7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
1/38
1
UNDERSTANDING CHILDREN INVOLVEMENT IN VIOLENT PORTRAYALS BASED -TV FILM
PROGRAM AND PARENTAL MEDIA GUIDANCE
Yohanes BudiartoFaculty of Psychology Tarumanagara University
Abstract
It is now widely known that television viewing occupies more time than any
other nonschool activity. And among children, it accounts for more than
half of all their leisure activities. Furthermore, children have been found
to view more television independent of their level of social economic
status (Tangey & Feshbach, 1988). Many of the poorest and potentially most
vulnerable groups in society are the heaviest viewers of television (i.e.,
Kuby & Csikszentmhalyi, 1990).Research indicates that by the time a child leaves elementary school, he or
she will have seen approximately 8,000 murders and more than 100,000 other
acts of violence (Huston et al., 1992 in Donnerstein and Smith, 1988).
To prepare socially and psychologically healthy children, the writer
conducted survey research relating to children, parental media guidance,
and violent portrayals within the favorite film they watched on TV. This
study had 139 elementary school students as the participants. The findings
stated that using mann whitney test, there were no differences in the
perception of violent portrayals dimensions: perpetrator, victim, reward
punishment, violence consequences, violence justification, weaponallowance, and humor (p
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
2/38
2
PENDAHULUAN
Perkembangan media yang paling berkembang dan paling berdampak pada
pertengahan kedua abad ke-20 terhadap anak-anak adalah televisi (Santrock,
1999). Menurut Skomis dibandingkan dengan media massa lainnya televisi
tampaknya mempunyai sifat istimewa. Televisi merupakan gabungan dari media
dengar dan gambar hidup yang bersifat politis, informatif, hiburan, pendidikan,
atau bahkan gabungan dari keempat unsur tersebut (Widiasih, 2008).
Belakangan ini, khususnya di Indonesia, siaran-siaran televisi berkembang
begitu pesat.Sebagai media massa, tayangan televisi memungkinkan anak-anak
untuk menonton berbagai acara termasuk acara-acara yang ditujukan untuk
orang dewasa. Saat ini setiap stasiun televisi telah menyajikan acara-acara
khusus untuk anak, walaupun jumlah acara khusus anak tersebut masih sangat
minim. Hasil penelitian yang dilakukan Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia
(YKAI), persentase secara khusus ditujukan kepada anak-anak relatif kecil,
hanya sekitar 2,7 s/d 4,5% dari total tayangan yang ada yang lebih
mengkhawatirkan bagi perkembangan anak (Widiasih, 2008). Panwar (dikutip
dalam Panwar & Agnihotri) mengemukakan bagi setiap generasi anak-anak
zaman baru, televisi adalah yang berpengaruh sebagai orangtua dan guru(2006).
Survei oleh Yayasan Seni Estetika dan Teknologi yang dirilis pada Juni
2008, menunjukkan, nyaris separuh responden (46,1 persen) menyatakan bahwa
program anak-anak di televisi saat ini berkualitas buruk atau sangat buruk.
Sementara 59,2% responden mengganjar buruk atau sangat buruk bagi
tayangan hiburan di televisi. Kriteria mengkhawatirkan, berkualitas buruk,
berbahaya mengacu pada satu makna yaitu tayangan-tayangan yang pada
umumnya banyak mengandung muatan negatif, seperti mistis, kekerasan fisik,
seksualitas, dan bahasa yang kasar dan jarang atau bahkan sedikit mengandung
pendidikan dan motivasi yang membangun anak-anak. Pada penelitian ini,
peneliti menggunakan kriteria tayangan yang digunakan oleh Yayasan
Pengembangan Media Anak (YPMA) yaitu kategori berbahaya (Widiasih, 2008).
Menurut YPMA tayangan yang masuk dalam kategori bahaya merupakan
tayangan yang mengandung lebih banyak muatan negatif, seperti kekerasan,
mistis, seks, dan bahasa kasar. Kekerasan dan mistis dalam tayangan yang
masuk dalam kategori ini dinilai cukup intens sehingga bukan lagi menjadi bentuk
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
3/38
3
pengembangan cerita, tetapi sudah menjadi inti cerita. Frekuensi adegan
kekerasan dan mistis dalam tayangan kelompok ini cukup tinggi dan cenderung
menjadi daya tarik utama, sehingga tanpa adegan seperti itu, maka tayangan ini
menjadi tidak menarik. Daya tarik ada pada adegan kekerasan dan adegan
negatif lainnya, bukan pada kekuatan cerita. Kadang terlihat luka dan darah
secara eksplisit sehingga menimbulkan kengerian.
