Post on 02-Mar-2019
transcript
81FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Pemberdayaan Masyarakat Berbasis Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP)1
Oleh Farida Ariyati2
ABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACTABSTRACT
The approach of this study refers to the principles of descriptive re-search design with case study research. Based on a specific purpose(purposive sampling) defined two Gapoktan in different villages anddistrictsnamely Gapoktan Maju Bersama, Bincau Village and GapoktanBerkat Mufakat, Dalam Pagar Village. The results showed that the gen-eral consensus Gapoktan Berkat Mufakat is effective in implementingGapoktan PUAP Program. Effectiveness was assessed from indicatorsof the growth of self-supporting community (members Gapoktan) in fundsunder management and has been functioning quite well and creative.While Gapoktan Maju Bersama is Gapoktan that have not been effective.This is judged from the lack of indicators of community self-reliance(member Gapoktan) and Gapoktan has not been functioning properlyand creatively.
A. PENDAHULUANA. 1. Latar Belakang Masalah
Menurut Laksono (2010) disparitas perkotaan–pedesaan ternyata
berdampak pada masih tingginya jumlah penduduk miskin serta
terbatasnya lapangan kerja. Kemiskinan di pedesaan merupakan
masalah nasional yang penanggulangannya tidak dapat ditunda dan
1 Ditulis ulang dari Tesis berjudul “Efektivitas Pelaksanaan Program PengembanganUsaha Agribisnis Perdesaaan (PUAP) di Kabupaten Banjar” yang dibuat oleh FaridaAriyati dibawah bimbingan Dr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSiDr. Muhammad Aswan, MSi dan Dr. Nuri DewiDr. Nuri DewiDr. Nuri DewiDr. Nuri DewiDr. Nuri DewiYanti, MSc.Yanti, MSc.Yanti, MSc.Yanti, MSc.Yanti, MSc.
2 Farida AriyatiFarida AriyatiFarida AriyatiFarida AriyatiFarida Ariyati adalah mahasiswa Program Magister Sains Administrasi PembangunanUniversitas Lambung Mangkurat (MSAP-UNLAM) angkatan III, dan statuspekerjaannya saat itu adalah sebagai PNS di Pemkab Banjar, Kalimantan Selatan.
82 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
harus menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan pembangunan
kesejahteraan sosial. Menurut Fatah (2007), kemiskinan ternyata juga
mengindikasikan adanya kesenjangan wilayah, karena konsentrasi
kemiskinan banyak pada sektor pertanian, dan sesuai dengan kondisi
alamiahnya bahwa pertanian terkonsentrasi di pedesaan sehingga pada
akhirnya sebagian besar kantong kemiskinan ada di pedesaan.
Merujuk pada Fatah, kemiskinan di pertanian bersumber pada
kemiskinan dari para pelaku utama di sektor ini, yakni para petani.
Para petani miskin ini umumnya tinggal di pedesaan dengan tingkat
pengetahuan dan keterampilan yang sangat bersahaja, permodalan
yang sangat terbatas dan penguasaan teknologi sangat awam, serta
organisasi tani yang masih lemah. Hal tersebut menjadi permasalahan
mendasar yang dihadapi oleh petani yang selanjutnya berimplikasi
langsung terhadap sumber mata pencaharian utama mereka yaitu
kegiatan pertanian, yang pada akhirnya menyebabkan kegiatan
usahatani yang mereka jalankan kurang efisien, sumberdaya tidak
termanfaatkan secara optimal dan produktivitas usahataninya rendah.
Secara faktual, rakyat pedesaan hanya memiliki dua sumberdaya,
yakni tanah dan tenaga kerja. Desa-desa di pulau Jawa misalnya sering
digambarkan sebagai desa yang rata-rata penduduk petaninya berlahan
sempit (< 0,5 hektar). Tanpa memiliki tanah sebagai lahan garapan
ternyata membuat sebagian di antara penduduk desa tidak bisa bekerja
dan secara riil selanjutnya mempengaruhi status kemakmuran yang
mungkin dapat diraihnya. Sementara itu peluang untuk bekerja di luar
sektor pertanian nampaknya kurang prosfektif bagi sebagian penduduk
desa karena ketiadaan keterampilan atau modal kerja sehingga
terjadilah kemiskinan berantai (Sarman, 2008).
Oleh karena itu untuk mengatasi dan menyelesaikan permasalahan
masyarakat pertanian di pedesaan yang secara intrinsik berhubungan
dengan pola pemilikan lahan dan produktivitas lahan, struktur
kesempatan kerja dan mekanisme pasar, diperlukan suatu kebijakan
pertanian yang bertujuan untuk meningkatkan taraf hidup secara
umum melalui perbaikan kesempatan ekonomi bagi petani dan
pengembangan struktur progresif dalam kehidupan masyarakat,
termasuk rekayasa sistem kelembagaan yang diperlukan sebagai
83FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
pendukung. Dalam kaitan itu Saragih seperti yang dikutip Syahyuti
(2006) memandang bahwa agribisnis dapat menjadi tulang punggung
ekonomi nasional karena agribisnis memiliki kemampuan untuk
menjamin keberlanjutan pertumbuhan ekonomi nasional,
mempromosikan kesejahteraan, pertumbuhan yang berkelanjutan dan
keseimbangan di antara pelaku maupun wilayah. Menurutnya,
agribisnis dan pengembangan sistem agribisnis merupakan pendekatan
yang paling tepat untuk pembangunan ekonomi di Indonesia.
Dari persfektif berbeda, hasil penelitian Darma (2003)
menunjukkan fakta bahwa program penyaluran kredit atau dana
bergulir bagi usaha kecil di Balikpapan mampu membantu masyarakat
yang tidak berdaya menjadi mandiri karena program tersebut tanpa
jaminan dan tanpa bunga, serta dengan prosedur yang relatif mudah.
Dalam konteks itu, Sarman (2008) menunjukkan bahwa strategi
pemberian dana untuk modal usaha tanpa agunan nampaknya adalah
strategi yang paling masuk akal untuk memberantas kemiskinan di
daerah pedesaan. Kelompok miskin pedesaan adalah orang-orang yang
tidak mungkin dipercaya (credible) di mata perbankan dan karena
kemiskinannya, mereka tidak punya sesuatu barang berharga atau
harta yang pantas dijadikan agunan untuk meminjam dana melalui
bank. Oleh karena itu strategi pemberian dana tanpa agunan mestinya
dilakukan oleh pemerintah, dengan catatan sebelumnya harus
ditegaskan bahwa pemberian dana itu bukan semacam hibah.
Pemerintah telah banyak mengeluarkan program-program yang
pada dasarnya bertujuan untuk menanggulangi kemiskinan, seperti
program Inpres Desa Tertinggal (IDT), Bantuan Pembangunan Desa
(Bandes-Depdagri), proyek Bantuan Padat Karya (Depnaker), Kredit
Candak Kulak (KCK-Bank Indonesia) dan lain-lain. Pada tahun 2008
Pemerintah juga mengeluarkan program sejenis yang khusus pada
sektor pertanian, yaitu Program Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP). PUAP merupakan bagian tidak terpisahkan dari
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri yang
dikordinasikan oleh kantor Menko KESRA. Lokasi PUAP difokuskan
di 10.000 desa miskin atau tertinggal yang memiliki potensi pertanian
dengan total anggaran sebesar Rp 1 triliun.
84 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Salah satu tujuan PUAP adalah untuk mengurangi kemiskinan
dan pengangguran melalui penumbuhan dan pengembangan usaha
agribisnis di pedesaan sesuai potensi wilayah (Anonimous, 2008).
Secara teknis, setiap desa diberikan dana untuk pengembangan usaha
agribisnis (on farm maupun off farm) sebesar Rp 100.000.000, - yang
dikelola oleh Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) atau Unit Usaha
Otonom Gapoktan. Dana tersebut dipinjamkan kepada anggota
kelompok tani untuk modal pengembangan usahanya. Dengan kesiapan
lembaga pengelola yaitu Gapoktan dan aturan main yang jelas yang
tertuang dalam AD-ART Gapoktan atau Unit Usaha Otonom Gapoktan
serta kemudahan mengakses, diharapkan dana tersebut dapat
berkembang berkelanjutan. Pada akhirnya melalui program ini
diharapkan petani dapat meningkatkan pendapatannya dan
meningkatkan kesejahteraannya (Anonimous, 2008).
Program PUAP layaknya program pemberdayaan masyarakat
adalah merupakan suatu proses dan melalui tahapan-tahapan kegiatan
guna mencapai suatu tujuan. Penting dan baiknya suatu kebijakan
(program) bukanlah jaminan akan berhasilnya pelaksanaan nanti,
namun yang paling penting bagaimana penerapannya di lapangan,
sehingga apa yang menjadi tujuan program bisa terwujud dan
direaliasikan dengan hasil yang memuaskan. Penerapan kebijakan
menyangkut apa yang terjadi dengan adanya suatu kebijakan, yakni
peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah
kebijakan dilakukan, baik itu menyangkut usaha-usaha mengadminis-
trasikannya maupun memberikan dampak pada masyarakat (Wahab,
1990).
Melalui dana PUAP diharapkan usaha kecil di desa-desa semakin
berkembang, namun yang menjadi masalah tenyata belum ada
kepastian dengan jaminan pasar. Meskipun pemerintah telah
menyiapkan pendamping untuk menjalankan usaha agribisnis yaitu
para penyuluh pendamping dan pengurus Gapoktan yang sebelumnya
diberi pelatihan untuk menumbuhkan jiwa kewirausahaan itu, namun
tidak bisa dipastikan para pendamping dan penyuluh itu adalah mereka
yang terlatih dan memang berjiwa wirausaha.
Di tingkat pusat ternyata PUAP menerima berbagai kritik, sinisme,
protes, dan kecaman. Dari hasil Rapat Kerja DPR Komisi IV tanggal
85FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
24 Juni 2008 diperoleh fakta bahwa kekecewaan itu tidak datang dari
masyarakat yang tidak kebagian dana PUAP karena sosialisasi begitu
singkat sehingga masyarakat tidak banyak yang tahu tetapi dari
anggota Komisi IV DPR yang merasa usulannya tidak direspons
Departemen Pertanian. Misalnya, ada anggota dewan yang
mengusulkan 100 desa penerima dana PUAP, tetapi hanya satu desa
yang diterima. Ada yang menyindir kalau program PUAP tidak beda
dengan Bantuan Langsung Tunai karena diberikan tanpa syarat.
Berdasarkan pantauan Kompas, banyak warga desa yang sama sekali
tidak mengetahui program PUAP. Ada yang mendengar, tetapi tidak
tahu bagaimana cara mendaftar dan ke mana mencari informasi
(Harian Kompas, 25 Juni 2008).
Pada tahun 2008 di Kabupaten Banjar, ProvinsiKalimantan
Selatan, ada 35 desa yangtersebar di 11 kecamatan yang mendapat
Program PUAP. Dari pemantauan Tim Evaluator Pusat pada empat
desa sampel dari 35 desa penerima dana PUAP tahun 2008 di
Kabupaten Banjar ditemukan fakta bahwa pada bulan Agustus 2009
hanya Desa Bawahan Selan dari keempat desa sampel tersebut yang
dapat dikategorikan berhasil mengelola dana PUAP. Tiga desa lainnya
yaitu Desa Bincau, Desa Sungai Tuan Ilir dan Desa Kelampaian Ulu
mengalami kesulitan dalam pengembalian dana, atau dengan kata lain
kredit macet sehingga dana tidak dapat bergulir di anggota Gapoktan.
Pada ketiga Gapoktan tersebut juga jarang sekali melakukan rapat
bulanan yang mengindikasikan belum dinamisnya kelompok tani di
desa tersebut. Sedangkan dari penelusuran awal peneliti di lapangan
diketahui bahwa pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar
terjadi perkembangan dana yang cukup besar dan dana telah bergulir
di anggota Gapoktan meskipun para penerima dana tidak semuanya
petani. Fenomena tersebut cukup menarik karena meskipun dana yang
diberikan sama, para pengurus Gapoktan dan Penyuluh Pendamping
pun telah mengikuti pembekalan sebelumnya, namun ternyata terdapat
perbedaan dalam pengelolaan dana dan keberhasilan Gapoktannya.
Menurut Tim Evaluator Pusat, tingkat efektivitas pelaksanaan Pro-
gram PUAP dapat dilihat dari tingkat keberhasilan Gapoktan dalam
mengelola dana, serta seberapa besar program tersebut memberikan
manfaat bagi petani yang menjadi kelompok sasaran (client system).
