+ All Categories
Home > Documents > Small Project Penepungan Jagung

Small Project Penepungan Jagung

Date post: 13-May-2023
Category:
Upload: unej
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
25
1 BAB 1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Tanaman jagung merupakan komoditas pangan terpenting kedua setelah padi. Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ternak. Jagung mengandung senyawa karbohidrat, lemak, protein, mineral, air, dan vitamin. Fungsi zat gizi yang terkandung di dalamnya dapat memberi energi, membentuk jaringan, pengatur fungsi, dan reaksi biokimia di dalam tubuh. Semua bagian tanaman jagung dapat dimanfaatkan. Penepungan (milling) adalah cara pengolahan biji-bijian atau daging buah kering yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk. Misalnya tepung beras, tepung tapioka, tepung maizena, tepung terigu, sagu, dan beras ketan. Dengan adanya pemrosesan penepungan maka butiran-butiran tepung yang sangat halus, permukaan bidangnya menjadi sangat lebar. Pada dasarnya penepungan itu sendiri juga menyebabkan bahan menjadi bersifat higroskopis, yaitu bahan halus mudah sekali menjadi lembab karena sangat mudah menyerap uap air. Namun keuntungan dari penepungan yang paling tampak adalah aroma dan cita rasa bahan yang ditepungkan menjadi sangat mencolok (Sugito dkk,1995). Pembuatan tepung atau bubuk bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan bahan yang bersifat fisik maupun kualitatif (mutu). Berkurangnya kualitas merupakan bentuk kerusakan yang harus dihindari, namun dalam kenyataannya dua bentuk kerusakan ini saling berkait dan sering mempengaruhi sehingga akan membentuk kerusakan tepung yang lebih serius. Seperti biji-bijian, tepung dan bubuk berada dalam keadaan telah kering sempurna, sesudah digiling dengan mesin penepungan (milling). Tanda bentuk bahan telah kering yaitu antara butir tepung atau bubuk halus satu dengan yang lainnya tidak saling lengkap (menempel), tetapi saling lepas. Tepung yang masih basah biasanya butiran halusnya saling berlekatan sehingga membentuk agregat (gumpalan) yang lebih besar dan mengelompok (Purwanto, 1995). Oleh karena itu perlu dilakukan suatu penelitian tentang penepungan jagung secara basah dengan beberapa variasi perendaman sehingga diperoleh tepung jagung dengan kualitas baik. 1.2 Permasalahan Jagung merupakan salah satu pengganti kebutuhan pokok masyarakat Indonesia. Namun, masyarakat luas memiliki tingkat pemahaman yang cukup rendah
Transcript

1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tanaman jagung merupakan komoditas pangan terpenting kedua setelah padi.

Tanaman jagung sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia dan ternak. Jagung

mengandung senyawa karbohidrat, lemak, protein, mineral, air, dan vitamin. Fungsi zat

gizi yang terkandung di dalamnya dapat memberi energi, membentuk jaringan,

pengatur fungsi, dan reaksi biokimia di dalam tubuh. Semua bagian tanaman jagung

dapat dimanfaatkan.

Penepungan (milling) adalah cara pengolahan biji-bijian atau daging buah kering

yang dihaluskan sehingga menjadi tepung atau bubuk. Misalnya tepung beras, tepung

tapioka, tepung maizena, tepung terigu, sagu, dan beras ketan. Dengan adanya

pemrosesan penepungan maka butiran-butiran tepung yang sangat halus, permukaan

bidangnya menjadi sangat lebar. Pada dasarnya penepungan itu sendiri juga

menyebabkan bahan menjadi bersifat higroskopis, yaitu bahan halus mudah sekali

menjadi lembab karena sangat mudah menyerap uap air. Namun keuntungan dari

penepungan yang paling tampak adalah aroma dan cita rasa bahan yang ditepungkan

menjadi sangat mencolok (Sugito dkk,1995).

Pembuatan tepung atau bubuk bertujuan untuk mencegah timbulnya kerusakan

bahan yang bersifat fisik maupun kualitatif (mutu). Berkurangnya kualitas merupakan

bentuk kerusakan yang harus dihindari, namun dalam kenyataannya dua bentuk

kerusakan ini saling berkait dan sering mempengaruhi sehingga akan membentuk

kerusakan tepung yang lebih serius. Seperti biji-bijian, tepung dan bubuk berada dalam

keadaan telah kering sempurna, sesudah digiling dengan mesin penepungan (milling).

Tanda bentuk bahan telah kering yaitu antara butir tepung atau bubuk halus satu

dengan yang lainnya tidak saling lengkap (menempel), tetapi saling lepas. Tepung

yang masih basah biasanya butiran halusnya saling berlekatan sehingga membentuk

agregat (gumpalan) yang lebih besar dan mengelompok (Purwanto, 1995). Oleh

karena itu perlu dilakukan suatu penelitian tentang penepungan jagung secara basah

dengan beberapa variasi perendaman sehingga diperoleh tepung jagung dengan

kualitas baik.

