+ All Categories
Home > Documents > Skripsi Hukum Universitas Indonesia: TINJAUAN YURIDIS ATAS LEGAL STANDING PEMBUBARAN PARTAI POLITIK...

Skripsi Hukum Universitas Indonesia: TINJAUAN YURIDIS ATAS LEGAL STANDING PEMBUBARAN PARTAI POLITIK...

Date post: 21-Nov-2023
Category:
Upload: ui
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
134
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sistem penyelenggaran kekuasaan negara yang dipandang paling sesuai dengan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini adalah sistem demokrasi. 1 Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (democracy is government from people, by people and for people). 2 Terlebih lagi memang konsep demokrasi didirikan atas dasar logika persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang diperintah, dalam hal ini adalah rakyat. 3 Itu artinya baik dari segi teoritis maupun praktis demokrasi erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana sistem penyelenggaraan negara yang demokratis itu menjamin bahwa rakyat terlibat secara penuh dalam merencanakan, mengatur, dan mengawasi serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan. 4 Indonesia sebagai negara yang merdeka dengan tegas menganut paham kedaulatan rakyat dengan menuangkannya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dalam mengakomodir kedaulatan dan keterlibatan rakyat tersebut, maka dari itu dituangkanlah dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatur mengenai jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat di Indonesia. Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen internasional yang tertuang dalam konferensi International Commision of Jurirsts di Bangkok pada tahun 1965 yang menjadikan kebebasan berpendapat dan 1 Jimly Asshiddiqie (1), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm.114. 2 U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs, “Defining Democracy”, http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diunduh pada 30 September 2015. 3 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2. 4 Jimly Asshidiqie (1) , loc.cit. Universitas Indonesia
Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem penyelenggaran kekuasaan negara yang dipandang paling sesuai

dengan kebutuhan masyarakat modern dewasa ini adalah sistem demokrasi.1

Demokrasi secara sederhana diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk rakyat (democracy is government from people, by people and for

people).2 Terlebih lagi memang konsep demokrasi didirikan atas dasar logika

persamaan dan gagasan bahwa pemerintahan memerlukan persetujuan dari yang

diperintah, dalam hal ini adalah rakyat.3 Itu artinya baik dari segi teoritis maupun

praktis demokrasi erat kaitannya dengan prinsip kedaulatan rakyat, dimana sistem

penyelenggaraan negara yang demokratis itu menjamin bahwa rakyat terlibat

secara penuh dalam merencanakan, mengatur, dan mengawasi serta menilai

pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.4

Indonesia sebagai negara yang merdeka dengan tegas menganut paham

kedaulatan rakyat dengan menuangkannya dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 yang berbunyi kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan

menurut Undang-Undang Dasar. Sebagai salah satu bentuk tindak lanjut dalam

mengakomodir kedaulatan dan keterlibatan rakyat tersebut, maka dari itu

dituangkanlah dalam Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang

mengatur mengenai jaminan kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan

pendapat di Indonesia. Ketentuan senada pun sejatinya terlihat dalam dokumen

internasional yang tertuang dalam konferensi International Commision of Jurirsts

di Bangkok pada tahun 1965 yang menjadikan kebebasan berpendapat dan

1 Jimly Asshiddiqie (1), Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006), hlm.114.

2 U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs, “Defining Democracy”, http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm, diunduh pada 30 September 2015.

3 Robert A. Dahl, Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm. 2.

4 Jimly Asshidiqie (1) , loc.cit.

Universitas Indonesia

2

kebebasan berserikat sebagai ciri utama negara yang memiliki pemerintahan

demokratis di bawah Rule of Law.5 Dengan diaturnya kebebasan berserikat dalam

kedua ketentuan diatas, dapat diketahui bahwasannya kebebasan berserikat telah

diakui dan disepakati sebagai bagian yang penting di negara Indonesia secara

khusus dan masyarakat global secara umum sehingga perlu diatur secara tegas dan

spesifik.

Pada dasarnya kebebasan berserikat lahir dari kecenderungan dasar

manusia untuk hidup bermasyarakat dan berorganisasi baik secara formal maupun

informal.6 Hal ini sejalan dengan pendapat Aristoteles yang mengemukakan

bahwa manusia adalah makhluk sosial yang kodratnya untuk hidup bermasyarakat

dan berinteraksi satu sama lain karena masing-masing manusia tidak mampu

hidup sendiri tanpa adanya bantuan dari orang lain.7 Menurut Prof. Jimly

kecenderungan tersebut merupakan suatu keniscayaan, dimana kehidupan

berorganisasi timbul untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan-kepentingan

yang sama dari individu-individu serta untuk mencapai tujuan bersama

berdasarkan persamaan pikiran dan hati.8 Kebebasan berserikat menjadi penting

karena merupakan manifestasi puncak dari kebebasan hati nurani, kebebasan

berkeyakinan dan kebebasan menyatakan pendapat seseorang. Selain itu, hak-hak

tersebut juga merupakan sarana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam

pemerintahan sehingga jaminan terhadap hak-hak tersebut merupakan prasyarat

mutlak demokrasi. Tanpa adanya kemerdekaan berserikat, harkat kemanusiaan

dapat berkurang karena dengan sendirinya seseorang tidak dapat

mengekspreksikan pendapat menurut keyakinan dan hati nuraninya.9

5 South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965, The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age, (Bangkok: International Commission of Jurists, 1965), hlm.39-50.

6 Muchamad Ali Safa’at, Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011), hlm.14.

7 Herbert Gintis and Carel van Schail, “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf, diunduh pada 30 September 2015.

8Jimly Asshiddiqie (2), Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005), hlm. 44.

9 Richard H. Pildes, “The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068, diunduh pada 28

Universitas Indonesia

3

Akan tetapi faktanya, selalu saja ada jarak antara rakyat yang berdaulat

tersebut dengan penyelenggara negara itu sendiri. Maka dari itu, konsep abstrak

kebebasan berserikat perlu dikonkretifsasi sehingga diperlukan suatu institusi dan

mekanisme khusus yang menjamin kebebasan berserikat tersebut. Institusi dan

mekanisme itu termanifetasi dan terinternalisasi kepada tiga hal yakni lembaga

perwakilan, partai politik dan pelaksanaan pemilihan umum secara berkala.10

Lembaga perwakilan, partai politik, dan pemilihan umum merupakan satu

kesatuan sistem yang integral dan sulit dipisahkan, dimana aktivitas partai politik

dalam memperjuangkan program dan menyampaikan aspirasi dari rakyat

diadvokasikan melalui lembaga perwakilan. Kemudian, anggota lembaga

perwakilan tersebut pada umumnya adalah orang-orang dari partai politik yang

diperoleh melalui mekanisme pemilihan umum.11 Pemilu tanpa disertai partai

politik hanya akan mempertahankan status quo dan itu artinya hanya sekadar

perangkat konservatif yang memberikan keabsahan umum pada struktur dan

kepemimpinan lama.12

Dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi dan kedaulatan

rakyat, keberadaan partai politik memegang fungsi yang sangat strategis. Hal itu

karena negara demokrasi memang dibangun di atas sitem kepartaian.13 Bahkan

menurut R.M. Maciver, demokrasi tidak dapat berjalan tanpa adanya partai politik

itu sendiri, karena partai politik berfungsi sebagai struktur perantara (intermediate

structure) antara rakyat (civil society) dengan negara (state).14 Lebih lanjut

menurut Miriam Budiardjo pentingnya partai politik tertuang dalam 4 fungsi

September 2015.10 Jimly Asshiddiqie (3), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah:

Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press, 1996), hlm.25-26.11Bintan R. Saragih dan Moh. Kusnadi, Ilmu Negara, edisi revisi, cetakan keempat,

(Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 266.12 Safaat, op.cit ., hlm.16.13Sulastomo, “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan

Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 62.14 RM Maciver, The Modern State, first edition, (London: Oxford University Press, 1955),

hlm. 194.

Universitas Indonesia

4

yakni komunikasi politik, sosialisasi politik, rekrutmen politik dan pengatur

konflik politik.15

Fungsi komunikasi politik artinya partai politik berkomunikasi dengan

rakyat dalam bentuk menerima aspirasi dan menyampaikan program-program

politik yang kemudian ditindaklanjuti dalam bentuk program serta diperjuangkan

menjadi keputusan pemerintah. Itu artinya partai politik adalah jembatan antara

mereka yang memerintah (the rulers) dengan mereka yang diperintah (the ruled).

Lalu fungsi sosialisasi politik berarti partai melakukan penanaman nilai-nilai

ideologi dan loyalitas kepada negara dan partainya. Kemudian, fungsi rekrutmen

politik berarti partai politik melakukan kaderisasi dan seleksi terhadap calon-calon

anggota lembaga perwakilan yang berbakat dan nantinya calon-calon tersebut

akan dipilih oleh rakyat. Terakhir fungsi pengatur konflik politik diartikan partai

politik mengelola aturan main dan pelembagaan kelompok-kelompok sosial

sehingga dapat meminimalisir potensi gerakan massal yang merusak dengan cara

revolusi atau kudeta.

Berdasarkan jabaran argumentasi diatas, dapat diketahui bahwasannya

kebebasan berserikat dan eksistensi dari partai politik merupakan syarat mutlak

dari ciri negara yang demokratis. Salah satu konsekuensinya dalam Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah diatur dalam Pasal

22E ayat (3) bahwa partai politik diakui sebagai bagian dari tata kehidupan

bernegara dengan menjadikannya sebagai peserta pemilihan umum untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah, bahkan berdasarkan Pasal 6A ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga

menyatakan bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai

politik atau gabungan partai politik. Maka dari itu keberadaan partai politik yang

penting tersebut juga harus diakui kedudukannya dalam lalu lintas hukum sebagai

suatu subjek hukum tersendiri, itu artinya partai politik harus memiliki status

sebagai badan hukum atau rechtpersoon yang beranggotakan perorangan warga

negara sebagai natuurlijke persoons. Apalagi partai politik masuk dalam

kualifikasi empat unsur suatu badan hukum yakni:

15 Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982), hlm. 14-16.

Universitas Indonesia

5

1. Harta kekayaan yang terpisah dari kekayaan subjek hukum yang

lain;

2. Mempunyai tujuan ideal tertentu yang tidak bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan;

3. Mempunyai kepentingan sendiri dalam lalu lintas hukum;

4. Memiliki organisasi kepengurusan yang teratur menurut peraturan

perundang-undangan dan peraturan internalnya; dan

5. Didaftarkan dan memperolah status sebagai badan hukum.16

Manfaat dari diakuinya partai politik sebagai badan hukum adalah dapat

melakukan tindakan hukum baik yang bersifat publik maupun perdata sekaligus

juga mengetahui batasan hak dan kewajibannya.

Meskipun demikian, kebebasan berserikat yang termanisfestasi dalam

partai politik harus memiliki batasan dalam konteks masyarakat demokratis, hal

ini semata-mata demi keamanan nasional dan keselamatan negara, untuk

mencegah kejahatan serta untuk melindungi kesehatan dan moral, serta untuk

melindungi hak dan kebebasan lain.17 Pembatasan tersebut harus ditafsirkan secara

ketat bahwa pembatasan harus diatur dalam aturan hukum, harus dilakukan

semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat demokratis, dan harus

benar-benar dibutuhkan dan bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan

sosial.18 Terlebih lagi, di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945

dikatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasan haruslah diberikan suatu

batasan. Dimana ketentuan Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 secara

lengkap seperti berikut:

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nila-nilai agama, keamana, dan ketertban umum dalam suatu masyarakat yang demokrasi.”

16 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm.74-75.17 Moh. Saleh, “Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik,” Jurnal Konstitusi Volume I

No. 1, (November 2011), hlm. 7.18 Ibid., hlm. 7-8.

Universitas Indonesia

6

Maka dari itu menurut Prof. Jimly Asshidiqie dalam suatu negara yang

demokratis, pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan berdasarkan alasan-

alasan rasional dan proporsional melalui mekanisme due process of law serta

berdasarkan putusan pengadilan. Dalam konteks ini, pembubaran yang dimaksud

adalah ketika telah berakhirnya eksistensi hukum dari partai politik, dimana

proses terjadinya pembubaran berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008

tentang Partai Politik Pasal 41 bisa terjadi karena tiga hal, yakni atas keputusan

sendiri, menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau dibubarkan

berdasarkan keputusan otoritas negara. Dalam penelitian ini, Penulis fokus pada

pembubaran partai politik variasi ke tiga yakni pembubaran yang dilakukan oleh

keputusan otoritas negara secara paksa (enforced dissolution).19 Perbedaan antara

pembubaran dengan cara keputusan otoritas negara secara paksa dengan

pembubaran jenis lainnya adalah pembubaran jenis ini harus dipandang sebagai

pemberian sanksi dari negara terhadap partai politik yang inkonstitusional dan

melanggar peraturan perundang-undangan.

Khususnya di Indonesia, praktek pembubaran partai politik pernah

beberapa kali terjadi pada masa pemerintahan sebelumnya. Pada masa penjajahan

Belanda, beberapa partai yang pernah dibubarkan antara lain adalah Indische

Partij (IP), Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terjadi pembubaran terhadap Partai

Masyumi dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) serta beberapa partai politik lain

yang tidak diakui statusnya sebagai badan hukum. Pada masa pemerintahan

Presiden Soeharto memang tidak terjadi pembubaran partai politik, akan tetapi

dilakukannya fusi sehingga menjadi tiga partai politik saja dan menutup ruang

kebebasan membentuk partai politik baru.20 Pada masa Abdurrahman Wahid pun

Partai Golkar juga pernah ingin dibubarkan dengan maklumat Presiden RI

Tanggal 23 Juli 2001 akan tetapi hal tersebut dinyatakan tidak memiliki kekuatan

hukum mengikat sejak dikeluarkannya ketetapan MPR Nomor I/MPR/2001.21

19 Safa’at, op.cit., hlm. 32.20 Ibid.21 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia Terhadap Maklmuat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001, TAP MPR No : I/MPR/2001, Ps.1 ayat (3).

Universitas Indonesia

7

Dimana dalam prakteknya partai politik sejatinya memiliki kewajiban

untuk mengamalkan Pancasila, melaksanakan UUD 1945 dan peraturan

perundang-undangan dibawahnya serta tidak menganut, mengembangkan dan

menyebarkan ajaran komunisme, marxisme, leninisme serta melakukan kegiatan

yangnmembahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik

Indonesia.22 Apabila partai politik tidak menjalankan kewajiban-kewajiban

yuridisnya, maka terdapat sanksi dan yang paling berat adalah dengan dibubarkan.

Pemberian sanksi oleh negara harus dipandang sebagai bentuk tanggung

jawab negara dalam mengawasi partai politik sebagai upaya menjaga eksistensi

partai politik itu sendiri agar berjalan sesuai dengan koridor yang telah diatur

dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Instrumen sanksi merupakan

upaya preventif dan represif dalam rangka pengawasan partai politik. Hal ini

sangat penting mengingat karena tanpa adanya sanksi terdapat kemungkinan

partai politik keluar dari jalur yang telah ditetapkan dalam peraturan sangat besar

dan menjadi lebih besar. Apabila hal tersebut terjadi dikhawatirkan kredibilitas

partai politik kepada masyarakat semakin terancam sehingga partai politik tidak

dipercaya lagi dalam menjalankan fungsinya.23 Apalagi saat ini partai politik tidak

mendapatkan kepercayaan yang cukup memadai dari masyarakat, dimana

berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh lembaga kajian nonprofit Populi

Center pada 16-22 Januari 2015 didapati hasil hanya 12.5 persen responden saja

yang percaya akan kinerja partai politik.24

Mengingat kebebasan berserikat adalah hak konstitusional warga negara

yang tercantum dalam Pasal 28 dan 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 dan

itu artinya kebebasan berserikat adalah hak yang teramat penting sehingga perlu

dituangkan dalam konstitusi. Terlebih lagi beberapa ahli berkeyakinan bahwa

kebebasan berserikat adalah salah satu bentuk natural rights yang bersifat

22 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801, Ps. 40 ayat (1) dan (5).

23 Allan FGW dan Harry S., “Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik,” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Nomor. 4, (Oktober, 2013), hlm. 524.

24Noor Aspasia Hasibuan, “DPR dan Polri Lembaga Terkorup”, http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi-dpr-dan-polri-lembaga-terkorup/, diunduh pada 2 November 2015.

Universitas Indonesia

8

fundamental dan melekat dalam perikehidupan bersama umat manusia, maka

menjadi suatu pertanyaan besar, apakah pembubaran partai politik tidak berakibat

pada hak konstitusional dalam berserikat? Apalagi berdasarkan penjabaran

sebelumnya, diketahui bahwa salah satu manifestasi kebebasan berserikat yang

paling nyata adalah adanya partai politik di suatu negara.

Permasalahan kedua adalah terkait dengan legal standing. Saat ini

kewenangan dalam melakukan pembubaran partai politik berada di lembaga

peradilan bernama Mahkamah Konstitusi. Dasar kewenangan Mahkamah

Konstitusi dalam pembubaran partai politik tertuang dalam Pasal 24C (1) Undang-

Undang Dasar 1945 bahwa Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan suatu

partai politik melalui putusan yang bersifat final dan mengikat (legally binding).

Selain itu wewenang Mahkamah Konstitusi dalam memutus pembubaran partai

politik juga terdapat dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

tentang Mahkamah Konstitusi dan Pasal 41 butir c Undang-Undang Nomor 2

Tahun 2008 tentang Partai Politik serta Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 12

Tahun 2008 Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.

Lebih lanjut, Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan partai politik

yang telah terdaftar dan berstatus sebagai badan hukum dalam Kementrian

Hukum dan HAM apabila terbukti dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi

melakukan bentuk pelanggaran konstitusional.25 Adapun alasan-alasan

membubarkan suatu partai politik telah tertuang dalam Pasal 68 (2) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimana partai

politik tersebut terbukti memiliki ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan

yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945. Hal ini sebagaimana diamanatkan pada Pasal 40 ayat (2) huruf a

Undang-Undang Partai Politik yang menyatakan bahwa partai politik dilarang

melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan. Lebih

ekstrim lagi, partai politik yang menganut, mengembangkan dan menyebarluaskan

paham komunisme, marxisme, dan leninisme berdasarkan Pasal 40 ayat (5)

25 Saleh, op.cit., hlm. 8.

Universitas Indonesia

9

Undang-Undang Partai Politik sudah pasti harus dibubarkan karena hal tersebut

bertentangan dengan ideologi bangsa Indonesia.

Akan tetapi, permasalahan selanjutnya muncul ketika peletakan

pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi hanya bisa dimohonkan oleh

pemerintah yang dapat diwakili oleh Jaksa Agung dan/atau Menteri yang

ditugaskan. Hal itu terlihat dalam Pasal 68 (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi jo Pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai

Politik yang kemudian dipertegas melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

53/PUU-IX/2011 yang memonopoli legal standing dalam pembubaran partai

politik hanya dapat diajukan oleh pemerintah.

Konsekuensi logis dari dimonopolinya legal standing dalam mengajukan

pembubaran partai politik adalah nihilnya permohonan mengenai pembubaran

partai politik di Mahkamah Konstitusi. Sejak pertama kali Mahkamah Konstitusi

di bentuk pada tahun 2003 hingga akhir tahun 2015 faktanya belum ada satupun

permohonan yang masuk ke meja panitera Mahkamah Konstitusi.26 Disinyalir hal

ini ada kaitannya dengan permohonan pembubaran partai politik yang hanya

dapat diajukan oleh pemerintah dalam hal ini adalah Presiden dan jajarannya.27

Akibat dari dimonopolinya legal standing pembubaran partai politik jelas

menutup pihak lain untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi,

seperti perseorangan atau kelompok masyarakat. Implikasinya adalah tumpulnya

peran warga negara dalam mengawasi kinerja partai politik, padahal dalam negara

yang demokratis peran warga negara sebegai pemegang kedaulatan tertinggi

sangatlah strategis, apalagi dalam hal pengawasan partai politik yang notabene-

nya adalah penyuplai wakil-wakil rakyat di pemerintahan.28

Jika ditelaah dari ketentuan yuridis, berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 26Mahkamah Konstitusi, “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai

Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#, diunduh 1 Oktober 2015.

27 Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316, Ps. 68 ayat (1).

28 Allan FGW dan Harry S., loc.cit.

Universitas Indonesia

10

2008 tentang Partai Politik dapat diketahui bahwa partai politik adalah organisasi

yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia

secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita. Itu artinya jika

ditelaah lebih lanjut maka patut dipertanyakan jika hanya Presiden yang memiliki

legal standing dalam pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi

disebabkan karena 4 alasan, pertama keberadaan partai politik tidak hanya

ditujukan bagi Presiden tapi warga negara secara keseluruhan, kedua partai politik

dibentuk oleh warga negara maka seharusnya warga negara pula yang dapat

membubarkannya, ketiga dengan hanya ada legalstanding dari pemerintah

tentunya sangat membatasi hak asasi manusia dalam hal mengajukan permohonan

ke Mahkamah Konstitusi padahal Indonesia telah menganut prinsip kesamaan

dihadapan hukum yang di akomodir dalam Pasal 27 ayat (1), 28 C ayat (2), 28 D

ayat (1) dan 28 I ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, keempat dengan hanya

Presiden yang menjadi legal standing dalam pembubaran partai politik membuat

banyak partai politik yang berpotensi untuk dibubarkan tetapi tidak dimohonkan

ke Mahkamah Konstitusi mengingat Presiden tersandera karena adanya hubungan

kontrak politik yang terjalin dalam sistem koalisi.

Dua permasalahan terkait pembubaran partai politik yakni hak

konstitusional warga negara dalam berserikat yang dibatasi dan legal standing

dalam mengajukan pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi yang

hanya di miliki oleh pemerintah membuat Penulis tertarik untuk membahasnya

lebih lanjut dalam karya tulis berbentuk skripsi dengan judul “Tinjauan Yuridis

atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik di Mahkamah Konstitusi”

1.2 Pokok Permasalahan

Penelitian ini mengangkat permasalahan utama yaitu:

1. Apakah gagasan tentang pembubaran partai politik berakibat terhadap

hak konstitusional warga negara dalam berserikat?

Universitas Indonesia

11

2. Apakah Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam

pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi telah melanggar

hak konstitusional warga negara?

1.3 Tujuan Penelitian

Secara umum, tujuan penelitian yang akan dilakukan adalah untuk

memberikan pemahaman yang komprehensif dengan memberikan kajian yang

lebih mendalam tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara

pembubaran partai politik. Adapun tujuan penelitian ini secara khusus adalah

untuk:

1. Untuk mengetahui hubungan dan akibat hukum dari pembubaran

partai politik terhadap hak konstitusional warga negara dalam

berserikat.

2. Untuk mengetahui Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah

dalam pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi apakah

melanggar hak konstitusional warga negara ataukah tidak.

1.4 Kerangka Teori

1.4.1 Teori Kedaulatan Rakyat

Istilah kedaulatan lazim dipahami sebagai sovereignity atau majesty yang

diadopsi dari bahasa Inggris, Perancis, Jerman dan Belanda yang telah banyak

dipengaruhi oleh Bahasa Latin. Semua istilah tadi menunjuk kepada akar

pengertian yang sama yaitu kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Akan tetapi

sejatinya akar kata kedaulatan itu sendiri merupakan saduran dari bahasa Arab

yang berasal dari akar kata daulat atau dulatan, yang dalam makna klasik artinya

sebagai pergantian atau peredaran. Dengan demikian, pengertian kedaulatan itu

dalam makna klasiknya berkaitan erat dengan gagasan mengenai kekuasaan

tertinggi yang didalamnya sekaligus terkandung dimensi waktu dan proses

peralihannya sebagai fenomena yang bersifat alamiyah.29

29 Jimly Asshiddiqie (4), Islam dan Kedaulatan Rakyat, (Jakarta: Gema Insani Pers,1995), hlm. 11.

Universitas Indonesia

12

Teori kedaulatan rakyat memiliki hubungan yang erat dengan konsepsi

perjanjian masyarakat atau kontrak sosial dalam konteks asal mula pembentukan

negara.30 Dimana timbulnya teori kedaulatan rakyat merupakan reaksi atas teori

kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi

rakyat.31 Maka dari itu J.J Rousseau menggemakan konsep kedaulatan baru yang

yang memposisikan rakyat sebagai penguasa tertinggi lewat bukunya Du Contract

Social. Buku tersebut merupakan pengembangan pemikiran dari Jean Bodin

mengenai kedaulatan dalam buku Six Livres de la Republique. Jean Bodin

mengatakan bahwa kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang mengatasi warga

negara, anak buah, dan undang-undang. Konsep ini jika diurai dapat ditarik

menjadi 3 unsur, yakni:

1) Kekuasaan itu bersifat tertinggi, tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi,

dan asli dalam arti tidak berasal dari atau bersumber kepada kekuasaan

lain yang lebih tinggi.

2) Mutlak dan sempurna dalam arti tidak terbatas dan tidak ada kekuasaan

lain yang membatasinya.

3) Utuh, bulat, dan abadi, dalam arti tidak terpecah-pecah dan tidak terbagi-

bagi.

Maka dari itu konsep kedaulatan sejatinya bersifat unite dalam arti

terdapat semangat dan kemauan umum rakyat adalah suatu kesatuan dengan mana

mereka sebagai kesatuan berhak memerintah dan menolak diperintah. Karena

rakyat adalah satu maka negara juga adalah satu, dan dengan sendirinya konsep

kedaulatan ini juga bersifat bulat dan tak dapat dipecah-pecah. Jika rakyat

berdaulat, maka rakyatlah satu-satunya pemegang kekuasaan tertinggi, bukan

yang lain. Disimpulkan oleh Bodin, bahwa kedaulatan adalah milik setiap bangsa

sebagai kesatuan yang bersifat turun-temurun, sehingga kedaulatan tidak dapat

berubah-ubah begitu saja, ketika berada di tangan rakyat maka selamanya akan

tetap ada di tangan rakyat. Kemudian dalam teori fiksinya mengenai perjanjian

30 “Pengertian Kedaulatan Rakyat” http://www.pengertianahli.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-rakyat.html, diunduh pada 5 Oktober 2015.

31 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI, Ilmu Negara, edisi revisi, (Depok: Penerbit FH UI ,2014), hlm. 124.

Universitas Indonesia

13

masyarakat (kontrak sosial), Rousseau menyatakan bahwa dalam suatu negara,

natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat sebagai penguasa

tertinggi memiliki hak-haknya. Itu artinya, secara sederhana dapat diartikan

bahwa kedaulatan rakyat adalah meletakan kekuasaan tertinggi disuatu negara di

tangan rakyat.32

Khususnya dalam konstitusi di negara Indonesia penegasan kedaulatan rakyat

secara nyata dapat dilihat dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan

bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-

Undang Dasar”. Pasal tersebut merupakan bentuk kemerdekaan dan penghargaan

kepada rakyat selaku elemen tertinggi. Sebelumnya, kedaulatan tersebut di

jewantahkan dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat,

akan tetapi kepercayaan tersebut ternoda dengan tirani kekuasaan selama 32 tahun

yang dilakukan oleh Presiden selaku mandataris Majelis Permusyawaratan

Rakyat. Menurut Jimly Asshiddiqie, perubahan tersebut menjadikan tidak hanya

MPR sajalah yang melakukan kedaulatan rakyat secara tunggal, akan tetapi

mandat rakyat dijalankan oleh cabang-cabang kekuasaan negara berdasarkan

Undang-Undang Dasar.33

1.4.2 Teori Hak Asasi Manusia: Hak Konstitusional Warga Negara

Sejak berakhirnya Perang Dunia ke-II, gerakan HAM di level internasional

semakin intensif terlebih lagi setelah didirikannya PBB. Sejalan dengan hal

tersebut banyak negara yang memasukkan jaminan dan perlindungan HAM itu

secara tertulis ke dalam konstitusinya, terlebih lagi setelah kejatuhan rezim

komunis pada akhir abad ke-20. Perancangan konstitusi negara pasca Perang

Dunia II terfokus pada dua masalah pokok:

32 Nike K. Rumokoy, “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia,” Jurnal Hukum Unsrat Vol. XVII/No. 1 (April – Juni 2009), hlm. 96.

33 Jimly Asshiddiqie, “Implikasi Perubahan UUD 1945 Terhadap Pembangunan Hukum Nasional”, Sambutan pada Seminar Pengkajian Hukum Nasional (SPHN) oleh Komisi Hukum Nasional (KHN) Republik Indonesia, Jakarta, 21 November 2005.

Universitas Indonesia

14

1. Penegasan HAM sebagai pembatasan wilayah otonomi individu yang tak

boleh dilanggar oleh negara.

2. Pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan khusus untuk

menjaga dan melindungi hak-hak asasi tersebut.34

Dimasukkannya HAM ke dalam konstitusi tertulis berarti memberi status

kepada hak-hak itu sebagai hak-hak konstitusional. Perlindungan yang dijamin

oleh konstitusi bagi hak konstitusional itu adalah perlindungan terhadap

pelanggaran oleh perbuatan negara atau public authorities, bukan terhadap

pelanggaran oleh individu lain.35

Hak asasi manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap pribadi

manusia. Maka dari itu hak asasi manusia (the human rights) itu berbeda dari

pengertian hak warga negara (the citizen’s rights). Apabila hak asasi manusia itu

telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945, sehingga secara otomatis hak

asasi manusia tersebut telah resmi menjadi hak konstitusional setiap warga negara

atau “constitutional rights”.

Namun tetap harus dipahami bahwa tidak semua “constitutional rights”

identik dengan “human rights”. Terdapat hak konstitusional warga negara (the

citizen’s constitutional rights) yang bukan atau tidak termasuk ke dalam

pengertian hak asasi manusia (human rights). Misalnya, hak setiap warga negara

untuk menduduki jabatan dalam pemerintahan adalah “the citizen’s constitutional

rights”, tetapi tidak berlaku bagi setiap orang yang bukan warga negara. Karena

itu, tidak semua “the citizen’s rights” adalah “the human rights”, akan tetapi dapat

dikatakan bahwa “the human rights” bisa juga sekaligus merupakan “the citizen’s

rights”.

Hak-hak tertentu yang dapat dikategorikan sebagai hak konstitusional

Warga Negara adalah:

34 I Dewa Gede Palguna, Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 132-133.

35 Ibid.

Universitas Indonesia

15

a. Hak asasi manusia tertentu yang hanya berlaku sebagai hak

konstitusional bagi Warga Negara Indonesia saja. Misalnya, (i) hak

yang tercantum dalam Pasal 28D ayat (3) UUD 1945 yang

menyatakan, “Setiap Warga Negara berhak atas kesempatan yang

sama dalam pemerintahan”; (ii) Pasal 27 ayat (2) menyatakan,

“Tiap-tiap Warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan

yang layak bagi kemanusiaan; (iii) Pasal 27 ayat (3) berbunyi,

“Setiap Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam

pembelaan negara”; (iv) Pasal 30 ayat (1) berbunyi, “Tiap-tiap

Warga Negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan

dan keamanan negara”; (v) Pasal 31 ayat (1) menentukan, “Setiap

Warga Negara berhak mendapat pendidikan”; Ketentuan-ketentuan

tersebut khusus berlaku bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi

setiap orang yang berada di Indonesia;

b. Hak asasi manusia tertentu yang meskipun berlaku bagi setiap

orang, akan tetapi dalam kasus-kasus tertentu, khusus bagi Warga

Negara Indonesia berlaku keutamaan-keutamaan tertentu.

Misalnya, (i) Pasal 28D ayat (2) UUD 1945 menentukan, “Setiap

orang berhak untuk bekerja.....”. Namun, negara dapat membatasi

hak orang asing untuk bekerja di Indonesia. Misalnya, turis asing

dilarang memanfaatkan visa kunjungan untuk mendapatkan

penghidupan atau imbalan dengan cara bekerja di Indonesia selama

masa kunjungannya itu; (ii) Pasal 28E ayat (3) UUD 1945

menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,

berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Meskipun ketentuan ini

bersifat universal, tetapi dalam implementasinya, orang

berkewarganegaraan asing dan Warga Negara Indonesia tidak

mungkin dipersamakan haknya. Orang asing tidak berhak ikut

campur dalam urusan dalam negeri Indonesia, misalnya, secara

bebas menyatakan pendapat yang dapat menimbulkan ketegangan

sosial tertentu. Demikian pula orang warga negara asing tidak

berhak mendirikan partai politik di Indonesia untuk tujuan

Universitas Indonesia

16

mempengaruhi kebijakan politik Indonesia. (iii) Pasal 28H ayat (2)

menyatakan, “Setiap orang berhak untuk mendapat kemudahan dan

perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan”. Hal ini juga

diutamakan bagi Warga Negara Indonesia, bukan bagi orang asing

yang merupakan tanggungjawab negara asalnya sendiri untuk

memberikan perlakuan khusus itu;

c. Hak Warga Negara untuk menduduki jabatan-jabatan yang diisi

melalui prosedur pemilihan (elected officials), seperti Presiden dan

Wakil Presiden, Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil

Bupati, Wali Kota dan Wakil Walikota, Kepala Desa, Hakim

Konstitusi, Hakim Agung, anggota Badan Pemeriksa Keuangan,

anggota lembaga permusyawaratan dan perwakilan yaitu MPR,

DPR, DPD dan DPRD, Panglima TNI, Kepala Kepolisian RI,

Dewan Gubernur Bank Indonesia, anggota komisi-komisi negara,

dan jabatan-jabatan lain yang diisi melalui prosedur pemilihan,

baik secara langsung atau secara tidak langsung oleh rakyat.

d. Hak Warga Negara untuk diangkat dalam jabatan-jabatan tertentu

(appointed officials), seperti tentara nasional Indonesia, polisi

negara, jaksa, pegawai negeri sipil beserta jabatan-jabatan

struktural dan fungsional dalam lingkungan kepegawaian, dan

jabatan-jabatan lain yang diisi melalui pemilihan. Setiap jabatan

(office, ambt, functie) mengandung hak dan kewajiban serta tugas

dan wewenang yang bersifat melekat dan yang pelaksanaan atau

perwujudannya terkait erat dengan pejabatnya masing-masing

(official, ambtsdrager, fungsionaris) sebagai subyek yang

menjalankan jabatan tersebut. Semua jabatan yang dimaksud di

atas hanya berlaku dan hanya dapat diduduki oleh warga negara

Indonesia sendiri sesuai dengan maksud ketentuan Pasal 27 ayat

(1) dan Pasal 28D ayat (3). Pasal 27 ayat (1) menentukan, “Segala

warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan

pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu

Universitas Indonesia

17

dengan tidak ada kecualinya”. Pasal 28D ayat (3) berbunyi,

“Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama

dalam pemerintahan”. Dengan demikian, setiap warga negara

Indonesia berhak untuk menduduki jabatan-jabatan kenegaraan dan

pemerintahan Republik Indonesia seperti yang dimaksud di atas.

Penekanan status sebagai warga negara ini penting untuk menjamin

bahwa jabatan-jabatan tersebut tidak akan diisi oleh orang-orang

yang bukan warga negara Indonesia. Dalam hal warga negara

Indonesia dimaksud telah menduduki jabatan-jabatan sebagaimana

dimaksud di atas, maka hak dan kewajibannya sebagai manusia

dan sebagai warga negara terkait erat dengan tugas dan

kewenangan jabatan yang dipegangnya. Kebebasan yang dimiliki

oleh setiap orang dibatasi oleh status seseorang sebagai warga

negara, dan kebebasan setiap warga negara dibatasi pula oleh

jabatan kenegaraan yang dipegang oleh warga negara yang

bersangkutan. Karena itu, setiap warga negara yang memegang

jabatan kenegaraan wajib tunduk kepada pembatasan yang

ditentukan berdasarkan tugas dan kewenangan jabatannya masing-

masing;

e. Hak untuk melakukan upaya hukum dalam melawan atau

menggugat keputusan-keputusan negara yang dinilai merugikan

hak konstitusional Warga Negara yang bersangkutan. Upaya

hukum dimaksud dapat dilakukan (i) terhadap keputusan

administrasi negara (beschikkingsdaad van de administratie), (ii)

terhadap ketentuan pengaturan (regelensdaad van staat orgaan),

baik materiil maupun formil, dengan cara melakukan substantive

judicial review (materiile toetsing) atau procedural judicial review

(formele toestsing), atau pun (iii) terhadap putusan hakim (vonnis)

dengan cara mengajukannya ke lembaga pengadilan yang lebih

tinggi, yaitu tingkat banding, kasasi, atau peninjauan kembali.

Misalnya, Pasal 51 ayat (1) huruf a UU No. 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi menentukan bahwa perorangan Warga

Universitas Indonesia

18

Negara Indonesia dapat menjadi pemohon perkara pengujian

undang-undang terhadap undang-undang dasar, yaitu dalam hal

yang bersangkutan menganggap bahwa hak (dan/atau kewenangan)

konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya sesuatu undang-

undang yang dimohonkan pengujiannya.

1.4.3 Teori Pembubaran Partai Politik

Pembubaran partai politik sejatinya bisa terjadi karena tiga cara, yakni

membubarkan diri atas keputusan sendiri, menggabungkan diri dengan partai

politik lain, atau dibubarkan berdasarkan keputusan otoritas negara.36 Dalam karya

tulis ini penulis fokus mengkaji pembubaran kategori terakhir yakni yang

dibubarkan secara paksa oleh otoritas negara dalam hal ini Mahkamah Konstitusi

(enforce dissolution).

Pembubaran dalam bahasa Inggris adalah dissolution. Menurut kamus

hukum Black’s Law, dissolution berarti : (1) the act of bringing to an end;

termination ; (2) the cancellation or abrogation of a contract, with the effect of

annuling the contract’s binding force and restoring the parties to their original

positions ;dan (3) the termination of a corporation’s legal existence by expiration

of its charter, by legislative act, by bankruptcy, or by other means ; the event

immediately preceding the liquidation or winding-up process.37

Pembubaran partai politik dalam penelitian ini adalah pembubaran secara

paksa yang disebabkan oleh adanya tindakan, keputusan hukum, kebijakan, atau

aturan negara yang mengakibatkan hilangnya eksistensi partai politik sebagai

subjek hukum penyandang hak dan kewajiban. Pembubaran mengakibatkan

perubahan eksistensi hukum suatu partai politik dari ada menjadi tidak ada.

