+ All Categories
Home > Documents > 04 Modul 3 - Sikap

04 Modul 3 - Sikap

Date post: 24-Nov-2015
Category:
Upload: dede-firmansah-amd-mi-cht-cba
View: 491 times
Download: 75 times
Share this document with a friend
Description:
04 Modul 3 - Sikap
115
Modul 3 SIKAP Prof.Dr. M. Enoch Markum Jennifer Loven, penulis kantor berita Amerika Serikat, Associated Press (AP), yang ikut dalam rombongan Presiden George W Bush ke Bogor menulis:“He also shrugged off heavy demonstrations that greeted him in Indonesia, saying it was sign of a healthy democracy.” Kata shrugged off dalam Kamus Inggris Indonesia dari John M. Echols dan Hassan Shadily berarti “menganggap enteng” atau “mengabaikan”. Dengan demikian kalimat itu berarti, “Ia (Bush) juga menganggap enteng PENDAHULUAN
Transcript

MODUL 1

1.50

Psikologi Sosial((ADPU4218/MODUL 31.51

Modul 3SIKAPProf.Dr. M. Enoch Markum

Jennifer Loven, penulis kantor berita Amerika Serikat, Associated Press (AP), yang ikut dalam rombongan Presiden George W Bush ke Bogor menulis:He also shrugged off heavy demonstrations that greeted him in Indonesia, saying it was sign of a healthy democracy.

Kata shrugged off dalam Kamus Inggris Indonesia dari John M. Echols dan Hassan Shadily berarti menganggap enteng atau

mengabaikan. Dengan demikian kalimat itu berarti, Ia (Bush) juga menganggap enteng atau mengabaikan unjuk rasa besar-besaran yang menyambutnya di Indonesia dengan mengatakan, itu adalah tanda dari demokrasi yang sehat.

Kalimat dengan kata shrugged off juga muncul dalam berita yang dilansir kantor berita Perancis, AFP, dan surat kabar International Herald Tribune (IHT) Selasa (2/11). Wartawan AFP yang ikut rombongan Bush menulis, Presiden Bush, Senin (20/11), mengabaikan atau menganggap enteng (shrugged off) protes kaum Muslim yang menentang Perang Irak dan tidak senang atas kehadiran AS di Afganistan.

AP, AFP, IHT, dan The Wall Street Journal melukiskan unjuk rasa menentang kunjungan Bush sejak beberapa hari sebelumnya cukup seru dan penuh kebencian terhadap Bush. Ucapan di poster, spanduk atau dalam teriakan kaum pengunjuk rasa yang dicatat AFP, antara lain Bush kriminal perang, Bush teroris, bunuh dia, dan The blood of George Bush is halal.

Unjuk-rasa yang berlangsung baik pada beberapa hari sebelum kedatangan maupun pada saat Presiden Amerika Serikat George W. Bush tiba di Bogor, yang antara lain disambut oleh spanduk yang isinya The blood of George Bush is halal itu merupakan ekspresi dari sikap negatif para pengunjukrasa terhadap kebijakan Bush mengenai Perang Irak dan kehadiran Amerika Serikat di Afganistan. Pemakaian istilah sikap dalam peristiwa unjuk-rasa masyarakat terhadap Presiden Bush bukan dalam arti pemahaman istilah sikap sehari-hari, melainkan merujuk pada pengertian konsep sikap dalam psikologi yang berbeda dengan pengertian sikap menurut orang awam.

Dalam sejarah psikologi sosial tercatat bahwa sikap (attitude) merupakan topik yang paling banyak dibicarakan karena sikap dianggap sebagai faktor yang secara langsung mengubah perilaku. Pengujian konsistensi antara sikap dan perilaku ini telah dilakukan berulang-ulang oleh para pakar psikologi social dengan dipelopori oleh studi LaPiere (1934).

Seperti halnya sebuah mesin mobil, sikap juga memiliki komponen, yakni komponen kognitif, afektif, dan konatif. Oleh karena sikap seseorang terbentuk melalui proses pembelajaran (bukan bersifat heriditer/genetic), maka sikap dapat diubah. Perubahan sikap dapat dilakukan melalui pendekatan kognitif, afektif atau konatif atau gabungan ketiga pendekatan.

Sikap merupakan predisposisi perilaku yang meskipun sifatnya abstrak, ternyata dapat diukur, sehingga dapat membedakan sikap individu yang satu dengan individu yang lain atau sikap antar kelompok.

Secara umum, setelah mempelajari Modul 3 ini diharapkan Anda memiliki pemahaman yang baik dan utuh tentang sikap manusia. Secara khusus, setelah mempelajari Modul 3 ini diharapkan Anda mampu:

1. menjelaskan pengertian sikap menurut pengertian awam dan menurut pengertian psikologi

2. menjelaskan komponen sikap

3. menjelaskan fungsi sikap bagi manusia

4. menjelaskan sumber-sumber pembentukan sikap

5. menjelaskan teori-teori perubahan sikap

6. menerapkan model proses perubahan sikap

7. menjelaskan kaitan sikap dan perilaku8. menjelaskan teori tentang kaitan sikap dan perilaku9. menjelaskan asumsi dasar pengukuran sikap

10. menerapkan metode-metode pengukuran sikap.

Kegiatan Belajar 1

PENGERTIAN SIKAP

Perbedaan pokok antara sikap dan perilaku terletak pada tampak nyata atau tidaknya perilaku sebagai ekspresi sikap. Konsep sikap dalam pengertian psikologi tergolong dalam perilaku tidak nyata (covert behaviour), sedangkan kata sikap dalam kehidupan sehari-hari diartikan sebagai perilaku nyata (overt behaviour). Untuk menunjukkan perbedaan ini, coba kita perhatikan pemakaian kata sikap dalam kehidupan sehari-hari : Saya tidak suka pada anak itu karena sikapnya tidak sopan atau sebagai pemimpin, ia tidak bersikap tegas. Penggunaan kata sikap baik dalam kalimat pertama maupun kalimat kedua jelas dimaksudkan sebagai perilaku nyata atau menyamakan sikap dengan perilaku nyata. Anak, dalam kalimat pertama, dianggap tidak sopan karena dalam sehari-hari tidak mengucapkan selamat pagi, terimakasih, dan tolong, serta ucapan sopan-santun lainnya. Demikian pula kata sikap dalam bersikap tegas, dimaksudkan agar pemimpin bertindak nyata, jangan sebatas ucapan semata, seperti menyeret koruptor ke pengadilan, memberhentikan pejabat, menerbitkan surat keputusan tertentu, dan lain-lain.

Untuk memperjelas perbedaan pengertian sikap menurut psikologi dan masyarakat umum, berikut dikemukakan batasan sikap menurut Himmelfarb dan Eagly (1974 dalam Hogg dan Vaughan 2005:98)

An attitude as a relatively enduring organization of beliefs, feelings and behavioral tendencies towards socially significant

objects, groups, events, or symbols.

Dari rumusan sikap ini yang perlu digarisbawahi adalah kata kecenderungan (tendencies) karena kata kecenderunganlah yang merupakan pembeda antara pengertian sikap menurut psikologi dan menurut masyarakat umum. Konsep sikap dalam psikologi jelas merupakan kondisi kesiapan atau kesediaan berperilaku (state of readiness) , dan bukan perilaku nyata yang bisa diobservasi atau kasat mata. Dengan demikian, dalam kacamata psikologi, sikap seseorang atau suatu kelompok tidak dapat kita kenali sebelum individu atau suatu kelompok mewujudkannya dalam perilaku nyata. Misalnya, sikap negatif kaum Muslim terhadap Presiden Bush baru kita ketahui setelah pengunjuk-rasa turun ke jalan, membuat poster/spanduk, melakukan orasi, dan lain-lain yang kesemuanya itu merupakan perwujuddan sikap. Singkatnya, sikap dalam pengertian psikologi merupakan perilaku implisit (implicit behaviour), sedangkan sikap dalam pengertian sehari-hari adalah perilaku eksplisit (explicit behaviour).

Dari batasan sikap di atas tampak pula perbedaan antara pengertian sikap menurut psikologi dan sikap menurut masyarakat umum. Dalam pengertian psikologi, sikap yang dimiliki oleh individu atau suatu kelompok senantiasa ada objeknya yang bisa berupa objects, groups, events, or symbols, sehingga sangat boleh jadi sikap yang dimiliki oleh individu atau suatu kelompok tidak terbatas jumlahnya, misalnya, objek sikap kelompok Muslim bisa Presiden Bush, Israel, berbagai negara yang mendukung Amerika Serikat dalam perang Irak, kapitalisme, komunisme, Undang-undang pornografi, perjudian, bunga bank, minuman keras, dan lain-lain. Selain objek sikap negatif yang jumlahnya bisa sangat banyak, objek sikap positif juga jumlahnya bisa sangat banyak, misalnya objek sikap kelompok Muslim bisa berupa kitab Suci Al Quran, jihad, Irak, Bank syariah, masjid, makanan halal, dan lain-lain.

Sedangkan sikap dalam pengertian masyarakat umum sering tidak memiliki objek sikap, misalnya sikap tegas dalam contoh pemimpin di atas jelas tidak menunjukkan objek sikapnya, seperti sikap tegas terhadap koruptor, mafia pengadilan, kasus Lumpur Lapindo, masalah tenaga kerja wanita, dan lain-lain.

Selain dua ciri sikap yang telah dikemukakan abstrak karena merupakan kesiapan berperilaku dan mempunyai objek sikap ada satu ciri lain dari sikap dalam pengertian psikologi, yakni komponen sikap yang terdiri dari komponen kognitif (cognitive), afektif (affective), dan konatif (conative). Komponen kognitif adalah pengetahuan individu atau kelompok mengenai objek sikap. Pada contoh unjukrasa terhadap Presiden Bush di atas, diasumsikan bahwa para pengunjukrasa memiliki pengetahuan mengenai kebijakan Presiden Bush. Demikian pula seseorang yang bersikap positif terhadap nasi goreng, kucing, anggrek, Majalah Tempo, Partai Demokrat, dan lain-lain berarti orang tersebut mempunyai pengetahuan mengenai berbagai objek sikapnya tersebut. Dalam hubungan dengan pengetahuan mengenai objek sikap di sini jangan diartikan sebagai penguasaan yang baik dan benar mengenai objek sikapnya. Para pengunjuk-rasa yang anti Presiden Bush dalam ilustrasi di atas, belum tentu memahami dengan baik dan benar mengenai latar-belakang perang Irak, perlunya penggantian Saddam Hussein, senjata pemusnah massal, dan lain-lain, namun para pengunjuk-rasa ini dapat menjadi sangat militan. Militansi bisa terpicu hanya karena ada yang melemparkan pengetahuan atau issue sederhana, yakni AS adalah kafir dan musuh Islam.

Sikap sebagai konsep abstrak yang merupakan kesiapan untuk berperilaku tidak akan terwujud menjadi perilaku nyata (overt behaviour) apabila tidak dilengkapi dengan komponen afektif. Seseorang yang bersikap negatif terhadap komunisme, misalnya, maka pengenalannya mengenai komunisme tidak hanya sebatas pengetahuan, tetapi ia juga menilai (secara emosional) apakah komunisme ini bertentangan dengan agama yang dianutnya atau tidak. Dengan demikian, apa yang kita ketahui mengenai sesuatu hal belum menjadi sikap atau tetap sebagai pengetahuan semata-mata karena tidak diikuti oleh evaluasi emosional. Contoh dari fenomen ini dapat diambil dari pakar orientalis yang pengetahuan mengenai agama Islamnya tinggi, menulis buku tentang Islam, dan menguasai bahasa Al Quran dengan sangat baik, namun ia tetap saja tidak menjadi seorang Muslim.

Selanjutnya komponen terakhir dari sikap adalah komponen konatif yang diartikan sebagai kecenderungan untuk berperilaku (ingat baru kecenderungan perilaku dan bukan perilaku nyata). Contoh seorang yang memiliki pengetahuan mengenai komunisme dan menurut penilaiannya komunisme itu bertentangan dengan agama yang dianutnya, dan oleh karenanya ia anti komunis (bersikap negatif) cenderung akan menampilkan berbagai perilaku anti komunis, misalnya, ia siap menandatangani deklarasi pembubaran partai komunis, membakar bendera partai komunis, menulis artikel tentang bahaya komunisme, dan lain-lain.