Anggota tim panelis Nina Armando menjelaskan Tomand Jerrydan Popeye
merupakan dua dari tayangan-tayangan anak yang dianggap berbahaya oleh
YPMA (Yayasan Pengembangan Media Anak). Selain Tom and Jerry dan
Popeye, film-film lain yang masuk dalam kategori tayangan berbahaya versi
YPMA ialah Crayon Sinchan (RCTI), Si Entong (TPI), Oggy and The
Cockroaches (ANTV), Mask Rider Blade (ANTV), Detective Conan (Indosiar),
Dragon Ball (Indosiar), Naruto 4 (Indosiar), Ultraman Cosmos (Global TV) One
Piece (Global TV), dan Samurai X (Global TV) (Maria, 2008).
Kartun hingga saat ini masih bertahan menjadi tontonan kategori hiburan
penyulut senyum, tawa atas kelucuan dan kekonyolan dalam kisah-kisahnya.
Film kartun merupakan salah satu jenis tayangan yang sangat populer di
lingkungan anak-anak bahkan tidak sedikit orang dewasa yang menyukai film ini.Biasanya cerita-cerita yang tersaji dalam kartun bertema kehidupan sehari-hari
dan merupakan pengalaman sehari-hari anak-anak di lingkungannya, dapat
berupa kenakalan-kenakalan dalam permainan, peristiwa di sekolah, kejadian di
seputar rumah sang tokoh, atau kehidupan semua tokohnya dalam pergaulan
sosial di lingkungannya.
Sekian banyak film kartun yang tayang di stasiun televisi tak sepenuhnya
cocok buat ditonton anak-anak. Ada indikasi bahwa film kartun atau animasi
diperuntukkan juga bagi segmen remaja dan dewasa. Batasan peruntukan ini
belum diatur secara jelas (Yogi, 2009). Sementara itu wakil ketua Komisi
Penyiaran Indonesia, Miftah mengemukakan bahwa, selain banyak acara-acara
non-anak yang ditayangkan pada jam anak biasa menonton televisi, sebagian
besar belum memberikan klasifikasi acara seperti A (Anak), R (Remaja), D
(Dewasa), SU (Semua Umur), ditambah dengan kategori BO (Bimbingan
Orangtua) (Tayangan Film Kartun Popeye, 2008).
Unsur cerita yang tak seharusnya anak tahu, seperti kekerasan, justru sering
muncul di film kartun, Salah satu contoh nyata dari tayangan yang memiliki
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
4/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
5/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
6/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
7/38
7
Menurut Irkham (2008), fungsi televisi dibagi menjadi empat, yaitu (a) sebagai
sarana menyampaikan informasi, (b) sebagai sarana pendidikan, (c) sebagai
sarana penghibur, (d) sebagai sarana untuk mempengaruhi.
Sebagai sarana menyampaikan informasi, televisi menyampaikan informasi
yang bersifat hanya satu arah. Fungsi yang kedua, sebagai sarana pendidikan
televisi dalam menayangkan program-program yang edukatif, televisi dapat
mendidik dan mencerdasakan penontonnya. Fungsi yang ketiga, sebagai sarana
penghibur, tayangan-tayangan di televisi dapat memberikan hiburan kepada
yang menyaksikannya lewat film, acara-acara kuis, dan musik-musik. Fungsi
yang keempat, sebagai sarana untuk mempengaruhi, televisi juga dapat
mempengaruhi setiap individu yang menyaksikannya. Pengaruh tersebut dapat
merupakan pengaruh yang positif maupun pengaruh yang negatif, tergantung
dari bagaimana penonton menyerap isi pesan yang disampaikan melalui media
televisi (Irkham,2008).
Tayangan Televisi
Berkaitan dengan perkembangan sosial anak, anak mempunyai dorongan
untuk tumbuh, berkembang dan mengejar ketinggalan dari teman-temannya.
Dalam batasan tertentu, media massa, khususnya televisi, mempunyai pengaruhterhadap proses perkembangan sosial anak. Di bawah ini kita akan dibahas
beberapa pengaruh televisi. Pertama, siaran televisi dapat menumbuhkan
keinginan untuk memperoleh pengetahuan. Ini berarti bahwa beberapa anak
termotivasi untuk mengikuti apa yang dilihatnya di layar televisi. Kedua, pengaruh
pada cara berbicara. Anak biasanya memperhatikan bukan hanya apa yang
diucapkan orang di televisi, bahkan bagaimana cara mengucapkannya. Dari sini
anak secara bertahap dapat meningkatkan kemampuan pelafalan dan tata
bahasa. Ketiga, pengaruh pada penambahan kosakata. Banyaknya tambahan
kosakata yang dimiliki anak tergantung pada seberapa kemampuan anak dalam
mengingat kata baru yang didapatkan, menggunakannya dengan tepat dan
mengembangkannya dalam suatu aktivitas kelompok belajar dan diskusi.
