Date post: | 17-May-2023 |
Category: |
Documents |
Upload: | independent |
View: | 0 times |
Download: | 0 times |
IMAM SYAFI’I DAN METODE PEMAHAMAN HADITS MUKHTALAF
DALAM KITAB IKHTILAF AL-HADITS
Tugas Mata Kuliah: Studi Hadits
Dosen Pengampu:
1. Dr. H. Zeid B Smeer, Lc, M.A.
2. Ph.D Aunur Rofiq, Lc., M.Ag
Oleh:
ABUSTAN
NOOR INDAH KUSUMAWARDANI
PROGRAM MAGISTER STUDI ILMU AGAMA ISLAM
PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2015
1
BAB I PENDAHULUAN
Keberadaan hadits (sumber kedua Islam), disamping telah mewarnai masyarakat dalam
berbagai bidang kehidupannya, juga telah menjadi bahasan kajian yang menarik, dan tiada
henti-hentinya. Penelitian terhadap hadits baik dari segi keotentikannya, kandungan makna
dan ajaran yang terdapat didalamnya, macam-macam tingkatannya maupun fungsinya dalam
menjelaskan kandungan al-qur‟an dan lain sebagainya telah banyak dilakukan para ahli
dibidangnya. Hasil-hasil penelitian dan kajian para ahli tersebut selanjutnya, telah
didokumentasikan dan dipublikasikan baik kepada kalangan akademis di perguruan-
perguruan tinggi, bahkan madrasah maupun pada kalangan masyarakat pada umumnya. Bagi
kalangan akademis, adanya berbagai hasil penelitian hadits tersebut telah membuka peluang
untuk diwujudkannya suatu disiplin kajian Islam, yaitu bidang studi hadits.1
Hadits atau yang disebut juga dengan sunnah, sebagai sumber ajaran Islam yang berisi
pernyataan, pengamalan, pengakuan, dan hal ihwal Nabi SAW yang beredar pada masa Nabi
Muhammad SAW hingga wafatnya, disepakati sebagai sumber ajaran Islam setelah Al-
Qur‟an dan isinya menjadi hujjah (sumber otoritas) keagamaan. Oleh karena itu, umat Islam
pada masa Nabi Muhammad SAW dan pengikut jejaknya, menggunakan hadits sebagai
hujjah keagamaan yang diikuti dengan mengamalkan isinya dengan penuh semangat,
kepatuhan, dan ketulusan. Dalam praktek, disamping menjadikan Al-Qur‟an sebagai hujjah
keagamaan, mereka juga menjadikan hadits sebagai hujjah yang serupa secara seimbang,
karena keduanya sama diyakini berasal dari wahyu Allah SWT. 2
Dalam konteks yang dimaksud, hadits mereka tempatkan pada posisi yang penting
setelah Al-Qur‟an. Terhadap ayat-ayat Al-Qur‟an yang sebagian besar bersifat umum dan
garis besar, hadits selain datang untuk menjelaskan keumumannya, dan datang untuk
menafsirkannya, ia juga datang untuk melengkapi hukum yang sejalan dengan semangat al-
Qur‟an. Sehingga dipahami bahwa umat Islam pada masa Nabi memperlihatkan motivasi
yang mendalam terhadap hadits baik melalui penuturan lisan, hafalan, maupun penulisan
hadits-hadits yang naskah tertulisnya sampai ditangan kita sekarang. Jelasnya, hingga
wafatnya Nabi, keyakinan umat Islam terhadap hadits tidaklah berubah, bahkan
dikuatkannyadengan bukti-bukti pelestarian khazanah hadits.3
1 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), hlm 233
2Erfan Soebahar, Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), Hlm 3
3Erfan, “Menguak Fakta..........”, hlm 4
2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Hadits dan Penyelesaian Ikhtilaf al-Hadits
Menurut Ibn Manzhur, kata “hadits” berasal dari bahasa Arab, yaitu al-hadits,
jama‟nya al-ahadits; al-haditsan; dan al-hudtsan. Secara etimologis, kata ini
memiliki banyak arti, diantaranya al-jadid (yang baru) lawan dari al-qadim (yang
lama), dan al-khabar, yang berarti kabar atau berita.4
Menurut istilah ahli ushul fiqh, pengertian hadits secara terminologis adalah
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi SAW, selain al-qur‟an al-karim, baik
berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir Nabi yang bersangkut paut dengan hukum
syara‟. 5
Al-Hadits didefinisikan oleh pada umumnya ulama‟ seperti definisi Al-Sunnah
yaitu sebagai segala sesuatu yang dinisbatkan kepada Muhammad SAW, baik ucapan,
perbuatan, dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau
menjadi Nabi maupun sesudahnya. Ulama‟ Ushul Fiqh membatasi pengertian hadits
hanya pada “ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”;
sedangkan bila mencakup perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum,
maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah. Pengertian hadits seperti yang
dikemukakan oleh ulama‟ ushul fiqh tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari
wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan
ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Qur‟an.6
Sejauh yang kami ketahui bahwa belum ada defenisi khusus yang
disajikan oleh Imam al Syafi‟i tentang ikhtilaf al Hadits, tetapi setelah melihat
karyanya seperti al Risalah dengan berbagai tanya jawab di dalamnya dan sajian al
Umm yang menarik untuk dikaji secara mendalam, maka kami mengambil
kesimpulan bahwa hadits mukhtalif menurut Imam al Syafi‟i adalah: Hadits yang
membahas satu topik, ada perbedaan dan perselisihan makna seolah-olah maksudnya
tidak pada satu arah tujuan, tetapi dapat diselesaikan secara terbuka dengan metode
yang sesuai diterapkan pada hadits tersebut.
