Post on 15-Oct-2021
transcript
PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK
PIDANA PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI
DAN TRANSAKSI ELEKTRONIK
(STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES KARAWANG)
Disusun Oleh:
E Mega Pradani RS
017201605024
Skripsi ini disajikan kepada
Fakultas Humaniora Program Studi Ilmu Hukum President University
untuk pemenuhan persyaratan gelar Sarjana dibidang Hukum
BEKASI
Januari 2020
iv
ABSTRACT
The problem in this study is an illustration of the role of the police in handling cases of
Hoax and Hate Speech news spreading that lately is rife in Indonesia. The spread of
Hoax and Hate Speech news has spread to various types of people in Indonesia,
technological advances are quite fast, not balanced with qualified knowledge from the
community, these events can be seen from the role of the Karawang Resort police in
its many carrying out law enforcement on perpetrators , the police indiscriminately in
upholding the law, for anyone who becomes the perpetrators of the Hoax and Hate
Speech news dissemination. This study aims to determine the role of the Karawang
Resort police as law enforcers, in handling Hoax and Hate Speech news cases, of course
with prevention and law enforcement efforts for the perpetrators, as well as
comparative law enforcement in Indonesia and Singapore. This research was compiled
using the Empirical Legal Research Method which is a legal research method that
functions to see the law in the real sense and examine how law works in the community.
Because in this study examines people in living relationships in society, the empirical
legal research method can be said as a sociological legal research. It can be said that
legal research is taken from facts in a community, legal entity or government agency.
The results of research in the Karawang district police jurisdiction show that there are
still many people who commit ITE violations, and the Karawang Resort police are still
not optimally carrying out efforts to prevent the spread of Hoax and Hate Speech news.
As mandated and arranged in “Undang-Undang Republik Indonesia nomor 19 tahun
2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik”.
Keywords: Analysis of Empirical Legal Research, Violations, Role of Karawang
Resort Police, Enforcement, Hoax and Hate Speech News Spreading.
v
ABSTRAK
Permasalahan dalam penelitian ini merupakan gambaran dari peran kepolisian dalam
menangani kasus penyebaran berita Hoax dan Hate Speech yang akhir – akhir ini marak
terjadi di Indonesia. Penyebaran berita Hoax dan Hate Speech sudah menyebar pada
berbagai macam kalangan masyarakat di Indonesia, kemajuan teknologi yang cukup
cepat, tidak di imbangi dengan pengetahuan yang mumpuni dari masyarakat, peristiwa
tersebut bisa di lihat dari peran kepolisian Resor Karawang dalam banyak nya
melakukan penegakan hukum pada pelaku, kepolisian tanpa pandang bulu dalam
menegakan hukum, bagi siapapun yang menjadi pelaku Penyebaran berita Hoax dan
Hate Speech. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peran kepolisian Resor
Karawang sebagai penegak hukum, dalam menangani kasus berita Hoax dan Hate
Speech, tentunya dengan upaya – upaya pencegahan serta penegakan hukum bagi para
pelaku, serta perbadingan penegakan hukum di Indonesia dan Singapura. Penelitian ini
disusun dengan menggunakan Metode Penelitian Hukum Empiris yaitu suatu metode
penelitian hukum yang berfungsi untuk melihat hukum dalam artian nyata dan meneliti
bagaimana bekerjanya hukum di lingkungan masyarakat. Dikarenakan dalam
penelitian ini meneliti orang dalam hubungan hidup di masyarakat maka metode
penelitian hukum empiris dapat dikatakan sebagai penelitian hukum sosiologis. Dapat
dikatakan bahwa penelitian hukum yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam
suatu masyarakat, badan hukum atau badan pemerintah. Hasil penelitian di wilayah
hukum Polres Karawang menunjukkan masih banyak nya masyarakat yang melakukan
pelanggaran ITE, serta masih kurang maksimal nya pihak kepolisian Resor Karawang
dalam melakukan upaya pencegahan penyebaran berita Hoax dan Hate Speech. Seperti
yang sudah di amanatkan serta di atur dalam “Undang-Undang Republik Indonesia
nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik”.
Kata kunci: Analisa Penelitian Hukum Empiris, Pelanggaran, Peran Kepolisian Resor
Karawang, Penindakan, Penyebaran berita Hoax dan Hate Speech.
vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
berkat rahmat, hidayah dan karunia-Nya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan judul: “PERANAN KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN
TINDAK PIDANA PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28
UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN
TRANSAKSI ELEKTRONIK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM
POLRES KARAWANG)”.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar
Sarjana Hukum di Fakultas Hukum President University. Penulis menyadari bahwa
penyusunan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan dan masih jauh dari
kesempurnaan, hal ini dikarenakan keterbatasan yang penulis miliki, kesempurnaan
hanya milik Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa selama proses penulisan skripsi ini tidak akan
terselesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih tak terhingga
kepada:
1. Ibu Zenny R. Dewantary, S.H.,M.Hum. selaku Kaprodi Fakultas Hukum President
University.
2. Bapak Gratianus Prikasetya Putra, S.H., M.H. selaku dosen pembimbing yang telah
sangat membantu memberikan bimbingan dan arahan serta memberikan motivasi
kepada penulis dari awal pengerjaan skripsi sampai selesai.
3. Seluruh Dosen Fakultas Hukum President University yang telah memberikan
pengetahuan dan ilmu kepada penulis, serta seluruh staff Fakultas Hukum
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
SURAT PENGESAHAN .............................................................................................. i
SURAT PERNYATAAN ............................................................................................. ii
LEMBAR PERSETUJUAN DAN PEMERIKSAAN.................................................. iii
ABSTRACT ................................................................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................................. viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................................................... 1
B. Pokok Permasalahan ................................................................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ..................................................................................................... 8
D. Manfaat Penulisan .................................................................................................... 8
1. Manfaat Teoritis ................................................................................................ 8
2. Manfaat Praktis .................................................................................................. 9
E. Definisi Opsional
1. Tindak Pidana .................................................................................................... 10
2. Konsep Penanggulangan Kejahatan ................................................................ 10
3. Peranan........... ................................................................................................. 13
4. Penal dan Non Penal ........................................................................................ 13
5. Berita Bohong .................................................................................................. 17
F. Metode Penelitian ................................................................................................... 19
ix
1. Metode Pendekatan… ..................................................................................... 19
2. Spesifikasi Penelitian ...................................................................................... 19
3. Sumber Data .................................................................................................... 20
4. Teknik Pengumpulan Data .............................................................................. 21
BAB II TINDAK PIDANA PENYEBAR BERITA BOHONG (HOAX) DAN
UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)
A. Penanggulangan Tindak Pidana ............................................................................. 23
B. Tindak Pidana ........................................................................................................ 24
1. Pengertian Tindak Pidana ................................................................................. 24
2. Unsur-unsur Tindak Pidana .............................................................................. 25
C. Pengertian Tindak Pidana Hoax… ......................................................................... 31
D. Ujaran Kebencian (Hate Speech) ........................................................................... 31
1. Pengertian Ujaran Kebencian (Hate speech). .................................................... 31
2. Bentuk – bentuk Ujaran Kebencian(Hate speech). ........................................... 37
3. Unsur-Unsur Ujaran Kebencian ....................................................................... 42
4. Alat Ujaran Kebencian ..................................................................................... 44
E. Peran dan Fungsi Kepolisian…............................................................................ 44
F. Hukum Pidana Indonesia Dalam Menangani Kasus Hoax dan Hate Speech. ....... 52
G. Hukum Acara penanganan kasus hoax dan hate speech berdasarkan KUHAP…53
BAB III GAMBARAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENYEBAR
BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN KEBENCIAN (HATE
SPEECH)
x
A. Kasus berita bohong (Hoax) dan ujaran kebencian (Hate Speech) oleh emak- emak
di Karawang ......................................................................................................... 57
B. Tugas dan Fungsi Kepolisian Republik Indonesia Menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
............................................................................................................................ 67
C. Gambaran mengenai kasus yang terjadi terkait berita bohong (hoax) dan ujaran
kebencian ............................................................................................................. 71
BAB IV. PERBANDINGAN PERAN KEPOLISIAN INDONESIA DAN
SINGAPUR DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA HOAX DAN
HATE SPEECH
A. Perbandingan tindak Pidana Hoax dan Hate Speech Indonesia dengan Singapura
1. Pengaturan Hoax sebagai perbuatan pidana di Indonesia .............................. 76
2. Pengaturan Hoax sebagai perbuatan pidana di Singapura ............................. 79
B. Sejarah Kepolisian Singapura dan Fungsi kepolisian di Singapura..................... 82
C. Peran kepolisian singapura terkait mekanisme penanganan perkara Hoax dan Hate
Speech .................................................................................................................. 85
D. Hukum Acara Pidana di Singapura Mengenai kasus Hoax dan Hate Speech .... 89
E. Kasus Riill di singapura tentang Informasi dan Transaksi Elektronik tentang peran
polisi dalam menangani kasus ITE ..................................................................... 89
F. Analisa Peran Kepolisian Singapura dengan kasus meninggalnya Lee Kuan Yew
............................................................................................................................ 92
xi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan. .................................................................................................. 95
B. Saran.................. ........................................................................................... 97
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 99
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia 1945
(UUD 1945) mengatur bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta
berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan
menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.1
Uraian diatas dapat dipahami bahwa akses masyarakat terhadap pemberitaan
merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia (HAM) yang diakui dan dilindungi oleh
negara, sehingga pemenuhannya menjadi tanggung jawab negara, serta pengelolaannya
serta pemanfaatannya dijamin oleh Undang- undang (UU).
Teknologi informasi (information technology) memiliki peran yang sangat
penting, baik di masa kini maupun masa depan. Teknologi informasi di yakini
membawa keuntungan dan kepentingan yang besar bagi negara - negara di dunia.2
Awalnya teknologi informasi diharapkan untuk menciptakan kemudahan dan
kesejahteraan bagi masyarakat secara umum, seperti yang kita ketahui bahwa teknologi
yang sekarang berkembang pesat di zaman modern ini adalah internet.
Lahirnya internet mengubah pola pikiran komunikasi manusia dalam bergaul,
berbisinis, dan lainnya. Internet mengubah jarak dan waktu secara cepat sehingga
1 Undang-Undang Dasar 1945, Direktorat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik
Indonesia, Jakarta, 2011, hlm. 48. 2 Agus Raharjo, Cybercrime : Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi,Ctk.
Pertama, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung , 2002, hlm 1
seolah-olah dunia menjadi kecil dan tidak terbatas. Setiap orang bisa terhubung,
berbicara, dan berbisnis dengan orang lain yang berada jauh dari tempat dimana ia
berada hanya dengan menekan tuts – tutskeyboard dan mouse komputer yang berada
dihadapannya.3
Kemudahan yang dijanjikan dan disajikan oleh media internet bukan hanya
dimanfaatkan oleh pelaku bisnis komputer dan elektronika, namun juga mengunggah
pelaku bisnis yang bergerak di bidang penerbitan dan pemberitaan.4 Kajian hukum
mengenai internet dikenal luas dengan istilah cyber law atau hukum cyber, dimana
penyalahgunaan dan kejahatan yang terjadi dalam lingkup ini disebut cyber crime atau
kejahatan cyber.5
Pemberangusan kelompok-kelompok terorganisasi penyebar berita bohong
(hoax) dan ujaran kebencian (hate speech) harus sampai ke akarnya, tidak tebang pilih,
dan berkelanjutan. Dengan demikian Polri sebagai garda terdepan dalam penegakan
hukum tidak akan dianggap lengah atau menjadi alat politik.
Polri harus benar-benar menunjukkan profesionalitasnya dalam menangani
kasus penyebaran hoax ini. Polri tidak boleh gentar oleh tekanan kelompok atau
golongan tertentu mengingat sebagai penegak hukum kinerjanya berlandaskan Undang-
undang atau hukum positif yang berlaku, bukan pada aliran politik atau keberpihakan
pada kepentingan golongan.
3 Ibid. hlm. 59 4 Asril Sitompul, Hukum Internet: Pengenalan Mengenai Masalah Hukum di Cyberspace, Bandung, PT.
Citra Aditya Bakti, 2004, hlm. 73 5 Judhariksawan, Pengantar Hukum Telekomunikasi, Jakarta, PT. Raja GrafindoPersada, 2005, hlm. 12.
2
3
Pada September 2017, Direktorat Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri
mengungkap jaringan penyebar hoax dan hate speech yang bernama Saracen. Kini,
Polri kembali mengungkap jaringan serupa yang memakai label Muslim Cyber Army
(MCA).
Keberadaan kelompok Saracen -yang juga menyebarkan berita bohong
bernuansa SARA- berhasil dibongkar kepolisian. Sebagian pimpinannya telah divonis
bersalah dan sudah menjalani hukuman pidana penjara.
Dugaan keterkaitan kelompok MCA dengan Saracen ini, menurut staf ahli
Kapolri bidang sosial dan ekonomi, Irjen Gatot Eddy Pramono, didasarkan pendalaman
di media sosial.
Temuan kepolisian, tambah Irjen Gatot, hanya ada tiga kasus dugaan
penyerangan terhadap ulama namun oleh kelompok ini disebarkan informasi bohong
bahwa ada lebih dari 40 kasus penganiayaan serupa. Mulai 2 Februari, isu penganiayaan
terhadap ulama terus digulirkan, diviralkan sampai dengan 27 Februari.
Menurut Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Polisi Umar Surya
Fana, MCA mirip dengan kelompok Saracen dalam konteks membuat berita hoaks yang
kemudian diviralkan.
Namun perbedaannya, menurutnya, Saracen -yang memiliki struktur organisasi,
seperti ketua, sekretaris, dan koordinator daerah- terbukti menerima pesanan dan
mendapat bayaran.
4
Adapun MCA, merupakan organisasi tanpa bentuk di dunia maya. Anggota
MCA bisa mencapai ribuan karena komunitas tersebut sangat cair dan terbuka sehingga
orang dengan mudah menjadi anggota atau follower (pengikut). Jumlah followernya
yang banyak kemudian mengerucut pada tim inti yang disebut Family MCA. MCA
Indonesia ini menginduk ke United MCA, jaringan internasional yang telah berhasil
memecah belah Suriah dan Irak.
Temuan polisi menyebutkan salah-satu berita bohong yang disebarkan
kelompok MCA adalah pembunuhan atau penganiayaan terhadap ulama atau kyai yang
jumlahnya mencapai 40 kasus. Mabes Polri mencatat isu 'pembunuhan atau
penganiayaan' diviralkan di media sosial oleh kelompok MCA sepanjang Februari
2018.6
Penindakan terhadap kelompok semacam ini harus sampai ke akarnya karena
apa yang dilakukan sangat berbahaya bagi keutuhan bangsa. Isu terakhir yang digarap
adalah kabar bohong mengenai serangan terhadap ulama. Publik dibuat agar percaya
bahwa sedang ada gerakan tersistem dan terstruktur untuk menyerang para ulama.
Dibuat berita palsu seolah serangan itu terjadi di banyak tempat.
Isu semacam ini bukan hal baru. Para pengguna media sosial tak terlalu asing
akan isu kriminalisasi terhadap ulama. Isu ini secara masif disebarluaskan untuk
menciptakan stigma seolah pemerintah dan Polri tengah mengincar ulama untuk diseret
ke pengadilan alias dikriminalisasi.
6 https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-43287955 diakses pada 27 April 2019 pukul 18.45
5
Dari kedua isu yang sangat kental memanfaatkan sentimen agama ini terlihat
tujuan akhirnya yakni mendiskreditkan pemerintah. Pemerintah digambarkan seolah
berseberangan dengan ulama dan bahkan sedang memusuhi ulama.
Dampak lebih buruk dapat terjadi sampai lini-lini yang sensitif. Isu sensitif
penyerangan terhadap ulama jelas menimbulkan ketakutan. Kehidupan berbangsa yang
tenteram terkoyak. Lebih dari itu konflik sosial akan mudah tersulut sewaktu- waktu.
Pasal 28 ayat (2) UU ITE merupakan salah satu peraturan dalam hukum positif
Indonesia yang dipergunakan untuk membatasi perbuatan-perbuatan yang melanggar
di media sosial terkait dengan rasa kebencian dan juga unsur suku, agama, ras, dan antar
golongan (SARA). Pasal 28 ayat (2) UU ITE berbunyi, ‘setiap orang dengan sengaja
dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA)’. Terkait pemahaman
dari kebencian itu sendiri, dalam pasal tersebut tidak ada pemahaman yang cukup jelas.
Oleh karena itu, terkait dengan hal tersebut, dalam Pasal 156 KUHP lebih mengarah ke
perbuatan yang menyatakan permusuhan (vijanschap) yaitu, perbuatan yang
menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang oleh umum sebagai memusuhi suatu
golongan penduduk Indonesia. Perbuatan menyatakan kebencian (haat) adalah berupa
perbuatan menyatakan dengan ucapan yang isinya dipandang atau dinilai oleh
masyarakat umum sebagai membenci terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.
6
Perbuatan yang isinya dipandang oleh umum menyatakan ucapan yang menghina,
merendahkan, melecehkan terhadap suatu golongan penduduk Indonesia.7
Pada faktanya, adanya sebuah kasus yang dianggap telah melanggar ketentuan
dari pasal tersebut yaitu kasus penyebaran video editan di media sosial Facebook oleh
Buni Yani. Buni Yani dianggap telah melakukan penyebaran rasa kebencian di media
sosial. Melalui akun media sosialnya, Buni Yani menyebarkan sebuah video yang
isinya tentang pidato Ahok di Kepulauan Seribu yang pada pidatonya, Ahok
mengucapkan Surat Al-Maidah 51. Akibat dari penyebaran video tersebut, sebagian
umat muslim menganggap bahwa agamanya telah di nodai oleh Ahok yang pada
faktanya terjadi demo yang menuntut Ahok untuk dipenjara atas dugaan penodaan
agama.8
Sekilas pada kasus yang ramai di kalangan masyarakat seluruh nasional
Indonesia, di wilayah khususnya Kabupaten Karawang juga terjadi kasus terkait pada
penyebar berita bohong (Hoax) dan ujaran kebencian (Hate Speech) Perkara yang
terjadi di wilayah hukum Polres Karawang yang di tangani oleh Polres Karawang
dimana peristiwa tersebut sudah meresahkan masyarakat.
Adapun peristiwa tersebut diduga para pelaku dengan sengaja dan tanpa hak
menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian artau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku,
agama, ras, dan atar golongan (SARA). Pelaku melakukan perbuatan tersebut dengan
7 Adami Chazawi, 2016, Hukum Pidana Positif Penghinaan, Cetakan II Edisi Revisi, Media Nusa
Creative, Malang, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I), hlm. 199. 8 Rivki, Herianto Batubara, Jumat 4 November 2016 “Petisi Proses Hukum Buni Yani Muncul, Diteken
Lebih dari 50 Ribu Orang”, URL: http://news.detik.com/berita/d-3337863/petisi-proses-hukum-
buniyanimuncul-diteken-lebih-dari-50-ribu-orang, diakses tanggal 24 April 2019
7
cara memvideokan atau merekam saat pelaku mengatakan kata-kata yang mengandung
muatan Ujaran kebencian, kemudian video rekaman tersebut dengan sengaja di upload
oleh pelaku ke media elektronik sehingga video rekaman tersebut diketahui secara
umum, waktu kejadian diketahui pada hari Minggu tanggal 24 februari 2019 pukul
20.00 wib di wilayah hukum Polres Karawang.
