+ All Categories
Home > Documents > 626-673-1-PB

626-673-1-PB

Date post: 08-Jul-2018
Category:
Upload: tiffany-nurzaman
View: 214 times
Download: 0 times
Share this document with a friend

of 19

Transcript
  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    1/43

    Tinjauan Pustaka

    Rehabilitasi Stroke pada

    Pelayanan Kesehatan Primer

    Rosiana Pradanasari Wirawan

    SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    2/43

     Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak  kedua pada individu usia

    di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan

    intervensi rehabilitasi medik agar mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas

    kehidupan sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien mendapat

    kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan. Sebagian besar disebabkan karena

    tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut

    dan kronis dapat ditangani melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.

     Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak kepada perburukan kondisi

    dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari, diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih

    berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer sangat penting perannya.

     Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut 

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    3/43

    6 1

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    4/43

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    5/43

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    6/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Stroke Rehabilitation in Primary Health Care

    Rosiana Pradanasari Wirawan

    Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta

     Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most  cause of disability forindividual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden and very costly. Post-stroke patient therefore

    need a medical rehabilitation intervention, which enable them to take care of themselves and do their own daily activity

    without being a burden to their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their

    rehabili-tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical rehabilitation

     facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic phase could also be managed by simple

     procedures without using a sophisticated apparatus. Focusing on preventing of the complication of immobilization that

    could make the condition became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the

     patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.

     Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.

    Pendahuluan

    Baik di negara maju maupun berkembang,

    beban yang ditimbulkan stroke sangat besar.

    Stroke merupakan penyebab kematian kedua

    terbanyak di negara maju dan ketiga terbanyak

    di negara berkembang. Berdasarkan data WHO

    tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal

    karena stroke di dunia.1 Dari data yang

    dikumpulkan oleh American Heart   Association

    tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal 

    akibat stroke.

    Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering

    meninggalkan kecacatan dibandingkan

    kematian. Stroke merupakan penyebab

    kecacatan kedua terbanyak di seluruh dunia pada

    individual di atas 60 tahun.1 Beban biaya yang

    ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain

    bagi pasien dan keluarganya, juga bagi negara.

    Kondisi ini belum memperhitungkan beban

    psikososial bagi keluarga yang merawatnya.

    Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat

    penting. Upaya pencegahan antara lain berupa

    kontrol terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan

    perilaku hidup yang sehat ( primary prevention).

    Bagi pasien yang telah mendapat serangan stroke,

    intervensi rehabilitasi medis sangat penting untuk

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    7/43

    mengembalikan pasien pada kemandirian

    mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas

    kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi

    keluarganya. Perlu diupayakan agar pasien tetap

    aktif setelah stroke untuk mencegah timbulnya

    komplikasi tirah baring dan stroke

    berulang (secondary prevention). Komplikasi

    tirah baring dan stroke berulang akan

    memperberat disabilitas dan menimbulkanpenyakit lain yang bahkan dapat membawa

    kepada kematian.

    Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2

    Tidak dapat

    Dapat dimodifikasi

    P o t e n s i a l

    dimodifikasi

    dimodifikasi

    Usia

    Hipertensi

    Obesitas

    Jenis kelamin

    Diabetes mellitus

    Inaktivitas fisik 

    Ras

    Hiperkolesterolemia

    Hiperhomosisteinemia

    Hereditas

    Atrial fibrilasi

    Kondisi hiperkoagulitas

    Merokok 

    Kontrasepsi oral terapi

    stenosis karotis

    hormonal pengganti

    (asimptomatik)

    Proses inflamasi

    Penyakit sel sabit

    Alkohol berlebihan

    Abuse obat-obatan

    Sindrom Stroke

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    8/43

    Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori

    yaitu hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)

    Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada

    bagian otak yang sirkulasinya terganggu. Secara

    umum stroke memberikan gambaran klinis

    dengan pola yang khas, dengan variasi secara

    individual tergantung pada ukuran pembuluh

    darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran

    darah ke otak. (Tabel 3 dan 4.)

    6 2 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    9/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Tabel 2. Patomekanisme

    Stroke Akut2

    P a t o m e k a n i s m e

    P e r s e n t a s e

    Iskemik 

    85%

    Trombotik 

    60%

    Embolik 

    20%

    Lain-lain

    5%

    Hemoragik 

    15%

    Intraserebral

    10%

    Subarakhnoid

    5%

    Tabel 3. Sindrom Stroke

    Iskemik3

    dan menggunakan

    tangga.

    World Health

    Organization (WHO)

    pada tahun 1980 

    memperkenalkan The

     International

    Classification of

     Impair-ments,

     Disabilities and

     Handicaps (ICIDH)

    sebagai model 

    rehabilitasi.5-8

    Model ini membagi

    kondisi sakit dalam 4

    level berbeda yaitu:

    Patologi (penyakit)

    Patologi sinonim

    dengan penyakit atau

    diagnosis,

    Sirkulasi tergganggu

    S e n s o m o t o r i k

    Gejala klinis lain

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    10/43

    Sindrom Sirkulasi anterior

    A. Serebri media (total)

    Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat

    Afasia global (hemisfer dominan) Hemi-neglect 

    dari tungkai) hemihipestesia kontralateral

    (hemisfer non-dominan), agnosia, defisit visuo-

    spassial apraksia, disfagia

    A. Serebri media (bagian atas)

    Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat

    Afasia motorik (hemisfer dominan)

    dari tungkai)hemiestesia kontralateral

    Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemia-

    nopsia, disfagia

    A. Serebri media (bagian bawah)

    Tidak ada gangguan

    Afasia sensorik (hemisfer dominan)

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    11/43

    Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)

    Kontruksional apraksia

    A. Serebri media dalam

    Hemiparese kontralateral

    Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)

    Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali

    Visual dan sensoris neglect   sementara. (hemisfer

    non-dominan)

    A. Serebri anterior

    Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih berat dari

    Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia

    lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan)

    (hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan

    personalitas Inkontinensia urin dan alvi

    Sindrom sirkulasi posterior

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    12/43

    A. Basilaris (total) Kuadriplegia.

    Sensoris umumnya normal

    A. Serebri posterior Hemiplegia

    sementara, berganti dengan pola gerak 

    chorea pada tangan.hipestesia atau

    anestesia

    terutama pada tangan

    Pembuluh darah

    kecil

    Gangguan kesadaran

    sampai ke sindromlock-in Gangguan saraf 

    kranial yang

    menyebabkan diplopia,

    disartria, disfagia,

    disfonia.

