Post on 11-Jun-2015
description
transcript
EKONOMI PRODUKSI DI BAWAH KENDALI HUKUM :
Kasus Illegal Fishing di Indonesia
Yuhka Sundaya
Program Studi Ilmu Ekonomi Universitas Islam Bandung
Abstract. I present a conceptual model for analysis of production controlled by economic manner,
with fisheries as a sample. Actually, economic activity has been working under law in every
countries and every sectors, espescially in fisheries. Esentially, law is a system of rules, usually
enforced through a set of institutions. In general, fisheries manager could introducing input and
output controls to prevent illegal fishing, partially or simultaneousely. These need a conceptual
model to explained it. Illegal fishing has been restraining the sustainable fisheries management
goals. In attempt to create propositions, i have applied comparative static analysis to conceptual
model. Its expressioning moderate fishermen respons to illegal fishing controls, especially the
other exogeneous variabel. In recomendation parts, i have informed any alternative technique to
measuring important variabel in attempt to facilitate an empirical research.
Key words : illegal fishing, analisa statika komparatif, budel input illegal, pasar ikan illegal
1. Pendahuluan
Secara aktual, setiap kegiatan ekonomi bekerja di bawah aturan hukum, di setiap
negara dan setiap sektor ekonomi. Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintah memiliki
kewenangan untuk mengendalikan kegiatan ekonomi. Pengendalian tersebut diarahkan
untuk mencapai tujuan atau target, baik secara internasional, nasional maupun lokal.
Fakta ini juga menunjukkan bentuk campur tangan pemerintah terhadap proses
pembuatan keputusan mikroekonomi untuk mencapai mental picture makroekonomi yang
merepresentasikan cita-cita konstitusi sebuah negara.
Fakta hukum perekonomian tersebut mengintrik model dasar mikroekonomi
produsen. Hadirnya peran pemerintah dalam model dasar tersebut, biasanya
direpresentasikan oleh bekerjanya kebijakan fiskal : pajak dan subsidi. Fakta ekonomi
hukum merupakan tambahan kendala bagi ekonomi produksi. Terdapat dua kemungkinan
arah penataan ekonomi produksi : melonggarkan (relaxing) atau memperketat (binding).
Tergantung arah tatanan hukum yang berlaku pada obyek yang sedang dikaji.
Dalam merespon fakta ekonomi-hukum tersebut, Becker (1968) serta
Becker (1974) telah meramu tiga puluh empat artikel yang relevan untuk membangun
2
sebuah pendekatan ekonomi.1 Pendekatan ekonomi tersebut diarahkan untuk menjelaskan
pertimbangan pelaku ekonomi dalam melakukan tindak kejahatan dan tindakan
pemerintah untuk mengantisipasinya melalui hukuman. Tindakan kejahatan serupa
dengan istilah kegiatan illegal (illegal activity). Dimana sebuah tindakan dikategorikan
illegal bila ada kesenjangan antara tindakan aktual dengan tindakan yang dituntut oleh
aturan tertentu. Menurut Becker (1974), tindakan kejahatan merupakan sub himpunan
kelas kegiatan yang menimbulkan disekonomi.
Pendekatan ekonomi Becker tersebut telah menjadi acuan untuk mengembangkan
kerangka kerja dalam beragam jenis kegiatan ekonomi, tidak terkecuali dalam bidang
produksi perikanan. Dalam kegiatan perikanan sekurang-kurangnya terdapat lima artikel
jurnal yang telah mengembangkan pendekatan Becker : Kuperan dan Sutinen (1998),
Charles et al.(1999), Abbot dan Wilen (2005), Sumalia et al.(2006), Bailey (2007). Lima
artikel jurnal tersebut menampilkan rangkaian studi (serries of studies) yang utuh
mengenai illegal fishing. Sebuah masalah sosial yang populer akhir-akhir ini (Nikijuluw,
2008).
Berdasakan survey literatur tersebut, artikel Charles et al.(1999) memiliki posisi
yang strategis dalam rangkaian studi tersebut. Mereka menyajikan kerangka kerja illegal
fishing, secara khusus, yang diturunkan dari pendekatan Becker (1968). Artikel mereka
membingkai kerangka kerja deduktif bagi penulis berikutnya di dalam menjelaskan dan
menentukan arah studi illegal fishing.
Kerangka kerja Charles et al.(1999) menjelaskan perilaku mikroekonomi nelayan
di bawah pengendalian input dan output. Pengendalian input direpresentasikan oleh
bekerjanya aturan yang membatasi penggunaan alat-alat terlarang. Sedangkan
pengendalian ouput direpresentasikan oleh bekerjanya aturan yang membatasi jumlah
hasil penangkaan ikan (kuota hasil penangkapan). Kerangka kerja tersebut memiliki
manfaat praktis dalam mengendalikan kegiatan perikanan dari ancaman kerusakan
sumber daya laut. Melalui kerangka kerja tersebut, pihak pengelola perikanan dapat
menata bentuk dan besaran aturan untuk meredam illegal fishing, sekaligus dapat
menentukan target konservasi.
Dalam fokus studi tertentu, kerangka kerja Charles et al.(1999) perlu
dimodifikasi. Pada beberapa obyek perikanan, kerangka kerja tersebut mungkin cocok.
Tapi ada asumsi yang perlu dilonggarkan untuk menjelaskan perikanan pada obyek
lainnya. Sebagai contoh adalah perikanan di Indonesia. Di Indonesia, nelayan harus
1 Becker adalah peraih John Bates Clark Medal tahun 1967 dan hadiah nobel dalam bidang sosial-ekonomi pada tahun 1992.
3
merespon pengendalian input dan output dalam bidang perikanan bekerja secara simultan
atau bersamaan. Sementara itu, kerangka kerja illegal fishing yang ditampilkan
Charles et al.(1999), secara implisit menunjukkan adanya pilihan dalam
mengimplementasikan pengendalian input dan output. Pengendalian tersebut mereka
perlakukan sebagai aturan yang bekerja secara parsial. Inilah alasan dibutuhkannya
modifikasi kerangka kerja untuk menjelaskan masalah illegal fishing di Indonesia.
Makalah ini disusun ke dalam enam bagian. Setelah pendahuluan ini ditampilkan
lima bagian sisanya. Bagi kedua menyajikan pengertian dan batasan kegiatan illegal
fishing di Indonesia. Bagian ketiga menyajikan hasil ulasan artikel jurnal yang ditulis oleh
para ahli ekonomi yang tertarik dengan masalah illegal fishing. Dari bagian ini pembaca
dapat menangkap perkembangan ilmu pengetahuan mengenai ekonomi illegal fishing.
Bagian keempat menyajikan kerangka kerja ekonomi illegal fishing. Di dalamnya tersaji
informasi kualitatif mengenai pertimbangan ekonomi nelayan untuk terlibat atau
menghindar dari illegal fishing. Lebih dari itu terungkap juga informasi kualitatif tentang
pendekatan ekonomi untuk mencegah illegal fishing tersebut. Penggunaan bahasa
matematika ekonomi, kalkulus differensial, tidak dapat dihindarkan pada bagian tersebut.
Alat tersebut digunakan sebagai upaya untuk menyederhanakan replika atau abstraksi
dunia ekonomi nelayan aktual yang cukup sofistik. Dua bagian terakhir menyajikan
simpulan dan saran. Dalam simpulan tersebut disajikan proposisi-proposisi terkait
ekonomi illegal fishing di bawah pengendalian input dan output yang bekerja secara
simultan.
