+ All Categories
Home > Documents > 3 to Manurung Sebuah Semangat Kepemimpinan

3 to Manurung Sebuah Semangat Kepemimpinan

Date post: 30-Sep-2015
Category:
Upload: ammas707
View: 39 times
Download: 3 times
Share this document with a friend
Description:
bahan bacaan kearifan dan kepemimpinan lokal di Sulsel
Popular Tags:
22
Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012 77 To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan dan Pemerintahan Syiah dalam Tradisi dan Budaya Bugis-Makassar Supa Atha’na* *Universitas Hasanuddin, Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya, Makassar- Sulawesi Selatan,Tamalanrea 90245, Indonesia, Email: [email protected] Abstract To Manurung is a classic tale of life in culture and tradition of Bugis- Makassar that includes a variety of viewpoints. With regard to leadership and governance systems, the story of To Manurung has a similar spirit to the Shiite Islamic beliefs, especially in terms of: 1. Social and Political Leadership, 2. Regeneration, 3. The Legacy of the Government System. Keywords: To Manurung, Leadership, Government, Legacy, Regeneration. Pendahuluan To Manurung menjadi kata kunci untuk melihat segala aspek yang terkait dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) baik dari segi ilmu pengetahuan, ekonomi. sosial, budaya dan teknologi. Demikian halnya jika kita ingin melihat dan membedah seputar masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan. Khusus masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan To Manurung, kita menemukan ada banyak nuansa dan semangat kepemimpinan dan pemerintahan tradisi Islam Syiah yang terdapat di dalamnya. Untuk melihat hal tersebut maka lebih awal sebaiknya mari kita lihat arti dan pemaknaan To Manurung dalam berbagai sudut pandang: 1.To Manurung ditinjau dari segi etimologi (makna dasar). To Manurung terdiri atas 'To' yang berarti orang, 'Manurung' artinya yang sedang turun. Jadi To Manurung adalah orang yang sedang turun. Bisa juga dalam terjemahan bebas berarti “orang yang sedang turun dari tempat yang tinggi. Dalam kepercayaan Islam Syiah bahwa Nabi Muhammad dan Imam Ali serta keturunan Ali- dari Fatimah Az- Zahra, yang merupakan pemimpin (Imam kaum Syiah)-
Transcript
  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    77

    To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan dan Pemerintahan Syiah dalam Tradisi dan

    Budaya Bugis-Makassar

    Supa Athana*

    *Universitas Hasanuddin, Jurusan Sastra Asia Barat Fakultas Ilmu Budaya, Makassar- Sulawesi Selatan,Tamalanrea 90245, Indonesia,

    Email: [email protected]

    Abstract To Manurung is a classic tale of life in culture and tradition of Bugis-Makassar that includes a variety of viewpoints. With regard to leadership and governance systems, the story of To Manurung has a similar spirit to the Shiite Islamic beliefs, especially in terms of: 1. Social and Political Leadership, 2. Regeneration, 3. The Legacy of the Government System.

    Keywords: To Manurung, Leadership, Government, Legacy,Regeneration.

    Pendahuluan To Manurung menjadi kata kunci untuk melihat segala

    aspek yang terkait dengan Sulawesi Selatan (Sulsel) baik dari segi ilmu pengetahuan, ekonomi. sosial, budaya dan teknologi. Demikian halnya jika kita ingin melihat dan membedah seputar masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan.

    Khusus masalah kepemimpinan dan sistem pemerintahan To Manurung, kita menemukan ada banyak nuansa dan semangat kepemimpinan dan pemerintahan tradisi Islam Syiah yang terdapat di dalamnya. Untuk melihat hal tersebut maka lebih awal sebaiknya mari kita lihat arti dan pemaknaan To Manurung dalam berbagai sudut pandang: 1.To Manurung ditinjau dari segi etimologi (makna dasar). To Manurung terdiri atas 'To' yang berarti orang, 'Manurung' artinya yang sedang turun. Jadi To Manurung adalah orang yang sedang turun. Bisa juga dalam terjemahan bebas berarti orang yang sedang turun dari tempat yang tinggi.

    Dalam kepercayaan Islam Syiah bahwa Nabi Muhammad dan Imam Ali serta keturunan Ali- dari Fatimah Az-Zahra, yang merupakan pemimpin (Imam kaum Syiah)-

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    78

    diciptakan dari cahaya jutaan tahun sebelum penciptaan alam semesta dan bahwa mereka berdua satu cahaya sampai mereka terpisah satu sama lain di tulang sulbi Abdul Muttalib. Salah satu bagian ditempatkan di tulang sulbi (pinggang) Abdullah dan melalui itu lahir Nabi Muhammad saw. Bagian lain ditempatkan di pinggang Abu Thalib dan melalui itu lahir Ali. Muhammad saw dipilih untuk kenabian dan kekhalifahan untuk Ali.2. To Manurung berdasarkan kepercayaan masyarakat Bugis-Makassar sebelum mengenal Islam dianggap sebagai perwujudan Tuhan, dewa; manusia yang turun dari langit, namun bukan sebagai manusia pertama (Adam). To Manurungadalah manusia yang memiliki kesaktian dibanding manusia lainnya; pandai dan mempunyai wawasan yang lebih luas dibandingkan masyarakat sekitarnya.

    Keyakinan Syiah menyebutkan bahwa pemimpin mereka adalah sosok manusia yang mempunyai kecerdasan dan wawasan yang tidak bisa dibandingkan dengan manusia pada umumnya. Oleh karena itu, Syiah sangat menyukai salah satu hadits Nabi yang berbunyi: Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah gerbangnya.

    3. To Manurung dalam lontara dipahami sebagai orang yang dinantikan dan disambut dengan suka cita oleh sekelompok masyarakat yang kemudian memintanya untuk menjadi raja/mangkau. Oleh sebab itu, To Manurung dipandang sebagai orang suci yang sedang melakukan tugas dari dunia atas yang dengan sengaja diutus untuk memberikan penerangan dan petunjuk jalan kebenaran, kedamaian dan kesejahteraan pada sebuah masyarakat yang tak punya pemimpin yang adil.

    Kaum Syiah meyakini bahwa mereka sekarang dalam kondisi penantian. Mereka menanti kedatangan pemimpin mereka yang terakhir yaitu Imam Mahdi. Imam Mahdi diyakini akan datang sebagai juru selamat yang menyelematkan manusia dari kondisi dan situasi yang penuh dengan penyimpangan. Imam Mahdi datang membimbing manusia kembali pada jalan kebenaran dan keadilan. 4. To Manurung dari segi potensi meski secara lahiriah-jasmaniah sama dengan manusia pada umumnya, tetapi

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    79

    secara bathiah-ruhaniah sangat jauh berbeda. To Manurungmemiliki keistimewaan berupa; dapat menembus dan hidup di tiga alam: langit, darat dan laut; bila meninggal dunia jasadnya serta merta menghilang. Hanya pakaian dan senjatanya yang tersisa; bisa berada di suatu tempat dalam waktu sekedipan mata; punya kepedulian sosial yang tinggi; memiliki ilmu yang sangat dalam (mengetahui hal-hal gaib maupun yang empiris); memiliki kepekaan dan kepedulian sosial yang tinggi; hidup dan bekerja sesuai kebutuhan hidup dan pekerjaan masyarakat umum; serta pemimpin yang penuh wibawa dan bijaksana. Kaum Syiah juga meyakini bahwa Imam Mahdi di zaman ini hidup di alam gaib.

