma hukum yang terdapat
dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma lain yang berlaku dan
mengikat di masyarakat. Perolehan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan
yakni melalui pengumpulan data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer,
sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain memperoleh data melalui penelitian
kepustakaan yang didapat melalui pengumpulan data sekunder, penelitian ini juga
didukung dengan teknik pengumpulan data dengan wawancara kepada pakar
hukum Tata Negara untuk mengetahui pandangan keilmuan mereka yang relevan
dengan skripsi ini.
Bahan hukum primer, terdiri dari bahan-bahan hukum yang mengikat dan
terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan
hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari
zaman penjajahan.50 Khusus untuk penelitian ini, bahan hukum primer yang akan
digunakan antara lain:
1. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.
49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.
50Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), hlm. 52.
Universitas Indonesia
23
2. Konstitusi RIS.
3. Undang-Undang Dasar Sementara.
4. Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.
5..Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang- Undang
Nomor 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
6. Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 .Tahun
2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801.
7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur
Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.
8. Peraturan Presiden tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran
Partai-Partai, Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960, LN No. 140
Tahun 1960.
9. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan.
Selain bahan hukum primer, Penulis juga akan menggunakan bahan
hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,
hasil karya dari kalangan hukum dan sebagainya.51 Dalam penelitian ini, bahan
hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang membahas mengenai
partai politik dan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan bahan hukum
tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan
terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan
sebagainya.52 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan
adalah Black Law Dictionary dan kamus hukum lainnya.
Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-
analitis. Adapun analisis yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yaitu
analisis data yang dilakukan berdasarkan kualitas data untuk memperoleh inti
51 Ibid.52 Ibid.
Universitas Indonesia
24
permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Melalui metode pengolahan
tersebut, akan mendapatkan laporan mengenai apa yang terjadi, mengapa sesuatu
terjadi dan akibat dari kejadian tersebut. Sehingga selanjutnya dapat diperoleh
gambaran secara holistik tentang permasalahan yang terjadi.
Sedangkan tipe penelitian ini dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:
1. Dari sudut sifatnya, penelitian yang penulis lakukan bersifat
eksplanatoris (menjelajah), karena penulisan ini bertujuan
untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu
gejala, dan penelitian ini bersifat mempertegas hipotesa yang
ada.53
2. Dari sudut bentuknya, penelitian yang penulis lakukan
merupakan penelitian evaluatif, karena penulis akan
memaparkan serta memberikan penilaian serta saran atas
peristiwa yang telah terjadi.54
3. Dari sudut tujuannya, penelitian yang penulis lakukan
merupakan penelitian problem finding, karena tujuan penelitian
ini adalah untuk menemukan permasalahan dan solusi sebagai
akibat suatu kegiatan.55
4. Dari sudut ilmu yang digunakan, penelitian ini merupakan
penelitian monodisipliner, karena penelitian ini didasarkan
pada satu disiplin ilmu, yakni ilmu hukum.56
1.7 Kegunaan Teoritis dan Praktis
Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pihak-
pihak terkait baik secara teoritis maupun praktis dalam konteks ketatanegaraan
dan demokrasi di Indonesia.
53 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.
54 Ibid.55 Ibid., hlm.556 Ibid.
Universitas Indonesia
25
1. Kegunaan Secara Teoretis
a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang hubungan
dan akibat hukum pembubaran partai politik terhadap hak
konstitusional warga negara dalam berserikat.
b. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lanjutan, baik
sebagai bahan awalan maupun sebagai bahan perbandingan untuk
penelitian selanjutnya mengingat peluang dan tantangan terkait
pembubaran partai politik akan terus berkembang.
2. Kegunaan Secara Praktis
a. Penelitian ini bermanfaat bagi Partai Politik dan kadernya untuk
memahami sejarah pembubaran partai politik di Indonesia sehingga
menjadi mawas diri dalam melakukan segala aktivitas kepartaian.
b. Penelitian ini bermanfaat bagi Pemerintah khususnya Presiden sebagai
gambaran atas permasalahan yang terjadi dalam legal standing
pembuaran partai politik di Indonesia.
c. Penelitian ini bermanfaat bagi Mahkamah Konstitusi sebagai gambaran
atas permasalahan yang terjadi dalam pembubaran partai politik di
Indonesia khususnya mengenai legal standing.
d. Penelitian ini bermanfaat untuk civitas akademika dan masyarakat pada
umumnya untuk mengetahui gambaran mengenai sejarah pembubaran
partai politik ditinjau dari perspektif hukum tata negara sekaligus
menjadi rujukan mengenai bagaiamana seharusnya legal standing
dalam pembubaran partai politik.
1.8 Sistematika Penulisan
Agar pembahasan tetap terarah dan sesuai dengan tujuan dari karya tulis
ini maka perlu dijabarkan dengan jelas mengenai sistematika penulisannya.
Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri menjadi empat bab, dengan rincian
susunan sebagai berikut:
Universitas Indonesia
26
BAB 1: PENDAHULUAN
Bab pertama dalam skripsi ini dimulai dengan pendahuluan yang memuat
tentang latar belakang permasalahan yang penulis angkat sehingga penulis sangat
tertarik untuk membahasnya, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka
konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan.
BAB 2: SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUBARAN PARTAI
POLITIK DI INDONESIA
Bab kedua ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan partai
politik di Indonesia. Kemudian bab ini juga akan membahas mengenai pengaturan
pembubaran partai politik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia
dan pembubaran partai politik dari masa pemerintahan Soekarno hingga Joko
Widodo serta dilengkapi dengan perbandingan praktek pembubaran partai politik
di dua negara yakni Jerman dan Korea Selatan.
BAB 3 : ANALISIS LEGAL STANDING DALAM SENGKETA
PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI
Bab ini akan membahas mengenai relevansi antara pembubaran partai
politik dengan hak konstitusional warga negara khususnya adalah hak kebebasan
berserikat. Kemudian, bab ini juga akan meninjau pemberian legal standing
pembubaran partai politik yang hanya diberikan kepada pemerintah dari berbagai
sudut pandang. Penulis sekaligus juga memberikan solusi atas permasalahan legal
standing dalam sengketa pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi ini.
BAB 4 : PENUTUP
Pada bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian
dalam skripsi ini dan saran konstruktif yang diharapkan dapat bermanfaat bagi
Mahkamah Konstitusi, partai politik, insan akademis, dan masyarakat pada
umumnya.
Universitas Indonesia
27
BAB 2
SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUBARAN PARTAI
POLITIK DI INDONESIA
2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA
Pentingnya sejarah partai politik diuraikan dalam karya tulis ini ditujukan
sebagai pertimbangan bahwa sejarah pada hakekatnya mengungkap berbagai
peristiwa besar pada masa lalu, agar dapat dijadikan bahan penunjang dan
pembanding kenyataan di era saat ini dan proses perbaikan ke era yang akan
datang. Hal ini sejalan dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif yang menyatakan
bahwa sejarah adalah jembatan penghubung masa silam dan masa kini, dan
sebagai petunjuk arah ke masa depan.57 Demikian juga halnya dengan sejarah
Partai politik di Indonesia yang mana merupakan produk masa lalu yang perlu
diungkap dan dikaji kembali agar dapat dimanfaatkan dalam menyikapi 57 Ahmad Syafii Maarif, Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama, (Yogyakarta :
IKIP Yogyakarta, 1997), hlm. 4.
Universitas Indonesia
28
perkembangan partai politik di Indonesia, baik pada era saat ini dan terlebih lagi
di era yang akan datang.
Pada umumnya partai politik digunakan oleh beberapa negara atau rakyat
terjajah sebagai salah satu sarana untuk membebaskan dirinya dari hegemoni
penjajahan. Kebanyakan negeri atau rakyat yang terjajah tertarik pada partai
politik, karena partai politik itu dapat menjadi kekuatan tandingan untuk
menantang penjajahan, dan memiliki potensi sebagai sarana yang dapat
diandalkan untuk mencapai kemerdekaan. Konsep partai politik sudah ada di
Indonesia sejak zaman penjajahan. Hal ini tidak terlepas dari adanya modernisasi
yang muncul di Eropa. Inggris adalah negara yang pertama kali memperkenalkan
institusi partai politik yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Eropa dan
Amerika Serikat. Pada akhir abad 19 dan dan awal abad 20 partai politik mulai
menyentuh kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.58
Di Indonesia sendiri, partai politik pertama kali lahir di zaman Kolonial
Belanda sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional.59 Sebagaimana
diungkapkan oleh Umaidi Radi, munculnya partai politik di Indonesia dapat
dibaca sebagai dampak dari perubahan sosial, politik, dan ekonomi di negeri
Belanda maupun Hindia Belanda pada waktu itu. Titik tolak yang paling relevan
dalam hal ini adalah adanya kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh
pemerintah kolonial Belanda. Aspek terpenting dari politik etis adalah
diperkenalkannya sistem pendidikan modern (Barat) bagi putera-puteri Inlander.
Tujuan pendidikan pada dasarnya bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan
bangsa, melainkan hanya sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan administrasi dan
birokrasi kolonial pada tingkat rendahan, seperti klerk (juru tulis) atau dokter.60
Di Indonesia, keberadaan partai politik juga muncul bersamaan dengan
berkembangnya hak mengemukakan pikiran dan pendapat tepatnya ketika kaum
intelektual muda mulai mempelopori gerakan nasional yang timbul sebagai
58 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 159.59 Dawud, “Tingkat Kepercayaan Masyarakat Muslim Terhadap Partai Politik Berasas
Islam (Studi Kasus di Kecamatan Kebumen Pada Pemilu 2014)”, (skripsi Sarjana UIN Syartif Hidayatullah, Jakarta, 2014.), hlm. 21.
60 Asshiddiqie, loc.cit.
Universitas Indonesia
29
semangat untuk memperoleh kemerdekaan atas penderitaan bangsa karena
penjajahan Belanda. Setelah melalui perjuangan bersenjata yang tidak berujung,
upaya mencapai kemerdekaan akhirnya ditempuh dengan cara lain yakni
diplomasi.61 Maka dari itu dibentuklah organisasi nasional seperti Budi Utomo
pada tanggal 20 Mei Tahun 1908 dan Indische Vereeniging pada tahun 1909 di
Belanda.62 Pada tanggal 20 Mei Tahun 1908 untuk pertama kalinya di Indonesia
berdiri sebuah organisasi nasional yang dinamakan sebagai Budi Utomo.
Organisasi kebangsaan ini pada awalnya hanya sebagai perkumpulan masyarakat
yang tidak secara resmi menamakan dirinya sebagai partai politik namun pada
perkembangannya memiliki program dan aktivitas politik. Maka dari itu menurut
Edward Mandala, organisasi Budi Utomo pada saat itu belum dapat dikategorikan
sebagai sebuah partai politik yang modern seperti dalam pengertian yang
disebutkan oleh Sigmund Neumann, Carl J. Friedrich, Rh. Soltau, Huszar dan
Stevenson, atau Miriam Budiardjo karena Budi Utomo saat itu lebih tepat disebut
sebagai embrio dari partai politik.63 Selain itu, kelahiran Budi Utomo juga
merupakan cikal bakal lahirnya organisasi modern di Indonesia, maka dari itu
tidak heran apabila kelahiran Budi Utomo diidentikan sebagai tonggak
kebangkitan nasional.64
Lahirnya Budi Utomo pada awalnya disebabkan oleh kondisi bangsa
Indonesia yang saat itu berada dalam jajahan Belanda. Dimana rakyat berada
dalam kondisi menderita dan disiksa. Hanya sebagian pemuda dan pelajarlah yang
menikmati pendidikan, akan tetapi hanya sebagian kecil pemuda yang menikmati
pendidikan tersebut yang sadar akan kondisi kesengsaraan bangsa Indonesia.
Sehingga atas dasar itu pemuda-pemuda tersebut mendirikan perkumpulan Budi
61 Alfidatu Panji Bimantara, “Perjuangan Diplomasi Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949) ”,(skripsi Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2014), hlm. 34-74.
62 Matroji, Sejarah Untuk SMP kelas VIII, (Jakarta : Erlangga, 2006), hlm. 30.63Edward Mandala, “Sistem Kepartaian Dan Pemilu di Indonesia”,
http://www.leutikaprio.com/main/media/sample/Sistem%20Kepartaian%20dan%20Pemilu%20di%20Indonesia%20DOWNLOAD%20SAMPLE.pdf, diunduh pada 22 November 2015.
64 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia: 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.11
Universitas Indonesia
30
Utomo dengan tujuan untuk memajukan rakyat dalam bidang ekonomi,
pendidikan dan kebudayaan.65.
Di zaman penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat beraktivitas
dengan damai dan lancar. Pada masa itu, hukum dasar yang berlaku di wilayah
Hindia Belanda adalah regeerings-reglement (RR) 1854. Berdasarkan Pasal 111
RR menyatakan bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan
yang membicarakan soal pemerintahan atau yang membahayakan keamanan
umum dilarang di Hindia Belanda.66 Pada 1919, RR diganti dengan Indische
Staatsreleing (IS) 1918 yang pada Pasal 165 juga memuat larangan organisasi dan
perkumpulan politik dimana hanya keturunan Belanda sajalah yang dapat menjadi
anggota partai politik.67 Maka dari itu setiap partai yang bersuara untuk
menentang atau bergerak tegas terhadap pemerintah Belanda langsung dilarang,
dimana pemimpinnya ditangkap, dipenjarakan atau diasingkan.68 Menurut C.S.T
Kansil partai politik yang secara resmi diakui di Indonesia adalah Indische Partij
yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dimpimpin oleh
Tiga Serangkai yakni Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi
Suryadiningrat.69 Tujuan partai ini adalah agar Hindia lepas dari Nederland,
akibatnya pada 4 Maret 1913 permohonan Indische Partij untuk dijadikan sebagai
badan hukum ditolak oleh Gubernur Jenderal karena dipandang sebagai organisasi
politik radikal dan mengancam keamanan umum.70
Menurut PK Poerwanta, Indische partij merupakan partai politik pertama
di Indonesia yang menjadi pelopor timbulnya organisasi-organisasi politik di
65 Slamet Muljana (1), Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), hlm.114.
66 E. Shobirin Nadj, Kebebasan: Restriksi dan Resistens : Studi Kebebasan Berkumpul di Indonesia, (Jakarta: Cesda LP3ES, 2001), hlm.59.
67 Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke-II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm.9.
68 “Partai Politik”, https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, diunduh pada 28 November 2015.
69 C.S.T Kansil, Parpol dan Golkar, (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm.22.70 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut.
(Jakarta: Rajawali Press, 1933), hlm.23.
Universitas Indonesia
31
zaman pra kemerdekaan, baik organisasi politik yang bersifat ilegal maupun
legal.71 Mengingat ekstrimnya pemikiran partai ini kala itu, Indische Partij hanya
bertahan 8 bulan saja, hal itu disebabkan karena ketiga pemimpin mereka masing-
masing dibuang ke Kupang, Banda dan Bangka, dan kemudian diasingkan ke
Nederland.72 Setelah beberapa tahun diasingkan, Ki Hajar Dewantara dan Dr.
Setyabudi kembali ke Indonesia untuk mendirikan partai politik yang dinamakan
sebagai National Indische Partij (NIP) pada tahun 1919 yang kemudian secara
langsung mempelopori lahirnya beberapa partai politik lain yakni Indische Social
Democratische Verening (ISDV), Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia dan
Partai Indonesia Raya.73
Selain Indische Partij terdapat juga Sarekat Islam yang sebelumnya
berasal dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada akhir tahun 1911 di Solo
oleh Hadji Samanhudi. 74 Pada awalnya Sarekat Dagang Islam merupakan sebuah
kooperasi dengan tujuan untuk memajukan perdagangan Indonesia dibawah panji-
panji Islam, hingga pada tanggal 10 September 1912, Sarekat Dagang Islam
diubah menjadi Sarekat Islam yang dijabat oleh Hadji Samanhudi selaku ketua
dan HOS Tjokroaminoto sebagai komisaris.75 Dalam waktu singkat, Sarekat Islam
yang sejak berdirinya ini ditujukan untuk rakyat jelata kemudian berkembang
pesat.
Pada kongresnya yang ketiga, 17-24 Juni 1916 di Bandung, telah berdiri
80 Sarekat Islam Daerah dengan lebih kurang 80.000 anggota.76 Tiga tahun
kemudian, jumlah anggotanya meningkat sampai dua juta, bahkan pada 18 Mei
1918 ketika Volksraad mulai dibuka, Sarekat Islam pun mendudukan dua orang
71 PK. Poerwanta, Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 35.72 Chotib, et al., Kewarganegaraan 2: Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: Yudhistira,
2007), hlm. 8.73 Slamet Muljana (2), Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan,
(Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 97.74 Tim Media Pusindo, Pahlawan Indonesia, (Jakarta: Media Pusindo, 2008), hlm. 153.75 “Sejarah Lengkap Sarekat Islam”, http://www.markijar.com/2015/06/sejarah-lengkap-
sarekat-islam-si.html, diunduh pada 25 November 2015.76 Robiatuz Zuniar, “Sarekat Dagang Islam (Sejarah dan Perkembangannya)”,
https://www.academia.edu/15287869/Sarekat_Dagang_Islam_Sejarah_dan_Perkembangannya_, diunduh pada 27 November 2015.
Universitas Indonesia
32
anggotanya yakni Tjokroaminoto dan Abdul Muis sebagai anggota Volksraad.77
Selain itu, Sarekat Islam pun bersikap sangat berani. Hal tersebut tercermin dalam
kongresnya yang ketiga di Surabaya 29 September hingga 6 Oktober 1918,
dimana dirumuskan bahwa akan menentang pemerintah sepanjang tindakannya
melindungi kapitalisme dan menuntut pemerintah mengadakan peraturan-
peraturan sosial bagi kaum buruh mulai dari upah minimum, upah maksimum,
lamanya bekerja untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang.78
Selain berbagai partai politik, juga pernah terbentuk federasi organisasi-
organisasi politik. Pada 17 Desember 1927 lahir sebuah organisasi ferderasi yang
dinamakan sebagai Permufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan
Indonesia (PPPKI) yang dibentuk oleh PNI, PSI, BU, Sarikan Pasundan, Sarikat
Sumatera, dan Kaum Betawai. PPPKI berupaya untuk menyamakan arah aksi dan
kerja sama dan menghindarkan perselisihan yang melemahkan aksi kebangsaan.79
Kemudian pada 1939 terbentuklah Gabungan Politik Indonesia atau disebut
GAPI.80 Salah satu tuntutan politik GAPI adalah bukan untuk mendapatkan
kemerdekaan penuh, akan tetapi terciptanya parlemen berdasarkan kepada sendi-
sendi demokrasi yang dikenal dengan sebutan “Indonesia Berparlemen”. Bahkan
pada akhir Desember 1939 GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia
yang menggabungkan antara GAPI, MIAI, dan Persatuan Vakbonden Pegawai
Negeri (PVPN).81
Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah Jepang pada awalnya
melarang dan membubarkan partai-partai politik yang telah ada.82 Namun
kemudian dalam perkembanganya dapat berdiri sebuah partai politik yang
77 Edward Mandala, op.cit.78 Ibid.79 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,
1994), hlm. 84.80 Bambang Suwondo, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), hlm. 153.81Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional
Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 395.
82 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, ( Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 306.
Universitas Indonesia
33
dinamakan sebagai Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibawah pimpinan “Empat
Serangkai” yakni Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K. Haji
Mansyur.83 Akan tetapi atas perintah pemerintah Jepang partai ini pada akhirnya
dibubarkan pada bulan Maret 1944 disebabkan tidak mampu membuka cabang-
cabang sehingga digantikan oleh Jawa Hokokai.84 Menyerahnya tentara Hindia
Belanda kepada tentara Jepang yang disusul dengan kekalahan tentara Jepang
pada tahun 1945 telah membulatkan tekad bangsa Indonesia untuk melepaskan
diri, baik dari kolonialisme Belanda maupun fasisme Jepang dan berdiri di suatu
Negara sendiri yang modern dan demokratis.85
Pada awal kemerdekaan, para tokoh nasional telah menyadari pentingnya
partai politik dalam kehidupan bernegara. Tepatnya pada 22 Agustus 1945, PPKI
menindaklanjutinya dengan menyelenggarakan rapat penting yang salah satu
keputusannya adalah membentuk Partai Nasional Indonesia. PNI nantinya
diharapkan menjadi partai tunggal yang mempelopori kehidupan bangsa
Indonesia.86 Gagasan mengenai partai tunggal merupakan ide dari Soekarno yang
tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka” pada
tahun 1933 yang menegaskan bahwa adanya lebih dari satu partai hanya akan
membingungkan massa.87 Pandangan politik Soekarno mengenai partai dinilai
Maswadi Rauf sebagai pemikiran yang anti sistem multi partai model barat dan
sistem demokrasi parlementer sebab partai politik hanyalah sumber perpecahan
yang akan memperlemah perjuangan terhadap penjajahan dan usaha mengisi
kemerdekaan.88
83 M. Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta: Medpress, 2009), hlm. 7.
84Arja Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Kawanpustaka, 2008), hlm.92.
85 Deni Eko Setiawan dan Evi Ernasari, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia Sejak Masa Pra Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Orde Lama”, http://eviernasari23.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-politik.html, diunduh pada 26 November 2015.
86 Sartono Kartohadirjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Soesanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 30.
87 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, djilid pertama, (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hlm. 282 – 284.
88 Maswadi Rauf, “Partai Politik dalam Sistem Kepartaian Indonesia Antara Kenyataan dan Harapan”, Jurnal Politika, Vol.2, No.2 Tahun 2006, hlm. 11.
Universitas Indonesia
34
Pandangan Soekarno mengenai partai tunggal tentunya ditanggapi
beragam oleh tokoh-tokoh politik lainnya, dan salah satunya adalah Sjahrir.
Sjahrir yang saat itu menjadi Ketua BP KNIP menentang gagasan partai tunggal
milik Soekarno karena partai nantinya hanya akan menjadi alat untuk mengontrol
dan mendisiplinkan perbedaan pendapat.89 Maka dari itu dalam pengumuman
Badan Pekerja Komite Nasional Nomor 3 disebutkan bahwa pembentukan satu
partai, yaitu Partai Nasional Indonesia, pada saat itu memang diperlukan untuk
mempersatukan segala aliran dalam masyarakat guna mempertahankan negara.
Namun yang dapat memenuhi keperluan tersebut adalah Komite Nasional.
Dengan kata lain, Komite Nasional-lah yang mempersatukan berbagai aliran yang
berbeda, apalagi sudah berubah menjadi badan perwakilan rakyat sejak 16
Oktober 1945.90 Mengingat hal tersebut dan sesuai dengan semangat menjunjung
asas demokrasi, diusulkan untuk memberi kesempatan kepada rakyat untuk
mendirikan partai politik. Oleh karena itu, atas usul Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah 3
November 1945 yang berisi pernyataan bahwa pemerintah mendukung adanya
eksistensi dari partai politik. Selengkapnya Maklumat Pemerintah 3 November
1945 sebagai berikut:
MAKLOEMAT PEMERINTAH
Berhoeboeng dengan oesoel Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat kepada Pemerintah, soepaja diberikan kesempatan kepada rakjat seloeas-loasnja oentoek mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai itoe hendaknja memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannja jang telah diambil beberapa waktoe jang laloe bahwa :
1. Pemerintah menjoekai timboelnya partai-partai politik, karena dengan adanja partai-partai itoelah dapat dipimpin kedjalan jang teratoer segala aliran paham jang ada dalam masjarakat.
89J. D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hlm. 180 – 181.
90 Maklumat Nomor X 16 Oktober 1945. Berita Repoeblik Indonesia Tahun I Nomor 2, h. 10. Diambil Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Djilid I, (Djakarta-Bandung: Neijenhuis & Co. N. V., 1950), hlm. 60.
Universitas Indonesia
35
2. Pemerintah berharap soepaja partai-partai itoe telah tersoesoen, sebeloemnja dilangsoengkan pemilihan anggata Badan-Badan Perwakilan Rakjat pada boelan Djanoeari 1946.
Djakarta, tanggal 3 Nopember 1945
Wakil Presiden,
MOHAMMAD HATTA.
Tujuan dari dibentuknya partai politik saat itu adalah agar partai-partai
tersebut dapat memimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam
masyarakat. Diamanatkan pula dalam Maklumat tersebut bahwa partai-partai
politik diharapkan sudah tebentuk sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota
badan-badan perwakilan yang direncanakan pada Januari 1946.91 Setelah adanya
Maklumat tersebut, terbentuklah 40 partai politik baru yang masing-masing
berusaha untuk berpartisipasi dalam percaturan politik nasional.92 Pentingnya
partai politik kemudian dipertegas kembali dalam Maklumat Pemerintah 14
November 1945 yang menyatakan bahwa partai politik ada untuk mendorong dan
memajukan tumbuhnya pikiran-pikiran politik. Bibit-bibit dari beberapa partai itu
sudah timbul dalam penjajahan Jepang, akan tetapi terpaksa tidak menampakan
diri dalam zaman pemerintahan Jepang karena baik Jepang maupun Belanda
bertindak keras terhadap komunis dan partai-partai politik yang menghendaki
kemerdekaan sesempurna-sempurnanya.93
Konsekuensi dari kedua maklumat tersebut disambut antusias oleh
berbagai tokoh. Partai politik yang sebenarnya sudah ada sebelum kemerdekaan
mulai bangkit kembali. Pada 7 November 1945 didirikan kembali Majelis Syuro
Muslimin Indonesia atau Masjumi di Jogjakarta. Kemudian pada 29 Januari 1946
didirikan PNI di Kediri yang berasal dari Serikat Rakyat Indonesia, PNI Pati,
Madiun, Palembang, Sulawesi, Partai Kedaulatan Rakyat, Partai Republik
Indonesia, dan beberapa partai kecil lain. Ketuanya yang pertama adalah S.
91 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagjo Toer, dan Ediati Kamil, Krnok Revolusi Indonesia, (Jakarta: KPG, 1999), hlm.131 dan 348.
92 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm.174.93 “Maklumat Pemerintah”, http://ngada.org/maklumat14.10-1945.htm, diunduh pada 23
November 2015.
Universitas Indonesia
36
Mangoensarkoro. Pada 18 November 1945 berdiri Partai Kristen Nasional
(PKN) yang selanjutnya bersama Partai Kristen Indonesia (PARKI) pada
Kongres di Prapat 9 – 20 April 1947 melebur diri menjadi Partai Kristen
Indonesia (Parkindo). Pada 22 November 1945 berdiri Partai Persatuan Tarbiyah
Islamiah (Partai PERTI) di Bukit Tinggi. Partai ini berasal dari Pergerakan
Tarbiyah Islamiah (PERTI) di Bukit Tinggi yang didirikan pada 20 Mei 1930.
Pada 8 Desember 1945, melalui Kongres Golongan Politik Katolik, didirikan
Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI). Pada Kongresnya 17 Desember
1949, PKRI diganti namanya menjadi Partai Katolik.94
Partai-partai lain yang terbentuk, baik merupakan partai baru maupun kelanjutan dari partai politik yang telah ada sebelum kemerdekaan di antaranya adalah Partai Indonesia Raya (PIR), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Banteng Republik Indonesia, Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai WanitaRakyat, Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Sosialis Indonesia (Parsi) di bawah pimpinan Mr. Amir Sjarifuddin, Partai Murba, Partai Buruh Indonesia, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI), Partai Demokrat Tionghoa, dan Partai Indo Nasional.95
Dalam buku Kepartaian Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian
Penerangan 1951, dibuat klasifikasi partai politik menurut Dasar Ketuhanan,
Dasar Kebangsaan, Dasar Marxisme, dan Partai lain-lain. Partai politik yang
diklasifikasikan dalam Dasar Ketuhanan adalah Masjumi, Partai Sjarikat Islam
Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti), Partai Kristen Indonesia
(Parkindo), dan Partai Katholik. Partai-partai politik yang masuk kategori Dasar
Kebangsaan adalah PNI, Persatuan Indonesia Raya (PIR), Parindra, PRI,
Partai Demokrasi Rakyat (Banteng), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai
Wanita Rakyat (PWR), Partai Kebangsaan Indonesia (Parki), Partai Kedaulatan
Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Ikatan Nasional Indonesia
(INI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Wanita
94 Muchamad Ali Safa’at, “Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004”, (disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.), hlm.130.
