Post on 23-Oct-2021
transcript
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
143
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PENANGGULANGAN PANDEMI COVID-19 DI INDONESIA SESUAI UU NOMOR 6 TAHUN 2018 TENTANG KEKARANTINAAN
KESEHATAN
Agus Widiarto, Suhud Alynudin Akademisi STIA Banten, Direktur Eksekutif Nusantara Policy Research (NALAR) Institute
Corresponden Author Email: widiarto877@gmail.com
Abstract
This article analyzes the policy formulation of Law Number 6 of 2020 concerning Health Quarantine and its implementation strategy in overcoming the Covid-19 outbreak in Indonesia. As we know that this law was passed by President Joko Widodo on August 7 2018, and the day after, namely August 8, 2018 it was promulgated by the Ministry of Law and Human Rights in the Republic of Indonesia State Gazette 2018. The birth of this law cannot be separated from the emergence of the International Helath Regulation (IHR) in 2005, which obliges Indonesia to increase its capacity in conducting health surveillance and response as well as Health Quarantine in areas and entrances, both ports, airports, and national land border posts. In general, the aim of implementing health quarantine as referred to in Article 3 of this Law is Article 3 to protect the public from diseases and / or Public Health Risk Factors that have the potential to cause a Public Health Emergency, prevent and ward off disease and / or Public Health Risk Factors that have the potential to cause Public Health Emergency, increase national resilience in the field of public health and provide protection and legal certainty for the public and health workers. This study is a study of public policy analysis by emphasizing the policy formulation in the Health Quarantine Law and its implementation, as well as the government's strategy to achieve the objectives referred to in this law. Keywords: policy analysis, policy formulation, policy implementation, health quarantine, PSBB, PPKM
Abstrak Artikel ini menganalisis formulasi kebijakan dari Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan dan strategi implementasinya dalam menanggulangi wabah covid-19 di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa UU ini disahkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 7 Agustus 2018, dan sehari setelahnya, yaitu tanggal 8 Agustus 2018 diundangkan oleh Kementrian Hukum dan HAM dalam Lembaran Negara RI Tahun 2018. Lahirnya UU ini tidak bisa dilepaskan dari munculnya Internasional Helath Regulation (IHR) tahun 2005, yang mewajibkan Indonesia meningkatkan kapasitasnya dalam melakukan surveilans kesehatan dan respon serta Kekarantinaan Kesehatan di wilayah dan Pintu Masuk, baik Pelabuhan, Bandar Udara, maupun Pos Lintas Batas Darat Negara. Secara umum, tujuan penyelenggaraan
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
144
kekarantinaan kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU ini adalah untuk melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, mencegah dan menangkal penyakit dan/atau Faktor Risiko Kesehatan Masyarakat yang berpotensi menimbulkan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat, meningkatkan ketahanan nasional di bidang kesehatan masyarakat dan memberikan pelindungan serta kepastian hukum bagi masyarakat dan petugas kesehatan. Studi ini merupakan kajian analisis kebijakan publik dengan menekankan pada formulasi kebijakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan dan implementasinya, sebagai strategi pemerintah guna mencapai tujuan sebagaimana dimaksud UU ini. Kata kunci: analisis kebijakan, formulasi kebijakan, implementasai kebijakan, kekarantinaan kesehatan, PSBB, PPKM.
PENDAHULUAN
Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
No. 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) oleh Pemerintah Pusat
(Jokowi) pada tanggal 31 Maret 2020 menandai
fase baru penanganan pandemik Covid-19 di
Indonesia. Sebelumnya, sejak diumumkannya
kasus positif pertama covid-19 pada tanggal 2
Maret 2020, belum ada kebijakan resmi terkait
penanganan penyebaran covid-19 ini. Dalam
rentang waktu antara tanggal 2 Maret sampai
31 Maret itulah, kebijakan yang diterapkan
masih berupa himbauan untuk Bekerja dari
Rumah, Belajar dari Rumah, dan Beribadah di
Rumah. Meski berkali-kali himbauan itu
dikemukakan, berkali-kali pula sebagian besar
masyarakat mengabaikan himbauan tersebut.
Akibatnya, kasus positif dan jumlah yang
meninggal semakin meningkat.
Berbagai pendapat yang dikemukakan
pejabat pemerintah terkesan menganggap
tidak serius pandemic covid-19 ini. Di sisi lain,
sejak awal pandemi, ada sejumlah inisiatif yang
dilakukan oleh pemimpin di daerah untuk
mengantisipasi penyebaran covid-19 ini, mulai
dari lock down (karantina wilayah) sampai
social distancing dan Physical distancing.
Namun, kerap kali pula pemerintah pusat,
dalam hal ini Jokowi, mengatakan bahwa
kewenangan terkait Karantina wilayah ada
pada pemerintah pusat.
Sampai dikeluarkannya kebijakan PSBB
tersebut per tanggal 31 Maret 2020, jumlah
pasien positif mencapai 1.528 pasien, dengan
rasio kematian 8,9% (136 kasus), dan yang
sembuh berjumlah 81 orang. (Kompas.com,
Rabu 1 April 2020). Sampai akhirnya, Jokowi
lebih memilih kebijakan PSBB daripada
Karantina Wilayah. Kebijakan PSBB berakhir
pada tanggal 10 Januari 2021 dan berlaku
sebuah kebijakan dengan istilah baru bernama
Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM) untuk Jawa dan Bali mulai
tanggal 11 Januari 2021. Dalam rentang waktu
pelaksanaan PSBB, kasus covid 19 di Indonesia
sampai 10 Januari 2021 telah mencapai
828.026 positif, 681.024 dinyatakan sembuh,
dan meninggal dunia 24.129 orang.
(Liputan6.com, Minggu 10 Januari 2021).
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
145
Sebagai pengganti PSBB, Kebijakan
PPKM Jawa Bali ini berlangsung selama dua
tahap, yaitu tahap pertama mulai tanggal 11
Januari-25 Januari 2020, dan tahap kedua yang
diberlakukan dari tanggal 26 Januari sampai 8
Februari 2021. Pasca PPKM Jawa Bali,
Pemerintah memberlakukan kebijakan PPKM
Mikro yang mulai berlaku sejak 9 Februari 2021
sampai sekarang.
Dalam kurun waktu penerapan PPKM,
sampai 6 Juni 2021, data dari Satuan Tugas
(Satgas) Penanganan Covid-19 menunjukkan,
ada penambahan 5.832 kasus baru.
Penambahan itu menyebabkan total kasus
Covid-19 di Indonesia saat ini mencapai
1.856.038 orang, Data yang sama menunjukkan
bahwa ada penambahan pasien sembuh akibat
Covid-19. Dalam sehari, jumlahnya bertambah
4.187 orang. Dengan demikian, jumlah pasien
Covid-19 yang sembuh di Indonesia hingga
tanggal 6 Juni 2021 mencapai 1.705.971 orang.
Akan tetapi, jumlah pasien yang meninggal
setelah terpapar Covid-19 juga terus
bertambah. Pada periode 5-6 Juni 2021, ada
163 pasien Covid-19 yang tutup usia. Total
angka kematian akibat Covid-19 mencapai
51.612 orang sejak awal pandemi terhitung
sejak kasus pertama diumumkan Presiden Joko
Widodo pada 2 Maret 2020. Dari data tersebut,
tercatat hingga tanggal 6 Juni 2021, tercatat
98.455 kasus aktif Covid-19. (Kompas.com, 6
Juni 2021)
Dari rangkaian pelaksanaan kebijakan
penanggulangan pandemi covid-19 tersebut,
muncul pertanyaan mengapa Jokowi tidak
memilih kebijakan Karantina Wilayah
sebagaimana diamanatkan oleh UU Nomor 16
Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
dan banyak diusulkan oleh berbagai kalangan,
seperti Dewan Guru Besar FKUI dan Pemprov
DKI Jakarta serta beberapa kepala daerah
lainnya. Mengapa Jokowi lebih memilih
penerapan PSBB, PPKM Jawa Bali, dan PPKM
Mikro dalam menangani pandemic covid-19
ini?