    Dari pengertian tersebut sangat jelas tergambar semangat dan nuansa dari konsep kepemimpinan Islam Syiah dalam sosok To Manurung. Jika dalam Islam Syiah menyebut nama pemimpin (Imam) harus dengan penghormatan yang tinggi maka To Manurung pun demikian halnya.

    Tentang kesakralan penyebutan nama To Manurungsimak penggalan tulisan S. Koolhof, (1999) dalam The "La Galigo"; A Bugis encyclopedia and its growth, berikut ini: "Another possible reason for the growth of the La Galigo is related to the sacredness of certain characters playing a role in it and the taboos surrounding them. Next to the gods, with Patotoq as the most important, their direct descendants like Batara Guru and Sawrigading were (and sometimes still are) also considered holy by certain individuals or groups. Some people are only allowed to speak about Sawrigading and his grandfather when their names are preceded by the honorific puatta, our lord."

    Dengan kualitas sedemikian besarnya tak heran bila To Manurung secara sosial mendapat gelar tertentu seperti Andi, Kareng, Datu, Patta, Maradia, Opu dan gelaran lain. Pengakuan gelaran sosial yang ada di masyarakat Sulsel sejarahnya bersumber dari kisah To Manurung yang memiliki kualitas lahiriah-bathiniah yang luar biasa bila dibandingkan dengan masyarakat umum. Oleh karena itu gelar kemuliaan di masyarakat Sulsel yang disematkan pada seseorang sebetulnya merupakan perwujudan simbolik akan kualitas personal seseorang dan bukan karena garis keturunan semata. Namun probabilitas karakter To Manurung bersemayam pada

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    80

    seseorang manakala punya garis keturunan langsung lebih besar. Tetapi ada juga banyak fakta yang menunjukkan bahwa banyak orang memunyai garis keturunan yang sama akan tetapi tidak memiliki sifat-sifat yang terpuji sebagaimana yang dimiliki oleh pendahulunya, maka dengan sendirinya tidak digolongkan sebagai 'To Manurung'. To Manurung dianggap sebagai manusia langit yang senantiasa menjaga diri dan mendapat bimbingan langsung dari Dewata Sewwae (Tuhan yang maha Esa). Oleh karenanya To Manurung dipandang sebagai manusia yang bebas dari segala kekhilafan dan kesalahan.

    Sejarah To ManurungSureq La Galigo menceritakan tentang awal mula

    penghuni negeri Luwuq yang dipandang sebagai negeri Bugis tertua. Dalam kosmologi La Galigo dunia dibagi tiga yaitu Dunia Atas (Botiq Langiq), Dunia Bawah (Buriq Liuq) dan dunia Tengah (Lino). Konon pada suatu masa penghuni Boring Langie di bawah pimpinan Patotoqe (yang menentukan nasib) dengan isterinya Datu Palingeq memusyawarahkan tentang keinginannya dari keturunannya untuk menjadi penghuni dunia (bumi). Batara Guru yang merupakan personifikasi aspek langit dan pertiwi menjadi penghuni dan penguasa bumi pertama. Batara Guru kawin dengan sepupunya We Nyuliq Timoq, puteri Guru ri Selleq dan Sinauq Toja penguasa Buriq Liuq. Batara Guru memunyai anak bernama Batara Lattuq yang memperisterikan Opu Sanging dan menjadi ayah dan ibu Sawerigading.

    Sawerigading lahir kembar dengan saudaranya yang bernama Puteri We Tenriabeng. Selanjutnya Sawerigading pun menikah dan melahirkan I La Galigo. Kemudian I La Galigo mempersunting We Tenrigangka. Dari perkawinan itu lahir La Tenritatta sebagai cucu Sawerigading. Dialah yang kemudian mengakhiri zaman I La Galigo, sehingga selesai pulalah zaman To Manurung Batara Guru. Sesudah masyarakat ditimpa kekacauan yang amat dahsyat selama tujuh generasi di belakang La Tenritatta, maka tampillah Simpuruq Siang sebagai To Manurung di Luwuq. Ia yang dipandang sebagaiPajung atau Datu Luwuq yang diperkirakan memerintah sampai tahun 1300 M.

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    81

    Selanjutnya dari garis keturunan Batara Guru ke Sawerigading menjadi garis keturunan berikutnya yang menyebar ke seluruh kerajaan yang ada di Sulsel pada periode sejarah berikutnya: Bone, Gowa, Wajo, Soppeng, Enrekang, dan Pammana.

    Tentang manusia pertama dalam kepercayaan, pengetahuan, dan cerita rakyat di Sulsel yang beredar ada versi lain yang mengatakan bahwa Tomboro Langiq yang pertama kali turun mendahului Batara Guru.

    To Manurung di Berbagai Tempat Enrekang

    Menurut tradisi lisan masyarakat Toraja dan Duri, To Manurung yang pertama di Sulawesi adalah Datu Laukku Puang Mula Tau (Manusia Pertama), yang turun dari langit di Rura, sebuah tempat di Enrekang modern. Setelah memerintah untuk waktu yang lama ia diperintahkan oleh Puang Matoa, Yang Maha Esa, untuk kembali ke tempat sebelumnya (yaitu langit). Dengan tidak adanya penguasa dan tidak ada hukum (aluk) untuk mengatur masyarakat, anarki terus terjadi dan masyarakat Rura saling memangsa satu sama lain seperti ikan. Puang Matoa kemudian mengutus Puang Tamboro Langiq, yang muncul di sebuah 'istana gantung' di Kandora yang berlokasi di Gunung Bambapuang. Salah satu keturunannya, Lakipadada Batara Lolo menikah dengan putri raja pertama Gowa dan ia melahirkan Pattala Merang yang menjadi Pajung Luwuq; dan Bantang Pattala, yang adalah Raja dari Lembanna Tabu, Makale, Sangalla' dan Mengkendek (Abidin, 1983:209).