2. Pengertian Illegal Fishing dan Aturan Perikanan di Indonesia
Illegal fishing merupakan tindakan nelayan yang melanggar peraturan terkait
usaha penangkapan ikan dan kelestarian pemanfaatan sumber daya ikan. Peraturan
tersebut dibuat oleh pemerintah setempat yang ditujukan untuk mengendalikan usaha
perikanan agar menuju pola pemanfaatan yang lestari. Oleh karena itu, penggunaan input
yang destruktif menjadi sebuah larangan. Penggunaannya akan menimbulkan kerusakan
habitat yang pada gilirannya akan mengurangi kemampuan ikan untuk melakukan
reproduksi. Peraturan mengenai alat tangkap yang diizinkan merupakan bentuk
pengendalian input. Sedangkan peraturan yang mengatur hasil tangkapan ikan merupakan
bentuk pengendalian output. Definisi ini disintesa dari Nikijuluw (2008), Bailey (2007),
Resosudarmo et al.(2009), Drammeh (2000), dan Charles et al.(1999).
Penggunaan input perikanan di Indonesia mengacu pada Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2004. Usaha perikanan di tingkat nasional dioperasionalisasikan oleh Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Tindakan pelanggaran
4
terhadap aturan usaha perikanan diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004.
Ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut dibedakan menurut jenis pelakunya.
Dimana pelaku yang dikenakan ketentuan pidana mencakup perseorangan, nakhoda, dan
pemilik kapal. Bila tiga pelaku tersebut melakukan penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau
bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan,
maka dapat dipidana. Pidana pemilik kapal lebih besar dibandingkan nakhoda dan pelaku
perseorangan. Pelanggaran terhadap udang-undang tersebut, bagi pemilik kapal
dikenakan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak 2
milyar rupiah. Bagi nakhoda pidananya dipenjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda maksimal sebesar 1,2 milyar rupiah. Sedangkan bagi perorangan pidananya paling
lama 6 (enam) tahun dan denda maksimal sebesar 1,2 milyar rupiah. Dengan demikian
nelayan peroranganpun akan terikat dengan ketentuan pidana bila melakukan pelanggaran
penangkapan ikan pada zona yang menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Sementara itu, pengendalian output perikanan biasanya direpresentasikan oleh
peraturan daerah (Perda). Provinsi Jawa Barat adalah salah satu contohnya. Perda
Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 mengatur penjualan hasil tangkapan ikan
nelayan. Dalam perda tersebut hasil tangkapan ikan harus dijual melalui TPI. Ini diatur
untuk mendapatkan kepastian pasar dan harga ikan yang layak bagi nelayan maupun
konsumen. Dengan demikian nelayan yang tidak menjual ikan di TPI akan diancam
pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak 50 juta rupiah.
Mencermati aturan perikanan tersebut, nampak bahwa pengendalian input dan
output bekerja secara simultan. Nelayan dituntut untuk merespon peraturan tersebut.
Secara mikroekonomi, pengendalian input dan output tersebut menjadi kendala nelayan di
dalam memaksimisasi keuntungannya. Bagaimanapun, keputusan yang dibuat oleh
nelayan menjadi tidak sepele dari sisi konsep mikroekonomi.
3. Rangkaian Studi Ekonomi Illegal Fishing
Hasil penelusuran literatur, sekurang-kurangnya terdapat lima hasil penelitian
yang fokus dengan masalah ekonomi illegal fishing. Diantaranya adalah Kuperan dan
Sutinen (1998), Charles et al.(1999), Abbot dan Wilen (2005), Sumalia et al.(2006),
Bailey (2007). Artikel Kuperan dan Sutinen (1998), Charles et al.(1999) dan
Sumaila et al.(2006) menampilkan sebuah rangkaian studi mengenai ekonomi illegal
fishing. Ketiga artikel tersebut mengembangkan kerangka kerja Becker (1968) mengenai
pendekatan ekonomi dalam masalah kejahatan (crime) dan hukuman (punishment).
5
Kerangka kerja atau model dasar Becker tersebut mereka spesifikasikan ke dalam
masalah illegal fishing.
Abbot dan Wilen (2005) serta Bailey (2007) menyajikan informasi empiris
mengenai illegal fishing. Mereka tertarik untuk mengkaji perilaku ekonomi illegal fishing
dengan kerangka kerja insentif. Perbedaannya, Bailey (2007) secara khusus menggunakan
dan mengembangkan kerangka kerja pinciple-agent ke dalam masalah illegal fishing di
Raja Ampat-Indonesia, sedangkan Abbot dan Wilen (2005) menggunakan random utility
model (RUM).
Kuperan dan Sutinen (1998) menggunakan dua metode ekonometrika, probit dan
tobit, untuk menguji perilaku kepatuhan (compliance behavior) nelayan Peninsular
Malaysia yang menghadapi regulasi kegiatan penangkapan ikan disepanjang zona pantai.
Model ekonometrika yang mereka bangun menjelaskan kecenderungan nelayan untuk
melanggar atau mematuhi aturan perikanan yang ditetapkan pemerintah Malaysia.
Mereka menggunakan jenis data cross section untuk mengestimasi parameter model
probit dan tobit. Dimana, secara umum sampelnya dipecah menjadi dua : (1) keseluruhan
nelayan, dan (2) nelayan yang hanya melakukan pelanggaran. Hasil estimasinya
menunjukkan bahwa peubah perbedaan antara hasil tangkapan di wilayah terlarang dan
wilayah yang diperbolehkan signifikan mempengaruhi keputusan pelanggaran nelayan.
Peubah tersebut merefleksikan perbedaan keberlimpahan stok dan pendapatan potensial
pada zona dekat pantai dan lepas pantai, dan peubah tersebut memainkan peran utama
dalam keputusan nelayan untuk mematuhi aturan. Dengan perkataan lain, lebih tingginya
hasil tangkapan di wilayah terlarang dibandingkan hasil tangkapan dari wilayah legal
menjadi motivasi nelayan untuk melanggar peraturan. Kemudian, mereka juga
mengungkapkan bahwa aspek moral dan sosial merupakan determinan penting perilaku
kepatuhan.
Berbeda dengan literatur yang menjadi acuan Kuperan dan Sutinen (1998), Tyler
(1990) dan Tyler et al.(1989), mereka menyimpulkan bahwa peran legitimasi tidak begitu
kuat untuk meredam tindakan pelanggaran yang dilakukan oleh neyalan. Tidak satupun
peubah mengenai legitimasi yang secara konsisten siginifikan dengan tanda yang
diprediksi oleh teori legitimasi. Sedangkan menurut Tyler (1990) peubah tersebut
merupakan kekuatan penting dalam menjelaskan perilaku kepatuhan nelayan. Menurut
mereka terdapat dua alasan atas perbedaan tersebut. Pertama, ada kesalahan dalam teori
legitimasi dan karenanya harus dimodifikasi. Dimana perilaku agen ekonomi secara
utama dimotivasi oleh sesuatu yang nyata (tangible), yaitu pendapatan. Kedua, terdapat
6
kelemahan dalam pengukuran peubah legitimasi yang mereka gunakan sendiri. Mereka
juga menyadari ada ketidaksempurnaan dalam pengukuran peubah legitimasi tersebut.
Sebagai simpulan, mereka menegaskan bahwa tindakan pencegahan perlu
diadopsi oleh pengelola perikanan di Malaysia. Pencegahan tersebut diwujudkan dengan
meningkatkan tindakan pengawasan. Dimana tindakan tersebut dapat meningkatkan
peluang nelayan yang melanggar aturan untuk tertangkap dan dihukum. Tindakan
pengelola perikanan tersebut dapat meredam keputusan nelayan yang mempertimbangkan
besarnya hasil tangkapan ikan di wilayah terlarang, sehingga mereka akan tergeser untuk
menangkap ikan di wilayah yang diperbolehkan saja.
