Tantangan Pelestarian Lingkungan Laut dan Perikanan
oleh NGO dan Hubungannya dalam Sistem NeoliberalismePada perkembangannya, angka penduduk dunia yang semakin
meningkat diikuti pula dengan permintaan pangan yang tinggi.
Dalam hal ini, berbagai jenis komoditas menjadi sasarannya,
termasuk sumber daya laut. Perkembangan teknologi dan investasi
juga mendukung peningkatan ekploitasi laut, yang kemudian
mempengaruhi keseimbangan ekosistem didalamnya. Menghadapi hal
ini, muncul berbagai pihak non-negara yang berupaya mengatasi
permasalahan eksploitasi sumber daya laut melalui berbagai
metode, seperti menekan pemerintah, edukasi masyarakat, hingga
pendekatan terhadap pelaku-pelaku bisnis atau sistem pasar.
Namun secara khusus, Jason Konefal berpendapat bahwa pendekatan
berbasis pasar sebagai bentuk upaya pelestarian laut dan
perikanan justru berkontribusi dan melegitimasi sistem
neoliberalisasi yang ada. Berangkat dari hal tersebut, tulisan
ini akan membahas tulisan Konefal yang berjudul “Environmental
Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization Study of the Sustainable
Seafood Movement”. Tulisan kemudian dilanjutkan dengan pembanding
literatur, analisa oleh penulis, dan diakhiri dengan kesimpulan.
Dalam tulisannya, Konefal menjelaskan bahwa mayoritas
organisasi gerakan lingkungan Amerika Serikat (US Environmental
Movement Organizations/EMOs) kini fokus pada sistem pasar dalam
mencapai tujuannya. Strategi utama yang diambil adalah dengan
berupaya mengubah permintaan pasar terhadap komoditas yang lebih
sustainable. Melalui hal ini, pebisnis diharapkan menerapkan
praktik-praktik yang lebih ramah lingkungan sehingga dapat
mengurangi degradasi lingkungan. Dengan kata lain, organisasi-
organisasi ini berupaya mencapai tujuannya melalui sistem pasar,1
namun tanpa ikut serta dalam logika, praktik, dan dominasi aktor
pasar. Adapun gerakan yang disebut sebagai “sustainable seafood
movement” (atau SSM) ini berawal pada akhir 1990-an, sebagai
respon minimnya kesuksesan kelestarian lingkungan melalui
tekanan terhadap pemerintah dan kondisi politik serta ekonomi
kearah yang lebih ramah lingkungan.
Adapun pendekatan berbasis pasar dilakukan melalui berbagai
inisiatif, yang dibagi kedalam dua kategori; demand-oriented dan
supply-oriented. Inisiatif demand-oriented berupaya mengubah pasar
dan konsumsi seafood ke pilihan yang lebih sustainable. Hal ini
dilakukan melalui single-species campaign—yang mencakup strategi
seperti edukasi konsumen (melalui seafood cards)1, kerjasama dengan
retailer, kampanye media, menekan pemerintah untuk memberlakukan
aturan baru, dan promosi melalui restoran dan juru masak
selebriti untuk mengkonsumsi produk laut yang sustainable. Kemudian
supply-oriented—yaitu melalui pembentukan private governance body yang
disebut Marine Stewardship Council (MSC). Badan ini dibentuk
untuk menyusun standar sustainable fishing, sertifikasi, dan
mempromosikan konsumsi sustainable seafood melalui penyediaan produk
laut yang ramah lingkungan.
Namun, Konefal memandang pendekatan berbasis pasar yang
digunakan oleh SSM pada dasarnya sejalan dengan teori dan
praktik neoliberal. Secara gamblang, Konefal menyatakan argumen
utamanya bahwa pendekatan berbasis pasar yang digunakan oleh
organisasi-organisasi sustainable seafood telah berkontribusi dalam
neoliberalisasi dan legitimasinya. Bahkan, pendekatan berbasis
1 Seafood Cards adalah kartu pedoman berukuran kecil yang berisi kategori produklaut berdasarkan keberlanjutannya (jenis seafood apa saja yang boleh dikonsumsi [ditandai dengan warna hijau], sebaiknya dihindari untuk sementara[warna kuning] atau benar-benar dihindari [warna merah]). Contoh Seafood Cardsada dalam lampiran 1.
