1 | P a g e
DISTRIBUSI BAKTERI HETEROTROFIK, COLIFORM, PATOGEN, VIBRIO
PARAHEMOLYTICUS DAN TOTAL SEL BAKTERI DAN KAITANNYA DENGAN
KIMIA HARA PERAIRAN PULAU BAWEAN
Anes Dwi Jayanti 1)
, Indah Rufiati 1)
, Husnul Fahmi Hatuwe 2)
1) Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan 2) Universitas Mulawarman Samarinda
ABSTRACT
Bawean Island is one of potential fishing ground in Indonesia. Bawean Island located in
North East Java. Organic supply from East Java inland water to sea water even reach in
Bawean Island. Organic inland water supply effected water quality in microbial perspective.
This effect could be positive or negative. Distribution microbial nearby Bawean Island
explain sea water condition, bacterial richness and its relation with an-organic unsure. In
this study we have found that heterotrofic bacteria range between 60-640 coloni/ml at the
surface and 5-735 colony/ml at the bottom. Distribution of heterotrofic bacteri related to
nitrate and phosphate distribution. Distribution of Total Cell at the surface is 1,785E+05 to
6,873E+05 cell/ml, and at the bottom it ranged about 1,607E+05 to 3,749E+05 cell/ml. The
abundant of Total Cell showed that bacteri has a role in ocean food web, and it shows at the
surface, most of bacteri is a phototroph and at the bottom is the decomposer. Polution level
in Bawean sea water show low density of Coliform range from 21 colony/100 ml to 287
colony/100 ml, but most of sites are founded Vibrio parahaemolyticus and the other patogen
are Proteus spp., Pseudomonas spp., Citrobacter spp., dan Shigella spp. Proteus spp.
Key Words: distribution, heterotrophic, pathogen and nutrient.
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Bawean adalah sebuah pulau yang
terletak di Laut Jawa, sekitar 150
kilometer sebelah utara Pulau Jawa. Secara
administratif, pulau ini termasuk dalam
Kabupaten Gresik, Propinsi Jawa Timur.
Perairan Pulau Bawean memiliki potensi
sumber daya perikanan yang melimpah.
Potensi perikanan tangkap di Kabupaten
Gresik adalah sebesar 20.353,20 ton/3
bulan (Diskominfo Propinsi Jatim, 2008).
Kemelimpahan ikan yang ada di sekitar
perairan tersebut dapat dikarenakan oleh
berbagai faktor. Salah satu faktor yang
paling berpengaruh adalah kesesuaian
ekologis. Kesesuaian ekologis dapat
diartikan kesesuaian faktor biotik dan
abiotik. Kesesuaian biotik salah satunya
adalah jaring-jaring makanan yang stabil,
sedangkan kesesuaian abiotik adalah
tersedianya cukup karbon diokasida,
oksigen, unsur hara dan kesesuaian suhu,
arus, kecerahan dan lain-lain.
Bakteri mempunyai peranan yang
sangat penting di dalam menjaga
kesinambungan kehidupan di laut karena
bakteri mempunyai kemampuan untuk
mendegradasi senyawa organik menjadi
senyawa organik (nutrisi) yang terlarut di
dalam air. Nutrisi ini kemudian menjadi
makanan fitoplankton yang merupakan
produsen dari rantai makanan di laut.
Bakteri laut juga mempunyai beberapa
fungsi antara lain sebagai probiotik yang
2 | P a g e
bermanfaat dalam bidang budidaya dan
indikator kualitas perairan serta penghasil
substansi bioaktif yang bermanfaat sebagai
bahan farmasi. Selain itu bakteri juga
berperan sebagai indikator kualitas
perairan. Kulaitas perairan tercemar adalah
perairan yang mengandung bakteri
Coliform labih dari 1000 sel per 100 ml.
Selian bakteri Coli, bakteri pathogen yang
tumbuh pada perairan tersebut juga
merupakan bakteri indikator pencemaran
perairan.
Di laut penyebaran bakteri sangat
luas, dari permukaan hingga ke dasar laut
yang da-lam, di air maupun di lumpurnya.
Hoppe (1986) membagi lautan menjadi 4
kompartemen (zona) berdasarkan sifat-
sifat ekologi dan biokimianya. Pembagian
tersebut diikuti juga dengan pembagian
kelompok bakteri yang berkembang di tiap
kompartemen tersebut. Ke 4 kompartemen
tersebut ialah :
1. Kompartemen neustonik.
Kompartemen ini terletak beberapa
mikrometer di atas lapisan permukaan
air laut (± 150 µm), merupakan daerah
pertukaran antara air laut dan udara di
atasnya. Pada kompartemen ini
substansi yang sukar larut dalam air
(hidrophobic) seperti minyak, lemak dan
pestisida tertentu akan terakumulasi.