Dari sisi pemerintah, tentu berbagai
alasan bisa dikemukakan, mulai dari alasan
ekonomi sampai ke alasan sosial budaya
masyarakat. Tentu Pemerintah Pusat punya
data statistik penurunan pertumbuhan
ekonomi, defisit neraca berjalan, penurunan
IHSG, turunnya nilai kurs, dan lain sebagainya.
Pemerintah pun dapat berapologi bahwa
secara sosio kultural, masyarakat kita berbeda
dengan beberapa Negara yang menerapkan
kebijakan lockdown atau Karantina Wilayah.
Akan tetapi, kenyataannya tanpa adanya kasus
covid-19 ini pun statistik ekonomi Indonesia
telah menunjukkan trend penurunan.
Sementara, apologi bahwa sosial budaya
masyarakat Indonesia yang beragam pun
seperti menjadi pembenaran bagi masyarakat
untuk tak peduli terhadap himbauan
pemerintah. Karakter sebagaian masyarakat
kita yang ignorant dan tidak responsif serta
kurang antisipatifnya pemerintah menangani
covid-19 ini membuat angka-angka penularan
semakin meningkat.
Perumusan Masalah
Penelitian ini berangkat dari beberapa
pertanyaan yang dijadikan sebagai
permasalahan yang akan dijawab dalam bagian
pembahasan penulisan ini, antara lain sebagai
berikut.
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
146
1. Bagaimana formulasi kebijakan untuk
mengatasi wabah pandemi covid-19
sesuai dengan Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan?
2. Bagaimana implementasi kebijakan
pemerintah sebagai strategi dalam
menangani wabah pandemic covid-19?
3. Mengapa pada akhirnya Pemerintah
memilih kebijakan PSBB dan kemudian
diganti menjadi PPKM, baik PPKM Se-
Jawa dan Bali dan PPKM Mikro?
4. Mengapa Pemerintah tidak memilih
kebijakan Karantina di Wilayah
(Lockdown) sebagaimana diamanatkan
dalam UU Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan?
Tujuan Penelitian
Tujuan dari Penelitian ini adalah sebagai
berikut.
1. Untuk memberikan gambaran desain
kebijakan penanggulangan wabah
pandemi covid-19 di Indonesia sesuai
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018
tentang Kekarantinaan Kesehatan
2. Menggambarkan Pilihan Kebijakan
pemerintah sebagai strategi
implementasi untuk menangani wabah
pandemi covid-19
3. Menganalisis alasan pemerintah
memilih kebijakan PSBB dan kemudian
diganti menjadi PPKM, baik PPKM
Jawa-Bali, maupun PPKM Mikro
daripada memilih kebijakan Karantina
di Wilayah.
4. Memberikan masukan kepada para
pemangku kepentingan kebijakan,
khususnya mereka yang berkecimpung
dalam kebijakan kekarantinaan
kesehatan.
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan analisis
kebijakan publik yang menitikberatkan pada
analisis formulasi kebijakan Kekarantinaan
Kesehatan sebagaimana tertera dalam UU
Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan
Kesehatan dan membandingkannya dengan
pilihan strategi kebijakan yang dibuat oleh
pemerintah guna menanggulangi wabah
pandemi covid-19 di tanah air.
Secara teoritis, formulasi (perumusan)
kebijakan adalah salah satu dan termasuk
tahapan awal dalam analisis kebijakan publik.
Sebagai suatu sistem siklus, secara umum
analisis kebijakan publik meliputi tahapan-
tahapan mulai dari identifikasi masalah,
formulasi kebijakan, proses pembuatan
keputusan, implementasi, dan evaluasi.
Menurut Dunn (2003:132), policy
formulation (formulasi kebijakan) adalah
pengembangan dan sintesis terhadap
alternatif-alternatif pemecahan masalah.
Sementara, Tjokroamidjojo dalam Islamy
(2000:24) menyebutkan perumusan kebijakan
sebagai alternatif yang terus menerus
dilakukan dan tidak pernah selesai, dalam
memahami proses perumusan kebijakan kita
perlu memahami aktor-aktor yang terlibat
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
147
dalam proses perumusan kebijakan. Pendapat
lain tentang formulasi kebijakan dikemukakan
oleh Anderson. Menurutnya, perumusan
kebijakan publik menyangkut upaya menjawab
pertanyaan bagaimana berbagai alternatif
disepakati untuk masalahmasalah yang
dikembangkan dan siapa yang berpartisipasi.
(Winarno, 2002).
Dengan demikian, formulasi kebijakan
dapat diartikan sebagai cara untuk
memecahkan suatu masalah yang dibentuk
oleh para aktor pembuat kebijakan dalam
menyelesaikan masalah yang ada dan dari
sekian banyak alternatif pemecahan yang ada
maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.
Dalam tulisan ini, analisis formulasi kebijakan
ditekankan pada beberapa alternatif kebijakan
yang disediakan dalam Undang-Undang Nomor
6 Tahun 2018 tentang kekarantitaan kesehatan
dan alternative kebijakan lain yang dibuat dan
dirumuskan oleh pemerintah di luar formula
yang termaktub dalam Undang-Undang
tersebut.
Sementara, metode pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode kepustakaan dengan menelusuri
artikel, dokumen, dan literature yang relevan
dengan kajian ini. Sumber-sumber yang
dikumpulkan kemudian diseleksi, diinterpretasi
bagian-bagian yang relevan sebagai bagian dari
rekonstruksi penulisan penelitian ini.
TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian tentang penanganan dan
penanggulangan wabah pandemic covid-19 di
Indonesia telah dilakukan oleh sejumlah
akademisi, politisi, dan bahkan pemerhati
kebijakan public. Beberapa tulisan itu, ada yang
berbentuk jurnal ilmiah, artikel di media massa,
dan buku yang diterbitkan, di antaranya adalah
sebagai berikut.
1. Pandemi Covid-19 Dan Tantangan
Kebijakan Kesehatan Mental Di
Indonesia
Artikel ini ditulis oleh Ilham Akhsanu Ridlo dalam Jurnal Insan, yaitu sebuah jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental, vol.5 nomor edisi 2 (2020). Artikel ini membahas seputar kesehatan mental sebagai komponen integral dari penanggulangan COVID-19 dan perlunya sebuah kebijakan kesehatan mental pada masa pandemik covid-19 di Indonesia. Penulis menggarisbawahi pentingnya mengintegrasikan layanan kesehatan mental ke dalam layanan berbasis masyarakat sebagai cara untuk memastikan cakupan universal pelayanan kesehatan mental. Model pemberdayaan partisipatif dan bottom-up menjadi pilihan yang rasional, untuk mengatasi masalah sumber daya dan stigma sebagai penghalang keberhasilan program kesehatan mental di Indonesia.
2. Indonesia dalam Menghadapi Pandemi
Covid-19
Artikel ini ditulis oleh Ririn Noviyanti Putri
dan diterbitkan dalam Jurnal Ilmiah Universitas
Batanghari, Jambi, LPPM Universitas
Batanghari Jambi vol.20 nomor 2 (2020). Artikel
ini mengupas seputar perlunya prosedur untuk
mengendalikan dan mencegah pandemi covid-
19. Artikel ini bertujuan menganalisis langkah-
langkah yang dilakukan oleh pemerintah
Indonesia dalam mengatasi pandemi covid-19.
3. Dampak Pandemi Covid-19 Terhadap Dunia
Pendidikan
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
148
Artikel ini ditulis oleh Matdio Siahaan dan
diterbitkan dalam Jurnal Kajian Ilmiah (JKI) Edisi
Khusus No. 1 (Juli 2020). Artikel ini berisi
tentang dampak pandemic covid-19 terhadap
aktivitas masyarakat, terutama kegiatan belajar
mengajar. Dampaknya yang sangat terasa
adalah kegiatan proses belajar mengajar
dilaksanakan dari rumah, bahkan bekerja pun
dilakukan dari rumah dengan tujuan agar bisa
mengurangi penularan Covid-19.