    Ganggguan emosi

    Gangguan lapangpandang bagian

    sentral, Prosopagnosia,

    Aleksia

    Lacunar Infark 

    Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni

    Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand 

    Stroke hemoragik

    memiliki sejumlah

    penyebab. Ada 4 tipe

    yang paling umum,

    yaitu perdarahan

    hipertensif intrakranial,

    ruptur aneurisma

    sakular, perdarahan dari

    AVM (arteriovenous

    malformation) dan

    perdarahan spontan di

    daerah lobus.

    Gangguan Fungsi

    akibat Stroke

    Dalam rehaebilitasi

    medis, istilah fungsi

    merujuk pada

    kemampuan/ketrampilan

    seseorang untuk

    melakukan aktivitas

    sehari-hari, aktivitas

    hiburan atau hobi,

    pekerjaan, interaksi sosial

    dan perilaku lain yangdibutuhkan. Aktivitas

    sehari-hari seseorang

    tentu sangat luas,

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    13/43

    individu yang satu

    berbeda dengan individu

    lain. Aktivitas sehari-hari

    yang perlu dinilai adalah

    kemampuan dasar dalam

    melakukan aktivitasperawatan diri sendiri

    yaitu makan-minum,

    mandi, berpakaian,

    berhias, menggunakan

    toilet, kontrol buang air

    kecil dan besar,

    berpindah tempat

    (transfer), mobilitas-

     jalan,

    Tabel 4. Sindrom

    Hemoragik4

    Area yang terkena

    S e n s o m o t o r i k

    Gejala Klinis lain

    P u t a m e n

    (apsula interna, basal

    Hemiplegia kontra-

    Stupor/Koma dengan

    ganglia)

    lateral

    kompresi batang otak 

    krigiditas deserebrasi

    Talamus

    (talamus, kapsula

    Hemiplegia kontra-

    Afasia (hemisfer

    interna)

    lateral

    dominan)

    Gangguan sensoris

    Gangguan lapangan

    berat semua modalitas

    pandang

    Sindrom Horner

    P o n t i n

    (pons, batang otak,

    Kuadriparesis, kua-

    Sindroma lock in

    midbrain)

    driplegia

    Rigiditas deserebrasi

    S e r e b e l u m

    Hemiparesis ringan

    Vertigo/dizziness,

    gangguan koordinasi,

    Nausea, vomiting

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    14/43

    ataksia

    Nystagmus Disfagia,

    disartria

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009 6 3

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    15/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    didefinisikan sebagai

    kerusakan atau proses

    abnormal yang terjadi di

    dalam organ atau sistem

    organ tubuh. Contoh

    patologi: stroke non-

    hemoragik yang di-

    sebabkan oleh

    trombosis, hipertensi,

    diabetes mellitus, dan

    sebagainya.

     Impairment (gangguan

    organ atau fungsi organ) 

     Impairments merupakan

    akibat langsung dari

    patologi, didefinisikan

    sebagai hilang atau

    terganggunya strukturatau fungsi anatomis,

    fisiologis, atau psikologis

    tubuh. Contoh

    impairment  adalah

    hemiparesis, afasia,

    disartria, disfagia, depresi

    dan lain sebagainya.

    Health condition

    (Disorder or Disease)

    Body functions

     Activities

    Participation

    and structure

    Personal

    Environmental

    factors

    factors

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    16/43

     Disability

    (ketidakmampuan) 

     Disability didefinisikan

    sebagai keterbatasan atau

    hilangnya kemampuan

    untuk melakukan

    aktivitas yang umum

    dapat dilakukan oleh

    orang lain yang normalkarena impairment  yang

    dideritanya. Contoh

    disabil-ity: adalah

    ketidak mampuan

    berjalan (akibat

    hemipare-sis),

    ketidakmampuan

    berkomunikasi (akibat

    afasia, disatria) atau

    ketidakmampuan

    melakukan perawatan

    diri sendiri seperti

    berpakaian (akibat

    hemiparesis, gangguan

    kognitif, gangguan

    sensoris dan lain-lain)

     Handicap (keterbatasan

    dalam peran) 

     Handicap atau kecacatan

    merupakan suatu

    konsekuensi sosial dari

    penyakit, didefinisikan

    sebagai terganggu atau

    terbatasnya kemampuan

    aktualisasi diri dan untuk

    berperan secara sosial,

    budaya, ekonomi dalam

    keluarga dan lingkungan

    bagi individual tertentu

    akibat impair-ment dan 

    disability yang

    dideritanya. Contoh 

    handi-cap adalah

    ketidakmampuan

    berperan sebagai ayah 

    bermain dengan anaknya

    (karena hemiparesis yang

    menyebabkannya sulit

    bergerak atau berjalan),

    tidak dapat bekerja

    (karena kesulitan berjalan

    ke tempat kerja,

    melakukan pekerjaan

    sebelumnya) dan lainsebagainya.

    Pada tahun 2001 WHO

    mempublikasikan revisi

    dari ICIDH menjadi ICF

    ( International

    Classification of Func-

    tioning) dimana istilah 

    disability dan handicap

    diganti menjadi activity and participation.

    5-7 Revisi

    ini secara prinsip tidak

    terlalu banyak berbeda

    dengan ICIDH, hanya di-

    definisikan lebih positif,

    yaitu disability 

    (ketidakmampuan) diganti

    menjadi activity 

    (kemampuan fungsional

    penderita), sedangkan

    handicap (kecacatan)

    diganti menjadi partici-

     pation (peran-serta

    penderita dalam kehidupan

    sesuai dengan ketidak-

    mampuan, aktivitas,

    kondisi kesehatan dan

    faktor kontekstual

    lainnya ). Rehabilitasi

    medis tidak hanya

    berfokus pada apa yang

    pasien tidak mampu

    lakukan namun juga pada

    apa yang pasien masih

    mampu lakukan.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    17/43

    Proses Pemulihan

    setelah Stroke

    Proses pemulihan setelah

    stroke dibedakan atas

    pemulihan neurologis

    (fungsi saraf otak) dan

    pemulihan fungsional

    (kemampuan

    melakukan aktivitas

    fungsional).

    Gambar 1. Rehabilitation

    Model: ICF7

    Pemulihan neurologis

    terjadi awal setelah

    stroke. Mekanisme yang

    mendasari adalah

    pulihnya fungsi sel otak

    pada area penumbra

    yang berada di sekitar

    area infark yang se-sungguhnya, pulihnya

    diaschisis dan atau

    terbukanya kembali

    sirkuit saraf yang

    sebelumnya tertutup

    atau tidak digunakan

    lagi. Kemampuan

    fungsional pulih sejalan

    dengan pemulihan

    neurologis yang terjadi.

    Setelah lesi otak

    menetap, pemulihan

    fungsional masih dapat

    terus terjadi sampai

    batas-batas tertentu

    terutama dalam 3-6 bulan

    pertama setelah stroke.