86 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Namun demikian belum ada informasi apakah pada Gapoktan di
Kabupaten Banjar yang telah berhasil mengelola dana PUAP;
anggotanya banyak mendapatkan manfaat dari program tersebut.
Itulah sebabnya kemudian dianggap penting untuk diteliti apa sebab
musabab mengapa ada Gapoktan di Kabupaten Banjar yang belum
berhasil mengelola dana PUAP padahal pedoman teknisnya cukup jelas.
A. 2. Pokok Permasalahan
Program pengentasan kemiskinan seperti layaknya program
pemberdayaan masyarakat (community development) dimaksudkan
lebih untuk mendorong penduduk miskin secara kolektif terlibat dalam
proses penanggulangan kemiskinan mereka sendiri. Program semacam
itu yang pernah diluncurkan oleh pemerintah pada umumnya belum
banyak memberikan perubahan kepada kelompok sasaran. Demikian
pula halnya dengan Program PUAP. Permasalahan pokok yang ditemui
di lapangan adalah masih lemahnya kapasitas Gabungan Kelompok
Tani (Gapoktan) yang mengelola dana PUAP karena masih belum aktif
dan belum dapat melakukan fungsinya dengan baik. Para petani
anggota Gapoktan juga masih belum banyak merasakan manfaat dari
Program PUAP. Oleh karena itu dianggap penting untuk menaruh
perhatian khusus pada persoalan efektivitas pelaksanaan program dan
berapa besar manfaat Program PUAP tersebut bagi petani yang terlibat
di dalamnya.
A. 3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah
dalam penelitian ini adalah: Sejauh mana pelaksanaan Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bermanfaat bagi
petani anggota Gapoktan di Kabupaten Banjar?
A. 4. Tujuan PenelitianSesuai dengan perumusan masalah, maka penelitian ini bertujuan
untuk: (1) menilai tingkat efektivitas pelaksanaan Program
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) di Kabupaten
Banjar; dan (2) menilai manfaat pelaksanaan Program Pengembangan
87FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) bagi petani anggota Gapoktan
yang terlibat dalam program.
B. METODOLOGI
B. 1. Teorisasi Masalah
Berkaitan dengan bagaimana intervensi program terhadap
komunitas, terdapat beberapa penelitian yang telah mengkaji hal
tersebut, antara lain seperti yang dilakukan oleh Hasbullah (1995),
Adma (2001), Idris (2003), dan Darma (2003).
Ilyas Hasbullah (1995) melakukan penelitian tentang faktor-faktor
sosial ekonomi yang mempengaruhi keputusan petani dalam
mengambil Kredit Usahatani (KUT) padi, dan ternyata variabel
independen (sosial ekonomi) yaitu umur, pendidikan, luas lahan,
jumlah anggota rumah tangga dan status sosial berpengaruh terhadap
variabel dependen (keputusan petani) untuk mengambil kredit
usahatani. Selain itu penggunaan uang pengembalian kredit oleh
pengurus Koperasi Unit Desa (KUD) untuk keperluan pribadi dan
kegagalan panen ternyata telah menjadi penyebab banyaknya
tunggakan kredit.
Ratna Yulianti Adma (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan
bahwa perubahan model implementasi kebijakan P3DT dari yang
bersifat top down menjadi model sintesis telah mengubah peran
pemerintah dari yang hanya menjalankan perintah atasan menjadi
aparat yang harus mengayomi masyarakat. Selain itu hasil penelitian
juga membuktikan bahwa partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan
proyek P3DT tahun anggaran 1998/1999 ternyata hanyalah mobilisasi
partisipasi.
Muhammad Khairuddin Idris (2003) berdasarkan hasil
penelitiannya menyimpulkan bahwa sosialisasi program yang
dilakukan secara bertingkat mulai dari tingkat kecamatan sampai
dengan tingkat RT dan dalam waktu yang relatif lama dapat
meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat untuk
melibatkan diri dalam program pembangunan tersebut, serta
menyamakan pemahaman masyarakat tentang program. Selain itu
perencanaan pengelolaan dana yang didasarkan pada usulan
kebutuhan masyarakat yang diputuskan dalam forum musyawah RT
88 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
hingga tingkat kelurahan ternyata dapat memberikan peluang kepada
masyarakat untuk memberikan usulan, ide dan keinginan dalam
menghadapi masalah yang mereka hadapi.
Mulya Darma (2003) dari penelitiannya sampai pada kesimpulan
bahwa program penyaluran kredit/dana bergulir bagi usaha kecil
dalam upaya penanggulangan kemiskinan dinilai sangat membantu
masyarakat yang tidak berdaya karena program ini tanpa jaminan dan
tanpa bunga serta dengan prosedur yang relatif mudah. Adanya
pembinaan secara teratur dan terus menerus dari lembaga teknis (PPL/
petugas teknis/tim teknis daerah) ternyata mampu memotivasi
masyarakat agar berdaya dan mandiri.
Penelitian dengan kasus Kabupaten Banjar yang dilakukan oleh
Tim Peneliti dari Universitas Lambung Mangkurat sampai pada
kesimpulan bahwa sejumlah program pengentasan kemiskinan di di
daerah itu cukup efektif (Anonimous, 2009). Untuk program Bantuan
Langsung Tunai (BLT), evaluasinya menunjukkan tingkat efektivitasnya
mencapai 89%, program Keluarga Harapan (PKH) capaiannya sekitar
87%, program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) mencapai
95%. Sedangkan program Beras untuk Rakyat Miskin (Raskin)
mencapai angka 94%.
Secara umum hasil penelitian-penelitian tersebut menggambarkan
bahwa intervensi berbagai program-program pemerintah terhadap
komunitas yang diposisikan sebagai kelompok sasaran cukup efektif,
namun belum cukup menjelaskan bagaimana manfaatnya. Itulah
sebabnya kasus Program Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan
(PUAP) di Kabupaten Banjar justru ingin dilihat dari persepktif manfaat
tersebut.
Program PUAP dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan
masyarakat pertanian karena dalam program ini dilakukan berbagai
upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat agribisnis
sehingga secara mandiri mampu mengembangkan diri dan dalam
melakukan usaha secara berkelanjutan, dan hal tersebut merupakan
salah satu bentuk pembangunan yang berkelanjutan (sustainable ru-
ral development). Upaya pemberdayaan tersebut dilakukan secara
kolektif dan berkelompok di dalam Gapoktan, oleh karena itu diperlukan
suatu kelembagaan yang kuat.
89FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Program PUAP merupakan salah satu strategi intervensi terhadap
komunitas, dalam hal ini adalah komunitas petani. Proses
pemberdayaan melalui kelompok (komunitas petani dalam Gapoktan)
diharapkan lebih cepat mencapai sasaran program karena di dalam
kelompok akan terbentuk perasaan senasib sepenanggungan sehingga
para anggotanya akan berusaha secara kolektif untuk bangkit dari
keterpurukannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Glen sebagaimana
dikutip oleh Adi (2008) bahwa salah satu tujuan pengembangan
masyarakat adalah mengembangkan kemandirian dan pada dasarnya
memantapkan rasa kebersamaan sebagai suatu komunitas adalah salah
satu unsur dasar yang menjadi ciri khas pendekatan strategi intervensi.
Dalam pelaksanaaan Program PUAP, para petani maupun
peternak tidak hanya diberikan modal yang dikoordinasikan oleh
Gapoktan begitu saja, tapi mereka juga didampingi oleh Penyuluh
Pendamping dan Penyelia Mitra Tani (PMT). Para Penyuluh
Pendamping akan melakukan tugasnya sebagai community worker
yang antara lain berperan mulai melakukan identifikasi potensi ekonomi
desa yang berbasis usaha pertanian sehingga para petani lebih
mengetahui apa yang mereka butuhkan, memberikan bimbingan teknis
usaha agribisnis pedesaan, mendampingi Gapoktan selama proses
penumbuhan kelembagaan hingga memberikan bimbingan teknis
dalam pemanfaatan dana BLM-PUAP. Dalam pelaksanaan program
PUAP, Penyuluh Pendamping selayaknya community worker akan
memegang peranan sebagai pemercepat perubahan (enabler), perantara
(broker), pendidik (educator), tenaga ahli (expert), perencana sosial
(social planner), advokat (advocate) dan aktivis (activist).
Menurut Marquirete (2000), upaya pengentasan kemiskinan dapat
dilaksanakan melalui banyak sarana dan program, termasuk di
dalamnya adalah program pangan, kesehatan, pemukiman,
pendidikan, keluarga berencana dan tentu saja adalah melalui
pinjaman dalam bentuk kredit mikro. Marquirete memberikan rambu-
rambu bahwa ketika pinjaman diberikan kepada mereka yang sangat
miskin, kemungkinan besar pinjaman itu tidak pernah kembali. Hal ini
wajar saja, mengingat mereka sangat miskin (the extreme poor) tidak
berpenghasilan dan tidak memiliki kegiatan produktif. Tampaknya
program pangan dan penciptaan lapangan kerja baru akan lebih cocok
90 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
untuk masyarakat sangat miskin tersebut. Sedangkan untuk masyarakat
yang berpenghasilan rendah (low income) memerlukan pendekatan
subsidi atau jenis hibah yang tepat untuk masing-masing kelompok
miskin tersebut.
Wahab (1994) berpendapat bahwa kegagalan pembangunan
(termasuk di dalamnya berbagai program Penanggulangan Kemiskinan)
selama ini antara lain karena kurangnya pastisipasi masyarakat yang
tidak pernah dilibatkan dalam pembuatan kebijakan pembangunan,
bahkan tidak sedikit kasus yang menunjukkan masyarakat menentang
upaya pembangunan. Menurutnya, keadaan ini dapat terjadi karena
beberapa hal antara lain: (1) pembangunan hanya menguntungkan
segolongan kecil orang dan tidak menguntungkan rakyat; (2)
pembangunan meskipun dimaksudkan untuk menguntungkan rakyat,
tetapi dalam implementasinya tidak sesuai dengan pemahaman
tersebut; dan (3) pembangunan dapat dipahami dan menguntungkan
rakyat, akan tetapi rakyat tidak diikutsertakan.
Penerapan model pemberdayaan paling banyak digunakan dalam
upaya penanggulangan kemiskinan. Pada hakikatnya, pemberdayaan
merupakan penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling). Logika ini didasarkan pada asumsi
bahwa tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Setiap
masyarakat pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka
tidak menyadari, atau daya tersebut belum diketahui secara eksplisit.
Oleh karena itu daya harus digali, dan kemudian dikembangkan (Ife,
2008).
Dengan kata lain, tujuan dari pemberdayaan adalah membentuk
individu dan masyarakat yang mandiri. Kemandirian merupakan suatu
kondisi yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan,
memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi
pemecahan masalah yang dihadapi dengan mempergunakan
kemampuan dan pengerahan sumber daya yang dimiliki.
Secara regional, permasalahan mendasar yang dihadapi adalah
ketimpangan pembangunan dan pendapatan, terutama antara wilayah
perkotaan dan pedesaan. Secara sektoral, masalah utama yang dihadapi
biasanya menyangkut ketimpangan pendapatan antara sektor
pertanian primer (usahatani) dan sektor industri dan jasa; dan antara
91FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
kelompok masyarakat petani dengan kelompok masyarakat yang bukan
petani. Untuk mengurangi ketimpangan tersebut dibutuhkan upaya
pengembangan sektor ekonomi yang mampu mengintegrasikan
perekonomian antara usahatani dan industri/jasa; antara
perekonomian pedesaan dan perekonomian perkotaan; dan antara
perekonomian wilayah dataran rendah dengan perekonomian wilayah
dataran tinggi. Salah satu sektor ekonomi yang memiliki prospek sebagai
sektor unggulan pembangunan ekonomi di Indonesia adalah sektor
agribisnis. Agribisnis dapat menjadi sumber pertumbuhan ekonomi,
penyedia lapangan pekerjaan, mengembangkan pembangunan daerah
dan sumber devisa yang besar (Saragih, 2001).
Merujuk pada Saragih (1998), sistem agribisnis adalah sebagai
wahana industrialisasi pertanian primer mencakup paling sedikit empat
subsistem yaitu agribisnis hulu (up stream agribusiness), usahatani (on
farm agribusiness), agribisnis hilir (down stream agribusiness) dan
agribisnis pendukung (supporting institution). Keseluruhan subsistem
tersebut akan dapat berkembang secara dinamis ke arah skala ekonomi
yang lebih efisien dengan syarat ada upaya peningkatan efisiensi
masing-masing komponen dan subsistem, sehingga pendapatan dan
nilai tambah terdistribusi secara merata.