Pembubaran secara paksa dalam penelitian ini meliputi pembubaran yang

dilakukan oleh otoritas negara baik secara langsung berupa keputusan hukum,

maupunsecara tidak langsung melalui aturan atau kebijakan yang mengakibatkan

adanya peristiwa pembubaran partai politik.

36 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, op.cit., hlm.41.37 American Bakruptcy Institute, Consumer Workshop III : Practical and Ethical Issues in

Succesion Planning, (Alexandria : American Bakruptcy Institute), hlm. 379.

Universitas Indonesia

19

Dalam konteks ini pembubaran partai politik yang difokuskan tertuju pada

pengertian pembubaran yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, bukan kepada

pembekuan sementara yang dilakukan oleh pengadilan negeri. Selain itu,

pembubaran partai politik yang dimaksud adalah ketika berakhirnya eksistensi

hukum partai politik. Itu artinya karya tulis ini tidak hanya berfokus pada proses

pengadilan di Mahkamah Konstitusi saja, tetapi lebih jauh dari itu yakni akibat

hukum putusan Mahkamah Konstitusi yang perlu ditindaklanjuti oleh Menteri

terkait untuk diumumkan dalam berita negara.38

Pada prakteknya pengaturan tentang partai politik berbeda-beda

antarnegara bergantung pada bagaimana partai politik diposisikan serta

kepentingan nasional yang harus dilindungi. Di negara-negara baru kawasan Asia

dan Afrika, menurut Weiner dan Lapalombara, pada umumnya pengaturan partai

politik terkait dengan dua elemen integrasi nasional, yaitu masalah kontrol

terhadap seluruh wlayah nasional dan masalah loyalitas.39 Maka dari itu

pembubaran partai politik di tiap negara erat kaitannya dengan sejarah politik

nasional yang menumbuhkan memori kolektif suatu bangsa.40

1.5 Kerangka Konsep

1.5.1 Partai Politik

Secara etimologis, partai memiliki akar kata part yang berarti bagian atau

golongan.41 Kemudian, politik erat kaitannya dengan menghimpun kekuatan,

meningkatkan kualitas dan kuantitas kekuatan, mengawasi dan mengendalikan

kekuatan, serta menggunakan kekuatan untuk mencapai tujuan kekuasaan dalam

negara dan institut lainnya.42

38 Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, op.cit., hlm.144. UU No.2 Tahun 200839 Myron Weiner dan Joseph Lapalombara, The Impact of Parties on Political

Development, dalam Joseph Lapalombara and Myron Weiner, Political Parties and Political Development, (New York: Princeton University Press, 1966), hal.414

40 Nancy L. Rosenblum, “Banning Parties: Religious and Ethnic Partianship in Multicultural Democracies”, I.L. & Ethics Hun. Rts., 2007., hal.36.

41 Safa’at, op.cit., hlm. 30-31.42H. Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang

Paradigma dan Sistem Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2004), hlm. 140.

Universitas Indonesia

20

Jika digabungkan kedua frasa tadi, maka definisi yang cukup

komprehensif mengartikan bahwa partai politik adalah organisasi yang bersifat

nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela

atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela

kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara

keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.43

Partai dapat dipahami dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti

luas, partai adalah penggolongan masyarakat dalam organisasi secara umum yang

tidak terbatas hanya pada organisasi politik. Sedangkan dalam arti sempit, partai

adalah partai politik yaitu organisasi masyarakat yang bergerak di bidang politik.44

Penelitian ini fokus pada pengertian partai dalam arti sempit yakni yang ditujukan

hanya kepada partai politik. Ruang lingkup partai politik dalam karya tulis ini

terbatas pada partai politik yang telah lolos verifikasi oleh KPU untuk menjadi

peserta pemilihan umum pada periode tersebut.

1.5.2 Badan Hukum Publik

Badan hukum adalah salah satu subjek hukum yang merupakan persona

ficta atau orang yang diciptakan oleh hukum sebagai persona serta memiliki hak

dan kewajiban. Sedangkan, badan hukum publik adalah badan hukum yang

didirkan berdasarkan hukum publik atau yang menyangkut kepentingan publik

atau orang banyak atau negara umumnya.45 Suatu badan hukum, dapat dikatakan

badan hukum publik apabila:

1. Subjek yang membentuknya adalah kekuasaan umum atau negara

bukan orang perorangan;

2. Sifat kegiatannya tidak ditujukan untuk mencari keuntungan,

melainkan publik;

3. Tujuan yang hendak dicapai bergerak dalam kegiatan di lapangan

hukum publik;

43 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, op.cit., Ps.1.44 Safa’at, loc.cit.45 C.S.T Kansil dan Cristine S.T Kansil, Pokok-Pokok Badan Hukum, (Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan , 2002), hlm. 13.

Universitas Indonesia

21

4. Kepentingannya bersifat umum dan khalayak orang banyak.

1.5.3 Legal Standing

Legal Standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak

ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mumpunyai hak untuk

mengajukan permohonan penyelesaian perselisihan atau sengketa atau perkara

di depan MK.46 Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in

judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan gugatan atau permohonan di

depan pengadilan.47 Sudikno Mertokusumo, menyatakan ada dua jenis tuntutan

hak yakni:

1. Tuntutan hak yang mengandung sengketa disebut gugatan, dimana

sekurang-kurangnya ada dua pihak. Gugatan termasuk dalam

kategori peradilan contentious (contentieus jurisdictie) atau peradilan

yang sesungguhnya.

2. Tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa disebut permohonan

dimana hanya terdapat satu pihak saja. Permohonan termasuk dalam

kategori peradilan volunteer atau peradilan yang tidak

sesungguhnya.48

Pemohon selanjutnya wajib menguraikan dengan jelas dalam

permohonanya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya. Sehingga

untuk berperkara di MK pemohon harus dengan jelas mengkualifikasikan

dirinya apakah bertindak sebagai perorangan warga negara Indonesia, sebagai

kesatuan masyarakat hukum adat, sebagai badan hukum publik atau privat atau

sebagai lembaga negara. Selanjutnya menunjukkan hak dan/atau kewenangan

konstitusionalnya yang dirugikan akibat keberlakuan undang- undang. Jika

kedua hal di atas tidak dapat dipenuhi maka permohonan untuk berperkara di

46Mahkamah Konstitusi, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, cetakan pertama, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010), hlm. 98.

47 Harjono, Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H.,M.C.L. Wakil Ketua MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008), hlm. 176.

48Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, cetakan ketiga, (Yogyakarta: Liberty, 1981), hlm. 23.

Universitas Indonesia

22

MK tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard).

1.6 Metode Penelitian

Penelitian Tinjauan Yuridis atas Legal Standing Pembubaran Partai Politik

di Mahkamah Konstitusi ini merupakan penelitian yuridis-normatif atau lebih

dikenal dengan istilah penelitian hukum kepustakaan.49 Selain itu penelitian ini

juga dilengkapi dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute

approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis dan

pendekatakan komparatif (comparative approach) agar penelitian ini tidak

terbatas pada penelitian atas hukum yang berlaku (normatif) saja, akan tetapi lebih

dari itu yakni bagaimana seharusnya hukum diterapkan.

Penelitian yuridis-normatif mengacu kepada norma hukum yang terdapat

dalam peraturan perundang-undangan dan norma-norma lain yang berlaku dan

mengikat di masyarakat. Perolehan data dilakukan melalui penelitian kepustakaan

yakni melalui pengumpulan data sekunder, yang mencakup bahan hukum primer,

sekunder, dan bahan hukum tersier. Selain memperoleh data melalui penelitian

kepustakaan yang didapat melalui pengumpulan data sekunder, penelitian ini juga

didukung dengan teknik pengumpulan data dengan wawancara kepada pakar

hukum Tata Negara untuk mengetahui pandangan keilmuan mereka yang relevan

dengan skripsi ini.

Bahan hukum primer, terdiri dari bahan-bahan hukum yang mengikat dan

terdiri dari kaidah dasar, peraturan dasar, peraturan perundang-undangan, bahan

hukum yang tidak dikodifikasikan, yurisprudensi, traktat dan bahan hukum dari

zaman penjajahan.50 Khusus untuk penelitian ini, bahan hukum primer yang akan

digunakan antara lain:

1. Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.

49 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994), hlm. 13.

50Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008), hlm. 52.

Universitas Indonesia

23

2. Konstitusi RIS.

3. Undang-Undang Dasar Sementara.

4. Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.

5..Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi, Undang- Undang

Nomor 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

6. Undang-Undang tentang Partai Politik, Undang-Undang Nomor 2 .Tahun

2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801.

7. Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur

Beracara dalam Pembubaran Partai Politik.

8. Peraturan Presiden tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran

Partai-Partai, Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 1960, LN No. 140

Tahun 1960.

9. Berbagai peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan.

Selain bahan hukum primer, Penulis juga akan menggunakan bahan

hukum sekunder, yakni bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian,

hasil karya dari kalangan hukum dan sebagainya.51 Dalam penelitian ini, bahan

hukum sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang membahas mengenai

partai politik dan sejarah ketatanegaraan Indonesia. Sedangkan bahan hukum

tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, ensiklopedia dan

sebagainya.52 Dalam penelitian ini, bahan hukum tersier yang akan digunakan

adalah Black Law Dictionary dan kamus hukum lainnya.

Penelitian ini juga disebut sebagai penelitian yang bersifat deskriptif-

analitis. Adapun analisis yang dilakukan menggunakan metode kualitatif, yaitu

analisis data yang dilakukan berdasarkan kualitas data untuk memperoleh inti

51 Ibid.52 Ibid.

Universitas Indonesia

24

permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Melalui metode pengolahan

tersebut, akan mendapatkan laporan mengenai apa yang terjadi, mengapa sesuatu

terjadi dan akibat dari kejadian tersebut. Sehingga selanjutnya dapat diperoleh

gambaran secara holistik tentang permasalahan yang terjadi.

Sedangkan tipe penelitian ini dapat dilihat dari beberapa sudut, yaitu:

1. Dari sudut sifatnya, penelitian yang penulis lakukan bersifat

eksplanatoris (menjelajah), karena penulisan ini bertujuan

untuk menggambarkan atau menjelaskan lebih dalam suatu

gejala, dan penelitian ini bersifat mempertegas hipotesa yang

ada.53

2. Dari sudut bentuknya, penelitian yang penulis lakukan

merupakan penelitian evaluatif, karena penulis akan

memaparkan serta memberikan penilaian serta saran atas

peristiwa yang telah terjadi.54

3. Dari sudut tujuannya, penelitian yang penulis lakukan

merupakan penelitian problem finding, karena tujuan penelitian

ini adalah untuk menemukan permasalahan dan solusi sebagai

akibat suatu kegiatan.55

4. Dari sudut ilmu yang digunakan, penelitian ini merupakan

penelitian monodisipliner, karena penelitian ini didasarkan

pada satu disiplin ilmu, yakni ilmu hukum.56

1.7 Kegunaan Teoritis dan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini akan memberikan manfaat bagi pihak-

pihak terkait baik secara teoritis maupun praktis dalam konteks ketatanegaraan

dan demokrasi di Indonesia.

53 Sri Mamudji, et al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hlm. 4.

54 Ibid.55 Ibid., hlm.556 Ibid.

Universitas Indonesia

25

1. Kegunaan Secara Teoretis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran tentang hubungan

dan akibat hukum pembubaran partai politik terhadap hak

konstitusional warga negara dalam berserikat.

b. Diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan penelitian lanjutan, baik

sebagai bahan awalan maupun sebagai bahan perbandingan untuk

penelitian selanjutnya mengingat peluang dan tantangan terkait

pembubaran partai politik akan terus berkembang.

2. Kegunaan Secara Praktis

a. Penelitian ini bermanfaat bagi Partai Politik dan kadernya untuk

memahami sejarah pembubaran partai politik di Indonesia sehingga

menjadi mawas diri dalam melakukan segala aktivitas kepartaian.

b. Penelitian ini bermanfaat bagi Pemerintah khususnya Presiden sebagai

gambaran atas permasalahan yang terjadi dalam legal standing

pembuaran partai politik di Indonesia.

c. Penelitian ini bermanfaat bagi Mahkamah Konstitusi sebagai gambaran

atas permasalahan yang terjadi dalam pembubaran partai politik di

Indonesia khususnya mengenai legal standing.

d. Penelitian ini bermanfaat untuk civitas akademika dan masyarakat pada

umumnya untuk mengetahui gambaran mengenai sejarah pembubaran

partai politik ditinjau dari perspektif hukum tata negara sekaligus

menjadi rujukan mengenai bagaiamana seharusnya legal standing

dalam pembubaran partai politik.

1.8 Sistematika Penulisan

Agar pembahasan tetap terarah dan sesuai dengan tujuan dari karya tulis

ini maka perlu dijabarkan dengan jelas mengenai sistematika penulisannya.

Sistematika dalam penulisan skripsi ini terdiri menjadi empat bab, dengan rincian

susunan sebagai berikut:

Universitas Indonesia

26

BAB 1: PENDAHULUAN

Bab pertama dalam skripsi ini dimulai dengan pendahuluan yang memuat

tentang latar belakang permasalahan yang penulis angkat sehingga penulis sangat

tertarik untuk membahasnya, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kerangka

konsep, metode penelitian, serta sistematika penulisan.

BAB 2: SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUBARAN PARTAI

POLITIK DI INDONESIA

Bab kedua ini akan membahas mengenai sejarah perkembangan partai

politik di Indonesia. Kemudian bab ini juga akan membahas mengenai pengaturan

pembubaran partai politik menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia

dan pembubaran partai politik dari masa pemerintahan Soekarno hingga Joko

Widodo serta dilengkapi dengan perbandingan praktek pembubaran partai politik

di dua negara yakni Jerman dan Korea Selatan.

BAB 3 : ANALISIS LEGAL STANDING DALAM SENGKETA

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH KONSTITUSI

Bab ini akan membahas mengenai relevansi antara pembubaran partai

politik dengan hak konstitusional warga negara khususnya adalah hak kebebasan

berserikat. Kemudian, bab ini juga akan meninjau pemberian legal standing

pembubaran partai politik yang hanya diberikan kepada pemerintah dari berbagai

sudut pandang. Penulis sekaligus juga memberikan solusi atas permasalahan legal

standing dalam sengketa pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi ini.

BAB 4 : PENUTUP

Pada bab ini, penulis akan memberikan kesimpulan dari hasil penelitian

dalam skripsi ini dan saran konstruktif yang diharapkan dapat bermanfaat bagi

Mahkamah Konstitusi, partai politik, insan akademis, dan masyarakat pada

umumnya.

Universitas Indonesia

27

BAB 2

SEJARAH PERKEMBANGAN DAN PEMBUBARAN PARTAI

POLITIK DI INDONESIA

2.1 SEJARAH PERKEMBANGAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA

Pentingnya sejarah partai politik diuraikan dalam karya tulis ini ditujukan

sebagai pertimbangan bahwa sejarah pada hakekatnya mengungkap berbagai

peristiwa besar pada masa lalu, agar dapat dijadikan bahan penunjang dan

pembanding kenyataan di era saat ini dan proses perbaikan ke era yang akan

datang. Hal ini sejalan dengan pandangan Ahmad Syafii Maarif yang menyatakan

bahwa sejarah adalah jembatan penghubung masa silam dan masa kini, dan

sebagai petunjuk arah ke masa depan.57 Demikian juga halnya dengan sejarah

Partai politik di Indonesia yang mana merupakan produk masa lalu yang perlu

diungkap dan dikaji kembali agar dapat dimanfaatkan dalam menyikapi 57 Ahmad Syafii Maarif, Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama, (Yogyakarta :

IKIP Yogyakarta, 1997), hlm. 4.

Universitas Indonesia

28

perkembangan partai politik di Indonesia, baik pada era saat ini dan terlebih lagi

di era yang akan datang.

Pada umumnya partai politik digunakan oleh beberapa negara atau rakyat

terjajah sebagai salah satu sarana untuk membebaskan dirinya dari hegemoni

penjajahan. Kebanyakan negeri atau rakyat yang terjajah tertarik pada partai

politik, karena partai politik itu dapat menjadi kekuatan tandingan untuk

menantang penjajahan, dan memiliki potensi sebagai sarana yang dapat

diandalkan untuk mencapai kemerdekaan. Konsep partai politik sudah ada di

Indonesia sejak zaman penjajahan. Hal ini tidak terlepas dari adanya modernisasi

yang muncul di Eropa. Inggris adalah negara yang pertama kali memperkenalkan

institusi partai politik yang kemudian menyebar ke seluruh wilayah Eropa dan

Amerika Serikat. Pada akhir abad 19 dan dan awal abad 20 partai politik mulai

menyentuh kawasan Asia, Afrika, dan Amerika Latin.58

Di Indonesia sendiri, partai politik pertama kali lahir di zaman Kolonial

Belanda sebagai manifestasi bangkitnya kesadaran nasional.59 Sebagaimana

diungkapkan oleh Umaidi Radi, munculnya partai politik di Indonesia dapat

dibaca sebagai dampak dari perubahan sosial, politik, dan ekonomi di negeri

Belanda maupun Hindia Belanda pada waktu itu. Titik tolak yang paling relevan

dalam hal ini adalah adanya kebijakan politik etis yang diberlakukan oleh

pemerintah kolonial Belanda. Aspek terpenting dari politik etis adalah

diperkenalkannya sistem pendidikan modern (Barat) bagi putera-puteri Inlander.

Tujuan pendidikan pada dasarnya bukanlah untuk mencerdaskan kehidupan

bangsa, melainkan hanya sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan administrasi dan

birokrasi kolonial pada tingkat rendahan, seperti klerk (juru tulis) atau dokter.60

Di Indonesia, keberadaan partai politik juga muncul bersamaan dengan

berkembangnya hak mengemukakan pikiran dan pendapat tepatnya ketika kaum

intelektual muda mulai mempelopori gerakan nasional yang timbul sebagai

58 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 159.59 Dawud, “Tingkat Kepercayaan Masyarakat Muslim Terhadap Partai Politik Berasas

Islam (Studi Kasus di Kecamatan Kebumen Pada Pemilu 2014)”, (skripsi Sarjana UIN Syartif Hidayatullah, Jakarta, 2014.), hlm. 21.

60 Asshiddiqie, loc.cit.

Universitas Indonesia

29

semangat untuk memperoleh kemerdekaan atas penderitaan bangsa karena

penjajahan Belanda. Setelah melalui perjuangan bersenjata yang tidak berujung,

upaya mencapai kemerdekaan akhirnya ditempuh dengan cara lain yakni

diplomasi.61 Maka dari itu dibentuklah organisasi nasional seperti Budi Utomo

pada tanggal 20 Mei Tahun 1908 dan Indische Vereeniging pada tahun 1909 di

Belanda.62 Pada tanggal 20 Mei Tahun 1908 untuk pertama kalinya di Indonesia

berdiri sebuah organisasi nasional yang dinamakan sebagai Budi Utomo.

Organisasi kebangsaan ini pada awalnya hanya sebagai perkumpulan masyarakat

yang tidak secara resmi menamakan dirinya sebagai partai politik namun pada

perkembangannya memiliki program dan aktivitas politik. Maka dari itu menurut

Edward Mandala, organisasi Budi Utomo pada saat itu belum dapat dikategorikan

sebagai sebuah partai politik yang modern seperti dalam pengertian yang

disebutkan oleh Sigmund Neumann, Carl J. Friedrich, Rh. Soltau, Huszar dan

Stevenson, atau Miriam Budiardjo karena Budi Utomo saat itu lebih tepat disebut

sebagai embrio dari partai politik.63 Selain itu, kelahiran Budi Utomo juga

merupakan cikal bakal lahirnya organisasi modern di Indonesia, maka dari itu

tidak heran apabila kelahiran Budi Utomo diidentikan sebagai tonggak

kebangkitan nasional.64

Lahirnya Budi Utomo pada awalnya disebabkan oleh kondisi bangsa

Indonesia yang saat itu berada dalam jajahan Belanda. Dimana rakyat berada

dalam kondisi menderita dan disiksa. Hanya sebagian pemuda dan pelajarlah yang

menikmati pendidikan, akan tetapi hanya sebagian kecil pemuda yang menikmati

pendidikan tersebut yang sadar akan kondisi kesengsaraan bangsa Indonesia.

Sehingga atas dasar itu pemuda-pemuda tersebut mendirikan perkumpulan Budi

61 Alfidatu Panji Bimantara, “Perjuangan Diplomasi Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949) ”,(skripsi Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta, Yogyakarta, 2014), hlm. 34-74.

62 Matroji, Sejarah Untuk SMP kelas VIII, (Jakarta : Erlangga, 2006), hlm. 30.63Edward Mandala, “Sistem Kepartaian Dan Pemilu di Indonesia”,

http://www.leutikaprio.com/main/media/sample/Sistem%20Kepartaian%20dan%20Pemilu%20di%20Indonesia%20DOWNLOAD%20SAMPLE.pdf, diunduh pada 22 November 2015.

64 Audrey Kahin, Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia: 1926-1998, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm.11

Universitas Indonesia

30

Utomo dengan tujuan untuk memajukan rakyat dalam bidang ekonomi,

pendidikan dan kebudayaan.65.

Di zaman penjajahan Belanda, partai-partai politik tidak dapat beraktivitas

dengan damai dan lancar. Pada masa itu, hukum dasar yang berlaku di wilayah

Hindia Belanda adalah regeerings-reglement (RR) 1854. Berdasarkan Pasal 111

RR menyatakan bahwa perkumpulan-perkumpulan atau persidangan-persidangan

yang membicarakan soal pemerintahan atau yang membahayakan keamanan

umum dilarang di Hindia Belanda.66 Pada 1919, RR diganti dengan Indische

Staatsreleing (IS) 1918 yang pada Pasal 165 juga memuat larangan organisasi dan

perkumpulan politik dimana hanya keturunan Belanda sajalah yang dapat menjadi

anggota partai politik.67 Maka dari itu setiap partai yang bersuara untuk

menentang atau bergerak tegas terhadap pemerintah Belanda langsung dilarang,

dimana pemimpinnya ditangkap, dipenjarakan atau diasingkan.68 Menurut C.S.T

Kansil partai politik yang secara resmi diakui di Indonesia adalah Indische Partij

yang didirikan pada tanggal 25 Desember 1912 di Bandung dan dimpimpin oleh

Tiga Serangkai yakni Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangunkusumo dan Suwardi

Suryadiningrat.69 Tujuan partai ini adalah agar Hindia lepas dari Nederland,

akibatnya pada 4 Maret 1913 permohonan Indische Partij untuk dijadikan sebagai

badan hukum ditolak oleh Gubernur Jenderal karena dipandang sebagai organisasi

politik radikal dan mengancam keamanan umum.70

Menurut PK Poerwanta, Indische partij merupakan partai politik pertama

di Indonesia yang menjadi pelopor timbulnya organisasi-organisasi politik di

65 Slamet Muljana (1), Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan, (Jakarta: Balai Pustaka, 1968), hlm.114.

66 E. Shobirin Nadj, Kebebasan: Restriksi dan Resistens : Studi Kebebasan Berkumpul di Indonesia, (Jakarta: Cesda LP3ES, 2001), hlm.59.

67 Soepomo, Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke-II, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1991), hlm.9.

68 “Partai Politik”, https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik, diunduh pada 28 November 2015.

69 C.S.T Kansil, Parpol dan Golkar, (Jakarta: Aksara Baru, 1979), hlm.22.70 M. Rusli Karim, Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut.

(Jakarta: Rajawali Press, 1933), hlm.23.

Universitas Indonesia

31

zaman pra kemerdekaan, baik organisasi politik yang bersifat ilegal maupun

legal.71 Mengingat ekstrimnya pemikiran partai ini kala itu, Indische Partij hanya

bertahan 8 bulan saja, hal itu disebabkan karena ketiga pemimpin mereka masing-

masing dibuang ke Kupang, Banda dan Bangka, dan kemudian diasingkan ke

Nederland.72 Setelah beberapa tahun diasingkan, Ki Hajar Dewantara dan Dr.

Setyabudi kembali ke Indonesia untuk mendirikan partai politik yang dinamakan

sebagai National Indische Partij (NIP) pada tahun 1919 yang kemudian secara

langsung mempelopori lahirnya beberapa partai politik lain yakni Indische Social

Democratische Verening (ISDV), Partai Nasional Indonesia, Partai Indonesia dan

Partai Indonesia Raya.73

Selain Indische Partij terdapat juga Sarekat Islam yang sebelumnya

berasal dari Sarekat Dagang Islam yang didirikan pada akhir tahun 1911 di Solo

oleh Hadji Samanhudi. 74 Pada awalnya Sarekat Dagang Islam merupakan sebuah

kooperasi dengan tujuan untuk memajukan perdagangan Indonesia dibawah panji-

panji Islam, hingga pada tanggal 10 September 1912, Sarekat Dagang Islam

diubah menjadi Sarekat Islam yang dijabat oleh Hadji Samanhudi selaku ketua

dan HOS Tjokroaminoto sebagai komisaris.75 Dalam waktu singkat, Sarekat Islam

yang sejak berdirinya ini ditujukan untuk rakyat jelata kemudian berkembang

pesat.

Pada kongresnya yang ketiga, 17-24 Juni 1916 di Bandung, telah berdiri

80 Sarekat Islam Daerah dengan lebih kurang 80.000 anggota.76 Tiga tahun

kemudian, jumlah anggotanya meningkat sampai dua juta, bahkan pada 18 Mei

1918 ketika Volksraad mulai dibuka, Sarekat Islam pun mendudukan dua orang

71 PK. Poerwanta, Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 35.72 Chotib, et al., Kewarganegaraan 2: Menuju Masyarakat Madani (Jakarta: Yudhistira,

2007), hlm. 8.73 Slamet Muljana (2), Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan,

(Yogyakarta: LKIS, 2008), hlm. 97.74 Tim Media Pusindo, Pahlawan Indonesia, (Jakarta: Media Pusindo, 2008), hlm. 153.75 “Sejarah Lengkap Sarekat Islam”, http://www.markijar.com/2015/06/sejarah-lengkap-

sarekat-islam-si.html, diunduh pada 25 November 2015.76 Robiatuz Zuniar, “Sarekat Dagang Islam (Sejarah dan Perkembangannya)”,

https://www.academia.edu/15287869/Sarekat_Dagang_Islam_Sejarah_dan_Perkembangannya_, diunduh pada 27 November 2015.

Universitas Indonesia

32

anggotanya yakni Tjokroaminoto dan Abdul Muis sebagai anggota Volksraad.77

Selain itu, Sarekat Islam pun bersikap sangat berani. Hal tersebut tercermin dalam

kongresnya yang ketiga di Surabaya 29 September hingga 6 Oktober 1918,

dimana dirumuskan bahwa akan menentang pemerintah sepanjang tindakannya

melindungi kapitalisme dan menuntut pemerintah mengadakan peraturan-

peraturan sosial bagi kaum buruh mulai dari upah minimum, upah maksimum,

lamanya bekerja untuk mencegah penindasan dan perbuatan sewenang-wenang.78

Selain berbagai partai politik, juga pernah terbentuk federasi organisasi-

organisasi politik. Pada 17 Desember 1927 lahir sebuah organisasi ferderasi yang

dinamakan sebagai Permufakatan Perhimpunan Perhimpunan Politik Kebangsaan

Indonesia (PPPKI) yang dibentuk oleh PNI, PSI, BU, Sarikan Pasundan, Sarikat

Sumatera, dan Kaum Betawai. PPPKI berupaya untuk menyamakan arah aksi dan

kerja sama dan menghindarkan perselisihan yang melemahkan aksi kebangsaan.79

Kemudian pada 1939 terbentuklah Gabungan Politik Indonesia atau disebut

GAPI.80 Salah satu tuntutan politik GAPI adalah bukan untuk mendapatkan

kemerdekaan penuh, akan tetapi terciptanya parlemen berdasarkan kepada sendi-

sendi demokrasi yang dikenal dengan sebutan “Indonesia Berparlemen”. Bahkan

pada akhir Desember 1939 GAPI menyelenggarakan Kongres Rakyat Indonesia

yang menggabungkan antara GAPI, MIAI, dan Persatuan Vakbonden Pegawai

Negeri (PVPN).81

Pada zaman penjajahan Jepang, pemerintah Jepang pada awalnya

melarang dan membubarkan partai-partai politik yang telah ada.82 Namun

kemudian dalam perkembanganya dapat berdiri sebuah partai politik yang

77 Edward Mandala, op.cit.78 Ibid.79 A.K. Pringgodigdo, Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia, (Jakarta: Dian Rakyat,

1994), hlm. 84.80 Bambang Suwondo, Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, (Jakarta:

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978), hlm. 153.81Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, Sejarah Nasional

Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda, (Jakarta: Balai Pustaka, 2008), hlm. 395.

82 Yudi Latif, Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila, ( Jakarta: Gramedia, 2011), hlm. 306.

Universitas Indonesia

33

dinamakan sebagai Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dibawah pimpinan “Empat

Serangkai” yakni Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta, Ki Hajar Dewantara dan K. Haji

Mansyur.83 Akan tetapi atas perintah pemerintah Jepang partai ini pada akhirnya

dibubarkan pada bulan Maret 1944 disebabkan tidak mampu membuka cabang-

cabang sehingga digantikan oleh Jawa Hokokai.84 Menyerahnya tentara Hindia

Belanda kepada tentara Jepang yang disusul dengan kekalahan tentara Jepang

pada tahun 1945 telah membulatkan tekad bangsa Indonesia untuk melepaskan

diri, baik dari kolonialisme Belanda maupun fasisme Jepang dan berdiri di suatu

Negara sendiri yang modern dan demokratis.85

Pada awal kemerdekaan, para tokoh nasional telah menyadari pentingnya

partai politik dalam kehidupan bernegara. Tepatnya pada 22 Agustus 1945, PPKI

menindaklanjutinya dengan menyelenggarakan rapat penting yang salah satu

keputusannya adalah membentuk Partai Nasional Indonesia. PNI nantinya

diharapkan menjadi partai tunggal yang mempelopori kehidupan bangsa

Indonesia.86 Gagasan mengenai partai tunggal merupakan ide dari Soekarno yang

tertuang dalam tulisannya yang berjudul “Mentjapai Indonesia Merdeka” pada

tahun 1933 yang menegaskan bahwa adanya lebih dari satu partai hanya akan

membingungkan massa.87 Pandangan politik Soekarno mengenai partai dinilai

Maswadi Rauf sebagai pemikiran yang anti sistem multi partai model barat dan

sistem demokrasi parlementer sebab partai politik hanyalah sumber perpecahan

yang akan memperlemah perjuangan terhadap penjajahan dan usaha mengisi

kemerdekaan.88

83 M. Yuanda Zara, Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia, (Jakarta: Medpress, 2009), hlm. 7.

84Arja Ajisaka, Mengenal Pahlawan Indonesia, edisi revisi, (Jakarta: Kawanpustaka, 2008), hlm.92.

85 Deni Eko Setiawan dan Evi Ernasari, “Perkembangan Partai Politik di Indonesia Sejak Masa Pra Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Orde Lama”, http://eviernasari23.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-politik.html, diunduh pada 26 November 2015.

86 Sartono Kartohadirjo, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Soesanto, Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975), hlm. 30.

87 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, djilid pertama, (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hlm. 282 – 284.

88 Maswadi Rauf, “Partai Politik dalam Sistem Kepartaian Indonesia Antara Kenyataan dan Harapan”, Jurnal Politika, Vol.2, No.2 Tahun 2006, hlm. 11.

Universitas Indonesia

34

Pandangan Soekarno mengenai partai tunggal tentunya ditanggapi

beragam oleh tokoh-tokoh politik lainnya, dan salah satunya adalah Sjahrir.

Sjahrir yang saat itu menjadi Ketua BP KNIP menentang gagasan partai tunggal

milik Soekarno karena partai nantinya hanya akan menjadi alat untuk mengontrol

dan mendisiplinkan perbedaan pendapat.89 Maka dari itu dalam pengumuman

Badan Pekerja Komite Nasional Nomor 3 disebutkan bahwa pembentukan satu

partai, yaitu Partai Nasional Indonesia, pada saat itu memang diperlukan untuk

mempersatukan segala aliran dalam masyarakat guna mempertahankan negara.

Namun yang dapat memenuhi keperluan tersebut adalah Komite Nasional.

Dengan kata lain, Komite Nasional-lah yang mempersatukan berbagai aliran yang

berbeda, apalagi sudah berubah menjadi badan perwakilan rakyat sejak 16

Oktober 1945.90 Mengingat hal tersebut dan sesuai dengan semangat menjunjung

asas demokrasi, diusulkan untuk memberi kesempatan kepada rakyat untuk

mendirikan partai politik. Oleh karena itu, atas usul Badan Pekerja Komite

Nasional Indonesia Pusat (BP KNIP), dikeluarkanlah Maklumat Pemerintah 3

November 1945 yang berisi pernyataan bahwa pemerintah mendukung adanya

eksistensi dari partai politik. Selengkapnya Maklumat Pemerintah 3 November

1945 sebagai berikut:

MAKLOEMAT PEMERINTAH

Berhoeboeng dengan oesoel Badan Pekerdja Komite Nasional Poesat kepada Pemerintah, soepaja diberikan kesempatan kepada rakjat seloeas-loasnja oentoek mendirikan partai-partai politik, dengan restriksi, bahwa partai-partai itoe hendaknja memperkoeat perdjoeangan kita mempertahankan kemerdekaan dan mendjamin keamanan masjarakat, Pemerintah menegaskan pendiriannja jang telah diambil beberapa waktoe jang laloe bahwa :

1. Pemerintah menjoekai timboelnya partai-partai politik, karena dengan adanja partai-partai itoelah dapat dipimpin kedjalan jang teratoer segala aliran paham jang ada dalam masjarakat.

89J. D. Legge, Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993), hlm. 180 – 181.

90 Maklumat Nomor X 16 Oktober 1945. Berita Repoeblik Indonesia Tahun I Nomor 2, h. 10. Diambil Undang-Undang Negara Republik Indonesia, Djilid I, (Djakarta-Bandung: Neijenhuis & Co. N. V., 1950), hlm. 60.

Universitas Indonesia

35

2. Pemerintah berharap soepaja partai-partai itoe telah tersoesoen, sebeloemnja dilangsoengkan pemilihan anggata Badan-Badan Perwakilan Rakjat pada boelan Djanoeari 1946.

Djakarta, tanggal 3 Nopember 1945

Wakil Presiden,

MOHAMMAD HATTA.

Tujuan dari dibentuknya partai politik saat itu adalah agar partai-partai

tersebut dapat memimpin ke jalan yang teratur segala aliran yang ada dalam

masyarakat. Diamanatkan pula dalam Maklumat tersebut bahwa partai-partai

politik diharapkan sudah tebentuk sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota

badan-badan perwakilan yang direncanakan pada Januari 1946.91 Setelah adanya

Maklumat tersebut, terbentuklah 40 partai politik baru yang masing-masing

berusaha untuk berpartisipasi dalam percaturan politik nasional.92 Pentingnya

partai politik kemudian dipertegas kembali dalam Maklumat Pemerintah 14

November 1945 yang menyatakan bahwa partai politik ada untuk mendorong dan

memajukan tumbuhnya pikiran-pikiran politik. Bibit-bibit dari beberapa partai itu

sudah timbul dalam penjajahan Jepang, akan tetapi terpaksa tidak menampakan

diri dalam zaman pemerintahan Jepang karena baik Jepang maupun Belanda

bertindak keras terhadap komunis dan partai-partai politik yang menghendaki

kemerdekaan sesempurna-sempurnanya.93

Konsekuensi dari kedua maklumat tersebut disambut antusias oleh

berbagai tokoh. Partai politik yang sebenarnya sudah ada sebelum kemerdekaan

mulai bangkit kembali. Pada 7 November 1945 didirikan kembali Majelis Syuro

Muslimin Indonesia atau Masjumi di Jogjakarta. Kemudian pada 29 Januari 1946

didirikan PNI di Kediri yang berasal dari Serikat Rakyat Indonesia, PNI Pati,

Madiun, Palembang, Sulawesi, Partai Kedaulatan Rakyat, Partai Republik

Indonesia, dan beberapa partai kecil lain. Ketuanya yang pertama adalah S.

91 Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagjo Toer, dan Ediati Kamil, Krnok Revolusi Indonesia, (Jakarta: KPG, 1999), hlm.131 dan 348.

92 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm.174.93 “Maklumat Pemerintah”, http://ngada.org/maklumat14.10-1945.htm, diunduh pada 23

November 2015.

Universitas Indonesia

36

Mangoensarkoro. Pada 18 November 1945 berdiri Partai Kristen Nasional

(PKN) yang selanjutnya bersama Partai Kristen Indonesia (PARKI) pada

Kongres di Prapat 9 – 20 April 1947 melebur diri menjadi Partai Kristen

Indonesia (Parkindo). Pada 22 November 1945 berdiri Partai Persatuan Tarbiyah

Islamiah (Partai PERTI) di Bukit Tinggi. Partai ini berasal dari Pergerakan

Tarbiyah Islamiah (PERTI) di Bukit Tinggi yang didirikan pada 20 Mei 1930.