    Hal itulah yang menjadi

    fokus utama rehabilitasi

    medis, yaitu untuk

    mengembalikan

    kemandirian pasien

    mencapai kemampuan

    fungsional yang optimal.

    Proses pemulihan

    fungsional terjadi

    berdasarkan pada proses

    reorganisasi atau

    plastisitas otak melalui:

    Proses Substitusi

    Proses ini sangat

    tergantung pada stimuli

    eksternal yang diberikan

    melalui terapi latihan

    menggunakan berbagaimetode terapi.

    Pencapaian hasilnya

    sangat tergantung pada

    intaknya jaringan

    kognitif, visual dan

    proprioseptif, yang

    membantu terbentuknya

    proses belajar dan

    plastisitas otak.

    Proses Kompensasi

    Proses ini membantu

    menyeimbangkan

    keinginan aktivitas

    fungsional pasien dan

    kemampuan fungsi

    pasien yang masih ada.

    Hasil dicapai melalui

    latihan berulang-ulang

    untuk suatu fungsi

    tertentu, pemberian alat

    bantu dan atau ortosis,

    perubahan perilaku, atau

    perubahan lingkungan.

    Pemilihan jenis intervensi

    rehabilitasi didasarkan

    pada pertimbangan

    beratnya gejala-sisa

    stroke, fase stroke saat

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    18/43

    terapi, penyakit penyerta

    dan atau komplikasi

    medis, serta berbagai

    faktor terkait lainnya

    seperti usia pasien,

    motivasi, serta dukungandan ekonomi keluarga.

    Sebagai contoh pasien

    usia lanjut, penderita

    PPOK yang mendapat

    stroke akibat oklusi total

    a.cerebri media tentu

    tidak mungkin diberikan

    program rehabilitasisubstitusi agar ia dapat

    berjalan dan

    6 4 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari

    2009

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    19/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    mandiri penuh dalam

    aktivitas sehari-harinya,

    rehabilitasi kompensasi

    tentu lebih tepat

    untuknya.

    Intervensi Rehabilitasi

    Medis pada Stroke

    Secara umum rehabilitasi

    pada stroke dibedakan

    dalam beberapa fase.

    Pembagian ini dalam

    rehabilitasi medis dipakai

    sebagai acuan untuk

    menentukan tujuan (goal)

    dan jenis intervensi

    rehabilitasi yang akan

    diberikan, yaitu:

    Stroke fase akut: 2

    minggu pertama pasca

    serangan stroke

    Stroke fase subakut:

    antara 2 minggu-6 bulan

    pasca stroke

    Stroke fase kronis:

    diatas 6 bulan pasca

    stroke

    Rehabilitasi StrokeFase Akut

    Pada fase ini kondisi

    hemodinamik pasien

    belum stabil, umumnya

    dalam perawatan di

    rumah sakit, bisa di

    ruang rawat biasa

    ataupun di unit stroke.

    Dibandingkan dengan

    perawatan di ruang

    rawat biasa, pasien yang

    di rawat di unit stroke

    memberikan outcome 

    yang lebih baik. Pasienmenjadi lebih mandiri,

    lebih mudah kembali

    dalam kehidupan

    sosialnya di masyarakat

    dan mempunyai kualitas

    hidup yang lebih baik .9 

    Rehabilitasi pada fase

    itu tidak akan di bahas

    lebih lanjut dalam

    makalah ini, karena

    memerlukan

    penanganan spesialistik

    di rumah sakit.

    Rehabilitasi Stroke

    Fase Subakut

    Pada fase ini kondisi

    hemodinamik pasien

    umumnya sudah stabil

    dan diperbolehkan

    kembali ke rumah,

    kecuali bagi pasien yang

    memerlukan

    penanganan rehabilitasi

    yang intensif. Sebagian

    kecil (sekitar 10%)

    pasien pulang dengan

    gejala sisa yang sangatringan, dan sebagian

    kecil lainnya (sekitar

    10%) pasien pulang

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    20/43

    dengan gejala sisa yang

    sangat berat dan

    memerlukan perawatan

    orang lain sepenuhnya.

    Namun sekitar 80%

    pasien pulang dengangejala sisa yang

    bervariasi beratnya dan

    sangat memerlukan

    intervensi rehabilitasi

    agar dapat kembali

    mencapai kemandirian

    yang optimal.

    Rehabilitasi pasienstroke fase subakut dan

    kronis mungkin dapat

    ditangani oleh

    pelayanan kesehatan

    primer. Rehabilitasi fase

    ini akan dibahas lebih

    rinci terutama mengenai

    tatalaksana sederhana

    yang tidak memerlukan

    peralatan canggih.

    Pada fase subakut pasien

    diharapkan mulai

    kembali untuk belajar

    melakukan aktivitas

    dasar merawat diri dan

    berjalan. Dengan atau

    tanpa rehabilitasi, sistim

    saraf otak akan

    melakukan reorganisasi

    setelah stroke.

    Reorganisasi otak yang

    terbentuk tergantung

    sirkuit jaras otak yang

    pal-ing sering digunakan

    atau tidak digunakan.

    Melalui rehabilitasi,

    reorganisasi otak yang

    terbentuk diarahkan agar

    mencapai kemampuan

    fungsional optimal yang

    dapat dicapai oleh pasien,melalui sirkuit yang

    memungkinkan gerak

    yang lebih terarah dengan

    menggunakan

    energi/tenaga se-efisien

    mungkin. Hal tersebut

    dapat tercapai melalui

    terapi latihan yang

    terstruktur, dengan

    pengulangan secara

    kontinyu serta

    mempertimbangkan

    kinesiologi dan

    biomekanik gerak.

    Prinsip-prinsip

    Rehabilitasi Stroke:

    Bergerak merupakan obat

    yang paling mujarab. Bila

    anggota gerak sisi yang

    terkena terlalu lemah

    untuk mampu bergerak

    sendiri, anjurkan pasienuntuk bergerak/

    beraktivitas

    menggunakan sisi yang

    sehat, namun sedapat

    mungkin juga

    mengikutsertakan sisi

    yang sakit. Pasien dan

    keluarga seringkali

    beranggapan salah,

    mengharapkan sirkuit

    baru di otak akanterbentuk dengan

    sendirinya dan pasien

    secara otomatis bisa

    bergerak kembali.