Apa fungsi sikap bagi manusia ? Dalam kehidupan nyata kita menghadapi berbagai stimuli yang di antaranya harus kita tanggapi. Bisa dibayangkan bagaimana sulitnya kita menentukan perilaku mana yang harus ditampilkan pada saat menghadapi suatu stimulus, seandainya kita tidak memiliki sikap berkenaan dengan suatu objek sikap. Contoh mengenai hal ini adalah betapa sulitnya kita mengambil keputusan apabila kita tidak mempunyai pendirian atau sikap setuju atau tidak setuju atas suatu gagasan. Karenanya, sikap menjembatani antara apa yang kita ketahui dengan perilaku nyata.

Sikap mempunyai beberapa fungsi dalam kehidupan manusia.

Pertama, sikap berfungsi sebagai pengetahuan. Mengingat, salah satu komponen sikap adalah pengetahuan, maka individu yang mempunyai sikap negatif terhadap Presiden Bush, misalnya, berarti ia setidaknya memiliki pengetahuan terlepas dari mendalam atau tidaknya dan benar atau tidaknya mengenai kebijakan Presiden Bush. Dengan demikian, ia akan menghemat pikirannya saat ia harus menunjukkan respons terhadap kebijakan Presiden Bush karena ia telah mempunyai sikap tertentu.Kedua, sikap dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Misalnya, individu yang sangat menyukai nasi goreng atau bersikap positif terhadap nasi goreng, maka ia akan mencari nasi goreng tatkala ia merasa lapar. Ketiga, sikap dapat juga berfungsi sebagai alat untuk membela diri. Contoh mengenai hal ini adalah pada saat perdebatan mengenai kenaikan harga BBM atau masalah sosial lainnya. Seorang yang tidak setuju terhadap gagasan kenaikan harga BBM akan membela dan mengemukakan berbagai alasan ketidaksetujuannya atas dinaikannya harga BBM. Keempat, sikap sebagai ekspresi nilai seseorang. Nilai (value) adalah konsep abstrak yang sangat mendasar mengenai kehidupan dan dijadikan pedoman dalam berperilaku. Seorang yang memiliki nilai kejujuran, misalnya, maka salah satu ekspresi dari nilai kejujurannya adalah sikap negatif terhadap koruptor yang kemudian diwujudkan dalam perilaku nyata, seperti membentuk LSM anti korupsi, memimpin demonstrasi anti korupsi, memberikan informasi mengenai pejabat yang korupsi kepada KPK, dan lain-lain.

.

Dalam kehidupan sehari-hari, Anda tentu pernah menunjukkan sikap tertentu atas suatu kondisi tertentu. Pilih satu saja, kemudian jelaskan fungsi sikap tersebut bagi kehidupan Anda.

Anda boleh mengerjakannya sendiri atau mendiskusikannya bersama dengan teman-teman dalam kelompok belajar. Jika didiskusikan dalam kelompok belajar , akan semakin banyak contoh sikap yang dapat Anda pelajari.

Petunjuk Jawaban Latihan

Untuk mengerjakan soal latihan di atas, Anda dapat mempelajari materi yang disajikan dalam alinea terakhir dari uraian materi dalam kegiatan belajar 1.

Pengertian sikap dalam psikologi berbeda dengan pengertian sikap dalam kehidupan sehari-hari. Kata kunci dari perbedaan ini adalah kecenderungan karena sikap dalam psikologi merupakan kondisi kesiapan atau kesediaan berperilaku (state of readiness), bukan sesuatu yang bisa diamati secara nyata. Sikap dalam psikologi memiliki objek sikap, sedangkan dalam pengertian kehidupan sehari-hari sikap tidak memiliki objek sikap. Sikap memiliki tiga komponen, yaitu kognitif, afektif, dan konatif. Bagi kehidupan manusia, sikap berfungsi sebagai pengetahuan , sebagai alat untuk mencapai tujuan, sebagai alat untuk membela diri, dan sebagai ekspresi nilai seseorang.

1. Nia sangat suka gado-gado. Kalau perutnya merasa lapar, maka makanan pertama yang dicarinya adalah gado-gado. Sikap Nia ini merupakan contoh bahwa baginya sikap berfungsi sebagai:

A. ekspresi nilai dirinya

B. alat untuk mencapai tujuan C. alat untuk membela diri

D. sekedar pengetahuan

2. Mana yang bukan merupakan komponen sikap :1. afektif

2. konatif

3. kognitif

4. konotatif

3. Sikap menurut Psikologi adalah:

A. overt behaviour

B. bersifat abstrak

C. memiliki tujuan

D. dapat diduga

4. Explicit behaviour adalah perilaku yang:A. dapat diamatiB. masih bersifat kecenderungan

C. memiliki tujuan

D. memiliki fungsi

5. Dalam kehidupan sehari-hari , sikap berfungsi sebagai:A. jembatan antara apa yang kita ketahui dengan perilaku nyata

B. pelengkap antara apa yang kita ketahui dengan perilaku nyata

C. penyeimbang antara apa yang kita ketahui dengan perilaku nyata

D. pendorong munculnya perilaku nyata

6. Sikap dalam kehidupan sehari-hari: A. selalu memiliki objek

B. kadang-kadang memiliki objek

C. tidak memiliki objek

D. tidak terikat objek

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 1 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 1.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 2. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 1, terutama bagian yang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 2PEMBENTUKAN DAN PERUBAHAN SIKAPPada masyarakat Indonesia, ayam merupakan salah satu bahan baku yang dapat diolah menjadi berbagai jenis masakan, seperti ayam goreng, ayam bakar, ayam-pop, dan sate ayam. Ayam juga dapat merupakan bahan pelengkap dari suatu masakan, misalnya, soto ayam, sop ayam dan chicken pie. Tempat penjualan makanan atau masakan yang menggunakan bahan baku ayam ini tersebar di mana-mana, mulai dari kaki lima di pinggir jalan sampai dengan restoran yang nyaman dan sejuk yang berlokasi di berbagai mal dan plaza mewah. Uraian singkat ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sangat menyukai atau menggemari masakan yang menggunakan bahan baku ayam. Namun, suatu saat dalam waktu yang sangat singkat masyarakat tidak lagi menyukai bahkan takut menyantap masakan yang bahan bakunya ayam. Hal ini disebabkan oleh merebaknya wabah flu-burung di Indonesia. Puluhan ribu ekor ayam baik milik perorangan maupun perusahaan peternakan ayam terpaksa dimusnahkan dengan akibat kerugian pengusaha ayam yang sangat besar. Untuk mengembalikan kondisi semula agar masyarakat Indonesia tidak khawatir atau takut mengkonsumsi makanan yang bahan bakunya ayam dilakukan berbagai upaya, seperti memberi informasi bahwa mengkonsumsi masakan ayam itu aman asalkan dimasak dengan suhu 100 derajat Celsius dan penayangan di TV mengenai seorang pejabat tinggi yang sedang menikmati hidangan masakan ayam.Ilustrasi di atas menunjukkan tentang perubahan sikap positif yang sudah lama dimiliki oleh masyarakat (menyukai masakan ayam), namun secara mendadak dan dalam waktu singkat berubah menjadi sikap negatif (tidak menyukai bahkan takut menyantap masakan ayam). Kegiatan Belajar 2 ini akan membahas tentang pembentukan sikap dan perubahannya.1. PEMBENTUKAN SIKAP

Telah dikemukakan pada Kegiatan Belajar 1 bahwa seseorang bisa mempunyai sikap terhadap berbagai hal, seperti orang, benda, peristiwa, dan gagasan atau ideologi. Pertanyaannya, bagaimana berbagai sikap ini terbentuk ? Beberapa sikap individu bisa terbentuk karena pengalaman langsung dengan objek sikap. Sebagai contoh, seseorang menjauhi atau menghindari anjing (sikap negatif ) karena ia pernah digigit anjing. Sebaliknya, orang bersikap positif terhadap pengobatan tradisional atau pengobatan alternatif karena ia sembuh dari penyakit yang dideritanya sejak lama dengan terapi pengobatan tradisional. Contoh lain adalah orang yang mengalami peristiwa yang sangat mengerikan atau pengalaman traumatis, seperti penumpang pesawat terbang yang mengalami kecelakaan di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta sangat boleh jadi ia akan bersikap negatif terhadap transportasi udara.

Sikap yang terbentuk melalui pengalaman langsung ini akan semakin kuat atau menetap pada seseorang apabila diikuti oleh faktor penguat (reinforcement). Orang yang bersikap negatif atau benci pada anjing karena ia pernah digigit anjing akan bersikap sangat negatif terhadap anjing apabila akibat dari gigitan anjing tersebut ia sakit tiga hari, sehingga ia tidak bisa mengikuti ujian yang sangat menentukan hari depannya. Contoh dari kasus wabah flu-burung adalah orangtua yang anaknya meninggal dunia karena flu-burung, kemungkinan besar akan bersikap sangat negatif terhadap peternakan ayam di sekitar rumahnya.

Selain itu sikap dapat juga terbentuk secara mendadak atau tiba-tiba. Boleh jadi seseorang tidak mempunyai perhatian atau bahkan apatis terhadap pemilihan Bupati di wilayahnya. Dengan kata lain, siapa pun yang akan terpilih menjadi Bupati, ia tidak peduli. Namun, tatkala ia ditanya mengenai sikapnya terhadap salah satu calon Bupati, kemungkinan ia akan mengatakan bahwa dirinya tidak menyukai calon Bupati tersebut (sikap negatif) dan ia lebih menyukai calon Bupati lainnya (sikap positif).

Sikap dapat juga terbentuk tanpa melalui pengalaman langsung seperti berbagai contoh terdahulu. Pada saat kita masih anak-anak, orangtua merupakan sumber utama pembentukan sikap. Sikap anak terhadap makanan bergizi (susu, telur, daging) sangat ditentukan oleh apakah ibunya memberi makanan bergizi atau tidak pada anaknya, dan bagaimana ibu tadi mengolah atau memasak makanan bergizi tersebut (dirasakan sedap atau tidak sedap oleh anak). Demikian pula tidak jarang anak yang gemar membaca atau bersikap positif terhadap buku disebabkan oleh atau karena meniru orangtuanya yang juga gemar membaca dan menghargai buku. Sikap positif anak terhadap makanan bergizi ini akan berlanjut dan menetap, bila setelah dewasa ia meyakini bahwa dirinya merasa sehat dan kuat dengan mengkonsumsi makanan bergizi yang diberikan oleh ibunya. Demikian pula sikap positif seorang anak terhadap buku akan menetap karena sebagai akibat dari gemar membacanya itu, anak tadi menjadi juara kelas dan dianggap sebagai pusat bertanya teman-temannya. Hasil penelitian McGuire (1985, dalam Deaux, Dane, & Wrightsman 1993) menunjukkan bahwa sikap politik anak sering sama dengan sikap politik orangtuanya.

Sumber utama lain pembentukan sikap adalah kelompok teman sebaya (peer-group). Sikap remaja terhadap musik, kelompok musik, mode, gaya rambut, dan lain-lain sering merupakan hasil pergaulan sesama remaja. Hasil penelitian Eiser dan van der Pligt (1984, dalam Deaux, Dane, & Wrightsman, 1993) menunjukkan bahwa remaja pria yang merokok umumnya mempunyai sejumlah teman sebaya yang juga perokok, selain ayah mereka juga perokok. Eiser dan van der Pligt juga menemukan bahwa ayah dari para remaja yang merokok ternyata lebih toleran terhadap perilaku merokok dibandingkan dengan ayah yang anak laki-lakinya tidak merokok.

Selanjutnya, status atau kedudukan seseorang ternyata mempengaruhi pembentukan sikap. Studi Lieberman (1956) menunjukkan bahwa karyawan yang dipromosikan oleh pihak manajemen ternyata akan bersikap membela atau bersikap positif terhadap kepentingan manajemen dibandingkan dengan karyawan yang tidak dipromosikan oleh pihak manajemen.