Pada 8 Desember 1945, melalui Kongres Golongan Politik Katolik, didirikan

Partai Katholik Republik Indonesia (PKRI). Pada Kongresnya 17 Desember

1949, PKRI diganti namanya menjadi Partai Katolik.94

Partai-partai lain yang terbentuk, baik merupakan partai baru maupun kelanjutan dari partai politik yang telah ada sebelum kemerdekaan di antaranya adalah Partai Indonesia Raya (PIR), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Banteng Republik Indonesia, Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai WanitaRakyat, Partai Kebangsaan Indonesia (PARKI), Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Sosialis Indonesia (Parsi) di bawah pimpinan Mr. Amir Sjarifuddin, Partai Murba, Partai Buruh Indonesia, Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (PERMAI), Partai Demokrat Tionghoa, dan Partai Indo Nasional.95

Dalam buku Kepartaian Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian

Penerangan 1951, dibuat klasifikasi partai politik menurut Dasar Ketuhanan,

Dasar Kebangsaan, Dasar Marxisme, dan Partai lain-lain. Partai politik yang

diklasifikasikan dalam Dasar Ketuhanan adalah Masjumi, Partai Sjarikat Islam

Indonesia (PSII), Pergerakan Tarbiyah Islamiah (Perti), Partai Kristen Indonesia

(Parkindo), dan Partai Katholik. Partai-partai politik yang masuk kategori Dasar

Kebangsaan adalah PNI, Persatuan Indonesia Raya (PIR), Parindra, PRI,

Partai Demokrasi Rakyat (Banteng), Partai Rakyat Nasional (PRN), Partai

Wanita Rakyat (PWR), Partai Kebangsaan Indonesia (Parki), Partai Kedaulatan

Rakyat (PKR), Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI), Ikatan Nasional Indonesia

(INI), Partai Rakyat Jelata (PRJ), Partai Tani Indonesia (PTI), dan Wanita

94 Muchamad Ali Safa’at, “Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004”, (disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 2009.), hlm.130.

95 Ibid.

Universitas Indonesia

37

Demokrat Indonesia. Partai dengan dasar Marxisme adalah Partai Komunis

Indonesia (PKI), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Murba, Partai Buruh, dan

Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai). Sedangkan partai politik lain-

lain adalah Partai Demokrat Tionghoa Indonesia (PDTI), dan Partai Indo

Nasional (PIN).96

Partai-partai yang berkembang pada awal kemerdekaan hingga pemilu

1955 pada umumnya dapat dilihat sebagai kelanjutan dari partai yang telah ada

sebelum kemerdekaan. Partai-partai tersebut merupakan partai yang bersifat

ideologis (weltanschauungs partie) dengan fungsi dan program utama untuk

mempertahankan kemerdekaan. Partai-partai tersebut menjalankan fungsi

mengagregasikan dan mengartikulasikan aspirasi dan ideologi masyarakat untuk

mempertahankan kemerdekaan serta rekruitmen politik yang memunculkan

tokoh- tokoh nasional sebagai wakil rakyat maupun untuk mengisi jabatan

pemerintahan. Partai-partai yang berkembang pada umumnya adalah partai

massa, meskipun terdapat partai yang dapat dikategorikan sebagai partai kader

dengan orientasi utamanya adalah mempengaruhi kebijakan (policy-seeking

party), dan menduduki jabatan dalam pemerintahan (office-seeking party).97

Pada masa sebelumnya, terdapat peristiwa penting yakni pemberontakan

yang dilakukan oleh PKI kepada pemerintah kolonial hindia-belanda.98 Pada

November 1926 PKI melakukan pemberontakan di beberapa bagian pulau Jawa

dan pada Januari 1927 di pantai barat Sumatra.99 Meskipun pada akhirnya

pemberontakan tersebut dapat digagalkan oleh pemerintah kolonial Belanda.

Akibatnya pasca pemberontakan 1926-1927 PKI telah dinyatakan sebagai partai

terlarang dan para pemimpinnya melarikan diri ke luar negeri, sementara yang

tertinggal di eksekusi mati dan sebagian lainnya dipenjarakan atau dibuang ke

kamp tahanan di Digul, Papua. Meski demikian tidak berarti PKI pada masa itu

punah sama sekali. Pada tahun 1930 partai ini kembali melakukan aktivitas politik

secara diam-diam dan dibawah tanah. Maka tidak aneh ketika bangsa Indonesia

96 Ibid.97 Ibid., hlm. 136.98Budiawan, “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”,

http://indoprogress.com/2014/12/pemberontakan-pki-1926-27-dalam-dua-teks-sejarah/, diunduh pada 28 November 2015.

99 Jimly Asshiddiqie (2), op. cit., hlm. 166.

Universitas Indonesia

38

memperoleh kemerdekaanya para aktivis PKI segera menghidupkan aktivitas

kepartaian terutama setelah dikeluarkannya Maklumat Pemerintah 3 November

1945 tentang kebebasan mendirikan partai.

Pada masa awal-awal kemerdekaan aktivitas politik PKI cukup mewarnai

percaturan politik nasional. Salah seorang tokoh komunis Mr. Amir Syarifudin

sempat menjadi perdana menteri hingga akhir Desember 1947. Setelah kabinet

Amir Syarifudin jatuh dan diganti oleh kabinet Hatta, maka diberlakukanlah

sebuah kebijakan yang disebut Rekonstruksi dan Rasionalisasi angkatan perang

dimana TNI disterilkan dari unsur-unsur PKI.100

Kebijakan Hatta mendapat perlawanan dari PKI dan berbagai kekuatan

politik berhaluan kiri lainnya seperti PSI sayap kiri, Partai Buruh, Pemuda

Sosialis Indonesia, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia dan Barisan Tani

Indonesia yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat. Perlawanan PKI

tampak juga di parlemen dimana fraksi PKI membuat mosi tidak percaya terhadap

kabinet Hatta.101

Konfrontasi PKI terhadap kabinet Hatta sangat dipengaruhi oleh

kembalinya Moeso dari Praha, Cekoslovakia. Moeso adalah seorang arsitek

pemberontahan PKI 1926/27 yang sejak 1936 tinggal di Moskow. Kehadiran

Moeso membawa darah segar bagi perjuangan PKI. Dengan kemampuan

retorikanya ia menganjurkan agar cara-cara yang lebih langsung dan keras segera

harus dipergunakan demi menjalankan tujuan dan cita-cita komunisme. Pada akhir

Agustus 1948, Moeso dalam suatu konferensi luar biasa PKI menyampaikan

pidatonya yang berjudul “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” yang berisi

analisis mengenai situasi di Indonesia dan arahan bagaimana PKI harus

bersikap.102

Dalam naskah pidatonya itu Moeso selain menyerang kebijakan

pemerintahan RI juga sekaligus menyesalkan kebijakan pimpinan partai lama

seperti Alimin dan Sardjono yang tidak mengoptimalkan kekuatan komunis pada 100 Ibid., hlm. 183.101 Ibid.102 Ibid., hlm.184.

Universitas Indonesia

39

masa revolusi kemerdekaan. Karena itu Moeso menganjurkan untuk segera

membentuk front nasional dengan menggabungkan tiga partai yang mengakui

Marxisme-Leninisme sebagai garis partai yaitu PKI, PSI sayap kiri dan Partai

Buruh utuk mencapai kemenangan di parlemen.103 Pada 1 September 1948 PKI

memilih Moeso sebagai ketua umum untuk menggantikan Sardjono. Dengan

posisi sebagai orang nomor satu di dalam partai, Moeso semakin memiliki ruang

untuk mengimplementasikan program yang disusunnya sejak jauh hari.

Langkah pertama PKI dibawah kepemimpinan moeso adalah merebut

pemerintahan melalui jalur parlementer dengan terlebih dahulu menghimpun

semua kekuatan politik yang ada. Namun upaya ini tersandung pada sikap

Masjumi dan PNI yang menolak untuk bergabung kedalam front nasional.104

Setelah merasa bahwa langkah pertama tidak mungkin berhasil, PKI segera

mengambil langkah kedua, yaitu melakukan pemberontakan bersenjata. Untuk itu

dilakukan pengaturan strategi agar anggota TNI yang bersimpati atau yang sudah

berada dalam pengaruh PKI dapat dipindahkan ke wilayah yang akan menjadi

kedudukan utama mereka. Pasukan TNI yang bersedia ikut adalah pasukan-

pasukan yang tidak setuju dengan kebijakan Re-Ra, antara lain sebagian pasukan

dan pimpinan dari Divisi IV/Panembahan Senopati, yang kemudian berubah

menjadi Komando Pertempuran Panembahan Senopati (KPPS). Selain itu

bergabung pula Tentara Laut Republik Indonesia (TLRI) yang terdiri dari satuan-

satuan Angkatan Laut yang berada di luar kontrol resi dan biasa disebut “AL

Gunung”.105

Daerah basis perjuangan PKI ditetapkan di Madiun, yang secara geografis

memang cocok untuk wilayah pertahanan, karena terdapat beberapa gunung yang

besar serta dikelilingi hutan yang lebat. Sementara untuk mengalihkan perhatian

pemerintah atau TNI dari persiapan-persiapan rahasia mereka, diciptakan suatu

kekacauan-kekacauan kecil di Solo pada permulaan September 1948.106 Pada 18

September 1948 dimulailah pemberontakan PKI di Madiun. Dengan gerakan

103 Ibid.104 Ibid., hlm. 185.105 Ibid.106 Ibid.

Universitas Indonesia

40

cepat, pasukan-pasukan bersenjata PKI menduduki gedung-gedung penting seperti

kantor telepon, kantor pos, markas tentang dan kantor-kantor polisi.

Pemberontakan ini sangat terbantu dengan banyaknya tentara di Kota Madiun

sendiri yang sudah dibina sebelumnya oleh PKI. Setelah berhasil melumpuhkan

kekuatan TNI, melalui Radio Gelora Pemuda PKI menyiarkan bahwa revolusi

telah dimulai sekaligus menyatakan berdirinya pemerintahan buruh dan tani.107

Sebagai reaksi atas pemberontakan tersebut, dewan siasat militer

memutuskan untuk merebut kota Madiun secepat mungkin. Pada 30 September

1948 pasukan TNI dari Siliwangi dapat merebut Madiun dari tangan PKI. Dalam

proses penyelesaiannya sebagian dari para pemimpin PKI diadili secara lokal dan

dihukum mati. Tetapi tokoh-tokoh pentingnya, kecuali Moeso yang tertembak

mati, dibiarkan hidup.108

Meskipun telah melakukan pemberontakan, PKI sebagai partai tidak

dibubarkan. Pemerintah hanya membasmi pemberontakan bersenjata yang

kebetulan dilaksanakan oleh PKI. Maka ketika Menteri Kehakiman Mr. Soesanto

Tirtoprojo pada 4 September 1949 mengeluarkan pernyataan bahwa para aktivis

yang terlibat pemberontakan Madiun tidak akan dituntut kecuali terbukti

melakukan tindak kriminal, PKI kembali beraktivitas lagi. Presiden Soekarno

yang pada awalnya sangat marah dengan pemberontakan PKI, karena berbagai

pertimbangan, pada akhirnya menerima eksistensi PKI. Terbukti pada akhir

Agustus 1950 Soekarno mengundang partai-partai politik, termasuk PKI, untuk

bertemu dalam rangka rencana menyertakan partai-partai dalam kabinet yang akan

dibentuk. Pengakuan terhadap PKI itu tidak bisa dilepaskan dari usaha para

tokohnya pada awal 1950-an yang telah mempelopori pembentukan ormas-ormas

partai dengan tujuan untuk memperoleh dukungan dari para pekerja, petani,

pemuda, seniman, wanita, dll.109

Eforia partai politik ini sempat teredam oleh suasana perang melawan

Belanda dan Sekutu yang ingin kembali menguasai Indonesia. Setelah Belanda

107 Ibid., hlm. 186.108 Ibid.109 Ibid.

Universitas Indonesia

41

dan Sekutu hengkang dari Indonesia, pada akhir 1949 negara Indonesia memilih

sistem pemerintahan parlementer.110 Parlemen pertama adalah sebuah majelis

dengan unsur-unsur yang sangat beragam. Parlemen ini beranggotakan wakil-

wakil daerah, anggota KNIP, dan anggota-anggota yang ditunjukan oleh

Presiden Soekarno berdasarkan perkiaraan kekuatan partai politik.111 Itu artinya

pada masa berlakunya Konstitusi RIS pada tahun 1949, peran partai politik lebih

berfokus masuk ke dalam sistem baik yang terdapat di tubuh parlemen maupun

eksekutif, terlebih lagi parlemen yang pengisian anggotanya masih dilakukan

melalui pengangkatan tidak lepas dari pengaruh partai politik. Dengan

ditunjukannya perwakilan partai politik di parlemen maka terbukalah suatu era di

mana partai politik dapat menunjukan fungsi dan peranannya.112

Berdasarkan ketetapan KNIP tentang keanggotaan DPR RIS, partai partai

yang mengajukan calon dan memenuhi persyaratan adalah Masjumi 5 anggota,

PNI 4 anggota, PSI 2 anggota, PKI 2 anggota, PBI 2 Anggota, BTI 2 Anggota

dan partai lainnya yakni PSII, Murba, STII, PKRI, Parkindo, Partai Sosialis, dan

Partai Buruh yang masing-masing 1 anggota.113 Banyaknya partai politik pada

zaman tersebut tidak jarang menghasilkan perseturuan atau gesekan satu sama

lain akibat persaingan ideologi dan perebutan pengaruh di tingkat pengambilan

kebijakan. Perseturuan dengan latar belakang non ideologis seringkali

mengerucut pada persekutuan strategis partai-partai besar. Biasanya, Masjumi

bersekutu dengan Partai Sosialis Indonesia, sedangkan PNI bersekutu dengan

PKI.

Bahkan tidak jarang persekutuan tersebut terjadi dalam tubuh partai itu

sendiri di mana masing-masing unsur berusaha untuk mendominasi agar pada

akhirnya terjadi perpecahan internal. Masjumi dan PSI adalah salah satu contoh

partai yang mengalami perpecahan internal yang cukup parah. Di bawah

kepemimpinan M. Natsir, sebagai partai yang merepresentasikan kepentingan

110 Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), hlm. 4.

111 Soekarno, Tatanegara Republik Indonesia Sudah Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945 untuk S.M.A, (Jakarta: Nusantara, 1963), hlm. 93.

112 Jimly Asshiddiqie (2), op. cit., hlm. 175.113 Deliar Noer dan Akbarsyah, KNIP: Parlemen Indonesia 1945 – 1950, (Jakarta:

Yayasan Risalah, 2005), hlm. 287-288.

Universitas Indonesia

42

umat Islam harus kehilangan massa yang cukup signifikan setelah unsur NU

memisahkan diri dan menjadi partai tersendiri. Sementara di tubuh PSI yang

dipimpin Sutan Sjahrir terdapat sempalan yang biasa disebut PSI sayap kiri karena

menganut ideologi komunisme.114

Fase selanjutnya adalah dilaksanakannya Pemilihan Umum pertama kali

di Indonesia yakni pada tahun 1955, dimana pada tanggal 29 September

difokuskan untuk memilih anggota DPR dan pada 15 Desember waktunya untuk

memilih anggota Konstituante. Jumlah kursi Pemilu ini sering dikatakan sebagai

pemilu Indonesia yang paling demokratis.115 Dasar hukum pemilihan umum ini

adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota

Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat.116 Uniknya dalam Pemilu

tahun 1955 proses pengajuan calon dapat dilakukan melalui perorangan,

organisasi kemasyarakatan ataupun partai politik hal tersebut sebagaimana

tertuang dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953.

Pemilu 1955 diikuti lebih dari 118 peserta untuk pemilu DPR yang terdiri

dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan dan 48 perorangan kemudian

terdapat 91 peserta untuk pemilu Konstituante, yang terdiri dari 39 partai politik,

23 organisasi kemasyarakatan dan 29 perorangan.117 Jumlah kursi DPR yang

diperebutkan sebanyak 260. Sedangkan jumlah kursi Dewan Konstituante

sebanyak 520 ditambah 14 wakil golongan minoritas yang diangkat pemerintah.

Pada pemilu ini menghasilkan empat besar partai politik yang mendapat

dukungan suara cukup banyak dari masyarakat. Posisi pertama diraih oleh PNI

dengan 22.3 persen suara, disusul oleh Masjumi dengan 20.9 persen suara, NU

114 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 175.115 TIM, Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Dilengkapi Sejarah Berdirinya

NKRI, Daftar Wilayah NKRI, Daftar Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu di Indonesia, (Yogyakarta: New Merah Putih, 2009), hlm. 103-104

116 Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, LN No. 29 Tahun 1953.

117 Achmad Fachrudin, Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi, (Jakarta: Garmedia Utama Publishindo, 2013), hlm. 43.

Universitas Indonesia

43

dengan 18.4 persen suara dan PKI dengan 16.4 persen suara.118 Posisi Masjumi

pada urutan kedua menunjukan bahwa partai ini masih memiliki pengaruh yang

cukup kuat di tengah-tengah masyarakat, khususnya pemeluk agama Islam,

setelah unsur NU melepaskan diri. Sebagai partai yang mengklaim umat Islam

sebagai konstituennya, Masjumi ditopang oleh berbagai ormas Islam yang ada di

Indonesia. Meskipun cukup banyak unsur didalamnya, Masjumi memiliki alat

perekat yang dapat diandalkan yakni berupa cita-cita terumuskannya konsitusi

negara berdasarkan syariat Islam.

Sementara PSI yang sebelumnya diperkirakan memiliki banyak

pendukung dan diberi jatah sebanyak 15 kursi di parlemen ternyata hanya berhasil

mengumpulkan 2 persen suara atau 5 kursi di parlemen. Hasil pemilu 1955 dapat

diartikan bahwa PSI tidak begitu diminati oleh masyarakat. Tokoh-tokoh PSI

yang kebanyakan direkrut dari kalangan intelektual gagal meraih suara secara

maksimal karena enggan menerapkan strategi pengerahan massa yang lazimnya

dilakukan oleh partai-partai lain.

Pemilu 1955 menghasilkan 27 partai politik yang memperoleh kursi di

DPR. Sepuluh besar partai politik yang memperoleh kursi di DPR yaitu PNI 57

kursi, Masjumi 57 kursi, NU 45 kursi, PKI 39 kursi, PSII 8 kursi, Parkindo

8 kursi, Partai Katolik 6 kursi, PSI 5 kursi, IPKI 4 kursi, Perti 4 kursi. Sedangkan

untuk Konstituante, 10 partai yang memperoleh kursi terbanyak adalah PNI 119

kursi, Masjumi 112 kursi, NU 91 kursi, PKI 80 kursi, PSII 16 kursi,

Parkindo 16 kursi, Partai Katolik 10 kursi, PSI 10 kursi, IPKI 8 kursi, dan Perti 7

kursi.119

Satu tahun selanjutnya, Presiden Soekarno sebenarnya tidak menyukai

keberadaan partai politik karena hanya akan menyebabkan fanatisme dan

membuat Indonesia semakin terpecah belah. Hal itu dapat terlihat dari kecaman

Presiden Soekarno terhadap Maklumat 3 November 1945 pada kongres

persatuan guru tanggal 30 Oktober 1956 yang menguatkan pidatonya pada Hari

Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1956. Presiden Soekarno mengecam

demokrasi liberal yang dianggapnya tidak cocok untuk masyarakat Indonesia, 118 Syamsudin Haris, Pemilu Langsung Di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan

Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 171.119 Miriam Budiardjo, op. cit., hlm. 234 dan 256.

Universitas Indonesia

44

paham yang dijiplak dari alam pikiran barat itu telah melahirkan banyak partai

yang dalam kenyataanya lebih banyak memperjuangkan kepentingan masing-

masing daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.120

Hal tersebut tentunya ditolak oleh partai-partai politik. Bahkan beberapa

partai politik membentuk suatu federasi yang dinamakan Liga Demokrasi yang

menentang penguburan partai dan konsep restrukturisasi yang digagas oleh

Presiden Soekarno. Menurut Liga Demokrasi cara untuk menyelesaikan berbagai

permasalahan hendaknya bukan dengan merombak struktur, tetapi dengan

mengembalikan kepercayaan rakyat pada pemerintahan. Liga demokrasi terdiri

dari Masjumi, NU, PSII, PSI, Partai Katolik, Partai Protestan, dan Partai Rakyat

Indonesia (PRI).121

Pada tahun 1957 dan seterusnya semakin tampak bahwa pergolakan politik

yang sulit dikekang membawa Indonesia ke dalam impasse yang serius. Hal ini

tercermin dari seringnya kabinet-kabinet hasil koalisi partai mengalami

pembubaran, maraknya politisasi penduduk sebagai akibat lanjutan dari

persaingan partai-partai sebelum Pemilu 1955, dan terutama menjamurnya

kekuatan rakyat kedalam politik etnisitas dan sentrifugalisme. Realitas politik ini

kemudian memunculkan gagasan restrukturisasi yang memungkinkan Presiden

turut campur dalam urusan pemerintahan. Presiden Soekarno bermaksud

membentuk suatu Dewan Nasional yang anggota-anggotanya ditunjuk oleh

Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden.122

Dewan ini semula hendak dinamakan sebagai Dewan Revolusioner, akan

tetapi karena kata nasional dipandang lebih menunjukan kekeluargaan yang besar,

dipilih nama Dewan Nasional. Dewan tersebut meliputi seluruh bangsa Indonesia

yang anggotanya terutama adalah golongan fungsional yang meliputi wakil-wakil

kaum buruh, petani, cendekiawan, pengusaha, agama, angkatan 45, Kepala Staf

Angkatan Darah, Laut, Udara, Kepala Kepolisian Negara, Jaksa Agung dan

beberapa menteri yang dianggapi penting. Anggota Dewan Nasional terdiri atas

120 Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, op.cit.,hlm. 378.121 Jimly Asshiddiqie (2) , op. cit., hlm. 178-179.122 Ibid.

Universitas Indonesia

45

60 orang, yang dipimpin sendiri oleh Presiden Soekarno untnuk memberi nasihat

kepada Kabinet baik diminta maupun tidak.123

Setidaknya secara khusus terdapat 3 tokoh yang menyatakan dengan

tegas tidak setuju dengan gagasan Presiden Soekarno. Pertama Kyai Dahlan yang

menyatakan bahwa penguburan partai-partai bertentangan dengan semangat

Islam karena dapat menimbulkan kediktatoran. Kemudian adalah Imron Rosjadi,

yang saat menjadi Ketua Pemuda Anshor menegaskan bahwa diktator

bertentangan dengan islam. Terakhir adalah Mohammad Natsir yang dalam

pidato peringatan sebelas tahun berdirinya Masjumi menyatakan apabila partai

politik dikubur maka demokrasi Indonesia telah dikubur, maka berakhir pula

Republik Indonesia.124

Sekalipun banyak mendapat penolakan, Soekarno tetap menyosialisasikan

gagasan restukturisasnya dalam setiap kesempatan. Pada April 1957 Soekarno

atas nama Penguasa Peran Tertinggi menyatakan negara dalam keadaan darurat

perang dan memaksakan terbentuknya kabinet Juanda. Soekarno kemudian

memanggil para politisi dari berbagai partai politik untuk menghadiri sebuah

rapat. Para pemimpin partai itu diberi formulir dengan pertanyaan apakah mereka

bersedia terlibat dalam kabinet baru atau tidak. Masjumi dan Partai Katolik

menyatakan menolak. Sementara juru bicara PSI yang menyatakan siap

bekersama tidak dihiraukan oleh Soekarno. Gagasan restrukturisasi itu pada

akhirnya mendapat dukungan dari berbagai partai yang sempat menolaknya

seperti NU dan PSII dengan konsensi-konsensi tertentu. Gagasan itu kemudian

terintegrasi dalam konsep demokrasi terpimpin yang dirumuskan sendiri oleh

Soekarno.125

Kabinet Djuanda yang tidak melibatkan kader Masjumi dan PSI mendapat

protes dari daerah-daerah basis kedua partai itu. Di Sumatra Barat, misalnya,

terjadi unjuk rasa yang mengultimatum Djuanda supaya mengundurkan diri dalam

waktu 5 hari. Mereka juga menuntut Presiden Soekarno untuk menunjuk Hatta

123 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 143.124 Deliar Noer, Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: PT Pustaka

Utama Grafiti, 1987), hlm. 354.125 Jimly Asshiddiqie (2), loc.cit.

Universitas Indonesia

46

dan Sultan Hamengkubuwono IX menjadi formatur pembentukan kabinet yang

bersifat nasional. Karena ultimatum tersebut tidak dipenuhi oleh Djuanda, pada

Februari 1958 terjadi pemberontakan dari kelompok yang menamakan diri

Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Bukittinggi. Pada saat

yang sama di Sulawesi Utara berdiri Dewan Manguni yang sejalan dengan PRRI.

Pemberontakan tersebut dapat diatasi oleh TNI dalam waktu singkat.126

Pemberontakan PRRI melibatkan sejumlah pimpinan Masjumi dan PSI

yakni antara lain Syafruddin Prawiranegara, M. Natsir, Burhanuddin Harahap

(Masyumi) dan Soemitro Djojohadihoesoema (PSI). Keterlibatan mereka

mengakibatkan tensi ketegangan antara pemerintah dengan dua partai itu semakin

meningkat. Kemudian pada 5 Juli 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit

yang salah satu isinya menyatakan bahwa konstitusi negara kembali ke UUD

1945. Hal ini untuk menciptakan keseimbangan kekuatan yang sangat labil di

antara Soekarno dan Militer.127

Pada periode selanjutnya, tepatnya pada 31 Desember 1959 dikeluarkanlah

Penetapan Presiden Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-syarat dan

Penyederhanaan Kepartaian. Dimana sebagai tindak lanjut dari Penpres tersebut,

dikeluarkanlah peraturan Peratuan Presiden Nomor 13 Tahun 1960 tentang

Pengakuan, Pengawasan dan Pembubaran Partai-Partai yang selanjutnya diubah

dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960. Peraturan tersebut diikuti dengan

Keputusan Presiden Nomor 128 Tahun 1961 tentang Pengakuan Partai-Partai

yang memenuhi Perpres Nomor 13 Tahun 1960, dimana partai-partai yang diakui

tersebut adalah PNI, NU, PKI, Partai Katolik, Partai Indonesia, Partai Murba,

PSII, IPKI, Parkindo dan Persatuan Tarbiyah Islam (PTI) sedangkan partai-partai

yang ditolak pengakuannya adalah PSII Abikusno, Partai Rakyat Nasional Bebasa

Daen Lalo, dan Partai Rakyat Nasional Djodi Gondokusumo yang termuat dalam

Keputusan Presiden Nomor 129 Tahun 1961.128

126 Atmadji Sumarkidjo, Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G30S, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000), hlm. 103.

127 M. Rusli Karim, op.cit., hlm.141.128 Ibid., hlm. 149.

Universitas Indonesia

47

Penpres No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan

Kepartaian tampaknya memang ditujukan khusus kepada Masjumi dan PSI,

karena pada Pasal 9 menyebutkan bahwa Presiden, setelah mendengar pendapat

Mahkamah Agung, dapat melarang atau membubarkan partai yang sedang

melakukan pemberotakan. Kecurigaan akan dibubarkanya Masjumi dan PSI

semakin mendekati kenyataan dengan dikeluarkannya Penpres No.13/1960

tentang Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai politik. Maka dari itu

pada 21 Juli 1960 Soekarno memanggil pemimpin-pemimpin Masjumi dan PSI ke

istana. Soekarno kemudian menyerahkan setumpuk daftar pertanyaan yang harus

dijawab oleh pemimpin partai itu secara tertulis dalam satu minggu.129 Oleh

karena jawaban pimpinan Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno, maka

pada 17 Agustus 1960 kedua partai itu dibubarkan melalui Keputusan Presiden

No.200/1960 dan No.201/1960. Jika ultimatum ini tidak dipenuhi, maka partai

bersangkutan akan dinyatakan sebagai partai terlarang. Kurang dari 30 hari setelah

Keppres itu diturunkan, pimpinan Masjumi dan PSI membubarkan partai

mereka.130

Keputusan Presiden dalam hal tidak mengakui beberapa partai politik

tidak terdapat upaya hukum yang dapat diajukan ke pengadilan. Kondisi tersebut

merupakan akibat dari kekuasan Presiden Soekarno yang sangat besar, hal itu

dapat terlihat dari ditempatkannya Ketua Mahkamah Agung sebagai Menteri

Koordinator Hukum dan Dalam Negeri yang kedudukannya berada di bawah

Presiden.131 Akibat kebijakan penyederhanaan partai politik tersebut, partai politik

tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat dalam berkontribusi terhadap

pembangunan bangsa. Bahkan partai-partai yang masih ada, mendapatkan

pengawasan yang sangat ketat dari militer dan pemerintahan sipil. Segala sesuatu

kegiatan politik boleh berjalan dengan syarat tidak bertentangan dengan

Manipol.132

129 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 181.130 Deliar Noer, op.cit, hlm. 384-387.131Bibit Suprapto, Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia, (Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1985), hlm. 245.132 Selo Soemardjan, ”Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita, Review of

Politics” Feith & Castles VOL XXV, (Januari 1963), hlm. 111-114.

Universitas Indonesia

48

Pada masa awal orde baru pemerintah menekankan stabilitas nasional

dalam program politiknya. Untuk mencapai stabilitas nasional terlebih dahulu di

awali dengan apa yang disebut sebagai dengan konsensus nasional. Ada dua

macam-konsensus nasional, yaitu pertama berwujud kebulatan tekad pemerintah

dan masyarakat untuk melaksanakan pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945

secara murni dan konsekuen. Konsensus pertama ini disebut juga dengan

konsensus utama. Sedangkan konsensus kedua adalah konsensus mengenai cara-

cara melaksanakan konsensus utama. Artinya, konsensus kedua lahir sebagai

lanjutan dari konsensus utama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan.

Konsensus kedua tercapai antara pemerintah dan partai-partai politik dan

masyarakat.133

Secara umum, elemen-elemen penting yang terlihat dalam perumusan

konsensus nasional antara lain pemerintah, TNI dan beberapa organisasi massa.

Konsensus ini kemudian dituangkan kedalam TAP MPRS No. XX/1966. Sejak itu

konsensus nasional memiliki kekuatan hukum yang mengikat bagi seluruh rakyat

Indonesia.134 Beberapa hasil konsensus tersebut antara lain adalah penyederhanaan

politik dan keikutsertaan TNI/Polri dalam keanggotaan MPR/DPR.

Berdasarkan semangat konsensus nasional itu pemerintah orde baru dapat

melakukan tekanan-tekanan politik terhadap partai politik yang memiliki basis

massa luas. Terlebih kepada PNI yang notabenenya sebagai partai besar dan

dinilai memiliki kedekatan dengan rezim terdahulu. Pada April 1966 PNI dipaksa

melakukan kongres nasional di mana dalam kongres tersebut sejumlah tokoh lama

PNI disingkirkan dan sejumlah cabang PNI di Jawa Tengah ditutup. Sementara

cabang-cabang PNI di Sumatera dan Aceh dianjurkan untuk secara sukarela

membekukan diri.135

Pemerintah orde baru juga melakukan tekanan terhadap partai-partai

dengan basis massa Islam. Satu contoh ketika para tokoh Masjumi ingin

menghidupkan kembali partainya yang telah dibekukan pemerintah orde lama, 133 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 189.134 Nugroho Notosusanto (1), Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969, (Jakarta:

Balai Pustaka, 1985), hlm. 27-49. 135 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 190.

Universitas Indonesia

49

pemerintah memberi izin dengan dua syarat. Pertama, tokoh-tokoh lama tidak

boleh duduk dalam kepengurusan partai. Kedua, Masjumi harus mengganti nama

sehingga terkesan sebagai partai baru. Dalam hal ini Masyumi memilih nama

Parmusi. Mohammad Roem yang sempat terpilih sebagai ketua umum Parmusi

pertama dipaksa untuk mundur dan diganti sebagai konsekuensi dari syarat yang

pertama.136

Kiprah PKI dalam percaturan politik nasional juga berakhir dengan

meletusnya prahara pada tengah malam 30 September 1965 hingga dini hari 1

Oktober 1966 di mana sejumlah Jenderal di Jakarta diculik dan dibunuh. Aksi

pembantaian itu dimotori oleh Kolonel Untung, seorang komandan pasukan

pengawal istana.137 Kolonel Untung menuduh korban-korbannya sebagai

komplotan “Dewan Jenderal” yang sedang mempersiapkan kudeta sehingga harus

diantisipasi secara dini. Sebagai kelanjutan dari pembantaian para jenderal itu,

keesokan harinya disiarkan berita mengenai terbentuknya “Dewan Revolusi” yang

beranggotakan 45 orang dengan tugas mengamankan negara dan Presiden.

Meskipun dari 45 anggota Dewan Revolusi tersebut 5 orang yang berfaham

komunis namun banyak kalangan menuduh PKI terlibat dalam aksi pembunuh itu

untuk melakukan kudeta.138

Jenderal Soeharto yang pada saat itu menjabat panglima komando

cadangan strategis bertindak cepat menguasai keadaan dengan menangkap kolonel

Untung berikut kelompoknya. Akibat lanjutannya adalah pembasmian segenap

kekuatan PKI diseluruh tanah air oleh TNI Angkatan Darat dan kelompok-

kelompok masyarakat yang anti terhadap komunisme. Aksi pembasmian ini

dilakukan secara massif dengan jumlah korban berkisar antara 80.000 hingga

500.000.139

136 Ibid.137 Daniel Dhakidae, Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 202.138 Victor M.Fic, Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi, (Jakarta:

Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm. 203.139 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 188.

Universitas Indonesia

50

Peristiwa yang lazim disebut Gerakan 30 September / Partai Komunis

Indonesia (G30S/PKI) menandai pergantian orde dari Orde Lama ke Orde Baru.

Pada 1 Maret 1966 Presiden Soekarno dituntut untuk menandatangi sebuah surat

yang memerintahkan pada Jenderal Soeharto untuk mengambil segala tindakan

yang perlu untuk keselamatan negara dan melindungi Soekarno sebagai Presiden.

Surat yang kemudian dikenal dengan sebutan Surat Perintah Sebelas Maret

diartikan sebagai pemberian wewenang kepada Soeharto secara penuh.140

Orde baru yang dikukuhkan dalam sebuah sidang MPRS yang berlangsung

pada Juni-Juli 1966. Di antara ketetapan yang dihasilkan sidang tersebut adalah

mengukuhkan Supersemar dan melarang PKI berikut ideologinya tumbuh dan

berkembang di Indonesia. Menyusul PKI sebagai partai terlarang, setiap orang

yang pernah terlibat dalam aktivitas PKI ditahan. Sebagian diadili dan dieksekusi,

sebagian besar lainnya diasingkan ke Pulau Buru untuk didoktrin dan

dipekerjakan.

Pada masa pemerintahan Soeharto terdapat juga kebijakan penyederhanaan

terhadap partai politik. Hal tersebut disebabkan karena partai politik dipandang

sebagai sumber pertikaian yang mengganggu stabilitas bangsa.141 Maka dari itu,

pada masa pemerintahan Soeharto partai-partai politik mendapatkan berbagai

tekanan untuk menyesuaikan diri dengan kebijakan yang ada. Kebijakan

penyederhanaan partai politik ini pada akhirnya menghasilkan 10 peserta pemilu

pada tahun 1971 yakni PNI, NU, Parmusi, Golkar, Partai Katolik, PSII, Murba,

Partai Kristen Indonesia, Perti, dan IPKI. 142

Kebijakan penyederhanaan dikombinasikan dengan kebijakan fusi partai

politik pada tanggal 9 Maret 1970. Dimana Presiden Soeharto menyarankan untuk

mengklasifikasikan partai berdasarkan kesamaan indentitas masing-masing partai.

Maka dari itu partai-partai yang ada dikelompokan menjadi golongan nasionalis,

golongan spiritual, dan golongan karya yang dimanifestasikan menjadi 3 partai

140 Ibid., hlm.189.141 Ibid., hlm.189.142 Arif Zulkifli, PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik,

(Jakarta: Grafiti, 1996), hlm. 51-55.

Universitas Indonesia

51

yakni Partai Demokrasi Indonesia, Partai Persatuan Pembangunan, dan Golongan

Karya (Golkar). 143

Pada pemilu 1971 partai-partai politik disaring melalui verifikasi hingga

tinggal sepuluh partai politik yang dinilai memenuhi syarat untuk menjadi peserta

pemilu. Dalam pemilu kali itu didapati Golongan Karya menjadi peserta pemilu.

Pada mulanya Golkar merupakan gabungan dari berbagai macam organisasi

fungsional dan kekaryaaan, yang pada 20 Oktober 1964 mendirikan Sekretariat

Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar). Tujuannya antara lain memberikan

perlindungan kepada kelompok-kelompok fungsional dan mengkoordinir mereka

dalam front nasional. Sekber Golkar ini merupakan organisasi besar yang

menampung sebanyak 291 organisasi dan kemudian menurun menjadi 201 buah.

Untuk kepentingan konsolidasi dibentuklah Kelompok Induk Organisasi (KINO)

yang berjumlah tujuh antara lain Soksi, Kosgoro, MKGR, Karya Pembangunan,

Ormas Hankam, Karya Profesi dan Gakari.144

Peranan Sekber Golkar semasa Orde Lama sudah terbukti banyak

membantu TNI dalam mengimbangi pengaruh PKI. Dalam suatu pelatihan Sekber

Golkar tahun 1966, Soeharto menyerukan dalam pidato tertulis-nya agar Golkar

memiliki sense of mission, mengembangkan dan memiliki kesadar bulat bahwa

Golkar memiliki cita-cita dan tujuan tunggal, yakni pengabdian yang didasarkan

kepada patriotisme yang berakibat pada UUD 1945.145 Pada 5 September 1966

Soeharto mengeluarkan instruksi kepada keempat panglima angkatan bersenjata

agar memberikan fasilitas seluas-luasnya bagi perkembangan dan penuaian tugas

Sekber Golkar di tingkat pusat dan daerah dengan pertimbangan bahwa Sekber

Golkar selalu menempatkan dirinya sebagai saudara kandung angkatan bersenjata

dan sebagai pengawal dan pengaman Revolusi Indonesia.146

Pengikutsertaan Golkar oleh pemerintah dalam Pemilu 1971 ternyata

cukup efektif untuk membendung dukungan terhadap partai-partai. Melalui cara-

143 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 194.144 Ibid., hlm. 191.145 Ibid.146 Ibid.

Universitas Indonesia

52

cara pintas seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12/1969 yang melarang

seluruh pegawai negeri mendukung partai politik dengan tujuan supaya Golkar

dapat meraup suara pegawai negeri yang pada masa orde lama mendukung PNI.

