+ All Categories
Home > Documents > Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dan Perikanan oleh NGO dan Hubungannya dalam Sistem...

Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dan Perikanan oleh NGO dan Hubungannya dalam Sistem...

Date post: 24-Feb-2023
Category:
Upload: indonesia
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
16
Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dan Perikanan oleh NGO dan Hubungannya dalam Sistem Neoliberalisme Pada perkembangannya, angka penduduk dunia yang semakin meningkat diikuti pula dengan permintaan pangan yang tinggi. Dalam hal ini, berbagai jenis komoditas menjadi sasarannya, termasuk sumber daya laut. Perkembangan teknologi dan investasi juga mendukung peningkatan ekploitasi laut, yang kemudian mempengaruhi keseimbangan ekosistem didalamnya. Menghadapi hal ini, muncul berbagai pihak non-negara yang berupaya mengatasi permasalahan eksploitasi sumber daya laut melalui berbagai metode, seperti menekan pemerintah, edukasi masyarakat, hingga pendekatan terhadap pelaku-pelaku bisnis atau sistem pasar. Namun secara khusus, Jason Konefal berpendapat bahwa pendekatan berbasis pasar sebagai bentuk upaya pelestarian laut dan perikanan justru berkontribusi dan melegitimasi sistem neoliberalisasi yang ada. Berangkat dari hal tersebut, tulisan ini akan membahas tulisan Konefal yang berjudul “Environmental Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization Study of the Sustainable Seafood Movement”. Tulisan kemudian dilanjutkan dengan pembanding literatur, analisa oleh penulis, dan diakhiri dengan kesimpulan. Dalam tulisannya, Konefal menjelaskan bahwa mayoritas organisasi gerakan lingkungan Amerika Serikat (US Environmental Movement Organizations/EMOs) kini fokus pada sistem pasar dalam mencapai tujuannya. Strategi utama yang diambil adalah dengan berupaya mengubah permintaan pasar terhadap komoditas yang lebih sustainable. Melalui hal ini, pebisnis diharapkan menerapkan praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat mengurangi degradasi lingkungan. Dengan kata lain, organisasi- organisasi ini berupaya mencapai tujuannya melalui sistem pasar, 1
Transcript

Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dan Perikanan

oleh NGO dan Hubungannya dalam Sistem NeoliberalismePada perkembangannya, angka penduduk dunia yang semakin

meningkat diikuti pula dengan permintaan pangan yang tinggi.

Dalam hal ini, berbagai jenis komoditas menjadi sasarannya,

termasuk sumber daya laut. Perkembangan teknologi dan investasi

juga mendukung peningkatan ekploitasi laut, yang kemudian

mempengaruhi keseimbangan ekosistem didalamnya. Menghadapi hal

ini, muncul berbagai pihak non-negara yang berupaya mengatasi

permasalahan eksploitasi sumber daya laut melalui berbagai

metode, seperti menekan pemerintah, edukasi masyarakat, hingga

pendekatan terhadap pelaku-pelaku bisnis atau sistem pasar.

Namun secara khusus, Jason Konefal berpendapat bahwa pendekatan

berbasis pasar sebagai bentuk upaya pelestarian laut dan

perikanan justru berkontribusi dan melegitimasi sistem

neoliberalisasi yang ada. Berangkat dari hal tersebut, tulisan

ini akan membahas tulisan Konefal yang berjudul “Environmental

Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization Study of the Sustainable

Seafood Movement”. Tulisan kemudian dilanjutkan dengan pembanding

literatur, analisa oleh penulis, dan diakhiri dengan kesimpulan.

Dalam tulisannya, Konefal menjelaskan bahwa mayoritas

organisasi gerakan lingkungan Amerika Serikat (US Environmental

Movement Organizations/EMOs) kini fokus pada sistem pasar dalam

mencapai tujuannya. Strategi utama yang diambil adalah dengan

berupaya mengubah permintaan pasar terhadap komoditas yang lebih

sustainable. Melalui hal ini, pebisnis diharapkan menerapkan

praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat

mengurangi degradasi lingkungan. Dengan kata lain, organisasi-

organisasi ini berupaya mencapai tujuannya melalui sistem pasar,1

namun tanpa ikut serta dalam logika, praktik, dan dominasi aktor

pasar. Adapun gerakan yang disebut sebagai “sustainable seafood

movement” (atau SSM) ini berawal pada akhir 1990-an, sebagai

respon minimnya kesuksesan kelestarian lingkungan melalui

tekanan terhadap pemerintah dan kondisi politik serta ekonomi

kearah yang lebih ramah lingkungan.