Adanya substansi ini menyebabkan
berkembangnya kelompok bakteri
tertentu yang mampu menguraikan
subtansi tersebut. Kelompok bakteri ini
disebut kelompok bakteri neuston yang
merupakan gabungan antara bakteri laut
dan bakteri yang hidup di udara. Oleh
karena itu, jumlahnya lebih tinggi
daripada jumlah bakteri yang hidup di
lapisan air lautnya yaitu mencapai
108
/ml. Untuk mempelajari kelompok
bakteri neuston ini sangat susah oleh
karena habitatnya tidak stabil.
dipengaruhi oleh gelombang laut dan
gelembung udara dari gerakan
gelombang laut tersebut.
2. Kompartemen eupotik
Kompartemen ini adalah
kompartemen lautan yang masih dapat
ditembus oleh cahaya matahari.
Kedalamannya ber-variasi antara 20 m -
200 m tergantung dari kejernihan air dan
intensitas cahaya matahari. Kelompok
bakteri yang berkembang pada
kompartemen ini ialah kelompok bakteri
yang menguraikan substansi yang larut
dalam air atau yang mudah terurai.
Subtansi ini berasal dari hasil ekskresi
plankton dan plankton yang mati. Untuk
daerah perairan pantai substansi terlarut
yang berasal dari daratan ikut
menambah substansi terlarut yang sudah
ada di laut. Kelompok bakteri yang
hidup pada kompartemen ini umumnya
hidup bebas dan kepadatannya berkisar
antara 105
/ml dan 106
/ml.
3. Kompartemen apotik
Kompartemen ini berada di bawah
kompartemen eupotik. Pada
kompartemen ini cahaya matahari sudah
tidak bisa lagi menyinari oleh karena itu
pada kompartemen ini gelap, yang
merupakan bagian terbesar dari lautan.
Kelompok bakteri yang berkembang
pada kompartemen ini ialah kelompok
bakteri yang mampu menguraikan
partikel organik dan substansi polymer
organik terlarut. Kepadatan bakteri pada
kompartemen ini lebih rendah daripada
kepadatan bakteri pada kom-partemen
eupotik. Kepadatannya kurang dari
104
/ml dan makin ke bawah makin
berkurang kepadatannya, kecuali di
daerah yang berbatasan dengan sedimen
3 | P a g e
(lumpur). Umumnya kelompok bakteri
yang berada pada kompartemen ini hi-
dupnya melekat pada partikel organik.
4. Kompartemen dasar laut
Pada daerah continental shelf,
bakteri yang berada dalam sedimen
(lumpur) maupun pada lapisan air yang
menutupi-nya mempunyai aktivitas
penguraian par-tikel organik yang tinggi.
Sedangkan pada sedimen yang berada di
dasar laut yang dalam, aktivitasnya
rendah. Kepadatan bakteri pada
kompartemen ini lebih tinggi daripada
kepadatan bakteri pada kompartemen
apotik. Bahkan untuk laut dangkal
kepadatan bakteri di sedimennya dapat
mencapai l012
/gr. Pada kompartemen
dasar laut (sedimen) kelompok bakteri
yang dominan ialah kelompok bakteri
yang memainkan pengaturan siklus
nitrogen dan sulfur.
II. Tujuan
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui korelasi jumlah dan distribusi
bakteri di lapisan kedalaman yang berbeda
terhadap kandungan kimia hara terutama
fosfat dan nitrat di perairan sekitar Pulau
Bawean.
BAHAN DAN METODE
I. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dilakukan di 12
stasiun sekitar perairan Laut Bawean.
Koordinat stasiun pengamatan tertera
dalam tabel berikut:
Lokasi stasiun terhadap Pulau Bawean
dapat diterangkan dalam peta berikut
:
Stasiun Bujur Lintang
1 111o 59.933' -5
o 57.01'
2 112o 11.917' -5
o 57.152'
3 112o 23.952' -5
o 57.018'
4 112o 35.989' -6
o 57.354'
5 112o 35.85' -6
o 5.029'
6 112o 23.92' -6
o 5.009'
7 112o 11.906' -6
o 5.052'
8 111o 59.96' -6
o 5.029'
9 112o 00' -6
o 12.982'
10 112o 00' -6
o 13.026'
11 112o 23.96' -6
o 5.002'
12 112o 35.601' -6
o 13.142'
4 | P a g e
II. Pengumpulan Data
Data yang digunakan adalah data
primer dan sekunder. Data primer yaitu
data yang diambil secara langsung oleh
peneliti. Data sekunder adalah data yang
tidak diambil secara langsung oleh
peneliti, namun sudah tersedia.