Yang dimana dalam isi video tersebut bermuatan beberapa kawanan ibu-ibu
yang mempengaruhi seorang kakek tua agar tidak memilih calon president nomor urut
1 (satu) Jokowi, apabila kakek tua tersebut memilih calon president nomor urut 1 (satu)
Jokowi maka di Indonesia tidak akan ada berkumandangnya suara adzan serta
perkawinan sesama jenis di perbolehkan di Indonesia.
Berdasarkan uraian tersebut diatas, penulis tertarik untuk meneliti dan
bagaimana untuk dapat mengadakan penelitian dengan judul “PERANAN
KEPOLISIAN DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA
PENYEBARAN BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN KEBENCIAN
(HATE SPEECH) DITINJAU BERDASARKAN PASAL 28 UNDANG-UNDANG
NOMOR 11 TAHUN 2008 TENTANG INFORMASI DAN TRANSAKSI
ELEKTRONIK (STUDI KASUS DI WILAYAH HUKUM POLRES
KARAWANG)”
B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana peran Kepolisian Resor Karawang dalam “Menangani dan
Mencegah Kriminalisasi” terhadap Tindak Pidana Berita Bohong (Hoax) dan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang didasarkan pada pasal 28 UU Nomor
8
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (di wilayah hukum
Polres Karawang)?
2. Bagaimana Perbandingan hukum terkait peran Kepolisian dalam menangani
Tindak Pidana Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran Kebencian (Hate Speech) di
Indonesia dan Singapura?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk dapat memahami dan menganalisis peran Kepolisian Resor Karawang
dalam “Menangani dan Mencegah Kriminalisasi” terhadap Tindak Pidana
Penyebar Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang
didasarkan pada pasal 28 UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (di wilayah hukum Polres Karawang).
2. Untuk dapat memahami dan menganalisis hukum terkait peran kepolisian dalam
menangani Tindak Pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) dan Ujaran
Kebencian (Hate Speech) di Indonesia dan Singapura.
D. Manfaat Penulisan
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu sumbangan ilmu
pengetahuan lewat saran serta pemikiran penulis khususnya pada bidang tindak
pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) Dan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
Penyikapan secara bijaksana atas berbagai informasi yang beredar, pentingnya
kesadaran atas pemanfaatan media sosial yang bisa menghadirkan rasa damai, rasa
aman, serta keselamatan di tengah-tengah masyarakat menjadi suatu pesan moral
yang penting dalam mengembangkan literasi media bagi publik di Indonesia yang
9
masyarakatnya beragam. Masyarakat sebaiknya menyelidiki benar atau tidak
informasi yang akan dibagikannya. Jika tidak benar, apalagi memuat fitnah, hingga
anjuran kekerasan, maka informasi itu tak perlu disebarkan. Kalau sumber tidak
jelas, tidak terverifikasi, tidak masuk akal dan tidak bermanfaat, maka tidak usah
disebarkan.
Di sisi lain, media massa mainstream termasuk media berita online,
diharapkan tetap mengedepankan kompetensi dan independensi, sekalipun media
tersebut berafiliasi dengan kepentingan politik atau ekonomi tertentu. Media boleh
saja diperjualbelikan, pemilik silih berganti, tetapi news room harus dipimpin
orang yang kompeten dan bermoral dalam mengabdi informasi dari berbagai
peristiwa di belahan bumi mana pun dengan dinamika seperti apa pun tidak lagi
ditelan mentah-mentah, melainkan dapat melalui penyaringan atau filter
Selain itu penelitian ini juga dapat menjadi referensi tambahan bagi
kepentingan yang bersifat akademis maupun bagi tambahan wawasan untuk
kebutuhan kepustakaan khususnya berkaitan dengan upaya preemtif, preventif dan
represif bagi orang yang melakukan tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax)
Dan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi penegak dan
pembentuk aturan hukum terutama kepolisian untuk mengambil kebijakan hukum
dalam aspek penanggulangan tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) Dan
Ujaran Kebencian (Hate Speech) dan meninjau kembali upaya preemtif, preventif
dan represif orang yang melakukan tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax)
Dan Ujaran Kebencian (Hate Speech).
10
E. Definisi Operasional
Beberapa istilah yang penulis pergunakan di dalam penyusunan skripsi ini
antara lain :
1. Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaarfeit” didalam KItab
Undang-Undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya
yang dimaksud dengan “strafbaarfeit” itu sendiri.9 Menurut Moeljatno tindak pidana
merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, terhadap siapa saja
yang melanggar larangan tersebut. Perbuatan tersebut harus juga dirasakan oleh
masyarakat sebagai suatu hambatan tata pergaulan yang dicita-citakan oleh masyarakat.
10
2. Konsep Penanggulangan Kejahatan
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakikatnya merupakan
bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya
mencapai kesejahteraan (social welfare). Kebijakan penanggulangan kejahatan atau
bisa disebut juga politik kriminal memiliki tujuan akhir atau tujuan utama yaitu
“perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat”. Kebijakan
penanggulangan kejahatan (criminal policy) itu sendiri merupakan bagian dari
kebijakan penegakan hukum (law enforcement policy). Kebijakan penegakan hukum
merupakan bagian dari kebijakan social (social policy) dan termasuk juga dalam
kebijakan legislatif (legislative policy). Politik riminal pada hakikatnya juga merupakan
bagian integral dari kebijakan sosial yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai
kesejahteraan sosial.11
11
Muladi menyatakan kebijakan kriminal atau kebijakan penanggulangan kejahatan bila
dilihat lingkupnya, sangat luas dan tinggi kompleksitasnya. Hal ini wajar karena karena
pada hakikatnya kejahatan merupakan masalah kemanusiaan dan sekaligus masalah
sosial yang memerlukan pemahaman tersendiri. Kejahatan sebagai masalah sosial ialah
merupakan gejala yang dinamis selalu tumbuh dan terkait dengan gejala dan struktur
kemasyarakatan lainnya yang sangat kompleks, ia merupakan socio- political
problems.12
Salah satu bentuk dari perencanaan perlindungan sosial adalah usahausaha yang
rasional dari masyarakat untuk menanggulangi kejahatan yang biasa disebut dengan
politik kriminal (criminal politic). Tujuan akhir dari politik kriminal adalah suatu
perlindungan masyarakat. Dengan demikian politik kriminal adalah merupakan bagian
dari perencanaan perlindungan masyarakat, yang merupakan bagian dari keseluruhan
kebijakan sosial. Upaya penanggulangan kejahatan yang dilakukan terhadap anak
sebenarnya tidaklah jauh berbeda dengan kebijakan yang diterapkan terhadap orang
dewasa.
9 Sugeng, Pengertian Tindak Pidana Menurut Ahli, Http://www.Hukumonline.Com, Diakses,Pada:
Senin 07 April 2019 Pukul 23:00 Wib.
10 Frans H Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Pt Kompas Media Nusantara, 2009, Hal 307. 11 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan Penyusunan Konsep
KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), hal. 2.
12 Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997), hal.72.
12
Di dalam upaya penanggulangan kejahatan perlu ditempuh dengan pendekatan
kebijakan, dalam arti:13
1. Ada keterpaduan antara politik kriminil dan politik sosial
2. Ada keterpaduan antara upaya penggulangan kejahatan dengan penal maupun
non penal
Upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada sifat
“repressive” (penindasan/pemberantasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi,
sedangkan jalur “non-penal” lebih menitikberatkan pada sifat “preventive”
(pencegahan/penangkalan) sebelum kejahatan terjadi. Dikatakan sebagai perbedaan
secara kasar, karena tindakan refresif pada hakikatnya dapat dilihat sebagai tindakan
preventif dalam arti luas.14
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa upaya
penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass
media).15
13 Ibid, hal.75. 14 Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986), hal. 188
15 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Fajar Interpratama, 2011),
hal. 45
13
Menurut G.P. Hoefnagels yang dikutip oleh Barda Nawawi Arief, bahwa upaya
penangulangan kejahatan dapat ditempuh dengan:
4. Penerapan hukum pidana (criminal law application);
5. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);
6. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (influencing views of society on crime and punishment/mass
media).15
3. Peranan
Peran adalah suatu keadaan di mana seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam suatu sistem atau organisasi. Kewajiban yang dimaksud dapat
berupa tugas dan wewenang yang diberikan kepada seseorang yang memangku jabatan
dalam organisasi.
Peran terbagi menjadi:
a. Peran normatif adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat
b. Peran ideal adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan sesuai dengan
kedudukannya di dalam suatu sistem.
c. Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang
didasarkan pada kenyataan secara kongkrit di lapangan atau kehidupan sosial
yang terjadi secara nyata.16
4. Penal dan Non Penal
Sarana Penal, Secara umum upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan
melalui sarana penal dan non penal, upaya penanggulangan hukum pidana melalui
14
sarana penal dalam mengatur masyarakat lewat perundang-undangan pada hakikatnya
merupakan wujud suatu langkah kebijakan (policy). Upaya penanggulangan kejahatan
dengan hukum pidana (sarana penal) lebih menitik beratkan pada sifat represive
(penindasan/pemberantasan/penumpasan), setelah kejahatan atau tindak pidana terjadi.
Hakikatnya sarana penal merupakan bagian dari usaha penegakan hukum oleh karena
itu kebijakan hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penegak hukum (law
enforcement). Hukuman atau sanksi pidana yang dijatuhkan kepada pelaku diharapkan
dapat memberikan efek jera kepada pelaku sesuai dengan tujuan pemidanaan.17
Sarana non penal, usaha yang rasional untuk mengendalikan atau menanggulangi
tindak pidana adalah tidak hanya dengan menggunakan sarana penal (hukum pidana),
tetapi dapat juga dengan menggunakan sarana-sarana yang non-penal. Sarana nonpenal
mempunyai pengaruh preventif terhadap kejahatan. Upaya preventif yang di maksud
adalah upaya yang dilakukan sebelum terjadinya tindak pidana dengan cara menangani
faktor-faktor pendorong terjadinya tindak pidana, yang dapat di laksanakan dalam
beberapa cara:
a. Cara Moralistik, cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
b. Cara Moralistik, cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
16 Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pngantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002. hlm.243-244 17 Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hlm 204
15
c. Cara Moralistik, cara moralistik dapat dilakukan secara umum melalui
pembinaan mental dan moral manusia, khotbah-khotbah, ceramah dan
penyuluhan di bidang keagamaan, etika dan hukum.
d. Cara Abolisionik, cara ini muncul dari asumsi bahwa tindak pidana adalah suatu
kejahatan yang harus di berantas dengan terlebih dahulu menggali sebab-
sebabnya dan kemudian diserahkan kepada usaha-usaha untuk menghilangkan
sebab-sebab tersebut. Mengkaji permasalahan yang tengah dihadapi masyarakat
serta dorongan individual yang mengarah pada tindakan-tindakan pidana,
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat serta menghukum orang-orang
yang telah melakukan tindak pidana berdasarkan hukum yang berlaku.18
Sudut pandang politik kriminal, keseluruhan kegiatan preventif yang non penal
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam pencegahan tindak pidana.
Kebijakan kriminal harus dapat mengintegrasikan seluruh kegiatan preventif
kedalam sistem kegiatan negara yang teratur. Upaya penanggulangan kejahatan non-
penal dapat berupa:
a. Pencegahan tanpa pidana (Prevention without punishment);
b. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan
lewat media massa (Influencing views of society on crime and punishment mass
media).19
18 Ibid, hlm. 205 19 Ibid, hlm. 207
16
Penulis akan memberikan konsep yang bertujuan untuk menjelaskan beberapa
istilah yang digunakan oleh penulis, adapun istilah-istilah yang dimaksud antara lain
sebagai berikut:
a. Peran adalah suatu keadaan di mana seseorang melaksanakan hak dan
kewajibannya dalam suatu sistem atau organisasi.20
b. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 ayat 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia).21
c. Penanggulangan tindak pidana adalah berbagai tindakan atau langkah yang
ditempuh oleh aparat penegak hukum dalam rangka mencegah dan mengatasi
suatu tindak pidana dengan tujuan untuk menegakkan hukum dan melindungi
masyarakat dari kejahatan.22
d. Tindak Pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan pelanggaran
norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau tidak
sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku.23
20 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980. 21 UU No. 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia. 22 Barda Nawawi Arief. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001. hlm. 23 23 Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta.
17
e. Penyebar adalah orang yang menyebarkan atau alat untuk menyebarkan
(menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia).24
f. Berita Bohong (Hoax) adalah Kabar, informasi, atau berita palsu yang tersebar
melalui internet.25
g. Tindak Pidana Hoax adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum,
larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi
siapa yang melanggar larangan tersebut dengan menyebarkan atau alat untuk
menyebarkan berita bohong (Hoax) melalui internet.26
h. Berita bohong (hoax) adalah berita yang isinya tidak sesuai dengan kebenaran
yang sesungguhnya. Pengertian berita bohong (hoax) menurut Cambridge
English Dictionary adalah ”rencana untuk menipu seseorang” sementara
menurut Merriam-Webster adalah “trik atau siasat agar orang percaya atau
menerima sesuatu sebagai yang asli padahal palsu dan sering tidak masuk akal”.
Hoax dapat diartikan sebagai informasi yang tidak sesuai dengan fakta yang
ada, dengan tujuan agar orang dapat mempercayai informasi tersebut.27
5. Berita Bohong
Berita bohong (hoax), berasal dari kata hocus, yang memiliki arti mengecoh
atau menipu. Secara umum berita bohong (hoax) artinya adalah kabar burung atau
kabar bohong – sebuah kabar atau cerita bohong yang sengaja dibuat, seolah-olah kabar
24 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980. 25 Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Tekhnologi Elektronik. 26 Pasal 28 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Tekhnologi Elektronik. 27 Reni Julani, Media Sosial Ramah Sosial VS Hoax, dalam jurnal Program Studi Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, 2017, hlm. 143
19 18
atau cerita tersebut benar adanya. Kata hoax popular bersamaan dengan semakin
populernya internet, dimana hoax ini biasanya memiliki dua tujuan, pertama untuk
sekedar lelucon dan beredar di kelompok terbatas, kedua untuk tujuan jahat sengaja
difabrikasi untuk menipu atau mengecoh. Berita bohong (hoax) mendapat momen besar
ketika media sosial menjadi sangat umum dan berkembang di masa internet. Orang
dengan mudah dan tanpa sadar mengirim sebuah berita bohong (hoax) di media sosial,
kemudian rekan – rekannya tersebut mengirim ke rekan – rekannya yang lain, terus
berantai seperti itu.28
Dijelaskan juga berita bohong (hoax) dalam Undang-Undang Nomor 11 tahun
2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik pasal 28, yang berbunyi:
1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditunjukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan
individudan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama,
ras, dan antar golongan (SARA).
28 Anisa, Renata, dan Rachmaniar, Hoax Politik pada Media Sosial Instagram: Studi Enografi Virtual
tentang Keberadaan Instagram dan Hoax Politik, Makalah Disampaikan dalam Prosiding Seminar
Nasional Komunikasi Jurnal Fisip UNILA,Tahun 2016, hlm. 147-153
19
F. Metode Penelitian
Dalam melakukan penelitian agar terlaksana dengan maksimal maka peneliti
memprgunakan beberapa metode sebagai berikut :
1. Metode Pendekatan
Penelitian ini akan disusun dengan menggunakan tipe penelitian yuridis normatif,
yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-
norma dalam hukum positif.29 Yuridis Normatif, yaitu pendekatan yang menggunakan
konsepsi legis positivis. Konsep ini memandang hukum identik dengan norma-norma
tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang berwenang.
Konsepsi ini memandang hukum sebagai suatu sistem normatif yang bersifat mandiri,
tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang nyata.30
Penelitian ini menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute aproach)
dan pendekatan kasus (case aproach). Pendekatan perundang-undangan digunakan
untuk mengetahui keseluruhan peraturan hukum khususnya hukum pidana di Indonesia.
Pendekatan kasus bertujuan untuk mepelajari penerapan norma-norma atau kaidah
hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus-kasus yang
telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara-
perkara yang menjadi fokus peneltian, yaitu perkara pidana.31
2. Spesifikasi Penelitian
29 Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang: Bayumedia
Publishing, hlm. 295. 30 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Jakarta: Ghalia
Indonesia, hlm. 13-14. 31 Johnny Ibrahim, op. cit, hlm. 321.
19 20
Spesifikasi yang digunakan adalah spesifikasi penelitian deskriptif yaitu suatu
penelitian yang bertujuan untuk memberikan gambaran atau penjelasan secara konkrit
tentang keadaan objek atau masalah yang diteliti tanpa mengambil kesimpulan secara
umum. Spesifikasi penelitian deskriptif oleh Soerjono Soekanto 32 dalam bukunya
Pengantar Penelitian Hukum dijelaskan sebagai berikut :
Penelitian deskriptif adalah suatu penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan data yang seteliti mungkin dengan manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya, serta hanya menjelaskan keadaan objek masalahnya
tanpa bermaksud mengambil kesimpulan yang berlaku umum.
3. Sumber Data
Dalam penulisan penelitian ini sumber data yang digunakan adalah data primer
yaitu ini diperoleh dari penelitian lapangan, berkomunikasi secara langsung dengan
responden yang berada di lokasi penelitian 33 dan data sekunder yaitu data yang
diperoleh penelitian kepustakaan guna mendapatkan landasan teoritis berupa pendapat-
pendapat, tulisan para ahli atau pihak-pihak lain yang berwenang dan juga untuk
memperoleh informasi baik dalam bentuk ketentuan formal maupun data melalui
naskah resmi yang ada,34 yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer yaitu bahan yang mengikat, terdiri dari Undang-
undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-undang Nomor 11 tahun
2008 tentang Informasi Transaksi dan Elektronik, dan perundang-undangan
lainnya.
32 Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press, hlm. 10. 33 Ibid, hal. 65 34 Amiruddin dan H Zaenal Asikun, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, hal. 65
21
b. Bahan hukum sekunder yaitu memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer. Seperti buku-buku mengenai tinjauan hukum pidana pada
aspek tindak pidana Penyebar Berita Bohong (Hoax) Dan Ujaran
Kebencian (Hate Speech), dan buku-buku lainnya yang dapat menjadi
acuan bagi penunjang penulisan.
c. Bahan hukum tersier bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum dan kamus besar bahasa Indonesia.35
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah dengan cara studi dokumen-
dokumen yang relevan dengan penelitian ini di perpustakaan dan melakukan
identifikasi data. Selanjutnya data yang diperoleh tersebut akan dianalisis secara
induktif kualitatif untuk sampai pada kesimpulan, sehingga pokok permasalahan yang
ditelaah penelitian skripsi ini akan dapat dijawab.
5. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dikelompokan menurut permasalahan yang selanjutnya
dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis secara kualitatif dimaksudkan bahwa
analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data
yang dianalisis digambarkan dalam bentuk kalimat-kalimat serta pada analisis kualitatif
memiliki pola-pola, dimana pola-pola tersebut dianalisis lagi dengan menggunakan
teori obyektif seperti melalui pengamatan, studi kasus maupun pedoman wawancara
35 Bambang Sugondo, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 1997, hal. 83-102
36 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta. Rineka Cipta. 2013. Hal. 21.