    Sebenarnya sirkuit hanya

    akan terbentuk bila ada

    “kebutuhan” akan gerak

    tersebut. Bila ekstremitas

    yang sakit tidak pernah

    digerakkan sama sekali,

    presentasinya di otak

    akan mengecil dan

    terlupakan.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    21/43

    Terapi latihan gerak

    yang diberikan

    sebaiknya adalah gerak

    fungsional daripada

    gerak tanpa ada tujuan

    tertentu. Gerakfungsional misalnya

    gerakan meraih,

    memegang dan

    membawa gelas ke

    mulut. Gerak fungsional

    mengikutsertakan dan

    mengaktifkan bagian–

    bagian dari otak, baik

    area lesi maupun area

    otak normal lainnya,

    menstimulasi sirkuit

    baru yang dibutuhkan.

    Melatih gerak seperti

    menekuk dan

    meluruskan (fleksi-

    ekstensi) siku lengan

    yang lemah 

    menstimulasi area lesi

    saja. Apabila akhirnya

    lengan tersebut

    bergerak, tidak  begitusaja bisa digunakan

    untuk gerak fungsional,

    namun tetap

    memerlukan terapi

    latihan agar terbentuk  

    sirkuit yang baru.

    Sedapat mungkin bantu

    dan arahkan pasien untuk 

    melakukan gerak

    fungsional yang normal,

     jangan biarkan

    menggunakan gerak

    abnormal. Gerak normal

    artinya sama dengan

    gerak pada sisi sehat.

    Bila sisi yang terkena

    masih terlalu lemah,

    berikan bantuan “tenaga”

    secukupnya dimana

    pasien masih

    menggunakan ototnya

    secara “aktif”. Bantuan

    yang berlebihan membuat

    pasien tidakmenggunakan otot yang

    akan dilatih (otot

    bergerak pasif). Bantuan

    tenaga yang kurang

    menyebabkan pasien

    mengerahkan tenaga

    secara berlebihan dan

    mengikut-sertakan otot-

    otot lain. Ini akan

    memperkuat gerakan

    ikutan ataupun pola

    sinergis yang memang

    sudah ada dan seharusnya

    dihindari. Besarnya

    bantuan “tenaga” yang

    diberikan harus

    disesuaikan dengan

    kemajuan pemulihan

    pasien.

    Gerak fungsional dapatdilatih apabila stabilitas

    batang tubuh sudah

    tercapai, yaitu dalam

    posisi duduk dan berdiri.

    Stabilitas duduk

    dibedakan dalam

    stabilitas duduk statik dan

    dinamik. Stabilitas duduk 

    statik tercapai apabila

    pasien telah mampu

    mempertahankan duduk

    tegak tidak bersandar

    tanpa berpegangan dalam

    kurun waktu tertentu

    tanpa jatuh/miring ke

    salah satu sisi. Stabilitas

    duduk dinamik tercapai

    apabila pasien dapat

    mempertahankan posisi

    duduk sementara batang

    tubuh

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    22/43

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 6 5

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    23/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Gambar 2. Latihan dengan Bantuan

    Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak, dengan meniadakan gerak

    ikutan ataupun gerak sinergis.

    doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan

    dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu

    sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping

    untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh

    selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik.

    Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    24/43

    melakukan aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan

    fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu

    melakukan aktivitas sambil berjalan.

    Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan

    terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan

    memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara

    fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan

    kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian

    tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada

    pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi

    dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai

    dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis jugamenjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan

    denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu

    dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina

    pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan

    yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama

    (umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan

    pengulangan sesering mungkin.

    Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila

    ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan

    semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan

    rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan.

    Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus

    melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada

    prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk

    mampu kembali melakukan suatu aktivitas

    fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.

    Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut

    ditujukan untuk:

    Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring

    Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-

    kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal

    Mengembalikan kemandirian dalam melakukan

    aktivitas sehari-hari

    Mengembalikan kebugaran fisik dan mental

    Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring

    Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai

    kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan

     jalan, cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di

    rumah. Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan

    membantu secara berlebihan dan menjadikan pasien

    terbaring pasif “menunggu kondisi menjadi lebih baik,

    dan gerak menjadi lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring

    lama menyebabkan pasien bertambah lemah, lebih cepatlelah karena stamina makin rendah, gerak semakin

    bertambah berat karena semua anggota gerak menjadi

    kaku dan timbul komplikasi-komplikasi lain. Keluarga

    dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-ing

    berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk 

    dari pada baik. (Tabel 5).

    Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode

    emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang

    diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih memberikan

    hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh

    disia-siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk

    selalu aktif melakukan aktivitas sesuai dengan

    kemampuan yang ada. Terapi latihan di-programkan

    dengan durasi dan frekuensi latihan secara bertahap

    ditingkatkan.

    6 6 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    25/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Tabel 5. Komplikasi Tirah

    Baring10

    Sistem

    tubuh

    Efek terhadap sistem

    tubuh

    Sistem Kardiovaskuler

    §

    Denyut nadi meningkat ½ 

    ketuk/menit

    setiap hari selama 3-4 minggu

    §

    Ortostatik hipotensi

    § Risiko terjadinya  Deep

    Vein Trombosis

    dan emboli pulmonal

    §

    Viskositas darah meningkat

    Sistem

    Respirasi

    §

    Retensi sputum dan

    menurunnya

    oksigenasi

    §

    Kecepatan pernafasan

    meningkat

    §

    Risiko terjadinya pneumonia

    Sistem

    Muskuloske-

    §

    Kekuatan dan massa otot

    menurun

    l e t a l

    §

    Perubahan histologi otot

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    26/43

    §

    Perubahan kelenturan sendi

    (kontraktur)

    §

    Osteoporosis

    Sistem

    Metabolik

    §

    Persentase lemak tubuh

    meningkat

    dan Endokrin

    §

    Hipercalcaemia

    § Toleransi glukose menurun

    dalam 3 hari

    tirah baring

    Sistem

    Integumen

    §

    Decubitus ulcers

    Sistem

    Gastrointes-

    §

    Konstipasi

    t i n a l

    §

    Refluks Gastroesofageal

    Sistem

    Urogenital

    §

    Awal volume urin meningkat,

    kemudian

    menurun /stasis

    §

    Inkontinensia urine

    Sistem Saraf Pusat

    §

    Perubahan pada afeksi

    § Penurunan kognitif dan

    persepsi

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    27/43

    Menyiapkan/mempertaha

    nkan kondisi yang

    memung-kinkan

    pemulihan fungsional

    yang paling optimal

    Berbagai komplikasi

    dapat timbul setelah

    stroke yang dapat

    membatasi pemulihan

    kemampuan fungsional

    yang seharusnya dapat

    dicapai. Karena kondisi

    tersebut sebagian besar

    dapat dicegah, maka

    meningkatkanpemahaman keluarga dan

    pasien sangat penting dan

    krusial.

