LAPORAN KASUS
ATRESIA DUODENUM
Pembimbing:
dr. Erjan Fikri, Sp.B, Sp.BA
Disusun oleh:
Sylvia Cahyadi 100100093Edric Chandra 100100095Monika Ayuningrum 100100239William Purba 100100354Dinda Hanifah 100100182Sucianty 100100005Shecia Vinka 100100088Tomy Kesuma Putra 100100248Eka Putra Pratama 100100368
Lee Mun Kiat 100100266
DEPARTEMEN ILMU BEDAH UMUM
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT HAJI ADAM MALIK
MEDAN
2015
i
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR ISI..................................................................................................................
KATA PENGANTAR...................................................................................................
BAB 1 PENDAHULUAN.............................................................................................
1.1. Latar Belakang.................................................................................1
1.2. Tujuan Penulisan..............................................................................2
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA....................................................................................
2.1. Definisi.............................................................................................3
2.2. Etiologi.............................................................................................3
2.3. Embriologi Duodenum.....................................................................3
2.4. Anatomi dan Fisiologi......................................................................4
2.5. Faktor Risiko..................................................................................12
2.6. Klasifikasi.......................................................................................13
2.7. Patogenesis.....................................................................................14
2.8. Diagnosis........................................................................................16
2.8.1 Gejala Klinis.......................................................................16
2.8.2. Pemeriksaan Penunjang.....................................................17
2.9. Penatalaksanaan..............................................................................18
BAB 3 LAPORAN KASUS........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah
melimpahkan berkatnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan Laporan
Kasus yang berjudul Atresia Duodenum ini.
Adapun tujuan penulisan Makalah Ilmiah ini adalah untuk memenuhi
tugas kepaniteraan klinik senior pada Departemen Ilmu Bedah Umum, Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan pula terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Erjan Fikri, Sp.B, Sp.BA atas kesediaan beliau
sebagai pembimbing dalam penulisan makalah ini. Selain itu, penulis juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Sampe Tua atas
bimbingannya dalam proses penyempurnaan makalah ini. Besar harapan, melalui
makalah ini, pengetahuan dan pemahaman kita mengenai Atresia Duodenum
semakin bertambah.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Laporan
Kasus ini baik dari segi isi maupun sistematika penulisan karena keterbatasan
kemampuan penulis. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak untuk menyempurnakan Laporan Kasus ini. Semoga
Laporan Kasus ini dapat bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juni 2015
Penulis
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Usus manusia secara umum terdiri atas usus besar dan usus halus. Segmen
pada usus halus terdiri dari duodenum, jejunum dan ileum. Duodenum merupakan
bagian pertama dari usus setelah lambung. Duodenum akan diikuti oleh bagian
usus yang panjang yang disebut jejunum. Jejunum diikuti oleh ileum yang
merupakan bagian akhir dari usus halus yang akan menghubungkan usus halus
dengan usus besar. Apabila bagian dari usus ini gagal untuk berkembang pada
fetus akan mengakibatkan terjadinya sumbatan pada usus. Kondisi ini disebut
dengan atresia intestinal.1, 2
Atresia intestinal merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonates
yang baru lahir. Dari 100% kejadian atresia intestinal 50% merupakan atresia
duodenum, 36% atresia jejunum dan 14% atresia ileum.Atresia intestinal dapat
terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Atresia intestinal dapat terjadi pada berbagai
tempat pada usus halus. 50% kasus atresia intestinal terjadi pada duodenum
dengan 57% perempuan dan 43% laki-laki. 46% kasus terjadi pada jejunoileal
dengan 61% laki-laki dan 39% perempuan.3, 4
Insiden atresia duodenum adalah 1 per 5000-10.000 kelahiran Obstruksi
duodenum congenital intrinsic merupakan dua pertiga dari keseluruhan obstruksi
duodenal congenital (atresia duodenal 40-60%, duodenal web 35-45%, pancreas
anular 10-30%, stenosis duodenum 7-20%). Tidak dapat predileksi rasial dan
gender pada penyakit ini. Sekitar setngah dari bayi lahir dengan obstruksi
duodenum mempunyai kelainan kingenital dari sistem organ lain.5
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang
baik. Duodenal atresia terjadi pada 1 dari 1000 kelahiran. Beberapa penelitian
juga menyebutkan insiden dari duodenal atresia mencapai 1 dari 2000 kelahiran
sampai 1 dari 40.000 kelahiran. Di afrika, insiden dari duodenal atresia terjadi
2
pada 1 dari 5000-10.000 kelahiran. Sementara di Amerika Serikat kejadian atresia
duodenum 1 per 6000 kelahiran.3
1.2. Tujuan Penulisan
1. Memahami tentang atresia duodenum dan penanganannya dari sisi ilmu
bedah.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departeman Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Atresia duodenum adalah kondisi dimana duodenum tidak berkembang
dengan baik dan merupakan obstruksi yang sering terjadi pada neonatus yang baru
lahir.1
2.2. Etiologi
Walaupun tidak diketahui penyebab dari atresia duodenum,
patofisiologinya sudah sangat jelas. Hubungan erat antara atresia atau stenosis
duodenum dengan malformasi neonatus lainnya menguatkan bahwa anomali
disebabkan oleh adanya gangguan perkembangan pada tahap awal dari
kehamilan.6 Atresia duodenum berbeda dengan atresia lainnya dari usus besar dan
kecil, dimana anomali tunggal yang disebabkan oleh gangguan vascular
messentrik selama tahap akhir dari perkembangan. Tidak terdapat faktor risiko
maternal yang diketahui. Walaupun sepertiga dari pasien dengan atresia memiliki
Down syndrome (trisomi 21), Down syndrome bukan merupakan faktor risiko
dalam perkembangan atresia duodenum.7
2.3. Embriologi Duodenum
Sistem pencernaan berdasarkan embriologinya dibagi menjadi foregut,
midgut dan hindgut. Foregut akan membentuk faring, sistem pernafasan bagian
bawah, esofagus, lambung sebagian duodenum, hati dan sistem bilier serta
pankreas. Midgut membentuk usus halus, sebagian duodenum, sekum, appendik
kolon asenden sampai pertengahan kolon transversum. Hindgut meluas dari
midgut hingga ke membrana kloaka, membrana ini tersusun dari endoderm kloaka
dan ektoderm dari protoderm. Usus terbentuk mulai minggu keempat yaitu mulai
dari pembentukan organ esophagus. Bagian akhir usus depan (foregut) dan bagian
sefalik usus tengah (midgut) membentuk duodenum. Kedua bagian ini terletak
4
tepat dari distal dari asal tunas hati. Sewaktu lambung berputar, duodenum
mengambil bentuk lengkung C dan berputar ke kanan. Pada perputaran ini,
bersama dengan pertumbuhan pesat ke kaput pankreas, menggeser duodenum dari
posisinya yang semula di garis tengah menjadi ke sisi kiri rongga abdomen.