95 Ibid.
Universitas Indonesia
37
Demokrat Indonesia. Partai dengan dasar Marxisme adalah Partai Komunis
Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba, Partai Buruh, dan
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). Sedangkan partai politik lain-
lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), dan Partai Indo
Nasional (PIN).96
Partai-partai yang berkembang pada awal kemerdekaan hingga pemilu
1955 pada umumnya dapat dilihat sebagai kelanjutan dari partai yang telah ada
sebelum kemerdekaan. Partai-partai tersebut merupakan partai yang bersifat
ideologis (weltanschauungs partie) dengan fungsi dan program utama untuk
mempertahankan kemerdekaan. Partai-partai tersebut menjalankan fungsi
mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk
mempertahankan kemerdekaan serta rekruitmen politik yang memunculkan
tokoh- tokoh nasional sebagai wakil rakyat maupun untuk mengisi jabatan
pemerintahan. Partai-partai yang berkembang pada umumnya adalah partai
massa, meskipun terdapat partai yang dapat dikategorikan sebagai partai kader
dengan orientasi utamanya adalah mempengaruhi kebijakan (policy-seeking
party), dan menduduki jabatan dalam pemerintahan (office-seeking party).97
Pada masa sebelumnya, terdapat peristiwa penting yakni pemberontakan
yang dilakukan oleh PKI kepada pemerintah kolonial hindia-belanda.98 Pada
November 1926 PKI melakukan pemberontakan di beberapa bagian pulau Jawa
dan pada Januari 1927 di pantai barat Sumatra.99 Meskipun pada akhirnya
pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Akibatnya pasca pemberontakan 1926-1927 PKI telah dinyatakan sebagai partai
terlarang dan para pemimpinnya melarikan diri ke luar negeri, sementara yang
tertinggal di eksekusi mati dan sebagian lainnya dipenjarakan atau dibuang ke
kamp tahanan di Digul, Papua. Meski demikian tidak berarti PKI pada masa itu
punah sama sekali. Pada tahun 1930 partai ini kembali melakukan aktivitas politik
secara diam-diam dan dibawah tanah. Maka tidak aneh ketika bangsa Indonesia
96 Ibid.97 Ibid., hlm. 136.98Budiawan, “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”,
http://indoprogress.com/2014/12/pemberontakan-pki-1926-27-dalam-dua-teks-sejarah/, diunduh pada 28 November 2015.
99 Jimly Asshiddiqie (2), op. cit., hlm. 166.
Universitas Indonesia
38
memperoleh kemerdekaanya para aktivis PKI segera menghidupkan aktivitas
kepartaian terutama setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November
1945 tentang kebebasan mendirikan partai.
Pada masa awal-awal kemerdekaan aktivitas politik PKI cukup mewarnai
percaturan politik nasional. Salah seorang tokoh komunis Mr. Amir Syarifudin
sempat menjadi perdana menteri hingga akhir Desember 1947. Setelah kabinet
Amir Syarifudin jatuh dan diganti oleh kabinet Hatta, maka diberlakukanlah
sebuah kebijakan yang disebut Rekonstruksi dan Rasionalisasi angkatan perang
dimana TNI disterilkan dari unsur-unsur PKI.100
Kebijakan Hatta mendapat perlawanan dari PKI dan berbagai kekuatan
politik berhaluan kiri lainnya seperti PSI sayap kiri, Partai Buruh, Pemuda
Sosialis Indonesia, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia dan Barisan Tani
Indonesia yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat. Perlawanan PKI
tampak juga di parlemen dimana fraksi PKI membuat mosi tidak percaya terhadap
kabinet Hatta.101
Konfrontasi PKI terhadap kabinet Hatta sangat dipengaruhi oleh
kembalinya Moeso dari Praha, Cekoslovakia. Moeso adalah seorang arsitek
pemberontahan PKI 1926/27 yang sejak 1936 tinggal di Moskow. Kehadiran
Moeso membawa darah segar bagi perjuangan PKI. Dengan kemampuan
retorikanya ia menganjurkan agar cara-cara yang lebih langsung dan keras segera
harus dipergunakan demi menjalankan tujuan dan cita-cita komunisme. Pada akhir
Agustus 1948, Moeso dalam suatu konferensi luar biasa PKI menyampaikan
pidatonya yang berjudul “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” yang berisi
analisis mengenai situasi di Indonesia dan arahan bagaimana PKI harus
bersikap.102
Dalam naskah pidatonya itu Moeso selain menyerang kebijakan
pemerintahan RI juga sekaligus menyesalkan kebijakan pimpinan partai lama
seperti Alimin dan Sardjono yang tidak mengoptimalkan kekuatan komunis pada 100 Ibid., hlm. 183.101 Ibid.102 Ibid., hlm.184.
Universitas Indonesia
39
masa revolusi kemerdekaan. Karena itu Moeso menganjurkan untuk segera
membentuk front nasional dengan menggabungkan tiga partai yang mengakui
Marxisme-Leninisme sebagai garis partai yaitu PKI, PSI sayap kiri dan Partai
Buruh utuk mencapai kemenangan di parlemen.103 Pada 1 September 1948 PKI
memilih Moeso sebagai ketua umum untuk menggantikan Sardjono. Dengan
posisi sebagai orang nomor satu di dalam partai, Moeso semakin memiliki ruang
untuk mengimplementasikan program yang disusunnya sejak jauh hari.
Langkah pertama PKI dibawah kepemimpinan moeso adalah merebut
pemerintahan melalui jalur parlementer dengan terlebih dahulu menghimpun
semua kekuatan politik yang ada. Namun upaya ini tersandung pada sikap
Masjumi dan PNI yang menolak untuk bergabung kedalam front nasional.104
Setelah merasa bahwa langkah pertama tidak mungkin berhasil, PKI segera
mengambil langkah kedua, yaitu melakukan pemberontakan bersenjata. Untuk itu
dilakukan pengaturan strategi agar anggota TNI yang bersimpati atau yang sudah
berada dalam pengaruh PKI dapat dipindahkan ke wilayah yang akan menjadi
kedudukan utama mereka. Pasukan TNI yang bersedia ikut adalah pasukan-
pasukan yang tidak setuju dengan kebijakan Re-Ra, antara lain sebagian pasukan
dan pimpinan dari Divisi IV/Panembahan Senopati, yang kemudian berubah
menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS). Selain itu
bergabung pula Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) yang terdiri dari satuan-
satuan Angkatan Laut yang berada di luar kontrol resi dan biasa disebut “AL
Gunung”.105
Daerah basis perjuangan PKI ditetapkan di Madiun, yang secara geografis
memang cocok untuk wilayah pertahanan, karena terdapat beberapa gunung yang
besar serta dikelilingi hutan yang lebat. Sementara untuk mengalihkan perhatian
pemerintah atau TNI dari persiapan-persiapan rahasia mereka, diciptakan suatu
kekacauan-kekacauan kecil di Solo pada permulaan September 1948.106 Pada 18
September 1948 dimulailah pemberontakan PKI di Madiun. Dengan gerakan
103 Ibid.104 Ibid., hlm. 185.105 Ibid.106 Ibid.
Universitas Indonesia
40
cepat, pasukan-pasukan bersenjata PKI menduduki gedung-gedung penting seperti
kantor telepon, kantor pos, markas tentang dan kantor-kantor polisi.
Pemberontakan ini sangat terbantu dengan banyaknya tentara di Kota Madiun
sendiri yang sudah dibina sebelumnya oleh PKI. Setelah berhasil melumpuhkan
kekuatan TNI, melalui Radio Gelora Pemuda PKI menyiarkan bahwa revolusi
telah dimulai sekaligus menyatakan berdirinya pemerintahan buruh dan tani.107
Sebagai reaksi atas pemberontakan tersebut, dewan siasat militer
memutuskan untuk merebut kota Madiun secepat mungkin. Pada 30 September
1948 pasukan TNI dari Siliwangi dapat merebut Madiun dari tangan PKI. Dalam
proses penyelesaiannya sebagian dari para pemimpin PKI diadili secara lokal dan
dihukum mati. Tetapi tokoh-tokoh pentingnya, kecuali Moeso yang tertembak
mati, dibiarkan hidup.108
Meskipun telah melakukan pemberontakan, PKI sebagai partai tidak
dibubarkan. Pemerintah hanya membasmi pemberontakan bersenjata yang
kebetulan dilaksanakan oleh PKI. Maka ketika Menteri Kehakiman Mr. Soesanto
Tirtoprojo pada 4 September 1949 mengeluarkan pernyataan bahwa para aktivis
yang terlibat pemberontakan Madiun tidak akan dituntut kecuali terbukti
melakukan tindak kriminal, PKI kembali beraktivitas lagi. Presiden Soekarno
yang pada awalnya sangat marah dengan pemberontakan PKI, karena berbagai
pertimbangan, pada akhirnya menerima eksistensi PKI. Terbukti pada akhir
Agustus 1950 Soekarno mengundang partai-partai politik, termasuk PKI, untuk
bertemu dalam rangka rencana menyertakan partai-partai dalam kabinet yang akan
dibentuk. Pengakuan terhadap PKI itu tidak bisa dilepaskan dari usaha para
tokohnya pada awal 1950-an yang telah mempelopori pembentukan ormas-ormas
partai dengan tujuan untuk memperoleh dukungan dari para pekerja, petani,
pemuda, seniman, wanita, dll.109
Eforia partai politik ini sempat teredam oleh suasana perang melawan
Belanda dan Sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia. Setelah Belanda
107 Ibid., hlm. 186.108 Ibid.109 Ibid.
Universitas Indonesia
41
dan Sekutu hengkang dari Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih
sistem pemerintahan parlementer.110 Parlemen pertama adalah sebuah majelis
dengan unsur-unsur yang sangat beragam. Parlemen ini beranggotakan wakil-
wakil daerah, anggota KNIP, dan anggota-anggota yang ditunjukan oleh
Presiden Soekarno berdasarkan perkiaraan kekuatan partai politik.111 Itu artinya
pada masa berlakunya Konstitusi RIS pada tahun 1949, peran partai politik lebih
berfokus masuk ke dalam sistem baik yang terdapat di tubuh parlemen maupun
eksekutif, terlebih lagi parlemen yang pengisian anggotanya masih dilakukan
melalui pengangkatan tidak lepas dari pengaruh partai politik. Dengan
ditunjukannya perwakilan partai politik di parlemen maka terbukalah suatu era di
mana partai politik dapat menunjukan fungsi dan peranannya.112
Berdasarkan ketetapan KNIP tentang keanggotaan DPR RIS, partai partai
yang mengajukan calon dan memenuhi persyaratan adalah Masjumi 5 anggota,
PNI 4 anggota, PSI 2 anggota, PKI 2 anggota, PBI 2 Anggota, BTI 2 Anggota
dan partai lainnya yakni PSII, Murba, STII, PKRI, Parkindo, Partai Sosialis, dan
Partai Buruh yang masing-masing 1 anggota.113 Banyaknya partai politik pada
zaman tersebut tidak jarang menghasilkan perseturuan atau gesekan satu sama
lain akibat persaingan ideologi dan perebutan pengaruh di tingkat pengambilan
kebijakan. Perseturuan dengan latar belakang non ideologis seringkali
mengerucut pada persekutuan strategis partai-partai besar. Biasanya, Masjumi
bersekutu dengan Partai Sosialis Indonesia, sedangkan PNI bersekutu dengan
PKI.
Bahkan tidak jarang persekutuan tersebut terjadi dalam tubuh partai itu
sendiri di mana masing-masing unsur berusaha untuk mendominasi agar pada
akhirnya terjadi perpecahan internal. Masjumi dan PSI adalah salah satu contoh
partai yang mengalami perpecahan internal yang cukup parah. Di bawah
kepemimpinan M. Natsir, sebagai partai yang merepresentasikan kepentingan
110 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 4.
111 Soekarno, Tatanegara Republik Indonesia Sudah Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945 untuk S.M.A, (Jakarta: Nusantara, 1963), hlm. 93.
112 Jimly Asshiddiqie (2), op. cit., hlm. 175.113 Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Parlemen Indonesia 1945 – 1950, (Jakarta:
Yayasan Risalah, 2005), hlm. 287-288.
Universitas Indonesia
42
umat Islam harus kehilangan massa yang cukup signifikan setelah unsur NU
memisahkan diri dan menjadi partai tersendiri. Sementara di tubuh PSI yang
dipimpin Sutan Sjahrir terdapat sempalan yang biasa disebut PSI sayap kiri karena
menganut ideologi komunisme.114
Fase selanjutnya adalah dilaksanakannya Pemilihan Umum pertama kali
di Indonesia yakni pada tahun 1955, dimana pada tanggal 29 September
difokuskan untuk memilih anggota DPR dan pada 15 Desember waktunya untuk
memilih anggota Konstituante. Jumlah kursi Pemilu ini sering dikatakan sebagai
pemilu Indonesia yang paling demokratis.115 Dasar hukum pemilihan umum ini
adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota
Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.116 Uniknya dalam Pemilu
tahun 1955 proses pengajuan calon dapat dilakukan melalui perorangan,
organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik hal tersebut sebagaimana
tertuang dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953.
Pemilu 1955 diikuti lebih dari 118 peserta untuk pemilu DPR yang terdiri
dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan dan 48 perorangan kemudian
terdapat 91 peserta untuk pemilu Konstituante, yang terdiri dari 39 partai politik,
23 organisasi kemasyarakatan dan 29 perorangan.117 Jumlah kursi DPR yang
diperebutkan sebanyak 260. Sedangkan jumlah kursi Dewan Konstituante
sebanyak 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.
Pada pemilu ini menghasilkan empat besar partai politik yang mendapat
dukungan suara cukup banyak dari masyarakat. Posisi pertama diraih oleh PNI
dengan 22.3 persen suara, disusul oleh Masjumi dengan 20.9 persen suara, NU
114 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 175.115 TIM, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Dilengkapi Sejarah Berdirinya
NKRI, Daftar Wilayah NKRI, Daftar Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta: New Merah Putih, 2009), hlm. 103-104
116 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, LN No. 29 Tahun 1953.
117 Achmad Fachrudin, Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi, (Jakarta: Garmedia Utama Publishindo, 2013), hlm. 43.
Universitas Indonesia
43
dengan 18.4 persen suara dan PKI dengan 16.4 persen suara.118 Posisi Masjumi
pada urutan kedua menunjukan bahwa partai ini masih memiliki pengaruh yang
cukup kuat di tengah-tengah masyarakat, khususnya pemeluk agama Islam,
setelah unsur NU melepaskan diri. Sebagai partai yang mengklaim umat Islam
sebagai konstituennya, Masjumi ditopang oleh berbagai ormas Islam yang ada di
Indonesia. Meskipun cukup banyak unsur didalamnya, Masjumi memiliki alat
perekat yang dapat diandalkan yakni berupa cita-cita terumuskannya konsitusi
negara berdasarkan syariat Islam.
Sementara PSI yang sebelumnya diperkirakan memiliki banyak
pendukung dan diberi jatah sebanyak 15 kursi di parlemen ternyata hanya berhasil
mengumpulkan 2 persen suara atau 5 kursi di parlemen. Hasil pemilu 1955 dapat
diartikan bahwa PSI tidak begitu diminati oleh masyarakat. Tokoh-tokoh PSI
yang kebanyakan direkrut dari kalangan intelektual gagal meraih suara secara
maksimal karena enggan menerapkan strategi pengerahan massa yang lazimnya
dilakukan oleh partai-partai lain.
Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai politik yang memperoleh kursi di
DPR. Sepuluh besar partai politik yang memperoleh kursi di DPR yaitu PNI 57
kursi, Masjumi 57 kursi, NU 45 kursi, PKI 39 kursi, PSII 8 kursi, Parkindo
8 kursi, Partai Katolik 6 kursi, PSI 5 kursi, IPKI 4 kursi, Perti 4 kursi. Sedangkan
untuk Konstituante, 10 partai yang memperoleh kursi terbanyak adalah PNI 119
kursi, Masjumi 112 kursi, NU 91 kursi, PKI 80 kursi, PSII 16 kursi,
Parkindo 16 kursi, Partai Katolik 10 kursi, PSI 10 kursi, IPKI 8 kursi, dan Perti 7
kursi.119
Satu tahun selanjutnya, Presiden Soekarno sebenarnya tidak menyukai
keberadaan partai politik karena hanya akan menyebabkan fanatisme dan
membuat Indonesia semakin terpecah belah. Hal itu dapat terlihat dari kecaman
Presiden Soekarno terhadap Maklumat 3 November 1945 pada kongres
persatuan guru tanggal 30 Oktober 1956 yang menguatkan pidatonya pada Hari
Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1956. Presiden Soekarno mengecam
demokrasi liberal yang dianggapnya tidak cocok untuk masyarakat Indonesia, 118 Syamsudin Haris, Pemilu Langsung Di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan
Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 171.119 Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 234 dan 256.
Universitas Indonesia
44
paham yang dijiplak dari alam pikiran barat itu telah melahirkan banyak partai
yang dalam kenyataanya lebih banyak memperjuangkan kepentingan masing-
masing daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.120
Hal tersebut tentunya ditolak oleh partai-partai politik. Bahkan beberapa
partai politik membentuk suatu federasi yang dinamakan Liga Demokrasi yang
menentang penguburan partai dan konsep restrukturisasi yang digagas oleh
Presiden Soekarno. Menurut Liga Demokrasi cara untuk menyelesaikan berbagai
permasalahan hendaknya bukan dengan merombak struktur, tetapi dengan
mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemerintahan. Liga demokrasi terdiri
dari Masjumi, NU, PSII, PSI, Partai Katolik, Partai Protestan, dan Partai Rakyat
Indonesia (PRI).121
Pada tahun 1957 dan seterusnya semakin tampak bahwa pergolakan politik
yang sulit dikekang membawa Indonesia ke dalam impasse yang serius. Hal ini
tercermin dari seringnya kabinet-kabinet hasil koalisi partai mengalami
pembubaran, maraknya politisasi penduduk sebagai akibat lanjutan dari
persaingan partai-partai sebelum Pemilu 1955, dan terutama menjamurnya
kekuatan rakyat kedalam politik etnisitas dan sentrifugalisme. Realitas politik ini
kemudian memunculkan gagasan restrukturisasi yang memungkinkan Presiden
turut campur dalam urusan pemerintahan. Presiden Soekarno bermaksud
membentuk suatu Dewan Nasional yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh
Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.122
Dewan ini semula hendak dinamakan sebagai Dewan Revolusioner, akan
tetapi karena kata nasional dipandang lebih menunjukan kekeluargaan yang besar,
dipilih nama Dewan Nasional. Dewan tersebut meliputi seluruh bangsa Indonesia
yang anggotanya terutama adalah golongan fungsional yang meliputi wakil-wakil
kaum buruh, petani, cendekiawan, pengusaha, agama, angkatan 45, Kepala Staf
Angkatan Darah, Laut, Udara, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung dan
beberapa menteri yang dianggapi penting. Anggota Dewan Nasional terdiri atas
120 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit.,hlm. 378.121 Jimly Asshiddiqie (2) , op. cit., hlm. 178-179.122 Ibid.
Universitas Indonesia
45
60 orang, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Soekarno untnuk memberi nasihat
kepada Kabinet baik diminta maupun tidak.123
Setidaknya secara khusus terdapat 3 tokoh yang menyatakan dengan
tegas tidak setuju dengan gagasan Presiden Soekarno. Pertama Kyai Dahlan yang
menyatakan bahwa penguburan partai-partai bertentangan dengan semangat
Islam karena dapat menimbulkan kediktatoran. Kemudian adalah Imron Rosjadi,
yang saat menjadi Ketua Pemuda Anshor menegaskan bahwa diktator
bertentangan dengan islam. Terakhir adalah Mohammad Natsir yang dalam
pidato peringatan sebelas tahun berdirinya Masjumi menyatakan apabila partai
politik dikubur maka demokrasi Indonesia telah dikubur, maka berakhir pula
Republik Indonesia.124
Sekalipun banyak mendapat penolakan, Soekarno tetap menyosialisasikan
gagasan restukturisasnya dalam setiap kesempatan. Pada April 1957 Soekarno
atas nama Penguasa Peran Tertinggi menyatakan negara dalam keadaan darurat
perang dan memaksakan terbentuknya kabinet Juanda. Soekarno kemudian
memanggil para politisi dari berbagai partai politik untuk menghadiri sebuah
rapat. Para pemimpin partai itu diberi formulir dengan pertanyaan apakah mereka
bersedia terlibat dalam kabinet baru atau tidak. Masjumi dan Partai Katolik
menyatakan menolak. Sementara juru bicara PSI yang menyatakan siap
bekersama tidak dihiraukan oleh Soekarno. Gagasan restrukturisasi itu pada
akhirnya mendapat dukungan dari berbagai partai yang sempat menolaknya
seperti NU dan PSII dengan konsensi-konsensi tertentu. Gagasan itu kemudian
terintegrasi dalam konsep demokrasi terpimpin yang dirumuskan sendiri oleh
Soekarno.125
Kabinet Djuanda yang tidak melibatkan kader Masjumi dan PSI mendapat
protes dari daerah-daerah basis kedua partai itu. Di Sumatra Barat, misalnya,
terjadi unjuk rasa yang mengultimatum Djuanda supaya mengundurkan diri dalam
waktu 5 hari. Mereka juga menuntut Presiden Soekarno untuk menunjuk Hatta
123 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 143.124 Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pustaka
Utama Grafiti, 1987), hlm. 354.125 Jimly Asshiddiqie (2), loc.cit.
Universitas Indonesia
46
dan Sultan Hamengkubuwono IX menjadi formatur pembentukan kabinet yang
bersifat nasional. Karena ultimatum tersebut tidak dipenuhi oleh Djuanda, pada
Februari 1958 terjadi pemberontakan dari kelompok yang menamakan diri
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Pada saat
yang sama di Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang sejalan dengan PRRI.
Pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh TNI dalam waktu singkat.126
Pemberontakan PRRI melibatkan sejumlah pimpinan Masjumi dan PSI
yakni antara lain Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, Burhanuddin Harahap
(Masyumi) dan Soemitro Djojohadihoesoema (PSI). Keterlibatan mereka
mengakibatkan tensi ketegangan antara pemerintah dengan dua partai itu semakin
meningkat. Kemudian pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit
yang salah satu isinya menyatakan bahwa konstitusi negara kembali ke UUD
1945. Hal ini untuk menciptakan keseimbangan kekuatan yang sangat labil di
antara Soekarno dan Militer.127
Pada periode selanjutnya, tepatnya pada 31 Desember 1959 dikeluarkanlah
Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan
Penyederhanaan Kepartaian. Dimana sebagai tindak lanjut dari Penpres tersebut,
dikeluarkanlah peraturan Peratuan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang
Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-Partai yang selanjutnya diubah
dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Peraturan tersebut diikuti dengan
Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-Partai
yang memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960, dimana partai-partai yang diakui
tersebut adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba,
PSII, IPKI, Parkindo dan Persatuan Tarbiyah Islam (PTI) sedangkan partai-partai
yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa
Daen Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo yang termuat dalam
Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1961.128
126 Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G30S, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 103.
127 M. Rusli Karim, op.cit., hlm.141.128 Ibid., hlm. 149.
Universitas Indonesia
47
Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian tampaknya memang ditujukan khusus kepada Masjumi dan PSI,
karena pada Pasal 9 menyebutkan bahwa Presiden, setelah mendengar pendapat
Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang sedang
melakukan pemberotakan. Kecurigaan akan dibubarkanya Masjumi dan PSI
semakin mendekati kenyataan dengan dikeluarkannya Penpres No.13/1960
tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai politik. Maka dari itu
pada 21 Juli 1960 Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masjumi dan PSI ke
istana. Soekarno kemudian menyerahkan setumpuk daftar pertanyaan yang harus
dijawab oleh pemimpin partai itu secara tertulis dalam satu minggu.129 Oleh
karena jawaban pimpinan Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno, maka
pada 17 Agustus 1960 kedua partai itu dibubarkan melalui Keputusan Presiden
No.200/1960 dan No.201/1960. Jika ultimatum ini tidak dipenuhi, maka partai
bersangkutan akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Kurang dari 30 hari setelah
Keppres itu diturunkan, pimpinan Masjumi dan PSI membubarkan partai
mereka.130
Keputusan Presiden dalam hal tidak mengakui beberapa partai politik
tidak terdapat upaya hukum yang dapat diajukan ke pengadilan. Kondisi tersebut
merupakan akibat dari kekuasan Presiden Soekarno yang sangat besar, hal itu
dapat terlihat dari ditempatkannya Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri
Koordinator Hukum dan Dalam Negeri yang kedudukannya berada di bawah
Presiden.131 Akibat kebijakan penyederhanaan partai politik tersebut, partai politik
tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat dalam berkontribusi terhadap
pembangunan bangsa. Bahkan partai-partai yang masih ada, mendapatkan
pengawasan yang sangat ketat dari militer dan pemerintahan sipil. Segala sesuatu
kegiatan politik boleh berjalan dengan syarat tidak bertentangan dengan
Manipol.132
129 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 181.130 Deliar Noer, op.cit, hlm. 384-387.131Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, (Jakarta:
Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 245.132 Selo Soemardjan, ”Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita, Review of
Politics” Feith & Castles VOL XXV, (Januari 1963), hlm. 111-114.
Universitas Indonesia
48
Pada masa awal orde baru pemerintah menekankan stabilitas nasional
dalam program politiknya. Untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu di
awali dengan apa yang disebut sebagai dengan konsensus nasional. Ada dua
macam-konsensus nasional, yaitu pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah
dan masyarakat untuk melaksanakan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan
konsensus utama. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-
cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai
lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.
Konsensus kedua tercapai antara pemerintah dan partai-partai politik dan
masyarakat.133
Secara umum, elemen-elemen penting yang terlihat dalam perumusan
konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa.
Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966. Sejak itu
konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat
Indonesia.134 Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain adalah penyederhanaan
politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR.
Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah orde baru dapat
melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis
massa luas. Terlebih kepada PNI yang notabenenya sebagai partai besar dan
dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pada April 1966 PNI dipaksa
melakukan kongres nasional di mana dalam kongres tersebut sejumlah tokoh lama
PNI disingkirkan dan sejumlah cabang PNI di Jawa Tengah ditutup. Sementara
cabang-cabang PNI di Sumatera dan Aceh dianjurkan untuk secara sukarela
membekukan diri.135
Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai
dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masjumi ingin
menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah orde lama, 133 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 189.134 Nugroho Notosusanto (1), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta:
Balai Pustaka, 1985), hlm. 27-49. 135 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 190.
Universitas Indonesia
49
pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak
boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, Masjumi harus mengganti nama
sehingga terkesan sebagai partai baru. Dalam hal ini Masyumi memilih nama
Parmusi. Mohammad Roem yang sempat terpilih sebagai ketua umum Parmusi
pertama dipaksa untuk mundur dan diganti sebagai konsekuensi dari syarat yang
pertama.136
Kiprah PKI dalam percaturan politik nasional juga berakhir dengan
meletusnya prahara pada tengah malam 30 September 1965 hingga dini hari 1
Oktober 1966 di mana sejumlah Jenderal di Jakarta diculik dan dibunuh. Aksi
pembantaian itu dimotori oleh Kolonel Untung, seorang komandan pasukan
pengawal istana.137 Kolonel Untung menuduh korban-korbannya sebagai
komplotan “Dewan Jenderal” yang sedang mempersiapkan kudeta sehingga harus
diantisipasi secara dini. Sebagai kelanjutan dari pembantaian para jenderal itu,
keesokan harinya disiarkan berita mengenai terbentuknya “Dewan Revolusi” yang
beranggotakan 45 orang dengan tugas mengamankan negara dan Presiden.
Meskipun dari 45 anggota Dewan Revolusi tersebut 5 orang yang berfaham
komunis namun banyak kalangan menuduh PKI terlibat dalam aksi pembunuh itu
untuk melakukan kudeta.138
Jenderal Soeharto yang pada saat itu menjabat panglima komando
cadangan strategis bertindak cepat menguasai keadaan dengan menangkap kolonel
Untung berikut kelompoknya. Akibat lanjutannya adalah pembasmian segenap
kekuatan PKI diseluruh tanah air oleh TNI Angkatan Darat dan kelompok-
kelompok masyarakat yang anti terhadap komunisme. Aksi pembasmian ini
dilakukan secara massif dengan jumlah korban berkisar antara 80.000 hingga
500.000.139
136 Ibid.137 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, (Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 202.138 Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, (Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 203.139 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 188.
Universitas Indonesia
50
Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September / Partai Komunis
Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru.
Pada 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangi sebuah surat
yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan
yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.
Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret
diartikan sebagai pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.140
Orde baru yang dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung
pada Juni-Juli 1966. Di antara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah
mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tumbuh dan
berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang
yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi,
sebagian besar lainnya diasingkan ke Pulau Buru untuk didoktrin dan
dipekerjakan.
Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat juga kebijakan penyederhanaan
terhadap partai politik. Hal tersebut disebabkan karena partai politik dipandang
sebagai sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas bangsa.141 Maka dari itu,
pada masa pemerintahan Soeharto partai-partai politik mendapatkan berbagai
tekanan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan yang ada. Kebijakan
penyederhanaan partai politik ini pada akhirnya menghasilkan 10 peserta pemilu
pada tahun 1971 yakni PNI, NU, Parmusi, Golkar, Partai Katolik, PSII, Murba,
Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKI. 142
Kebijakan penyederhanaan dikombinasikan dengan kebijakan fusi partai
politik pada tanggal 9 Maret 1970. Dimana Presiden Soeharto menyarankan untuk
mengklasifikasikan partai berdasarkan kesamaan indentitas masing-masing partai.
Maka dari itu partai-partai yang ada dikelompokan menjadi golongan nasionalis,
golongan spiritual, dan golongan karya yang dimanifestasikan menjadi 3 partai
140 Ibid., hlm.189.141 Ibid., hlm.189.142 Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik,
(Jakarta: Grafiti, 1996), hlm. 51-55.
Universitas Indonesia
51
yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Golongan
Karya (Golkar). 143
Pada pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga
tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta
pemilu. Dalam pemilu kali itu didapati Golongan Karya menjadi peserta pemilu.
Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi
fungsional dan kekaryaaan, yang pada 20 Oktober 1964 mendirikan Sekretariat
Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan
perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka
dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang
menampung sebanyak 291 organisasi dan kemudian menurun menjadi 201 buah.
Untuk kepentingan konsolidasi dibentuklah Kelompok Induk Organisasi (KINO)
yang berjumlah tujuh antara lain Soksi, Kosgoro, MKGR, Karya Pembangunan,
Ormas Hankam, Karya Profesi dan Gakari.144
Peranan Sekber Golkar semasa Orde Lama sudah terbukti banyak
membantu TNI dalam mengimbangi pengaruh PKI. Dalam suatu pelatihan Sekber
Golkar tahun 1966, Soeharto menyerukan dalam pidato tertulis-nya agar Golkar
memiliki sense of mission, mengembangkan dan memiliki kesadar bulat bahwa
Golkar memiliki cita-cita dan tujuan tunggal, yakni pengabdian yang didasarkan
kepada patriotisme yang berakibat pada UUD 1945.145 Pada 5 September 1966
Soeharto mengeluarkan instruksi kepada keempat panglima angkatan bersenjata
agar memberikan fasilitas seluas-luasnya bagi perkembangan dan penuaian tugas
Sekber Golkar di tingkat pusat dan daerah dengan pertimbangan bahwa Sekber
Golkar selalu menempatkan dirinya sebagai saudara kandung angkatan bersenjata
dan sebagai pengawal dan pengaman Revolusi Indonesia.146
Pengikutsertaan Golkar oleh pemerintah dalam Pemilu 1971 ternyata
cukup efektif untuk membendung dukungan terhadap partai-partai. Melalui cara-
143 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 194.144 Ibid., hlm. 191.145 Ibid.146 Ibid.
Universitas Indonesia
52
cara pintas seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 yang melarang
seluruh pegawai negeri mendukung partai politik dengan tujuan supaya Golkar
dapat meraup suara pegawai negeri yang pada masa orde lama mendukung PNI.
Pada mulanya Permen 12 dimaksudkan untuk memurnikan Golongan Karya di
DPRD tingkat I dan II. Dalam Permen tersebut terdapat ketentuan bahwa anggota-
anggota departemen hanya boleh memberikan loyalitas kepada negara dan bangsa
bahkan jika perlu melarang warga departemen masuk partai politik. Setelah
Permen 12 tersosialisasi kemudian muncul Surat Edaran Menteri Dalam Negeri
yang berisikan formulir kesediaan. Tujuan intinya daalah supaya Korp Karyawan
Pemerintah Dalam Negeri menanggalkan keanggotaan kepartaian dan
keormasannya.147
Selain itu untuk mengambil alih massa Islam pemerintah Orde Baru
menghidupkan kembali Gerakan Usaha Perbaikan Pendidikan Indonesia sebagai
saingan bagi Majelis Ulama. Pemerintah juga memasukkan tokoh-tokoh Golkar
ke dalam Badan Pengendali Pemilihan Umum. Lembaga inilah yang aktif
mengampanyekan Golkar dengan segenap kekuatan yang ada padanya. Pendanaan
Bapilu yang kuat menjadikannya mampu menandingi partai politik dalam
mensosialisasikan program-programnya ke tengah-tengah masyarakat. Bahkan
ketika itu secara luas tersebar tuduhan bahwa Bapilu mengeluarkan sejumlah uang
untuk menggalang dukungan dari tokoh-tokoh agama terhadap Golkar.148
Usaha pemerintah Orde Baru mengerdilkan partai-partai politik dengan
cara membesarkan Golkar tidak sia-sia. Pada Pemilu 1971 Golkar meraih posisi
pertama dalam peroleh suara, disusul NU, Parmusi, PNI, PSII Parkindo, Katolik,
Perti, IPKI dan Murba. Golkar meraih 62.8 persen dari seluruh suara yang di
perebutkan. Ini berarti bahwa jumlah seluruh para peserta pemilu yang lain belum
mampu mencapai separuh dari suara yang diperoleh Golkar. Ini juga berarti
bahwa seluruh jumah kursi di DPR hampir seluruhnya diborong Golkar. Belum
lagi kalau ditambah dengan jatah 100 kursi dalam bentuk pengangkatan-
147 Ibid., hlm.192.148 Ibid., hlm.193.
Universitas Indonesia
53
pengangkatan golongan TNI yang telah disetujui Undang-Undang Pemilu yang
praktis menjadi beking Golkar di DPR.149
Pasca Pemilu 1971, Presiden Soeharto yang posisinya semakin kuat karena
mendapat legitimasi pemilu kembali memunculkan ide penyederhaan partai. Ide
ini sebenarnya sudah cukup lama menjadi bahan pembicaraan para penggagas
konsep orde baru. Mereka menilai bahwa partai politik selalu menjadi sumber
pertikaian yang tentu saja mengganggu stabilitas. Maka tidak mengherankan
apabila setahun sebelum Pemilu 1971 dilangsungkan, di hadapan sembilan partai
dan Golkar Soeharto sudah mengemukakan saran penggabungan partai-partai
untuk mempermudah kampanye pemilu tanpa kehilangan identitas masing-
masing. Soeharto menginginkan partai-partau yang ada dikelompokan ke dalam
Golongan Nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya.150
Gagasan pengelompokan partai itu memunculkan sikap pro dan kontra di
kalangan masyarakat. Partai pertama yang menyetujui adalah PNI dan IPKI,
kemudian disusul oleh Parmusi dan NU. Kalangan yang mewakili Islam
memandang gagasan itu akan menyatukan pandangan politik umat Islam yang
sebelumnya terpecah-pecah. Selain itu, dengan adanya pengelompokan proses
pengambilan keputusan akan semakin mudah karena alternatif-alternatif pendapat
dapat diperkecil.151
Golongan yang menentang pengelompokan adalah Parkindo dan Partai
Katolik. Sebenarnya penolakan mereka lebih disebabkan pada pengelompokan
kedua partai ini kedalam kelompok spiritual. Mereka akan menerima jika mereka
dikelompokkan pada golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis dapat
melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis
keagamaan.152
Dimana pada tanggal 5 Januari 1973 NU, Parmusi, PSII dan PERTI telah
memfusikan politiknya dalam satu partai politik bernama Partai Persatuan
149 Ibid.150 Ibid., hlm.194.151 Ibid.152 Ibid. hlm.195.
Universitas Indonesia
54
Pembangunan, kemudian PNI, IPKI, Parkindo dan Partai Katholik pada 10
Januari 1973 difusikan dalam satu wadah yang bernama Partai Demokrasi
Indonesia.153 Konsep fusi tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3
Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan serta Undang-Undang No.4
Tahun 1975 tentang Pemilihan Umum. Kedua Undang-Undang itu telah
membatasi organisasi peserta pemilu yang sebelumnya berjumah sepuluh menjadi
tiga. Itu juga berarti bahwa sejak dua Undang-Undang tersebut diberlakukan
hanya tiga aliran politik saja yang diperkenankan, yaitu ideologi keagamaan yang
diwakili PPP, kekaryaan yang diwakili oleh Golkar dan demokrasi yang diwakili
PDI. Hanya tiga kekuatan politik yang ada itulah yang bertarung dalam Pemilu
1977. Itu pun masih dengan pembatasan baru lagi bagi partai politik di luar
Golkar, dengan adanya peraturan kepengurusan partai yang hanya
memperbolehkan partai politik beroperasi di ibu kota tingkat pusat, Dati I dan
Dati II. Sementara di wilayah yang lebih kecil, hanya Golkar yang dapat berperan.
Ketentuan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “massa mengambang”.
Sistem pemilu dengan tiga kontestan itu berlangsung hingga lima kali pemilu
selama pemerintah orde baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1992, dan 1997.154
Hasilnya adalah selama pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya pada 1971-
1997 Golongan Karya menguasai secara mutlak perolehan suara di seluruh
provinsi, sehingga membawa partai beringin ini menjadi partai pemenang, bahkan
mendapatkan legitimasi untuk memerintah karena ia menguasai perangkat
eksekutif dan legislatif sekaligus.155
Menjelang akhir pemerintahan orde baru, banyak gerakan oposisi berbasis
massa bermunculan. Beberapa di antaranya mengorganisir diri menjadi partai
politik seperti Partai Rakyat Demokratik dan Partai Uni Demokrasi Indonesia.
Ketika masa Reformasi tiba, partai politik bermunculan bagaikan jamur di musim
hujan. Munculnya partai-partai baru itu, selain menandai akhir dari suatu orde
yang mengekang kebebasan berserikat juga terkait dengan maraknya tuntutan agar
153 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 234.
154 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 195.155 Daniel Dhkidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, (Jakarta: Kompas
Gramedia, 2004), hlm.3.
Universitas Indonesia
55
pemerintah segera menyelenggarakan pemilu. Presiden BJ Habibie yang
menggantikan Presiden Soeharto dinilai banyak kalangan kurang memiliki
legitimasi politik karena tidak terpilih melalui pemilu.156
Untuk memenuhi tuntutan itu, langkah konstitusional pertama yang
diambil adalah menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Hasil sidang ini
tertuang dala TAP MPR No. XIV/MPR/1998 yang selain memperkukuh
kedudukan Habibie sebagai Presiden baru, juga sekaligus memerintahkan
kepadanya agar menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Juni 1999.
Amanat Sidang Istimewa tersebut ditindaklanjuti dengan pembuatan sejumlah UU
di antaranya adalah UU. No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-
Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Anggota DPR. DPRD I dan DPRD
II dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,
DPR dan DPRD. Berdasarkan ketiga paket Undang-Undang politik tersebut
kegiatan pemilu mulai direncanakan dan dikonsolidasikan.157
Setelah Presiden Soeharto digantikan, keran demokrasi mulai dibuka
kembali di era reformasi, dimana kehidupan partai politik kembali bergairah.
Bahkan partai politik mendapatkan pengakuan secara konstitusional dalam Pasal
6A dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Presiden
dan Wakil Presiden serta Pemilihan anggota DPR dan DPRD. Kesulitan pertama
yang segera dihadapi pemerintah adalah bagaimana menentukan jumlah partai
peserta pemilu dan bagaimana membuat klasifikasinya. Euforia politik yang
berlebihan pada sebagian besar komponen masyarakat ikut mempersulit
mekanisme dan proses penentuan partai politik peserta pemilu. Hampir setiap
tokoh masyarakat yang memiliki pengalaman terlibat dalam dunia politik di masa
lalu berlomba-lomba mendirikan partai politik. Tidak kurang dari 141 partai
politik tercatat dalam Lembar Negara dan memperoleh pengesahan dari
Departemen Kehakiman.158
156 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 196.157 Ibid.158 Ibid., hlm. 197.
Universitas Indonesia
56
Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, dengan segala
keterbatasan legitimasinya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi
Pemilihan Umum (PPPKPU) yang terdiri atas 11 orang, sehingga dikenal dengan
tim sebelas. Di tangan tim sebelas inilah nasib-nasib partai baru dipertaruhkan.
Dikarenakan terikat dengan kalender pelaksaan pemilu yang sudah sangat
mendesak, tim sebelas hanya diberi waktu sebulan (1 Februari- 1 Maret 1998)
untuk melakukan verifikasi partai politik yang sudah tercatat dalam lembar
negara. Maka dari itu untuk melakukan penilaian dan seleksi partai-partai politik
yang tersebar di 27 provinsi, tim sebelas membuat sejumlah persyaratan yang
dibuat agak longgar.159
Tim sebelas melakukan verifikasi administratif dan faktual dalam dua
gelombang, yaitu pertama dilakukan pada 22-27 Februari 1999 yang menjangkau
keberadaan partai politik di 16 Provinsi, dan kedua pada 2-3 Maret 1999 di 10
Provinsi. Berdasarkan verifikasi tersebut terdapat 48 partai politik yang
dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 1999.160 Dengan ditetapkannya jumlah
partai peserta pemilu peran tim sebelas segera digantikan oleh Komisi Pemilihan
Umum yang keanggotannya terdiri dari utusan partai-partai ditambah unsur
pemerintah. Adanya lembaga KPU merupakan amanat Undang-Undang No. 3
Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang
dikendalikan secara penuh oleh pemerintah diganti dengan KPU yang melibatkan
perwakilan partai-partai politik peserta pemilu.161
Dengan peserta sebanyak 48 partai politik Pemilu 1999 menjadi pemilu
paling banyak memiliki kontestan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Dalam pemilu ini tidak didapati satu partai politik yang mendapat dukungan
dominan atas partai-partai lainnya, melainkan menampilkan lima partai politik
yang mendapat dukungan masyarakat cukup besar. Dari segi komposisi perolehan
suara, PDIP merupakan partai yang paling banyak meraup suara, disusul oleh
159 Ibid.160 Ibid., hlm. 198.161 Ibid.
Universitas Indonesia
57
Golkar, PKB, PPP dan PAN. Sedangkan dari segi perolehan kursi di DPR, PPP
menempati urutan ketiga dan PKB pada urutan keempat.162
Tidak adanya partai yang menguasai lebih dari separuh jumlah kursi di
parlemen menyebabkan partai-partai besar berpeluang mencalonkan kadernya
sebagai Presiden dan wakil Presiden. Akan tetapi ketika pemilihan Presiden dan
wakil Presiden belangsung di gedung DPR/MPR nyatanya hanya dua calon
Presiden yang bersaing yaitu Megawati Soekarnoputri dari PDIP dan
Abdurrahman Wahid dari PKB. Abdurrahman Wahid yang didukung oleh Poros
Tengah berupa aliansi partai-partai berbasis Islam pimpinan Amien Rais terpilih
menjadi Presiden Republik Indonesia keempat. Sementara Megawati
Soekarnoputri yang kurang mendapat dukungan dari para anggota MPR
memperoleh posisi wakil Presiden.163
Perubahan lainnya sejauh menyangkut sistem pemilu adalah munculnya
kebijakan penyederhanaan partai peserta pemilu. Banyaknya jumlah peserta
pemilu dinilai oleh banyak kalangan sebagai pemborosan uang negara. Dalam
kenyataanya, terdapat beberapa partai politik peserta Pemilu 1999 yang perolehan
suaranya di bawah satu persen. Sementara setiap tahunnya partai politik peserta
pemilu memperoleh dana kampanye dari pemerintah. Persoalan ini
melatarbelakangi terbitnya Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif yang
mengatur pembatasan peserta pemilu dengan ketentuan electoral threshold.164
Partai yang memenuhi ketentuan electoral threshold berhak atas biaya kampanye
dari pemerintah.
Setelah adanya ketentuan electoral threshold maka hanya ada 6 partai
politik peserta Pemilu 1999 yang bisa mengikuti Pemilu 2004, yakni PDIP,
Golkar, PPP, PKB, PAN dan PBB. Sementara partai-partai lainnya dianggap tidak
memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2004 dan bila masih tetap ingin
menjadi kontestan harus mengubah namanya sehingga kehadirannya dianggap 162 Ibid., hlm. 199.163 Ibid.164 Mexsasai Indra, “Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan
Dengan Sistem Pemerintah Republik Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No.2, hlm. 10.
Universitas Indonesia
58
sebagai partai baru.165 Selain electoral threshold, pemilihan umum 2004 diikuti
oleh 24 partai politik yang ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum setelah
melalui tiga tahap penyaringan, yaitu penyaringan yang dilakukan oleh
Departemen Hukum dan HAM RI, penyaringan adminisratif oleh Komisi
Pemilihan Umum dan yang terakhir adalah melalui verifikasi faktual.
Penyaringan yang dilakukan pada tahap pertama bertujuan untuk
memberikan status atau pengesahan partai politik sebagai sebuah badan hukum
sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus
penyaringan. Pada tahap verifikasi faktual dilakukan penelitian apakah benar
dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di
dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun
ketentuan mengenai tata cara dan prosedur verifikasi tersebut di dalam keputusan
KPU Nomor 105/2003 dan diperbarui dengan Keputusan KPU Nomor
615/2003.166
Sementara itu partai politik yang memenuhi electoral threshold dalam
artian mempunyai 3% dari jumlah kursi di DPR di dalam pemilihan umum 1999,
tidak lagi melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif
maupun faktual. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik, partai yang sudah memenuhi electoral threshold tersebut langsung
ditetapkan menjadi peserta pemilihan umum 2004 apabila mendaftarkan diri
sebagai calon peserta pemilihan umum oleh KPU.
Dalam proses verifikasi ada 44 partai politik yang mengikuti dan hanya 18
partai politik yang dinyatakan lolos. Oleh karena itu, yang berhak mengikuti
pemilihan umum 2004 adalah sebanyak 24 partai politik, yakni 18 partai politik
165 Bapenas, “Inilah Profil Partai Politik Peserta Pemilu 2004”, http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20Negeri/1%29%20Pemilu/3%29%20Pemilu%20tahun%202004/Partai%20Peserta%20Pemilu%202004.pdf, diunduh pada 29 November 2015.
166 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PSHTN FHUI, 2003), hlm. 84-93.
Universitas Indonesia
59
yang dinyatakan lolos verifikasi dan 6 partai politik besar yang lolos electoral
threshold.167
Pada dasarnya pemilu dan partai politik tidak dapat dipisahkan, karena
pemilu memiliki peserta partai politik dan eksistensi partai politik sejatinya ada
karena untuk mencapai kekuasaan secara formal melalui pemilihan umum. Pada
pemilu 2009 pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan
pemilu sebelumnya. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai politik nasional dan enam
partai lokal serta terdapat sembilan partai yang memperoleh suara dominan.168
Dari sembilan partai, tujuh partai diantaranya adalah peserta pemilu pada tahun
2004, sedangkan terdapat dua partai baru yakni Gerindra dan Hanura yang
berhasil mengambil hati masyarakat Indonesia pada pemilu 2009. Fakta lain yang
cukup mengejutkan adalah suara partai demokrat yang sebelumnya hanya
memperoleh suara 7.5% sedangkan pada pemilu 2009 naik drastis hingga
memperoleh 20.85% suara. Disinyalir terdapat pengaruh Susilo Bambang
Yudhoyono yang cukup kuat sebagai Presiden saat itu.
Namun sebagai partai pemerintah tentunya terdapat banyak rintangan
kepada partai Demokrat, tercatat beberapa kader partai Demokrat tersandung
kasus korupsi yakni:
1. Angelina Sondakh, Anggota DPR dari partai Demokrat yang terlibat
kasus korupsi wisma atlet yang ditetapkan tersangka oleh KPK pada
tanggal 3 Februari 2012.169
2. Andi Alfian Malarangeng, Menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet
Indonesia Bersatu Jilid 2 yang tersandung kasus korupsi Hambalang
yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 6 Desember 2012.170
167 Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara, Merebut Nurani Rakyat: Koalisi, Konflik, dan Etika Politik, (Jakarta: Belantka, 2005), hlm. 54.
168 Kusnaedi, Memenangkan Pemilu dengan Pemasaran Efektif, (Jakarta: Duta Media Tama, 2009), hlm.X.
169 Eri Komar Sinaga, “Kasus Korupsi Wisma Atlet KPK Periksa Angelina Sondakh” http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/11/kasus-korupsi-wisma-atlet-kpk-periksa-angelina-sondakh, diunduh pada 29 November 2015.
170 Icha Rastika, “KPK Tetapkan Andi Mallarangeng Tersangka Hambalang”, http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/19065844/KPK.Tetapkan.Andi.Mallarangeng.Tersangka.Hambalang, diunduh pada 29 November 2015.
Universitas Indonesia
60
3. Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat yang ditetapkan tersangka
oleh KPK dikarenakan menerima hadiah dalam proyek pembangunan
Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di
Hambalang pada 22 Februari 2013.171
Akibat dari tingkah laku para kadernya membuat partai demokrat terkena
dampak secara langsung. Partai Demokrat menurut hasil survei menurun
elektabilitasnya. Menurut survei Center for Strategic dan International Studies
(CSIS), elektabilitas partai demokrat pada 6-19 Juli 2012 turun dengan suara
11.1%.172 Pada tahun 2013, menurut survei Lembaga Survei Indonesia,
elektabilitas partai demokrat kembali turun ke angka 9.8%.173
Berdasarkan hasil pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009 sistem kepartaian
yang Indonesia anut adalah sistem multipartai yang moderat dan tidak ada satupun
partai yang paling dominan. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1999-2004
dimana meskipun PDIP tahun 1999 dan Golkar 2004 memenangkan pemilu
legislatif, tetapi pada pemilihan Presiden, calon Presiden dari masing-masing
partai tidak ada yang keluar sebagai pemenang. Walaupun Megawati pada tahun
2001 naik jadi Presiden Indonesia, akan tetapi hal itu lebih disebabkan karena
MPR memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid.
Memasuki tahun 2013, KPU mengumumkan daftar 46 partai poitik yang
telah mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014, dimana beberapa partai
diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu
ataupun baru mengganti namanya.174 Terdapat 9 partai yang merupakan peserta
171Rusman Paraqbueq, “Anas Resmi Tersangka Kasus Suap”, http://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/22/063463066/anas-resmi-tersangka-kasus-suap, diunduh pada 29 November 2015.
172 ”Elektabilitas Demokrat Malah Terus Menurun”, http://sp.beritasatu.com/home/elektabilitas-demokrat-malah-terus-menurun/23286, diunduh pada 29 November 2015.
173 Ihsanuddin, “LSI: Elektabilitas Terus Turun, Demokrat Bakal Jadi Parpol Papan Tengah”,.http://nasional.kompas.com/read/2013/11/24/1428376/LSI.Elektabilitas.Terus.Turun.Demokrat.Bakal.Jadi.Parpol.Papan.Tengah, diunduh pada 29 November 2015.
174 Kepustakaan Presiden, “Pemilihan Umum Tahun 2014”, http://kepustakaan-Presiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=33&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=, diunduh pada 29 November 2015.
Universitas Indonesia
61
Pemilu 2009 yang berhasil memperoleh suara 3.5% suara dari jumlah kursi di
Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014. Setelah di verifikasi oleh KPU,
partai politik yang lolos terdapat 15 partai politik, tiga diantara adalah partai
daerah. Adapun 15 partai politik yang lolos sesuai dengan nomor urutnya adalah:
Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera,
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Gerindra, Partai
Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Hanura, Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, Partai Aceh, Partai Bulan
Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Dari total ke 12 partai politik
nasional yang ikut pemilu 2014, yang berhak mencalonkan calon Presiden dari
partainya adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh
minimal 25% suara nasional pada pemilu 2014 atau 20% perolehan kursi di
parlemen. Artinya, dari jumlah suara yang ditetapkan sesuai dengan Undang-
Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Presidential threshold.
2.2 PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DARI MASA PEMERINTAHAN
SOEKARNO HINGGA JOKO WIDODO
Keberadaan partai politik di Indonesia mulai hangat dari adanya
Maklumat Pemerintah Nomor 3 November 1945.Maklumat tersebut mendorong
tumbuhnya banyak partai politik sesuai dengan iklim demokrasi yang
dikembangkan dengan maksud untuk mempertahankan kemerdekaan dan
menjamin keamanan rakyat. Mulai saat itu partai politik sangat mewarnai
kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mendirikan partai politik belum
terdapat ketentuan yang mengaturnya secara khusus, demikian pula halnya
dengan pembubarannya. Pada masa itu partai politik benar-benar menjadi
wujud kebebasan berserikat yang menopang berjalannya demokrasi walaupun
juga menimbulkan dampak negatif berupa konflik antarpartai dan ketidakstabilan
pemerintahan.
Pembatasan terhadap kebebasan berserikat dalam partai politik mulai
menguat pada saat diterapkannya demokrasi terpimpin, yang didahului dengan
gagasan Presiden Soekarno untuk mengubur partai politik. Hal itu selanjutnya
Universitas Indonesia
62
dituangkan dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun
1960 yang mengatur syarat-syarat pengakuan partai politik sebagai badan hukum
dan pembubaran partai politik beserta akibat hukumnya dengan tujuan untuk
menyederhakan partai politik. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh
pandangan bahwa keberadaan partai politik yang telah berkembang merupakan
salah satu ciri demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa
Indonesia. Untuk itu partai politik perlu disederhanakan dan diarahkan sebagai
sarana negara untuk mendukung berjalannya demokrasi terpimpin.
Pembatasan yang sekaligus sebagai dasar pembubaran partai politik
adalah terkait dengan loyalitas terhadap asas dan tujuan negara serta integritas
wilayah nasional. Alasan pembubaran tersebut dapat dilihat masih dalam ruang
lingkup pembatasan yang diperlukan dalam suatu negara yang demokratis.
Namun demikian pembubaran tidak dilakukan melalui proses yudisial oleh
pengadilan melainkan menjadi wewenang Presiden. Mahkamah Agung hanya
memberikan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat. Hal itu memperkuat
sifat otoritarian demokrasi terpimpin, apalagi pada saat itu Mahkamah Agung
berada di bawah kekuasaan Presiden yang sangat besar. Mekanisme tersebut
tentunya tidak sesuai dengan prinsip- prinsip pembubaran partai politik dalam
negara hukum dan demokrasi.
Dalam praktiknya, di samping tidak diakuinya beberapa partai politik
dan dibubarkannya dua partai politik juga terdapat tindakan pembekuan partai
politik tanpa ada batas waktu. Pembekuan tersebut tidak memiliki dasar hukum
karena tidak dikenal dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu. Pada
kenyataannya pembekuan tersebut tidak pernah dicairkan kembali hingga
berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno sehingga memiliki akibat hukum
yang sama dengan pembubaran partai politik.
Terdapat beberapa partai politik di Indonesia yang pernah dibubarkan
yakni Partai Masjumi, PSI, Partai Murba, Partai Komunis Indonesia dan Partindo.
Golkar pun juga nyaris dibubarkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.
Dimulai pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat dua partai politik yang
dibubarkan yakni Partai Masjumi dan PSI, serta satu partai yang dibekukan yakni
Partai Murba. Masjumi adalah salah satu partai besar dalam perpolitikan
Universitas Indonesia
63
Indonesia dengan basis masa umat islam.175 Selain itu Masjumi juga merupakan
partai yang memiliki dukungan paling luas di seluruh wilayah Indonesia sehingga
partai ini dapat dikategorikan sebagai partai yang bersifat nasional. Sejak awal
kemerdekaan Masjumi telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap
bangsa, sehingga tidak heran pada saat Pemilu 1955, Masjumi memperoleh kursi
terbanyak bersama dengan PNI, disusul oleh NU dan PKI.