Memberdayakan agribisnis sama halnya dengan pembangunan
pertanian yang identik dengan upaya pengentasan kemiskinan.
Masyarakat di daerah pedesaan merupakan bagian dari masyarakat
yang terpuruk secara struktural dan sebagian besar pendapatan rendah
dengan kualitas sumberdaya manusia yang minim serta kemampuan
permodalannya yang sangat lemah. Pendekatan yang dilakukan untuk
mengangkat derajat kehidupan petani adalah pendekatan pengentasan
kemiskinan dengan berempati pada kondisi sosiologis dari masyarakat
daerah pedesaan tersebut (Anonimous, 2001).
Dari perspektif lain, Huraerah (2005) menilai bahwa keberhasilan
pembangunan pertanian tidak hanya bergantung pada faktor teknologi
semata, tetapi juga bergantung pada sumber daya alam, sumber daya
manusia dan kelembagaan. Menurut Huraerah, faktor-faktor tersebut
saling menunjang dan merupakan satu rangkaian sistem yang tidak
dapat dipisahkan, jika salah satu atau lebih faktor tersebut tidak ada
atau tidak sesuai, maka kegiatan yang dilakukan tidak dapat
92 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
memberikan hasil yang diinginkan. Pengelolaan faktor-faktor tersebut
harus dilakukan secara berkelompok karena kelompok merupakan
suatu wadah dan wahana manusia untuk melangsungkan hidupnya.
Meminjam pemahaman yang digunakan Syahyuti (2006), tiap
kelembagaan memiliki tujuan tertentu, dan orang-orang yang terlibat
di dalamnya memiliki pola perilaku tertentu serta nilai-nilai dan norma-
norma yang sudah disepakati dan sifatnya khas. Syahyuti (2010)
memberikan pandangan bahwa pengembangan kelompok-kelompok
tani yang tergabung dalam Gapoktan merupakan suatu proses lanjut
dari lembaga petani yang sudah berjalan baik, dan pemberdayaan
Gapoktan tersebut berada dalam konteks penguatan kelembagaan.
Untuk dapat berkembangnya sistem dan usaha agribisnis diperlukan
penguatan kelembagaan baik kelembagaan petani, maupun
kelembagaan usaha dan pemerintah agar dapat berfungsi sesuai
dengan perannya masing-masing. Dengan kata lain, kelembagaan
petani dibina dan dikembangkan berdasarkan kepentingan masyarakat
dan harus tumbuh dan berkembang dari masyarakat itu sendiri. Dan
di sinilah kemudian relevannya model PUAP untuk memberdayakan
petani. Asumsinya adalah: fenomena kemiskinan di pedesaan terutama
disebabkan oleh: (1) Kurangnya akses terhadap sumber permodalan,
pasar dan teknologi; (2) Jumlah lahan yang terbatas; dan (3) Organisasi
tani yang lemah (Anonimous, 2008). PUAP mestinya mampu membuat
petani mandiri melalui bantuan dana yang bersifat langsung, apalagi
di dalam pelaksanaannya juga terdapat upaya pemberdayaan dan
pengembangan kelembagaan yang pada intinya bertujuan untuk
mensejahterakan petani.
B. 2. Metode Penelitian
Secara konseptual, pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini merujuk pada prinsip-prinsip penelitian deskriptif yang merupakan
sebuah model penelitian yang berorientasi pada upaya untuk
menggambarkan adanya hubungan antar variabel atau faktor-faktor
yang mempengaruhi munculnya suatu fenomena sosial yang dijadikan
obyek kajian.
Dari perspektif tujuan penelitian, pilihan desain atau rancangan
penelitian yang kemudian dipilih adalah desain penelitian studi kasus,
93FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
yakni penyelidikan sistematis atas suatu kejadian (event) atau gejala
khusus. Menurut Sarman ( 2004), studi kasus bukan pilihan metodologi,
melainkan sebuah obyek pilihan untuk dipelajari. Studi kasus juga
dikenal sebagai suatu studi yang bersifat komprehensif, intens, rinci
dan mendalam serta diarahkan sebagai upaya untuk menelaah
masalah-masalah atau fenomena yang bersifat kontemporer terhadap
seseorang atau suatu unit sosial selama kurun waktu tertentu. Berikut
ini adalah beberapa alasan digunakannya studi kasus sebagai
pendekatan penelitian:
1. Pelaksanaan program PUAP merupakan isu mutakhir yang
banyak menarik perhatian para pihak untuk mengetahuinya
lebih jauh. Dengan dana yang sangat besar semestinya sebuah
Gapoktan bisa mengelola agar dapat berkembang dan
berkelanjutan. Namun dalam perjalanannya diketahui ada
banyak Gapoktan yang belum bisa mengelola dana, namun tak
sedikit juga Gapoktan yang berhasil mengelola dana dan
mengembangkan usaha agribisnisnya.
2. Efektivitas pelaksanaan Program PUAP pada umumnya belum
jelas karena rentang waktu pelaksanaannya masih sangat
pendek. Melalui studi kasus peneliti dapat menelaah secara
mendalam, detail, intensif dan menyeluruh dinamika yang
terjadi pada sebuah Gapoktan yang menjadi unit analisis.
3. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan fakta yang
berkaitan dengan pertanyaan “apa”, “mengapa” dan “bagaimana”
gejala yang terjadi sehingga sebuah Gapoktan bisa berhasil
memanfaatkan program PUAP dan Gapoktan lainnya tidak.
Oleh karena itu dalam penelitian ini observasi dilakukan terhadap
dinamika kelompok dan pengembangan usaha pada Gapoktan kasus.
Sebagai sampel dipilih dua buah Gapoktan pada desa dan kecamatan
yang berbeda dengan harapan dapat memberikan pemahaman yang
komprehensif tentang gejala yang diteliti. Dua Gapoktan sampel
tersebut adalah: (1) Gapoktan Maju Bersama, Desa Bincau, Kecamatan
Martapura Kota, dan (2) Gapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam Pagar,
Kecamatan Martapura Timur.
94 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Gapoktan Maju Bersama, Desa Bincau, dipilih karena dari hasil
evaluasi Tim Evaluator Pusat ternyata Gapoktan ini selain berada dekat
dengan pusat ibukota Kabupaten Banjar, ternyata diindikasi belum
dapat mengelola dana PUAP yang dibuktikan dengan banyaknya
anggota yang menunggak maupun yang tidak mengembalikan
pinjaman. Sedangkan Gapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam Pagar
dipilih karena berdasarkan observasi pendahuluan untuk penelitian
diketahui telah dapat mengembangkan dana PUAP dengan nilai yang
cukup besar dan mampu menambah jumlah anggota yang
mendapatkan dana PUAP, padahal lokasinya agak jauh dari pusat
ibukota Kabupaten Banjar.
Dengan merujuk pada model studi kasus, maka dalam penelitian
ini digunakan metode triangulasi yang berbasis pada tiga sumber data
yaitu pengamatan (observasi) atas hasil kinerja Gapoktan, wawancara
dengan narasumber (pengurus Gapoktan terpilih), dan verifikasi
dokumen (terutama yang berkaitan dengan Dokumen PUAP, dokumen
Rencana Usaha Bersama (RUB), Buku Kas). Metode triangulasi ini secara
umum dipahami sebagai suatu proses yang menggunakan multi
persepsi untuk membuat klarifikasi makna informasi yang diperoleh
di lapangan, membuat verikasi atas pengulangan observasi dan
akhirnya melakukan interpretasi atas semua itu (Sarman, 2004).
C. HASIL PENELITIANC. 1. Gambaran Kondisional Pelaksanaan Program PUAP
Dalam pelaksanaan pembangunan pertanian, sebagian besar
pelaku/petani menghadapi kendala dalam permodalan, baik modal
yang dari sendiri maupun akses terhadap lembaga permodalan yang
ada. Dalam mengatasi keterbatasan modal petani tersebut, pemerintah
melalui dana APBN mengambil inisiatif untuk memberikan bantuan
modal dalam bentuk Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) kelompok
tani/Gapoktan. Pola BLM telah dimulai sejak tahun 2000 dan berlanjut
sampai dengan tahun 2008 melalui Program PUAP dan berlanjut
hingga 2010. Adapun yang menjadi dasar pelaksanaan Program PUAP
adalah PERMENTAN Nomor 16/Permentan/OT.140/ 2/2008 tentang
Pedoman Umum (PEDUM).
95FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Untuk pelaksanaan PUAP, Menteri Pertanian membentuk Tim
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan melalui Keputusan Menteri
Pertanian (Kepmentan) Nomor 545/Kpts/OT.160/9/2007 yang
diketuai oleh Kepala Badan Pengembangan SDM dan dibantu oleh
Staf Khusus Menteri Pertanian Bidang Peningkatan Efisiensi
Pembangunan Pertanian dan Kepala Pusat Pembiayaan Pertanian
sebagai Sekretaris. Di tingkat provinsi diketuai oleh salah satu Kepala
Dinas Lingkup Pertanian dengan Sekretaris adalah Kepala (BPTP)
sedangkan anggota berasal dari instansi terkait lainnya. Di tingkat
kabupaten diketuai oleh salah satu Kepala Dinas Lingkup Pertanian
dan Sekretaris adalah Kepala Kelembagaan yang menangani Penyuluh
Pertanian, sedangkan anggota Tim Pelaksana adalah Penyelia Mitra
Tani (PMT) dan instansi terkait lainnya.
Di tingkat kecamatan diketuai oleh Camat dibantu oleh Kepala
Balai Penyuluhan Pertanian (BPP) sebagai sekretaris, Kantor Cabang
Dinas Pertanian (KCD) dan kepala desa lokasi PUAP sebagai anggota,
dan di tingkat desa terdiri dari Gapoktan dan Penyuluh Pendamping.
Tugas utama dari Tim Teknis Kecamatan adalah melaksanakan
kebijakan teknis yang dirumuskan oleh Bupati/Walikota dan
pengendalian pelaksanaan PUAP di tingkat Desa lingkup kecamatan
(Rivai, 2010).
Di Kabupaten Banjar, pada tahun 2008 terdapat 35 Gapoktan
pada 35 desa yang menjadi lokasi PUAP. Selanjutnya Bupati Banjar
menetapkan 35 Gapoktan tersebut sebagai Gapoktan Penerima Dana
PUAP di Kabupaten Banjar pada Tahun 2008, sebagaimana yang
tertuang dalam Surat Keputusan Bupati Banjar Nomor 354 Tahun 2008
tanggal 30 April 2008. Sebelumnya Bupati Banjar juga mengeluarkan
Keputusan Nomor 349 Tahun 2008 tentang Pembentukan Tim Teknis
Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP) Kabupaten Banjar
tanggal 29 April 2008, dan Keputusan Nomor 350 Tahun 2008 tentang
Pembentukan Tim Teknis Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan
(PUAP) Tingkat Kecamatan di Kabupaten Banjar Tahun 2008 tanggal
29 April 2008. Dalam semua Surat Keputusan tersebut terurai dengan
jelas tugas dan tanggung jawab setiap orang tergantung kedudukannya
masing-masing di dalam Gapoktan maupun di dalam tim.
96 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Tugas utama dari tim Teknis Kabupaten/Kota adalah merumus-
kan kebijakan teknis pengembangan PUAP sebagai penjabaran dari
kebijakan umum pusat dan kebijakan teknis provinsi, mengkoordi-
nasikan pelaksanaan PUAP dengan PNPM Mandiri di tingkat
kabupaten/kota, menyetujui RUB yang diusulkan Gapoktan dan
melakukan pengendalian pelaksanaan PUAP di tingkat kecamatan dan
desa. Tim pelaksana ini bertanggung jawab kepada Bupati Banjar selaku
Ketua Tim Pengarah PUAP.
Gapoktan merupakan kelembagaan tani pelaksana PUAP untuk
penyaluran bantuan modal usaha bagi anggota kelompoktani.
Gapoktan dikukuhkan oleh Bupati dengan susunan terdiri dari Ketua,
Sekretaris dan Bendahara. Tugas pengurus Gapoktan adalah menyusun
RUB, melaksanakan pertemuan rutin, menyalurkan dan memantau
penggunaan dana BLM-PUAP kepada anggota serta menyusun laporan
pelaksanaan PUAP.
