Gambaran Sistem Tanggap Darurat (Emergency Response Preparedness) Bahaya Kebakaran Gedung Balaikota Depok Tahun 2016
Firly1, Zulkifli Djunaidi2
1. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Indonesia, Indonesia
2. Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat,Universitas Indonesia, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Pertumbuhan pembangunan gedung bertingkat maupun perkantoran yang terus meningkat memiliki potensi akan bahaya dan bencana misalnya kebakaran sehingga perlu diperhatikan sistem tanggap darurat guna meminimalisir dampak kerugian baik dari segi material maupun manusia melalui upaya mitigasi, pencegahan, dan deteksi dini. Penelitian ini bertujuan untuk melihat gambaran sistem tanggap darurat (Emergency Response Preparedness) pada fase pra, saat, maupun pasca kebakaran di Gedung Balaikota Depok berdasarkan NFPA 1600 edisi 2013: Standard on Disaster/Emergency Management and Business Continuity Programs. Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa sistem tanggap darurat bahaya kebakaran di gedung Balaikota Depok masih belum maksimal dan komprehensif.
Overview of Emergency Response Preparedness from Fire Hazard in Depok City Hall 2016
Abstract
The growth of multi-storey buildings and offices have hazard potential to become disaster like fire that need to be consider an emergency response system to minimize the impact of losses in terms of material and human through step of mitigation, prevention, and early detection. This study aims to look at describtion of emergency response system (Emergency Response Preparedness) in pre, during, and post disaster of fire in the building of Balaikota Depok based on standard of NFPA 1600: Standard on Disaster/ Emergency Management and Business Continuity Programs. This study uses descriptive analytic design with a qualitative approach. From this study, it can be concluded that the emergency response system for fire hazard in the building of Depok City Hall was not optimally and comprehensive.
Keywords : Emergency Response System, Fire, NFPA 1600
Pendahuluan
Kebakaran merupakan salah satu bencana yang paling banyak terjadi di Indonesia dan
umumnya disebabkan karena kelalaian manusia (human error) dengan dampak kerugian
seperti kerugian harta benda, stagnasi atau terhentinya usaha, terhambatnya perekonomian
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
dan pemerintahan bahkan menimbulkan korban jiwa (Setiani 2015). Salah satu wilayah dan
tempat yang paling sering mengalami kasus kebakaran adalah gedung perkantoran. Dari data statistik National Fire Protection Association (NFPA) tahun 2007-2011 total kejadian kebakaran di gedung bertingkat di dunia ada sebanyak 15.400 kasus dimana setengahnya terjadi di gedung bertingkat dan juga perkantoran dengan kasus yang dilaporkan sebanyak
7.700 kejadian (Hall, John R 2013).
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI Jakarta mencatat dari
periode Januari hingga Juli 2015 terjadi sebanyak 607 kejadian kebakaran gedung bertingkat,
perkantoran, maupun pemukiman yang umumnya disebabkan karena korsleting listrik,
ledakan material, dan puntung rokok. Sedangkan berdasarkan data dari Dinas Pemadam
Kebakaran Kota Depok, sepanjang tahun 2015 lalu terjadi total kasus kebakaran sebanyak
226 kejadian. Kasus kebakaran tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebanyak 26
kejadian, walaupun tidak menimbulkan adanya korban jiwa namun menimbulkan kerugian
secara finanasial.
Tingginya angka pertumbuhan manusia dan jumlah tenaga kerja menjadikan gedung
perkantoran sebagai tempat dalam melakukan pekerjaan setiap harinya. Selain itu,
peningkatan jumlah bangunan tinggi yang semakin berkembang menjadikan hal ini memiliki
potensi akan ancaman seperti kebakaran serta dapat mengakibatkan kerugian pada manusia
ataupun material jika tidak dilengkapi dengan sistem tanggap darurat yang benar. Kerugian
dari kasus kebakaran selain karena sistem proteksi yang buruk juga disebabkan oleh
kurangnya kepekaan manusia dalam menghadapi keadaan darurat dan tidak mengetahui
sarana evakuasi serta waktu tanggap (respone time) terjadi bahaya kebakaran hingga akhirnya
menimbulkan adanya korban jiwa, kerugian material dan finansial serta kerusakan lingkungan.
Untuk itu dibutuhkan sistem tanggap darurat bagi masyarakat agar bisa mengantisipasi sejak
dini akan potensi ancaman kebakaran di lingkungannya masing-masing dengan meningkatkan
kesiagaan dan ketanggap daruratan dalam menghadapi ancaman kebakaran.
Gedung Balaikota Depok merupakan tempat orang bekerja dengan waktu kurang lebih 8 jam
per harinya. Aset beharga dari gedung ini tidak hanya dari segi manusia, tetapi dari dokumen
pemerintahan dan juga lingkungan. Di gedung ini tersimpan dokumen dan arsip penting
pemerintahan yang sangat krusial jika terbakar. Lokasi gedung yang strategis dekat dengan
jalan raya dan gedung-gedung lain serta ditambah dengan material dan fasilitas gedung yang
cukup banyak menyebabkan adanya potensi bahaya kebakaran yang bisa menimbulkan
kemacetan lalu lintas serta menimbulkan kerugian berupa korban jiwa dan kerugian finansial
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
apabila tidak dilengkapi dengan sistem tanggap darurat yang dibuat oleh pihak manajemen
gedung. Dari semua aset inilah maka peneliti ingin melihat gambaran sistem Emergency
Response Preparedness (ERP) bahaya kebakaran di Gedung Balaikota Depok Tahun 2016
guna melihat gambaran sistem tanggap darurat dari ancaman bahaya kebakaran.
