+ All Categories
Home > Documents > TUGAS WAWANCARA TENTANG PERCERAIAN KELUARGA

TUGAS WAWANCARA TENTANG PERCERAIAN KELUARGA

Date post: 29-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
12
TUGAS WAWANCARA TENTANG PERCERAIAN KELUARGA Disusun guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Komunikasi Keluarga Semester Gasal Tahun 2015 Disusun oleh : Iqbal Widiarko F1C014051 Khaerunisah F1C013003 Salsabila Ainurrohman F1C013033 Yasar Abdul Baqi F1C013075 Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Universitas Negeri Jenderal Soedirman Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan Ilmu Komunikasi Purwokerto 2015
Transcript

TUGAS WAWANCARA TENTANG PERCERAIAN KELUARGA

Disusun guna memenuhi nilai tugas mata kuliah Komunikasi Keluarga

Semester Gasal Tahun 2015

Disusun oleh :

Iqbal Widiarko F1C014051

Khaerunisah F1C013003

Salsabila Ainurrohman F1C013033

Yasar Abdul Baqi F1C013075

Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi

Universitas Negeri Jenderal Soedirman

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan Ilmu Komunikasi

Purwokerto

2015

BAB I

Pendahuluan

Latar Belakang

Perubahan zaman dan berkembangnya paradigma berpikir individu maupun komunitas

tertentu mempengaruhi problematika kehidupan keluarga yang kian lama kian kompleks. Hal

ini tercermin pada meningkatnya jumlah keluarga yang bercerai dari tahun ke tahun. Pada

dasarnya, perkawinan adalah kegiatan yang sakral, bukan hal sepele yang bisa diputuskan

begitu saja. Namun, gejolak perkembangan zaman seakan terus “menggugat” hakikat atau

esensi sebuah perkawinan itu sendiri, ketika manusia mulai merasakan kegetiran hidup yang

menuntut adanya rekonstruksi pemahaman yang lebih seimbang. Himpitan ekonomi,

tranformasi budaya, politik merupakan bentuk-bentuk gugatan terhadap cara pandang di atas.

Permasalahan dalam sebuah rumah tangga jika tidak bisa diatasi secara bersama maka akan

menimbulkan keretakan yang serius, bahkan berujung pada perceraian.

Perceraian adalah putusnya ikatan perkawinan antara suami isteri dengan keputusan

pengadilan dan ada cukup alasan bahwa diantara suami isteri tidak akan dapat hidup rukun

lagi sebagai suami isteri (Soemiyati,1982:12). Perceraian terjadi karena seringkali dalam

rumah tangga tersebut tidak ada lagi keselarasan arah dan tujuan oleh masing-masing anggota

keluarga terutama suami istri sebagai pemegang pilar keluarga. Untuk penyebab spesifik dari

perceraian dalam sebuah keluarga itu sendiri bisa berbeda pada setiap pasangan yang

bercerai. Hal ini seringkali dilatarbelakangi oleh konflik dimana setiap pasangan suami dan

istri punya caranya masing-masing dalam menyikapi konflik yang terjadi. Untuk itu dalam

makalah ini akan dibahas mengenai kasus real sebuah perceraian, alasan, dan dampak

perceraian padas sebuah keluarga yang juga akan dikaitakan dengan teori-teori keluarga.

Iqbal: Pendahuluannya tinggal tambah dikit ya terserah kamu deh

pokoknya.hehe

BAB II

Kajian Teoritis

Definisi Perceraian

Dalam sebuah hubungan, konflik seringkali menjadi bumbu yang mewarnai relasi itu sendiri.

Pada dasarnya kehadiran konflik dalam sebuah hubungan menjadi ujian tersendiri yang harus

dilalui bersama untuk mencapai kedalaman hubungan yang lebih intim. Sayangnya,

seringkali konflik dengan pemecahan solusi yang kurang tepat justru berujung pada

kerusakan hubungan. Contohnya konflik yang menyebabkan hubungan suami dan istri

berujung pada perceraian. Melihat perceraian ini sebagai suatu hal krusial dalam sebuah

keluarga, pemerintah juga memberlakukan undang-undang guna melindungi kasus perceraian

itu sendiri.