Pada tahun 2008 Kabupaten Banjar mendapatkan program BLM-
PUAP sebanyak 35 Gapoktan yang tersebar di 11 kecamatan,
sedangkan pada tahun 2009 Gapoktan yang ditetapkan untuk
mendapat program BLM-PUAP sebanyak 23 Gapoktan yang tersebar
di 9 Kecamatan (Tabel 1). Dengan demikian, setiap Camat yang salah
satu atau beberapa desanya menerima program PUAP, maka Camat
dan Kepala BPP di wilayah tersebut menjadi Tim PUAP Kecamatan.
Untuk mengendalikan pelaksanaan PUAP tahun 2008-2009 di
Kabupaten Banjar telah dilakukan beberapa kegiatan, salah satunya
adalah dengan melakukan kunjungan lapangan dalam rangka kegiatan
monitoring dan evaluasi pada Triwulan IV tahun 2009 yang dibentuk
dalam kelompok kerja Tim Kabupaten. Dari kegiatan monitoring dan
evaluasi ini dapat diketahui berbagai aktivitas yang dilakukan oleh
Gapoktan penerima PUAP tahun 2008 dan 2009, bagaimana
penyaluran dan pemanfataan dana PUAP yang telah diterima oleh
Gapoktan, serta kemungkinan apa saja yang terjadi selama pelaksanaan
program tersebut.
97FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Tabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang MendapatTabel 1. Daftar Wilayah Balai Penyuluhan yang Mendapat
Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.Program PUAP Tahun 2008-2009 di Kabupaten Banjar.
Sumber: Bapeluh Kabupaten Banjar, 2010
Dari hasil pemantauan Tim Monitoring dan Evaluasi Kabupaten
terhadap 35 Gapoktan penerima dana PUAP tahun 2008 yang tersebar
di 11 kecamatan ditemukan fakta bahwa sebagian besar Gapoktan
masih mempunyai permasalahan yang hampir sama, yaitu minimnya
kemampuan membuat administrasi pembukuan. Masalah lain adalah
masih terdapat pengurus Gapoktan yang belum menyadari akan
pemanfaatan dana tersebut, yaitu untuk dikembangkan secara bergulir
dan berkelanjutan. Gagal panen ternyata menjadi alasan penerima
bantuan menunggak pembayaran, ditambah lagi dengan sistem
kesepakatan dengan sesama anggota kelompok yang belum jelas,
sehingga terkesan tidak ada yang ditanggunggugat. Sebagian kecil
anggota Gapoktan ada yang memanfaatkan dana untuk keperluan lain
yang tidak sesuai Rencana Usaha Anggota (RUA).
Fakta yang tidak jauh berbeda juga ditemukan oleh Tim Evalua-
tor Pusat pada empat desa sampel dari 35 desa penerima dana PUAP
2008 di Kabupaten Banjar. Dari hasil pemantauan mereka ditemukan
98 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
fakta bahwa hanya Desa Bawahan Selan dari keempat desa sampel
tersebut yang dapat dikategorikan berhasil mengelola dana PUAP.
Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau merupakan salah satu dari tiga
desa sampel yang cukup banyak mengalami tunggakan kredit, atau
dengan kata lain kredit macet sehingga dana tidak dapat bergulir di
masyarakat, bahkan nyaris tidak berkembang. Selain itu, juga terjadi
penyelewengan penggunaan dana karena tidak sesuai dengan Rencana
Usaha Bersama (RUB) dan kurang baiknya pembukuan keuangan
karena tidak sesuai dengan petunjuk dari Tim Teknis Kabupaten.
Bahkan, lebih parah lagi tidak dilakukan rapat bulanan anggota
Gapoktan sehingga perkembangan dana sulit terpantau.
Namun demikian pelaksanaan Program PUAP di Kabupaten
Banjar masih mempunyai harapan besar, karena masih ada Gapoktan
yang menunjukkan kinerja cukup baik. Indikasinya antara lain karena
terdapat perkembangan dana, pemanfaatan dana sesuai rencana,
administrasi pembukuan yang tertib serta meningkatnya jumlah
anggota Gapoktan yang menerima dana PUAP. Gapoktan yang
dimaksud adalah: (1) Gapoktan Bina Bersama, Desa Bunipah,
Kecamatan Aluh-Aluh; (2) Gapoktan Mitra Tani, Desa Bawahan Selan,
Kecamatan Mataraman; (3) Gapoktan Maju Bersama, Desa Tajau
Landung, Kecamatan Sungai Tabuk; (4) Gapoktan Harapan Baru, Desa
Telok Selong, Kecamatan Martapura Barat; dan (5) Gapoktan Rukun
Sejahtera, Desa Indra Sari, Kecamatan Martapura Kota. Sedangkan
observasi awal yang peneliti lakukan terhadap Gapoktan Berkat
Mufakat Desa Dalam Pagar diketahui telah terjadi perkembangan dana
yang cukup besar dalam waktu yang cukup singkat. Selain itu, dana
pun telah banyak bergulir pada anggota Gapoktan yang baru.
Program PUAP adalah salah satu program yang bertujuan untuk
mengurangi kemiskinan dan membuka kesempatan kerja melalui
penumbuhan dan pengembangan kegiatan agribisnis di perdesaan
potensi wilayah. PUAP merupakan bentuk fasilitasi bantuan modal
usaha untuk petani anggota, baik petani pemilik, petani penggarap,
buruh tani maupun rumah tangga tani yang dikoordinasikan oleh
Gapoktan. Dalam kasus dua Gapoktan, yakni Gapoktan Berkat Mufakat
dan Gapoktan Maju Bersama, dapat diidentifikasi temuan sebagai
berikut:
99FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
1 .1 .1 .1 .1 . Gapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam PagarGapoktan Berkat Mufakat, Desa Dalam Pagar
Setelah para pengurus Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam
Pagar Kecamatan Martapura Timur dan Penyuluh Pendamping
setempat mengetahui bahwa mereka termasuk sebagai salah satu
penerima PUAP yang tertuang dalam Keputusan Bupati Banjar Nomor
354 Tahun 2008 tanggal 30 April 2008, maka para pengurus Gapoktan
didampingi Penyuluh Pendampingnya segera melakukan berbagai
persiapan yang berkenaan dengan pencairan dana PUAP, termasuk
menyusun Rencana Usaha Bersama (RUB) yang dimulai dari tahap
penyusunan Rencana Usaha Anggota (RUA) dan Rencana Usaha
Kelompok (RUK). Melalui penyusunan RUA para petani diajar
Penyuluh Pendamping untuk mengenal dan berusaha memecahkan
masalah mereka sendiri dan hal ini dapat dikatakan sebagai langkah
awal dari sebuah proses pemberdayaan (empowering process).
Desa Dalam Pagar merupakan desa yang penduduknya bermata
pencaharian bukan saja dari sektor pertanian (41,50%), tapi juga dari
sektor kerajinan (45,40%). Penduduk di desa ini sejak dulu dikenal
sebagai pengrajin usaha kecil seperti sulaman, bordir, perak. Sebagian
lagi bergerak di bidang produksi kue-kue basah untuk memenuhi
permintaan konsumen di pasar Martapura. Penduduk di desa ini juga
dikenal bermata pencaharian ganda, karena tidak jarang ditemui ada
kepala rumah tangga yang menjadi petani atau peternak tapi juga
menjadi tukang, lalu istrinya menjadi pembuat kue basah, dan anak-
anaknya menjadi pengrajin perak atau sulaman. Desa Dalam Pagar
boleh dikatakan sebagai desa yang nilai kekerabatannya cukup erat
dan suasananya agamis, sehingga mayoritas penduduknya lebih
memilih untuk menempuh pendidikan di sekolah-sekolah agama. Selain
itu penduduknya merupakan penduduk asli yang lahir dan besar di
sana. Nilai-nilai agama yang kuat tersebut diduga berpengaruh
terhadap penyaluran dana PUAP dan aturan-aturan yang ditetapkan
dalam pengelolaan dana PUAP tersebut.
Dalam proses penyaluran dana PUAP, Gapoktan memiliki peran
sebagai pengambil keputusan. Pada Gapoktan Berkat Mufakat-Desa
Dalam Pagar, proses peminjaman uang lebih berdasarkan atas
kepercayaan karena mereka beranggapan telah mengenal karakter
masing-masing penduduknya. Seorang calon peminjam cukup mengisi
100 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
formulir dan memperlihatkan barang jaminan karena di desa ini
ternyata juga menggunakan akad murabahah untuk menghindarkan
riba. Mereka beranggapan jika meminjam sesuatu dalam bentuk uang
kemudian membayarnya disertai bunga sudah termasuk riba, oleh
karena itu mereka menggunakan barang yang dimilikinya sebagai
pengganti uang yang dipinjam (sistem murabahah). Pengurus Gapoktan
akan membeli barang tersebut, kemudian anggota yang meminjam uang
akan membelinya kembali dengan jalan menyicil, sehingga tidak terjadi
riba. Nilai barang yang dijadikan alat tukar disesuaikan dengan jumlah
uang yang akan dipinjam seperti yang diakui oleh G, Sekretaris Desa
Dalam Pagar, dalam wawancara pada tanggal 15 Juni 2010.
Meskipun para pengurus Gapoktan, Penyuluh Pendamping,
Aparat Desa maupun anggota Gapoktan sendiri sudah mengetahui
bahwa dana PUAP semestinya hanya disalurkan kepada petani, buruh
tani maupun rumah tangga tani yang menjadi anggota Gapoktan,
ternyata ada sebagian dana yang disalurkan kepada bukan anggota
Gapoktan, tetapi kepada para pengrajin usaha kecil, yaitu pengrajin
sulaman dan pembuat perhiasan perak. Hal tersebut sudah menjadi
kesepakatan dan merupakan hasil rapat anggota Gapoktan dengan
aparat desa serta Penyuluh Pendamping, meskipun dalam Rencana
Usaha Bersama (RUB) yang mereka susun tetap merupakan usaha
agribisnis. Menurut pengakuan Gun, informan yang menjadi pengurus
Gapoktan Berkat Mufakat hal ini dilakukan untuk membantu semua
warga desa.
“Kami tidak bisa meminjamkan dana kepada petani saja, tapi
juga kepada pengrajin, karena jumlah pengrajin di desa kami
hampir separo dari jumlah penduduk di sini. Mereka biasanya
membuat kerajinan sulaman dan pembuat emas. Ada juga yang
berjualan kue basah di pasar. Mereka juga perlu bantuan modal,
tapi mereka dapat dari mana? Mau pinjam di bank kan susah.
Kemarin ada bantuan mesin jahit dari pemerintah, tapi tidak
ada yang dalam bentuk modal, padahal itu yang lebih mereka
perlukan. Jadi dari hasil rapat kami putuskan sekitar 60% dana
untuk petani dan sisanya untuk pengrajin. Di sini kami
mengutamakan kebersamaan. Dan yang penting mereka bisa
101FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
lancar membayar cicilan, dana tidak hilang dan dapat terus
berkembang” (Wawancara dengan Gun, 1 Juni 2010).
Ketika dikonfirmasi dengan salah satu pengrajin di Desa Dalam
Pagar (bernama Dun) yang meminjam dana PUAP untuk usaha
sulaman, ternyata ada perkecualian dalam pelaksanaan program, dan
kebetulan tidak menimbulkan masalah.
“Saya meminjam lima ratus ribu untuk modal beli kain dan
benang. Memang katanya tidak boleh, tapi kami kan lancar
bayar cicilan ditambah uang jasa. Kami ini masyarakat kecil
yang perlu dibantu juga oleh pemerintah. ” (Wawancara dengan
D, 3 Juni 2010).
Rasa saling percaya, kekeluargaan, kebersamaan di antara anggota
Gapoktan dan masyarakat rupanya cukup dapat mendukung pengurus
Gapoktan Berkat Mufakat untuk aktif dalam kepengurusan mereka.