Charles et al.(1999) dan Sumaila et al.(2006) membangun model konseptual
ekonomi illegal fishing. Model konseptual yang dibangun Charles et al.(1999) menjadi
salah satu acuan Sumaila et al.(2006) selain Bekcer (1968) serta Kuperan dan Sutinen
(1998). Penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998) juga menjadi acuan bagi Charles
et al.(1999). Model konseptual yang dibangun Charles et al.(1999) dan Sumaila et
al.(2006) secara serupa menjelaskan perilaku mikroekonomi nelayan dalam berinteraksi
dengan pengelola perikanan yang menetapkan aturan usaha perikanan. Perbedaannya,
Sumaila et al.(2006) mempertimbangkan aspek biaya dan manfaat sebagai resiko yang
melekat dalam illegal fishing.
Model ekonomi illegal fishing yang dibangun Charles et al.(1999) tidak
memasukan faktor moral dan sosial. Asumsi yang mereka terapkan didasarkan pada hasil
penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998), yang telah diulas sebelumnya, yang
menyatakan bahwa tingginya penerimaan dari illegal fishing menjadi pendorong nelayan
untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan perikanan. Mereka membangun model
umum yang menjelaskan illegal fishing dalam aspek input perikanan dan output. Dengan
memecahkan model maksimisasi keuntungan yang dimodifikasi, yaitu dengan
memasukan beberapa persamaan mengenai peluang nelayan akan tertangkap dan
dihukum dan perkiraan denda bila tertangkap melakukan illegal fishing, mereka
menyusun proposisi mengenai perilaku nelayan tanpa peraturan, perilaku nelayan di
bawah pengaturan input, dan perilaku nelayan di bawah pengaturan output. Peubah
keputusan yang menjadi obyek pembahasannya adalah alokasi optimal input legal, illegal
dan trik nelayan untuk menghindari peraturan (avoidance activity). Dengan model
konseptual yang mereka bangun, mereka dapat mengkaji dampak penegakan dan
penegakan yang dibutuhkan untuk mencapai target konservasi sumber daya ikan.
Dengan mengembangkan model Bekcer (1968), Charles et al.(1999), serta hasil
penelitian empiris Kuperan dan Sutinen (1998), Sumaila et al.(2006) memusatkan
7
kajiannya kepada aspek biaya dan manfaat dari resiko yang melekat dalam kegiatan
illegal fishing. Model yang mereka sajikan menjelaskan bagaimana tindakan pemilik
usaha perikanan mempertimbangkan biaya dan manfaat ketika memutuskan apakah
mereka akan melakukan tindakan illegal atau tidak. Berbeda dengan Charles et al.(1999),
Sumaila et al.(2006) memasukan aspek moral dan sosial di dalam model konseptual yang
mereka bangun. Keduanya diasumsikan sebagai fungsi dari input penangkapan illegal.
Mereka menggali solusi interior dari nelayan yang memaksimisasi manfaat bersih
potensialnya. Dimana manfaat bersih potensial adalah penerimaan total dari tindakan
illegal fishing dikurangi dengan biaya total, denda atas illegal fishing, sanksi moral dan
sanksi sosial. Dengan perkataan lain, tujuan nelayan diasumsikan memaksimisasi manfaat
potensial dari illegal fishing yang dimoderasi oleh pertimbangan moral dan sosial. Solusi
interior yang menonjol menunjukkan bahwa pertimbangan nelayan untuk melakukan
tindakan illegal fishing ditentukan oleh perbandingan penerimaan marjinal illegal fishing
dengan biaya marjinalnya ditambah dengan denda illegal fishing, biaya marjinal moral
dan sosial yang muncul dari tindakan illegal fishing. Bila penerimaan marjinal tersebut
lebih besar dari keempat jenis biaya marjinalnya, maka nelayan akan cenderung
melakukan illegal fishing. Sebaliknya mereka akan menghindari illegal fishing bila
penerimaan marjinal illegal fishing lebih rendah dari biaya marjinalnya.
Abbot dan Wilen (2006) menyajikan model empiris untuk mengkaji sifat insentif
nelayan dalam menghindari bycatch. Beberapa pertanyaan penelitiannya serumpun
dengan fokus penelitian yang diulas sebelumnya. Bagaimana menghindari spesies yang
tidak boleh ditangkap (prohibited species catch-PSC) di perikanan Eastern Bearing Sea
(EBS). Pada perikanan tersebut pengelola perikanan dan nelayan bertujuan untuk
meredam bycatch pada spesies yang tidak ditargetkan untuk ditangkap. Analisanya
didasarkan pada kerangka kerja random utility model (RUM). Di bawah PSC nelayan
memaksimisasi keuntungan ditambah dengan nilai harapan bycatch dan unsur stokastik.
Bailey (2007) memandang illegal fishing sebagai bentuk masalah prinsipal-agen.
Model prinsipal-agen yang digunakannya mengabstraksi hubungan ekonomi antara Dinas
Kelautan dan Perikanan (DKP Raja Ampat dengan nelayan. Dimana DKP setempat
memiliki posisi sebagai prinsipal. DKP memiliki kewenangan atau otoritas untuk
mengatur dan mengelola sumber daya perikanan, sedangkan nelayan sebagai agen yang
mengeksploitasi sumber daya perikanan setempat. Mengikuti terminologi Varian (1992),
artinya nelayan akan melakukan tindakan dengan merespon kendala insentif dan
partisipasi yang dirancang oleh DKP. Dari hasil komunikasi personal Bailey (2007)
dengan Mark Erdman, Konservasi Internasional, terungkap bahwa secara formal tidak
8
ada program pengawasan dan penegakan hukum usaha perikanan di Raja Ampat untuk
mendeteksi dan mengukum nelayan yang menggunakan gear destruktif. Karena itu
informasi mengenai dampak pengawasan dan penagakan hukum usaha perikanan ia
peroleh dari hasil simulasi model. Melalui model pinsipal-agen yang memasukan sistem
biologis dan ekonomi, ia melakukan simulasi dengan cara memasukan skenario peluang
tertangkapnya nelayan yang melakukan illegal fishing, dan besaran denda atas illegal
fishing. Skenario tersebut menggunakan beberapa besaran peluang dan denda yang
berbeda-beda.
Model prinsipal-agen yang dibangun Bailey (2007) termasuk ke dalam model
optimisasi. Asumsinya, suku desa Raja Ampat harus memutuskan upaya sepanjang
waktu, dengan menggunakan cara legal dan illegal, untuk memaksimisasi manfaat bersih
atau diskonto rente ekonomi sepanjang waktu dengan kendala nyata. Modelnya
menampilkan situasi prinsipal-agen dua tahap. Tahap pertama, pemerintah merancang
program pengawasan dan penegakan usaha perikanan yang meghasilkan peluang
terdeteksinya illegal fishing dan hukuman yang diberikan kepada nelayan yang tertawan
(apprehended) karena menggunakan alat tangkap illegal. Tahap kedua, dengan peluang
tertawan dan harapan hukuman (expected penalty) tertentu, nelayan memutuskan alokasi
upaya legal dan illegal selama waktu simulasi (50 tahun). Parameter model sebagian
diambil dari hasil penelitian sebelumnya yang ia jadikan acuan, dengan
mempertimbangkan kesamaan dalam obyek penelitian.