Tinjauan Teoritis
1. Emergency Response Preparedness
Emergency Response Preparedness merupakan serangkaian kegiatan yang terdiri dari
persiapan/kesiapsiagaan/kewaspadaan (Preparedness), dan respon tanggap darurat (Response)
terhadap keadaan darurat (Emergency) (Inter-Agency Standing Committee 2015). Emergency
Response Preparedness berkaitan dengan manajemen keadaan darurat yang didefinisikan
sebagai upaya sistematis dan komprehensif untuk menanggulangi semua kejadian
bencana/keadaan darurat secara cepat, tepat, dan akurat untuk menekan korban dan kerugian
yang ditimbulkannya yang terdiri dari tahap pra, saat, dan pasca keadaan darurat. (NFPA
1600).
2. Pra Keadaan Darurat
2.1 Perencaan Umum
Perencanaan umum merupakan tindakan untuk menetapkan prioritas, fungsi, hubungan
kolaboratif dan memastikan bahwa komunikasi dan seluruh sistem saling berhubungan saat
terjadi keadaan darurat (Katz 2013). Perencaan umum harus detail dalam menjelaskan
pencegahan dan mitigasi, kegiatan dalam mempersiapkan keadaan darurat (misalnya pelatihan
dan pemeliharaan), keseluruhan pengendalian dan koordinasi dalam respon keadaan darurat,
dan peran serta tanggung jawab masing-masing personil dalam persiapan pra keadaan darurat,
saat keadaan darurat, maupun pasca keadaan darurat (HaSPA 2012).
2.2 Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah-langkah jangka panjang untuk mengurangi dan
menghilangkan risiko akibat keadaan darurat. Implementasi dari strategi pencegahan juga
dapat menjadi bagian pada fase recovery jika diterapkan pasca keadaan darurat terjadi. Upaya
pencegahan perlu dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko keadaan
darurat/bencana baik melalui pengurangan ancaman keadaan darurat maupun kerentanan
pihak yang mengalami keadaan darurat. Salah satu target dari pencegahan yaitu identifikasi
bahaya dan kerentanan (HaSPA 2012).
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
2.3 Mitigasi
Mitigasi merupakan upaya untuk mengurangi dampak dari keadaan darurat melalui langkah
struktural dan non-struktural. Langkah struktural mencakup desain bangunan (misalnya
kompartemensi, akses jalan keluar dan lain-lain). Sedangkan langkah non-struktural meliputi
prosedur guna meminimalkan dampak dari terjadinya keadaan darurat (HaSPA 2012).
2.4 Pelatihan dan Pendidikan
Pelatihan dan pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengkondisikan anggota
tim dan personil untuk melakukan tindakan atau aksi tanggap yang tepat dengan tujuan untuk
mencapai performa maksimal (NFPA 1600). Persiapan dalam menghadapi keadaan darurat
merupakan bagian dalam meminimalisir kerentanan dan ketahanan organisasi. Kesiapan
dalam menghadapi keadaan darurat berarti misalnya seperti pembentukan struktur emergency
response team termasuk orang-orang yang terlatih dan terampil.
2.5 Prosedur Operasional
Prosedur operasional adalah ketentuan tertulis yang berisikan tindakan yang harus dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang akan
ditimbulkan (HaSPA 2012). Menurut Rebeca Katz dalam The National Preparedness
Guidelines (2009) ada 4 tingkat tahapan standar dokumen prosedur, yaitu:
1. SOP (Standard Operational Procedure) dan Operasi Manual
2. Panduan Operasi Lapangan/ Manajemen Insiden
3. Panduan Evakuasi
4. Bantuan Tanggap Darurat.
2.6 Sumber Daya
Sumberdaya merupakan kebutuhan yang digunakan sebelum keadaan darurat terjadi seperti
peralatan komunikasi, pelatihan, peralatan evakuasi dan lain-lain (HaSPA 2012). Menurut
Rebeca Katz dalam The National Preparedness Guidelines (2013) sumber daya juga
mencakup kebutuhan personil, peralatan, dll yang diperlukan dalam menangani keadaan
darurat. Penetapan sumber daya ini didasarkan untuk mengidentifikasi kebutuhan, ketertiban,
pemulihan, dan sebagai bahan pesediaan.
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
3. Saat Keadaan Darurat
3.1 Respon Tanggap Darurat
Respon tanggap darurat merupakan kegiatan langung dan berkelanjutan, penugasan, program,
dan sistem untuk mengelola dampak dari keadaan darurat yang mengancam kehidupan,
properti, operasi, atau lingkungan yang dilakukan segera setelah insiden terjadi. Tujuan dari
respon tanggap darurat ini adalah untuk meminimalisir kerugian pada manusia, lingkungan,
properti dan bisnis. Respon tanggap darurat memiliki dua komponen, yaitu (HaSPA 2013):
1. Tanggap darurat dari personil organisasi internal melalui mobilisasi dari responder
pertama di area bencana dengan dukungan dan tindakan koordinasi oleh personil
utama.
2. Tanggap darurat oleh layanan emergency (pemadam kebakaran, polisi, dan
ambulance).
4. Saat Keadaan Darurat
4.1 Pemulihan dan Keberlanjutan Bisnis
Pemulihan (recovery) merupakan upaya untuk mengembalikan area yang mengalami bencana/
keadaan darurat ke kondisi sebelum bencana itu terjadi dan dapat berfungsi normal. Fokus
utama dari pemulihan ini adalah manajemen korban yang terkena bencana atau keadaan
darurat, kegiatan pasca cuti dan keberlanjutan bisnis, pembangunan sarana prasarana yang
rusak, serta perbaikan infrastruktur lainnya. Kegiatan pemulihan berkaitan dengan upaya
keberlanjutan bisnis atau Business Continuity Plan (BCP). Menurut The Business Continuity
Institute (2002), Business Continuity Plan (BCP) merupakan sebuah rencana jelas dan
didokumentasikan yang digunakan pada saat kelangsungan terjadi keadaan darurat pada
kelangsungan bisnis, kejadian, insiden dan/ atau krisis. BCP merupakan bagian dari Business
Continuity Management (BCM) yang terdiri dari langkah-langkah:
a. Pemulihan Bisnis (Business Recovery atau Business Resumption)
b. Langkah Pemulihan Infrastuktur Teknologi Informasi (Disaster Recovery)
c. Langkah Darurat (Contingency Plan).