    Tana TorajaKonsep To Manurung di Tana Toraja sangat berbeda

    dengan yang ada di daerah lain di Sulsel. Sebelum To Manurung sudah ada kelompok masyarakat yang membentuk kelompok adat yang di sebut Aluk Todolo. Diperkirakan pada abad XIII konsepsi To Manurung mewarnai kehidupan di Tana Toraja. Kedatangan To Manurung diberbagai tempat oleh pemangku adat dan masyarakat itu sudah diperkirakan. Sejumlah pusat kekuatan adat (Aluk Todolo) dikoordinir melalui lembaga yang disebut Tongkonan Layuk. Selanjutnya ketika To Manurung hadir di Toraja mereka tinggal melanjutkan

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    82

    tatanan masyarakat Tana Toraja yang sudah ada sebelumnya. Para To Manurung sangat berperan mewariskan tradisi kehidupan masyarakat dan kebudayaan Toraja seperti Alik Sanda Saratuq (Mattulada,1998: 60).

    LuwuqSebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa pusat

    kerajaan tertua di Sulsel adalah kerajaan Luwuq yang mana menjadi tempat pertama bagi To Manurung memulai pemerintahannya yang kemudian beranak-pinak, seterusnya melahirkan generasi yang menjadi pemimpin di berbagai kerajaan yang ada di Sulawesi dan sekitarnya.

    BoneMattulada (1998) menulis bahwa di Bone, sebelum

    kedatangan To Manurung, kelompok-kelompok Anang (suku) dalam wilayah pemukiman masing-masing yang disebut wanua. Setiap orang dalam kelompok itu merasa adanyaikatan sekuturunan dari seorang nenek-moyang (primus interparis) dalam anang. Dalam sistem kepemimpinan patrimonial, persekutuan jenis ini merupakan jenis persekutuan geneologis yang amat mengutamakan hubungan darah, yaitu hubungan kekerabatan sebagai jalur primer dalam masyarakat. Mereka hidup dalam kelompok yang mengucilkan diri dalam wilayah teritorial yang tertutup terhadap persekutuan dengan anang lainnya. Antara kaum dengan kaum, antara kelompok dengan kelompok kaum lainnya selalu terbit permusuhan yang tak berujung, tak berpangkal, dalam lontara, keadaan sepertiitu disebut sianre bale taue (manusia saling memangsa). Dalam keadaan kacau balau itu tampillah tokoh To Manurungyang dapat ditaati bersama, untuk dijadikan pemimpin yang mengatasi dan menaklukkan segenap ketua kaum yang disebut Matoa Anang. Berkat kedatangan To Manurung itu berakhirlah permusuhan di kalangan kelompok-kelompok Anang. Melalui perjanjian atau kesepakatan bersama antar para Matoa Ulu Anang dengan To Manurung, diterimalah To Manurung itu menjadi pemimpin tertinggi dan diataati bersama, mengikuti perjanjian atau kesepakatan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    83

    Kedatangan To Manurung dilukiskan secara amat dramatis dan terperinci dalam lontara. Di katakan....bahwa pada suatu hari ketika hujan deras membasahi muka bumi; guntur dan petir memekakkan telinga, dan kilat sambung menyambung....setelah itu ditemukan To Manurung di Matajang. Setelah itu redalah cuaca dan terbit terang matahari yang membawa kecerahan. To Manurung di Matajang ini, seorang laki-laki dan diberi gelar Mata Silompoe (semua mata tertuju padanya)(Mattulada,1998: 39-40).

    SoppengKisah kedatangan To Manurung Soppeng menyerupai

    Bone. To Manurung ditemukan oleh para Matoa. Kala itu Soppeng menderita kekurangan makanan untuk waktu yang lama. Waktu itu tidak ada raja dan para Matoa bertengkar satu sama lain. Sekali waktu, seorang penggembala kerbau melihat seekor burung kakatua dengan batang padi di mulutnya terbang menuju ke arah sebelah barat Soppeng. Ia mengikuti burung itu dan tiba-tiba melihat banyak beras di Sekkanyili. Peristiwa ini diketahui masyarakat. Enam puluh Matoa lalu pergi ke Sekkanyili dan menemukan banyak beras dan juga seorang budak bersama To Manurung.

    Setelah itu para Matoa memutuskan untuk meminta To Manurung menjadi raja di Soppeng. Para Matoa dengan pengikutnya membawa upeti kerajaan, yang menjadi tanda-tanda kebesaran kerajaan. To Manurung bersedia menjadi rajajika sepupunya yang ada di bagian Timur Soppeng, yaitu yang dikenal Manurungnge ri Libureng, menjadi sekutunya untuk memimpin Soppeng. Akhirnya jadilah Datu Soppeng Rilau ri(Raja Timur Soppeng) dan yang satu menjadi Datu Soppeng Riaja ri (Raja Soppeng Barat).

    GowaTo Manurung di Gowa yang ditemukan oleh ketua kaum

    pesisir adalah seorang perempuan. Untuk menjadi suaminya, tentu saja mesti ada orang yang setara di dalam negeri di Gowa. Maka pasangan yang setara diusahakan lelaki dari keturunan Sawerigading di negeri Luwuq yang dipandang sebagai negeri tertua di Sulsel. Maka lontara pun menyebut tentang kedatangan Karaeng Bayo bersama Lakipadada ke

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    84

    Gowa untuk menghormati kedatangan To Manurung ri Gowa. Lakipadada dipercaya sebagai tokoh legendaris. Karaeng Bayo pun menetap di Butta Gowa dan memperisterikan To Manurung. Perkawinan antara To Manurung dengan Karaeng Bayo di istana yang dinamakan Tamalate (Tak Layu). Baik To Manurung maupun Karaeng Bayo sangat dihormati. Mereka ditempatkan dalam kedudukan yang amat mulia seperti To-Nisomba (Orang yang disembah dan dipuja). Maka digelarkan sejak itu raja-raja Gowa dengan Sombaya ri Gowa(Mattulada,1998: 35).

    Wajo Konsepsi To Manurung di Wajo diungkap dalam bentuk

    tradisi lisan sebagai berikut:"...pada mulanya datanglah seorang yang tidak dikenal namanya dan tidak diketahui dari mana asalnya, bermukim di pinggir danau Lapulungeng. Di sana ia membuka sawah dan ladang, serta menangkap ikan. Kemudian berdatanganlah orang-orang ke tempat itu, meramaikan pertanian, mengikuti petunjuk orang 'yang tak bernama' itu, tetapi ia dipandang sakti, mampu mendatangkan kemakmuran. Mereka menamakannya Puangge ri Lapilungeng" (Mattulada,1998: 53).

    Tafsir To Manurung dalam Konteks KekinianSebelumnya telah kita lihat bahwa konsep To Manurung

    hadir pada setiap tempat dan momen yang berbeda-beda. Namun ada sosok yang paling dominan di antara tokoh To Manurung berkenaan dengan kisah kepemimpinan sosial To Manurung yaitu Batara Guru.