22
(Interview Guide)36 . yang diambil dari fakta-fakta yang ada di dalam suatu masyarakat,
badan hukum atau badan pemerintah.
23
BAB II
TINDAK PIDANA PENYEBAR BERITA BOHONG (HOAX) DAN UJARAN
KEBENCIAN (HATE SPEECH)
A. Penanggulangan Tindak Pidana
Penanggulangan tindak pidana adalah suatu usaha untuk menanggulangi
kejahatan dengan cara penegakan hukum pidana yang rasional yaitu memenuhi rasa
keadilan dan daya guna, selain itu penanggulangan tindak pidana adalah suatu sarana
sebagai reaksi yang dapat diberikan kepada pelaku kejahatan berupa sarana pidana
(penal) dan maupun non-pidana (non-penal) yang saling ter-integrasi satu dengan
lainnya.37
Adapun usaha-usaha penal dan non-penal, adalah sebagai berikut:
1. Kebijakan pidana dengan sarana penal Sarana penal adalah penanggulangan
kejahatan dengan menggunakan hukum pidana yang didalamnya terdapat 2 (dua)
masalah sentral, yaitu:
a. Perbuatan apa yang seharusnya dijadikan tindak pidana;
b. Sanksi apa yang sebaiknya digunakan atau dikenakan pada pelanggar.
2. Kebijakan pidana dengan sarana non-penal Kebijakan penanggulangan
kejahatan dengan sarana non-penal hanya meliputi penggunaan sarana sosial
40 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana 1, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 75.
24
untuk memperbaiki kondisi-kondisi sosial tertentu namun secara tidak langsung
mempengaruhi upaya pencegahan terjadinya kejahatan.38
B. Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana biasa digunakan oleh pihak kementerian kehakiman dan
juga digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Namun Moeljatno dalam
bukunya menggunakan istilah perbuatan pidana dibandingkan dengan istilah tindak
pidana. Kedua istilah ini memiliki pemahaman yang sama hanya terdapat perbedaan
penggunaan istilah saja.
Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum
larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut. Dapat juga dikatakan bahwa pernuatan pidana
adalah perbuatan yang oleh suatu aturan hukum dilarang dan diancam pidana, asal saja
dalam pada itu diingat bahwa larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan
atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidananya
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.39
Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa tindak pidana itu adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.40 Sedangkan di dalam
buku Teguh Prasetyo, beliau mengatakan bahwa tindak pidana adalah perbuatan yang
38 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2002,
hlm 77-78. 39 Moeljatno, Op. Cit., hlm. 59.
25
oleh aturan hukum dilarang dan diancam dengan pidana, di mana pengertian perbuatan
di sini selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya
dilarang oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya diharuskan oleh hukum).41
Marshall mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi
yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidana
berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam Konsep KUHP tindak pidana
diartikan sebagai perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh
peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana. Dalam Konsep juga dikemukakan bahwa untuk dinyatakan
sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang dan diancam pidana oleh
peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat melawan hukum atau
bertentangandengan kesadaran hukum masyarakat. Setiap tindak pidana selalu
dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.42
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Pada hakikatnya setiap tindak pidana harus ada unsur-unsur yang dapat
membuktikan bahwa suatu perbuatan itu dapat dikatakan sebagai tindak pidana. Berikut
ini yang merupakan unsur-unsur tindak pidana adalah:43
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
41 Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010, hlm 48. 42 Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm. 98. 43 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 69.
26
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif; dan
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.
Perlu ditekankan lagi bahwa sekalipun dalam rumusan tindak pidana tidak ada
unsur melawan hukum, suatu perbuatan tersebut sudah bisa dikatakan melawan hukum.
Sehingga tidak perlu dinyatakan tersendiri. Unsur melawan hukum juga tidak hanya
dilihat dari segi objektif, perlu juga dilihat dari segi subjektif.44
Dalam ilmu hukum pidana, unsur-unsur tindak pidana itu di bedakan dalam dua
macam, yaitu unsur objektif dan unsur subjektif.45
a. Unsur Objektif Unsur objektif adalah unsur yang terdapat di luar diri si pelaku
tindak pidana. Menurut Lamintang, unsur objektif itu adalah unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana
tindakan-tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.
Unsur objektif ini meliputi:
1) Perbuatan atau kelakuan manusia
Perbuatan atau kelakuan manusia itu ada yang aktif (berbuat sesuatu),
misalnya: membunuh – Pasal 338 KUHP; menganiaya – Pasal 351 KUHP;
mencuri – Pasal 362 KUHP; menggelapkan – Psal 372 KUHP; dan lain-lain.
Dan ada pula yang pasif (tidak berbuat sesuatu), misalnya: tidak melaporkan
kepada yang berwajib atau kepada yang terancam, sedangkan ia mengetahui
44 Ibid., hlm. 70. 45 Sofjan Sastrawidjaja, Hukum Pidana (Asas Hukum Pidana Sampai Dengan Alasan Peniadaan
Pidana), Armico, Bandung, 1995, hlm. 117.
27
ada suatu permufakatan jahat, adanya niat untuk melakukan suatu kejahatan
tertentu – Pasal 164, 165 KUHP; tidak mengindahkan kewajiban menurut
undang-undang sebagai saksi, ahli atau juru bahasa – Pasal 224 KUHP; dan
tidak memberi pertolongan kepada orang yang sedang menghadapi maut –
Pasal 531 KUHP.
2) Akibat yang menjadi syarat mutlak dari delik
Hal ini terdapat dalam delik-delik materiil atau delik-delik yang dirumuskan
secara materiil, misalnya: pembunuhan – Pasal 338 KUHP; penganiayaan –
Pasal 351 KUHP; Penipuan – Pasal 378 KUHP; dan lain-lain.
3) Unsur melawan hukum
Setiap perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana oleh peraturan
perundang-undangan hukum pidana itu harus bersifat melawan hukum
(wederrechtelijkheid-rechtsdrigkeit), meskipun unsur ini tidak dinyatakan
dengan tegas dalam perumusannya. Ternyata sebagian besar dari perumusan
delik dalam KUHP tidak menyebutkan dengan tegas unsur melawan hukum
ini, hanya beberapa delik saja yang menyebutkan dengan tegas, seperti:
dengan melawan hukum merampas kemerdekaan – Pasal 333 KUHP; untuk
dimilikinya secara melawan hukum – Pasal 362 KUHP; dengan melawan
hukum menghancurkan – Pasal 406 KUHP; dan lain-lain.
4) Unsur lain yang menentukan sifat tindak pidana
Ada beberapa tindakpidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak
pidananya itu memerlukan hal-hal objektif yang menyertainya, seperti:
penghasutan – Pasal 160 KUHP; melanggar kesusilaan – Pasal 282 KUHP;
28
pengemisan – Pasal 504 KUHP; mabuk – Pasal 536 KUHP. Tindak pidana-
tindak pidana tersebut harus dilakukandi muka umum. Melarikan wanita
belum dewasa – Pasal 332 ayat (1) butir 1 KUHP, tindak pidana ini harus
disetujui oleh wanita tersebut, tetapi pihak orang tuanya atau walinya tidak
menyetujuinya; dan lain-lain. Selain dari pada ituada pula beberapa tindak
pidana yang untuk dapat memperoleh sifat tindak pidananya memerlukan hal-
hal subjektif, seperti: kejahatan jabatan – Pasal 413-437 KUHP, harus
dilakukan oleh pegawai negeri, pembunuhan anak sendiri – Pasal 341-342
KUHP, harus dilakukan oleh ibunya; dan lain-lain.
Unsur-unsur tersebut di atas harus ada pada waktu perbuatan dilakukan, oleh
karena itu maka disebut dengan “yang menentukan sifat tindak pidana”.46
5) Unsur yang memberatkan pidana
Hal ini terdapat dalam delik-delik yang dikualifikasikan oleh akibatnya, yaitu
karena timbulnya akibat tertentu, maka ancaman pidanannya diperberat.
Seperti: merampas kemerdekaan seseorang – Pasal 333 KUHP diancam
dengan pidana penjara paling lama 8 tahun – ayat (1), jika perbuatan itu
mnegakibatkan luka-luka berat berta ancaman pidananya diperberat menjadi
paling lama 9 tahun – ayat (2), dan apabila mengakibatkan mati ancaman
pidananya diperberat lagi menjadi penjara paling lama 12 tahun – ayat (3);
penganiayaan – Pasal 351 KUHP diancam dengan pidana penjara paling lama
2 tahun 8 bulan – ayat (1), apabila penganiayaan itu mengakibatkan luka-luka
46 Ibid., hlm 119.
29
berat berat ancaman pidananya diperberat menjadi penjara paling lama 5
tahun – ayat (2), jika mengakibatkan mati maka diperberat lagi menjadi
penjara paling lama 12 tahun – ayat (3) dan lain-lain.
6) Unsur tambahan yang menentukan tindak pidana
Hal ini misalnya: dengan suka rela masuk tentara negara asing, yang
diketahuinya bahwa negara itu akan perang dengan Indonesia, pelakunya
hanya dapat dipidana jika terjadi pecah perang – Pasal 123 KUHP tidak
melaporkan kepada yang berwajib atau kepada orang yang terancam, jika
mengetahui akan adanya kejahatan-kejahatan tertentu, pelakunya hanya dapat
dipidana jika kejahatan itu jadi dilakukan – Pasal 164 dan 165 KUHP;
membujuk atau membantu orang lain untuk bunuh diri, pelakunya hanya
dapat dipidana kalau orang itu jadi bunuh diri – Pasal 345 KUHP; tidak
memberi pertolongan kepada orang yang sedang menghadapi maut,
pelakunya hanya dapat dipidana jika kemudian orang itu meninggal dunia –
Pasal 531 KUHP. Unsur-unsur tambahan tersebut adalah : jika terjadi pecah
perang – Pasal 123 KUHP; jika kejahatan itu jadi dilakukan – Pasal 164 dan
165 KUHP; kalau orang itu jadi bunuh diri – Pasal 345 KUHP, jika kemudian
orang itu meninggal dunia – Pasal 531 KUHP.47
b. Unsur Subjektif
Unsur subjektif adalah unsur yang terdapat dalam diri si pelaku tindak
pidana. Unsur subjektif ini meliputi:48
47 Ibid., hlm 120. 48 Ibid., hlm 121.
30
1) Kesengajaan (dolus)
Hal ini terdapat, seperti dalam: melanggar kesusilaan – Pasal 281 KUHP;
merampas kemerdekaan – Pasal 333 KUHP; pembunuhan – Pasal 338
KUHP; dan lain-lain.
2) Kealpaan (culpa)
Hal ini terdapat, seperti dalam: dirampas kemerdekaan – Pasal 334 KUHP;
menyebabkan mati – Pasal 359 KUHP; dan lainlain.
3) Niat (voornemen)
Hal ini terdapat dalam percobaan (poging) – Pasal 53 KUHP.
4) Maksud (oogmerk)
Hal ini terdapat, seperti dalam : pencurian – Pasal 362 KUHP; pemerasan –
Pasal 368 KUHP; penipuan – Pasal 372 KUHP; dan lain-lain.
5) Dengan rencana terlebih dahulu (met voorbedachte rade)
Hal in terdapat, seperti dalam : pembunuhan dengan rencana – Pasal 340
KHUP; membunuh anak sendiri dengan rencana – Pasal 342 KUHP; dan lain-
lain.
6) Perasaan takut (vrees)
Hal ini terdapat, seperti dalam : membuang anak sendiri – Pasal 308 KUHP;
membunuh anak sendiri – Pasal 341 KUHP; membunuh anak sendiri dengan
rencana – Pasal 342 KUHP; dan lain-lain.49
49 Ibid., hlm 122
31
C. Pengertian Tindak Pidana Hoax
Pengertian Tindak Pidana Hoax adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu
aturan hukum, larangan mana yang disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana
tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Tindak pidana merupakan
pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum, yang dengan sengaja atau
tidak sengaja telah dilakukan terhadap seorang pelaku Berita Bohong (Hoax) adalah
Kabar, informasi, atau berita palsu yang tersebar melalui internet.
Pasal 28 UU ITE, yakni:
(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi
Elektronik.
(2) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan
antargolongan (SARA).
D. Ujaran Kebencian (Hate Speech)
1. Pengertian Ujaran Kebencian
Ujaran Kebencian (Hate Speech) adalah tindakan komunikasi yang dilakukan
oleh suatu individu atau kelompok dalam bentuk provokasi, hasutan, ataupun hinaan
32
kepada individu atau kelompok lain dalam hal berbagai aspek seperti ras, warna kulit,
gender, cacat, orientasi seksual, kewarganegaraan, agama dan lain-lain.50
Pada tanggal 8 Oktober 2015, Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti
mengeluarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan
Ujaran kebencian (hate speech). Dengan diterbitkannya Surat Edaran Kapolri Nomor:
SE/06/X/2015, maka Polri memiliki pedoman dalam bertindak ketika menangani kasus
ujaran kebencian. Polri tidak lagi ragu-ragu untuk bertindak dan bisa memilah apa yang
disebut dengan ujaran kebencian dan yang bukan.
Tujuan diterbitkannya Surat Edaran (SE) Penanganan Ujaran Kebencian adalah
untuk penanganan permaslaahan kebencian yang semakin marak dan kurang
terantisipasi oleh aparat Kepolisian, khususnya dari tingkat yang paling bawah. Surat
Edaran Penanganan Ujaran Kebencian adalah panduan teknis aparatur kepolisian dari
tingkat yang paling bawah, agar:51
a. Menyadari bahaya ujaran kebencian, baik terhadap persatuan dan kesatuan,
maupun terhadap perlindungan bagi kelompok minoritas.
b. Mampu mendeteksi gejala ujaran kebencian yang marak di tengah-tengah
masyarakat.
50 Admin, Tinjauan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), terdapat dalam
http://www.suduthukum.com/2016/11/tinjauan-tentang-ujaran-kebencian-hate.html. 15 November
2016. Diakses pada tanggal 12 April 2019. 51 Christian Chrisye Lolowang dan Umar Ma‟ruf, “Implementasi Surat Edaran Kapolri Nomor
SE/06/x/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam Penegakan Hukum di Polres
Jakarta Selatan”, Jurnal Reformasi Hukum, Vol. 1. No. 1, September 2017, hlm. 63
33
c. Mampu mengambil langkah yang tepat, baik secara preventif maupun penegakan,
untuk mengatasi ujaran kebencian, dengan mengunakan kewenangan yang
dimiliki serta ketentuan pidana yang berlaku.
Berlakunya Surat Edaran Penanganan Ujaran Kebencian juga memperlihatkan
keseriusan Pemerintah dan Kapolri untuk mencegah terjadinya ujaran kebencian untuk
penegakan Hukum di Indonesia. Dalam Hukum Pidana memuat ketentuan mengenai
perbuatan yang dilarang sebagai tindak pidana, masalah pertanggungjawaban serta
ancaman sanksinya yang dapat terwujud dalam berbagai peraturan perundangan hukum
pidana.52
Di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur tentang tindak pidana
yang terkait dengan Ujaran Kebencian (Hate Speech) terhadap seseorang, kelompok
ataupun lembaga berdasarkan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 yaitu
terdapat di dalam KUHP (Pasal 156, Pasal 157, Pasal 310, Pasal 311), kemudian Pasal
28 jis. Pasal 45 ayat (2) UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Trasaksi
Elektronik dan Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis.
Selain peraturan-peraturan yang mengatur tentang tindak pidana terkait dengan
ujaran kebencian dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015, terdapat pula
beberapa peraturan yang tidak tercantum dalam surat edaran tersebut. Diantaranya
Pasal 156a KUHP, Pasal 45A UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No.
52 Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran kebencian (hate speech),
hlm. 5.
34
11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan Pasal 4 UU No. 40
Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
Berikut ini beberapa penjabaran singkat terkait Pasal-Pasal di dalam Undang-
Undang yang mengatur tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech):53
a. KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), yaitu:
1) Pasal 156 KUHP:
“Barangsiapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian
atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda
paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
2) Pasal 156a KUHP:
“Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun, barangsiapa
dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan
perbuatan:
a) Yang ada pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau
penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
b) Dengan maksud agar orang tidak menganut agama apa pun juga yang
tidak bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.”
3) Pasal 157 ayat (1) dan (2) KUHP:
“(1) Barangsiapa menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan
atau lukisan di muka umum, yang isinya mengandung pernyataan perasaan
permusuhan, kebencan atau penghinaan di antara atau terhadap golongan-
golongan rakyat Indonesia, dengan maksud supaya isinya diketahui oleh
umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun enam bulan
atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) jika yang bersalah melakukan kejahatan tersebut pada waktu menjalankan
pencariannya dan pada saat itu belum lewat lima tahun sejak
pemidanaannyamenjadi tetap karena kejahatan semacam itu juga, yang
bersangkutan dapat dilarang menjalankan pencarian tersebut.”
53 Ibid., hlm. 5-7.
35
4) Pasal 310 ayat (1), (2) dan (3) KUHP:
“(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang
dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu
diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling
lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus
rupiah.
(2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,
dipertunjukkan atau ditempel di muka umum, maka diancam karena
pencemaran tertulis dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat
bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan
jelas dilakukan demi kepentingnan umum atau karena terpaksa untuk
membela diri.”
5) Pasal 311 ayat (1):
“Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis
dibolehkan untuk membuktikan apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya dan tuduhan dilakukakn bertentangan dengan apa yang
diketahui, maka dia diancam melakukan fitnah dengan pidana penjara paling
lama empat tahun.”
b. UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik:
1) Pasal 28 ayat (1) dan (2):
“(1) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik.
(2) Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang
ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras dan
antargolongan (SARA).”
2) Pasal 45 ayat (2): “Setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
1.00.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
36
c. UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik:
1) Pasal 45A ayat (2):
“Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi
yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu
dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras,
dan antar golongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda
paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
d. UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis:
1) Pasal 4 sub b:
“Menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras
dan etnis yang berupa perbuatan:
a) membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan, ditempelkan, atau
disebarluaskan di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dilihat
atau dibaca oleh orang lain;
b) berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan kata-kata tertentu di tempat
umum atau tempat lainnya yang dapat didengar orang lain;
c) mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda, kata-kata, atau gambar
di tempat umum atau tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain;
atau
d) melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan,
perbuatan cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan
kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.”
2) Pasal 16:
“Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci
kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”
37
2. Bentuk-bentuk Ujaran Kebencian
Ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang
berbentuk antara lain:54
a. Penghinaan;
b. Pencemaran nama baik;
c. Penistaan;
d. Perbuatan tidak menyenangkan;
e. Memprovokasi;
f. Menghasut;
g. Penyebaran berita bohong;
dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial.
a. Penghinaan
Penghinaaan dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika penghinaan
itu ditujukan kepada seseorang atau kelompok berdasarkan suku, agama, aliran
keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis,
gender, orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual dan ekspresi gender
serta penghinaan itu berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan
atau kekerasan.55 Penghinaan ini terdapat dalam rumusan Pasal 315 KUHP jo.
UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang
Hak-Hak Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia. Pasal 315 KUHP berbunyi:
54 Angka 2 huruf f Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan Ujaran kebencian (hate speech),hlm. 2. 55 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hlm. 14
38
“Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau
pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum
dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau
perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya,
diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat
bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Fitnah juga dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika tuduhan itu
tidak hanya dinyatakan tetapi dilakukan dalam bentuk tindakan dan usaha baik
langsung maupun tidak langsung, tuduhan tidak benar itu tentang kehormatan
atau nama baik seseorang berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar golongan, etnis, gender, orang
dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual, ekspresi gender serta tuduhan itu
berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi, permusuhan atau kekerasan.56
Penghinaan berupa fitnah terdapat dalam rumusan Pasal 311 KUHP jo. UU No.
12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan Internasional Tentang Hak-Hak
Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia. Pasal 311 KUHP berbunyi:
“(1) Jika yang melakukan kejahatan pencemaran atau pencemaran tertulis, dalam
hal dibolehkan untuk membuktikan bahwa apa yang dituduhkan itu benar, tidak
membuktikannya dan tuduhan dilakukan bertentangan dengan apa yang
diketahui, maka dia diancam karena melakukan fitnah, dengan pidana penjara
paling lama empat tahun. (2) Pencabutan hak-hak tersebut dalam pasal 35 no. 1-
3 dapat dijatuhkan.”
b. Pencemaran Nama Baik
57 Ibid., hlm. 14.
38
39
Pencemaran nama baik dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika
serangan tersebut berbentuk tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak
langsung, serangan kepada kehormatan atau nama baik seseorang itu berdasarkan
suku, agama, aliran keagamaan, keyakinan/kepercayaan, ras, warna kulit, antar
golongan, etnis, gender, orang dengan disabilitas (difabel), orientasi seksual,
ekspresi gender serta serangan berupa hasutan untuk melakukan diskriminasi,
permusuhan atau kekerasan.57 Pencemaran nama baik terdapat dalam rumusan
Pasal 310 KUHP jo. UU No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvenan
Internasional Tentang Hak-Hak Sipil Dan Politik jo. Pasal 7 ayat (2) UU No. 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 310 KUHP berbunyi:
“(1) Barangsiapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang,
dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui
umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama
sembilan bulan atau dena paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika hal itu
dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan, ditunjukkan atau
ditempelkan di muka umum, maka yang bersalah, karena pencemaran tertulis,
diancam pidanapenjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling
banyak tiga ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran
tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum karena terpaksa
untuk bela diri.”
c. Penistaan
40
Penistaan adalah suatu perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan
yang dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap
prasangka entah dari pihak pelaku pernyataan tersebut ataupun korban dari
tindakan tersebut, sedangkan menurut pasal 310 ayat (1) KUHP Penistaan adalah
suatu perbuatan yang dilakukan dengan cara menuduh seseorang ataupun
kelompok telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud agar tuduhan itu
tersiar (diketahui banyak orang). Perbuatan yang dituduhkan itu tidak perlu suatu
perbuatan yang boleh dihukum seperti mencuri, menggelapkan, berzina dan
sebagainya. Cukup degan perbuatan biasa, sudah tentu suatu perbuatan yang
memalukan.58 Sedangkan penistaan dengan surat di atur di dalam Pasal 310 ayat
(2) KUHP.59 Sebagaimana dijelaskan, apabila tuduhan tersebut dilakukan dengan
tulisan (surat) atau gambar, maka kejahatan itu dinamakan menista dengan surat.
Jadi seseorang dapat dituntut menurut Pasal ini jika tuduhan atau kata-kata hinaan
dilakukan dengan surat atau gambar.
d. Perbuatan Tidak menyenangkan
Perbuatan tidak menyenangkan tidak termasuk dalam ujaran kebencian.
Karena Mahkamah Konstitusi dalam putusan No. 1/PUUXI/2013 telah
menghapus kekuatan mengikat frasa “sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan
yang tak menyenangkan” dalam Pasal 335 ayat (1) butir 1 KUHP. Dengan
58 Pasal 310 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. 59 Pasal 310 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
41
demikian perbutan tidak menyenangkan tidak lagi ada dalam hukum pidana
Indonesia.60
e. Memprovokasi
Memprovokasi berupa menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau
penghinaan di muka umum terhadap suatu atau beberapa golongan terdapat pada
rumusan Pasal 156 KUHP dapat dikatakan sebagai ujaran kebencian jika
perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan tersebut dilakukan dalam
bentuk tindakan dan usaha baik secara langsung maupun tidak langsung.
Golongan yang dimaksud dalam pasal tersebut yaitu tiap-tiap bagian dari rakyat
Indonesia yang berbeda dengan suatu atau beberapa bagian lainnya karena ras,
negeri asal, agama, tempat, asal, keturunan, kebangsaan atau kedudukan menurut
hukum tata negara.61
f. Menghasut
Menurut R. Soesilo, Menghasut artinya mendorong, mengajak,
membangkitkan atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam
kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Mengahsut itu lebih keras
daripada “memikat” atau “membujuk” akan tetapi bukan “memaksa”. 62
Menghasut terdapat dalam rumusan Pasal 160 KUHP.
g. Penyebaran
60 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Op. Cit., hlm. 15 61 Pasal 156 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 62 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal,
Politea, Bogor, 1991, hlm. 136.
42
Berita Bohong Menurut R. Soesilo, Menyebarkan Berita Bohong yaitu
menyiarkan berita atau kabar dimana ternyata kabar yang disiarkan itu adalah
kabar bohong. Yang dipandang sebagai kabar bohong tidak saja memberitahukan
suatu kabar kosong, akan tetapi juga menceritakan secara tidak betul suatu
kejadian.63
3. Unsur-Unsur Ujaran Kebencian
Dalam Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/06/X/2015 Tentang Penanganan
Ujaran kebencian (hate speech) memang tidak dijabarkan secara jelas pengertian dari
Ujaran Kebencian (hate speech), namun dapat dilihat secara eksplisit unsur-unsur
Ujaran Kebencian. Berikut unsur-unsur ujaran kebencian :
a. Segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung;
b. Yang didasarkan pada kebencian atas dasar suku, agama, aliran keagamaan,
keyakinan/kepercayaan, ras, antar golongan, warna kulit, etnis, gender, kaum
difabel, dan orientasi seksual;
c. Yang merupakan hasutan terhadap individu maupun kelompok agar terjadi
diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa dan/atau konflik sosial;
d. Yang dilakukan melalui berbagai sarana.
Penjelasan tentang unsur-unsur ujaran kebencian:
a. Segala tindakan dan usaha baik langsung maupun tidak langsung. Terdapat dua
makna yang tidak bisa dipisahkan yaitu:
63 Ibid., hlm. 269.
43
1) Berbagai bentuk tingkah laku manusia baik lisan maupun tertulis. Misal
pidato, menulis, dan menggambar.
2) Tindakan tersebut ditujukan agar orang atau kelompok lain melakukan yang
kita anjurkan/sarankan. Tindakan tersebut merupakan dukungan aktif, tidak
sekadar perbuatan satu kali yang langsung ditujukan kepada target sasaran.
b. Diskriminasi: pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di
bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
c. Kekerasan: setiap perbuatan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, seksual, dan psikologis.
d. Konflik sosial: perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua
kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan
berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial
sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan
nasional.
e. Menghasut: mendorong atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan
tindakan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan. Apakah orang yang
mendengar hasutan ini melakukan yang dihasutkan tidak menjadi unsur pasal
sehingga tidak perlu dibuktikan. Yang bisa dijadikan dasar untuk melihat apakah
ini hasutan antara lain:
1) Intonasi (tone) yang bisa menunjukkan intensi dari ujaran tersebut untuk
menghasut;
44
2) Konteks ruang dan waktu ujaran tersebut diutarakan.
f. Sarana: segala macam alat atau perantara sehingga suatu kejahatan bisa terjadi.
Contoh sarana adalah buku, email, selebaran, gambar, sablonan di pintu mobil,
dan lain-lain.
4. Alat Ujaran Kebencian
Alat-alat yang dapat digunakan dalam ujaran kebencian yaitu :
a. Kampanye, baik berupa orasi maupun tulisan;
b. Spanduk atau banner;
c. Jejaring media sosial;
d. Penyampaian pendapat di muka umum;
e. Ceramah keagamaan;
f. Media massa cetak atau elektronik;
g. Pamflet;
h. Dan lain-lain
E. Peran dan Fungsi Kepolisian
Kepolisian memiliki peranan penting dalam mewujudkan keamanan dan
kenyamanan dalam kehidupan bermasyarakat, kepolisian merupakan lembaga
pengayom masyarakat dalam segala kondisi sosial yang caruk maruk. Peran kepolisian
dapat dikatakan sebagai aspek kedudukan yang berhubungan dengan kedudukanya
sebagai pelindung masyarakat.
Pengertian peran menurut Soerjono Soekanto, yaitu peran merupakan aspek
dinamis kedudukan (status), apabila seseorang melaksanakan hak dan kewajibannya
sesuai dengan kedudukannya, maka ia menjalankan suatu peranan. Dari hal diatas lebih
lanjut kita lihat pendapat lain tentang peran yang telah ditetapkan sebelumnya disebut
sebagai peranan normatif. Sebagai peran normatif dalam hubungannya dengan tugas
45
dan kewajiban dinas perhubungan dalam penegakan hukum mempunyai arti penegakan
hukum secara total enforcement, yaitu penegakan hukum secara penuh.64
Polisi mengandung arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ
pemerintah dengan tugas mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan agar yang
diperintah menjalankan badan tidak melakukan larangan-larangan perintah. Menurut
Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, definisi
Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Tugas, fungsi, dan kewenangan dijalankan atas kewajiban untuk mengadakan
pengawasan secara intensif dan bila perlu dengan paksaan yang dilakukan dengan cara
melaksanakan kewajiban umum dengan perantara pengadilan, dan memaksa yang
diperintah untuk melaksanakan kewajiban umum tanpa perantara pengadilan.65
Berkaitan dengan tugas dan wewenang polisi ini harus dijalankan dengan baik
agar tujuan polisi yang tertuang dalam pasal-pasal berguna dengan baik, Undang-
undang kepolisian bertujuan untuk menjamin tertib dan tegaknya hukum serta
terbinannya ketentraman masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanaan negara,
terselenggaranya fungsi pertahannan dan keamanan negara, tercapainya tujuan nasional
dengan menjunjung fungsi hak asasi manusia terlaksana.66
Momo Kelana menerangkan bahwa polisi mempunyai dua arti, yakni polisi
dalam arti formal mencangkup penjelasan organisasi dan kedudukan suatu instansi
64 Soerjono, Soekanto, 2002. Sosioiogi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali. Hlm. 243 65 Momo Kelana, Hukum Kepolisian, Perkembangan di Indonesia Suatu studi Histories Komperatif,
Jakarta: PTIK, 1972, hlm. 18. 66 Andi Munawarman, Sejarah Singkat POLRI, http:/ /www.HukumOnline.com/ hg/narasi/
2004/04/21/nrs,20040421-01,id.html. diakses pada tanggal 20 Mei 2019
46
kepolisian, dan dalam arti materil, yakni memberikan jawaban-jawaban terhadap
persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan
keamanan dan ketertiban yang diatur di peraturan perundang-undangan.67
Sesuai dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti kata polisi adalah
“suatu badan yang bertugas memelihara keamanan dan ketentraman dan ketertiban
umum (menangkap orang yang melanggar hukum), merupakan suatu anggota badan
pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dan ketertiban).68
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah Kepolisian Nasional yang
merupakan satu kesatuan dalam melaksanakan peran:
1. Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat
sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional
dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya
keamanan, ketertiban, dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang
mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan
masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk
pelanggaran hukum dan bentuk- bentuk gangguan lainnya yang dapat
meresahkan masyarakat.
2. Keamanan dalam negeri adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya
keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, serta
terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
67 Momo Kelana, Op.Cit, Hlm. 22 68 W.J.S. Purwodarminto, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. 1986. hlm. 763.
47
Kepentingan umum adalah kepentingan masyarakat dan/atau kepentingan bangsa
dan negara demi terjaminnya keamanan dalam negeri.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan
negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban, penegakan hukum,
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Menurut Pasal 5 Ayat
(1) Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri.
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, tugas pokok Kepolisian adalah:
1. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
2. Menegakkan hukum;
3. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam melaksanakan tugas pokok tersebut, Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas:
1. Melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap kegiatan
masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
2. Menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas di jalan;
48
3. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan
peraturan perundang-undangan;
4. Turut serta dalam pembinaan hukum nasional;
5. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
6. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
7. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
8. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensik dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
9. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat, dan lingkungan
hidup dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan
dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
10. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang;
11. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian;
12. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Mengenai pelaksanaan tugas kepolisian dibagi kedalam 3 (tiga) aspek, yakni:
1. Tugas penegakan hukum;
2. Tugas pengaturan dan pengawasan;
3. Tugas pembinaan.
49
Pelaksanaan tugas polisi dapat dilakukan secara preventif dan secara refresif,
adapun tindakan preventif (pencegahan) meliputi dengan 2 (dua) hal, yakni:
1. Justitieel, yakni mencegah secara langsung terjadinya perbuatan-perbuatan yang
menimbulkan tindak pidana.
2. Bestuurlijk, yakni dapat disebut tindakan preventif tidak langsung yaitu
mencegah secara langsung hal-halyang dapat menimbulkan tindak pidana.
Selanjutnya tindakan refresif meliputi 2 (dua) hal, yakni:
1. Justitieel, yakni mencari dan menyelidik suatu tindak pidana,menangkap
pelakunya guna diajukan ke pengadilan.
2. Bestuurlijk, yakni mencari dan menyelidiki hal-hal yang langsung dapat
menimbulkan tindak pidana.
Fungsi umum kepolisian yang berkaitan langsung dengan kewenangan kepolisian
yang berdasarkan undang-undang dan/atau peraturan perundang-undangan yang
meliputi semua lingkungan kuasa hukum, yaitu:
1. Lingkungan kuasa soal-soal (zaken gebeid), yang termasuk kompetisi hukum
publik;
2. Lingkungan kuasa orang (personen gebeid);
3. Lingkungan kuasa tempat (ruimte gebeid);
4. Lingkungan kuasa waktu (tijds gebeid).
Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, wewenang Kepolisian adalah:
1. Menerima laporan dan/atau pengaduan;
50
2. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat
mengganggu ketertiban umum;
3. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; antara lain
pengemisan dan pergelandangan, pelacuran, perjudian, penyalahgunaan obat dan
narkotika, pemabukan, perdagangan manusia, penghisapan/praktik lintah darat,
dan pungutan liar.
4. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam
persatuan dan kesatuan bangsa; Aliran yang dimaksud adalah semua atau paham
yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan
bangsa antara lain aliran kepercayaan yang bertentangan dengan falsafah dasar
Negara Republik Indonesia.
5. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
6. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian
dalam rangka pencegahan;
7. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
8. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
9. Mencari keterangan dan barang bukti;
10. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
11. Mengeluarkan surat izin dan/atau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
12. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
51
13. Menerima dan menyimpan barang temuan untuk sementara waktu.
Selain itu, Kepolisian Negara Republik Indonesia sesuai dengan peraturan
perundang-undangan lainnya berwenang:
1. Memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan
masyarakat lainnya;
2. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
3. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
4. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
5. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan
senjata tajam;
6. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha
di bidang jasa pengamanan;
7. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih aparat kepolisian khusus dan
petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
8. Melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan
memberantas kejahatan internasional;
9. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada
di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
10. Mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian
internasional;
11. Melaksanakan kewenangan lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian;
52
F. Hukum Pidana Indonesia Dalam Menangani Kasus Hoax dan Hate Speech
UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana tersebut terbit dengan
pertimbangan bahwa saat itu negara belum dapat membentuk sebuah Undang-Undang
Pidana yang baru sehingga menggunakan hukum pidana yang sudah ada sejak zaman
penjajahan dengan disesuaikan dengan keadaan. Hal ini ada dalam penjelasan umum
UU 1 tahun 1946, bahwa berdasar pasal II Aturan Peralihan UUD dan Peraturan
Presiden Republik Indonesia No. 2 tahun 1945 yang diterbitkan pada 10 Oktober 1945.
Memberlakukan semua peraturan hukum pidana yang ada sejak 17 Agustus 1945 baik
yang berasal dari Pemerintah Hindia-Belanda maupun yang ditetapkan oleh bala tentara
Jepang. Dan karena itu membuat persoalan baru karena menjadikan campur aduknya
peraturan hukum pidana dalam satu daerah, karena ada aturan dari jaman Belanda
ditambah dengan aturan jaman Jepang.
Sementara untuk menangkis dan menjerat para pengedar berita palsu saat ini, yang
membuat gaduh suasana berbangsa, bernegara dan bersosial. UU Nomor 1 tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana memiliki pasal-pasal yang mampu menjerat para
pelaku pidana penyebaran berita hoax yaitu diatur dalam pasal :
Pasal 14
1- Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong, dengan
sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
2- Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang
dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat
53
menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum dengan
penjara setinggi-tingginya tiga tahun.
Pasal 15
Barang siapa menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang
tidak lengkap, sedangkan ia mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa
kabar demikian akan atau mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
dihukum dengan hukuman penjara setinggi-tingginya dua tahun.
G. Hukum Acara Penanganan Kasus Hoax dan Hate Speech Berdasarkan
KUHAP
Dalam penanganan kasus hoax dan hate speech di Indonesia kepolisian sebagai
penegak hukum dalam menangani perkara tersebut berlandaskan pada Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pada pasal 1
telah di jelaskan bahwa penyidik adalah pejabat negara republik Indonesia atau pejabat
pegawai negeri sipil tertentu yang di beri wewenang khusus oleh Undang-Undang
untuk melakukan penyidikan. Kemudian pada pasal 7 sebagai penyidik karena
kewajibannya mempunyai wewenang untuk menerima laporan atau pengaduan dari
seseorang tentang adanya tindak pidana.
Pada penanganan kasus hoax dan hate speech setelah kepolisian menerima
laporan atau pengaduan berdasarkan pasal 102 penyidik wajib melakukan tindakan
penyelidikan yang di perlukan yaitu dengan mengumpulkan alat bukti, kemudian pada
pasal 1 di jelaskan juga yang di maksud saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu
54
perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Dalam
mengumpulkan keterangan saksi pada kasus hoax dan hate speech penyidik juga
melakukan pemeriksaan terhadap saksi ahli yang berkaitan dengan kasus hoax dan hate
speech diantaranya ahli pidana, ahli bahasa, ahli ITE, ahli digital foresik.
Pada pasal 1 juga di jelaskan keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan
oleh seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk
membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan setelah kepolisian
melakukan proses penyelidikan, penyidik akan melakukan gelar perkara awal dengan
bukti permulaan yang cukup untuk dinaikan ke tingkat penyidikan. Sebagaimana yang
di maksud dalam pasal 107 ayat (2) dalam hal suatu peristiwa yang patut di duga
merupakan tindak pidana sedang dalam penyidikan oleh penyidik dan kemudian di
temukan bukti yang kuat untuk di ajukan kepada penuntut umum.
Dalam proses penyidikan pihak kepolisian mengacu kepada pasl 184 ayat (1)
alat bukti yang sah ialah:
a. Keterangan saksi;
b. Keterangan ahli;
c. Surat;
d. Petunjuk;
e. Keterangan terdakwa.