Pada mulanya Permen 12 dimaksudkan untuk memurnikan Golongan Karya di

DPRD tingkat I dan II. Dalam Permen tersebut terdapat ketentuan bahwa anggota-

anggota departemen hanya boleh memberikan loyalitas kepada negara dan bangsa

bahkan jika perlu melarang warga departemen masuk partai politik. Setelah

Permen 12 tersosialisasi kemudian muncul Surat Edaran Menteri Dalam Negeri

yang berisikan formulir kesediaan. Tujuan intinya daalah supaya Korp Karyawan

Pemerintah Dalam Negeri menanggalkan keanggotaan kepartaian dan

keormasannya.147

Selain itu untuk mengambil alih massa Islam pemerintah Orde Baru

menghidupkan kembali Gerakan Usaha Perbaikan Pendidikan Indonesia sebagai

saingan bagi Majelis Ulama. Pemerintah juga memasukkan tokoh-tokoh Golkar

ke dalam Badan Pengendali Pemilihan Umum. Lembaga inilah yang aktif

mengampanyekan Golkar dengan segenap kekuatan yang ada padanya. Pendanaan

Bapilu yang kuat menjadikannya mampu menandingi partai politik dalam

mensosialisasikan program-programnya ke tengah-tengah masyarakat. Bahkan

ketika itu secara luas tersebar tuduhan bahwa Bapilu mengeluarkan sejumlah uang

untuk menggalang dukungan dari tokoh-tokoh agama terhadap Golkar.148

Usaha pemerintah Orde Baru mengerdilkan partai-partai politik dengan

cara membesarkan Golkar tidak sia-sia. Pada Pemilu 1971 Golkar meraih posisi

pertama dalam peroleh suara, disusul NU, Parmusi, PNI, PSII Parkindo, Katolik,

Perti, IPKI dan Murba. Golkar meraih 62.8 persen dari seluruh suara yang di

perebutkan. Ini berarti bahwa jumlah seluruh para peserta pemilu yang lain belum

mampu mencapai separuh dari suara yang diperoleh Golkar. Ini juga berarti

bahwa seluruh jumah kursi di DPR hampir seluruhnya diborong Golkar. Belum

lagi kalau ditambah dengan jatah 100 kursi dalam bentuk pengangkatan-

147 Ibid., hlm.192.148 Ibid., hlm.193.

Universitas Indonesia

53

pengangkatan golongan TNI yang telah disetujui Undang-Undang Pemilu yang

praktis menjadi beking Golkar di DPR.149

Pasca Pemilu 1971, Presiden Soeharto yang posisinya semakin kuat karena

mendapat legitimasi pemilu kembali memunculkan ide penyederhaan partai. Ide

ini sebenarnya sudah cukup lama menjadi bahan pembicaraan para penggagas

konsep orde baru. Mereka menilai bahwa partai politik selalu menjadi sumber

pertikaian yang tentu saja mengganggu stabilitas. Maka tidak mengherankan

apabila setahun sebelum Pemilu 1971 dilangsungkan, di hadapan sembilan partai

dan Golkar Soeharto sudah mengemukakan saran penggabungan partai-partai

untuk mempermudah kampanye pemilu tanpa kehilangan identitas masing-

masing. Soeharto menginginkan partai-partau yang ada dikelompokan ke dalam

Golongan Nasional, Golongan Spiritual dan Golongan Karya.150

Gagasan pengelompokan partai itu memunculkan sikap pro dan kontra di

kalangan masyarakat. Partai pertama yang menyetujui adalah PNI dan IPKI,

kemudian disusul oleh Parmusi dan NU. Kalangan yang mewakili Islam

memandang gagasan itu akan menyatukan pandangan politik umat Islam yang

sebelumnya terpecah-pecah. Selain itu, dengan adanya pengelompokan proses

pengambilan keputusan akan semakin mudah karena alternatif-alternatif pendapat

dapat diperkecil.151

Golongan yang menentang pengelompokan adalah Parkindo dan Partai

Katolik. Sebenarnya penolakan mereka lebih disebabkan pada pengelompokan

kedua partai ini kedalam kelompok spiritual. Mereka akan menerima jika mereka

dikelompokkan pada golongan nasionalis. Alasannya, golongan nasionalis dapat

melaksanakan program yang tidak mementingkan motif-motif ideologis

keagamaan.152

Dimana pada tanggal 5 Januari 1973 NU, Parmusi, PSII dan PERTI telah

memfusikan politiknya dalam satu partai politik bernama Partai Persatuan

149 Ibid.150 Ibid., hlm.194.151 Ibid.152 Ibid. hlm.195.

Universitas Indonesia

54

Pembangunan, kemudian PNI, IPKI, Parkindo dan Partai Katholik pada 10

Januari 1973 difusikan dalam satu wadah yang bernama Partai Demokrasi

Indonesia.153 Konsep fusi tersebut dikukuhkan melalui Undang-Undang No. 3

Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan serta Undang-Undang No.4

Tahun 1975 tentang Pemilihan Umum. Kedua Undang-Undang itu telah

membatasi organisasi peserta pemilu yang sebelumnya berjumah sepuluh menjadi

tiga. Itu juga berarti bahwa sejak dua Undang-Undang tersebut diberlakukan

hanya tiga aliran politik saja yang diperkenankan, yaitu ideologi keagamaan yang

diwakili PPP, kekaryaan yang diwakili oleh Golkar dan demokrasi yang diwakili

PDI. Hanya tiga kekuatan politik yang ada itulah yang bertarung dalam Pemilu

1977. Itu pun masih dengan pembatasan baru lagi bagi partai politik di luar

Golkar, dengan adanya peraturan kepengurusan partai yang hanya

memperbolehkan partai politik beroperasi di ibu kota tingkat pusat, Dati I dan

Dati II. Sementara di wilayah yang lebih kecil, hanya Golkar yang dapat berperan.

Ketentuan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah “massa mengambang”.

Sistem pemilu dengan tiga kontestan itu berlangsung hingga lima kali pemilu

selama pemerintah orde baru, yaitu Pemilu 1977, 1982, 1992, dan 1997.154

Hasilnya adalah selama pemerintahan Presiden Soeharto, khususnya pada 1971-

1997 Golongan Karya menguasai secara mutlak perolehan suara di seluruh

provinsi, sehingga membawa partai beringin ini menjadi partai pemenang, bahkan

mendapatkan legitimasi untuk memerintah karena ia menguasai perangkat

eksekutif dan legislatif sekaligus.155

Menjelang akhir pemerintahan orde baru, banyak gerakan oposisi berbasis

massa bermunculan. Beberapa di antaranya mengorganisir diri menjadi partai

politik seperti Partai Rakyat Demokratik dan Partai Uni Demokrasi Indonesia.

Ketika masa Reformasi tiba, partai politik bermunculan bagaikan jamur di musim

hujan. Munculnya partai-partai baru itu, selain menandai akhir dari suatu orde

yang mengekang kebebasan berserikat juga terkait dengan maraknya tuntutan agar

153 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2009), hlm. 234.

154 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 195.155 Daniel Dhkidae, Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004, (Jakarta: Kompas

Gramedia, 2004), hlm.3.

Universitas Indonesia

55

pemerintah segera menyelenggarakan pemilu. Presiden BJ Habibie yang

menggantikan Presiden Soeharto dinilai banyak kalangan kurang memiliki

legitimasi politik karena tidak terpilih melalui pemilu.156

Untuk memenuhi tuntutan itu, langkah konstitusional pertama yang

diambil adalah menyelenggarakan Sidang Istimewa MPR. Hasil sidang ini

tertuang dala TAP MPR No. XIV/MPR/1998 yang selain memperkukuh

kedudukan Habibie sebagai Presiden baru, juga sekaligus memerintahkan

kepadanya agar menyelenggarakan pemilihan umum pada bulan Juni 1999.

Amanat Sidang Istimewa tersebut ditindaklanjuti dengan pembuatan sejumlah UU

di antaranya adalah UU. No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik, Undang-

Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Anggota DPR. DPRD I dan DPRD

II dan Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan MPR,

DPR dan DPRD. Berdasarkan ketiga paket Undang-Undang politik tersebut

kegiatan pemilu mulai direncanakan dan dikonsolidasikan.157

Setelah Presiden Soeharto digantikan, keran demokrasi mulai dibuka

kembali di era reformasi, dimana kehidupan partai politik kembali bergairah.

Bahkan partai politik mendapatkan pengakuan secara konstitusional dalam Pasal

6A dan Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 yang mengatur tentang pemilihan Presiden

dan Wakil Presiden serta Pemilihan anggota DPR dan DPRD. Kesulitan pertama

yang segera dihadapi pemerintah adalah bagaimana menentukan jumlah partai

peserta pemilu dan bagaimana membuat klasifikasinya. Euforia politik yang

berlebihan pada sebagian besar komponen masyarakat ikut mempersulit

mekanisme dan proses penentuan partai politik peserta pemilu. Hampir setiap

tokoh masyarakat yang memiliki pengalaman terlibat dalam dunia politik di masa

lalu berlomba-lomba mendirikan partai politik. Tidak kurang dari 141 partai

politik tercatat dalam Lembar Negara dan memperoleh pengesahan dari

Departemen Kehakiman.158

156 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 196.157 Ibid.158 Ibid., hlm. 197.

Universitas Indonesia

56

Pemerintah, dalam hal ini Departemen Dalam Negeri, dengan segala

keterbatasan legitimasinya membentuk Panitia Persiapan Pembentukan Komisi

Pemilihan Umum (PPPKPU) yang terdiri atas 11 orang, sehingga dikenal dengan

tim sebelas. Di tangan tim sebelas inilah nasib-nasib partai baru dipertaruhkan.

Dikarenakan terikat dengan kalender pelaksaan pemilu yang sudah sangat

mendesak, tim sebelas hanya diberi waktu sebulan (1 Februari- 1 Maret 1998)

untuk melakukan verifikasi partai politik yang sudah tercatat dalam lembar

negara. Maka dari itu untuk melakukan penilaian dan seleksi partai-partai politik

yang tersebar di 27 provinsi, tim sebelas membuat sejumlah persyaratan yang

dibuat agak longgar.159

Tim sebelas melakukan verifikasi administratif dan faktual dalam dua

gelombang, yaitu pertama dilakukan pada 22-27 Februari 1999 yang menjangkau

keberadaan partai politik di 16 Provinsi, dan kedua pada 2-3 Maret 1999 di 10

Provinsi. Berdasarkan verifikasi tersebut terdapat 48 partai politik yang

dinyatakan lolos menjadi peserta Pemilu 1999.160 Dengan ditetapkannya jumlah

partai peserta pemilu peran tim sebelas segera digantikan oleh Komisi Pemilihan

Umum yang keanggotannya terdiri dari utusan partai-partai ditambah unsur

pemerintah. Adanya lembaga KPU merupakan amanat Undang-Undang No. 3

Tahun 1999 yang menyatakan bahwa Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang

dikendalikan secara penuh oleh pemerintah diganti dengan KPU yang melibatkan

perwakilan partai-partai politik peserta pemilu.161

Dengan peserta sebanyak 48 partai politik Pemilu 1999 menjadi pemilu

paling banyak memiliki kontestan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia.

Dalam pemilu ini tidak didapati satu partai politik yang mendapat dukungan

dominan atas partai-partai lainnya, melainkan menampilkan lima partai politik

yang mendapat dukungan masyarakat cukup besar. Dari segi komposisi perolehan

suara, PDIP merupakan partai yang paling banyak meraup suara, disusul oleh

159 Ibid.160 Ibid., hlm. 198.161 Ibid.

Universitas Indonesia

57

Golkar, PKB, PPP dan PAN. Sedangkan dari segi perolehan kursi di DPR, PPP

menempati urutan ketiga dan PKB pada urutan keempat.162

Tidak adanya partai yang menguasai lebih dari separuh jumlah kursi di

parlemen menyebabkan partai-partai besar berpeluang mencalonkan kadernya

sebagai Presiden dan wakil Presiden. Akan tetapi ketika pemilihan Presiden dan

wakil Presiden belangsung di gedung DPR/MPR nyatanya hanya dua calon

Presiden yang bersaing yaitu Megawati Soekarnoputri dari PDIP dan

Abdurrahman Wahid dari PKB. Abdurrahman Wahid yang didukung oleh Poros

Tengah berupa aliansi partai-partai berbasis Islam pimpinan Amien Rais terpilih

menjadi Presiden Republik Indonesia keempat. Sementara Megawati

Soekarnoputri yang kurang mendapat dukungan dari para anggota MPR

memperoleh posisi wakil Presiden.163

Perubahan lainnya sejauh menyangkut sistem pemilu adalah munculnya

kebijakan penyederhanaan partai peserta pemilu. Banyaknya jumlah peserta

pemilu dinilai oleh banyak kalangan sebagai pemborosan uang negara. Dalam

kenyataanya, terdapat beberapa partai politik peserta Pemilu 1999 yang perolehan

suaranya di bawah satu persen. Sementara setiap tahunnya partai politik peserta

pemilu memperoleh dana kampanye dari pemerintah. Persoalan ini

melatarbelakangi terbitnya Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai

Politik dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Legislatif yang

mengatur pembatasan peserta pemilu dengan ketentuan electoral threshold.164

Partai yang memenuhi ketentuan electoral threshold berhak atas biaya kampanye

dari pemerintah.

Setelah adanya ketentuan electoral threshold maka hanya ada 6 partai

politik peserta Pemilu 1999 yang bisa mengikuti Pemilu 2004, yakni PDIP,

Golkar, PPP, PKB, PAN dan PBB. Sementara partai-partai lainnya dianggap tidak

memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 2004 dan bila masih tetap ingin

menjadi kontestan harus mengubah namanya sehingga kehadirannya dianggap 162 Ibid., hlm. 199.163 Ibid.164 Mexsasai Indra, “Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan

Dengan Sistem Pemerintah Republik Indonesia,” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No.2, hlm. 10.

Universitas Indonesia

58

sebagai partai baru.165 Selain electoral threshold, pemilihan umum 2004 diikuti

oleh 24 partai politik yang ditetapkan sebagai peserta pemilihan umum setelah

melalui tiga tahap penyaringan, yaitu penyaringan yang dilakukan oleh

Departemen Hukum dan HAM RI, penyaringan adminisratif oleh Komisi

Pemilihan Umum dan yang terakhir adalah melalui verifikasi faktual.

Penyaringan yang dilakukan pada tahap pertama bertujuan untuk

memberikan status atau pengesahan partai politik sebagai sebuah badan hukum

sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002

tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan lulus

penyaringan. Pada tahap verifikasi faktual dilakukan penelitian apakah benar

dokumen-dokumen mengenai kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di

dalam verifikasi administratif tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun

ketentuan mengenai tata cara dan prosedur verifikasi tersebut di dalam keputusan

KPU Nomor 105/2003 dan diperbarui dengan Keputusan KPU Nomor

615/2003.166

Sementara itu partai politik yang memenuhi electoral threshold dalam

artian mempunyai 3% dari jumlah kursi di DPR di dalam pemilihan umum 1999,

tidak lagi melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif

maupun faktual. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang

Partai Politik, partai yang sudah memenuhi electoral threshold tersebut langsung

ditetapkan menjadi peserta pemilihan umum 2004 apabila mendaftarkan diri

sebagai calon peserta pemilihan umum oleh KPU.

Dalam proses verifikasi ada 44 partai politik yang mengikuti dan hanya 18

partai politik yang dinyatakan lolos. Oleh karena itu, yang berhak mengikuti

pemilihan umum 2004 adalah sebanyak 24 partai politik, yakni 18 partai politik

165 Bapenas, “Inilah Profil Partai Politik Peserta Pemilu 2004”, http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20Negeri/1%29%20Pemilu/3%29%20Pemilu%20tahun%202004/Partai%20Peserta%20Pemilu%202004.pdf, diunduh pada 29 November 2015.

166 Abdul Bari Azed dan Makmur Amir, Pemilu dan Partai Politik di Indonesia, (Jakarta: PSHTN FHUI, 2003), hlm. 84-93.

Universitas Indonesia

59

yang dinyatakan lolos verifikasi dan 6 partai politik besar yang lolos electoral

threshold.167

Pada dasarnya pemilu dan partai politik tidak dapat dipisahkan, karena

pemilu memiliki peserta partai politik dan eksistensi partai politik sejatinya ada

karena untuk mencapai kekuasaan secara formal melalui pemilihan umum. Pada

pemilu 2009 pada dasarnya tidak terdapat perbedaan yang signifikan dengan

pemilu sebelumnya. Pemilu ini diikuti oleh 38 partai politik nasional dan enam

partai lokal serta terdapat sembilan partai yang memperoleh suara dominan.168

Dari sembilan partai, tujuh partai diantaranya adalah peserta pemilu pada tahun

2004, sedangkan terdapat dua partai baru yakni Gerindra dan Hanura yang

berhasil mengambil hati masyarakat Indonesia pada pemilu 2009. Fakta lain yang

cukup mengejutkan adalah suara partai demokrat yang sebelumnya hanya

memperoleh suara 7.5% sedangkan pada pemilu 2009 naik drastis hingga

memperoleh 20.85% suara. Disinyalir terdapat pengaruh Susilo Bambang

Yudhoyono yang cukup kuat sebagai Presiden saat itu.

Namun sebagai partai pemerintah tentunya terdapat banyak rintangan

kepada partai Demokrat, tercatat beberapa kader partai Demokrat tersandung

kasus korupsi yakni:

1. Angelina Sondakh, Anggota DPR dari partai Demokrat yang terlibat

kasus korupsi wisma atlet yang ditetapkan tersangka oleh KPK pada

tanggal 3 Februari 2012.169

2. Andi Alfian Malarangeng, Menteri Pemuda dan Olah Raga Kabinet

Indonesia Bersatu Jilid 2 yang tersandung kasus korupsi Hambalang

yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 6 Desember 2012.170

167 Endin Akhmad Jalaluddin Soefihara, Merebut Nurani Rakyat: Koalisi, Konflik, dan Etika Politik, (Jakarta: Belantka, 2005), hlm. 54.

168 Kusnaedi, Memenangkan Pemilu dengan Pemasaran Efektif, (Jakarta: Duta Media Tama, 2009), hlm.X.

169 Eri Komar Sinaga, “Kasus Korupsi Wisma Atlet KPK Periksa Angelina Sondakh” http://www.tribunnews.com/nasional/2014/12/11/kasus-korupsi-wisma-atlet-kpk-periksa-angelina-sondakh, diunduh pada 29 November 2015.

170 Icha Rastika, “KPK Tetapkan Andi Mallarangeng Tersangka Hambalang”, http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/19065844/KPK.Tetapkan.Andi.Mallarangeng.Tersangka.Hambalang, diunduh pada 29 November 2015.

Universitas Indonesia

60

3. Anas Urbaningrum, Ketua Partai Demokrat yang ditetapkan tersangka

oleh KPK dikarenakan menerima hadiah dalam proyek pembangunan

Pusat Pendidikan Pelatihan dan Sekolah Olahraga Nasional di

Hambalang pada 22 Februari 2013.171

Akibat dari tingkah laku para kadernya membuat partai demokrat terkena

dampak secara langsung. Partai Demokrat menurut hasil survei menurun

elektabilitasnya. Menurut survei Center for Strategic dan International Studies

(CSIS), elektabilitas partai demokrat pada 6-19 Juli 2012 turun dengan suara

11.1%.172 Pada tahun 2013, menurut survei Lembaga Survei Indonesia,

elektabilitas partai demokrat kembali turun ke angka 9.8%.173

Berdasarkan hasil pemilu tahun 1999, 2004 dan 2009 sistem kepartaian

yang Indonesia anut adalah sistem multipartai yang moderat dan tidak ada satupun

partai yang paling dominan. Salah satu contohnya adalah pada tahun 1999-2004

dimana meskipun PDIP tahun 1999 dan Golkar 2004 memenangkan pemilu

legislatif, tetapi pada pemilihan Presiden, calon Presiden dari masing-masing

partai tidak ada yang keluar sebagai pemenang. Walaupun Megawati pada tahun

2001 naik jadi Presiden Indonesia, akan tetapi hal itu lebih disebabkan karena

MPR memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid.

Memasuki tahun 2013, KPU mengumumkan daftar 46 partai poitik yang

telah mendaftarkan diri untuk mengikuti Pemilu 2014, dimana beberapa partai

diantaranya merupakan partai politik yang baru pertama kali mengikuti pemilu

ataupun baru mengganti namanya.174 Terdapat 9 partai yang merupakan peserta

171Rusman Paraqbueq, “Anas Resmi Tersangka Kasus Suap”, http://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/22/063463066/anas-resmi-tersangka-kasus-suap, diunduh pada 29 November 2015.

172 ”Elektabilitas Demokrat Malah Terus Menurun”, http://sp.beritasatu.com/home/elektabilitas-demokrat-malah-terus-menurun/23286, diunduh pada 29 November 2015.

173 Ihsanuddin, “LSI: Elektabilitas Terus Turun, Demokrat Bakal Jadi Parpol Papan Tengah”,.http://nasional.kompas.com/read/2013/11/24/1428376/LSI.Elektabilitas.Terus.Turun.Demokrat.Bakal.Jadi.Parpol.Papan.Tengah, diunduh pada 29 November 2015.

174 Kepustakaan Presiden, “Pemilihan Umum Tahun 2014”, http://kepustakaan-Presiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=33&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=, diunduh pada 29 November 2015.

Universitas Indonesia

61

Pemilu 2009 yang berhasil memperoleh suara 3.5% suara dari jumlah kursi di

Dewan Perwakilan Rakyat periode 2009-2014. Setelah di verifikasi oleh KPU,

partai politik yang lolos terdapat 15 partai politik, tiga diantara adalah partai

daerah. Adapun 15 partai politik yang lolos sesuai dengan nomor urutnya adalah:

Partai Nasional Demokrat, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Keadilan Sejahtera,

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan Karya, Gerindra, Partai

Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Partai

Hanura, Partai Damai Aceh, Partai Nasional Aceh, Partai Aceh, Partai Bulan

Bintang, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia. Dari total ke 12 partai politik

nasional yang ikut pemilu 2014, yang berhak mencalonkan calon Presiden dari

partainya adalah partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh

minimal 25% suara nasional pada pemilu 2014 atau 20% perolehan kursi di

parlemen. Artinya, dari jumlah suara yang ditetapkan sesuai dengan Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Presidential threshold.

2.2 PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DARI MASA PEMERINTAHAN

SOEKARNO HINGGA JOKO WIDODO

Keberadaan partai politik di Indonesia mulai hangat dari adanya

Maklumat Pemerintah Nomor 3 November 1945.Maklumat tersebut mendorong

tumbuhnya banyak partai politik sesuai dengan iklim demokrasi yang

dikembangkan dengan maksud untuk mempertahankan kemerdekaan dan

menjamin keamanan rakyat. Mulai saat itu partai politik sangat mewarnai

kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mendirikan partai politik belum

terdapat ketentuan yang mengaturnya secara khusus, demikian pula halnya

dengan pembubarannya. Pada masa itu partai politik benar-benar menjadi

wujud kebebasan berserikat yang menopang berjalannya demokrasi walaupun

juga menimbulkan dampak negatif berupa konflik antarpartai dan ketidakstabilan

pemerintahan.

Pembatasan terhadap kebebasan berserikat dalam partai politik mulai

menguat pada saat diterapkannya demokrasi terpimpin, yang didahului dengan

gagasan Presiden Soekarno untuk mengubur partai politik. Hal itu selanjutnya

Universitas Indonesia

62

dituangkan dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun

1960 yang mengatur syarat-syarat pengakuan partai politik sebagai badan hukum

dan pembubaran partai politik beserta akibat hukumnya dengan tujuan untuk

menyederhakan partai politik. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh

pandangan bahwa keberadaan partai politik yang telah berkembang merupakan

salah satu ciri demokrasi liberal yang tidak sesuai dengan kepribadian bangsa

Indonesia. Untuk itu partai politik perlu disederhanakan dan diarahkan sebagai

sarana negara untuk mendukung berjalannya demokrasi terpimpin.

Pembatasan yang sekaligus sebagai dasar pembubaran partai politik

adalah terkait dengan loyalitas terhadap asas dan tujuan negara serta integritas

wilayah nasional. Alasan pembubaran tersebut dapat dilihat masih dalam ruang

lingkup pembatasan yang diperlukan dalam suatu negara yang demokratis.

Namun demikian pembubaran tidak dilakukan melalui proses yudisial oleh

pengadilan melainkan menjadi wewenang Presiden. Mahkamah Agung hanya

memberikan pertimbangan yang sifatnya tidak mengikat. Hal itu memperkuat

sifat otoritarian demokrasi terpimpin, apalagi pada saat itu Mahkamah Agung

berada di bawah kekuasaan Presiden yang sangat besar. Mekanisme tersebut

tentunya tidak sesuai dengan prinsip- prinsip pembubaran partai politik dalam

negara hukum dan demokrasi.

Dalam praktiknya, di samping tidak diakuinya beberapa partai politik

dan dibubarkannya dua partai politik juga terdapat tindakan pembekuan partai

politik tanpa ada batas waktu. Pembekuan tersebut tidak memiliki dasar hukum

karena tidak dikenal dalam ketentuan yang berlaku pada saat itu. Pada

kenyataannya pembekuan tersebut tidak pernah dicairkan kembali hingga

berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno sehingga memiliki akibat hukum

yang sama dengan pembubaran partai politik.

Terdapat beberapa partai politik di Indonesia yang pernah dibubarkan

yakni Partai Masjumi, PSI, Partai Murba, Partai Komunis Indonesia dan Partindo.

Golkar pun juga nyaris dibubarkan pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid.

Dimulai pada masa Demokrasi Terpimpin terdapat dua partai politik yang

dibubarkan yakni Partai Masjumi dan PSI, serta satu partai yang dibekukan yakni

Partai Murba. Masjumi adalah salah satu partai besar dalam perpolitikan

Universitas Indonesia

63

Indonesia dengan basis masa umat islam.175 Selain itu Masjumi juga merupakan

partai yang memiliki dukungan paling luas di seluruh wilayah Indonesia sehingga

partai ini dapat dikategorikan sebagai partai yang bersifat nasional. Sejak awal

kemerdekaan Masjumi telah banyak memberikan kontribusi besar terhadap

bangsa, sehingga tidak heran pada saat Pemilu 1955, Masjumi memperoleh kursi

terbanyak bersama dengan PNI, disusul oleh NU dan PKI.

Lain halnya dengan PSI yang memiliki dukungan massa cukup minim,

akan tetapi memiliki pengaruh kuat karena tokoh-tokohnya dikenal sebagai

cendekiawan dan teknokrat yang berperan besar dalam pemerintahan dan

pembangunan, sehingga tidak heran apabila pada Pemilu 1955 PSI tetap dipercaya

menjadi suatu wadah aspiratif dengan menempati urutan ke-8 perolehan suara dan

mendapatkan 8 kursi di DPR.176

Awal pertikaian antara Masjumi-PSI dengan Soekarno bermula pada saat

pembentukan Kabinet Ali-Roem-Idham yang masing-masing mewakili PNI,

Masjumi dan NU. Soekarno menginginkan agar PKI dilibatkan dalam kabinet

karena telah berhasil menduduki peringkat keempat hasil pemilu tahun 1955

setelah PNI, Masjumi dan NU. Akan tetapi keinginan tersebut tidak dipenuhi

oleh Ali Sastroamidjojo karena PKI dipandang tidak mengakui keberadaan

Tuhan yang Maha Esa dan mendukung paham atheisme.177

Konflik semakin berlanjut pada saat Soekarno menggagas konsep

demokrasi terpimpin untuk menggantikan demokrasi parlementer yang ditolak

secara keras oleh Masjumi dan PSI. Puncaknya adalah penolakan Masjumi yang

melarang anggotanya untuk bergabung pada Kabinet Djuanda pada 8 April

1957.178 Menurut pandangan Masjumi, prosedur yang ditempuh Presiden

membentuk kabinet secara mutlak bertentangan dengan UUD dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan.

Selain itu, pembentukan kabinet “secara mutlak” dalam keadaan bahaya

175 M. Dzulfikriddin, M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia Peran dan Jasa Mohammad Natsir Dalam Dua Orde Indonesia, (Bandung: Mizan, 2010), hlm. 14.

176 Taufik Rahzen, Almanak Abad Partai Indonesia, (Jakarta: Boekoe I, 2008), hlm. 96.177 Silverio R.L. Aji Sampurno, Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor 200

Tahun 1960: Sekitar Pembubaran Masyumi, Seri Laporan Penelitian–1, (Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 1995), hlm. 19,

178 Deliar Noer, op. cit., hlm. 363-364.

Universitas Indonesia

64

dinilai bertentangan dengan undang-undang keadaan bahaya itu sendiri. Namun

demikian, terdapat anggota Masjumi yang menerima tawaran sebagai menteri,

yaitu Pangeran Noor sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Muljadi

Djojomartono sebagai Menteri Sosial. Pangeran Noor akhirnya dikeluarkan dari

Partai Masjumi, sedangkan Muljadi Djojomartono keluar dari anggota Masjumi

atas inisiatif sendiri. PSI juga menolak untuk ikut serta dalam kabinet tersebut.

Sedangkan partai lain yang semula menolak konsepsi Presiden Soekarno,

seperti NU dan PSII, mulai akomodatif dengan menerima dan mengirim

wakil dalam kabinet Djuanda.179

Posisi Masjumi dan PSI semakin terpojok dengan keterlibatan tokoh-

tokoh kedua partai tersebut dalam pembentukan PRRI Permesta di Sumatera

Barat. PRRI diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958 dengan Sjafruddin

Prawiranegara sebagai Perdana Menteri, Natsir sebagai juru bicara, dan

Burhanudin Harahap sebagai Menteri Pertahanan dan Kehakiman serta Sumitro

Djojohadikusumo dari PSI menjabat sebagai Menteri Perhubungan.180

Setelah diproklamasikannya PRRI, pimpinan Masjumi pada 28 April

1958 mengeluarkan pernyataan bahwa baik pemerintah pusat maupun PRRI

telah melanggar UUD. Oleh karena itu, cara penyelesaian terbaik yang dapat

ditempuh adalah apabila kedua belah pihak kembali mematuhi UUD. Pernyataan

itu ditandatangani oleh Sukiman sebagai Wakil Ketua dan M. Yunan Nasution

sebagai Sekretaris Jenderal Masjumi.181

Hatta juga mengupayakan penyelesaian secara damai melalui pertemuan

dengan Soekarno. Namun, pemerintah sudah mengambil langkah militer

menyerang kota-kota basis PRRI di Sumatera Barat dan Tengah, Manado, dan

beberapa kota lain di Sulawesi. Akhirnya, kekuatan PRRI dengan cepat dapat

dilumpuhka.182 Terhadap pemberontakan PRRI Permesta, Soekarno menyebutnya

sebagai stadium puncak penyelewengan dan pengkhianatan terhadap Proklamasi

17 Agustus 1945. Terutama karena dipandang telah bekerjasama dengan pihak

179 Ibid., hlm. 363 – 364.180 R.Z. Leirissa, PRRI Permesta: Strategi Membangun Tanpa Komunis, (Jakarta: PT

Pustaka Utama Grafiti, 1991).181 Deliar Noer, op. cit., hlm. 379.182 Ibid., hlm. 377.

Universitas Indonesia

65

asing yang reaksioner dan pihak kolonial yang hendak menghancurkan

republik.183

Sikap Presiden Soekarno terhadap Masjumi dan PSI semakin jelas pada

saat pembentukan DPR-GR yang disusun sendiri oleh Soekarno melalui Keppres

156 Tahun 1960. DPR-GR yang dibentuk sama sekali tidak mengakomodir

wakil-wakil dari kedua partai tersebut. Komposisi anggota DPR-GR dari

unsur golongan politik adalah PNI 44 orang, NU 36 orang, PKI 30 orang,

Parkindo 6 orang, Partai Katolik 5 orang, PSII 5 orang, Perti 2 orang, serta

Murba dan Partindo masing-masing 1 orang. Komposisi keanggotaan ditambah

dengan wakil dari golongan karya.184

Pada 5 Juli 1960, dengan Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tentang

Pengakuan, Pengawasan, dan Pembubaran Partai Politik, Presiden Soekarno

menjalankan kebijakan penyederhanaan partai politik sebagai pelaksanaan

Penpres Nomor 7 Tahun 1959 tentang Syarat-Syarat dan Penyederhanaan

Kepartaian. Perpres Nomor 13 Tahun 1960 tersebut selanjutnya diubah dengan

Penpres Nomor 25 Tahun 1960 yang memberikan waktu hingga 28 Pebruari

1961 bagi partai politik yang telah terbentuk sebelum 5 Juli 1959 untuk

melaporkan kepada Presiden mengenai AD ART, jumlah cabang dan jumlah

anggota tiap cabang, catatan seluruh anggota, organisasi di bawah partai, dan

keterangan dari Polisi bahwa partai tersebut sudah berdiri pada 5 Juli 1959.

Seperti telah disinggung pada bagian sebelumnya, Jimly Ashiddiqie

berpendapat bahwa adanya beberapa ketentuan tersebut memang ditujukan

sebagai dasar untuk membubarkan Masjumi dan PSI.185 Hal itu juga dinyatakan

oleh Deliar Noer186 dengan menunjuk Pasal 9 Penpres Nomor 7 Tahun 1959 yang

menyebutkan salah satu kriteria pembubaran partai politik adalah:

“…sedang melakukan pemberontakan karena pemimpin-pemimpinnya turut serta dalam pemberontakan-pemberontakan atau jelas memberikan bantuan,

183 Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi, djilid kedua, (Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964), hlm. 320 -321.

184 Aisyah Amini, Pasang Surut Peran DPR-MPR, (Jakarta: Yayasan Pancur Siwah bekerjasama dengan PP Wanita Islam, 2004), hlm. 168.

185 Jimly Asshiddiqie, op.cit., hlm. 180.186 Deliar Noer, op.cit., hlm. 384.

Universitas Indonesia

66

sedangkan partai itu tidak dengan resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya itu.”

Hal itu juga dibuktikan dengan penerapan ketentuan tersebut pertama-

tama terhadap Masjumi dan PSI. Dapat dibandingkan dengan keputusan

pengakuan partai politik yang baru keluar setahun kemudian, yaitu Keppres

Nomor 128 Tahun 1961 dan Keppres Nomor 129 Tahun 1961 pada 14

April 1961 serta Keppres Nomor 440 Tahun 1961 yang keluar pada 27 Juli

1961.

Pada 21 Juli 1960 Soekarno akhirnya memanggil pemimpin-pemimpin

Masjumi dan PSI. Pemimpin Masjumi yang hadir adalah Prawoto

Mangkusasmito dan M. Yunan Nasution, sedangkan pemimpin PSI yang hadir

adalah Sjahrir, Soebadio Sastrosatomo dan T. A. Murad. Dalam pertemuan

tersebut Presiden Soekarno didampingi oleh Kepala Staf ketiga angkatan, Kepala

Polisi, Jaksa Agung, Kepala Staf Komando Perang Tertinggi, Sekretaris Militer

Komando Tertinggi, Menteri Penerangan, dan Direktur Kabinet. Dalam

pertemuan selama sepuluh menit tersebut, Presiden menyerahkan daftar

pertanyaan yang harus dijawab pemimpin partai secara tertulis dalam waktu satu

minggu.187

Daftar pertanyaan yang disampaikan kepada pimpinan Masjumi dan PSI

terdiri dari empat pertanyaan pokok, yaitu; apakah kedua partai tersebut

menentang dasar dan tujuan Negara?; apakah kedua partai tersebut bermaksud

mengubah dasar dan tujuan Negara?; apakah kedua partai tersebut berhubungan

dengan pemberontakan PRRI?; dan apakah kedua partai tersebut memenuhi

persyaratan kepartaian yang diatur dalam Penpres Nomor 7 Tahun 1959?188

Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut, wakil Masjumi dan PSI

menyerahkan jawabannya secara langsung kepada Presiden Soekarno pada 28

Juli 1960. Presiden menyatakan akan mempelajari jawaban tersebut. Untuk

pertanyaan pertama dan kedua, yaitu apakah menentang dan bermaksud hendak

mengubah dasar dan tujuan negara, Masjumi memberikan jawaban bahwa yang

dianggap sebagai dasar dan tujuan negara adalah seperti yang termaktub dalam

187 Ibid., hlm. 384-385.188 Ibid., hlm. 385-386.

Universitas Indonesia

67

Mukadimah UUD 1945 dan tidak dalam Manipol. Masjumi membandingkan

antara dasar dan tujuan negara dalam Mukadimah UUD 1945 dengan dasar dan

tujuan partainya serta menyimpulkan bahwa keduanya tidak bertentangan.189

Atas pertanyaan ketiga, apakah berhubungan dengan pemberontakan

PRRI, Masjumi menyatakan bahwa ia tidak terlibat dengan pemberontakan

PRRI. Hal itu karena Penpres Nomor 7 Tahun 1959 mulai berlaku pada 31

Desember 1959 ketika para pemimpin Masjumi yang bergabung dengan PRRI

telah memisahkan diri atau keluar dari Masjumi. Pimpinan partai baru yang

dipilih pada Kongres bulan April 1959, tidak menyebutkan seorangpun dari

orang yang terlibat dalam PRRI. Juga dikemukakan bahwa sejak 9 September

1959 cabang-cabang partai di wilayah PRRI telah dibekukan oleh pemerintah

dan hubungannya dengan pimpinan pusat partai telah terputus.190 Demikian pula

dengan jawaban PSI yang menyatakan bahwa pimpinan PSI tidak setuju dengan

adanya pemerintahan tandingan. Bahkan Sumitro Djojohadikusumo sudah

dikenakan skors.191

Terhadap pertanyaan keempat, tentang pemenuhan syarat-syarat

kepartaian, Masjumi menyampaikan jawaban bahwa masih cukup waktu bagi

Masjumi untuk memenuhi persyaratan tersebut karena kesempatan masih

diberikan sampai 31 Desember 1960. Selain itu, Masjumi juga menyatakan

bahwa Penpres Nomor 7 Tahun 1959 bertentangan dengan UUD 1945 yang tidak

mengenal bentuk hukum Penetapan Presiden. Bahkan Penpres bertentangan

dengan jiwa Proklamasi.192

Karena jawaban pimpinan Masjumi dan PSI tidak memuaskan Soekarno,

pada 17 Agustus 1960 dikeluarkan Keppres Nomor 200 Tahun 1960 yang

membubarkan Masjumi dan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang

membubarkan PSI.193 Keppres Nomor 200 Tahun 1960 menyatakan,

189 Ibid., hlm. 385.190 Ibid., hlm. 386.191 Rusdi, “Partai Sosialis Indonesia Dan Peranan Kepolitikannya 1948-1960”, (tesis

program studi ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia, Jakarta, 1997), hlm. 218-219.

