AL-HUKAMA
The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017; ISSN:2089-7480
METODE PENEMUAN HUKUM (RECHTSVINDING) OLEH HAKIM DALAM
UPAYA MEWUJUDKAN HUKUM YANG RESPONSIF
Muwahid
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Ampel Surabaya. Email: [email protected]
Abstract: Law should be made clearly. The clarity of law is very important. Therefore, each law has an explanation contained in the supplementary State Gazette. However, the explanation of law can not always clarify the chapters. Interpretation is one of the legal discovery methods that gives explicit explanation of the text of the law, so that the scope of the method can be applied in connection with certain events. The unclear legislation, incomplete, static, and can not keep up with the development of society, creates an empty space that must be filled by the judges. They must fill in the blank space by finding the law by explaining, interpreting or supplementing the regulation of constitution. This article intends to describe the method of legal discovery by the judges in solving a case within an interpretable and unclear rule (rechtsvinding). In this case, The impostant way which the judge take to discover the the condition of (vague normen) is interpretation of law or construction of law.
Keywords: Invention of law, interpretation, analogy, construction of law.
Abstrak: undang-undang harus dibuat secara jelas. Kejelasan setiap undang-undang ini sangat penting. Oleh karena itu setiap undang-undang dilengkapi penjelasan yang dimuat dalam tambahan Lembaran Negara. Namun demikian, tidak selalu penjelasan undang-undang dapat memperjelas bunyi pasal dalam undang-undang. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan gamblang terhadap teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, kurang lengkap, bersifat statis, dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, menimbulkan ruang kosong yang harus diisi oleh hakim. Hakim harus mengisi ruang kosong tersebut dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi Peraturan perundang-undangan. Artikel ini bermaksud menguraikan metode penemuan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara. Apabila dalam memeriksa perkara tidak ditemukan aturan yang mengatur perkara yang dihadapi oleh hakim, aturannya tidak jelas, atau multi tafsir, maka hakim melakukan upaya untuk menemukan hukum (rechtsvinding). Hakim dalam melakukan penemuan hukum adakalanya
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
225
dengan menggunakan penafsiran (interpretasi), atau kontruksi hukum. Interpretasi hukum dilakukan jika norma dalam suatu perundang-undangan tidak jelas, ambigu, dan kabur (vague normen). Kontruksi hukum dilakukan jika peraturan perundang-undangan tidak mengatur persoalan yang dihadapi oleh hakim, atau terjadi kekosongan hukum atau kekosongan undang-undang.
Kata Kunci: penemuan hukum, interpretasi, analogi, kontruksi hukum
Pendahuluan
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum konkrit.1 Penemuan hukum dilakukan oleh karena undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas, hakim harus mencari hukumnya dan harus menemukan hukumnya (rechtsvinding). Teori tentang penemuan hukum ini menjawab pertanyaan mengenai interpretasi atau penafsiran terhadap undang-undang. Pada dasarnya setiap orang dapat menemukan hukum, namun penemuan hukum yang dilakukan oleh hakim adalah hukum, sedangkan penemuan hukum yang dilakukan oleh orang adalah doktrin, dalam ilmu hukum doktrin bukanlah hukum melainkan sumber hukum.2
Dalam penemuan hukum dikenal adanya aliran progresif dan aliran konservatif. Aliran progresif berpendapat, bahwa hukum dan peradilan merupakan alat untuk perubahan-perubahan sosial, sedangkan aliran konservatif berpendapat bahwa hukum dan peradilan itu hanyalah untuk mencegah kemerosotan moral dan nilai-nilai lain.3
Undang-undang, sebagaimana kaedah hukum pada umumnya, adalah untuk melindungi kepentingan manusia, oleh karena itu harus dilaksanakan dan ditegakkan. Untuk dapat melaksanakannya, undang-undang harus dibuat secara jelas. kejelasan setiap undang-undang ini sangat penting. Oleh karena itu setiap undang-undang dilengkapi penjelasan yang dimuat dalam tambahan Lembaran Negara. Namun demikian, tidak selalu
1 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993), 4. 2 Ibid., 5. 3 Ibid.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
226
penjelasan undang-undang dapat memperjelas bunyi pasal dalam undang-undang. Interpretasi atau penafsiran merupakan salah satu metode penemuan hukum yang memberi penjelasan yang gamblang terhadap teks undang-undang agar ruang lingkup kaedah dapat diterapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Penafsiran oleh hakim merupakan penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkret. Metode interpretasi ini adalah salah satu sarana atau alat untuk mengetahui makna undang-undang.4
Peraturan perundang-undangan yang tidak jelas, kurang lengkap, bersifat statis, dan tidak dapat mengikuti perkembangan masyarakat, menimbulkan ruang kosong yang harus diisi oleh hakim dengan menemukan hukumnya yang dilakukan dengan cara menjelaskan, menafsirkan atau melengkapi Peraturan perundang-undangan. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata menyangkut penerapan peraturan perundang-undangan terhadap peristiwa konkret, tetapi juga menciptakan hukum dan membentuk hukumnya sekaligus.5
Aliran-Aliran Penemuan Hukum
Timbulnya aliran-aliran dalam penemuan hukum dipengaruhi
oleh dua aspek: yaitu aspek sejarah dan aspek sumber hukum yang
digunakan.6 Penemuan hukum tidak bisa dilepaskan dari
perkembangan sejarah pada masa itu dan terkait erat dengan
sumber hukum yang digunakan. Munculnya aliran-aliran dalam
penemuan hukum menunjukan bahwa hukum merupakan sesuatu
yang dinamis, terbuka dan mengikuti perkembangan zaman yang
ada sehingga mengalami perkembangan dari masa ke masa. Setiap
aliran dalam penemuan hukum, mempunyai kelebihan dan
kekurangan masing-masing sehingga tidak dapat digunakan secara
4 Ibid, 13. 5 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), 58. 6 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum (Yogyakarta: UII Press, 2006), 52.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
227
rigid atau kaku. Masing-masing aliran penemuan hukum harus
saling melengkapi.7
Beberapa aliran hukum yang dikenal dalam ilmu hukum,
yaitu aliran legisme, madzhab historis, begrifjurisprudenz,
interessenjurisprudenz, sosiologische rechstschule, freirechtsbewengun, dan open
system van het recht.8
1. Aliran Legisme
Jauh sebelum adanya kodifikasi undang-undang, hukum
yang berlaku pada masa itu adalah hukum tidak tertulis. Sumber
utama dari hukum tidak tertulis adalah kebiasaan. Pada
umumnya, hukum yang tidak tertulis kurang menjamin
kepastian hukum dan keseragaman hukum atau terjadi
pluralisme hukum. Oleh karena hukum tidak tertulis tidak dapat
menjamin kepastian hukum, maka ada pemikiran untuk
membuat hukum secara tertulis, bahkan di Eropa muncul
gagasan untuk melakukan kodifikasi dalam sebuah kitab
undang-undang.