PEMBAHASAN
Formulasi Kebijakan Dalam UU Kekarantinaan
Kesehatan
Untuk menghadirkan jawaban yang lebih
obyektif terhadap pertanyaan alasan Jokowi
lebih memilih PSBB dan PPKM daripada yang
lainnya, kita bisa menelaahnya dari formulasi
kebijakan tersebut seperti yang dirumuskan
dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 sebagai
landasan pemberlakuan sebuah kebijakan.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam
bagian pendahuluan, dalam siklus kebijakan
publik, formulasi adalah salah satu fase atau
rangkaian antara identifikasi masalah,
implementasi, dan evaluasi kebijakan. Artinya,
sebelum sebuah kebijakan dirumuskan,
basisnya adalah identifikasi masalah, dan
setelah dirumuskan, perlu ada strategi
implementasi kebijakan untuk mencapai tujuan
kebijakan. Oleh karena itu, formulasi kebijakan
dapat didefinisikan sebagai cara untuk
memecahkan suatu masalah yang dibentuk
oleh para aktor pembuat kebijakan dalam
menyelesaikan masalah yang ada dan dari
sekian banyak alternatif pemecahan yang ada
maka dipilih alternatif kebijakan yang terbaik.
Latar belakang pembentukkan UU Nomor 6
Tahun 2018 tentang kekarantinaan Kesehatan
UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan lahir sebagai respon
terhadap perkembangan teknologi di bidang
transportasi dan meningkatnya keterkaitan
hubungan antarbangsa melalui berbagai
aktivitas, seperti perdagangan, perjalanan
wisata, dan migrasi penduduk antarnegara. Di
samping itu, seiring dengan proses globalisasi
yang semakin meningkat, muncul pula
kekhawatiran akan bahaya penyakit menular
yang berpotensi membahayakan kedaruratan
kesehatan masyarakat. Dengan demikian,
pemerintah perlu membuat formulasi
kebijakan yang tepat untuk menangkal bahaya
penyakit menular dan mempertimbangkan
faktor resiko yang dihadapi guna mencegah
terjadinya kedaruratan kesehatan masyarakat
yang membahayakan dan meresahkan seluruh
masyarakat. Sebagai bagian dari masyarakat
internasional, Indonesia juga memiliki
kewajiban untuk melakukan upaya pencegahan
terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (Public Health
Emergency of International Concern/PHEIC)
sebagaimana yang diamanatkan dalam
International Health Regulations (IHR) 2005,
dimana mengharuskan Indonesia
meningkatkan kapasitas berupa kemampuan
dalam surveilans dan respon cepat serta
tindakan kekarantinaan pada pintu-pintu
masuk (pelabuhan/ bandar udara/ Pos Lintas
Batas Darat) dan tindakan kekarantinaan di
wilayah. Untuk itu diperlukan perangkat
peraturan perundangundangan yang memadai
berkaitan dengan karantina (Firdaus Syam,
2013).
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
149
Regulasi yang ada sebelumnya, terkait
dengan kekarantinaan yaitu Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1962 tentang Karantina Laut;
Undang-undang Nomor 2 Tahun 1962 tentang
Karantina Udara; dan Undang-undang Nomor
16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan,
dan Tumbuhan. Sementara, regulasi yang
terkait wabah penyakit dan kesehatan antara
lain Undang-undang Nomor 4 Tahun 1984
tentang Wabah Penyakit Menular; dan
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan. Regulasi yang ada ini dipandang
memiliki kelemahan berupa tumpang tindih
kebijakan dan saling bertentangan. Ditambah
pula mumculnya perkembangan dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah yang
mengubah dan membagi kewenangan antara
pusat dan daerah.
Oleh karena alasan-alasan tersebutlah, UU
Nomor 6 Tahun 2018 tentang kekarantinaan
kesehatan lahir untuk menjawab dan
mengantisipasi berbagai persoalan terkait
wabah penyakit menular yang berpotensi
menimbulkan kedaruratan kesehatan
masyarakat agar regulasi ini menjadi aturan
yang terintegrasi dan komprehensif.
Tujuan Penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan
Lalu, apa saja tujuan penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan yang termaktub
dalam Undang-undang ini? Tujuannya adalah
melindungi masyarakat dari penyakit dan/atau
factor resiko kesehatan masyarakat yang
berpotensi menimbulkan kedaruratan
kesehatan masyarakat. Di samping itu,
kekarantinaan kesehatan bertujuan untuk
mencegah dan menangkal penyakit dan/atau
factor resiko kesehatan masyarakat,
meningkatkan ketahanan nasional di bidang
kesehatan masyarakat, dan memberikan
perlindungan dan kepastian hukum bagi
masyarakat dan petugas kesehatan.
Dari Wacana Lockdown (Karantina Wilayah)
sampai keluarnya kebijakan PSBB
Munculnya wabah pandemi covid-19 yang
bermula dari kota Wuhan, China pada
Desember 2019, sebagaimana laporan China
kepada organisasi Kesehatan Dunia (WHO),
menjadi ujian bagi pemerintah Indonesia untuk
mengimplementasikan UU tentang
Kekarantinaan Kesehatan ini. UU yang disahkan
tanggal 7 Agustus 2018 dan diundangkan sehari
setelah itu, sampai munculnya kasus positif
pertama di Indonesia belum bisa dilaksanakan
karena belum ditetapkannya peraturan
pemerintah sebagai amanat yang tertera dalam
UU tersebut. Dalam kurun waktu antara
Desember 2019 sampai 30 Maret 2020, belum
ada kebijakan definitif untuk menangkal wabah
virus covid-19 ini. Pemerintah baru sebatas
memberikan himbauan agar masyarakat
belajar dari rumah, bekerja dari rumah, dan
beribadah di rumah. Bahkan, sejumlah pejabat
Pemerintah dinilai terkesan tidak serius
mengantisipasi penyebaran virus tersebut.
Sejak kasus tersebut mewabah di Wuhan,
berbagai desakan datang dari beberapa
kelompok masyarakat kepada pemerintah
untuk segera memberlakukan kebijakan
kekarantinaan kesehatan. Salah satu opsi yang
sempat mengemuka ke publik adalah Karantina
Wilayah atau masyarakat lebih banyak
mengenalnya sebagai lockdown. Mulai dari
Ikatan Dokter Indonesia (IDI), anggota DPR, dan
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
150
pakar epidemiologi mendesak kepada
Pemerintah untuk segera memberlakukan
lockdown. IDI, melalui satgas Covid-19 nya,
Zubairi Djoerban sangat setuju jika lockdown
diterapkan. IDI menyoroti imbauan social
distancing yang ternyata tak disiplin diterapkan
masyarakat. Jika terus dibiarkan, upaya
pencegahan corona bisa gagal. (Kunparan.com,
22 Maret 2020). Dari kalangan anggota DPR,
Mardani Ali Sera, anggota DPR Fraksi PKS
mendesak pemerintah menggunakan opsi
lockdown untuk mencegah korban yang
semakin banyak. Ia melihat bahwa kurangnya
kesadaran physical distancing dari masyarakat
karena minimnya sosialisasi dan komunikasi
bencana yang tidak baik. Lebih lanjut,
menurutnya ketidaktegasan pemerintah
memilih opsi Lockdown berimbas masih banyak
perusahaan yang tidak membuat kebijakan
Work From Home (WFH) kepada pegawainya,
menjadikan Indonesia memiliki angka kematian
tertinggi dari pada rata-rata negara ASEAN.