A. Data Primer
Penelitian menggunakan Kapal Baruna
Jaya VIII dengan pengumpulan contoh
pada tiap stasiun menggunakan Rossete
sampler yang dilengkapi dengan botol
Naskin dan CTD (Conductivity,
Temperature and Depth). Pengambilan
sample dilakukan pada dua kedalaman,
yaitu kedalaman permukaan perairan dan
dasar perairan. Parameter yang diamati
diambil pada kedalaman permukaan
perairan adalah bakteri heterotrofik,
bakteri Coliform, Total Sel Bakteri, Vibrio
parahemolyticus dan Salmonella sp.
sedangkan data yang diambil pada
kedalaman dekat dasar adalah bakteri
heterotrofik dan Total Sel Bakteri. Masing-
masing parameter diamati dengan berbagai
metode.
1. Bakteri Heterotrofik
Metode yang digunakan untuk
mengetahui kepadatan bakteri heterotrofik
adalah total plate count menurut APHA
(2004). Contoh air laut diambil pada
lapisan permukaan laut dan dekat dasar di
12 stasiun. Segera setelah pengambilan,
sebanyak 1 ml contoh air laut asli baik
yang berasal dari bagian permukaan
maupun dekat dasar diambil
menggunakan pipet steril, dimasukan ke
dalam 9 ml air laut pengencer steril (
pengenceran 10-1
). Setelah itu, diambil
lagi 1 ml contoh air laut dengan pipet steril
dari pengenceran 10-1
masukkan ke dalam
cawan petri dengan 2 kali ulangan.
Selanjutnya diambil 1 ml contoh air laut
dengan pipet dari pengenceran 10-1
,
masukkan ke dalam 9 ml air laut
pengencer steril ( pengenceran 10-2
). Hasil
pengenceran 10-2
diambil lagi 1 ml dan
dimasukkan ke dalam cawan petri dengan
2 kali ulangan. Kemudian media marine
agar dituangkan ke dalam 8 cawan petri (4
cawan petri isi air laut asli permukaan : 2
cawan pengenceran 10-1
, 2 cawan
pengenceran10-2
, 4 cawan petri isi air laut
dekat dasar : 2 cawan petri air laut
pengenceran 10-1
, 2 cawan petri isi air laut
pengenceran10-2
masing-masig 15 ml).
Kedelapan cawan petri yang sudah berisi
contoh air laut dan media marine agar
diinkubasikan pada suhu kamar selama 2
hari. Parameter yang digunakan adalah
jumlah koloni yang tumbuh.
2. Bakteri Coliform
Metode yang digunakan untuk
analisa bakteri Coliform ialah metode
membran filter menurut APHA (2004).
Contoh air laut yang dianalisa hanya air
laut permukaan saja. Segera setelah
pengambilan, contoh air laut disaring
dengan menggunakan filter yang pori-
porinya 0, 45 µm, diameter 47 mm.
Volume air laut yang disaring adalah 10
ml dan 25 ml. Sedangkan media yang
digunakan untuk pertumbuhan bakteri
Coliform adalah m Endo agar (warna
merah). Kemudian diinkubasi dengan suhu
inkubasi 35,5oC selama 24 jam. Koloni
yang tumbuh berwarna merah metalik
dihitung jumlahnya. Parameter hasil yang
digunakan adalah jumlah koloni berwarna
merah tua.
3. Total Sel Bakteri
Metode yang digunakan ialah
metoda acridine ―orange – epifluoresecnce
microscopy‖. Contoh air laut disaring
dengan menggunakan alat saring yang
5 | P a g e
telah ditempatkan filter polikarbonat yang
pori-porinya 0,2 um dan garis tengahnya
25 mm. Segera setelah pengambilan, filter
penyaring ditempatkan di atas obyek gelas
yang sebelumnya telah diolesi dengan
minyak emersi. Filter penyaring yang
sudah berada di atas obyek gelas ditetesi
minyak emersi, kemudian ditutup dengan
gelas penutup (deck glass). Segera diamati
di bawah mikroskop epifluoresen dengan
perbesaran 1250 kali (12,5 x okuler dan
100 x obyektif) di 10 bidang pandang.
Jumlah sel tiap bidang pandang dihitung
jumlahnya kemudian dirata-ratakan di 10
bidang pandang mikroskop tersebut.
4. Vibrio parahemolyticus
Metode yang digunakan untuk
analisis bakteri patogen ialah metode sebar
(spread plate). Sebanyak 0,1 ml contoh air
laut dimasukkan ke permukaan media
TCBS agar (berwarna hijau) menggunakan
pipet steril. Setelah itu dilakukan
penyebaran contoh air laut tersebut diatas
permukaan media TCBS hingga merata
menggunakan Spreader Spatula. Inkubasi
dilakukan pada suhu 35oC selama 24 jam.
Pengamatan ditujukan terhadap koloni
yang berwarna hijau yang garis tengahnya
antara 2-4 mm dan semakin bertambah
besar setelah 48 jam inkubasi. Koloni
diduga adalah bakteri patogen V.
parahaemolyticus dan dijadikan sebagai
parameter hasil.