Adapun pendekatan berbasis pasar dilakukan melalui berbagai

inisiatif, yang dibagi kedalam dua kategori; demand-oriented dan

supply-oriented. Inisiatif demand-oriented berupaya mengubah pasar

dan konsumsi seafood ke pilihan yang lebih sustainable. Hal ini

dilakukan melalui single-species campaign—yang mencakup strategi

seperti edukasi konsumen (melalui seafood cards)1, kerjasama dengan

retailer, kampanye media, menekan pemerintah untuk memberlakukan

aturan baru, dan promosi melalui restoran dan juru masak

selebriti untuk mengkonsumsi produk laut yang sustainable. Kemudian

supply-oriented—yaitu melalui pembentukan private governance body yang

disebut Marine Stewardship Council (MSC). Badan ini dibentuk

untuk menyusun standar sustainable fishing, sertifikasi, dan

mempromosikan konsumsi sustainable seafood melalui penyediaan produk

laut yang ramah lingkungan.

Namun, Konefal memandang pendekatan berbasis pasar yang

digunakan oleh SSM pada dasarnya sejalan dengan teori dan

praktik neoliberal. Secara gamblang, Konefal menyatakan argumen

utamanya bahwa pendekatan berbasis pasar yang digunakan oleh

organisasi-organisasi sustainable seafood telah berkontribusi dalam

neoliberalisasi dan legitimasinya. Bahkan, pendekatan berbasis

1 Seafood Cards adalah kartu pedoman berukuran kecil yang berisi kategori produklaut berdasarkan keberlanjutannya (jenis seafood apa saja yang boleh dikonsumsi [ditandai dengan warna hijau], sebaiknya dihindari untuk sementara[warna kuning] atau benar-benar dihindari [warna merah]). Contoh Seafood Cardsada dalam lampiran 1.

2

pasar secara tidak langsung “menyokong” prinsip utama

neoliberalisasi, yaitu prinsip individualisme, marketisasi, dan

devolusi otoritas regulasi. Individualisme terlihat dari

bagaimana organisasi-organisasi SSM memberikan berbagai

informasi terkait produk laut apa saja yang boleh dan sebaiknya

dihindari untuk dikonsumsi, namun menyerahkan keputusan

sepenuhnya terhadap individu. Terlebih, informasi yang

disampaikan oleh SSM (misalnya melalui seafood cards) tidak

mendorong masyarakat untuk mengurangi kuantitas konsumsi

hidangan laut, melainkan hanya mengganti pilihan ke produk yang

lebih sustainable. Dengan kata lain, pendekatan ini bersifat pasif

dan hanya bersifat temporer (tidak sebagai alternatif jangka

panjang pelestarian produk laut). Hal ini dirasa Konefal kurang

efektif dan memiliki dampak yang terbatas, karena total konsumsi

seafood terus mengalami peningkatan, dan permasalahan kerusakan

lingkungan laut dan perikanan telah terjadi dalam level

berbahaya dan skala yang besar, yaitu global.

Selanjutnya, marketisasi terlihat dari SSM yang cenderung

terjun kedalam pasar dalam mencapai dukungan yang besar dari

retailer—artinya mendukung marketisasi masyarakat AS. Kemudian

devolusi otoritas regulasi dapat dilihat dari pembentukan private

governance body, misalnya MSC). Terlebih, Konefal berpendapat bahwa

penggunaan pendekatan ini telah menandakan bahwa sistem pasar

yang ada saat ini adalah yang “tepat” terhadap environmental

governance.