    Mencegah pemendekan

    otot dan kontraktur

    sendi Fungsi otot

    bergerak (berkontraksi)

    memendek dan

    memanjang. Bila otot

    diam pada satu posisi

    tertentu dalam waktu

    lama kelenturannya

    akan hilang. Otot akan

    kaku pada posisi

    tersebut, sulit dan

    memerlukan tenaga

    lebih besar untuk

    kontraksi memendek

    ataupun memanjang.Demikian pula berlaku

    pada sendi, yang akan

    menjadi kering dan

    kaku. Kedua kondisi ini

    membuat pasien yang

    karena kelumpuhannya

    sudah sulit bergerak

    menjadi tambah tidak

    mungkin bergerak.

    Latihan mencapai

    lingkup gerak penuhpada semua persendian

    disertai latihan regangan

    otot sedikitnya 2 kali

    per hari diperlukan.

    Mencegah spastisitas dan

    pola gerak sinergis

    berlebihan Setelah stroke

    akan terbentuk spastisitas

    dan pola gerak khas yaitu

    pola sinergis fleksor atau

    ekstensor (Tabel 6). Pada

    umumnya, akan terbentuk

    pola sinergis fleksor pada

    ekstremitas atas sedangkan

    pada ekstremitas bawah

    pola sinergis ekstensor.

    Spastisitas dan pola gerak

    sinergis tidak dapat

    dihilangkan akan tetapi

    perlu dikontrol agar

    tidak berlebihan dan

    mengganggu gerak

    fungsional yang akan

    dilatih. Pemberian

    posisi yang tepat

    sebagai antisipasi sudah

    harus dimulai sejak

    awal dan diterapkan

    dalam seluruh aktivitas.

    Tabel 6. Pola Sinergistik11

    Bagian tubuh

    Pola sinergis fleksor

    Pola sinergis

    e k s t e n s o r

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    28/43

    Ekstremitas atas Retraksi bahu

    Protraksi bahu

    Abduksi bahu

    Adduksi bahu

    Rotasi eksternal lengan

    Rotasi internal lengan

    Fleksi siku

    Ekstensi siku

    Supinasi tangan

    Pronasi tangan

    Fleksi pergelangan

    Ekstensi pergelangan

    tangan

    tangan

    Fleksi jari-jari tangan

    Fleksi jari-jari tangan

    Ekstremitas

    Fleksi panggul

    Ekstensi panggul

    bawah

    Abduksi panggul

    Adduksi panggul

    Rotasi eksternal

    Rotasi internal paha

    panggul

    Fleksi lutut

    Ekstensi lutut

    Dorsifleksi pergelangan

    Plantar fleksi pergela-

    kaki

    ngan kaki

    Eversi pergelangan kaki

    Inversi pergelangan kaki

    Ekstensi jari-jari kaki

    Fleksi jari-jari kaki

    Posisi antisipasi adalah

    posisi sebaliknya dari

    pola gerak yang akan

    timbul. Pada ekstremitasatas misalnya, cenderung

    timbul spastisitas fleksor,

    maka lengan diupayakan

    selalu dalam posisi

    ekstensi apabila tidak

    sedang latihan. Pasien

    diberikan motivasi secara

    sadar menggunakan

    posisi antisipasi pada saat

    tidur, duduk serta berdiri

    dan bergerak. Pasienseringkali lebih memilih

    posisi yang

    menyenangkan baginya.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    29/43

    Posisi yang

    menyenangkan dan terasa

    nyaman belum tentu

    merupakan posisi yang

    baik untuknya.

    Mencegah timbulnya

    nyeri.

    Nyeri sering terjadi

    setelah stroke dan sangat

    mengganggu terapi

    latihan. Nyeri dapat

    merupakan akibat ataukomplikasi dari stroke.

    Lesi yang mengenai area

    talamus seringkali

    menimbulkan nyeri yang

    disebut sebagai thalamic

     pain syndrome. Nyeri

     jenis itu disebabkan oleh

    gangguan sensorik sentral

    dimana interpretasi

    stimulus yang datang dari

    luar diterima sebagai rasa

    nyeri di otak. Sayangnya

    nyeri tersebut tidak selalu

    mudah diatasi, namun

    dapat dicoba dengan

    pemberian trisiklik

    antidepresan atau

    antikonvulsan.

    Sebagian besar nyeri pasca

    stroke merupakan nyeri

    muskuloskeletal, terutama

    pada bahu sisi yang

    terkena. Penyebab

    utamanya seringkali adalah

    penanganan bahu yang

    salah atau kurang tepat,

    seperti dalam penempatan

    bahu saat tidur miring ke

    sisi sakit sehingga bahu

    tertindih tubuh, atau saat

    duduk bahu tidak

    tersanggah dengan baik.

    Saat membantu pasien

    pindah tempat (transfer)

    dan saat membantu dalam

    aktivitas sehari-hari,

    misalnya

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 6 7

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    30/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Gambar 3. Membantu Berpakaian.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    31/43

    Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan nyeri. Lengan harus

    ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).

    berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah

    pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya

    tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri

    miofascial, dan atau nyeri neuropatik.

    Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri

    saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya utama

    daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi untuk mencapaipemahaman mengenai pemberian posisi yang tepat, cara

    membantu pasien dalam transfer atau aktivitas sehari-hari serta

    cara berlatihan oleh karena itu sangat penting diberikan pada

    pasien dan keluarganya.

    Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam

    Melakukan Aktivitas Sehari-hari

    Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas

    sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama

    rehabilitasi stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi

    yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan

    latihan spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan

    melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis,

    metode pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan

    intensitas terapi yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi

    medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif 

    apabila terpenuhi beberapa kondisi yaitu:

    Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau

    pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut

    perlu diatasi terlebih dahulu.

    Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai

    melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman

    terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan kognitif.

    Pemberian stimulasi untuk kemampuan pemahamananbahasa dan persepsi pasien diintegrasikan ke dalam terapi

    latihan.

    Gangguan Komunikasi

    Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain

    melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah

    kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi

    bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi

    bicara disebut disartria.

    Afasia

    Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk mem-

    formulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme

    bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer

    dominan.

    Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:

    kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara

    spontan)

    kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman

    auditori)

    kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan

    (bahasa simbol)

    kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca

    (pemahamanan visual)

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    32/43

    menamakan meniru

    6 8 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    33/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Stroke dapat

    mengakibatkan gangguan

    pada salah satu beberapa

    atau bahkan semua

    kemampuan berbahaya

    (afasia global). Secara

    umum afasia dibedakan

    menjadi afasia motorik,

    afasia sensorik, afasia

    transkortikal sensorik,

    afasia transkortikal

    motorik, afasia anomikdan afasia global.