Mengenai penyelasaian Hadits mukhtalif yang disajikan oleh Imam al Syafi‟i,
kutipan ini adalah kutipan dari Imam al Syafi‟i:
4Agus Solahudin dkk, Ulumul Hadis, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), hlm13
5Agus Solahudin, “Ulumul Hadis”, hlm 16
6Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur‟an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm 121
3
حديثان أن يست عمال معا إستعمال معا، ومل يعطل واحد مههما األخر، كما وصفت يف أمر اهلل بقتال احتملكلما“
ملركك حح ي عطنا ااجلي 7.ادلملركك حح ييمهنا، وما أمر بى مم تال أيل االتاا مم ادل
و يف احلديث ناسخ ومهسنخ كما وصفت يف ااقبل ادلهسنخ باستقبال ادلسجد احلرام، فإذا مل حيتمل احلديثان إال
اإلختالف كما اختلفت ااقبل حنن بيت ادلقدس واابيت احلرام كان أحدمها ناسخا واألخر مهسنخا، و ال يستدل على ااهاسخ
وادلهسنخ إال خبرب عم رسنل اهلل أو بقنل أو بن ت يدل عل أن أحدمها بعد أألخر فيعلم أن األخر ين ااهاسخ، أو بقنل مم مسع
احلديث أو ااعام كما وصفت أو بنجحى أخر ال يبك فيى ااهاسخ و ادلهسنخ، و د كتبت يف كتايب، وما يهسب إىل اإلختالف مم
ومهها ما يلنن اإلختالف يف اافعل مم جه أن األمريم مباحان 8األحاديث ناسخ ومهسنخ فيصار إىل ااهاسخ دون ادلهسنخ،
كاختالف ااقيام و ااقعند وكالمها مباح، ومهها ما خيتلف ومهها ماالخيلنمم أن يلنن أحد احلديثك أشبى مبعىن كتاا اهلل أو أشبى
مبعىن سهم ااهيب صلى اهلل عليى وسلم شلا سنى احلديثك ادلختلفك أو أشبى بااقياس فأي األحاديث ادلختلف كان يذا فهن أوالمها
ومهها ما عدو بعض مم يهظر يف ااعلم سلتلفا بأن اافعل فيى اختلف أو مل خيتلف اافعل فيى إال باختالف 9عهدنا أن يصار إايى،
حلمى او اختلف اافعل فيى بأنى مباح فيملبى أن يعمل بى بأنى ااقائل بى ومهها ما جاء مجل وأخر مفسرا، واذا جعلت اامل على
وأنا تهطق باامليء مهى عاما . إنا عام عليى رويت خبالف ادلفسر، وايس يذا اختالفا إنا يذا شلا وصفت مم سع اسان ااعرا
تريد بى اخلاص ، ويذان يستعمالن معا، د أوضحت مم كل صهف مم يذا ما يدل على ما يف مثل معهاو إن شاء أهلل ومجاع
يذا أن ال يقبل إال حديث ثابت كما ال يقبل مم ااملهند إال مم عرف عداى، فإذا كان احلديث رلهنال أو مرغنبا عمم محلى
10.”كان كما مل يأت، ألنى ايس بثابت
Maksudnya: Ketika ada kandungan dua hadits menuntut agar keduanya
diamalkan secara kompromi (al Jam‟u), maka kompromikanlah keduanya, salah satu
dari kedua hadits itu tidak boleh mengalpakan hadits yang lain. Sebagaimana pada
penjelasanku; bahwa Allah menyuruh memerangi orang musyrik hingga ia beriman.
Dan Ia memerintahkan memerangi orang musyrik dari ahli kitab hingga mereka
bayar pajak.11
Dalam hadits (juga) terjadi nasikh dan mansukh, sebagaimana contoh
7Ini menunjukkan atas penyelesaian secara kompromi.
8Ini menunjukkan atas penyelesaian dengan menggunakan nasikh dan mansukh.
9Ini menunjukkan atas penyelesaian dengan cara tarjih.
10Tulisan ini dikutip dari kitab al Syafi‟i, lihat Abu Abdillah Muhammad ibn Idris al Syafi‟ i, al
Umm, (Mansoura: Dar el Wafa, 2001), hlm 1723. 11
Imam al Syafi‟i mengkompromikan kedua hadits tersebut. Sehingga dua hadits itu kelihatan
kontradiksi, hadits pertama menyuruh agar terus memerangi orang musyrik sampai ia beriman. Hadits
4
telah aku sebut tentang masalah kiblat menghadap ke Ka‟bah. Jadi apabila dua
hadits benar-benar ikhtilaf atau kontradiksi sebagaimana masalah kiblat, dari baitul
Maqdis ke masjidil Haram, niscaya salah satu dari dua hadits itu menasakhkan yang
lain, dan yang lain di mansukhkan. Hendaklah menentukan nasikh dan mansukh itu
berpedoman kepada khabar atau perkataan Rasulullah, atau berpedoman pada
historis yang menunjukkan bahwa salah satu dari dua hadits tersebut datang
belakangan dari hadits lawannya kontradiksi. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa yang datang belakangan itu menasakhkan yang datang lebih dulu. Atau
berpedoman pada perkataan seseorang atau umumnya periwayat hadits, atau
berpedoman kepada keterangan lain yang mana keterangannya tidak menjelaskan
secara jelas tentang naskh-mansukh, tetapi jika difahami dengan cermat maka disitu
ada keterangan yang menjelaskan naskh dan mansukh seperti yang telah aku sifatkan
di belakang, aku tulis dalam kitabku. Jadi apabila hadits yang sifatnya kontradiksi itu
memang cocok untuk diberlakukan untuk penyelesaiannya dengan menggunakan
nasikh dan mansukh, maka hendaklah menggunakan atau mengamalkan hadits
yang menasakh dan hadits yang mansukh tidak diamalkan. Dan ada beberapa hadits
kontradiksinya pada perbuatan yang mubah, seperti kontradiksi hadits mengenai
berdiri dan duduk dalam shalat. Diantara hadits-hadits yang kontradiksi itu ada
maknanya menyerupai makna firman Allah, atau menyerupai makna hadits yang lain
yang bukan kontradiksi, atau lebih serupa dengan kias, maka menurut kami hadits
ini lebih utama diamalkan. Sebagian ahli ilmu memandang hadits bertentangan,
disebabkan pengamalan padanya juga kelihatan bertentangan. Atau hukumnya
kelihatan bertentangan. Sebagiannya hadits ada yang datang secara ijmal/global
(maknanya) dan ada yang datang secar mufassar (rinci), jadi apabila yang ijmal itu
tetap atas ijmalnya, pasti kelihatan bertentangan dengan yang mufassar tadi.