    Ada banyak versi tentang keberadaan Batara Guru, misalnya, Batara Guru dipandang sebagai anak sulung Dewa Langi Pototoqe yang ada di langit dan merupakan manusia pertama. Versi lain menyebutkan sebelum Batara Guru ada Tamboro Langiq yang muncul di puncak gunung Latimojong mendahului kemunculannya. Ia juga disebut di kerajaan lainnya selain Luwuq yang dipersepsi sebagai Pajung pertama di kerajaan tersebut.

    Sebagai raja pertama, tentu saja, Batara Guru menjadi kisah fenomenal dan sebagai sentra pokok dari kisah To Manurung bila dikaitkan dengan kondisi kepemimpinan sosial

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    85

    dan politik Sulsel disebabkan oleh beberapa faktor, seperti dipaparkan di bawah ini.

    Kepemimpinan Sosial dan PolitikDi antara tahapan kemunculan serta peran To Manurung

    dari segi kepemimpinan yang paling bisa dikaji berdasarkan konteks kekinian dan kebutuhan masyarakat Sulsel adalah Batara Guru. Disebutkan bahwa penyebab munculnya Batara Guru berkenaan dengan kondisi masyarakat yang karut marut. Terjadi perselisihan, permusuhan, saling intrik dimana-mana. Pemerintah sudah tidak berwibawa dan rakyat sudah tidak percaya pada hukum yang tebang pilih. Istilah ilmu politik dan sosiologi ala To Manurung adalah terjadi Sianre bale (Hukum Rimba) kemudian Batara Guru muncul sebagai juru selamat.

    Terkait dengan dimensi kekinian pula adalah wajar bila memunculkan pertanyaan tentang kepemimpinan model Batara Guru yang sudah pasti terdapat perbedaan yang sangat tajam dengan kondisi dan zaman Batara Guru. Kehidupan di dunia modern segalanya telah berubah dengan berbagai pola dan cara. Dunia modern Sulsel (di era otonomi daerah) dalam hal politik lebih banyak merujuk pada teori Plato dan Aristoteles.

    Tersebutlah bahwa sistem politik pemerintahan kontemporer telah berusaha mengatur untuk menyeimbangkan segala bentuk kebutuhan manusia secara sempurna mulai dengan pemenuhan kebutuhan dasar manusia, kebutuhan intelektual hingga spiritual. Bentuk pemerintahan yang dipandang paling maju adalah demokrasi. Ciri utama dari demokrasi adalah pemilihan umum yang kompetitif. Prasyarat dari sebuah pemilihan umum demokrasi adalah kebebasan berbicara, kebebasan pers, dan supremasi hukum. Kontrol sipil atas militer sering dilihat sebagai sesuatu yang penting untuk mencegah kediktatoran militer dan campur tangan dalam urusan politik.

    Pemerintahan mayoritas adalah prinsip utama demokrasi, meskipun ada banyak sistem demokrasi lainnya. Banyak diantara mereka yang tidak patuh pada aturan seketat itu karena kadang-kadang hak-hak minoritas sering tidak dilindungi sehingga lebih tepat pemerintahan seperti itu disebut tirani mayoritas. Pada titik ini menunjukkan bahwa makna demokrasi tidak diterima secara universal. Ada unsur-unsur

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    86

    tertentu yang terjadi perbedaan ketika berkaitan dengan unsur-unsur dalam masyarakat yang dibutuhkan sebagai persyaratan. Banyak orang menggunakan demokrasi sebagai perwujudan dari demokrasi liberal yang mencakup beberapa unsur tambahan seperti pluralisme politik, persamaan di depan hukum, hak untuk dipilih, hak ganti rugi, kebebasan sipil, hak asasi manusia, dan hak masyarakat sipil di luar pemerintah.

    Bentuk lain dari pemerintah yang ada di dunia saat ini adalah diktator. Diktator adalah bentuk pemerintahan otokrasi di mana negara diperintah oleh seorang diktator. Di era modern, diktator merujuk kepada suatu bentuk pemerintahan otokrasi mutlak oleh kepemimpinan yang tidak dibatasi oleh hukum, konstitusi, atau faktor-faktor sosial dan politik lainnya dalam sebuah negara.

    Diantara ilmuwan seperti Joseph C.W. Chan dari Universitas Hongkong memandang bahwa kediktatoran adalah bentuk pemerintahan yang memiliki hak untuk mengatur tanpa persetujuan dari orang yang diatur (rakyat), sementara totalitarianisme menggambarkan keadaan yang mengatur hampir setiap aspek perilaku masyarakat dan non-pemerintah. Kediktatoran sangat perhatian pada sumber kekuatan pemerintahan. Totalitarianisme fokus pada lingkup pengaturan kekuasaan. Dalam pengertian ini, kediktatoran (pemerintah tanpa persetujuan masyarakat) adalah berbeda dengan demokrasi (pemerintahan yang kekuasaannya berasal dari rakyat) dan totalitarianisme (pemerintah mengontrol setiap aspek kehidupan masyarakat) sesuai dengan liberalisme (pemerintah menekankan hak individu dan kebebasan).Keduanya pada akhirnya memaksakan penghancuran hak dan kebudayaan bagi kaum minoritas, sumber pengetahuan dan tradisi masyarakat lokal.

    Dengan adanya konsep dan perwujudan demokrasi yang berbeda-beda; liberal, terpimpin, sosial, partisipasi, consociational (Budiarjo,1978;96). Setidaknya, hal tersebut bisa menjadi entry point (jalan masuk) bagi kita untuk melakukan pengembangan dan perluasan terhadap demokrasi dengan cara mengadopsi sistem pemerintahan lokal yang mana dalam sejarah dan kebudayaan Sulsel terbukti bahwa pemerintahan lokal sebagai sebuah sistem yang melegenda dalam sistem kepemimpinan dan pemerintahan di Sulsel. Jika

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    87

    dilihat dari tradisi dan kebudayaan Sulsel maka bisa dipahami bahwa konsep kepemimpinan To Manurung yang dipersonifikasi sebagai perwakilan dan ditugaskan oleh Dewata Sewae (Tuhan yang Maha Esa) untuk membangun tatanan sosial, politik dan hukum Sang Pencipta di bumi. Ini adalah sebuah bentuk dari sistem kepemimpinan yang baik yang merupakan rancangan dari Dewata Sewae (Sang Pencipta) sendiri. Jika dikaji lebih jauh maka konsep To Manurungsebetulnya sama dengan makna konsep demokrasi yang sesungguhnya yaitu: Vox Populi, Vox Dei (Suara Rakyat, Suara Tuhan). Artinya suara rakyat merupakan ungkapan yang berdasarkan padangan dan pengalaman religius masyarakat sehingga suara raja dapat diabaikan apabila tidak sesuai dengan nilai-nilai religiusitas masyarakat. Pemimpin dipandang sebagai perwakilan Tuhan di bumi.

