Date post: | 08-Jul-2018 |
Category: |
Documents |
Upload: | tiffany-nurzaman |
View: | 214 times |
Download: | 0 times |
of 19
8/19/2019 626-673-1-PB
1/43
Tinjauan Pustaka
Rehabilitasi Stroke pada
Pelayanan Kesehatan Primer
Rosiana Pradanasari Wirawan
SMF Rehabilitasi Medis RS Fatmawati, Jakarta
8/19/2019 626-673-1-PB
2/43
Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak kedua pada individu usia
di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan
intervensi rehabilitasi medik agar mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien mendapat
kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan. Sebagian besar disebabkan karena
tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut
dan kronis dapat ditangani melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak kepada perburukan kondisi
dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari, diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih
berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer sangat penting perannya.
Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
8/19/2019 626-673-1-PB
3/43
6 1
8/19/2019 626-673-1-PB
4/43
8/19/2019 626-673-1-PB
5/43
8/19/2019 626-673-1-PB
6/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Stroke Rehabilitation in Primary Health Care
Rosiana Pradanasari Wirawan
Physical Medicine and Rehabilitation, Fatmawati Hospital -Jakarta
Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most cause of disability forindividual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden and very costly. Post-stroke patient therefore
need a medical rehabilitation intervention, which enable them to take care of themselves and do their own daily activity
without being a burden to their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their
rehabili-tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical rehabilitation
facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic phase could also be managed by simple
procedures without using a sophisticated apparatus. Focusing on preventing of the complication of immobilization that
could make the condition became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the
patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.
Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.
Pendahuluan
Baik di negara maju maupun berkembang,
beban yang ditimbulkan stroke sangat besar.
Stroke merupakan penyebab kematian kedua
terbanyak di negara maju dan ketiga terbanyak
di negara berkembang. Berdasarkan data WHO
tahun 2002, lebih dari 5,47 juta orang meninggal
karena stroke di dunia.1 Dari data yang
dikumpulkan oleh American Heart Association
tahun 2004 setiap 3 menit satu orang meninggal
akibat stroke.
Dengan kemajuan teknologi, stroke lebih sering
meninggalkan kecacatan dibandingkan
kematian. Stroke merupakan penyebab
kecacatan kedua terbanyak di seluruh dunia pada
individual di atas 60 tahun.1 Beban biaya yang
ditimbulkan akibat stroke sangat besar, selain
bagi pasien dan keluarganya, juga bagi negara.
Kondisi ini belum memperhitungkan beban
psikososial bagi keluarga yang merawatnya.
Oleh karena itu pencegahan stroke menjadi sangat
penting. Upaya pencegahan antara lain berupa
kontrol terhadap faktor risiko stroke (Tabel 1) dan
perilaku hidup yang sehat ( primary prevention).
Bagi pasien yang telah mendapat serangan stroke,
intervensi rehabilitasi medis sangat penting untuk
8/19/2019 626-673-1-PB
7/43
mengembalikan pasien pada kemandirian
mengurus diri sendiri dan melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari tanpa menjadi beban bagi
keluarganya. Perlu diupayakan agar pasien tetap
aktif setelah stroke untuk mencegah timbulnya
komplikasi tirah baring dan stroke
berulang (secondary prevention). Komplikasi
tirah baring dan stroke berulang akan
memperberat disabilitas dan menimbulkanpenyakit lain yang bahkan dapat membawa
kepada kematian.
Tabel 1. Faktor Risiko Stroke2
Tidak dapat
Dapat dimodifikasi
P o t e n s i a l
dimodifikasi
dimodifikasi
Usia
Hipertensi
Obesitas
Jenis kelamin
Diabetes mellitus
Inaktivitas fisik
Ras
Hiperkolesterolemia
Hiperhomosisteinemia
Hereditas
Atrial fibrilasi
Kondisi hiperkoagulitas
Merokok
Kontrasepsi oral terapi
stenosis karotis
hormonal pengganti
(asimptomatik)
Proses inflamasi
Penyakit sel sabit
Alkohol berlebihan
Abuse obat-obatan
Sindrom Stroke
8/19/2019 626-673-1-PB
8/43
Patologi stroke dapat dibagi dalam 2 kategori
yaitu hemoragik dan iskemia. (Tabel 2)
Gejala klinis stroke bervariasi tergantung pada
bagian otak yang sirkulasinya terganggu. Secara
umum stroke memberikan gambaran klinis
dengan pola yang khas, dengan variasi secara
individual tergantung pada ukuran pembuluh
darah, pola aliran atau luasnya disrupsi aliran
darah ke otak. (Tabel 3 dan 4.)
6 2 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
8/19/2019 626-673-1-PB
9/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Tabel 2. Patomekanisme
Stroke Akut2
P a t o m e k a n i s m e
P e r s e n t a s e
Iskemik
85%
Trombotik
60%
Embolik
20%
Lain-lain
5%
Hemoragik
15%
Intraserebral
10%
Subarakhnoid
5%
Tabel 3. Sindrom Stroke
Iskemik3
dan menggunakan
tangga.
World Health
Organization (WHO)
pada tahun 1980
memperkenalkan The
International
Classification of
Impair-ments,
Disabilities and
Handicaps (ICIDH)
sebagai model
rehabilitasi.5-8
Model ini membagi
kondisi sakit dalam 4
level berbeda yaitu:
Patologi (penyakit)
Patologi sinonim
dengan penyakit atau
diagnosis,
Sirkulasi tergganggu
S e n s o m o t o r i k
Gejala klinis lain
8/19/2019 626-673-1-PB
10/43
Sindrom Sirkulasi anterior
A. Serebri media (total)
Hemiplegia kontralateral (lengan lebih berat
Afasia global (hemisfer dominan) Hemi-neglect
dari tungkai) hemihipestesia kontralateral
(hemisfer non-dominan), agnosia, defisit visuo-
spassial apraksia, disfagia
A. Serebri media (bagian atas)
Hemiplegia kontralateral(lengan lebih berat
Afasia motorik (hemisfer dominan)
dari tungkai)hemiestesia kontralateral
Hemi-neglect (hemisfer non-dominan), hemia-
nopsia, disfagia
A. Serebri media (bagian bawah)
Tidak ada gangguan
Afasia sensorik (hemisfer dominan)
8/19/2019 626-673-1-PB
11/43
Agnosia afektif (hemisfer non-dominan)
Kontruksional apraksia
A. Serebri media dalam
Hemiparese kontralateral
Afasia sensoris transkortikal (hemisfer dominan)
Tidak ada gangguan sensoris, atau ringan sekali
Visual dan sensoris neglect sementara. (hemisfer
non-dominan)
A. Serebri anterior
Hemiplegia kontralateral (tungkai lebih berat dari
Afasia transkortikal (hemisfer dominan), Apraksia
lengan) hemiestesia kontralateral (umumnya ringan)
(hemisfer non dominan) perubahan perilaku dan
personalitas Inkontinensia urin dan alvi
Sindrom sirkulasi posterior
8/19/2019 626-673-1-PB
12/43
A. Basilaris (total) Kuadriplegia.
Sensoris umumnya normal
A. Serebri posterior Hemiplegia
sementara, berganti dengan pola gerak
chorea pada tangan.hipestesia atau
anestesia
terutama pada tangan
Pembuluh darah
kecil
Gangguan kesadaran
sampai ke sindromlock-in Gangguan saraf
kranial yang
menyebabkan diplopia,
disartria, disfagia,
disfonia.