Menurut kami hal yang seperti tidak bertentangan, ini hanya bentuk halusinasi orang
Arab saja, kadangkala ia menuturkan kata umum tetapi maksudnya khusus. Oleh
karnanya, dua hadits yang kelihatan bertentangan seperti ini harus diamalkan dua-
duanya. Mengenai hadits-hadits seperti ini akan dijelas dalam beberapa karanganku
ini, insya Allah. Semua ini tidak diterima kecuali pada hadits yang Tsabit yakni hadits
yang bisa dijadikan hujjah sebagaimana saksi, yaitu tidak diterima kecuali bagi
orang yang sudah diketahui keadilannya. Apabila periwayat hadits tidak diketahui
keduamenjelaskan agar terus memerangi orang musyrik itu sampai ia membayar pajak. Jadi letak kontradiksi
yang nampak adalah pada sampai beriman dan sampai membayar pajak.
5
ihwalnya, maka keberadaan hadits itu sama dengan tidak ada. Karna hadits itu tidak
tsabit yakni tidak bisa dijadikan hujjah.12
B. Penyelesaian Hadits yang Kontradiktif menurut Imam Al-Syafi’i
Melihat keterangan diatas pemakalah dapat menjelaskan bahwa penyelesaian
hadits-hadits yang kelihatan kontradiksi menurut Imam al Syafi‟i ada tiga cara
sebagai berikut:
1. Penyelesaian dengan cara kompromi (al Jam’u), yaitu mengamalkan kedua
hadits terebut.13
Beberapa hal yang perlu diperhatikan ketika mengompromikan hadits sebagai
berikut:
a. Menggunakan kaidah-kaidah ushul fiqh dan kajian kebahasaan, seperti
memperhatikanmujmaldanmubayyan, mutlak dan muqayyad, „amm dan khash,
hakikat dan majaz, dan lainnya.
b. Kontekstual, yakni sisi keterkaitan dengan keadaan dan situasi saat itu.
c. Pemahaman Korelatif.
d. Menggunakan Ta‟wil.14
Selanjutnya kitamelihat dan meninjau bagaimana cara Imam al Syafi‟i
mengompromikan hadits mukhtalif dengan cara kontektualitas; dapat kita lihat ketika ia
menyelesaikan permasalahan hadits tasyahhudyang kelihatan kontradiksi. Ia ditanya:
“Bagaimana pendapat anda terhadap riwayat yang berbeda tentang tasyahhud dari Nabi
SAW?, Ibn Mas‟ud berbeda tasyahhudnya, Abu Musa, Jabir dan yang lain juga berbeda
dari sebagian lafadznya. Bahkan Umar mengajarkan semua yang berbeda dari riwayat
mereka semua di sebagian lafadz. Begitupu dengan riwayat „Aisyah. Begitu
juga dengan tasyahhud Ibn Umar juga berlainan dengan riwayat yang lain. Terkadang
sebagian riwayat lafadznya lebih panjang daripada sebagian lain.15
12
Ini merupakan terjemahan dari google translate dan tambahan penyempurnaan dari pemakalah. 13
al Nawawi, yang bermazhab al Syafi‟i, telah mengikuti penyelesaian yang disajikan Imam al Syafi‟i,
dalam kitabnya ia menjelaskan bahwa bentuk kontradiksi hadith itu ada dua. Pertama: yang dapat
dikompromikan, maka kedua hadith tersebut harus diamalkan. Jika tidak bisa dikompromikan maka
penyelesaiannya harus menggunakan nasakh, dan solusi terakhir menggunakan tarjih. Lihat Al Nawawi, Taqrib
al Nawawi , (Beirut: Daru al Kutub al „Amaliah, 1996), hlm 115. Bandingkan dengan: Mahmud Thahan, Taisir
Mushthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma‟arif, 1977), hlm 46-48, bandingkan dengan; Nuruddin
„Itr, Manhaj al Naqd Fi Ulum al Hadits , (Damsiq: Dar-al Fikr, 1979), hlm 337. Bandingkan dengan; Ibn
Shalah, Ulul al Hadits,( Ttp: al Qahirah, Tt), hlm 284-286. 14
Keterangan diatas diketahui dari beberapa hadits yang telah dikompromikan oleh Imam al Syafi‟i. 15
Lihat al Syafi‟i, al Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmui Tamam, (Jakarta: Pustaka al Kautsar, 2012),
hlm, 198.
6
Jawabannya yaitu seluruh redaksi tasyahhud merupakan kalimat yang bermaksud
untuk mengagungkan Allah. Rasulullah mengajarkan kepada mereka. Mungkin, beliau
mengajari seseorang lalu orang itu menghapalnya, dan mengajari yang lain lalu ia-pun
menghapalnya. Dalam periwayatan secara makna yang paling diperhatikan adalah tidak
berubahnya makna. Jadi di dalamnya tidak ada penambahan, pengurangan, dan
perbedaan makna kata yang berakibat pada perubahan makna redaksi. Karna perubahan
makna adalah hal yang tidak diperkenankan.16
Barangkali Nabi memperkenankan
mereka membaca tasyahhud sesuai yang dihapalnya. Karna tidak mengandung makna
yang mengubah sesuatu dari hukumnya. Barangkali periwayat bersifat longgar
sehingga ia mengucapkan tasyahhud sesuai hapalan mereka, sesuai yang terilhamkan
dalam hati mereka, dan sesuai yang diperkenankan untuk mereka.17
2. Apabila hadits yang kelihatan kontradiksi itu, tidak bisa diselesaikan melalui
kompromi maka dilakukan dengan cara nasikh-mansukh.
Menurut Imam al Syafi‟i penyelesaiannya menggunakan nasakh.18
Yakni
diberlakukan hukumnasikh dan mansukh pada dua dalil yang kontradiksi tersebut.