Di Indonesia hubungan antara status dan sikap ini dapat ditemukan pada seseorang yang semula anti pemerintah, tetapi kemudian ia menjadi pro pemerintah setelah ia diangkat sebagai pejabat pemerintah. Dihubungkan dengan wabah flu burung yang terjadi di Indonesia, boleh jadi pejabat yang makan masakan ayam dan ditayangkan dalam televisi itu sebenarnya ia ragu atau bersikap netral terhadap masakan ayam, namun karena ia seorang pejabat yang harus mengubah sikap masyarakat, maka ia makan masakan ayam di depan khalayak. Dalam hal ini segera perlu dikemukakan catatan mengenai gejala ketidaktaat-asasan (tidak konsisten) antara sikap (ragu atau netral) dan perilaku (makan masakan ayam). Mengenai hubungan antara sikap dan perilaku ini akan dibahas pada Kegiatan Belajar 3.

Di samping pengalaman langsung, orang lain, dan status, sikap juga bisa terbentuk melalui media massa. Bukti mengenai hal ini dapat dilihat pada betapa kuatnya pengaruh tayangan iklan (cokelat, vitamin, susu dan lain-lain) terhadap anak-anak. Penelitian Taras, dkk (1989, dalam Deaux, Dane, & Wrightsman, 1993) menunjukkan bahwa terdapat korelasi antara permintaan anak akan makanan tertentu dengan frekuensi anak menyaksikan iklan di televisi mengenai makanan yang dimintanya. Di Indonesia acara TV yang banyak diprotes oleh khalayak penonton TV adalah tayangan smaked-down, karena konon banyak anak yang meniru gerakan action yang sangat membahayakan mereka dari para pegulat smaked-down yang disaksikannya.

2. PERUBAHAN SIKAP

Tidak seperti halnya temperamen yang merupakan predisposisi perilaku dan dianggap sebagai sifat bawaan (heredity), sikap merupakan hasil pembelajaran (learning). Oleh karenanya, bila temperamen (periang, pemarah, pemurung) sukar atau hampir tidak dapat diubah, maka sikap dapat diubah meskipun untuk mengubahnya sering diperlukan upaya yang intensif dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Misalnya, mengubah sikap negatif atau prasangka etnis dari kelompok orang Dayak terhadap orang Madura, Aceh terhadap Jawa, dan Bangka terhadap Palembang yang memiliki sejarah konflik antar kelompok yang berkepanjangan.

Dalam kehidupan nyata sehari-hari, sebenarnya terdapat banyak upaya yang berkenaan dengan aktivitas yang bertujuan mengubah sikap individu atau kelompok. Contoh yang sangat jelas dapat diambil dari dunia periklanan. Banyak iklan yang mengajak atau membujuk masyarakat untuk beralih dari satu produk tertentu ke produk baru yang diiklankannya, apakah itu sabun mandi, sabun cuci piring, rokok, kosmetik sampai dengan mesin penyejuk (AC), mesin cuci, mobil dan property. Demikian pula berbagai upaya dalam berbagai bidang pendidikan, pelatihan, sosialisasi, dan indoktrinasi pada dasarnya bertujuan untuk mengubah sikap.

Bagaimana penjelasan perubahan sikap secara teoretis ? Untuk menjawab pertanyaan ini diketengahkan beberapa teori perubahan sikap.

A. Teori Keputusan Sosial (Social Judgment Theory)

Teori Keputusan Sosial mengemukakan asumsi bahwa setiap orang mengetahui sikap yang dimilikinya dan mampu mengambil keputusan bagaimana ia harus bersikap terhadap objek sikapnya: apakah ia akan menerima atau menolak objek sikapnya.

Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan contoh seorang yang akan membeli mobil. Pembeli mobil tentu mempunyai batas-atas atau maksimum jumlah uang yang dapat dikeluarkan untuk membeli mobil yang dikehendakinya, misalnya 150 juta rupiah. Apabila harga mobil yang dikehendakinya ternyata 175 juta rupiah maka ia akan membatalkan niat membeli mobil tersebut karena harga tersebut di atas jumlah uang maksimum yang dimilikinya. Namun, apabila mobil yang dikehendakinya ditawarkan sama atau di bawah jumlah maksimum uangnya, maka ia akan mempertimbangkan sungguh-sungguh untuk membeli mobil yang ditawarkannya.

Menurut Teori Keputusan Sosial, hal yang sama juga berlaku dalam perubahan sikap. Berubah atau tidaknya sikap seseorang ditentukan oleh sejauhmana gagasan baru yang harus disikapinya, misalnya (Keluarga Berencana) menyimpang dari sikap yang telah dimilikinya (Banyak anak banyak rejeki). Oleh karena gagasan Keluarga Berencana mengemukakan bahwa jumlah anak cukup dua, maka kemungkinan besar pada orang yang beranggapan bahwa banyak anak banyak rejeki tidak akan terjadi perubahan sikap. Sebaliknya, apabila ada orang yang bersikap positif terhadap keluarga kecil karena dianggapnya meringankan beban hidup, maka gagasan Keluarga Berencana akan dengan mudah diterima yang berarti terjadi perubahan sikap pada orang tersebut.

Salah seorang tokoh Teori Keputusan Sosial adalah Muzafer Sherif yang dalam mengembangkan Teori Keputusan Sosial meminjam atau menggunakan konsep psikofisik, yakni jangkar (anchor). Yang dimaksud dengan jangkar adalah titik yang merupakan atau dijadikan patokan oleh individu untuk menilai apakah dirinya akan menerima (bersikap positif) atau menolak (bersikap negatif) suatu objek sikap. Pada contoh pembeli mobil di atas, jangkarnya adalah 150 juta rupiah, sedangkan pada contoh Keluarga Berencana sikap positif terhadap keluarga kecil merupakan jangkarnya.

Selain konsep jangkar, Sherif juga mengemukakan dua konsep lain, yakni efek asimilasi (assimilation effects) dan efek kontras (contrast effects). Efek asimilasi akan terjadi manakala objek sikap yang menuntut berubahnya sikap lama individu dekat dengan jangkar. Sebaliknya, apabila perubahan sikap yang dituntut jauh dari sikap lama atau sikap yang saat ini dimiliki oleh individu, maka yang akan terjadi adalah efek kontras.

Pada kasus wabah flu-burung yang terjadi di Indonesia, sebenarnya bagi pengusaha peternakan ayam sulit menerima keharusan memusnahkan seluruh ayam mereka karena mereka akan mengalami kerugian yang sangat besar. Dengan kata lain, pada para pengusaha ayam ini, menurut Teori Keputusan Sosial dari M. Sherif, terjadi efek kontras. Sedangkan pada orangtua yang anaknya meninggal karena flu-burung, yang terjadi adalah efek asimilasi karena pemusnahan ayam merupakan gagasan yang dekat dengan jangkar orangtua. Atas dasar ini pengusaha peternakan ayam akan sulit diubah sikapnya, sedangkan sikap orangtua yang anaknya terkena penyakit flu-burung akan mudah diubah.

B. Teori Keseimbangan (Balance Theory)

Dalam menjelaskan perubahan sikap, Teori Keseimbangan mendasarkan diri pada prinsip ketaat-asasan kognitif (cognitive consistency). Seperti juga halnya Teori Keputusan Sosial, maka Teori Keseimbangan pun beranggapan bahwa setiap manusia menyadari sikapnya dan ke arah mana sikapnya itu akan berubah tatkala manusia menghadapi objek sikap. Dalam hubungan ini Teori Keseimbangan beranggapan bahwa manusia memiliki dorongan untuk senantiasa mempertahankan ketaat-asasan antara sikap dan perilakunya. Mengapa manusia memiliki dorongan untuk mempertahankan ketaat-asasan ini? Sebab, ketidaktaat-asasan antara sikap dan perilaku akan mengakibatkan dirinya dalam kondisi yang tidak nyaman atau tidak menyenangkan, dan kondisi inilah yang mendorong manusia untuk mengubah sikapnya.

Selanjutnya, menurut Teori Keseimbangan yang dasarnya konsistensi kognitif, meskipun manusia itu makhluk yang logis, namun ia tidak selalu rasional. Dalam hubungan ini Abelson dan Rusenberg (1958, dalam Deaux, Dane, dan Wrightsman, 1993) mengemukakan istilah psycho-logic yang diartikan sebagai suatu proses perubahan keyakinan semata-mata demi mempertahankan ketaat-asasan dengan mengabaikan logika formal. Contoh dalam kehidupan sehari-hari adalah individu yang mengetahui bahwa merokok itu membahayakan kesehatan atau menyebabkan kanker, tetapi ia tetap saja merokok. Bagaimana individu yang bersangkutan menyelesaikan pengalaman tidak nyaman yang disebabkan oleh ketidaktaat-asasan antara kognisinya (merokok berbahaya) dan perbuatannya (tetap merokok)? Salah satu cara yang dapat dilakukan oleh individu tadi adalah tidak mempercayai anggapan bahwa merokok itu berbahaya, sehingga beralasan baginya untuk tetap merokok. Pilihan individu untuk tetap merokok ini tidak masuk akal atau tidak rasional, tetapi ia merasa nyaman karena terjadi ketaat-asasan antara pikiran dan perbuatannya.

Salah satu tokoh Teori Keseimbangan adalah Fritz Heider yang mengembangkan teori mengenai hubungan antara dua individu dengan suatu objek sikap. Secara singkat teorinya ini digambarkan dalam Teori P O - XP = person O = other X = entity

Hubungan antara P, O, dan X ini dilihat dari sudut struktur kognitif P. Selanjutnya, dalam membahas hubungan antara P,O, dan X ini Heider mengemukakan dua konsep, yakni hubungan unit (unit relation) dan hubungan menyukai (liking relation). P, O, dan X merupakan hubungan unit manakala antara ketiganya merupakan satu kesatuan yang berhubungan satu sama lain. Misalnya, bila P membicarakan kota Bandung (X) dan O berrespons dengan mengatakan bahwa kota Bandung itu sejuk dan lalu-lintasnya macet, maka hubungan antara P, O, dan X merupakan hubungan unit. Namun, bila O memberikan respons dengan mengajukan topik mahalnya harga beras, maka topik harga beras tidak ada hubungannya dengan topik kota Bandung. Dengan demikian antara P, O, dan X tidak atau bukan merupakan hubungan unit. Selanjutnya hubungan unit P-O-X yang telah terbentuk , menurut Heider, akan diikuti oleh hubungan menyukai. Artinya, P bisa menyukai atau tidak menyukai O; demikian pula sebaliknya O bisa menyukai atau tidak menyukai P; dan P bersama O bisa menyukai atau tidak menyukai X.

Dalam kaitan hubungan P, O, dan X ini, Heider mengemukan dua kemungkinan hubungan yakni hubungan yang sifatnya seimbang (balanced) dan hubungan yang sifatnya tidak seimbang (unbalanced). Inilah sebabnya mengapa teori Konsistensi Kognitif dari Heider disebut Teori Keseimbangan (Balance Theory).

Untuk memudahkan pembaca memahami Teori Keseimbangan dari Heider, berikut diketengahkan sejumlah gambar yang mencerminkan hubungan P-O-X yang seimbang dan yang tidak seimbang.

Hubungan Seimbang

P

P

+ + - -

O +

X O +

X

P

P

- + + -

O - X O - X

Hubungan Tidak Seimbang

P P

- - + -

O -

X O +

X

P

P

+ + - +

O - X O + X

Gambar 1 Teori Keseimbangan Heider

Kondisi hubungan P-O-X berada dalam hubungan seimbang apabila ketiga hubungan P-O-X positif atau terdapat satu hubungan positif dan dua hubungan negatif. Contoh hubungan P-O-X yang ketiga-tiganya positif adalah : mahasiswa (P) menyukai dosen psikologi (O) dan baik mahasiswa maupun dosen psikologi menyukai mata kuliah psikologi (X).

Hubungan P-O-X dikatakan tidak seimbang apabila ketiga hubungan P-O-X negatif atau terdapat dua hubungan positif dan satu hubungan negatif. Contoh hubungan P-O-X yang seluruhnya negatif adalah: dua mahasiswa yang bermusuhan dan kedua-duanya tidak menyukai m.k. statistik. Dilihat dari mahasiswa A (P) yang tidak menyukai mahasiswa B (O) dan mereka tidak menyukai m.k. statisktik (X), maka hubungan P-O-X tidak seimbang. Sedangkan contoh hubungan P-O-X yang tidak seimbang dengan dua hubungan positif dan satu hubungan negatif adalah: dua mahasiswa yang berteman baik sejak lama, namun keduanya mempunyai kegemaran (hobby) yang berbeda. Dilihat dari sudut pandang mahasiswa A (P) yang menyukai mahasiswa B (O), hubungan P-O-X ini menjadi tidak seimbang karena ternyata kegemaran mahasiswa A mendaki gunung (X) tidak disukai oleh mahasiswa B yang kegemarannya membaca buku.