1.2 Permasalahan

Jagung merupakan salah satu pengganti kebutuhan pokok masyarakat

Indonesia. Namun, masyarakat luas memiliki tingkat pemahaman yang cukup rendah

2

akan manfaat dan kandungan gizi dari jagung. Hal itu sangat disayangkan sehingga

perlu adanya inovasi maupun modifikasi untuk menghasilkan produk dari olahan

jagung. Salah satu bentuk produk olahan jagung yang sudah berkembang adalah

tepung jagung. Oleh karena itu, dilakukan penelitian pembuatan tepung jagung.

Dalam proses pembuatan tepung jagung memerlukan tahapan-tahapan tertentu

serta variasi perendaman yang akan mempengaruhi kualitasnya. Variasi perendaman

dilakukan mengunakan pelarut yang berbeda. Pelarut berbeda yang digunakan akan

mempengaruhi terutama derajat keputihan tepung jagung. Oleh karena itu, penelitian

pembuatan tepung jagung dilakukan dengan memodifikasi perlakuan penepungan

basah menggunakan perendam yang berbeda sehingga akan diketahui cara

memperoleh tepung jagung dengan kualitas baik.

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dilakukan penelitian tentang penepungan jagung yaitu:

1. Mengetahui cara pembuatan tepung jagung.

2. Mengetahui perbedaan karakteristik fisik tepung jagung dengan menggunakan

teknologi penepungan secara basah dengan variasi perendaman

menggunakan natrium metabisulfit dan air beras terfermentasi.

1.4 Luaran

Dalam penelitian ini diharapkan akan menghasilkan tepung jagung yang memiliki

kualitas baik berdasarkan karakteristik fisik berupa rendemen, derajat keputihan,

viskositas dan suhu gelatinisasi serta densitas.

1.5 Manfaat

Manfaat pada penelitian tentang penepungan jagung yaitu:

1. Memberikan pengetahuan tentang cara pembuatan tepung beras yang

berkualitas baik.

2. Mengetahui perubahan yang terjadi pada tepung jagung setelah dilakukan

perendaman terutama karakteristik tepung jagung yang meliputi rendemen,

derajat keputihan, viskositas dan suhu gelatinitasi serta densitas.

3

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Jagung

Jagung merupakan bahan pangan yang berperan penting dalam perekonomian

Indonesia dan pangan tradisional atau makanan pokok di beberapa daerah.

Kandungan gizi jagung tidak kalah dengan beras atau terigu, bahkan jagung memiliki

keunggulan karena merupakan pangan fungsional dengan kandungan serat pangan,

unsur Fe dan beta-karoten (pro vitamin A) yang tinggi (Suarni, 2001).

Rukmana (1997) menyatakan dalam sistematika (taksonomi) tumbuhan,

kedudukan tanaman jagung dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

Kingdom : Plantae

Devisi : Spermatophyta

Subdivisi : Angiospermae

Kelas : Monocotyledonae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae

Genus : Zea

Spesies : Zea mays

Jagung dalam sistematika tanaman termasuk dalam golongan Spermatophyta,

kelas Monocotyledon, ordo Graminae, familia Graminaceae, genus Zea. Nama latin

jagung adalah Zea mays L. Jagung merupakan tanaman penting kedua setelah padi

dan hampir terdapat di seluruh kepulauan di Indonesia. Tanaman jagung relatif mudah

dibudidayakan dan dapat tumbuh di semua jenis tanah kecuali tanah liat dan pasir.

Berdasarkan warna bijinya, jagung dibedakan menjadi dua macam yaitu jagung kuning

dan jagung putih. Kedua jagung ini mempunyai nilai gizi yang relatif sama

Menurut Koswara (2009) bahwa jagung mempunyai beberapa subspecies yang

dibedakan menjadi tujuh jenis yaitu:

1. Soft Corn (Zea mays amylacea). Jagung ini disebut juga jagung tepung. Biji jagung

ini hampir seluruhnya mengandung pati yang lunak.

2. Pod Corn (Zea mays tunicate). Jagung ini mempunyai kulit yang menutupi bijinya,

yang tidak terdapat pada jagung jenis lain. Dengan demikian maka jagung ini

menjadi tahan lama dan daya kecambahnya tetap baik.

3. Pop corn ( Zea mays everata). Pop corn atau jagung berondong mempunyai biji

berbentuk agak runcing, kecil dan keras, berwarna kuning, atau putih. Kalau

dibakar bijinya meletus. Tongkol jagung ini umumnya berukuran kecil.

4

4. Flint corn (Zea mays indurate). Flint corn atau jagung mutiara memiliki ukuran biji

sedang. Bagian atas biji jagung berbentuk bulat dan tidak berlekuk, serta hampir

seluruhnya mengandung lapisan tepung yang keras. Biji jagung berwarna putih,

kuning atau merah. Jagung ini agak tahan terhadap serangan hama bubuk,

sehingga lebih tahan kalau disimpan.

5. Dent corn (Zea mays indentata). Dent corn disebut juga jagung gigi kuda, karena

bentuknya seperti gigi kuda. Biji jagung jenis ini mempunyai lekukan pada bagian

atas. Lekukan ini terjadi karena pengerutan lapisan tepung yang lunak ketika biji

mengering.

6. Sweet Corn (Zea mays sacharata). Sweet corn atau jagung manis mempunyai

rasa yang manis dan bila dikeringkan bijinya menjadi keriput. Jagung jenis ini

sering dipanen waktu masih muda untuk direbus atau dibakar.

