LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIABLOK DIGESTIVE
PEMERIKSAAN TOTAL PROTEINMetode Biuret
Disusun Oleh:
Imelda Widyasari S. G1A011002
Nyimas Eva Fitriani G1A011009
Teofilus Kristianto G1A011011
Kelli Julianti G1A011018
Molyna Ulfah G1A011021
Go Ferra Marcheela G. G1A011061
Athifa Muthmainnah G1A011063
Rosellina A.S. G1A011074
Jevan Fritz Pridiabdhy G1A007026
Asisten:
Anna Rumaisyah
G1A010021
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIABLOK DIGESTIVE
PEMERIKSAAN TOTAL PROTEINMetode Biuret
Oleh:
Imelda Widyasari S. G1A011002
Nyimas Eva Fitriani G1A011009
Teofilus Kristianto G1A011011
Kelli Julianti G1A011018
Molyna Ulfah G1A011021
Rosellina A.S. G1A011074
Go Ferra Marcheela G. G1A011061
Athifa Muthmainnah G1A011063
Jevan Fritz Pridiabdhy G1A007026
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian praktikum biokimia
Kedokteran Blok Digestive
Jurusan Kedokteran Universitas Jenderal Soedirman
Purwokerto
Diterma dan Disahkan
Purwokerto, Juni 2013
Asisten
Anna Rumaisyah
G1A010021
I. PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Total Protein
B. Tanggal Praktikum
Kamis, 30 Mei 2013
C. Tujuan Praktikum
1. Mahasiswa akan dapat melakukan pemeriksaan total protein dalam darah
dengan metode biuret.
2. Mahasiswa akan dapat menyimpulkan hasil pemeriksaan total protein
pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal.
3. Mahasiswa akan dapat mengetahui kondisi/penyakit apa saja yang
berkaitan dengan kadar total protein abnormal dalam darah.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Protein Total
Protein merupakan makromolekul yang secara fisik dan fungsional
kompleks yang melakukan beragam peran penting. Protein biasanya “lahir”
saat translasi, mengalami pematangan melalui pengolahan pascatranslasi
misalnya proteolysis parsial, berada secara berselang-seling dalam bentuk
aktif dan istirahat melalui intervensi faktor-faktor regulasi, mengalami
penuaan melalui oksidasi, deamidasi, dsb, dan mati setelah diuraikan menjadi
asam-asam amino komponennya (Muray et al, 2009). Sepertiga bagian
protein darah terdapat dalam plasma dan dua pertiganya lagi merupakan
protein sel darah merah yaitu haemoglobin. Protein plasma total kira-kira 5-8
gr/dl. Protein plasma merupakan bagian utama zat plasma campuran yang
sanagat kompleks, tidak hanya terdiri dari protein sederhana (polipeptida)
tetapi juga untuk protein campuran, yang mengandung zat-zat tambahan
seperti hem, karbohidrat, lipid atau asam nukleat seperti glikoprotein dan
berbagai jenis lipoprotein (Lintang, 2003).
Sebagian besar protein tubuh berbentuk globular atau elips dan
dinamakan protein globular. Umumnya larut dalam air atau larutan garam.
Dengan electrophoresis dapat dilihat perbedaan banyaknya albumin, alpha,
beta dan gamma globulin serta fibrinogen (Lintang, 2003). Protein total
diukur untuk mengukur jumlah total dua kelas protein yaitu albumin dan
globulin (Dugdale, 2011).
Kecepatan pembentukan protein plasma oleh hati sangat tinggi sekali,
sebanyak 4 gram perjam atau sebanyak 100 gram perhari. Terdapat
keseimbangan reversible antara protein plasma dan protein jaringan.
Kecepatan sintesis protein plasma oleh hati tergantung pada kadar asam
amino dalam darah, yang berarti kadar protein plasma menjadi kurang bila
suplai asam amino yang sesuai tidak ada. Sebaliknya, bila terdapat protein
berlebihan dalam plasma, tetapi kekurangan protein dalam sel, protein plasma
digunakan untuk membentuk protein jaringan. Jadi, terdapat keseimbangan
yang konstan, antara protein plasma, asam amino dalam darah dan protein
jaringan (Lintang, 2003).