    Kemampuan pemahaman

    bahasa menjadi indikator

    penting untuk

    kemandirian aktivitas

    fungsional, artinya

    semakin berat gangguan

    afasia sensorik yang

    diderita, semakin sulit

    tercapai kemandirian

    dalam aktivitas sehari-

    hari.

    Pasien afasia harus diajak 

    berbicara dengan suara

    biasa afasia bukan

    gangguan pendengaran,

     jadi tidak perlu berteriak

    keras). Selain itu, jangan

    terlalu cepat dan dengan

    kalimat pendek yangmengandung satu

    informasi saja dalam

    setiap kalimat. Akan

    lebih bermanfaat apabila

    stimulasi auditori (bahasa

    verbal) yang diberikan

    secara simultan dengan

    stimulasi visual (bahasa

    tulisan atau gambar-

    gambar). Pasien afasia

     jangan diajarkan mengejahuruf, karena akan

    membuat pasien frustasi.

    Mengeja merupakan

    fungsi hemisfer kiri yang

     justru terganggu.

    Stimulasi melalui lagu,

    menyanyikan dan

    menyuarakan syair lagu

    yang sudah pasien kenal

    sebelum sakit akan lebih

    bermanfaat.

    Disartria

    Disartria didefinisikan

    sebagai gangguan dalam

    mengekspresikan

    bahasa verbal, akibat

    kelemahan, spastisitas

    dan atau gangguan

    koordinasi pada organ

    bicara dan artikulasi.

    Parameter bicara yang

    terkena pada disatria

    antara lain respirasi,

    fonasi/suara, artikulasi,

    resonansi dan prosodi.

    Tergantung letak lesi

    disatria dibedakan atas

    disatria flaksid, spastik,

    ataksik, hipokinetik dan

    hiperkinetik.

    Terapi latihan diberikan

    sesuai dengan penyebab

    disatria, antara lain

    untuk memperbaiki

    kontrol pernapasan,

    meningkatkan

    kelenturan dan

    penguatan organ bicara

    dan artikulasi termasukotot wajah, otot leher

    dan otot pernapasan.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    34/43

    Gangguan Fungsi

    Luhur

    Fungsi kortikal luhur

    merupakan fungsi yang

    paling luhur pada

    manusia, yang

    membedakan manusia

    dengan mahkluk Tuhan

    lainnya. Kerja fungsi ini

    melibatkan jaringan yang

    rumit dan kompleks serta

    sulit untuk dipisahkan

    karena saling terkait satu

    sama lain. Untuk

    memudahkan

    pemahaman, fungsi

    kortikal luhur dibedakan

    menjadi fungsi

    berbahasa, fungsi

    memori, fungsi

    visuospasial, fungsi

    emosi dan fungsi kognisi.

    Fungsi kognisi seseorang

    memerlukan intaknyafungsi kortikal luhur

    yang lain. Fungsi kognisi

    antara lain kemampuan

    atensi, konsentrasi,

    registrasi, kategorial,

    kalkulasi, persepsi,

    proses pikir,

    perencanaan, tahapan

    serta pelaksanaan

    aktivitas/tugas,

    pertimbangan baik buruk,

    bahaya tidak bahaya,

    pemecahan masalah dan

    lain se-bagainya. Pasien

    stroke disertai gangguan

    fungsi luhur memerlukan

    rehabilitasi spesifik.

    Rehabilitasi untuk me-

    ngembalikan kemampuan

    fungsional (karena ada

    gangguan

    fungsi kognisi) tersebut

    lebih sulit dan memerlukan

    waktu lebih lama. Salah

    satu yang perlu mendapat

    perhatian adalah hemi-

    neglect. Pasien dengan

    gangguan hemi-neglect

    umumnya mempunyai lesi

    di hemisfer kanan dan

    mengabaikan semua yang

    berada di sisi kirinya.

    Pasien tersebut seringkali

    berjalan menabrak pintu

    yang ada di sebelah kiri,

     jatuh tersandung benda

    yang berada di sisi kiri,

    atau tidak menyadari ada

    makanan atau minuman

    yang diletakkan di sisi

    kirinya. Gangguan hemi-

    neglect  paling parah

    adalah ia tidak mengenali

    tangan kirinya sebagai

    bagian dari tubuhnya.

    Gangguan ini tidak sama

    dengan hemianopsia,

    dimana lapang pandang

    pasien menjadi terbatas.

    Gangguan Menelan

    Gangguan menelan

    disebut sebagai disfagia.

    Insiden gangguan

    menelan akibat stroke

    cukup banyak berkisar

    antara 30-65%.2,11,12 

    Sekitar 30% akan pulih

    dalam 2 minggu,

    sisanya akan pulih

    dalam bulan-bulan

    berikutnya. Disfagia

    merupakan gejala klinis

    penting karena

    menempatkan pasien

    pada risiko aspirasi dan

    pneumonia, selain

    dehidrasi dan

    malnutrisi.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    35/43

    Suara pasien yang serak 

    basah perlu dicurigai

    adanya gangguan

    menelan. Mendeteksi

    adanya disfagia dapat

    dilakukan melaluipemeriksaan sederhana

    sebagai berikut:

    Pasien mampu

    memahami tujuan tes ini

    dan kooperatif.

    Posisikan pasien duduktegak. Apabila belum ada

    keseimbangan duduk,

    perlu diberikan tunjangan

    bantalan agar dapat

    mempertahankan posisi

    duduk dengan baik.

    Berikan satu sendok teh

    (5 ml) air dingin, minta

    pasien untuk menelan

    dengan kepala sedikit

    menunduk.

    Perhatikan apakah

    pasien mampu menutup

    bibir saat mencoba

    menelan.

    Lihat atau lakukan

    palpasi dengan

    meletakan jari pada

    laring, rasakan apakah

    terjadi elevasi laring

    yang menunjukan

    terjadinya proses

    menelan. Monitor

    apakah ada

    keterlambatan atauterjadi proses menelan

    yang inkomplit.

    Minta pasien untuk

    menyuarakan huruf

    “aaaa.....” Moni-tor suara

    yang terdengar kering

    atau basah/serak.

    Minta pasien berusaha

    membatukkan lendir,

    ulangi menyuarakan

    huruf aaa.... Monitor

    kembali bagaimana

    suara yang terdengar.

    Apabila ternyata pasien

    tidak dapat menelan atau

    suara

    menjadi basah, maka

    makan dan minum per

    oral harus dihentikan.