Apa yang akan dilakukan oleh mahasiswa A yang bersahabat baik dengan mahasiswa B pada contoh yang terakhir ? Menurut Teori Keseimbangan, kondisi ketidakseimbangan yang dialami oleh mahasiswa A akan mengakibatkan mahasiswa A berada dalam kondisi tegang (tension). Oleh karenanya mahasiswa A harus mengubah sikapnya terhadap mahasiswa B atau terhadap kegemarannya, agar terjadi hubungan yang seimbang. Misalnya, mahasiswa A meninggalkan kegemaran mendaki gunung dan menggantinya dengan kegemaran mahasiswa B, yakni membaca. Pilihan lain adalah mahasiswa A tetap menjalankan kegemarannya mendaki gunung dengan memutuskan tali persahabatan dengan mahasiswa B. Dengan demikian, menurut Teori Keseimbangan atau Teori P-O-X, perubahan sikap seseorang hanya akan terjadi apabila orang tersebut berada dalam ketidakseimbangan.

Bila kita mencoba menerapkan Teori P-O-X pada kasus wabah flu-burung dengan menempatkan pengusaha peternakan ayam sebagai P, Pemerintah yang mengharuskan pemusnahan ayam sebagai O, dan gagasan pemusnahan ayam sebagai X, maka dipandang dari sudut pengusaha ayam (P) pembahasannya adalah sebagai berikut .

Pertama, hubungan antara pengusaha ayam, pemerintah, dan pemusnahan ayam merupakan hubungan unit (unit relation) karena baik pengusaha ayam maupun pemerintah membicarakan hal yang sama, yakni pemusnahan ayam. Kedua, dilihat dari sudut hubungan menyukai (liking relation), maka dapat diasumsikan bahwa pengusaha ayam tidak akan menyukai gagasan pemusnahan ayam karena akan merugikan bisnisnya. Demikian pula pengusaha ayam akan tidak menyukai pemerintah yang akan memusnahkan ayam mereka secara massal. Sebaliknya, dari sudut pemerintah beranggapan bahwa seluruh ayam milik pengusaha itu harus dimusnahkan agar masyarakat tidak terkena flu-burung. Maka dalam hubungan antara pengusaha, pemerintah, dan pemusnahan ayam ini selain merupakan suatu hubungan unit, di dalamnya terdapat dua hubungan tidak menyukai (pengusaha tidak menyukai pemerintah dan pemusnahan ayam) dan satu hubungan menyukai (pemerintah pro pada pemusnahan ayam). Ini berarti hubungan antara ketiganya merupakan hubungan yang seimbang. Dilihat dari sudut pengusaha, menurut Teori Keseimbangan Sosial, kondisi seimbang tidak akan mengubah sikap pengusaha.Maka sang pengusaha ini akan tetap tidak menyukai baik pemerintah maupun gagasan pemusnahan ternak ayam secara massal. Dengan kata lain, pengusaha ini akan sulit berubah sikapnya. C. Teori Disonansi Kognitif (Cognitive Dissonance Theory)

Teori Disonansi Kognitif dicetuskan oleh Leon Festinger (1957) dan merupakan salah satu teori yang tergolong dalam Teori Konsistensi Kognitif. Seperti juga halnya Teori Keseimbangan dari Heider yang mengemukakan bahwa kondisi hubungan yang tidak seimbang akan mendorong individu untuk kembali pada keadaan seimbang, maka menurut Teori Disonansi Kognitif, keadaan disonan yang dialami oleh individulah yang akan mendorong individu untuk kembali pada keadaan konsonan.

Apa yang dimaksud dengan kondisi disonan secara kognitif menurut Festinger ?

Untuk menjawab pertanyaan ini, Festinger mengemukakan tiga bentuk hubungan berkenaan dengan dua gagasan, pikiran atau keyakinan individu, yakni hubungan tidak relevan (irrelevance), konsonan (consonance), dan disonan (dissonance). Hubungan yang tidak relevan, misalnya, Saya mahasiswa dan Saya suka merokok. Kemahasiswaan saya tidak ada kaitannya dengan merokok. Tetapi dua pernyataan berikut ini : Saya mahasiswa dan Merokok meningkatkan semangat belajar saya merupakan hubungan yang konsonan. Sebab, belajar yang merupakan salah satu kewajiban mahasiswa erat hubungannya dengan merokok yang mengakibatkan semangat belajar meningkat. Akhirnya contoh dari keadaan disonan secara kognitif adalah Merokok itu meningkatkan semangat belajar saya, tetapi di lain pihak Merokok menyebabkan kanker.

Selanjutnya, menurut Festinger baik hubungan yang sifatnya tidak relevan maupun yang konsonan tidak mengakibatkan individu melakukan suatu tindakan dalam arti mendorong terjadinya perubahan sikap individu. Sebab, pada hubungan yang tidak relevan jelas antara dua pernyataan tidak ada kaitannya satu sama lain. Sedangkan pada hubungan yang konsonan jelas bahwa merokok justru mendukung semangat belajar saya sebagai mahasiswa. Maka saya merasa nyaman karena gagasan atau isi pikiran saya yang menyatakan bahwa merokok meningkatkan semangat belajar taat-asas (consistence) dengan perbuatan saya, yakni merokok.

Bagaimana dengan contoh yang terakhir : merokok meningkatkan semangat belajar dan merokok menyebabkan kanker? Festinger beranggapan bahwa dua isi pikiran yang bertentangan pada individu akan menimbulkan perasaan tidak nyaman atau disonan dan oleh karenanya harus diselesaikan, agar individu yang bersangkutan berada dalam kondisi konsonan. Dengan kata lain, pada diri individu tidak terdapat dua isi pikiran yang saling bertentangan.

Dalam kehidupan nyata sehari-hari, selain contoh merokok, terdapat banyak contoh lain yang menyebabkan kita secara kognitif mengalami disonansi. Misalnya, pada peristiwa gempa bumi yang hebat, seorang bayi bisa bertahan hidup selama tiga hari di bawah reruntuhan puing suatu apartemen; seorang guru baca Al-Quran atau guru ngaji mencabuli murid perempuan; seorang calon gurubesar melakukan plagiat; orangtua berusia lanjut atau 80 tahun membaca tanpa menggunakan kacamata, dan lain-lain. Pada contoh nenek yang membaca tanpa kacamata dan bayi yang bertahan hidup di bawah reruntuhan apartemen, barangkali tingkat disonansi kita tidak tinggi dan cepat dapat diselesaikan, misalnya, mereka - nenek dan bayi tadi disayang Tuhan. Contoh lain yang menunjukkan kondisi disonan yang rendah sehingga tidak berakibat pada terjadinya perubahan sikap adalah pada saat kita menyaksikan pertunjukan sulap, kuda-lumping, debus dari Banten, tari kecak dari Bali. Meskipun para pemain dari berbagai atraksi ini menginjak bara api, dadanya ditusuk keris berkali-kali, dan memasak telur sampai matang di atas kepala, namun kita tidak mengalami disonan karena, konflik dua gagasan yang bertentangan dalam pikiran kita dapat segera kita akhiri : ya namanya juga sulap dan sihir, selain kita juga tidak mempunyai kepentingan pribadi di dalamnya. Lain halnya dengan seorang perokok berat yang sudah sejak lama menikmati rokok, tetapi mendadak memperoleh informasi bahwa merokok menyebabkan kanker. Dalam keadaan ini perokok tadi merasa tidak nyaman dan harus memilih antara tetap merokok atau berhenti merokok.

Secara lebih khusus Festinger mengemukakan tiga respons dari individu yang mengalami disonan, agar ia dalam keadaan konsonan. Pertama, apabila perokok berat tadi mempercayai atau menyakini bahwa merokok menyebabkan kanker, maka ia akan berhenti merokok. Sebaliknya, bila dirinya tidak mempercayai bahwa merokok menyebabkan kanker, atau tidak ada pengaruh merokok terhadap kanker, maka ia akan tetap merokok. Dengan demikian, perilaku merokok individu tersebut sesuai dengan isi pikirannya, yakni merokok tidak mengakibatkan kanker, dan sebaliknya perilaku tidak merokok juga sesuai dengan anggapannya, yakni merokok menyebabkan kanker. Respons ketiga yang mungkin ditampilkan oleh individu yang berada dalam keadaan disonan adalah menambah elemen baru, misalnya, mencari informasi ke dokter spesialis paru atau membaca hasil penelitian mutakhir untuk menguji kebenaran akibat merokok terhadap kanker paru-paru.

Dari uraian ini semua dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni: (1) pikiran, gagasan, keyakinan atau kognisi mengendalikan perilaku, (2) kondisi yang tidak relevan dan konsonan secara kognitif tidak akan mendorong terjadinya perubahan sikap, dan (3) kondisi disonan secara kognitif mendorong kemungkinan terjadinya perubahan sikap.

Dikaitkan dengan contoh pengusaha peternakan ayam yang tidak dapat menyetujui gagasan pemerintah memusnakan seluruh ternak ayam miliknya, maka persoalannya dapat dirumuskan : Bagaimana membuat pengusaha ayam agar ia secara kognitif mengalami disonan ? Menurut Teori Disonansi Kognitif, pengusaha ayam akan mengubah sikapnya dari anti ke pro pemusnahan ayam apabila kita bisa menimbulkan dua anggapan yang bertentangan satu sama lain pada isi pikirannya. Misalnya, memusnakan ayam itu sangat merugikan karena seluruh modalnya habis dalam waktu seketika, namun memusnahkan ayam juga menguntungkan karena selain ia tidak dimusuhi oleh masyarakat yang tinggal disekitar peternakan ayamnya, ia juga akan mendapatkan kemudahan pinjaman modal dari pemerintah dengan bunga yang rendah. Demikianlah gagasan memusnahkan ayam di satu pihak menyakitkan namun bersamaan dengan itu memusnahkan ayam merupakan hal yang menyenangkan. Dengan disandingkannya gagasan menyakitkan dan menyenangkan sekaligus berarti peternak ayam akan mengalami keadaan disonan. Selanjutnya, apakah peternak ayam tersebut akan berubah sikapnya (pro pemusnahan ayam), atau mencari informasi baru (menambah elemen pengetahuan) tidak dapat dipastikan arahnya. Inilah kritik yang dilontarkan terhadap Teori Disonansi Kognitif. Dengan kata lain, Teori Disonansi Kognitif tidak dapat memprediksi pilihan mana yang akan diambil oleh individu yang mengalami disonansi kognitif.

D. Teori Fungsional (Functional Theory)

Menurut Teori Fungsional, sikap yang dimiliki oleh individu berfungsi untuk memenuhi kebutuhan individu yang bersangkutan (Katz, 1960). Demikian pula halnya dengan perubahan sikap. Terjadinya perubahan sikap karena kebutuhan individu juga berubah. Oleh karenanya upaya untuk melakukan perubahan sikap harus diawali oleh pengetahuan mengenai fungsi sikap bagi individu yang bersangkutan. Maka tehnik mengubah sikap yang efektif untuk individu A, belum tentu sesuai atau efektif apabila diterapkan pada individu B, individu C, atau individu D.

Apa fungsi sikap bagi individu ? Tesser dan Shaffer (1990, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) mengemukakan lima fungsi sikap yang dapat dilihat pada tabel 1 (terjemahan bebas).

Tabel 1 : Fungsi sikap

Jenis sikap

Fungsi sikap

PengetahuanMenilai objek sikap dan mengorganisasikan informasi.

InstrumentalMemaksimalkan imbalan dan meminimalkan hukuman.

Pertahanan egoMengatasi konflik yang berkenaan dengan konsep diri, dan mendorong munculnya harga diri.

Penyesuaian sosialMenetapkan atau mendorong terjadinya hubungan antar pribadi.