Meskipun secara administrasi tata kelola pembukuan mereka masih
belum bisa dikatakan baik, namun dengan adanya Program PUAP para
pengurusnya telah belajar membuat peraturan atau aturan main yang
telah disepakati bersama di antaranya dengan membentuk “kelompok
penagih” yang terdiri dari pengurus Kelompok Tani Sepakat dan
pengurus Kelompok Tani Mufakat. Setiap tanggal 15 para pengurus
Poktan yang tergabung dalam “kelompok penagih” akan mengadakan
pertemuan dan selanjutnya akan berkeliling desa guna menagih cicilan
kepada setiap peminjam dana PUAP di desa mereka. Para pengurus,
anggota dan aparat desa juga sepakat untuk memotong dana sebesar
56,28% dari laba yang diperoleh setiap bulannya guna operasional
pengurus Gapoktan dan 14,07% untuk biaya administrasi. Para
pengurus memiliki semangat bekerjasama dalam kepengurusannya.
Adanya “kelompok penagih” ini nampaknya cukup efektif untuk
mengembangkan dana PUAP yang ada. Apalagi sebagian besar
peminjamnya bukanlah petani yang memiliki resiko gagal panen atau
peternak yang berisiko ternaknya mati, melainkan para pengrajin yang
memiliki resiko usaha cukup rendah namun memiliki nilai jual produksi
yang cukup tinggi. Akibatnya mereka dapat lebih mampu membayar
meskipun jasa yang dikenakan cukup besar, yaitu 2% per bulan dari
102 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
plafon pinjaman. Perkembangan dana yang cukup signifikan pada
Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar ini dapat dilihat pada
Tabel 2 yang menggambarkan alur dana program.
Tabel 2.
Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Gapoktan
Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar Periode Maret - September 2009
Sumber: Laporan Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar Periode Maret - September
2009. Diolah.
Berdasarkan laporan terakhir Gapoktan Berkat Mufakat-Desa
Dalam Pagar dari bulan Maret hingga September 2009 telah berhasil
disalurkan dana sebesar Rp168.350.000 kepada 142 orang anggota
melalui dua tahap pencairan. Pada tahap I (Maret 2009) disalurkan
dana sebesar Rp87.500.000, yang murni berasal dari dana PUAP.
Selanjutnya pada tahap II (April–September 2009) disalurkan dana
sebesar Rp80.850.000 yang berasal dari dana PUAP dan angsuran
anggota. Selama kurun waktu enam bulan dari Maret hingga Septem-
ber 2009 telah kembali dana sebesar Rp86.532.250, dengan rincian
Rp71.460.625 dari cicilan pokok dan Rp15.071.625 sebagai keuntungan
Gapoktan. Dengan demikian masih tersisa Rp96.889.375 (57,55%) dari
dana pokok yang belum kembali. Keuntungan sebesar Rp15.071.625
diperoleh berdasarkan akad jual beli dengan sebesar 2% per bulan dari
plafon pinjaman.
Pada Gapoktan ini sebenarnya juga masih terdapat anggota yang
menunggak pembayaran, namun demikian dengan dana yang telah
berkembang tadi ternyata sudah dapat digulirkan ke anggota baru.
Dari 15 orang sampel diperoleh informasi bahwa terdapat sebelas
orang yang lancar membayar cicilan (73,33%), dan empat orang yang
melakukan tunggakan (26,67%). Alasan penunggakan mereka karena
uang digunakan untuk keperluan keluarga dan karena ternak mereka
mati.
103FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Penyuluh Pendamping di desa ini pun cukup aktif membina
petaninya sehingga masalah-masalah yang dihadapi petani dapat
diakomodir. Penyuluh Pendamping memegang peranan yang cukup
penting dalam menyampaikan materi penyuluhan maupun ide-ide
baru. Para penerima dana PUAP di Gapoktan Desa Dalam Pagar ini
merasakan manfaat yang cukup besar dari bantuan modal yang mereka
peroleh, karena sebelumnya ada sebagian yang meminjam dana dari
rentenir dengan bunga yang besar. Dana yang berkembang hingga
September 2009 telah dapat dirasakan oleh 128 orang penduduk di
desa tersebut.
Meskipun penyaluran dana di Gapoktan ini belum sepenuhnya
sesuai sasaran PUAP, namun dari dana yang dipinjamkan tersebut
telah dapat meningkatkan hasil produksi kerajinan perak. Menurut
penuturan As, pada wawancara tanggal 12 Juni 2010, dengan bantuan
dana PUAP sebesar Rp1.000.000, dia dapat menambah jumlah cincin
perak kerajinannya, sehingga penghasilannya tidak hanya tergantung
dari jumlah upahan membuat cincin saja. Hal senada juga diungkapkan
oleh Muh pada tanggal yang sama yang telah dapat menambah
populasi ternak itiknya dari pinjaman sebesar Rp1.500.000 yang ia
terima. Namun demikian, para petani dan pengrajin di desa ini tetap
membutuhkan pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan kemampuan
usaha mereka.
PUAP sebagai sesuatu yang baru ternyata telah mulai dapat
berdifusi di masyarakat, karena ada dukungan dari anggota Gapoktan
dan masyarakat sebagai anggota suatu sistem sosial. Selain itu juga
telah ada Gapoktan sebagai wadah komunikasi yang kepengurusannya
cukup aktif selama Program PUAP ini berlangsung.
2 .2 .2 .2 .2 . Gapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa BincauGapoktan Maju Bersama, Desa Bincau
Setelah mengetahui Gapoktannya merupakan salah satu desa
penerima Program PUAP, maka langkah selanjutnya Gapoktan Maju
Bersama mulai mengadakan rapat guna menyusun langkah
selanjutnya, terutama yang berkaitan dengan pencairan dana. Langkah
pertama adalah menyusun Rencana Usaha Anggota (RUA), kemudian
dari RUA akan disusun menjadi Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan
selanjutnya disusun menjadi Rencana Usaha Bersama (RUB). RUB
104 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
harus disahkan melalui Rapat Anggota untuk melengkapi persyaratan
administrasi pengajuan dana PUAP. RUB merupakan sebuah rencana
usaha untuk pengembangan usaha agribisnis yang disusun oleh
Gapoktan berdasarkan kelayakan usaha dan potensi desa. Dari sebuah
RUB akan diketahui secara umum identitas Gapoktan (nama, alamat
Gapoktan, tanggal pengukuhan/pendirian, pengurus, nomor rekening,
nama dan alamat bank), jenis usaha produktif, satuan volume dan
nilainya.
Berdasarkan wawancara yang dilakukan kepada Yun, Bendahara
Gapoktan Maju Bersama pada tanggal 28 April 2010, diketahui bahwa
Gapoktan ini hanya beberapa kali melakukan rapat anggota, itu pun
hanya pada saat penyusunan RUB di bulan Agustus 2008 dan saat
penyaluran dana di bulan April. Anggota sangat sulit dihadirkan dalam
rapat anggota dengan berbagai alasan, akibatnya banyak hal yang tidak
dapat dikomunikasikan dengan pengurus Gapoktan maupun sesama
anggota. Hal tersebut juga dibenarkan oleh Ek, Penyuluh Pendamping
desa setempat.
“Saya sudah berusaha melakukan pendampingan mulai dari
penyusunan RUA hingga RUB. Pada awalnya anggota antusias
berhadir dalam rapat. Para anggota kami ajarkan menyusun
rencana usahanya sendiri. Hanya saja setelah dana cair sangat
sulit mengumpulkan mereka meskipun sudah diundang secara
lisan dan tulisan. Katanya, kalau rapat nanti ditagih
pinjamannya, makanya sebagian jadi malas datang”
(Wawancara dengan Ek, 12 Mei 2010).
Pada bulan Maret 2009, berdasarkan usulan dari Tim Pembina
Tingkat Provinsi, Pusat Pembiayaan Pertanian telah memproses
pencairan dana BLM-PUAP melalui KPPN Jakarta V kepada rekening
Gapoktan melalui Bank BRI yang ditetapkan oleh Departemen
Pertanian sebesar Rp100 juta. Sesuai prosedur penarikan dana,
Pengurus Gapoktan PUAP selanjutnya menginformasikan kepada
seluruh petani anggota melalui Poktan bahwa dana PUAP telah masuk
ke rekening Gapoktan. Seluruh Poktan diminta oleh Pengurus Gapoktan
untuk menentukan jadwal penarikan sesuai dengan RUK dan Pengurus
Poktan meminta kepada seluruh petani anggota untuk menentukan
105FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
jadwal penarikan sesuai dengan RUA. Penarikan dana BLM-PUAP
dari Kantor Bank Cabang/Unit Bank Penyalur dilaksanakan secara
bertahap sesuai dengan jadwal pemanfaatan yang disepakati pada
Rapat Anggota dan formulir penarikan dana PUAP harus
ditandatangani oleh Ketua dan Bendahara Gapoktan.
Sesuai prosedur penyaluran dana PUAP, setelah dana berada di
Gapoktan, dana akan diserahkan kepada Ketua Poktan sesuai dengan
RUK, selanjutnya menjadi tugas ketua Poktan untuk menyalurkan dana
tersebut kepada anggota kelompok tani sesuai dengan RUA. Anggota
Gapoktan Maju Bersama ini semuanya adalah petani sayur, oleh karena
itu dana disalurkan sesuai dengan jenis usaha mereka, hanya ada satu
orang yang menggunakannya untuk membeli ternak sapi. Dari hasil
wawancara dengan sejumlah narasumber dapat diketahui bahwa para
penerima dana PUAP di Gapoktan Maju Bersama-Desa Bincau ini
memang berprofesi sebagai petani sayur dan layak menerima dana
tersebut, karena meskipun mereka hanya petani, namun mereka
memiliki usaha dan punya potensi untuk mengembalikan pinjaman.
Pada Gapoktan Maju Bersama-Desa Bincau para anggota dan
pengurus Gapoktan sepakat untuk menerapkan aturan yang ketat
dalam peminjaman uang. Bagi petani yang akan meminjam uang, selain
harus sudah menjadi anggota Gapoktan, dia juga harus memenuhi
kelengkapan permohonan pinjaman/kredit. Hal ini terungkap dari
hasil wawancara dengan sejumlah Gapoktan Maju Bersama Desa
Bincau, termasuk D.
“Kemarin waktu mau pinjam saya harus mengisi formulir kredit,
formulir informasi pokok, menyerahkan fotocopy KTP suami
dan istri, fotocopy kartu keluarga, fotocopy kartu anggota dan
pas foto. Terus pakai materai” (Wawancara dengan D, 8 Mei
2010).
Namun aturan yang ketat pada saat peminjaman uang ternyata
tidak menjamin para peminjam memiliki kesadaran untuk
mengembalikan pinjaman. Apalagi tidak pernah disepakati adanya
sanksi bagi anggota yang tidak pernah membayar pinjaman maupun
yang menunggak pembayaran. Dari wawancara yang dilakukan
kepada sejumlah anggota dan verifikasi dengan pengurus Gapoktan,
106 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
serta merujuk pada buku kas Gapoktan, diperoleh fakta bahwa dari
15 orang anggota Gapoktan yang diwawancarai ternyata hanya tujuh
orang (46,67%) yang lunas membayar pinjaman disertai uang jasa
sebesar 0,5% dari total pinjaman, empat orang menunggak (26,47%)
dan empat orang lainnya (26,47%) tidak pernah membayar cicilan
meskipun disepakati tempo peminjaman selama 12 bulan.
Ketika ditanyakan alasan mengapa mereka menunggak
pembayaran atau tidak pernah mengembalikan pinjaman, ternyata
jawabannya beragam. Ada yang beralasan karena gagal panen, atau
beralasan tidak ada yang menagih, dan juga karena uang PUAP telah
digunakan untuk keperluan keluarga (seperti yang dikemukakan oleh
Sus). Ada pula yang beralasan uangnya telah hilang dicuri maling
sebelum sempat dimanfaatkan untuk modal usaha (seperti yang
dikatakan oleh Par). Sedangkan Sus pada wawancara tanggal 2 Mei
2010 mengaku menunggak karena ikut-ikutan saja, karena dia melihat
banyak anggota lain yang menunggak dan mereka tidak mendapatkan
sanksi apa pun. Nampaknya sikap saling percaya (trust), keterikatan
(cohesiveness) dan saling mendukung (supportiveness) di Gapoktan
ini agak kurang. Para petani yang tergabung dalam Gapoktan Maju
Bersama-Desa Bincau mayoritas bukanlah penduduk asli Desa Bincau.
Penduduk di desa ini umumnya merupakan pendatang dari tempat
yang berbeda, kemudian membeli tanah dan mendirikan rumah di desa
ini. Hal ini diduga menjadi penyebab mengapa rasa kekerabatan di
antara mereka agak kurang.