Ganggguan emosi
Gangguan lapangpandang bagian
sentral, Prosopagnosia,
Aleksia
Lacunar Infark
Gangguan motorik murni, Gangguan sensorik murni
Hemiparesis ataksik, Sindrom Clumsy Hand
Stroke hemoragik
memiliki sejumlah
penyebab. Ada 4 tipe
yang paling umum,
yaitu perdarahan
hipertensif intrakranial,
ruptur aneurisma
sakular, perdarahan dari
AVM (arteriovenous
malformation) dan
perdarahan spontan di
daerah lobus.
Gangguan Fungsi
akibat Stroke
Dalam rehaebilitasi
medis, istilah fungsi
merujuk pada
kemampuan/ketrampilan
seseorang untuk
melakukan aktivitas
sehari-hari, aktivitas
hiburan atau hobi,
pekerjaan, interaksi sosial
dan perilaku lain yangdibutuhkan. Aktivitas
sehari-hari seseorang
tentu sangat luas,
8/19/2019 626-673-1-PB
13/43
individu yang satu
berbeda dengan individu
lain. Aktivitas sehari-hari
yang perlu dinilai adalah
kemampuan dasar dalam
melakukan aktivitasperawatan diri sendiri
yaitu makan-minum,
mandi, berpakaian,
berhias, menggunakan
toilet, kontrol buang air
kecil dan besar,
berpindah tempat
(transfer), mobilitas-
jalan,
Tabel 4. Sindrom
Hemoragik4
Area yang terkena
S e n s o m o t o r i k
Gejala Klinis lain
P u t a m e n
(apsula interna, basal
Hemiplegia kontra-
Stupor/Koma dengan
ganglia)
lateral
kompresi batang otak
krigiditas deserebrasi
Talamus
(talamus, kapsula
Hemiplegia kontra-
Afasia (hemisfer
interna)
lateral
dominan)
Gangguan sensoris
Gangguan lapangan
berat semua modalitas
pandang
Sindrom Horner
P o n t i n
(pons, batang otak,
Kuadriparesis, kua-
Sindroma lock in
midbrain)
driplegia
Rigiditas deserebrasi
S e r e b e l u m
Hemiparesis ringan
Vertigo/dizziness,
gangguan koordinasi,
Nausea, vomiting
8/19/2019 626-673-1-PB
14/43
ataksia
Nystagmus Disfagia,
disartria
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Januari 2009 6 3
8/19/2019 626-673-1-PB
15/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
didefinisikan sebagai
kerusakan atau proses
abnormal yang terjadi di
dalam organ atau sistem
organ tubuh. Contoh
patologi: stroke non-
hemoragik yang di-
sebabkan oleh
trombosis, hipertensi,
diabetes mellitus, dan
sebagainya.
Impairment (gangguan
organ atau fungsi organ)
Impairments merupakan
akibat langsung dari
patologi, didefinisikan
sebagai hilang atau
terganggunya strukturatau fungsi anatomis,
fisiologis, atau psikologis
tubuh. Contoh
impairment adalah
hemiparesis, afasia,
disartria, disfagia, depresi
dan lain sebagainya.
Health condition
(Disorder or Disease)
Body functions
Activities
Participation
and structure
Personal
Environmental
factors
factors
8/19/2019 626-673-1-PB
16/43
Disability
(ketidakmampuan)
Disability didefinisikan
sebagai keterbatasan atau
hilangnya kemampuan
untuk melakukan
aktivitas yang umum
dapat dilakukan oleh
orang lain yang normalkarena impairment yang
dideritanya. Contoh
disabil-ity: adalah
ketidak mampuan
berjalan (akibat
hemipare-sis),
ketidakmampuan
berkomunikasi (akibat
afasia, disatria) atau
ketidakmampuan
melakukan perawatan
diri sendiri seperti
berpakaian (akibat
hemiparesis, gangguan
kognitif, gangguan
sensoris dan lain-lain)
Handicap (keterbatasan
dalam peran)
Handicap atau kecacatan
merupakan suatu
konsekuensi sosial dari
penyakit, didefinisikan
sebagai terganggu atau
terbatasnya kemampuan
aktualisasi diri dan untuk
berperan secara sosial,
budaya, ekonomi dalam
keluarga dan lingkungan
bagi individual tertentu
akibat impair-ment dan
disability yang
dideritanya. Contoh
handi-cap adalah
ketidakmampuan
berperan sebagai ayah
bermain dengan anaknya
(karena hemiparesis yang
menyebabkannya sulit
bergerak atau berjalan),
tidak dapat bekerja
(karena kesulitan berjalan
ke tempat kerja,
melakukan pekerjaan
sebelumnya) dan lainsebagainya.
Pada tahun 2001 WHO
mempublikasikan revisi
dari ICIDH menjadi ICF
( International
Classification of Func-
tioning) dimana istilah
disability dan handicap
diganti menjadi activity and participation.
5-7 Revisi
ini secara prinsip tidak
terlalu banyak berbeda
dengan ICIDH, hanya di-
definisikan lebih positif,
yaitu disability
(ketidakmampuan) diganti
menjadi activity
(kemampuan fungsional
penderita), sedangkan
handicap (kecacatan)
diganti menjadi partici-
pation (peran-serta
penderita dalam kehidupan
sesuai dengan ketidak-
mampuan, aktivitas,
kondisi kesehatan dan
faktor kontekstual
lainnya ). Rehabilitasi
medis tidak hanya
berfokus pada apa yang
pasien tidak mampu
lakukan namun juga pada
apa yang pasien masih
mampu lakukan.
8/19/2019 626-673-1-PB
17/43
Proses Pemulihan
setelah Stroke
Proses pemulihan setelah
stroke dibedakan atas
pemulihan neurologis
(fungsi saraf otak) dan
pemulihan fungsional
(kemampuan
melakukan aktivitas
fungsional).