Gerakan kodifikasi muncul di Eropa seiring dengan
lahirnya aliran legisme. Pandangan aliran legisme cocok dengan
ajaran hukum kodrat yang tidak setuju dengan hukum
kebiasaan, bahkan pada abad ke 17 mendapat dukungan dari
Montesque dan Rousseau dengan ajaran Trias Politicanya.
Menurut Rousseau, kehendak rakyat bersama adalah kekuasaan
tertinggi. Sedangkan undang-undang adalah sebagai pernyataan
kehendak itu. Undang-undang sebagai pernyataan kehendak
rakyat merupakan satu-satunya sumber hukum. Sedangkan
hukum kebiasaan tidak mempunyai kekuatan hukum.9
Menurut aliran (madzhab) legisme: satu-satunya sumber
hukum adalah undang-undang, peradilan hanya semata-mata
7 Ibid., 52. 8 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab…,87. 9 Bambang Sutiyoso, Metode…,56.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
228
menerapkan undang-undang, hakim hanya sebagai corong
undang-undang (subsumptie automaat), metode yang dipakai
adalah geometri yuridis, kebiasaan mempunyai kekuatan hukum
apabila ditunjuk oleh undang-undang.10 Dengan demikian,
menurut aliran legisme, tidak ada hukum di luar undang-
undang.11
2. Aliran Historis
Aliran ini lahir dilatarbelakangi oleh adanya pemikiran,
bahwa undang-undang tidaklah lengkap, undang-undang selalu
ketinggalan dengan pekembangan zaman sehingga tidak akan
dapat menyelesaikan peristiwa konkrit karena terjadi
kekosongan norma. Dalam kondisi seperti ini hakim dapat
membuat hukum (judge made law) dengan mendasarkan pada
hukum kebiasaan. Putusan hakim tersebut kemudian menjadi
yurisprudensi yang juga merupakan sumber hukum selain
undang-undang. Hukum kebiasaan dan yurisprudensi dapat
melengkapi undang-undang dan dianggap sebagai unsur sistem
hukum.12
Aliran ini dimotori oleh Von Saviqny yang menganggap,
bahwa hukum itu secara historis tumbuh dan berkembang
bersama dengan perkembangan masyarakat pada masa dan
waktu tertentu (das recht wiird nicht gemacht, is und wir mit dem
wolke). Kesadaran hukum yang paling murni terdapat pada
kebiasaan. Peraturan hukum dan praktik hukum yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat tidak ditentukan dari atas,
melainkan dari keyakinan dan kebiasaan masyarakat. Para yuris
sebelum melakukan kodifikasi undang-undang harus melakukan
penelitian yang mendalam terlebih dahulu. Aliran ini
10 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang…, 42. 11Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia, 2011),218. 12 Bambang Sutiyoso, Metode…,59.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
229
menganggap hukum kebiasaan merupakan sumber hukum
utama.13
3. Aliran Begrifjurisprudenz
Menurut aliran (madzhab) Begrifjurisprudenz: undang-
undang tidaklah lengkap sehingga perlu peran aktif dari hakim,
sumber hukum tidak hanya undang-undang, akan tetapi
kebiasaan. Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau
satu kesatuan yang tertutup yang menguasai tingkah laku
manusia. Dasar dari sebuah hukum adalah asas-asas dan
pengertian-pengertian dasar yang dapat digunakan untuk
menyelesaikan perkara konkrit, oleh karena itu seorang hakim
tidak terikat dengan bunyi undang-undang.14
Aliran ini lebih memberikan kebebasan kepada hakim dari
pada aliran legisme. Hakim tidak terikat pada bunyi undang-
undang, akan tetapi dapat mengambil argumentasinya dari
peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam undang-undang.
Hakim dalam memutuskan suatu perkara lebih mendasarkan
pada logika, memperluas makna undang-undang secara rasional.
Namun demikian, hukum tidak semata-mata dibentuk
berdasarkan intelektualitas akan tetapi juga mempertimbangkan
hal-hal yang irrasional.15
Aliran ini melihat hukum sebagai suatu sistem atau satu
kesatuan yang tertutup yang secara umum menguasai semua
tingkah laku manusia. Makna hukum bukan hanya sebagai
sarana, melainkan sebagai tujuan sehingga ajaran hukum
menjadi ajaran tentang pengertian (begriffs yurisprudenz) atau
permintaan pengertian yang mengkultuskan rasio dan logika.
Meskipun hakim dibebaskan dari ikatan undang-undang, tetapi
harus bekerja dalam sistem hukum yang tertutup.
13 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan…,58. 14 Ibid, 44. 15 Ibid.,59.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
230
Logika dan rasio ditempatkan secara istimewa agar
melengkapi kekurangan undang-undang dengan menggunakan
hukum-hukum logika. Hakim dalam menafsirkan undang-
undang harus memperluas dengan rasio atau logika hukum.
