+ All Categories
Home > Documents > Ulumul Quran Pertumbuhan Tafsir

Ulumul Quran Pertumbuhan Tafsir

Date post: 12-Nov-2023
Category:
Upload: independent
View: 0 times
Download: 0 times
Share this document with a friend
21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah swt. mengutus setiap rasul dengan menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini agar komunikasi antara mereka berjalan dengan sempurna. Allah swt. berfirman: ْ ِ ا يَ ْ هَ سْ زَ ا أَ يَ ُ يزِ زَ عْ انَ ُ َ ُ اءَ شَ يْ َ ي يِ دْ َ يَ ُ اءَ شَ يْ َ يُ ه ا مِ ضُ يَ فْ ىُ َ نَّ ِ يَ بُ يِ نِ ِ يْ َ قِ اَ سِ هِ ب ِ إٍ لُ سَ زُ يىِ كَ حْ انKami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana. Al-Qur‟an yang notabene merupakan book of guidance, eksistensinya di dunia ini sebagai sebuah kitab yang menjadi petunjuk bagi setiap umat tentunya mengalami berbagai sentuhan dengan aspek-aspek kehidupan manusia. Kebutuhan manusia terhadap sebuah petunjuk, menyebabkan al-Qur‟an memiliki banyak makna karena sebagian ayat -ayatnya bersifat yahtamil wujuh al-ma’na, yang berarti meskipun al-Qur‟an berwujud dalam bentuk sebuah mushaf, tetapi didalamnya memungkinkan banyak makna. Hal ini disebabkan sentuhan aspek-aspek kehidupan manusia lah yang mengantarkan mereka memahami al- Qur‟an berdasarkan kapasitas intelektual serta background kehidupan mereka. Pernyataan ini juga diungkapkan oleh Martin Whittingham “one book many meanings” bahwa satu kitab mempunyai banyak makna. 1 Berangkat dari sebuah pandangan teologis umat Islam, bahwa al-Qur‟an itu salihun li kulli zaman wa makan, sebuah pandangan yang menganggap bahwa al-Qur‟an itu cocok untuk setiap waktu dan tempat, baik dari segi teoritis maupun praktis. Pandangan tersebut, kemudian mengharuskan manusia untuk selalu mendialogkan antara al-Qur‟an yang terbatas dengan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat menusia sebagai konteks yang tidak 1 Martin Whittingham, al-Ghazali and The Qur’an: One Book, Many Meanings (USA dan Canada: Routledge, 2007)
Transcript

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Telah menjadi sunnatullah bahwa Allah swt. mengutus setiap rasul dengan

menggunakan bahasa kaumnya. Hal ini agar komunikasi antara mereka berjalan dengan

sempurna. Allah swt. berfirman:

يا أزسها ي انعزيز يشاء دي ي ي يشاء ي ى فيضم الله ن نيبي ي ق انحكيى زسل إال بهسا

Kami tidak mengutus seorang rasulpun, melainkan dengan bahasa kaumnya, supaya ia

dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka. Maka Allah menyesatkan siapa

yang Dia kehendaki, dan memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. dan Dia-lah

Tuhan yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.

Al-Qur‟an yang notabene merupakan book of guidance, eksistensinya di dunia ini

sebagai sebuah kitab yang menjadi petunjuk bagi setiap umat tentunya mengalami berbagai

sentuhan dengan aspek-aspek kehidupan manusia. Kebutuhan manusia terhadap sebuah

petunjuk, menyebabkan al-Qur‟an memiliki banyak makna karena sebagian ayat-ayatnya

bersifat yahtamil wujuh al-ma’na, yang berarti meskipun al-Qur‟an berwujud dalam bentuk

sebuah mushaf, tetapi didalamnya memungkinkan banyak makna. Hal ini disebabkan

sentuhan aspek-aspek kehidupan manusia lah yang mengantarkan mereka memahami al-

Qur‟an berdasarkan kapasitas intelektual serta background kehidupan mereka. Pernyataan ini

juga diungkapkan oleh Martin Whittingham “one book many meanings” bahwa satu kitab

mempunyai banyak makna.1

Berangkat dari sebuah pandangan teologis umat Islam, bahwa al-Qur‟an itu salihun li

kulli zaman wa makan, sebuah pandangan yang menganggap bahwa al-Qur‟an itu cocok

untuk setiap waktu dan tempat, baik dari segi teoritis maupun praktis. Pandangan tersebut,

kemudian mengharuskan manusia untuk selalu mendialogkan antara al-Qur‟an yang terbatas

dengan problem sosial kemanusiaan yang dihadapi umat menusia sebagai konteks yang tidak

1 Martin Whittingham, al-Ghazali and The Qur’an: One Book, Many Meanings (USA dan Canada: Routledge,

2007)

2

terbatas. Dari sini, dapat dipahami bahwa pada hakikatnya, tafsir merupakan sebuah

dialektika antara teks yang statis dan konteks yang dinamis.2 Core understanding-nya, mau

tidak mau tafsir harus mengalami perkembangan dan bahkan perubahan sebagai tantangan

terhadap perkembangan zaman.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka makalah ini akan berbicara tentang pertumbuhan

tafsir dari masa ke masa. Bermula dari periode klasik; tafsir oleh Nabi dan sahabat, periode

Tabi‟in, periode abad pertengahan, hingga tafsir pada abad modern dan abad kontemporer.

Dalam hal ini, penulis menggunakan pendekatan historis-periodik serta historis konseptual,

dengan harapan dapat menyajikan hasil potret dari pertumbuhan tafsir secara ringkas dan

padat.

B. Rumusan Masalah

Untuk membatasi pembahasan yang cukup luas dan agar pokok kajian tercapai, penulis

merumuskan beberapa hal yang patut diketahui, sebagai berikut:

1. Bagaimana pertumbuhan tafsir pada era klasik, era pertengahan, era modern dan era

kontemporer?

2. Bagaimana karakeristik, metodologi serta epistemologi tafsir di setiap era

pertumbuhannya?

C. Tujuan Penulisan

Adapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini adalah menambah cakrawala pengetahuan,

khususnya dalam pembahasan ini. Akhirnya, semoga makalah singkat ini bisa membantu

pemahaman para pembaca dalam memehami ayat al-Qur‟an dan perkembangan tafsir akan

ayat-ayat al-Qur‟an.