Fungsi protein plasma adalah sebagai berikut (Muray et al, 2009):
No. Fungsi Protein Plasma
1. Antiprotease Antikimotripsin
2. Pembekuan
darah
Berbagai faktor pembekuan, fibrinogen
3. Enzim Berfungsi dalam darah, misalnya faktor
pembekuan, kolinesterase. Kebocoran dari sel
atau jaringan, misalnya aminotransferase
4. Hormon Eritropoietin
5. Pertahanan
Imun
Imunoglobulin, protein komplemen, β2-
mikroblogulin
6. Peran dalam Protein respons fase akut (mis. Protein reaktif-C,
respons
peradangan
α1-glikoprotein asam (orosomukosoid)
7. Onkofetal Α1-Fetoprotein (AFP)
8. Protein
pengangkut atau
pengikat
- Albumin
(berbagai ligan, termasuk bilirubin, asam
lemak bebas, ion (Ca2+¿ ¿), logam (mis.
Cu2+¿ ¿, Zn2+¿¿), metheme, steroid,
hormone lain, dan berbagai obat)
- Seruloplasmin
Mengandung Cu2+¿ ¿, albumin mungkin
lebih penting dalam pengangkutan Cu2+¿ ¿
secara fisiologis
- Globulin
pengikat-kortikosteroid (transkortin)
mengikat kortisol
- Haptoglobin
Mengikat hemoglobin ekstrakorpuskular
- Lipoprotein
Kilomikron, VLDL, LDL, HDL
- Hemopeksin
Mengikat heme
- Protein pengikat-retinol
Mengikat retinol
- Protein pengikat-hormon seks
Mengikat testosterone, estradiol
- Globulin pengikat tiroid
Mengkikat T4, T3
- Transferin
Mengangkut besi
- Transtiretin (Dahulu pra-albumin)
Mengikat T4 dan membentuk suatu
kompleks dengan protein pengikat retinol
B. Albumin
Albumin terutama dibuat di hati yang mempunyai fungsi membantu
menjaga darah agar tidak keluar dari pembuluh darah. Selain itu albumin juga
membantu membawa beberapa obat dan zat lain melalui darah serta penting
bagi pertumbuhan jaringan dan penyembuhan (WebMD, 2011). Albumin
membantu mencegah cairan bocor keluar dari pembuluh darah (Dugdale,
2011). Protein hewan efektif dalam membentuk albumin dan globulin
(Lintang, 2003). Kadar albumin di darah manusia direkomendasikan normal
oleh paramedis bila kandungannya antara 3,5-5,5 g/dl (Sumarno, 2012).
C. Globulin
Terdiri dari protein yang berbeda yang disebut apha, beta, tipe-tipe
gamma. Beberapa globulin dibuat oleh hati, sementara yang lainnya dibuat
oleh sistem kekebalan tubuh. Globulin tertentu mengikat hemoglobin sebagai
transportasinya. Globulin yang lain menggunakan logam seperti besi di dalam
darah dan membantu melawan infeksi (WebMD, 2011). Protein nabati
terutama efektif dalam pembentukan globulin (Lintang, 2003).