    Bukan demokrasi dengan pengertian dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Pengertian demokrasi yang terakhir dalam perjalanannya punya peluang untuk ditafsirkan secara manipulatif dari penguasa korup yang ingin mengekalkan kekuasaannya. Sebuah pemaknaan yang kabur dan tidak jelassumber dan tujuannya. Membedahnya dengan pisau analisis ilmu logika akan ditemukan kalau pemaknaan yang demikian menggunakan logika yang disebut logika circular (berputar-putar, tasalsul). Ia tidak memunyai ujung pangkal. Secara hermeneutik pun pengertian itu bisa menjadi seperti ini: Dari penguasa oleh penguasa dan untuk penguasa. Pemaknaan kekuasaan demokrasi berada di tangan rakyat hanya sebatas lips service. Penjelasan tersebut senada yang dimuat dalam dalam buku Civil society and democracy in Africa: Critical Perspectives yang disunting oleh Nelson Kasfir bahwa :Identifying those organizations within civil society that encourage democracy is a distinct improvement over the argument that civil society as a whole promotes democracy. But, insistence on identifying civil behaviour with democracy makes circular reasoning almost irresistible. (Kasfir,1998;137).

    Adapun tawaran kepemimipinan To Manurung yang tidak ada pada sistem politik dan kepemimpinan hari ini adalah sebuah harapan menyingkirkan tirani dan penindasan, jaminan keamanan dan kesejahteraan yang akan memberikan kehidupan baru bagi penegakan hukum dan cara hidup yang

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    88

    santun, pilihan yang baik dan tepat yang akan membangkitkan semangat rakyat dan meningkatkan perekonomian untuk keadilan dan transparansi, meningkatkan kepercayaan sepenuhnya dalam menentukan sikap dan tindakan, meruntuhkan fondasi kebingungan dan kemunafikan, membasmi korupsi dan ketidakadilan, memangkas keputusasaan dan kesulitan, menghapus jejak kesombongan ketidakadilan, membuka simpul kepalsuan dan kesalahan, memisahkan yang tidak masuk akal dan keangkuhan, merobek-robek korupsi dan akar kekerasan, membuat orang akrab dengan kata-kata bijak. Aspek kunci dari kepemimpinan dan pemerintahan To Manurung berdasarkan kepentingan dan keinginan rakyat yang sangat berbeda dengan kediktatoran. Kepemimpinan To Manurung merupakan kekuatan kebenaran, perdamaian dan keadilan, pembentuk nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi dan pembentukan masyarakat yang ideal.

    Sedemikian itu, penantian masyarakat Sulsel terhadapkepemimipinan dan pemerintahan To Manurung adalah logis. Sebab sejarah kehidupan kita telah diisi oleh sosok yang messianik yang tergambar dalam diri To Manurung. Penantian sosok To Manurung adalah sosok yang dinanti yang memiliki tujuan dan sangat bernilai. Penantian bisa membuat seorang menjadi dinamis dan penuh harapan. Ketaatan masyarakat pada kepemimpinan To Manurung tidak bermaksud untuk mengabaikan kecerdasan manusia dan menggantikan pemahaman manusia dan perasaan sebagaimana sebuah mesin. Ketaatan pada kepemimpinan ini menjamin hak masyarakat dan kemajuan kecerdasan masing-masing individu. Sebagaimana logika kemunculan Batara Guru pada situasi masyarakat dalam kondisi sianre bale To Manurung datang untuk membebaskan semua bentuk perbudakan politik,ekonomi, sosial dan budaya. Suatu gagasan mengatakan bahwa perbudakan telah berakhir di dunia sekarang ini adalah analogi palsu. Meskipun saat ini kita tidak melihat perbudakan kuno di sebagian besar pelosok dunia, namun perbudakan sedang dilakukan dengan cara yang lebih modern. Hal itu sangat jelas ditunjukkan oleh John Bellamy Foster (2006) dalam Naked Imperialism bahwa Amerika Serikat dengan kekuatan militer dan ekonominya di bawah tuntunan kapitalisme global sedang menjalankan perangkat dan

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    89

    perangkap era barbarian di dunia. Perbudakan sekarang malah semakin meluas dalam

    segala macam bentuk perbudakan seperti perbudakan ekonomi, perbudakan politik, dan jenis perbudakan lainnya. Kepemimpinan dan pemerintahan To Manurung sangat manusiawi bahwa dia tidak akan menghukum dan membunuh orang yang tidak bersalah, bukan pula sebuah revolusi buta yang mengambil keuntungan dari individu-individu untuk mencapai kemenangan dan kekuasaan.

    Citra masyarakat To Manurung adalah kebaikan. Dalam masyarakat dengan kepemimpinan To Manurung, orang saling membantu satu sama lain tanpa intrik apapun. Di manapun seseorang melakukan kejahatan, tidak peduli siapa dia akan dihukum langsung tanpa pengecualian. Ia akan me-ngembalikan sifat fitrawi manusia berupa kecenderungan pada kasih sayang, keadilan dan kebaikan. Bentuk adaptasi lain dari pemerintahan To Manurung di zaman teknologi dan informasi yang sangat canggih adalah kepemimpinan dan pemerintahan yang akan diperlengkapi dan dilindungi oleh perangkat elektromagnetik komputerisasi yang punya intensitas, sensitifitas dan keakuratan yang tinggi. Ia dapat mengidentifikasi semua alat-alat sesuai dengan instruksi program untuk menghentikan atau mengalihkan sesuatu yang ingin menyerang wilayah kepemimpinannya.

    RegenerasiFenomena keberhasilan seorang Batara Guru

    berikutnya adalah melahirkan generasi Batara Lattu yang berpuncak pada putra mahkota Sawerigading. Sawerigading kemudian menjadi ikon kepahlawanan yang tiada bandingannya.

    Seorang pemimpin yang berhasil adalah pemimpin yang mampu menciptakan generasi pelanjut. Dalam situasi apapun seorang pemimpin sejati punya tanggung jawab besar untuk mendapatkan dan memberikan inspirasi pada orang lain. Pemimpin sejati harus mempersiapkan generasi baru yang akan mengawal dan mengikuti dengan sempurna apa yang telah dirintisnya. Pemimpin yang bijak memunyai rencana untuk generasi berikutnya. Ia harus terus membina orang lain untuk mengambil tempatnya. Dan Batara Guru telah

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    90

    melahirkan seorang kesatria tanpa tanding: Sawerigading.Untuk memelihara dan mencetak generasi yang bisa

    dipilih dan dijadikan pemimpin maka dalam budaya dan tradisi Bugis Makassar dilakukan lewat prinsip yang dikenal dengan tellu cappa (Tiga Ujung).