7. Waxy corn (Zea mays ceratina). Waxy corn memiliki biji yang menyerupai lilin.

Molekul pati jagung jenis ini berbeda dari molekul pati jenis lain. Pati waxy corn

mirip glikogen dan msenyerupai tepung tapioka.

Komposisi kimia jagung bervariasi tergantung jenis atau varietas jagung,

keadaan tana dan iklim. Pada umumnya komposisi kimianya adalah protein, lemak,

karbohidrat dan abu (Tabel 1).

Tabel 1. Komposisi kimia biji jagung

Komposisi kimia Jumlah (%)

Air 13.5

Protein 10.0

Lemak/Minyak 4.0

Karbohidrat

Pati

Gula

Pentosan

Serat kasar

61.0

1.4

6.0

2.3

Abu 1.4

Sumber: Koswara (2009)

2.2 Natrium Metabisulfit (Na2S2O5)

Natrium metabisulfit merupakan bahan tambahan yang sering digunakan dalam

pengolahan pangan yang berfungsi sebagai pemutih bahan pangan digunakan untuk

mencegah kerusakan karena reaksi browning yang enzimatis serta bekerja sebagai zat

5

antioksidan (Winarno, 1993). Pemakaiannya dalam pengolahan bahan pangan

bertujuan untuk mencegah proses pencoklatan serta untuk mempertahankan warna

bahan agar tetap menarik (Margono, Suryati dan Hartinah, 1993).

Sulfit digunakan dalam bentuk gas SO2, garam Na atau K-sulfit, bisulfit dan

metabisulfit. Bentuk efektifnya sebagai pengawet adalah asam sulfit yang tak

terdisosiasi dan terutama terbentuk pada pH dibawah 3. Selain sebagai pengawet,

sulfit dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi itu akan mengikat

melanoid sehingga mencegah timbulny warna coklat. Sulfur dioksida juga dapat

berfungsi sebagai antioksidan (Syarief dan Irawati, 1988).

Molekul sulfit lebih mudah menembus dinding sel mikroba bereaksi dengan

asetaldehid membentuk senyawa yang tidak dapat difermentasi oleh enzim mikroba,

mereduksi ikatan disulfide enzim, dan bereaksi dengan keton membentuk hidroksi

sulfonat yang dapat menghambat mekanisme pernapasan (Cahyadi, 2006).

Banyaknya SO2 yang ditambahkan ke makanan bersifat membatasi sendiri

karena pada konsentrasi sekitar 500 ppm, produk menimbulkan bau dan rasa

menyimpang yang tidak menyenangkan. Penggunaan SO2 tidak diizinkan dalam

makanan yang mengandung thiamin dalam jumlah yang berarti, karena vitamin ini

dirusak oleh SO2. SO2 dipakai juga secara luas dalam buah kering, yang

konsentrasinya mencapai 2000 ppm. Pemakaian lain ialah dalam sayur kering dan

produk kentang kering. Karena SO2 bersifat atsiri dan mudah hilang ke atmosfer,

konsentrasi residu akan jauh lebih rendah daripada jumlah yang dipakai semula

(deMan, 1997).

Natrium metabisulfit berbentuk serbuk, berwarna putih, larut dalam air, sedikit

larut dalam alkohol dan berbau khas seperti gas sulfur dioksida, mempunyai rasa asam

dan asin. (Chichester dan Tanner, 1975). Batas maksimum penggunaan Na-

metabisulfit yang dapat digunakan dalam pengolahan bahan makanan menurut

Departemen Kesehatan RI adalah 2 g/kg berat bahan. FDA menyarankan maksimum

penggunaan sulfit pada level konsentrasi 2000 ppm (Desrosier, 1988).

2.3 Air Beras (Air Cucian Beras)

Air leri merupakan air cucian beras. Air leri merupakan salah satu sumber energi

karbohidrat berupa pati yang kadarnya bisa mencapai 85-90%. Selain itu terdapat zat

lain seperti protein, pentosa, selulosa, hemiselulosa dan gula. Selain karbohidrat, air

cucian beras juga mengandung vitamin B1, fosfor, dan nitrogen (M. Nur Chamsyah

dan Yoga Adesca, 2012).

6

Vitamin B1 atau Thiamin HCl mempunyai sifat larut dalam air dan akan hilang

atau berkurang selama proses pencucian beras berulang kali dan terlalu lama.

Sehingga vitamin B1 atau Thiamin HCl pada beras sebagian larut dalam air cucian

beras tersebut. Secara tidak langsung air leri banyak mengandung zat gizi seperti

kandungan yang terdapat pada beras pecah kulit. Parahnya, Kebiasaan para ibu

rumah tangga mencuci beras dengan tujuan membersihkan beras dari kotoran. Namun

yang mengejutkan adalah pencucian tersebut dilakukan sampai benar-benar "bersih"

dimana pencucian dilakukan sampai air cucian beras berwarna putih susu. (Stiyabudi

dkk, 2009).

Jenis karbohidrat dalam air leri berupa pati. Pati umumnya akan terbentuk dari

dua polimer molekul glukosa yaitu amilosa (amylose) dan amilopektin (amylopectin).