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan desain penelitian deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif
menggunakan form checklist untuk melihat gambaran sistem tanggap darurat di Gedung
Balaikota Depok. Hasil penelitian dianalisis dan dibandingkan dengan standar NFPA 1600
edisi 2013. Penelitian ini dilakukan di Gedung Balaikota Depok yang berada di Jalan
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
Margonda Raya, Pancoran Mas, Kota Depok, selama satu bulan. Data primer dari penelitian
ini didapatkan dari hasil observasi dan wawancara terstruktur dengan pihak terkait.
Sedangkan data sekunder didapat melalui telaah dokumen terkait manajemen keadaan darurat
yang digunakan di Gedung Balaikota Depok. Analisis data yang digunakan dalam penelitian
ini adalah analisis univariat dan komparatif dengan membandingkan kondisi aktual hasil
penelitian dengan standar. Observasi menjadi tools untuk validasi data yang didapat dari
wawancara dan telaah dokumen.
Hasil Penelitian
1. Pra Keadaan Darurat Kebakaran
1.1 Perencanaan Umum
Perencanaan umum tanggap darurat kebakaran gedung Balaikota Depok tercantum dalam
Rancangan Pembagunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Dinas Pemadam Kebakaran
Kota Depok tahun 2016-2021. Penyusunan rancangan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk
menyusun pedoman kerja jangka menengah proteksi kebakaran kota Depok melalui
peningkatan efektivitas pencegahan dan penanggulangan kebakaran, pembangunan
infrastruktur pendukung termasuk sumber air untuk pemadaman dan estimasi pengadaan
peralatan, dan kelengkapannya. Rancangan Pembagunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD)
mengacu kepada Peraturan Daerah Kota Depok Nomor 10 tahun 2010 mengenai Manajemen
Pencegahan dan Penanggulangan Kebakaran. Peraturan ini dibuat oleh Walikota Depok dan
kerjasama dengan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok yang menjelaskan mengenai
wilayah manajemen kebakaran gedung, organisasi penanggulangan kebakaran gedung, dan
tata laksana operasional.
1.2 Pencegahan
Pencegahan kebakaran gedung Balaikota Depok tercantum dalam Peraturan Daerah Kota
Depok Nomor 10 tahun 2010 pasal 13 mengenai Manajemen Pencegahan dan
Penanggulangan Kebakaran pada Bangunan Perkantoran, Perdagangan, dan Jasa. Adapun
kegiatan dalam perencaan pencegahan kebakaran yang dimaksudkan adalah:
1. Bangunan perkantoran perdagangan dan jasa yang memiliki ukuran besar wajib
dilengkapi dengan sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran meliputi
sistem proteksi aktif dan pasif, sistem pengendalian asap dan penyediaan sarana jalan
ke luar yang aman.
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
2. Setiap pemilik/pengelola bangunan perkantoran perdagangan dan jasa harus:
menerapkan manajemen keselamatan kebakaran (fire safety management);
membentuk Tim Penanggulangan Kebakaran Gedung; membuat rencana
penanggulangan kebakaran dan keadaan darurat lainnya; serta menyediakan pos
kendali kebakaran.
3. Setiap pemilik dan/atau pengelola dan/atau pengguna bangunan gedung wajib
membentuk Manajemen Penanggulangan Kebakaran Gedung.
4. Khusus bangunan Rumah Sakit dan bangunan perawatan kesehatan lainnya yang
memiliki lebih dari 40 tempat tidur rawat inap, wajib menerapkan Manajemen
Penanggulangan Kebakaran, terutama dalam mengidentifikasi dan
mengimplementasikan secara proaktif proses penyelamatan jiwa.
5. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Manajemen Penanggulangan
Kebakaran diatur lebih lanjut dengan Peraturan Walikota sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
1.3 Mitigasi
Langkah mitigasi yang telah dilakukan di gedung Balaikota Depok yaitu adanya sistem
proteksi kebakaran, sarana evakuasi kebakaran, pembentukan personil pemadam kebakaran
dan tim TAGANA, pelatihan dalam menghadapi kebakaran oleh personil, pembentukan
sistem komunikasi kebakaran, serta program asuransi untuk personil maupun karyawan
gedung. Sedangkan upaya mitigasi yang belum dilakukan oleh pihak manajemen gedung
Balaikota Depok yaitu belum terdapat pedoman/standar/prosedur mitigasi gedung, belum
dilakukan analisis dan penilaian risiko dari bahaya yang diidentifikasi pada gedung, belum
dibentuknya Manajemen Penanggulangan Kebakaran Gedung (MPKG), serta belum terdapat
tanda-tanda peringatan, bahaya, larangan memasuki daerah rawan keadaan darurat/bencana
digedung tersebut. Selain itu, kondisi sarana evakuasi pada gedung tersebut masih belum
difungsikan secara maksimal seperti pada sarana jalan keluar dan tangga darurat dijadikan
tempat peletakan barang-barang bekas sementara yang bisa menggaggu laju respon time -
orang-orang saat terjadi kebakaran. Maintenance pada tanda petunjuk arah dan penerangan
darurat juga masih belum dilakukan.