192 Deliar Noer, op.cit., hlm. 386.193 Jimly Asshiddiqie (2) , op.cit., hlm.181.

Universitas Indonesia

68

“Membubarkan Partai Politik Masjumi, termasuk bagian-bagian/tjabang- tabang/ranting-rantingnja diseluruh wilajah Negara Republik Indonesia.”

Demikian pula dengan Keppres Nomor 201 Tahun 1960 yang menyatakan,

“Membubarkan Partai Sosialis Indonesia, termasuk bagian-bagian/tjabang- tabang/ranting-rantingnja diseluruh wilajah Negara Republik Indonesia.”

Kedua Keppres tersebut disampaikan kepada pimpinan masing-masing

partai dengan pengantar dari Direktur Kabinet Presiden, Mr. Tamzil,

bertanggal 17 Agustus 1960. Dalam paragraf kedua dan ketiga surat Direktur

Kabinet Presiden kepada Pucuk Pimpinan Partai Sosialis Indonesia, dinyatakan

sebagai berikut:

“Menurut ketentuan dalam pasal 9 ajat (2) Penetapan Presiden No. 7 tahun 1959 dan pasal 8 ajat (2) Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960, dalam waktu tiga puluh hari, terhitung mulai tanggal berlakunja Keputusan Presiden tersebut diatas, jaitu tanggal 17 Agustus 1960, pimpinan Partai Sosialis Indonesia diharuskan menjatakan partainja bubar dengan memberitahukan kepada Presiden seketika itu djuga.

Apabila tenggang waktu tiga puluh hari itu lampau tanpa pernjataan pimpinan Partai Sosialis Indonesia tersebut, maka Partai Sosialis Indonesia ialah perkumpulan terlarang (pasal 8 ajat (3) Peraturan Presiden No. 13 tahun 1960).”

Oleh karena itu, dalam waktu tiga puluh kali dua puluh empat jam

terhitung mulai tanggal berlakunya Keppres tersebut, yaitu 17 Agustus 1960,

pimpinan Masjumi dan PSI diharuskan menyatakan partainya bubar dengan

memberitahukan kepada Presiden. Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 9

ayat (2) Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Pasal 8 ayat (2) Perpres Nomor 13

Tahun 1960. Apabila dalam waktu tiga puluh hari tidak dilakukan pembubaran

partai, maka akan dinyatakan sebagai partai terlarang sebagaimana diatur dalam

Pasal 8 ayat (3) Perpres Nomor 13 Tahun 1960.

Soekarno, dalam amanat Presiden pada ulang tahun Proklamasi

Kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1960, menyatakan pembubaran Masjumi

dan PSI adalah karena kedua partai tersebut melanggar ketentuan Pasal 9

Penpres Nomor 7 Tahun 1959. Bahkan dinyatakan pula bahwa Mahkamah

Agung saat itu juga berpendapat bahwa Masjumi dan PSI “terkena”

Universitas Indonesia

69

ketentuan tersebut. Oleh karena itu Soekarno memerintahkan pembubarannya.194

Hal itu juga dimuat dalam konsideran “Mendengar” pada kedua Keppres

tersebut. Alasan pembubaran karena keterlibatan Masjumi dan PSI dalam PRRI

juga dapat dilihat dalam konsideran “Menimbang” Keppres pembubarannya.

Dalam konsideran Keppres Nomor 200 tahun 1960 menyatakan sebagai berikut.

“bahwa untuk kepentingan keselamatan Negara dan Bangsa, perlu membubarkan Partai Politik Masjumi, oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-pemimpinnja turut serta dalam pemberontakan apa jang disebut dengan “Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia” atau “Republik Persatuan Indonesia” atau telah djelas memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan organisasi (partai) itu tidak resmi menjalahkan perbuatan anggauta-anggauta pimpinan tersebut;” 602

Alasan tersebut juga dapat dilihat dari konsideran “Mengingat” yang

mendasarkan pada Pasal 9 ayat (1) angka 3 Penpres Nomor 7 Tahun 1959

dan Pasal 8 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 baik pada Keppres Nomor 200

Tahun 1960 maupun pada Keppres Nomor 201 Tahun 1960. Sesuai dengan Pasal

9 Perpres Nomor 13 Tahun 1960 anggota Masjumi dan PSI yang duduk sebagai

anggota MPRS, DPR-GR, dan DPRD dianggap berhenti dari keanggotaan badan

tersebut sejak 17 Agustus 1960.

Pada 13 September 1960, Pimpinan Pusat Masjumi menyatakan

partainya bubar. Pernyataan tersebut dipandang lebih baik dari pada bubar

dengan sendirinya dan dinyatakan sebagai partai terlarang. Pilihan tersebut

didasari oleh pertimbangan bahwa jika ditetapkan sebagai partai terlarang, akan

menimbulkan kesulitan dan bahaya yang lebih besar terhadap anggota-

anggotanya.195 Selain itu, pimpinan partai terlarang menurut Pimpinan Pusat

Masjumi tidak mungkin membawa perkara tersebut ke pengadilan karena

kegiatan itupun akan dilarang. Selain itu, harta benda dan dokumen-dokumen

partai terlarang juga akan disita.196

Terhadap keputusan pembubaran Masjumi, Prawoto Mangkusasmito

meminta Mohamad Roem sebagai pengacara, mewakili kepentingan partai

mengajukan gugatan ke Pengadilan. Hal itu karena tindakan Presiden

194 Sukarno, op.cit., hlm. 411.195 Syaifulla, Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi, (Jakarta: PT Pustaka Utama

Grafiti, 1997), hlm. 219-221.196 Deliar Noer, op.cit., hlm. 388.

Universitas Indonesia

70

tersebut dipandang bertentangan dengan UUD 1945 dan Penpres yang

mendasarinya adalah tidak sah. Oleh karena itu, segala tindakan yang didasarkan

pada Penpres tersebut adalah tindakan yang melawan hukum (onrechtmatige

overheidsdaad)serta dapat dikategorikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan

(detournement de pouvoir). Namun, Pengadilan Jakarta pada 11 Oktober 1960

menyatakan tidak berwenang karena terkait dengan kebijakan politik

dalam soal konstitusi. Terhadap putusan tersebut diajukan banding, namun

tidak pernah diputuskan.197 Hal itu tentu terkait dengan kekuasaan Presiden

Soekarno yang saat itu sangat besar dan Ketua Mahkamah Agung kedudukannya

berada di bawah Presiden. Ketua Mahkamah Agung ditempatkan sebagai

Menteri Koordinator Hukum dan Dalam Negeri, sehingga kedudukannya berada

di bawah Presiden.198

Setelah Masjumi dan PSI dibubarkan, perjuangan tokoh-tokohnya

dilakukan melalui Liga Demokrasi yang telah terbentuk sebelumnya, yaitu 24

Maret 1960. Liga Demokrasi pada awalnya merupakan liga dari tokoh-tokoh

partai dan organisasi yang anti komunis. Mereka terutama dari PSI, Masjumi,

NU, Partai Katolik, Parkindo, IPKI, Liga Muslimin, dan Anshor. Bahkan, Liga

Demokrasi secara diam-diam juga mendapat dukungan A.H. Nasution dari

Angkatan Darat. Namun, akhirnya Liga Demokrasi juga dibubarkan pada

Maret 1961 dengan alasan tidak sesuai dengan Manipol.199 Pada Januari 1962,

Sjahrir ditangkap dan ditahan tanpa diadili. Demikian pula dengan Imron

Rosjadi dan H.J. Princen yang dipenjarakan tanpa proses pengadilan.200

Selain pembubaran Partai Masjumi dan PSI, pada 5 Januari 1964

Presiden Soekarno membekukan Partai Murba melalui penerbitan

Keppres/Panglima Tertinggi ABRI/KOTI No.1/KOTI/1965 dengan melarang

partai tersebut melakukan kegiatan apapun. Pembekuan tersebut dapat dilihat

sebagai bagian dari konflik antar partai politik, terutama antara PKI dengan

197 Ahmad Syafii Maarif, Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan, (Jakarta: LP3ES, 1985), hlm. 190.

198 Bibit Suprapto, loc.cit.199 Rusdi, op.cit., hlm. 230.200 Ulf Sundhaussen, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi Abri,

diterjemahkan oleh Hasan Basri, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 288.

Universitas Indonesia

71

partai-partai yang menolak keberadaan dan praktik politik PKI. Banyak pihak

yang mensinyalir bahwa pembubaran partai Murba merupakan langkah PKI

untuk menyingkirkan lawan-lawan politiknya.201

Sebenarnya, Partai Murba pada awal demokrasi terpimpin mendukung

gagasan sistem partai tunggal dengan mengutip dan menyerukan pernyataan-

pernyataan Soekarno. Gagasan tersebut juga dimaksudkan untuk membendung

kekuatan PKI. Namun gagasan itu tidak banyak mendapat dukungan termasuk

dari PKI. Gagasan partai tunggal dituduh PKI sebagai usaha merongrong Front

Nasional untuk kepentingan Inggris, Amerika, dan Malaysia.202

Pada 1 September 1964, pers yang condong terhadap Partai Murba

membentuk Badan Pendukung/Penyebar Soekarnoisme (BPS).203 BPS

mempertanyakan apakah orang-orang komunis adalah penganut Pancasila sejati

yang sila pertamanya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Terhadap pertanyaan

tersebut, PKI menyatakan bahwa ajaran Presiden Soekarno tidak dapat dipahami

dari sisi yang anti-komunis karena Presiden Soekarno

menentang Komunistofobi.204

Proses pembekuan Partai Murba diawali dengan ditemukannya

dokumen rahasia PKI berjudul “Resume Program dan Kegiatan PKI Dewasa Ini

(1963)”. Dokumen tersebut berisi program jangka pendek dan penilaian situasi,

serta rencana aksi dan tujuan akhir PKI. Dalam dokumen tersebut dinyatakan

bahwa revolusi Agustus 1945 telah gagal karena tidak dipimpin oleh orang-

orang komunis dan tidak menciptakan demokrasi rakyat. Oleh karena itu revolusi

disiapkan dengan cara merebut pimpinan dari kaum borjuis. Kondisi saat itu

dinilai oleh PKI sudah cukup kuat untuk mengambil alih pimpinan revolusi.205

Dokumen rahasia tersebut jatuh ke tangan Partai Murba. Oleh tokoh

Murba, Wakil Perdana Menteri Chairul Saleh, diserahkan kepada Ketua PNI Ali

201 “Pembubaran Partai Murba”, http://majalengkanews.com/pembubaran-partai-murba/, diunduh pada 1 Desember 2015.

202 Ibid., hlm. 318.203 Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai, (Jakarta: Antar Kota,

1988), hlm. 141.204 Komunistofobi adalah perasaan takut yang berlebihan terhadap paham komunisme.205 Nugroho Notosusanto, op.cit., hlm. 10-11.

Universitas Indonesia

72

Sastroamidjojo yang selanjutnya disampaikan pada sidang kabinet bulan

Desember 1964. Terhadap dokumen tersebut, PKI menyatakan bantahan dan

menganggap sebagai buatan kaum trotskis yang dibantu oleh kekuatan neokolim

untuk menghancurkan PKI.206

Walaupun mendapatkan bantahan, partai-partai politik banyak yang bertambah menaruh curiga terhadap PKI. Namun PKI dapat meyakinkan Presiden Soekarno bahwa dokumen tersebut palsu. Presiden Soekarno lalu memanggil pimpinan partai-partai politik di Istana Bogor serta memerintahkan untuk menyelesaikan persengketaan antar partai. Pada 12 Desember 1964, sepuluh partai politik menandatangani “Deklarasi Bogor” yang menganggap permasalahan dokumen tersebut selesai dan akan memelihara persatuan nasional atas dasar Pancasila, Manipol USDEK, dan rumusan Nasakom.207

Namun, pada 17 Desember 1964, Presiden Soekarno membubarkan BPS

yang dianggap menyelewengkan ajaran Soekarno dan memecah-belah persatuan

Nasakom. Hal itu diikuti dengan pembekuan Partai Murba pada 5 Januari 1965

dengan Keppres Nomor 291 Tahun 1965. Pembekuan tersebut diikuti dengan

pembekuan anggota DPRGR dari Partai Murba berdasarkan Keppres No.

21 Tahun 1965 serta penangkapan tokoh Murba, Sukarni.208

Setelah terjadinya peristiwa 30 September 1965 dan terdapat bukti-bukti

bahwa PKI berada di belakang peristiwa tersebut, Mayjen Soeharto selaku staf

Koti membubarkan PKI dan Ormas-ormasnya. Kebijakan tersebut dijalankan

oleh para panglima di daerah. Pada 12 November 1965 Mayjen Soeharto

mengeluarkan Instruksi Hankam Nomor 1015/65 tentang pembersihan personel

yang terlibat atau terindikasi terlibat G30S/PKI. Untuk pegawai negeri sipil,

dikeluarkan pula Instruksi Koti Nomor 22/65.

Pada 10 Oktober 1965, Menko Hankam/KSAB Jenderal A.H Nasution

mengirim surat kepada Presiden Soekarno yang memberikan usul penyelesaian

peristiwa G30S/PKI. Salah satu sarannya adalah segera dilakukan sidang

Mahkamah Militer dan menjalankan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 terhadap PKI 206 Ibid., hlm.11.207 Ibid.208 Muchtar Pakpahan, DPR RI Semasa Orde Baru, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1994), hlm.81.

Universitas Indonesia

73

dan partai politik lain yang terlibat.209

Presiden Soekarno masih mengupayakan agar PKI tidak dibubarkan.

Dalam pidatonya 21 Desember 1965, Presiden Soekarno menyatakan “Gestoknja

harus kita hantam, tapi komunisnja tidak bisa, karena adjaran komunis itu adalah

hasil keadaan objektif dalam masjarakat Indonesia seperti halnja nasionalis dan

agama.” Bahkan, untuk mengimbangi kekuatan KAMI dan KAPPI yang

menuntut pembubaran PKI, pada 17 Januari 1966 Menteri Penerangan Achmadi

menyelenggarakan rapat Barisan Soekarno dengan tenaga inti dari Universitas

Bung Karno.210

Upaya pembersihan PKI juga dilakukan di dalam DPRGR. Pimpinan

DPRGR pada November 1965 membekukan keanggotaan DPRGR fraksi PKI

yang tertuang dalam Keputusan Pimpinan DPRGR Nomor 10/Pimp/I/65-66 dan

disusul dengan Keputusan Nomor 13/Pimp/I/1965-1966. Berdasarkan dua

keputusan pimpinan DPRGR tersebut, 62 anggota DPRGR dibekukan sehingga

jumlah anggota DPRGR menjadi 237 orang. Keputusan itu didukung oleh hasil

Sidang Paripurna DPRGR yang diselenggarakan pada 15 November 1965.211

Dalam perkembangannya, tuntutan pembubaran PKI serta melenyapkan

kekuatan-kekuatan yang dipandang bertentangan dengan Pancasila semakin

menguat. Pada 4 Mei 1966 beberapa partai politik dan organisasi

menandatangani piagam pembentukan front Pancasila. Partai-partai politik dan

organisasi tersebut adalah NU, PSII, Parkindo, Partai Katolik, IPKI, Perti,

Muhammadiyah, Soksi, Gasbiindo (Gabungan Serikat Buruh Industri Indonesia),

dan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI).212 Setelah dikeluarkannya

Supersemar, Letjend Soeharto membubarkan PKI pada 12 Maret 1966 melalui

Keppres Nomor 1/3/1966. Keputusan tersebut ditandatangani oleh Letjen

Soeharto atas nama Presiden berdasarkan Surat Perintah 11 Maret.

Pertimbangan adanya keputusan pembubaran PKI, sebagaimana

tertuang dalam konsideran Keppres Nomor 1/3/1966 adalah karena munculnya 209 Nugroho Notosusanto (2), Pejuang dan Prajurit, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan,

1991), hlm. 122.210 A.H Nasution, Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I, (Djakarta: PT Seruling Masa,

1967) hlm.78-80211 Muchtar Pakpahan, op.cit., hlm. 71-79.212 Nugroho Notosusanto (1), op.cit., hlm. 27.

Universitas Indonesia

74

aksi-aksi gelap yang dilakukan oleh “Gerakan 30 September” PKI, berupa fitnah,

hasutan, desas-desus, adu domba, dan upaya penyusunan kekuatan bersenjata.

Aksi-aksi tersebut dipandang mengakibatkan terganggunya keamanan rakyat dan

ketertiban. Dalam konsideran “Memerhatikan” keputusan itu juga disebutkan

putusan Mahkamah Militer Luar Biasa terhadap tokoh-tokoh gerakan 30

September/PKI sebagai salah satu dasar pertimbangan. Terhadap putusan itu

Presiden Soekarno memberikan teguran dan memerintahkan pelaksanaan

Supersemar dalam arti secara teknis saja dan tidak mengambil keputusan d luar

hal yang bersifat teknis.213

Keputusan pembubaran PKI dikukuhkan dengan Ketatapan MPRS

Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,

Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Indonesia bagi

Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan atau Menyebarkan atau

Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme.

Ketetapan tersebut diputuskan pada 5 Juli 1966. Pasal 1 Ketetapan MPR Nomor

XXV/MPRS/1966 menyatakan sebagai berikut :

“Menerima baik dan menguatkan kebijaksaanaan Presiden/Pangilma Tertinggi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara, berupa pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang di seluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia, yang dituangkan dalam Keputusannya tanggal 12 Maret 1966 No.1/3/1966 dan meningkatkan kebijaksanaan tersebut di atas menjadi Ketetapan MPRS.”

Dalam ketentuan tersebut dapat diartikan bahwa yang dibubarkan dan

dinyatakan sebagai partai terlarang tidak hanya PKI di seluruh wilayah Indonesia

saja, melainkan semua organisasi yang berada di bawahnya, bernaung,

berlindunga, bahkan yang seasas dengan PKI, yaitu yang memiliki asas

komunisme atau marxisme-leninisme juga dibubarkan dan dinyatakan sebagai

organisasi terlarang.

Keppres Nomor 1/3 1966 tentang Pembubaran PKI tidak dibuat

213 A.H Nasution, op.cit., hlm. 77.

Universitas Indonesia

75

berdasarkan Penpres Nomor 7 Tahun 1959 dan Perpres Nomor 13 Tahun 1960

yang telah diubah dengan Perpres Nomor 25 Tahun 1960, walaupun sebelumnya

A.H Nasution menyarankan kepada Presiden Soekarno untuk segera menerapkan

peraturan tersebut terhadap PKI. Dalam konsideran Keppres Nomor 1/3/1966

yang disebut sebagai dasar hukum adalah Supersemar. Dalam keputusan tersebut

juga tidak disebutkan adanya pertimbangan berdasarkan pendapat Mahkamah

Agung.214

Alasan pembubaran PKI juga tertuang dalam huruf a dan b konsideran

“Menimbang” Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966, yaitu sebagai berikut

:215

”Bahwa paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme pada

inti hakekatnya bertentangan dengan Pancasila;

Bahwa orang-orang dan golongan-golongan di Indonesia yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, khususnya Partai Komunis Indonesia, dalam sejarah Kemerdekaan Republik Indonesia telah nyata-nyata terbukti beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan Pemerintah Republik Indonesia yang sah dengan jalan kekerasan.”

Berdasarkan bunyi konsideran tersebut, terdapat dua alasan pembubaran

PKI, yaitu terkait dengan ideologis atau asas, dan terkait dengan kegiatan.

Terkait dengan ideologi dan asas, alasannya adalah karena paham atau ajaran

Komunisme/Marxisme-Leninisme bertentangan dengan Pancasila sebagai

ideologi bangsa Indonesia. Sedangkan pada tingkat kegiatan, dinyatakan bahwa

orang atau golongan yang menganut paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-

Leninisme, khususnya PKI, telah beberapa kali berusaha merobohkan kekuasaan

pemerintahan yang sah dengan jalan kekerasan. Oleh karena itu, dalam

penjelasan dikatakan bahwa dipandang wajar untuk tidak memberikan hak hidup

bagi PKI di Indonesia dan bagi kegiatan untuk mengembangkan dan

menyebarkan paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.

214 Abdul Mukthie Fadjar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006), hlm. 205.

215 Majelis Permusyawaratan Rakyat, Ketetapan MPRS RI tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966.

Universitas Indonesia

76

Pembubaran PKI diikuti dengan penangkapan menteri-menteri yang

diduga terlibat PKI, di antaranya adalah Dr. Soebandrio, Dr. Chaerul Saleh, Ir.

Setiadi Reksodiputro, Sumardjo, Oei Tjoe Tat, Ir. Surahman, Jusuf Muda Dalam,

Armunanto, Sumarto Martopradoto, Astrawinata, Mayjen Achmadi, Drs. Moch.

Achadi, Letkol Inf. Moh Sjafei, J. Tumakaka, dan Mayjen Dr. Sumarno.

Pembubaran PKI sebagai partai politik dan pernyataan sebagai organisasi

terlarang, juga diikuti dengan larangan bagi bekas anggota PKI dan organisasi

massanya yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam G30S/PKI untuk

mengikuti pemilihan umum, baik memilih ataupun dipilih. Hal itu untuk pertama

kali diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 15 Tahun

1969 tentang Pemilihan Umum Anggota-Anggota Badan Permusyawaratan

Perwakilan Rakyat, sebagai berikut:

1. Warga negara Republik Indonesia bekas anggota organisasi terlarang

Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi massanja atau jang

terlibat langsung ataupun tak langsung dalam “Gerakan kontra Revolusi

G30S/PKI.”, atau organisasi telarang lainnja tidak diberi hak untuk

memilih dan dipilih;

2. Organisasi-organisasi dilarang mentjalonkan orang jang tidak diberi hak

untuk memilih dan dipilih serperti jang dimasuk dalam ajat (1) .

Penghapusan dan pencabutan hak untuk memilih dan dipilih saat itu

dimaksudkan sebagai bentuk kewaspadaan agar tidak dikhianati lagi dalam

bentuk gerilya politik dan ekonomi.216 Bahkan sebelum dibubarkan dan

dinyatakan sebagai partai terlarang, telah dilakukan pembersihan terhadap

anggota dan pimpinan PKI yang menjadi anggota DPRGR, MPRS, serta

DPRDGR, maupun yang duduk dalam organisasi pemerintahan.

Selain pembubaran PKI, juga dilakukan pembekuan terhadap Partindo.

Partindo adalah partai massa. Dimana sering mengadakan propaganda dalam

rapat untuk memperoleh massa pengikut. Sesuai dengan cara kerja Partai

Nasional Indonesia, Partindo mengarahkan kegiatannya pada pembentukan

massa-aksi. Tujuan utama Partindo adalah mencapai kemerdekaan. Untuk tujuan

tersebut, diperlukan kesatuan barisan kulit berwarna yang harus menghadapi

216 Muchtar Pakpahan, op.cit., hlm. 80.

Universitas Indonesia

77

pemerintahan asing. Kesatuan kulit berwarna yang dimaksud oleh Partindo

adalah dengan tidak memperhitungkan kelas dan kepercayaan, seperti dinyatakan

dalam siarannya tanggal 1 Mei 1931 sebab musuh utama dalam perjuangan

kemerdekaan adalah imperialisme. Oleh sebab Partindo dinilai berbahaya oleh

pemerintah karena massa aksinya dan PNI baru karena ideologinya, terlebih lagi

Partindo pada dasarnya memiliki kedekatan dengan PKI.217 Hal itu misalnya

ditujukan dengan adanya dukungan Partindo terhadap program-program PKI.

Dalam Kongres Partindo Januari 1964, Partindo menyetujui resolusi-resolusi

yang bunyinya memiliki kemiripan dengan program PKI.

Sebelum dibekukan, Partindo memiliki satu wakil di DPRGR

berdasarkan Keppres Nomor 156 Tahun 1960. Namun karena dinilai terbukti

terlibat dalam peristiwa G30S/PKI dan memiliki kedekatan dengan PKI, anggota

DPRGR dari Partindo diberhentikan dengan Keppres Nomor 57 Tahun 1968.

Sebelumnya, Pangdam V/Jaya telah melarang anggota dan orgmas partindo

melakukan kegiatan.

Pada masa selanjutnya yakni reformasi terdapat empat gugatan yang

ditujukan kepada partai Golkar. Di antara keempat gugatan tersebut, terdapat dua

gugatan yang meminta pembubaran Partai Golkar, yakni Perkara No.

01.G/WPP/2000 dan Perkara No.02/G/WPP 2001. Gugatan pertama yang

meminta pembubaran Partai Golkar diajukan oleh Partai Keadilan dan Persatuan

dan beberapa penggugat lain kepada Mahkamah Agung yang diregistrasi dengan

Perkara No.01.G/WPP/2000.

Penggugat meminta agar membekukan atau membubarkan Partai Golkar

atau setidak-tidaknya mencabut hak Partai Golkar ikut dalam pemilu 1999

dengan segala akibatnya termasuk menyatakan hasil suara dan kursi yang

diperolehnya tidak sah dan dibatalkan. Hal itu karena Partai Golkar dinilai telah

melanggar UU Parpol, khususnya Pasal 14 ayat (1) dan (2) tentang batas

maksimal sumbangan yang dapat diterima partai politik dan Pasal 9 huruf e yang

mengatur kewajiban partai politik menyukseskan penyelenggaraan pemilu secara

demokratis, jujur dan adil.218

217 Slamet Muljana (1), op.cit., hlm. 208.218 O.C. Kaligis dan Associates, Partai Golkar Digugat, (Jakarta: Otto Cornelis Kaligis,

2001), hlm. 3 – 184.

Universitas Indonesia

78

Partai penggugat menyebutkan bahwa pelanggaran yang dilakukan Partai

Golkar adalah telah menerima sumbangan sebesar 15 miliar rupiah dan dana

kasus Bank Bali.219 Partai Golkar juga dituduh melakukan money politic,

melakukan tindakan paksaan dan tekanan psikologis untuk memengaruhi

pemilih, menyalahgunakan dana Jaring Pengaman Sosial, mencuri star kampanye

dan pelanggaran lainnya.

Majelis hakim yang menyidangkan kasus tersebut adalah H. German

Hoediarto, H.P. Panggabean, H. Usman Karim, Ahmad Syamsudin, dan O.K

Joesli. Putusan dibacakan pada 13 Maret 2000. Dalam putusan tersebut

dinyatakan bahwa perkara ini berkaitan dengan Perkara No.

521/PDT.G/1999/PN.JKT.PST. Untuk mencegah terjadinya putusan yang

bertentangan, Majelis Hakim berpendapat bahwa perkara No. 01.G/WPP/2000

belum waktunya diajukan ke Mahkamah Agung sehingga gugatan dinyatakan

tidak dapat diterima. Meskipun demikian, dalam amar putusannya Mahkamah

Agung juga menyatakan bahwa Mahkamah Agung berwenang mengadili perkara

tersebut dalam tingkat pertama dan terakhir.

Pada 2001, tuntutan Pembubaran Partai Golkar yang dianggap sebagai

kekuatan Orde Baru dan menghambat proses reformasi semakin meningkat.

Tuntutan-tuntutan tersebut disampaikan melalui berbagai demonstrasi oleh

unsur-unsur mahasiswa dan masyarakat.220 Tuntutan tersebut kemudian

mengerucut kepada langkah hukum berupa gugatan yang diajukan kepada

Mahkamah Agung.

Pihak yang mengajukan gugatan adalah Pijar Indonesia mewakili

sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat anti Orde-Baru antara lain Rakyat

Bergerak, Paguyuban Korban Orde Baru, Gabungan Serikat Buruh Indonesia,

Front Indonesia Semesta, dan Lembaga Perjuangan Rehabilitasi Pegawai Negeri

Korban Rezim Orde baru. Gugatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan

Perkara No.02.G/WPP/2001.

219.Nay, “Melanggar UU Parpol, Golkar Digugat untuk Bubar”, http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2806/melanggar-uu-parpol-golkar-digugat-untuk-bubar, diunduh pada 2 Desember 2015.

220.YYT, “Demonstrasi Menuntut Golkar Dibubarkan Semakin Marak”, http://news.liputan6.com/read/7593/demonstrasi-menuntut-golkar-dibubarkan-semakin-marak, diunduh pada 2 Desember 2015.

Universitas Indonesia

79

Para penggugat mengajukan gugatan agar Partai Golkar dibekukan dan

dibubarkan atau dicabut haknya untuk mengikuti pemilihan umum karena

menerima sumbangan melebihi ketentuan undang-undang. Hal ini masih terkait

dengan perkara sebelumnya yaitu dana Partai Golkar yang diduga dari kasus

Bank Bali. Ketentuan yang dilanggar di antaranya adalah sumbangan yang boleh

diterima parpol sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 adalah Rp.

15.000.000. dari sumbangan perorangan dan Rp. 150.000.000. dari perusahaan

atau badan dalam waktu satu tahun. Tetapi, sesuai laporan PwC, Partai Golkar

menerima dana Rp. 15.000.000.000. dari kasus Bank Bali melalui Gauk Jarre.221

Dana kepada Partai Golkar tersebut dalam gugatan disalurkan melalui

anggota DPR yang mewakili Golkar, seperti Didi F. Korompis, Freddy

Latumahina, Lukito, dan Marimutu Manimaren. Selain itu, Partai Golkar juga

menerima sumbangan dari A.A Baramuli sebesar Rp. 1.000.000.000,00 yang

diterima pengurus Golkar di Sulawesi Selatan dan dana dari Badan Usaha

Logistik sebesar Rp. 90.000.000.000. Penggugat menyatakan bahwa berdasarkan

fakta tersebut Majelis Hakim selayaknya menyatakan Partai Golkar telah

melanggar UU Nomor 2 Tahun 1999. Untuk itu Majelis Hakim diminta

mencabut hak Partai Golkar mengikuti pemilu 2004. Seain itu, dengan menerima

dana dari Bulog dan dari kasus Bank Bali, menunjukan bahwa Partai Golkar

tidak adil dan tidak jujur pada proses pemenangan pemilu 1999, penggugat

meminta Mahkamah Agung memutuskan Partai Golkar melanggar Pasal 9 huruf

(e) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Oleh arena itu, MA diminta

memubarkan atau setidak-tidaknya membekukan Partai Golkar.222

Penggugat telah membangun konstruksi hukum bahwa pelanggaran batas

sumbangan kepada partai politik yang diterima Partai Golkar mengakibatkan

partai tersebut melanggar kewajiban partai politik. Kewajiban tersebut antara lain

untuk menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum secara demokratis, jujur,

dan adil dengan mengadakan pemberian dan pemungutan suara secara langsung,

umum, bebas dan rahasia. Pelanggaran terhadap kewajiban itu menjadi dasar

pembekuan atau pembubaran partai politik berdasarkan Pasal 17 ayat (2)

221TRA, “Gugatan Pembubaran Golkar Disidangkan”, http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/06/01/0064.html, diunduh pada 2 Desember 2015.

222 Ibid.

Universitas Indonesia

80

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999. Akan tetapi sayangnya tidak ada bukti

yang menguatkan pelanggaran tersebut sehingga konstruksi tersebut tidak dapat

dipertahankan.223

Pada penjelasan Pasal 17 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999

dikatakan bahwa sebelum proses peradilan pembekuan atau pembubaran partai

politik, Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali

bertutut-turut dalam waktu 3 bulan. Penjelasan dimaksud tentu terkait dengan

pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung yang dapat berujung pada

proses peradilan pembubaran partai politik. Gugatan tersebut diputuskan pada 31

Juli 2001 oleh Majelis Hakim yang terdiri atas Asma Samik sebagai Hakim

Ketua dan para Hakim Anggota adalah Tjung Abdul Mutallip, Abdul Rahman

Saleh, Artidjo Alkostar dan Muhammad Laica Mazuki. Putusan Majelis Hakim

menyatakan menolak gugatan membekukan atau membubarkan Partai Golkar

karena tidak cukup bukti yang menunjukan bahwa Golkar telah melanggar

batasan dan aturan pendanaan pemilihan umum. Berdasarkan putusan MA

tersebut, proses pembubaran partai poltik dalam praktiknya dapat dilakukan

tanpa melalui peringatan tertulis yang dikeluarkan oleh MA, tetapi melalui

gugatan pihak ketiga. Amar putusan menolak gugatan, namun putusan tersebut

telah memberikan hak kepada partai lain, bahkan setiap orang untuk mengajukan

gugatan pembubaran partai politik tertentu.224

Selain gugatan mengenai pembubaran partai politik, pada masa reformasi

tepatnya pada pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid pernah dikeluarkan

Maklumat yang membubarkan Partai Golkar. Peristiwa tersebut dilatarbelakangi

oleh konflik politik yang terjadi antara Presiden dengan parlemen terkait dengan

berbagai permasalahan, terutama Memorandum yang diajukan oleh DPR terkait

dengan dugaan keterlibatan Presiden pada kasus dana Yanatera Bulog dan

bantuan Sultan Brunei Darrusalam.225

Ketegangan hubungan antara Presiden dan DPR juga disebabkan oleh

kebijakan Presiden yang dinilai oleh DPR kontroversial. Kebijakan tersebut

223 Ali Safa’at, op.cit., hlm. 280.224 Ibid., hlm. 381.225 Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Buloggate dan Bruneigate DPR RI,

(Jakarta: Pansus Buloggate dan Bruneigate DPR RI, 2001), hlm. 12-35.

Universitas Indonesia

81

antara lain adalah pemberhentian Menteri Negara Penanaman Modal dan

Pembinaan BUMN Laksamana Sukardi dari PDIP dan pemberhentian Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Jusuf Kalla dari Golkar di kabinet.226 Bahkan di

tengah situasi krisis politik menjelang Sidang Istimewa MPR, Presiden Wahid

juga menonaktifkan Kapolri Jenderal Polisis S. Bimantoro dan menggantikannya

dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaeruddin Ismail. Kebijakan tersebut dinilai

melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2000 yang

mengharuskan adanya persetujuan DPR dalam pengangkatan Kapolri.

Pada 21 Juli 2001 tepatnya Pukul 01.05 WIB, Presiden Abdurrahman

Wahid sebagai Kepala Negara dan Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI

mengeluarkan Maklumat dan meminta TNI dan Polri mengamankan pelaksanaan

Maklumat 23 Juli 2001. Maklumat itu berisi pernyataan pengembalian

kedaulatan ke tangan rakyat Indonesia; pembekuan MPR dan DPR;

pembentukan badan-badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilihan

umum dalam waktu satu tahun; serta penyelamatan gerakan reformasi Presiden

total dan pembekuan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah

Agung.

Terkait dengan pembekuan Partai Golkar, berdasarkan Maklumat

Presiden 21 Juli 2001 disimpulkan bahwa alasan pembekuan tersebut adalah

untuk menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde

Baru. Partai Golkar dianggap sebagai unsur Orde Baru yang menghambat

gerakan reformasi total. Walaupun telah terdapat Maklumat yang membubarkan

MPR, namun MPR tetap melaksanakan Sidang Istimewa yang didahului dengan

permintaan fatwa yang diajukan oleh Ketua DPR dengan Surat Nomor

KS02/3709.A/DPR-RI/2001 tertanggal 23 Juli 2001 yang ditujukan kepada

Ketua Mahkamah Agung. Surat tersebut langsung dijawab pada pagi hari yang

sama oleh Ketua Mahkamah Agung dengan surat Nomor KMA 419/7/2001 yang

dibacakan pada Sidang Istimewa hari itu.227

Surat Mahkamah Agung pada dasarnya menjawab tiga pokok

permasalahan yang diajukan terkait dengan Makulmat Presiden 21 Juli 2001.

226 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 199.227 Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indinesia, (Jakarta:

PSHTN FHUI, 2003) hlm.252.

Universitas Indonesia

82

Salah satunya adalah perihal pembekuan Partai Golkar sambil menunggu

putusan MA. Pada bagian ini, surat MA menyatakan bahwa kewenangan untuk

membekukan partai politik ada pada MA berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU

Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik. Tindakan membekukan Partai

Golkar oleh Presiden merupakan tindakan mencampuri badan peradilan, sebab

dibekukan atau tidaknya Partai Golkar pada saat itu sedang dalam proses

peradilan di MA. Selain itu dinyatakan pula bahwa dalam tindakan pembekuan

Partai Golkar oleh Presiden tidak dijelaskan secara cermat tentang pertimbangan

yang menjadi alasan pembubaran. Hal ini tentunya bertentangan dengan asas

hukum administrasi bahwa motivasi dan pertimbangan keputusan administratif

harus jelas.228

Pada sidang istimewa tanggal 23 Juli 2001 dikeluarkanlah Ketetapan

Nomor I/MPR/2001 yang menyatakan bahwa Maklumat Presiden 21 Juli 2001

tidak sah karena bertentangan dengan hukum dan tidak mempunyai kekuatan

hukum. Jika dilihat dari sisi normatif berdasarkan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1999 yang berlaku saat itu, wewenang pembekuan partai politik memang

ada di tangan Mahkamah Agung melalui proses pengadilan dan setelah

Mahkamah Agung memberikan peringatan tertulis sebanyak tiga kali bertutut-

turut dalam waktu 3 bulan. Dengan demikian, Maklumat Presiden yang

membekukan Partai Golkar tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1999.