5. Bakteri Patogen
Analisis bakteri patogen digunakan
metode WHO (1977). Contoh air laut
permukaan sebanyak 10 ml dimasukkan ke
dalam media selenit menggunakan pipet
steril. Kemudian diinkubasi pada suhu
350C selama 24 jam. Setelah inkubasi,
dilakukan pengambilan contoh bakteri
menggunakan ose, dimana ose yang telah
mengandung bakteri tersebut digoreskan
pada media XLD. Dilakukan inkubasi
kembali pada suhu 350C selama 24 jam.
Langkah selanjutnya adalah uji biokimia,
dan diinkubasi kembali pada suhu yang
sama pada perlakuan sebelumnya.
B. Data Sekunder
Data sekunder yang diambil adalah
data mengenai kualitas perairan laut di
sekitar Pulau Bawean yaitu kandungan
oksigen, fosfat dan nitrat pada lapisann
kedalaman dan stasiun yang sama dengan
contoh yang diambil untuk mengisosali
bakteri.
III. Analisis Data
Analisis data dilakukan dengan
menggunakan program Microsoft Excel
dan Surfer8.
HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Bakteri Heterotrofik
Bakteri heterotrofik merupakan
komponen pada ekosistem laut yang
berfungsi sebagai dekomposer untuk
menghasilkan mineral-mineral sebagai
nutrien (Resosoedarmo et al., 1984).
Fungsi bakteri haterotrofik sebagai
decomposer dan terkait erat dengan siklus
hara terutama nitrat dan fosfat. Fosfor di
alam terdapat dalam bentuk organik dan
anorganik. Fosfor digunakan oleh
organisme hidup terutama di dalam asam
nukleid, fosfolipid dan ATP. Fosforous
secara langsung diambil oleh bakteri
heterotrofik dalam bentuk fosat anorganik
untuk pertumbuhan (Pomeroy et al., 1984).
Siklus nitrogen di laut sangat dekat
dihubungkan dengan atmosfer. Beberapa
spesifikasi gas dari nitrogen (N2, N2O,
NO, NH3) dapat berubah di atmosfer.
Bakteri sangat dominan dalam proses
6 | P a g e
transformasi, banyak bakteri aerobik
adalah perepirasi nitrat fakultatif dan
menggantikan oksigen dengan
NO3sebagai penerima elektron akhir
ketika oksigen tidak ada atau sangat
minimum (Naqvi, 2001).
Kandungan bakteri heterotrofik di
perairan Pulau Bawean pada kedalaman
permukaan berkisar antara 60 koloni/ml
dan 640 koloni/ml. Kandungan bakteri
heterotrofik yang rendah diperoleh pada
stasiun 5, 7 dan 9 yaitu stasiun yang jauh
dari pantai dan yang tinggi pada stasiun 1,
3 dan 6 yaitu stasiun yang dekat dari
pantai. Kandungan bakteri heterotrofik di
perairan Pulau Bawean pada kedalaman
dekat dasar berkisar antara 5 koloni/ml dan
735 koloni. Kandungan bakteri
heterotrofik yang rendah diperoleh pada
stasiun 1, 4 dan 9 yaitu stasiun yang jauh
dari pantai dan yang tinggi pada stasiun 3,
5 dan 12 yaitu stasiun yang dekat dari
pantai. Kemelimpahan bakteri heterotrofik
pada stasiun yang terletak dekat dengan
pantai karena pada pantai banyak terdapat
bahan-bahaan organik yang berasal dari
darat. Menurut Kunarso (1988), distribusi
bakteri heterotrofik tergantung pada faktor
sumber nutrisi, kedalaman laut, habitat
pada ekosistem laut dan akses yang
menghubungkan laut dan daratan. Selain
faktor diatas, Rheinheimer (1980) cit
Kunarso (1988) mengemukakan bahwa
faktor fisika laut seperti arus, pasang surut,
turbulensi, gelombang dan temperatur
dapat mempengauhi distribusi bakteri
heterotrofik pada ekosistem laut.
Kandungan bakteri heterotrofik pada
kedalaman dekat dasar perairan
menunjukkan nilai yang lebih besar. Hal
tersebut dipengaruhi oleh kemelimpahan
fosfat dan nitrat yang terdapat di dasar
laut lebih tinggi dari pada kandungan
fosfat dan nitrat di permukaan laut.
Menurut Kunarso (1988) bakteri
heterotrofik terbagi menjadi 2 yaitu bakteri
heterotrofik yang berfungsi sebagai
konsumer dan bakteri heterotrofik yang
berfungsi sebagai dekomposer.
Berdasarkan hasil pengamatan, maka
bakteri heterotrofik yang terdapat di dekat
dasar laut adalah bakteri yang bersifat
dekomposer karena kemelimpahannya
berhubungan erat dengan kemelimpahan
unsur kimia hara seperti fosfat dan nitrat.