Mencermati hasil analisa Bailey (2007) terhadap hasil simulasi modelnya,
terungkap bahwa pengawasan (monitoring) dan penegakan (enforcement) serta denda atas
illegal fishing merupakan satu kesatuan. Ia mengatakan bahwa berapapun tingginya
denda atas illegal fishing, tanpa pengawasan yang mempertinggi peluang terdeteksinya
tindakan illegal fishing, maka tidak akan dapat meredam illegal fishing tersebut yang
mengancam tercapainya tujuan manajemen perikanan yang lestari.
4. Kerangka Kerja Ekonomi Illegal Fishing : Sebuah Pengembangan
Kerangka kerja dasar ini memodifikasi kerangka kerja ekonomi illegal fishing
Charles et al.(1999). Kerangka kerja yang dibangun Charles et al.(1999) menampilkan
skenario kebijakan pengendalian input dan output secara terpisah. Seolah-olah dua
skenario kebijakan tersebut merupakan pilihan bagi pihak pengelola perikanan.
Sementara itu, sebagaimana disajikan pada bagian dua, di Indonesia telah menerapkan
pengendalian input dan output perikanan secara bersamaan. Hanya saja bentuk
pengendalian outputnya tidak menggunakan kebijakan kuota hasil tangkapan
9
sebagaimana dikaji oleh Charles et al.(1999). Melainkan, mereka diwajibkan untuk
menjual hasil tangkapan ikan ke TPI atau pasar ikan legal. Penjualan ikan di luar TPI
karena itu dipandang sebagai sebuah pelanggaran atau merupakan bentuk pasar ikan
illegal (illegal market).
Mengacu pada aturan perikanan yang berlaku sebagaimana disajikan pada bagian
dua, nelayan dihadapkan pada pemilihan jenis bundel input dan pasar output. Pilihan
penggunaan jenis bundel input dihadapi nelayan dalam kegiatan produksi. Karena itu
dapat diasumsikan bahwa penggunaan bundel input legal atau illegal merupakan masalah
pilihan dalam kegiatan produksi atau penangkapan ikan. Sedangkan dalam aspek
penjualan, nelayan dihadapkan pada pilihan tempat dan pihak pembeli. Ringkasnya,
mereka bisa menjual hasil tangkapan ikan di luar TPI atau di dalam TPI. Namun
demikian, penjualan ikan di luar TPI memiliki resiko tertangkap dan dikenakan hukuman.
Berdasarkan kondisi ekonomi tersebut, nelayan diasumsikan akan mempertimbangkan
denda ketika melakukan illegal fishing (menggunakan bundel input illegal dan/atau
mengakses pasar ikan illegal).
Mengikuti terminologi Sumaila et al.(2006) yang juga mengembangkan kerangka
kerja Charles et al(1999), dalam hubungan dengan aturan perikanan terdapat tiga tipe
nelayan, yaitu pelanggar kronis, moderat dan patuh atau taat hukum dan norma (non
violators). Tipe pertama dan ketiga berada pada titik ekstrim yang berseberangan. Tipe
pertama memiliki kecenderungan untuk melakukan illegal fishing, apapun kondisinya,
sedangkan tipe ketiga tidak akan melakukan illegal fishing di bawah kondisi apapun.
Sementara itu, pelanggar moderat akan melakukan pelanggaran bila potensi manfaat
ekonomi cukup tinggi untuk menutupi potensi hukuman ketika tertangkap. Kerangka
kerja ekonomi illegal fishing ini menggunakan asumsi bahwa nelayan memiliki tipe
pelanggar moderat. Menurut Sumaila et al.(1999) populasi tipe ini lebih banyak
dibandingkan tipe pertama dan ketiga.
Serupa dengan tahapan analisis yang dilakukan Charles et al.(1999), keputusan
nelayan untuk menggunakan bundel illegal input dan mengakses pasar ikan illegal dapat
diprediksi dengan menemukan bentuk fungsi permintaan bundel input illegal, Xi, dan
tindakan penghindaran atas pengendalian input dan output, secara berurutan dinotasikan
AI dan Ao.
Dalam bentuk umum, fungsi penangkapan ikan dapat diekspresikan melalui
persamaan (1).
Hn = Hn(Xl, Xi, AI; K, B), untuk n = l dan i.................................................................. (1)
10
Notasi H menunjukkan jumlah hasil tangkapan ikan. Superskrip n pada notasi H hanya
digunakan untuk menunjukkan tipe pasar ikan. Secara berurutan Hl dan Hi menunjukkan
hasil tangkapan ikan yang dijual di TPI dan diluar TPI. Fungsi penangkapan ikan tersebut
diasumsikan memiliki sifat sebagaimana biasanya, yaitu seolah cembung (quasi-
concave). Perubahan output merespon secara positif terhadap perubahan input tapi
dengan tingkat perubahan yang menurun. Pengecualiannya terdapat pada hubungan hasil
tangkapan dengan tindakan penghindaran nelayan atas pengendalian input. Hubungan
tersebut diasumsikan saling bertolak belakang. Ketika nelayan menghindari aturan
pengendalian input, mereka dianggap kehilangan kesempatan untuk menangkap ikan.
Karena itu sebagaimana diasumsikan Charles et al.(1999) H/AI < 0.
Berikutnya, biaya produksi diasumsikan bersifat linear. Berbeda dengan Charles
et al.(1999) yang mengasumsikan berbentuk linear kuadratik. Bentuk fungsi biaya
tersebut diekspresikan pada persamaan (2).
C = ClXl + CiXi + CIAI + CoAo.................................................................................... (2)
Notasi C digunakan untuk menunjukkan biaya total, sedangkan Cn untuk n = l, i, I dan O
secara berurutan digunakan menunjukkan biaya per unit atas penggunaan bundel input
legal, bundel input illegal, tindakan penghindaran nelayan atas pengendalian input dan
output. Melalui persamaan tersebut diasumsikan bahwa tindakan nelayan untuk
menghindari dua macam aturan tersebut memerlukan biaya khusus. Tindakan tersebut
menimbulkan konsekuensi berupa tambahan biaya dalam kegiatan perikanan.
Ketika nelayan menggunakan bundel input illegal dan mengakses pasar ikan
illegal, mereka memiliki peluang untuk tertangkap oleh tindakan pengawasan. Fungsi
peluang nelayan untuk tertangkap ketika mereka melakukan illegal fishing diadopsi dari
Charles et al.(1999) dengan membubuhi penegasan. Sebagaimana tersaji pada persamaan
(3a) dan (3b), perbedaan kedua macam peluang tersebut ditegaskan dengan menggunakan
superskrip I dan O, untuk menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan ketika
menggunakan bundel input illegal dan mengakses pasar illegal. Spesifikasi ini memiliki
arti ketika tindakan penghindaran nelayan atas pengendalian input dan output memiliki
perbedaan.
I = I(Xi, AI), dimana I/Xi > 0, I/AI < 0; dan I 0 bila Xi=0 ...................... (3a)
o = o(Hi, Ao), dimana o/Hi>0, o/Ao<0; dan o 0 bila Hi=0....................... (3b)
A = AI + Ao .............................................................................................................. (3c)
11
Notasi I dan o secara berurutan menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan ketika
menggunakan bundel input illegal dan mengakses pasar ikan illegal. Persamaan (3a)
menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan di bawah pengendalian input. Peluang
tersebut diasumsikan sebagai fungsi dari bundel input illegal, Xi, dan tindakan
penghindaran aturan terhadap pengendalian input oleh nelayan, AI. Penggunaan bundel
input illegal dan adanya upaya pengawasan input dapat meningkatkan peluang nelayan
untuk tertangkap. Sebaliknya, peluang tersebut akan menurun bila nelayan melakukan
tindakan penghindaran. Persamaan (3b) menunjukkan peluang tertangkapnya nelayan di
bawah pengawasan output. Peluang tersebut akan membesar bila adanya penjualan ikan
di luar TPI, Hi. Sebaliknya, peluang tersebut akan mengecil seiring dengan tindakan
nelayan untuk menghindari tindakan pengawasan output tersebut, Ao.