Aliran ini lebih mementingkan kepastian hukum, dan
mengabaikan aspek keadilan dan kemanfaatan.16
Aliran ini mempunyai persamaan dengan aliran historis,
yang dimotori oleh Von Saviqny yang menyatakan, bahwa
hukum disusun berdasarkan sistem asas-asas hukum dan
pengertian dasar dimana setiap peristiwa dapat diterapkan
kaedah yang cocok dan hukum itu tidak dibuat, tetapi berada
dan tumbuh bersama bangsa.17
4. Aliran Freirerchhtschule
Aliran ini merupakan cara penemuan hukum yang
memberi kebebasan pada hakim melalui metode kontruksi
hukum. Hakim diberi kebebasan dalam menemukan hukum,
dalam arti, hakim bukan sekedar menerapkan undang-undang,
akan tetapi juga memperluas dan membentuk hukum melalui
putusanya.
Dalam aliran ini, hakim dituntut untuk menyeimbangkan
antara keadilan dan kemanfaatan. Hakim diberikan kebebasan
untuk menyimpang dari ketentuan undang-undang.18
Beberapa pemikiran aliran ini antara lain: a. hukum merupakan resultan pertentangan kepentingan yang
berlawanan dan berbenturan satu sama lain;
b. peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai
formil logika belaka, tetapi harus dinilai dari tujuannya;
16 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014), 178. 17 Johny Ibrahim, Teori dan Metode…,218. 18 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar…,178.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
231
c. sistematisasi tidak boleh dibesarkan-besarkan sehingga
harus mengarah pada tujuan yang terdapat di belakang
sistem dan merealisasi ide keadilan dan kesusilaan yang
tidak mengenal waktu;
d. tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi,
memenuhi kepentingan atau kebutuhan hidup yang nyata;
e. hakim harus menyesuaikan dengan ukuran nilai kepentingan
yang dimaksud oleh pembentuk undang-undang.19
5. Aliran Soziologische rechtsschule
Aliran ini dipelopori oleh Hmaker dan Hymans. Menurut
aliran ini, untuk menemukan hukum, hakim harus
memperhatikan kenyataan nilai-nilai hukum yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat. Hakim dalam menafsirkan
ketentuan undang-undang, senantiasa menyesuaikan dengan
nilai hukum dan kultus hukum yang dianut oleh masyarakat.
Menurut aliran ini, hakim bukanlah sebagai corong undang-
undang. Namun demikian, pemberian kebebasan pada hakim
tidak disetujui, karena dikhawatirkan terjadinya tindakan
sewenang-wenang dalam menafsirkan ketentuan undang-
undang, juga tidak diberikan freies ermessen bagi hakim.20
Hakim mempunyai kebebasan dalam menyatakan hukum,
akan tetapi kebebasan tersebut dalam rangka menegakkan
undang-undang. Hakim hendaknya mendasarkan putusannya
pada peraturan perundang-undangan. Namun demikian,
putusan-putusan hakim harus dapat dipertanggungjawabkan
terhadap azas-azas keadilan, kesadaran, dan perasaan hukum
yang hidup di masyarakat.21
6. Aliran Freirechtsbewengung
19 Bambang Sutiyoso, Metode…,60. 20 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar…,179. 21 Bambang Sutiyoso, Metode…,62.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
232
Aliran ini merupakan aliran penemuan hukum yang
bebas, dalam arti hakim dalam menemukan hukum tidak terikat
secara kaku pada undang-undang, akan tetapi berdasarkan
kepatutan. Dalam arti lain, putusan-putusan hakim tidak begitu
saja berasal dari undang-undang maupun dari asas-asas hukum
atau pengertian-pengertian hukum, akan tetapi unsur penilaian
yang mempunyai peranan penting.22
Beberapa pemikiran dalam aliran ini antara lain:
a. Kodifikasi itu tidak mungkin lengkap, tidak semua hukum
terdapat dalam undang-undang. Di samping undang-undang
ada sumber yang lain untuk menemukan hukum.
b. Tiap pemikiran yang melihat hakim sebagai subsumptie
automaat dianggap sebagai suatu yang tidak nyata.
c. Peran undang-undang adalah subordinatie, yaitu undang-
undang bukanlah tujuan bagi hakim, akan tetapi hanya
sarana. Hakim tidak hanya mewujudkan kepastian hukum,
akan tetapi juga harus merealisasikan keadilan. Dalam hal
undang-undang bertentangan dengan keadilan, hakim dapat
melakukan penyimpangan terhadap undang-undang tersebut.
Hakim tidak hanya sebagai penafsir undang-undang, akan
tetapi juga sebagai pencipta hukum.23
7. Open system van het recht
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap pendapat,
bahwa hukum merupakan hal yang tertutup secara logis. Aliran
ini menganggap, bahwa hukum sebagai sistem membuka diri
dan menerima nilai-nilai yang ada di luar hukum. Hakim dalam
menemukan hukum senantiasa berdasarkan kriteria pemahaman
intelektual atau rasio/logika serta penilaian dengan
22 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 2002), 153. 23 Bambang Sutiyoso, Metode…,64.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
233
menggunakan penalaran logis.24 Hakim dalam melakukan
penemuan hukum, bekerja atas dasar penilaian yang hasilnya
merupakan perluasan atau sesuatu yang baru bagi masyarakat.
Di samping itu, aliran ini juga menganggap bahwa hukum
merupakan suatu sistem yang saling berkaitan, aturan-aturan
disusun secara sistematis. Aliran ini dimotori oleh Paul scholten
yang berpenadapat, bahwa sistem hukum itu merupakan suatu
yang logis dan tidak tertutup. Sistem hukum juga tidak statis,
karena sistem hukum itu membutuhkan putusan-putusan atau
penetapan-penetapan yang senantiasa menambah luasnya sistem
hukum.25 Aliran ini juga menanggap bahwa sistem hukum itu
tidak realistis sehingga senantiasa membutuhkan perluasan
putusan hakim melalui penilaian yang dilakukan dalam wujud
interpretasi dan kontruksi.26
Beberapa pemikiran aliran ini antara lain:
a. Hukum bukan merupakan suatu sistem tertulis dan tidak
tertulis yang tidak boleh diubah sebelum pembentuk
undang-undang merubahnya. Undang-undang dapat saja
diubah, meskipun bunyi teksnya tidak berubah, hal itu
dilakukan untuk menyesuaikan dengan peristiwa konkrit.
b. Keterbukaan sistem hukum berkaitan dengan permasalahan
terjadinya kekosongan hukum.27 Ada dua varian kekosongan
hukum, yaitu: kekosongan dalam hukum (recht vacuum), dan
kekosongan dalam undang-undang (wet vacuum).