2 M.Yusron, dkk, Studi Kitab Tafsir Kontemporer (Yogyakarta: TH-Press, 2006), hal. iii

3

BAB II

PEMBAHASAN

A. TAFSIR ERA NABI SAW

Tafsir al-Qur‟an pertama kali terjadi pada era Nabi Saw, yakni sejak al-Qur‟an

diturunkan. Mengingat posisi Nabi Muhammad sebagai penerima tunggal wahyu al-

Qur‟an, maka konsekuensi logisnya adalah beliau juga yang menjadi penafsir

pertama, the first interpreter of the Qur’an. Sejak itu, beliau melakukan proses dan

praktik penafsiran untuk menjelaskan al-Qur‟an kepada para sahabat, karena memang

beliau yang dianggap paling otoritaif untuk melakukanya.

Data historis mengatakan, bahwa tidak ada penafsiran yang dilakukan oleh

sahabat ketika Nabi Muhammad masih hidup. Otoritas penafsiran saat itu ada

ditangan Nabi sendiri, karena selain merupakan tugas beliau, nabi juga mendapatkan

garansi dari tuhan langsung, sebagimana firman Allah Swt:

قسآ ع ه عهيا ج ه عهيا بيا فئذا قسأا فاتهبع قسآ إ ثىه إ

Sesungguhnya Kami yang akan mengumpulkannya (di dadamu) dan

membacakannya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah

bacaannya itu. Kemudian sesungguhnya Kami yang akan menjelaskannya.

ى يتفكهس نعهه ى ل إني نههاس يا ز كس نتبي زنا إنيك انر أ …..

…dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat

manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.

(16: 44)

و يؤي ة نق زح د ى انهري اختهفا في ن زنا عهيك انكتاب إاله نتبي يا أ

Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Quran) ini, melainkan agar

kamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan

menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman. (16: 64)

4

Ayat –ayat tersebut menegaskan bahwa Allah memerintahkan Nabi

Muhammad untuk mmemberi penjelasan terhaap isi kandungan al-Qur‟an kepada

manusia, agar al-Qur‟an dapat digunakan manusia sebagai petunjuk dalam menjalani

kehidupan di dunia. Dalam beberpa kasus, Rasulullah memberikan penjelasan yang

berupa penafisran al-Qur‟an terhadap para sahabat, baik dalam bentuk verbal, aktual

maupun melalui ketetapan yang beliau sampaikan. Seperti pada kasus dimana para

sahabat memakan daging dlabb (hewan sejenis kadal), Nabi tidak berkenan ikut

makan tetapi membiarkan para sahabat membiarkan makan daging tersebut.3

Contoh lain dari penafsiran nabi adalah tafsir menganai surat al-Kautsar.

إنا أعطيناك الكوثر فصل لربك وانحر إن شانئك هو البتر

Nabi menjelaskan bahwa yang dimaksud “al-Kautsar” adalah sungai di surga

yang kedua tepinya dilapisi dengan mutiara.

Terdapat sejumlah contoh penafsiran yang dilakukan oleh Nabi, hanya saja

ulama berbeda pendapat mengenai apakah semua ayat-ayat al-Qur‟an telah ditafsirka

oleh Beliau atau beliau hanya menafsirkan sebagian ayat al-Qur‟an. Dalam hal ini

terdapat dua pandangan. Pertama, golongan yang menyatakan bahwa nabi telah

menafsirkan semua al-Qur‟an, dengan alas an bahwa memang salah satu tugas Nabi

Saw yang poko adalah menafsirkan al-Qur‟an. Kedua,Ulama yang menyatakan

bahwa Nabi Saw tidak menafsirkan semua ayat-ayat al-Qur‟an. Faktanya tidak

banyak riwayat hadis tentang penafsiran beliau atas al-Qur‟an.4 Tampaknya pendapat

kedua inilah yang diikuti oleh mayoritas umat Islam.

Salah satu kelebihan tafsir Nabi Saw adalah penafsiran yang beliau lakukan

selalu dibimbing wahyu, terutama yang terkait dengan masalah syariat atau ibadah.

Berbeda dengan hal muamalah, maka Nabi Saw juga berijtihad. Seandainya,

penafsiran beliau itu menurut Allah tidak benar, maka wahyu akan turun untuk

memberikan teguran dan koreksi. Hal ini merupakan salah satu makana ke-

ma’shuman- Nabi. Sehingga ketika sahabat tidak mengetahui makna atau maksud

suatu ayat, mereka langsung merujuk kepada Nabi Saw.5

3 Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz X, hlm. 438 dalam CD al-Maktabah al-Syamilah.

4 Muhammad Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun (Mesir: Maktabah Wahbah) hal. 39-40.

5 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur’an (Yogyakarta: Adab Press, 2014) hal 52.

5

B. TAFSIR ERA SAHABAT DAN TABI’IN

Setelah Nabi wafat, proses penafsiran jatuh ke tangan para sahabatnya.

Mengingat, bahwa merekalah yang bertemu secara langsung dengan Nabi Saw. Serte

mendapatkan pengajaran al-Qur‟an dari beliau. Para sahabat merasa memiliki andil

dalam menafsirkan al-Qur‟an setelah mereka mendapatkan tuntunan dan pengajaran

tafsir dari Nabi Saw. Hal ini juga berdasarkan pertimbangan tentang status para

sahabat yang memang orang arab, maka dengan bekal bahasa arab yang nota bene

sebagai bahasa ibu, mereka dapat memahami al-Qur‟an meskipun masih dalam

lingkup global.

Ibn Khaldun seperti yang diungkap oleh adz-Dzahabi mengatakan : “Qur‟an

diturunkan dalam bahasa Arab dan menurut uslub-uslub balaghohnya. Karena itu

semua orang Arab memahaminya dan mengetahui makna-maknanya baik kosa kata

maupun susunan kalimatnya.”6 Namun demikian mereka berbeda-beda tingkat

pemahamannya, sehingga apa yang tidak diketahui oleh seseorang diantara mereka

boleh jadi diketahui oleh yang lain.

Ahli tafsir di kalangan sahabat Nabi banyak jumlahnya, tapi yang terkenal

luas hanya 10 orang, empat orang khulafa ar-rosyidin, yakni Abu Bakar ash-Shiddiq,

Umar bin Khattab, Utsman bin „Affan dan Ali bin Abi Tholib – rodliyallahu „anhum.