Alasan penunggakan yang agak berbeda dikemukakan oleh Muh,
pada wawancara tanggal 29 April 2010. Dia menggunakan dana PUAP
jusru untuk dana talangan.
“Sebelum uang PUAP cair kebetulan saya sudah minjam uang
dari PT Pupuk Kaltim. Kemarin agunannya rumah, jadi terpaksa
uang hasil usaha saya bayarkan dulu ke Pupuk Kaltim, nanti
kalau sudah lunas baru saya kembali membayar cicilan PUAP”
(Wawancara dengan M, tanggal 29 April 2010)
Banyaknya anggota Gapoktan penerima dana PUAP yang
menunggak maupun yang tidak membayar cicilan ternyata berimplikasi
terhadap perkembangan dana PUAP itu sendiri. Pada Gapoktan Maju
107FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Bersama-Desa Bincau hanya terjadi sedikit perkembangan dana. Dari
Rp100.000.000 yang disalurkan kepada 53 orang anggota dengan
jangka waktu pinjaman 12 bulan, pada kondisi April 2010 uang pokok
yang kembali hanya Rp47.812.500 (47,81%) ditambah jasa sebesar 0,5%
dari pinjaman sehingga diperoleh keuntungan Rp1.319.500. Berarti
Rp52.187.500 (52, 19% ) uang pokok masih di tangan anggota (Tabel 3).
Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada Tabel 3. Realisasi penyaluran dan pengembalian dana PUAP pada
Gapoktan Gapoktan Gapoktan Gapoktan Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010Maju Bersama Desa Bincau Periode Maret 2009 - April 2010
Sumber: Buku kas Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau periode Maret 2009 – April 2010. Diolah.
Meskipun sebagian besar anggota Gapoktan Maju Bersama Desa
Bincau tidak lancar mengembalikan pinjaman, namun dari cicilan yang
sudah diterima kemudian dipinjamkan kembali kepada anggota yang
telah melunasi pinjamannya, dan beberapa anggota baru lainnya. Fakta
lain, meskipun banyak anggota yang menunggak namun mereka
merasakan manfaat yang cukup besar dari dana PUAP yang diperoleh,
apalagi nilai yang diterima cukup besar untuk menambah modal usaha.
Hal itu dilakukan misalnya oleh F, salah seorang anggota Gapoktan
Maju Bersama-Desa Bincau, yang mengaku bahwa bantuan PUAP
sangat bermanfaat, terutama di saat panen sawi dan timun sedang
gagal yang menyebabkan modal tanam habis. Dengan bantuan dari
PUAP senilai Rp1.400.000, F dapat memulai usahanya kembali dan
memperluas areal usahanya dari lima borong menjadi tujuh borong,
meskipun tanahnya hanya berstatus pinjaman. Dari peningkatan areal
tanam itu F dapat meningkatkan produksi sayurnya; dan F pun dapat
lancar membayar pinjaman pada tahap pertama. Bahkan kemudian
dia meminjam lagi sebesar Rp3.000.000 untuk tahap kedua yang
dipergunakan untuk membeli bibit, obat-obatan serta pupuk.
Di desa kasus, Gapoktan yang telah terbentuk boleh dibilang tidak
aktif, dan bahkan setelah ada program PUAP. Namun demikian,
108 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
sejumlah anggota Gapoktan penerima dana PUAP rupanya tidak
tergantung pada aktivitas pengurus Gapoktan. Sebagai contoh kasus F
misalnya, mengaku tetap berusaha melaksanakan kewajibannya
sebagai peminjam. Hal tersebut juga diakui oleh Y, salah seorang
pengurus Gapoktan. Menurutnya tidak aktifnya kepengurusan
Gapoktan serta belum optimalnya pendampingan dari Penyuluh
Pendamping membuat banyak hal tidak dapat didiskusikan dan
dipecahkan oleh anggota-anggota Gapoktan maupun Pengurus
Gapoktan sendiri. Lokasi tempat tinggal anggota dan pengurus
Gapoktan memang terpisah dengan pusat pemerintahan Desa Bincau
sendiri, sehingga hal ini diduga menjadi penyebab kurang optimalnya
pendampingan Penyuluh setempat.
Menurut E, Penyuluh Pendamping desa setempat, Gapoktanlah
yang sebenarnya bertanggung jawab terhadap kelancaran pembayaran
cicilan PUAP (Wawancara tanggal 28 Mei 2010). Sedangkan menurut
pendapat B, pejabat pelaksana di Badan Pelaksana Penyuluhan
Kabupaten Banjar, Gapoktan berfungsi sebagai executing dalam
penyaluran dana PUAP, sehingga Gapoktan seharusnya memiliki SDM
yang mampu mengelola usaha agribisnis dan mempunyai
kepengurusan yang aktif. Terjadinya tunggakan ini menurutnya antara
lain diduga karena terlalu singkatnya waktu sosialisasi PUAP,
kurangnya komitmen penerima bantuan terhadap dana yang diterima
dan tidak maksimalnya pembinaan yang dilakukan oleh Penyuluh
Pendamping, PMT dan Tim Teknis Kabupaten (wawancara tanggal
24 Juni 2010).
Dari penelusuran di lapangan diperoleh informasi bahwa belum
terjadi peningkatan kemampuan usaha pada anggota Gapoktan Maju
Bersama Desa Bincau karena memang amat tidak memadai peran
Penyuluh Pendamping. Dalam pemahaman warga masyarakat anggota
Gapoktan, seorang Penyuluh Pendamping semestinya melakukan
pendampingan bukan saja karena ada Program PUAP. Menurut
pengakuan H, anggota Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau, mereka
sangat memerlukan bimbingan dalam berusaha tani, terutama pada
saat pertanaman dan ketika mengalami serangan hama penyakit yang
cukup meresahkan.
109FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Anggota Gapoktan lain, T pada wawancara tanggal 15 Mei 2010
mengungkapkan bahwa Penyuluh Pendamping memang telah
memberikan pendampingan, namun sayangnya materi yang diberikan
terkadang kurang menyentuh kebutuhan mereka. Para petani sangat
membutuhkan ide-ide baru yang dapat mengubah hasil usaha mereka
ke arah yang lebih baik. Demikian pula halnya dengan Program PUAP
dapat dikategorikan sebagai suatu ide baru (inovasi) yang harus
didifusikan oleh seorang Penyuluh Pendamping sebagai agen pembaru
kepada para anggota Gapoktan. Namun kenyataannya kebutuhan
petani tersebut belum sepenuhnya dapat dipenuhi oleh Penyuluh
Pendamping desa mereka
C. 2. Evaluasi Program Pemberdayaan
Program PUAP merupakan salah satu model intervensi kepada
komunitas yang harus melibatkan kreativitas dan kerjasama
masyarakat atau kelompok-kelompok masyarakat yang tergabung di
dalam Gapoktan. Kreativitas dan kerjasama anggota-anggota
Gapoktan antara lain harus diwujudkan dalam proses penyusunan
RUB yang sebenarnya bersifat formal. Semua anggota semestinya
mengetahui dan menjalankan rencana tersebut karena RUB sudah
disahkan melalui rapat anggota dan sudah bersifat aspiratif.
Penyusunan RUB pada Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau dan
Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar telah melalui proses rapat
yang dihadiri oleh pengurus Gapoktan, anggota Gapoktan dan
Penyuluh Pendamping, sehingga RUB tersebut sudah diketahui dan
disahkan oleh peserta rapat, dan boleh dikatakan sudah bersifat
bottom up yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat.
Dengan diikutkannya anggota Gapoktan dalam rapat penyusunan
RUB (perencanaan) tersebut berarti anggota Gapoktan telah ikut
berpartisipasi dalam salah satu tahap proses pembangunan. Partisipasi
sendiri merupakan satu bagian penting dari pemberdayaan dan
penumbuhan kesadaran. Hal ini seperti yang digagas oleh Ife (2008),
bahwa semakin banyak orang yang menjadi peserta aktif dan semakin
lengkap partisipasinya, semakin ideal kepemilikan dan proses
masyarakat serta proses-proses inklusif yang akan diwujudkan.
110 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Dari penelitian ini juga dapat diketahui bahwa RUB disusun
berdasarkan Rencana Usaha Kelompok (RUK), sedangkan RUK
disusun berdasarkan Rencana Usaha Anggota (RUA) yang merupakan
hasil pemetaan masalah dan kebutuhan dari anggota (masyarakat).
Dari fakta tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa masyarakat sudah
mulai belajar mengenal dan berusaha memecahkan masalah mereka
sendiri, dan hal sebenarnya menggambarkan suatu proses
pemberdayaan (empowering process) sebagaimana pendapat Chambers
(2002), bahwa partisipasi dimaknai sebagai suatu proses yang
memampukan (enable) masyarakat lokal untuk melakukan analisis
masalah mereka, memikirkan cara mengatasinya, mendapatkan rasa
percaya diri untuk mengatasi masalah, mengambil keputusan sendiri
tentang alternatif pemecahan masalah apa yang mereka pilih.
Dari proses partisipasi tersebut di atas diharapkan masyarakat
mempunyai rasa memiliki (sense of belonging) terhadap program
tersebut sehingga mereka merasa ikut bertanggungjawab terhadap
keberhasilan sebuah program. Tumbuhnya rasa memiliki (sense of be-
longing) ini adalah salah satu tujuan dari pembangunan partisipatif.
Hal ini seperti yang dibayangkan oleh Wrihatnolo (2007), bahwa proses
pemberdayaan hendaknya meliputi enabling (menciptakan suasana
kondusif), empowering (penguatan kapasitas dan kapabilitas
masyarakat), protecting (perlindungan dari ketidaadilan), supporting
(bimbingan dan dukungan) dan foresting (memelihara kondisi yang
kondusif tetap seimbang). Pada gilirannya diharapkan akan terwujud
kapasitas ketahanan masyarakat secara lebih bermakna, bukan
sebaliknya bahwa stimulan dan proses menjebak masyarakat dalam
suasana yang penuh ketergantungan.
Dalam model pemberdayaan masyarakat diperlukan adanya peran
pelaku perubahan (Ife, 2002). Bahkan dalam diskursus komunitas,
pelaku perubahan memegang peran sebagai community worker
ataupun enabler. Penyuluh Pendamping dalam Program PUAP
berperan sebagai community worker , dan mestinya mampu
menunjukkan sekurang-kurangnya empat peran dan keterampilan
utama yang nantinya secara lebih spesifik akan mengarah pada teknik
dan keterampilan tertentu yang harus dimiliki seorang community
111FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
worker sebagai pemberdaya masyarakat, yakni: (1) peran dan
keterampilan fasilitatif (facilitative roles and skills); (2) peran dan
keterampilan edukasional (educational roles and skills);(3) peran dan
keterampilan perwakilan (representational roles and skills); dan (4)
peran dan keterampilan teknis (technical roles and skills).
Dalam proses pemberdayaan yang pada hakikatnya merupakan
upaya penciptaan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi
masyarakat berkembang (enabling) didasarkan pada asumsi bahwa
tidak ada masyarakat yang sama sekali tanpa daya. Setiap masyarakat
pasti memiliki daya, akan tetapi kadang-kadang mereka tidak
menyadari, atau daya tersebut belum diketahui secara eksplisit. Oleh
karena itu daya harus digali, dan kemudian dikembangkan. Dari
penelitian ini tampaknya petani-petani anggota Gapoktan Maju
Bersama Desa Bincau maupun petani dan peternak anggota Gapoktan
Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar serta para pengrajin di desa Dalam
Pagar yang juga menerima dana PUAP sebenarnya memiliki daya yang
harus terus digali dan dikembangkan.
Meskipun dengan menerima dana PUAP telah mampu
meningkatkan aktivitas agribisnis para petani, namun mereka tetap
membutuhkan pelatihan dan pembinaan. Selama ini materi yang
disampaikan oleh Penyuluh Pendamping sebagian besar kurang
menyentuh kebutuhan mereka, terutama jika dikaitkan dengan usaha
pengembangan agribisnis. Penyuluh Pendamping sendiri belum
mendapatkan pelatihan khusus mengenai strategi pengembangan
usaha agribisnis, padahal pelatihan merupakan peran edukasional yang
paling spesifik karena secara mendasar memfokuskan pada upaya
mengajarkan komunitas sasaran bagaimana cara melakukan sesuatu
hal yang akan berguna bagi mereka secara khusus dan lebih luas lagi
kepada komunitasnya.