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
Gambar 1. Sarana Jalan Keluar Dibagian Belakang Gedung Balaikota Depok
Gambar 2. Tumpukan Barang Bekas Disepanjang Tangga Darurat
Gambar 3. Lampu Tanda EXIT tidak Menyala
Gambar 4. Penerangan Darurat tidak Menyala
1.4 Pelatihan dan Pendidikan
Pelatihan dan pendidikan di gedung Balaikota Depok mengenai keadaan darurat kebakaran
dilakukan 1-2 kali dalam satu tahun dengan sasaran yaitu personil pemadam kebakaran yang
bertugas di pos pemadam kebakaran di depan gedung Balaikota Depok dan bagi tim
TAGANA. Adapun pelatihan yang selama ini sudah didapatkan untuk personil pemadam
kebakaran berupa pelatihan diklat juru padam 1 dan 2 yang wajib buat seluruh personil yang
diberikan langsung oleh instruktur dari Kementrian Dalam Negri (KEMENDAGRI), TNI, dan
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
personil senior dan nantinya langsung diberikan sertifikasi. Pelatihan lain yang pernah
didapatkan yaitu Basic Mentality, Water Rescue dll. Sedangkan untuk tim TAGANA,
pelatihan yang pernah dilakukan berupa pelatihan penyelamatan korban kebakaran,
pembuatan dapur umum, Water Rescue dll. Untuk saat ini belum diadakan pelatihan
menyeluruh bagi seluruh karyawan yang bertugas di gedung Balaikota Depok. Selain itu,
program pelatihan ini tidak diikuti dengan program simulasi kebakaran (fire emergency drill)
untuk melihat respon time karyawan gedung saat terjadi kebakaran.
1.5 Prosedur Operasional
Prosedur operasional keadaan darurat bahaya kebakaran untuk gedung Balaikota Depok
tercantum dalam Peraturan Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Nomor 1 Tahun 2009
mengenai Prosedur Tetap Operasi Penanggulangan Bencana Kebakaran. Tujuan dari prosedur
ini adalah untuk mewujudkan kesamaan persepsi dan keseragaman cara bertindak bagi semua
personil yang terlibat dari operasi penanggulangan kebakaran sehingga dapat dicapai hasil
yang efektif dalam upaya pemadaman dan efisien dalam pengerahan sumber daya. Adapun isi
dari prosedur operasional ini berisi mencakup:
1. Prosedur Penanggulangan Kejadian Kebakaran
2. Standar Sumber Daya Manusia, Sarana dan Prasarana Operasi
3. Jabatan dalam Struktur Operasi Pemadam Kebakaran.
1.6 Sumber Daya
Sumber daya dalam penanggulangan keadaan darurat kebakaran gedung Balaikota Depok
terdiri atas sumber daya manusia (personil pemadam kebakaran gedung dan tim TAGANA)
dan peralatan kebakaran. TAGANA merupakan tim tanggap darurat yang memiliki fungsi dan
peran dalam fase saat dan pasca kebakaran yaitu dalam melakukan assessment dan evakuasi
saat terjadi keadaan darurat misalnya kebakaran. TAGANA terdiri dari satu orang ketua dan
anggota berjumlah 14 orang yang memiliki peran dan tanggung jawab masing-masing
misalnya dalam pemenuhan logistik, medis, melakukan evakuasi, melakukan assessment, dan
melakukan trauma healing bagi para korban. Selain tim TAGANA, personil lain yang
bertugas dalam aksi tanggap darurat kebakaran di gedung Balaikota Depok ada pasukan
pemadam kebakaran yang memiliki pos sendiri yang berlokasi di depan gedung Balaikota. Di
dalam pos pemadam kebakaran gedung Balaikota Depok terdapat 2 regu pemadam yaitu regu
A dan regu B. Masing-masing regu bekerja secara shift 1 hari kerja 1 hari libur. Selain sumber
daya manusia, peralatan penunjang sangat diperlukan dalam melakukan penanggulangan
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
kebakaran gedung Balikota Depok. Peralatan tersebut antara lain 2 fire truck, APAR, selang,
tali, kotak first aid, breathing apparatus, dan peralatan kebakaran lainnya.
2. Saat Keadaan Darurat Kebakaran
2.1 Respon Tanggap Darurat
Respon tanggap darurat kebakaran gedung Balaikota Depok tercantum dalam Peraturan
Kepala Dinas Pemadam Kebakaran Nomor 1 Tahun 2009 mengenai Prosedur Tetap Operasi
Penanggulangan Bencana Kebakaran. Respon tanggap darurat yang dilakukan gedung
Balaikota Depok jika terjadi kebakaran yaitu dimulai dari tahapan keberangkatan awal,
tahapan keberangkatan akhir dan menjalankan incident commander. Berikut merupakan
struktur komando saat terjadi keadaan darurat kebakaran di gedung Balaikota Depok:
Gambar 5. Incident Commander Kebakaran Gedung Balaikota Depok
Berikut merupakan waktu tempuh evakuasi saat terjadi kebakaran berdasarkan perhitungan
yang dilakukan di setiap lantai di gedung Balaikota Depok:
Tabel 1. Waktu Tempuh Evakuasi Tiap Lantai
Lantai Waktu Tempuh Evakuasi Lantai 1 1,29 menit Lantai 2 3 menit Lantai 3 4,19 menit Lantai 4 5,3 menit Lantai 5 6,58 menit
Dari tabel diatas terlihat bahwa semakin tinggi lantai diperlukan waktu evakuasi lebih lama.
Hal ini dikarenakan dikarenakan jarak antara lantai tertinggi menuju ke Assembly Point lebih
jauh dibandingkan dengan jarak lantai terendah. Selain itu, diperlukan koordinasi kepada
petugas pemadam kebakaran dan tim TAGANA dalam melakukan evakuasi di lantai yang
terendah sehingga pada saat terjadi kebakaran, lantai tersebut pun sudah kosong dan tidak
terjadi penumpukan sehingga memudahkan orang-orang di lantai tertinggi untuk turun baik
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
menggunakan pintu masuk utama gedung maupun melalui pintu darurat dan tangga darurat di
sebelah barat dan timur gedung.