Metode Penemuan Hukum
Hakim dalam melakukan penemuan hukum, berpedoman
pada metode-metode yang telah ada. Metode-metode dalam
24 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar…,179. 25 Bambang Sutiyoso, Metode…,64. 26 Zaeni Asyhadie dan Arief Rahman, Pengantar…,180. 27 Bambang Sutiyoso, Metode….,, 65.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
234
penemuan hukum meliputi metode interpretasi (intepretation method),
metode kontruksi hukum atau penalaran (redeneerweijzen).
Interpretasi hukum terjadi apabila terdapat ketentuan undang-
undang yang secara langsung dapat ditetapkan pada peristiwa
konkret yang dihadapi, metode dilakukan dalam hal peraturannya
sudah ada, tetapi tidak jelas untuk dapat diterapkan pada peristiwa
konkret karena terdapat norma yang kabur (vage normen), konflik
antar norma hukum (antinomy normen), dan ketidakpastian suatu
peraturan perundang-undangan.28
Kontruksi hukum terjadi apabila tidak ditemukan ketentuan
undang-undang yang secara langsung dapat diterapkan pada
masalah hukum yang dihadapi, atau dalam hal peraturannya tidak
ada, jadi terdapat kekosongan hukum (recht vacuum) atau
kekosongan undang-undang (wet vacuum). Untuk mengisi
kekesongan undang-undang inilah, hakim menggunakan penalaran
logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-
undang. Hakim tidak lagi berpegang pada bunyi teks itu, namun
hakim tidak mengabaikan prinsip hukum sebagai suatu sistem.29
Metode kontruksi hukum bertujuan agar putusan hakim dalam
peristiwa konkret yang ditanganinya dapat memenuhi rasa keadilan
masyarakat dan memberikan kemanfaatan. Dalam metode
kontruksi hukum, ada empat metode yang digunakan oleh hakim
pada saat penemuan hukum, yaitu: argumentum per analogium
(analogi), argumentum a contrario, penyempitan hukum, dan fiksi
hukum.30
1. Metode Interpretasi
28 Ibid, 60. 29 Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Sejarah, Filasafat dan Metode Tafsir, (Malang: UB Press, 2011), 40. 30 Ahmad Rifaii, Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif (Jakarta: Sinar Grafika, 2010),61.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
235
Interpretasi atau penafsiran hukum merupakan salah
satu metode penemuan hukum yang memberikan penjelasan
yang jelas dan terang atas teks undang-undang, agar ruang
lingkup kaedah dalam undang-undang tersebut dapat
diterapkan dalam peristiwa hukum tertentu.31 Tujuan
interpretasi adalah untuk menjelaskan maksud sebenarnya dari
teks undang-undang sehingga ketentuan dalam undang-
undang dapat diterapkan dalam menyelesaikan peristiwa
konkrit yang dihadapi oleh hakim.
Metode interpretasi hukum meliputi interpretasi
gramatikal, interpretasi historis undang-undang, interpretasi
sistematis, interpretasi teleologis, interpretasi komparatif,
interpretasi futuristik, interpretasi restriktif, interpretasi
ekstensif, interpretasi autentik, interpretasi interdisipliner, dan
interpretasi multidisipliner.
Interpretasi gramatikal adalah menafsirkan kata-kata
atau istilah dalam perundang-undangan sesuai dengan kaedah
bahasa hukum yang berlaku. Interpretasi gramatikal ini
mencoba untuk memahami suatu teks peraturan perundang-
undangan yang berlaku, pada umumnya interpretasi gramatikal
ini digunakan oleh hakim bersamaan dengan interpretasi logis,
yakni memberikan makna terhadap suatu aturan hukum
melalui penalaran hukum untuk diterapkan terhadap teks yang
kabur atau kurang jelas.32 Misalnya, apa yang dimaksud dengan
pihak ketiga dalam hubungan kontraktual seringkali tidak jelas,
terkadang pihak ketiga mengacu pada pihak lain yang tidak
terkait dalam perjanjian (petinus extranei). Terkadang pihak
ketiga yang dimaksud adalah kreditor konkuren bagi para
pihak yang terikat dalam sebuah perjanjian. Oleh karena itu
31 Soedikno, Bab-bab Penemuan ...,13. 32 Jhony Ibrahim, Teori dan Metode…., 221.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
236
dalam interpretasi gramatikal, biasanya digunakan bersamaan
dengan interpretasi logis berdasarkan penalaran hukum.33
Interpretasi sistematis adalah metode menafsirkan
peraturan perundang-undangan dengan menghubungkannya
dengan peraturan hukum yang lain atau dengan keseluruhan
sistem hukum. Interpretasi sistematis ini menerapkan prinsip,
bahwa peraturan perundang-undangan satu negara merupakan
sebuah system yang utuh. Artinya, menafsirkan satu ketentuan
undang-undang harus dihubungkan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lain sehingga dalam
menafsirkan peraturan perundang-undangan tidak boleh keuar
atau menyimpang dari sistem hukum suatu negara.34 Misalnya,
kalau hendak mengetahui tentang sifat pengakuan anak yang
dilahirkan dari hasil pernikahan orang tuanya, hakim tidak
hanya cukup mencari ketentuan-ketentuan yang ada dalam
KUH Perdata saja, akan tetapi harus dihubungkan dengan
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam KUHP.35
Interpretasi historis adalah metode penafsiran terhadap
makna undang-undang menurut terjadinya dengan cara
meneliti sejarah, baik sejarah hukumnya maupun sejarah
terjadinya undang-undang, atau dengan kata lain, interpretasi
historis meliputi interpretasi terhadap sejarah undang-undang
(wet historisch), dan sejarah hukumnya (recht historischt).