    Ada yang patut menjadi keprihatinan kita bahwa prinsip tellu cappa tidak dipahami secara utuh oleh masyarakat umum maupun dari kalangan intelektual yang ada di tanah Bugis-Makassar. Semakin parah karena pemahaman mereka hanya merujuk dan berlandaskan dengan apa yang dipahami oleh kaum intelektual yang lahir dan tumbuh di luar luar wilayah peradaban Bugis-Makassar (Ilmuwan Barat). Kerancuan memahami tellu cappa terletak pada cara memahami secara gradual yang kemudian hanya menekankan pada dimensi kekuasaan. Selain itu komponen tellu Cappa tersebut dilihat secara gradual dan saling terpisah bahwa keberadaan sebuah ujung lidah (Cappa Lila) mempunyai kamar tersendiri yang terpisah dengan keberadaan ujung yang lain. Simak tulisan Gregory Acciaioli dalam Nurul Ilmi Idrus ( 2004),Behind the Notion of Siala: Marriage, Adat and Islam among the Bugis in South Sulawesi, berikut ini:The three tips [tellu cappa] encompass the tongue, the knife blade, and the penis. If a Bugis can not integrate himself with the local leaders by diplomatic consultation (by the tip of his tongue), he may have to resort to armed battle (by the tip of his knife blade). But, best of all, he will be able truly to integrate himself in the new community by marrying one (or more) of the local women (by the tip of his penis).

    Dari keterangan tersebut dapat kita lihat betapa logika pemikiran dari penjelasan mengalami lompatan, tidak runtut dari ujung tujuan dan maksud yang ingin dicapai dari ketiga tellu cappa tersebut. Artinya bahwa penjelasan tersebut tidak memunyai pemahaman yang utuh terhadap konsep tellu cappa. Ungkapan dari pemikiran di atas dapat dinilai hanya berdasarkan- kalau bukan- pada dugaan semata, penelitian yang tidak lengkap data, atau ketidakmampuan penulis (Acciaioli) dalam membaca dan memahami data. Akhirnya yang disuguhkan adalah sebuah penjelasan yang tidak utuh sekaligus cara pandang yang menyimpang.

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    91

    Wujud lompatan dan ketidakruntutan penjelasan tersebut adalah ketika menggunakan ujung lidah pada dimensi kekuasaan dan ujung kelamin pada dimensi sosial atau komunitas. Pemahaman dan penjelasan yang demikian sangat dangkal, menyimpang, dan tidak berlaku universal sekaligus merendahkan manusia Bugis-Makassar terkhusus bagi kaum perempuan. Ada bias gender: Laki-laki dengan kodrat kekuasaan dan perempuan dengan kodrat obyek kekuasaan.

    Semestinya tellu cappa dipahami sebagai sebuah komponen yang utuh (Integrated) dan bersifat simbolik. Simbolik artinya ada pesan (Petanda/Signified) yang lebih dalam dari sekadar materialnya (Penanda/Signifier).

    Dengan demikian prinsip tellu cappa akan lebih bernuansa filosofis yang merupakan bagian dari sebuah konsep kepemimpinan seorang manusia Bugis-Makassar. Nuansa filosofis membawa cappa (ujung) bernilai universal yang melingkupi segenap dimensi kehidupan manusia. Untukmenemukan universalitas makna cappa maka harus ditempatkan sebagai fondasi dari tiga bentuk materialnya (penanda). Oleh karena itu pemahaman yang benar untuk cappa adalah ketajaman, fokus, visi dan misi.

    Kekuatan ketajaman, daya fokus, dan energi visi-misi tersebut kemudian diimplementasikan atau diwujudkan dalam bentuk materialnya sesuai pada setiap waktu, situasi dan kondisi apapun. Tiga bentuk ujung yang berbeda-beda adalah simbolisasi untuk merespon bahwa manusia Bugis-Makassar harus memiliki ketajaman, fokus, visi-misi guna melihat secara cerdas waktu, situasi dan kondisi yang pas untuk ditonjolkan sesuai dengan situasi, kondisi dan waktu yang sedang dihadapinya. Dalam telaah kebudayaan, bentuk penanda dari sebuah petanda seiring dengan perkembangan zaman memungkinkan terjadi perubahan bentuk sementara petandanya bagi manusia bersifat abadi. Jadi, cara yang benar memahami tellu cappa adalah menempatkan cappa sebagai dasar filosofis dan paradigma dari tiga bentuk materialnya. Jika dicerminkan pada teori struktural ala Marxis maka cappaadalah infrastruktur sedangkan tiga bentuk material:Lidah, Badik, dan Penis adalah suprastruktur. Menurut pemikiran Marxian, infrastruktur menempati posisi yang selalu dan sangat mempengaruhi suprastruktur (Karatani, 205; 139). Manifestasi

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    92

    dan perwujudan suprastruktur sangat ditentukan cara pandang dan pemikiran infrastruktur.

    Dari sini kemudian bisa dipahami bahwa sejak awal mula peradaban manusia Bugis-Makassar sudah bisa memahami dan memiliki konsep kepemimpinan yang membedakan dengan konsep kekuasaan. Selanjutnya bisa dikatakan bahwa manusia Bugis-Makassar bukan jenis manusia yang haus akan kekuasaan yang ditandai dengan status jabatan tertentu. Manusia Bugis lebih mengedepankan kepemimpinan diri yang membentuk karakter tanpa mengenal ruang, waktu dan situasi khusus untuk mewujudkan dan melaksanakannya.

    Konsep kepemimpinan yang berkarakter tersebut membuat manusia Bugis-Makassar setiap hari memperlakukan dan menjaga ketajaman tellu cappa dengan baik. Ia akan berkata jujur (Ujung Lidah), bersikap tegas (Ujung Badik), danpernikahan atau integrasi sosial yang transenden (integrasi religious- tidak berzina) (Ujung Penis). Menjaga ketajaman dari ketiga ujung tersebut hanya bisa dilakukan manakala disandarkan pada visi-misi, tujuan dari karakter kepribadian dan kepemimpinan seorang manusia Bugis-Makassar. Dengan pemuliaan dan penjagaan dari ketiga ujung tersebut, maka yang menjadi titik fokus tujuannya dengan sendirinya juga adalah mulia. Sehingga ketika manusia Bugis-Makassar meraih kekuasaan maka kekuasaan itu akan dimuliakan dengan pengabdian totalitas, bersikap kesatria dengan rivalnya dan menjadi teman setia dengan pasangannya. Intinya, tellu cappaberujung pada kepemimpinan diri dengan memuliakan diri sekaligus memuliakan dan menghormati apa dan siapapun di muka bumi. Manusia tellu cappa tidak akan bertindak merendahkan dan menghinakan orang lain sekalipun itu musuhnya.