3. Pasca Keadaan Darurat
3.1 Pemulihan dan Keberlanjutan Bisnis
Tidak ditemukan data mengenai business continuity and recovery maupun Business
Continuity Plan (BCP) dan juga Business Continuity Management (BCM) di gedung
Balaikota Depok terkaitan program pemulihan dan keberlanjutan bisnis pasca kebakaran.
Hasil wawancara menyebutkan bahwa upaya pemulihan dan keberlanjutan bisnis pasca
kebakaran gedung Balaikota Depok adalah dengan melakukan pemulihan sarana prasarana
pemerintahan secepatnya. Langkah yang dilakukan yaitu dengan penyewaan gedung/ruko
sementara untuk menjalankan proses pemerintahan di gedung Balaikota Depok. Sementara
untuk perbaikan maupun pemulihan kinerja dan aktivitas gedung diserahkan kepada Dinas
Pekerjaan Umum. Namun saat ini belum terdapat rencana tertulis mengenai upaya yang
dilakukan pasca pemulihan kebakaran pada gedung Balaikota Depok.
Pembahasan
1. Pra Keadaan Darurat Kebakaran
1.1 Perencanaan Umum
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokuemen pada fase pra kebakaran untuk
poin perencaan umum hampir sebagian besar memenuhi checklist dari standar NFPA 1600
yang digunakan. Saat perencaan telah dijelaskan mengenai asumsi pada saat dilakukan proses
perencaan misalnya saat pembentukan tim tanggap darurat (personil pemadam kebakaran dan
juga tim TAGANA). Selain itu, dijelaskan bagaimana peran serta komunikasi antar pihak
internal dan eksternal maupun pemenuhan kebutuhan bantuan logistik dan sumber daya antar
kedua belah pihak. Saat perencaan telah ditetapkan bentuk otoritas tertinggi saat terjadi
kebakaran adalah pada Komandan Regu pos pemadam kebakaran.
Namun terdapat beberapa poin yang belum memenuhi standar NFPA 1600. Untuk aspek
kesehatan dan keselamatan personil telah dibuktikan dengan adanya jaminan kesehatan bagi
mereka (BPJS). Namun program ini baru meng-cover untuk karyawan gedung dan personil
pemadam kebakaran di pos, belum untuk seluruh tim TAGANA. Hal ini dikarenakan tim
TAGANA hanya berstatus sebagai relawan jika terjadi bencana atau kebakaran sehingga
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
jaminan kesehatan untuk mereka masih sedikit diabaikan. Berikut merupakan diagram
pemenuhan NFPA 1600 untuk variabel perencanaan umum. Berdasarkan data yang
didapatkan saat penelitian, persentase kesesuaian implementasi sistem tanggap darurat gedung
Balaikota Depok terhadap persyaratan perencanaan umum NFPA 1600 adalah sebesar 67%
dari 100% pemenuhan kesesuaian. Sedangkan untuk terpenuhi sebagian sebesar 11% dan
tidak terpenuhi sebesar 22%.
1.2 Pencegahan
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin pencegahan kebakaran hanya sebagian memenuhi checklist dari standar NFPA 1600
yang digunakan. Gedung Balaikota Depok hampir memenuhi poin pencegahan kebakaran
diantaranya yaitu telah terdapat sarana pencegahan dan penanggulangan bahaya kebakaran
meliputi sistem proteksi aktif dan pasif, sistem pengendalian asap dan penyediaan sarana jalan
ke luar untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya kebakaran. Selain itu juga terdapat
rencana penanggulangan kebakaran dan keadaan darurat lainnya serta tersedianya pos kendali
kebakaran yang berada di depan gedung.
Namun poin yang masih belum memenuhi standar NFPA 1600 diantaranya masih belum
dilakukan penilaian risiko dan belum dibentuknya manajemen keselamatan kebakaran (fire
safety management) serta Tim Penanggulangan kebakaran gedung. Hal ini dikarenakan belum
ada komitmen dan pengetahuan yang cukup akan pentingnya pembentukan manajemen
keselamatan kebakaran gedung. Padahal orang-orang ini yang nantinya menjadi garda
terdepan dalam melakukan penanggulangan kebakaran tanpa perlu mengandalkan pos
pemadam kebakaran di depan gedung Balaikota Depok. Berdasarkan data yang didapatkan
saat penelitian, persentase kesesuaian implementasi sistem tanggap darurat gedung Balaikota
Depok terhadap persyaratan pecegahan NFPA 1600 adalah sebesar 75% terpenuhi sebagian
dan 25% tidak terpenuhi.
1.3 Mitigasi
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin mitigasi kebakaran hanya sebagian yang memenuhi checklist dari standar NFPA 1600
yang digunakan. Organisasi telah mengembangkan strategi mitigasi pada gedung Balaikota
Depok berupa pembuatan sistem proteksi kebakaran, sarana evakuasi kebakaran,
pembentukan personil pemadam kebakaran dan tim TAGANA, pelatihan dalam menghadapi
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
kebakaran oleh personil, pembentukan sistem komunikasi kebakaran, serta program asuransi
untuk personil maupun karyawan gedung.