Selain mereka terkenal juga nama-nama: „Abdullah bin Mas‟ud, Ibn Abbas, Ubay bin

Ka‟ab, Zaid bin Tsabit, Abu Musa al-Asy‟ari, „Abdullah bin Zubair. Di antara

sepuluh orang sahabat Nabi itu, yang paling tepat bergelar “ahli tafsir al-Qur‟an”

ialah „Abdullah bin „Abbas, kedalaman ilmunya disaksikan sendiri oleh Rasulullah

ketika beliau berdo‟a baginya: “Ya Allah, limpahkanlah ilmu agama yang mendalam

kepadanya dan ajarkanlah ilmu ta‟wil kepadanya.” Ibnu „Abbas terkenal pula dengan

nama Tarjumanul-Qur’an.7

Di luar 10 orang tersebut di atas, terdapat nama-nama lain di kalangan para sahabat

Nabi yang turut ambil bagian dalam penafsiran al-Qur‟an. Mereka itu adalah Abu

Hurairah, Anas bin Malik, „Abdullah bin „Umar, Jabir bin „Abdullah dan Ummul-

6 Muhammad Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa,,,,,,, hal. 29.

7 Az-Zarkasyi, al-Burhan fii Ulum al-Qur’an (Beirut: Dar Kutub al-Ilmiyyah, 2001) hal.161

6

Mu‟minin „Aisyah ra. Tapi tafsir yang diriwayatkan berasal dari mereka hanya sedikit

saja jika dibanding dengan tafsir yang berasal dari 10 orang tersebut di atas.

Sahabat-sahabat tersebut menggunakan beberapa sumber dalam proses penafsiran

yang mereka lakukan. Para sahabat dalam menafsirkan Qur‟an berpegang pada:

a) Qur‟anul-Karim, sebab apa yang dikemukakan secara global di satu tempat

dijelaskan secara terperinci di tempat yang lain. Terkadang pula sebuah ayat

datang dalam bentuk mutlaq atau umum namun kemudian disusul oleh ayat

lain yang membatasi atau mengkhususkannya. Inilah yang dinamakan “Tafsir

Qur‟an dengan Qur‟an”. Penafsiran seperti ini cukup banyak contohnya.

Misalnya, kisah-kisah dalam Qur‟an yang ditampilkan secara ringkas (mujaz)

di beberapa tempat, kemudian di tempat lain datang uraiannya panjang lebar

(mushab). Seperti firman Allah: “Dihalalkan bagimu binatang ternak kecuali

yang akan dibacakan kepadamu…” (al-Maidah[5]:1), ditafsirkan oleh ayat:

“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai…” (al-Maidah[5]:3).

b) Nabi Muhammad saw., mengingat beliaulah yang bertugas untuk menjelaskan

Qur‟an. Karena itu wajarlah kalau para sahabat bertanya kepada beliau ketika

mendapatkan kesulitan dalam memahami suatu ayat. Di antara kandungan

Qur‟an terdapat ayat-ayat yang tidak dapat diketahui ta‟wilnya kecuali melalui

penjelasan Rasulullah saw. Misalnya, rincian tentang perintah dan larangan-

Nya serta ketentuan mengenai hukum-hukum yang difardlukan-Nya. Inilah

yang dimaksud dengan perkataan Rasulullah Saw.: “Ketahuilah, sungguh

telah diturunkan kepadaku Qur‟an dan bersamanya pula sesuatu yang serupa

dengannya…”

c) Pemahaman dan ijtihad. Apabila para sahabat tidak mendapatkan tafsiran

dalam Qur‟an dan tidak pula mendapatkan sesuatu pun yang berhubungan

dengan hal itu dari Rasulullah saw., mereka melakukan ijtihad dengan

mengerahkan segenap kemampuan nalar. Ini mengingat mereka adalah orang-

orang Arab asli yang sangat menguasai bahasa Arab, memahaminya dengan

baik dan mengetahui aspek-aspek ke-balaghoh-an yang ada di dalamnya. 8

8 Muhammad Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa,,,,,,, hal. 31-37

7

Selain itu, mereka juga menggunakan ragam qiraat serta keterengan ahli kitab

sebagai tambahan pengetahuannya.

Adapun karakteristik tafsir pada era sahabat adalah sebagai berikut:

Penafsiran bersifat global, dan belum mencakup seluruh ayat al-Qur‟an.

Artinya mereka hanya menafsirkan ayat-ayat tertentu saja yang mereka

anggap sulit.

Penafsiran saat itu masih sedikit terjadi perbedaan dalam memahami al-

Qur‟an, sebab kebanyakan masih menggunakan riwayat dari Nabi Saw dan

problem yang dihadapi umat pada waktu itu tidak sekompleks zaman

sekarang.

Membatasi penasfiran dengan penjelasan berdasarkan makna bahasa yang

primer dan belum muncul corak-corak tafsir.

Belum terdapat pembukuan tafsir. Pembukuan baru dilakukan pada abad 2

hijriah. Meskipun sebenarnya sudah ada mushaf-mushaf yang berisi tafsir,

tetapi oleh para ulama itu dianggap sebagai catatan biasa.

Penafsiran pada saat itu masih dalam bentuk hadis. Tidak merupakan sebuah

tafsir yang berdiri sendiri.9

Penafsiran al-Qur‟an dari para sahabat Nabi diterima baik oleh para Ulama‟ dari

kaum Tabi‟in (generasi berikutnya) di berbagai daerah Islam. Pada akhirnya

muncullah kelompok-kelompok ahli tafsir di Mekah, di Madinah dan di Iraq.

Mengenai mereka itu Ibnu Taimiyyah berkata:

“Yang paling banyak mengetahui soal tafsir ialah orang-orang Mekah, karena

mereka itu sahabat-sahabat Ibn „Abbas, seperti Mujahid, „Atha‟ bin Abi Rayyah,

„Ikrimah maula Ibn „Abbas, Sa‟id bin Zubair, Thawus dan lain-lain. Demikian

juga mereka yang berada di Kufah (Iraq), yaitu sahabat-sahabat „Abdullah bin

Mas‟ud. Yang di Madinah, seperti Zaid bin Aslam yang menurunkan ilmunya

kepada anaknya sendiri, „Abdurrahman bin Zaid, dan kepada muridnya, yaitu

Malik bin Anas.”10

Kaum Tabi‟it-tabi‟in (generasi ketiga kaum muslimin) meneruskan ilmu yang

mereka terima dari kaum Tabi‟in. Mereka mengumpulkan semua pendapat dan

9 Muhammad Husain Adz-Dzahabi, al-Tafsir wa,,,,,,, hal. 73

10 As-Suyuti, Al-Itqan fii Ulum al-Qur’an () hal.323

8

penafsiran al-Qur‟an yang dikemukakan oleh para ulama‟ terdahulu (kaum Salaf dan

Tabi‟in), kemudian mereka tuangkan ke dalam kitab-kitab tafsir, seperti yang

dilakukan oleh Waki‟ bin al-Jarrah, Syu‟bah bin al-Hajjaj, Yazid bin Harun dan lain-

lain. Mereka itu merupakan pembuka jalan bagi Ibnu Jarir ath-Thobari yang

metodenya diikuti oleh hampir semua ahli tafsir.