2
pasar secara tidak langsung “menyokong” prinsip utama
neoliberalisasi, yaitu prinsip individualisme, marketisasi, dan
devolusi otoritas regulasi. Individualisme terlihat dari
bagaimana organisasi-organisasi SSM memberikan berbagai
informasi terkait produk laut apa saja yang boleh dan sebaiknya
dihindari untuk dikonsumsi, namun menyerahkan keputusan
sepenuhnya terhadap individu. Terlebih, informasi yang
disampaikan oleh SSM (misalnya melalui seafood cards) tidak
mendorong masyarakat untuk mengurangi kuantitas konsumsi
hidangan laut, melainkan hanya mengganti pilihan ke produk yang
lebih sustainable. Dengan kata lain, pendekatan ini bersifat pasif
dan hanya bersifat temporer (tidak sebagai alternatif jangka
panjang pelestarian produk laut). Hal ini dirasa Konefal kurang
efektif dan memiliki dampak yang terbatas, karena total konsumsi
seafood terus mengalami peningkatan, dan permasalahan kerusakan
lingkungan laut dan perikanan telah terjadi dalam level
berbahaya dan skala yang besar, yaitu global.
Selanjutnya, marketisasi terlihat dari SSM yang cenderung
terjun kedalam pasar dalam mencapai dukungan yang besar dari
retailer—artinya mendukung marketisasi masyarakat AS. Kemudian
devolusi otoritas regulasi dapat dilihat dari pembentukan private
governance body, misalnya MSC). Terlebih, Konefal berpendapat bahwa
penggunaan pendekatan ini telah menandakan bahwa sistem pasar
yang ada saat ini adalah yang “tepat” terhadap environmental
governance.
Konefal berpendapat bahwa dengan menggunakan pendekatan
berbasis pasar, organisasi pelestarian lingkungan sebenarnya
telah terjerumus dalam sistem pasar itu sendiri. Hal ini
dikarenakan pendekatan semacam itu akan berfungsi dalam sistem
3
ekonomi politik kapitalis, yang mana bertentangan terhadap
kelestarian lingkungan. Pendekatan berbasis pasar yang digunakan
oleh banyak organisasi lingkungan justru memfasilitasi praktik
degradasi lingkungan yang sebenarnya ingin mereka cegah. Oleh
karenanya, Konefal pada akhirnya menyatakan bahwa diperlukan
pendekatan-pendekatan lain yang menantang norma, ideologi, dan
praktik neoliberalisasi hasil kapitalisme untuk benar-benar
menyelesaikan permasalahan lingkungan, khususnya terkait laut
dan perikanan. Dengan kata lain, dengan mengubah sistem yang ada
saat ini kearah yang lebih environmental sustainable dan bersifat
jangka panjang.
Kontradiktif dengan argumen Konefal, Becky Mansfield
berpendapat bahwa sistem neoliberalisasi, khususnya praktik
privatisasi laut dan perikanan justru mendukung kesejahteraan
sosial dan lingkungan. Adapun argumen ini berangkat dari
pemikiran terkait “common goods” (dalam hal ini laut beserta
isinya) yang secara historis menjadi objek eksploitasi manusia,
sehingga menyebabkan kerusakan lingkungan. Secara detil, hal ini
bermula dari sejarah bahwa lautan dan samudera dianggap sebagai
“common heritage of mankind”—yang terbuka bagi setiap pihak untuk
dimaksimalkan dan dieksploitasi. Logika ini juga memandang laut
sebagai ruang gerak dan transportasi, yang memfasilitasi
merkantilisme, penjelajahan, ekspansi kolonial, dan manuver
militer perang dingin.2 Mansfield juga mendasari pemikiran ini
berdasarkan pendekatan “tragedy of the commons” menurut Hardin, yang
menurutnya menjadi eksplanasi abadi tentang degradasi
lingkungan.3 Sebagai solusinya, hak kepemilikan (property rights)
menjadi metode yang dirasa dapat menahan “kerakusan” manusia2 Becky Mansfield, “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, and the Commons Question,” Geoforum, no. 35 (2004): 314.