Maka hendaklah menentukan nasikh dan mansukh itu berpedoman:19
a. Kepada khabar atau perkataan Rasulullah
b. Asbabun Nuzul
c. Mengacu atau berpedoman pada sejarah yang menunjukkan bahwa salah satu
dari dua hadits yang kontradiksi itu datang belakangan dari hadits yang
berlawanan dengannya.
d. Mengacu atau berpedoman pada perkataan seseorang atau beberapa periwayat
hadits.
e. Mengacu atau berpedoman kepada penjelasan lain, yang mana keterangannya
tidak menjelaskan secara jelas tentang nasikh-mansukh, tetapi jika difahami
dengan teliti dan cermat maka, ada keterangan yang
menjelaskan naskh dan mansukh. Oleh karena itu, apabila hadits yang sifatnya
16
Lihat al Syafi‟i, al Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmui Taman, hlm, 199-200. 17
Ia menguatkan argumentasinya dengan hadits al Qur‟an turun tujuh huruf yakni ketika Umar
membawa Hisyam kepada Rasulullah tentang Qiraat Hisyam menyalahi yang didengar Umar. Lihat al Syafi‟i, al
Risalah, terj. Masturi Irham dan Asmui Taman, hlm, 200-201. 18
Naskh secara bahasa mempunyai beberapa arti. berarti “Izalatu al syay‟i wai‟daamuhu”
(menghilangkan sesuatu dan mentiadakannya), yang berarti “ Naqlu al syay‟i” (memindahkan dan menyalin
sesuatu), berarti “Tabdil”(penggantian), berarti “Tahwil” (pengalihan). Secara istilah: Sedangkan naskh secara
istilah adalah: “ Mengangkat (menghapus) hukum syara‟ dengan dalil/khithab syara‟ yang lain ”. lihat al
Suyuthi, Tadrib al Rawi, (Beirut: Daru al Kutub al „Amaliah, 1996), hlm 111. 19
Memahami dari kutipan diatas.
7
kontradiksi itu memang sesuai untuk diberlakukan untuk penyelesaiannya
dengan menggunakannasikh dan mansukh, maka hendaklah menggunakan
atau mengamalkan hadits yang menasakh sedangkan hadits
yang mansukh tidak diamalkan. Demikianlah menurut Imam al Syafi‟i.20
3. Kemudian menurut Imam al Syafi’i apabila upaya penyelesaian dengan cara
kompromi tidak bisa, dengan cara naskhpun juga tidak bisa, maka
hendaklah menggunakan penyelesaian dengan cara tarjih, yakni mencari
yang lebih kuat di antara dua hadith tersebut.21
MisalkanImam syafi‟i pernah ditanya tentang dua hadits mengenai shalat
subuh, keduanya kelihatan kontradiksi. Hadits pertama diriwayatkan oleh Ibn
„Uyainah dari Muhammad ibn al Ajlan, dari Ashim ibn Umar ibn Qatadah, dari
Mahmud ibn Labib, dari Rafi ibn Khadij berkata Rasulullah Bersabda: “Kerjakan
shalat fajar saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar pahalanya.” kemudian
hadits kedua juga diriwayatkan dari Ibn „Uyainah, dari al Zuhri, dari „Urwah dari
„Aisyah Rasululla bersabda:“ Para wanita shalat subuh bersama Nabi, setelah itu
mereka bubar sambil menutupi diri dengan jubah bulu domba mereka, tidak
seseorang pun yang mengenal mereka karna suasana masih gelap.” Ketika itu ia
ditanya oleh seseorang: “ menurut anda jika ada hadits yang bertentangan, maka
boleh berpegang pada salah satunya, sehingga kami menganggap hadits ini
bertentangan dengan hadits „Aisyah.” Imam Syafi‟i menjawab: “Seandainya
hadits Khadijah dan „Aisyah bertentangan, pemakalah dan anda wajib berpegang
pada hadits Aisyah, bukan yang lain. karena pijakan dasar pemakalah dan anda
adalah jika ada beberapa hadits yang bertentangan, maka tidak satu pun dari
hadits-hadits itu yang kita pegang, kecuali ada sebab yang menunjukkan bahwa
yang kita pegang lebih kuat dari pada yang kita tinggalkan”.22
Dalam al Risalah al Syafi‟i menjelaskan: “Jika kandungan makna hadits tidak
mendekati teks kitabullah penjelasannya, maka yang paling utama untuk kita
jadikan pegangan adalah yang paling sahih.”23
Adapun tolak ukur
mentarjih menurutnya antara lain sebagai berikut:
20
Memahami dari kutipan diatas juga. 21
Lihat al Syafi‟i, al Risalah,terj. Masturi Irham dan Asmui Taman, hlm 213. 22
Lihat al Syafi‟i, al Risalah,terj. Masturi Irham dan Asmui Taman, hlm 213. 23
Emik penulis terhadap kutipan diatasi; disini kelihatannya al Syafi‟i lebih mengutamakan pendekatan
makna hadith dengan al-Qur‟an daripada hadith sahih yang tidak mendekati makna al-Qur‟an, kendatipun hadith
yang sesuai maknanya dengan al-Qur‟an itu statusnya mungkin rendah dalam arti masih sahih yang agak rendah
atau hasan daripada hadith yang tidak sesuai maknanya dengan al-Qur‟an.