Adapun poin yang masih belum memenuhi standar NFPA 1600 terkait mitigasi yaitu belum
terdapat pedoman/standar/prosedur mitigasi gedung, belum dilakukan analisis dan penilaian
risiko dari bahaya yang diidentifikasi pada gedung, belum dibentuknya Manajemen
Penanggulangan Kebakaran Gedung (MPKG), serta belum terdapat tanda-tanda peringatan,
bahaya, larangan memasuki daerah rawan keadaan darurat/bencana digedung tersebut. Hal ini
dikarenakan belum ada komitmen dan pengetahuan yang cukup akan pentingnya pentingnya
penilaian risiko dan Manajemen Penanggulangan Kebakaran Gedung (MPKG). Padahal
orang-orang ini yang nantinya menjadi garda terdepan dalam melakukan penanggulangan
kebakaran tanpa perlu mengandalkan pos pemadam kebakaran di depan gedung Balaikota
Depok.
Selain itu, untuk sarana evakuasi masih belum difungsikan secara maksimal seperti sarana
jalan keluar dan tangga darurat digunakan sebagai tempat meletakkan barang bekas, lampu
tanda exit tidak menyala sama sekali dan penerangan darurat di beberapa lantai tidak menyala.
Hal ini berkaitan dengan kurangnya awareness dan pengetahuan dari manajemen gedung
akan pentingnya keberadaan sarana evakuasi pada gedung. Berdasarkan data yang didapatkan
saat penelitian, persentase kesesuaian implementasi sistem tanggap darurat gedung Balaikota
Depok terhadap persyaratan mitigasi NFPA 1600 adalah sebesar 67% terpenuhi sebagian dan
33% tidak terpenuhi.
1.4 Pelatihan dan Pendidikan
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin pelatihan dan pendidikan kebakaran hanya sebagian memenuhi checklist dari standar
NFPA 1600 yang digunakan. Organisasi telah mengembangkan dan melaksanakan program
pelatihan dan pendidikan kebakaran kepada masing-masing personil pemadam kebakaran dan
tim TAGANA. Dilakukan pula pemberian edukasi, penyuluhan, dan pelatihan kecil kepada
masyarakat mengenai tindakan pencegahan dan respon terhadap bahaya kebakaran serta
dengan dibentuknya SATLAKAR (Satuan Relawan Kebakaran) yang dibentuk oleh Dinas
Pemadam Kebakaran Kota Depok.
Namun masih terdapat poin yang tidak terpenuhi dari standar NFPA 1600 yaitu program
pelatihan belum diberikan kepada seluruh karyawan gedung Balaikota Depok dikarenakan
anggaran yang tidak mencukupi serta kurangnya komitmen Walikota berupa permintaan
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
untuk mengadakan pelatihan kebakaran bagi karyawannya. Selain itu, program pelatihan ini
tidak diikuti dengan program simulasi kebakaran (fire emergency drill) untuk melihat respon
time karyawan gedung saat terjadi kebakaran. Tidak adanya hal ini menyebabkan
ketidaktahuan tindakan yang harus dilakukan bagi karyawan di gedung tersebut jika terjadi
kebakaran. Personil dan karyawan gedung juga belum diberikan pelatihan mengenai Incident
Management System (IMS) untuk mengaktifkan EOC.
Selama kegiatan pelatihan berlangsung tidak ada proses pencatatan atau berita acara serta
tidak terdapat kurikulum pelatihan yang dibuat oleh Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok
untuk personil pos pemadam gedung Balaikota Depok maupun kurikulum yang dibuat oleh
Dinas Sosial Kota Depok bagi tim TAGANA. Pelatihan dan pendidikan diberikan sesuai
dengan kebutuhan personil. Hal ini terlihat bahwa belum ada awareness dan pengetahuan
yang cukup dari Walikota Depok dan Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok untuk
membentuk kurikulum dan pembuatan laporan mengenai pelatihan kepada personil.
Berdasarkan data yang didapatkan saat penelitian, persentase kesesuaian implementasi sistem
tanggap darurat gedung Balaikota Depok terhadap persyaratan pelatihan dan pendidikan
NFPA 1600 adalah sebesar 33% dari 100% pemenuhan kesesuaian. Sedangkan untuk
terpenuhi sebagian sebesar 22% dan tidak terpenuhi sebesar 45%.
1.5 Prosedur Operasional
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin prosedur operasional kejadian kebakaran sebagian memenuhi checklist dari standar
NFPA 1600 yang digunakan. Organisasi telah membuat prosedur tertulis yang digunakan
untuk menangani kejadian kebakaran dalam rangka penyelamatan hidup (rescue) oleh
personil, perlindungan harta benda dan penetapan insiden yang diatur dalam Peraturan Kepala
Dinas Pemadam Kebakaran Nomor 1 Tahun 2009 mengenai Prosedur Tetap Operasi
Penanggulangan Bencana Kebakaran.
Namun masih terdapat poin yang tidak terpenuhi dari standar NFPA 1600 yaitu di dalam
prosedur yang ada hanya sebatas prosedur saat merespon keadaan darurat/insiden/bencana
saja, belum dapat diterapkan untuk mitigasi dan pemulihan serta kontinuitas pasca kejadian
dikarenakan kurangnya kepedulian mengenai langkah pencegahan dan pemulihan pasca
kebakaran. Selain itu, belum terdapat prosedur mengenai langkah evakuasi dan penyelamatan
dokumen pemerintahan saat terjadi kebakaran dikarenakan belum pernah dilakukan
identifikasi pada jalur evakuasi di gedung tersebut sehingga dari hal ini pengetahuan dan
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
kepedulian dari pihak manajemen dan Walikota masih kurang dalam hal menjaga
keselamatan jiwa dan arsip pemerintahan yang bersifat krusial jika terbakar. Berdasarkan data
yang didapatkan saat penelitian, persentase kesesuaian implementasi sistem tanggap darurat
gedung Balaikota Depok terhadap persyaratan dokumen dan prosedur operasional NFPA
1600 adalah sebesar 50% dari 100% pemenuhan kesesuaian dan untuk terpenuhi sebagian
sebesar 50%.