7 | P a g e
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
60
100
140
180
220
260
300
340
380
420
460
500
540
580
620
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
600
650
700
750
HETEROTROFIK PERMUKAAN
HETEROTROFIK DASAR
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
0.18
0.2
0.22
0.24
0.26
0.28
0.3
0.32
0.34
0.36
0.38
0.4
0.42
0.44
0.46
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
3.2
3.4
3.6
3.8
4
4.2
4.4
4.6
4.8
5
5.2
5.4
5.6
5.8
6
6.2
6.4
6.6
6.8
7
7.2
7.4
DISTRIBUSI NITRAT PERMUKAAN
DISTRIBUSI NITRAT DASAR
(a) (b)
(c)
Gambar
2. distribusi bakteri heterotrofik pada lapisan kedalaman permukaan perairan dan dekat dasar perairan (a), Distribusi Nitrat pada permukaan
dan dasar perairan, (b) distribusi Fosfat pada permukaan dan dasar perairan (c).
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0.55
0.6
0.65
0.7
0.75
0.8
0.85
0.9
0.95
1
1.05
1.1
DISTRIBUSI POSPAT DASAR 0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.4
0.45
0.5
0.55
0.6
0.65
0.7
0.75
0.8
0.85
0.9
0.95
1
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
8 | P a g e
b. Bakteri Coliform
Kandungan bakteri coliform di
perairan Pulau Bawean pada kedalaman
permukaan berkisar antara 21 koloni/100
ml dan 287 koloni/100 ml. Kandungan
bakteri coliform yang rendah diperoleh
pada stasiun 3, 4 dan 12 yaitu stasiun yang
dekat dari pantai dan yang tinggi pada
stasiun 1, 8 dan 11 yaitu stasiun yang jauh
dari pantai. Sebagian besar bakteri
coliform termasuk famili
Enterobacteriaceae yang meliputi
beberapa marga yaitu Klebsiella,
Enterobacter, Escherichia dan Citrobacter
(Cabelli dalam Mitchell 1978). Kepadatan
bakteri coliform dalam suatu perairan
dapat dipakai sebagai bakteri indikator
pencemar. Bakteri coliform merupakan
bakteri yang berasal bukan dari tinja, tetapi
berasal dari lingkungannya antara lain dari
tanah dan tumbuhan (Timotius & Pra-setya
1980; Halim 1981). Bakteri coliform
melakukan fermentasi laktosa sangat
lambat yaitu antara 24 – 48 jam pada suhu
35 °C (Pelczar & Reid 1958; Jawetz et al.
1976). Adanya bakteri coliform dalam
suatu perairan menunjukkan kemungkinan
adanya bakteri patogen yang berbahaya
bagi kesehatan. Semakin tinggi kepadatan
bakteri Coliform pada suatu perairan,
berarti semakin rendah kualitas perairan
tersebut. Baku Mutu Perairan untuk
kehidupan biota laut yang dikeluarkan oleh
Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup
Anonim (2004) mensyaratkan kepadatan
bakteri Coliform tidak boleh lebih dari
1000 sel per 100 ml.
Kepadatan bakteri coliform yang
cukup tinggi terdapat pada perairan stasiun
1, 8, dan 11. Apabila dihubungkan dengan
unsur kimia, hal ini dapat terjadi karena
pada perairan stasiun-stasiun yang jauh
dari pantai Pulau Bawean terdapat banyak
unsur kimia hara terutama nitrat dan fosfat
yang mendukung kehidupan bakteri
coliform. Secara umum, kepadatan bakteri
coliform pada kedalaman permukaan
perairan Pulau Bawean tergolong rendah
dan dapat dikatakan belum terlalu
tercemar, tetapi perlu diwaspadai karena
kepadatan bakteri coliform dapat
meningkat apabila tidak dilakukan
pengendalian pencemaran.
.
Gambar 3.Distribusi Bakteri Coliform
c. Total Sel Bakteri
Sebagian besar aktifitas fotosintesis
dan respirasi di lautan dilakukan oleh
mikroorganisme yang berukuran kurang
dari 20 mm lebih besar dari fitoplankton
dan hewan lain (Pomeroy,1974). Susunan
mikroorganisme dikenal sebagai microbial
loop. Microbial loop merupakan keadan
melingkar jalur makanan dalam
lingkungan akuatik dimana Disolved
Organic Matter (DOM) di masukan
kembali ke dalam jaring makanan melalui
bakteri (Azam, 1998).