Namun demikian perlu digarisbawahi bahwa pelatihan pada
dasarnya hanya akan efektif bila keterampilan yang diajarkan adalah
keterampilan yang diinginkan oleh masyarakat. Bila pelatihan itu
dikemas karena pelaku perubahan (Penyuluh Pendamping) sebagai
pemberdaya masyarakat merasa bahwa warga perlu mendapatkan
pelatihan itu, si pelaku perubahan harus bersiap-siap kecewa karena
112 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
pelatihan yang dilaksanakan seringkali lebih produktif bila benar-benar
diinginkan oleh warga.
Keswadayaan anggota Gapoktan nampaknya sudah mulai tumbuh
yang dibuktikan dengan mulai berkembangnya dana PUAP di kedua
Gapoktan sampel walaupun dengan jumlah yang jauh berbeda, karena
perkembangan terbesar terjadi di Gapoktan Berkat Mufakat Desa
Dalam Pagar, dan jumlah informan yang menunggak pun lebih sedikit
daripada di Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau, yaitu hanya 26,67%.
Sedangkan pada Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau dari 15 informan
terdapat empat orang menunggak (26,47%) dan empat orang (26,47%)
tidak pernah membayar. Nampaknya berbagai usaha yang sudah
dilakukan oleh Gapoktan, Penyuluh Pendamping dan Tim Teknis untuk
mencapai berbagai sasaran PUAP masih terus harus dioptimalkan.
Membangun agribisnis berarti mengintegrasikan pembangunan
pertanian, industri dan jasa, sedangkan membangun pertanian saja
menyebabkan pertanian, industri dan jasa saling terlepas. Membangun
pertanian saja tidak mungkin mewujudkan perekonomian modern dan
berdaya saing. Oleh karena itu, tampaknya cukup relevan pendapat
Saragih (2001) bahwa kebijakan membangun agribisnis berarti juga
membangun usaha kecil menengah, koperasi, dan membangun daya
saing perekonomian, membangun dan melestarikan lingkungan hidup,
serta membangun bangsa dan negara ini seutuhnya.
C. 3. Evaluasi Pengembangan Kelembagaan
Program Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan merupakan
terobosan baru dari Departemen Pertanian Republik Indonesia yang
bertujuan mengurangi kemiskinan dan pengangguran di perdesaan
melalui fasilitasi bantuan modal usaha untuk petani anggota, baik
petani pemilik, petani penggarap, buruh tani maupun rumah tangga
tani yang dikoordinasikan oleh Gapoktan. Modal usaha ternyata
merupakan jenis bantuan yang sangat diperlukan oleh masyarakat,
khususnya para petani. Hal ini sesuai pendapat dari Lembaga Penelitian
Universitas Lambung Mangkurat dan Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Banjar (2009) ) ) ) ) yang
menyatakan bahwa bahwa bantuan modal merupakan bentuk pro-
gram yang paling besar persentasenya diharapkan membantu
113FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
memperbaiki keadaan ekonomi penduduk di Kabupaten Banjar dengan
persentase 85,2%. Program PUAP merupakan inovasi baru yang harus
didifusikan ke masyarakat agar terjadi perubahan ke arah yang lebih
baik sehingga tujuan program dapat tercapai. Difusi sendiri menurut
Hanafi (1986) merupakan suatu proses penyebaran inovasi kepada
anggota suatu sistem sosial.
Menurut Rogers (2003), ada empat unsur yang berperan dalam
proses difusi, yaitu 1) inovasi yang ; 2) dikomunikasikan melalui saluran
tertentu; 3) dalam jangka waktu tertentu; kepada 3) anggota suatu
sistem sosial. Dengan merujuk pada pendapat tersebut, dapat dikatakan
bahwa agar Program PUAP dapat didifusikan kepada petani dalam
jangka waktu tertentu, diperlukan suatu wadah sebagai saluran
informasi, dan wadah yang dimaksud tidak lain adalah Gabungan
Kelompok Tani.
Menurut Wahyu (1991) sebuah kelompok berfungsi bagi individu
dalam hal antara lain: (1) memberikan latihan dan dukungan bagi
anggota-anggotanya; (2) memberikan wadah bagi pengembangan
intelektual dan emosinya; (3) memberikan kader-referensi untuk
mengaitkan diri, sehingga muncul loyalitas, kesetiakawanan di antara
anggotanya; (4) memberikan ide-ide, tujuan-tujuan tertentu serta azas-
azas perjuangan hidupnya; dan (5) kelompok dijadikan sebagai
wahana untuk mencapai cita-citanya. Demikian pula halnya dengan
Gapoktan yang terbentuk dari kesamaan masalah yang dihadapi para
petani di suatu wilayah. Agar Gapoktan sebagai wadah komunikasi
para petani dapat melaksanakan fungsinya, dituntut adanya dinamika
kelompok.
Dalam dinamika kelompok, setiap anggota kelompok diberi
kesempatan untuk mengajukan pendapat, kritik-kritik dan lain-lain
yang membawa kemajuan kelompoknya. Desakan-desakan dari luar
biasanya lebih memperkuat rasa persatuan dan mengurangi keinginan
untuk mementingkan diri sendiri di antara anggota-anggota kelompok
yang bersangkutan. Rasa persatuan atau kekompakan (cohesiveness)
adalah daya lekat yang terjadi sebagai akibat dari kekuatan individu-
indidu yang terlihat di dalam kelompok dan untuk tetap tinggal di
dalamnya (Wahyu, 1991). Perbedaan tingkat cohesiveness di antara
Gapoktan inilah yang diduga menjadi penyebab mengapa Gapoktan
114 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar dan Gapoktan Maju Sejahtera Desa
Bincau berbeda dalam efektivitas Gapoktannya.
Pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar tingkat cohe-
siveness-nya diduga lebih tinggi jika dibandingkan dengan Gapoktan
Maju Sejahtera Desa Bincau, hal ini dibuktikan dengan adanya
kesepakatan dan kekompakan antara para anggota dan pengurus
Gapoktan Berkat Mufakat memiliki kesepakatan dan kekompakan
untuk mengelola dana yang mereka terima. Kesepakatan dan
kekompakan itu dimulai dari penyaluran dana yang dapat dinikmati
bukan hanya untuk para petani dan peternak, tapi juga untuk para
pengrajin yang mendominasi desa mereka. Cohesiveness berikutnya
mereka wujudkan dalam ‘aturan main’ pada sistem peminjaman dan
pengembalian uang. Selain ditetapkan uang jasa sebesar 2% per bulan,
juga berlaku sistem mubarahah yang bertujuan untuk menghindari
riba. Selain itu para pengurus Gapoktan atas kesepakatan anggota
Gapoktan dan aparat desa membentuk sebuah “kelompok penagihan”
yang selalu melakukan penarikan cicilan pada tanggal 15 setiap
bulannya. Kelompok penagihan yang beranggotakan para pengurus
Poktan ini pun diberi biaya operasioanal untuk melaksanakan tugas
mereka. Pada Gapoktan ini nampaknya telah mulai tumbuh upaya-
upaya untuk menguatkan kelembagaan mereka.
Pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar nampaknya
telah terbentuk budaya kelompok. Merujuk pada Amrullah (2004),
iklim yang memberikan konstribusi terhadap pembentukan budaya
kelompok mencakup: (1) Trust (kepercayaan), yaitu anggota saling
percaya satu sama lain, yang berhubungan dengan tugas dan
kepercayaan interpersonal; (2) Cohesiveness, yaitu keterikatan anggota
kelompok terhadap anggota lain, kelompok dan tugas; dan (3)
Supportiveness, yaitu adanya saling mendukung antara anggota satu
sama lain, saling memelihara dan saling menghargai.
Satu hal yang menarik pada Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam
Pagar adalah meskipun sebagian besar pendidikan penduduknya
hanya sampai tingkat dasar (37,37%) namun ternyata mereka memiliki
kesadaran cukup tinggi. Dalam pergaulan sosial mereka tampak sekali
upaya mengutamakan nilai dan rasa percaya mempercayai (trust) itu.
Nahavit dan Ghosal (1998) sebagaimana dikutip Hasbullah (2006)
115FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
meyakini bahwa pada tingkat individual, sumber trust berasal dari
adanya nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan yang dianut,
kompetensi seseorang dan keterbukaan yang telah menjadi norma di
masyarakat. Pada tingkatan komunitas, sumber trust berasal dari norma
sosial yang memang melekat pada struktur sosial setempat. Adanya
nilai-nilai yang bersumber dari kepercayaan yang dianut (Agama Is-
lam) inilah yang juga kemudian berpengaruh terhadap sistem
peminjaman dan pembayaran pinjaman yang berlaku pada beberapa
Gapoktan, yaitu Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar yang
menerapkan sistem Syariah (Mubarahah) yang bertujuan untuk
menghindari riba.
Sebuah Gapoktan akan dapat menjadi wadah komunikasi yang
efektif bagi anggota-anggotanya jika lembaga itu kuat. Merujuk pada
Ngadiyono (1984), kelompok harus merupakan kesatuan organis,
artinya sebagai satu individu yang bulat. Ini berarti bahwa tidak
dibenarkan jika ada anggota kelompok yang berbuat menyimpang dari
kesatuannya. Hanya kelompok yang kompak yang dapat mencapai
tujuan dengan cepat, efektif dan efisien. Dan di lapangan, dinamika
kelompok tersebut cukup jelas diperagakan oleh anggota Gapoktan.
Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar dapat lebih baik mengelola
dan mengembangkan dana PUAP daripada Gapoktan Maju Bersama
Desa Bincau karena anggota-anggota Gapoktan dan pengurus
Gapoktan Berkat Mufakat lebih kompak daripada anggota-anggota dan
pengurus Gapoktan Maju Bersama. Ikatan-ikatan psikologis di antara
sesama anggota kelompok, rasa saling membutuhkan dan saling
bergantung di antara sesama anggota kelompok akan dapat
menimbulkan kesadaran tanggungjawab kelompok terhadap
anggotanya. Ikatan-ikatan psikologis inilah yang kurang didapatkan
oleh anggota-anggota Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau, selain itu
interaksi antar anggotanya bisa dikatakan lemah, sehingga diduga
Gapoktan tersebut merupakan kelompok yang tidak efektif.
Pada sisi lain, hal-hal yang diduga menjadi penyebab banyaknya
tunggakan di Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau tersebut di atas
hampir serupa dengan hasil penelitian Yusuf dkk (1992) sebagaimana
dirujuk oleh Hasbullah (1995). Dari hasil penelitiannya Yusuf dkk
menemukan beberapa faktor yang menghambat kelancaran
116 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
pengembalian kredit usaha tani yaitu: (1) pengetahuan petani belum
dapat mendukung dalam memanfaatkan kredit usaha tani; (2)
kurangnya kesadaran petani memenuhi kewajibannya untuk melunasi
kredit; (3) rendahnya hasil panen yang diperoleh; dan (4) adanya
penggunaan dana kredit oleh aparat pengurus KUD.
Anggota Gapoktan Maju Bersama-Desa Bincau nampaknya belum
siap dan belum disiapkan untuk dapat menerima dan menjalankan
dana karena Gapoktan baru mulai diaktifkan pada saat desa mereka
akan menerima PUAP. Mengorganisir petani dan kelompok tani ke
dalam wadah kelembagaan yang baru seperti Gapoktan memerlukan
waktu yang cukup untuk dapat diterima dan dilaksanakan oleh
masyarakat. Tahap ini tentunya harus dimulai dari upaya pengenalan,
penyadaran serta pengembangan modal sosial yang ada di masyarakat,
terutama di kelompok tani, sehingga kelembagaan tersebut akhirnya
dapat tersosialisasi dan terintegrasi dengan baik di masyarakat.
Selanjutnya penggabungan kelompok tani terjadi bukan karena
pengaruh luar (termasuk adanya proyek), namun karena adanya
kesadaran dan kebutuhan di antara kelompok tani tersebut. Pemberian
bantuan hendaknya dilakukan secara bertahap dan melihat tingkat
kesiapan dari Gapoktan tersebut. Karena pemberian bantuan yang
sekaligus tanpa melihat tingkat kesiapan dan ketersediaan sumberdaya
yang memadai akan menyebabkan Gapoktan tadi tidak mampu
mengelola dana. Dengan demikian diharapkan Program PUAP sebagai
salah satu bagian dari proses pembangunan dapat sejalan dengan
dinamika dan aspirasi masyarakat.