8
a. Periwayat hadits harus lebih memahami sanad, lebih masyhur ilmunya,
dan dhabit.
b. Hadits itu diriwayatkan dari dua jalur atau lebih, sementara hadits yang
ditinggalkan itu diriwayatkan dari satu jalur, juga
memerhatikan syahid dan muttabi‟24
nya.25
c. Hadits yang kita ambil lebih mendekati makna al-Qur‟an, atau makna Sunnah
Rasulullah yang lain.
d. Hadits yang diambil karena sudah mutawatir.
e. Lebih sahih dalam qiyas.
f. Telah menjadi pegangan sahabat Rasulullah saw.26
Dengan demikian, menurut Imam al Syafi‟i jika salah satu diantara dua hadits
kontradiksi itu ada maknanya menyerupai makna al-Qur‟an, atau menyerupai makna
hadits lain yang bukan kontradiksi, atau lebih menyerupai qiyas, maka hadits ini
diutamakan atau didahahulukan dari hadits yang tidak ada kesesuaiannya.27
Jika dilihat dari kutipan pendapat Imam al Syafi‟i diataskutipan dari kitabnya al-
Umm tidak menyebut; membiarkan (tawaqquf) hadits-hadits yang kontradiksi, yaitu
dalam arti kata tidak diamalkan dalil-dalil yang kontradiksi itu.28
Imam al Syafi‟i juga menyatakan: cara penyelesaian yang ia sajikan itu
diberlakukan pada hadith yang tsabit yakni hadits yang dapat diterima
sebagai hujjah. Adapun hadits yang tidak tsabit tidak perlu diselesaikan kontradiksinya,
karena sudah mardud atau ditolak.29
24
Syahid secara bahasa menyaksikan. Secara istilah satu hadith yang matannya sama dengan hadith lain
dan sahabat yang meriwayat hadith tersebut berlainan. Muttabi‟ secara bahasa mengikuti, yang mecocoki.
Secara istilah adalah hadith yang sanadnya menguatkan sanad hadith lain dari hadith itu juga, dan sahabat yang
meriwayatkannya adalah satu. Mahmud Thahan. Taisir Mushthalah al Hadits, (Riyadh: Maktabah al Ma‟arif,
1977), hlm 150. 25
Dua orang itu secara umum lebih baik dari segi hapalan dan lebih selamat dari kekeliruan daripada
hadits ahad,maka hadith yang paling banyak jalur periwayatannya dapat diserupakan dengan hadith yang lebih
utama untuk dihapal daripada hadith yang diriwayatkan oleh orang yang kalah senior, konsekuensinya hadith
yang dihapal lima orang lebih baik dijadikan pegangan daripada hadith yang diriwayatkan oleh satu orang.
Imam al Syafi‟i, al Risalah, hlm 210. 26
Lihat Imam al Syafi‟i, al Risalah,hlm 214.
27Dalam al Risalah dijelaskan: “Salah satu hadits itu lebih mendekati makna kitabullah. Jika dia lebih
mendekati makna kitabullah maka terdapat argumen di dalamnya. Lihat Imam al Syafi‟i, al Risalah, hlm 214. 28
Dan ini dapat pula difahami dari katanya: “Kami tidak menemukan hadith-hadith Rasulullah yang
bertentangan, kecuali kami dapat menyingkap titik pertentangannya, dalam hal tersebut, kami tidak menemukan
hadits yang bertentangan kecuali ada sisi kemungkinan yang membuat hadith-hadith itu tidak bertentangan satu
sama lain”. Lihat Imam al Syafi‟i, al Risalah, hlm 135. 29
Ini paham dari kata al Syafi‟i pada kutipan diatas: Semua ini tidak diterima kecuali pada hadits yang
Tsabit.
9
C. Biografi Imam Al-Syafi’i (150 H/767 M -204 H/820 M)
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-
Syafi’i. Ia adalah pendiri Mahdzab Syafi’i. Ia belajar hukum fikih Islam dari para
mujtahid mahdzab Hanafi dan Maliki. Karena itu pula ia mengenai baik kedua aliran
hukum itu baik tentang sumber hukum maupun mengenai metode yang mereka
pergunakan. Karena itu pula ia dapat menyatukan kedua aliran itu dan merumuskan
sumber hukum (fikih) Islam.30
Dalam kepustakaan hukum Islam ia disebut sebagai master architect (arsitek
agung) sumber-sumber hukum (fikih) Islam karena dialah ahli hukum Islam pertama
yang menyusun ilmu usul Fikih yakni ilmu tentang sumber-sumber hukum fikih
Islam dalam bukunya yang terkenal al-Risaalah (Pengantar Dasar-dasar Hukum
Islam).
Adapun biografi Imam Syafi‟i 31
yaitu seorang faqih yang membuat sebuah
jalan bagi peran akal pikiran dalam membahas fiqih dan memberikan sebuah
pemetaan dalam penggunaan qiyas. Beliau adalah seorang ulama yang pertama kali
memberikan kriteria hadits, menerangkan metode memahami al-Quran dan al-Hadits,
sekaligus menerangkan tentang permaslahan nasikh dan mansukh.Sehingga dengan
usaha dan ketekunannya terutama dalam bidang ushul fiqh beliau meletakkan dasar-
dasar serta kaidah yang dijadikan sebagai acuan untuk melakukan
penggalian (istinbath) hukum dan memberikan dasar-dasar penakwilan terhadap
suatu hukum.32
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi‟i lahir di kota Gaza,
Palestina. Pendapat ini pula yang di pegang oleh mayoritas fuqaha‟ dan pakar
sejarah ulama‟ fiqih. Namun, di tengah-tengah pendapat yang populer ini, terdapat
juga pendapat lain. Sebagian ulama menyatakan bahwa Imam Syafi‟i lahir di
Asqalan. Sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakhdari kota Gaza. Bahkan ada
yang berpendapat bahwa ia lahir di Yaman. Meski demikian, mayoritas ulama lebih
30
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia,,
(Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004), hlm 188 31
Nama aslinya Muhammad ibn Idris ibn „abbad ibn „Utsman, ibn Syafi‟ ibn Saib ibn „Ubaid ibn „Abd
Yazid, ibn Hasyim ibn al Muthallib ibn Abd Manaf ibn ibn Qushai ibn Kilab ibn Murrah ibn Ka‟ab ibn Lu‟iy
ibn Ghalib. Lihat al Syafi‟i, al Umm, (Mansoura: Dar el Wafa, 2001),hlm, 6 32
Muhammad Abu Zahrah, al Imam al Syafi‟i Hayatuhu wa „Asruhu wa Fikruhu Ara‟uhu wa
Fiqhuhu, terj. Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Uthman, (Jakarta: Lentera Basritama, 2005), hlm 23.