    Demikian halnya sebuah badik setiap saat harus dipelihara dan dijaga ketajamannya dengan tidak mempergunakannya secara serampangan yang tidak sesuai dengan prinsip kepemimpinan yang berkarakter dari seorang manusia Bugis-Makassar. Manusia Bugis-Makassar yang bisa menjaga ketajaman sebuah badik dengan memperlakukannya dengan baik dari segala bentuk penyelewengan dan tindak penyimpangan. Bersamaan dengan waktu badik tersebut akan

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    93

    menjelma menjadi benda pusaka yang memiliki kesaktian, keajaiban dan keistimewaan. Badik pusaka hanya kemudian akan diwariskan pada pelanjut kepemimpinan yang dianggap bisa menjaga ketajamannya (cappa) dari benda pusaka tersebut. Oleh karena itu dalam tradisi bugis-Makassar antara kepemimpinan dan benda pusaka seringkali tidak bisa dipisahkan (Ahimsa, 2007:109). Jadi salah satu tradisi manusia Bugis-Makassar dalam pengalihan kepemimpinan ditandai dengan adanya penyerahan benda pusaka. Benda pusaka tersebut bisa diartikan sebagai mandat legal seseorang untuk menduduki jabatan kekuasaan. Dalam tradisi Bugis-Makassar pula, menjaga dan memelihara kesaktian benda pusaka di sebut dengan Arajang (Bugis) (Adhan, 2009:404) dan Gaukang atau Kalompoang (Makassar) (Ahimsa 2007:108).

    Hanya dengan cara tersebut maka pesan dan makna terdalam dari prinsip tellu cappa bisa digali dan dicapai dengan baik. Sebaliknya melakukan pendangkalan makna, seperti cappa lila (ujung lidah) hanya diartikan sebatas diplomasi, cappa badik diartikan sebatas perang, cappa laso artinya persetubuhan akan mengakibatkan tidak saja melakukan degradasi dan desakralisasi tetapi juga melakukan penyimpangan terhadap makna sakral dari tellu cappa dalam budaya manusia Bugis-Makassar. Sangat penting bagi kita semua untuk mewujudkan pemahaman yang benar dalam rangka membangkitkan semangat baru bagi generasi selanjutnya guna mencapai kejayaan dan kebesaran peradaban kita sebagaimana yang pernah terjadi di masa lalu.

    Warisan Sistem PemerintahanBentuk warisan generasi berikutnya tidak hanya

    berdasarkan keturunan saja, tetapi yang lebih penting adalah sebuah warisan generasi dalam bentuk sistem. Batara Guru mewariskan sebuah sistem pemerintahan yang disebut dengan sistem Kontrak Pemerintahan (Factum Subjectionis Contract of Government). Menurut Abidin (1983) bahwa ada tiga pemerintahan yang telah melakukan kontrak pemerintahan tersebut: Luwuq, Bone dan Gowa (pada tahun 1582) yang disebut Cappagalae dan ketiga kerajaan itu memiliki dua anggota sekutu yaitu Wajo dan Soppeng yang disebut Tellumpoccoe dengan Pammana. Kontrak pemerintahan itu

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    94

    masih dipakai pada zaman Belanda. Di antara mereka yang melakukannya adalah Andi Jemmabarue, Datu Luwuq(sebelum Perang Dunia II); Andi Mappanyukki, Arumpone, dan Andi Wana Sultan Salahuddin, Datu Soppeng (9 Januari 1941); Andi Mangkona, Arung Matoa Wajo (1933) dan Andi Ijo Karaeng Lalolang, Somba Gowa (1936). (ibid.).

    Asumsi yang bisa dibangun dari sistem pemerintahan To Manurung yang dikenal dengan kontrak pemerintahan itu adalah: 1. Kekuasan yang diemban oleh To Manurungmerupakan mandat dan anugerah dari Tuhan. 2. Kontrak pemerintahan menggambarkan hak dan tanggung jawab para penguasa dan rakyat, mereka menunjukkan bahwa kekuasaan raja tidak mutlak. 3. Pengalihan wewenang kekuasaan lebih dititikberatkan pada otoritas, kapabilitas, dan kompetensi dan bukan melalui kekuatan fisik dan paksaan berupa money politicdan rekayasa suara. 4. Transformasi wewenang dari masyarakat ke pemerintah adalah fondasi dasar dari sebuah kerajaan atau negara. Artinya ketika wewenang tersebut tidak lagi sesuai dengan keinginan rakyat maka secara substansial negara itu sudah runtuh.

    Tentu saja pada zaman penantian To Manurung, dengan mengambil sosok Batara Guru sebagai ikon pemimpin sosial yang datang menyelesaikan segenap karut marut persoalan yang sekarang kita hadapi perlu dilakukan sebuah persiapan untuk mempercepat kemunculan Batara Guru. Salah satu cara adalah dengan melakukan replika Batara Guru baik dalam bentuk pendekatan interaksi simbolik (tindakan), behavior (perilaku), maupun fungsionalitas struktural (norma individu/masyarakat). Adapun replika Batara Guru jika dilihat dari aspek tersebut maka tafsir sosial untuk menentukan dan memilih sosok Batara Guru adalah mencari sosok guru besar (Professor) yang dipandang punya kompetensi, dedikasi, semangat, antusias untuk membangun Sulsel.

    Guru besar pun di sini, dengan memakai pendekatan sosiolog Ali Syariati (1986) dalam bukunya Membangun Masa Depan Islam sekaligus melihat eksistensi Batara Guru sebagai seorang To Manurung itu sendiri sebagai manusia langit yang turun ke bumi maka seharusnya guru besar tidak dimaknai sekadar seorang yang punya tingkatan akademik formal yang paripurna akan tetapi lebih menekankan seseorang yang punya

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    95

    kepekaan nuansa langitan sekaligus kebumian. Hanya saja pada konteks kekinian dan kesinian kita maka figur yang paling mungkin menjadi replika Batara Guru secara sosiologis adalah professor itu tadi.

    Pandangan tersebut tidak serta merta muncul. Ada fakta dan pemikiran yang kuat melandasinya, diantaranya;1. Secara leksikal atau makna dasar Batara Guru itu artinya guru besar (Professor). 2. Ada fakta sejarah yang membuktikan bahwa ketika guru besar Prof.Dr.Ahmad Amiruddin memimpin Sulsel sebagai gubernur, Sulsel mengalami kemajuan yang pesat baik dari segi kesejahteraan sosial, pendidikan, keamanan, toleransi, kerukunan dan prestasi lainnya. 3. Teori politik Plato. Menurut Plato pemimpin ideal adalah seorang filsuf. Plato mengeluarkan teori itu karena kegerahan dan kekecewaan terhadap sikap dan perilaku para pemimpin politik pada zamannya. Filsuf pada zaman Plato dipandang dan dimaknai sebagai guru besar. 4. Hal ini juga dimaksudkan untuk melakukan counter wacana terhadap kesalahan dan kekeliruan aturan politik yang hanya memediasi pihak partai politik (Parpol) sebagai pimpinan pemerintahan. Peraturan itu tidak hanya mencederai Hak Azasi Manusia (HAM) tetapi juga demokrasi itu sendiri.