Konefal berpendapat bahwa dengan menggunakan pendekatan

berbasis pasar, organisasi pelestarian lingkungan sebenarnya

telah terjerumus dalam sistem pasar itu sendiri. Hal ini

dikarenakan pendekatan semacam itu akan berfungsi dalam sistem

3

ekonomi politik kapitalis, yang mana bertentangan terhadap

kelestarian lingkungan. Pendekatan berbasis pasar yang digunakan

oleh banyak organisasi lingkungan justru memfasilitasi praktik

degradasi lingkungan yang sebenarnya ingin mereka cegah. Oleh

karenanya, Konefal pada akhirnya menyatakan bahwa diperlukan

pendekatan-pendekatan lain yang menantang norma, ideologi, dan

praktik neoliberalisasi hasil kapitalisme untuk benar-benar

menyelesaikan permasalahan lingkungan, khususnya terkait laut

dan perikanan. Dengan kata lain, dengan mengubah sistem yang ada

saat ini kearah yang lebih environmental sustainable dan bersifat

jangka panjang.

Kontradiktif dengan argumen Konefal, Becky Mansfield

berpendapat bahwa sistem neoliberalisasi, khususnya praktik

privatisasi laut dan perikanan justru mendukung kesejahteraan

sosial dan lingkungan. Adapun argumen ini berangkat dari

pemikiran terkait “common goods” (dalam hal ini laut beserta

isinya) yang secara historis menjadi objek eksploitasi manusia,

sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Secara detil, hal ini

bermula dari sejarah bahwa lautan dan samudera dianggap sebagai

“common heritage of mankind”—yang terbuka bagi setiap pihak untuk

dimaksimalkan dan dieksploitasi. Logika ini juga memandang laut

sebagai ruang gerak dan transportasi, yang memfasilitasi

merkantilisme, penjelajahan, ekspansi kolonial, dan manuver

militer perang dingin.2 Mansfield juga mendasari pemikiran ini

berdasarkan pendekatan “tragedy of the commons” menurut Hardin, yang

menurutnya menjadi eksplanasi abadi tentang degradasi

lingkungan.3 Sebagai solusinya, hak kepemilikan (property rights)

menjadi metode yang dirasa dapat menahan “kerakusan” manusia2 Becky Mansfield, “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, and the Commons Question,” Geoforum, no. 35 (2004): 314.

4

terhadap common goods, sehingga pemanfaatannya dapat diatur dan

ditekan. Dengan kata lain, melalui privatisasi.4

Solusi terkait masalah perikanan sendiri tidak fokus pada

ikan dan kondisi biologisnya, melainkan fokus pada efisiensi

ekonomi dan cara-cara untuk mereformasi rejim kepemilikan untuk

menopang pengambilan keputusan individu terhadap realita ekonomi

dan ekologis. Dengan kata lain, Mansfield menyatakan bahwa

efisiensi ekonomi merupakan kunci dari kesejahteraan sosial dan

lingkungan.5

Pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan

berbasis pasar sebagai upaya penyelesaian masalah lingkungan

memang mendominasi kondisi saat ini. Namun, penulis sendiri

memandang bahwa pada dasarnya sistem neoliberal—dengan praktik

kapitalisme tidak dapat berjalan beriringan dengan upaya

pelestarian lingkungan, khususnya pelestarian laut dan

perikanan. Hal ini kembali pada logika bahwa sistem neoliberal

(dengan kapitalisme atau privatisasi-nya) merupakan sistem

ekonomi yang berupaya memaksimalkan profit. Untuk itu, sangat

mungkin praktik eksploitasi sumber daya alam dilakukan.

Sekalipun pendekatan berbasis pasar ini dijalankan oleh aktor

non-negara, efektivitasnya sangat terbatas dan tidak dapat

berhasil untuk jangka panjang dan dalam level global. Hal ini

didukung dengan penjelasan Bram Büscher dan Murat Arsel terkait

“neoliberal conservation”.

3 Becky Mansfield, “Rules of Privatization: Contradictions in Neoliberal Regulation of North Pacifis Fisheries,” Annals of the Association of American Geographersno. 3 (2004): 367. 4 Becky, “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, andthe Commons Question,” 316.5 Ibid.