Pada prinsipnya Undang-Undang Perkawinan adalah mempersulit adanya perceraian tetapi

tidak berarti Undang-Undang Perkawinan tidak mengatur sama sekali tentang tata cara

perceraian bagi para suami isteri yang akan mengakhiri ikatan perkawinannya dengan jalan

perceraian. Istilah perceraian terdapat dalam pasal 28 UU No. 1 Tahun 1974 yang memuat

ketentuan fakultatif bahwa “perkawinan dapat putus karena kematian, perceraian, dan atas

putusan pengadilan”. Jadi secara yuridis istilah perceraian berarti putusnya perkawinan, yang

mengakibatkan putusnya hubungan sebagai suami istri.

Istilah perceraian menurut UU No. 1 Tahun 1974 sebagai aturan hukum positif tentang

perceraian menunjukkan adanya:

1. Tindak hukum yang dapat dilakukan oleh suami atau istri untuk memutus hubungan

perkawinan diantara mereka;

2. Peristiwa hukum yang memutuskan hubungan suami dan istri, yaitu kematian suami

atau istri yang bersangkutan, yang merupakan ketentuan yang pasti dan langsung

ditetapkan oleh Tuhan yang Maha Kuasa;

3. Putusan hukum yang dinyatakan oleh pengadilan yang berakibat hukum putusnya

hubungan perkawinan antara suami istri.

Putusnya perkawinan ini diatur juga oleh negara melalui Undang-UndangmPasal 39 UU

Perkawinan terdiri dari 3 ayat dengan rumusan:

1. Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang

bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak;

2. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu

tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri;

3. Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan

tersendiri.

Sementara itu, menurut pandangan agama Islam, ketentuan tentang keharusan perceraian di

pengadilan ini memang tidak diatur dalam fiqh mazhab apa pun. Dalam pandangan fiqh

perceraian itu sebagaimana keadaannya perkawinan adalah urusan pribadi dan karenanya

tidak perlu diatur oleh ketentuan publik.

Ibu dan ayah memiliki peran sentral dalam sebuah keluaga. Untuk itu tentu diperlukan

hubungan yang baik diantara mereka untuk mencapai keluarga ideal melalui komunikasi

keluarga yang baik. Namun seringkali perceraian menjadi hal yang menghambat proses

komunikasi antar anggota keluarga. Berdasarkan dengan kasus perceraian yang terjadi pada

pasangan suami istri, ada beberapa teori komunikasi keluarga yang berkaitan dengan hal

tersebut.

Teori Dialektika Relasional

Teori Dialektika Relasional atau Relational Dialectics Theory (RDT) menyatakan bahwa

suatu hubungan dicirikan dengan adanya ketegangan-ketegangan yang berkelanjutan antara

impuls-impuls yang kontradiktif. Orang tidak selalu dapat menyelesaikan elemen-elemen

kontradiktif dalam kepercayaan mereka, dan mereka memiliki kepercayaan yang tidak

konsisten mengenai hubungan. Asumsi yang terkandung dalam Teori Dialektika Relasional

menurut Baxter dan Montgomery (1996), diantaranya adalah:

1. Hubungan tidak bersifat linear

2. Hidup berhubungan ditandai dengan adanya perubahan

3. Kontradiksi merupakan fakta fundamental dalam hidup berhubungan: Kontradiksi

atau ketegangan terjadi antara dua hal yang berlawanan tidak pernah hilang dan tidak

pernah berhenti menciptakan ketegangan. Orang mengelola ketegangan dan oposisi

ini dengan cara berbeda-beda tetapi kedua hal ini selalu ada dalam hidup

berhubungan.