Ekspresi nilaiMengekspresikan berbagai aspek konsep diri.

Sebagai ilustrasi dari fungsi sikap dalam kehidupan nyata sehari-hari dapat dikemukakan, seseorang yang berpindah pekerjaan karena pekerjaan barunya jauh lebih menjamin imbalan dan fasilitas dibandingkan dengan kondisi pekerjaan lamanya, maka fungsi sikap positif terhadap pekerjaan barunya adalah instrumental. Artinya, ia lebih tertarik pada pekerjaan baru karena memaksimalkan imbalan. Menurut Herek (1986, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) fungsi sikap pada seseorang bisa tumpang-tindih (overlap) antara satu fungsi dengan fungsi lainnya. Seorang yang bersikap positif terhadap mobil mewah dan kemudian ia membelinya, boleh jadi merupakan gabungan dari fungsi meningkatkan harga diri (pertahanan ego) dan sekaligus mengekspresikan konsep dirinya (ekspresi nilai).

Atas dasar fungsi sikap yang berbeda-beda pada setiap individu, maka sebelum menetapkan cara mengubah sikap seseorang, terlebih dahulu kita harus mengetahui apa fungsi sikap bagi individu tersebut. Bila kita kembali pada contoh pengusaha ayam yang ingin kita ubah sikapnya agar setuju dengan pemusnahan ayam, barangkali kemungkinan persetujuannya akan pemusnahan ayam akan jauh lebih besar, apabila kita mengetahui fungsi sikapnya, misalnya, memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (fungsi instrumental). Contoh lain adalah apabila kita mengiklankan atau mempromosikan suatu produk, maka kita terlebih dahulu harus memahami apakah ketertarikan masyarakat akan produk tersebut karena harganya yang murah (fungsi instrumental) atau karena meningkatkan status/gengsi (fungsi ekspresi nilai) atau mungkin gabungan keduanya. Atas dasar pengetahuan fungsi sikap ini, maka disusunlah strategi promosi yang sesuai dengan fungsi sikap tersebut.

PROSES PERUBAHAN SIKAP

Perubahan sikap tidak berlangsung secara mendadak, tetapi merupakan suatu proses. Dalam hubungan ini terdapat dua model yang menjelaskan proses perubahan sikap.

A. Model Tahapan (Sequence Model)

Model proses perubahan sikap ini disebut Model Tahapan karena untuk terjadinya perubahan sikap diperlukan tahapan atau serangkaian urutan yang masing-masing urutan tersebut tidak berdiri sendiri. Tahapan pertama menentukan tahapan kedua, dan tahapan kedua menentukan tahapan ketiga. Model Tahapan yang dipelopori oleh Hovland, Janis, dan Kelley (1953, berasal dari Yale University) membagi Model Tahapan menjadi tiga bagian :

Tahap pertama, perhatian (attention). Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak memberikan perhatian pada semua rangsang yang ada di sekeliling kita, melainkan hanya rangsang tertentu yang menjadi perhatian. Mengajak orang atau masyarakat untuk ikut program keluarga berencana tidak mungkin bisa terwujud, kalau tidak diawali oleh upaya membangkitkan perhatian masyarakat terhadap program keluarga berencana. Atau mungkin daya tarik program keluarga berencana yang lebih rendah dibandingkan dengan program penyuluhan pertanian.

Tahap kedua, pemahaman (comprehension). Setelah individu mempunyai perhatian terhadap objek sikap (keluarga berencana), tahap proses perubahan sikap selanjutnya adalah pemahaman individu mengenai keluarga berencana. Penjelasan mengenai keluarga berencana yang sangat majemuk dipandang dari individu yang menjadi sasaran perubahan, sehingga sulit dipahami atau dicerna oleh individu yang menjadi sasaran perubahan akan menyebabkan sulitnya individu sasaran perubahan menerima atau bersikap positif terhadap program keluarga berencana.

Tahap ketiga, penerimaan (acceptance). Bila individu sasaran perubahan telah mempunyai perhatian dan pengertian mengenai keluarga berencana, maka ia harus memutuskan apakah ia akan mengikuti program keluarga berencana atau tidak. Bila keputusannya adalah setuju atau bersedia mengikuti program keluarga berencana berarti terdapat perubahan sikap dari individu yang merupakan sasaran perubahan. Untuk membantu pemahaman pembaca mengenai Model Tahapan di atas, berikut dikemukakan Gambar 2.

ya

tidak ya

tidak

ya tidak t

ya Gambar 2: Model Tahapan dari proses perubahan sikap

B. Model Paralel (Parallel Model)

Tidak seperti halnya Model Tahapan yang beranggapan bahwa perubahan sikap merupakan suatu proses yang berlangsung secara bertahap, Model Paralel mengemukakan pemrosesan perifer (peripheral processing) dan pemrosesan sentral (central processing). Pemrosesan suatu informasi yang langkahnya lebih pendek dan tidak mendalam merupakan pemrosesan informasi yang sifatnya perifer. Misalnya, kita mengikuti nasihat dokter (berolahraga, tidak mengkonsumsi makanan yang mengandung lemak, banyak minum air mineral, dan lain-lain) tanpa melakukan analisis lebih lanjut karena yang memberikan nasehat adalah seorang dokter yang terkenal. Demikian pula kita akan mengikuti saran dari montir mobil, akuntan, pialang, atau arsitek tanpa mengkaji saran mereka karena mereka kita anggap pakar yang handal di bidangnya masing-masing. Dari beberapa contoh ini tampak bahwa pemrosesan perifer yang sifatnya jalan pintas (heuristics) ternyata mampu mengubah sikap individu dengan catatan perubahan sikap tersebut bersifat sementara atau tidak permanen.

Kontras dengan pemrosesan perifer adalah pemrosesan sentral yang dalam proses perubahan sikap. Di sini baik langkah maupun pengolahan rangsang jauh lebih mendalam, melibatkan motivasi dan kemampuan individu untuk memproses rangsang yang diterimanya. Dalam kenyataan sering kedua pemrosesan perifer dan sentral dilakukan secara bersamaan oleh individu. Itulah sebabnya mengapa model proses perubahan sikap ini disebut Model Paralel.

Untuk membantu memahami Model Paralel berikut dikemukakan Gambar 3 yang menunjukkan pemrosesan perifer dan sentral, dengan mengambil contoh sikap terhadap keluarga berencana.

ya ya

ya tidak tidak

tidak ya

tidak

ya

Gambar 3 : Model kebolehjadian elaborasiSumber : Petty dan Cacioppo, 1986 (dalam Deaux, Dane, &

Wrightsman, 1993).

Pada kegiatan belajar 1, Anda telah berlatih menentukan sikap atas suatu kondisi tertentu. Dalam latihan kegiatan belajar 2 ini, jelaskan bagaimana proses terbentuknya sikap Anda tersebut. Apakah dalam perjalanannya sikap tersebut berubah? Jika ya, jelaskan pula proses perubahannya.

Anda boleh mengerjakannya bersama dengan teman-teman dalam kelompok belajar, tetapi saya lebih menyarankan untuk Anda kerjakan sendiri karena setiap orang pasti memiliki sikap-sikap tersendiri atas suatu kondisi yang sama, dan biasanya lebih cenderung bersifat pribadi.

Petunjuk Jawaban Latihan

Ada beberapa sumber pembentukan sikap. Pastikan bahwa sikap Anda tersebut terbentuk karena satu atau lebih sumber pembentuk sikap. Perubahan sikap juga ada berbagai model yang dapat digunakan untuk menjelaskannya. Pilih salah satu saja yang menurut Anda paling sesuai dengan sikap yang sudah Anda tetapkan pada latihan kegiatan belajar 1.

Sikap tidak muncul begitu saja, tetapi merupakan hasil dari suatu proses belajar. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap antara lain: pengalaman langsung, pengaruh orangtua atau lingkungan terdekat, kelompok teman sebaya, media massa, dan status atau kedudukan. Sebagai suatu hasil proses belajar, sikap dapat diubah. Ada beberapa teori perubahan sikap, antara lain: teori keputusan sosial, teori keseimbangan, teori disonansi kognitif, dan teori fungsional. Perubahan sikap sendiri, sama seperti pembentukannya, tidak terjadi secara tiba-tiba atau mendadak melainkan melalui suatu proses. Proses perubahan sikap memiliki model-model tertentu, antara lain model tahapan dan model paralel.

1. Semenjak harga BBM naik, banyak karyawan yang memilih berangkat ke kantor menggunakan kereta api, sementara mobil atau motornya dititipkan di stasiun kereta api karena lebih cepat dan lebih murah. Pilihan sikap ini terbentuk karena alasan:

A. pengaruh teman-teman sekantor

B. media massa C. pengalaman langsungD. pengalaman tidak langsung

2. Saat ini makin banyak pimpinan daerah yang tidak membela kepentingan rakyat karena hanya mementingkan diri sendiri atau kelompoknya. Beberapa diantaranya bahkan terbukti korupsi. Akibatnya, muncul kecenderungan menurunnya tingkat partisipasi masyarakat dalam pemilihan langsung kepala daerah (pilkada). Sikap sebagian anggota masarakat itu terbentuk karena pengaruh:

A. orang-orang di lingkungan kerja

B. media massa

C. kejadian mendadak

D. pengalaman langsung 3. Sikap sesungguhnya berfungsi untuk memenuhi kebutuhan individu. Pendapat ini dikemukakan oleh teori:

A. keputusan sosial

B. keseimbangan

C. disonansi kognitif

D. fungsional

4. Menurut model tahapan, pertamakali yang akan muncul untuk terjadinya perubahan sikap adalah:

A. comprehensionB. attention

C. prevention

D. comprehensive

5. Konsep jangkar (anchor) dikemukakan oleh:A. Muzafer Sharif

B. Wrightman

C. Rusenberg

D. DeauxCocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 2 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 2.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan Kegiatan Belajar 3. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 2, terutama bagian yang belum dikuasai.

SIKAP DAN PERILAKUKegiatan Belajar 3

Menjelang pemilihan umum (Pemilu) kita bisa menyaksikan berbagai kegiatan partai politik (Parpol), seperti kampanye terbuka, temu kader, membagikan sembako, dan lain-lain. Semua upaya itu tentu saja dilakukan oleh Parpol agar pada saat perhitungan suara akan diperoleh jumlah suara yang sebanyak-banyaknya.

Salah satu upaya lain yang mungkin tidak dikerjakan oleh semua parpol adalah melakukan jajak pendapat (public polling) yang bertujuan untuk mengetahui sejauhmana dukungan masyarakat terhadap Parpol yang bersangkutan. Secara lebih khusus ingin diketahui berapa jumlah suara yang diperkirakan akan diraih oleh Parpol tersebut. Atas dasar peramalan raihan jumlah suara ini, selanjutnya Parpol yang bersangkutan akan menyusun strategi sebagai upaya meraih jumlah suara sesuai dengan yang direncanakan, bahkan melebihi sasaran raihan suara yang ditetapkan.

Masalahnya adalah sejauhmana hasil jajak pendapat ini sahih dan dapat dipercaya ? Apakah hasil jajak pendapat ini dapat dijadikan prediktor yang dapat diandalkan ? Artinya, positif atau negatif hasil jajak pendapat berkorelasi dengan tinggi atau rendahnya jumlah suara pemilih yang diraih oleh Parpol.Persoalan yang dikemukakan dalam ilustrasi Pemilu di atas berkenaan dengan masalah hubungan antara sikap dan perilaku. Secara lebih rinci masalah sikap dan perilaku ini adalah (a) apakah sikap dapat meramalkan perilaku? dan (b) sejauhmana ketaat-asasan (consistency) hubungan antara sikap dan perilaku?. Untuk menjawab pertanyaan ini baiklah kita teliti sejarah perkembangan konsep sikap berikut ini.

Sebelum hasil studi LaPiere pada tahun 1934, hubungan antara sikap dan perilaku dianggap merupakan hubungan langsung. Seseorang yang bersikap positif terhadap lingkungan hidup, dapat dipastikan ia akan aktif dalam program menanam sejuta pohon, gerakan kali bersih, membersihkan saluran air di sekitar rumahnya, membuang sampah pada tempatnya, dan lain-lain. Demikian pula individu yang anti rokok, pro program keluarga berencana, atau setuju pemberantasan korupsi dapat dipastikan perilaku mereka akan sesuai dengan sikapnya. Maka dengan mudah diramalkan perilaku apa yang akan ditampilkan oleh individu manakala kita mengetahui sikapnya. Dengan kata lain, terdapat hubungan yang taat-asas atau konsisten antara sikap dan perilaku.