1.6 Sumber Daya
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin sumber daya hanya sebagian kecil memenuhi checklist dari standar NFPA 1600 yang
digunakan. Di gedung Balaikota Depok sudah terdapat pemenuhan sumber daya baik dari
sumber daya manusia maupun peralatan yang tersedia. Sumber daya dalam penanggulangan
keadaan darurat kebakaran gedung Balaikota Depok terdiri atas sumber daya manusia
(personil pemadam kebakaran gedung dan tim TAGANA) dan peralatan kebakaran (2 buah
fire truck, APAR, first aid box, breathing apparatus, blower asap, kapak, tangga, fire blanket
dll) serta adanya sumber dana finansial, program pelatihan, peralatan teknologi informasi dsb.
Untuk tindakan penanggulangan kebakaran dilakukan oleh pos pemadam kebakaran depan
gedung, untuk tindakan penyelamatan orang-orang dilakukan oleh tim rescue Dinas Pemadam
Kebakaran Kota Depok dibantu oleh tim TAGANA, sedangkan untuk tindakan penyelamatan
dokumen dan aset gedung (salvage) ditanggung jawabkan kepada pemadam kebakaran depan
gedung bersama karyawan di dalam gedung tersebut.
Namun masih terdapat poin yang tidak terpenuhi dari standar NFPA 1600 yaitu belum
terdapat prosedur dalam menentukan, memperoleh, menyimpan, mendistribusikan sumber
daya pada gedung Balaikota Depok. Kebutuhan sumber daya pasca kebakaran juga belum
diidentifikasi dikarenakan pada fase ini pemenuhan sumber daya akan ditindaklanjuti oleh
Dinas Pekerjaan Umum dalam hal pemulihan dan perbaikan infrastruktur serta Dinas Sosial
dalam hal pemberian santunan dan bantuan kepada korban yang berada di dalam gedung
Balaikota Depok. Selain itu, perjanjian kebutuhan sumber daya masih belum dilakukan
karena tidak terdapat perjanjian khusus mengenai pemenuhan sumber daya ketika terjadi
keadaan darurat kebakaran oleh pihak ekternal. Apabila kebutuhan sumber daya kurang, maka
organisasi biasanya menggunakan sistem jemput bola ke Dinas Pemadam Kebakaran/
Provinsi/ Kemensos untuk meminta tambahan sumber daya baik berupa sumber daya manusia
(personil pemadam kebakaran ataupun tim TAGANA) maupun sumber daya peralatan.
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
Berdasarkan data yang didapatkan saat penelitian, persentase kesesuaian implementasi sistem
tanggap darurat gedung Balaikota Depok terhadap persyaratan sumber daya NFPA 1600
adalah sebesar 25% dari 100% pemenuhan kesesuaian. Sedangkan untuk terpenuhi sebagian
sebesar 25% dan tidak terpenuhi sebesar 50%.
2. Saat Keadaan Darurat Kebakaran
2.1 Respon Tanggap Darurat
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin respon tanggap darurat sebagian besar memenuhi checklist dari standar NFPA 1600 yang
digunakan. Respon tanggap darurat diatur dalam Peraturan Kepala Dinas Pemadam
Kebakaran Nomor 1 Tahun 2009 mengenai Prosedur Tetap Operasi Penanggulangan Bencana
Kebakaran yang memuat tentang tanggung jawab dan masing-masing personil pemadam
kebakaran pos gedung maupun tim TAGANA. selain itu, dijelaskan pula mengenai tindakan
proteksi untuk keselamatan hidup (rescue) yang dilakukan oleh personil, pemenuhan sumber
daya dan manajemen bantuan saat terjadi kebakaran yaitu dengan menghubungi operator
komunikasi dengan pihak eksternal terkait (Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok, Dinas
Perhubungan, Polresta Depok, dan PLN).
Namun masih terdapat poin yang tidak terpenuhi dari standar NFPA 1600 dimana rencana
tanggap darurat masih belum memperhatikan langkah untuk melindungi orang-orang dengan
kebutuhan fungsional, operasi, dan lingkungan organisasi.Selain itu, masih belum terdapat
langkah respon mengenai prosedur evakuasi dan penyelamatan dokumen pemerintahan serta
pengukuran waktu respon time dengan mengadakan simulasi kebakaran. Hal ini membuktikan
bahwa kurangnya pengetahuan dan awareness Walikota dan pihak manajemen akan
pentingnya keselamatan jiwa karyawannya serta tindakan penyelamatan arsip pemerintahan
yang krusial apabila terbakar. Berdasarkan data yang didapatkan saat penelitian, persentase
kesesuaian implementasi sistem tanggap darurat gedung Balaikota Depok terhadap
persyaratan respon tanggap darurat NFPA 1600 adalah sebesar 66% dari 100%. Sedangkan
untuk terpenuhi sebagian sebesar 17% dan tidak terpenuhi sebesar 17%.
3. Pasca Keadaan Darurat Kebakaran
2.1 Pemulihan dan Keberlanjutan Bisnis
Berdasarkan hasil wawancara, observasi dan telaah dokumen pada fase pra kebakaran untuk
poin pemulihan dan keberlanjutan bisnis gedung Balaikota Depok, rencana pemulihan pasca
kebakaran tidak memenuhi checklist dari standar NFPA 1600 yang digunakan. Pihak
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
manajemen maupun Walikota Depok juga belum memiliki perencanaan mengenai Business
Continuity Plan (BCP) dan juga Business Continuity Management (BCM) untuk
melangsungkan kegiatan pemerintahan pasca kebakaran. Hal ini akan berkaitan nantinya
apabila gedung Balaikota terbakar maka akan berpotensi menimbulkan adanya korban jiwa
tanpa terkecuali pemerintah daerah di gedung tersebut yakni Walikota Depok. Jika
Pemerintah Daerah yang dalam hal ini adalah Walikota Depok menjadi salah satu korban
maka organisasi tidak mengetahui bagaimana proses kelanjutan kegiatan pemerintahan
sehingga aktivitas didalamnya bisa terhenti dan berpengaruh terhadap pelayanan kepada
masyarakat.