Keempat, bahwa televisi berpengaruh pada bentuk permainan. Meskipun
menonton televisi mengurangi waktu anak untuk bermain, ide ataupun pelajaran
(kreativitas, keterampilan) yang didapat anak dari menonton tersebut
menyebabkan ia kaya akan jenis permainan. Kelima, televisi memberikan
berbagai pengetahuan yang tidak dapat diperoleh dari lingkungan sekitar atau
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
8/38
8
orang lain, seperti pengetahuan tentang kehidupan yang luas, keindahan alam,
perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, dan sebagainya (Hidayati,
1998).
Murray menyebutkan ada beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya
ketertarikan anak pada televisi, di antaranya: usia, jenis kelamin, inteligensi,
status sosial ekonomi, prestasi akademik, penerimaan sosial, dan kepribadian.
Namun, Hurlock menekankan bahwa jumlah waktu yang dihabiskan anak untuk
menonton televisi itu, bukan merupakan bukti yang sesungguhnya tentang besar
kecilnya perhatian anak terhadap televisi. Jumlah waktu itu mungkin ditentukan
oleh peraturan keluarga, tuntutan tugas di rumah, jumlah televisi yang dimiliki,
jumlah anggota keluarga yang berbagi waktu menonton, dan berbagai kondisi
lain (Hidayati, 2008).
Violent Portrayals
Komunitas penelitian APA dan Centers for Desease Control telah berhasil
menyimpulkan bahwa pembukaan ke arah media kekerasan dapat memperbesar
agresivitas, rasa takut, dan desensitisasi pada penontonnya. Wilson dkk. (dikutip
dalam Donnerstein & Smith, 2004) mengemukakan penelitian ilmu sosial juga
mengindikasikan, bagaimana pun, bahwa tidak semua gambaran kekerasanmemberikan efek risiko yang sama kepada penontonnya. Sebagai contoh,
kekerasan dalam suatu aksi-petualangan seperti film The Terminator dapat
memfasilitasi pemikiran dan perilaku agresivitas dalam diri para penontonnya,
sedangkan kekerasan dalam film dramatis seperti Boyz in the Hood dapat
mencegah respon di atas tersebut.
Para peneliti telah menilai sembilan perbedaan isyarat kontekstual dan
pengaruhnya terhadap respon agresif, rasa takut, atau desensitisasi emosi
individu terhadap kekerasan melalui media. Sembilan ciri-ciri tersebut ialah: (a)
daya tarik perpetrator, (b) daya tarik korban, (c) pembenaran terhadap
kekerasan, (d) pembenaran keterlibatan senjata, (e) durasi dan tampilan
kekerasan, (f) realisme kekerasan, (g) reward dan punishment pelaku kekerasan,
(h) konsekuensi kekerasan, dan (i) humor.
Pertama ialah daya tarik perpetrator. Pelaku kekerasan muncul dalam
berbagai bentuk dan ukuran. Sebagai contoh, pelaku kejahatan mungkin ialah
pahlawan budaya seperti Arnold Schwarzenegger, antropomorphis binatang
seperti Bugs Bunny, atau makhluk supranatural seperti The Blob. Pelaku
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
9/38
9
kejahatan ini memiliki motif dan kualitas atribut yang berbeda-beda. Beberapa di
antaranya mungkin baik dan melakukan kekerasan demi melindungi masyarakat
lingkungannya, atau sebaliknya ada juga yang jahat dan menggunakan
kekerasan kejam untuk mencapai kepentingan diri sendiri. Para peneliti
menemukan bahwa aksi agresif dari sang pelaku kejahatan yang memiliki daya
tarik, akan lebih banyak ditiru daripada aksi agresif penjahat yang kurang
memiliki daya tarik. Penelitian ilmu sosial mengindikasikan bahwa tiga kualitas
spesifik menambah daya tarik penjahat kekerasan, yaitu orientasi pro-sosial,
status pahlawan, dan kesamaan demografis antara pelaku kejahatan dan
penonton.
Kedua ialah daya tarik daya tarik korban. Sama seperti daya tarik yang dimiliki
pelaku kejahatan, daya tarik yang dimiliki oleh target atau korban merupakan
suatu isyarat kontekstual penting yang mempengaruhi respon penonton terhadap
gambaran agresivitas. Daya tarik dari korban mendatangkan suatu reaksi yang
berbeda jika dibandingkan daya tarik sang pelaku kejahatan. Ketika sang
karakter menjadi sasaran kekerasan, maka hal tersebut akan membangkitkan
ketakutan atau kecemasan pada para penonton. Beberapa studi menemukan
bahwa para pemirsa sering mengalami perasaan dan kecenderungan keadaanyang sama dengan pengalaman yang dialami sang karakter. Wilson dan para
rekan kuliahnya mengemukakan bahwa ketika karakter yang menarik tersebut
menjadi korban kekerasan, para penonton mungkin secara empatis berbagi
kecemasan dan pengalaman pada level tertentu mengenai ketakutan dan
kesulitan yang juga mereka alami (Donnerstein & Smith, 2004).