10
berpegang kepada pendapat yang mengatakan bahwa ia lahir di Gaza.33
Mengomentari
pendapat yang mencari titik tengah dari perbedaan yang ada tentang tempat
kelahiran sang Imam, sejarawan al-Himawi berkata: “Pentakwilan seperti ini bagus,
jika memang riwayat-riwayat tersebut shahih”.34
Adapun mengenai tanggal lahirnya, para ahli sejarah sepakat bahwa Imam
Syafi‟i r.a. lahir pada tahun 150 H35
(767-820 M), berasal dari keturunan bangsawan
Quraisy dan masih keluarga jauh Rasulullah SAW. Dari ayahnya, garis keturunannya
bertemu di Abdul Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan
cicit Ali bin Abi Thalib r.a. Semasa dalam kandungan, kedua orang tuanya
meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan
berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh ibunya dalam
kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2 tahun, ia bersama
ibunya kembali ke Mekkah dan di kota inilah Imam Syafi‟i mendapat pengasuhan dari
ibu dan keluarganya secara lebih intensif.36
Pada di tahun tahun 150 Hpula wafat seorang ulama besar yang bernama
Imam Abu Hanifah, berkenaan dengan hari kelahiran sang Imam, sebagian kalangan
menambahkan bahwa Imam Syafi‟i lahir di malam wafatnya Imam Abu Hanifah.
Nampaknya, penambahan ini hanya untuk menguatkan pendapat mereka yang
menyatakan bahwa di saat seorang Imam wafat, maka lahirlah seorang Imam yang
lain.37
Imam Syafi‟i telah memberikan banyak sumbangsih bagi perkembangan
keilmuan. Beliau banyak menurunkan pengetahuannya kepada masyarakat dan hal ini
beliau lakukan di saat berada di Baghdad. Kiprah sang Imam dalam hal keilmuan
telah mengantarkannya menempati posisi yang terhormat di kalangan ulama. Sang
Imam juga berkiprah di Mekkah dengan menghadirkan sebuah fiqih dengan warna
baru yang mengarah kepada hal-hal yang bersifat universal menggantikan fiqih yang
33
Sebagian kalangan yang melihat perbedaan pendapat mengenai kelahirannya, mencoba untuk
menggabungkannya. Mereka mengatakan bahwa Imam Syafi‟i lahir di Yaman dan tumbuh dewasa di Asqalan
dan Gaza. 34
Muhammad Abu Zahrah, al Imam al Syafi‟i Hayatuhu wa „Asruhu wa Fikruhu Ara‟uhu wa
Fiqhuhu, terj. Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Uthman, hlm 23 35
Waktu kecilnya Imam Syafi‟i suka melempar panah. Ketika umur enam tahun ia hafal al Qur‟an, dan
berumur sepuluh tahun ia hafal al Muwaththa‟. Lihat Muqaddimah al Umm, hlm 9. 36
http://www.biografiku.com/2009/01/biografi-imam-syafii.html, diakses Sabtu, 26 September 2015. 37
Muhammad Abu Zahrah, al Imam al Syafi‟i Hayatuhu wa „Asruhu wa Fikruhu Ara‟uhu wa
Fiqhuhu, terj. Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Uthman, hlm 27
11
bersifat parsial, beliau muncul dengan membawa pokok-pokok permasalahan
menggantikan cabang-cabangnya yang sempit.38
Imam al Syafi‟i pergi dari Gaza ke Mekkah umur enam tahun, ia ke Baghdad
pada tahun 95 H dan menetap disana selama dua tahun, kemudian ia ke Mekah,
kemudian ia kembali ke Baghdad tahun 98 H menetap disana satu bulan. Dan ia pergi
ke Mesir 199 H sampai ia wafat pada hari Jum‟at, bulan Rajab, tahun 204 H.39
Sehingga Abu U‟baid berkata tentang Imam Syafi‟i: “ Saya tidak pernah
melihat seseorang yang sangat cerdas daripada Imam Syafi‟i.” Yunus Abdul A‟la
berkata: “Jika umat ini berkumpul mungkin sama cerdasnya dengan Imam
Syafi‟i.”Guru Imam Syafi‟i diantaranya: Muslim ibn Khalid al Zanji, Daud ibn
Sulaiman al „Aththar, „Abdul „aziz al Majusy, Muhammad ibn „Ali ibn Syafi‟, Sufyan
ibn „Uyainah, Ibrahim ibn Sa‟d, Ibrahim ibn Muhammad ibn Yahya, Ibrahim ibn
Ja‟far, dan lain-lain.Sedangkan Muridnya diantara lain: al Humaidi, Abu „Ubaid,
Ahmad ibn Hanbal, Abu Ya‟qub Yusuf al Buwaithi, Abu Tsur, Harmalah ibn Yahya,
Abdul „Aziz al Makiy, al Karabisi, Ibn Rawaih, al Harits ibn Suraij al Niqal, Yunus
ibn Abdul „Ala dan lainnya.40
D. Contoh Ikhtilaf Al-Hadits
Diantara contoh ikhtilaf al Hadits yang disebut oleh Imam al Syafi‟i adalah
tentang tasyahhud yakni, Redaksi tasyahhud dari Umar ibn al Khaththab r.a :
ااتحيات هلل ااجلاكيات هلل ااطيبات ااصلناة هلل ااسالم عليك أيها ااهيب ورمح اهلل وبركاتى ااسالم عليها وعلى عباد اهلل ااصاحلك
.أشهد أن ال إاى إال اهلل وأشهد أن زلمدا عبدو ورسناى
Hadits ini kelihatan redaksinya bertentangan dengan redaksi Ibn Umar r.a :
ااتحيات ادلباركات ااصلنات ااطيبات هلل سالم عليك أيها ااهيب ورمح اهلل وبركاتى سالم عليها وعلى عباد اهلل ااصاحلك أشهد أن ال
41.إاى إال اهلل وأشهد أن زلمدا رسنل اهلل
Ternyata masih ada hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat lain, seperti
Ibn Mas‟ud, yang redaksinya berbeda satu sama lain, tapi telah dikompromikan oleh
Imam al Syafi‟i sebagaimana telah pemakalah jelaskan sebelumnya.