Apabila ditemukan barang bukti penyidik akan melakukan penyitaan
sebagaimana di atur dalam pasal 38 ayat (1) yang berbunyi: “penyitaan hanya dapat
dilakukan oleh penyidik dengan surat izin ketua pengadilan negeri setempat dan di
buatkan berita acara penyitaan”. Dalam pasal 39 barang bukti yang di maksud yaitu
55
benda yang telah di pergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau
untuk mempersiapkannya.
Sebagaimana di atur dalam pasal 75 penyidik dalam menangani sebuah kasus
hoax dan hate speech selalu di sertai dengan pembuatan surat perintah dan berita acara.
Dalam pasal 75 ayat (1) berita acara di buat untuk setiap tindakan tentang:
a. Pemeriksaan tersangka;
b. Penangkapan;
c. Penahanan;
d. Penggeledahan;
e. Pemasukan rumah;
f. Penyitaan benda;
g. Pemeriksaan surat;
h. Pemeriksaan saksi;
i. Pemeriksaan di tempat kejadian;
j. Pelaksanaan penetapan dan putusan pengadilan;
k. Pelaksanaan tindakan lain sesuai dengan ketentuan (Undang-Undang ini)
Pada ayat 3 dijelaksan bahwa berita acara selain di tanda tangani oleh pejabat
tersebut, di tanda tangani pula oleh semua pihak yang terlibat. Dalam pasal 56 ayat (1)
tersangka atau terdakwa di dakwa melakukan tindak pidana bagi mereka yang tidak
mampu di ancam dengan pidana 5 tahun atau lebih yang tidak mempunyai penasihat
hukum atau sendiri, penyidik akan menunjuk penasihat hukum bagi tersangka. Dalam
pasal 110 ayat (1) dalam hal penyidik telah melakukan penyidikan, penyidik wajib
segera menyerahkan berkas perkara itu terhadap penuntut umum.
56
Setelah penuntut umum menerima berkas perkara dari penyidik dan dinyatakan
lengkap (P21) penyidik akan segera melimpahkan berkas perkara, barang bukti
beserta tersangka untuk selanjutnya tersangka menjalani proses persidangan.
57
BAB III
GAMBARAN UMUM MENGENAI TINDAK PIDANA PENYEBAR BERITA
BOHONG (HOAX) DAN UJARAN KEBENCIAN (HATE SPEECH)
A. Kasus berita bohong (Hoax) dan ujaran kebencian (Hate Speech) oleh emak-
emak di Karawang
Kejadiannya di Karawang, Jawa Barat. Ketiga emak-emak dengan inisial CW,
ES dan IF adalah anggota relawan PEPES (Partai emak – emak pendukung Prabowo-
Sandi) yang dibentuk pada tangal 18 Agustus 2018 di Jakarta Timur. Dalam struktur
organisasi PEPES adapun CW memiliki jabatan sebagai Ketua Koordinator Wilayah
Karawang, ES sebagai koordinator Kecamatan Cikampek, dan IF merupakan anggota
yang juga keponakan dari ES.
Kemudian sekitar bulan Februari 2019 CW pergi ke Cikampek dan bertemu
dengan ES, dan sekitar jam 11.30 wib kedua nya melakukan sosialisasi di daerah rumah
ES yaitu di Dsn. Kalioyod Rt.004 Rw.003 Desa Wancimekar Kec. Kotabaru Kab.
Karawang, Sosialisasi dilakukan dengan cara keliling kampung dan membagi stiker
PEPES yang bergambar capres dan cawapres Prabowo-Sandi, lalu pada saat sosialisasi
di rumah ketiga, ES sedang berdialog seru dengan saksi (ABAH) kemudian karena
suasana semakin memanas CW kemudian mendokumentasikan kejadian tersebut
dengan cara mengambil Vidio dan berniat untuk mengirimkan hasil dokumentasi
kepada PEPES Pusat.
Dalam Vidio yang di ambil oleh CW terdapat 4 orang yang terdiri dari ES, IF
dan saksi (ABAH) serta anak laki – laki yang merupakan anak dari IF, dari Vidio yang
di ambil oleh CW terdapat percakapan dengan menggunakan bahasa sunda yang dalam
58
bahasa Indonesia berarti : kalau Capres 01 menang, azan tidak akan dikumandangkan
lagi, Pernikahan sejenis akan dilegalkan, anak-anak dilarang mengaji, dan Muslimah
tidak boleh berhijab.
Kemudian pada hari selasa 19 Februari 2019, ditempat tingal CW yang beralamat
di Perum Buana Taman Sari Raya Blok A8 No.21 Kel Kondangjaya Kec. Karawang
Timur Kab. Karawang, CW mengupload Vidio dengan durasi 0,59 detik tersebut melalui
akun Twitter dengan nama Xena the warior princess@Citrawida5, Vidio tersebut di
Upload oleh CW sebagai bentuk laporan bahwa telah melaksanakan kegiatan kepada
pengurus PEPES Pusat. Hingga kemudian Vidio tersebut menjadi Viral di Kalangan
Masyarakat dan membuat beberapa Ormas maupun kelompok Masyarakat yang lainnnya
mengkaji Vidio tersebut hingga berujung pada banyak nya laporan kepada pihak
Kepolisian Khusus nya Polres Karawang.
Lalu Kepolisan Resor Karawang bergerak cepat dengan melakukan penyelidikan
berkaitan dengan kebenaran Vidio tersebut dengan cara mengidentifikasi siapa – siapa
saja yang berada dalam rekaman Vidio tersebut, lalu mendeteksi siapa yang sudah
menyebarkan vidio tersebut, tentunya dengan melakukan pemeriksaan saksi ahli
diantaranya Saksi Ahli Bahasa Sunda (KHOLID ABDULLAH), Ahli ITE (DR.
BAMBANG PRATAMA, S.H., M.H, Ahli Digital Forensik (SAJI PURMANTO, S.H.,
AC, OSVTC. Dari pemeriksaan para Ahli tersebut dapat di simpulkan bahwa ketiga Emak
– emak baik yang terlibat dalam Vidio maupun yang mengupload vidio tersebut yang
mengandung muatan Hoax dan Hatespeech bagi salah satu paslon Capres dapat
disangkakan melangar Pasal 28 ayat (2) Undang – undang nomor 19 tahun 2016 tentang
perubahan atas undang – undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik.
59
Pada tanggal 24 Februari 2019 masing – masing di rumah terdawa, Kepolisan
Resor Karawang Unit III Tipidter melakukan penangkapan kepada ketiga emak - emak
yang terlibat dalam Vidio tersebut yaitu CW, ES dan IF, lalu pada tanggal 25 Februari
2019 hingga 16 Maret 2019 penyidik Polres Karawang melakukan penahanan terhadap
ketiga pelaku tersebut di rutan Polres Karawang selama 20 hari, selama proses
penyidikan, dalam hal ini penyidik mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum
guna melengkapi berkas perkara 3 emak – emak tersebur, lalu penyidik kembali
mengajukan perpanjangan penahanan kepada penuntut umum slama 40 hari yaitu pada
tanggal 17 Maret 2019 sampai dengan 25 April 2019, hingga berkas perkara dinyatakan
lengkap oleh Jaksa Penuntut Umum Penyidik Kepolisan Resor Karawang melimpahkan
Tersangka dan Barang Bukti Kepada Jaksa Penuntut umum di Kantor kejaksaan Negeri
Karawang, untuk selanjutnya menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri
Karawang.
Pada hari Senin tanggal 29 Juli 2019, hakim ketua Pengadilan Negeri Karawang
yang bernama ELVINA, S.H., M.H. membacakan Vonis bagi ketiga terdakwa, masing
masing terdakwa CW, ES, dan IF bahwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana “Telah melakukan, menyuruh
melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan menyiarkan suatu berita atau
mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat,
sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong”
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 14 ayat (2) Undang – undang RI No
1 tahun 1946 tentang peraturan hukum pidana Jo pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHPidana, dan
dijatuhkan hukuman penjara masing – masing selama 8 (delapan) bulan dikurangkan
dengan lamanya para terdakwa dalam masa tahanan sementara dengan perintah para
60
terdakwa tetap ditahan.
Kampanye hitam yang videonya viral karena disebar sendiri oleh pelaku
melalui akun Instagram pribadinya @citrawida5 telah merusak demokrasi
kita.Provokasi dan kampanye hitam tersebut berpotensi merusak kerukunan umat
beragama dan meresahkan umat Islam.
Apa jadinya kalau video tersebut tidak viral dan pelaku tidak ditangkap?
Kampanye hitam seperti itu akan terus digencarkan dan bagi para korban yang awam,
atau warga yang sepuh seperti kakek dalam video tersebut, pasti akan menelan mentah-
mentah fitnah tersebut dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran.
Kampanye hitam dari pendukung salah satu calon mempunyai kadar bahayanya
sama seperti Tabloid Obor Rakyat yang massif disebar di Pilpres 2014. Buktinya,
mereka para pendukung kubu 02 masih saja menggunakan politik identitas dan isu
SARA sebagai bahan kampanye di Pilpres 2019.
Meskipun sudah banyak orang yang ditangkap karena melanggar UU ITE,
melakukan hate speech (ujaran kebencian) dan menebar hoax serta mencemarkan nama
baik di media sosial atau dalam kampanye terbuka, tapi tetap saja masih ada yang berani
berkampanye hitam seperti itu.
Polisi resort Karawang menganalisa video kampenye hitam yang dilakukan 3
wanita asal Karawang dari Partai Emak-emak Prabowo Sandiaga (PEPES) ke Joko
Widodo (Jokowi). Penyidik polres Karawang dalam menangani kasus menggandeng
ahli untuk menelaah video diduga mengandung muatan hate speech (ujaran kebencian)
dan menebar hoax serta mencemarkan nama baik di media sosial atau dalam kampanye
terbuka , adapun berikut diantara nya daftar dan pendapat para Ahli yang tercantum
pada Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg, yang di ucapkan oleh hakim dalam
61
sidang terbuka di pengadilan Negeri Karawang pada hari selasa tanggal 30 Juli 2019 :
1. Ahli Hukum Pidana, Dr. EFFENDY SARAGIH , S.H., M.H., menyatakan
perbuatan yang dilakukan oleh ketiga terdakwa yang telah mengupload
Video tersebut ke media social (twitter), jelasdapat menimbulkan rasa
kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok Masyarakat
tertentu berdasarkan Agama, dan apabila pemberitahuan tersebut dianggap
benar oleh masyarakat yang mendengar, jelas dapat menimbulkan
kegelisahan dan kegoncangan hati penduduk yang mendengar, Mengenai
unsur pasal 14 ayat (2) UURI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana, salah satu unsurnya yaitu “yang dapat menerbitkan keonaran” tidak
harus menjadi nyata – nyata adanya suatu keonaran tetapi secara objektif
bisa kita tahu bahwa berita itu bisa membuat orang resah dan gelisah bagi
si pendengar atau penerima berita tersebut.
2. Ahli Bahasa Sunda KHOLID ABDULLAH, menyatakan bahwa setelah
menelaah Vidio yang dibuat dan disebarkan oleh ketiga terdakwa, kemudian
ahli menerjemahkan bahasa sunda kedalam bahasa Indonesia maka ahli
menyimpulkan bahwa ketiga perempuan tersebut mencoba mempersoalkan
bahwa jika Pak Jokowi terpilih kembali menjadi presiden maka akan terjadi
hal –hal yang dianggap akan merugikan umat islam, Misalnya tidak akan
terdengar lagi suara adzan, anak – anak yang mengaji.
Perempuan berkerudung bahkan terjadi pernikahan sesame jenis,
pernyataan seperti itu tentulah sangat provokatif dan tidak benar karena
merupakan asumsi- asumsi saja. Dengan demikian kelompok perempuan
tersebut bida ditafsirkan berupaya mempengaruhi keyakinan pilihan politik
(Calon Presiden) Kepada laki-laki lawan Bicaranya, terlebih ketika itu
62
diunggah ke media social. Komunikasi yang terjadi secara terbatas menjadi
konsumsi public, masyarakat yang semua tidak tahu menjadi tahu, dan
semua itu jika dihubungkan dengan pasal 14 ayat (1) ayat (2) dan atau pasal
15 UURI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Jo pasal 55
KUHPidana, sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 28 ayat (2) jo pasal
45A tentang UURI No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas undang –
undang Nomor 11 tahun 2008 tentang informasi dan transaksi Elektronik
dapat masuk didalamnya apalagi setelah menjadi Viral.
3. Ahli ITE DR. BAMBANG PRATAMA, S.H., M.H., menyatakan bahwa
Penyebaran Vidio tersebut menggunakan media social Twitter yaitu
sebagaimana dimaksud di atas terlihat jelas diunggah oleh pemilik akun
twitter bernama xena the warior princess/@citrawida5. Hal ini ditunjukan
dari bagian atas yang menunjukan identitas dari suatu pemilik akun media
social twitter, untuk mengetahui kepemilikan atau pengguna dari akun
tersebut, bisa dilihat dari nomor telepon atau alamat email yang menjadi
keharusan untuk membuat akun twitter, dengan adanya syarat demikian,
dapat dipastikan bahwa yang telah mengupload Vidio tersebut adalah
pemilik akun.
4. Ahli Digital Forensik, SAJI PURMANTO, S.H., AC,OSVTC,
menyatakan bahwa setelah menerima barang bukti dari penyidik berupa
Handpone dan simcard, selanjutnya barang bukti tersebut diuji dengan cara
“ekstraksi data secara logical” ialah pengambilan data yang di ambil dari
media penyimpanan yang teralokasi secara logis, sedangkan ekstraksi
secara File system adalah pengambilan data dari media tiap Byte maupun
63
tiap sector, lalu dari hasil pengujian tersebut didapat bahwa akun Twitter
(xena the warior princes) @Citrawida5 link tread
http://twitter.com/Citrawida5 pada tanggal 13 Februari 2019 jam 12.07 AM,
mempusting/twit berupa konten teks / tulisan dengan melampirkan file
Vidio provokasi atau yang bermuatan Hoax dan Heatspeec menggunakan
Handphone android.
Dalam perkara ini, polisi telah menetapkan ketiga orang dari relawan PEPES
itu sebagai tersangka. Mereka di antaranya ES warga Desa Wancimekar, Kecamatan
Kota Baru Kabupaten Karawang, IP warga Desa Wancimekar, Kecamatan Kota Baru
Kabupaten Karawang dan CW warga Telukjambe, Desa Sukaraja, Kabupaten
Karawang.69
Pada Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg, yang di ucapkan oleh hakim
Ketua yang bernama ELVINA, S.H., M.H. dalam sidang terbuka di pengadilan Negeri
Karawang pada hari selasa tanggal 30 Juli 2019, Ketiga terdakwa yaitu 1. Citra Wida
(CW), 2. ENGKAY SUGIYANTI (ES) 3. IKA FERANIKA (IF) dikenakan pasal 14
ayat (2) UU RI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum
Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP dan UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara pidana dan pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 19 tahun 2016
tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik. Menyatakan Terdakwa 1. Citra Wida (CW), 2. ENGKAY SUGIYANTI
(ES) 3. IKA FERANIKA (IF), telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
69 Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg tentang dakwaan, hlm. 3
64
melakukan tindak pidana “secara bersama sama melakukan perbuatan menyiarkan
suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan, yang dapat menerbitkan keonaran
dikatalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu adalah bohong”
Adapun unsur pidana dalam pasal pasal 14 ayat (2) UU RI No. 1 Tahun 1946
tentang Peraturan Hukum Pidana jo Pasal 55 ayat (1) ke (1) KUHP dan UU No. 8 tahun
1981 tentang Hukum Acara pidana dan pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI
No. 19 tahun 2016 tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik, yaitu :
1. Unsur pasal 14 ayat (2) UU RI No. 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum.
- Barang siapa;
Bahwa yang dimaksud dengan “barang siapa” adalah orang manusia
sebagai subyek hukum, selaku pendukung hak dan kewajiban yang
dapat dimintai pertanggung jawaban.
Menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan;
Bahwa yang dimaksud dengan “Menyiarkan suatu berita atau
mengeluarkan pemberitahuan” dalam hal ini adalah menyampaikan atau
memberitahu kepada khalayak ramai dengan berbagai cara.
- Yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat;
Yang dimaksud dengan “Yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan
rakyat” adalah bahwa berita tersebut bisa menciptakan atau membuat
kegaduhan, atau kerusuhan, atau keributan didalam suatu masyarakat.
65
- Sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa berita atau
pemberitahuan itu adalah bohong;
Bahwa yang dimaksud “Sedangkan ia patut dapat menyangka bahwa
berita atau pemberitahuan itu adalah bohong” adalah bahwa orang
menyiarkan berita tersebut seharusnya mengerti atau menduga bahwa
berita yang disiarkannya adalah berita yang tidak benar atau tidak sesuai
dengan yang sebenarnya.
2. Unsur pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) UU RI No. 19 tahun 2016
tentang perubahan atas UU RI No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
- Setiap orang;
Bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah siapa saja yang
merupakan orang perseorangan, baik warga Indonesia, warga Asing
maupun badan hokum, sebagai subjek hokum, yang dapat dimintakan
pertanggung jawabannya atas segala perbuatannnya
- Dengan sengaja dan tanpa hak;
Bahwa yang dimaksud “dengan sengaja dan tanpa hak” adalah bahwa
seseorang melakukan suatu perbuatan dengan menghendaki perbuatan
itu serta menginsafi atau mengerti akan akibat dari perbuatannya itu.
“tanpa hak” berarti seseorang melakukan suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hokum objektif, atau suatu perbuatan yang
bertentangan dengan hak orang lain atau dengan haknya.
- Menyebarkan Informasi;
66
Bahwa yang dimaksud dengan “Menyebarkan Informasi” adalah suatu
perbuatan yang menyiarkan atau membagi – bagikan kabar atau benda
tentang suatu kepada khalayak ramai.
- Yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau
permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu
berdasarkan atas suku, agama, ras dan antargolongan (SARA);
Bahwa yang dimaksud dengan “yang ditujukan” dalam hal ini adalah
pelaku menginginkan suatu akibat yang mungkin ditimbulkan dari
perbuatannya tersebut. Jadi potensi timbulnya rasa kebencian atau
permusuhan dari suatu perkataan tulisan atau lisan tersebut dapat
menjadi indicator didalam pemenuhan makna ditujukan.
Bahwa yang dimaksud dengan “menimbulakan rasa kebencian” adalah
rasa tidak suka atau pertentangan.