Ciri kontekstual yang ketiga ialah pembenaran terhadap kekerasan.
Kekerasan mungkin dapat digunakan untuk berbagai macam alasan dalam
program televisi, dan beberapa di antara alasan tersebut dapat dibenarkan atau
diterima secara sosial atau sebaliknya tidak dibenarkan atau tidak diterima
secara sosial. Penelitian membuktikan secara konsisten bahwa kelihatannya
pembenaran terhadap kekerasan meningkatkan respon agresivitas baik pada
penonton dewasa maupun anak-anak. Sedangkan penyalahan terhadap
kekerasan ditemukan mengurangi respon agresivitas para pemirsanya
(Donnerstein & Smith, 2004).
Ciri kontekstual yang keempat ialah pembenaran keterlibatan senjata.
Berbagai senjata sering muncul dan digunakan dalam penggambaran kekerasan.
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
10/38
10
Sebagai contoh, ada yang menggunakan kekejaman alami mereka untuk
menghabisi musuhnya, dengan menggunakan tangan, kaki atau anggota tubuh
lainnya. Atau, seperti polisi, mereka menggunakan pistol untuk melindungi dan
melayani masyarakat. Atau, dengan benda-benda lain seperti pisau, pedang,
rantai, atau bahkan benda-benda yang tidak lazim digunakan sebagai senjata
seperti sapu, panci, dll. Studi menunjukkan bahwa kehadiran dari senjata yang
lazim digunakan seperti pistol atau pisau, secara signifikan meningkatkan tingkat
respon agresivitas. Berkowitz (dikutip dalam Donnerstein & Smith, 2004) dan
yang lainnya mengemukakan bahwa penyaranan penggunaan senjata memicu
pemikiran dan ingatan para penontonnya. Ketika pemikiran ini berhasil
ditanamkan, maka para penonton akan rentan untuk bertindak atau berperilaku
agresif.
Ciri kontekstual kelima ialah durasi dan tampilan kekerasan. Durasi atau
jumlah waktu yang dihabiskan untuk kekerasan, juga jarak, seperti aksi yang
berhasil digambarkan. Sebagai contoh, sang pelaku kejahatan menembakkan
senjata dari jarak jauh kamera yang pada tampilan layar hanya terlihat beberapa
detik.
Kebanyakan penelitian pada durasi dan tampilan kekerasan berfokus padadesensitisasi emosional individu pada gambaran tersebut. Beberapa studi
menemukan bahwa baik anak-anak maupun orang dewasa menjadi
terdesensitisasi secara fisiologis selama membuka program atau filmkekerasan.
Ciri kontekstual keenam ialah realisme kekerasan. Realisme mengacu pada
suatu kenyataan dari para karakter (tokoh-tokoh), tempat, dan kejadian dalam
suatu gambaran kekerasan. Beberapa aksi kekerasan digambarkan dengan
sangat nyata dan sedangkan yang lain menggambarkannya secara fiksi atau
fantasi alami (Donnersten & Smith, 2004).
Penelitian mengindikasikan bahwa tingkat realisme melingkupi suatu
pengaruh gambaran kekerasan antara respon agresivitas dan rasa takut. Dalam
istilah aksi agresif, beberapa studi menemukan bahwa semakin realistik suatu
gambaran kekerasan, semakin meningkatkan respon agresivitas pada anak-anak
dan pria dewasa secara signifikan dibandingkan dengan perilaku-perilaku fantasi
dan fiksi). Banyak ahli yang mengemukakan bahwa penggambaran yang nyata
meningkatkan respon agresivitas untuk dua alasan: (a) para penonton dapat
dengan mudah kenal dengan pelaku kejahatan kekerasan yang nyata, dan (b)
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
11/38
11
mereka mengurangi rintangan penonton ke arah respon agresivitas karena
mereka sangat mirip dengan kehidupan nyata. Sedangkan dari segi rasa takut,
beberapa investigasi menemukan gambaran nyata tentang kekerasan lebih
mengganggu dan menakuti para penontonnya secara emosional dibandingkan
dengan penggambaran fantasi mengenai agresi, dan efek ini mempengaruhi
orang dewasa maupun anak-anak (Donnersten & Smith, 2004).