Bakteri biasanya berfungsi sebagai
dekomposer, tetapi dalam jaring makanan
mereka sebagai pemain kunci dalam
microbial loop yang mana makanan
mereka adalah DOM yang bersal dari
beberapa sumber. Dalam microbial loop,
DOM berpindah dari fitoplankton,
zooplankton, dan virus ke bakteri. Bakteri
dimakan oleh protozoa flagelata seperti
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
2030405060708090100110120130140150160170180190200210220230240250260270280290
DISTRIBUSI BAKTERI KOLI
9 | P a g e
Euglena dan protozoa ciliata seperti
Paramecium. Bakteri juga dimakan oleh
zooplankton yang lebih besar yang disebut
Tunicates, yang merupakan chordata
primitif (Azam, 1998). Beberapa Tunicates
merupakan filter feeder yang memompa
air ke dalam tubuhnya, mengumpulkan
partikel, melekatkannya menjadi ―sticky
style‖ untuk dicerna. Copepoda tidak dapat
memakan bakteri karena selnya terlalu
kecil, sebagai gantinya Copepoda
memakan flagellata dan ciliata yang
memakan bakteri (Sommer dan Stibor,
2002). Dengan cara ini microbial loop
berhubungan kembali dengan rantai
makanan. Total sel bakteri pada penelitian
ini diindikasikan sebagai kemelimpahan
keseluruhan bakteri pada volume perairan
laut. Distribusi kemelipahan bakteri di
sekitar Pulau bawean menunjukkan daya
dukung bakteri terhadap rantai makanan.
Bakteri terkait erat dengan siklus DOM
yang terkait erat pula dengan jaring-jaring
makanan.
Total sel bakteri di perairan Pulau
Bawean pada kedalaman permukaan
berkisar antara 1,785E+05 sel/ml dan
6,873E+05 sel/ml. Total sel bakteri yang
tinggi berada di stasiun 2, 6, dan 7. Total
sel bakteri di perairan Pulau Bawean pada
kedalaman dekat dasar berkisar antara
1,607E+05 sel/ml dan 3,749E+05 sel/ml.
Gambar 4. Distribusi Total Sel Bakteri
Distribusi kemelimpahan total sel
pada lapisan kedalaman permukaan dan
dasar menunjukkan distribusi total sel
pada lapisan permukaan lebih banyak
namun terfokus pada sedikit stasiun.
Bakteri yang terdapat dominan pada
lapisan permukaan dapat diduga sebagai
bakteri yang bersifat fototropik. Bakteri
tersebut dapat berfotosintesis dan
memanfaatkan unsur hara yang ada di
sekitarnya. Nitrogen yang dibutuhkan
diperoleh secara langsung dari atmosfir.
Kemelimpahan bakteri pada kedalaman
dasar menunjukkan distribusi total sel
terkait dengan distribusi nitrat dan fosfat.
Jumlah nitrat dan fosfat yang lebih banyak
pada dasar perairan menyebabkan bakteri
yang ada di dasar perairan dapat tumbuh.
Namun bakteri yang berkembang di dasar
perairan adalah bakteri yang berperan
dalam siklus nitrogen dan fosfor dasar.
d. Vibrio parahaemolyticus
Berdasarkan hasil pengamatan pada
perairan Pulau Bawean kedalaman
permukaan, bakteri Vibrio
parahaemoliticus positif ditemukan pada
hampir seluruh stasiun, kecuali stasiun 11
dan 12. Bakteri Vibrio parahaemoliticus
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
112 112.1 112.2 112.3 112.4 112.5
-6.2
-6.1
-6
1 2 3 4
5678
9 10 11 12
st.01
st.08
st.09 st.10
st.07
st.02 st.03
st.06
st.11 st.12
st.05
st.04
160000
170000
180000
190000
200000
210000
220000
230000
240000
250000
260000
270000
280000
290000
300000
310000
320000
330000
340000
350000
360000
370000
380000
TOTAL CELL BAKTERI PADA PERMUKAAN
TOTAL CELL BAKTERI DASAR
10 | P a g e
merupakan bakteri patogen penyebab
umum keracunan pada sea food. Vibrio
parahaemolyticus merupakan agen
penyebab septikemia pada udang saat
periode larva dan post larva. Penyakit ini
timbul sebagai akibat penyebab lain yaitu
defisiensi vitamin C, toksin, luka dan
karena stres berat (Lightner cit Darmono,
1995). Vibrio parahaemolyticus mampu
menyebabkan lisis pada sel-sel darah
tubuh inang. Di Jepang Vibrio
parahaemolyticus telah dikenal sebagai
penyebab peracunan bahan makanan dan
biasa terjadi epidemi terutama pada
musim panas (Aiiso et al. 1963,
Miyamoto et al. 1962). Berdasarkan hasil
pengamatan tersebut dapat dikatakan
bahwa sebagian besar perairan Pulau
Bawean telah tercemar oleh bakteri Vibrio
parahaemoliticus. Horie et al. (1963) dan
Asakawa (1966) mengatakan, bahwa di
alam penyebaran Vibrio parahaemolyticus
hanya terbatas pada lingkungan laut.
e. Bakteri Patogen
Berdasarkan hasil pengamatan
pada perairan Pulau Bawean kedalaman
permukaan, bakteri patogen ditemukan
pada hampir seluruh stasiun, kecuali
stasiun 12. Jenis bakteri patogen yang
ditemukan pada perairan Bawean adalah
Proteus spp., Pseudomonas spp.,
Citrobacter spp., dan Shigella spp. Proteus
spp. Ditemukan pada 6 stasiun, yaitu
stasiun 1, 2, 3, 7, 8, dan 10. Pseudomonas
spp. ditemukan pada 6 stasiun, yaitu
stasiun 3, 4, 5, 6, 9, dan 10. Citrobacter
spp. ditemukan pada 3 stasiun, yaitu
stasiun 5, 6, dan 10. Shigella spp
ditemukan pada 2 stasiun, yaitu stasiun 7
dan 8. Dari data tersebut dapat dikatakan
bahwa bakteri patogen yang lebih
mendominasi perairan Pulau Bawean
adalah bakteri jenis Proteus spp., dan
Pseudomonas spp.