Amilosa memiliki struktur linier, dengan berat molekul sekitar 30.000-1 juta, namun

yang umum memiliki berat molekul 200.000-300.000. Perbedaannya dengan selulosa

ada pada ikatan glikosidanya, amilosa merupakan polimer linier dari á-D

glukopiranosa, sedangkan selulosa dari â-D-glukopiranosa (Fessenden dan

Fessenden, 1986).

Amilopektin memiliki struktur bercabang melalui karbon 6 dan memiliki berat

molekul di atas 1 juta. Amilopektin terdiri dari 20-25 unit glukosa yang terikat pada

karbon 1 dan 4, sebagaimana dalam amilosa, tetapi dengan rantai-rantai yang

tersambungkan satu sama lain melalui ikatan 1,6 (Stevens, 2007).

2.4 Proses Penepungan Jagung

2.4.1 Proses Penepungan Beras Secara Basah

Metode lain untuk menghasilkan tepung selain dengan cara kering yaitu

dengan cara basah tanpa penambahan enzim, sehingga proses fermentasi

berlangsung secara alami (Wahyuningsih dan Haslina, 2011). Selama

perendaman, proses fermentasi dibantu oleh beberapa jenis bakteri penghasil

asam laktat seperti Lactobacillus plantarum, Candida crusei, dan Lactobacillus

delbruecki (Ohenhen and Ikenbomeh 2007). Penggunaan kapang dan bahan lain

pada konsentrasi dan lama perendaman tertentu akan mempengaruhi kecepatan

proses fermentasi dan kuaitas produk akhir baik dari segi rasa maupun gizi (Arief

dkk, 2014)

7

2.5 Standar Kualitas Tepung Jagung

Berikut ini merupakan syarat mutu tepung jagung standar berdasarkan SNI

(Standart Nasional Indonesia) 01-3727-1995 (Tabel 2).

Tabel 2. Syarat mutu tepung jagung

No Kriteria Uji Satuan Persyaratan

1 Keadaan

1.1 Bau - Normal

1.2 Rasa - Normal

1.3 Warna - Normal

2 Benda-benda asing - Tidak boleh ada

3 Serangga dalam bentuk

stadia dan potongan-

potongan

- Tidak boleh ada

4 Jenis pati lain selain pati

jagung

- Tidak boleh ada

5 Kehalusan

5.1 Lolos ayakan 80 mesh % Min. 70

5.2 Lolos ayakan 60 mesh % Min. 99

6 Air % b/b Maks. 10

7 Abu % b/b Maks. 1.5

8 Silikat % b/b Maks. 0.1

9 Serat kasar % b/b Maks. 1.5

10 Derajat asam ml N NaOH/ 100 gr Maks 4.0

11 Cemaran logam

11.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1.0

11.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10.0

11.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40.0

11.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0.05

12 Cemaran Arsen (As) mg/kg Maks. 0.5

13 Cemaran mikroba

13.1 Angka lempeng total Koloni/gr Maks. 5 x 106

13.2 E. Coli APM/gr Maks. 10

13.3 Kapang Koloni/gr Maks. 104

Sumber: Badan Standarisasi Nasional (1995)

8

BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu

Kegiatan ini akan dilaksanakaan di Laboratorium Rekayasa Proses Hasil

Pertanian, Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Fakultas Teknologi Hasil Pertanian

Universitas Jember sebagai lokasi observasi. Waktu penelitian diharapkan dimulai

pada tanggal 04 Juni 2015 atau menyesuaikan.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian yaitu: Oven, baskom,

penggilingan (blender), ayakan 60 mesh, color reader, loyang, neraca analitik,

gelas ukur, spatula, dan sendok.

3.2.2 Bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian yaitu: Jagung pipil, air beras

terfermentasi, natrium metabisulfit, air, kertas label, plastik.

3.3 Rancangan Kerja

Pencarian Referensi

Pembuatan Proposal

Diskusi dan Konsultasi

Presentasi Proposal

Pembelian Bahan

Pembuatan Tepung Jagung

Pengamatan dan Pengujian

Pembuatan Laporan

Gambar 1. Rancangan kerja penelitian

9

Tabel 3. Rancangan kerja penelitian

No Hari/Tanggal Kegiatan Pelaksanaan Keterangan

1. Selasa, 28 April 2015

Diskusi Kelompok

- Pengajuan dan penyetujuan Judul

Proposal

Senin, 04 Mei 2015

Diskusi Kelompok Semua Anggota

Penyusunan Proposal

Selasa, 05 Mei 2015

Revisi Proposal Asisten -

Kamis, 21 Mei 2015

Diskusi Kelompok Semua Anggota

Pembahasan Proposal untuk dipresentasikan dan pembagian

tugas

2. Jumat, 22 Mei 2015

Presentasi Proposal

Semua Anggota

-

Pengumpulan Proposal untuk

direvisi

Asisten -

3. Kamis-Jumat, 04-05 Juni

2015

Pembuatan Tepung Jagung dan pengujian terhadap sifat fisik tepung

jagung

Semua Anggota

-

4. Senin, 08 Juni 2015

Diskusi Kelompok Semua Anggota

Penyusunan Small Project (menyusun hasil pengamatan dan analisa data)