(RMOL.id, Rabu, 25 Maret 2020). Dari kalangan
epidemiolog pun menyampaikan permintaan
yang sama. Dokter Tifauzia Tyassuma, seorang
Ahli Clinical Epidemiology dan secara khusus
pernah meneliti Virus, melalui surat terbuka
kepada Presiden RI yang ditulis di akun
FaceBook miliknya mendesak Presiden Joko
Widodo segera memerintahkan lockdown. Ia
menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah
yang dinilai tidak serius menangani persoalan
besar ini. Bahkan, ia menilai pemerintah
tampak kebingungan dan tiap siap, malah
menggunakan buzzer yang menganggap sepele
persoalan ini. Di antara para menteri terkesan
tidak kompak, saling bertentangan
mengeluarkan pernyataan. (zonautara.com, 15
Maret 2020).
Opsi Kebijakan Dalam UU Nomor 6 Tahun
2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan
Dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan pasal 15 ayat (2)
dinyatakan bahwa tindakan kekarantinaan
kesehatan berupa sebagai berikut.
a. Karantina, isolasi, vaksinasi, dekontaminasi,
b. PSBB,
c. disinfeksi,
d. penyehatan, pengamanan, dan
pengendalian terhadap media lingkungan.
Tindakan Kekarantinaan Kesehatan ini
adalah bagian dari Kekarantinaan Kesehatan di
Pintu Masuk dan di Wilayah. Sementara,
dalam definisi Karantina Wilayah pada pasal 1
ayat 10 UU ini dinyatakan bahwa karantina
wilayah adalah pembatasan penduduk dalam
suatu wilayah termasuk wilayah Pintu Masuk
beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah kemungkinan penyebaran
penyakit atau kontaminasi. Dalam ayat 11
dinyatakan bahwa PSBB adalah pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi sedemikian rupa
untuk mencegah penyebaran penyakit atau
kontaminasi.
Agar tujuan tersebut dapat terlaksana,
maka diperlukan peraturan pemerintah
sebagai instrumen implementasi UU
Kekarantinaan Kesehatan. Apa saja ketentuan
yang perlu dibuat dalam sebuah peraturan
pemerintah?
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
151
1. Tata cara penetapan dan pencabutan
kedaruratan kesehatan masyarakat
(Pasal 10 ayat 4)
2. Penanggulangan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat (Pasal 11 ayat 3)
3. Tata cara pelaksanaan Karantina
Wilayah di Pintu Masuk (Pasal 14 ayat
2)
4. Tata cara pengenaan sanksi
administrative (Pasal 48 ayat 6)
5. Kriteria dan pelaksanaan Karantina
Rumah, Karantina Wilayah, Karantina
Rumah Sakit, dan PSBB (Pasal 60)
Peraturan pelaksana tersebut harus sudah
ditetapkan paling lambat 3 tahun terhitung
sejak Undang-Undang ini diundangkan. Jika UU
ini ditetapkan pada tanggal 7 Agustus dan
diundangkan tanggal 8 Agustus, maka
selambat-lambatnya sudah ditetapkan pada
tanggal 8 Agustus 2021.
Dari lima ketentuan yang menjadi amanat
untuk dibuat peraturan pemerintah, kita bisa
klasifikasi ke dalam kluster berikut.
1. Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
2. Karantina (Wilayah, Rumah, dan
Rumah Sakit)
3. Pembatasan Sosial Berskala Besar
(PSBB)
di samping ketentuan yang perlu dibuat dalam
peraturan pemerintah, terdapat beberapa
ketentuan lain yang diamanatkan untuk dibuat
dalam peraturan menteri, yaitu sebagai
berikut.
1. Tindakan kekarantinaan kesehatan
(Pasal 15 ayat 4)
2. Tata laksana Pengawasan
Kekarantinaan Kesehatan di Pelabuhan
(Pasal 19 ayat 6)
3. Kekarantinaan Kesehatan terhadap
kapal perang, kapal Negara dan kapal
tamu negara (Pasal 24)
4. Tata laksana Pengawasan
Kekarantinaan Kesehatan di Bandar
Udara (Pasal 30 ayat 4)
5. Tindakan Kekarantinaan Kesehatan di
Pos Lintas Batas Darat Negara (Pasal 35
ayat 5)
6. Pengawasan Barang dalam alat angkut
(Pasal 47)
7. Bentuk, isi, tata cara pengajuan dan
penerbitan, dan pembatalan Dokumen
Karantina Kesehatan (Pasal 70)
8. Tata cara pelaksanaan kewenangan
pejabat karantina kesehatan (Pasal 75
ayat 4)
9. Penelitian dan pengembangan (Pasal
77 ayat 3)
10. Pembinaan Kekarantinaan Kesehatan
(Pasal 82 ayat 4)
11. Pengawasan penyelenggaraan
Kekarantinaan Kesehatan (Pasal 83
ayat 3)
Satu hal yang menjadi catatan khusus di sini
adalah bahwa terlihat adanya ketentuan yang
diamanatkan untuk ditetapkan dengan
peraturan pemerintah dan juga dengan
peraturan menteri. Misalnya terlihat antara
ketentuan Pembatasan Sosial Skala Besar dan
Karantina Wilayah yang dimasukkan ke dalam
peraturan pemerintah (Pasal 60) dan juga
menjadi bagian dari tindakan kekarantinaan
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
152
yang juga dimasukkan dalam peraturan
menteri (Pasal 15 ayat 4)
Kewenangan dan Tanggung Jawab
Pemerintah Dalam UU Kekarantinaan
Kesehatan
Seperti dinyatakan di atas bahwa
setidaknya terdapat 3 ketentuan yang menjadi
amanat untuk dibuat dalam peraturan
pemerintah, yaitu ketentuan tentang
kedaruratan kesehatan masyarakat, Karantina
di Pintu Masuk dan di Wilayah, dan PSBB.
Merebaknya penyebaran Covid-19 ini,
memaksa Pemerintah harus membuat
peraturan pemerintah sesuai amanat UU.
Wacana yang menguat adalah perlunya
kebijakan Karantina Wilayah. Bahkan, di
beberapa daerah, para kepala daerah sudah
berinisiatif menerapkan Karantina Wilayah di
daerahnya masing-masing. Akan tetapi,
beberapa kali pula Jokowi menyatakan bahwa
kebijakan Karantina Wilayah adalah
kewenangan pemerintah pusat. Dalam UU No.
6 Tahun 2018 pasal 5 ayat (1) dinyatakan
bahwa Pemerintah Pusat bertanggung jawab
menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan
di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu.
Pemerintah Pusat dapat melibatkan
Pemerintah Daerah, sebagaimana dinyatakan
dalam ayat (2) nya. Pemerintah Pusat pun
bertanggung jawab terhadap ketersediaan
sumber daya yang diperlukan dalam
penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan
bersama-sama dengan pemerintah daerah.
Selanjutnya, di dalam pasal 55 ayat 1
dinyatakan bahwa selama Karantina Wilayah,
kebutuhan hidup dasar orang dan makanan
hewan ternak yang berada di wilayah
karantina menjadi tanggung jawab Pemerintah
Pusat, dengan melibatkan Pemerintah Daerah
dan pihak yang terkait (ayat 2).
Dengan demikian, tanggung jawab pemerintah
pusat bersifat mandatory dalam kebijakan
Karantina di Wilayah yang meliputi tanggung
jawab seluruh penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan dan tanggung jawab atas
ketersediaan sumber daya yang diperlukan.
Esensi dari formulasi kebijakan Karantina di
Wilayah adalah pembatasan penduduk dalam
suatu wilayah termasuk wilayah Pintu masuk
beserta isinya yang diduga terinfeksi penyakit
dan/atau terkontaminasi untuk mencegah
kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi.
Sama halnya dengan Karantina Kesehatan
di Wilayah, Pemerintah Pusat pun bertanggung
jawab atas penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan pada kedaruratan kesehatan
masyarakat secara tepat dan cepat
sebagaimana dinyatakan dalam pasal 11 ayat 1.