Intinya pada saat reformasi pembubaran partai politik tidak lagi

merupakan wewenang pemerintah atau Presiden, tetapi merupakan wewenang

pengadilan melalui proses peradilan. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2

Tahun 1999 partai politik dapat dibubarkan oleh Mahkamah Agung. Pasca

Perubahan UUD 1945 yang berwenang memutus pembubaran partai politik

adalah Mahkamah Konstitusi. Peraturan selanjutnya diatur dalam Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2002 dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003.

Kedua Undang-undang ini sesuai dengan prinsip pembubaran partai politik yaitu

pembubaran sebagai salah satu bentuk pembatasan kebebasan berserikat dalam

negara hukum dan demokrasi yang harus dilakukan berdasarkan keputusan

228 Ibid.

Universitas Indonesia

83

yudisial melalui due process of law and fair trial. Pemerintah berdasarkan

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 hanya berperan sebagai pemohon.229

Alasan pembubaran partai politik pada awalnya menurut Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 1999 dirumuskan meliputi banyak aspek, tidak hanya

pelanggaran terhadap larangan atau kewajiban, melainkan juga terhadap

persyaratan pendirian. Persyaratan tersebut dirumuskan semakin spesifik dalam

Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 yaitu terkait dengan ideologi

komunisme/Marxisme-Leninisme. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 alasan pembubaran terkait dengan konstitusionalitas partai politik,

yaitu jika ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik bertentangan

dengan UUD 1945.230

2.3 Pembubaran Partai Politik Di Beberapa Negara

Pengaturan partai politik di suatu negara sangat dipengaruhi oleh

kecendrungan hukum nasional dalam menempatkan partai politik, apakah lebih

sebagai organisasi privat ataukah sebagai organisasi publik. Hal itu terkait juga

dengan paradigma pengaturan hak politik yang dianut seperti paradigma

managerial, progresif, dan pluralist yang cenderung menempatkan partai politik

sebagai organisasi publik yang perlu diatur oleh negara. Sedangkan paradigma

libertarian dan political market, lebih memposisikan partai politik sebagai

organisasi privat, sehingga hukum negara tidak terlalu banyak mengatur.231

Negara-negara yang menganut paradigma partai politik sebagai organisasi

privat adalah Inggris dan Amerika Serikat. Dimana di Inggris, ketentuan tentang

partai politik hanya ada terkait dengan pelaksanaan pemilihan umum, yaitu

ketentuan pendaftaran dan pendanaan yang diatur dalam Political Parties,

Election and Referendum Act 2000. Sama halnya dengan di Amerika, partai

politik masih ditempatkan sebagai organisasi privat dimana tidak ada ketentuan

khusus yang mengatur tentang partai politik, kecuali terkait dengan pelaksanaan

pemilihan umum, khususnya terkait dengan pendanaan kampanye dari 229 Ibid., hlm. 289.230 Ibid., hlm. 290.231 Ali Safa’at, op.cit., hlm. 80.

Universitas Indonesia

84

masyarakat, serta penggunaan media dalam melakukan kampanye.232Sementara itu

ada negara-negara yang menempatkan partai politik sebagai organisasi publik

mengingat peran dan fungsinya dalam kehidupan bernegara. Konsekuensinya,

banyak ketentuan hukum yang mengatur tentang partai politik, bahkan sampai

tertuang dalam konstitusinya seperti di negara-negara Eropa Barat dan negara-

negara demokrasi yang baru.233

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Muchamad Ali Safa’at

dalam disertasinya, dari total 132 konstitusi negara di dunia, terdapat 72 konstitusi

negara yang menyebut partai politik. Dimana dari 72 konstitusi negara yang

mengatur tentang partai politik, terdapat 23 konstitusi negara yang mengatur

pembubaran partai politik yakni Afganistan, Albania, Algeria, Angola,

Azerbaijan, Chile, Cape Verde, Ceko, Armenia, Islandia, Georgia, Jerman,

Macedonia, Mauritania, Moldova, Korea Selatan, Paraguay, Polandia, Rumania,

Slovenia, Spanyol, Turki dan Ukraina. Dari total 23 konstitusi negara yang

mengatur tentang pembubaran partai politik dapat diklasifikasikan ke dalam tiga

kelompok, yaitu yang menyatakan diatur dengan aturan hukum, diputuskan oleh

pengadilan atau prosedur yustisial, dan yang secara tegas menyatakan

pembubaran partai politik merupakan wewenang Mahkamah Konstitusi.234

Pada penelitian ini Penulis memilih tiga negara untuk diteliti yakni negara

Jerman, Korea Selatan dan Slovenia. Dalam pembentukan lembaga Mahkamah

Konstitusi di Indonesia, negara Jerman menjadi salah satu prototipenya. Terlebih

lagi dalam praktek pembubaran partai politik di Negara Jerman memiliki

kesamaan dengan Indonesia yakni dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi. Selain

itu juga terdapat banyak bahan yang membahas mengenai pembubaran partai

politik di negara Jerman, sehingga Penulis tertarik untuk menelitinya lebih jauh.

Sedangkan alasan dipilihnya negara Korea Selatan, pertama dikarenakan

Indonesia dalam Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Mahkamah

232 Elyssa Wong, Systems of Government in Some Foreign Countries: The United Kingdom, Research and Library Services Division Legislative Council Sekretariat, Hongkong,11 April 2000.

233 Katz and Mair, How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democratie, (London: Sage Publications, 1994), hlm. 7-10.

234 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 89.

Universitas Indonesia

85

Konstitusi dengan tegas mengikuti model dari Mahkamah Konstitusi Korea

Selatan dimana Mahkamah Konstitusi dibentuk secara khusus berbeda dengan

Mahkamah Agungnya, akan tetapi keduanya tetap menjadi bagian dari kekuasaan

kehakiman yang memiliki hubungan sejajar. Selain itu, tugas dan wewenangnya

juga mirip dengan Korea Selatan dimana terdapat perbedaan fungsi dan

kewenangan antara Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusinya.235

Sedangkan dipilihnya Slovenia, karena negara Slovenia adalah satu-satunya

negara di dunia yang memberikan Legal Standing pembubaran partai politik

kepada setiap orang dalam mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi.

2.3.1 Pembubaran Partai Politik di Negara Jerman

Republik Federal Jerman sebagai salah satu negara yang terletak di Eropa

Barat menganut demokrasi liberal dengan sistem multi partai.236 Negara dengan

nama resmi Bundesrepublik Deutschland atau Federal Republik of Germany ini

menerapkan sistem demokrasi parlementer dengan Kanselir sebagai kepala

pemerintahan federal dan Presiden sebagai kepala negara. Jerman pasca Perang

Dunia ke-2 menggunakan Basic Law 1949 sebagai konstitusi yang mengatur

sistem kenegaraan dan sistem pemerintahannya. Sistem demokrasi parlementer

dengan kombinasi multi partai telah membuka ruang bagi berdirinya partai-partai

politik dengan beragam ideologi. Di Jerman sendiri terdapat beberapa partai

politik yang selalu memperoleh suara signifikan dalam pemilihan umum yakni:

Sozialdemokratische Partei Deutschlands atau Social Democratic Party of

Germany (SPD), Christlich Demokratische Union Deutschlands atau Christian

Democratic Union (CDU), dan Christlich-Soziale Union in Bayern atau Christian

Social Union (CSU).237

Jerman merupakan negara federasi yang terdiri dari enam belas negara

bagian (lander) yang menerapkan sistem parlemen dua kamar atau bikameral.

Pada tingkat federal terdapat majelis rendah (Bundestag) sementara perwakilan 235 Tim Konstitusi, Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,

hlm.10.236 Pieter Vanhuysse and Achim Goerres, Agein Populations In Post-Industrial

Democracies: Comparative Studies of Policies and Politics, (Oxon: Routledge, 2012), hlm. 63.237 Hari Poerna Setiawan, “Kebijakan Luar Negeri Jerman Dalam Merespon Isu

Perubahan Iklim Global (Periode 1997-2007), (tesis Universitas Indonesia, Jakarta, 2008), hlm.21.

Universitas Indonesia

86

negara bagian ditampung dalam majelis tinggi (Bundesrat). Bundestag merupakan

parlemen tingkat federal yang anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui

pemilihan umum. Fungsi Bundestag adalah memilih Kanselir yang akan

menjalankan tugas sebagai kepala pemerintahan, membentuk undang-undang

bersama pemerintah serta mengawasi jalannya pemerintahan federal. Bundesrat

adalah semacam Senat yang anggotanya berfungsi memperjuangkan kepentingan

dari masing-masing negara bagian dalam proses legislasi di tingkat federal.

Anggota Bundesrat berasal dari delegasi 16 negara bagian dengan pembagian

secara proporsional. Bundesrat juga menjadi bagian dalam proses pengambilan

keputusan dalam pembuatan kebijakan pemerintah federal bersama Bundestag.238

Partai politik merupakan pilar utama dalam sistem politik Jerman sebab

berfungsi untuk memfasilitasi kehendak politik rakyat. Jerman mengakui partai

politik sebagai instrumen yang dibutuhkan secara konstitusional dalam

pembentukan kemauan politik rakyat dan diangkat sesuai dengan lembaga.

Namun demikian, partai-partai bukanlah merupakan lembaga-lembaga pemerintah

dalam arti yang sebenarnya. Pasal ini juga memberikan jaminan perlindungan dan

pengakuan yang kuat terhadap partai politik, oleh karena statusnya yang khusus

dalam konstitusi. Bahkan tidak ada seorang yang yang boleh menyatakan suatu

partai bertentangan dengan konstitusi, kecuali diputuskan oleh Mahkamah

Konstitusi Republik Federal Jerman. Bahkan keistimewaan partai politik di

Jerman juga terlihat ketika MK Jerman, menafsirkan Pasal 19 bagian 3 Undang-

Undang Dasar Republik Federal Jerman yang menyatakan bahwa hak-hak dasar

juga berlaku bagi badan-badan hukum dalam negeri sejauh mana sesuai dengan

keberadannya hal itu dapat diterapkan. Atas ketentuan pasal ini, MK Jerman

memutuskan bahwa kemerdekaan mengeluarkan pendapat bukan hanya milik

setiap orang, tetapi juga hak ini diberikan kepada partai politik sebagai corong

kemauan politik masyarakat. Hal ini dipertegas dalam Pasal 21 Konstitusi Jerman

238 German Federal Foreign Office, “Facts about Germany”, Frankfurt/Main, incollaboration with the German Federal Foreign Office, (Berlin: Societäts-Verlag, 2008), hlm. 61-67.

Universitas Indonesia

87

bahwa partai politik berperan dalam pembentukan kehendak rakyat.239 Dalam

Konstitusi Jerman, partai politik diatur dalam Pasal 21 sebagai berikut:

“(1) The political parties participate in the forming of the political will of the people.They may be freely established. Their internal organization must conform to democratic principles. They have to publicly account for the sources and use of their funds and for their assets.

(2) Parties Which, by reason of their aims or the behaviour of their adhrents, seek to impair or abolish the free democratic basic order or to endanger the existence of the Federal Republic of Germany are unconstitutional. The Federal Constitutional Court decides on the question of unconstitutionality.

(3) Details are regulated by federal statutes.”

Berdasarkan ketentuan diatas, dapat diketahui bahwa dasar pembubaran

partai politik di negara jerman adalah apabila tujuan atau perilaku pengikutnya

yang tidak sesuai atau berupaya menghapuskan tatanan dasar demokrasi, atau

membahayakan eksistensi negara Republik Federal Jerman. Pembubaran

dilakukan dengan menyatakan bahwa partai politik yang dimaksud bertentangan

dengan konstitusi (unconstitutional). Kewenangan untuk menyatakan suatu partai

politik bertentangan dengan konstitusi terdapat di lembaga Mahkamah Konstitusi

Jerman. Sebagaimana yang tertuang dalam Article 21 ayat (3) Basic Law Jerman,

pengaturan lebih lanjut tentang partai politik diatur dalam undang-undang federal

dan undang-undang yang dimaksud adalah Parteiengesetz (Political Parties Act)

yang ditetapkan pada 24 Juli 1967 dan telah beberapa kali mengalami perubahan

terakhir pada 31 Januari 1994.240

Undang-Undang tersebut dibuat untuk memperbaiki kesalahan utama pada

masa Republik Weimar yang mentoleransi partai ekstrim dan cendung merusak

demokrasi sehingga memunculkan rejim Hitler. Berpijak pada pengalaman masa

lalu itu, penyusun konstitusi Jerman berpendapat bahwa negara tidak akan pernah

dapat netral menghadapi musuh yang akan menghacurkannya. Untuk itu, upaya

menghancurkan negara demokrasi dengan sendirinya bertentangan dengan

239 Jerman, “Basic Law for The Federal Republic of Germany”, diunduh melalui https://www.btg-bestellservice.de/pdf/80201000.pdf.

240 Jerman, “Political Parties Act of 24 July 1967”, diunduh melalui https://www.bundestag.de/blob/189734/2f4532b00e4071444a62f360416cac77/politicalparties-data.pdf.

Universitas Indonesia

88

demokrasi dan harus dihadapi. Dalam jurispudensi konstitusional Jerman, hal itu

disebut dengan istilah militant democracy.241

Sesuai dengan ketentuan Article 21 ayat (2) Konstitusi Jerman, apabila

tujuan partai politik atau perilaku pengikutnya tidak sesuai dan berupaya

menghapus tatanan demokrasi atau membahayakan eksistensi negara Republik

Federal Jerman, maka partai politik tersebut harus dinyatakan Unconstitusional

oleh Mahkamah Konstitusi jerman. Hal itu sesuai dengan Pasal 13 Undang-

Undang Mahkamah Konstitusi Federal Jerman (Bundesverfassunggericht-Gesetz)

menyatakan bahwa salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi Jerman adalah

memberikan putusan tentang konstitusionalitas partai politik yang ditangani oleh

Panel Kedua Mahkamah Konstitusi Jerman.242

Permohonan putusan tentang konstitusionalitas partai politik dilakukan

oleh Bundestag, Bundesrat, atau Pemerintah Federal. Namun demikian,

pemerintah negara bagian juga bisa mengajukannya jika organisasi partai itu

berada di wilayahnya.243 Partai politik diwakili oleh pihak yang ditentukan sesuai

dengan anggaran dasar partai, atau oleh orang yang menjalankan partai.244 Partai

politik tersebut harus diberi kesempatan pada waktu tertentu untuk memberikan

pernyataannya.245

Putusan Mahkamah Konstitusi dapat meliputi keseluruhan partai politik

atau bagian tertentu saja dari organisasi partai politik yang bertentangan dengan

konstitusi. Jika secara keseluruhan dinyatakan bertentangan dengan konstitusi

maka putusan tersebut diikuti dengan pembubaran partai dimaksud. Jika bagian

tertentu saja, maka bagian tersebut yang dibubarkan dan disertai dengan larangan

pembentukan organisasi penggantinya. Mahkamah juga dapat memutuskan bahwa

kekayaan partai atau bagian dari partai disita untuk kepentingan negara.246 Jika

241 Kommers, The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany, (Durham: Duke University Press, 1989), hlm. 222.

242 Jerman, Federal Constitutional Court Act, Ps. 14 ayat (2).243 Ibid., Ps. 43.244 Ibid., Ps. 44.245 Ibid., Ps. 45.246 Ibid., Ps. 46.

Universitas Indonesia

89

organisasi atau aktivitas tertentu dari suatu partai politik dinyatakan

unconstitutional dalam wilayah provinsi negara bagian tertentu, Menteri Dalam

Negeri Pemerintah Federal mengeluarkan keputusan yang diperlukan untuk

memastikan pelaksanaan putusan tersebut. 247

Di negara Jerman, sanksi dari pembubaran partai politik adalah

dilarangnya mendirikan partai atau organisasi yang sama untuk menggantikan

partai yang dibubarkan, kemudian terhadap anggota termasuk pendiri yang

tidakan atau pernyataanya menyebabkan dibubarkan partai politik, tidak dapat

menjadi pendiri, anggota, pengurus, maupun pengawas partai politik lain selain

itu juga akibat hukumnya adalah harta kekayaan partai politik dapat disita untuk

kepentingan publik. Hal itu tertuang dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi Jerman.

2.3.2 Pembubaran Partai Politik di Negara Korea Selatan

Republik Korea atau yang dikenal sebagai Korea Selatan adlah sebuah

negara di Asia Timur yang meliputi bagian selatan Semenanjung Korea. Negara

yang memiliki populasi sekitar 51 juta penduduk ini memiliki sistem

pemerintahan yang dibagi atas tiga kekuasaan yakni Eksekutif, Legislatif dan

Yudikatif. Lembaga Eksekutif di Korea Selatan dipegang oleh Presiden yang

dipilih berdasarkan hasil pemilu untuk masa jabatan 5 tahun dan dibantu oleh

Perdana Menteri yang ditunjuk oleh Presiden dengan perstujuan dewan

perwakilan. Itu artinya Presiden bertindak sebagai kepala negara, sedangkan

Perdana Menteri bertindak sebagai kepala pemerintahan. Lembaga legislatif di

Korea Selatan memiliki Unicameral National Assembly atau Gukhoe yang dipilih

setiap 4 tahun sekali dan terakhir diselenggarakan pada 11 April 2012. Assembly

ini terdiri dari 299 kursi dan diisi oleh perwakilan dari beberapa partai politik.

Sementara dari lembaga Yudikatif, Korea Selatan memiliki Supreme Court dan

Pengadilan Banding Constitutionan Court.

Korea Selatan sendiri memiliki banyak partai politik, menurut Komisi

Pemilihan Korea Selatan, partai politik yang terdaftar pada tahun 2012 sebanyak 9

247 Ibid., Ps. 32.

Universitas Indonesia

90

partai. Namun hanya 2 partai besar yang mendominasi hasil pemilu yaitu partai

Saenuri dan Democratic United Party. Partai politik di Korea Selatan bertujuan

untuk menyampaikan aspirasi masyarakat di Korea Selatan, pengklasifikasian

tersebut berdasarkan isu sosial ekonomi dan ideologi masing-masing individu di

Korea Selatan.

Itu artinya kebebasan membentuk partai politik juga mendapatkan

jaminan dalam Konstitusi Korea Selatan.248 Namun demikian, Konstitusi Korea

Selatan juga mengharuskan partai politik memiliki tujuan, organisasi dan aktivitas

yang demokratis serta memiliki sarana organisasi untuk pembentukan kehendak

rakyat.249 Jika tujuan atau aktivitas partai politik bertentangan dengan tatanan

dasar demokrasi, pemerintah dapat mengajukan pembubaran partai politik kepada

Mahkamah Konstitusi.250

Constitutional Court Act Korea Selatan mengatur proses pembubaran

partai politik dalam section 3 Article 55 sampai 60.251 Pemerintah mengajukan

permohonan pembubaran partai politik kepada MK berdasarkan pertimbangan

Dewan Negara (State Council).252 Permohonan tertulis paling tidak harus berisi

dua hal, yaitu identitas partai politik yang dimohonkan pembubarannya dan alasan

permohonan pembubaran.253 Pada saat menerima permohonan pembubaran partai

politik, Presiden MK menyampaikan pemberitahuan kepada parlemen (National

Assembly) dan Komisi Pemilihan Umum Nasional (National Election

Commission).254

Dalam proses pengadilan, Mahkamah Konstitusi dapat menghentikan

sementara aktivitas partai politik hingga ada putusan final.255 Pada saat Mahkamah 248 Korea Selatan, Constitution of South Korea, Ps. 8 ayat (1).249 Ibid., Ps. 8 ayat (2).250 Ibid.251 Constitutional Court Act Korea Selatan ditetapkan pada 5 Agustus 1988 dan telah

mengalami perubahan yaitu pada 30 November 1991, 22 Desember 1994, 4 Agustus 1995, dan 13 Desember 1997.

252 Ibid., Ps. 55.253 Ibid., Ps. 56.254 Ibid., Ps. 58 ayat (1).255 Ibid., Ps. 57.

Universitas Indonesia

91

Konstitusi memutuskan pembubaran partai politik, maka partai politik harus

dibubarkan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum

Nasional dengan cara menghapus pendaftaran partai politik dan mengumumkan

kepada masyarakat.256 Setelah partai politik dibubarkan, tidak ada partai politik

yang dapat didirikan dengan platform yang sama atau memiliki kesamaan dengan

partai yang dibubarkan.257

Selain pembubaran karena alasan tujuan dan aktivitas partai politik

bertentangan dengan tatanan demokrasi, Political Parties Act Korea Selatan juga

mengatur tentang pembubaran partai politik dengan cara pembatalan

pendaftarannya kepada KPU. Pembatalan itu dapat dilakukan jika:258

1. Tidak memenuhi persyaratan sebagai partai politik, yaitu memiliki

sedikitnya lima cabang, setiap cabang 1000 anggota yang tinggal di

wilayah cabang partai politik dimaksud.259

2. Gagal berpatisipasi dalam pemilihan umum anggota national

assembly dalam empat tahun terakhir, atau dalam bentuk pemilihan

kepala daerah.

3. Gagal memperoleh kursi di National Assembly setelah mengikuti

pemilihan umum, dan gagal memperoleh 2/100 dari jumlaah suara

sah.

Akibatnya selain dibubarkan, terdapat juga larangan pendirian bagi partai

pengganti yang memiliki kesamaan dengan partai yang dibubarkan, hal ini

dikarenakan apabila terbentuk partai yang sama atau partai baru dengan identitas

yang sama, pembubaran yang dilakukan tidaklah memiliki arti. Apabila partai

pengganti dapat didirikan, hal itu berarti pelanggaran konstitusi secara otomatis

kembali terjadi.

256 Ibid., Ps. 59 dan Ps. 60.257 Ibid., Ps. 40258 Ibid., Ps. 44.259 Ibid., Ps. 17.

Universitas Indonesia

92

Praktek pembubaran partai politik di Korea Selatan baru saja terjadi pada

19 Desember 2014 silam, dimana Mahkamah Konstitusi Korea Selatan

memutuskan untuk membubarkan Partai Progresif Bersatu (UPP) sekaligus

mencabut keanggotaanya di parlemen dengan enam kursi keanggotaan di

parlemen.260 Keputusan pembubaran partai ini disetujui oleh 8 Hakim dan satu

diantaranya menolak. Kasus pembubaran partai politik ini menjadi kasus pertama

dalam sejarah Korea Selatan.

Permohonan pembubaran partai politik ini diajukan oleh Kementrian

Kehakiman kepada Mahkamah Konstitusi satu tahun setelah beberapa anggota

Partai Progresif Bersatu ditangkap dengan tuduhan penggulingan pemerintah saat

perang antar Korea.261 Pengadilan berpendapat tujuan dan kegiatan partai tersebut

telah melanggar tatanan dasar demokrasi yang telah ditetapkan oleh Konstitusi.

Akibat dari pembubaran ini UPP telah dibubarkan, dan enam kursi di parlemen

telah dicabut, serta larangan mendirikan partai yang mirip dengan UPP.

2.3.2 Pembubaran Partai Politik di Negara Slovenia

Republik Slovenia adalah negara pesisir yang berada di selatan eropa

tengah dengan berbatasan oleh negara Italia, Hungaria, dan Austria. Dilihat dari

sejarah, bahwa Slovenia adalah salah satu dari enak republik yang membentuk

bekas negara Yugoslavia dan merdeka pada tahun 1991. Kepala negara di

Slovenia dijabat oleh seorang Presiden selama 5 tahun yang terpilih melalui

pemilihan umum.

Pada dasarnya parlemen di Slovenia dibagi menjadi dua kamar, yakni

Perhimpunan Nasional (Drzavni Zbor) dan Majelis Nasional (Drzavni Svet).

Anggota dari Perhimpunan nasional terdiri dari 90 orang yang terpilih melalui

proses pemilihan umum dan berasal dari golongan-golongan yang memiliki

karakteristik khusus, sedangkan Majelis Nasional terdiri dari 40 orang anggota,

260 “Kaleidoskop KBS World Tahun 2014” http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/specialprogram/sub_index.htm?No=582, diunduh pada 3 Desember 2015.

261“Pemerintah dan Partai Berhaluan Kiri Adu Argumen Soal Pembubaran Partai”, http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_Po_detail.htm?No=34833, diunduh pada 3 Desember 2015.

Universitas Indonesia

93

yang berasal dari kumpulan sosial, ekonomi, profesional dan lain-lain.Pada

pemilihan umum tahun 2004, Partai Demokratik Slovenia memperoleh suara

terbesar dengan 29,1% dan diikuti oleh Demokrasi Liberal Slovenia sebanyak

22.8%.

Pada cabang kekuasaan yudikatif, di Slovenia terdiri dari 2 lembaga

peradilan yakni Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah

Konstitusi pada konteks ini salah satunya mengadili sengketa pembubaran partai

politik berdasarkan Pasal 68 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Slovenia.

Berdasarkan Pasal 68 (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi Slovenia,

dinyatakan bahwa setiap warga negara dapat mengajukan permohonan kepada

Mahkamah Konstitusi perihal dugaan inkonstitusionalitas dari undang-undang

partai politik maupun aktivitas partai politik di Slovenia. Lebih lanjjut, pemohon

harus mencantumkan dengan jelas, kondisi faktual berupa kegiatan-kegiatan apa

saja yang inkonstitutsional menurut pemohon. Apabila Mahkamah Konstitusi

Slovenia menerima dalil dari pemohon, maka Mahkamah Konstitusi akan

melarang aktivitas partai politik dan partai politik turunannya yang

inkonstitusional tersebut. Putusan mengenai pembubaran partai politik tersebut

diperoleh melalui 2/3 suara dari jumlah anggota hakim konstitusi Slovenia.

Eksekusi dari putusan tersebut adalah partai yang dibubarkan dihapuskan dari

daftar partai politik di Slovenia.

BAB 3

ANALISIS LEGAL STANDING DALAM SENGKETA

PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH

KONSTITUSI

3.1 IMPLIKASI PEMBUBARAN PARTAI POLITIK TERHADAP HAK

KONSTITUSIONAL WARGA NEGARA

Universitas Indonesia

94

Partai politik merupakan salah satu bentuk organisasi yang dibentuk oleh

warga negara untuk memperjuangkan kepentingan politiknya. Proses

pelembagaan demokrasi itu pada pokoknya sangat ditentukan oleh pelembagaan

organisasi partai politik sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem

demokrasi itu sendiri.262 Sebab secara harfiah demokrasi memiliki makna

pemerintah oleh rakyat, hal ini berarti rakyatlah yang benar-benar memerintah

dengan cara mengambil keputusan bersama dalam suatu majelis yang diikuti oleh

seluruh rakyat.263

Namun MacIver menyatakan bahwa demokrasi secara tradisional seperti

itu sudah tidak aplikatif lagi untuk diterapkan sebab hanya bisa dijalankan pada

negara yang wilayah dan jumlah masyarakatnya sangat kecil sedangkan saat ini

hanya sedikit negara yang memiliki kondisi demografi dan geografi seperti itu.264

Oleh karena itu, berkembanglah sistem baru yang dinamakan sebagai demokrasi

tidak langsung yang tetap menjamin dan menjunjung tinggi kehendak rakyat.265

Dalam sistem ini, rakyat tetap memegang peran sentral sebagai kekuasaan

tertinggi, namun pelaksanaanya dilakukan oleh wakil-wakil yang dipilih oleh

rakyat melalui berbagai cabang kekuasaan seperti eksekutif, legislatif dan

yudikatif.266

Dalam situasi seperti ini partai politik memegang posisi dan peranan yang

sangat penting sebab partai berperan sebagai penghubung yang strategis antara

proses pemerintahan dengan rakyatnya.267 Konkretnya adalah pengisian jabatan di

lembaga eksekutif dan legislatif berasal dari kader-kader partai politik (fungsi

rekrutmen politik), tidak hanya itu partai politik juga-lah yang menyerap aspirasi

dari rakyat, menampung berbagai masalah dan menyeleksinya, serta mengajukan

262 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 55.263 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 15.264 RM Maciver, op.cit., hlm. 313.265 Treg A. Julander, Democracy Without Political Parties, dalam Michelle N. Johnson,

America in The 21st Century: Political and Economic Issues-3 (UK: Nova Science Pub. Inc., 2002)266 Moh. Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, edisi revisi,

(Jakarta: Rineka Cipta, 2001), hlm. 240.267 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit, hlm. 52.

Universitas Indonesia

95

solusi dalam bentuk program yang ditawarakan (fungsi sosialisasi politik).268

Secara lebih konkret lagi, partai politik-lah yang berperan sangat penting dalam

penyelenggaraan kedaulatan rakyat melalui pemilihan umum dengan cara:

a. Mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden;

b. Mengusulkan pasangan calon kepala daerah, wakil kepala daerah dalam

pemilukada;

c. Mengusulkan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan;

d..Menjamin peserta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota

dewan perwakilan rakyat dan dewan perwakilan rakyat daerah.

Maka dari itu dapat disimpukan bahwa pada dasarnya suatu negara

membutuhkan partai politik, dan partai politik juga membutuhkan negara

sehingga relasi antara keduanya adalah simbiosis mutualisme.

Terbentuknya suatu partai politik adalah salah satu manifestasi dari

adanya kebebasan berserikat. Kebebasan tersebut dipandang sebagai salah satu

hak asasi yang sangat fundamental dan melekat pada manusia sebagai makhluk

sosial.269 Hal itu disebabkan karena setiap manusia selalu mempunyai

kecendrungan untuk bermasyarakat dan dalam bermasyarakat itu perilaku setiap

orang untuk memilih teman dalam hubungan-hubungan sosial merupakan sesuatu

yang alamiah sifatnya. Setiap orang pada akhirnya secara individual mempunyai

kebebasan dan dapat memilih sendiri teman atau kawan tanpa harus dipaksa atau

diganggu oleh pihak ketiga (The ability of an individual to choose the nature of

their relationships with others without interference with third parties). Apalagi

dalam kehidupan bersmasyarakat dengan sendiri setiap orang mempunyai naluri

alamiahnya sendiri untuk bergaul dengan sesama warga dimana seorang hidup

bersama.270

Dasar konstitusional hak tersebut tertuang dalam Pasal 28E ayat (3)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memberikan

268 Miriam Budiardjo, op.cit., hlm. 163-164.269 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 37.

270 Jimly Asshiddiqie (2), op.cit., hlm. 22.

Universitas Indonesia

96

jaminan tegas bahwa setiap orang berhak atas kebebasan, berserikat, berkumpul

dan mengeluarkan pendapat. Ketentuan senada juga terdapat dalam pasal 28

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 yang menyatakan bahwa

kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan

tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Pada saat Undang-

Undang Dasar 1945 di amandemen, pembahasan mengenai kebebasan berserikat

tidak terjadi suatu pertentangan. Itu artinya semua pihak menyadari bahwa

kebebasan berserikat merupakan hak asasi yang menjadi prinsip utama dalam

menegakkan demokrasi yang sebenarnya (genuine) dan rule of law.

Namun sejarah mencatat bahwa pengaturan mengenai kebebasan

berserikat yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada awalnya

terjadi dua paham yang bersebarangan. Dalam persidangan Badan Penyelidik

Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Mohammad Hatta dan

Mohammad Yamin sepakat untuk menuangkan ketentuan mengenai kebebasan

berserikat dalam konstitusi, sedangkan Soepomo berpendapat bahwa negara

Indonesia merdeka kebebasan pribadi tidak perlu dipentingkan sehingga yang

perlu ditegakan adalah kepentingan bersama dan kepentingan negara serta

kewajiban warga negara untuk mencapai kemakmuran bersama.271 Pada akhirnya

perdebatan tersebut dimenangkan oleh pihak Mohammad Hatta dan Mohammad

Yamin sehingga secara mutatis mutandis ketentuan mengenai kebebasan

berserikat dituangkan dalam konstitusi sebagai upaya mempertegas penegakan

hak tersebut.

Diakuinya hak berserikat dalam Undang-Undang Dasar 1945 mengartikan

bahwa hak-hak tersebut merupakan hak yang sangat penting sehingga perlu

dicantumkan dalam konstitusi negara Indonesia serta layak ditingkatkan drajatnya

yang semula hanya hak asasi manusia dimetamorfosa menjadi hak konstitusional

warga negara. Konsekuensi dari adanya hak konstitusional adalah lahirnya

kewajiban konstitusional negara. Dengan kata lain, setiap hak yang terkait dengan

hak konstitusional dengan sendirinya bertimbal balik dengan kewajiban negara

271Jakob Tobing, “Kebebasan Berserikat Sebagai Hak Asasi”, http://www.leimena.org/id/page/v/531/kebebasan-berserikat-sebagai-hak-asasi, diunduh pada 23 Desember 2015.

Universitas Indonesia

97

untuk memenuhinya. Itu artinya, negara berkewajiban dan bertanggungjawab

untuk menjamin agar semua hak dan kebebasan wara negara dihormati dan

dipenuhi sebaik-baiknya tanpa ada diskriminasi apapun.272

Keistimewaan penegakan hak konstitusional harus dihubungkan juga

dengan sifat dari konstitusi itu sendiri. Pertama, menurut Herman Heller konstitusi

adalah die geschreiben verfassung yang berarti naskah tertulis yang diakui sebagai

hukum tertinggi di suatu negara yang menjadi dasar bagi peraturan perundang-

undangan lainnya yang lebih rendah.273 Sifat konstitusi sebagai dasar hukum

tertinggi berpengaruh kepada hak konstitusional, dimana hak konstitusional lebih

diakui daripada hak-hak lainnya karena tertuang dalam naskah hukum tertinggi di

suatu negara sehingga membutuhkan penegakan yang lebih khusus dan serius.

Selain itu konstitusi Indonesia yakni Undang-Undang Dasar 1945 juga dibuat

kaku atau rigid, itu artinya melakukan perubahan Undang-Undang Dasar 1945

harus melalui prosedur yang tidak mudah, karena harus terdapat pertimbangan

yang objektif untuk merubahnya sesuai dengan kepentingan seluruh rakyat dan

bukan keinginan segilintir golongan saja.274 Sifat konstitusi yang rigid memiliki

relevansi terhadap hak konstitusional itu sendiri karena hak konstitusional sebagai

salah satu bagian dari materi Undang-Undang Dasar 1945 menjadi tidak mudah

diubah sehingga memberikan jaminan dan kepastian yang lebih kepada warga

negara dibanding hak-hak lainnya yang hanya diatur dalam Undang-Undang atau

peraturan dibawahnya yang relatif lebih mudah diubah daripada konstitusi.

Walaupun hak asasi manusia diakui sebagai hak yang melekat pada setiap

orang karena kemanusiaanya, namun harus tetap terdapat pembatasan akan hak-

hak tersebut.275 Pembatasan itu wajar diperlukan dalam kehidupan masyarakat

yang demokratis semata-mata demi menjaga keamanan nasional dan keselamatan

publik, mencegah terjadinya kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta

272 Rio Ariyanto, “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”, (skripsi Universitas Andalas, Padang, 2014.), hlm. 4.

273 Jimly Asshiddiqie (5), Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), hlm. 99.

274 Ibid., hlm. 114.275 Muchamad Ali Safa’at, loc.cit.

Universitas Indonesia

98

untuk melindungi hak kebebasan orang lain.276 Dasar konstitusional adanya

pembatasan tersebut termaktub dalam Pasal 28J ayat (2) Undang-Undang Dasar

1945 yang menyatakan bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap

orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang

dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas

hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai

dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis.

Perlu diakui memang terdapat hak yang sifatnya tidak dapat dibatasi

karena melekat di dalam diri setiap manusia, salah satunya adalah hak untuk

hidup, hak atas kemerdekaan hati nurani dan kemerdekaan berpikir.277 Pasal 28I

Undang-Undang Dasar 1945 bahwasannya menghormati kebebasan nurani

seseorang sebagai forum internum (dimensi internal) yang tidak dapat di derogasi

dalam situasi apapun (non-derogable rights). Itu artinya tidak boleh ada aturan

hukum dan kekuasan apapun yang dapat membatasi kemerdekaan tersebut,

pembatasan hanya mungkin dilakukan terhadap ekspresinya (forum eksternum),

yaitu seperti kebebasan menyatakan pendapat dan kebebasan berserikat karena

wujudnya yang nyata, berupa tindakan tertentu dan bersinggungan dengan hak

orang lain278. Dengan ini Penulis sekaligus menolak yurisdiksi dari pengalaman di

Amerika Serikat yang mencampuradukan antara freedom of expression dan

freedom of peacefull assembly dengan freedom of association279 karena di

Indonesia telah diatur secara tegas dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945

bahwa yang tidak dapat diderogasi hanyalah hak kemerdekaan pikiran dan hati

nurani bukannya hak berserikat dan berkumpul. Maka dari itu pembatasan berupa

pembubaran terhadap partai politik sebagai manifestasi dari hak berserikat

diperbolehkan sepanjang sesuai dengan tujuan pembatasan itu sendiri, yakni

untuk melindungi hak dan kebebasan lain.

276 Hillaire Barnet, Constitutional and Administrative Law, Fifth Edition, London-Sydney-Portlad, (Oregon: Cavendish Publishing Limited, 2004), hlm. 589

277 Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Ps. 28I.278 Muchamad Ali Safa’at, op.cit., hlm. 38.279 Erwin Chemerinsky, Constitutional Law: Principles and Policies, (New York: Aspen

Law and Business, 1997), hlm. 943.