Sedangkan yang dimaksud dengan “Individu dan/atau kelompok
masyarakat tertentu” adalah individu adalah bersifat perseorangan,
sedangkan kelompok masyarakat adalah kumpulan orang – orang yang
memiliki atribut sama atau hubungan antara pihak yang sama;
Bahwa yang dimaksud dengan “Suku, Agama, Ras dan antar golongan
(SARA)” adalah suku berarti golongan bangsa dari suatu bangsa yang
besar, dan Agama adalah suatu ajaran yang dianut oleh seseorang atau
sekelompok orang yang mengatur tata keimanan atau kepercayaan dan
peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan Ras adalah
67
golongan manusia berdasarkan ciri – ciri fisik, serta antar golongan
berarti golongan yang satu dengan golongan yang lain.70
B. Tugas dan Fungsi Kepolisian Republik Indonesia Menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Sebagaimana Fungsi Kepolisian Republik Indonesia Menurut Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, fungsi
kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan
pelayanan kepada masyarakat.71
Dikhususkan peran kepolisian dalam menanggulangi ujaran kebencian
tercantum dalam Surat Edaran Kepolisian Republik Indonesia Nomor SE/6/X/2015
tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) angka 3 yang menyatakan bahwa:
1. Berkenaan dengan uraian pada angka 2 di atas, Diberitahukan/dipermaklumkan
bahwa untuk menangani perbuatan ujaran kebencian agar tidak memunculkan
tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau konflik sosial yang
meluas diperlukan langkah-langkah penanganannya sebagai berikut :
a. Melakukan tindakan preventif
b. Apabila tindakan preventif sudah dilakukan oleh anggota Polri namun tidak
menyelesaikan masalah yang timbul dari tindakan ujaran kebencian, maka
penyelesaian dapat dilakukan melalui :
70 Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg tentang pertimbangan hakim, hlm. 8. 71 Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
68
1) Penegakan hukum atas dugaan terjadinya tindak pidana ujaran kebencian yang
mengacu pada ketentuan :
a) Pasal 156 KUHP
b) Pasal 157 KUHP
c) Pasal 310 KUHP
d) Pasal 311 KUHP
e) Pasal 28 jis pasal 45 ayat (2) UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik
f) Pasal 16 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras
dan Etnis.
2. Dalam hal telah terjadi konflik sosial yang dilatar belakangi ujaran kebencian,
dalam penanganannya tetap berpedoman pada :
a. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial,
b. Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2013
tentang Teknis Penanganan Konflik Sosial.
Adapun Tugas dan Peran Kepolisan, berdasarkan Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 dan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang
penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam menangani kasus
penyebaran berita Hoax dan Hete speech oleh ketiga emak – emak relawan
Prabowo-sandi (PEPES) di Karawang yaitu :72
1. Melakukan tindakan preventif : Kepolisan melalui kegiatan sambang
dan patroli ke tempat – tempat keramaian, tokoh agama, tokoh
masyarakat, ormas, tempat pendidikan, lingkup masyarakat, media
cetak maupun sosial elektronik, telah melakukan sosialisasi upaya
pencegahan terjadi nya peristiwa yang serupa, dalam hal tersebut polisi
72 Ketentuan Umum Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
69
mempunyai selogan “Saring sebelum sharing”, selogan tersebut
bermakna bahwa kepolisian mengharapkan setiap masyarakat dapat
menganilisa baik dan buruknya dampak dari setiap kabar atau informasi
yang beredar, yang tentunya belum diketahui dengan jelas kebenaran
kabar yang beredar tersebut.
2. Penegakan hukum : Sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kepolisian dalam hal ini
mempunyai tugas dalam penegakan hukum sebagai Penyidik dan
Penyidik pembantu, Kepolisian mempunyai peran melakukan
penyelidikan dan Penyidikan dalam setiap penegakan hukum,
sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara pidana bahwa yang disebut penyidik yaitu pejabat kepolisian,73
dalam kasus penyebaran berita Hoax dan Hete speech oleh ketiga emak
– emak relawan Prabowo-sandi (PEPES) di Karawang, Kepolisian
langsung bergerak cepat dengan langsung melakukan penyelidikan dan
mengumpulkan alat bukti terkait dengan kasus tersebut, yang
menjadikan dasar pihak kepolisian melakukan penegakan hukum yaitu
adanya laporan dari masyarakat dan situasi yang sedang dalam masa
kampanye pemilihan presiden Indonesia, yang akan berakibat pada akan
semakin cepatnya membuat keonaran hingga perpecahan antara satu
kelompok dengan yang lainnya, maka dari itu kepolisian segara
melakukan penyelidikan dan penyidikan, hingga menetapkan Tersangka
73 Ketentuan Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
70
dan melakukan penahanan terhadap ketiga emak – emak tersebut,
selama proses penyidikan tindak pidana tersebut, ketiga tersangka yang
diduga menjadi pelaku penyebaran dan pembuat Vidio berisikan muatan
Hoax dan Hate speech, ditahan oleh pihak kepolisian dengan berbagai
macam pertimbangan, dalam hal penanganan perkara ini, pihak
kepolisian bersikap objektif dengan memperhatikan keamanan ketiga
pelaku dilingkungan masyarakat, karena apabila tidak dilakukan
penahanan akan berdampak pada keselamatan jiwa ketiga emak – emak
tersebut, lalu Kepolisan melakukan penyitaan terhadap barang bukti
yang diduga digunakan menjadi alat pembuatan dan penyebaran Vidio
tersebut, dalam hal ini kepolisian tidak ingin barang bukti tersebut akan
hilang atau bahkan ada upacaya menghilangkan dan memusnahkan oleh
para pelaku.74
Kepolisian Negara Republik Indonesia merupakan alat Negara dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Perbuatan ujaran kebencian dan berita
hoax memiliki dampak merendahkan harkat dan martabat manusia dan kemanusiaan.
Ujaran kebencian dan berita hoax bisa mendorong terjadinya kebencian kolektif,
pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan,
pembantaian etnis atau genosida terhadap kelompok tertentu yang menjadi sasaran
ujaran kebencian. Sehingga, ujaran kebencian dan berita hoax harus ditangani dengan
74 Putusan Nomor : 194/Pid.B/2019/PN.Kwg tentang pertimbangan hakim, hlm. 10.
71
Baik karena berdampak negatif bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Pencegahan
sedini mungkin dapat dilakukan dengan cara memberikan pemahaman dan pengetahuan
atas bentuk-bentuk ujaran kebencian, ciri-ciri berita hoax dan dampak negatifnya
sebelum timbulnya tindak pidana sebagai akibat dari ujaran kebencian dan berita hoax
tersebut oleh pihak Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat Negara dalam
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta
memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam
rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri sesuai dengan Pasal 5 Ayat 1 Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Agar
tidak memunculkan tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan/atau
konflik sosial yang meluas, tidak hanya sudah menjadi tugas kepolisian dalam
memberikan perlindungan dan pengayoman kepada masyarakat, kegiatan khusus
personel Polri mengenai ujaran kebencian dan berita hoax dilakukan berdasarakan
Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian
(Hate Speech).
C. Gambaran mengenai kasus yang terjadi terkait berita bohong (hoax) dan
ujaran kebencian (hoax)
a. Kasus Jonru Riah Ukur atau biasa disapa Jonru Ginting
Kasus Jonru Riah Ukur atau biasa disapa Jonru Ginting, lahir di Kabanjahe,
Karo, Sumatera Utara pada 7 Desember 1970. Jonru lulus dari jurusan Akuntansi,
Fakultas Ekonomi, Universitas Diponegoro, Semarang pada tahun 1998. Pria yang
menyukai fotografi, design web grafis, computer dan internet ini pada awal tahun 2000
72
hingga maret 2007, berstatus sebagai pekerja kantoran di dua perusahaan internet
service provider dengan jabatan content editor. Sejak maret 2007, jonru mengaku focus
fulltime sebagai entrepreneur.
Penggiat media sosial jonru ginting telah ditetapkan sebagai tersangka kasus
dugaan ujaran kebencian. Penetapan tersangka ini terkait sejumlah postingan
(unggahan) di akun media sosial facebooknya. Di media sosial, nama jonru mencuat
selama dan setelah pilpres 2014 ketika menggugah status soal joko widodo. Unggahan
jonru ini kemudian dipermalahkan oleh anggota komisi III DPR RI Akbar Faizal, yang
dulunya merupakan tim sukses jokowi saat pilpres 2014, saat bertemu jonru di ILC
tvone.
Jonru dilaporkan ke polisi atas tuduhan ujaran kebencian di media sosial. Jonru
dilaporkan oleh Muanna Al Aidid dengan Nomor Laporan :
LP/4153/VIII/2017/PMJ/Dit.Reskrimsus. Jonru dilaporkan atas dugaan ujara
kebencian di media sosial yang terjadi pada maret-agustus 2017. Laporan tersebut
sesuai dengan Pasal 28 ayat 2 juncto Pasal 45 ayat 2 Undang-undang Republik
Indonesia No 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU No. 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik.
Pada 8 Januari 2018, Jonru menjalani sidang dakwaan di Pengadilan Negeri
Jakarta Timur. Jonru Ginting didakwa menyebarkan ujaran kebencian lewat Facebook.
Posting-an Jonru dinilai jaksa bisa menimbulkan permusuhan di tengah masyarakat.
Jaksa menuntut Jonru hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp 50 juta, namun
di sidang vonis, Jonru divonis 1,5 tahun penjara dan denda Rp 50 juta.
73
Sejak vonis itu, Jonru kemudian mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang ,
JakartaTimur.
Juni 2018, Jonru sempat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT)
Jakarta atas hukuman yang dijatuhkan kepadanya, tapi hakim PT menolak permohonan
banding Jonru, dan tetap menghukum Jonru 1,5 tahun penjara.
b. Kasus Buni Yani
Buni Yani merupakan seorang peneliti dari universitas leiden, belanda. Sejak
tahun 2010, ia mengambil gelar doctoral sekaligus sebagai peneliti di faculty of social
and behavioral sciences, institute of cultural antrophology and development sociology,
leiden university. Beliau juga pernah tinggal di amerika serikat setelah lulus dari
fakultas sastra inggris dari universitas udayana, Denpasar. Buni tinggal di ohio amerika
serikat, sejak tahun 2000 sampai 2012 untuk mengambil gelar master of art dalam studi
asia tenggara dari ohio university.
Pada tanggal 8 Oktober 2016 nama Buni Yani mulai dikenal public seiring
dengan kasus penodaan agama yang melibatkan mantan gubernur DKI Jakarta Basuki
Tjahaja Purnama (Ahok). Buni Yani disebut menyunting video ahok soal al-maidah 51
sehingga menimbulkan kegaduhan. Buni Yani lalu dipolisikan oleh relawan ahok dari
komunitas Advokat Muda Ahok-Djarot (Kotak Adja). Postingan Buni Yani dinilai telah
menimbulkan polemik ditengah masyarakat.
Pada tanggal 10 oktober 2016, postingan Buni Yani terkait video ahok di
facebook juga ternyata menuai beragam reaksi. Dia mengaku kerap diteror apalagi
setelah namanya dilaporkan ke polisi sebab dianggap menyunting video ahok saat
berkunjung ke kepulauan seribu. Buni Yani melaporkan balik 2 orang yang
74
mempolisikan dirinya. Dalam laporan resmi bernomor
LP/4898/X/2016PMJ/Disrekrimsus, Buni Yani melaporkan ketua kotak adja Muanas
Al aidid dan M Guntur Romli. Pada tanggal 4 November 2016 Buni Yani mengatakan
dirinya ada dalam demontrasi besar-besaran gabungan ormas islam pada 4 November
lalu. Menurut buni dirinya ikut demo untuk menunjukan konsistensinya dalam
menegakkan keadilan.
Rangkaian proses hukum Buni Yani atas kasus pelanggaran Undang-Undang
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) berakhir di pengadilan tingkat pertama.
Kasus Buni Yani tercatat dengan nomor register 1712 K/PID.SUS/2018 dan nomor
Perkara Pengadilan tingkat satu 674/Pid.Sus/2017/PN.Bdg. Pada 14 November tahun
lalu, Buni Yani divonis satu tahun enam bulan penjara dalam perkara penyebaran
ujaran kebencian benuansa suku, agama, ras dan antargolongan oleh hakim
Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. Ia terbukti melanggar pasal Undang-
Undang Informasi dan Transaksi Elekronik.75
Vonis tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim yang diketuai M Sapto dalam
sidang yang digelar di Gedung Arsip, Jalan Seram, Bandung, Jawa Barat, pada Selasa
14 November 2017.
c. Peran Kepolisian Dalam Kasus Jonru Ginting dan Buni Yani.
Dalam hal ini kepolisan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2002 dan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/6/X/2015 tentang
penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam menangani kasus
75 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20161124075029-12-174911/kronologi-kasus-buni-yani-
penyebar-video-ahok-soal-al-maidah diakses pada 15 Januari 2020 pukul 20.34
75
penyebaran berita Hoax dan Hete speech oleh Jonru Ginting dan Buni Yani
yaitu :
- Melakukan tindakan preventif yaitu dengan mengedepankan upaya –
upaya pencegahan terlebih dahulu, agar tidak menyebar luas pada
permasalahan lainya.
- Penegakan hukum : Sebagaimana yang sudah diamanatkan dalam
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002, bahwa kepolisian dalam hal ini
mempunyai tugas dalam penegakan hukum sebagai Penyidik dan
Penyidik pembantu, Kepolisian mempunyai peran melakukan
penyelidikan dan Penyidikan dalam setiap penegakan hukum,
sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU No. 8 tahun 1981 tentang Hukum
Acara pidana bahwa yang disebut penyidik yaitu pejabat kepolisian,
dalam kasus Kasus Jonru Ginting dan Buni Yani, telah melakukan
penyelidikan dan penyidikan, serta melimpahkan tersangka dan barang
bukti ke kejaksaan, hingga Jonru Ginting dan Buni Yani telah menjalani
proses persidangan dan masing – masing dengan Vonis yang berbeda.76
76 https://www.cnnindonesia.com/nasional/20181123205119-12-348841/lika-liku-kasus-jonru-ginting-
dari-vonis-hingga-bebas diakses pada 15 Januari 2020 pukul 20.54
76
BAB IV
PERBANDINGAN PERAN KEPOLISIAN INDONESIA DAN SINGAPURA
DALAM MENANGANI TINDAK PIDANA HOAX DAN HATE SPEECH
A. Perbandingan tindak Pidana Hoax dan Hate Speech Indonesia dengan
Singapuraa
1. Pengaturan Hoax sebagai perbuatan pidana di Indonesia
Hoax Dalam cambridge dictionary 77 , berarti tipuan atau lelucon. Kegiatan
seperti menipu, berbohong, dan menyampaikan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana telah
mengatur mengenai Hoax sebagai suatu perbuatan pidana dalam beberapa pasal, yakni
Pasal 14 ayat:
“(1)Barang siapa, dengan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong,
dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan
hukuman penjara setinggitingginya sepuluh tahun.
(2) Barang siapa menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan,
yang dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, sedangkan ia patut dapat
menyangka bahwa berita atau pemberitahuan itu adalah bohong, dihukum
dengan penjara setinggi-tingginya tiga tahun.”
Berdasarkan ketentuan diatas, maka penyebar Hoax dapat dipidana jika
memenuhi unsur-unsur menyiarkan berita atau pemberitaan bohong, adanya
kesengajaan, mengakibatkan keonaran dikalangan rakyat. Kata keonaran dan
menyiarkan sendiri dijelaskan lebih lanjut dalam bagian Penjelasan Pasal XIV Undang-
Undang No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum pidana, yaitu ialah sama dengan
77 http//:www.dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax#translations, diakses pada tanggal 29
Mei 2019 pukul 21.46.
77
"Verordening No. 18 van het Militair Gezag". Keonaran adalah lebih hebat dari pada
kegelisahan dan menggoncangkan hati penduduk yang tidak sedikit jumlahnya.
Kekacauan meuat juga keonaran. Menyiarkan artinya sama dengan "verspreiden"
dalam pasal 171 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Kemudian Pasal 15, yang menyatakan “Barang siapa menyiarkan kabar yang
tidak pasti atau kabar yang berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia
mengerti setidak-tidaknya patut dapat menduga, bahwa kabar demikian akan atau
mudah dapat menerbitkan keonaran dikalangan rakyat, dihukum dengan hukuman
penjara setinggitingginya dua tahun.
”Berdasarkan ketentuan diatas maka penyebar Hoax dapat dipidana jika
memenuhi unsur-unsur menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang
berkelebihan atau yang tidak lengkap, sedangkan ia mengerti atau menduga bahwa
kabar tersebut dapat menerbitkan keonaran di kalangan masyarakat. Pengertian dari
Kabar yang tidak pasti sendiri dijelaskan lebih lanjut dalam Bagian penjelasan Pasal
XV Undang-Undang No 1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana, disusun tidak
begitu luas sebagai "verordening No. 19 van het Militair Gezag". Pasal ini mengenai
"kabar angin" (kabar yang tidak pasti) dan kabar yang disiarkan dengan tambahan atau
dikurangi. Menyiarkan kabar benar secara yang benar tidak dihukum. Arti perkataan
"keonaran" telah dijelaskan dalam penjelasan pasal XIV. 78
Penyebaran Hoax yang dilakukan melalui media internet juga dapat dijerat
pidana, hal ini diatur dalam ketentuan pasal 45A Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang
78 Penjelasan Pasal 15 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana.
78
Informasi dan Transaksi Elektronik Selanjutnya disebut UU ITE yang menyatakan
“Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah)”.79
Berdasarkan ketentuan diatas maka penyebar Hoax dapat dipidana jika
memenuhi unsur-unsur dengan sengaja dan tanpa hak, menyebarkan berita bohong dan
menyesatkan, mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi Elektronik. Frase
“menyebarkan berita bohong dan menyesatkan” menciptakan suatu hubungan sebab
dan akibat yang menjelaskan sebab “berita bohong” tersebut akibatnya “menyesatkan”.
Dalam UU ITE tidak dijelaskan mengenai definisi dan ruang lingkup tentang
frase “berita bohong dan menyesatkan” tersebut. Padahal jika dikaji lebih lanjut,
mengenai “berita bohong” juga memiliki pengertian yang berbeda-beda di setiap orang
dalam konteks tertentu, maksudnya adalah bagaimana jika seseorang tidak mengetahui
bahwa berita yang disebarnya merupakan berita bohong dan ia tidak secara sadar
mengetahui bahwa hal tersebut adalah berita bohong. Di lain sisi ruang lingkup dari
kalimat “menyesatkan” sangatlah luas, tidak dijelaskan sejauh apa efek dan dampak
menyesatkan itu. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan terjadinya multitafsir yang
berujung terjadinya kekaburan norma.
79 Ketentuan Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 19 tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
79
2. Pengaturan Hoax sebagai perbuatan pidana di Singapura
Salah satu Negara di Asia Tenggara yang telah mengatur Hoax sebagai suatu
perbuatan pidana adalah Singapuraa. Hal ini diatur dalam beberapa undang-undang di
Singapuraa, yaitu :
1. Section 45 of the Telecommunications Act (CHAPTER 323) :
“Setiap orang yang mentransmisikan atau menyebabkan ditransmisikannya
pesan yang dia tahu palsu atau palsu akan bersalah karena pelanggaran dan akan
bertanggung jawab atas hukumannya —
(a) dalam kasus di mana pesan palsu atau pesan yang dibuat mengandung
referensi apa pun terhadap kehadiran di tempat atau lokasi apa pun dari bom
atau benda lain yang dapat meledak atau menyala, dapat didenda hingga
tidak melebihi $ 50.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 7
tahun atau keduanya; dan
(b) dalam kasus lainnya dapat didenda dengan tidak lebih dari $ 10.000 atau
penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 3 tahun atau keduanya.
“ Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar hoax yang menyebarkan berita
bohong dalam media komunikasi dapat dipidana denda maksimal $10.000 dan/atau
pidana penjara maksimal 3 tahun, sedangkan jika menyangkut tentang bom maka dapat
dipidana denda $50.000 dan/atau pidana penjara maksimal 7 tahun.