Pada masa ini, corak tafsir bir riwayah masih mendominasi penafsiran para

Tabi‟in, karena tabi‟in meriwayatkan tafsir dari para sahabat sebagaimana juga para

tabi‟in sendiri saling meriwayatkan satu sama lain. Meskipun dalam menafsirkan al-

Qur‟an mereka juga menggunakan ra‟yu, tetapi unsur periwayatan lebih dominan.

Adapun karakteristik tafsir pada masa Tabi‟in secara ringkas dapat disimpulkan

sebagai berikut:

Tafsir belum dikodifikasikan secara tersendiri. Seprti halnya pada era sahabat.

Penafsiram al-Qur‟an dilakukan melalui tradisi hafalan yang bersumber dari

periwayatan.

Terdapat riwayat-riwayat israilliyat dalam tafsirnya, karena keinginan

sebagian Tabi‟in untuk mencari penjelasan secara detail menganai cerita-

berita dalam al-Qur‟an.

Mulai muncul benih-benih perbedaan madzhab dalam penafsirannya.

Mulai banyak perbedaan pendapat antara penafsiran para Tabi‟in dengan

Sahabat.

Ahli tafsir dari kalangan Tabi‟in yang mayhur cukup banyak, sesuai dengan

konteks geografisnya dapat dipetakan sebagai berikut:

Aliran Tafsir Mekkah

Aliran tafsir ini didirikan oleh murid-murid Abdullah ibn Abbas, seperti: Said

bin Jubair, Mujahid, „Atha bin Abi Rabah, Ikrimah maula Ibnu Abbas dan

Thawus bin Kisan al Yamani. Mereka ini semua dari golongan maula (sahaya

yang telah dibebaskan).Aliran ini berawal dari keberadaan Ibn Abbas sebagai

guru di Mekkah yang menafsirkan Al Qur‟an kepada tabiin dengan menjelaskan

hal-hal yang musykil. Para tabiin tersebut kemudian meriwayatkan penafsiran

9

Ibnu Abbas dan menambahkan pemahamannya dan mentransfer kepada generasi

berikutnya.

Dalam hal qira‟ah, aliran ini memakai qira‟ah yang berbeda-beda. Seperti Said

bin Jubair, kadang-kadang memakai qiraah Ibnu Abbas, Ibnu Mas‟ud, dan

kadang-kadang memakai qiraah Zaid bin Tsabit. Sementara itu dalam hal metode

penafsiran, aliran ini sudah memakai dasar aqli.

Aliran Tafsir Madinah

Aliran ini dipelopori oleh Ubay bin Ka‟ab yang didukung oleh sahabat-

sahabat lain di Madinah dan selanjutnya diteruskan oleh tabiin Madinah seperti

Abu „Aliyah, Zaid bin Aslam, dan Muhammad bin Ka‟ab al-Qurazi. Aliran tafsir

di Madinah muncul karena banyaknya sahabat yang menetap di Madinah

bertadarus Al Qur‟an dan sunnah Rasul yang diikuti oleh para tabiin sebagai

murid-murid sahabat melalui Ubay bin Ka‟ab. Melalui beliaulah para tabiin

banyak menafsirkan Al Qur‟an yang seterusnya disebarluaskan kepada generasi

selanjutnya sampai kepada kita.

Pada aliran tafsir Madinah telah terdapat sistem penulisan pada naskah-naskah

dari Ubay bin Ka‟ab lewat Abu „Aliyah dari Rabi‟ dari Abu Ja‟far al-Razy.

Demikian juga Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim dan Al Hakim banyak meriwayatkan

tafsir dari Ubay lewat Abu „Aliyah. Pada aliran ini telah berkembang ta‟wil

terhadap ayat-ayat Al Qur‟an. Dengan kata lain, pada aliran tafsir di Madinah ini

telah timbul penafsiran bir ra’yi.

Aliran Tafsir Irak

Aliran tafsir di Irak ini dipelopori oleh Abdullah Ibn Mas‟ud (dipandang oleh

para ulama sebagai cikal bakal aliran ahli ra‟yi) dan dilindungi oleh Gubernur

Irak, „Ammar bin Yasir, serta didukung oleh tabiin di Irak seperti: Al Qomah bin

Qais, Masruq, Aswad bin Yasir, Murrah al Hamdani, Amir asy Sya‟bi, Hasan al

Basri, Qatadah bin Di‟amah. Berangkat dari penunjukkan Khalifah Umar

terhadap Ammar bin Yasir sebagai Gubernur Kuffah dan Ibnu Mas‟ud sebagai

10

ulama di Kuffah, penafsiran Al Qur‟an Ibnu Mas‟ud banyak diikuti oleh tabiin di

Iraq, yang kemudian dilanjutkan kepada generasi setelahnya.

C. TAFSIR ERA PERTENGAHAN

Secara garis besar tafsir Al Qur‟an pada periode pertengahan ini

diklasifikasikan menjadi lima periode, yaitu: Pertama, pada zaman Bani Muawiyah

dan permulaan zaman Abbasiyah yang masih memasukkan ke dalam sub bagian dari

hadits yang telah dibukukan sebelumnya. Kedua, telah dilakukan pemisahan tafsir

dari hadits dan dibukukan secara terpisah menjadi satu buku tersendiri. Dengan

meletakkan setiap penafsiran ayat dibawah ayat tersebut. seperti yang dilakukan oleh

Ibnu Jarir At Thobary, Abu Bakar An Naisabury, Ibnu Abi Hatim, dengan

mencantumkan sanad masing-masing penafsiran sampai ke Rasulullah, sahabat, dan

tabi‟in. Ketiga, membukukan tafsir dengan meringkas sanadnya dan menukil

pendapat para ulama tanpa menyebutkan orangnya. Hal ini menyulitkan dalam

membedakan antara sanad yang shahih dan yang dhaif yang menyebabkan para

mufassir berikutnya mengambil tafsir ini tanpa melihat kebenaran/ kesalahan dari

tafsir tersebut. Keempat, pembukuan tafsir banyak diwarnai dengan buku-buku

terjemahan dari luar Islam. Sehingga pada periode ini juga terjadi spesialisasi tafsir

menurut bidang keilmuan para mufassirnya.Kelima, tafsir maudhui yaitu tafsir

dibukukan menurut suatu pembahasan tertentu sesuai disiplin bidang keilmuan.

Seperti yang ditulis oleh Ibn Qoyyim dalam bukunya At Tibyan Fi Aqsamil Al

Qur‟an, Abu Ja‟far An Nukhas dengan Nasih wal Mansukh, Al Wahidi dengan

Asbabun Nuzul, dan Al Jassos dengan Ahkamul Qur‟annya.

Periode pertengahan ini dimulai dengan munculnya produk penafsiran yang

sistematis dan sampai ke tangan generasi sekarang dalam bentuk buku. Dalam peta

sejarah pemikiran Islam, periode pertengahan dikenal sebagai zaman keemasan ilmu

pengetahuan. Perhatian resmi dari pemerintahan dalam hal ini menjadi stimulus yang

sangat signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan sendiri.