KESIMPULAN
Peran bakteri dalam perairan sangat
beragam. Fungsi bakteri heterotrofik
adalah merombak senyawa organik
menjadi senyawa anorganik yang akhirnya
dapat digunakan kembali olah mkhluk
hidup lain pada habitat tersebut.
Kemelimpahan bakteri pada perairan laut
terkait erat dengan kelangsungan dan
keseimbangan jarring-jaring makanan.
Distribusi total sel bakteri dan bakteri
heterotrofik terkait dengan distribusi fosfat
dan nitrat di perairan sekitar Pulau
Bawean. Pada kelompok bakteri
heterotrofik, kemelimpahan bakteri pada
dasar perairan lebih tinggi dari pada
permukaan perairan karena kandungan
fosfat dan nitrat pada dasar perairan juga
lebih melimpah dari pada di permukaan
perairan. Total sell bakteri pada lapisan
kedalaman permukaan terpusat pada
beberapa stasiun sedangkan pada dasar
perairan kemelimpahan cenderung sama.
Kondisi perairan Pulau Bawean ditinjau
dari kemelimpahan dan distribusi bakteri
Coliform dalam status belum tercemar,
namun 10 dari 12 stasiun terdapat bakteri
Vibrio parahaemolitycus.
11 | P a g e
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Direktorat Jenderal Pendidikan
Tinggi Departemen Pendidikan Nasional
dan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2O LIPI)
yang telah menyelenggarakan program
Pelayaran Kebangsaan Ilmuwan Muda
2009. Terima kasih kepada segenap
instruktur Tim Oseanografi II Perairan
Bawean: Bp. Muswerry, Bp. Helfinalis,
Bp. Ruyitno, Bp. Tumpak, Bp.
Hadikusumah, Bp. Surahman, dan Bp.
Madisaeni atas kesabaran dan ketulusan
dalam membimbing penulis. Terima kasih
kepada Ibu Nining, dan Ibu Labibafathin
atas semangat dan dorongan yang
diberikan kepada penulis. Terima kasih
kepada kapten Daniel dan seluruh kru
kapal Baruna Jaya VIII yang telah
memberikan fasilitas terbaik kepada
penulis selama penelitian. Terima kasih
kepada seluruh teman-teman peserta
Pelayaran Kebangsaan Ilmuwan Muda
2009 atas kerja samanya selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aiiso, K,; U. Somitzu; H. Katoh; K.
Tatsumi; F. Sawada and S. Kafoh
1963. Pseudomonas enteritis and
related bacteria isolated from
the sea water at the area of Pacific
coast. Am. Rep. Inst. Food
Microbiol., Chaika Univ.15: 12.
Anonim 2004 : Laporan Akhir Penelitian
Sumberdaya Kelautan Di KAPPEL
Wilayah Laut Jawa Bidang
Dinamika Laut. Pusat Penelitian
Oseanografi. 197 hal.
American Public Health Association;
American Water Works Association
and Water Polution Control
Federation. 1975. Standard methods
for the Examination of water and
wastewater. 14th
eds. APHA-
AWWA-WPCF, Washington D.C.
1193. pp
Asakawa, S. 1966. A study on the
vertical distribution of Vibrio
parahaemolyticus in sea bottom. J.
Faculty Fish. Anim. Husb. 6: 447.
Azam, F. 1998. Microbial control of
oceanic carbon flux: the plot
thickens. Science. Vol. 280(5): 694–
696. Brock, T. D., Madigan, M. T.,
Martinko, J. M., Parker, J. (Eds).
1994. Biology of Microorganisms.
Seventh edition, Prentice Hall, NJ.
909 pp
Cabelli, V. 1978. New Standards for
enteric bacteria. In : Water pollution
microbiology (Mitchell ed.). John
Wiley & Son, New York, U.S.A. :
442 pp.
Darmono, 1995. Budidaya Udang
Peneaus. Penerbit Kanisius,
Yogyakarta: 30 hal.
Halim, G.A. 1981. Pengaruh kedalaman
sumur terhadap jumlah bakteri
Escheri-chia coli dan Coliform
group. Suatu pene-litian mengenai
air sumur di Kotamadya Bandung.
Kongres Nasional Mikrobiologi ke
III. Jakarta 26 – 28 Nopember 1981 :
6 hal.