    Berdasarkan konsep To Manurung tersebut maka yang paling mungkin untuk dilakukan dalam rangka sebuah rekayasa sosial di masa depan yang lebih baik adalah: Pertama, menghidupkan kembali konsep tradisi dan budaya Sulsel yang telah mapan baik dalam lingkungan sosial masyarakat umum, pemerintahan, maupun dalam institusi pendidikan pada semua level. Kedua, semua strata sosial saling bahu-membahu, bekerjasama dan bergotong royong untuk mempersiapkan kedatangan To Manurung dengan membuat agenda-agenda untuk menyambut kedatangan To Manurung sebagaimana yang dilakukan masyarakat Tana Toraja. Ketiga, dengan segala kekurangan yang ada di hadapan kita sekarang, dengan konsep dan pemahaman budaya To Manurung, alih-alih membuat kita berputus asa untuk menyongsong masa depan yang cerah, sebaliknya menjadi trigger untuk semakin bersemangat dan optimis menanti kedatangan situasi dan sosok To Manurung yang mencerahkan dan menyelamatkan kehidupan kita di masa depan.

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    96

    KesimpulanKesimpulan yang bisa dibangun dari makalah ini adalah

    kisah To Manurung memunyai konsepsi dan pandangan yang kuat tentang; kepemimpinan sosial dan politik, regenerasi, dan warisan sistem pemerintahan. Adapun sistem pemerintahan To Manurung yang dikenal dengan kontrak pemerintahan memunyai pengertian bahwa: 1. Kekuasan yang diemban oleh To Manurung merupakan mandat dan anugerah dari Tuhan. 2. Kontrak pemerintahan menggambarkan hak dan tanggung jawab para penguasa dan rakyat, mereka menunjukkan bahwa kekuasaan raja tidak mutlak. 3. Pengalihan wewenang kekuasaan lebih dititikberatkan pada otoritas, kapabilitas, dan kompetensi dan bukan melalui kekuatan fisik dan paksaan berupa money politic dan rekayasa suara. 4. Transformasi wewenang dari masyarakat ke pemerintah adalah fondasi dasar dari sebuah kerajaan atau negara. Artinya ketika wewenang tersebut tidak lagi sesuai dengan keinginan rakyat maka secara substansial negara itu sudah runtuh.

    Dalam pencarian figur To Manurung sekarang ini, dengan mengambil sosok Batara Guru sebagai ikon pemimpin sosial yang datang menyelesaikan segenap karut marut persoalan yang sekarang kita hadapi perlu dilakukan sebuah persiapan untuk mempercepat kemunculan Batara Guru. Salah satu cara adalah dengan melakukan replika Batara Guru baik dalam bentuk pendekatan interaksi simbolik (tindakan), behavior (perilaku), maupun fungsionalitas struktural (norma individu/masyarakat). Adapun replika Batara Guru jika dilihat dari aspek tersebut maka tafsir sosial untuk menentukan dan memilih sosok Batara Guru adalah mencari sosok guru besar (Professor) yang dipandang punya kompetensi, dedikasi, semangat, antusias untuk membangun Sulsel khususnya dan Indonesia secara umum.

    Daftar PustakaAbidin, Andi Zainal. 1983, The Emergence of Early Kingdoms

    in South Sulawesi; A Preliminary Remark on Governmental Contracts from the Thirteenth to the Fifteenth Century,Southeast Asian Studies, Vol. 20,No.4.

    Adhan, Syamsurijal. 2009. BISSU YANG ENGGAN MEMBISU,Proses Encountering Islam dan Kebugisan.

  • Jurnal Al-Qurba 2(3):77-98, 2012

    97

    Jurnal Al-Qalam Volume 15 Nomor 24 Juli - Desember 2009.

    Ahimsa, Heddy Shri. 2007, Patron Klien di Sulawesi Selatan:Suatu Kajian Fungsional-Struktural, Yogyakarta: KepelPress.

    Budiarjo.1997. Demokrasi di Indonesia, Jakarta:Gramedia Caldwell, Ian. 1995, Power, State and Society Among the Pre-

    Islamic Bugis In: Bijdragen tot de Taal-, Land- enVolkenkunde 151 (1995), no: 3, Leiden.

    Fauziah. 2001, Analisis Nilai-Nilai Kehidupan Batara Gurudalam Naskah Mula Tau. Laporan Penelitian Sejarahdan Nilai Tradisional Sulawesi Selatan.Makassar:BKSNT.

    Foster, John Bellamy .2006. Naked Imperialism: America's Pursuit of Global Hegemony, Monthly Review Press

    Hamid, Abu. 1965, Tinjauan Struktural atas Peranan-peranandalam Kehidupan Masyarakat Bone. Makassar, UnhasFakultas Sastra; Skripsi.

    Idrus, Nurul Ilmi. 2004, Behind the Notion of Siala: Marriage,Adat and Islam among the Bugis in South Sulawesi,Intersections: Gender, History and Culture in the Asian.

    Karatani, Kjin diterjemahkan oleh Kohso,Sabu. 2005.Transcritique: On Kant and Marx. Cambridge, Massachusetts (United States); The MIT Press.

    Kasfir, Nelson (Editor) .1998. Civil society and democracy in Africa: Critical Perspectives. London; Routdlege.

    Koolhof, S. 1999, The La Galigo; A Bugis encyclopedia and itsgrowth,In: Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde,Encompassing knowledgeIndigenous encyclopedias from ninth-century Java to twentieth-century Riau. No: 3,Leiden, 362- 387.

    Mattulada,H.A, 1998, Sejarah,masyarakat dan KebudayaanSulawesi Selatan, Ujung Pandang: HasanuddinUniversity Press.

    Mattulada,1983. Islam di Sulawesi Selatan, dalam Agama danPerubahan Sosial, Taufik Abdullah (Ed). Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Jakarta: CV. Rajawali, Jakarta.

  • Athna, S. To Manurung: Sebuah Semangat Kepemimpinan Syiah

    98

    Paeni,Muchlis, Edward L. Poelinggomang, InaMirawati. 2003, Batara Gowa: Messianisme dalamGerakan Sosial di Makassar. Yogyakarta: Gadjah MadaUniversity Press.

    Ratna , Nyoman Kutha. 2005, Sastra dan Cultural Studies,Representasi Fiksi dan Fakta, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

    Sanusi H.M. Daeng Mattata . 1967, Luwu Dalam Revolusi,Makassar.

    Syariati, Ali. 1986, Membangun Masa Depan Islam,Bandung:Mizan.


Recommended