Contoh lain hadits riwayat dari Ibn „Abbas:
38
Muhammad Abu Zahrah, al Imam al Syafi‟i Hayatuhu wa „Asruhu wa Fikruhu Ara‟uhu wa
Fiqhuhu, terj. Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Uthman, hlm 58. 39
Lihat Muqaddimah al Umm, hlm, 9. 40
Lihat Muqaddimah al Umm, hlm 9. 41
Hadits Umar dan Ibn Umar diatas diambil dari al Risalah, lihat al Syafi‟i, al Risalah, hlm 197.
12
أن رسنل اهلل صلى اهلل عليى وسلم وضأ وجهى ويديى ومسح برأسى مرة مرة
Hadits ini bertentangan dengan hadits riwayat dari Maula „Utsman ibn „Affan:
42.أن ااهيب صلى اهلل عليى وسلم تنضأ ثالثا ثالثا
1. Contoh kompromi menggunakan kaidah Ushul Fiqh (mutlak dan muqayyad):
عت أبا يري رة ي قنل ن هى رسنل االى عت ابم أيب ن عم ال مس ث ها شعب عم اامغرية ال مس ث ها زلمد بم بملار عم زلمد ال حد حد
43 .صلى االى عليى وسلم عم كسب احلجام وعم م االلب وعم عسب اافحل
Hadits ini bertentangan dengan hadits sebagai berikut:
ث ها إمسعيل ي عهنن ابم جعفر عم محيد ال سئل أنس بم مااك ث ها حيي بم أينا و ت يب بم سعيد وعلي بم حجر اانا حد حد
عم كسب احلجام ف قال احتجم رسنل االى صلى االى عليى وسلم حجمى أبن طيب فأمر اى بصاعك مم طعام وكلم أيلى ف نضعنا
عهى مم خراجى و ال إن أف ل ما تداوي تم بى احلجام أو ين مم أمثل دوائلم
2. Contoh kompromi dengan cara melihat kontekstual:
ث ها ااجليري عم سعيد بم اامسيب عم أيب يري رة رضي االى عهى ث ها سفيان حد ث ها علي بم عبد االى حد ال ن هى رسنل االى حد
صلى االى عليى وسلم أن يبيع حاضر اباد وال ت هاجملنا وال يبيع اارجل على ب يع أخيى وال خيطب على خطب أخيى وال تسأل اامرأة
44طالق أختها اتلفأ ما يف إنائها
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut:
ث ها حيي بم حيي ال رأت على مااك عم عبد االى بم يجليد منىل األسند بم سفيان عم أيب سلم بم عبد اارمحم عم فاطم حد
ها مم شيء ها وكيلى بملعري فسخطتى ف قال واالى ما اك علي بهت يس أن أبا عمرو بم حفص طلقها اابت وين غائب فأرسل إاي
فجاءت رسنل االى صلى االى عليى وسلم فذكرت ذاك اى ف قال ايس اك عليى ن فق فأمريا أن ت عتد يف ب يت أم شريك ث ال
تلك امرأة ي غملايا أصحايب اعتدي عهد ابم أم ملتنم فإنى رجل أعمى ت عك ثيابك فإذا حللت فآذنين اات ف لما حللت
ذكرت اى أن معاوي بم أيب سفيان وأبا جهم خطبان ف قال رسنل االى صلى االى عليى وسلم أما أبن جهم فال ي ع عصاو عم
42
Hadits Ibn „Abbas dan Maula „Utsman diambil dari al Umm, lihat al Syafi‟i, al Umm, 1724. 43
Hadits diatas diambil dari programsofware komputer Lidwa hadits sembilan Imam. 44
HR. Bukhari.
13
را عاتقى وأما معاوي فصعلنك ال مال اى انلحي أسام بم زيد فلريتى ث ال انلحي أسام ف هلحتى فجعل االى فيى خي
45.واغتبطت
3. Contoh kompromi dengan pemahaman korelatif:
ث ها يملام عم تادة عم أيب ااعااي عم ابم عباس ال شهد عهدي رجال مرضينن وأرضايم عهدي ث ها حفص بم عمر ال حد حد
46عمر أن ااهيب صلى االى عليى وسلم ن هى عم ااصالة ب عد ااصبح حح تملرق ااملمس وب عد ااعصر حح ت غرا
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut:
ث ها مهام عم تادة عم أنس بم مااك عم ااهيب صلى االى عليى وسلم ال مم نسي ث ها أبن ن عيم ومنسى بم إمساعيل اال حد حد
عتى ي قنل ب عد وأ م ااصالة الذكرى 47.صالة ف ليصل إذا ذكريا ال كفارة ذلا إال ذاك وأ م ااصالة اذكري ال منسى ال مهام مس
4. Contoh kompromi dengan menggunakan ta’wil:
ثن عاصم بم عمر بم تادة عم زلمند بم ابيد عم رافع بم ث ها حيي عم ابم عجالن ال حد أخب رنا عب يد االى بم سعيد ال حد
خديي عم ااهيب صلى االى عليى وسلم ال أسفروا باافجر
Hadits ini bertentangan dengan hadits berikut:
ث ها معم عم مااك عم حيي بم سعيد عم عمرة عم ث ها نصر بم علي ااه مي وإسحق بم منسى األنصاري اال حد و حد
عائمل اات إن كان رسنل االى صلى االى عليى وسلم ايصلي ااصبح ف ي هصرف ااهساء مت لفعات مبروطهم ما ي عرفم مم ااغلس و
48 ال األنصاري يف روايتى مت لففات
5. Contoh nasikh-mansukh:
ث ها معرف بم واصل عم زلارا بم دثار عم ابم ب ريدة عم أبيى ال ث ها أمحد بم يننس حد ال رسنل االى صلى االى عليى : حد
49.وسلم ن هيتلم عم زيارة ااقبنر ف جلورويا فإن يف زيار ا تذكرة
Bertentangan dengan dengan hadits berikut:
عت جابر بم عبد االى ث ها شعيب عم زلمد بم اامهلدر ال مس ث ها علي بم عياش ال حد أخب رنا عمرو بم مهصنر ال حد
50كان خر األمريم مم رسنل االى صلى االى عليى وسلم ت رك اانضنء شلا مست ااهار ال
45
HR Muslim. 46
Hadith diatas diambil dari Program Sofware komputer Lidwa hadits sembilan Imam. 47
Hadits diatas diambil dari program sofware komputer Lidwa hadits sembilan Imam. 48
Hadits diatas diambil dari program sofware komputer Lidwa hadits sembilan Imam 49
Hadits diatas diambil dari program sofware komputer Lidwa hadits sembilan Imam.