Interpretasi menurut sejarah undang-undang (wet historisch),
yakni mencari maksud dari peraturan perundang-undangan itu
seperti apa yang dilihat oleh pembuat undang-undang ketika
undang-undang itu dibentuk. Interpretasi sejarah hukum (recths
historisch) merupakan metode interpretasi yang memahami
undang-undang dalam konteks sejarah hukumnya.36 Misalnya,
33 Johny Ibrahim, Teori dan Metode…, 221. 34 Ahmad Rifaii, Penemuan Hukum.. 67. 35 Jazim Hamidi, Hermeneutika…,41. 36 Ahmad Rifaii, Penemuan Hukum…, 66.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
237
untuk mengetahui tentang sistem pemilu serentak yang diatur
dalam Undang-undang Pemilu, maka hakim harus mengetahui
sejarah penyusunan undang-undang tersebut beserta ratio
legisnya.
Interpretasi teleologis adalah penafsiran terhadap
undang-undang sesuai dengan tujuan pembentukannya.
Hakim dalam menggunakan penafsiran teleologis ini harus
melihat suatu peraturan perundang-undangan disesuaikan
dengan situasi sosial yang baru sehingga ketentuan perundang-
undangan tidak hanya dilihat secara tekstual, akan tetapi dilihat
secara kontekstual. Dengan demikian, penafsiran teleologis
merupakan metode penafsiran terhadap suatu ketentuan
perundang-undangan dengan melihat kondisi atau situasi
sosial yang ada. Dalam menafsirkan ketentuan Pasal 362
KUHP tentang pencurian misalnya, hakim harus memperluas
makna kalimat “barang” dalam pasal tersebut dengan berbagai
macam benda yang dapat dimiliki, baik berwujud maupun
tidak berwujud. Misalnya aliran listrik, pulsa dan lain-lain.
Sehingga apabila seseorang dengan sengaja tanpa hak
mengambil aliran listrik, atau pulsa telp untuk dimiliki harus
dihukum.
Interpretasi komparatif adalah metode penafsiran
dengan jalan membandingkan antara berbagai sistem hukum.
Dengan melakukan perbandingaan terhadap berbagai macam
sistem hukum, maka dapat dicari makna suatu ketentuan
peraturan perundang-undangan. Metode ini digunakan oleh
hakim pada saat menangani kasus-kasus yang menggunakan
dasar hukum positif yang timbul dari perjanjian internasional.
Hal ini penting untuk dilakukan dalam upaya untuk merealisir
keseragaman atau kesatuan hukum yang lahir dari perjanjian
internasional sebagai hukum objektif.37 misalnya hakim dalam
37 Ibid., 69.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
238
menafsirkan suatu kaimat dalam perjanjian kontrak antara dua
orang yang tunduk pada hukum yang berbeda, maka hakim
harus mencari makna suatu kalimat tersebut dari kedua subyek
hukum tersebut, misalnya perjanjian kontrak yang terjadi
antara orang Indonesia dan orang Australia, hakim harus
membandingkan makna kalimat yang disengketakan dari
kedua Negara tersebut.
Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum
yang bersifat antisipatif adalah penjelasan ketentuan undang-
undang yang belum mempunyai kekuatan hukum.38 Dengan
bahasa lain, interpretasi futuristik merupakan metode
penemuan hukum yang bersifat antisipatif, yakni menjelaskan
peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang (ius
contitutum) dengan berpedonam pada ketentuan perundang-
undangan yang akan datang atau yang dicita-citakan (ius
constituendum). Misalnya peraturan-peraturan yang masih dalam
proses legislasi (RUU), hakim bisa menggunakan interpretasi
ini dengan sebuah keyakinan, bahwa Rancangan Undang-
undang tersebut akan segera diundangkan.
Interpretasi restriktif merupakan metode penafsiran
yang sifatnya membatasi atau mempersempit makna dari suatu
aturan.39 Interpretasi retriktif digunakan untuk menjelaskan
suatu ketentuan undang-undang, dimana ruang lingkup
ketentuan itu dibatasi dengan bertitik tolak pada artinya
menurut bahasa.40 Misalnya, hakim dalam menafsirkan batasan
”tetangga” dalam Pasal 666 KUH Perdata membatasi hanya
pada tetangga rumah dan bukan termasuk penyewa rumah.
38 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Penemuan…., 11-28. Lihat pula Ahmad Rifai, Penemuan Hukum…. , hlm. 60-61. Lihat pula Jazim Hamidi, Hermeneutika……, 40-51. 39 Ahmad Rifaii, Penemuan Hukum…,70. 40 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan…., 90.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
239
Interpretasi Ekstensif merupakan metode penafsiran
yang membuat sebuah penafsiran melebihi batas-batas biasa
yang dilakukan melalui interpretasi gramatikal. Interpretasi
ekstensif digunakan untuk menjelaskan suatu ketentuan
undang-undang dengan melampaui batas yang diberikan oleh
interpretasi gramatikal.41 Misalnya, hakim dalam menafsirkan
kata ”menjual” dalam Pasal 1576 KUHPerdata tidak hanya
bermakna jual beli, akan tetapi bisa bentuk peralihan yang lain,
sewa atau tukar menukar. Mengenai penerapan interpretasi
ekstensif dalam hukum pidana, ada dua pendapat yang
berbeda; pertama, menganggap antara penafsiran ekstensif
dengan analogi tidak ada perbedaan sehingga penafsiran
ekstensif dalam perkara pidana tidak diperbolehkan; kedua,
menganggap antara penafsiran ekstensif dengan analogi
berbeda, sehingga penggunaan penafsiran ekstensif dalam
perkara pidana diperkenankan.42
Interpretasi Autentik merupakan metode penafsiran
yang dilakukan dengan melihat arti dari istilah yang dimuat
dalam sebuah undang-undang itu sendiri, oleh karena itu
interpretasi ini disebut dengan interpretasi resmi atau autentik.