Anggapan konsistensi sikap-perilaku menjadi goyah, setelah LaPiere pada tahun 1934 melakukan studi yang bertujuan untuk membuktikan konsistensi sikap-perilaku tersebut. Dalam studinya, LaPiere mengajak pasangan suami-istri ras Cina melakukan perjalanan selama tiga bulan di Pantai Barat Amerika Serikat.

Dilibatkannya sepasang suami-istri ras Cina dalam studi ini karena pada tahun 1930-an masyarakat Amerika berprasangka buruk terhadap orang Asia. Dalam perjalanan di Pantai Barat Amerika Serikat itu mereka bertiga mengunjungi sekitar 250 hotel dan restoran, dan ternyata LaPiere mencatat hanya satu kali mereka tidak dilayani atau ditolak. Setelah kembali dari perjalanannya ini, selanjutnya LaPiere mengirimkan surat ke seluruh hotel dan restoran yang mereka kunjungi. Isi surat tersebut : Bersediakah Anda menerima tamu ras Cina ke hotel/restoran Anda ? Dari seluruh surat yang dikirimkan ternyata hanya 128 surat jawaban yang diterima kembali oleh LaPiere, dan hampir seluruhnya menjawab tidak bersedia (92%). Atas dasar ini LaPiere menarik kesimpulan bahwa antara sikap dan perilaku ternyata tidak konsisten.

Hasil studi LaPiere ini banyak menuai kritik, seperti (a) ketidakjelasan mengenai siapa yang menjawab surat tersebut, apakah petugas hotel/restoran yang dulu menerima La Piere bertiga atau pihak manajemen, (b) pasangan suami-istri ras Cina singgah di hotel dan restoran bersama dengan LaPiere, sehingga kemungkinan mereka dilayani atau diterima seperti halnya tamu lain disebabkan oleh faktor LaPiere yang berkulit putih, (c) pelayanan kepada tamu ras Cina tetap diberikan karena para pelayan hotel/restoran tidak mau bertindak diskriminatif dan mempermalukan tamu di muka umum, dan (d) ada diskrepansi antara memberikan pelayanan langsung terhadap tamu dengan menulis surat jawaban tidak bersedia yang konsekuensinya tidak dirasakan langsung.

Terlepas dari kritik yang dilontarkan terhadap hasil studi LaPiere ini, ternyata selanjutnya bermunculan berbagai studi untuk membuktikan konsistensi sikap dan perilaku.

Kutner, Wilkins, dan Yarrow (1952, dalam Deaux, Dane & Wrightsman, 1993) melakukan studi yang kurang lebih sama dengan studi yang dilakukan oleh LaPiere. Namun, kali ini melibatkan seorang wanita kulit hitam dan dua orang wanita kulit putih yang diatur atau dirancang makan bersama pada satu meja di suatu restoran. Prosedur makan bersama antar-ras ini dilakukan di 11 restoran, dan ternyata tidak ada penolakan terhadap ketiga tamu wanita yang berlainan ras tersebut. Namun, tatkala peneliti memesan tempat untuk acara pesta antar ras melalui telpon, ternyata enam restoran secara tegas menolak dan lima restoran lainnya menunjukkan keengganannya. Seperti halnya penelitian yang dilakukan oleh LaPiere, penelitian ini pun tidak lepas dari kritik. Penelitian ini tidak dapat dianggap sebagai penelitian kesesuaian atau konsistensi antara sikap dan perilaku karena tidak diketahui siapa dari pihak restoran yang menerima telpon pemesanan pesta antar-ras tersebut, apakah petugas restoran yang berbeda atau sama dengan petugas yang melayani ketiga wanita yang makan bersama di restoran mereka beberapa waktu yang lalu.

Demikianlah karena terdapat banyak penelitian yang tidak berhasil membuktikan konsistensi sikap dan perilaku, banyak ahli psikologi sosial, antara lain, Wicker (1969) yang beranggapan bahwa konsep sikap tidak perlu dibicarakan dalam psikologi sosial. Sebab, sikap tidak dapat digunakan untuk meramalkan atau memprediksi perilaku. Anggapan ini diperkuat oleh para penganut aliran Behaviorisme yang pada hakikatnya tidak mengakui keberadaan predisposisi perilaku atau perilaku yang tidak bisa diamati secara nyata (sikap, sifat, temperamen, dan lain-lain) dalam psikologi. Apakah benar anggapan bahwa sikap tidak dapat meramalkan perilaku ?

Untuk menjawab pertanyaan ini marilah kita lihat berbagai alasan yang menyebabkan terjadinya ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku.

Pertama, berkenaan dengan tingkat spesifikasi sikap dan perilaku. Berbagai penelitian mengenai sikap sering mengukur sikap yang sangat umum untuk meramalkan perilaku yang spesifik. Misalnya, sikap positif atau negatif terhadap Parpol X digunakan untuk memprediksi dicoblos atau tidaknya tanda gambar Parpol X oleh para pemilih pada hari pelaksanaan Pemilu. Peramalan perilaku yang spesifik berdasarkan pola sikap umum seperti ini jelas tidak bisa diandalkan hasilnya. Sebaliknya, pengukuran sikap secara spesifik ternyata berkorelasi tinggi dengan perilaku nyata atau spesifik. Hasil penelitian Wilson, Kraft, dan Dann (1989) menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tinggi antara pengenalan mendalam kader Parpol mengenai calon Parpol (sikap positif) dengan frekuensi kader Parpol tersebut menyebarluaskan poster kampanye Parpol (perilaku nyata). Dengan demikian, peramalan mengenai perilaku khusus dimungkin apabila sikap yang diukur juga spesifik.

Kedua, masalah lain dari lemahnya daya ramal sikap terhadap perilaku adalah berkenaan dengan perilaku tunggal atau perilaku jamak yang akan diukur atau dijadikan indikator. Sikap positif terhadap Parpol X kemungkinan besar tidak tepat dijadikan peramalan menyoblos atau tidaknya (perilaku tunggal) para pemilih pada hari pelaksanaan Pemilu. Namun, bila selain menyoblos digunakan serangkaian perilaku lain yang erat kaitannya dengan Pemilu (perilaku jamak), seperti menghadiri temu kader, menempel tanda gambar Parpol X, mempengaruhi teman sekantor untuk memilih Parpol X, mengikuti arak-arakan Parpol X, dan lain-lain, maka ketepatan peramalan sikap umum mengenai perilaku spesifik dapat lebih diandalkan.

Ketiga, faktor penentu atau determinan perilaku manusia ternyata tidaklah tunggal, melainkan jamak dan majemuk. Oleh karenanya meskipun seorang individu bersikap positif terhadap Parpol X namun tidak dapat dikatakan sikapnya itu tidak sesuai dengan perilakunya, semata-mata karena individu tersebut tidak hadir pada acara temu kader Parpol X. Sebab, terdapat berbagai kemungkinan mengapa ia tidak hadir pada acara tersebut, seperti ia sudah sering mengikuti acara temu kader, sakit flu berat, pemogokan supir angkot, tetangga meninggal dunia, dan lain-lain. Dengan kata lain, hanya satu kali mengukur perilaku dan kemudian menghubungkannya dengan sikap tidaklah memadai untuk melihat kesesuaian sikap dengan perilaku.

Keempat, dalam keadaan darurat atau menekan maka sejumlah orang yang sikapnya berbeda, dapat bersikap sama terhadap suatu hal. Misalnya, penduduk suatu wilayah yang etnisnya beragam tidak menyukai etnis tertentu atau etnis X. Namun, pada saat terjadi gempa bumi, penduduk yang beragam etnisnya tersebut akan memberikan pertolongan kepada etnis X yang dalam sehari-hari tidak disukainya itu.

Kelima, masalah lain yang menyebabkan hubungan sikap dan perilaku itu lemah atau tidak konsisten adalah karena perilaku dapat berkaitan dengan lebih dari satu sikap. Kader Parpol X yang tidak hadir pada acara temu kader (perilaku nyata), selain ia tetap bersikap positif terhadap Parpol X, ia juga bersikap positif terhadap kesehatannya (pada saat itu ia flu berat) atau bila alasan ketidakhadirannya karena tetangga meninggal dunia, mungkin ia juga bersikap positif terhadap tetangga yang dikenalnya sejak lama. Maka hubungan sikap tertentu dengan perilaku tertentu menjadi kurang kuat disebabkan oleh pengaruh dari sikap lain.

Setelah mengetengahkan berbagai faktor yang menyebabkan lemahnya daya ramal sikap terhadap perilaku, kita sekarang kembali pada pertanyaan Apakah benar sikap tidak dapat meramal perilaku ?. Jawabannya adalah sikap dapat menjadi prediktor perilaku, apabila:

a) Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku dapat disingkirkan atau diperthitungkan dalam upaya memprediksi perilaku yang ditampilkan oleh individu. Sebagai contoh, kader Parpol X dapat diramalkan akan menyoblos tanda gambar Parpol X pada pelaksanaan Pemilu, apabila kader tersebut tidak sakit, tidak ada tetangga dekat atau keluarga yang terkena musibah, tidak terjadi bencana alam, dan bahkan pada saat menjelang pencoblosan tanda gambar Parpol, tidak terjadi serangan subuh atau serangan fajar (upaya mempengaruhi calon pemilih yang dilakukan oleh Parpol tertentu dengan cara memberikan sejumlah uang pada saat subuh atau menjelang fajar).

b) Sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku seorang tokoh yang menjadi idolanya, misalnya, individu yang bersikap positif terhadap sesepuh Parpol X yang kharismatik hampir dapat dipastikan ia akan menyoblos tanda gambar Parpol X, dibandingkan dengan bila ia bersikap positif terhadap Parpolnya. Hal ini disebabkan calon pemilih tersebut lebih mengenal dan patuh kepada tokoh idolanya dari pada Parpolnya. Contoh nyata di Indonesia adalah kepatuhan anggota NU terhadap Gus Dur.c) Penentuan atau pemilihan sikap tertentu dilakukan secara sadar. Dalam kehidupan sehari-hari banyak perilaku kita yang ditampilkan secara otomatis semata-mata tanpa didasari oleh sikap tertentu. Kita mengucapkan selamat pagi tatkala bertemu orang di kantor, atau mengucapkan Alhamdulillah sehat tatkala ada yang menyapa Apa kabar, atau kalau datang ke Jakarta, mampir ke rumah saya, dan lain-lain. Perilaku adaptif yang bersifat otomatis ini merupakan tuntutan atau kebiasaan dalam hidup bermasyarakat yang belum tentu sesuai dengan kenyataan kondisi kita yang sebenarnya. Namun, di samping ini terdapat perilaku yang sangat dekat atau sesuai dengan sikap kita karena sikap tertentu itu kita pilih dengan kesadaran penuh dan pertimbangan yang matang. Seseorang yang menjadi anggota Parpol X karena ia berkeyakinan bahwa Parpol X menjunjung tinggi dan mempraktikkan nilai kejujuran, maka perilaku orang tersebut akan mudah diramalkan karena perilakunya akan konsisten dengan sikapnya terhadap Parpol X.

Dari uraian sejauh ini, sebenarnya kita sudah bisa menjawab pertanyaan pada awal naskah ini : Sejauhmana hasil jajak-pendapat Parpol dapat diandalkan dalam arti mampu meramalkan banyaknya jumlah calon pemilih yang menyoblos Parpol yang bersangkutan pada hari pelaksanaan Pemilu?. Secara garis besar Parpol yang melakukan jajak-pendapat bisa kecewa apabila jajak-pendapat mengukur sikap umum untuk memprediksi jumlah calon pemilih yang menyoblos tanda gambar Parpol dimaksud. Sebaliknya, Parpol akan merasa lebih lega bila jajak-pendapat mengukur sikap khusus atau spesifik untuk meramalkan perilaku spesifik, yakni menyoblos tanda gambar Parpol dimaksud. Selain ini Parpol bisa lebih lega bila berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku menyoblos para pemilih diperhitungkan secara cermat oleh lembaga jajak pendapat yang ditugasi melakukan jajak-pendapat oleh Parpol yang bersangkutan.