Secara konseptual pembangunan merupakan proses di mana
anggota-anggota dari suatu masyarakat meningkatkan kapasitas
perorangan dan institusional mereka untuk memobilisasi dan mengelola
sumberdaya untuk menghasilkan perbaikan-perbaikan yang
berkelanjutan dan merata dalam kualitas hidup sesuai aspirasi mereka
sendiri (Amrullah, 2004). Dalam kaitan itu adanya nama ‘bantuan’
dalam pola Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) PUAP ternyata juga
menyebabkan masyarakat mengartikannya sebagai bantuan gratis dan
tidak untuk dikembalikan apalagi dikembangkan. Akibatnya proses
pengembalian dan permutaran modal di Gapoktan menjadi tidak
berjalan sebagaimana yang diharapkan. Dana yang disalurkan ini
117FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
sebaiknya dipertegas sebagai dana pinjaman langsung masyarakat
tanpa adanya unsur bantuan, walaupun sebenarnya tetap bersifat
bantuan.
Kekompakan anggota Gapoktan untuk mencapai tujuan
semestinya tidak hanya diwujudkan pada saat penyusunan Rencana
Usaha Bersama (RUA), Rencana Usaha Kelompok (RUK) dan Rencana
Usaha Bersama (RUB) saja. Memang melalui penyusunan rencana yang
mengikutsertakan semua anggota sudah bersifat partisipatif dan
aspiratif, namun itu saja belum cukup jika tidak diikuti dengan
keinginan dan kekompakan untuk melaksanakan rencana yang telah
disusun tersebut, terlebih yang menyangkut perencanaan pengelolaan
uang PUAP. Meskipun anggota Gapoktan Maju Bersama telah
diikutkan dalam penyusunan RUA, RUK dan RUB, ternyata tidak
begitu bermanfaat pada saat Program PUAP berjalan. Anggota
Gapoktan ini berjalan sendiri-sendiri dan hanya dituntut kesadaran
untuk bertanggungjawab terhadap pinjamannya masing-masing.
Pentingnya perencanaan pengelolaan dana PUAP ini sama halnya
dengan temuan Idris (2003) yang dari penelitiannya menyimpulkan
bahwa perencanaan pengelolaan dana yang didasarkan pada usulan
kebutuhan masyarakat yang diputuskan dalam forum musyawah RT
hingga tingkat kelurahan ternyata dapat memberikan peluang kepada
masyarakat untuk memberikan usulan, ide dan keinginan dalam
menghadapi masalah yang mereka hadapi.
Program PUAP merupakan salah satu strategi intervensi terhadap
komunitas, dalam hal ini adalah komunitas petani. Proses
pemberdayaan yang saat ini banyak diterapkan sebagai upaya
menanggulangi kemiskinan melalui kelompok (komunitas petani dalam
Gapoktan) diharapkan lebih cepat mencapai sasaran program daripada
dilakukan secara individual, karena di dalam kelompok akan terbentuk
perasaan senasib sepenanggungan sehingga para anggotanya akan
berusaha secara kolektif untuk bangkit dari keterpurukannya. Itulah
sebabnya secara konseptual dibutuhkan strategi intervensi. Strategi
intervensi terhadap komunitas seperti Gapoktan akan efektif jika
lembaga Gapoktannya sendiri sudah efektif, artinya kelompok yang
kreatif, efektif dan berfungsi secara baik. Menurut Wahyu (1991),
efektivitas, kreativitas atau dinamika suatu kelompok tergantung pada
118 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
anggota-anggota kelompok, sebab kelompok merupakan suatu sistem
interaksi yang terbuka. Menurutnya, interaksi di sini merupakan suatu
situasi yang di dalamnya reaksi seorang anggota merupakan balasan
atau respon terhadap reaksi anggota yang lain. Sedangkan yang
dimaksud dengan sistem terbuka ialah keadaan yang di dalamnya
individu sebagai anggota kelompok bebas untuk mengajukan gagasan-
gagasan, pikiran-pikiran atau aktivitas-aktivitas lainnya untuk
kemajuan kelompok. Wahyu menegaskan bahwa semua itu
menggambarkan dinamika kelompok.
Dalam kasus Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar
tampaknya sejumlah prasyarat untuk munculnya dinamika kelompok
berbasis sistem interaksi terbuka itu cukup terpenuhi. Paling tidak, dalam
dinamika kelompok itu sudah muncul pola komunikasi yang cenderung
informal, menyenangkan dan rileks, dilakukannya kegiatan diskusi
tugas dan tujuan kelompok dipahami dengan baik dan diterima oleh
anggota kelompok. Selain itu Gapoktan ini menyadari apa yang perlu
mereka lakukan antara lain dengan menyusun aturan dalam Gapoktan
mereka. Hal sebaliknya terjadi pada kasus Gapoktan Maju Bersama
Desa Bincau yang sebagian anggotanya masih belum memahami tugas
dan tujuan kelompok sehingga diduga belum dapat dikatakan sebagai
kelompok yang efektif.
D. KESIMPULANBerdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:
1. Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam Pagar merupakan
Gapoktan efektif, kreatif dan berfungsi cukup baik sehingga
pelaksanaan Program PUAP di desa ini efektif.
2. Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau masih belum efektif, belum
kreatif dan belum berfungsi dengan baik sehingga pelaksanaan
Program PUAP di desa ini belum efektif.
3. Para petani anggota Gapoktan Berkat Mufakat Desa Dalam
Pagar telah banyak merasakan manfaat dari Program PUAP
yang dapat dilihat dari mulai tumbuhnya keswadayaan
masyarakat dalam mengelola dana dan meningkatnya kapasitas
Gapoktan.
119FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
4. Para petani anggota Gapoktan Maju Bersama Desa Bincau belum
banyak mendapatkan manfaat dari Program PUAP yang dapat
dilihat dari minimnya jumlah pengembalian dana dan belum
meningkatnya kapasitas Gapoktan.
5. Dari perspektif model pemberdayaan masyarakat, program
PUAP pada dasarnya bisa dijadikan contoh model aplikatif
apabila dilakukan perbaikan-perbaikan berdasarkan implemen-
tasi kebijakan program di desa kasus penelitian ini.
DAFTAR RUJUKANAdi, Isbandi Rukminto. 2008. Intervensi Komunitas Pengembangan
Masyarakat sebagai Upaya Pemberdayaan Masyarakat.
Rajagrafindo Persada, Jakarta.
Adma, Ratna Yulianti. 2001. Implementasi Kebijakan Pembangunan
Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT) Terhadap
Pembangunan Desa (Studi Kasus di Kecamatan Tenggarong
Seberang Kabupaten Kutai). Program Pasca Sarjana Universi-
tas Brawijaya, Malang.
Anonimous. 2001. Membangun Pertanian Modern. Yayasan
Pengembangan Sinar Tani Indonesia, Jakarta.
_________ . 2008. GIS Kemiskinan Kabupaten Banjar. Badan Pusat
Statistik dan Bappeda Kabupaten Banjar, Martapura.
_________. 2008. Pedoman Umum Pengembangan Usaha Agribisnis
Perdesaan (PUAP). Departemen Pertanian RI, Jakarta.
_________. 2009. Kabupaten Banjar Dalam Angka. Badan Pusat
Statistik dan Bappeda Kabupaten Banjar, Martapura.
_________, 2010. Model Pengembangan Simpan Pinjam Berbasis
Masyarakat (LSP-BM). Badan Pemberdayaan Mayarakat dan
Pemerintahan Desa Propinsi Kalsel, Banjarmasin.
Amrullah, Imanuddin, 2004. Program Pemberdayaan Kelompok Tani
di Desa Guntung Papuyu Kecamatan Gambut Kabupaten
Banjar. Tesis Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor.
120 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Darma, Mulya, 2003. Penanggulangan Kemiskinan dalam Rangka
Pembangunan Ekonomi Daerah (Studi Penyaluran Kredit Dana
Bergulir Bagi Usaha Kecil di Kota Balikpapan). Tesis Program
Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Fatah, Luthfi. 2007. Dinamika Pembangunan Pertanian dan Pedesaan.
Pustaka Banua, Banjarmasin.
Hamdan, H. 2003. Implementasi Kebijakan Program Pemberdayaan
Daerah Dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)
Guna Pemberdayaan Masyarakat (Studi Pelaksanaan Proyek
PDM-DKE Tahun 2000 di Kelurahan Air Putih Kecamatan
Samarinda Ulu). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya,
Malang.
Hanafi, Abdillah. 1986. Memasyarakatkan Ide-Ide Baru. Penerbit Usaha
Nasional, Surabaya.
Hasbullah, Ilyas. 1995. Studi tentang Faktor-faktor Sosial Ekonomi yang
Mempengaruhi Keputusan Petani Mengambil Kredit Usahatani
(KUT) Padi dan Penyebab Terjadinya Tunggakan (Studi Kasus
di Kecamatan Tugumulyo Kabupaten Musirawas Sumatera
Selatan). Program Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Hasbullah, Jousairi. 2006. Social Capital (Menuju Keunggulan Budaya
Manusia Indonesia). MR-United Press, Jakarta.
Huraerah, Abu dkk. 2005. Dinamika Kelompok, Konsep dan Aplikasi.
PT Refika Aditama, Bandung.
Idris, Muhammad Khairuddin. 2003. Efektifitas Pelaksanaan
Penyaluran Program Bantuan Desa Untuk Kesejahteraan
Masyarakat Miskin (Studi Kasus UED di Kelurahan Sungai
Pinang Luar Kecamatan Samarinda Ilir Kota Samarinda). Pro-
gram Pasca Sarjana Universitas Brawijaya, Malang.
Ife, Jim dan Tesoriero, Frank. 2008. Community Development Alternatif
Pengembangan Masyarakat di Era Globalisasi. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Marquirete, Robinson. 2000. The Micro Finance Revolution, Sustain-
able Finance for The Poor. The World Bank.
121FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Ngadiyono, 1984. Kelembagaan dan Masyarakat. PT Bina Aksara,
Jakarta.
Rifai, Rudy S dkk. 2010. Proposal Evaluasi dan Penyusunan Desa Calon
Lokasi Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan (PUAP).
Badan Litbang Pertanian. Kementerian Pertanian, Jakarta.
Rogers, Everett M. 2003. Diffusion of Innovations. The Free Press, New
York.
Sa’id, E. G dan Yayuk Eka Prastiwi, 2005. Agribisnis Syariah,
Manajemen Agribisnis dalam Persfektif Syariah Islam. Penebar
Swadaya. Depok.
Saragih, Bungaran. 1995. Agribusiness System Depelopment as a Prime
Mover of the National Economy”. Menteri Pertanian. Jakarta.
_______________. 2001. Suara Dari Bogor, Membangun Sistem
Agribisnis. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor.
________________. 2001. Kumpulan Pemikiran Agribisnis, Paradigma
Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Pustaka
Wirausaha Muda. Bogor.
Sarman, Mukhtar, 2004. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial.
Pustaka FISIP UNLAM. Banjarmasin. Kalsel.
______________, 2008. Dinamika Pedesaan, Sebuah Pendekatan
Sosiologis. Magister Sains Administrasi Pembangunan Univer-
sitas Lambung Mangkurat, Banjarbaru.
______________, dkk. 2008. Program Pemberdayaan Masyarakat
Berbasis LERD (Peluang Kalimantan Selatan). PK2PD dan Pro-
gram MSAP UNLAM, Banjarbaru.
Siagian, Sondang P. 2007. Administrasi Pembangunan. Bumi Aksara,
Jakarta.
Suhaeri, 2001. Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Program Pemberdayaan
Daerah dalam Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDM-DKE)
Guna Pemberdayaan Masyarakat (Studi pada Kecamatan
Lowokmaru di Kota Malang). Program Pasca Sarjana Univer-
sitas Brawijaya, Malang.
122 FOCUS Volume 1, Nomor 2, Juli-Desember 2011
Wahab, Solichin Abdul, 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan
Negara. Rineka Cipta, Jakarta.
___________________, 1994. “Kebijaksanaan Desentralisasi untuk
Menjangkau Kaum Miskin”. Majalah Pelopor No. 3 Tahun 1994.
Wahyu, 1991. Pengantar Pemahaman Kelompok. Aulia, Banjarmasin.
______, 2005. Perubahan Sosial dan Pembangunan. PT Hecca Mitra
Utama, Jakarta.
Wrihatnolo, Randy R. & RN Dwidjowijoto, 2007. Manajemen
Pemberdayaan: Sebuah Pengantar dan Panduan
untukPemberdayaan Masyarakat. PT Elex Media Komputindo,
Jakarta.