Persamaan (3c) menunjukkan total waktu yang tersedia untuk melakukan
tindakan penghindaran pengawasan dan penegakan illegal fishing, A. Definisi ini
digunakan untuk mempertegas bentuk dan ukuran tindakan penghindaran yang dilakukan
oleh nelayan tersebut agar tidak terlalu abstrak. Bentuk dan ukuran tersebut digunakan
oleh Ehrlich (1974) dalam kerangka kerja menganalisis partisipasi dalam kegiatan illegal.
Berbeda dengan Charles et al.(1999), dalam kerangka ini definisi bahwa besarnya
denda atas illegal fishing, F, bersifat konstan. Mengacu pada peraturan perikanan
besarnya denda memang dibedakan menurut ukuran kapal perikanan. Sementara itu
dalam kerangka kerja ini diasumsikan bahwa ukuran kapal perikanan bersifat homogen
untuk kelompok nelayan tertentu.
Melalui beberapa asumsi tersebut, dengan demikian masalah maksimisasi
keuntungan nelayan dapat diekspresikan melalui persamaan (4). Persamaan ini
terhubungan dengan persamaan (3) dalam hal peluang tertangkapnya nelayan atas dua
macam tindakan illegal fishing.
Max = PHl(Xl, Xi, AI; K, B) + PiHi(Xl, Xi, AI; K, B)
– ClXl – CiXi – CIAI – CoAo – IF – oF........................................................ (4)
Persamaan (4) membingkai beberapa kemungkinan yang secara aktual bisa terjadi.
Kemungkinan pertama, nelayan bisa memperoleh pendapatan dengan memilih tipe pasar
ikan yang direpresentasikan oleh term pertama dan kedua persamaan tersebut. Term
pertama dan kedua dari persamaan tersebut diasumsikan bisa memiliki sifat saling
mengecualikan (mutually exclusive) atau dikombinasikan dalam satu tahun tertentu.
Karena itu, Hi bisa sama dengan nol atau lebih besar dari nol. Kemungkina kedua,
12
nelayan bisa memilih dua macam bundel input illegal, Xl dan Xi, dalam satu tahun
tertentu.2
Kedua term terakhir pada persamaan (4) menunjukkan resiko yang dihadapi
nelayan akibat tertangkap ketika melakukan illegal fishing. Term IF menunjukkan biaya
resiko nelayan akibat menggunakan bundel input illegal, sedangkan term oF
menunjukkan biaya resiko nelayan akibat mengakses pasar ikan illegal. Term tersebut
memperoleh istilah yang berbeda-beda. Charles et al.(1999) menggunakan istilah harapan
denda (expected fine), Sumaila et al.(2006) menggunakan istilah resiko tertangkap
(caught) dan dihukum (penalized), sedangkan Bailey (2007) menggunakan istilah biaya
potensial ketika melakukan illegal fishing. Istilah yang digunakan oleh Sumaila et
al.(2006) nampaknya lebih mudah diterima dan ringkas dibandingkan dua istilah lainnya.
Dengan mengambil turunan parsial pertama dari persamaan (4), berikutnya dapat
digali informasi mengenai pola pengambilan keputusan nelayan yang optimal. Hasilnya
disajikan pada persamaan (5).
l = /Xl = P + Pi – Cl = 0, atau P + Pi = Cl ........................................... (5a)
i = /Xi = P + Pi – Ci – F = 0, atau P + Pi – F = Ci ....................... (5b)
I = /AI = P + Pi – CI – F = 0, atau P + Pi – F = CI ....................... (5c)
o = /Ao = – Co – F = 0, atau – F = Co........................................................... (5d)
Melalui persamaan (5a) dan (5b) dapat digali informasi mengenai pertimbangan
nelayan tipe moderat dalam mengalokasikan bundel input legal, Xl, dan illegal, Xi.
Persamaan (5a) memberikan informasi bahwa penggunaan optimal bundel input legal
didasarkan pada prinsip kesamaan nilai produk fisik marjinal dengan biaya marjinal
(equimarginal principle). Pada prinsipnya jumlah optimal bundel input legal akan
digunakan atau dialokasikan ketika biaya marjinalnya sama dengan penjumlahan nilai
produk fisik marjinal dari bundel input legal yang secara berurutan dievaluasi dengan
harga ikan di TPI dan pasar ikan illegal. Sedangkan melalui persamaan (5b), alokasi
optimal bundel input illegal pertimbangannya didasarkan pada perbandingan antara biaya
marjinal penggunaan bundel input illegal dengan nilai produk fisik marjinal bundel input
legal dan illegal, yang secara berurutan dievaluasi oleh harga ikan di TPI dan pasar
2 Informasi dari Mulyadi (2005), penggunaan berbagai jenis alat tangkap dalam satu tahun bisa bervariasi, meski pengamatannya terbatas di Kabupaten Bengkalis dan Kepulauan Riau. Karena itu ada kemungkinan bahwa dalam suatu tahun nelayan bisa menggunakan alat tangkap illegalbeberapa kali.
13
illegal, kemudian dikurangi dengan biaya resiko marjinal penggunaan bundel input
illegal, F.
Sedangkan melalui persamaan (5c) dan (5d) dapat digali informasi mengenai
pertimbangan nelayan dalam menentukan tindakan penghindaran yang optimal terhadap
pengendalian input dan pasar ikan illegal, AI dan Ao. Dalam menentukan tindakan
penghindaran atas pengawasan input yang dilakukan oleh pemerintah, nelayan
membandingkan biaya marjinal per unit tindakan penghindaran dengan penerimaan
marjinal dikurangi dengan biaya resiko marjinal tindakan penghindaran terhadap
pengawasan input. Serupa dengan penjelasan sebelumnya, penerimaan marjinal tersebut
terdiri dari nilai produk fisik marjinal bundel input legal dan illegal yang secara berurutan
dievaluasi dengan harga ikan di TPI dan pasar illegal. Sementara itu, di dalam
menentukan tindakan penghindaran atas pengawasan pasar ikan illegal, nelayan
mempertimbangkan biaya marjinal tindakan tersebut dengan biaya resiko marjinal dalam
mengakses pasar ikan illegal.
Berikutnya digunakan teknik analisa statika komparatif untuk menggali proposisi
mengenai dampak perubahan peubah eksogen terhadap illegal fishing. Teknik ini biasa
digunakan untuk mengkaji perubahan peubah endogen bila semua peubah eksogen
mengalami perubahan secara simultan. Analisa statika komparatif ini dapat digali dengan
cara mendifferensiasi secara total persamaan (5). Setelah dilakukan penataan kembali,
hasil akhirnya dalam bentuk matrik disajikan pada persamaan (6).
= .............................................................. (6)
dimana Y adalah,
Dari sudut pandang nelayan yang coba memaksimisasi keuntungan, nilai
determinan matrik Y tersebut diharapkan positif, Y > 0. Ini merupakan kondisi yang
menopang bentuk fungsi produksi yang diasumsikan seolah cembung (quasi concave)
sebagaimana melekat pada persamaan (1). Tanda determinan tersebut menunjukkan
14
kemiringan kurva isoquant. Kemiringan tersebut membingkai kombinasi input
penangkapan ikan yang memaksimumkan keuntungan.
