SurveiCorporate DigitalStrategy
SurveiCorporate Digital Strategy:
Potret Kematangan Digital Korporasi IndonesiaUntuk pertama kalinya SWA bersama Accenture mengadakan survei Corporate Digital Strategy pada perusahaan-perusahaan terkemuka di Tanah Air. Apa itu CDS? Apa saja insight yang bisa dipetik dari riset ini?
Joko Sugiarsono & Jeihan K. Barlian
Pengaruh teknologi disruptif seperti ini memang nyata. Seperti diungkapkan oleh almarhum Pierre Nanterne, CEO Accenture, kehadiran teknologi digital adalah alasan utama mengapa lebih dari separuh perusahaan dalam daftar Fortune 500 telah menghilang sejak tahun 2000.
Di lingkup bisnis di Tanah Air, pengaruh disruptive technology pun cukup terlihat. Sebagai contoh paling populer, perusahaan taksi incumbent seperti Blue Bird dan Expres telah terdisrupsi dan tergerus jumlah pelanggannya dengan kehadiran pemain seperti GoJek dan Grab yang menawarkan layanan transportasi via mobile app. Ada pula ritel seperti Matahari Dept Store yang terganggu dengan kehadiran pemain se perti Tokopedia, Bukalapak, Shopee, bahkan MatahariMall.com, yang menyediakan platform digital (online) untuk konsumen berbelanja. Juga ada layanan incumbent di bidang keuangan seperti jasa perbankan dan pegadaian yang terdisrupsi oleh pemain seperti Modalku dan DanaBijak yang menyediakan mobile app yang bisa digunakan nasabah untuk meminjam dana.
Dalam kondisi seperti inilah para incumbent player itu perlu melakukan transformasi digital. Lantas, bagaimana transformasi digital ini dimulai? Menurut firma konsultan global Accenture, langkah paling awal adalah melakukan proses Digital Diagnostic. Proses ini, seperti dipresentasikan oleh Accenture Consulting (PT Accenture), akan mendiagnosis kesiapan digital perusahaan, serta memetakan bagian pasar yang belum tersentuh dan
"D isrupsi teknologi” atau “disrupsi digital” kini telah menjadi kosa kata yang makin popu
ler dalam khazanah analisis manajemen modern. Kata ini pun biasanya dikaitkan dengan keharusan pihak yang terdampak (terdisrupsi) untuk memberikan jawabannya: transformasi digital.
Mengapa perusahaan kini dirasa perlu melakukan transformasi digital? Alasan utamanya, tak lain, adanya pemicu berupa disrupsi yang dibawa oleh para pendatang baru, terutama dalam wujud disruptive technology. Hal ini telah diingatkan oleh Clayton Christensen cukup dini lewat bukunya, The Innovator’s Dilemma (1997), yang antara lain menyebutkan teknologi ini akan mewarnai masa depan dan tidak mudah mengetahui apa saja yang akan terdisrupsi ketika teknologi seperti ini sudah matang.
8 | SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018
peluang pasar digital yang tersedia. Selanjutnya perusahaan perlu mengem
bangkan kapalibitas digitalnya untuk menyukseskan transformasi digitalnya. Menurut framework yang dikembangkan Accenture, kapabilitas yang perlu dikembangkan itu adalah Corporate Digital Strategy (CDS), yang mencakup empat kapabilitas inti: Digital Strategy, Digital Customer, Digital Enterprise, dan Digital Operations.
Digital Strategy (DS) adalah kapabilitas untuk menemukan bagaimana perusahaan bisa bertahan, mendiferensiasi diri, atau bahkan mendisrupsi industrinya. Boleh dibilang, DS adalah payung strategi dan menjadi bagian esensial dari strategi bisnis. DS ditandai dengan kemampuan perusahaan untuk memahami pasar digitalnya, membuat keputusan berdasarkan insight yang diterima, menjadi lincah dan berani menghadapi kegagalan, serta memantau rantai nilai.
Kedua, Digital Customer (DC), adalah kapabilitas untuk memberikan customer experience di atas ekspektasi pelanggan. Kapabilitas pada aspek DC diukur dari kehadiran perusahaan di berbagai touch point dan kemampuan mendesain customer journey serta dalam mengukur pengalaman pelanggan yang tercipta.
Ketiga, Digital Enterprise (DE), yakni kapabilitas untuk menciptakan efisiensi yang lebih tinggi dengan menggunakan teknologi, yang biasanya terjadi di bagian back office, seperti bagian keuangan dan SDM (human resources).
Dan keempat, Digital Operations (DO), merupakan kapabilitas untuk menemukan caracara baru yang lebih baik dalam bekerja dan beroperasi. Teknologi pendukungnya biasanya adalah automation, analytics, dan Artificial Intelligence, yang dikenal dengan istilah Triple A Trifecta.
Menurut Accenture Digital (PT Accenture), konsep CDS mungkin sudah dikenal oleh banyak perusahaan di Indonesia. Namun, pengertian “digital” itu bisa bermacammacam. Bagi Accenture, digital itu bukan ragam teknologinya (seperti internet, media sosial, online platform, cloud, atau Internet of Things), melainkan terdiri dari unsurunsur 4C: Customer, Collaboration, Creativity, dan Change. Ragam teknologi yang disebutkan tadi adalah pendukung dari ke4 unsur tersebut.