Hoppe, H.G. 1986. Degradation in sea
water. In: Biotechnology (Rehm,
H.J. and G. Reed eds.). Vol. 8. VCH
Ver-lagsgesell mbh, D.6940
Weunheim (Fe-dereal Republic of
Germany). 454—475.
Horie, S.; K. Sakeki; M. Nara; T.
Kozima; Y. Sekine and T.
Takayanagi 1963. Distribution of
Takikawa's so-called pathogenic
12 | P a g e
halophile bacteria in the coastal
sea area. Bull. Jap. Coc. Sci. Fish.
29: 785.
Jawetz, E., J.1. Melnick and E.A. Adelberg
1976. Review of Medical
Microbiology. Lange Medical
Publica-tions, Los Altos, California
: 542 pp.
Kunarso, Djoko Hadi. 1988. Peranan
Bakteri Heterotrofik Dalam
Ekosistem Laut. Oseana Volume
XIII, Nomor 4, 133-142.
Miyamoto, Y.; K. Nakamura and K.
Takizawa 1962. Seasonal
distribution of Oceanomonas spp.,
halophilic bacteria, in the coastal
sea. Its significance in
epidemiology and marine industry,
Japan J. Microbiol. 6: 141.
Nakamura, T. 1968. Diarrheal disease
due to Vibrio parahaemolyticus and
frequency of the hemolytic Vibrio
parahaemolyticus in the human
stools. Media Circle 13: 170.
Naqvi, 2001). Naqvi S. W. A.,
2001.Chemical Oceanography.
pp,159-236. In: R. Sen Gupta and E.
De Sa (eds). The Indian Ocean: A
Perspective Vol.1, Oxford-IBH, New
Delhi.
Pelczar, M.J and R.D. Reid 1958.
Microbiology. McGraw Hill Book
Com-pany, Inc. New York : 564 pp.
Pomeroy, L. R. 1974. The ocean’s food
web, a changing paradigm.
BioScience. Vol.24(9):499–503
Pomeroy, L. R., 1984. Microbial processes
in the sea: diversity in nature and
science. pp 1-25. In: Hobbie, J. E
and Williams, P.J. leB. (eds).
Hetrotrophic Activity in the Sea.
Plenum Press New York 569
Resosoedarmo, R. S., K. Kartawinata dan
A. Soegiarto. 1984. Pengantar
Ekologi. Penerbit Remaja Karya.
Bandung. 174 hal.
Sommer, U. dan H. Stibor, 2002.
Copepods—cladocera— tunicate:
the role of three major
mesozooplankton groups in pelagic
food webs. Ecological Research. vol.
17:161–174.
Timotius, K.H dan B. Prasetya 1980.
Perbandingan antara metoda Jumlah
Per-kiraan Terdekat dengan metoda
Penya-ringan Milliporus dalam
perhitungan kelompok bakteri
Coliform-tinja. Simposium Kualitas
Air dan Pembangunan 1980.
Cisarua, Bogor. 1 – 3 September
1980 : 16 hal.
13 | P a g e
HASIL PENGAMATAN MIKROBIOLOGI PELAYARAN KEBANGSAAN BAGI ILMUWAN MUDA
DIKTI (DEPDIKNAS) - PUSLIT OSEANOGRAFI (LIPI)
Perairan Kepulauan Bawean 28 April-2 Mei 2009
STASIUN
KEDALAMAN (M) PARAMETER MIKROBIOLOGI (BAKTERI)
LAUT SAMPLING COLIFORM HETEROTROFIK TOTAL SEL PATOGEN
(Koloni/100 ml) (Koloni/ml) (Sel/ml) (Genus/Spesies)
1 69 0 287 575 2,737E+05 Proteus spp.
65 175 3,600E+05
2 68 0 44 195 4,225E+05 Proteus spp.
60 405 2,529E+05
3 70 0 34 515 2,976E+05 Proteus spp., Pseudomonas spp.
65 705 1,904E+05
4 69 0 21 440 2,113E+05 Pseudomonas spp.
65 5 3,749E+05
5 73 0 121 70 2,976E+05 Pseudomonas spp., Citrobacter spp.
65 735 1,964E+05
6 69 0 86 640 5,118E+05 Pseudomonas spp., Citrobacter spp.
65 500 3,005E+05
7 68 0 128 65 6,873E+05 Proteus spp., Shigella spp.
60 365 1,696E+05
8 68 0 250 190 1,785E+05 Proteus spp., Shigella spp.
60 615 1,607E+05
9 64 0 45 60 2,083E+05 Pseudomonas spp.
60 140 2,589E+05
10 66 0 48 210 3,333E+05 Proteus spp., Pseudomonas spp.
60 620 2,827E+05
11 73 0 242 375 2,351E+05 Citrobacter spp.
65 400 1,815E+05
12 66 0 21 225 2,499E+05 Tidak Ada / Tumbuh
60 675 2,737E+05