Formulasi dari Kedaruratan Kesehatan
masyarakat adalah kejadian kesehatan
masyarakat yang bersifat luar biasa dengan
tindai penyebaran penyakit menular dan
seterusnya…yang menimbulkan bahaya
kesehatan dan berpotensi menyebar lintas
wilayah atau lintas Negara sebagaimana
dinyatakan dalam pasal 1 ayat 2 UU Nomor 6
Tahu 2018. Kewenangan Pemerintah pun
sangat besar yang meliputi kewenangan
menetapkan dan mencabut Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat, menetapkan dan
mencabut penetapan pintu masuk dan/atau
wilayah di dalam negeri yang terjangkit
kedaruratan kesehatan masyarakat, dan
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
153
menetapkan jenis penyakit serta factor
resikonya. Sementara, sebagaimana
dinyatakan dalam Pasal 1 ayat 11, dalam PSBB
adalah pembatasan kegiatan tertentu
penduduk dalam suatu wilayah yang diduga
terinfeksi penyakit dan/atau terkontaminasi
sedemikian rupa untuk mencegah
kemungkinan penyebaran penyakit atau
kontaminasi. Selain itu, istilah PSBB ditemukan
dalam pasl 15 ayat 2 huruf b meskipun bukan
berupa rumusan. PSBB juga disebutkan dalam
pasal 49 ayat 2 sebagai bagian dari
Penyelenggaraan Kekarantinaan Kesehatan di
Wilayah yang meliputi Karantina Rumah,
Karantina Wilayah, Karantina Rumah Sakit, dan
PSBB. Kewenangan menetapkan PSBB ada di
tangan Menteri Kesehatan (Pasal 49 ayat 3).
Lalu, bagaimana tanggung jawab
Pemeritah Pusat dalam PSBB? Dalam pasal 59
terkait ketentuan PSBB, tidak disebutkan
adanya tanggung jawab Pemerintah Pusat
sebagaimana halnya terdapat dalam
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan
Karantina Wilayah. Hanya saja, dalam pasal 59
ayat 3 dinyatakan bahwa PSBB paling sedikit
meliputi peliburan sekolah dan tempat kerja,
pembatasan kegiatan keagamaan, dan /atau
pembatasan kegiatan di tempat atau fasilitas
umum.
Tabel: Kewenangan dan Tanggung Jawab
Pemerintah Pusat dan Daerah Dalam UU No.
6/2018
No
Kebijakan Pemerintah Pusat
Pemerintah Daerah
1 Kekarantinaan Kesehatan
Bertanggung jawab melindungi kesehatan masyarakat dan /atau factor resiko kesehatan masyarakat
idem
Bertanggung jawab menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di wilayah secara terpadu
Bertanggung jawab terhadap ketersedaan sumber daya yang diperlukan
idem
2 Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Menyelenggarakan Kekarantinaan Kesehatan pada kedaruratan kesehatan masyarakat
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
154
secara cepat dan tepat
Menetapkan dan mencabut kedaruratan kesehatan masyarakat
Menetapkan dan mencabut penetapan Pintu Masuk dan/atau wilayah di dalam negeri yang terjangkit
Menetapkan jenis penyakit dan faktor resiko
Berkordinasi dan bekerja sama dengan dunia Internasional (Negara lain atau organisasi internasional
3 Karantina di Pintu Masuk
Menetapkan Peraturan Pemerintah mengenai tata cara pelaksanaan Karantina Wilayah di Pintu Masuk
Menetapkan Karantina
Wilayah di Pintu Masuk
Melakukan tindakan Kekarantinaan Kesehatan berupa Karantina, PSBB, disinfeksi, dekontaminasi, penyehatan, pengamanan, dan pengendalian terhadap media lingkungan
4 Karantina di Wilayah
Melakukan Karantina Rumah, Wilayah, Rumah Sakit, atau PSBB di wilayah pada situasi kedaruratan kesehatan masyarakat
Bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah
Terlibat dalam pemenuhan kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada dalam Karantina Rumah
Terlibat dalam penyelenggaraan karantina wilayah
Bersama-sama pemerintah pusat,
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
155
Melibatkan Pemerintah daerah dalam pemenuhan kebutuhan hidup orang dan makanan hewan ternak
Bertanggung jawab memenuhi kebutuhan hidup dasar orang dan makanan hewan ternak yang berada di wilayah Karantina
Melibatkan Pemerintah daerah dalam
Bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit
penyelenggaraan Karantina Wilayah
Bertanggung jawab atas pemenuhan kebutuhan hidup dasar seluruh orang yang berada di rumah sakit
5 PSBB Lihat di bagian Karantina di Pintu Masuk dan Karantina di Wilayah
Menetapkan PSBB (oleh Menteri)
Dari Tabel di atas dapat disimpulkan bahwa, Pemerintah Pusat memiliki kewenangan dan tanggung
jawab yang besar dalam hal kebijakan Kekarantinaan Kesehatan, terutama terkait Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat, Karantina di Pintu Masuk, dan Karantina di Wilayah. Tanggung Jawab
Pemerintah Pusat dalam hal pemenuhan kebutuhan hidup dasar terlihat dalam opsi kebijakan
Karantina di Wilayah. Sementara dalam kebijakan PSBB, UU ini sama sekali tidak mencantumkan
tanggung jawab Pemerintah Pusat. Namun, sesuai dengan pasal 60 UU ini, Pemerintah Pusat diberikan
kewenangan menetapkan kriteria dan pelaksanaan PSBB dengan Peraturan Pemerintah.
Struktur Kekarantinaan Kesehatan
Dalam struktur Undang-Undang, ketentuan terkait Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan
Karantina Kesehatan di Pintu Masuk dan di Wilayah di tempatkan dalam bab tersendiri, yaitu pada
bab IV dan bab VI, sehingga menjadi bagian yang terpenting dalam struktur Undang-Undang ini. Khusus
ketentuan Karantina di wilayah, penjabarannya di tempatkan pada bab VII. Sementara, PSBB
ditempatkan sebagai bagian dari Karantina Kesehatan di Wilayah.
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
156
Struktur Kekarantinaan Kesehatan dalam UU Nomor 6 Tahun 2018
Pandemi Covid-19 dan Opsi Kebijakan PSBB
Mewabahnya Covid-19 di tanah air
mengharuskan Pemerintah mengambil opsi
kebijakan untuk mencegah penularan dan
penyebaran penyakit menular ini. Dari banyak
opsi kebijakan tersebut, pada akhirnya
Pemerintah lebih memilih kebijakan
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)
sebagai instrumen pelaksanaan UU
kekarantinaan Kesehatan daripada memilih
kebijakan lainnya, seperti Karantina Wilayah.
Jika diibaratkan seorang Ibu, UU Kekarantinaan
Kesehatan ini mengandung tiga calon bayi
bernama Karantina Wilayah, Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat, dan PSBB. PSBB lah
yang dikehendaki lahir lebih dahulu dengan
keluarnya PP 21 Tahun 2020 tentang PSBB
Dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-
19. Sementara, sosok
Karantina Wilayah yang di dalamnya
penuh dengan tanggung jawab yang harus
diemban oleh ibu tersebut, harus bersabar
untuk tidak lahir terlebih dahulu. Saudara
kembar yang lainnya berupa Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat justru dipaksa untuk
menjadi seorang cucu dengan diterbitkannya
Kepres Nomor 11 tahun 2020 tentang
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
Kekarantinaan Kesehatan di Pintu Masuk dan di Wilayah
Perlu dibentuk PP sesuai amanat pasal 10 ayat 4
Karantina, isolasi, vaksinasi, dll
PSBB
Disinfeksi, dekontaminasi
Penyehatan,pengamanan, pengendalian media
lingkungan
Karantina di Pintu Masuk
Karantina di Wilayah
Pelabuhan, Bandar
Udara, Batas darat
Negara,
Pengawasan awak,
personel, penumpang,
barang
Karantina Rumah, Wilayah, Rumah Sakit,
PSBB
Kriteria dan pelaksanaannya perlu dibentuk PP, sesuai amanat pasal 60
Perlu dibentuk PP berdasarkan
amanat Pasal 14 ayat 2
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
157
Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
pada tanggal 31 Maret 2020. Padahal, sesuai
dengan pasal 10 dan 11 UU Nomor 6 tahun
2020, ketentuan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Penerbitan Keppres ini bersamaan
dengan keluarnya PP 21 tahun 2020 tentang
PSBB. Dengan demikian, dalam waktu yang
sama, lahir seorang anak dan cucu.