Duodenum dan kaput pankreas menekan dinding tubuh dorsal, dan permukaan
kanan mesoduodenum dorsal menyatu dengan peritoneum di dekatnya. Kedua
lapisan kemudian lenyap, dan duodenum dan kaput pankreas terfiksasi dalam
posisi retroperitonium. Karena itu, seluruh pankreas terletak retroperitonium.
Mesoduodenum dorsal lenyap seluruhnya kecuali region pylorus lambung, tempat
sebagian kecil duodenum (duodenal cap) mempertahankan mesentriumnya dan
terletak intraperitonium.2
Selama bulan kedua, lumen duodenum mengalami obliterasi akibat poliferasi sel-
sel dindingnya. Namun, setelah itu lumen segera mengalami rekanalisasi, karena usus
depan mendapatkan vaskularisasi dari arteri celiac dan usus tengah mendapatkan
vaskularisasi dari arteri mesentrika superior sehingga duodemum mendapatkan
vaskularisasi dari cabang-cabang kedua arteri tersebut.2
5
2.4. Anatomi dan Fisiologi
6
Panjang dari duodenum ± 25-30 cm, dimulai dari akhir pylorus lambung,
disebelah kanan tulang belakang pada vertebra lumbal 1, kemudian membentuk
C-shaped curve mengelilingi kaput pankreas dan akhirnya berhubungan
dengan yeyunum disebelah kiri vertebra lumbal 2. Duodenum merupakan bagian
paling proksimal, paling lebar, paling pendek, dan paling sedikit pergerakannya
dari bagian usus halus lainnya. Duodenum dibagi menjadi 4 bagian:
1. Bagian pertama / superior / bulbus duodeni / duodenal cap / D1
2. Bagian kedua / vertikal / descenden/ D2
3. Bagian ketiga / horizontal / tranversal/ D3
4. Bagian keempat / obliq / ascending / D4
7
a. Bagian pertama (duodenal cap)
Bebas bergerak dan ditutupi oleh peritoneum kecuali jika terdapat
ulkus duodenum. Bagian ini mempunyai cekungan mukosal longitudinal
sementara bagian lain hanya cekungan transversal. Lapisan anterior dan
posterior dari peritoneum yang meliputi bagian atas dari duodenal cap
akan melanjutkan diri menjadi ligamentum hepatoduodenale, yang berisi
Portal Triad (duktus koledokus, arteri hepatica, dan vena porta). Tepi
anterior dari foramen Winslowi terbentuk oleh karena adanya tepi bebas
dari ligamentum ini. Tepat diatas duodenal cap terdapat kantong empedu
dan hepar segmen empat. Dibawah dan dibelakang dari duodenal
cap adalah caput pankreas. Piloroplasti dan reseksi gastroduodenal
menjadi lebih mudah jika pilorus dan duodenum dimobilisasikan kearah
depan didalam kavum abdomen dengan manuver Kocher. Karena
kedekatan duodenum superior dengan kandung empedu dapat menjelaskan
adanya batu empedu yang sering secara spontan masuk kedalam
duodenum melalui kolesistoduodenal fistula. Selanjutnya peritoneum
hanya melapisi bagian ventral dari duodenum sepanjang 2,5 cm
berikutnya.
b. Bagian kedua
Bagian kedua dari duodenum adalah retroperitoneal dan terfiksir karena
adanya fusi dari peritoneum visceral disebelah lateral peritoneum perietale
lateral dinding abdomen. Dengan membuka peritoneum pada sisi lateral
kanan (manuver Kocher), dapat memobilisasi duodenum desending
sehingga dapat mencapai retroduodenal dan saluran empedu
intrapankreatik. Disebelah belakang dari bagian kedua duodenum ini
terletak ginjal kanan dan struktur hilusnya, kelenjar adrenal dan vena cava.
Tepat dipertengahan duodenum, mesokolon akan melintang secara
horizontal, karena bersatunya peritoneum dari arah atas dan arah bawah.
Diatas dari fleksura duodenalis, duodenum bagian pertama dan duodenum
bagian kedua akan membentuk sudut yang tajam dan berlanjut berkisar 7-8
8
cm dibawah fleksura duodenalis. Kolon tranversum akan melintang daerah
tersebut di sebelah depannya. Untuk memobilisasi duodenum secara
menyeluruh yang harus dilakukan adalah membuka fleksura hepatis pada
sisi anteromedial kolon. Kurang lebih pertengahan dari bagian kedua
duodenum dinding posteromedial adalah papila vateri, yang terdiri atas
gabungan antar duktus koledokus dan duktus pankreatikus Wirsungi.
Letak dari duktus pankreatikus Santorini lebih proksimal. Cabang
superior pankreatikoduodenal yang berasal dari arteri gastroduodenalis,
berjalan didalam cekungan antara kaput pankreas dan duodenum bagian
kedua atau desending.
c. Bagian ketiga
Bagian ketiga dari duodenum panjangnya sekitar 12-13 cm, berjalan
horizontal ke arah kiri didepan dari aorta, vena cava inferior, columna
vertebra L2 dan ureter, dan berakhir pada sebelah kiri pada vertebra L3
Radiks yeyunoileum menyilang dekat akhir duodenum bagian ketiga.
Arteri mesenterika superior berjalan kebawah diatas depan dari duodenum
bagian ketiga dan masuk kedalam radiks mesenterii. Arteri
pankreatikoduodenale inferior membatasi pankreas dantepi atas dari
duodenum bagian ketiga.
d. Bagian keempat
Bagiam keempat dari duodenum berjalan kearah atas samping kiri
sepanjang 2-3cm disebelah kiri dari vertebra dan membentuk sudut
duodenoyeyunal pada radiks mesokolon transversal. Disebelah kiri dari
vertebra lumbal II, bagian terakhir dari duodenum menurun ke arah kiri
depandan membentuk fleksura duodenoyeyunalis. Pada daerah ini,
ligamentum suspensorium duodenum (ligamentum Treitz) berawal,
tersusun atas jaringan fibrous dan pita triangular, berjalan ke arah
retroperitoneal, dibelakang pankreas dan vena lienalis, didepan vena
renalis, dariarah kiri atau kanan dari krus diafragma. Fleksura
duodenoyeyunalis dipakai sebagai landmark untuk panduan mencari
9
obstruksi di daerah usus halus dan menentukan bagian atas dari yeyunum
untuk dilakukan gastro yeyunostomi. Saat laparotomi, ligamentum ini
dapat ditemukan dengan cara menekan daerah dibawah mesokolon
tranversal ke arah belakang sampai ke dinding abdomen bagian belakang
sementara tangan yang satu mempalpasi kearah atas melalui tepi kiri dari
pada tulang belakang sampai fleksura ini ditemukan dengan tanda
adanya perabaan yang keras pada tempat fiksasinya. Gabungan antara
peritoneum visceral dari pankreatikoduodenal dengan peritoneum parietal
posterior yang tersisa akan menutupi semuaduodenum kecuali sebagian
dari bagian pertama duodenum. Variasi gabungan tadi ke dinding
abdomen bagian belakang akan menentukan variasi dari mobilitas
duodenum. Fleksura kolonkanan, bagian dari mesokolon tranversalis yang
terfiksir, hubungan antara ampulla dan pembuluh darah dari duodenum
dapat dilihat dengan jelas. Pada posisi yang cukup dalam ini menunjukkan
bahwa duodenum cukup terproteksi dengan baik dari adanya trauma, tapi
kadang-kadang dapat hancur dan bahkan terputus karena adanya
penekanan dengan landasan pada tulang belakang dari adanya trauma
tumpul abdomen yang berat, dan juga karena tidak ditutupi oleh
peritoneum.