5

Menurut Büscher dan Arsel, masalah lingkungan dan

kemiskinan telah mengundang munculnya berbagai “partnership”

antarnegara, korporasi, institusi akademik, badan-badan

pembangunan, dan NGO. Namun, upaya utama yang dilakukan pihak-

pihak ini terbatas pada penyelesaian masalah dasar, bukan

mengatasi akar permasalahan lingkungan—yaitu neoliberalisme itu

sendiri. Oleh karenanya, respon mainstream krisis lingkungan saat

ini adalah “neoliberal conservation”—yaitu usaha konservasi

lingkungan agar dapat sejalan dengan kapitalisme.6 Dari sini,

terlihat bahwa upaya perubahan radikal sistem dan struktur

secara luas tidak dilakukan oleh para aktor non-negara, karena

kemunculan pihak-pihak ini sendiri adalah sebagai akibat

perkembangan sistem neoliberal (yaitu yang memberikan ruang

gerak bagi aktor non-negara untuk melakukan aktivitas dan

pengaturan tertentu).

Lebih lanjut, apabila sebelumnya Konefal menyatakan bahwa

organisasi-organisasi perlindungan laut dan perikanan mayoritas

menggunakan pendekatan berbasis pasar, maka hal ini terlihat

dari program perlindungan laut dan perikanan yang dijalankan

oleh salah satu organisasi lingkungan terbesar, yaitu World Wide

Fund (WWF). Dalam situs resminya, dituliskan terdapat tiga cara

bagaimana masyarakat dapat bertindak untuk mengatasi masalah

kerusakan laut dan perikanan, yaitu dengan [1] membeli seafood

yang sustainable, [2] Memberikan donasi ke WWF, dan [3]

menyebarluaskan informasi (spread the word). Khusus mengenai cara

pertama, hal ini dapat dilakukan dengan membeli produk seafood

yang sudah berlabel MSC, serta mendorong retailer dan pedagang

6 Bram Büscher dan Murat Arsel, “Introduction: Neoliberal Conservation, UnevenGeographical Development and the Dynamics of Contemporary Capitalism,” Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, no. 2 (2012): 129.

6

untuk menyediakan produk yang sustainable.7 Selanjutnya, WWF juga

menyediakan seafood card yang selalu diperbarui tiap tahunnya untuk

disebarluaskan ke masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa

penjelasan Konefal sebelumnya memang benar terjadi, bahkan pada

NGO besar semacam WWF. Terlebih, WWF juga tidak menyebutkan atau

mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi seafood, melainkan

mengubah preferensinya berdasarkan sertifikasi, dan seafood card

yang disediakan.

Selanjutnya, menanggapi pembahasan Konefal terkait Sustainable

Seafood Movement (SSM), maka Cathy A. Roheim dalam tulisannya

menjelaskan berbagai tantangan dan halangan SSM untuk mencapai

tujuan utamanya; yaitu kelestarian lingkungan laut dan

perikanan. SSM pada dasarnya adalah pendekatan yang berupaya

menciptakan permintaan seafood yang sustainable, termasuk melalui

boikot, seafood guide (dalam bentuk seafood card), dan ecolabeling8

(yang dilakukan oleh MSC, ASC, BAP atau Food Alliance).9

Namun, berbagai cara ini memiliki kendala dalam

implementasinya. Pertama, kategorisasi jenis seafood yang

dirancang dalam species ranking berbeda—tergantung lokasi publikasi

dan organisasi apa yang mempublikasikannya. Dalam artian, urutan7 World Wide Fund, “Unsustainable Fishing,” http://wwf.panda.org/about_our_earth/blue_planet/problems/problems_fishing/ (diakses pada 5 Oktober 2014).8 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implications for Environmental Groups and the Seafood Industry,” Marine Resources Economies, No.3 (2009): 301.9 Marine Stewardship Council (MSC) fokus pada sertifikasi produk seafood hasiltangkap laut lepas/liar. The Aquaculture Stewardship Council (ASC) fokus pada sertifikasi produkseafood hasil tambak. Best Aquaculture Practices (BAP) fokus pada standar metode, elemen, danevaluasi terkait aktivitas tambak.Food Alliance fokus pada sertifikasi pertanian, peternakan, produsen dandistributor makanan yang berkelanjutan. Sumber: Fishchoice.com,http://www.fishchoice.com/content/sustainable-seafood-partners (diakses pada5 Oktober 2014).