Dengan memodifikasi persamaan (6) diperoleh informasi mengenai besarnya
perubahan input perikanan setelah mempertimbangkan perubahan pada peubah
eksogennya. Hasilnya disajikan pada persamaan (7). Denominator pada setiap persamaan
(7) berbeda satu sama lain dan menjadi lebih ringkas atau sederhana. Penyederhanaan
tersebut muncul setelah mengalami eliminasi secara berpasangan dengan nominatornya.
Meski demikian, diturunkan dari bentuk fungsi penangkapan ikan yang diasumsikan
seolah cembung, maka setiap denominator persamaan tersebut, dari sudut pandang
maksimisasi keuntungan nelayan, diasumsikan memiliki tanda positif.
dXl = 2 ............... (7a)
dXi = 2 .............. (7b)
dAI = 2 .............. (7c)
dAo = 2 .............. (7d)
Melalui persamaan (7) dapat digali proposisi mengenai dampak perubahan setiap
peubah eksogen terhadap arah perubahan alokasi input perikanan, Xl, Xi, AI dan Ao.
Sebagaimana telah ditekankan sebelumnya, kegiatan illegal fishing direpresentasikan oleh
tiga peubah endogen terakhir. Karena itu, fokus analisa statika komparatif ekonomi
illegal fishing diarahkan pada tiga macam peubah eksogen tersebut. Analisa statika
komparatifnya dibedakan menurut dua kondisi biaya resiko: rendah dan tinggi. Biaya
resiko yang rendah tercermin melalui tanda positif yang melekat pada setiap denominator
persamaan (7). Sebaliknya, biaya resiko yang tinggi tercermin melalui tanda negatif
denominatornya. Ini mudah dilihat pada setiap persamaan (7). Term terakhir setiap
denominator persamaan (7) dapat disebut sebagai biaya resiko, sedangan dua term
sebelumnya bisa disebut sebagai potensi penerimaan dari pasar ikan legal dan illegal.
Biaya resiko yang rendah menunjuk pada lebih rendahnya biaya resiko dibandingkan
potensi penerimaan tersebut. Perbandingan sebaliknya menunjuk pada keterangan biaya
15
resiko yang tinggi. Hasil analisa statika komparatif menunjukkan beberapa proposisi yang
cukup rumit terkait respon illegal fishing, (Xi, AI dan Ao) terhadap perubahan dalam
peubah eksogen, seperti denda illegal fishing, harga ikan, dan biaya per unit setiap jenis
input.
4.1. Illegal Fishing di Bawah Biaya Resiko yang Rendah
Di bawah kondisi penegakan hukum yang longgar, denominator pada setiap
persamaan (7) memiliki tanda positif. Nelayan memiliki kelonggaran untuk
mengalokasikan bundel input legal dan illegal serta tindakan penghindaran aturan untuk
memaksimisasi keuntungannya. Dalam eksperimen konseptual pertama, dipertimbangkan
bagaimana dampak perubahan dalam denda, dF, terhadap penggundaan bundel input
illegal, dXi. Secara matematis diasumsikan bahwa dF > 0, sedangkan dPl = dPi =
dCa (untuk a = l, i, I, O) = 0. Hasilnya disajikan pada persamaan (8).
dXl/dF = 2 ......................................... (8)
Perubahan dalam denda illegal fishing tersebut berpotensi untuk menekan
penggunaan bundel input illegal atau sebaliknya. Kondisinya tergantung pada
perbandingan antara dengan . Mengacu pada persamaan (3a), notasi
menunjukkan besarnya perubahan peluang nelayan untuk tertangkap dan dihukum seiring
perubahan penggunaan bundel input illegal, I/Xi. Ini menunjukkan bahwa semakin
banyak atau semakin seringnya penggunaan bundel input illegal, maka peluang untuk
tertangkapnya semakin besar. Karena itu diasumsikan bahwa > 0. Istilah sederhana
untuk menginterpretasikan notasi tersebut adalah efektivitas tindakan pengawasan
terhadap penggunaan bundel input illegal oleh nelayan.
Sementara itu, mengacu pada persamaan (3a), notasi menunjukkan besarnya
perubahan peluang nelayan untuk tertangkap seiring dengan perubahan dalam tindakan
penghindaran terhadap pengawasan bundel input illegal, I/AI. Dimana efektivitas
tindakan penghindaran tersebut dapat mengurangi besarnya peluang nelayan untuk
tertangkap, < 0. Istilah sederhana untuk menginterpretasikan notasi tersebut adalah
efektivitas nelayan untuk menghindari aturan.
Penjumlahan dan pada persamaan (8) menghasilkan dua kemungkinan jenis
bilangan : positif dan negatif. Kemungkinan pertama, bilangan positif, menunjukkan
16
efektivitas tindakan pengawasan lebih besar dari efektivitas nelayan untuk menghindari
aturan. Sedangkan kemungkinan kedua, bilangan negatif, menunjukkan bahwa efektivitas
tindakan pengawasan lebih rendah dari efektivitas tindakan nelayan untuk menghindari
aturan. Proposisi yang mungkin timbul menyatakan bahwa di bawah biaya resiko yang
rendah, kenaikan denda illegal fishing dapat mendorong alokasi bundel input illegal,
meski efektivitas tindakan pengawasan lebih tinggi dari efektivitas tindakan nelayan
untuk menghindar. Sebaliknya, kenaikan denda illegal fishing dapat menekan alokasi
bundel input illegal, meski efektivitas tindakan pengawasan lebih rendah dari efektivitas
tindakan penghindaran. Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam
wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.
Eksperimen konseptual kedua adalah mempertimbangkan dampak perubahan
harga ikan di TPI, dPl, terhadap perubahan penggunaan bundel input illegal, dXi.
Mengacu pada persamaan (7a), secara matematik diasumsikan bahwa dPl > 0, sedangkan
dF = dPi = dCa (untuk a = l, i, I, O) = 0. Hasilnya disajikan pada persamaan (9).
dXl/dPl = 2 ....................................... (9)
Mengacu pada persamaan (9), arah perubahan penggunaan bundel input illegal
tergantung pada beberapa kondisi. Notasi pada nominator persamaan (9) merupakan
efek tidak langsung tindakan penghindaran nelayan dalam merespon tindakan
pengawasan pasar ikan illegal terhadap peluang mereka untuk tertangkap ketika
menggunakan bundel input illegal, I/Ao. Berdasarkan persamaan (3c), keterbatasan
sumber daya waktu menimbulkan adanya trade-off antara AI dengan Ao, AI = A – Ao.
Karena itu, tambahan curahan waktu untuk melakukan tindakan penghindaran terhadap
pengawasan dan pengendalian pasar ikan illegal dapat mengurangi curahan waktu untuk
melakukan tindakan penghindaran terhadap pengawasan dan pengendalian bundel input
illegal. Akibat potensialnya adalah meningkatkan peluang nelayan untuk tertangkap
ketika menggunakan bundel input illegal. Berdasarkan logika tersebut, karena itu =
I/Ao > 0. Sementara itu, notasi , dan pada nominator persamaan (9) secara
berurutan menunjukkan produk fisik marjinal bundel input legal, tindakan penghindaran
terhadap pengawasan bundel input illegal, dan bundel input illegal. Untuk menopang
keuntungan yang maksimum, produk fisik marjinal tersebut memiliki nilai positif, kecuali
.