Vaskularisasi
Vaskularisasi duodenum berasal dari cabang arteri
pankreatikoduodenal anterior dan posterior. Anastomosis antara arteri ini
akan menghubungkan sirkulasi antara trunkus seliakus denganarteri
mesenterika superior. Arteri ini membagi aliran darahnya ke
kaput pankreas, sehingga reseksi terhadap pankreas atau duodenum secara
terpisah adalah satu hal yang hampir tidak mungkin dan dapat berakibat
fatal. Arteri pankreatikoduodenal superior adalah cabang dari
arterigastroduodenale, dan arteri pankreatikoduodenal inferior adalah
cabang dari arteri mesenterika superior. Kedua arteri ini bercabang
menjadi dua dan berjalan disebalah anterior dan posterior pada cekungan
antara bagian descending dan bagian transversal duodenum dengan
10
kaput pankreas, kemudian beranastomosis sehingga bagian anterior dan
posterior masing-masing membentuk cabang sendiri.
Vena tersusun paralel bersamaan dengan arteri pankreatikoduodenal
anterior dan posterior. Anastomosis cabang psterior berakhir di atas vena
porta, dibawahnya vena mesenterika superior(SMV). Vena posterosuperior
pankreatikoduodenal mungkin akan mengikuti arterinya disebelah depan
dari saluran empedu, atau mungkin berjalan di belakang saluran tadi. Vena
ini akan berakhir pada tepi kiri sebelah bawah dari SMV. Pada tempat
tersebut, vena tadi akan bergabung dengan vena yeyunalis atau dengan
vena pankreatioduodenal inferior anterior. Sebagian besar aliran vena pada
cabang anterior ini berasal dari Trunkus gastrokolika atau (Henle’s trunk).
Pada saat pankreatikoduodenektomi, lokasi SMV dapat ditelusuri dari
vena kolika hubungannya dengan SMV tepat dibawah dari collum
pankreas. Kadang- kadang identifikasi SMV dapat dilakukan dengan cara
insisi pada daerah avaskuler dari peritoneum sepanjang tepi bawah dari
pankreas. Disebelah atas dari pankreas, vena porta akan terekspos dengan
jelas bilaarteri gastroduodenal dan duktus koledokus dipisahkan. Kadang-
kadang arteri hepatika sering salah di identifikasi dengan
arteri gastroduodenal, sehingga untuk kepentingan tersebut, sebelum
dilakukan ligasi pada arteri gastroduodenal, harus dilakukakan oklusi
sementara dengan klem vaskuler atau jari ahli bedah sambil mempalpasi
pulsasi arteri hepatik pada hilus hati.
Pembuluh arteri yang memperdarahi separuh bagian atas
duodenum adalah arteri pancreatikoduodenalis superior yang merupakan
cabang dari arteri gastroduodenalis. Separuh bagian bawah duodenum
diperdarahi oleh arteri pancreatikoduodenalis inferior yang
merupakancabang dari arteri mesenterika superior. Vena-vena duodenum
mengalirkan darahnya ke sirkulasi portal. Vena superior
bermuaralangsung pada vena porta dan vena inferior bermuara pada vena
mesenterika superior.
Pembuluh limfe
11
Aliran limfe pada duodenum umumnya berjalan bersama-sama dengan
vaskularisasinya. Pembuluh limfe duodenum mengikuti arteri dan mengalirkan
cairan limfe keatas melalui nodulilymphatici pancreatikoduodenalis ke noduli
lymphatic gastroduodenalis dan kemudian ke noduli lymphatici coeliacus dan ke
bawah melalui noduli lymhatici pancreatico duodenalis ke noduli lymphatici
mesentericus superior sekitar pangkal arteri mesenterika superior.
Karsinomaduodenum primer mungkin menyebar ke pankreas secara langsung atau
melalui infiltrasi limfatik, tetapi biasanya karsinoma ini biasanya menyebar
pertama kali ke limfonodus periduodenal dan hati. Nodus pada fleksura
duodenalis superior serta nodul pada retroduodenal biasanya berhubungan dengan
adanya metastasis karsinoma pancreas.
Innervasi
Persarafan GI tract diinervasi oleh sistem saraf otonom, yang dapat
dibedakan menjadi ekstrinsik dan intrinsik (sistem saraf enterik). Inervasi
ekstrinsik dari duodenum adalah parasimpatis yang berasal dari nervus Vagus
(anterior dan cabang celiac) dan simpatis yang berasal dari nervus splanikus pada
ganglion celiac. Inervasi intrinsik dari plexus myenterik Aurbach’s dan plexus
submucosal Meissner. Sel-sel saraf ini menginervasi terget sel seperti sel-sel otot
polos,sel-sel sekretorik dan sel- sel absorptive, dan juga sel-sel saraf tersebut
berhubungan dengan reseptor-reseptor sensoris dan interdigitatif yang juga
menerima inervasi dari sel-sel saraf lain yang terletak baik didalam maupun di
luar plexus. Sehingga pathway dari sistim saraf enterik bisa saja multisinaptik,
dan integrasi aktifitasnya dapat berlangsung menyeluruh bersamaan dengan sistim
saraf enterik.
Krypteepitelium
Paling sedikit tersusun atas 4 jenis sel yang berbeda; Paneth, goblet,
undefferentieted cell dan sel-sel endokrin. Pada bagian pertama duodenum
ditutupi oleh banyak lipatan sirkuler yang di namakan plica circularis, tempat
saluran empedu & duktus pancreatikus mayor menembus dinding medial bagian
ke dua duodenum. Duktus pankreatikus accesorius (bila ada) bermuara ke
duodenum pada papila yang kecil yang jaraknya sekitar 1,9 cm di atas
12
papilladuodeni mayor. Dinding duodenum sebelah posterior dan lateral letaknya
retoperitoneal sehingga tidak ditemukan lapisan serosa.