D. Struktur Protein
Tingkatan Struktur protein terdiri dari empat macam struktur yaitu:
1. Struktur primer (struktur utama)
Struktur primer suatu protein semata adalah urutan linear asam
amino yang disatukan oleh ikatan peptida yang mencakup lokasi setiap
ikatan disulfida, tidak terjadi percabanganrantai. Struktur ini terdiri dari
asam-asam amino yang dihubungkan satu sama lain secara kovalen
melalui ikatan peptida. Ujung dari polipeptida yang terbentuk ini memiliki
sifat kimia yang berbeda, yaitu mempunyai gugus amino bebas (ujung N
atau amino, NH2-) dan mempunyai gugus karboksil bebas (ujung C atau
karboksil, COOH-). Oleh karena itu arah polipeptida dan dituliskan baik
N→C (kiri ke kanan) maupun C →N (kanan ke kiri). (Mark et al, 2000)
Gambar 1. Struktur primer protein
2. Struktur sekunder
Protein sudah mengalami interaksi intermolekul, melalui rantai
samping asam amino. Ikatan yang membentuk struktur ini, didominasi
oleh ikatan hidrogen antar rantai samping yang membentuk pola tertentu
bergantung pada orientasi ikatan hidrogennya. Ada dua jenis struktur
sekunder, yaitu: α-heliks dan β-sheet. Ikatan yang membentuk struktur ini
didominasi oleh ikatan hidrogen antara rantai samping yang membentuk
pola tertentu bergantung pada orientasi ikatan hidrogennya (Muray et al,
2009).
Gambar 2. Struktur sekunder protein
3. Struktur Tersier
Struktur tersier terbentuk karena adanya lipatan yang membentuk
struktur yang kompleks. Lipatan distabilkan oleh ikatan hidrogen, ikatan
disulfida, interaksi ionik, ikatan hidrofobik, dan ikatan hidrofilik. Interaksi
intra molekuler yang terjadi seperti ikatan hidrogan, ikatan ion, van der
waals, dan hidropobik yang turut menentukan orientasi struktur tiga
dimensi dari protein (Muray et al, 2009).
Gambar 3. Struktur tersier protein
4. Struktur Kuartener
Struktur Kuartener terbentuk dari beberapa bentuk tersier, dengan
kata lain multi subunit. Interaksi intermolekul antar subunit protein ini
membentuk struktur keempat atau kuartener. Interaksi intermolekul antar
subunit protein ini membentuk struktur keempat/ kuarterner. Setiap
subunit protein dapat melakukan komunikasi dan saling mempengaruhi
satu sama lain melalui interaksi intermolekuler. Beberapa struktur protein
terikat dengan jembatan disulfida antara polipeptida yang berbeda, tetapi
banyak protein terdiri dari asosiasi subunit yang lebih lemah yang
dihubungkan dengan ikatan hidrogen dan efek hidrofobik. Protein ini
dapat kembali pada komponen polipeptidanya atau berubah komposisi
subunitnya tergantung pada kebutuhan fungsinya.
Gambar 4. Struktur kuartener protein
E. Metabolisme Protein
Protein turn-over dan amino acid pool
Protein dalam tubuh bersifat dinamis, selalu ada sintesis dan degradasi. Di
dalam setiap sel, protein secara kontinu dibuat dan diuraikan, proses ini
disebut protein turn-over. Saat protein diuraikan, asam amino dibebaskan.
Asam amino-asam amino ini bercampur dengan asam amino dari dietary
protein membentuk amino acid pool di dalam sel dan peredaran darah.
Nitrogen Balance
Negatif kalau N out > N in
Positif kalau N out < N in
Zero kalau N in = N out
1. ANABOLISME
Sintesis Protein
a. Transkripsi
Sintesis mRNA dari salah satu rantai DNA, yaitu rantai cetakan atau
sense. RNA dihasilkan dari aktivitas enzim RNA polymerase. Enzi
mini membuka pilihan kedua rantai DNA hingga terpisah dan
merangkaikan nukleotida RNA dari arah 5’ ke 3’.
1) Inisiasi
Daerah DNA dimana RNA polymerase melekat dan
mengawali transkripsi disebut promoter.
2) Elongasi
Pilinan heliks ganda DNA terbuka secara berurutan. Setelah
sintesis RNA berlangsung, DNA heliks ganda terbentuk
kembali dan molekul RNA baru akan lepas dari cetakan DNA-
nya.
3) Terminasi
RNA polymerase mencapai titik akhir.
b. Translasi
Proses mRNA mengarahkan serangkaian asam amino dan sintesis
protein.