Gambar 1. Rehabilitation
Model: ICF7
Pemulihan neurologis
terjadi awal setelah
stroke. Mekanisme yang
mendasari adalah
pulihnya fungsi sel otak
pada area penumbra
yang berada di sekitar
area infark yang se-sungguhnya, pulihnya
diaschisis dan atau
terbukanya kembali
sirkuit saraf yang
sebelumnya tertutup
atau tidak digunakan
lagi. Kemampuan
fungsional pulih sejalan
dengan pemulihan
neurologis yang terjadi.
Setelah lesi otak
menetap, pemulihan
fungsional masih dapat
terus terjadi sampai
batas-batas tertentu
terutama dalam 3-6 bulan
pertama setelah stroke.
Hal itulah yang menjadi
fokus utama rehabilitasi
medis, yaitu untuk
mengembalikan
kemandirian pasien
mencapai kemampuan
fungsional yang optimal.
Proses pemulihan
fungsional terjadi
berdasarkan pada proses
reorganisasi atau
plastisitas otak melalui:
Proses Substitusi
Proses ini sangat
tergantung pada stimuli
eksternal yang diberikan
melalui terapi latihan
menggunakan berbagaimetode terapi.
Pencapaian hasilnya
sangat tergantung pada
intaknya jaringan
kognitif, visual dan
proprioseptif, yang
membantu terbentuknya
proses belajar dan
plastisitas otak.
Proses Kompensasi
Proses ini membantu
menyeimbangkan
keinginan aktivitas
fungsional pasien dan
kemampuan fungsi
pasien yang masih ada.
Hasil dicapai melalui
latihan berulang-ulang
untuk suatu fungsi
tertentu, pemberian alat
bantu dan atau ortosis,
perubahan perilaku, atau
perubahan lingkungan.
Pemilihan jenis intervensi
rehabilitasi didasarkan
pada pertimbangan
beratnya gejala-sisa
stroke, fase stroke saat
8/19/2019 626-673-1-PB
18/43
terapi, penyakit penyerta
dan atau komplikasi
medis, serta berbagai
faktor terkait lainnya
seperti usia pasien,
motivasi, serta dukungandan ekonomi keluarga.
Sebagai contoh pasien
usia lanjut, penderita
PPOK yang mendapat
stroke akibat oklusi total
a.cerebri media tentu
tidak mungkin diberikan
program rehabilitasisubstitusi agar ia dapat
berjalan dan
6 4 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari
2009
8/19/2019 626-673-1-PB
19/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
mandiri penuh dalam
aktivitas sehari-harinya,
rehabilitasi kompensasi
tentu lebih tepat
untuknya.
Intervensi Rehabilitasi
Medis pada Stroke
Secara umum rehabilitasi
pada stroke dibedakan
dalam beberapa fase.
Pembagian ini dalam
rehabilitasi medis dipakai
sebagai acuan untuk
menentukan tujuan (goal)
dan jenis intervensi
rehabilitasi yang akan
diberikan, yaitu:
Stroke fase akut: 2
minggu pertama pasca
serangan stroke
Stroke fase subakut:
antara 2 minggu-6 bulan
pasca stroke
Stroke fase kronis:
diatas 6 bulan pasca
stroke
Rehabilitasi StrokeFase Akut
Pada fase ini kondisi
hemodinamik pasien
belum stabil, umumnya
dalam perawatan di
rumah sakit, bisa di
ruang rawat biasa
ataupun di unit stroke.
Dibandingkan dengan
perawatan di ruang
rawat biasa, pasien yang
di rawat di unit stroke
memberikan outcome
yang lebih baik. Pasienmenjadi lebih mandiri,
lebih mudah kembali
dalam kehidupan
sosialnya di masyarakat
dan mempunyai kualitas
hidup yang lebih baik .9
Rehabilitasi pada fase
itu tidak akan di bahas
lebih lanjut dalam
makalah ini, karena
memerlukan
penanganan spesialistik
di rumah sakit.
Rehabilitasi Stroke
Fase Subakut
Pada fase ini kondisi
hemodinamik pasien
umumnya sudah stabil
dan diperbolehkan
kembali ke rumah,
kecuali bagi pasien yang
memerlukan
penanganan rehabilitasi
yang intensif. Sebagian
kecil (sekitar 10%)
pasien pulang dengan
gejala sisa yang sangatringan, dan sebagian
kecil lainnya (sekitar
10%) pasien pulang
8/19/2019 626-673-1-PB
20/43
dengan gejala sisa yang
sangat berat dan
memerlukan perawatan
orang lain sepenuhnya.
Namun sekitar 80%
pasien pulang dengangejala sisa yang
bervariasi beratnya dan
sangat memerlukan
intervensi rehabilitasi
agar dapat kembali
mencapai kemandirian
yang optimal.
Rehabilitasi pasienstroke fase subakut dan
kronis mungkin dapat
ditangani oleh
pelayanan kesehatan
primer. Rehabilitasi fase
ini akan dibahas lebih
rinci terutama mengenai
tatalaksana sederhana
yang tidak memerlukan
peralatan canggih.
Pada fase subakut pasien
diharapkan mulai
kembali untuk belajar
melakukan aktivitas
dasar merawat diri dan
berjalan. Dengan atau
tanpa rehabilitasi, sistim
saraf otak akan
melakukan reorganisasi
setelah stroke.
Reorganisasi otak yang
terbentuk tergantung
sirkuit jaras otak yang
pal-ing sering digunakan
atau tidak digunakan.
Melalui rehabilitasi,
reorganisasi otak yang
terbentuk diarahkan agar
mencapai kemampuan
fungsional optimal yang
dapat dicapai oleh pasien,melalui sirkuit yang
memungkinkan gerak
yang lebih terarah dengan
menggunakan
energi/tenaga se-efisien
mungkin. Hal tersebut
dapat tercapai melalui
terapi latihan yang
terstruktur, dengan
pengulangan secara
kontinyu serta
mempertimbangkan
kinesiologi dan
biomekanik gerak.
Prinsip-prinsip
Rehabilitasi Stroke:
Bergerak merupakan obat
yang paling mujarab. Bila
anggota gerak sisi yang
terkena terlalu lemah
untuk mampu bergerak
sendiri, anjurkan pasienuntuk bergerak/
beraktivitas
menggunakan sisi yang
sehat, namun sedapat
mungkin juga
mengikutsertakan sisi
yang sakit. Pasien dan
keluarga seringkali
beranggapan salah,
mengharapkan sirkuit
baru di otak akanterbentuk dengan
sendirinya dan pasien
secara otomatis bisa
bergerak kembali.
Sebenarnya sirkuit hanya
akan terbentuk bila ada
“kebutuhan” akan gerak
tersebut. Bila ekstremitas
yang sakit tidak pernah
digerakkan sama sekali,
presentasinya di otak
akan mengecil dan
terlupakan.