Metode penafsiran ini melarang hakim menafsirkan selain apa
yang telah ditentukan pengertianya dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan. Jadi, untuk mengetahui makna dari
suatu istilah dalam peraturan perundang-undangan, dapat
dilihat dari bab atau pasal tertentu yang telah menguaraikan
makna dari istilah tersebut.43 Misalnya, hakim dalam
menafsirkan kata ”hari” dalam Pasal 98 KUHP harus melihat
ketentuan dalam KUHP yang diartikan sebagai waktu antara
matahari terbenam hingga matahari terbit.
41 Ibid., 91. 42 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum…., 71; lihat pula Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan…,91. 43 Bambang Sutiyoso, Metode…, 92.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
240
Interpretasi Interdisipiliner merupakan metode
penafsiran yang dilakukan oleh hakim apabila ia menghadapi
kasus yang melibatkan berbagai macam disiplin ilmu hukum.
Misal hukum perdata, hukum pidana, hukum admistrasi
negara atau hukum internasional. Hakim dalam melakukan
penafsiran hukum, menyandarkan asas-asas yang bersumber
pada hukum berbagai disiplin ilmu hukum. Misalnya, hakim
dalam menangani kasus korupsi, harus menggunakan
penafsiran dari aspek hukum pidana, hukum administrasi, dan
hukum perdata.44
Interpretasi Multidisipliner merupakan metode
penafsiran yang digunakan oleh hakim dalam menangani suatu
perkara dengan mempertimbangkan berbagai kajian ilmu di
luar ilmu hukum. Dalam hal ini, hakim membutuhkan bantuan
berbagai macam bidang ilmu untuk memverifikasi suatu kasus
dan menjatuhkan suatu putusan yang adil. Pada praktiknya,
hakim dalam melakukan penafsiran multidisipliner ini, akan
mendatangkan para ahli atau pakar sebagai saksi ahli dari
berbagai macam ilmu terkait dengan kasus yang ditangani.
Misalnya dilakukan dalam kasus cyber crime, white collar crime,
terorisme.45
Jazim Hamidi menambahkan Hermeneutika sebagai
sebuah metode penafsiran. Hermeneutika pada awalnya
merupakan metode penafsiran terhadap teks, namun dalam
perkembangannya, hermeutika tidak hanya metode penafsiran
terhadap teks dan menyelami kandungan literalnya. Lebih dari
itu, Hermeneutika berusaha menggali makna dengan
mempertimbangkan horison/cakrawala yang melingkupi teks
tersebut. Horison yang dimaksud adalah horison teks, horison
44 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum….,72; Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan…,94. 45 Jazim Hamidi, Hermeneutika…., 44.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
241
pengarang dan horison pembaca.46 Dengan memperhatikan
tiga horison tersebut, suatu penafsiran atau pemahaman
menjadi sebuah kegiatan rekontruksi dan reproduksi makna
teks, disamping melacak bagaimana suatu teks itu dilahirkan
oleh pengarangnya dan muatan apa yang masuk di dalamnya.
Selain itu, seorang penafsir senantiasa berusaha melahirkan
kembali makna tersebut sesuai dengan situasi dan kondisi saat
teks tersebut dibaca atau dipahami. Dengan demikian,
hermeunitika sebagai sebuah metode penafsiran, harus selalu
memperhatikan tiga komponen pokok yaitu teks, konteks, dan
upaya kontektualisasi.47
Persoalan mengenai metode apa yang dipakai oleh
hakim dalam menangani sebuah kasus konkrit, pembentuk
undang-undang tidak memberikan prioritas kepada salah satu
metode dalam penemuan hukum. Artinya hakim diberikan
kebebasan untuk memilih metode apa yang paling cocok
untuk menangani kasus yang dihadapi. Pilihan mengenai
metode penemuan hukum merupakan kewenangan hakim.
Pilihan terhadap salah satu metode oleh hakim didasarkan
pada metode apa yang paling meyakinkan dan hasilnya
memuaskan dalam menangani sebuah kasus.48
2. Kontruksi Hukum
Kontruksi hukum dilakukan apabila tidak ditemukan
ketentuan undang-undang yang secara langsung dapat
diterapkan kepada kasus yang dihadapi, atau dalam peraturanya
memang tidak ada, atau terjadi kekosongan hukum (recht
vacuum), atau kekosongan undang-undang (wet vacuum). Dalam
hal terjadi kekosongan hukum atau kekosongan undang-
undang inilah hakim menggunakan penalaran logisnya untuk
46 Ibid, 77. 47 Ibid, 77. 48 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Penemuan…,20.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
242
mengembangkan lebih lanjut teks undang-undang. Metode
inilah yang dimaksud dengan kontruksi hukum.49 Hakim terikat
dengan asas, bahwa hakim dilarang menolak suatu perkara yang
diajukan kepadanya dengan alasan: hukumnya tidak ada,
aturanya kurang lengkap, atau tidak diatur, melainkan ia harus
mengadili perkara yang ada sepanjang perkara tersebut
memenuhi syarat materiil dan sesuai dengan kompetensi
absolut dan kompetensi relatifnya. Di sini hakim harus
menggali dan menemukan nilai-nilai hukum yang hidup di
masyarakat. Hal ini sesuai dengan Pasal 27 ayat (1) Undang-
undang No. 14 Tahun 1970 yang memerintahkan hakim
sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali,
mengikuti, dana memahami, nila-nilai hukum yang hidup di
masyarakat.50
Metode kontruksi hukum yang biasa digunakan oleh
hakim meliputi argumentum per analogium (analogi, kiyas),
argumentum a contrario,51 dan penyempitan/pengkonkretan
hukum.52
Pertama, Metode argumentum per analogium (Analogi)
merupakan metode penemuan hukum dengan cara hakim
mencari esensi yang lebih umum dari sebuah peristiwa hukum
atau perbuatan hukum baik yang telah diatur oleh undang-
undang maupun yang belum ada peraturannya. Dengan metode
analogi, peristiwa yang serupa atau sejenis yang diatur dalam
undang-undang diperlakukan sama. Metode penemuan hukum