Universitas Indonesia

99

Oleh karena itu sebagai upaya melindungi hak berserikat pembatasan

tersebut harus dilakukan secara ketat dengan cara yang diatur secara jelas dalam

hukum, dilakukan semata-mata untuk mencapai tujuan dalam masyarakat

demokratis, benar-benar dibutuhkan, dan bersifat proporsional sesuai dengan

kebutuhan sosial. Selain itu juga syarat pembubaran haruslah dengan alasan yang

secara konstitusional telah diatur, kemudian harus dilakukan melalui proses yang

adil, seimbang, berdasarkan bukti-bukti yang kuat dan objektif sehingga

mekanisme yang paling tepat adalah melalui mekanisme peradilan.280

Secara garis besar Penulis ingin menyatakan bahwa benar partai politik

merupakan manifestasi dari kebebasan berserikat. Dimana kebebasan berserikat

itu adalah hak konstitusional warga negara yang memiliki konsekuensi bahwa

negara memiliki tanggung jawab dalam pemenuhan dan penegakannya. Akan

tetapi, hak juga harus ada batasannya. Suatu batasan diperlukan semata-mata

untuk melindungi kebebasan hak lain. Terlebih lagi kebebasan berserikat

bukanlah hak yang tidak dapat di derogasi. Kebebasan berserikat dapat diderogasi

karena merupakan wujud ekspresi dan tindakan nyata yang berbeda dengan

kebebasan hati nurani dan berpikir yang tidak dapat diderogasi karena melekat

berdasarkan sifat kemanusiaanya. Maka dari itu dalam pembatasan terhadap partai

politik diperbolehkan karena tidak menciderai hak konstitusional warga negara,

hanya saja dalam pembatasannya haruslah:

1. Dilakukan semata-mata untuk menjaga keamanan nasional dan

keselamatan publik;

2. Mencegah terjadinya kejatahan;

3. Melindungi kesehatan dan moral masyarakat;

4. Melindungi hak kebebasan orang lain;

5. Dilakukan secara ketat yang diatur dalam hukum;

6. Dilakukan untuk mencapai tujuan masyarakat demokratis;

7. Benar-benar dibutuhkan;

8. Bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial dan;

9. Melalui proses yang adil, seimbang, dan objektif.

280 Muchamad Ali Safa’at, loc.cit.

Universitas Indonesia

100

Terlebih lagi faktanya terdapat beberapa partai politik dan/atau kadernya

yang terbukti pernah melakukan tindakan yang dilarang oleh Undang-Undang

Dasar 1945 maupun oleh Undang-Undang terkait. Jika dilihat secara historis

terdapat beberapa partai politik di Indonesia yang dinilai melakukan tindakan

yang dilarang oleh Undang-Undang Dasar 1945 yakni Partai Masjumi, PSI, Partai

Murba, PKI, dan Partindo. Pertama adalah Partai Masjumi dan PSI yang masing-

masing dibubarkan melalui Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Perpres No.13 Tahun

1960 karena pimpinan kedua partai tersebut terlibat secara langsung dalam

pemberontakan PRRI/Permesta pada 15 Februari 1958, dinilai bertentangan

dengan asas dan tujuan negara, programnya bermaksud merombak asas dan tujuan

negara, tidak memenuhi syarat sesuai peraturan terkait serta kedua partai itu

bertanggung jawab atas tragedi yang dilakukan oleh anggota partainya. Partai

Masjumi dibubarkan melalui Keputusan Presiden Nomor 200 Tahun 1960,

sedangkan PSI melalui Keputusan Presiden Nomor 201 Tahun 1960.

Kedua adalah Partai Murba yang dibubarkan melalui Keputusan Presiden

Nomor 291 Tahun 1965 dan Keputsan Presiden No. 21 Tahun 1965 dengan alasan

karena telah menyeleweng dari ajaran Nasakom milik Presiden Soekarno dan

memecah-belah persatuan Indonesia. Selanjutnya adalah Partai Komunis

Indonesia yang dibubarkan dengan ketentuan Penpres No.7 Tahun 1959, Perpres

No.13 Tahun 1960 dan Perpres No.25 Tahun 1960 serta disahkan melalui

Keputusan Prsiden No.1/3/1966 yang dikuatkan dalam TAP MPRS

No.XXV/MPRS/1966 dengan alasan bahwa PKI telah melakukan aksi

pemberontakan yang berakibat pada terganggunya keamanan dan ketertiban

dalam masyarakat serta ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dianggap

bertentangan dengan Pancasila. Terakhir adalah Partindo yang dibubarkan melalui

Keputusan Presiden Nomor 156/1960 yang mana Keputusan tersebut sekaligus

mencabut wakil Partindo di DPRGR karena dinilai berbahaya oleh pemerintah

sebab ideologi dan program-programnya dinilai memiliki kedekatan dengan PKI.

Dari fakta sejarah di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa

partai politik yang dibubarkan oleh pemerintah karena dinilai ideologi dan

program-programnya bertentangan dengan Pancasila. Hal itu dikhawatirkan akan

Universitas Indonesia

101

memecah belah persatuan Indonesia sehingga harus segera dibubarkan. Pada era

sekarang memang sulit ditemui partai politik yang secara eksplisit memiliki

ideologi yang bertentangan dengan Pancasila, akan tetapi terdapat variasi baru

yakni partai politik yang dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangganya

secara eksklusif hanya diperuntukan untuk agama tertentu saja. Meskipun partai

berbasis agama meng-klaim dirinya sebagai partai terbuka, namun pada akhirnya

secara keanggotaan hanya menerima orang-orang yang seiman saja. Pun jika lebih

fleksibel dengan menerima orang-orang yang tidak seiman, orang-orang tersebut

tidak akan pernah dapat jabatan struktural yang penting dalam partai tersebut.

Tidak jarang orang-orang yang tidak seiman dinyatakan sebagai musuh,

bahkan orang-orang yang seiman pun dicap sebagai kafir apabila memiliki

pandangan yang berbeda. Format partai seperti ini tentunya berpotensi memecah

belah nilai-nilai Pancasila khususnya sila ke-3 yakni persatuan Indonesia. Maka

dari itu atas dalih tersebut sejatinya partai-partai berbasis agama yang sangat

ekstrim dapat berpotensi untuk dibubarkan apabila platform, asas, dan

kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Data dan fakta di atas sejatinya menunjukan bahwa terdapat partai politik

yang dalam pelaksanaan fungsinya justru melanggar amanat konstitusi dan

peraturan perundang-undangan itu sendiri. Padahal dalam tataran ideal, partai

politik memiliki kewajiban untuk mengamalkan nilai-nilai Pancasila,

melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

dan peraturan perundang-undangan dibawahnya sebagaimana yang termuat dalam

ketentuan Pasal 40 ayat (2) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 jo

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.

Lebih lanjut lagi larangan terhadap partai politik yakni:

(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan:

a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia; b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;

Universitas Indonesia

102

c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/ badan internasional;

d..nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau .organisasi .terlarang;

e. nama atau gambar seseorang; atau f...yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau

keseluruhannya .dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.

(2) Partai Politik dilarang:

a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan; atau

b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3) Partai Politik dilarang:

a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;

b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;

c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;

d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya; atau

e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

Universitas Indonesia

103

kabupaten/kota sebagai sumber pendanaan Partai Politik.

(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/ atau memiliki saham suatu badan usaha.

(5)..Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.

Dari ketentuan diatas dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya Undang-

Undang Partai Politik telah mengatur mengenai kewajiban dan larangan-larangan

terhadap tindakan yang tidak semestinya dilakukan oleh partai politik.

Ditegaskan sekali lagi bahwa demokrasi yang sehat diawali dari sistem

dan pengelolaan partai politik yang sehat sehingga dapat menghasilkan kualitas

parlemen dan penyelenggaran pemerintahan yang sehat pula. Ketika partai politik

sebagai hulu dari sistem demokrasinya saja sudah tidak sehat, maka tentunya

kualitas parlemen dan penyelenggaraan pemerintahan menjadi tidak sehat pula.

Maka dari itu apabila partai politik secara sengaja maupun tidak sengaja tidak

melaksanakan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya dengan cara melanggar

ketentuan yang sudah ada, maka sudah sewajarnya jika negara memberikan

sanksi, mulai dari yang paling ringan berupa sanksi administratif hingga yang

paling berat yakni pembubaran partai politik.281 Hal ini sangatlah tepat sebab

eksistensi partai politik merupakan manifestasi dari hak asasi manusia khususnya

hak berserikat yang melekat pada setiap orang karena kemanusiaanya akan tetapi

dalam pelaksanaanya harus tetap ada pembatasan-pembatasan sebagai upaya

melindungi hak-hak orang lain.

Pemberian sanksi jangan dilihat sebagai alat politik belaka akan tetapi

harus dimaknai sebagai bentuk tanggung jawab dari negara dalam mengawasi

partai politik, sebagai upaya menjaga agar eksistensi partai politik yang ada tetap

sesuai dengan koridor yang telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-

undangan serta menjaga hak kebebasan pihak lain. Sanksi sangatlah penting,

281 Indonesia, Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801, Ps. 48.

Universitas Indonesia

104

karena tanpa adanya sanksi dikhawatirkan partai politik yang akan keluar dari

koridor yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan berpotensi

menjadi lebih besar, yang tentu akan berdampak pada hilangnya kepercayaan

masyarakat terhadap partai politik itu sendiri.282 Apabila hal ini terjadi, tentunya

akan menghambat partai politik dalam melaksanakan fungsi komunikasi politik,

sosialisasi politik, rekrutmen politik dan sarana pengatur konflik.283Jika dikaitkan

dengan kasus in facto di Indonesia, maka sudah sewajarnya jika partai politik

yang tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban konstitusionalnya diberikan

sanksi, hal itu semata-mata sebagai bentuk tanggung jawab dari negara dalam

mengawasi eksistensi partai politik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 48

ayat (3) dan ayat (7) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

bahwa alasan diajukannya pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi

apabila:

1) Partai politik tersebut melakukan kegiatan yang bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan

peraturan perundang-undangan, setelah sebelumnya dikenai sanksi

pembekuan sementara;

2) Partai politik tersebut melakukan kegiatan yang membahayakan

keutuhan dan keselamatan Negara Kesaturan Republik Indonesia

setelah sebelumnya dikenai sanksi pembekuan sementara;

3) Partai politik tersebut menganut dan mengembangkan serta

menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.

Argumentasi terakhir dapat dilihat dari sifat Partai Politik yang tidak

permanen. Mengutip pernyataan dari Donny Gahral Ardian selaku ahli yang

didengarkan keterangannya di Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor

53/PUU-IX/2011 mengenai legal standing pengajuan permohonan pembubaran

partai politik. Pertama, Partai politik itu adalah jembatan antara kedaulatan rakyat

dan lembaga-lembaga negara. Dimana salah satunya fungsinya adalah

282 Allan FGW dan Harry S., op.cit., hlm. 525.283 Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta: PT Grafika Pustaka Utama,

2008), hlm. 405-409.

Universitas Indonesia

105

mengagregasikan kepentingan dan kehendak yang disalurkan kepada lembaga-

lembaga negara terkait. Lembaga negara yang dimaksud adalah eksekutif dan

legislatif yang bersifat permanen, akan tetapi partai politik sebagai jembatan

sifatnya tidaklah permanen. Ketika partai politik gagal menjembatani kedaulatan

rakyat, ketika partai politik justru menyalahgunakan kedaulatan itu untuk

melakukan hal-hal yang melanggar konstitusi dan undang-undang maka rakyat

berhak untuk membubarkannya karena partai politik bukanlah institusi yang

sifatnya permanen karena parpol hanyalah institusi yang dititipkan kedaulatan

melalui pemilihan umum untuk mengisi jabatan dan representasi politik yang ada.

3.2 TINJAUAN YURIDIS TERHADAP LEGAL STANDING PERMOHONAN

SENGKETA PEMBUBARAN PARTAI POLITIK DI MAHKAMAH

KONSTITUSI

Tidak semua pihak boleh mengajukan permohonan ke Mahkamah

Konstitusi dan menjadi pemohon. Hal tersebut juga terjadi dalam perkara

pembubaran partai politik bahwa berdasarkan Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pengajuan permohonan

pembubaran partai politik hanya dapat dilakukan oleh pemerintah cq pemerintah

pusat. Jika dilihat dari ketentuan yang lebih tinggi, Pasal 24 C ayat (1) Undang-

Undang Dasar 1945 sayangnya hanya mengatur mengenai lembaga mana yang

memiliki wewenang dalam melakukan pembubaran partai politik yakni

Mahkamah Konstitusi.

Tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai konsensus teknis dari pembubaran

partai politik dalam Undang-Undang Dasar 1945, apakah dilakukan dengan cara

pendelegasian melalui pemerintah ataukah dalam bentuk pelaksanaan kedaulatan

rakyat secara langsung. Itu artinya konstitusi pada dasarnya membuka peluang

kepada legislator untuk melaksanakan kedaulatan rakyat ini sesuai dengan politik

hukum yang berlaku. Namun disatu sisi kondisi demikian secara hukum menjadi

sebuah anomali, apakah Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003

Universitas Indonesia

106

telah sejalan dalam memaknai kedaulatan rakyat yang diamanatkan oleh konstitusi

ataukah tidak?

Ketentuan normatif yang mengamanatkan legal standing hanya

dimonopoli oleh pemerintah menurut Penulis telah menuai banyak masalah, mulai

dari aspek ilmiah hingga dalam tataran praktek sehingga perlu adanya upaya

untuk merevitalisasi Pasal tersebut dengan mengakomodir warga negara dan

kelompok masyarakat didalamnya. Sebelumnya perlu diketahui terlebih dahulu

bahwa dalam hukum acara dikenal sebuah adagium point d’interet point d’action

yaitu apabila ada kepentingan hukum maka boleh mengajukan gugatan. Itu artinya

adagium ini sekaligus menyinggung masalah standing atau personae standi in

judicio mengenai hak atau kedudukan hukum untuk mengajukan gugatan atau

permohonan di depan pengadilan (standing to sue). Standing adalah satu konsep

yang digunakan untuk menentukan apakah satu pihak terkena dampak secara

cukup sehingga satu perselisihan dapat diajukan ke depan pengadilan. Ini adalah

satu hak untuk mengambil langkah merumuskan masalah hukum agar

memperoleh putusan akhir dari pengadilan.284

Persyaratan standing dikatakan telah dipenuhi penggugat apabila

mempunyai kepentingan nyata dan secara hukum dilindungi.285 Dalam

yurisprudensi Amerika dikatakan bahwa tiga syarat harus dipenuhi untuk

mempunyai standing to sue, yaitu sebagai berikut:

1. Adanya kerugian yang timbul karena adanya pelanggaran kepentingan

pemohon yang dilindungi secara hukum yang bersifat spesifik dan

aktual dalam satu kontoversi serta bukan hanya bersifat potensial;

2. Adanya hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas antara

kerugian dengan berlakunya satu undang-undang;

3. Kemungkinan dengan diberikanyna keputusan diharapkan kerugian

akan dihindarkan atau dipulihkan.286

284 Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 65.

285 Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, sixth edition, (St.Paul: West Group, 1999), hlm. 1045.

286 Lujan v. Defenders of Wildlife, 112 S. Ct.2310,2316 (1992).

Universitas Indonesia

107

Mekanisme constitutional control digerakkan oleh adanya permohonan

dari pemohon yang memiliki legal standing untuk membela kepentingannya serta

berangkat dari kewenangan konstitusional yang terlanggar. Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi menyebutkan bahwa semuanya diajukan dengan

permohonan secara tertulis dengan memuat nama dan alamat pemohon, uraian

mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan, serta hal-hal yang diminta

untuk diputuskan. Permohonan tersebut harus dengan melampirkan bukti-bukti

sebagai pendukung yang menunjukkan permohon bersungguh-sungguh. Bukti-

bukti tersebut adalah bukti awal yang nantinya dapat dilengkapi pada saat

persidangan berlangsung. Dengan kata lain, permohonan pemohon harus

membuat identitas pihak-pihak, posita, dan petitum.

Sebelum menyebutkan alasan mengapa warga negara dan kelompok

masyarakat sangat beralasan hukum untuk dimasukan sebagai pihak pemohon

dalam perkara pembubaran partai politik, Penulis akan menjelaskan terlebih

dahulu definisi dan batasan warga negara dan kelompok masyarakat yang

dimaksud. Warga Negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2006

tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia adalah orang bangsa Indonesia asli

dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga

negara. Syarat untuk menjadi warga negara terdapat di dalam Pasal 9 Undang-

Undang tersebut, yakni:

a. Telah berusia 18 tahun atau sudah kawin;

b. Pada waktu mengajukan permohonan sudah bertempat tinggal di

wilayah negara Republik Indonesia paling singkat 5 tahun berturut-

turut atau paling singkat 10 tahun tidak berturut-turut;

c. Sehat jasmani dan rohani;

d. Dapat berbahasa Indonesia serta mengakui negara Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

e. Tidak pernah dijatui pidana karena melakukan tindak pidana yang

diancam dengan pidana penjara 1 tahun atau lebih;

f. Jika dengan memperole Kewarganegaraan Republik Indonesia, tidak

menjadi berkewarganegaraan ganda;

Universitas Indonesia

108

g. Mempunyai pekerjaan dan/atau berpenghasilan tetap; dan

h. Membayar uang pewarganegaraan ke Kas Negara.

Itu artinya untuk dapat mengajukan pembubaran partai politik adalah

warga negara Indonesia bukan warga dari negara lain. Sedangkan yang dimaksud

dengan kelompok masyarakat adalah warga negara Indonesia yang setidak-

tidaknya terdiri dari dua orang yang memiliki kesamaan fakta atau peristiwa,

dasar hukum serta jenis tuntutan yang sama antara satu dengan yang lainya.

Dimana kelompok masyarakat ini dapat mengajukan permohonan untuk

kepentingan dirinya sendiri dan atau untuk kepentingan masyarakat luas apabila

mengalami kerugian akibat tindakan yang dilakukan oleh suatu partai politik.

Setelah diatas telah dijelaskan definisi dan batasan dari warga negara dan

kelompok masyarakat, maka selanjutnya adalah uraian dan pertimbangan hukum

dari Penulis untuk memasukan kedua subjek tersebut kedalam permohonan

sengketa pembubaran partai politik. Pertama, berdasarkan Pasal 1 ayat (2)

Undang-Undang Dasar 1945 dinyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan

rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Kedaulatan dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Pusat Bahasa Kementrian Pendidikan

Nasional dimaknai sebagai kekuasaan tertinggi atas pemerintahan negara, daerah

dan sebagainya sedangkan secara terminologi kedaulatan (sovereignty) berarti

penguasa dan kekuasaan tertinggi.287

Jimly Asshidiqie pun menegaskan bahwa kedaulatan adalah konsepsi

kekuasaan tertinggi yang berhubungan dengan negara yang mana kekuasaan

tersebut menentukan tujuan dan cita-cita sendiri, mengelola sumber daya sendiri,

serta memilih dan menentukan jalan sendiri untuk mencapai tujuan dan cita-cita

tersebut. Rousseau pun menjelaskan mengenai kedaulatan rakyat bahwa rakyat

diartikan sebagai pihak yang paling berkehendak sehingga pelaksanaan

pemerintahan itu merupakan keinginan atau atas kuasa dari rakyat.288 Jadi

287 “Arti Kata Kedaulatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)”, http://kamuskbbi.web.id/arti-kata-kedaulatan-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesia-kbbi.html, diunduh pada 25 Desember 2015.

288 Jean Jacques Rousseau, Du Contract Social (Perjanjian Sosial), (Jakarta: Visimedia, 2009), hlm. 56.

Universitas Indonesia

109

rakyatlah yang berdaulat dan memegang kekuasaan tertinggi dalam negara dalam

merencanakan, mengatur, melaksanakan dan melakukan penugasan serta penilaian

terhadap pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan itu.289 Tanpa adanya rakyat maka

tidak akan mungkin ada demokrasi, pemilu ataupun partai politik sehingga dapat

disimpulkan bahwa pusat kekuasaan berdasarkan prinsip kedaulatan rakyat adalah

rakyat itu sendiri.

Terdapat dua prinsip dalam mengimplementasikan kedaulatan rakyat,

pertama prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan melalui pendelegasian

kekuasaan ke dalam bentuk institusi-institusi (representative democracy), kedua

prinsip kedaulatan rakyat itu dilaksanakan langsung oleh rakyat seperti

pelaksanaan pemilihan umum untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden

maupun DPR serta DPRD (direct democracy).290 Menurut Dr. Donny Gahral

Adian konsep kedaulatan rakyat meskipun sudah diserahkan ke representasi-

representasi politik, baik yang mengeksekusi, mengadili, maupun mengawasi

kekuasaan tetapi sejatinya kedaulatan rakyat itu tidak pernah dan tidak boleh

hilang. Meskipun kedaulatan itu telah diserahkan oleh rakyat kepada perwakilan-

perwakilan politiknya melalui partai politik akan tetapi perwakilan-perwakilan

tersebut tetap harus bekerja untuk kepentingan rakyat.

Maka apabila kedaulatan yang telah diserahkan oleh rakyat kepada partai

politik justru menciderai kepentingan rakyat itu sendiri dan melawan kehendak

rakyat yang telah memilihnya maka sejatinya kedaulatan itu bisa ditarik kembali,

dengan kata lain institusi yang menyalurkan dan mewakilinya bisa juga diawasi

bahkan dibubarkan melalui mekanisme yang due process of law. Lagipula

meskipun konsep dari kedaulatan rakyat sangatlah abstrak karena rakyat itu tidak

bisa ditunjuk secara denotatif dan terukur, akan tetapi konsep kedaulatan tetaplah

memiliki kekuatan memaksa.

289 Jimly Asshiddiqie (6), Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, (Jakarta : Gramedia, 2007), hlm. 292-295.

290 Ian Budge, “Direct & Representative Democracy: Are They Necessary Opposed?” , (Colchester: University Colchester, 2005), hlm. 3-4, bandingkan dengan Jimly Asshiddiqie, “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaanya Di Indonesia: Pergesertan Keseimbangan Antara Individualisme dan Kolektivisme Dalam Kebijakan Demokrasi Politik Dan demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an”, (disertasi Universitas Indonesia, Jakarta, 1993), hlm. 73.

Universitas Indonesia

110

Perlu disadari bahwa awal mula berdirinya partai politik didasari atas

kebutuhan rakyat, maka dari itu sudah sewajarnya apabila rakyat juga yang

diberikan hak untuk mengawasi aktivitas partai politik. Apakah sesuai amanat

atau tidak maka rakyat harus diberikan fasilitas secara langsung dalam mengawasi

kinerja partai politik yang salah satunya dengan cara usul dalam pembubaran

partai politik. Jika eksistensi partai politik membahayakan negara maka rakyat

bisa usul untuk membubarkan partai politik sebagaimana rakyat punya hak untuk

mendirikan partai politik.

Maka dari itu apabila mengacu pada prinsip pelaksanaan kedaulatan rakyat

menurut Undang-Undang 1945 maka seharusnya pelaksanaan pembubaran partai

politik tidak dapat dibatasi hanya semata pada kewenangan pemerintah saja tetapi

rakyat pun juga harus diberikan kuasa untuk mewakili dirinya sendiri dalam

melaksanakan kedaulatannya dengan cara melibatkannya sebagai Pemohon

pembubaran partai politik. Itu artinya keberlakuan Pasal 68 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang mengatur

pemohon pembubaran partai politik hanya dapat diajukan oleh pemerintah jelas

bertentangan dan mencedrai prinsip kedaulatan rakyat itu sendiri sebab hanya

mengakomodir gagasan representative democracy saja dan melupakan gagasan

direct democracy.

Kedua, Indonesia adalah negara hukum sebagaimana tertuang dalam Pasal

1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945. Meskipun dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan tidak

dijelaskan secara eksplisit konsep negara hukum apa yang dianut oleh Indonesia,

namun sejatinya terdapat banyak doktrin yang menjelaskan prinsip-prinsip negara

hukum itu. Pertama, Menurut F.J Stahl konsekuensi suatu negara menganut

paham negara hukum adalah:

a. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia;

b. Pemisahan kekuasaan negara;

c. Pemerintahan berdasarkan undang-undang;

Universitas Indonesia

111

d. Adanya peradilan administrasi.291

Kedua, menurut A.V Dicey terdapat 3 karakterisik suatu negara hukum, yakni:

a. Supremasi hukum yang berarti tidak boleh ada kesewenang-

wenangan sehingga seseorang hanya boleh dihukum jika

melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama di depan hukum, bagi bagi rakyat biasa

maupun bagi pejabat;

c. Terjaminnya hak-hak asasi manusia oleh undang-undang

keputusan-keputusan pengadilan.292

Ketiga, menurut Prof Jimly Asshiddiqie untuk mewujudkan satu negara

hukum yang hakiki, dibutuhkan pilar penyangga yang terdiri dari:

a. Supremasi hukum;

b. Persamaan dalam hukum;

c. Asas legalitas;

d. Organ-organ pendukung yang independen;

e. Peradilan bebas dan tidak memihak;

f. Peradilan Tata Usaha Negara;

g. Peradilan Tata Negara;

h. Perlindungan Hak Asasi Manusia;

i. Bersifat demokratis;

j. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara;

k. Adanya transparansi dan kontrol sosial.293

Keempat, menurut Scheltema unsur-unsur negara hukum adalah sebagai

berikut:

a. Kepastian hukum;

b. Persamaan dalam hukum;

c. Demokrasi;

291 Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin, Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004), hlm. 6.

292 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI , op.cit., hlm. 80.293 Jimly Asshiddiqie (7), Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara,

cet. 3, (Jakarta: Konstitusi Press, 2006), hlm. 53-65.

Universitas Indonesia

112

d. Pemerintahan yang melayani kepentingan umum.294

Terakhir, menurut Prof. Tahir Azhary, unsur-unsur multak yang ada dalam

negara hukum Pancasila antara lain:

a. Pancasila.

b. MPR.

c. Sistem konstitusi.

d. Persamaan.

e. Peradilan bebas.295

Dari lima doktrin yang dipaparkan oleh Penulis di atas, terdapat unsur

yang hampir ada di setiap doktrinnya yakni asas equality before the law atau asas

persamaan di hadapan hukum bagi seluruh warga negaranya. Indonesia sebagai

negara hukum, secara mutatis mutandis juga menganut asas persamaan di hadapan

hukum, hal ini sebagaimana diatur berdasarkan Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 dinyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di

dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan

itu dengan tidak ada kecualinya. Asas inilah yang menyertakan seluruh warga

negara Indonesia, baik penguasa maupun rakyat biasa. Bila tidak ada persamaan

hukum, maka orang yang mempunyai kekuasaan akan merasa kebal hukum.

Lebih lanjut menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, asas persamaan di

hadapan hukum mengandung arti bahwa “semua warga harus mendapat

perlindungan yang sama dalam hukum, tidak boleh ada diskriminasi dalam

perlindungan hukum ini. Menurut Beliau pula, asas ini diimplementasikan ke

dalam dua kata kunci yakni ‘perlindungan’ dan ‘perlakuan’ dalam hukum.

Persamaan ‘perlindungan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah kepada Negara untuk

memberi perlindungan hukum yang sama adilnya (fairness) kepada setiap warga

negara. Dalam sebuah Negara dengan masyarakat majemuk atau bersifat multi-

kultural seperti Indonesia, makna perlindungan lebih dialamatkan kepada

294 M. Scheltema, “De Reechsstaat” dalam J.W.M. Engels, et. Al., De Rechstaat Herdacht (W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989), hlm. 15-22.

295 Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI , op.cit., hlm. 102.

Universitas Indonesia

113

kelompok minoritas sebab terdapat tendensi ketidakadilan dari kelompok

mayoritas.

Sedangkan, persamaan ‘perlakuan’ dapat ditafsirkan sebagai perintah

kepada Negara untuk tidak membedakan dalam perlakuan hukum antara

warganya. Dalam masyarakat yang terstruktur ke dalam ‘kelas-kelas,’ maka ini

mengandung makna jangan memberi perlakuan istimewa kepada anggota kelas

tertentu. Khususnya dalam artian ‘kelas pejabat Negara’ dan / atau ‘kelas orang

kaya’ yang meminta perlakuan khusus dan istimewa dalam proses peradilan.

Maka dalam asas ini, diskriminasi perlakuan dalam bentuk tersebut dilarang.296

Itu artinya jika ditarik dalam permasalahan legal standing sengketa

pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi, sejatinya pemberian legal

standing yang hanya diberikan kepada pemerintah pusat tidak sesuai dengan

amanat Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebab mendiskriminasi

warga negara berdasarkan jabatannya yakni hanya pemerintah cq pemerintah

pusat saja yang boleh mengajukan permohonan sedangkan warga negara lainnya

tidak diperbolehkan. Kemudian berdasarkan Pasal 28C Undang-Undang Dasar

1945 disebutkan bahwa setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa

dan negaranya.

Perlu kita ketahui bahwa permohonan ke Mahkamah Konstitusi dapat

diartikan sebagai upaya memperjuangkan hak dari warga negara baik secara

sendiri-sendiri maupun bersama-sama. Adanya permohonan dari pemohon

disebabkan adanya kerugian maupun potensi kerugian yang sejatinya kerugian

tersebut tidak boleh terjadi dan telah dijamin oleh konstitusi. Namun pada

faktanya, pemberian legal standing dalam perkara pembubaran partai politik yang

hanya diberikan kepada pemerintah telah menutup upaya warga negara dalam

memperjuangkan haknya secara kolektif sebab warga negara yang menderita

kerugian ataupun potensi kerugian yang diakibatkan oleh tindakan partai politik

maupun oknumnya tidak dapat mengadvokasikan kerugiannya kepada Mahkamah

296 Prof. Mardjono Reksodiputro, sebagaimana disampaikan dalam Dialog Hukum Komisi Hukum Nasional RI Bekerjasama dengan Koalisi Masyarakat Sipil untuk Perubahan UU MD3, dan Kantor Berita Radio (KBR) pada 3 September 2014

Universitas Indonesia

114

Konstitusi dikarenakan terjegal masalah pengajuan permohonan. Maka dari itu

secara konstitusional, pemberian legal standing kepada warga negara dan

kelompok masyarakat dalam pembubaran partai politik telah memiliki dasar

konstitusional yang kuat.

Ketiga secara filosofis dan logika ekonomi, keuangan negara adalah urat

nadi negara, tanpa uang maka negara tidak dapat menjalankan roda

pemerintahannya. Keuangan dari rumah tangga negara ini dituangkan dalam

Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara, yang secara filosofis merupakan

refleksi dari kedaulatan di suatu negara. Apabila di Indonesia menganut

kedaulatan rakyat, maka pengalokasiannya harus ditujukan bagi kesejahteraan

rakyat, maka dari itu dalam mengalokasikan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Negara haruslah dilandasi pada sektor-sektor yang tepat sasaran dan tepat guna

kepada rakyat.297

Hal ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang No.15 Tahun 2004

tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Negara bahwa pemerintah

dalam melaksanakan pengelolaan keuangan negara haruslah dilakukan secara

tertib, taat, hukum efisien, ekonomis, efektif, transparan dan memperhatikan rasa

keadilan dan kepatutan.298 Maka dari itu apabila uang yang berasal dari APBN

disalahgunakan oleh partai politik maupun kadernya, maka seharusnya warga

negara yang memiliki hak atas uang tersebut dapat meminta pertanggungjawaban

atas tindakan yang dilakukan oleh partai politik melalui sarana pembubaran partai

politik.

Lagipula pihak yang paling dirugikan apabila APBN disalahgunakan oleh

partai politik sejatinya adalah Warga Negara itu sendiri. Contoh, apabila terdapat

partai politik yang membiarkan kadernya melakukan korupsi, menikmati hasil

korupsi, serta memanfaatkan kekuasaan yang diperolehnya untuk mendapatkan

uang korupsi maka jelas pihak yang paling dirugikan adalah Warga Negara itu

sendiri. Hal itu disebabkan karena anggaran yang dikorupsi seharusnya dapat 297 Agus Yulianto, Hukum Anggaran dan Keuangan Publik, (Jakarta: FHUI dan Elips

Project, 1998), hlm. 4.

298 Santoso Soeroso, Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia, (Jakarta: EGC, 2002), hlm. 80.

Universitas Indonesia

115

diberikan untuk kebutuhan Warga Negara dengan mengalokasikannya kepada

aspek-aspek lain seperti kesehatan, ekonomi, infrastruktur dan teknologi akan

tetapi justru disalahgunakan untuk kepentingan memperkaya partai politik dan

pengurusnya saja. Tidak tanggung-tangung dari data Indonesia Corruption Watch

selama tahun 2013-2014 saja terdapat Rp. 1.59 triliun uang yang dikorupsi dan

pelakunya didominasi oleh kader partai politik.299 Jika Penulis menggunakan

logika bahwa warga negara adalah korban yang paling dirugikan dan APBN

dialokasikan untuk kemakmuran rakyat, maka sangat beralasan secara hukum

apabila warga negara dan kelompok masyarakat pula yang dapat melakukan

pembubaran partai politik.

Keempat dengan menggunakan logika politik, Penulis memiliki hipotesa

bahwa apabila terdapat partai politik yang sedang memerintah atau pendukung

pemerintah melakukan suatu pelanggaran maka tidak akan pernah dimohonkan

untuk dibubarkan oleh Pemerintah. Hal tersebut merupakan konsekuensi logis dari

sistem Presidensial dan koalisi yang Indonesia terapkan. Secara konstitusional

koalisi sebenarnya hanya merupakan persyaratan untuk mengajukan pasangan

calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2)

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Terlebih lagi

terdapat syarat baru berupa Presidential threshold yang ditetapkan dalam Pasal 9

Undang-Undang No.42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden yang menyatakan bahwa pasangan calon diusulkan oleh partai politik

atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan

kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen

dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR.

Kedua ketentuan diatas memaksa partai politik untuk melakukan koalisi

demi mengajukan calon Presiden dan calon wakil Presidennya. Sistem koalisi

antar partai yang sudah disepakati sebelumnya terbukti membuat pemerintah

menjadi tersandera untuk melakukan aktivitas kenegaraan300 yang salah satunya

299 Rehdian, “Berapa Uang Negara yang Dikorupsi 2013-2014? Ini Data ICW”, http://www.jpnn.com/read/2015/03/11/291695/Berapa-Uang-Negara-yang-Dikorupsi-2013-2014-Ini-Data-ICW, diunduh pada 25 Desember 2015.

300 Gun Gun Heryanto, “Sandera Politik Koalisi Semu”, Media Indonesia, (10 Juni 2013)

Universitas Indonesia

116

adalah permohonan pembubaran partai politik, karena pemerintah juga

memerlukan dukungan di parlemen dalam menyepakati berbagai kebijakan dari

partai politik pendukung. Tidak dapat dibayangkan apabila pemerintah dalam hal

ini Presiden melakukan permohonan kepada partai politik pendukungnya, hal ini

tentunya akan membuat stabilitas politik negara Indonesia menjadi tidak stabil.

Hal ini terbukti dari realita saat ini, bahwa belum pernah ada satupun inisiatif

permohonan dari pemerintah untuk mengusulkan pembubaran suatu partai

politik,301 padahal banyak sekali partai-partai yang berpotensi untuk dibubarkan

karena melakukan tindakan yang melanggar undang-undang seperti korupsi dan

menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Kelima, peran warga negara dalam melakukan pengawasan langsung

terhadap kinerja partai politik dapat dikatakan belum maksimal karena ketiadaan

mekanisme. Dalam status quo pengawasan partai politik yang dilakukan Warga

Negara dilakukan melalui mekanisme pemilihan umum, yang mana melalui

mekanisme itu warga negara dapat memberikan reward dan punishment berupa

tindakan memilih atau tidak memilih partai politik terkait kinerja dan aktivitas

partai dalam bilik suara.302

Namun mekanisme pengawasan melalui pemilu sebenarnya terlalu lama,

tidak efektif, dan tidak maksimal. Dikatakan terlalu lama dikarenakan mekanisme

ini harus menunggu lima tahun lamanya untuk dilaksanakan (insidentil),

kemudian dinilai tidak efektif dan tidak maksimal karena hanya bersifat parsial

saja yakni diawasi hanya ketika partai politik sedang mencari kursi kekuasaan

ketika pemilu ingin dilaksanakan padahal pengawasan setelah terpilih juga sama

pentingnya.

Selain melalui Pemilu, mekanisme yang dapat dilakukan oleh warga

negara pada saat pasca pemilu berlangsung paling hanya dengan cara civil

disobedience atau warga negara yang melakukan suatu tindakan pelanggaran

301 Mahkamah Konstitusi, “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#.

302 Simona Bevern,”Party Communication in Routine Times of Politics: Issues Dynamics, Party Competition, Agenda-Setting, and Representation in Germany”, (disertasi Universitas Manheim, Manheim, 2015), hlm. 18.

Universitas Indonesia

117

hukum yang dilakukan dengan sadar, dinyatakan di muka umum dan tanpa

kekerasan, dengan maksud untuk melalukan perubahan yang dialami dan

dirasakan karena tidak benar, tidak adil serta tidak bermoral dengan kata lain

adalah pembangkangan sipil.303 Akan tetapi apatisme semacam itu tidak akan

membawa konsekuensi dan dampak hukum apapun terhadap kehidupan

demokrasi serta pembangunan kepartaian yang sehat dan rasional.

Maka dari itu perlu adanya upaya untuk merevitalisasi peran warga negara

dan kelompok masyarakat dalam mengawasi partai politik dengan cara

memberikan legal standing dalam sengketa pembubaran partai politik. Hal itu

dikarenakan kebutuhan pengawasan tidak hanya sekadar dilakukan pada saat

pemilu berlangsung, akan tetapi pasca pemilu juga harus tetap dilaksanakan.

Pengawasan pasca pemilu penting dilakukan untuk menjaga eksistensi partai

politik agar tetap sesuai dengan koridor yang ditetapkan oleh peraturan

perundang-undangan. Hal ini penting dilakukan karena membiarkan partai politik

dengan kekuasaan yang besar tanpa ada pengawasan adalah sama dengan

membiarkan adanya penyalahgunaan kekuasaan. Padahal potensi

penyelewenangan atau bahkan penyalahgunaan kekuasaan sangat mungkin terjadi

apabila tidak diawasi oleh warga negara. Mengutip pernyataan dari Lord Acton

bahwa kekuasaan itu cenderung disalahgunakan, tetapi kekuasaan yang mutlak itu

pasti disalahgunakan (power tends to corrupt, but absolute power corrupts

absolutely).304

Mekanisme ini tentunya berbeda dengan civil disobedience yang

menyebabkan warga negara bertindak apatis, sebab mekanisme pembubaran partai

politik justru membuat warga negara makin partisipatif dengan adanya jaminan

konsekuensi hukum yang jelas terhadap partai politik yang bersangkutan. Selain

itu manfaat dari diberikannya legal standing kepada warga negara salah satunya

adalah untuk selalu mengingatkan kepada siapapun yang ingin mendirikan partai

dan mengelola partai yang sudah ada agar tidak mengenyampingkan kedaulatan

303Henry David Thoreau, “Civil Disobedience”, http://xroads.virginia.edu/~hyper2/thoreau/civil.html, diunduh pada 25 Desember 2015.