Pihak manajemen mengaku tindakan sementara yang dilakukan guna menjalankan aktivitas
pemerintahan di gedung Walikota Depok pasca kebakaran yaitu dengan penyewaan
gedung/ruko untuk menjalankan proses pemerintahan, namun anggaran untuk menjalankan
hal tersebut masih belum ada. Karena dalam hal ini gedung termasuk wilayah pemerintahan,
maka strategi pemulihan bisnis akan melibatkan Walikota dan Dinas Pekerjaan Umum yang
salah satu fungsinya adalah melakukan penataan bangunan gedung dalam hal perbaikan
maupun pemulihan kinerja dan aktivitas gedung. Namun belum ada rencana tertulis mengenai
business contiunuity. Hal ini dikarenakan selama ini belum pernah terjadi kasus kebakaran
pada gedung tersebut sehingga prosedur mengenai pemulihan pasca kebakaran belum dibuat.
Selain itu kurangnya komitmen dari Walikota dan pihak manajemen juga terlihat dari tidak
adanya anggaran yang direncanakan untuk melakukan rencana pemulihan pasca kebakaran
untuk gedung Balaikota Depok. Berdasarkan data yang didapatkan saat penelitian, persentase
kesesuaian implementasi sistem tanggap darurat gedung Balaikota Depok terhadap
persyaratan pemulihan dan keberlanjutan bisnis NFPA 1600 adalah 100% tidak terpenuhi.
Kesimpulan
Dari analisis hasil penelitian terhadap gambaran sistem tanggap darurat bahaya kebakaran
gedung Balaikota Depok tahun 2016, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Kesiapan organisasi dalam implementasi sistem tanggap darurat pada fase pra, saat,
maupun pasca kebakaran di gedung Balaikota Depok masih belum maksimal dan
komprehensif.
2. Penerapan ilmu K3 terutama untuk keadaan darurat di gedung Balaikota Depok masih
belum menjadi prioritas. Hal ini terlihat dari kurangnya komitmen, pengetahuan, dan
kesadaran akan pentingnya implementasi sistem tanggap darurat di gedung tersebut.
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
3. Sistem tanggap darurat gedung Balaikota Depok masih belum sepenuhnya memenuhi
komponen dari NFPA 1600. Persentase kesesuaian hanya sebesar 23,87%, terpenuhi
sebagian sebesar 33,37%, dan tidak terpenuhi lebih tinggi yaitu sebesar 42,75%. Hal-
hal yang belum terpenuhi antara lain: belum terdapat jaminan kesehatan dan
keselamatan seluruh personil, belum dibentuknya manajemen keselamatan kebakaran
gedung, maintenance dan house keeping pada sarana evakuasi masih minim dilakukan,
belum terdapat kurikulum pelatihan dan simulasi kebakaran gedung, belum terdapat
prosedur evakuasi dan tindakan penyelamatan dokumen gedung serta masih belum
terdapat rencana pemulihan (Business Continuity Plan) pasca terjadinya kebakaran di
gedung Balaikota Depok.
Saran
Saran yang dapat peneliti usulkan terkait sistem tanggap darurat gedung Balaikota Depok, yaitu:
1. Pihak Manajemen Balaikota Depok harus memberikan jaminan kesehatan kepada
seluruh personil, membentuk manajemen keselamatan kebakaran gedung, melakukan
maintenance dan peningkatan house keeping pada sarana evakuasi, membuat
kurikulum pelatihan, membuat prosedur evakuasi dan tindakan penyelamatan
dokumen gedung serta membuat rencana pemulihan (Business Continuity Plan) pasca
terjadinya kebakaran.
2. Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok harus mengadakan simulasi kebakaran
minimal satu kali setahun dan memberikan program pelatihan bagi seluruh karyawan
gedung untuk melihat respon time dan juga meningkatkan kesiagaan dan kemampuan
karyawan gedung Balaikota Depok dalam menghadapi bahaya kebakaran.
Daftar Referensi
Business Continuity Institute 2002, Good Practice Guidelines 2008: Management Guide to implementing Global Good Practice in Business Continuity Management, BCI.Setiani, Y 2015, Pengendalian Bahaya Kebakaran Melalui Optimalisasi Tata Kelola Lahan Kawasan Perumahan di Wilayah Perkotaan. , p.55.
Dinas Pemadam Kebakaran Kota Depok 2015, Data Jumlah Kejadian Kebakaran Per Bulan di Wilayah Kota Depok Tahun 2015, Depok: Dinas Pemadam Kebakaran.
Dinas Penanggulangan Kebakaran dan Penyelamatan (DPKP) DKI. www.jakartafire.net. [25 Januari 2016]
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016
Hall, John R 2013, High-Rise Building Fires, [Online] tersedia pada: http://www.nfpa.org/research/reports-and-statistics/fires-by-propertytype/ high-rise-building-fires, [18 November 2015]
HaSPA 2012, Body of Knowledge, Mitigation : Emergency Preparedness. The Core Body of Knoweldge for Generalist OHS Professionals.
Inter-Agency Standing Committee 2015, Emergency Response Preparedness (ERP). In pp. 8–10.
Katz, R 2013, Essentials of Public Health Preparedness. In pp. 60–61.
National Fire Protection Association (NFPA) 2013, NFPA 1600: Standard on Disaster/Emergency Management and Business Continuity Programs.
Gambaran sistem ..., Firly, FKM UI, 2016