5. Kamis, 11 Juni 2015

Revisi Laporan Small Project

Asisten -

6. Senin, 15 Juni 2015

Diskusi Kelompok Semua Anggota

Penyusunan laporan akhir small

project

7. Selasa, 15 Juni 2015

Presentasi PPT Laporan Small

project

Semua Anggota

-

10

3.4 Skema Kerja

3.4.1 Pembuatan Tepung

Gambar 2. Proses pembuatan tepung jagung

Jagung Pipil

500 gram

Perendaman dengan

Natrium Metabisulfit

konsentrasi 4%, 8% dan

12%; 4 jam

Perendaman dengan

Air beras

terfermentasi; 24 jam

Penirisan 30 menit

Pengovenan 60°C,

120 menit

Penggilingan dengan blender

Pengayakan 60 mesh

mesh

Tepung Jagung

Diamati :

Rendemen

Derajat Keputihan

Densitas

11

3.4.2 Perhitungan Rendemen

Gambar 3. Pengukuran rendemen tepung jagung

3.4.3 Pengukuran Derajat keputihan

Gambar 4. Pengukuran derajat keputihan tepung jagung

200 gram jagung 200 gram jagung

Perendaman dengan air

leri selama 24 jam

Perendaman dengan

natrium metabisulfit 4%,

8% dan 12% selama 4 jam

Penirisan 30 menit

Pengovenan 60°C, 120 menit

Penggilingan dengan blender

Pengayakan 60 mesh

mesh

Penimbangan tepung jagung

Penghitungan rendemen

200 gram jagung 200 gram jagung

Perendaman dengan air

leri selama 24 jam

Perendaman dengan

natrium metabisulfit 4%,

8% dan 12% selama 4 jam

Pengukuran derajat warna dengan colour reader

Catat dan bandingkan

12

3.4.4 Perhitungan Densitas

Gambar 5. Perhitungan densitas tepung jagung

3.5 Parameter Pengamatan

Parameter yang diamati dalam penelitian ini meliputi:

1. Rendemen

2. Derajat Keputihan

3. Densitas

200 gram jagung 200 gram jagung

Perendaman dengan air

leri selama 24 jam

Perendaman dengan

natrium metabisulfit 4%,

8% dan 12% selama 4 jam

Penirisan 30 menit

Pengovenan 60°C,

120 menit

Penggilingan dengan blender

Pengayakan 60 mesh

mesh

Penimbangan tepung jagung

Pengukuran volume tepung

jagung dengan gelas ukur

Perhitungan densitas

menggunakan rumus

13

3.6 Prosedur Analisa

3.6.3 Rendemen

Salah satu pengamatan sifat fisik pada tepung jagung adalah pengujian

rendemen. Rendemen merupakan perbandingan berat produk yang diperoleh

terhadap berat bahan baku yang digunakan. Cara pengukuran dilakukan dengan

menimbang berat bahan baku serta berat produk (berat kering bahan). Sehingga

dapat diketahui nilai efisiensi dari proses pengolahan (jumlah tepung yang

dihasilkan dari bahan dasar).

3.6.4 Derajat keputihan (Warna)

Salah satu pengamatan sifat fisik pada tepung jagung adalah pengujian

pada warna (derajat keputihan). Pengujian warna diukur menggunakan color

reader. Menurut Fardiaz (1992). Intensitas warna sampel di tunjukkan oleh angka

yang terbaca pada colour reader. Pengukuran dilakukan terhadap sample dari

tiap perlakuan, kemudian di lakukan perhitungan rata-rata dari data yang di

peroleh. Terlebih dahulu di pastikan bahwa cahaya sudah terang. Pengukuran ini

menghasilkan tingkat kecerahan yang ditunjukkan denga nilai L yang berkisar 0-

100 yaitu antara hitam sampai putih.

3.6.5 Densitas

Salah satu pengamatan sifat fisik pada tepung jagung adalah pengujian nilai

densitas kamba. Densitas dihitung dari perbandingan berat sampel (tepung

jagung) dengan volume yang terbaca pada gelas ukur. Cara pengukuran

dilakukan menggunakan gelas ukur. Sampel yang akan diukur ditimbang sesuai

takaran, kemudian dimasukkan dalam gelas ukur dengan volume tertentu.

Setelah itu, dibaca volume setelah pemasukan sampel.

14

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Rendemen

Menurut Meyer (1973) dalam Pengkey (1991) menyatakan bila cairan antar sel

berupa air atau suatu larutan berkonsentrasi lebih rendah dari konsentrasi disekitarnya

maka larutan disekitar sel akan masuk ke dalam sel hingga terjadi keseimbangan dan

biji mengembang sehingga biji mejadi lunak. Hal ini memudahkan proses

penghancuran biji sehingga dihasilkan tepung yang lebih banyak. Sehingga nilai

rendemen akan semakin meningkat.

Gambar 6. Nilai Rendemen Tepung Jagung dengan Perlakuan yang Berbeda

Berdasarkan gambar 6 yang diperoleh dari pengamatan untuk perlakuan

perendaman menggunakan natrium metabisulfit dengan variasi konsentrasi 4%, 8%

dan 12% menunjukkan semakin tinggi pemberian konsentrasi maka nilai rendemen

menjadi menurun yaitu secara berurutan 25.65%, 24.13%, dan 23.13%. Berdasarkan

hasil uji analisis ragam menunjukkan bahwa faktor perlakuan konsentrasi natrium

metabisulfit tidak berbeda nyata terhadap rendemen tepung (Choirunisa dkk, 2014).