Setelah periode sahabat beserta tabiin, pergerakan dari pertumbuhan tafsir

mengalami kemajuan seiring dengan dimulainya pembukuan terhadap hadits Nabi

Saw. Gerakan pembukuan ini merupakan kebijakan dan jasa dari penguasa (khalifah)

11

yang berkuasa pada saat itu (masa akhir dari Dinasti Umayyah dan awal Dinasti

Abbasiyyah).

Pada akhir abad ke-3 H dan permulaan abad ke-4 H, geliat tafsir mengalami

perubahan genre. Dari pembukuan yang masih menjadi satu dengan hadits-hadits

selain tafsir, menuju pembukuan tersendiri yang hanya memuat riwayat-riwayat tafsir

dan sesuai dengan urutan ayat-ayat Al Qur‟an. Ibn Jarir al Thabari (w. 310 H) diakui

sebagai orang pertama yang melakukan terobosan besar ini melalui karyanya Jami’ al

Bayan fi Ta’wil Ay Al Qur’an. 11

Tafsir pada generasi ini masih menggunakan metode riwayat (naql atau

ma‟tsur) dari hadits Nabi Saw, sahabat, maupun tabiin, dan ulama-ulama setelahnya

(tabi‟ al-tabi‟in) lengkap dengan sanadnya. Tak terkecuali tafsir milik Al Thabari

yang sering menyelipkan pendapat-pendapat ulama (baik dalam masalah gramatika

Bahasa Arab, mazhab fikih ataupun aliran-aliran ilmu kalam), yang kemudian men-

tarjih-nya (mengunggulkan salah satu pendapat), menjelaskan tata bahasa, serta

menggali hukum dari ayat-ayat Al Qur‟an. Selain riwayat dari Nabi Saw, sahabat,

tabiin, mereka juga mengutip tafsir dari kitab-kitab generasi sebelumnya beserta

sanad yang sampai kepada sang pengarang tafsir. Selain itu, maraknya riwayat

isra‟iliyyat juga mewarnai tafsir generasi ini.

Kebijakan Dinasti Abbasiyyah sangat mendukung terjadinya pelebaran

wilayah kajian tafsir pada periode ini. Pada masa Dinasti „Abbasiyyah, perkembangan

keilmuan Islam sangat pesat, sehingga usaha-usaha penulisan dalam berbagai bidang

keilmuan seperti imu gramatika Arab, hadits, sejarah, ilmu kalam, dan lainnya

mendapat perhatian yang cukup besar. Mulai periode ini dan periode setelahnya,

tafsir yang dulu hanya bersandar pada riwayat hadits Nabi Saw, sahabat dan tabiin

(naql, riwayat), mulai bergerak menjalar ke wilayah nalar ijtihad („aqli). Penafsiran

tidak lagi sekedar hanya menukil riwayat-riwayat dari pendahulunya. Ayat-ayat yang

tidak atau belum sempat ditafsiri oleh Nabi Saw maupun sahabat menjadi sasaran

empuk untuk dijadikan sebagai ladang penafsiran dengan al ra’yi al ijtihadi. Belum

lagi penafsiran-penafsiran pada hal-hal yang tidak begitu penting kaitannya dengan

11

Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah, (Kediri:

Lirboyo Press, 2011). h. 211-213.

12

ayat Al Qur‟an. Tafsir juga dijadikan sarana pencarian pembenaran bagi sebagian

golongan. Apalagi dengan maraknya fanatisme bermazhab dalam bidang fiqih, aliran-

aliran ilmu kalam, sampai dengan bidang gramatika Bahasa Arab (nahw sharf).

Penafsiran yang dilakukan sesuai dengan golongan atau bidang yang mereka geluti.

Corak tafsir periode pertengahan ini, dengan latar belakang seperti tersebut

diatas, maka dapat ditebak kalau tafsir yang muncul ke permukaan pada periode ini

akan didominasi oleh kepentingan spesialisasi yang menjadi basis intelektual

mufassirnya. Adanya orang-orang tertentu diantara para peminat studi masing-masing

disiplin ilmu yang mencoba menggunakan basis pengetahuannya sebagai kerangka

pemahaman Al Qur‟an, atau bahkan diantaranya yang sengaja mencari dasar yang

melegitimasi teori-teorinya dari Al Qur‟an, maka muncullah apa yang disebut dengan

tafsir fighiy, tafsir I’tiqadiy, tafsir sufiy, tafsir ilmiy, tafsir tarbawiy, tafsir akhlaqiy,

dan tafsir falsafiy. 12

Penafsiran – penafsiran seperti ini terus berkembang dan berlanjut hingga

melahirkan beratus-ratus kitab tafsir dengan berbagai macam ragam. Meskipun

demikian, masih ada kitab tafsir yang tetap berpegang teguh dengan konsep riwayat

(ma’tsur) di luar Tafsir al Thabari, seperti Bahr al-Ulum miliknya al Samarqandi

(w. 373 H), Mu’alim al Tanzil tafsir karangan al Baghawi (w. 510 H), al Muharrar

al Wajiz fi Tafsir al Kitab al Aziz Tafsir karangan Ibn „Athiyyah (w. 546 H), kitab

Tafsir al Qur’an al Azhim karangan Ibn Katsir (w. 774 H), al- Durr al Mantsur fi al

Tafsir al Ma’tsur karya al Suyuthi (w. 911 H).

Tafsir Abad pertengahan ini mempunyai karakteristik tersendiri, dibandingkan

tafsir pada era yang lain. Hal ini disebabkan karena tradisi penafsiran lebih

didominasi oleh kepentingan, kepentingan politik, madzhab atau ideology keilmuan

tertentu, sehingga al-Qur‟an seringkali diperlakukan hanya sebagai legitimasi bagi

kepentingan-kepentingan tersebut. Karakteristik tafsir periode pertengahan yaitu

adanya pemaksaan gagasan eksternal al-Qur‟an, bersifat ideologis, bersifat rapatitif,

dan bersifat parsial

12

M. Zaenal Arifin, Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan Geografis), (Kediri:

STAIN Kediri Press, 2010), h.18

13

D. TAFSIR ERA MODERN-KONTEMPORER

1. Pengertian Periode Modern- Kontemporer

Istilah modern (al-Hadis) biasanya merujuk kepada sesuatu yang terkini dan yang

baru, sementara istilah kontemporer (al-muatsir) berarti pada masa kini atau dewasa