Padahal, sesuai dengan rumusan
kebijakan yang tertera dalam UU ini,
semestinya PSBB,dan juga Karantina Wilayah,
lahir sebagai respon atas situasi Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat. Artinya, Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat adalah sebuah situasi
yang kemudian mendorong lahirnya Karantina
Wilayah dan PSBB. Dengan keluarnya PP 21
Tahun 2020 tentang PSBB, Pemerintah Pusat
mengesampingkan kebijakan Karantina
Wilayah, yang secara yuridis terlalu banyak
membebankan tanggung jawab kepada
Pemerintah Pusat.
PSBB dan Identifikasi Masalah Covid-19
Bagaimana pemerintah mengidentifikasi
masalah penyebaran covid-19 ini? Dalam PP 21
tahun 2020 dinyatakan dalam konsiderannya
bahwa penyebaran covid-19 telah meningkat
dan meluas lintas wilayah dan lintas Negara
dan berdampak pada aspek
poleksosbudhankam, serta kesejahteraan
masyarakat. Lalu, identifikasi masalah yang
dijadikan konsideran adalah dampak
penyebaran Covid-19 telah mengakibatkan
terjadi keadaan tertentu sehingga perlu
dilakukan upaya penanggulangan, salah
satunya dengan tindakan pembatasan social
berskala besar. Atas dasar “identifikasi
masalah” itulah dipilih kebijakan PSBB. Definisi
PSBB menurut PP ini ialah pembatasan
kegiatan tertentu penduduk dalam suatu
wilayah yang diduga terinfeksi covid-19
sedemikian rupa untuk mencegah
kemungkinan penyebaran covid-19.
Dalam teori analisis kebijakan, kegiatan
identifikasi masalah adalah hal yang juga krusial
untuk memastikan formulasi kebijakan yang
tepat. Jika identifikasi masalahnya tidak
akurat, maka formulasi kebijakannya pun
berpotensi tidak dapat memecahkan masalah
yang sedang dihadapi. Pertanyaannya, apakah
masalah yang diidentifikasi dalam PP 21/2020
sudah tepat? Apakah penyebaran covid-19
yang meningkat dan meluas adalah sebuah
masalah? Sebagai sebuah masalah,
jawabannya iya. Tetapi, apakah hal itu yang
menjadi sumber masalah? Ini yang tidak
dirumuskan dalam PP tersebut. Penyebaran
covid-19 yang meningkat dan meluas adalah
dampak dari suatu masalah. Apa yang
menyebabkan penyebarannya meningkat dan
meluas? Mengapa penyebarannya meningkat
dan meluas? Itulah yang perlu diidentikasi
secara akurat, sehingga rumusan kebijakan
yang akan diterapkan kemudian menjadi tepat,
guna memecahkan masalah yang dihadapi.
Lalu, apa saja strategi yang dilakukan guna
mencegah penyebaran covid-19 yang
dituangkan dalam PP tersebut?
Kewenangan dan Tanggung Jawab dalam
PSBB
Dalam Pasal 2 PP 21/2020 dinyatakan
bahwa dengan persetujuan menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, Pemerintah Daerah dapat
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
158
melakukan PSBB atau pembatasan terhadap
pergerakan orang dan barang untuk suatu
provinsi atau kabupaten/kota. Sementara,
dalam ayat 3 dinyatakan bahwa PSBB harus
didasarkan pada pertimbangan epidemiologis,
besarnya ancaman, efektifitas, dukungan
sumber daya, teknis operasional,
pertimbangan politik, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan dan keamanan.
Ini bisa diartikan bahwa Pemerintah Daerah
baru bisa melaksanakan PSBB jika telah
memenuhi syarat dan setelah itu Menteri
(Kesehatan) memberikan persetujuannya.
Kepala Daerah yang daerahnya mendapatkan
persetujuan melaksanakan PSBB, harus
memperhatikan pemenuhan kebutuhan dasar
penduduk (Pasal 4 ayat 3). Kewajiban bagi
kepala daerah itu dipertegas lagi dalam pasal 5
ayat 1 yang menyatakan bahwa dalam hal PSBB
telah ditetapkan oleh menteri yang
menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang kesehatan, Pemerintah Daerah wajib
melaksanakan dan memperhatikan ketentuan
sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun
2020 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Ini
yang menimbulkan pertanyaan. Kewajiban
melaksanakan dan memperhatikan ketentuan
yang mana yang diatur dalam UU tersebut?
Bukankah UU tersebut sebagian besar
mengatur tentang tanggung jawab Pemerintah
Pusat, dalam hal kebijakan Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat, Karantina di Wilayah
yang meliputi Karantina Rumah, Karantina
Wilayah, dan Karantina Rumah Sakit? Ataukah
ada pelimpahan tanggung jawab dari
Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
karena telah mendapatkan persetujuan dari
Pemerintah Pusat untuk melaksanakan PSBB?
Dari rumusan yang terbaca dalam PP tersebut
mengindikasikan adanya pelimpahan tanggung
jawab yang dibebankan kepada Pemerintah
Daerah dalam pelaksanaan PSBB di wilayahnya.
Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang
Pedoman PSBB
Meski telah diterbitkan PP No. 21 Tahun
2020, pemberlakuan PSBB masih memerlukan
terbitnya Peraturan Meteri Kesehatan sebagai
pengejawantahan kebijakan PSBB. Tanggal 3
April 2020, barulah Peraturan Menteri
Kesehatan No.9 Tahun 2020 dikeluarkan
sebagai Pedoman PSBB dalam rangka
Percepatan Penanganan Covid-19.
Jika Permenkes ini dijadikan sebagai
pedoman penyelenggaraan PSBB,
pertanyaannya adalah bagaimana Permenkes
ini membumikan PP 21/2020 agar tujuan dari
penyelenggaraan PSBB bisa tercapai? Dilihat
dari strukturnya, Permenkes ini memuat
beberapa ketentuan yang sebagian besar
ketentuan ini berisi tentang hal-hal yang
bersifat teknis-administratif mulai dari
prosedur permohonan, tata cara penetapan,
dan pencatatan serta pelaporan. Muatan
ketentuan implementasi PSBB sendiri hanya
terdiri dari satu bagian. Hal lainnya memuat
ketentuan soal monitoring dan evaluasi serta
kriteria dan ruang lingkup.
Pertanyaan yang bisa kita ajukan ialah,
dalam situasi krisis dan kedaruratan kesehatan
masyarakat, bagaimana Permenkes ini bisa
merespon secara cepat dan tepat jika sebagian
besar muatan ketentuannya berupa hal-hal
yang bersifat teknis procedural? Bagaimana
Permenkes ini memberikan ruang gerak yang
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
159
lebih leluasa bagi pelaksana PSBB untuk
menanggulangi penyebaran Covid-19 yang
sangat cepat? Bagaimana Permenkes ini
memiliki daya lentur dan fleksibilitas terhadap
daerah yang tidak mampu memenuhi syarat
pengajuan PSBB, misalnya kecukupan
kebutuhan hidup dasar, sementara di sisi lain,
wabah Covid-19 sudah sangat
mengkhawatirkan? Pasal 10 Permenkes ini
menunjukkan gambaran sebaliknya.
Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajukan
pertanyaan terkait dengan wewenang dan
tanggung jawab. Pihak mana yang memiliki
kewenangan dan tanggung jawab dalam
pelaksanaan PSBB ini? Kita sudah bisa menduga
bahwa jika melihat desain kebijakan PSBB,
maka pihak yang diberi tanggung jawab
pelaksanaan PSBB ini ialah Pemerintah Daerah.