Mengenai framework CDS, dijelaskan bahwa konsep ini bersifat topdown, dilihat
secara high level mulai dari DS sebagai payungnya, kemudian mengejawantah pada tiga aspek atau komponen lainnya. “Perkembangan industri di Indonesia juga sudah cocok dengan framework CDS ini,” ia menambahkan.
Dalam konteks transformasi digital, Accenture melihat pemahaman akan CDS ini merupakan hal penting. Dalam kaitan itulah, SWA bersama Accenture melakukan riset (berupa survei) mengenai implementasi CDS. Survei ini dilakukan terhadap 59 perusahaan (yang dinilai cukup mapan dan terkemuka di industrinya) dari 14 jenis industri, dengan responden level general manager atau vice president ke atas.
Riset ini bertujuan mendiagnosis digital maturity level perusahaan, dengan melihat pada empat kapabilitas digital utama yang sudah disebutkan di atas: DS, DC, DE, dan DO. Selain itu, riset ini juga dimaksudkan untuk mengetahui bagaimana perusahaan dapat memulai proses transformasi digital mereka, dengan mendayagunakan teknologi dan sudut pandang baru, untuk menciptakan value dan kondisi yang lebih baik.
Bagaimana temuannya? Seperti dipresentasikan oleh Accenture, yang salah satu hasil terpenting survei ini: perusahaan responden dari 14 industri ini berada di level Mature dalam skala kematangan digitalnya, dengan ratarata Index of CDS 3,9 (dari skala 0,05,0) yang menunjukkan bahwa CDS telah diimplementasikan secara
luas di berbagai industri tersebut.Perlu diketahui, dalam analisis tingkat
kematangan digital untuk riset ini, skor 3,04,0 diklasifikasikan sebagai Mature, dan skor 4,05,0 sebagai Very Mature. Muncul pertanyaan, apakah ratarata indeks sebesar 3,9 dari hasil riset ini menggambarkan kondisi kematangan digital dunia korporasi Indonesia saat ini?
Skor indeks ratarata yang diperoleh memang cukup tinggi. Menjelaskan hal ini, Accenture menyebutkan dua alasannya. Pertama, perusahaan yang mengikuti survei ini memang kalangan selected com-panies, yang relatif sudah besar, mapan, dan memiliki organisasi yang baik. Kedua, dalam merespons pertanyaan survei, mereka memiliki level kepercayaan diri yang tinggi, yang menunjukkan optimisme mereka dalam melihat potensi ketika menjalankan transformasi digital.
Untuk melihat gambaran yang lebih luas dari hasil survei ini, seperti dipaparkan tim analis Accenture membagi industri yang berpartisipasi itu dalam tiga tingkatan kelompok (tier). Tier-1 dengan skor Indeks CDS ratarata 4,0 diwakili industri jasa keuangan nonbank serta TI dan telekomunikasi. Tier-2 dengan skor ratarata 3,9 diwakili industri banking dan industri travel. Sementara Tier-3 dengan ratarata skor 3,6 diwakili industri manufaktur dan industri jasa pelabuhan (port).
Dari data tersebut, kita bisa melihat bahwa kesenjangan antara Tier-3 (ratarata skor terendah) dengan Tier-1 (ratarata skor tertinggi) relatif rendah. “Ini menunjukkan bahwa industri dengan skor terendah pun memiliki kesempatan bagus untuk mengejar ketinggalannya dari industri terkuat, dengan cara meningkatkan kapabilitas digital mereka,” ungkap Accenture.
Ia menuturkan, tiap industri biasanya melakukan pendekatan CDS dari titik yang mereka nilai lebih kuat atau lebih cocok dengan tujuan keseluruhan mereka. Dari situ kemudian mereka memperkuat kapabilitas terpilih itu. Di Tier-1, sebanyak empat dari enam industri kuat di aspek DS. Pada Tier-2, dua dari empat industri kuat pada aspek DE. Adapun di Tier-3, tiga dari empat industri cenderung kuat pada aspek DE.
Sebagai contoh, dari Tier-1 ambil saja industry TI dan telekomunikasi dan dari Tier-3 industri manufaktur. Hasil analisis skor memperlihatkan bahwa industri industri TI dan telekomunikasi fokus pada kapabilitas DS. Adapun industri manufaktur lebih
“Ini menunjukkan bahwa industri dengan
skor terendah pun memiliki kesempatan
bagus untuk mengejar ketinggalannya dari
industri terkuat, dengan cara meningkatkan kapabilitas digital
mereka.”
SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018 | 9
SurveiCorporate DigitalStrategy
SurveiCorporate DigitalStrategy
Digital StrategyDigital diagnostic and finding how to defend, differentiate or disrupt
Digital CustomerProviding customer experience beyond expectations
Digital EnterpriseOptimizing for better efficiency using technology
Digital OperationsFinding new ways of working and operating
Compelling Experience
AdvancedMarketing
LivingServices
ConnectedProducts
Workforce of The Future
Fullfillment Ecosystem
Digital Finance
Intelligent Tools
Adaptive Analytics
Field Operations/Maintenance
Proactive Trust &
Security
“New” IT Internet of Things
Platform Economy
Tranformation Leadrship
GrowthStategy
DigitalBusiness Models
TechnologyStrategy
CORE CAPABILITIES OFCORPORATEDIGITAL STRATEGY
GAMBARAN PERBEDAAN SKOR PADA TIGA TINGKATAN
4C, PENGERTIAN"DIGITAL"
MENURUT ACCENTURE
Digital OperationsFinding new ways of working and operating
Digital OperationsFinding new ways of working and operating
PROFIL PARTISIPAN SURVEI
Banking
Financial Services Non Banking
Education
Consumer Goods
Manufactures
Logistics
IT & Telecomunication
Trade
BPO & Consultant Services
Constructions & Real Estate
Tour and Travel
Port Services
Media
Agribisnis < 50 51 - 100 101 - 250 251 - 500 501 - 1000 > 1000
Industry Category
Number of employee
14% 12% 10% 10% 10% 8% 7% 7% 7% 5% 3% 3%2%2%
Industry Scale Industry Product
Large-Sized
5%Medium-Sized
95%
Tertiary 74%
Primary 14%
Secondary 12%
1% 5% 4%15% 12%
63%
Average Index of CDS, 3.9
5
4
3
2
1
0
VeryMature
Mature
AlmostMature
LessMature
NotImplementing
DO
DE
DC
DS
TIER 3TIER 2TIER 1Respondents sit at this range of maturity.
Non-BankFS
TIER 1 Avg: 4.0
Score Nuances between TiersTIER 2
Avg: 3.9TIER 3
Avg: 3.6
IT &Telco
Travel Banking Menufac-turer
Port
4.04 4.02 3.96 3.82 3.54 3.45
3.70 3.61
3.51 3.35
3.87 4.00
3.86 3.83
4.16
4.05
4.23
4.00
4.22 4.25 4.00 4.11 3.6 3.75
ONLINEPLATFORM
TECHNOLOGY INTERNET
SOCIALMEDIA
MOBILE IOT
CLOUD ANALYTICSBIG DATA
CONSUMERIZATIONOF IT
DIGITAL
CUSTOMER
COLLABO-RATION CREATIVITY
CHANGE
88 | SWA 16 | XXXiV | 6 - 15 Agustus 2018
TANTANGAN DAN PELUANG DIGITALINDUSTRI IT & TELCO
TANTANGAN DAN PELUANG DIGITALINDUSTRI PERBANKAN
TANTANGAN DAN PELUANG DIGITALINDUSTRI MANUFAKTUR
PERBEDAAN PENDEKATAN CDS ANTARA INDUSTRI SKOR TERTINGGI
DENGAN SKOR TERENDAH
Industry IT & Telco4.25
4.16
4.054.02
DS DE DC DO
Industry Manufacturer3.70
3.60
3.543.51
DE DS DO DC
EMERGINGCHALLENGES
DIGITALCAPABILITIES
DIGITALOPPORTUNITIES
Adapt to evolving customer behavior
• Understand customer’s digital journey, touchpoints and overall experience with the brand.
• Create personalized services based on digital customer insights gathered through customer data management in order to increase customer retention
Make up for revenue loss due
to new digital disruptions
• Validate new business models for more revenue stream using agile methodology and supporting digital platform integration
• Build a strategic digital roadmap and implementation plan to face disruption and drive innovation within the organization and its culture
Release new, hidden business
opportunities
• Monetize potential business opportunities through owned channel and customer insights
• Build networks and develop online presence in non-telco environments
EMERGINGCHALLENGES
DIGITALCAPABILITIES
DIGITALOPPORTUNITIES
Increase Number of Customer
Loyalty
• Understand personalized process to better target and coop with the everchanging market
• Map out all customer’s interaction and analyze what are the pain points.
Integrate Digital Platform
seamlessly
• Effi ciencies and association between service off erings
• Customer data crunching for risk & behavior profi ling
• Automation and digitalization is key
Utilize Big Data with Agility to
Innovate
• Adopt agile methodology as a new ways of doing business
• Train employee essential skills needed in digital era • Management, authorities and industry experts
need to be heavily involved in monitoring the adoption
• Build a strategic mapping to deliver implementation
EMERGINGCHALLENGES
DIGITALCAPABILITIES
DIGITALOPPORTUNITIES
Reduce cost and increase
effi ciency
• Implement an agile methodology and adapt business processes with digital changes to keep up with market disruptions.
• Automate processes and integrate new technology, e.g. cloud and analytics, into digital platform.