Namun pada perlakuan ini terjadi penyimpangan karena tidak sesuai dengan

pernyataan beberapa ahli. Menurut Rahman (2007) bahwa semakin tinggi konsentrasi

natrium metabisulfit maka kandungan mineral Na dan S pada bahan semakin banyak,

sehingga rendemen semakin meningkat.

Namun dibandingkan dengan perlakuan perendaman menggunakan air beras

terfermentasi menunjukkan nilai rendemennya lebih tinggi yaitu 30.68% daripada

perlakuan perendaman menggunakan natrium metabisulfit. Hal ini disebabkan karena

pada proses fermentasi terjadi proses pemecahan pati oleh aktivitas enzim dari

15

mikroba menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Pecahnya pati menjadi gula-gula

yang lebih sederhana meningkatkan jumlah komponen yang semakin mudah larut air

menjadi semakin besar. Semakin banyak pati yang dipecah oleh mikroba, tekstur

beras akan semakin lunak atau mudah pecah yang dapat memudahkan proses

penggilingan dan pengayakan sehingga hasil rendemen dari tepung jagung akan

meningkat. Selain itu, menurut Suarni dan Firmansyah (2005) menyatakan pada saat

perendaman akan terjadi fermentasi alami spontan yang mengakibatkan rendemen

tepung tinggi. Namun, kedua perlakuan ini menunjukkan nilai yang hampir sama

secara signifikan, karena sama-sama menggunakan metode perendaman basah. Yang

berbeda hanya pada perlakuan fermentasi.

4.2 Derajat Keputihan (L)

Penambahan natrium metabisulfit berfungsi sebagai pemutih bahan pangan

yang digunakan untuk mencegah kerusakan karena reaksi browning yang enzimatis

serta bekerja sebagai antioksidan (Winarno, 1993). Penambahan natrium metabisulfit

harus sesuai standar yang diterapkan BPOM No 36 2013 yaitu tidak melebihi 200 mg -

1 gr/kg untuk produk pangan. Jika melebihi batas maksimum menyebabkan alergi.

Gambar 7. Nilai Derajat Keputihan Tepung Jagung dengan Perlakuan yang Berbeda

Berdasarkan gambar 7 diperoleh data bahwa semakin tinggi konsentrasi

penambahan natrium metabisulfit menyebakan nilai derajat putih (L) meningkat.

Secara berurutan dari konsentasi 4%, 8% dan 12% sebesar 58.7, 58.8 dan 59.2. Hal

ini sesuai menurut Nastiti dkk (2014) bahwa warna coklat pada tepung akan teratasi

dengan penambahan larutan natrium metabisulfit yang dianjurkan untuk produk

16

pangan, semakin tinggi konsentrasi natrium metabisulfit maka nilai derajat putih

semakin tinggi. Menurut Syarief dan Irawati, (1998), selain sebagai pengawet, sulfit

dapat berinteraksi dengan gugus karbonil. Hasil reaksi ini akan mengikat melanoida

sehingga mencegah timbulnya warna coklat.

Namun dibandingkan dengan perlakuan perendaman menggunakan air beras

terfermentasi menunjukkan nilai derajat putihnya semakin meningkat sebesar 59.8

daripada perlakuan perendaman menggunakan natrium metabisulfit. Hal itu

dikarenakan pada saat perendaman menggunakan air beras terfermentasi jagung akan

bercampur dengan warna putih pada air beras terfermentasi. Didukung oleh

pernyataan Winangun (2007) bahwa peningkatan nilai warna disebabkan karena

proses fermentasi menghilangkan komponen pembentuk warna coklat ketika

pengeringan, sehingga warna yang dihasilkan lebih putih. Semakin lama fermentasi

maka proses browning semakin terhambat yang mengakibatkan terhambatnya reaksi

pencoklatan non enzimatis (Fardiaz, 1992).

4.3 Densitas

Pengukuran densitas dilakukan dengan pengukuran antara massa dan volume

pada setiap bahan yang telah dilakukan pengayakan menggunakan 80 mesh. Bahan

yang telah dialakukan pengukuran kemudian dilakukan perhitungan dengan massa

dibagi dengan volume.

Gambar 8. Nilai Densitas Tepung Jagung dengan Perlakuan yang Berbeda

Berdasarkan gambar 8 diperoleh data bahwa perbedaan perlakuan tidak

berpengaruh cukup besar terhadap hasil nilai densitas pada tepung jagung.

Didapatkan densitas tepung jagung untuk pelakuan perendaman natrium metabisulfit

4%, 8% dan 12% sebesar 579 kg/m3, 524 kg/m3 dan 500.1 kg/m3. Sedangkan untuk

17

perlakuan perendaman air beras terfermentasi didapatkan nilai densitasnya sebesar

479.37 kg/m3. Namun untuk perlakuan perendaman air beras menunjukkan nilai

densitas lebih rendah dibandingkan dengan perendaman natrium metabisulfit. Hal itu

menurut Villareal dan Juliano (1987) dalam Santoso dkk (2005) menyatakan pada

dasarnya densitas kamba ditentukan oleh pengembangan volume, semakin besar

pengembangan dalam proses, maka semakin tinggi nilai densitas kambanya.