1) Inisisasi
Terjadi dengan adanya mRNA, sebuah RNAt yang memuat
asam amino pertama dari polipeptida dan 2 subunit RNAr.
Pertama, subunit ribosom kecil mengikatkan diri pada RNAd
dan RNAt inisiator. Pada mRNA terdapat kodon inisiasi AUG
(start kodon), yang memberi siyal dimulainya proses translasi.
RNAt inisiator yang membawa asam amino metionin, melekat
pada kodon inisiasi AUG.
2) Elongasi
Asam amino-asam amino berikutnya ditambahkan satu persatu
pada asam amino pertama (metionin). Molekul RNAr dari
subunit ribosom besar berfungsi sebagai enzim, yaitu
mengkatalis pembentukan ikatan peptide yang
menggabungkan polipeptida yang memeanjang ke asam amino
yang baru tiba.
3) Terminasi
Elongasi berlanjut terus hingga ribosom mencapai kodon stop
(UAA, UAG, atau UGA). Kodon stop hanya bertindak sebagai
sinyal untuk menghentikan translasi. Akhirnya, rantai protein
terbentuk.
2. KATABOLISME
a. Transaminasi
Semua asam amino, kecuali lysine, threonine, proline, dan
hidroxyproline, mengalami transaminase. Dalam transaminase, grup
alfa amino dihilangkan.
Enzim alanine aminotransferase;
Pyruvate alfa-amino acid
L-alanine alfa keto acid
Enzim Glutamat aminotransferase
Alfa-ketoglutarat alfa-amino acid
L-glutamate alfa-keto acid
Deaminasi oksidatif
Menggunakan enzim L—glutamate dehydrogenase;
NH3 NAD+ NADH NH3
Glutamate dehydrogenase alfaketoglutarat
Glutamat NH3 NADP+ NADPH
III. METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan
1. Alat
a. Spuit 3 cc
b. Tourniquet
c. Eppendorf
d. Sentrifugator
e. Tabung reaksi
f. Rak tabung reaksi
g. Mikropipet (10 µL – 100 µL)
h. Mikropipet (100 µL – 1000 µL)
i. Yellow Tip
j. Blue Tip
k. Kuvet
l. Spektrofotometer
2. Bahan
a. Serum
b. Reagen biuret
B. Cara Kerja
1. Praktikan mengambil darah dari probandus.
2. Persiapan sampel serum:
a. Praktikan mengambil darah sebanyak 3 cc menggunakan spuit.
b. Praktikan memasukkan darah ke dalam tabung eppendorf tanpa
EDTA dan menginkubasinya selama 10 menit dalam suhu ruangan.
c. Praktikan memasukkan darah ke dalam sentrifugator untuk
disentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit
kemudian serumnya dijadikan sampel.
3. Praktikan mencampurkan sampel (serum) sebanyak 20 µL ke dalam
reagen biuret sebanyak 1000 µL.
4. Praktikan menginkubasi campuran selama 5 menit dalam suhu ruangan,
kemudian mengukurnya dengan spektrofotometer dengan panjang
gelombang 546 nm dan nilai faktor 19,0.
C. Nilai Normal
Bayi : 4,6 – 7,0 gr/dl
3 tahun sampai dengan dewasa : 6,2 – 8,5 gr/dl
D. Rumus Perhitungan
Kadar total protein= nilai absorbansi sampelnilai absorbansi standar
×kadar standar
Keterangan:
Kadar standar : 8,0 gr/dl
Nilai absorbansi standar : 3,1
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Probandus
Nama : Ferra Marcheela
Usia : 19 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
2. Hasil
Absorbansi sampel : 11,7 gr/dl
Absorbansi standar : 3,1 gr/dl
Kadar standar : 8,0 gr/dl
Kadar protein total = Absorbansi sampelabsorbansi standar
×kadar standar
= 11,73,1
×8,0
= 30,19 gr/ dl
B. Pembahasan
Pada paraktikum pemeriksaan kadar total protein digunakan metode
biuret. Untuk mengetahui kadar total protein harus dihitung menggunakan
pembagian antara absorbansi sampel dan absorbansi standar kemudian dikali
kadar standar. Berdasarkan hasil pemeriksaan pada spektrofotometer dengan
panjang gelombang 546 nm, didapatkan absorbansi sampel 11,7 gr/ dl.