17
Analisa tersebut memunculkan suatu proposisi. Dimana perubahan harga ikan di
TPI berpotensi untuk meningkatkan alokasi bundel input illegal, bila > .
Dengan kalimat sederhana, proposisi itu menunjukkan bahwa di bawah biaya resiko yang
rendah, perubahan harga ikan di TPI berpotensi untuk mendorong alokasi bundel input
illegal, bila peluang nelayan untuk tertangkap (terkait dengan alokasi waktu untuk
menghindari tindakan pengawasan pasar ikan illegal) dikurangi dengan produk marjinal
bundel input illegal dan tindakan penghindaran yang lebih tinggi dari produk marjinal
bundel input legal, Perbandingan sebaliknya bisa menekan alokasi bundel input illegal.
Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing
lainnya, AI dan Ao.
Eksperimen konseptual ketiga adalah mempertimbangkan dampak perubahan
harga ikan di pasar ikan illegal, dPi, terhadap perubahan penggunaan bundel input illegal,
dXi. Dengan asumsi bahwa dPi > 0, dan dF = dPl = dCa (untuk a = l, i, I) = 0, dan dengan
menggunakan teknik yang sama seperti sebelumnya, diperoleh hasil sebagaimana
disajikan pada persamaan (10).
dXi/dPi = 2 ...................................... (10)
Arah perubahan penggunaan bundel input illegal dalam menanggapi perubahan harga
ikan di pasar illegal tergantung pada perbandingan tiga macam produk fisik marjinal : ,
dan . Untuk menopang keuntungan yang maksimum, produk fisik marjinal tersebut
memiliki nilai positif, kecuali . Dengan demikian, muncul proposisi bahwa kenaikan
harga ikan di pasar illegal berpotensi untuk meningkatkan penggunaan budel input illegal
bila < . Dalam kalimat sederhana, di bawah biaya resiko yang rendah,
kenaikan harga ikan di pasar illegal berpotensi untuk mendorong alokasi bundel input
illegal, bila selisih antara produk marjinal tindakan penghindaran dengan produk
marjinal bundel input illegal, lebih tinggi dari produk marjinal bundel input legal.
Perbandingan sebaliknya berpotensi untuk menekan penggunaan bundel input illegal.
Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing
lainnya, AI dan Ao.
Eksperimen konseptual keempat adalah mempertimbangkan dampak perubahan
dalam biaya per unit bundel input illegal, dCi, terhadap penggunaan bundel input illegal,
dXi. Dengan asumsi bahwa dCi > 0, dan dF = dPl = dPi = 0, dan dengan menggunakan
18
cara serupa seperti sebelumnya, hasilnya disajikan pada persamaan (11). Hasil tersebut
cukup mengejutkan. Dimana di bawah kondisi penegakan hukum yang longgar,
perubahan biaya per unit yang sepadan dengan harga per unit bundel input illegal tersebut
tidak memiliki potensi untuk menekan penggunaan bundel input illegal. Argumentasi ini
ditunjukkan oleh nilai dXi/dCi > 0 pada persamaan (11).
dXi/dCi = 2 ...................................... (11)
Begitupun halnya dengan dampak kenaikan biaya per unit selain bundel input
illegal. Tanda dXi/dCl, dXi/dCI dan dXi/dCo, ketiganya lebih besar dari nol. Karena itu
muncul proposisi bahwa di bawah biaya resiko yang rendah, perubahan per unit biaya
input penangkapan ikan berhubungan positif dengan alokasi bundel input illegal.
Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing
lainnya, AI dan Ao.
4.2. Illegal Fishing di Bawah Biaya Resiko yang Tinggi
Di bawah kondisi penegakan hukum yang ketat, denominator pada setiap
persamaan (7), yang mengekspresikan dampak perubahan peubah eksogen terhadap
alokasi bundel input illegal, memiliki tanda negatif. Kondisi ini dapat diinterpretasikan
sebagai dampak upaya pemerintah untuk menegakkan peraturan illegal fishing secara
ketat, sehingga membatasi kondisi maksimisasi keuntungan nelayan dari kecenderungan
illegal fishing, yaitu dengan menciptakan biaya resiko yang tinggi.
Proposisi di bawah biaya resiko yang tinggi berbeda dengan proposisi
sebelumnya. Proposisi pertama, digali dari persamaan (8), kenaikan denda illegal fishing
dapat menekan alokasi bundel input illegal, bila efektivitas tindakan pengawasan lebih
tinggi dari efektivitas tindakan penghindaran nelayan. Sebaliknya, kenaikan denda
illegal fishing masih bisa mendorong alokasi bundel input illegal, bila efektivitas
tindakan penghindaran nelayan lebih tinggi dari efektivitas pengawasan. Proposisi ini
berlaku sama dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan
Ao.
Proposisi kedua digali dari persamaan (9). Proposisinya menyatakan bahwa di
bawah biaya resiko yang tinggi, perubahan harga ikan di TPI berpotensi untuk
mendorong alokasi bundel input illegal, bila peluang nelayan untuk tertangkap (terkait
dengan alokasi waktu untuk menghindari tindakan pengawasan pasar ikan illegal)
dikurangi dengan produk marjinal bundel input illegal dan tindakan penghindaran lebih
19
rendah dari produk marjinal bundel input legal, Perbandingan sebaliknya bisa menekan
alokasi bundel input illegal. Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua
macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.
Proposisi ketiga digali dari persamaan (10). Proposisinya menyatakan bahwa di
bawah biaya resikonya tinggi, kenaikan harga ikan di pasar illegal berpotensi untuk
menekan alokasi bundel input illegal, meski selisih antara produk marjinal tindakan
penghindaran dengan produk marjinal bundel input illegal, lebih tinggi dari produk
marjinal bundel input legal. Perbandingan sebaliknya berpotensi untuk mendorong
alokasi bundel input illegal. Proposisi ini berlaku sama dalam kaitannya dengan dua
macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.
Proposisi terakhir digali dari persamaan (11). Proposisinya menyatakan bahwa di
bawah biaya resiko yang tinggi, perubahan per unit biaya input penangkapan ikan
berhubungan negatif dengan alokasi bundel input illegal. Proposisi ini berlaku sama
dalam kaitannya dengan dua macam wujud illegal fishing lainnya, AI dan Ao.
5. Simpulan
Obyek perikanan dalam makalah ini adalah sebagai suatu sampel unit usaha yang
bekerja di bawah kendali pemerintah melalui perangkat hukum. Dimana, secara
mendasar, perangkat hukum tersebut mengatur jenis input yang boleh dialokasikan dan
jenis pasar produk (output). Secara umum, bundel input illegal yang bisa digunakan oleh
nelayan seperti misalnya pukat harimau atau bahan peledak, serupa dengan input illegal
yang bisa digunakan oleh unit usaha produksi lainya. Sedangkan penjualan ikan di luar
TPI, secara umum dapat diartikan sebagai bentuk pasar gelap (black market).
Dari seluruh kerja analisa statika komparatif (bentuk eksperimen konseptual),
yang disajikan pada bagian empat, hasilnya menampilkan ketelitian di dalam
mengendalikan illegal fishing. Ketelitian tersebut terletak pada kombinasi besaran denda
illegal fishing dengan tindakan pengawasannya. Meski pengelola perikanan menciptakan
biaya resiko yang tinggi bagi nelayan dalam mengantisipasi illegal fishing, tapi nelayan
masih memiliki kesempatan untuk melakukan illegal fishing. Sebaliknya dengan biaya
resiko yang rendahpun, pengelola perikanan masik memiliki kesempatan untuk menekan
illegal fishing. Sinyal ini serupa bila dibandingkan dengan Charles et al.(1999),
Sumaila et al.(2006), dan Bailey (2007), meski ekspresi model ekonomi illegal fishingnya
memiliki beberapa perbedaan. Dengan cara mengurut kembali proposisi-proposisi yang
ditampilkan sebelumnya, terdapat dua proposisi ringkas dalam upaya menekan illegal
fishing, yaitu :
20
Dengan biaya resiko yang rendah, kenaikan denda dapat menekan illegal fishing,
meski efektivitas pengawasan lebih rendah dari efektivitas tindakan penghindaran
yang dilakukan oleh nelayan.