Lain halnya dengan PSI yang memiliki dukungan massa cukup minim,
akan tetapi memiliki pengaruh kuat karena tokoh-tokohnya dikenal sebagai
cendekiawan dan teknokrat yang berperan besar dalam pemerintahan dan
pembangunan, sehingga tidak heran apabila pada Pemilu 1955 PSI tetap dipercaya
menjadi suatu wadah aspiratif dengan menempati urutan ke-8 perolehan suara dan
mendapatkan 8 kursi di DPR.176
Awal pertikaian antara Masjumi-PSI dengan Soekarno bermula pada saat
pembentukan Kabinet Ali-Roem-Idham yang masing-masing mewakili PNI,
Masjumi dan NU. Soekarno menginginkan agar PKI dilibatkan dalam kabinet
karena telah berhasil menduduki peringkat keempat hasil pemilu tahun 1955
setelah PNI, Masjumi dan NU. Akan tetapi keinginan tersebut tidak dipenuhi
oleh Ali Sastroamidjojo karena PKI dipandang tidak mengakui keberadaan
Tuhan yang Maha Esa dan mendukung paham atheisme.177
Konflik semakin berlanjut pada saat Soekarno menggagas konsep
demokrasi terpimpin untuk menggantikan demokrasi parlementer yang ditolak
secara keras oleh Masjumi dan PSI. Puncaknya adalah penolakan Masjumi yang
melarang anggotanya untuk bergabung pada Kabinet Djuanda pada 8 April
1957.178 Menurut pandangan Masjumi, prosedur yang ditempuh Presiden
membentuk kabinet secara mutlak bertentangan dengan UUD dan tidak dapat
dipertanggungjawabkan.
Selain itu, pembentukan kabinet “secara mutlak” dalam keadaan bahaya
175 M. Dzulfikriddin, M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia Peran dan Jasa Mohammad Natsir Dalam Dua Orde Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 14.
176 Taufik Rahzen, Almanak Abad Partai Indonesia, (Jakarta: Boekoe I, 2008), hlm. 96.177 Silverio R.L. Aji Sampurno, Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor 200
Tahun 1960: Sekitar Pembubaran Masyumi, Seri Laporan Penelitian–1, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 1995), hlm. 19,
178 Deliar Noer, op. cit., hlm. 363-364.
Universitas Indonesia
64
dinilai bertentangan dengan undang-undang keadaan bahaya itu sendiri. Namun
demikian, terdapat anggota Masjumi yang menerima tawaran sebagai menteri,
yaitu Pangeran Noor sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Muljadi
Djojomartono sebagai Menteri Sosial. Pangeran Noor akhirnya dikeluarkan dari
Partai Masjumi, sedangkan Muljadi Djojomartono keluar dari anggota Masjumi
atas inisiatif sendiri. PSI juga menolak untuk ikut serta dalam kabinet tersebut.
Sedangkan partai lain yang semula menolak konsepsi Presiden Soekarno,
seperti NU dan PSII, mulai akomodatif dengan menerima dan mengirim
wakil dalam kabinet Djuanda.179
Posisi Masjumi dan PSI semakin terpojok dengan keterlibatan tokoh-
tokoh kedua partai tersebut dalam pembentukan PRRI Permesta di Sumatera
Barat. PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan Sjafruddin
Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Natsir sebagai juru bicara, dan
Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan Kehakiman serta Sumitro
Djojohadikusumo dari PSI menjabat sebagai Menteri Perhubungan.180
Setelah diproklamasikannya PRRI, pimpinan Masjumi pada 28 April
1958 mengeluarkan pernyataan bahwa baik pemerintah pusat maupun PRRI
telah melanggar UUD. Oleh karena itu, cara penyelesaian terbaik yang dapat
ditempuh adalah apabila kedua belah pihak kembali mematuhi UUD. Pernyataan
itu ditandatangani oleh Sukiman sebagai Wakil Ketua dan M. Yunan Nasution
sebagai Sekretaris Jenderal Masjumi.181
Hatta juga mengupayakan penyelesaian secara damai melalui pertemuan
dengan Soekarno. Namun, pemerintah sudah mengambil langkah militer
menyerang kota-kota basis PRRI di Sumatera Barat dan Tengah, Manado, dan
beberapa kota lain di Sulawesi. Akhirnya, kekuatan PRRI dengan cepat dapat
dilumpuhka.182 Terhadap pemberontakan PRRI Permesta, Soekarno menyebutnya
sebagai stadium puncak penyelewengan dan pengkhianatan terhadap Proklamasi
17 Agustus 1945. Terutama karena dipandang telah bekerjasama dengan pihak
179 Ibid., hlm. 363 – 364.180 R.Z. Leirissa, PRRI Permesta: Strategi Membangun Tanpa Komunis, (Jakarta: PT
Pustaka Utama Grafiti, 1991).181 Deliar Noer, op. cit., hlm. 379.182 Ibid., hlm. 377.
Universitas Indonesia
65
asing yang reaksioner dan pihak kolonial yang hendak menghancurkan
republik.183
Sikap Presiden Soekarno terhadap Masjumi dan PSI semakin jelas pada
saat pembentukan DPR-GR yang disusun sendiri oleh Soekarno melalui Keppres
156 Tahun 1960. DPR-GR yang dibentuk sama sekali tidak mengakomodir
wakil-wakil dari kedua partai tersebut. Komposisi anggota DPR-GR dari
unsur golongan politik adalah PNI 44 orang, NU 36 orang, PKI 30 orang,
Parkindo 6 orang, Partai Katolik 5 orang, PSII 5 orang, Perti 2 orang, serta
Murba dan Partindo masing-masing 1 orang. Komposisi keanggotaan ditambah
dengan wakil dari golongan karya.184
Pada 5 Juli 1960, dengan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang
Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik, Presiden Soekarno
menjalankan kebijakan penyederhanaan partai politik sebagai pelaksanaan
Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan
Kepartaian. Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tersebut selanjutnya diubah dengan
Penpres Nomor 25 Tahun 1960 yang memberikan waktu hingga 28 Pebruari
1961 bagi partai politik yang telah terbentuk sebelum 5 Juli 1959 untuk
melaporkan kepada Presiden mengenai AD ART, jumlah cabang dan jumlah
anggota tiap cabang, catatan seluruh anggota, organisasi di bawah partai, dan
keterangan dari Polisi bahwa partai tersebut sudah berdiri pada 5 Juli 1959.
Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, Jimly Ashiddiqie
berpendapat bahwa adanya beberapa ketentuan tersebut memang ditujukan
sebagai dasar untuk membubarkan Masjumi dan PSI.185 Hal itu juga dinyatakan
oleh Deliar Noer186 dengan menunjuk Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang
menyebutkan salah satu kriteria pembubaran partai politik adalah:
“…sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan,
183 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, djilid kedua, (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hlm. 320 -321.
184 Aisyah Amini, Pasang Surut Peran DPR-MPR, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah bekerjasama dengan PP Wanita Islam, 2004), hlm. 168.
185 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 180.186 Deliar Noer, op.cit., hlm. 384.
Universitas Indonesia
66
sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”
Hal itu juga dibuktikan dengan penerapan ketentuan tersebut pertama-
tama terhadap Masjumi dan PSI. Dapat dibandingkan dengan keputusan
pengakuan partai politik yang baru keluar setahun kemudian, yaitu Keppres
Nomor 128 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 pada 14
April 1961 serta Keppres Nomor 440 Tahun 1961 yang keluar pada 27 Juli
1961.
Pada 21 Juli 1960 Soekarno akhirnya memanggil pemimpin-pemimpin
Masjumi dan PSI. Pemimpin Masjumi yang hadir adalah Prawoto
Mangkusasmito dan M. Yunan Nasution, sedangkan pemimpin PSI yang hadir
adalah Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo dan T. A. Murad. Dalam pertemuan
tersebut Presiden Soekarno didampingi oleh Kepala Staf ketiga angkatan, Kepala
Polisi, Jaksa Agung, Kepala Staf Komando Perang Tertinggi, Sekretaris Militer
Komando Tertinggi, Menteri Penerangan, dan Direktur Kabinet. Dalam
pertemuan selama sepuluh menit tersebut, Presiden menyerahkan daftar
pertanyaan yang harus dijawab pemimpin partai secara tertulis dalam waktu satu
minggu.187
Daftar pertanyaan yang disampaikan kepada pimpinan Masjumi dan PSI
terdiri dari empat pertanyaan pokok, yaitu; apakah kedua partai tersebut
menentang dasar dan tujuan Negara?; apakah kedua partai tersebut bermaksud
mengubah dasar dan tujuan Negara?; apakah kedua partai tersebut berhubungan
dengan pemberontakan PRRI?; dan apakah kedua partai tersebut memenuhi
persyaratan kepartaian yang diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959?188
Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, wakil Masjumi dan PSI
menyerahkan jawabannya secara langsung kepada Presiden Soekarno pada 28
Juli 1960. Presiden menyatakan akan mempelajari jawaban tersebut. Untuk
pertanyaan pertama dan kedua, yaitu apakah menentang dan bermaksud hendak
mengubah dasar dan tujuan negara, Masjumi memberikan jawaban bahwa yang
dianggap sebagai dasar dan tujuan negara adalah seperti yang termaktub dalam
187 Ibid., hlm. 384-385.188 Ibid., hlm. 385-386.
Universitas Indonesia
67
Mukadimah UUD 1945 dan tidak dalam Manipol. Masjumi membandingkan
antara dasar dan tujuan negara dalam Mukadimah UUD 1945 dengan dasar dan
tujuan partainya serta menyimpulkan bahwa keduanya tidak bertentangan.189
Atas pertanyaan ketiga, apakah berhubungan dengan pemberontakan
PRRI, Masjumi menyatakan bahwa ia tidak terlibat dengan pemberontakan
PRRI. Hal itu karena Penpres Nomor 7 Tahun 1959 mulai berlaku pada 31
Desember 1959 ketika para pemimpin Masjumi yang bergabung dengan PRRI
telah memisahkan diri atau keluar dari Masjumi. Pimpinan partai baru yang
dipilih pada Kongres bulan April 1959, tidak menyebutkan seorangpun dari
orang yang terlibat dalam PRRI. Juga dikemukakan bahwa sejak 9 September
1959 cabang-cabang partai di wilayah PRRI telah dibekukan oleh pemerintah
dan hubungannya dengan pimpinan pusat partai telah terputus.190 Demikian pula
dengan jawaban PSI yang menyatakan bahwa pimpinan PSI tidak setuju dengan
adanya pemerintahan tandingan. Bahkan Sumitro Djojohadikusumo sudah
dikenakan skors.191
Terhadap pertanyaan keempat, tentang pemenuhan syarat-syarat
kepartaian, Masjumi menyampaikan jawaban bahwa masih cukup waktu bagi
Masjumi untuk memenuhi persyaratan tersebut karena kesempatan masih
diberikan sampai 31 Desember 1960. Selain itu, Masjumi juga menyatakan
bahwa Penpres Nomor 7 Tahun 1959 bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak
mengenal bentuk hukum Penetapan Presiden. Bahkan Penpres bertentangan
dengan jiwa Proklamasi.192
Karena jawaban pimpinan Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno,
pada 17 Agustus 1960 dikeluarkan Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang
membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang
membubarkan PSI.193 Keppres Nomor 200 Tahun 1960 menyatakan,
189 Ibid., hlm. 385.190 Ibid., hlm. 386.191 Rusdi, “Partai Sosialis Indonesia Dan Peranan Kepolitikannya 1948-1960”, (tesis
program studi ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, 1997), hlm. 218-219.
192 Deliar Noer, op.cit., hlm. 386.193 Jimly Asshiddiqie (2) , op.cit., hlm.181.
Universitas Indonesia
68
“Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian-bagian/tjabang- tabang/ranting-rantingnja diseluruh wilajah Negara Republik Indonesia.”
Demikian pula dengan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang menyatakan,
“Membubarkan Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian-bagian/tjabang- tabang/ranting-rantingnja diseluruh wilajah Negara Republik Indonesia.”
Kedua Keppres tersebut disampaikan kepada pimpinan masing-masing
partai dengan pengantar dari Direktur Kabinet Presiden, Mr. Tamzil,
bertanggal 17 Agustus 1960. Dalam paragraf kedua dan ketiga surat Direktur
Kabinet Presiden kepada Pucuk Pimpinan Partai Sosialis Indonesia, dinyatakan
sebagai berikut:
“Menurut ketentuan dalam pasal 9 ajat (2) Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan pasal 8 ajat (2) Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960, dalam waktu tiga puluh hari, terhitung mulai tanggal berlakunja Keputusan Presiden tersebut diatas, jaitu tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia diharuskan menjatakan partainja bubar dengan memberitahukan kepada Presiden seketika itu djuga.
Apabila tenggang waktu tiga puluh hari itu lampau tanpa pernjataan pimpinan Partai Sosialis Indonesia tersebut, maka Partai Sosialis Indonesia ialah perkumpulan terlarang (pasal 8 ajat (3) Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960).”
Oleh karena itu, dalam waktu tiga puluh kali dua puluh empat jam
terhitung mulai tanggal berlakunya Keppres tersebut, yaitu 17 Agustus 1960,
pimpinan Masjumi dan PSI diharuskan menyatakan partainya bubar dengan
memberitahukan kepada Presiden. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 9
ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Pasal 8 ayat (2) Perpres Nomor 13
Tahun 1960. Apabila dalam waktu tiga puluh hari tidak dilakukan pembubaran
partai, maka akan dinyatakan sebagai partai terlarang sebagaimana diatur dalam
Pasal 8 ayat (3) Perpres Nomor 13 Tahun 1960.
Soekarno, dalam amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi
dan PSI adalah karena kedua partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9
Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Bahkan dinyatakan pula bahwa Mahkamah
Agung saat itu juga berpendapat bahwa Masjumi dan PSI “terkena”
Universitas Indonesia
69
ketentuan tersebut. Oleh karena itu Soekarno memerintahkan pembubarannya.194
Hal itu juga dimuat dalam konsideran “Mendengar” pada kedua Keppres
tersebut. Alasan pembubaran karena keterlibatan Masjumi dan PSI dalam PRRI
juga dapat dilihat dalam konsideran “Menimbang” Keppres pembubarannya.
Dalam konsideran Keppres Nomor 200 tahun 1960 menyatakan sebagai berikut.
“bahwa untuk kepentingan keselamatan Negara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalam pemberontakan apa jang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau telah djelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan organisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkan perbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut;” 602
Alasan tersebut juga dapat dilihat dari konsideran “Mengingat” yang
mendasarkan pada Pasal 9 ayat (1) angka 3 Penpres Nomor 7 Tahun 1959
dan Pasal 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 baik pada Keppres Nomor 200
Tahun 1960 maupun pada Keppres Nomor 201 Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal
9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 anggota Masjumi dan PSI yang duduk sebagai
anggota MPRS, DPR-GR, dan DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan badan
tersebut sejak 17 Agustus 1960.
Pada 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masjumi menyatakan
partainya bubar. Pernyataan tersebut dipandang lebih baik dari pada bubar
dengan sendirinya dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Pilihan tersebut
didasari oleh pertimbangan bahwa jika ditetapkan sebagai partai terlarang, akan
menimbulkan kesulitan dan bahaya yang lebih besar terhadap anggota-
anggotanya.195 Selain itu, pimpinan partai terlarang menurut Pimpinan Pusat
Masjumi tidak mungkin membawa perkara tersebut ke pengadilan karena
kegiatan itupun akan dilarang. Selain itu, harta benda dan dokumen-dokumen
partai terlarang juga akan disita.196
Terhadap keputusan pembubaran Masjumi, Prawoto Mangkusasmito
meminta Mohamad Roem sebagai pengacara, mewakili kepentingan partai
mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hal itu karena tindakan Presiden
194 Sukarno, op.cit., hlm. 411.195 Syaifulla, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Jakarta: PT Pustaka Utama
Grafiti, 1997), hlm. 219-221.196 Deliar Noer, op.cit., hlm. 388.
Universitas Indonesia
70
tersebut dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan Penpres yang
mendasarinya adalah tidak sah. Oleh karena itu, segala tindakan yang didasarkan
pada Penpres tersebut adalah tindakan yang melawan hukum (onrechtmatige
overheidsdaad)serta dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan
(detournement de pouvoir). Namun, Pengadilan Jakarta pada 11 Oktober 1960
menyatakan tidak berwenang karena terkait dengan kebijakan politik
dalam soal konstitusi. Terhadap putusan tersebut diajukan banding, namun
tidak pernah diputuskan.197 Hal itu tentu terkait dengan kekuasaan Presiden
Soekarno yang saat itu sangat besar dan Ketua Mahkamah Agung kedudukannya
berada di bawah Presiden. Ketua Mahkamah Agung ditempatkan sebagai
Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga kedudukannya berada
di bawah Presiden.198
Setelah Masjumi dan PSI dibubarkan, perjuangan tokoh-tokohnya
dilakukan melalui Liga Demokrasi yang telah terbentuk sebelumnya, yaitu 24
Maret 1960. Liga Demokrasi pada awalnya merupakan liga dari tokoh-tokoh
partai dan organisasi yang anti komunis. Mereka terutama dari PSI, Masjumi,
NU, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Liga Muslimin, dan Anshor. Bahkan, Liga
Demokrasi secara diam-diam juga mendapat dukungan A.H. Nasution dari
Angkatan Darat. Namun, akhirnya Liga Demokrasi juga dibubarkan pada
Maret 1961 dengan alasan tidak sesuai dengan Manipol.199 Pada Januari 1962,
Sjahrir ditangkap dan ditahan tanpa diadili. Demikian pula dengan Imron
Rosjadi dan H.J. Princen yang dipenjarakan tanpa proses pengadilan.200
Selain pembubaran Partai Masjumi dan PSI, pada 5 Januari 1964
Presiden Soekarno membekukan Partai Murba melalui penerbitan
Keppres/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI No.1/KOTI/1965 dengan melarang
partai tersebut melakukan kegiatan apapun. Pembekuan tersebut dapat dilihat
sebagai bagian dari konflik antar partai politik, terutama antara PKI dengan
197 Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 190.
198 Bibit Suprapto, loc.cit.199 Rusdi, op.cit., hlm. 230.200 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi Abri,
diterjemahkan oleh Hasan Basri, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 288.
Universitas Indonesia
71
partai-partai yang menolak keberadaan dan praktik politik PKI. Banyak pihak
yang mensinyalir bahwa pembubaran partai Murba merupakan langkah PKI
untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.201
Sebenarnya, Partai Murba pada awal demokrasi terpimpin mendukung
gagasan sistem partai tunggal dengan mengutip dan menyerukan pernyataan-
pernyataan Soekarno. Gagasan tersebut juga dimaksudkan untuk membendung
kekuatan PKI. Namun gagasan itu tidak banyak mendapat dukungan termasuk
dari PKI. Gagasan partai tunggal dituduh PKI sebagai usaha merongrong Front
Nasional untuk kepentingan Inggris, Amerika, dan Malaysia.202
Pada 1 September 1964, pers yang condong terhadap Partai Murba
membentuk Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme (BPS).203 BPS
mempertanyakan apakah orang-orang komunis adalah penganut Pancasila sejati
yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap pertanyaan
tersebut, PKI menyatakan bahwa ajaran Presiden Soekarno tidak dapat dipahami
dari sisi yang anti-komunis karena Presiden Soekarno
menentang Komunistofobi.204
Proses pembekuan Partai Murba diawali dengan ditemukannya
dokumen rahasia PKI berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini
(1963)”. Dokumen tersebut berisi program jangka pendek dan penilaian situasi,
serta rencana aksi dan tujuan akhir PKI. Dalam dokumen tersebut dinyatakan
bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal karena tidak dipimpin oleh orang-
orang komunis dan tidak menciptakan demokrasi rakyat. Oleh karena itu revolusi
disiapkan dengan cara merebut pimpinan dari kaum borjuis. Kondisi saat itu
dinilai oleh PKI sudah cukup kuat untuk mengambil alih pimpinan revolusi.205
Dokumen rahasia tersebut jatuh ke tangan Partai Murba. Oleh tokoh
Murba, Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh, diserahkan kepada Ketua PNI Ali
201 “Pembubaran Partai Murba”, http://majalengkanews.com/pembubaran-partai-murba/, diunduh pada 1 Desember 2015.
202 Ibid., hlm. 318.203 Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, (Jakarta: Antar Kota,
1988), hlm. 141.204 Komunistofobi adalah perasaan takut yang berlebihan terhadap paham komunisme.205 Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 10-11.
Universitas Indonesia
72
Sastroamidjojo yang selanjutnya disampaikan pada sidang kabinet bulan
Desember 1964. Terhadap dokumen tersebut, PKI menyatakan bantahan dan
menganggap sebagai buatan kaum trotskis yang dibantu oleh kekuatan neokolim
untuk menghancurkan PKI.206
Walaupun mendapatkan bantahan, partai-partai politik banyak yang bertambah menaruh curiga terhadap PKI. Namun PKI dapat meyakinkan Presiden Soekarno bahwa dokumen tersebut palsu. Presiden Soekarno lalu memanggil pimpinan partai-partai politik di Istana Bogor serta memerintahkan untuk menyelesaikan persengketaan antar partai. Pada 12 Desember 1964, sepuluh partai politik menandatangani “Deklarasi Bogor” yang menganggap permasalahan dokumen tersebut selesai dan akan memelihara persatuan nasional atas dasar Pancasila, Manipol USDEK, dan rumusan Nasakom.207
Namun, pada 17 Desember 1964, Presiden Soekarno membubarkan BPS
yang dianggap menyelewengkan ajaran Soekarno dan memecah-belah persatuan
Nasakom. Hal itu diikuti dengan pembekuan Partai Murba pada 5 Januari 1965
dengan Keppres Nomor 291 Tahun 1965. Pembekuan tersebut diikuti dengan
pembekuan anggota DPRGR dari Partai Murba berdasarkan Keppres No.
21 Tahun 1965 serta penangkapan tokoh Murba, Sukarni.208
Setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965 dan terdapat bukti-bukti
bahwa PKI berada di belakang peristiwa tersebut, Mayjen Soeharto selaku staf
Koti membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya. Kebijakan tersebut dijalankan
oleh para panglima di daerah. Pada 12 November 1965 Mayjen Soeharto
mengeluarkan Instruksi Hankam Nomor 1015/65 tentang pembersihan personel
yang terlibat atau terindikasi terlibat G30S/PKI. Untuk pegawai negeri sipil,
dikeluarkan pula Instruksi Koti Nomor 22/65.
Pada 10 Oktober 1965, Menko Hankam/KSAB Jenderal A.H Nasution
mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang memberikan usul penyelesaian
peristiwa G30S/PKI. Salah satu sarannya adalah segera dilakukan sidang
Mahkamah Militer dan menjalankan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 terhadap PKI 206 Ibid., hlm.11.207 Ibid.208 Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1994), hlm.81.
Universitas Indonesia
73
dan partai politik lain yang terlibat.209
Presiden Soekarno masih mengupayakan agar PKI tidak dibubarkan.
Dalam pidatonya 21 Desember 1965, Presiden Soekarno menyatakan “Gestoknja
harus kita hantam, tapi komunisnja tidak bisa, karena adjaran komunis itu adalah
hasil keadaan objektif dalam masjarakat Indonesia seperti halnja nasionalis dan
agama.” Bahkan, untuk mengimbangi kekuatan KAMI dan KAPPI yang
menuntut pembubaran PKI, pada 17 Januari 1966 Menteri Penerangan Achmadi
menyelenggarakan rapat Barisan Soekarno dengan tenaga inti dari Universitas
Bung Karno.210
Upaya pembersihan PKI juga dilakukan di dalam DPRGR. Pimpinan
DPRGR pada November 1965 membekukan keanggotaan DPRGR fraksi PKI
yang tertuang dalam Keputusan Pimpinan DPRGR Nomor 10/Pimp/I/65-66 dan
disusul dengan Keputusan Nomor 13/Pimp/I/1965-1966. Berdasarkan dua
keputusan pimpinan DPRGR tersebut, 62 anggota DPRGR dibekukan sehingga
jumlah anggota DPRGR menjadi 237 orang. Keputusan itu didukung oleh hasil
Sidang Paripurna DPRGR yang diselenggarakan pada 15 November 1965.211
Dalam perkembangannya, tuntutan pembubaran PKI serta melenyapkan
kekuatan-kekuatan yang dipandang bertentangan dengan Pancasila semakin
menguat. Pada 4 Mei 1966 beberapa partai politik dan organisasi
menandatangani piagam pembentukan front Pancasila. Partai-partai politik dan
organisasi tersebut adalah NU, PSII, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Perti,
Muhammadiyah, Soksi, Gasbiindo (Gabungan Serikat Buruh Industri Indonesia),
dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).212 Setelah dikeluarkannya
Supersemar, Letjend Soeharto membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 melalui
Keppres Nomor 1/3/1966. Keputusan tersebut ditandatangani oleh Letjen
Soeharto atas nama Presiden berdasarkan Surat Perintah 11 Maret.
Pertimbangan adanya keputusan pembubaran PKI, sebagaimana
tertuang dalam konsideran Keppres Nomor 1/3/1966 adalah karena munculnya 209 Nugroho Notosusanto (2), Pejuang dan Prajurit, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,
1991), hlm. 122.210 A.H Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, (Djakarta: PT Seruling Masa,
1967) hlm.78-80211 Muchtar Pakpahan, op.cit., hlm. 71-79.212 Nugroho Notosusanto (1), op.cit., hlm. 27.
Universitas Indonesia
74
aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30 September” PKI, berupa fitnah,
hasutan, desas-desus, adu domba, dan upaya penyusunan kekuatan bersenjata.
Aksi-aksi tersebut dipandang mengakibatkan terganggunya keamanan rakyat dan
ketertiban. Dalam konsideran “Memerhatikan” keputusan itu juga disebutkan
putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh gerakan 30
September/PKI sebagai salah satu dasar pertimbangan. Terhadap putusan itu
Presiden Soekarno memberikan teguran dan memerintahkan pelaksanaan
Supersemar dalam arti secara teknis saja dan tidak mengambil keputusan d luar
hal yang bersifat teknis.213
Keputusan pembubaran PKI dikukuhkan dengan Ketatapan MPRS
Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Indonesia bagi
Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan atau Menyebarkan atau
Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.
Ketetapan tersebut diputuskan pada 5 Juli 1966. Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor
XXV/MPRS/1966 menyatakan sebagai berikut :
“Menerima baik dan menguatkan kebijaksaanaan Presiden/Pangilma Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No.1/3/1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.”
Dalam ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa yang dibubarkan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang tidak hanya PKI di seluruh wilayah Indonesia
saja, melainkan semua organisasi yang berada di bawahnya, bernaung,
berlindunga, bahkan yang seasas dengan PKI, yaitu yang memiliki asas
komunisme atau marxisme-leninisme juga dibubarkan dan dinyatakan sebagai
organisasi terlarang.
Keppres Nomor 1/3 1966 tentang Pembubaran PKI tidak dibuat
213 A.H Nasution, op.cit., hlm. 77.
Universitas Indonesia
75
berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960
yang telah diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960, walaupun sebelumnya
A.H Nasution menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk segera menerapkan
peraturan tersebut terhadap PKI. Dalam konsideran Keppres Nomor 1/3/1966
yang disebut sebagai dasar hukum adalah Supersemar. Dalam keputusan tersebut
juga tidak disebutkan adanya pertimbangan berdasarkan pendapat Mahkamah
Agung.214
Alasan pembubaran PKI juga tertuang dalam huruf a dan b konsideran
“Menimbang” Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, yaitu sebagai berikut
:215
”Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada
inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;
Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.”
Berdasarkan bunyi konsideran tersebut, terdapat dua alasan pembubaran
PKI, yaitu terkait dengan ideologis atau asas, dan terkait dengan kegiatan.
Terkait dengan ideologi dan asas, alasannya adalah karena paham atau ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila sebagai
ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan pada tingkat kegiatan, dinyatakan bahwa
orang atau golongan yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-
Leninisme, khususnya PKI, telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan
pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh karena itu, dalam
penjelasan dikatakan bahwa dipandang wajar untuk tidak memberikan hak hidup
bagi PKI di Indonesia dan bagi kegiatan untuk mengembangkan dan
menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
214 Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 205.
215 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan MPRS RI tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966.
Universitas Indonesia
76
Pembubaran PKI diikuti dengan penangkapan menteri-menteri yang
diduga terlibat PKI, di antaranya adalah Dr. Soebandrio, Dr. Chaerul Saleh, Ir.
Setiadi Reksodiputro, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Ir. Surahman, Jusuf Muda Dalam,
Armunanto, Sumarto Martopradoto, Astrawinata, Mayjen Achmadi, Drs. Moch.
Achadi, Letkol Inf. Moh Sjafei, J. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarno.
Pembubaran PKI sebagai partai politik dan pernyataan sebagai organisasi
terlarang, juga diikuti dengan larangan bagi bekas anggota PKI dan organisasi
massanya yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam G30S/PKI untuk
mengikuti pemilihan umum, baik memilih ataupun dipilih. Hal itu untuk pertama
kali diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun
1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan
Perwakilan Rakyat, sebagai berikut:
1. Warga negara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang
Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanja atau jang
terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan kontra Revolusi
G30S/PKI.”, atau organisasi telarang lainnja tidak diberi hak untuk
memilih dan dipilih;
2. Organisasi-organisasi dilarang mentjalonkan orang jang tidak diberi hak
untuk memilih dan dipilih serperti jang dimasuk dalam ajat (1) .