Setelah dihitung menggunakan rumus didapatkan kadar total protein 30,19 gr/
dl. Kadar normal total protein yaitu 6,2-8,5 gr/dl. Hasil pemeriksaan kadar
protein total probandus bila dibandingkan dengan kadar normalnya, ada
sedikit peningkatan.
Sebagian besar metode untuk mengukur protein yaitu menggunakan zat
warna yang berikatan dengan molekul protein sehingga terjadi perubahan
dalam pola penyerapan (absorbance) molekul zat warna. Protein total
biasanya diukur dengan reagen biuret dan tembaga sulfat basa. Penyerapan
dipantau pada panjang gelombang 546 nm. Sebagian besar protein dapat
diharapkan bereaksi dengan reagen ini (Sacher, 2004).
Tingginya kadar protein tertentu dalam plasma dapat mengindikasikan
adanya kelainan atau gangguan fungsi tempat sintesisnya, misalnya pada
penyakit hepatitis akut dan kronis, dehidrasi (hemokonsentrasi), muntah,
diare, multipel mieloma, dan diet tinggi protein. Sedangkan total protein
dapat menurun pada kondisi penyakit ginjal, malnustrisi, malabsorbsi, dll
(Murray et al, 2009).
Tingginya kadar protein total pada probandus belum dapat menentukan
bahwa probandus mengalami gangguan. Tingginya kadar protein total
dipengaruhi oleh keadaan dehidrasi maupun diet tinggi protein. Selain itu
dapat diperkirakan juga adanya kesalahan-kesalahan dalam pemeriksaan
kadar protein yaitu dari faktor Praktikan seperti adanya kesalahan praktikan
dalam menakar reagen dan serum yang digunakan, cara pencampuran dan
menghomogenkan larutan yang salah, atau bisa saja kesalahan pada alat dan
bahan yang digunakan.
C. Aplikasi Klinis
1. Multiple myeloma
Multiple myeloma (MM) adalah keganasan yang terjadi pada sel
plasma. Sel plasma ini merupakan salah satu tipe sel darah putih yang
bertugas menghasilkan antibodi. Pada MM, akan terjadi akumulasi sel
plasma yang tidak normal yang mengganggu produksi sel darah normal
yang lain seperti eritrosit dan trombosit, sehingga dapat muncul tanda
seperti anemia dan trombositopenia. MM merupakan 1 % dari penyakit
keganasan dan 10 % dari keganasan sel darah. Angka kejadian MM kira-
kira 4 kasus/100.000 orang/tahun (Hermayanti, 2008).
Ciri khas dari penyakit multiple myeloma (MM) adalah adanya
protein M (komponen M, protein myeloma, atau M spike). Sekitar 97%
pasien MM memiliki immunoglobulin yang utuh atau rantai ringan (light
chain) yang bebas yang dapat dideteksi oleh elektroforesa protein.
Protein M ini menunjukkan terjadinya produksi immunoglobulin
homogen atau fragmennya yang berlebihan. Dari pemeriksaan kimia
darah, dapat dilihat dari kadar total protein, albumin, dan globulin pasien,
dengan adanya peningkatan kadar globulin yang bahkan bisa melebihi
kadar albumin (Hermayanti, 2008).
Multiple myeloma harus dicurigai pada orang dewasa tua dengan
nyeri punggung, gejala konstitusi (berkeringat, penurunan berat badan),
dan tingkat protein total meningkat. Pemeriksaan laboratorium yang biasa
dikerjakan adalah darah lengkap, protein total, albumin, globulin beserta
elektroforesis protein, kalsium darah, dan protein Bence-Jones pada urine.