4
terhadap common goods, sehingga pemanfaatannya dapat diatur dan
ditekan. Dengan kata lain, melalui privatisasi.4
Solusi terkait masalah perikanan sendiri tidak fokus pada
ikan dan kondisi biologisnya, melainkan fokus pada efisiensi
ekonomi dan cara-cara untuk mereformasi rejim kepemilikan untuk
menopang pengambilan keputusan individu terhadap realita ekonomi
dan ekologis. Dengan kata lain, Mansfield menyatakan bahwa
efisiensi ekonomi merupakan kunci dari kesejahteraan sosial dan
lingkungan.5
Pada kenyataannya, tidak dapat dipungkiri bahwa pendekatan
berbasis pasar sebagai upaya penyelesaian masalah lingkungan
memang mendominasi kondisi saat ini. Namun, penulis sendiri
memandang bahwa pada dasarnya sistem neoliberal—dengan praktik
kapitalisme tidak dapat berjalan beriringan dengan upaya
pelestarian lingkungan, khususnya pelestarian laut dan
perikanan. Hal ini kembali pada logika bahwa sistem neoliberal
(dengan kapitalisme atau privatisasi-nya) merupakan sistem
ekonomi yang berupaya memaksimalkan profit. Untuk itu, sangat
mungkin praktik eksploitasi sumber daya alam dilakukan.
Sekalipun pendekatan berbasis pasar ini dijalankan oleh aktor
non-negara, efektivitasnya sangat terbatas dan tidak dapat
berhasil untuk jangka panjang dan dalam level global. Hal ini
didukung dengan penjelasan Bram Büscher dan Murat Arsel terkait
“neoliberal conservation”.
3 Becky Mansfield, “Rules of Privatization: Contradictions in Neoliberal Regulation of North Pacifis Fisheries,” Annals of the Association of American Geographersno. 3 (2004): 367. 4 Becky, “Neoliberalism in the Oceans: “Rationalization,” property Rights, andthe Commons Question,” 316.5 Ibid.
5
Menurut Büscher dan Arsel, masalah lingkungan dan
kemiskinan telah mengundang munculnya berbagai “partnership”
antarnegara, korporasi, institusi akademik, badan-badan
pembangunan, dan NGO. Namun, upaya utama yang dilakukan pihak-
pihak ini terbatas pada penyelesaian masalah dasar, bukan
mengatasi akar permasalahan lingkungan—yaitu neoliberalisme itu
sendiri. Oleh karenanya, respon mainstream krisis lingkungan saat
ini adalah “neoliberal conservation”—yaitu usaha konservasi
lingkungan agar dapat sejalan dengan kapitalisme.6 Dari sini,
terlihat bahwa upaya perubahan radikal sistem dan struktur
secara luas tidak dilakukan oleh para aktor non-negara, karena
kemunculan pihak-pihak ini sendiri adalah sebagai akibat
perkembangan sistem neoliberal (yaitu yang memberikan ruang
gerak bagi aktor non-negara untuk melakukan aktivitas dan
pengaturan tertentu).