Reward dan punishment merupakan elemen kontekstual ketujuh dari
gambaran kekerasan. Rewardmerupakan suatu penguatan positif yang diberikan
kepada pelaku kejahatan karena untuk aksi kekerasan yang dilakukannya.
Sedangkan punishment ialah penguatan negatif yang diberikan kepada pelaku
kejahatan atas tindakannya yang agresif. Hukuman pelaku kejahatan atas
kekerasan dapat diurutkan dari penolakan ringan, tidak disukai, hingga dengan
hukuman mati.
Studi menemukan secara konsisten bahwa reward terhadap kekerasan
meningkatkan risiko dari mempelajari pemikiran dan perilaku agresivitas di antara
orang dewasa dan anak-anak. Kekerasan baik yang diberi penghargaan atau
tidak dihukum dapat memfasilitasi pemikiran para penontonnya untuk berpikir
dan berperilaku agresif.Konteks kedelapan ialah konsekuensi kekerasan. Konsekuensi mengacu
kepada kerusakan dan rasa sakit yang muncul akibat dari kekerasan. Contohnya,
tokoh yang mendapat pukulan pada wajahnya tetapi ia menerima saja dan tidak
menghindar. Respon tersebut menunjukkan bahwa tokoh tersebut tidak
merasakan sakit atau rugi ketika menerima aksi kekerasan.
Beberapa penelitian pada orang dewasa mencatat bahwa kerugian dan rasa
sakit mengurangi respon agresif pada para penonton. Banyak pendapat bahwa
isyarat tersebut mencegah agresivitas karena mereka membuat peka para
penonton pada kesakitan secara fisik, emosi, dan psikologis yang diakibatkan
oleh kekerasan.
Hasil dari para studi mengesankan bahwa penggambaran dari sakit secara
fisik atau penderitaan yang dialami berfungsi sebagai pencegah dari respon
agresif bagi kebanyakan penonton.
Konteks kesembilan ialah humor. Humor dapat digunakan banyak cara dalam
program kekerasan. Sebagai contoh, pelaku kejahatan akan mengatakan sebuah
lelucon sebelum, selama, atau setelah membunuh korban yang tak bersalah.
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
12/38
12
Atau, aksi kekerasan dapat digambarkan dengan busana yang jenaka. Secara
jelas, contoh ini menginspirasi ragam humor yang digunakan dalam program
kekerasan. Studi menemukan bahwa program dengan ciri tingkat humor yang
tinggi dirasakan secara signifikan sebagai kurangnya keseriusan dan
ketidaktegasan dibandingkan dengan program yang memiliki tingkat humor yang
lebih rendah. Para ahli berhasil menspekulasikan bahwa humor dapat
meremehkan keseriusan akibat dari kekerasan.
Perkembangan Fisik Anak Middle childhood
Anak usia sekolah pada saat ini tumbuh sekitar 1-3 inci setiap tahun dan
bertambah 5-8 pon atau lebih, melipatgandakan berat rata-rata tubuh mereka.
Anak perempuan mengembangkan lapisan lemak yang lebih banyak
dibandingkan anak laki-laki, karakteristik yang terus berlanjut sampai usia
dewasa. Anak-anak sangat beragam, begitu beragamnya sampai anak usia 7
tahun dengan tinggi rata-rata seusianya dan tidak tumbuh sama sekali selama
dua tahun masih masuk dalam batasan normal tinggi rata-rata usia 9 tahun.
Sampai pertengahan masa ini, anak laki-laki lebih cepat perkembangannya
daripada anak perempuan, tetapi menjelang akhir masa anak sekolah (sesaatmenjelang datangnya masa remaja) perkembangan fisik anak perempuan jauh
lebih cepat daripada anak laki-laki (Mubin & Cahyadi, 2006). Knoers dan
Haditono menambahkan bahwa sampai umur 10 tahun dapat dilihat bahwa anak
laki-laki agak lebih besar sedikit daripada anak perempuan, sesudah itu maka
perempuan lebih unggul dalam panjang badan, tetapi sesudah 15 tahun anak
laki-laki mengejarnya dan tetap lebih unggul dari pada anak perempuan (1999).
Seiiring bertambahnya berat tubuh dan kekuatannya, maka perkembangan
motorik pada masa anak-anak pertengahan berkembang menjadi lebih halus dan
lebih terkoordinasi dibandingkan dengan awal masa anak-anak. Mereka mampu
menjaga keseimbangan badannya. Pada usia 6 tahun, koordinasi antara mata
dan tangan (visiomotorik) yang dibutuhkan untuk mebidik, menyepak, melempar
dan menangkap juga berkembang. Pada usia 7 tahun, tangan anak semakin kuat
dan ia lebih menyukai pensil daripada krayon untuk melukis. Dari usia 8 hingga
10 tahun, tangan dapat digunakan secara bebas, mudah dan tepat. Koordinasi
motorik halus pun juga mulai berkembang, di mana anak sudah dapat menulis
dengan baik (Mubin & Cahyadi, 2006).