ini. Jadi kedua istilah itu memang ada kemiripan makan, bahkan sinonim13

. Dalam

kamus oxford istilah modern menunjukkan arti new, up-to-date, sedangkan

kontemporer sendiri berarti present time.14

Dengan melihat arti dari kedua kata ini, kita

dapat melihat bahwasanya ada keterkaitan dan memiliki kemiripan arti, yaitu `baru,

terkini dan sesuatu yang ada pada zaman kini.15

Pada masa awal kelahirannya, istilah ini muncul yaitu pada abad 18-20 pemikiran

yang lahir di kalangan para mufassir banyak yang masih merujuk kepada kitab-kitab

tafsir pada masa sebelumnya. Sumber-sumber-sumber yang dipakai merujuk kepada

kitab seperti karya al-Zamakhsyari, Fakhruddin al-Razi, dan Ibnu Katsir. Hal ini,

menunjukkan bahwa yang kandungan al-Qur‟an yang tertuang dalam kitab-kitab tafsir

memiliki tradisi yang luas, utuh, dan kontinu. Hal ini, dikarenakan al-Qur`an adalah

teks yang lahir sebagai pedoman bagi manusia, sehingga setiap perubahan yang terjadi

dari masa ke masa harus bisa diselesaikan dengan al-Qur`an. Tidak dapat dipungkiri

bahwa perubahan yang terjadi di bidang politik, sosio-kultural dan lainnya sedikit

banyaknya dipengaruhi oleh budaya barat.16

Harus diakui bahwa dinamika kajian al-Qur‟an memang sangat luar biasa.

Berbagai kajian al-Qur‟an scara intensif juga dilakukan di era modern maupun

13

Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, (Yogyakarta: Adab Perss, 2012), hlm. 145.

14Oxford Learner’s Pocket Dictionary Fourth Edition, (New York: Oxford University Press,2008)

15Dengan mengacu pada pengertian istilah modern dan kontemporer tersebut, maka mazhab tafsir

periode modern-kontemporer berarti sebuah mazhab tafsir atau aliran yang mucul di era modern-kontemporer yang didesain dengan menggunakan ide-ide dan metode baru, sesuai denan dinamika perkembangan tafsir di bawah pengaruh modernitas dan tuntunan era kekinian. Tafsir periode modern-kontemporer ini juga disebut dengan era reformatif, yang mencoba menciptakan formasi baru dalam metodologi tafsir, yang umumnya berbasis pada nalar kritis untuk mengkritisi produk-produk tafsir periode klasik dan pertengahan yang dianggap tidak kompatible lagi dengan tuntutan modernitas. Dengan demikian,

kita bisa memaknai penafsiran modern-kontemporer sebagai sebuah penafsiran yang lahir di era modern-

kontemporer yang menggunakan metode-metode dan pendekatan-pendekatan yang baru untuk bisa menjawab

pertanyaan seputar kandungan al-Qur`an yang muncul pada zaman ini.

16Routraud Woelandt, “Tafsir al-Qur`an: Masa Awal Modern dan Kontemporer”, Afkar, Edisi No. 18

tahun 2004, hlm. 59-60.

14

kontemporer, tidak saja dilakukan oleh para sarjanah muslim17

saja. Akan tetapi,

dialakukan juda oleh para sarjanah non muslim18

. Para sarjanah Barat banyak yang

tertarik mengkaji al-Qur‟an karena adanya apresiasi yang tinggi dari Barat yang

menganggap Islam sebagai fenomena dunia dimana al-Qur‟an menjadi sentral

ajarannya.19

Masalah yang timbul mengenai bagaimana merumuskan suatu pandangan yang

otoritatif terhadap al-Qur‟an. Beberapa kalangan meyakini bahwa ccara yang paling

aman adalah bersandar pada ijmak ulama salaf, karena kehidupan mereka yang lebih

dekat dengan periode wahyu. Kalangan lain beragumen bahwa manusia punya

kesempatan yang lebih luas ditiap generas untuk mengembangkan pengetahuan dan

pemahamannya.20

Sifat al-Qur`an yang tidak bisa lepas dari konteks kesejarahan ini,

menuntut para mufassir untuk tidak memahaminya dengan hanya menggunakan

nahwu, sharaf, balaghah, dan disiplin ilmu lain yang digunakan ulama tafsir pada

periode sebelumnya.21

Ilmu-ilmu lain seperti filologi, filsafat, antropologi, sejarah, dll.

juga dibutuhkan.

Hal ini, menunjukkan bahwa dalam memahami al-Qur`an tidak boleh hanya

menggunakan sedikit disiplin ilmu, tetapi, harus melibatkan banyak ragam disiplin

ilmu, dengan kata lain integrasi-interkoneksi ilmu pengetahuan-meminjam istilah Amin

Abdullah-menjadi hal yang wajib dalam penafsiran al-Qur`an.22

Bahkan, menurut

Amin Abdullah seorang yang hendak menafsirkan al-Qur`an tidak boleh langsung

berstatement, tetapi, seyogyanya ia mendiskusikan, berdialog (dengan para ahli) serta

mempertimbangkan dengan matang pemikirannya tersebut, karena kaya dan miskinnya

17

Fazlur Rahman, Muhammad Arkaoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Syahrur, Riffat Hasan, dan Asghar Ali Engineer.

18John Wansbrough, Andrew Rippin, Stefan Wild, Alford T. Welch dsb.

19 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, hlm. 151-152

20 Inggrid Mattson, The History of the Qur’an, (Jakarta: Zaman, 2013). Terj, R. Cecep Lukman Yasin.

Hlm, hlm. 318.

21Mawardi Abdullah, Ulumul Qur`an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 195.

22

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:Lkis, 2010) hlm.62.

15

perspektif bisa dinilai dengan jumlah disiplin ilmu yang dilibatkan selain hasil

pengalamannya sendiri.23

2. Karakteristik Tafsir Modern-Kontemporer

Memosisikan Al-Qur’an sebagai Kitab Petunjuk

Al-Qur‟an yang harus dipahami sebagai kitab suci yang kemunculannya tidak

lepas dari konteks kesejarahan umat manusia. Ia tidak diwahyukan dalam ruang

hampa, tetapi justru hadir dalam zaman dan ruang yang sarat budaya kultur

tertentu24

. petunjuk-petunjuk al-Qur‟an yang bersifat universal juga dapat

dirumuskan dengan mempertimbangkan situasi sosial-historis yang muncul ketika

itu, untuk kemudian ditarik ke dalam konteks kekinian.25

Upaya untuk memosisikan al-Qur‟an sebagai kitab petunjuk ini dimulai dari

kegelisahan Muhammad Abduh terhadap produk-produk penafsiran al-Qur‟an masa

lalu. Menurutnya, kitab-kitab tafsir yang berkembang pada masa sebelumnya

umumnya telah kehilangan fungsinya sebagai kitab petujuk bagi umat manusia

(hudan li an-nas). Abduh menilai bahwa kitab-kitab tafsir pada masanya dan masa-

masa sebelumnya tidak lebih dari sekedar pemaparan berbagai pendapat para ulama

yang saling berbeda dan pada akhirnya menjauh dari tujuan diturunkannya al-

Qur‟an sebagai petunjuk bagi manusia.26

Bernuansa Hermeneutis

Kata hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu Hermeneutique, yang

berarti teknik dalam menetapkan makna, adapula yang mengatakan bahwa asal

katanya adalah Hermenium yang artinya penjelasan, penafsiran, penerjemahan.