Densitas kamba tergantung pada kadar pati yang mempengaruhi produk tepung

instan selama proses.

Namun jika dibandingkan dengan literatur bahwa densitas tepung jagung

sebesar 627 g/l atau 627 kg/m3 dan berbeda jauh dengan hasil pengamatan. Hal itu

dikarenakan akibat perlakuan pengayakan pada jagung yang hanya dilakukan dalam

satu kali pengayakan, sehingga perhitungannya ditentukan berdasarkan hasil

pengayakan tanpa pengulangan. Hal ini menyebabkan densitasnya berbeda karena

dipengaruhi oleh berat dan volume yang melewati mesh.

18

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Nilai rendemen tepung jagung dengan perlakuan perendaman menggunakan

air beras terfermentasi lebih tinggi dari pada perlakuan perendaman

menggunakan natrium metabisulfit.

2. Nilai derajat putih tepung jagung dengan perlakuan perendaman

menggunakan air beras fermentasi lebih tinggi dari pada perlakuan

perendaman menggunakan natrium metabisulfit.

3. Nilai densitas tepung jagung dengan perlakuan perendaman menggunakan air

beras terfermentasi lebih rendah dari pada perlakuan menggunakan natrium

natrium metabisulfit.

5.2 Saran

Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, untuk penelitian kedepan

diharapkan lebih jelas dalam pembagian penggunaan laboratorium untuk penelitian

serta ketersediaan alat juga lebih ditingkatkan untuk memudahkan dalam melakukan

penelitian dan analisa produk.

19

DAFTAR PUSTAKA

Arief, R.W., Yani, A., Asropi., Dewi, F. 2014. Kajian Pembuatan Tepung Jagung Dengan Proses Pengolahan Yang Berbeda. Lampung: BPTP Lampung.

Asmarajati, T. 1999. Pengaruh Blanching dan Suplementasi Bekatul Terhadap Kualitas Cookies. Skripsi. Purwokerto: Fakultas Pertanian UNSOED.

Badan Standarisasi Nasional. 1995. SNI 01-3727-1995 Tepung Jagung. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

BPOM-No 36. 2013. Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pangan Pengawet. Jakarta pp. 9.

Cahyadi, W. 2006. Bahan Tambahan Pangan. Jakarta: Bumi Aksara.

Chichester, C.E. and F.W. Tanner. 1975. Anti Microbial and Food Additives. Amsterdam: Chemical Rubber Co.

Chorunisa, R. F., Susilo, B., dan Nugroho, W. A. 2014. Pengaruh Perendaman Natrium Bisulfit (NaHSO3) dan Suhu Pengeringan terhadap Kualitas Pati Umbi Ganyong (Canna Edulis Ker). Malang: Universitas Brawijaya.

DeMan, M.J. 1997. Kimia Makanan. Penerjemah K. Padmawinata. Bandung: ITB-Press.

Departemen Kesehatan RI. 1979. Daftar Komposisi Bahan Makanan. Jakarta: Bhratara Karya Aksara.

Desrosier, Norman. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. Jakarta: UI Pers.

Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Fessenden, R. J. & Fessenden, J. S. 1986. Kimia Organik Jilid 2. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Koswara, Sutrisno. 2009. Teknologi Pengolahan Jagung (Teori dan Praktek). Bogor: Institut Teknologi Bandung Press.

Margono, T., Suryati, D., dan Hartinah, S. 1993. Buku Panduan Teknologi Pangan. Jakarta: Pusat Informasi Wanita dalam Pembangunan PDII-LIPI.

M. Nur Chamsyah dan Yoga Adesca. 2012. Buanglah Air Cucian Berasmu dengan Baik dan Benar. Diakses dari “http://environment.uii.ac.id” pada tanggal 5 Mei 2015.

Nastiti, M. A., Hendrawan, Y., dan Yulianingsih, R. 2014. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dan Suhu Pengeringan terhadap Karakteristik Tepung Ampas Tahu. Malang: Universitas Brawijaya.

Ohenhen, R.E. and M.J. Ikenbomeh. 2007. Shelf stability and enzime activity studies of ogi a corn meal fermented product. J. of American Science 3(1).

Pangkey, A. S. Pengaruh Lama Perendaman Kacang Gude (Cajanus cajan Mill sp.) dari Beberapa Varietas terhadap Rendemen dan Komposisi Kimia Tepung yang Dihasilan. Skripsi. Purwokerto: Fakultas Pertanian UNSOED.

20

Purwanto, S. 1995. Perkembangan Produksi dan Kebijakan dalam Peningkatan Produksi Jagung. Jakarta: Direktorat Budi Daya Serealia.

Rahman, F. 2007. Pengaruh Konsentrasi Natrium Metabisulfit (Na2S2O5) dan Suhu Pengeringan Terhadap Mutu Pati Biji Alpukat. Skripsi. Medan: Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

Rosmisari, A. 2006. Review: Tepung Jagung Komposit, Pembuatan dan Pengolahannya. Bogor: BPPPT.

Rukmana, Rahmat. 1997. Usaha Tani Jagung. Jogjakarta: Penerbit Kanisius.

Santoso, B.A.S., Sudaryono dan Widowati, S. 2005. Evaluasi Teknologi Tepung Instan dari Jagung Brondong dan Mutunya. Jurnal Pascapanen. Vol 2: 18-27.