Pada darah lengkap bisa ditemukan anemia normokrom normositik dan
trombositopenia. Terjadi peningkatan kadar globulin dan penurunan
albumin, dengan hasil elektroforesis protein menunjukkan grafik yang
tinggi dengan puncak yang lancip pada gamma globulin. Selain itu terjadi
peningkatan kadar kalsium darah dan pemeriksaan protein Bence Jones
pada urin menunjukkan hasil positif (Haematol, 2003).
2. Malabsorpsi
Malabsorpsi adalah suatu keadaan terdapatnya gangguan pada
proses absorpsi dan digesti secara normal pada satu atau lebih zat gizi.
Berbagai hal dan keadaan dapat menyebabkan malabsorpsi, diantaranya
defisiensi enzim, gangguan pada mukosa usus tempat absorbsi zat nutrisi,
dan penyakit pencernaan seperti insufisiensi eksokrin pankreas,
insufisiensi asam empedu, kelainan mukosa, kelainan absorpsi spesifik,
penyakit limfatik, serta kelainan absorpsi campuran seperti pada sindrom
Zollinger-Ellison dan gangguan paska gastrektomi (Syam, 2009).
Umumnya pasien datang dengan diare, sehingga sulit membedakan
diare yang disebabkan malabsorpsi atau sebab lain. Diare dapat terjadi
sebagai akibat dari malabsorpsi karbohidrat (glukosa, laktosa, galaktosa),
asam amino, lemak dan vitamin B12. Pada malabsorpsi karbohidrat
gejalanya berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, dan sakit di daerah
perut. Laktosa yang tak tercerna dapat menyebabkan diare osmotik,
produk dari digesti bakteri yang mencerna laktosa dapat menyebabkan
diare sekretorik dan distensi usus halus (Misselwitz et al, 2013).
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan diantaranya (Syam,
2009):
a. Pemeriksaan darah perifer lengkap, dilakukan untuk mengetahui nilai
hemoglobin dan mean cell volume (MCV) dan memperkirakan adanya
defisiensi Fe, asam folat, atau vitamin B12
b. Pemeriksaan radiologi, pemeriksaan USG abdomen dapat
mengidentifikasi adanya pankreas pada pasien dengan pankreatitis
kronis
c. Pemeriksaan histopatologi usus halus
d. Pemeriksaan lemak feses, untuk melihat adanya lemak pada feses
dengan pewarnaan Sudan sebagai manifestasi dari malabsorpsi lema
e. Pemeriksaan laboratorium lain, dilakukan untuk menentukan adanya
malabsorpsi. Pemeriksaan yang dilakukan antara lain pemeriksaan
fungsi pankreas, pemeriksaan absorpsi pankreas, pemeriksaan
absorpsi vitamin B12, pemeriksaan protein total, albumin, dan lain-
lain. Pada pemeriksaan tes albumin, akan didapatkan jumlah albumin
yang menurun atau hipoalbuminemia.
3. End-stage of Renal Failure (ESRF)
End-stage of renal failure (ESRF) atau disebut juga end-stage of
renal disease (ESRD) merupakan penurunan fungsi ginjal yang
ireversibel yang dapat berakibat fatal jika tidak dilakukan dialisis atau
transplantasi. Biasanya ESRD terjadi ketika fungsi ginjal telah berkurang
hingga kurang dari 10% dari fungsi ginjal normal (Medifocus, 2011).
Malnutrisi dan hipoalbuminemia yang terjadi pada pasien ESRD
merupakan prediktor kuat yang meningkatkan mortalitas (Shanta et al,
2011). Pada pasien ESRD terjadi penurunan kadar albumin
(hipoalbuminemia) yang kadarnya dipertahankan dengan cara dialisis
peritoneal atau hemodialisis. Konsentrasi albumin pada serum ditentukan
oleh laju sintesis albumin dan pada pasien ESRD sintesis albumin
menurun sebagai respon terhadap peradangan meskipun ada kemungkinan
bahwa nutrisi yang tidak adekuat juga dapat berkontribusi (Kaysen,
2011).