2. Regulation 8(1) of the United Nations (Anti-Terrorism Measures)
Regulations :
“Tidak ada orang di Singapuraa dan tidak ada warga Singapuraa di luar Singapuraa
yang akan mengkomunikasikan atau menyediakan informasi apa pun yang diketahui
atau diyakininya palsu kepada orang lain dengan maksud untuk mendorongnya atau
80
orang lain pada keyakinan yang salah bahwa seorang teroris bertindak telah, sedang
atau akan dilaksanakan”
Individu yang diyakini bersalah atas pelanggaran ini dapat didenda hingga $
500.000 dan/atau penjara hingga 10 tahun11. Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar
hoax yang menyebarkan berita bohong dapat dipidana maksimal $500.000 dan atau
pidana penjara maksimal 10 tahun jika menyebarkan berita yang ia tahu bahwa berita
tersebut salah yang menyangkut mengenai kegiatan terorisme.
3. Section 499 of the Penal Code (CHAPTER 224):
“Siapa pun, dengan kata-kata yang diucapkan atau dimaksudkan untuk dibaca,
atau dengan tanda-tanda, atau dengan representasi yang terlihat, membuat atau
menerbitkan setiap tuduhan tentang siapa pun, yang bermaksud mencelakakan,
atau mengetahui atau memiliki alasan untuk percaya bahwa tuduhan tersebut
akan merugikan, reputasi orang tersebut, dikatakan, kecuali dalam kasus-kasus
yang selanjutnya dikecualikan, untuk mencemarkan nama baik orang itu”.
Dan ketentuan pidananya terdapat dalam Section 499 of the Penal Code, yaitu:
“Siapa pun yang memfitnah orang lain akan dihukum penjara untuk jangka waktu yang
dapat diperpanjang hingga 2 tahun, atau dengan denda, atau dengan keduanya”.
Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar hoax yang menyebarkan berita bohong dan
dengan sadar bahwa berita tersebut dapat merugikan orang lain dapat dipidana denda
dan/atau pidana penjara maksimal 2 tahun.
4. Section 26 of the Internal Security Act (CHAPTER 143):
“Setiap orang yang, dari mulut ke mulut atau tertulis atau di surat kabar,
publikasi berkala, buku, surat edaran, atau publikasi cetak lainnya atau dengan
cara lain menyebarkan laporan palsu atau membuat pernyataan palsu yang
81
kemungkinan menyebabkan alarm publik, akan bersalah karena pelanggaran di
bawah bagian ini”
Pelanggar dapat dihukum dengan denda penjara hingga $ 1.000 dan/atau hingga
1 tahun12. Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar hoax yang menyebarkan laporan
atau berita bohong yang menyebabkan alarm public dapat dipidana denda maksimal
$1.000 dan/atau penjara maksimal 1 tahun.
5. Section 4 (1) of the Sedition Act (CHAPTER 290):
“Setiap orang yang —
(a) melakukan atau mencoba untuk melakukan, atau membuat persiapan untuk
melakukan, atau bersekongkol dengan siapa pun untuk melakukan, tindakan
apa pun yang telah atau yang akan, jika dilakukan, memiliki kecenderungan
yang bersifat menghasut;
(b) mengucapkan kata-kata kasar apa pun;
(c) mencetak, menerbitkan, menjual, menawarkan untuk dijual,
mendistribusikan atau mereproduksi publikasi yang bersifat menghasut;
atau
(d) menyebarkan publikasi yang bersifat menghasut akan bersalah karena
pelanggaran dan akan bertanggung jawab atas hukuman karena pelanggaran
pertama terhadap denda yang tidak melebihi $ 5.000 atau penjara untuk
jangka waktu tidak lebih dari 3 tahun atau keduanya, dan, untuk pelanggaran
berikutnya, penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 5 tahun; dan setiap
publikasi keras yang ditemukan dalam kepemilikan orang itu atau
digunakan dalam bukti di persidangannya akan hangus dan dapat
dihancurkan atau dibuang berdarkan arahan pengadilan”
Berdasarkan ketentuan diatas, setiap penyebar hoax yang melakukan atau
mencoba untuk melakukan, atau membuat persiapan untuk melakukan, atau
bersekongkol dengan siapa pun untuk melakukan, membuat publikasi yang
menyebarkan berita bohong yang bersifat menghasut dapat dipidana denda maksimal
82
$5.000 dan/atau pidana penjara maksimal 3 tahun (penjara maksimal 5 tahun jika
merupakan suatu pengulangan).
B. Sejarah Kepolisian Singapuraa dan Fungsi Kepolisian di Singapura
1. Sejarah angkatan polisi Singapura
Singapore Police Force (SPF) memiliki sejarah sejak masa itu hingga 1819
ketika Singapura didirikan. Sejak awal sebagai pasukan polisi kolonial kecil, SPF telah
berkembang menjadi kekuatan yang dihormati untuk bangsa, diakui internasional
sebagai salah satu lembaga penegakan hukum paling maju dan berpandangan ke depan
di dunia. Kerja bersama dengan para mitranya dari komunitas, publik dan sektor swasta,
SPF memainkan peran penting di Singapuraa sistem keadilan kriminal. PRODUK DAN
LAYANAN UTAMA SPF memastikan keselamatan dan keamanan Singapuraa. Ini
dicapai melalui pengiriman empat layanan utama: Pemolisian, Investigasi, Layanan
Polisi dan Publik Pendidikan.
Maksud dan Tujuan LAYANAN STRATEGIS SPF Pernyataan Kebijakan
Kualitas SPF dimanifestasikan dalam pernyataannya Maksud Layanan Strategis yang
menyatakan bahwa ‘dalam setiap kontak dengan komunitas, kami mengamankan
kepercayaan dan kemitraan mereka dengan menyediakan Layanan Nyaman, Terjamin
dan Personalisasi untuk mencapai hasil terbaik dengan demikian memastikan
keselamatan mereka dan keamanan'. PROFIL KARYAWAN SPF memiliki kekuatan
staf sekitar 12.550 karyawan, termasuk Staf Nasional Polisi (PNSF) penuh waktu.
Kekuatan staf SPF selanjutnya ditambah dengan lebih banyak lebih dari 20.000 orang
bermitra, terdiri dari Kepolisian Nasional Prajurit dan Relawan Constabulary Khusus.
83
SPF memiliki 28 unit dan departemen yang dibagi menjadi fungsionalitas lini dan staf.
Unit lini berhadapan langsung dengan pelanggan SPF sementara departemen staf
merencanakan dan mendukung layanan yang diberikan oleh unit lini Sebenarnya,
Kepolisian Singapuraa lebih tua dari individu mana pun yang tinggal di Singapuraa
karena fakta bahwa Pasukan Kepolisian Singapuraa (SPF) didirikan pada tahun 1819.
Bahkan, itu adalah kelompok komando tertua di negara ini. Selama masa lalu, hanya
ada 15 orang (1 Kepala Polisi adalah nama Mr. Francis James Bernard, 1 petugas
penjara dan seorang sersan bersama dengan 12 petugas patroli) yang melindungi
Singapuraa dari penjahat dan musuh-musuhnya. Pada tahun 1826, ia direformasi dan
disatukan dengan Penang dan Malaka. Ketika populasi meningkat, ada banyak
gangguan besar yang terjadi sehingga SPF dapat melanjutkan tugasnya - untuk
melayani dan melindungi orang.
Pada tahun-tahun terakhir, pada tahun 1890 polisi diharuskan memakai songkok
(topi yang biasa dipakai oleh saudara dan saudari Muslim), sepatu hitam, celana
panjang, dan mantel lengan panjang. Pada abad ke-19, peralatan dan strategi kepolisian
sedang dimodifikasi sejak kemunculan sistem sidik jari dan catatan kriminal. Selama
1900-an, pembangunan Markas Besar Polisi di South Bridge Road dimulai.
Saat ini, SPF memiliki Pusat Pelatihan dan Pelatihan Kepolisian bersama
dengan cabang komunikasinya. Juga, 2.000 polisi tangguh ditambahkan ke kolam
renang di mana itu membuat Singapuraa tempat yang lebih baik untuk hidup. Pada
tahun 1946, ada beberapa perubahan besar dalam organisasi dan Volunteer Special
Constabulary didirikan. Pada tahun 1948, Angkatan Kepolisian negara itu mendirikan
Divisi Radio dan hotline darurat polisi '999' dimulai. Pada 50-an dan 60-an, Singapura
84
ditantang oleh kerusuhan. Dengan demikian, penciptaan Pasukan Riot berhasil. Saat
ini, ada banyak rencana dan pengembangan di SPF sehingga mereka dapat terus
memberikan perlindungan setia kepada warga Singapuraa.
Fungsi kepolisian di Singapuraa
(1) Tunduk pada Undang-Undang ini, Kepolisian memiliki fungsi-fungsi berikut di
seluruh Singapuraa:
(a) untuk memelihara hukum dan ketertiban;
(b) untuk menjaga perdamaian publik;
(c) untuk mencegah dan mendeteksi kejahatan
(d) untuk menangkap pelanggar; dan
(e) untuk menjalankan fungsi lain apa pun yang diberikan kepadanya oleh atau
berdasarkan Undang-undang ini atau hukum tertulis lainnya.
(2) Tugas Kepolisian adalah mengambil tindakan yang sah untuk -
(a) menjaga perdamaian publik;
(b) mencegah dan mendeteksi kejahatan dan pelanggaran;
(c) menangkap semua orang yang secara resmi diizinkan untuk ditangkap oleh
petugas polisi;
85
(d) mengatur prosesi dan majelis di jalan umum, tempat umum atau tempat resor
umum;
C. Peran kepolisian Singapuraa terkait mekanisme penanganan perkara hoax
dan hate speech
Angkatan Kepolisian Singapuraa ( Singkatan : SPF ) adalah lembaga
pemerintah utama yang bertugas menjaga hukum dan ketertiban di negara-kota.
Sebelumnya dikenal sebagai Kepolisian Republik Singapuraa (RSP), ia telah
berkembang menjadi kekuatan kuat 38.587. Singapuraa telah diperingkatkan secara
konsisten dalam lima posisi teratas dalam Laporan Daya Saing Global dalam hal
keandalan layanan kepolisian.
Salah satu Negara di Asia Tenggara yang telah mengatur Hoax sebagai suatu
perbuatan pidana adalah Singapuraa. Pemimpin Singapuraa bersikeras usulan undang-
undang berita palsu oleh pemerintahannya merupakan langkah maju dalam memerangi
hoaks, meski memicu kritik dari kelompok-kelompok kebebasan pers dan perusahaan
raksasa teknologi. Seperti diketahui, Singapura banyak dikritik karena membatasi
kebebasan berbicara dan menindas hak-hak politik melalui upaya melawan berita palsu.
Rancangan undang-undang itu juga mencakup wewenang bagi para menteri untuk
memesan situs-situs seperti Facebook, Google dan Twitter menempatkan peringatan di
sebelah pos yang dianggap salah oleh otoritas.
Hal ini diatur dalam beberapa undang-undang di Singapuraa, yaitu :
1. Section 45 of the Telecommunications Act (CHAPTER 323) :
86
“Setiap orang yang mentransmisikan atau menyebabkan ditransmisikannya
pesan yang dia tahu palsu atau palsu akan bersalah karena pelanggaran dan akan
bertanggung jawab atas hukumannya —
(c) dalam kasus di mana pesan palsu atau pesan yang dibuat mengandung
referensi apa pun terhadap kehadiran di tempat atau lokasi apa pun dari bom
atau benda lain yang dapat meledak atau menyala, dapat didenda hingga
tidak melebihi $ 50.000 atau penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 7
tahun atau keduanya; dan
(d) dalam kasus lainnya dapat didenda dengan tidak lebih dari $ 10.000 atau
penjara untuk jangka waktu tidak lebih dari 3 tahun atau keduanya.
“ Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar hoax yang menyebarkan berita
bohong dalam media komunikasi dapat dipidana denda maksimal $10.000 dan/atau
pidana penjara maksimal 3 tahun, sedangkan jika menyangkut tentang bom maka dapat
dipidana denda $50.000 dan/atau pidana penjara maksimal 7 tahun.
2. Regulation 8(1) of the United Nations (Anti-Terrorism Measures)
Regulations :
“Tidak ada orang di Singapuraa dan tidak ada warga Singapuraa di luar
Singapuraa yang akan mengkomunikasikan atau menyediakan informasi apa
pun yang diketahui atau diyakininya palsu kepada orang lain dengan maksud
untuk mendorongnya atau orang lain pada keyakinan yang salah bahwa seorang
teroris bertindak telah, sedang atau akan dilaksanakan”
Individu yang diyakini bersalah atas pelanggaran ini dapat didenda hingga $
500.000 dan/atau penjara hingga 10 tahun. Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar
hoax yang menyebarkan berita bohong dapat dipidana maksimal $500.000 dan atau
pidana penjara maksimal 10 tahun jika menyebarkan berita yang ia tahu bahwa berita
tersebut salah yang menyangkut mengenai kegiatan terorisme.
3. Section 499 of the Penal Code (CHAPTER 224):
87
“Siapa pun, dengan kata-kata yang diucapkan atau dimaksudkan untuk dibaca,
atau dengan tanda-tanda, atau dengan representasi yang terlihat, membuat atau
menerbitkan setiap tuduhan tentang siapa pun, yang bermaksud mencelakakan,
atau mengetahui atau memiliki alasan untuk percaya bahwa tuduhan tersebut
akan merugikan, reputasi orang tersebut, dikatakan, kecuali dalam kasus-kasus
yang selanjutnya dikecualikan, untuk mencemarkan nama baik orang itu”.
Dan ketentuan pidananya terdapat dalam Section 499 of the Penal Code, yaitu:
“Siapa pun yang memfitnah orang lain akan dihukum penjara untuk jangka waktu yang
dapat diperpanjang hingga 2 tahun, atau dengan denda, atau dengan keduanya”.
Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar hoax yang menyebarkan berita bohong dan
dengan sadar bahwa berita tersebut dapat merugikan orang lain dapat dipidana denda
dan/atau pidana penjara maksimal 2 tahun.
4. Section 26 of the Internal Security Act (CHAPTER 143):
“Setiap orang yang, dari mulut ke mulut atau tertulis atau di surat kabar,
publikasi berkala, buku, surat edaran, atau publikasi cetak lainnya atau dengan
cara lain menyebarkan laporan palsu atau membuat pernyataan palsu yang
kemungkinan menyebabkan alarm publik, akan bersalah karena pelanggaran di
bawah bagian ini”
Pelanggar dapat dihukum dengan denda penjara hingga $ 1.000 dan/atau hingga
1 tahun. Berdasarkan ketentuan diatas, penyebar hoax yang menyebarkan laporan atau
berita bohong yang menyebabkan alarm public dapat dipidana denda maksimal $1.000
dan/atau penjara maksimal 1 tahun.
5. Section 4 (1) of the Sedition Act (CHAPTER 290):
“Setiap orang yang —
(e) melakukan atau mencoba untuk melakukan, atau membuat persiapan untuk
melakukan, atau bersekongkol dengan siapa pun untuk melakukan, tindakan
88
apa pun yang telah atau yang akan, jika dilakukan, memiliki kecenderungan
yang bersifat menghasut;
(f) mengucapkan kata-kata kasar apa pun;
(g) mencetak, menerbitkan, menjual, menawarkan untuk dijual,
mendistribusikan atau mereproduksi publikasi yang bersifat menghasut;
atau
(h) menyebarkan publikasi yang bersifat menghasut akan bersalah karena
pelanggaran dan akan bertanggung jawab atas hukuman karena pelanggaran
pertama terhadap denda yang tidak melebihi $ 5.000 atau penjara untuk
jangka waktu tidak lebih dari 3 tahun atau keduanya, dan, untuk pelanggaran
berikutnya, penjara untuk jangka waktu tidak melebihi 5 tahun; dan setiap
publikasi keras yang ditemukan dalam kepemilikan orang itu atau
digunakan dalam bukti di persidangannya akan hangus dan dapat
dihancurkan atau dibuang berdarkan arahan pengadilan”
Berdasarkan ketentuan diatas, setiap penyebar hoax yang melakukan atau
mencoba untuk melakukan, atau membuat persiapan untuk melakukan, atau
bersekongkol dengan siapa pun untuk melakukan, membuat publikasi yang
menyebarkan berita bohong yang bersifat menghasut dapat dipidana denda maksimal
$5.000 dan/atau pidana penjara maksimal 3 tahun (penjara maksimal 5 tahun jika
merupakan suatu pengulangan).
SPF adalah organisasi berseragam di bawah lingkup Departemen Dalam Negeri
(MHA). Misi SPF adalah untuk mencegah, mencegah dan mendeteksi kejahatan untuk
memastikan keselamatan dan keamanan Singapuraa. Ini dilakukan melalui fokusnya
pada lima bidang luas pekerjaan Kepolisian: Pemolisian Garis Depan, Layanan Balik
dan Layanan Elektronik, Investigasi, Keterlibatan Masyarakat, dan Keamanan &
Ketertiban Umum. Visi SPF adalah: Kekuatan untuk Bangsa - Untuk menjadikan
Singapuraa sebagai Tempat Teraman di Dunia.
89
Dalam hal tindakan terkait dengan hoax dan hate speech di Singapuraa peran
kepolisian Singapuraa adalah memberikan Keamanan & Ketertiban Umum serta
membentuk Kekuatan untuk Bangsa - Untuk menjadikan Singapuraa sebagai Tempat
Teraman di Dunia. Sehingga dibentuklah aturan terkait dengan hal itu walau demikian
menimbulkan kontroversi namun semua demi menciptakan ketertiban hukum yang baik
didalam masyarakat.
D. Hukum Acara Pidana di Singapuraa Mengenai kasus Hoax dan Hate Speech
Dalam penanganan kasus Hoax dan Hate Speech termasuk bagian dari tindak
pidana yang berada di Singapura, maka dari itu kepolisian Singapuraa dapat
menjalankan tugas dan fungsi nya dalam penegakan hukum, sesuai dengan ketentuan
yang sudah di tuangkan dalam THE LAW REVISION COMMISSION UNDER THE
AUTHORITY OF the revised edition of the laws act (chapter 275), yaitu mengenai
penangkapan, investigasi dan penyitaan terhadap barang atau dokumen.
E. Kasus Riill di Singapuraa tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
tentang peran polisi dalam menangani kasus ITE
Sebagaimana mengenai kasus hoax dan hate speech terjadi di Singapuraa yang
membuat publik ramai yaitu terkait dengan kasus anak laki-laki yang menyebarkan
berita bohong terkait dengan kematian Perdana Menteri Singapuraa pada 15 Maret
2015 yang diunggah 5 hari sebelum wafatnya PM Singapuraa.
Kabar mengenai wafatnya mantan Perdana Menteri Singapuraa Lee Kuan Yew,
sempat beredar. Ternyata kabar itu palsu dan saat ini diselidiki polisi.
90
Laporan tersebut muncul dalam website resmi kantor Perdana Menteri Singapuraa
(PMO). Situs itu diketahui diretas oleh pihak tidak dikenal dan menyebutkan
pernyataan dokter bahwa Lee Kuan Yew sudah wafat.
Foto dari pernyataan tersebut beredar luas di media sosial dan aplikasi
WhatsApp. Media-media asing pun turut tertipu dengan pengumuman palsu tersebut.
Media Amerika Serikat (AS) CNN dan media Tiongkok CCTV tutur menyebarkan
pesan di Twitter bahwa Lee sudah wafat. Bahkan CCTV mengabarkan wafatnya Lee
sebagai siaran khusus.