8/19/2019 626-673-1-PB
21/43
Terapi latihan gerak
yang diberikan
sebaiknya adalah gerak
fungsional daripada
gerak tanpa ada tujuan
tertentu. Gerakfungsional misalnya
gerakan meraih,
memegang dan
membawa gelas ke
mulut. Gerak fungsional
mengikutsertakan dan
mengaktifkan bagian–
bagian dari otak, baik
area lesi maupun area
otak normal lainnya,
menstimulasi sirkuit
baru yang dibutuhkan.
Melatih gerak seperti
menekuk dan
meluruskan (fleksi-
ekstensi) siku lengan
yang lemah
menstimulasi area lesi
saja. Apabila akhirnya
lengan tersebut
bergerak, tidak begitusaja bisa digunakan
untuk gerak fungsional,
namun tetap
memerlukan terapi
latihan agar terbentuk
sirkuit yang baru.
Sedapat mungkin bantu
dan arahkan pasien untuk
melakukan gerak
fungsional yang normal,
jangan biarkan
menggunakan gerak
abnormal. Gerak normal
artinya sama dengan
gerak pada sisi sehat.
Bila sisi yang terkena
masih terlalu lemah,
berikan bantuan “tenaga”
secukupnya dimana
pasien masih
menggunakan ototnya
secara “aktif”. Bantuan
yang berlebihan membuat
pasien tidakmenggunakan otot yang
akan dilatih (otot
bergerak pasif). Bantuan
tenaga yang kurang
menyebabkan pasien
mengerahkan tenaga
secara berlebihan dan
mengikut-sertakan otot-
otot lain. Ini akan
memperkuat gerakan
ikutan ataupun pola
sinergis yang memang
sudah ada dan seharusnya
dihindari. Besarnya
bantuan “tenaga” yang
diberikan harus
disesuaikan dengan
kemajuan pemulihan
pasien.
Gerak fungsional dapatdilatih apabila stabilitas
batang tubuh sudah
tercapai, yaitu dalam
posisi duduk dan berdiri.
Stabilitas duduk
dibedakan dalam
stabilitas duduk statik dan
dinamik. Stabilitas duduk
statik tercapai apabila
pasien telah mampu
mempertahankan duduk
tegak tidak bersandar
tanpa berpegangan dalam
kurun waktu tertentu
tanpa jatuh/miring ke
salah satu sisi. Stabilitas
duduk dinamik tercapai
apabila pasien dapat
mempertahankan posisi
duduk sementara batang
tubuh
8/19/2019 626-673-1-PB
22/43
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 6 5
8/19/2019 626-673-1-PB
23/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Gambar 2. Latihan dengan Bantuan
Bantuan terapis disesuaikan dengan kemampuan pasien. Terapis dapat melakukan kontrol tenaga pasien dalam bergerak, dengan meniadakan gerak
ikutan ataupun gerak sinergis.
doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan
dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu
sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping
untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik.
Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu
8/19/2019 626-673-1-PB
24/43
melakukan aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan
fungsional optimal dicapai apabila pasien juga mampu
melakukan aktivitas sambil berjalan.
Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan
terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan
memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara
fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian
tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi
dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis jugamenjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan
denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina
pasien. Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan
yang tidak sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama
(umumnya sekitar 45-60 menit) namun dengan
pengulangan sesering mungkin.
Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila
ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan
semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik dan
rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah-pisahkan.
Mengembalikan kemampuan fisik seseorang harus
melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi pada
prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar untuk
mampu kembali melakukan suatu aktivitas
fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut
ditujukan untuk:
Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-
kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan
aktivitas sehari-hari
Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring
Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai
kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan
jalan, cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di
rumah. Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan
membantu secara berlebihan dan menjadikan pasien
terbaring pasif “menunggu kondisi menjadi lebih baik,
dan gerak menjadi lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring
lama menyebabkan pasien bertambah lemah, lebih cepatlelah karena stamina makin rendah, gerak semakin
bertambah berat karena semua anggota gerak menjadi
kaku dan timbul komplikasi-komplikasi lain. Keluarga
dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-ing
berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk
dari pada baik. (Tabel 5).
Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode
emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang
diberikan pada 3 bulan pertama akan lebih memberikan
hasil dibandingkan fase kronis, dan tentu tidak boleh
disia-siakan. Pasien harus diberikan motivasi untuk
selalu aktif melakukan aktivitas sesuai dengan
kemampuan yang ada. Terapi latihan di-programkan
dengan durasi dan frekuensi latihan secara bertahap
ditingkatkan.
6 6 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
8/19/2019 626-673-1-PB
25/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Tabel 5. Komplikasi Tirah
Baring10
Sistem
tubuh
Efek terhadap sistem
tubuh
Sistem Kardiovaskuler
§
Denyut nadi meningkat ½
ketuk/menit
setiap hari selama 3-4 minggu
§
Ortostatik hipotensi
§ Risiko terjadinya Deep
Vein Trombosis
dan emboli pulmonal
§
Viskositas darah meningkat
Sistem
Respirasi
§
Retensi sputum dan
menurunnya
oksigenasi
§
Kecepatan pernafasan
meningkat
§
Risiko terjadinya pneumonia
Sistem
Muskuloske-
§
Kekuatan dan massa otot
menurun
l e t a l
§
Perubahan histologi otot
8/19/2019 626-673-1-PB
26/43
§
Perubahan kelenturan sendi
(kontraktur)
§
Osteoporosis
Sistem
Metabolik
§
Persentase lemak tubuh
meningkat
dan Endokrin
§
Hipercalcaemia
§ Toleransi glukose menurun
dalam 3 hari
tirah baring
Sistem
Integumen
§
Decubitus ulcers
Sistem
Gastrointes-
§
Konstipasi
t i n a l
§
Refluks Gastroesofageal
Sistem
Urogenital
§
Awal volume urin meningkat,
kemudian
menurun /stasis
§
Inkontinensia urine
Sistem Saraf Pusat
§
Perubahan pada afeksi
§ Penurunan kognitif dan
persepsi
8/19/2019 626-673-1-PB
27/43
Menyiapkan/mempertaha
nkan kondisi yang
memung-kinkan
pemulihan fungsional
yang paling optimal
Berbagai komplikasi
dapat timbul setelah
stroke yang dapat
membatasi pemulihan
kemampuan fungsional
yang seharusnya dapat
dicapai. Karena kondisi
tersebut sebagian besar
dapat dicegah, maka
meningkatkanpemahaman keluarga dan
pasien sangat penting dan
krusial.