Penghapusan dan pencabutan hak untuk memilih dan dipilih saat itu
dimaksudkan sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak dikhianati lagi dalam
bentuk gerilya politik dan ekonomi.216 Bahkan sebelum dibubarkan dan
dinyatakan sebagai partai terlarang, telah dilakukan pembersihan terhadap
anggota dan pimpinan PKI yang menjadi anggota DPRGR, MPRS, serta
DPRDGR, maupun yang duduk dalam organisasi pemerintahan.
Selain pembubaran PKI, juga dilakukan pembekuan terhadap Partindo.
Partindo adalah partai massa. Dimana sering mengadakan propaganda dalam
rapat untuk memperoleh massa pengikut. Sesuai dengan cara kerja Partai
Nasional Indonesia, Partindo mengarahkan kegiatannya pada pembentukan
massa-aksi. Tujuan utama Partindo adalah mencapai kemerdekaan. Untuk tujuan
tersebut, diperlukan kesatuan barisan kulit berwarna yang harus menghadapi
216 Muchtar Pakpahan, op.cit., hlm. 80.
Universitas Indonesia
77
pemerintahan asing. Kesatuan kulit berwarna yang dimaksud oleh Partindo
adalah dengan tidak memperhitungkan kelas dan kepercayaan, seperti dinyatakan
dalam siarannya tanggal 1 Mei 1931 sebab musuh utama dalam perjuangan
kemerdekaan adalah imperialisme. Oleh sebab Partindo dinilai berbahaya oleh
pemerintah karena massa aksinya dan PNI baru karena ideologinya, terlebih lagi
Partindo pada dasarnya memiliki kedekatan dengan PKI.217 Hal itu misalnya
ditujukan dengan adanya dukungan Partindo terhadap program-program PKI.
Dalam Kongres Partindo Januari 1964, Partindo menyetujui resolusi-resolusi
yang bunyinya memiliki kemiripan dengan program PKI.
Sebelum dibekukan, Partindo memiliki satu wakil di DPRGR
berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960. Namun karena dinilai terbukti
terlibat dalam peristiwa G30S/PKI dan memiliki kedekatan dengan PKI, anggota
DPRGR dari Partindo diberhentikan dengan Keppres Nomor 57 Tahun 1968.
Sebelumnya, Pangdam V/Jaya telah melarang anggota dan orgmas partindo
melakukan kegiatan.
Pada masa selanjutnya yakni reformasi terdapat empat gugatan yang
ditujukan kepada partai Golkar. Di antara keempat gugatan tersebut, terdapat dua
gugatan yang meminta pembubaran Partai Golkar, yakni Perkara No.
01.G/WPP/2000 dan Perkara No.02/G/WPP 2001. Gugatan pertama yang
meminta pembubaran Partai Golkar diajukan oleh Partai Keadilan dan Persatuan
dan beberapa penggugat lain kepada Mahkamah Agung yang diregistrasi dengan
Perkara No.01.G/WPP/2000.
Penggugat meminta agar membekukan atau membubarkan Partai Golkar
atau setidak-tidaknya mencabut hak Partai Golkar ikut dalam pemilu 1999
dengan segala akibatnya termasuk menyatakan hasil suara dan kursi yang
diperolehnya tidak sah dan dibatalkan. Hal itu karena Partai Golkar dinilai telah
melanggar UU Parpol, khususnya Pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang batas
maksimal sumbangan yang dapat diterima partai politik dan Pasal 9 huruf e yang
mengatur kewajiban partai politik menyukseskan penyelenggaraan pemilu secara
demokratis, jujur dan adil.218
217 Slamet Muljana (1), op.cit., hlm. 208.218 O.C. Kaligis dan Associates, Partai Golkar Digugat, (Jakarta: Otto Cornelis Kaligis,
2001), hlm. 3 – 184.
Universitas Indonesia
78
Partai penggugat menyebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan Partai
Golkar adalah telah menerima sumbangan sebesar 15 miliar rupiah dan dana
kasus Bank Bali.219 Partai Golkar juga dituduh melakukan money politic,
melakukan tindakan paksaan dan tekanan psikologis untuk memengaruhi
pemilih, menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial, mencuri star kampanye
dan pelanggaran lainnya.
Majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut adalah H. German
Hoediarto, H.P. Panggabean, H. Usman Karim, Ahmad Syamsudin, dan O.K
Joesli. Putusan dibacakan pada 13 Maret 2000. Dalam putusan tersebut
dinyatakan bahwa perkara ini berkaitan dengan Perkara No.
521/PDT.G/1999/PN.JKT.PST. Untuk mencegah terjadinya putusan yang
bertentangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara No. 01.G/WPP/2000
belum waktunya diajukan ke Mahkamah Agung sehingga gugatan dinyatakan
tidak dapat diterima. Meskipun demikian, dalam amar putusannya Mahkamah
Agung juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili perkara
tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.
Pada 2001, tuntutan Pembubaran Partai Golkar yang dianggap sebagai
kekuatan Orde Baru dan menghambat proses reformasi semakin meningkat.
Tuntutan-tuntutan tersebut disampaikan melalui berbagai demonstrasi oleh
unsur-unsur mahasiswa dan masyarakat.220 Tuntutan tersebut kemudian
mengerucut kepada langkah hukum berupa gugatan yang diajukan kepada
Mahkamah Agung.
Pihak yang mengajukan gugatan adalah Pijar Indonesia mewakili
sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat anti Orde-Baru antara lain Rakyat
Bergerak, Paguyuban Korban Orde Baru, Gabungan Serikat Buruh Indonesia,
Front Indonesia Semesta, dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri
Korban Rezim Orde baru. Gugatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan
Perkara No.02.G/WPP/2001.
219.Nay, “Melanggar UU Parpol, Golkar Digugat untuk Bubar”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2806/melanggar-uu-parpol-golkar-digugat-untuk-bubar, diunduh pada 2 Desember 2015.
220.YYT, “Demonstrasi Menuntut Golkar Dibubarkan Semakin Marak”, http://news.liputan6.com/read/7593/demonstrasi-menuntut-golkar-dibubarkan-semakin-marak, diunduh pada 2 Desember 2015.
Universitas Indonesia
79
Para penggugat mengajukan gugatan agar Partai Golkar dibekukan dan
dibubarkan atau dicabut haknya untuk mengikuti pemilihan umum karena
menerima sumbangan melebihi ketentuan undang-undang. Hal ini masih terkait
dengan perkara sebelumnya yaitu dana Partai Golkar yang diduga dari kasus
Bank Bali. Ketentuan yang dilanggar di antaranya adalah sumbangan yang boleh
diterima parpol sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah Rp.
15.000.000. dari sumbangan perorangan dan Rp. 150.000.000. dari perusahaan
atau badan dalam waktu satu tahun. Tetapi, sesuai laporan PwC, Partai Golkar
menerima dana Rp. 15.000.000.000. dari kasus Bank Bali melalui Gauk Jarre.221
Dana kepada Partai Golkar tersebut dalam gugatan disalurkan melalui
anggota DPR yang mewakili Golkar, seperti Didi F. Korompis, Freddy
Latumahina, Lukito, dan Marimutu Manimaren. Selain itu, Partai Golkar juga
menerima sumbangan dari A.A Baramuli sebesar Rp. 1.000.000.000,00 yang
diterima pengurus Golkar di Sulawesi Selatan dan dana dari Badan Usaha
Logistik sebesar Rp. 90.000.000.000. Penggugat menyatakan bahwa berdasarkan
fakta tersebut Majelis Hakim selayaknya menyatakan Partai Golkar telah
melanggar UU Nomor 2 Tahun 1999. Untuk itu Majelis Hakim diminta
mencabut hak Partai Golkar mengikuti pemilu 2004. Seain itu, dengan menerima
dana dari Bulog dan dari kasus Bank Bali, menunjukan bahwa Partai Golkar
tidak adil dan tidak jujur pada proses pemenangan pemilu 1999, penggugat
meminta Mahkamah Agung memutuskan Partai Golkar melanggar Pasal 9 huruf
(e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Oleh arena itu, MA diminta
memubarkan atau setidak-tidaknya membekukan Partai Golkar.222
Penggugat telah membangun konstruksi hukum bahwa pelanggaran batas
sumbangan kepada partai politik yang diterima Partai Golkar mengakibatkan
partai tersebut melanggar kewajiban partai politik. Kewajiban tersebut antara lain
untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur,
dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung,
umum, bebas dan rahasia. Pelanggaran terhadap kewajiban itu menjadi dasar
pembekuan atau pembubaran partai politik berdasarkan Pasal 17 ayat (2)
221TRA, “Gugatan Pembubaran Golkar Disidangkan”, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/06/01/0064.html, diunduh pada 2 Desember 2015.
222 Ibid.
Universitas Indonesia
80
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Akan tetapi sayangnya tidak ada bukti
yang menguatkan pelanggaran tersebut sehingga konstruksi tersebut tidak dapat
dipertahankan.223
Pada penjelasan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999
dikatakan bahwa sebelum proses peradilan pembekuan atau pembubaran partai
politik, Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali
bertutut-turut dalam waktu 3 bulan. Penjelasan dimaksud tentu terkait dengan
pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang dapat berujung pada
proses peradilan pembubaran partai politik. Gugatan tersebut diputuskan pada 31
Juli 2001 oleh Majelis Hakim yang terdiri atas Asma Samik sebagai Hakim
Ketua dan para Hakim Anggota adalah Tjung Abdul Mutallip, Abdul Rahman
Saleh, Artidjo Alkostar dan Muhammad Laica Mazuki. Putusan Majelis Hakim
menyatakan menolak gugatan membekukan atau membubarkan Partai Golkar
karena tidak cukup bukti yang menunjukan bahwa Golkar telah melanggar
batasan dan aturan pendanaan pemilihan umum. Berdasarkan putusan MA
tersebut, proses pembubaran partai poltik dalam praktiknya dapat dilakukan
tanpa melalui peringatan tertulis yang dikeluarkan oleh MA, tetapi melalui
gugatan pihak ketiga. Amar putusan menolak gugatan, namun putusan tersebut
telah memberikan hak kepada partai lain, bahkan setiap orang untuk mengajukan
gugatan pembubaran partai politik tertentu.224
Selain gugatan mengenai pembubaran partai politik, pada masa reformasi
tepatnya pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikeluarkan
Maklumat yang membubarkan Partai Golkar. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi
oleh konflik politik yang terjadi antara Presiden dengan parlemen terkait dengan
berbagai permasalahan, terutama Memorandum yang diajukan oleh DPR terkait
dengan dugaan keterlibatan Presiden pada kasus dana Yanatera Bulog dan
bantuan Sultan Brunei Darrusalam.225
Ketegangan hubungan antara Presiden dan DPR juga disebabkan oleh
kebijakan Presiden yang dinilai oleh DPR kontroversial. Kebijakan tersebut
223 Ali Safa’at, op.cit., hlm. 280.224 Ibid., hlm. 381.225 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Buloggate dan Bruneigate DPR RI,
(Jakarta: Pansus Buloggate dan Bruneigate DPR RI, 2001), hlm. 12-35.
Universitas Indonesia
81
antara lain adalah pemberhentian Menteri Negara Penanaman Modal dan
Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi dari PDIP dan pemberhentian Menteri
Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dari Golkar di kabinet.226 Bahkan di
tengah situasi krisis politik menjelang Sidang Istimewa MPR, Presiden Wahid
juga menonaktifkan Kapolri Jenderal Polisis S. Bimantoro dan menggantikannya
dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Kebijakan tersebut dinilai
melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 yang
mengharuskan adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan Kapolri.
Pada 21 Juli 2001 tepatnya Pukul 01.05 WIB, Presiden Abdurrahman
Wahid sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI
mengeluarkan Maklumat dan meminta TNI dan Polri mengamankan pelaksanaan
Maklumat 23 Juli 2001. Maklumat itu berisi pernyataan pengembalian
kedaulatan ke tangan rakyat Indonesia; pembekuan MPR dan DPR;
pembentukan badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan
umum dalam waktu satu tahun; serta penyelamatan gerakan reformasi Presiden
total dan pembekuan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah
Agung.
Terkait dengan pembekuan Partai Golkar, berdasarkan Maklumat
Presiden 21 Juli 2001 disimpulkan bahwa alasan pembekuan tersebut adalah
untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde
Baru. Partai Golkar dianggap sebagai unsur Orde Baru yang menghambat
gerakan reformasi total. Walaupun telah terdapat Maklumat yang membubarkan
MPR, namun MPR tetap melaksanakan Sidang Istimewa yang didahului dengan
permintaan fatwa yang diajukan oleh Ketua DPR dengan Surat Nomor
KS02/3709.A/DPR-RI/2001 tertanggal 23 Juli 2001 yang ditujukan kepada
Ketua Mahkamah Agung. Surat tersebut langsung dijawab pada pagi hari yang
sama oleh Ketua Mahkamah Agung dengan surat Nomor KMA 419/7/2001 yang
dibacakan pada Sidang Istimewa hari itu.227
Surat Mahkamah Agung pada dasarnya menjawab tiga pokok
permasalahan yang diajukan terkait dengan Makulmat Presiden 21 Juli 2001.
226 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 199.227 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indinesia, (Jakarta:
PSHTN FHUI, 2003) hlm.252.
Universitas Indonesia
82
Salah satunya adalah perihal pembekuan Partai Golkar sambil menunggu
putusan MA. Pada bagian ini, surat MA menyatakan bahwa kewenangan untuk
membekukan partai politik ada pada MA berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Tindakan membekukan Partai
Golkar oleh Presiden merupakan tindakan mencampuri badan peradilan, sebab
dibekukan atau tidaknya Partai Golkar pada saat itu sedang dalam proses
peradilan di MA. Selain itu dinyatakan pula bahwa dalam tindakan pembekuan
Partai Golkar oleh Presiden tidak dijelaskan secara cermat tentang pertimbangan
yang menjadi alasan pembubaran. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas
hukum administrasi bahwa motivasi dan pertimbangan keputusan administratif
harus jelas.228
Pada sidang istimewa tanggal 23 Juli 2001 dikeluarkanlah Ketetapan
Nomor I/MPR/2001 yang menyatakan bahwa Maklumat Presiden 21 Juli 2001
tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan
hukum. Jika dilihat dari sisi normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 yang berlaku saat itu, wewenang pembekuan partai politik memang
ada di tangan Mahkamah Agung melalui proses pengadilan dan setelah
Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali bertutut-
turut dalam waktu 3 bulan. Dengan demikian, Maklumat Presiden yang
membekukan Partai Golkar tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999.
Intinya pada saat reformasi pembubaran partai politik tidak lagi
merupakan wewenang pemerintah atau Presiden, tetapi merupakan wewenang
pengadilan melalui proses peradilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung. Pasca
Perubahan UUD 1945 yang berwenang memutus pembubaran partai politik
adalah Mahkamah Konstitusi. Peraturan selanjutnya diatur dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.
Kedua Undang-undang ini sesuai dengan prinsip pembubaran partai politik yaitu
pembubaran sebagai salah satu bentuk pembatasan kebebasan berserikat dalam
negara hukum dan demokrasi yang harus dilakukan berdasarkan keputusan
228 Ibid.
Universitas Indonesia
83
yudisial melalui due process of law and fair trial. Pemerintah berdasarkan
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya berperan sebagai pemohon.229
Alasan pembubaran partai politik pada awalnya menurut Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 1999 dirumuskan meliputi banyak aspek, tidak hanya
pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban, melainkan juga terhadap
persyaratan pendirian. Persyaratan tersebut dirumuskan semakin spesifik dalam
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yaitu terkait dengan ideologi
komunisme/Marxisme-Leninisme. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 alasan pembubaran terkait dengan konstitusionalitas partai politik,
yaitu jika ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik bertentangan
dengan UUD 1945.230
2.3 Pembubaran Partai Politik Di Beberapa Negara
Pengaturan partai politik di suatu negara sangat dipengaruhi oleh
kecendrungan hukum nasional dalam menempatkan partai politik, apakah lebih
sebagai organisasi privat ataukah sebagai organisasi publik. Hal itu terkait juga
dengan paradigma pengaturan hak politik yang dianut seperti paradigma
managerial, progresif, dan pluralist yang cenderung menempatkan partai politik
sebagai organisasi publik yang perlu diatur oleh negara. Sedangkan paradigma
libertarian dan political market, lebih memposisikan partai politik sebagai
organisasi privat, sehingga hukum negara tidak terlalu banyak mengatur.231
Negara-negara yang menganut paradigma partai politik sebagai organisasi
privat adalah Inggris dan Amerika Serikat. Dimana di Inggris, ketentuan tentang
partai politik hanya ada terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum, yaitu
ketentuan pendaftaran dan pendanaan yang diatur dalam Political Parties,
Election and Referendum Act 2000. Sama halnya dengan di Amerika, partai
politik masih ditempatkan sebagai organisasi privat dimana tidak ada ketentuan
khusus yang mengatur tentang partai politik, kecuali terkait dengan pelaksanaan
pemilihan umum, khususnya terkait dengan pendanaan kampanye dari 229 Ibid., hlm. 289.230 Ibid., hlm. 290.231 Ali Safa’at, op.cit., hlm. 80.
Universitas Indonesia
84
masyarakat, serta penggunaan media dalam melakukan kampanye.232Sementara itu
ada negara-negara yang menempatkan partai politik sebagai organisasi publik
mengingat peran dan fungsinya dalam kehidupan bernegara. Konsekuensinya,
banyak ketentuan hukum yang mengatur tentang partai politik, bahkan sampai
tertuang dalam konstitusinya seperti di negara-negara Eropa Barat dan negara-
negara demokrasi yang baru.233
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muchamad Ali Safa’at
dalam disertasinya, dari total 132 konstitusi negara di dunia, terdapat 72 konstitusi
negara yang menyebut partai politik. Dimana dari 72 konstitusi negara yang
mengatur tentang partai politik, terdapat 23 konstitusi negara yang mengatur
pembubaran partai politik yakni Afganistan, Albania, Algeria, Angola,
Azerbaijan, Chile, Cape Verde, Ceko, Armenia, Islandia, Georgia, Jerman,
Macedonia, Mauritania, Moldova, Korea Selatan, Paraguay, Polandia, Rumania,
Slovenia, Spanyol, Turki dan Ukraina. Dari total 23 konstitusi negara yang
mengatur tentang pembubaran partai politik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga
kelompok, yaitu yang menyatakan diatur dengan aturan hukum, diputuskan oleh
pengadilan atau prosedur yustisial, dan yang secara tegas menyatakan
pembubaran partai politik merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.234
Pada penelitian ini Penulis memilih tiga negara untuk diteliti yakni negara
Jerman, Korea Selatan dan Slovenia. Dalam pembentukan lembaga Mahkamah
Konstitusi di Indonesia, negara Jerman menjadi salah satu prototipenya. Terlebih
lagi dalam praktek pembubaran partai politik di Negara Jerman memiliki
kesamaan dengan Indonesia yakni dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selain
itu juga terdapat banyak bahan yang membahas mengenai pembubaran partai
politik di negara Jerman, sehingga Penulis tertarik untuk menelitinya lebih jauh.
Sedangkan alasan dipilihnya negara Korea Selatan, pertama dikarenakan
Indonesia dalam Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Mahkamah
232 Elyssa Wong, Systems of Government in Some Foreign Countries: The United Kingdom, Research and Library Services Division Legislative Council Sekretariat, Hongkong,11 April 2000.
233 Katz and Mair, How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democratie, (London: Sage Publications, 1994), hlm. 7-10.
234 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 89.
Universitas Indonesia
85
Konstitusi dengan tegas mengikuti model dari Mahkamah Konstitusi Korea
Selatan dimana Mahkamah Konstitusi dibentuk secara khusus berbeda dengan
Mahkamah Agungnya, akan tetapi keduanya tetap menjadi bagian dari kekuasaan
kehakiman yang memiliki hubungan sejajar. Selain itu, tugas dan wewenangnya
juga mirip dengan Korea Selatan dimana terdapat perbedaan fungsi dan
kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusinya.235
Sedangkan dipilihnya Slovenia, karena negara Slovenia adalah satu-satunya
negara di dunia yang memberikan Legal Standing pembubaran partai politik
kepada setiap orang dalam mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.
2.3.1 Pembubaran Partai Politik di Negara Jerman
Republik Federal Jerman sebagai salah satu negara yang terletak di Eropa
Barat menganut demokrasi liberal dengan sistem multi partai.236 Negara dengan
nama resmi Bundesrepublik Deutschland atau Federal Republik of Germany ini
menerapkan sistem demokrasi parlementer dengan Kanselir sebagai kepala
pemerintahan federal dan Presiden sebagai kepala negara. Jerman pasca Perang
Dunia ke-2 menggunakan Basic Law 1949 sebagai konstitusi yang mengatur
sistem kenegaraan dan sistem pemerintahannya. Sistem demokrasi parlementer
dengan kombinasi multi partai telah membuka ruang bagi berdirinya partai-partai
politik dengan beragam ideologi. Di Jerman sendiri terdapat beberapa partai
politik yang selalu memperoleh suara signifikan dalam pemilihan umum yakni:
Sozialdemokratische Partei Deutschlands atau Social Democratic Party of
Germany (SPD), Christlich Demokratische Union Deutschlands atau Christian
Democratic Union (CDU), dan Christlich-Soziale Union in Bayern atau Christian
Social Union (CSU).237
Jerman merupakan negara federasi yang terdiri dari enam belas negara
bagian (lander) yang menerapkan sistem parlemen dua kamar atau bikameral.
Pada tingkat federal terdapat majelis rendah (Bundestag) sementara perwakilan 235 Tim Konstitusi, Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,
hlm.10.236 Pieter Vanhuysse and Achim Goerres, Agein Populations In Post-Industrial
Democracies: Comparative Studies of Policies and Politics, (Oxon: Routledge, 2012), hlm. 63.237 Hari Poerna Setiawan, “Kebijakan Luar Negeri Jerman Dalam Merespon Isu
Perubahan Iklim Global (Periode 1997-2007), (tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2008), hlm.21.
Universitas Indonesia
86
negara bagian ditampung dalam majelis tinggi (Bundesrat). Bundestag merupakan
parlemen tingkat federal yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui
pemilihan umum. Fungsi Bundestag adalah memilih Kanselir yang akan
menjalankan tugas sebagai kepala pemerintahan, membentuk undang-undang
bersama pemerintah serta mengawasi jalannya pemerintahan federal. Bundesrat
adalah semacam Senat yang anggotanya berfungsi memperjuangkan kepentingan
dari masing-masing negara bagian dalam proses legislasi di tingkat federal.
Anggota Bundesrat berasal dari delegasi 16 negara bagian dengan pembagian
secara proporsional. Bundesrat juga menjadi bagian dalam proses pengambilan
keputusan dalam pembuatan kebijakan pemerintah federal bersama Bundestag.238
Partai politik merupakan pilar utama dalam sistem politik Jerman sebab
berfungsi untuk memfasilitasi kehendak politik rakyat. Jerman mengakui partai
politik sebagai instrumen yang dibutuhkan secara konstitusional dalam
pembentukan kemauan politik rakyat dan diangkat sesuai dengan lembaga.
Namun demikian, partai-partai bukanlah merupakan lembaga-lembaga pemerintah
dalam arti yang sebenarnya. Pasal ini juga memberikan jaminan perlindungan dan
pengakuan yang kuat terhadap partai politik, oleh karena statusnya yang khusus
dalam konstitusi. Bahkan tidak ada seorang yang yang boleh menyatakan suatu
partai bertentangan dengan konstitusi, kecuali diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi Republik Federal Jerman. Bahkan keistimewaan partai politik di
Jerman juga terlihat ketika MK Jerman, menafsirkan Pasal 19 bagian 3 Undang-
Undang Dasar Republik Federal Jerman yang menyatakan bahwa hak-hak dasar
juga berlaku bagi badan-badan hukum dalam negeri sejauh mana sesuai dengan
keberadannya hal itu dapat diterapkan. Atas ketentuan pasal ini, MK Jerman
memutuskan bahwa kemerdekaan mengeluarkan pendapat bukan hanya milik
setiap orang, tetapi juga hak ini diberikan kepada partai politik sebagai corong
kemauan politik masyarakat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 21 Konstitusi Jerman
238 German Federal Foreign Office, “Facts about Germany”, Frankfurt/Main, incollaboration with the German Federal Foreign Office, (Berlin: Societäts-Verlag, 2008), hlm. 61-67.
Universitas Indonesia
87
bahwa partai politik berperan dalam pembentukan kehendak rakyat.239 Dalam
Konstitusi Jerman, partai politik diatur dalam Pasal 21 sebagai berikut:
“(1) The political parties participate in the forming of the political will of the people.They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They have to publicly account for the sources and use of their funds and for their assets.
(2) Parties Which, by reason of their aims or the behaviour of their adhrents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality.
(3) Details are regulated by federal statutes.”
Berdasarkan ketentuan diatas, dapat diketahui bahwa dasar pembubaran
partai politik di negara jerman adalah apabila tujuan atau perilaku pengikutnya
yang tidak sesuai atau berupaya menghapuskan tatanan dasar demokrasi, atau
membahayakan eksistensi negara Republik Federal Jerman. Pembubaran
dilakukan dengan menyatakan bahwa partai politik yang dimaksud bertentangan
dengan konstitusi (unconstitutional). Kewenangan untuk menyatakan suatu partai
politik bertentangan dengan konstitusi terdapat di lembaga Mahkamah Konstitusi
Jerman. Sebagaimana yang tertuang dalam Article 21 ayat (3) Basic Law Jerman,
pengaturan lebih lanjut tentang partai politik diatur dalam undang-undang federal
dan undang-undang yang dimaksud adalah Parteiengesetz (Political Parties Act)
yang ditetapkan pada 24 Juli 1967 dan telah beberapa kali mengalami perubahan
terakhir pada 31 Januari 1994.240
Undang-Undang tersebut dibuat untuk memperbaiki kesalahan utama pada
masa Republik Weimar yang mentoleransi partai ekstrim dan cendung merusak
demokrasi sehingga memunculkan rejim Hitler. Berpijak pada pengalaman masa
lalu itu, penyusun konstitusi Jerman berpendapat bahwa negara tidak akan pernah
dapat netral menghadapi musuh yang akan menghacurkannya. Untuk itu, upaya
menghancurkan negara demokrasi dengan sendirinya bertentangan dengan
239 Jerman, “Basic Law for The Federal Republic of Germany”, diunduh melalui https://www.btg-bestellservice.de/pdf/80201000.pdf.
240 Jerman, “Political Parties Act of 24 July 1967”, diunduh melalui https://www.bundestag.de/blob/189734/2f4532b00e4071444a62f360416cac77/politicalparties-data.pdf.
Universitas Indonesia
88
demokrasi dan harus dihadapi. Dalam jurispudensi konstitusional Jerman, hal itu
disebut dengan istilah militant democracy.241
Sesuai dengan ketentuan Article 21 ayat (2) Konstitusi Jerman, apabila
tujuan partai politik atau perilaku pengikutnya tidak sesuai dan berupaya
menghapus tatanan demokrasi atau membahayakan eksistensi negara Republik
Federal Jerman, maka partai politik tersebut harus dinyatakan Unconstitusional
oleh Mahkamah Konstitusi jerman. Hal itu sesuai dengan Pasal 13 Undang-
Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassunggericht-Gesetz)
menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman adalah
memberikan putusan tentang konstitusionalitas partai politik yang ditangani oleh
Panel Kedua Mahkamah Konstitusi Jerman.242
Permohonan putusan tentang konstitusionalitas partai politik dilakukan
oleh Bundestag, Bundesrat, atau Pemerintah Federal. Namun demikian,
pemerintah negara bagian juga bisa mengajukannya jika organisasi partai itu
berada di wilayahnya.243 Partai politik diwakili oleh pihak yang ditentukan sesuai
dengan anggaran dasar partai, atau oleh orang yang menjalankan partai.244 Partai
politik tersebut harus diberi kesempatan pada waktu tertentu untuk memberikan
pernyataannya.245
Putusan Mahkamah Konstitusi dapat meliputi keseluruhan partai politik
atau bagian tertentu saja dari organisasi partai politik yang bertentangan dengan
konstitusi. Jika secara keseluruhan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi
maka putusan tersebut diikuti dengan pembubaran partai dimaksud. Jika bagian
tertentu saja, maka bagian tersebut yang dibubarkan dan disertai dengan larangan
pembentukan organisasi penggantinya. Mahkamah juga dapat memutuskan bahwa
kekayaan partai atau bagian dari partai disita untuk kepentingan negara.246 Jika
241 Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham: Duke University Press, 1989), hlm. 222.