Berita palsu dengan menggunakan tampilan logo dan pernyataan resmi dari
Kantor Perdana Menteri Singapuraa itu bahkan berhasil mengecoh kantor-kantor berita
terkemuka, seperti CNN, CCTV China, dan Phoenix Chinese News. CNN merilis
breaking news melalui saluran Twitter-nya bahwa pendiri Singapuraa itu telah wafat
dengan mengutip “Kantor Perdana Menteri Singapuraa”.
Usai memastikan bahwa kabar itu palsu CCTV langsung menghapus twitt
wafatnya Lee. CCTV juga mengklarifikasi bahwa kondisi kesehatan Lee saat ini masih
belum jelas.
Polisi Singapuraa pun menyelidiki siapa yang membuat laporan palsu tersebut.
Laporan itu sendiri hadir di situs resmi kantor PMO. Undang-undang ini melarang
penyebaran pernyataan palsu yang menurut pemerintah bertentangan dengan
kepentingan umum.
Orang yang ditemukan bersalah melakukan hal ini bisa didenda dengan jumlah
maksimum satu juta dolar Singapuraa (Rp10,5 miliar) atau dihukum penjara maksimal
lima tahun. Undang-undang ini juga melarang penggunaan akun palsu dan bot untuk
91
menyebarkan berita bohong. Penerapannya juga dilakukan ke berbagai mimbar, mulai
dari media sosial, situs berita hingga ke aplikasi untuk percakapan terenskripsi.
Penerapan undang-undang ini terhadap mimbar tertutup seperti aplikasi percakapan dan
grup media sosial merupakan hal yang kontroversial.
Begitupun dengan kasus lainnya yaitu berita palsu yang yaitu postingan melalui
akun facebook, kini, aturan tentang penyebaran berita palsu Singapuraa meminta
blogger Alex Tan untuk mengklarifikasi tautannya di facebook karena dianggap
menyebarkan berita palsu.
Undang-undang yang dikenal dengan istilah Protection of Online Falsehood
and Maniputation Act (POFMA) tersebut meminta Alex Tan untuk mengubah
postingannya di facebook yang menyebut ada kecurangan dalam proses pemilihan
umum serta menyebut pemerintah telah melakukan tindakan yang salah dan kejam.
Tan sendiri bukan warga Singapuraa melainkan warga negara Australia. Tan
disebut tidak akan memenuhi permintaan POFMA untuk mengubah postingannya di
facebook.
Singapuraa telah menerapkan undang-undang anti penyebaran informasi
bohong di segala platform media sosial yang beredar di negaranya. Negara di Asia
Tenggara tersebut tidak segan membeberkan profil penyebar berita palsu, yang
biasanya, berisi tentang kritik anti pemerintah.
Khusus kasus Tan, POFMA menginstruksikkan kepada facebook untuk
mengingatkan Tan agar menghapus atau mengubah postingannya atau memberikan
label “tidak patuh” serta menyampaikan bahwa pemerintah Singapuraa akan
melakukan penyelidikan lebih lanjut kepada Tan.
92
Sebelumnya, politisi Singapuraa, Brad Bowyer dituduh menyebarkan berita
bohong yang terkait dengan investasi badan usaha milik negara serta intervensi yang
dilakukan pemerintah Singapuraa. Kementerian Keuangan Singapuraa pun bereaksi
dengan memberikan jawaban serta meminta Bowyer mengubah postingan yang
berpotensi mengurangi tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah Singapuraa.
Menurut penulis secara umum peraturan undang-undang yang dibuat di Singapuraa
adalah untuk memperingatkan semua orang yang mengomentari politik dalam negeri
di Singapuraa dan masalah sosial untuk melakukan dengan hati-hati dan lebih perhatian
terutama jika berbicara dari tempat atau posisi berpengaruh dalam tatanan pemerintah.
Namun memang banyak pro dan kontra bahkan sampai sekarang masih menjadi
kontroversi dikarenakan aturan hukum tersebut akan berindikasi pada pengekangan
kebebasan masyarakat sipil dalam mengemukakan pendapat ataupun kritik.
F. Analisa Peran Kepolisian Singapuraa dengan kasus meninggalnya Lee Kuan
Yew
Dasar Hukum Hoax dan Hate speech di Singapuraa yaitu Protection from Online
Falsehoods and Manipulation Act tahun 2019, tertuang pada BAGIAN 2
LARANGAN KOMUNIKASI DARI LAPORAN FAKTA SALAH DI
SINGAPURAA, Memberikan layanan untuk komunikasi pernyataan fakta palsu di
Singapuraa
(1) Seseorang yang, baik di dalam atau di luar Singapuraa, meminta, menerima
atau setuju untuk menerima manfaat finansial atau materi lainnya sebagai bujukan
atau hadiah untuk menyediakan layanan apa pun, mengetahui bahwa layanan ini
93
atau akan digunakan dalam komunikasi satu atau lebih pernyataan fakta yang salah
di Singapuraa, akan dinyatakan bersalah atas pelanggaran jika layanan tersebut
sebenarnya digunakan dalam komunikasi tersebut.
(2) Seseorang yang bersalah atas pelanggaran menurut ayat (1) akan dikenakan
hukuman:
(a) dalam hal seseorang, denda yang tidak melebihi $ 30.000 atau hukuman penjara
untuk jangka waktu tidak lebih dari 3 tahun atau untuk keduanya; atau
(b) dalam hal lain, untuk denda tidak melebihi $ 500.000.
(3) Namun, jika komunikasi pernyataan fakta palsu berdasarkan ayat (1)
kemungkinan akan :
(a) merugikan keamanan Singapuraa atau bagian dari Singapuraa;
(b) merugikan kesehatan masyarakat, keselamatan publik, ketenangan publik atau
keuangan publik;
(c) merugikan hubungan persahabatan Singapuraa dengan negara-negara lain;
(d) mempengaruhi hasil pemilihan ke kantor Presiden, pemilihan umum Anggota
Parlemen, dengan pemilihan anggota Parlemen, atau referendum;
(e) menghasut perasaan permusuhan, kebencian atau niat buruk antara kelompok
orang yang berbeda; atau
(f) mengurangi kepercayaan publik terhadap pelaksanaan tugas atau fungsi apa
pun, atau dalam menjalankan kekuasaan apa pun oleh, Pemerintah, Organ Negara,
dewan hukum, atau bagian dari Pemerintah, Organ Negara atau dewan hukum,
94
orang yang bersalah atas pelanggaran di bawah ayat itu akan bertanggung jawab
atas hukuman:
(g) dalam hal seseorang, denda yang tidak melebihi $ 60.000 atau hukuman penjara
untuk jangka waktu tidak lebih dari 6 tahun atau untuk keduanya; atau
(h) dalam hal lain, denda yang tidak melebihi $ 1 juta.
(4) Ayat (1) tidak berlaku untuk tindakan apa pun yang dilakukan untuk tujuan,
atau yang insidental dengan, ketentuan;
(a) layanan perantara internet;
(b) layanan telekomunikasi;
(c) layanan memberikan akses publik ke internet; atau
(d) layanan sumber daya komputasi.
(5) Jika pengadilan menghukum orang yang melakukan pelanggaran
berdasarkan ayat (1), pengadilan harus, selain menjatuhkan hukuman kepada
orang tersebut berdasarkan ayat (2) atau (3), memerintahkan orang tersebut
membayar sebagai penalti, dalam waktu yang ditentukan oleh pengadilan,
jumlah yang sama dengan jumlah manfaat finansial atau material lainnya yang
diterima atau, menurut pendapat pengadilan, nilai manfaat finansial atau
material lainnya, dan denda tersebut dapat dipulihkan sebagai baik.
95
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil analisis serta pembahasan yang telah dipaparkan oleh penulis, maka
kesimpulan dari peranan kepolisian Resor Karawang dalam penanggulangan tindak
pidana penyebar berita bohong (hoax) dan ujaran kebencian (hate speech), sampai
dengan saat ini peristiwa penyebaran berita Hoax dan Hate Speech sedang marak terjadi
di Indonesia Khusus nya diwilayah Karawang dan menyebabkan keresahan di
masyarakat. Hal ini dapat disikapi oleh para pengguna media social agar menjadi
pengguna yang cerdas dan lebih selektif serta berhati – hati akan segala berita atau pun
informasi yang diterima. Dari banyak nya permasalahan mengenai pelanggaran
penyebaran berita Hoax dan Hate Speech yang terjadi di Karawang, tidak lepas dari
kurang nya kesadaran dari setiap Individu masyarakat, kebebasan dalam bermedia
social dikalangan masyarakat, harus pula di sertai dengan bijak, cermat, dan cerdas
dalam bermedia social.
Pada dasar nya setiap orang diberi kebebasan untuk menyampaikan setiap aspirasi
yang dimiliki nya, namun tentunya setiap orang yang akan menyampaikan berita atau
apapun itu melalui media social, harus terlebih dahulu diketahui dulu sumber dan
kebenaran berkaitan informasi atau setiap unggahan yang akan kita sebarkan melalui
media social, diharapkan pula tidak langsung percaya dari berita atau informasi yang
di terima.
Berbagai cara kejahatan penyebaran berita Hoax dan Hate Speech dapat di desain
sedemikian rupa karena rumusan UU ITE yang masih lemah. Penyebaran berita Hoax
dan Hate Speech seakan – akan menjadi tumbal dalam perbuatan penyebaran berita
96
Hoax dan Hate Speech, setelah pelaku pertama memproduksi informasi, pelaku –
pelaku berikutnya secara sengaja ataupun tidak sengaja menyebarkan berita tersebut,
sehingga membuat orang yang tidak tahu menjadi tahu, walaupun pelaku penyebaran
berita yang lainnya pun mempunyai kesalahan yang sama, namun hanya pelaku
penyebaran pertama nya saja yang menjalankan hukuman, jika perlu ditinjau lebih jauh,
maka pada dasarnya tidak serta merta setiap orang melakukan penyebaran berita Hoax
dan Hate Speech tanpa ada hasutan atau informasi dari orang lain, dan inilah prosedur
penyebaran isu yang sangat mujarab di era teknologi saat ini.
Seperti kita ketahui bersama dalam pembahasan sebelumnya, bahwa pemerintah
melalui undang – undang ITE, dan Pihak Kepolisian sebagai penegak Hukum, telah
melakukan upaya untuk mengurangi serta mencegah penyebaran berita Hoax dan Hate
Speech di kalangan masyarakat melalui media social.
Sejauh ini peran dari Kepolisian Resor Karawang dalam penanganan kasus
penyebaran berita Hoax dan Hate Speech sudah berjalan, namun belum terlalu maksimal
dalam pencegahannya, bisa dilihat dari kasus penyebaran berita Hoax dan Hate Speech
oleh kelompok emak – emak PEPES (partai emak – emak pendukung Prabowo-Sandi)
yang telah mendapatkan vonis dan dinyatakan bersalahan oleh Pengadilan Negeri
Karawang. Alangkah baiknya jika Kepolisian Resor Karawang dapat melakukan
pencegahan lebih dini dengan melakukan pendekatan dan penggalangan tentunya
dengan melaksanakan kegiatan prefentiv yaitu sosialisasi serta upaya – upaya
pencegahan lainnya dengan masuk kedalam seluruh kelompok lapisan masyarakat di
Karawang. Apabila tindakan pencegahan lebih di kedepankan dan seluruh lapisan
masyarkat tau akan hal buruk yang akan di alami apabila melanggar “Undang-Undang
Republik Indonesia nomor 19 tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-
97
Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik” telah
melanggar pasal 28 ayat 1 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik”, oleh karena itu perlu diberi sanksi terhadap para pelaku penyebar berita
bohong tersebut. Sanksi pidana untuk pelaku penyebar berita Hoax terdapat pada pasal
45a yaitu hukuman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
A. Saran
Dari kesimpulan di atas, saran yang akan penulis kemukakan yaitu :
1. Bagi setiap masyarakat khususnya di wilayah Karawangsebagai pengguna utama
media social, agar lebih selektif dan berhati – hati dalam penggunaan media
social, tidak jarang di era modern saat ini, kebebasan dalam menggunakan media
social dapat berdampak buruk bagi siapa saja yang kurang cermat dalam
penggunaan nya. Bijak serta cerdas dalam bermedia social, akan menjauhkan diri
pribadi dari setiap permasalahan atau jeratan hukum bagi setiap orangnya, hanya
dengan ketidak tahuan akan dampak dikemudian hari, banyak orang yang
termakan berita dan informasi tanpa diketahui kebenarannya terlebih dahulu,
sehingga setiap perbuatan yang melanggar hukum, harus pula dipertanggung
jawabkan dimata hukum. Apabila mendapat atau melihat berita melalui media
social, agar tidak terburu – buru dalam menanggapi atau bahkan kembali
menyebarkan berita tersebut, apalagi jika belum jelas tentang kebenaran nya.
2. Bagi pemerintah beserta dengan Kepolisan Resor Karawang, tentunya melalui
Kementrian komunikasi dan Informasi, agar kira nya dapat membangun
sinergritas dengan setiap provider atau penyedia jaringan media social, apabila
ditemukan dugaan penyebaran isu atau berita Hoax dan Hate Speech yang
98
berpotensi membuat kegaduhan serta perpecahan di kalangan masyarakat, agar
dapat di cegah serta adanya upaya – upaya pemblokiran guna mendeteksi dini
penyebaran berita tersebut agar tidak langsung menyebar dikalangan masyarakat.
3. Terkait dengan ancaman pidana serta Vonis yang telah di berikan bagi siapa saja
yang melanggar, UU ITE tersebut, agar pemerintah dan penegak hukum dapat
kembali meninjau jeratan hukum bagi para pelaku, sampai saat itu penyebaran
berita Hoax dan Hate Speech di Indonesia, jika melihat pada masih ringan nya
ancaman serta Vonis yang diberikan bagi pelaku belum masuk pada kategori
membuat setiap pelaku jera akan hal itu, terlebih belum adanya pasal yang
mengatur dari mana sumber datang nya berita tersebut, karena tidak mungkin
setiap pelaku secara spontan menyebarkan berita tersebut jika tidak ada nya
hasutan atau masukan dari pelaku lainnya, dan bagi pelaku yang lainnya yang
turut menyebarkan berita Hoax dan Hate Speech tersebut agar, mendapatkan
hukuman yang sama.
4. Kepolisian Resor Karawang sebagai penegak hukum, agar kira nya lebih gencar
lagi dalam melakukan pemberantasan penyebaran berita Hoax dan Hate Speech
di Kab. Karawang, dengan upaya – upaya awal seperti pencegahan dengan cara
melakukan sosialisasi terkait UU ITE pada berbagai macam kalangan
masyarakat, tentunya dengan memberitahu dampak buruk dari kesalahan
penggunaan media social tersebut, jika salah kaprah dalam penggunaan nya, serta
lebih gencar lagi dalam pengungkapan dan pencegahan upaya untuk melakukan
petroli pada media social, agar tidak menunggu terlebih dahulu adanya
pengaduan dan timbul permasalahan, namun kepolisan Resor Karawang dapat
mendeteksi lebih dini kejahatan tersebut, yang akan berdampak pada perpecahan
serta menimbulkan pelanggaran isu – isu SARA dikalangan masyarakat.
99
DAFTAR PUSTAKA
Anisa, Renata, dan Rachmaniar, Hoax Politik pada Media Sosial Instagram: Studi
Enografi Virtual tentang Keberadaan Instagram dan Hoax Politik, Makalah
Disampaikan dalam Prosiding Seminar Nasional Komunikasi Jurnal Fisip
UNILA,Tahun 2016.
Bambang Sugondo, Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
1997.
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Perkembangan
Penyusunan Konsep KUHP Baru), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2008),.
---------------------------. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan
Kejahatan. PT. Citra Aditya Bakti. Bandung. 2001.
Book law of Ibid, Amiruddin dan H Zaenal Asikun, Pengantar Metode Penelitian
Hukum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004.
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta. Rineka Cipta. 2013.
Frans H Winata, Suara Rakyat Hukum Tertinggi, Jakarta: Pt Kompas Media Nusantara,
2009.
Hukum Pidana Positif Penghinaan, Cetakan II Edisi Revisi, Media Nusa Creative,
Malang, (selanjutnya disingkat Adami Chazawi I).
Johnny Ibrahim, 2006, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang:
Bayumedia Publishing. Ronny Hanitijo Soemitro, 1988,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980.
Mahrus Ali, Dasar-dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, 2011.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggung jawaban Dalam Hukum Pidana, Bina
Aksara, Jakarta. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1980.
Paulus Hadisuprapto, Juvenile Delinquency, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1997).
100
Reni Julani, Media Sosial Ramah Sosial VS Hoax, dalam jurnal Program Studi
Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Volume 8, Nomor 2, 2017.
Soedarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1986).
Soerjono Soekanto, 1981, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta: UI Press.
-----------------------. Sosiologi Suatu Pngantar. Rajawali Press. Jakarta. 2002.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1986
Syahrani Riduan, Rangkuman Intisari Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung,
1999.,
Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, Rajawali Pers, Jakarta, 2010.
Undang – undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia.
Sumber Online :
Sugeng, Pengertian Tindak Pidana Menurut Ahli, Http://www.Hukumonline.Com,
Diakses,Pada: Senin 07 April 2019 Pukul 23:00 Wib
Admin, Tinjauan tentang Ujaran Kebencian (Hate Speech), terdapat dalam
http://www.suduthukum.com/2016/11/tinjauan-tentang-ujaran-kebencian-hate.html.
15 November 2016. Diakses pada tanggal 12 April 2019.
Christian Chrisye Lolowang dan Umar Ma‟ruf, “Implementasi Surat Edaran Kapolri
Nomor SE/06/x/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) dalam
Penegakan Hukum di Polres Jakarta Selatan”, Jurnal Reformasi Hukum, Vol. 1. No. 1,
September 2017.
www.KomisiNasionalHakAsasiManusia, Op. Cit., Soerjono, Soekanto, 2002.
Sosioiogi Suatu Pengantar. Jakarta: CV. Rajawali, Momo Kelana, Hukum Kepolisian,
Perkembangan di Indonesia Suatu studi Histories Komperatif, Jakarta: PTIK, 1972.
101
Andi Munawarman, Sejarah Singkat POLRI, http:/ /www.HukumOnline.com/
hg/narasi/ 2004/04/21/nrs,20040421-01,id.html. diakses pada tanggal 20 Mei 2019,
pustaka/uu-1-1946-peraturan-hukum-pidana, Jakarta: 27 Nov, 2018.
Menkominfo: Pemblokiran Situs Jalan Terakhir Melawan Hoax
http://www.beritasatu.com, 8 Januari 2017);
dictionary.cambridge.org/dictionary/english/hoax#translations, diakses tanggal 29 Mei
2019., sso.agc.gov.sg/Acts-Supp/18-2019,. history-of-singapore-police-force. ,
www.Bookofcosmolife
Jurnal Pemikiran Sosiologi Volume 4 No. 2 , Agustus 2017,
https://www.coursehero.com/file/38564640/28586-64016-1-PBpdf/ diakses pada
tanggal 5 Februari 2020.
Jurnal Dakwah dan Pengembangan Sosial Kemanusiaan Vol. 9, no. 1 (2018), pp. 1-17
1 Hate Speech di Indonesia: Bahaya dan Solusi
https://media.neliti.com/media/publications/285132-hate-speech-di-indonesia-
a2b37139.pdf diakses pada tanggal 5 Februari 2020.
99