Mencegah pemendekan
otot dan kontraktur
sendi Fungsi otot
bergerak (berkontraksi)
memendek dan
memanjang. Bila otot
diam pada satu posisi
tertentu dalam waktu
lama kelenturannya
akan hilang. Otot akan
kaku pada posisi
tersebut, sulit dan
memerlukan tenaga
lebih besar untuk
kontraksi memendek
ataupun memanjang.Demikian pula berlaku
pada sendi, yang akan
menjadi kering dan
kaku. Kedua kondisi ini
membuat pasien yang
karena kelumpuhannya
sudah sulit bergerak
menjadi tambah tidak
mungkin bergerak.
Latihan mencapai
lingkup gerak penuhpada semua persendian
disertai latihan regangan
otot sedikitnya 2 kali
per hari diperlukan.
Mencegah spastisitas dan
pola gerak sinergis
berlebihan Setelah stroke
akan terbentuk spastisitas
dan pola gerak khas yaitu
pola sinergis fleksor atau
ekstensor (Tabel 6). Pada
umumnya, akan terbentuk
pola sinergis fleksor pada
ekstremitas atas sedangkan
pada ekstremitas bawah
pola sinergis ekstensor.
Spastisitas dan pola gerak
sinergis tidak dapat
dihilangkan akan tetapi
perlu dikontrol agar
tidak berlebihan dan
mengganggu gerak
fungsional yang akan
dilatih. Pemberian
posisi yang tepat
sebagai antisipasi sudah
harus dimulai sejak
awal dan diterapkan
dalam seluruh aktivitas.
Tabel 6. Pola Sinergistik11
Bagian tubuh
Pola sinergis fleksor
Pola sinergis
e k s t e n s o r
8/19/2019 626-673-1-PB
28/43
Ekstremitas atas Retraksi bahu
Protraksi bahu
Abduksi bahu
Adduksi bahu
Rotasi eksternal lengan
Rotasi internal lengan
Fleksi siku
Ekstensi siku
Supinasi tangan
Pronasi tangan
Fleksi pergelangan
Ekstensi pergelangan
tangan
tangan
Fleksi jari-jari tangan
Fleksi jari-jari tangan
Ekstremitas
Fleksi panggul
Ekstensi panggul
bawah
Abduksi panggul
Adduksi panggul
Rotasi eksternal
Rotasi internal paha
panggul
Fleksi lutut
Ekstensi lutut
Dorsifleksi pergelangan
Plantar fleksi pergela-
kaki
ngan kaki
Eversi pergelangan kaki
Inversi pergelangan kaki
Ekstensi jari-jari kaki
Fleksi jari-jari kaki
Posisi antisipasi adalah
posisi sebaliknya dari
pola gerak yang akan
timbul. Pada ekstremitasatas misalnya, cenderung
timbul spastisitas fleksor,
maka lengan diupayakan
selalu dalam posisi
ekstensi apabila tidak
sedang latihan. Pasien
diberikan motivasi secara
sadar menggunakan
posisi antisipasi pada saat
tidur, duduk serta berdiri
dan bergerak. Pasienseringkali lebih memilih
posisi yang
menyenangkan baginya.
8/19/2019 626-673-1-PB
29/43
Posisi yang
menyenangkan dan terasa
nyaman belum tentu
merupakan posisi yang
baik untuknya.
Mencegah timbulnya
nyeri.
Nyeri sering terjadi
setelah stroke dan sangat
mengganggu terapi
latihan. Nyeri dapat
merupakan akibat ataukomplikasi dari stroke.
Lesi yang mengenai area
talamus seringkali
menimbulkan nyeri yang
disebut sebagai thalamic
pain syndrome. Nyeri
jenis itu disebabkan oleh
gangguan sensorik sentral
dimana interpretasi
stimulus yang datang dari
luar diterima sebagai rasa
nyeri di otak. Sayangnya
nyeri tersebut tidak selalu
mudah diatasi, namun
dapat dicoba dengan
pemberian trisiklik
antidepresan atau
antikonvulsan.
Sebagian besar nyeri pasca
stroke merupakan nyeri
muskuloskeletal, terutama
pada bahu sisi yang
terkena. Penyebab
utamanya seringkali adalah
penanganan bahu yang
salah atau kurang tepat,
seperti dalam penempatan
bahu saat tidur miring ke
sisi sakit sehingga bahu
tertindih tubuh, atau saat
duduk bahu tidak
tersanggah dengan baik.
Saat membantu pasien
pindah tempat (transfer)
dan saat membantu dalam
aktivitas sehari-hari,
misalnya
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009 6 7
8/19/2019 626-673-1-PB
30/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Gambar 3. Membantu Berpakaian.
8/19/2019 626-673-1-PB
31/43
Memegang lengan di bagian distal saat membantu berpakaian (A) dapat menimbulkan tarikan pada bahu yang dapat menimbulkan nyeri. Lengan harus
ditunjang dengan baik sampai proksimal (B).
berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah
pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya
tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri
miofascial, dan atau nyeri neuropatik.
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan nyeri
saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya utama
daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi untuk mencapaipemahaman mengenai pemberian posisi yang tepat, cara
membantu pasien dalam transfer atau aktivitas sehari-hari serta
cara berlatihan oleh karena itu sangat penting diberikan pada
pasien dan keluarganya.
Terapi Latihan untuk Kemandirian dalam
Melakukan Aktivitas Sehari-hari
Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
sehari-hari setelah stroke merupakan fokus utama
rehabilitasi stroke fase subakut. Terapi latihan dan remediasi
yang diberikan merupakan paduan latihan sederhana dan
latihan spesifik menggunakan berbagai metode terapi dan
melibatkan berbagai disiplin ilmu. Menentukan jenis,
metode pendekatan, waktu pemberian, frekuensi dan
intensitas terapi yang tepat harus disesuaikan dengan kondisi
medis pasien. Selain itu terapi latihan fungsional baru efektif
apabila terpenuhi beberapa kondisi yaitu:
Tidak ada nyeri, keterbatasan gerak sendi atau
pemendekan otot. Apabila ada, maka kondisi tersebut
perlu diatasi terlebih dahulu.
Pasien memahami tujuan dan hasil yang akan dicapai
melalui latihan yang diberikan. Kesulitan pemahaman
terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan kognitif.
Pemberian stimulasi untuk kemampuan pemahamananbahasa dan persepsi pasien diintegrasikan ke dalam terapi
latihan.
Gangguan Komunikasi
Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain
melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah
kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi
bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi
bicara disebut disartria.
Afasia
Afasia didefinisikan sebagai gangguan untuk mem-
formulasikan dan menginterpretasikan simbol bahasa.Afasia terjadi sebagai akibat adanya lesi pada mekanisme
bahasa di sistem saraf pusat, umumnya di hemisfer
dominan.