7

jenis dan spesies apa saja yang boleh di konsumsi hingga

dihindari berbeda di tiap wilayah atau organisasi.10 Contoh dapat

dilihat dari tabel berikut:

Tabel 111

Tabel diatas memperlihatkan jenis produk laut yang sama,

yaitu Swordfish, masuk kedalam tiga kategori sekaligus (hijau,

kuning, merah)—tergantung dari cara penangkapan, area

penangkapan, dan daerah asal. Kategorisasi juga bergantung dari

NGO apa yang menetapkan kategorisasi Swordfish. Hal ini

menyebabkan pedoman yang benar-benar dapat dijadikan acuan bagi

masyarakat sebagai konsumen dan retailer tidak ada, karena

terlalu banyak dan bervariasi. Oleh karena itu, meskipun

distribusi species ranking ini luas, namun efektivitasnya sedikit

terhadap masyarakat.

Kedua, validitas terkait species ranking banyak yang tidak

disetujui oleh para retailer atau industri seafood. Apa yang

dianggap unsustainable bagi NGO tertentu sering bertentangan dengan

10 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implicationsfor Environmental Groups and the Seafood Industry”, 302.11 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implicationsfor Environmental Groups and the Seafood Industry”, 307.

8

pandangan pelaku-pelaku bisnis. Ketiga, organisasi yang berbeda

dapat menggunakan mekanisme penilaian yang berbeda pula tentang

bagaimana mengevaluasi spesies, lingkungan, atau praktik

memancing dan tambak. Hal ini mengakibatkan munculnya

rekomendasi NGO yang beragam, sehingga membingungkan pelaku

bisnis. Bahkan, Roheim menyebutkan 72% pihak yang menjadi

sasaran tujuan kebingungan dengan rekomendasi tersebut.12

Setelah membandingkan tulisan Konefal dengan berbagai sumber

literatur, selanjutnya pembahasan masuk kedalam analisis

penulis. Adapun analisis ini berupaya menjawab tiga pertanyaan

utama terkait topik yang dibahas, yaitu [1] Bagaimana

efektivitas rejim non-negara dalam menyelesaikan persoalan

lingkungan global? [2] Apakah dengan semakin banyaknya kemitraan

antara sektor privat dan masyarakat sipil menggoyahkan

sentralisasi negara dalam tata kelola lingkungan global? [3]

Tantangan apa saja yang dihadapi rejim lingkungan non-negara

dalam mewujudkan legitimasi dan orotirasnya di mata publik?.

Pertama, sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan

sebelumnya, efektivitas rejim non-negara dalam menyelesaikan

persoalan lingkungan global adalah minim dan berskala kecil. Hal

ini dikarenakan upaya pelestarian lingkungan merupakan usaha

yang harus dilakukan secara kolektif, dalam skala yang besar dan

global, serta didukung oleh sistem serta struktur global yang

pro-lingkungan. Dalam hal ini, rejim non-negara atau NGO

lingkungan berdiri sebagai pihak yang hanya mampu mengayomi dan

mengajak masyarakat untuk mulai pro-lingkungan, namun tidak

dapat memaksakan penerapannya.

12 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implicationsfor Environmental Groups and the Seafood Industry”, 302.