Lebih lanjut, apabila sebelumnya Konefal menyatakan bahwa
organisasi-organisasi perlindungan laut dan perikanan mayoritas
menggunakan pendekatan berbasis pasar, maka hal ini terlihat
dari program perlindungan laut dan perikanan yang dijalankan
oleh salah satu organisasi lingkungan terbesar, yaitu World Wide
Fund (WWF). Dalam situs resminya, dituliskan terdapat tiga cara
bagaimana masyarakat dapat bertindak untuk mengatasi masalah
kerusakan laut dan perikanan, yaitu dengan [1] membeli seafood
yang sustainable, [2] Memberikan donasi ke WWF, dan [3]
menyebarluaskan informasi (spread the word). Khusus mengenai cara
pertama, hal ini dapat dilakukan dengan membeli produk seafood
yang sudah berlabel MSC, serta mendorong retailer dan pedagang
6 Bram Büscher dan Murat Arsel, “Introduction: Neoliberal Conservation, UnevenGeographical Development and the Dynamics of Contemporary Capitalism,” Tijdschrift voor Economische en Sociale Geografie, no. 2 (2012): 129.
6
untuk menyediakan produk yang sustainable.7 Selanjutnya, WWF juga
menyediakan seafood card yang selalu diperbarui tiap tahunnya untuk
disebarluaskan ke masyarakat. Hal ini memperlihatkan bahwa
penjelasan Konefal sebelumnya memang benar terjadi, bahkan pada
NGO besar semacam WWF. Terlebih, WWF juga tidak menyebutkan atau
mendorong masyarakat untuk mengurangi konsumsi seafood, melainkan
mengubah preferensinya berdasarkan sertifikasi, dan seafood card
yang disediakan.
Selanjutnya, menanggapi pembahasan Konefal terkait Sustainable
Seafood Movement (SSM), maka Cathy A. Roheim dalam tulisannya
menjelaskan berbagai tantangan dan halangan SSM untuk mencapai
tujuan utamanya; yaitu kelestarian lingkungan laut dan
perikanan. SSM pada dasarnya adalah pendekatan yang berupaya
menciptakan permintaan seafood yang sustainable, termasuk melalui
boikot, seafood guide (dalam bentuk seafood card), dan ecolabeling8
(yang dilakukan oleh MSC, ASC, BAP atau Food Alliance).9
Namun, berbagai cara ini memiliki kendala dalam
implementasinya. Pertama, kategorisasi jenis seafood yang
dirancang dalam species ranking berbeda—tergantung lokasi publikasi
dan organisasi apa yang mempublikasikannya. Dalam artian, urutan7 World Wide Fund, “Unsustainable Fishing,” http://wwf.panda.org/about_our_earth/blue_planet/problems/problems_fishing/ (diakses pada 5 Oktober 2014).8 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implications for Environmental Groups and the Seafood Industry,” Marine Resources Economies, No.3 (2009): 301.9 Marine Stewardship Council (MSC) fokus pada sertifikasi produk seafood hasiltangkap laut lepas/liar. The Aquaculture Stewardship Council (ASC) fokus pada sertifikasi produkseafood hasil tambak. Best Aquaculture Practices (BAP) fokus pada standar metode, elemen, danevaluasi terkait aktivitas tambak.Food Alliance fokus pada sertifikasi pertanian, peternakan, produsen dandistributor makanan yang berkelanjutan. Sumber: Fishchoice.com,http://www.fishchoice.com/content/sustainable-seafood-partners (diakses pada5 Oktober 2014).
7
jenis dan spesies apa saja yang boleh di konsumsi hingga
dihindari berbeda di tiap wilayah atau organisasi.10 Contoh dapat
dilihat dari tabel berikut:
Tabel 111
Tabel diatas memperlihatkan jenis produk laut yang sama,
yaitu Swordfish, masuk kedalam tiga kategori sekaligus (hijau,
kuning, merah)—tergantung dari cara penangkapan, area
penangkapan, dan daerah asal. Kategorisasi juga bergantung dari
NGO apa yang menetapkan kategorisasi Swordfish. Hal ini
menyebabkan pedoman yang benar-benar dapat dijadikan acuan bagi
masyarakat sebagai konsumen dan retailer tidak ada, karena
terlalu banyak dan bervariasi. Oleh karena itu, meskipun
distribusi species ranking ini luas, namun efektivitasnya sedikit
terhadap masyarakat.