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
13/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
14/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
15/38
15
di mana dalam tahap ini anak dapat melakukan operasi, dan penalaran logis
menggantikan pikiran intuitif selama penalaran dapat diterapkan pada contoh
khusus dan konkret.
Perkembangan Psikososial Anak Middle childhood
Anak-anak pertengahan berada pada tahapan industri versus inferioritas yang
merupakan tahapan keempat dari Erikson di mana anak harus belajar
ketrampilan yang produktif yang dituntut kultur mereka atau dengan wajah yang
menyiratkan inferioritas. Inisiatif anak membawa mereka berhubungan dengan
banyak pengalaman baru. Saat mereka berpindah ke masa anak-anak tengah
dan akhir, energi mereka terarah menuju penguasaan pengetahuan dan
ketrampilan intelektual. Di waktu yang sama pula anak menjadi lebih antusias
mengenai belajar dibandingkan dengan akhir periode anak-anak awal yang
penuh imajinasi. Kemungkinan lain dalam tahu sekolah dasar adalah bahwa
anak dapat memunculkan rasa inferior merasa tidak kompeten dan tidak
produktif (Santrock, 2007/2007).
Menurut Harter (dikutip oleh Papalia et. al., 2008/2008) pada usia 7 atau 8
tahun, rasa malu dan rasa bangga, yang tergantung kepada kesadaran merekaakan implikasi tindakan mereka dan jenis sosialisasi yang pernah si anak terima,
memengaruhi pandangan mereka terhadap diri mereka sendiri. Anak-anak
menjadi lebih berempati dan lebih condong kepada perilaku prososial pada masa
anak-anak pertengahan. Kontrol terhadap emosi negatif merupakan salah satu
pertumbuhan emosional. Anak-anak belajar tentang apa saja yang membuat
mereka merasa marah, takut atau sedih, dan bagaimana orang lain bereaksi
dalam menunjukkan emosi ini, dan mereka belajar mengadaptasikan perilaku
mereka dengan emosi-emosi tersebut.
Dalam teori psikoanalisis, anak-anak pertengahan masuk ke dalam tahap
latency yaitu tahap perkembangan Freud yang keempat, yang terjadi antara
sekitar usia enam tahun hingga masa puber. Selama periode ini, anak menekan
seluruh minat seksual dan mengembangkan keterampilan sosial dan intelektual.
Aktivitas ini mengarahkan banyak energi anak ke dalam bidang yang aman
secara emosional dan membantu anak melupakan konflik tahap phallic yang
sangat menekan (Santrock, 2007/2007).
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
16/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
17/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
18/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
19/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
20/38
20
Berdasarkan kategori perasaan saat menonton tayangan TV favourite, subyek
terbanyak memiliki perasaan gembira, senang, yaitu sebanyak 167 orang
(69.9%).
Tabel 15
Karakteristik subyek berdasarkan perasaan saat menonton tayangan TV
favourite
Perasaan saat menontontayangan TV favourite
Frekuensi Persentase
Gembira, senang 167 69.9
Bersemangat, antusias 20 8.4Merasa kamu samaseperti tokoh-tokoh di
dalamnyaBerusaha untuk
mengingat kata-kata didalamnya
21
31
8.8
13.0
Jumlah 239 100
Gambaran umum subyek berdasarkan perasaan ketika tayangan TV
favourite tidak diputar
Berdasarkan kategori perasaan ketika tayangan TV favourite tidak diputar,
subyek terbanyak memiliki perasaan biasa saja, dan mencari tayangan TV lain,
yaitu sebanyak 94 orang (39.3%).
Tabel 16
Karakteristik subyek berdasarkan perasaan ketika tayangan TV favourite tidak
diputar
Perasaan saat tayanganTV favourite tidak diputar
Frekuensi Persentase
Kesal 79 33.1Marah (melampiaskan
pada orang di sekeliling)9 3.8
Biasa saja, dan mencaritayangan TV lain
94 39.3
Biasa saja, dan mencariaktivitas lain selain
menonton TV
57 23.8
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
21/38
21
Jumlah 239 100
Gambaran umum subyek berdasarkan nyata atau tidaknya tayangan TV
dalam kehidupan
Berdasarkan kategori nyata atau tidaknya tayangan TV dalam kehidupan,
subyek terbanyak memiliki keyakinan tidak percaya terhadap kebenaran perilaku
dalam tayangan TV, yaitu sebanyak 121 orang (50.6%).