4. Komunikasi sangat penting dalam mengelola dan menegosiasikan kontradiksi-

kontradiksi dalam hubungan.

Secara khusus teori ini memberikan posisi yang paling utama pada komunikasi dimana

komunikasi memiliki peran sentral dalam mengatasi solusi akan konflik. Kasus perceraian

juga pada dasarnya terkait dengan teori ini karena terjadinya perceraian disebabkan oleh

adanya kontradiksi antara istri dan suami dalam hubungan rumah tangga. Teori ini melihat

bahwa konflik antara sebuah hubungan suami dan istri merupakan hal yang wajar, namun

akan berujung negative jika harus berakhir pada fase perceraian.

Teori Hubungan: Efek Perceraian

Perceraian seringkali mengganggu dalam hubungan keluarga, pasalnya hal ini juga

berdampak outcome negative pada anak. Berdasarkan teori hubungan ini, perceraian orang

tua akan berdampak pada kepercayaan diri anak dan bisa menjadi salah satu faktor depresi

pada anak (Bynum & Durm, 1996). Wallerstein dan Kelly dalam jurnal Effects of Divorce on

Theories of Relationships dari Derik Orschell mengatakan bahwa anak yang terpaksa harus

berhadapan dengan perceraian orang tuanya cenderung mengalami depresi dibandingkan

dengan anak dengan keluarga yang utuh. Selain itu, perceraian ini juga akan berdampak pada

perilaku anti sosial, dan berdampak pula pada hubungan anak di masa yang akan datang.

Menurut Hetherington (1988), anak perempuan yang merupakan korban dari perceraian

orang tua seringkali menghadapi konflik masa remaja yang kompleks, seperti married by

accident, menikah muda, dan lain-lain. Berdasarkan pengalaman buruk perceraian orang

tuanya, penelitian membuktikan bahwa perceraian orang tua akan akan meningkatkan resiko

perceraian pada hubungan keluarga anak di masa depan.

Teori Konflik Sosial

Teori Konflik. Tidak dapat dipungkiri dalam suatu lembaga keluarga tidak selamanya akan

berada dalam keadaan yang statis atau dalam kondisi yang seimbang (equilibrium), namun

juga mengalami kegoncangan di dalamnya. Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa

berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan yang terus-menerus di antara

unsur-unsurnya (Ritzer, 2009:26). Pertentangan (konflik) bisa terjadi antara anggota-anggota

dalam keluarga itu sendiri, ataukah antara keluarga yang satu dengan keluarga yang lain.

Menurut teori konflik Dahrendrof mengatakan bahwa konflik menurutnya memimpin ke arah

perubahan dan pembangunan. Dalam situasi konflik golongan yang terlibat melakukan

tindakan-tindakan untuk mengadakan perubahan dalam struktur sosial. Kalau konflik itu

terjadi secara hebat maka perubahan yang timbul akan bersifat radikal. Begitu pula kalau

konflik itu disertai oleh penggunaan kekerasan maka perubahan struktural akan efektif

(Ritzer, 2009:28). Para penganut teori konflik mengakui bahwa konflik dapat memberikan

sumbangan terhadap integrasi dan sebaliknya integrasi dapat menimbulkan konflik.

Dalam bentuk yang paling ekstrem, teori konflik sosial yang berlandaskan pada persaingan

kekuasaan yang bersumber dari sumber daya terbatas, mengarahkan pada isu ketidakadilan

gender dalam memperoleh sumber kekuasaan. Gerakan untuk kesetaraan gender dikenal

dengan gerakan feminism yang memandang bahwa garis patriarki (struktur vertikal yang

menempatkan laki-laki sebagai pemimpin) merupakan pola hierarkis yang dianggap

menindas hak-hak wanita.

BAB III

Pembahasan

Hasil Wawancara

Untuk menguji kondisi di kehidupan sehari-hari mengenai realitas perceraian, kami mencoba

mencari narasumber yang mengalami fase perceraian dalam kehidupan keluarganya.