Kedua, validitas terkait species ranking banyak yang tidak
disetujui oleh para retailer atau industri seafood. Apa yang
dianggap unsustainable bagi NGO tertentu sering bertentangan dengan
10 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implicationsfor Environmental Groups and the Seafood Industry”, 302.11 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implicationsfor Environmental Groups and the Seafood Industry”, 307.
8
pandangan pelaku-pelaku bisnis. Ketiga, organisasi yang berbeda
dapat menggunakan mekanisme penilaian yang berbeda pula tentang
bagaimana mengevaluasi spesies, lingkungan, atau praktik
memancing dan tambak. Hal ini mengakibatkan munculnya
rekomendasi NGO yang beragam, sehingga membingungkan pelaku
bisnis. Bahkan, Roheim menyebutkan 72% pihak yang menjadi
sasaran tujuan kebingungan dengan rekomendasi tersebut.12
Setelah membandingkan tulisan Konefal dengan berbagai sumber
literatur, selanjutnya pembahasan masuk kedalam analisis
penulis. Adapun analisis ini berupaya menjawab tiga pertanyaan
utama terkait topik yang dibahas, yaitu [1] Bagaimana
efektivitas rejim non-negara dalam menyelesaikan persoalan
lingkungan global? [2] Apakah dengan semakin banyaknya kemitraan
antara sektor privat dan masyarakat sipil menggoyahkan
sentralisasi negara dalam tata kelola lingkungan global? [3]
Tantangan apa saja yang dihadapi rejim lingkungan non-negara
dalam mewujudkan legitimasi dan orotirasnya di mata publik?.
Pertama, sebagaimana yang telah disinggung dalam pembahasan
sebelumnya, efektivitas rejim non-negara dalam menyelesaikan
persoalan lingkungan global adalah minim dan berskala kecil. Hal
ini dikarenakan upaya pelestarian lingkungan merupakan usaha
yang harus dilakukan secara kolektif, dalam skala yang besar dan
global, serta didukung oleh sistem serta struktur global yang
pro-lingkungan. Dalam hal ini, rejim non-negara atau NGO
lingkungan berdiri sebagai pihak yang hanya mampu mengayomi dan
mengajak masyarakat untuk mulai pro-lingkungan, namun tidak
dapat memaksakan penerapannya.
12 Cathy A. Roheim, “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides: Implicationsfor Environmental Groups and the Seafood Industry”, 302.
9
Kedua, “apakah dengan semakin banyaknya kemitraan antara
sektor privat dan masyarakat sipil menggoyahkan sentralisasi
negara dalam tata kelola lingkungan global?” menurut penulis,
tidak. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, meski
kemunculan berbagai NGO dan kemitraan publik-swasta meningkat,
namun tata kelola lingkungan global baru akan efektif apabila
diatur oleh negara (yang memiliki otoritas dan legitimasi untuk
menyusun regulasi pro-lingkungan). Hal ini terlihat dari
bagaimana pada awalnya gerakan-gerakan pelestarian lingkungan
mengawali usahanya dengan melakukan pendekatan terhadap
pemerintah—menandakan bahwa pihak yang benar-benar dapat
mengatur pencapaian pelestarian lingkungan adalah melalui
komitmen pemerintah. Dalam hal ini, aktor non-negara masih
terbatas sebagai pihak yang mendorong, mengayomi, dan
menyakinkan masyarakat serta pebisnis untuk mulai aktif dalam
menjaga lingkungan, namun tidak secara legal menyusun regulasi
yang harus atau wajib dijalankan oleh tiap masyarakat. Selain
itu, NGO pelestarian lingkungan juga tidak memiliki otoritas
untuk menghukum pihak-pihak tertentu yang melanggar atau
melakukan aktivitas yang merusak lingkungan, karena otoritas ini
tetap berada di tangan pemerintah berdaulat.