    Pasien memerlukan

    pemeriksaan fungsi

    menelan lebih lanjut

    dengan VFSS (video

     fluorosgraphic swallow 

    study) atau FEES

    ( fiberoptic endoscopic

    evaluation of swal-

    lowing).5,11,12

    Gangguan Fungsi

    Miksi dan Defekasi

    Gangguan miksi yang

    terjadi pada stroke

    umumnya adalah

    uninhibited bladder  yang

    menimbulkaninkontinensia urin.

    Walaupun pasien

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    36/43

    kelihatannya mampu

    miksi, namun

    Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008 6 9

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    37/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    harus tetap dievaluasi

    apakah urin keluar

    tuntas, artinya residu

    sisa dalam kandung

    kemih setelah miksi

    kurang dari 50-80 ml.

    Sisa urin yang terlalu

    banyak akan

    menyebabkan

    timbulnya infeksi

    kandung kemih.

    Pasien inkontinensia

    karena uninhibited

    bladder  dapat diatasi

    dengan manajemen

    waktu berkemih. Catat

    waktu serta jumlah

    minum dan urine pada

    voiding diary selama

    minimal 3 hari berturut-

    turut. Berdasarkan

    voiding diary tersebut

    dapat ditentukan kapan

    pasien setiap kali harus

    berkemih dengan

    pengaturan minum yang

    sesuai. Apabila

    frekuensi miksi terlalu

    sering, obat seperti

    antikolinergik dapat

    membantu, namun hati-

    hati dengan risiko

    timbulnya retensio

    urin.12

    Gangguan defekasi

    pada stroke fase subakut

    pada umumnya adalah

    konstipasi akibat

    immobilisasi. Perlu

    diingat bahwa diare

    yang timbul kemudian

    selain gastroenteritis

     juga bisa disebabkan

    oleh adanya skibala,

    terutama bila didahului

    oleh obstipasi lama

    sebelumnya.

    Sarankan pasien untuk

    banyak bergerak aktif,

    berikan cukup cairan

    (sekitar 40 ml/kg BB

    ditambah 500 ml air/cairanbila tidak ada

    kontraindikasi), serta

    makan makanan berserat

    tinggi. Bila perlu obat

    laksatif dapat diberikan.

    Gangguan Berjalan

    Ambulasi jalan

    merupakan suatu

    aktivitas komplex yang

    memerlukan tidak

    hanya kekuatan otot

    ekstremitas bawah saja,

    tetapi juga kemampuan

    kognitif, persepsi,

    keseimbangan dan

    koordinasi.

    Terapi latihan menuju

    ambulasi jalan perlu

    diberikan bertahap,

    dimulai dari kemampuan

    mempertahankan posisi

    duduk statik dan

    dinamik, keseimbangan

    berdiri statik dan

    dinamik kemudian

    latihan berjalan. Dalam

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    38/43

    latihan berdiri perlu

    selalu diperhatikan

    bahwa panggul harus

    pada posisi ekstensi 00,

    lutut mengunci pada

    posisi ekstensi 00

     sedangkan pergelangan

    kaki dalam posisi netral

    900 . Pastikan berat

    badan tertumpu juga

    pada tungkai sisi yang

    sakit. Paralel bar yaitu

    palang dari besi, kayu

    atau bambu yang

    dipasang sejajar

    merupakan tempat

    latihan jalan yang palingbaik. Letakan kaca

    setinggi tubuh di depan

    paralel bar agar pasien

    dapat melihat sendiri

    postur berdiri serta

     jalannya dan melakukan

    koreksi secara aktif.

    Apabila jalan sudah

    cukup stabil di dalam

    paralel bar, maka latihan

     jalan dapat dilanjutkan

    dengan memakai tripod,

    yaitu tongkat yang ujung

    bawahnya bercabang

    tiga. Untuk memperbaiki

    stabilitas jalan, tidak

     jarang diperlukan

    perespon splint kaki

    (dynamic foot ortho-sis)

    atau sepatu khusus.

    Gangguan Melakukan

    Aktivitas Sehari-hari

    Pasien yang telah

    kembali ke rumah

    seharusnya di motivasi

    untuk mengerjakan

    semampunya aktivitas

    perawatan dirinya

    sendiri. Apabila sisi

    kanan yang terkena,

    pasien dapat diajarkan

    untuk menggunakan

    tangan kirinya untuk

    semua aktivitas. Pastikan

     juga tangan yang sakit

    diikut-sertakan dalam

    semua kegiatan (Gambar

    4). Semakin cepat

    dibiarkan melakukannya

    sendiri, semakin cepat

    pula pasien menjadi

    mandiri. Hanya aktivitas

    yang dapat menimbulkan

    risiko jatuh atau

    membahayakan pasien

    sendiri yang perlu

    ditolong oleh keluarga.

    Mengembalikan

    Kebugaran Fisik dan

    Mental

    Pasien stroke seringkali

    mengeluh cepat lelah. Ia

    selalu berupaya untuk

    sedikit bergerak dan

    lebih banyak istirahat.

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    39/43

    Gambar 4.  Aktivitas Perawatan Diri

    Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas

    perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikut-

    sertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat(B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga seba-gai terapi

    latihan.

    7 0 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari

    2009

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    40/43

     Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer 

    Keluarga seringkali

    membenarkan perilaku

    seperti itu, menganggap

    biasa karena pasien baru

    pulang rawat dan

    mengharapkan kondisi

    seperti ini akan

    bertambah baik.

    Kenyataannya pasien

    akan semakin cepat lelah

    bahkan untuk aktivitas

    yang kecil sekalipun,seperti misalnya duduk

    beberapa menit di kursi

    roda. Hal tersebut

    disebabkan oleh

    endurans pasien menjadi

    rendah karena

    immobilisasi lama.

    Selain itu, adanya

    kelemahan otot

    menyebabkan tenaga

    yang diperlukan untuk

    bergerak lebih besar dari

    biasanya. Kedua kondisi

    tersebut menyebabkan

    pasien menjadi cepat

    lelah.

    Terapi yang terbaik

    adalah biasakan pasien

    sejak awal aktif

    semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat

    berkepanjangan. Pasien

    dianjurkan agar sering

    duduk, bukan duduk di

    tempat tidur melainkan

    duduk di kursi di luar

    kamar tidur. Waktu aktif

    dan istirahat dijadwalkan

    secara proporsional

    sesuai dengan kondisi

    pasien. Pasien dimotivasiuntuk selalu makan di

    kamar makan bersama

    keluarga dan dibiarkan

    untuk mengambil

    makananan pilihannya

    sendiri. Pasien selalu

    dilibatkan dalam aktivitas

    keluarga bahkan bagi

    pasien dengan afasia.

    Pasien diajak berlatih

    yang bertargetkan hasil

    misalnya melempar bola

    masuk ke keranjang,

    bowling kecil, main catur

    atau halma.