Narasumber kami bernama Mba Nap yang kini sudah berusia 43 tahun, tepatnya ia lahir pada

8 Maret 1972. Ia berdomisili di Desa Cilongok Rt 05 Rw 04, Kecamatan Cilongok. Mba Nap

menikah pada tahun 1991, dimana saat itu ia berusia 20 tahun. Ironisnya saat usia

pernikahannya mencapai tahun ke 20, Mba Nap terpaksa bercerai dengan suaminya pada

tahun 2012 (pada saat mba Nap berusia 40 tahun).

Menurut penuturan Mba Nap, alasan perceraian yang ia hadapi adalah karena sang suami

berselingkuh dengan orang lain. Awalnya mba Nap mencoba memberikan kesempatan

kepada suami, namun karena suami tak kunjung berubah dan perselingkuhannya semakin

menjadi maka mba Nap memutuskan untuk menggugat cerai. Diketahui suami mba Nap

berselingkuh dengan selingkuhan pertama hingga memiliki anak, kemudian masih

berselingkuh lagi dengan wanita lain. Perselingkuhan tersebut terjadi sekitar tahun 2006. Mba

Nap yang tidak tahan dengan kelakuan suami selama bertahun-tahun maka memutuskan

untuk menggugat cerai.

Dari hasil pernikahan mba Nap dengan suami, mereka dikaruniai seorang anak yang

kini berusia 17 tahun. Artinya saat perceraian terjadi sang anak masih berusia 14 tahun.

Saat mengambil keputusan untuk bercerai, mba Nap tidak meminta pertimbangan ke

anaknya. Ia memutuskan sendiri dengan pemikiran bahwa itu adalah urusan orang dewasa

dan tak perlu meminta persetujuan dari anaknya. Maka ketika mba Nap sudah tak tahan

dengan kehidupan rumah tangganya dan tidak cocok dengan suaminya ia mengambil

keputusan sendiri untuk bercerai.

Mba Nap bekerja sebagai Asisten Rumah Tangga di Desa Cilongok Rt 05 Rw 04,

Kecamatan Cilongok. Ia sudah mulai bekerja sebelum bercerai dengan suaminya. Sementara

anaknya kini tinggal di Desa Sokawera Rt 02 Rw 08, Kecamatan Cilongok. Hak asuh ana

jatuh ke tangan mba Nap. Anaknya tinggal bersama neneknya. Mba Nap pulang ke Sokawera

sebulan sekali.

Untuk hubungan anak dan suami mba Nap serta keluarganya tetap berjalan, anak mba

Nap kadang mengunjungi rumah neneknya (yang juga rumah ayahnya) yang berada di Desa

Cilongok Rt 05 Rw 04. Hubungan mba Nap dengan mantan mertuanya juga tetap berjalan

baik, namun untuk hubungan mba Nap dengan suami kurang berjalan baik bahkan mba Nap

mengaku tidak pernah bertemu lagi dengan mantan suaminya.

Mba Nap mengaku lebih tenang setelah perceraian, ia mengaku lega karena sudah

tidak mengalami pertengkaran (seperti saat masih bersama suaminya). Saat ditanya mengenai

keinginan atau kemauan untuk menikah lagi, mba Nap mengaku bahwa ia mau saja untuk

menikah lagi jika bertemu dengan orang yang cocok.

Kaitan Kasus Mba Nap dengan Teori

Ica: Di cek lagi dan kalo bisa tambahin ya Ca bagian ini.. aku agak bingung

soalnya WKWK

Teori Dialektika Relasional

Salah satu asumsi utama yang terkandung dalam Teori Dialektika Relasional menurut Baxter

dan Montgomery (1996), hidup berhubungan ditandai dengan adanya perubahan. Hal ini juga

terjadi pada kehidupan rumah tangga Mba Nap, dimana setelah 20 tahun masa pernikahan

ternyata diketahui bahwa suami telah berubah dengan melakukan tindak perselingkuhan.