Ketiga, tantangan yang dihadapi rejim lingkungan non-negara
dalam mewujudkan legitimasi dan orotirasnya di mata publik telah
dijelaskan sebelumnya, bahwa peran NGO terbatas sebagai penyedia
informasi, namun keputusan untuk bertindak (atau tidak)
sepenuhnya tergantung dari individu atau masyarakat.13 Selain
itu, apabila NGO berusaha untuk memboikot perdagangan produk
13 Jason Konefal, “Environmental Movements, Market-Based Approaches, and Neoliberalization: A Case Study of the Sustainable Seafood Movement,” Organization Environment, no. 26 (2013): 343.
10
laut tertentu, hal ini akan mempengaruhi retailer yang menjual
produk tersebut, dan tidak menutup kemungkinan munculnya
konflik. Hal ini kemudian memperlihatkan ketergantungan
pencapaian tujuan pelestarian lingkungan berada di tangan
individu secara kolektif, bukan NGO yang berdiri sendiri. Selain
itu, sistem neoliberal yang terjadi saat ini memperlihatkan
bahwa keuntungan ekonomi masih sangat mendominasi sistem,
sehingga eksploitasi sumber daya, khususnya laut dan perikanan
akan terus berjalan (bahkan meningkat). Hal ini terlihat dari
data berikut:
Grafik 114
Berdasarkan grafik diatas, terlihat kecenderungan produksi
perikanan dari tahun 1950 hingga 2002 terus mengalami
peningkatan. Adapun produk yang berasal dari hasil tangkap laut
lepas yang mencapai lebih dari 60 juta metrik ton perkapita
dunia di tahun 2002. Peningkatan produksi seafood ini menurut
penulis sebagai akibat tingginya permintaan akan seafood global,
yang didorong oleh peningkatan angka populasi dunia. Hal ini14 Global Education Project, “Fishing & Aquaculture,” http://www.theglobaleducationproject.org/earth/fisheries-and-aquaculture.php (diakses pada 6 Oktober 2014).
11
mengindikasikan bahwa upaya-upaya yang dijalankan berbagai pihak
non-negara belum terlihat signifikansinya, karena permintaan
akan seafood justru meningkat tiap tahunnya, dan menandakan
eksploitasi sumber daya laut terus berjalan. Akibat permintaan
seafood yang tinggi, Perusahaan-perusahaan seafood transnasional
ikut mengalami perkembangan—dimana hal ini juga ditunjang oleh
sistem kapitalisme yang berlangsung saat ini.
Tabel 215
Sepuluh Perusahaan Transnasional Seafood Terbesar di Dunia
No
.Nama Perusahaan Asal
Kapitalisasi
Pasar
(dalam juta
USD)1. Marubeni Corp. Jepang 8.4502. PAN Fish ASA Norwegia 3.004
3.Nutreco Holding
NV/Marine HarvestBelanda 2.278
4.Toyo Suisan Kaisha
Ltd.Jepang 1.728
5. Nichirei Corp. Jepang 1.706
6.Nippon Suisan
Kaisha Ltd.Jepang 1.641
7. Katokichi Co. Ltd. Jepang 1.3248. Cermaq Norwegia 1.288
9.Austevoll Seafood
ASANorwegia 1.148
10
.
Dalian Zhangzidao
Fishery Group Co.
Cina 1.146
15 OECD, Globalisation in Fisheries and Aquaculture: Opportunities and Challenge, (OECD Publishing, 2010), 113.
12
Ltd.
Dari tabel diatas, terlihat bahwa privatisasi laut dan
perikanan memang telah terjadi, sejalan dengan penjelasan Becky
Mansfield. Namun, hal ini bukan berarti kesejahteraan lingkungan
ikut tercapai, karena privatisasi justru memberikan ruang
eksploitasi yang lebih teroganisir, hanya seakan-akan terlihat
“baik”. Pada kenyataannya, perusahaan-perusahaan besar ini terus
mengambil sumber daya laut, baik yang dianggap sustainable
ataupun tidak, sehingga mengakibatkan angka ketersediaan sumber
daya laut berkurang, dan mengganggu keseimbangan ekosistem
didalamnya.