1. Motilitas.
Pengatur pemacu potensial berasal dari dalam duodenum, mengawali
kontraksi, danmendorong makanan sepanjang usus kecil melalui
segmentasi (kontraksi segmen pendek dengan gerakan mencampur ke depan
dan belakang) dan peristaltik (migrasi aboral dari gelombang kontraksi dan
bolus makanan). Kolinergik vagal bersifat eksitasi. Peptidergik
vagal bersifatinhibisi. Gastrin, kolesistokinin, motilin merangsang aktivitas
muskular; sedangkan sekretin dan dihambat oleh glukagon.
2. Pencernaan dan Absorpsi
a. Lemak lipase
Pankreas menghidrolisis trigliserida. Komponen yang bergabung
dengan garam empedu membentuk micelle. Micelle melewati
membran sel secara pasif dengan difusi, lalu mengalami disagregasi,
melepaskan garam empedu kembali ke dalam lumen dan asam
lemakmserta monogliserida ke dalam sel. Sel kemudian membentuk
kembali trigliserida dan menggabungkannya dengan kolesterol,
fosfolipid, dan apoprotein membentuk kilomikron. Asam lemak kecil
memasuki kapiler menuju ke vena porta. Garam empedu diresorbsi ke
dalam sirkulasi enterohepatik diileum distal. Dari 5 gr garam
empedu, 0,5 gr hilang setiap hari, dankumpulan ini bersirkulasi ulang
enam kali dalam 24 jam.
b. Protein
Didenaturasi oleh asam lambung, pepsin memulai proteolisis. Protease
pancreas (tripsinogen, diaktivasi oleh enterokinase menjadi tripsin,
dan endopeptidase, eksopeptidase), lebih lanjut mencerna protein.
Menghasilkan asam amino dan 2-6 residu peptida. Transpor aktif
membawa dipeptida dan tripeptida ke dalam sel-sel absorptif.
c. Karbohidrat
13
Amilase pancreas dengan cepat mencerna karbohidrat dalam
duodenum.
d. Air dan Elektrolit
Air, cairan empedu, lambung, saliva, cairan usus adalah 8-10 L/hari,
kebanyakan diabsorpsi. Air secara osmotik dan secara hidrostatik
diabsorpsi atau secara pasif berdifusi. Natrium dan klorida
diabsorpsi berpasangan dengan zat terlarut organik atau dengan
transpor aktif.
e. Bikarbonat
Diabsorpsi dengan pertukaran natrium/hidrogen.
f. Kalsium
Diabsorpsi melalui transpor aktif dalam duodenum, jejunum,
dipercepat oleh PTH dan vitamin D. Kalium di absorpsi secara pasif.
g. Fungsi Endokrin
Mukosa usus kecil melepaskan sejumlah hormon ke dalam darah
(endokrin) melalui pelepasan lokal (parakrin) atau sebagai
neurotransmiter.
h. Sekretin
Suatu asam amino 27 peptida dilepaskan oleh mukosa usus kecil
melalui asidifikasi atau lemak. Merangsang pelepasan bikarbonat yang
menetralkan asam lambung, rangsang aliran empedu dan hambat
pelepasan gastrin, asam lambung dan motilitas.
i. Kolesistokinin
Dilepaskan oleh mukosa sebagai respons terhadap asam amino dan
asam lemak kontraksi kandung empedu dengan relaksasi sfingter Oddi
dan sekresi enzim pankreas. Bersifat trofik bagi mukosa usus dan
pankreas, merangsang motilitas, melepaskan insulin.
j. Fungsi Imun
Mukosa mencegah masuknya patogen. Sumber utama dari
imunglobulin, adalah sel plasma dalam lamina propria
14
2.5. Faktor Risiko8
1. Faktor genetik
Defek ini berhubungan dengan delesi kromosom 2q11 dan 12q4.3 yang
diyakini sebagai kromosom untuk pembentukan sistem pencernaan.
2. Faktor demografi dan reproduktif
Beberapa penelitian menyatakan bahwa angka kejadian atresia duodenal
lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika daripada ras kulit putih. Risiko
atresia duodenal juga lebih besar pada bayi dengan berat lahir rendah dan
usia kehamilan yang lebih muda.
3. Gaya hidup dan lingkungan
Penyakit yang menular melalui kandungan dapat meningkatkan risiko
atresia duodenal
2.6. Klasifikasi
Klasifikasi berdasarkan morfologi:9
1. Tipe I atresia (23%)
Septum transluminal dengan dilatasi usus proksimal dengan usus bagian
distal kolaps. Panjang usus biasanya normal
2. Tipe II atresia (10%)
Melibatkan dua ujung atresia yang dipisahkan oleh fibrous cord sepanjang
tepi mesenterium dengan mesenterium intak.
3. Tipe IIIa atresia (15%)
Serupa dengan tipe II atresia tetapi ada defek pada mesenteric dan panjang
usus bisa sedikit memendek.
4. Tipe IIIb atresia (19%) – Apple peel or Christmas tree deformity
15
Terdiri dari atresia pada jejunum proksimal, sering disertai malrotasi
dengan tidak adanya sebagian besar mesenterium dan panjang ileum yang
bertahan pada perfusi dari aliran retrograde sepanjang arteri tunggal
bervariasi.
5. Tipe IV atresia
Merupakan beberapa atresia tipe I, II, dan III, seperti sosis. Panjang usus
selalu berkurang.
Gambar 1. Klasifikasi Atresia Berdasarkan Morfologi
2.7. Patogenesis
Ada faktor ekstrinsik serta ekstrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya
atresia duodenal. Faktor intrinsik yang diduga menyebabkan terjadinya anomali
ini karena kegagalan rekanalisasi lumen usus. Duodenum dibentuk dari bagian
akhir 5 foregut dan bagian sefalik midgut. Selama minggu ke 5-6 lumen tersumbat
16
oleh proliferasi sel dindingnya dan segera mengalami rekanalisasi pada minggu ke
8- 10. Kegagalan rekanalisasi ini disebut dengan atresia duodenum.2, 10
Perkembangan duodenum terjadi karena proses ploriferasi endoderm yang
tidak adekuat (elongasi saluran cerna melebihi ploriferasinya atau disebabkan
kegagalan rekanalisasi epitelial (kegagalan proses vakuolisasi). Banyak penelitian
yang menunjukkan bahwa epitel duodenum berploriferasi dalam usia kehamilan
30-60 hari ataupada kehamilan minggu ke 5 atau minggu ke 6, kemudian akan
menyumbat lumen duodenum secara sempurna. Kemudian akan terjadi proses
vakuolisasi. Pada proses ini sel akan mengalami proses apoptosis yang timbul
pada lumen duodenum. Apoptosis akan menyebabkan terjadinya degenerasi sel
epitel, kejadian ini terjadi pada minggu ke 11 kehamilan. Proses ini
mengakibatkan terjadinya rekanalisasi pada lumen duodenum. Apabila proses ini
mengalami kegagalan, maka lumen duodenum akan mengalami penyempitan.2, 10,
11, 12
Pada beberapa kondisi, atresia duodenum dapat disebabkan karena faktor
ekstrinsik. Kondisi ini disebabkan karena gangguan perkembangan struktur
tetangga, seperti pankreas. Atresia duodenum berkaitan dengan pankreas anular.