242 Jerman, Federal Constitutional Court Act, Ps. 14 ayat (2).243 Ibid., Ps. 43.244 Ibid., Ps. 44.245 Ibid., Ps. 45.246 Ibid., Ps. 46.
Universitas Indonesia
89
organisasi atau aktivitas tertentu dari suatu partai politik dinyatakan
unconstitutional dalam wilayah provinsi negara bagian tertentu, Menteri Dalam
Negeri Pemerintah Federal mengeluarkan keputusan yang diperlukan untuk
memastikan pelaksanaan putusan tersebut. 247
Di negara Jerman, sanksi dari pembubaran partai politik adalah
dilarangnya mendirikan partai atau organisasi yang sama untuk menggantikan
partai yang dibubarkan, kemudian terhadap anggota termasuk pendiri yang
tidakan atau pernyataanya menyebabkan dibubarkan partai politik, tidak dapat
menjadi pendiri, anggota, pengurus, maupun pengawas partai politik lain selain
itu juga akibat hukumnya adalah harta kekayaan partai politik dapat disita untuk
kepentingan publik. Hal itu tertuang dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi Jerman.
2.3.2 Pembubaran Partai Politik di Negara Korea Selatan
Republik Korea atau yang dikenal sebagai Korea Selatan adlah sebuah
negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Negara
yang memiliki populasi sekitar 51 juta penduduk ini memiliki sistem
pemerintahan yang dibagi atas tiga kekuasaan yakni Eksekutif, Legislatif dan
Yudikatif. Lembaga Eksekutif di Korea Selatan dipegang oleh Presiden yang
dipilih berdasarkan hasil pemilu untuk masa jabatan 5 tahun dan dibantu oleh
Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Presiden dengan perstujuan dewan
perwakilan. Itu artinya Presiden bertindak sebagai kepala negara, sedangkan
Perdana Menteri bertindak sebagai kepala pemerintahan. Lembaga legislatif di
Korea Selatan memiliki Unicameral National Assembly atau Gukhoe yang dipilih
setiap 4 tahun sekali dan terakhir diselenggarakan pada 11 April 2012. Assembly
ini terdiri dari 299 kursi dan diisi oleh perwakilan dari beberapa partai politik.
Sementara dari lembaga Yudikatif, Korea Selatan memiliki Supreme Court dan
Pengadilan Banding Constitutionan Court.
Korea Selatan sendiri memiliki banyak partai politik, menurut Komisi
Pemilihan Korea Selatan, partai politik yang terdaftar pada tahun 2012 sebanyak 9
247 Ibid., Ps. 32.
Universitas Indonesia
90
partai. Namun hanya 2 partai besar yang mendominasi hasil pemilu yaitu partai
Saenuri dan Democratic United Party. Partai politik di Korea Selatan bertujuan
untuk menyampaikan aspirasi masyarakat di Korea Selatan, pengklasifikasian
tersebut berdasarkan isu sosial ekonomi dan ideologi masing-masing individu di
Korea Selatan.
Itu artinya kebebasan membentuk partai politik juga mendapatkan
jaminan dalam Konstitusi Korea Selatan.248 Namun demikian, Konstitusi Korea
Selatan juga mengharuskan partai politik memiliki tujuan, organisasi dan aktivitas
yang demokratis serta memiliki sarana organisasi untuk pembentukan kehendak
rakyat.249 Jika tujuan atau aktivitas partai politik bertentangan dengan tatanan
dasar demokrasi, pemerintah dapat mengajukan pembubaran partai politik kepada
Mahkamah Konstitusi.250
Constitutional Court Act Korea Selatan mengatur proses pembubaran
partai politik dalam section 3 Article 55 sampai 60.251 Pemerintah mengajukan
permohonan pembubaran partai politik kepada MK berdasarkan pertimbangan
Dewan Negara (State Council).252 Permohonan tertulis paling tidak harus berisi
dua hal, yaitu identitas partai politik yang dimohonkan pembubarannya dan alasan
permohonan pembubaran.253 Pada saat menerima permohonan pembubaran partai
politik, Presiden MK menyampaikan pemberitahuan kepada parlemen (National
Assembly) dan Komisi Pemilihan Umum Nasional (National Election
Commission).254
Dalam proses pengadilan, Mahkamah Konstitusi dapat menghentikan
sementara aktivitas partai politik hingga ada putusan final.255 Pada saat Mahkamah 248 Korea Selatan, Constitution of South Korea, Ps. 8 ayat (1).249 Ibid., Ps. 8 ayat (2).250 Ibid.251 Constitutional Court Act Korea Selatan ditetapkan pada 5 Agustus 1988 dan telah
mengalami perubahan yaitu pada 30 November 1991, 22 Desember 1994, 4 Agustus 1995, dan 13 Desember 1997.
252 Ibid., Ps. 55.253 Ibid., Ps. 56.254 Ibid., Ps. 58 ayat (1).255 Ibid., Ps. 57.
Universitas Indonesia
91
Konstitusi memutuskan pembubaran partai politik, maka partai politik harus
dibubarkan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum
Nasional dengan cara menghapus pendaftaran partai politik dan mengumumkan
kepada masyarakat.256 Setelah partai politik dibubarkan, tidak ada partai politik
yang dapat didirikan dengan platform yang sama atau memiliki kesamaan dengan
partai yang dibubarkan.257
Selain pembubaran karena alasan tujuan dan aktivitas partai politik
bertentangan dengan tatanan demokrasi, Political Parties Act Korea Selatan juga
mengatur tentang pembubaran partai politik dengan cara pembatalan
pendaftarannya kepada KPU. Pembatalan itu dapat dilakukan jika:258
1. Tidak memenuhi persyaratan sebagai partai politik, yaitu memiliki
sedikitnya lima cabang, setiap cabang 1000 anggota yang tinggal di
wilayah cabang partai politik dimaksud.259
2. Gagal berpatisipasi dalam pemilihan umum anggota national
assembly dalam empat tahun terakhir, atau dalam bentuk pemilihan
kepala daerah.
3. Gagal memperoleh kursi di National Assembly setelah mengikuti
pemilihan umum, dan gagal memperoleh 2/100 dari jumlaah suara
sah.
Akibatnya selain dibubarkan, terdapat juga larangan pendirian bagi partai
pengganti yang memiliki kesamaan dengan partai yang dibubarkan, hal ini
dikarenakan apabila terbentuk partai yang sama atau partai baru dengan identitas
yang sama, pembubaran yang dilakukan tidaklah memiliki arti. Apabila partai
pengganti dapat didirikan, hal itu berarti pelanggaran konstitusi secara otomatis
kembali terjadi.
256 Ibid., Ps. 59 dan Ps. 60.257 Ibid., Ps. 40258 Ibid., Ps. 44.259 Ibid., Ps. 17.
Universitas Indonesia
92
Praktek pembubaran partai politik di Korea Selatan baru saja terjadi pada
19 Desember 2014 silam, dimana Mahkamah Konstitusi Korea Selatan
memutuskan untuk membubarkan Partai Progresif Bersatu (UPP) sekaligus
mencabut keanggotaanya di parlemen dengan enam kursi keanggotaan di
parlemen.260 Keputusan pembubaran partai ini disetujui oleh 8 Hakim dan satu
diantaranya menolak. Kasus pembubaran partai politik ini menjadi kasus pertama
dalam sejarah Korea Selatan.
Permohonan pembubaran partai politik ini diajukan oleh Kementrian
Kehakiman kepada Mahkamah Konstitusi satu tahun setelah beberapa anggota
Partai Progresif Bersatu ditangkap dengan tuduhan penggulingan pemerintah saat
perang antar Korea.261 Pengadilan berpendapat tujuan dan kegiatan partai tersebut
telah melanggar tatanan dasar demokrasi yang telah ditetapkan oleh Konstitusi.
Akibat dari pembubaran ini UPP telah dibubarkan, dan enam kursi di parlemen
telah dicabut, serta larangan mendirikan partai yang mirip dengan UPP.
2.3.2 Pembubaran Partai Politik di Negara Slovenia
Republik Slovenia adalah negara pesisir yang berada di selatan eropa
tengah dengan berbatasan oleh negara Italia, Hungaria, dan Austria. Dilihat dari
sejarah, bahwa Slovenia adalah salah satu dari enak republik yang membentuk
bekas negara Yugoslavia dan merdeka pada tahun 1991. Kepala negara di
Slovenia dijabat oleh seorang Presiden selama 5 tahun yang terpilih melalui
pemilihan umum.
Pada dasarnya parlemen di Slovenia dibagi menjadi dua kamar, yakni
Perhimpunan Nasional (Drzavni Zbor) dan Majelis Nasional (Drzavni Svet).
Anggota dari Perhimpunan nasional terdiri dari 90 orang yang terpilih melalui
proses pemilihan umum dan berasal dari golongan-golongan yang memiliki
karakteristik khusus, sedangkan Majelis Nasional terdiri dari 40 orang anggota,
260 “Kaleidoskop KBS World Tahun 2014” http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/specialprogram/sub_index.htm?No=582, diunduh pada 3 Desember 2015.
261“Pemerintah dan Partai Berhaluan Kiri Adu Argumen Soal Pembubaran Partai”, http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_Po_detail.htm?No=34833, diunduh pada 3 Desember 2015.
Universitas Indonesia
93
yang berasal dari kumpulan sosial, ekonomi, profesional dan lain-lain.Pada
pemilihan umum tahun 2004, Partai Demokratik Slovenia memperoleh suara
terbesar dengan 29,1% dan diikuti oleh Demokrasi Liberal Slovenia sebanyak
22.8%.
Pada cabang kekuasaan yudikatif, di Slovenia terdiri dari 2 lembaga
peradilan yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Konstitusi pada konteks ini salah satunya mengadili sengketa pembubaran partai
politik berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Slovenia.
Berdasarkan Pasal 68 (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Slovenia,
dinyatakan bahwa setiap warga negara dapat mengajukan permohonan kepada
Mahkamah Konstitusi perihal dugaan inkonstitusionalitas dari undang-undang
partai politik maupun aktivitas partai politik di Slovenia. Lebih lanjjut, pemohon
harus mencantumkan dengan jelas, kondisi faktual berupa kegiatan-kegiatan apa
saja yang inkonstitutsional menurut pemohon. Apabila Mahkamah Konstitusi
Slovenia menerima dalil dari pemohon, maka Mahkamah Konstitusi akan
melarang aktivitas partai politik dan partai politik turunannya yang
inkonstitusional tersebut. Putusan mengenai pembubaran partai politik tersebut
diperoleh melalui 2/3 suara dari jumlah anggota hakim konstitusi Slovenia.
Eksekusi dari putusan tersebut adalah partai yang dibubarkan dihapuskan dari
daftar partai politik di Slovenia.
BAB 3
ANALISIS LEGAL STANDING DALAM SENGKETA
PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH
KONSTITUSI
3.1 IMPLIKASI PEMBUBARAN PARTAI POLITIK TERHADAP HAK
KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA
Universitas Indonesia
94
Partai politik merupakan salah satu bentuk organisasi yang dibentuk oleh
warga negara untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. Proses
pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan
organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem
demokrasi itu sendiri.262 Sebab secara harfiah demokrasi memiliki makna
pemerintah oleh rakyat, hal ini berarti rakyatlah yang benar-benar memerintah
dengan cara mengambil keputusan bersama dalam suatu majelis yang diikuti oleh
seluruh rakyat.263
Namun MacIver menyatakan bahwa demokrasi secara tradisional seperti
itu sudah tidak aplikatif lagi untuk diterapkan sebab hanya bisa dijalankan pada
negara yang wilayah dan jumlah masyarakatnya sangat kecil sedangkan saat ini
hanya sedikit negara yang memiliki kondisi demografi dan geografi seperti itu.264
Oleh karena itu, berkembanglah sistem baru yang dinamakan sebagai demokrasi
tidak langsung yang tetap menjamin dan menjunjung tinggi kehendak rakyat.265
Dalam sistem ini, rakyat tetap memegang peran sentral sebagai kekuasaan
tertinggi, namun pelaksanaanya dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih oleh
rakyat melalui berbagai cabang kekuasaan seperti eksekutif, legislatif dan
yudikatif.266
Dalam situasi seperti ini partai politik memegang posisi dan peranan yang
sangat penting sebab partai berperan sebagai penghubung yang strategis antara
proses pemerintahan dengan rakyatnya.267 Konkretnya adalah pengisian jabatan di
lembaga eksekutif dan legislatif berasal dari kader-kader partai politik (fungsi
rekrutmen politik), tidak hanya itu partai politik juga-lah yang menyerap aspirasi
dari rakyat, menampung berbagai masalah dan menyeleksinya, serta mengajukan
262 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 55.263 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 15.264 RM Maciver, op.cit., hlm. 313.265 Treg A. Julander, Democracy Without Political Parties, dalam Michelle N. Johnson,
America in The 21st Century: Political and Economic Issues-3 (UK: Nova Science Pub. Inc., 2002)266 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, edisi revisi,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 240.267 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit, hlm. 52.
Universitas Indonesia
95
solusi dalam bentuk program yang ditawarakan (fungsi sosialisasi politik).268
Secara lebih konkret lagi, partai politik-lah yang berperan sangat penting dalam
penyelenggaraan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum dengan cara:
a. Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;
b. Mengusulkan pasangan calon kepala daerah, wakil kepala daerah dalam
pemilukada;
c. Mengusulkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan;
d..Menjamin peserta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota
dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah.
Maka dari itu dapat disimpukan bahwa pada dasarnya suatu negara
membutuhkan partai politik, dan partai politik juga membutuhkan negara
sehingga relasi antara keduanya adalah simbiosis mutualisme.
Terbentuknya suatu partai politik adalah salah satu manifestasi dari
adanya kebebasan berserikat. Kebebasan tersebut dipandang sebagai salah satu
hak asasi yang sangat fundamental dan melekat pada manusia sebagai makhluk
sosial.269 Hal itu disebabkan karena setiap manusia selalu mempunyai
kecendrungan untuk bermasyarakat dan dalam bermasyarakat itu perilaku setiap
orang untuk memilih teman dalam hubungan-hubungan sosial merupakan sesuatu
yang alamiah sifatnya. Setiap orang pada akhirnya secara individual mempunyai
kebebasan dan dapat memilih sendiri teman atau kawan tanpa harus dipaksa atau
diganggu oleh pihak ketiga (The ability of an individual to choose the nature of
their relationships with others without interference with third parties). Apalagi
dalam kehidupan bersmasyarakat dengan sendiri setiap orang mempunyai naluri
alamiahnya sendiri untuk bergaul dengan sesama warga dimana seorang hidup
bersama.270
Dasar konstitusional hak tersebut tertuang dalam Pasal 28E ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan
268 Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 163-164.269 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 37.
270 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 22.
Universitas Indonesia
96
jaminan tegas bahwa setiap orang berhak atas kebebasan, berserikat, berkumpul
dan mengeluarkan pendapat. Ketentuan senada juga terdapat dalam pasal 28
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa
kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pada saat Undang-
Undang Dasar 1945 di amandemen, pembahasan mengenai kebebasan berserikat
tidak terjadi suatu pertentangan. Itu artinya semua pihak menyadari bahwa
kebebasan berserikat merupakan hak asasi yang menjadi prinsip utama dalam
menegakkan demokrasi yang sebenarnya (genuine) dan rule of law.
Namun sejarah mencatat bahwa pengaturan mengenai kebebasan
berserikat yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada awalnya
terjadi dua paham yang bersebarangan. Dalam persidangan Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mohammad Hatta dan
Mohammad Yamin sepakat untuk menuangkan ketentuan mengenai kebebasan
berserikat dalam konstitusi, sedangkan Soepomo berpendapat bahwa negara
Indonesia merdeka kebebasan pribadi tidak perlu dipentingkan sehingga yang
perlu ditegakan adalah kepentingan bersama dan kepentingan negara serta
kewajiban warga negara untuk mencapai kemakmuran bersama.271 Pada akhirnya
perdebatan tersebut dimenangkan oleh pihak Mohammad Hatta dan Mohammad
Yamin sehingga secara mutatis mutandis ketentuan mengenai kebebasan
berserikat dituangkan dalam konstitusi sebagai upaya mempertegas penegakan
hak tersebut.
Diakuinya hak berserikat dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengartikan
bahwa hak-hak tersebut merupakan hak yang sangat penting sehingga perlu
dicantumkan dalam konstitusi negara Indonesia serta layak ditingkatkan drajatnya
yang semula hanya hak asasi manusia dimetamorfosa menjadi hak konstitusional
warga negara. Konsekuensi dari adanya hak konstitusional adalah lahirnya
kewajiban konstitusional negara. Dengan kata lain, setiap hak yang terkait dengan
hak konstitusional dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara
271Jakob Tobing, “Kebebasan Berserikat Sebagai Hak Asasi”, http://www.leimena.org/id/page/v/531/kebebasan-berserikat-sebagai-hak-asasi, diunduh pada 23 Desember 2015.
Universitas Indonesia
97
untuk memenuhinya. Itu artinya, negara berkewajiban dan bertanggungjawab
untuk menjamin agar semua hak dan kebebasan wara negara dihormati dan
dipenuhi sebaik-baiknya tanpa ada diskriminasi apapun.272
Keistimewaan penegakan hak konstitusional harus dihubungkan juga
dengan sifat dari konstitusi itu sendiri. Pertama, menurut Herman Heller konstitusi
adalah die geschreiben verfassung yang berarti naskah tertulis yang diakui sebagai
hukum tertinggi di suatu negara yang menjadi dasar bagi peraturan perundang-
undangan lainnya yang lebih rendah.273 Sifat konstitusi sebagai dasar hukum
tertinggi berpengaruh kepada hak konstitusional, dimana hak konstitusional lebih
diakui daripada hak-hak lainnya karena tertuang dalam naskah hukum tertinggi di
suatu negara sehingga membutuhkan penegakan yang lebih khusus dan serius.
Selain itu konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 juga dibuat
kaku atau rigid, itu artinya melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945
harus melalui prosedur yang tidak mudah, karena harus terdapat pertimbangan
yang objektif untuk merubahnya sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat dan
bukan keinginan segilintir golongan saja.274 Sifat konstitusi yang rigid memiliki
relevansi terhadap hak konstitusional itu sendiri karena hak konstitusional sebagai
salah satu bagian dari materi Undang-Undang Dasar 1945 menjadi tidak mudah
diubah sehingga memberikan jaminan dan kepastian yang lebih kepada warga
negara dibanding hak-hak lainnya yang hanya diatur dalam Undang-Undang atau
peraturan dibawahnya yang relatif lebih mudah diubah daripada konstitusi.
Walaupun hak asasi manusia diakui sebagai hak yang melekat pada setiap
orang karena kemanusiaanya, namun harus tetap terdapat pembatasan akan hak-
hak tersebut.275 Pembatasan itu wajar diperlukan dalam kehidupan masyarakat
yang demokratis semata-mata demi menjaga keamanan nasional dan keselamatan
publik, mencegah terjadinya kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta
272 Rio Ariyanto, “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, (skripsi Universitas Andalas, Padang, 2014.), hlm. 4.
273 Jimly Asshiddiqie (5), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 99.
274 Ibid., hlm. 114.275 Muchamad Ali Safa’at, loc.cit.
Universitas Indonesia
98
untuk melindungi hak kebebasan orang lain.276 Dasar konstitusional adanya
pembatasan tersebut termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar
1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas
hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum
dalam suatu masyarakat demokratis.
Perlu diakui memang terdapat hak yang sifatnya tidak dapat dibatasi
karena melekat di dalam diri setiap manusia, salah satunya adalah hak untuk
hidup, hak atas kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir.277 Pasal 28I
Undang-Undang Dasar 1945 bahwasannya menghormati kebebasan nurani
seseorang sebagai forum internum (dimensi internal) yang tidak dapat di derogasi
dalam situasi apapun (non-derogable rights). Itu artinya tidak boleh ada aturan
hukum dan kekuasan apapun yang dapat membatasi kemerdekaan tersebut,
pembatasan hanya mungkin dilakukan terhadap ekspresinya (forum eksternum),
yaitu seperti kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat karena
wujudnya yang nyata, berupa tindakan tertentu dan bersinggungan dengan hak
orang lain278. Dengan ini Penulis sekaligus menolak yurisdiksi dari pengalaman di
Amerika Serikat yang mencampuradukan antara freedom of expression dan
freedom of peacefull assembly dengan freedom of association279 karena di
Indonesia telah diatur secara tegas dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945
bahwa yang tidak dapat diderogasi hanyalah hak kemerdekaan pikiran dan hati
nurani bukannya hak berserikat dan berkumpul. Maka dari itu pembatasan berupa
pembubaran terhadap partai politik sebagai manifestasi dari hak berserikat
diperbolehkan sepanjang sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri, yakni
untuk melindungi hak dan kebebasan lain.
276 Hillaire Barnet, Constitutional and Administrative Law, Fifth Edition, London-Sydney-Portlad, (Oregon: Cavendish Publishing Limited, 2004), hlm. 589
277 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28I.278 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 38.279 Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, (New York: Aspen
Law and Business, 1997), hlm. 943.
Universitas Indonesia
99
Oleh karena itu sebagai upaya melindungi hak berserikat pembatasan
tersebut harus dilakukan secara ketat dengan cara yang diatur secara jelas dalam
hukum, dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat
demokratis, benar-benar dibutuhkan, dan bersifat proporsional sesuai dengan
kebutuhan sosial. Selain itu juga syarat pembubaran haruslah dengan alasan yang
secara konstitusional telah diatur, kemudian harus dilakukan melalui proses yang
adil, seimbang, berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan objektif sehingga
mekanisme yang paling tepat adalah melalui mekanisme peradilan.280
Secara garis besar Penulis ingin menyatakan bahwa benar partai politik
merupakan manifestasi dari kebebasan berserikat. Dimana kebebasan berserikat
itu adalah hak konstitusional warga negara yang memiliki konsekuensi bahwa
negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan dan penegakannya. Akan
tetapi, hak juga harus ada batasannya. Suatu batasan diperlukan semata-mata
untuk melindungi kebebasan hak lain. Terlebih lagi kebebasan berserikat
bukanlah hak yang tidak dapat di derogasi. Kebebasan berserikat dapat diderogasi
karena merupakan wujud ekspresi dan tindakan nyata yang berbeda dengan
kebebasan hati nurani dan berpikir yang tidak dapat diderogasi karena melekat
berdasarkan sifat kemanusiaanya. Maka dari itu dalam pembatasan terhadap partai
politik diperbolehkan karena tidak menciderai hak konstitusional warga negara,
hanya saja dalam pembatasannya haruslah:
1. Dilakukan semata-mata untuk menjaga keamanan nasional dan
keselamatan publik;
2. Mencegah terjadinya kejatahan;
3. Melindungi kesehatan dan moral masyarakat;
4. Melindungi hak kebebasan orang lain;
5. Dilakukan secara ketat yang diatur dalam hukum;
6. Dilakukan untuk mencapai tujuan masyarakat demokratis;
7. Benar-benar dibutuhkan;
8. Bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial dan;
9. Melalui proses yang adil, seimbang, dan objektif.
280 Muchamad Ali Safa’at, loc.cit.
Universitas Indonesia
100
Terlebih lagi faktanya terdapat beberapa partai politik dan/atau kadernya
yang terbukti pernah melakukan tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang
Dasar 1945 maupun oleh Undang-Undang terkait. Jika dilihat secara historis
terdapat beberapa partai politik di Indonesia yang dinilai melakukan tindakan
yang dilarang oleh Undang-Undang Dasar 1945 yakni Partai Masjumi, PSI, Partai
Murba, PKI, dan Partindo. Pertama adalah Partai Masjumi dan PSI yang masing-
masing dibubarkan melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No.13 Tahun
1960 karena pimpinan kedua partai tersebut terlibat secara langsung dalam
pemberontakan PRRI/Permesta pada 15 Februari 1958, dinilai bertentangan
dengan asas dan tujuan negara, programnya bermaksud merombak asas dan tujuan
negara, tidak memenuhi syarat sesuai peraturan terkait serta kedua partai itu
bertanggung jawab atas tragedi yang dilakukan oleh anggota partainya. Partai
Masjumi dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960,
sedangkan PSI melalui Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960.
Kedua adalah Partai Murba yang dibubarkan melalui Keputusan Presiden
Nomor 291 Tahun 1965 dan Keputsan Presiden No. 21 Tahun 1965 dengan alasan
karena telah menyeleweng dari ajaran Nasakom milik Presiden Soekarno dan
memecah-belah persatuan Indonesia. Selanjutnya adalah Partai Komunis
Indonesia yang dibubarkan dengan ketentuan Penpres No.7 Tahun 1959, Perpres
No.13 Tahun 1960 dan Perpres No.25 Tahun 1960 serta disahkan melalui
Keputusan Prsiden No.1/3/1966 yang dikuatkan dalam TAP MPRS
No.XXV/MPRS/1966 dengan alasan bahwa PKI telah melakukan aksi
pemberontakan yang berakibat pada terganggunya keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat serta ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dianggap
bertentangan dengan Pancasila. Terakhir adalah Partindo yang dibubarkan melalui
Keputusan Presiden Nomor 156/1960 yang mana Keputusan tersebut sekaligus
mencabut wakil Partindo di DPRGR karena dinilai berbahaya oleh pemerintah
sebab ideologi dan program-programnya dinilai memiliki kedekatan dengan PKI.
Dari fakta sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa
partai politik yang dibubarkan oleh pemerintah karena dinilai ideologi dan
program-programnya bertentangan dengan Pancasila. Hal itu dikhawatirkan akan
Universitas Indonesia
101
memecah belah persatuan Indonesia sehingga harus segera dibubarkan. Pada era
sekarang memang sulit ditemui partai politik yang secara eksplisit memiliki
ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, akan tetapi terdapat variasi baru
yakni partai politik yang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya
secara eksklusif hanya diperuntukan untuk agama tertentu saja. Meskipun partai
berbasis agama meng-klaim dirinya sebagai partai terbuka, namun pada akhirnya
secara keanggotaan hanya menerima orang-orang yang seiman saja. Pun jika lebih
fleksibel dengan menerima orang-orang yang tidak seiman, orang-orang tersebut
tidak akan pernah dapat jabatan struktural yang penting dalam partai tersebut.
Tidak jarang orang-orang yang tidak seiman dinyatakan sebagai musuh,
bahkan orang-orang yang seiman pun dicap sebagai kafir apabila memiliki
pandangan yang berbeda. Format partai seperti ini tentunya berpotensi memecah
belah nilai-nilai Pancasila khususnya sila ke-3 yakni persatuan Indonesia. Maka
dari itu atas dalih tersebut sejatinya partai-partai berbasis agama yang sangat
ekstrim dapat berpotensi untuk dibubarkan apabila platform, asas, dan
kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Data dan fakta di atas sejatinya menunjukan bahwa terdapat partai politik
yang dalam pelaksanaan fungsinya justru melanggar amanat konstitusi dan
peraturan perundang-undangan itu sendiri. Padahal dalam tataran ideal, partai
politik memiliki kewajiban untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila,
melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dan peraturan perundang-undangan dibawahnya sebagaimana yang termuat dalam
ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
Lebih lanjut lagi larangan terhadap partai politik yakni:
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
Universitas Indonesia
102
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/ badan internasional;
d..nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau .organisasi .terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau f...yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau
keseluruhannya .dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.
(2) Partai Politik dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya; atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Universitas Indonesia
103
kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik.
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/ atau memiliki saham suatu badan usaha.
(5)..Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Undang-
Undang Partai Politik telah mengatur mengenai kewajiban dan larangan-larangan
terhadap tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh partai politik.
Ditegaskan sekali lagi bahwa demokrasi yang sehat diawali dari sistem
dan pengelolaan partai politik yang sehat sehingga dapat menghasilkan kualitas
parlemen dan penyelenggaran pemerintahan yang sehat pula. Ketika partai politik
sebagai hulu dari sistem demokrasinya saja sudah tidak sehat, maka tentunya
kualitas parlemen dan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak sehat pula.