• Develop prototypes to test a concept and obtain user feedback
Shift to a more customer -
centric mindset
• Create brand awareness and infl uence buyer’s decision through a strong online presence and utilize CRM (Customer Relationship Management) data to support marketing decisions
• Provide personalized services and measure customer experience in every touch points
Prepare workforce for digitalization
• Focus on enabling people with the right skill set to better adapt to digitalized processes
• Ensure most employees have a digital market understanding and communicate the fi rm’s digital vision
CUST
OM
ER
EXPE
RIEN
CEEF
FICI
ENCY
NEW
BU
SIN
ESS
MO
DEL
CUST
OM
ER
EXPE
RIEN
CEEF
FICI
ENCY
CUST
OM
ER
EXPE
RIEN
CECU
STO
MO
ER
EXPE
RIA
NCE
NEW
BU
SIN
ESS
MO
DEL
WO
RKFO
RCE
Implemented Capabilities Not Implemented Capabilities
DE
DC DO
DS
DE
DC DO
DS
DE
DC DO
DS
DE
DC DO
DS
DE
DE
DE
DE
DC
DC
DC
DC
DO
DO
DO
DO
DS
DS
DS
DS
DE
DC DO
DS
SWA 16 | XXXiV | 6 - 15 Agustus 2018 | 8910 | SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018
TANTANGAN DAN PELUANG DIGITALINDUSTRI IT & TELCO
TANTANGAN DAN PELUANG DIGITALINDUSTRI PERBANKAN
TANTANGAN DAN PELUANG DIGITALINDUSTRI MANUFAKTUR
PERBEDAAN PENDEKATAN CDS ANTARA INDUSTRI SKOR TERTINGGI
DENGAN SKOR TERENDAH
Industry IT & Telco4.25
4.16
4.054.02
DS DE DC DO
Industry Manufacturer3.70
3.60
3.543.51
DE DS DO DC
EMERGINGCHALLENGES
DIGITALCAPABILITIES
DIGITALOPPORTUNITIES
Adapt to evolving customer behavior
• Understand customer’s digital journey, touchpoints and overall experience with the brand.
• Create personalized services based on digital customer insights gathered through customer data management in order to increase customer retention
Make up for revenue loss due
to new digital disruptions
• Validate new business models for more revenue stream using agile methodology and supporting digital platform integration
• Build a strategic digital roadmap and implementation plan to face disruption and drive innovation within the organization and its culture
Release new, hidden business
opportunities
• Monetize potential business opportunities through owned channel and customer insights
• Build networks and develop online presence in non-telco environments
EMERGINGCHALLENGES
DIGITALCAPABILITIES
DIGITALOPPORTUNITIES
Increase Number of Customer
Loyalty
• Understand personalized process to better target and coop with the everchanging market
• Map out all customer’s interaction and analyze what are the pain points.
Integrate Digital Platform
seamlessly
• Effi ciencies and association between service off erings
• Customer data crunching for risk & behavior profi ling
• Automation and digitalization is key
Utilize Big Data with Agility to
Innovate
• Adopt agile methodology as a new ways of doing business
• Train employee essential skills needed in digital era • Management, authorities and industry experts
need to be heavily involved in monitoring the adoption
• Build a strategic mapping to deliver implementation
EMERGINGCHALLENGES
DIGITALCAPABILITIES
DIGITALOPPORTUNITIES
Reduce cost and increase
effi ciency
• Implement an agile methodology and adapt business processes with digital changes to keep up with market disruptions.
• Automate processes and integrate new technology, e.g. cloud and analytics, into digital platform.
• Develop prototypes to test a concept and obtain user feedback
Shift to a more customer -
centric mindset
• Create brand awareness and infl uence buyer’s decision through a strong online presence and utilize CRM (Customer Relationship Management) data to support marketing decisions
• Provide personalized services and measure customer experience in every touch points
Prepare workforce for digitalization
• Focus on enabling people with the right skill set to better adapt to digitalized processes
• Ensure most employees have a digital market understanding and communicate the fi rm’s digital vision
CUST
OM
ER
EXPE
RIEN
CEEF
FICI
ENCY
NEW
BU
SIN
ESS
MO
DEL
CUST
OM
ER
EXPE
RIEN
CEEF
FICI
ENCY
CUST
OM
ER
EXPE
RIEN
CECU
STO
MO
ER
EXPE
RIA
NCE
NEW
BU
SIN
ESS
MO
DEL
WO
RKFO
RCE
Implemented Capabilities Not Implemented Capabilities
DE
DC DO
DS
DE
DC DO
DS
DE
DC DO
DS
DE
DC DO
DS
DE
DE
DE
DE
DC
DC
DC
DC
DO
DO
DO
DO
DS
DS
DS
DS
DE
DC DO
DS
SWA 16 | XXXiV | 6 - 15 Agustus 2018 | 89SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018 | 11
SurveiCorporate DigitalStrategy
menekankan kapabiltas DE ketimbang TI dan telekomunikasi. Ini diperkirakan lantaran industri manufaktur lebih ingin meningkatkan kemampuan aspek back officenya (DE) ketimbang tiga aspek lainnya dalam rangka mencapai tujuan mereka.
Lalu, apa tantangan yang biasanya dihadapi dan bagaimana resep untuk meresponsnya?
Untuk menjawabnya, Accenture memilih tiga sampel industri yang mewakili tiga tingkatan berbeda: dari Tier-1 dipilih industri TI dan telekomunikasi, dari Tier-2 dipilih industri banking, dan dari Tier-3 industri manufaktur. Perusahaan dari industri TI dan telekomunikasi memiliki tantangan dari sisi customer experience, model bisnis, dan efisiensi. Industri banking menghadapi tantangan dari sisi customer experience dan model bisnis. Sementara industri manufaktur menghadapi tantangan dari sisi efisiensi, tenaga kerja, dan customer experience.