Pankreas anular merupakan jaringan pankreatik yang mengelilingi sekeliling
duodenum, terutama deodenum bagian desenden. Kondisi ini akan mengakibatkan
gangguan perkembangan duodenum.10, 11, 12
Ladd mengklasifikasikan obstruksi duodenal menjadi intrinsic and
exterinsic lesion. Beberapa penyebab paling umum diperlihatkan pada tabel
dibawah ini.5
Ladd Classification: Beberapa lesi kongenital baik intrinsik ataupun
ekstrinsik dapat menyebabkan obstruksi parsial maupun total.
Intrinsic Lesion Extrinsic Lesion
Duodenal atresia Annular Pancreas
Duodenal stenosis Malrotation
Duodenal Web Peritoneal bands
17
Anterior Portal Vein
2.8. Diagnosis
2.8.1 Gejala Klinis
Muntah yang terus menerus merupakan gejala yang paling sering terjadi
pada atresia duodenal. Muntah yang terus-menerus ditemukan pada 85% pasien..
Muntah akan berwarna kehijauan karena muntah mengandung cairan empedu
(biliosa). Akan tetapi pada 15% kasus, muntah yang timbul yaitu non-biliosa
apabila atresia terjadi pada proksimal dari ampula veteri. Apabila anak terus
menerus muntah pada hari pertama kelahiran ketika diberikan susu dalam jumlah
yang cukup sebaiknya dikonfirmasi dengan pemeriksaan penunjang lain seperti
roentgen dan harus dicurigai mengalami obstruksi usus.13
Apabila kondisi anak tidak ditangani dengan cepat, maka anak akan
mengalami dehidrasi, penurunan berat badan, gangguan keseimbangan elektrolit.
Jika dehidrasi tidak ditangani, dapat terjadi alkalosis metabolik hipokalemia atau
hipokloremia. Pemasangan tuba orogastrik akan mengalirkan cairan berwarna
empedu (biliosa) dalam jumlah bermakna.13
Pada pemeriksaan fisik ditemukan distensi abdomen. Akan tetapi distensi
ini tidak selalu ada, tergantung pada level atresia dan lamaya pasien tidak dirawat.
Jika obstruksi pada duodenum, distensi terbatas pada epigastrium. Distensi dapat
tidak terlihat jika pasien terus menerus muntah. Pada kasus lain, distensi tidak
nampak sampai neonatus berusia 24-48 jam, tergantung pada jumlah susu yang
dikonsumsi neonatus dan muntah yang dapat menyebabkan traktus alimentari
menjadi kosong. Neonatus dengan atresia duodenum memiliki gejala khas perut
yang berbentuk skafoid. Saat auskultasi, terlihat gelombang peristaltik gastrik
yang melewati epigastrium dari kiri ke kanan atau gelombang peristaltik
duodenum pada kuadran kanan atas. Apabila obstruksi pada jejunum, ileum
maupun kolon, maka gelombang peristaltik akan terdapat pada semua bagian
dinding perut.13
18
2.8.2. Pemeriksaan Penunjang
Foto polos abdomen dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis atresia
duodenum. Gambaran udara yang tampak pada foto polos abdomen cukup
dijadikan patokan untuk mencari letak obstruksi. Pada atresia duodenum, foto
polos abdomen memperlihatkan gambaran double bubble sign dan tidak tampak
udara mengisi usus halus dan kolon. Seperti halnya juga dengan stenosis
duodenum, gambaran radiologis menunjukkan gambaran double bubble tetapi
masih tampak adanya udara di usus bagian distal.14, 15
19
Gambar 1. Foto polos abdomen atresia duodenum. Tampak adanya
gambaran double bubble sign.
Prenatal ultrasonografi dapat digunakan sebagai diagnosis pada saat masa
prenatal. Sonografi dapat mengevaluasi adanya polihidramnion dengan melihat
adanya struktur echo yang berisi dua cairan dengan gambaran double bubble pada
44% kasus.11
Pemeriksaan laboratorium yang diperiksa pada kasus atresia duodenum
meliputi pemeriksaan darah lengkap, dan elektrolit. Pada pasien yang muntahnya
progresif dapat mengalami gangguan elektrolit. Biasanya muntah yang lama akan
menyebabkan terjadinya metabolik alkalosis dengan hipokalemia atau
hipokloremia. Disamping itu, dapat juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap
untuk mengetahui apakah pasien mengalami demam oleh karena peritonitis.11
2.9. Penatalaksanaan
Tata Laksana Preoperatif
Setelah diagnosis ditegakkan, maka resusitasi yang tepat diperlukan dengan
melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan dan abnormalitas elektrolit serta
20
melakukan kompresi pada gastrik. Dilakukan pemasangan orogastrik tube dan
menjaga hidrasi IV. Managemen preoperatif ini dilakukan mulai dari pasien lahir.
Sebagian besar pasien dengan duodenal atresia merupakan pasien premature dan
kecil, sehingga perawatan khusus diperlukan untuk menjaga panas tubuh bayi dan
mencegah terjadinya hipoglikemia, terutama pada kasus berat badan lahir yang
sangat rendah, CHD, dan penyakit pada respirasi. Sebaiknya pesien dirawat dalam
inkubator.11, 12, 16
Tata Laksana Intraoperatif
Sebelum tahun 1970, duodenojejunostomi merupakan teknik yang dipilih
untuk mengoreksi obstruksi yang disebabkan karena stenosis maupun atresia.