Pada akhirnya, dapat ditarik kesimpulan bahwa upaya
pelestarian lingkungan laut dan perikanan memerlukan usaha yang
sangat keras dan bersifat luas (global), karena masalah
lingkungan adalah masalah bagi seluruh umat manusia di seluruh
dunia. Apabila upaya-upaya yang dilakukan kebanyakan NGO saat
ini dilakukan dengan pendekatan berbasis pasar, hal ini menurut
penulis terjadi karena dua alasan besar. Pertama, tekanan
terhadap pemerintah untuk mulai pro-lingkungan masih sangat
sulit dicapai, karena kepentingan politik dan ekonomi masih
sangat mendominasi sistem yang ada saat ini. Di saat yang sama,
kerusakan lingkungan terus terjadi, sehingga opsi kedua adalah
dengan mengajak tiap-tiap pihak (masyarakat, pebisnis, dan pihak
lainnya) untuk turut serta dalam menjaga lingkungan. Memang
benar, bahwa efektivitas usaha ini masih sangat minim, namun
setidaknya sebagian masyarakat sudah mencoba menjaga lingkungan.
Apabila upaya pelestarian benar-benar sepenuhnya ingin
dilakukan, maka cara yang paling efektif adalah mengubah sistem
13
neoliberal saat ini (yang menunjang eksploitasi sumber daya
alam). Selain itu, sebagaimana dijelaskan oleh National
Geographic, yaitu “marine ecosystems can be restored and success depends on
setting areas aside from human encroachment.”16
Daftar Pustaka
16 National Geographic, Declining Fish, MP4. Dibuat oleh National Geographic, http://video.nationalgeographic.com/video/declining-fish (diakses pada 6 Oktober 2014).
14
Büscher, Bram dan Arsel, Murat. “Introduction: Neoliberal
Conservation, Uneven Geographical Development and the
Dynamics of Contemporary Capitalism,” Tijdschrift voor
Economische en Sociale Geografie, no. 2 (2012): 129-135
Fishchoice.com, “Sustainable Seafood Partners,”
http://www.fishchoice.com/content/sustainable-seafood-
partners (diakses pada 5 Oktober 2014).
Global Education Project, “Fishing & Aquaculture,”
http://www.theglobaleducationproject.org/earth/fisheries-
and-aquaculture.php (diakses pada 6 Oktober 2014).
Konefal, Jason. “Environmental Movements, Market-Based
Approaches, and Neoliberalization: A Case Study of the
Sustainable Seafood Movement,” Organization Environment, no.
26 (2013): 336-352
Mansfield, Becky. “Neoliberalism in the Oceans:
“Rationalization,” property Rights, and the Commons
Question,” Geoforum, no. 35 (2004): 313-326
Mansfield, Becky. “Rules of Privatization: Contradictions in
Neoliberal Regulation of North Pacifis Fisheries,” Annals of
the Association of American Geographers no. 3 (2004): 565-
584
National Geographic, Declining Fish, MP4. Dibuat oleh National
Geographic,
http://video.nationalgeographic.com/video/declining-fish
(diakses pada 6 Oktober 2014).
OECD, Globalisation in Fisheries and Aquaculture: Opportunities
and Challenge, (OECD Publishing, 2010), 113.
15
Roheim, Cathy A. “An Evaluation of Sustainable Seafood Guides:
Implications for Environmental Groups and the Seafood
Industry,” Marine Resources Economies, No. 3 (2009): 301-310
World Wide Fund, “Unsustainable Fishing,”
http://wwf.panda.org/about_our_earth/blue_planet/problems/pr
oblems_fishing/ (diakses pada 5 Oktober 2014).
16