V. KESIMPULAN
1. Protein total adalah kadar semua jenis protein yang terdapat dalam serum
atau plasma yang terdiri dari albumin, globulin, dan fraksi protein lain.
2. Kadar protein total didapat dari nilai absorbansi sampel dibagi dengan
nilai absorbansi standar yaitu 3,1 kemudian dikalikan dengan kadar
standar yaitu 8,0 gr/dl.
3. Nilai normal total protein pada bayi adalah 4,6 – 7,0 gr/dl, sedangkan pada
anak usia tiga tahun ke atas dan dewasa nilai normalnya adalah 6,2 – 8,5
gr/dl.
4. Kadar protein total akan menurun pada kondisi malnutrisi, malabsorpsi,
penyakit ginjal, serta stadium akhir gagal ginjal (ESRD) dan akan
meningkat pada kondisi dehidrasi, multiple myeloma, serta penyakit hati
menahun.
DAFTAR PUSTAKA
Baron, Murray, Marie Hudson, Russel Steele, dan Canadian Scleroderma
Research Group. 2010. Is Serum Albumin a Marker of Malnutrition in
Chronic Disease? The Scleroderma Paradigm. Journal of American College
of Nutrition. 29 (2): 144 – 151.
Dugdale, D.C. 2011. MedlinePlus: Total Protein. Wahington: University of
Washington School of Medicine. Available at:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/003483.htm
Haematol, Br J. 2003. Criteria for the classification of monoclonal gammopathies,
multiple myeloma and related disorders: A report of the International
Myeloma Working Group. British Journal of Haematology. 121: 749-757.
Hermayanti, Diah. 2009. Non-Secretory Multiple Myeloma. Jurnal Saintika
Medika Universitas Muhamadiyah Malang. 5 (10): 1 – 9.
Lintang, L.S. 2003. Gambaran Fraksi Protein Darah Pada Preeklampsia dan
Hamil Normotensif. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Mark, Dawn B., Marks Alan., Smith Collen M. 2000. Biokimia Kedokteran
Dasar, Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta: EGC
Medifocus. 2011. Medifocus Guidebook on: End-Stage Renal Disease. Available
at: http://books.google.co.id/books?
id=Fq3oJJwj2qcC&printsec=frontcover&hl=id#v=onepage&q&f=false.
Misselwitz, Benjamin, Daniel Pohl, Heiko Fruhauf, Michael Fried, Stephan R
Vavricka, dan Mark Fox. 2013. Lactose Malabsorption and Intolerance:
Pathogenesis, Diagnosis, and Treatment. United European
Gastroenterology Journal. 0(0): 1 – 9.
Murray, R.K., Granner, D.K., Rodwell, V.W. 2009. Biokimia Harper. Jakarta:
EGC
Prevalence of Subclinical Hypothyroidism in Patient with End-Stage Renal
Disease and the Role of Serum Albumin: A Cross-Sectional Study from
South India. Cardio Renal Medicine. 1: 255 – 260.
Kaysen, G A. 2011. Biological Basis of Hypoalbuminemia in ESRD. Journal of
the American Society of Nephrology. 9 (12): 2368 – 2376.
Rodwell, V.W. 2009. Metabolisme Protein. Jakarta: EGC.
Sacher, Ronald A., Richard A. McPherson. Tinjauan Klinis Hasil Pemeriksaan
Laboratorium. Jakarta: EGC hal 311.
Shantha, Ghanshyam Palamaner Subash, Anita Ashok Kumar, Viraj Bhise, Rohit
Khanna, Kamesh Sivagnanam, dan Kuyilan Karai Subramanian. 2011.
Syam, Ari Fahrial. 2009. Malabsorpsi dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Interna Publishing.
Sumarno. 2012. Albumin Ikan Gabus (Snakeheads fish) dan Kesehatan. Jurnal
Ilmiah Agri Bios. 10 (1): 60 – 63.
Sumardjo, Damin. 2009. Pengantar Kimia. Jakarta: EGC.