Kemudian, berdasarkan perkembangannya, ditemukan berbagai teknik yang
bervariasi, meliputi side-to-side duodenoduodenostomi, diamnond shape
duodenoduodenostomi, partial web resection with heineke mikulick type
duodenoplasty, dan tapering duodenoplasty. Side-to-side duodenoplasty yang
panjang, walaupun dianggap efektif, akan tetapi pada beberapa penelitian teknik
ini memyebabkan terjadinya disfungsi anatomi dan obstruksi yang lama. Pada
pasien dengan duodenoduodenostomi sering mengalami blind-loop syndrome.11, 12,
16
Saat ini, prosedur yang banyak dipakai yakni laparoskopi maupun open
duodenoduodenostomi. Teknik untuk anastomosisnya dilakukan pada bagian
proksimal secara melintang ke bagian distal secara longitudinal atau diamond
shape. Dilakukan anastomosis diamond-shape pada bagian proksimal secara
tranversal dan distal secara longitudinal. Melalui teknik ini akan didapatkan
diamater anatomosis yang lebih besar, dimana kondisi ini lebih baik untuk
mengosongkan duodenum bagian atas. Pada beberapa kasus,
duodenoduodenostomi dapat sebagai alternatif dan menyebabkan proses
perbaikan yang lebih mudah dengan pembedahan minimal. Untuk open
duodenoduodenostomi, dapat dilakukan insisi secara tranversal pada kuadran
kanan atas pada suprambilikal. Untuk membuka abdomen maka diperlukan insisi
pada kulit secara tranversal, dimulai kurang lebih 2 cm diatas umbilikus dari garis
21
tengah dan meluas kurang lebih 5 cm ke kuadran kanan atas. Setelah kita
menggeser kolon ascending dan tranversum ke kiri, kemudian kita akan melihat
duodenal yang mengalami obstruksi. Disamping mengevaluasi duodenal stresia,
dapat dievaluasi adanya malrotasi karena 30% obstruksi duodenal kongenital
dihubungkan dengan adanya malrotasi. Kemudian dilakukan duodenotomi secara
tranversal pada dinding anterior bagian distal dari duodenum proksimal yang
terdilatasi serta duodenostomi yang sama panjangnya dibuat secara vertikal pada
batas antimesenterik pada duodenum distal. Kemudian akan dilakukan anstomosis
dengan menyatukan akhir dari tiap insisi dengan bagian insisi yang lain.10, 11, 12
Gambar 2. Diamond-shaped duodenoduodenostomy
Disamping melakukan open duodenoduodenostomi, pada negara maju
dapat dilakukan teknik operasi menggunakan laparoscopic. Teknik dimulai
dengan memposisikan pasien dalam posisi supinasi, kemudian akan diinsersikan
dua instrument. Satu pada kuadran kanan bayi, dan satu pada mid-epigastik kanan.
Duodenum dimobilisasi dan diidentifikasi regio yang mengalami obstruksi.
Kemudian dilakukan diamond shape anastomosis. Beberapa ahli bedah melakukan
laparoscopik anatomosis dengan jahitan secara interrupted, akan tetapi teknik ini
memerlukan banyak jahitan. Metode terbaru yang dilaporkan, kondisi ini dapat
diselesaikan dengan menggunakan nitinol U-clips untuk membuat
duodenoduodenostomi tanpa adanya kebocoran dan bayi akan lebih untuk dapat
22
segera menyusui dibandingkan open duodenoduodenostomi secara
konvensional.12
Untuk duodenal obstruksi yang disebabkan annular pankreas, maka dilakukan
duodenoduodenostomi antara segmen duodenum diatas dan dibawah area cincin
pankreas. Operator tidak boleh melakukan pembedahan pada pancreas karena
akan menyebabkan pankreatik fistula, kondisi demikian menyebabkan stenosis
atau atresia duodenum akan menetap.12
Gambar 3. Foto intraoperatif atresia duodenum (kanan) dan setelah
duodenoduodenostomy (kiri)
Tata Laksana Postoperatif
Pada periode postoperatif, maka infus intravena tetap dilanjutkan. Pasien
menggunakan transanastomotic tube pada jejunum, dan pasien dapat mulai
menyusui setelah 48 jam pasca operasi. Untuk mendukung nutrisi jangka panjang,
maka dapat dipasang kateter intravena baik sentral maupun perifer apabila
transanastomotic enteral tidak adekuat untuk memberi suplai nutrisi serta tidak
ditoleransi oleh pasien. Semua pasien memiliki periode aspirasi asam lambung
yang berwarna empedu. Kondisi ini terjadi karena peristaltik yang tidak efektif
atau distensi pada duodenum bagian atas. Permulaan awal memberi makanan oral
tergantung pada penurunan volume gastrik yang diaspirasi.10, 11, 12
2.10. Prognosis
23
Angka harapan hidup untuk bayi dengan duodenal atresia yakni 90-95%.
Mortalitas yang tinggi disebabkan karena prematuritas serta abnormalitas
kongenital yang multiple. Komplikasi post operatif dilaporkan pada 14-18%
pasien, dan beberapa pasien memerlukan operasi kembali. Beberapa kondisi yang
sering terjadi dan menyebabkan pasien perlu dioperasi kembali, yakni kebocoran
anstomosis, obstruksi fungsional duodenal, serta adanya adhesi.12
24
BAB 3
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : ZR
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 18/ 05/ 2015/ 5hari
Pekerjaan : -
RM : 00.64.31.07
Tanggal masuk : 22 Mei 2015
II. ANAMNESIS
Pasien konsul dari Bagian Departemen anak ke Bedah anak tanggal 4 Juni 2015
Keluhan utama: Muntah
Telaah: - Hal ini dialami sejak pasien berusia 1 hari, frekuensi 3 kali sehari
dengan volume kurang lebih 20cc. Muntah setiap kali pasien diberi susu,
berwarna kuning. Kesan tidak menyemprot.
- Demam (-), sesak nafas (-)
- BAB (+) warna hitam, mekonium sudah keluar
- Menangis lemah, mengisap lemah, tonus otot lemah, gerakan aktif
- Riwayat kehamilan: usia 38 tahun, selama hamil kontrol teratur ke
dokter, DM (-), riw HT (-), selama hamil tidak minum obat obatan,
jamu jamuan, riwayat demam (-)
25
- Riwayat kelahiran: os anak ketiga lahir SC karena sungsang, lahir
langsung menangis, riwayat biru (-), riwayat ketuban hijau (-), BBL =
2500gram
RPT : -
RPO : -
III. PEMERIKSAAN FISIK
Sens : CM, T: 36.9oC ; BB = 1800gram
Anemis (-), ikhterik (-), dispone (-), cyanosis (-), oedem (-)