Mari kita lihat sebagian contoh tantangan tersebut dan resep yang disarankan Accenture untuk menjawabnya. Dari sisi customer experience, perusahaan TI dan telekomunikasi menghadapi tantangan bagaimana beradaptasi dengan perilaku konsumen. Untuk menjawabnya, menurut
Accenture, mereka perlu fokus mengembangkan kapabilitas DC dan DE, dengan cara memahami customer journey, touch point, dan pengalaman pelanggan, serta menciptakan layanan personalized berdasarkan pemahaman perusahaan terhadap pelanggan (customer insight).
Dari segi efisiensi, tantangan bagi perusahaan TI & telekomunikasi adalah
bagaimana mengantisipasi kehilangan revenue akibat disrupsi digital. Resep yang disarankan, mereka fokus pada kapabilitas
DS dan DO dengan memvalidasi model bisnis baru untuk membuat lebih banyak revenue stream, serta membuat digital roadmap dan rencana implementasinya.
Dalam praktiknya (studi kasus), perusahaanperusahaan telekomunikasi terkemuka di Indonesia menjalin kemitraan dengan penyedia platform video stream-ing–misalnya Telkomsel dengan Hooq dan Indosat dengan iflix–untuk mendorong penggunaan data lebih besar.
Pada industri perbankan, tantangannya adalah bagaimana mereka bisa meningkatkan jumlah pelanggan/nasabah loyal. Resepnya adalah meningkatkan kapabilitas DC, dengan cara memahami proses personalisasi serta memetakan semua interaksi nasabah dan apa titik lemahnya. Mereka juga menghadapi tantangan untuk bisa mengintegrasikan platform digital. Karena itu, mereka perlu meningkatkan kapabilitas DS dan DE, dengan cara mengefisienkan layanan serta mengumpulkan data nasabah untuk memitigasi risiko dan mengetahui profil perilaku nasabah.
Dalam kasus perbankan ini, ada salah satu bank besar di Tanah Air, yakni CIMB Niaga, yang fokus mengembangkan touch point dan memperkaya pengalaman nasabah. Bank ini mengembangkan Rekening Ponsel, layanan rekening berbasis ponsel pertama yang memungkinkan nasabah melakukan aneka transaksi perbankan.
Kemudian, pada industri manufaktur, tantangan yang nyata adalah bagaimana mengurangi biaya dan sekaligus me
ningkatkan efisiensi. Maka, industri ini disarankan dapat mengimplementasikan agile methodology, mengotomasi proses dan mengintegrasikan teknologi baru seperti cloud dan data analytics ke platform digital, serta mengembangkan prototipe untuk menguji konsep dan memperoleh masukan dari pengguna.
Sebagai contoh kasus di industry manufaktur ini, PT Astra Daihatsu Motor membangun pusat R&D di Karawang, yang menjalankan praktik digitalisasi manufaktur, mencakup proses desain, keteknikan, dan uji coba. Fasilitas desainnya memungkinkan perusahaan ini menciptakan prototipe seukuran produk aslinya (mobil) menggunakan bahan tanah liat.
Dari analisis hasil survei dan berdasarkan pengalaman sejumlah praktisi, Accenture menemukan bahwa transformasi digital menghadapi tantangan berupa keterlibatan pihak ketiga dalam suatu bisnis, sehingga menghalangi perusahaan berhubungan langsung dengan para konsumennya. Ini misalnya kentara pada industri kepelabuhanan, di mana peran pihak ketiga terlihat dari mulai berhubungan dengan pihak Bea & Cukai hingga pengeluaran invoice. Juga, kentara sekali di industri pertanian; para pemain bisnis pertanian tidak memillki kapabilitas atau akses memadai untuk menjual produk mereka sendiri langsung kepada pelanggan.
Ada sebuah kenyataan menarik lainnya yang juga ditemukan para praktisi di lapang an, yakni adopsi teknologi oleh konsumen selalu lebih cepat dibandingkan strategi perusahaan ataupun regulasi pemerintah. Karena itu, kedua pihak ini, perusahaan dan pemerintah, disarankan bisa berkolaborasi untuk mendekatkan kesenjangan tersebut.
Lalu, apa kapabilitas digital yang semestinya lebih dulu diadopsi perusahaan dalam konteks transformasi digital? Menurut tim analis Accenture, secara umum idealnya perusahaan memulai dari kapabilitas Digital Strategy. Sebab, sebelum menciptakan produk atau mengadopsi teknologi, mereka harus bisa menjawab sejumlah pertanyaan mendasar, seperti: Apa strategi bisnisnya? Apa teknologi yang dapat membantu menjalankan strategi tersebut? Dan apa nilai yang ingin diturunkan dari sana?
Baru kemudian mengembangkan Digital Customer. Pasalnya, dewasa ini pelanggan menjadi makin powerful, yang memengaruhi keputusan bisnis bahkan juga bottom
“Ketika hasilnya bisa dimonetisasi
dan dinaikkan skalabilitasnya,
ke depannya bisa saja di-spin off dari
perusahaan induknya.”Fuad Sahid Lalean
Direktur Pengelola Resources & Technology Accenture Consulting
(PT Accenture)
12 | SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018
Andal SoftwareMemulai Transformasi dengan Membangun Kultur
Indra Sosrodjojo, Founder Andal Software, software house lokal, meyakini teknologi digital banyak mengubah bidang usaha dan industri. Sebab, sifat digital ini dapat membuat
volume transaksi naik dengan pesat tanpa penambahan biaya yang signifikan.