Maka dari itu apabila partai politik secara sengaja maupun tidak sengaja tidak
melaksanakan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya dengan cara melanggar
ketentuan yang sudah ada, maka sudah sewajarnya jika negara memberikan
sanksi, mulai dari yang paling ringan berupa sanksi administratif hingga yang
paling berat yakni pembubaran partai politik.281 Hal ini sangatlah tepat sebab
eksistensi partai politik merupakan manifestasi dari hak asasi manusia khususnya
hak berserikat yang melekat pada setiap orang karena kemanusiaanya akan tetapi
dalam pelaksanaanya harus tetap ada pembatasan-pembatasan sebagai upaya
melindungi hak-hak orang lain.
Pemberian sanksi jangan dilihat sebagai alat politik belaka akan tetapi
harus dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab dari negara dalam mengawasi
partai politik, sebagai upaya menjaga agar eksistensi partai politik yang ada tetap
sesuai dengan koridor yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-
undangan serta menjaga hak kebebasan pihak lain. Sanksi sangatlah penting,
281 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801, Ps. 48.
Universitas Indonesia
104
karena tanpa adanya sanksi dikhawatirkan partai politik yang akan keluar dari
koridor yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan berpotensi
menjadi lebih besar, yang tentu akan berdampak pada hilangnya kepercayaan
masyarakat terhadap partai politik itu sendiri.282 Apabila hal ini terjadi, tentunya
akan menghambat partai politik dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik,
sosialisasi politik, rekrutmen politik dan sarana pengatur konflik.283Jika dikaitkan
dengan kasus in facto di Indonesia, maka sudah sewajarnya jika partai politik
yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya diberikan
sanksi, hal itu semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab dari negara dalam
mengawasi eksistensi partai politik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48
ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
bahwa alasan diajukannya pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi
apabila:
1) Partai politik tersebut melakukan kegiatan yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan
peraturan perundang-undangan, setelah sebelumnya dikenai sanksi
pembekuan sementara;
2) Partai politik tersebut melakukan kegiatan yang membahayakan
keutuhan dan keselamatan Negara Kesaturan Republik Indonesia
setelah sebelumnya dikenai sanksi pembekuan sementara;
3) Partai politik tersebut menganut dan mengembangkan serta
menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
Argumentasi terakhir dapat dilihat dari sifat Partai Politik yang tidak
permanen. Mengutip pernyataan dari Donny Gahral Ardian selaku ahli yang
didengarkan keterangannya di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor
53/PUU-IX/2011 mengenai legal standing pengajuan permohonan pembubaran
partai politik. Pertama, Partai politik itu adalah jembatan antara kedaulatan rakyat
dan lembaga-lembaga negara. Dimana salah satunya fungsinya adalah
282 Allan FGW dan Harry S., op.cit., hlm. 525.283 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grafika Pustaka Utama,
2008), hlm. 405-409.
Universitas Indonesia
105
mengagregasikan kepentingan dan kehendak yang disalurkan kepada lembaga-
lembaga negara terkait. Lembaga negara yang dimaksud adalah eksekutif dan
legislatif yang bersifat permanen, akan tetapi partai politik sebagai jembatan
sifatnya tidaklah permanen. Ketika partai politik gagal menjembatani kedaulatan
rakyat, ketika partai politik justru menyalahgunakan kedaulatan itu untuk
melakukan hal-hal yang melanggar konstitusi dan undang-undang maka rakyat
berhak untuk membubarkannya karena partai politik bukanlah institusi yang
sifatnya permanen karena parpol hanyalah institusi yang dititipkan kedaulatan
melalui pemilihan umum untuk mengisi jabatan dan representasi politik yang ada.
3.2 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP LEGAL STANDING PERMOHONAN
SENGKETA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH
KONSTITUSI
Tidak semua pihak boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah
Konstitusi dan menjadi pemohon. Hal tersebut juga terjadi dalam perkara
pembubaran partai politik bahwa berdasarkan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pengajuan permohonan
pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan oleh pemerintah cq pemerintah
pusat. Jika dilihat dari ketentuan yang lebih tinggi, Pasal 24 C ayat (1) Undang-
Undang Dasar 1945 sayangnya hanya mengatur mengenai lembaga mana yang
memiliki wewenang dalam melakukan pembubaran partai politik yakni
Mahkamah Konstitusi.
Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai konsensus teknis dari pembubaran
partai politik dalam Undang-Undang Dasar 1945, apakah dilakukan dengan cara
pendelegasian melalui pemerintah ataukah dalam bentuk pelaksanaan kedaulatan
rakyat secara langsung. Itu artinya konstitusi pada dasarnya membuka peluang
kepada legislator untuk melaksanakan kedaulatan rakyat ini sesuai dengan politik
hukum yang berlaku. Namun disatu sisi kondisi demikian secara hukum menjadi
sebuah anomali, apakah Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003
Universitas Indonesia
106
telah sejalan dalam memaknai kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi
ataukah tidak?
Ketentuan normatif yang mengamanatkan legal standing hanya
dimonopoli oleh pemerintah menurut Penulis telah menuai banyak masalah, mulai
dari aspek ilmiah hingga dalam tataran praktek sehingga perlu adanya upaya
untuk merevitalisasi Pasal tersebut dengan mengakomodir warga negara dan
kelompok masyarakat didalamnya. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu
bahwa dalam hukum acara dikenal sebuah adagium point d’interet point d’action
yaitu apabila ada kepentingan hukum maka boleh mengajukan gugatan. Itu artinya
adagium ini sekaligus menyinggung masalah standing atau personae standi in
judicio mengenai hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau
permohonan di depan pengadilan (standing to sue). Standing adalah satu konsep
yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara
cukup sehingga satu perselisihan dapat diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah
satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar
memperoleh putusan akhir dari pengadilan.284
Persyaratan standing dikatakan telah dipenuhi penggugat apabila
mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi.285 Dalam
yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk
mempunyai standing to sue, yaitu sebagai berikut:
1. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan
pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat spesifik dan
aktual dalam satu kontoversi serta bukan hanya bersifat potensial;
2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara
kerugian dengan berlakunya satu undang-undang;
3. Kemungkinan dengan diberikanyna keputusan diharapkan kerugian
akan dihindarkan atau dipulihkan.286
284 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 65.
285 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, sixth edition, (St.Paul: West Group, 1999), hlm. 1045.
286 Lujan v. Defenders of Wildlife, 112 S. Ct.2310,2316 (1992).
Universitas Indonesia
107
Mekanisme constitutional control digerakkan oleh adanya permohonan
dari pemohon yang memiliki legal standing untuk membela kepentingannya serta
berangkat dari kewenangan konstitusional yang terlanggar. Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa semuanya diajukan dengan
permohonan secara tertulis dengan memuat nama dan alamat pemohon, uraian
mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, serta hal-hal yang diminta
untuk diputuskan. Permohonan tersebut harus dengan melampirkan bukti-bukti
sebagai pendukung yang menunjukkan permohon bersungguh-sungguh. Bukti-
bukti tersebut adalah bukti awal yang nantinya dapat dilengkapi pada saat
persidangan berlangsung. Dengan kata lain, permohonan pemohon harus
membuat identitas pihak-pihak, posita, dan petitum.
Sebelum menyebutkan alasan mengapa warga negara dan kelompok
masyarakat sangat beralasan hukum untuk dimasukan sebagai pihak pemohon
dalam perkara pembubaran partai politik, Penulis akan menjelaskan terlebih
dahulu definisi dan batasan warga negara dan kelompok masyarakat yang
dimaksud. Warga Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006
tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli
dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga
negara. Syarat untuk menjadi warga negara terdapat di dalam Pasal 9 Undang-
Undang tersebut, yakni:
a. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;
b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di
wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-
turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut;
c. Sehat jasmani dan rohani;
d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui negara Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
e. Tidak pernah dijatui pidana karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih;
f. Jika dengan memperole Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak
menjadi berkewarganegaraan ganda;
Universitas Indonesia
108
g. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan
h. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.
Itu artinya untuk dapat mengajukan pembubaran partai politik adalah
warga negara Indonesia bukan warga dari negara lain. Sedangkan yang dimaksud
dengan kelompok masyarakat adalah warga negara Indonesia yang setidak-
tidaknya terdiri dari dua orang yang memiliki kesamaan fakta atau peristiwa,
dasar hukum serta jenis tuntutan yang sama antara satu dengan yang lainya.
Dimana kelompok masyarakat ini dapat mengajukan permohonan untuk
kepentingan dirinya sendiri dan atau untuk kepentingan masyarakat luas apabila
mengalami kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh suatu partai politik.
Setelah diatas telah dijelaskan definisi dan batasan dari warga negara dan
kelompok masyarakat, maka selanjutnya adalah uraian dan pertimbangan hukum
dari Penulis untuk memasukan kedua subjek tersebut kedalam permohonan
sengketa pembubaran partai politik. Pertama, berdasarkan Pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan
rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan
Nasional dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah
dan sebagainya sedangkan secara terminologi kedaulatan (sovereignty) berarti
penguasa dan kekuasaan tertinggi.287
Jimly Asshidiqie pun menegaskan bahwa kedaulatan adalah konsepsi
kekuasaan tertinggi yang berhubungan dengan negara yang mana kekuasaan
tersebut menentukan tujuan dan cita-cita sendiri, mengelola sumber daya sendiri,
serta memilih dan menentukan jalan sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita
tersebut. Rousseau pun menjelaskan mengenai kedaulatan rakyat bahwa rakyat
diartikan sebagai pihak yang paling berkehendak sehingga pelaksanaan
pemerintahan itu merupakan keinginan atau atas kuasa dari rakyat.288 Jadi
287 “Arti Kata Kedaulatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”, http://kamuskbbi.web.id/arti-kata-kedaulatan-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesia-kbbi.html, diunduh pada 25 Desember 2015.
288 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), (Jakarta: Visimedia, 2009), hlm. 56.
Universitas Indonesia
109
rakyatlah yang berdaulat dan memegang kekuasaan tertinggi dalam negara dalam
merencanakan, mengatur, melaksanakan dan melakukan penugasan serta penilaian
terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.289 Tanpa adanya rakyat maka
tidak akan mungkin ada demokrasi, pemilu ataupun partai politik sehingga dapat
disimpulkan bahwa pusat kekuasaan berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat adalah
rakyat itu sendiri.
Terdapat dua prinsip dalam mengimplementasikan kedaulatan rakyat,
pertama prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui pendelegasian
kekuasaan ke dalam bentuk institusi-institusi (representative democracy), kedua
prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan langsung oleh rakyat seperti
pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
maupun DPR serta DPRD (direct democracy).290 Menurut Dr. Donny Gahral
Adian konsep kedaulatan rakyat meskipun sudah diserahkan ke representasi-
representasi politik, baik yang mengeksekusi, mengadili, maupun mengawasi
kekuasaan tetapi sejatinya kedaulatan rakyat itu tidak pernah dan tidak boleh
hilang. Meskipun kedaulatan itu telah diserahkan oleh rakyat kepada perwakilan-
perwakilan politiknya melalui partai politik akan tetapi perwakilan-perwakilan
tersebut tetap harus bekerja untuk kepentingan rakyat.
Maka apabila kedaulatan yang telah diserahkan oleh rakyat kepada partai
politik justru menciderai kepentingan rakyat itu sendiri dan melawan kehendak
rakyat yang telah memilihnya maka sejatinya kedaulatan itu bisa ditarik kembali,
dengan kata lain institusi yang menyalurkan dan mewakilinya bisa juga diawasi
bahkan dibubarkan melalui mekanisme yang due process of law. Lagipula
meskipun konsep dari kedaulatan rakyat sangatlah abstrak karena rakyat itu tidak
bisa ditunjuk secara denotatif dan terukur, akan tetapi konsep kedaulatan tetaplah
memiliki kekuatan memaksa.
289 Jimly Asshiddiqie (6), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Gramedia, 2007), hlm. 292-295.
290 Ian Budge, “Direct & Representative Democracy: Are They Necessary Opposed?” , (Colchester: University Colchester, 2005), hlm. 3-4, bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya Di Indonesia: Pergesertan Keseimbangan Antara Individualisme dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an”, (disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1993), hlm. 73.
Universitas Indonesia
110
Perlu disadari bahwa awal mula berdirinya partai politik didasari atas
kebutuhan rakyat, maka dari itu sudah sewajarnya apabila rakyat juga yang
diberikan hak untuk mengawasi aktivitas partai politik. Apakah sesuai amanat
atau tidak maka rakyat harus diberikan fasilitas secara langsung dalam mengawasi
kinerja partai politik yang salah satunya dengan cara usul dalam pembubaran
partai politik. Jika eksistensi partai politik membahayakan negara maka rakyat
bisa usul untuk membubarkan partai politik sebagaimana rakyat punya hak untuk
mendirikan partai politik.
Maka dari itu apabila mengacu pada prinsip pelaksanaan kedaulatan rakyat
menurut Undang-Undang 1945 maka seharusnya pelaksanaan pembubaran partai
politik tidak dapat dibatasi hanya semata pada kewenangan pemerintah saja tetapi
rakyat pun juga harus diberikan kuasa untuk mewakili dirinya sendiri dalam
melaksanakan kedaulatannya dengan cara melibatkannya sebagai Pemohon
pembubaran partai politik. Itu artinya keberlakuan Pasal 68 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur
pemohon pembubaran partai politik hanya dapat diajukan oleh pemerintah jelas
bertentangan dan mencedrai prinsip kedaulatan rakyat itu sendiri sebab hanya
mengakomodir gagasan representative democracy saja dan melupakan gagasan
direct democracy.
Kedua, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan tidak
dijelaskan secara eksplisit konsep negara hukum apa yang dianut oleh Indonesia,
namun sejatinya terdapat banyak doktrin yang menjelaskan prinsip-prinsip negara
hukum itu. Pertama, Menurut F.J Stahl konsekuensi suatu negara menganut
paham negara hukum adalah:
a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;
b. Pemisahan kekuasaan negara;
c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;
Universitas Indonesia
111
d. Adanya peradilan administrasi.291
Kedua, menurut A.V Dicey terdapat 3 karakterisik suatu negara hukum, yakni:
a. Supremasi hukum yang berarti tidak boleh ada kesewenang-
wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika
melanggar hukum;
b. Kedudukan yang sama di depan hukum, bagi bagi rakyat biasa
maupun bagi pejabat;
c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang
keputusan-keputusan pengadilan.292
Ketiga, menurut Prof Jimly Asshiddiqie untuk mewujudkan satu negara
hukum yang hakiki, dibutuhkan pilar penyangga yang terdiri dari:
a. Supremasi hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Asas legalitas;
d. Organ-organ pendukung yang independen;
e. Peradilan bebas dan tidak memihak;
f. Peradilan Tata Usaha Negara;
g. Peradilan Tata Negara;
h. Perlindungan Hak Asasi Manusia;
i. Bersifat demokratis;
j. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara;
k. Adanya transparansi dan kontrol sosial.293
Keempat, menurut Scheltema unsur-unsur negara hukum adalah sebagai
berikut:
a. Kepastian hukum;
b. Persamaan dalam hukum;
c. Demokrasi;
291 Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 6.
292 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI , op.cit., hlm. 80.293 Jimly Asshiddiqie (7), Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,
cet. 3, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 53-65.
Universitas Indonesia
112
d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.294
Terakhir, menurut Prof. Tahir Azhary, unsur-unsur multak yang ada dalam
negara hukum Pancasila antara lain:
a. Pancasila.
b. MPR.
c. Sistem konstitusi.
d. Persamaan.
e. Peradilan bebas.295
Dari lima doktrin yang dipaparkan oleh Penulis di atas, terdapat unsur
yang hampir ada di setiap doktrinnya yakni asas equality before the law atau asas
persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga negaranya. Indonesia sebagai
negara hukum, secara mutatis mutandis juga menganut asas persamaan di hadapan
hukum, hal ini sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 dinyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di
dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan
itu dengan tidak ada kecualinya. Asas inilah yang menyertakan seluruh warga
negara Indonesia, baik penguasa maupun rakyat biasa. Bila tidak ada persamaan
hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum.
Lebih lanjut menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, asas persamaan di
hadapan hukum mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat
perlindungan yang sama dalam hukum, tidak boleh ada diskriminasi dalam
perlindungan hukum ini. Menurut Beliau pula, asas ini diimplementasikan ke
dalam dua kata kunci yakni ‘perlindungan’ dan ‘perlakuan’ dalam hukum.
Persamaan ‘perlindungan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah kepada Negara untuk
memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada setiap warga
negara. Dalam sebuah Negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-
kultural seperti Indonesia, makna perlindungan lebih dialamatkan kepada
294 M. Scheltema, “De Reechsstaat” dalam J.W.M. Engels, et. Al., De Rechstaat Herdacht (W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989), hlm. 15-22.
295 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI , op.cit., hlm. 102.
Universitas Indonesia
113
kelompok minoritas sebab terdapat tendensi ketidakadilan dari kelompok
mayoritas.
Sedangkan, persamaan ‘perlakuan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah
kepada Negara untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara
warganya. Dalam masyarakat yang terstruktur ke dalam ‘kelas-kelas,’ maka ini
mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas
tertentu. Khususnya dalam artian ‘kelas pejabat Negara’ dan / atau ‘kelas orang
kaya’ yang meminta perlakuan khusus dan istimewa dalam proses peradilan.
Maka dalam asas ini, diskriminasi perlakuan dalam bentuk tersebut dilarang.296
Itu artinya jika ditarik dalam permasalahan legal standing sengketa
pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi, sejatinya pemberian legal
standing yang hanya diberikan kepada pemerintah pusat tidak sesuai dengan
amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebab mendiskriminasi
warga negara berdasarkan jabatannya yakni hanya pemerintah cq pemerintah
pusat saja yang boleh mengajukan permohonan sedangkan warga negara lainnya
tidak diperbolehkan. Kemudian berdasarkan Pasal 28C Undang-Undang Dasar
1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa
dan negaranya.
Perlu kita ketahui bahwa permohonan ke Mahkamah Konstitusi dapat
diartikan sebagai upaya memperjuangkan hak dari warga negara baik secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Adanya permohonan dari pemohon
disebabkan adanya kerugian maupun potensi kerugian yang sejatinya kerugian
tersebut tidak boleh terjadi dan telah dijamin oleh konstitusi. Namun pada
faktanya, pemberian legal standing dalam perkara pembubaran partai politik yang
hanya diberikan kepada pemerintah telah menutup upaya warga negara dalam
memperjuangkan haknya secara kolektif sebab warga negara yang menderita
kerugian ataupun potensi kerugian yang diakibatkan oleh tindakan partai politik
maupun oknumnya tidak dapat mengadvokasikan kerugiannya kepada Mahkamah
296 Prof. Mardjono Reksodiputro, sebagaimana disampaikan dalam Dialog Hukum Komisi Hukum Nasional RI Bekerjasama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, dan Kantor Berita Radio (KBR) pada 3 September 2014
Universitas Indonesia
114
Konstitusi dikarenakan terjegal masalah pengajuan permohonan. Maka dari itu
secara konstitusional, pemberian legal standing kepada warga negara dan
kelompok masyarakat dalam pembubaran partai politik telah memiliki dasar
konstitusional yang kuat.
Ketiga secara filosofis dan logika ekonomi, keuangan negara adalah urat
nadi negara, tanpa uang maka negara tidak dapat menjalankan roda
pemerintahannya. Keuangan dari rumah tangga negara ini dituangkan dalam
Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, yang secara filosofis merupakan
refleksi dari kedaulatan di suatu negara. Apabila di Indonesia menganut
kedaulatan rakyat, maka pengalokasiannya harus ditujukan bagi kesejahteraan
rakyat, maka dari itu dalam mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara haruslah dilandasi pada sektor-sektor yang tepat sasaran dan tepat guna
kepada rakyat.297
Hal ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2004
tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara bahwa pemerintah
dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara haruslah dilakukan secara
tertib, taat, hukum efisien, ekonomis, efektif, transparan dan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.298 Maka dari itu apabila uang yang berasal dari APBN
disalahgunakan oleh partai politik maupun kadernya, maka seharusnya warga
negara yang memiliki hak atas uang tersebut dapat meminta pertanggungjawaban
atas tindakan yang dilakukan oleh partai politik melalui sarana pembubaran partai
politik.
Lagipula pihak yang paling dirugikan apabila APBN disalahgunakan oleh
partai politik sejatinya adalah Warga Negara itu sendiri. Contoh, apabila terdapat
partai politik yang membiarkan kadernya melakukan korupsi, menikmati hasil
korupsi, serta memanfaatkan kekuasaan yang diperolehnya untuk mendapatkan
uang korupsi maka jelas pihak yang paling dirugikan adalah Warga Negara itu
sendiri. Hal itu disebabkan karena anggaran yang dikorupsi seharusnya dapat 297 Agus Yulianto, Hukum Anggaran dan Keuangan Publik, (Jakarta: FHUI dan Elips
Project, 1998), hlm. 4.
298 Santoso Soeroso, Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: EGC, 2002), hlm. 80.
Universitas Indonesia
115
diberikan untuk kebutuhan Warga Negara dengan mengalokasikannya kepada
aspek-aspek lain seperti kesehatan, ekonomi, infrastruktur dan teknologi akan
tetapi justru disalahgunakan untuk kepentingan memperkaya partai politik dan
pengurusnya saja. Tidak tanggung-tangung dari data Indonesia Corruption Watch
selama tahun 2013-2014 saja terdapat Rp. 1.59 triliun uang yang dikorupsi dan
pelakunya didominasi oleh kader partai politik.299 Jika Penulis menggunakan
logika bahwa warga negara adalah korban yang paling dirugikan dan APBN
dialokasikan untuk kemakmuran rakyat, maka sangat beralasan secara hukum
apabila warga negara dan kelompok masyarakat pula yang dapat melakukan
pembubaran partai politik.
Keempat dengan menggunakan logika politik, Penulis memiliki hipotesa
bahwa apabila terdapat partai politik yang sedang memerintah atau pendukung
pemerintah melakukan suatu pelanggaran maka tidak akan pernah dimohonkan
untuk dibubarkan oleh Pemerintah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari
sistem Presidensial dan koalisi yang Indonesia terapkan. Secara konstitusional
koalisi sebenarnya hanya merupakan persyaratan untuk mengajukan pasangan
calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terlebih lagi
terdapat syarat baru berupa Presidential threshold yang ditetapkan dalam Pasal 9
Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden yang menyatakan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik
atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen
dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.
Kedua ketentuan diatas memaksa partai politik untuk melakukan koalisi
demi mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presidennya. Sistem koalisi
antar partai yang sudah disepakati sebelumnya terbukti membuat pemerintah
menjadi tersandera untuk melakukan aktivitas kenegaraan300 yang salah satunya
299 Rehdian, “Berapa Uang Negara yang Dikorupsi 2013-2014? Ini Data ICW”, http://www.jpnn.com/read/2015/03/11/291695/Berapa-Uang-Negara-yang-Dikorupsi-2013-2014-Ini-Data-ICW, diunduh pada 25 Desember 2015.
300 Gun Gun Heryanto, “Sandera Politik Koalisi Semu”, Media Indonesia, (10 Juni 2013)
Universitas Indonesia
116
adalah permohonan pembubaran partai politik, karena pemerintah juga
memerlukan dukungan di parlemen dalam menyepakati berbagai kebijakan dari
partai politik pendukung. Tidak dapat dibayangkan apabila pemerintah dalam hal
ini Presiden melakukan permohonan kepada partai politik pendukungnya, hal ini
tentunya akan membuat stabilitas politik negara Indonesia menjadi tidak stabil.
Hal ini terbukti dari realita saat ini, bahwa belum pernah ada satupun inisiatif
permohonan dari pemerintah untuk mengusulkan pembubaran suatu partai
politik,301 padahal banyak sekali partai-partai yang berpotensi untuk dibubarkan
karena melakukan tindakan yang melanggar undang-undang seperti korupsi dan
menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.
Kelima, peran warga negara dalam melakukan pengawasan langsung
terhadap kinerja partai politik dapat dikatakan belum maksimal karena ketiadaan
mekanisme. Dalam status quo pengawasan partai politik yang dilakukan Warga
Negara dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum, yang mana melalui
mekanisme itu warga negara dapat memberikan reward dan punishment berupa
tindakan memilih atau tidak memilih partai politik terkait kinerja dan aktivitas
partai dalam bilik suara.302
Namun mekanisme pengawasan melalui pemilu sebenarnya terlalu lama,
tidak efektif, dan tidak maksimal. Dikatakan terlalu lama dikarenakan mekanisme
ini harus menunggu lima tahun lamanya untuk dilaksanakan (insidentil),
kemudian dinilai tidak efektif dan tidak maksimal karena hanya bersifat parsial
saja yakni diawasi hanya ketika partai politik sedang mencari kursi kekuasaan
ketika pemilu ingin dilaksanakan padahal pengawasan setelah terpilih juga sama
pentingnya.
Selain melalui Pemilu, mekanisme yang dapat dilakukan oleh warga
negara pada saat pasca pemilu berlangsung paling hanya dengan cara civil
disobedience atau warga negara yang melakukan suatu tindakan pelanggaran
301 Mahkamah Konstitusi, “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#.
302 Simona Bevern,”Party Communication in Routine Times of Politics: Issues Dynamics, Party Competition, Agenda-Setting, and Representation in Germany”, (disertasi Universitas Manheim, Manheim, 2015), hlm. 18.
Universitas Indonesia
117
hukum yang dilakukan dengan sadar, dinyatakan di muka umum dan tanpa
kekerasan, dengan maksud untuk melalukan perubahan yang dialami dan
dirasakan karena tidak benar, tidak adil serta tidak bermoral dengan kata lain
adalah pembangkangan sipil.303 Akan tetapi apatisme semacam itu tidak akan
membawa konsekuensi dan dampak hukum apapun terhadap kehidupan
demokrasi serta pembangunan kepartaian yang sehat dan rasional.
Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevitalisasi peran warga negara
dan kelompok masyarakat dalam mengawasi partai politik dengan cara
memberikan legal standing dalam sengketa pembubaran partai politik. Hal itu
dikarenakan kebutuhan pengawasan tidak hanya sekadar dilakukan pada saat
pemilu berlangsung, akan tetapi pasca pemilu juga harus tetap dilaksanakan.
Pengawasan pasca pemilu penting dilakukan untuk menjaga eksistensi partai
politik agar tetap sesuai dengan koridor yang ditetapkan oleh peraturan
perundang-undangan. Hal ini penting dilakukan karena membiarkan partai politik
dengan kekuasaan yang besar tanpa ada pengawasan adalah sama dengan
membiarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Padahal potensi
penyelewenangan atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan sangat mungkin terjadi
apabila tidak diawasi oleh warga negara. Mengutip pernyataan dari Lord Acton
bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang mutlak itu
pasti disalahgunakan (power tends to corrupt, but absolute power corrupts
absolutely).304
Mekanisme ini tentunya berbeda dengan civil disobedience yang
menyebabkan warga negara bertindak apatis, sebab mekanisme pembubaran partai
politik justru membuat warga negara makin partisipatif dengan adanya jaminan
konsekuensi hukum yang jelas terhadap partai politik yang bersangkutan. Selain
itu manfaat dari diberikannya legal standing kepada warga negara salah satunya
adalah untuk selalu mengingatkan kepada siapapun yang ingin mendirikan partai
dan mengelola partai yang sudah ada agar tidak mengenyampingkan kedaulatan
303Henry David Thoreau, “Civil Disobedience”, http://xroads.virginia.edu/~hyper2/thoreau/civil.html, diunduh pada 25 Desember 2015.
304 Jennifer Speake, The Oxford Dictionary of Proverbs, (Great Britain: Oxford University Press, 2015), hlm. 253.
Universitas Indonesia
118
dan kepentingan rakyat. Hal ini tentunya menimbulkan efek jera kepada partai
politik lainnya agar harus berjalan sesuai koridor yang sudah diatur.