Dengan biaya resiko yang tinggi, kenaikan denda dapat menekan illegal fishing,
bila efektivitas tindakan pengawasan lebih tinggi dari efektivitas tindakan
penghindaran nelayan.
Dari ringkasan dua proposisi tersebut, nampak bahwa kombinasi denda dan
efektivitas tindakan pengawasan memainkan peranan penting di dalam mengendalikan
illegal fishing. Kenaikan denda illegal fishing dapat dijadikan instrumen untuk menekan
illegal fishing, dengan syarat biaya resikonya tinggi dan efektivitas pengawasan lebih
tinggi dari efektivitas penghindaran yang dilakukan oleh nelayan.
6. Saran
Pengalaman menunjukkan adanya tingkat kerumitan yang cukup tinggi di dalam
menurunkan proposisi. Proposisi yang terkait dengan respon illegal fishing terhadap
peubah eksogen : denda, harga ikan, dan biaya per unit setiap jenis input. Kerumitan ada
pada upaya untuk menginterpretasikan beberapa parameter hasil differensiasi total, yang
tujuannya adalah untuk menggali proposisi tersebut. Kerumitan pada tahap tersebut
memang timbul dari penggunaan model ekonomi illegal fishing dalam bentuk umum
(unspecified). Implikasinya, penggunaan bentuk fungsi secara umum tidak dapat
merekam efek dari biomassa ikan, B, yang memiliki fitur dinamis dalam kerangka kerja
ekonomi illegal fishing.
Bagaimanapun proposisi yang coba diramu sebelumnya perlu diuji secara empiris
pada obyek perikanan tertentu. Dengan cara demikian ambiguitas yang mungkin timbul
pada setiap proposisi akan hilang. Di dalam melakukan pengujian empiris, penulis
menyarankan agar bentuk fungsi produksi tidak direstriksi. Misalnya direstriksi dalam
bentuk Cobb-Douglas, CES (constant elasticity of substitution) dan jenis teknologi
produksi lain. Ini berpotensi untuk menghasilkan tambahan informasi mengenai efek
bentuk teknologi dalam kaitannya dengan respon illegal fishing nelayan terhadap
kebijakan hukum dan ekonomi.
Kemudian terdapat beberapa peubah yang mungkin berwujud abstrak. Peubah
tersebut mencakup tindakan pengawasan, tindakan penghindaran, peluang nelayan untuk
tertangkap dan biaya per unit tindakan penghindaran. Tindakan pengawasan bertujuan
untuk menangkap nelayan yang melakukan illegal fishing. Mengacu pada Becker (1974),
efektivitas tindakan pengawasan tersebut bisa diukur dengan rasio jumlah kejahatan yang
berhasil dihukum terhadap jumlah keseluruhan tindakan kejahatan. Tindakan
21
penghindaran, mengacu pada Ehrlich (1974), diukur dengan alokasi sumber daya waktu
sebagaimana digunakan dalam kerangka kerja ekonomi illegal fishing. Berikutnya,
tindakan penghindaran mungkin bisa diukur dengan sumber daya waktu yang hilang
(opportunity cost of time) yang dievaluasi dengan upah kerja pada bidang perikanan atau
bidang pekerjaan lainnya yang memungkinkan. Alternatif ini biasa digunakan
Bekcer (1965) dalam menganalisis alokasi waktu. Kemudian, mengacu pada penelitian
empiris Kuperan dan Sutinen (1998), besaran peluang nelayan untuk tertangkap mereka
akui terdapat kelemahan, karena besarannya ditentukan secara subyektif oleh nelayan
yang menjadi contoh. Sementara itu, dalam penelitian empiris Sumaila et al.(2006) dan
Bailey (2007) besarnya peluang tersebut tidak mereka estimasi atau digali secara empiris,
melainkan dengan menggunakan asumsi. Dalam mengatasi tantangan dibalik data
peluang nelayan untuk tertangkap sebuah tindakan pengawasan, Nikijuluw (2008)
menyajikan tiga macam alternatif pengukuran :
Peluang yang ditentukan secara langsung oleh nelayan yang disebut dengan raw
probability, serupa dengan peluang subyektif yang digunakan oleh Kuperan dan
Sutinen (1998);
Peluang yang ditentukan dari suatu fungsi peubah eksgogen; dan
Peluang yang diduga dengan menggunakan peubah instrumen atau peubah antara.
7. Referensi
Abbott, Joshua K., Wilen, James E. 2006. Prohibited species bycatch in the Eastern Bering Sea flatfish fisheries – An analysis of institutions and incentives., p. 5-12. In: Sumaila, U. Rashid and Marsden, A. Dale (eds.) 2005 North American Association of Fisheries Economists Forum Proceedings. Fisheries Centre Research Reports 14(1). Fisheries Centre, the University of British Columbia, Vancouver, Canada.
Bailey, M. 2007. Economic Analysis of Unregulated and Illegal Fishing in Raja Ampat [Thesis], Indonesia. Columbia : Faculty of Graduate Studies at The University Of British Columbia.
Becker, G.S. 1968. Crime and Punishment : an economic approach. Journal of Political Economy 76(2) : 169 – 212.
Becker, G.S. 1974. Criem and Punishment : an aconomic approach. Di dalam : Becker, G.S., and Landes, W.M., editor. 1974. Essay in The Economics of Crime and Punishment. National Bureau of Economic Research, Inc. U.S.A. hlm 1 – 54.
Charles, A.T., Mazany, R.L., and Cross, M.L. 1999. The Economic of Illegal Fishing : a behavioural model. Marine Resource Economic. Volume 144, pp. 95 – 100. U.S.A.
Drameh, O.K.L. 2000. Illegal, Unreported And Unregulated Fishing In Small-Scale Marine And Inland Capture Fisheries. This paper has been prepared as one in a series of specialist background papers for the Expert Consultation on Illegal,
22
Unreported and Unregulated Fishing Organized by the Government of Australia in Cooperation with FAO, Sydney, Australia, 15-19 May 2000.
Ehrlich, I. 1974. Participation in Illegitimate Activities : an economic analysis. Di dalam : Becker, G.S., and Landes, W.M., editor. 1974. Essay in The Economics of Crime and Punishment. National Bureau of Economic Research, Inc. U.S.A. hlm 67 – 134.
Kuperan, K., and Sutinen, J.G. 1998. Blue Water Crime : Detterence, Legitimacy, and Compliance in Fisheries. The Law and Society Association.
Nikijuluw, V.P.H. 2008. Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Illegal : Blue Water Crime. Cidesindo. Jakarta.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. Republik Indonesia
Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 5 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Retribusi Tempat Pelelangan Ikan. Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Republik Indonesia.
Resosudarmo, B.PP., Napitupulu, L., and Campbell. 2009. www. Gdnet.org/CMS/conference/papers/Budy Resosudarmo_Paper_B.5.pdf/2009.
Tyler TR. 1990. Why people obey the law. New Haven: Yale University Press.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. Republik Indonesia.