Kepala : ubun ubun besar terbuka rata; mata : RC +/+, pupil isokor, conj
palpebra inferior pucat (-/-) ; Telinga/mulut : normal/ terpasang OGT ;
hidung = O2 nasal kanul terpasang
Dada : simetris fusiformis, retraksi (-)
HR : 140 x/menit regular, tanpa desah
RR : 40x/ menit regular Rh -/-
Perut : soepel, scaphoid, kontur usus terlihat jelas, turgor kulit kembali lambat,
peristaltic(+) N H/L : tidak teraba ; tali pusat layu, bau tidak ada
Anggota gerak : nadi : 14x/menit t/v: kuat/ cukup, akral hangat CRT<3 detik
Sianosis tidak ada, SaO2 : 96%
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan Laboratorium
Darah rutin : Hb : 13.8,5 g/dL
26
Ht : 45.30 %
RBC : 4,46 x106/mm3
Leu : 48.60 103/mm3
Trom : 72/mm3
Kalsium ion : 1.163 mmol/L (1.11 – 1.31)
Albumin : 3.4 g/dl (3.8 – 6.4)
Glukosa Darah Sewaktu : 77.10 mg/dl
Trigliserida : 523 mg/dl (40 – 200)
Na/K/Cl : 130/3.9/100
Kesan : Trombositopenia, hipoalbuminemia, hiponatremia, hipertrigliserida
27
Foto BNO/Abdomen
Kesan : Neonatal penumonia
Menyokong gambaran Hyperthropic Stenosis Pyloric
Tidak tampak kelainan tulang kranium dan maksilofasial/tulang pelvis dan
ekstremitas
28
USG Lower Abdomen/Pelvic (3/6/2015)
Kesan : dilatasi gaster dengan 2 kantongan berisi minuman menggambarkan
atresia duodenum
29
V. DIAGNOSIS
Suspek Atresia duodenum dd Hyperthropic Stenosis Pyloric
VI. TATALAKSANA
- Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5
- Terpasang Nasal Kanul
- Kebutuhan parenteral : 275 cc/hari
o IVFd D5% NaCl 0.45% (430cc) + D40% (70cc) + Kcl 10mg + Ca
Gluoknas 10cc 72.5cc/hari
o Aminosteril 6% 4g/kgbb/hari = 10g/hari = 166cc/hari 6.9
cc/jam
o Ivelip 20% 3g/kgbb/hari = 7.5g/hari = 37.5 cc/hari -> 1.5 cc/jam
- Kebutuhan enteral 40cc/kgbb/hari = 100cc/hari
Diet ASI/PASI 2cc/2jam/OGT
- Inj Ceftazidime 45mg//12jam/iv
- Inj gentamicyn 10mg/24jam/iv
- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv
- Rawat tali pusat dengan kasa steril
- Popok basah segera ganti
30
VII. FOLLOW UP
5/6/2015 S : muntah (+), BAB (+) hitamO : abdomen : I : distensi (-)
A : peristaltik (+) NP : TympaniP : soepel
A : Suspect Atresia Duodenum dd HPSP : - Rencana Barium Enema Follo Through hari ini di RS luar
- Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parenteral : 275 cc/hari
o IVFD D5% NaCl 0.45% (430cc) + D40% (70cc) +
KCl 10mg + Ca Gluoknas 10cc 72.5cc/hari o Aminosteril 6% 4g/kgbb/hari = 10g/hari =
166cc/hari 6.9 cc/jamo Ivelip 20% 3g/kgbb/hari = 7.5g/hari = 37.5 cc/hari -
> 1.5 cc/jam- Kebutuhan enteral 40cc/kgbb/hari = 100cc/hari
Diet ASI/PASI 2cc/2jam/OGT- Inj Ceftazidime 45mg//12jam/iv- Inj Gentamicyn 10mg/24jam/iv- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Rawat tali pusat dengan kasa steril- Popok basah segera ganti- Koreksi Trombositopenia 10cc/kg selama 3 hari berturut
turut : 25cc/24jam - Koreksi hiponatremia : NaCl 0.45% 7cc/jam IVFD
D5% NaCl 0.45% + 10 meq KCl + 10cc Ca Glukonas dengan kecepatan 7cc/jam (selama 24 jam)
Hasil laboratorium darah :Hb/Ht/Leu/Ht : 10.60/22.19/30.90/18
6/6/2015s/d8/6/2015
S : muntah (+), BAB (+) hitamO : abdomen : I : distensi (-)
A : peristaltik (+) NP : TympaniP : Soepel
A : Suspect Atresia Duodenum dd HPSP : - Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5
- Terpasang Nasal Kanul
31
- Kebutuhan parenteral : 275 cc/hario IVFD D5% NaCl 0.45% (430cc) + D40% (70cc) +
Kcl 10mg + Ca Gluoknas 10cc 72.5cc/hari o Aminosteril 6% 4g/kgbb/hari = 10g/hari =
166cc/hari 6.9 cc/jamo Ivelip 20% 3g/kgbb/hari = 7.5g/hari = 37.5 cc/hari -
> 1.5 cc/jam- Kebutuhan enteral 15cc/kgbb/hari
Diet ASI/PASI 2cc/2jam/OG dengan syringe pump - Inj Amikacin 19mg/8jam/iv- Inj Cefotaxim 125mg/8jam/iv- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Inj Ranitidine 2mg/12jam/iv- Rawat tali pusat dengan kasa steril- Popok basah segera ganti
9/6/2015 S : Muntah (+), BAB (+) hitamO : Abdomen : I : distensi (-)
A : peristaltik (+) NP : TympaniP : soepel
A : Suspect Atresia Duodenum dd HPSP : - Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5
- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parentral 290cc/hari
IVFD D5% NaCl 0.45%(430cc) + D40% (10ccc) + KCL 10MeQ + Ca Glukonas 10cc 6cc/jam
Aminofusin 5.3cc/jam Ivelip 20% 28cc/jam
- Diet 15cc/kgBb/hari Diet ASI/PASI 2cc/2jam/OG dengan syringe pump
- InjAmikacin 19mg/8jam/iv- Inj Cefotaxim 125mg/8jam/iv- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Inj Ranitidine 2mg/12jam/iv- Rawat tali pusat dengan kasa steril- Popok basah segera ganti
Hasil laboratorium :Hb/Leu/Ht/Plt : 5.7/ 4.44/17.20/7PT/aPTT/TT/INR : 13.2/24.6/15.3/0.98
32
AST/ALT/Albumin : 18/15/2.4KGD : 83.60Na/K/Cl/Mg : 133/3/100/2.27Procalcitonin : 119.90
10/6/2015 S : muntah (+), BAB (+) hitamO : abdomen : I : distensi (-)
A : peristaltik (+) NP : TympaniP : soepel
A : Suspect Atresia Duodenum dd HPSP : - Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5
- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parentral 290cc/hari
IVFD D5% NaCl 0.45%(430cc) + D40% (10ccc) + KCl 10meq + Ca Glukonas 10cc 6cc/jam
Aminofusin 5.3cc/jam Ivelip 20% 28cc/jam
- Diet 15cc/kgBB/hari Diet ASI/PASI 2cc/2jam/OG dengan syringe pump
- Inj Amikacin 19mg/8jam/iv- Inj Cefotaxim 125mg/8jam/iv- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Inj Ranitidine 2mg/12jam/iv- Popok basah segera ganti
11/6/2015 S : muntah (-), BAB (+) hitam
O : abdomen : I : distensi (-)A : peristaltik (+) NP : TympaniP : soepel
A : Suspect Atresia Duodenum dd HPSP : - Rawat inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5
- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parentral 290cc/hari