Rumusannya jelas termaktub beberapa
ketentuan dalam PP 21/2020 dan Permenkes
No. 9/2020. Pasal 4 ayat 3 dan Pasal 5 ayat 1 PP
21/2020. Lalu, dalam Permenkes No. 9/2020,
Pemerintah Daerah bertanggung jawab atas
ketersediaan kebutuhan hidup dasar rakyat.
Sarana dan prasarana kesehatan, anggaran dan
operasionalisasi jaring pengaman social (Pasal
6 ayat 5). Lalu, dimana tanggung jawab
Pemerintah Pusat dalam PSBB ini? Apakah
Pemerintah Pusat bertanggung jawab atas
pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat
juga? Tidak ada pasal dalam Permenkes ini yang
menyebut tanggung jawab Pusat atas
pemenuhan kebutuhan hidup dasar rakyat.
Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM)
Sejak Pemerintah mengeluarkan kebijakan PSBB pada tanggal 31 Maret 2020 sampai
dinyatakan berakhir pada tanggal 10 Januari 2021, kasus Covid 19 di Indonesia telah mencapai 828.026 positif, 681.024 dinyatakan sembuh, dan meninggal dunia 24.129 orang. Sampai tanggal 10 Januari 2021 ini juga, terdapat penambahan kasus positif sebanyak 9.640 kasus. Ini berarti, masih terdapat kasus aktif sebanyak 122.873 kasus. (Kompas.com, 10 Januari 2021).
Sejak tanggal 11 Januari 2021, berlaku
kebijakan baru dengan menggunakan istilah
yang baru, yaitu Pembatasan Kegiatan
Masyarakat (PPKM). Ada beberapa alasan
dikeluarkannya kebijakan PPKM yang
dikemukakan oleh Pemerintah, yaitu sebagai
berikut.
1. Mencermati perkembangan kasus
covid-19 yang juga belum
menunjukkan tanda-tanda penurunan.
Sampai tanggal 10 Januari 2021,
terdapat kasus rata-rata harian
sebanyak 8954, dengan angka tertinggi
pada tanggal 8 Januari yang mencapai
10.617 kasus positif. (Center for
Systems Science and Engineering
(CSSE) at Johns Hopkins University)
2. Agar terjadi keseragaman penerapan
PPKM. Selama ini, pemberlakuan PSBB
berasal dari inisiatif Pemerintah
Daerah yang mengajukan kepada
Pemerintah Pusat melalui Menteri
Kesehatan. Ketidakseragaman waktu
penerapan ini yang berdampak tidak
efektifnya penanganan wabah
pandemi covid-19. Dalam PPKM,
inisiatif berasal dari pemerintah pusat
berupa pemberian kriteria awal
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
160
terhadap daerah-daerah untuk
dilakukan pembatasan. Daerah yang
masuk dalam kriteria itu, harus
menerapkan PPKM. Oleh karena itu,
penerapan kebijakan PPKM diharapkan
bisa menjadi seragam.
Terlepas dari argumentasi yang
dikemukakan oleh pihak pemerintah,
penggunaan terminologi ‘Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat” patut untuk
dipertanyakan landasan peraturan perundang-
undangan-nya. Karena, istilah tersebut dikenal
dalam UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan. Dasar kebijakan
tersebut mengacu pada Instruksi Mendagri.
Dengan demikian, rejim pengaturannya
berubah dari rejim pengaturan kedaruratan
kesehatan menjadi rejim pengaturan
pembatasan kegiatan masyarakat berbasis
kewilayahan. Tidak salah jika ada pandangan
yang mengatakan bahwa Pemerintah berusaha
menghindari opsi kebijakan lain yang
disediakan dalam UU Kekarantinaan
Kesehatant ersebut, seperti kebijakan
Karantina di Wilayah atau lockdown.
Penggunaan istilah Karantina di Wilayah sudah
pasti akan berimplikasi kewajiban atau
tanggung jawab yang besar di tangan
pemerintah pusat.
Kebijakan PPKM pertama kali diberlakukan
untuk wilayah Jawa dan Bali. Oleh karenanya
disebut PPKM Jawa-Bali, yang dilaksanakan
dalam dua tahap, yaitu sebagai berikut.
1.Tahap pertama dari tanggal 11 Januari-25 Januari 2021, meliputi 7 provinsi (DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Bali)
2. Tahap kedua dari tanggal 26 Januari-9 Februari 2021, meliputi 7 provinsi
Setelah dilaksanakan selama dua tahap
dan hasilnya tidak efektif, PPKM Jawa-Bali
diubah menjadi PPKM berbasis mikro sejak
tanggal 9 Februari 2021. PPKM Mikro ini
berdasarkan Instruksi Mendagri Nomor 3
Tahun 2021. Sesuai dengan Instruksi Mendagri
tersebut, selain penanganan, posko COVID-
19 PPKM Mikro juga bertugas mencegah,
membina, dan mendukung upaya mengatasi
penyebaran penyakit. PPKM Mikro
dilaksanakan bersamaan dengan pembatasan
di wilayah kabupaten/kota. Ayat pertama
Inmendagri 3/2021 menyatakan PPKM
Mikro ditujukan pada beberapa provinsi di
Indonesia. Provinsi tersebut berada di Pulau
Jawa dan Bali yang memiliki jumlah kasus
COVID-19 tinggi. Pada PPKM mikro ada
pengaturan tentang pembentukan posko
penanganan COVID-19 di tingkat desa dan
kelurahan, jam operasional pusat
perbelanjaan/mall diatur dengan lebih longgar
yaitu hingga pukul 21.00 WIB, serta
pembatasan perkantoran yang lebih longgar
yaitu 50% kerja dari kantor dan 50% kerja dari
rumah. (Kompas. 9 Februari 2021).
Sampai dengan tanggal 7 Juni 2020,
kebijakan ini telah berlangsung selama 9 tahap.
PPKM Mikro tahap 9 diberlakukan sejak tanggal
1-14 Juni 2021. Jika tahap pertama PPKM Mikro
meliputi 7 provinsi, kini pemberlakuannya
meliputi 30 provinsi. Sampai dengan tanggal 6
Juni 2021, kasus covid bertambah 5.832 Orang,
sehingga total kasus Covid-19 di Indonesia
Capai 1.856.038 kasus positif.
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
161
Sejak diberlakukannya PPKM Jawa-Bali
dari tanggal 11-25 Januari 2021, tercatat grafik
kasus harian sebagai berikut.
Grafik Kasus Harian Positif covid-19 dalam rentang waktu 11-25 Januari 2021 (PPKM Jawa-Bali Tahap 1)
Sumber: the Center for Systems Science and Engineering (CSSE) at Johns Hopkins University Dari grafik di atas dapat terbaca bahwa kasus harian tertinggi terjadi pada tanggal 16 Januari 2021, yaitu sebanyak 14.224 kasus. Fakta ini menunjukkan bahwa angka tersebut masih lebih tinggi dari kasus harian tertinggi PSBB tanggal 8 Januari 2021 sebelum penerapan PPKM, yaitu sebanyak 10.617 kasus positif. Angka ini bisa menjadi gambaran bahwa saat diterapkannya kebijakan PPKM, masih terjadi kasus harian tertinggi positif covid-19, meskipun kita juga melihat adanya trend penurunan angka kasus harian positif.
Data statistik menunjukkan, sejak diberlakukannya PPKM Mikro yang telah diberlakukan sampai 9 jilid, terdapat trend sedikit penurunan angka kasus harian positif covid-19, yaitu pada tanggal 19 Mei mencatat kasus terendah yaitu mencapai 4871 kasus, dan yang tertinggi tercatat pada tanggal 5 Juni 2021 yang mencapai 6594 kasus.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Adanya ketentuan yang semestinya
diamanatkan untuk ditetapkan dengan
peraturan pemerintah, ternyata justru
dijadikan sebagai Keputusan Presiden.