9

Kedua, “apakah dengan semakin banyaknya kemitraan antara

sektor privat dan masyarakat sipil menggoyahkan sentralisasi

negara dalam tata kelola lingkungan global?” menurut penulis,

tidak. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, meski

kemunculan berbagai NGO dan kemitraan publik-swasta meningkat,

namun tata kelola lingkungan global baru akan efektif apabila

diatur oleh negara (yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk

menyusun regulasi pro-lingkungan). Hal ini terlihat dari

bagaimana pada awalnya gerakan-gerakan pelestarian lingkungan

mengawali usahanya dengan melakukan pendekatan terhadap

pemerintah—menandakan bahwa pihak yang benar-benar dapat

mengatur pencapaian pelestarian lingkungan adalah melalui

komitmen pemerintah. Dalam hal ini, aktor non-negara masih

terbatas sebagai pihak yang mendorong, mengayomi, dan

menyakinkan masyarakat serta pebisnis untuk mulai aktif dalam

menjaga lingkungan, namun tidak secara legal menyusun regulasi

yang harus atau wajib dijalankan oleh tiap masyarakat. Selain

itu, NGO pelestarian lingkungan juga tidak memiliki otoritas

untuk menghukum pihak-pihak tertentu yang melanggar atau

melakukan aktivitas yang merusak lingkungan, karena otoritas ini

tetap berada di tangan pemerintah berdaulat.

Ketiga, tantangan yang dihadapi rejim lingkungan non-negara

dalam mewujudkan legitimasi dan orotirasnya di mata publik telah

dijelaskan sebelumnya, bahwa peran NGO terbatas sebagai penyedia

informasi, namun keputusan untuk bertindak (atau tidak)

sepenuhnya tergantung dari individu atau masyarakat.13 Selain

itu, apabila NGO berusaha untuk memboikot perdagangan produk

13 Jason Konefal, “Environmental Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization: A Case Study of the Sustainable Seafood Movement,” Organization Environment, no. 26 (2013): 343.

10

laut tertentu, hal ini akan mempengaruhi retailer yang menjual

produk tersebut, dan tidak menutup kemungkinan munculnya

konflik. Hal ini kemudian memperlihatkan ketergantungan

pencapaian tujuan pelestarian lingkungan berada di tangan

individu secara kolektif, bukan NGO yang berdiri sendiri. Selain

itu, sistem neoliberal yang terjadi saat ini memperlihatkan

bahwa keuntungan ekonomi masih sangat mendominasi sistem,

sehingga eksploitasi sumber daya, khususnya laut dan perikanan

akan terus berjalan (bahkan meningkat). Hal ini terlihat dari

data berikut:

Grafik 114

Berdasarkan grafik diatas, terlihat kecenderungan produksi

perikanan dari tahun 1950 hingga 2002 terus mengalami

peningkatan. Adapun produk yang berasal dari hasil tangkap laut

lepas yang mencapai lebih dari 60 juta metrik ton perkapita

dunia di tahun 2002. Peningkatan produksi seafood ini menurut

penulis sebagai akibat tingginya permintaan akan seafood global,

yang didorong oleh peningkatan angka populasi dunia. Hal ini14 Global Education Project, “Fishing & Aquaculture,” http://www.theglobaleducationproject.org/earth/fisheries-and-aquaculture.php (diakses pada 6 Oktober 2014).

11

mengindikasikan bahwa upaya-upaya yang dijalankan berbagai pihak

non-negara belum terlihat signifikansinya, karena permintaan

akan seafood justru meningkat tiap tahunnya, dan menandakan

eksploitasi sumber daya laut terus berjalan. Akibat permintaan

seafood yang tinggi, Perusahaan-perusahaan seafood transnasional

ikut mengalami perkembangan—dimana hal ini juga ditunjang oleh

sistem kapitalisme yang berlangsung saat ini.

Tabel 215

Sepuluh Perusahaan Transnasional Seafood Terbesar di Dunia

No

.Nama Perusahaan Asal

Kapitalisasi

Pasar

(dalam juta

USD)1. Marubeni Corp. Jepang 8.4502. PAN Fish ASA Norwegia 3.004

3.Nutreco Holding

NV/Marine HarvestBelanda 2.278

4.Toyo Suisan Kaisha

Ltd.Jepang 1.728

5. Nichirei Corp. Jepang 1.706

6.Nippon Suisan

Kaisha Ltd.Jepang 1.641

7. Katokichi Co. Ltd. Jepang 1.3248. Cermaq Norwegia 1.288

9.Austevoll Seafood

ASANorwegia 1.148

10

.

Dalian Zhangzidao

Fishery Group Co.

Cina 1.146

15 OECD, Globalisation in Fisheries and Aquaculture: Opportunities and Challenge, (OECD Publishing, 2010), 113.

12

Ltd.