“Yang menggunakan teknologi digital juga pasti akan lebih baik, karena dapat menekan biaya per transaksinya,” ujar pebisnis TI senior ini. Ia lalu menyitir riset McKinsey yang menyebutkan, perusahaan yang mengadopsi teknologi digital punya profit yang lebih baik dibandingkan yang tidak.
Proses transformasi digital di Andal Software, menurut Indra, amat terpengaruh teori Michael Porter tentang Value Chain Analysis. Di teori ini, Porter menyebutkan, ada dua aktivitas organisasi/perusahaan: aktivitas inti dan aktivitas pendukung. Pada aktivitas inti, ada alur proses, yang dimulai dari penyediaan bahan baku menjadi barang jadi hingga akhirnya sampai ke tangan pelanggan. Rantai aktivitas ini harus memberikan nilai tambah bagi pelanggan. Dan, rantai aktivitas ini akan memberikan total nilai yang lebih dibandingkan dengan jumlah nilai tambah yang diberikan oleh setiap aktivitas. Merujuk pada Andal Software, kata Indra, nilai tambah yang akan diberikan ke pelanggan pada saat menggunakan software payroll adalah biaya operasional yang lebih rendah.
Indra menjelaskan, di Andal Software ada aktivitas inti berupa penjualan software ke para pelanggan. Di samping itu, ada aktivitas pendukung yang dilakukan oleh Lead Generator, yang terdiri dari tiga departemen: Multimedia, Event Organizer, dan Com-munity Development. Ketiga departemen ini bekerjasama untuk menghasilkan lead, yang akan mendukung proses penjualan software ke target pelanggan.
Proses atau rantai aktivitas yang cukup panjang seperti itu berulang. Menurut Indra, sangatlah sulit kalau tidak dibantu dengan tool tersendiri. Karena itu, Andal Software membangun sistem yang disebut Andal Information Management (AIM). Software ini terus dipercanggih dan kini memasuki generasi ketiga.
Sebelum pihaknya melakukan transformasi digital, langkah awalnya adalah membangun kultur perusahaan yang kuat. “Setelah kultur terlihat perlahanlahan, kami mulai melihat pada aktivitasnya,” kata Indra. Menurutnya, pada saat aktivitas pendukung sudah terbentuk dengan baik, melakukan perbaikan aktivitas inti jadi lebih mudah. Karena, orangorangnya sudah siap dengan perubahan. Ia meyakini, agar sukses, transformasi digital mesti dimulai dari aktivitas pendukung.§
Herning Banirestu
InDra SoSroDjojo.Founder Andal Software.
line perusahaan. Selanjutnya, apakah akan memprioritaskan Digital Enterprise ataukah Digital Operations, tergantung pada sejumlah faktor, seperti jenis industri, ketersediaan teknologi, dan kesiapan SDM.
Yang juga penting diingat, adanya kesadaran perusahaan akan kebutuhan untuk berubah dan kesediaan berkolaborasi dengan para stakeholder terkait bakal mengarahkan perusahaan untuk siap melakukan transformasi digital.
Mengomentari survei ini, Fuad Sahid Lalean, Direktur Pengelola Resources & Technology Accenture Consulting (PT Accenture), melihat awareness perusahaan incumbent untuk melakukan transformasidigital sudah cukup tinggi. Ada yang memulai dari aspek strategi (Digital Strategy), tetapi ada pula yang memulai dari proses bisnis yang ada di perusahaan. “Ini tidak menjadi ukuran benar atau salah,” katanya.
Soal pendekatannya bisa macammacam. Fuad mencontohkan, mereka bisa belajar dari para startup yang menggunakan konsep minimum viable products (MVP) ataupun teknik pengembangan prototipe dengan metodologi agile development. Dengan pendekatan ini, perusahaan memang dapat mengembangkan, mengukur, dan belajar dari umpan balik yang diberikan konsumen secara lebih cepat.
Pendekatan lain, menurut Fuad, perusahaan bisa bereksperimen membentuk suatu tim yang fokus mendisrupsi bisnisnya sendiri dan mencari model bisnis baru. Ini juga disertai dengan pembuatan prototype secara cepat. “Ketika hasilnya bisa dimonetisasi dan dinaikkan skalabilitasnya, kedepannya bisa saja dispin off dari perusahaan induknya,” ujarnya.
Fuad mengatakan, praktikpraktik tersebut sudah dilakukan sejumlah perusahaan walaupun belum banyak. Pasalnya, mereka menghadapi kondisi “innovator’s dilemma”, yakni ketika mereka menemukan inovasi yang bagus tetapi justru memakan pangsa pasarnya sendiri. Namun, jika hal itu tidak dilakukan, inovasinya bisa saja diambil oleh perusahaan lain.§
SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018 | 13
SurveiCorporate DigitalStrategy
ISS IndonesiaSudah Punya Roadmap Inovasi Teknologi
"D i ISS, (corporate) digital strategy merupakan bagian dari corporate strategy,” begitu
klaim Elisa Lumbantoruan, CEO ISS Indonesia, kepada Sri Niken Handayani dari SWA yang menemuinya.