dengan analogi terjadi dengan mencari peraturan umum dari
peraturan khusus, untuk digunakan menggali asas-asas hukum
yang ada di dalamnya. Dengan penemuan hukum melalui
49 Ahmad Rifai, Penemuan …,60 50 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi….,227. 51 Phlipus M. Hadjon dan Tatik Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2011), 27. 52 Ahmad Rifai, Penemuan… ,75.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
243
analogi ini, sebuah peraturan yang bersifat khusus dijadikan
umum yang tidak tertulis dalam sebuah undang-undang. Dari
peraturan umum tersebut, disimpulkan peristiwa-peristiwa yang
khusus. Suatu peraturan perundang-undangan diterapkan
terhadap suatu peristiwa tertentu yang tidak diatur dalam
undang-undang tersebut, akan tetapi peristiwa itu mirip atau
serupa dengan peristiwa yang diatur dalam sebuah undang-
undang.53 Dengan demikian, analogi memberi penafsiran pada
suatu peraturan hukum dengan memberi kias pada kata-kata
dalam peraturan tersebut sesuai dengan asas hukumnya
sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat
dimasukkan, kemudian dianggap sesuai dengan bunyi peraturan
tersebut.54
Metode penemuan hukum dengan analogi sudah sering
digunakan dalam perkara perdata, namun dalam perkara pidana
penggunaan analogi dilarang, karena dianggap bertentangan
dengan asas legalitas (principle of legalty) dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHP). Meskipun hakim Bismar
Siregar pernah menggunakan analogi dalam perkara perkosaan
yang menyamakan kemaluan dengan barang, akan tetapi dalam
Kasasi Mahkamah Agung dibatalkan.55 Dalam hukum pidana,
tiada suatu perbuatan dilarang dan diancam dengan pidana jika
tidak diatur terlebih dahulu dalam undang-undang (Nullum
delictum nulla poena sine praevia lege poenali).
Analogi merupakan metode penemuan hukum ketika
hukumnya tidak lengkap atau tidak ada yang mengatur (recht
vacuum/wet vacuum) sehingga perlu penciptaan hukum baru,
bukan penafsiran. Sedangkan hukum pidana menutup
kemungkinan untuk menciptakan hukum melalui analogi akan
53 Sudikno Mertokusumo, Bab-bab Penemuan…,22. 54 Ibid., 23. Lihat juga Jazim Hamidi, Hermeunutika…, 47. 55 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan….,108.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
244
tetapi diperbolehkan menemukan hukum melalui penafsiran
ekstensif, yakni memperluas makna yang terdapat dalam
undang-undang.56 Ada perbedaan mendasar antara penafsiran
ekstensif dan analogi. Dalam penafsiran ekstensif masih
berpegang pada aturan yang ada, namun dalam analogi
peristiwa yang dihadapi tidak dapat dimasukkan dalam aturan
yang ada, meskipun diyakini bahwa peristiwa itu seharusnya
juga diatur atau dijadikan peristiwa hukum.57
Kedua, Metode Argumentum a Contrario merupakan metode
penemuan hukum yang memberikan kesempatan kepada hakim
untuk melakukan penemuan hukum dengan pertimbangan
bahwa apabila undang-undang menetapkan hal-hal tertentu
untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada
persitiwa tertentu itu dan bagi peristiwa di luarnya berlaku
kebalikannya. Adakalanya suatu peristiwa tidak diatur dalam
undang-undang, akan tetapi diatur kebalikannya. Jadi, inti dari
argumentum a contrario ini adalah mengedepankan cara penafsiran
yang berlawanan dengan pengertian kebalikannya (mafhum
mukhalafah-nya).58
Metode argumentum a contrario memberikan kesempatan
kepada hakim untuk menemukan hukum dengan
mempertimbangkan, bahwa apabila undang-undang
mempertimbangkan hal-hal tertentu untuk peristiwa tertentu,
dan untuk peristiwa di luar itu, berlaku kebalikannya. Salah satu
contoh klasik misalnya ketentuan Pasal 39 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 yang mengatur masa tunggu
janda (iddah) setelah bercerai dengan suaminya. Bagaimana
dengan suami, apakah harus melaksanakan hal yang sama?
maka hakim di sini menerapkan metode argumentum a
56 Ibid., 108. 57 Ibid., 109. 58 Ahmad Rifaii, Penemuan…, 81.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
245
contrario/mafhum mukhalafah sehingga seorang suami yang
bercerai dengan istrinya tidak perlu melakukan iddah.59
Ketiga, metode peyempitan hukum/pengkonkritan hukum
(rechtsvervijning). Tidak jarang norma yang ada dalam peraturan
perundang-undangan terlalu luas dan terlalu umum ruang
lingkupnya, maka hakim perlu mempersmpit makna yang
terkandung dalam ketentuan undang-undang tersebut. Metode
penyempitan hukum/pengkongkritan hukum, bertujuan untuk
mengkongkritkan/menyempitkan suatu aturan hukum yang
terlalu abstrak, pasif, serta umum, agar dapat diterapkan
terhadap suatu peristiwa tertentu.60 Sebuah contoh pasal 1365
tentang perbuatan melawan hukum (onrechtmatig daad) yang
ruang lingkupnya terlalu luas, maka hakim terlebih dahulu
harus mempersempit ruang lingkupnya atau harus
dikonkretkan dan dihubungkan dengan peristiwa konkrit yang
terjadi. Sebelum tahun 1919 sebagai akibat dianutnya aliran
legisme, para hakim selalu menyamakan hukum dengan
undang-undang, akan tetapi setelah terjadinya perkara
Lindenbaum vs Cohen, maka pengertian mengenai perbuatan
melawan hukum mengalami perubahan besar sebagaimana
dalam putusan Hoog Raad tahun 1919 yang menyatakan
perbuatan melawan hukum (onrechtamatig daad) dipersempit
menjadi berbuat atau tidak berbuat yang melanggar hak orang
lain, bertentangan dengan kewajiban hukum, serta
bertentangan dengan kepatutan.61
Pengkonkritan/penyempitan hukum (rechtsverfijning) dalam
peradilan di Indonesia pernah dilakukan oleh Mahkamah
Agung dalam kasus Akbar Tanjung dalam putusan No.