1. Teori Planned BehaviorDari uraian mengenai hubungan sikap dan perilaku tampak bahwa isu pokoknya adalah sejauhmana sikap dapat meramalkan perilaku secara tepat. Dalam hubungan ini kita melihat bahwa terdapat dua kubu pendapat: sikap ternyata tidak dapat meramalkan perilaku karena berbagai hasil penelitian menunjukkan hubungan antara sikap dan perilaku tidak konsisten. Di pihak lain ada anggapan bahwa sikap dapat dijadikan dasar untuk meramalkan perilaku, namun dengan syarat tertentu, antara lain, sikap yang merupakan prediktor perilaku harus bersifat spesifik agar dapat dengan tepat meramalkan perilaku yang juga spesifik.

Teori Planned Behavior yang merupakan perluasan dari teori sebelumnya, yakni Teori Reasoned Action dan dikembangkan oleh Izik Ajzen dan Martin Fishbein (Fishbein & Ajzen, 1975; Ajzen & Fishbein, 1980) melontarkan kritik tentang pengukuran sikap yang dianggap oleh mereka tidak akurat dalam meramalkan perilaku.

Setidaknya terdapat tiga perbedaan pokok antara Teori Planned Behavior dengan teori sikap sebelumnya berkenaan dengan isu sikap sebagai prediktor perilaku. Teori Planned Behavior beranggapan bahwa :a) Sikap hanya salah satu faktor prediktor perilaku, tidak ada hubungan langsung antara sikap dan perilaku.

b) Yang diukur bukan objek sikap seperti yang selama ini dilakukan (Parpol X), melainkan perilaku nyata (menghadiri temu kader).

c) Yang diukur dari perilaku adalah niat (intention) untuk berperilaku karena untuk meramalkan perilaku nyata dengan akurat terdapat berbagai faktor yang perlu dipertimbangkan yang sulit diduga, baik yang bersifat internal (motivasi rendah) maupun eksternal (pemogokan, bencana alam).

Untuk memudahkan pemahaman mengenai Teori Planned Behavior, berikut dikemukakan Gambar 4 beserta penjelasannya.

Gambar 4 : Teori Planned Behavior

Menurut Teori Planned Behavior perilaku yang akan diramalkan (nyoblos tanda gambar) ditentukan oleh tiga faktor: sikap, norma subjektif, dan kendali perilaku yang dipersepsikan. Oleh karenanya, apabila ketiga faktor tersebut masing-masing berdiri sendiri, maka kemampuan untuk memprediksi perilaku sangat lemah. Dengan kata lain, keberhasilan memprediksi suatu perilaku akan lebih besar, apabila ketiga faktor tersebut berfungsi bersama-sama dan tidak berdiri sendiri-sendiri.

Dari Gambar Teori Planned Behavior di atas juga tampak bahwa yang diukur bukanlah perilaku yang hendak diprediksikan, melainkan niatnya (intention). Sebab, menurut Ijzen dan Fishbein kemungkinan melesetnya peramalan perilaku akan sangat besar karena selain banyak faktor yang menentukan perilaku, juga berbagai faktor itu sulit dikendalikan. Oleh karenanya yang jauh lebih menjamin prediksi kita adalah niat suatu perilaku. Dengan kata lain, niat merupakan faktor yang mendahului (antecedent) suatu perilaku.

Selanjutnya, sikap terhadap perilaku ditentukan oleh dua faktor, yakni keyakinan tentang konsekuensi perilaku dan penilaian tentang konsekuensi perilaku. Kedua faktor penentu sikap ini berfungsi secara berbeda pada setiap individu. Sebagai contoh dua orang kader Parpol X bisa saja meyakini bahwa bila mereka menyoblos tanda gambar Parpol X, maka konsekuensinya Parpol X akan meraih suara terbanyak. Namun, evaluasi mereka mengenai meraih suara terbanyak ini bisa berbeda; kader A sangat yakin sedangkan kader B tidak begitu yakin sehingga sikap mereka juga akan berbeda.

Norma subjektif sebagai prediktor perilaku kedua pada Teori Planned Behavior ditentukan oleh keyakinan individu mengenai apa yang dikehendaki oleh orang lain (tokoh panutannya) dari dirinya (sebagai kader Parpol X seharusnya menyoblos tanda gambar Parpol X). Selain ini motivasi untuk mengikuti atau patuh pada kehendak tokoh panutan juga berperan dalam menentukan norma subjektif kader A dan kader B. Sangat boleh jadi mereka berdua meyakini bahwa ketua Parpol X yang merupakan tokoh panutan mereka menghendaki atau mendukung mereka apabila mereka menyoblos tanda gambar Parpol X. Namun kader A jauh lebih patuh terhadap ketua Parpol X dibandingkan dengan kepatuhan kader B. Dengan demikian, dapat difahami apabila komitmen kader A untuk menyoblos tanda gambar Parpol X jauh lebih kuat daripada komitmen kader B.

Kendali perilaku yang dipersepsikan dalam Teori Planned Behavior diartikan sebagai persepsi individu mengenai kemampuan dirinya mengendalikan perilakunya. Kader A dalam contoh di atas jelas meyakini konsekuensi dan evaluasinya bila ia menyoblos tanda gambar Parpol X (Parpol X akan memenangkan Pemilu). Selain itu, ia juga menunjukkan komitmen yang tinggi untuk menyoblos tanda gambar Parpol X, namun bisa saja ia tidak jadi menyoblos tanda gambar Parpol X karena dirinya tidak mampu mengendalikan perilakunya (satu hari sebelum Pemilu, orangtuanya di desa meninggal dunia).

Dibandingkan dengan teori lain, Teori Planned Behavior memang jauh lebih akurat dalam memprediksi perilaku karena selain sikap, ia memasukkan faktor norma subjektif dan kendali perilaku yang dipersepsikan untuk meramalkan perilaku. Namun, di lain pihak pengukuran untuk melihat hubungan sikap dan perilaku ini menjadi lebih rumit. Hal ini disebabkan karena peramalan perilaku harus dilihat dalam konteks dan waktu khusus tertentu. Misalnya, untuk meramalkan apakah kader A akan menyoblos tanda gambar Parpol X, maka harus diperhitungkan apakah menyoblos tanda gambar Parpol X itu akan menyejahterakannya atau tidak (konteks) dan kapan tanggal dan hari penyoblosan itu akan berlangsung (waktu). Mengingat dalam kehidupan nyata sehari-hari begitu banyak perilaku yang spesifik (makan gado-gado di rumah makan X pada hari Sabtu, bukan sikap terhadap gado-gado); mengenakan kebaya pada acara hari proklamasi kemerdekaan, bukan sikap terhadap kebaya; dan lain-lain) dikaitkan dengan peramalan perilaku, maka Teori Planned Behavior meskipun derajat peramalannya tinggi, namun dianggap tidak praktis dalam segi pengukuran prediktor perilaku atau merespons isu sikap dan perilaku.

Bila ada seorang yang tidak pernah meninggalkan sholat wajib ditambah dengan sholat sunah secara teratur, demikian pula puasa wajib dan sunahnya tidak pernah ia tinggalkan, sejauhmana Anda memiliki keyakinan bahwa orang tersebut juga akan secara tetap dan teratur memberikan sumbangan (menjadi penyandang dana) yayasan yatim-piatu. Mohon hal ini didiskusikan dalam kelompok Anda.Petunjuk Jawaban Latihan

Pelajari dengan cermat hubungan antara sikap dan perilaku, faktor-faktor apa yang mempengaruhi konsistensi sikap dan perilaku, serta pelajari juga teori planned behavior.

Sebelum hasil studi LaPiere pada tahun 1934 dipublikasikan, hubungan antara sikap dan perilaku dianggap merupakan hubungan langsung, atau dengan kata lain, terdapat hubungan yang taat-asas atau konsisten antara sikap dan perilaku. Anggapan adanya konsistensi hubungan sikap-perilaku menjadi goyah, setelah LaPiere pada tahun 1934 melakukan studi yang bertujuan untuk membuktikan konsistensi sikap-perilaku tersebut. Dari hasil penelitianya itu, LaPiere menarik kesimpulan bahwa antara sikap dan perilaku ternyata tidak konsisten. Ketidaksesuaian antara sikap dan perilaku antara lain disebabkan karena:Pertama, berkenaan dengan tingkat spesifikasi sikap dan perilaku. Berbagai penelitian mengenai sikap sering mengukur sikap yang sangat umum untuk meramalkan perilaku yang spesifik. Kedua, berkenaan dengan perilaku tunggal atau perilaku jamak yang akan diukur atau dijadikan indikator. Ketiga, faktor penentu atau determinan perilaku manusia ternyata tidaklah tunggal, melainkan jamak dan majemuk. Dengan kata lain, hanya satu kali mengukur perilaku dan kemudian menghubungkannya dengan sikap tidaklah memadai untuk melihat kesesuaian sikap dengan perilaku. Keempat, dalam keadaan darurat atau menekan maka sejumlah orang yang sikapnya berbeda, dapat bersikap sama terhadap suatu hal. Kelima, perilaku dapat berkaitan dengan lebih dari satu sikap.

Sikap dapat menjadi prediktor perilaku, apabila: (a) berbagai faktor yang dapat mempengaruhi perilaku dapat disingkirkan atau diperthitungkan dalam upaya memprediksi perilaku yang ditampilkan oleh individu, (b) sikap individu sangat erat kaitannya dengan perilaku, dan (c) penentuan atau pemilihan sikap tertentu dilakukan secara sadar.

Menurut Teori Planned Behavior perilaku yang akan diramalkan ditentukan oleh tiga faktor: sikap, norma subjektif, dan kendali perilaku yang dipersepsikan. Jadi, keberhasilan memprediksi suatu perilaku akan lebih besar apabila ketiga faktor tersebut berfungsi bersama-sama dan tidak berdiri sendiri-sendiri.

1. Hasil penelitian sebelum tahun 1934 menunjukkan bahwa sikap dan perilaku:

A. berhubungan secara langsung

B. berhubungan tapi tidak langsungC. tidak berhubungan

D. tidak dapat dipastikan

2. Secara umum, teori planned behavior dianggap:

A. praktis

B. memiliki derajat peramalan tinggiC. memiliki prediksi yang akuratD. up-to-date3. Aliran behaviorisme beranggapan bahwa sikap:

A. tidak dapat memprediksi perilaku

B. dapat memprediksi perilaku

C. dapat memprediksi perilaku dalam kondisi tertentu

D. Berbeda dengan perilaku4. Sikap dikatakan berhubungan langsung dengan perilaku jika.A. sikap positif, perilaku positif

B. sikap positif, perilaku negatif

C. sikap secara langsung berhubungan dengan perilaku yang ditunjukkan

D. sikap negative, perilaku positif

5.. Menurut teori planned behavior perilaku ditentukan oleh:

A. norma subjektif

B. sikapC. kendali perilaku yang dipersepsikan

D. intensi atau niat

Cocokkanlah jawaban Anda dengan Kunci Jawaban Tes Formatif 3 yang terdapat di bagian akhir modul ini. Hitunglah jawaban yang benar. Kemudian, gunakan rumus berikut untuk mengetahui tingkat penguasaan Anda terhadap materi Kegiatan Belajar 3.

Arti tingkat penguasaan: 90 - 100% = baik sekali

80 - 89% = baik

70 - 79% = cukup

< 70% = kurang

Apabila mencapai tingkat penguasaan 80% atau lebih, Anda dapat meneruskan dengan modul selanjutnya. Bagus! Jika masih di bawah 80%, Anda harus mengulangi materi Kegiatan Belajar 3, terutama bagian yang belum dikuasai.

Kegiatan Belajar 4

PENGUKURAN SIKAP

Mengukur sikap seseorang merupakan suatu hal yang tidak mudah dilakukan, karena sikap tidak dapat dilihat secara langsung. Cara yang paling memungkinkan untuk dilakukan adalah bertanya kepada individu yang bersangkutan dan mengukurnya berdasarkan tiga domain sikap: pengetahuan (kognisi), perasaan (afeksi), dan perilaku (konasi). Dalam pengukuran sikap, hal ini dilakukan dengan menggunakan tes kertas dan pensil (paper and pencil test) yang meminta individu untuk menjawab daftar pertanyaan mengenai suatu objek sikap.