Tindakan suami Mba Nap tersebut tentu kontradiktif dengan konsep keluarga yang

sebenarnya. Teori dialektika relasional juga memandang bahwa kontradiksi merupakan fakta

fundamental dalam hidup berhubungan: Orang mengelola ketegangan dan oposisi ini dengan

cara berbeda-beda tetapi kedua hal ini selalu ada dalam hidup berhubungan.

Teori ini melihat bahwa konflik antara suami dan istri merupakan hal yang wajar, namun

akan berujung negatif jika kedua pihak tidak memutuskan untuk berakhir pada fase

perceraian. Untuk itulah teori dialektika relasional melihat bahwa komunikasi memiliki peran

sentral dalam mengatasi solusi akan suatu konflik. Kasus perceraian Mba Nap pada dasarnya

tidak akan terjadi, jika ia dan sang suami melakukan komunikasi antar persona yang baik satu

sama lain.

Teori Hubungan: Efek Perceraian

Dalam kaitannya dengan interview yang kami lakukan bersama Mba Nap, ia tidak terlalu

memaparkan mengenai kondisi psikologis anaknya saat ia dan suaminya harus bercerai. Saat

memutuskan untuk bercerai, mba Nap tidak meminta pertimbangan kepada anaknya. Ia

merasa bahwa permasalahan yang ia hadapi adalah urusan orang dewasa dan tak perlu

meminta persetujuan dari anaknya. Teori hubungan yang berkaitan dengan efek perceraian

melihat bahwa perceraian yang merupakan pengganggu dalam hubungan keluarga, juga

berdampak outcome negatif pada anak. Berdasarkan teori hubungan ini, perceraian orang tua

akan berdampak pada kepercayaan diri anak dan bisa menjadi salah satu faktor depresi pada

anak (Bynum & Durm, 1996). Meskipun tidak dipaparkan secara tegas mengenai kondisi

sang anak, Mba Nap merasa bahwa keputusan bercerai yang sudah ia lakukan merupakan

pilihan yang tepat dan demi kebutuhan sang anak pula.

Teori Konflik Sosial

Menurut pandangan teori ini, keluarga sebagai sistem juga tidak terlepas dari konflik antar

anggota di dalamnya, misalnya konflik perceraian yang dialami mba Nap. Berdasarkan

penuturan Mba Nap, ia mengatakan bahwa sang suami memang terbukti melakukan

perselingkuhan. Teori Konflik Sosial mengungkapkan pandangan mengenai isu kesetaraan

gender antara pria dan wanita. Kaitannya dengan kasus Mba Nap, sikap tegasnya menggugat

cerai sang suami merupakan bukti dari usahanya untuk menghilangkan penindasan hak

seorang wanita yang dilakukan suaminya.

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Dalam menjalani hubungan dalam sebuah keluarga tentu tidak akan selalu berjalan secara

mulus. Setiap keluarga akan menjumpai fase dimana ketegangan dan perbedaan pendapat

antaranggota keluarga muncul dalam interaksinya. Pada tingkat paling akhir, ketegangan

tersebut akan berkembang menjadi konflik dan jika tidak bisa mengatasinya dapat berujung

pada perceraian. Hal inilah yang dihadapi narasumber dalam makalah ini yaitu Mba Nap

yang mengalami perceraian tepatnya pada usia pernikahan yang menginjak 20 tahun. Kasus

perceraian tersebut dapat dijelaskan sebagai akibat dari ketidakmampuan pasangan suami-

istri (Mba Nap dan mantan suaminya) dalam melakukan komunikasi di dalam keluarga secara

baik. Tidak terlihatnya fungsi yang jelas di antara anggota keluarga dalam memerankan

fungsinya secara signifikan berkaitan dengan menjaga keutuhan hubungan keluarga.