Kemampuan berbahasa seseorang dibedakan antara lain:
kemampuan mengekspresikan bahasa verbal (bicara
spontan)
kemampuan memahami bahasa verbal (pemahaman
auditori)
kemampuan mengekspresikan bahasa melalui tulisan
(bahasa simbol)
kemampuan memahami bahasa tulisan/membaca
(pemahamanan visual)
8/19/2019 626-673-1-PB
32/43
menamakan meniru
6 8 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2009
8/19/2019 626-673-1-PB
33/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Stroke dapat
mengakibatkan gangguan
pada salah satu beberapa
atau bahkan semua
kemampuan berbahaya
(afasia global). Secara
umum afasia dibedakan
menjadi afasia motorik,
afasia sensorik, afasia
transkortikal sensorik,
afasia transkortikal
motorik, afasia anomikdan afasia global.
Kemampuan pemahaman
bahasa menjadi indikator
penting untuk
kemandirian aktivitas
fungsional, artinya
semakin berat gangguan
afasia sensorik yang
diderita, semakin sulit
tercapai kemandirian
dalam aktivitas sehari-
hari.
Pasien afasia harus diajak
berbicara dengan suara
biasa afasia bukan
gangguan pendengaran,
jadi tidak perlu berteriak
keras). Selain itu, jangan
terlalu cepat dan dengan
kalimat pendek yangmengandung satu
informasi saja dalam
setiap kalimat. Akan
lebih bermanfaat apabila
stimulasi auditori (bahasa
verbal) yang diberikan
secara simultan dengan
stimulasi visual (bahasa
tulisan atau gambar-
gambar). Pasien afasia
jangan diajarkan mengejahuruf, karena akan
membuat pasien frustasi.
Mengeja merupakan
fungsi hemisfer kiri yang
justru terganggu.
Stimulasi melalui lagu,
menyanyikan dan
menyuarakan syair lagu
yang sudah pasien kenal
sebelum sakit akan lebih
bermanfaat.
Disartria
Disartria didefinisikan
sebagai gangguan dalam
mengekspresikan
bahasa verbal, akibat
kelemahan, spastisitas
dan atau gangguan
koordinasi pada organ
bicara dan artikulasi.
Parameter bicara yang
terkena pada disatria
antara lain respirasi,
fonasi/suara, artikulasi,
resonansi dan prosodi.
Tergantung letak lesi
disatria dibedakan atas
disatria flaksid, spastik,
ataksik, hipokinetik dan
hiperkinetik.
Terapi latihan diberikan
sesuai dengan penyebab
disatria, antara lain
untuk memperbaiki
kontrol pernapasan,
meningkatkan
kelenturan dan
penguatan organ bicara
dan artikulasi termasukotot wajah, otot leher
dan otot pernapasan.
8/19/2019 626-673-1-PB
34/43
Gangguan Fungsi
Luhur
Fungsi kortikal luhur
merupakan fungsi yang
paling luhur pada
manusia, yang
membedakan manusia
dengan mahkluk Tuhan
lainnya. Kerja fungsi ini
melibatkan jaringan yang
rumit dan kompleks serta
sulit untuk dipisahkan
karena saling terkait satu
sama lain. Untuk
memudahkan
pemahaman, fungsi
kortikal luhur dibedakan
menjadi fungsi
berbahasa, fungsi
memori, fungsi
visuospasial, fungsi
emosi dan fungsi kognisi.
Fungsi kognisi seseorang
memerlukan intaknyafungsi kortikal luhur
yang lain. Fungsi kognisi
antara lain kemampuan
atensi, konsentrasi,
registrasi, kategorial,
kalkulasi, persepsi,
proses pikir,
perencanaan, tahapan
serta pelaksanaan
aktivitas/tugas,
pertimbangan baik buruk,
bahaya tidak bahaya,
pemecahan masalah dan
lain se-bagainya. Pasien
stroke disertai gangguan
fungsi luhur memerlukan
rehabilitasi spesifik.
Rehabilitasi untuk me-
ngembalikan kemampuan
fungsional (karena ada
gangguan
fungsi kognisi) tersebut
lebih sulit dan memerlukan
waktu lebih lama. Salah
satu yang perlu mendapat
perhatian adalah hemi-
neglect. Pasien dengan
gangguan hemi-neglect
umumnya mempunyai lesi
di hemisfer kanan dan
mengabaikan semua yang
berada di sisi kirinya.
Pasien tersebut seringkali
berjalan menabrak pintu
yang ada di sebelah kiri,
jatuh tersandung benda
yang berada di sisi kiri,
atau tidak menyadari ada
makanan atau minuman
yang diletakkan di sisi
kirinya. Gangguan hemi-
neglect paling parah
adalah ia tidak mengenali
tangan kirinya sebagai
bagian dari tubuhnya.
Gangguan ini tidak sama
dengan hemianopsia,
dimana lapang pandang
pasien menjadi terbatas.
Gangguan Menelan
Gangguan menelan
disebut sebagai disfagia.
Insiden gangguan
menelan akibat stroke
cukup banyak berkisar
antara 30-65%.2,11,12
Sekitar 30% akan pulih
dalam 2 minggu,
sisanya akan pulih
dalam bulan-bulan
berikutnya. Disfagia
merupakan gejala klinis
penting karena
menempatkan pasien
pada risiko aspirasi dan
pneumonia, selain
dehidrasi dan
malnutrisi.
8/19/2019 626-673-1-PB
35/43
Suara pasien yang serak
basah perlu dicurigai
adanya gangguan
menelan. Mendeteksi
adanya disfagia dapat
dilakukan melaluipemeriksaan sederhana
sebagai berikut:
Pasien mampu
memahami tujuan tes ini
dan kooperatif.
Posisikan pasien duduktegak. Apabila belum ada
keseimbangan duduk,
perlu diberikan tunjangan
bantalan agar dapat
mempertahankan posisi
duduk dengan baik.
Berikan satu sendok teh
(5 ml) air dingin, minta
pasien untuk menelan
dengan kepala sedikit
menunduk.
Perhatikan apakah
pasien mampu menutup
bibir saat mencoba
menelan.
Lihat atau lakukan
palpasi dengan
meletakan jari pada
laring, rasakan apakah
terjadi elevasi laring
yang menunjukan
terjadinya proses
menelan. Monitor
apakah ada
keterlambatan atauterjadi proses menelan
yang inkomplit.
Minta pasien untuk
menyuarakan huruf
“aaaa.....” Moni-tor suara
yang terdengar kering
atau basah/serak.