IVFD D5% NaCl 0.225%(430cc) + D40% (10cc) + KCl 10 meq + Ca Glukonas 10cc 7cc/jam
Aminofusin 5.3cc/jam Ivelip 20% 28cc/jam
- Diet Tropic Feeding 2cc/2jam/OGT dengan Pregistimil
33
- Inj Amikacin 19mg/8jam/iv- Inj Metronidazole MD 15mg/12jam- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Inj Ranitidine 2mg/12jam/iv- Albumin 25% 5cc- Popok basah segera ganti- Transfusi PRC dan Trombosit
12/6/2015s/d 14/6/2015
S : muntah (+), Pucat (+)O : abdomen : I : distensi (-)
A : peristaltik (+) NP : TympaniP : soepel
A : Atresia DuodenumP : - Perbaikan KU
- Koreksi trombosit sesuai departemen pediatrik- Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parentral 290cc/hari
IVFD D5% NaCl 0.225%(430cc) + D40% (10ccc) + KCl 10meq + Ca Glukonas 10cc 7cc/jam
Aminofusin 5.3cc/jam Ivelip 20% 28cc/jam
- Diet Tropic Feeding 2cc/2jam/OGT dengan Pregistimil- Inj Amikacin 19mg/8jam/iv- Inj Metronidazole MD 15mg/12jam- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Inj Ranitidine 2mg/12jam/iv- Popok basah segera ganti
Hasil laboratorium darah tgl 12/6/2015 :Hb/Leu/Ht/Plt : 10.50/ 10.29/30.40/34Albumin : 3.6Na/K/Cl : 140/2.4/100Hasil laboratorium darah tgl 14/6/2015 :Hb/Leu/Ht/Plt : 10.10/11.47/30/11
15/6/2015s/d
17/6/2015
S : muntah (-), BAB (+)O : abdomen : I : distensi (-)
A : peristaltik (+) NP : TympaniP : soepel
A : Atresia Duodenum
34
P : - perbaikan KU- Koreksi trombosit sesuai TS pediatric- Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parentral 290cc/hari
IVFD D5% NaCl 0.225%(430cc) + D40% (10cc) + KCl 10meq + Ca Glukonas 10cc 7cc/jam
Aminofusin 5.3cc/jam Ivelip 20% 28cc/jam
- Diet Tropic Feeding 2cc/2jam/OGT dengan Pregistimil- InjAmikacin 19mg/8jam/iv- Inj Metronidazole MD 15mg/12jam- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Inj Ranitidine 2mg/12jam/iv- Popok basah segera ganti- Transfusi trombosit 45cc/kgBB =30cc/12jam sebanyak 3x
pemberian- Transfusi PRC = 20cc
Hasil Laboratorium darah tgl 16/6/2015:Hb/leu/Ht/Plt : 11.9/9.61/34.7/57KGD : 59.70Na/K/Cl : 136/4.2/98
18/6/2015 Pasien dilakukan tindakan laparatomi duodenumS = lemah, POD 1O : sens CM ; T: 37oCAbdomen : I : distensi (-)A : peristaltik : (-)P : tympaniP : soepelA : post kimura procedure d/t atresia duodenumP : - Puasa
- Diet TPN sesuai Departemen pediatric- Cek Lab RL, Elektrolit, RFT, Albumin post op
Hb/Leu/Ht/Plt/ : 7.6/11.89/21.90/26PT/aPTT/TT/INR : 13.9/29.7/13.8/1.01Albumin : 3.4KGD ad Random : 202.20Kolestrol total/TG/HDL/LDL : 166/66/24/111Ur/Cr/Asam Urat : 23.10/0.30/4.4Ca/Na/K/Cl : 9.7/ 129/3.3/98
35
Procalcitonin : 1.4ng/ml19/6/2015 S = muntah (-), OGT: bersih
O : sens : CM t: 37oCAbdomen : I : distensi (+) minimalA : peristaltik (-)P : timpaniP : soepelA : post kimuta procedure d/t atresia duodenumP : - Puasa +TPN
- Observasi tanda tanda obstruksi- Rawat Inkubator dengan target suhu kulit : 36.5 – 37.5- Terpasang Nasal Kanul - Kebutuhan parentral 150cc/hari
IVFD D5% NaCl 0.225%(430cc) + D40% (70ccc) + KCL 10MeQ + Ca Glukonas 10cc 8cc/jam
Aminosteril 6% 4g/hari 5cc/jam- Diet enteral sementara puasa- InjAmikacin 19mg/8jam/iv- Inj Metronidazole MD 15mg/12jam- Inj Phenobarbital MD 5mg/12jam/iv- Nystatin 4x1cc- Myconazole zalf oles tipis 3x/hari- Inj Paracetamol 20mg/8jam- Transfusi PRC 15cc- Transfusi trombosit 20cc/12jam (3x pemberian)- Popok basah segera ganti
36
DAFTAR PUSTAKA
1. Dalla Vecchia L.K., Grosfeld J.L., West K.W., Rescorla F.J., Scherer L.,
Engum S.A. Intestinal atresia and stenosis: a 25-year experience with 277
cases. Archives of Surgery. 2007;133(5):490-497.
2. Sekmenli T., Koplay M., Alabalik U., Kivrak A.S. Duodenal Atresia and
Hirschsprung Disease in a Patient with Down Syndrome. Eur J Gen Med.
2011;8(2):157-159.
3. Free E., GERALD B. Duodenal obstruction in the newborn due to annular
pancreas. American Journal of Roentgenology. 2004;103(2):321-325.
4. Sundari T.A., Retayasa W., Kardana M., Sukarena N., Sudira N. Duodenal
Atresia in a Newborn Baby. Journal of the Indonesian Medical
Association. 2011;58(11).
5. Merkel M. Postoperative outcome after Small Bowel Atresia:
Medizinische Universität; 2011.
6. Applebaum H., Lee S., Puapong D. Duodenal atresia and stenosis-annular
pancreas. Grosfeld JL, O’Neill JA, Fonkalsrud EW, Coran A. Pediatric
Surgery, 6th ed. Mosby: Philadelphia. 2006:1260-1268.
7. Akinloye O., Truong W., Giacomantonio M., Mateos D., El-Naggar W.
Coexistence of meconium ileus with duodenal atresia and trisomy 21 in a
newborn: a case report. Journal of Perinatology. 2014;34(11):875-876.
8. Texas Department of State Health Services. BIRTH DEFECT RISK
FACTOR SERIES: Atresia-Stenosis of the Small Intestine. 2005.
9. Millar A.J.W., Gosche J.R., Lakhoo K. Intestinal Atresia and Stenosis.
Pediatric Surgery: Saunders; 2003. p. 385-388.
10. Kessel D., De Bruyn R., Drake D. Ultrasound diagnosis of duodenal
atresia combined with isolated oesophageal atresia. The British journal of
radiology. 2011;66(781):86-88.
37
11. Hayden Jr C., Schwartz M., Davis M., Swischuk L. Combined esophageal
and duodenal atresia: Sonographic findings. American Journal of
Roentgenology. 2003;140(2):225-226.
12. Lees R.F., Alford B.A., Brenbridge A., Buschi A.J., Williamson B.
Sonographic appearance of duodenal atresia in utero. American Journal of
Roentgenology. 2001;131(4):701-702.
13. Ladd A.P., Madura J.A. Congenital duodenal anomalies in the adult.
Archives of Surgery. 2001;136(5):576-584.
14. Sjamsuhidajat R., De Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 3 ed. 2010.
15. Rasad S., Kartoleksono S., Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2 ed. 2005.
16. Eckoldt-Wolke F., Hesse A.A., Krishnaswami S. Duodenal Atresia and
Stenosis. 2009.