    Kegiatan tersebut

    awalnya mungkin hanya

    sebentar, namun bila

    dilakukan sesering

    mungkin akan

    memperbaiki/

    meningkatkan endurans

    pasien. Latihan

    endurans dengan beban

    ringan selanjutnya dapatdimulai misalnya

    dengan latihan

    mengayuh sepeda statik

    atau menggunakan

    thera-band atau karet

    ban dalam bekas.

    Suasana hati yang

    murung juga membuatpasien merasa cepat

    lelah dan bosan.

    Berikan sedikit demi

    sedikit peran dan

    tanggung jawab serta

    ungkapkan selalu

    bahwa peran serta

    pasien sangat

    dibutuhkan oleh

    keluarga. Dengan

    demikian pasien akanmerasa dirinya masih

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    41/43

    berharga dan berguna

    bagi orang lain.

    Rehabilitasi Stroke

    Fase Kronis

    Program latihan untuk

    stroke fase kronis tidak

    banyak berbeda dengan

    fase sebelumnya. Hanya

    dalam fase ini sirkuit-

    sirkuit gerak/aktivitas

    sudah terbentuk,

    membuat pembentukansirkuit baru menjadi lebih

    sulit dan lambat. Hasil

    latihan masih tetap dapat

    berkembang bila

    ditujukan untuk

    memperlancar sirkuit

    yang telah terbentuk

    sebelumnya, membuat

    gerakan semakin baik

    dan penggunaan tenaga

    semakin efisien. Latihanendurans dan penguatan

    otot secara bertahap terus

    ditingkatkan, sampai

    pasien dapat mencapai

    aktivitas aktif yang

    optimal.

    Tergantung pada

    beratnya stroke, hasil

    luaran rehabilitasi dapat

    mencapai berbagai

    tingkat seperti (a)

    Mandiri penuh dan

    kembali ke tempat kerja

    seperti sebelum sakit,

    (b) Mandiri penuh dan

    bekerja namun alih

    pekerjaan yang lebih

    ringan sesuai kondisi,

    (c) Mandiri penuh

    namun tidak bekerja,

    (d) Aktivitas sehari-hari

    perlu bantuan minimal

    dari orang lain atau (e)

    Aktivitas sehari-hari

    sebagian besar atau

    sepenuhnya dibantu

    orang lain.

    Kesimpulan

    Dampak gejala sisa

    akibat stroke sangat

    bervariasi dan kompleks.

    Rehabilitasi stroke

    memerlukan keterlibatan

    tenaga profesional dalambentuk tim yang

    membahas secara

    berkesinambungan

    perkembangan hasil dan

    secara dinamis

    menetapkan intervensi

    yang tepat dan sesuai.

    Namun tidak semua

    pasien mudah

    mendapatkan pelayanan

    rehabilitasi spesialistik.Walaupun demikian

    banyak hal yang masih

    dapat dilakukan untuk

    membantu pasien dan

    keluarganya. Mencegah

    komplikasi sekunder dan

    mengembalikan

    kemandirian pasien dapat

    sekaligus meringankan

    beban psikososial dan

    ekonomi keluarga.

    Profesi dokter di

    pelayanan kesehatan

    primer yang menjadi

    ujung tombak di

    masyarakat memiliki

    peran yang sangat

    penting.

    Daftar Pustaka

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    42/43

    1 . De Freitas GR, Bezerra

    DC, Maulaz AB,

    Bogousslavsky J. Stroke:

    background, epidemiology,

    etiology and avoiding

    recurrence. In: Barnes M,

    Dobkin B and Bogousslavsky

    J. (ed.) Recovery after Stroke.

    Cambridge, Cambridge

    University Press, 2005:1-46.

    2 . Brammer CM, Herring

    GM. Stroke Rehabilitation. In:

    Brammer CM, Spires MC.

    (ed). Manual of Physical

    Medicine and Rehabili-tation.

    Philadelphia, Hanley &

    Belfus, Inc., 2002:139-66.

    3 . Bronstein SC, Popovich

    JM, Stewart-Amidei C.

    Promoting Stroke Recovery.

    A Research-Based Approach

    for Nurses. St.Louis, Mosby-

    Year Book, Inc., 1991:13-24.

    4 . Bartels MN.

    Pathophysiology and Medical

    Management of Stroke. In:

    Gillen G, Burkhardt A.(ed).

    Stroke Rehabilitation. A

    Func-tional-Based Approach.

    St. Louis, Mosby-Year Book,

    Inc., 1998:1-30 .

    5 . Graham A. Measurement

    in stroke: activity and quality

    of life. In: Barnes M, Dobkin

    B and Bogousslavsky J. (ed.)Recovery after Stroke.

    Cambridge, Cambridge

    University Press, 2005:135-60

    .

    6 . O’Dell MW, Lin CD,

    Panagos A and Fung NQ. The

    Physiatric History and

    Physical Examination. In:

    Braddom RL (ed). Physi-cal

    Medicine & Rehabilitation.

    3rd. Edition. Elsevier, WB

    Saunders Company, 2007:1-

    36.

    7 . Granger CV, Black T and

    Braun SL. Quality and

    Outcome Mea-sures for

    Medical Rehabilitation. In:

    Braddom RL (ed). PhysicalMedicine & Rehabilitation.

    3rd. Edition. Elsevier, WB

    Saunders Company,

    2007:151-64.

    8 . Wade DT. Measurement in

    Neurological Rehabilitation.

    Oxford, Oxford University

    Press, 1994:3-14,26-34.

    9 . Wood-Dauphinee S,

    Kwakkel G. The impact of

    rehabilitation on stroke

    outcomes: what is the

    evidence? In: Barnes M,

    Dobkin B and Bogousslavsky

    J. (ed.) Recovery after Stroke.

    Cambridge, Cambridge

    University Press, 2005:161-

    88.

    10 . Tong HC, Brammer CM.

    Deconditioning and Bed Rest.

    In: Brammer CM, Spires MC.

    (ed). Manual of Physical

    Medicine and Rehabilitation.

    Philadelphia, Hanley &

    Belfus, Inc., 2002:221-9 .

    11 . Harvey RL, Roth EJ, Yu

    D. Rehabilitation in Stroke

    Syndromes. In: Braddom RL(ed). Physical Medicine &

    Rehabilitation. 3rd. Edition.

    Elsevier, WB Saunders

    Company, 2007:1175-212.

    12 . Harwood R. Huwez F,

    Good D. Stroke Care. A

    Practical Manual. Oxford,

    Oxford University Press,

    2005.

     MS 

  • 8/19/2019 626-673-1-PB

    43/43

    Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009 7 1


Recommended