Dalam survei Corporate Digital Strategy (CDS) yang dilakukan SWA & Accenture, ISS masuk dalam kategori industri BPO (Busi-ness Process Outsourcing). Karena perusahaan BPO yang disurvei tergolong pilihan, dalam survei ini skor Index of CDS industri ini tergolong tinggi (masuk Tier-1), dengan tingkat kematangan ratarata mendekati level Very Mature.
Sebagai perusahaan multinasional, ISS juga termasuk perusahaan BPO modern, mengikuti arahan induknya di Kopenhagen, Denmark. “Untuk implementasi TI, memang sudah ada roadmapnya,” kata Elisa. Menurutnya, sudah ada sistem yang mandatory (harus) digunakan secara global, dan ada yang bisa dijalankan secara lokal. “Sebenarnya, hanya sedikit yang mandatory dari pusat, sisanya kebanyakan dari lokal,” ujar pria yang pernah memimpin HewlettPackard Indonesia ini. Sebagai contoh
yang bersifat mandatory itu adalah sistem financial management dan reporting yang menggunakan ERP (Enterprise Resource Planning).
Tampaknya, ISS memang amat peduli dengan kesiapan kapabilitas fungsi back officenya, yang menurut framework CDS dari Accenture, ada di sisi Digital Enter-prise (DE).
Tahun ini, di ISS Indonesia pun akan didorong penerapan sistem paperless, sehingga proses seperti approval ataupun pembelian barang (procurement) tidak lagi menggunakan kertas, tetapi dengan cara online. “Ketika pertama kali masuk ISS, ruangan saya penuh lemari dan banyak laporan hard copy. Saya sampai menerima 10 laporan tebal setiap bulannya,” cerita Elisa seraya tersenyum. Selain itu, juga tengah dikembangkan sistem self-service, sehingga urusan seperti perjalanan dinas bisa dilakukan secara mandiri oleh karyawan. Juga, sistem absensi dan employee survey berbasis internet.
Namun, ISS juga memanfaatkan TI di aspek bisnis lainnya, terutama operasional bisnis (yang diistilahkan Digital Operations/DO). Sebagai contoh, kata Elisa, bagi ISS Global, terutama di negaranegara Eropa,
teknologi Internet of Things (IoT) sudah merupakan produk biasa, walaupun di Indonesia belum diperkenalkan secara umum.
Diceritakan Elisa, di beberapa fasilitas di Eropa (terutama yang dikelola ISS), jika ruangan tidak digunakan, lampu dan AC secara otomatis dalam posisi off. Namun, begitu pintu terbuka, langsung berada dalam posisi on. Yang lebih canggih adalah penerapan smart building, di mana semua sensor di gedung itu bisa menentukan apa yang menjadi preferensi si penyewa, misalnya suhu ruangan.
Yang lebih mendasar, menurut Elisa, inovasi berbasis TI yang dijalankan ISS menyasar pada tiga fokus sasaran. Fokus pertama, customer intimacy, yakni bagaimana bisa mengelola hubungan dengan pelanggan dengan sebaikbaiknya. Teknologi yang diterapkan terutama adalah CRM.
Fokus kedua, operational excellence, yakni seberapa bagus pengoperasian seluruh aspek layanan perusahaan dibandingkan pihak lain. Di sini yang bisa diukur dari segi kualitas, waktu, produktivitas, dan efisiensi. “Karena TI, hasilnya signifikan daripada melakukannya secara manual,” ujarnya.
Fokus ketiga, product leadership, yakni seberapa berbeda dan unggul produk yang ditawarkan dibandingkan pesaing. Di bidang ini, ISS menjagokan Integrated Facility Management Systems yang berbasis TI. Pada sistem ini, saat ini ada lebih dari 18 ribu aset pelanggan ISS yang dikelola dan menjadi bagian dari Integrated FMS itu. Salah satu keunggulan layanan FMS ISS ialah sudah menerapkan IoT, yang telah dikaitkan dengan kapabilitas big data analytics. “Jadi, kami bisa melihat apa yang terjadi di masa lalu dan bagaimana memprediksi masa depan,” katanya.
Apa rencana ke depan inovasi TI ISS dari segi layanan pelanggan? “Sebenarnya, kami sangat tergantung pada konsumennya. Jadi, tidak 100% tergantung pada kami,” ujar Elisa. “Kalau konsumennya siap, kami akan segera menyiapkannya,” ujarnya lagi. Ia mencontohkan, sebenarnya pihaknya menginginkan sistem ordering (pemesanan), kontrak kerja, dan invoicing itu bisa dijalankan secara online. Namun, sekarang hal seperti itu belum bisa dilakukan karena kontrak kerja dan berita acara masih paper-based, belum elektronik. “Beberapa pelanggan sudah mau (pakai) soft copy, tetapi baru sedikit sekali,” ungkapnya.§
JS & Sri Niken Handayani
ELISa Lumbantoruan.CEO ISS Indonesia.
14 | SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018
OCBC NISPMerancang Customer Journey secara End to End
Industri perbankan adalah salah satu industri yang sudah melek TI ketika banyak industri lain belum menyadari kebutuhan untuk melakukan transformasi digital.