Tabel 17
Karakteristik subyek berdasarkan nyata atau tidaknya tayangan TV dalam
kehidupan
Nyata atau tidaknyatayangan TV dalam
kehidupanFrekuensi Persentase
Percaya 12 5.0Tidak percaya 121 50.6
Setengah percaya,setengah tidak percaya
106 44.4
Jumlah 239 100
4.1.16 Gambaran umum subyek berdasarkan alasan mempercayai nyata
atau tidaknya tayangan TV dalam kehidupan
Berdasarkan kategori alasan mempercayai atau tidaknya adegan dalam
tayangan TV dalam kehidupan, subyek terbanyak memilih alasan mempercayai
adegan dalam tayangan TV dalam kehidupan adalah berdasarkan penilaian diri
sendiri tanpa ada pengaruh dari orang lain, yaitu sebanyak 165 orang (69.0%). Berdasarkan kategori hal yang disukai dari tokoh utama film yang ditonton,
subyek terbanyak menyukai tokoh utama film yang ditonton dengan alasan
karena tokoh tersebut membela kebenaran, yaitu sebanyak 87 orang (36.4%).
4.1.18 Gambaran umum subyek berdasarkan alasan memilih hal yang
disukai dari tokoh utama
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
22/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
23/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
24/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
25/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
26/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
27/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
28/38
28
orangtuanya mempraktekkan bimbingan media restrictive, 3 orang evaluative,
dan 12 orang unfocused.Anak-anak yang tinggal bersama dengan papa, mama,
kakak/adik perempuan atau laki-laki, 62 orang, orangtuanya mempraktekkan
bimbingan media restrictive, 38 orang evaluative, dan 53 orang unfocused.Anak-
anak yang tinggal bersama papa, mama, opa, oma, kakak/adik perempuan/laki-
laki, dan saudara dekat (tante atau om), 6 orang, orangtuanya mempraktekkan
bimbingan media orangtua restrictive, 4 orang evaluative, dan 3 orang
unfocused. Sedangkan anak-anak yang tinggal bersama dengan hanya papa
saja atau mama saja, 2 orang, orangtuanya mempraktekkan bimbingan media
orangtua restrictive, 1 orang evaluative, dan 2 orang unfocused.
Diperoleh nilai X2
(2, N=239) = 3,937, p > 0.05. Dari hasil perhitungan dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara tinggal bersama dengan
bimbingan media orangtua, dengan kata lain bimbingan media orangtua baik
tinggal bersama dengan siapa saja sama saja.
Hubungan antara status bekerja orangtua dengan bimbingan media
orangtua
Dari hasil crosstabs antar status bekerja orangtua dengan bimbingan mediaorangtua diperoleh anak-anak yang hanya papa dan mama bekerja, 31 orang,
orangtuanya mempraktekkan bimbingan media orangtua restrictive, 28 orang
evaluative, dan 27 orang unfocused. Anak-anak yang hanya papa saja yang
bekerja, 53 orang, orangtuanya mempraktekkan bimbingan media orangtua
restrictive, 26 orang evaluative, dan 52 orang unfocused. Sedangkan anak-anak
yang hanya mama saja yang bekerja, 14 orang, orangtuanya mempraktekkan
bimbingan media orangtua restrictive, 2 orang evaluative, dan 1 orang
unfocused.
Diperoleh nilai X2
(2, N=239) = 10,454, p> 0.05. Dari hasil perhitungan dapat
disimpulkan bahwa tidak ada hubungan antara status bekerja orangtua dengan
bimbingan media orangtua, dengan kata lain bimbingan media orangtua baik
hanya papa dan mama, hanya papa saja, atau hanya mama saja yang bekerja
sama saja.
SIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Simpulan
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
29/38
29
Dari hasil analisis data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa secara
keseluruhan, anak-anak mempersepsi bahwa penampilan perpetrator berbadan
kecil, memiliki muka dan wujud yang menyeramkan. Demikian pula dengan
korban, anak-anak mempersepsi bahwa korban berbadan tidak kecil, tidak
bertubuh lemah, menyeramkan, merupakan pihak yang tidak jahat, atau lemah,
mengetahui sesuatu, dan memiliki kekuatan
Anak-anak juga mempersepsi bahwa kekerasan dilakukan, untuk tujuan
menyelamatkan dunia dan menaklukkan musuh. Selain itu, anak-anak
mempersepsi bahwa senjata digunakan untuk menaklukkan musuh dan
melindungi dunia. Anak-anak pun mempersepsi bahwa luka, tempat dan
peristiwa yang ada dalam tayangan film yang ditonton, merupakan sesuatu yang
tidak nyata, hanyalah fantasi belaka. Anak-anak juga memiliki persepsi bahwa
tokoh-tokoh yang berada dalam tayangan film yang ditonton adalah fiksi, mereka
menyadari bahwa tokoh-tokoh dalam tayangan film tersebut tidaklah nyata.