Stevens, M. P. 2007. Kimia Polimer. Penerjemah Lis Sopyan. Jakarta: Pradya Paramita.

Stiyabudi, Rizky, Anggiyani R, Nuky H. 2009. Nata de Coco dari Air Cucian Beras. Yogyakarta: Penelitian Fakultas MIPA UNY.

Suarni dan I.U. Firmansyah. 2005. Potensi sorgum varietas unggul sebagai bahan pangan untuk menunjang agroindustri. Prosiding Lokakarya Nasional BPTP Lampung, Universitas Lampung. p. 541-546.

Suarni. 2001. Tepung Komposit Sorgum, Jagung, dan Beras untuk Pembuatan Kue Basah (cake). Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain. Balai Penelitian Tanaman Jagung dan Serealia, Maros. Vol 6. hlm 55-60.

Sugito, Y., Yulia W., dan Ellis W. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya Malang.

Syarief, R dan A. Irawati, 1988. Pengetahuan Bahan Pangan untuk Industri. Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa

Wahyuningsih, S,B dan Haslina. 2011. Kajian Degradasi Asam Sianida Pada Berbagai Metode Proses Pembuatan Tepung Mokal. Semarang: Universitas Semarang.

Winangun, A. 2007. Mocal - Tumpuan Ketahanan Pangan. http: //Tanimerdeka.com.

Winarno, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

21

LAMPIRAN HASIL PENGAMATAN

A. Rendemen

Perlakuan

(Perendaman)

Berat awal (gram) Berat tepung

(gram)

Natrium

Metabisulfit 4%

200 51,31

Natrium

Metabisulfit 8%

200 48,26

Natrium

Metabisulfit 12%

200 46,25

Air Beras

Terfermentasi

200 61,35

B. Derajat Keputihan

Perlakuan

(Perendaman)

Ulangan

I II III

Natrium

Metabisulfit 4%

59,1 59,7 58,9

Natrium

Metabisulfit 8%

58,8 59,1 58,6

Natrium

Metabisulfit 12%

58,8 58,3 58,9

Air Beras

Terfermentasi

59,7 60 59,7

C. Densitas

Perlakuan

(Perendaman)

Berat Tepung (gram) Volume Tepung

(ml)

Natrium

Metabisulfit 4%

51,31 98

Natrium

Metabisulfit 8%

48,26 96,5

Natrium

Metabisulfit

12%

46,25 88

Air Beras

Terfermentasi

61,36 128

22

LAMPIRAN PERHITUNGAN

A. Rendemen

Perendaman Natrium Metabisulfit 4%

Rendemen = 51.31 x 100%

200

= 25.65%

Perendaman Natrium Metabisulfit 8%

Rendemen = 48.26 x 100%

200

= 24.13%

Perendaman Natrium Metabisulfit 12%

Rendemen = 46.25 x 100%

200

= 23.13%

Perendaman Air Beras Terfermentasi

Rendemen = 61.36 x 100%

200

= 30.68%

B. Derajat Keputihan

Perendaman Natrium Metabisulfit 4%

Derajat putih = 58.8 + 58.3 + 58.9

3

= 58.7

Perendaman Natrium Metabisulfit 8%

Derajat putih = 58.8 + 59.1 + 58.6

3

= 58.8

Perendaman Natrium Metabisulfit 12%

Derajat putih = 59.1 + 59.7 + 58.9

3

= 59.2

Perendaman Air Beras Terfermentasi

Derajat putih = 59.7 + 60.0 + 59.7

3

= 59.8

Rendemen = Produk yang dihasilkan x 100% Bahan Awal

Derajat putih = x1 + x2 +x3 Ʃ

23

C. Densitas

Perendaman Natrium Metabisulfit 4%

ρ = 51.31 x 10-3

98 x 10-6

= 524 kg/m3

Perendaman Natrium Metabisulfit 8%

ρ = 48.26 x 10-3

96.5 x 10-6

= 500.1 kg/m3

Perendaman Natrium Metabisulfit 12%

ρ = 46.25 x 10-3

88 x 10-6

= 525.6 kg/m3

Perendaman Air Beras Terfermentasi

ρ = 61.36 x 10-3

128 x 10-6

= 497.37 kg/m3

ρ = massa (kg) volume (m3)

24

LAMPIRAN SUSUNAN PERSONALIA DAN ANGGARAN DANA

A. Susunan Personalia

Ketua kelompok : Dedi Kurniawan

Sekretaris : Syayyidah Faizatul Isnaini

Bendahara : Aisyah

Anggota : - M. Agung Laksono

- Dwi Hidayani

B. Anggaran Dana

No Bahan Jumlah Harga

1 Jagung pipil 1 kg Rp. 6000

2 Natrium metabisulfit 1 ons Rp. 5000

3 Plastik 1 pack Rp. 1500

4 Tissu 1 pack Rp. 2000

5 Akomodasi - Rp.10000

Total Rp. 24500

25

LAMPIRAN GAMBAR

1

Tepung Jagung dengan

Perbedaan Perlakuan

2

Penimbangan Tepung untuk

menentukan Massa serta

pengukuran densitas

3

Pengukuran volume tepung

jagung untuk menentukan

densitas tepung


Recommended