Dari berbagai macam alat tes pengukuran sikap, terdapat beberapa alat tes yang telah terbukti mampu mengukur sikap seseorang dengan konsisten. Alat tes tersebut disusun dengan menggunakan skala interval: Thurstone (1928), Likert (1932), dan Osgood (1957), dan alat tes dengan skala nominal: Guttman (1944). Masing-masing mengukur sikap seseorang dengan menggunakan metode yang berbeda.

Tehnik dasar masing-masing alat pengukuran sikap berbeda, berdasarkan asumsi dasar dalam penyusunan item dalam alat tes, dan berdasarkan cara penghitungan data yang telah dikumpulkan. Namun, setiap tes pengukuran sikap memiliki dua asumsi dasar yang sama. Pertama, sikap seseorang dapat diukur dengan tehnik kuantitatif, sehingga opini masing-masing individu dapat direpresentasikan dalam angka. Kedua, masing-masing item atau pertanyaan dalam alat tes memiliki arti yang tetap bagi semua individu sehingga jawaban yang diberikan dapat diolah dengan cara yang sama.

Suatu sikap dapat diukur dengan menggunakan daftar pertanyaan yang mengacu pada satu objek sikap (attitude object). Cara lain adalah dengan menggunakan satu pertanyaan yang meminta individu untuk memberikan penilaian (positif, netral, atau negatif) terhadap satu topik spesifik. Alat tes yang menggunakan satu pertanyaan untuk satu sikap memang lebih mudah penyusunannya, namun cenderung terlalu menyederhanakan permasalahan yang diukur. Oleh karena itu, metode dengan menggunakan sekumpulan pertanyaan lebih disukai, karena memberikan jawaban yang lebih akurat dan lebih dipercaya, walaupun penyusunannya lebih rumit.

Alat pengukuran sikap, atau skala sikap, yang pertamakali disusun adalah Thrustone Method of Equal-Appearing Intervals, atau Metode Interval Tetap, yang disusun oleh Thurstone (1928) untuk mengukur sikap terhadap agama. Menurut Thurstone, sikap berada dalam suatu kontinum (continuum) dari sangat disukai hingga sangat tidak disukai. Misalnya sikap A (fitnah) lebih parah dari B (pembunuhan). Penilaian seseorang sebagai hasil memperbandingkan dapat diukur dalam bentuk skala. Maka sikap dapat direpresentasikan dalam bentuk pernyataan/item, dalam alat tes skala sikap. Masing-masing pernyataan disusun sedemikian rupa sehingga terdapat jarak yang tetap antara dua pernyataan yang berurutan dalam suatu kontinum. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan dari perbedaan jawaban individu terhadap masing-masing item. Thurstone menerangkan bahwa kedudukan masing-masing item adalah independen dari item lainnya, sehingga penerimaan individu terhadap satu item pernyataan tidak menjamin penerimaannya terhadap item lain.

Dalam bentuk aslinya, Skala Thurstone terdiri dari 22 pernyataan independen terhadap satu isu/objek sikap tertentu. Masing-masing item memiliki nilai pada skala numerik berdasarkan posisi rerata dalam kontinum. Nilai rerata tersebut didapatkan melalui penilaian sekumpulan ahli (expert judgement) dalam skala 1-11. Individu yang mengambil tes diminta untuk menandai pernyataan-pernyataan yang disetujuinya, dan hasil akhir adalah rerata dari total rerata nilai yang disetujuinya.

Misalnya dalam pengukuran Sikap terhadap penggunaan kontrasepsi, individu setuju pada pernyataan Pil KB memiliki manfaat baik dan buruk dan Keluarga Berencana patut dijalankan. Misalnya penilaian para ahli masing-masing memiliki nilai rerata 5.4 dan 10.3, maka sekor individu tersebut adalah total dari masing-masing rerata (15.7) dibagi dengan jumlah pernyataan yang disetujuinya (2), yaitu 7.85. Dari penghitungan ini dapat disimpulkan bahwa subjek penelitian memiliki sikap yang cenderung positif terhadap penggunaan kontrasepsi.

Keunggulan dari skala Thurstone adalah kemampuan untuk menyusun sekumpulan item dengan jarak interval yang relatif sama antara masing-masing item. Hal ini dicapai dengan mengumpulkan semua pernyataan yang berhubungan dengan sikap yang ingin diukur. Pernyataan dengan arti ganda atau membingungkan disingkirkan. Pernyataan-pernyataan yang diterima dibagi dalam 11 kelompok. Kemudian masing-masing item dalam setiap kelompok dinilai oleh para ahli. Rerata dari penilaian tersebut adalah bobot item. Dua item dengan derajat kesetujuan yang paling tinggi di antara para ahli, pada masing-masing kelompok, dimasukkan dalam alat tes sehingga terdapat 22 item dalam skala sikap tersebut. Jika alat itu dipercaya (reliable) secara statistik, maka setiap orang hanya akan setuju pada dua atau tiga item. Jika didapatkan 44 item yang paralel maka dapat dibuat dua macam tes untuk satu sikap yang sama, bentuk A dan B.

Kelemahan Skala Thurstone adalah sulitnya penyusunan daftar pernyataan. Untuk mendapatkan item-item dengan jarak interval yang serupa dibutuhkan waktu yang lama, dan hal ini tidak selalu dapat dilakukan.

Skala sikap berikutnya adalah Likerts Method of Summated Ratings, atau Metode Penilaian Total dari Likert (1932). Dasar teorinya adalah bahwa evaluasi seseorang terhadap sebuah objek sikap dapat diskalakan tanpa perlu melakukan perbandingan fisik sebelumnya dengan tidak mengurangi validitasnya.

Skala sikap yang disusun oleh Likert mampu memberikan pengukuran yang terpercaya dan mudah disusun. Skala ini terdiri dari sekumpulan pernyataan terhadap sikap tertentu. Pernyataan-pernyataan itu terdiri dari pernyataan positif dan negatif yang meliputi ranah (domain) kognitif, afektif, dan konatif. Individu diminta untuk memberikan jawaban sejauhmana mereka setuju atau tidak setuju terhadap pernyataan tersebut. Jawaban diberikan dalam skala lima titik, sangat setuju, setuju, ragu-ragu, tidak setuju, dan sangat tidak setuju. Total sekor individu dijadikan acuan mengenai sikap individu terhadap sikap yang diukur.

Dalam pembentukan Skala Likert, masing-masing item akan diuji korelasinya terhadap seluruh item. Item dengan korelasi, atau derajat berhubungan yang rendah tidak akan dimasukkan dalam skala sikap. Begitu pula dengan item yang ambigu. Skala sikap diusahakan terdiri dari 50% item yang setuju dan 50% item yang tidak setuju terhadap sikap yang diukur. Hal ini menjadi mekanisme kontrol terhadap alat, sehingga individu yang menjawab asal-asalan (misalnya hanya memberikan jawaban pada posisi tertentu) dapat terditeksi.

Asumsi Skala Likert adalah masing-masing pernyataan atau item memiliki fungsi linear terhadap dimensi sikap yang sedang diukur. Maka sekor pada masing-masing item dapat digabungkan menjadi satu total sekor. Hal ini dapat dilakukan karena setiap pernyataan dalam Skala Likert saling berhubungan erat satu sama lain, berbeda dengan Skala Thurstone yang masing-masing item independent. Akan tetapi, Skala Likert tidak memberikan jarak interval yang tetap pada masing-masing item. Oleh karenanya walaupun Skala Likert dapat mengukur sikap individu dalam kontinum, sejauhmana perbedaan sikap antar individu tidak dapat ditentukan.

Skala Likert disusun berdasarkan item-item yang paling mampu membedakan antara individu yang sangat setuju dengan individu yang sangat tidak setuju terhadap sikap tertentu. Keunggulan Skala Likert adalah lebih dapat dipercaya secara statistik dan lebih singkat, serta mudah penyusunannya.

Osgood (1957), melakukan pengukuran sikap dengan pendekatan yang berbeda. Teori yang mendasari pendekatan Osgood adalah sikap seseorang terhadap suatu objek dapat diketahui apabila konotasi dari kata yang melambangkan objek sikap itu juga diketahui. Tehnik-tehnik pengukuran sikap sebelumnya menggunakan derajat kesetujuan individu (sangat setuju/sangat tidak setuju) terhadap pernyataan yang mewakili sikap tertentu. Dalam Skala Semantic Differential dari Osgood, sikap diukur berdasarkan arti semantik yang diberikan oleh seseorang terhadap kata atau konsep tertentu yang mewakili suatu objek sikap.

Skala ini berkembang dari penelitian terhadap arti konotatif dari kata-kata. Arti konotatif adalah arti suatu kata di luar arti harfiahnya. Misalnya, kata kawan memiliki arti konotatif yang positif, sementara kata musuh memiliki arti konotatif yang negatif. Menurut Osgood, makna konotatif suatu kata berbeda-beda bagi individu. Maka dengan mengevaluasi makna konotatif kata dapat dilakukan inferensi terhadap sikap individu yang bersangkutan.

Dalam Skala Osgood, suatu pernyataan atau item diukur berdasarkan tiga macam dimensi makna konotatif. Dimensi pertama adalah evaluasi (misalnya baik/buruk), dimensi berikutnya adalah kekuatan (misalnya kuat/lemah), dan dimensi terakhir adalah aktivitas (misalnya cepat/lambat). Jawaban diberikan pada skala tujuh titik di antara dua kata yang berlawanan (misalnya baik/buruk). Analisis terhadap penilaian individu memberikan gambaran mengenai dimensi yang digunakan individu untuk menggambarkan pengalamannya, jenis-jenis konsep yang dianggap serupa atau berbeda, dan intensitas dari arti yang diberikan oleh suatu konsep.

Keutamaan dari Skala Osgood adalah peneliti tidak harus membuat satu pernyataan terhadap masing-masing sikap yang diteliti. Ketika beberapa pasang kata digunakan, jawaban yang diberikan biasanya dapat dipercaya. Kelemahannya adalah metode pengukuran bisa menjadi terlalu sederhana. Selain itu, walaupun metode ini memberikan banyak informasi terhadap suatu konsep tertentu, cara ini tidak dapat menjelaskan bagaimana makna konsep terhadap individu berhubungan dengan pernyataan yang diberikan oleh individu terhadap konsep itu.

Metode pengukuran sikap lainnya, dikembangkan oleh Guttman yang diberi nama Guttmans Scalogram. Skala Guttman disusun berdasarkan asumsi bahwa suatu sifat (trait) yang memiliki satu dimensi (unidimensional) dapat diukur dengan menggunakan satu set pernyataan yang disusun dalam satu kesinambungan. Pernyataan-pernyataan tersebut disusun mulai dari yang paling mudah untuk diterima hingga yang paling sulit diterima oleh individu. Misalnya, dalam pengukuran sikap terhadap agama, pernyataan yang mudah diterima adalah Setiap orang berhak untuk beragama, dan pernyataan yang sulit diterima adalah orang harus mengikuti agama mayoritas suatu Negara.

Item dalam skala Guttman disusun dari bobot (magnitude) yang paling mudah hingga yang paling sulit diterima, dan item bersifat kumulatif. Implikasinya adalah bahwa penerimaan terhadap suatu item berarti orang tersebut menerima semua item sebelumnya. Sikap seseorang terhadap item/pernyataan tertentu dapat diprediksi berdasarkan item tersulit yang diterimanya.

Skala ini disusun dengan pertama-tama memberikan satu set item kepada sampel partisipan. Kemudian berdasarkan jawaban dari partisipan, dapat dihitung scalability, yaitu sejauhmana item-item tersebut mewakili suatu sifat yang unidimensional. Sejauhmana suatu set item mewakili scalability ditandai dengan koefisien reproducibility. Semakin mendekati 1 nilainya, maka semakin tinggi derajat scalability skala tersebut. Akan tetapi, hampir mustahil untuk membentuk suatu skala yang sempurna unidimensional. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya individu menjawab berdasarkan beberapa dimensi (multidimensional).

Penelitian menunjukkan bahwa tidak ada


Recommended