Dari tabel diatas, terlihat bahwa privatisasi laut dan

perikanan memang telah terjadi, sejalan dengan penjelasan Becky

Mansfield. Namun, hal ini bukan berarti kesejahteraan lingkungan

ikut tercapai, karena privatisasi justru memberikan ruang

eksploitasi yang lebih teroganisir, hanya seakan-akan terlihat

“baik”. Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar ini terus

mengambil sumber daya laut, baik yang dianggap sustainable

ataupun tidak, sehingga mengakibatkan angka ketersediaan sumber

daya laut berkurang, dan mengganggu keseimbangan ekosistem

didalamnya.

Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya

pelestarian lingkungan laut dan perikanan memerlukan usaha yang

sangat keras dan bersifat luas (global), karena masalah

lingkungan adalah masalah bagi seluruh umat manusia di seluruh

dunia. Apabila upaya-upaya yang dilakukan kebanyakan NGO saat

ini dilakukan dengan pendekatan berbasis pasar, hal ini menurut

penulis terjadi karena dua alasan besar. Pertama, tekanan

terhadap pemerintah untuk mulai pro-lingkungan masih sangat

sulit dicapai, karena kepentingan politik dan ekonomi masih

sangat mendominasi sistem yang ada saat ini. Di saat yang sama,

kerusakan lingkungan terus terjadi, sehingga opsi kedua adalah

dengan mengajak tiap-tiap pihak (masyarakat, pebisnis, dan pihak

lainnya) untuk turut serta dalam menjaga lingkungan. Memang

benar, bahwa efektivitas usaha ini masih sangat minim, namun

setidaknya sebagian masyarakat sudah mencoba menjaga lingkungan.

Apabila upaya pelestarian benar-benar sepenuhnya ingin

dilakukan, maka cara yang paling efektif adalah mengubah sistem

13

neoliberal saat ini (yang menunjang eksploitasi sumber daya

alam). Selain itu, sebagaimana dijelaskan oleh National

Geographic, yaitu “marine ecosystems can be restored and success depends on

setting areas aside from human encroachment.”16

Daftar Pustaka

16 National Geographic, Declining Fish, MP4. Dibuat oleh National Geographic, http://video.nationalgeographic.com/video/declining-fish (diakses pada 6 Oktober 2014).

14

Büscher, Bram dan Arsel, Murat. “Introduction: Neoliberal

Conservation, Uneven Geographical Development and the

Dynamics of Contemporary Capitalism,” Tijdschrift voor

Economische en Sociale Geografie, no. 2 (2012): 129-135

Fishchoice.com, “Sustainable Seafood Partners,”

http://www.fishchoice.com/content/sustainable-seafood-

partners (diakses pada 5 Oktober 2014).

Global Education Project, “Fishing & Aquaculture,”

http://www.theglobaleducationproject.org/earth/fisheries-

and-aquaculture.php (diakses pada 6 Oktober 2014).

Konefal, Jason. “Environmental Movements, Market-Based

Approaches, and Neoliberalization: A Case Study of the

Sustainable Seafood Movement,” Organization Environment, no.

26 (2013): 336-352

Mansfield, Becky. “Neoliberalism in the Oceans:

“Rationalization,” property Rights, and the Commons

Question,” Geoforum, no. 35 (2004): 313-326

Mansfield, Becky. “Rules of Privatization: Contradictions in

Neoliberal Regulation of North Pacifis Fisheries,” Annals of

the Association of American Geographers no. 3 (2004): 565-

584

National Geographic, Declining Fish, MP4. Dibuat oleh National

Geographic,

http://video.nationalgeographic.com/video/declining-fish

(diakses pada 6 Oktober 2014).

OECD, Globalisation in Fisheries and Aquaculture: Opportunities

and Challenge, (OECD Publishing, 2010), 113.

15

Roheim, Cathy A. “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides:

Implications for Environmental Groups and the Seafood

Industry,” Marine Resources Economies, No. 3 (2009): 301-310

World Wide Fund, “Unsustainable Fishing,”

http://wwf.panda.org/about_our_earth/blue_planet/problems/pr

oblems_fishing/ (diakses pada 5 Oktober 2014).

16


Recommended