14
Dengan demikian, maka jelaslah contoh dari ikhtilaf al-hadits yang tertera di
atas sehingga kita dapat menghasilkan suatu jawaban dari pembahasan ini. Sehingga
wajib bagi setiap peneliti hadits mengetahui mana diantara hadits yang terjadi
perbedaan agar supaya dalam mengambil sumber hukum menjadi jelas dan tidak serta
merta menyalahkan pendapat orang lain.
Menurut pemakalah adalah lebih mendahulukan dulu metode penyelesaian
hadits dengan metode kompromi (al Jam‟u)seperti yang dianjurkan oleh Imam al-
Syafi‟i sendiri karena beralasan bahwa jangan sampai kita menghilangkan sebagian
dari sunnah nabi sehingga mengurangi wacana keilmua kita di masa sekarang maupun
di masa depan karena selalunya menghilangkan atau tidak menggunakan hadits yang
kontradiktif itu yang dianggap lemah dari pada yang kuat.
Oleh karena itu, perlunya meneliti secara kronologi turunnya hadits dan
disesuaikan dengan konteks yang saat itu dan saat ini tanpa menghilangkan atau
membuang hadits yang dianggap tidak relevan lagi di masa sekarang.
50
Beberapa hadits diatas diambil dari program sofware komputer Lidwa hadits sembilan Imam.
15
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun yang kami simpulkan dalam makalah ini bahwa Imam al Syafii adalah
seorang pelopor dalam masalah ikhtilaf al-Hadits, hal ini dapat kita lihat dalam karyanya “
Ikhtilaf al Hadits”. Dalam karyanya itu ia menyajikan tiga metode menyelesaikan hadits
mukhtalif yakni: metode kompromi,nasikh dan mansukh, dan metode tarjih. Kemudian
pembahasannya tersebut dikembangkan oleh para ulama‟, namun ada juga ulama lain yang
menyajikan metodenya sendiri.
Selain menyajikan metode penyelesaian hadits mukhtalif, Imam al Syafi‟i juga
menyebutkan hal-hal yang harus difahami dalam menggunakan masing-masing metode.
Misalkan dalam mengkompromikan hadits, ia menggunakan beberapa cara, yakni:
menggunakan kaidah Ushul Fiqh dan kajian kebahasaan, melihat kontektual hadits, melihat
sisi hubungan hadits yang kelihatan kontradiksi, dan menggunakan penakwilan makna hadits.
Begitupun juga dalam menggunakan metode naskh dan tarjih, Imam al Syafi‟i
menyajikan beberapa hal yang menjadi tolak ukur, jadi tidak bisa seenaknya saja seperti yang
dilakukan oleh para pemikir hadits yang mengandalkan logikanya saja. Selain dari itu Imam
al Syafi‟i juga meyebutkan contoh-contoh hadits mukhtalif serta menyelesaikannya dan
semuanya dapat ia selesaikan, diantara ungkapan Imam al Syafi‟i adalah: “Kami tidak
menemukan hadits-hadits Rasulullah yang bertentangan, kecuali kami dapat menyingkap titik
pertentangannya, dalam hal tersebut, kami tidak menemukan hadith yang bertentangan
kecuali ada sisi kemungkinan yang membuat hadits-hadits itu tidak bertentangan satu sama
lain”. Sehingga beliau menjadi kiblat para ulama‟ dalam meneliti hadits yang menimbulkan
permasalahan.
B. Saran
Adapun yang dapat pemakalah sarankan bahwa mudah-mudahan dengan adanya
makalah ini dapat menjadi sumber pengetahuan bagi kita semua sehingga menjadi acuan
dalam menggali ilmu yang berkaitan dengan hadits mukhtalaf, pemakalah masih jauh dari
kesempurnaan oleh karena itu, saran dan kritikan dari pembaca sangat dibutuhkan untuk
perbaikan makalah berikutnya serta sebagai renungan bagi kita semua betapa indahnya itu
ilmu pengetahuan, semakin digali semakin asyik dalam mendalaminya.
16
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Muhammad. Al Imam Al Syafi‟i Hayatuhu wa „Asruhu Wa Fikruhu Ara‟uhu Wa
Fiqhuhu. Terjemah oleh Abdul Syukr dan Ahmad Rivai Utsman. Jakarta: Lentera
Basritama. 2005
Al-Nawawi. Taqrib al Nawawi. Beirut: Daru al Kutub al Amaliah. 1996
Al-Syafi‟i. Al Risalah. Terjemah oleh Masturi Irham dan Asmu‟i Tamam. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar. 2012
Al Syafi‟i. al Umm. Mansoura: Dar el Wafa. 2001
Al-Suyuthi. Tadrib al Rawi. Beirut: Daru al Kutub Al Amaliah. 1996
Daud Ali, Mohammad. Hukum Islam; Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada. 2004
„Itr, Nuruddin. Manhaj An-Naqd Fii Ulum AlHadits. Damaskus: Dar Al Fikr. 1979. Terjemah
oleh Mujiyo. Ulumul Hadits. Bandung: Remaja Rosda Karya. 2012
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2011
Qadir, A. Ilmu Musthalah Hadis. Bandung: Diponegoro. 2002
Soebahar, Erfan. Menguak Fakta Keabsahan Al-Sunnah. Jakarta: Prenada Media.2003
Shihab, Quraisy. Membumikan Al-Qur‟an. Bandung: Mizan. 1994
Solahudin, Agus. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia. 2008
Shalah, Ibnu. Ulumul Hadits. Ttp: Al-Qahirah. Tt
Thahan, Mahmud. Taisir Musthalah al Hadits. Riyadh: Maktabah al Ma‟arif. 1977