Reward dan punishment berhak didapatkan oleh tokoh yang mengalami
kemenangan maupun kekelahan. Menurut persepsi anak-anak, tokoh yang
menang berhak mendapatkan reward, dan kalaupun mendapatkan berhak dalam
kuantitas yang banyak atau besar. Begitu pula dengan tokoh yang mengalamikekalahan, harus memperoleh hukuman, dan jikalau memperoleh, harus
mendapat hukuman yang banyak atau pun berat. Anak-anak mengetahui dan
mengerti jika dalam pertarungan tokoh-tokoh di dalamnya dapat mengalami luka
dan kematian, dan dari segi psikologis, tokoh-tokoh di dalamnya dapat menjadi
takut dan tunduk kepada pihak yang menang. Dari segi humor, anak-anak
mempersepsikan bahwa humor dalam tayangan film yang ditonton, ditandai
dengan tampilan fisik yang jenaka, maupun karaterisasi perpetratoryang tertawa
saat atau sebelum memukul, menendang, dan membunuh.
Berdasarkan hasil penelitian, anak-anak menonton televisi paling banyak di
bawah bimbingan restrictive (41%), diikuti oleh bimbingan unfocused (23.4%)
dan bimbingan media evaluative (35.6%).
Tiga aktivitas tertinggi yang paling disukai anak-anak selama liburan ialah
aktivitas bermain (54.4%), membaca buku (17.6%), dan mengerjakan tugas dan
belajar (12.6%). Film favoriteyangpaling disukai anak-anak adalah Tom & Jerry
(44.8%).
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
30/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
31/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
32/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
33/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
34/38
34
penting demi memelihara fungsi masyarakat (Wikipedia, 2009). Hukum dan
norma sosial yang berlaku di negara kita, Indonesia, melarang hak kepemilikan
dan penggunaan senjata tanpa ijin yang resmi. Anak-anak mengerti bahwa
senjata tidak boleh digunakan secara sembarangan demi memperoleh sesuatu.
Dari hasil penelitian, bagi anak-anak dalam suatu perkelahian atau
pertarungan, lebih seru untuk tidak menggunakan senjata di dalamnya (62.8%).
Hal ini mungkin disebabkan oleh tayangan film anak-anak saat ini tidak selalu
dipersepsi dengan menggunakan senjata, melainkan menggunakan sihir atau
magicdalam suatu perkelahian atau pertarungan.
Berdasarkan hasil perbedaan dimensi-dimensi violent portrayals ditinjau dari
jenis kelamin, penulis menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi
seluruh dimensi violent portrayals, ditinjau dari jenis kelamin. Tidak ada
perbedaan, karena pada rentang usia middlechildhood anak-anak memiliki
pemrosesan informasi terhadap tayangan televisi dengan agak skeptis. Seiring
dengan pertumbuhan usia, maka anak-anak akan mulai mempersepsi tayangan
film dalam televisi berdasarkan stereotipe peran gender.
Saran untuk penelitian selanjutnya
Pada penelitian ini, penulis hanya meneliti persepsi anak-anak dalamtayangan kekerasan pada program Film di Televisi dan Bimbingan Media
Orangtua. Penelitian lain dapat memperluas variabel penelitian tidak hanya pada
televisi, melainkan dapat juga meneliti video games, dan buku-buku bacaan yang
juga mencemaskan bagi anak-anak pada saat ini. Penelitian juga dapat
dilakukan di sekolah lain selain sekolah-sekolah SD di Jakarta.
Penelitian selanjutnya juga diharapkan dapat menggunakan landasan teori
yang diperbaharui.
Saran bagi sekolah-sekolah
Setelah mendapat banyak pengetahuan dan pengertian yang lebih, sekolah
dapat lebih banyak menyediakan informasi bagi para orangtua dan sekolah-
sekolah lain, membantu mereka menyadari efek-efek negatif dari tayangan-
tayangan film anak-anak yang ada sekarang ini. Sekolah dapat memberikan ide
serta strategi untuk membantu para orangtua dan keluarga anak-anak memilih
tayangan-tayangan film yang bermanfaat dan bernilai positif bagi putra-putri
mereka.
Saran bagi orangtua dan keluarga
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
35/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
36/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
37/38
7/25/2019 22 Media Anak Dan Persepsi Terhadap Bimbingan Media Orang Tua Yohanes Budiarto
38/38