Nature bisnis dan regulasinya memang menuntut hal seperti itu. Namun, ini juga karena perkembangan kebutuhan pelanggan/nasabah.
Tengoklah apa yang dirasakan Bank OCBC NISP, salah satu bank terkemuka Tanah Air. “Customer kan sekarang sudah sangat terekspose digital, mulai dari bangun tidur sampai tidur lagi. Jadi dari sisi layanan, sisi back-end, dan support, kami bergerak ke arah sana,” kata Andreas Kurniawan, EVP – Head of Digital Bank OCBC NISP. Sasarannya adalah yang memberikan banyak manfaat kepada nasabah.
Menurut Andreas, di bankbank besar seperti banknya, isunya biasanya bukan soal modal atau sumber daya, tetapi effort yang terpecah karena banyaknya area yang diurus. “Itulah yang ingin dihindari OCBC NISP. Maka, dibentuklah Digital Transfor-mation Committee,” ungkapnya. Komite inilah yang menentukan prioritasnya, supaya sumber daya dan effort bisa disinergikan. Dari sini, diputuskan untuk fokus pada perbankan ritel. “Kami mencoba memetakan masalah yang dialami nasabah ketika deal-ing dengan kami. Karena itu, layanan yang paling basic dikembangkan adalah mobile banking,” katanya.
Andreas menuturkan, ketika mengembangkan mobile banking, pihaknya ingin meyakini bahwa nasabah bisa melakukan aktivitas perbankan di mana saja dan kapan saja. “Dari segi customer journey, kami merancangnya end to end. Mulai dari nasabah buka hubungan dengan kami sampai melakukan aktivitas apa saja dengan kami,” ujarnya. Nyata sekali bahwa OCBC NISP sangat concern untuk mengembangkan kapabilitas Digital Cus-tomer (DC)nya.
Dari inisiatif ini lahirlah layanan mobile
banking bernama One Mobile. “Semuanya sudah bisa dilakukan di mobile banking. Misalkan mau beli investasi atau buka deposito, nasabah tidak perlu lagi repot datang ke kantor cabang,” kata Andreas. Begitu juga kalau mau cek statement sampai 12 bulan ke belakang bisa dilakukan dan portofolio transaksi bisa direview sampai detail.
Andreas menyebutkan, tentu pihaknya tidak ingin di depan saja yang canggih, tetapi back officenya pun harus mendukung. “Jadi, di sistem back end kami membangun Straight to Processing,” ujarnya. Jadi, setelah menguatkan kapabilitas DCnya, bank ini juga memperkuat kapabilitas Digital Enterprise (DE)nya.
Pengembangan DE ini juga terlihat pada pengembangan cara kerja SDMnya. Menurut Andreas, yang mengoperasikan teknologi tetap manusia. Karena itu, pihaknya membangun digital culture. Muncullah cara kerja digital. Misalnya, untuk kepentingan permohonan cuti atau approval untuk akses suatu informasi, sudah lewat aplikasi. “Jadi, digital culture ditempelkan dalam kehidupan sehari hari,” ujarnya. Di bidang pelatihan TI pun, pihaknya telah mengenalkan agile methodology dan scrum training.
April 2018, OCBC NISP meluncurkan layanan One Mobile ini. Andreas mengklaim, sekitar 90% dari fungsi kantor cabang sudah bisa dilakukan di One Mobile. Untuk HR, bank ini juga sudah mengembangkan HRIS. Dan untuk komunikasi internal, telah mengadopsi Microsoft Outlook 360 terbaru.
Anggaran untuk langkah transformasi digital ini, menurut Andreas, cukup besar. “Tahun ini kami investasi sampai sekitar Rp 500 miliar di area operation and technol-ogy,” ungkapnya. Namun, ia mengklaim, dari hasil transformasi digital ini, dampak positifnya banyak. “Yang paling terlihat adalah transaksi di mobile banking sudah melebihi transaksi di cabang,” katanya. Kemudian dari sisi deposito, yang melalui jalur mobile banking tumbuh dobel, terhitung sejak peluncurannya. “Mengenai efisiensi mungkin saya tidak bisa menjawab secara spesifik angkanya, tetapi bisa dilihat di laporan tahunan bahwa rasio BOPO (biaya operasional berbanding pendapatan operasional) kami turun; artinya lebih efisien.”
Kendala dalam transformasi digital ini, menurut Andreas, dalam hal menarik talenta yang tepat. “Karena bukan hanya kami yang mau mengembangkan digital, tapi ada bank lain, atau fintech, atau e-commerce, “ ujarnya. Karena itulah, tantangannya adalah mendapatkan talenta terbaik dan bisa menjaga mereka.
Tantangan lainnya, kompetensi SDM. “Di bidang teknologi, kebutuhan skillnya cepat berubah. Jadi, selalu butuh upgrade,” katanya.
Ke depan, pihaknya akan meluncurkan cabang bank dengan gaya baru, yang diklaimnya selama ini belum ada bank lain yang memilikinya.§
JS & Yosa Maulana
anDrEaS KurnIawan.EVP – Head of Digital Bank OCBC NISP
SWA 05 | XXXIV | 8 - 21 MARET 2018 | 15
SWA 19 | XXXiV | 13 - 26 september 2018 | 5