Kekhawatiran apabila diberikanya legal standing kepada warga negara
akan menyebabkan adanya ribuan bahkan jutaan permohonan fiktif pembubaran
partai politik adalah tidak beralasan hukum dan harus ditolak. Pertama, perlu kita
pahami bahwa banyaknya permohonan pembubaran partai politik bukanlah
merupakan sebuah musibah sebab hal ini justru mengindikasikan bahwa warga
negara telah sadar hukum dengan berpartisipasi aktif dalam melakukan
pengawasan secara langsung kepada partai politik yang dinilai tidak sesuai dengan
amanat konstitusi dan undang-undang. Konsekuensi dari pengawasan tersebut
membuat partai politik menjadi lebih mawas diri dalam melaksanakan segala
kegiatannya dengan kembali mementingkan kepentingan umum warga negara
bukan eksklusif kepada kepentingan individual atau golongannya saja sehingga
jika sewaktu-waktu partai politik tidak menjalankan amanah rakyat, sewaktu-
waktu pula rakyat dapat melakukan koreksi yang korektif dengan cara
memohonkan untuk pembubaran partai politik.
Kedua, pemberian legal standing kepada warga negara hanyalah sebuah
langkah pertama dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, dimana masih
banyak proses selanjutnya yang harus ditempuh di persidangan, mulai dari
pemeriksaan pendahuluan, pembuktian hingga pembacaan putusan. Apabila
terdapat kekhawatiran pemberian legal standing ini akan disalahgunakan oleh
oknum tertentu untuk membubarkan lawan politiknya, pada akhirnya sudah
terjawab dari sistem dan profesionalitas di Mahkamah Konstitusi itu sendiri
karena pada akhirnya mahkamah-lah yang memutuskan apakah dalil pemohon
beralasan hukum ataukah tidak. Tentu saja Mahkamah Konstitusi pasti akan
memberikan kriteria konstitusional yang tidak mudah untuk membubarkan sebuah
partai politik.
Penulis juga perlu mengemukakan Putusan Mahkamah Konstitusi No.
53/PUU-IX/MK-2011 perihal sikap Mahkamah Konstitusi akan legal standing
pembubaran partai politik. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak
mengabulkan adanya pemberian legal standing kepada perseorangan (warga
Universitas Indonesia
119
negara) dalam usul pembubaran partai politik dengan pertimbangan bahwa Pasal
24C Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur mengenai pihak-pihak yang
berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah
Konstitusi. Permasalahan ketika hanya pemerintah saja yang dapat mengajukan
permohonan pembubaran partai politik terletak pada Undang-Undang yang
notabenenya merupakan pilihan pembentuk Undang-Undang dalam menyusun
dan membentuk ketentuan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang
dituangkan dalam Pasal 68 (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Pada dasarnya pemohon pada petitum permohonan perkara a quo,
memohon kepada Mahkamah untuk memutuskan bahwa frasa “Pemerintah” yang
terdapat dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kecuali apabila dimaknai
sebagai tidak hanya pemerintah yang dapat mengajukan permohonan
pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi, tetapi dapat pula perorangan
warga negara Indonesia dan badan hukum juga. Atas permohonan pemohon,
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa rumusan yang diinginkan oleh para
Pemohon merupakan rumusan konstitusional bersyarat yang akan menambahkan
norma baru pada Undang-Undang. Menurut Mahkamah, frasa “Pemerintah” pada
Pasal 68 telah diartikan secara tegas dalam penjelasannya sebagai pemerintah
pusat saja dan tidak dapat diartikan atau diperluas sebagai perorangan warga
negara Indonesia dan badan hukum.
Itu artinya Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah
Konstitusi tidak berwenang untuk menambahkan pemohon dalam pembubaran
partai politik sesuai dengan keinginan para Pemohon, Mahkamah hanya
berwenang menyatakan materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-
Undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah menegaskan bahwa ini
merupakan domain dari pembentuk udnang-undang sehingga kewenangan untuk
mengubahnya terletak di DPR dengan cara legislative review.
Dari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi di atas Penulis
berkesimpulan bahwa:
Universitas Indonesia
120
a. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa permohonan pemohon akan
menimbulkan dampak hukum baru berupa penambahan norma
sehingga perkara ini bukan merupakan domain dari Mahkamah
Konstitusi, melainkan domain dari Dewan Perwakilan Rakyat.
b. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak menolak dalil pemohon
sekaligus menyetujui permohonan pemohon perihal perseorangan
warga negara atau badan hukum diberikan legal standing sebagai
pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di Mahkamah
Konstitusi. Akan tetapi, prosedurnya saja yang salah bukan melalui
mekanisme judicial review melainkan legislative review.
c. Dalam melihat perkara ini Mahkamah Konstitusi telah tidak konsisten
dengan putusan Mahkamah Konstitusi lainnya mengingat banyak
sekali putusan Mahkamah Konstitusi yang justru cenderung bersifat
ultra petita bahkan menjadi positive legislator.305
d. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi hanya melihat dari perspektif
formalnya permohonan dan tidak masuk ke dalam ranah substansi
permohonan. Sebab Mahkamah hanya memutus mengenai prosedur
mana yang lebih tepat, padahal sejatinya lebih penting memutus
mengenai apakah substansi Pasal 68 (1) Undang-Undang Mahkamah
Konstitusi telah sesuai dengan nafas Undang-Undang Dasar 1945
ataukah tidak. Itu artinya Mahkamah dalam melihat perkara ini
menggunakan perspektif yang sangat positivis. sempit dan melihat
hanya dari satu sudut pandang yakni dari hukum tertulisnya, tanpa
memperdulikan nilai-nilai dan dinamika yang ada di tengah
masyarakat.
305 Terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat conditinally constitutional dan positive legislator beberapa di antaranya adalah Putusan No. 46/PUU-VIII/2010, Putusan No. 102/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009.
Universitas Indonesia
121
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya mengenai tinjauan yuridis
atas legal standing pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi, maka
Penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, antar lain sebagai berikut:
1. Pembubaran partai politik secara langsung berakibat dan bersinggungan
dengan hak konstitusional warga negara dalam berserikat. Hal itu disebabkan
karena partai politik pada dasarnya adalah manifestasi dari hak kebebasan
berserikat itu sendiri. Dimana kebebasan berserikat merupakan hak
konstitusional yang diatur melalui Pasal 28 dan 28E ayat (3) Undang-Undang
Dasar 1945. Meskipun kebebasan berserikat adalah hak konstitusional, akan
tetapi hak tersebut juga harus ada batasannya. Pembatasan itu wajar dilakukan
semata-mata demi menjaga keamanan nasional dan keselamatan publik,
mencegah terjadinya kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta untuk
melindungi hak kebebasan orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J
ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Terlebih lagi, sejatinya kebebasan
berserikat adalah hak yang dapat diderogasi karena tiga alasan. Pertama,
Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 telah secara tegas mengklasifikasikan
hak-hak mana saja yang tidak dapat diderogasi dan kebebasan berserikat tidak
Universitas Indonesia
122
termasuk di dalamnya. Kedua, terdapat perbedaan antara freedom of
expression dan freedom of peacefull assembly dengan freedom of association,
dimana freedom of association merupakan keberlanjutan serta manifestasi
dari freedom of expression dan freedom of peacefull assembly.Ketiga, hak
yang tidak dapat diderogasi disebabkan karena bersifat forum internum yang
artinya hak itu melekat karena kemanusiaanya, sedangkan terhadap forum
eksternum dapat diderogasi karena sifatnya yang merupakan ekspresi dan
bersinggungan dengan hak orang lain. Maka dari itu pembatasan terhadap
partai politik berupa pembubaran sejatinya diperbolehkan sepanjang sesuai
dengan tujuan pembatasan itu sendiri. Sehingga dalam prakteknya,
pembubaran partai politik tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang
melainkan harus melalui mekanisme yang jelas, yakni:
a. Dilakukan semata-mata untuk menjaga keamanan nasional dan
keselamatan publik;
b. Mencegah terjadinya kejatahan;
c. Melindungi kesehatan dan moral masyarakat;
d. Melindungi hak kebebasan orang lain;
e. Dilakukan secara ketat yang diatur dalam hukum;
f. Dilakukan untuk mencapai tujuan masyarakat demokratis;
g. Benar-benar dibutuhkan;
h. Bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial dan;
i. Melalui proses yang adil, seimbang, dan objektif;
j. Diputus melalui proses peradilan yang due process of law.
2. Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam pembubaran partai
politik di Mahkamah Konstitusi telah melanggar hak konstitusional warga
negara karena sangat tidak sesuai mulai dari aspek ilmiah hingga tataran
praktek ketatanegaraan. Pertama, ketentuan Pasal 68 (1) Undang-Undang
Mahkamah Konstitusi tidak sejalan dengan teori kedaulatan rakyat yang
diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, karena hanya mengakomodir
representative democracy saja dan mengabaikan direct democracy itu sendiri.
Kedua, jika ditinjau dari konsepsi negara hukum maka pemberian legal
Universitas Indonesia
123
standing hanya kepada pemerintah telah mencedrai aspek negara hukum itu
sendiri yakni persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebab
telah mendiskriminasi warga negara dengan Presiden atas dalil jabatan. Ketiga,
secara filosofis dan logika ekonomi, ketika partai politik menyebabkan
kerugian kepada uang negara, maka sudah seharusnya warga negara dan
kelompok masyarakat memiliki fasilitas pertanggungjawaban kepada partai
politik karena warga negara adalah pihak yang paling dirugikan dan terkena
dampak langsung sebagai korban atas tindakan partai politik tersebut.
Keempat, secara logika politik dan praktek di lapangan, pemberian legal
standing pembubaran partai politik yang hanya diberikan kepada pemerintah
merupakan aturan yang sia-sia, sebab Indonesia mengenal adanya sistem
koalisi yang secara langsung menyandera pemerintah karena terikat kontrak
politik dengan partai dan partai pendukungnya. Kelima, warga negara perlu
diberikan fasilitas pengawasan secara langsung berupa dijadikan pihak yang
dapat memohonkan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi, sebab
fasilitas melalui pemilu dan civil disobedience terbukti tidak efektif dan tidak
memberikan efek jera kepada partai politik.
4.2 Saran
Berdasarkan hal-hal yang ditemukan oleh Penulis dalam penelitian ini,
maka penulis merasa perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut:
1. Terhadap Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Pasal 68
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
dengan menambahkan Perseorangan Warga Negara atau Kelompok
Masyarakat sebagai pihak yang dapat memohonkan pembubaran partai
politik ke Mahkamah Konstitusi sehingga Pasal tersebut berbunyi:
“Pemohon adalah Pemerintah, Perseorangan Warga Negara atau
Kelompok Masyarakat.”
2. Terhadap Warga Negara Indonesia dan kelompok masyarakat tidak
boleh memandang fasilitas berupa permohonan pembubaran partai
politik sebagai sarana untuk menjatuhkan lawan politiknya, melainkan
harus dimaknai sebagai upaya mengawasi partai politik agar sesuai
Universitas Indonesia
124
dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
3. Terhadap Mahkamah Konstitusi harus lebih konsisten dalam memutus
suatu perkara sehingga tidak terjadi kerancuan di tengah masyarakat.
Mahkamah Konstitusi dalam memutus juga tidak boleh hanya terpaku
kepada Undang-Undang yang ada saja, melainkan juga harus melihat
permasalahan nyata yang ada di masyarakat . Kemudian, apabila
terealisasi warga negara atau kelompok masyarakat dapat mengajukan
permohonan pembubaran partai politik maka Mahkamah Konstitusi
harus profesional dengan mengadili perkara tesebut sesuai dengan
kaidah hukum yang berlaku dan tidak terfokus pada isu politik-nya
saja.
***
DAFTAR PUSTAKAI. BUKU
Ajisaka, Arja. Mengenal Pahlawan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Kawanpustaka, 2008.
Amini, Aisyah. Pasang Surut Peran DPR-MPR. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah bekerjasama dengan PP Wanita Islam, 2004.
Anshari, H. Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004.
Arif, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.
Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN FHUI, 2003.
Ariyanto, Rio. “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Skripsi Universitas Andalas, Padang, 2014.
Asshiddiqie, Jimly. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Gema Insani Pers,1995.
__________. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.
__________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006.
Universitas Indonesia
125
__________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Cetakan ketiga. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.
__________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.
__________. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996.
__________. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Gramedia, 2007.
Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN FHUI, 2003.
Barnet, Hillaire. Constitutional and Administrative Law, Fifth Edition, London-Sydney-Portlad. Oregon: Cavendish Publishing Limited, 2004.
Bemmelen, J.M van. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan oleh Hasan. Bandung: Binacipta, 1984.
Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Grafika Pustaka Utama, 2008.
__________. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982.
Chemerinsky, Erwin. Constitutional Law: Principles and Policies. New York: Aspen Law and Business, 1997.
Chotib.Et al. Kewarganegaraan 2: Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Yudhistira, 2007.
Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Buloggate dan Bruneigate DPR RI. Jakarta: Pansus Buloggate dan Bruneigate DPR RI, 2001.
Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003
__________. Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004. Jakarta: Kompas Gramedia, 2004.
Dzulfikriddin, M. M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia Peran dan Jasa Mohammad Natsir Dalam Dua Orde Indonesia. Bandung: Mizan, 2010.
Fachrudin, Achmad. Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi. Jakarta: Garmedia Utama Publishindo, 2013.
Fadjar, Abdul Mukthie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.
Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary.Sixth Edition. St.Paul: West Group, 1999.
Universitas Indonesia
126
German Federal Foreign Office. “Facts about Germany”, Frankfurt/Main, incollaboration with the German Federal Foreign Office. Berlin: Societäts-Verlag, 2008.
Haris, Syamsudin. Pemilu Langsung Di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.
Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H.,M.C.L. Wakil Ketua MK. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.
Ian Budge. “Direct & Representative Democracy: Are They Necessary Opposed?”. Colchester: University Colchester, 2005.
Kahin, Audrey. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia: 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Kansil, C.S.T. Parpol dan Golkar. Jakarta: Aksara Baru, 1979.
Kansil, C.S.T dan Cristine S.T Kansil. Pokok-Pokok Badan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 2002.
Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press, 1933.
Kartohadirjo, Sartono, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Soesanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.
Katz and Mair. How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democratie. London: Sage Publications, 1994.
Kommers. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany. Durham: Duke University Press, 1989.
Kusnaedi. Memenangkan Pemilu dengan Pemasaran Efektif. Jakarta: Duta Media Tama, 2009.
Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011
Legge, J. D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.
Leirissa, R.Z. PRRI Permesta: Strategi Membangun Tanpa Komunis. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.
M.Fic, Victor. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.
Maarif, Ahmad Syafii. Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1997.
__________. Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.
Universitas Indonesia
127
Maciver, RM. The Modern State. First edition. London: Oxford University Press, 1955.
Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan Pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010.
Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Matroji. Sejarah Untuk SMP kelas VIII. Jakarta : Erlangga, 2006.
MD, Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.
__________. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Liberty, 1981.
Muljana, Slamet. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKIS, 2008.
__________. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan. Jakarta: Balai Pustaka, 1968.
Nadj, E. Shobirin. Kebebasan: Restriksi dan Resistens : Studi Kebebasan Berkumpul di Indonesia. Jakarta: Cesda LP3ES, 2001.
Nasution, A.H. Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I. Djakarta: PT Seruling Masa, 1967.
Noer, Deliar. Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987.
Noer, Deliar dan Akbarsyah. KNIP: Parlemen Indonesia 1945 – 1950. Jakarta: Yayasan Risalah, 2005.
Notosusanto, Nugroho. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.
__________. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.
O.C. Kaligis dan Associates. Partai Golkar Digugat. Jakarta: Otto Cornelis Kaligis, 2001.
Pakpahan, Muchtar. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.
Palguna, I Dewa Gede. Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Poerwanta, PK. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Universitas Indonesia
128
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.
Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1994.
Rahzen, Taufik. Almanak Abad Partai Indonesia. Jakarta: Boekoe I, 2008.
Rousseau, Jean Jacques. Du Contract Social (Perjanjian Sosial).Jakarta: Visimedia, 2009
Safa’at, Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.
Sampurno, Silverio R.L. Aji. Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor 200 Tahun 1960: Sekitar Pembubaran Masyumi, Seri Laporan Penelitian–1. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 1995.
Saragih, Bintan R. dan Moh. Kusnadi. Ilmu Negara.Edisi revisi. Cetakan keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.
Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.
Scheltema, M. “De Reechsstaat” dalam J.W.M. Engels, et. Al., De Rechstaat Herdacht. W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989.
Soefihara, Endin Akhmad Jalaluddin. Merebut Nurani Rakyat: Koalisi, Konflik, dan Etika Politik. Jakarta: Belantka, 2005Soekanto, Soerjono . Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.
Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. Djilid Pertama. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964.
__________. Dibawah Bendera Revolusi. Djilid Kedua. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964.
__________. Tatanegara Republik Indonesia Sudah Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945 untuk S.M.A. Jakarta: Nusantara, 1963.
Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke-II. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.
Soerojo, Soegiarso. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: Antar Kota, 1988.
Soeroso, Santoso. Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia. Jakarta: EGC, 2002.
Sulastomo. “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama. Jakarta: Kompas, 2001.
Universitas Indonesia
129
Sumarkidjo. Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G30S. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.
Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi Abri, diterjemahkan oleh Hasan Basri. Jakarta: LP3ES, 1986
Suprapto, Bibit Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Suwondo, Bambang. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.
Syaifulla. Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.
Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.
TIM. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Dilengkapi Sejarah Berdirinya NKRI, Daftar Wilayah NKRI, Daftar Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu di Indonesia. Yogyakarta: New Merah Putih, 2009.
Tim Konstitusi. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.
Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Depok: Penerbit FH UI ,2014.
Tim Media Pusindo. Pahlawan Indonesia. Jakarta: Media Pusindo, 2008.
Tobing, Jakob. “Kebebasan Berserikat Sebagai Hak Asasi”, http://www.leimena.org/id/page/v/531/kebebasan-berserikat-sebagai-hak-asasi. Diunduh pada 23 Desember 2015.
Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagjo Toer dan Ediati Kamil. Krnok Revolusi Indonesia. Jakarta: KPG, 1999.
Vanhuysse, Pieter and Achim Goerres. Agein Populations In Post-Industrial Democracies: Comparative Studies of Policies and Politics. Oxon: Routledge, 2012.
Yulianto, Agus. Hukum Anggaran dan Keuangan Publik. Jakarta: FHUI dan Elips Project, 1998.
Zara, M. Yuanda. Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Medpress, 2009.
Zulkifli, Arif. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik. Jakarta: Grafiti, 1996.
II. ARTIKEL/JURNALFGW, Allan dan Harry S. “Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau
Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Nomor. 4. (Oktober, 2013).
Heryanto, Gun Gun. “Sandera Politik Koalisi Semu”. Media Indonesia, 10 Juni 2013.
Universitas Indonesia
130
Indra, Mexsasai. “Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan Dengan Sistem Pemerintah Republik Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No.2.
Rauf, Maswadi. “Partai Politik dalam Sistem Kepartaian Indonesia Antara Kenyataan dan Harapan”. Jurnal Politika, Vol.2, No.2 Tahun 2006.
Rumokoy, Nike K. “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia.” Jurnal Hukum Unsrat Vol. XVII/No. 1 (April – Juni 2009).
Saleh, Moh. “Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik.” Jurnal Konstitusi Volume I No. 1. (November 2011).
Soemardjan, Selo. ”Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita, Review of Politics” Feith & Castles VOL XXV. (Januari 1963).
III. SKRIPSI/TESIS/DISERTASIAsshiddiqie, Jimly. “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan
Pelaksanaanya Di Indonesia: Pergesertan Keseimbangan Antara Individualisme dan Kolektivisme DalamKebijakan Demokrasi Politik Dan demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an”. Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta, 1993.
Bevern, Simona.”Party Communication in Routine Times of Politics: Issues Dynamics, Party Competition, Agenda-Setting, and Representation in Germany”.Disertasi Universitas Manheim. Manheim, 2015.
Bimantara, Alfidatu Panji. “Perjuangan Diplomasi Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949.” Skripsi Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta, 2014.
Dawud . “Tingkat Kepercayaan Masyarakat Muslim Terhadap Partai Politik Berasas Islam (Studi Kasus di Kecamatan Kebumen Pada Pemilu 2014).” Skripsi Sarjana UIN Syartif Hidayatullah. Jakarta, 2014.
Rusdi.“Partai Sosialis Indonesia Dan Peranan Kepolitikannya 1948-1960. Tesis program studi ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Jakarta, 1997
Safa’at, Muchamad Ali. “Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004”. Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta, 2009.
Setiawan, Hari Poerna. “Kebijakan Luar Negeri Jerman Dalam Merespon Isu Perubahan Iklim Global (Periode 1997-2007. Tesis Universitas Indonesia. Jakarta, 2008.
IV. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANIndonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
__________. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.
Universitas Indonesia
131
__________. Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, LN No. 29 Tahun 1953.
__________. Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801.
Jerman. Federal Constitutional Court Act.
Korea Selatan. Constitution of South Korea.
Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan MPRS RI tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966.
__________. Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Maklmuat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. TAP MPR No : I/MPR/2001
South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965. The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age. Bangkok: International Commission of Jurists, 1965.
V. INTERNET“Anas Urbaningrum Tersangka Proyek Hambalang”.
http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/02/130222_tersangka_baru_hambalang. Diunduh pada 17 Desember 2015.
“Arti Kata Kedaulatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)” http://kamuskbbi.web.id/arti-kata-kedaulatan-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesia-kbbi.html. Diunduh pada 25 Desember 2015.
Bapenas. “Inilah Profil Partai Politik Peserta Pemilu 2004”. http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20Negeri/1%29%20Pemilu/3%29%20Pemilu%20tahun%202004/Partai%20Peserta%20Pemilu%202004.pdf. Diunduh pada 29 November 2015.
Budiawan. “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”. http://indoprogress.com/2014/12/pemberontakan-pki-1926-27-dalam-dua-teks-sejarah. Diunduh pada 28 November 2015.
”Elektabilitas Demokrat Malah Terus Menurun”. http://sp.beritasatu.com/home/elektabilitas-demokrat-malah-terus-menurun/23286. Diunduh pada 29 November 2015.
Gintis, Herbert and Carel van Schail. “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf. Diunduh pada 30 September 2015.
Universitas Indonesia
132
Hasibuan, Noor Aspasia. “DPR dan Polri Lembaga Terkorup”. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi-dpr-dan-polri-lembaga-terkorup/. Diunduh pada 2 November 2015.
Ihsanuddin. “LSI: Elektabilitas Terus Turun, Demokrat Bakal Jadi Parpol Papan Tengah”.http://nasional.kompas.com/read/2013/11/24/1428376/LSI.Elektabilitas.Terus.Turun.Demokrat.Bakal.Jadi.Parpol.Papan.Tengah. Diunduh pada 29 November 2015.
Inggried. “KPK Tetapkan Amrun Daulay Tersangka”, http://regional.kompas.com/read/2011/04/08/14164099/KPK.Tetapkan.Amrun.Daulay.Tersangka. Diunduh pada 17 Desember 2015.
Jerman. “Basic Law for The Federal Republic of Germany”. Diunduh melalui https://www.btg-bestellservice.de/pdf/80201000.pdf.
Jerman. “Political Parties Act of 24 July 1967”. Diunduh melalui https://www.bundestag.de/blob/189734/2f4532b00e4071444a62f360416cac77/politicalparties-data.pdf.
Julander, Treg A. Democracy Without Political Parties, dalam Michelle N. Johnson, America in The 21st Century: Political and Economic Issues-3. UK: Nova Science Pub. Inc., 2002.
“Kaleidoskop KBS World Tahun 2014” http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/specialprogram/sub_index.htm?No=582. Diunduh pada 3 Desember 2015.
Kepustakaan Presiden. “Pemilihan Umum Tahun 2014”, http://kepustakaan-Presiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=33&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=. Diunduh pada 29 November 2015.
Mahkamah Konstitusi. “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#. Diunduh 1 Oktober 2015.
“Maklumat Pemerintah. http://ngada.org/maklumat14.10-1945.htm. Diunduh pada 23 November 2015.
Mandala, Edward. “Sistem Kepartaian Dan Pemilu di Indonesia”. http://www.leutikaprio.com/main/media/sample/Sistem%20Kepartaian%20dan%20Pemilu%20di%20Indonesia%20DOWNLOAD%20SAMPLE.pdf. Diunduh pada 22 November 2015.
Meilikhah. “Patrice Rio Capella Jadi Tersangka di KPK”. http://news.metrotvnews.com/read/2015/10/15/180490/patrice-rio-capella-jadi-tersangka-di-kpk. Diunduh pada 17 Desember 2015.
Nay. “Melanggar UU Parpol, Golkar Digugat untuk Bubar”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2806/melanggar-uu-parpol-golkar-digugat-untuk-bubar. Diunduh pada 2 Desember 2015.
Universitas Indonesia
133
“Nazaruddin: Dana Kongres Demokrat Berasal dari APBN”. http://www.gresnews.com/berita/politik/113209-nazaruddin-dana-kongres-demokrat-berasal-dari-apbn/0/. Diunduh pada 18 Desember 2015.
Novita, Ambaranie Nadia Kemala. “Hukuman Anas Urbaningrum Jadi 14 Tahun, Bayar Rp 57 M, dan Hak Dipilih Dicabut”. http://nasional.kompas.com/read/2015/06/08/20072581/Hukuman.Anas.Urbaningrum.Jadi.14.Tahun.Bayar.Rp.57.M.dan.Hak.Dipilih.Dicabut. Diunduh pada 17 Desember 2015.
Paraqbueq, Rusman. “Anas Resmi Tersangka Kasus Suap”, http://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/22/063463066/anas-resmi-tersangka-kasus-suap. Diunduh pada 29 November 2015.
“Partai Politik”. https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik. Diunduh pada 28 November 2015.
“Pembubaran Partai Murba”.http://majalengkanews.com/pembubaran-partai-murba/. Diunduh pada 1 Desember 2015.
“Pemerintah dan Partai Berhaluan Kiri Adu Argumen Soal Pembubaran Partai”. http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_Po_detail.htm?No=34833. Diunduh pada 3 Desember 2015.
“Pengertian Kedaulatan Rakyat”. http://www.pengertianahli.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-rakyat.html. Diunduh pada 5 Oktober 2015.
Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068. Diunduh pada 28 September 2015.
Qodir, Abdul. “Politisi Demokrat Amrun Daulay Divonis Penjara 17 Bulan”. http://www.tribunnews.com/nasional/2012/01/12/politisi-demokrat-amrun-daulay-divonis-penjara-17-bulan. Diunduh pada 17 Desember 2015.
Rastika, Icha. “KPK Tetapkan Andi Mallarangeng Tersangka Hambalang”. http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/19065844/KPK.Tetapkan.Andi.Mallarangeng.Tersangka.Hambalang. Diunduh pada 29 November 2015.
“Sejarah Lengkap Sarekat Islam”. http://www.markijar.com/2015/06/sejarah-lengkap-sarekat-islam-si.html. Diunduh pada 25 November 2015.
Setiawan, Deni Eko dan Evi Ernasari. “Perkembangan Partai Politik di Indonesia Sejak Masa Pra Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Orde Lama”. http://eviernasari23.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-politik.html. Diunduh pada 26 November 2015.
Siregar, Zulhidayat. “Data Dari Andi Arief, Golkar Paling Korup dan PKS DI Urutan Buncit”. http://www.rmol.co/read/2014/03/10/146788/Data-dari-Andi-Arief,-Golkar-Paling-Korup-dan-PKS-di-Urutan-Buncit-. Diunduh pada 17 Desember 2015.
Taufik, Mohamad. “Ini Kronologi Kasus Yang Menjerat Ratu Atut”, http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-kasus-yang-menjerat-ratu-atut.html. Diunduh pada 17 Desember 2015.
Universitas Indonesia
134
Thoreau, Henry David. “Civil Disobedience”. http://xroads.virginia.edu/~hyper2/thoreau/civil.html. Diunduh pada 25 Desember 2015.
TRA. “Gugatan Pembubaran Golkar Disidangkan”. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/06/01/0064.html. Diunduh pada 2 Desember 2015.
U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs. “Defining Democracy”. http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm. Diunduh pada 30 September 2015.
Waluyo, Andylala. “Mahkamah Agung Vonis Nazaruddin 7 Tahun Penjara”. http://www.voaindonesia.com/content/mahkamah-agung-vonis-nazaruddin-7-tahun-penjara/1589218.html. Diunduh pada 17 Desember 2015.
YYT. “Demonstrasi Menuntut Golkar Dibubarkan Semakin Marak”. http://news.liputan6.com/read/7593/demonstrasi-menuntut-golkar-dibubarkan-semakin-marak. Diunduh pada 2 Desember 2015.
Zuniar, Robiatuz. “Sarekat Dagang Islam (Sejarah dan Perkembangannya)”. https://www.academia.edu/15287869/Sarekat_Dagang_Islam_Sejarah_dan_Perkembangannya_. Diunduh pada 27 November 2015.
Universitas Indonesia