Secara terminologi, hermeneutik bisa diartikan sebagai sebuah proses untuk

memahami sesuatu yang belum dimengerti. Untuk menafsirkan sesuatu seseorang

23M. Amin Abdullah, Metode Kontemporer Dalam Penafsiran al-Qur`an: Kesaling terkaitan Asbab al-

Nuzul al-Qadim Dan al-Jadid Dalam Tafsir al-Qur`an Kontemporer, Jurnal Studi Ilmu-Ilmu al-Qur`an dan Hadis, Vol. 13, No. 1, Januari 2012, hlm.8.

24 Meminjam pendapat Ashghar Ali Engineer yang dikutip oleh M Yusron dkk, dalam bukunya yang

berjudul Study Kitab Tafsir Kontemporer, mengatakan bahwasanya suatu tindakan yang tidak tepat dalam menggeneralisir penafsiran yang lahir dari suatu kondisi sosiologis tertentu untuk diterapkan pada semua zaman dan tempat yang memiliki kondisi sosiologis yang berbeda-beda.

25 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 61

26 Abdul Mustaqim, Dinamika Sejarah Tafsir Al-Qur’an, hlm. 159-160.

16

terlebih dahulu harus memahaminya.27

Jadi, hermeneutik bisa dikatakan adalah

sebuah alat (baca:cara) untuk bisa memahami sebuah teks atau yang dalam arti luas

menyangkup hermeneuse (praktik penafsiran), hermeneutica (hermeneutika dalam

arti sempit yaitu ilmu tentang metode-metode penaafsiran).28

Penggunaan hermeneutik sebagai metode penafsiran al-Qur`an

mengisyaratkan bahwa setiap penafsiran patut dicurigai, apakah di dalamnya

terkandung unsur kepentingan atau ideologi tertentu di balik penafsiran tersebut?29

Dalam hal ini, Asghar Ali Engineer berpendapat bahwa setiap mufassir pasti punya

backgroundnya masing-masing yang mempengaruhi cara pandangnya terhadap teks.

Sehingga terkadang timbul keinginan untuk menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan

ideologi yang dimilikinya yang terkadang membuat pesan dari al-Qur`an menjadi

terabaikan.30

Konsekuensi dari model hermeneutika, dalam menafsirkan al-Qur‟an tidak

hanya mengandalkan perangkat keilmuwan seperti yang digunakan oleh para

penafsir era klasik31

. Hermeneutika yang dikembangkan oleh para mufassir

kontemporer itupun sangat beragam. Hermeneutik yang menjadi trend di era

penafsiran al-Qur`an modern kontemporer bukan semata-semata karena muncul

banyak isu-isu baru seperti gender dan HAM, tetapi, karena anggapan bahwa

metode yang ada pada zaman ini dianggap kurang memadai, sehingga harus

melibatkan ilmu-ilmu yang lain. . Dengan begitu, kedudukan antara teks

(penafsiran), pengarang (mufassir) dan pembaca menjadi berimbang, sehingga

keotoritasan untuk menafsirkan secara relatif dapat dieliminasi.32

Ilmiah, Kritis dan Non-Sektarian

Produk tafsir era ini dikatakan ilmiah karena tafsirannya dapat diuji

kebenarannya berdasarkan konsistensi metodologi yangg dipakai mufassir dan siap

27Syawaluddin Hanafi, “Metode Hermeneutik Muhammad Arkoun” dalam Rodiah (dkk.), Studi al-

Qur`an Metode dan Konsep (Yogyakarta:eLSAQ Press,2010) hlm.178. 28

Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an dan Hadis, (Yogyakarta: Elsaq Press, 2010). Hlm. v. 29

Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 62. 30

Ahmad Baidhowi, Asghar Ali Engineer dan Penafsiran al-Qur`an, dalam M. Yusron (dkk.), Studi Kitab Tafsir Kontemporer, (Yogyakarta:Teras,2006) hlm.115.

31 Seperti ilmu nahwu sharaf, ushul fiqh dan balagah, tetapi diperlukan ilmu-ilmu lainn seperti teori

sosiologi, antropologi, filsafat ilmu, sejarah dan sebagainya.

32 Abdul Mustaqim, Dinamika sejarah Tafsir al-Qur’an, hlm.164.

17

menerima kritik dari komunitas akademik. Disebut kritis karena para mufassir

bersikap kritis terhadap pendapat-pendapat yang sudah ada sebelumnya.disebut no-

sekterian karena pada umunya mufassir era ini menghindari kecenderungan

bermazhab. Sehingga penafsiran dapat diposisikan sebagai sesuatu yang harus

dibaca secara produktif, bukan hanya reproduktif-repetitif. 33

3. Sumber dan Validitasi Penafsiran

Sumber Penafsiran: Teks, Akal dan Realitas

Dilihat dari sisi sumber penafsiran, tradisi penafsiran era ini bersumber

pada teks al-Qur‟an, akal dan realitas. Hanya saja secara pragmatik posisi ketiga

unsur ini sekaligus menjadi objek dan subjek. Artinya ketiganya selalu berdiale

atau ada peran antara teks, pengarang da pembaca. Paradigma yang dipakai

dalam memandang wahyu atau teks, akal dan realitas cenderung paradigma

fungsional, tidak lagi menggunakan paradigma struktural yang cenderung saling

menggaris bawahi atau menghegemoni satu sama lain.