572K/Pid/2003. Pengertian penyalahgunaan kewewenangan
59 Jazim Hamidi, Hermeneutika…,47. 60 Ahmad Rifaii, Penemuan…., 83. 61 Ahmad Rifaii, Penemuan…..,84. Jazim Hamidi, Hermeneutika….,46; Bambang Sutiyoso, Metode…., 111.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
246
dalam Pasal 1 ayat (1) huruf b Undang-undang No. 3 tahun
1971 dimaknai dengan menggunakan wewenang itu untuk
tujuan lain dari yang dimaksud ketika diberi wewenang
tersebut, atau dalam bahasa lain”de tournament du pouvoir”
(menyalahgunakan wewenang).62
Keempat, metode fiksi hukum. Dalam teori ilmu hukum,
fiksi hukum diartikan sebagai sebuah asas semua orang
dianggap tahu hukum (undang-undang), padahal dalam
kenyataannya tidak semua orang mengetahui undang-undang,
bahkan seorang pakar hukumpun tidak mungkin untuk
mengetahui semua undang-undang, ia hanya mengetahui
hukum sesuai dengan keahliannya. Namun demikian, metode
fiksi hukum ini sangat dibutuhkan oleh hakim dalam praktik
peradilan, karena seseorang yang didakwa melakukan suatu
tindak pidana tidak dapat berdalih untuk dibebaskan dengan
alasan tidak mengetahui hukum yang mengatur tentang
kejahatan yang dilakukan.63
Metode penemuan hukum melalui fiksi hukum ini
bersumber pada fase perkembangan hukum dalam periode
menengah yaitu setelah berakhirnya periode hukum primitive.
Inti dari metode ini adalah bahwa penemuan hukum dengan
menggunakan fakta-fakta baru sehingga tampil suatu
personifikasi baru. Fungsi dari fiksi hukum adalah menciptakan
stabilitas hukum, juga mengisi kekosongan undang-undang.64
Para ahli berbeda pendapat mengenai fiksi hukum ini,
Sacipto Raharjo berbepandapat, fiksi hukum merupakan bagian
dari kontruksi hukum. Sedangkan Paul Scholten berpendapat,
fiksi hukum dan kontruksi hukum berbeda. Perbedaannya
62 Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi…, 233. 63 Ahmad Rifai, Penemuan…,85. 64 Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, (Jakarta: Gunung Agung, 2002), 88.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law
Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
247
terlihat dari penyederhanaan yang dilakukan demi kepentingan
kontruksi, maka sebagian fakta-faktanya dihilangkan.
Sebaliknya, pada fiksi hukum, fakta-fakta yang oleh
peristiwanya tidak dikemukakan dapat saja ditambahkan.
Dengan demikian, setiap kontruksi boleh mengandung unsur
fiksi, akan tetapi kontruksi tidak pernah boleh menjadi fiksi.65
Fiksi yang telah tertuang dalam putusan hakim bukan lagi
sebagai fiksi hukum, akan tetapi sudah menjadi judge made law,
telah menjadi kenyataan, dan telah menjadi hukum.66
Penutup
Penemuan hukum (rechtsvinding) merupakan upaya hakim
dalam menciptakan dan membentuk hukum untuk diterapkan
dalam peristiwa-peristiwa konkret. Penemuan hukum dilakukan
oleh hakim manakala peraturanya tidak jelas, ambigu, terjadi
kekaburan norma, atau tidak ada aturan yang mengatur.
Metode penemuan hukum oleh hakim dalam menyelesaikan
perkara-perkara konkrit yang dihadapinya dilakukan dengan
metode penafsiran (interpretasi), dan kontruksi hukum.
Interpretasi dilakukan oleh hakim dalam hal peraturanya ada, akan
tetapi tidak jelas, ambigu, atau terjadi kekaburan norma (vague
normen) untuk diterapkan dalam peristiwa konkret. Sedangkan
kontruksi hukum dilakukan oleh hakim dalam hal peraturan tidak
ada atau terjadi kekosongan norma (rechts vacuum), atau
kekososngan undang-undang (wet vacuum), maka hakim
menggunakan penalaran logisnya dengan cara argumentum a contrario,
dan argumentum per analogium.
Daftar Pustaka
Ahmad Rifai. Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum Progresif, Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
65 Ibid, 189. 66 Ibid., 200.
Muwahid: Metode Penemuan Hukum ...
AL-HUKAMA The Indonesian Journal of Islamic Family Law Volume 07, Nomor 01, Juni 2017
248
Ahmad Ali. Menguak Tabir Hukum Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Jakarta: Gunung Agung, 2002.
Bambang Sutiyoso. Metode Penemuan Hukum,Yogyakarta: UII Press, 2006.
Johny Ibrahim. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia, 2011.
Jazim Hamidi. Hermeunitika Hukum, Sejarah, Filasafat dan Metode Tafsir, Malang: UB Press, 2011.
Philipus M. Hadjon& Tatik Sri Djatmiati. Argumentasi Hukum, Yogyakarta: Gajah Mada Unuversity Press, 2011.
Sudikno Mertokusumo. Mengenal Hukum Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2002.
------------, Bab-bab Tentang Penemuan Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1993.
Zaeni Asyhadie & Arief Rahman, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada, 2014.
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt/BW).
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).