Minta pasien berusaha
membatukkan lendir,
ulangi menyuarakan
huruf aaa.... Monitor
kembali bagaimana
suara yang terdengar.
Apabila ternyata pasien
tidak dapat menelan atau
suara
menjadi basah, maka
makan dan minum per
oral harus dihentikan.
Pasien memerlukan
pemeriksaan fungsi
menelan lebih lanjut
dengan VFSS (video
fluorosgraphic swallow
study) atau FEES
( fiberoptic endoscopic
evaluation of swal-
lowing).5,11,12
Gangguan Fungsi
Miksi dan Defekasi
Gangguan miksi yang
terjadi pada stroke
umumnya adalah
uninhibited bladder yang
menimbulkaninkontinensia urin.
Walaupun pasien
8/19/2019 626-673-1-PB
36/43
kelihatannya mampu
miksi, namun
Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari 2008 6 9
8/19/2019 626-673-1-PB
37/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
harus tetap dievaluasi
apakah urin keluar
tuntas, artinya residu
sisa dalam kandung
kemih setelah miksi
kurang dari 50-80 ml.
Sisa urin yang terlalu
banyak akan
menyebabkan
timbulnya infeksi
kandung kemih.
Pasien inkontinensia
karena uninhibited
bladder dapat diatasi
dengan manajemen
waktu berkemih. Catat
waktu serta jumlah
minum dan urine pada
voiding diary selama
minimal 3 hari berturut-
turut. Berdasarkan
voiding diary tersebut
dapat ditentukan kapan
pasien setiap kali harus
berkemih dengan
pengaturan minum yang
sesuai. Apabila
frekuensi miksi terlalu
sering, obat seperti
antikolinergik dapat
membantu, namun hati-
hati dengan risiko
timbulnya retensio
urin.12
Gangguan defekasi
pada stroke fase subakut
pada umumnya adalah
konstipasi akibat
immobilisasi. Perlu
diingat bahwa diare
yang timbul kemudian
selain gastroenteritis
juga bisa disebabkan
oleh adanya skibala,
terutama bila didahului
oleh obstipasi lama
sebelumnya.
Sarankan pasien untuk
banyak bergerak aktif,
berikan cukup cairan
(sekitar 40 ml/kg BB
ditambah 500 ml air/cairanbila tidak ada
kontraindikasi), serta
makan makanan berserat
tinggi. Bila perlu obat
laksatif dapat diberikan.
Gangguan Berjalan
Ambulasi jalan
merupakan suatu
aktivitas komplex yang
memerlukan tidak
hanya kekuatan otot
ekstremitas bawah saja,
tetapi juga kemampuan
kognitif, persepsi,
keseimbangan dan
koordinasi.
Terapi latihan menuju
ambulasi jalan perlu
diberikan bertahap,
dimulai dari kemampuan
mempertahankan posisi
duduk statik dan
dinamik, keseimbangan
berdiri statik dan
dinamik kemudian
latihan berjalan. Dalam
8/19/2019 626-673-1-PB
38/43
latihan berdiri perlu
selalu diperhatikan
bahwa panggul harus
pada posisi ekstensi 00,
lutut mengunci pada
posisi ekstensi 00
sedangkan pergelangan
kaki dalam posisi netral
900 . Pastikan berat
badan tertumpu juga
pada tungkai sisi yang
sakit. Paralel bar yaitu
palang dari besi, kayu
atau bambu yang
dipasang sejajar
merupakan tempat
latihan jalan yang palingbaik. Letakan kaca
setinggi tubuh di depan
paralel bar agar pasien
dapat melihat sendiri
postur berdiri serta
jalannya dan melakukan
koreksi secara aktif.
Apabila jalan sudah
cukup stabil di dalam
paralel bar, maka latihan
jalan dapat dilanjutkan
dengan memakai tripod,
yaitu tongkat yang ujung
bawahnya bercabang
tiga. Untuk memperbaiki
stabilitas jalan, tidak
jarang diperlukan
perespon splint kaki
(dynamic foot ortho-sis)
atau sepatu khusus.
Gangguan Melakukan
Aktivitas Sehari-hari
Pasien yang telah
kembali ke rumah
seharusnya di motivasi
untuk mengerjakan
semampunya aktivitas
perawatan dirinya
sendiri. Apabila sisi
kanan yang terkena,
pasien dapat diajarkan
untuk menggunakan
tangan kirinya untuk
semua aktivitas. Pastikan
juga tangan yang sakit
diikut-sertakan dalam
semua kegiatan (Gambar
4). Semakin cepat
dibiarkan melakukannya
sendiri, semakin cepat
pula pasien menjadi
mandiri. Hanya aktivitas
yang dapat menimbulkan
risiko jatuh atau
membahayakan pasien
sendiri yang perlu
ditolong oleh keluarga.
Mengembalikan
Kebugaran Fisik dan
Mental
Pasien stroke seringkali
mengeluh cepat lelah. Ia
selalu berupaya untuk
sedikit bergerak dan
lebih banyak istirahat.
8/19/2019 626-673-1-PB
39/43
Gambar 4. Aktivitas Perawatan Diri
Pasien diberikan motivasi untuk mandiri melakukan aktivitas
perawatan diri menggunakan tangan sisi sehat (A) atau mengikut-
sertakan tangan sisi yang sakit disanggah oleh tangan sisi yang sehat(B). Aktivitas sehari-hari seperti ini dapat dipakai juga seba-gai terapi
latihan.
7 0 Maj Kedokt Indon, Volum: 59, Nomor: 2, Pebruari
2009
8/19/2019 626-673-1-PB
40/43
Rehabilitasi Stroke pada Pelayanan Kesehatan Primer
Keluarga seringkali
membenarkan perilaku
seperti itu, menganggap
biasa karena pasien baru
pulang rawat dan
mengharapkan kondisi
seperti ini akan
bertambah baik.
Kenyataannya pasien
akan semakin cepat lelah
bahkan untuk aktivitas
yang kecil sekalipun,seperti misalnya duduk
beberapa menit di kursi
roda. Hal tersebut
disebabkan oleh
endurans pasien menjadi
rendah karena
immobilisasi lama.
Selain itu, adanya
kelemahan otot
menyebabkan tenaga
yang diperlukan untuk
bergerak lebih besar dari
biasanya. Kedua kondisi
tersebut menyebabkan
pasien menjadi cepat
lelah.
Terapi yang terbaik
adalah biasakan pasien
sejak awal aktif
semampunya. Pasien jangan dibiarkan istirahat
berkepanjangan. Pasien
dianjurkan agar sering
duduk, bukan duduk di
tempat tidur melainkan
duduk di kursi di luar
kamar tidur. Waktu aktif
dan istirahat dijadwalkan
secara proporsional
sesuai dengan kondisi
pasien. Pasien dimotivasiuntuk selalu makan di
kamar makan bersama
keluarga dan dibiarkan
untuk mengambil
makananan pilihannya
sendiri. Pasien selalu
dilibatkan dalam aktivitas
keluarga bahkan bagi
pasien dengan afasia.