304 Jennifer Speake, The Oxford Dictionary of Proverbs, (Great Britain: Oxford University Press, 2015), hlm. 253.

Universitas Indonesia

118

dan kepentingan rakyat. Hal ini tentunya menimbulkan efek jera kepada partai

politik lainnya agar harus berjalan sesuai koridor yang sudah diatur.

Kekhawatiran apabila diberikanya legal standing kepada warga negara

akan menyebabkan adanya ribuan bahkan jutaan permohonan fiktif pembubaran

partai politik adalah tidak beralasan hukum dan harus ditolak. Pertama, perlu kita

pahami bahwa banyaknya permohonan pembubaran partai politik bukanlah

merupakan sebuah musibah sebab hal ini justru mengindikasikan bahwa warga

negara telah sadar hukum dengan berpartisipasi aktif dalam melakukan

pengawasan secara langsung kepada partai politik yang dinilai tidak sesuai dengan

amanat konstitusi dan undang-undang. Konsekuensi dari pengawasan tersebut

membuat partai politik menjadi lebih mawas diri dalam melaksanakan segala

kegiatannya dengan kembali mementingkan kepentingan umum warga negara

bukan eksklusif kepada kepentingan individual atau golongannya saja sehingga

jika sewaktu-waktu partai politik tidak menjalankan amanah rakyat, sewaktu-

waktu pula rakyat dapat melakukan koreksi yang korektif dengan cara

memohonkan untuk pembubaran partai politik.

Kedua, pemberian legal standing kepada warga negara hanyalah sebuah

langkah pertama dalam hukum acara di Mahkamah Konstitusi, dimana masih

banyak proses selanjutnya yang harus ditempuh di persidangan, mulai dari

pemeriksaan pendahuluan, pembuktian hingga pembacaan putusan. Apabila

terdapat kekhawatiran pemberian legal standing ini akan disalahgunakan oleh

oknum tertentu untuk membubarkan lawan politiknya, pada akhirnya sudah

terjawab dari sistem dan profesionalitas di Mahkamah Konstitusi itu sendiri

karena pada akhirnya mahkamah-lah yang memutuskan apakah dalil pemohon

beralasan hukum ataukah tidak. Tentu saja Mahkamah Konstitusi pasti akan

memberikan kriteria konstitusional yang tidak mudah untuk membubarkan sebuah

partai politik.

Penulis juga perlu mengemukakan Putusan Mahkamah Konstitusi No.

53/PUU-IX/MK-2011 perihal sikap Mahkamah Konstitusi akan legal standing

pembubaran partai politik. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak

mengabulkan adanya pemberian legal standing kepada perseorangan (warga

Universitas Indonesia

119

negara) dalam usul pembubaran partai politik dengan pertimbangan bahwa Pasal

24C Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengatur mengenai pihak-pihak yang

berhak mengajukan permohonan pembubaran partai politik ke Mahkamah

Konstitusi. Permasalahan ketika hanya pemerintah saja yang dapat mengajukan

permohonan pembubaran partai politik terletak pada Undang-Undang yang

notabenenya merupakan pilihan pembentuk Undang-Undang dalam menyusun

dan membentuk ketentuan dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang

dituangkan dalam Pasal 68 (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Pada dasarnya pemohon pada petitum permohonan perkara a quo,

memohon kepada Mahkamah untuk memutuskan bahwa frasa “Pemerintah” yang

terdapat dalam Pasal 68 ayat (1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, kecuali apabila dimaknai

sebagai tidak hanya pemerintah yang dapat mengajukan permohonan

pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi, tetapi dapat pula perorangan

warga negara Indonesia dan badan hukum juga. Atas permohonan pemohon,

Mahkamah Konstitusi menilai bahwa rumusan yang diinginkan oleh para

Pemohon merupakan rumusan konstitusional bersyarat yang akan menambahkan

norma baru pada Undang-Undang. Menurut Mahkamah, frasa “Pemerintah” pada

Pasal 68 telah diartikan secara tegas dalam penjelasannya sebagai pemerintah

pusat saja dan tidak dapat diartikan atau diperluas sebagai perorangan warga

negara Indonesia dan badan hukum.

Itu artinya Mahkamah secara tegas menyatakan bahwa Mahkamah

Konstitusi tidak berwenang untuk menambahkan pemohon dalam pembubaran

partai politik sesuai dengan keinginan para Pemohon, Mahkamah hanya

berwenang menyatakan materi muatan, ayat, pasal, dan/atau bagian dari Undang-

Undang bertentangan atau tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Mahkamah menegaskan bahwa ini

merupakan domain dari pembentuk udnang-undang sehingga kewenangan untuk

mengubahnya terletak di DPR dengan cara legislative review.

Dari pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi di atas Penulis

berkesimpulan bahwa:

Universitas Indonesia

120

a. Mahkamah Konstitusi menilai bahwa permohonan pemohon akan

menimbulkan dampak hukum baru berupa penambahan norma

sehingga perkara ini bukan merupakan domain dari Mahkamah

Konstitusi, melainkan domain dari Dewan Perwakilan Rakyat.

b. Pada dasarnya Mahkamah Konstitusi tidak menolak dalil pemohon

sekaligus menyetujui permohonan pemohon perihal perseorangan

warga negara atau badan hukum diberikan legal standing sebagai

pemohon dalam perkara pembubaran partai politik di Mahkamah

Konstitusi. Akan tetapi, prosedurnya saja yang salah bukan melalui

mekanisme judicial review melainkan legislative review.

c. Dalam melihat perkara ini Mahkamah Konstitusi telah tidak konsisten

dengan putusan Mahkamah Konstitusi lainnya mengingat banyak

sekali putusan Mahkamah Konstitusi yang justru cenderung bersifat

ultra petita bahkan menjadi positive legislator.305

d. Dalam perkara ini Mahkamah Konstitusi hanya melihat dari perspektif

formalnya permohonan dan tidak masuk ke dalam ranah substansi

permohonan. Sebab Mahkamah hanya memutus mengenai prosedur

mana yang lebih tepat, padahal sejatinya lebih penting memutus

mengenai apakah substansi Pasal 68 (1) Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi telah sesuai dengan nafas Undang-Undang Dasar 1945

ataukah tidak. Itu artinya Mahkamah dalam melihat perkara ini

menggunakan perspektif yang sangat positivis. sempit dan melihat

hanya dari satu sudut pandang yakni dari hukum tertulisnya, tanpa

memperdulikan nilai-nilai dan dinamika yang ada di tengah

masyarakat.

305 Terdapat beberapa putusan Mahkamah Konstitusi yang bersifat conditinally constitutional dan positive legislator beberapa di antaranya adalah Putusan No. 46/PUU-VIII/2010, Putusan No. 102/PUU-VII/2009, Putusan Nomor 110-111-112-113/PUU-VII/2009.

Universitas Indonesia

121

BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan uraian pada bab-bab sebelumnya mengenai tinjauan yuridis

atas legal standing pembubaran partai politik di Mahkamah Konstitusi, maka

Penulis dapat menyimpulkan beberapa hal, antar lain sebagai berikut:

1. Pembubaran partai politik secara langsung berakibat dan bersinggungan

dengan hak konstitusional warga negara dalam berserikat. Hal itu disebabkan

karena partai politik pada dasarnya adalah manifestasi dari hak kebebasan

berserikat itu sendiri. Dimana kebebasan berserikat merupakan hak

konstitusional yang diatur melalui Pasal 28 dan 28E ayat (3) Undang-Undang

Dasar 1945. Meskipun kebebasan berserikat adalah hak konstitusional, akan

tetapi hak tersebut juga harus ada batasannya. Pembatasan itu wajar dilakukan

semata-mata demi menjaga keamanan nasional dan keselamatan publik,

mencegah terjadinya kejahatan, melindungi kesehatan dan moral, serta untuk

melindungi hak kebebasan orang lain sebagaimana diatur dalam Pasal 28J

ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Terlebih lagi, sejatinya kebebasan

berserikat adalah hak yang dapat diderogasi karena tiga alasan. Pertama,

Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945 telah secara tegas mengklasifikasikan

hak-hak mana saja yang tidak dapat diderogasi dan kebebasan berserikat tidak

Universitas Indonesia

122

termasuk di dalamnya. Kedua, terdapat perbedaan antara freedom of

expression dan freedom of peacefull assembly dengan freedom of association,

dimana freedom of association merupakan keberlanjutan serta manifestasi

dari freedom of expression dan freedom of peacefull assembly.Ketiga, hak

yang tidak dapat diderogasi disebabkan karena bersifat forum internum yang

artinya hak itu melekat karena kemanusiaanya, sedangkan terhadap forum

eksternum dapat diderogasi karena sifatnya yang merupakan ekspresi dan

bersinggungan dengan hak orang lain. Maka dari itu pembatasan terhadap

partai politik berupa pembubaran sejatinya diperbolehkan sepanjang sesuai

dengan tujuan pembatasan itu sendiri. Sehingga dalam prakteknya,

pembubaran partai politik tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang

melainkan harus melalui mekanisme yang jelas, yakni:

a. Dilakukan semata-mata untuk menjaga keamanan nasional dan

keselamatan publik;

b. Mencegah terjadinya kejatahan;

c. Melindungi kesehatan dan moral masyarakat;

d. Melindungi hak kebebasan orang lain;

e. Dilakukan secara ketat yang diatur dalam hukum;

f. Dilakukan untuk mencapai tujuan masyarakat demokratis;

g. Benar-benar dibutuhkan;

h. Bersifat proporsional sesuai dengan kebutuhan sosial dan;

i. Melalui proses yang adil, seimbang, dan objektif;

j. Diputus melalui proses peradilan yang due process of law.

2. Legal Standing yang hanya dimiliki Pemerintah dalam pembubaran partai

politik di Mahkamah Konstitusi telah melanggar hak konstitusional warga

negara karena sangat tidak sesuai mulai dari aspek ilmiah hingga tataran

praktek ketatanegaraan. Pertama, ketentuan Pasal 68 (1) Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi tidak sejalan dengan teori kedaulatan rakyat yang

diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, karena hanya mengakomodir

representative democracy saja dan mengabaikan direct democracy itu sendiri.

Kedua, jika ditinjau dari konsepsi negara hukum maka pemberian legal

Universitas Indonesia

123

standing hanya kepada pemerintah telah mencedrai aspek negara hukum itu

sendiri yakni persamaan di hadapan hukum (equality before the law) sebab

telah mendiskriminasi warga negara dengan Presiden atas dalil jabatan. Ketiga,

secara filosofis dan logika ekonomi, ketika partai politik menyebabkan

kerugian kepada uang negara, maka sudah seharusnya warga negara dan

kelompok masyarakat memiliki fasilitas pertanggungjawaban kepada partai

politik karena warga negara adalah pihak yang paling dirugikan dan terkena

dampak langsung sebagai korban atas tindakan partai politik tersebut.

Keempat, secara logika politik dan praktek di lapangan, pemberian legal

standing pembubaran partai politik yang hanya diberikan kepada pemerintah

merupakan aturan yang sia-sia, sebab Indonesia mengenal adanya sistem

koalisi yang secara langsung menyandera pemerintah karena terikat kontrak

politik dengan partai dan partai pendukungnya. Kelima, warga negara perlu

diberikan fasilitas pengawasan secara langsung berupa dijadikan pihak yang

dapat memohonkan pembubaran partai politik ke Mahkamah Konstitusi, sebab

fasilitas melalui pemilu dan civil disobedience terbukti tidak efektif dan tidak

memberikan efek jera kepada partai politik.

4.2 Saran

Berdasarkan hal-hal yang ditemukan oleh Penulis dalam penelitian ini,

maka penulis merasa perlu mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Terhadap Pemerintah dan DPR untuk segera merevisi Pasal 68

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

dengan menambahkan Perseorangan Warga Negara atau Kelompok

Masyarakat sebagai pihak yang dapat memohonkan pembubaran partai

politik ke Mahkamah Konstitusi sehingga Pasal tersebut berbunyi:

“Pemohon adalah Pemerintah, Perseorangan Warga Negara atau

Kelompok Masyarakat.”

2. Terhadap Warga Negara Indonesia dan kelompok masyarakat tidak

boleh memandang fasilitas berupa permohonan pembubaran partai

politik sebagai sarana untuk menjatuhkan lawan politiknya, melainkan

harus dimaknai sebagai upaya mengawasi partai politik agar sesuai

Universitas Indonesia

124

dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

3. Terhadap Mahkamah Konstitusi harus lebih konsisten dalam memutus

suatu perkara sehingga tidak terjadi kerancuan di tengah masyarakat.

Mahkamah Konstitusi dalam memutus juga tidak boleh hanya terpaku

kepada Undang-Undang yang ada saja, melainkan juga harus melihat

permasalahan nyata yang ada di masyarakat . Kemudian, apabila

terealisasi warga negara atau kelompok masyarakat dapat mengajukan

permohonan pembubaran partai politik maka Mahkamah Konstitusi

harus profesional dengan mengadili perkara tesebut sesuai dengan

kaidah hukum yang berlaku dan tidak terfokus pada isu politik-nya

saja.

***

DAFTAR PUSTAKAI. BUKU

Ajisaka, Arja. Mengenal Pahlawan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Kawanpustaka, 2008.

Amini, Aisyah. Pasang Surut Peran DPR-MPR. Jakarta: Yayasan Pancur Siwah bekerjasama dengan PP Wanita Islam, 2004.

Anshari, H. Endang Saifuddin. Wawasan Islam: Pokok-Pokok Pikiran Tentang Paradigma dan Sistem Islam. Jakarta: Gema Insani, 2004.

Arif, Barda Nawawi. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: Rajawali Pers, 1990.

Arinanto, Satya. Hak Asasi Manusia dalam Transaksi Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN FHUI, 2003.

Ariyanto, Rio. “Kewajiban dan Tanggung Jawab Pemerintah Terhadap Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia”. Skripsi Universitas Andalas, Padang, 2014.

Asshiddiqie, Jimly. Islam dan Kedaulatan Rakyat. Jakarta: Gema Insani Pers,1995.

__________. Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2005.

__________. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, edisi revisi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK RI, 2006.

Universitas Indonesia

125

__________. Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara. Cetakan ketiga. Jakarta: Konstitusi Press, 2006.

__________. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2012.

__________. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen Dalam Sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara. Jakarta: UI-Press, 1996.

__________. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi. Jakarta: Gramedia, 2007.

Azed, Abdul Bari dan Makmur Amir. Pemilu dan Partai Politik di Indonesia. Jakarta: PSHTN FHUI, 2003.

Barnet, Hillaire. Constitutional and Administrative Law, Fifth Edition, London-Sydney-Portlad. Oregon: Cavendish Publishing Limited, 2004.

Bemmelen, J.M van. Hukum Pidana I Hukum Pidana Material Bagian Umum, diterjemahkan oleh Hasan. Bandung: Binacipta, 1984.

Budiardjo, Miriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Grafika Pustaka Utama, 2008.

__________. Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1982.

Chemerinsky, Erwin. Constitutional Law: Principles and Policies. New York: Aspen Law and Business, 1997.

Chotib.Et al. Kewarganegaraan 2: Menuju Masyarakat Madani. Jakarta: Yudhistira, 2007.

Dahl, Robert A. Perihal Demokrasi: Menjelajah Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat. Diterjemahkan oleh A.Rahman Zainuddin. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Buloggate dan Bruneigate DPR RI. Jakarta: Pansus Buloggate dan Bruneigate DPR RI, 2001.

Dhakidae, Daniel. Cendekiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003

__________. Peta Politik Pemilihan Umum 1999-2004. Jakarta: Kompas Gramedia, 2004.

Dzulfikriddin, M. M. Natsir dalam Sejarah Politik Indonesia Peran dan Jasa Mohammad Natsir Dalam Dua Orde Indonesia. Bandung: Mizan, 2010.

Fachrudin, Achmad. Jalan Terjal Menuju Pemilu 2014: Mengawasi Pemilu Memperkuat Demokrasi. Jakarta: Garmedia Utama Publishindo, 2013.

Fadjar, Abdul Mukthie. Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

Fatkhurohman, Dian Aminudin dan Sirajuddin. Memahami Keberadaan Mahkamah Konstitusi Di Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2004.

Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary.Sixth Edition. St.Paul: West Group, 1999.

Universitas Indonesia

126

German Federal Foreign Office. “Facts about Germany”, Frankfurt/Main, incollaboration with the German Federal Foreign Office. Berlin: Societäts-Verlag, 2008.

Haris, Syamsudin. Pemilu Langsung Di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasi dan Seleksi Calon Legislatif Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005.

Harjono. Konstitusi Sebagai Rumah Bangsa Pemikiran Hukum Dr. Harjono, S.H.,M.C.L. Wakil Ketua MK. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2008.

Ian Budge. “Direct & Representative Democracy: Are They Necessary Opposed?”. Colchester: University Colchester, 2005.

Kahin, Audrey. Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia: 1926-1998. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Kansil, C.S.T. Parpol dan Golkar. Jakarta: Aksara Baru, 1979.

Kansil, C.S.T dan Cristine S.T Kansil. Pokok-Pokok Badan Hukum. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan , 2002.

Karim, M. Rusli. Perjalanan Partai Politik di Indonesia: Sebuah Potret Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Press, 1933.

Kartohadirjo, Sartono, Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Soesanto. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1975.

Katz and Mair. How Parties Organize: Change and Adaptation in Party Organizations in Western Democratie. London: Sage Publications, 1994.

Kommers. The Constitutional Jurisprudence of the Federal Republic of Germany. Durham: Duke University Press, 1989.

Kusnaedi. Memenangkan Pemilu dengan Pemasaran Efektif. Jakarta: Duta Media Tama, 2009.

Latif, Yudi. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. Jakarta: Gramedia, 2011

Legge, J. D. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993.

Leirissa, R.Z. PRRI Permesta: Strategi Membangun Tanpa Komunis. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti.

M.Fic, Victor. Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi Tentang Konspirasi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Maarif, Ahmad Syafii. Keterkaitan Antara Sejarah, Filsafat, dan Agama. Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1997.

__________. Studi Tentang Percaturan dalam Konstituante: Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES, 1985.

Universitas Indonesia

127

Maciver, RM. The Modern State. First edition. London: Oxford University Press, 1955.

Mahkamah Konstitusi. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Cetakan Pertama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2010.

Mamudji, Sri. Et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.

Matroji. Sejarah Untuk SMP kelas VIII. Jakarta : Erlangga, 2006.

MD, Moh. Mahfud. Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi Tentang Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan. Jakarta: Rineka Cipta, 2000.

__________. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Edisi Revisi. Jakarta: Rineka Cipta, 2001.

Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Cetakan ketiga. Yogyakarta: Liberty, 1981.

Muljana, Slamet. Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme Sampai Kemerdekaan. Yogyakarta: LKIS, 2008.

__________. Nasionalisme Sebagai Modal Perjuangan. Jakarta: Balai Pustaka, 1968.

Nadj, E. Shobirin. Kebebasan: Restriksi dan Resistens : Studi Kebebasan Berkumpul di Indonesia. Jakarta: Cesda LP3ES, 2001.

Nasution, A.H. Menegakkan Keadilan dan Kebenaran I. Djakarta: PT Seruling Masa, 1967.

Noer, Deliar. Partai-Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1987.

Noer, Deliar dan Akbarsyah. KNIP: Parlemen Indonesia 1945 – 1950. Jakarta: Yayasan Risalah, 2005.

Notosusanto, Nugroho. Pejuang dan Prajurit. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1991.

__________. Tercapainya Konsensus Nasional 1966-1969. Jakarta: Balai Pustaka, 1985.

O.C. Kaligis dan Associates. Partai Golkar Digugat. Jakarta: Otto Cornelis Kaligis, 2001.

Pakpahan, Muchtar. DPR RI Semasa Orde Baru. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Palguna, I Dewa Gede. Pengaduan Konstitusional (Constitutional Complaint) Upaya Hukum terhadap Pelanggaran Hak-Hak Konstitusional Warga Negara. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.

Poerwanta, PK. Partai Politik di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.

Universitas Indonesia

128

Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kebangkitan Nasional dan Masa Hindia Belanda. Jakarta: Balai Pustaka, 2008.

Pringgodigdo, A.K. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat, 1994.

Rahzen, Taufik. Almanak Abad Partai Indonesia. Jakarta: Boekoe I, 2008.

Rousseau, Jean Jacques. Du Contract Social (Perjanjian Sosial).Jakarta: Visimedia, 2009

Safa’at, Muchamad Ali. Pembubaran Partai Politik: Pengaturan dan Praktik Pembubaran Partai Politik dalam Pergulatan Republik. Jakarta: Rajawali Pers, 2011.

Sampurno, Silverio R.L. Aji. Latar Belakang Keluarnya Keppres Nomor 200 Tahun 1960: Sekitar Pembubaran Masyumi, Seri Laporan Penelitian–1. Yogyakarta: Penerbitan Universitas Sanata Dharma, 1995.

Saragih, Bintan R. dan Moh. Kusnadi. Ilmu Negara.Edisi revisi. Cetakan keempat. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000.

Siahaan, Maruarar. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi. Jakarta: Sinar Grafika, 2012.

Scheltema, M. “De Reechsstaat” dalam J.W.M. Engels, et. Al., De Rechstaat Herdacht. W.E.J. Tjeenk Willink-Zwole, 1989.

Soefihara, Endin Akhmad Jalaluddin. Merebut Nurani Rakyat: Koalisi, Konflik, dan Etika Politik. Jakarta: Belantka, 2005Soekanto, Soerjono . Pengantar Penelitian Hukum, cetakan ketiga. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1994.

Soekarno. Dibawah Bendera Revolusi. Djilid Pertama. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964.

__________. Dibawah Bendera Revolusi. Djilid Kedua. Jakarta: Panitya Penerbit Dibawah Bendera Revolusi, 1964.

__________. Tatanegara Republik Indonesia Sudah Kembali Ke Undang-Undang Dasar 1945 untuk S.M.A. Jakarta: Nusantara, 1963.

Soepomo. Sistem Hukum di Indonesia Sebelum Perang Dunia ke-II. Jakarta: Pradnya Paramita, 1991.

Soerojo, Soegiarso. Siapa Menabur Angin Akan Menuai Badai. Jakarta: Antar Kota, 1988.

Soeroso, Santoso. Mengarusutamakan Pembangunan Berwawasan Kependudukan di Indonesia. Jakarta: EGC, 2002.

Sulastomo. “Membangun Sistem Politik Bangsa” dalam Masyarakat Warga dan Pergulatan Demokrasi: Menyambut 70 Tahun Jakob Oetama. Jakarta: Kompas, 2001.

Universitas Indonesia

129

Sumarkidjo. Mendung di Atas Istana Merdeka, Menyingkap Peran Biro Khusus PKI dalam Pemberontakan G30S. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000.

Sundhaussen, Ulf. Politik Militer Indonesia 1945-1967, Menuju Dwi Fungsi Abri, diterjemahkan oleh Hasan Basri. Jakarta: LP3ES, 1986

Suprapto, Bibit Perkembangan Kabinet dan Pemerintahan di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.

Suwondo, Bambang. Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978.

Syaifulla. Gerak Politik Muhammadiyah Dalam Masyumi. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1997.

Syam, Nur. Tantangan Multikulturalisme Indonesia: Dari Radikalisme Menuju Kebangsaan. Yogyakarta: Kanisius, 2009.

TIM. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945: Dilengkapi Sejarah Berdirinya NKRI, Daftar Wilayah NKRI, Daftar Presiden dan Wakil Presiden RI, Pemilu di Indonesia. Yogyakarta: New Merah Putih, 2009.

Tim Konstitusi. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi.

Tim Mata Kuliah Ilmu Negara FH UI. Ilmu Negara. Edisi Revisi. Depok: Penerbit FH UI ,2014.

Tim Media Pusindo. Pahlawan Indonesia. Jakarta: Media Pusindo, 2008.

Tobing, Jakob. “Kebebasan Berserikat Sebagai Hak Asasi”, http://www.leimena.org/id/page/v/531/kebebasan-berserikat-sebagai-hak-asasi. Diunduh pada 23 Desember 2015.

Toer, Pramoedya Ananta, Koesalah Soebagjo Toer dan Ediati Kamil. Krnok Revolusi Indonesia. Jakarta: KPG, 1999.

Vanhuysse, Pieter and Achim Goerres. Agein Populations In Post-Industrial Democracies: Comparative Studies of Policies and Politics. Oxon: Routledge, 2012.

Yulianto, Agus. Hukum Anggaran dan Keuangan Publik. Jakarta: FHUI dan Elips Project, 1998.

Zara, M. Yuanda. Peristiwa 3 Juli 1946: Menguak Kudeta Pertama Dalam Sejarah Indonesia. Jakarta: Medpress, 2009.

Zulkifli, Arif. PDI di Mata Golongan Menengah Indonesia: Studi Komunikasi Politik. Jakarta: Grafiti, 1996.

II. ARTIKEL/JURNALFGW, Allan dan Harry S. “Pemberian Legal Standing kepada Perseorangan atau

Kelompok Masyarakat dalam Usul Pembubaran Partai Politik.” Jurnal Hukum Ius Quia Iustum Nomor. 4. (Oktober, 2013).

Heryanto, Gun Gun. “Sandera Politik Koalisi Semu”. Media Indonesia, 10 Juni 2013.

Universitas Indonesia

130

Indra, Mexsasai. “Gagasan Penyederhanaan Jumlah Partai Politik Dihubungkan Dengan Sistem Pemerintah Republik Indonesia.” Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 2 No.2.

Rauf, Maswadi. “Partai Politik dalam Sistem Kepartaian Indonesia Antara Kenyataan dan Harapan”. Jurnal Politika, Vol.2, No.2 Tahun 2006.

Rumokoy, Nike K. “Kedaulatan dan Kekuasaan Dalam UUD 1945 Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia.” Jurnal Hukum Unsrat Vol. XVII/No. 1 (April – Juni 2009).

Saleh, Moh. “Akibat Hukum Pembubaran Partai Politik.” Jurnal Konstitusi Volume I No. 1. (November 2011).

Soemardjan, Selo. ”Demokrasi Terpimpin dan Tradisi Kebudayaan Kita, Review of Politics” Feith & Castles VOL XXV. (Januari 1963).

III. SKRIPSI/TESIS/DISERTASIAsshiddiqie, Jimly. “Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan

Pelaksanaanya Di Indonesia: Pergesertan Keseimbangan Antara Individualisme dan Kolektivisme DalamKebijakan Demokrasi Politik Dan demokrasi Ekonomi Selama Tiga Masa Demokrasi, 1945-1980an”. Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta, 1993.

Bevern, Simona.”Party Communication in Routine Times of Politics: Issues Dynamics, Party Competition, Agenda-Setting, and Representation in Germany”.Disertasi Universitas Manheim. Manheim, 2015.

Bimantara, Alfidatu Panji. “Perjuangan Diplomasi Dalam Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Masa Revolusi (1946-1949.” Skripsi Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta. Yogyakarta, 2014.

Dawud . “Tingkat Kepercayaan Masyarakat Muslim Terhadap Partai Politik Berasas Islam (Studi Kasus di Kecamatan Kebumen Pada Pemilu 2014).” Skripsi Sarjana UIN Syartif Hidayatullah. Jakarta, 2014.

Rusdi.“Partai Sosialis Indonesia Dan Peranan Kepolitikannya 1948-1960. Tesis program studi ilmu Sejarah Bidang Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Jakarta, 1997

Safa’at, Muchamad Ali. “Pembubaran Partai Politik di Indonesia (Analisis Pengaturan Hukum dan Praktik Pembubaran Partai Politik 1959-2004”. Disertasi Universitas Indonesia. Jakarta, 2009.

Setiawan, Hari Poerna. “Kebijakan Luar Negeri Jerman Dalam Merespon Isu Perubahan Iklim Global (Periode 1997-2007. Tesis Universitas Indonesia. Jakarta, 2008.

IV. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGANIndonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

__________. Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, UU No. 24 Tahun 2003, LN No. 98 Tahun 2003, TLN No. 4316.

Universitas Indonesia

131

__________. Undang-Undang tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953, LN No. 29 Tahun 1953.

__________. Undang-Undang Partai Politik, UU No.2 Tahun 2008, LN No. 2 Tahun 2008, TLN No. 4801.

Jerman. Federal Constitutional Court Act.

Korea Selatan. Constitution of South Korea.

Majelis Permusyawaratan Rakyat. Ketetapan MPRS RI tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Diseluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme, Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966.

__________. Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Terhadap Maklmuat Presiden Republik Indonesia Tanggal 23 Juli 2001. TAP MPR No : I/MPR/2001

South-East Asian and Pacific Conference of Jurists, Bangkok, February 15-19, 1965. The Dynamics Aspect of The Rule of Law in The Modern Age. Bangkok: International Commission of Jurists, 1965.

V. INTERNET“Anas Urbaningrum Tersangka Proyek Hambalang”.

http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2013/02/130222_tersangka_baru_hambalang. Diunduh pada 17 Desember 2015.

“Arti Kata Kedaulatan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)” http://kamuskbbi.web.id/arti-kata-kedaulatan-menurut-kamus-besar-bahasa-indonesia-kbbi.html. Diunduh pada 25 Desember 2015.

Bapenas. “Inilah Profil Partai Politik Peserta Pemilu 2004”. http://ditpolkom.bappenas.go.id/basedir/Politik%20Dalam%20Negeri/1%29%20Pemilu/3%29%20Pemilu%20tahun%202004/Partai%20Peserta%20Pemilu%202004.pdf. Diunduh pada 29 November 2015.

Budiawan. “Pemberontakan PKI 1926-27 dalam Dua Teks Sejarah”. http://indoprogress.com/2014/12/pemberontakan-pki-1926-27-dalam-dua-teks-sejarah. Diunduh pada 28 November 2015.

”Elektabilitas Demokrat Malah Terus Menurun”. http://sp.beritasatu.com/home/elektabilitas-demokrat-malah-terus-menurun/23286. Diunduh pada 29 November 2015.

Gintis, Herbert and Carel van Schail. “Zoon Politicon: The Evolutionary Roots of Human Sociopolitical Systems”, http://tuvalu.santafe.edu/~bowles/Gintis.pdf. Diunduh pada 30 September 2015.

Universitas Indonesia

132

Hasibuan, Noor Aspasia. “DPR dan Polri Lembaga Terkorup”. http://www.cnnindonesia.com/nasional/20150131142201-20-28696/survei-populi-dpr-dan-polri-lembaga-terkorup/. Diunduh pada 2 November 2015.

Ihsanuddin. “LSI: Elektabilitas Terus Turun, Demokrat Bakal Jadi Parpol Papan Tengah”.http://nasional.kompas.com/read/2013/11/24/1428376/LSI.Elektabilitas.Terus.Turun.Demokrat.Bakal.Jadi.Parpol.Papan.Tengah. Diunduh pada 29 November 2015.

Inggried. “KPK Tetapkan Amrun Daulay Tersangka”, http://regional.kompas.com/read/2011/04/08/14164099/KPK.Tetapkan.Amrun.Daulay.Tersangka. Diunduh pada 17 Desember 2015.

Jerman. “Basic Law for The Federal Republic of Germany”. Diunduh melalui https://www.btg-bestellservice.de/pdf/80201000.pdf.

Jerman. “Political Parties Act of 24 July 1967”. Diunduh melalui https://www.bundestag.de/blob/189734/2f4532b00e4071444a62f360416cac77/politicalparties-data.pdf.

Julander, Treg A. Democracy Without Political Parties, dalam Michelle N. Johnson, America in The 21st Century: Political and Economic Issues-3. UK: Nova Science Pub. Inc., 2002.

“Kaleidoskop KBS World Tahun 2014” http://world.kbs.co.kr/indonesian/event/specialprogram/sub_index.htm?No=582. Diunduh pada 3 Desember 2015.

Kepustakaan Presiden. “Pemilihan Umum Tahun 2014”, http://kepustakaan-Presiden.perpusnas.go.id/election/directory/election/?box=detail&id=33&from_box=list&hlm=1&search_ruas=&search_keyword=&activation_status=. Diunduh pada 29 November 2015.

Mahkamah Konstitusi. “Perkara Belum Diregistrasi: Perkara Pembubaran Partai Politik”, http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Beranda#. Diunduh 1 Oktober 2015.

“Maklumat Pemerintah. http://ngada.org/maklumat14.10-1945.htm. Diunduh pada 23 November 2015.

Mandala, Edward. “Sistem Kepartaian Dan Pemilu di Indonesia”. http://www.leutikaprio.com/main/media/sample/Sistem%20Kepartaian%20dan%20Pemilu%20di%20Indonesia%20DOWNLOAD%20SAMPLE.pdf. Diunduh pada 22 November 2015.

Meilikhah. “Patrice Rio Capella Jadi Tersangka di KPK”. http://news.metrotvnews.com/read/2015/10/15/180490/patrice-rio-capella-jadi-tersangka-di-kpk. Diunduh pada 17 Desember 2015.

Nay. “Melanggar UU Parpol, Golkar Digugat untuk Bubar”. http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol2806/melanggar-uu-parpol-golkar-digugat-untuk-bubar. Diunduh pada 2 Desember 2015.

Universitas Indonesia

133

“Nazaruddin: Dana Kongres Demokrat Berasal dari APBN”. http://www.gresnews.com/berita/politik/113209-nazaruddin-dana-kongres-demokrat-berasal-dari-apbn/0/. Diunduh pada 18 Desember 2015.

Novita, Ambaranie Nadia Kemala. “Hukuman Anas Urbaningrum Jadi 14 Tahun, Bayar Rp 57 M, dan Hak Dipilih Dicabut”. http://nasional.kompas.com/read/2015/06/08/20072581/Hukuman.Anas.Urbaningrum.Jadi.14.Tahun.Bayar.Rp.57.M.dan.Hak.Dipilih.Dicabut. Diunduh pada 17 Desember 2015.

Paraqbueq, Rusman. “Anas Resmi Tersangka Kasus Suap”, http://nasional.tempo.co/read/news/2013/02/22/063463066/anas-resmi-tersangka-kasus-suap. Diunduh pada 29 November 2015.

“Partai Politik”. https://id.wikipedia.org/wiki/Partai_politik. Diunduh pada 28 November 2015.

“Pembubaran Partai Murba”.http://majalengkanews.com/pembubaran-partai-murba/. Diunduh pada 1 Desember 2015.

“Pemerintah dan Partai Berhaluan Kiri Adu Argumen Soal Pembubaran Partai”. http://world.kbs.co.kr/indonesian/news/news_Po_detail.htm?No=34833. Diunduh pada 3 Desember 2015.

“Pengertian Kedaulatan Rakyat”. http://www.pengertianahli.com/2013/09/pengertian-kedaulatan-rakyat.html. Diunduh pada 5 Oktober 2015.

Pildes, Richard H. “The Constitutionalization of Democratic Politics – The Supreme Court, 2003 Term” http://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=669068. Diunduh pada 28 September 2015.

Qodir, Abdul. “Politisi Demokrat Amrun Daulay Divonis Penjara 17 Bulan”. http://www.tribunnews.com/nasional/2012/01/12/politisi-demokrat-amrun-daulay-divonis-penjara-17-bulan. Diunduh pada 17 Desember 2015.

Rastika, Icha. “KPK Tetapkan Andi Mallarangeng Tersangka Hambalang”. http://nasional.kompas.com/read/2012/12/06/19065844/KPK.Tetapkan.Andi.Mallarangeng.Tersangka.Hambalang. Diunduh pada 29 November 2015.

“Sejarah Lengkap Sarekat Islam”. http://www.markijar.com/2015/06/sejarah-lengkap-sarekat-islam-si.html. Diunduh pada 25 November 2015.

Setiawan, Deni Eko dan Evi Ernasari. “Perkembangan Partai Politik di Indonesia Sejak Masa Pra Kemerdekaan Hingga Pemerintahan Orde Lama”. http://eviernasari23.blogspot.co.id/2015/04/sejarah-politik.html. Diunduh pada 26 November 2015.

Siregar, Zulhidayat. “Data Dari Andi Arief, Golkar Paling Korup dan PKS DI Urutan Buncit”. http://www.rmol.co/read/2014/03/10/146788/Data-dari-Andi-Arief,-Golkar-Paling-Korup-dan-PKS-di-Urutan-Buncit-. Diunduh pada 17 Desember 2015.

Taufik, Mohamad. “Ini Kronologi Kasus Yang Menjerat Ratu Atut”, http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-kronologi-kasus-yang-menjerat-ratu-atut.html. Diunduh pada 17 Desember 2015.

Universitas Indonesia

134

Thoreau, Henry David. “Civil Disobedience”. http://xroads.virginia.edu/~hyper2/thoreau/civil.html. Diunduh pada 25 Desember 2015.

TRA. “Gugatan Pembubaran Golkar Disidangkan”. http://www.library.ohiou.edu/indopubs/2001/06/01/0064.html. Diunduh pada 2 Desember 2015.

U.S Department of State’s Bureau of International Information Programs. “Defining Democracy”. http://www.ait.org.tw/infousa/zhtw/docs/whatsdem/whatdm2.htm. Diunduh pada 30 September 2015.

Waluyo, Andylala. “Mahkamah Agung Vonis Nazaruddin 7 Tahun Penjara”. http://www.voaindonesia.com/content/mahkamah-agung-vonis-nazaruddin-7-tahun-penjara/1589218.html. Diunduh pada 17 Desember 2015.

YYT. “Demonstrasi Menuntut Golkar Dibubarkan Semakin Marak”. http://news.liputan6.com/read/7593/demonstrasi-menuntut-golkar-dibubarkan-semakin-marak. Diunduh pada 2 Desember 2015.

Zuniar, Robiatuz. “Sarekat Dagang Islam (Sejarah dan Perkembangannya)”. https://www.academia.edu/15287869/Sarekat_Dagang_Islam_Sejarah_dan_Perkembangannya_. Diunduh pada 27 November 2015.

Universitas Indonesia


Recommended