Ketentuan tentang Kedaruratan
Kesehatan Masyarakat yang
diamanatkan untuk ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah, hanya dijadikan
sebagai Keputusan Presiden Nomor 11
tahun 2020 tentang Penetapan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat.
2. Adanya upaya mengalihkan tanggung
jawab dari Pemerintah Pusat kepada
Pemerintah Daerah dengan memilih
opsi kebijakan PSBB daripada memilih
kebijakan Karantina Wilayah.
Pengalihan tanggung jawab tersebut
terbaca dari formulasi Permenkes
Nomor 9/2020. Mestinya, tanggung
jawab pemerintah pusat juga
dicantumkan dalam Permenkes ini
sebagai bentuk akuntabilitas Negara
terhadap rakyat.
3. Patut diduga bahwa Pemerintah Pusat
tidak secara cermat mengidentifikasi
masalah dengan merumuskan dampak
dari masalah sebagai masalah. Hal itu
terlihat dalam konsideran PP 21/2020.
Ketidakcermatan mengidentifikasi
masalah berpotensi tidak tepatnya
formulasi kebijakan sehingga tujuan
kebijakan tersebut tidak tercapai.
Belum adanya tanda-tanda
menurunnya kasus covid-19 di
Indonesia, bahkan menunjukkan
0
5000
10000
15000 Jumlah kasus
Jumlahkasus
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
162
statistic yang fluktuatif menunjukkan
bahwa opsi kebijakan yang dipilih oleh
pemerintah, baik PSBB, maupun PPKM
perlu untuk dievaluasi lebih lanjut.
4. Dilihat dari strukturnya, Permenkes
No. 9 Tahun 2020 lebih bersifat teknis
administratif yang tidak sensitif
terhadap situasi kedaruratan
kesehatan masyarakat yang
membutuhkan tindakan cepat dan
fleksibel. Semestinya, desain atau
formulasi kebijakan yang dimuat dalam
Permenkes ini memenuhi prinsip-
prinsip responsivitas dan fleksibilitas
dengan mengedapankan azas
kepentingan umum.
5. Upaya menghindari implikasi
tanggung jawab pemerintah pusat pun
terlihat dari dikeluarkannya kebijakan
PPKM, baik PPKM Jawa-Bali dan PPKM
Mikro. Penggunaan istilah PPKM yang
tidak diatur dalam Undang-Undang
Kekarantinaan Kesehatan ini hanya
berdasarkan Instruksi Mendagri.
6. Dalam paradigm pelaksanaan Good
Governance, transparansi,
akuntabilitas, dan , non diskriminatif,
dan responsibilitas dan rule of law
menjadi prinsip yang penting dan
utama. Oleh karena itu, setiap
pelaksanaan kebijakan, termasuk
dalam penanggulangan pandemic
covid-19 harus mengedepankan
prinsip-prinsip tersebut. Pandemi ini
bukanlah persoalan lokal semata yang
dibebankan kepada pemerintah
daerah, tetapi sudah menjadi
persoalan nasional dan global.
Sehingga, tanggung jawab terbesar ada
pada pemerintah pusat. Semestinya,
Pemerintah Pusat mengambil alih
tanggung jawab penuh persoalan ini,
bukan semata-mata membebankan
kepada pemerintah daerah serta
melakukan evaluasi dan menilai kinerja
pemerintah daerah. Keberhasilan
penanganan pandemi ini adalah
tanggung jawab seluruh komponen
bangsa, dengan komponen utamanya
adalah pemerintah pusat sebagai
penyelenggara pemerintahan tertinggi
yang dibantu oleh pemerintah daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Dunn, W. (2003). Analisis Kebijakan Publik.
Yogyakarta: Gajah Mada University
Press
Firdaus Syam. 2013. Analisis Dan Evaluasi
Peraturan Perundang-Undangan
Tentang Kekarantinaan. Pusat
Perencanaan Pembangunan Hukum
Nasional Badan Pembinaan Hukum
Nasional Kementerian Hukum Dan
Hak Asasi Manusia R.I.
Islamy, M. Irfan. 2000. Prinsip-prinsip
Perumusan Kebijakan Negara.
Jakarta. Sinar Grafika
Prasetiyani, Netty dan Tim Covid-19 FPKS DPR
RI.2020. Buku Putih Penanganan
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
163
Pandemi Covid-19 di
Indonesia.Jakarta, Buku Republika.
Wahab, Solihin. Abdul. 2003. Analisis Kebijakan
dari Formulasi ke Implementasi
Kebijakan Negara. Jakarta. Bumi
Aksara
Winarno Budi, 2008. Kebijakan Publik Teori &
Proses. Yogyakarta: MedPress
(Anggota IKAPI)
Artikel
Data Terkini Korban Virus Corona di Indonesia
per Mei 2021, Merdeka.com, Senin,
31 Mei 2021. Diakses di
https://www.merdeka.com/peristiw
a /data-terkini-korban-virus-corona-
di indonesia-per-mei-2021 pada
tanggal 6 Juni 2021
“Dokter Tifauzia Tyassuma minta Jokowi segera
lockdown”. Diakses di
https://zonautara.com/2020/03/15/
dokter-tifauzia-tyassuma-minta-
jokowi-segera-lockdown/ pada
tanggal 7 Juni 2021.
“IDI Desak Jokowi Segera Putuskan Lockdown
untuk Tekan Penyebaran Corona”.
Diakses di
https://kumparan.com/kumparanne
ws/idi-desak-jokowi-segera-
putuskan-lockdown-untuk-tekan-
penyebaran-corona-1t4kXYWt1XQ
pada tanggal 7 Juni 2021
“Pasien Covid-19 Terus Naik Tajam, PKS Desak
Jokowi Pertimbangkan Opsi
Lockdown". Diakses di
https://politik.rmol.id/read/2020/03
/25/426991/pasien-covid-19-terus-
naik-tajam-pks-desak-jokowi-
pertimbangkan-opsi-lockdown pada
tanggal 7 Juni 2021
"PPKM Mikro Berlaku, Apa Bedanya dengan
PPKM?"Diakses di
https://www.kompas.com/tren/read
/2021/02/09/060200565/ppkm-
mikro-berlaku-apa-bedanya-dengan-
ppkm- pada tanggal 7 Juni 2021
“Update per 31 Maret: 1.528 Kasus Covid-19,
Masyarakat Diajak Saling Beri
Edukasi”, Kompas.com, Rabu 1 April
2020. Diakses di
https://amp.kompas.com/nasional/r
ead/2020/04/01/06293531/update-
per-31-maret-1528-kasus-covid-19-
masyarakat-diajak-saling-beri pada
tanggal 6 Juni 2021
Update Minggu 10 Januari 2021: 828.026
Positif Covid-19, Sembuh 681.024,
Meninggal 24.129. Diakses di
https://www.liputan6.com/news/rea
d/4453587/update-minggu-10-
januari-2021 pada tanggal 6 Juni 2021
"UPDATE 10 Januari: Kasus Aktif Covid-19 Kini
Ada 122.873", Diakses
di https://nasional.kompas.com/rea
d/2021/01/10/17342671/update-10-
januari-kasus-aktif-covid-19-kini-ada-
122873. pada tanggal 7 Juni 2021
Jurnal Ilmiah Niagara, Volume 13 Nomor 1 Juni 2021
Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi Banten
164
Dokumen
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
2020 tentang PSBB Dalam Rangka
Percepatan Penanganan Covid-19
Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman
PSBB
Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2020
tentang Penetapan Kedaruatan
Kesehatan Masyarakat Corona Virus
Disease 2019 (Covid- 19)
Instruksi Mendagri Nomor 1-9 Tahun 2021
tentang Pemberlakuan
Pembatasan Kegiatan Masyarakat
(PPKM)