Pasien diajak berlatih
yang bertargetkan hasil
misalnya melempar bola
masuk ke keranjang,
bowling kecil, main catur
atau halma.
Kegiatan tersebut
awalnya mungkin hanya
sebentar, namun bila
dilakukan sesering
mungkin akan
memperbaiki/
meningkatkan endurans
pasien. Latihan
endurans dengan beban
ringan selanjutnya dapatdimulai misalnya
dengan latihan
mengayuh sepeda statik
atau menggunakan
thera-band atau karet
ban dalam bekas.
Suasana hati yang
murung juga membuatpasien merasa cepat
lelah dan bosan.
Berikan sedikit demi
sedikit peran dan
tanggung jawab serta
ungkapkan selalu
bahwa peran serta
pasien sangat
dibutuhkan oleh
keluarga. Dengan
demikian pasien akanmerasa dirinya masih
8/19/2019 626-673-1-PB
41/43
berharga dan berguna
bagi orang lain.
Rehabilitasi Stroke
Fase Kronis
Program latihan untuk
stroke fase kronis tidak
banyak berbeda dengan
fase sebelumnya. Hanya
dalam fase ini sirkuit-
sirkuit gerak/aktivitas
sudah terbentuk,
membuat pembentukansirkuit baru menjadi lebih
sulit dan lambat. Hasil
latihan masih tetap dapat
berkembang bila
ditujukan untuk
memperlancar sirkuit
yang telah terbentuk
sebelumnya, membuat
gerakan semakin baik
dan penggunaan tenaga
semakin efisien. Latihanendurans dan penguatan
otot secara bertahap terus
ditingkatkan, sampai
pasien dapat mencapai
aktivitas aktif yang
optimal.
Tergantung pada
beratnya stroke, hasil
luaran rehabilitasi dapat
mencapai berbagai
tingkat seperti (a)
Mandiri penuh dan
kembali ke tempat kerja
seperti sebelum sakit,
(b) Mandiri penuh dan
bekerja namun alih
pekerjaan yang lebih
ringan sesuai kondisi,
(c) Mandiri penuh
namun tidak bekerja,
(d) Aktivitas sehari-hari
perlu bantuan minimal
dari orang lain atau (e)
Aktivitas sehari-hari
sebagian besar atau
sepenuhnya dibantu
orang lain.
Kesimpulan
Dampak gejala sisa
akibat stroke sangat
bervariasi dan kompleks.
Rehabilitasi stroke
memerlukan keterlibatan
tenaga profesional dalambentuk tim yang
membahas secara
berkesinambungan
perkembangan hasil dan
secara dinamis
menetapkan intervensi
yang tepat dan sesuai.
Namun tidak semua
pasien mudah
mendapatkan pelayanan
rehabilitasi spesialistik.Walaupun demikian
banyak hal yang masih
dapat dilakukan untuk
membantu pasien dan
keluarganya. Mencegah
komplikasi sekunder dan
mengembalikan
kemandirian pasien dapat
sekaligus meringankan
beban psikososial dan
ekonomi keluarga.
Profesi dokter di
pelayanan kesehatan
primer yang menjadi
ujung tombak di
masyarakat memiliki
peran yang sangat
penting.
Daftar Pustaka
8/19/2019 626-673-1-PB
42/43
1 . De Freitas GR, Bezerra
DC, Maulaz AB,
Bogousslavsky J. Stroke:
background, epidemiology,
etiology and avoiding
recurrence. In: Barnes M,
Dobkin B and Bogousslavsky
J. (ed.) Recovery after Stroke.
Cambridge, Cambridge
University Press, 2005:1-46.
2 . Brammer CM, Herring
GM. Stroke Rehabilitation. In:
Brammer CM, Spires MC.
(ed). Manual of Physical
Medicine and Rehabili-tation.
Philadelphia, Hanley &
Belfus, Inc., 2002:139-66.
3 . Bronstein SC, Popovich
JM, Stewart-Amidei C.
Promoting Stroke Recovery.
A Research-Based Approach
for Nurses. St.Louis, Mosby-
Year Book, Inc., 1991:13-24.
4 . Bartels MN.
Pathophysiology and Medical
Management of Stroke. In:
Gillen G, Burkhardt A.(ed).
Stroke Rehabilitation. A
Func-tional-Based Approach.
St. Louis, Mosby-Year Book,
Inc., 1998:1-30 .
5 . Graham A. Measurement
in stroke: activity and quality
of life. In: Barnes M, Dobkin
B and Bogousslavsky J. (ed.)Recovery after Stroke.
Cambridge, Cambridge
University Press, 2005:135-60
.
6 . O’Dell MW, Lin CD,
Panagos A and Fung NQ. The
Physiatric History and
Physical Examination. In:
Braddom RL (ed). Physi-cal
Medicine & Rehabilitation.
3rd. Edition. Elsevier, WB
Saunders Company, 2007:1-
36.
7 . Granger CV, Black T and
Braun SL. Quality and
Outcome Mea-sures for
Medical Rehabilitation. In:
Braddom RL (ed). PhysicalMedicine & Rehabilitation.
3rd. Edition. Elsevier, WB
Saunders Company,
2007:151-64.
8 . Wade DT. Measurement in
Neurological Rehabilitation.
Oxford, Oxford University
Press, 1994:3-14,26-34.
9 . Wood-Dauphinee S,
Kwakkel G. The impact of
rehabilitation on stroke
outcomes: what is the
evidence? In: Barnes M,
Dobkin B and Bogousslavsky
J. (ed.) Recovery after Stroke.
Cambridge, Cambridge
University Press, 2005:161-
88.
10 . Tong HC, Brammer CM.
Deconditioning and Bed Rest.
In: Brammer CM, Spires MC.
(ed). Manual of Physical
Medicine and Rehabilitation.
Philadelphia, Hanley &
Belfus, Inc., 2002:221-9 .
11 . Harvey RL, Roth EJ, Yu
D. Rehabilitation in Stroke
Syndromes. In: Braddom RL(ed). Physical Medicine &
Rehabilitation. 3rd. Edition.
Elsevier, WB Saunders
Company, 2007:1175-212.
12 . Harwood R. Huwez F,
Good D. Stroke Care. A
Practical Manual. Oxford,
Oxford University Press,
2005.
MS
8/19/2019 626-673-1-PB
43/43
Maj Kedokt Indon, Volum: 58, Nomor: 2, Pebruari 2009 7 1