Metode dan Pendekatan Bersifat Interdisipliner

Metode dan pendekatan yang dipakai oleh mufassir era ini sedikit banayk

berlainan dengan era klasik. Dalam penafsiran kontemporer menggunakan

berbagai metode dan pendekatan yang bersifat interdisipliner, mulai dari tematik ,

linguistik, analisis gender, semiotik, sosial-historis hingga hermeneutik dan

sebagainya. Dari sekian banyak metode yang berkembang di era ini, metode

tafsir tematik tampaknya merupakan metode yang paling banyak digunakan oleh

para mufassir era kontemporer.34

Validitas Tafsir Modern-Kontemporer

Terkait dengan validitas penafsiran, hal itu dapat diukur dengan tiga teori

kebenaran yaitu:

33 Abdul Mustaqim, Epistemologi Tafsir Kontemporer, hlm. 65.

34 Abdul Mustaqim, Dinamika sejarah Tafsir al-Qur’an, hlm.170

18

a. Teori koherensi yakni sebuah penafsiran dianggap valid jika ia sesuai dengan

proposisi sebelumnya dan konsisten dalam menggunakan metodologi yang

dibangun sendiri.

b. Teori korespodensi yaitu suatu penafsiran yang dikatakan benar apabila

sesuai dengan fakta ilmiah yang empiris di lapangan.

c. Teori pragmatisme yaitu dikatakan benar apabila secara praktis mampu

meberikan solusi alternatif bagi problem sosial atau bersifat solutif (menjadi

solusi pemecahan masalah dalam penafsiran).35

4. Penerapan Penafsiran

Contoh Produk Penafsiran Zaman Kini

a. Al-Tafsir al-Hadis karya M.Izza Darwaza, metode penulisan kitabnya adalah

berdasarkan penafsiran al-Qur`an kronologis turunnya al-Qur`an.

b. Tafsir al-Fatihah karya Muhammad Abduh yang hanya membahas surat al-

Fatihah saja.

c. Tafsir al-bayani karya „Aisyah „Abdul Rahman yang hanya menafsirkan beberapa

surat saja

d. Tafsir Musykil al-Qur‟an karya Rashid Abdullah Farhan yang hanya menafsirkan

ayat yang dianggap sulit saja.36

Contoh Metode, Pendekatan dan Tokohnya

Jika penafsir klasik selama ini cenderung memperkokoh anggapan yang

memosisikan laki-laki lebih superior daripada perempuan. Maka oleh para mufassir

feminis yang menggunakan metode tahlili dan maudhu‟i, penafsirann seperti ini

ditafsirkan ulang, sehingga menghasilkan kesimpulan bahwa ada kesetaraan

gender. Diantara karya-karya tafsir yang mengikuti pola ini adalah wanita didalam

al-Qur’an karya Amina Wadud Muhsin, Hak-Hak Perempuan dalam Islam karya

Ashghar Ali Engginer dan sebagainya.37

Pendekatan dan metode deperti ini muncul

akibat pengaruh sosial yang berdampak pada para mufassir. Ashghar Ali Engginer

dengan pendekatan sosiologis-antropologis dalam memahami al-Qur‟an menjadi

35 Abdul Mustaqim, Dinamika sejarah Tafsir al-Qur’an, hlm.187.

36

Routraud Woelandt, “Tafsir al-Qur`an: Masa Awal Modern dan Kontemporer”, Afkar, Edisi No. 18 tahun 2004, hlm. 61-62.

37 Abdul Mustaqim, Dinamika sejarah Tafsir al-Qur’an, hlm.174.

19

sangat penting karena al-Qur‟an muncul pada situasi dan kondisi sosial tertentu.

Maka menjadi naif kalau ayat-ayat yang merespon problem dalam situasi dan

kondisi sosologis tersebut digeneralisir.38

38

Ahmad Baidowi, “Ashghar Ali Engginer”, dalam M.Yusron (dkk.), Studi Kitab Tafsir Kontemporer, hlm 122-123.

20

BAB III

PENUTUP

Yang dapat disimpulkan dari makalah ini, antara lain sebagai berikut:

1. Tafsir al Qur‟an mengalami pertumbuhan dan perkembangan dari masa ke masa.

2. Pertumbuhan dan perkembangan tafsir al Qur‟an itu sendiri dalam konteks historis,

metodologis, corak, dan geografis-nya.

3. Pemetaan pertumbuhan dan perkembangan tafsir al Qur‟an dibagi menjadi beberapa

periode yaitu:

(1) periode klasik, yang terdiri dari zaman Nabi Saw, zaman sahabat, dan zaman tabi‟in

(2) periode pertengahan, periode ini tafsir al Qur‟an mulai dibukukan dengan melewati lima

tahapan masanya (dari periode I hingga periode V).

(3) periode modern, pada periode ini tafsir al Qur‟an semakin banyak terlahir dengan

dipengaruhi berkembangnya berbagai macam disiplin ilmu pengetahuan.

(4) periode kontemporer, pada periode ini tafsir al Qur‟an banyak dilakukan para mufassir

dengan menggunakan metode ijmaly (global) dan metode mawdu’iy (tematik).

21

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 2012. , Metode Kontemporer Dalam Penafsiran al-Qur`an: Kesalingterkaitan

Asbab al-Nuzul al-Qadim Dan al-Jadid Dalam Tafsir al-Qur`an Kontemporer, Jurnal Studi

Ilmu-Ilmu al-Qur`an dan Hadis, Vol. 13, No. 1, Januari 2012. Yogyakarta:Jurusan Tafsir

Hadis UIN Sunan Kalijaga.

Abdullah, Mawardi. 2011. Ulumul Qur`an. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arifin, Zaenal Muhammad. Pemetaan Kajian Tafsir (Perspektif Historis, Metodologis, Corak, dan

Geografis), Kediri: STAIN Kediri Press, 2010.

Dzahabi, Muhammad Husain al-, al-Tafsir wa al-Mufassirun. Beirut: Dar al Fikr 1976.

Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah. Juz X. tt.tp.

Mattson, Inggrid. 2013. The History of the Qur’an. Terj, R. Cecep Lukman Yasin. Jakarta: Zaman.

Mustaqim, Abdul. 2014. Dinamika Sejarah Tafsir al-Qur`an. Yogyakarta: Adab Press.

.2012. Epistemologi Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: LKiS.

Oxford Learner‟s Pocket Dictionary Fourth Edition. 2008. New York: Oxford University Press.

Suyuti, Jalaluddin al-. al-Itqan fii Ulum al-Qur’an. Juz II. Beirut: Dar al Fikr. 1979.

Tim Forum Karya Ilmiah RADEN, Al Quran Kita: Studi Ilmu, Sejarah, dan Tafsir Kalamullah.

Kediri: Lirboyo Press, 2011.

Whittingham, Martin. Al-Ghazali and The Qur’an: One Book, Many Meanings. USA dan Canada:

Routledge. 2007.

Wielandt, Routraud. 2004. Tafsir al-Qur`an: Masa Awal Modern dan Kontemporer. Edisi No. 18

tahun 2004. Yogyakarta: Afkar.

Yusron, Muhammad (dkk.). 2006. Studi Kitab Tafsir Kontemporer. Yogyakarta: Teras.

Zarkasyi, Badruddin Muhammad Ibn Abdullah al-. al-Burhan fi ulum al-Qur’an. Jilid I. Beirut: Dar

al-Kutub al-Ilmiyyah. 2001.


Recommended