Dalam kasus perceraian ini sangat terlihat fungsi suami yang tidak diperankan secara baik

dimana menunjukkan sikap tidak bertanggung jawabnya dengan melakukan perselingkuhan

bersama wanita lain. Di sini elemen kepercayaan terhadap pasangan sebagai salah satu faktor

penentu keberlangsungan suatu keluarga seolah tidak dianggap dan hilang. Sehingga muncul

tindakan yang tidak diharapkan oleh setiap pasangan di dunia yaitu perselingkuhan.

Keputusan untuk bercerai juga digambarkan sebagai akibat dari ketidakmampuan antara

suami dan istri dalam menerjemahkan keinginan mereka masing-masing dalam sebuah

komunikasi yang baik. Akibatnya, istri (Mba Nap) langsung membuat keputusan tanpa

mendiskusikannya bersama suami, bahkan dengan anak sebagai pihak yang akan menerima

dampaknya di masa mendatang. Dapat dikatakan bahwa perceraian merupakan sebuah

cerminan dari tidak adanya komunikasi secara baik dalam menjalankan peran dan fungsinya

sebagai anggota keluarga dimana akan berpengaruh pada keberlangsungan keluarga tersebut.

Saran

Ketika seseorang memutuskan untuk melangkah ke jenjang pernikahan dan membentuk

sebuah keluarga, maka ia dianggap telah siap secara mental dan materiil untuk menjalani

kehidupan berkeluarga. Namun kenyataan saat ini, banyak di antara orang yang mengalami

hubungan yang kurang baik setelah pernikahan atau dalam fase keluarga. secara signifikan,

akibat ketidakharmonisan hubungan dalam sebuah keluarga diakibatkan ketidakmampuan

setiap anggota keluarga dalam menjalankan fungsinya masing-masing. Akibat paling parah

adalah keputusan untuk melakukan perceraian yang dianggap sebagai jalan terakhir ketika

mediasi tidak dapat menyelesaikan permasalahan yang ada. Sehingga, dalam hal ini perlu

ditekankan bahwa dalam menjalani sebuah hubungan keluarga sangat diperlukan kesiapan

baik secara mental maupun materiil. Karena selama hubungan keluarga berlangsung

dipastikan akan menemui segala jenis permasalahan berbeda yang membutuhkan pemikiran

dewasa dan bijaksana dalam menyelesaikannya. Jadi, siapkanlah kondisi jasmani dan rohani

sebelum seseorang melangkah untuk membentuk sebuah keluarga.

YOK MANGATS SEMUANYA!! DITUNGGU SAMPE SENIN

MALEM YAA KIRIM KE EMAILKUU [email protected]

MAKASIH

Daftar Pustaka

Aksha, Wahda. (2012). Pendekatan Teori dalam Pranata Keluarga.

http://akshawa.blogspot.co.id/2012/06/pendekatan-teori-sosiologi-dalam.html

Mau, Yoseph Klemens. (2006). Perceraian dan Peran Single-Parent Perempuan: Kajian

Aspek Ekstrinsik Novel That Camden Summer karya La Vyrle Spencer.

http://core.ac.uk/download/pdf/11715388.pdf

Orschell, Derik. (2010). Effects of Divorce on Theories of Relationships. Hanover College

http://psych.hanover.edu/research/Thesis05/Orschell.pdf

Riadi, Muchlisin. (2013). Pengertian, Alasan dan Proses Perceraian

http://www.kajianpustaka.com/2013/03/teori-perceraian.html

Teori Dialektika Relasional (2010) http://imaginativecenda.blogspot.co.id/2010/11/teori-

dialektika-relasional.html

Wintarti. (2014). Problematika Perceraian dan Dampaknya Terhadap Tingkah Laku Anak

Desa Purworejo Kabupaten Kendal. Universitas Diponegoro: Semarang.

http://eprints.walisongo.ac.id/2560/7/071111011_bibliografi.pdf

Bukti Wawancara

Ket: Yassar Abdul (kiri) dan Khaerunisah (kanan) sesaat setelah melakukan wawancara

bersama Mba Nap (tengah).


Recommended